يصح الطلاق من كل زوج بالغ عاقل مختار فأما غير الزوج فلا يصح طلاقه وإن قال إذا تزوجت امرأة فهي طالق لم يصح لما روى المسور بن مخرمة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا طلاق قبل نكاح ولا عتق قبل ملك”. وأما الصبي فلا يصح طلاقه لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”.


KITAB TALAQ

Talak sah dari setiap suami yang baligh, berakal, dan memilih (tidak dipaksa). Adapun selain suami, maka tidak sah talaknya. Jika seseorang berkata, “Apabila aku menikahi seorang perempuan, maka dia tertalak,” maka tidak sah, berdasarkan riwayat dari al-Miswar bin Makhramah bahwa Nabi SAW bersabda: “Lā ṭalāqa qabla nikāḥ wa lā ‘itaqa qabla milk.” (Tidak ada talak sebelum pernikahan dan tidak ada pemerdekaan sebelum kepemilikan).

Adapun anak kecil, maka tidak sah talaknya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Rufi‘a al-qalamu ‘an ṯalāṯah: ‘aniṣ-ṣabiyyi ḥattā yablugha, wa ‘anin-nā’imi ḥattā yastaīqiẓa, wa ‘anil-majnūni ḥattā yafīqa.” (Pena catatan diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia baligh, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari orang gila hingga ia sadar).

فأما من لا يعقل فإنه لم يعقل بسبب يعذر فيه كالنائم والمجنون والمريض ومن شرب دواء للتداوي فزال عقله أو أكره على شرب الخمر حتى سكر لم يقع طلاقه لأنه نص في الخبر على النائم والمجنون وقسنا عليهما الباقين وإن لم يعقل بسبب لا يعذر فيه كمن شرب الخمر لغير عذر فسكر أو شرب دواء لغير حاجة فزال عقله فالمنصوص في السكران أنه يصح طلاقه وروى المزني أنه قال في القديم: لا يصح ظهاره والطلاق والظهار واحد فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما: لا يصح وهو اختيار المزني وأبي ثور لأنه زائل العقل فأشبه النائم أو مفقود الإرادة فأشبه بالمكره

Adapun orang yang tidak berakal karena sebab yang bisa ditoleransi, seperti orang yang tidur, orang gila, orang sakit, atau orang yang hilang akal karena meminum obat untuk berobat, atau dipaksa meminum khamar hingga mabuk, maka talaknya tidak jatuh. Karena nash dalam hadis telah menyebutkan orang tidur dan orang gila, dan selain keduanya dianalogikan kepada keduanya.

Namun jika seseorang tidak berakal karena sebab yang tidak ditoleransi, seperti meminum khamar tanpa uzur hingga mabuk, atau meminum obat tanpa kebutuhan hingga akalnya hilang, maka dalam kasus orang mabuk disebutkan dalam qaul jadīd bahwa talaknya sah. Al-Muzani meriwayatkan bahwa dalam qaul qadīm Imam Syafi‘i mengatakan: tidak sah ẓihār-nya, padahal talak dan ẓihār itu serupa. Maka sebagian ulama kami berkata: dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama: tidak sah, dan ini adalah pilihan al-Muzani dan Abu Ṯaur, karena ia kehilangan akal, maka diserupakan dengan orang yang tidur, atau kehilangan kehendak, maka diserupakan dengan orang yang dipaksa.

والثاني: أنه يصح وهو الصحيح لما روى أبو وبرة الكلبي قال: أرسلني خالد بن الوليد إلى عمر رضي الله عنه فأتيته في المسجد ومعه عثمان وعلي وعبد الرحمن وطلحة والزبير رضي الله عنهم فقلت: إن خالداً يقول: إن الناس قد انهمكوا في الخمر وتحاقروا العقوبة فقال عمرهم هؤلاء عندك فاسألهم فقال علي عليه السلام: “تراه إذا سكر هذى وإذا هذى افترى وعلى المفتري ثمانون جلدة”. فقال عمر: أبلغ صاحبك ما قال فجعلوه كالصاحي ومنهم من قال يصح طلاقه قولا واحدا ولعل ما رواه المزني حكاه الشافعي رحمه الله عن غيره وفي علته ثلاثة أوجه: أحدها وهو قول أبي العباس إن سكره لا يعلم إلا منه وهو متهم في دعوى السكر لفسقه فعلى هذا يقع الطلاق في الظاهر ويدين فيما بينه وبين الله عز وجل

Dan pendapat kedua: bahwa talaknya sah, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan riwayat dari Abū Wabarah al-Kalbī, ia berkata: Khalid bin al-Walīd mengutusku kepada ‘Umar RA, lalu aku menemuinya di masjid dan bersamanya ada ‘Uṡmān, ‘Alī, ‘Abdurraḥmān, Ṭalḥah, dan az-Zubair RA. Aku berkata: “Sesungguhnya Khalid berkata: Sungguh manusia telah tenggelam dalam khamar dan menganggap remeh hukuman.” Maka ‘Umar berkata: “Orang-orang ini ada di hadapanmu, maka tanyalah mereka.” Maka ‘Alī RA berkata: “Menurutmu, jika ia mabuk, ia mengigau, dan jika ia mengigau maka ia berdusta, dan atas orang yang berdusta ada hukuman delapan puluh cambukan.” Maka ‘Umar berkata: “Sampaikan kepada temanmu apa yang telah dikatakan.” Maka mereka pun menyamakan orang mabuk dengan orang sadar.

Dan sebagian dari mereka berkata: talaknya sah menurut satu pendapat saja. Dan barangkali riwayat yang dinukil al-Muzani itu adalah perkataan Imam asy-Syāfi‘ī dari selainnya.

Adapun alasan bagi sahnya talak orang mabuk, ada tiga wajah:
Wajah pertama, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās: bahwa keadaan mabuknya tidak diketahui kecuali dari dirinya sendiri, sementara ia tertuduh dalam pengakuan mabuk karena kefasikannya. Maka berdasarkan hal ini, talaknya jatuh secara zhāhir, dan ia memikul tanggung jawabnya di hadapan Allah Azza wa Jalla.

والثاني: أنه يقع طلاقه تغليظاً عليه لمعصيته فعلى هذا يصح ما فيه تغليظ كالطلاق والعتق والردة وما يوجب الحد ولا يصح ما فيه تخفيف كالنكاح والرجعة وقبول الهبات والثالث أنه لما كان سكره بمعصية أسقط حكمه فجعل كالصاحي فعلى هذا يصح منه الجميع وهذا هو الصحيح لأن الشافعي رحمه الله نص على صحة رجعته.

Wajah kedua: bahwa talaknya jatuh sebagai bentuk penegasan hukuman atasnya karena maksiat yang dilakukannya. Berdasarkan hal ini, sah semua yang mengandung unsur penegasan hukuman, seperti talak, pemerdekaan, riddah, dan hal-hal yang mewajibkan ḥadd, namun tidak sah perkara yang mengandung keringanan, seperti nikah, rujuk, dan menerima hibah.

Wajah ketiga: bahwa karena mabuknya terjadi karena maksiat, maka hukum mabuk itu diabaikan dan ia diperlakukan seperti orang sadar. Maka berdasarkan hal ini, sah semua tindakan darinya.

Dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh menegaskan sahnya rujuk orang mabuk.

فصل: وأما المكره فإنه ينظر فإن كان إكراهه بحق كالمولى إذا أكرهه الحاكم على الطلاق وقع طلاقه لأنه قول حمل عليه بحق فصح كالحربي إذا أكره على الإسلام وإن كان بغير حق لم يصح لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه”. ولأنه قول حمل عليه بغير حق فلم يصح كالمسلم إذا أكره على كلمة الكفر ولا يصير مكرهاً إلا بثلاثة شروط: أحدها: أن يكون المكره قاهراً له لا يقدر على دفعه

PASAL: Adapun orang yang dipaksa, maka perlu dilihat: jika pemaksaannya dilakukan dengan hak, seperti seorang mawlā yang dipaksa oleh hakim untuk menjatuhkan talak, maka talaknya jatuh, karena itu adalah ucapan yang dipaksakan dengan cara yang benar, maka sah, sebagaimana orang ḥarbī yang dipaksa masuk Islam.

Namun jika pemaksaan itu tidak dengan hak, maka tidak sah, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Rufi‘a ‘an ummatī al-khaṭa’ wa an-nisyān wa mā ustukrihū ‘alayh.” (Diangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa melakukannya). Dan karena itu adalah ucapan yang dipaksakan tanpa hak, maka tidak sah, sebagaimana seorang Muslim yang dipaksa untuk mengucapkan kata-kata kekufuran.

Dan seseorang tidak dianggap sebagai orang yang dipaksa kecuali dengan memenuhi tiga syarat:
Syarat pertama: bahwa pihak yang memaksa benar-benar mampu menguasainya dan orang yang dipaksa tidak sanggup menolaknya.

والثاني: أن يغلب على ظنه أن الذي يخافه من جهته يقع به والثالث: أن يكون به ما يهدده به مما يلحقه ضرر به كالقتل والقطع والضرب المبرح والحبس الطويل والاستحقاق بمن يغض منه ذلك من ذوي الأقدار لأنه يصير مكرها بذلك وأما الضرب القليل في حق من لا يبالي به والاستخفاف بمن لا يغض منه أو أخذ القليل من المال ممن لا يتبين عليه أو الحبس القليل فليس بإكراه وأما النفي فإن كان فيه تفريق بينه وبين الأهل فهو إكراه وإن لم يكن فيه تفريق بينه وبين الأهل ففيه وجهان: أحدهما: أنه إكراه لأنه جعل النفي عقوبة كالحد ولأنه تلحقه الوحشة بمفارقة الوطن

Syarat kedua: kuat dugaan orang yang dipaksa bahwa ancaman dari pihak yang memaksanya benar-benar akan terjadi padanya.
Syarat ketiga: ancaman itu berupa sesuatu yang menimbulkan bahaya bagi dirinya, seperti pembunuhan, pemotongan anggota badan, pemukulan berat, penahanan dalam waktu lama, atau penghinaan terhadap orang-orang terpandang yang membuatnya terhina—karena hal-hal itu menjadikannya sebagai orang yang dipaksa.

Adapun pemukulan ringan terhadap orang yang tidak peduli dengannya, atau penghinaan terhadap orang yang tidak merasa terhina dengannya, atau pengambilan sedikit harta dari orang yang tidak nampak terpengaruh dengannya, atau penahanan sebentar, maka itu tidak dianggap sebagai paksaan.

Adapun pengasingan (nafī), maka jika di dalamnya terdapat perpisahan dengan keluarga, maka itu termasuk paksaan. Namun jika tidak ada perpisahan dengan keluarga, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama: bahwa itu termasuk paksaan, karena pengasingan dijadikan sebagai hukuman seperti ḥadd, dan karena seseorang merasakan kesepian dengan meninggalkan tanah kelahirannya.

والثاني: ليس بإكراه لتساوي البلاد في حقه وإذا أكره على الطلاق فنوى الإيقاع ففيه وجهان: أحدهما: لا يقع لأن اللفظ يسقط حكمه بالإكراه وبقيت النية من غير لفظ فلم يقع بها الطلاق والثاني: أنه يقع لأنه صار بالنية مختاراً.

Pendapat kedua: bahwa pengasingan bukanlah bentuk paksaan, karena seluruh negeri sama kedudukannya baginya.

Jika seseorang dipaksa untuk menjatuhkan talak, lalu ia berniat menjatuhkannya, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: talaknya tidak jatuh, karena lafalnya kehilangan kekuatan hukum akibat paksaan, dan yang tersisa hanyalah niat tanpa lafal, sehingga talak tidak terjadi.
Pendapat kedua: talaknya jatuh, karena dengan niat itu ia telah menjadi orang yang memilih (bukan lagi dipaksa).

فصل: وإن قال الأعمى لامرأته أنت طالق وهولا يعرف معناه ولا نوى موجبه لم يقع الطلاق كما لو تكلم بكلمة الكفر وهولا يعرف معناه ولم يرد موجبه وإن أراد موجبه بالعربية ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول الماوردي البصري أنه يقع لأنه قصد موجبه فلزمه حكمه والثاني: وهو قول الشيخ أبي أحمد الإسفرايني رحمه الله أنه لا يصح كما لا يصير كافراً إذا تكلم بالكفر وأراد موجبه بالعربية.

PASAL: Jika seorang buta berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak,” sementara ia tidak mengetahui maknanya dan tidak meniatkan konsekuensinya, maka talak tidak jatuh, sebagaimana jika seseorang mengucapkan kata-kata kufur tanpa mengetahui maknanya dan tidak meniatkan konsekuensinya. Namun jika ia meniatkan konsekuensinya dalam bahasa Arab, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: yaitu pendapat al-Māwardī al-Baṣrī, bahwa talaknya jatuh karena ia meniatkan konsekuensinya, maka berlaku hukumnya.

Kedua: yaitu pendapat Syekh Abū Aḥmad al-Isfarā’īnī RA, bahwa talaknya tidak sah, sebagaimana seseorang tidak menjadi kafir jika mengucapkan kekufuran dan meniatkan konsekuensinya dalam bahasa Arab.

فصل: ويملك الحر ثلاث تطليقات لما روى أبو رزين الأسدي قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: أرأيت قول الله عز وجل: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} فأين الثلاث؟ قال: تسريح بإحسان الثالثة ويملك العبد طلقتين لما روى الشافعي رحمه الله أن مكاتبا لأم سليمة طلق امرأته وهي حرة تطليقتين وأراد أن يراجعها فأمره أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يأتي عثمان رضي الله عنه فيسأله فذهب إليه فوجده آخذاً بيد زيد بن ثابت فسألهما عن ذلك فابتدراه وقالا حرمت عليك حرمت عليك.

PASAL: Seorang lelaki merdeka memiliki kekuasaan atas tiga kali talak, berdasarkan riwayat Abū Razīn al-Asadī, ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah ‘azza wa jalla: {الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} (talak itu dua kali, maka tahanlah dengan cara yang baik atau lepaskan dengan cara yang baik) — lalu di mana talak yang ketiga?” Nabi SAW menjawab: “Talak yang ketiga adalah tasrīḥ bi-iḥsān (melepas dengan cara yang baik).”

Sedangkan budak memiliki kekuasaan dua kali talak, berdasarkan riwayat dari asy-Syāfi‘ī RA bahwa seorang mukātab milik Ummu Salamah menalak istrinya—yang merupakan wanita merdeka—dengan dua talak, dan ia ingin merujukinya. Maka istri-istri Rasulullah SAW memerintahkannya untuk mendatangi ‘Utsmān RA dan menanyakan hal itu. Ia pun pergi dan mendapati ‘Utsmān sedang menggandeng tangan Zayd bin Thābit. Ia pun menanyakan hal itu kepada keduanya, maka keduanya serempak berkata: “Telah haram atasmu, telah haram atasmu.”

فصل: ويقع الطلاق على أربعة أوجه: واجب ومستحب ومحرم ومكروه فأما الواجب فهو في حالتين: أحدهما: إذا وقع الشقاق ورأى الحكمان الطلاق وقد بيناه في النشوز والثاني: إذا آلى منهما ولم يفئ إليهما ونذكره في الإيلاء إن شاء الله تعالى وأما المستحب فهو في حالتين: إحداهما إن كان يقصر في حقها في العشرة أوفي غيرها فالمستحب أن يطلقها لقوله عز وجل: {فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} ولأنه إذا لم يطلقها في هذه الحال لم يؤمن أن يفضي إلى الشقاق أو إلى الفساد والثاني: أن لا تكون المرأة عفيفة فالمستحب أن يطلقها لما روي أن رجلاً أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: إن إمرأتي لا ترد يد لامس فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “طلقها”. ولأنه لا يأمن أن تفسد عليه الفراش وتلحق به نسبا ليس منه.

PASAL: Talak terjadi dalam empat bentuk: wajib, sunnah (dianjurkan), haram, dan makruh.

Adapun yang wajib terjadi dalam dua keadaan:

Pertama: apabila terjadi perselisihan dan dua orang ḥakam (juru damai) memandang bahwa talak adalah jalan keluar, dan ini telah dijelaskan dalam bab nusyūz.

Kedua: apabila suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (īlā’) lalu tidak kembali kepadanya, dan ini akan disebutkan dalam pembahasan īlā’ insya Allah Ta‘ala.

Adapun yang sunnah (dianjurkan) juga dalam dua keadaan:

Pertama: apabila suami lalai dalam menunaikan hak-hak istri dalam pergaulan atau dalam perkara lainnya, maka yang dianjurkan adalah menceraikannya, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla: {فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} (tahanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik), dan karena jika ia tidak menceraikannya dalam keadaan seperti ini, dikhawatirkan akan membawa kepada perselisihan atau kerusakan.

Kedua: apabila perempuan tersebut bukanlah perempuan yang menjaga kehormatan (‘afīfah), maka disunnahkan untuk menceraikannya, berdasarkan riwayat bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Sesungguhnya istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya.” Maka Nabi SAW bersabda: “Ceraikan dia.” Dan karena dikhawatirkan ia merusak kehormatan tempat tidur suaminya dan menisbatkan anak yang bukan dari suaminya.

فصل: وأما المحرم فهو طلاق البدعة وهو إثنان: أحدهما: طلاق المدخول بها في حال الحيض من غير حمل والثاني: طلاق من يجوز أن تحبل في الطهر الذي جامعها فيه قبل أن يستبين الحمل والدليل عليه ما روي عن عمر رضي الله عنه أنه طلق امرأته وهي حائض فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يراجعها ثم يمسكها حتى تطهر ثم تحيض عنده مرة أخرى ثم يمسكها حتى تطهر ثم تحيض عنده أخرى ثم يمسكها حتى تطهر من حيضها

PASAL: Adapun yang haram adalah ṭalāq bid‘ah, dan itu ada dua:

Pertama: ṭalāq terhadap istri yang telah digauli ketika sedang haid dan tidak sedang hamil.

Kedua: ṭalāq terhadap perempuan yang mungkin hamil di masa suci yang telah digauli padanya sebelum tampak tanda kehamilan.

Dalilnya adalah riwayat dari ‘Umar RA bahwa ia mentalak istrinya saat sedang haid, lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk merujuknya kembali, kemudian menahannya sampai ia suci, lalu haid kembali untuk kedua kalinya, kemudian menahannya hingga suci, lalu haid lagi untuk ketiga kalinya, lalu menahannya hingga suci dari haidnya.

فإذا أراد أن يطلقها فليطلقها حين تطهر قبل أن يجامعها فتلك العدة التي أمر الله تعالى أن يطلق لها النساء ولأنه إذا طلقها في الحيض أضر بها في تطويل العدة وإذا طلقها في الطهر الذي جامعها فيه قبل أن يستبين الحمل لم يأمن أن تكون حاملاً فيندم على مفارقتها مع الولد لأنه لا يعلم هل علقت بالوطء فتكون عدتها بالحمل أولم تعلق فتكون عدتها بالإقراء وأما طلاق غير المدخول بها في الحيض فليس بطلاق بدعة لأنه لا يوجد تطويل العدة فأما طلاقها في الحيض وهي حامل على القول الذي يقول إن الحامل تحيض فليس ببدعة وقال أبو إسحاق هو بدعة لأنه طلاق في الحيض والمذهب الأول

Maka apabila ia ingin menalaknya, hendaklah ia menalaknya ketika suci sebelum digauli, maka itulah ‘iddah yang diperintahkan Allah Ta‘ala untuk menalak perempuan padanya. Karena jika ia menalaknya saat haid, maka ia telah menyakiti istrinya dengan memperpanjang masa ‘iddah. Dan jika ia menalaknya saat suci yang telah digauli padanya sebelum tampak tanda kehamilan, maka tidak aman dari kemungkinan ia hamil, sehingga ia akan menyesal karena berpisah bersamaan dengan adanya anak. Karena ia tidak tahu apakah ia telah mengandung dari jima‘ tersebut sehingga ‘iddah-nya dengan kehamilan, atau tidak mengandung sehingga ‘iddah-nya dengan al-qurū’.

Adapun ṭalāq terhadap perempuan yang belum digauli saat haid, maka itu bukanlah ṭalāq bid‘ah, karena tidak ada perpanjangan masa ‘iddah.

Adapun menalaknya saat haid padahal ia sedang hamil — menurut pendapat yang mengatakan bahwa perempuan hamil itu mengalami haid — maka itu bukanlah ṭalāq bid‘ah. Dan Abu Ishaq berkata: itu adalah ṭalāq bid‘ah, karena ia adalah ṭalāq di masa haid. Namun pendapat yang menjadi mazhab adalah yang pertama.

لما روى سالم أن ابن عمر رضي الله عنه طلق امرأته وهي حائض فذكر عمر للنبي صلى الله عليه وسلم فقال: “مره فليراجعها ثم ليطلقها وهي طاهر أو حامل” ولأن الحامل تعتد بالحمل فلا يؤثر الحيض في تطويل عدتها وأما طلاق من لا تحمل في الطهر المجامع فيه وهي الصغيرة الآيسة من الحيض فليس ببدعة لأن تحريم الطلاق للندم على الولد أو للريبة بما تعتد به من الحمل والأقراء وهذا لا يوجد في حق الصغيرة والآيسة وأما طلاقها بعدما استبان حملها فليس ببدعة لأن المنع للندم على الولد وقد علم بالولد أو للإرتياب بما تعدت به وقد زال ذلك بالحمل وإن طلقها في الحيض أو الطهر الذي جامع فيه وقع الطلاق

Karena telah diriwayatkan oleh Sālim bahwa Ibn ‘Umar RA menalak istrinya saat haid, lalu ‘Umar menyebutkan hal itu kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda: “Perintahkan dia agar merujuknya kembali, kemudian menalaknya ketika suci atau sedang hamil.”

Dan karena perempuan hamil menjalani ‘iddah dengan kehamilan, maka haid tidak berpengaruh dalam memperpanjang masa ‘iddah-nya.

Adapun ṭalāq terhadap perempuan yang tidak bisa hamil pada masa suci yang telah digauli padanya — seperti perempuan kecil dan yang telah putus haid (yā’isah) — maka itu bukanlah ṭalāq bid‘ah, karena pengharaman ṭalāq itu disebabkan penyesalan atas anak atau keraguan tentang ‘iddah apakah dengan kehamilan atau al-qurū’, dan hal itu tidak terdapat pada perempuan kecil dan yā’isah.

Adapun jika ia menalaknya setelah tampak tanda kehamilan, maka itu bukanlah ṭalāq bid‘ah, karena larangan ṭalāq adalah karena penyesalan terhadap anak, dan kini telah diketahui adanya anak, atau karena ragu terhadap bentuk ‘iddah, dan itu telah hilang dengan adanya kehamilan.

Dan jika ia menalaknya saat haid atau saat suci yang telah digauli padanya, maka ṭalāq tetap jatuh.

لأن ابن عمر رضي الله عنه طلق امرأته وهي حائض فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يراجعها فدل على أن الطلاق وقع والمستحب أن يراجعها لحديث ابن عمر رضي الله عنه ولأنه بالرجعة يزول المعنى الذي لأجله حرم الطلاق وإن لم يراجعها جاز لأن الرجعة إما أن تكون كابتداء النكاح أو كبقاء على النكاح ولا يجب واحد منهما.

Karena Ibn ‘Umar RA menalak istrinya saat haid, maka Nabi SAW memerintahkannya untuk merujuknya kembali. Ini menunjukkan bahwa ṭalāq tetap jatuh.

Dan yang mustahab adalah ia merujuk istrinya kembali, berdasarkan hadis Ibn ‘Umar RA, dan karena dengan rujū‘, hilanglah sebab yang karenanya ṭalāq itu diharamkan.

Namun jika ia tidak merujuknya, maka hal itu tetap boleh, karena rujū‘ itu statusnya antara seperti memulai akad nikah baru atau seperti meneruskan akad nikah yang telah ada, dan tidak ada satu pun dari keduanya yang wajib.

فصل: وأما المكروه من الطلاق من غير سنة ولا بدعة والدليل عليه ما روى محارب ابن دثار رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أبغض الحلال إلى الله عز وجل الطلاق”. وروى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إنما المرأة خلقت من ضلع لن تستقيم لك على طريقة فإن استمتعت بها استمتعت وبها عوج وإن ذهبت تقيمها كسرتها وكسرها طلاقها”.

PASAL: Adapun talak yang makruh adalah talak yang tidak sesuai dengan sunnah dan bukan pula termasuk bid‘ah. Dalil atas hal ini adalah riwayat dari Muḥārib bin Dithār RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Halal yang paling dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah talak.”

Dan diriwayatkan dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk, dan ia tidak akan lurus bagimu di atas satu cara. Jika engkau bersenang-senang dengannya, maka engkau bersenang-senang dengannya dalam keadaan bengkok. Dan jika engkau berusaha meluruskannya, maka engkau mematahkannya, dan patahnya adalah menceraikannya.”

فصل: وإذا أراد الطلاق فالمستحب أن يطلقها طلقة واحدة لأنه يمكنه تلافيها وإن أراد الثلاث فرقها في كل طهر طلقة ليخرج من الخلاف فإن عند أبي حنيفة لا يجوز جمعها ولأنه يسلم من الندم وإن جمعها في طهر واحد جاز لما روي أن عويمر العجلاني قال عند رسول الله صلى الله عليه وسلم حين لاعن امرأته كذبت عليها إن أمسكتها فهي طالق ثلاثاً فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “لا سبيل لك عليها”. ولو كان جمع الثلاث محرماً لأنكر عليه فإن جمع الثلاث أو أكثر بكلمة واحدة وقع الثلاث

PASAL: Apabila seseorang ingin menceraikan istrinya, maka yang sunnah adalah menceraikannya dengan satu talak, karena masih memungkinkan untuk rujuk kembali. Dan apabila ia ingin menjatuhkan tiga talak, maka hendaknya ia menceraikannya satu talak di setiap ṭuhr, agar keluar dari khilaf, karena menurut Abū Ḥanīfah tidak boleh mengumpulkannya sekaligus. Selain itu, ia pun terhindar dari penyesalan. Namun jika ia mengumpulkan tiga talak dalam satu ṭuhr, maka hal itu boleh, karena diriwayatkan bahwa ‘Uwainir al-‘Ajlānī berkata di hadapan Rasulullah SAW saat melaknat istrinya: “Aku telah berdusta atasnya. Jika aku tetap menahannya, maka dia tertalak tiga,” maka Nabi SAW bersabda: “Tidak ada jalan bagimu atasnya.” Seandainya mengumpulkan tiga talak itu haram, niscaya Nabi SAW mengingkarinya. Maka apabila seseorang mengumpulkan tiga talak atau lebih dalam satu kalimat, maka jatuh tiga.

لما روى الشافعي رحمه الله أن ركانة ابن عبد يزيد طلق امرأته سهيمة البتة ثم أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إني طلقت امرأتي سهيمة البتة والله ما أردت إلا واحدة فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: “والله ما أردت إلا واحدة” فقال ركانة: والله ما أردت إلا واحدة فردها رسول الله صلى الله عليه وسلم فلولم يقع الثلاث إذا أراده بهذا اللفظ لم يكن لاستحلافه معنى وروي أن رجلاً قال لعثمان رضي الله عنه إني طلقت امرأتي مائة فقال ثلاث يحرمنها وسبعة وتسعون عدوان وسئل ابن عباس رضي الله عنه عن رجل طلق امرأته ألفاً فقال ثلاث منهن يحرمن عليه وما بقي فعليه وزره.

Karena Imam al-Syafi‘i رحمه الله meriwayatkan bahwa Rukānah bin ‘Abd Yazīd menceraikan istrinya Suhaymah dengan lafaz al-battah (talak tegas), lalu ia datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah menceraikan istriku Suhaymah dengan lafaz al-battah, demi Allah aku tidak menginginkan kecuali satu talak.” Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: “Demi Allah, tidaklah engkau menginginkan kecuali satu?” Rukānah menjawab: “Demi Allah, aku tidak menginginkan kecuali satu.” Maka Rasulullah SAW mengembalikannya (kepada istrinya). Seandainya tidak jatuh tiga talak apabila seseorang menginginkannya dengan lafaz ini, niscaya tidak ada makna bagi sumpah yang diambilkan.

Dan diriwayatkan bahwa seorang lelaki berkata kepada ‘Utsmān RA: “Aku menceraikan istriku seratus kali.” Maka ‘Utsmān menjawab: “Tiga darinya mengharamkannya atasmu, sedangkan yang sembilan puluh tujuh adalah kedzaliman.” Dan Ibnu ‘Abbās RA ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya seribu kali, maka beliau menjawab: “Tiga darinya mengharamkannya atasnya, dan sisanya adalah dosanya.”

فصل: ويجوز أن يفوض الطلاق إلى امرأته لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: لما أمر الله تعالى رسول الله صلى الله عليه وسلم بتخيير بنسائه بدأ بي فقال: “إني مخبرك خبرا وما أحب أن تصنعي شيئا حتى تستأمري أبويك ” ثم قال: إن الله تعالى قا ل: {قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاً} إلى قوله: {مِنْكُنَّ أَجْراً عَظِيماً} فقلت: أوفي هذا أستأمر أبوي؟ فإني أريد الله ورسوله والدار الآخرة ثم فعل أزواج النبي صلى الله عليه وسلم ما فعلته وإذا فوض الطلاق إليها فالمنصوص أن لها أن تطلق ما لم يتفرقا عن المجلس أو يحدث ما يقطع ذلك وهو قول أبي العباس ابن القاص

PASAL: Dan boleh bagi suami untuk mewakilkan ṭalāq kepada istrinya, berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah RA, ia berkata: Ketika Allah Ta‘ālā memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan pilihan kepada istri-istrinya, beliau memulai dariku, lalu berkata: “Sesungguhnya aku akan memberitahumu suatu kabar, dan aku tidak suka engkau melakukan sesuatu sampai engkau meminta pendapat dari kedua orang tuamu.” Kemudian beliau membaca firman Allah Ta‘ālā: {Qul li-azwājika in kuntunna turidna al-ḥayāta ad-dunyā wa zīnatahā fa-ta‘ālayna umatti‘kunna wa usarriḥkunna sarāḥan jamīlā} sampai firman-Nya: {minkunna ajran ‘aẓīmā}. Maka aku berkata: “Apakah dalam perkara ini aku perlu meminta izin kepada kedua orang tuaku? Sungguh, aku menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat.” Kemudian istri-istri Nabi SAW melakukan sebagaimana yang aku lakukan.

Apabila ṭalāq itu didelegasikan kepadanya, maka pendapat yang dinyatakan secara eksplisit adalah bahwa ia boleh menjatuhkan ṭalāq selama belum berpisah dari majelis atau belum terjadi sesuatu yang memutuskan hal itu. Dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās Ibn al-Qāṣṣ.

وقال أبو إسحاق لا تطلق إلا على الفور لأنه تمليك يفتقر إلى القبول فكان القبول فيه على الفور كالبيع وحمل قول الشافعي رحمه الله أنه أراد مجلس الخيار لا مجلس القعود وله أن يرجع فيه قبل أن تطلق وقال أبوعلي ابن خيران ليس له أن يرجع لأنه طلاق معلق بصفة فلم يجز الرجوع فيه كما لو قال لها إن دخلت الدار فأنت طالق وهذا خطأ لأنه ليس بطلاق معلق بصفة وإنما هو تمليك يفتقر إلى القبول يصح الرجوع فيه قبل القبول كالبيع وإن قال لها طلقي نفسك ثلاثاً فطلقت واحدة وقعت لأن من ملك إيقاع ثلاث طلقات ملك إيقاع طلقة كالزوج إذا بقيت له طلقة طلق ثلاثا وإن قال لوكيله طلق امرأتي جاز أن يطلق متى شاء لأنه توكيل مطلق فلم يقتض التصرف على الفور كما لو وكله في بيع وإن قال له طلق امرأتي ثلاثاً فطلقها طلقة أو قال طلق امرأتي واحدة فطلقها ثلاثاً ففيه وجهان: أحدهما: أنه كالزوجة في المسألتين والثاني: لا يقع لأنه فعل غير ما وكل فيه.

Dan Abū Isḥāq berkata: Tidak sah ṭalāq kecuali secara langsung, karena itu adalah bentuk tamalluk (pemberian kuasa) yang memerlukan qabūl (penerimaan), maka penerimaannya harus segera seperti dalam jual beli. Ia menafsirkan perkataan asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh bahwa yang dimaksud adalah majelis khiyār, bukan majelis duduk semata. Dan suami boleh menarik kembali (kuasa tersebut) sebelum istrinya menjatuhkan ṭalāq.

Dan Abū ‘Alī Ibn Khayrān berkata: Tidak boleh suami menarik kembali, karena itu adalah ṭalāq yang digantungkan dengan sifat, maka tidak boleh ditarik seperti jika suami berkata: “Jika engkau masuk ke rumah, maka engkau tertalak.” Ini adalah kekeliruan, karena itu bukan ṭalāq mu‘allaq (yang digantung dengan sifat), melainkan tamalluk yang memerlukan qabūl, sehingga boleh ditarik kembali sebelum qabūl, seperti dalam jual beli.

Jika suami berkata kepada istrinya, “Talakkan dirimu tiga kali,” lalu ia menjatuhkan satu kali ṭalāq, maka jatuh ṭalāq satu, karena siapa yang memiliki hak untuk menjatuhkan tiga ṭalāq, maka ia juga memiliki hak untuk menjatuhkan satu, sebagaimana suami yang masih memiliki satu ṭalāq, lalu menjatuhkan tiga sekaligus.

Jika suami berkata kepada wakilnya, “Ceraikan istriku,” maka boleh baginya menjatuhkan ṭalāq kapan saja, karena itu adalah tawkīl yang mutlak, maka tidak mengharuskan dilakukan secara langsung, sebagaimana jika ia mewakilkan untuk menjual. Dan jika ia berkata kepada wakilnya, “Ceraikan istriku tiga kali,” lalu ia menceraikannya satu kali, atau berkata, “Ceraikan satu kali,” lalu ia menceraikannya tiga kali, maka ada dua pendapat:

Pertama: sama seperti istri dalam dua kasus tersebut.
Kedua: tidak jatuh ṭalāq, karena ia melakukan selain apa yang diwakilkan.

فصل: وتصح إضافة الطلاق إلى جزء من المرأة كالثلث والربع واليد والشعر لأنه لا يتبعض وكان إضافته إلى الجزء كالإضافة إلى الجميع كالعفو عن القصاص وفي كيفية وقوعه وجهان: أحدهما: يقع على الجميع اللفظ لأنه لما لم يتبعض كان تسمية البعض كتسمية الجميع والثاني: أنه يقع على الجزء المسمى ثم يسري لأن الذي سماه هو البعض ولا يجوز إضافته إلى الريق والحمل لأنه ليس بجزء منها وإنما هو مجاور لها وإن قال بياضك طالق أو سوادك طالق أو لونك طالق ففيه وجهان: أحدهما: يقع لأنه من جملة الذات التي لا ينفصل عنها فهو كالأعضاء والثاني: لا يقع لأنها أعراض تحل في الذات.

PASAL: Sah menisbatkan talak kepada sebagian dari tubuh perempuan seperti sepertiga, seperempat, tangan, atau rambut, karena hal tersebut tidak dapat dipisahkan, dan penisbatan kepada sebagian sama seperti penisbatan kepada keseluruhan, sebagaimana dalam pengampunan qiṣāṣ. Dalam cara jatuhnya talak terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: talak jatuh pada seluruh tubuh karena ketika tidak dapat dipisahkan, maka penamaan sebagian sama seperti penamaan keseluruhan.

Pendapat kedua: talak jatuh pada bagian yang disebutkan, kemudian menyebar (kepada seluruh tubuh), karena yang disebutkan hanyalah sebagian.

Tidak sah menisbatkan talak kepada air liur dan janin, karena keduanya bukan bagian dari tubuh perempuan, tetapi hanya berdekatan dengannya.

Jika ia berkata: “Putihmu tertalak”, atau “Hitammu tertalak”, atau “Warnamu tertalak”, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: talak jatuh, karena hal itu termasuk bagian dari tubuh yang tidak terpisah darinya, sehingga seperti anggota tubuh.

Pendapat kedua: tidak jatuh, karena itu merupakan ‘arāḍ (sifat-sifat) yang menempel pada tubuh.

فصل: ويجوز إضافة الطلاق إلى الزوج بأن يقول لها أنا منك طالق أو يجعل الطلاق إليها فتقول أنت طالق لأنه أحد الزوجين فجاز إضافة الطلاق إليه كالزوجة واختلف أصحابنا في إضافة العتق إلى المولى فمنهم من قال يصح وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة لأنه إزالة ملك يجوز بالصريح والكناية فجاز إضافته إلى المالك كالطلاق وقال أكثر أصحبنا لا يصح والفرق بينه وبين الطلاق أن الطلاق يحل النكاح وهما مشتركان في النكاح والعتق يحل الرق والرق يختص به العبد. والله أعلم.

PASAL: Boleh menisbatkan talak kepada suami dengan mengatakan kepada istri, “Aku darimu talak,” atau menyerahkan talak kepadanya lalu ia berkata, “Engkau tertalak,” karena ia adalah salah satu dari dua pihak dalam pernikahan, maka boleh menisbatkan talak kepadanya sebagaimana kepada istri.

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang nisbat ‘itq kepada tuannya. Di antara mereka ada yang berpendapat sah, yaitu pendapat Abu ‘Ali Ibn Abi Hurairah, karena ‘itq adalah penghilangan kepemilikan yang sah dilakukan dengan lafaz ṣarīḥ maupun kināyah, maka sah dinisbatkan kepada pemilik sebagaimana talak. Akan tetapi mayoritas sahabat kami berpendapat tidak sah.

Perbedaan antara ‘itq dan talak adalah bahwa talak menghalalkan pernikahan dan keduanya (suami-istri) memiliki hubungan dalam pernikahan, sementara ‘itq menghalalkan dari perbudakan, dan perbudakan adalah hal yang khusus pada budak.

Wallāhu a‘lam.

باب ما يقع به الطلاق وما لا يقع
لا يقع الطلاق إلا بصريح أو كناية مع النية فإن نوى الطلاق من غير صريح ولا كناية لم يقع الطلاق لأن التحريم في الشرع علق على الطلاق ونية الطلاق ليست بطلاق ولأن إيقاع الطلاق بالنية لا يثبت إلا بأصل أو بالقياس على ما ثبت بأصل وليس ههنا أصل ولا قياس على ما ثبت بأصل فلم يثبت.

BAB SESUATU YANG DAPAT MENJATUHKAN TALAK DAN YANG TIDAK MENJATUHKANNYA
Talak tidak jatuh kecuali dengan ṣarīḥ (lafal jelas) atau kināyah (lafal sindiran) yang disertai niat. Maka jika seseorang berniat talak tanpa ṣarīḥ maupun kināyah, maka talak tidak jatuh. Sebab keharaman (dalam pernikahan) menurut syariat digantungkan pada adanya talak, sedangkan niat talak bukanlah talak. Dan karena menjatuhkan talak dengan niat saja tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil pokok (aṣl) atau qiyās terhadap sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil pokok, padahal dalam hal ini tidak ada dalil pokok maupun qiyās terhadap hal yang ditetapkan dengan dalil pokok, maka tidak ditetapkan (keabsahan talak dengan niat semata).

فصل: والصريح ثلاثة ألفاظ: الطلاق والفراق والسراح لأن الطلاق ثبت له عرف الشرع واللغة والسراح والفراق ثبت لهما عرف الشرع فإنهما ورد بهما القرآن فإذا قال لامرأته أنت طالق أو طلقتك أو أنت مطلقة أو سرحتك أو أنت مسرحة أو فارقتك أو أنت مفارقة وقع الطلاق من غير نية فإن خاطبها بأحد هذه الألفاظ ثم قال أردت غيرها فسبق لساني إليها لم يقبل لأنه يدعي خلاف الظاهر ويدين فيما بينه وبين الله تعالى لأنه يحتمل ما يدعيه

PASAL: Lafaz ṣarīḥ ada tiga: ṭalāq, firāq, dan sarāḥ, karena lafaz ṭalāq telah ditetapkan oleh kebiasaan dalam syariat dan bahasa, sedangkan sarāḥ dan firāq telah ditetapkan oleh kebiasaan dalam syariat, karena keduanya disebutkan dalam Al-Qur’an.

Apabila seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak”, atau “Aku telah mentalakmu”, atau “Engkau wanita yang ditalak”, atau “Aku telah menceraikanmu”, atau “Engkau wanita yang diceraikan”, atau “Aku telah melepaskanmu”, atau “Engkau wanita yang dilepaskan”, maka jatuh talak tanpa memerlukan niat.

Jika ia menyampaikan kepada istrinya salah satu dari lafaz ini, lalu ia berkata, “Aku bermaksud yang lain, hanya saja lisanku terpeleset,” maka tidak diterima pengakuannya, karena ia mengaku sesuatu yang bertentangan dengan kejelasan lafaz. Namun ia dikenai hukum agama dalam hal ini antara dirinya dengan Allah Ta‘ala, karena secara kemungkinan apa yang dia klaim bisa saja terjadi.

وإن قال أنت طالق وقال أردت طلاقاً من وثاق أو قال سرحتك وقال أردت تسريحا من اليد أو قال فارقتك وقال أردت فراقاً بالجسم لم يقبل في الحكم لأنه يدعي خلاف ما يقتضيه اللفظ في العرف ويدين فيما بينه وبين الله تعالى لأنه يحتمل ما يدعيه فإن علمت المرأة صدقه فيما دين فيه الزوج جاز لها أن تقيم معه وإن رآهما الحاكم على الاجتماع ففيه وجهان: أحدهما: يفرق بينهما بحكم الظاهر لقوله صلى الله عليه وسلم: “أحكم بالظاهر والله عز وجل يتولى السرائر”.

Dan jika ia berkata, “Engkau ṭāliq,” lalu ia berkata, “Aku maksudkan lepas dari ikatan,” atau ia berkata, “Aku sarraḥtuki,” lalu ia berkata, “Aku maksudkan melepaskan tangan,” atau ia berkata, “Aku fāraqtuki,” lalu ia berkata, “Aku maksudkan perpisahan badan,” maka tidak diterima dalam hukum, karena ia mengklaim sesuatu yang bertentangan dengan makna lafaz menurut kebiasaan. Namun ia tetap dituntut (dihukumi secara batin) antara dirinya dan Allah SWT karena hal itu memungkinkan sesuai apa yang ia klaim.

Jika sang istri mengetahui bahwa suaminya benar dalam hal yang ia dituntut secara batin tersebut, maka boleh baginya untuk tetap bersamanya. Dan jika hakim melihat keduanya sedang bersama, maka ada dua pendapat:

Pertama, hakim memisahkan keduanya berdasarkan hukum lahir, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Aku menghukum berdasarkan yang tampak, dan Allah SWT yang menangani perkara batin.”

والثاني: لا يفرق بينهما لأنهما على اجتماع يجوز إباحته في الشرع وإن قال أنت طالق من وثاق أو سرحتك من اليد أو فارقتك بجسمي لم تطلق لأنه اتصل بالكلام ما يصرف اللفظ عن حقيقته ولهذا إذ قال لفلان علي عشرة إلا خمسة لم يلزمه عشرة وإذا قال: لا إله إلا الله لم يجعل كافرا بابتداء كلامه وإن قال: أنت طالق ثم قال قلته هازلاً وقع الطلاق ولم يدن لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ثلاث جدهن جد وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة”.

Dan yang kedua: tidak dipisahkan antara keduanya karena keduanya sedang dalam keadaan bersama yang masih dibolehkan oleh syariat.

Dan jika ia berkata: “Engkau ṭāliq dari ikatan,” atau “Aku sarraḥtuki dari tangan,” atau “Aku fāraqtuki dengan badanku,” maka tidak jatuh talak, karena ada penyambung dalam ucapan yang mengalihkan lafaz dari makna hakikinya. Oleh karena itu, jika seseorang berkata: “Fulan bagiku punya sepuluh kecuali lima,” maka tidak wajib baginya sepuluh. Dan jika seseorang berkata: “Lā ilāha” lalu menyambung dengan “illā Allāh,” ia tidak dihukumi kafir karena permulaan ucapannya.

Dan jika ia berkata: “Engkau ṭāliq,” lalu berkata, “Aku mengatakannya sambil bergurau,” maka talaknya tetap jatuh dan tidak dihukumi menurut batin, karena diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tiga perkara yang seriusnya adalah serius dan gurauannya pun dianggap serius, yaitu: nikah, talak, dan rujuk.”

فصل: قال في الإملاء: لو قال له رجل طلقت امرأتك فقال نعم طلقت عليه في الحال لأن الجواب يرجع إلى السؤال فيصير كما لو قال طلقت ولهذا لو كان هذا جواباً عن دعوى لكان صريحا في الإقرار وإن قال أردت به في نكاح قبله فإن كان لما قاله أصل قبل منه لأن اللفظ يحتمله وإن لم يكن له أصل لم يقبل لأنه يسقط حكم اللفظ وإن قال له أطلقت امرأتك فقال له قد كان بعض ذلك وقال أردت أني كنت علقت طلاقها بصفة قبل منه لأنه يحتمله اللفظ وإن قال لامرأته أنت طالق لولا أبوك لطلقتك لم تطلق لأن قوله أنت طالق لولا أبوك ليس بإيقاع طلاق وإنما هو يمين بالطلاق وأنه لولا أبوها لطلقها فتصير كما لو قال والله لولا أبوك لطلقتك.

PASAL: Ia berkata dalam al-Imlā’: jika seseorang berkata kepadanya, “Apakah engkau telah menceraikan istrimu?” lalu ia menjawab, “Ya, aku telah menceraikannya,” maka talak jatuh seketika itu juga karena jawaban itu kembali kepada pertanyaan, sehingga menjadi seperti ucapan “Aku telah menceraikannya.” Oleh karena itu, seandainya jawaban itu atas suatu dakwaan, maka itu termasuk ṣarīḥ dalam pengakuan. Jika ia berkata, “Aku maksudkan dengan itu pada pernikahan sebelumnya,” maka bila ucapannya memiliki dasar, ia diterima karena lafaz tersebut mengandung kemungkinan makna itu. Namun bila tidak ada dasarnya, maka tidak diterima karena hal itu menggugurkan hukum lafaz. Jika seseorang berkata kepadanya, “Apakah engkau telah menceraikan istrimu?” lalu ia berkata, “Telah terjadi sebagian dari itu,” dan ia berkata, “Yang aku maksud adalah bahwa aku telah menggantungkan talaknya dengan suatu sifat,” maka ucapannya diterima karena lafaz tersebut memuat kemungkinan itu. Jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak, kalau bukan karena ayahmu tentu aku sudah menceraikanmu,” maka talak tidak terjadi, karena ucapannya “Engkau tertalak, kalau bukan karena ayahmu” bukanlah pengucapan talak, melainkan sumpah dengan talak, bahwa seandainya bukan karena ayahnya, tentu ia telah menceraikannya. Maka itu seperti ucapannya, “Demi Allah, kalau bukan karena ayahmu, tentu aku telah menceraikanmu.”

فصل: وأما الكناية فهي كثيرة وهي الألفاظ التي تشبه الطلاق وتدل على الفراق وذلك مثل قوله: أنت بائن وخلية وبرية وبتة وبتلة وحرة وواحدة وبيني وابتدعي واغربي واذهبي واستفلحي والحقي بأهلك وحبلك على غاربك واستتري وتقنعي واعتدي وتزوجي وذوقي وتجرعي وما أشبه ذلك فإن خاطبها بشيء من ذلك ونوى به الطلاق وقع

PASAL: Adapun kināyah maka jumlahnya banyak, yaitu lafaz-lafaz yang menyerupai talak dan menunjukkan makna perpisahan, seperti ucapannya: “Engkau bā’in”, “Engkau khaliyyah”, “Engkau bariyyah”, “Engkau battah”, “Engkau batulah”, “Engkau merdeka”, “Satu”, “Berpisahlah dariku”, “Pergilah”, “Menangkanlah (dirimu)”, “Kembalilah kepada keluargamu”, “Tali untamu lepas”, “Berhijablah”, “Kenakan cadar”, “Ber‘iddahlah”, “Menikahlah”, “Rasakan”, “Telanlah”, dan semisalnya. Maka jika ia menyampaikan kepadanya salah satu dari lafaz-lafaz tersebut dengan niat talak, maka jatuhlah talak.

وإن لم ينولم يقع لأنه يحتمل الطلاق وغيره فإذا نوى به الطلاق صار طلاقا وإذا لم ينوبه الطلاق لم يصر طلاقاً كالإمساك عن الطعام والشراب لما احتمل الصوم وغيره إذا نوى به الصوم صار صوما وإذا لم ينوبه الصوم لم يصر صوما وإن قال أنا منك طالق أو جعل الطلاق إليها فقالت طلقتك أو أنت طالق فهو كناية يقع به الطلاق مع النية ولا يقع من غير نية لأن استعمال هذا اللفظ في الزوج غير متعارف وإنما يقع به الطلاق مع النية من جهة المعنى فلم يقع به من غير نية كسائر الكنايات وإن قال له رجل ألك زوجة فقال لا فإن لم ينوبه الطلاق لم تطلق لأنه ليس بصريح وإن نوى به الطلاق وقع لأنه يحتمل الطلاق.

Jika tidak disertai niat, maka tidak jatuh talak, karena lafaz tersebut mengandung kemungkinan makna talak maupun selainnya. Maka apabila diniatkan sebagai talak, ia menjadi talak; dan apabila tidak diniatkan sebagai talak, maka tidak menjadi talak — sebagaimana menahan diri dari makan dan minum, karena mengandung kemungkinan niat puasa maupun selainnya. Jika diniatkan untuk puasa, maka itu menjadi puasa; dan jika tidak diniatkan puasa, maka tidak menjadi puasa.

Jika seorang suami berkata, “Aku talak darimu,” atau ia menjadikan urusan talak kepada istrinya, lalu istrinya berkata, “Aku menalakmu,” atau “Engkau talak,” maka ini termasuk kināyah, dan talak terjadi dengannya bila disertai niat, serta tidak terjadi bila tanpa niat. Karena penggunaan lafaz ini untuk suami tidak dikenal dalam kebiasaan, maka talak tidak terjadi tanpa niat, sebagaimana kināyah lainnya.

Jika seseorang bertanya kepada seorang suami, “Apakah engkau memiliki istri?” lalu ia menjawab, “Tidak,” maka jika tidak ia niatkan sebagai talak, tidak jatuh talak, karena bukan lafaz ṣarīḥ. Namun jika ia niatkan sebagai talak, maka jatuh talak karena lafaz itu mengandung kemungkinan talak.

فصل: واختلف أصحابنا في الوقت الذي تعتبر فيه النية في الكنايات فمنهم من قال إذا قارنت النية بعض اللفظ من أوله أومن آخره وقع الطلاق كما أن في الصلاة إذا قارنت النية جزءاً منها صحت الصلاة ومنهم من قال لا تصح حتى تقارن إليه جميعها وهو أن ينوي ويطلق عقيبها وهو ظاهر النص لأن بعض اللفظ لا يصلح للطلاق فلم تعمل النية معه فأما الصلاة فلا تصح حتى تقارن النية جميعها بأن ينوي الصلاة ويكبر عقيبها ومتى خلا جزء من التكبير عن النية لم تصلح صلاته.

PASAL: Para sahabat kami berselisih pendapat tentang waktu yang dijadikan tolok ukur bagi niat dalam kināyāt (lafaz kinayah). Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jika niat bersamaan dengan sebagian dari lafaz, baik di awal atau di akhirnya, maka talak jatuh, sebagaimana dalam salat jika niat bersamaan dengan sebagian dari salat maka salat itu sah. Dan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa talak tidak sah kecuali jika niat menyertai seluruh lafaz, yaitu seseorang berniat lalu mengucapkan talak setelahnya. Ini adalah zahir dari nash, karena sebagian lafaz tidak sah untuk dijadikan talak, maka niat tidak berpengaruh jika hanya bersamaan dengan sebagian lafaz. Adapun salat, maka tidak sah kecuali jika niat menyertai seluruh salat, yaitu seseorang berniat untuk salat lalu bertakbir setelahnya. Dan apabila ada bagian dari takbir yang kosong dari niat, maka salatnya tidak sah.

فصل: وأما ما لا يشبه الطلاق ولا يدل على الفراق من الألفاظ كقوله اقعدي واقربي واطعمي واسقيني وما أحسنك وبارك الله فيك وما أشبه ذلك فإنه لا يقع به الطلاق وإن نوى لأن اللفظ لا يحتمل الطلاق فلو أوقعنا الطلاق لأوقعناه بمجرد النية وقد بينا أن الطلاق لا يقع بمجرد النية.

PASAL: Adapun lafaz-lafaz yang tidak menyerupai talak dan tidak menunjukkan makna perpisahan, seperti ucapannya: “Duduklah”, “Mendekatlah”, “Makanlah”, “Berilah aku minum”, “Alangkah indahnya dirimu”, “Semoga Allah memberkahimu”, dan semisalnya, maka talak tidak terjadi dengan lafaz-lafaz tersebut, meskipun disertai niat. Karena lafaz itu tidak mengandung kemungkinan makna talak, maka jika kita menjadikannya sebagai talak, berarti kita menjadikan talak terjadi semata-mata karena niat. Padahal telah dijelaskan bahwa talak tidak terjadi hanya dengan niat semata.

فصل: واختلف أصحابنا في قوله أنت الطلاق فمنهم من قال هو كناية فإن نوى به الطلاق فهو طلاق لأنه يحتمل أن يكون معناه أنت طالق وأقام المصدر مقام الفاعل كقوله تعالى: {أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْراً} أراد غائرا. وإن لم ينولم يقع لأن قوله أنت الطلاق لا يقتضي وقوع الطلاق ومنهم من قال هو صريح ويقع به الطلاق من غير نية لأن لفظ الطلاق يستعمل في معنى طالق والدليل عليه قول الشاعر:
أنوهت باسمي في العالمين … وأفنيت عمري عاما فعاما
فأنت الطلاق وأنت الطلاق … وأنت الطلاق ثلاثا تماما
وقال آخر:
فإن ترفقي يا هند فالرفق أيمن … وإن تخرقي يا هند فالخرق آلم
فأنت الطلاق والطلاق عزيمة … ثلاثا ومن يخرق أعق وأظلم
فبيني بها إن كنت غير رفيقة … فما لامرئ بعد الثلاثة مقدم

PASAL: Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat kami mengenai ucapan “anti ath-thalāq” (engkau adalah talak). Sebagian dari mereka berpendapat bahwa itu adalah kināyah, maka jika disertai niat talak, maka menjadi talak; karena bisa jadi maksudnya adalah “engkau adalah ṭāliq (yang ditalak)” dan dia menggantikan bentuk mashdar sebagai pengganti fā‘il, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {A-ra’aytum in aṣbaḥa mā’ukum ghawran}, maksudnya: ghā’ir (tenggelam).

Jika tidak disertai niat, maka tidak jatuh talak, karena ucapan “engkau adalah talak” tidak menunjukkan terjadinya talak.

Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa itu adalah ṣarīḥ, dan talak terjadi tanpa memerlukan niat, karena lafaz “thalāq” biasa dipakai dalam makna “ṭāliq”. Dalilnya adalah perkataan penyair:

Anwahtu bismī fī al-‘ālamīn … wa-afnaitu ‘umrī ‘āman fa‘āmā
Fa-anti ath-thalāqu wa anti ath-thalāqu … wa anti ath-thalāqu thalāthan tamāmā

(Di dunia aku sematkan namaku … dan aku habiskan usiaku tahun demi tahun
Engkaulah talak, engkaulah talak … dan engkaulah talak tiga kali dengan sempurna)

Dan penyair lainnya berkata:

Fa-in tarfiqī yā Hind fa ar-rifqu ayman … wa-in takhriqī yā Hind fa al-khirq a’lam
Fa-anti ath-thalāqu wa ath-thalāqu ‘azīmah … thalāthan wa man yakhriq a‘q wa aẓlam
Fa-baynī bihā in kunti ghayra rafīqah … fa-mā li-imri’in ba‘da ats-tsalāthah muqaddam

(Maka bila engkau lemah lembut wahai Hindun, kelembutan itu keberkahan … dan bila engkau berlaku kasar, maka kekasaran itu menyakitkan
Maka engkaulah talak dan talak itu ketetapan … tiga kali, dan siapa yang berbuat kasar adalah durhaka dan zalim
Berpisahlah dengannya jika engkau tak lagi lembut … karena tiada lagi peluang bagi seorang lelaki setelah talak yang ketiga)

فصل: واختلفوا فيمن قال لامرأته كلي واشربي ونوى الطلاق فمنهم من قال لا يقع وهو قول أبي اسحق لأنه لا يدل على الطلاق فلم يقع به الطلاق كما لو قال أطعميني واسقيني ومنهم من قال يقع وهو الصحيح لأنه يحتمل معنى الطلاق وهو أن يريد كلي ألم الفراق واشربي كأس الفراق فوقع به الطلاق مع النية كقوله ذوقي وتجرعي.

PASAL: Mereka berbeda pendapat tentang seseorang yang berkata kepada istrinya, “Makanlah dan minumlah,” lalu ia berniat talak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa talak tidak jatuh—ini adalah pendapat Abū Isḥāq—karena ucapan tersebut tidak menunjukkan makna talak, maka tidak jatuh talak sebagaimana jika ia berkata, “Suapkan aku” atau “Berilah aku minum.”

Dan sebagian dari mereka berpendapat bahwa talak jatuh—dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ—karena ucapan itu mengandung kemungkinan makna talak, yaitu maksudnya: “Makanlah rasa perpisahan dan minumlah cawan perpisahan,” maka talak jatuh dengan niat, sebagaimana ucapannya: “Rasakanlah” dan “Telanlah.”

فصل: إذا قال لامرأته اختاري أو أمرك بيدك فقالت اخترت لم يقع الطلاق حتى ينويا لأنه كناية لأنها تحتمل الطلاق وغيره فلم يقع به الطلاق حتى يتفقا على نية الطلاق وإن قال اختاري ونوى اختيار الطلاق أو قال أمرك بيدي ونوى تمليك أمر الطلاق فقالت اخترت الزوج لم يقع الطلاق لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: خيرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فاخترناه فلم تجعل ذلك طلاقا ولأن اختيار الزوج اختيار النكاح لا يحتمل غيره فلم يقع به الطلاق فإن قالت اخترت نفسي لم يقع الطلاق حتى تنوي الطلاق لأنه يحتمل أن يكون معناه اخترت نفسي للنكاح ويحتمل اخترت نفسي للطلاق ولهذا لو صرحت به جاز فلم يقع به الطلاق من غير نية وإن قالت اخترت الأزواج ونوت الطلاق ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يقع لأن الزوج من الأزواج

PASAL: Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Pilihlah!” atau “Urusanmu di tanganmu,” lalu sang istri berkata, “Aku memilih,” maka talak tidak jatuh kecuali jika keduanya berniat talak, karena itu termasuk kināyah (lafaz sindiran) yang mengandung kemungkinan talak dan kemungkinan selainnya, maka tidak jatuh talak dengannya kecuali jika disertai niat talak dari kedua belah pihak.

Jika suami berkata, “Pilihlah!” dengan niat memberikan pilihan untuk bercerai, atau berkata, “Urusanmu di tanganmu,” dengan niat memberikan kekuasaan untuk menjatuhkan talak, lalu sang istri berkata, “Aku memilih suamiku,” maka tidak jatuh talak, berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah RA bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW memberi kami pilihan, lalu kami memilih beliau, dan beliau tidak menganggap itu sebagai talak.” Karena memilih suami berarti memilih untuk tetap dalam pernikahan, dan tidak mengandung makna lain, maka tidak jatuh talak.

Jika sang istri berkata, “Aku memilih diriku,” maka tidak jatuh talak kecuali ia berniat talak, karena bisa bermakna: memilih diri untuk tetap dalam pernikahan, atau memilih diri untuk bercerai. Karena itu, jika ia memperjelas maksudnya, maka boleh. Maka tidak jatuh talak kecuali jika disertai niat.

Jika ia berkata, “Aku memilih para suami,” dengan niat talak, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq, adalah bahwa talak tidak jatuh karena suami termasuk dalam kategori para suami (al-azwāj).

والثاني: يقع وهو الأظهر عندي لأنها لا تحل للأزواج إلا بمفارقته كما لو قال لها الزوج تزوجي ونوى به الطلاق وإن قالت اخترت أبوي ونوت الطلاق ففيه وجهان: أحدهما: لا يقع الطلاق لأن اختيار الأبوين لا يقتضي فراق الزوج والثاني: أنه يقع لأنه يتضمن العود إليهما بالطلاق فصار كقوله الحقي بأهلك وإن قال لها أمرك بيدك ونوى به إيقاع الطلاق ففيه وجهان: أحدهما: لا يقع الطلاق لأنه صريح في تمليك الطلاق وتعليقه على قبولها فلم يجز صرفه إلى الإيقاع والثاني: أنه يقع لأن اللفظ يحتمل الإيقاع فهو كقوله حبلك على غاربك.

dan yang kedua: jatuh, dan itulah yang lebih kuat menurutku, karena ia tidak halal bagi para suami kecuali setelah berpisah darinya, sebagaimana jika suami berkata kepadanya: “Menikahlah (dengan orang lain),” dan ia meniatkan talak. Dan jika istri berkata, “Aku memilih kedua orang tuaku,” dan ia meniatkan talak, maka terdapat dua pendapat: pertama, talak tidak jatuh karena memilih kedua orang tua tidak menunjukkan perpisahan dengan suami; dan kedua, talak jatuh karena hal itu mengandung makna kembali kepada keduanya melalui talak, maka jadilah seperti ucapannya, “Kembalilah kepada keluargamu.”

Dan jika ia berkata kepada istrinya, “Urusanmu di tanganmu,” dan ia meniatkan menjatuhkan talak, maka terdapat dua pendapat: pertama, talak tidak jatuh karena itu adalah lafaz yang jelas dalam memberikan hak talak dan menggantungkan pada penerimaannya, maka tidak sah untuk diarahkan pada pelaksanaan talak langsung; dan kedua, talak jatuh karena lafaz itu mengandung kemungkinan pelaksanaan, maka jadilah seperti ucapannya, “Tali kekangmu di atas punukmu.”

فصل: إذا قال لامرأته أنت علي حرام ونوى به الطلاق فهو طلاق لأنه يحتمل التحريم بالطلاق وإن نوى به الظهار فهو ظهار لأنه يحتمل التحريم بالظهار ولا يكون ظهارا ولا طلاقاً من غير نية لأنه ليس بصريح في واحد منهما وإن نوى تحريم عينها لم تحرم لما روى سعيد بن جبير قال: جاء رجل إلى ابن عباس رضي الله عنه فقال: إني جعلت امرأتي علي حراماً قال: كذبت ليست عليك بحرام ثم تلا {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ الله لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ وَالله غَفُورٌ رَحِيمٌ قَدْ فَرَضَ الله لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ} إلى آخر الآية ويجب عليه بذلك كفارة يمين لأن النبي صلى الله عليه وسلم حرم مارية القبطية أم إبراهيم ابن رسول الله صلى الله عليه وسلم فأنزل الله عز وجل: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ الله لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ وَالله غَفُورٌ رَحِيمٌ قَدْ فَرَضَ الله لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ}

PASAL: Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Engkau haram atasku,” dan ia meniatkannya sebagai talak, maka itu adalah talak, karena ucapan tersebut mengandung kemungkinan pengharaman dengan talak. Dan jika ia meniatkannya sebagai zhihār, maka itu adalah zhihār, karena juga mengandung kemungkinan pengharaman melalui zhihār. Namun tidak menjadi zhihār dan tidak pula menjadi talak tanpa niat, karena tidak termasuk lafaz yang sharih pada salah satu dari keduanya.

Dan jika ia meniatkan mengharamkan zat istrinya, maka istrinya tidak menjadi haram, berdasarkan riwayat dari Sa‘īd bin Jubair, ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Ibn ‘Abbās RA lalu berkata, “Aku telah menjadikan istriku haram atasku.” Maka Ibn ‘Abbās berkata: “Engkau dusta, ia tidak haram bagimu,” kemudian beliau membaca firman Allah: {Yā ayyuhā al-nabīyu lima tuḥarrimu mā aḥalla Allāhu laka tabtaghī marḍāta azwājik wa-Allāhu ghafūrun raḥīm, qad faraḍa Allāhu lakum taḥillata aymānikum} hingga akhir ayat.

Dan wajib atasnya membayar kafārah yamin, karena Nabi SAW telah mengharamkan Māriyah al-Qibṭiyyah, ibu dari Ibrāhīm, putra Rasulullah SAW, maka Allah menurunkan firman-Nya: {Yā ayyuhā al-nabīyu lima tuḥarrimu mā aḥalla Allāhu laka tabtaghī marḍāta azwājik wa-Allāhu ghafūrun raḥīm, qad faraḍa Allāhu lakum taḥillata aymānikum}.

فوجبت الكفارة في الأمة بالآية وقسنا الحرة عليها لأنها في معناها في تحليل البضع وتحريمه وإن قال أنت علي حرام ولم ينو شيئاً ففيه قولان: أحدهما: تجب عليه الكفارة فعلى هذا يكون هذا اللفظ صريحاً في إيجاب الكفارة لأن كل كفارة وجبت بالكناية مع النية كان لوجوبها صريح ككفارة الظهار والثاني: لا يجب فعلى هذا لا يكون هذا اللفظ صريحاً في شيء لأن ما كان كناية في جنس لا يكون صريحاً في ذلك الجنس ككنايات الطلاق وإن قال لأمته أنت علي حرام فإن نوى به العتق كان عتقاً لأنه يحتمل أنه أراد تحريمها بالعتق وإن نوى الظهار لم يكن ظهاراً لأن الظهار لا يصح من الأمة

Maka wajib kafārah dalam kasus budak perempuan berdasarkan ayat tersebut, dan kami mengqiyaskan wanita merdeka kepadanya karena keduanya sama dalam hal penghalalan dan pengharaman kemaluan. Dan jika ia berkata, “Engkau haram atasku,” dan tidak meniatkan apa pun, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: Wajib atasnya kafārah, dan menurut pendapat ini, lafaz tersebut menjadi sharih dalam mewajibkan kafārah, karena setiap kafārah yang wajib karena lafaz kināyah dengan niat, maka untuk mewajibkannya pasti ada lafaz yang sharih, sebagaimana kafārah zhihār.

Kedua: Tidak wajib kafārah, dan menurut pendapat ini, lafaz tersebut tidak menjadi sharih dalam hal apa pun, karena sesuatu yang merupakan kināyah dalam satu bab tidak menjadi sharih dalam bab tersebut, seperti kināyah-kināyah talak.

Dan jika ia berkata kepada budak perempuannya, “Engkau haram atasku,” maka jika ia meniatkan pembebasan (‘itq), maka itu menjadi pembebasan, karena lafaz tersebut mengandung kemungkinan bahwa ia menghendaki pengharaman dengan ‘itq. Namun jika ia meniatkan zhihār, maka itu tidak menjadi zhihār, karena zhihār tidak sah atas budak perempuan.

وإن نوى تحريم عينها لم تحرم ووجب عليه كفارة يمين لما ذكرناه وإن لم يكن له نية ففيه طريقان: من أصحابنا من قال يجب عليه الكفارة قولاً واحدا لعموم الآية ومنهم من قال فيه قولان كالقولين في الزوجة لما ذكرناه وإن كان له نسوة أو إماء فقال أنتن علي حرام ففي الكفارة قولان: أحدهما: يجب لكل واحدة كفارة والثاني: يجب كفارة واحدة كالقولين فيمن ظاهر من نسوة وإن قال لامرأته أنت علي كالميتة والدم فإن نوى به الطلاق فهو طلاق وإن نوى به الظهار فهو ظهار وإن نوى به تحريمها لم تحرم وعليه كفارة يمين لما ذكرناه في لفظ التحريم وإن لم ينو شيئاً فإن قلنا إن لفظ التحريم صريح في إيجاب الكفارة لزمته الكفارة لأن ذلك كناية عنه وإن قلنا إنه كناية لم يلزم شيء لأن الكناية لا يكون لها كناية.

Dan jika ia meniatkan pengharaman zat istrinya, maka istrinya tidak menjadi haram, dan wajib atasnya kafārah yamin sebagaimana telah disebutkan. Dan jika ia tidak memiliki niat apa pun, maka ada dua ṭarīq:

Sebagian dari kalangan kami berkata: Wajib atasnya kafārah secara qawl wāḥid karena keumuman ayat.
Dan sebagian dari mereka berkata: Dalam hal ini terdapat dua pendapat, sebagaimana dua pendapat dalam kasus istri, sebagaimana telah disebutkan.

Dan jika ia memiliki beberapa istri atau beberapa budak perempuan, lalu ia berkata, “Kalian semua haram atasku,” maka dalam kewajiban kafārah terdapat dua pendapat:

Pertama: Wajib satu kafārah untuk masing-masing dari mereka.
Kedua: Wajib satu kafārah saja, sebagaimana dua pendapat dalam kasus seseorang yang melakukan zhihār dari beberapa istri.

Dan jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau atasku seperti bangkai dan darah,” maka jika ia meniatkan talak, maka itu adalah talak; jika ia meniatkan zhihār, maka itu adalah zhihār; dan jika ia meniatkan pengharaman dirinya, maka ia tidak menjadi haram, dan wajib atasnya kafārah yamin, sebagaimana telah dijelaskan pada lafaz pengharaman.

Dan jika ia tidak meniatkan apa pun, maka jika kami berpendapat bahwa lafaz pengharaman adalah sharih dalam mewajibkan kafārah, maka wajib atasnya kafārah, karena ucapan tersebut adalah kināyah dari lafaz itu.

Dan jika kami berpendapat bahwa itu adalah kināyah, maka tidak wajib atasnya apa pun, karena kināyah tidak memiliki kināyah lain.

فصل: إذا كتب طلاق امرأته بلفظ صريح ولم ينولم يقع الطلاق لأن الكتابة تحتمل إيقاع الطلاق وتحتمل امتحان الخط فلم يقع الطلاق بمجردها وإن نوى به الطلاق ففيه قولان: قال في الإملاء لا يقع به الطلاق لأنه فعل ممن يقدر على القول فلم يقع به الطلاق كالإشارة وقال في الأم هو طلاق وهو صحيح لأنها حروف يفهم منها الطلاق فجاز أن يقع بها الطلاق كالنطق فإذا قلنا بهذا فهل يقع بها الطلاق من الحاضر والغائب فيه وجهان: أحدهما: أنه يقع بها إلا في حق الغائب لأنه جعل في العرف لإفهام الغائب كما جعلت الإشارة لإفهام الأخرس ثم لا يقع الطلاق بالإشارة إلا في حق الأخرس وكذلك لا يقع الطلاق بالكتابة إلا في حق الغائب والثاني: أنه يقع بها من الجميع لأنها كناية فاستوى فيها الحاضر والغائب كسائر الكنايات.

PASAL: Jika seseorang menulis talak istrinya dengan lafaz yang sharih namun tidak meniatkan talak, maka talak tidak jatuh, karena tulisan mengandung kemungkinan pelaksanaan talak dan juga kemungkinan sekadar latihan menulis, maka talak tidak jatuh hanya dengan tulisan semata.

Namun jika ia meniatkan talak dengan tulisan itu, maka ada dua pendapat:

Ia berkata dalam al-Imlā’: Talak tidak jatuh dengannya karena ia adalah perbuatan dari orang yang mampu berbicara, maka talak tidak jatuh dengannya sebagaimana isyarat.

Ia berkata dalam al-Umm: Itu adalah talak, dan ini adalah pendapat yang sahih, karena tulisan itu terdiri dari huruf-huruf yang dapat dipahami sebagai talak, maka sah talak jatuh dengannya sebagaimana dengan ucapan.

Jika kita berpegang pada pendapat ini, maka apakah talak dengan tulisan itu berlaku bagi orang yang hadir maupun yang tidak hadir? Dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama: Talak jatuh dengannya kecuali untuk orang yang hadir, karena dalam kebiasaan tulisan digunakan untuk memberi tahu orang yang tidak hadir, sebagaimana isyarat digunakan untuk memberi tahu orang bisu, dan sebagaimana talak tidak jatuh dengan isyarat kecuali bagi orang bisu, maka begitu pula talak tidak jatuh dengan tulisan kecuali bagi orang yang tidak hadir.

Kedua: Talak jatuh bagi keduanya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, karena tulisan termasuk kināyah, maka keduanya sama dalam hukum sebagaimana seluruh bentuk kināyah lainnya.

فصل: فإن أشار إلى الطلاق فإن كان لا يقدر على الكلام كالأخرس صح طلاقه بالإشارة وتكون إشارته صريحاً لأنه لا طريق له إلى الطلاق إلا بالإشارة وحاجته إلى الطلاق كحاجته غيره فقامت الإشارة مقام العبارة وإن كان قادراً على الكلام لم يصح طلاقه بالإشارة لأن الإشارة إلى الطلاق ليست بطلاق إنما قامت مقام العبارة في حق الأخرس لموضع الضرورة ولا ضرورة ههنا فلم تقم مقام العبارة.

PASAL: Jika seseorang menunjuk kepada talak, maka jika ia tidak mampu berbicara seperti orang bisu, maka sah talaknya dengan isyarat, dan isyaratnya dianggap ṣarīḥ, karena tidak ada jalan baginya untuk menjatuhkan talak kecuali dengan isyarat, dan kebutuhannya terhadap talak sama seperti kebutuhan orang lain, maka isyarat menggantikan ungkapan lisan.

Namun jika ia mampu berbicara, maka tidak sah talaknya dengan isyarat, karena isyarat kepada talak bukanlah talak. Isyarat hanya menggantikan ucapan lisan pada orang bisu karena adanya ḍarūrah, sementara di sini tidak ada ḍarūrah, maka isyarat tidak menggantikan ucapan.

باب عدد الطلاق والاستثناء فيه
إذا خاطب امرأته بلفظ من ألفاظ الطلاق كقوله أنت طالق أو بائن أو بتة أو ما أشبهها ونوى طلقتين أو ثلاثاً وقع لما روي أن ركانة ابن عبد يزيد قال: يا رسول الله إني طلقت امرأتي سهيمة البتة والله ما أردت إلا واحدة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “والله ما أردت إلا واحدة؟ ” فقال ركانة: والله ما أردت إلا واحدة فردها رسول الله صلى الله عليه وسلم عليه فدل على أنه لو أراد ما زاد على واحدة لوقع ولأن اللفظ يحتمل العدد بدليل أنه يجوز أن يفسره به وهو أن يقول أنت طالق طلقتين أو ثلاثاً أو بائن بطلقتين وثلاث وما احتمله اللفظ إذا نواه وقع به الطلاق كالكناية وإن قال أنت واحدة ونوى طلقتين أو ثلاثاً ففيه وجهان: أحدهما: يقع لأنه يحتمل أن يكون معناه أنت طالق واحدة مع واحدة أو مع اثنتين

BAB JUMLAH TALAK DAN ISTITSNĀ’ DI DALAMNYA
Jika seseorang menyampaikan kepada istrinya dengan salah satu lafaz talak, seperti ucapannya “Engkau talak,” atau “bā’in,” atau “batta” atau yang semisalnya, lalu ia meniatkan dua atau tiga talak, maka talak sebanyak itu jatuh. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Rukānah bin ‘Abd Yazīd berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah menceraikan istriku Suhaimah dengan talak batta, demi Allah aku tidak menginginkan kecuali satu talak.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah, engkau tidak menginginkan kecuali satu?” Rukānah berkata: “Demi Allah, aku tidak menginginkan kecuali satu.” Maka Rasulullah SAW mengembalikannya kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya ia menginginkan lebih dari satu, maka akan jatuh lebih dari satu, karena lafaz itu mengandung kemungkinan jumlah, sebagaimana dibuktikan bahwa lafaz tersebut boleh dijelaskan dengan jumlah, seperti ucapannya: “Engkau talak dua kali” atau “tiga kali,” atau “engkau bā’in dengan dua atau tiga talak.”

Dan setiap makna yang dimungkinkan oleh lafaz, jika diniatkan, maka jatuhlah talak berdasarkannya, sebagaimana halnya lafaz kināyah.

Namun, jika ia berkata: “Engkau satu,” lalu ia meniatkan dua atau tiga talak, maka dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama: Talak jatuh sesuai niat, karena bisa jadi maksud ucapannya adalah “Engkau satu bersama satu lagi,” atau “bersama dua lainnya.”

والثاني: لا يقع ما زاد على واحدة لأنه صريح في واحدة ولا يحتمل ما زاد فلو أوقعنا ما زاد لكان إيقاع طلاق بالنية من غير لفظ وذلك لا يجوز وإن قال لها اختاري وقالت المرأة اخترت اتفقا على عدد ونوياه وقع ما نوياه وإن اختلفا فنوى أحدهما: طلقة ونوى الآخر ما زاد لم يقع ما زاد على طلقة لأن الطلاق يفتقر إلى تمليك الزوج وإيقاع المرأة وإذا نوى أحدهما: طلقة ونوى الآخر ما زاد لم يقع لأنه لم يوجد الإذن والإيقاع إلا في طلقة فلم يقع ما زاد.

Dan pendapat yang kedua: Tidak jatuh lebih dari satu talak, karena lafaz tersebut adalah sharih untuk satu talak saja dan tidak mengandung makna lebih dari itu. Maka jika dijatuhkan lebih dari satu talak, berarti menjatuhkan talak dengan niat tanpa adanya lafaz, dan hal itu tidak dibolehkan.

Dan jika ia berkata kepada istrinya, “Pilihlah,” lalu sang istri berkata, “Aku memilih,” kemudian keduanya sepakat atas jumlah talak tertentu dan meniatkannya, maka talak jatuh sesuai jumlah yang mereka niatkan.

Namun jika mereka berselisih, salah satunya meniatkan satu talak, dan yang lainnya meniatkan lebih dari satu, maka tidak jatuh lebih dari satu talak, karena talak memerlukan dua hal: pendelegasian dari pihak suami dan pelaksanaan dari pihak istri. Dan jika salah satu dari keduanya hanya meniatkan satu talak dan yang lainnya meniatkan lebih, maka yang terjadi hanyalah izin dan pelaksanaan untuk satu talak, maka tidak jatuh lebih dari satu.

فصل: وإن قال أنت وأشار بثلاث أصابع ونوى الطلاق الثلاث لم يقع شيء لأن قوله أنت ليس من ألفاظ الطلاق فلو أوقعنا الطلاق لكان بالنية في بيان العدد وإن قال أردت بعدد الإصبعين المقبوضتين قبل لأنه يحتمل ما يدعيه وإن قال أنت طالق وأشار بالأصابع ولم يقل هكذا وقال أردت واحدة ولم أرد العدد قبل لأنه يحتمل ما يدعيه.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Engkau,” sambil menunjuk dengan tiga jari dan meniatkan talak tiga, maka tidak terjadi apa pun, karena ucapannya “Engkau” bukan termasuk lafaz talak. Maka seandainya talak dijatuhkan, itu berarti menjatuhkan talak hanya dengan niat dalam menjelaskan jumlah, dan hal itu tidak sah.

Namun jika ia berkata, “Aku maksudkan dengan dua jari yang terlipat,” maka diterima, karena hal itu mengandung kemungkinan sebagaimana yang ia klaim.

Dan jika ia berkata, “Engkau talak,” lalu menunjuk dengan jari-jarinya, namun tidak mengatakan, “sebanyak ini,” kemudian ia berkata, “Aku hanya menghendaki satu, bukan jumlah sesuai jari,” maka hal itu diterima, karena mengandung kemungkinan sebagaimana yang ia klaim.

فصل: وإن قال أنت طالق واحدة في اثنتين نظرت فإن نوى طلقة واحدة مع اثنتين وقعت ثلاث لأن في تستعمل بمعنى مع والدليل عليه قوله عز وجل: {فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي} والمراد مع عبادي فإن لم يكن له نية نظرت فإن لم يعرف الحساب ولا نوى مقتضاه في الحساب طلقت طلقة واحدة بقوله أنت طالق ولا يقع بقوله في اثنتين شيء لأنه لا يعرف مقتضاه فلم يلزمه حكمه كالأعجمي إذا طلق بالعربية وهولا يعرف معناه وإن نوى مقتضاه في الحساب ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبو بكر الصيرفي أنه يقع طلقتان لأنه أراد موجبه في الحساب وموجبه في الحساب طلقتان

PASAL: Jika seseorang berkata, “Engkau tertalak satu dalam dua,” maka ditinjau: jika ia meniatkan satu talak bersama dua, maka jatuh tiga talak, karena huruf fī digunakan dengan makna “bersama”. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: {Fadkhulī fī ʿibādī wa-dkhulī jannatī} (masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku), yang dimaksud adalah “bersama hamba-hamba-Ku”.

Jika ia tidak memiliki niat, maka ditinjau lagi: jika ia tidak memahami hisab dan tidak meniatkan maksud hisab, maka jatuh satu talak berdasarkan ucapannya “Engkau tertalak”, dan tidak jatuh talak karena ucapannya “dalam dua”, karena ia tidak mengetahui maksudnya, maka tidak wajib baginya hukum dari kalimat itu, seperti orang ‘ajam (asing) yang menjatuhkan talak dengan bahasa Arab padahal ia tidak mengetahui maknanya.

Namun, jika ia meniatkan maksudnya dalam hisab, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu Bakr aṣ-Ṣayrafī, bahwa jatuh dua talak karena ia menghendaki makna hisabnya, dan makna hisabnya adalah dua talak.

والثاني: وهو المذهب أنه لا يقع إلا طلقة واحدة لأنه إذا لم يعلم مقتضاه لم يلزمه حكمه كالأعجمي إذا طلق بالعربية وهولا يعلم وقال أردت مقتضاه في العربية فإن كان عالماً في الحساب نظرت فإن نوى موجبه في الحساب طلقت طلقتين لأن موجبه في الحساب طلقتان وإن قال أردت واحدة في اثنتين باقيتين طلقت واحدة لأنه يحتمل ما يدعيه كقوله له عندي ثوب في منديل وأراد في منديل وإن لم يكن له نية فالمنصوص أنها تطلق طلقة لأن هذا اللفظ غير متعارف عند الناس ويحتمل طلقة في طلقتين واقعتين ويحتمل طلقة في طلقتين باقيتين فلا أن يوقع بالشك وقال أبو إسحاق يحتمل أن تطلق طلقتين لأنه عالم بالحساب ويعلم أن الواحدة في اثنتين طلقتان في الحساب.

dan pendapat kedua—dan inilah mazhab—bahwa tidak jatuh kecuali satu talak, karena jika seseorang tidak mengetahui maksud suatu lafaz, maka tidak wajib atasnya hukum lafaz tersebut, seperti orang ‘ajam (asing) yang menjatuhkan talak dengan bahasa Arab padahal ia tidak mengetahui artinya, lalu ia berkata, “Aku bermaksud makna dalam bahasa Arab.”

Jika ia adalah orang yang memahami hisab, maka ditinjau: jika ia meniatkan makna hisab, maka jatuh dua talak karena makna hisabnya adalah dua talak. Namun jika ia berkata, “Aku bermaksud satu talak dari dua yang tersisa,” maka jatuh satu talak karena masih bisa diterima pengakuannya, sebagaimana seseorang berkata, “Engkau memiliki baju padaku dalam sapu tangan,” dan ia bermaksud “dalam (bentuk) sapu tangan.”

Jika ia tidak memiliki niat, maka pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i adalah bahwa jatuh satu talak, karena lafaz ini tidak lazim di kalangan masyarakat dan bisa mengandung makna satu talak dari dua yang telah terjadi, atau satu talak dari dua yang tersisa, sehingga tidak boleh menjatuhkan talak dalam keadaan ragu.

Abu Ishaq berkata: “Bisa jadi jatuh dua talak, karena ia memahami hisab dan mengetahui bahwa satu dalam dua dalam hisab berarti dua talak.”

فصل: وإن قال أنت طالق طلقة بل طلقتان ففيه وجهان: أحدهما: يقع طلقتان كما إذا قال له علي درهم بل درهمان لزمه درهمان والثاني: يقع الثلاث والفرق بينه وبين الإقرار أن الإقرار إخبار يحتمل التكرار فجاز أن يدخل الدرهم في الخبرين والطلاق إيقاع فلا يجوز أن يوقع الطلاق الواحد مرتين فحمل على طلاق مستأنف ولهذا لو أقر بدرهم في يوم ثم أقر بدرهم في يوم آخر لم يلزمه إلا درهم ولو طلقها في يوم ثم طلقها في يوم آخر كانتا طلقتين.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Engkau tertalak satu talak, bahkan dua talak,” maka ada dua pendapat:

Pertama: jatuh dua talak, sebagaimana jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham, bahkan dua dirham,” maka ia wajib membayar dua dirham.

Kedua: jatuh tiga talak. Perbedaannya dengan pengakuan adalah bahwa pengakuan merupakan pemberitahuan yang bisa mengandung pengulangan, sehingga boleh jadi satu dirham tercakup dalam kedua kalimat tersebut. Adapun talak adalah bentuk pelaksanaan, maka tidak boleh satu talak dijatuhkan dua kali, sehingga dipahami sebagai talak baru. Oleh karena itu, jika seseorang mengaku berutang satu dirham pada suatu hari, lalu mengaku lagi satu dirham pada hari lain, maka ia hanya wajib satu dirham. Tapi jika ia menalak istrinya pada suatu hari, lalu menalaknya lagi di hari lain, maka keduanya menjadi dua talak.

فصل: وإن قال لغير المدخول بها أنت طالق ثلاثاً وقع الثلاث لأن الجميع صادف الزوجية فوقع الجمع كما لو قيل ذلك للمدخول بها وإن قال لها أنت طالق أنت طالق أنت طالق ولم يكن له نية وقعت الأولى دون الثانية والثالثة وحكي عن الشافعي رحمه الله في القديم أنه قال يقع الثلاث فمن أصحابنا من جعل ذلك قولاً واحداً وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة لأن الكلام إذ لم ينقطع ارتبط بعضه ببعض فصار كما لو قال أنت طالق ثلاثا وقال أكثر أصحابنا لا يقع أكثر من طلقة وما حكي عن القديم إنما هو حكاية عن مالك رحمه الله ليس بمذهب له لأنه تقدمت الأولى فبانت بها فلم يقع ما بعدها.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istri yang belum digauli, “Engkau tertalak tiga,” maka jatuh tiga talak karena seluruhnya mengenai masa pernikahan, sehingga ketiganya sah sebagaimana jika dikatakan hal itu kepada istri yang telah digauli.

Namun jika ia berkata, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,” tanpa ada niat, maka jatuh talak yang pertama saja, sedangkan talak kedua dan ketiga tidak jatuh.

Disebutkan dari Imam Syafi‘i dalam qaul qadīm-nya bahwa jatuh tiga talak. Sebagian sahabat kami menganggap itu sebagai salah satu pendapat Imam Syafi‘i—yaitu pendapat Abu ʿAlī Ibn Abī Hurairah—karena ucapan tersebut jika tidak terputus, maka saling berkaitan satu sama lain, sehingga menjadi seperti ucapan “Engkau tertalak tiga.”

Namun mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa tidak jatuh lebih dari satu talak, dan apa yang dinukil dari qaul qadīm sejatinya adalah riwayat dari Imam Mālik rahimahullah, bukan mazhab Imam Syafi‘i. Sebab talak pertama telah mendahului dan telah menjadikan istri tersebut bā’in (terpisah), maka tidak jatuh talak setelahnya.

فصل: وإن قال للمدخول بها أنت طالق أنت طالق أنت طالق نظرت فإن كان أراد به التأكيد لم يقع أكثر من طلقة لأن التكرار يحتمل التأكيد وإن أراد الإستئناف وقع بكل لفظة طلقة لأنه يحمل الاستئناف وإن أراد بالثاني التأكيد وبالثالث الاستئناف وقع طلقتان وإن لم يكن له نية ففيه قولان: قال في الإملاء: يقع طلقة لأنه يحتمل التكرار والاستئناف فلا يقع ما زاد على طلقة بالشك

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istri yang sudah digauli, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,” maka hal itu diperinci:

Jika ia bermaksud penegasan, maka tidak jatuh lebih dari satu talak, karena pengulangan bisa bermakna penegasan.

Jika ia bermaksud memulai (talak) yang baru, maka jatuh satu talak untuk setiap lafaz, karena dianggap sebagai permulaan talak yang baru.

Jika ia bermaksud menegaskan pada ucapan kedua dan memulai pada ucapan ketiga, maka jatuh dua talak.

Jika ia tidak memiliki niat tertentu, maka ada dua pendapat. Dalam kitab al-Imlā’ disebutkan: jatuh satu talak, karena lafal tersebut mengandung kemungkinan antara pengulangan dan permulaan, maka tidak dijatuhkan lebih dari satu talak karena adanya keraguan.

وقال في الأم: يقع الثلاث لأن اللفظ الثاني والثالث كاللفظ الأول فإذا وقع بالأول طلاق وجب أن يقع بالثاني والثالث مثله وأما إذا غاير بينها في الحروف بأن قال أنت طالق وطالق ثم طالق ولم يكن له نية وقع بكل لفظة طلقة لأن المغايرة بينها في اللفظ تسقط حكم التأكيد فإن ادعى أنه أراد التأكيد لم يقبل في الحكم لأنه يخالف الظاهر ويدين فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه يحتمل ما يدعيه

Dan ia berkata dalam al-Umm: jatuh tiga talak, karena lafaz kedua dan ketiga sama seperti lafaz pertama. Maka jika talak jatuh dengan lafaz pertama, wajib jatuh pula dengan lafaz kedua dan ketiga sebagaimana yang pertama.

Adapun jika ia membedakan lafaz-lafaznya, seperti mengatakan: “Engkau tertalak, dan tertalak, lalu tertalak,” dan ia tidak memiliki niat, maka jatuh satu talak untuk setiap lafaz, karena perbedaan lafaz menghilangkan hukum penegasan.

Jika ia mengaku bahwa ia bermaksud penegasan, maka tidak diterima secara hukum karena menyelisihi makna lahiriah, namun ia dituntut dengan hal itu dalam urusan antara dirinya dan Allah SWT karena lafaz tersebut masih mungkin mengandung maksud yang ia klaim.

وإن قال أنت طالق وطالق وطالق وقع بالأول طلقة وبالثاني طلقة لتغاير اللفظين ويرجع في الثالث إليه لأنه لم يغاير بينه وبين الثاني فهو كقوله أنت طالق أنت طالق وإن غاير بين الألفاظ ولم يغاير بالحروف بأن قال أنت طالق أنت مسرحة أنت مفارقة ففيه وجهان: أحدهما: أن حكمه حكم المغايرة في الحروف لأنه إذا تغير الحكم بالمغايرة بالحروف فلأن يتغير بالمغايرة في لفظ الطلاق أولى والثاني: أن حكمه حكم اللفظ الواحد لأن الحروف هي العاملة في اللفظ وبها يعرف الاستئناف ولم توجد المغايرة في الحروف.

Jika seseorang berkata, “Engkau tertalak dan tertalak dan tertalak,” maka jatuh talak dengan lafaz pertama satu talak, dan dengan lafaz kedua satu talak, karena adanya perbedaan lafaz. Adapun lafaz ketiga, maka dikembalikan kepada niatnya, karena lafaz itu tidak berbeda dari yang kedua, sehingga hukumnya seperti ucapan, “Engkau tertalak, engkau tertalak.”

Jika ia membedakan lafaz-lafaznya namun tidak dengan perbedaan huruf, seperti berkata, “Engkau tertalak, engkau musrāḥah, engkau mufāraqah,” maka terdapat dua wajah pendapat:

Pertama: hukumnya seperti perbedaan huruf, karena jika perubahan hukum bisa terjadi dengan perbedaan huruf, maka dengan perubahan dalam lafaz-lafaz talak lebih layak untuk dianggap berbeda.

Kedua: hukumnya seperti lafaz satu, karena huruf-lah yang berpengaruh dalam lafaz, dan dengan huruf pula diketahui maksud permulaan (talak baru), sedangkan dalam hal ini tidak ditemukan perbedaan dalam huruf.

فصل: وإن قال أنت طالق بعض طلقة وقعت طلقة لأن ما يتبعض من الطلاق كان تسمية بعضه كتسمية جميعه كما لو قال بعضك طالق وإن قال أنت طالق نصفي طلقة وقعت طلقة لأن نصفي طلقة هي طلقة وإن قال أنت طالق ثلاثة أنصاف طلقة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقع طلقتان لأن ثلاثة أنصاف طلقة طلقة ونصف فكمل النصف فصار طلقتين والثاني: تطلق طلقة لأنه أضاف الأنصاف الثلاثة إلى طلقة وليس للطلقة إلا نصفان فألغى النصف الثالث وإن قال أنت طالق نصفي طلقتين وقعت طلقتان لأنه يقع من كل طلقة نصفها ثم يسري فيصير طلقتين وإن قال أنت طالق نصف طلقتين ففيه وجهان: أحدهما: تقع طلقة واحدة لأن نصف الطلقتين طلقة

PASAL: Jika ia berkata: “Engkau tertalak sebagian talak”, maka jatuh satu talak, karena talak itu bisa dibagi, maka penyebutan sebagiannya seperti penyebutan keseluruhannya, sebagaimana jika ia berkata: “Sebagian darimu tertalak”.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak”, maka jatuh satu talak, karena setengah talak adalah satu talak.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga setengah talak”, maka ada dua pendapat:
Pertama: jatuh dua talak, karena tiga setengah talak itu adalah satu setengah talak, lalu disempurnakan setengahnya menjadi dua talak.
Kedua: jatuh satu talak, karena ia menisbatkan tiga setengah itu kepada satu talak, dan satu talak itu hanya memiliki dua setengah, maka setengah ketiganya dianggap tidak ada.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah dari dua talak”, maka jatuh dua talak, karena dari setiap talak jatuh setengahnya, kemudian merambat sehingga menjadi dua talak.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah dari dua talak”, maka ada dua pendapat:
Pertama: jatuh satu talak, karena setengah dari dua talak adalah satu talak.

والثاني: أنه تقع طلقتان لأنه يقتضي النصف من كل واحدة منهما ثم يكمل النصفان فيصير الجميع طلقتين وإن قال أنت طالق نصف طلقة ثلث طلقة سدس طلقة طلقت طلقة واحدة لأنها أجزاء الطلقة وإن قال أنت طالق نصف طلقة وثلث طلقة وسدس طلقة وقع ثلاث طلقات لأن بدخول حروف العطف وقع بكل جزء طلقة وسرى إلى الباقي وإن قال أنت نصف طالق طلقت كما لو قال نصفك طالق وإن قال أنت نصف طلقة ففيه وجهان: أحدهما: أنه كناية فلا يقع بإطلاق من غير نية والثاني: أنه صريح فيقع به طلقة بناء على الوجهين فيمن قال لامرأته أنت الطلاق.

dan kedua: jatuh dua talak karena itu mengandung makna setengah dari masing-masing talak, kemudian dua setengah itu disempurnakan menjadi dua talak.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak, sepertiga talak, seperenam talak”, maka jatuh satu talak, karena semuanya adalah bagian dari satu talak.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak setengah talak dan sepertiga talak dan seperenam talak”, maka jatuh tiga talak karena dengan masuknya huruf-huruf ‘athaf, maka setiap bagian menjadi satu talak dan merambat pada sisanya.

Jika ia berkata: “Engkau setengah tertalak”, maka jatuh talak, sebagaimana jika ia berkata: “Setengahmu tertalak”.

Jika ia berkata: “Engkau setengah talak”, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: itu adalah kināyah, maka tidak jatuh talak kecuali dengan niat.
Kedua: itu adalah ṣarīḥ, maka jatuh satu talak dengannya, berdasarkan dua pendapat dalam kasus seseorang yang berkata kepada istrinya: “Engkau adalah talak”.

فصل: وإن كان له أربع نسوة فقال أوقعت عليكن أو بينكن طلقة طلقت كل واحدة منهن طلقة لأنه يخص كل واحدة منهن ربع طلقة وتكمل بالسراية وإذا قال أوقعت عليكن أو بينكن طلقتين أو ثلاثاً أو أربعاً وقع على كل واحدة طلقة لأنه إذا قسم بينهن لم يزد نصيب كل واحدة منهن على طلقة وإن قال أردت أن يقع على كل واحدة من الطلقتين وقع على كل واحدة طلقتان وإن قال أردت أن يقع على كل واحدة من الثلاث الطلقات وقع على كل واحدة ثلاث طلقات

PASAL: Jika seseorang memiliki empat istri lalu berkata: “Aku jatuhkan kepada kalian” atau “di antara kalian satu talak”, maka masing-masing dari mereka tertalak satu talak, karena masing-masing mendapat seperempat talak dan sempurna dengan sarayān (perambatan hukum).

Jika ia berkata: “Aku jatuhkan kepada kalian” atau “di antara kalian dua talak, atau tiga, atau empat”, maka jatuh pada masing-masing satu talak, karena jika dibagi di antara mereka, maka bagian masing-masing tidak melebihi satu talak.

Jika ia berkata: “Aku bermaksud agar dari dua talak itu jatuh pada masing-masing satu istri”, maka jatuh pada masing-masing dua talak.

Jika ia berkata: “Aku bermaksud agar dari tiga talak itu jatuh pada masing-masing satu istri”, maka jatuh pada masing-masing tiga talak.

لأنه مقر على نفسه بما فيه تغليظ واللفظ محتمل له وإن قال أوقعت عليكن خمساً وقع على كل واحدة طلقتان لأنه يصيب كل واحدة طلقة وربع وكذلك إن قال أوقعت عليكن ستاً أو سبعاً أو ثمانيا وإن قال أوقعت عليكن تسعاً طلقت كل واحدة ثلاثا وإن قال أوقعت بينكن نصف طلقة وثلث طلقة وسدس طلقة طلقت كل واحدة ثلاثاً لأنه لما عطف وجب أن يقسم كل جزء من ذلك بينهن ثم يكمل.

karena ia mengakui sesuatu atas dirinya yang mengandung pemberatan, dan lafaz tersebut memungkinkan untuk itu.

Jika ia berkata: “Aku jatuhkan kepada kalian lima talak”, maka masing-masing tertalak dua talak, karena setiap istri mendapat satu talak dan seperempat, lalu disempurnakan.

Demikian pula jika ia berkata: “Aku jatuhkan kepada kalian enam, tujuh, atau delapan talak”.

Jika ia berkata: “Aku jatuhkan kepada kalian sembilan talak”, maka masing-masing tertalak tiga talak.

Jika ia berkata: “Aku jatuhkan di antara kalian setengah talak, sepertiga talak, dan seperenam talak”, maka masing-masing tertalak tiga talak, karena ketika ia meng-‘athaf-kan (menyambung) bagian-bagian tersebut, wajib membagi setiap bagian itu kepada mereka lalu disempurnakan.

فصل: وإن قال أنت طالق ملء الدنيا أو أنت طالق أطول الطلاق أو أعرضه وقعت طلقة لأن شيئاً من ذلك لا يقتضي العدد وقد تتصف الطلقة الواحدة بذلك كله.
فصل: وإن قال أنت طالق أشد الطلاق وأغلظه وقعت طلقة لأنه قد تكون الطلقة أشد وأغلظ عليه لتعجلها أو لحبه لها أو لحبها له فلم يقع ما زاد بالشك وإن قال أنت طالق كل الطلاق أو أكثره وقع الثلاث لأنه كل الطلاق وأكثره.

PASAL: Jika ia berkata: “Engkau tertalak sepenuh dunia” atau “Engkau tertalak sepanjang-panjangnya talak” atau “Selebar-lebarnya talak”, maka jatuh satu talak, karena tidak ada satu pun dari ungkapan tersebut yang menunjukkan bilangan, dan satu talak saja bisa disifati dengan semua itu.

PASAL: Jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan talak yang paling berat dan paling keras”, maka jatuh satu talak, karena bisa jadi satu talak itu terasa paling berat dan paling keras baginya karena terjadi dengan segera, atau karena cintanya kepadanya, atau karena cinta sang istri kepadanya. Maka tidak jatuh lebih dari itu karena adanya keraguan.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan seluruh talak” atau “dengan sebagian besarnya”, maka jatuh tiga talak, karena itu adalah seluruh atau sebagian besar talak.

فصل: وإن قال للمدخول بها أنت طالق طلقة بعدها طلقة طلقت طلقتين لأن الجميع يصادف الزوجية وإن قال أردت بعدها طلقة أوقعها لم يقبل في الحكم لأن الظاهر أنه طلاق ناجز ويدين فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه يحتمل ما يدعيه وإن قال أنت طالق طلقة قبلها طلقة وقعت طلقتان وفي كيفية وقوع ما قبلها وجهان: قال أبوعلي ابن أبي هريرة: يقع مع التي أوقعها لأن إيقاعها فيما قبلها إيقاع طلاق في زمان ماض فلم يعتبر كما لو قال أنت طالق أمس

PASAL: Jika ia berkata kepada istri yang telah digauli, “Engkau tertalak satu talak setelahnya satu talak,” maka tertalak dua talak, karena semuanya mengenai masa adanya pernikahan. Jika ia berkata, “Aku maksudkan setelahnya satu talak yang akan aku jatuhkan nanti,” maka tidak diterima dalam hukum, karena yang tampak adalah talak yang langsung terjadi, dan ia dibebani agama antara dirinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla, karena masih memungkinkan maksud yang ia klaim.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak satu talak yang sebelumnya ada satu talak,” maka jatuh dua talak, dan dalam cara jatuhnya talak yang sebelumnya ada dua pendapat. Abu ‘Ali Ibn Abi Hurairah berkata: Talak sebelumnya jatuh bersamaan dengan yang diucapkan, karena menjatuhkannya pada masa yang telah lewat dianggap seperti menjatuhkan talak di waktu lampau, maka tidak diperhitungkan sebagaimana jika ia berkata, “Engkau tertalak kemarin.”

وقال أبو إسحاق يقع قبلها اعتباراً بموجب لفظه كما لو قال أنت طالق قبل موتي بشهر ثم مات بعد شهر ويخالف قوله أنت طالق أمس لأنا لو أوقعناه في أمس تقدم الوقوع على الإيقاع وههنا يقع الطلاقان بعد الإيقاع وإن قال أردت بقولي قبلها طلقة في نكاح قبله فإن كان لما قاله أصل قبل منه لأنه يحتمل ما يدعيه وإن لم يكن له أصل لم يقبل منه لأنه لا يحتمل ما يدعيه.

Dan Abū Isḥāq berkata: Talak yang sebelumnya jatuh berdasarkan konsekuensi lafalnya, sebagaimana jika ia berkata, “Engkau tertalak sebulan sebelum kematianku,” lalu ia mati setelah sebulan. Ini berbeda dengan ucapannya, “Engkau tertalak kemarin,” karena jika kami jatuhkan talak pada hari kemarin berarti talak itu terjadi sebelum adanya pengucapan. Adapun dalam kasus ini, kedua talak jatuh setelah adanya pengucapan.

Dan jika ia berkata, “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘sebelumnya satu talak’ adalah talak dalam pernikahan sebelumnya,” maka jika ucapannya memiliki dasar, diterima darinya karena memungkinkan seperti yang ia klaim. Namun jika tidak ada dasarnya, maka tidak diterima darinya karena tidak memungkinkan maksud yang ia klaim.

فصل: وإن قال لها أنت طالق طلقة قبلها طلقة وبعدها طلقة طلقت ثلاثا على ما ذكرناه وإن قال لها أنت طالق طلقة وبعدها طلقة طلقت ثلاثاً لأنه يقع بقوله أنت طالق طلقة ويقع قبلها نصف طلقة وبعدها نصف طلقة ثم يكمل النصفان فيصير الجميع ثلاثا.

PASAL: Jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak satu talak yang sebelumnya satu talak dan setelahnya satu talak,” maka tertalak tiga sebagaimana telah kami sebutkan. Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak satu talak dan setelahnya satu talak,” maka tertalak tiga, karena dengan ucapannya “Engkau tertalak satu talak” jatuh satu talak, dan jatuh sebelum itu setengah talak serta setelahnya setengah talak, kemudian dua setengah talak tersebut disempurnakan sehingga menjadi tiga semuanya.

فصل: وإن قال لغير المدخول بها أنت طالق طلقة بعدها طلقة لم تقع الثانية لأنها بائن بالأولى فلم تقع الثانية وإن قال أنت طالق طلقة قبلها طلقة ففيه وجهان: أحدهما: لا تطلق لأن وقوع طلقة عليها يوجب وقوع طلقة قبلها ووقوع ما قبلها يمنع وقوعها فيما نعا بالدور وسقطا والثاني: وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أنها تطلق ليس شيء لأن وقوع طلقة قبلها ما قبلها يوجب إسقاطها وإسقاط ما قبلها فوجب إثباتها وإسقاط ما قبلها

PASAL: Jika ia berkata kepada istri yang belum digauli, “Engkau tertalak satu talak, setelahnya satu talak,” maka tidak jatuh talak kedua karena ia telah menjadi bain dengan talak pertama, sehingga talak kedua tidak terjadi. Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak satu talak, sebelumnya satu talak,” maka terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak jatuh talak karena jatuhnya satu talak padanya mewajibkan jatuhnya satu talak sebelumnya, dan jatuhnya yang sebelumnya mencegah jatuhnya yang setelahnya, maka terjadi dawr (lingkaran yang saling menggugurkan), dan keduanya gugur.

Kedua: dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abī Hurairah, bahwa ia tertalak satu talak saja, karena jatuhnya satu talak sebelumnya mewajibkan menggugurkan yang sebelumnya, dan gugurnya yang sebelumnya mewajibkan menetapkan yang setelahnya, maka wajib menetapkannya dan menggugurkan yang sebelumnya.

وإن قال أنت طالق طلقة معها طلقة ففيه وجهان: أحدهما: أنها تطلق واحدة وهو قول المزني لأنه أفردها فجاز كما لو قال أنت طالق واحدة بعدها واحدة والوجه الثاني أنها تطلق طلقتين لأنهما يجتمعان في الوقوع فلا تتقدم إحداهما على الأخرى فهو كما لو قال أنت طالق طلقتين وإن قال أنت طالق طلقتين ونصفا طلقت طلقتين لأنه جمع بين الطلقتين في الإيقاع فبانت بهما ثم أوقع النصف بعدما بانت فلم يقع.

Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak satu talak bersamanya satu talak,” maka terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa ia tertalak satu talak saja, dan ini adalah pendapat al-Muzanī, karena ia mengkhususkan satu talak sehingga sah sebagaimana jika ia berkata, “Engkau tertalak satu, setelahnya satu.”

Pendapat kedua: bahwa ia tertalak dua talak karena keduanya terjadi bersamaan, maka tidak ada yang mendahului yang lain, sehingga hukumnya seperti jika ia berkata, “Engkau tertalak dua talak.”

Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak dua talak dan setengah,” maka tertalak dua talak, karena ia menggabungkan dua talak dalam satu pelaksanaan sehingga ia bercerai dengannya, lalu ia menjatuhkan setengah talak setelah terjadinya perceraian, maka tidak jatuh.

فصل: إذا قال لامرأته أنت طالق طلقة لا تقع عليك طلقت لأنه أوقع الطلاق ثم أراد رفعه والطلاق إذا وقع لم يرتفع وإن قال أنت طالق أولا لم تطلق لأنه ليس بإيقاع.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak satu talak yang tidak terjadi padamu,” maka jatuh talak karena ia telah menjatuhkan talak, kemudian bermaksud membatalkannya, dan talak apabila telah dijatuhkan tidak bisa dibatalkan.

Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak terlebih dahulu,” maka tidak jatuh talak karena itu bukanlah suatu bentuk pelaksanaan talak.

فصل: ويصح الاستثناء في الطلاق لأنه لغة العرب ونزل به القرآن وحروفه إلا وغير وخلا وسوى وعدا وحاشى فإذا قال أنت طالق ثلاثاً إلا طلقة وقعت طلقتان وإن قال أنت طالق ثلاثاً إلا طلقتين وقعت طلقة وإن قال أنت طالق ثلاثاً إلا ثلاثاً طلقت ثلاثاً لأن الاستثناء يرفع المستثنى منه فيسقط وبقي الثلاث وإن قال أنت طالق ثلاثا إلا طلقتين وطلقة ففيه وجهان: أحدهما: يقع الثلاث لأنه استثنى ثلاثا من ثلاث

PASAL: Dan sah melakukan istitsnā’ (pengecualian) dalam talak karena itu merupakan bahasa Arab dan telah turun dalam Al-Qur’an. Huruf-hurufnya adalah illā (إلا), ghayr (غير), khalā (خلا), siwā (سوى), ‘adā (عدا), dan ḥāshā (حاشى). Maka jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali satu,” maka jatuh dua talak. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali dua,” maka jatuh satu talak. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali tiga,” maka jatuh tiga talak karena pengecualian itu mengeluarkan yang dikecualikan dari yang dikecualikan darinya, maka gugurlah dan yang tersisa tetap tiga. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali dua dan satu,” maka dalam hal ini ada dua wajah: salah satunya, jatuh tiga talak karena ia mengecualikan tiga dari tiga.

والثاني: تقع طلقة لأن الاستثناء الثاني هو الباطل فسقط وبقي الاستثناء الأول وإن قال أنت طالق ثلاثاً إلا نصف طلقة طلقت ثلاثا لأنه يبقى طلقتان ونصف ثم يسري النصف إلى الباقي فيصير ثلاثاً وإن قال أنت طالق ثلاثاً إلا طلقة واحدة وقعت طلقة لأن المعطوف على الاستثناء مضموم إلى الاستثناء ولهذا إذا قال له علي مائة إلا خمسة وعشرين ضمت الخمسة إلى العشرين في الاستثناء ولزمه ما بقي وإن قال أنت طالق طلقة وطلقة إلا طلقة ففيه وجهان: أحدهما: تطلق طلقة لأن الواو في الإسمين المنفردين كالتثنية فيصير كما لو قال أنت طالق طلقتين إلا طلقة

dan yang kedua: jatuh satu talak karena pengecualian yang kedua batal, maka gugur dan yang tersisa adalah pengecualian yang pertama. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali setengah talak,” maka jatuh tiga talak karena tersisa dua talak dan setengah, kemudian setengah itu menjalar kepada sisanya sehingga menjadi tiga. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali satu talak,” maka jatuh satu talak karena yang di-‘athaf-kan pada pengecualian bergabung dengan pengecualian, dan karena itu jika seseorang berkata, “Aku berhutang seratus kecuali lima dan dua puluh,” maka lima digabungkan dengan dua puluh dalam pengecualian, dan ia wajib membayar sisanya. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak satu talak dan satu talak kecuali satu talak,” maka dalam hal ini ada dua wajah: salah satunya, jatuh satu talak karena huruf wāw pada dua kata benda yang terpisah seperti bentuk tatsniyah, sehingga menjadi seperti ucapan: “Engkau tertalak dua talak kecuali satu talak.”

والثاني: وهو المنصوص أنها تطلق طلقتين لأن الاستثناء يرجع إلى ما يليه وهو طلقة واستثناء طلقة من طلقة باطل فسقط وبقي طلقتان وإن قدم الاستثناء على المستثنى منه بأن قال أنت إلا واحدة طالق ثلاثاً فقد قال بعض أصحابنا أنه لا يصح الاستثناء فيقع الثلاث لأن الاستثناء جعل لاستدراك ما تقدم من كلامه ويحتمل عندي أنه يصح الاستثناء فيقع طلقتان لأن التقديم والتأخير في ذلك لغة العرب قال الفرزدق يمدح هشام بن إبراهيم بن المغيرة خال هشام بن عبد الملك:
وما مثله في الناس إلا مملكاً … أبو أمه حي أبوه يقاربه
تقديره وما مثله في الناس حي يقاربه إلا مملكاً أبو أمه أبو الممدوح.

dan kedua: yaitu yang dinyatakan dalam nash bahwa ia tertalak dua kali, karena istitsnā’ (pengecualian) kembali kepada yang paling dekat dengannya, yaitu satu talak, dan pengecualian satu talak dari satu talak adalah batal, maka batal pengecualiannya dan tersisa dua talak. Dan jika ia mendahulukan pengecualian dari yang dikecualikan, seperti mengatakan: “Engkau kecuali satu, tertalak tiga”, maka sebagian sahabat kami berkata bahwa istitsnā’ seperti ini tidak sah, sehingga jatuh tiga talak, karena pengecualian dibuat untuk menyanggah ucapan sebelumnya. Namun menurutku, istitsnā’ tersebut sah, sehingga jatuh dua talak, karena dalam hal ini boleh dilakukan taqdīm wa ta’khīr (pendahuluan dan pengakhiran) dalam bahasa Arab. Seperti yang dikatakan oleh al-Farazdaq dalam memuji Hisyām bin Ibrāhīm bin al-Mughīrah, paman dari pihak ibu Hisyām bin ‘Abd al-Malik:

Wa mā mitsluhu fī an-nāsi illā mumallakan … abū ummihi ḥayyun abūhu yuqāribuh
(“Dan tidak ada yang seperti dia di tengah manusia kecuali seorang raja … ayah ibunya hidup dan ayahnya dekat dengannya”)

Maknanya adalah: Wa mā mitsluhu fī an-nāsi ḥayyun yuqāribuhu illā mumallakan abū ummihi abū al-mamdūḥ
(“Dan tidak ada yang seperti dia di tengah manusia, yang hidup dan ayahnya dekat dengannya, kecuali seorang raja yang ayah ibunya adalah ayah orang yang dipuji”)

فصل: ويصح الاستثناء من الاستثناء لقوله عز وجل: {قَالُوا إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمٍ مُجْرِمِينَ إِلَّا آلَ لُوطٍ إِنَّا لَمُنَجُّوهُمْ أَجْمَعِينَ ِلَّا امْرَأَتَهُ} فاستثنى آل لوط من المجرمين واستثنى من آل لوط امرأته وإذ قال أنت طالق ثلاثاً إلا طلقتين إلا طلقة طلقت طلقتين لأن تقديره أنت طالق ثلاثاً إلا طلقتين فلا يقعان إلا طلقة فتقع وإن قال أنت طالق خمساً إلا ثلاثاً ففيه وجهان: أحدهما: أنها تطلق ثلاثاً لأنه لا يقع من الخمس إلا ثلاث فصار كما لو قال أنت طالق ثلاثاً إلا ثلاثاً

PASAL: Dan sah melakukan istisnā’ dari istisnā’, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {qālū innā ur’silnā ilā qaumin mujrimīn illā āla lūṭ inna la-munajjūhum ajma’īn illā imra’atahu} – maka dikecualikan Āl Lūṭ dari kaum yang berdosa, kemudian dikecualikan dari Āl Lūṭ istrinya.

Jika seseorang berkata: “Engkau aku talak tiga kecuali dua talak kecuali satu talak”, maka jatuh dua talak, karena takdir ucapannya adalah: “Engkau aku talak tiga kecuali dua”, maka yang tidak jatuh adalah dua, dan yang jatuh tinggal satu, maka jatuhlah talak tersebut.

Dan jika dia berkata: “Engkau aku talak lima kecuali tiga”, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: Bahwa dia tertalak tiga, karena yang jatuh dari lima hanyalah tiga, maka keadaannya seperti orang yang berkata: “Engkau aku talak tiga kecuali tiga”.

والثاني: أنها تطلق طلقتين لأنه لما وصل بالاستثناء علم أنه قصد الحساب وإن قلت أنت طالق خمساً إلا اثنتين طلقت على الوجه الأول طلقة وعلى الوجه الثاني تطلق ثلاثا وإن قال أنت طالق ثلاثاً إلا ثلاثاً إلا اثنتين ففيه ثلاثة أوجه: أحدها يقع الثلاث لأن الاستثناء الأول يرفع المستثنى منه فيبطل والاستثناء الثاني فرع عليه فسقط وبقي الثلاث والثاني: تطلق طلقتين لأنه لما وصله بالاستثناء صار كأنه أثبت ثلاثا ونفى ثلاثا ثم أثبت اثنتين والثالث تقع طلقة لأن الاستثناء الأول لا يصح فسقط وبقي الاستثناء الثاني فيصير كما لو قال: أنت طالق ثلاثا إلا طلقتين.

dan kedua: bahwa ia tertalak dua kali karena ketika diiringi dengan istisnā’ diketahui bahwa ia bermaksud menghitung. Dan jika engkau berkata: “Engkau tertalak lima kecuali dua,” maka menurut pendapat pertama ia tertalak satu, dan menurut pendapat kedua ia tertalak tiga.

Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali tiga kecuali dua,” maka ada tiga pendapat:

Pendapat pertama: jatuh talak tiga, karena istisnā’ yang pertama membatalkan yang dikecualikan darinya sehingga batal, dan istisnā’ yang kedua merupakan cabang dari yang pertama sehingga gugur, dan yang tersisa adalah talak tiga.

Pendapat kedua: ia tertalak dua kali, karena ketika ia menyambungkannya dengan istisnā’ seolah-olah ia menetapkan tiga dan meniadakan tiga, lalu menetapkan dua.

Pendapat ketiga: jatuh satu talak, karena istisnā’ pertama tidak sah sehingga gugur, dan yang tersisa adalah istisnā’ kedua, maka jadilah sebagaimana jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali dua talak.”

فصل: وإن قال أنت طالق ثلاثاً إلا أن يشاء أبوك واحدة وقال أبوها شئت واحدة لم تطلق لأن الاستثناء من الإثبات نفي فيصير تقديره أنت طالق ثلاثاً إلا أن يشاء أبوك واحدة فلا يقع طلاق.

PASAL: Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga kecuali jika ayahmu menghendaki satu,” lalu ayahnya berkata: “Aku menghendaki satu,” maka tidak jatuh talak, karena pengecualian dari penetapan itu adalah penafian, sehingga maknanya menjadi: “Engkau tertalak tiga kecuali jika ayahmu menghendaki satu,” maka talak tidak terjadi.

فصل: وإن قال امرأتي طالق أو عبدي حر أو لله علي كذا أو والله لأفعلن كذا إن شاء الله أو بمشيئة الله أو ما لم يشأ الله لم يصح شيء من ذلك لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من حلف على يمين ثم قال إن شاء الله كان له ثنيا “. وروى أبو هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من حلف فقال إن شاء الله لم يحنث”. ولأنه علق هذه الأشياء على مشيئة الله تعالى ومشيئته لا تعلم فلم يلزم بالشك شيء وإن قال أنت طالق إلا أن يشاء الله ففيه وجهان: أحدهما: لا تطلق لأنه مقيد بمشيئة الله تعالى فأشب الطلاق وعلق رفعه بمشيئة الله تعالى ومشيئة الله لا تعلم فسقط حكم رفعه وبقي حكم ثبوته ويخالف إذا قال أنت طالق إن شاء الله فإنه علق الوقوع على مشيئة الله تعالى.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Istriku tertalak” atau “Hambaku merdeka” atau “Atas tanggunganku karena Allah sekian” atau “Demi Allah aku pasti akan melakukan ini jika Allah menghendaki” atau “dengan kehendak Allah” atau “selama Allah tidak menghendaki”, maka tidak sah sedikit pun dari semua itu.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa bersumpah atas satu sumpah lalu berkata in syā’ Allāh, maka itu menjadi pilihan baginya.” Dan dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa bersumpah lalu berkata in syā’ Allāh, maka ia tidak melanggar sumpahnya.”

Sebab ia telah menggantungkan hal-hal tersebut kepada kehendak Allah Ta‘ālā, sementara kehendak Allah tidak diketahui, maka tidak bisa dihukumi dengan sesuatu yang masih syak.

Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak kecuali jika Allah menghendaki,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: tidak jatuh talak, karena ia tergantung pada kehendak Allah Ta‘ālā, maka menyerupai talak yang digantungkan, dan ia menggantungkan pembatalannya pada kehendak Allah Ta‘ālā, dan karena kehendak Allah tidak diketahui, maka batal hukum pembatalannya dan tetap berlaku hukum penetapannya.

Hal ini berbeda dengan ucapan: “Engkau tertalak jika Allah menghendaki,” karena yang seperti ini adalah menggantungkan terjadinya talak pada kehendak Allah Ta‘ālā.

فصل: ولا يصح الاستثناء في جميع ما ذكرناه إلا أن يكون متصلاً بالكلام فإن انفصل عن الكلام من غير عذر لم يصح لأن العرف في الاستثناء أن يتصل بالكلام فإن انفصل لضيق النفس صح الاستثناء لأنه كالمتصل في العرف ولا يصح إلا أن يقصد إليه فأما إذا كانت عادته في كلامه أن يقول إن شاء الله فقال إن شاء الله على عادته لم يكن استثناء لأنه لم يقصده واختلف أصحابنا في وقت نية الاستثناء فمنهم من قال لا يصح إلا أن يكون ينوي ذلك من ابتداء الكلام ومنهم من قال إذا نوى قبل الفراغ من الكلام جاز.

PASAL: Tidak sah istisnā’ (pengecualian) dalam semua yang telah kami sebutkan kecuali apabila bersambung dengan ucapan. Maka jika terpisah dari ucapan tanpa uzur, tidak sah, karena kebiasaan dalam istisnā’ adalah harus bersambung dengan ucapan.

Namun, jika terpisah karena sesak napas, maka istisnā’ sah karena dalam kebiasaan dianggap seperti bersambung.

Dan tidak sah kecuali apabila ia memang bermaksud melakukannya. Adapun jika kebiasaannya dalam berbicara adalah mengucapkan in syā’ Allāh, lalu ia mengucapkan in syā’ Allāh hanya karena kebiasaannya, maka itu tidak dianggap sebagai istisnā’, karena ia tidak bermaksud mengecualikan.

Ulama kami berbeda pendapat tentang waktu niat istisnā’: di antara mereka ada yang mengatakan tidak sah kecuali jika diniatkan sejak awal ucapan, dan ada pula yang mengatakan: jika diniatkan sebelum selesai dari ucapan, maka itu boleh.

فصل: إذا قال يا زانية أنت طالق إن شاء الله أو أنت طالق يا زانية إن شاء الله رجع الاستثناء إلى الطلاق ولا يرجع إلى قوله يا زانية لأن الطلاق إيقاع فجاز تعليقه بالمشيئة وقوله يا زانية صفة فلا يصح تعليقها بالمشيئة ولهذا يصح أن يقول أنت طالق إن شاء الله ولا يصح إن يقول أنت زانية إن شاء الله وإن كانت له امرأتان حفصة وعمرة فقال حفصة وعمرة طالقان إن شاء الله لم تطلق واحدة منهما وإن قال حفصة طالق وعمرة طالق إن شاء الله فقد قال بعض أصحابنا تطلق حفصة ولا تطلق عمرة لأن الاستثناء يرجع إلى ما يليه وهو طلاق عمرة ويحتمل عندي أن لا تطلق واحدة منهما لأن المجموع بالواو كالجملة الواحدة.

PASAL: Jika seseorang berkata: “Wahai pezina, engkau tertalak insyaallah,” atau “Engkau tertalak, wahai pezina, insyaallah,” maka pengecualian kembali kepada talak dan tidak kembali kepada ucapannya “wahai pezina,” karena talak adalah iqā‘ (tindakan penjatuhan) sehingga sah digantungkan pada masyī’ah, sedangkan ucapannya “wahai pezina” adalah sifat, maka tidak sah digantungkan pada masyī’ah. Oleh karena itu, sah jika ia berkata: “Engkau tertalak insyaallah,” dan tidak sah jika ia berkata: “Engkau pezina insyaallah.”

Dan jika ia mempunyai dua istri, Ḥafṣah dan ‘Amrah, lalu ia berkata: “Ḥafṣah dan ‘Amrah tertalak insyaallah,” maka tidak tertalak satu pun dari keduanya. Namun jika ia berkata: “Ḥafṣah tertalak, dan ‘Amrah tertalak insyaallah,” maka sebagian sahabat kami berkata: “Ḥafṣah tertalak dan ‘Amrah tidak tertalak,” karena pengecualian kembali kepada yang terdekat, yaitu talaknya ‘Amrah. Dan menurutku dimungkinkan juga bahwa tidak tertalak satu pun dari keduanya karena penyebutan keduanya dengan wāw adalah seperti satu kalimat.

فصل: وإن طلق بلسانه واستثنى بقلبه نظرت فإن قال أنت طالق ونوى بقلبه إن شاء الله لم يصح الاستثناء ولم يقبل في الحكم ولا يدين فيه لأن اللفظ أقوى من النية لأن اللفظ يقع به الطلاق من غير نية والنية لا يقع بها الطلاق من غير لفظ فلو أعملنا النية لرفعنا القوي بالضعيف وذلك لا يجوز كنسخ الكتاب بالسنة وترك النص بالقياس وإن قال نسائي طوالق واستثنى بالنية بعضهم دين فيه لأنه لا يسقط اللفظ بل يستعمله في بعض ما يقتضيه بعمومه وذلك يحتمل فديه فيه ولا يقبل في الحكم

PASAL: Jika seseorang menjatuhkan talak dengan lisannya dan mengecualikan dalam hatinya, maka hal itu perlu dilihat:

Jika ia berkata, “Engkau tertalak,” dan di dalam hatinya berniat in syā’ Allāh, maka istisnā’ tersebut tidak sah dan tidak diterima dalam hukum, serta tidak pula dianggap dalam ranah dīn (antara dia dengan Allah), karena lafaz lebih kuat daripada niat. Sebab, lafaz dapat menjatuhkan talak tanpa niat, sementara niat tidak menjatuhkan talak tanpa lafaz. Maka, jika kita mengamalkan niat, berarti kita mengalahkan yang kuat dengan yang lemah, dan hal itu tidak diperbolehkan, sebagaimana tidak bolehnya menasakh al-Qur’an dengan sunnah, atau meninggalkan nash karena qiyās.

Namun, jika ia berkata, “Istri-istriku tertalak,” dan di dalam hati mengecualikan sebagian dari mereka, maka ia didīn (dianggap antara dirinya dan Allah), karena itu tidak menggugurkan lafaz, melainkan menggunakannya pada sebagian dari yang dikandung oleh lafaz secara umum, dan hal itu memungkinkan, maka didīn padanya, tetapi tidak diterima dalam hukum.

وقال أبو حفص الباب بشامي: يقبل في الحكم لأن اللفظ يحتمل العموم والخصوص وهذا غير صحيح لأنه وإن احتمل الخصوص إلا أن الظاهر العموم فلا يقبل في الحكم دعوى الخصوص فإن قال امرأتي طالق ثلاثا واستثنى بقلبه إلا طلقة أو طلقتين لم يقبل في الحكم لأنه يدعي خلاف ما يقتضيه اللفظ وهل يدين فيه وجهان: أحدهما: يدين لأنه لا يسقط حكم اللفظ وإنما يخرج بعض ما يقتضيه فدين فيه كما لو قال نسائي طوالق واستثنى بالنية بعضهن والثاني: لا يدين وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله لأنه يسقط ما يقتضيه اللفظ بصريحه بما دونه من النية وإن قال لأربع نسوة أربعكن طالق واستثنى بعضهم بالنية لم يقبل في الحكم وهل يدين فيه وجهان: أحدهما: يدين والثاني: لا يدين ووجههما ما ذكرناه في المسألة قبلها.

dan Abū Ḥafṣ al-Bāb al-Shāmī berkata: diterima dalam hukum, karena lafaz tersebut memungkinkan untuk bermakna umum maupun khusus. Namun ini tidak benar, karena meskipun memungkinkan untuk bermakna khusus, yang zhāhir adalah makna umum, maka tidak diterima dalam hukum klaim kekhususan.

Jika seseorang berkata, “Istriku tertalak tiga,” lalu di dalam hati mengecualikan satu atau dua talak, maka tidak diterima dalam hukum, karena ia mengklaim sesuatu yang bertentangan dengan makna yang ditunjukkan oleh lafaz.

Adapun apakah didīn padanya, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: didīn, karena ia tidak menggugurkan makna lafaz, melainkan hanya mengeluarkan sebagian dari makna yang dikandungnya. Maka didīn padanya, sebagaimana jika ia berkata, “Istri-istriku semua tertalak,” lalu mengecualikan sebagian dari mereka dengan niat.

Pendapat kedua: tidak didīn, dan ini adalah pendapat Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarā’īnī RA, karena ia menggugurkan makna yang ditunjukkan secara terang oleh lafaz dengan sesuatu yang lebih lemah yaitu niat.

Dan jika ia berkata kepada empat istrinya: “Kalian berempat tertalak,” lalu mengecualikan sebagian mereka dengan niat, maka tidak diterima dalam hukum. Dan apakah didīn padanya, maka ada dua pendapat:

Pertama: didīn,
Kedua: tidak didīn,
dan alasan keduanya sebagaimana yang telah disebutkan dalam masalah sebelumnya.

باب الشرط في الطلاق
إذا علق الطلاق بشرط لا يستحيل كدخول الدار ومجيء الشهر تعلق به فإذا وجد الشرط وقع وإذا لم يوجد لم يقع لما روى أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “المؤمنون عند شروطهم”. ولأن الطلاق كالعتق لأن كل واحد منهما قوة وسراية ثم العتق إذا علق على شرط وقع بوجوده ولم يقع قبل وجوده فكذلك الطلاق فإن علق الطلاق على شرط ثم قال عجلت ما كنت علقت على الشرط لم تطلق في الحال لأنه تعلق بالشرط ولا يتغير وإذا وجد الشرط طلقت

PASAL: SYARAT DALAM TALAK
Jika talak digantungkan pada syarat yang tidak mustahil terjadi, seperti masuk ke dalam rumah atau datangnya bulan, maka talak tersebut bergantung pada syarat itu. Jika syaratnya terjadi, maka talak jatuh; dan jika tidak terjadi, maka talak tidak jatuh. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Orang-orang mukmin itu tergantung pada syarat-syarat mereka.” Dan karena talak itu seperti ‘itq (pembebasan budak), sebab keduanya sama-sama merupakan kekuasaan dan bersifat menyebar. Maka sebagaimana ‘itq jika digantungkan pada syarat akan jatuh saat syaratnya terjadi dan tidak jatuh sebelum itu, maka talak pun demikian pula. Jika seseorang menggantungkan talak pada syarat, kemudian berkata: “Aku mempercepat apa yang telah kugantungkan pada syarat,” maka talak tidak jatuh saat itu juga karena talak tetap bergantung pada syarat dan tidak berubah. Jika syarat tersebut terjadi, maka barulah talak jatuh.

وإن قال أنت طالق ثم قال أردت إذا دخلت الدار أو إذا جاء رأس الشهر لم يقبل في الحكم لأنه يدعي خلاف ما يقتضيه اللفظ بظاهره ويدين فيما بينه وبين الله تعالى لأنه يدعي صرف الكلام عن ظاهره إلى وجه يحتمله فدين فيه كما لو قال أنت طالق وادعى أنه أراد طلاقاً من وثاق فإن قال أنت طالق إن دخلت الدار وقال أردت الطلاق في الحال ولكن سبق لساني إلى الشرط لزمه الطلاق في الحال لأنه أقر على نفسه بما يوجب التغليظ من غير تهمة.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak,” lalu ia berkata (menjelaskan maksudnya): “Aku bermaksud jika engkau masuk ke dalam rumah” atau “jika awal bulan datang,” maka tidak diterima dalam hukum, karena ia mengklaim sesuatu yang bertentangan dengan zahir lafal ucapannya. Namun ia tetap dikenai diyanah (urusan antara dia dan Allah Ta‘ala) karena ia mengklaim telah memalingkan lafal dari maknanya yang zahir kepada makna lain yang masih mungkin ditafsirkan demikian, maka ia dikenai diyanah, sebagaimana jika ia berkata: “Engkau tertalak,” dan mengklaim bahwa yang dimaksud adalah pembebasan dari ikatan (bukan talak).

Jika ia berkata: “Engkau tertalak jika engkau masuk ke rumah,” lalu ia berkata: “Aku bermaksud talak saat itu juga, hanya saja lisanku terpeleset menyebutkan syarat,” maka talak berlaku saat itu juga, karena ia mengakui sesuatu atas dirinya yang memperberat hukum tanpa adanya unsur tuduhan (pemaksaan atau paksaan).

فصل: والألفاظ التي تستعمل في الشرط في الطلاق من وإن وإذا ومتى وأي وقت وكلما وليس في هذه الألفاظ ما يقتضي التكرار إلا قوله كلما فإنه يقتضي التكرار فإذا قال من دخلت الدار فهي طالق أو قال لامرأته إن دخلت الدار أو إذا دخلت الدار أو متى دخلت الدار أوفي أي وقت دخلت الدار فأنت طالق فوجد الدخول وقع الطلاق وإن تكرر الدخول لم يتكرر الطلاق لأن اللفظ لا يقتضي التكرار وإن قال كلما دخلت الدار فأنت طالق فدخلت طلقت وإن تكرر الدخول تكرر الطلاق لأن اللفظ يقتضي التكرار.

PASAL: Lafal-lafal yang digunakan dalam syarat talak adalah man, in, idżā, matā, ayy waqtin, dan kullamā. Dari semua lafal tersebut, tidak ada yang menunjukkan makna pengulangan kecuali lafal kullamā, karena ia memang menunjukkan pengulangan.

Maka jika seseorang berkata: “Man masuk rumah, maka ia tertalak,” atau ia berkata kepada istrinya: “Jika engkau masuk rumah,” atau “idżā engkau masuk rumah,” atau “matā engkau masuk rumah,” atau “pada ayy waqtin engkau masuk rumah, maka engkau tertalak,” lalu istrinya benar-benar masuk, maka talak jatuh. Namun jika masuk lagi setelah itu, talak tidak berulang karena lafal-lafal tersebut tidak menunjukkan pengulangan.

Namun jika ia berkata: “Kullamā engkau masuk rumah, maka engkau tertalak,” lalu istrinya masuk rumah, maka talak jatuh. Dan jika ia masuk lagi, maka talak pun jatuh lagi, karena lafal tersebut menunjukkan pengulangan.

فصل: وإن كانت له امرأة لا سنة في طلاقها ولا بدعة وهي الصغيرة التي لم تحض أو الكبيرة التي يئست من الحيض أو الحامل أو التي لم يدخل بها فقال لها أنت طالق لا للسنة ولا للبدعة طلقت لوجود الصفة وإن قال أنت طالق للسنة أو للبدعة أو أنت طالق للسنة والبدعة طلقت لأنه وصفها بصفة لا تتصف بها فلغت الصفة وبقي الطلاق فوقع فإن قال للصغيرة أو الحامل أو التي لم يدخل بها أنت طالق للسنة أو أنت طالق للبدعة وقال أردت به إذا صارت من أهل سنة الطلاق أو بدعته طلقت في الحال ولم يقبل ما يدعيه في الحكم لأن اللفظ يقتضي طلاقاً ناجزا ويدين فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه يحتمل ما يدعيه

PASAL: Jika seseorang memiliki istri yang tidak ada sunnah dan tidak ada bid‘ah dalam talaknya — yaitu anak kecil yang belum haid, wanita tua yang telah putus haid, wanita hamil, atau wanita yang belum digauli — lalu ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak bukan dengan talak sunnah dan bukan pula dengan talak bid‘ah”, maka jatuh talak karena sifat (yang disebut) itu ada. Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan talak sunnah”, atau “dengan talak bid‘ah”, atau “dengan talak sunnah dan bid‘ah sekaligus”, maka jatuh talak karena ia menyifatkannya dengan sifat yang tidak dimilikinya, sehingga sifat itu gugur dan talak tetap berlaku.

Jika ia berkata kepada anak kecil, wanita hamil, atau yang belum digauli: “Engkau tertalak dengan talak sunnah” atau “dengan talak bid‘ah”, lalu ia berkata: “Aku maksudkan jika nanti ia telah menjadi orang yang pantas untuk talak sunnah atau bid‘ah”, maka talak tetap jatuh saat itu juga dan tidak diterima pengakuannya dalam hukum, karena lafaznya menunjukkan talak yang langsung (dijatuhkan saat itu juga), dan ia dimintai pertanggungjawaban antara dirinya dengan Allah SWT karena hal itu mengandung kemungkinan seperti yang ia klaim.

وإن كانت له امرأة لها سنة وبدعة في الطلاق وهي المدخول بها إذا كانت من ذوات الأقراء فقال لها: أنت طالق للسنة فإن كانت في طهر لم يجامعها فيه لم تطلق في الحال لفقد الصفة فإذا جامعها أو حاضت طلقت لوجود الصفة وإن قال أنت طالق للسنة إن كنت في هذه الحالة ممن يقع عليها طلاق السنة فإن كانت في طهر لم يجامعها فيه طلقت لوجود الصفة وإن كانت حائضا أوفي طهر جامعها فيه لم تطلق في الحال لعدم الصفة وإن صارت في طهر لم تجامع فيه لم تطلق أيضاً لأنه شرط أن تكون للسنة وأن تكون في تلك الحال وذلك لا يوجد بعد انقضاء الحال

PASAL: Jika seseorang memiliki istri yang ada sunnah dan bid‘ah dalam talaknya — yaitu istri yang telah digauli dan termasuk wanita yang mengalami haid — lalu ia berkata kepadanya: “Engkau tertalak dengan talak sunnah”, maka jika ia sedang dalam masa suci dan belum digauli dalam masa suci tersebut, talak tidak langsung jatuh karena sifat (yang disebut) belum ada. Namun, jika ia telah digauli atau ia mengalami haid, maka talak jatuh karena sifatnya telah ada.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan talak sunnah jika engkau dalam keadaan ini termasuk orang yang terkena talak sunnah”, maka jika istri sedang dalam masa suci dan belum digauli, talak jatuh karena sifatnya ada. Dan jika ia sedang haid atau dalam masa suci yang telah digauli, maka talak tidak jatuh saat itu karena sifatnya belum ada. Jika kemudian ia berada dalam masa suci yang tidak digauli, maka talak tetap tidak jatuh karena ia mensyaratkan adanya talak sunnah dan bahwa istri berada dalam keadaan tersebut, padahal hal itu tidak lagi ada setelah keadaan tersebut berlalu.

وإن قال لها أنت طالق للسنة وللبدعة أو أنت طالق طلقة حسنة قبيحة طلقت في الحال طلقة لأنه لا يمكن إيقاع طلقة على هاتين الصفتين فسقطت الصفتان وبقي الطلاق فوقع وإن قال أنت طالق طلقتين طلقة للسنة وطلقة للبدعة طلقت في الحال طلقة فإذا صارت في الحالة الثانية طلقت طلقة وإن قال أنت طالق طلقتين للسنة وللبدعة ففيه وجهان: أحدهما: يقع طلقة في حال السنة وطلقة في حال البدعة لأنه يمكن إيقاعها على الصفتين فلم يجز إسقاطهما

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak dengan talak sunnah dan bid‘ah” atau “Engkau tertalak dengan talak yang baik dan buruk,” maka jatuh satu talak saat itu juga, karena tidak mungkin menjatuhkan satu talak dengan dua sifat yang saling bertentangan, maka gugurlah kedua sifat tersebut dan yang tersisa hanyalah talak, sehingga talak pun jatuh.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak dua talak: satu talak sunnah dan satu talak bid‘ah,” maka jatuh satu talak saat itu juga, dan ketika ia masuk ke keadaan kedua, jatuh talak satu lagi.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak dua talak: untuk sunnah dan bid‘ah,” maka ada dua pendapat: pertama, jatuh satu talak pada keadaan sunnah dan satu talak pada keadaan bid‘ah, karena memungkinkan menjatuhkan talak pada kedua sifat tersebut, sehingga keduanya tidak gugur.

والثاني: يقع في الحال طلقتان لأن الظاهر عود الصفتين إلى كل واحدة من الطلقتين وإيقاع كل واحدة منهما على الصفتين لا يمكن فلغت الصفتان ووقعت الطلقتان وإن قال أنت طالق ثلاثاً للسنة وقع الثلاث في طهر لم يجامعها فيه لأن ذلك طلاق للسنة وإن قال أنت طالق ثلاثا بعضهن للسنة وبعضهن للبدعة وقع في الحال طلقتان لأن إضافة الطلاق إليهما يقتضي التسوية فيقع في الحال طلقة ونصف ثم يكمل فيصير طلقتين ويقع الباقي في الحالة الأخرى

PASAL: Pendapat kedua: jatuh dua talak sekaligus saat itu juga, karena secara lahiriyah kedua sifat (sunnah dan bid‘ah) kembali kepada masing-masing dari dua talak tersebut, sedangkan menjatuhkan masing-masing talak atas dua sifat sekaligus tidak memungkinkan, maka gugurlah kedua sifat itu dan jatuh dua talak.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga dengan talak sunnah,” maka jatuh tiga talak dalam masa suci yang belum digauli, karena itulah talak sunnah.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak tiga, sebagian sunnah dan sebagian bid‘ah,” maka jatuh dua talak saat itu juga, karena penyandaran talak kepada keduanya mengharuskan kesetaraan, maka jatuh saat itu satu setengah talak, lalu disempurnakan menjadi dua, dan sisanya jatuh pada keadaan berikutnya.

وإن قال أردت بالبعض طلقة في هذه الحال وطلقتين في الحالة الأخرى ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة إنه لا يقبل قوله في الحكم ويدين فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه يدعي ما يتأخر به الطلاق فصار كما لو قال أنت طالق وادعى أنه أراد إذا دخلت الدار والثاني: وهو المذهب أنه يقبل في الحكم ويدين فيما بينه وبين الله عز وجل لأن البعض يقع على القليل والكثير حقيقة ويخالف دعوى دخول الدار فإن الظاهر إنجاز الطلاق فلم تقبل في الحكم دعوى التأخير.

PASAL: Jika ia berkata: “Yang aku maksud dengan ‘sebagian’ adalah satu talak pada keadaan ini dan dua talak pada keadaan yang lain,” maka ada dua pendapat:

Pertama — dan ini pendapat Abu ‘Ali Ibn Abī Hurairah — tidak diterima pengakuannya dalam hukum, tetapi ia dimintai pertanggungjawaban antara dirinya dengan Allah SWT, karena ia mengaku sesuatu yang menyebabkan tertundanya talak, sehingga keadaannya seperti orang yang berkata, “Engkau tertalak,” lalu mengaku bahwa maksudnya adalah “jika engkau masuk ke dalam rumah.”

Kedua — dan ini pendapat yang menjadi mazhab — pengakuannya diterima dalam hukum, dan ia tetap dimintai pertanggungjawaban antara dirinya dengan Allah SWT, karena kata ba‘ḍ (sebagian) secara hakikat mencakup makna sedikit maupun banyak. Hal ini berbeda dengan pengakuan “jika masuk rumah,” karena secara lahir lafaz tersebut menunjukkan talak langsung, sehingga tidak diterima dalam hukum pengakuan untuk menundanya.

فصل: وإن قال إن قدم فلان فأنت طالق فقدم وهي في طهر لم يجامع فيه وقع طلاق سنة وإن قدم وهي حائض أوفي طهر جامعها فيه وقع طلاق بدعة إلا أنه لا يأثم لأنه لم يقصد كما إذا رمى صيداً فأصاب آدميا فقتله فإن القتل صادف محرماً لكنه لم يأثم لعدم القصد وإن قال إن أقدم فلان فأنت طالق للسنة فقدم وهي في حال السنة طلقت وإن قدم وهي في حال البدعة لم تطلق حتى تصير إلى حال السنة لأنه علقه بعد القدم بالسنة.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Jika Fulan datang, maka engkau tertalak,” lalu Fulan datang sementara istrinya dalam keadaan suci yang tidak digauli, maka jatuh talak sunnah. Dan jika ia datang sementara istrinya sedang haid atau dalam masa suci yang telah digauli, maka jatuh talak bid‘ah, hanya saja ia tidak berdosa karena tidak sengaja, sebagaimana orang yang melempar binatang buruan lalu mengenai manusia dan membunuhnya — maka pembunuhan itu mengenai yang diharamkan, tetapi ia tidak berdosa karena tidak ada unsur kesengajaan.

Dan jika ia berkata, “Jika Fulan datang, maka engkau tertalak dengan talak sunnah,” lalu Fulan datang sementara istrinya dalam keadaan talak sunnah, maka jatuh talak. Tetapi jika ia datang sementara istrinya dalam keadaan talak bid‘ah, maka talak belum jatuh sampai istrinya masuk pada keadaan talak sunnah, karena ia menggantungkan talak pada setelah kedatangan dengan kondisi sunnah.

فصل: وإن قال أنت طالق أحسن الطلاق وأكمله وأعدله وما أشبهها من الصفات الحميدة طلقت للسنة لأنه أحسن الطلاق وأكمله وأعدله وإن قال أردت به طلاق البدعة واعتقدت أن الأعدل والأكمل في حقها لسوء عشرتها أن تطلق للبدعة نظرت فإن كان ما يدعيه من ذلك أغلظ عليه بأن تكون في الحال حائضا أوفي طهر جامعها فيه وقع طلاق بدعة لأن ما ادعاه أغلظ عليه واللفظ يحتمله فقبل منه وإن كان أخف عليه بأن كانت في طهر لم يجامع فيه دين فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه يحتمل ما يدعيه ولا يقبل في الحكم لأنه مخالف للظاهر

PASAL: Jika ia berkata, “Engkau tertalak dengan talak yang terbaik, paling sempurna, paling adil,” dan semacamnya dari sifat-sifat yang terpuji, maka talak terjadi secara sunnah, karena itu termasuk talak yang terbaik, paling sempurna, dan paling adil.

Namun jika ia berkata, “Aku maksudkan dengan itu talak bid‘ah, dan aku meyakini bahwa yang paling adil dan paling sempurna baginya—karena buruknya pergaulannya—adalah menceraikannya dengan talak bid‘ah,” maka diperinci: jika apa yang ia klaim itu lebih berat baginya—yakni si istri dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang telah digaulinya—maka jatuhlah talak bid‘ah, karena apa yang ia klaim lebih berat baginya dan lafal tersebut memuat kemungkinannya, maka diterima darinya.

Namun jika lebih ringan baginya—yakni si istri dalam masa suci yang belum digauli—maka ia didin (diperhitungkan antara dirinya dengan Allah ‘azza wa jalla) karena lafal tersebut memungkinkan apa yang ia klaim, namun tidak diterima dalam hukum karena bertentangan dengan zhahir (makna lahiriah) lafal.

فإن قال أنت طالق أقبح الطلاق وأسمجه وما أشبههما من صفات الذم طلقت في حال البدعة لأنه أقبح الطلاق وأسمجه وإن قال أردت طلاق السنة واعتقدت أن طلاقها أقبح الطلاق وأسمجه لحسن دينها وعشرتها فإن كان ذلك أغلظ عليه لما فيه من تعجيل الطلاق قبل منه لأنه أغلظ عليه واللفظ يحتمله وإن كان أخف عليه لما فيه من تأخير الطلاق دين فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه يحتمل ولا يقبل في الحكم لأنه مخالف للظاهر وإن قال أنت طالق طلاق الحرج طلقت للبدعة لأن الحرج فيما خالف السنة وأثم به.

Jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan talak yang paling buruk dan paling keji,” serta ungkapan lain sejenis yang mengandung sifat celaan, maka ia tertalak dalam keadaan bid‘ah, karena itu merupakan talak yang paling buruk dan paling keji.

Jika ia berkata: “Aku maksudkan talak sunnah, dan aku meyakini bahwa talaknya merupakan talak yang paling buruk dan paling keji karena baiknya agama dan pergaulannya,” maka jika maksud tersebut lebih memberatkannya karena mengandung makna penyegeraan talak, maka perkataannya diterima karena itu lebih berat baginya dan lafalnya mengandung kemungkinan tersebut.

Namun jika maksud tersebut lebih meringankannya karena mengandung makna penundaan talak, maka ia berdosa di hadapan Allah Azza wa Jalla karena maksudnya masih mungkin ditoleransi, tetapi tidak diterima dalam hukum, karena bertentangan dengan makna lahirnya.

Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak dengan ṭalāq al-ḥaraj (talak kesempitan),” maka ia tertalak dalam keadaan bid‘ah, karena ḥaraj terdapat pada sesuatu yang menyelisihi sunnah, dan ia berdosa karenanya.

فصل: وإن قال لها وهي حائض إذا طهرت فأنت طالق طلقت بانقطاع الدم لوجود الصفة وإن قال لها ذلك وهي طاهر لم تطلق حتى تحيض ثم تطهر لأن إذا اسم للزمان المستقبل فاقتضى فعلاً مستأنفا ولهذا لو قال لرجل حاضر إذا جئتني فلك دينار لم يستحق بهذا الحضور حتى يغيب ثم يجيئه وإن قال لها وهي طاهر إن حضت فأنت طالق طلقت برؤية الدم وإن قال لها ذلك وهي حائض لم تطلق حتى تطهر ثم تحيض لما ذكرناه في الطهر فإن قال لها وهي حائض إن طهرت طهراً فأنت طالق لم تطلق حتى تطهر ثم تحيض لأنه لا يوجد طهر كامل إلا أن تطعن في الحيض الثاني وإن قال لها ذلك وهي طاهر لم تطلق حتى تحيض ثم تطهر ثم تحيض لأن الطهر الكامل لا يوجد إلا بما ذكرناه وإن قال إن حضت حيضة فأنت طالق فإن كانت طاهراً لم تطلق حتى تحيض ثم تطهر وإن كانت حائضاً لم تطلق حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر لما ذكرناه في الطهر.

PASAL: Jika ia berkata kepada istrinya yang sedang haid: “Jika engkau suci, maka engkau tertalak,” maka ia tertalak dengan berhentinya darah haid karena syaratnya telah terpenuhi.

Jika ia mengucapkannya saat istri dalam keadaan suci, maka tidak tertalak sampai ia haid lalu suci kembali, karena kata idhā merupakan nama untuk waktu yang akan datang, sehingga mengharuskan adanya perbuatan yang baru terjadi. Karena itu, seandainya ia berkata kepada seseorang yang sedang hadir: “Jika engkau datang kepadaku, maka engkau mendapat satu dinar,” maka orang itu tidak berhak atas dinar tersebut hanya karena kehadirannya, sampai ia pergi dan datang kembali.

Jika ia berkata kepada istrinya yang sedang suci: “Jika engkau haid, maka engkau tertalak,” maka ia tertalak dengan terlihatnya darah haid.

Jika ia mengucapkannya saat istrinya sedang haid, maka tidak tertalak sampai ia suci kemudian haid kembali, sebagaimana penjelasan pada kasus sebelumnya tentang keadaan suci.

Jika ia berkata kepada istrinya yang sedang haid: “Jika engkau suci satu kali suci, maka engkau tertalak,” maka tidak tertalak sampai ia suci lalu haid kembali, karena tidak disebut satu kali suci yang sempurna kecuali dengan masuk ke haid kedua.

Jika ia berkata demikian saat istrinya sedang suci, maka tidak tertalak sampai ia haid kemudian suci, lalu haid kembali, karena suci yang sempurna tidak ada kecuali dengan hal tersebut.

Jika ia berkata: “Jika engkau haid satu kali haid, maka engkau tertalak,” maka jika ia sedang suci, maka tidak tertalak sampai ia haid lalu suci kembali. Dan jika ia sedang haid, maka tidak tertalak sampai ia suci lalu haid kembali lalu suci, sebagaimana penjelasan pada suci sebelumnya.

فصل: وإن قال أنت طالق ثلاثاً في كل قرء طلقة نظرت فإن كانت لها سنة وبدعة في طلاقها نظرت فإن كانت طاهراً طلقت طلقة لأن ما بقي من الطهر قرء وإن كانت حائضاً لم تطلق حتى تطهر ثم يقع في كل طهر طلقة وإن لم يكن لها سنة ولا بدعة نظرت فإن كانت حاملاً طلقت في الحال طلقة لأن الحمل قرء يعتد به وإن كانت تحيض على الحمل لم تطلق في أطهارها لأنها ليست بأقراء ولهذا لا يعتد بها فإن راجعها قبل الوضع وطهرت في النفاس وقعت طلقة أخرى فإذا حاضت وطهرت وقعت الثالثة وإن كانت غير مدخول بها وقعت عليها طلقة وبانت فإن كانت صغيرة مدخولاً بها طلقت في الحال طلقة فإن لم يراجعها حتى مضت ثلاثة أشهر بانت وإن راجعها لم تطلق في الطهر بعد الرجعة لأنه هو الطهر الذي وقع فيه الطلاق.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Engkau tertalak tiga, pada setiap qur’ satu talak,” maka diperhatikan: jika wanita itu termasuk yang memiliki sunnah dan bid‘ah dalam talaknya, maka dilihat: jika ia dalam keadaan suci, jatuh satu talak karena sisa masa suci itu dihitung sebagai satu qur’. Jika ia sedang haid, maka tidak jatuh talak hingga ia suci, kemudian pada setiap masa suci jatuh satu talak.

Jika ia termasuk wanita yang tidak memiliki sunnah dan bid‘ah dalam talak, maka dilihat: jika ia sedang hamil, jatuh satu talak seketika karena kehamilan adalah qur’ yang diperhitungkan. Jika ia mengalami haid saat hamil, maka tidak jatuh talak dalam masa sucinya, karena masa suci itu bukan aqrā’, dan oleh sebab itu tidak diperhitungkan. Jika suaminya merujuknya sebelum melahirkan lalu ia suci dari nifas, maka jatuh satu talak lagi. Kemudian jika ia haid dan suci kembali, maka jatuh talak ketiga.

Jika ia adalah wanita yang belum dicampuri, maka jatuh satu talak dan ia menjadi bā’in. Jika ia seorang gadis yang telah dicampuri, maka jatuh satu talak seketika. Jika suaminya tidak merujuknya hingga berlalu tiga bulan, maka ia menjadi bā’in. Jika ia dirujuk, maka tidak jatuh talak pada masa suci setelah rujuk, karena itu adalah masa suci yang padanya talak telah jatuh.

فصل: وإن قال إن حضت فأنت طالق فقالت حضت فصدقها طلقت وإن كذبها فالقول قولها مع يمينها لأنه لا يعرف الحيض إلا من جهتها وإن قال لها قد حضت فأنكرت طلقت بإقراره وإن قال لها إن حضت فضرتك طالق فقالت حضت فإن صدقها طلقت ضرتها وإن كذبها لم تطلق لأن قولها يقبل على الزوج في حقها ولا يقبل على غيرها إلا بتصديق الزوج كالمودع يقبل قوله في رد الوديعة على المودع ولا يقبل في الرد على غيره وإن قال إذا حضت فأنت وضرتك طالقان فقالت حضت فإن صدقها طلقتا وإن كذبها وحلفت طلقت هي ولم تطلق ضرتها وإن صدقتها الضرة على حيضها لم يؤثر تصديقها ولكن لها أن تحلف الزوج على تكذيبها

PASAL: Jika seseorang berkata, “Jika engkau haid maka engkau tertalak,” lalu istri berkata, “Aku telah haid,” dan suami membenarkannya, maka jatuh talak. Jika suami mendustakannya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri disertai sumpahnya, karena haid tidak diketahui kecuali dari pihaknya.

Jika suami berkata kepada istrinya, “Engkau telah haid,” lalu istri mengingkarinya, maka jatuh talak berdasarkan pengakuan suami.

Jika ia berkata kepada istrinya, “Jika engkau haid maka madumu tertalak,” lalu istri berkata, “Aku telah haid,” maka jika suami membenarkannya, madunya tertalak. Jika suami mendustakannya, maka tidak jatuh talak atas madunya, karena ucapan istri diterima terhadap suami dalam perkara dirinya, dan tidak diterima terhadap selainnya kecuali dengan pembenaran dari suami, sebagaimana orang yang dititipi harta: ucapannya diterima dalam hal pengembalian kepada penitip, tetapi tidak diterima dalam pengembalian kepada orang lain.

Jika suami berkata, “Jika engkau haid maka engkau dan madumu tertalak,” lalu istri berkata, “Aku telah haid,” maka jika suami membenarkannya, keduanya tertalak. Jika suami mendustakannya dan istri bersumpah, maka ia sendiri tertalak dan madunya tidak tertalak. Jika madunya membenarkannya atas haidnya, maka pembenaran itu tidak berpengaruh, akan tetapi ia (madunya) berhak untuk meminta suami bersumpah atas pendustaannya terhadapnya.

وإن قال إذا حضتما فأنتما طالقتان فإن قالتا حضنا فصدقهما طلقتا وإن كذبهما لم تطلق واحدة منهما لأن طلاق كل واحدة منهما معلق على شرطين حيضها وحيض صاحبتها ولا يقبل قول كل واحدة منهما إلا في حيضها أوفي حقها نفسها دون صاحبتها ولم يوجد الشرطان وإن صدق إحداهما وكذب الأخرى طلقت المكذبة لأنها غير مقبولة القول على صاحبتها ومقبولة القول في حق نفسها وقد صدق الزوج صاحبتها فوجد الشرطان في طلاقها فطلقت والمصدقة مقبولة القول في الحيض في حق نفسها وقد صدقها الزوج وقول صاحبتها غير مقبول في حيضها في طلاقها ولم يوجد الشرطان في حقها فلم تطلق.

Dan jika suami berkata, “Jika kalian berdua haid maka kalian berdua tertalak,” lalu keduanya berkata, “Kami telah haid,” dan suami membenarkan keduanya, maka keduanya tertalak. Namun jika suami mendustakan keduanya, maka tidak tertalak satu pun dari mereka, karena talak masing-masing dari keduanya digantungkan pada dua syarat: haidnya sendiri dan haid temannya. Dan ucapan masing-masing dari mereka tidak diterima kecuali dalam haid dirinya sendiri atau dalam perkara yang menyangkut dirinya, bukan untuk temannya, maka kedua syarat belum terpenuhi.

Jika suami membenarkan salah satu dari mereka dan mendustakan yang lain, maka yang didustakan tertalak, karena ucapannya tidak diterima atas temannya, tetapi diterima dalam hal dirinya sendiri, dan suami telah membenarkan temannya, maka kedua syarat dalam talaknya telah terpenuhi, sehingga ia tertalak.

Adapun yang dibenarkan, ucapannya diterima dalam hal haid dirinya, dan suami telah membenarkannya, tetapi ucapan temannya tidak diterima dalam haidnya untuk menjatuhkan talak atasnya, maka kedua syarat belum terpenuhi dalam hal dirinya, sehingga tidak tertalak.

فصل: وإن قال لامرأتين إن حضتما حيضة فأنتما طالقان ففيه وجهان: أحدهما: أن هذه الصفة لا تنعقد لأنه يستحيل اجتماعهما في حيضة فبطل والثاني: أنهما إذا حاضتا وقع الطلاق لأن الذي يستحيل هو قوله حيضة فيلغي لاستحالتها ويبقى قوله إن حضتما فيصير كما لو قال إن حضتما فأنتما طالقتان وقد بينا حكمه.

PASAL: Jika ia berkata kepada dua istrinya, “Jika kalian berdua mengalami haid satu haidah, maka kalian berdua tertalak,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: Syarat ini tidak sah karena mustahil keduanya mengalami satu haidah secara bersama-sama, maka syaratnya batal.

Kedua: Jika keduanya mengalami haid, maka talak jatuh, karena yang mustahil adalah lafaz “satu haidah,” maka lafaz tersebut dianggap batal karena kemustahilannya, dan yang tersisa adalah ucapan “jika kalian berdua mengalami haid,” maka hukumnya menjadi seperti jika ia berkata, “Jika kalian berdua mengalami haid maka kalian berdua tertalak,” dan hukum kasus tersebut telah dijelaskan.

فصل: وإن قال لأربع نسوة إن حضتن فأنتن طوالق فقد علق طالق كل واحدة منهن بأربع شرائط وهي حيض الأربع فإن قلن حضنا وصدقهن طلقن لأنه وجد حيض الأربع وإن كذبهن لم تطلق واحدة منهن لأنه لم يثبت حيض الأربع لأن قول كل واحدة منهن لا يقبل إلا في حقها وإن صدق واحدة أو اثنتين لم تطلق واحدة منهن لأنه لم يوجد الشرط وإن صدق ثلاثا وكذب واحدة طلقت المكذبة لأن قولها مقبول في حيضها في حق نفسها وقد صدق الزوج صواحبها فوجد حيض الأربع في حقها فطلقت ولا تطلق المصدقات لأن قول كل واحدة منهن مقبول في حيضها في حقها غير مقبول في حق صواحبها وقد بقيت واحدة منهن مكذبة فلم تطلق لأجلها.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada empat istrinya, “Jika kalian haid maka kalian tertalak,” maka ia telah menggantungkan talak masing-masing dari mereka dengan empat syarat, yaitu haidnya keempat istri tersebut.

Jika mereka berkata, “Kami telah haid,” dan suami membenarkan mereka, maka mereka semua tertalak karena haid keempat telah terbukti.

Jika suami mendustakan mereka, maka tidak ada satu pun yang tertalak karena haid keempat belum terbukti, sebab ucapan masing-masing dari mereka hanya diterima dalam perkara dirinya, tidak dalam perkara selainnya.

Jika suami membenarkan satu atau dua dari mereka, maka tidak ada satu pun yang tertalak karena syarat belum terpenuhi.

Jika suami membenarkan tiga dari mereka dan mendustakan satu, maka yang didustakan tertalak, karena ucapannya diterima dalam haid dirinya, dan suami telah membenarkan haid tiga lainnya, maka sempurnalah empat haid dalam haknya, sehingga ia tertalak.

Sedangkan yang dibenarkan tidak tertalak, karena ucapan masing-masing dari mereka hanya diterima dalam haid dirinya dan tidak diterima untuk haid teman-temannya, dan masih ada satu di antara mereka yang didustakan, sehingga tidak jatuh talak karena sebabnya belum sempurna.

فصل: وإن قال لهن كلما حاضت واحدة منكن فصواحبها طوالق فقد جعل حيض كل واحدة منهن صفة لطلاق البواقي فإن قلن حضنا فصدقهن طلقت كل واحدة منهن ثلاثاً لأن لكل واحدة منهن ثلاث صواحب تطلق بحيض كل صاحبة طلقة فطلقت كل واحدة منهن ثلاثا وإن كذبهن لم تطلق واحدة منهن لأن كل واحدة منهن وإن قبل قولها في حقها إلا أنه لا يقبل في حق غيرها وإن صدق واحدة منهن وقع على كل واحدة منهن طلقة

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istri-istrinya, “Setiap kali salah satu dari kalian haid, maka teman-temannya tertalak,” maka ia telah menjadikan haid masing-masing dari mereka sebagai sebab talak bagi yang lainnya.

Jika mereka berkata, “Kami telah haid,” dan suami membenarkan mereka, maka masing-masing dari mereka tertalak tiga talak, karena setiap dari mereka memiliki tiga teman, dan setiap satu haid menyebabkan satu talak atas masing-masing dari tiga temannya, maka setiap dari mereka tertalak tiga.

Jika suami mendustakan mereka, maka tidak satu pun dari mereka yang tertalak, karena meskipun ucapan masing-masing diterima dalam hal dirinya, tetapi tidak diterima dalam hal selainnya.

Jika suami membenarkan salah satu dari mereka, maka jatuh satu talak atas masing-masing dari tiga temannya.

لأن لكل واحدة منهن صاحبة ثبت حيضها ولا يقع على المصدقة طلاق لأنه ليس لها صاحبة ثبت حيضها وإن صدق اثنتين وقع على كل واحدة منهما طلقة لأن لكل واحدة منهما صاحبة ثبت حيضها ويقع على كل واحدة من المكذبتين طلقتان لأن لكل واحدة منهما صاحبتين ثبت حيضهما فإن صدق ثلاثاً وقع على كل واحدة منهن طلقتان لأن لكل واحدة منهن صاحبتين ثبت حيضهما ووقع على المكذبة ثلاث تطليقات لأن لها ثلاث صواحب ثبت حيضهن.

Karena masing-masing dari mereka memiliki satu teman yang haidnya telah terbukti, maka jatuh satu talak atas setiap dari mereka, dan tidak jatuh talak atas istri yang dibenarkan (haidnya), karena ia tidak memiliki teman yang haidnya terbukti.

Jika suami membenarkan dua orang dari mereka, maka jatuh satu talak atas masing-masing dari keduanya, karena masing-masing memiliki satu teman yang haidnya telah terbukti, dan jatuh dua talak atas masing-masing dari dua yang didustakan, karena masing-masing memiliki dua teman yang haidnya telah terbukti.

Jika suami membenarkan tiga dari mereka, maka jatuh dua talak atas masing-masing dari ketiganya, karena masing-masing memiliki dua teman yang haidnya telah terbukti, dan jatuh tiga talak atas yang satu yang didustakan, karena ia memiliki tiga teman yang haidnya telah terbukti.

فصل: وإن قال لامرأته إن لم تكوني حاملاً فأنت طالق لم يجز وطؤها قبل الاستبراء لأن الأصل عدم الحمل ووقوع الطلاق فإن لم يكن بها حمل طلقت وإن وضعت حملاً لأقل من ستة أشهر من وقت عقد الطلاق لم تطلق لأنا تيقنا من أنها كانت حاملا عند العقد وإن وضعته لأكثر من أربع سنين طلقت طلقة لأنا تيقنا أنها لم تكن حاملاً عند العقد وإن وضعته لما بين ستة أشهر وأربع سنين نظرت فإن لم يطأها الزوج في هذه المدة لم يقع الطلاق لأنا حكمنا بأنها كانت حاملا عند العقد

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Jika engkau tidak sedang hamil, maka engkau tertalak,” maka tidak boleh digaulinya sebelum istibra’ (memastikan bebas dari kehamilan), karena asalnya adalah tidak hamil dan talak pun terjadi. Jika ternyata tidak ada kandungan padanya, maka ia tertalak.

Jika ia melahirkan anak dengan usia kandungan kurang dari enam bulan sejak waktu akad talak, maka talak tidak terjadi, karena kita yakin bahwa ia telah hamil saat akad.

Jika ia melahirkan anak setelah lebih dari empat tahun, maka jatuh satu talak, karena kita yakin bahwa ia tidak sedang hamil saat akad.

Jika ia melahirkan dalam rentang antara enam bulan hingga empat tahun, maka dilihat: jika suami tidak menggaulinya dalam rentang waktu tersebut, maka talak tidak terjadi, karena kita menetapkan bahwa ia telah hamil saat akad.

وإن كان وطئها نظرت فإن وضعته لأقل من ستة أشهر من وقت العقد لم يقع الطلاق لأنا حكمنا أنها كانت حاملاً وقت العقد وإن وضعته لأكثر من ستة أشهر من وقت العقد والوطء جميعا ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنها تطلق لأنه يجوز أن يكون قبل الوطء ويجوز أن يكون حدث من الوطء والظاهر أنه حدث من الوطء لأن الأصل فيما قبل الوطء العدم والثاني: وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة أنها لم تطلق لأنه يحتمل أن يكون موجودا عند العقد ويحتمل أن يكون حادثا من الوطء بعده والأصل بقاء النكاح وإن قال لها إن كنت حاملاً فأنت طالق فهل يحرم وطؤها قبل الاستبراء فيه وجهان: أحدهما: لا يحرم لأن الأصل عدم الحمل وثبوت الإباحة

Dan jika suami telah menggaulinya, maka dilihat: jika ia melahirkan anak dengan usia kandungan kurang dari enam bulan sejak waktu akad, maka talak tidak terjadi, karena kita menetapkan bahwa ia telah hamil saat akad.

Jika ia melahirkan anak lebih dari enam bulan sejak waktu akad dan juga sejak waktu jima‘, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq: ia tertalak, karena bisa jadi kandungan itu terjadi sebelum jima‘ dan bisa jadi setelahnya, dan yang tampak adalah ia terjadi setelah jima‘, karena asal dari sebelum jima‘ adalah tidak ada (hamil).

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali Ibn Abī Hurairah: ia tidak tertalak, karena masih mungkin kandungan itu sudah ada saat akad, dan mungkin pula baru terjadi setelah jima‘, dan asalnya adalah keberlangsungan pernikahan.

Dan jika suami berkata kepadanya, “Jika engkau hamil maka engkau tertalak,” maka apakah haram menggaulinya sebelum istibra’? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: tidak haram, karena asalnya adalah tidak hamil dan kehalalan tetap berlaku.

والثاني: يحرم لأنه يجوز أن تكون حاملاً فيحرم وطؤها ويجوز أن لا تكون حاملاً فيحل وطؤها فغلب التحريم فإن استبرأها ولم يظهر الحمل فهي على الزوجية وإن ظهر الحمل نظر فإن وضعت لأقل من ستة أشهر من وقت عقد الطلاق حكم بوقوع الطلاق لأنا تيقنا أنها كانت حاملاً وقت العقد وإن وضعته لأكثر من أربع سنين من وقت العقد لم تطلق لأنا علمنا أنها لم تكن حاملا وإن وضعته لأكثر من ستة أشهر ودون أربع سنين نظرت فإن كان الزوج لم يطأها طلقت لأنا حكمنا أنها كانت حاملاً وقت العقد وإن وطئها نظرت فإن وضعته لدون ستة أشهر من وقت الوطء وقع الطلاق لأنا حكمنا أنها كانت حاملا وقت العقد وإن وطئها نظرت فإن وضعته لدون ستة أشهر من وقت الوطء وقع الطلاق لأنا حكمنا أنها كانت حاملاً وقت العقد

Dan pendapat kedua: haram menggaulinya, karena bisa jadi ia sedang hamil sehingga haram digauli, dan bisa jadi ia tidak hamil sehingga halal digauli, maka sisi keharaman diunggulkan.

Jika suami melakukan istibra’ dan tidak tampak tanda-tanda kehamilan, maka ia tetap dalam status sebagai istri. Namun jika tampak kehamilan, maka diperhatikan:

Jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak waktu akad talak, maka dihukumi jatuh talak, karena kita yakin bahwa ia telah hamil saat akad.

Jika ia melahirkan lebih dari empat tahun sejak waktu akad, maka talak tidak terjadi, karena kita mengetahui bahwa ia tidak sedang hamil saat akad.

Jika ia melahirkan anak dalam rentang lebih dari enam bulan namun kurang dari empat tahun sejak akad, maka diperhatikan:

Jika suami belum menggaulinya, maka jatuh talak, karena kita menetapkan bahwa ia telah hamil saat akad.

Dan jika suami telah menggaulinya, maka diperhatikan:

Jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak waktu jima‘, maka jatuh talak, karena kita menetapkan bahwa ia telah hamil saat akad.

وإن وضعته بعد ستة أشهر من بعد وطئه لم يقع الطلاق وجهاً واحداً لأنه يجوز أن يكون موجودا وقت العقد ويجوز أن يكون حدث بعده فلا يجوز أن يوقع الطلاق بالشك واختلف أصحابنا في صفة الاستبراء ووقته وقدره وذكر الشيخ أبو حامد الاسفرايني رحمه الله في الاستبراء في المسألتين ثلاثة أوجه: أحدها ثلاثة أقراء وهي أطهار لأنه استبراء حرة فكان بثلاثة أطهار

Dan jika ia melahirkannya setelah enam bulan dari setelah digaulinya, maka talak tidak terjadi menurut satu pendapat saja, karena bisa jadi janin itu sudah ada saat akad dan bisa jadi terjadi setelahnya, maka tidak boleh menjatuhkan talak karena keraguan. Para sahabat kami berselisih pendapat tentang sifat istibrā’, waktunya, dan ukurannya. Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī rahimahullāh menyebutkan dalam masalah istibrā’ pada dua persoalan ini tiga wajah: pertama, tiga qur’, yaitu tiga masa suci, karena ini adalah istibrā’ terhadap perempuan merdeka maka dilakukan dengan tiga masa suci.

والثاني: بطهر لأن القصد براءة الرحم فلا يزاد على قرء واستبراء الحرة لا يجوز إلا بالطهر فوجب أن يكون طهرا والثالث أنه بحيضه لأن القصد من هذا الاستبراء معرفة براءة الرحم والذي يعرف به براءة الرحم الحيض وهل يعتد بالاستبراء قبل عقد الطلاق ففيه وجهان: أحدهما: لا يعتد لأن الاستبراء لا يجوز أن يتقدم على سببه والثاني: يعتد به لأن القصد معرفة براءة الرحم وذلك يحصل وإن تقدم ومن أصحابنا من قال في المسألة الثانية: الاستبراء على ما ذكرناه لأن الاستبراء لاستباحة الوطء فأما في المسألة الأولى فلا يجوز الاستبراء بدون ثلاثة أطهار ولا يعتد بما وجد منه قبل الطلاق لأنه استبراء حرة للطلاق فلا يجوز بما دون ثلاثة أطهار ولا بما تقدم على الطلاق كالاستبراء في سائر المطلقات.

Dan yang kedua: dengan satu masa suci, karena maksud dari istibrā’ adalah memastikan kosongnya rahim, maka tidak perlu ditambah dari satu qur’, dan istibrā’ terhadap perempuan merdeka tidak sah kecuali dengan masa suci, maka wajib satu masa suci.
Dan yang ketiga: dengan haid, karena maksud dari istibrā’ ini adalah mengetahui kekosongan rahim, dan yang dapat diketahui dengannya kekosongan rahim adalah haid.

Apakah istibrā’ yang dilakukan sebelum akad talak dihitung? Dalam hal ini ada dua wajah:
Pertama: tidak dihitung, karena istibrā’ tidak boleh mendahului sebabnya.
Kedua: dihitung, karena maksudnya adalah mengetahui kekosongan rahim, dan hal itu dapat tercapai meskipun dilakukan sebelumnya.

Dan sebagian sahabat kami berkata pada masalah kedua: istibrā’ sebagaimana yang telah kami sebutkan, karena istibrā’ itu untuk kebolehan melakukan jima‘.
Adapun pada masalah pertama, maka tidak boleh istibrā’ kurang dari tiga masa suci, dan tidak dihitung apa yang terjadi sebelum talak, karena ini adalah istibrā’ perempuan merdeka untuk keperluan talak, maka tidak sah kecuali dengan tiga masa suci, dan tidak sah pula jika dilakukan sebelum talak, sebagaimana istibrā’ pada seluruh wanita yang ditalak.

فصل: إذا قال لامرأته إن ولدت ولداً فأنت طالق فولدت ولداً طلقت حياً كان أو ميتاً لأن اسم الولد يقع على الجميع فإن ولدت آخر لم تطلق لأن اللفظ لا يقتضي التكرار وإن قال كلما ولدت ولداً فأنت طالق فولدت ولدين من حمل واحداً بعد واحد طلقت بالأول ولم تطلق بالثاني وإن ولدت ثلاثة أولاد واحداً بعد واحد طلقت بالأول طلقة وبالثاني طلقة ولا يقع بالثالث شيء وحكى أبوعلي بن خيران عن الإملاء قولاً آخر أنه يقع بالثالث طلقة أخرى والصحيح هو الأول لأن العدة انقضت بالولد الأخير فوجدت الصفة وهي بائن فلم يقع بها طلاق كما لو قال إذا مت فأنت طالق وإن ولدت ثلاثة دفعة واحدة طلقت ثلاثاً لأن صفة الثلاث قد وجدت وهي زوجة فوقع كما لو قال إن كلمت زيدا فأنت طالق وإن كلمت عمرا فأنت طالق وإن كلمت بكرا فأنت طالق فلمتهم دفعة واحدة طلقت ثلاثا

PASAL: Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Jika engkau melahirkan anak laki-laki, maka engkau tertalak,” lalu istrinya melahirkan anak laki-laki, maka ia tertalak—baik anak itu hidup maupun mati—karena nama walad mencakup semuanya. Jika ia melahirkan anak yang lain, maka tidak tertalak, karena lafaz tersebut tidak menunjukkan pengulangan.

Jika ia berkata, “Setiap kali engkau melahirkan anak laki-laki, maka engkau tertalak,” lalu istrinya melahirkan dua anak dari satu kehamilan, satu demi satu, maka ia tertalak dengan kelahiran yang pertama, dan tidak tertalak dengan kelahiran yang kedua. Jika ia melahirkan tiga anak satu demi satu, maka ia tertalak dengan yang pertama satu talak, dengan yang kedua satu talak, dan tidak jatuh apa pun dengan yang ketiga.

Abu ‘Ali bin Khayyār meriwayatkan dari al-Imlā’ pendapat lain bahwa dengan yang ketiga pun jatuh satu talak. Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama, karena masa ‘iddah telah selesai dengan anak terakhir, maka ketika syarat (melahirkan) terjadi, ia dalam keadaan bā’in, sehingga tidak jatuh talak, sebagaimana jika ia berkata, “Jika aku mati maka engkau tertalak.”

Jika ia melahirkan tiga anak sekaligus, maka jatuh tiga talak, karena sifat tiga itu telah terwujud dan ia masih dalam status sebagai istri, maka jatuh talak sebagaimana jika ia berkata, “Jika engkau berbicara dengan Zayd maka engkau tertalak, dan jika engkau berbicara dengan ‘Amr maka engkau tertalak, dan jika engkau berbicara dengan Bakr maka engkau tertalak,” lalu ia berbicara dengan ketiganya sekaligus, maka ia tertalak tiga talak.

وإن قال إن ولدت ذكراً فأنت طالق طلقة واحدة وإن قال إن ولدت أنثى فأنت طالق طللقتين فوضعت ذكرا وأنثى دفعة واحدة طلقت ثلاثا وإن وضعت أحدهما: بعد الآخر وقع بالأول ما علق عليه ولم يقع بالثاني شيء لبينونتها بانقضاء العدة وهذا ظاهر وإن لم تعلم كيف وضعتهما طلقت طلقة لأنها يقين والورع أن يلتزم الثلاث وإن قال يا حفصة إن كان أول ما تلدين ذكرا فعمرة طالق وإن كان أنثى فأنت طالق فولدت ذكرا وأنثى دفعة واحدة لم تطلق واحدة منهما لأنه ليس فيهما أول وإن قال إن كان في بطنك ذكر فأنت طالق طلقة وإن كان في بطنك أنثى فأنت طالق طلقتين فوضعت ذكرا وأنثى طلقت ثلاثا لاجتماع الصفتين وإن قال إن كان حملك أو ما في بطنك ذكرا فأنت طالق فوضعت ذكرا وأنثى لم تطلق لأن الصفة أن يكون جميع ما في البطن ذكرا ولم يوجد ذلك.

Dan jika ia berkata, “Jika engkau melahirkan anak laki-laki maka engkau tertalak satu talak, dan jika engkau melahirkan anak perempuan maka engkau tertalak dua talak,” lalu ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan sekaligus, maka ia tertalak tiga talak. Namun jika ia melahirkan keduanya satu demi satu, maka jatuh talak atas yang pertama sesuai yang digantungkan padanya, dan tidak jatuh apa pun atas yang kedua karena ia telah bain dengan habisnya masa ‘iddah—dan ini adalah hal yang jelas.

Dan jika tidak diketahui bagaimana urutan kelahiran keduanya, maka jatuh satu talak karena itu yang diyakini, sedangkan sikap wara‘ adalah berkomitmen dengan tiga talak.

Jika ia berkata, “Wahai Ḥafṣah, jika yang pertama engkau lahirkan adalah anak laki-laki, maka ‘Amrah tertalak. Dan jika anak perempuan, maka engkau tertalak,” lalu ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan sekaligus, maka tidak ada satu pun dari keduanya yang tertalak, karena tidak ada yang menjadi “yang pertama” dari keduanya.

Dan jika ia berkata, “Jika dalam kandunganmu ada anak laki-laki maka engkau tertalak satu talak, dan jika dalam kandunganmu anak perempuan maka engkau tertalak dua talak,” lalu ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan, maka ia tertalak tiga talak karena terpenuhinya kedua sifat yang digantungkan.

Dan jika ia berkata, “Jika kandunganmu atau apa yang ada dalam perutmu adalah anak laki-laki maka engkau tertalak,” lalu ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan, maka tidak tertalak, karena syaratnya adalah seluruh yang ada dalam kandungan adalah anak laki-laki, dan hal itu tidak terwujud.

فصل: وإذا قال للمدخول بها إذا طلقتك فأنت طالق ثم قال لها أنت طالق وقعت طلقتان: إحداهما بقوله أنت طالق والأخرى بوجود الصفة وإن قال لم أرد بقولي إذا طلقتك فأنت طالق عقد الطلاق بالصفة وإنما أردت أني إذا طلقتك تطلقين بما أوقع علىك من الطلاق لم يقبل قوله في الحكم لأن الظاهر أنه عقد طلاقاً على صفة ويدين فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه يحتمل ما يدعيه وإن قال إن طلقتك فأنت طالق ثم قال لها إن دخلت الدار فأنت طالق فدخلت الدار وقعت طلقتان إحداهما بدخول الدار والأخرى بوجود الصفة لأن الصفة أن يطلقها وإن علق طلاقها بدخول الدار فدخلت فقد طلقها

PASAL: Jika seorang laki-laki berkata kepada istri yang sudah digauli, “Jika aku menceraikanmu maka engkau tertalak,” lalu ia berkata kepadanya, “Engkau tertalak,” maka jatuh dua talak: satu dengan ucapannya “Engkau tertalak” dan satu lagi karena terpenuhi syarat.

Jika ia berkata, “Aku tidak bermaksud dengan ucapanku ‘Jika aku menceraikanmu maka engkau tertalak’ untuk menjadikan talak itu bersyarat, tetapi maksudku adalah bahwa jika aku menceraikanmu, maka engkau tertalak dengan talak yang aku jatuhkan padamu,” maka tidak diterima ucapannya dalam hukum, karena yang tampak adalah bahwa ia menggantungkan talak dengan suatu sifat. Namun ia didīn antara dirinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla karena perkataannya masih memungkinkan sesuai yang ia klaim.

Jika ia berkata, “Jika aku menceraikanmu maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata, “Jika engkau masuk ke dalam rumah maka engkau tertalak,” lalu sang istri masuk rumah, maka jatuh dua talak: satu karena masuk rumah dan satu lagi karena terpenuhi syarat—karena syaratnya adalah jika ia menceraikan, dan ia memang telah menceraikannya dengan menggantungkan talak pada masuk rumah, maka ketika ia masuk rumah, berarti ia telah menceraikannya.

وإن قال لها مبتدئاً إن دخلت الدار فأنت طالق ثم قال إذا طلقتك فأنت طالق فدخلت الدار وقعت طلقة بدخول الدار ولا تطلق بقوله إذا طلقتك فأنت طالق لأن هذا يقتضي ابتداء إيقاع ما بعد عقد الصفة وما وقع بدخول الدار ليس بابتداء إيقاع بعد عقد الصفة وإنما هو وقوع بالصفة السابقة لعقد الطلاق فإن قال إن طلقك فأنت طالق ثم وكل من يطلقها فطلقها وقعت الطلقة التي أوقعها الوكيل ولا يقع ما عقده على الصفة لأن الصفة أن يطلقها بنفسه

Dan jika ia berkata kepadanya dengan memulai, “Jika engkau masuk rumah maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata, “Jika aku menalakmu maka engkau tertalak,” lalu ia masuk rumah, maka jatuh talak karena masuk rumah dan tidak jatuh karena ucapannya “Jika aku menalakmu maka engkau tertalak,” karena ucapan ini menunjukkan awal pelaksanaan setelah pengaitan dengan sifat, sedangkan yang terjadi karena masuk rumah bukanlah pelaksanaan yang diawali setelah pengaitan dengan sifat, melainkan pelaksanaan karena sifat yang telah ada sebelum akad talak.

Jika ia berkata, “Jika aku menalakmu maka engkau tertalak,” lalu ia mewakilkan kepada seseorang untuk menalaknya, kemudian wakil itu menalaknya, maka jatuh talak yang dijatuhkan oleh wakil, dan tidak jatuh talak yang dikaitkan dengan sifat, karena sifatnya adalah ia menalaknya sendiri.

وإن قال إذا أوقعت إليك الطلاق فأنت طالق ثم قال لها إن دخلت الدار فأنت طالق فدخلت فقد قال بعض أصحابنا أنها تطلق صفة بدخول الدار ولا تطلق بقوله إذا أوقعت عليك لأن قوله إذا أوقعت عليك يقتضي طلاقاً يباشر إيقاعه وما يقع بدخول الدار يقع حكماً قال الشيخ الإمام: وعندي أنه يقع طلقتان إحداهما بدخول الدار والأخرى بالصفة كما قلنا فيمن قال إذا طلقتك فأنت طالق ثم قال إذا دخلت الدار فأنت طالق فدخلت الدار وإن قال كلما طلقتك فأنت طالق ثم قال لها أنت طالق طلقت طلقتين إحداهما بقوله أنت طالق والأخرى بوجود الصفة ولا تقع الثالثة بوقوع الثانية لأن الصفة إيقاع الطلاق والصفة لم تتكرر فلم يتكرر الطلاق.

Dan jika ia berkata, “Jika aku menjatuhkan talak kepadamu maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata kepadanya, “Jika engkau masuk rumah maka engkau tertalak,” lalu ia masuk rumah, maka sebagian dari para sahabat kami mengatakan bahwa ia tertalak karena sifat (yang dikaitkan) dengan masuk rumah, dan tidak tertalak karena ucapannya “Jika aku menjatuhkan talak kepadamu,” karena ucapan “Jika aku menjatuhkan talak kepadamu” mengharuskan talak yang ia langsungkan, sedangkan yang terjadi karena masuk rumah adalah talak secara hukum.

Berkata al-Syaikh al-Imām: menurutku, jatuh dua talak: salah satunya karena masuk rumah, dan yang lainnya karena sifat, sebagaimana yang telah kami katakan pada orang yang berkata, “Jika aku menalakmu maka engkau tertalak,” kemudian ia berkata, “Jika engkau masuk rumah maka engkau tertalak,” lalu ia masuk rumah.

Dan jika ia berkata, “Setiap kali aku menalakmu maka engkau tertalak,” lalu ia berkata kepadanya, “Engkau tertalak,” maka jatuh dua talak: salah satunya karena ucapannya, “Engkau tertalak,” dan yang lainnya karena adanya sifat. Dan tidak jatuh talak ketiga dengan terjadinya talak kedua, karena sifatnya adalah pelaksanaan talak, dan sifat itu tidak berulang, maka talak pun tidak berulang.

فصل: وإن قال إذا وقع عليك طلاقي فأنت طالق ثم قال لها أنت طالق وقعت طلقتان طلقة بقوله أنت طالق وطلقة بوجود الصفة وإن قال لها بعد هذا العقد أو قبله إن دخلت الدار فأنت طالق فدخلت الدار طلقت طلقتين طلقة بدخول الدار وطلقة بوجود الصفة وإن كان وكيلاً بعد هذا العقد في طلاقها فطلقها ففيه وجهان: أحدهما: يقع ما أوقعه الوكيل ولا يقع ما علقه بالصفة كما قلنا فيمن قال إذا طلقتك فأنت طالق ثم وكل من يطلق والثاني: أنه يقع طلقتان طلقة بإيقاع الوكيل وطلقة بالصفة لأن الصفة وقوع طلاق الزوج وما وقع بإيقاع الوكيل هو طلاق الزوج

PASAL: Jika ia berkata, “Jika talakku jatuh padamu maka engkau tertalak,” lalu ia berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak,” maka jatuh dua talak: satu talak dengan ucapannya “engkau tertalak”, dan satu talak dengan terjadinya sifat. Dan jika ia berkata kepadanya, baik setelah akad ini atau sebelumnya, “Jika engkau masuk rumah maka engkau tertalak,” lalu istrinya masuk rumah, maka jatuh dua talak: satu talak karena masuknya ke rumah dan satu talak karena terjadinya sifat. Dan jika ia mewakilkan (orang lain) setelah akad ini untuk mentalaknya, lalu sang wakil mentalaknya, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama, yang jatuh adalah talak yang dijatuhkan oleh wakil dan tidak jatuh talak yang digantungkan dengan sifat, sebagaimana pendapat dalam kasus orang yang berkata, “Jika aku mentalakmu maka engkau tertalak,” lalu ia mewakilkan orang lain untuk mentalak; dan pendapat kedua, bahwa jatuh dua talak: satu talak dengan pelaksanaan talak oleh wakil dan satu talak karena sifat, karena sifat tersebut adalah terjadinya talak dari suami, dan yang dijatuhkan oleh wakil termasuk talak dari suami.

وإن قال إذا طلقتك فأنت طالق وإذا وقع عليك طلاقي فأنت طالق ثم قال لها أنت طالق وقع الثلاث طلقة بقوله أنت طالق وطلقتان بالصفتين وإن قال كلما وقع عليك طلاقي فأنت طالق ثم أوقع عليها طلقة بالمباشرة أو نصفه عقدها قبل هذا العقد أو بعده طلقت ثلاثاً واحدة بعد واحدة لأن بالطلقة الأولى توجد صفة الطلقة الثانية وبالثانية توجد صفة الطلقة الثالثة.

Dan jika ia berkata, “Jika aku mentalakmu maka engkau tertalak,” dan “Jika talakku jatuh padamu maka engkau tertalak,” lalu ia berkata kepadanya, “Engkau tertalak,” maka jatuh tiga talak: satu talak dengan ucapannya “engkau tertalak” dan dua talak karena dua sifat tersebut. Dan jika ia berkata, “Setiap kali talakku jatuh padamu maka engkau tertalak,” lalu ia menjatuhkan satu talak secara langsung atau talak tersebut terikat dengan akad yang sebelum atau sesudah akad ini, maka istrinya tertalak tiga kali, satu demi satu, karena dengan talak pertama terjadilah sifat bagi talak kedua, dan dengan talak kedua terjadilah sifat bagi talak ketiga.

فصل: وإن قال لغير المدخول بها إذا طلقتك فأنت طالق أو إذا وقع عليك طلاقي فأنت طالق أو كلما وقع عليك طلاقي فأنت طالق فوقعت عليها طلقة بالمباشرة أو بالصفة لم يقع غيرها لأنها تبين بها فلم يلحقها ما بعدها.

PASAL: Dan jika ia berkata kepada perempuan yang belum digauli, “Jika aku menalakmu maka engkau tertalak,” atau “Jika talakku jatuh padamu maka engkau tertalak,” atau “Setiap kali talakku jatuh padamu maka engkau tertalak,” lalu jatuh talak padanya baik dengan langsung maupun dengan sifat, maka tidak jatuh talak selainnya, karena ia telah menjadi bā’in dengan talak tersebut, maka tidak menyusul talak setelahnya.

فصل: وإن قال متى لم أطلقك أو إي وقت لم أطلقك فأنت طالق فهو على الفور فإذا مضى زمان يمكنه أن يطلق فيه وقع الطلاق وإن قال لم أطلقك فأنت طالق فالمنصوص أنه على التراخي ولا يقع به الطلاق إلا عند فوات الطلاق وهو عند موت أحدهما: وإن قال إذا لم أطلقك فأنت طالق فالمنصوص أنه على الفور فإذا مضى زمان يمكنه أن يطلق فلم يطلق وقع الطلاق فمن أصحابنا من نقل جواب كل واحدة منهما إلى الأخرى فجعلهما على قولين ومنهم من حملهما على ظاهرهما فجعل قوله إن لم أطلقك على التراخي وجعل قوله إذا لم أطلقك على الفور وهو الصحيح

PASAL: Jika ia berkata, “Kapan saja aku tidak mentalakmu” atau “Pada waktu apa pun aku tidak mentalakmu maka engkau tertalak,” maka itu berlaku langsung (al-faur); jika telah berlalu waktu yang memungkinkan baginya untuk mentalak namun ia tidak melakukannya, maka jatuh talak. Dan jika ia berkata, “Aku tidak mentalakmu, maka engkau tertalak,” maka pendapat yang masyhur adalah bahwa itu berlaku tidak langsung (at-tarākhī) dan talak tidak jatuh kecuali saat hilangnya kemungkinan untuk mentalak, yaitu ketika salah satu dari keduanya meninggal. Dan jika ia berkata, “Jika aku tidak mentalakmu maka engkau tertalak,” maka pendapat yang masyhur adalah bahwa itu berlaku langsung, sehingga apabila berlalu waktu yang memungkinkan baginya untuk mentalak namun ia tidak melakukannya, maka jatuh talak. Di antara para ashḥāb kami ada yang menukar jawaban masing-masing bentuk ini kepada yang lain dan menjadikannya dua pendapat. Dan ada juga yang memaknainya sesuai lahiriah lafaz, yaitu menjadikan ucapan “jika aku tidak mentalakmu” berlaku langsung, dan menjadikan ucapan “aku tidak mentalakmu” berlaku tidak langsung, dan inilah yang ṣaḥīḥ.

لأن قوله إذا اسم لزمان مستقبل ومعناه أي وقت ولهذا يجاب به عن السؤال عن الوقت فيقال متى ألقاك فتقول إذا شئت كما تقول أي وقت شئت فكان على الفور كما لو قال أي وقت لم أطلقك فأنت طالق وليس كذلك إن فإنه لا يستعمل في الزمان ولهذا لا يجوز أن يقال متى ألقاك فتقول إن شئت وإنما يستعمل في الفعل ويجاب بها عن السؤال عن الفعل فيقال هل ألقاك فتقول إن شئت فيصير معناه إن فاتني أن أطلقك فأنت طالق والفوات يكون في آخر العمر وإن قال لها كلما لم أطلقك فأنت طالق فمضى ثلاثة أوقات لم تطلق فيها وقع عليها ثلاث طلقات واحدة بعد واحدة لأن معناه كلما سكت عن طلاقك فأنت طالق وقد سكت ثلاث سكتات.

Karena lafaz idhā adalah nama untuk waktu yang akan datang, dan maknanya adalah “pada waktu apa pun”. Oleh karena itu digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang waktu, seperti ketika ditanya: “Kapan aku akan menemuimu?” maka dijawab: “Idzā engkau kehendaki,” sebagaimana dikatakan: “*Ayyu waqtin syi’ta (pada waktu apa pun yang engkau kehendaki),” maka hukumnya faur (langsung), sebagaimana jika ia berkata, “Pada waktu apa pun aku tidak mentalakmu maka engkau tertalak.”

Tidak demikian halnya dengan lafaz in, karena in tidak digunakan untuk menyatakan waktu. Oleh karena itu tidak boleh dikatakan, “Kapan aku akan menemuimu?” lalu dijawab: “In engkau kehendaki.” Lafaz ini digunakan untuk menyatakan perbuatan dan untuk menjawab pertanyaan tentang perbuatan, seperti dalam pertanyaan: “Apakah aku akan menemuimu?” maka dijawab: “In engkau kehendaki,” sehingga maknanya menjadi: “Jika aku luput dari mentalakmu, maka engkau tertalak.” Dan luput (al-fawāt) itu terjadi pada akhir umur.

Dan jika ia berkata kepada istrinya, “Setiap kali aku tidak mentalakmu maka engkau tertalak,” lalu berlalu tiga waktu tanpa ia mentalaknya, maka jatuh tiga talak, satu demi satu, karena maknanya adalah: “Setiap kali aku diam dari mentalakmu maka engkau tertalak,” dan ia telah diam sebanyak tiga kali.

فصل: وإن قال إن حلفت بطلاقك فأنت طالق ثم قال لها إن خرجت أو إن لم تخرجي أو إن لم يكن هذا كما قلت فأنت طالق طلقت لأنه حلف بطلاقها وإن قال إن طلعت الشمس أو إن جاء الحاج فأنت طالق لم يقع الطلاق حتى تطلع الشمس أو يجيء الحاج لأن اليمين ما قصد بها المنع من فعل أو الحث على فعل أو التصديق على فعل وليس في طلوع الشمس ومجيء الحاج منع ولا حث ولا تصديق وإنما هو صفة للطلاق فإذا وجدت وقع الطلاق بوجود الصفة وإن قال لها إذا حلفت بطلاقك فأنت طالق ثم أعاد هذا القول وقعت طلقة لأنه حلف بطلاقها

PASAL: Jika ia berkata, “Jika aku bersumpah dengan talakmu maka engkau tertalak,” lalu ia berkata lagi kepadanya, “Jika engkau keluar,” atau “Jika engkau tidak keluar,” atau “Jika hal ini tidak seperti yang aku katakan maka engkau tertalak,” maka jatuh talak, karena ia telah bersumpah dengan talaknya. Dan jika ia berkata, “Jika matahari terbit,” atau “Jika jamaah haji datang maka engkau tertalak,” maka talak tidak jatuh hingga matahari terbit atau jamaah haji datang. Karena sumpah itu maksudnya adalah untuk mencegah suatu perbuatan, atau mendorong suatu perbuatan, atau membenarkan suatu perbuatan. Dan pada terbitnya matahari serta kedatangan jamaah haji tidak terdapat unsur pencegahan, dorongan, atau pembenaran. Maka itu hanyalah sifat bagi talak; jika sifat tersebut terjadi, maka talak jatuh karena terpenuhi sifatnya. Dan jika ia berkata kepadanya, “Jika aku bersumpah dengan talakmu maka engkau tertalak,” lalu ia mengulangi perkataan tersebut, maka jatuh satu talak karena ia telah bersumpah dengan talaknya.

فإن أعاد ثالثاً وقعت طلقة ثانية وإن أعاد رابعاً وقعت طلقة ثالثة لأن كل مرة توجد صفة طلاق وتنعقد صفة أخرى وإن أعادها خامساً لم يقع طلاق لأنه لم يبق له طلاق ولا ينعقد به يمين في طلاق غيرها لأن اليمين بطلاق من لا يملكها لا ينعقد وإن كانت له امرأتان إحداهما مدخول بها والأخرى غير مدخول بها فقال إن حلفت بطلاقكما فأنتما طالقان ثم أعاد هذا القول طلقت المدخول بها طلقة رجعية وتطلق غير المدخول بها طلقة بائنة فإن أعاد لم تطلق واحدة منهما لأن غير المدخول بها بائن والمدخول بها لا يوجد شرط طلاقها لأن شرط طلاقها أن يحلف بطلاقهما ولم يحلف بطلاقهما لأن غير المدخول بها لا يصح الحلف بطلاقها.

Jika ia mengulanginya untuk ketiga kalinya, maka jatuh talak kedua. Jika mengulanginya keempat kali, maka jatuh talak ketiga. Karena setiap kali terjadi, terdapat sifat talak dan terbentuk sifat lain. Jika ia mengulanginya untuk kelima kali, tidak jatuh talak karena ia tidak memiliki sisa talak, dan tidak sah baginya untuk menjadikan hal itu sebagai sumpah talak untuk selainnya, sebab bersumpah dengan talak terhadap perempuan yang bukan miliknya tidak sah.

Jika ia memiliki dua istri, salah satunya telah digauli dan yang lainnya belum digauli, lalu ia berkata, “Jika aku bersumpah dengan talak kalian berdua maka kalian tertalak,” kemudian ia mengulangi ucapan ini, maka istri yang telah digauli tertalak satu talak raj‘i, dan istri yang belum digauli tertalak satu talak bā’in. Jika ia mengulangi lagi, maka tidak tertalak salah satu dari keduanya, karena yang belum digauli telah bā’in, dan yang telah digauli tidak terpenuhi syarat talaknya, sebab syarat talaknya adalah ia bersumpah dengan talak keduanya, dan ia tidak bersumpah dengan talak keduanya karena talak atas yang belum digauli tidak sah untuk dijadikan sumpah.

فصل: وإذا كان له أربعة نسوة وعبيد فقال: كلما طلقت امرأة من نسائي فعبد من عبيدي حر وكلما طلقت امرأتين فعبدان حران وكلما طلقت ثلاثا فثلاثة أعبد أحرار وكلما طلقت أربعاً فأربعة أعبد أحرار ثم طلقهن فالمذهب أنه يعتق خمسة عشر عبداً لأن بطلاق الأولى يعتق عبد بوجود صفة الواحدة وبطلاق الثانية يعتق ثلاثة أعبد لأنه اجتمع صفتان طلاق الواحدة وطلاق اثنتين وبطلاق الثالثة يعتق أربعة أعبد لأنه اجتمع صفتان طلاق الواحدة وطلاق الثلاث وبطلاق الرابعة يعتق سبعة أعبد لأنه اجتمع ثلاث صفات طلاق الواحدة وطلاق اثنتين وطلاق أربع

PASAL: Jika seseorang memiliki empat istri dan beberapa budak, lalu ia berkata: “Setiap kali aku menceraikan seorang wanita dari istri-istriku maka seorang budak dari budak-budakku merdeka, dan setiap kali aku menceraikan dua wanita maka dua budak merdeka, dan setiap kali aku menceraikan tiga maka tiga budak merdeka, dan setiap kali aku menceraikan empat maka empat budak merdeka,” kemudian ia menceraikan mereka, maka menurut mazhab yang sahih merdekalah lima belas budak. Karena dengan menceraikan istri pertama merdeka satu budak karena adanya sifat menceraikan satu. Dengan menceraikan istri kedua, merdeka tiga budak karena berkumpul dua sifat: menceraikan satu dan menceraikan dua. Dengan menceraikan istri ketiga, merdeka empat budak karena berkumpul dua sifat: menceraikan satu dan menceraikan tiga. Dan dengan menceraikan istri keempat, merdeka tujuh budak karena berkumpul tiga sifat: menceraikan satu, menceraikan dua, dan menceraikan empat.

ومن أصحابنا من قال يعتق سبعة عشر عبداً لأن في طلاق الثالثة ثلاث صفات طلاق واحدة وطلاق اثنتين بعد الواحدة وطلاق الثلاث ومنهم من قال يعتق عشرون عبداً فجعل في الثلاث ثلاث صفات وجعل في الأربع أربع صفات طلاق واحدة وطلاق اثنتين وطلاق ثلاث بعد الواحدة وطلاق أربع والجميع خطأ لأنهم عدوا الثانية مع ما قبلها من الاثنتين وعدوا الثالثة مع ما قبلها من الثلاث ثم عدوهما مع ما بعدهما من الاثنتين والثلاث وهذا لا يجوز لأن ما عد مرة في عدد لا يعد في ذلك العدد مرة أخرى والدليل عليه أنه لو قال كلما أكلت نصف رمانة فعبد من عبيدي حر ثم أكل رمانة عتق عبدان لأن الرمانة نصفان ثم لا يقال إنه يعتق ثلاثة

dan sebagian dari kalangan kami berkata: merdekalah tujuh belas budak, karena dalam talak yang ketiga terdapat tiga sifat: talak satu, talak dua setelah satu, dan talak tiga. Dan sebagian lagi berkata: merdekalah dua puluh budak, mereka menjadikan dalam talak ketiga terdapat tiga sifat, dan dalam talak keempat terdapat empat sifat: talak satu, talak dua, talak tiga setelah satu, dan talak empat. Dan semuanya keliru, karena mereka menghitung talak kedua bersama sebelumnya sebagai dua, dan menghitung talak ketiga bersama sebelumnya sebagai tiga, lalu menghitung keduanya kembali bersama sesudahnya sebagai dua dan tiga. Dan ini tidak boleh, karena sesuatu yang telah dihitung dalam suatu bilangan tidak boleh dihitung lagi dalam bilangan itu sendiri. Dalilnya adalah: jika ia berkata, “Setiap kali aku memakan setengah buah delima, maka seorang budak dari budak-budakku merdeka,” lalu ia memakan satu buah delima, maka merdekalah dua budak karena satu buah delima terdiri dari dua setengah, dan tidak dikatakan bahwa merdeka tiga budak.

لأنه إذا أكل نصف رمانة عتق عبد فإذا أكل الربع الثالث عتق عبد لأنه مع الربع الثاني نصف وإذا أكل الربع الرابع عتق عبد لأنه مع الربع الثالث نصف فكذلك ههنا وقال أبو الحسن بن القطان يعتق عشرة لأن الواحدة والاثنتين والثلاث والأربع عشر وهذا خطأ أيضاً لأن قوله كلما طلقت يقتضي التكرار وقد وجد طلاق الواحدة أربع مرات وطلاق المرأتين مرتين وطلاق الثلاث مرة وطلاق الأربع مرة فأسقط ابن القطان اعتبار ما يقتضيه اللفظ من التكرار في المرأة والمرأتين وهذا لا يجوز.

Karena apabila ia memakan setengah buah delima, maka seorang budak merdeka. Lalu jika ia memakan seperempat ketiga, maka seorang budak merdeka karena bersama seperempat kedua menjadi setengah. Dan jika ia memakan seperempat keempat, maka seorang budak merdeka karena bersama seperempat ketiga menjadi setengah. Maka demikian pula dalam kasus ini.

Dan Abul Hasan bin al-Qaṭṭān berkata: yang merdeka adalah sepuluh budak, karena satu, dua, tiga, dan empat jumlahnya sepuluh. Ini juga keliru, karena lafaz “setiap kali aku menceraikan…” mengandung makna pengulangan, dan talak satu terjadi sebanyak empat kali, talak dua sebanyak dua kali, talak tiga sekali, dan talak empat sekali. Maka Ibnu al-Qaṭṭān mengabaikan kandungan lafaz yang menunjukkan pengulangan pada talak satu dan talak dua, dan hal ini tidak boleh.

فصل: إذا كان له أربع نسوة فقال: أيتكن وقع عليها طلاقي فصواحبها طوالق ثم طلق واحدة منهن طلقن ثلاثاً ثلاثاً لأن طلاق الواحدة يوقع على كل واحدة منهن طلقة واحدة ووقوع هذه الطلقة على كل واحدة منهن يوقع الطلاق على صواحبها وهن ثلاث فطلقت كل واحد منهن ثلاثاً.

PASAL: Jika seseorang memiliki empat istri lalu berkata, “Siapa saja di antara kalian yang terkena talakku maka teman-temannya tertalak,” kemudian ia menalak salah satu dari mereka, maka masing-masing dari tiga lainnya tertalak tiga kali. Sebab, penjatuhan talak pada satu istri menjadikan masing-masing dari mereka tertalak satu kali, dan jatuhnya satu talak pada masing-masing dari mereka menjadikan teman-teman mereka (yang berjumlah tiga) tertalak, sehingga masing-masing dari mereka tertalak tiga kali.

فصل: وإن كان له امرأتان فقال لإحداهما أنت طالق طلقة بل هذه ثلاثاً وقع على الأول طلقة وعلى الثانية ثلاث لأنه إذا وقع على الأولى طلقة ثم أراد رفعها فلم يرتفع وأوقع على الثانية ثلاثا فوقعت وإن قال للمدخول بها أنت طالق واحدة لا بل ثلاثاً إن دخلت الدار فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو بكر بن الحداد المصري تطلق واحدة في الحال ويقع بدخول الدار إتمام الثلاث لأنه نجز واحدة فوقعت وعلق ثلاثاً على الشرط فوقع ما بقي منها عند وجود الشرط ومن أصحابنا من قال: يرجع الشرط إلى الجميع ولا تطلق حتى تدخل الدار لأن الشرط يغلب الإيقاعين فرجع إليهما.

PASAL: Jika seseorang memiliki dua istri lalu berkata kepada salah satunya, “Engkau tertalak satu,” kemudian ia berkata, “Tidak, yang ini malah tiga,” maka jatuh talak satu atas yang pertama, dan jatuh tiga talak atas yang kedua. Karena ketika talak satu telah jatuh atas yang pertama, lalu ia hendak membatalkannya namun tidak bisa, kemudian ia jatuhkan tiga atas yang kedua maka jatuhlah tiga.

Dan jika ia berkata kepada istri yang telah digauli, “Engkau tertalak satu, tidak, bahkan tiga jika engkau masuk ke dalam rumah,” maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya. Abu Bakar bin al-Ḥaddād al-Miṣrī berkata: jatuh satu talak seketika itu juga, dan sempurna tiga talak ketika ia masuk rumah. Karena ia menjatuhkan satu secara langsung maka jatuhlah, dan menggantungkan tiga atas suatu syarat maka sisanya jatuh ketika syarat itu terpenuhi.

Sebagian sahabat kami ada yang berkata: syarat itu kembali kepada seluruhnya, dan talak tidak jatuh hingga ia masuk ke dalam rumah. Karena syarat lebih kuat daripada kedua bentuk penjatuhan, maka syarat tersebut kembali kepada keduanya.

فصل: وإن قال لها أنت طالق إلى شهر ولم يكن له نية وقع الطلاق بعد الشهر لأن إلى تستعمل في انتهاء الفعل كقوله تعالى: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ} وتستعمل أيضاً في ابتداء الفعل كقولهم فلان خارج إلى شهر فلا يقع الطلاق في الحال مع الاحتمال كما لا يقع بالكنايات من غير نية.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak ilā syahrin (sampai sebulan),” dan ia tidak memiliki niat tertentu, maka talak jatuh setelah sebulan. Karena kata ilā digunakan untuk menunjukkan akhir perbuatan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “ṡumma atimmū al-ṣiyāma ilā al-lail” (kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam), dan juga digunakan untuk permulaan perbuatan, seperti ucapan mereka: “Fulan keluar ilā syahrin.” Maka tidak jatuh talak saat itu juga jika masih mengandung kemungkinan, sebagaimana tidak jatuh talak dengan lafaz kināyah tanpa disertai niat.

فصل: وإن قال أنت طالق في شهر رمضان طلقت برؤية الهلال أول الشهر وقال أبو ثور: لا تطلق إلا في آخر الشهر لتستوعب الصفة التي علق الطلاق عليها وهذا خطأ لأن الطلاق إذا علق على شيء وقع بأول جزء منه كما لو قال: إذا دخلت الدار فأنت طالق لأنها تطلق بالدخول إلى أول جزء من الدار فإن قال أردت في آخر الشهر دين فيه لأنه يحتمل ما يدعيه ولا يقبل في الحكم لأنه يؤخر الطلاق عن الوقت الذي يقتضيه وإن قال أنت طالق في أول الشهر وقع الطلاق في أول ليلة يرى فيها الهلال وإن قال أنت طالق في غرة الشهر طلقت في أوله فإن قال أردت اليوم الثاني أو الثالث دين لأن الثالث من أول الشهر تسمى غررا ولا يقبل في الحكم لأنه يؤخر الطلاق عن أول وقت يقتضيه

PASAL: Jika ia berkata, “Engkau tertalak pada bulan Ramadan,” maka ia tertalak saat melihat hilal di awal bulan. Abu Tsaur berkata: “Tidak tertalak kecuali di akhir bulan agar sifat yang digantungkan padanya talak itu mencakup keseluruhan bulan.” Ini adalah pendapat yang salah, karena talak jika digantungkan pada sesuatu, maka terjadi pada bagian awal darinya, sebagaimana jika ia berkata, “Jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak,” maka ia tertalak dengan masuknya ke bagian pertama dari rumah.

Jika ia berkata, “Aku maksudkan di akhir bulan,” maka dihukumi secara agama (yudān fīhi) karena kemungkinan yang ia dakwakan, namun tidak diterima dalam hukum karena ia mengakhirkan talak dari waktu yang dituntut oleh lafaznya.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak pada awal bulan,” maka talak jatuh pada malam pertama saat hilal terlihat.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak pada ghurrat bulan,” maka ia tertalak pada awalnya. Jika ia berkata, “Aku maksudkan hari kedua atau ketiga,” maka dihukumi secara agama karena hari ketiga dari awal bulan disebut juga ghurrat, namun tidak diterima dalam hukum karena itu mengakhirkan talak dari awal waktu yang dituntut.

وإن قال أنت طالق في آخر الشهر طلقت في آخر يوم منه تاماً كان الشهر أو ناقصا وإن قال أنت طالق في أول آخر رمضان ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي العباس أنها تطلق في أول ليلة السادس عشر لأن آخر الشهر هو النصف الثاني وأوله أول ليلة السادس عشر والثاني: أنها تطلق في أول اليوم الأخير من آخر الشهر لأن آخر الشهر هو اليوم الأخير فوجب أن تطلق في أوله وإن قال: أنت طالق في آخر أول الشهر طلقت على الوجه الأول في آخر اليوم الخامس عشر وعلى الوجه الثاني تطلق في آخر اليوم الأول،

Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak pada akhir bulan,” maka ia tertalak pada hari terakhir darinya, baik bulan itu sempurna maupun kurang.

Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak pada awal akhir Ramadan,” maka dalam hal ini ada dua wajah:

Pertama, yaitu pendapat Abul ‘Abbās, bahwa ia tertalak pada malam pertama dari tanggal enam belas, karena “akhir bulan” adalah separuh kedua, dan awalnya adalah malam pertama dari tanggal enam belas.

Kedua, bahwa ia tertalak pada awal hari terakhir dari akhir bulan, karena “akhir bulan” adalah hari terakhir, maka wajib talak jatuh pada permulaannya.

Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak pada akhir awal bulan,” maka menurut wajah pertama, talak jatuh pada akhir hari kelima belas, dan menurut wajah kedua, talak jatuh pada akhir hari pertama.

وإن قال أنت طالق في آخر أول آخر رمضان طلقت على الوجه الأول عند طلوع الفجر من اليوم السادس عشر لأن أول آخر الشهر ليلة السادس عشر وآخرها عند طلوع الفجر من يومها وعلى الوجه الثاني تطلق بغروب الشمس من آخر يوم منه لأن أول آخره إذا طلع الفجر من آخر يوم منه فكان آخره عند غروب الشمس وإن قال: أنت طالق في أول آخر أول الشهر طلقت على الوجه الأول بطلوع الفجر من اليوم الخامس عشر لأن آخر أوله عند غروب الشمس من اليوم الخامس عشر فكان أول طلوع فجره وعلى الوجه الآخر تطلق بطلوع الفجر من أول يوم من الشهر لأن آخر أول الشهر غروب الشمس من أول يوم منه فكان أوله طلوع الفجر.

Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak pada akhir awal akhir Ramadan,” maka menurut wajah pertama, talak jatuh saat terbit fajar hari keenam belas, karena awal akhir bulan adalah malam keenam belas dan akhirnya adalah saat terbit fajar pada hari tersebut.

Dan menurut wajah kedua, ia tertalak saat matahari terbenam pada hari terakhir dari bulan itu, karena awal akhirnya adalah saat terbit fajar dari hari terakhir, maka akhirnya adalah saat matahari terbenam.

Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak pada awal akhir awal bulan,” maka menurut wajah pertama, talak jatuh saat terbit fajar hari kelima belas, karena akhir dari awal bulan adalah saat terbenam matahari hari kelima belas, maka awalnya adalah terbit fajar hari tersebut.

Dan menurut wajah yang lain, talak jatuh saat terbit fajar hari pertama bulan itu, karena akhir awal bulan adalah terbenam matahari hari pertama, maka awalnya adalah terbit fajar.

فصل: وإن قال أنت طالق اليوم طلقت في الحال لأنه من اليوم وإن قال أنت طالق في غد طلقت بطلوع فجره وإن قال أنت طالق اليوم إذا جاء غد لم تطلق لأنه لا يجوز أن تطلق اليوم لأنه لم يوجد شرطه وهو مجيء الغد ولا يجوز أن تطلق إذا جاء غد لأنه إيقاع طلاق في يوم قبله وإن قال أنت طالق اليوم غداً طلقت اليوم طلقة ولا تطلق غداً طلقة أخرى لأن طلاق اليوم تعين وقوله غداً يحتمل أن تكون طالقة بطلاقها اليوم فلا نوقع طلاقا بالشك وإن قال أردت طلقة في اليوم وطلقة في غد طلقت طلقتين لأن اللفظ يحتمل ما يدعيه وهو غير متهم فيه لما فيه عليه من التغليظ

PASAL: Jika ia berkata, “Engkau tertalak hari ini,” maka tertalaklah saat itu juga karena (lafaz) “hari ini”. Jika ia berkata, “Engkau tertalak besok,” maka tertalaklah saat terbit fajar hari besok. Jika ia berkata, “Engkau tertalak hari ini jika datang hari besok,” maka tidak tertalak karena tidak sah menjatuhkan talak hari ini sebab syaratnya—yaitu datangnya hari besok—belum terjadi, dan tidak sah pula menjatuhkan talak saat datang hari besok karena itu berarti menjatuhkan talak pada hari sebelumnya. Jika ia berkata, “Engkau tertalak hari ini besok,” maka tertalaklah hari ini satu talak, dan tidak tertalak besok satu talak lain, karena talak hari ini telah ditentukan, dan ucapannya “besok” mengandung kemungkinan bahwa ia telah tertalak dengan talak hari ini, maka tidak dijatuhkan talak karena adanya keraguan. Jika ia berkata, “Aku maksudkan satu talak hari ini dan satu talak besok,” maka tertalaklah dua talak, karena lafaz itu memungkinkan apa yang ia klaim dan ia tidak dituduh berdusta karena hal itu memperberat dirinya.

وإن قال أردت نصف طلقة اليوم ونصف طلقة غدا طلقت طلقتين طلقة بالإيقاع وطلقة بالسراية وإن قال أردت نصف طلقة اليوم والنصف الباقي في غد ففيه وجهان: أحدهما: تطلق اليوم طلقة ولا تطلق غداً لأن النصف الباقي قد وقع في اليوم فلم يبق ما يقع غداً والثاني: أنه يقع في اليوم الثاني طلقة أخرى لأن الذي وقع في اليوم بالسراية وبقي النصف الثاني فوقع في الغد فسرى وإن قال أنت طالق اليوم أوغدا ففيه وجهان: أحدهما: تطلق غداً لأنه يقين والثاني: أنها تطلق اليوم لأنه جعل كل واحدة منهما محلاً للطلاق فتعلق بأولهما.

Dan jika ia berkata, “Aku maksudkan setengah talak hari ini dan setengah talak besok,” maka tertalak dua talak: satu dengan penjatuhan (iqā‘) dan satu dengan penyebaran (sarāyah). Dan jika ia berkata, “Aku maksudkan setengah talak hari ini dan setengah sisanya besok,” maka terdapat dua wajah: pertama, tertalak satu talak hari ini dan tidak tertalak besok karena setengah sisanya telah terjadi pada hari ini, maka tidak tersisa bagian untuk dijatuhkan besok; kedua, terjadi satu talak lagi pada hari kedua karena yang terjadi pada hari ini hanyalah sarāyah, dan setengah sisanya masih tersisa, lalu dijatuhkan pada hari esok dan menyebar. Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak hari ini atau besok,” maka terdapat dua wajah: pertama, tertalak besok karena itu lebih meyakinkan (yaqīn); kedua, tertalak hari ini karena ia telah menjadikan keduanya sebagai tempat talak, maka talak dikaitkan dengan yang pertama dari keduanya.

فصل: إذا قال إذا رأيت هلال رمضان فأنت طالق فرآه غيره طلقت لأن رؤية الهلال في عرف الشرع رؤية الناس والدليل عليه قوله صلى الله عليه وسلم: “صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته”. ويجب الصوم والفطر برؤية غيره وإن قال أردت رؤيتي لم يقبل في الحكم لأنه يدعي خلاف الظاهر ويدين فيه لأنه يحتمل ما يدعيه فإن رآه بالنهار لم تطلق لأن رؤية هلال الشهر ما يراه في الشهر وهو بعد الغروب ولهذا لا يتعلق الصوم والفطر إلا بما نراه بعد الغروب وإن غم عليهم الهلال فعدوا شعبان ثلاثين يوماً طلقت لأنه قد ثبتت الرؤية بالشرع فصار كما لو ثبتت بالشهادة وإن أراد رؤيته بعينه فلم يره حتى صار قمراً لم تطلق لأنه ليس بهلال حقيقة واختلف الناس فيما يصير به قمراً فقال بعضهم يصير قمرا إذا استدار وقال بعضهم إذا بهر ضوءه.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Jika engkau melihat hilal Ramadan maka engkau tertalak,” lalu yang melihatnya adalah orang lain, maka ia tertalak karena yang dimaksud dengan melihat hilal dalam istilah syar‘i adalah melihat oleh manusia secara umum. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya.” Maka wajib puasa dan berbuka dengan melihat orang lain. Jika ia berkata, “Aku maksudkan penglihatanku sendiri,” tidak diterima dalam hukum karena itu merupakan klaim yang bertentangan dengan makna lahir, namun ia dikenai hukum agama (di antara dia dan Allah) karena memungkinkan sesuai maksudnya.

Jika ia melihatnya pada siang hari maka tidak tertalak karena yang disebut melihat hilal bulan adalah apa yang terlihat dalam bulan tersebut, yaitu setelah matahari terbenam. Oleh karena itu, puasa dan berbuka tidak terkait kecuali dengan yang terlihat setelah matahari terbenam.

Jika hilal terhalang (tidak terlihat) bagi mereka lalu mereka menyempurnakan bulan Sya‘ban menjadi tiga puluh hari, maka ia tertalak karena sesungguhnya hilal telah ditetapkan secara syar‘i, sehingga hukumnya seperti jika telah ditetapkan melalui kesaksian.

Jika ia maksudkan melihatnya dengan matanya sendiri dan ia tidak melihatnya hingga bulan tersebut telah menjadi qamar, maka tidak tertalak karena itu bukan hilal secara hakiki. Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan bulan berubah menjadi qamar: sebagian mengatakan ketika bulan telah bulat sempurna, dan sebagian lagi mengatakan ketika cahayanya telah memancar terang.

فصل: إذا قال إذا مضت سنة فأنت طالق اعتبر مضي السنة بالأهلة لأنها هي السنة المعهودة في الشرع فإن كان العقد أول الشهر مضى اثنا عشر شهراً بالأهلة طلقت فإن كان في أثناء الشهر حسب ما بقي من الشهر الهلالي فإن بقي خمسة أيام عد بعدها أحد عشر شهراً بالأهلة ثم عد خمسة وعشرين يوماً من الشهر الثاني عشر لأنه تعذر اعتبار الهلال في شهر فعد شهراً بالعدد كما نقول في الشهر الذي غم عليهم الهلال في الصوم فإن قال: أردت سنة بالعدد وهي ثلاثمائة وستون يوما أو سنة شمسية وهي ثلاثمائة وخمسة وستون يوماً لم يقبل في الحكم لأنه يدعي ما يتأخر به الطلاق عن الوقت الذي يقتضيه لأن السنة الهلالية ثلاثمائة وأربعة وخمسون يوما وخمس يوم وسدس يوم ويدين فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه يحتمل ما يدعيه

PASAL: Jika ia berkata, “Jika telah berlalu satu tahun maka engkau tertalak,” maka yang dijadikan acuan adalah berlalu satu tahun menurut hitungan bulan hilāl, karena itulah tahun yang dikenal dalam syariat. Jika akad terjadi pada awal bulan, maka setelah berlalu dua belas bulan hilāl, ia tertalak. Jika terjadi di tengah bulan, maka dihitung sisa hari dari bulan hilāl tersebut. Jika sisa lima hari, maka dihitung sebelas bulan setelahnya dengan hitungan hilāl, lalu dihitung dua puluh lima hari dari bulan kedua belas, karena tidak memungkinkan menghitung bulan itu dengan hilāl, maka dihitung dengan jumlah hari, sebagaimana yang dikatakan dalam bulan yang tidak terlihat hilalnya dalam puasa.

Jika ia berkata, “Aku maksudkan tahun berdasarkan jumlah hari yaitu tiga ratus enam puluh hari,” atau, “Aku maksudkan tahun matahari yaitu tiga ratus enam puluh lima hari,” maka tidak diterima dalam hukum karena ia mengklaim sesuatu yang menyebabkan keterlambatan talak dari waktu yang ditunjukkan lafaz tersebut, sebab tahun hilāl adalah tiga ratus lima puluh empat hari, lima per enam hari, dan seperenam hari. Namun ia didinai (dianggap benar dalam batin) di sisi Allah Azza wa Jalla karena perkataannya masih memungkinkan ditafsirkan demikian.

وإن قال إذا مضت السنة فأنت طالق طلقت إذا مضت بقية سنة التاريخ وهو انسلاخ ذي الحجة قلت البقية أو كثرت لأن التعريف بالألف واللام يقتضي ذلك فإن قال أردت سنة كاملة دين لأنه يحتمل ما يدعيه ولا يقبل في الحكم لأنه يدعي ما يتأخر به الطلاق عن الوقت الذي يقتضيه فإن قال أنت طالق في كل سنة طلقة حسبت السنة من حين العقد كما إذا حلف لا يكلم فلاناً سنة جعل ابتداء السنة من حين اليمين وكما إذا باع بثمن مؤجل اعتبر ابتداء الأجل من حين العقد فإذا مضى من السنة بعد العقد أدنى جزء طلقت طلقة لأنه جعل السنة محلا لطلاق وقد دخل فيها فوقع كما لو قال أنت طالق في شهر رمضان فدخل الشهر.

Dan jika ia berkata, “Jika telah berlalu as-sanat maka engkau tertalak,” maka ia tertalak bila telah berlalu sisa tahun penanggalan, yaitu saat berakhirnya bulan Dzulhijjah, baik sisa tahun itu sedikit maupun banyak, karena adanya pengenal (al-ta‘rīf) dengan alif lām mengharuskan demikian. Jika ia berkata, “Aku maksudkan satu tahun penuh,” maka ia didinai (diterima dalam batin) karena kemungkinan maksudnya demikian, namun tidak diterima dalam hukum karena ia mengklaim sesuatu yang menyebabkan talak tertunda dari waktu yang ditunjukkan oleh lafaz.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak setiap tahun satu talak,” maka tahun dihitung sejak waktu akad, sebagaimana jika seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan si Fulan selama satu tahun, maka awal tahun dihitung dari waktu sumpah, dan sebagaimana jika ia menjual dengan harga yang ditangguhkan, maka awal tempo dihitung dari waktu akad. Maka bila telah berlalu bagian terkecil dari tahun setelah akad, maka jatuh satu talak, karena ia telah menjadikan tahun sebagai tempat talak, dan tahun itu telah dimasuki, maka jatuhlah talak sebagaimana jika ia berkata, “Engkau tertalak di bulan Ramadan,” lalu bulan itu telah dimasuki.

فصل: وإن قال أنت طالق في الشهر الماضي فالمنصوص أنها تطلق في الحال وقال الربيع فيه قول آخر أنها لا تطلق وقال فيمن قال لامرأته إن طرت أو صعدت السماء فأنت طالق إنها لا تطلق واختلف أصحابنا فيه فنقل أبوعلي بن خيران جوابه في كل واحدة من المسألتين إلى الأخرى وجعلهما على قولين: أحدهما: تطلق لأنه علق الطلاق على صفة مستحيلة فألغيت الصفة ووقع الطلاق كما لو قال لمن لا سنة له ولا بدعة في طلاقها أنت طالق للسنة أو للبدعة والثاني: لا تطلق لأنه علق الطلاق على شرط لم يوجد فلم يقع وقال أكثر أصحابنا إذا قال أنت طالق في الشهر الماضي طلقت

PASAL: Dan jika ia berkata, “Engkau tertalak pada bulan yang lalu,” maka menurut nash (pendapat yang ditegaskan) ia tertalak saat itu juga. Al-Rabi‘ mengatakan ada pendapat lain bahwa ia tidak tertalak.

Dan disebutkan dalam kasus orang yang berkata kepada istrinya, “Jika engkau terbang atau naik ke langit maka engkau tertalak,” maka tidak terjadi talak. Para sahabat kami berselisih dalam hal ini. Abu ‘Ali bin Khayrān menukil jawabannya dalam kedua masalah ini dan menjadikannya pada dua pendapat:

Pertama: terjadi talak, karena ia menggantungkan talak pada sifat yang mustahil, maka sifat itu dianggap tidak ada dan talak pun jatuh, sebagaimana jika seseorang berkata kepada perempuan yang tidak ada sunnah maupun bid‘ah dalam talaknya: “Engkau tertalak dengan talak sunnah” atau “dengan talak bid‘ah.”

Kedua: tidak jatuh talak, karena ia menggantungkan talak pada syarat yang tidak terjadi, maka tidak terjadi talak.

Dan mayoritas sahabat kami berkata: jika seseorang berkata, “Engkau tertalak pada bulan yang lalu,” maka ia tertalak.

وإن قال إن طرت أو صعدت في السماء فأنت طالق لم تطلق قولاً واحداً وما قاله الربيع من تخريجه والفرق بينهما أن الطيران وصعود السماء لا يستحيل في قدرة الله عز وجل وقد جعل لجعفر بن أبي طالب جناحان يطير بهما وقد أسري برسول الله صلى الله عليه وسلم وإيقاع الطلاق في زمان ماض مستحيل.

Dan jika ia berkata, “Jika engkau terbang atau naik ke langit maka engkau tertalak,” maka tidak terjadi talak menurut satu pendapat. Adapun apa yang dikatakan oleh al-Rabi‘ berupa takhrīj (analogi hukum) dan pembedaan antara keduanya, maka alasannya adalah bahwa terbang dan naik ke langit tidak mustahil dalam kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Dan sungguh telah dijadikan bagi Ja‘far bin Abī Ṭālib dua sayap yang dengannya ia bisa terbang, dan sungguh telah diperjalankan Rasulullah SAW (ke langit). Adapun menjatuhkan talak pada waktu yang telah lampau adalah sesuatu yang mustahil.

فصل: وإن قال إن قدم زيد فأنت طالق قبله بشهر فقدم زيد بعد شهر طلقت قبل قدومه بشهر لأنه إيقاع طلاق بعد عقده وإن قدم قبل شهر ففيه وجهان: أحدهما: أنه كالمسألة قبلها وهو إذا قال أنت طالق في الشهر الماضي لأنه إيقاع طلاق قبل عقده والثاني: وهو قول أكثر أصحابنا أنه لا يقع الطلاق ههنا قولاً واحداً لأنه علق الطلاق على صفة وقد كان وجودها ممكنا فوجب اعتباره وإيقاع الطلاق في زمان ماض غير ممكن فسقط اعتباره.

PASAL: Jika ia berkata, “Jika Zaid datang maka engkau tertalak sebulan sebelumnya,” lalu Zaid datang setelah satu bulan, maka tertalaklah ia sebulan sebelum kedatangan Zaid, karena itu adalah penjatuhan talak setelah akadnya.

Dan jika Zaid datang sebelum satu bulan, maka terdapat dua wajah: pertama, hukumnya seperti masalah sebelumnya, yaitu jika ia berkata, “Engkau tertalak pada bulan yang lalu,” karena itu berarti menjatuhkan talak sebelum akad; kedua, dan ini pendapat mayoritas ashhāb kami, bahwa talak tidak terjadi dalam hal ini secara qaulan wāḥidan, karena ia menggantungkan talak pada suatu sifat, dan sifat tersebut mungkin terjadi, maka wajib diperhitungkan, sedangkan menjatuhkan talak pada waktu yang telah lalu adalah sesuatu yang tidak mungkin, maka tidak dianggap.

فصل: وإن قال أنت طالق قبل موتي بشهر فمات قبل مضي شهر لم تطلق لتقدم الشرط على العقد وإن مضى شهر ثم مات عقيبه لم تطلق لأن وقوع الطلاق مع اللفظ وإن مضى شهر وجزء ثم مات طلقت في ذلك الجزء وإن قال أنت طالق ثلاثاً قبل قدوم زيد بشهر ثم خالعها بعد يومين أو ثلاثة وقدم زيد بعد هذا القول بأكثر من شهر لم يصح الخلع لأنها بانت بالطلاق فلم يصح الخلع بعده وإن قدم بعد الخلع بأكثر من شهر صح الخلع لأنه صادف الملك فلم يقع الطلاق بالصفة.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Engkau tertalak sebelum aku mati sebulan,” lalu ia mati sebelum sebulan berlalu, maka istrinya tidak tertalak karena syaratnya mendahului akad. Jika sebulan telah berlalu kemudian ia mati setelahnya, maka tidak terjadi talak karena jatuhnya talak bersamaan dengan ucapan. Jika sebulan dan sebagian waktu telah berlalu lalu ia mati, maka talak terjadi pada bagian waktu tersebut.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak tiga sebelum kedatangan Zaid sebulan,” kemudian ia melakukan khulu‘ setelah dua atau tiga hari, dan Zaid datang setelah ucapan itu lebih dari sebulan, maka khulu‘ tidak sah karena wanita itu telah menjadi bain dengan talak, maka tidak sah khulu‘ setelahnya. Namun jika Zaid datang setelah khulu‘ lebih dari sebulan, maka khulu‘ sah karena terjadi saat ia masih memiliki hak kepemilikan, sehingga talak dengan sifat tersebut tidak terjadi.

فصل: وإن قال أنت طالق في اليوم الذي يقدم فيه زيد فقدم ليلاً لم تطلق لأنه لم يوجد الشرط وإن قال أردت باليوم الوقت قبل منه لأنه قد يستعمل اليوم في الوقت كما قال الله عز وجل: {وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ} وهو غير متهم فيه فقبل منه وإن ماتت المرأة في أول اليوم الذي قدم زيد في آخره فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو بكر بن الحداد المصري يقع الطلاق لأنه إذا قال أنت طالق في يوم السبت طلقت بطلوع الفجر

PASAL: Jika seseorang berkata, “Engkau tertalak pada hari Zaid datang,” lalu Zaid datang di malam hari, maka tidak terjadi talak karena syarat belum terpenuhi. Jika ia berkata, “Yang aku maksud dengan hari adalah waktu,” maka diterima maksudnya, karena kata hari bisa digunakan untuk makna waktu, sebagaimana firman Allah SWT: {wa man yuwallihim yawma’idhin duburahu}—dan ia tidak dicurigai dalam hal ini, maka diterima maksudnya.

Jika perempuan itu wafat di awal hari yang pada akhirnya Zaid datang, maka para sahabat kami berbeda pendapat. Abū Bakar bin al-Ḥaddād al-Miṣrī berkata: talak terjadi, karena jika seseorang berkata, “Engkau tertalak pada hari Sabtu,” maka ia tertalak dengan terbitnya fajar.

فإذا قال أنت طالق في اليوم الذي يقدم فيه زيد فقدم وجب أن يقع بعد طلوع الفجر في اليوم الذي يقدم فيه زيد وقد قدم وكانت باقية بعد طلوع الفجر فوجب أن يقع الطلاق ومن أصحابنا من قال لا يقع لأنه جعل الشرط في وقوع الطلاق قدوم زيد وقدوم زيد وجد بعد موت المرأة فلا يجوز أن يقع الطلاق ويخالف قوله أنت طالق يوم السبت فإنه علق الطلاق على شرط واحد وهو اليوم وههنا علق على شرطين اليوم وقدوم زيد وقدوم زيد وجد وقد ماتت المرأة فلم يلحقها الطلاق.

Maka jika seseorang berkata, “Engkau tertalak pada hari Zaid datang,” lalu Zaid datang, wajiblah talak terjadi setelah terbit fajar pada hari kedatangan Zaid. Dan jika Zaid memang telah datang dan perempuan itu masih hidup setelah terbit fajar, maka wajib jatuh talak.

Namun sebagian dari sahabat kami berkata: talak tidak jatuh, karena ia menjadikan syarat terjadinya talak adalah kedatangan Zaid, dan kedatangan Zaid terjadi setelah kematian perempuan, maka tidak boleh talak terjadi padanya. Ini berbeda dengan ucapannya, “Engkau tertalak pada hari Sabtu,” karena ia menggantungkan talak pada satu syarat, yaitu hari. Sedangkan dalam kasus ini, ia menggantungkan pada dua syarat: hari dan kedatangan Zaid. Dan kedatangan Zaid terjadi saat si perempuan telah wafat, maka talak tidak menimpanya.

فصل: وإن قال إن لم أطلقك اليوم فأنت طالق اليوم فمضى اليوم ولم يطلقها ففيه وجهان: أحدهما: لا تطلق لأن مضي اليوم شرط في وقوع الطلاق في اليوم ولا يوجد شرط الطلاق إلا بعد مضي محل الطلاق فلم يقع والثاني: يقع وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله لآن قوله إن لم أطلقك اليوم معناه إن فاتني طلاقك اليوم فإذا بقي من اليوم ما لا يمكنه أن يقول فيه أنت طالق فقد فاته فوقع الطلاق في بقيته وإن قال لعبده إن لم أبعك اليوم فامرأتي طالق فأعتقه طلقت المرأة لأن معناه إن فاتني بيعك وقد فاته بيعه بالعتق.

PASAL: Jika ia berkata, “Jika aku tidak menceraikanmu hari ini, maka engkau tertalak hari ini,” lalu hari itu berlalu dan ia tidak menceraikannya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak jatuh talak, karena berlalunya hari adalah syarat jatuhnya talak pada hari itu, dan syarat talak tidak terjadi kecuali setelah habis waktu jatuhnya talak, maka talak pun tidak terjadi.

Kedua: talak jatuh, dan ini adalah pendapat asy-syaikh Abū Ḥāmid al-Isfirāyīnī rahimahullāh, karena ucapannya “Jika aku tidak menceraikanmu hari ini” maksudnya adalah “jika aku telah kehilangan kesempatan menceraikanmu hari ini.” Maka jika tersisa dari hari itu waktu yang tidak memungkinkan baginya untuk berkata “engkau tertalak,” maka berarti ia telah kehilangan kesempatan itu, sehingga talak jatuh pada sisa hari tersebut.

Jika ia berkata kepada budaknya, “Jika aku tidak menjualmu hari ini maka istriku tertalak,” lalu ia memerdekakan budaknya, maka istrinya tertalak, karena maknanya adalah “jika aku kehilangan kesempatan menjualmu,” dan ia telah kehilangan kesempatan itu karena budaknya telah dimerdekakan.

فصل: إذا تزوج بجارية أبيه ثم قال إذا مات أبي فأنت طالق فمات أبوه ففيه وجهان: وهو قول أبي العباس بن سريح أنها لا تطلق لإنه إذا مات الأب ملكها فانفسخ النكاح ويكون الفسخ في زمان الطلاق فوقع الفسخ وانفسخ الطلاق كما لو قال رجل لزوجته إن مت فأنت طالق ثم مات والثاني: وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله أنها تطلق ولا يقع الفسخ لأن صفة الطلاق توجد عقيب الموت وهو زمان الملك والفسخ يقع بعد الملك فيكون زمان الطلاق سابقاً لزمان الفسخ فوقع الطلاق ولم يقع الفسخ وإن قال الأب لجاريته أنت حرة بعد موتي وقال الإبن أنت طالق بعد موت أبي فمات الأب وقع العتق والطلاق لأن العتق يمنع من الدخول في ملك الابن فوقع العتق والطلاق معاً.

PASAL: Jika seseorang menikahi jariyah ayahnya, kemudian berkata, “Jika ayahku wafat, maka engkau tertalak,” lalu ayahnya wafat, maka dalam hal ini terdapat dua wajah. Pendapat pertama, yaitu pendapat Abul ‘Abbās bin Suraij, adalah bahwa wanita itu tidak tertalak karena ketika sang ayah wafat, wanita itu menjadi milik anak tersebut, sehingga pernikahan menjadi fasakh, dan fasakh itu terjadi pada waktu yang sama dengan terjadinya talak, maka talak menjadi batal, sebagaimana jika seseorang berkata kepada istrinya, “Jika aku mati, engkau tertalak,” lalu ia mati. Pendapat kedua, yaitu pendapat Syekh Abū Ḥāmid al-Isfārāʾīnī raḥimahullāh, adalah bahwa wanita itu tertalak dan tidak terjadi fasakh, karena sifat talak terjadi setelah kematian (ayah), yaitu saat wanita tersebut menjadi milik (anak), sedangkan fasakh terjadi setelah kepemilikan, sehingga waktu terjadinya talak mendahului waktu fasakh, maka talak pun jatuh dan fasakh tidak terjadi.

Jika sang ayah berkata kepada jariyah-nya, “Engkau merdeka setelah aku wafat,” dan sang anak berkata, “Engkau tertalak setelah ayahku wafat,” lalu sang ayah wafat, maka kemerdekaan dan talak terjadi, karena kemerdekaan mencegah masuknya jariyah ke dalam milik sang anak, maka kemerdekaan dan talak terjadi secara bersamaan.

فصل: إذا كتب إذا أتاك كتابي هذا فأنت طالق ونوى الطلاق فضاع الكتاب لم يقع الطلاق لأنه لم يأتها الكتاب وإن وصل وقد ذهبت الحواشي وبقي موضع الكتابة وقع الطلاق لأن الكتاب هو المكتوب وإن أتاها وقد أمحى الكتاب لم تطلق أيضاً لأنه لم يأتها الكتاب وإن انطمس حتى لا يفهم منه شيء لم تطلق لأنه ليس بكتاب فهو كما لو جاءها كتاب فيه صورة وإن جاء وقد أمحى بعضه فإن كان الذي أمحى موضع الطلاق لم يقع

PASAL: Jika ia menulis: “Jika sampai kepadamu suratku ini, maka engkau tertalak”, dan ia berniat menjatuhkan talak, lalu surat itu hilang, maka tidak jatuh talak karena surat itu tidak sampai kepadanya. Jika surat itu sampai dalam keadaan bagian pinggirnya hilang namun bagian tulisan masih ada, maka jatuh talak karena yang disebut surat adalah bagian yang tertulis. Jika sampai kepadanya dalam keadaan tulisan telah terhapus, maka tidak tertalak juga karena surat itu tidak sampai kepadanya. Jika tulisan telah hilang sehingga tidak bisa dipahami isinya, maka tidak tertalak karena itu bukanlah surat, seperti halnya jika sampai kepadanya surat yang berisi gambar. Jika sampai kepadanya dengan sebagian tulisan telah terhapus, maka jika bagian yang terhapus adalah bagian yang berisi talak, maka tidak jatuh talak.

لأن المقصود لم يأتها وإن بقي موضع الطلاق وذهب الباقي فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق: يقع لأن المقصود من الكتاب قد أتاها ومن أصحابنا من قال لا يقع لأنه قال إذا جاءك كتابي هذا وذلك يقتضي جميعه وإذا قال إذا أتاك كتابي فأنت طالق فأتاها الكتاب وقد أمحى الجميع إلا موضع الطلاق فقد وقع الطلاق لأنه أتاها كتابه وإن قال أتاك طلاقي فأنت طالق وكتب إذا أتاك كتابي فأنت طالق ونوى الطلاق وأتاها الكتاب طلقت طلقتين طلقة بمجيء الكتاب وطلقة بمجيء الطلاق.

Karena maksud yang dimaksudkan belum sampai kepadanya. Namun jika bagian talak tetap ada sementara bagian lainnya hilang, maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya. Abu Ishaq berkata: talak jatuh karena maksud dari surat itu telah sampai kepadanya. Sebagian dari sahabat kami berkata: tidak jatuh, karena ia berkata “jika sampai kepadamu suratku ini”, dan itu menuntut keseluruhan surat. Jika ia berkata: “jika sampai kepadamu suratku maka engkau tertalak”, lalu surat itu sampai kepadanya dalam keadaan seluruh isi terhapus kecuali bagian talak, maka talak jatuh karena suratnya telah sampai kepadanya. Jika ia berkata: “jika sampai kepadamu talakku maka engkau tertalak”, lalu ia menulis: “jika sampai kepadamu suratku maka engkau tertalak” dan ia berniat talak, lalu surat itu sampai kepadanya, maka ia tertalak dua kali: satu talak karena sampainya surat, dan satu talak karena sampainya talak.

فصل: وإن قال إن قدم فلان فأنت طالق فقدم به ميتاً أو حمل مكرهاً لم تطلق لأنه ما قدم وإنما قدم به وإن أكره حتى قدم بنفسه ففيه قولان كالقولين فيمن أكره حتى أكل في الصوم وإن قدم مختارا وهو غير عالم باليمين فإن كان ممن لا يقصد الزوج منعه من القدوم بيمينه كالسلطان طلقت لأنه طلاق معلق على صفة وقد وجدت الصفة وإن كان ممن يقصد الزوج منعه من القدوم بيمينه فعلى القولين فيمن حلف لا يفعل شيئا ففعله ناسيا.

PASAL: Jika ia berkata, “Jika Fulan datang maka engkau tertalak,” lalu Fulan datang dalam keadaan telah mati atau dibawa secara paksa, maka tidak tertalak karena dia tidak datang, melainkan dibawa. Jika Fulan dipaksa hingga ia datang sendiri, maka ada dua pendapat sebagaimana dua pendapat dalam masalah orang yang dipaksa makan saat berpuasa. Jika Fulan datang dengan pilihan sendiri tetapi tidak mengetahui adanya sumpah talak, maka jika ia termasuk orang yang tidak bertujuan menghalangi si suami dengan sumpahnya seperti sultan, maka talak jatuh karena itu talak yang digantungkan pada suatu sifat, dan sifat itu telah terjadi. Namun jika ia termasuk orang yang memang berniat menghalangi suami dengan sumpahnya, maka hukumnya seperti dua pendapat dalam kasus orang yang bersumpah tidak akan melakukan sesuatu lalu melakukannya dalam keadaan lupa.

فصل: وإن قال إن خرجت إلا بإذني فأنت طالق فخرجت بالإذن انحلت اليمين فإن خرجت بعد ذلك بغير الأذن لم تطلق لأن قوله إن خرجت لا يقتضي التكرار والدليل عليه أنه لو قال لها إن خرجت فأنت طالق فخرجت مرة طلقت ولو خرجت مرة أخرى لم تطلق فصار كما لو قال إن خرجت مرة إلا بإذني فأنت طالق وإن قال كلما خرجت إلا بإذني فأنت طالق ثم خرجت بغير الإذن طلقت طلقة وإن خرجت مرة ثانية بغير الإذن وقعت طلقة أخرى وإن خرجت مرة ثالثة وقعت طلقة أخرى لأن اللفظ يقتضي التكرار

PASAL: Jika ia berkata: “Jika engkau keluar kecuali dengan izinku maka engkau tertalak”, lalu ia keluar dengan izin, maka sumpahnya batal. Jika setelah itu ia keluar tanpa izin, maka tidak tertalak karena lafaz “jika engkau keluar” tidak menunjukkan pengulangan. Dalilnya adalah bahwa jika ia berkata: “Jika engkau keluar maka engkau tertalak”, lalu ia keluar sekali, maka jatuh talak. Dan jika ia keluar sekali lagi, maka tidak jatuh talak. Maka hukumnya seperti jika ia berkata: “Jika engkau keluar sekali kecuali dengan izinku maka engkau tertalak”. Namun jika ia berkata: “Setiap kali engkau keluar kecuali dengan izinku maka engkau tertalak”, lalu ia keluar tanpa izin, maka jatuh satu talak. Jika ia keluar kedua kali tanpa izin, jatuh talak yang lain. Jika ia keluar ketiga kali, jatuh lagi satu talak, karena lafaz tersebut menunjukkan pengulangan.

وإن قال إن خرجت إلى غير الحمام بغير إذني فأنت طالق فخرجت إلى الحمام ثم عدلت إل غير الحمام لم يحنث لأن الخروج كان إلى الحمام وإن خرجت إلى غير الحمام ثم عدلت إلى الحمام حنث بخروجها إلى غير الحمام بغير الإذن وإن خرجت إلى الحمام وإلى غيره وجمعت بينهما في القصد عند الخروج ففيه وجهان: أحدهما: لا يحنث لأن الحنث علقه على الخروج إلى غير الحمام وهذا الخروج مشترك بين الحمام وغيره

Jika ia berkata: “Jika engkau keluar ke selain hammām tanpa izinku maka engkau tertalak”, lalu ia keluar menuju hammām kemudian berpindah ke tempat lain selain hammām, maka ia tidak terkena sumpah, karena keluar pertamanya menuju hammām. Namun jika ia keluar menuju tempat selain hammām lalu berpindah ke hammām, maka ia terkena sumpah karena keluar pertamanya ke selain hammām tanpa izin. Jika ia keluar menuju hammām dan tempat lain sekaligus dengan niat yang digabung sejak keluar, maka terdapat dua wajah: salah satunya, tidak terkena sumpah karena sumpah digantungkan pada keluar menuju selain hammām, sementara keluar ini mencakup hammām dan selainnya.

والثاني: يحنث لأنه وجد الخروج إلى غير الحمام بغير الإذن وانضم إليه غيره فوجب أن يحنث كما لو قال إن كلمت زيداً فأنت طالق ثم كلمت زيدا وعمرا وإن قال إن خرجت إلا بإذني فأنت طالق فأذن لها ولم تعلم بالإذن ثم خرجت لم تطلق لأنه علق الخلاص من الحنث بمعنى من جهته يختص به وهو الإذن وقد وجد الإذن والدليل عليه أنه يجوز لمن عرفه أن يخبر به المرأة فلم يعتبر علمها فيه كما لو قال إن خرجت قبل أن أقوم فأنت طالق ثم قام ولم تعلم به.

Dan pendapat kedua: ia terkena sumpah karena telah terjadi keluar menuju selain hammām tanpa izin, lalu bergabung dengan tujuan lain, maka wajib terkena sumpah, sebagaimana jika ia berkata: “Jika engkau berbicara dengan Zaid maka engkau tertalak”, lalu ia berbicara dengan Zaid dan ‘Amr sekaligus.

Jika ia berkata: “Jika engkau keluar kecuali dengan izinku maka engkau tertalak”, lalu ia memberi izin namun perempuan itu tidak mengetahui adanya izin kemudian keluar, maka tidak tertalak, karena pembebasan dari sumpah digantungkan pada makna yang bersumber dari pihak suami yaitu izin, dan izin itu telah ada. Dalilnya adalah bahwa boleh bagi orang yang mengetahui izin itu untuk memberitahukannya kepada si perempuan, maka tidak disyaratkan pengetahuannya tentang izin, sebagaimana jika ia berkata: “Jika engkau keluar sebelum aku berdiri maka engkau tertalak”, lalu ia berdiri dan perempuan itu tidak mengetahuinya, maka tidak tertalak.

فصل: وإن قال لها إن خالفت أمري فأنت طالق ثم قال لها لا تكلمي أباك فكلمته لم تطلق لأنها لم تخالف أمره وإنما خالفت نهيه وإن قال إن بدأتك بالكلام فأنت طالق وقالت المرأة إن بدأتك بالكلام فعبدي حر فكلمها لم تطلق المرأة ولم يعتق العبد لأن يمينه انحلت بيمينها بالعتق ويمينها انحلت بكلامه وإن قال أنت طالق إن كلمتك وأنت طالق إن دخلت الدار طلقت لأنه كلمها باليمين الثانية وإن قال أنت طالق إن كلمتك ثم أعاد ذلك طلقت لأنه كلمها بالإعادة وإن قال إن كلمتك فأنت طالق فاعلمي بذلك طلقت لأنه كلمها بقوله فاعلمي ذلك، طلقت لأنه كلمها بقول فاعلمي ذلك ومن أصحابنا من قال إن وصل الكلام باليمين لم تطلق لأنه من صلة الأول.

PASAL: Jika ia berkata kepada istrinya, “Jika engkau menyelisihi perintahku maka engkau tertalak,” lalu ia berkata kepadanya, “Jangan engkau berbicara dengan ayahmu,” kemudian ia berbicara dengannya, maka tidak tertalak, karena ia tidak menyelisihi perintahnya, melainkan menyelisihi larangannya.

Jika ia berkata, “Jika aku memulai berbicara denganmu maka engkau tertalak,” dan wanita itu berkata, “Jika aku memulai berbicara denganmu maka hambaku merdeka,” lalu suami itu berbicara dengannya, maka wanita itu tidak tertalak dan hamba itu tidak merdeka, karena sumpah suami gugur dengan sumpah istri berupa memerdekakan, dan sumpah istri gugur dengan ucapan suaminya.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak jika aku berbicara denganmu, dan engkau tertalak jika engkau masuk ke dalam rumah,” lalu ia berbicara dengannya, maka tertalak karena ia telah berbicara dengannya dengan sumpah kedua.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak jika aku berbicara denganmu,” lalu ia mengulanginya lagi, maka tertalak karena ia berbicara dengannya dengan pengulangan tersebut.

Jika ia berkata, “Jika aku berbicara denganmu maka engkau tertalak, maka ketahuilah hal itu,” maka tertalak karena ia telah berbicara kepadanya dengan perkataan “ketahuilah hal itu.” Sebagian ulama kami berkata: jika ucapan tersebut tersambung dengan sumpah pertama, maka tidak tertalak karena masih termasuk sambungan dari yang pertama.

فصل: إذا قال لامرأته إذا كلمت رجلاً فأنت طالق وإن كلمت فقيها فأنت طالق وإن كلمت طويلاً فأنت طالق فكلمت رجلاً طويلاً فقيها طلقت ثلاثاً لأنه اجتمع صفات الثلاثة فوقع بكل صفة طلقة.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Jika engkau berbicara dengan seorang laki-laki maka engkau tertalak, dan jika engkau berbicara dengan seorang faqīh maka engkau tertalak, dan jika engkau berbicara dengan orang yang tinggi maka engkau tertalak”, lalu ia berbicara dengan seorang laki-laki yang tinggi dan faqīh, maka jatuh tiga talak karena ketiga sifat tersebut terkumpul dan setiap sifat menyebabkan satu talak.

فصل: وإن قال إن رأيت فلاناً فأنت طالق فرآه ميتا أو نائما طلقت لأنه رآه وإن رآه في مرآة أو رأى ظله في الماء لم تطلق لأنه ما رآه وإنما رأى مثاله وإن رآه من وراء زجاج شفاف طلقت لأنه رآه حقيقة.

PASAL: Jika ia berkata, “Jika aku melihat si Fulan maka engkau tertalak,” lalu ia melihatnya dalam keadaan sudah mati atau sedang tidur, maka tertalak karena ia telah melihatnya. Namun jika ia melihatnya di cermin atau melihat bayangannya di air, maka tidak tertalak karena ia tidak melihat orangnya, melainkan hanya melihat bayangannya. Dan jika ia melihatnya dari balik kaca bening, maka tertalak karena ia benar-benar melihatnya.

فصل: وإن كانت في ماء جار فقال لها إن خرجت منه فأنت طالق وإن وقفت فيه فأنت طالق لم تطلق خرجت أو وقفت لأن الذي كانت فيه من الماء مضى بجريانه لم تخرج منه ولم تقف فيه وإن كان في فيها تمرة فقال إن أكلتها فأنت طالق وإن رميتها فأنت طالق وإن أمسكتها فأنت طالق فأكلت نصفها لم تطلق لأنها ما أكلتها ولا رمتها ولا أمسكتها وإن كانت معه تمرة فقال إن أكلتها فأنت طالق فرماها إلى تمر كثير فأكل جميعه وبقي تمرة لا يعلم أنها المحلوف عليها أو غيرها لم تطلق لجواز أن تكون هي المحلوف عليها فلم تطلق بالشك

PASAL: Jika ia berada di dalam air yang mengalir lalu suaminya berkata kepadanya, “Jika engkau keluar darinya maka engkau tertalak, dan jika engkau diam di dalamnya maka engkau tertalak,” maka ia tidak tertalak baik ia keluar maupun diam, karena air yang ia berada di dalamnya telah berlalu dengan alirannya; ia tidak keluar darinya dan tidak pula diam di dalamnya.

Dan jika di mulutnya ada sebutir kurma, lalu suaminya berkata, “Jika engkau memakannya maka engkau tertalak, jika engkau melemparkannya maka engkau tertalak, dan jika engkau memegangnya maka engkau tertalak,” lalu ia memakan setengahnya, maka ia tidak tertalak, karena ia tidak memakannya seluruhnya, tidak melemparkannya, dan tidak memegangnya.

Dan jika ada sebutir kurma bersamanya, lalu suaminya berkata, “Jika engkau memakannya maka engkau tertalak,” lalu ia melemparkannya ke tumpukan banyak kurma, kemudian ia memakan semuanya dan tersisa satu butir yang tidak diketahui apakah itu kurma yang disumpahkan atau bukan, maka ia tidak tertalak karena adanya kemungkinan bahwa itulah kurma yang dimaksud, sehingga tidak terjadi talak karena adanya keraguan.

وإن أكل تمراً كثيراً فقال لها إن لم تخبريني بعدد ما أكلت فأنت طالق فعدت من واحد إلى عدد يعلم أن المأكول دخل فيه لم تطلق لأنها أخبرته بعدد ما أكل وإن أكلا تمرا واختلط النوى فقال إن لم تميزي نوى ما أكلت من نوى ما أكلت فأنت طالق فأفردت كل نواة لم تطلق لأنها ميزت وإن اتهمها بسرقة شيء فقال أنت طالق إن لم تصدقيني أنك سرقت أم لا فقالت سرقت وما سرقت لم تطلق لأنها صدقته في أحد الخبرين وإن قال إن سرقت مني شيئاً فأنت طالق وسلم إليها كيساً فأخذت منه شيئاً لم تطلق لأن ذلك ليس بسرقة وإنما هو خيانة.

PASAL: Jika ia memakan banyak kurma, lalu suaminya berkata kepadanya, “Jika engkau tidak memberitahuku jumlah yang engkau makan, maka engkau tertalak,” lalu ia menghitung dari angka satu sampai angka yang diketahui mencakup jumlah yang dimakan, maka ia tidak tertalak karena ia telah memberitahukan jumlah yang dimakan.

Dan jika keduanya memakan kurma dan bijinya bercampur, lalu suaminya berkata, “Jika engkau tidak dapat membedakan biji kurma yang engkau makan dari yang aku makan, maka engkau tertalak,” lalu ia memisahkan setiap biji satu per satu, maka ia tidak tertalak karena ia telah membedakannya.

Dan jika suaminya menuduhnya mencuri sesuatu lalu berkata, “Engkau tertalak jika engkau tidak jujur kepadaku apakah engkau mencuri atau tidak,” lalu ia berkata, “Aku mencuri,” padahal ia tidak mencuri, maka ia tidak tertalak karena ia telah berkata jujur dalam salah satu dari dua kabar.

Dan jika suaminya berkata, “Jika engkau mencuri dariku sesuatu maka engkau tertalak,” lalu ia menyerahkan kepadanya sebuah kantong, kemudian ia mengambil sesuatu darinya, maka ia tidak tertalak karena hal itu bukanlah pencurian, melainkan pengkhianatan.

فصل: وإن قال من بشرتني بقدوم زيد فهي طالق فأخبرته امرأته بقدوم زيد وهي صادقة طلقت لأنها بشرته وإن كانت كاذبة لم تطلق لأن البشارة ما بشر به الإنسان ولا سرور في الكذب وإن أخبرتاه بقدومه واحدة بعد واحدة وهما صادقتان طلقت الأولى دون الثانية لأن المبشرة هي الأولى وإن أخبرتاه معا طلقتا لاشتراكهما في البشارة وإن قال من أخبرتني بقدوم زيد فهي طالق فأخبرته امرأته بقدوم زيد طلقت صادقة كانت أو كاذبة لأن الخبر يوجد مع الصدق والكذب فإن أخبرته إحداهما بعد الأخرى أو أخبرتاه معاً طلقتا لأن الخبر وجد منهما.

PASAL: Jika ia berkata, “Siapa yang memberi kabar gembira kepadaku tentang kedatangan Zaid maka ia tertalak,” lalu istrinya memberitahunya tentang kedatangan Zaid dan ia jujur, maka tertalak karena ia telah memberi kabar gembira. Namun jika ia berdusta, maka tidak tertalak karena kabar gembira adalah apa yang membawa kesenangan, sedangkan dusta tidak membawa kesenangan.

Jika dua istrinya memberitahunya tentang kedatangan Zaid, satu demi satu, dan keduanya jujur, maka yang tertalak adalah yang pertama karena dialah yang memberi kabar gembira. Jika keduanya memberitahunya secara bersamaan, maka keduanya tertalak karena keduanya berbagi dalam kabar gembira.

Jika ia berkata, “Siapa yang memberitahuku tentang kedatangan Zaid maka ia tertalak,” lalu istrinya memberitahunya tentang kedatangan Zaid, maka tertalak baik ia jujur maupun dusta, karena penyampaian berita ada dalam kejujuran maupun kedustaan.

Jika salah satu dari keduanya memberitahunya satu demi satu, atau keduanya memberitahunya secara bersamaan, maka keduanya tertalak karena berita itu datang dari keduanya.

فصل: وإن قال أنت طالق إن شئت فقالت في الحال شئت طلقت وإن قالت شئت إن شئت فقال شئت لم تطلق لأنه علق الطلاق على مشيئتها ولم توجد منها مشيئة الطلاق وإنما وجد منها تعليق مشيئتها بمشيئته فلم يقع الطلاق كما لو قالت شئت إذا طلعت الشمس وإن قال أنت طالق إن شاء زيد فقال زيد شئت طلقت وإن لم يشأ زيد لم تطلق وإن شاء وهو مجنون لم تطلق لأنه لا مشيئة له وإن شاء وهو سكران فعلى ما ذكرناه من طلاقه وإن شاء وهو صبي ففيه وجهان: أحدهما: تطلق لأن له مشيئة ولهذا يرجع إلى مشيئة في اختيار أحد الأبوين في الحضانة

PASAL: Jika suami berkata, “Engkau tertalak jika engkau menghendakinya,” lalu sang istri langsung berkata, “Aku menghendakinya,” maka tertalak. Namun jika istri berkata, “Aku menghendakinya jika engkau menghendakinya,” lalu suami berkata, “Aku menghendakinya,” maka tidak tertalak, karena suami menggantungkan talak pada kehendak istrinya, dan dari istri tidak terdapat kehendak talak, melainkan hanya menggantungkan kehendaknya pada kehendak suami. Maka tidak terjadi talak, sebagaimana jika istri berkata, “Aku menghendakinya jika matahari terbit.”

Jika suami berkata, “Engkau tertalak jika Zaid menghendakinya,” lalu Zaid berkata, “Aku menghendakinya,” maka tertalak. Namun jika Zaid tidak menghendakinya, maka tidak tertalak.

Jika Zaid menghendakinya dalam keadaan gila, maka tidak tertalak, karena orang gila tidak memiliki kehendak. Jika ia menghendakinya dalam keadaan mabuk, maka tergantung pada apa yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang hukum talak orang mabuk. Dan jika ia menghendakinya dalam keadaan masih kecil, maka ada dua pendapat: salah satunya, tertalak, karena anak kecil memiliki kehendak, dan karena itu ia diberi hak memilih salah satu dari kedua orang tuanya dalam masalah hadhānah.

والثاني: لا تطلق معه لأنه لا حكم لمشيئته في التصرفات وإن كان أخرس فأشار إلى المشيئة وقع الطلاق كما يقع طلاقه إذا أشار إلى الطلاق وإن كان ناطقاً فخرس فأشار ففيه وجهان: أحدهما: لا يقع وهو اختيار الشيخ أبي حامد الأسفرايني رحمه الله لأن مشيئته عند الطلاق كانت بالنطق والثاني: أنه يقع وهو الصحيح لأنه في حال بيان المشيئة من أهل الإشارة والاعتبار بحال البيان لا بما تقدم ولهذا لو كان عند الطلاق أخرس ثم صار ناطقا كانت مشيئته بالنطق وإن قال أنت طالق إن شاء الحمار فهو كما لو قال أنت طالق إن طرت أو صعدت إلى السماء وقد بيناه

dan kedua: tidak jatuh talak bersamanya karena tidak ada hukum bagi kemauan (mashi’ah)-nya dalam tindakan-tindakan hukum. Namun, jika ia bisu lalu memberi isyarat kepada kemauan, maka jatuh talak sebagaimana talaknya sah jika ia memberi isyarat kepada talak. Jika ia dapat berbicara lalu menjadi bisu kemudian memberi isyarat, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
pendapat pertama: tidak jatuh, dan ini adalah pilihan dari Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāʾīnī rahimahullāh, karena kemauan ketika talak harus dengan ucapan,
dan pendapat kedua: jatuh, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena dalam keadaan menyatakan kemauan ia termasuk ahli isyarat, dan yang menjadi pertimbangan adalah keadaan saat menyatakan (kemauan), bukan keadaan sebelumnya. Oleh karena itu, jika ia saat talak adalah bisu kemudian menjadi bisa berbicara, maka kemauannya dianggap dengan ucapan.

Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak jika keledai menghendaki”, maka hukumnya seperti jika ia berkata: “Engkau tertalak jika aku terbang atau naik ke langit,” dan ini telah kami jelaskan.

وإن قال أنت طالق لفلان أو لرضى فلان طلقت في الحال لأن معناه أنت طالق ليرضى فلان كما يقول لعبده أنت حر لوجه الله أو لمرضاة الله وإن قال أنت طالق لرضى فلان ثم قال أردت إن رضي فلان على سبيل الشرط دين فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه يحتمل ما يدعيه وهل يقبل في الحكم فيه وجهان: أحدهما: لا يقبل لأن ظاهر اللفظ يقتضي إنجاز الطلاق فلم يقبل قوله في تأخيره كما لو قال أنت طالق وادعى أنه أراد إن دخلت الدار والثاني: أنه يقبل لأن اللفظ يصلح للتعليل والشرط فقبل قوله في الجميع.

Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak karena Fulan” atau “karena rida Fulan”, maka tertalaklah seketika, karena maksudnya adalah “engkau tertalak agar Fulan rida”, sebagaimana seseorang berkata kepada hambanya: “Engkau merdeka karena Allah” atau “demi mencari rida Allah”.

Dan jika ia berkata: “Engkau tertalak karena rida Fulan”, lalu ia berkata: “Aku maksudkan jika Fulan rida” sebagai bentuk syarat, maka ia dituntut pertanggungjawaban secara agama antara dirinya dengan Allah SWT karena kemungkinan maksud itu benar adanya. Adapun dalam hukum, terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak diterima, karena lafaz zahir menunjukkan talak langsung, maka tidak diterima pengakuannya bahwa ia menunda makna tersebut, sebagaimana jika seseorang berkata: “Engkau tertalak” lalu mengaku bahwa maksudnya adalah “jika engkau masuk rumah”.

Kedua: diterima, karena lafaz tersebut bisa digunakan untuk makna ta‘līl (sebab) dan juga untuk syarat, maka diterima maksudnya dalam semua konteks.

فصل: وإن قال إن كلمتك أو دخلت دارك فأنت طالق طلقت بكل واحدة من الصفتين وإن قال إن كلمتك أو دخلت دارك فأنت طالق لم تطلق إلا بوجودهما سواء قدم الكلام أو الدخول لأن الواو تقتضي الجمع دون الترتيب وإن قال إن كلمتك فدخلت دارك فأنت طالق لم تطلق إلا بوجود الكلام والدخول والتقديم للكلام على الدخول لأن الفاء في العطف للترتيب فيصير كما لو قال إن كلمتك ثم دخلت دارك فأنت طالق وإن قال إن كلمتك وإن دخلت دارك فأنت طالق طلقت بوجود كل واحدة منها طلقة لأنه كرر حرف الشرط فوجب لكل واحدة منهما جزاء

PASAL: Jika ia berkata, “Jika aku berbicara denganmu atau masuk ke rumahmu maka engkau tertalak,” maka jatuh talak dengan masing-masing dari dua sifat tersebut. Namun jika ia berkata, “Jika aku berbicara denganmu dan masuk ke rumahmu maka engkau tertalak,” maka tidak tertalak kecuali dengan terwujudnya kedua hal tersebut, baik ia mendahulukan perkataan maupun masuk, karena wāw mengandung makna penggabungan, bukan urutan.

Jika ia berkata, “Jika aku berbicara denganmu lalu masuk ke rumahmu maka engkau tertalak,” maka tidak tertalak kecuali dengan terwujudnya pembicaraan dan masuk, serta dengan urutan pembicaraan dahulu sebelum masuk, karena huruf fā’ dalam ‘athaf menunjukkan urutan. Maka ini menjadi seperti ucapannya: “Jika aku berbicara denganmu kemudian masuk ke rumahmu maka engkau tertalak.”

Jika ia berkata, “Jika aku berbicara denganmu dan jika aku masuk ke rumahmu maka engkau tertalak,” maka ia tertalak dengan terwujudnya masing-masing dari keduanya satu talak, karena ia mengulangi huruf syarat, maka wajib bagi masing-masing dari keduanya satu balasan.

وإن قال لزوجتين إن دخلتما هاتين الدارين فأنتما طالقان فدخلت إحداهما أحد الدارين ودخلت الثانية الدار الأخرى ففيه وجهان: أحدهما: تطلقان لأن دخول الدارين وجد منهما والثاني: لا تطلقان وهو الصحيح لأنه علق طلاقه بدخول الدارين فلا تطلق واحدة منهما بدخول إحدى الدارين كما لو قال علق طلاق كل واحدة منهما بدخول الدارين بلفظ مفرد وإن قال إن أكلتما هذين الرغيفين فأنتما طالقان فأكلت كل واحدة منهما رغيفاً فعلى الوجهين.

Jika ia berkata kepada dua istrinya, “Jika kalian berdua masuk ke dua rumah ini maka kalian berdua tertalak,” lalu salah satu dari keduanya masuk ke salah satu rumah dan yang kedua masuk ke rumah yang lain, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: Keduanya tertalak karena masuknya dua rumah telah terjadi dari keduanya.

Kedua: Keduanya tidak tertalak, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena ia menggantungkan talak dengan masuknya dua rumah, maka tidak tertalak salah satu dari keduanya dengan masuk ke salah satu rumah, sebagaimana jika ia menggantungkan talak masing-masing dari keduanya dengan masuk ke dua rumah dengan lafaz mufrad.

Jika ia berkata, “Jika kalian berdua makan dua roti ini maka kalian berdua tertalak,” lalu masing-masing dari keduanya memakan satu roti, maka hukumnya juga mengikuti dua pendapat tersebut.

فصل: وإن قال أنت طالق إن ركبت إن لبست لم تطلق إلا باللبس والركوب ويسميه أهل النحو اعتراض الشرط على الشرط فإن لبست ثم ركبت طلقت وإن ركبت ثم لبست لم تطلق لأنه جعل اللبس شرطا في الركوب فوجب تقديمه وإن قال أنت طالق إذا قمت إذا قعدت لم تطلق حتى يوجد القيام والقعود ويتقدم القعود على القيام لأنه جعل القعود شرطاً في القيام وإن قال إن أعطيتك إن وعدتك إن سألتني فأنت طالق لم تطلق حتى يوجد السؤال ثم الوعد ثم العطية لأنه شرط في العطية الوعد وشرط في الوعد السؤال وكأن معناه إن سألتني شيئا فوعدتك فأعطيتك فأنت طالق وإن قال إن سألتني إن أعطيتك إن وعدتك فأنت طالق لم تطلق حتى تسأل ثم يعدها لأن معناه إن سألتني فأعطيتك إن وعدتك فأنت طالق.

PASAL: Jika ia berkata, “Engkau tertalak jika engkau menaiki (kendaraan), jika engkau mengenakan (pakaian),” maka tidak tertalak kecuali dengan keduanya: mengenakan dan menaiki. Hal ini disebut oleh ahli nahwu sebagai i‘tirāḍ asy-syarṭ ‘ala asy-syarṭ (penyisipan syarat di tengah syarat). Maka jika ia mengenakan terlebih dahulu kemudian menaiki, maka tertalak. Dan jika menaiki terlebih dahulu kemudian mengenakan, maka tidak tertalak, karena ia menjadikan mengenakan sebagai syarat untuk menaiki, sehingga harus didahulukan.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak apabila engkau berdiri, apabila engkau duduk,” maka tidak tertalak hingga terjadi keduanya: duduk dan berdiri, dan duduk harus lebih dahulu, karena ia menjadikan duduk sebagai syarat bagi berdiri.

Jika ia berkata, “Jika aku memberimu, jika aku menjanjikanmu, jika engkau memintaku, maka engkau tertalak,” maka tidak tertalak hingga terjadi permintaan, lalu janji, lalu pemberian, karena ia mensyaratkan janji dalam pemberian, dan mensyaratkan permintaan dalam janji. Seakan-akan maksudnya adalah: “Jika engkau memintaku sesuatu, lalu aku menjanjikanmu, lalu aku memberimu, maka engkau tertalak.”

Jika ia berkata, “Jika engkau memintaku, jika aku memberimu, jika aku menjanjikanmu, maka engkau tertalak,” maka tidak tertalak hingga ia (istri) meminta terlebih dahulu, kemudian suami menjanjikannya, karena maksudnya: “Jika engkau memintaku, lalu aku memberimu jika aku menjanjikanmu, maka engkau tertalak.”

فصل: وإن قال أنت طالق إن دخلت الدار بفتح الألف أو أنت طالق إن شاء الله بفتح الألف وهو ممن يعرف النحو طلقت في الحال لأن معناه أنت طالق لدخولك الدار أو لمشيئة الله عز وجل طلاقك وإن قال أنت طالق إذ دخلت الدار وهو ممن يعرف النحو طلقت في الحال لأن إذا لما مضى.

PASAL: Jika ia berkata, “Engkau tertalak in (dengan fatḥah pada alif) masuk rumah,” atau “Engkau tertalak in syā’a Allāh” (dengan fatḥah pada alif), dan ia termasuk orang yang memahami ilmu naḥwu, maka tertalak seketika, karena maknanya adalah: “Engkau tertalak karena masukmu ke rumah” atau “karena kehendak Allah SAW mentalaqkanmu.”

Jika ia berkata, “Engkau tertalak iż masuk rumah,” dan ia termasuk orang yang memahami naḥwu, maka tertalak seketika karena iżā (dengan ḍammah) menunjukkan masa lampau.

فصل: وإن قال إن دخلت الدار أنت طالق بحذف الفاء لم تطلق حتى تدخل الدار لأن الشرط ثبت بقوله إن دخلت الدار ولهذا لو قال أنت طالق إن دخلت الدار ثبت الشرط وإن لم يأت بالفاء وإن قال إن دخلت الدار فأنت طالق وقال أردت إيقاع الطلاق في الحال قبل من غير يمين لأنه إقرار على نفسه وإن قال أردت أن أجعل دخولها للدار وطلاقها شرطين لعتق أو لطلاق آخر ثم سكت عن الجزاء قبل قوله مع اليمين لأنه يحتمل ما يدعيه وإن قال أردت الشرط والجزاء وأقمت الواو مقام الفاء قبل قوله مع اليمين لأنه يحتمل ما يدعيه وإن قال إن دخلت الدار فأنت طالق وقال أردت به الطلاق في الحال قبل قوله من غير يمين لأنه قرار بالطلاق وإن قال أردت تعليق الطلاق بدخول الدار قبل قوله مع يمينه لأنه يحتمل ما يدعيه.

PASAL: Jika ia berkata, “Jika engkau masuk rumah engkau tertalak,” dengan menggugurkan fā’ (huruf ‘fa’ pada jawaban syarat), maka tidak tertalak hingga ia masuk rumah, karena syarat ditetapkan dengan ucapannya “jika engkau masuk rumah.” Oleh karena itu, jika ia berkata, “Engkau tertalak jika engkau masuk rumah,” maka syarat tetap sah meskipun ia tidak menyebutkan fā’.

Jika ia berkata, “Jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak,” lalu ia berkata, “Aku bermaksud menjatuhkan talak saat itu juga,” maka diterima ucapannya tanpa perlu sumpah, karena itu merupakan pengakuan atas dirinya sendiri.

Jika ia berkata, “Aku bermaksud menjadikan masuk rumah dan talak sebagai dua syarat untuk pembebasan budak atau untuk talak yang lain,” lalu ia diam dari menyebutkan jazā’ (konsekuensi syarat), maka diterima ucapannya disertai sumpah, karena ada kemungkinan maksud yang ia klaim.

Jika ia berkata, “Aku bermaksud syarat dan konsekuensi, dan aku jadikan wāw menggantikan fā’,” maka diterima ucapannya disertai sumpah, karena ada kemungkinan maksud yang ia klaim.

Jika ia berkata, “Jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak,” lalu ia berkata, “Aku bermaksud talak saat itu juga,” maka diterima ucapannya tanpa sumpah karena itu merupakan pengakuan akan talak.

Jika ia berkata, “Aku bermaksud menggantungkan talak dengan masuk rumah,” maka diterima ucapannya disertai sumpah, karena ada kemungkinan maksud yang ia klaim.

فصل: إذا قال لزوجته وأجنبية إحداكما طالق ثم قال أردت به الأجنبية قبل قوله مع اليمين وإن كانت له زوجة اسمها زينب وجارة اسمها زينب فقال زينب طالق وقال أردت بها الجارة لم يقبل والفرق بينهما أن قوله إحداكما طالق صريح فيهما وإنما يحمل على زوجته بدليل وهو أنه لا يطلق غير زوجته فإذا صرفه إلى الأجنبية فقد صرفه إلى ما لا يقتضيه تصريحه فقبل منه وليس كذلك قوله زينب طالق لأنه ليس بصريح في واحدة منهما وإنما يتناولها من جهة الدليل وهو الاشتراك في الاسم ثم يقابل هذا الدليل دليل آخر وهو أنه لا يطلق غير زوجته فصار اللفظ في زوجته أظهر فلم يقبل خلافه.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istrinya dan kepada wanita asing, “Salah satu dari kalian tertalak,” lalu ia berkata, “Yang aku maksud adalah wanita asing,” maka ucapannya diterima disertai sumpah.

Namun jika ia memiliki istri bernama Zainab dan tetangga bernama Zainab, lalu ia berkata, “Zainab tertalak,” kemudian ia berkata, “Yang aku maksud adalah tetanggaku,” maka tidak diterima.

Perbedaan antara keduanya adalah: ucapannya “Salah satu dari kalian tertalak” adalah lafaz yang ṣarīḥ (jelas) pada keduanya, dan tidak mungkin dimaksudkan kepada selain istrinya kecuali dengan dalil, yaitu bahwa ia tidak dapat menalak selain istrinya. Maka jika ia arahkan kepada wanita asing, berarti ia arahkan kepada sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh lafaz ṣarīḥ-nya, sehingga diterima.

Tidak demikian halnya dengan ucapannya “Zainab tertalak,” karena itu bukan lafaz ṣarīḥ untuk salah satu dari keduanya, namun hanya mencakup keduanya dari sisi dalil, yaitu kesamaan nama. Kemudian dalil ini ditentang oleh dalil lain, yaitu bahwa ia tidak dapat menalak selain istrinya. Maka lafaz tersebut menjadi lebih kuat tertuju pada istrinya, sehingga tidak diterima klaim sebaliknya.

فصل: وإن كانت له زوجتان اسم إحداهما حفصة واسم الأخرى عمرة فقال يا حفصة فأجابته عمرة فقال لها أنت طالق ثم قال أردت طلاق حفصة وقع الطلاق على عمرة بالمخاطبة وعلى حفصة باعترافه بأنه أراد طلاقها وإن قال ظننتها حفصة فقلت أنت طالق طلقت عمرة ولم تطلق حفصة لأنه لم يخاطبها ولم يعترف بطلاقها وإن رأى امرأة اسمها حفصة فقال حفصة طالق ولم يشر إلى التي رآها وقع الطلاق على زوجته حفصة ولم يقبل قوله لم أردها لأن الظاهر أنه أراد طلاق زوجته ولم يعارض هذا الظاهر غيره.

PASAL: Jika seseorang memiliki dua istri, salah satunya bernama Ḥafṣah dan yang lainnya bernama ‘Amrah, lalu ia berkata, “Wahai Ḥafṣah,” kemudian yang menjawab adalah ‘Amrah, lalu ia berkata kepadanya, “Engkau tertalak,” kemudian ia berkata, “Aku bermaksud menalak Ḥafṣah,” maka jatuh talak atas ‘Amrah karena telah diajak bicara, dan atas Ḥafṣah karena pengakuannya bahwa ia bermaksud menalaknya.

Namun jika ia berkata, “Aku mengira dia adalah Ḥafṣah, maka aku berkata: ‘Engkau tertalak’,” maka tertalaklah ‘Amrah dan tidak tertalak Ḥafṣah, karena ia tidak berbicara langsung kepada Ḥafṣah dan tidak mengakui telah menalaknya.

Dan jika ia melihat seorang perempuan bernama Ḥafṣah, lalu berkata, “Ḥafṣah tertalak,” tanpa menunjuk kepada perempuan yang dilihatnya, maka jatuh talak atas istrinya yang bernama Ḥafṣah, dan tidak diterima ucapannya bahwa ia tidak bermaksud menalak istrinya, karena yang tampak adalah bahwa ia bermaksud menalak istrinya, dan tidak ada yang menentang hal yang tampak tersebut.

فصل: إذا قال لامرأته إذا وقع عليك طلاقي فأنت طالق قبله ثلاثاً ثم قال لها أنت طالق فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال يقع عليها طلقة بقوله أنت طالق ولا يقع من الثلاث قبلها شيء كما إذا قال لها إذا انفسخ نكاحك فأنت طالق قبله ثلاثا ثم ارتدت انفسخ نكاحها ولم يقع من الثلاث شيء ومنهم من قال: يقع بقوله أنت طالق طلقة وطلقتان من الثلاث وهو قول أبي عبد الله الختن لأنه يقع بقوله أنت طالق طلقة ويقع ما بقي بالشرط وهو طلقتان

PASAL: Jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika jatuh talakku atasmu maka engkau tertalak sebelumnya tiga kali,” lalu ia berkata kepadanya, “Engkau tertalak,” maka para sahabat kami berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa jatuh atasnya satu talak dengan ucapannya “engkau tertalak” dan tidak jatuh sesuatu pun dari tiga talak sebelumnya, sebagaimana jika ia berkata kepadanya: “Jika nikahmu terfasakh maka engkau tertalak sebelumnya tiga kali,” lalu ia murtad dan nikahnya pun terfasakh, maka tidak jatuh sesuatu pun dari tiga talak tersebut. Dan sebagian dari mereka berpendapat: jatuh dengan ucapannya “engkau tertalak” satu talak dan dua talak dari tiga talak tersebut, dan ini adalah pendapat Abū ‘Abdillāh al-Khatan, karena jatuh dengan ucapannya “engkau tertalak” satu talak dan sisanya jatuh dengan sebab syarat, yaitu dua talak.

ومنهم من قال لا يقع عليها بعد هذا القول طلاق وهو قول أبي العباس بن سريح وأبي بكر بن الحداد المصري والشيخ أبي حامد الاسفرايني والقاضي أبي الطيب الطبري وهو الصحيح عندي والدليل عليه أن إيقاع الطلاق يؤدي إلى إسقاطه لأنا إذا أوقعنا عليها طلقة لزمنا أن نوقف عليها قبلها ثلاثا بحكم الشرط وإذا وقع قبلها الثلاث لم تقع الطلقة وما أدى ثبوته إلى نفيه سقط ولهذا قال الشافعي رحمه الله فيمن زوج عبده بحرة بألف درهم وضمن صداقها ثم باع العبد منها بتلك الألف قبل الدخول أن البيع لا يصح لأن صحته تؤدي إلى إبطاله فإنه إذا صح البيع انفسخ النكاح بملك الزوج

dan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak jatuh talak atasnya setelah ucapan ini. Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij, Abu Bakar bin al-Haddad al-Mishri, asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfara’ini, dan al-Qadhi Abu ath-Thayyib ath-Thabari. Dan inilah yang menurutku benar. Dalilnya adalah bahwa menjatuhkan talak dalam kondisi ini justru mengakibatkan talak itu gugur, karena jika kita jatuhkan satu talak atasnya, maka kita harus menetapkan bahwa sebelumnya telah jatuh tiga talak berdasarkan syarat yang disebutkan. Dan jika tiga talak itu terjadi sebelumnya, maka talak ini tidak sah. Sesuatu yang keberlakuannya menafikan keberadaannya sendiri, maka ia gugur. Oleh karena itu, Imam asy-Syafi‘i RA berkata tentang seseorang yang menikahkan budaknya dengan perempuan merdeka dengan mahar seribu dirham dan ia menjamin mahar tersebut, kemudian ia menjual budak itu kepada perempuan tersebut dengan harga seribu dirham itu juga sebelum terjadi hubungan suami istri, maka jual belinya tidak sah, karena keabsahannya menyebabkan pembatalannya. Sebab jika jual beli itu sah, maka pernikahannya menjadi batal karena perempuan itu menjadi pemilik suaminya.

وإذا انفسخ النكاح سقط المهر لأن الفسخ من جهتها وإذا سقط المهر سقط الثمن لأن الثمن هو المهر وإذا سقط الثمن بطل البيع فأبطل البيع حين أدى تصيحه إلى إبطاله فكذلك ههنا ويخالف الفسخ بالردة فإن الفسخ لا يقع بإيقاعه وإنما تقع الردة والفسخ من موجباتها والطلاق الثلاث لا ينافي الردة فصحت الردة وثبت موجبها وهو الفسخ والطلاق يقع بإيقاعه والثلاث قبله تنافيه فمنع صحته فعلى هذا إن حلف على امرأته بالطلاق الثلاث أنه لا يفعل شيئا وأراد أن يفعله ولا يحنث

dan apabila nikahnya batal, maka gugurlah mahar karena pembatalan berasal dari pihak perempuan. Dan jika mahar gugur, maka harga jual juga gugur karena harga itu adalah mahar. Jika harga jual gugur, maka batal pula jual belinya. Maka dibatalkanlah jual beli itu karena keabsahannya menyebabkan kebatalannya. Maka demikian pula dalam permasalahan ini.

Berbeda halnya dengan pembatalan nikah karena riddah (murtad), karena pembatalan tidak terjadi melalui suatu perbuatan yang dilakukan, melainkan riddah itu sendiri yang terjadi, dan pembatalan adalah konsekuensinya. Talak tiga tidak bertentangan dengan riddah, maka riddah itu sah dan menetapkan akibatnya, yaitu pembatalan nikah.

Sedangkan talak terjadi dengan perbuatan (yakni ucapan talak), dan talak tiga yang disebut sebelumnya bertentangan dengannya, maka itu menghalangi keabsahannya. Maka atas dasar ini, jika seseorang bersumpah dengan talak tiga atas istrinya bahwa ia tidak akan melakukan suatu perbuatan, lalu ia ingin melakukannya, maka ia tidak terkena pelanggaran sumpah.

فقال إذا وقع على امرأتي طلاقي فهي طالق قبله ثلاثاً ففيه وجهان: أحدهما: يحنث فقال إذا فعل المحلوف عليه لأن عقد اليمين صح فلا يملك رفعه والثاني: لا يحنث لأنه يجوز أن يعلن الطلاق على صفة ثم يسقط حكمه بصفة أخرى والدليل عليه أنه إذا قال إذا حل رأس الشهر فأنت طالق ثلاثاً صحت هذه الصفة ثم يملك إسقاطها بأن يقول أنت طالق قبل انقضاء الشهر بيوم.

Maka jika ia berkata, “Jika jatuh talakku pada istriku, maka ia tertalak sebelumnya tiga,” maka terdapat dua wajah:

Pertama: ia dianggap melanggar sumpah apabila melakukan hal yang menjadi objek sumpah, karena akad sumpah telah sah, maka ia tidak memiliki hak untuk membatalkannya.

Kedua: ia tidak dianggap melanggar, karena boleh saja seseorang menggantungkan talak pada suatu sifat (syarat), lalu menggugurkan hukumnya dengan sifat (syarat) lain. Dalilnya adalah jika seseorang berkata, “Jika masuk awal bulan, maka engkau tertalak tiga,” maka sifat ini sah, kemudian ia boleh menggugurkannya dengan berkata, “Engkau tertalak sehari sebelum akhir bulan.”

فصل: إذا علق طلاق امرأته على صفة من يمين أو غيرها ثم بانت منه ثم تزوجها قبل وجود الصفة ففيه ثلاثة أقوال: أحدها لا يعود حكم الصفة في النكاح الثاني وهو اختيار المزني لأنها صفة علق عليها الطلاق قبل النكاح فلم يقع بها الطلاق كما لو قال لأجنبية إن دخلت الدار فأنت طالق ثم تزوجها ودخلت الدار

PASAL: Jika seseorang menggantungkan talak istrinya pada suatu sifat, baik dengan sumpah atau selainnya, kemudian ia menceraikannya dan menikahinya kembali sebelum sifat itu terjadi, maka terdapat tiga pendapat:

Pertama: hukum sifat tersebut tidak kembali (tidak berlaku) pada pernikahan kedua, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, karena itu adalah sifat yang digantungkan talak padanya sebelum akad nikah, maka talak tidak jatuh karenanya, sebagaimana jika ia berkata kepada seorang perempuan asing (yang belum dinikahi): “Jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak,” lalu ia menikahinya dan si perempuan masuk rumah.

والثاني: أنها تعود ويقع بها الطلاق وهو الصحيح لأن العقد والصفة وجدا في عقد النكاح فأشبه إذا لم يتخللهما بينونة والثالث أنها إن بانت بما دون الثلاث عاد حكم الصفة وإن بانت بالثلاث لم تعد لأن بالثلاث انقطعت علائق الملك وبما دون الثلاث لم تنقطع علائق الملك ولهذا بنى أحد العقدين على الآخر في عدد الطلاق فيما دون الثلاث ولا يبنى بعد الثلاث وإن علق عتق عبده على صفة ثم باعه ثم اشتراه قبل وجود الصفة ففيه وجهان: أحدهما: أن حكمه حكم الزوجة إذا بانت بما دون الثلاث لأنه يمكنه أن يشتريه بعد البيع كما يمكنه أن يتزوج البائن بما دون الثلاث والثاني: أنه كالبائن بالثلاث لأن علائق الملك قد زالت بالبيع كما زالت في البائن بالثلاث.

Kedua: sifat tersebut kembali dan talak jatuh karenanya, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena akad nikah dan sifat itu sama-sama terjadi dalam ikatan pernikahan, maka ia seperti halnya jika tidak ada pemisahan (bainunah) di antara keduanya.

Ketiga: jika perpisahan terjadi dengan kurang dari tiga talak, maka hukum sifat itu kembali; namun jika perpisahan dengan tiga talak, maka tidak kembali, karena dengan tiga talak terputuslah seluruh hubungan kepemilikan, sedangkan dengan kurang dari tiga, hubungan kepemilikan belum terputus. Oleh karena itu, salah satu dari dua akad dapat dibangun atas yang lain dalam jumlah talak jika kurang dari tiga, dan tidak dapat dibangun jika sudah tiga.

Dan jika seseorang menggantungkan kemerdekaan budaknya pada suatu sifat, lalu ia menjualnya, kemudian membelinya kembali sebelum sifat itu terjadi, maka ada dua wajah:

Pertama: hukumnya seperti istri yang berpisah dengan kurang dari tiga talak, karena ia masih bisa membeli budak tersebut setelah menjualnya, sebagaimana ia bisa menikahi kembali istri yang ditalak dengan kurang dari tiga.

Kedua: hukumnya seperti wanita yang ditalak tiga, karena hubungan kepemilikan telah terputus dengan penjualan, sebagaimana terputus dalam kasus talak tiga.

فصل: وإن علق الطلاق على صفة ثم أبانها ووجدت الصفة في حالة البينونة انحلت الصفة وإن تزوجها لم يعد حكم الصفة وكذلك إذا علق عتق عبده على صفة ثم باعه ووجدت الصفة قبل أن يشتريه انحلت الصفة فإن اشتراه لم يعد حكم الصفة وقال أبو سعيد الأصطخري رحمه الله لا تنحل الصفة لأن قوله إن دخلت الدار فأنت طالق مقدر بالزوجة وقوله إن دخلت الدار فأنت حر مقدر بالملك لأن الطلاق لا يصح في غير الزوجية والعتق لا يصح في غير ملك فيصير كما لو قال إن دخلت الدار وأنت زوجتي فأنت طالق

PASAL: Jika seseorang menggantungkan talak pada suatu sifat, lalu ia menceraikannya, kemudian sifat tersebut terjadi dalam keadaan talak (sudah berpisah), maka sifat itu batal. Jika ia menikahinya kembali, hukum sifat tersebut tidak kembali. Demikian pula jika seseorang menggantungkan pembebasan budaknya pada suatu sifat, lalu ia menjualnya dan sifat itu terjadi sebelum ia membelinya kembali, maka sifat itu batal. Jika ia membelinya kembali, hukum sifat itu tidak kembali.

Abu Sa‘īd al-Aṣṭakhrī rahimahullah berkata: Sifat itu tidak batal, karena ucapannya “Jika engkau masuk rumah maka engkau tertalak” bergantung pada keberadaan istri, dan ucapannya “Jika engkau masuk rumah maka engkau merdeka” bergantung pada kepemilikan. Sebab talak tidak sah kecuali dalam keadaan sebagai istri, dan ‘itq tidak sah kecuali dalam keadaan kepemilikan. Maka hal itu menjadi seperti ucapannya: “Jika engkau masuk rumah dalam keadaan engkau adalah istriku maka engkau tertalak.”

وإن دخلت الدار وأنت مملوكي فأنت حر والمذهب الأول لأن اليمين إذا علقت على عين تعلقت بها ولا نقدر فيها الملك والدليل عليه أنه لو قال إن دخلت هذه الدار فأنت طالق والدار في ملكه فباعها ثم دخلها وقع الطلاق ولا يجعل كما لو قال إن دخلت هذه الدار وهي في ملكي فأنت طالق فكذلك ههنا. والله أعلم.

Dan jika ia berkata, “Jika engkau masuk rumah dalam keadaan engkau milikku, maka engkau merdeka,” maka madzhab yang pertama (yaitu: sifatnya batal) adalah pendapat yang benar. Karena sumpah apabila digantungkan pada suatu ‘ain (benda atau orang tertentu), maka ia terkait langsung dengannya tanpa perlu kita taksir adanya kepemilikan.

Buktinya, jika seseorang berkata, “Jika engkau masuk rumah ini maka engkau tertalak,” dan rumah itu miliknya, lalu ia menjual rumah itu kemudian masuk ke dalamnya, maka talak tetap jatuh, dan tidak diperlakukan seperti ucapannya, “Jika engkau masuk rumah ini dalam keadaan rumah ini milikku maka engkau tertalak.” Maka demikian pula dalam kasus ini.
Wallāhu a‘lam.

باب الشك في الطلاق واختلاف الزوجين فيه
إذا شك الرجل هل طلق امرأته أم لا لم تطلق لأن النكاح يقين واليقين لا يزال بالشك والدليل عليه ما روى عبد الله بن زيد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن الرجل يخيل إليه أنه يجد الشيء في الصلاة فقال: “لا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا”. والورع أن يلتزم الطلاق لقوله صلى الله عليه وسلم: “دع ما يريبك إلى ما لا يريبك” . فإن كان بعد الدخول راجعها وإن كان قبل الدخول جدد نكاحها وإن لم يكن له رغبة طلقها لتحل لغيره بيقين وإن شك في عدده بنى الأمر على الأقل

BAB KERAGUAN DALAM TALAK DAN PERSELISIHAN SUAMI ISTRI TENTANGNYA
Apabila seorang laki-laki ragu apakah ia telah menalak istrinya atau belum, maka talak tidak terjadi, karena status pernikahan itu yakin, dan keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Abdullāh bin Zayd RA bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang seseorang yang merasa seolah-olah mendapati sesuatu dalam salatnya. Beliau bersabda: “Janganlah ia berpaling hingga ia mendengar suara atau mencium bau.”

Adapun sikap wara‘ adalah berkomitmen pada talak, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu menuju perkara yang tidak meragukanmu.”

Jika keraguan itu terjadi setelah dukhūl (bercampur), maka ia melakukan rujū‘. Dan jika terjadi sebelum dukhūl, maka ia memperbaharui akad nikah. Jika ia tidak menginginkannya lagi, maka ia menalaknya agar ia halal bagi selainnya dengan keyakinan.

Dan apabila ia ragu tentang jumlah talak, maka ia berpegang pada jumlah yang paling sedikit.

لما روى عبد الرحمن بن عوف أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إذا شك أحدكم في صلاته فلم يدرأ واحدة صلى أم اثنتين فليبن على واحدة وإن لم يدر اثنتين صلى أم ثلاثاً فليبن على اثنتين وإن لم يدر أثلاثاً صلى أم أربعاً فليبن على ثلاث ويسجد سجدتين قبل أن يسلم”. فرد إلى الأقل ولأن الأقل يقين والزيادة مشكوك فيها فلا يزال اليقين بالشك والورع أن يتم الأكثر فإن كان الشك الثلاث وما دونها طلقها ثلاثاً حتى تحل لغيره بيقين.

Karena telah diriwayatkan dari ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya, tidak tahu apakah ia salat satu rakaat atau dua, maka hendaklah ia berpegang pada satu. Dan jika tidak tahu apakah ia salat dua atau tiga, maka hendaklah ia berpegang pada dua. Dan jika tidak tahu apakah ia salat tiga atau empat, maka hendaklah ia berpegang pada tiga. Dan hendaklah ia sujud dua kali sebelum salam.” Maka perkara dikembalikan kepada jumlah yang paling sedikit, karena yang sedikit itu yakin sedangkan tambahan itu meragukan, dan keyakinan tidak dihilangkan oleh keraguan.

Adapun sikap wara‘ adalah menyempurnakan jumlah yang lebih banyak. Maka jika keraguan itu antara tiga talak dan kurang darinya, ia menalaknya tiga kali agar ia halal bagi selainnya dengan keyakinan.

فصل: وإن كانت له امرأتان فطلق إحداهما بعينها ثم نسيها أو خفيت عليه عينها بأن طلقها في ظلمة أومن وراء حجاب رجع إليه في تعيينها لأنه هو المطلق ولا تحل له واحدة منهما قبل أن يعين ويؤخذ بنفقتهما إلى أن يعين لأنهما محبوستان عليه فإن عين الطلاق في إحداهما فكذبتاه حلف للأخرى لأن المعينة لو رجع في طلاقها لم يقبل وإن قال طلقت هذه لا بل هذه طلقتا في الحكم

PASAL: Jika seseorang memiliki dua istri lalu menceraikan salah satunya secara spesifik, kemudian ia lupa atau tidak mengetahui secara pasti siapa yang ia maksud—karena menceraikan dalam keadaan gelap atau dari balik tabir—maka ia kembali kepada dirinya dalam menetapkan siapa yang ia maksud, karena dialah yang menjatuhkan talak. Dan tidak halal baginya untuk menggauli salah satu dari keduanya sebelum ia menetapkan siapa yang diceraikan. Ia tetap bertanggung jawab memberi nafkah kepada keduanya hingga ia menetapkan, karena keduanya masih tertahan (statusnya) padanya. Jika ia telah menetapkan bahwa yang diceraikan adalah salah satu dari keduanya, lalu keduanya sama-sama mengingkarinya, maka ia bersumpah untuk yang lain. Karena jika ia telah menetapkan talak pada yang pertama lalu ia menarik kembali dan menunjuk yang kedua, maka penarikan itu tidak diterima. Dan jika ia berkata, “Aku menceraikan yang ini, tidak, justru yang ini,” maka keduanya dianggap tertalak dalam hukum.

لأنه أقر بطلاق الأولى ثم رجع إلى الثانية فقبلنا إقراره بالثانية ولم يقبل رجوعه في الأولى وإن كن ثلاثاً فقال طلقت هذه لا بل هذه لا بل هذه طلقن جميعا وإن قال طلقت هذه أو هذه لا بل هذه طلقت الثالثة وواحدة من الأوليين وأخذ بتعيينه لأنه أقر أنه طلق إحدى الأوليين ثم رجع إلى أن المطلقة هي الثالثة فلزمه ما رجع إليه ولم يقبل رجوعه عما أقر به وإن قال طلقت هذه لا بل هذه أو هذه طلقت الأولى وواحدة من الأخريين

Karena ia telah mengakui bahwa ia telah menceraikan yang pertama, kemudian ia beralih kepada yang kedua, maka kami terima pengakuannya atas yang kedua dan tidak kami terima penarikannya atas pengakuan yang pertama. Jika istri-istrinya berjumlah tiga, lalu ia berkata, “Aku telah menceraikan yang ini, tidak, justru yang ini, tidak, justru yang ini,” maka ketiganya tertalak. Dan jika ia berkata, “Aku telah menceraikan yang ini atau yang ini, tidak, justru yang ini,” maka yang tertalak adalah yang ketiga dan salah satu dari dua istri pertama, dan ia dikenai dengan penetapannya itu, karena ia mengakui bahwa ia menceraikan salah satu dari dua istri pertama, kemudian ia beralih bahwa yang tertalak adalah yang ketiga, maka ia terikat dengan apa yang ia alihkan dan tidak diterima penarikannya dari pengakuannya. Dan jika ia berkata, “Aku menceraikan yang ini, tidak, justru yang ini atau yang ini,” maka yang tertalak adalah yang pertama dan salah satu dari dua istri yang disebutkan terakhir.

وإن قال طلقت هذه أو هذه وهذه أخذ ببيان الطلاق في الأولى والأخريين فإن عين في الأولى بقيت الأخريان على النكاح وإن قال لم أطلق الأولى طلقت الأخريان لأن الشك في الأولى والأخريين فهو كما لو قال طلقت هذه أو هاتين ولا يجوز له أن يعين بالوطء فإن وطئ إحداهما لم يكن ذلك تعييناً للطلاق في الأخرى فيطالب بالتعيين بالقول فأن عين الطلاق في الموطوءة لزمه مهر المثل وإذا عين وجبت العدة من حين الطلاق.

Dan jika ia berkata, “Aku menceraikan yang ini atau yang ini dan yang ini,” maka ia diambil berdasarkan penjelasannya bahwa talak jatuh pada yang pertama dan dua yang lainnya. Jika ia menetapkan talak pada yang pertama, maka dua yang lainnya tetap dalam ikatan nikah. Namun jika ia berkata, “Aku tidak menalak yang pertama,” maka dua yang lainnya tertalak, karena ada keraguan dalam penetapan talak antara yang pertama dan dua lainnya, maka hukumnya sebagaimana jika ia berkata, “Aku menalak yang ini atau dua wanita ini.”

Dan tidak boleh baginya menetapkan (yang tertalak) dengan jima‘, maka jika ia menyetubuhi salah satu dari keduanya, hal itu tidak menjadi penetapan bahwa talak jatuh pada yang lain. Maka ia tetap diminta untuk menetapkan melalui ucapan. Jika ia menetapkan bahwa talak jatuh pada yang telah disetubuhi, maka ia wajib membayar mahr al-mitsl (maskawin sepadan), dan jika ia telah menetapkan (siapa yang tertalak), maka wajiblah masa ‘iddah terhitung sejak talak.

فصل: وإن طلق إحدى المرأتين بغير عينها أخذ بتعيينها ويؤخذ بنفقتهما إلى أن يعين وله أن يعين الطلاق فيمن شاء منهما فإن قال هذه لا بل هذه طلقت الأولى ولم تطلق الأخرى لأن تعيين الطلاق إلى اختياره وليس له أن يختار إلا واحدة فإذا اختار إحداهما لم يبق له اختيار وهل له أن يعين الطلاق بالوطء ففيه وجهان: أحدهما: لا يعين بالوطء وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة لأن إحداهما محرمة بالطلاق فلم تتعين بالوطء كما لو طلق إحداهما بعينها ثم أشكلت فعلى هذا يؤخذ بعد الوطء بالتعيين بالقول فإن عين الطلاق في الموطوءة لزمه المهر

PASAL: Jika ia menalak salah satu dari dua istrinya tanpa menyebutkan siapa yang dimaksud, maka ia wajib menetapkan siapa yang ditalak, dan ia tetap wajib memberi nafkah kepada keduanya sampai ia menetapkan. Ia berhak menetapkan talak pada siapa pun dari keduanya yang ia kehendaki. Jika ia berkata, “yang ini, tidak, tapi yang ini”, maka yang pertama tertalak dan yang kedua tidak tertalak, karena penetapan talak berada di bawah pilihannya, dan ia tidak boleh memilih kecuali satu. Maka apabila ia telah memilih salah satu dari keduanya, tidak ada lagi pilihan baginya. Apakah ia boleh menetapkan talak melalui jima‘? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: tidak boleh menetapkan melalui jima‘, dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah, karena salah satu dari keduanya telah menjadi haram disebabkan oleh talak, maka tidak bisa ditetapkan melalui jima‘ sebagaimana halnya jika ia menalak salah satu dari keduanya dengan menyebutkan nama, lalu menjadi samar. Maka berdasarkan pendapat ini, setelah jima‘ ia tetap wajib menetapkan dengan ucapan. Jika ia menetapkan bahwa yang tertalak adalah yang telah dijima‘i, maka ia wajib membayar mahar misil.

والثاني: يتعين وهو قول أبي إسحاق واختيار المزني وهو الصحيح لأنه اختيار شهوة والوطء قد دل على الشهوة وفي وقت العدة وجهان: أحدهما: من حين يلفظ بالطلاق لأنه وقت وقوع الطلاق والثاني: من حين التعيين وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة رحمه الله لأنه وقت تعيين الطلاق.

Dan pendapat kedua: dapat ditetapkan (dengan jima‘), dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq serta pilihan al-Muzanī, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena ia merupakan bentuk pemilihan dengan syahwat, sementara jima‘ menunjukkan adanya syahwat.

Adapun waktu dimulainya ‘iddah, terdapat dua wajah:

Pertama, dimulai sejak ia mengucapkan talak, karena saat itulah talak terjadi.

Kedua, dimulai sejak penetapan (siapa yang tertalak), dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah RA, karena waktu itulah talak menjadi ditetapkan.

فصل: وإن ماتت الزوجات قبل التعيين وبقي الزوج وقف من مال كل واحدة منهما نصف الزوج فإن كان قد طلق إحداهما بعينها فعين الطلاق في إحداهما أخذ من تركة الأخرى ما يخصه وإن كذبه ورثتها فالقول قوله مع يمينه وإن كان قد طلق إحداهما بغير عينها فعين الطلاق في إحداهما دفع إليه من مال الأخرى ما يخصه وإن كذبه ورثتها فالقول قوله من غير يمين لأن هذا اختيار شهوة وقد اختار ما اشتهى وإن مات الزوج بقيت الزوجتان وقف لهما من ماله نصيب زوجة إلى أن يصطلحا لأنه قد ثبت إرث إحداهما بيقين وليست إحداهما بأولى من الأخرى فوجب أن يوقف إلى أن يصطلحا لأنه قد ثبت إرث إحداهما بيقين فإن قال وارث الزوج أنا أعرف الزوجة منهما ففيه قولان: أحدهما: يرجع إليه لأنه لما قام مقامه في استلحاق النسب قام مقامه في تعيين الزوجة

PASAL: Dan jika para istri meninggal sebelum dilakukan penetapan (siapa yang tertalak), sedangkan suami masih hidup, maka dari harta masing-masing istri ditahan setengah bagian suami. Jika ia telah menalak salah satu dari keduanya secara mu‘ayyanah (dengan penentuan), lalu ia menetapkan bahwa yang tertalak adalah salah satu dari keduanya, maka diambilkan dari warisan istri yang lain bagian yang menjadi haknya. Jika ahli waris istri yang ditunjuk itu mendustakannya, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya.

Dan jika ia telah menalak salah satu dari keduanya tanpa penentuan, lalu ia menetapkan bahwa talak terjadi pada salah satu dari keduanya, maka diberikan kepadanya dari harta istri yang lain bagian yang menjadi haknya. Dan jika ahli waris istri yang ditunjuk itu mendustakannya, maka perkataannya diterima tanpa sumpah karena hal ini merupakan pilihan atas dasar syahwat, dan ia telah memilih apa yang ia kehendaki.

Dan jika suami meninggal dunia, sedangkan kedua istrinya masih hidup, maka dari hartanya ditahan bagian seorang istri untuk keduanya sampai keduanya berdamai. Karena telah dipastikan bahwa salah satu dari keduanya berhak mewarisi, dan tidak ada satu pun dari keduanya yang lebih berhak daripada yang lain, maka wajib ditahan sampai keduanya berdamai, karena telah dipastikan bahwa salah satu dari keduanya berhak mewarisi.

Jika salah satu ahli waris suami berkata, “Aku tahu siapa istrinya dari keduanya,” maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, diterima perkataannya, karena ketika ia bisa mewakili suami dalam menetapkan nasab, maka ia juga bisa mewakilinya dalam menetapkan istri.

والثاني: لا يرجع إليه لأن كل واحدة منهما زوجة في الظاهر وفي الجوع إلى بيانه إسقاط وارث مشارك والوارث لا يملك إسقاط من يشاركه في الميراث واختلف أصحابنا في موضع القولين فقال أبو إسحاق القولان فيمن عين طلاقها ثم أشكلت وفيمن طلق إحداهما من غير تعيين ومنهم من قال القولان فيمن عين طلاقها ثم أشكلت لأنه إخبار فجاز أن يخبر الوارث عن الموروث وأما إذا طلق إحداهما من غير تعيين فإنه لا يرجع إلى الوارث قولاً واحداً لأنه اختيار شهوة فلم يقم الوارث فيه مقام الموروث كما لو أسلم وتحته أكثر من أربع نسوة ومات قبل أن يختا أربعا منهن.

Dan pendapat kedua: tidak diterima keterangannya, karena masing-masing dari keduanya berstatus sebagai istri secara lahiriah, dan merujuk kepada penjelasannya berarti menggugurkan hak waris dari ahli waris lain yang turut berhak, padahal seorang ahli waris tidak memiliki wewenang untuk menggugurkan hak waris dari orang yang seharusnya mendapat bagian bersamanya.

Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai konteks dua pendapat tersebut. Abū Isḥāq berkata bahwa dua pendapat itu berlaku baik dalam kasus ketika suami telah menetapkan talak secara mu‘ayyanah kemudian menjadi samar (tidak diketahui), maupun dalam kasus ketika ia menalak salah satu dari keduanya tanpa penetapan.

Namun sebagian dari mereka berkata bahwa dua pendapat itu hanya berlaku dalam kasus ketika ia telah menetapkan talak secara mu‘ayyanah kemudian menjadi samar, karena ini termasuk ikhbār (pemberitahuan), maka sah-sah saja jika ahli waris menyampaikan informasi dari pewaris.

Adapun jika ia menalak salah satu dari keduanya tanpa penetapan, maka tidak diterima keterangan ahli waris menurut satu pendapat saja, karena ini adalah bentuk pemilihan berdasarkan syahwat, maka ahli waris tidak bisa menggantikan posisi pewaris di dalamnya, sebagaimana jika seseorang masuk Islam sementara ia memiliki lebih dari empat istri, lalu ia meninggal sebelum memilih empat di antara mereka.

فصل: وإن طلق إحدى زوجتيه ثم ماتت إحداهما ثم مات الزوج قبل البيان عزل من تركة الميتة قبله ميراث زوج لجواز أن تكون هي الزوجة ويعزل من تركة الزوج ميراث زوجة لجواز أن تكون الباقية زوجة فإن قال ورث الزوج الميتة قبله مطلقة فلا ميراث لي منها والباقية زوجة فلها الميراث معي قبل لأنه إقرار على نفسه بما يضره فإن قال الميتة هي الزوجة فلي الميراث من تركتها والباقية هي المطلقة فلا ميراث لها معي فإن صدق على ذلك حمل الأمر على ما قال

PASAL: Jika ia menalak salah satu dari dua istrinya lalu salah satunya meninggal, kemudian suami meninggal sebelum penjelasan (penentuan istri yang ditalak), maka dipisahkan dari harta peninggalan istri yang meninggal sebelum suaminya bagian warisan untuk seorang suami, karena bisa jadi dialah istri yang masih menjadi istri. Dan dipisahkan dari harta peninggalan suami bagian warisan untuk seorang istri, karena bisa jadi istri yang masih hidup adalah istri yang belum ditalak. Jika suami berkata, “Aku mewarisi istri yang meninggal sebelumku karena yang aku talak adalah yang masih hidup, maka tidak ada warisan bagiku darinya, dan istri yang masih hidup adalah istriku, maka ia mendapatkan warisan bersamaku,” maka diterima, karena itu adalah pengakuan atas dirinya dalam perkara yang merugikannya. Jika ia berkata, “Yang meninggal adalah istri yang ditalak, maka aku mendapatkan warisan darinya, dan yang masih hidup adalah yang ditalak, maka ia tidak mendapatkan warisan dariku,” dan ia dibenarkan atas hal itu, maka perkara ini ditetapkan sesuai dengan apa yang ia katakan.

فإن كذب بأن قال وارث الميتة إنها هي المطلقة فلا ميراث لك منها وقالت الباقية أنا الزوجة فلي معك الميراث ففيه قولان: أحدهما: يرجع إلى بيان الوارث فيحلف لورثة الميتة أنه لا يعلم أنه طلقها ويستحق من تركتها ميراث الزوج ويحلف للباقية أنه طلقها ويسقط ميراثها من الزوج والثاني: لا يرجع إلى بيان الوارث فيجعل ما عزل من ميراث الميتة موقوفاً حتى يصطلح عليه وارث الزوج ووارث الزوجة وما عزل من ميراث الزوج موقوفاً حتى تصطلح عليه الباقية ووارث الزوج.

Jika ia didustakan, yaitu ketika ahli waris dari istri yang telah meninggal berkata, “Dialah yang ditalak, maka tidak ada warisan bagimu darinya,” dan istri yang masih hidup berkata, “Akulah istrinya, maka aku berhak atas warisan bersamamu,” maka terdapat dua pendapat:

Pertama: Dikembalikan kepada penjelasan dari ahli waris, yaitu suami bersumpah kepada para ahli waris istri yang meninggal bahwa ia tidak mengetahui bahwa ia menalaknya, dan ia berhak mendapatkan warisan suami dari hartanya. Dan ia bersumpah kepada istri yang masih hidup bahwa ia telah menalaknya, maka gugurlah hak warisnya dari suami.

Kedua: Tidak dikembalikan kepada penjelasan dari ahli waris, maka harta warisan yang telah dipisahkan dari harta istri yang meninggal ditangguhkan sampai ahli waris suami dan ahli waris istri berdamai atasnya. Dan harta yang dipisahkan dari harta suami pun ditangguhkan sampai istri yang masih hidup dan ahli waris suami berdamai atasnya.

فصل: وإن كانت له زوجتان حفصة وعمرة فقال يا حفصة إن كان أول ولد تلدينه ذكرا فعمرة طالق وإن كان أنثى فأنت طالق فولدت ذكرا وأنثى واحدا بعد واحد وأشكل المتقدم منهما طلقت إحداهما بعينها وحكمها حكم من طلق إحدى امرأتين بعينها ثم أشكلت عليه وقد بيناه.

PASAL: Jika seseorang memiliki dua istri, Hafshah dan ‘Amrah, lalu ia berkata, “Wahai Hafshah, jika anak pertama yang engkau lahirkan laki-laki maka ‘Amrah tertalak, dan jika perempuan maka engkau tertalak,” lalu ia melahirkan seorang laki-laki dan perempuan satu demi satu dan tidak diketahui mana yang lebih dahulu, maka salah satu dari keduanya tertalak dengan pasti. Hukum kasus ini sama seperti orang yang mentalak salah satu dari dua istrinya dengan menunjuk secara tertentu, lalu menjadi samar baginya siapa yang ia maksud, dan hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

فصل: وإن رأى طائراً فقال إن كان هذا الطائر غرابا فنسائي طوالق وإن كان حماما فإمائي حرائر ولم يعرف لم تطلق النساء ولم تعتق الإماء لجواز أن يكون الطائر غيرهما والأصل بقاء الملك والزوجية فلا يزل بالشك وإن قال إن كان هذا غراباً فنسائي طوالق وإن كان غير غراب فإمائي حرائر ولم يعرف منع من التصرف في الإماء والنساء لأنه تحقق زوال الملك في أحدهما: فصار كما لو طلق إحدى المرأتين ثم أشكلت ويؤخذ بنفقة الجميع إلى أن يعين لأن الجمع في حبسه ويرجع في البيان إليه لأنه يرجع إليه في أصل الطلاق والعتق فكذلك في تعيينه

PASAL: Jika seseorang melihat seekor burung lalu berkata, “Jika burung ini seekor gagak maka para istriku tertalak, dan jika seekor merpati maka para budak perempuanku merdeka,” namun ia tidak mengetahui jenis burung itu, maka para istri tidak tertalak dan para budak tidak merdeka, karena bisa jadi burung tersebut bukan keduanya. Hukum asalnya adalah tetapnya kepemilikan dan pernikahan, maka tidak hilang karena keraguan.

Namun jika ia berkata, “Jika burung ini seekor gagak maka para istriku tertalak, dan jika bukan gagak maka para budak perempuanku merdeka,” lalu tidak diketahui jenis burung itu, maka ia dilarang melakukan transaksi terhadap para budak dan istri, karena dipastikan bahwa kepemilikan telah hilang pada salah satunya. Maka ini seperti orang yang menalak salah satu dari dua istrinya lalu menjadi samar. Ia wajib memberi nafkah kepada semuanya sampai ia menentukan, karena mereka semua tertahan bersamanya. Penentuan dikembalikan kepadanya, karena talak dan pembebasan budak bersumber darinya, maka begitu pula penentuannya.

فإن امتنع من التعيين مع العلم به حبس حتى يعين، وإن لم يعلم لم يحبس ووقف الأمر إلى أن يتبين وإن مات قبل البيان فهل يرجع إلى الورثة ففيه وجهان: أحدهما: يرجع إليهم لأنهم قائمون مقامه والثاني: لا يرجع لأنهم لا يملكون الطلاق فلم يرجع إليهم في البيان ومتى تعذر في البيان أقرع بين النساء والإماء فإن خرجت القرعة على الإماء عتقن وبقي النساء على الزوجية وإن خرجت القرعة على النساء رق الإماء ولم تطلق النساء وقال أبو ثور: تطلق النساء بالقرعة كما تعتق الإماء وهذا خطأ لأن القرعة لها مدخل في العتق دون الطلاق ولهذا لو طلق إحدى نسائه لم تطلق بالقرعة ولو أعتق أحد عبيده بالقرعة فدخلت القرعة في العتق دون الطلاق كما يدخل المشاهد والمرأتان في السرقة لإثبات المال دون القطع ويثبت للنساء الميراث لأنه لم يثبت بالقرعة ما يسقط الإرث.

Jika ia enggan menentukan padahal ia mengetahuinya, maka ia dipenjara hingga ia menentukan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, maka tidak dipenjara, dan perkara tersebut ditangguhkan hingga menjadi jelas. Jika ia meninggal sebelum menjelaskan, maka apakah hal itu dikembalikan kepada para ahli warisnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: Dikembalikan kepada mereka, karena mereka menempati posisinya.
Kedua: Tidak dikembalikan kepada mereka, karena mereka tidak memiliki kewenangan dalam menjatuhkan talak, maka tidak dikembalikan kepada mereka dalam hal penentuan.

Jika penentuan tidak memungkinkan, maka diadakan undian antara para istri dan para budak perempuan. Jika undian jatuh kepada para budak, maka mereka merdeka dan para istri tetap dalam pernikahan. Jika undian jatuh kepada para istri, maka para budak tetap menjadi budak dan para istri tidak tertalak.

Abu Ṯaur berpendapat bahwa para istri tertalak melalui undian sebagaimana para budak merdeka. Pendapat ini keliru, karena undian memiliki tempat dalam pembebasan budak, bukan dalam talak. Karena itu, jika seseorang menalak salah satu dari istri-istrinya, maka talak tidak berlaku dengan undian. Namun jika ia memerdekakan salah satu dari para budaknya, maka undian dapat digunakan. Undian masuk dalam hal pembebasan budak, bukan talak, sebagaimana dua orang wanita disamakan dalam kasus pencurian untuk menetapkan harta, bukan untuk menetapkan hukuman potong tangan.

Para istri tetap mendapatkan warisan, karena undian tidak menetapkan hal yang menggugurkan hak waris.

فصل: وإن طار طائر فقال رجل إن كان هذا الطائر غراباً فعبدي حر وقال الآخر إن لم يكن غرابا فعبدي حر ولم يعرف الطائر لم يعتق واحد من العبدين لأنا نشك في عتق كل واحد منهما ولا يزال يقين الملك بالشك وإن اشترى أحد الرجلين عبد الآخر علق عليه لأن إمساكه للعبد إقرار بحرية عبد الآخر فإذا ملكه عتق عليه كما لو شهد بعتق عبد ثم اشتراه.

PASAL: Jika seekor burung terbang lalu seorang laki-laki berkata, “Jika burung ini adalah gagak maka budakku merdeka,” dan laki-laki lain berkata, “Jika bukan gagak maka budakku merdeka,” namun jenis burung itu tidak diketahui, maka tidak ada satu pun dari kedua budak yang merdeka, karena kita ragu dalam hal kemerdekaan masing-masing, dan keyakinan kepemilikan tidak hilang dengan keraguan.

Namun jika salah satu dari kedua laki-laki itu membeli budak milik yang lain, maka kemerdekaan budak itu tergantung, karena kepemilikannya atas budak tersebut merupakan pengakuan atas kemerdekaan budak milik orang lain, maka jika ia memilikinya, budak itu merdeka atasnya, sebagaimana jika seseorang bersaksi atas kemerdekaan budak lalu membelinya.

فصل: إذا اختلف الزوجان فادعت المرأة على الزوج أنه طلقها وأنكر الزوج فالقول قوله مع يمينه لأن الأصل بقاء النكاح وعدم الطلاق وإن اختلفا في عدده فادعت المرأة أنه طلقها ثلاثا وقال الزوج طلقتها طلقة فالقول قول الزوج مع يمينه لأن الأصل عدم ما زاد على طلقة.

PASAL: Jika suami istri berselisih, lalu istri mengklaim bahwa suami telah menalaknya sementara suami mengingkarinya, maka ucapan suami yang diterima dengan sumpah, karena asalnya adalah tetapnya pernikahan dan tidak adanya talak. Dan jika keduanya berselisih dalam jumlah talak, lalu istri mengklaim bahwa suami telah menalaknya tiga kali, sedangkan suami berkata, “Aku hanya menalaknya satu kali,” maka ucapan suami yang diterima dengan sumpah, karena asalnya adalah tidak adanya talak lebih dari satu.

فصل: وإن خيرها ثم اختلفا فقالت المرأة اخترت وقال الزوج ما اخترت فالقول قول الزوج مع يمينه لأن الأصل عدم الاختيار وبقاء النكاح وإن اختلفا في النية فقال الزوج ما نويت وقالت المرأة نويت ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري رحمه الله أن القول قول الزوج لأن الأصل عدم النية وبقاء النكاح فصار كما لو اختلفا في الاختيار والثاني: وهو الصحيح أن القول قول المرأة والفرق بينه وبين الاختلاف في الاختيار أن الاختيار يمكن إقامة البينة عليه فكان القول فيه قوله كما لو علق طلاقه بدخول الدار فادعت أنها أنكرت وأنكر الزوج والنية لا يمكن إقامة البينة عليها فكان القول قولها كما لو علق الطلاق على حيضها فادعت أنها حاضت وأنكر.

PASAL: Jika suami memberi pilihan (untuk tetap atau bercerai), lalu keduanya berselisih; istri berkata, “Aku memilih (bercerai),” dan suami berkata, “Engkau tidak memilih,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami dengan sumpahnya, karena asalnya adalah tidak adanya pilihan dan tetapnya pernikahan.

Jika keduanya berselisih dalam niat, suami berkata, “Aku tidak meniatkan,” dan istri berkata, “Aku telah meniatkan,” maka terdapat dua pendapat:

Pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī rahimahullah: yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami, karena asalnya tidak adanya niat dan tetapnya pernikahan, maka sama seperti ketika berselisih dalam hal pilihan.

Kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ: yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri. Perbedaan antara hal ini dengan perselisihan dalam pilihan adalah bahwa pilihan bisa didatangkan saksi atasnya, maka ucapan suami yang dijadikan pegangan (dengan sumpah), sebagaimana jika suami menggantungkan talak dengan masuk ke rumah lalu istri mengklaim bahwa ia masuk, namun suami mengingkari. Sedangkan niat tidak mungkin didatangkan saksi atasnya, maka ucapan istri yang dijadikan pegangan, sebagaimana jika suami menggantungkan talak dengan haidnya, lalu istri mengklaim bahwa ia telah haid dan suami mengingkarinya.

فصل: وإن قال لها أنت طالق أنت طالق أنت طالق وادعى أنه أراد التأكيد وادعت المرأة أنه أراد الاستئناف فالقول قوله مع يمينه لأنه اعترف بنيته وإن قال الزوج أردت الاستئناف وقالت المرأة أردت التأكيد فالقول قول الزوج لما ذكرناه ولا يمين عليه لأن اليمين تعرض ليخاف فيرجع ولو رجع لم يقبل رجوعه فلم يكن لعرض اليمين معنى.

PASAL: Jika suami berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,” lalu ia mengaku bahwa maksudnya adalah penegasan, sedangkan istri mengklaim bahwa ia bermaksud mengulang talak (istinaf), maka ucapan suami yang diterima dengan sumpah karena ia mengakui niatnya. Dan jika suami berkata, “Aku bermaksud mengulang talak,” sementara istri berkata, “Aku bermaksud penegasan,” maka ucapan suami yang diterima sebagaimana telah disebutkan, dan ia tidak disumpah karena sumpah itu ditampilkan untuk membuat orang takut agar ia mau mengakui, namun jika ia mengakui, maka pengakuannya tidak diterima, sehingga menampilkan sumpah tidak ada maknanya.

فصل: وإن قال أنت طالق في الشهر الماضي وادعى أنه أراد من زوج غيره في نكاح قبله وأنكرت المرأة أن يكون قبله نكاح أو طلاق لم يقبل قول الزوج في الحكم حتى يقيم البينة على النكاح والطلاق فإن صدقته المرأة على ذلك لكنها أنكرت أنه أراد ذلك فالقول قوله مع يمينه فإن قال أردت أنها طالق في الشهر الماضي بطلاق كنت طلقتها في هذا النكاح وكذبته المرأة فالقول قوله مع يمينه والفرق بينه وبين المسألة قبلها أن هناك يريد أن يرفع الطلاق وههنا لا يرفع الطلاق وإنما ينقله من حال إلى حال.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak pada bulan lalu,” lalu ia mengklaim bahwa yang ia maksud adalah istri lain dalam pernikahan sebelumnya, dan istrinya mengingkari bahwa sebelumnya pernah ada pernikahan atau talak, maka ucapan suami tidak diterima dalam hukum hingga ia mendatangkan bukti atas adanya pernikahan dan talak tersebut.

Namun jika istri membenarkannya dalam hal itu, tetapi ia mengingkari bahwa suaminya bermaksud demikian, maka ucapan suami diterima dengan sumpahnya.

Jika suami berkata, “Yang aku maksud adalah bahwa engkau tertalak pada bulan lalu dengan talak yang telah aku jatuhkan padamu dalam pernikahan ini,” dan istri mendustakannya, maka ucapan suami diterima dengan sumpahnya.

Perbedaan antara kasus ini dengan kasus sebelumnya adalah bahwa pada kasus sebelumnya suami bermaksud meniadakan talak, sedangkan pada kasus ini ia tidak meniadakan talak, namun hanya memindahkannya dari satu keadaan ke keadaan yang lain.

فصل: وإن قال إن كان هذا الطائر غراباً فنسائي طوالق وإن لم يكن غراباً فإمائي حرائر ثم قال كان هذا الطائر غراباً طلقت النساء فإن كذبه الإماء حلف لهن فإن حلف ثبت رقهن وإن نكل ردت اليمين عليهن فإن حلفن ثبت طلاق النساء بإقراره وعتق الإماء بنكوله ويمينهن فإن صدقنه ولم يطلبن إحلافه ففيه وجهان: أحدهما: يحلف لما في العتق من حق لله عز وجل والثاني: لا يحلف لأنه لما أسقط العتق بتصديقهن سقط اليمين بترك مطالبتهن وإن قال كان هذا الطائر غير غراب عتق الإماء فإن كذبته النساء حلف لهن وإن نكل عن اليمين ردت عليهن فإن حلفن ثبت عتق الإماء بإقراره وطلاق النساء بيمينهن ونكوله.

PASAL: Jika ia berkata, “Jika burung ini adalah seekor burung gagak, maka istri-istriku tertalak, dan jika bukan burung gagak, maka budak-budakku perempuan merdeka,” lalu ia berkata, “Burung ini adalah burung gagak,” maka istri-istrinya tertalak. Jika para budak perempuan mendustakannya, maka ia disuruh bersumpah kepada mereka. Jika ia bersumpah, maka tetaplah status mereka sebagai budak. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada mereka. Jika mereka bersumpah, maka tetaplah talak terhadap para istri karena pengakuannya dan kemerdekaan para budak karena penolakannya bersumpah dan sumpah mereka. Jika mereka membenarkannya dan tidak menuntut ia bersumpah, maka ada dua pendapat: pertama, ia tetap disuruh bersumpah karena kemerdekaan menyangkut hak Allah SWT; kedua, tidak disuruh bersumpah karena ketika kemerdekaan gugur dengan pembenaran mereka, maka gugurlah pula kewajiban sumpah dengan tidak adanya tuntutan dari mereka.

Jika ia berkata, “Burung ini bukan burung gagak,” maka para budak perempuan merdeka. Jika para istri mendustakannya, maka ia disuruh bersumpah kepada mereka. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada mereka. Jika mereka bersumpah, maka tetaplah kemerdekaan para budak karena pengakuannya dan talak terhadap para istri karena sumpah mereka dan penolakannya.

باب الرجعة
إذا طلق الحر امرأته طلقة أو طلقتين أو طلق العبد امرأته بعد الدخول طلقة فله أن يراجعها قبل انتهاء العدة لقوله عز وجل: {وَإذا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} والمراد به إذا قاربن أجلهن وروى ابن عباس رضي الله عنه عن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم طلق حفصة وراجعها

BAB RUJUK

Apabila seorang laki-laki merdeka menalak istrinya satu atau dua kali, atau seorang budak menalak istrinya satu kali setelah dukhul, maka ia boleh merujuknya sebelum habis masa ‘iddah, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Apabila kamu menalak perempuan-perempuan, lalu mereka mendekati akhir ‘iddah-nya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik.” Yang dimaksud adalah apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddah-nya.

Dan telah meriwayatkan Ibn ‘Abbās RA dari ‘Umar RA bahwa Nabi SAW pernah menalak Ḥafṣah, lalu beliau merujuknya.

وروى ابن عمر رضي الله عنه أنه طلق امرأته وهي حائض فقال النبي صلى الله عليه وسلم لعمر: “مر ابنك فليراجعها فإن انقضت العدة لم يملك رجعها”. لقوله عز وجل: {وَإذا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ} فلو ملك رجعتها لما نهى الأولياء عن عضلهن عن النكاح فإن طلقها قبل الدخول لم يملك الرجعة لقوله عز وجل: {وَإذا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} فدلت الرجعة على الأجل فدل على أنها لا تجوز من غير أجل والمطلقة قبل الدخول لا عدة عليها لقوله تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} .

Dan telah meriwayatkan Ibn ‘Umar RA bahwa ia menalak istrinya dalam keadaan haid, lalu Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar: “Perintahkan anakmu untuk merujuknya. Jika telah habis masa ‘iddah-nya, maka ia tidak berhak lagi merujuknya.” Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Apabila kamu menalak perempuan-perempuan, lalu mereka telah sampai pada akhir ‘iddah-nya, maka janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan suami-suami mereka.” Maka jika suami masih memiliki hak rujuk, niscaya para wali tidak dilarang untuk menghalangi mereka dari menikah.

Apabila suami menalaknya sebelum dukhul, maka ia tidak memiliki hak rujuk, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Apabila kamu menalak perempuan-perempuan, lalu mereka mendekati akhir ‘iddah-nya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik.” Maka penyebutan rujuk menunjukkan adanya ‘iddah, dan ini menunjukkan bahwa rujuk tidak sah tanpa adanya ‘iddah. Sedangkan perempuan yang ditalak sebelum dukhul tidak memiliki ‘iddah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukminah lalu kamu menalaknya sebelum kamu menyentuh mereka, maka tidak ada atas mereka masa ‘iddah yang harus kamu perhitungkan.”

فصل: ويجوز أن يطلق الرجعية ويلاعنها ويولي منها ويظاهر منها لأن الزوجية باقية وهل له أن يخالعها ففيه قولان: قال في الأم: يجوز لبقاء النكاح وقال في الإملاء لا يجوز لأن الخلع للتحريم وهي محرمة فإن مات أحدهما: ورثه الآخر لبقاء الزوجية إلى الموت ولا يجوز أن يستمتع بها لأنها معتدة فلا يجوز وطؤها كالمختلعة فإن وطئها ولم يراجعها حتى انقضت عدتها لزمه المهر لأنه وطء في ملك قد تشعث فصار كوطء الشبهة وإن راجعها بعد الوطء فقد قال في الرجعة عليه المهر وقال في المرتد: إذا وطئ امرإته في العدة ثم أسلم أنه لا مهر عليه واختلف أصحابنا فيه فنقل أبو سعيد الإصطخري الجواب في كل واحدة منهما إلى الأخرى وجعلهما على قولين أحدهما: يجب المهر لأنه وطء في نكاح قد تشعث

PASAL: Boleh bagi suami mentalak istri raj‘i, melakukan li‘ān terhadapnya, īlā’ darinya, dan ẓihār darinya, karena status pernikahan masih tetap ada. Adapun apakah boleh melakukan khulu‘ darinya, maka terdapat dua pendapat: Imam al-Syafi‘i dalam kitab al-Umm berpendapat bahwa hal itu boleh karena masih adanya pernikahan, sedangkan dalam al-Imlā’ beliau berpendapat tidak boleh karena khulu‘ adalah untuk pengharaman, sedangkan dia (istri raj‘i) telah haram (secara sementara).

Jika salah satu dari keduanya meninggal, maka yang lain mewarisinya karena status pernikahan masih ada hingga kematian.

Tidak boleh bersenang-senang (istimtā‘) dengannya karena dia sedang dalam masa ‘iddah, sehingga tidak boleh digauli sebagaimana wanita yang dicerai dengan khulu‘.

Jika suami menggaulinya namun tidak merujuknya hingga habis masa ‘iddah-nya, maka wajib membayar mahar karena itu adalah persetubuhan dalam milik yang telah rusak, sehingga dihukumi seperti persetubuhan karena syubhat.

Jika ia merujuknya setelah menggaulinya, maka dalam permasalahan wajib atau tidaknya mahar ada dua pendapat: dalam masalah raj‘i disebutkan bahwa wajib membayar mahar, sedangkan dalam masalah murtad, disebutkan bahwa jika ia menggauli istrinya dalam masa ‘iddah lalu masuk Islam, maka tidak wajib membayar mahar. Ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Sa‘id al-Iṣṭakhrī menukil bahwa jawaban dalam masing-masing kasus dikembalikan kepada kasus yang lain dan menjadikannya sebagai dua pendapat: salah satunya adalah wajib membayar mahar karena itu adalah persetubuhan dalam pernikahan yang telah rusak.

والثاني: لا يجب لأن بالرجعة والإسلام قد زال التشعث فصار كما لو لم تطلق ولم يرتد وحمل أبو عباس وأبو إسحاق المسألتين على ظاهرهما فقالا في الرجعة: يجب المهر وفي المرتد لا يجب لأن بالإسلام صار كأن لم يرتد وبالرجعة لا يصير كأن لم تطلق لأن ما وقع من الطلاق لم يرتفع ولأن أمر المرتد مراعى فإذا رجع إلى الإسلام تبينا أن النكاح بحاله ولهذا لوطلق وقف طلاقه فإن أسلم حكم بوقوعه وإن لم يسلم لم يحكم بوقوعه فاختلف أمرها في المهر بين أن يرجع إلى الإسلام وبين أن لا يرجع وأمر الرجعية غير مراعى ولهذا لو طلق لم يقف طلاقه على الرجعة فلم يختلف أمرها في المهر بين أن يراجع وبين أن لا يراجع فإذا وطئها وجب عليها العدة لأنه كوطء الشبهة ويدخل فيه بقية العدة الأولى لأنهما من واحد.

dan pendapat kedua: tidak wajib membayar mahar karena dengan rujū‘ dan masuk Islam telah hilang kerusakan (dalam ikatan pernikahan), sehingga statusnya seperti orang yang belum mentalak atau belum murtad.

Abu al-‘Abbās dan Abu Isḥāq memahami dua kasus tersebut sesuai lahiriah nash-nya. Mereka berkata: dalam kasus rujū‘, wajib membayar mahar, sedangkan dalam kasus murtad tidak wajib, karena dengan masuk Islam maka statusnya seakan-akan tidak pernah murtad, sedangkan dengan rujū‘ tidak bisa dianggap seakan-akan tidak pernah mentalak, karena talak yang telah terjadi tidak hilang.

Selain itu, perkara murtad adalah perkara yang bergantung (murā‘ā), maka jika ia kembali masuk Islam, kita tegaskan bahwa pernikahan masih tetap berlaku. Oleh karena itu, jika ia mentalak, maka pelaksanaan talaknya tergantung: jika ia masuk Islam, maka talaknya dianggap jatuh; jika tidak masuk Islam, maka tidak dianggap jatuh.

Maka, perbedaan status istri dalam hal mahar bergantung pada apakah suami kembali masuk Islam atau tidak.

Sedangkan perkara istri raj‘i tidak bergantung (ghayr murā‘ā), oleh karena itu, jika suami mentalaknya, talaknya tidak bergantung pada rujū‘, sehingga tidak ada perbedaan status istri dalam hal mahar, baik suami merujuk atau tidak.

Jika suami menggaulinya, maka wajib atas istri menjalani masa ‘iddah, karena itu seperti persetubuhan karena syubhat, dan ‘iddah tersebut masuk dalam kelanjutan dari ‘iddah sebelumnya karena keduanya berasal dari satu orang.

فصل: وتصح الرجعة من غير رضاها لقوله عز وجل: {وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ} ولا تصح الرجعة إلا بالقول فإن وطئها لم تكن ذلك رجعة لاستباحة بضع مقصود يصح بالقول فلم يصح بالفعل مع القدرة على القول كالنكاح وإن قال راجعتك أو ارتجعتك صح لأنه وردت به السنة وهو قوله صلى الله عليه وسلم: “مر ابنك فليراجعها”. فإن قال رددتك صح لأنه ورد به القرآن وهو قوله عز وجل: {وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ} وإن قال أمسكتك ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أنه يصح لأنه ورد به القرآن وهو قوله عز وجل: {فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ}

PASAL: Rujuk itu sah tanpa persetujuan istri, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Wa bū‘ūlatuhunna aḥaqqu biraddihinna fī żālika” (Dan para suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa itu).

Rujuk tidak sah kecuali dengan ucapan. Jika suami menyetubuhinya, maka itu tidak dianggap sebagai rujuk, karena menyetubuhi adalah bentuk pemanfaatan kemaluan yang bersifat maksud dan itu sah dengan ucapan, maka tidak sah dengan perbuatan selama masih mampu berucap, sebagaimana dalam pernikahan.

Jika suami berkata, rāji‘tuki atau irtaja‘tuki, maka sah, karena hal itu disebutkan dalam sunnah, yaitu sabda Nabi SAW: “Minta anakmu untuk merujuknya.”

Jika ia berkata, raddadtuki, maka sah, karena hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah Azza wa Jalla: “Wa bū‘ūlatuhunna aḥaqqu biraddihinna fī żālika.”

Jika ia berkata, amsaktuki (aku menahanmu), maka terdapat dua pendapat:

Salah satunya, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa rujuk itu sah, karena lafaz tersebut juga disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah Azza wa Jalla: “Fa amsikūhunna bima‘rūfin.”

والثاني: أنه لا يصح لأنه إذا صح به النكاح وهو ابتداء الإباحة فلأن تصح به الرجعة وهو إصلاح لما تشعث منه أولى والثاني: لا يصح لأنه صريح في النكاح ولا يجوز أن يكون صريحاً في حكم آخر من النكاح كالطلاق لما كان صريحاً في الطلاق لم يجز أن يكون صريحاً في الظهار وإن قال راجعتك للمحبة وقال أردت به مراجعتك لمحبتي لك صح وإن قال راجعتك لهوانك وقال أردت به أني راجعتك لأهينك بالرجعة صح لأنه أتى بلفظ الرجعة وبين سبب الرجعة وإن قال لم أرد الرجعة وإنما أردت أني كنت أحبك قبل النكاح أو كنت أهينك قبل النكاح فرددتك بالرجعة إلى المحبة التي كانت قبل النكاح أو الإهانة التي كانت قبل النكاح قبل قوله لأنه يحتمل ما يدعيه.

Dan pendapat kedua: rujuk dengan ucapan amsaktuki tidak sah, karena jika ucapan tersebut sah untuk pernikahan—yang merupakan permulaan dari kebolehan (hubungan)—maka lebih utama lagi bahwa ucapan itu sah untuk rujuk, yang merupakan perbaikan atas sesuatu yang rusak darinya.

Namun pendapat kedua mengatakan bahwa itu tidak sah, karena amsaktuki adalah lafaz yang ṣarīḥ (tegas) dalam pernikahan, maka tidak boleh menjadi ṣarīḥ dalam hukum lain dari pernikahan. Sebagaimana lafaz talak: karena ia ṣarīḥ dalam talak, maka tidak boleh menjadi ṣarīḥ dalam ẓihār.

Jika ia berkata: rāji‘tuki li al-maḥabbah (aku rujuk kepadamu karena cinta), lalu ia berkata: “Yang aku maksud adalah aku merujukimu karena aku mencintaimu,” maka rujuk itu sah.

Dan jika ia berkata: rāji‘tuki li-hawānik (aku rujuk kepadamu karena kehinaanmu), lalu ia berkata: “Yang aku maksud adalah aku merujukimu untuk menghinakanmu dengan rujuk,” maka rujuk itu sah, karena ia menggunakan lafaz rujuk dan menjelaskan sebab rujuknya.

Namun jika ia berkata: “Aku tidak bermaksud rujuk, tetapi aku bermaksud bahwa aku mencintaimu sebelum pernikahan, atau aku biasa menghinakanmu sebelum pernikahan, maka aku mengembalikanmu dengan rujuk kepada cinta yang dahulu sebelum nikah, atau kepada penghinaan yang dahulu sebelum nikah,” maka ucapannya diterima, karena hal itu memungkinkan dan sejalan dengan apa yang ia klaim.

فصل: وهل يجب الإشهاد عليها فيه قولان: أحدهما: يجب لقوله عز وجل: {أَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} ولأنه استباحة بضع مقصود فلم يصح من غير إشهاد كالنكاح والثاني: أنه مستحب لأنه لا يفتقر إلى الولي فلم يفتقر إلى الإشهاد كالبيع.

PASAL: Apakah wajib menghadirkan saksi saat rujuk? Ada dua pendapat:

Pertama: Wajib, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Tahanlah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kalian}, dan karena rujuk adalah bentuk pembolehan kembali berhubungan badan secara sah, maka tidak sah tanpa ada saksi sebagaimana halnya nikah.

Kedua: Tidak wajib, melainkan disunnahkan, karena rujuk tidak membutuhkan wali, maka tidak membutuhkan saksi, sebagaimana jual beli.

فصل: ولا يجوز تعليقها على شرط فإن قال راجعتك إن شئت فقالت شئت لم يصح لأنه استباحة بضع فلم يصح تعليقه على شرط كالنكاح ولا يصح في حال الردة وقال المزني إنه موقوف فإن أسلمت صح كما يقف الطلاق والنكاح على الإسلام وهذا خطأ لأنه استباحة بضع فلم يصح مع الردة كالنكاح ويخالف الطلاق فإنه يجوز تعليقه على الشرط والرجعة لا يصح تعليقها على الشرط وأما النكاح فإنه يقف فسخه على الإسلام وأما عقده فلا يقف والرجعة كالعقد فيجب أن لا تقف على الإسلام.

PASAL: Tidak boleh menggantungkan rujuk pada suatu syarat. Maka jika seseorang berkata: “Aku merujukmu jika engkau menghendaki,” lalu sang istri berkata: “Aku menghendaki,” maka rujuk tidak sah, karena ini adalah bentuk pembolehan kembali berhubungan badan, sehingga tidak sah jika digantungkan pada syarat, sebagaimana halnya nikah.

Rujuk juga tidak sah dalam keadaan riddah. Al-Muzani berpendapat bahwa rujuk dalam keadaan ini dihukumi mauquf, jika sang istri masuk Islam maka rujuk sah, sebagaimana talak dan nikah yang bisa dihentikan keputusannya sampai masuk Islam. Pendapat ini salah, karena rujuk adalah pembolehan kembali berhubungan badan, maka tidak sah dalam keadaan riddah, sebagaimana halnya nikah.

Hal ini berbeda dengan talak, karena talak boleh digantungkan pada syarat, sementara rujuk tidak sah jika digantungkan pada syarat. Adapun nikah, maka pembatalannya bisa tergantung pada Islam, tetapi akadnya tidak bisa tergantung. Rujuk serupa dengan akad, maka tidak boleh tergantung pada Islam.

فصل: وإن اختلف الزوجان فقال الزوج راجعتك وأنكرت المرأة فإن كان ذلك قبل انقضاء العدة فالقول قول الزوج لأنه يملك الرجعة فقبل إقراره فيها كما يقبل قوله في طلاقها حين ملك الطلاق وإن كان بعد انقضاء العدة فالقول قولها لأن الأصل عدم الرجعة ووقوع البينونة وإن اختلفا في الإصابة فقال الزوج أصبتك فلي الرجعة وأنكرت المرأة فالقول قولها لأن الأصل عدم الإصابة ووقوع الفرقة.

PASAL: Jika suami istri berselisih, lalu suami berkata, “Aku telah merujukmu,” sedangkan istri mengingkarinya, maka jika hal itu terjadi sebelum habis masa ‘iddah, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami, karena ia masih memiliki hak rujuk, maka diterima pengakuannya dalam hal ini sebagaimana diterima ucapannya dalam menjatuhkan talak selama ia memiliki hak talak. Namun jika hal itu terjadi setelah habis masa ‘iddah, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri, karena asalnya tidak ada rujuk dan telah terjadi perpisahan. Dan jika keduanya berselisih dalam masalah wuṭʾ, lalu suami berkata, “Aku telah menyetubuhimu maka aku berhak rujuk,” dan istri mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri, karena asalnya tidak terjadi wuṭʾ dan telah terjadi perpisahan.

فصل: فإن طلقها طلقة رجعية وغاب الزوج وانقضت العدة وتزوجت ثم قدم الزوج وادعى أنه راجعها قبل انقضاء العدة فله أن يخاصم الزوج الثاني وله أن يخاصم الزوجة فإن بدأ بالزوج نظرت فإن صدقه سقط حقه من النكاح ولا تسلم المرأة إليه لأن إقراره يقبل على نفسه دونها وإن كذبه فالقول قوله مع يمينه لأن الأصل عدم الرجعة فإن حلف سقط دعوى الأول وإن نكل ردت اليمين عليه فإن حلف وقلنا إن يمينه مع نكول المدعى عليه كالبينة حكمنا بأنه لم يكن بينهما نكاح فإن كان قبل الدخول لم يلزمه شيء وإن كان بعد الدخول لزمه مهر المثل

PASAL: Jika seorang suami mentalak istrinya dengan talak raj‘i lalu ia pergi, kemudian habis masa ‘iddah dan si istri menikah lagi, kemudian suami pertama datang dan mengaku bahwa ia telah merujuk istrinya sebelum habis masa ‘iddah, maka ia berhak menggugat suami kedua dan juga istri tersebut.

Jika ia memulai dengan menggugat suami kedua, maka dilihat: jika suami kedua membenarkannya, maka haknya atas akad nikah gugur, namun perempuan tidak diserahkan kepadanya, karena pengakuannya hanya berlaku atas dirinya sendiri, tidak atas pihak lain.

Jika suami kedua mendustakannya, maka perkataannya (suami kedua) yang diterima dengan sumpah, karena asalnya tidak ada rujuk. Jika ia bersumpah, gugurlah gugatan suami pertama. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada suami pertama.

Jika suami pertama bersumpah, dan kita berpendapat bahwa sumpah penggugat (suami pertama) bersama dengan enggannya terdakwa (suami kedua) seperti bukti, maka diputuskan bahwa tidak ada akad nikah antara istri dan suami kedua. Jika belum terjadi hubungan badan, maka suami kedua tidak berkewajiban apa pun. Jika sudah terjadi hubungan badan, maka ia wajib membayar mahr al-mitsl.

وإن قلنا إنه كالإقرار لم يقبل إقراره في إسقاط حقها فإن دخل بها لزمه المسمى وإن لم يدخل بها لزمه نصف المسمى ولا تسلم المرأة إلى الزوج الأول على القولين لأنا جعلناه كالبينة أو كالإقرار في حقه ومن حقها وإن بدأ بخصومة الزوجة فصدقته لم تسلم إليه لأنه لا يقبل إقرارها على الثاني كما لا يقبل إقراره عليها ويلزمها المهر لأنها أقرت أنها حالت بينه وبين بضعها فإن زال حق الثاني بطلاق أو فسخ أو وفاة ردت إلى الأول لأن المنع لحق الثاني وقد زال وإن كذبته فالقول قولها وهل تحلف على ذلك ففيه وجهان: أحدهما: لا تحلف لأن اليمين تعرض عليها لتخاف فتقر وأقرت لم يقبل إقراره فلم يكن في تحليفها فائدة والثاني: تحلف لأن في تحليفها فائدة وهو أنها ربما أقرت فيلزمها المهر وإن حلفت سقط دعواه وإن نكلت ردت اليمين عليه فإذا حلف حكم له بالمهر.

Dan jika kita katakan bahwa hal itu seperti iqrār (pengakuan), maka tidak diterima pengakuannya dalam menggugurkan hak istri. Jika ia telah menggaulinya, maka ia wajib membayar mahr musammā, dan jika belum menggaulinya, maka ia wajib membayar setengah dari mahr musammā. Dan perempuan tidak diserahkan kepada suami pertama menurut dua pendapat, karena kita telah menyamakannya dengan bukti atau pengakuan dalam hak suami, sedangkan itu adalah hak perempuan.

Jika ia memulai gugatan terhadap istri dan istri membenarkannya, maka perempuan itu tidak diserahkan kepadanya karena pengakuannya tidak diterima atas suami kedua, sebagaimana pengakuan suami pertama tidak diterima atasnya. Dan ia wajib membayar mahar karena ia mengakui bahwa ia telah menghalangi suami pertama dari menggaulinya.

Jika hak suami kedua hilang karena talak, fasakh, atau wafat, maka ia dikembalikan kepada suami pertama karena larangan itu disebabkan hak suami kedua dan kini telah hilang. Jika ia mendustakan suami pertama, maka perkataan istri yang diterima. Apakah ia harus bersumpah dalam hal ini? Maka terdapat dua pendapat:

Pertama, tidak perlu bersumpah karena sumpah itu ditawarkan agar ia takut lalu mengaku, dan ketika pengakuannya tidak diterima, maka tidak ada manfaat dalam menyuruhnya bersumpah.

Kedua, ia disuruh bersumpah karena dalam menyuruhnya bersumpah ada manfaat, yaitu mungkin saja ia mengaku sehingga ia wajib membayar mahar. Jika ia bersumpah, gugurlah gugatan suami pertama. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepadanya. Jika ia bersumpah, maka diputuskan bahwa ia berhak atas mahar.

فصل: إذا تزوجت الرجعية في عدتها وحبلت من الزوج ووضعت وشرعت في إتمام العدة من الأول وراجعها صحت الرجعة لأنه راجعها في عدته فإن راجعها قبل الوضع ففيه وجهان: أحدهما: لا يصح لأنها في عدة من غيره فلم يملك بضعها والثاني: يصح بما بقي عليها من عدته لأن حكم الزوجية باق وإنما حرمت لعارض فصار كما لو أحرمت.

PASAL: Jika perempuan yang dalam masa ‘iddah raj‘iyyah menikah pada masa ‘iddah-nya, lalu hamil dari suami yang kedua dan melahirkan, kemudian ia memulai penyempurnaan ‘iddah dari suami pertama dan suami pertama itu merujuknya, maka rujuknya sah karena ia merujuk dalam ‘iddah-nya. Jika ia merujuk sebelum melahirkan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: tidak sah, karena ia berada dalam ‘iddah dari selainnya, maka ia tidak berhak atas kemaluannya.
Kedua: sah dengan sisa masa ‘iddah-nya dari suami pertama, karena hukum pernikahan masih ada, hanya saja keharaman itu disebabkan oleh hal yang menghalangi, sehingga keadaannya seperti orang yang sedang berihram.

فصل: إذا طلق الحر امرأته ثلاثاً أو طلق العبد امرأته طلقتين حرمت عليه ولا يحل له نكاحها حتى تنكح زوجاً غيره ويطأها والدليل قوله عز وجل: {فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ} وروت عائشة رضي الله عنها أن رفاعة القرظي طلق امرأته بت طلاقها فتزوجها عبد الرحمن بن الزبير فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله: إني كنت عند رفاعة وطلقني ثلاث تطليقات فتزوجني عبد الرحمن بن الزبير وإنه والله ما معه يا رسول الله إلا مثل هذه الهدبة فتبسم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “لعلك تريدين أن ترجعي إلى رفاعة لا والله حتى تذوقي عسيلته ويذوق عسيلتك” .

PASAL: Jika seorang merdeka menalak istrinya tiga kali, atau seorang budak menalak istrinya dua kali, maka wanita itu menjadi haram baginya dan tidak halal dinikahi kembali sampai menikah dengan suami selainnya dan digauli. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Jika dia telah menalaknya (untuk ketiga kalinya), maka tidak halal baginya setelah itu sampai dia menikah dengan suami yang lain.”
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah RA bahwa Rifa‘ah al-Qurazhi menalak istrinya dengan talak bain, lalu wanita itu menikah dengan ‘Abdurrahman bin az-Zubair. Kemudian ia datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, dulu aku bersama Rifa‘ah dan ia menalakku tiga kali, lalu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin az-Zubair, dan demi Allah, wahai Rasulullah, ia tidak memiliki apa-apa kecuali seperti ujung kain ini.” Maka Rasulullah SAW tersenyum dan bersabda: “Barangkali engkau ingin kembali kepada Rifa‘ah? Tidak demi Allah, sampai engkau merasakan madunya dan dia merasakan madumu.”

ولا تحل إلا بالوطء في الفرج فإن وطئها فيما دون الفرج أو وطئها في الموضع المكروه لم تحل لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق على ذوق العسيلة وذلك لا يحصل إلا بالوطء في الفرج وأدنى الوطء أن يغيب الحشف في الفرج لأن أحكام الوطء تتعلق به ولا تتعلق بما دونه فإن أولج الحشفة في الفرج من غير انتشار لم تحل لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق الحكم بذوق العسيلة وذلك لا يحصل من غير انتشار وإن كان بعض الذكر مقطوعاً فعلى ما ذكرناه في الرد بالعيب في النكاح وإن كان مسلولاً أحل بوطئه لأنه في الوطء كالفحل وأقوى منه ولم يفقد إلا الإنزال وذلك غير معتبر في الإحلال وإن كان مراهقاً أحل لأنه كالبالغ في الوطء وإن وطئت وهي نائمة أو مجنونة أو استدخلت هي ذكر الزوج وهو نائم أو مجنون أو وجدها على فراشه فظنها غيرها فوطئها حلت لأنه وطء صادف النكاح.

Dan tidak menjadi halal kecuali dengan jima‘ di kemaluan. Jika ia menjima‘nya bukan di kemaluan atau di tempat yang makruh, maka tidak menjadi halal, karena Nabi SAW mensyaratkan dengan dzawq al-‘asīlah (merasakan madu), dan itu tidak terjadi kecuali dengan jima‘ di kemaluan. Batas minimal jima‘ adalah masuknya hasyafah ke dalam kemaluan, karena hukum-hukum jima‘ bergantung padanya dan tidak bergantung pada yang selainnya.

Jika ia memasukkan hasyafah ke dalam kemaluan tanpa ada intisyār (ereksi), maka belum menjadi halal, karena Nabi SAW menggantungkan hukum pada dzawq al-‘asīlah dan itu tidak terjadi tanpa intisyār. Jika sebagian dari dzakar terpotong, maka hukumnya seperti yang disebutkan dalam pembatalan akad nikah karena cacat. Dan jika dzakar itu maslūl (keras tapi tidak bisa keluar mani), maka jima‘nya menyebabkan kehalalan, karena dalam jima‘ ia seperti faḥl (yang kuat) bahkan lebih kuat, dan yang hilang darinya hanyalah mani, dan itu tidak diperhitungkan dalam kehalalan.

Jika ia masih murāhiq (mendekati baligh), maka ia menyebabkan kehalalan, karena dalam jima‘ ia seperti orang baligh. Jika ia menjima‘ dalam keadaan istrinya sedang tidur atau gila, atau sang istri memasukkan dzakar suaminya ke dalam kemaluannya sementara suaminya tidur atau gila, atau ia mendapati istrinya di tempat tidurnya dan mengira itu adalah wanita lain lalu menjima‘nya, maka ia menjadi halal, karena itu adalah jima‘ yang terjadi dalam pernikahan.

فصل: فإن رآها رجل أجنبي فظنها زوجته فوطئها أو كانت أمة فوطئها مولاها لم تحل لقوله عز وجل: {حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ} وإن وطئها للزوج في نكاح فاسد كالنكاح بلا ولي ولا شهود أوفي نكاح شرط فيه أنه إذا أحلها للزوج الأول فلا نكاح بينهما ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يحلها لأنه وطء في نكاح غير صحيح فلم تحل كوطء الشبهة والثاني: أنه يحلها لما روى عبد الله أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لعن الله المحلل والمحلل له” . فسماه محللا ولأنه وطء في نكاح فأشبه الوطء في النكاح الصحيح.

PASAL: Jika seorang lelaki asing melihat seorang wanita dan mengira dia adalah istrinya lalu menjima‘nya, atau wanita itu adalah seorang amah lalu dijima‘ oleh tuannya, maka ia tidak menjadi halal, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Sampai ia menikah dengan suami selainnya.”

Dan jika jima‘ itu terjadi dalam pernikahan yang fasid, seperti pernikahan tanpa wali dan saksi, atau dalam pernikahan yang disyaratkan bahwa jika wanita itu telah menghalalkan bagi suami pertama maka tidak ada pernikahan antara keduanya, maka ada dua pendapat:

Pertama: tidak menjadikan halal, karena itu adalah jima‘ dalam pernikahan yang tidak sah, maka tidak menyebabkan kehalalan sebagaimana jima‘ karena syubhat.
Kedua: menjadikan halal, berdasarkan riwayat dari Abdullah bahwa Nabi SAW bersabda: “Allah melaknat orang yang menjadi muḥallil dan yang dimuḥallal-kan baginya.” Maka Nabi menyebutnya muḥallil, dan karena itu adalah jima‘ dalam pernikahan, maka diserupakan dengan jima‘ dalam pernikahan yang sah.

فصل: وإن كانت المطلقة أمة فملكها الزوج قبل أن ينكحها زوجاً غيره فالمذهب أنها لا تحل لقوله عز وجل: {فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ} ولأن الفرج لا يجوز أن يكون محرماً عليه من وجه مباحا من وجه ومن أصحابنا من قال يحل وطؤها لأن الطلاق يختص بالزوجية فآثر التحريم في الزوجية.

PASAL: Jika wanita yang ditalak adalah seorang amah, lalu suami yang menalaknya memilikinya (sebagai budak) sebelum ia menikah dengan suami lain, maka mazhab menyatakan bahwa ia tidak menjadi halal baginya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Maka tidak halal baginya setelah itu sampai ia menikah dengan suami selainnya.”

Dan karena kemaluan tidak boleh dalam satu waktu menjadi haram dari satu sisi dan halal dari sisi lain.

Sebagian ulama dari kalangan kami berpendapat bahwa ia halal untuk digauli, karena talak itu khusus berlaku dalam pernikahan, maka keharaman itu berlaku khusus dalam pernikahan.

فصل: وإن طلق امرأته ثلاثا وتفرقا ثم ادعت المرأة أنها تزوجت بزوج أحلها جاز له أن يتزوجها لآنها مؤتمنة فيما تدعيه من الإباحة فإن وقع في نفسه أنها كاذبة فالأولى أن لا يتزوجها احتياطاً.

PASAL: Jika seorang lelaki menalak istrinya tiga kali lalu mereka berpisah, kemudian sang wanita mengaku bahwa ia telah menikah dengan seorang suami yang menghalalkannya, maka lelaki itu boleh menikahinya kembali, karena wanita itu dipercaya dalam pengakuannya tentang kehalalan. Namun, jika timbul keraguan dalam hati bahwa ia berdusta, maka yang lebih utama adalah tidak menikahinya sebagai bentuk kehati-hatian.

فصل: وإن تزوجت المطلقة ثلاثا بزوج وادعت عليه أنه أصابها وأنكر الزوج لم يقبل قولها على الزوج الثاني في الإصابة ويقبل قولها في الإباحة للزوج الأول لأنها تدعي على الزوج الثاني حقا وهو استقرار المهر ولا تدعي على الأول شيئا وإنما تخبره عن أمر هي فيه مؤتمنة فقبل وإن كذبها الزوج الأول فيما تدعيه على الثاني من الإصابة ثم رجع فصدقها جاز له أن يتزوجها لأنه قد لا يعلم أنه أصابها ثم يعلم بعد ذلك وإن ادعت على الثاني أنه طلقها وأنكر الثاني لم يجز للأول نكاحها لأنه إذا لم يثبت الطلاق فهي باقية على نكاح الثاني فلا يحل للأول نكاحها ويخالف إذا اختلفا في الإصابة بعد الطلاق لأنه ليس لأحد حق في بضعها فقبل قولها.

PASAL: Jika wanita yang ditalak tiga kali menikah dengan suami lain, lalu ia mengaku bahwa suami tersebut telah menjima‘nya, namun suami itu mengingkari, maka tidak diterima pengakuannya atas suami kedua dalam hal jima‘. Tetapi diterima pengakuannya dalam hal kehalalan bagi suami pertama, karena ia mengklaim suatu hak atas suami kedua, yaitu ketetapan mahar, sedangkan terhadap suami pertama ia tidak menuntut apa pun, melainkan hanya mengabarkan sesuatu yang ia dipercaya padanya, maka diterima.

Jika suami pertama mendustakannya atas apa yang ia klaim dari jima‘ bersama suami kedua, lalu ia kembali dan membenarkannya, maka ia boleh menikahinya, karena bisa jadi sebelumnya ia tidak mengetahui bahwa istrinya telah dijima‘, lalu ia mengetahui setelah itu.

Jika ia mengaku bahwa suami kedua telah menceraikannya, lalu suami kedua mengingkari, maka tidak boleh bagi suami pertama menikahinya, karena jika talak tidak terbukti, maka wanita itu masih dalam pernikahan suami kedua, dan tidak halal bagi suami pertama menikahinya.

Hal ini berbeda dengan perbedaan pendapat dalam masalah jima‘ setelah talak, karena tidak ada hak siapa pun atas kemaluannya, maka diterima pengakuannya.

فصل: إذا عادت المطلقة ثلاثاً إلى الأول بشروط إباحة ملك عليها ثلاث تطليقات لأنه قد استوفى ما كان يملك من الطلاق الثلاث فوجب أن يستأنف الثلاث فإن طلقها طلقة أو طلقتين فتزوجت بزوج آخر فوطئها ثم أبانها رجعت إلى الأول بما بقي من عدد الطلاق لأنها عادت قبل استيفاء العدد فرجعت بما بقي كما لو رجعت قبل أن تنكح زوجاً غيره.

PASAL: Jika perempuan yang ditalak tiga kembali kepada suami pertama dengan memenuhi syarat-syarat yang menjadikan halal, maka suami memiliki kembali tiga kali talak atasnya, karena ia telah menghabiskan hak talak tiga sebelumnya, maka wajib memulai kembali jumlah tiga. Jika suami menalaknya satu atau dua kali, lalu ia menikah dengan suami lain yang kemudian menyetubuhinya dan menceraikannya, lalu ia kembali kepada suami pertama, maka ia kembali dengan sisa jumlah talak yang belum digunakan, karena ia kembali sebelum seluruh jumlah talak habis, maka ia kembali dengan sisa yang ada, sebagaimana jika ia kembali sebelum menikah dengan suami lain.

يصح الإيلاء من كل زوج بالغ عاقل قادر على الوطء لقوله عز وجل: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} وأما الصبي والمجنون فلا يصح الإيلاء منهما لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”.

Kitab al-Ila’
Ila’ sah dilakukan oleh setiap suami yang baligh, berakal, dan mampu melakukan jima‘, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} (bagi orang-orang yang yu’lūna dari istri-istri mereka, menunggu selama empat bulan).
Adapun anak kecil dan orang gila, maka tidak sah ila’ dari keduanya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Pena diangkat dari tiga orang: dari anak kecil hingga ia baligh, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari orang gila hingga ia sadar.”

لأنه قول يختص بالزوجية فلم يصح من الصبي والمجنون كالطلاق وأما من لا يقدر على الوطء فأن كان بسبب يزول كالمريض والمحبوس صح إيلاؤه وإن كان بسبب لا يزول كالمجبوب والأشل ففيه وجهان: أحدهما: يصح إيلاؤه لأن من صح إيلاؤه إذا كان قادراً على الوطء صح إيلاؤه إذا لم يقدر كالمريض والمحبوس والثاني: قاله في الأم لا يصح إيلاؤه لأنه يمين على ترك ما لا يقدر عليه بحال فلم يصح كما لو حلف لا يصعد للسماء ولأن القصد بالإيلاء أن يمنع نفسه من الجماع باليمين وذلك لا يصح ممن لا يقدر عليه لأنه ممنوع من غير يمين ويخالف المريض والمحبوس لأنهما يقدران عليه إذا زال المرض والحبس فصح منهما المنع باليمين والمجبوب والأشل لا يقدران بحال.

Karena ia merupakan ucapan yang khusus berkaitan dengan pernikahan, maka tidak sah dari anak kecil dan orang gila, sebagaimana halnya talak. Adapun orang yang tidak mampu melakukan jima‘, jika sebabnya dapat hilang seperti orang sakit dan orang yang dipenjara, maka sah ila’-nya. Tetapi jika sebabnya tidak dapat hilang seperti orang yang terpotong kemaluannya (mujbūb) dan yang lumpuh (al-asyall), maka terdapat dua pendapat:

Pertama: sah ila’-nya, karena orang yang sah ila’-nya ketika mampu jima‘, juga sah ila’-nya ketika tidak mampu, sebagaimana orang sakit dan orang yang dipenjara.

Kedua: sebagaimana disebutkan dalam al-Umm, tidak sah ila’-nya karena ia bersumpah untuk meninggalkan sesuatu yang sama sekali tidak mampu ia lakukan, maka tidak sah, sebagaimana jika ia bersumpah tidak akan naik ke langit. Dan karena tujuan ila’ adalah mencegah dirinya dari jima‘ dengan sumpah, sedangkan hal itu tidak berlaku bagi orang yang tidak mampu melakukannya, karena ia telah terhalang tanpa sumpah. Berbeda halnya dengan orang sakit dan orang yang dipenjara, karena mereka masih mampu melakukannya jika sakit dan penjara hilang, maka sah bagi mereka untuk mencegah diri dengan sumpah, sementara orang yang terpotong kemaluannya dan yang lumpuh tidak mampu melakukannya sama sekali.

فصل: ولا يصح الإيلاء إلا بالله عز وجل وهل يصح بالطلاق والعتاق والصوم والصلاة وصدقة المال فيه قولان: قال في القديم: لا يصح لأنه يمين بغير الله عز وجل فلم يصح به الإيلاء كاليمين بالنبي صلى الله عليه وسلم والكعبة وقال في الجديد: يصح وهو الصحيح لأنه يمين يلزمه بالحنث فيها حق فصح به الإيلاء كاليمين بالله عز وجل فإذا قلنا بهذا فقال إن وطئتك فعبدي حر فهو مول وإن قال إن وطئتك فلله علي أن أعتق رقبة فهو مول وإن قال إن وطئتك فأنت طالق أو امرأتي الأخرى طالق فهو مول وإن قال إن وطئتك فعلي أن أطلقك أو أطلق امرأتي الأخرى لم يكن مولياً

PASAL:
Tidak sah ilā’ kecuali dengan menyebut nama Allah Azza wa Jalla. Adapun apakah sah ilā’ dengan (sumpah) menggunakan talak, pembebasan budak, puasa, salat, dan sedekah harta, maka terdapat dua pendapat:

Dalam qaul qadīm dikatakan: tidak sah, karena itu merupakan sumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla, maka tidak sah untuk ilā’, sebagaimana sumpah dengan nabi SAW atau dengan ka‘bah.

Dalam qaul jadīd dikatakan: sah, dan ini yang shahih, karena itu adalah sumpah yang apabila dilanggar mewajibkan suatu kewajiban, maka sah untuk ilā’, sebagaimana sumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla.

Jika kita mengambil pendapat ini, maka apabila ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka budakku merdeka,” maka ia adalah mūlī.
Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka wajib atasku untuk memerdekakan seorang budak,” maka ia adalah mūlī.
Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka engkau tertalak,” atau “istri yang lain tertalak,” maka ia adalah mūlī.
Namun jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka aku akan menalakmu,” atau “aku akan menalak istriku yang lain,” maka ia bukan mūlī.

لأنه لا يلزمه بالوطء شيء وإن قال إن وطئتك فأنت زانية لم يكن مولياً لأنه لا يلزمه بالوطء حق لأنه لا يصير بوطئها قاذفاً لأن القذف لا يتعلق بالشرط لأنه لا يجوز أن تصير زانية بوطء الزوج كما لا تصير زانية بطلوع الشمس وإذا لم يصر قاذفاً لم يلزمه بالوطء حق فلم يجز أن يكون موليا وإن قال إن وطئتك فلله علي صوم هذا الشهر لم يكن مولياً لأن المولي هو الذي يلزمه بالوطء بعد أربعة أشهر حق أو يلحقه ضرر وهذا يقدر على وطئها بعد أربعة أشهر من غير ضرر يلحقه ولا حق يلزمه لأن صوم شهر مضى لا يلزمه كما لو قال إن وطئتك فعلي صوم أمس

Karena tidak ada sesuatu pun yang wajib atasnya dengan jima‘ tersebut. Dan jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka engkau pezina,” maka ia bukan mūlī, karena jima‘ tidak mewajibkan suatu kewajiban atasnya, dan ia tidak menjadi qāżif (penuduh zina) hanya karena jima‘, sebab qadzf tidak terkait dengan syarat. Tidak mungkin seorang istri menjadi pezina hanya karena digauli suaminya, sebagaimana tidak mungkin menjadi pezina karena terbitnya matahari. Maka jika ia tidak menjadi qāżif, tidak ada hak yang wajib atasnya karena jima‘, maka tidak sah baginya menjadi mūlī.

Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka wajib atasku berpuasa bulan ini,” maka ia bukan mūlī, karena mūlī adalah orang yang setelah empat bulan jima‘ akan mewajibkan suatu hak atas dirinya atau tertimpa mudarat. Dalam hal ini, ia masih mampu menggaulinya setelah empat bulan tanpa mudarat dan tanpa kewajiban apa pun, karena puasa bulan yang telah berlalu tidak wajib atasnya, sebagaimana jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka wajib atasku puasa kemarin.”

وإن قال إن وطئتك فسالم حر عن ظهاري وهو مظاهر فهو مول وقال المزني لا يصير مولياً لأن ما وجب عليه لا يتعين بالنذر كما لو قال: إن وطئتك فعلي أن أصوم اليوم الذي علي من قضاء رمضان في يوم الاثنين وهذا خطأ لأنه يلزمه بالوطء حق وهو إعتاق هذا العبد وأما الصوم فقد حكى أبو علي ابن أبي هريرة فيه وجهاً آخر أنه يتعين بالنذر كالعتق والذي عليه أكثر أصحابنا وهو المنصوص في الأم أنه لا يتعين والفرق بينهما أن الصوم الواجب لا تتفاضل فيه الأيام والرقاب كتفاضل أثمانها

Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka Sālim merdeka sebagai kafarat żihār-ku,” padahal ia memang seorang yang telah melakukan żihār, maka ia adalah mūlī.

Al-Muzanī berkata: tidak menjadi mūlī, karena sesuatu yang sudah wajib atasnya tidak menjadi tertentu hanya karena nadzar, sebagaimana jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu, maka wajib atasku berpuasa pada hari Senin untuk mengganti puasa Ramadan yang tertinggal.”

Dan ini adalah kesalahan, karena jima‘ mewajibkan suatu hak atasnya, yaitu memerdekakan budak tersebut.

Adapun tentang puasa, Abu ‘Alī Ibn Abī Hurairah menyebutkan satu wajah (pendapat) bahwa ia menjadi tertentu karena nadzar sebagaimana halnya memerdekakan budak. Namun yang menjadi pendapat mayoritas para sahabat kami, dan yang dinashkan dalam al-Umm, adalah bahwa puasa tidak menjadi tertentu. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa puasa wajib tidak memiliki keutamaan antara satu hari dengan hari lainnya, sementara budak-budak (yang dimerdekakan) berbeda-beda nilainya sebagaimana perbedaan harga mereka.

وإن قال إن وطئتك فعبدي حر عن ظهاري إن ظاهرت لم يكن مولياً في الحال لأنه يمكنه أن يطأها في الحال ولا يلزمه شيء لأنه يقف العتق بعد الوطء على شرط آخر فهو كما لو قال إن وطئتك ودخلت الدار فعبدي حر وإن ظاهر منها قبل الوطء صار مولياً لأنه لا يمكنه أن يطأها في مدة الإيلاء إلا بحق يلزمه فصار كما لو قال إن وطئتك فعبدي حر.

Jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka budakku merdeka sebagai kafarat żihār-ku jika aku melakukan żihār,” maka ia bukan mūlī pada saat itu, karena ia masih bisa menggaulinya saat ini tanpa ada sesuatu yang wajib atasnya, sebab kemerdekaan budak setelah jima‘ itu tergantung pada syarat lain. Maka hal itu seperti ucapan, “Jika aku menggaulimu dan masuk ke dalam rumah, maka budakku merdeka.”

Namun jika ia melakukan żihār terhadap istrinya sebelum jima‘, maka ia menjadi mūlī, karena ia tidak bisa menggaulinya dalam masa ilā’ kecuali dengan menanggung suatu kewajiban. Maka hukumnya sama seperti jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka budakku merdeka.”

فصل: ولا يصح الإيلاء إلا على ترك الوطء في الفرج فإن قال والله لا وطئتك في الدبر لم يكن مولياً لأن الإيلاء هو اليمين التي يمتنع بها نفسه من الجماع والوطء في الدبر ممنوع منه من غير يمين ولأن الإيلاء هو اليمين التي يقصد بها الإضرار بترك الوطء والوطء الذي يلحق الضرر بتركه هو الوطء في الفرج وإن قال والله لا وطئتك فيما دون الفرج لم يكن مولياً لأنه لا ضرر في ترك الوطء فيما دون الفرج.

PASAL:
Tidak sah ilā’ kecuali atas larangan jima‘ di farji. Maka jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu di dubur,” maka ia bukan mūlī, karena ilā’ adalah sumpah yang dengannya seseorang mencegah dirinya dari jima‘, sedangkan jima‘ di dubur sudah dilarang tanpa sumpah.

Juga karena ilā’ adalah sumpah yang dimaksudkan untuk menimbulkan mudarat dengan meninggalkan jima‘, sementara jima‘ yang menimbulkan mudarat jika ditinggalkan adalah jima‘ di farji.

Dan jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu pada selain farji,” maka ia bukan mūlī, karena tidak ada mudarat dalam meninggalkan jima‘ pada selain farji.

فصل: وإن قال والله لا أنيكك في الفرج أو والله لا أغيب ذكري في فرجك أو والله لا أقتضك بذكري وهي بكر فهو مول في الظاهر والباطن لأنه صريح في الوطء في الفرج وإن قال والله لا جامعتك أولا وطئتك فهو مول في الحكم لأن إطلاقه في العرف يقتضي الوطء في الفرج وإن قال أردت بالوطء وطء القدم وبالجماع الاجتماع بالجسم دين فيه لأنه يحتمل ما يدعيه وإن قال والله لا أقتضك ولم يقل بذكري ففيه وجهان: أحدهما: أنه صريح كالقسم الأول

PASAL: Jika seorang suami berkata, “Demi Allah aku tidak akan menyetubuhimu di kemaluan,” atau “Demi Allah aku tidak akan memasukkan zakarku ke dalam kemaluanmu,” atau “Demi Allah aku tidak akan merobek keperawananmu dengan zakarku,” dan istrinya masih perawan, maka ia termasuk mūlī secara lahir dan batin karena lafaz tersebut adalah ṣarīḥ (jelas) dalam menyatakan meninggalkan jima‘ di kemaluan.

Jika ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan menjima‘mu” atau “Aku tidak akan menyetubuhimu,” maka ia termasuk mūlī dalam hukum karena secara ‘urf (kebiasaan) lafaz tersebut mengandung makna jima‘ di kemaluan.

Namun jika ia berkata, “Aku maksud dengan jima‘ adalah menjima‘ kakimu,” atau “Dengan lafaz jima‘ aku maksud bersentuhan tubuh,” maka itu dihukumi sebagai perkara agama (dīn fīh) karena masih memungkinkan maksud yang ia klaim.

Jika ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan merobek keperawananmu,” tanpa menyebutkan “dengan zakarku,” maka terdapat dua pendapat. Salah satunya: itu termasuk ṣarīḥ, sebagaimana sumpah yang pertama.

والثاني: أنه صريح في الحكم كالقسم الثاني لآنه يحتمل الاقتضاض بغير ذكره وإن قال والله لا دخلت عليك أولا يجتمع رأسي ورأسك أولا جمعني وإياك بيت فهو كناية فإن نوى به الوطء في الفرج فهو مول وإن لم تكن له نية فليس بمول لأنه يحتمل الجماع وغيره فلم يحمل على الجماع من غير نية كالكنايات في الطلاق وإن قال والله لا باشرتك أو لامستك أولا أفضي إليك ففيه قولان: قال في القديم هو مول لأنه ورد القرآن بهذه الألفاظ والمراد بها الوطء فإن نوى به غير الوطء دين لأنه يحتمل ما يدعيه

dan pendapat kedua: bahwa itu adalah ṣarīḥ dalam hukum seperti sumpah kedua, karena masih mungkin dimaksudkan iqtiḍāḍ (merobek keperawanan) dengan selain zakarnya.

Jika ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan masuk menemuimu,” atau “Kepalaku tidak akan bertemu dengan kepalamu,” atau “Aku tidak akan bersamamu di satu rumah,” maka itu termasuk kināyah. Jika ia berniat dengannya jima‘ di kemaluan, maka ia menjadi mūlī. Namun jika tidak memiliki niat demikian, maka ia tidak dianggap mūlī, karena lafaz tersebut mengandung kemungkinan jima‘ dan lainnya, sehingga tidak dibawa kepada makna jima‘ tanpa niat, sebagaimana kināyah dalam talak.

Jika ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan menyentuhmu,” atau “tidak akan menyentuh kulitmu,” atau “tidak akan bergaul denganmu,” maka ada dua pendapat. Dalam qaul qadīm dinyatakan bahwa ia termasuk mūlī, karena Al-Qur’an menggunakan lafaz-lafaz ini dan yang dimaksud dengannya adalah jima‘. Jika ia berniat dengan lafaz itu selain jima‘, maka dihukumi sebagai perkara agama (dīn), karena masih mungkin sesuai dengan apa yang ia klaim.

وقال في الجديد: لا يكون مولياً إلا بالنية لأنه مشترك بين الوطء وغيره فلم يحمل على الوطء من غير نية كقوله لا أجتمع رأسي ورأسك واختلف أصحابنا في قوله لا أصيبك أولا لمستك أولا غشيتك أولا باضعتك فمنهم من قال هو كقوله لا باشرتك أولا مسستك فيكون على قولين ومنهم من قال هو كقوله لا أجتمع رأسي ورأسك فإن نوى به الوطء في الفرج فهو مول وإن لم يكن له نية فليس بمول

Dan ia berkata dalam pendapat baru: Tidak dianggap sebagai mūlī kecuali dengan niat, karena lafal tersebut bersifat musytarak (samar) antara makna jima‘ dan selainnya, sehingga tidak dibawa kepada makna jima‘ tanpa adanya niat, sebagaimana ucapannya: “Tidak akan bersatu kepalaku dan kepalamu.”

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang ucapannya: “Aku tidak akan menyetubuhimu,” atau “tidak akan menyentuhmu,” atau “tidak akan menaikimu,” atau “tidak akan menggaulimu.” Sebagian mereka berkata: Itu seperti ucapannya: “Aku tidak akan bersentuhan denganmu,” atau “tidak akan menjamahmu,” maka hukumnya ada dua pendapat.

Sebagian lain berkata: Itu seperti ucapannya: “Tidak akan bersatu kepalaku dan kepalamu.” Maka, jika ia meniatkan dengannya jima‘ di farji, maka itu iilā’, dan jika ia tidak memiliki niat, maka bukan iilā’.

وإن قال والله لا غيبت الحشفة في الفرج فهو مول لأن تغييب ما دون الحشفة ليس بجماع ولا يتعلق به أحكام الجماع فصار كما لو قال والله لا وطئتك وإن قال والله لا جامعتك إلا جماع سوء فإذا أراد به لا جامعتك إلا في الدبر أو فيما دون الفرج فهو مول لأنه منع نفسه من الجماع في الفرج في مدة الإيلاء وإن أراد به لا جامعتك إلا جماعاً ضعيفاً لم يكن مولياً لأن الجماع الضعيف كالقوي في الحكم فكذلك في الإيلاء.

Dan jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memasukkan ḥasyafah ke dalam farji,” maka ia adalah mūlī, karena memasukkan selain ḥasyafah bukanlah jima‘ dan tidak terkait dengan hukum-hukum jima‘, maka hukumnya seperti ucapannya: “Demi Allah, aku tidak akan menyetubuhimu.”

Dan jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menjima‘imu kecuali jima‘ yang buruk,” maka jika ia maksudkan dengan jima‘ yang buruk itu adalah jima‘ di dubur atau di selain farji, maka ia adalah mūlī, karena ia telah menahan dirinya dari jima‘ di farji selama masa iilā’. Namun jika ia maksudkan jima‘ yang buruk itu adalah jima‘ yang lemah, maka tidak dianggap mūlī, karena jima‘ yang lemah hukumnya sama seperti jima‘ yang kuat, maka demikian pula dalam perkara iilā’.

فصل: ولا يصح الإيلاء إلا في مدة تزيد على أربعة أشهر حراً كان الزوج أو عبداً حرة كانت الزوجة أو أمة فإن آلى على ما دون أربعة أشهر لم يكن موليا لقوله عز وجل: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} فدل على أنه لا يصير بما دونه موليا ولأن الضرر لا يتحقق بترك الوطء فيما دون أربعة أشهر والدليل عليه ما روي أن عمر رضي الله عنه كان يطوف ليلة في المدينة فسمع امرأة تقول:
ألا طال هذا الليل وازور جانبه … وليس إلى جنبي حليل ألاعبه
والله لولا الله لا شيء غيره … لزعزع من هذا السرير جوانبه
مخافة ربي والحياء يكفني … وأكرم بعلي أن تنال مراكبه

PASAL: Tidak sah iilā’ kecuali dalam jangka waktu lebih dari empat bulan, baik suami itu orang merdeka maupun budak, dan baik istri itu perempuan merdeka maupun budak. Maka jika ia bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya dalam waktu kurang dari empat bulan, maka ia tidak dianggap sebagai mūlī, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} (bagi orang-orang yang bersumpah tidak akan mencampuri istri-istri mereka, wajib menunggu empat bulan). Maka ayat ini menunjukkan bahwa dengan jangka waktu kurang dari itu tidak menjadikannya sebagai mūlī. Dan karena mudarat tidaklah terwujud dengan meninggalkan jima‘ dalam waktu kurang dari empat bulan. Adapun dalilnya adalah riwayat bahwa ‘Umar RA pernah berkeliling malam di kota Madinah, lalu ia mendengar seorang wanita berkata:

“Sungguh panjang malam ini dan menyamping pembaringanku,
dan tiada di sampingku seorang kekasih untuk bermain denganku.
Demi Allah, kalau bukan karena Allah semata,
pasti berguncang sisi pembaringan ini.
Karena takut kepada Rabbku dan rasa malu yang menahanku,
dan aku memuliakan suamiku agar kehormatannya tidak ternoda.”

سأل عمر رضي الله عنه النساء كم تصبر المرأة عن الزوج فقلن شهرين وفي الثالث يقل الصبر وفي الرابع يفقد الصبر فكتب عمر إلى امرأة الأجناد أن لا تحبسوا الرجل عن امرأته أكثر من أربعة أشهر وإن آلى على أربعة أشهر لم يكن مولياً لأن المطالبة بالفيئة أو الطلاق بعد أربعة أشهر فإذا آلى على أربعة أشهر لم يبق بعدها إيلاء فلا تصح المطالبة من غير إيلاء.

‘Umar RA pernah bertanya kepada para wanita: “Berapa lama wanita mampu bersabar tidak bersama suaminya?” Maka mereka menjawab: “Dua bulan, dan pada bulan ketiga mulai berkurang kesabaran, sedangkan pada bulan keempat habis kesabaran.” Maka ‘Umar menulis kepada para komandan pasukan: “Janganlah kalian menahan seorang laki-laki dari istrinya lebih dari empat bulan.”

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya selama empat bulan, maka ia tidak termasuk mūlī, karena tuntutan untuk fā’ (kembali mencampuri) atau talak itu berlaku setelah lewat empat bulan. Maka apabila ia bersumpah selama empat bulan, tidak tersisa lagi masa iilā’ sesudahnya, sehingga tidak sah tuntutan atas dasar iilā’ jika tidak ada iilā’.

فصل: وإن قال والله لا وطئتك فهو مول لأنه يقتضي التأبيد وإن قال والله لا وطئتك مدة أو والله ليطولن عهدك بجماعي فإن أراد مدة تزيد على أربعة أشهر فهو مول وإن لم يكن له نية لم يكن مولياً لأنه يقع على القليل والكثير فلا يجعل موليا من غير نية وإن قال والله لا وطئتك خمسة أشهر فإذا مضت فوالله لا وطئتك سنة فهما إيلان في زمانين لا يدخل أحدهما: في الآخر فيكون مولياً في كل واحد منهما لا يتعلق أحدهما: بالآخر في حكم من أحكام الإيلاء وإذا تقضى حكم أحدهما: بقي حكم الآخر لأنه أقر كل واحد منهما في زمان فانقرد كل واحد منهما عن الآخر في الحكم

PASAL: Jika seseorang berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu,” maka ia adalah mūlī karena itu menunjukkan makna keabadian. Jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama waktu tertentu,” atau “Demi Allah, sungguh akan lama masa berhubungan badan antara aku dan kamu,” maka jika ia maksudkan waktu yang lebih dari empat bulan, maka ia adalah mūlī. Jika ia tidak berniat demikian, maka ia bukan mūlī, karena ungkapannya mencakup waktu sedikit maupun banyak, sehingga tidak dijadikan iīlā’ tanpa adanya niat.

Jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama lima bulan. Jika telah berlalu, demi Allah aku tidak akan menggaulimu selama setahun,” maka keduanya adalah dua iīlā’ dalam dua waktu yang tidak saling masuk satu sama lain, maka ia menjadi mūlī dalam masing-masing dari keduanya, dan salah satu tidak berkaitan dengan yang lain dalam hukum-hukum iīlā’. Jika salah satunya telah selesai masa hukumnya, maka hukum yang lain tetap berlaku, karena ia telah menetapkan masing-masing dalam waktu tersendiri, maka masing-masing berdiri sendiri dalam hukum.

وإن قال والله لا وطئتك خمسة أشهر ثم قال والله لا وطئتك سنة دخلت المدة الأولى في الثانية كما إذا قال له علي مائة ثم قال له علي ألف دخلت المائة في الألف فيكون إيلاء واحداً إلى سنة بيمين فيضرب لهما مدة يوم واحدة ويوقف لهما وقفاً واحداً فإن وطئ بعد الخمسة الأشهر حنث في يمين واحد فيجب عليه كفارة واحدة وإن وطئ في الخمسة الأشهر حنث في يمينين فيجب عليه في أحد القولين كفارة وفي الثاني كفارتان وإن قال والله لا وطئتك أربعة أشهر فإن مضت فوالله لا وطئتك أربعة أشهر ففيه وجهان: أحدهما: وهو الصحيح أنه ليس بمول لأن كل واحد من الزمانين أقل من مدة الإيلاء والثاني: أنه مول لأنه منع نفسه من وطئها ثمانية أشهر فصار كما لو جمعها في يمين واحدة.

Dan jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama lima bulan,” kemudian ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama setahun,” maka masa lima bulan masuk ke dalam masa setahun, sebagaimana jika seseorang berkata, “Aku berutang seratus,” kemudian berkata, “Aku berutang seribu,” maka yang seratus termasuk ke dalam yang seribu. Maka ini menjadi satu iīlā’ selama setahun dengan satu sumpah, sehingga ditentukan baginya masa tunggu satu kali, dan ditetapkan baginya masa penangguhan satu kali.

Jika ia menggaulinya setelah lima bulan, maka ia dianggap melanggar satu sumpah dan wajib membayar satu kafarat. Jika ia menggaulinya dalam masa lima bulan, maka ia melanggar dua sumpah; dalam salah satu pendapat ia wajib membayar satu kafarat, dan dalam pendapat yang lain dua kafarat.

Dan jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu selama empat bulan. Jika telah berlalu, demi Allah aku tidak akan menggaulimu selama empat bulan,” maka ada dua wajah pendapat: salah satunya, dan ini yang ṣaḥīḥ, bahwa ia bukan mūlī, karena masing-masing dari dua masa tersebut kurang dari masa iīlā’. Pendapat yang kedua, bahwa ia adalah mūlī, karena ia telah mencegah dirinya dari menggaulinya selama delapan bulan, maka ia seperti menggabungkannya dalam satu sumpah.

فصل: وإن قال إن وطئتك فوالله لا وطئتك ففيه قولان: قال في القديم يكون مولياً في الحال لأن المولى هو الذي يمتنع من الوطء خوف الضرر وهذا يمتنع من الوطء خوفاً من أن يطأها فيصير مولياً فعلى هذا إذا وطئها صار موليا وذلك ضرر وقال في الجديد: لا يكون مولياً في الحال لأنه يمكنه أن يطأها في غير ضرر يلحقه في الحال فلم يكن مولياً فعلى هذا إذا وطئها صار مولياً لأنه يبقى يمين يمنع الوطء على التأبيد وإن قال والله لا وطئتك في السنة إلا مرة صار موليا في قوله القديم ولا يكون مولياً في الحال في قوله الجديد فإن وطئها نظرت فإن لم يبق من السنة أكثر من أربعة أشهر لم يكن موليا وإن بقي أكثر من أربعة أشهر صار مولياً.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Jika aku menggaulimu, demi Allah aku tidak akan menggaulimu,” maka ada dua pendapat: dalam qaul qadīm, ia menjadi mūlī saat itu juga, karena mūlī adalah orang yang menahan diri dari jima‘ karena takut mudarat, dan orang ini menahan diri dari jima‘ karena takut bahwa jika ia melakukannya, ia akan menjadi mūlī, maka ia pun menjadi mūlī. Maka, menurut pendapat ini, jika ia menggaulinya, ia menjadi mūlī, dan itu termasuk mudarat.

Dalam qaul jadīd, ia tidak menjadi mūlī saat itu, karena ia masih mungkin menggaulinya tanpa mudarat yang menimpanya saat itu, maka ia tidak dianggap mūlī. Namun menurut pendapat ini, jika ia menggaulinya, maka ia menjadi mūlī, karena masih tersisa sumpah yang melarang jima‘ secara terus-menerus.

Jika ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan menggaulimu dalam setahun kecuali sekali,” maka menurut qaul qadīm ia menjadi mūlī, dan menurut qaul jadīd ia tidak menjadi mūlī saat itu. Jika ia menggaulinya, maka dilihat: jika sisa waktu dari tahun tersebut tidak lebih dari empat bulan, maka ia tidak menjadi mūlī. Namun jika yang tersisa lebih dari empat bulan, maka ia menjadi mūlī.

فصل: وإن علق الإيلاء على شرط يستحيل وجوده بأن يقول والله لا وطئتك حتى تصعدي إلى السماء أو تصافحي الثريا فهو مول لأن معناه لا وطئتك أبدا وإن علق على ما لا يتيقن أنه لا يوجد إلا بعد أربعة أشهر مثل أن يقول والله لا وطئتك إلى يوم القيامة أو إلى أن أخرج من بغداد إلى الصين وأعود فهو مول لأن القيامة لا تقوم إلا في مدة تزيد على أربعة أشهر لأن شرائطها تتقدمها ويتيقن أنه لا يقدر أن يخرج من بغداد إلى الصين ويخرج إلا في مدة تزيد على أربعة أشهر

PASAL: Jika seseorang menggantungkan iīlā’ pada suatu syarat yang mustahil terjadi, seperti ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai engkau naik ke langit,” atau “sampai engkau berjabat tangan dengan bintang tsurayyā,” maka ia adalah mūlī, karena maksudnya adalah: aku tidak akan menggaulimu selamanya.

Dan jika ia menggantungkan pada sesuatu yang tidak diyakini keberadaannya kecuali setelah lebih dari empat bulan, seperti ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai hari kiamat,” atau “sampai aku keluar dari Baghdad menuju Cina dan kembali,” maka ia adalah mūlī, karena kiamat tidak akan terjadi kecuali setelah waktu yang lebih dari empat bulan, karena tanda-tandanya mendahuluinya. Dan juga diyakini bahwa ia tidak mampu keluar dari Baghdad ke Cina dan kembali kecuali dalam waktu yang lebih dari empat bulan.

وإن علق على شرط الغالب على الظن أنه لا يوجد إلا في الزيادة على أربعة أشهر مثل أن يقول والله لا وطئتك حتى يخرج الدجال أو حتى يجيء زيد من خراسان ومن عادة زيد أن لا يجيء إلا مع الحاج وقد بقي على وقت عادته زيادة عن أربعة أشهر فهو مول لأن الظاهر أنه لا يوجد شيء من ذلك إلا في مدة تزيد على أربعة أشهر

Dan jika ia menggantungkan iīlā’ pada suatu syarat yang secara dominan diduga tidak akan terjadi kecuali setelah lebih dari empat bulan, seperti ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai Dajjāl keluar,” atau “sampai Zaid datang dari Khurasan,” sedangkan kebiasaan Zaid tidak datang kecuali bersama jamaah haji, dan waktu kedatangannya yang biasa masih tersisa lebih dari empat bulan, maka ia adalah mūlī, karena yang tampak (secara lahir) bahwa hal-hal tersebut tidak akan terjadi kecuali dalam waktu yang melebihi empat bulan.

وإن علق على أمر يتيقن وجوده قبل أربعة أشهر مثل أن يقول والله لا وطئتك حتى يذبل هذا البقل أو يجف هذا الثوب فليس بمول لأنا نتيقن أن ذلك يوجد قبل أربعة أشهر وإن علقه على الأمر الغالب على الظن أنه يوجد قبل أربعة أشهر مثل أن يقول والله لا وطئتك حتى يجيء زيد من القرية وعادته أنه يجيء في كل جمعة لصلاة الجمعة أو لحمل الحطب لم يكن مولياً لأن الظاهر أنه يوجد قبل مدة الإيلاء وإن جاز أن يتأخر لعارض وإن قال والله لا وطئتك حتى أموت أو تموتي فهو مول لأن الظاهر بقاؤهما وإن قال والله لا وطئتك حتى يموت فلان فهو مول ومن أصحابنا من قال ليس بمول والصحيح هو الأول لأن الظاهر بقاؤه ولأنه لو قال إن وطئتك فعبدي حر كان موليا على قوله الجديد وإن جاز أن يموت العبد قبل أربعة أشهر.

Dan jika ia menggantungkan iīlā’ pada sesuatu yang diyakini akan terjadi sebelum empat bulan, seperti ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai sayur ini layu,” atau “sampai pakaian ini kering,” maka ia bukan mūlī, karena kita yakin bahwa hal itu akan terjadi sebelum empat bulan.

Dan jika ia menggantungkan pada sesuatu yang secara dominan diduga akan terjadi sebelum empat bulan, seperti ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai Zaid datang dari desa,” padahal kebiasaannya Zaid datang setiap Jumat untuk salat Jumat atau untuk membawa kayu bakar, maka ia tidak menjadi mūlī, karena tampaknya hal itu akan terjadi sebelum masa iīlā’, meskipun memungkinkan untuk tertunda karena suatu halangan.

Dan jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai aku mati atau engkau mati,” maka ia adalah mūlī, karena yang tampak adalah keduanya masih hidup.

Dan jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai si Fulan mati,” maka ia adalah mūlī. Sebagian dari aṣḥāb kami mengatakan bahwa itu bukan mūlī, namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama, karena yang tampak adalah si Fulan masih hidup. Dan karena jika ia berkata, “Jika aku menggaulimu maka budakku merdeka,” maka ia menjadi mūlī menurut pendapat jadīd-nya, meskipun memungkinkan budaknya mati sebelum empat bulan.

فصل: وإن قال والله لا وطئتك في هذا البيت لم يكن مولياً لأنه يمكنه أن يطأها من غير حنث ولأنه لا ضرر عليها في ترك الوطء في بيت يعينه وإن قال والله لا وطئتك إلا برضاك لم يكن مولياً لما ذكرناه من التعليلين وإن قال والله لا وطئتك إن شئت فقالت في الحال شئت كان موليا وإن أخرت الجواب لم يكن مولياً على ما ذكرناه في الطلاق.

PASAL: Jika suami berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu di rumah ini,” maka ia tidak menjadi mūlī, karena ia masih bisa menggaulinya tanpa melanggar sumpah, dan karena tidak ada mudarat bagi istri jika suami tidak menggaulinya di rumah tertentu. Dan jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu kecuali dengan keridhaanmu,” maka ia juga tidak menjadi mūlī, karena dua alasan yang telah disebutkan. Namun jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu jika engkau menghendakinya,” lalu istri menjawab saat itu juga, “Aku menghendakinya,” maka ia menjadi mūlī. Tetapi jika ia menunda jawabannya, maka ia tidak menjadi mūlī, sebagaimana telah dijelaskan dalam masalah ṭalāq.

فصل: وإن قال لأربع نسوة والله لا وطئتكن لم يصر مولياً حتى يطأ ثلاثاً منهن لأنه يمكنه أن يطأ ثلاثاً منهن من غير حنث فلم يكن مولياً وإن وطئ ثلاثاً منهن صار مولياً من الرابعة لأنه لا يمكنه وطؤها إلا بحنث ويكون ابتداء المدة من الوقت الذي تعين فيه الإيلاء وإن طلق ثلاثاً منهن كان الإيلاء موقوفاً في الرابعة لا يتعين فيها لأنه يقدر على وطئها من غير حنث ولا يسقط منها

PASAL: Jika seseorang berkata kepada empat orang istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan menggauli kalian,” maka ia belum menjadi mūlī hingga ia menggauli tiga dari mereka, karena masih mungkin baginya menggauli tiga dari mereka tanpa melanggar sumpah, maka ia belum menjadi mūlī. Namun jika ia telah menggauli tiga dari mereka, maka ia menjadi mūlī dari yang keempat karena tidak mungkin menggaulinya kecuali dengan melanggar sumpah. Permulaan masa (muddat al-iilā’) dihitung sejak waktu terjadinya penetapan iilā’. Jika ia menceraikan tiga dari mereka, maka iilā’ pada istri yang keempat menjadi tergantung (mauqūf) dan belum ditetapkan padanya, karena ia masih mungkin menggaulinya tanpa melanggar sumpah, dan iilā’ tidak gugur darinya.

لأنه قد يطأ الثلاث المطلقات بنكاح أو سفاح فيتعين الإيلاء في الرابعة لأنه يحنث بوطئها والوطء المحظور كالمباح في الحنث ولهذا قال في الأم: ولو قال والله لا وطئتك وفلانة الأجنبية لم يكن مولياً من امرأته حتى يطأ الأجنبية وإن ماتت من الأربع واحدة سقط الإيلاء في الباقيات لأنه قد فات الحنث في الباقيات لأن الوطء في الميتة قد فات ولأن الإيلاء على الوطء وإطلاق الوطء لا يدخل فيه وطء الميتة ويدخل فيه الوطء المحرم

Karena bisa jadi ia menggauli tiga istri yang telah ditalaknya melalui akad nikah kembali atau melalui zina, maka iilā’ menjadi tetap pada istri keempat karena ia akan melanggar sumpah jika menggaulinya. Dan jima‘ yang terlarang disamakan dengan yang dibolehkan dalam hal pelanggaran sumpah. Oleh karena itu, Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: “Jika seseorang berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu dan si fulanah (perempuan asing),’ maka ia belum menjadi mūlī dari istrinya sampai ia menggauli perempuan asing itu.”

Jika salah satu dari empat istri itu meninggal dunia, maka iilā’ gugur dari istri-istri yang tersisa, karena pelanggaran sumpah pada mereka telah terluput, sebab jima‘ dengan perempuan yang sudah meninggal tidak mungkin terjadi. Selain itu, iilā’ berlaku pada jima‘, sedangkan jima‘ yang disebut secara mutlak tidak mencakup jima‘ dengan perempuan yang telah meninggal, namun mencakup jima‘ yang haram.

وإن قال لأربع نسوة والله لا وطئت واحدة منكن وهو يريد كلهن صار مولياً في الحال لأنه يحنث بوطء كل واحدة منهن ويكون ابتداء المدة من حين اليمين فأيتهن طالبت وقف لها فإن طلقها وجاءت الثانية وقف لها فإن طلقها وجاءت الثالثة وقف لها فإن طلقها وجاءت الرابعة وقف لها فإن طالبت الأولى فوطئها حنث وسقط الإيلاء فيمن بقي لأنه لا يحنث بوطئهن بعد حنثه بوطء الأولى

Jika seseorang berkata kepada empat istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan menggauli salah satu dari kalian,” sementara yang ia maksud adalah semuanya, maka ia menjadi mūlī seketika itu juga, karena ia akan melanggar sumpah dengan menggauli masing-masing dari mereka. Awal masa iilā’ dihitung sejak sumpah diucapkan. Maka siapa pun di antara mereka yang menuntut (haknya), maka dihentikan (diberi pilihan antara fā’ atau ṭalāq) untuknya. Jika ia menceraikannya dan istri kedua datang menuntut, maka dihentikan untuknya. Jika ia menceraikannya dan istri ketiga datang menuntut, maka dihentikan untuknya. Jika ia menceraikannya dan istri keempat datang menuntut, maka dihentikan untuknya.

Jika istri pertama menuntut dan ia menggaulinya, maka ia telah melanggar sumpah, dan iilā’ gugur dari sisanya, karena ia tidak lagi melanggar sumpah dengan menggauli mereka setelah ia melanggar sumpah dengan menggauli istri pertama.

وإن طلق الأولى ووطئ الثانية سقط الإيلاء في الثالثة والرابعة وإن طلق الأولى والثانية: ووطئ الثالثة سقط الإيلاء في الرابعة وحدها وإن قال والله لا وطئت واحدة منكن وأراد واحدة بعينها تعين الإيلاء فيها دون ما سواها ويرجع في التعيين إلى بيانه لأنه لا يعرف إلا من جهته فإن عين واحدة وصدقته الباقيات تعين فيها وإن كذبه الباقيات حلف لهن فإن نكل حلفن وثبت فيهن حكم الإيلاء بنكوله وإيمانهن

Jika ia menceraikan istri pertama dan menggauli istri kedua, maka iilā’ gugur dari istri ketiga dan keempat. Jika ia menceraikan istri pertama dan kedua, lalu menggauli istri ketiga, maka iilā’ gugur hanya dari istri keempat.

Jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggauli salah satu dari kalian,” dan yang ia maksud adalah salah satu istri secara spesifik, maka iilā’ menjadi khusus pada istri tersebut saja, tidak pada yang lainnya. Penetapan siapa yang dimaksud dikembalikan kepada penjelasannya, karena hal itu tidak bisa diketahui kecuali dari dirinya.

Jika ia menentukan satu istri dan para istri lainnya membenarkannya, maka iilā’ ditetapkan pada istri yang ditentukan itu. Namun jika para istri lainnya mendustakannya, maka ia harus bersumpah kepada mereka. Jika ia enggan bersumpah, maka mereka yang bersumpah, dan ḥukm al-iilā’ ditetapkan atas mereka berdasarkan keengganannya bersumpah dan sumpah mereka.

وإن قال والله لا وطئت واحدة منكن وهو يريد واحدة لا بعينها فله أن يعين فيمن شاء ويؤخذ بالتعيين إذا طلبن ذلك فإذا عين في واحدة منهن لم يكن للباقيات مطالبة وفي ابتداء المدة وجهان: أحدهما: من وقت اليمين والآخر من وقت التعيين كما قلنا في العدة في الطلاق إذا أوقعه في إحداهن لا بعينها ثم عينه في واحدة منهن وإن قال والله لا أصبت كل واحدة منكن فهو مول من كل واحدة منهن وابتداء المدة من حين اليمين فإن وطئ واحدة منهن حنث ولم يسقط الإيلاء في الباقيات لأنه يحنث بوطء كل واحدة منهن.

Jika seseorang berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggauli salah satu dari kalian,” dan yang ia maksud adalah salah satu saja namun tidak ditentukan siapa, maka ia boleh menentukan kepada siapa ia maksudkan, dan ia dikenai kewajiban penetapan (dalam sumpahnya) jika para istri menuntut hal itu. Jika ia telah menetapkan pada salah satu dari mereka, maka yang lainnya tidak memiliki hak untuk menuntut.

Terkait awal masa iilā’, terdapat dua pendapat: pertama, dihitung sejak waktu sumpah diucapkan; kedua, sejak waktu penetapan dilakukan — sebagaimana yang telah dijelaskan dalam masalah ‘iddah dalam ṭalāq jika ṭalāq dijatuhkan kepada salah satu dari beberapa istri tanpa penentuan, lalu kemudian ditentukan pada salah satunya.

Jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menggauli setiap dari kalian,” maka ia menjadi mūlī dari setiap istri, dan awal masa iilā’ dihitung sejak sumpah diucapkan. Jika ia menggauli salah satu dari mereka, maka ia telah melanggar sumpah, namun iilā’ tidak gugur dari istri-istri yang lain, karena ia tetap melanggar sumpah dengan menggauli masing-masing dari mereka.

فصل: وإن كانت له امرأتان فقال لإحداهما: والله لا أصبتك ثم قال للأخرى أشركتك معها لم يصر مولياً من الثانية لأن اليمين بالله عز وجل لا يصح إلا بلفظ صريح من اسم أوصفة والتشريك بينهما كناية فلم يصح بها اليمين بالله عز وجل وإن قال لإحداهما إن أصبتك فأنت طالق ثم قال للأخرى أشركتك معها ونوى صار مولياً لأن الطلاق يصح بالكناية.

PASAL: Jika seseorang memiliki dua istri lalu berkata kepada salah satu dari keduanya: “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu”, kemudian berkata kepada yang lain: “Aku menyertakanmu bersamanya”, maka ia tidak menjadi mūlī dari istri yang kedua, karena sumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla tidak sah kecuali dengan lafaz yang terang dari nama atau sifat, sedangkan penyertaan antara keduanya adalah kinayah, maka tidak sah sumpah dengan lafaz tersebut kepada Allah Azza wa Jalla.

Namun, jika ia berkata kepada salah satunya: “Jika aku menggaulimu maka engkau tertalak”, kemudian berkata kepada yang lainnya: “Aku menyertakanmu bersamanya”, dan ia berniat (menjadikan yang kedua ikut dalam hukum), maka ia menjadi mūlī, karena talak sah dengan kinayah.

فصل: وإذا صح الإيلاء لم يطالب بشيء قبل أربعة أشهر لقوله عز وجل: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} وابتداء المدة من حين اليمين لأنها ثبتت بالنص والإجماع فلم تفتقر إلى الحاكم كمدة العقد فإن آلى منها وهناك عذر يمنع من الوطء نظرت فإن كان لمعنى في الزوجة بأن كانت صغيرة أو مريضة أو ناشزة أو مجنونة أو محرمة أو صائمة عن فرض أو معتكفة عن فرض لم تحسب المدة وإن طرأ شيء من هذه الأعذار في أثناء المدة انقطعت المدة لأن المدة إنما نظرت لامتناع الزوج من الوطء وليس في هذه الأحوال من جهته امتناع فإن زالت هذه الأعذار استؤنفت المدة لأن من شأن هذه المدة أن تكون متوالية فإذا انقطعت استؤنفت كصوم الشهرين المتتابعين

PASAL: Apabila iilā’ telah sah, maka suami tidak dituntut untuk apa pun sebelum berlalu empat bulan, berdasarkan firman Allah SWT: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ}. Permulaan masa dihitung sejak sumpah diucapkan, karena masa tersebut telah ditetapkan berdasarkan nash dan ijma‘, maka tidak membutuhkan keputusan hakim, sebagaimana halnya masa dalam akad.

Jika suami melakukan iilā’ sementara ada udzur yang menghalangi jima‘, maka dilihat: jika udzur itu berasal dari pihak istri — seperti istri masih kecil, sakit, nāsyiz, gila, berihram, berpuasa wajib, atau sedang i‘tikāf wajib — maka masa tidak dihitung. Dan jika salah satu dari udzur tersebut muncul di tengah-tengah masa, maka masa terputus, karena masa itu ditetapkan untuk menilai penolakan jima‘ dari pihak suami, sementara dalam keadaan-keadaan ini tidak ada penolakan dari pihak suami.

Jika udzur-udzur tersebut hilang, maka masa dihitung ulang dari awal, karena tabiat masa ini harus berlangsung secara berkesinambungan. Maka bila terputus, harus diulang dari awal, seperti puasa dua bulan berturut-turut.

فإن كانت حائضاً حسبت المدة فإن طرأ الحيض في أثنائها لم تنقطع لأن الحيض عذر معتاد لا ينفك منه فلو قلنا إنه يمنع الاحتساب اتصل الضرر وسقط حكم الإيلاء ولهذا لا يقلع التتابع في صوم الشهرين المتتابعين وإن كانت نفساء ففيه وجهان: أحدهما: أنه يحتسب المدة لأنه كالحيض في الأحكام فكذلك في الإيلاء

Jika ia sedang haid, maka masa dihitung. Jika haid terjadi di tengah-tengah masa tersebut, maka tidak memutus masa itu karena haid adalah uzur yang biasa dan tidak terpisah darinya. Maka seandainya kita katakan bahwa haid menghalangi perhitungan masa, niscaya bahaya terus bersambung dan hukum iilā’ menjadi gugur. Oleh karena itu, haid tidak memutus keterusan dalam puasa dua bulan berturut-turut. Dan jika ia dalam keadaan nifas, maka ada dua wajah: pertama, masa tetap dihitung karena nifas itu seperti haid dalam hukum-hukum, maka demikian pula dalam iilā’.

والثاني: لا يحتسب وإذا طرأ قطع لأنه عذر نادر فهو كسائر الأعذار وإن كان العذر لمعنى في الزوج بأن كان مريضاً أو مجنوناً أو غائباً أو مجبوباً أو محرماً أو صائماً عن فرض أو معتكفاً عن فرض حسبت المدة فأن طرأ شيء من هذه الأعذار في أثناء المدة لم تنقطع لأن الامتناع من جهته والزوجية باقية فحسبت المدة عليه وإن آلى في حال الردة أوفي عدة الرجعية لم تحتسب المدة وإن طرأت الردة أو الطلاق الرجعي في أثناء المدة انقطعت لأن النكاح قد تشعث بالطلاق والردة فلم يكن للامتناع حكم وإن أسلم بعد الردة أو راجع بعد الطلاق وبقيت مدة التربص استؤنفت لمدة لما ذكرناه.

Dan yang kedua: tidak dihitung, dan jika terjadi (nifas) maka memutus (masa), karena ia adalah uzur yang jarang, maka hukumnya seperti uzur-uzur lainnya. Dan jika uzur itu karena sesuatu pada pihak suami, seperti sakit, gila, bepergian, terpotong kemaluannya, sedang berihram, berpuasa wajib, atau beri‘tikaf wajib, maka masa tetap dihitung. Jika uzur-uzur ini terjadi di tengah-tengah masa, maka tidak memutus, karena keengganan berasal dari pihaknya dan hubungan suami istri masih ada, maka masa dihitung atasnya.

Dan jika ia melakukan iilā’ dalam keadaan murtad atau dalam masa iddah raj‘i, maka masa tidak dihitung. Jika murtad atau talak raj‘i terjadi di tengah-tengah masa, maka masa terputus, karena pernikahan telah rusak karena talak dan murtad, maka keengganan tidak lagi memiliki hukum. Jika ia masuk Islam kembali setelah murtad, atau merujuk istrinya setelah talak dan masih tersisa masa tunggu, maka masa dihitung ulang karena sebab yang telah disebutkan.

فصل: إذا طلقها في مدة التربص انقطعت المدة ولم يسقط الإيلاء فإن راجعها وقد بقيت مدة التربص استؤنفت المدة فإن وطئها حنث في اليمين وسقط الإيلاء لأنه أزال الضرر وإن وطئها وهي نائمة أو مجنونة حنث في يمينه وسقط الإيلاء وإن استدخلت ذكره وهو نائم لم يحنث في يمينه لارتفاع القلم عنه وهل يسقط حقها؟ فيه وجهان: أحدهما: يسقط لأنها وصلت إلى حقها والثاني: لا يسقط لأن حقها في فعله لا في فعلها وإن وطئها وهو مجنون لم يحنث لارتفاع القلم عنه وهل يسقط حقها ففيه وجهان: أحدهما: يسقط وهو الظاهر من المذهب لأنها قد وصلت منه إلى حقها وإن لم يقصد فسقط حقها كما لو وطئها وهو يظن أنها امرأة أخرى والثاني: وهو قول المزني أنه لا يسقط حقها لأنه لا يحنث به فلم يسقط به الإيلاء.

PASAL: Jika ia mentalaknya dalam masa tarrabuṣ, maka masa terputus tetapi iilā’ tidak gugur. Jika ia merujuknya dan masih tersisa masa tarrabuṣ, maka masa dihitung ulang. Jika ia menggaulinya, maka ia melanggar sumpahnya dan iilā’ gugur karena ia telah menghilangkan bahaya.

Jika ia menggaulinya dalam keadaan perempuan itu sedang tidur atau gila, maka ia melanggar sumpahnya dan iilā’ gugur. Jika perempuan itu memasukkan kemaluannya (suami) saat ia sedang tidur, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah karena pena telah diangkat darinya. Apakah hak istri gugur? Dalam hal ini ada dua wajah: pertama, haknya gugur karena ia telah mencapai haknya; kedua, tidak gugur karena haknya terletak pada tindakan suami, bukan pada tindakannya sendiri.

Jika suami menggaulinya dalam keadaan gila, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah karena pena telah diangkat darinya. Apakah hak istri gugur? Dalam hal ini ada dua wajah: pertama, gugur, dan ini adalah pendapat yang zhāhir dari mazhab karena istri telah mencapai haknya dari suaminya, meskipun tidak disengaja, maka gugurlah haknya, seperti jika ia menggaulinya karena menyangka bahwa ia adalah perempuan lain; dan yang kedua, yaitu pendapat al-Muzani, bahwa haknya tidak gugur karena dengan itu suami tidak dianggap melanggar sumpah, maka iilā’ pun tidak gugur karenanya.

فصل: وإن وطئها وهناك مانع من إحرام أو صوم أو حيض سقط به حقها من الإيلاء لأنها وصلت منه إلى حقها وإن كان بمحرم.

PASAL: Dan jika ia menggaulinya sementara ada penghalang seperti iḥrām, puasa, atau haid, maka gugurlah haknya dari iilā’, karena ia telah mendapatkan haknya dari suaminya, sekalipun melalui hal yang terlarang.

فصل: وإن لم يطلقها ولم يطأها حتى انقضت المدة نظرت فإن لم يكن عذر يمنع الوطء ثبت لها المطالبة بالفيئة أو الطلاق لقوله عز وجل: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ الله غَفُورٌ رَحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ الله سَمِيعٌ عَلِيمٌ} وإن كانت الزوجة أمة لم يجز للمولى المطالبة

PASAL: Dan jika ia tidak menceraikannya dan tidak menggaulinya hingga habis masa (empat bulan), maka dilihat: jika tidak ada uzur yang menghalangi jima‘, maka istri berhak menuntut al-fi’ah atau talak, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Bagi orang-orang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya diberi tenggang waktu empat bulan; maka jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan untuk menceraikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui}. Dan jika istri adalah seorang amah, maka tidak boleh bagi tuannya menuntut.

وإن كانت مجنونة لم يكن ثوابها المطالبة لأن المطالبة بالطلاق أو الفيئة طريقها الشهوة فلا يقوم الولي فيه مقامها والمستحب أن يقول له في المجنونة اتق الله في حقها فإما أن تفيء إليها أو تطلقها وإن ثبت لها المطالبة فعفت عنها الزوجة جاز لها أن ترجع وتطالب لأنها إنما ثبت لها المطالبة لدفع الضرر بترك الوطء وذلك يتجدد مع الأحوال فجاز لها الرجوع كما لو أعسر بالنفقة فعفت عن المطالبة بالفسخ وإن طولب بالفيئة فقال أمهلوني ففيه قولان: أحدهما: يمهل ثلاثة أيام لأنه قريب

Dan jika istri itu majnūnah (gila), maka tidak sah baginya penuntutan, karena penuntutan ṭalāq atau al-fi’ah bersumber dari syahwat, maka walinya tidak bisa menggantikan posisinya dalam hal itu. Yang disunnahkan adalah agar wali berkata kepada suami: “Bertakwalah kepada Allah terhadap haknya, maka kembalilah kepadanya atau ceraikanlah dia.”

Dan jika ia memang memiliki hak untuk menuntut lalu ia memaafkan (tidak menuntut), maka ia boleh kembali dan menuntut, karena hak untuk menuntut itu diberikan untuk menolak bahaya akibat tidak digauli, dan hal itu bisa muncul kembali sesuai keadaan, maka boleh ia menarik kembali maafnya, sebagaimana jika suami tidak mampu memberi nafkah lalu ia memaafkan (tidak menuntut fasakh), maka ia boleh kembali menuntut.

Dan jika suami dituntut untuk al-fi’ah, lalu ia berkata, “Tangguhkan aku,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: ia diberi tenggang waktu selama tiga hari, karena itu adalah waktu yang dekat.

والدليل عليه قوله عز وجل: {وَلا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ ذَلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ} ولهذا قدر به الخيار في البيع والثاني: يمهل قدر ما يحتاج إليه للتأهب للوطء فإن كان ناعساً أمهل إلى أن ينام وإن كان جائعا أمهل إلى أن يأكل وإن كان شبعانا أمهل إلى أن يخف وإن كان صائماً أمهل إلى أن يفطر لأنه حق حمل عليه وهو قادر على أدائه فلم يمهل أكثر من قدر الحاجة كالين الحال.

Dan dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: {Dan janganlah kamu menyentuhnya dengan gangguan, maka kamu akan ditimpa azab yang dekat. Lalu mereka menyembelih unta itu, maka (Allah) berfirman: “Bersenang-senanglah kalian di rumah kalian selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dusta”}, dan karena itu pula ditetapkan tiga hari sebagai batas waktu khiyār dalam jual beli.

Pendapat kedua: ia diberi tenggang waktu sekadar yang dibutuhkan untuk bersiap melakukan jima‘. Jika ia mengantuk, diberi waktu hingga ia tidur; jika lapar, hingga ia makan; jika kenyang, hingga rasa beratnya hilang; jika ia sedang puasa, hingga ia berbuka. Karena ini adalah kewajiban yang harus ia tunaikan dan ia mampu melakukannya, maka tidak boleh diberi tenggang lebih dari kadar kebutuhan, sebagaimana halnya līn al-ḥāl (orang yang punya kemampuan tetapi menunda hak orang lain).

فصل: وإن وطئها في الفرج فقد أوفاها حقها ويسقط الإيلاء وأدناه أن تغيب الحشفة في الفرج لأن أحكام الوطء تتعلق به وإن وطئها في الموضع المكروه أو وطئها فيما دون الفرج لم يعتد به لأن الضرر لا يزول إلا بالوطء في الفرج فإن وطئها في الفرج فإن كانت اليمين بالله تعالى فهل تلزمه الكفارة فيه قولان: قال في القديم: لا تلزمه لقوله عز وجل: {فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ الله غَفُورٌ رَحِيمٌ} فعلق المغفرة بالفيئة فدل على أنه استغنى عن الكفارة وقال في الجديد: تلزمه الكفارة وهو الصحيح لقوله صلى الله عليه وسلم: “من حلف على يمين فرأى غيرها خيراً منها فليأت الذي هو خير وليكفر عن يمينه” .

PASAL: Jika suami menjima‘ istrinya di qubul, maka ia telah menunaikan hak istrinya dan iilā’ menjadi gugur. Batas minimalnya adalah tenggelamnya ḥasyafah ke dalam farji, karena hukum-hukum jima‘ bergantung padanya. Jika ia menjima‘ di tempat yang makruh atau di selain farji, maka tidak dianggap karena mudarat tidak hilang kecuali dengan jima‘ di farji. Jika ia menjima‘ di farji, dan sumpahnya dengan nama Allah Ta‘ala, maka apakah wajib membayar kaffārah? Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat dalam qaul qadīm: tidak wajib, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Fa-in fā’ū fa-inna Allāha ghafūrun raḥīm”, yang menggantungkan ampunan pada fay’ah, maka menunjukkan bahwa tidak perlu kaffārah.

Pendapat dalam qaul jadīd: wajib membayar kaffārah, dan ini yang ṣaḥīḥ, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barang siapa bersumpah dengan suatu sumpah lalu ia melihat yang lain lebih baik darinya, maka hendaklah ia lakukan yang lebih baik dan membayar kaffārah sumpahnya.”

ولأنه حلف بالله تعالى وحنث فلزمته الكفارة كما لو حلف على ترك صلاة فصلاها واختلف أصحابنا في موضع القولين فمنهم من قال القولان فيمن جامع وقت المطالبة فأما إذا وطئ في مدة التربص فإنه يجب عليه الكفارة قولاً واحداً لأن بعد المطالبة الفيئة واجبة فلا يجب بها كفارة كالحلق عند التحلل ومنهم من قال القولان في الحالين ويخالف كفارة الحج فإنها تجب بالمحظور والحلق المحظور وهو الحلق في حال الإحرام وأما الحلق عند التحلل فهو نسك وليس كذلك كفارة اليمين فإنها تجب بالحنث والحنث الواجب كالحنث المحظور في إيجاب الكفارة وإن كان الإيلاء على عتق وقع بنفس الوطء لأنه عتق معلق على شرط فوقع وجوده

Karena ia telah bersumpah dengan nama Allah Ta‘ala lalu melanggarnya, maka wajib atasnya membayar kaffārah, sebagaimana orang yang bersumpah tidak akan salat lalu ia salat.

Ulama kami berbeda pendapat tentang posisi dua qaul tersebut. Sebagian dari mereka berkata bahwa dua qaul itu berlaku bagi orang yang menjima‘ saat telah diminta oleh istri. Adapun jika menjima‘ dalam masa tarrabuṣ, maka wajib atasnya membayar kaffārah menurut satu pendapat saja, karena setelah adanya permintaan, maka fay’ah menjadi wajib, sehingga tidak dikenai kaffārah, sebagaimana mencukur rambut saat taḥallul. Dan sebagian dari mereka berkata bahwa dua qaul tersebut berlaku dalam kedua keadaan. Dan ini berbeda dengan kaffārah dalam haji, karena ia wajib sebab melakukan larangan, dan mencukur yang dilarang adalah mencukur dalam keadaan iḥrām, adapun mencukur saat taḥallul adalah bagian dari nusuk.

Adapun kaffārah sumpah, maka ia wajib karena pelanggaran sumpah, dan pelanggaran sumpah yang wajib sama hukumnya dengan pelanggaran sumpah yang haram dalam hal mewajibkan kaffārah.

Jika iilā’ itu dikaitkan dengan pembebasan budak, maka pembebasan itu terjadi secara otomatis dengan jima‘, karena pembebasan tersebut digantungkan pada suatu syarat, dan syarat itu telah terpenuhi.

وإن كان على نذر عتق أو نذر صوم أو صلاة أو التصدق بمال فهو بالخيار بين أن يفي بما نذر وبين أن يكفر كفارة يمين لأنه نذر نذراً على وجه اللجاج والغضب فيخير فيه بين الكفارة وبين الوفاء بما نذر وإن كان الإيلاء على الطلاق الثلاث طلقت ثلاثاً لأنه طلاق معلق على شرط فوقع بوجوده وهل يمنع من الوطء أم لا ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي بن خيران أنه يمنع من وطئها لأنها تطلق قبل أن ينزع فمنع منه كما يمنع في شهر رمضان أن يجامع وهو يخشى أن يطلع الفجر قبل أن ينزع

Jika iilā’ itu terkait dengan nadzar memerdekakan budak, atau nadzar puasa, atau salat, atau bersedekah dengan harta, maka ia diberi pilihan antara menunaikan nadzarnya atau membayar kaffārah sumpah. Sebab, nadzar tersebut adalah nadzar dalam konteks emosi dan kemarahan, maka ia diberi pilihan antara membayar kaffārah atau menunaikan nadzarnya.

Jika iilā’ itu dikaitkan dengan talak tiga, maka jatuhlah talak tiga karena merupakan talak yang digantungkan pada suatu syarat, maka terjadi dengan adanya syarat tersebut.

Apakah suami dilarang menjima‘ istrinya atau tidak, terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama—dan ini adalah pendapat Abū ʿAlī bin Khirān—bahwa suami dilarang menjima‘nya, karena ia akan menjatuhkan talak sebelum ia menariknya kembali (menyelesaikan jima‘), maka dilarang sebagaimana seseorang dilarang menjima‘ istrinya di bulan Ramadan jika ia khawatir fajar terbit sebelum selesai.

والثاني: وهو المذهب أنه لا يمنع لأن الإيلاج صادف النكاح والذي يصادف غير النكاح هو النزع وذلك ترك الوطء وما تعلق التحريم بفعله لا يتعلق بتركه ولهذا لو قال لرجل ادخل داري ولا تقم فيها جاز أن يدخل ثم يخرج وإن كان الخروج في حالة الحظر وأما مسألة الصوم فقد ذكر بعض أصحابنا أنها على وجهين: أحدهما: أنه لا يمنع فلا فرق بينها وبين مسألتنا فعلى هذا لا يزيد على تغييب الحشفة في الفرج ثم ينزع فإذا زاد على ذلك أو استدام لم يجب عليه الحد لأنه وطء اجتمع فيه التحليل والتحريم فلم يجب به الحد وهل يجب به المهر؟ فيه وجهان: أحدهما: يجب كما تجب الكفارة على الصائم إذا أولج قبل الفجر واستدام بعد طلوعه

Pendapat kedua—dan ini adalah al-madzhab—bahwa suami tidak dilarang menjima‘nya, karena ijāz (penis masuk) terjadi saat masih dalam pernikahan, sedangkan yang terjadi di luar pernikahan adalah naza‘ (menarik keluar). Dan larangan tidak berkaitan dengan perbuatan yang ditinggalkan, melainkan dengan perbuatan yang dilakukan. Karena itu, jika seseorang berkata kepada orang lain, “Masuklah ke rumahku, tetapi jangan tinggal di dalamnya,” maka boleh baginya masuk lalu keluar, meskipun keluarnya terjadi dalam waktu yang dilarang.

Adapun kasus puasa, sebagian ulama kami menyebut bahwa ia terbagi dua:

Pertama, tidak dilarang, maka tidak ada perbedaan antara kasus tersebut dan kasus kita. Maka, dalam hal ini, cukup dengan tenggelamnya ḥasyafah ke dalam farji lalu segera menariknya kembali. Jika ia menambahkan dari itu atau melanjutkan jima‘, maka tidak wajib atasnya ḥadd, karena jima‘ tersebut mengandung unsur halal dan haram sekaligus, sehingga tidak dikenai ḥadd.

Apakah wajib mahar karena jima‘ tersebut? Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: wajib, sebagaimana wajib kaffārah atas orang yang berpuasa jika ia menjima‘ sebelum fajar lalu meneruskannya hingga terbit fajar.

والثاني: لا يجب لأن ابتداء الوطء يتعلق به المهر الواجب بالنكاح لأن المهر في مقابلة كل وطء يوجد في النكاح وقد تكون مفوضة فيجب عليه المهر بتغييب الحشفة فلو أوجبنا بالاستدامة مهراً أدى إلى إيجاب مهرين بإيلاج واحد وليس كذلك الكفارة فإنها لا تتعلق بابتداء الجماع فلا يؤدي إيجابها في الاستدامة إلى إيجاب كفارتين بإيلاج واحد وإن نزع ثم أولج نظرت فإن كانا جاهلين بالتحريم بأن اعتقدا أن الطلاق لا يقع إلا باستكمال الوطء لم يجب عليهما الحد للشبهة فلهذا يجب المهر وإن كانا عالمين بالتحريم ففي الحد وجهان: أحدهما: أنه يجب لأنه إيلاج مستأنف محرم من غير شبهة فوجب به الحد كالإيلاج في الأجنبية فعلى هذا لا يجب المهر لأنها زانية

Pendapat kedua: tidak wajib mahar, karena mahar yang wajib dengan sebab jima‘ itu berkaitan dengan permulaan jima‘ dalam pernikahan, sebab mahar adalah imbalan atas setiap jima‘ yang terjadi dalam pernikahan. Bisa jadi istri termasuk yang tidak disebutkan maharnya (mufaawwaḍah), maka wajib atasnya mahar dengan tenggelamnya ḥasyafah. Maka jika kita mewajibkan mahar karena kelanjutan jima‘, itu berarti mewajibkan dua mahar karena satu kali jima‘, dan hal itu tidak dibenarkan.

Adapun kaffārah, maka ia tidak berkaitan dengan awal jima‘. Maka mewajibkannya pada kelanjutan jima‘ tidak berarti mewajibkan dua kaffārah karena satu kali jima‘.

Jika suami menarik keluar (naza‘) kemudian memasukkan kembali (ijāz), maka perlu dilihat: bila keduanya tidak mengetahui keharamannya, karena mereka menyangka bahwa talak tidak jatuh kecuali setelah sempurna jima‘, maka tidak wajib atas keduanya ḥadd karena adanya syubhat. Maka dari itu, mahar tetap wajib.

Namun jika keduanya mengetahui keharamannya, maka dalam hal kewajiban ḥadd terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: wajib, karena itu adalah ijāz yang baru dan haram, tanpa adanya syubhat, maka wajib ḥadd, sebagaimana ijāz terhadap perempuan asing (bukan istri).

Maka berdasarkan pendapat ini, tidak wajib mahar karena perempuan itu dihukumi sebagai pezina.

والثاني: لا يجب الحد لأن الإيلاجات وطء واحد فإذا لم يجب في أوله لم يجب في إتمامه فعلى هذا يجب لها المهر وإن علم الزوج بالتحريم وجهلت الزوجة أو علمت ولم تقدر على دفعه لم يجب عليها الحد ويجب لها المهر وفي وجوب الحد على الزوج وجهان وإن كان الزوج جاهلا بالتحريم وهي عالمة ففي وجوب الحد عليها وجهان: أحدهما: يجب فعلى هذا لا يجب لها المهر والثاني: لا يجب فعلى هذا يجب لها المهر.

Pendapat kedua: tidak wajib ḥadd, karena beberapa kali ijāz itu dihukumi sebagai satu jima‘. Maka jika ḥadd tidak wajib pada permulaannya, tidak pula wajib pada kelanjutannya. Berdasarkan pendapat ini, mahar tetap wajib untuknya.

Jika suami mengetahui keharamannya, sementara istri tidak tahu, atau istri tahu tetapi tidak mampu menolak, maka tidak wajib ḥadd atas istri, dan mahar tetap wajib baginya. Adapun kewajiban ḥadd atas suami, terdapat dua pendapat.

Jika suami tidak tahu keharamannya sedangkan istri tahu, maka dalam kewajiban ḥadd atas istri terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: wajib ḥadd, dan berdasarkan ini tidak wajib baginya mahar.

Pendapat kedua: tidak wajib ḥadd, dan berdasarkan ini mahar tetap wajib baginya.

فصل: وإن طلق فقد سقط حكم الإيلاء وبقيت اليمين فإن امتنع ولم يف ولم يطلق ففيه قولان: قال في القديم: لا يطلق عليه الحاكم لقوله صلي الله عليه وسلم: “الطلاق لمن أخذ بالساق” . ولأن ما خير فيه الزوج بين أمرين لم يقم الحاكم فيه مقامه في الاختيار كما لو أسلم وتحته أختان فعلى هذا يحبس حتى يطلق أو يفيء كما يحبس إذا امتنع من اختيار إحدى الأختين وقال في الجديد: يطلق الحاكم عليه لأن ما دخلت النيابة فيه وتعين مستحقه وامتنع من هو عليه قام الحاكم فيه مقامه كقضاء الدين فعلى هذا يطلق عليه طلقة وتكون رجعية

PASAL: Jika suami mentalak, maka gugurlah hukum iilā’ dan tetaplah sumpahnya. Jika ia enggan memenuhi dan tidak mentalak, maka ada dua pendapat. Pendapat dalam qaul qadīm: Hakim tidak menjatuhkan talak atasnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Talak adalah milik orang yang memegang urusan (talak itu).” Dan karena dalam perkara yang suami diberi pilihan antara dua hal, maka hakim tidak mewakilinya dalam memilih, sebagaimana jika seorang masuk Islam dan ia memiliki dua saudari sebagai istri. Maka menurut pendapat ini, ia dipenjara hingga ia mentalak atau kembali (mencabut iilā’) sebagaimana dipenjara ketika enggan memilih salah satu dari dua saudari itu.

Dan dalam qaul jadīd: Hakim boleh menjatuhkan talak atasnya, karena setiap perkara yang masuk dalam cakupan perwakilan dan haknya telah ditentukan dan orang yang berkewajiban itu enggan, maka hakim menggantikannya, seperti dalam menunaikan utang. Maka menurut pendapat ini, hakim menjatuhkan satu talak dan statusnya adalah talak raj‘ī.

وقال أبو ثور: تقع طلقة بائنة لأنها فرقة لدفع الضرر لفقد الوطء فكانت بائنة كفرقة العنين وهذا خطأ لأنه طلاق صادف مدخولاً بها من غير عوض ولا استيفاء عدد فكان رجعياً كالطلاق من غير إيلاء ويخالف فرقة العنين فإن تلك الفرقى فسخ وهذا طلاق فإذا وقع الطلاق ولم يراجع حتى بانت ثم تزوجها والمدة باقية فهل يعود الإيلاء على ما ذكرناه في عود اليمين في النكاح الثاني؟ فإن قلنا يعود فإن كانت المدة باقية استؤنفت مدة الإيلاء ثم طولب بعد انقضائها بالفيئة أو الطلاق فإن راجعها والمدة باقية استؤنفت المدة وطولب بالفيئة أو الطلاق وعلى هذا إلى أن يستوفي الثلاث فإن عادت إليه بعد استيفاء الثلاث والمدة باقية فهل يعود الإيلاء على قولين.

Dan Abū Ṯawr berkata: Talak yang dijatuhkan adalah talak bā’inah, karena ia merupakan perpisahan untuk menghilangkan ḍarar akibat tidak adanya jima‘, maka ia bā’inah sebagaimana perpisahan karena suami ‘annin. Ini adalah pendapat yang salah, karena talak ini dijatuhkan kepada istri yang sudah digauli, tanpa ganti rugi dan belum menghabiskan jumlah talak, maka ia raj‘ī seperti talak tanpa iilā’. Adapun perpisahan karena ‘annin berbeda, karena itu adalah fasakh, sedangkan ini adalah talak.

Jika talak dijatuhkan lalu tidak dirujuk hingga istri menjadi bā’in, kemudian ia menikahinya kembali dan masa iilā’ masih tersisa, maka apakah iilā’ kembali berlaku sebagaimana pembahasan tentang kembalinya sumpah dalam pernikahan yang kedua?

Jika kita katakan ia kembali berlaku, maka bila masa iilā’ masih tersisa, maka masa iilā’ dimulai kembali dan setelah berakhirnya masa itu, ia dituntut untuk memilih antara kembali (berjima‘) atau mentalak. Jika ia merujuk istrinya dan masa masih tersisa, maka masa iilā’ dimulai kembali dan ia dituntut untuk memilih antara kembali atau mentalak, dan begitu seterusnya hingga sempurna tiga kali talak.

Jika ia kembali menikahi istrinya setelah tiga kali talak sempurna, dan masa iilā’ masih tersisa, maka apakah iilā’ kembali berlaku? Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

فصل: وإن انقضت المدة وهناك عذر يمنع الوطء نظرت فإن كان لمعنى فيها كالمرض والجنون الذي لا يخاف منه أو الإغماء الذي لا تمييز معه أو الحبس في موضع لا يصل إليه أو الإحرام أو الصوم الواجب أو الحيض أو النفاس لم يطالب لأن المطالبة تكون مع الاستحقاق وهي لا تستحق الوطء في هذه الأحوال فلم تجز المطالبة فيه وإن كان العذر من جهته نظرت فإن كان مغلوباً على عقله لم يطالب لأنه لا يصلح للخطاب ولا يصلح منه جواب

PASAL: Jika masa (empat bulan) telah habis dan ada uzur yang menghalangi terjadinya jima‘, maka diperhatikan: jika uzur tersebut berasal dari pihak istri, seperti sakit, gila yang tidak membahayakan, pingsan yang menghilangkan kesadaran, dipenjara di tempat yang tidak dapat dijangkau olehnya, sedang berihram, berpuasa wajib, haid, atau nifas, maka ia tidak dituntut (untuk jima‘), karena penuntutan hanya berlaku ketika ada hak, sedangkan dalam kondisi-kondisi ini ia tidak berhak atas jima‘, maka tidak sah adanya penuntutan. Namun jika uzur berasal dari pihak suami, maka diperhatikan: jika ia tidak sadarkan diri (hilang akal) maka ia tidak dituntut, karena ia tidak layak untuk dikenai taklif dan tidak dapat memberi jawaban.

فإن كان مريضاً مرضاً يمنع الوطء أو حبس بغير حق حبساً يمنع الوصول إليه طولب أن يفيء فيئة المعذور بلسانه وهو أن يقول لست أقدر على الوطء ولو قدرت لفعلت فإذا قدرت فعلت وقال أبو ثور: لا يلزمه الفيئة باللسان لأن الضرر بترك الوطء لا يزول بالفيئة باللسان وهذا خطأ لأن القصد بالفيئة ترك ما قصد إليه من الأضرار وقد ترك القصد إلى الإضرار بما أتى به من الاعتذار ولأن القول مع العذر يقوم مقام الفعل عند القدرة ولهذا نقول إن إشهاد الشفيع على طلب الشفعة في حال الغيبة يقوم مقام الطلب في حال الحضور في إثبات الشفعة وإذا فاء باللسان ثم قدر طولب بالوطء لأنه تأخر بعذر فإذا زال العذر طولب به.

Jika ia sakit dengan sakit yang menghalangi jima‘, atau dipenjara tanpa hak dengan pemenjaraan yang menghalangi untuk sampai kepadanya, maka ia dituntut untuk melakukan fay’ dalam bentuk fay’ orang yang beruzur dengan lisannya, yaitu dengan mengatakan: “Aku tidak mampu melakukan jima‘, dan seandainya aku mampu pasti aku akan melakukannya. Maka jika aku mampu, aku akan melakukannya.”

Abu Ṯaur berkata: Tidak wajib fay’ dengan lisan, karena bahaya dari tidak adanya jima‘ tidak hilang dengan fay’ lisan. Ini adalah pendapat yang keliru, karena maksud dari fay’ adalah meninggalkan niat untuk menyakiti, dan ia telah meninggalkan niat menyakiti dengan menyampaikan uzur tersebut. Juga karena ucapan yang disertai uzur menempati kedudukan perbuatan saat ada kemampuan. Oleh karena itu kita mengatakan bahwa penyaksian oleh pihak yang berhak syuf‘ah atas permintaan syuf‘ah saat pihak penjual sedang tidak hadir, menempati kedudukan permintaan secara langsung dalam pembuktian hak syuf‘ah.

Jika ia telah melakukan fay’ dengan lisan kemudian menjadi mampu, maka ia dituntut untuk melakukan jima‘, karena sebelumnya tertunda karena uzur. Maka ketika uzur telah hilang, ia dituntut melakukannya.

فصل: وإن انقضت المدة وهو غائب فإن كان الطريق آمنا فلها أن توكل من يطالبه بالمسير إليها أو بحملها إليه أو بالطلاق وإن كان الطريق غير آمن فاء فيئة معذور إلى أن يقدر فإن لم يفعل أخذ بالطلاق.

PASAL: Jika telah habis masa (empat bulan) sementara suami sedang tidak berada (ghāib), maka jika jalan menuju tempatnya aman, istri boleh mewakilkan seseorang untuk menuntut suaminya agar datang menemuinya, atau agar membawanya ke tempat suami, atau agar menceraikannya. Namun jika jalan tidak aman, maka suami cukup melakukan fai`ah sebagai orang yang uzur hingga ia mampu (menemui istrinya). Jika ia tidak melakukannya, maka ia dikenai tuntutan untuk menceraikan.

فصل: وإن انقضت المدة وهو محرم قيل له إن وطئت فسد إحرامك وإن لم تطأ أخذت بالطلاق فإن طلقها سقط حكم الإيلاء وإن وطئها فقد أوفاها حقها وفسد نسكه وإن لم يطأ ولم يطلق ففيه وجهان: أحدهما: يقتنع منه بفيئة معذور إلى أن يتحلل لأنه غير قادر على الوطء فأشبه بالمريض والمحبوس والثاني: لا يقتنع منه وهو ظاهر النص لأنه امتنع من الوطء بسبب من جهته.

PASAL: Jika masa (empat bulan) telah habis sementara ia dalam keadaan berihram, maka dikatakan kepadanya: “Jika engkau menjima‘ maka ihrammu rusak, dan jika tidak menjima‘ maka engkau harus mentalaknya.” Jika ia menalaknya, maka gugur hukum iilā’. Jika ia menjima‘nya, maka ia telah memenuhi hak istrinya dan rusaklah manasiknya.

Jika ia tidak menjima‘ dan tidak juga mentalaknya, maka ada dua wajah pendapat:
Pertama, cukup darinya fay’ orang yang beruzur hingga ia bertahallul, karena ia tidak mampu melakukan jima‘, maka ia seperti orang sakit atau orang yang dipenjara.
Kedua, tidak cukup darinya fay’ orang beruzur, dan ini adalah pendapat yang zahir dari nash, karena ia menahan diri dari jima‘ dengan sebab yang berasal dari dirinya sendiri.

فصل: وإن انقضت المدة وهو مظاهر قيل له إن وطئت قبل التفكير أثمت للظهار وإن لم تطأ أخذت بالطلاق فإن فقال أمهلوني حتى أشتري رقبة أكفر بها أمهل ثلاثة أيام وإن قال أمهلوني حتى أكفر بالصيام لم يمهل لأن مدة الصيام تطول وإن أراد أن يطأها قبل أن يكفر وقالت المرأة لا أمكنك من الوطء لأني محرمة عليك فقد ذكر الشيخ أبو حامد الإسفرايني رحمه الله أنه ليس لها أن تمتنع فإن امتنعت سقط حقها من المطالبة كما نقول فيمن له دين على رجل فأحضر مالا فامتنع صاحب الحق من أخذه وقال لا آخذه

PASAL: Jika masa telah habis sementara ia dalam keadaan zihār, dikatakan kepadanya: “Jika engkau menyetubuhi sebelum membayar kaffārah, engkau berdosa karena zihār.” Jika ia tidak menyetubuhi, maka ia dituntut untuk menceraikan. Jika ia berkata, “Tunggulah aku hingga aku membeli budak untuk membayar kaffārah,” maka ia diberi waktu tiga hari. Namun jika ia berkata, “Tunggulah aku hingga aku membayar kaffārah dengan puasa,” maka ia tidak diberi waktu karena masa puasa itu panjang.

Jika ia ingin menyetubuhi sebelum membayar kaffārah, dan perempuan berkata, “Aku tidak mengizinkanmu menyetubuhiku karena engkau haram bagiku,” maka asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī rahimahullāh menyebutkan bahwa perempuan tidak berhak menolak. Jika ia tetap menolak, gugurlah haknya untuk menuntut (jimā‘), sebagaimana kami katakan pada orang yang memiliki piutang atas seseorang lalu orang itu menghadirkan harta namun pemilik piutang menolak menerimanya dan berkata, “Aku tidak mau mengambilnya.”

لأنه مغصوب أن يلزمه أن يأخذه أو يبرئه من الدين وعندي أن لها أن تمتنع لأنه وطء محرم فجاز لها أن تمتنع منه كوطء الرجعية ويخالف صاحب الدين فإنه يدعي أنه مغصوب والذي عليه الدين يدعي أنه ماله والظاهر معه فإن اليد تدل على الملك وليس كذلك وطء المظاهر منها فإنهما متفقان على تحريمه فنظيره من المال أن يتفقا على أنه مغصوب فلا يجبر صاحب الدين على أخذه.

Karena ia adalah sesuatu yang tergolong maghṣūb, maka tidak wajib baginya untuk mengambilnya atau membebaskan orang itu dari utang. Menurutku, perempuan itu berhak menolak karena itu adalah jima‘ yang haram, maka boleh baginya untuk menolak sebagaimana pada jima‘ terhadap istri yang dalam masa rujū‘. Berbeda halnya dengan pemilik piutang, karena ia mengklaim bahwa harta itu maghṣūb, sedangkan orang yang berutang mengklaim bahwa itu miliknya, dan ẓāhir-nya mendukungnya, karena tangan atas suatu barang menunjukkan kepemilikan. Tidak demikian halnya dengan jima‘ terhadap istri yang telah dizihār, karena keduanya sepakat bahwa hal itu haram. Maka yang semisal dengannya dalam harta adalah apabila keduanya sepakat bahwa harta itu maghṣūb, sehingga pemilik piutang tidak dipaksa untuk mengambilnya.

فصل: وإن انقضت المدة فادعى أنه عاجز ولم يكن قد عرف حاله أنه عنين وقادر ففيه وجهان: أحدهما: وهو ظاهر النص أنه يقبل قوله لأن التعنين من العيوب التي لا يقف عليها غيره فقبل قوله فيه مع اليمين فإن حلف طولب بفيئة معذور أو يطلق والوجه الثاني أنه لا يقبل قوله لأنه متهم فعلى هذا يؤخذ بالطلاق.

PASAL: Jika masa telah habis lalu ia mengaku tidak mampu (jima‘), dan sebelumnya tidak diketahui keadaannya apakah ia ‘anīn atau mampu, maka terdapat dua wajah:

Wajah pertama —dan inilah yang ẓāhir dari nash— adalah diterima pengakuannya karena ta‘nīn termasuk aib yang tidak bisa diketahui selain oleh dirinya sendiri, maka diterima pengakuannya disertai sumpah. Jika ia bersumpah, maka ia dituntut dengan fay’ah orang yang berudzur atau menceraikan.

Wajah kedua, pengakuannya tidak diterima karena ia tertuduh (berusaha menghindar), maka dalam hal ini ia dituntut menceraikan.

فصل: وإن آلى المجبوب وقلنا أنه يصح إيلاؤه أو الى وهو صحيح الذكر وانقضت المدة وهو مجبوب فاء فيئة معذور وهو أن يقول لو قدرت فعلت فإن لم يفيء أخذ بالطلاق.

PASAL: Jika orang yang terputus kemaluannya (majbūb) melakukan iilā’, dan kita berpendapat bahwa iilā’-nya sah, atau ia melakukan iilā’ dalam keadaan sehat kemaluannya lalu masa berlalu dan ia menjadi majbūb, maka ia melakukan fay’ah orang yang berudzur, yaitu dengan berkata: “Seandainya aku mampu, pasti aku akan melakukannya.” Jika ia tidak melakukan fay’ah, maka ia dituntut untuk menceraikan.

فصل: وإن اختلف الزوجان في انقضاء المدة فادعت المرأة انقضاءها وأنكر الزوج فالقول قول الزوج لأن الأصل أنها لم تنقض ولأن هذا اختلاف في وقت الإيلاء فكان القول فيه قوله وإن اختلفا في الإصابة فادعى الزوج أنه أصابها وأنكرت المرأة فعلى ما ذكرناه في العنين.

PASAL: Jika suami istri berselisih tentang berakhirnya masa (iilā’), lalu istri mengklaim bahwa masa itu telah berakhir sementara suami mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan suami, karena asalnya masa itu belum berakhir. Selain itu, ini termasuk perselisihan tentang waktu iilā’, sehingga perkataan suami yang dijadikan pegangan. Dan jika mereka berselisih tentang jima‘, di mana suami mengaku telah menjima‘nya dan istri mengingkarinya, maka hukumnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam kasus ‘anīn.

الظهار محرم لقوله عز وجل: {الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَراً مِنَ الْقَوْلِ وَزُوراً} ويصح ذلك من كل زوج مكلف لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ} ولأنه قول يختص به النكاح فصح من كل زوج مكلف كالطلاق ولا يصح من السيد في أمته لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ} فخص به الأزواج ولأن الظهار كان طلاقاً في النساء في الجاهلية فنسخ حكمه وبقي محله.

Kitab az-Zihār
Pendahuluan

Kitab az-Zihār
Zihār adalah perbuatan yang diharamkan berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Orang-orang yang menzihār istri-istri mereka di antara kalian, (mengatakan) istri-istri mereka itu seperti ibu-ibu mereka, padahal ibu-ibu mereka hanyalah yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta}.

Zihār sah dilakukan oleh setiap suami yang mukallaf, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Dan orang-orang yang menzihār istri-istri mereka, kemudian mereka hendak kembali kepada apa yang mereka ucapkan, maka (wajib) memerdekakan seorang budak}. Hal itu karena zihār adalah ucapan yang berkaitan khusus dengan pernikahan, maka sah dari setiap suami yang mukallaf sebagaimana talak.

Zihār tidak sah dari seorang tuan terhadap budaknya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Dan orang-orang yang menzihār istri-istri mereka}, maka dikhususkan hanya bagi para suami. Dan karena zihār dahulu merupakan bentuk talak bagi perempuan di masa jahiliyyah, kemudian hukumnya di-naskh, namun tempatnya (yakni istri) tetap berlaku.

فصل: وإن قالت أنت علي كظهر أمي فهو ظهار وإن قال أنت علي كظهر جدتي فهو ظهار لأن الجدة من الأمهات ولأنها كالأم في التحريم وإن قال أنت علي كظهر أبي لم يكن ظهاراً لأنه ليس بمحل الاستمتاع فلم يصر بالتشبيه به مظاهرا كالبهيمة وإن قال أنت علي كظهر أختي أو عمتي ففيه قولان: قال في القديم: ليس بظهار لأن الله تعالى نص على الأمهات وهن الأصل في التحريم وغيرهن فرع لهن ودونهن فلم يلحقن بهن في الظهار

PASAL: Jika istri berkata, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku,” maka itu adalah zhihār. Jika suami berkata, “Engkau bagiku seperti punggung nenekku,” maka itu juga zhihār karena nenek termasuk dalam kategori ibu, dan hukumnya dalam hal pengharaman serupa dengan ibu. Namun jika ia berkata, “Engkau bagiku seperti punggung ayahku,” maka itu bukan zhihār karena ayah bukan tempat kenikmatan, sehingga penyamaan dengannya tidak menjadikannya muharram, seperti halnya hewan. Dan jika ia berkata, “Engkau bagiku seperti punggung saudariku” atau “bibikku,” maka terdapat dua pendapat. Dalam pendapat qadīm, itu bukan zhihār karena Allah SWT menyebut secara khusus “ibu-ibu,” sementara mereka adalah pokok dalam keharaman, sedangkan selain mereka adalah cabang yang berada di bawahnya, maka tidak disamakan dengan mereka dalam hukum zhihār.

وقال في الجديد: هو ظهار وهو الصحيح لأنها محرمة بالقرابة على التأبيد فأشبهت الأم وإن شبهها بمحرم من غير ذوات المحارم نظرت فإن كانت امرأة حلت له ثم حرمت عليه كالملاعنة والأم من الرضاع وحليلة الأب بعد ولادته أو محرمة تحل له في الثاني كأخت زوجته وخالتها وعمتها لم يكن ظهاراً لأنهن دون الأم في التحريم وإن لم تحل له قط ولا تحل له في الثاني كحليلة الأب قبل ولادته فعلى القولين في ذوات المحارم.

Dan dalam pendapat jadīd, itu adalah zhihār, dan inilah yang benar karena mereka haram dinikahi karena hubungan kekerabatan secara permanen, sehingga menyerupai ibu. Dan jika ia menyamakan istrinya dengan orang yang haram dinikahi namun bukan mahram secara nasab, maka diperinci: jika perempuan itu tadinya halal dinikahi kemudian menjadi haram, seperti perempuan yang dilaknat dalam li‘ān, ibu susu, dan istri ayah setelah ia lahir, atau perempuan yang haram namun halal dinikahi dalam pernikahan kedua, seperti saudara istri, bibi dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ayah, maka itu bukan zhihār karena mereka lebih rendah dalam keharaman dibanding ibu. Adapun jika perempuan itu tidak pernah halal baginya sama sekali dan tidak akan halal dalam pernikahan kedua, seperti istri ayah sebelum ia dilahirkan, maka statusnya mengikuti dua pendapat dalam masalah perempuan yang mahram karena nasab.

فصل: وإن قال أنت عندي أو أنت مني أو أنت معي كظهر أمي فهو ظهار لأنه يفيد ما يفيد قوله أنت علي كظهر أمي وإن شبهها بعضو من أعضاء الأم غير الظهر بأن قال أنت علي كفرج أمي أو كيدها أو كرأسها فالمنصوص أنه ظهار ومن أصحابنا من جعلها علي قولين قياساً على من شبهها بذات رحم محرم منه غير الأم والصحيح أنه ظهار قولاً واحداً لأن غير الظهر كالظهر في التحريم وغير الأم دون الأم في التحريم وإن قال أنت علي كبدن أمي فهو ظهار لأنه يدخل الظهر فيه وإن قال أنت علي كروح أمي ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه ظهار لأنه يعبر به عن الجملة

PASAL: Jika seorang suami berkata, “Engkau di sisiku” atau “Engkau dariku” atau “Engkau bersamaku seperti punggung ibuku,” maka itu adalah zhihār, karena maknanya sama dengan ucapan “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.”

Dan jika ia menyamakan istrinya dengan anggota tubuh ibu selain punggung, seperti berkata, “Engkau bagiku seperti kemaluan ibuku” atau “seperti tangannya” atau “seperti kepalanya,” maka menurut pendapat yang manṣūṣ, itu adalah zhihār. Dan sebagian ulama kami menjadikannya dua pendapat dengan mengqiyaskan kepada orang yang menyamakan istrinya dengan perempuan mahram selain ibu. Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah itu zhihār menurut satu pendapat, karena selain punggung sama hukumnya dengan punggung dalam hal keharaman, dan selain ibu lebih ringan tingkat keharamannya daripada ibu.

Jika ia berkata, “Engkau bagiku seperti badan ibuku,” maka itu zhihār, karena punggung termasuk dalam bagian badan.

Jika ia berkata, “Engkau bagiku seperti ruh ibuku,” maka terdapat tiga pendapat: salah satunya, itu zhihār, karena ungkapan itu merujuk kepada keseluruhan tubuh.

والثاني: أنه كناية لأنه يحتمل أنها كالروح في الكرامة فلم يكن ظهاراً من غير نية والثالث وهو قول علي ابن أبي هريرة أنه ليس بصريح ولا كناية لأن الروح ليس من الأعيان التي يقع بها التشبيه وإن شبه عضواً من زوجته بظهر أمه بأن قال رأسك أو يدك علي كظهر أمي فهو ظهار لأنه قول يوجب تحريم الزوجة فجاز تعليقه علي يدها ورأسها كالطلاق وعلى قول ذلك القائل يجب أن يكون ههنا قول آخر أنه ليس بظهار.

dan pendapat kedua: bahwa itu adalah kināyah, karena bisa saja dimaksudkan bahwa istrinya seperti ruh dalam kemuliaan, maka tidak dianggap zhihār tanpa disertai niat.

Dan pendapat ketiga, yaitu pendapat ‘Alī ibn Abī Hurairah, bahwa itu bukan lafaz ṣarīḥ maupun kināyah, karena rūḥ (ruh) bukan termasuk benda yang bisa dijadikan objek tasybīh (penyerupaan).

Dan jika ia menyerupakan anggota tubuh istrinya dengan punggung ibunya, seperti berkata: “Kepalamu” atau “tanganmu bagiku seperti punggung ibuku,” maka itu adalah zhihār, karena itu adalah ucapan yang menyebabkan keharaman istri, maka boleh dikaitkan pada kepala dan tangannya sebagaimana pada ṭalāq.

Namun menurut pendapat orang yang berpendapat sebelumnya (yang tidak menganggap zhihār kecuali dengan lafaz ṣarīḥ), maka dalam hal ini harus ada pendapat lain bahwa itu bukan zhihār.

فصل: وإن قال أنت علي كأمي أو مثل أمي لم يكن ظهاراً إلا بالنية لأنه يحتمل أنها كالأم في التحريم أوفي الكرامة فلم يجعل ظهاراً من غير نية كالكنايات في الطلاق.

PASAL: Dan jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Engkau bagiku seperti ibuku” atau “seperti ibuku”, maka itu tidak dianggap sebagai zhihār kecuali dengan niat, karena ucapan tersebut mengandung kemungkinan maksud bahwa istrinya seperti ibu dalam hal keharaman atau dalam hal kemuliaan. Maka tidak dihukumi sebagai zhihār tanpa adanya niat, sebagaimana kināyah dalam talak.

فصل: وإن قال أنت طالق ونوى به الظهار لم يكن ظهارا وإن قال أنت علي كظهر أمي ونوى به الطلاق لم يكن طلاقاً لأن كل واحد منهما صريح في موجبه في الزوجية فلا ينصرف عن موجبه بالنية وإن قال أنت طالق كظهر أمي ولم ينو شيئاً وقع الطلاق بقوله أنت طالق ويلغى قوله كظهر أمي لأنه ليس معه ما يصير به ظهارا وهو قوله أنت علي أو مني أو معي أو عندي فيصير كما لو قال ابتداء كظهر أمي وإن قال أردت أنت طالق طلاقاً يحرم كما يحرم الظهار وقع الطلاق وكان قوله كظهر أمي تأكيدا

PASAL: Jika seseorang berkata, “Engkau ṭāliq,” dan ia meniatkan dengan itu ẓihār, maka tidak menjadi ẓihār. Dan jika ia berkata, “Engkau atasku seperti punggung ibuku,” dan ia meniatkan dengan itu ṭalāq, maka tidak menjadi ṭalāq, karena masing-masing merupakan lafaz ṣarīḥ dalam akibatnya atas hubungan suami istri, maka tidak beralih dari akibatnya hanya dengan niat.

Dan jika ia berkata, “Engkau ṭāliq seperti punggung ibuku,” dan ia tidak meniatkan apa pun, maka jatuh ṭalāq dengan ucapannya “Engkau ṭāliq”, dan ucapannya “seperti punggung ibuku” menjadi tidak dianggap, karena tidak disertai dengan lafal yang menjadikannya ẓihār, yaitu ucapannya “engkau atasku”, atau “engkau dariku”, atau “engkau bersamaku”, atau “engkau di sisiku”, sehingga menjadi seperti orang yang sejak awal mengatakan, “seperti punggung ibuku.”

Dan jika ia berkata, “Aku maksudkan ‘Engkau ṭāliq’ sebagai ṭalāq yang keharamannya seperti keharaman ẓihār,” maka jatuh ṭalāq, dan ucapannya “seperti punggung ibuku” menjadi penegasan semata.

وإن قال أردت أنت طالق وأنت علي كظهر أمي فإن كان الطلاق رجعياً صار مطلقا ومظاهرا وإن كان بائنا وقع الطلاق ولم يصح الظهار لأن الظهار يلحق الرجعية ولا يلحق البائن وإن قال أنت علي حرام كظهر أمي ولم ينو شيئاً فهو ظهار لأنه أتى بصريحه وأكده بلفظ التحريم وإن نوى به الطلاق فقد أكد الربيع أنه طلاق وروى في بعض نسخ المزني أنه ظهار وبه قال بعض أصحابنا لأن ذكر الظهار قرينة ظاهرة ونية الطلاق قرينة خفية فقدمت القرينة الظاهرة على القرينة الخفية والصحيح أنه طلاق

Dan jika ia berkata, “Aku maksudkan: engkau ṭāliq, dan engkau atasku seperti punggung ibuku,” maka jika ṭalāq-nya raj‘ī, maka menjadi muṭallaq dan muẓāhir sekaligus. Namun jika ṭalāq-nya bā’in, maka jatuh ṭalāq dan tidak sah ẓihār, karena ẓihār hanya berlaku pada istri yang raj‘ī dan tidak berlaku pada istri yang bā’in.

Dan jika ia berkata, “Engkau atasku haram seperti punggung ibuku,” dan tidak meniatkan apa pun, maka itu adalah ẓihār, karena ia mengucapkan lafaz ṣarīḥ ẓihār dan menguatkannya dengan lafaz pengharaman.

Dan jika ia meniatkan ṭalāq dengan ucapan tersebut, maka ar-Rabī‘ menegaskan bahwa itu adalah ṭalāq. Dan dalam sebagian riwayat al-Muzanī disebutkan bahwa itu adalah ẓihār, dan sebagian ulama kami berpendapat demikian, karena penyebutan ẓihār adalah qarīnah yang nyata, sedangkan niat ṭalāq adalah qarīnah yang tersembunyi, maka qarīnah yang nyata lebih didahulukan daripada yang tersembunyi.

Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah bahwa itu adalah ṭalāq.

وأما الظهار فهو غلط وقع في بعض النسخ لأن التحريم كناية في الطلاق والكناية مع النية كالصريح فصار كما لو قال أنت طالق كظهر أمي وإن أردت الطلاق والظهار فإن كان الطلاق رجعياً صار مطلقا ومظاهرا وإن كان الطلاق بائنا صح الطلاق ولم يصح الظهار لما ذكرناه فيما تقدم وعلى مذهب ذلك القائل هو مظاهر لأن القرينة الظاهرة مقدمة وإن قال أردت تحريم عينها وجبت كفارة يمين وعلى قول ذلك القائل هو مظاهر.

Adapun zhihār maka itu adalah kekeliruan yang terdapat dalam sebagian naskah, karena lafaz taḥrīm adalah kinayah dalam ṭalāq, dan kinayah apabila disertai niat, maka hukumnya seperti lafaz sharih. Maka seolah-olah ia berkata: “Engkau tertalak seperti punggung ibuku,” jika ia bermaksud ṭalāq dan zhihār. Maka jika ṭalāq-nya raj‘ī, ia menjadi muṭallaq dan muẓāhir, dan jika ṭalāq-nya bā’in, maka ṭalāq-nya sah dan zhihār-nya tidak sah, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya. Dan menurut mazhab orang yang berpendapat bahwa itu adalah zhihār, karena adanya qarinah yang jelas lebih diutamakan. Dan jika ia mengatakan, “Aku bermaksud mengharamkan dirinya secara khusus,” maka wajib membayar kaffārah sumpah, dan menurut pendapat orang tersebut, itu tetap zhihār.

فصل: ويصح الظهار مؤقتا وهو أن يقول أنت علي كظهر أمي يوماً أو شهرا نص عليه في الأم وقال في اختلاف العراقيين لا يصير مظاهراً لأنه لو شبهها بمن تحرم إلى وقت لم يصر مظاهراً فكذلك إذا شبهها بأمه إلى وقت والصحيح هو الأول لما روى سلمة بن صخر قال: كنت امرأ أصيب من النساء ما لا يصيب غيري فلما دخل شهر رمضان خفت أن أصيب من امرأتي شيئاً يتتابع بي حتى أصبحت فظاهرت منها حتى ينسلخ رمضان فبينما هي تحدثني ذات ليلة وتكشف لي منها شيء فلم ألبث أن نزوت عليها فانطلقت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخبرته فقال: “حرر رقبة”. ولأن الحكم إنما تعلق بالظهار لقوله المنكر والزور وذلك موجود في المؤقت.

PASAL: Zhihār boleh dilakukan secara mu’aqqat (dengan pembatasan waktu), yaitu apabila seseorang berkata: “Engkau bagiku seperti punggung ibuku selama sehari” atau “selama sebulan.” Hal ini dinyatakan oleh Imam al-Syafi‘i dalam al-Umm. Namun dalam kitab Ikhtilāf al-‘Irāqiyyīn, beliau berkata bahwa hal itu tidak menjadikan seseorang sebagai muẓāhir, karena jika ia menyerupakan istrinya dengan seseorang yang haram dinikahi hanya untuk waktu tertentu, maka ia tidak menjadi muẓāhir, demikian pula jika ia menyerupakannya dengan ibunya hanya untuk waktu tertentu. Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang pertama, karena diriwayatkan dari Salamah bin Shaḫr, ia berkata: “Aku adalah seorang lelaki yang sangat sering menggauli perempuan, lebih dari orang lain. Ketika masuk bulan Ramaḍān, aku khawatir akan menggauli istriku dan terus-menerus melakukannya, hingga aku bangun pagi dalam keadaan telah muẓāhir darinya hingga bulan Ramaḍān berlalu. Saat ia sedang bercakap-cakap denganku pada suatu malam, dan tersingkap sesuatu darinya, aku langsung menaikinya (menggaulinya), lalu aku pergi kepada Rasulullah SAW dan mengabarkan hal itu kepadanya, maka beliau bersabda: ‘Merdekakanlah seorang budak.’” Dan karena hukum itu terkait dengan zhihār disebabkan oleh ucapan yang mungkar dan dusta, dan hal itu tetap berlaku pada zhihār yang dibatasi waktu.

فصل: ويجوز تعليقه بشرط كدخول الدار ومشيئة زيد لأنه قول يوجب تحريم الزوجة فجاز تعليقه بالشرط كالطلاق وإن قال إن تظاهرت من فلانة فأنت علي كظهر أمي فتزوج فلانة وتظاهر منها صار مظاهراً من الزوجة لأنه قد وجد شرط ظهارها وإن قال إن تظاهرت من فلانة الأجنبية فأنت علي كظهر أمي ثم تزوج فلانة وظاهر منها ففيه وجهان: أحدهما: لا يصير مظاهراً من الزوجة لأنه شرط أن يظاهر من الأجنبية والشرط لم يوجد فصار كما لو قال إن تظاهرت من ثلاثة وهي أجنبية فأنت علي كظهر أمي ثم تزوجها وظاهر منها والثاني: يصير مظاهرا لأنه علق ظهارها بعينها ووصفها بصفة والحكم إذا تعلق بعين على صفة كانت الصفة تعريفا لا شرطا كما لو قال والله لا دخلت دار زيد هذه فباعها زيد ثم دخلها فإنه يحنث وإن لم تكن ملك زيد.

PASAL: Boleh menggantungkan zhihār pada suatu syarat seperti masuk rumah atau kehendak Zaid, karena ia adalah ucapan yang menyebabkan pengharaman istri, maka boleh digantungkan pada syarat sebagaimana talak. Jika seseorang berkata, “Jika aku menzhihār Fulanah, maka engkau atas diriku seperti punggung ibuku”, lalu ia menikahi Fulanah dan menzhihār-nya, maka ia menjadi muhāẓir dari istrinya karena syarat zhihār telah terpenuhi.

Dan jika ia berkata, “Jika aku menzhihār Fulanah yang masih asing, maka engkau atas diriku seperti punggung ibuku”, lalu ia menikahi Fulanah dan menzhihār-nya, maka ada dua pendapat:

Pertama: Tidak menjadi muhāẓir dari istrinya, karena ia mensyaratkan untuk menzhihār perempuan asing tersebut, dan syarat itu tidak terpenuhi. Maka hukumnya seperti orang yang berkata, “Jika aku menzhihār dari tiga wanita yang salah satunya masih asing, maka engkau atas diriku seperti punggung ibuku”, lalu ia menikahinya dan menzhihār-nya.

Kedua: Menjadi muhāẓir, karena ia menggantungkan zhihār-nya pada orang tertentu dan menyifatinya dengan satu sifat. Dan suatu hukum apabila digantungkan pada suatu individu dengan sifat tertentu, maka sifat itu menjadi penentu, bukan syarat, sebagaimana jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan masuk ke rumah Zaid ini”, lalu Zaid menjual rumah tersebut dan ia masuk ke dalamnya, maka ia tetap melanggar sumpahnya meskipun rumah itu bukan lagi milik Zaid.

فصل: وإن قالت الزوجة لزوجها أنت علي كظهر أبي أو أنا عليك كظهر أمك لم يلزمها شيء لأنه قول يوجب تحريماً في الزوجية يملك الزوج رفعه فاختص به الرجل كالطلاق.

PASAL: Jika istri berkata kepada suaminya, “Engkau atas diriku seperti punggung ayahku,” atau “Aku atasmu seperti punggung ibumu,” maka tidak wajib atasnya apa pun, karena itu adalah ucapan yang menyebabkan keharaman dalam pernikahan yang suami berkuasa untuk mengangkatnya, maka hal itu dikhususkan bagi laki-laki sebagaimana talak.

فصل: وإذا صح الظهار ووجد العود وجبت الكفارة لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ} والعود هو أن يمسكها بعد الظهار زماناً يمكنه أن يطلقها فلم يفعل وإن ماتت المرأة عقيب الظهار أو طلقها عقيب الظهار لم تجب الكفارة والدليل على أن العود ما ذكرناه هو أن تشبيهها بالأم يقتضي أن لا يمسكها فإذا أمسكها عاد فيما قال فإذا ماتت أو طلقها عقيب الظهار لو يوجد العود فيما قال.

PASAL: Jika zhihār sah dan terjadi ‘aud (kembali), maka wajib membayar kafārah, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ}.

Yang dimaksud dengan ‘aud adalah ketika suami tetap mempertahankan istrinya setelah zhihār dalam jangka waktu yang memungkinkan untuk menjatuhkan talak, namun ia tidak melakukannya. Jika istri meninggal setelah zhihār atau ia langsung mentalaknya setelah zhihār, maka tidak wajib kafārah.

Dalil bahwa yang dimaksud ‘aud adalah seperti yang disebutkan di atas, karena penyerupaan istri dengan ibu menuntut untuk tidak mempertahankannya. Maka jika ia tetap mempertahankannya, berarti ia telah kembali pada ucapannya. Jika istri meninggal atau ditalak segera setelah zhihār, maka tidak terjadi ‘aud atas ucapannya.

فصل: وإن تظاهر من رجعية لم يصر عائداً قبل الرجعة لأنه لا يوجد الإمساك وهي تجري إلى البينونة فإن راجعها فهل تكون الرجعة عوداً أم لا فيه قولان: قال في الإملاء: لا تكون عوداً حتى يمسكها بعد الرجعة لأن العود استدامة الإمساك والرجعة ابتداء استباحة فلم تكن عودا وقال في الأم: هو عود لأن العود هو الإمساك وقد سمى الله عز وجل الرجعة إمساكاً فقال: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} ولأنه إذا حصل العود باستدامة الإمساك فلأن يحصل بابتداء الاستباحة أولى وإن بانت منه ثم تزوجها فهل يعود الظهار أم لا على الأقوال التي مضت في الطلاق فإذا قلنا أنه يعود فهل يكون النكاح عوداً فيه وجهان: الصحيح لا بناء عن القولين في الرجعة

PASAL: Jika seseorang melakukan zhihār terhadap istri raj‘iyyah, maka ia tidak dianggap telah kembali (‘āid) sebelum melakukan rujū‘, karena tidak terdapat imsāk (menahan diri/tetap sebagai suami) dan masa iddah tersebut berjalan menuju perpisahan. Jika ia telah rujū‘, maka apakah rujū‘ itu dianggap sebagai ‘awd (kembali) atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Dalam kitab al-Imlā’ dikatakan: rujū‘ tidak dianggap sebagai ‘awd hingga ia menahan istri (tetap dalam pernikahan) setelah rujū‘, karena ‘awd adalah kelanjutan dari imsāk, sedangkan rujū‘ adalah awal dari kebolehan (berhubungan), maka tidak dianggap sebagai ‘awd.

Sedangkan dalam kitab al-Umm dikatakan: rujū‘ itu adalah ‘awd, karena ‘awd adalah imsāk, dan Allah Azza wa Jalla telah menyebut rujū‘ sebagai imsāk dalam firman-Nya: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} — “Maka pertahankanlah dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik.” Dan karena jika ‘awd bisa terjadi dengan kelanjutan dari imsāk, maka lebih utama jika ia terjadi melalui permulaan dari kebolehan.

Jika istri tersebut telah bā’in darinya lalu ia menikahinya kembali, maka apakah zhihār kembali berlaku atau tidak? Maka hukumnya sebagaimana pendapat yang telah disebutkan dalam masalah talak. Jika dikatakan zhihār itu kembali berlaku, maka apakah akad nikah itu sendiri merupakan ‘awd? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, dan yang ṣaḥīḥ adalah: tidak, berdasarkan pada dua pendapat dalam masalah rujū‘.

وإن ظاهر الكافر من امرأته وأسلمت المرأة عقيب الظهار فإن كان قبل الدخول لم تجب الكفارة لأنه لم يوجد العود وإن كان بعد الدخول لو يصر عائداً ما دامت في العدة لأنها تجري إلى البينونة وإن أسلم الزوج قبل انقضاء العدة ففيه وجهان: أحدهما: لا يصير عائداً لأن العود هو الإمساك على النكاح وذلك لا يوجد إلا بعد الإسلام والثاني: يصير عائداً لأن قطع البينونة بالإسلام أبلغ من الإمساك فكان العود به أولى.

Dan jika orang kafir menzhihār istrinya, lalu sang istri masuk Islam sesudah zhihār, maka jika itu terjadi sebelum jima‘, tidak wajib membayar kaffārah karena belum terjadi ‘awd (kembali). Namun jika setelah jima‘, maka ia tidak dianggap sebagai ‘āid (yang kembali) selama masih dalam masa ‘iddah, karena statusnya menuju kepada perpisahan. Dan jika suami masuk Islam sebelum habis masa ‘iddah, maka ada dua pendapat:

Pertama: tidak dianggap ‘āid, karena ‘awd adalah mempertahankan pernikahan, dan itu tidak mungkin terjadi kecuali setelah Islam.

Kedua: dianggap ‘āid, karena memutus perpisahan dengan masuk Islam lebih kuat daripada sekadar mempertahankan, maka ‘awd dengan sebab itu lebih utama.

فصل: وإن كانت الزوجة أمة فاشتراها الزوج عقيب الظهار ففيه وجهان: أحدهما: أن الملك عود لأن العود أن يمسكها على الاستباحة وذلك قد وجد والثاني: وهو قول أبي إسحاق أن ذلك ليس بعود لأن العود هو الإمساك على الزوجية والشروع في الشراء تسبب لفسخ النكاح فلم يجز أن يكون عودا وإن قذفها وأتى من اللعان بلفظ الشهادة وبقي لفظ اللعان فظاهر منهما ثم أتى بلفظ اللعن عقيب الظهار لم يكن ذلك عوداً لأنه يقع به الفرقة فلم يكن عوداً كما لو طلقها وإن قذفها ثم ظاهر منها ثم أتى بلفظ اللعان ففيه وجهان: أحدهما: أنه صار عائداً لأنه أمسكها زماناً أمكنه أن يطلقها فيه فلم يطلق والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يكون عائداً لأنه اشتغل بما يوجب الفرقة فصار كما لو ظاهر منها ثم طلق وأطال لفظ الطلاق.

PASAL: Jika istri adalah seorang amah lalu suami membelinya setelah zhihār, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, bahwa kepemilikan itu adalah bentuk kembali (‘aud) karena kembali adalah menahan istri atas dasar kebolehan, dan hal itu telah terjadi.

Kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq, bahwa hal itu bukanlah kembali, karena kembali adalah menahan atas dasar pernikahan, sementara pembelian adalah sebab untuk membatalkan pernikahan, maka tidak boleh dianggap sebagai kembali.

Jika ia menuduh istrinya berzina lalu memulai li‘ān dengan lafaz syahadat dan menyisakan lafaz la‘n, lalu mengucapkan lafaz la‘n setelah zhihār, maka itu tidak dianggap sebagai kembali, karena lafaz tersebut menyebabkan perpisahan, sehingga tidak dianggap sebagai kembali, sebagaimana jika ia menceraikannya.

Jika ia menuduh istrinya berzina, lalu men-zhihār-nya, kemudian mengucapkan lafaz li‘ān, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, bahwa ia telah kembali, karena ia menahan istrinya dalam waktu yang memungkinkan baginya untuk menceraikannya namun ia tidak menceraikannya.

Kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq, bahwa itu bukanlah kembali, karena ia sedang sibuk dengan sesuatu yang menyebabkan perpisahan, sehingga sama seperti jika ia men-zhihār lalu menceraikannya dan memperpanjang lafaz talaknya.

فصل: وإن كان الظهار مؤقتاً ففي عوده وجهان: أحدهما: وهو قول المزني أن العود فيه أن يمسكها بعد الظهار زماناً يمكنه أن يطلقها فيه كما قلنا في الظهار المطلق، والثاني: وهو المنصوص أنه لا يحصل العود فيه إلا بالوطء لأن إمساكه يجوز أن يكون لوقت الظهار ويجوز أن يكون لما بعد مدة الظهار فلا يتحقق العود إلا بالوطء فإن لم يطأها حتى مضت المدة سقط الظهار ولم تجب الكفارة لأنه لم يوجد العود.

PASAL: Jika zhihār itu bersifat sementara (mu’aqqat), maka dalam status kembalinya (‘awd) terdapat dua pendapat:

Pertama, yaitu pendapat al-Muzani, bahwa ‘awd dalam hal ini adalah dengan menahannya setelah zhihār dalam suatu waktu yang memungkinkan untuk menjatuhkan ṭalāq, sebagaimana dalam zhihār mutlak.

Kedua, yaitu pendapat yang manshūsh, bahwa ‘awd tidak terjadi kecuali dengan jima‘, karena menahannya bisa jadi untuk masa zhihār, dan bisa jadi untuk masa setelahnya, maka tidak dapat dipastikan terjadinya ‘awd kecuali dengan jima‘. Maka jika ia tidak menjima‘ hingga masa tersebut berlalu, gugurlah status zhihār dan tidak wajib kaffārah, karena ‘awd tidak terjadi.

فصل: وإن تظاهر من أربع نسوة بأربع كلمات وأمسكهن لزمه لكل واحدة كفارة وإن تظاهر منهن بكلمة واحدة بأن قال أنتن علي كظهر أمي وأمسكهن ففيه قولان: قال في القديم تلزمه كفارة واحدة لما روى ابن عباس عن سعيد بن المسيب رضي الله عنهما أن عمر رضي الله عنه سئل عن رجل تظاهر من أربع نسوة فقال يجزيه كفارة واحدة وقال في الجديد يلزمه أربع كفارات لأنه وجد الظهار والعود في حق كل واحدة منهن فلزمه أربع كفارات كما لو أفردهن بكلمات وإن تظاهر من امرأة ثم ظاهر منها قبل أن يكفر عن الأول نظرت فإن قصد التأكيد لزمه كفارة واحدة وإن قصد الاستئناف ففيه قولان: قال في القديم تلزمه كفارة واحدة لأن الثاني لو يؤثر في التحريم

PASAL: Jika seseorang melakukan zhihār terhadap empat istri dengan empat ucapan yang berbeda lalu mempertahankan mereka, maka wajib atasnya membayar kaffārah untuk masing-masing dari mereka. Namun jika ia melakukan zhihār terhadap mereka dengan satu kalimat, seperti ucapannya: “Kalian bagiku seperti punggung ibuku”, lalu ia mempertahankan mereka, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, dalam pendapat qadīm, cukup satu kaffārah, berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbās dari Sa‘īd bin al-Musayyib RA bahwa ‘Umar RA pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang melakukan zhihār terhadap empat istri, lalu ia menjawab bahwa cukup satu kaffārah saja.

Pendapat kedua, dalam pendapat jadīd, wajib empat kaffārah, karena telah terjadi zhihār dan ‘ūd (kembali) terhadap masing-masing dari mereka, maka wajib atasnya empat kaffārah sebagaimana jika ia mengucapkan zhihār kepada mereka dengan kalimat yang terpisah.

Jika ia melakukan zhihār terhadap seorang istri, lalu mengulang zhihār terhadapnya sebelum menunaikan kaffārah untuk yang pertama, maka hal itu perlu ditinjau: jika ia bermaksud menegaskan, maka cukup satu kaffārah. Namun jika ia bermaksud memulai yang baru (isti’nāf), maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama, dalam qadīm, cukup satu kaffārah karena yang kedua tidak berpengaruh dalam pengharaman.

وقال في الجديد يلزمه كفارتان لأنه قول يؤثر في تحريم الزوجة كرره على وجه الاستئناف فتعلق بكل مرة حكم الطلاق وإن أطلق ولم ينو شيئاً فقدر قال بعض أصحابنا حكمه حكم ما لو قصد التأكيد ومنهم من قال حكمه حكم ما لو قصد الاستئناف كما قلنا فيمن كرر الطلاق وإن كانت له امرأتان وقال لإحداهما إن تظاهرت منك فالأخرى علي كظهر أمي ثم تظاهر من الأولى وأمسكها لزمه كفارتان قولاً واحداً لأنه أفرد كل واحدة منهما بظهار.

Dan dalam jadīd ia berkata: Wajib atasnya dua kaffārah, karena itu adalah ucapan yang berpengaruh dalam pengharaman istri, dan ia mengulanginya dengan maksud memulai yang baru (isti’nāf), maka setiap kali terucap berlaku hukum thalak.

Jika ia mengucapkan secara mutlak tanpa niat apa pun, maka sebagian sahabat kami berpendapat: Hukumnya seperti orang yang bermaksud menegaskan (ta’kīd). Dan sebagian dari mereka berkata: Hukumnya seperti orang yang bermaksud memulai yang baru (isti’nāf), sebagaimana kami katakan pada orang yang mengulangi thalak.

Dan jika ia memiliki dua istri, lalu berkata kepada salah satu dari keduanya: “Jika aku melakukan zhihār darimu, maka yang lainnya bagiku seperti punggung ibuku,” kemudian ia melakukan zhihār dari yang pertama dan mempertahankannya, maka wajib atasnya dua kaffārah menurut satu pendapat, karena ia telah memisahkan masing-masing dari keduanya dengan zhihār.

فصل: وإذا وجبت الكفارة حرم وطؤها إلى أن يكفر لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً} فشرط في العتق والصوم أن يكونا قبل المسيس وقسنا عليهما الإطعام وروى عكرمة أن رجلاً ظاهر من امرأته ثم واقعها قبل أن يكفر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فأخبره فقال: “ما حملك على ما صنعت”؟ قال: رأيت بياض ساقها في القمر قال: “فاعتزلها حتى تكفر عن يمينك”. واختلف قوله: في المباشرة فيما دون الفرج فقال في القديم تحرم لأنه قول يؤثر في تحريم الوطء فحرم به ما دونه من المباشرة كالطلاق وقال في الجديد لا تحرم لأنه وطء لا يتعلق بتحريمه مال فلم يجاوزه التحريم كوطء الحائض. والله أعلم.

PASAL: Apabila kaffārah telah wajib, maka haram menyetubuhinya sampai ia menunaikan kaffārah, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang menzihār istri-istri mereka, kemudian mereka kembali kepada apa yang mereka ucapkan, maka (wajib) memerdekakan seorang budak sebelum keduanya bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Maka siapa yang tidak menemukan (budak), maka (wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin.” Maka Allah mensyaratkan bahwa memerdekakan dan puasa dilakukan sebelum bersetubuh, dan kami mengqiyaskan padanya kewajiban memberi makan.

Diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa seorang laki-laki menzihār istrinya, kemudian menyetubuhinya sebelum menunaikan kaffārah, lalu ia mendatangi Nabi SAW dan memberitahukannya. Beliau SAW bersabda: “Apa yang mendorongmu melakukan hal itu?” Ia menjawab: “Aku melihat putih betisnya di bawah sinar rembulan.” Maka Nabi SAW bersabda: “Jauhilah dia sampai engkau menunaikan kaffārah atas sumpahmu.”

Dan terdapat perbedaan pendapat dalam masalah mubāsyarah (bersentuhan) selain pada kemaluan. Dalam pendapat qadīm, hukumnya haram, karena zhihār adalah lafaz yang berpengaruh dalam mengharamkan jima‘, maka keharaman itu mencakup mubāsyarah juga, sebagaimana dalam talak. Dan dalam pendapat jadīd, hukumnya tidak haram, karena ia merupakan bentuk jima‘ yang tidak terkait dengan keharaman harta, maka keharamannya tidak meluas, sebagaimana jima‘ dengan perempuan haid. Wallāhu a‘lam.

باب كفارة الظهار
وكفارته عتق رقبة لمن وجد وصيام شهرين متتابعين لمن لم يجد الرقبة وإطعام ستين مسكينا لمن لا يجد الرقبة ولا يطيق الصوم والدليل عليه قوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً}

BAB KAFARAH ZHIHĀR
Kaffarah zhihār adalah memerdekakan budak bagi siapa yang mendapatkannya, dan puasa dua bulan berturut-turut bagi siapa yang tidak mendapatkan budak, serta memberi makan enam puluh orang miskin bagi siapa yang tidak mendapatkan budak dan tidak mampu berpuasa. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: {Dan orang-orang yang men-zhihār istri-istri mereka, kemudian mereka kembali kepada apa yang telah mereka ucapkan, maka (wajib) memerdekakan seorang budak sebelum keduanya bersentuhan. Demikianlah yang diajarkan kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Maka barang siapa tidak mendapatkannya, maka (wajib) puasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bersentuhan. Maka barang siapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin}.

وروت خولة بنت مالك بن ثعلبة قالت: ظاهر مني زوجي أوس بن الصامت فجئت رسول الله صلى الله عليه وسلم أشكو إليه ورسول الله صلى الله عليه وسلم يجادلني فيه ويقول: “اتق الله فإنه ابن عمك” فما برحت حتى نزل القرآن: {قَدْ سَمِعَ الله قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى الله} الآية فقال: “يعتق رقبة” فقلت: لا يجد قال: “فليصم شهرين متتابعين” قلت: يا رسول الله شيخ كبير ما به صيام قال: ” فليطعم ستين مسكيناً” قلت: يا رسول الله ما عنده شيء يتصدق به قال: “فأتى بعرق من تمر” قلت: يا رسول الله وأنا أعينه بعرق آخر قال: “قد أحسنت فاذهبي فأطعمي بهما عنه ستين مسكينا وارجعي إلى ابن عمك”.

Diriwayatkan dari Khawlah bint Mālik bin Tsa‘labah, ia berkata: Suamiku, Aus bin aṣ-Ṣāmit, telah men-zhihār diriku, maka aku datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukan hal itu kepadanya, dan Rasulullah SAW membelaku terhadapnya dan bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ia adalah sepupumu.” Aku terus mendesak hingga turunlah ayat Al-Qur’an: {Sungguh Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah}. Maka beliau bersabda, “Hendaknya ia memerdekakan seorang budak.” Aku berkata, “Dia tidak memilikinya.” Beliau bersabda, “Kalau begitu hendaknya ia berpuasa dua bulan berturut-turut.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, dia lelaki tua renta yang tidak sanggup berpuasa.” Beliau bersabda, “Kalau begitu hendaknya ia memberi makan enam puluh orang miskin.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, dia tidak memiliki sesuatu untuk bersedekah.” Maka beliau didatangkan satu ‘araq (keranjang besar) berisi kurma. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan membantunya dengan satu ‘araq lagi.” Beliau bersabda, “Engkau telah berbuat baik. Maka pergilah, dan berilah makan enam puluh orang miskin dengan keduanya atas namanya, lalu kembalilah kepada sepupumu.”

فإن كان له مال يشتري به رقبة فاضلاً عما يحتاج إليه لقوته ولكسوته ومسكنه وبضاعة لا بد له منها وجب عليه العتق وإن كان له رقبة لا يستغني عن خدمتها بأن كان كبيراً أو مريضاً أو ممن لا يخدم نفسه لم يلزمه صرفها في الكفارة لأن ما يستغرقه حاجته كالمعدوم في جواز الإنتقال إلى البدل كما نقول فيمن معه ماء يحتاج إليه للعطش وإن كان ممن يخدم نفسه ففيه وجهان: أحدهما: يلزمه العتق لأنه مستغن عنه

Jika ia memiliki harta yang cukup untuk membeli budak, yang melebihi kebutuhan pokoknya seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan barang dagangan yang tidak bisa ia tinggalkan, maka wajib baginya memerdekakan budak. Namun jika ia memiliki budak yang tidak bisa ia tinggalkan pelayanannya—karena ia sudah tua, sakit, atau termasuk orang yang tidak bisa melayani dirinya sendiri—maka tidak wajib baginya menggunakan budak itu untuk kaffārah, karena sesuatu yang sepenuhnya dibutuhkan seperti halnya tidak ada, dalam hal diperbolehkannya berpindah ke pengganti, sebagaimana kita katakan pada orang yang memiliki air namun membutuhkannya untuk menghilangkan dahaga. Dan jika ia termasuk orang yang bisa melayani dirinya sendiri, maka ada dua pendapat: salah satunya, wajib baginya memerdekakan budak karena ia tidak membutuhkannya.

والثاني: لا يلزمه لأن ما من أحد إلا ويحتاج إلى الترفه والخدمة وإن وجبت عليه كفارة وله مال غائب إن كان لا ضرر عليه في تأخير الكفارة ككفارة القتل وكفارة الوطء في رمضان لم يجز أن ينتقل إلى الصوم لأنه قادر على العتق من غير ضرر فلا يكفر بالصوم كما لو حضر المال وإن كان عليه ضرر في تأخير الكفارة ككفارة الظهار ففيه وجهان: أحدهما: لا يكفر بالصوم لأن له مالاً فاضلاً عن كفايته يمكنه أن يشتري به رقبة فلا يكفر بالصوم كما نقول في كفارة القتل والثاني: له أن يكفر بالصوم لأن عليه ضرراً في تحريم الوطء إلى أن يحضر المال فجاز له أن يكفر بالصوم.

dan yang kedua: tidak wajib baginya karena tidak ada seorang pun kecuali membutuhkan kenyamanan dan pelayanan. Dan jika telah wajib atasnya kaffārah dan ia memiliki harta yang sedang tidak berada di tangannya, maka jika tidak ada mudarat baginya dalam menunda pelaksanaan kaffārah—seperti kaffārah karena membunuh dan kaffārah karena jima‘ di bulan Ramadan—tidak boleh baginya beralih kepada puasa karena ia mampu memerdekakan budak tanpa mudarat, maka tidak boleh menunaikan kaffārah dengan puasa sebagaimana jika hartanya hadir di tangannya.

Dan jika ada mudarat baginya dalam menunda kaffārah—seperti dalam kaffārah zhihār—maka ada dua wajah: pertama, tidak sah baginya menunaikan kaffārah dengan puasa karena ia memiliki harta lebih dari kebutuhannya yang memungkinkan ia membeli seorang budak, maka tidak boleh menunaikan kaffārah dengan puasa sebagaimana yang kami katakan dalam kaffārah karena membunuh; dan yang kedua, boleh baginya menunaikan kaffārah dengan puasa karena ia terkena mudarat berupa keharaman jima‘ sampai hartanya hadir, maka boleh baginya menunaikan kaffārah dengan puasa.

فصل: وإن اختلف حاله من حين وجبت الكفارة إلى حين الأداء ففيه ثلاثة أقوال: أحدهما: أن يعتبر حال الأداء لأنها عبادة لها بدل من غير جنسها فاعتبر فيها حال الأداء كالوضوء والثاني: يعتبر حال الوجوب لأنه حق يجب على وجه التطهير فاعتبر فيه حال الوجوب كالحد والثالث يعتبر أغلظ الأحوال من حين الوجوب إلى حين الأداء فأي وقت قدر على العتق لزمه لأنه حق يجب في الذمة بوجود المال فاعتبر فيه أغلظ الأحوال كالحجج.

PASAL: Jika keadaannya berubah sejak saat kaffārah menjadi wajib hingga saat pelaksanaan, maka terdapat tiga pendapat:

Pertama, yang dijadikan acuan adalah keadaan saat pelaksanaan karena kaffārah adalah ibadah yang memiliki pengganti dari jenis yang berbeda, maka dijadikan acuan keadaan saat pelaksanaan seperti wudhū’.

Kedua, yang dijadikan acuan adalah keadaan saat kewajiban itu muncul karena ia adalah hak yang wajib sebagai bentuk pensucian, maka dijadikan acuan keadaan saat wajibnya seperti ḥadd.

Ketiga, yang dijadikan acuan adalah keadaan yang paling berat sejak waktu wajibnya hingga waktu pelaksanaannya. Maka pada waktu mana pun ia mampu memerdekakan budak, ia wajib melakukannya karena itu adalah hak yang tetap dalam tanggungan dengan adanya harta, maka dijadikan acuan keadaan yang paling berat seperti ḥajj.

فصل: ولا يجزئ في شيء من الكفارات إلا رقبة مؤمنة لقوله عز وجل: {وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ} فنص في كفارة القتل على رقبة مؤمنة وقسنا عليها سائر الكفارات.

PASAL: Tidak mencukupi dalam satu pun dari berbagai kafarat kecuali dengan budak mukmin, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ} — “Barang siapa membunuh seorang mukmin tanpa sengaja maka wajib memerdekakan seorang budak mukmin,” maka Allah menegaskan dalam kaffārah pembunuhan tentang budak mukmin, dan kami mengqiyaskan seluruh kaffārah lainnya padanya.

فصل: ولا يجزئ إلا رقبة سليمة من العيوب التي تضر بالعمل ضرراً بينا لأن المقصود تمليك العبد منفعته وتمكينه من التصرف وذلك لا يحصل مع العيب الذي يضر بالعمل ضرراً بيناً فإن أعتق أعمى لم يجز لأن العمى يضر بالعمل الضرر البين وإن أعتق أعور أجزأه لأن العور لا يضر بالعمل ضرراً بيناً لأنه يدرك ما يدرك البصير بالعينين ولا تجزئ مقطوع اليد أو الرجل لأن ذلك يضر بالعمل ضررا بينا ولا يجزئ مقطوع الإبهام أو السبابة أو الوسطى لأن منفعة اليد تبطل بقطع كل واحد منهما ويجزئ مقطوع الخنصر أو البنصر لأنه لا تبطل منفعة اليد بقطع إحداهما إن قطعتا جميعاً فإن كانتا من كف واحدة لم تجزه لأنه تبطل منفعة اليد بقطعهما

PASAL: Tidak sah kecuali budak yang selamat dari cacat yang membahayakan pekerjaan secara nyata, karena maksudnya adalah memberikan milik manfaat budak tersebut dan memungkinkannya untuk beraktivitas, dan hal itu tidak tercapai dengan cacat yang membahayakan pekerjaan secara nyata. Maka jika seseorang memerdekakan budak buta, tidak sah karena kebutaan membahayakan pekerjaan secara nyata. Namun jika ia memerdekakan budak yang bermata satu (cacat satu mata), maka sah, karena cacat itu tidak membahayakan pekerjaan secara nyata, sebab ia masih bisa melihat seperti halnya orang yang memiliki dua mata.

Tidak sah memerdekakan budak yang putus tangan atau kakinya karena hal itu membahayakan pekerjaan secara nyata. Tidak sah pula memerdekakan budak yang putus ibu jari, jari telunjuk, atau jari tengah karena fungsi tangan hilang dengan terputusnya masing-masing dari ketiganya. Namun sah memerdekakan budak yang putus jari kelingking atau jari manis karena fungsi tangan tidak hilang dengan terputusnya salah satu dari keduanya. Jika keduanya terputus sekaligus dan keduanya dari satu telapak tangan, maka tidak sah, karena fungsi tangan hilang dengan terputusnya keduanya.

وإن كانتا من كفين أجزأه لأنه لا تبطل منفعة كل واحد من الكفين وإن قطع منه أنملتان فإن كانتا من الخنصر أو البنصر أجزأه لأن ذهاب كل واحدة منهما لا يمنع الإجزاء فلأن لا يمنع ذهاب أنملتين أولى وإن كانتا من الوسط أو السبابة لم يجزه لأنه تبطل به منفعة الأصبع وإن قطعت منه أنملة فإن كانت من غير الإبهام أجزأه لأنه لا تبطل به منفعة الأصبع وإن كانت من الإبهام لم يجزه لأنه تبطل به منفعة الإبهام.

Dan jika keduanya (jari kelingking dan jari manis) dari dua telapak tangan, maka sah, karena tidak hilang manfaat dari masing-masing telapak tangan. Jika terpotong darinya dua ruas jari, maka jika keduanya dari jari kelingking atau jari manis, sah, karena hilangnya masing-masing ruas tidak menghalangi keabsahan, maka hilangnya dua ruas lebih utama untuk tidak menghalangi. Namun jika keduanya dari jari tengah atau jari telunjuk, maka tidak sah karena hal itu menghilangkan fungsi jari tersebut.

Dan jika terpotong darinya satu ruas jari, maka jika dari selain ibu jari, sah, karena tidak menghilangkan fungsi jari tersebut. Namun jika dari ibu jari, maka tidak sah, karena menghilangkan fungsi ibu jari.

فصل: وإن كان أعرج نظرت فإن كان عرجاً قليلاً أجزأه لأنه لا يضر بالعمل ضرراً بيناً وإن كان كثيراً لم يجزه لأنه يضر بالعمل ضررا بينا ويجزئ الأصم لأن الصمم لا يضر بالعمل بل يزيد في العمل لأنه لا يسمع ما يشغله وأما الأخرس فقد قال في موضع يجزئه وقال في موضع لا يجزئه فمن أصحابنا من قال إن كان مع الخرس صمم لم يجزه لأنه يضر بالعمل ضررا بينا وإن لم يكن معه صمم أجزأه لأنه لا يضر بالعمل ضررا بينا وحمل القولين على هذين الحالين ومنهم من قال إن كان يعقل الإشارة أجزأه لأنه يبلغ بالإشارة ما بلغ بالنطق

PASAL: Jika seorang budak pincang, maka dilihat keadaannya. Jika pincangnya ringan, maka sah memerdekakannya karena tidak membahayakan pekerjaan secara nyata. Jika pincangnya berat, maka tidak sah karena membahayakan pekerjaan secara nyata. Budak tuli sah (dimerdekakan), karena ketulian tidak membahayakan pekerjaan, bahkan justru menambah semangat bekerja karena tidak mendengar hal-hal yang mengganggu. Adapun budak bisu, maka dalam satu tempat Imam asy-Syafi‘i berkata sah, dan dalam tempat lain beliau berkata tidak sah. Maka sebagian ulama mazhab kami berkata: jika kebisuan itu disertai ketulian, maka tidak sah karena membahayakan pekerjaan secara nyata. Jika tidak disertai ketulian, maka sah karena tidak membahayakan pekerjaan secara nyata. Pendapat yang berbeda ini ditakwilkan pada dua keadaan tersebut. Dan sebagian dari mereka berkata: jika budak itu memahami isyarat, maka sah karena ia dapat memahami dengan isyarat sebagaimana dengan ucapan.

وإن كان لا يعقل لم يجزه لأنه يضر بالعمل ضررا بينا وحمل القولين على هذين الحالين وإن كان مجنوناً جنوناً مطبقاً يمنع العمل لم يجزه لأنه لا يصلح للعمل وإن كان يجن ويفيق نظرت فإن كان زمان المجنون أكثر لم يجزه لأنه يضر به ضررا بينا وإن كان زمان الإفاقة أكثر أجزأه لأنه لا يضر به ضررا بينا ويجزئ الأحمق وهو الذي يفعل الشيء في غير موضعه مع العلم بقبحه.

Dan jika ia tidak memahami (isyarat), maka tidak sah, karena hal itu membahayakan pekerjaan secara nyata. Dua pendapat yang berbeda ditakwilkan pada dua keadaan ini. Dan jika ia gila dengan kegilaan total yang menghalangi untuk bekerja, maka tidak sah karena tidak layak untuk bekerja. Jika ia mengalami gila yang diselingi masa sadar, maka dilihat keadaannya: jika masa gilanya lebih banyak, maka tidak sah karena hal itu membahayakan secara nyata. Jika masa sadarnya lebih banyak, maka sah karena tidak membahayakan secara nyata. Dan sah (memerdekakan) orang dungu (aḥmaq), yaitu orang yang melakukan sesuatu tidak pada tempatnya padahal ia mengetahui keburukannya.

فصل: ويجزئ الأجدع لأنه كغيره في العمل ويجزئ مقطوع الأذن لأن قطع الأذن لا يؤثر في العمل وغيره أولى منه ليخرج من الخلاف فإن عند مالك لا يجزئه ويجزئ ولد الزنا لأنه كغيره في العمل وغيره أولى منه لأن الزهري والأوزاعي لا يجيزان ذلك، ويجزئ المجبوب والخصي لأن الجب والخصي لا يضران بالعمل ضررا بينا ويجزئ الصغير لأنه يرجى من منافعه وتصرفه أكثر مما يرجى من الكبير ولا يجزئ عتق الحمل لأنه لم يثبت له حكم الأحياء ولهذا لا يجب عنه زكاة الفطر ويجزئ المريض الذي يرجى برؤه ولا يجزئ من لا يرجى برؤه لأنه لا عمل فيه ويجزئ نضو الخلق إذا لم يعجز عن العمل ولا يجزئ إذا عجز عن العمل وإن أعتق مرهونا أو جانيا وجوزنا عتقه أجزأه لأنه كغيره في العمل.

PASAL: Boleh membebaskan budak yang hidungnya terpotong karena ia sama seperti yang lain dalam hal bekerja. Boleh juga membebaskan budak yang telinganya terpotong karena terpotongnya telinga tidak berpengaruh dalam pekerjaan, dan yang selain itu lebih utama agar keluar dari khilaf, karena menurut Mālik tidak sah membebaskannya. Boleh membebaskan anak hasil zina karena ia seperti yang lain dalam hal pekerjaan, dan yang selain itu lebih utama karena az-Zuhrī dan al-Awzā‘ī tidak membolehkannya. Boleh membebaskan budak yang telah dikebiri atau dikhasi karena kebiri dan khasi tidak membahayakan pekerjaan secara nyata. Boleh membebaskan budak kecil karena manfaat dan kemampuannya dalam bertindak diharapkan lebih besar dibandingkan orang tua. Tidak sah membebaskan janin karena belum ditetapkan baginya hukum orang hidup, oleh karena itu tidak wajib dikeluarkan zakat fitrah atasnya. Boleh membebaskan budak yang sakit jika diharapkan sembuh, dan tidak sah jika tidak ada harapan sembuh karena tidak bisa bekerja. Boleh membebaskan budak yang sangat kurus jika tidak sampai tidak mampu bekerja, dan tidak sah jika tidak mampu bekerja. Jika seseorang membebaskan budak yang sedang tergadai atau melakukan tindak pidana, lalu kita membolehkan pembebasannya, maka sah membebaskannya karena ia seperti yang lain dalam pekerjaan.

فصل: ولا يجزئ عبد مغصوب لأنه ممنوع من التصرف في نفسه فهو كالزمن وإن أعتق غائباً لا يعرف خبره فظاهر ما قاله هاهنا أنه لا يجزئه وقال في زكاة الفطر إن عليه فطرته فمن أصحابنا من نقل جواب كل واحدة منهما إلى الأخرى وجعلهما على قولين: أحدهما: يجزئه عن الكفارة وتجب زكاة الفطر عنه لأنه على يقين من حياته وعلى شك من موته واليقين لا يزال بالشك والثاني: لا يجزئ في الكفارة ولا تجب زكاة فطرته لأن الأصل في الكفارة وجوبها فلا تسقط بالشك والأصل في الزكاة هو براءة ذمته منها فلا تجب بالشك ومنهم من قال لا يجزئه في الكفارة وتجب زكاة الفطر لأن الأصل ارتهان ذمته بالكفارة بالظهار المتحقق وارتهانها بالزكاة بالملك المتحقق فلم تسقط الكفارة بالحياة المشكوك فيها ولا الزكاة بالموت المشكوك فيه.

PASAL: Tidak sah (untuk kafarat) budak yang digasap (dirampas), karena ia terhalang untuk bertindak atas dirinya, maka hukumnya seperti orang lumpuh. Jika ia memerdekakan budak yang sedang berada di tempat jauh dan tidak diketahui kabarnya, maka zhahir dari perkataan Imam asy-Syafi‘i di sini adalah tidak sah. Namun dalam bab zakat fitri beliau mengatakan bahwa wajib menunaikan zakat fitri atasnya. Maka sebagian ulama mazhab kami menukil jawaban masing-masing masalah kepada yang lainnya dan menjadikannya sebagai dua pendapat:

Pertama: sah sebagai kafarat dan wajib zakat fitri atasnya, karena kita yakin ia masih hidup dan hanya ragu akan kematiannya, sementara keyakinan tidak bisa dihapus dengan keraguan.
Kedua: tidak sah untuk kafarat dan tidak wajib zakat fitri, karena asal hukum kafarat adalah wajib, maka tidak gugur karena keraguan, dan asal dalam zakat adalah bebasnya tanggungan, maka tidak menjadi wajib karena keraguan.

Sebagian dari mereka berpendapat: tidak sah untuk kafarat, tetapi wajib zakat fitri, karena asalnya tanggungan kafarat bergantung pada zhihār yang telah terjadi secara pasti, dan tanggungan zakat bergantung pada kepemilikan yang pasti. Maka tidak gugur kafarat karena hidup yang diragukan, dan tidak gugur zakat karena mati yang diragukan.

فصل: ولا يجزئ عتق أم الولد ولا المكاتب لأنهما يستحقان العتق بغير الكفارة بدليل أنه لا يجوز إبطاله بالبيع فلا يسقط بعتقهما فرض الكفارة كما لو باع من فقير طعاماً ثم دفعه إليه عن الكفارة ويجزئ المدبر والمعتق بصفة لأن عتقهما غير مستحق بدليل أنه يجوز إبطاله بالبيع.

PASAL: Tidak sah memerdekakan umm al-walad dan mukātab karena keduanya berhak mendapatkan kemerdekaan tanpa melalui kafarat, dengan dalil bahwa tidak boleh membatalkan kemerdekaan mereka melalui penjualan, maka tidak gugur kewajiban kafarat dengan memerdekakan mereka, sebagaimana jika seseorang menjual makanan kepada orang fakir lalu memberikannya kembali kepadanya sebagai pembayaran kafarat (tidak sah). Namun sah memerdekakan mudabbir dan budak yang dijanjikan merdeka dengan suatu sifat, karena kemerdekaan keduanya belum pasti, dengan dalil bahwa boleh dibatalkan melalui penjualan.

فصل: وإن اشترى من يعتق عليه من الأقارب ونوى عتقه عن الكفارة ولم يجزه لأن عتقه مستحق بالقرابة فلا يجوز أن يصرفه إلى الكفارة كما لو استحق عليه الطعام في النفقة في القرابة فدفعه إليه عن الكفارة وإن اشترى عبداً بشرط أن يعتقه فأعتقه عن الكفارة لم يجزه لأنه مستحق العتق بغير الكفارة فلا يجوز صرفه إلى الكفارة وإن كان مظاهرا وله عبد فقال لامرأته إن وطئتك فعلي أن أعتق عبدي عن كفارة الظهار فوطئها ثم أعتق العبد عن الظهار ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي الطبري إنه لا يجزئه لأنه عتق مستحق بالحنث في الإيلاء والثاني: وهو قول أبي إسحاق إنه يجزئه وهو المذهب لأنه لا يتعين عليه عتقه لأنه مخير بين أن يعتقه وبين أن يكفر كفارة يمين.

PASAL: Jika seseorang membeli kerabatnya yang akan merdeka karena hubungan kekerabatan, lalu ia berniat memerdekakannya untuk kafarat, maka hal itu tidak mencukupi baginya, karena kemerdekaan tersebut telah menjadi hak si budak karena hubungan kekerabatan, maka tidak boleh dialihkan kepada kafarat, sebagaimana jika seseorang berkewajiban memberi nafkah makanan kepada kerabatnya lalu ia memberikannya dengan niat kafarat, maka tidak mencukupi.

Jika ia membeli seorang budak dengan syarat akan dimerdekakan, lalu ia memerdekakannya untuk kafarat, maka hal itu tidak mencukupi karena kemerdekaannya telah menjadi kewajiban di luar kafarat, sehingga tidak boleh dialihkan untuk kafarat.

Jika seseorang melakukan zhihār dan ia memiliki seorang budak, lalu ia berkata kepada istrinya: “Jika aku menyetubuhimu maka wajib atasku memerdekakan budakku sebagai kafarat zhihār,” lalu ia menyetubuhinya dan memerdekakan budaknya untuk kafarat zhihār, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama, menurut Abū ‘Alī al-Ṭabarī, tidak mencukupi baginya karena kemerdekaan budak tersebut telah menjadi kewajiban karena pelanggaran sumpah (ḥanṯ) dalam īlā’.

Kedua, menurut Abū Isḥāq, mencukupi, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat (al-madhhab), karena tidak wajib secara pasti baginya untuk memerdekakan budak tersebut, melainkan ia diberi pilihan antara memerdekakan budak atau menunaikan kafarat sumpah.

فصل: وإن كان بينه وبين آخر عبد وهو موسر فأعتق نصيبه ونوى عتق الجميع عن الكفارة أجزأه لأنه عتق العبد بالمباشرة والسراية وحكم السراية حكم المباشرة ولهذا إذا جرحه وسرى إلى نفسه جعل كما لو باشر قتله وإن كان معسرا عتق نصيبه وإن ملك نصيب الآخر وأعتقه عن الكفارة أجزأه لأنه أعتق جميعه عن الكفارة وإن كان في وقتين فأجزأه كما لو أطعم المساكين في وقتين وإن أعتق نصف عبدين عن كفارة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها لا يجزئه لأن المأمور به عتق رقبة ولم يعتق رقبة والثاني: يجزئه لأن أبعاض الجملة كالجملة في زكاة الفطر وزكاة المال فكذلك في الكفارة والثالث أنه إن كان باقيهما حراً أجزأه لأنه يحصل تكميل الأحكام والتمكين من التصرف في منافعه على التمام وإن كان مملوكاً لم يجزه لأنه لا يحصل له تكميل الأحكام والتمكين التام.

PASAL: Jika seseorang memiliki seorang budak bersama orang lain secara berserikat, lalu ia seorang yang mampu dan memerdekakan bagian miliknya sambil meniatkan memerdekakan seluruhnya untuk kafarat, maka sah, karena ia memerdekakan budak tersebut secara langsung dan dengan penyebaran (sarayān), dan hukum penyebaran sama dengan langsung. Karena itu, jika seseorang melukai lalu luka itu menjalar hingga menyebabkan kematian, maka dihukumi seolah-olah ia membunuh langsung.

Jika ia tidak mampu (miskin), maka yang merdeka hanya bagian miliknya. Jika kemudian ia membeli bagian yang lain lalu memerdekakannya untuk kafarat, maka sah, karena ia telah memerdekakan seluruhnya untuk kafarat. Jika dilakukan pada dua waktu yang berbeda, maka tetap sah, sebagaimana halnya memberi makan orang miskin dalam dua waktu.

Jika ia memerdekakan setengah dari dua budak untuk satu kafarat, maka ada tiga pendapat:

Pertama: tidak sah, karena yang diperintahkan adalah memerdekakan satu budak, sedangkan ia tidak memerdekakan satu budak secara utuh.

Kedua: sah, karena sebagian-bagian dari keseluruhan dianggap seperti keseluruhan dalam zakat fitri dan zakat harta, maka berlaku pula dalam kafarat.

Ketiga: jika sisa dari kedua budak tersebut adalah merdeka, maka sah, karena seluruh hukum dan kemampuan untuk mengambil manfaat dari mereka menjadi sempurna. Jika sisanya masih berupa milik (belum merdeka), maka tidak sah karena tidak sempurna hukum dan pemanfaatannya.

فصل: إذا قال لغيره أعتق عبدك عني فأعتقه عنه دخل العبد في ملكه وعتق عليه سواء كان بعوض أو بغير عوض واختلف أصحابنا في الوقت الذي يعتق عليه فقال أبو إسحاق يقع الملك والعتق في حالة واحدة ومن أصحابنا من قال يدخل في ملكه ثم يعتق عليه وهو الصحيح لأن العتق لا يقع عنه في ملك غيره فوجب أن يتقدم الملك ثم يقع العتق إن قال أعتق عبدك عن كفارتي فأعتقه عن كفارته أجزأه لأنه وقع العتق عنه فصار كما لو اشتراه ثم أعتقه.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Merdekakanlah budakmu atas namaku,” lalu orang itu memerdekakannya atas namanya, maka budak tersebut masuk ke dalam kepemilikannya dan merdeka atasnya, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan.

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang waktu terjadinya kemerdekaan budak tersebut. Abū Isḥāq berkata bahwa kepemilikan dan kemerdekaan terjadi secara bersamaan. Sebagian dari sahabat kami berkata bahwa budak tersebut terlebih dahulu masuk ke dalam kepemilikannya, kemudian dimerdekakan, dan ini adalah pendapat yang benar, karena kemerdekaan tidak sah atas nama seseorang dari kepemilikan orang lain, maka harus didahului dengan kepemilikan, lalu setelah itu terjadi kemerdekaan.

Jika seseorang berkata, “Merdekakanlah budakmu atas kafaratku,” lalu ia memerdekakannya untuk kafaratnya, maka hal itu mencukupi, karena kemerdekaan tersebut terjadi atas namanya, maka hukumnya seperti jika ia membelinya kemudian memerdekakannya.

فصل: وإن لم يجد رقبة وقدر على الصوم لزمه أن يصوم شهرين متتابعين لقوله عز وجل: {فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ} فإن دخل فيه في أول الشهر صام شهرين بالأهلة لأن الأشهر في الشرع بالأهلة والدليل عليه قوله عز وجل: {يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ} فإن دخل فيه وقد مضى من الشهر خمسة أيام صام ما بقي فصام الشهر الذي بعده ثم يصوم من الشهر الثالث تمام ثلاثين يوماً لأنه تعذر اعتبار الهلال في شهر فاعتبر بالعدد كما يعتبر العدد في الشهر الذي غم عليهم الهلال في صوم رمضان

PASAL: Jika seseorang tidak mendapatkan budak dan mampu berpuasa, maka wajib baginya berpuasa dua bulan berturut-turut, berdasarkan firman Allah SWT: {فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ}.

Jika ia mulai berpuasa di awal bulan, maka ia berpuasa dua bulan berdasarkan hilal, karena bulan-bulan dalam syariat ditentukan dengan hilal. Dalilnya adalah firman Allah SWT: {يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ}.

Jika ia mulai berpuasa setelah berlalu lima hari dari awal bulan, maka ia berpuasa sisa bulan tersebut, kemudian puasa bulan berikutnya, lalu dari bulan ketiga ia menyempurnakan sampai tiga puluh hari. Hal ini karena tidak memungkinkan menggunakan hilal pada salah satu bulan, maka digunakan hitungan jumlah hari, sebagaimana hitungan jumlah digunakan ketika hilal tidak tampak dalam bulan Ramadhan.

وإن أفطر في يوم منه من غير عذر لزمه أن يستأنف وإن جامع بالليل قبل أن يكفر أثم لأنه جامع قبل التفكير ولا يبطل التتابع لأن جماعه لم يؤثر في الصوم فلم يقطع التتابع كالأكل بالليل وإن كان الفطر لعذر نظرت فإن كانت امرأة فحاضت في صوم كفارة القتل أو الوطء في كفارة رمضان لم ينقطع التتابع لأنه لا صنع لها في الفطر ولأنه لا يمكن حفظ الشهرين من الحيض إلا بالتأخير إلى أن تيأس من الحيض وفي ذلك تغرير بالكفارة لأنها ربما ماتت قبل الإياس فتفوت وإن كان الفطر بمرض ففيه وجهان: أحدهما: يبطل التتابع لأنه أفطر باختياره فبطل التتابع كما لو أجهده الصوم فأفطر

Dan jika ia berbuka pada suatu hari dari (puasa) tersebut tanpa uzur, maka wajib baginya mengulangi dari awal. Dan jika ia melakukan jima‘ di malam hari sebelum menunaikan kafarat, maka ia berdosa karena telah melakukan jima‘ sebelum menunaikan kafarat. Namun, hal itu tidak membatalkan kontinuitas (puasa) karena jima‘-nya tidak berpengaruh terhadap puasa, maka tidak memutus kontinuitas sebagaimana makan di malam hari.

Dan jika berbukanya karena uzur, maka diperinci. Jika ia seorang perempuan lalu haid saat menjalani puasa kafarat pembunuhan atau jima‘ dalam kafarat Ramadhan, maka kontinuitas tidak terputus, karena ia tidak memiliki kendali atas berbukanya. Dan karena tidak mungkin menjaga dua bulan penuh dari haid kecuali dengan menunda hingga putus haid (menopause), dan hal itu mengandung risiko pada kafarat, karena bisa jadi ia meninggal sebelum menopause, sehingga kafaratnya menjadi batal.

Dan jika berbukanya karena sakit, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama: kontinuitas batal, karena ia berbuka dengan pilihannya, maka kontinuitas batal sebagaimana jika ia merasa sangat letih karena puasa lalu berbuka.

والثاني: لا يبطل لأن الفطر بسبب من غير جهته فلم يقطع التتابع كالفطر بالحيض وإن كان بالسفر ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كالفطر بالمرض لأن السفر كالمرض في إباحة الفطر فكان كالمرض في قطع التتابع والثاني: أنه يقطع التتابع قولاً واحداً لأن سببه من جهته وإن انقطع الصوم بالإغماء فهو كما لو أفطر بالمرض وإن أفطرت الحامل أو المرضع في كفارة القتل أو الجماع في رمضان خوفاً على ولديهما ففيه وجهان: أحدهما: أنه على قولين لأنه فطر لعذر فهو كالفطر بالمرض والثاني: أنه ينقطع التتابع قولاً واحداً لأن فطرهما لعذر في غيرهما فلم يلحقا بالمريض ولهذا يجب عليهما الفدية مع القضاء في يوم رمضان ولا يجب على المريض وإن دخل في الصوم فقطعه بصوم رمضان أو يوم النحر لزمه أن يستأنف لأنه ترك التتابع بسبب لا عذر فيه.

Dan pendapat kedua: tidak membatalkan (kontinuitas), karena berbuka disebabkan oleh sesuatu yang bukan berasal darinya, maka tidak memutus kontinuitas sebagaimana berbuka karena haid.

Dan jika berbuka karena safar, maka ada dua jalan: sebagian ashhāb kami mengatakan ada dua pendapat sebagaimana berbuka karena sakit, karena safar seperti sakit dalam hal kebolehan berbuka, maka demikian pula dalam hal memutus kontinuitas. Dan yang kedua: bahwa hal itu memutus kontinuitas secara qawl wāḥid, karena sebabnya berasal dari dirinya.

Dan jika puasa terputus karena pingsan, maka hukumnya seperti orang yang berbuka karena sakit.

Dan jika wanita hamil atau menyusui berbuka dalam kafarat pembunuhan atau jima‘ di bulan Ramadhan karena khawatir terhadap anaknya, maka ada dua wajah: yang pertama, ada dua pendapat karena itu termasuk berbuka dengan uzur, maka seperti berbuka karena sakit; dan yang kedua, bahwa kontinuitas terputus secara qawl wāḥid, karena berbuka mereka berdua disebabkan oleh uzur yang bukan pada diri mereka, maka tidak disamakan dengan orang sakit. Oleh karena itu, wajib atas mereka berdua fidyah disertai qadha pada hari Ramadhan, sedangkan atas orang sakit tidak wajib fidyah.

Dan jika seseorang memulai puasa lalu memutuskannya karena masuk bulan Ramadhan atau hari nahr, maka wajib baginya mengulangi dari awal karena ia meninggalkan kontinuitas tanpa uzur.

فصل: وإن دخل في الصوم ثم وجد الرقبة لم يبطل صومه وقال المزني يبطل كما قال في المتيمم إذا رأى الماء في الصلاة وقد دللنا عليه في الطهارة والمستحب أن يخرج من الصوم ويعتق لأن العتق أفضل من الصوم لما فيه من نفع الآدمي ولأنه يخرج من الخلاف.

PASAL: Dan jika seseorang telah memulai puasa kemudian ia mendapatkan budak (yang dapat dimerdekakan), maka puasanya tidak batal. Al-Muzani berkata: batal, sebagaimana orang yang bertayammum lalu melihat air saat dalam shalat. Dan kami telah menjelaskan hal ini dalam bab ṭahārah.

Dan yang mustaḥab adalah keluar dari puasa dan memerdekakan budak, karena memerdekakan lebih utama daripada puasa, disebabkan adanya kemaslahatan bagi manusia, dan karena hal itu menghindarkannya dari khilaf.

فصل: وإن لم يقدر على الصوم لكبر لا يطيق معه الصوم أو لمرض لا يرجى برؤه منه لزمه أن يطعم ستين مسكيناً للآية والواجب أن يدفع إلى كل مسكين مداً من الطعام لما روى أبو هريرة رضي الله عنه في حديث الجماع في شهر رمضان أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له: “أطعم ستين مسكيناً” قال: لا أجد قال: فأتى النبي صلى الله عليه وسلم بعرق من تمر فيه خمسة عشر صاعا فقال: “خذه وتصدق به”. وإذا ثبت هذا بالجماع بالخبر ثبت في المظاهر بالقياس عليه.

PASAL: Jika tidak mampu berpuasa karena usia tua yang tidak lagi sanggup berpuasa atau karena sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka wajib memberi makan enam puluh miskīn, berdasarkan ayat. Kewajiban yang harus ditunaikan adalah memberikan kepada setiap miskīn satu mudd makanan, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA dalam hadis tentang jima‘ di bulan Ramadan, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Berilah makan enam puluh miskīn.” Ia berkata: “Aku tidak mendapatkan.” Maka Rasulullah SAW didatangkan satu keranjang besar berisi kurma seberat lima belas ṣā‘, lalu beliau bersabda: “Ambillah dan bersedekahlah dengannya.” Ketetapan ini jika berlaku pada pelanggaran karena jima‘ berdasarkan hadis, maka berlaku pula pada kasus muhāẓarah (zhihār) berdasarkan qiyās terhadapnya.

فصل: ويجب ذلك من الحبوب والثمار التي تجب فيها الزكاة لأن الأبدان بها تقوم ويجب من غالب قوت بلده قال القاضي أبو عبيد ابن حربويه يجب من غالب قوته لأن في الزكاة الاعتبار بماله فكذلك ههنا والمذهب الأول لقوله تعالى: {إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ} والأوسط الأعدل وأعدل ما يطعم أهله قوت البلد ويخالف الزكاة فإنها تجب من المال والكفارة تجب في الذمة فإن عدل إلى قوت بلد أخرى فإن كان أجود من غالب قوت بلده الذي هو فيه جاز لأنه زاد خيراً فإن لم يكن أجود فإن كان مما يجب فيه زكاة ففيه وجهان: أحدهما: يجزئه لأنه قوت تجب فيه الزكاة فأشبه قوت البلد والثاني: لا يجزئه وهو الصحيح لأنه دون قوت البلد،

PASAL: Wajib memberi dari biji-bijian dan buah-buahan yang wajib dizakati karena tubuh berdiri dengannya, dan wajib dari makanan pokok yang dominan di negerinya. Al-Qadhi Abu ‘Ubaid Ibn Harbuwaih berkata: Wajib dari makanan pokok dominan karena dalam zakat dipertimbangkan hartanya, maka demikian pula di sini. Namun madzhab yang pertama lebih kuat karena firman Allah Ta‘ala: {iṭ‘āmu ‘asyarati masākīna min awsaṭi mā tuṭ‘imūna ahliikum}, dan al-awsaṭ artinya yang paling adil, dan makanan yang paling adil untuk keluarga adalah makanan pokok negeri tersebut. Ini berbeda dengan zakat karena zakat wajib dari harta, sedangkan kafarat wajib di dalam tanggungan (dzimmah). Jika ia mengganti dengan makanan pokok dari negeri lain, maka jika itu lebih baik dari makanan pokok dominan negerinya, maka sah karena itu merupakan tambahan kebaikan. Namun jika tidak lebih baik, maka jika termasuk dari jenis yang wajib dizakati maka terdapat dua pendapat: pertama, sah karena itu adalah makanan pokok yang wajib dizakati, maka menyerupai makanan pokok negeri; dan kedua, tidak sah—dan ini yang shahih—karena ia lebih rendah dari makanan pokok negeri tersebut.

فإن كان في موضع قوتهم الأقط ففيه قولان: أحدهما: يجزئه لأنه مكيل مقتات فأشبه قوت البلد والثاني: لا يجزئه لأنه يجب فيه الزكاة فلم يجزئه كاللحم وإن كان لحماً أو سمكاً أو جراداً ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كالأقط ومنهم من قال لا يجزئه قولا واحدا ويخالف الأقط لأنه يدخله الصاع وإن كان في موضع لا قوت فيه وجب من غالب قوت أقرب البلاد إليه.

Jika berada di daerah yang makanan pokoknya adalah aqiṭ, maka terdapat dua pendapat: pertama, sah karena aqiṭ adalah makanan yang ditakar dan dijadikan makanan pokok, sehingga menyerupai makanan pokok suatu negeri; dan kedua, tidak sah karena wajib dizakati, maka tidak sah sebagaimana daging.

Jika berupa daging, atau ikan, atau belalang, maka terdapat dua jalan pendapat: sebagian dari kalangan kami mengatakan ada dua pendapat sebagaimana pada aqiṭ, dan sebagian lagi mengatakan tidak sah menurut satu pendapat saja. Ini berbeda dengan aqiṭ karena aqiṭ dapat ditakar dengan ṣā‘.

Jika berada di tempat yang tidak memiliki makanan pokok, maka wajib memberi dari makanan pokok dominan di negeri terdekat.

فصل: ولا يجوز الدقيق والسويق والخبز ومن أصحابنا من قال يجزئه لأنه مهيأ للاقتيات مستغنى عن مؤنته وهذا فاسد لأنه إن كان قد هيأه لمنفعة فقد فوت فيه وجوها من المنافع ولا يجوز إخراج القيمة لأنه أخذ ما يكفر به فلم يجز فيه القيمة كالعتق.

PASAL: Tidak boleh membayar (kefarat) dengan daqīq (tepung), sawīq (tepung sangrai), dan roti. Sebagian dari ulama kami berkata: boleh, karena itu sudah siap untuk dimakan dan tidak membutuhkan lagi biaya pengolahan. Namun pendapat ini rusak (lemah), karena jika memang telah dipersiapkan untuk suatu kemanfaatan, maka sungguh telah hilang darinya berbagai macam kemanfaatan. Dan tidak boleh mengeluarkan nilai harganya, karena itu adalah pengganti dari sesuatu yang menjadi penebus (kefarat), maka tidak sah menggantinya dengan nilai (uang) sebagaimana dalam kasus memerdekakan budak.

فصل: ولا يجوز أن يدفع الواجب إلى أقل من ستين مسكينا للآية والخبر فإن جمع ستين مسكينا وغداهم وعشاهم لما عليه من الطعام لم يجزه لأن ما وجب للفقراء بالشرع وجب فيه التمليك كالزكاة ولأنهم يختلفون في الأكل ولا يتحقق أن كل واحد منهم يتناول قدر حقه وإن قال لهم ملكتكم هذا بينكم بالسوية ففيه وجهان: أحدهما: لا يجزئه وهو قول أبي سعيد الإصطخري لأنه يلزمهم مؤنة في قسمته فلم يجزه كما لو سلم إليهم الطعام في السنابل والثاني: أنه يجزئه وهو الأظهر لأنه سلم إلى كل واحد منهم قدر حقه والمؤنة في قسمته قليلة فلا يمنع الإجزاء.

PASAL: Tidak boleh memberikan yang wajib (dalam kafarat) kepada kurang dari enam puluh miskin, berdasarkan ayat dan hadis. Jika ia mengumpulkan enam puluh miskin lalu memberi mereka makan pagi dan malam dari makanan yang menjadi tanggungannya, maka itu tidak mencukupi, karena apa yang diwajibkan bagi orang-orang fakir menurut syariat harus diserahkan dalam bentuk kepemilikan sebagaimana zakat. Selain itu, mereka berbeda-beda dalam makan, sehingga tidak bisa dipastikan bahwa masing-masing dari mereka mendapatkan bagian yang menjadi haknya.

Jika ia berkata kepada mereka, “Aku telah menjadikan milik kalian ini (makanan) secara rata,” maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak sah, dan ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Iṣṭakhri, karena hal itu membebani mereka untuk membaginya, maka tidak sah sebagaimana jika ia menyerahkan makanan kepada mereka dalam bentuk bulir; dan kedua, sah, dan ini yang lebih kuat, karena ia telah menyerahkan kepada masing-masing dari mereka bagian yang menjadi haknya, dan beban pembagian itu ringan sehingga tidak menghalangi keabsahan.

فصل: ولا يجوز أن يدفع إلى مكاتب لأنها تجب لأهل الحاجة والمكاتب مستغن بكسبه إن كان له كسب أوبأن يفسخ الكتابة ويرجع إلى مولاه إن لم يكن له كسب ولا يجوز أن يدفع إلى كافر لأنها كفارة فلا يجوز صرفها إلى كافر كالعتق ولا يجوز دفعها إلى من تلزمه نفقته من زوجة أو والد أو ولد لأنه مستغن بالنفقة فإن دفع بعض ما عليه من الطعام ثم قدر على الصيام لم يلزمه الإنتقال إلى الصوم كما لا يلزمه الإنتقال إلى العتق إذا وجد الرقبة في أثناء الصوم والأفضل أن ينتقل إليه لأنه أصل.

PASAL: Tidak boleh memberikan (kefarat) kepada mukātib, karena kefarat itu wajib diberikan kepada orang yang membutuhkan, sedangkan mukātib telah tercukupi dengan usahanya jika ia memiliki penghasilan, atau dengan membatalkan akad kitābah dan kembali kepada tuannya jika ia tidak memiliki penghasilan. Tidak boleh pula diberikan kepada orang kafir karena ia adalah kafarat, maka tidak sah diberikan kepada orang kafir sebagaimana halnya dalam pembebasan budak. Tidak boleh pula diberikan kepada orang yang wajib ia nafkahi seperti istri, orang tua, atau anak, karena mereka telah tercukupi dengan nafkah. Jika ia telah memberikan sebagian dari makanan yang wajib ia keluarkan, lalu kemudian mampu berpuasa, maka ia tidak wajib berpindah ke puasa, sebagaimana ia tidak wajib berpindah ke memerdekakan budak jika ia mendapatkan budak di tengah-tengah pelaksanaan puasa. Namun yang lebih utama adalah berpindah kepadanya, karena ia adalah yang pokok.

فصل: ولا يجوز أن يكفر عن الظهار قبل أن يظاهر لأنه حق يتعلق بسببين فلا يجوز تقديمه عليهما كالزكاة قبل أن يملك النصاب ويجوز أن يكفر بالمال بعد الظهار وقبل العود لأنه حق مال يتعلق بسببين فإذا وجد أحدهما: جاز تقديمه على الآخر كالزكاة قبل الحول وكفارة اليمين قبل الحنث.

PASAL: Tidak boleh menunaikan kafarat zhihār sebelum terjadinya zhihār, karena ia adalah hak yang bergantung pada dua sebab, maka tidak boleh didahulukan atas keduanya, sebagaimana zakat tidak boleh ditunaikan sebelum memiliki nishab. Namun boleh menunaikan kafarat dengan harta setelah terjadi zhihār dan sebelum terjadi ‘ūd (kembali), karena ia adalah hak harta yang bergantung pada dua sebab. Maka jika salah satu dari keduanya telah ada, boleh mendahulukannya atas yang lain, sebagaimana zakat boleh ditunaikan sebelum haul, dan kafarat sumpah sebelum pelanggaran.

فصل: ولا يجوز شيء من الكفارات إلا بالنية لقوله صلى الله عليه وسلم: “إنما الأعمال بالنيات ولكل امرئ ما نوى” . ولأنه حق يجب على سبيل الطهرة فافتقر إلى النية كالزكاة ولا يلزمه في النية تعيين سبب الكفارة كما لا يلزمه في الزكاة تعيين المال الذي يزكيه فإن كفر بالصوم لزمه أن ينوي كل ليلة أنه صائم غداً عن الكفارة وهل يلزمه نية التتابع فيه ثلاثة أوجه: أحدها يلزمه أن ينوي كل ليلة لأن التتابع واجب فلزمه نيته كالصوم والثاني: يلزمه أن ينوي ذلك في أوله لأنه يتميز بذلك عن غيره والثالث وهو الصحيح أنه لا تلزمه نية التتابع لأن العبادة هي الصوم والتتابع شرط في العبادة فلم تجب نيته في أداء العبادة كالطهارة وستر العورة لا يلزمه نيتهما في الصلاة.

PASAL: Tidak sah satu pun dari jenis-jenis kafarat kecuali dengan niat, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai yang ia niatkan.” Karena kafarat adalah hak yang wajib ditunaikan sebagai bentuk pensucian, maka ia membutuhkan niat sebagaimana zakat.

Namun dalam niat tidak diwajibkan menentukan sebab kafarat, sebagaimana dalam zakat tidak diwajibkan menentukan harta yang dizakati. Jika ia menunaikan kafarat dengan berpuasa, maka wajib baginya untuk berniat setiap malam bahwa ia akan berpuasa esok harinya untuk kafarat.

Adapun apakah wajib berniat tattābu‘ (berturut-turut), maka ada tiga pendapat:
Pertama, wajib berniat setiap malam karena tattābu‘ itu wajib, maka wajib pula niatnya sebagaimana niat puasa.
Kedua, cukup berniat tattābu‘ di awal karena dengan itu ia membedakan puasa kafarat dari puasa lainnya.
Ketiga, dan ini yang shahīh, tidak wajib niat tattābu‘ karena ibadahnya adalah puasa, sedangkan tattābu‘ adalah syarat dalam ibadah, maka tidak wajib niat untuknya dalam pelaksanaan ibadah, sebagaimana thaharah dan menutup aurat tidak diwajibkan niat dalam salat.

فصل: وإن كان المظاهر كافراً كفر بالعتق أو الطعام لأنه يصح منه العتق والإطعام في غير الكفارة فصح منه في الكفارة ولا يكفر بالصوم لأنه لا يصح منه الصوم في غير الكفارة فلا يصح منه في الكفارة فإن كان المظاهر عبداً فقد ذكرناه في باب المأذون فأغنى عن الإعادة وبالله التوفيق.

PASAL: Jika orang yang melakukan zhihār adalah seorang kafir, maka ia menunaikan kafarat dengan memerdekakan budak atau memberi makan, karena ia sah melakukan keduanya di luar kafarat, maka sah pula dalam kafarat. Namun ia tidak menunaikan kafarat dengan puasa karena puasa tidak sah darinya di luar kafarat, maka tidak sah pula dalam kafarat. Jika orang yang melakukan zhihār adalah seorang hamba, maka telah dijelaskan dalam bab al-ma’dzūn, sehingga tidak perlu diulang. Dan dengan Allah-lah pertolongan.

إذا علم الزوج أن امرأته زنت فإن رآها بعينه وهي تزني ولم يكن نسب يلحقه فله أن يقذفها وله أن يسكت لما روى علقمة عن عبد الله أن رجلاً أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن رجل وجد مع امرأته رجلاً إن تكلم جلدتموه أو قتل قتلتموه أو سكت سكت على غيظ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “اللهم افتح”. وجعل يدعوا فنزلت آية اللعان: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ} الآية فذكر أنه يتكلم أو يسكت ولم ينكر النبي صلى الله عليه وسلم كلامه ولا سكوته

Kitab al-La‘ān
Pendahuluan

Kitab al-La‘ān

Jika seorang suami mengetahui bahwa istrinya telah berzina, maka apabila ia melihatnya dengan matanya sendiri sedang berzina dan tidak ada nasab yang akan dinisbatkan kepadanya, maka ia boleh menuduhnya (dengan zina) dan ia boleh diam. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Alqamah dari ‘Abdullāh bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang mendapati seorang laki-laki bersama istrinya. Jika ia berbicara, kalian akan mencambuknya; jika ia membunuh, kalian akan membunuhnya; dan jika ia diam, ia akan menanggung amarah.” Maka Nabi SAW bersabda, “Ya Allah, bukakanlah jalan keluar.” Dan beliau pun terus berdoa hingga turunlah ayat la‘ān:
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ}
Lalu disebutkan bahwa suami itu boleh berbicara atau diam, dan Nabi SAW tidak mengingkari ucapannya maupun diamnya.

وإن أقرت عنده بالزنا فوقع في نفسه صدقها أو أخبره بذلك ثقة أو استفاض أن رجلاً يزني بها ثم رأى الرجل يخرج من عندها في أوقات الريب فله أن يقذفها وله أن يسكت لأن الظاهر أنها زنت فجاز له القذف والسكوت وأما إذا رأى رجلا يخرج من عندها ولم يستفض أنه يزني بها لم يجز أن يقذفها لأنه يجوز أن يكون قد دخل إليها هارباً أو سارقاً أو دخل ليراودها عن نفسها ولم تمكنه فلا يجوز قذفها بالشك وإن استفاض أن رجلا يزني بها ولم يجده عندها ففيه وجهان: أحدهما: لا يجوز قذفها لأنه يحتمل أن يكون عدو قد أشاع ذلك عليهما والثاني: يجوز لأن الاستفاضة أقوى من خبر الثقة ولأن الاستفاضة تثبت القسامة في القتل فثبت بها جواز القذف.

Dan jika istri mengakui kepadanya bahwa ia telah berzina, lalu timbul dalam hatinya keyakinan bahwa ia berkata jujur, atau ada orang terpercaya yang memberitahunya, atau tersebar kabar bahwa seorang laki-laki berzina dengannya, lalu suami melihat laki-laki itu keluar dari rumah istrinya pada waktu-waktu yang mencurigakan, maka suami boleh menuduhnya (dengan zina) dan boleh juga diam, karena yang tampak adalah bahwa ia telah berzina, maka boleh baginya untuk menuduh maupun diam.

Adapun jika suami hanya melihat seorang laki-laki keluar dari rumah istrinya tanpa tersebar kabar bahwa laki-laki itu berzina dengannya, maka tidak boleh suami menuduhnya, karena bisa jadi laki-laki itu masuk karena melarikan diri, atau mencuri, atau masuk untuk merayunya namun ia tidak memberinya kesempatan, maka tidak boleh menuduhnya hanya berdasarkan dugaan.

Dan jika tersebar kabar bahwa seorang laki-laki berzina dengannya, namun suami tidak menemukannya bersama istrinya, maka terdapat dua wajah pendapat:

Pertama: tidak boleh menuduhnya, karena bisa jadi itu hanya kabar yang disebarkan oleh musuh untuk mencemarkan nama baik keduanya.

Kedua: boleh, karena penyebaran kabar (istifāḍah) lebih kuat daripada berita orang terpercaya, dan karena kabar yang tersebar dapat dijadikan dasar untuk penetapan qasāmah dalam kasus pembunuhan, maka ia pun bisa dijadikan dasar bolehnya menuduh (istri dengan zina).

فصل: ومن قذف امرأته بزنا يوجب الحد أو تعزير القذف فطولب بالحد أو بالتعزير فله أن يسقط ذلك بالبينة لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً} فدل على أنه إذا أتى بأربعة شهداء لم يجلد ويجوز أن يسقط باللعان لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن هلال بن أمية قذف امرأته بشريك بن سحماء فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “البينة أو الحد في ظهرك” فقال: يا رسول الله إذا رأى أحدنا رجلاً على امرأته يلتمس البينة فجعل النبي صلى الله عليه وسلم يقول: “البينة وإلا حد في ظهرك” فقال هلال: والذي بعثك بالحق إني لصادق ولينزلن الله عز وجل في أمري ما يبرئ ظهري من الحد فنزلت: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ}

PASAL: Siapa yang menuduh istrinya berzina dengan zina yang mewajibkan ḥadd atau ta‘zīr atas tuduhan tersebut, lalu ia dituntut dengan ḥadd atau ta‘zīr, maka ia boleh menggugurkan tuntutan tersebut dengan membawa bukti, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً}, yang menunjukkan bahwa jika ia mendatangkan empat orang saksi, maka ia tidak dikenai cambuk. Dan boleh juga menggugurkannya dengan li‘ān, sebagaimana riwayat dari Ibn ‘Abbās RA bahwa Hilāl bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarīk bin Saḥmā’, maka Nabi SAW bersabda: “(Datangkan) bukti atau (hukuman) ḥadd di punggungmu.” Hilāl berkata: “Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kami melihat seorang laki-laki di atas istrinya, apakah ia harus mencari bukti?” Maka Nabi SAW terus mengulang: “(Datangkan) bukti atau ḥadd di punggungmu.” Maka Hilāl berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku berkata benar, dan sungguh Allah Azza wa Jalla akan menurunkan tentang perkaraku sesuatu yang membebaskan punggungku dari ḥadd.” Maka turunlah ayat: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ}

ولأن الزوج يبتلى بقذف امرأته لنفي العار والنسب الفاسد ويتعذر عليه إقامة البينة فجعل اللعان بينة له ولهذا لما نزلت آية اللعان قال النبي صلى الله عليه وسلم: “أبشر يا هلال فقد جعل الله لك فرجا ومخرجا” قال هلال قد كنت أرجوا ذلك من ربي عز وجل فإن قدر على البينة ولاعن جاز لأنهما بينتان في إثبات حق فجاز إقامة كل واحدة منهما مع القدرة على الأخرى كالرجلين والرجل والمرأتين في المال وإن كان هناك نسب يحتاج إلى نفيه لم ينتف بالبينة ولا ينتفي إلا باللعان لأن الشهود لا سبيل لهم إلى العلم بنفي النسب وإن أراد أن يثبت الزنا بالبينة ثم يلاعن لنفي النسب جاز وإن أراد أن يلاعن ويثبت الزنا وينفي النسب باللعان جاز

Dan karena seorang suami diuji dengan menuduh istrinya berzina demi menolak aib dan nasab yang rusak, sedangkan ia kesulitan mendatangkan bukti, maka li‘ān dijadikan sebagai bukti baginya. Oleh karena itu, ketika ayat li‘ān diturunkan, Nabi SAW bersabda: “Bergembiralah wahai Hilāl, sungguh Allah telah menjadikan jalan keluar dan pelapangan untukmu.” Hilāl berkata: “Sungguh aku telah berharap hal itu dari Tuhanku Azza wa Jalla.” Maka jika ia mampu mendatangkan bukti dan juga melakukan li‘ān, hal itu boleh, karena keduanya adalah bentuk pembuktian dalam penetapan hak, sehingga dibolehkan melaksanakan keduanya meskipun mampu atas salah satunya, seperti dua orang laki-laki dan satu laki-laki serta dua perempuan dalam perkara harta. Dan apabila ada nasab yang perlu dinafikan, maka nasab tersebut tidak bisa dinafikan dengan bukti, melainkan hanya bisa dinafikan dengan li‘ān, karena para saksi tidak memiliki jalan untuk mengetahui penafian nasab. Jika ia ingin menetapkan zina dengan bukti lalu melakukan li‘ān untuk menafikan nasab, maka hal itu boleh. Dan jika ia ingin melakukan li‘ān untuk menetapkan zina dan sekaligus menafikan nasab, maka hal itu pun boleh.

فصل: وإن عفت الزوجة عن الحد أو التعزير ولم يكن نسب لم يلاعن ومن أصحابنا من قال له أن يلاعن لقطع الفراش والمذهب الأول لأن المقصود باللعان درء العقوبة الواجبة بالقذف ونفي النسب لما يلحقه من الضرر بكل واحدة منهما وليس ههنا واحد منهما وأما قطع الفراش فإنه غير مقصود ويحصل له ذلك بالطلاق فلا يلاعن لأجله وإن لم تعف الزوجة عن الحد أو التعزير ولم تطالب به فقد روى المزني أنه ليس عليه أن يلاعن حتى تطلب المقذوفة وحدها وروى فيمن قذف امرأته ثم جنت أنه إذا التعن سقط الحد فمن أصحابنا من قال لا يلاعن لأنه لا حاجة به إلى اللعان قبل الطلب وقال أبو إسحاق له أن يلاعن لأن الحد قد وجب عليه فجاز أن يسقط من غير طلب كما يجوز أن يقضي الدين المؤجل قبل الطلب وقوله ليس عليه أن يلتعن لا يمنع الجواز وإنما يمنع الوجوب.

PASAL: Jika istri memaafkan dari had atau ta‘zīr dan tidak ada nasab yang perlu dinafikan, maka tidak dilakukan li‘ān. Sebagian dari kalangan kami berpendapat bahwa suami boleh melakukan li‘ān untuk memutuskan hubungan ranjang, namun pendapat yang menjadi mazhab adalah yang pertama, karena tujuan dari li‘ān adalah untuk menolak hukuman yang wajib akibat qadzf dan menafikan nasab karena mudarat yang menimpanya dari keduanya. Padahal di sini tidak terdapat keduanya. Adapun memutuskan hubungan ranjang bukanlah maksud utama dan hal itu dapat diperoleh melalui talak, maka tidak dilakukan li‘ān karenanya.

Jika istri tidak memaafkan dari had atau ta‘zīr namun juga tidak menuntut, maka al-Muzanī meriwayatkan bahwa suami tidak wajib melakukan li‘ān sampai istri yang dituduh menuntut had. Dan diriwayatkan pula mengenai seseorang yang menuduh istrinya kemudian istrinya menjadi gila, bahwa jika ia melakukan li‘ān, maka had gugur. Sebagian dari kalangan kami berpendapat bahwa suami tidak perlu melakukan li‘ān karena belum ada tuntutan, sedangkan Abu Ishaq berpendapat bahwa suami boleh melakukan li‘ān karena had sudah wajib atasnya sehingga boleh gugur tanpa adanya tuntutan, sebagaimana seseorang boleh melunasi utang yang belum jatuh tempo sebelum ditagih. Ucapan bahwa “tidak wajib li‘ān” tidaklah menafikan kebolehan, melainkan hanya menafikan kewajiban.

فصل: وإن كانت الزوجة أمة أو ذمية أو صغيرة يوطأ مثلها فقذفها عزر وله أن يلاعن لدرء التعزير لأنه تعزير قذف وإن كانت صغيرة لا يوطأ مثلها فقذفها عزر ولا يلاعن لدرء التعزير لأنه ليس بتعزير قذف وإنما هو تعزير على الكذب لحق الله تعالى، وإن قذف زوجته ولم يلاعن فحد في قذفها ثم قذفها بالزنا الذي رماها به عزر ولا يلاعن لدرء التعزير لأنه تعزير لدفع الأذى لأنا قد حددناه للقذف فإن ثبت بالبينة أو بالإقرار أنها زانية ثم قذفها فقد روى المزني أنه لا يلاعن لدرء التعزير

PASAL: Jika istri adalah seorang amah, atau seorang perempuan dzimmah, atau seorang anak kecil yang seusianya lazim digauli, lalu suaminya menuduhnya berzina, maka ia dikenai ta‘zīr, dan boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkan ta‘zīr tersebut, karena itu merupakan ta‘zīr atas tuduhan qadzhf. Namun jika anak kecil tersebut belum lazim untuk digauli, lalu ia dituduh berzina, maka pelakunya tetap dikenai ta‘zīr dan tidak boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkan ta‘zīr, karena bukan termasuk ta‘zīr qadzhf, melainkan ta‘zīr atas kebohongan terhadap hak Allah Ta‘ala.

Jika seorang suami menuduh istrinya berzina namun tidak melakukan li‘ān, kemudian ia dikenai ḥadd karena qadzhf, lalu menuduhnya lagi dengan tuduhan zina yang sama, maka ia dikenai ta‘zīr dan tidak boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkan ta‘zīr, karena ta‘zīr itu ditetapkan untuk mencegah gangguan, sebab ia sudah dijatuhi ḥadd atas tuduhan tersebut.

Jika kemudian terbukti dengan bayyinah atau pengakuan bahwa istri tersebut benar-benar berzina, lalu suaminya menuduhnya lagi, maka al-Muzanī meriwayatkan bahwa ia tidak boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkan ta‘zīr.

وروى الربيع أنه يلاعن لدرء التعزير واختلف أصحابنا فيه على طريقين فقال أبو إسحاق المذهب ما رواه المزني وما رواه الربيع من تخريجه لأن اللعان جعل لتحقيق الزنا وقد تحقق زناها بالإقرار أو البينة ولأن القصد باللعان إسقاط ما يجب بالقذف والتعزير ههنا على الشتم لحق الله تعالى لا على القذف لأنه بالقذف لم يلحقها معرة وقال أبو الحسن ابن القطان وأبو القاسم الداركي هي على قولين: أحدهما: لا يلاعن لما ذكرناه والثاني: يلاعن لأنه إنما جاز أن يلاعن لدرء التعزير فيمن لم يثبت زناها فلأن يلاعن فيمن ثبت زناها أولى.

Dan ar-Rabī‘ meriwayatkan bahwa suami boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkan ta‘zīr. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua jalur. Abu Ishaq berkata bahwa pendapat yang benar adalah riwayat dari al-Muzanī, sedangkan riwayat dari ar-Rabī‘ merupakan hasil takhrīj, karena li‘ān itu disyariatkan untuk menetapkan zina, sedangkan zinanya telah terbukti dengan pengakuan atau bayyinah. Dan tujuan li‘ān adalah menggugurkan hukuman yang wajib karena qadzhf, sedangkan ta‘zīr di sini diberlakukan karena makian terhadap hak Allah Ta‘ala, bukan karena qadzhf, sebab dengan tuduhannya itu tidak menimbulkan celaan terhadap istri.

Sementara Abul Ḥasan Ibn al-Qaṭṭān dan Abul Qāsim ad-Dārakī mengatakan bahwa masalah ini merupakan masalah yang diperselisihkan. Menurut satu pendapat: suami tidak boleh melakukan li‘ān sebagaimana yang telah disebutkan. Pendapat kedua: suami boleh melakukan li‘ān, karena ketika li‘ān diperbolehkan untuk menggugurkan ta‘zīr terhadap wanita yang belum terbukti berzina, maka pada wanita yang sudah terbukti zinanya tentu lebih utama diperbolehkan melakukan li‘ān.

باب ما يلحق من النسب وما لا يلحق وما يجوز نفيه باللعان وما لا يجوز
إذا تزوج امرأة وهوممن يولد لمثله وأمكن اجتماعهما على الوطء وأتت بولد لمدة يمكن أن يكون الحمل فيها لحقه في الظاهر لقوله صلى الله عليه وسلم: “الولد للفراش” . ولأن مع وجود هذه الشروط يمكن أن يكون الولد منه وليس ههنا ما يعارضه ولا ما يسقطه فوجب أن يلحق به.

BAB APA YANG DIANGGAP SEBAGAI NASAB DAN APA YANG TIDAK DIANGGAP SERTA APA YANG BOLEH DITINGKARI DENGAN LA‘ĀN DAN APA YANG TIDAK BOLEH

Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, sementara ia termasuk orang yang mungkin memiliki keturunan, dan memungkinkan keduanya berkumpul untuk melakukan hubungan suami istri, lalu si perempuan melahirkan anak dalam rentang waktu yang memungkinkan terjadinya kehamilan, maka secara lahiriah anak tersebut dianggap sebagai anaknya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Anak itu milik pemilik tempat tidur (al-walad lil-firāsy).” Karena dengan adanya syarat-syarat tersebut, mungkin saja anak itu berasal darinya, dan tidak ada hal yang menentangnya atau membatalkannya, maka wajiblah anak itu diakui sebagai keturunannya.

فصل: وإن كان الزوج صغيراً لا يولد لمثله لم يلحقه لأنه لا يمكن أن يكون منه أن ينتفي عنه من غير لعان لأن اللعان يمين واليمين جعلت لتحقيق ما يجوز أن يكون ويجوز أن لا يكون فيتحقق باليمين أحد الجائزين وههنا لا يجوز أن يكون الولد له فلا يحتاج في نفيه إلى اللعان واختلف أصحابنا في السن التي يجوز أن يولد له فمنهم من قال يجوز أن يولد له بعد عشر سنين ولا يجوز أن يولد له قبل ذلك وهو ظاهر النص

PASAL: Jika suami masih kecil yang tidak mungkin anak dilahirkan dari semisalnya, maka anak tidak disandarkan nasab kepadanya, karena tidak mungkin anak itu berasal darinya. Maka anak itu bisa dinafikan darinya tanpa melalui li‘ān, karena li‘ān adalah sumpah, dan sumpah itu disyariatkan untuk menetapkan sesuatu yang mungkin terjadi dan mungkin pula tidak terjadi, sehingga sumpah akan menetapkan salah satu dari dua kemungkinan itu. Adapun dalam hal ini, tidak mungkin anak itu berasal darinya, maka tidak perlu melakukan li‘ān untuk menafikannya.

Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai batas usia yang mungkin seorang anak dilahirkan dari seorang laki-laki. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa mungkin seorang anak dilahirkan darinya setelah usia sepuluh tahun, dan tidak mungkin sebelum itu. Ini adalah zahir dari nash.

والدليل عليه قوله صلى الله عليه وسلم: “مروهم بالصلاة وهم أبناء سبع واضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرقوا بينهم في المضاجع” . ومنهم من قال يجوز أن يولد له بعد تسع سنين ولا يجوز أن يولد له قبله لأن المرأة تحيض لتسع سنين فجاز أن يحتلم الغلام لتسع وما قاله الشافعي رحمه الله أراد على سبيل التقريب لأنه لا بد أن يمضي بعد التسع إمكان الوطء وأقل مدة الحمل وهو ستة أشهر وذلك قريب من العشرة وإن كان الزوج مجبوباً فقد روى المزني أن له أن يلاعن

Dan dalil atas hal itu adalah sabda Nabi SAW: “Perintahkanlah mereka (anak-anak) untuk salat saat mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena (meninggalkan) salat saat mereka berumur sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.”
Sebagian ulama dari kalangan kami berpendapat bahwa mungkin seorang anak dilahirkan dari laki-laki setelah sembilan tahun, dan tidak mungkin sebelum itu, karena perempuan dapat mengalami haid pada usia sembilan tahun, maka boleh jadi laki-laki pun mengalami mimpi basah pada usia sembilan.
Adapun pendapat Imam asy-Syafi‘i rahimahullah, beliau maksudkan itu sebagai pendekatan, karena setelah usia sembilan tahun harus berlalu masa yang memungkinkan terjadinya hubungan suami-istri serta minimal masa kehamilan, yaitu enam bulan. Maka totalnya mendekati sepuluh tahun.

Jika suami adalah mujabb (yang telah terputus kemaluannya), maka al-Muzani meriwayatkan bahwa ia boleh melakukan li‘ān.

وروى الربيع أنه ينتفي من غير لعان واختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق إن كان مقطوع الذكر والأنثيين انتفى من غير لعان لأنه يستحيل أن ينزل مع قطعهما وإن قطع أحدهما: لحقه ولا ينتفي إلا بلعان لأنه إذا بقي الذكر أولج وأنزل وإن بقي الأنثيان ساحق وأنزل وحمل الروايتين على هذين الحالين وقال القاضي أبو حامد في أصل الذكر ثقبان أحدهما: للبول والآخر للمني فإذا انسدت ثقبة المني انتفى الولد من غير لعان لأنه يستحيل الإنزال وإن لم تنسد لم ينتف إلا باللعان لأنه يمكنه الإنزال وحمل الروايتين على هذين الحالين.

Dan ar-Rabi‘ meriwayatkan bahwa anak dapat dinafikan darinya tanpa li‘ān. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abū Ishāq berkata: Jika terputus dzakar dan dua pelirnya, maka anak dinafikan darinya tanpa li‘ān, karena mustahil ia dapat mengeluarkan mani setelah keduanya terputus. Namun jika hanya salah satunya yang terputus, maka anak tetap disandarkan kepadanya dan tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘ān, karena jika dzakar masih ada, ia bisa melakukan penetrasi dan mengeluarkan mani; dan jika pelir masih ada, ia bisa melakukan sāḥiq dan mengeluarkan mani. Maka dua riwayat tersebut dipahami berdasarkan dua keadaan ini.

Qādī Abū Ḥāmid berkata: Pada dzakar terdapat dua saluran, yang satu untuk air kencing dan yang lainnya untuk mani. Jika saluran mani tersumbat, maka anak dapat dinafikan darinya tanpa li‘ān, karena mustahil terjadi pengeluaran mani. Namun jika saluran tersebut tidak tersumbat, maka anak tidak bisa dinafikan kecuali dengan li‘ān, karena masih mungkin terjadi pengeluaran mani. Maka dua riwayat tersebut dipahami berdasarkan dua keadaan ini.

فصل: وإن لم يكن اجتماعهما على الوطء بأن تزوجها وطلقها عقيب العقد أو كانت بينهما مسافة لا يمكن معها الاجتماع انتفى الولد من غير لعان لأنه لا يمكن أن يكون منه.

PASAL: Jika tidak terjadi pertemuan keduanya untuk melakukan waṭi’, seperti ketika ia menikahinya lalu menceraikannya segera setelah akad, atau terdapat jarak antara keduanya yang tidak memungkinkan terjadinya pertemuan, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya tanpa perlu li‘ān, karena tidak mungkin anak itu berasal darinya.

فصل: وإن أتت بولد لدون ستة أشهر من وقت العقد انتفى عنه من غير لعان لأنا نعلم أنها علقت به قبل حدوث الفراش وإن دخل بها ثم طلقها وهي حامل فوضعت الحمل ثم أتت بولد آخر لستة أشهر لم يلحقه وانتفى عنه من غير لعان لأنا قطعنا ببراءة رحمها بوضع الحمل وأن هذا الولد الآخر علقت به بعد زوال الفراش وإن طلقها وهي غير حامل واعتدت بالأقراء ثم وضعت ولداً قبل أن تتزوج بغيره لدون ستة أشهر لحقه لأنا تيقنا أن عدته لم تنقض وإن أتت به لستة أشهر أو أربع سنين أو ما بينهما لحقه

PASAL: Jika seorang wanita melahirkan anak dalam waktu kurang dari enam bulan sejak akad nikah, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya tanpa perlu li‘ān, karena kita mengetahui bahwa ia telah mengandung sebelum terjadinya hubungan suami istri. Jika suami telah menggaulinya lalu menceraikannya dalam keadaan hamil, kemudian ia melahirkan kandungan itu, lalu setelah itu melahirkan anak lain dalam waktu enam bulan, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya dan ternafikan darinya tanpa li‘ān, karena kita yakin bahwa rahimnya telah bersih dengan melahirkan kandungan sebelumnya, dan bahwa anak yang lain ini dikandung setelah hilangnya hubungan pernikahan. Jika ia dicerai dalam keadaan tidak hamil dan menjalani masa ‘iddah dengan hitungan qur’, lalu ia melahirkan anak sebelum menikah dengan laki-laki lain, dalam waktu kurang dari enam bulan, maka anak itu dinisbatkan kepadanya, karena kita yakin bahwa masa ‘iddah-nya belum selesai. Dan jika ia melahirkan anak dalam enam bulan, atau empat tahun, atau dalam rentang waktu di antara keduanya, maka anak itu tetap dinisbatkan kepadanya.

وقال أبو عباس بن سريج لا يلحقه لأنا حكمنا بانقضاء العدة وإباحتها للأزواج وما حكم به يجوز نقضه لأمر محتمل وهذا خطأ لأنه يمكن أن يكون منه والنسب إذا أمكن إثباته لم يجز نفيه ولهذا إذا أتت بولد بعد العقد لستة أشهر لحقه وإن كان الأصل عدم الوطء وبراءة الرحم فإن وضعته لأكثر من أربعة سنين نظرت فإن كان الطلاق بائناً انتفى عنه بغير لعان لأن العلوق حادث بعد زوال الفراش وإن كان رجعيا ففيه قولان: أحدهما: ينتفي عنه بغير لعان لأنها حرمت عليه بالطلاق تحريم المبتوتة فصار كما لو طلقها طلاقا بائنا

Dan Abū al-‘Abbās ibn Suraij berkata: Anak itu tidak dinisbatkan kepadanya karena kita telah memutuskan bahwa masa ‘iddah-nya telah selesai dan ia telah halal untuk dinikahi laki-laki lain, dan keputusan seperti itu boleh dibatalkan karena adanya kemungkinan lain. Namun pendapat ini keliru, karena bisa jadi anak itu berasal darinya, dan nasab apabila memungkinkan untuk ditetapkan maka tidak boleh dinafikan. Oleh karena itu, jika seorang wanita melahirkan anak setelah akad dalam enam bulan, maka anak itu tetap dinisbatkan kepadanya, meskipun asalnya tidak terjadi jima‘ dan rahim masih suci.

Jika ia melahirkan anak setelah lebih dari empat tahun, maka diperinci: jika talaknya bā’in, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya tanpa li‘ān, karena kehamilan terjadi setelah hilangnya hubungan pernikahan (firāsy). Dan jika talaknya raj‘ī, maka ada dua pendapat: salah satunya, anak itu tidak dinisbatkan kepadanya tanpa li‘ān, karena ia telah menjadi haram atasnya dengan talak, seperti halnya talak bā’in.

والقول الثاني يلحقه لأنها في حكم الزوجات في السكنى والنفقة والطلاق والظهار والإيلاء فإذا قلنا بهذا فإلى متى يلحقه ولدها فيه وجهان: قال أبو إسحاق يلحقه أبداً لأن العدة يجوز أن تمتد لأن أكثر الطهر لا حد له ومن أصحابنا من قال: يلحقه إلى أربع سنين من وقت انقضاء العدة وهو الصحيح لأن العدة إذا انقضت بانت وصارت كالمبتوتة.

Dan pendapat kedua: anak itu dinisbatkan kepadanya karena statusnya masih seperti istri dalam hal tempat tinggal, nafkah, talak, zhihār, dan īlā’. Jika kita berpendapat demikian, maka sampai kapan anak itu bisa dinisbatkan kepadanya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Abū Isḥāq berkata: anak itu tetap dinisbatkan selamanya karena masa ‘iddah bisa berlangsung lama, sebab tidak ada batas maksimal untuk panjangnya masa suci (ṭuhr).

Sebagian dari ulama mazhab kami berkata: anak itu hanya bisa dinisbatkan hingga empat tahun dari waktu berakhirnya ‘iddah, dan inilah pendapat yang paling benar, karena jika ‘iddah telah selesai, maka wanita tersebut telah menjadi seperti wanita yang dicerai dengan talak bā’in.

فصل: وإن كانت له زوجة يلحقه ولدها ووطئها رجل بالشبهة وادعى الزوج أن الولد من الواطئ عرض معهما على القافة ولا يلاعن لنفيه لأنه يمكن نفيه بغير لعان وهو القافة فلا يجوز نفيه باللعان فإن لم تكن قافة أو كانت وأشكل عليها ترك حتى تبلغ السن الذي ينسب فيه إلى أحدهما: فإن بلغ وانتسب إلى الواطئ بشبهة انتفى عن الزوج بغير لعان وإن انتسب إلى الزوج لم ينتف عنه إلا باللعان لأنه لا يمكن نفيه بغير اللعان فجاز نفيه باللعان وإن قال زنى بك فلان وأنت مكرهة والولد منه ففيه قولان: أحدهما: لا يلاعن لنفيه لأن أحدهما: ليس بزان فلم يلاعن لنفي الولد كما لو وطئها رجل بشبهة وهي زانية والثاني: أن له أن يلاعن وهو الصحيح لأنه نسب يلحقه من غير رضاه لا يمكن نفيه بغير اللعان فجاز نفيه باللعان كما لوكانا زانيين.

PASAL: Jika seorang lelaki memiliki istri yang anaknya disandarkan kepadanya, lalu istrinya digauli oleh seorang laki-laki karena syubhat, dan sang suami mengklaim bahwa anak itu adalah hasil hubungan dari laki-laki yang bersetubuh karena syubhat tersebut, maka keduanya (anak dan laki-laki itu) dipertemukan dengan qāfah, dan sang suami tidak melakukan li‘ān untuk menafikannya, karena penafian bisa dilakukan tanpa li‘ān, yaitu dengan qāfah, maka tidak boleh menafikan dengan li‘ān. Namun, jika tidak ada qāfah atau qāfah ada tetapi tidak mampu memberikan keputusan yang jelas, maka dibiarkan hingga anak itu mencapai usia yang dapat disandarkan kepada salah satunya. Jika telah dewasa dan menasabkan diri kepada laki-laki yang bersetubuh karena syubhat, maka anak itu ternafikan dari suami tanpa li‘ān. Tetapi jika menasabkan diri kepada suami, maka tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘ān, karena tidak mungkin menafikannya kecuali dengan li‘ān, maka boleh menafikannya dengan li‘ān.

Jika sang suami berkata, “Si fulan telah berzina denganmu sementara engkau dalam keadaan terpaksa, dan anak ini adalah hasil dari perzinaan itu,” maka ada dua pendapat. Pertama: tidak boleh li‘ān untuk menafikan anak itu karena salah satunya bukan pezina, maka tidak boleh li‘ān untuk menafikan anak sebagaimana jika seorang laki-laki bersetubuh karena syubhat dengan perempuan pezina. Kedua: suami boleh melakukan li‘ān, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena nasab itu dinisbatkan kepadanya tanpa kerelaannya dan tidak mungkin dinafikan tanpa li‘ān, maka boleh menafikannya dengan li‘ān sebagaimana jika keduanya pezina.

فصل: وإن أتت امرأته بولد فادعى الزوج أنه من زوج قبله وكان لها زوج قبله نظرت فإن وضعته لأربع سنين فما دونها من طلاق الأول ولدون ستة أشهر من عقد الزوج الثاني فهو للأول لأنه يمكن أن يكون منه وينتفي عن الزوج بغير لعان لأنه لا يمكن أن يكون منه وإن وضعته لأكثر من أربع سنين من طلاق الأول ولأقل من ستة أشهر من عقد الزوج الثاني انتفى عنهما لأنه لا يمكن أن يكون من واحد منهما وإن وضعته لأربع سنين فما دونها من طلاق الأول ولستة أشهر فصاعداً من عقد الزوج الثاني عرض على القافة لأنه يمكن أن يكون من كل واحد منهما

PASAL: Jika seorang istri melahirkan anak lalu suaminya mengklaim bahwa anak itu berasal dari suami sebelumnya, padahal ia memang pernah bersuami sebelumnya, maka dilihat keadaannya: jika ia melahirkan anak itu dalam jangka empat tahun atau kurang dari talak suami pertama dan dalam waktu kurang dari enam bulan dari akad nikah dengan suami kedua, maka anak itu milik suami pertama, karena memungkinkan anak itu berasal darinya, dan anak itu dinyatakan bukan dari suami kedua tanpa li‘ān, karena tidak mungkin berasal darinya. Namun jika ia melahirkan anak itu setelah lebih dari empat tahun dari talak suami pertama dan kurang dari enam bulan dari akad nikah dengan suami kedua, maka anak itu tidak dinisbatkan kepada keduanya, karena tidak mungkin berasal dari salah satunya. Dan jika ia melahirkan anak itu dalam waktu empat tahun atau kurang dari talak suami pertama dan dalam enam bulan atau lebih sejak akad nikah dengan suami kedua, maka anak itu diajukan kepada qāfah (ahli ilmu kesesuaian), karena memungkinkan anak itu berasal dari masing-masing mereka berdua.

فإن ألحقته بالأول لحق به وانتفى عن الزوج بغير لعان وإن ألحقته بالزوج لحق به ولا ينتفي عنه إلا باللعان وإن لم تكن قافة أو كانت وأشكل عليها ترك إلى أن يبلغ وقت الانتساب فإن انتسب إلى الأول انتفى عن الزوج بغير لعان وإن انتسب إلى الزوج لم ينتف عنه إلا باللعان وإن لم يعرف وقت طلاق الأول ووقت نكاح الزوج فالقول قول الزوج مع يمينه أنه لا يعلم أنها ولدته على فراشه لأن الأصل عدم الولادة وانتفاء النسب فإن حلف سقطت دعواها وانتفى النسب بغير لعان لأنه لم يثبت ولادته على فراشه لأن الأصل عدم الولادة وانتفاء النسب فإن حلف سقطت دعواها وانتفى النسب بغير لعان لأنه لم يثبت ولادته على فراشه،

Jika qāfah menetapkan anak itu kepada suami pertama, maka anak itu dinisbatkan kepadanya dan dinyatakan bukan anak suami kedua tanpa li‘ān. Jika qāfah menetapkannya kepada suami kedua, maka anak itu dinisbatkan kepadanya dan tidak bisa dinafikan darinya kecuali dengan li‘ān. Jika tidak ada qāfah atau ada tetapi tidak mampu menetapkan, maka ditangguhkan hingga anak itu mencapai usia yang memungkinkan ia dinisbatkan. Jika ia menisbatkan dirinya kepada suami pertama, maka dinyatakan bukan anak suami kedua tanpa li‘ān. Jika ia menisbatkan dirinya kepada suami kedua, maka tidak bisa dinafikan darinya kecuali dengan li‘ān.

Jika waktu talak dari suami pertama dan waktu akad dengan suami kedua tidak diketahui, maka perkataan suami kedua yang diterima dengan sumpah bahwa ia tidak mengetahui bahwa anak itu dilahirkan di atas ranjangnya, karena asalnya adalah tidak adanya kelahiran dan tidak adanya nasab. Jika ia bersumpah, gugurlah klaim sang istri, dan nasab anak itu ternafikan darinya tanpa li‘ān, karena tidak terbukti anak itu lahir di atas ranjangnya.

وإن نكل رددنا اليمين عليها وإن حلفت لحق النسب بالزوج ولا ينتفي إلا باللعان لأنه ثبتت ولادته على فراشه وإن نكلت فهل توقف اليمين إلى أن يبلغ الصبي فيحلف ويثبت نسبه فيه وجهان بناء على القولين في رد اليمين على الجارية المرهونة إذا أحبلها الراهن وادعى أن المرتهن أذن له في وطئها وأنكر المرتهن ونكلا جميعاً عن اليمين: أحدهما: لا ترد اليمين لأن اليمين حق للزوجة وقد أسقطته بالنكول فلم يثبت لغيرها والثاني: ترد لأنه يتعلق بيمينها حقها وحق الولد فإذا أسقطت حقها لم يسقط حق الولد.

Jika suami enggan bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada istri. Jika istri bersumpah, maka nasab anak itu dinisbatkan kepada suami dan tidak bisa dinafikan darinya kecuali dengan li‘ān, karena telah terbukti bahwa anak itu lahir di atas ranjangnya. Namun jika istri enggan bersumpah, maka apakah sumpah ditangguhkan hingga anak itu baligh dan ia bersumpah sendiri lalu nasabnya ditetapkan? Maka ada dua pendapat, yang dibangun atas dua pendapat dalam kasus sumpah yang dialihkan kepada budak perempuan yang digadaikan, jika ia dihamili oleh pihak yang menggadaikan lalu ia mengklaim bahwa pihak penerima gadai mengizinkannya untuk menyetubuhinya, sementara penerima gadai mengingkarinya dan keduanya enggan bersumpah:

Pertama: tidak dialihkan sumpah, karena sumpah adalah hak istri, dan ia telah menggugurkannya dengan enggan bersumpah, maka tidak berlaku bagi selainnya.

Kedua: dialihkan, karena hak istri dan hak anak sama-sama bergantung pada sumpahnya. Maka jika ia menggugurkan haknya, hak anak tidak otomatis gugur.

فصل: وإن جاءت امرأة ومعها ولد وادعت أنه ولدها منه وقال الزوج ليس هذا مني ولا هو منك بل هو لقيط أو مستعار لم يقبل قولها أنه منها من غير بينة لأن الولادة يمكن إقامة البينة عليها والأصل عدمها فلم يقبل قولها من غير بينة فإن قلنا إن الولد يعرض مع الأم على القافة في أحد الوجهين عرض على القافة فإن لحقته بالأم لحق بها وثبت نسبه من الزوج لأنها أتت به على فراشه ولا ينتفي عنه إلا باللعان

PASAL: Apabila datang seorang perempuan bersama seorang anak lalu mengaku bahwa anak itu adalah anaknya dari suaminya, namun sang suami berkata, “Anak ini bukan dariku dan bukan pula darimu, melainkan anak temuan atau anak pinjaman,” maka tidak diterima pengakuan perempuan bahwa anak itu darinya tanpa adanya bainah, karena kelahiran adalah perkara yang bisa didatangkan bainah-nya, dan hukum asalnya adalah tidak adanya kelahiran. Maka tidak diterima pengakuan perempuan tanpa bainah.

Jika kita mengatakan bahwa anak tersebut diuji dengan qāfah bersama ibunya menurut salah satu dari dua pendapat, maka anak itu ditunjukkan kepada qāfah. Jika qāfah menyatakannya sebagai anak perempuan itu, maka anak itu menjadi anaknya dan nasabnya tetap dari suaminya karena ia dilahirkan di atas ranjangnya, dan tidak bisa dinafikan kecuali dengan li‘ān.

وإن قلنا إن الولد لا يعرض مع الأم على القافة أولم تكن قافة أو كانت وأشكل عليها فالقول قول الزوج مع يمينه أنه لا يعلم أنها ولدته على فراشه فإذا حلف انتفى النسب من غير لعان لأنه لم تثبت ولادته على فراشه وإن نكل رددنا اليمين عليها فإن حلفت لحقه نسبه ولا ينتفي عنه إلا باللعان وإن نكلت فهل توقف اليمين على بلوغ الولد ليحلف على ما ذكرناه من الوجهين في الفصل قبله.

Dan jika kita mengatakan bahwa anak tidak diuji dengan qāfah bersama ibunya, atau tidak ada qāfah, atau ada namun qāfah tidak mampu memberikan kepastian, maka yang dipegang adalah ucapan suami disertai sumpahnya bahwa ia tidak mengetahui bahwa anak itu dilahirkan di atas ranjangnya. Apabila ia bersumpah, maka nasab anak itu terputus darinya tanpa li‘ān, karena tidak terbukti bahwa anak itu dilahirkan di atas ranjangnya.

Jika suami enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada perempuan. Jika ia bersumpah, maka nasab anak itu dinisbatkan kepada suami, dan tidak dapat dinafikan kecuali dengan li‘ān. Jika perempuan juga enggan bersumpah, maka apakah sumpah ditangguhkan hingga anak mencapai usia dewasa agar ia sendiri yang bersumpah? Dalam hal ini terdapat dua wajah sebagaimana telah disebutkan pada pasal sebelumnya.

فصل: إذا تزوج امرأة وهي وهو ممن يولد له ووطئها ولم يشاركه أحد في وطئها بشبهة ولا غيرها وأتت بولد لستة أشهر فصاعدا لحقه نسبه ولا يحل له نفيه لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال حين نزلت آية الملاعنة: “أيما رجل جحد ولده وهو ينظر إليه احتجب الله عنه وفضحه الله على رؤوس الأولين والآخرين”. وإن أتت امرأته بولد يلحقه في الظاهر بحكم الإمكان وهو يعلم أنه لم يصبها وجب عليه نفيه باللعان

PASAL: Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, sedangkan keduanya termasuk orang yang memungkinkan punya anak, lalu ia menggaulinya dan tidak ada orang lain yang menggaulinya baik karena syubhat maupun sebab lainnya, kemudian perempuan itu melahirkan seorang anak dalam rentang enam bulan atau lebih, maka nasab anak itu tetap dinisbatkan kepadanya, dan tidak halal baginya untuk menafikannya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat mukhālā‘ah: “Siapa pun laki-laki yang mengingkari anaknya padahal dia melihatnya, maka Allah akan menghalangi dirinya dari-Nya dan akan mempermalukannya di hadapan seluruh makhluk sejak orang pertama hingga terakhir.”

Namun, apabila istrinya melahirkan seorang anak yang secara zhahir nasabnya dinisbatkan kepadanya berdasarkan kemungkinan, sedangkan ia mengetahui bahwa ia tidak menggaulinya, maka wajib baginya menafikan anak itu melalui li‘ān.

لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أيما امرأة أدخلت على قوم من ليس منهم فليست من الله في شيء ولن يدخلها الله تعالى جنته” . فلما حرم النبي صلى الله عليه وسلم على امرأة أن تدخل على قوم من ليس منهم دل على أن الرجل مثلها ولأنه إذا لم ينفه جعل الأجنبي مناسبا له ومحرما له ولأولاده ومزاحما لهم في حقوقهم وهذا لا يجوز ولا يجوز أن يقذفها لجواز أن يكون من وطء شبهة أومن زوج قبله.

Berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum anak yang bukan dari mereka, maka ia tidak ada hubungan dengan Allah sedikit pun, dan Allah tidak akan memasukkannya ke dalam surga-Nya.” Maka ketika Nabi SAW mengharamkan seorang perempuan untuk memasukkan anak yang bukan dari suatu kaum kepada mereka, hal itu menunjukkan bahwa seorang laki-laki juga diperlakukan sama.

Karena apabila ia tidak menafikannya, berarti ia telah menjadikan orang asing sebagai bagian dari nasabnya, sebagai mahram baginya dan bagi anak-anaknya, serta sebagai orang yang turut bersaing dalam hak-hak mereka — dan hal ini tidak diperbolehkan.

Namun ia juga tidak boleh menuduh istrinya berzina, karena masih ada kemungkinan bahwa anak itu berasal dari hubungan syubhat atau dari suami sebelumnya.

فصل: وإن وطئ زوجته ثم استبرأها لحيضة وطهرت ولم يطأها وزنت وأتت بولد لستة أشهر فصاعداً من وقت الزنا لزمه قذفها ونفي النسب لما ذكرناه وإن وطئها في الطهر الذي زنت فيه فأتت بولد وغلب على ظنه أنه ليس منه بأن علم أنه كان يعزل منها أو رأى فيه شبها بالزاني لزمه نفيه باللعان وإن لم يغلب على ظنه أنه ليس منه لم ينفه لقوله صلى الله عليه وسلم: “الولد للفراش وللعاهر الحجر “.

PASAL: Jika seorang suami menggauli istrinya, kemudian melakukan istibrā’ terhadapnya dengan satu kali haid, lalu ia suci dan tidak digauli lagi oleh suaminya, kemudian ia berzina dan melahirkan anak dalam rentang enam bulan atau lebih sejak waktu terjadinya zina, maka wajib atas suami untuk menuduhnya dengan qadzf dan menafikan nasab anak tersebut, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Namun jika suami menggaulinya dalam masa suci yang sama dengan waktu ia berzina, lalu ia melahirkan anak, dan suami lebih cenderung meyakini bahwa anak itu bukan darinya — karena ia mengetahui bahwa ia melakukan ‘azl (mengeluarkan mani di luar) darinya, atau karena ia melihat kemiripan anak itu dengan pezina — maka wajib baginya menafikan anak tersebut melalui li‘ān.

Tetapi jika suami tidak memiliki dugaan kuat bahwa anak itu bukan darinya, maka ia tidak boleh menafikannya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Anak itu milik ranjang, dan bagi pezina adalah batu.”

فصل: وإن أتت امرأته بولد أسود وهما أبيضان أو بولد أبيض وهما أسودان ففيه وجهان: أحدهما: أن له أن ينفيه لما روى ابن عباس رضي الله عنه في حديث هلال ابن أمية أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” إن جاءت به أورق جعداً جمالياً خدلج الساقين سابغ الإليتين فهو للذي رميت به”. فجاءت به أورق جعداً جمالياً خدلج الساقين سابغ الإليتين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لولا الأيمان لكان لي ولها شأن”.

PASAL: Jika istrinya melahirkan anak berkulit hitam sedangkan keduanya berkulit putih, atau melahirkan anak berkulit putih sedangkan keduanya berkulit hitam, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa suami boleh menafikan nasab anak tersebut. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA dalam hadis tentang Hilāl bin Umayyah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika ia melahirkannya dengan ciri-ciri awraq, berambut keriting, berpostur jamālī, betisnya besar, dan pantatnya lebar, maka anak itu adalah milik laki-laki yang engkau tuduhkan kepadanya.” Lalu istrinya melahirkan anak dengan ciri-ciri awraq, berambut keriting, berpostur jamālī, betisnya besar, dan pantatnya lebar. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya bukan karena sumpah, niscaya aku dan dia akan mengambil tindakan.”

فجعل الشبه دليلاً على أنه ليس منه. والثاني: أنه لا يجوز نفيه لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم من بني فزارة فقال: إن امرأتي جاءت بولد أسود ونحن أبيضان؟ فقال: “هل لك من إبل”؟ قال: نعم قال: “ما ألوانها”؟ قال: حمر قال: ” هل فيها من أوراق”؟ قال: إن فيها لورقاً قال: “فأنى ترى ذلك”؟ قال: عسى أن يكون نزعه عرق قال: “وهذا عسى أن يكون نزعه عرق” .

Maka dijadikan kemiripan sebagai dalil bahwa anak itu bukan darinya. Pendapat kedua: tidak boleh menafikan nasab anak tersebut. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA, bahwa seorang laki-laki dari Banī Fazārah datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Istriku melahirkan anak berkulit hitam, padahal kami berdua berkulit putih.” Nabi SAW bertanya: “Apakah engkau memiliki unta?” Ia menjawab: “Ya.” Nabi SAW bertanya: “Apa warna unta-untamu?” Ia menjawab: “Merah.” Nabi SAW bertanya lagi: “Apakah ada di antara mereka yang awraq?” Ia menjawab: “Sesungguhnya di antara mereka ada yang awraq.” Nabi SAW bertanya: “Menurutmu, dari mana asalnya itu?” Ia menjawab: “Mungkin diturunkan dari garis keturunan.” Nabi SAW bersabda: “Begitu pula hal ini, mungkin diturunkan dari garis keturunan.”

فصل: وإن أتت امرأته بولد وكان يعزل عنها إذا وطئها لم يجز له نفيه لما روى أبو سعيد الخدري رضي الله عنه أنه قال: يا رسول الله إنا نصيب السبايا ونحب الأثمان أفنعزل عنهن فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن الله عز وجل إذا قضى خلق نسمة خلقها”. ولأنه قد يسبق من الماء ما لا يحس به فتعلق به وإن أتت بولد وكان يجامعها فيما دون الفرج ففيه وجهان: أحدهما: لا يجوز له النفي لأنه قد يسبق الماء إلى الفرج فتعلق به والثاني: أن له نفيه لأن الولد من أحكام الوطء فلا يتعلق بما دونه كسائر الأحكام وإن أتت بولد وكان يطؤها في الدبر ففيه وجهان: أحدهما: لا يجوز له نفيه لأنه قد يسبق من الماء إلى الفرج ما تعلق به والثاني: له نفيه لأنه وضع لا يبتغي منه الولد.

PASAL: Jika istrinya melahirkan anak sedangkan ia melakukan ‘azl darinya ketika menggaulinya, maka tidak boleh baginya menafikannya, karena diriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri RA bahwa ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mendapatkan tawanan wanita dan kami menyukai harta tebusan, apakah kami boleh melakukan ‘azl dari mereka? Maka Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla apabila telah menetapkan penciptaan suatu jiwa, niscaya Dia akan menciptakannya.” Dan karena bisa jadi air mani mendahului keluar tanpa terasa lalu menempel dan menyebabkan kehamilan.

Jika istrinya melahirkan anak sedangkan ia menggaulinya pada selain kemaluan, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama, tidak boleh baginya menafikannya karena bisa jadi air mani mendahului masuk ke dalam farji lalu menempel di sana; dan pendapat kedua, boleh baginya menafikannya karena anak adalah akibat dari hubungan seksual yang sempurna, maka tidak bisa dikaitkan dengan selainnya sebagaimana hukum-hukum lain.

Jika istrinya melahirkan anak sedangkan ia menggaulinya melalui dubur, maka juga terdapat dua pendapat: pendapat pertama, tidak boleh baginya menafikannya karena bisa jadi air mani mendahului masuk ke farji lalu menempel di sana; dan pendapat kedua, boleh baginya menafikannya karena cara tersebut tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan.

فصل: إذا قذف زوجته وانتفى عن الولد فإن كان حملاً فله أن يلاعن وينفي الولد لأن هلال بن أمية لاعن على نفي الحمل وله أن يؤخره إلى أن تضع لأنه يجوز أن يكون ريحاً أو غلظاً فيؤخر ليلاعن على يقين وإن كان الولد منفصلاً ففي وقت نفيه قولان: أحدهما: أنه الخيار في نفيه ثلاثة أيام لأنه قد يحتاج إلى الفكر والنظر فيما يقدم عليه من النفي فجعل الثلاث حدا لأنه قريب ولهذا قال الله عز وجل: {يَا قَوْمِ هَذِهِ نَاقَةُ الله لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ الله وَلا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ} ثم فسر القريب بالثلاث فقال: {تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ ذَلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ}

PASAL: Jika seseorang menuduh istrinya berzina dan menafikan nasab anak, maka jika anak tersebut masih berupa ḥaml (janin), dia boleh melakukan li‘ān dan menafikan anak tersebut, karena Hilāl bin Umayyah melakukan li‘ān untuk menafikan janin. Dia juga boleh menundanya hingga sang istri melahirkan, karena bisa jadi itu hanya angin atau gumpalan daging, maka ditunda agar li‘ān dilakukan dengan keyakinan.

Namun jika anak tersebut telah lahir, maka dalam penentuan waktu penafian terdapat dua pendapat. Pertama: dia memiliki hak memilih untuk menafikan dalam tiga hari, karena bisa jadi dia membutuhkan waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan langkah yang akan diambil dalam menafikan. Maka ditetapkan tiga hari sebagai batas karena itu waktu yang dekat. Karena itulah Allah SWT berfirman: “Wahai kaumku, inilah unta betina dari Allah sebagai tanda bagimu, maka biarkanlah ia makan di bumi Allah dan janganlah kamu menyentuhnya dengan keburukan, maka akan menimpamu azab yang dekat.” Kemudian Allah menjelaskan makna “dekat” itu dengan tiga hari, firman-Nya: “Bersenang-senanglah kalian di tempat tinggal kalian selama tiga hari, itulah janji yang tidak didustakan.”

والثاني: وهو المنصوص في عامة الكتب أنه على الفور لأنه خيار غير مؤد لدفع الضرر فكان على الفور كخيار الرد بالعيب فإن حضرت الصلاة فبدأ بها أو كان جائعاً فبدأ بالأكل أوله مال غير محرز واشتغل بإحرازه أو كان عادته الركوب واشتغل بإسراج المركوب فهو على حقه من النفي لأنه تأخير لعذر وإن كان محبوساً أو مريضاً أو قيماً على مريض أو غائباً لا يقدر على المسير وأشهد على النفي فهو على حقه وإن لم يشهد مع القدرة على الإشهاد سقط حقه لأنه لما تعذر عليه الحضور للنفي أقيم الإشهاد مقامه إلى أن يقدر كما أقيمت الفيئة باللسان مقام الوطء في حق المولى إذا عجز عن الوطء إلى أن يقدر.

dan pendapat kedua —yang merupakan pendapat yang disebutkan dalam mayoritas kitab— adalah bahwa penafian harus dilakukan segera, karena itu adalah hak pilihan yang tidak dimaksudkan untuk menolak suatu ḍarar (bahaya), maka hukumnya seperti hak khiyār dalam pengembalian barang karena cacat, yaitu harus segera.

Jika datang waktu salat dan dia mendahulukannya, atau dia sedang lapar lalu mendahulukan makan, atau dia memiliki harta yang tidak aman lalu sibuk mengamankannya, atau dia biasa berkendara dan sibuk menyiapkan kendaraan, maka hak penafiannya tetap berlaku, karena penundaan tersebut karena uzur.

Jika dia sedang ditahan, atau sakit, atau menjadi pengurus orang sakit, atau sedang bepergian dan tidak mampu hadir, namun dia menyaksikan (memberi kesaksian) penafiannya, maka hak penafiannya tetap berlaku. Namun jika dia tidak memberikan kesaksian padahal mampu, maka gugurlah haknya. Karena ketika dia tidak mampu hadir untuk melakukan penafian, maka penyaksian dianggap sebagai pengganti hingga dia mampu, sebagaimana ucapan talak dengan lisan dianggap pengganti dari wath’i (hubungan suami istri) bagi suami yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya, hingga dia mampu melakukannya.

فصل: وإن ادعى أنه لم يعلم بالولادة فإن كان في موضع لا يجوز أن يخفى عليه ذلك من طريق العادة بأن كان معها في دار أو محله صغيرة لم يقبل لأنه يدعي خلاف الظاهر وإن كان في موضع يجوز أن يخفى عليه كالبلد الكبير فالقول قوله مع يمينه لأن ما يدعيه ظاهر وإن قال علمت بالولادة إلا أني لم أعلم أن لي النفي فإن كان ممن يخالط أهل العلم لم يقبل قوله لأنه يدعي خلاف الظاهر وإن كان قريب عهد بالإسلام أو نشأ في موضع بعيد من أهل العلم قبل قوله لأن الظاهر أنه صادق فيما يدعيه وإن كان في بلد فيه أهل العلم إلا أنه من العامة ففيه وجهان: أحدهما: لا يقبل كما لا يقبل قوله إذا ادعى الجهل برد المبيع بالعيب والثاني: يقبل لأن هذا لا يعرفه إلا الخواص من الناس بخلاف رد المبيع بالعيب فإن ذلك يعرفه الخاص والعام.

PASAL: Jika seseorang mengaku bahwa ia tidak mengetahui kelahiran anak tersebut, maka jika ia berada di tempat yang secara kebiasaan tidak mungkin luput darinya pengetahuan tentang hal itu —seperti ia tinggal bersama istrinya di rumah atau di tempat yang sempit— maka pengakuannya tidak diterima, karena ia mengaku sesuatu yang bertentangan dengan yang tampak.

Namun jika ia berada di tempat yang memungkinkan ia tidak mengetahuinya, seperti kota besar, maka pengakuannya diterima dengan sumpahnya, karena apa yang ia dakwakan sesuai dengan kemungkinan yang tampak.

Jika ia berkata, “Aku tahu kelahiran itu, tapi aku tidak tahu bahwa aku memiliki hak untuk menafikan,” maka jika ia termasuk orang yang biasa bergaul dengan kalangan ahli ilmu, maka pengakuannya tidak diterima, karena ia mengaku sesuatu yang bertentangan dengan yang umum diketahui.

Namun jika ia baru masuk Islam atau tumbuh di tempat yang jauh dari kalangan ahli ilmu, maka pengakuannya diterima, karena secara lahiriyah ia benar dalam pengakuannya.

Jika ia tinggal di negeri yang ada kalangan ahli ilmunya, namun ia termasuk orang awam, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, pengakuannya tidak diterima, sebagaimana tidak diterimanya pengakuan orang yang mengaku tidak tahu boleh mengembalikan barang karena cacat.

Kedua, pengakuannya diterima, karena hukum ini hanya diketahui oleh kalangan khusus, berbeda dengan pengembalian barang cacat yang diketahui oleh kalangan khusus maupun umum.

فصل: وإن هنأه رجل بالولد فقال بارك الله لك في مولودك وجعله الله لك خلفا مباركا وأمن على دعائه أو قال استجاب الله دعاءك سقط حقه من النفي لأن ذلك يتضمن الإقرار به وإن قال أسن الله براءك أو بارك الله عليك أو رزقك الله مثله لم يسقط حقه من النفي لأنه يحتمل أنه قال له ذلك ليقابل التحية بالتحية.

PASAL: Jika seseorang memberi ucapan selamat atas kelahiran anak kepadanya dengan berkata, “Semoga Allah memberkahimu atas kelahiran anakmu dan menjadikannya sebagai pengganti yang diberkahi,” lalu ia mengaminkan doanya atau berkata, “Semoga Allah mengabulkan doamu,” maka gugurlah haknya untuk menafikan anak tersebut, karena hal itu mengandung pengakuan terhadap nasab anak itu.

Namun jika ia berkata, “Semoga Allah memperkuat punggungmu,” atau “Semoga Allah memberkahimu,” atau “Semoga Allah menganugerahkan yang serupa kepadamu,” maka hak penafian tidak gugur, karena bisa jadi ia mengucapkan itu sekadar membalas ucapan selamat.

فصل: وإن كان الولد حملاً فقد أخرت النفي حتى ينفصل ثم ألاعن على يقين فالقول قوله مع يمينه لأنه تأخير لعذر يحتمله الحال وإن قال أخرت لأني قلت لعله يموت فلا أحتاج إلى اللعان سقط حقه من النفي لأنه ترك النفي من غير عذر.

PASAL: Jika anak tersebut masih berupa ḥaml, lalu ia menunda penafian hingga anak itu lahir kemudian melakukan li‘ān dengan keyakinan, maka pernyataannya diterima dengan sumpahnya, karena penundaan itu disebabkan uzur yang dapat dibenarkan oleh keadaan.

Namun jika ia berkata, “Aku menunda karena mengira mungkin anak itu akan mati sehingga aku tidak perlu melakukan li‘ān,” maka gugurlah haknya untuk menafikan, karena ia telah meninggalkan penafian tanpa uzur.

فصل: إذا أتت امرأته بولدين توأمين وانتفى عن أحدهما: وأقر بالآخر أوترك نفيه من غير عذر لحقه الولدان لأنهما حمل واحد فلا يجوز أن يلحقه أحدهما: دون الآخر وجعلنا ما انتفى منه تابعاً لما أقر به ولم نجعل ما أقر به تابعاً لما انتفى منه لأن النسب يحتاط لإثباته ولا يحتاط لنفيه ولهذا إذا أتت بولد يمكن أن يكون منه ويمكن أن لا يكون منه ألحقناه به احتياطاً لإثباته ولم ننفه احتياطا لنفيه وإن أتت بولد فنفاه باللعان ثم أتت بولد آخر لأقل من ستة أشهر من ولادة الأول لم ينتف الثاني من غير اللعان لأن اللعان يتناول الأول فإن نفاه باللعان انتفى وإن أقر به أوترك نفيه من غير عذر لحقه الولدان لأنهما حمل واحد وجعلنا لما نفاه تابعا لما لحقه ولم نجعل مل لحقه تابعاً لما نفاه لما ذكرناه في التوأمين وإن أتت بالولد الثاني لستة أشهر من ولادة الأول انتفى بغير لعان لأنها علقت به بعد زوال الفراش.

PASAL: Jika seorang istri melahirkan dua anak kembar, lalu suami menafikan salah satunya dan mengakui yang lain, atau tidak menafikan yang satu tanpa adanya uzur, maka keduanya dinisbatkan kepadanya, karena keduanya berasal dari satu ḥaml, sehingga tidak boleh salah satunya dinisbatkan kepadanya sedangkan yang lain tidak. Maka anak yang dinafikan dihukumi mengikuti anak yang diakui, dan bukan sebaliknya, karena dalam masalah nasab, kehati-hatian dilakukan dalam penetapan, bukan dalam penafian.

Oleh karena itu, jika seorang istri melahirkan anak yang mungkin berasal dari suaminya dan mungkin juga tidak, maka anak itu tetap dinisbatkan kepadanya sebagai bentuk kehati-hatian dalam penetapan nasab, dan tidak dinafikan sebagai bentuk kehati-hatian dalam penafian.

Jika seorang istri melahirkan seorang anak, lalu suami menafikannya dengan li‘ān, kemudian si istri melahirkan anak lagi dalam rentang waktu kurang dari enam bulan dari kelahiran pertama, maka anak kedua tidak otomatis dinafikan tanpa li‘ān, karena li‘ān itu hanya berlaku untuk anak pertama. Maka jika ia juga menafikan anak kedua dengan li‘ān, maka anak itu pun tidak dinisbatkan kepadanya. Namun jika ia mengakuinya atau tidak menafikannya tanpa uzur, maka kedua anak itu dinisbatkan kepadanya, karena keduanya merupakan satu ḥaml. Maka anak yang dinafikan dihukumi mengikuti anak yang diakui, dan bukan sebaliknya, sebagaimana dalam kasus anak kembar.

Namun jika anak kedua lahir setelah enam bulan dari kelahiran anak pertama, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya tanpa memerlukan li‘ān, karena kehamilan anak kedua terjadi setelah berakhirnya status sebagai suami-istri (zawāl al-firāsy).

فصل: وإن لاعنها على حمل فولدت ولدين بينهما دون ستة أشهر لم يلحقه واحد منهما لأنهما كانا موجودين عند اللعان فانتفيا به وإن كان بينهما أكثر من ستة أشهر انتفى الأول باللعان وانتفى الثاني بغير لعان لأنا تيقنا بوضع الأول براء رحمها منه وأنها علقت بالثاني بعد زوال الفراش.

PASAL: Jika seorang suami melakukan li‘ān terhadap istrinya saat ia sedang hamil, lalu sang istri melahirkan dua anak yang jarak kelahiran antara keduanya kurang dari enam bulan, maka tidak ada satu pun dari keduanya yang dinisbatkan kepadanya, karena keduanya telah ada saat li‘ān, maka keduanya dinafikan dengan li‘ān tersebut.

Namun jika jarak kelahiran antara keduanya lebih dari enam bulan, maka anak pertama dinafikan dengan li‘ān, dan anak kedua dinafikan tanpa li‘ān, karena kita yakin bahwa anak pertama adalah hasil dari kandungan yang dinafikan, dan anak kedua adalah hasil pembuahan setelah berakhirnya status suami-istri (zawāl al-firāsy).

فصل: وإن قذف امرأته بزنا أضافه إلى ما قابل النكاح فإن لم يكن نسب لم يلاعن لإسقاط الحد لأنه قذف غير محتاج إليه فلم نجز الحقيقة باللعان كقذف الأجنبية وإن كان هناك نسب يلحقه ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يلاعن لأنه قذف غير محتاج إليه لأنه كان يمكنه أن يطلق ولا يضيفه إلى ما قبل العقد والثاني: وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أن له أن يلاعن لأنه نسب يلحقه من غير رضاه لا ينتفي بغير لعان فجاز له نفيه باللعان.

PASAL: Jika seseorang menuduh istrinya berzina dengan menisbahkan perzinaan itu pada masa setelah akad nikah, maka jika tidak ada nasab (anak) yang akan dinisbatkan kepadanya, maka ia tidak boleh melakukan li‘ān, karena tuduhan tersebut tidak perlu dan tidak mendesak, sehingga tidak dibenarkan melakukan li‘ān, sebagaimana halnya menuduh perempuan asing (bukan istri).

Namun jika ada nasab yang dapat dinisbatkan kepadanya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama —dan ini pendapat Abu Ishaq— bahwa ia tidak boleh melakukan li‘ān, karena tuduhannya tidak mendesak dan bisa dihindari, sebab ia bisa saja menceraikannya dan tidak menisbahkan tuduhannya pada masa setelah akad.

Kedua —dan ini pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah— bahwa ia boleh melakukan li‘ān, karena ini adalah nasab yang bisa melekat padanya tanpa kerelaannya, dan tidak bisa dinafikan kecuali dengan li‘ān, maka diperbolehkan baginya untuk menafikan dengan li‘ān.

فصل: وإن أبانها ثم قذفها بزنا أضافه إلى حال النكاح فإن لم يكن نسب لم يلاعن لدرء الحد لأنه قذف غير محتاج إليه وإن كان هناك نسب فإن كان ولداً منفصلاً فله أن يلاعن لنفيه لأنه يحتاج إلى نفيه باللعان وإن كان حملاً فقد روى المزني في المختصر أن له أن ينفيه وروى في الجامع أنه لا يلاعن حتى ينفصل الحمل واختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق لا يلاعن قولا واحدا وما رواه المزني في المختصر أراد إذا انفصل وقد بين في الأم فإنه قال لا يلاعن حتى ينفصل ووجهه أن الحمل غير متحقق لجواز أن يكون ريحا فينفش ويخالف إذا قذفها في حال الزوجية لأن هناك يلاعن لدرء الحد فتبعه نفي الحمل وههنا ينفرد الحمل باللعان فلم يجز قبل أن يتحقق

PASAL: Jika ia menceraikan istrinya dengan talak bain kemudian menuduhnya berzina dan menisbatkan zina itu pada masa pernikahan, maka jika tidak ada nasab, ia tidak melakukan li‘ān untuk menolak had, karena itu adalah tuduhan yang tidak dibutuhkan. Namun jika ada nasab, maka jika anak tersebut sudah lahir terpisah (dari kandungan), maka ia boleh melakukan li‘ān untuk menafikannya karena ia butuh menafikannya dengan li‘ān. Dan jika masih berupa janin, maka al-Muzani meriwayatkan dalam al-Mukhtaṣar bahwa ia boleh menafikannya, dan meriwayatkan dalam al-Jāmi‘ bahwa ia tidak boleh melakukan li‘ān hingga janin itu lahir. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Ishaq berkata: tidak boleh melakukan li‘ān menurut satu pendapat. Adapun riwayat al-Muzani dalam al-Mukhtaṣar maksudnya adalah jika anak itu sudah lahir, dan ia telah menjelaskannya dalam al-Umm, yaitu: tidak boleh melakukan li‘ān hingga janin itu lahir. Alasannya adalah bahwa janin itu belum pasti, karena bisa jadi itu hanya angin yang membesar, berbeda dengan jika ia menuduhnya saat masih dalam status suami istri, karena di sana ia melakukan li‘ān untuk menolak had, maka otomatis ikut tertolaklah kehamilan. Adapun dalam kasus ini, li‘ān hanya ditujukan untuk janin semata, maka tidak diperbolehkan sebelum kepastiannya.

ومن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما: لا يلاعن حتى ينفصل لما ذكرناه والثاني: يلاعن وهو الصحيح لأن الحمل موجود في الظاهر ومحكوم بوجوده ولهذا أمر بأخذ الحامل في الديات ومنع من أخذها في الزكاة ومنعت الحامل إذا طلقت أن تتزوج حتى تضع وهذه الطريقة هي الصحيحة لأن الشافعي رحمه الله نص في مثلها على قولين وهي في نفقة المطلقة الحامل فقال فيها قولان: أحدهما: تجب لها النفقة يوما بيوم والثاني: لا تجب حتى تنفصل.

Dan sebagian sahabat kami berkata bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat. Pertama: tidak boleh melakukan li‘ān hingga janin itu lahir, sebagaimana telah disebutkan. Kedua: boleh melakukan li‘ān, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena janin itu tampak secara lahiriah dan dihukumi ada. Oleh karena itu, perempuan hamil diperintahkan untuk diambil dalam perkara diyat, tetapi tidak diambil dalam zakat; dan perempuan hamil yang ditalak dilarang menikah hingga melahirkan. Pendapat inilah yang benar, karena asy-Syāfi‘ī rahimahullah telah menetapkan dua pendapat dalam kasus yang serupa, yaitu dalam nafkah bagi perempuan hamil yang ditalak. Ia berkata dalam hal itu ada dua pendapat: salah satunya: wajib diberi nafkah hari demi hari; dan yang kedua: tidak wajib hingga ia melahirkan.

فصل: وإن قذف امرأته وانتفى عن حملها وأقام على الزنا بينة سقط عنه الحد بالبينة وهل له أن يلاعن لنفي الحمل قبل أن ينفصل على ما ذكرناه من الطريقين في الفصل قبله.

PASAL: Jika seseorang menuduh istrinya berzina dan menafikan kehamilannya, lalu ia mendatangkan bukti persaksian atas tuduhan zinanya, maka gugurlah had darinya karena adanya bukti. Adapun apakah ia boleh melakukan li‘ān untuk menafikan kehamilan sebelum janin itu lahir, maka hukumnya sebagaimana dua pendapat yang telah disebutkan dalam pasal sebelumnya.

فصل: وإن قذف امرأته في نكاح فاسد فإن لم يكن نسب لم يلاعن لدرء الحد لأنه قذف غير محتاج إليه وإن كان هناك نسب فإن كان ولداً منفصلاً فله أن يلاعن لنفيه لأنه ولد يلحقه بغير رضاه لا ينتفي عنه بغير اللعان فجاز نفيه باللعان كالولد في النكاح الصحيح وإن كان حملاً فعلى ما ذكرناه من الطريقين.

PASAL: Jika seseorang menuduh istrinya berzina dalam pernikahan yang fasid, maka jika tidak ada nasab, ia tidak melakukan li‘ān untuk menolak had karena itu merupakan tuduhan yang tidak dibutuhkan. Namun jika ada nasab, dan anaknya telah lahir, maka ia boleh melakukan li‘ān untuk menafikannya, karena itu adalah anak yang dapat dinisbatkan kepadanya tanpa kerelaannya dan tidak bisa dinafikan kecuali dengan li‘ān, maka boleh dinafikan dengan li‘ān sebagaimana anak dalam pernikahan yang sah. Dan jika masih berupa janin, maka hukumnya mengikuti dua pendapat yang telah disebutkan.

فصل: وإن ملك أمة لم تصر فراشاً بنفس الملك لأنه قد يقصد بملكها الوطء وقد يقصد به التمول والخدمة والتجمل لم تصر فراشاً فإن وطئها صارت فراشاً له فإن أتت بولد لمدة الحمل من يوم الوطء لحقه لأن سعداً نازع عبد بن زمعة في ابن وليدة زمعة فقال عبد هو أخي وابن وليدة أبي ولد على فراشه فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “هولك الولد للفراش وللعاهر الحجر”. وروى ابن عمر رضي الله عنه أن عمر رضي الله عنه قال: ما بال رجال يطأون ولائدهم ثم يعزلونهم! لا تأتيني وليدة يعترف سيدها أنه ألم بها إلا ألحقت به ولدها فاعزلوا بعد ذلك أو اتركوا

PASAL: Jika seseorang memiliki seorang amah, maka ia tidak menjadi firāsy hanya dengan kepemilikan, karena kepemilikan bisa jadi dimaksudkan untuk hubungan seksual, bisa juga untuk kepemilikan harta, pelayanan, atau perhiasan, maka ia tidak menjadi firāsy. Jika ia menyetubuhinya, maka ia menjadi firāsy baginya. Jika kemudian ia melahirkan anak dalam rentang waktu kehamilan sejak hari persetubuhan, maka anak itu dinasabkan kepadanya. Karena Sa‘d pernah berselisih dengan ‘Abd bin Zam‘ah mengenai anak dari budak perempuan Zam‘ah. ‘Abd berkata, “Dia adalah saudaraku dan anak dari budak perempuan ayahku. Ia dilahirkan di atas ranjang ayahku.” Maka Nabi SAW bersabda, “Anak itu bagi yang memiliki firāsy dan bagi pezina adalah batu.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar RA bahwa ‘Umar RA berkata: “Kenapa ada lelaki yang menyetubuhi budak wanita mereka lalu melakukan ‘azl terhadap mereka? Jangan sampai ada budak wanita datang kepadaku, sedangkan tuannya mengakui bahwa ia menyetubuhinya, kecuali aku akan menetapkan anaknya sebagai anak tuannya. Maka lakukanlah ‘azl setelah itu atau tinggalkan.”

وإن قذفها وانتفى عن ولدها فقد قال أحمد: أما تعجبون من أبي عبد الله يقول بنفي ولد الأمة باللعان فجعل أبو العباس هذا قولاً ووجهه أنه كالنكاح في لحوق النسب فكان كالنكاح في النفي باللعان ومن أصحابنا من قال لا يلاعن لنفيه قولاً واحدا لأنه يمكنه نفيه بغير اللعان وهو أن يدعي الاستبراء ويحلف عليه فلم يجز نفيه باللعان بخلاف النكاح فإنه لا يمكنه نفي الولد فيه بغير لعان ولعل أحمد أراد بأبي عبد الله غير الشافعي رحمة الله عليهما.

Dan jika ia menuduh budak perempuannya berzina dan menafikan anaknya, maka Ahmad berkata: “Apakah kalian tidak heran terhadap Abu ‘Abdillah yang berpendapat tentang penafian anak budak perempuan dengan li‘ān?” Maka Abu al-‘Abbās menjadikannya sebagai satu pendapat, dan alasannya adalah karena ia seperti pernikahan dalam hal pelaziman nasab, maka ia pun seperti pernikahan dalam hal penafian dengan li‘ān.

Dan sebagian dari kalangan kami berkata: “Tidak boleh melakukan li‘ān untuk menafikan anaknya sama sekali, karena ia bisa menafikannya tanpa li‘ān, yaitu dengan mengaku telah melakukan istibrā’ (pengosongan rahim) dan bersumpah atas hal itu, maka tidak boleh menafikan dengan li‘ān, berbeda dengan pernikahan karena dalam pernikahan tidak mungkin menafikan anak kecuali dengan li‘ān.”

Dan boleh jadi Ahmad yang dimaksud dengan Abu ‘Abdillah bukanlah al-Syāfi‘ī – rahimahumā Allāh.

فصل: إذا قذف امرأته بزناءين وأراد اللعان كفاه لهما لعان واحد لأنه في أحد القولين يجب حد واحد فكفاه في إسقاطه لعان واحد وفي القول الثاني يجب حدان إلا أنهما حقان لواحد فاكتفى فيهما بلعان واحد كما يكتفي في حقين لواحد بيمين واحد وإن قذف أربع نسوة أفرد كل واحد منهن بلعان لأنها أيمان فلم تتداخل فيها حقوق الجماعة كالأيمان في المال وإن قذفهن بكلمات بدأ بلعان من بدأ بقذفها لأن حقها أسبق وإن قذفهن بكلمة واحدة وتشاححن في البداية أقرع بينهن فمن خرجت لها القرعة بدأ بلعانها وإن بدأ بلعان إحداهن من غير قرعة جاز لأن الباقيات يصلن إلى حقوقهن من اللعان من غير نقصان.

PASAL: Jika seseorang menuduh istrinya berzina dengan dua kali perzinaan dan ingin melakukan li‘ān, maka satu kali li‘ān cukup untuk keduanya, karena menurut salah satu pendapat, hanya wajib satu had, maka satu li‘ān cukup untuk menggugurkannya. Menurut pendapat kedua, wajib dua had, tetapi keduanya adalah hak untuk satu orang, maka cukup satu li‘ān untuk keduanya, sebagaimana cukup satu sumpah untuk dua hak milik satu orang.

Jika ia menuduh empat perempuan, maka masing-masing harus dilakukan li‘ān secara tersendiri, karena li‘ān adalah sumpah, dan hak-hak dalam sumpah tidak bisa digabung dalam kasus yang melibatkan banyak orang, sebagaimana dalam sumpah-sumpah terkait harta.

Jika ia menuduh mereka dengan beberapa kalimat, maka ia memulai li‘ān terhadap perempuan yang ia mulai menuduhnya terlebih dahulu, karena haknya lebih dahulu.

Jika ia menuduh mereka dengan satu kalimat dan mereka berselisih tentang siapa yang didahulukan, maka diundi di antara mereka, dan siapa yang keluar namanya dalam undian, ia didahulukan dalam li‘ān.

Jika ia memulai li‘ān terhadap salah satu dari mereka tanpa undian, itu sah, karena yang lainnya tetap mendapatkan hak li‘ān mereka tanpa pengurangan.

باب من يصح لعانه وكيف اللعان وما يوجبه من الأحكام
يصح اللعان من كل زوج بالغ عاقل مختار مسلماً كان أو كافراً حراً كان أو عبداً لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِالله إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ} ولأن اللعان لدرء العقوبة الواجبة بالقذف ونفي النسب والكافر كالمسلم والعبد كالحر في ذلك فأما الصبي والمجنون فلا يصح لعانهما لأنه قول يوجب الفرقة فلم يصح من الصبي والمجنون كالطلاق وأما الأخرس فإنه إن لم يكن له إشارة معقولة ولا كتابة مفهومة لم يصح لعانه لأنه في معنى المجنون

Bab Siapa yang Sah Melakukan Li‘ān, Bagaimana Cara Li‘ān, dan Apa yang Ditimbulkan dari Hukum Li‘ān

Li‘ān sah dilakukan oleh setiap suami yang baligh, berakal, dan atas pilihannya sendiri, baik dia seorang Muslim maupun kafir, merdeka maupun hamba sahaya. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِالله إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ}

Dan karena li‘ān ditetapkan untuk menolak hukuman had yang wajib karena qadzf serta untuk menafikan nasab. Maka orang kafir dalam hal ini dipersamakan dengan Muslim, dan hamba sahaya dipersamakan dengan orang merdeka.

Adapun anak kecil dan orang gila, maka tidak sah li‘ān dari keduanya, karena li‘ān adalah ucapan yang menyebabkan perpisahan (antara suami dan istri), maka tidak sah dari anak kecil dan orang gila sebagaimana ṭalāq.

Adapun orang bisu, jika ia tidak memiliki isyarat yang dapat dipahami dan tidak bisa menulis dengan pengertian yang jelas, maka tidak sah li‘ān-nya, karena ia seperti orang gila.

وإن كانت له إشارة معقولة أو كتابة مفهومة صح لعانه لأنه كالناطق في نكاحه وطلاقه فكان كالناطق في لعانه وأما من اعتقل لسانه فإنه إن كان مأيوساً منه صح لعانه بالإشارة كالأخرس وإن لم يكن مأيوساً منه ففيه وجهان: أحدهما: لا يصح لعانه لأنه غير مأيوس من نطقه فلم يصح لعانه بالإشارة كالساكت والثاني: يصح لأن أمامة بنت أبي العاص رضي الله عنها أصمتت فقيل لها: ألفلان كذا ولفلان كذا فأشارت أي نعم فرفع ذلك فرؤيت أنها وصية ولأنه عاجز عن النطق يصح لعانه بالإشارة كالأخرس.

Jika orang bisu tersebut memiliki isyarat yang dapat dipahami atau tulisan yang dimengerti, maka li‘ān-nya sah, karena ia seperti orang yang bisa berbicara dalam hal akad nikah dan ṭalāq, maka ia juga seperti orang berbicara dalam li‘ān.

Adapun orang yang lidahnya tertahan (tidak bisa bicara sementara waktu), maka jika tidak ada harapan untuk sembuh, maka sah li‘ān-nya dengan isyarat seperti orang bisu.

Namun jika masih ada harapan untuk sembuh, maka terdapat dua pendapat:

  • Pendapat pertama: li‘ān-nya tidak sah dengan isyarat, karena masih ada harapan untuk bisa berbicara, maka tidak sah li‘ān-nya dengan isyarat seperti orang yang diam.
  • Pendapat kedua: li‘ān-nya sah, karena Ummāmah binti Abī al-‘Āṣ RA pernah kehilangan kemampuan berbicara, lalu ditanyakan kepadanya: “Apakah kamu memberikan ini kepada si fulan dan ini kepada si fulan?” Lalu ia memberi isyarat dengan mengangguk. Maka hal itu dilaporkan dan dianggap sebagai wasiat yang sah. Demikian pula, karena ia tidak mampu berbicara, maka sah li‘ān-nya dengan isyarat sebagaimana orang bisu.

فصل: وإن كان أعجمياً فإن كان يحسن بالعربية ففيه وجهان: أحدهما: يصح لعانه بلسانه لأنه يمين فصح بالعجمية مع القدرة على العربية كسائر الأيمان والثاني: لا يصح لأن الشرع ورد فيه بالعربية فلم يصح بغيرها مع القدرة كأذكار الصلاة فإن لم يحسن بالعربية لاعن بلسانه لأنه ليس بأكثر من أذكار الصلاة وأذكار الصلاة تجوز بلسانه إذا لم يحسن بالعربية فكذلك اللعان وإن كان الحاكم لا يعرف لسانه أحضر من يترجم عنه وفي عدده وجهان بناء على القولين في الشهادة على الإقرار بالزنا أحدهما: يحتاج إلى أربعة، والثاني: يكفيه اثنان.

PASAL: Jika pelakunya adalah orang a‘jamī (tidak fasih berbahasa Arab), maka jika ia mampu berbahasa Arab, terdapat dua pendapat:

  • Pendapat pertama: Li‘ān-nya sah dengan bahasanya sendiri, karena itu adalah sumpah, dan sumpah sah dilakukan dengan bahasa selain Arab selama mampu berbahasa Arab, sebagaimana sumpah-sumpah lainnya.
  • Pendapat kedua: Li‘ān-nya tidak sah, karena syariat menetapkannya dengan bahasa Arab, maka tidak sah dengan bahasa lain selama mampu berbahasa Arab, sebagaimana adzkār dalam salat.

Jika ia tidak mampu berbahasa Arab, maka ia boleh melakukan li‘ān dengan bahasanya sendiri, karena li‘ān tidak lebih dari adzkār salat, sedangkan adzkār salat boleh dilakukan dengan bahasanya jika tidak mampu berbahasa Arab, maka demikian pula li‘ān.

Jika hakim tidak memahami bahasanya, maka dihadirkan penerjemah untuk menerangkan maksudnya. Dalam jumlah penerjemah ini terdapat dua pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam kesaksian terhadap pengakuan zina:

  • Pendapat pertama: butuh empat orang penerjemah.
  • Pendapat kedua: cukup dua orang.

فصل: ولا يصح اللعان إلا بأمر الحاكم لأنه يمين في دعوى فلم يصح إلا بأمر الحاكم كاليمين في سائر الدعاوي فإن كان الزوجان مملوكين جاز للسيد أن يلاعن بينهما لأنه يجوز أن يقيم عليهما الحد فجاز أن يلاعن بينهما كالحاكم.

PASAL: Tidak sah li‘ān kecuali dengan perintah hakim, karena ia merupakan sumpah dalam suatu dakwaan, maka tidak sah kecuali dengan perintah hakim seperti sumpah dalam berbagai dakwaan lainnya. Jika suami istri adalah budak, maka tuan mereka boleh melakukan li‘ān antara keduanya, karena ia boleh menegakkan had atas keduanya, maka boleh pula melakukan li‘ān antara keduanya seperti halnya hakim.

فصل: واللعان هو أن يقول الزوج أربع مرات أشهد بالله إني لمن الصادقين ثم يقول وعلي لعنة الله إن كنت من الكاذبين وتقول المرأة أربع مرات أشهد بالله إنه لمن الكاذبين ثم تقول وعلي غضب الله إن كان من الصادقين والدليل عليه قوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِالله إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ الله عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِالله إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ الله عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ}

PASAL: Li‘ān adalah suami mengucapkan empat kali: “Aku bersaksi demi Allah, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang benar,” lalu pada kali kelima ia mengucapkan: “Dan laknat Allah atasku jika aku termasuk orang-orang yang dusta.” Kemudian istri mengucapkan empat kali: “Aku bersaksi demi Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang dusta,” lalu pada kali kelima ia mengucapkan: “Dan kemurkaan Allah atas diriku jika dia termasuk orang-orang yang benar.”

Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِالله إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ الله عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِالله إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ الله عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ}.

فإن أخل أحدهما: بأحد هذه الألفاظ الخمسة لم يعتد به لأن الله عز وجل علق الحكم على هذه الألفاظ فدل على أنه لا يتعلق بما دونها ولأنه بينة يتحقق بها الزنا فلم يجز النقصان عن عددها كالشهادة وإن أبدل لفظ الشهادة بلفظ من ألفاظ اليمين بأن قال أحلف أو أقسم أو أولى ففيه وجهان: أحدهما: يجوز لأن اللعان يمين فجاز بألفاظ اليمين

Jika salah satu dari keduanya mengurangi salah satu dari lima lafaz tersebut, maka li‘ān-nya tidak dianggap sah, karena Allah Azza wa Jalla menggantungkan hukum pada lafaz-lafaz tersebut, yang menunjukkan bahwa hukum tidak terkait dengan yang kurang darinya. Selain itu, li‘ān adalah semacam bukti yang menetapkan terjadinya zina, maka tidak boleh dikurangi dari jumlahnya sebagaimana dalam kesaksian.

Jika ia mengganti lafaz asyhadu (aku bersaksi) dengan lafaz dari lafaz-lafaz sumpah seperti uhlifu, uqsimu, atau aulā, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh, karena li‘ān adalah sumpah, maka sah dengan lafaz-lafaz sumpah.

والثاني: أنه لا يجوز لأنه أخل باللفظ المنصوص عليه وإن أبدل لفظ اللعنة بالإبعاد أو لفظ الغضب بالسخط ففيه وجهان: أحدهما: يجوز لأن معنى الجميع واحد والثاني: لا يجوز لأنه ترك المنصوص عليه وإن أبدلت المرأة لفظ الغضب بلفظ اللعنة لم يجز لأن الغضب أغلظ ولهذا خصت المرأة به لأن المعرة بزناها أقبح وإثمها بفعل الزنا أعظم من إثمه بالقذف وإن أبدل الرجل لفظ اللعنة بلفظ الغضب ففيه وجهان: أحدهما: يجوز لأن الغضب أغلظ والثاني: لا يجوز لأنه ترك المنصوص عليه وإن قدم الرجل لفظ اللعنة على لفظ الشهادة أو قدمت المرأة لفظ الغضب على لفظ الشهادة ففيه وجهان: أحدهما: يجوز لأن القصد منه التغليظ وذلك يحصل مع التقديم والثاني: لا يجوز لأنه ترك المنصوص عليه.

Pendapat kedua: tidak boleh, karena ia telah mengurangi lafaz yang telah ditetapkan secara nash.

Jika ia mengganti lafaz la‘nah dengan ib‘ād (penjauhan) atau mengganti lafaz ghaḍab dengan saḫaṭ, maka ada dua pendapat:
Pertama, boleh karena maknanya sama.
Kedua, tidak boleh karena meninggalkan lafaz yang ditetapkan secara nash.

Jika perempuan mengganti lafaz ghaḍab dengan lafaz la‘nah, maka tidak sah, karena ghaḍab lebih berat. Oleh karena itu, perempuan dikhususkan dengannya, karena aib zina pada dirinya lebih buruk, dan dosanya atas perbuatan zina lebih besar dibandingkan dosa suami atas tuduhan.

Jika laki-laki mengganti lafaz la‘nah dengan lafaz ghaḍab, maka ada dua pendapat:
Pertama, boleh karena ghaḍab lebih berat.
Kedua, tidak boleh karena meninggalkan lafaz yang telah ditetapkan secara nash.

Jika laki-laki mendahulukan lafaz la‘nah atas lafaz syahādah, atau perempuan mendahulukan lafaz ghaḍab atas lafaz syahādah, maka ada dua pendapat:
Pertama, boleh karena maksudnya adalah untuk menguatkan sumpah, dan itu tetap tercapai meskipun didahulukan.
Kedua, tidak boleh karena menyelisihi lafaz yang telah ditetapkan secara nash.

فصل: والمستحب أن يكون اللعان بحضرة جماعة لأن ابن عباس وابن عمر وسهل ابن سعد رضي الله عنهم حضروا اللعان بحضرة النبي صلى الله عليه وسلم على حداثة سنهم والصبيان لا يحضرون المجالس إلا تابعين للرجال فدل على أنه قد حضر جماعة من الرجال فتبعهم الصبيان ولأن اللعان بني على التغليظ للردع والزجر وفعله في الجماعة أبلغ في الردع والمستحب أن يكونوا أربعة لأن اللعان سبب للحد ولا يثبت الحد إلا بأربعة فيستحب أن يحضر ذلك العدد ويستحب أن يكون بعد العصر لأن اليمين فيه أغلظ

PASAL: Disunnahkan agar li‘ān dilakukan di hadapan jamaah, karena Ibn ‘Abbās, Ibn ‘Umar, dan Sahl bin Sa‘d RA menghadiri li‘ān di hadapan Nabi SAW padahal usia mereka masih muda, sedangkan anak-anak tidak menghadiri majelis kecuali mengikuti orang dewasa. Maka hal itu menunjukkan bahwa telah hadir sekelompok laki-laki, lalu anak-anak mengikuti mereka. Selain itu, li‘ān disyariatkan dengan maksud penegasan untuk menimbulkan efek jera, dan pelaksanaannya di hadapan jamaah lebih besar dampaknya dalam menimbulkan efek jera. Dianjurkan jumlah mereka empat orang karena li‘ān merupakan sebab dijatuhkannya ḥadd, dan ḥadd tidak ditetapkan kecuali dengan empat saksi, maka dianjurkan agar yang hadir berjumlah demikian. Dianjurkan pula agar dilakukan setelah waktu ‘ashar karena sumpah pada waktu itu lebih berat.

والدليل عليه قوله عز وجل: {تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ فَيُقْسِمَانِ بِالله} قيل هو بعد العصر وروى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولهم عذاب أليم: رجل حلف يميناً على مال مسلم فاقتطعه ورجل حلف يميناً بعد صلاة العصر لقد أعطى بسلعته أكثر مما أعطى وهو كاذب ورجل منع فضل الماء فإن الله عز وجل يقول: اليوم أمنعك فضلي كما منعت فضل ماء لم تعمله يداك”.

Dan dalil atas hal itu adalah firman Allah Azza wa Jalla: {Tahanlah keduanya sesudah salat, lalu keduanya bersumpah dengan (menyebut) nama Allah}, dikatakan bahwa maksudnya adalah setelah salat ‘Ashar. Dan Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan dipandang, dan bagi mereka azab yang pedih: orang yang bersumpah dusta atas harta seorang muslim lalu merampasnya, orang yang bersumpah setelah salat ‘Ashar bahwa ia telah diberi harga lebih tinggi atas barang dagangannya padahal ia dusta, dan orang yang menahan kelebihan air—maka Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Hari ini Aku akan menahan keutamaan-Ku darimu sebagaimana engkau menahan kelebihan air yang tidak engkau ciptakan dengan tanganmu’.”

ويستحب أن يتلاعنا من قيام لما روى ابن عباس رضي الله عنه في حديث هلال بن أمية فأرسل إليهما فجاآ فقام هلال فشهد ثم قامت فشهدت ولأن فعله من قيام أبلغ في الردع واختلف قوله في التغليظ بالمكان فقال في أحد القولين إنه يجب لأنه تغليظ ورد به الشرع فأشبه التغليظ بتكرار اللفظ وقال في الآخر يستحب كالتغليظ في الجماعة والزمان والتغليظ بالمكان أن يلاعن بينهما في أشرف موضع من البلد الذي فيه اللعان فإن كان بمكة لاعن بين الركن والمقام لأن اليمين فيه أغلظ

Disunnahkan agar keduanya saling melaknat dalam keadaan berdiri, karena Ibnu ‘Abbās RA meriwayatkan dalam hadis Hilāl bin Umayyah: maka Rasulullah SAW mengirim kepada keduanya, lalu keduanya datang, maka Hilāl berdiri lalu bersaksi, kemudian istrinya berdiri lalu bersaksi. Dan karena pelaksanaan li‘ān dalam keadaan berdiri lebih kuat dalam memberikan efek jera.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum memperberat dengan tempat (taghlīẓ bi al-makān). Dalam salah satu pendapatnya, Imam al-Syāfi‘ī mengatakan hukumnya wajib karena termasuk bentuk penegasan yang ditetapkan syariat, sehingga menyerupai penegasan dengan pengulangan lafaz. Dalam pendapat lain, beliau mengatakan hukumnya sunah, sebagaimana penegasan dengan jamaah dan waktu.

Penegasan dengan tempat adalah dengan melakukan li‘ān di tempat paling mulia dari kota tempat li‘ān dilakukan. Jika di Makkah, maka li‘ān dilakukan antara rukn dan maqām, karena sumpah di tempat itu lebih berat.

والدليل عليه ما روي أن عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه رأى قوماً يحلفون بين الركن والمقام فقال: أعلى دم؟ قالوا: لا قال أفعلى عظيم من المال؟ فقالوا: لا فقال: لقد خشيت أن يبهأ الناس بهذا المقام وإن كان في المدينة لاعن في المسجد لأنه أشرف البقاع بها وهل يكون على المنبر أو عند المنبر اختلفت الرواية فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم فروى أبو هريرة رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “من حلف عند منبري على يمين آثمة ولو على سواك من رطب وجبت له النار”.

Dan dalil atas hal itu adalah riwayat bahwa ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf RA melihat sekelompok orang bersumpah antara rukn dan maqām, lalu beliau berkata: “Apakah (sumpah ini) atas pertumpahan darah?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau berkata: “Apakah atas harta yang agung nilainya?” Mereka menjawab: “Tidak.” Maka beliau berkata: “Sungguh aku khawatir manusia akan meremehkan kedudukan tempat ini.”

Jika li‘ān dilakukan di Madinah, maka dilakukan di masjid karena itu tempat paling mulia di sana. Adapun apakah dilakukan di atas mimbar atau di dekat mimbar, maka terdapat perbedaan riwayat dari Nabi SAW.

Abu Hurairah RA meriwayatkan, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa bersumpah dusta di sisi mimbarku—meskipun hanya atas sebatang suwāk basah—maka wajib baginya masuk neraka.”

وروى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من حلف على منبري هذا بيمين آثمة تبوأ مقعده من النار”. فقال أبو إسحاق: إن كان الخلق كثيراً لاعن على المنبر ليسمع الناس وإن كان الخلق قليلاً لاعن عند المنبر مما يلي قبر النبي صلى الله عليه وسلم وقال أبوعلي ابن أبي هريرة: لا يلاعن على المنبر لأن ذلك علو وشرف والملاعن ليس في موضع العلو والشرف وحمل قوله على منبري أي عند منبري لأن حروف الصفات يقوم بعضها مقام بعض وإن كان بيت المقدس لاعن عند الصخرة لأنها أشرف البقاع به وإن كان في غيرها من البلاد لاعن في الجامع وإن كانت المرأة حائضاً لاعنت على باب المسجد لأنه أقرب إلى الموضع الشريف وإن كان يهوديا لاعن في الكنيسة وإن كان نصرانيا لاعن في البيعة وإن كان مجوسياً لاعن في بيت النار لأن هذه المواضع عندهم كالمساجد عندنا.

Diriwayatkan dari Jabir RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa bersumpah dusta di atas mimbarku ini, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” Maka berkata Abu Ishaq: Jika orang yang hadir banyak, maka la‘an dilakukan di atas mimbar agar didengar oleh orang-orang. Namun jika yang hadir sedikit, maka la‘an dilakukan di dekat mimbar, di sisi yang menghadap ke kubur Nabi SAW. Dan berkata Abu ‘Ali Ibn Abi Hurairah: Tidak dilakukan la‘an di atas mimbar karena itu adalah tempat tinggi dan mulia, sedangkan orang yang melakukan li‘ān tidak berada pada tempat tinggi dan mulia. Ia menafsirkan sabda Nabi “di atas mimbarku” sebagai “di dekat mimbarku”, karena huruf-huruf yang menunjukkan tempat kadang saling menggantikan. Jika dilakukan di Baitul Maqdis maka la‘an dilakukan di dekat ṣakhrah karena itu tempat paling mulia di sana. Jika di negeri selainnya, maka la‘an dilakukan di masjid jami‘. Jika perempuan itu sedang haid, maka la‘an dilakukan di depan pintu masjid karena itu tempat terdekat dengan tempat yang mulia. Jika laki-laki itu seorang Yahudi, maka la‘an dilakukan di sinagoga; jika Nasrani, maka di gereja; jika Majusi, maka di rumah api, karena tempat-tempat itu menurut mereka seperti masjid menurut kita.

فصل: وإذا أراد اللعان فالمستحب للحاكم أن يعظهما لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم ذكرهما وأخبرهما أن عذاب الآخرة أشد من عذاب الدنيا فقال هلال: والله لقد صدقت عليها فقالت كذب فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لاعنوا بينهما”. وإن كانت المرأة غير برزة بعث إليها الحاكم من يستوفي عليها اللعان ويستحب أن يبعث معه أربعة.

PASAL: Apabila keduanya hendak melakukan li‘ān, maka yang disunnahkan bagi hakim adalah menasihati keduanya, sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas RA bahwa Nabi SAW menasihati keduanya dan memberitahu bahwa azab akhirat lebih berat daripada azab dunia. Maka Hilāl berkata, “Demi Allah, sungguh aku berkata benar tentangnya.” Lalu perempuan itu berkata, “Dia berdusta.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Lakukan li‘ān di antara keduanya.” Dan jika perempuan itu bukan perempuan yang biasa keluar rumah (ghair barizah), maka hakim mengutus seseorang untuk menyempurnakan li‘ān atasnya, dan disunnahkan untuk mengutus bersama utusan itu empat orang.

فصل: ويبدأ بالزوج ويأمره أن يشهد لأن الله تعالى بدأ به وبدأ به رسول الله صلى الله عليه وسلم في لعان هلال بن أمية ولأن لعانه بينة لإثبات الحق ولعان المرأة بينة الإنكار فقدمت بينة الإثبات فإن بدأ بلعان المرأة لم يعتد بها لأن لعانها إسقاط الحد والحد لا يجب بلعان الزوج فلم يصح لعانها قبله والمستحب إذا بلغ الزوج إلى كلمة اللعنة والمرأة إلى كلمة الغضب أن يعظهما لما روى ابن عباس رضي الله عنه قال لما كان في الخامسة قيل يا هلال اتق الله فإن عذاب الدنيا أهون من عذاب الآخرة

PASAL: Dimulai dari suami, dan hakim memerintahkannya untuk bersaksi, karena Allah Ta‘ala memulainya dan Rasulullah SAW pun memulainya dalam kasus li‘ān Hiwāl bin Umayyah. Juga karena li‘ān suami merupakan bentuk pembuktian untuk menetapkan hak, sedangkan li‘ān istri adalah bentuk penolakan, maka didahulukanlah bukti penetapan. Jika dimulai dengan li‘ān istri, maka tidak dianggap, karena li‘ānnya itu untuk menggugurkan ḥadd, sedangkan ḥadd tidak wajib hanya dengan li‘ān suami, maka tidak sah li‘ān istri sebelumnya. Dianjurkan, ketika suami sampai pada ucapan “laknat” dan istri pada ucapan “murka”, agar keduanya diberi nasihat, karena diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA, ia berkata: Ketika sampai pada sumpah kelima, dikatakan kepada Hilāl: “Bertakwalah kepada Allah, karena azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat.”

وإن هذه الموجبة التي توجب عليك العذاب فقال: والله لا يعذبني الله عليها كما لم يجلدني عليها فشهد الخامسة فلما كانت الخامسة قيل لها اتقي الله فإن عذاب الدنيا أهون من عذاب الآخرة وإن هذه الموجبة التي توجب عليك العذاب فتلكأت ساعة ثم قالت والله لا أفضح قومي فشهدت الخامسة أن غضب الله عليها إن كان من الصادقين ويستحب أن يأمر من يضع يده على فيه في الخامسة لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر رجلاً أن يضع يده على فيه عند الخامسة يقول إنها موجبة.

Dan sesungguhnya sumpah kelima inilah yang mewajibkan atasmu azab. Maka Hilāl berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mengazabku karena sumpah ini, sebagaimana Dia tidak mencambukku karenanya.” Lalu ia pun bersumpah kelima. Ketika giliran istri pada sumpah kelima, dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah, karena azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya sumpah kelima ini adalah yang mewajibkan atasmu azab.” Maka ia pun terdiam sejenak, lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan membuat aib kaumku,” lalu bersumpah kelima bahwa murka Allah atas dirinya jika suaminya termasuk orang yang benar. Dan dianjurkan agar diperintah seseorang meletakkan tangannya pada mulutnya ketika sumpah kelima, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW memerintahkan seseorang untuk meletakkan tangannya pada mulutnya ketika sumpah kelima sambil berkata, “Sesungguhnya ia adalah sumpah yang mewajibkan.”

فصل: وإن لاعن وهي غائبة لحيض أو موت قال أشهد بالله إني لمن الصادقين فيما رميت به زوجتي فلانة ويرفع في نسبها حتى تتميز وإن كانت حاضرة ففيه وجهان: أحدهما: يجمع بين الإشارة والاسم لأن مبنى اللعان على التأكيد ولهذا تكرر فيه لفظ الشهادة وإن حصل المقصود بمرة والثاني: أنه تكفيه الإشارة لأنها تتميز بالإشارة كما تتميز في النكاح والطلاق.

PASAL: Jika suami melakukan li‘ān sementara istrinya tidak hadir karena haid atau telah wafat, maka ia mengucapkan: “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku benar-benar termasuk orang-orang yang jujur dalam tuduhanku terhadap istriku Fulanah,” dan disebutkan nasabnya hingga jelas identitasnya. Dan jika istrinya hadir, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: digabungkan antara isyarat dan penyebutan nama, karena li‘ān dibangun atas dasar penegasan, oleh sebab itu diulang di dalamnya lafaz kesaksian meskipun maksudnya telah tercapai dengan sekali ucap.

Pendapat kedua: cukup dengan isyarat, karena istri dapat dibedakan dengan isyarat sebagaimana bisa dibedakan dalam akad nikah dan talak.

فصل: وإن كان القذف بالزنا كرره في الألفاظ الخمسة فإن قذفها بزناءين ذكرهما في الألفاظ الخمسة لأنه يكون صادقاً في أحدهما: دون الآخر فإن سمى الزاني بها ذكره في اللعان في كل مرة لأنه ألحق به المعرة في إفساد الفراش فكرره في اللعان كالمرأة فإن قذفها بالزنا وانتفى من الولد قال في كل مرة وإن هذا الولد من زنا وليس مني فإن قال هذا الولد ليس مني ولم يقل من زنا لم ينتف لأنه يحتمل أن يريد أنه ليس مني في الخلق أو الخلق وإن قال هذا الولد من زنا ولم يقل وليس مني ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول القاضي أبي حامد المروزي أنه ينتفي منه لأن ولد الزنا لا يلحق به والثاني: وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني أنه لا ينتفى لأنه قد يعتقد أن الوطء في النكاح بلا ولي زنا على قول أبي بكر الصيرفي فوجب أن يذكر أنه ليس مني لينتفي الاحتمال.

PASAL: Jika tuduhan zina, maka suami mengulanginya dalam lima lafaz li‘ān. Jika ia menuduh istrinya berzina dua kali, maka ia sebutkan keduanya dalam lima lafaz tersebut, karena bisa jadi ia benar dalam salah satunya dan tidak dalam yang lain. Jika ia menyebut nama lelaki yang berzina dengannya, maka ia sebutkan namanya dalam setiap lafaz li‘ān, karena ia telah menisbatkan aib kepadanya dalam merusak hubungan suami-istri, maka diulang dalam li‘ān sebagaimana dilakukan terhadap perempuan.

Jika ia menuduh istrinya berzina dan sekaligus menafikan anak, maka ia berkata dalam setiap lafaz: “Dan sesungguhnya anak ini hasil dari zina dan bukan dariku.” Jika ia hanya berkata, “Anak ini bukan dariku,” tanpa menyebut “dari zina”, maka anak itu tidak dapat dinafikan, karena mungkin maksudnya adalah anak ini bukan darinya dalam rupa atau tabiat.

Namun jika ia berkata, “Anak ini dari zina,” tanpa menyatakan “bukan dariku,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat al-Qāḍī Abū Ḥāmid al-Marwazī: anak itu tidak dinisbatkan kepadanya, karena anak zina tidak dinisbatkan kepada pelaku zina.

Pendapat kedua, yaitu pendapat asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfirāyinī: anak itu tidak dinafikan, karena mungkin ia meyakini bahwa hubungan badan dalam nikah tanpa wali adalah zina, menurut pendapat Abū Bakr aṣ-Ṣayrafī. Maka wajib disebutkan bahwa anak itu “bukan dariku” agar hilang segala kemungkinan tafsir.

فصل: وإذا لاعن الزوج سقط عنه ما وجب بقذفه من الحد أو التعزير والدليل عليه ما روى عبد الله بن عباس رضي الله عنه أن هلال بن أمية قذف امرأته فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” البينة أوحد في ظهرك” فقال هلال: والذي بعثك بالحق إني لصادق ولينزلن الله في أمري ما يبرئ ظهري من الحد فنزلت {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} فسري عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “أبشر يا هلال فقد جعل الله لك فرجا ومخرجا “

PASAL: Apabila suami melakukan li‘ān, maka gugurlah darinya hukum ḥadd atau ta‘zīr yang wajib akibat tuduhannya. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Abbās RA bahwa Hilāl bin Umayyah menuduh istrinya berzina, maka Rasulullah SAW bersabda: “Bawalah bukti, jika tidak maka punggungmu akan dihukum cambuk.” Maka Hilāl berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku benar, dan sungguh Allah akan menurunkan wahyu tentang urusanku yang membebaskan punggungku dari ḥadd.” Maka turunlah firman Allah: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ}, maka Rasulullah SAW merasa lega dan bersabda: “Bergembiralah wahai Hilāl, sungguh Allah telah memberikan jalan keluar dan kelegaan untukmu.”

فقال هلال: قد كنت أرجوا ذلك من ربي عز وجل وإن قذفها برجل فسماه في اللعان سقط عنه حده لأنه سماه في اللعان فسقط حده كالمرأة فإن لم يسمه في اللعان ففيه وجهان: أحدهما: يسقط حده لأنه أحد الزانيين فسقط حده باللعان كالزوجة والثاني: لا يسقط حده لأنه لم يسمه في اللعان فلم يسقط حده كالزوجة إذا لم يسمها فعلى هذا إذا أراد إسقاط حده استأنف اللعان وذكره وأعاد ذكر الزوجة.

Maka Hilāl berkata: “Sungguh aku telah berharap hal itu dari Tuhanku ‘Azza wa Jalla.” Jika ia menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki dan menyebut namanya dalam li‘ān, maka gugurlah ḥadd terhadapnya (yaitu suami), karena ia telah menyebut nama laki-laki itu dalam li‘ān, maka gugur ḥadd sebagaimana ketika menyebut nama perempuan (istri).

Namun jika ia tidak menyebut nama laki-laki itu dalam li‘ān, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: ḥadd gugur, karena laki-laki itu termasuk salah satu dari dua pezina, maka gugurlah ḥadd dengan li‘ān sebagaimana istri.

Pendapat kedua: ḥadd tidak gugur, karena ia tidak menyebutkan namanya dalam li‘ān, maka tidak gugur ḥadd, sebagaimana jika ia tidak menyebutkan nama istri.

Berdasarkan pendapat kedua ini, jika ia ingin menggugurkan ḥadd-nya, maka ia harus mengulang li‘ān, menyebutkan nama laki-laki tersebut, dan mengulangi penyebutan istrinya.

فصل: وإن نفى باللعان نسب ولد انتفى عنه لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رجلاً لاعن امرأته في زمان رسول الله صلى الله عليه وسلم وانتفى عن ولدها ففرق رسول الله صلى الله عليه وسلم بينهما وألحق الولد بالمرأة فإن لم يذكر النسب في اللعان أعاد اللعان لأنه لم ينتف باللعان الأول.

PASAL: Jika seorang suami menafikan nasab anak dengan li‘ān, maka anak itu tidak dinisbahkan kepadanya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa seorang laki-laki melakukan li‘ān terhadap istrinya pada masa Rasulullah SAW dan menafikan nasab anaknya, maka Rasulullah SAW memisahkan keduanya dan menisbahkan anak tersebut kepada ibunya. Jika dalam li‘ān tidak disebutkan nasab anak, maka li‘ān harus diulang karena penafian nasab tidak sah dengan li‘ān yang pertama.

فصل: ويجب على المرأة حد الزنا لأنه بينة حقق بها الزنا عليها فلزمها الحد كالشهادة ولا يجب على الرجل الذي رماها به حد الزنا لأنه لا يصح منه درء الحد باللعان فلم يجب عليه الحد باللعان

PASAL: Wajib atas perempuan ḥadd zina karena adanya bayyinah yang membuktikan perzinaan atas dirinya, maka wajib baginya ḥadd sebagaimana kewajiban dengan kesaksian. Dan tidak wajib atas laki-laki yang menuduhnya ḥadd zina karena tidak sah baginya menolak ḥadd dengan li‘ān, maka tidak wajib pula atasnya ḥadd dengan li‘ān.

فصل: وإن كان اللعان في نكاح صحيح وقعت الفرقة لحديث ابن عمر رضي الله عنه وحرمت عليه على التأبيد لما روى سهل بن سعد الساعدي رضي الله عنه قال: مضت السنة في المتلاعنين أن يفرق بينهما ثم لا يجتمعان أبداً فإن كان اللعان في نكاح فاسد أو كان اللعان بعد البينونة في زنا أضافه إلى حال الزوجية فهل تحرم المرأة على التأبيد ففيه وجهان: أحدهما: تحرم وهو الصحيح لأن ما وجب تحريماً مؤبداً إذا كان في نكاح أوجبه وإن لم يكن في نكاح كالرضاع والثاني: لا يحرم لأن التحريم تابع للفرقة ولم يقع بهذا اللعان فرقة فلم يثبت به تحريم.

PASAL: Jika li‘ān terjadi dalam pernikahan yang sah, maka jatuhlah perpisahan, berdasarkan hadis Ibn ‘Umar RA, dan perempuan itu menjadi haram baginya selama-lamanya, sebagaimana diriwayatkan oleh Sahl bin Sa‘d al-Sā‘idī RA: “Sunnah telah berlaku dalam kasus dua orang yang saling li‘ān, bahwa keduanya dipisahkan dan tidak boleh bersatu selamanya.” Jika li‘ān terjadi dalam pernikahan yang rusak, atau terjadi setelah perpisahan karena li‘ān terhadap zina yang dikaitkan dengan masa pernikahan, maka apakah perempuan menjadi haram selamanya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan perempuan menjadi haram, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena sesuatu yang menyebabkan keharaman selamanya apabila terjadi dalam pernikahan, juga menyebabkan keharaman walaupun tidak dalam pernikahan, seperti halnya raḍā‘; dan pendapat kedua menyatakan tidak haram, karena keharaman itu mengikuti terjadinya perpisahan, sedangkan dalam kasus ini tidak terjadi perpisahan karena li‘ān, maka tidak ditetapkan keharaman.

فصل: وللمرأة أن تدرأ حد الزنا عنها باللعان لقوله عز وجل: {وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِالله إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ} ولا تذكر المرأة للنسب في اللعان لأنه لا مدخل لها في إثبات النسب ولا في نفيه

PASAL: Perempuan boleh menolak hukuman zinā dari dirinya dengan li‘ān, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Dan gugurlah dari perempuan itu azab (hukuman) apabila ia bersaksi empat kali dengan (nama) Allah bahwa sesungguhnya dia (laki-laki itu) benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.” Dan perempuan tidak menyebut nasab dalam li‘ān, karena ia tidak memiliki andil dalam penetapan nasab maupun dalam penafianya.

فصل: إذا لاعن الزوج ثم أكذب نفسه وجب عليه حد القذف إن كان المرأة محصنة أو التعزير إن لم تكن محصنة ولحقه النسب لأن ذلك حق عليه فعاد بتكذيبه ولا يعود الفراش ولا يرتفع التحريم لأنه حق له فلا يعود بتكذيبه نفسه وإن لاعنت المرأة ثم أكذبت نفسها وجب عليها حد الزنا لأنه لا يتعلق بلعانها أكثر من سقوط حق الزنا وهو حق عليها فعاد بإكذابها.

PASAL: Jika suami telah melakukan li‘ān kemudian mendustakan dirinya sendiri, maka wajib atasnya ḥadd karena qażf jika si istri seorang muḥṣanah, atau ta‘zīr jika bukan muḥṣanah, dan nasab kembali melekat padanya karena itu adalah hak atasnya maka kembali dengan pendustaan dirinya. Namun, tempat tidur (firāsy) tidak kembali dan keharaman tidak hilang karena itu adalah hak untuk dirinya, maka tidak kembali dengan pendustaan dirinya sendiri. Dan jika istri telah melakukan li‘ān lalu mendustakan dirinya sendiri, maka wajib atasnya ḥadd zina karena li‘ān-nya tidak berdampak lebih dari menggugurkan hak ḥadd zina, dan itu adalah hak atas dirinya maka kembali dengan pendustaannya.

فصل: وإن مات الزوج قبل اللعان وقعت الفرقة بالموت وورثته الزوجة لأن الزوجية بقيت إلى الموت فإن كان هناك ولد ورثه لأنه مات قبل نفيه وما وجب عليه من الحد أو التعزير بقذفها يسقط بموته لأنه اختص ببدنه وقد فات وإن ماتت الزوجة قبل لعان الزوج وقعت الفرقة بالموت وورثها الزوج لأن الزوجية بقيت إلى الموت وإن كان هناك ولد فله أن يلاعن لنفيه لأن الحاجة داعية إلى نفيه

PASAL: Jika suami meninggal sebelum li‘ān, maka perpisahan terjadi karena kematian, dan istrinya mewarisinya karena status pernikahan tetap ada hingga kematian. Jika ada anak, maka anak tersebut mewarisinya karena suami meninggal sebelum menafikannya. Adapun hukuman ḥadd atau ta‘zīr yang wajib atasnya karena menuduh zina gugur dengan kematiannya, karena hukuman itu khusus berkaitan dengan badannya dan telah terlewat. Dan jika istri meninggal sebelum suami melakukan li‘ān, maka perpisahan terjadi karena kematian, dan suami mewarisinya karena status pernikahan tetap ada hingga kematian. Jika ada anak, maka suami boleh melakukan li‘ān untuk menafikannya karena kebutuhan untuk menafikannya masih ada.

فإن طالبه ورثتها بحد القذف لاعن لإسقاطه ولا يسقط من الحد لولم يلاعن شيء لحقه من الإرث كما يسقط ما لها عليه من القصاص لأن القصاص ثبت مشتركاً بين الورثة فإذا سقط ما يخصه بالإرث سقط الباقي وحد القذف يثبت جميعه لكل واحد من الورثة ولهذا لو عفا بعضهم عن حقه كان للباقين أن يستوفوا الجميع فإن مات الولد قبل أن ينفيه باللعان جاز له نفيه باللعان لأنه يلحقه نسبه بعد الموت فجاز له نفيه وإذا نفاه لم يرثه لأنا تبينا باللعان أنه لم يكن ابنه.

Jika para ahli waris istri menuntut suami atas ḥadd qadzaf, maka suami boleh melakukan li‘ān untuk menggugurkannya, dan tidak gugur bagian dari ḥadd tersebut yang menjadi hak mereka dari warisan kecuali jika ia melakukan li‘ān, sebagaimana gugur pula hak mereka atas qiṣāṣ, karena qiṣāṣ ditetapkan sebagai hak bersama para ahli waris; maka jika gugur bagian yang menjadi haknya karena warisan, gugur pula sisanya. Adapun ḥadd qadzaf seluruhnya menjadi hak masing-masing ahli waris, oleh karena itu jika sebagian dari mereka memaafkan bagiannya, sisanya tetap berhak menuntut semuanya. Jika anak meninggal sebelum suami menafikannya melalui li‘ān, maka boleh baginya menafikannya dengan li‘ān, karena nasabnya tetap dinisbatkan kepadanya setelah kematian, maka boleh baginya menafikannya. Dan apabila ia menafikannya, maka anak itu tidak mewarisinya, karena telah dipastikan dengan li‘ān bahwa ia bukan anaknya.

فصل: إذا قذف امرأته وامتنع من اللعان فضرب بعض الحد ثم قال أنا ألاعن سمع اللعان وسقط ما بقي من الحد وكذلك إذا نكلت المرأة عن اللعان فضربت بعض الحد ثم قالت أنا ألاعن سمع اللعان وسقط بقية الحد لأن ما أسقط جميع الحد أسقط بعضه كالبينة.

PASAL: Jika seorang suami menuduh istrinya berzina lalu enggan melakukan li‘ān, kemudian sebagian dari ḥadd ditegakkan atasnya, lalu ia berkata, “Aku mau melakukan li‘ān,” maka li‘ān didengarkan darinya dan sisa ḥadd gugur. Demikian pula jika istri enggan melakukan li‘ān, lalu sebagian dari ḥadd ditegakkan atasnya, kemudian ia berkata, “Aku mau melakukan li‘ān,” maka li‘ān didengarkan darinya dan sisa ḥadd gugur, karena sesuatu yang dapat menggugurkan seluruh ḥadd, maka ia juga menggugurkan sebagiannya, sebagaimana halnya bayyinah.

فصل: إذا قذفها ثم تلاعنا ثم قذفها نظرت فإن كان بالزنا الذي تلاعنا عليه لم يجب حد لأن اللعان في حقه كالبينة ولو أقام البينة على القذف ثم أعاد القذف لم يجب الحد فكذلك إذا لاعن وإن قذفها بزنا آخر ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجب الحد لأن اللعان في حقه كالبينة ثم بالبينة يبطل إحصانها فكذلك في اللعان

PASAL: Jika ia menuduhnya (berzina), lalu mereka saling melaknat, kemudian ia menuduhnya lagi, maka dilihat: jika tuduhan itu terhadap perzinaan yang telah mereka lakukan li‘ān atasnya, maka tidak wajib ḥadd, karena li‘ān baginya seperti bukti (bainah); dan seandainya ia telah mendatangkan bukti atas tuduhan, lalu mengulangi tuduhan, maka tidak wajib ḥadd, demikian pula jika ia telah melakukan li‘ān. Namun jika ia menuduhnya atas perzinaan yang lain, maka ada dua pendapat: yang pertama, bahwa tidak wajib ḥadd, karena li‘ān baginya seperti bukti, dan dengan bukti gugurlah status iḥṣān (terjaganya) perempuan itu, maka demikian pula dalam kasus li‘ān.

والثاني: يجب عليه الحد لأن اللعان لا يسقط إلا ما يجب بالقذف في الزوجية لحاجته إلى قذف الزوجة وقد زالت الزوجية باللعان فزالت الحاجة إلى القذف فلزمه الحد وإن تلاعنا ثم قذفها أجنبي حد لأن اللعان حجة يختص بها الزوج فلا يسقط به الحد عن الأجنبي فإذا قذفها ولاعنها ونكلت عن اللعان فحدت فقد اختلف أصحابنا فيها فقال أبو العباس لا يرتفع إحصانها إلا في حق الزوج فإن قذفها أجنبي وجب عليه الحد لأن اللعان حجة اختص بها الزوج فلا يبطل به الإحصان إلا في حقه وقال أبو إسحاق يرتفع إحصانها في حق الزوج والأجنبي فلا يجب على واحد منهما الحد بقذفها لأنها محدودة في الزنا فلم يحد قاذفها كما لوحدت بالإقرار أو البينة.

dan kedua: wajib atasnya ḥadd, karena li‘ān tidak menggugurkan kecuali apa yang wajib karena qażaf dalam pernikahan, karena ia membutuhkan untuk menuduh istrinya, dan kebutuhan itu telah hilang dengan hilangnya pernikahan melalui li‘ān, maka wajib atasnya ḥadd. Dan jika keduanya telah saling li‘ān, kemudian ia menuduhnya (lagi) seorang perempuan merdeka oleh orang lain, maka orang itu dikenai ḥadd, karena li‘ān adalah hujah yang khusus bagi suami, maka tidak gugur dengan li‘ān itu ḥadd dari orang lain. Maka jika ia menuduhnya dan melakukan li‘ān terhadapnya, lalu si perempuan enggan li‘ān sehingga dijatuhi ḥadd, maka ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abu al-‘Abbās berkata: kehormatan (iḥṣān) dirinya tidak hilang kecuali dalam hak suaminya saja, maka jika ia dituduh oleh orang lain, wajib atasnya ḥadd, karena li‘ān adalah hujah yang khusus dimiliki suami, maka tidak menggugurkan iḥṣān kecuali dalam haknya. Dan Abu Ishāq berkata: iḥṣān-nya hilang baik dalam hak suami maupun orang lain, maka tidak wajib atas keduanya ḥadd karena menuduhnya, karena ia telah dikenai ḥadd atas perbuatan zina, maka tidak dikenai ḥadd orang yang menuduhnya, sebagaimana jika ia dikenai ḥadd karena pengakuan atau karena adanya bukti.

تصح اليمين من كل مكلف مختار قاصد إلى اليمين لقوله تعالى: {لا يُؤَاخِذُكُمُ الله بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ} وأما غير المكلف كالصبي والمجنون والنائم فلا تصح يمينه لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”. ولأنه قول يتعلق به وجوب حق فلا يصح من غير مكلف كالبيع وفيمن زال عقله بالسكر طريقان على ما ذكرناه في الطلاق وأما المكره فلا تصح يمينه

Kitab al-Aimān
Pendahuluan

Kitab al-Aimān

Sumpah sah dari setiap orang yang mukallaf, memilih dengan kehendaknya sendiri, dan bermaksud untuk bersumpah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Allah tidak menghukum kalian karena sumpah-sumpah yang tidak disengaja, tetapi Dia menghukum kalian karena sumpah-sumpah yang kalian teguhkan}.

Adapun selain mukallaf seperti anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur, maka sumpahnya tidak sah berdasarkan sabda Nabi SAW: “Pena diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai ia balig, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dan dari orang gila sampai ia sadar.”

Dan karena sumpah adalah ucapan yang menyebabkan wajibnya suatu hak, maka tidak sah dari selain mukallaf seperti halnya jual beli.

Adapun orang yang hilang akalnya karena mabuk, maka ada dua pendapat sebagaimana yang telah disebutkan dalam masalah talak.

Adapun orang yang dipaksa, maka sumpahnya tidak sah.

لما روى واثلة بن الأسقع وأبو أمامة رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “ليس على مقهور يمين”. ولأنه قول حمل عليه بغير حق فلم يصح كما لو أكره على كلمة الكفر وأما من لا يقصد اليمين وهو الذي يسبق لسانه إلى اليمين أو أراد اليمين على شيء فسبق لسانه إلى غيره فلا تصح يمينه لقوله عز وجل: {لا يُؤَاخِذُكُمُ الله بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ} وروي عن ابن عمر وابن عباس وعائشة رضي الله عنهم أنهم قالوا هو قول الرجل لا والله وبلى والله ولأن ما سبق إليه اللسان من غير قصد لا يؤاخذ به كما لو سبق لسانه إلى كلمة الكفر.

Karena diriwayatkan dari Wātsilah bin al-Asqa‘ dan Abū Umāmah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada sumpah atas orang yang dipaksa.”

Dan karena itu adalah ucapan yang dipaksakan tanpa hak, maka tidak sah, sebagaimana jika seseorang dipaksa mengucapkan kalimat kufur.

Adapun orang yang tidak bermaksud bersumpah, yaitu orang yang lisannya terlanjur mengucapkan sumpah, atau ia bermaksud bersumpah atas sesuatu tetapi lisannya mendahului kepada hal lain, maka sumpahnya tidak sah, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {Allah tidak menghukum kalian karena sumpah-sumpah yang tidak disengaja}.

Dan diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbās, dan ‘Āisyah RA bahwa mereka berkata: Itu adalah ucapan seseorang: “Tidak demi Allah” dan “Ya demi Allah”.

Dan karena sesuatu yang terucap oleh lisan tanpa maksud tidak dikenai hukuman, sebagaimana jika lisannya terlanjur mengucapkan kalimat kufur.

فصل: ويصح اليمين على الماضي والمستقبل فإن حلف على ماض وهو صادق فلا شيء عليه لأن النبي صلى الله عليه وسلم جعل اليمين على المدعى عليه ولا يجوز أن يجعل اليمين عليه إلا وهو صادق فدل على أنه يجوز أن يحلف على ما هو صادق فيه وروى محمد ابن كعب القرظي أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال وهو على المنبر وفي يده عصا: يا أيها الناس لا يمنعكم اليمين عن أخذ حقوقكم فو الذي نفسي بيده إن في يدي عصا وإن كان كاذبا وهو أن يحلف على أمر أنه كان ولم يكن أو على امرأته لم وكان أثم بذلك وهو اليمين الغموس

PASAL: Sumpah sah dilakukan atas perkara yang telah lalu maupun yang akan datang. Maka jika seseorang bersumpah atas perkara yang telah lalu dan ia jujur, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Karena Nabi SAW menjadikan sumpah atas terdakwa, dan tidak mungkin menjadikan sumpah atasnya kecuali jika ia jujur, maka ini menunjukkan bahwa boleh bersumpah atas sesuatu yang benar.

Dan Muhammad bin Ka‘b al-Qurazhi meriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab RA berkata di atas mimbar dengan tongkat di tangannya: “Wahai sekalian manusia, janganlah sumpah menghalangimu dari mengambil hak-hak kalian. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya di tanganku ada tongkat.”

Adapun jika ia berdusta — yaitu bersumpah atas sesuatu bahwa itu telah terjadi padahal tidak, atau bahwa ia tidak melakukan terhadap istrinya padahal telah melakukannya — maka ia berdosa karenanya, dan itu adalah al-yamīn al-ghamūs (sumpah palsu yang menenggelamkan pelakunya dalam dosa).

والدليل عليه ما روي عن الشعبي رضي الله عنه عن عبد الله ابن عمر قال: جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله ما الكبائر؟ قال: “الشرك بالله” قال ثم ماذا؟ قال: “عقوق الوالدين” قال ثم ماذا؟ قال: “اليمين الغموس” . قيل للشعبي ما اليمين الغموس؟ قال: الذي يقتطع بها مال امرئ وهو فيها كاذب. وروى عبد الله ابن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من حلف على يمين وهو فاجر ليقتطع بها مال امرئ مسلم لقي الله عز وجل وهو علي غضبان” .

Dan dalil atas hal itu adalah riwayat dari asy-Sya‘bi RA dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, ia berkata: Seorang Arab Badui datang kepada Nabi SAW lalu berkata: “Wahai Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu?” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah.” Ia berkata: “Lalu apa?” Beliau bersabda: “Durhaka kepada kedua orang tua.” Ia berkata: “Lalu apa?” Beliau bersabda: “al-yamīn al-ghamūs.”

Dikatakan kepada asy-Sya‘bi: “Apakah al-yamīn al-ghamūs itu?” Ia menjawab: “Yaitu sumpah yang digunakan untuk mengambil harta seseorang secara batil padahal ia berdusta dalam sumpahnya.”

Dan diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa bersumpah atas suatu sumpah secara curang untuk mengambil harta seorang Muslim, maka ia akan menemui Allah ‘azza wa jalla dalam keadaan Allah murka kepadanya.”

وإن كان على مستقبل نظرت فإن كان على أمر مباح ففيه وجهان: أحدهما: الأولى أن لا يحنث لقوله عز وجل: {وَلا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا} والثاني: أن الأولى أن يحنث لقوله عز وجل: {لا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ الله لَكُمْ} فإن حلف على فعل مكروه أوترك مستحب فالأولى أن يحنث لما روت أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من حلف على يمين فرأى غيرها خيراً منها فليكفر عن يمينه ثم ليفعل الذي هو خير”.

Dan jika sumpah itu atas perkara yang akan datang, maka dilihat dahulu: jika berkaitan dengan perkara yang mubah, maka terdapat dua wajah (pendapat):

Pertama: yang lebih utama adalah tidak melanggar sumpah, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla: {wa lā tanquḍū al-aimāna ba‘da tawkīdihā} (Dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah setelah meneguhkannya).

Kedua: yang lebih utama adalah melanggar sumpah, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla: {lā tuḥarrimū ṭayyibāti mā aḥalla-llāhu lakum} (Janganlah kalian mengharamkan yang baik-baik yang telah dihalalkan Allah bagi kalian).

Jika ia bersumpah untuk melakukan perkara makruh atau meninggalkan perkara mustahab, maka yang lebih utama adalah melanggar sumpah, karena Ummu Salamah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa bersumpah atas suatu sumpah, lalu ia melihat yang lain lebih baik darinya, maka hendaklah ia membayar kafarat sumpahnya, kemudian melakukan yang lebih baik itu.”

فصل: وتكره اليمين بغير الله عز وجل فإن حلف بغيره كالنبي والكعبة والآباء والأجداد لم تنعقد يمينه لما روى ابن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من كان حالفاً فلا يحلف إلا بالله تعالى” . وروي عن عمر رضي الله عنه قال: سمعني رسول الله صلى الله عليه وسلم أحلف بأبي فقال: “إن الله عز وجل ينهاكم أن تحلفوا بآبائكم” فقال عمر رضي الله عنه: والله ما حلفت بها ذاكرا ولا آثرا وإن قال: إن فعلت كذا وكذا فأنا يهودي أو نصراني أو أنا بريء من الله أومن الإسلام لم ينعقد يمينه لما روى بريد أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من حلف أنه بريء من الإسلام فإن كان كاذبا فقد قال وإن كان صادقاً فلم يرجع إلى الإسلام سالماً”. لأنه يمين بمحدث فلم ينعقد كاليمين بالمخلوقات.

PASAL: Makruh bersumpah dengan selain nama Allah ‘azza wa jalla. Maka jika seseorang bersumpah dengan selain-Nya seperti dengan Nabi, Ka‘bah, bapak-bapak, atau kakek-kakek, maka sumpahnya tidak sah, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa hendak bersumpah, maka janganlah ia bersumpah kecuali dengan Allah Ta‘ālā.”

Dan diriwayatkan dari ‘Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW mendengarku bersumpah dengan menyebut ayahku, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla melarang kalian bersumpah dengan menyebut ayah-ayah kalian.” Maka ‘Umar RA berkata: “Demi Allah, aku tidak bersumpah dengannya lagi, baik menyebutnya secara langsung maupun mengikuti orang lain.”

Dan jika seseorang berkata: “Jika aku melakukan ini dan itu, maka aku adalah seorang Yahudi atau Nasrani,” atau “Aku berlepas diri dari Allah atau dari Islam,” maka sumpahnya tidak sah, karena diriwayatkan dari Buraydah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa bersumpah bahwa ia berlepas diri dari Islam, maka jika ia dusta, sungguh ia telah mengucapkan (kata kufur), dan jika ia jujur, maka ia tidak akan kembali kepada Islam dalam keadaan selamat.”

Karena itu adalah sumpah dengan sesuatu yang diada-adakan (tidak disyariatkan), maka sumpahnya tidak sah sebagaimana sumpah dengan makhluk.

فصل: وتجوز اليمين بأسماء الله وصفاته فإن حلف من أسمائه بالله انعقدت يمينه لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “والله لأغزون قريشا والله لأغزون قريشا والله لأغزون قريشاً ثم قال: إن شاء الله”. وإن حلف بالرحمن أو بالإله أو بخالق الخلق أو ببارئ النسمة أو بالحي القيوم أو بالحي الذي لا يموت أو برب السموات والأرضين أو بمالك يوم الدين أو برب العالمين وما أشبه ذلك من الأسماء التي لا يشاركه فيها أحد انعقدت يمينه لأنه لا يسمى بها غيره ولا يوصف بها سواه فصار كما لو قال والله

PASAL: Boleh bersumpah dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Maka jika seseorang bersumpah dengan nama Allah seperti dengan ucapan “billāh”, maka sumpahnya sah. Karena Ibnu ‘Abbās RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Wallāhi (demi Allah) sungguh aku akan memerangi Quraisy, wallāhi sungguh aku akan memerangi Quraisy, wallāhi sungguh aku akan memerangi Quraisy,” lalu beliau berkata: “in syā’a Allāh.”

Dan jika ia bersumpah dengan ar-Raḥmān, atau al-Ilāh, atau Khāliqu al-khalq, atau Bāri’u an-nasamah, atau al-Ḥayy al-Qayyūm, atau al-Ḥayy alladzī lā yamūt, atau Rabb as-samāwāti wa al-aradhīn, atau Māliki yawmi ad-dīn, atau Rabb al-‘ālamīn, atau selainnya dari nama-nama yang tidak digunakan oleh selain-Nya dan tidak disifati dengannya kecuali Dia, maka sumpahnya sah. Karena nama-nama itu tidak dipakai untuk selain-Nya dan tidak disifatkan dengannya selain Dia, sehingga kedudukannya seperti mengucapkan “wallāhi”.

فإن حلف بالرحيم والرب القادر والقاهر والملك والجبار والخالق والمتكبر ولم ينوبه غير الله عز وجل انعقدت به يمينه لأنه لا تطلق هذه الأسماء إلا عليه وإن نوى به غيره لم ينعقد لأنه قد تستعمل في غيره مع التقييد لأنه يقال فلان رحيم القلب ورب الدار وقادر على المشي وقاهر للعدو وخالق للكذب ومالك البلد وجبار متكبر فجاز أن تصرف إليه بالنية فإن قال والحي والموجود والعالم والمؤمن والكريم لم تنعقد يمينه إلا أن ينوي به الله تعالى لأن هذه الأسماء مشتركة بين الله تعالى وبين الخلق مستعملة في الجميع استعمالاً واحداً فلم تنصرف إلى الله تعالى من غير نية كالكنايات في الطلاق

Maka jika ia bersumpah dengan ar-Raḥīm, ar-Rabb, al-Qādir, al-Qāhir, al-Malik, al-Jabbār, al-Khāliq, al-Mutakabbir, dan tidak dimaksudkan selain Allah ‘azza wa jalla, maka sumpahnya sah, karena nama-nama tersebut tidak digunakan kecuali untuk-Nya.

Namun jika ia meniatkan selain Allah, maka sumpahnya tidak sah, karena nama-nama tersebut bisa digunakan untuk selain-Nya dengan batasan, seperti dikatakan: “Fulan lembut hatinya (raḥīm al-qalb)”, “tuan rumah (rabb ad-dār)”, “mampu berjalan (qādir ‘ala al-masyy)”, “penakluk musuh (qāhir li al-‘aduww)”, “pembuat dusta (khāliq li al-kadhib)”, “penguasa negeri (mālik al-balad)”, “orang yang sombong dan keras (jabbār mutakabbir)”. Maka memungkinkan untuk diarahkan kepada selain Allah dengan niat.

Jika ia berkata: al-Ḥayy, al-Mawjūd, al-‘Ālim, al-Mu’min, al-Karīm, maka sumpahnya tidak sah kecuali jika ia niatkan kepada Allah Ta‘ālā, karena nama-nama tersebut digunakan baik untuk Allah maupun makhluk-Nya secara penggunaan yang sama, maka tidak bisa diarahkan kepada Allah tanpa niat, seperti lafaz-lafaz kinayah dalam talak.

وإن حلف بصفة من صفاته نظرت فإن حلف بعظمة الله أو بعزته أو بكبريائه أو بجلاله أو ببقائه أو بكلامه انعقدت يمينه لأن هذه الصفات للذات لم يزل موصوفاً بها ولا يجوز وصفه بضدها فصار كاليمين بأسمائه وإن قال وعلم الله ولم ينوبه المعلوم أو بقدرة الله ولم ينوبه المقدور انعقدت يمينه لأن العلم والقدرة من صفات الذات لم يزل موصوفاً بهما ولا يجوز وصفه بضدهما فصارا كالصفات الستة

Dan jika ia bersumpah dengan salah satu sifat Allah, maka dilihat: jika ia bersumpah dengan ‘aẓamati Allāh (keagungan Allah), atau ‘izzatihi (kemuliaan-Nya), atau kibriyā’ihi (keagungan-Nya), atau jalālihi (keperkasaan-Nya), atau baqā’ihi (keabadian-Nya), atau kalāmihi (firman-Nya), maka sumpahnya sah, karena sifat-sifat ini adalah sifat-sifat dzāt yang Allah senantiasa bersifat dengannya dan tidak boleh disifati dengan lawan dari sifat-sifat tersebut, maka statusnya seperti bersumpah dengan nama-nama-Nya.

Dan jika ia berkata: wa ‘ilmi Allāh (demi ilmu Allah) tanpa meniatkan yang diketahui, atau bi qudrati Allāh (demi kekuasaan Allah) tanpa meniatkan yang dikuasai, maka sumpahnya sah, karena ilmu dan kekuasaan adalah termasuk sifat-sifat dzāt yang Allah senantiasa bersifat dengannya dan tidak boleh disifati dengan lawannya, maka kedudukannya seperti keenam sifat yang telah disebutkan di atas.

فإن نوى بالعلم المعلوم أو بالقدرة المقدور لم ينعقد يمينه لأنه قد يستعمل العلم في المعلوم والقدرة في المقدور ألا ترى أنك تقول اغفر لنا علمك فينا وتريد المعلوم وتقول انظروا إلى قدرة الله وتريد به المقدور فانصرف إليه بالنية فإن قال وحق الله وأراد به العبادات لم ينعقد يمينه لأنه يمين بمحدث وإن لم ينو العبادات انعقدت يمينه لأن الحق يستعمل فيما يستحق من العبادات ويستعمل فيما يستحقه الباري من الصفات وذلك من صفات الذات وقد انضم إليه العرف في الحلف به فانعقدت به اليمين من غير نية.

Jika ia meniatkan ilmu sebagai ma‘lūm atau qudrah sebagai maqdūr, maka sumpahnya tidak sah, karena ilmu kadang digunakan untuk makna ma‘lūm dan qudrah kadang digunakan untuk makna maqdūr. Tidakkah engkau melihat bahwa engkau mengatakan, “Ampunilah kami, ilmu-Mu pada kami,” dan yang dimaksud adalah ma‘lūm, dan engkau mengatakan, “Lihatlah kepada qudrah Allah,” dan yang dimaksud adalah maqdūr, maka dapat dialihkan kepada makna itu melalui niat.

Jika ia berkata, “Demi ḥaqq Allah,” dan yang ia maksud adalah ibadah-ibadah, maka sumpahnya tidak sah karena itu sumpah dengan sesuatu yang diadakan (muhdaṡ). Namun jika ia tidak meniatkan ibadah-ibadah, maka sumpahnya sah, karena ḥaqq digunakan untuk makna kewajiban dalam ibadah, dan juga digunakan untuk makna yang layak bagi Allah berupa sifat-sifat, dan itu termasuk sifat-sifat dzāt. Dan telah bergabung pula ‘urf (kebiasaan masyarakat) dalam bersumpah dengan lafaz itu, maka sumpahnya sah tanpa membutuhkan niat.

فصل: وإن قال علي عهد الله وميثاقه وكفالته وأمانته فإن أراد به ما أخذ علينا من العهد في العبادات فليس بيمين لأنه يمين بمحدث وإن أراد بالعهد استحقاقه ما تعبدنا به فهو يمين لأنه صفة قديمة وإن لم يكن له نية ففيه وجهان: أحدهما: أنه يمين لأن العادة الحلف بها والتغليظ بصفاته كالطالب الغالب وترك المهلك والثاني: ليس بيمين لأنه يحتمل العبادات ويحتمل ما ذكرناه من استحقاقه ولم يقترن بذلك عرف عام وإنما يحلف به بعض الناس وأكثرهم لا يعرفونه فلم يجعل يمينا.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Atas tanggunganku ‘ahd Allah, mīṡāq-Nya, kafālah-Nya, dan amānah-Nya,” maka jika ia maksud dengan ‘ahd itu adalah apa yang telah diambil dari kita berupa kewajiban dalam ibadah, maka itu bukan sumpah karena ia bersumpah dengan sesuatu yang diadakan (muḥdaṡ).

Namun jika ia maksud dengan ‘ahd itu adalah bahwa Allah berhak atas apa yang Dia wajibkan kepada kita berupa ibadah, maka itu adalah sumpah, karena hal itu merupakan sifat qadim.

Jika ia tidak memiliki niat, maka terdapat dua wajah (pendapat):

  • Pertama: Itu adalah sumpah, karena kebiasaan (adat) orang bersumpah dengannya dan memperkuat sumpah dengan menyebut sifat-sifat-Nya, seperti (ungkapan) “al-ṭālib al-ghālib” dan “tārik al-muhlik”.
  • Kedua: Itu bukan sumpah, karena ia bisa bermakna ibadah dan bisa juga bermakna hak (yang ditetapkan atas manusia), dan tidak ada kebiasaan umum yang menyertainya. Hanya sebagian orang yang bersumpah dengannya dan kebanyakan orang tidak mengetahuinya, maka tidak dianggap sebagai sumpah.

فصل: وإن قال بالله لأفعلن كذا بالباء المعجمة من تحت فإن أراد بالله إني أستعين بالله أو أثق بالله في الفعل الذي أشار إليه لم يكن يميناً لأن ما نواه ليس بيمين واللفظ يحتمله فلم يجعل يمينا وإن لم يكن له نية كان يميناً لأن الباء من حروف القسم فحمل إطلاق اللفظ عليه وإن قال تالله لأفعلن كذا بالتاء المعجمة من فوق فالمنصوص في الأيمان والإيلاء أنه يمين وروى المزني في القسامة أنه ليس بيمين واختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال المذهب ما نص عليه في الأيمان والإيلاء لأن التاء من حروف القسم

PASAL: Jika seseorang berkata “billāhi la’af‘alanna kadzā” (demi Allah aku pasti akan melakukan ini), dengan bā’ (bertitik di bawah), maka jika yang dimaksudkan adalah “aku memohon pertolongan kepada Allah” atau “aku percaya kepada Allah” dalam perbuatan yang ia maksudkan, maka itu bukan sumpah, karena yang diniatkan bukan sumpah dan lafalnya memungkinkan makna tersebut, maka tidak dianggap sumpah. Namun jika tidak ada niat semacam itu, maka itu adalah sumpah, karena bā’ termasuk huruf sumpah, maka lafal yang dilontarkan diarahkan kepada makna sumpah.

Dan jika ia berkata “tallāhi la’af‘alanna kadzā” (demi Allah aku pasti akan melakukan ini), dengan tā’ (bertitik di atas), maka dalam al-Aymān dan al-Ilā’ disebutkan secara tegas bahwa itu adalah sumpah. Namun al-Muzanī meriwayatkan dalam al-Qasāmah bahwa itu bukan sumpah. Para sahabat kami berselisih pendapat dalam hal ini; di antara mereka ada yang mengatakan bahwa pendapat yang menjadi mazhab adalah sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Aymān dan al-Ilā’, karena tā’ termasuk huruf sumpah.

والدليل عليه قوله عز وجل: {وَتَالله لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ} وقوله تعالى: {لَقَدْ آثَرَكَ الله عَلَيْنَا وَإِنْ كُنَّا لَخَاطِئِينَ} فصار كما لو قال والله وبالله وما رواه المزني صحف فيه والذي قال المزني في القسامة بالباء المجمعة من تحت وتعليله يدل عليه فإنه قال لأنه دعاء وتالله ليس بدعاء ومن أصحابنا من قال إن كان في الأيمان والإيلاء فهو يمين لأنه يلزمه حق وإن كان في القسامة لم يكن يميناً لأنه يستحق به المال فلم يجعل يمينا

PASAL: Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {watallāhi la-akīdanna aṣnāmakum ba‘da an tuwallū mudbirīn} (demi Allah, sungguh aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kalian berpaling) dan firman-Nya: {laqad āṡaraka Allāhu ‘alaynā wa in kunnā lakhāṭi’īn} (sungguh Allah telah melebihkan engkau atas kami, padahal kami dahulu orang-orang yang bersalah). Maka ucapan itu seperti wAllāhi dan billāhi.

Adapun riwayat yang disampaikan oleh al-Muzanī terjadi kesalahan tulis (ṣaḥḥafa fīh). Yang disebutkan oleh al-Muzanī dalam al-Qasāmah adalah dengan bā’ (bertitik bawah), dan alasannya menunjukkan hal tersebut, karena ia berkata: “Karena itu adalah doa,” sedangkan tallāh bukanlah doa.

Sebagian dari sahabat kami berkata: Jika digunakan dalam al-Aymān dan al-Ilā’, maka itu adalah sumpah karena dengannya timbul tanggungan hak. Tetapi jika dalam al-Qasāmah, maka bukanlah sumpah karena dengannya seseorang memperoleh harta, maka tidak dianggap sebagai sumpah.

وإن قال الله لأفعلن كذا فإن أراد به اليمين فهو يمين لأنه قد تحذف حروف القسم ولهذا روي أن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه أخبر النبي صلى الله عليه وسلم أنه قتل أبا جهل فقال: “آلله إنك قتلته”. قال الله إني قتلته وإن لم يكن له نية لم يكن يميناً لأنه لم يأت بلفظ القسم وإن قال لاها الله ونوى به اليمين فهويمين

PASAL: Jika seseorang berkata, “Allāh la’af‘alanna kadzā” (Allah, aku pasti akan melakukan ini), maka jika yang dimaksudkan adalah sumpah, maka itu adalah sumpah, karena huruf-huruf sumpah terkadang dihilangkan. Oleh sebab itu, diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin Mas‘ūd RA mengabarkan kepada Nabi SAW bahwa ia telah membunuh Abū Jahl, maka Nabi SAW bersabda: “Āllāh inna-ka qatalta-hu?” (Demi Allah, benarkah engkau yang membunuhnya?), lalu ia menjawab: Allāh, inni qataltu-hu (Demi Allah, aku yang membunuhnya).

Namun jika tidak ada niat sumpah, maka itu bukan sumpah, karena tidak ada lafal sumpah di dalamnya.

Dan jika ia berkata: lāhā Allāh dan ia berniat sumpah dengannya, maka itu adalah sumpah.

لما روي أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قال في سلب قتيل قتله أبو قتادة لاها الله إذا لا يعمد إلى أسد من أسد الله تعالى يقاتل عن دين الله ورسوله فيعطيك سلبه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “صدق”. وإن لم ينو اليمين لم يكن يميناً لأنه غير متعارف في اليمين فلم يجعل يميناً من غير نية وإن قال وأيم الله ونوى به اليمين فهو يمين لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال في أسامة بن زيد: “وأيم الله إنه لخليق بالإمارة”. فإن لم يكن له فيه لم يكن يميناً لأنه لم يقترن به عرف ولا نية.

PASAL: Karena diriwayatkan bahwa Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq RA berkata mengenai harta rampasan dari orang yang dibunuh oleh Abū Qatādah: lāhā Allāh, “Tidak, demi Allah, apakah pantas seseorang sengaja mengambil rampasan dari singa di antara singa-singa Allah Ta‘ala yang berperang demi agama Allah dan Rasul-Nya, lalu diberikan kepadamu rampasannya?” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Benar.”

Namun jika tidak disertai niat sumpah, maka tidak dianggap sumpah, karena lafal tersebut tidak dikenal sebagai bentuk sumpah, maka tidak dianggap sumpah tanpa adanya niat.

Dan jika seseorang berkata: wa aymi Allāh (demi sumpah Allah), dan ia berniat sumpah dengannya, maka itu adalah sumpah. Karena Nabi SAW bersabda mengenai Usāmah bin Zayd: “wa aymi Allāh, innahu lakhālīqun bil-imārah” (demi Allah, sesungguhnya dia memang pantas untuk jabatan kepemimpinan).

Namun jika tidak disertai niat dan tidak dikenal sebagai lafal sumpah, maka tidak dianggap sumpah.

فصل: وإن قال لعمر الله ونوى به اليمين فهو يمين لأنه قد قيل معناه بقاء الله وقيل حق الله وقيل علم الله والجميع من الصفات التي تنعقد بها اليمين فإن لم يكن له نية ففيه وجهان: أحدهما: أنه يمين لأن الشرع ورد به في اليمين وهو قول الله عز وجل: {لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ} والثاني: أنه ليس بيمين وهو ظاهر النص لأنه غير متعارف في اليمين.

PASAL: Jika seseorang berkata la‘amru Allāh (demi umur Allah) dan ia berniat sumpah dengannya, maka itu adalah sumpah, karena telah dikatakan bahwa maknanya adalah “keabadian Allah”, ada pula yang mengatakan “hak Allah”, dan ada yang mengatakan “ilmu Allah”; dan semua itu termasuk sifat-sifat yang bisa dijadikan dasar untuk sumpah.

Namun jika tidak ada niat, maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama: itu adalah sumpah, karena syariat telah menggunakannya dalam bentuk sumpah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {la‘amruka innahum lafī sakratihim ya‘mahūn} (Demi umurmu, sungguh mereka dalam kesesatan mereka terombang-ambing).

Pendapat kedua: itu bukanlah sumpah, dan ini adalah zahir dari nash, karena ungkapan itu tidak umum digunakan sebagai sumpah.

فصل: وإن قال أقسمت بالله أو أقسم بالله لأفعلن كذا ولم ينو شيئاً فهو يمين لأنه ثبت له عرف الشرع وعرف العادة فالشرع قوله عز وجل: {فَيُقْسِمَانِ بِالله لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا} وقوله عز وجل: {وَأَقْسَمُوا بِالله جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ} وعرف العادة أن الناس يحلفون بها كثيرا وإن قال أردت بقولي أقسمت بالله الخبر عن يمين متقدمة وبقولي أقسم بالله الخبر عن يمين مستأنفة قبل قوله فيما بينه وبين الله تعالى لأن ما يدعيه يحتمله اللفظ فأما في الحكم فالمنصوص في الأيمان أنه يقبل

PASAL: Jika seseorang berkata, “Aku bersumpah demi Allah” atau “Demi Allah aku benar-benar akan melakukan ini,” dan ia tidak meniatkan apa pun, maka itu adalah sumpah, karena telah ditetapkan menurut ‘urf syara‘ dan ‘urf kebiasaan. Adapun menurut syara‘, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla: {فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا} dan firman-Nya Azza wa Jalla: {وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ}. Sedangkan menurut kebiasaan, orang-orang banyak bersumpah dengannya.

Jika ia berkata: “Yang aku maksud dengan ucapanku ‘aqsamtu billāh adalah mengabarkan tentang sumpah yang telah lalu, dan dengan ucapanku uqsimu billāh adalah mengabarkan tentang sumpah yang baru,” maka maksud tersebut diterima antara dia dan Allah Ta‘ala, karena makna yang dia klaim masih dimungkinkan oleh lafaz. Adapun dalam hukum, maka nash dalam bab sumpah menetapkan bahwa hal itu diterima.

وقال في الإيلاء إذا قال لزوجته أقسمت بالله لا وطئتك وقال أردت به في زمان متقدم أنه لا يقبل فمن أصحابنا من قال لا يقبل قولا واحدا وما يدعيه خلاف ما يقتضيه اللفظ في عرف الشرع وعرف العادة وقوله في الأيمان أنه يقبل إرادته فيما بينه وبين الله عز وجل ومنهم من قال لا يقبل في الإيلاء ويقبل في غيره من الأيمان لأن الإيلاء يتعلق به حق المرأة فلم يقبل منه خلاف الظاهر والحق في سائر الأيمان لله عز وجل فقبل قوله ومنهم من نقل جوابه في كل واحدة من المسألتين إلى الأخرى وجعلهما على قولين: أحدهما: يقبل لأن ما يدعيه يحتمله اللفظ

Dan ia berkata dalam masalah īlā’, apabila seorang suami berkata kepada istrinya, “Aku bersumpah demi Allah tidak akan menggaulimu,” lalu ia berkata, “Yang aku maksud adalah waktu yang telah lampau,” maka tidak diterima maksudnya itu. Maka sebagian dari para sahabat kami berkata: tidak diterima secara mutlak, karena maksud yang dia klaim bertentangan dengan makna lahir dari lafaz menurut ‘urf syara‘ dan ‘urf kebiasaan. Sedangkan perkataannya dalam bab sumpah bahwa maksudnya diterima antara dia dan Allah Azza wa Jalla.

Sebagian dari mereka berkata: tidak diterima dalam īlā’, namun diterima dalam selainnya dari sumpah-sumpah, karena īlā’ berkaitan dengan hak istri, maka tidak diterima darinya maksud yang bertentangan dengan lahir lafaz. Sedangkan hak dalam sumpah-sumpah lainnya adalah milik Allah Azza wa Jalla, maka diterima maksudnya.

Dan sebagian dari mereka menukil jawabannya dalam masing-masing dari dua permasalahan kepada yang lain dan menjadikannya sebagai dua pendapat: yang pertama, diterima karena maksud yang dia klaim masih mungkin ditanggung oleh lafaz.

والثاني: لا يقبل لأن ما يدعيه خلاف ما يقتضيه اللفظ في عرف الشرع وعرف العادة فإن قال شهدت بالله أو أشهد بالله لأفعلن كذا فإن نوى به اليمين فهو يمين لأنه قد يراد بالشهادة اليمين وإن نوى بالشهادة بالله الأيمان بها فليس بيمين لأنه قد يراد به ذلك وإن لم يكن له نية ففيه وجهان: أحدهما: أنه يمين لأنه ورد به القرآن والمراد به اليمين وهو قوله عز وجل: {فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِالله إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ}

Dan pendapat kedua: tidak diterima, karena maksud yang dia klaim bertentangan dengan makna yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ‘urf syara‘ dan ‘urf kebiasaan.

Jika ia berkata: “Aku bersaksi demi Allah” atau “Aku bersaksikan Allah bahwa aku benar-benar akan melakukan ini,” maka jika ia meniatkannya sebagai sumpah, maka itu adalah sumpah, karena terkadang yang dimaksud dengan syahādah adalah sumpah.

Dan jika ia meniatkan dengan syahādah billāh sebagai pernyataan iman kepada-Nya, maka itu bukanlah sumpah, karena bisa jadi memang dimaksudkan demikian.

Dan jika ia tidak memiliki niat, maka terdapat dua wajah: wajah pertama, bahwa itu adalah sumpah, karena telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan maksudnya adalah sumpah, yaitu firman-Nya Azza wa Jalla:

{فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ}.

 

والثاني: أنه ليس بيمين لأنه ليس في اليمين بها عرف من جهة العادة وأما في الشرع فقد ورد والمراد به اليمين وورد والمراد به الشهادة فلم يجعل يميناً من غير نية وإن قال أعزم بالله لأفعلن كذا فإن أراد به اليمين فهو يمين لأنه يحتمل أن أقول أعزم ثم يبتدئ اليمين بقوله بالله لأفعلن كذا وإن أراد إني أعزم بالله أي بمعونته وقدرته لم يكن يمينا وإن لم ينو شيئاً لم يكن يميناً لأنه يحتمل اليمين ويحتمل العزم على الفعل بمعونة الله فلم يجعل يمينا من غير نية ولا عرف وإن قال أقسم أو اشهد أو اعزم ولم يذكر اسم الله تعالى لم يكن يميناً نوى به اليمين أولم ينو لأن اليمين لا ينعقد إلا باسم معظم أوصفة معظمة ليتحقق المحلوف عليه وذلك لم يوجد.

kedua: itu bukan sumpah karena dalam kebiasaan tidak dikenal sebagai bentuk sumpah. Adapun dalam syariat, memang ada yang dimaksudkan sebagai sumpah, dan ada pula yang dimaksudkan sebagai kesaksian. Maka tidak dianggap sebagai sumpah jika tanpa niat. Jika ia berkata, “A‘zumu billāh aku pasti akan melakukan ini,” maka jika ia maksudkan sebagai sumpah, maka itu adalah sumpah karena bisa dimaknai “aku bertekad, demi Allah, aku akan melakukan ini.” Namun jika ia maksudkan “aku bertekad dengan pertolongan dan kekuasaan Allah,” maka itu bukan sumpah. Jika ia tidak meniatkan apa pun, maka tidak dianggap sebagai sumpah, karena kalimat tersebut bisa bermakna sumpah dan bisa juga bermakna tekad untuk melakukan suatu perbuatan dengan pertolongan Allah. Maka tidak dianggap sebagai sumpah tanpa niat dan tanpa adanya kebiasaan (yang menguatkan makna sumpah). Jika ia berkata, “Aku bersumpah”, atau “Aku bersaksi”, atau “Aku bertekad”, tanpa menyebut nama Allah Ta‘ālā, maka tidak dianggap sebagai sumpah, baik ia meniatkannya sebagai sumpah maupun tidak, karena sumpah tidak sah kecuali dengan menyebut nama yang diagungkan atau sifat yang diagungkan, agar benar-benar menetapkan objek yang disumpahkan, dan itu tidak ditemukan di sini.

فصل: وإن قال أسألك بالله أو أقسم عليك بالله لتفعلن كذا فإن أراد به الشفاعة بالله عز وجل في الفعل لم يكن يمينا وإن أراد أن يحلف عليه ليفعلن ذلك صار حالفا لأنه يحتمل اليمين وهو أن يبتدئ بقوله بالله لتفعلن كذا وإن أراد أن يعقد للمسؤول بذلك يميناً لم ينعقد لواحد منهما لأن السائل صرف اليمين عن نفسه والمسؤول لم يحلف.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Aku memohon kepadamu demi Allah” atau “Aku bersumpah atasmu demi Allah agar engkau melakukan ini,” maka jika ia maksudkan sebagai permohonan dengan perantaraan Allah Azza wa Jalla agar orang itu melakukan perbuatan tersebut, maka itu bukan sumpah. Namun jika ia maksudkan untuk menyuruh orang tersebut bersumpah agar benar-benar melakukan hal itu, maka ia menjadi orang yang bersumpah, karena kalimat itu mengandung kemungkinan sumpah, yaitu bila ia memulai dengan perkataan: “Demi Allah, engkau harus melakukannya.” Namun jika ia maksudkan untuk mengikat orang yang dimintai dengan sumpah tersebut, maka tidak sah sumpah itu bagi keduanya, karena si peminta telah memalingkan sumpah dari dirinya sendiri, sedangkan orang yang diminta tidak bersumpah.

فصل: إذا قال والله لأفعلن كذا إن شاء زيد أن أفعله فقال زيد قد شئت أن يفعله انعقدت يمينه لأنه علق عقد اليمين على مشيئته وقد وجدت ثم يقف البر والحنث على فعل الشيء وتركه وإن قال زيد لست أشاء أن يفعله لم تنعقد اليمين لأنه لم يوجد شرط عقدها وإن فقدت مشيئته بالجنون أو الغيبة أو الموت لم ينعقد اليمين لأنه لم يتحقق شرط الانعقاد ولا ينعقد اليمين به. والله أعلم.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Demi Allah aku pasti akan melakukan ini jika Zaid menghendaki aku melakukannya,” lalu Zaid berkata, “Aku menghendaki agar ia melakukannya,” maka sumpahnya menjadi sah karena ia menggantungkan pengikatan sumpah pada kehendak Zaid, dan kehendak itu telah terjadi. Maka, pelaksanaan sumpah atau pelanggarannya bergantung pada apakah ia melakukan atau meninggalkan hal tersebut. Namun jika Zaid berkata, “Aku tidak menghendaki ia melakukannya,” maka sumpahnya tidak sah karena syarat pengikatan sumpah tidak terpenuhi. Jika kehendak Zaid hilang karena gila, tidak hadir, atau wafat, maka sumpah tidak menjadi sah karena syarat pengikatannya tidak terpenuhi, dan sumpah tidak bisa sah dalam keadaan tersebut. Wallāhu a‘lam.

باب جامع الايمان
إذا حلف لا يسكن دارا وهو فيها فخرج في الحال بنية التحويل وترك رحله فيها لم يحنث لأن اليمين على سكناه وقد ترك السكنى فلم يحنث بترك الرحل كما لو حلف لا يسكن في بلد فخرج وترك رحله فيه وإن تردد إلى الدار لنقل الرحل لم يحنث لأن ذلك ليس بسكنى وإن حلف لا يسكنها وهو فيها أولا يلبس هذا الثوب وهو لابسه أولا يركب هذه الدابة وهو راكبها فاستدام حنث لأن الاسم يطلق على حال الاستدامة ولهذا تقول سكنت الدار شهرا ولبست الثوب شهرا وركبت الدابة شهرا

BAB JAMIK TENTANG SUMPAH

Jika seseorang bersumpah tidak akan tinggal di suatu rumah, sedangkan ia sedang berada di dalamnya, lalu ia keluar seketika dengan niat berpindah dan meninggalkan barang-barangnya di dalam rumah itu, maka ia tidak dikenai ḥinth (pelanggaran sumpah), karena sumpahnya tertuju pada tinggalnya dia di rumah tersebut, dan ia telah meninggalkan tempat tinggal itu, sehingga tidak dianggap melanggar sumpah hanya karena meninggalkan barang, sebagaimana jika ia bersumpah tidak tinggal di suatu negeri lalu ia keluar dari negeri itu dan meninggalkan barang-barangnya di sana.

Jika ia bolak-balik ke rumah itu untuk memindahkan barang-barangnya, maka ia tidak dikenai ḥinth, karena hal itu tidak termasuk tinggal.

Jika ia bersumpah tidak akan tinggal di rumah itu padahal ia sedang berada di dalamnya, atau ia bersumpah tidak akan memakai baju ini padahal ia sedang memakainya, atau ia bersumpah tidak akan menaiki hewan tunggangan ini padahal ia sedang menaikinya, lalu ia melanjutkan (tinggal, memakai, atau menaiki), maka ia dikenai ḥinth, karena nama perbuatan tersebut masih berlaku dalam kondisi berkelanjutan. Oleh karena itu, dikatakan: “Aku tinggal di rumah itu selama sebulan”, “Aku memakai baju itu selama sebulan”, dan “Aku menaiki tunggangan itu selama sebulan”.

وإن حلف لا يتزوج وهو متزوج أولا يتطهر وهو متطهر أولا يتطيب وهو متطيب فاستدام لم يحنث لأنه لا يطلق الاسم عليه في حال الاستدامة ولهذا تقول تزوجت من شهر وتطهرت من شهر وتطيبت من شهر ولا تقول تزوجت شهرا وتطهرت شهرا وتطيبت شهرا وإن حلف لا يدخل الدار وهو فيها فاستدام ففيه قولان: قال في الأم: يحنث لأن استدامة الدخول كالإبتداء في التحريم في ملك الغير فكذلك في الحنث في اليمين كاللبس والركوب وقال في حرملة: لا يحنث وهو الصحيح

Dan jika seseorang bersumpah tidak akan menikah padahal ia sudah menikah, atau tidak akan bersuci padahal ia sedang dalam keadaan suci, atau tidak akan memakai wewangian padahal ia sedang memakainya, lalu ia melanjutkan (keadaan tersebut), maka ia tidak dikenai ḥinth, karena nama perbuatan tersebut tidak berlaku dalam keadaan berkelanjutan. Oleh karena itu, orang berkata: “Aku telah menikah sejak sebulan lalu,” “Aku telah bersuci sejak sebulan lalu,” dan “Aku telah memakai wewangian sejak sebulan lalu,” dan tidak dikatakan: “Aku menikah selama sebulan,” atau “Aku bersuci selama sebulan,” atau “Aku memakai wewangian selama sebulan.”

Dan jika seseorang bersumpah tidak akan masuk ke suatu rumah padahal ia sedang berada di dalamnya, lalu ia tetap tinggal, maka ada dua pendapat:

Ia berkata dalam al-Umm: ia terkena ḥinth, karena keberlangsungan masuk seperti permulaan masuk dalam keharaman pada kepemilikan orang lain, maka demikian pula dalam pelanggaran sumpah seperti (kasus) memakai dan menaiki.

Dan ia berkata dalam riwayat Ḥarmalah: tidak terkena ḥinth, dan ini yang ṣaḥīḥ.

لأن الدخول لا يستعمل في الاستدامة ولهذا نقول دخلت الدار من شهر ولا تقول دخلتها شهراً فلم يحنث بالاستدامة كما لو حلف لا يتطهر أولا يتزوج فاستدام فإن حلف لا يسافر وهو في السفر فأخذ في العود لم يحنث لأنه أخذ في ترك السفر وإن استدام السفر حنث لأنه مسافر.

Karena kata masuk tidak digunakan untuk keadaan berkelanjutan. Oleh karena itu, kita berkata: “Aku masuk rumah sejak sebulan lalu,” dan tidak dikatakan: “Aku masuk rumah selama sebulan.” Maka ia tidak terkena ḥinth karena keberlangsungan, sebagaimana jika seseorang bersumpah tidak bersuci atau tidak menikah lalu ia melanjutkan (keadaan tersebut), maka tidak terkena ḥinth.

Jika ia bersumpah tidak akan bepergian padahal ia sedang dalam perjalanan, lalu ia mulai kembali (ke tempat asal), maka ia tidak terkena ḥinth, karena ia sedang dalam proses meninggalkan perjalanan. Namun jika ia melanjutkan perjalanan, maka ia terkena ḥinth, karena ia masih dalam keadaan bepergian.

فصل: وإن حلف لا يساكن فلانا وهما في مسكن واحد ففارق أحدهما: الآخر في الحال وبقي الآخر لم يحنث لأنه زالت المساكنة وإن سكن كل واحد منهما في بيت من خان أو دار كبيرة وانفرد كل واحد منهما بباب وغلق لم يحنث لأنه ما ساكنه فإن حلف لا يدخل داراً فأدخل إحدى الرجلين أو ادخل رأسه إليها لم يحنث وإن حلف لا يخرج من دار فأخرج إحدى الرجلين أو أخرج رأسه منها لم يحنث لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان معتكفا وكان يدخل رأسه إلى عائشة لترجله ولأن كمال الدخول والخروج لا يحصل بذلك.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan tinggal bersama si Fulan, padahal keduanya berada dalam satu tempat tinggal, lalu salah satu dari keduanya segera berpisah dan yang lainnya tetap tinggal, maka ia tidak terkena ḥinth, karena kebersamaan tempat tinggal telah hilang.

Jika masing-masing dari keduanya tinggal di kamar tersendiri dalam satu rumah besar atau khān, dan masing-masing memiliki pintu dan kunci sendiri, maka ia tidak terkena ḥinth, karena ia tidak tinggal bersamanya.

Jika seseorang bersumpah tidak akan masuk ke suatu rumah, lalu ia memasukkan salah satu kakinya atau kepalanya ke dalam rumah tersebut, maka ia tidak terkena ḥinth.

Dan jika ia bersumpah tidak akan keluar dari suatu rumah, lalu ia mengeluarkan salah satu kakinya atau kepalanya, maka ia tidak terkena ḥinth, karena Nabi SAW saat sedang i‘tikāf biasa memasukkan kepalanya ke rumah ‘Āisyah untuk disisir rambutnya, dan karena kesempurnaan masuk atau keluar tidak tercapai dengan hal tersebut.

فصل: وإن حلف لا يدخل داراً فحصل في سطحها وهو غير محجر لم يحنث وقال أبو ثور: يحنث لأن السطح من الدار وهذا خطأ لأنه حاجز بين داخل الدار وخارجها فلم يصر بحصوله فيه داخلاً فيها كما لو حصل على حائط الدار وإن كان محجراً ففيه وجهان: أحدهما: يحنث لأنه يحيط به سور الدار والثاني: لا يحنث وهو ظاهر النص لأنه لم يحصل في داخل الدار وإن كان في الدار نهر فطرح نفسه في الماء حتى حمله إلى داخل الدار حنث لأنه دخل الدار وإن كان في الدار شجرة منتشرة الأغصان فتعلق بغصن منها ونزل فيها حتى أحاط به حائط الدار حنث وإن نزل فيه حتى حاذى السطح فإن كان غير محجر لم يحنث وإن كان محجرا فعلى الوجهين.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan masuk ke suatu rumah, lalu ia berada di atas atapnya yang tidak berpagar, maka ia tidak terkena ḥinth. Abu Ṯaur berkata: ia terkena ḥinth, karena atap termasuk bagian dari rumah. Ini adalah kekeliruan, karena atap menjadi pemisah antara bagian dalam rumah dan luar rumah, maka dengan berada di atasnya tidak dianggap masuk ke dalam rumah, sebagaimana jika ia berada di atas tembok rumah.

Jika atap itu berpagar, maka ada dua pendapat:

Pertama: ia terkena ḥinth, karena dikelilingi oleh pagar rumah.

Kedua: tidak terkena ḥinth, dan ini adalah pendapat yang sesuai dengan teks nash, karena ia belum berada di dalam rumah.

Jika di dalam rumah terdapat sungai, lalu ia menjatuhkan dirinya ke dalam air hingga air membawanya masuk ke dalam rumah, maka ia terkena ḥinth, karena ia telah masuk rumah.

Jika di dalam rumah ada pohon yang dahannya menjulur, lalu ia bergantung pada salah satu dahannya dan turun ke dalam rumah hingga tembok rumah mengelilinginya, maka ia terkena ḥinth.

Jika ia turun hingga sejajar dengan atap, maka jika atap itu tidak berpagar, ia tidak terkena ḥinth; dan jika berpagar, maka berlaku dua pendapat sebelumnya.

فصل: وإن حلف لا يدخل دار زيد هذه فباعها ثم دخلها حنث لأن اليمين على وجه عين مضافة إلى مالك فلم يسقط الحنث فيه بزوال الملك كما لو حلف لا يكلم زوجة فلان هذه فطلقها ثم كلمها وإن حلف لا يدخل دار زيد فدخل داراً لزيد وعمرو ولم يحنث لأن اليمين معقودة على دار جميعها لزيد وإن حلف لا يدخل دار زيد فدخل داراً يسكنها زيد بإعارة أو إجارة أو غصب فإن أراد مسكنه حنث لأنه يحتمل ما نوى وإن لم يكن له نية لم يحنث وقال أبو ثور: يحنث لأن الدار تضاف إلى الساكن والدليل عليه قوله تعالى: {لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ} فأضاف بيوت أزواجهن إليهن بالسكنى وهذا خطأ لأن حقيقة الإضافة تقتضي ملك العين ولهذا لو قال: هذه الدار لزيد جعل ذلك إقرارا له بملكها.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan masuk rumah Zaid “yang ini”, lalu Zaid menjual rumah itu kemudian ia memasukinya, maka ia melanggar sumpah karena sumpah itu tertuju pada suatu ‘ain (objek tertentu) yang dikaitkan dengan kepemilikan, maka tidak gugur pelanggaran sumpah tersebut dengan hilangnya kepemilikan, sebagaimana jika ia bersumpah tidak akan berbicara dengan istri si Fulan “yang ini”, lalu Fulan menceraikannya kemudian ia berbicara dengannya.

Jika ia bersumpah tidak akan masuk rumah Zaid, lalu ia masuk ke rumah yang dimiliki bersama oleh Zaid dan ‘Amr, maka ia tidak melanggar sumpah karena sumpah tersebut tertuju pada rumah yang sepenuhnya milik Zaid.

Jika ia bersumpah tidak akan masuk rumah Zaid, lalu ia masuk ke rumah yang dihuni Zaid melalui pinjaman, sewa, atau perampasan, maka jika yang dimaksud adalah tempat tinggalnya, maka ia melanggar sumpah karena memungkinkan mengikuti niat. Jika ia tidak memiliki niat tertentu, maka ia tidak melanggar sumpah.

Abu Ṯaur berkata: Ia tetap melanggar sumpah karena rumah itu dinisbatkan kepada penghuni. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {lā tukhrijūhunna min buyūtihinna} (Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka), maka Allah menisbatkan rumah-rumah suami mereka kepada para istri karena dihuni oleh mereka. Ini adalah pendapat yang keliru karena hakikat iḍāfah (nisbah) meniscayakan kepemilikan atas objek, karena itu jika seseorang berkata, “rumah ini milik Zaid”, maka itu dianggap sebagai pengakuan bahwa Zaid memilikinya.

فصل: وإن حلف لا يدخل هذه الدار فانهدمت وصارت ساحة أو جعلت حانوتاً أو بستاناً فدخلها لم يحنث لأنه زال عنها اسم الدار وإن أعيدت بغير تلك الآلة لم يحنث بدخولها لأنها غير تلك الدار وإن أعيدت بتلك الآلة ففيه وجهان: أحدهما: لا يحنث وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة لأنها غير تلك الدار والثاني: أنه يحنث لأنها عادت كما كانت.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan masuk rumah “yang ini”, lalu rumah itu runtuh dan menjadi tanah lapang, atau diubah menjadi toko atau kebun, lalu ia memasukinya, maka ia tidak melanggar sumpah karena nama “rumah” telah hilang darinya.

Jika rumah itu dibangun kembali dengan bahan yang berbeda dari sebelumnya, maka ia tidak melanggar sumpah dengan memasukinya karena rumah itu bukan lagi rumah yang sama.

Namun jika rumah itu dibangun kembali dengan bahan yang sama, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia tidak melanggar sumpah, dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah, karena rumah tersebut dianggap bukan rumah yang sama.
Kedua, ia melanggar sumpah karena rumah itu telah kembali seperti semula.

فصل: وإن حلف لا يدخل هذه الدار من هذا الباب فقلع الباب ونصبه في مكان آخر وبقي الممر الذي كان عليه الباب فدخلها من الممر حنث وإن دخلها من الموضع الذي نصب فيه الباب لم يحنث ومن أصحابنا من قال إن دخل من الممر الذي كان فيه الباب لم يحنث لأنه لم يدخل من ذلك الباب لأن الباب نقل وهذا خطأ لأن الباب هو الممر الذي يدخل ويخرج منه دون المصراع المنصوب والممر الأول باق فتعلق به الحنث

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan masuk rumah “yang ini” dari pintu “yang ini”, lalu pintu itu dicabut dan dipasang di tempat lain namun jalan masuk (lorong) yang dahulu ada pintunya masih tetap ada, kemudian ia masuk melalui jalan masuk itu, maka ia melanggar sumpah. Tetapi jika ia masuk dari tempat baru di mana pintu itu dipasang, maka ia tidak melanggar sumpah.

Sebagian dari para sahabat kami berpendapat bahwa jika ia masuk dari jalan masuk yang dahulu ada pintunya, maka ia tidak melanggar sumpah karena ia tidak masuk dari pintu tersebut, sebab pintunya telah dipindah. Namun pendapat ini keliru, karena yang dimaksud dengan pintu adalah jalan masuk yang digunakan untuk keluar-masuk, bukan daun pintu yang terpasang. Dan jalan masuk yang pertama masih ada, maka pelanggaran sumpah tetap terkait dengannya.

وإن حلف لا يدخل هذه الدار من بابها أولاً يدخل من باب هذه الدار فسد الباب وجعل الباب في مكان آخر فدخلها منه ففيه وجهان: أحدهما: أنه يحنث وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة وهو المنصوص في الأم لأن اليمين انعقدت على باب موجود مضاف إلى الدار وذلك هو الباب الأول فلا يحنث بالثاني كما لو حلف لا يدخل دار زيد فباع زيد داره ثم دخلها

Dan jika seseorang bersumpah tidak akan masuk rumah ini dari pintunya, atau berkata: “aku tidak akan masuk dari pintu rumah ini”, lalu pintu tersebut ditutup dan dijadikan pintu di tempat lain, kemudian ia masuk dari pintu yang baru, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: ia tetap dianggap melanggar sumpahnya. Ini adalah pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah dan merupakan pendapat yang dinyatakan dalam al-Umm, karena sumpahnya terikat pada pintu yang ada dan terkait dengan rumah tersebut, dan pintu itu adalah pintu yang pertama. Maka tidak dianggap melanggar bila masuk dari pintu yang kedua, sebagaimana jika seseorang bersumpah tidak akan masuk rumah Zayd, kemudian Zayd menjual rumahnya, lalu orang itu masuk ke rumah tersebut.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه يحنث وهو الأظهر لأن اليمين معقودة على بابها وبابها الآن هو الثاني فتعلق الحنث به كما لو حلف لا يدخل دار زيد فباع زيد داره واشترى أخرى فإن الحنث يتعلق بالدار الثانية دون الأولى.

Dan pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq, menyatakan bahwa ia melanggar sumpahnya, dan inilah pendapat yang lebih kuat, karena sumpahnya terikat pada “pintu rumahnya”, dan pintu rumahnya sekarang adalah pintu yang kedua, maka pelanggaran sumpah terkait dengan pintu tersebut, sebagaimana jika seseorang bersumpah tidak akan masuk rumah Zayd, lalu Zayd menjual rumahnya dan membeli rumah lain, maka pelanggaran sumpah terkait dengan rumah yang kedua, bukan yang pertama.

فصل: وإن حلف لا يدخل بيتاً فدخل مسجداً أو بيتاً في الحمام لم يحنث لأن المسجد وبيت الحمام لا يدخلان إطلاق اسم البيت ولأن البيت اسم لما جعل للإيواء والسكنى والمسجد وبيت الحمام لم يجعل لذلك فإن دخل بيتاً من شعر أو أدم نظرت فإن كان الحالف ممن يسكن بيوت الشعر والأدم حنث وإن كان ممن لا يسكنها ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي العباس بن سريج أنه لا يحنث لأن اليمين تحمل على العرف ولهذا لو حلف لا يأكل الرؤوس حل على ما يتعارف أكله منفردا وبيت الشعر والأدم غير متعارف للقروي فلم يحنث به

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan masuk bayt, lalu ia masuk ke masjid atau ke ruangan dalam pemandian (hammām), maka ia tidak dianggap melanggar sumpah, karena masjid dan ruangan pemandian tidak termasuk dalam cakupan lafaz bayt, dan karena bayt adalah nama untuk tempat yang dijadikan sebagai tempat tinggal dan berteduh, sedangkan masjid dan ruangan pemandian tidak dibuat untuk tujuan itu.

Jika ia masuk ke rumah yang terbuat dari kain wol atau kulit, maka hal itu dilihat dulu: jika orang yang bersumpah itu adalah orang yang biasa tinggal di rumah-rumah dari kain wol atau kulit, maka ia dianggap melanggar sumpah. Namun jika ia termasuk orang yang tidak biasa tinggal di rumah seperti itu, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Suraij, bahwa ia tidak dianggap melanggar sumpah, karena sumpah dibawa kepada kebiasaan umum (‘urf). Oleh karena itu, jika seseorang bersumpah tidak akan makan kepala, maka sumpahnya berlaku terhadap apa yang biasa dimakan secara terpisah. Dan rumah dari kain wol dan kulit tidak umum digunakan oleh orang desa (qurawiyy), maka ia tidak dianggap melanggar sumpah bila masuk ke dalamnya.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق وغيره أنه يحنث لأنه بيت جعل للإيواء والسكنى فأشبه بيوت المدر وقولهم إنه غير متعارف في حق أهل القرى يبطل بالبيت من المدر فإنه غير متعارف في حق أهل البادية ثم يحنث به وخبز الأرز غير متعارف في حق غير الطبري ثم يحنث بأكله إذا حلف لا يأخذ الخبز.

Dan pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq dan selainnya, menyatakan bahwa ia dianggap melanggar sumpah, karena rumah tersebut dibuat untuk tempat berteduh dan tinggal, maka ia serupa dengan rumah dari batu-bata (madar).

Adapun alasan bahwa rumah seperti itu tidak dikenal di kalangan penduduk desa, dibantah dengan rumah dari madar (batu-bata), karena rumah semacam itu juga tidak dikenal di kalangan orang Badui, namun tetap menyebabkan pelanggaran sumpah. Demikian pula roti dari beras tidak dikenal kecuali di daerah Ṭabaristān, tetapi bila seseorang bersumpah tidak akan mengambil roti, lalu ia mengambil roti beras, maka ia tetap dianggap melanggar sumpah.

فصل: وإن حلف لا يأكل هذه الحنطة فجعلها دقيقاً أولا يأكل هذا الدقيق فجعله عجينا أولا يأكل هذا العجين فجعله خبزاً لم يحنث بأكله وقال أبو العباس: يحنث لأن اليمين تعلقت بعينه فتعلق الحنث بها وإن زال الاسم كما لو حلف لا يأكل هذا الحمل فذبحه وأكله والمذهب الأول لأنه علق اليمين على العين والاسم ثم لا يحنث بغير العين فكذلك لا يحنث بغير الاسم ويخالف الحمل لأنه لا يمكن أكله حيا والحنطة يمكن أكلها حباً أو لأن الحمل ممنوع من أكله في حال الحياة من غير يمين فلم يدخل في اليمين والحنطة غير ممنوع من أكلها فتعلق بها اليمين

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan gandum ini, lalu gandum itu dijadikan tepung; atau ia bersumpah tidak akan memakan tepung ini, lalu dijadikan adonan; atau ia bersumpah tidak akan memakan adonan ini, lalu dijadikan roti—kemudian ia memakannya—maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.

Abū al-‘Abbās berpendapat bahwa ia dianggap melanggar, karena sumpah tersebut terkait dengan ‘ain (zat bendanya), maka pelanggaran pun berlaku atas zat tersebut meskipun nama (bentuk) telah berubah, sebagaimana jika seseorang bersumpah tidak akan memakan anak domba ini, lalu menyembelihnya dan memakannya.

Namun, madzhab yang benar adalah pendapat pertama, karena sumpah tersebut digantungkan pada ‘ain dan nama sekaligus, maka sebagaimana tidak dianggap melanggar bila berubah ‘ain-nya, demikian pula tidak dianggap melanggar bila berubah namanya.

Dan berbeda halnya dengan anak domba, karena tidak mungkin dimakan dalam keadaan hidup, sedangkan gandum bisa dimakan dalam bentuk biji. Atau karena anak domba memang tidak boleh dimakan dalam keadaan hidup tanpa sumpah sekalipun, maka tidak termasuk dalam cakupan sumpah, sedangkan gandum tidak ada larangan untuk memakannya, maka ia masuk dalam cakupan sumpah.

وإن حلف لا يأكل هذا الرطب فأكله وهو تمر أولا يأكل هذا الحمل فأكله وهو كبش أولا يكلم هذا الصبي فكلمه وهو شيخ ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة أنه لا يحنث كما لا يحنث في الحنطة إذا صارت دقيقاً فأكله والثاني: أنه يحنث لأن الانتقال حدث فيه من غير صنعة وفي الحنطة الانتقال حدث فيها بصنعة وهذا لا يصح لأنه يبطل به إذا حلف لا يأكل هذا البيض فصار فرخا أولا يأكل هذا الحب فصار زرعاً فإنه لا يحنث وإن كان الانتقال حدث فيه من غير صنعة

Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan ruthab ini, lalu ia memakannya dalam keadaan sudah menjadi tamr, atau bersumpah tidak akan memakan ḥaml ini lalu memakannya dalam keadaan sudah menjadi kambing, atau bersumpah tidak akan berbicara dengan anak kecil ini lalu ia berbicara dengannya dalam keadaan sudah menjadi orang tua, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah, bahwa ia tidak dianggap melanggar sumpah, sebagaimana tidak dianggap melanggar sumpah jika seseorang bersumpah tidak akan memakan ḥinṭah (gandum) ini lalu memakannya dalam keadaan telah menjadi tepung.

Pendapat kedua, bahwa ia dianggap melanggar sumpah karena perubahan itu terjadi tanpa ada proses buatan (manusia), sedangkan pada gandum perubahan terjadi karena buatan manusia. Namun, pendapat ini tidak sah karena akan menyebabkan batalnya (konsekuensi) dalam kasus jika seseorang bersumpah tidak akan memakan telur ini lalu menjadi anak ayam, atau tidak akan memakan biji ini lalu menjadi tanaman, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah, padahal perubahan juga terjadi tanpa buatan manusia.

وإن حلف لا يشرب هذا العصير فصار خمراً أولا يشرب هذا الخمر فصار خلاً فشربه لم يحنث كما قلنا في الحنطة إذا صارت دقيقا وإن حلف لا يلبس هذا الغزل فنسج منه ثوباً حنث بلبسه لأن الغزل لا يلبس إلا منسوجاً فصار كما لو حلف لا يأكل هذا الحيوان فذبحه وأكله.

Jika seseorang bersumpah tidak akan meminum ‘aṣīr ini lalu berubah menjadi khamr, atau ia bersumpah tidak akan meminum khamr ini lalu berubah menjadi khall kemudian ia meminumnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam kasus ḥinṭah yang berubah menjadi tepung.

Namun jika ia bersumpah tidak akan memakai ghazl (benang pintal) ini lalu ia menenunnya menjadi pakaian dan memakainya, maka ia dianggap melanggar sumpah, karena ghazl memang tidak bisa dipakai kecuali setelah ditenun, sehingga hukumnya seperti jika seseorang bersumpah tidak akan memakan hewan ini lalu ia menyembelih dan memakannya.

فصل: وإن حلف لا يشرب هذا السويق فاستفه أولا يأكل هذا الخبز فدقه وشربه أو ابتلعه من غير مضغ لم يحنث لأن الأفعال أجناس مختلفة كالأعيان ثم لو حلف على جنس من الأعيان لم يحنث بجنس آخر فكذلك إذا حلف على جنس من الأفعال لم يحنث بجنس آخر وإن حلف لا يذوق هذا الطعام فذاقه ولفظه ففيه وجهان: أحدهما: لا يحنث لأنه لا يوجد حقيقة الذوق ما لم يزدرده ولهذا لا يبطل به الصوم

PASAL: Jika ia bersumpah tidak akan meminum as-suwaiq ini, lalu memakannya dengan cara dihisap; atau ia bersumpah tidak akan memakan roti ini, lalu ia menumbuknya dan meminumnya, atau menelannya tanpa mengunyah, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sebab, perbuatan-perbuatan itu merupakan jenis yang berbeda sebagaimana benda-benda pun berbeda jenis. Maka jika seseorang bersumpah atas suatu jenis benda, ia tidak dianggap melanggar jika melibatkan jenis lain; demikian pula jika bersumpah atas satu jenis perbuatan, tidak dianggap melanggar dengan jenis perbuatan yang lain.

Dan jika ia bersumpah tidak akan mencicipi makanan ini, lalu mencicipinya dan meludahkannya, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia tidak dianggap melanggar karena hakikat mencicipi tidak terwujud kecuali jika ia menelannya, dan karena itulah mencicipi tidak membatalkan puasa.

والثاني: أنه لا يحنث الذوق معرفة الطعم وذلك يحصل من غير ازدراد وإن حلف لا يذوقه فأكله أو شربه حنث لأنه قد ذاق وزاد عليه وإن حلف لا يأكل ولا يشرب ولا يذوق فأوجر في حلقه حتى وصل إلى جوفه لم يحنث لأنه لم يأكل ولم يشرب ولم يذق وإن قال والله لا طعمت هذا الطعام فأوجر في حلقه حنث لأن معناه لا جعلته لي طعاماً وقد جعله طعاما له.

dan kedua: bahwa ia dianggap melanggar, karena adz-dzauq adalah mengetahui rasa, dan hal itu dapat terjadi tanpa menelannya. Dan jika ia bersumpah tidak akan mencicipinya, lalu memakannya atau meminumnya, maka ia melanggar sumpah karena ia telah mencicipi dan bahkan lebih dari itu.

Dan jika ia bersumpah tidak akan makan, minum, atau mencicipi, lalu dipaksa diberi makan melalui mulutnya hingga sampai ke dalam perutnya, maka ia tidak dianggap melanggar karena ia tidak makan, tidak minum, dan tidak mencicipi.

Namun, jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan tha‘imtu makanan ini,” lalu dipaksa diberi makan melalui mulutnya, maka ia dianggap melanggar, karena maknanya adalah “tidak menjadikannya sebagai makanan bagiku,” dan ia telah menjadikannya sebagai makanan baginya.

فصل: وإن حلف لا يأكل اللحم حنث بأكل لحم كل ما يؤكل لحمه من النعم والوحش والطير لأن اسم اللحم يطلق على الجميع ولا يحنث بأكل السوك لأنه لا يطلق عليه اسم اللحم وهل يحنث بأكل لحم ما لا يؤكل لحمه ففيه وجهان: أحدهما: يحنث لأنه يطلق عليه اسم اللحم وإن لم يحل كما أطلق على اللحم المغصوب وإن لم يحل

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan lahm, maka ia melanggar sumpahnya dengan memakan daging segala jenis hewan yang halal dimakan dagingnya, baik dari hewan ternak, hewan buruan, maupun burung, karena nama lahm mencakup semuanya. Namun ia tidak dianggap melanggar sumpah dengan memakan sumsum karena tidak dinamai lahm. Adapun apakah ia melanggar sumpah dengan memakan daging hewan yang tidak halal dimakan dagingnya, terdapat dua pendapat: pertama, ia melanggar karena tetap dinamai lahm meskipun tidak halal, sebagaimana penamaan terhadap daging hasil ghasab meskipun juga tidak halal.

والثاني: لا يحنث لأن القصد باليمين أن يمنع نفسه مما يستبيحه ولحم ما لا يؤكل لحمه ممنوع من أكله من غير يمين فلم يدخل في اليمين وإن حلف لا يأكل اللحم فأكل الشحم لم يحنث وإن حلف لا يأكل الشحم فأكل اللحم لم يحنث لأنهما جنسان مختلفان في الاسم والصفة وإن حلف على اللحم فأكل سمين الظهر والجنب وما يعلو اللحم ويتخلله من البياض حنث لأنه لحم سمين وإن حلف على الشحم فأكل ذلك لم يحنث لأنه ليس بشحم وإن حلف على اللحم أو الشحم فأكل الكبد أو الطحال أو الرئة أو الكرش أو المخ لم يحنث لأنه مخالف للحم والشحم في الاسم والصفة وإن حلف على اللحم فأكل لحم الخد أو لحم الرأس أو اللسان ففيه وجهان: أحدهما: يحنث لأنه لحم

dan kedua: tidak batal sumpahnya, karena maksud dari sumpah adalah untuk mencegah diri dari sesuatu yang halal baginya, sedangkan daging hewan yang tidak halal dimakan memang sudah terlarang dimakan tanpa sumpah, maka tidak termasuk dalam cakupan sumpah. Dan jika ia bersumpah tidak makan lahm (daging) lalu ia makan syahm (lemak), tidak batal sumpahnya. Dan jika ia bersumpah tidak makan syahm lalu ia makan lahm, tidak batal sumpahnya, karena keduanya adalah dua jenis yang berbeda dalam nama dan sifat. Dan jika ia bersumpah atas lahm, lalu ia makan lemak tebal pada punggung dan pinggang, dan apa yang berada di atas daging serta bercampur dengan bagian putih, maka batal sumpahnya karena itu termasuk lahm yang berlemak. Dan jika ia bersumpah atas syahm lalu ia makan bagian tersebut, tidak batal sumpahnya karena itu bukan syahm. Dan jika ia bersumpah atas lahm atau syahm lalu ia makan hati, limpa, paru-paru, perut, atau otak, tidak batal sumpahnya karena bagian-bagian itu berbeda dengan lahm dan syahm dalam nama dan sifat. Dan jika ia bersumpah atas lahm lalu ia makan daging pipi, daging kepala, atau lidah, maka ada dua pendapat: pertama, batal sumpahnya karena itu termasuk lahm.

والثاني: لا يحنث لأن اللحم لا يطلق إلا على لحم البدن واختلف أصحابنا في الألية فمنهم من قال: هو شحم يحنث به في اليمين على الشحم ولا يحنث به في اليمين على اللحم لأنه يشبه الشحم في بياضه ويذوب كما يذوب الشحم ومنهم من قال: هو لحم فيحنث به في اليمين على اللحم ولا يحنث به في اليمين على الشحم لأنه نابت في اللحم ويشبهه في الصلابة ومنهم من قال: ليس بلحم ولا شحم ولا يحنث به في اليمين على واحد منهما لأنه مخالف للجميع في الاسم والصفة فصار كالكبد والطحال

dan kedua: tidak batal sumpahnya karena lahm (daging) tidak disebutkan kecuali untuk daging badan. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang al-āliyah (lemak pada ekor domba). Sebagian dari mereka berkata: itu adalah syahm (lemak), sehingga batal sumpah dengannya jika bersumpah atas syahm, dan tidak batal jika bersumpah atas lahm, karena ia menyerupai syahm dalam warna putihnya dan meleleh sebagaimana syahm meleleh. Sebagian dari mereka berkata: itu adalah lahm, maka batal sumpah dengannya jika bersumpah atas lahm, dan tidak batal jika bersumpah atas syahm, karena ia tumbuh pada daging dan menyerupainya dalam kekerasan. Dan sebagian dari mereka berkata: itu bukan lahm dan bukan syahm, dan tidak batal sumpah dengannya pada keduanya, karena ia berbeda dari keduanya dalam nama dan sifat, maka hukumnya seperti hati dan limpa.

وإن حلف على اللحم فأكل شحم العين لم يحنث لأنه مخالف للحم في الاسم والصفة وإن حلف على الشحم فأكله ففيه وجهان: أحدهما: يحنث به بدخوله في اسم الشحم والثاني: لا يحنث به لأنه لا يدخل في إطلاق اسمه كما لا يدخل لحم السمك في إطلاق اليمين على اللحم ولا التمر الهندي في إطلاق اليمين على التمر.

Dan jika ia bersumpah atas lahm lalu ia makan lemak mata, tidak batal sumpahnya karena ia berbeda dari lahm dalam nama dan sifat. Dan jika ia bersumpah atas syahm lalu memakannya, maka ada dua pendapat: pertama, batal sumpahnya karena termasuk dalam nama syahm; dan kedua, tidak batal sumpahnya karena tidak termasuk dalam penggunaan umum namanya, sebagaimana daging ikan tidak termasuk dalam cakupan sumpah atas lahm, dan asam jawa tidak termasuk dalam cakupan sumpah atas tamr (kurma).

فصل: وإن حلف لا يأكل الرؤوس ولم يكن له نية حنث برؤوس الإبل والبقر والغنم لأنها تباع مفردة وتؤكل مفردة عن الأبدان ولا يحنث برؤوس الطير فإنها لا تباع مفردة ولا تؤكل مفردة فإن كان في بلد يباع فيه رؤوس الصيد ورؤوس السمك مفردة حنث بأكلها لأنها تباع مفردة فهي كرؤوس الإبل والبقر والغنم وهل يحنث بأكلها في سائر البلاد فيه وجهان: أحدهما: لا يحنث لأنه لا يطلق عليها اسم الرؤوس إلا في البلد الذي يباع فيه ويعتاد أكله والثاني: يحنث بها لأن ما ثبت له العرف في مكان وقع الحنث به في كل مكان كخبز الأرز.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan ru’ūs (kepala-kepala) dan ia tidak memiliki niat tertentu, maka ia dianggap melanggar sumpah dengan memakan kepala unta, sapi, dan kambing karena kepala-kepala tersebut dijual terpisah dan dimakan terpisah dari badan. Namun, ia tidak dianggap melanggar sumpah dengan memakan kepala burung karena kepala burung tidak dijual terpisah dan tidak dimakan terpisah.

Jika berada di negeri yang di dalamnya kepala binatang buruan dan kepala ikan dijual terpisah, maka ia dianggap melanggar sumpah dengan memakannya karena kepala-kepala itu dijual terpisah, sehingga hukumnya seperti kepala unta, sapi, dan kambing.

Adapun apakah seseorang dianggap melanggar sumpah jika memakan kepala-kepala itu di negeri lain, maka ada dua pendapat:

pertama, tidak dianggap melanggar karena nama ru’ūs tidak berlaku atasnya kecuali di negeri yang biasa menjual dan memakannya;

kedua, dianggap melanggar karena sesuatu yang telah ditetapkan oleh ‘urf di suatu tempat, maka berlaku pelanggaran sumpah di seluruh tempat, sebagaimana halnya roti dari beras.

فصل: وإن حلف لا يأكل البيض حنث بأكل كل بيض يزايل بائضه في الحياة كبيض الدجاجة والحمامة والنعامة لأنه يؤكل مفردا ويباع منفردا فيدخل في مطلق اليمين ولا يحنث بما لا يزايل بائضه كبيض السمك والجراد لأنه لا يباع منفردا ولا يؤكل منفرداً فلم يدخل في مطلق اليمين.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan telur, maka ia dianggap melanggar sumpah dengan memakan setiap telur yang terpisah dari induknya saat masih hidup, seperti telur ayam, merpati, dan unta betina, karena telur-telur tersebut biasa dimakan secara terpisah dan dijual secara terpisah, sehingga termasuk dalam keumuman lafaz sumpah.

Namun, ia tidak dianggap melanggar sumpah dengan memakan telur ikan dan telur belalang, karena telur-telur tersebut tidak dijual secara terpisah dan tidak dimakan secara terpisah, maka tidak termasuk dalam keumuman lafaz sumpah.

فصل: وإن حلف لا يأكل اللبن حنث بأكل لبن الأنعام ولبن الصيد لأن اسم اللبن يطلق على الجميع وإن كان فيه ما يقل أكله لتقذره كما يحنث في اليمين على اللحم بأكل لحم الجميع وإن كان فيه ما يقل أكله لتقذره ويحنث بالحليب والرائب وما جمد منه لأن الجميع لبن ولا يحنث بأكل الجبن واللوز واللبا والزبد والسمن والمصل والأقط وقال أبوعلي ابن هريرة إذا حلف على اللبن حنث بكل ما يتخذ منه لأنه من اللبن والمذهب الأول لأنه لا يطلق عليه اسم اللبن فلم يحنث به وإن كان منه كما لو حلف لا يأكل الرطب فأكل التمر أولا يأكل السمسم فأكل الشيرج فإنه لا يحنث وإن كان التمر من الرطب والشيرج من السمسم.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan laban (susu), maka ia dianggap melanggar sumpah dengan memakan susu dari binatang ternak dan binatang buruan, karena nama laban mencakup semuanya, meskipun ada sebagian yang jarang dimakan karena dianggap menjijikkan—sebagaimana seseorang dianggap melanggar sumpah pada daging dengan memakan semua jenis daging, meskipun ada yang jarang dimakan karena menjijikkan.

Ia juga dianggap melanggar dengan memakan ḥalīb (susu segar), rāib (susu asam), dan susu yang telah membeku, karena semuanya termasuk laban.

Namun, ia tidak dianggap melanggar dengan memakan keju, lūz, laban kering (al-labā), mentega (zubd), minyak samin (samin), maṣl (whey), dan aqiṭ (keju kering).

Abu ‘Ali Ibn Abī Hurairah berkata: jika seseorang bersumpah atas laban, maka ia dianggap melanggar dengan memakan semua yang dibuat darinya, karena semuanya berasal dari laban.

Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yaitu: tidak dianggap melanggar karena tidak dinamakan laban, maka tidak termasuk dalam sumpah, meskipun berasal darinya. Sebagaimana jika seseorang bersumpah tidak memakan ruṭab (kurma basah), lalu ia memakan tamr (kurma kering), atau ia bersumpah tidak memakan biji wijen lalu ia memakan shīrīj (minyak wijen), maka ia tidak dianggap melanggar, meskipun tamr berasal dari ruṭab, dan shīrīj berasal dari biji wijen.

فصل: وإن حلف لا يأكل السمن فأكله مع الخبز أو أكله في العصيدة وهو ظاهر فيها حنث وإن حلف لا يأكل اللبن فأكله في طبيخ وهو ظاهر فيه أو حلف لا يأكل الخل فأكله في طبيخ وهو ظاهر فيه حنث وقال أبو سعيد الإصطخري: إذا أكله مع غيره لم يحنث لأنه لم يفرده بالأكل فلم يحنث كما لو حلف لا يأكل طعاماً اشتراه زيد فأكل طعاما اشتراه زيد وعمرو والمذهب الأول لأنه فعل المحلوف عليه وأضاف إليه غيره فحنث كما لو حلف لا يدخل على زيد فدخل على جماعة وهو فيهم.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan samin (minyak samin), lalu ia memakannya bersama roti atau dalam ‘aṣīdah (makanan dari tepung yang dimasak) dan samin tersebut tampak jelas di dalamnya, maka ia dianggap melanggar sumpah.

Jika ia bersumpah tidak akan memakan laban (susu), lalu memakannya dalam masakan dan laban tersebut tampak jelas di dalamnya, atau ia bersumpah tidak akan memakan cuka, lalu memakannya dalam masakan dan cuka tersebut tampak jelas, maka ia juga dianggap melanggar sumpah.

Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: jika memakannya bersama sesuatu yang lain, maka ia tidak dianggap melanggar karena ia tidak memakannya secara terpisah, sehingga tidak termasuk pelanggaran—sebagaimana jika seseorang bersumpah tidak akan memakan makanan yang dibeli oleh Zaid, lalu ia memakan makanan yang dibeli oleh Zaid dan ‘Amr, maka tidak dianggap melanggar.

Namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena ia telah melakukan perbuatan yang disumpahkan, hanya saja ia menambahkan sesuatu padanya, maka ia dianggap melanggar—sebagaimana jika seseorang bersumpah tidak akan masuk ke rumah Zaid, lalu ia masuk bersama sekelompok orang dan Zaid berada di antara mereka.

فصل: وإن حلف لا يأكل أدماً فأكل اللحم حنث لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “سيد الإدام اللحم” . ولأنه يؤتدم به في العادة فحنث به كالخل والمري فإن أكل التمر ففيه وجهان: أحدهما: لا يحنث لأنه لا يؤتدم به في العادة وإنم يؤكل قوتا أو حلاوة والثاني: أنه يحنث به لأن النبي صلى الله عليه وسلم أعطى سائلا خبزا وتمرا وقال: “هذا أدم هذا”.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan idām (lauk), lalu ia memakan daging, maka ia dianggap melanggar sumpah, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Sayyid al-idām al-laḥm” (Penghulu lauk adalah daging). Dan karena daging biasa dijadikan lauk dalam kebiasaan, maka ia dianggap melanggar, sebagaimana halnya dengan cuka dan mirī (semacam saus asin).

Jika ia memakan kurma, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, tidak dianggap melanggar karena kurma tidak lazim dijadikan lauk, melainkan dimakan sebagai makanan pokok atau sebagai manisan.

Kedua, ia dianggap melanggar karena Nabi SAW pernah memberikan kepada seorang peminta roti dan kurma, lalu bersabda: “Hādhā idāmu hādhā” (Ini adalah lauk dari ini).

فصل: وإن حلف لا يأكل الفاكهة فأكل الرطب أو العنب أو الرمان أو الإترنج أو التوت أو النبق حنث لأنها ثمار أشجار فحنث بها كالتفاح والسفرجل وإن أكل البطيخ أو الموز حنث لأنه يتفكه به كما يتفكه بثمار الأشجار وإن أكل الخيار أو القثاء لم يحنث لأنهما من الخضروات.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan buah, lalu ia memakan ruthab, atau anggur, atau delima, atau utrunj, atau murbai (tūt), atau bidara (nabaq), maka ia melanggar sumpah karena semuanya adalah hasil dari pohon, maka ia pun melanggar sebagaimana memakan apel dan safarjal. Dan jika ia memakan semangka atau pisang, maka ia juga melanggar karena kedua jenis itu dimakan sebagai buah-buahan sebagaimana buah pohon. Namun jika ia memakan mentimun atau labu ular (qiṯṯā’), maka ia tidak melanggar karena keduanya termasuk sayuran.

فصل: وإن حلف لا يأكل بسرا ولا رطباً فأكل منصفاً حنث في اليمين لأنه أكل البسر والرطب وإن حلف لا يأكل بسرة ولا رطبة فأكل منصفاً لم يحنث لأنه لم يأكل بسرة ولا رطبة.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan busr dan tidak pula ruthab, lalu ia memakan munṣif (kurma setengah matang), maka ia melanggar sumpah karena ia telah memakan busr dan ruthab. Namun jika ia bersumpah tidak akan memakan satu busr atau satu ruthab, lalu ia memakan munṣif, maka ia tidak melanggar sumpah karena ia tidak memakan satu busr dan tidak pula satu ruthab.

فصل: وإن حلف لا يأكل قوتاً فأكل التمر أو الزبيب أو اللحم وهو ممن يقتات ذلك حنث وهل يحنث به غيره على ما ذكرناه من الوجهين في بيوت الشعر ورؤوس الصيد.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan makanan pokok (qūt), lalu ia memakan kurma, kismis, atau daging—padahal ia termasuk orang yang menjadikan itu sebagai makanan pokok—maka ia melanggar sumpah. Adapun apakah selain dia juga melanggar sumpah jika memakan itu, maka hukumnya seperti dua pendapat yang telah disebutkan dalam pembahasan tentang rumah dari kain bulu (buyūt asy-sya‘r) dan kepala hewan buruan.

فصل: وإن حلف لا يأكل طعاماً حنث بأكل كل ما يطعم من قوت وأدم وفاكهة وحلاوة لأن اسم الطعام يقع على الجميع والدليل عليه قوله تعالى: {كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِبَنِي إِسْرائيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرائيلُ عَلَى نَفْسِهِ} وهل يحنث بأكل الدواء ففيه وجهان: أحدهما: لا يحنث لأنه لا يدخل في إطلاق اسم الطعام والثاني: يحنث لأنه يطعم في حال الاختيار ولهذا يحرم فيه الربا.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan makan ṭa‘ām, maka ia dianggap melanggar sumpah dengan memakan segala sesuatu yang dimakan, baik berupa qūt, idām, fākihah, maupun ḥalāwah, karena nama ṭa‘ām mencakup semuanya. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā: {Kulluṭ-ṭa‘āmi kāna ḥillan libanī isrā’īla illā mā ḥarrama isrā’īlu ‘alā nafsih}.

Adapun apakah ia melanggar sumpah dengan memakan obat, maka ada dua wajah:

Pertama: tidak dianggap melanggar, karena obat tidak termasuk dalam cakupan istilah ṭa‘ām.

Kedua: dianggap melanggar, karena obat juga dapat dimakan dalam keadaan pilihan, dan karena itulah berlaku hukum riba padanya.

فصل: وإن حلف لا يشرب الماء فشرب ماء البحر احتمل عندي وجهين: أحدهما: يحنث لأنه يدخل في اسم الماء المطلق ولهذا تجوز به الطهارة والثاني: لا يحنث لأنه لا يشرب وإن حلف لا يشرب ماء فراتاً فشرب ماء دجلة أو غيره من المياه العذبة حنث لأن الفرات هو الماء العذب والدليل عليه قوله تعالى: {وَأَسْقَيْنَاكُمْ مَاءً فُرَاتاً} وأراد به العذب وإن حلف لا يشرب من ماء الفرات فشرب من ماء دجلة لم يحنث لأن الفرات إذا عرف بالألف واللام فهو النهر الذي بين العراق والشام.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan minum air, lalu ia minum air laut, maka menurutku ada dua wajah:

Pertama: ia dianggap melanggar sumpah karena air laut termasuk dalam nama mā’ secara mutlak, dan karena itu sah digunakan untuk bersuci.

Kedua: ia tidak dianggap melanggar karena air laut tidak biasa diminum.

Dan jika ia bersumpah tidak akan minum air furāt, lalu ia minum air Sungai Dajlah atau air tawar lainnya, maka ia dianggap melanggar karena furāt adalah air tawar. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā: {Wa asqaynākum mā’an furātā}, dan yang dimaksud adalah air tawar.

Namun jika ia bersumpah tidak akan minum dari air al-Furāt, lalu ia minum dari air Dajlah, maka ia tidak dianggap melanggar, karena al-Furāt dengan alif lām merujuk pada sungai yang terletak antara Irak dan Syam.

فصل: وإن حلف لا يشم الريحان فشم الضميران وهو الريحان الفارسي حنث وإن شم ما سواه كالورد والبنفسج والياسمين والزعفران لم يحنث لأنه لا يطلق اسم الريحان إلا على الضميران وما سواه لا يسمى إلا بأسمائها وإن حلف لا يشم المشموم حنث بالجميع لأن الجميع مشموم وإن شم الكافور أو المسك أو العود أو الصندل لم يحنث لأنه لا يطلب عليه اسم المشموم وإن حلف لا يشم الورد والبنفسج فشم دهنهما لم يحنث لأنه لم يشم الورد والبنفسج وإن جف الورد والبنفسج فشمهما ففيه وجهان: أحدهما: لا يحنث كما لا يحنث إذا حلف لا يأكل الرطب فأكل التمر والثاني: يحنث لبقاء اسم الورد والبنفسج.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak mencium raihan lalu mencium ad-duzmurān—yaitu raihan Persia—maka ia melanggar sumpah. Namun jika ia mencium selainnya seperti mawar, bunga violet, melati, dan za‘farān maka ia tidak melanggar sumpah, karena nama raihan tidak berlaku kecuali pada ad-duzmurān, dan yang selainnya hanya disebut dengan nama-nama khasnya. Jika ia bersumpah tidak mencium al-musymūm, maka ia melanggar dengan semua jenis tersebut karena semuanya adalah musymūm. Jika ia mencium kapur barus, misk, ‘ūd, atau cendana maka ia tidak melanggar sumpah karena nama musymūm tidak digunakan untuknya. Jika ia bersumpah tidak mencium mawar dan bunga violet, lalu ia mencium minyak keduanya, maka ia tidak melanggar sumpah karena ia tidak mencium mawar dan bunga violet secara langsung. Jika mawar dan bunga violet telah mengering lalu ia menciumnya, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia tidak melanggar sumpah sebagaimana seseorang yang bersumpah tidak makan ruthab lalu memakan kurma kering, ia tidak dianggap melanggar; kedua, ia melanggar sumpah karena nama mawar dan bunga violet masih tetap berlaku.

فصل: وإن حلف لا يلبس شيئاً فلبس درعاً أو جوشناً أو خفاً أو فعلاً ففيه وجهان: أحدهما: يحنث لأنه ليس شيئا والثاني: لا يحنث لأن إطلاق اللبس لا ينصرف إلى غير الثياب.

PASAL: Dan jika seseorang bersumpah tidak akan memakai sesuatu, lalu ia memakai dir‘ atau jawshan atau khuff atau fi‘l, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia dianggap melanggar sumpah karena itu termasuk sesuatu; dan kedua, ia tidak dianggap melanggar sumpah karena kata “memakai” tidak secara umum digunakan untuk selain pakaian.

فصل: وإن كان معه رداء فقال والله لا لبست هذا الثوب وهو رداء فأرتدي به أو تعمم به أو اتزر به حنث لأنه لبسه وهو رداء فإن جعله قميصاً أو سراويل ولبسه لم يحنث لأنه لم يلبسه وهو رداء فإن قال والله لا لبست هذا الثوب ولم يقل وهو رداء فأرتدي به أو تعمم به أو اتزر به أو جعله قميصاً أو سراويل حنث ومن أصحابنا من قال: لا يحنث لأنه حلف على لبسه وهو على صفة فلم يحنث بلبسه على غير تلك الصفة والصحيح هو الأول لأنه حلف على لبسه ثوباً فحمل على العموم كما لو قال: والله لا لبست ثوبا.

PASAL: Jika seseorang memiliki ridā’ lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memakai tsaub ini,” sementara yang dimaksud adalah ridā’, lalu ia memakainya sebagai irtidā’ (menyelimuti tubuh bagian atas), atau menjadikannya ‘imāmah (sorban), atau izār (kain penutup bawah), maka ia dianggap melanggar sumpah karena ia telah memakainya sebagai ridā’. Namun jika ia menjadikannya sebagai qamīṣ (baju) atau sirwāl (celana) lalu memakainya, maka ia tidak dianggap melanggar karena ia tidak memakainya dalam bentuk ridā’.

Jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memakai tsaub ini,” dan tidak mengatakan “dalam bentuk ridā’”, lalu ia memakainya sebagai irtidā’, atau menjadikannya ‘imāmah, atau izār, atau ia menjadikannya qamīṣ atau sirwāl dan memakainya, maka ia dianggap melanggar sumpah.

Sebagian dari kalangan kami berkata: ia tidak dianggap melanggar, karena ia bersumpah untuk tidak memakainya dalam satu bentuk tertentu, maka ia tidak melanggar dengan memakainya dalam bentuk lain. Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena ia bersumpah untuk tidak memakai suatu tsaub, maka lafaz tersebut dibawa kepada makna umum, sebagaimana jika ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memakai tsaub.”

فصل: وإن حلف لا يلبس حلياً فلبس خاتماً من ذهب أو فضة أو مخنقة من لؤلؤ أو غيره من الجواهر لأن الجميع حلي والدليل عليه قوله عز وجل: {يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤاً وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ} وإن لبس شيئاً من الخرز أو السبج فإن كان ممن عادته التحلي بها كأهل السواد حنث لأنهم يسمونه حليا وهل يحنث به غيرهم على ما ذكرناه من الوجهين في بيوت الشعر ورؤوس الصيد وإن تقلد سيفاً محلى لم يحنث لأن السيف ليس بحلى وإن لبس منطقة محلاة ففيه وجهان: أحدهما: يحنث لأنه من حلي الرجال

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakai ḥulīy (perhiasan), lalu ia memakai cincin dari emas atau perak, atau kalung dari mutiara atau selainnya dari batu permata, maka ia dianggap melanggar sumpah karena semuanya adalah perhiasan. Dalilnya adalah firman Allah SWT: {yulaṣṣauna fīhā min asāwira min dhahabin wa lu’lu’an wa libāsuhum fīhā ḥarīr}.

Jika ia memakai sesuatu dari manik-manik atau sabaj (batu hitam), maka jika ia termasuk orang yang biasa berhias dengan benda tersebut seperti penduduk kawasan hitam (ahl al-sawād), maka ia dianggap melanggar, karena mereka menyebutnya perhiasan. Adapun apakah orang selain mereka juga dianggap melanggar, terdapat dua pendapat seperti yang telah disebutkan dalam permasalahan buyūt al-syi‘r (kemah dari bulu domba) dan ru’ūs al-ṣayd (kepala hewan buruan).

Jika ia mengalungkan pedang yang dihiasi perhiasan, maka ia tidak dianggap melanggar karena pedang bukanlah perhiasan. Namun jika ia memakai minṭaqah (sabuk) yang dihiasi, maka ada dua pendapat: pertama, ia dianggap melanggar karena itu termasuk perhiasan laki-laki.

والثاني: لا يحنث لأنه ليس من الآلات المحلاة فلم يحنث به كالسيف وإن حلف لا يلبس خاتماً فلبسها في غير الخنصر أو حلف لا يلبس قميصاً فارتدى به أولا يلبس قلنسوة فلبسها في رجله لم يحنث لأن اليمين يقتضي لبسا متعارفا وهذا غير متعارف.

dan yang kedua: ia tidak dianggap melanggar karena sabuk tersebut bukan termasuk alat yang biasa dijadikan perhiasan, maka ia tidak melanggar karenanya, sebagaimana pedang.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memakai cincin lalu ia memakainya bukan di jari kelingking, atau bersumpah tidak akan memakai qamīṣ lalu ia menyelimutkan qamīṣ tersebut ke tubuhnya, atau bersumpah tidak akan memakai qalansuwah (peci) lalu ia memakainya di kakinya, maka ia tidak dianggap melanggar, karena sumpah itu menghendaki bentuk pemakaian yang umum dikenal, sedangkan yang demikian bukan termasuk bentuk pemakaian yang dikenal.

فصل: وإن من عليه رجل فحلف لا يشرب له ماء من عطش فأكل له خبزاً أو لبس له ثوباً أو شرب له ماء من غير عطش لم يحنث لأن الحنث لا يقع إلا على ما عقد عليه اليمين والذي عقد عليه اليمين شرب الماء من عطش فلو حنثناه على ما سواه لحنثناه على ما نوى لا على ما حلف عليه وإن حلف لا يلبس له ثوباً فوهب له ثوباً فلبسه لم يحنث لأنه لم يلبس ثوبه.

PASAL: Dan jika seseorang memiliki tanggungan kepada seorang laki-laki lalu ia bersumpah tidak akan meminum air darinya karena kehausan, kemudian ia memakan roti pemberiannya, atau memakai pakaiannya, atau meminum air darinya bukan karena kehausan, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah karena pelanggaran hanya terjadi pada perkara yang menjadi objek akad sumpah, dan yang menjadi objek sumpah adalah meminum air karena kehausan. Maka jika kita menganggapnya melanggar pada selain itu, berarti kita menganggapnya melanggar berdasarkan niat, bukan pada apa yang diucapkan dalam sumpahnya. Dan jika ia bersumpah tidak akan memakai pakaian darinya, lalu orang itu menghadiahkan pakaian kepadanya lalu ia memakainya, maka ia tidak dianggap melanggar karena ia tidak memakai pakaiannya.

فصل: وإن حلف لا يضرب امرأته فضربها ضرباً غير مؤلم حنث لأنه يقع عليه اسم الضرب وإن عضها أو خنقها أو نتف شعرها لم يحنث لأن ذلك ليس بضرب وإن لكمها أو لطمها أو رفسها ففيه وجهان: أحدهما: يحنث لأنه ضربها والثاني: لا يحنث لأن الضرب المتعارف ما كان يؤلم وإن حلف ليضرب عبده مائة سوط فشد مائة سوط فضربه بها ضربة واحدة فإن تيقن أنه أصابه لماءة بر في يمينه لأنه ضربه مائة سوط وإن تيقن أنه لم يصبه بالمائة لم يبر لأنه ضربه دون المائة وإن شك هل أصابه بالجميع أولم يصبه بالجميع فالمنصوص أنه يبر

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memukul istrinya, lalu ia memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, maka ia dianggap melanggar sumpah karena hal itu termasuk dalam istilah pukulan (ḍarb). Namun jika ia menggigitnya, mencekiknya, atau mencabut rambutnya, maka ia tidak dianggap melanggar karena itu bukanlah pukulan.

Jika ia meninjunya, menamparnya, atau menendangnya, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia dianggap melanggar karena ia telah memukulnya; kedua, ia tidak dianggap melanggar karena pukulan yang umum dikenal adalah yang menyakitkan.

Jika seseorang bersumpah untuk memukul hambanya seratus cambukan, lalu ia mengikat seratus cambuk menjadi satu ikatan dan memukulnya dengan sekali pukulan, maka jika yakin bahwa seluruh bagian dari seratus cambuk tersebut mengenainya, ia dianggap menepati sumpah karena ia telah memukulnya dengan seratus cambukan. Namun jika ia yakin bahwa tidak semua mengenai tubuhnya, maka ia tidak dianggap menepati sumpah karena pukulannya kurang dari seratus. Dan jika ia ragu apakah semuanya mengenainya atau tidak, maka pendapat yang manṣūṣ adalah ia dianggap menepati sumpah.

وقال المزني: لا يبر كما قال الشافعي رحمه الله فيمن حلف ليفعلن كذا في وقت إلا أن يشاء فلان فمات فلان حنث وإذا لم نجعله باراً للشك في المشيئة وجب أن لا نجعله باراً للشك في الإصابة والمذهب الأول لأن أيوب عليه السلام حلف ليضربن امرأته عددا فقال عز وجل: {وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثاً فَاضْرِبْ بِهِ وَلا تَحْنَثْ} ويخالف ما قاله الشافعي رحمه الله في المشيئة لأنه ليس الظاهر وجود المشيئة فإذا لم تكن مشيئة حنث بالمخالفة والظاهر إصابته بالجميع فبر

Dan al-Muzanī berkata: tidak dianggap menepati sumpah, sebagaimana pendapat asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh dalam kasus orang yang bersumpah akan melakukan suatu perbuatan pada waktu tertentu kecuali jika si fulan menghendaki, lalu si fulan meninggal dunia, maka ia dianggap melanggar sumpah. Dan ketika kita tidak menganggapnya menepati sumpah karena adanya keraguan dalam masyi’ah (kehendak), maka wajib pula kita tidak menganggapnya menepati sumpah karena adanya keraguan dalam mengenai sasaran pukulan.

Namun al-madhhab al-awwal (pendapat pertama) adalah yang kuat, karena Nabi Ayyūb AS bersumpah akan memukul istrinya sejumlah pukulan, lalu Allah SWT berfirman: {wa khudh bi-yadika ḍighṯan faḍrib bihī wa lā taḥnath}, yang berarti bahwa beliau tetap dianggap tidak melanggar sumpah meskipun hanya memukul dengan satu pukulan yang terdiri dari banyak ranting.

Adapun perbedaan dengan apa yang dikatakan asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh dalam masalah masyi’ah adalah karena dalam kasus tersebut tidak tampak adanya kehendak (yang disyaratkan), maka ketika kehendak tidak terjadi, ia dianggap melanggar sumpah. Sedangkan dalam kasus pukulan, dugaan yang kuat adalah bahwa semua bagian pukulan mengenai sasaran, maka ia dianggap menepati sumpah.

وإن حلف ليضربنه مائة مرة فضربه بالمائة المشدودة لم يبر لأنه لم يضربه إلا مرة فإن حلف ليضربنه مائة ضربة فضربه بالمائة المشدودة دفعة واحدة فأصابه الجميع ففيه وجهان: أحدهما: لا يبر لأنه ما ضربه إلا ضربة ولهذا لو رمى بسبع حصيات دفعة واحدة إلى الجمرة لم يحتسب له سبعا والثاني: أنه يبر لأنه حصل بكل سوط ضربة ولهذا لو ضرب به في حد الزنا حسب بكل سوط جلدة.

Jika seseorang bersumpah akan memukul seseorang seratus kali, lalu ia memukulnya dengan seratus cambuk yang diikat menjadi satu, maka ia tidak dianggap menepati sumpah karena ia hanya memukulnya satu kali.

Namun jika ia bersumpah akan memukulnya seratus pukulan, lalu ia memukulnya dengan seratus cambuk yang diikat menjadi satu dalam satu pukulan dan seluruhnya mengenai sasaran, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: ia tidak dianggap menepati sumpah karena ia hanya melakukan satu pukulan. Hal ini sebagaimana jika seseorang melempar tujuh kerikil sekaligus ke jumrah, maka tidak dihitung tujuh lemparan baginya.

Kedua: ia dianggap menepati sumpah karena setiap cambuk menghasilkan satu pukulan. Karena itu, jika seseorang dihukum had zina dan dipukul dengan cambuk yang berisi beberapa tali, maka setiap tali dihitung satu cambukan.

فصل: وإن حلف لا يهب له فأعمره أو أرقبه أو تصدق عليه حنث لأن الهبة تمليك العين بغير عوض وإن كان لكل نوع منها اسم وإن وقف عليه وقلنا إن الملك ينتقل إليه حنث لأنه ملكه العين من غير عوض وإن باعه وحاباه لم يحنث لأنه ملكه بعوض وإن وصى به لم يحنث لأن التمليك بعد الموت والميت لا يحنث.

PASAL: Dan jika seseorang bersumpah tidak akan memberinya hibah, lalu ia a‘marahu atau arraqabahu atau memberinya sedekah, maka ia melanggar sumpah karena hibah adalah pemilikan suatu benda tanpa imbalan, meskipun masing-masing bentuk tersebut memiliki nama tersendiri. Jika ia mewakafkannya kepadanya dan kita berpendapat bahwa kepemilikan berpindah kepadanya, maka ia melanggar sumpah karena ia telah memilikinya tanpa imbalan. Namun jika ia menjualnya dan memberinya potongan harga, maka ia tidak melanggar sumpah karena ia telah memilikinya dengan imbalan. Jika ia mewasiatkannya kepadanya, maka ia tidak melanggar sumpah karena pemilikan terjadi setelah kematian, dan orang mati tidak terkena pelanggaran sumpah.

فصل: وإن حلف لا يتكلم فقرأ القرآن لم يحنث لأن الكلام لا يطلق في العرف إلا على كلام الآدمي وإن حلف لا يكلم فلاناً فسلم عليه حنث لأن السلام من كلام الآدميين ولهذا تبطل به الصلاة فإن كلمه وهو نائم أو ميت أوفي موضع لا يسمع كلامه لم يحنث لأنه لا يقال في العرف كلمه وإن كلمه في موضع يسمع إلا أنه لم يسمع لاشتغاله بغيره حنث لأنه كلمه ولهذا يقال كلمه فلم يسمع وإن كلمه وهو أصم فلم يسمع الصمم ففيه وجهان: أحدهما: يحنث لأنه كلمه وإن لم يسمع فحنث كما لو كلمه فلم يسمع لاشتغاله بغيره

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan berbicara, lalu ia membaca al-Qur’an, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah, karena dalam kebiasaan, kata kalām tidak digunakan kecuali untuk ucapan manusia.

Jika ia bersumpah tidak akan berbicara dengan si fulan, lalu ia mengucapkan salam kepadanya, maka ia dianggap melanggar, karena salam termasuk ucapan manusia, dan karenanya dapat membatalkan salat.

Jika ia berbicara kepada orang yang sedang tidur, atau orang yang telah meninggal, atau kepada seseorang di tempat yang tidak memungkinkan untuk mendengar ucapannya, maka ia tidak dianggap melanggar karena secara kebiasaan tidak dikatakan bahwa ia telah berbicara kepadanya.

Namun jika ia berbicara di tempat yang memungkinkan untuk didengar, hanya saja orang tersebut tidak mendengar karena sibuk dengan hal lain, maka ia dianggap melanggar karena ia telah berbicara kepadanya, dan dalam kebiasaan dikatakan: “Ia berbicara kepadanya, namun tidak didengar.”

Jika ia berbicara kepada orang yang tuli sehingga orang tersebut tidak mendengar karena ketuliannya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, ia dianggap melanggar karena ia telah berbicara kepadanya meskipun tidak didengar, sebagaimana ia dianggap melanggar jika berbicara kepada seseorang yang tidak mendengar karena sibuk.

والثاني: لا يحنث وهو الصحيح لأنه كلمه وهولا يسمع فأشبه إذا كلمه وهو غائب وإن كاتبه أو راسله ففيه قولان: قال في القديم يحنث وقال في الجديد لا يحنث وأضاف إليه أصحابنا إذا أشار إليه فجعلوا الجميع على قولين: أحدهما: يحنث والدليل عليه قوله عز وجل: {وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ الله إِلَّا وَحْياً} فاستثنى الوحي وهو الرسالة من الكلام فدل على أنها منه وقوله عز وجل: {قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا رَمْزاً} فاستثنى الرمز وهو الإشارة من الكلام فدل على أنها منه ولأنه وضع لإفهام الآدميين فأشبه الكلام

Dan pendapat kedua: ia tidak dianggap melanggar, dan itulah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia berbicara kepada orang yang tidak bisa mendengar, maka hal itu menyerupai kondisi ketika ia berbicara kepada orang yang tidak hadir.

Jika ia menulis surat kepadanya atau mengirim pesan, maka terdapat dua qawl: dalam qawl qadīm, ia dianggap melanggar; sedangkan dalam qawl jadīd, ia tidak dianggap melanggar. Para ulama mazhab kami menambahkan bahwa jika ia memberi isyarat kepadanya, maka semua bentuk tersebut masuk dalam dua pendapat:

Pertama, ia dianggap melanggar. Dalilnya adalah firman Allah SWT: {wa mā kāna libasharin an yukallimahullāhu illā waḥyan}, maka Allah mengecualikan wahyu, yakni risalah, dari kalām, menunjukkan bahwa risalah termasuk kalām.

Dan firman Allah SWT: {qāla āyatuka allā tukallima al-nāsa ṡalāṡata ayyāmin illā ramzan}, Allah mengecualikan ramz (isyarat) dari kalām, menunjukkan bahwa isyarat termasuk dalam pengertian kalām.

Dan karena tulisan dan isyarat berfungsi untuk menyampaikan maksud kepada sesama manusia, maka kedudukannya menyerupai kalām.

والقول الثاني أنه لا يحنث لقوله عز وجل: {فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَداً فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْماً فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيّاً} ثم قال: {يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيّاً فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيّاً} فلو كانت الإشارة كلاما لم تفعله وقد نذرت أن لا تكلم ولأن حقيقة الكلام ما كان باللسان ولهذا يصح نفيه عما سواه بأن تقول ما كلمته وإنما كاتبته أو راسلته أو أشرت إليه ويحرم على المسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام لقوله عليه السلام: “لا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام والسابق أسبقهما إلى الجنة” .

Dan pendapat kedua: ia tidak dianggap melanggar. Dalilnya adalah firman Allah SWT: {fa-immā tarayinna mina al-bashari aḥadan fa-qūlī innī nadzartu li-al-Raḥmāni ṣawman fa-lan ukallima al-yawma insiyyan}, kemudian Allah berfirman: {yā ukhta Hārūn mā kāna abūki imra’a saw’in wa mā kānat ummuki baghiyyā fa-asyārat ilayh}, lalu mereka berkata: {kayfa nukallimu man kāna fī al-mahdi ṣabiyyā}. Seandainya isyarat itu termasuk kalām, tentu Maryam tidak akan melakukannya padahal ia telah bernazar untuk tidak berbicara.

Dan karena hakikat kalām adalah apa yang keluar melalui lisan. Oleh karena itu, sah dikatakan bahwa seseorang tidak berbicara dengan orang lain, padahal ia menulis surat, mengirim pesan, atau memberi isyarat kepadanya.

Juga karena diharamkan bagi seorang muslim untuk memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak halal bagi seorang muslim memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, dan yang lebih dulu memberi salam adalah yang lebih dahulu masuk surga.”

وإن كاتبه أو راسله ففيه وجهان: أحدهما: لا يخرج من مأثم الهجران لأن الهجران ترك الكلام فلا يزول إلا بالكلام والثاني: وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة أنه يخرج من مأثم الهجران لأن القصد بالكلام إزالة ما بينهما من الوحشة وذلك يزول بالمكاتبة والمراسلة.

Jika seseorang menulis surat atau mengirim pesan kepada orang yang ia putus hubungan dengannya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: ia belum keluar dari dosa memutus hubungan, karena hujrān (memutus hubungan) adalah meninggalkan kalām (ucapan), maka tidak hilang kecuali dengan kalām.

Kedua: dan ini adalah pendapat Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah, bahwa ia telah keluar dari dosa memutus hubungan, karena maksud dari kalām adalah menghilangkan kejauhan dan kebencian di antara keduanya, dan hal itu dapat tercapai melalui surat-menyurat dan pengiriman pesan.

فصل: وإن حلف لا يسلم على فلان فسلم على قوم هو فيهم ونوى السلام على جميعهم حنث لأنه سلم عليه وإن استثناه بقلبه لم يحنث لأن اللفظ وإن كان عاماً إلا أنه يحتمل التخصيص فجاز تخصيصه بالنية وإن أطلق السلام من غير نية ففيه قولان: أحدهما: أنه يحنث لأن سلم عليهم فدخل كل واحد منهم فيه

PASAL: Dan jika seseorang bersumpah tidak akan memberi salam kepada si Fulan, lalu ia memberi salam kepada suatu kaum yang di dalamnya terdapat si Fulan, dan ia meniatkan salam untuk seluruh mereka, maka ia melanggar sumpah karena ia telah memberi salam kepadanya. Namun jika ia mengecualikannya dalam hatinya, maka ia tidak melanggar sumpah karena lafal salam meskipun umum tetap mengandung kemungkinan untuk dikhususkan, maka boleh dikhususkan dengan niat. Dan jika ia mengucapkan salam tanpa niat tertentu, maka terdapat dua pendapat: pertama, bahwa ia melanggar sumpah karena ia telah memberi salam kepada mereka sehingga masing-masing dari mereka termasuk di dalamnya.

والثاني: أنه لا يحنث لأن اليمين يحمل على المتعارف ولا يقال في العرف لمن سلم على الجماعة وفيهم فلان إنه كلم فلانا وسلم على فلان وإن حلف لا يدخل على فلان في بيت فدخل على جماعة في بيت هو فيهم ولم يستثنه بقلبه حنث بدخوله عليهم وإن استثنى بقلبه عليهم ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يحنث كما لو حلف لا يسلم عليه فسلم عليهم واستثناه بقلبه والثاني: أنه يحنث لأن الدخول فعل لا يتميز فلا يصح تخصيصه بالاستثناء والسلام قول فجاز تخصيصه بالاستثناء ولهذا لو قال سلام عليكم إلا على فلان صح وإن قال دخلت عليكم إلا على فلان لم يصح.

Dan pendapat kedua: bahwa ia tidak melanggar sumpah karena sumpah dibawa kepada kebiasaan (‘urf), dan dalam kebiasaan tidak dikatakan kepada orang yang memberi salam kepada sekelompok orang dan di antara mereka ada si Fulan bahwa ia telah berbicara dengan Fulan atau memberi salam kepadanya.

Dan jika seseorang bersumpah tidak akan masuk kepada si Fulan di dalam rumah, lalu ia masuk kepada sekelompok orang di rumah yang di dalamnya terdapat si Fulan, dan ia tidak mengecualikannya dalam hatinya, maka ia melanggar sumpah dengan masuknya itu. Namun jika ia mengecualikannya dalam hatinya, maka ada dua pendapat: pertama, bahwa ia tidak melanggar sumpah, sebagaimana jika ia bersumpah tidak akan memberi salam kepadanya lalu memberi salam kepada mereka dan mengecualikannya dalam hati. Pendapat kedua: bahwa ia melanggar sumpah karena masuk adalah perbuatan yang tidak dapat dibedakan, sehingga tidak sah pengecualiannya dengan niat, sedangkan salam adalah ucapan sehingga boleh dikhususkan dengan pengecualian. Oleh karena itu, jika seseorang berkata: “Salāmun ‘alaikum illā ‘alā fulān” (salam sejahtera atas kalian kecuali kepada Fulan), maka sah. Namun jika ia berkata: “Dakhaltu ‘alaikum illā ‘alā fulān” (aku masuk kepada kalian kecuali kepada Fulan), maka tidak sah.

فصل: وإن حلف لا يصوم أولا يصلي فدخل فيهما حنث لأنه بالدخول فيهما يسمى صائما ومصليا وإن حلف لا يبيع أولا يتزوج أولا يهب لم يحنث إلا بالإيجاب والقبول ومن أصحابنا من قال: يحنث في الهبة بالإيجاب من غير قبول لأنه يقال وهب له ولم يقبل والصحيح هو الأول لأن الهبة عقد تمليك فلم يحنث فيه من غير إيجاب وقبول كالبيع والنكاح ولا يحنث إلا بالصحيح فأما إذا باع بيعاً فاسداً أو وهب هبة فاسدة لم يحنث لأن هذه العقود لا تطلق في العرف والشرع إلا على الصحيح.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan berpuasa atau tidak akan salat, lalu ia masuk ke dalam ibadah puasa atau salat, maka ia dianggap melanggar sumpah, karena dengan masuk ke dalamnya ia sudah disebut sebagai orang yang berpuasa dan salat.

Jika ia bersumpah tidak akan menjual, atau tidak akan menikah, atau tidak akan memberi hibah, maka ia tidak dianggap melanggar kecuali jika telah terjadi ijab dan qabul.

Sebagian ulama dari kalangan kami berpendapat bahwa ia dianggap melanggar dalam hibah hanya dengan ijab tanpa qabul, karena dalam kebiasaan dikatakan: “Ia telah memberikan hibah,” meskipun pihak lain belum menerimanya.

Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama, karena hibah merupakan akad kepemilikan, maka tidak dianggap melanggar tanpa ijab dan qabul, sebagaimana halnya jual beli dan pernikahan.

Dan ia tidak dianggap melanggar kecuali dengan akad yang sah. Adapun jika ia melakukan jual beli yang rusak (fāsid), atau hibah yang rusak, maka ia tidak dianggap melanggar, karena akad-akad tersebut dalam kebiasaan dan syariat tidak disebut sebagai akad kecuali jika sah.

فصل: وإن قال والله لا تسريت ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أن يحنث بوطء الجارية لأنه قد قيل إن التسري مشتق من السراة وهو الظهر فيصير كأنه حلف لا يتخذها ظهراً والجارية لا يتخذها ظهرا إلا بالوطء وقد قيل إنه مشتق من السر وهو الوطء فصار كما لو حلف لا يطؤها والثاني: أنه لا يحنث إلا بالتحصين عن العيون والوطء لأنه مشتق من السر فكأنه حلف لا يتخذها أسرى الجواري وهذا لا يحصل إلا بالتحصين والوطء والثالث أنه لا يحنث إلا بالتحصين والوطء والإنزال لأن التسري في العرف اتخاذ الجارية لابتغاء الولد ولا يحصل ذلك إلا بما ذكرناه.

PASAL: Dan jika seseorang berkata: “Demi Allah, aku tidak akan tasarrī,” maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

Pertama, ia melanggar sumpah dengan menyetubuhi budak perempuan, karena tasarrī dikatakan berasal dari kata as-sarāh yang berarti punggung, sehingga seolah-olah ia bersumpah tidak menjadikannya sebagai tunggangan, dan budak perempuan tidak dijadikan tunggangan kecuali dengan persetubuhan. Dan telah dikatakan bahwa kata itu berasal dari as-sirr (kerahasiaan), yaitu persetubuhan, maka keadaannya seperti orang yang bersumpah tidak akan menyetubuhinya.

Kedua, bahwa ia tidak melanggar sumpah kecuali dengan menyembunyikannya dari pandangan orang dan menyetubuhinya, karena tasarrī berasal dari as-sirr, sehingga seakan-akan ia bersumpah tidak akan menjadikannya sebagai tawanan khusus di antara budak-budaknya, dan hal itu tidak terwujud kecuali dengan penyembunyian dan persetubuhan.

Ketiga, bahwa ia tidak melanggar sumpah kecuali dengan penyembunyian, persetubuhan, dan keluarnya mani, karena tasarrī dalam kebiasaan (‘urf) adalah menjadikan budak perempuan untuk memperoleh anak, dan hal itu tidak terjadi kecuali dengan apa yang telah disebutkan.

فصل: وإن حلف أنه لا مال له وله دين حال حنث لأن الدين الحال مال بدليل أنه تجب فيه الزكاة ويملك أخذه إذا شاء فهو كالعين في يد المودع وإن كان له دين مؤجل ففيه وجهان: أحدهما: لا يحنث لأنه لا يستحق قبضه في الحال والثاني: أن يحنث لأنه يملك الحوالة به والإبراء عنه وإن كان له مال مغصوب حنث لأنه على ملكه وتصرفه وإن كان له مال ضال ففيه وجهان: أحدهما: يحنث لأن الأصل بقاؤه والثاني: لا يحنث لأنه لا يعلم بقاؤه فلا يحنث بالشك.

PASAL: Jika seseorang bersumpah bahwa ia tidak memiliki harta, padahal ia memiliki piutang yang telah jatuh tempo, maka ia dianggap melanggar sumpah, karena piutang yang jatuh tempo adalah harta. Dalilnya: ia wajib dizakati dan ia berhak menagihnya kapan saja ia mau, maka kedudukannya seperti harta yang berada di tangan orang yang dititipi.

Jika piutangnya masih ditangguhkan (mu’ajjāl), maka terdapat dua pendapat:

Pertama, ia tidak dianggap melanggar karena ia belum berhak menagihnya saat itu.
Kedua, ia dianggap melanggar karena ia berhak menjadikan piutang itu sebagai objek ḥawālah (pengalihan utang) dan membebaskan orang dari utangnya.

Jika ia memiliki harta yang digelapkan (maghṣūb), maka ia dianggap melanggar, karena harta tersebut masih berada dalam kepemilikannya dan dapat ia pergunakan.

Jika ia memiliki harta yang hilang (ḍāll), maka terdapat dua pendapat:

Pertama, ia dianggap melanggar karena hukum asalnya adalah harta itu masih ada.
Kedua, ia tidak dianggap melanggar karena tidak diketahui keberadaannya, maka tidak dianggap melanggar berdasarkan sesuatu yang meragukan.

فصل: وإن حلف أنه لا يملك عبدا وله مكاتب فالمنصوص أنه لا يحنث وقال في الأم: ولو ذهب ذاهب إلى أنه عبد ما بقي عليه درهم إنما يعني أنه عبد في حال دون حال لأنه لو كان عبداً له لكان مسلطا على بيعه وأخذ كسبه فمن أصحابنا من جعل ذلك قولاً آخر وقال أبوعلي الطبري رحمه الله إنه لا يحنث قولاً واحدا وإنما ألزم الشافعي رحمه الله نفسه شيئا وانفصل عنه فلا يجعل ذلك قولاً له.

PASAL: Dan jika seseorang bersumpah bahwa ia tidak memiliki budak, padahal ia memiliki seorang mukātab, maka menurut pendapat yang masyhur ia tidak melanggar sumpah. Dan disebutkan dalam al-Umm: “Seandainya ada yang berpendapat bahwa ia tetap disebut budak selama masih ada satu dirham yang tersisa, maka hal itu bermakna bahwa ia budak dalam satu keadaan dan bukan dalam keadaan lain, karena seandainya ia benar-benar budak miliknya, tentu ia berhak menjualnya dan mengambil hasil kerjanya.”

Sebagian ulama mazhab kami menjadikan hal ini sebagai pendapat lain dari Imam Syafi‘i. Dan Abū ʿAlī ath-Ṭabarī rahimahullah berkata: sesungguhnya ia tidak melanggar sumpah menurut satu pendapat saja, dan sesungguhnya Imam Syafi‘i rahimahullah hanya membebani dirinya sendiri dengan sesuatu dan kemudian menjelaskannya, maka hal itu tidak dianggap sebagai pendapat resmi beliau.

فصل: وإن حلف لا يرفع منكراً إلى فلان القاضي أو إلى هذا القاضي ولم ينو أنه لا يرفعه إليه وهو قاض فرفعه إليه بعد العزل ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يحنث لأنه شرط أن يكون قاضياً فلم يحنث بعد العزل كما لو حلف لا يأكل هذه الحنطة فأكلها بعد ما صارت دقيقا والثاني: أنه يحنث لأنه علق اليمين على عينه فكان ذكر القضاء تعريفاً لا شرطاً كما لو حلف لا يدخل دار زيد هذه فدخلها بعد ما باعها زيد وإن حلف لا يرفع منكراً إلى قاض حنث بالرفع إلى كل قاض لعموم اللفظ وإن حلف لا يرفع منكراً إلى القاضي لم يحنث إلا بالرفع إلى قاضي البلد لأن التعريف بالألف واللام يرجع إليه فإن كان في البلد قاض عند اليمين فعزل وولي غيره فرفع إليه حنث.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan mengadukan kemungkaran kepada Fulan sang qāḍī, atau kepada qāḍī ini, dan ia tidak berniat bahwa larangan itu terbatas selama orang tersebut masih menjabat sebagai qāḍī, lalu ia mengadukannya setelah qāḍī itu diberhentikan, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: ia tidak dianggap melanggar, karena ia mensyaratkan bahwa orang tersebut masih menjabat sebagai qāḍī, sehingga setelah diberhentikan ia tidak melanggar sumpah. Hal ini sebagaimana jika ia bersumpah tidak akan memakan gandum ini, lalu ia memakannya setelah berubah menjadi tepung.

Kedua: ia dianggap melanggar, karena ia menggantungkan sumpah pada individu tertentu, sedangkan penyebutan sebagai qāḍī hanyalah sebagai identifikasi, bukan sebagai syarat. Hal ini seperti jika seseorang bersumpah tidak akan masuk ke rumah Zaid ini, lalu ia memasukinya setelah rumah itu dijual oleh Zaid.

Jika ia bersumpah tidak akan mengadukan kemungkaran kepada “seorang qāḍī”, maka ia melanggar jika mengadukannya kepada qāḍī mana pun, karena keumuman lafaznya.

Namun jika ia bersumpah tidak akan mengadukan kemungkaran kepada “al-qāḍī” (dengan al ma‘rifah), maka ia tidak dianggap melanggar kecuali jika ia mengadukannya kepada qāḍī yang ada di negeri itu, karena kata sandang al menunjuk pada qāḍī tertentu di tempat itu.

Jika saat ia bersumpah ada seorang qāḍī di negeri tersebut lalu qāḍī itu diberhentikan dan diganti oleh yang lain, kemudian ia mengadukannya kepada qāḍī yang baru, maka ia dianggap melanggar.

فصل: وإن حلف لا يكلم فلاناً حيناً أو دهراً أو حقباً أو زماناً بر بأدنى زمان لأنه اسم للوقت ويقع على القليل والكثير وإن حلف لا يكلمه مدة قريبة أو مدة بعيدة بر بأدنى مدة لأنه ما من مدة إلا وهي قريبة بالإضافة إلى ما هو أبعد منها بالإضافة إلى ما هو أقرب منها.

PASAL: Dan jika seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan si Fulan selama ḥīn, atau dahr, atau ḥuqb, atau zamān, maka ia dianggap menunaikan sumpah dengan meninggalkan pembicaraan dalam waktu yang paling singkat, karena semua istilah tersebut adalah nama bagi waktu, dan dapat mencakup waktu yang sedikit maupun yang banyak.

Dan jika ia bersumpah tidak akan berbicara dalam muddatan qarībah (waktu dekat) atau muddatan baʿīdah (waktu jauh), maka ia dianggap menunaikan sumpah dengan waktu yang paling singkat, karena tidak ada satu waktu pun melainkan ia dekat jika dibandingkan dengan yang lebih jauh, dan jauh jika dibandingkan dengan yang lebih dekat.

فصل: وإن حلف لا يستخدم فلانا فخدمه وهو ساكت لم يحنث لأنه حلف على فعله وهو طلب الخدمة ولم يوجد ذلك منه وإن حلف لا يتزوج أولا يطلق فأمر غيره حتى تزوج له أو طلق عنه لم يحنث لأنه حلف على فعله نفسه ولم يفعل وإن حلف لا يبيع أولا يضرب فأمر غيره ففعل فإن كان ممن يتولى ذلك بنفسه لم يحنث لما ذكرناه وإن كان ممن لا يتولى ذلك بنفسه كالسلطان فالمنصوص أنه لا يحنث وقال الربيع: فيه قول آخر أنه يحنث ووجهه أن العرف في حقه أن يفعل ذلك عنه بأمره واليمين يحمل على العرف ولهذا لو حلف لا يأكل الرؤوس حملت على رؤوس الأنعام

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan menggunakan si fulan, lalu si fulan melayaninya sementara ia diam, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah karena ia bersumpah atas perbuatannya sendiri, yaitu meminta pelayanan, dan hal itu tidak terjadi darinya. Jika ia bersumpah tidak akan menikah atau tidak akan menceraikan, lalu ia menyuruh orang lain hingga orang itu menikah untuknya atau menceraikan untuknya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah karena ia bersumpah atas perbuatannya sendiri dan ia tidak melakukannya. Jika ia bersumpah tidak akan menjual atau tidak akan memukul, lalu ia memerintahkan orang lain lalu orang itu melakukannya, maka jika ia termasuk orang yang biasa melakukan hal itu sendiri, ia tidak dianggap melanggar sumpah sebagaimana yang telah disebutkan. Namun jika ia termasuk orang yang tidak melakukan hal itu sendiri seperti seorang sulṭān, maka menurut pendapat yang manṣūṣ ia tidak melanggar sumpah, dan menurut al-Rabī‘, ada pendapat lain bahwa ia melanggar sumpah. Alasannya adalah karena menurut ‘urf, orang seperti dia melakukannya melalui perintahnya, dan sumpah itu mengikuti kebiasaan. Oleh karena itu, jika ia bersumpah tidak akan memakan kepala, maka maksudnya adalah kepala hewan ternak.

والصحيح هو الأول لأن اليمين على فعله والحقيقة لا تنتقل بعادة الحالف ولهذا لو حلف السلطان أنه لا يأكل الخبز أولا يلبس الثوب فأكل خبز الذرة ولبس عباءة حنث وإن لم يكن ذلك من عادته وإن حلف لا يحلق رأسه فأمر من حلقه ففيه طريقان: أحدهما: أنه على القولين كالبيع والضرب في حق من يتولاه بنفسه والثاني: أنه يحنث قولاً واحداً لأن العرف في الحلق في حق كل أحد أن يفعله غيره بأمره ثم يضاف الفعل إلى المحلوق.

Dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena sumpah itu atas perbuatannya sendiri, dan hakikat perbuatan tidak berubah karena kebiasaan orang yang bersumpah. Oleh karena itu, jika seorang sulṭān bersumpah tidak akan makan roti atau tidak akan memakai pakaian, lalu ia makan roti jagung atau memakai ‘abā’ah, maka ia dianggap melanggar sumpah meskipun itu bukan kebiasaannya. Jika ia bersumpah tidak akan mencukur kepalanya, lalu ia menyuruh orang lain untuk mencukurnya, maka dalam hal ini ada dua ṭarīq:

Pertama, berlaku dua pendapat seperti dalam kasus jual beli dan memukul bagi orang yang melakukannya sendiri.

Kedua, bahwa ia melanggar sumpah secara qaul wāḥid, karena kebiasaan dalam mencukur, bagi siapa pun, adalah dilakukan oleh orang lain atas perintahnya, kemudian perbuatan tersebut disandarkan kepada orang yang dicukur.

فصل: وإن حلف لا يدخل دارين فدخل أحدهما: أولا يأكل رغيفين فأكل أحدهما: أولا يأكل رغيفا فأكله إلا لقمة أولا يأكل رمانة فأكلها إلا حبة أولا يشرب ماء حب فشربه إلا جرعة لم يحنث لأنه لم يفعل المحلوف عليه وإن حلف لا يشرب ماء هذا النهر أو ماء هذه البئر ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي العباس أنه يحنث بشرب بعضه لأنه يستحيل شرب جميعه فانعقدت اليمين على ما لا يستحيل وهو شرب البعض والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يحنث بشرب بعضه لأنه حلف على شرب جميعه فلم يحنث بشرب بعضه كما لو حلف على شرب ماء في الحب.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan masuk dua rumah, lalu ia masuk salah satunya; atau bersumpah tidak akan makan dua roti, lalu ia makan salah satunya; atau bersumpah tidak akan makan satu roti lalu ia memakannya kecuali satu suapan; atau bersumpah tidak akan makan satu buah delima lalu ia memakannya kecuali satu biji; atau bersumpah tidak akan minum air dari satu ḥibb, lalu ia meminumnya kecuali satu tegukan—maka ia tidak dianggap melanggar sumpah karena ia belum melakukan hal yang disumpahkan.

Dan jika ia bersumpah tidak akan minum air sungai ini atau air sumur ini, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās, ia dianggap melanggar dengan meminum sebagian airnya, karena mustahil meminum seluruhnya, maka sumpah dianggap berlaku atas sesuatu yang mungkin dilakukan, yaitu meminum sebagian.

Kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq, ia tidak dianggap melanggar dengan meminum sebagian karena ia bersumpah untuk meminum seluruhnya, maka tidak dianggap melanggar dengan meminum sebagian, sebagaimana jika ia bersumpah untuk meminum air dalam satu ḥibb.

فصل: وإن حلف لا يأكل طعاماً اشتراه زيد فأكل طعاما اشتراه زيد وعمر ولم يحنث لأن ليس فيه شيء يمكن أن يشار إليه إن اشتراه زيد دون عمر فلم يحنث وإن اشترى كل واحد منهما طعاماً ثم خلطاه فأكل منه ففيه ثلاثة أوجه: أحدها: أنه لا يحنث لأن ليس فيه شيء يمكن أن يقال هذا الطعام اشتراه زيد دون عمرو فلم يحنث كما لو اشترياه في صفقة واحدة والثاني: أنه إن أكل النصف فما دونه لم يحنث وإن أكل أكثر من النصف حنث لأن النصف فما دونه يمكن أن يكون مما اشتراه عمرو فلم يحنث بالشك وفيما زاد يتحقق أنه أكل مما اشتراه زيد والثالث: وهو قول أبي إسحاق أنه أكل الحبة والعشرين حبة لم يحنث لجواز أن يكون مما اشتراه عمرو وإن أكل الكف والكفين حنث لأنه يستحيل فيما يختلط أن يتميز في الكف والكفين ما اشتراه زيد عما اشتراه عمرو.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan makanan yang dibeli oleh Zaid, lalu ia memakan makanan yang dibeli oleh Zaid dan ‘Amr, maka ia tidak dihukumi melanggar sumpah karena tidak ada sesuatu yang dapat ditunjuk secara pasti bahwa itu dibeli oleh Zaid saja tanpa ‘Amr, maka ia tidak dianggap melanggar.

Dan jika masing-masing dari keduanya membeli makanan lalu mencampurkannya, kemudian orang tersebut memakannya, maka terdapat tiga pendapat:

Pertama: ia tidak dianggap melanggar karena tidak ada bagian yang dapat dipastikan bahwa itu dibeli oleh Zaid saja tanpa ‘Amr, sebagaimana jika keduanya membeli dalam satu transaksi.

Kedua: jika ia memakan setengah atau kurang dari itu maka tidak dianggap melanggar, tetapi jika lebih dari setengah maka dianggap melanggar karena bagian setengah atau kurang masih mungkin berasal dari yang dibeli oleh ‘Amr, sehingga tidak dihukumi melanggar karena masih ada keraguan, tetapi jika lebih maka dipastikan ia telah memakan sebagian dari yang dibeli oleh Zaid.

Ketiga: dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, bahwa jika ia memakan satu atau dua puluh butir, maka tidak dianggap melanggar karena masih mungkin berasal dari yang dibeli oleh ‘Amr, namun jika ia memakan segenggam atau dua genggam maka dianggap melanggar karena dalam kondisi makanan tercampur seperti itu tidak mungkin dibedakan secara pasti dalam satu atau dua genggam antara yang dibeli oleh Zaid dan yang dibeli oleh ‘Amr.

فصل: وإن حلف لا يدخل دار زيد فحمله غيره باختياره فدخل به حنث لأن الدخول ينسب إليه كما ينسب إذا دخلها راكباً على البهيمة أو دخلها برجله فإن دخلها ناسياً لليمين أو جاهلاً بالدار أو أكره حتى دخلها ففيه وجهان: أحدهما: يحنث لأنه فعل ما حلف عليه فحنث والثاني: لا يحنث وهو الصحيح لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه”.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan masuk rumah Zaid, lalu ia dibawa masuk oleh orang lain dengan kerelaannya, maka ia dianggap melanggar sumpah karena perbuatan masuk itu dinisbatkan kepadanya, sebagaimana jika ia masuk dengan menunggang hewan atau berjalan dengan kakinya.

Namun jika ia masuk ke rumah itu dalam keadaan lupa terhadap sumpahnya, atau tidak tahu bahwa itu rumah Zaid, atau dipaksa hingga masuk ke dalamnya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, ia dianggap melanggar karena telah melakukan perbuatan yang ia sumpahkan untuk tidak dilakukan.

Kedua, ia tidak dianggap melanggar, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Umatku telah dihapus (dosa) karena kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka lakukan karena paksaan.”

ولأن حال النسيان والجهل والإكراه لا يدخل في اليمين كما لا يدخل في الأمر والنهي في خطاب الله عز وجل وخطاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وإذا لم يدخل في اليمين لم يحنث به وإن حمله غيره مكرهاً حتى دخل به ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كما لو أكره حتى دخلها بنفسه لأنه لما كان في حال الاختيار دخوله بنفسه ودخوله محمولاً واحداً لوجب أن يكون في حال الإكراه دخوله بنفسه ودخوله محمولا واحدا ومنهم من قال: لا يحنث قولاً واحداً لأن الفعل إنما ينسب إليه إما بفعله حقيقة أو بفعل غيره بأمره مجازا وههنا لم يوجد واحد منهما فلم يحنث.

Karena keadaan lupa, tidak tahu, dan dipaksa tidak termasuk dalam cakupan sumpah, sebagaimana hal itu juga tidak termasuk dalam cakupan perintah dan larangan dalam khiṭāb Allah SWT maupun khiṭāb Rasulullah SAW. Maka ketika hal itu tidak termasuk dalam sumpah, ia tidak dianggap melanggar karenanya.

Dan jika ia dibawa oleh orang lain secara paksa hingga masuk bersamanya, maka terdapat dua ṭarīq:

Sebagian aṣḥāb kami berkata: dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana jika ia dipaksa hingga masuk dengan kakinya sendiri, karena sebagaimana dalam keadaan pilihan masuk dengan kakinya sendiri dan masuk dengan cara dibawa dianggap sama, maka dalam keadaan dipaksa pun keduanya seharusnya sama.

Dan sebagian dari mereka berkata: tidak dianggap melanggar menurut satu pendapat saja, karena perbuatan hanya dapat dinisbatkan kepadanya jika ia melakukannya secara nyata, atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya secara majāz. Sedangkan dalam kasus ini tidak ada salah satu dari keduanya, maka ia tidak dianggap melanggar.

فصل: وإن حلف ليأكلن هذا الرغيف غداً فأكله من الغد بر في يمينه لأنه فعل ما حلف على فعله وإن ترك أكله في الغد حتى انقضى حنث لأنه فوت المحلوف عليه باختياره وإن أكل نصفه في الغد حنث لأنه قدر على أكل الجميع ولم يفعل وإن أكله في يومه حنث لأنه فوت المحلوف عليه باختياره فحنث كما لوترك أكله حتى انقضى الغد وإن تلف الرغيف في يومه أوفي الغد قبل أن يتمكن من أكله ففيه قولان كالمكره،

PASAL: Jika seseorang bersumpah akan memakan roti ini besok, lalu ia memakannya pada hari esok, maka ia menepati sumpahnya karena ia telah melakukan apa yang ia sumpahkan. Jika ia tidak memakannya pada hari esok hingga hari itu berlalu, maka ia melanggar sumpah karena ia dengan pilihannya telah menggugurkan hal yang disumpahkan. Jika ia hanya memakan setengahnya pada hari esok, maka ia melanggar sumpah karena ia mampu memakan seluruhnya tetapi tidak melakukannya. Jika ia memakannya pada hari ini, maka ia melanggar sumpah karena ia dengan pilihannya telah menggugurkan hal yang disumpahkan, sehingga ia melanggar sebagaimana jika ia meninggalkan makan hingga esok hari berlalu. Jika roti itu rusak pada hari ini atau pada hari esok sebelum ia sempat memakannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat sebagaimana orang yang dipaksa.

وإن تلف من الغد بعدما تمكن من أكله ففيه طريقان: من أصحابنا من قال يحنث قولا واحدا لأنه فوته باختياره ومنهم من قال فيه قولان لأن جميع الغد وقت للأكل فلم يكن تفويته بفعله فإن حلف ليقضينه حقه عند رأس الشهر مع رأس الشهر فقضاه قبل رؤية الهلال حنث لأنه فوت القضاء باختياره وإن رأى الهلال ومضى زمان أمكنه فيه القضاء فلم يقضه حنث لأنه فوت القضاء باختياره وإن أخذ عند رؤية الهلال في كيله وتأخر الفراغ منه لكثرته لم يحنث لأنه لم يترك القضاء

Dan jika roti itu rusak pada hari esok setelah ia sempat memakannya, maka dalam hal ini terdapat dua metode: sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa ia melanggar sumpah secara pasti karena ia telah menggugurkannya dengan pilihannya; dan sebagian lagi mengatakan bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat karena seluruh hari esok adalah waktu untuk makan, sehingga pengguguran itu tidak terjadi dengan perbuatannya.

Jika seseorang bersumpah akan membayar haknya pada awal bulan, bersamaan dengan awal bulan, lalu ia membayarnya sebelum melihat hilal, maka ia melanggar sumpah karena ia telah menggugurkan pembayaran dengan pilihannya. Dan jika ia telah melihat hilal dan berlalu waktu yang memungkinkan baginya untuk membayar namun ia tidak membayarnya, maka ia melanggar sumpah karena ia telah menggugurkan pembayaran dengan pilihannya. Namun jika ia mulai menakar saat melihat hilal dan terlambat menyelesaikannya karena banyaknya, maka ia tidak melanggar sumpah karena ia tidak meninggalkan pembayaran.

وإن أخر عن أول ليلة الشك ثم بان أنه كان من الشهر ففيه قولان كالناسي والجاهل وإن قال والله لأقضين حقه إلى شهر رمضان فلم يقضه حتى دخل الشهر حنث لأنه ترك ما حلف على فعله من غير ضرر وإن قال والله لأفين حقه إلى أول الشهر فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم قال حكمها حكم ما لو قال والله لأقضين حقه عند رأس الشهر وهو ظاهر النص وإن قضاه قبل رؤية الهلال حنث وإن رأى الهلال ومضى وقت يمكن فيه القضاء ثم قضاه حنث لأن إلى فد تكون للغاية كقوله عز وجل: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}

Dan jika ia menunda dari malam pertama malam syak lalu ternyata malam itu termasuk dari bulan (yang dituju), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat seperti halnya orang yang lupa atau tidak tahu.

Jika ia berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan melunasi haknya sebelum bulan Ramadan,” lalu ia tidak melunasinya hingga bulan itu masuk, maka ia melanggar sumpah karena ia telah meninggalkan apa yang ia sumpahkan untuk dilakukan tanpa ada uzur.

Dan jika ia berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan menunaikan haknya hingga awal bulan,” maka para sahabat kami berbeda pendapat tentangnya. Sebagian dari mereka berkata: hukumnya seperti orang yang berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan melunasi haknya pada awal bulan,” dan ini adalah yang tampak dari nash. Maka jika ia melunasinya sebelum melihat hilal, ia melanggar sumpah. Dan jika ia melihat hilal dan telah berlalu waktu yang memungkinkan untuk melunasinya lalu baru ia tunaikan, maka ia juga melanggar sumpah. Karena kata ilā bisa bermakna sebagai batas akhir, sebagaimana firman Allah SWT: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}.

فلما احتمل أن تكون للغاية واحتمل أن تكون للمقارنة لم يجز أن نحنثه بالشك ويخالف قوله والله لأقضين حقه إلى رمضان لأنه لا يحتمل أن تكون للمقارنة لأنه لا يمكن أن يقارن القضاء في جميع شهر رمضان فجعلناه للغاية.

Maka ketika kata ilā memungkinkan bermakna sebagai batas akhir dan memungkinkan pula bermakna untuk kebersamaan (yakni permulaan waktu), tidak boleh kita menyatakan ia melanggar sumpah karena adanya keraguan. Berbeda halnya dengan ucapannya: “Demi Allah, sungguh aku akan melunasi haknya hingga Ramadan,” karena tidak mungkin dimaknai kebersamaan (yakni ia melunasi di seluruh bulan Ramadan), maka kami menjadikannya bermakna batas akhir.

فصل: وإن كان له على رجل حق فقال له والله لا فارقتك حتى أستوفي حقي ففر منه الغريم لم يحنث الحالف وقال أبوعلي ابن أبي هريرة فيه قولان كالقولين في المكره وهذا خطأ لأنه حلف على فعل نفسه ولم يوجد ذلك منه ولو قال والله لا فارقتني حتى أستوفي حقي منك ففارقه الغريم مختارا ذاكرا لليمين حنث الحالف وإن فارقه مكرهاً أو ناسياً ففيه طريقان من أصحابنا من قال هي على القولين في المكره والناسي ومنهم من قال يحنث الحالف قولاً واحداً لأن الاختيار والقصد يعتبر في فعل الحالف لا في فعل غيره والصحيح هو الأول وأن يعتبر في فعل من حلف على فعله

PASAL: Jika seseorang memiliki hak atas orang lain lalu ia berkata kepadanya: “Demi Allah, aku tidak akan berpisah darimu sampai aku melunasi hakku,” lalu orang yang berutang melarikan diri darinya, maka si pengucap sumpah tidak dianggap melanggar sumpah. Dan Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah berpendapat bahwa dalam hal ini ada dua pendapat seperti dua pendapat dalam kasus orang yang dipaksa (al-mukrah), namun ini adalah pendapat yang keliru karena ia bersumpah atas perbuatan dirinya sendiri, dan perbuatan itu tidak terjadi darinya.

Namun jika ia berkata: “Demi Allah, engkau tidak akan berpisah dariku sampai aku melunasi hakku darimu,” lalu orang yang berutang berpisah darinya dengan sengaja dan sadar akan sumpah tersebut, maka si pengucap sumpah dianggap melanggar sumpah. Namun jika orang itu berpisah darinya dalam keadaan dipaksa atau lupa, maka terdapat dua ṭarīq dari kalangan ulama kami: di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kasus ini seperti dua pendapat dalam hal orang yang dipaksa dan yang lupa, dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa si pengucap sumpah dianggap melanggar sumpah secara qawl wāḥid, karena kehendak dan kesengajaan itu dianggap dalam perbuatan orang yang bersumpah, bukan dalam perbuatan orang lain.

Dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, yaitu bahwa yang menjadi tolok ukur adalah perbuatan orang yang bersumpah atas dirinya sendiri.

وإن كانت اليمين على فعل الحالف اعتبر الاختيار والقصد في فعله وإن كانت على فعل غيره اعتبر الاختيار والقصد في فعله وإن فارقه الحالف لم يحنث لأن اليمين على فعل الغريم ولم يوجد منه فعل وإن حلف لا يفارق غريمه حتى يستوفي حقه منه ثم أفلس وفارقه لما يعلم من وجوب إنظار المعسر حنث لأنه فعل المحلوف عليه مختاراً ذاكراً لليمين فحنث، وإن وجب الفعل بالشرع كما لو حلف لأرددت عليك المغصوب فرده حنث وإن وجب الرد بالشرع فإن ألزمه الحاكم مفارقته فعلى قولين.

Jika sumpah itu berkaitan dengan perbuatan si pengucap sumpah, maka yang diperhitungkan adalah adanya pilihan dan maksud dalam perbuatannya. Namun jika sumpah itu berkaitan dengan perbuatan orang lain, maka yang diperhitungkan adalah pilihan dan maksud dalam perbuatan orang lain itu. Maka jika yang berpisah adalah si pengucap sumpah, ia tidak dianggap melanggar sumpah karena sumpahnya terkait dengan perbuatan orang yang berutang, sedangkan perbuatan itu tidak terjadi darinya.

Dan jika ia bersumpah tidak akan berpisah dari orang yang berutang hingga ia melunasi haknya darinya, lalu orang itu jatuh bangkrut dan ia berpisah darinya karena mengetahui wajibnya memberi tenggang waktu kepada orang yang kesulitan, maka ia dianggap melanggar sumpah karena ia melakukan perbuatan yang menjadi objek sumpah dengan kehendak dan dalam keadaan sadar akan sumpahnya, maka ia pun dianggap melanggar.

Jika perbuatan yang disumpahkan itu memang diwajibkan oleh syariat, seperti jika ia bersumpah: “Demi Allah, akan kukembalikan barang yang digasap kepadamu,” lalu ia pun mengembalikannya, maka ia tetap dianggap melanggar sumpah meskipun pengembalian itu wajib secara syar‘i. Namun jika pengembalian itu diwajibkan secara syar‘i dan hakim memaksanya untuk berpisah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

فصل: وإن حلف لا يفارقه حتى يستوفي حقه منه فأحاله على غيره أو أبرأه من الدين أو دفع إليه عوضاً عن حقه حنث في اليمين لأنه لم يستوف حقه وإن كان حقه دنانير فدفع إليه شيئاً على أنه دنانير فخرج نحاساً فعلى القولين في الجاهل وإن قال من عليه الحق والله لا فارقتك حتى أدفع إليك مالك وكان الحق عيناً فوهبها منه فقبلت حنث لأنه فوت الدفع بقبوله وإن كان دينا فأبرأه منه وقلنا إنه لا يحتاج الإبراء إلى القبول على الصحيح من المذهب فعلى الطريقين فيمن حلف لا يدخل الدار فحمل إليه مكرهاً.

PASAL: Jika seseorang bersumpah tidak akan berpisah darinya sampai ia mengambil haknya darinya, lalu pihak yang berutang mengalihkannya kepada orang lain, atau ia membebaskannya dari utang, atau menyerahkan ganti rugi atas haknya, maka ia melanggar sumpah karena ia belum mengambil haknya. Dan jika haknya berupa dinar, lalu diberi sesuatu dengan anggapan bahwa itu dinar, ternyata berupa tembaga, maka berlaku dua pendapat dalam kasus orang yang tidak tahu.

Dan jika orang yang berutang berkata, “Demi Allah aku tidak akan berpisah darimu sampai aku menyerahkan hartamu kepadamu,” lalu ternyata hak itu berupa barang, kemudian ia memberikannya sebagai hibah dan pihak yang berhak menerimanya, maka ia (yang bersumpah) melanggar sumpah karena ia menggugurkan penyerahan dengan penerimaannya. Jika hak itu berupa utang, lalu ia membebaskannya, dan kita katakan bahwa pembebasan tidak membutuhkan penerimaan menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, maka berlaku dua metode pendapat dalam kasus orang yang bersumpah tidak masuk rumah lalu dibawa masuk secara paksa.

باب كفارة اليمين
إذا حلف بالله تعالى ثم حنث وجبت عليه الكفارة لما روى عبد الرحمن بن سمرة قال: قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يا عبد الرحمن بن سمرة لا تسأل الإمارة فإنك من أعطيتها عن مسألة وكلت إليها وإن أعطيتها من غير مسألة أعنت عليها وإن حلفت على يمين فرأيت غيرها خيراً منها فأت الذي هو خير وكفر عن يمينك”.

PASAL KAFARAT SUMPAH
Apabila seseorang bersumpah dengan nama Allah Ta‘ala lalu ia melanggar sumpahnya, maka wajib atasnya membayar kafārah, berdasarkan riwayat dari ‘Abdurraḥmān bin Samurah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku: “Wahai ‘Abdurraḥmān bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan, karena jika engkau diberi (jabatan) itu karena permintaan, engkau akan diserahkan (kepada dirimu sendiri); dan jika engkau diberi tanpa permintaan, engkau akan diberi pertolongan untuk menunaikannya. Jika engkau bersumpah atas suatu hal, lalu engkau melihat ada yang lebih baik daripadanya, maka lakukanlah yang lebih baik itu dan bayarlah kafārah sumpahmu.”

وإن حلف على فعل مرتين بأن قال والله لا دخلت الدار والله لا دخلت الدار نظرت فإن نوى بالثاني التأكيد لم يلزمه إلا كفارة واحدة وإن نوى الاستئناف ففيه قولان: أحدهما: يلزمه كفارتان لأنهما يمينان بالله عز وجل فتعلق بالحنث فيهما كفارتين كما لو كانت على فعلين

Dan jika seseorang bersumpah untuk melakukan suatu perbuatan sebanyak dua kali dengan berkata, “Demi Allah aku tidak akan masuk rumah,” lalu mengulangi lagi, “Demi Allah aku tidak akan masuk rumah,” maka dilihat maksudnya. Jika ia bermaksud dengan sumpah kedua sebagai penegasan (ta’kīd), maka ia hanya wajib satu kafārah. Namun jika ia bermaksud sebagai sumpah baru (istinaf), maka ada dua pendapat:

Pertama: Wajib dua kafārah, karena keduanya adalah dua sumpah dengan nama Allah SWT, sehingga pelanggarannya mewajibkan dua kafārah, sebagaimana jika sumpah itu atas dua perbuatan.

والثاني: تجب كفارة واحدة وهو الصحيح لأن الثانية لا تفيد إلا ما أفادت الأولى فلم يجب أكثر من كفارة كما لو قصد بها التأكيد وإن لم يكن له نية فإن قلنا إنه إذا نوى الاستئناف لزمه كفارة واحدة فههنا أولى وإن قلنا هناك تجب كفارتان ففي هذا قولان بناء على القولين فيه من كرر لفظ الطلاق ولم ينو.

Dan pendapat kedua: Wajib satu kafārah saja, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena sumpah yang kedua tidak memberikan makna selain apa yang telah diberikan oleh sumpah yang pertama, maka tidak wajib lebih dari satu kafārah, sebagaimana jika dimaksudkan untuk penegasan.

Dan jika ia tidak memiliki niat, maka bila kita mengatakan bahwa apabila ia meniatkan sebagai sumpah baru hanya wajib satu kafārah, maka di sini lebih utama (untuk dianggap satu kafārah). Namun jika kita mengatakan bahwa dalam kasus tersebut wajib dua kafārah, maka dalam kasus ini ada dua pendapat, dibangun atas dua pendapat tentang orang yang mengulangi lafaz ṭalāq tanpa niat.

فصل: والكفارة إطعام عشرة مساكين أو كسوتهم أو تحرير رقبة وهو مخير بين الثلاثة والدليل عليه قوله تعالى: {لا يُؤَاخِذُكُمُ الله بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ} فإن لم يقدر على الثلاثة لزمه صيام ثلاثة أيام لقوله عز وجل: {فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ} فإن كان يكفر بالمال فالمستحب أن لا يكفر قبل الحنث ليخرج من الخلاف فإن أبا حنيفة لا يجيز تقديم الكفارة على الحنث،

PASAL:
Kafārahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak, dan ia boleh memilih salah satu dari ketiganya. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā: {Allah tidak menghukum kamu karena sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja, tetapi Dia menghukum kamu karena sumpah yang kamu teguhkan; maka kafārahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak}. Jika tidak mampu melakukan salah satu dari ketiga hal tersebut, maka ia wajib berpuasa tiga hari, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Maka barang siapa tidak mendapatkannya, maka wajib berpuasa selama tiga hari}.

Jika ia ingin membayar kafārah dengan harta, maka disunnahkan untuk tidak melakukannya sebelum pelanggaran sumpah agar keluar dari khilāf, karena Abū Ḥanīfah tidak membolehkan membayar kafārah sebelum terjadinya pelanggaran.

وإن أراد أن يكفر بالمال قبل الحنث نظرت فإن كان الحنث بغير معصية جاز تقديم الكفارة لأنه حق مال يتعلق بسببين يختصانه فإذا وجد أحدهما: جاز تقديمه على الآخر كالزكاة قبل الحول وإن كان الحنث بمعصية والثاني: يجوز لما ذكرناه والثاني: لا يجوز لأنه يتوصل به إلى معصية واختلف أصحابنا في كفارة الظهار قبل العود وكفارة القتل بعد الجرح وقبل الموت فمنهم من قال فيه وجهان كما قلنا في اليمين على معصية ومنهم من قال يجوز لأنه ليس فيه توصل إلى معصية وإن كان يكفر بالصوم لم يجز قبل الحنث لأنها عبادة تتعلق بالبدن لا حاجة به إلى تقديمها فلم يجز تقديمها على الوجوب كصوم رمضان.

Jika ia ingin membayar kafārah dengan harta sebelum pelanggaran sumpah, maka dilihat dahulu: jika pelanggaran sumpah itu bukan merupakan kemaksiatan, maka boleh mendahulukan kafārah, karena itu adalah hak harta yang bergantung pada dua sebab khusus, sehingga jika salah satu sebabnya telah ada, maka boleh mendahulukan seperti halnya zakat sebelum genap setahun. Namun jika pelanggaran sumpah itu berupa kemaksiatan, maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama: boleh, sebagaimana telah disebutkan.
Pendapat kedua: tidak boleh, karena hal itu menjadi jalan menuju kemaksiatan.

Para ulama kami berbeda pendapat tentang kafārah ẓihār sebelum al-‘aud dan kafārah pembunuhan setelah luka namun sebelum kematian. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa terdapat dua wajah, sebagaimana halnya pada sumpah terhadap kemaksiatan. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa hal itu boleh karena tidak mengantarkan kepada kemaksiatan.

Jika ia ingin membayar kafārah dengan puasa, maka tidak boleh dilakukan sebelum pelanggaran, karena puasa adalah ibadah yang berkaitan dengan badan dan tidak ada keperluan untuk mendahulukannya, maka tidak boleh didahulukan sebelum wajib, seperti puasa Ramadan.

فصل: وإن أراد أن يكفر بالعتق لم يجز إلا بما يجوز في الظهار وقد بيناه وإن أراد أن يكفر بالإطعام أطعم كل مسكين مدا كما يطعم في الظهار وقد بيناه.

PASAL:
Jika ia ingin membayar kafārah dengan memerdekakan budak, maka tidak sah kecuali dengan budak yang sah untuk kafārah ẓihār, dan hal ini telah dijelaskan. Dan jika ia ingin membayar kafārah dengan memberi makan, maka ia memberi makan setiap orang miskin sebanyak satu mudd, sebagaimana dalam kafārah ẓihār, dan hal ini pun telah dijelaskan.

فصل: وإن أراد أن يكفر بالكسوة كسا كل مسكين ما يقع عليه اسم الكسوة من قميص أو سراويل أو إزار أو رداء أم مقنعة أو خمار لأن الشرع ورد به مطلقا ولم يقدر فحمل على ما يسمى كسوة في العرف وهل يجزئ فيه القلنسوة ففيه وجهان: أحدهما: لا يجزئه لأنه لا يطلق عليه اسم الكسوة والثاني: أنه يجزئه وهو قول أبي إسحاق المروزي

PASAL: Jika seseorang ingin membayar kafārah dengan memberi pakaian, maka ia memberikan kepada setiap miskin sesuatu yang secara umum disebut pakaian, seperti qamīṣ, sirwāl, izār, ridā’, miqna‘ah, atau khimār, karena syariat menyebutkannya secara mutlak dan tidak menetapkannya secara rinci, maka dipahami sesuai dengan apa yang dikenal sebagai pakaian dalam kebiasaan. Adapun apakah qualanasuwah (kopiah) mencukupi, terdapat dua pendapat: pertama, tidak mencukupi karena tidak disebut sebagai pakaian; kedua, mencukupi, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī.

لما روي أن رجلاً سأل عمران بن الحصين عن قوله تعالى: {أَوْ كِسْوَتُهُمْ} قال لو أن وفداً قدموا على أميركم هذا فكساهم قلنسوة قلنسوة قلتم قد كسوا ولا يجزئ الخف والنعل والمنطقة والتكة لأنه لا يقع عليه اسم الكسوة ويجزئ الكساء والطيلسان لأنه من الكسوات ويجوز ما اتخذ من القطن والكتان والشعر والصوف والخز وأما الحرير فإنه إن أعطاه للمرأة أجزأه وهل يجوز أن يعطي رجلاً ففيه وجهان: أحدهما: لا يجزئ لأنه يحرم عليه لبسه والثاني: يجزئه وهو الصحيح لأنه يجوز أن يعطي الرجال كسوة النساء والنساء كسوة الرجال ويجوز فيه الخام والمقصور والبياض والمصبوغ فأما الملبوس فإنه إن ذهبت قوته لم يجزه وإن لم تذهب قوته أجزأه كما تجزئه الرقبة إذا لم تبطل منفعتها ولا تجزئه إذا بطلت منفعتها.

Karena ada riwayat bahwa seorang laki-laki bertanya kepada ‘Imrān bin Ḥuṣayn tentang firman Allah Ta‘ālā: {aw kiswatuhum}, maka beliau menjawab: “Seandainya sekelompok tamu datang kepada amir kalian ini, lalu ia memberi mereka masing-masing qualanasuwah satu per satu, niscaya kalian akan berkata bahwa mereka telah diberi pakaian.” Namun khuff, na‘al, minṭaqah, dan tikkah tidak mencukupi, karena tidak dinamakan pakaian. Yang mencukupi adalah kisā’ dan ṭaylasān karena termasuk jenis pakaian. Boleh berupa bahan dari kapas, linen, rambut hewan, wol, atau khazz. Adapun sutra, jika diberikan kepada perempuan maka mencukupi. Apakah boleh diberikan kepada laki-laki? Ada dua pendapat: pertama, tidak mencukupi karena haram dipakai olehnya; kedua, mencukupi, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena boleh memberikan pakaian laki-laki kepada perempuan dan sebaliknya.

Boleh berupa kain mentah atau kain jadi, baik putih maupun berwarna. Adapun pakaian bekas, jika telah rusak daya pakainya maka tidak mencukupi; namun jika masih bisa dipakai, maka mencukupi, sebagaimana budak yang masih bermanfaat mencukupi, dan tidak mencukupi jika manfaatnya telah hilang.

فصل: وإن أراد أن يكفر بالصيام ففيه وجهان: أحدهما: لا يجوز إلا متتابعاً لأنه كفارة جعل الصوم فيها بدلاً عن العتق فشرط في صومها التتابع ككفارة الظهار والقتل والثاني: أنه يجوز متتابعا ومتفرقا لأنه صوم نزل به القرآن مطلقاً فجاز متفرقا ومتتابعا كالصوم في فدية الأذى.

PASAL: Jika seseorang ingin membayar kafārah dengan puasa, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: tidak boleh kecuali secara berturut-turut, karena puasa di sini merupakan pengganti dari ‘itq (memerdekakan budak), maka disyaratkan padanya mutatābi‘ah sebagaimana dalam kafārah ẓihār dan pembunuhan. Pendapat kedua: boleh dilakukan secara berturut-turut maupun terpisah, karena puasa disebutkan dalam al-Qur’an secara mutlak, maka boleh dilaksanakan baik secara terpisah maupun berturut-turut sebagaimana puasa dalam fidyah pelanggaran iḍā’.

فصل: وإن كان الحالف عبدا فكفارته الصوم وإن كان الصوم يضر به لشدة الحر وطول النهار نظرت فإن حلف بإذن المولى وحنث بإذنه جاز له أن يصوم من غير إذنه لأنه لزمه بإذنه وإن حلف بغير إذنه وحنث بغير إذنه لم يجز أن يصوم إلا بإذنه لأنه لزمه بغير إذنه وإن حلف بغير إذنه وحنث بإذنه جاز أن يصوم بغير إذنه لأنه لزمه بإذنه وإن حلف بإذنه وحنث بغير إذنه ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز أن يصوم بغير إذنه لأنه وجد أحد السببين بإذنه فصار كما لو حلف بغير إذنه وحنث بإذنه

PASAL: Jika orang yang bersumpah adalah seorang budak, maka kafaratnya adalah puasa. Jika puasa membahayakannya karena panas yang sangat dan panjangnya siang hari, maka dilihat keadaannya. Jika ia bersumpah dengan izin tuannya dan melanggar sumpah juga dengan izinnya, maka boleh baginya untuk berpuasa tanpa izin tuannya, karena hal itu menjadi kewajiban atasnya dengan izinnya. Jika ia bersumpah tanpa izin tuannya dan melanggar sumpah juga tanpa izin tuannya, maka tidak boleh baginya berpuasa kecuali dengan izin tuannya, karena itu menjadi kewajiban atasnya tanpa izin. Jika ia bersumpah tanpa izin tuannya dan melanggar sumpah dengan izin tuannya, maka boleh baginya berpuasa tanpa izin tuannya karena hal itu menjadi kewajiban atasnya dengan izin. Dan jika ia bersumpah dengan izin tuannya dan melanggar sumpah tanpa izinnya, maka terdapat dua pendapat: pertama, bahwa boleh baginya berpuasa tanpa izin tuannya karena salah satu dari dua sebab terjadi dengan izinnya, maka itu seperti halnya orang yang bersumpah tanpa izin dan melanggar dengan izin.

والثاني: لا يجوز أن يصوم إذا كان الصوم لا يضر به كالصوم في الشتاء ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز أن يصوم بغير إذنه لأنه لا ضرر عليه والثاني: أنه كصوم الذي يضرب به على ما ذكرناه لأنه ينقص من نشاطه في خدمته فإن صام في المواضع التي منعناه من الصوم فيها أجزأه لأنه من أهل الصيام وإنما منع منه لحق المولى فإذا فعل بغير إذنه صح كصلاة الجمعة فإن كان نصفه حرا ونصفه عبدا وله مال لم يكفر بالعتق لأنه ليس من أهل الولاء ويلزمه أن يكفر بالطعام أو الكسوة ومن أصحابنا من قال فرضه الصوم وهو قول المزني لأنه ناقص بالرق وهو كالعبد والمذهب الأول لأنه يملك المال بنصف الحر ملكاً تاما فأشبه الحر.

dan kedua: tidak boleh berpuasa. Jika puasa tidak membahayakannya, seperti puasa di musim dingin, maka terdapat dua pendapat: pertama, boleh berpuasa tanpa izin tuannya karena tidak ada mudarat baginya; kedua, hukumnya seperti puasa yang membahayakan sebagaimana telah disebutkan, karena puasa mengurangi semangatnya dalam melayani. Jika ia berpuasa pada kondisi yang kami larang untuk berpuasa, maka puasanya tetap sah karena ia termasuk orang yang layak berpuasa, dan larangan itu hanya karena hak tuannya. Maka jika ia melakukannya tanpa izin, puasanya tetap sah sebagaimana shalat Jumat.

Jika separuh dirinya merdeka dan separuhnya budak, serta ia memiliki harta, maka ia tidak membayar kafārah dengan membebaskan budak karena ia bukan termasuk ahli walā’, dan wajib baginya membayar kafārah dengan makanan atau pakaian. Di antara para sahabat kami ada yang berpendapat bahwa kewajibannya adalah puasa, dan ini adalah pendapat al-Muzanī, karena ia masih terkurangi oleh status perbudakan, maka ia seperti budak. Namun pendapat yang kuat adalah yang pertama, karena ia memiliki harta dengan separuh kemerdekaannya secara kepemilikan sempurna, maka ia seperti orang merdeka.

إذا طلق الرجل امرأته قبل الدخول والخلوة لم تجب العدة لقوله تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} ولأن العدة تجب لبراءة الرحم وقد تيقنا براءة رحمها وإن طلقها بعد الدخول وجبت العدة لأنه لما أسقط العدة في الآية قبل الدخول دل على وجوبها بعد الدخول ولأن بعد الدخول يشتغل الرحم بالماء فوجبت العدة لبراءة الرحم وإن طلقها بعد الخلوة وقبل الدخول ففيه قولان: أحدهما: لا تجب العدة لما ذكرناه من الآية والمعنى والثاني: تجب لأن التمكين من استيفاء المنفعة جعل كالاستيفاء ولهذا تستقر به الأجرة في الإجارة كما تستقر بالاستيفاء فجعل كالاستيفاء في إيجاب العدة

Kitab al-‘Iddah
Pendahuluan

Kitab al-‘Iddah

Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya sebelum dukhūl dan khalwah, maka tidak wajib menjalani ‘iddah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا}
(Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban ‘iddah atas mereka yang harus kalian perhitungkan)

Karena ‘iddah diwajibkan untuk memastikan kekosongan rahim, dan kita telah meyakini bahwa rahimnya kosong.

Namun, apabila ia menceraikannya setelah dukhūl, maka wajib ‘iddah. Sebab, ketika ayat tersebut menggugurkan ‘iddah sebelum dukhūl, hal itu menunjukkan wajibnya ‘iddah setelah dukhūl. Selain itu, setelah dukhūl rahim akan terisi air (mani), sehingga wajib ‘iddah untuk memastikan kekosongannya.

Jika ia menceraikannya setelah khalwah tetapi sebelum dukhūl, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, tidak wajib ‘iddah, sebagaimana yang telah disebutkan dari ayat dan makna.

Kedua, wajib ‘iddah, karena memberi kesempatan untuk memperoleh manfaat disamakan dengan mengambil manfaat itu sendiri. Oleh karena itu, upah dalam akad sewa menjadi tetap dengan kesempatan itu sebagaimana menjadi tetap dengan pemanfaatan secara nyata. Maka hal itu disamakan dengan pemanfaatan dalam mewajibkan ‘iddah.

فصل: وإن وجبت العدة على المطلقة لم تخل إما أن تكون حرة أو أمة فإن كانت حرة نظرت فإن كانت حاملاً من الزوج اعتدت بالحمل لقوله تعالى: {وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ}  ولأن براءة الرحم لا تحصل في الحامل إلا بوضع الحمل فإن كان الحمل ولداً واحداً لم تنقض العدة حتى ينفصل جميعه وإن كان ولدين أو أكثر لم تنقض حتى ينفصل الجميع لأن الحمل هو الجميع ولأن براءة الرحم لا تحصل إلا بوضع الجميع وإن وضعت ما بان فيه خلق آدمي انقضت به العدة

PASAL
Jika ‘iddah wajib atas perempuan yang ditalak, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia seorang ḥurrah (perempuan merdeka) atau amah (budak).

Jika ia seorang ḥurrah, maka dilihat:
Jika ia sedang hamil dari suaminya, maka ‘iddah-nya dengan kehamilan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ}
(Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu tunggu mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya)

Karena kekosongan rahim tidak akan tercapai pada perempuan hamil kecuali dengan melahirkan.

Jika kandungannya hanya satu anak, maka ‘iddah tidak selesai sampai seluruhnya keluar. Dan jika anaknya dua atau lebih, maka ‘iddah tidak selesai sampai seluruhnya keluar, karena yang disebut kehamilan adalah keseluruhannya, dan kekosongan rahim tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya semuanya.

Jika ia melahirkan sesuatu yang telah tampak padanya bentuk manusia, maka ‘iddah selesai dengannya.

وإن وضعت مضغة لم يظهر فيه خلق آدمي وشهد أربع نسوة من أهل المعرفة أنه خلق آدمي ففيه طريقان: من أصحابنا من قال تنقضي به العدة قولاً واحداً ومنهم من قال فيه قولان وقد بيناه في عتق أم الولد وأقل مدة الحمل ستة أشهر لما روي أنه أتي عثمان رضي الله عنه بامرأة ولدت لستة أشهر فشاور القوم في رجمها فقال ابن عباس رضي الله عنه: أنزل الله عز وجل: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً} وأنزل: {وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ} فالفصال في العامين والحمل في ستة أشهر وذكر القتيبي في المعارف أن عبد الملك بن مروان ولد لستة أشهر وأكثره أربع سنين

Jika ia melahirkan muḍghah (segumpal daging) yang belum tampak padanya bentuk manusia, lalu empat orang perempuan dari kalangan ahli dalam bidang tersebut bersaksi bahwa itu adalah bentuk manusia, maka terdapat dua ṭarīq (metode pendalilan):

Sebagian dari aṣḥāb kami mengatakan bahwa ‘iddah selesai dengannya menurut satu pendapat saja.
Sebagian lain mengatakan bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat. Dan hal ini telah kami jelaskan dalam pembahasan tentang memerdekakan umm al-walad.

Adapun masa minimal kehamilan adalah enam bulan, berdasarkan riwayat bahwa pernah dibawa seorang perempuan kepada ‘Utsmān RA yang melahirkan setelah enam bulan, lalu beliau bermusyawarah dengan para sahabat untuk merajamnya. Maka Ibn ‘Abbās RA berkata:

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
{وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً}
(dan masa kehamilan dan penyapihannya adalah tiga puluh bulan)
dan Dia juga berfirman:
{وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ}
(dan penyapihannya dalam dua tahun)

Maka penyapihan berlangsung dua tahun dan kehamilan enam bulan.

Al-Qutaybī menyebutkan dalam al-Ma‘ārif bahwa ‘Abd al-Malik ibn Marwān dilahirkan setelah enam bulan.

Dan masa maksimal kehamilan adalah empat tahun.

لما روى الوليد بن مسلم قال قلت لمالك بن أنس حدثت جميلة بنت سعد عن عائشة رضي الله عنها لا تزيد المرأة على اثنتين في الحمل قال مالك: سبحان الله من يقول هذا هذه جارتنا امرأة محمد بن عجلان تحمل أربع سنين قبل أن تلد وقلما تنقضي به عدة الحامل أن تضع بعد ثمانين يوماً من بعد إمكان الوطء لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن أحدكم ليخلق في بطن أمه نطفة أربعين يوماً ثم يكون علقة أربعين يوماً ثم يكون مضغة أربعين يوما” . ولا تنقضي العدة بما دون المضغة فوجب أن يكون بعد الثمانين.

Karena telah diriwayatkan dari al-Walīd ibn Muslim, ia berkata:
Aku berkata kepada Mālik ibn Anas, “Jamīlah bint Sa‘d meriwayatkan dari ‘Ā’isyah RA bahwa perempuan tidak hamil lebih dari dua tahun.”

Mālik berkata: “Subḥānallāh, siapa yang mengatakan demikian? Ini adalah tetangga kami, istri Muḥammad ibn ‘Ajlān, ia mengandung selama empat tahun sebelum melahirkan.”

Jarang sekali ‘iddah perempuan hamil selesai dengan kelahiran setelah delapan puluh hari dari kemungkinan terjadinya wath’, karena Nabi SAW bersabda:

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian diciptakan di perut ibunya berupa nuthfah selama empat puluh hari, lalu menjadi ‘alaqah selama empat puluh hari, lalu menjadi muḍghah selama empat puluh hari.”

Dan ‘iddah tidak selesai dengan sesuatu yang kurang dari muḍghah, maka wajib ditetapkan setelah delapan puluh hari.

فصل: فإن كانت المعتدة غير حامل فإن كانت ممن تحيض اعتدت بثلاثة أقراء لقوله عز وجل: {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} والأقراء هي الأطهار والدليل عليه قوله تعالى: {فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} والمراد به في وقت عدتهن كما قال: {وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ} والمراد به في يوم القيامة والطلاق المأمور به في الطهر فدل على أنه وقت العدة وإن كان الطلاق في وقت الحيض كان أول الأقراء الطهر الذي بعده

PASAL
Jika perempuan yang menjalani ‘iddah tidak sedang hamil dan termasuk perempuan yang mengalami ḥaiḍ, maka ia menjalani ‘iddah selama tiga qurū’, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

{وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ}
(Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menunggu [menjalani masa ‘iddah] selama tiga qurū’)

Yang dimaksud dengan qurū’ adalah masa suci. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala:

{فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ}
(Maka ceraikanlah mereka pada waktu ‘iddah-nya)

Maksudnya adalah: pada waktu masuknya masa ‘iddah, sebagaimana firman-Nya:

{وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ}
(Dan Kami akan memasang timbangan yang adil untuk hari kiamat)

Yang dimaksud adalah: pada hari kiamat.

Sedangkan talak yang diperintahkan adalah pada masa suci, maka hal itu menunjukkan bahwa masa suci adalah waktu dimulainya ‘iddah.

Jika talak dijatuhkan pada saat ḥaiḍ, maka permulaan qurū’ adalah masa suci setelahnya.

فإن كان في حال الطهر نظرت فإن بقيت في الطهر بعد الطلاق لحظة ثم حاضت احتسبت تلك اللحظة قرءاً لأن الطلاق إنما جعل في الطهر ولم يجعل في الحيض حتى لا يؤدي إلى الإضرار بها في تطويل العدة فلولم تحسب بقية الطهر قرءاً كان الطلاق في الطهر أضر بها من الطلاق في الحيض لأنه أطول للعدة فإن لم يبق بعد الطلاق جزء من الطهر بأن وافق آخر لفظ الطلاق آخر الطهر أو قال لها أنت طالق في آخر جزء من طهرك كان أول الأقراء الطهر الذي بعد الحيض وخرج أبو العباس وجهاً آخر أنه يجعل الزمان الذي صادفه الطلاق من الطهر قرءا وهذا لا يصح لأن العدد لا يكون إلا بعد وقوع الطلاق فلم يجز الاعتداد بما قبله وأما آخر العدة فقد روى المزني والربيع أنها إذا رأت الدم بعد الطهر الثالث انقضت العدة برؤية الدم

Jika talak dijatuhkan dalam keadaan suci, maka dilihat:

Jika setelah talak masih tersisa masa suci walau sejenak lalu ia haid, maka sisa waktu tersebut dihitung sebagai satu qur’, karena talak memang disyariatkan dalam masa suci dan tidak disyariatkan dalam masa ḥaiḍ, agar tidak memberatkannya dengan memperpanjang masa ‘iddah.

Seandainya sisa masa suci setelah talak tidak dihitung sebagai satu qur’, niscaya talak dalam masa suci justru lebih memberatkannya dibandingkan talak dalam masa ḥaiḍ, karena akan memperpanjang masa ‘iddah.

Namun jika tidak tersisa sedikit pun dari masa suci setelah talak — yakni ucapan talak bertepatan dengan akhir masa suci, atau ia mengatakan, “Engkau tertalak pada akhir bagian dari masa sucimu” — maka awal qur’ adalah masa suci setelah ḥaiḍ berikutnya.

Abū al-‘Abbās mengeluarkan satu wajah pendapat lain: bahwa waktu suci yang bertepatan dengan jatuhnya talak dihitung sebagai satu qur’. Namun ini tidak sah, karena hitungan ‘iddah hanya berlaku setelah jatuhnya talak, sehingga tidak boleh menghitung apa yang terjadi sebelumnya.

Adapun akhir dari masa ‘iddah, maka al-Muzanī dan ar-Rabī‘ meriwayatkan bahwa jika perempuan melihat darah ḥaiḍ setelah suci ketiga, maka ‘iddah-nya selesai dengan melihat darah tersebut.

وروى البويطي وحرملة أنها لا تنقضي حتى يمضي من الحيض يوم وليلة فمن أصحابنا من قال هما قولان: أحدهما: تنقضي العدة برؤية الدم لأن الظاهر أن ذلك حيض والثاني: لا تنقضي حتى يمضي يوم وليلة لجواز أن يكون دم فساد فلا يحكم بانقضاء العدة ومنهم من قال: هي على اختلاف حالين فالذي رواه المزني والربيع فيمن رأت الدم لعادتها فيعلم بالعادة أن ذلك حيض والذي رواه البويطي وحرملة فيمن رأت الدم لغير عادة لأنه لا يعلم أنه حيض قبل يوم وليلة

Dan al-Buwayṭī serta Ḥarmalah meriwayatkan bahwa ‘iddah tidak selesai hingga darah ḥaiḍ berlangsung selama sehari semalam.

Sebagian dari aṣḥāb kami mengatakan bahwa ini merupakan dua pendapat:

Pertama, ‘iddah selesai dengan melihat darah, karena secara lahiriah itu adalah ḥaiḍ.

Kedua, ‘iddah tidak selesai sampai darah tersebut berlangsung sehari semalam, karena ada kemungkinan itu adalah darah penyakit (fasād), sehingga tidak boleh dihukumi dengan selesainya ‘iddah.

Sebagian lain mengatakan: ini merupakan perbedaan berdasarkan dua keadaan.

Riwayat al-Muzanī dan ar-Rabī‘ berkaitan dengan perempuan yang melihat darah sesuai kebiasaannya, maka diketahui bahwa itu adalah ḥaiḍ berdasarkan kebiasaan.

Sedangkan riwayat al-Buwayṭī dan Ḥarmalah berkaitan dengan perempuan yang melihat darah bukan pada waktu kebiasaannya, sehingga belum dapat dipastikan sebagai ḥaiḍ sebelum mencapai sehari semalam.

وهل يكون ما رأته من الحيض من العدة ففيه قولان: أحدهما: أنه من العدة لأنه لا بد من اعتباره فعلى هذا إذا راجعها فيه صحت الرجعة وإن تزوجت فيه لم يصح النكاح والثاني: ليس من العدة لأنا لو جعلناه من العدة لزادت العدة على ثلاثة أقراء فعلى هذا إذا راجعها لم تصح الرجعة فإن تزوجت فيه صح النكاح.

Apakah darah ḥaiḍ yang dilihatnya itu termasuk bagian dari ‘iddah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama, bahwa itu termasuk bagian dari ‘iddah, karena harus diperhitungkan. Maka berdasarkan pendapat ini, jika suaminya merujukinya pada saat ḥaiḍ tersebut, maka rujū‘-nya sah, dan jika ia menikah pada saat itu, maka nikahnya tidak sah.

Kedua, bahwa itu bukan termasuk bagian dari ‘iddah, karena jika dihitung sebagai bagian dari ‘iddah, berarti masa ‘iddah-nya melebihi tiga qurū’. Maka berdasarkan pendapat ini, jika suaminya merujukinya saat itu, rujū‘-nya tidak sah, dan jika ia menikah pada saat itu, maka nikahnya sah.

فصل: وأقل ما يمكن أن تعتد فيه الحرة بالأقراء اثنان وثلاثون يوما وساعة وذلك بأن يطلقها في الطهر ويبقى في الطهر بعد الطلاق ساعة فتكون تلك الساعة قرءاً ثم تحيض يوماً ثم تطهر خمسة عشر يوما وهو القرء الثاني ثم تحيض يوماً ثم تطهر خمسة عشر يوما وهو القرء الثالث فإذا طعنت في الحيضة الثالثة انقضت عدتها.

PASAL: Masa ‘iddah paling singkat yang dapat dijalani oleh perempuan merdeka dengan al-aqrā’ adalah tiga puluh dua hari dan satu jam. Yaitu apabila ia ditalak dalam keadaan suci dan setelah talak masih tersisa satu jam dari masa suci tersebut, maka satu jam itu terhitung sebagai satu qar’. Lalu ia haid satu hari, kemudian suci lima belas hari, dan itu menjadi qar’ kedua. Setelah itu ia haid satu hari lagi, lalu suci lima belas hari, dan itu menjadi qar’ ketiga. Maka ketika ia masuk pada haid ketiga, berakhirlah masa ‘iddahnya.

فصل: وإن كانت من ذوات الأقراء فارتفع حيضها فإن كان لعارض معروف كالمرض والرضاع تربصت إلى أن يعود الدم فتعتد بالأقراء لأن ارتفاع الدم بسبب يزول فانتظر زواله فإن ارتفع بغير سبب معروف ففيه قولان: قال في القديم تمكث إلى أن تعلم براءة رحمها ثم تعتد عدة الآيسة لأن العدة تراد لبراءة الرحم وقال في الجديد تمكث إلى أن تيأس من الحيض ثم تعتد عدة الآيسة لأن الاعتداد بالشهور جعل بعد الإياس فلم يجز قبله فإن قلنا بالقول القديم ففي القدر التي تمكث فيه قولان: أحدهما: تسعة أشهر لأنه غالب عادة الحمل ويعلم به براءة الرحم في الظاهر

PASAL
Jika perempuan yang memiliki qurū’ (masa ḥaiḍ dan suci) kemudian ḥaiḍ-nya terputus, maka jika hal itu disebabkan oleh sesuatu yang diketahui, seperti sakit atau menyusui, maka ia menunggu hingga darah kembali, lalu ia menjalani ‘iddah dengan qurū’, karena terputusnya darah disebabkan oleh sesuatu yang dapat hilang, maka wajib menunggu hilangnya.

Namun jika darah terputus tanpa sebab yang diketahui, maka terdapat dua pendapat:

Imam asy-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm berkata: ia menunggu hingga diketahui kosongnya rahim, lalu menjalani ‘iddah seperti perempuan yang tidak mengalami ḥaiḍ (ā’isah), karena ‘iddah itu dimaksudkan untuk memastikan kekosongan rahim.

Sedangkan dalam qaul jadīd beliau berkata: ia menunggu hingga mencapai masa putus ḥaiḍ (iyās), lalu menjalani ‘iddah seperti perempuan ā’isah, karena ‘iddah dengan hitungan bulan disyariatkan setelah putus ḥaiḍ, maka tidak boleh dilakukan sebelumnya.

Jika mengikuti qaul qadīm, maka tentang berapa lama masa menunggu itu, terdapat dua pendapat:

Pertama, selama sembilan bulan, karena itu adalah kebiasaan umum masa kehamilan, dan dengan itu secara lahiriah dapat diketahui kosongnya rahim.

والثاني: تمكث أربع سنين لأنه لو جاز الاقتصار على براءة الرحم في الظاهر لجاز الاقتصار على حيضة واحدة لأنه يعلم بها براءة الرحم في الظاهر فوجب أن يعتبر أكثر مدة الحمل ليعلم براءة الرحم بيقين فإذا علمت براءة الرحم بتسعة أشهر أو بأربع سنين اعتدت بعد ذلك بثلاثة أشهر لما روي عن سعيد بن المسيب رضي الله عنه أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قضى في المرأة إذا طلقت فارتفعت حيضتها أن عدتها تسعة أشهر لحملها وثلاثة أشهر لعدتها ولأن تربصها فيما تقدم ليس بعدة وإنما اعتبر ليعلم أنها ليست من ذوات الأقراء فإذا علمت اعتدت بعدة الآيسات

Kedua, ia menunggu selama empat tahun, karena jika diperbolehkan cukup dengan mengetahui kosongnya rahim secara lahiriah, niscaya cukup juga hanya dengan satu kali ḥaiḍ, karena hal itu juga menunjukkan kekosongan rahim secara lahiriah. Maka wajib menetapkan waktu menunggu selama masa kehamilan terlama agar dapat dipastikan kosongnya rahim dengan yakin.

Apabila telah diketahui kosongnya rahim setelah sembilan bulan atau empat tahun, maka setelah itu ia menjalani ‘iddah selama tiga bulan, berdasarkan riwayat dari Sa‘īd ibn al-Musayyib RA bahwa ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb RA memutuskan hukum untuk perempuan yang ditalak lalu ḥaiḍ-nya terputus, bahwa masa ‘iddah-nya adalah sembilan bulan untuk memastikan kehamilan, dan tiga bulan untuk masa ‘iddah-nya.

Karena masa tunggu sebelumnya bukanlah ‘iddah, tetapi hanya diperhitungkan untuk memastikan bahwa ia bukan termasuk perempuan yang mengalami qurū’. Maka jika telah dipastikan demikian, ia menjalani ‘iddah sebagaimana perempuan yang sudah tidak mengalami ḥaiḍ (ā’isāt).

فإن حاضت قبل العلم ببراءة رحمها أو قبل انقضاء العدة بالشهور لزمها الاعتداد بالأقراء لأنا تبينا أنها من ذوات الأقراء فإن اعتدت وتزوجت ثم حاضت لم يؤثر ذلك في العدة لأنها انقضت العدة وتعلق بها حق الزوج فلم يبطل فإن حاضت بعد العدة قبل النكاح ففيه قولان: أحدهما: لا يلزمها الاعتداد بالأقراء لأنا حكمنا بانقضاء العدة فلم يبطل بما حدث معه

Jika ia mengalami ḥaiḍ sebelum diketahui kosongnya rahim atau sebelum ‘iddah dengan hitungan bulan selesai, maka ia wajib menjalani ‘iddah dengan qurū’, karena telah nyata bahwa ia termasuk perempuan yang mengalami qurū’.

Jika ia telah menjalani ‘iddah dan menikah, lalu setelah itu ia ḥaiḍ, maka hal itu tidak berpengaruh terhadap ‘iddah, karena ‘iddah telah selesai dan telah muncul hak suami (baru), maka tidak bisa dibatalkan.

Namun jika ia ḥaiḍ setelah masa ‘iddah selesai tetapi sebelum menikah, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, ia tidak wajib menjalani ‘iddah dengan qurū’, karena kita telah menetapkan bahwa ‘iddah telah selesai, dan hal itu tidak menjadi batal dengan sesuatu yang terjadi setelahnya.

والثاني: يلزمها لأنها صارت من ذوات الأقراء قبل تعلق حق الزوج بها فلزمها الاعتداد بالأقراء فإن قلنا بقوله الجديد إنها تقعد إلى الإياس ففي الإياس قولان: أحدهما: يعتبر إياس أقاربها لأنها أقرب إليهن والثاني: يعتبر إياس نساء العالم وهو أن تبلغ اثنتين وستين سنة لأنه لا يتحقق الإياس فيما دونها فإذا تربصت قدر الإياس اعتدت بعد ذلك بالأشهر لأن ما قبلها لم يكن عدة وإنما اعتبر ليعلم أنها ليست من ذوات الأقراء.

Kedua, ia wajib menjalani ‘iddah dengan qurū’, karena ia telah menjadi termasuk perempuan yang mengalami qurū’ sebelum muncul hak suami atasnya, maka wajib atasnya menjalani ‘iddah dengan qurū’.

Jika kita mengikuti qaul jadīd—bahwa ia duduk menunggu hingga mencapai masa iyās (putus haid)—maka dalam menentukan iyās terdapat dua pendapat:

Pertama, iyās diukur berdasarkan putus ḥaiḍ pada kerabat-kerabat perempuannya, karena mereka yang paling mendekatinya secara tabiat.

Kedua, diukur berdasarkan perempuan-perempuan di seluruh dunia, yaitu ketika usia mencapai enam puluh dua tahun, karena tidak dapat dipastikan terjadinya iyās sebelum usia itu.

Maka jika ia menunggu selama kadar waktu yang dianggap sebagai masa iyās, ia kemudian menjalani ‘iddah dengan hitungan bulan, karena masa sebelum itu bukanlah ‘iddah, melainkan sekadar diperhitungkan untuk memastikan bahwa ia bukan termasuk perempuan yang mengalami qurū’.

فصل: وإن كانت ممن لا تحيض ولا يحيض مثلها كالصغيرة والكبيرة الآيسة اعتدت بثلاثة أشهر لقوله تعالى: {وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ} فإن كان الطلاق في أول الهلال اعتدت بثلاثة أشهر بالأهلة لأن الأشهر في الشرع بالأهلة والدليل عليه قوله عز وجل: {يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ}

PASAL: Jika perempuan termasuk yang tidak mengalami haid dan tidak mungkin haid seperti anak kecil dan perempuan tua yang sudah putus haid, maka masa ‘iddah-nya adalah tiga bulan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan di antara kalian yang telah putus dari haid, jika kalian ragu, maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid}.

Jika talak dijatuhkan pada awal bulan (hijriah), maka ia ber‘iddah selama tiga bulan dengan perhitungan bulan qamariyah, karena bulan-bulan dalam syariat dihitung dengan kalender qamariyah. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: {Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: Itu adalah penanda waktu bagi manusia dan ibadah haji}.

وإن كان الطلاق في أثناء الشهر اعتدت بقية الشهر ثم اعتدت بشهرين بالأهلة ثم تنظر عدد ما اعتدت من الشهر الأول وتضيف إليه من الشهر الرابع ما يتم به ثلاثون يوما وقال أبو محمد عبد الرحمن ابن بنت الشافعي رحمه الله: إذا طلقت المرأة في أثناء الشهر اعتدت بثلاثة أشهر بالعدد كاملة لأنها إذا فاتها الهلال في الشهر الأول فاتها في كل شهر فاعتبر العدد في الجميع وهذا خطأ لأنه لم يتعذر اعتبار الهلال إلا في الشهر الأول فلم يسقط اعتباره فيما سواه.

Jika talak dijatuhkan di pertengahan bulan, maka ia ber‘iddah dengan sisa bulan tersebut, lalu ber‘iddah dua bulan dengan perhitungan bulan qamariyah, kemudian ia menghitung jumlah hari yang telah dijalani dari bulan pertama, lalu menambahkan dari bulan keempat sejumlah hari yang melengkapi tiga puluh hari.

Abu Muḥammad ‘Abd al-Raḥmān ibn bint al-Syāfi‘ī rahimahullah berpendapat: jika seorang perempuan ditalak di pertengahan bulan, maka ia ber‘iddah tiga bulan penuh dengan hitungan jumlah hari, karena jika ia kehilangan hilal pada bulan pertama, maka ia kehilangannya pada setiap bulan, sehingga jumlah hari yang dianggap dalam keseluruhannya.

Namun, ini adalah pendapat yang keliru, karena hilal hanya tidak dapat dijadikan acuan pada bulan pertama saja, maka tidak gugur penggunaannya pada bulan-bulan setelahnya.

فصل: وإن كانت ممن لا تحيض ولكنها في سن تحيض فيه النساء اعتدت بالشهور لقوله تعالى: {وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ} ولأن الاعتبار بحال المعتدة لا بعادة النساء والدليل عليه أنها لو بلغت سناً لا تحيض فيه النساء وهي تحيض كانت عدتها بالأقراء اعتباراً بحالها فكذلك إذا لم تحض في سن تحيض فيه النساء وجب أن تعتد بالأشهر اعتباراً بحالها

PASAL: Jika seorang perempuan tidak mengalami haid, namun berada pada usia di mana perempuan biasanya mengalami haid, maka ia ber‘iddah dengan perhitungan bulan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang telah putus haid di antara kalian, jika kalian ragu, maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid}.

Karena yang dijadikan acuan adalah keadaan mu‘taiddah, bukan kebiasaan umum perempuan. Dalilnya adalah bahwa jika seorang perempuan telah mencapai usia yang perempuan lain tidak lagi mengalami haid, namun ia masih mengalami haid, maka ‘iddah-nya adalah dengan al-qur’ berdasarkan keadaannya. Maka demikian pula, jika ia tidak haid pada usia yang biasanya perempuan mengalami haid, maka wajib ia ber‘iddah dengan bulan, sesuai keadaannya.

وإن ولدت ولم تر حيضا قبله ولا نفاسا بعده ففي عدتها وجهان: أحدهما: وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله أنها تعتد بالشهور للآية والثاني: أنها لا تعتد بالشهور بل تكون كمن تباعد حيضها من ذوات الأقراء لأنه لا يجوز أن تكون من ذوات الأحمال ولا تكون من ذوات الأقراء.

Jika seorang perempuan melahirkan dan sebelumnya tidak melihat haid, serta tidak mengalami nifās setelahnya, maka dalam hal ‘iddah-nya terdapat dua pendapat:

Pertama: menurut pendapat Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarrā’īnī rahimahullah, ia ber‘iddah dengan bulan-bulan, berdasarkan ayat.

Kedua: ia tidak ber‘iddah dengan bulan, melainkan dihukumi seperti perempuan yang haidnya jarang dari kalangan dhawāt al-aqrā’, karena tidak mungkin ia termasuk dhawāt al-aḥmāl namun tidak tergolong dhawāt al-aqrā’.

فصل: وإذا شرعت الصغيرة في العدة بالشهور ثم حاضت لزمها الانتقال إلى الأقراء لأن الشهور بدل عن الأقراء فلا يجوز الاعتداد بها مع وجود أصلها وهل يحسب ما مضى من الأشهر قرءاً ففيه قولان: أحدهما: يحتسب به وهو قول أبي العباس لأنه طهر بعده حيض فاعتدت به قرءاً كما لو تقدمه حيض

PASAL: Jika anak kecil memulai masa ‘iddah dengan perhitungan bulan, kemudian mengalami haid, maka wajib baginya beralih ke al-aqrā’, karena bulan-bulan hanyalah pengganti dari al-aqrā’, sehingga tidak boleh ber‘iddah dengan pengganti padahal yang asli telah ada.

Apakah masa bulan yang telah berlalu dihitung sebagai satu qur’? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Salah satunya: dihitung sebagai qur’, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās, karena masa suci tersebut diikuti dengan haid, maka dianggap satu qur’, sebagaimana jika masa suci itu didahului oleh haid.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يحتسب به كما إذا اعتدت بقرئين ثم أيست لزمها الاستئناف ثلاثة أشهر ولم يحتسب ما مضى من زمان الأقراء شهراً وإن انقضت عدتها بالشهور ثم حاضت لم يلزمها الاستئناف للعدة بالأقراء لأن هذا معنى حدث بعد انقضاء العدة وإن شرعت في العدة بالأقراء ثم ظهر بها حمل من الزوج سقط حكم الأقراء إذا قلنا إن الحامل تحيض

dan yang kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq bahwa hal itu tidak dihitung sebagaimana jika seorang perempuan telah ber‘iddah dengan dua qur’ kemudian ia mengalami iyās, maka wajib baginya memulai kembali iddah selama tiga bulan, dan masa qur’ yang telah berlalu tidak dihitung sebagai bagian dari bulan. Dan jika iddah-nya selesai dengan bilangan bulan kemudian ia mengalami ḥaiḍ, maka tidak wajib baginya memulai kembali iddah dengan qur’ karena hal itu merupakan perkara baru yang terjadi setelah selesainya iddah. Dan jika ia telah memulai iddah dengan qur’ lalu tampak bahwa ia mengandung dari suaminya, maka gugurlah ketentuan qur’ apabila kita mengatakan bahwa perempuan hamil tetap mengalami ḥaiḍ.

لأن الأقراء دليل على براءة الرحم من جهة الظاهر والحمل دليل على براءة الرحم من جهة الظاهر والحمل دليل على براءة الرحم من جهة القطع والظاهر إذا عارضه قطع سقطت دلالته كالقياس إذا عارض نصه وإن اعتدت بالأقراء ثم ظهر حمل من الزوج لزمها الاعتداد بالحمل ويخالف إذا اعتدت بالشهور ثم حاضت لأن ما رأت من الحيض لم يكن موجوداً في حال العدة وإنما حدث بعدها والحمل من الزوج كان موجوداً في حال العدة بالأقراء فسقط معه حكم الإقراء.

karena al-aqrā’ merupakan dalil atas kebersihan rahim dari sisi lahiriah, sedangkan kehamilan merupakan dalil atas kebersihan rahim dari sisi yang pasti. Dan apabila dalil lahiriah bertentangan dengan dalil yang pasti, maka gugurlah kekuatannya, sebagaimana qiyās jika bertentangan dengan naṣṣ. Dan jika seorang perempuan telah ber‘iddah dengan al-aqrā’ kemudian tampak bahwa ia mengandung dari suaminya, maka wajib baginya ber‘iddah dengan kehamilan. Ini berbeda dengan perempuan yang ber‘iddah dengan bilangan bulan kemudian ia mengalami ḥaiḍ, karena ḥaiḍ yang dilihatnya itu tidak ada pada saat iddah, melainkan baru terjadi setelahnya. Sedangkan kehamilan dari suami telah ada pada masa iddah dengan al-aqrā’, maka gugurlah hukum al-aqrā’ bersamanya.

فصل: وإن كانت المطلقة أمة نظرت فإن كانت حاملاً اعتدت بالحمل لما ذكرناه في الحرة وإن كانت من ذوات الأقراء اعتدت بقرءين لما روى جابر عن عمر رضي الله عنه أنه جعل عدة الأمة حيضتين ولأن القياس اقتضى أن تكون قرءا ونصفا كما كان حدها على النصف إلا أن القرء لا يتبعض فكمل فصارت قرءين ولهذا روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال: لواستطعت أن أجعل عدة الأمة حيضة ونصفا لفعلت وإن كانت من ذوات الشهور ففيه ثلاثة أقوال: أحدها أنها تعتد بشهرين لأن الشهور بدل من الأقراء فكانت بعددها كالشهور في عدة الحرة

PASAL: Jika perempuan yang ditalak adalah seorang amah (budak perempuan), maka dilihat: jika ia hamil, maka masa iddah-nya adalah dengan kehamilan sebagaimana telah disebutkan pada perempuan merdeka. Jika ia termasuk perempuan yang memiliki qur’, maka masa iddah-nya adalah dua qur’, berdasarkan riwayat dari Jābir dari ʿUmar RA bahwa beliau menetapkan masa iddah bagi budak perempuan adalah dua kali haid. Dan karena qiyās menunjukkan bahwa seharusnya masa iddah-nya adalah satu setengah qur’, sebagaimana batasan hukum budak adalah setengah dari perempuan merdeka. Akan tetapi qur’ tidak bisa dibagi, maka disempurnakan menjadi dua, sehingga jadilah dua qur’. Oleh karena itu diriwayatkan dari ʿUmar RA bahwa beliau berkata: “Seandainya aku mampu menetapkan masa iddah budak perempuan satu setengah kali haid, niscaya aku akan melakukannya.” Jika ia termasuk dari golongan perempuan yang masa iddah-nya dengan bulan, maka ada tiga pendapat: pendapat pertama, ia ber-iddah dua bulan karena bulan-bulan adalah pengganti dari qur’, maka disamakan jumlahnya sebagaimana bulan-bulan pada iddah perempuan merdeka.

والثاني: أنها تعتد بثلاثة أشهر لأن براءة الرحم لا تحصل إلا بثلاثة أشهر لأن الحمل يمكث أربعين يوماً نطفة ثم أربعين يوماً علقة ثم أربعين يوماً مضغة ثم يتحرك ويعلو جوف المرأة فيه وهو الحمل والثالث أنها تعتد بشهر ونصف لأن القياس يقتضي أن تكون على النصف من الحرة كما قلنا في الحد ولأن القرء لا يتبعض فكمل والشهور تتبعض فتبعضت كما نقول في المحرم إذا وجب عليه نصف مد في جزاء الصيد وأراد أن يكفر بالصوم صام يوماً لأنه لا يتبعض وإن أراد أن يكفر بالإطعام أخرج نصف مد.

dan pendapat kedua: ia ber-iddah tiga bulan karena barā’at ar-raḥim (kesucian rahim) tidak dapat dipastikan kecuali dengan tiga bulan. Sebab, janin akan tinggal selama empat puluh hari sebagai nuthfah, kemudian empat puluh hari sebagai ‘alaqah, lalu empat puluh hari sebagai muḍghah, setelah itu ia mulai bergerak dan naik ke dalam rongga perut perempuan, dan itu adalah kehamilan.

Pendapat ketiga: ia ber-iddah selama satu bulan setengah, karena qiyās menunjukkan bahwa masa iddah-nya adalah setengah dari perempuan merdeka sebagaimana telah kami sebutkan dalam hukum ḥadd. Dan karena qur’ tidak dapat dibagi, maka disempurnakan. Adapun bulan-bulan dapat dibagi, maka dibagi, sebagaimana yang kami katakan dalam kasus muḥrim (orang yang sedang beriḥrām) yang wajib membayar setengah mudd sebagai jazā’ aṣ-ṣayd (denda karena membunuh binatang buruan), jika ia ingin menunaikan kafārah dengan puasa maka ia berpuasa satu hari karena tidak dapat dibagi, namun jika ia ingin menunaikan kafārah dengan memberi makan maka ia mengeluarkan setengah mudd.

فصل: وإن أعتقت الأمة قبل الطلاق اعتدت بثلاثة أقراء لأنه وجبت عليها العدة وهي حرة وإن انقضت عدتها بقرءين ثم اعتقت لم يلزمها زيادة لأنها اعتدت على حسب حالها فلم يلزمها زيادة كما لو اعتدت من لم تحض بالشهور ثم حاضت أو اعتدت ذات الأقراء بالأقراء ثم صارت آيسة فإن أعتقت في أثناء العدة ففيه ثلاثة أقوال أحدها: تتم عدة أمة لأنه عدد محصور يختلف بالرق والحرية فاعتبر فيه حال الوجوب كالحد

PASAL: Jika seorang amah dimerdekakan sebelum talak, maka ia ber‘iddah tiga qur’ karena ‘iddah itu wajib atasnya dalam keadaan ia merdeka. Jika ‘iddahnya telah selesai dengan dua qur’ lalu ia dimerdekakan, maka tidak wajib baginya tambahan, karena ia telah ber‘iddah sesuai keadaannya, maka tidak wajib tambahan sebagaimana wanita yang tidak haid ber‘iddah dengan bulan, lalu kemudian haid; atau wanita yang ber‘iddah dengan qur’, lalu menjadi wanita yang tidak haid lagi (ā’isah). Jika ia dimerdekakan di tengah masa ‘iddah, maka ada tiga pendapat: pendapat pertama: ia menyempurnakan ‘iddah seperti amah, karena jumlah qur’ adalah bilangan tertentu yang berbeda antara status budak dan merdeka, maka yang dipertimbangkan adalah keadaan saat kewajiban itu berlaku, sebagaimana dalam hukum ḥadd.

والثاني: أن ها إن كانت رجعية أتمت عدة حرة وإن كانت بائناً أتمت عدة أمة كما نقول فيمن مات عنها زوجها أنها إن كانت رجعية انتقلت إلى عدة الوفاة وإن كانت بائنا لم تنتقل والثالث: وهو الصحيح أنه يلزمها أن تتمم عدة حرة لأن الاعتبار في العدة بالانتهاء ولهذا لو شرعت في الاعتداد بالشهور ثم حاضت انتقلت إلى الأقراء.

dan pendapat kedua: jika talaknya raj‘i, maka ia menyempurnakan ‘iddah seperti wanita merdeka, dan jika talaknya bā’in, maka ia menyempurnakan ‘iddah seperti amah, sebagaimana dalam kasus wanita yang ditinggal mati suaminya: jika ia dalam masa raj‘iyyah, maka ia berpindah ke ‘iddah wafat, dan jika dalam masa bā’in, maka ia tidak berpindah.

dan pendapat ketiga—dan ini yang ṣaḥīḥ—bahwa wajib atasnya menyempurnakan ‘iddah seperti wanita merdeka, karena yang menjadi patokan dalam ‘iddah adalah keadaan pada waktu penyelesaian. Oleh karena itu, jika seseorang memulai ‘iddah dengan bulan lalu kemudian haid, maka ia berpindah ke qur’.

فصل: وإن وطئت امرأة بشبهة وجبت عليها العدة لأن وطء الشبهة كالوطء في النكاح في النسب فكان كالوطء في النكاح في إيجاب العدة فإن زنى بامرأة لم تجب عليها العدة لأن العدة لحفظ النسب والزاني لا يلحقه نسب.

PASAL: Jika seorang perempuan digauli karena syubhat, maka wajib atasnya menjalani ‘iddah karena wath’ karena syubhat seperti wath’ dalam pernikahan dalam hal nasab, maka ia disamakan dengan wath’ dalam pernikahan dalam hal mewajibkan ‘iddah. Namun, jika berzina dengan seorang perempuan, maka tidak wajib atasnya menjalani ‘iddah karena ‘iddah disyariatkan untuk menjaga nasab, sedangkan anak hasil zina tidak dinasabkan kepadanya.

فصل: ومن مات عنها زوجها وجبت عليها العدة دخل بها أولم يدخل لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً} فإن كانت حائلا وهي حرة اعتدت بأربعة أشهر وعشر للآية وإن كانت أمة اعتدت بشهرين وخمس ليال لأنا دللنا على أن عدتها بالأقراء على النصف إلا أنه لما لم يتبعض جعلناه قرءين والشهور تتبعض فوجب عليها نصف ما يجب على الحرة وإن كانت حاملاً بولد يلحق بالزوج اعتدت بوضعه لما روت أم سلمة رضي الله عنها قالت: ولدت سبيعة الأسلمية بعد وفاة زوجها بليال فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “قد حللت فانكحي”.

PASAL: Perempuan yang ditinggal mati suaminya wajib menjalani iddah, baik suaminya telah mencampurinya maupun belum, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Wa alladzīna yutawaffawna minkum wa yadharūna azwājan yatarabbashna bi-anfusihinna arba‘ata ashhurin wa ‘asyran}. Jika ia tidak hamil dan ia adalah perempuan merdeka, maka ia menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari sebagaimana yang disebutkan dalam ayat. Jika ia seorang amah, maka iddah-nya dua bulan lima malam, karena kami telah menunjukkan bahwa iddah-nya dengan qur’ adalah setengah dari perempuan merdeka. Namun karena qur’ tidak dapat dibagi, maka dijadikan dua qur’, sementara bulan-bulan dapat dibagi, maka wajib baginya setengah dari yang diwajibkan atas perempuan merdeka. Jika ia hamil dengan anak yang nasabnya tersambung ke suaminya, maka iddah-nya adalah sampai ia melahirkan, berdasarkan riwayat dari Ummu Salamah RA bahwa Sabi‘ah al-Aslamiyyah melahirkan beberapa malam setelah wafat suaminya, lalu ia menyampaikan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: “Engkau telah halal, maka menikahlah.”

وإن كنت حاملاً بولد لا يلحق الزوج كامرأة الطفل لم تعتد بالحمل منه لأنه لا يمكن أن يكون منه فلم تعتد به منه كامرأة الكبير إذا طلقها وأتت بولد لدون ستة أشهر من حين العقد فإن كان الحمل لاحقاً برجل وطئها بشبهة اعتدت به منه وإذا وضعت اعتدت عن الطفل بالشهور لأنه لا يجوز أن تعتد عن شخصين في وقت واحد وإن كان عن زنا احتسبت بما مضى من الشهور في حال الحمل عن عدة وفاة الطفل لأن الحمل عن الزنا لا حكم له فلا يمنع من الاعتداد بالشهور وإن طلق امرأته طلاقاً رجعياً ثم مات عنها وهي في العدة اعتدت بعدة الوفاة لأنه توفي عنها وهي زوجته.

Dan jika ia hamil dengan anak yang tidak dapat dinasabkan kepada suami seperti perempuan yang dinikahi oleh anak kecil, maka ia tidak ber‘iddah dengan kehamilan itu karena tidak mungkin anak itu dari suaminya, maka ia tidak ber‘iddah dengannya sebagaimana perempuan yang dinikahi lelaki tua, lalu ia melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak akad. Jika kehamilan itu dapat dinasabkan kepada seorang lelaki yang menggaulinya karena syubhat, maka ia ber‘iddah dengan kehamilan itu darinya, dan setelah melahirkan ia ber‘iddah dari anak kecil dengan bulan-bulan, karena tidak boleh ber‘iddah dari dua orang dalam waktu yang bersamaan. Dan jika kehamilan itu dari zina, maka diperhitungkan bulan-bulan yang telah berlalu saat hamil sebagai bagian dari ‘iddah wafat dari anak kecil, karena kehamilan dari zina tidak dianggap sah, maka tidak menghalangi dari ber‘iddah dengan bulan-bulan. Dan jika seorang lelaki menceraikan istrinya dengan ṭalāq raj‘ī lalu ia wafat sementara istri tersebut masih dalam masa ‘iddah, maka ia wajib ber‘iddah dengan ‘iddah wafat, karena ia wafat dalam keadaan masih menjadi istrinya.

فصل: وإن طلق إحدى امرأتيه بعينها ثلاثا ومات قبل أن يبين نظرت فإن لم يدخل بهما اعتدت كل واحدة منهما أربعة أشهر وعشرا لأن كل واحدة منهما يجوز أن تكون هي الزوجة فوجبت العدة عليهما ليسقط الفرض بيقين كمن نسي صلاة من صلاتين لا يعرف عينها وإن دخل بهما فإن كانتا حاملتين اعتدتا بوضع الحمل لأن عدة الطلاق والوفاة في الحمل واحدة وإن كانتا من ذوات الشهور اعتدتا بأربعة شهور وعشر لأنها تجمع عدة الطلاق والوفاة وإن كانتا من ذوات الأقراء اعتدتا بأقصى الأجلين من أربعة أشهر وعشر أو ثلاثة أقراء وابتداء الأشهر من موت الزوج وابتداء الأقراء من وقت الطلاق ليسقط الفرد بيقين

PASAL: Jika seseorang menjatuhkan ṭalāq tiga kepada salah satu dari dua istrinya secara tertentu, lalu ia wafat sebelum menjelaskan siapa yang dicerai, maka dilihat: jika ia belum menggauli keduanya, maka masing-masing dari keduanya wajib menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, karena masing-masing dari keduanya memungkinkan sebagai istri yang tertalak, maka wajib atas keduanya untuk menggugurkan kewajiban secara yakin, sebagaimana orang yang lupa salat antara dua salat dan tidak tahu yang mana, maka ia wajib mengqadha keduanya.

Jika ia telah menggauli keduanya, dan keduanya sedang hamil, maka keduanya ber‘iddah dengan melahirkan, karena masa ‘iddah ṭalāq dan wafat dalam kasus kehamilan adalah sama. Jika keduanya termasuk perempuan yang masa ‘iddah-nya dengan bulan-bulan, maka keduanya ber‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, karena ia menggabungkan antara masa ‘iddah ṭalāq dan wafat.

Jika keduanya termasuk perempuan yang masa ‘iddah-nya dengan qarā’, maka keduanya ber‘iddah dengan jangka waktu terlama dari dua masa: empat bulan sepuluh hari atau tiga qarā’, dan permulaan bulan dihitung sejak wafatnya suami, sementara permulaan qarā’ dihitung sejak waktu ṭalāq, agar gugur kewajiban secara yakin.

وإن اختلفت صفتهما في العدة كان حكم كل واحدة منهما على الانفراد كحكمها إذا اتفقت صفتهما وقد بيناه وإن طلق إحداهما لا بعينها ومات قبل أن يعين فالحكم فيه على ما ذكرناه فإن كانت المطلقة معينة ومات قبل أن يبين إلا في شيء واحد وهو أنا متى أمرناها بالاعتداد بالشهور أو الأقراء فإن ابتداء الأشهر من حين الموت فأما الأقراء فإن قلنا على أحد الوجهين أن ابتداء العدة من حين يلفظ بالطلاق كان ابتداء الأقراء من حين الطلاق وإن قلنا بالوجه الآخر أن ابتداء العدة من حين التعيين كان ابتداء الأقراء من حين الموت لأن بالموت وقع الأياس من بيانه وقبل الموت لم ييأس من بيانه.

Dan jika sifat ‘iddah keduanya berbeda, maka hukum masing-masing dari keduanya secara terpisah sama seperti hukumnya jika sifat keduanya sama, dan hal ini telah kami jelaskan. Dan jika ia menjatuhkan ṭalāq kepada salah satu dari keduanya tanpa menentukan secara khusus, lalu ia wafat sebelum menetapkannya, maka hukumnya seperti yang telah kami sebutkan.

Namun jika perempuan yang ditalak itu telah ditentukan, lalu ia wafat sebelum menjelaskan kecuali dalam satu hal saja, yaitu bahwa kapan pun kami mewajibkan ‘iddah dengan bulan-bulan atau qarā’, maka permulaan bulan-bulan dihitung sejak wafat. Adapun untuk qarā’, maka jika kami berkata dalam salah satu dari dua pendapat bahwa permulaan ‘iddah dihitung sejak melafalkan ṭalāq, maka permulaan qarā’ pun dihitung sejak ṭalāq. Dan jika kami berkata dalam pendapat lain bahwa permulaan ‘iddah dihitung sejak penetapan (siapa yang ditalak), maka permulaan qarā’ dihitung sejak wafat, karena dengan wafat tersebut timbul keputusasaan dari penjelasan, dan sebelum wafat belum putus harapan dari adanya penjelasan.

فصل: إذا فقدت المرأة زوجها وانقطع عنها خبره ففيه قولان: أحدهما: وهو قوله في القديم أن لها أن تفسخ النكاح ثم تتزوج لما روى عمر بن دينار عن يحيى بن جعدة أن رجلاً استهوته الجن فغاب عن امرأته فأتت عمر بن الخطاب رضي الله عنه فأمرها أن تمكث أربع سنين ثم أمرها أن تعتد ثم تتزوج ولأنه إذا جاز الفسخ لتعذر الوطء بالتعنين وتعذر النفقة بالإعسار فلأن يجوز ههنا وقد تعذر الجميع أولى

PASAL: Jika seorang wanita kehilangan suaminya dan terputus kabar darinya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama, yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa ia boleh membatalkan pernikahannya kemudian menikah lagi, berdasarkan riwayat dari ‘Umar bin Dīnār dari Yaḥyā bin Ja‘dah bahwa seorang laki-laki diseret jin lalu menghilang dari istrinya, maka istrinya mendatangi ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, lalu beliau memerintahkannya untuk menunggu selama empat tahun, kemudian memerintahkannya untuk ber‘iddah, lalu menikah lagi. Karena apabila diperbolehkan faskh disebabkan tidak mampu melakukan hubungan suami istri karena ‘inīn dan tidak mampu memberi nafkah karena i‘sār, maka terlebih lagi dalam kasus ini di mana semua hal itu tidak bisa dilakukan.

والثاني: وهو قوله في الجديد وهو الصحيح أنه ليس لها الفسخ لأنه إذا لم يجز الحكم بموته في قسمة ماله لم يجز الحكم بموته في نكاح زوجته وقول عمر رضي الله عنه يعارضه قول علي عليه السلام تصبر حتى يعلم موته ويخالف فرقة التعنين والإعسار بالنفقة لأن هناك ثبت سبب الفرقة بالتعنين وههنا لم يثبت سبب الفرقة وهو الموت فإن قلنا بقوله القديم قعدت أربع سنين ثم تعتد عدة الوفاة ثم تتزوج

dan kedua: yaitu pendapatnya dalam qaul jadīd dan inilah yang ṣaḥīḥ, bahwa tidak boleh baginya melakukan fasakh, karena apabila tidak boleh menetapkan kematian suaminya dalam pembagian harta warisan, maka tidak boleh pula menetapkan kematiannya dalam pernikahan istrinya. Dan perkataan ‘Umar RA bertentangan dengan perkataan ‘Alī RA: “Bersabarlah hingga diketahui kematiannya.” Dan hal ini berbeda dengan perpisahan karena taʿnīn dan ketidakmampuan memberi nafkah, karena pada kasus tersebut sebab perpisahan telah terbukti dengan taʿnīn, sedangkan dalam kasus ini belum terbukti sebab perpisahan, yaitu kematian.

Namun jika kita mengikuti pendapat dalam qaul qadīm, maka perempuan tersebut duduk menunggu selama empat tahun, kemudian menjalani ‘iddah wafat, lalu boleh menikah lagi.

لما رويناه عن عمر رضي الله عنه ولأن يمضي أربع سنين يتحقق براءة رحمها ثم تعتد لأن الظاهر أنه مات فوجب عليها عدة الوفاة قال أبو إسحاق يعتبر ابتداء المدة من حين أمرها الحاكم بالتربص ومن أصحابنا من قال يعتبر من حين انقطع خبره والأول أظهر لأن هذه المدة تثبت بالإجتهاد فافتقرت إلى حكم الحاكم كمدة التعنين

karena apa yang kami riwayatkan dari ‘Umar RA, dan karena jika berlalu empat tahun maka akan dipastikan bahwa rahimnya telah kosong, lalu ia menjalani ‘iddah, karena yang tampak adalah bahwa suaminya telah wafat, maka wajib atasnya ‘iddah wafat. Abū Isḥāq berkata: permulaan masa dihitung sejak hakim memerintahkannya untuk menunggu. Dan sebagian dari kalangan kami berkata: dihitung sejak terputus beritanya. Pendapat pertama lebih kuat, karena masa ini ditetapkan dengan ijtihād, maka membutuhkan keputusan hakim, sebagaimana masa pada kasus ta‘nīn.

وهل يفتقر بعد انقضاء العدة إلى الحكم بالفرقة فيه وجهان: أحدهما: أنه لا يفتقر لأن الحكم بتقدير المدة حكم بالموت بعد انقضائها والثاني: أنه يفتقر إلى الحكم لأنه فرقة مجتهد فيها فافتقرت إلى الحاكم كفرقة التعنين وهل تقع الفرقة ظاهرا وباطنا ففيه قولان: أحدهما: تقع ظاهرا وباطنا فإن قدم الزوج وقد تزوجت لم يجز أن ينتزعها من الزوج لأنه فسخ مختلف فيه فنفذ فيه الحكم ظاهرا وباطنا كفرقة التعنين

Apakah setelah habisnya ‘iddah masih membutuhkan keputusan hakim untuk menetapkan perpisahan (fasakh)? Ada dua pendapat: pertama, tidak membutuhkan, karena keputusan untuk menetapkan masa (menunggu) adalah keputusan bahwa suami telah wafat setelah habis masa itu. Kedua, membutuhkan keputusan hakim, karena perpisahan ini hasil ijtihād, maka membutuhkan keputusan hakim, seperti perpisahan karena ta‘nīn.

Apakah perpisahan ini berlaku secara ẓāhir dan bāṭin? Ada dua pendapat: pertama, berlaku secara ẓāhir dan bāṭin, maka jika suami datang dan istrinya telah menikah lagi, tidak boleh suami itu mengambilnya dari suami kedua, karena ini adalah fasakh yang diperselisihkan (keabsahannya), maka keputusan berlaku secara ẓāhir dan bāṭin, seperti perpisahan karena ta‘nīn.

والثاني: ينفذ في الظاهر دون الباطن لأن عمر رضي الله عنه جعل للمفقود لما رجع أن يأخذ زوجته وإن قلنا بالقول الجديد أنها باقية على نكاح الزوج فإن تزوجت بعد مدة التربص وانقضاء العدة فالنكاح باطل فإن قضى لها حاكم بالفرقة فهل يجوز نقضه على قوله الجديد ففيه وجهان: أحدهما: لا يجوز لأنه حكم فيما يسوغ فيه الاجتهاد والثاني: أنه يجوز لأنه حكم مخالف لقياس جلي وهو أن يكون حياً في ماله ميتاً في نكاح زوجته.

dan yang kedua: berlaku pada lahirnya saja, tidak pada batinnya, karena ʿUmar RA memberi hak kepada suami yang hilang, ketika ia kembali, untuk mengambil kembali istrinya. Dan jika kita berpegang pada qaul jadīd bahwa istri tetap berada dalam ikatan nikah suaminya, maka jika ia menikah setelah masa penantian dan selesai masa ‘iddah, maka nikahnya batal. Jika hakim telah memutuskan adanya firqah (perceraian), maka apakah boleh dibatalkan berdasarkan qaul jadīd? Dalam hal ini terdapat dua wajah: pertama, tidak boleh, karena itu adalah keputusan dalam perkara yang memiliki ruang ijtihad; dan kedua, boleh, karena merupakan keputusan yang bertentangan dengan qiyās yang jelas, yaitu seseorang dianggap hidup dalam urusan hartanya, namun dianggap mati dalam pernikahan dengan istrinya.

فصل: وإن رجع المفقود فإن قلنا بقوله الجديد سلمت الزوجة إليه وإن قلنا بقوله القديم وقلنا إن حكم الحاكم لا ينفذ في الباطن سلمت إليه وإن قلنا إنه ينفذ ظاهرا وباطنا لم تسلم إليه وإن فرق الحاكم بينهما وتزوجت ثم بان أن المفقود كان قد مات وقت الحكم بالفرقة فإن قلنا بقوله القديم صح النكاح سواء قلنا إن الحاكم ينفذ الظاهر دون الباطن أو قلنا إنه ينفذ في الباطن دون الظاهر لأن الحكم أباح لها النكاح وقد بان أن الباطن كالظاهر وإن قلنا بقوله الجديد ففي صحة النكاح الثاني وجهان بناء على القولين فيمن وصى بمكاتبه ثم تبين أن الكتابة كانت فاسدة.

PASAL: Jika orang yang hilang kembali, maka jika kita mengikuti qaul jadīd, istri diserahkan kepadanya. Namun jika mengikuti qaul qadīm dan kita mengatakan bahwa putusan hakim tidak berlaku secara batin, maka istri diserahkan kepadanya. Tetapi jika kita mengatakan bahwa putusan itu berlaku secara lahir dan batin, maka istri tidak diserahkan kepadanya.

Jika hakim memutuskan perpisahan antara keduanya dan istri kemudian menikah lagi, lalu ternyata orang yang hilang itu telah wafat pada saat hakim memutuskan perpisahan, maka jika kita mengikuti qaul qadīm, pernikahan kedua sah, baik kita mengatakan bahwa putusan hakim hanya berlaku secara lahir maupun berlaku secara batin tetapi tidak lahir, karena putusan itu telah membolehkan baginya untuk menikah, dan telah jelas bahwa keadaan batin sesuai dengan lahir.

Namun jika mengikuti qaul jadīd, maka dalam keabsahan pernikahan kedua terdapat dua wajah, yang dibangun di atas dua pendapat tentang seseorang yang berwasiat kepada budaknya yang mukātab, kemudian ternyata akad kitābah-nya batal.

باب مقام المعتدة والمكان الذي تعتد فيه
إذا طلقت المرأة فإن كان الطلاق رجعياً كان سكناها حيث يختار الزوج من المواضع التي تصلح لسكنى مثلها لأنها تجب لحق الزوجية وإن كان الطلاق بائناً نظرت فإن كان في بيت يملك الزوج سكناه بملك أو إجارة أو إعارة فإن كان الموضع يصلح لسكنى مثلها لزمها أن تعتد فيه لقوله عز وجل: {أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ} فأوجب أن تسكن في الموضع الذي كان يسكن الزوج فيه فإن كان الموضع يضيق عليهما انتقل الزوج وترك السكنى لها لأن سكناها تختص بالموضع الذي طلقها فيه

PASAL: Tempat Tinggal Perempuan yang Menjalani Masa ‘Iddah dan Lokasi yang Ditetapkan untuknya

Apabila seorang perempuan ditalak, maka jika talaknya raj‘i, tempat tinggalnya berada di tempat yang dipilih oleh suaminya dari tempat-tempat yang layak untuk ditinggali oleh perempuan sepertinya, karena masa ‘iddah tersebut diwajibkan karena hak pernikahan.

Namun jika talaknya bā’in, maka dilihat dulu: jika ia berada di rumah yang kepemilikan tempat tinggalnya dimiliki suami, baik dengan kepemilikan, sewa, atau pinjaman, dan tempat itu layak dihuni oleh perempuan sepertinya, maka ia wajib menjalani ‘iddah di situ. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Askinūhunna min ḥaytsu sakantum min wujdikum} — maka Allah mewajibkan agar ia tinggal di tempat di mana suaminya dahulu tinggal.

Jika tempat tersebut sempit untuk keduanya, maka suami yang berpindah dan meninggalkan tempat tinggal itu untuk perempuan, karena tempat tinggal dalam masa ‘iddah menjadi hak istri di tempat di mana ia ditalak.

وإن اتسع الموضع لهما وأراد أن يسكن معها نظرت فإن كان في الدار موضع منفرد يصلح لسكنى مثلها كالحجرة أو علو الدار أو سفلها وبينهما باب مغلق فسكنت فيه وسكن الزوج في الثاني جاز لأنهما كالدارين المتجاورتين فإن لم يكن بينهما باب مغلق فإن كان لها موضع تستتر فيه ومعها محرم لها تتحفظ به كره لأنه لا يؤمن من النظر ولا يحرم لأن مع المحرم يؤمن بالفساد وإن لم يكن محرم لم يجز لقوله عليه الصلاة والسلام: ” لا يخلون رجل بامرأة ليست له بمحرم فإن ثالثهما الشيطان” .

Dan jika tempat tersebut cukup luas bagi keduanya dan suami ingin tinggal bersama dia, maka diperhatikan: jika dalam rumah tersebut terdapat tempat terpisah yang layak dihuni oleh perempuan sepertinya, seperti kamar, lantai atas rumah, atau lantai bawahnya, dan di antara keduanya terdapat pintu yang tertutup, lalu perempuan tinggal di satu bagian dan suami di bagian lainnya, maka hal itu diperbolehkan, karena keduanya seperti dua rumah yang bersebelahan.

Namun jika tidak ada pintu tertutup di antara keduanya, maka jika perempuan itu memiliki tempat untuk bersembunyi dan bersamanya ada maḥram yang bisa menjaga dirinya, maka hal itu makruh, karena tidak aman dari pandangan (yang haram), namun tidak haram karena dengan adanya maḥram dapat terhindar dari kerusakan.

Tetapi jika tidak ada maḥram, maka hal itu tidak diperbolehkan berdasarkan sabda Nabi SAW: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan yang bukan maḥram-nya, karena yang ketiganya adalah setan.”

فصل: وإن أراد الزوج بيع الدار التي تعتد فيها نظرت فإن كانت مدة العدة غير معلومة كالعدة بالحمل أو بالأقراء فالبيع باطل لأن المنافع في مدة العدة مستثناة فيصير كما لو باع الدار واستثنى منفعة مجهولة فإن كانت مدة العدة معلومة كالعدة بالشهور ففيه وجهان: أحدهما: إنها على قولين كبيع الدار المستأجرة والثاني: أنه يبطل قولا واحدا والفرق بينهما أن منفعة الدار تنتقل إلى المستأجر ولهذا إذا مات انتقل إلى وارثه فلا يكون في معنى من باع الدار واستثنى بعض المنفعة والمرأة لا تنتقل المنفعة إليها في مدة العدة ولهذا إذا ماتت رجعت منافع الدار إلى الزوج فيكون في معنى من باع الدار واستثنى منفعتها لنفسه.

PASAL: Jika suami ingin menjual rumah tempat istri menjalani masa ‘iddahnya, maka dilihat dahulu: jika masa ‘iddah tidak diketahui secara pasti, seperti ‘iddah karena hamil atau dengan qur’, maka jual beli itu batal, karena manfaat rumah selama masa ‘iddah itu dikecualikan, sehingga hukumnya seperti orang yang menjual rumah tetapi mengecualikan manfaat yang tidak diketahui. Namun jika masa ‘iddah diketahui secara pasti, seperti ‘iddah dengan hitungan bulan, maka ada dua pendapat: pendapat pertama, ada dua pendapat seperti halnya menjual rumah yang sedang disewa; dan pendapat kedua, jual belinya batal secara mutlak. Perbedaannya adalah bahwa manfaat rumah berpindah kepada penyewa—sehingga ketika penyewa wafat, manfaatnya berpindah kepada ahli warisnya—maka hal ini tidak seperti menjual rumah sambil mengecualikan sebagian manfaatnya. Sedangkan perempuan (istri) tidak berpindah manfaat rumah kepadanya selama masa ‘iddah; oleh karena itu jika ia wafat, manfaat rumah kembali kepada suami. Maka keadaannya seperti orang yang menjual rumah sambil mengecualikan manfaatnya untuk dirinya sendiri.

فصل: وإن حجر على الزوج بعد الطلاق لديون عليه لم يبع المسكن حتى تنقضي العدة لأن حقها يختص بالعين فقدمت كما يقدم المرتهن على سائر الغرماء وإن حجر عليه ثم طلق ضاربت المرأة الغرماء بحقها إن بيعت الدار استؤجر لها بحقها مسكن تسكن فيه لأن حقها وإن ثبت بعد حقوق الغرباء إلا أنه يستند إلى سبب متقدم وهو الوطء في النكاح فإن كانت لها عادة فيما تنقضي به عدتها ضاربت بالسكنى في تلك المدة فإن انقضت العدة فيما دون ذلك ردت الفاضل على الغرماء

PASAL: Jika suami dikenakan status ḥajr setelah talak karena memiliki utang, maka rumah tempat tinggal tidak dijual hingga selesai masa ‘iddah, karena hak istri terkait dengan benda itu secara langsung, maka haknya lebih didahulukan sebagaimana hak pemegang gadai lebih didahulukan dari para kreditur lainnya. Jika ḥajr dijatuhkan lebih dahulu lalu ia mentalaknya, maka istri bersaing dengan para kreditur atas haknya; jika rumah itu dijual, maka disewakanlah untuknya tempat tinggal dari haknya agar ia dapat tinggal di situ. Karena meskipun haknya muncul setelah hak para kreditur, tetapi ia bersandar pada sebab yang lebih dahulu, yaitu jima‘ dalam pernikahan. Jika ia memiliki kebiasaan waktu tertentu yang biasanya cukup untuk menyelesaikan ‘iddah-nya, maka ia bersaing dengan mereka atas tempat tinggal selama waktu itu; jika ‘iddah-nya selesai sebelum waktu tersebut, maka kelebihan dari biaya tempat tinggal dikembalikan kepada para kreditur.

فإن زادت مدة العدة على العادة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها: أنها ترجع على الغرماء بما بقي لها كما ردت الفاضل إذا ألقت عدتها فيما دون العادة والثاني: لا ترجع عليهم لأن الذي استحقت الضرب به قدر عادتها والثالث: إن كانت عدتها بالإقراء لم ترجع لأن ذلك لا يعلم إلا من جهتها وهي متهمة وإن كانت بوضع الحمل أقامت البينة على وضع الحمل ورجعت عليهم لأنه لا يلحقها فيه تهمة فإن لم يكن لها عادة فيما تنقضي به عدتها ضربت معهم بأجرة أقل مدة تنقضي بها العدة لأنه يقين فلا يجب ما زاد بالشك فإن زادت العدة على أقل ما تنقضي به العدة كان الحكم في الرجوع بالزيادة على ما ذكرناه إذا زادت على العادة.

Jika masa ‘iddah melebihi kebiasaannya, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama: ia boleh menuntut kepada para kreditur atas sisa yang masih menjadi haknya, sebagaimana ia mengembalikan kelebihan jika ‘iddah-nya selesai sebelum kebiasaan.
Kedua: ia tidak boleh menuntut kepada mereka karena yang menjadi haknya untuk bersaing hanyalah sebesar kebiasaannya.
Ketiga: jika ‘iddah-nya dengan al-aqrāʾ, maka ia tidak boleh menuntut karena hal itu hanya diketahui dari dirinya sendiri dan ia dituduh (dalam hal ini); namun jika ‘iddah-nya dengan melahirkan, maka ia harus menghadirkan bukti atas kelahiran tersebut dan boleh menuntut kepada mereka, karena dalam hal ini tidak ada tuduhan terhadapnya.

Jika ia tidak memiliki kebiasaan dalam menyelesaikan ‘iddah, maka ia bersaing bersama mereka (para kreditur) dengan nilai sewa untuk waktu paling singkat yang diyakini cukup untuk menyelesaikan ‘iddah, karena hal itu bersifat pasti dan tidak wajib menambahkan sesuatu yang bersifat dugaan.

Jika masa ‘iddah melebihi waktu paling singkat yang memungkinkan untuk menyelesaikan ‘iddah, maka ketentuan penuntutan atas kelebihan tersebut mengikuti sebagaimana telah dijelaskan pada kasus kelebihan dari kebiasaan.

فصل: وإن طلقت وهي في مسكن لها لزمها أن تعتد به لأنه مسكن وجبت فيه العدة ولها أن تطالب الزوج بأجرة المسكن لأن سكناها عليه في العدة.

PASAL: Jika seorang istri ditalak sementara ia berada di rumah miliknya sendiri, maka wajib baginya untuk menjalani ‘iddah di rumah itu karena itu adalah tempat tinggal yang padanya wajib menjalani ‘iddah. Namun ia berhak menuntut suaminya untuk membayar sewa tempat tinggal tersebut karena kewajiban tempat tinggal selama ‘iddah berada di atas tanggungan suami.

فصل: وإن مات الزوج وهي في العدة قدمت على الورثة في السكنى لأنها استحقتها في حال الحياة فلم تسقط بالموت كما لو أجر داره ثم مات فإن أراد الورثة قسمة الدار لم يكن لهم ذلك لأن إضراراً بها في التضييق عليها وإن أرادوا التمييز بأن يعلموا عليها بخطوط من غير نقض ولا بناء فإن قلنا إن القسمة تمييز الحقين جاز لأنه لا ضرر عليها وإن قلنا إنها بيع فعلى ما بيناه.

PASAL: Jika suami meninggal dunia sementara istri masih dalam masa ‘iddah, maka ia lebih berhak atas tempat tinggal daripada para ahli waris, karena ia telah berhak atasnya ketika suami masih hidup, maka tidak gugur haknya dengan kematian, sebagaimana seseorang yang menyewakan rumahnya lalu ia meninggal dunia. Jika para ahli waris ingin membagi rumah tersebut, maka mereka tidak boleh melakukannya karena hal itu akan menyulitkan istri dengan menyempitkan tempat tinggalnya. Namun, jika mereka ingin melakukan pemisahan dengan memberi tanda garis pada bagian rumah tanpa merobohkan atau membangun ulang, maka jika kita berpendapat bahwa pembagian adalah sekadar pemisahan dua hak, maka hal itu diperbolehkan karena tidak ada mudarat baginya. Tetapi jika kita berpendapat bahwa pembagian adalah semacam jual beli, maka hukumnya sebagaimana telah dijelaskan.

فصل: وإن توفي عنها زوجها وقلنا إنها تستحق السكنى فإن كانت في مسكن الزوج لزمها أن تعتد فيه لما روت فريعة بنت مالك أن زوجها قتل فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: “امكثي حتى يبلغ الكتاب أجله”. وإن لم تكن في مسكن الزوج وجب من تركته أجرة مسكنها مقدمة على الميراث الوصية لأنه دين مستحق فقدم وإن زاحمها الغرماء ضاربتهم بقدر حقها فإن لم يكن له مسكن فعلى السلطان سكناها لما في عدتها من حق الله تعالى وإن قلنا لا تجب لها السكنى اعتدت حيث شاءت فإن تطوع الورثة بالسكنى من مالهم وجب عليها الاعتداد فيه.

PASAL: Jika suaminya wafat dan kita berpendapat bahwa ia berhak atas tempat tinggal, maka jika ia berada di rumah suaminya, wajib baginya menjalani ‘iddah di rumah itu, karena Fari‘ah binti Mālik meriwayatkan bahwa suaminya terbunuh, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya: “Tinggallah sampai kitab (ketentuan) mencapai ajalnya.”

Jika ia tidak berada di rumah suaminya, maka diwajibkan dari harta peninggalannya biaya sewa tempat tinggal baginya, dan itu didahulukan atas warisan dan wasiat karena termasuk utang yang wajib ditunaikan, sehingga didahulukan. Jika ia bersaing dengan para kreditur, maka ia bersaing atas kadar haknya.

Jika suami tidak memiliki tempat tinggal, maka kewajiban menyediakan tempat tinggal ada pada sultan, karena dalam ‘iddah itu terdapat hak Allah Ta‘ala.

Namun jika kita berpendapat bahwa ia tidak berhak atas tempat tinggal, maka ia menjalani ‘iddah di mana pun ia kehendaki. Jika para ahli waris secara suka rela menyediakan tempat tinggal dari harta mereka, maka ia wajib menjalani ‘iddah di tempat itu.

فصل: وإن أمر الزوج امرأته بالانتقال إلى دار أخرى فخرجت بنية الانتقال ثم مات أو طلقها وهي بين الدارين ففيه وجهان: أحدهما: أنها تخير بين الدارين في الاعتداد لأن الأولى خرجت عن أن تكون مسكناً لها بالخروج منها والثانية: لم تصر مسكنا لها والثاني: وهو الصحيح أنه يلزمها الاعتداد في الثانية لأنها مأمورة بالمقام فيها ممنوعة من الأولى.

PASAL: Jika suami memerintahkan istrinya untuk pindah ke rumah lain, lalu ia keluar dengan niat untuk berpindah, kemudian suaminya meninggal dunia atau menceraikannya sementara ia berada di antara dua rumah, maka terdapat dua wajah pendapat: pertama, ia diberi pilihan antara kedua rumah dalam menjalani masa ‘iddah, karena rumah yang pertama telah keluar dari status sebagai tempat tinggalnya dengan kepergiannya, dan rumah yang kedua belum menjadi tempat tinggalnya. Kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ, bahwa ia wajib menjalani ‘iddah di rumah yang kedua, karena ia diperintahkan untuk tinggal di situ dan telah terlarang dari rumah yang pertama.

فصل: وإن أذن لها في السفر فخرجت من البيت بنية السفر ثم وجبت العدة قبل أن تفارق البنيان ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أن لها أن تعود ولها أن تمضي في سفرها لأن العدة وجبت بعد الانتقال من موضع العدة فصار كما لو فارقت البنيان

PASAL: Jika suami mengizinkannya untuk bepergian lalu ia keluar dari rumah dengan niat bepergian, kemudian wajib atasnya menjalani ‘iddah sebelum ia melewati batas bangunan (kota), maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa ia boleh kembali dan boleh meneruskan perjalanannya karena ‘iddah menjadi wajib setelah ia berpindah dari tempat ‘iddah, sehingga hukumnya seperti jika ia telah melewati batas bangunan.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه يلزمها أن تعود وتعتد لأنه لم يثبت لها حكم السفر فإن وجبت العدة وقد فارقت البنيان فإن كان في سفر انتقال ففيه وجهان كما قلنا فيمن طلقت وهي بين الدار التي كانت فيها وبين الدار التي أمرت الانتقال إليها فإن كانت في سفر حاجة فلها أن تمضي في سفرها ولها أن تعود لأن في قطعها عن السفر مشقة

dan yang kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq bahwa ia wajib kembali dan ber‘iddah, karena belum tetap baginya hukum sebagai musāfir. Jika ‘iddah wajib ketika ia telah melewati batas bangunan, maka bila ia sedang dalam safar pindahan, terdapat dua wajah sebagaimana kami sebutkan dalam kasus perempuan yang ditalak saat berada di antara rumah yang ia tinggali dan rumah yang diperintahkan untuk ia pindahi. Jika ia dalam safar kebutuhan, maka ia boleh melanjutkan safarnya dan boleh pula kembali, karena dalam memutus safar tersebut terdapat kesulitan.

وإن وجبت العدة وقد وصلت إلى المقصد فإن كان للبقاء لها أن تقيم وتعتد لأنه الإجارة أو طلب أكثر من أجرة المثل انتقلت إلى موضع آخر لأنه حال عذر ولا ننتقل في هذه المواضع إلا إلى أقرب موضع من الموضع الذي وجبت فيه العدة لأنه أقرب إلى موضع الوجوب كما قلنا فيمن وجبت عليه الزكاة في موضع لا يجد فيه أهل السهمان أنه ينقل الزكاة إلى أقرب موضع منه

dan jika ‘iddah wajib saat ia telah sampai ke tempat tujuan, maka jika tujuan itu untuk menetap, ia boleh menetap dan ber‘iddah di situ. Namun jika tempat itu adalah sewaan, atau pemilik tempat menuntut sewa lebih dari harga sewa yang semisal, maka ia berpindah ke tempat lain karena hal itu termasuk keadaan ‘udzur. Dan dalam keadaan-keadaan seperti ini, tidak berpindah kecuali ke tempat yang paling dekat dari tempat diwajibkannya ‘iddah, karena tempat itu lebih dekat dengan lokasi kewajiban, sebagaimana kami katakan pada orang yang wajib mengeluarkan zakat di suatu tempat namun tidak mendapati orang-orang yang berhak, maka zakat tersebut dipindahkan ke tempat yang paling dekat darinya.

وإن وجب عليها حق لا يمكن الاستيفاء إلا بها كاليمين في دعوى أوحد فإن كانت ذات خدر بعث إليها السلطان من يستوفي الحق منها وإن كانت برزة جاز إحضارها لأنه موضع حاجة فإذا قضت ما عليها رجعت إلى مكانها وإن احتاجت إلى الخروج لحاجة كشراء القطن وبيع الغزل لم يجز أن تخرج لذلك بالليل لما روى مجاهد قال استشهد رجال يوم أحد فتأيم نساؤهم فجئن رسول الله صلى الله عليه وسلم وقلن يا رسول الله إنا نستوحش بالليل ونبيت عند إحدانا حتى إذا أصبحنا درنا إلى بيوتنا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يحدثن عند إحداكن ما بدا لكن حتى إذا أردتم النوم فلتؤب كل امرأة إلى بيتها”.

dan jika atasnya ada hak yang tidak dapat dipenuhi kecuali dengan kehadirannya—seperti sumpah dalam suatu dakwaan tunggal—maka jika ia perempuan yang dipingit (dhāt khadr), maka sultan mengirim utusan untuk mengambil hak darinya. Namun jika ia perempuan yang biasa keluar (barzah), maka boleh dihadirkan karena itu adalah kebutuhan. Setelah ia menunaikan apa yang menjadi tanggungannya, ia kembali ke tempatnya.

Dan jika ia perlu keluar karena suatu kebutuhan, seperti membeli kapas atau menjual benang pintalannya, maka tidak boleh baginya keluar di malam hari, berdasarkan riwayat dari Mujāhid bahwa beberapa laki-laki gugur sebagai syuhadā’ pada hari Uḥud, lalu para istri mereka menjadi janda, maka mereka datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami merasa takut di malam hari, lalu kami menginap di rumah salah satu dari kami, dan ketika pagi tiba kami kembali ke rumah kami masing-masing.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Silakan kalian berbincang di rumah salah satu dari kalian apa yang kalian kehendaki, tetapi jika ingin tidur maka hendaknya setiap perempuan kembali ke rumahnya.”

ولأن الليل مظنة للفساد فلا يجوز لها الخروج من غير ضرورة وإن أرادت الخروج لذلك بالنهار نظرت فإن كانت في عدة الوفاة جاز لحديث مجاهد وإن كانت في عدة المبتوتة ففيه قولان: قال في القديم لا يجوز لقوله تعالى: {وَلا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} وقال في الجديد: يجوز وهو الصحيح

dan karena malam adalah waktu yang rawan terjadi kerusakan, maka tidak boleh baginya keluar kecuali dalam keadaan darurat. Jika ia ingin keluar untuk keperluan itu di siang hari, maka dilihat keadaannya: jika ia dalam masa ‘iddah wafat, maka boleh keluar berdasarkan hadis dari Mujāhid. Namun jika ia dalam masa ‘iddah mubattah (yang ditalak ba’in), maka terdapat dua pendapat: dalam qaul qadīm dinyatakan tidak boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {wa lā yakhrujna illā an ya’tīna bifāḥisyatin mubayyinah}; sedangkan dalam qaul jadīd dinyatakan boleh, dan itu adalah pendapat yang ṣaḥīḥ.

لما روى جابر رضي الله عنه قال: طلقت خالتي ثلاثاً فخرجت تجد نخلاً لها فلقيها رجل فنهاها فأتت النبي صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك له فقال لها: “اخرجي فجدي نخلك لعلك أن تصدقي منه أو تفعلي خيرا”. ولأنها بائن فجاز لها أن تخرج بالنهار لقضاء الحاجة كالمتوفى عنها زوجها.

karena diriwayatkan dari Jābir RA, ia berkata: “Bibiku ditalak tiga, lalu ia keluar untuk memetik pohon kurmanya, maka seseorang menemuinya dan melarangnya. Lalu ia datang kepada Nabi SAW dan menceritakan hal itu kepadanya, maka beliau bersabda kepadanya: ‘Keluarlah dan petiklah pohon kurmamu, barangkali engkau bisa bersedekah darinya atau melakukan kebaikan.’” Dan karena ia perempuan yang bā’in, maka boleh baginya keluar di siang hari untuk menunaikan kebutuhan, sebagaimana perempuan yang ditinggal wafat suaminya.

باب الإحداد
الإحداد ترك الزينة وما يدعوا إلى المباشرة ويجب ذلك في عدة الوفاة لما روت أم سلمة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “المتوفى عنها زوجها لا تلبس المعصفر من الثياب ولا الممشق ولا الحلي ولا تختضب ولا تكتحل” .

BAB IHADAD

Iḥadād adalah meninggalkan perhiasan dan segala sesuatu yang dapat mengundang kepada hubungan langsung. Iḥadād wajib dilakukan dalam masa ‘iddah karena wafatnya suami, berdasarkan riwayat dari Ummu Salamah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Perempuan yang ditinggal wafat oleh suaminya tidak boleh memakai pakaian mu‘aṣfar, tidak pula mumaššaq, tidak memakai perhiasan, tidak berhias dengan ḥinā’, dan tidak bercelak.”

ولا يجب ذلك على المعتدة الرجعية لأنها باقية على الزوجية ولا يجب على أم الولد إذا توفي عنها مولاها ولا على الموطوءة بشبهة لما روت أم حبيبة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تحد على ميت فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر وعشرا”. واختلف قوله في المعتدة المبتوتة فقال في القديم يجب عليها الإحداد لأنها معتدة بائن فلزمها الإحداد كالمتوفى عنها زوجها وقال في الجديد لا يجب عليها الإحداد لأنها معتدة من طلاق فلم يلزمها الإحداد كالرجعية.

Tidak wajib iḥadād atas perempuan yang menjalani ‘iddah raj‘iyyah karena status pernikahannya masih tetap. Tidak pula wajib atas umm al-walad apabila tuannya wafat, dan tidak wajib pula atas perempuan yang digauli karena syubhat, berdasarkan riwayat dari Ummu Ḥabībah bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk iḥadād atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.”

Terdapat perbedaan pendapat beliau mengenai perempuan yang menjalani ‘iddah karena talak bā’in. Dalam pendapat qadīm, beliau mengatakan wajib atasnya iḥadād, karena ia mu‘taddah bā’in, maka wajib atasnya iḥadād sebagaimana perempuan yang ditinggal wafat suaminya. Sedangkan dalam pendapat jadīd, beliau mengatakan tidak wajib atasnya iḥadād, karena ia mu‘taddah dari talak, maka tidak wajib atasnya iḥadād seperti halnya perempuan dalam ‘iddah raj‘iyyah.

فصل: ومن لزمها الإحداد حرم عليها أن تكتحل بالإثمد والصبر وقال أبو الحسن الماسرجسي: إن كانت سوداء لم يحرم عليها والمذهب أنه يحرم لما ذكرناه من حديث أم سلمة ولأنه يحسن الوجه ويجوز أن تكتحل بالأبيض كالتوتيا لأنه لا يحسن بل يزيد العين مرهاً فإن احتاجت إلى الاكتحال بالصبر والإثمد اكتحلت بالليل وغسلته بالنهار ولما روت أم سلمة قالت: دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم حين توفي أبو سلمة وقد جعلت على عيني صبراً فقال: “ما هذا يا أم سلمة قلت: إنما هو صبر ليس فيه طيب فقال إنه يشب الوجه إلا بالليل وتنزعيه بالنهار”.

PASAL: Perempuan yang wajib menjalani iḥadād haram bercelak dengan iṡmid dan ṣabr. Abū al-Ḥasan al-Māsarjisī berkata: jika ia berkulit hitam, maka tidak haram baginya. Namun pendapat yang mu‘tamad adalah haram, sebagaimana disebutkan dalam hadis Umm Salamah, dan karena bercelak itu memperindah wajah. Boleh baginya bercelak dengan celak putih seperti tutiyā, karena tidak memperindah, bahkan menambah pedih pada mata. Jika ia membutuhkan bercelak dengan ṣabr dan iṡmid, maka ia boleh bercelak di malam hari dan mencucinya di siang hari. Umm Salamah meriwayatkan: Rasulullah SAW masuk menemuiku ketika Abū Salamah wafat, dan aku telah meletakkan ṣabr di mataku. Beliau bersabda: “Apa ini, wahai Umm Salamah?” Aku berkata: “Ini ṣabr, tidak mengandung wewangian.” Beliau bersabda: “Ia menyegarkan wajah. Kecuali malam hari dan engkau menanggalkannya di siang hari.”

فصل: ويحرم عليها أن تختضب لحديث أم سلمة ولأنه يدعوا إلى المباشرة ويحرم عليها أن تحمر وجهها بالدمام وهو الكلكون وأن تبيضه باسفيذاج العرائس لأن ذلك أبلغ في الزينة من الخضاب فهو بالتحريم أولى ويحرم عليها ترجيل الشعر لأنه يحسنها ويدعوا إلى مباشرتها.

PASAL: Haram bagi perempuan yang sedang iḥdād untuk berhias dengan khuḍāb, berdasarkan hadis Ummu Salamah, dan karena hal itu mengundang kepada hubungan langsung. Haram pula baginya memerahkan wajah dengan al-dammām yaitu al-kalkūn, dan memutihkannya dengan asfīdhāj al-‘arā’is, karena itu lebih kuat dalam hal perhiasan dibanding khuḍāb, maka keharamannya lebih utama. Haram juga baginya menyisir rambut, karena hal itu memperindah dirinya dan mengundang kepada hubungan langsung.

فصل: ويحرم عليها أن تطيب لما روت أم عطية أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” لا تحد المرأة فوق ثلاثة أيام إلا على زوج فإنها تحد أربعة أشهر وعشرا لا تكتحل ولا تلبس ثوبا مصبوغا إلا ثوب عصب ولا تمس طيباً إلا عند طهرها من حيضها نبذة من قسط أو أظفار” .

PASAL: Haram bagi perempuan yang menjalani iḥadād untuk memakai wewangian, sebagaimana riwayat Ummu ‘Aṭiyyah bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak boleh seorang perempuan menjalani iḥadād lebih dari tiga hari kecuali karena suaminya, maka ia menjalani iḥadād selama empat bulan sepuluh hari. Ia tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai pakaian yang diwarnai kecuali pakaian ʿaṣb, dan tidak boleh menyentuh wewangian kecuali saat bersuci dari haidnya berupa sedikit qusṭ atau aẓfār.”

ولأن الطيب يحرك الشهوة ويدعوا إلى المباشرة ولا تأكل شيئا فيه طيب ظاهر ولا تستعمل الأدهان المطيبة كالبان ودهن الورد ودهن البنفسج لأنه طيب ولا تستعمل الزيت والشيرج في الرأس لأنه يرجل الشعر ويجوز لها أن تغسل رأسها بالسدر لما روت أم سلمة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لها: “امتشطي” فقلت بأي شيء أمتشط يا رسول الله؟ قال: “بالسدر تغلفين به رأسك”. ولأن ذلك تنظيف لا تزيين فلم يمنع منه ويجوز أن تقلم الأظفار وتحلق العانة لأنه يراد للتنظيف لا للزينة.

Karena wewangian membangkitkan syahwat dan mengundang kepada hubungan langsung, maka tidak boleh baginya memakan sesuatu yang mengandung wewangian yang nyata, dan tidak boleh menggunakan minyak yang diberi wewangian seperti al-bān, minyak mawar, dan minyak banafsaj, karena itu termasuk wewangian. Tidak boleh pula menggunakan minyak zaitun dan minyak wijen di kepala karena itu membuat rambut tersisir rapi.

Namun boleh baginya mencuci kepalanya dengan sidr, karena Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda kepadanya: “Imtasyṭī.” Aku bertanya, “Dengan apa aku menyisir, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Dengan sidr, balurkanlah ke kepalamu.” Hal itu karena sidr berfungsi untuk membersihkan, bukan untuk berhias, maka tidak dilarang. Dan boleh memotong kuku serta mencukur bulu kemaluan, karena itu dimaksudkan untuk kebersihan, bukan untuk perhiasan.

فصل: ويحرم عليها لبس الحلي لحديث أم سلمة ولأنه يزيد في حسنها ولهذا قال الشاعر:

وما الحلي إلا زينة لنقيصة … يتمم من حسن إذا الحسن قصرا
فأما إذا كان الجمال موفراً … كحسنك لم يحتج إلى أن يزورا

PASAL: Haram bagi perempuan yang menjalani iḥadād untuk memakai perhiasan, berdasarkan hadis Umm Salamah, dan karena perhiasan menambah kecantikan. Oleh karena itu, seorang penyair berkata:

Wa mā al-ḥulī illā zīnatu lināqiṣatin
Yutimmu min ḥusnin idzā al-ḥusnu qaṣurā
Fa ammā idzā kāna al-jamālu mufarran
Ka ḥusniki lam yaḥtaj ilā an yuzāwarā

Artinya:
Perhiasan itu hanyalah hiasan bagi kekurangan,
menyempurnakan keindahan jika keindahan itu kurang.
Adapun jika keindahan telah sempurna,
seperti kecantikanmu, maka tak butuh lagi dibuat-buat.

فصل: ويحرم عليها لبس ما صبغ من الثياب للزينة كالأحمر والأصفر والأزرق الصافي والأخضر الصافي لحديث أم عطية: ولا تلبس ثوبا مصبوغا إلا ثوب عصب وأما ما صبغ غزله ثم نسج فقد قال أبو إسحاق: إنه لا يحرم لحديث أم عطية: “ولا تلبس ثوبا مصبوغا إلا ثوب عصب”، والعصب ما صبغ غزله ثم نسج والمذهب أنه يحرم لأن الشافعي رحمه الله نص على تحريم الوشي والديباج وهذا كله صبغ غزله ثم نسج ولأنه ما صبغ غزله ثم نسج أرفع وأحسن مما صبغ بعد النسج وأما ما صبغ لغير الزينة كالثوب المصبوغ بالسواد للمصيبة وما صبغ للوسخ كالأزرق المشبع والأخضر المشبع فإنه لا يحرم

PASAL: Diharamkan atasnya memakai pakaian yang dicelup untuk tujuan berhias, seperti warna merah, kuning, biru jernih, dan hijau jernih, berdasarkan hadis Ummu ‘Aṭiyyah: “Dan janganlah ia memakai pakaian yang dicelup kecuali tsaub ‘aṣb.” Adapun pakaian yang benangnya dicelup terlebih dahulu lalu ditenun, maka Abu Isḥāq berkata: hal itu tidak haram, berdasarkan hadis Ummu ‘Aṭiyyah: “Dan janganlah ia memakai pakaian yang dicelup kecuali tsaub ‘aṣb,” sedangkan al-‘aṣb adalah benang yang dicelup lalu ditenun. Adapun mazhab (yang mu‘tabar) menyatakan bahwa itu haram, karena asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh telah menegaskan keharaman al-wasyī dan ad-dībāj, padahal keduanya termasuk yang benangnya dicelup lalu ditenun. Dan karena yang dicelup benangnya lalu ditenun itu lebih mewah dan lebih indah daripada yang dicelup setelah ditenun. Adapun pakaian yang dicelup bukan untuk berhias seperti pakaian berwarna hitam karena musibah, dan yang dicelup untuk menutupi kotoran seperti biru pekat atau hijau pekat, maka tidak haram.

لأنه لا زينة فيه ولا يحرم ما عمل من غزله من غير صبغ كالمعمول من القطن والكتان والإبريسم والصوف والوبر لأنها وإن كانت حسنة إلا أن حسنها من أصل الخلقة لا لزينة أدخلت عليها وإن عمل على البياض طرز فإن كانت كباراً حرم عليها لبسه لأنه زينة ظاهرة أدخلت عليه وإن كانت صغاراً ففيه وجهان: أحدهما: يحرم كما يحرم قليل الحلي وكثيره. والثاني: لا يحرم لقلتها وخفائها.

Karena di dalamnya tidak terdapat unsur perhiasan. Tidak diharamkan pula pakaian yang dibuat dari benangnya tanpa proses pencelupan, seperti yang dibuat dari kapas, linen, ibrīsim, wol, dan wabar, karena meskipun pakaian tersebut bagus, namun keindahannya berasal dari ciptaan aslinya, bukan karena perhiasan yang ditambahkan padanya.

Jika pada pakaian putih tersebut diberi sulaman (ṭirāz), maka jika sulamannya besar, haram memakainya karena termasuk perhiasan yang tampak jelas dan ditambahkan pada pakaian. Jika sulamannya kecil, maka ada dua pendapat: pertama, haram sebagaimana diharamkannya perhiasan sedikit maupun banyak; kedua, tidak haram karena jumlahnya sedikit dan tersembunyi.

باب اجتماع العدتين
إذا طلق الرجل امرأته بعد الدخول وتزوجت في عدتها بآخر ووطئها جاهلاً بتحريمها وجب عليها إتمام عدة الأول واستئناف عدة الثاني ولا تدخل عدة أحدهما: في عدة الآخر لما روى سعيد بن المسيب وسيمان بن بشار أن طليحة كانت تحت رشيد الثقفي فطلقها فنكحت في عدتها فضربها عمر رضي الله عنه وضرب زوجها بمخفقة ضربات ثم قال: أيما امرأة نكحت في عدتها فإن كان زوجها الذي تزوجها لم يدخل بها فرق بينهما ثم اعتدت عليه بقية عدتها من زوجها الأول وكان خاطبا من الخطاب وإن كان دخل بها فرق بينهما ثم اعتدت بقية عدتها من زوجها الأول ثم اعتدت من الآخر ولم ينكحها أبدا ولأنهما حقان مقصودان لآدميين فلم يتداخلا كالدينين

BAB PERKUMPULAN DUA MASA ‘IDDAH

Jika seorang lelaki menceraikan istrinya setelah berhubungan badan, lalu wanita itu menikah dengan lelaki lain dalam masa ‘iddahnya, dan suami kedua menyetubuhinya karena tidak tahu keharamannya, maka wajib atasnya menyempurnakan ‘iddah dari suami pertama dan memulai ‘iddah baru dari suami kedua. Dan ‘iddah dari salah satu tidak masuk ke dalam ‘iddah dari yang lain. Hal ini berdasarkan riwayat dari Sa‘īd bin al-Musayyab dan Simān bin Bashshār bahwa Ṭalīḥah dahulu berada dalam pernikahan Rasyīd ats-Tsaqafī, lalu ia menceraikannya, dan ia menikah (lagi) dalam masa ‘iddahnya, maka ‘Umar RA memukulnya dan memukul suaminya dengan cambuk tipis beberapa kali, kemudian berkata: “Siapa saja wanita yang menikah dalam masa ‘iddahnya, jika suaminya yang menikahinya belum menyetubuhinya, maka dipisahkan antara keduanya, lalu ia menyempurnakan sisa masa ‘iddahnya dari suami pertama, dan lelaki itu hanya dianggap sebagai pelamar dari para pelamar. Namun jika ia telah menyetubuhinya, maka dipisahkan antara keduanya, lalu ia menyempurnakan sisa ‘iddah dari suami pertama, kemudian memulai ‘iddah dari lelaki kedua, dan tidak boleh dinikahi oleh lelaki itu selama-lamanya.”

Karena keduanya adalah dua hak yang dimaksudkan bagi manusia, maka keduanya tidak saling masuk satu sama lain, sebagaimana dua utang.

فإن كانت حائلاً انقطعت عدة الأول بوطء الثاني إلى أن يفرق بينهما لأنها صارت فراشاً للثاني فإذا فرق بينهما أتمت ما بقي من عدة الأول ثم استأنفت العدة من الثاني لأنهما عدتان من جنس واحد فقدمت السابقة منهما وإن كانت حاملاً نظرت فإن كان الحمل من الأول انقطعت عدتها منه بوضعه ثم استأنفت العدة من الثاني بالأقراء بعد الطهر من النفاس وإن كان الحمل من الثاني انقضت عدتها منه بوضعه ثم أتمت عدة الأول وتقدم عدة الثاني ههنا على عدة الأول

Jika ia tidak hamil, maka terputuslah ‘iddah dari suami pertama karena persetubuhan dengan suami kedua, hingga keduanya berpisah. Karena ia telah menjadi firāsy bagi suami kedua. Maka apabila keduanya telah berpisah, ia menyempurnakan sisa ‘iddah dari suami pertama, kemudian memulai ‘iddah dari suami kedua, karena keduanya adalah dua ‘iddah dari jenis yang sama, maka didahulukan yang lebih dahulu di antaranya.

Dan jika ia hamil, maka diperhatikan: jika kehamilan itu dari suami pertama, maka terputuslah ‘iddah darinya dengan kelahiran, kemudian ia memulai ‘iddah dari suami kedua dengan al-aqrā’ setelah suci dari nifas. Dan jika kehamilan itu dari suami kedua, maka selesai ‘iddah darinya dengan kelahiran, kemudian ia menyempurnakan ‘iddah dari suami pertama. Dan dalam hal ini ‘iddah dari suami kedua didahulukan atas ‘iddah dari suami pertama.

لأنه لا يجوز أن يكون الحمل من الثاني وتعتد به من الأول وإن أمكن أن يكون من كل واحد منهما عرض على القافة فإن ألحقته بالأول انقضت به عدته وإن ألحقته بالثاني انقضت به عدته وإن ألحقته بهما أو نفته عنهما أولم تعلم أولم تكن قافة لزمها أن تعتد بعد الوضع بثلاثة أقراء لأنه إن كان من الأول لزمها للثاني ثلاثة أقراء وإن كان من الثاني لزمها إكمال العدة من الأول فوجب أن تعتد بثلاثة أقراء ليسقط الفرض بيقين

Karena tidak boleh kehamilan itu dari suami kedua namun dijadikan dasar ‘iddah dari suami pertama. Dan jika memungkinkan bahwa kehamilan itu dari keduanya, maka dilimpahkan kepada al-qāfah. Jika al-qāfah menisbahkannya kepada suami pertama, maka selesai ‘iddah darinya dengan kelahiran. Dan jika al-qāfah menisbahkannya kepada suami kedua, maka selesai ‘iddah darinya dengan kelahiran.

Namun jika al-qāfah menisbahkannya kepada keduanya, atau menafikannya dari keduanya, atau tidak diketahui, atau tidak ada qāfah, maka wajib atasnya untuk ber‘iddah setelah melahirkan dengan tiga qarā’—karena jika kehamilan itu dari suami pertama, maka wajib atasnya tiga qarā’ untuk suami kedua, dan jika dari suami kedua, maka wajib atasnya menyempurnakan ‘iddah dari suami pertama. Maka wajiblah ber‘iddah dengan tiga qarā’ agar gugur kewajiban dengan yakin.

وإن لم يمكن أن يكون من واحد منهما ففيه قولان: أحدهما: لا تعتد به عن أحدهما: لأنه غير لاخق بواحد منهما فعلى هذا إذا وضعت أكملت عدة الأول ثم تعتد من الثاني بثلاثة أقراء والثاني: تعتد به عن أحدهما: لا يعينه لأنه يمكن أن يكون من أحدهما: ولهذا لو أقر به لحقه فانقضت به العدة كالمنفي باللعان فعلى هذا يلزمها أن تعتد بثلاثة أقراء بعد الطهر من النفاس.

Dan jika tidak memungkinkan bahwa kehamilan itu berasal dari salah satu dari keduanya, maka ada dua pendapat:

Pertama: tidak dihitung sebagai ‘iddah dari salah satunya, karena tidak dinisbahkan kepada salah satu dari keduanya. Maka berdasarkan pendapat ini, jika ia telah melahirkan, ia menyempurnakan ‘iddah dari suami pertama, lalu ber‘iddah dari suami kedua dengan tiga qarā’.

Kedua: dihitung sebagai ‘iddah dari salah satunya, tanpa ditentukan siapa di antara keduanya, karena memungkinkan kehamilan itu dari salah satunya—dan karena itu, jika ia mengakuinya, maka nasab anak itu tetap kepadanya. Maka selesai ‘iddah dengannya sebagaimana anak yang dinafikan melalui li‘ān. Maka berdasarkan pendapat ini, wajib atasnya ber‘iddah dengan tiga qarā’ setelah suci dari nifas.

فصل: إذا تزوج رجل امرأة في عدة غيره ووطئها فيه قولان: قال في القديم تحرم عليه على التأبيد لما رويناه عن عمر رضي الله عنه أنه قال ثم لا ينكحها أبدا وقال في الجديد لا تحرم عليه على التأبيد كالوطء في النكاح بلا ولي وما روي عن عمر رضي الله عنه فقد روي عن علي كرم الله وجهه أنه قال: إذا انقضت عدتها فهو خاطب من الخطاب فخطب عمر رضي الله عنه قال: ردوا الجهالات إلى السنة فرجع إلى قول علي كرم الله وجهه.

PASAL: Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang masih dalam masa ‘iddah dari laki-laki lain, lalu ia menggaulinya, maka terdapat dua pendapat:

Ia berkata dalam qaul qadīm: perempuan itu haram dinikahi olehnya untuk selamanya, berdasarkan riwayat dari ‘Umar RA bahwa ia berkata: “Kemudian ia tidak boleh menikahinya selamanya.”

Dan ia berkata dalam qaul jadīd: perempuan itu tidak haram dinikahi untuk selamanya, sebagaimana halnya jima‘ dalam pernikahan tanpa wali.

Adapun riwayat dari ‘Umar RA, juga diriwayatkan dari ‘Alī karamallāhu wajhah bahwa beliau berkata: “Jika telah habis masa ‘iddahnya, maka ia termasuk para pelamar.” Lalu ‘Umar RA melamar perempuan itu. Maka dikatakan kepadanya: “Kembalikan kebodohan kepada sunnah,” maka beliau pun kembali kepada pendapat ‘Alī karamallāhu wajhah.

فصل: إذا طلق زوجته طلاقاً رجعياً ثم وطئها في العدة وجب عليها عدة بالوطء لأنه وطء في نكاح قد تشعث فهو كالوطء الشبهة فإن كانت من ذوات الأقراء أومن ذوات الشهور لزمها أن تستأنف العدة وتدخل فيها البقية من عدة الطلاق لأنهما من واحد وله أن يراجعها في البقية لأنها من عدة الطلاق فإذا مضت البقية لم يجز أن يراجعها لأنها في عدة وطء شبهة وإن حملت من الوطء صارت في عدة الوطء حتى تضع وهل تدخل فيها بقية عدة الطلاق ففيه قولان: أحدهما: تدخل لأنهما لواحد فدخلت إحداهما في الأخرى كما لو كانتا بالأقراء

PASAL: Jika seorang suami menceraikan istrinya dengan ṭalāq rajʿī, lalu menyetubuhinya dalam masa ʿiddah, maka wajib atasnya ʿiddah karena persetubuhan tersebut, karena itu adalah persetubuhan dalam pernikahan yang telah rusak, maka hukumnya seperti persetubuhan syubhat. Jika perempuan tersebut termasuk dari golongan yang ʿiddah-nya dengan qurʾ atau dengan bulan, maka wajib atasnya untuk memulai ʿiddah baru, dan sisa ʿiddah dari ṭalāq masuk ke dalamnya, karena keduanya berasal dari satu orang. Dan suami berhak untuk merujuknya pada sisa ʿiddah tersebut, karena ia merupakan bagian dari ʿiddah ṭalāq. Jika sisa masa tersebut telah habis, maka tidak boleh baginya untuk merujuk, karena saat itu ia berada dalam ʿiddah persetubuhan syubhat. Jika ia hamil karena persetubuhan tersebut, maka ia masuk ke dalam ʿiddah persetubuhan hingga melahirkan. Apakah sisa ʿiddah ṭalāq masuk ke dalamnya? Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya menyatakan bahwa ia masuk, karena keduanya berasal dari satu orang, maka salah satunya masuk ke dalam yang lain sebagaimana jika keduanya berupa ʿiddah dengan qurʾ.

والثاني: لا يدخل لأنهما جنسان فلم تدخل إحداهما في الأخرى فإن قلنا يتداخلان كان في العدتين إلى أن تضع لأن الحمل لا يتبعض وله أن يراجعها إلى أن تضع لأنها في عدة الطلاق وإن قلنا لا يتداخلان فإن لم تر دماً على الحمل وقلنا إنه ليس بحيض فهي معتدة بالحمل عن وطء الشبهة إلى أن تضع فإذا وضعت أتمت عدة الطلاق وله أن يراجعها في هذه البقية لأنها في عدة الطلاق وهل له أن يراجعها قبل الوضع فيه وجهان: أحدهما: ليس له أن يراجعها لأنها في عدة وطء الشبهة

dan pendapat kedua: tidak masuk, karena keduanya adalah dua jenis yang berbeda, maka tidak masuk salah satunya ke dalam yang lain. Jika kita mengatakan bahwa keduanya saling masuk (yakni tadākhul), maka ia berada dalam dua ʿiddah hingga melahirkan, karena kehamilan tidak dapat dibagi. Dan suami berhak merujuknya hingga ia melahirkan, karena ia berada dalam ʿiddah ṭalāq. Namun jika kita mengatakan keduanya tidak saling masuk, maka jika ia tidak melihat darah selama kehamilan, dan kita mengatakan bahwa itu bukan ḥaiḍ, maka ia adalah perempuan yang menjalani ʿiddah karena kehamilan akibat persetubuhan syubhat hingga melahirkan. Setelah ia melahirkan, ia menyempurnakan ʿiddah ṭalāq, dan suami boleh merujuknya pada sisa masa tersebut karena ia masih dalam ʿiddah ṭalāq. Apakah suami boleh merujuknya sebelum melahirkan? Maka dalam hal ini ada dua wajah (pendapat): salah satunya adalah tidak boleh baginya untuk merujuk karena ia berada dalam ʿiddah persetubuhan syubhat.

والثاني: له أن يراجعها لأنها لم تكمل عدة الطلاق فإذا رأت الدم على الحمل وقلنا إنه حيض كانت عدتها من الوطء بالحمل وعدتها من الطلاق بالإقرار التي على الحمل لأن عليها عدتين إحداهما بالأقراء والأخرى بالحمل فجاز أن تجتمعا فإذا أمضت ثلاثة أقراء قبل وضع الحمل فقد انقضت عدة الطلاق وإن وضعت قبل انقضاء الأقراء فقد انقضت عدة الوطء وعليها إتمام عدة الطلاق فإذا راجعها في بقية عدة الطلاق صحت الرجعة وإن راجعها قبل الوضع ففي صحة الرجعة وجهان على ما ذكرناه فأما إذا كانت قد حبلت من الوطء قبل الطلاق كانت عدة الطلاق بالحمل وعدة الوطء بالأقرار

dan yang kedua: suaminya boleh merujuknya karena ia belum menyempurnakan ‘iddah talak. Jika ia melihat darah di masa kehamilan dan kita katakan bahwa itu adalah ḥaiḍ, maka ‘iddah dari jima‘ adalah dengan kehamilan, dan ‘iddah dari talak adalah dengan aqrā’ yang terjadi selama kehamilan, karena atasnya terdapat dua ‘iddah: salah satunya dengan aqrā’, dan yang lainnya dengan kehamilan, maka boleh keduanya berkumpul. Jika ia telah menyempurnakan tiga qur’ sebelum melahirkan, maka telah selesai ‘iddah talak. Dan jika ia melahirkan sebelum menyempurnakan aqrā’, maka telah selesai ‘iddah jima‘ dan atasnya tetap menyempurnakan ‘iddah talak. Jika suaminya merujuknya dalam sisa waktu ‘iddah talak, maka ruju‘nya sah. Dan jika ia merujuk sebelum melahirkan, maka dalam keabsahan ruju‘ ada dua wajah seperti yang telah kami sebutkan. Adapun jika ia hamil karena jima‘ sebelum talak, maka ‘iddah talak adalah dengan kehamilan dan ‘iddah jima‘ adalah dengan aqrā’.

فإن قلنا إن عدة الأقراء تدخل في عدة الحمل كانت عدتها من الطلاق والوطء بالحمل فإذا أوضعت انقضت العدتان جميعا وإن قلنا لا ندخل عدة الأقراء في الحمل فإن كانت لا ترى الدم على الحمل أوتراه وقلنا إنه ليس بحيض فإن عدتها من الطلاق تنقضي بوضع الحمل وعليها استئناف عدة الوطء بالأقراء وإن كانت ترى الدم وقلنا إنه حيض فإن سبق الوضع انقضت العدة الأولى وعليها إتمام العدة الثانية فإن سبق انقضاء الأقراء انقضت عدة الوطء ولا تنقضي العدة الأولى إلا بالوضع.

Jika kita katakan bahwa ‘iddah dengan aqrā’ masuk ke dalam ‘iddah kehamilan, maka ‘iddah dari talak dan jima‘ adalah dengan kehamilan. Maka jika ia melahirkan, selesai kedua ‘iddah tersebut seluruhnya. Dan jika kita katakan bahwa kita tidak memasukkan ‘iddah aqrā’ ke dalam kehamilan, maka jika ia tidak melihat darah saat hamil, atau ia melihatnya namun kita katakan itu bukan ḥaiḍ, maka ‘iddah dari talak selesai dengan kelahiran, dan ia wajib memulai ‘iddah jima‘ dengan aqrā’. Dan jika ia melihat darah dan kita katakan itu adalah ḥaiḍ, maka jika kelahiran lebih dahulu, maka selesai ‘iddah pertama dan ia wajib menyempurnakan ‘iddah kedua. Dan jika selesainya aqrā’ lebih dahulu, maka selesai ‘iddah jima‘, dan ‘iddah pertama tidak selesai kecuali dengan kelahiran.

فصل: إذا خالع امرأته بعد الدخول فله أن يتزوجها في العدة وقال المزني: لا يجوز كما لا يجوز لغيره وهذا خطأ لأن نكاح غيره يؤدي إلى اختلاط الأنساب ولا يوجد ذلك في نكاحه وإن تزوجها انقطعت العدة وقال أبو العباس: لا تنقطع قبل أن يطأها كما لا تنقطع إذا تزوجها أجنبي قبل أن يطأها وهذا خطأ لأن المرأة تصير فراشا بالعقد ولا يجوز أن تبقى مع الفراش عدة ولأنه لا يجوز أن تكون زوجته وتعتد منه ويخالف الأجنبي فإن نكاحه في العدة فاسد فلم تصر فراشاً إلا بالوطء فإن وطئها ثم طلقها لزمها عدة مستأنفة وتدخل فيها بقية الأولى

PASAL: Jika seorang laki-laki melakukan khulʿ terhadap istrinya setelah terjadi hubungan suami istri, maka ia boleh menikahinya kembali selama masa ‘iddah. Al-Muzanī berkata: “Tidak boleh, sebagaimana tidak boleh bagi laki-laki lain.” Ini adalah pendapat yang keliru, karena pernikahan dengan laki-laki lain dapat menyebabkan percampuran nasab, sedangkan hal itu tidak terjadi dalam pernikahan dengan suami yang sama. Jika ia menikahinya kembali, maka ‘iddah pun terputus.

Abū al-‘Abbās berkata: “‘Iddah tidak terputus kecuali setelah digauli, sebagaimana jika dinikahi oleh orang lain, maka ‘iddah-nya tidak terputus sebelum digauli.” Ini pun keliru, karena seorang perempuan menjadi firāsy (pasangan tetap) hanya dengan akad nikah, dan tidak mungkin ia tetap dalam keadaan menjalani ‘iddah padahal telah menjadi firāsy. Tidak demikian halnya dengan laki-laki lain, karena pernikahan dengannya saat dalam ‘iddah adalah pernikahan yang fasad, maka perempuan itu tidak menjadi firāsy kecuali setelah digauli. Jika suaminya menyetubuhinya lalu menceraikannya, maka ia wajib menjalani ‘iddah yang baru, dan ‘iddah baru itu mencakup sisa dari ‘iddah yang pertama.

وإن طلقها قبل أن يطأها لم يلزمها استئناف عدة لأنها مطلقة في نكاح قبل المسيس فلم تلزمها عدة كما لو تزوج امرأة وطلقها قبل الدخول وعليها أن تتمم ما بقي عليها من العدة الأولى لأنا لو أسقطنا البقية أدى ذلك إلى اختلاط المياه وفساد الأنساب لأنه يتزوج امرأة ويطأها ثم يخلعها ثم يتزوجها آخر فيطؤها ثم يخلعها ثم يتزوجها آخر ويفعل مثل ذلك إلى أن يجتمع على وطئها في يوم واحد عشرون وتختلط المياه وتفسد الأنساب.

Jika ia menceraikannya sebelum menyetubuhinya, maka tidak wajib baginya memulai ‘iddah yang baru, karena ia dicerai dalam pernikahan sebelum terjadi persetubuhan, sehingga tidak wajib atasnya ‘iddah, sebagaimana seseorang yang menikahi perempuan lalu menceraikannya sebelum digauli. Namun, ia wajib menyempurnakan sisa dari ‘iddah yang pertama, karena jika sisa ‘iddah itu dihapuskan, hal itu akan menyebabkan percampuran air mani dan kerusakan nasab. Sebab bisa saja seseorang menikahi perempuan, lalu menyetubuhinya, kemudian menceraikannya dengan khulu‘, lalu dinikahi oleh lelaki lain yang juga menyetubuhinya dan menceraikannya dengan khulu‘, lalu dinikahi oleh lelaki lain, dan perbuatan itu terus berulang, hingga dalam satu hari ia disetubuhi oleh dua puluh orang, yang menyebabkan percampuran air mani dan rusaknya nasab.

فصل: إذا طلق امرأته بعد الدخول طلقة ثم راجعها نظرت فإن وطئها بعد الرجعة ثم طلقها لزمها أن تستأنف العدة وتدخل فيها بقية العدة الأولى فإن راجعها ثم طلقها ثم راجعها قبل أن يطأها ففيه قولان: أحدهما: ترجع إلى العدة الأولى وتبنى عليها كما لو خالعها ثم تزوجها في العدة ثم طلقها قبل أن يطأها والثاني: أنها تستأنف العدة وهو اختيار المزني وهو الصحيح لأنه طلاق في نكاح وطئ فيه فأوجب عدة كاملة كما لولم يتقدمه طلاق ولا رجعية وتخالف المختلفة لأن هناك عادت إليه بنكاح جديد ثم طلقها من غير وطء وههنا عادت إلى النكاح الذي طلقها فيه

PASAL: Jika seorang suami menceraikan istrinya setelah terjadi hubungan suami istri dengan satu talak, kemudian ia rujuk kepadanya, maka diperhatikan: jika ia mencampurinya setelah rujuk lalu menceraikannya, maka wajib atasnya untuk memulai ‘iddah yang baru dan menghitung dari awal, sedangkan sisa ‘iddah yang pertama masuk ke dalam ‘iddah yang baru.

Jika ia rujuk lalu menceraikannya, lalu rujuk lagi sebelum mencampurinya, maka ada dua pendapat:

Pertama: ia kembali ke ‘iddah yang pertama dan meneruskan sisa ‘iddah tersebut, sebagaimana jika ia melakukan khul‘ kemudian menikahinya lagi dalam masa ‘iddah, lalu menceraikannya sebelum mencampurinya.

Kedua: ia memulai ‘iddah yang baru, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena talak ini terjadi dalam pernikahan yang telah terjadi jima‘ di dalamnya, sehingga mewajibkan ‘iddah yang sempurna, sebagaimana jika tidak didahului oleh talak atau masa rujuk. Dan berbeda halnya dengan kasus wanita yang dicerai kemudian dinikahi kembali, karena pada kasus itu ia kembali dengan akad nikah yang baru lalu dicerai tanpa adanya jima‘, sedangkan dalam kasus ini ia kembali kepada pernikahan yang di dalamnya telah terjadi talak.

فإذا طلقها استأنفت العدة كما لو ارتدت بعد الدخول ثم أسلمت ثم طلقها وإن طلقها ثم مضى عليها قرء أو قرءان ثم طلقها من غير رجعية ففيه طريقان: قال أبو سعيد الإصطخري وأبو علي بن خيران رحمهما الله: هي كالمسألة قبلها فتكون على قولين وللشافعي رحمه الله ما يدل عليه فإنه قال في تلك المسألة: ويلزم أن نقول ارتجع أولم يرتجع سواء والدليل عليه أن الطلاق معنى لو طرأ على الزوجية أوجب عدة فإذا طرأ على الرجعية أوجب عدة كالوفاة في إيجاب عدة الوفاة وقال أبو إسحاق تبنى على عدتها قولاً واحداً لأنهما طلاقان لم يتخللهما وطء ولا رجعة فصار كما لو طلقها طلقتين في وقت واحد.

Maka apabila ia menceraikannya, ia memulai ‘iddah dari awal, sebagaimana jika seorang wanita murtad setelah terjadi hubungan suami istri, lalu ia masuk Islam kembali, kemudian diceraikan.

Dan apabila ia menceraikannya, lalu telah berlalu satu qar’ atau dua qar’ atasnya, kemudian menceraikannya lagi tanpa adanya rujuk, maka terdapat dua pendekatan:

Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan Abū ‘Alī bin Khirān rahimahumallāh berkata: ini seperti masalah sebelumnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Dan dari perkataan asy-Syāfi‘ī rahimahullāh terdapat sesuatu yang menunjukkan hal itu, karena ia berkata dalam masalah tersebut: “Wajib kita mengatakan: ia telah rujuk atau belum rujuk, hukumnya sama.” Dalilnya adalah bahwa talak merupakan suatu hal yang apabila terjadi dalam masa pernikahan mewajibkan adanya ‘iddah, maka apabila terjadi dalam masa ruj‘ah pun mewajibkan ‘iddah, sebagaimana wafat yang mewajibkan ‘iddah karena wafat.

Dan Abū Isḥāq berkata: ia meneruskan ‘iddah-nya yang pertama menurut satu pendapat saja, karena keduanya adalah dua talak yang tidak diselingi oleh jima‘ ataupun rujuk, maka ia seperti orang yang menceraikan istrinya dengan dua talak sekaligus dalam satu waktu.

فصل: وإن تزوج عبد أمة ودخل بها ثم طلقها طلاقاً رجعياً ثم أعتقت الأمة وفسخت النكاح ففيه قولان: أحدهما: أنها على قولين: أحدهما: تستأنف العدة من حين الفسخ والثاني: لا تستأنف والطريق الثاني أنها تستأنف العدة من الفسخ قولاً واحدا لأن إحدى العدتين من طلاق والأخرى من فسخ فلا تبنى إحداهما على الأخرى.

PASAL: Jika seorang budak menikahi seorang amah lalu mencampurinya, kemudian menceraikannya dengan talak raj‘i, lalu amah tersebut dimerdekakan dan memfasakh pernikahan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: ada dua qaul. Pertama: ia memulai kembali masa ‘iddah sejak terjadinya fasakh. Kedua: ia tidak memulai kembali. Jalan pendapat kedua: ia memulai masa ‘iddah dari fasakh secara qaul satu, karena salah satu dari kedua masa ‘iddah itu disebabkan oleh talak dan yang lainnya karena fasakh, maka tidak dibangun salah satunya di atas yang lain.

فصل: وإذا خلا الرجل بامرأته ثم اختلفا في الإصابة فادعاه أحدهما: وأنكر الآخر ففيه قولان: قال في الجديد قول المنكر لأن الأصل عدم الإصابة وقال في القديم القول قول المدعي لأن الخلوة تدل على الإصابة.

PASAL: Jika seorang laki-laki berkhalwat dengan istrinya lalu keduanya berselisih tentang terjadinya persetubuhan—salah satunya mengakuinya dan yang lain mengingkarinya—maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Dalam pendapat jadīd, perkataan yang dipegang adalah perkataan pihak yang mengingkari karena asalnya tidak terjadi persetubuhan. Sedangkan dalam pendapat qadīm, yang dipegang adalah perkataan pihak yang mengakuinya karena khalwat menunjukkan adanya persetubuhan.

فصل: وإن اختلفا في انقضاء العدة بالأقراء فادعت المرأة انقضاءها لزمان يمكن فيه انقضاء العدة وأنكر الزوج فالقول قولها وإن اختلفا في وضع ما تنقضي به العدة فادعت المرأة أنها وضعت ما تنقضي به العدة وأنكر الزوج فالقول قولها لقوله عز وجل: {وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ الله فِي أَرْحَامِهِنَّ} فحرج النساء على كتمان ما في الأرحام كما حرج على كتمان الشهادة فقال: {وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ}

PASAL: Jika terjadi perselisihan antara keduanya tentang selesainya ‘iddah dengan al-aqrā’, lalu perempuan mengklaim bahwa ‘iddah-nya telah selesai pada waktu yang memungkinkan ‘iddah selesai, sedangkan suami mengingkarinya, maka pendapat diterima dari perempuan. Dan jika keduanya berselisih tentang telah terjadinya sesuatu yang menyebabkan ‘iddah selesai, lalu perempuan mengklaim bahwa ia telah melahirkan sesuatu yang menyebabkan ‘iddah selesai, sementara suami mengingkarinya, maka pendapat diterima dari perempuan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {wa lā yaḥillu lahunna an yaktumna mā khalaqa-llāhu fī arḥāmihinna}, maka Allah melarang para perempuan menyembunyikan apa yang ada dalam rahim mereka sebagaimana Dia melarang menyembunyikan kesaksian, dengan firman-Nya: {wa lā taktumu asy-syahādah wa man yaktumhā fa-innahū ātsimun qalbuh}.

ثم يجب قبول شهادة قول الشهود فوجب قبول قول النساء ولأن ذلك لا يعلم إلا من جهتها فوجب قبول قولها فيه كما يجب على التابعي قبول ما يخبره به الصحابي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين لم يكن له سبيل إلى معرفته إلا من جهته وإن ادعت المرأة انقضاء العدة بالشهور وأنكر الزوج فالقول قوله لأن ذلك اختلاف في وقت الطلاق فكان القول فيه قوله.

Kemudian wajib menerima kesaksian ucapan para saksi, maka wajib pula menerima ucapan para perempuan. Dan karena hal itu tidak dapat diketahui kecuali dari pihaknya, maka wajib menerima ucapannya sebagaimana wajib atas seorang tābi‘ī menerima apa yang dikabarkan kepadanya oleh seorang ṣaḥabī dari Rasulullah SAW, ketika tidak ada jalan baginya untuk mengetahuinya kecuali dari pihak ṣaḥabī. Dan apabila perempuan mengaku bahwa ‘iddah-nya telah selesai dengan hitungan bulan, sementara suami mengingkarinya, maka pendapat diterima dari suami, karena hal itu merupakan perselisihan tentang waktu terjadinya talak, maka dalam hal ini pendapat yang diterima adalah pendapat suami.

فصل: وإن طلقها فقالت المرأة وقد بقي من الطهر ما يعتد به قرء أو قال الزوج طلقك ولم يبق شيء من الطهر فالقول قول المرأة لأن ذلك اختلاف في وقت الحيض وقد بينا أن القول في الحيض قولها.

PASAL: Jika suami mentalaknya lalu istri berkata bahwa masih tersisa dari masa suci yang dapat dihitung sebagai satu qurʼ atau suami berkata, “Aku mentalakmu saat tidak tersisa apa pun dari masa suci,” maka perkataan istri yang diterima karena itu merupakan perbedaan pendapat tentang waktu haid, dan telah dijelaskan bahwa perkataan tentang haid adalah perkataan perempuan.

فصل: وإن طلقها وولدت واتفقا على وقت الولادة واختلفا في وقت الطلاق فقال الزوج طلقتك بعد الولادة على الرجعة وقالت المرأة طلقتني قبل الولادة فلا رجعة لك فالقول قول الزوج لأنهما لو اختلفا في أصل الطلاق كان القول قوله فكذلك إذا اختلفا في وقته ولأن هذا اختلاف في قوله وهو أعلم به فرجع إليه وإن اتفقنا في وقت الطلاق واختلفا في وقت الولادة فقال الزوج ولدت قبل الطلاق فلي الرجعة وقالت المرأة بل ولدت بعد الطلاق فلا رجعة لك فالقول قولها لأنهما لو اختلفا في أصل الولادة كان القول قولها فكذلك إذا اختلفا في وقتها

PASAL: Jika suami menceraikannya lalu ia melahirkan, dan keduanya sepakat tentang waktu kelahiran namun berselisih tentang waktu talak, lalu suami berkata: “Aku menceraimu setelah kelahiran dengan talak raj‘i,” sementara perempuan berkata: “Engkau menceraikanku sebelum kelahiran, maka engkau tidak punya hak rujū‘,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat suami, karena seandainya keduanya berselisih tentang asal talak, maka pendapat suami yang diterima, maka demikian pula jika berselisih tentang waktunya. Dan karena ini adalah perselisihan tentang ucapannya, dan ia lebih mengetahui hal itu, maka dikembalikan kepadanya.

Dan apabila keduanya sepakat tentang waktu talak namun berselisih tentang waktu kelahiran, lalu suami berkata: “Engkau melahirkan sebelum talak, maka aku masih bisa rujū‘,” sementara perempuan berkata: “Bahkan aku melahirkan setelah talak, maka tidak ada hak rujū‘ bagimu,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat perempuan, karena seandainya keduanya berselisih tentang asal kelahiran, maka pendapat perempuan yang diterima, maka demikian pula jika berselisih tentang waktunya.

وإن جهلا وقت الطلاق ووقت الولادة وتداعيا السبق فقال الرجل تأخر الطلاق وقالت المرأة تأخرت الولادة فالقول قول الزوج لأن الأصل وجوب العدة وبقاء الرجعة فإن جهلا وقتهما أو جهل السابق منهما لم يحكم بينهما لأنهما لا يدعيان حقاً وإن ادعت المرأة السبق وقال الزوج لا أعرف السابق قال له الحاكم ليس هذا بجواب فإما أن تجيب جواباً صحيحاً أو نجعلك ناكلاً فإن استفتى أفتيناه بما ذكرناه في المسألة قبلها وأن للزوج الرجعة لأن الأصل وجوب العدة وبقاء الرجعة والورع أن لا يراجعها.

Dan jika keduanya tidak mengetahui waktu talak dan waktu kelahiran, lalu masing-masing mengklaim bahwa peristiwanya lebih dahulu—laki-laki berkata, “Talak terjadi setelahnya,” dan perempuan berkata, “Kelahiran yang terjadi setelahnya”—maka pendapat yang diterima adalah pendapat suami, karena hukum asalnya adalah wajibnya ‘iddah dan tetapnya hak rujū‘.

Namun jika keduanya tidak mengetahui waktu keduanya atau tidak diketahui mana yang lebih dahulu, maka tidak diputuskan perkara di antara mereka karena keduanya tidak sedang menuntut suatu hak.

Jika perempuan mengklaim bahwa kelahiran terjadi lebih dahulu, dan suami berkata, “Aku tidak tahu mana yang lebih dahulu,” maka hakim berkata kepadanya, “Ini bukan jawaban yang sah. Maka berikanlah jawaban yang benar atau kami akan menganggapmu enggan bersaksi.” Jika ia meminta fatwa, maka kami berfatwa kepadanya sebagaimana yang telah kami sebutkan pada masalah sebelumnya, yaitu bahwa suami memiliki hak rujū‘, karena hukum asalnya adalah wajibnya ‘iddah dan tetapnya hak rujū‘. Namun, sikap wara‘ adalah tidak melakukan rujū‘.

فصل: فإن أذن لها في الخروج إلى بلد آخر ثم طلقها واختلفا فقالت المرأة نقلتني إلى البلد الآخر ففيه أعتد وقال الزوج بل أذنت لك في الخروج لحاجة فعليك أن ترجعي فالقول قول الزوج لأنه أعلم بقصده وإن مات واختلفت الزوجة والوارث فالقول قولها لأنهما استويا في الجهل بقصد الزوج ومع الزوجة ظاهر فإن الأمر بالخروج يقتضي خروجاً من غير عود.

PASAL: Jika suami mengizinkan istrinya keluar ke negeri lain, lalu menceraikannya dan keduanya berselisih, istri berkata: “Engkau telah memindahkanku ke negeri lain, maka di sanalah aku ber‘iddah,” sedangkan suami berkata: “Aku hanya mengizinkanmu keluar untuk suatu keperluan, maka wajib atasmu kembali,” maka perkataan suami yang diterima karena ia lebih mengetahui maksudnya. Namun jika suami telah wafat dan terjadi perselisihan antara istri dan ahli waris, maka perkataan istri yang diterima karena keduanya sama-sama tidak mengetahui maksud suami, dan istri memiliki bukti lahiriah, sebab perintah untuk keluar mengandung makna keluar tanpa kembali.

باب استبراء الأمة وأم الولد
من ملك أمة ببيع أو هبة أو إرث أو سبي أو غيرها من الأسباب لزمه أن يستبرئها لما روى أبو سعيد الخدري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عام أو طاس أن لا توطأ حامل حتى تضع ولا حائل حتى تحيض حيضة فإن كانت حاملاً استبرأها بوضع الحمل لحديث أبي سعيد الخدري وإن كانت حائلاً نظرت فإن كانت ممن تحيض استبرأها بقرء وفي القرء قولان: أحدهما: أنه طهر لأنه استبراء فكان القرء فيه الطهر كالعدة

PASAL: Istibra’ Budak Perempuan dan Umm al-Walad

Barang siapa memiliki seorang budak perempuan melalui jual beli, hibah, warisan, tawanan perang, atau sebab lainnya, maka wajib baginya melakukan istibrā’ terhadapnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Saʿīd al-Khudrī RA bahwa Nabi SAW melarang pada tahun Awṭās untuk menyetubuhi perempuan yang hamil hingga ia melahirkan, dan perempuan yang tidak hamil hingga ia mengalami satu kali haid.

Jika budak perempuan itu hamil, maka istibrā’-nya dilakukan dengan menunggu sampai ia melahirkan, berdasarkan hadis Abū Saʿīd al-Khudrī. Jika ia tidak hamil (ḥā’il), maka diperhatikan: bila termasuk perempuan yang mengalami haid, maka istibrā’-nya dilakukan dengan satu qur’. Dalam hal qur’ ini terdapat dua pendapat: salah satunya menyatakan bahwa yang dimaksud adalah ṭuhr, karena ini adalah istibrā’, maka qur’-nya adalah ṭuhr, sebagaimana dalam masa ‘iddah.

والثاني: أن القرء حيض وهو الصحيح لحديث أبي سعيد ولأن براءة الرحم لا تحصل إلا بالحيض فإن قلنا إن القرء هو الطهر فإن كانت عند وجوب الإستبراء طاهراً كانت بقية الطهر قرءاً فإن طعنت في الحيض لم تحل حتى تحيض حيضة كاملة ليعلم براءة رحمها فإذا طعنت في الطهر الثاني حلت وإن كانت حائضاً لم تشرع في القرء حتى تطهر فإذا طعنت في الحيض الثاني حلت وإن قلنا إن القرء هو الحيض فإن كانت حال وجوب الاستبراء طاهراً لم تشرع في القرء حتى تحيض

dan pendapat kedua: bahwa qur’ adalah haid, dan inilah yang ṣaḥīḥ, berdasarkan hadis Abū Saʿīd dan karena rahim tidak dapat dipastikan kosong kecuali dengan haid.

Jika kita katakan bahwa qur’ adalah ṭuhr, maka apabila saat wajib istibrā’ ia dalam keadaan suci, sisa masa ṭuhr itu dihitung sebagai satu qur’. Namun, jika ia mengaku telah haid, maka tidak halal menyetubuhinya hingga ia mengalami satu kali haid penuh agar diketahui bahwa rahimnya kosong. Jika ia mengaku masuk pada ṭuhr kedua, maka ia halal disetubuhi.

Dan apabila saat itu ia sedang haid, maka belum masuk masa qur’ hingga ia suci terlebih dahulu. Maka jika ia telah mengalami haid kedua, ia menjadi halal disetubuhi.

Namun jika kita katakan bahwa qur’ adalah haid, maka apabila saat wajib istibrā’ ia dalam keadaan suci, maka ia belum memulai masa qur’ hingga ia mengalami haid.

فإذا طعنت في الطهر الثاني حلت وإن كانت حائضاً لم تشرع في القرء إلا في الحيضة الثانية لن بقية الحيض لا تعد قرءاً فإذا طعنت في الطهر الثاني حلت وإن وجب الاستبراء وهي ممن تحيض فارتفعت حيضتها كان حكمها في الانتظار حكم المطلقة إذا ارتفع حيضها وإن وجب الاستبراء وهي ممن لا تحيض لصغر أوكبر ففيه قولان: أحدهما: تستبرأ بشهر لأن كل شهر في مقابلة قرء والثاني: تستبرأ بثلاثة أشهر وهو الصحيح لأن ما دونها لم يجعل دليلا على براءة الرحم.

Maka jika ia mengaku masuk pada ṭuhr kedua, ia halal disetubuhi. Dan jika saat wajib istibrā’ ia sedang haid, maka tidak dianggap memulai masa qur’ kecuali pada haid kedua, karena sisa haid tidak dihitung sebagai qur’. Maka jika ia mengaku masuk pada ṭuhr kedua, ia halal disetubuhi.

Jika istibrā’ menjadi wajib atas perempuan yang biasanya mengalami haid lalu haidnya terputus, maka hukumnya dalam menunggu seperti perempuan yang ditalak dan haidnya terputus.

Dan jika istibrā’ menjadi wajib atas perempuan yang tidak mengalami haid karena masih kecil atau sudah tua, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: istibrā’-nya dengan satu bulan, karena setiap bulan menggantikan satu qur’.

Kedua: istibrā’-nya dengan tiga bulan, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena kurang dari tiga bulan tidak dianggap sebagai bukti kosongnya rahim.

فصل: وإن ملكها وهي مجوسية أو مرتدة أو معتدة أو ذات زوج لم يصح استبراؤها في هذه الأحوال لأن الإستبراء يراد للاستباحة ولا توجد الاستباحة في هذه الأحوال وإن اشتراها فوضعت في مدة الخيار أو حاضت في مدة الخيار فإن قلنا إنها لا تملك قبل انقضاء الخيار لم يعتد بذلك عن الاستبراء لأنه اشتراها قبل الملك وإن قلنا إنها تملك ففيه وجهان: أحدهما: لايعتد به لأن الملك غير تام لأنه معرض للفسخ والثاني: يعتد به لأنه استبراء بعد الملك وجواز الفسخ لا يمنع الاستبراء كما لو استبرأها وبها عيب لم يعلم به وإن ملكها بالبيع أو الوصية فوضعت أو حاضت قبل القبض ففيه وجهان: أحدهما: لا يعتد به لأن الملك غير تام

PASAL: Jika ia memilikinya dalam keadaan masih Majusi, murtad, dalam masa ‘iddah, atau sebagai perempuan bersuami, maka tidak sah istibrā’-nya dalam keadaan-keadaan ini karena istibrā’ dimaksudkan untuk kehalalan (hubungan), dan kehalalan tidak terwujud dalam keadaan-keadaan ini. Dan jika ia membelinya lalu perempuan itu melahirkan dalam masa khiyār atau haid dalam masa khiyār, maka jika dikatakan bahwa kepemilikan tidak terjadi sebelum habisnya khiyār, maka tidak dihitung sebagai istibrā’ karena ia membelinya sebelum terjadi kepemilikan. Dan jika dikatakan bahwa ia sudah memilikinya, maka ada dua wajah: pertama, tidak dihitung karena kepemilikannya belum sempurna sebab masih bisa dibatalkan; dan kedua, dihitung karena itu adalah istibrā’ setelah kepemilikan, dan kemungkinan pembatalan tidak menghalangi istibrā’ sebagaimana jika ia melakukan istibrā’ padahal pada perempuan itu terdapat cacat yang belum ia ketahui. Dan jika ia memilikinya melalui jual beli atau wasiat, lalu perempuan itu melahirkan atau haid sebelum qabḍ, maka ada dua wajah: pertama, tidak dihitung karena kepemilikannya belum sempurna.

والثاني: يعتد به لأنه استبراء بعد الملك وللشافعي رحمه الله ما يدل على كل واحد من الوجهين وإن ملكها بالإرث صح الاستبراء وإن لم تقبض لأن المورث قبل القبض كالمقبوض في تمام الملك وجواز التصرف.

dan kedua: dihitung karena itu merupakan istibrā’ setelah kepemilikan. Dan Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh memiliki dalil yang menunjukkan pada masing-masing dari dua pendapat tersebut. Dan jika ia memilikinya melalui warisan, maka istibrā’ sah meskipun belum diterima, karena pewaris sebelum penyerahan kedudukan seperti yang telah diterima dalam sempurnanya kepemilikan dan kebolehan melakukan transaksi.

فصل: وإن مللك أمة وهي زوجته لم يجب الاستبراء لأن الاستبراء لبراءة الرحم من ماء غيره والمستحب أن يستبرئها لأن الولد من النكاح مملوك ومن ملك اليمين حر فاستحب أن يميز بينهما.

PASAL: Jika seseorang memiliki seorang amah yang merupakan istrinya, maka tidak wajib melakukan istibrā’, karena istibrā’ dimaksudkan untuk memastikan kosongnya rahim dari air (mani) orang lain. Namun disunnahkan untuk melakukan istibrā’, karena anak dari hubungan pernikahan adalah budak, sedangkan anak dari kepemilikan melalui hak milik (milk al-yamīn) adalah merdeka, maka disunnahkan untuk membedakan antara keduanya.

فصل: وإن كانت أمته ثم رجعت إليه بالفسخ أو باعها ثم رجعت إليه بالإقالة لزمه أن يستبرئها لأنه زال ملكه عن استمتاعها بالعقد وعاد بالفسخ فصار كما لو باعها ثم استبرأها فإن رهنها ثم فكها لم يجب الاستبراء لأن بالرهن لم يزل ملكه عن استمتاعها لأن له أن يقبلها وينظر إليها بالشهوة وإنما منع من وطئها لحق المرتهن وقد زال حقه بالفكاك فحلت له وإن ارتد المولى ثم أسلم أو ارتدت الأمة ثم أسلمت وجب استبراؤها لأنه زال ملكه عن استمتاعها بالردة وعاد بالإسلام وإن زوجها ثم طلقت فإن كان قبل الدخول لم تحل له حتى يستبرئها لأنه تجدد له الملك على استمتاعها فوجب استبراؤها كما لوباعها ثم اشتراها والثاني: تحل له وهو قول أبي علي بن أبي هريرة لأن الاستبراء يراد لبراءة الرحم وقد حصل ذلك العدة.

PASAL: Jika budaknya kemudian kembali kepadanya karena fasakh (pembatalan akad), atau ia menjualnya lalu budak itu kembali kepadanya melalui iqālah (pembatalan jual beli), maka wajib baginya melakukan istibrā’, karena kepemilikannya atas kenikmatan darinya telah hilang karena akad, lalu kembali melalui pembatalan, sehingga keadaannya seperti orang yang menjual budaknya lalu melakukan istibrā’ setelahnya.

Jika ia menggadaikannya lalu menebusnya, maka tidak wajib istibrā’, karena dengan penggadaian, tidak hilang kepemilikannya atas kenikmatan budak tersebut, sebab ia masih boleh menciumnya dan memandangnya dengan syahwat, hanya saja ia dilarang berjima‘ dengannya demi hak pemegang gadai, dan larangan itu hilang dengan penebusan, maka budak itu halal baginya.

Jika tuan budak murtad lalu masuk Islam kembali, atau budak perempuan yang murtad lalu masuk Islam kembali, maka wajib dilakukan istibrā’, karena kepemilikannya atas kenikmatan telah hilang karena murtad, dan kembali dengan Islam.

Jika ia menikahkan budak perempuannya, lalu budak itu ditalak, maka jika talaknya terjadi sebelum terjadi jima‘, maka budak itu tidak halal baginya kecuali setelah dilakukan istibrā’, karena ia mendapatkan kembali kepemilikan atas kenikmatan darinya, maka wajib istibrā’ sebagaimana jika ia menjualnya lalu membelinya kembali.

Pendapat kedua: budak itu halal baginya tanpa istibrā’, dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah, karena istibrā’ ditujukan untuk memastikan kosongnya rahim, dan hal itu telah tercapai melalui ‘iddah.

فصل: ومن وجب استبراؤها حرم وطؤها وهل يحرم التلذذ بها بالنظر والقبلة ينظر فيه فإن ملكها ممن له حرمة لم يحل له لأنه لا يؤمن أن تكون أم ولد لمن ملكها من جهته وإن ملكها ممن لا حرمة له كالمسبية ففيه وجهان: أحدهما: لا تحل له لأن من حرم وطؤها بحكم الاستبراء حرم التلذذ بها كما لو ملكها ممن له حرمة

PASAL: Perempuan yang wajib dilakukan istibrā’ atasnya, haram digauli. Adapun apakah haram menikmati dirinya dengan pandangan atau ciuman, maka perlu diteliti: jika ia dimiliki dari orang yang memiliki hubungan maḥram dengannya, maka tidak halal baginya, karena dikhawatirkan ia adalah umm walad bagi orang yang memilikinya sebelumnya. Namun jika ia dimiliki dari orang yang tidak ada hubungan maḥram, seperti perempuan tawanan perang, maka ada dua pendapat: pertama, tidak halal menikmatinya, karena siapa pun yang haram digauli sebab wajib istibrā’, maka haram pula menikmati dirinya, sebagaimana jika ia dimiliki dari orang yang memiliki hubungan maḥram.

والثاني: أنها تحل لما روي عن ابن عمر رضي الله عنه أنه قال خرجت في سهمي يوم حلولاء جارية كأن عنقها إبريق فضة فما ملكت نفسي أن قمت إليها فقبلتها والناس ينظرون ولأن المسبية يملكها حاملاً كانت أو حائلاً فلا يكون التلذذ بها إلا في ملكه وإنما منع من وطئها حتى لا يختلط ماؤه بماء مشرك ولا يوجد هذا في التلذذ بالنظر والقبلة وإن وطئت زوجته بشبهة لم يحل له وطؤها قبل إنقضاء العدة لأنه يؤدي إلى إختلاط المياه وإفساد النسب وهل له التلذذ بها في غير الوطء على ما ذكرناه من الوجهين في المسبية لأنها زوجته حاملا كانت أو حائلا.

dan yang kedua: bahwa ia halal, karena diriwayatkan dari Ibn ʿUmar RA bahwa ia berkata, “Datang bagianku pada hari Ḥuluwlāʾ seorang jariyah yang lehernya seperti teko perak, maka aku tidak mampu menahan diriku hingga aku mendatanginya lalu menciumnya sementara orang-orang melihat.” Dan karena perempuan tawanan perang dimiliki baik sedang hamil maupun tidak, maka kenikmatan terhadapnya hanya terjadi dalam kepemilikannya. Larangan menggaulinya semata-mata untuk menghindari percampuran air (mani) dengan mani musyrik, dan hal ini tidak terdapat dalam kenikmatan berupa pandangan dan ciuman.

Dan jika istrinya digauli orang lain dengan syubhat, maka tidak halal baginya menggaulinya sebelum habis masa ‘iddah, karena itu akan menyebabkan percampuran air (mani) dan merusak nasab. Adapun kenikmatan terhadapnya selain jima‘, maka hukumnya sebagaimana dua pendapat dalam kasus perempuan tawanan, karena ia tetap istrinya, baik sedang hamil maupun tidak.

فصل: ومن ملك أمة جاز له بيعها قبل الاستبراء لأنا قد دللنا على أنه يجب على المشتري الاستبراء فلم يجب على البائع لأن براءة الرحم تحصل باستبراء المشتري وإن أراد تزويجها نظرت فإن لم يكن وطئها جاز تزويجها من غير استبراء لأنها لم تصر فراشا له وإن وطئها لم يجز تزويجها قبل الاستبراء لأنها صارت بالوطء فراشاً له.

PASAL: Barangsiapa memiliki seorang amah, maka boleh baginya menjualnya sebelum melakukan istibrā’, karena kami telah menunjukkan bahwa istibrā’ wajib atas pembeli, maka tidak wajib atas penjual, karena berā’atu ar-raḥim (kesucian rahim) tercapai dengan istibrā’ dari pihak pembeli. Dan jika ia ingin menikahkannya, maka dilihat: jika ia belum menyetubuhinya, maka boleh menikahkannya tanpa istibrā’, karena ia belum menjadi firāsy (ranjang/pasangan) baginya; namun jika ia telah menyetubuhinya, maka tidak boleh menikahkannya sebelum istibrā’, karena dengan penyetubuhan tersebut ia telah menjadi firāsy-nya.

فصل: وإن أعتق أم ولده في حياته أو أعتقت بموته لزمها الاستبراء لأنها صارت بالوطء فراشاً له وتستبرأ كما تستبرأ المسبية لأنه استبراء بحكم اليمين فصار كاستبراء المسبية وإن أعتقها أومات عنها وهي مزوجة أو معتدة لم يلزمها الاستبراء لأنه زال فراشه قبل وجوب الاستبراء فلم يلزمها الاستبراء كما لوطلق أمرأته قبل الدخول ثم مات ولأنها صارت فراشأ لغيره فلا يلزمها لأجله استبراء وإن زوجها ثم مات ومات الزوج ولم يعلم السابق منهما لم يخل إما أن يكون بين موتهما شهران وخمسة أيام فما دون أو أكثر أولا يعلم مقدار ما بينهما

PASAL: Jika seseorang memerdekakan umm walad-nya saat masih hidup, atau ia merdeka karena kematiannya, maka wajib baginya melakukan istibrā’, karena ia telah menjadi firāsy baginya melalui hubungan suami istri, sehingga ia harus melakukan istibrā’ sebagaimana perempuan yang ditawan, karena istibrā’ ini berlaku atas dasar hukum pemilikan melalui tangan (yakni budak), maka sama seperti istibrā’ perempuan tawanan.

Namun jika ia memerdekakannya atau ia merdeka karena kematiannya, sedangkan ia dalam keadaan bersuami atau dalam masa ‘iddah, maka tidak wajib baginya istibrā’, karena status firāsy-nya telah hilang sebelum istibrā’ diwajibkan, maka tidak wajib baginya istibrā’, sebagaimana jika seseorang menceraikan istrinya sebelum digauli lalu ia meninggal dunia. Dan karena ia telah menjadi firāsy bagi selainnya, maka tidak wajib istibrā’ disebabkan dirinya.

Dan jika ia menikahkannya, lalu ia wafat, dan suaminya juga wafat, sedangkan tidak diketahui siapa yang lebih dahulu wafat di antara keduanya, maka tidak lepas dari tiga keadaan: antara wafat keduanya adalah dua bulan lima hari atau kurang dari itu, atau lebih dari itu, atau tidak diketahui berapa lama jarak antara wafat keduanya.

فإن كان بينهما شهران وخمسة أيام فما دون لم يلزمها الاستبراء عن المولى لأنه إن كان المولى مات أولاً فقد مات وهي زوجة فلا يجب عليها الاستبراء وإن مات الزوج أولاً فقد مات المولى بعده وهي معتدة من الزوج فلا يلزمها الاستبراء وعليها أن تعتد بأربعة أشهر وعشر من بعد موت أحدهما: لأنه يجوز أن يكون قد مات المولى أولاً فعتقت ثم مات الزوج فيلزمها عدة حرة وإن كان بين موتهما أكثر من شهرين وخمس ليال لزمها أن تعتد من بعد آخرهما موتا بأكثر الأمرين من أربعة أشهر وعشر أو حيضة لأنه إن مات الزوج أولاً فقد اعتدت عنه بشهرين وخمسة أيام وعادت فراشأ للمولى فإذا مات لزمها أن تستبرئ منه بحيضة

Jika jarak antara wafat keduanya adalah dua bulan lima hari atau kurang dari itu, maka tidak wajib baginya istibrā’ dari tuannya, karena jika tuannya wafat lebih dahulu, berarti ia wafat saat perempuan itu masih menjadi istri orang lain, maka tidak wajib atasnya istibrā’. Dan jika suaminya yang wafat lebih dahulu, berarti tuannya wafat setelahnya, sedangkan perempuan itu dalam masa ‘iddah dari suaminya, maka tidak wajib atasnya istibrā’. Namun ia wajib menjalani ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari terhitung dari kematian salah satu dari keduanya, karena bisa jadi tuannya wafat terlebih dahulu lalu ia merdeka, kemudian suaminya wafat, maka ia wajib menjalani ‘iddah sebagai wanita merdeka.

Dan jika jarak antara wafat keduanya lebih dari dua bulan lima malam, maka ia wajib menjalani ‘iddah setelah wafatnya yang terakhir dari keduanya, dengan mengambil yang lebih lama di antara dua hal: empat bulan sepuluh hari, atau satu kali haid. Karena jika suaminya wafat lebih dahulu, maka ia telah menjalani ‘iddah darinya selama dua bulan lima hari, lalu kembali menjadi firāsy bagi tuannya. Maka jika tuannya wafat, wajib atasnya istibrā’ darinya dengan satu kali haid.

وإن مات المولى أولاً لم يلزمها استبراء فإذا مات الزوج لزمتها عدة حرة فوجب الجمع بينهما ليسقط الفرض بيقين وإن لم يعلم قدر ما بين المدتين من الزمان وجب أن تأخذ بأغلظ الحالين وهو أن يكون بينهما أكثر من شهرين وخمسة أيام فتعتد بأربعة أشهر وعشر أو حيضة من الزمان وجب أن تأخذ بأغلظ الحالين وهو أن يكون بينهما أكثر من شهرين وخمسة أيام فتعتد بأربعة أشهر وعشر أو حيضة ليسقط الفرض بيقن كما يلزم من نسي صلاة من صلاتين قضاء الصلاتين ليسقط الفرض بيقين ولا يوقف لها شيء من تركة الزوج لأن الأصل فيه الرق فلم تورث مع الشك.

Jika tuannya wafat lebih dahulu, maka tidak wajib baginya istibrā’. Maka apabila suaminya wafat setelah itu, ia wajib menjalani ‘iddah sebagai wanita merdeka. Maka wajib menggabungkan keduanya agar kewajiban gugur dengan yakin.

Dan jika tidak diketahui berapa lama jarak antara wafat keduanya, maka wajib baginya mengambil kemungkinan yang paling berat, yaitu menganggap bahwa jaraknya lebih dari dua bulan lima hari. Maka ia wajib menjalani ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari atau satu kali haid agar kewajiban gugur dengan yakin, sebagaimana orang yang lupa antara dua salat mana yang belum dikerjakan, maka ia wajib mengqadha keduanya agar kewajiban gugur dengan yakin.

Dan tidak diberikan bagian apa pun dari harta peninggalan suami kepadanya, karena hukum asal dirinya adalah status budak, maka ia tidak diwarisi dalam keadaan ragu.

فصل: وإن كانت بين رجلين جارية فوطئها ففيها وجهان: أحدهما: يجب استبراءان لأنه يجب لحقهما فلم يدخل أحدهما: في الأخر كالعدتين والثاني: يجب استبراء واحد لأن القصد من الاستبراء معرفة براءة الرحم ولهذا لا يجب الاستبراء بأكثر من حيضة وبراءة الرحم منهما تحصل باستبراء واحد.

PASAL: Jika ada seorang jāriyyah yang dimiliki oleh dua orang lelaki lalu keduanya menyetubuhinya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

Pendapat pertama: wajib dua istibrā’, karena istibrā’ itu wajib demi menjaga hak masing-masing dari keduanya, sehingga yang satu tidak masuk ke dalam yang lain sebagaimana dua ‘iddah.

Pendapat kedua: cukup satu istibrā’, karena tujuan dari istibrā’ adalah untuk mengetahui kebersihan rahim, dan karena itu tidak diwajibkan istibrā’ lebih dari satu ḥaiḍah, dan kebersihan rahim dari keduanya dapat diketahui dengan satu istibrā’ saja.

فصل: إذا أستبرأ أمته ثم ظهر بها حمل فقال البائع هو مني وصدقه المشتري لحقه الولد والجارية أم ولد له والبيع باطل وإن كذبه المشتري نظرت فإن لم يكن أقر بالوطء حال البيع لم يقبل قوله لأن الملك انتقل الى المشتري في الظاهر فلم يقبل إقراره بما يبطل حقه كما لو باعه عبداً ثم أقر أنه كان غصبه أو اعتقه وهل يلحقه نسب الولد فيه قولان: قال في القديم والإملاء يلحقه لأنه يجوز أن يكون إبناً لواحد ومملوكا لغيره

PASAL: Jika seseorang telah mengistibrā’ budaknya perempuan lalu ternyata ia hamil, kemudian penjual berkata, “Itu anakku,” dan pembeli membenarkannya, maka anak itu menjadi anaknya, dan budak perempuan itu menjadi umm walad baginya, serta jual belinya batal. Namun jika pembeli mendustakannya, maka dilihat: jika penjual tidak mengakui telah menyetubuhinya saat akad jual beli, maka tidak diterima pengakuannya, karena kepemilikan telah berpindah kepada pembeli secara ẓāhir, maka tidak diterima pengakuannya atas sesuatu yang membatalkan haknya, sebagaimana jika ia menjual seorang budak lalu mengaku bahwa ia telah merampasnya atau telah memerdekakannya. Adapun apakah nasab anak tersebut tetap disandarkan kepada penjual, terdapat dua pendapat. Dalam qaul qadīm dan al-Imlā’ dinyatakan bahwa nasab anak tetap disandarkan kepadanya, karena mungkin saja ia merupakan anak dari seseorang namun menjadi milik orang lain.

وقال في البويطي لا يلحقه لأن فيه إضراراً بالمشتري لأنه قد يعتقه فيثبت له عليه الولاء وإذا كان ابناً لغيره لم يرثه فإن كان قد أقر بوطئها عند البيع فإن كان قد إستبرأها ثم باعها نظرت فإن أتت بولد لدون ستة أشهر لحقه نسبه وكانت الجارية أم ولد له وكان البيع باطلا وإن ولدته لستة أشهر فصاعداً لم يلحقه الولد لأنه لو استبرأها ثم أتت بولد وهي في ملكه لم يلحقه فلأن لا يلحقه وهي في ملك غيره أولى فإن لم يكن المشتري قد وطئها كانت الجارية والولد مملوكين

Dan ia berkata dalam al-Buwayṭī: tidak disandarkan nasab anak itu kepadanya, karena di dalamnya terdapat ḍarar terhadap pembeli, sebab bisa jadi penjual memerdekakannya sehingga hak walā’ menjadi miliknya, padahal jika anak itu adalah anak dari orang lain, maka ia tidak mewarisi darinya. Jika penjual telah mengakui bahwa ia telah menyetubuhi budak itu saat penjualan, dan ia telah melakukan istibrā’ lalu menjualnya, maka dilihat: jika budak itu melahirkan anak kurang dari enam bulan, maka anak itu disandarkan nasabnya kepadanya, dan budak perempuan itu menjadi umm walad-nya, serta penjualannya batal. Namun jika ia melahirkan setelah enam bulan atau lebih, maka tidak disandarkan nasab anak itu kepadanya, karena jika ia melahirkan anak saat masih dalam kepemilikannya setelah istibrā’, maka anak itu tidak disandarkan kepadanya, maka ketika budak itu dalam kepemilikan orang lain, lebih utama untuk tidak disandarkan. Jika pembeli belum menyetubuhinya, maka budak perempuan dan anaknya keduanya adalah milik.

وإن كان قد وطئها فإن أتت بولد لدون ستة أشهر من حين الوطء فهو كما لولم يطأها لأنه لا يجوز أن يكون منه وتكون الجارية والولد مملوكين له وإن أتت بولد لستة أشهر من وقت البيع لحق البائع وكانت الجارية أم ولد له وكان البيع باطلا وإن ولدته لستة أشهر نظرت فإن لم يكن قد وطئها المشتري فهو كالقسم قبله لأنه لم تصر فراشا له وإن وطئها فولدت لستة أشهر من وطئه عرض الولد على القافة فإن ألحقته بالبائع لحق به وإن ألحقته بالمشتري لحقته وقد بينا حكم الجميع.

Jika pembeli telah menyetubuhinya, lalu budak itu melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak waktu penyetubuhan, maka hukumnya seperti seakan-akan ia belum menyetubuhinya, karena tidak mungkin anak itu darinya, dan budak perempuan beserta anaknya menjadi miliknya. Namun jika ia melahirkan anak setelah enam bulan dari waktu jual beli, maka nasab anak itu disandarkan kepada penjual, dan budak perempuan menjadi umm walad-nya, serta jual belinya batal. Jika ia melahirkannya tepat enam bulan, maka dilihat: jika pembeli belum menyetubuhinya, maka hukumnya seperti bagian sebelumnya, karena ia belum menjadi firāsy baginya. Tetapi jika pembeli telah menyetubuhinya dan budak itu melahirkan anak enam bulan sejak ia menyetubuhinya, maka anak itu diperiksa oleh qāfah; jika qāfah menyandarkannya kepada penjual, maka nasabnya disandarkan kepadanya; jika disandarkan kepada pembeli, maka nasabnya kepadanya. Dan kami telah menjelaskan seluruh hukumnya.

إذا ثار للمرأة لبن على ولد فارتضع منها طفل له دون الحولين خمس رضعات متفرقات صار الطفل ولداً لها في حكمين: في تحريم النكاح وفي جواز الخلوة وأولاده أولادها وصارت المرأة أماً له وأمهاتها جداته وآباؤها أجداده وأولادها إخوته وأخواته وإخوتها وأخواتها أخواله وخالاته وإن كان الولد ثابت النسب من رجل صار الطفل ولداً له وأولاده أولاده وصار الرجل أباً له وآباؤه أجداده وأمهاته جداته وأولاده إخوته وإخوته وأخواته أعمامه وعماته والدليل عليه قوله تعالى: {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ} فنص على الأمهات والأخوات فدل على ما سواه

KITAB RADHA‘

Jika seorang wanita keluar air susunya karena seorang anak, lalu seorang anak kecil yang belum berumur dua tahun menyusu darinya sebanyak lima kali susuan yang terpisah-pisah, maka anak tersebut menjadi anaknya dalam dua hukum: dalam hal pengharaman nikah dan kebolehan berduaan (khalwat). Anak-anak dari anak itu menjadi anak-anaknya, dan wanita itu menjadi ibunya. Ibu-ibu dari wanita itu menjadi nenek-neneknya, ayah-ayahnya menjadi kakek-kakeknya, anak-anaknya menjadi saudara-saudaranya, dan saudara laki-laki dan perempuannya menjadi paman dan bibi anak tersebut.

Jika anak yang menyusu itu memiliki nasab yang sah dari seorang laki-laki, maka anak tersebut menjadi anak bagi laki-laki itu, anak-anaknya menjadi saudara-saudaranya, laki-laki itu menjadi ayahnya, ayah-ayahnya menjadi kakek-kakeknya, ibu-ibunya menjadi nenek-neneknya, anak-anaknya menjadi saudara-saudaranya, dan saudara-saudara laki-laki dan perempuannya menjadi paman dan bibinya.

Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {wa ummahātukum allātī arḍa‘nakum wa akhawātukum mina ar-raḍā‘ah} — “Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, dan saudara-saudara perempuanmu karena susuan,” maka Allah menyebutkan ibu dan saudara perempuan, dan ini menunjukkan selain keduanya juga ikut masuk dalam hukum tersebut.

وروى ابن عباس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أريد على ابنة حمزة بن عبد المطلب فقال: ” إنها ابنة أخي من الرضاعة وإنه يحرم من الرضاع مثل ما يحرم من النسب”. وروت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “يحرم من الرضاعة ما يحرم من الولادة” .

Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās RA bahwa Rasulullah SAW diminta (dinikahkan) dengan putri Ḥamzah bin ‘Abd al-Muṭṭalib, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya dia adalah putri saudara laki-lakiku karena susuan, dan sesungguhnya yang haram karena susuan itu seperti yang haram karena nasab.”

Dan diriwayatkan dari ‘Ā’isyah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Haram karena susuan sebagaimana haram karena kelahiran.”

وروت عائشة رضي الله عنها أن أفلح أخا أبي القعيس أستأذن عليها فأبت أن تأذن له فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “أفلا أذنت لعمك” فقالت: يا رسول الله إنما أرضعتني المرأة ولم يرضعني الرجل قال: “فأذني له فإنه عمك”. وكان أبو القعيس زوج المرأة التي أرضعت عائشة رضي الله عنها ولأن اللبن حدث للولد والولد ولدها فكان المرضع باللبن ولدهما.

Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah RA bahwa Aflah saudara laki-laki Abū al-Qaʿīs meminta izin untuk masuk menemuinya, namun ia enggan mengizinkannya. Maka ia menyebutkan hal itu kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: “Mengapa engkau tidak mengizinkan untuk pamanmu?” Ia berkata: “Wahai Rasulullah, yang menyusuiku hanyalah perempuan, sedangkan laki-lakinya tidak menyusuiku.” Maka beliau bersabda: “Izinkanlah ia, karena sesungguhnya ia adalah pamanmu.”

Adapun Abū al-Qaʿīs adalah suami dari perempuan yang menyusui ‘Ā’isyah RA. Dan karena susu itu terjadi karena anak, dan anak itu adalah anaknya (yakni anak dari suami-istri), maka orang yang menyusui dengan susu tersebut adalah anak bagi keduanya.

فصل: وتنتشر حرمة الرضاع من الولد إلى أولاده وأولاد أولاده ذكوراً أو إناثاً ولا تنتشر إلى أمهاته وآبائه وإخوته وأخواته ولا يحرم على المرضعة أن تتزوج بأبي الطفل ولا بأخيه ولا يحرم على زوج المرضعة الذي ثار اللبن على ولده أن يتزوج بأم الطفل ولا بأخته لقوله صلى الله عليه وسلم: “يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب”. وحرمة النسب في الولد تنتشر إلى أولاده ولا تنتشر إلى أمهاته وآبائه ولا إلى إخوته وأخواته فكذلك الرضاع.

PASAL: Keharaman karena radha‘ menyebar dari anak yang menyusu kepada anak-anaknya dan cucu-cucunya, baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak menyebar kepada ibu-ibu, bapak-bapak, saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari anak tersebut. Tidak haram bagi perempuan yang menyusui untuk menikah dengan ayah si anak atau saudaranya. Begitu pula suami perempuan yang dari susunya timbul air susu karena anaknya, tidak haram baginya menikah dengan ibu si anak atau saudarinya. Karena sabda Nabi SAW: “Diharamkan karena radha‘ apa yang diharamkan karena nasab.” Keharaman nasab pada anak menyebar kepada anak-anaknya, namun tidak menyebar kepada ibu-ibunya, bapaknya, atau saudara-saudaranya, maka demikian pula hukum radha‘.

فصل: ولا يثبت تحريم الرضاع فيما يرتضع بعد الحولين لقوله تعالى: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} فجعل تمام الرضاع في الحولين فدل على أنه لا حكم للرضاع بعد الحولين وروى يحيى بن سعيد أن رجلاً قال لأبي موسى الأشعري إني مصصت من ثدي امرأتي لبناً فذهب في بطني قال أبو موسى لا أراه إلا قد حرمت عليك فقال عبد الله بن مسعود: انظر ما تفتي به الرجل فقال أبو موسى: فما تقول أنت؟ فقال عبد الله: لا إرضاع إلا ما كان في الحولين قال أبو موسى: لا تسألوني عن شيء ما دام هذا الحبر بين أظهركم وعن ابن عباس رضي الله عنه قال: لا رضاع إلا ما كان في الحولين.

PASAL: Tidak tetap keharaman karena raḍāʿ pada penyusuan yang terjadi setelah dua tahun, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wa al-wālidātu yurḍiʿna awlādahunna ḥawlayni kāmilayn liman arāda an yutimma ar-raḍāʿah” (Dan para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan), maka Dia menjadikan kesempurnaan raḍāʿ itu dalam dua tahun, menunjukkan bahwa tidak ada hukum bagi raḍāʿ setelah dua tahun.

Dan diriwayatkan dari Yaḥyā bin Saʿīd bahwa seorang lelaki berkata kepada Abū Mūsā al-Asyʿarī: “Aku mengisap susu dari payudara istriku lalu masuk ke perutku.” Maka Abū Mūsā berkata: “Aku tidak memandangnya kecuali dia telah haram atasmu.” Maka ʿAbdullāh bin Masʿūd berkata: “Lihatlah apa yang engkau fatwakan kepada lelaki itu.” Maka Abū Mūsā berkata: “Apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Tidak ada raḍāʿ kecuali yang terjadi dalam dua tahun.” Maka Abū Mūsā berkata: “Jangan kalian bertanya kepadaku tentang apa pun selama orang alim ini masih berada di tengah-tengah kalian.”

Dan dari Ibnu ʿAbbās RA ia berkata: “Tidak ada raḍāʿ kecuali yang terjadi dalam dua tahun.”

فصل: ولا يثبت تحريم الرضاع بما دون خمس رضعات وقال أبو ثور يثبت بثلاث رضعات لما روت أم الفضل رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا تحرم الإملاجه ولا الإملاجتان”. فدل على أن الثلاث يحرمن

PASAL: Tidak tetap keharaman karena radha‘ dengan kurang dari lima kali susuan. Abū Ṯawr berpendapat bahwa keharaman itu tetap dengan tiga kali susuan, karena riwayat dari Ummul Faḍl RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak diharamkan oleh satu kali susuan dan tidak pula oleh dua kali susuan.” Maka hal itu menunjukkan bahwa tiga kali susuan mengharamkan.

والدليل على أنه لا يحرم ما دون خمس الرضعات ما روت عائشة رضي الله عنها قالت كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخ بخمس معلومات فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وهن مما يقرأ في القرآن وحديث أم الفضل يدل على أن الثلاث يحرمن من جهة دليل الخطاب والنص يقدم على دليل الخطاب وهو ما رويناه ولا يثبت إلا بخمس رضعات متفرقات لأن الشرع ورد بها مطلقاً فحمل على العرف والعرف في الرضعات أن يرتضع ثم يقطعه باختياره من غير عارض ثم يعود إليه بعد زمان ثم يرتضع ثم يقطعه وعلى هذا إلى أن يستوفي العدد.

Dan dalil bahwa kurang dari lima kali susuan tidak mengharamkan ialah sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Āisyah RA, ia berkata: Dahulu termasuk dari apa yang diturunkan dalam al-Qur’an ialah sepuluh kali susuan yang diketahui yang mengharamkan, kemudian di-nasakh dengan lima kali susuan yang diketahui, lalu Rasulullah SAW wafat sementara ayat itu masih dibaca dalam al-Qur’an. Hadis Ummul Faḍl menunjukkan bahwa tiga kali susuan mengharamkan dari sisi dalālat al-khiṭāb, sedangkan nash lebih didahulukan daripada dalālat al-khiṭāb, yaitu sebagaimana yang telah kami riwayatkan, maka tidak tetap keharaman kecuali dengan lima kali susuan yang terpisah-pisah, karena syariat menetapkannya secara mutlak, maka dibawa kepada ‘urf. Adapun ‘urf dalam susuan ialah anak menyusu kemudian melepaskannya dengan kehendaknya sendiri tanpa halangan, lalu kembali lagi setelah beberapa saat dan menyusu lagi, kemudian melepaskannya, demikian seterusnya hingga sempurna jumlah lima kali.

كما أن العادة في الأكلات أن تكون متفرقة في أوقات فأما إذا قطع الرضاع لضيق نفس أو لشيء يلهيه ثم رجع إليه أو انتقل من ثدي إلى ثدي كان الجميع رضعة كما أن الأكل إذا قطعه لضيق نفس أو شرب ماء أو الانتقال من لون إلى لون كان الجميع أكلة فإن قطعت المرضعة عليه ففيه وجهان: أحدهما: أن ذلك ليس برضعة لأنه قطع عليه بغير اختياره

Sebagaimana kebiasaan dalam makan ialah dilakukan secara terpisah pada waktu-waktu yang berbeda. Adapun jika anak berhenti menyusu karena sesak napas atau karena sesuatu yang mengalihkannya, kemudian kembali menyusu lagi, atau berpindah dari satu payudara ke payudara lainnya, maka seluruhnya dianggap satu kali susuan, sebagaimana makan yang terhenti karena sesak napas, minum air, atau berpindah dari satu jenis makanan ke jenis lain tetap dihitung satu kali makan. Jika perempuan yang menyusui menghentikan susuan itu atas kehendaknya sendiri, maka dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, bahwa hal itu tidak dihitung satu kali susuan karena terputus bukan atas kehendak anak yang menyusu.

والثاني: أنه رضعة لأن الرضاع يصح بكل واحد منهما ولهذا أو جرته وهو نائم ثبت التحريم كما يثبت إذا ارتضع منها وهي نائمة فإذا تمت الرضعة بقطعه وجب أن تتم بقطعها فإن أرضعته امرأة أربع رضعات ثم أرضعته امرأة أخرى أربع رضعات ثم عاد إلى الأولى فارتضع منها وقطع وعاد إلى الأخرى في الحال فارتضع منها ففيه وجهان: أحدهما: لا يتم عدد الخمس من واحدة منهما لأنه انتقل من أحدهما: إلى الأخرى قبل تمام الرضعة فلم تكن كل واحدة منهما رضعة كما لو انتقل من ثدي إلى ثدي والثاني: يتم العدد من كل واحدة منهما لأن الرضعة أن يرتضع القليل والكثير ثم يقطع ولا يعود إلا بعد زمان طويل وقد وجد ذلك.

Dan pendapat kedua: bahwa hal itu dihitung satu kali susuan, karena radha‘ sah dengan salah satu dari keduanya. Oleh karena itu, jika perempuan meneteskan air susu ke mulut anak saat anak itu tidur, maka keharaman tetap berlaku sebagaimana halnya bila anak menyusu darinya saat ia tidur. Maka apabila satu kali susuan sempurna dengan berhentinya anak, maka juga sempurna dengan berhentinya perempuan yang menyusui. Jika seorang perempuan menyusui seorang anak empat kali susuan, kemudian perempuan lain juga menyusuinya empat kali susuan, lalu anak itu kembali kepada perempuan pertama dan menyusu hingga berhenti, kemudian langsung kembali kepada perempuan kedua dan menyusu darinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, bahwa bilangan lima kali susuan tidak sempurna dari salah satu di antara keduanya karena anak berpindah dari satu perempuan ke yang lain sebelum sempurna satu kali susuan, maka masing-masing tidak dihitung satu kali susuan, sebagaimana bila berpindah dari satu payudara ke payudara lain. Kedua, bahwa bilangan lima kali susuan sempurna dari masing-masing karena satu kali susuan ialah menyusu sedikit atau banyak lalu berhenti dan tidak kembali kecuali setelah waktu yang lama, dan hal itu telah terjadi.

فصل: وإن شكت المرضعة هل أرضعته أم لا أو هل أرضعته خمس رضعات أو أربع رضعات لم يثبت التحريم كما لو شك الزوج هل طلق امرأته أم لا وهل طلق ثلاثاً أو طلقتين.

PASAL: Jika perempuan yang menyusui ragu apakah ia telah menyusui anak itu atau tidak, atau ragu apakah ia telah menyusui lima kali susuan atau empat kali susuan, maka keharaman tidak tetap, sebagaimana halnya jika seorang suami ragu apakah ia telah menalak istrinya atau belum, atau ragu apakah ia menalak tiga kali atau dua kali.

فصل: ويثبت التحريم بالوجور لأنه يصل اللبن إلى حيث يصل بالارتضاع ويحصل به من إنبات اللحم وانتشار العظم ما يحصل بالرضاع ويثبت بالسعوط لأنه سبيل لفطر الصائم فكان سبيلاً لتحريم الرضاع كالفم وهل يثبت بالحقنة فيه قولان: أحدهما: يثبت لما ذكرناه في السعوط والثاني: لا يثبت لأن الرضاع جعل لإنبات اللحم وانتشار العظم والحقنة جعلت للإسهال فإن ارتضع مرتين وأوجر مرة وأسعط مرة وحقن مرة وقلنا إن الحقنة تحرم يثبت التحريم لأنا جعلنا الجميع كالرضاع في التحريم وكذلك في إتمام العدد.

PASAL: Dan tetap keharaman dengan al-wujūr (menuangkan susu ke mulut) karena susu sampai ke tempat yang dicapai oleh penyusuan dan menumbuhkan daging serta membesarkan tulang sebagaimana yang terjadi melalui penyusuan. Dan tetap (keharaman) dengan as-saʿūṭ (menuangkan susu ke hidung) karena itu merupakan jalan untuk membatalkan puasa, maka itu juga menjadi jalan untuk menetapkan keharaman raḍāʿ seperti halnya mulut.

Adapun mengenai al-ḥuqnah (suntikan/dimasukkan lewat dubur), terdapat dua pendapat: pertama, menetapkan keharaman sebagaimana disebutkan dalam kasus saʿūṭ; kedua, tidak menetapkan keharaman karena raḍāʿ ditetapkan untuk menumbuhkan daging dan membesarkan tulang, sedangkan ḥuqnah dibuat untuk tujuan pencahar (al-islāl).

Jika anak menyusu dua kali, lalu diberi wujūr sekali, saʿūṭ sekali, dan ḥuqnah sekali, dan kita katakan bahwa ḥuqnah menyebabkan keharaman, maka keharaman pun ditetapkan karena kita menganggap semua cara tersebut seperti raḍāʿ dalam menetapkan keharaman, begitu pula dalam menyempurnakan jumlah.

فصل: وإن حلبت لبناً كثيراً في دفعة واحدة وسقته في خمسة أوقات فالمنصوص أنه رضعة وقال الربيع فيه قول آخر أنه خمس رضعات فمن أصحابنا من قال هو من تخريج الربيع ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما: أنه خمس رضعات لأنه يحصل به ما يحصل بخمس رضعات والثاني: أنه رضعة وهو الصحيح لأن الوجور فرع للرضاع ثم العدد في الرضاع لا يحصل إلا بما ينفصل خمس مرات فكذلك في الوجور. وإن حلبت خمس مرات وسقته دفعة واحدة ففيه طريقان: من أصحابنا من قال هو على قولين كالمسألة قبلها

PASAL: Jika seorang perempuan memerah susu yang banyak dalam satu kali perahan kemudian memberikannya untuk diminum dalam lima waktu yang berbeda, maka menurut nash itu dihitung satu kali susuan. Al-Rabī‘ berkata ada pendapat lain bahwa itu dihitung lima kali susuan. Di antara ulama kami ada yang mengatakan bahwa itu merupakan hasil takhrīj dari pendapat al-Rabī‘, dan ada pula yang mengatakan bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa itu dihitung lima kali susuan karena menghasilkan efek yang sama seperti lima kali susuan; dan kedua, bahwa itu dihitung satu kali susuan, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena al-wujūr merupakan cabang dari radha‘, sedangkan jumlah dalam radha‘ tidak tercapai kecuali dengan lima kali terpisah, maka demikian pula dalam al-wujūr. Dan jika perempuan memerah lima kali lalu memberikannya untuk diminum dalam satu waktu, maka dalam hal ini ada dua jalan pendapat: sebagian ulama kami mengatakan bahwa hukumnya kembali kepada dua pendapat seperti masalah sebelumnya.

ومنهم من قال هو رضعة قولاً واحداً لأنه لم يشرب إلا مرة وفي المسألة قبلها شرب خمس مرات وإن حلبت خمس مرات وجعلتها في إناء ثم فرقته وسقته خمس مرات ففيه طريقان: من أصحابنا من قال يثبت التحريم قولاً واحداً لأنه تفرق في الحلب والسقي ومنهم من قال هو على قولين لأن التفريق الذي حصل من جهة المرضعة قد بطل حكمه بالجمع في إناء.

Dan sebagian dari ulama kami berkata bahwa itu dihitung satu kali susuan secara pasti, karena anak hanya meminumnya satu kali, sedangkan pada masalah sebelumnya anak meminumnya lima kali. Jika perempuan itu memerah susunya lima kali dan menampungnya dalam satu wadah, kemudian memisahkannya dan memberikannya untuk diminum dalam lima waktu, maka dalam hal ini ada dua jalan pendapat: sebagian ulama kami mengatakan bahwa keharaman tetap berlaku secara pasti karena terdapat pemisahan dalam perahan dan pemberian minum; dan sebagian lainnya berkata bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat, karena pemisahan yang terjadi dari pihak perempuan yang menyusui menjadi batal hukumnya dengan dikumpulkannya susu itu dalam satu wadah.

فصل: وإن جبن اللبن وأطعم الصبي حرم لأنه يحصل به ما يحصل باللبن من إنبات اللحم وانتشار العظم.

PASAL: Jika susu itu menjadi keju lalu diberikan kepada anak, maka tetap haram, karena hal itu menghasilkan apa yang dihasilkan oleh susu berupa penumbuhan daging dan pembesaran tulang.

فصل: فإن خلط اللبن بمائع أو جامد أو طعم الصبي حرم وحكى عن المزني أنه قال: إن كان اللبن غالباً حرم وإن كان مغلوباً لم يحرم لأن مع غلبة المخالطة يزول الاسم والمعنى الذي يراد به وهذا خطأ لأن ما تعلق به التحريم إذا كان غالباً تعلق به إذا كان مغلوباً كالنجاسة في الماء القليل.

PASAL: Jika susu dicampur dengan cairan atau benda padat, lalu diberikan kepada anak kecil, maka menjadi haram. Diriwayatkan dari al-Muzanī bahwa ia berkata: “Jika susu lebih dominan, maka menjadi haram, dan jika tidak dominan maka tidak haram, karena ketika campuran lebih dominan maka hilanglah nama dan makna yang dimaksud.” Ini adalah pendapat yang keliru, karena sesuatu yang menjadi sebab keharaman jika dalam keadaan dominan, maka juga menyebabkan keharaman meskipun dalam keadaan tidak dominan, sebagaimana najis dalam air yang sedikit.

فصل: فإن شرب لبن امرأة ميتة لم يحرم لأنه معنى يوجب تحريماً مؤبداً فبطل بالموت كالوطء.
فصل: ولا يثبت التحريم بلبن البهيمة فإن شرب طفلان من لبن شاة لم يثبت بينهما حرمة الرضاع لأن التحريم بالشرع ولم يرد الشرع إلا في لبن الآدمية والبهيمة دون الآدمية في الحرمة ولبنها دون لبن الآدمية في إصلاح البدن فلم يلحق به في التحريم ولأن الأخوة فرع على الأمومة فإذا لم يثبت بهذا الرضاع أمومة فلأن لا يثبت به الأخوة أولى ولا يثبت التحريم بلبن الرجل

PASAL: Jika seorang anak meminum susu dari wanita yang telah wafat, maka tidak menjadi haram, karena hal itu merupakan sebab yang menimbulkan keharaman yang bersifat kekal, namun batal dengan kematian sebagaimana jima‘.

PASAL: Dan tidak tetap keharaman dengan susu hewan. Jika dua anak meminum susu dari seekor kambing, tidak tetap hubungan mahram karena raḍāʿ, karena keharaman itu ditetapkan oleh syariat, dan syariat tidak menetapkannya kecuali pada susu perempuan manusia. Adapun hewan, maka tidak setara dengan perempuan dalam hal keharaman, dan susunya tidak setara dengan susu perempuan dalam memperbaiki tubuh, maka tidak dapat dianalogikan untuk menetapkan keharaman. Dan karena persaudaraan merupakan cabang dari keibuan, maka jika tidak tetap keibuan karena penyusuan tersebut, maka lebih utama lagi bahwa persaudaraan juga tidak tetap karenanya. Dan tidak tetap keharaman dengan susu laki-laki.

وقال الكرابيسي: يثبت كما ثبت بلبن المرأة وهذا خطأ لأن لبنه لم يجعل غذاء للمولود فلم يثبت به التحريم كلبن البهيمة وإن ثار للخنثى لبن فارتضع منه صبي فإن علم أنه رجل لم يحرم وإن علم أنه امرأة حرم فإن أشكل فقد قال أبو إسحاق إن قال النساء إن هذا اللبن لا يكون على غزارته إلا لامرأة حكم بأنه امرأة وأن لبنه يحرم ومن أصحابنا من قال لا يجعل اللبن دليلاً لأنه قد يثور اللبن للرجل بينه فعلى هذا يوقف أمر من يرضع بلبنه كما يوقف أمره.

Dan al-Karābīsī berkata: “Tetap (hukum keharaman) sebagaimana tetap dengan susu perempuan.” Ini adalah kesalahan, karena susu laki-laki tidak dijadikan sebagai makanan bagi bayi, maka tidak ditetapkan keharaman dengannya seperti halnya susu hewan.

Jika pada seorang khunṯā muncul susu lalu seorang anak menyusu darinya, maka jika diketahui bahwa ia laki-laki, tidak menjadi haram, dan jika diketahui bahwa ia perempuan, maka menjadi haram. Jika keadaannya samar, maka Abū Isḥāq berkata: “Jika para perempuan mengatakan bahwa susu dengan derasnya seperti ini tidak terjadi kecuali dari perempuan, maka ditetapkan bahwa ia adalah perempuan dan susunya menyebabkan keharaman.”

Sebagian dari kalangan kami berkata: “Susu tidak dijadikan sebagai dalil, karena bisa jadi susu muncul pada laki-laki dengan deras.” Maka menurut pendapat ini, status anak yang menyusu dari susunya dihentikan (tidak dipastikan keharamannya), sebagaimana status khunṯā itu sendiri juga dihentikan (tidak dipastikan jenis kelaminnya).

فصل: فإن ثار للبكر لبن أو لثيب لا زوج لها فأرضعت به طفلاً ثبت بينهما حرمة الرضاع لأن لبن النساء غذاء للأطفال فإن ثار لبن للمرأة على ولد من الزنا فأرضعت به طفلاً ثبت بينهما حرمة الرضاع لأن الرضاع تابع للنسب ثم النسب يثبت ولا يثبت بينه وبين الزاني فكذلك حرمة الرضاع.

PASAL: Jika seorang perawan keluar susunya atau seorang janda yang tidak bersuami lalu menyusui seorang anak, maka tetaplah antara keduanya kehormatan karena sebab radha‘, karena susu wanita adalah makanan bagi anak-anak. Jika keluar susu dari seorang wanita karena anak hasil zina lalu ia menyusui seorang anak dengannya, maka tetaplah antara keduanya kehormatan karena sebab radha‘, karena radha‘ mengikuti hukum nasab, sedangkan nasab tetap (sah) untuk anak meskipun tidak tetap antara anak tersebut dengan pezina, maka demikian pula kehormatan karena sebab radha‘.

فصل: إذا ثار لها لبن على ولد من زوج فطلقها وتزوجت بآخر فاللبن للأول إلى أن تحبل من الثاني وينتهي إلى حال ينزل اللبن على الحبل فإن أرضعت طفلا كان ابنا للأول زاد اللبن أولم يزد انقطع ثم عاد أولم ينقطع لأنه لم يوجد سبب يوجب حدوث اللبن غير الأول فإن بلغ الحمل من الثاني إلى حال ينزل فيه اللبن نظرت فإن لم يزد اللبن فهو للأول فإن أرضعت به طفلاً كان ولداً للأول لأنه لم يتغير اللبن فإن زاد فارتضع به طفل ففيه قولان: قال في القديم هو ابنهما لأن الظاهر أن الزيادة لأجل الحبل والمرضع به لبنهما فكان ابنهما

PASAL: Jika keluar susu pada seorang wanita karena anak dari seorang suami, lalu suaminya menceraikannya dan ia menikah dengan laki-laki lain, maka susu tersebut masih dianggap milik suami pertama hingga ia hamil dari suami kedua dan sampai pada keadaan di mana susu keluar karena kehamilan. Jika ia menyusui seorang anak, maka anak itu adalah anak dari suami pertama, baik susunya bertambah atau tidak, lalu susu itu terputus lalu kembali atau tidak kembali, karena tidak ada sebab yang menyebabkan munculnya susu selain dari suami pertama.

Jika kehamilan dari suami kedua mencapai keadaan di mana susu keluar karenanya, maka dilihat: jika susunya tidak bertambah, maka susu itu masih milik suami pertama. Jika ia menyusui seorang anak dengan susu itu, maka anak itu adalah anak dari suami pertama karena susunya belum berubah. Namun jika susu itu bertambah dan seorang anak disusui dengannya, maka terdapat dua pendapat:

Dalam pendapat qadīm, anak itu adalah anak dari keduanya, karena yang tampak adalah bahwa pertambahan susu disebabkan oleh kehamilan, dan susu yang digunakan untuk menyusui adalah susu dari keduanya, maka anak itu adalah anak dari keduanya.

وقال في الجديد: هو ابن الأول لأن اللبن للأول يقين ويجوز أن تكون الزيادة لفضل الغذاء ويجوز أن تكون للحمل فلا يزال اليقين بالشك فإن انقطع اللبن ثم عاد في الوقت الذي ينزل اللبن على الحبل فأرضعت به طفلاً ففيه ثلاثة أقوال: أحدها أنه ابن للأول لأن اللبن خلق غذاء للولد دون الحمل والولد للأول فكان المرضع به ابنه والثاني: أنه من الثاني لأن لبن الأول انقطع فالظاهر أنه حدث للحمل والحمل للثاني فكان المرضع باللبن ابنه والثالث أنه ابنهما لأن لكل واحد منهما أمارة تدل على أن اللبن له فجعل المرضع باللبن ابنهما فإن رضعت الحمل وأرضعت طفلاً كان ابناً للثاني في الأحوال كلها زاد اللبن أولم يزد اتصل أو انقطع ثم عاد لأن حاجة المولود إلى اللبن تمنع أن يكون اللبن لغيره.

Dan ia berkata dalam pendapat jadīd: anak itu adalah anak dari suami pertama karena susu itu dengan yakin berasal dari suami pertama, dan bisa jadi pertambahan susu disebabkan kelebihan makanan, dan bisa jadi karena kehamilan, maka keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.

Jika susu terputus lalu kembali pada waktu yang biasanya susu turun karena kehamilan, lalu ia menyusui seorang anak dengannya, maka ada tiga pendapat:

Pertama, anak itu adalah anak dari suami pertama karena susu itu tercipta sebagai makanan untuk anak, bukan karena kehamilan, dan anak itu adalah anak dari suami pertama, maka yang disusui dengan susu itu adalah anaknya.

Kedua, anak itu adalah anak dari suami kedua karena susu dari suami pertama telah terputus, maka yang tampak adalah bahwa susu itu terjadi karena kehamilan, dan kehamilan itu dari suami kedua, maka yang disusui dengan susu itu adalah anaknya.

Ketiga, anak itu adalah anak dari keduanya karena masing-masing memiliki tanda yang menunjukkan bahwa susu itu berasal darinya, maka anak yang disusui dengan susu itu adalah anak dari keduanya.

Jika wanita tersebut menyusui anak dalam kandungan (janin) dan menyusui seorang anak lain, maka anak yang disusui itu adalah anak dari suami kedua dalam seluruh keadaan—baik susunya bertambah atau tidak, tersambung atau terputus lalu kembali—karena kebutuhan bayi terhadap susu menghalangi kemungkinan bahwa susu itu berasal dari selainnya.

فصل: وإن وطئ رجلان امرأة وطئاً يلحق به النسب فأتت بولد وأرضعت بلبنه طفلاً كان الطفل ابناً لمن يلحقه نسب الولد لأن اللبن تابع للولد فإن مات الولد ولم يثبت نسبه بالقافة ولا بالانتساب إلى أحدهما: فإن كان له ولد قام مقامه في الانتساب فإذا انتسب إلى أحدهما: صار المرضع ولد من انتسب إليه وإن لم يكن له ولد ففي المرضع بلبنه قولان: أحدهما: أنه ابنهما لأن اللبن قد يكون من الوطء وقد يكون من الولد

PASAL: Jika dua orang laki-laki menggauli seorang perempuan dengan cara yang dapat menyebabkan nasab, lalu perempuan itu melahirkan seorang anak dan menyusui seorang anak dengan susunya, maka anak yang disusui itu menjadi anak dari laki-laki yang anak tersebut dinasabkan kepadanya, karena susu mengikuti anak. Jika anak itu meninggal dan nasabnya tidak bisa dipastikan melalui qiāfah atau pengakuan kepada salah satu dari keduanya, maka jika anak itu memiliki keturunan, keturunannya dapat menggantikan kedudukannya dalam nasab. Jika nasabnya ditetapkan kepada salah satu dari keduanya, maka anak yang disusui dengan susunya menjadi anak dari orang yang dinasabkan kepadanya. Jika anak itu tidak memiliki keturunan, maka mengenai anak yang disusui dengan susunya terdapat dua pendapat: salah satunya bahwa ia adalah anak dari keduanya, karena susu bisa berasal dari jima‘ dan bisa pula dari anak.

والقول الثاني أنه لا يكون ابنهما لأن المرضع تابع للمناسب ولا يجوز أن يكون المناسب ابناً لاثنين فكذلك المرضع فعلى هذا هل يخير المرضع في الانتساب إلى أحدهما: فيه قولان: أحدهما: لا يخير لأنه لا يعرض على القافة فلا يخير بالانتساب والثاني: يخير لأن الولد قد يأخذ الشبه بالرضاع في الأخلاق ويميل طبعه إلى من ارتضع بلبنه ولهذا روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أنا أفصح العرب ولا فخر بيد أني من قريش ونشأت في بني سعد وارتضعت في بني زهرة”. ولهذا يقال يحسن خلق الولد إذا حسن خلق المرضعة ويسوء خلقه إذا ساء خلقها فإذا قلنا أنه يخير فانتسب إلى أحدهما: كان ابنه من الرضاعة

Dan pendapat kedua menyatakan bahwa anak yang disusui itu tidak menjadi anak keduanya, karena anak yang disusui itu mengikuti anak yang dinasabkan, dan tidak boleh anak yang dinasabkan itu menjadi anak bagi dua orang sekaligus, maka demikian pula anak susuan. Berdasarkan pendapat ini, apakah anak susuan boleh memilih untuk dinasabkan kepada salah satu dari keduanya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh memilih, karena ia tidak bisa diajukan kepada qāfah, maka tidak boleh pula memilih dalam nasab. Pendapat kedua, ia boleh memilih, karena anak bisa menyerupai dengan sebab radha‘ dalam akhlak dan tabiatnya cenderung kepada orang yang ia menyusu padanya. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku adalah orang Arab paling fasih tanpa membanggakan diri, hanya saja aku dari Quraisy, tumbuh besar di Bani Sa‘d, dan disusui di Bani Zuhrah.” Karena itu dikatakan bahwa akhlak anak akan baik jika akhlak ibu susunya baik, dan akan buruk jika akhlaknya buruk. Maka jika kita mengatakan bahwa ia boleh memilih, lalu ia menasabkan dirinya kepada salah satu dari keduanya, maka ia menjadi anak susuan dari orang yang ia pilih.

فإذا قلنا لا يخير فهل له أن يتزوج بنتيهما فيه ثلاثة أوجه: أحدهما: وهو الأصح أنه لا يحل له نكاح بنت واحد منهما لأنا وإن جهلنا عين الأب منهما إلا أنا نتحقق أن بنت أحدهما: أخته وبنت الآخر أجنبية فلم يجز له نكاح واحدة منهما كما لو اختلطت أخته بأجنبية والثاني: أنه يجوز أن يتزوج بنت من شاء منهما فإذا تزوجها حرمت عليه الأخرى لأن الأصل في بنت كل واحد منهما الإباحة وهو يشك في تحريمها واليقين لا يزال بالشك فإذا تزوج إحداهما تعينت الأخوة في الأخرى فحرم نكاحها على التأبيد كما لو اشتبه ماء طاهر وماء نجس فتوضأ بأحدهما: بالاجتهاد فإن النجاسة تتعين في الآخر ولا يجوز أن يتوضأ به

Maka jika kita mengatakan bahwa ia tidak boleh memilih, apakah ia boleh menikahi kedua anak perempuan dari keduanya? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat: pertama, dan ini yang paling ṣaḥīḥ, bahwa tidak halal baginya menikahi anak perempuan dari salah satu dari keduanya, karena meskipun kita tidak mengetahui siapa ayahnya secara pasti dari keduanya, namun kita meyakini bahwa salah satu dari keduanya adalah ayahnya, sehingga anak perempuannya adalah saudara perempuannya, dan anak perempuan yang lain adalah orang asing. Maka tidak boleh menikahi salah satunya, sebagaimana jika saudara perempuannya bercampur dengan perempuan asing.

Pendapat kedua, ia boleh menikahi anak perempuan siapa saja dari keduanya yang ia kehendaki. Jika ia menikahinya, maka yang satunya menjadi haram baginya, karena hukum asal dari setiap anak perempuan adalah halal dinikahi, dan ia ragu tentang keharamannya, dan keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Maka jika ia telah menikahi salah satunya, maka persaudaraan menjadi pasti pada yang lain, sehingga haram menikahinya untuk selamanya, sebagaimana jika air yang suci dan air yang najis bercampur, lalu ia berwudhu dengan salah satunya berdasarkan ijtihad, maka najisnya menjadi pasti pada yang lain, dan tidak boleh berwudhu dengannya.

والثالث: أنه يجوز أن يتزوج بنت كل واحد منهما ثم يطلقها ثم يتزوج الأخرى لأن الحظر لا يتعين في واحدة منهما كما يجوز أن يصلي بالاجتهاد إلى جهة ثم يصلي بالاجتهاد إلى جهة أخرى ويحرم أن يجمع بينهما لأن الحظر يتعين في الجميع فصار كرجلين رأيا طائراً فقال أحدهما: إن كان هذا الطائر غراباً فعبدي حر وقال الآخر إن لم يكن غراباً فعبدي حر فطار ولم يعلم أنه غراب ولا غيره فإنه لا يعتق على واحد منهما لانفراده بملك مشكوك فيه وإن اجتمع العبدان لواحد عتق أحدهما: لاجتماعهما في ملكه.

Dan pendapat ketiga: boleh baginya menikahi anak perempuan masing-masing dari keduanya, kemudian menceraikannya, lalu menikahi yang lain, karena larangan tidak menetap pada salah satunya secara pasti, sebagaimana boleh seseorang salat dengan ijtihad ke satu arah lalu salat lagi ke arah yang lain berdasarkan ijtihad yang berbeda. Namun, haram menggabungkan keduanya dalam satu pernikahan, karena larangan pasti berlaku dalam penggabungan itu, sehingga kasusnya seperti dua orang laki-laki yang melihat seekor burung, lalu salah satu dari keduanya berkata: “Jika burung itu adalah gagak, maka budakku merdeka,” dan yang lain berkata: “Jika bukan gagak, maka budakku merdeka.” Lalu burung itu terbang dan tidak diketahui apakah ia gagak atau bukan, maka tidak ada satu pun dari keduanya yang merdeka, karena masing-masing dari keduanya berdiri pada kepemilikan yang masih diragukan. Namun jika kedua budak itu milik satu orang, maka salah satunya merdeka, karena keduanya berada dalam kepemilikan satu orang.

فصل: وإن أتت امرأته بولد ونفاه باللعان فأرضعت بلبنه طفلاً كان الطفل ابناً للمرأة ولا يكون ابناً للزوج لأن الطفل تابع للولد والولد ثابت النسب من المرأة دون الزوج فكذلك الطفل فإن أقر بالولد صار الطفل ابناً له لأنه تابع للولد.

PASAL: Jika seorang istri melahirkan anak lalu sang suami menafikannya melalui li‘ān, kemudian ia (istri) menyusui seorang anak dengan susunya, maka anak yang disusui itu menjadi anak bagi perempuan tersebut dan tidak menjadi anak bagi suaminya. Sebab, anak yang disusui itu mengikuti anak kandung, sedangkan anak kandung tersebut nasabnya tetap kepada perempuan saja, bukan kepada suami, maka demikian pula anak yang disusui. Namun jika suami mengakui anak kandung itu, maka anak yang disusui menjadi anaknya juga, karena ia mengikuti anak kandung tersebut.

فصل: وإن كان لرجل خمس أمهات أولاد فثار لهن منه لبن فارتضع صبي من كل واحدة منهن رضعة ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي العباس بن سريج وأبي القاسم الأنماطي وأبي بكر بن الحداد المصري أنه لا يصير المولى أباً للصبي لأنه رضاع لم يثبت به الأمومة فلم تثبت به الأبوة والثاني: وهو قول أبي إسحاق وأبي العباس ابن القاص أنه يصير المولى أباً للصبي وهو الصحيح لأنه ارتضع من لبنه خمس رضعات فصار ابناً له وإن كان لرجل خمس أخوات فارتضع طفل من كل واحدة منهن رضعة فهل يصير خالاً له على الوجهين.

PASAL: Jika seorang laki-laki memiliki lima orang ummuhāt awlād (budak yang melahirkan anak darinya), lalu masing-masing dari mereka keluar susu darinya, dan seorang anak menyusu dari tiap-tiap seorang satu kali, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, Abū al-Qāsim al-Anmāṭī, dan Abū Bakr Ibn al-Ḥaddād al-Miṣrī, bahwa laki-laki itu tidak menjadi ayah bagi anak tersebut, karena penyusuan itu tidak menetapkan status keibuan, maka tidak pula menetapkan status kebapaan.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq dan Abū al-‘Abbās Ibn al-Qāṣṣ, bahwa laki-laki itu menjadi ayah bagi anak tersebut, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena anak itu telah menyusu dari susunya sebanyak lima kali, maka ia menjadi anak baginya.

Dan jika seorang laki-laki memiliki lima orang saudara perempuan, lalu seorang anak menyusu dari masing-masing dari mereka satu kali, apakah ia menjadi keponakan (anak saudara perempuan) baginya? Maka hukumnya mengikuti dua pendapat yang telah disebutkan di atas.

فصل: وإن كان لرجل زوجة صغيرة فشربت من لبن أمه خمس رضعات انفسخ بينهما النكاح لأنها صارت أخته وإن كانت له زوجة كبيرة وزوجة صغيرة فأرضعت الكبيرة الصغيرة خمس رضعات انفسخ نكاحهما لأنه لايجوز أن يكون عنده امرأة وابنتها فإن كان له زوجتان صغيرتان فجاءت امرأة فأرضعت إحداهما خمس رضعات ثم أرضعت الأخرى خمس رضعات ففيه قولان: أحدهما: ينفسخ نكاحهما وهو اختيار المزني لأنهما صارتا أختين فانفسخ نكاحهما كما لو أرضعتهما في وقت واحد والثاني: أنه ينفسخ نكاح الثانية لأن سبب الفسخ حصل بالثانية فاختص نكاحهما بالبطلان كما لو تزوج إحدى الأختين بعد الأخرى.

PASAL: Jika seorang laki-laki memiliki istri yang masih kecil lalu ia (istri kecil itu) meminum susu dari ibu laki-laki tersebut sebanyak lima kali susuan, maka pernikahan antara keduanya batal karena ia telah menjadi saudara perempuannya. Dan jika ia memiliki dua istri—satu dewasa dan satu lagi kecil—lalu istri yang dewasa menyusui istri yang kecil sebanyak lima kali susuan, maka pernikahan keduanya batal karena tidak boleh seseorang mengumpulkan istri dan anak perempuannya. Jika ia memiliki dua istri yang masih kecil, lalu datang seorang perempuan dan menyusui salah satu dari keduanya sebanyak lima kali susuan, kemudian menyusui yang lainnya juga sebanyak lima kali susuan, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa pernikahan keduanya batal, dan ini adalah pilihan al-Muzani, karena keduanya telah menjadi saudara perempuan, maka pernikahan keduanya batal sebagaimana jika keduanya disusui dalam waktu yang bersamaan; dan pendapat kedua menyatakan bahwa pernikahan yang batal hanyalah istri yang kedua, karena sebab pembatalan terjadi pada istri yang kedua, maka kebatalan pernikahan hanya khusus padanya, sebagaimana jika seseorang menikahi dua saudara perempuan secara berurutan.

فصل: ومن أفسد نكاح امرأة بالرضاع فالمنصوص أنه يلزمه نصف مهر المثل ونص في الشاهدين بالطلاق إذا رجعا على قولين: أحدهما: يلزمهما مهر المثل والثاني: لزمهما نصف مهر المثل واختلف أصحابنا فيه فنقل أبو سعيد الإصطخري جوابه من إحدى المسألتين إلى الأخرى وجعلهما على قولين: أحدهما: يجب مهر المثل لأنه أتلف البضع فوجب ضمان جميعه

PASAL: Barang siapa merusak pernikahan seorang perempuan karena sebab radha‘, maka pendapat yang dinyatakan (oleh Imam al-Syafi‘i) adalah bahwa ia wajib membayar setengah mahar al-mitsl. Dan beliau juga menegaskan dalam kasus dua orang saksi dalam talak apabila keduanya rujuk (membatalkan kesaksian), maka terdapat dua pendapat: pertama, keduanya wajib membayar mahar al-mitsl; dan kedua, wajib atas keduanya membayar setengah mahar al-mitsl. Para sahabat kami berselisih dalam hal ini; Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī memindahkan jawabannya dari salah satu masalah ke masalah yang lain dan menjadikan keduanya berada pada dua pendapat: pertama, wajib membayar mahar al-mitsl karena telah merusak hak menikmati (istri), maka wajib mengganti seluruhnya.

والثاني: يجب نصف مهر المثل لأنه لم يغرم للصغير إلا نصف بدل البضع فلم يجب له أكثر من نصف بدله وقال أبو إسحاق يجب في الرضاع نصف المهر وفي الشهادة يجب الجميع والفرق بينهما أن في الرضاع وقعت الفرقة ظاهراً وباطناً وتلف البضع عليه وقد رجع إليه بدل النصف فوجب له بدل النصف وفي الشهادة لم يتلف البضع في الحقيقة وإنما حيل بينه وبين ملكه فوجب ضمان جميعه والصحيح طريقة أبي إسحاق وعليها التفريع

dan yang kedua: wajib setengah mahr al-mitsl karena ia tidak menanggung kepada anak kecil kecuali setengah pengganti dari al-buḍʿ, maka tidak wajib baginya lebih dari setengah penggantinya. Dan Abū Isḥāq berkata: dalam perkara raḍāʿ wajib setengah mahar, sedangkan dalam perkara kesaksian wajib seluruhnya. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa dalam raḍāʿ terjadi perpisahan secara lahir dan batin serta al-buḍʿ telah rusak karenanya, dan telah kembali kepadanya pengganti setengahnya, maka wajiblah baginya pengganti setengah. Sedangkan dalam perkara kesaksian, al-buḍʿ tidak rusak secara hakiki, hanya saja terhalangi antara dia dengan kepemilikannya, maka wajiblah ganti rugi seluruhnya. Dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah metode Abū Isḥāq dan berdasarkan itulah dilakukan penjabaran.

وإن كان لرجل زوجة صغيرة فجاء خمسة أنفس وأرضع كل واحد منهم الصغيرة من لبن أم الزوج أو أخته رضعة وجب على كل واحد منهم خمس نصف المهر لتساويهم في الإتلاف وإن كانوا ثلاثة فأرضعها أحدهم رضعة وأرضعها كل واحد من الآخرين رضعتين ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب على كل واحد منهم ثلث النصف لأن كل واحد منهم وجد منه سبب الإتلاف فتساووا في الضمان كما لو طرح رجل في خل قدر دانق من نجاسة وآخر قدر درهم والثاني: يقسط على عدد الرضعات فيجب على من أرضع رضعة الخمس من نصف المهر وعلى كل واحد من الآخرين الخمسان لأن الفسخ حصل بعدد الرضعات فيقسط الضمان عليه.

Dan jika seorang laki-laki memiliki istri yang masih kecil, lalu datang lima orang dan masing-masing dari mereka menyusui si kecil dengan susu dari ibu suami atau dari saudara perempuannya sebanyak satu kali susuan, maka wajib atas masing-masing dari mereka seperlima dari setengah mahar, karena mereka sama-sama menyebabkan kerusakan. Dan jika mereka tiga orang, lalu salah satu dari mereka menyusuinya sekali, dan masing-masing dari dua orang lainnya menyusuinya dua kali, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: bahwa wajib atas masing-masing sepertiga dari setengah mahar, karena dari masing-masing mereka terjadi sebab kerusakan, sehingga mereka sama dalam tanggungan ganti rugi, sebagaimana jika seseorang meletakkan najis seberat dāniq ke dalam bejana cuka, dan yang lain seberat dirham.

Pendapat kedua: dibagi berdasarkan jumlah susuan, maka wajib atas orang yang menyusui sekali seperlima dari setengah mahar, dan atas masing-masing dari dua lainnya dua per lima, karena pembatalan terjadi berdasarkan jumlah susuan, maka tanggungan ganti rugi pun dibagi sesuai dengannya.

فصل: إذا ارتضعت الصغيرة من أم زوجها خمس رضعات والأم نائمة سقط مهرها لأن الفرقة قد حصلت بفعلها فسقط مهرها ولا يرجع الزوج عليها بمهر مثلها ولا بنصفه لأن الإتلاف من جهة العاقد قبل التسليم لا يوجب غير المسمى فإن ارتضعت من أم الزوج رضعتين والأم نائمة وأرضعتها الأم تمام الخمس والزوجة نائمة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يسقط من نصف المسمى نصفه وهو الربع ويجب الربع والثاني: يقسط على عدد الرضعات فيسقط من نصف المسمى خمسان ويجب ثلاثة أخماسه ووجههما ما ذكرناه في المسألة قبلها وبالله التوفيق.

PASAL: Jika seorang istri kecil menyusu dari ibu suaminya sebanyak lima kali sedangkan sang ibu sedang tidur, maka gugurlah maharnya, karena perpisahan telah terjadi disebabkan perbuatannya sendiri, sehingga maharnya gugur. Suami pun tidak berhak menuntut mahar semisal atau setengahnya, karena perusakan dari pihak pengakad sebelum penyerahan tidak mewajibkan selain mahar yang telah ditentukan.

Jika ia menyusu dari ibu suaminya dua kali sedangkan ibunya sedang tidur, lalu ibunya menyusuinya hingga genap lima kali dan sang istri kecil dalam keadaan tidur, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: gugur separuh dari setengah mahar, yaitu seperempatnya, dan yang wajib adalah seperempatnya.

Kedua: dibagi berdasarkan jumlah susuan, sehingga gugur dua perlima dari setengah mahar, dan yang wajib adalah tiga perlima dari setengah mahar.

Kedua pendapat ini didasarkan pada apa yang telah disebutkan dalam masalah sebelumnya. Wa billāhi at-taufīq.

باب نفقة الزوجة
إذا سلمت المرأة نفسها إلى زوجها وتمكن من الاستمتاع بها ونقلها إلى حيث يريد وهما من أهل الاستمتاع في نكاح صحيح وجبت نفقتها لما روى جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خطب الناس فقال: “اتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف”.

Kitab Nafaqāt
BAB NAFKAH ISTRI

Apabila seorang perempuan telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, dan suaminya dapat menikmati dirinya serta memindahkannya ke tempat yang ia kehendaki, sedangkan keduanya termasuk orang yang layak untuk bersenang-senang dalam pernikahan yang sah, maka wajib baginya memberikan nafkah kepadanya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan manusia, lalu bersabda:

“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan perempuan, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan bagi mereka atas kalian adalah rezeki mereka dan pakaian mereka secara patut.”

وإن امتنعت من تسليم نفسها أو مكنت من استمتاع دون استمتاع أوفي منزل دون منزل أوفي بلد دون بلد لم تجب النفقة لأنه لم يوجد التمكين التام فلم تجب النفقة كما لا يجب ثمن المبيع إذا امتنع البائع من تسليم المبيع أو سلم في موضع دون موضع فإن عرضت عليه وبذلت له التمكين التام والنقل حيث يريد وهو حاضر وجبت عليه النفقة لأنه وجد التمكين التام وإن عرضت عليه وهو غائب لم يجب حتى يقدم هو أو وكيله أو يمضي زمان لو أراد المسير لكان يقدر على أخذها

Dan jika ia (istri) menolak untuk menyerahkan dirinya, atau hanya memungkinkan untuk sebagian bentuk kenikmatan tanpa kenikmatan penuh, atau di rumah selain rumah yang ditentukan, atau di negeri selain negeri yang ditentukan, maka nafkah tidak wajib diberikan. Karena belum terjadi tamkīn (penyerahan diri) secara sempurna, maka tidak wajiblah nafkah, sebagaimana tidak wajib harga barang jualan apabila penjual menolak menyerahkan barang tersebut atau menyerahkannya di tempat selain tempat yang ditentukan.

Namun, jika ia menawarkan diri dan memberikan tamkīn secara sempurna serta bersedia untuk dipindahkan ke mana pun ia mau, sedangkan suaminya hadir, maka wajib atasnya memberikan nafkah, karena tamkīn yang sempurna telah terjadi.

Tetapi jika ia menawarkan diri ketika suaminya sedang tidak hadir, maka nafkah tidak wajib hingga suaminya atau wakilnya datang, atau telah berlalu waktu yang seandainya ia ingin bepergian, niscaya ia mampu datang untuk menjemputnya.

لأنه لا يوجد التمكين التام إلا بذلك وإن تسلم إليه ولم تعرض عليه حتى مضى على ذلك زمان لم تجب النفقة لأن النبي صلى الله عليه وسلم تزوج عائشة رضي الله عنها ودخلت عليه بعد سنتين ولم ينفق إلا من حين دخلت عليه ولم يلتزم نفقتها لما مضى ولأنه لم يوجد التمكين التام فيما مضى فلم يجب بدله كما لا يجب بدل ما تلف من البيع في يد البائع قبل التسليم.

Karena tamkīn yang sempurna tidak terjadi kecuali dengan hal itu. Dan jika ia telah diserahkan kepada suaminya namun tidak menawarkan dirinya hingga berlalu waktu, maka nafkah tidak wajib baginya. Sebab Nabi SAW menikahi ‘Āisyah RA dan beliau baru masuk (menyetubuhi)nya setelah dua tahun, dan tidak memberikan nafkah kecuali sejak beliau masuk kepadanya, serta tidak menanggung nafkah untuk waktu yang telah berlalu.

Karena tamkīn yang sempurna tidak terjadi pada waktu yang telah lewat, maka tidak wajib memberi gantinya, sebagaimana tidak wajib mengganti barang jualan yang rusak di tangan penjual sebelum diserahkan.

فصل: وإن سلمت إلى الزوج أو عرضت عليه وهي صغيرة لا يجامع مثلها ففيه قولان: أحدهما: تجب النفقة لأنها سلمت من غير منع والثاني: لا يجب وهو الصحيح لأنه لم يوجد التمكين التام من الاستمتاع وإن كانت كبيرة والزوج صغير ففيه قولان: أحدهما: لا تجب لأنه لم يوجد التمكين من الاستمتاع

PASAL: Jika istri diserahkan kepada suami atau menawarkan diri kepadanya sementara ia masih kecil yang tidak mungkin digauli, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: wajib diberi nafkah karena ia telah diserahkan tanpa ada penolakan. Pendapat kedua: tidak wajib, dan inilah yang benar, karena belum terjadi tamkīn tām dari istimta‘. Jika istri sudah dewasa dan suami masih kecil, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama: tidak wajib nafkah karena belum terdapat tamkīn dari istimta‘.

والثاني: تجب وهو الصحيح لأن التمكين وجد من جهتها وإن تعذر الاستيفاء من جهته فوجبت النفقة كما لو سلمت إلى الزوج وهو كبير فهرب منها وإن سلمت وهي مريضة أو رتقاء أو نحيفة لا يمكن وطؤها أو الزوج مريض أو محجوب أو حسيم لا يقدر على الوطء وجبت النفقة لأنه وجد التمكين من الاستمتاع وما تعذر فهو بسبب لا تنسب فيه التفريط.

dan pendapat kedua: wajib, dan ini yang benar, karena tamkīn telah terjadi dari pihak istri, meskipun pelaksanaan istimta‘ terhalang dari pihak suami, maka wajib nafkah sebagaimana jika istri diserahkan kepada suami yang sudah dewasa lalu suami melarikan diri darinya. Dan jika ia diserahkan dalam keadaan sakit, atau mengalami ratq (tertutup jalan farjinya), atau sangat kurus hingga tidak memungkinkan untuk digauli, atau suami yang sakit, atau terkurung, atau hasīm (impoten) yang tidak mampu berjima‘, maka tetap wajib nafkah karena telah ada tamkīn dari pihak istri untuk istimta‘, dan segala halangan berasal dari sebab-sebab yang tidak mengandung kelalaian dari pihak istri.

فصل: وإن سلمت إليه ومكن من الاستمتاع بها في نكاح فاسد لم تجب النفقة لأن التمكين لا يصح مع فساد النكاح ولا يستحق ما في مقابلته.

PASAL: Jika istri diserahkan kepadanya dan ia diberi kesempatan untuk menikmati (istri) dalam pernikahan fasid, maka nafkah tidak wajib karena tamkīn tidak sah dalam pernikahan yang fasid dan tidak berhak atas sesuatu yang menjadi imbalannya.

فصل: وإن انتقلت المرأة من منزل الزوج إلى منزل آخر بغير إذنه أو سافرت بغير إذنه سقطت نفقتها حاضراً كان الزوج أو غائباً لأنها خرجت عن قبضته وطاعته فسقطت نفقته كالناشزة وإن سافرت بإذنه فإن كان معها وجبت النفقة لأنها ما خرجت عن قبضته ولا طاعته وإن لم يكن معها ففيه قولان ذكرناهما في القسم.

PASAL: Jika seorang wanita berpindah dari rumah suaminya ke rumah lain tanpa izinnya, atau bepergian tanpa izinnya, maka gugurlah nafkahnya, baik suaminya hadir maupun tidak, karena ia telah keluar dari kekuasaan dan ketaatan suaminya, maka gugurlah nafkahnya sebagaimana wanita nasyiz. Namun jika ia bepergian dengan izinnya, maka jika suami turut serta, wajib diberi nafkah karena ia tidak keluar dari kekuasaan dan ketaatannya. Dan jika suami tidak menyertainya, maka terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam bagian sebelumnya.

فصل: وإن أحرمت بالحج بغير إذنه سقطت نفقتها لأنه إن كان تطوعاً فقد منعت حق الزوج وهو واجب بما ليس واجب وإن كان واجباً فقد منعت حق الزوج وهو على الفور بما هو على التراخي وإن أحرمت بإذنه فإن خرجت معه لم تسقط نفقتها لأنها لم تخرج عن طاعته وقبضته وإن خرجت وحدها فعلى القولين في سفرها بإذنه.

PASAL: Jika istri beriḥrām untuk haji tanpa izin suami, gugurlah nafkahnya. Sebab jika hajinya tathawwu‘, berarti ia telah menghalangi hak suami yang wajib dengan sesuatu yang tidak wajib. Dan jika hajinya wajib, berarti ia menghalangi hak suami yang wajib segera dengan sesuatu yang boleh ditunda. Jika ia beriḥrām dengan izinnya, maka jika ia keluar bersamanya, tidak gugur nafkahnya karena ia tidak keluar dari ketaatan dan kekuasaan suami. Namun jika ia keluar sendirian, maka hukumnya mengikuti dua pendapat dalam kasus safar dengan izin suami.

فصل: وإن منعت نفسها باعتكاف تطوع أو نذر في الذمة سقطت نفقتها لما ذكرناه في الحج وإن كان نذر معين أذن فيه الزوج لم تسقط نفقتها لأن الزوج أذن فيه وأسقط حقه فلا يسقط حقها وإن كان عن نذر لم يأذن فيه فإن بعد عقد النكاح سقطت نفقتها لأنها منعت حق الزوج بعد وجوبه وإن كان بنذر قبل النكاح لم تسقط نفقتها لأن ما استحق قبل النكاح لا حق للزوج في زمانه كما لو أجرت نفسها ثم تزوجت وإن اعتكفت بإذنه وهو معها لم تسقط نفقتها لأنها في قبضته وطاعته وإن لم يكن معها فعلى القولين في الحج.

PASAL: Jika seorang istri menahan dirinya dengan melakukan i‘tikāf sunnah atau karena nadzar yang ada dalam tanggungan (nadzar mutlak), maka gugurlah nafkahnya sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam masalah haji. Namun jika i‘tikāf itu karena nadzar tertentu yang diizinkan oleh suami, maka tidak gugur nafkahnya karena suami telah memberikan izin dan menggugurkan haknya, maka tidak gugur hak istri. Dan jika i‘tikāf itu karena nadzar yang tidak diizinkan olehnya, maka jika nadzar itu terjadi setelah akad nikah, gugurlah nafkahnya karena ia telah menghalangi hak suami setelah hak itu wajib. Namun jika nadzar tersebut dilakukan sebelum akad nikah, maka tidak gugur nafkahnya karena apa yang telah menjadi hak sebelum nikah, maka suami tidak memiliki hak atas waktunya, sebagaimana jika ia mengontrakkan dirinya kemudian menikah. Jika ia i‘tikāf dengan izin suaminya dan suaminya bersamanya, maka tidak gugur nafkahnya karena ia berada dalam kekuasaan dan ketaatan suami. Jika suaminya tidak bersamanya, maka hukumnya mengikuti dua pendapat dalam masalah haji.

فصل: وإن منعت نفسها بالصوم فإن كان بتطوع ففيه وجهان: أحدهما: لا تسقط نفقتها لأنها في قبضته والثاني: وهو الصحيح أنها تسقط لأنها منعت التمكين التام بما ليس بواجب فسقطت نفقتها كالناشزة وإن منعت نفسها بصوم رمضان أو بقضائه وقد ضاق وقته لم تسقط نفقتها لأن ما استحق بالشرع لا حق للزوج في زمانه وإن منعت نفسها بصوم القضاء قبل أن يضيق وقته أو بصوم كفارة أو نذر في الذمة سقطت نفقتها لأنها منعت حقه وهو على الفور بما هو ليس على الفور وإن كان بنذر معين فإن كان النذر بإذن الزوج لم تسقط نفقتها لأنه لزمها برضاه وإن كان بغير إذنه فإن كان بنذر بعد النكاح سقطت نفقتها وإن كان بنذر قبل النكاح لم تسقط لما ذكرناه في الاعتكاف.

PASAL: Jika istri menahan dirinya dengan berpuasa, maka jika puasanya adalah puasa sunnah, terdapat dua pendapat: pertama, nafkahnya tidak gugur karena ia masih berada dalam kekuasaan suami; kedua, dan ini yang shahih, nafkahnya gugur karena ia telah menghalangi tamkīn yang sempurna dengan sesuatu yang tidak wajib, maka gugurlah nafkahnya sebagaimana wanita nasyiz.

Jika ia menahan dirinya dengan puasa Ramadhan atau puasa qadha Ramadhan yang waktunya telah sempit, maka nafkahnya tidak gugur karena apa yang telah ditetapkan oleh syariat, suami tidak memiliki hak atas waktunya.

Jika ia menahan dirinya dengan puasa qadha sebelum sempit waktunya, atau dengan puasa kafarat, atau puasa nadzar yang masih dalam tanggungan, maka gugurlah nafkahnya karena ia telah menghalangi hak suami yang bersifat segera dengan sesuatu yang tidak bersifat segera.

Namun jika nadzar tersebut adalah nadzar yang ditentukan waktunya, maka jika nadzar itu dilakukan dengan izin suami, nafkahnya tidak gugur karena hal itu menjadi wajib atas dirinya dengan keridhaan suami. Tapi jika nadzar itu tanpa izin suami, maka jika nadzar tersebut dilakukan setelah akad nikah, gugurlah nafkahnya. Namun jika nadzar tersebut sebelum akad nikah, maka nafkahnya tidak gugur sebagaimana yang telah dijelaskan dalam masalah i‘tikāf.

فصل: وإن منعت نفسها بالصلاة فإن كانت بالصلوات الخمس أو السنن الراتبة لم تسقط نفقتها لأن ما ترتب بالشرع لا حق للزوج في زمانه وإن كان بقضاء فوائت فإن قلنا إنها على الفور لم تسقط نفقتها وإن قلنا إنها على التراخي سقطت نفقتها لما قلنا في قضاء رمضان وإن كانت بالصلوات المنذورة فعلى ما ذكرناه في الاعتكاف والصوم.

PASAL: Jika istri menahan dirinya karena shalat, maka jika yang dilakukan adalah shalat lima waktu atau sunan rātabah, tidak gugur nafkahnya karena waktu yang ditetapkan oleh syariat bukan hak suami. Jika yang dilakukan adalah qadha’ shalat yang tertinggal, maka jika dikatakan bahwa qadha’ itu wajib segera (fauran), maka tidak gugur nafkahnya. Namun jika dikatakan bahwa qadha’ itu boleh ditunda (takhyīran), maka gugur nafkahnya sebagaimana telah kami sebutkan dalam qadha’ puasa Ramadan. Dan jika yang dilakukan adalah shalat nadzar, maka hukumnya mengikuti apa yang telah disebutkan dalam i‘tikāf dan puasa.

فصل: وإن كان الزوجان كافرين وأسلمت المرأة بعد الدخول ولم يسلم الزوج لم تسقط نفقتها لأنه تعذر الاستمتاع بمعنى من جهته هو قادر على إزالته فلم تسقط نفقتها كالمسلم إذا غاب عن زوجته وقال أبوعلي ابن خيران فيه قول آخر أنها تسقط لأنه امتنع الاستمتاع لمعنى من جهتها فسقطت نفقتها كما لو أحرمت المسلمة من غير إذن الزوج والصحيح هو الأول لأن الحج فرض موسع الوقت والإسلام فرض مضيق الوقت فلا تسقط النفقة كصوم رمضان

PASAL: Jika suami istri keduanya kafir lalu istri masuk Islam setelah terjadi hubungan suami istri, sedangkan suaminya tidak masuk Islam, maka nafkahnya tidak gugur karena terhalangnya istimtā‘ berasal dari pihak suami dan ia mampu menghilangkannya, maka tidak gugur nafkahnya seperti seorang muslim yang bepergian jauh dari istrinya. Abu ‘Ali bin Khayrān berkata bahwa ada pendapat lain: nafkahnya gugur karena terhalangnya istimtā‘ berasal dari pihak istri, maka gugur nafkahnya sebagaimana jika perempuan muslimah beriḥrām tanpa izin suaminya. Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena haji adalah fardu yang waktunya luas, sedangkan masuk Islam adalah fardu yang waktunya sempit, maka tidak gugur nafkah sebagaimana puasa Ramadan.

وإن أسلم الزوج بعد الدخول وهي مجوسية أو وثنية وتخلفت في الشرك سقطت نفقتها لأنها منعت الاستمتاع بمعصية فسقطت نفقتها كالناشزة وإن أسلمت قبل إنقضاء العدة فهل تستحق النفقة للمدة التي تخلفت في الشرك فيه قولان: أحدهما: تستحق لأن بالإسلام زال ما تشعث من النكاح فصار كأن لم يكن والقول الثاني أنها لا تستحق لأنه تعذر التمكين من الاستمتاع فيما مضى فلم تستحق النفقة كالناشزة إذا رجعت عن الطاعة وإن ارتد الزوج بعد دخول الإسلام لم تسقط نفقتها لأن امتناع الوطء بسبب وهو قادر على إزالته فلم تسقط النفقة وإن ارتدت المرأة سقطت نفقتها لأنها منعت الاستمتاع بمعصية فسقطت نفقتها كالناشزة

Dan jika suami masuk Islam setelah terjadi hubungan suami istri, sedangkan istrinya masih majusi atau penyembah berhala dan tetap dalam kekufurannya, maka gugur nafkahnya karena ia menghalangi istimtā‘ dengan sebab maksiat, maka gugur nafkahnya sebagaimana nasyizah. Namun jika ia masuk Islam sebelum habis masa ‘iddah, maka apakah ia berhak mendapat nafkah untuk masa ia tetap dalam kekufuran? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama, ia berhak mendapat nafkah karena dengan masuk Islam hilanglah kerusakan dalam pernikahan, sehingga seolah-olah tidak terjadi. Pendapat kedua, ia tidak berhak mendapat nafkah karena telah terhalang tamkīn dari istimtā‘ pada masa yang telah lalu, maka tidak berhak mendapat nafkah sebagaimana nasyizah yang kembali taat.

Dan jika suami murtad setelah masuk Islam, maka nafkah tidak gugur karena terhalangnya jima‘ disebabkan oleh suatu hal yang ia mampu untuk menghilangkannya, maka tidak gugur nafkahnya. Namun jika istri yang murtad, maka gugur nafkahnya karena ia menghalangi istimtā‘ dengan maksiat, maka gugur nafkahnya sebagaimana nasyizah.

فإن عادت إلى الإسلام قبل انقضاء العدة فهل تجب نفقة ما مضى من الردة؟ فيه طريقان من أصحابنا من قال فيه قولان كالكافرة إذا تخلفت في الشرك ثم أسلمت ومنهم من قال لا تجب قولا واحدا والفرق بينها وبين الكافرة أن الكافرة لم يحدث من جهتها منع بل أقامت على دينها والمرتدة أحدثت منعاً بالردة فغلظ عليها وإن ارتدت الزوجة وعادت إلى الإسلام والزوج غائب استحقت النفقة من حين عادت إلى الإسلام وإن نشزت الزوجة وعادت إلى الطاعة والزوج غائب لم تستحق النفقة حتى يمضي زمان لو سافر فيه لقدر على استمتاعها والفرق بينهما أن المرتدة سقطت نفقتها بالردة وقد زالت بالإسلام والناشزة سقطت نفقتها بالمنع من التمكين وذلك لا يزول بالعود إلى الطاعة.

Jika istri kembali masuk Islam sebelum habis masa ‘iddah, maka apakah wajib nafkah untuk masa yang telah berlalu ketika ia dalam keadaan murtad? Dalam hal ini terdapat dua ṭarīq dari kalangan aṣḥāb kami: sebagian mereka mengatakan ada dua pendapat sebagaimana wanita kafir yang tetap dalam kekufuran lalu masuk Islam, dan sebagian lain mengatakan tidak wajib secara qawl wāḥid. Perbedaan antara keduanya adalah: wanita kafir tidak menyebabkan adanya halangan dari pihaknya, melainkan tetap pada agamanya, sedangkan wanita murtad telah menyebabkan halangan dengan kemurtadannya, maka lebih beratlah hukumnya atasnya.

Jika istri murtad lalu kembali masuk Islam dan suaminya sedang bepergian, maka ia berhak mendapat nafkah sejak ia kembali masuk Islam. Sedangkan jika istri nasyiz lalu kembali taat dan suaminya sedang bepergian, maka ia tidak berhak mendapat nafkah hingga berlalu waktu yang seandainya suami bepergian pada waktu itu maka ia mampu untuk beristimta‘ darinya. Perbedaannya: nafkah istri murtad gugur karena kemurtadan dan itu telah hilang dengan keislamannya, sedangkan nafkah nasyizah gugur karena halangan dari tamkīn, dan hal itu tidak hilang hanya dengan kembali taat.

فصل: إن كانت الزوجة أمة فسلمها المولى بالليل والنهار وجبت لها النفقة لوجود التمكين التام وإن سلمها بالليل دون النهار ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة أنه يجب لها نصف النفقة اعتباراً بما سلمت والثاني: وهو قول أبي إسحاق وظاهر المذهب أنه تجب لأنه لم يوجد التمكين التام فلم يجب لها شيء من النفقة كالحرة إذا سلمت نفسها بالليل دون النهار. والله أعلم.

PASAL: Jika istri adalah seorang amah lalu tuannya menyerahkannya (kepada suami) siang dan malam, maka wajib baginya nafkah karena adanya tamkīn yang sempurna. Namun jika diserahkannya pada malam hari saja tanpa siang, maka terdapat dua pendapat: Pertama, yaitu pendapat Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah, bahwa wajib baginya setengah nafkah sebagai pertimbangan atas apa yang diserahkan; Kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq dan merupakan pendapat ẓāhir al-madhhab, bahwa tidak wajib baginya apa pun dari nafkah karena tamkīn yang sempurna tidak terjadi, maka tidak wajib baginya sesuatu dari nafkah, sebagaimana wanita merdeka yang menyerahkan dirinya pada malam hari saja tanpa siang. Wallāhu a‘lam.

باب قدر النفقة
إذا كان الزوج موسراً وهو الذي يقدر على النفقة بماله أو كسبه لزمه في كل يوم مدان وإن كان معسرا وهولا يقدر على النفقة ولا كسب لزمه في كل يوم مد لقوله عز وجل {لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ الله} ففرق بين الموسر والمعسر وأوجب على كل واحد منهما على قدر حاله ولم يبين المقدار فوجب تقديره بالاجتهاد وأشبه ما تقاس النفقة الطعام في الكفارة لأنه طعام يجب بالشرع لسد الجوعة وأكثر ما يجب في الكفارة للمسكين مدان في فدية الأذى وأقل ما يجب مد وهو في كفارة الجماع في رمضان

BAB KADAR NAFKAH

Jika suami adalah seorang yang mampu—yaitu yang mampu memberi nafkah dengan hartanya atau penghasilannya—maka wajib baginya memberikan dua mud setiap hari. Dan jika ia seorang yang tidak mampu, yaitu yang tidak mampu memberi nafkah dan tidak memiliki penghasilan, maka wajib baginya satu mud setiap hari, berdasarkan firman Allah SWT: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya”. Maka ayat ini membedakan antara yang mampu dan yang tidak mampu, serta mewajibkan atas masing-masing sesuai dengan keadaannya. Karena nash tidak menjelaskan kadarnya, maka harus ditentukan berdasarkan ijtihād. Dan yang paling mendekati untuk menjadi ukuran nafkah adalah makanan dalam kafarat, karena itu adalah makanan yang diwajibkan oleh syariat untuk menghilangkan rasa lapar. Kadar terbanyak yang diwajibkan dalam kafarat untuk seorang miskin adalah dua mud, seperti dalam fidyah atas gangguan, dan kadar paling sedikit yang diwajibkan adalah satu mud, yaitu dalam kafarat karena jima‘ di bulan Ramadan.

فإن كان متوسطاً لزم مد ونصف لأنه لا يمكن إلحاقه بالموسر وهو دونه ولا بالمعسر وهو فوقه فجعل عليه مد ونصف وإن كان الزوج عبداً أو مكاتباً وجب عليه مد لأنه ليس بأحسن حالاً من الحر المعسر فلا يجب عليه أكثر من مد وإن كان نصفه حراً ونصفه عبداً وجب عليه نقفة المعسر قال المزني: إن كان موسراً بما فيه من الحرية وجب عليه مد ونصف لأنه اجتمع فيه الرق والحرية فوجب عليه نصف نفقة الموسر وهو مد ونصف نفقة المعسر وهو نصف مد وهذا خطأ لأنه ناقص بالرق فلزمه نفقة المعسر كالعبد.

Jika suami berada pada tingkat pertengahan, maka wajib baginya satu setengah mud, karena tidak mungkin disamakan dengan orang yang mampu, sebab ia di bawahnya, dan tidak pula dengan orang yang tidak mampu, karena ia di atasnya; maka ditetapkan atasnya satu setengah mud. Jika suami adalah seorang budak atau seorang mukātab, maka wajib atasnya satu mud, karena keadaannya tidak lebih baik dari orang merdeka yang tidak mampu, maka tidak wajib atasnya lebih dari satu mud. Jika ia separuh merdeka dan separuh budak, maka wajib atasnya nafkah orang yang tidak mampu.

Al-Muzanī berkata: Jika ia mampu dengan bagian kemerdekaannya, maka wajib atasnya satu setengah mud, karena dalam dirinya berkumpul antara perbudakan dan kemerdekaan, maka wajib atasnya setengah nafkah orang yang mampu, yaitu satu mud, dan setengah nafkah orang yang tidak mampu, yaitu setengah mud. Dan ini adalah pendapat yang keliru, karena ia kurang disebabkan perbudakan, maka wajib atasnya nafkah orang yang tidak mampu sebagaimana budak.

فصل: وتجب النفقة عليه من قوت البلد لقوله عز وجل: {وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} ولقوله صلى الله عليه وسلم: “ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف”. والمعروف ما يقتاته الناس في البلد ويجب لها الحب فإن دفع إليها سوقياً أو دقيقاً أو خبزاً لم يلزمها قبوله لأنه طعام وجب بالشرع فكان الواجب فيه هو الحب كالطعام في الكفارة وإن اتفقا على دفع العوض ففيه وجهان: أحدهما: لا يجوز وجب في الذمة بالشرع فلم يجز أخذ العوض فيه كالطعام في الكفارة والثاني: يجوز وهو الصحيح لأنه طعام يستقر في الذمة للآدمي فجاز أخذ العوض فيه كالطعام في القرض ويخالف الطعام في الكفارة فإن ذلك يجب لحق الله تعالى ولم يأذن في أخذ العوض عنه والنفقة تجب لحقها وقد رضيت بأخذ العوض.

PASAL: Wajib atas suami memberi nafkah dari makanan pokok yang biasa dikonsumsi di negeri tersebut, berdasarkan firman Allah SWT: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma‘rūf”, dan sabda Nabi SAW: “Dan hak mereka atas kalian adalah rezeki dan pakaian mereka dengan cara yang ma‘rūf.” Yang dimaksud ma‘rūf adalah apa yang biasa dimakan oleh penduduk setempat.

Wajib atasnya memberikan berupa biji-bijian. Jika ia memberikan bahan pasar, tepung, atau roti, maka istri tidak wajib menerimanya, karena itu adalah makanan yang wajib atas dasar syariat, dan yang diwajibkan adalah biji-bijian, sebagaimana makanan dalam kafārat.

Jika keduanya sepakat untuk mengganti dengan bentuk lain (selain makanan pokok), maka ada dua pendapat:

Pertama: tidak boleh, karena yang wajib di dalam tanggungan secara syar‘i, maka tidak boleh diganti dengan sesuatu yang lain, sebagaimana makanan dalam kafārat.

Kedua: boleh, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena makanan tersebut menjadi hak dalam tanggungan manusia, maka boleh diganti sebagaimana makanan dalam pinjaman (qarḍ). Ini berbeda dengan makanan dalam kafārat, karena itu adalah kewajiban yang ditetapkan untuk hak Allah SWT dan tidak diizinkan untuk diganti. Adapun nafkah adalah hak istri, dan ia telah rela menerima pengganti.

فصل: ويجب لها الأدم بقدر ما يحتاج إليه من أدم البلد من الزيت والشيرج والسمن واللحم لما روي عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال: من أو اسط ما تطعمون أهليكم الخبز والزيت وعن ابن عمر رضي الله عنه أنه قال: الخبز والزيت والخبز والسمن والخبز والتمر ومن أفضل ما تطعمون أهليكم الخبز واللحم ولأن ذلك من النفقة بالمعروف.

PASAL: Dan wajib baginya idam sebanyak yang dibutuhkan sesuai kebutuhan penduduk setempat berupa minyak zaitun, šīrīj, samin, dan daging, karena diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa ia berkata: “Termasuk makanan yang paling pertengahan yang kalian berikan kepada keluarga kalian adalah roti dan minyak.” Dan dari Ibnu ‘Umar RA bahwa ia berkata: “Roti dan minyak, roti dan samin, dan roti dan kurma. Dan termasuk yang terbaik yang kalian berikan kepada keluarga kalian adalah roti dan daging.” Karena itu termasuk bagian dari nafkah yang ma‘rūf.

فصل: ويجب لها ما تحتاج إليه من المشط والسدر والدهن للرأس وأجرة الحمام إن كان عادتها دخول الحمام لأن ذلك يراد للتنظيف فوجب عليه كما يجب على المستأجر كنس الدار وتنظيفها وأما الخضاب فإنه إن لم يطلبه الزوج لم يلزمه وإن طلبه منها لزمه ثمنه لأنه للزينة وأما الأدوية وأجرة الطبيب والحجام فلا تجب عليه لأنه ليس من النفقة الثابتة وإنما يحتاج إليه لعارض وأنه يراد لإصلاح الجسم فلا يلزمه كما لا يلزم المستأجر إصلاح ما انهدم من الدار وأما الطبيب فإنه إن كان يراد لقطع السهوكة لزمه لأنه يراد للتنظيف وإن كان يراد للتلذذ والاستمتاع لم يلزمه لأن الاستمتاع حق له فلا يجبر عليه.

PASAL: Wajib atas suami memberikan apa yang dibutuhkan istri berupa sisir, sidr, minyak untuk rambut, dan ongkos mandi di pemandian umum jika memang kebiasaannya masuk ke pemandian, karena hal itu bertujuan untuk kebersihan, maka wajib atasnya sebagaimana wajib atas penyewa menyapu dan membersihkan rumah. Adapun khidhāb, jika suami tidak memintanya, maka tidak wajib atasnya; namun jika ia memintanya, maka wajib atasnya membayar harganya karena itu termasuk perhiasan. Adapun obat-obatan, ongkos tabib, dan ḥajjām (tukang bekam), tidak wajib atas suami karena itu bukan bagian dari nafkah yang tetap, melainkan dibutuhkan karena hal yang insidental, dan hal itu bertujuan untuk memperbaiki kondisi tubuh, maka tidak wajib atasnya sebagaimana penyewa tidak wajib memperbaiki bagian rumah yang runtuh. Adapun tabib, jika dibutuhkan untuk menghilangkan bau tak sedap, maka wajib atas suami karena itu untuk kebersihan. Namun jika dibutuhkan untuk kenikmatan dan bersenang-senang, maka tidak wajib atas suami karena kenikmatan itu hak suami, maka ia tidak dipaksa atas hal itu.

فصل: ويجب لها الكسوة لقوله تعالى: {وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} ولحديث جابر: “ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف”. ولأنه يحتاج إليه لحفظ البدن على الدوام فلزمه كالنفقة ويجب لامرأة الموسر من مرتفع ما يلبس في البلد من القطن والكتان والخز والإبريسم ولامرأة المعسر من غليظ القطن والكتان ولامرأة المتوسط ما بينهما وأقل ما يجب قميص وسراويل ومقنعة ومداس للرجل وإن كان في الشتاء أضاف إليه جبة لأن ذلك من الكسوة بالمعروف.

PASAL: Wajib atas suami memberikan pakaian kepada istrinya berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wa ‘ala al-maulūdi lahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma‘rūf” (Dan kewajiban ayah adalah memberi mereka (para ibu) nafkah dan pakaian secara patut), dan berdasarkan hadis Jabir RA: “Dan hak mereka atas kalian adalah rezeki dan pakaian mereka secara patut.” Karena pakaian dibutuhkan untuk menjaga tubuh secara terus-menerus, maka wajib atasnya seperti halnya nafkah.

Istri dari suami yang kaya diberi pakaian dari jenis terbaik yang biasa dikenakan di daerah tersebut, seperti kapas halus, linen, khazz, dan sutra; istri dari suami yang miskin diberi dari kapas dan linen kasar; sedangkan istri dari suami yang berada di tengah-tengah diberi pakaian di antara keduanya.

Minimal pakaian yang wajib diberikan adalah gamis, celana panjang (sirwāl), penutup kepala (miqna‘ah), dan alas kaki (midas) untuk kaki. Jika berada di musim dingin, maka ditambahkan jubbah karena itu termasuk pakaian yang layak menurut kebiasaan.

فصل: ويجب لها ملحفة أو كساء ووسادة ومضربة محشوة للنوم وزلية أو لبد أو حصير للنهار ويكون ذلك لامرأة الموسر من المرتفع ولامرأة المعسر من غير المرتفع ولامرأة المتوسط ما بينهما لأن ذلك من المعروف

PASAL: Wajib diberikan kepadanya milḥafah atau kain penutup, bantal, maḍribah yang diisi untuk tidur, serta zuliyah atau alas tipis atau tikar untuk siang hari. Semua itu diberikan kepada perempuan istri orang yang kaya dari jenis yang berkualitas tinggi, kepada istri orang miskin dari jenis yang tidak berkualitas tinggi, dan kepada istri orang dengan kondisi sedang dari jenis yang di tengah-tengah, karena semua itu termasuk nafkah bi al-ma‘rūf.

فصل: ويجب لها مسكن لقوله تعالى: {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} ومن المعروف أن يسكنها في مسكن ولأنها لا تستغني عن المسكن للاستتار عن العيون والتصرف والاستمتاع ويكون المسكن على قدر يساره وإعساره وتوسطه كما قلنا في النفقة.

PASAL: Wajib baginya (istri) tempat tinggal, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa ‘āsyirụhunna bil-ma‘rūf} (dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik), dan termasuk ma‘rūf adalah menempatkannya di tempat tinggal. Karena ia tidak dapat lepas dari tempat tinggal untuk menjaga diri dari pandangan mata, untuk beraktivitas, dan untuk menikmati (hubungan suami istri). Tempat tinggal itu disesuaikan dengan keadaan suami—apakah ia mampu, tidak mampu, atau pertengahan—sebagaimana telah dijelaskan dalam bab nafkah.

فصل: وإن كانت المرأة ممن لا تخدم نفسها بأن تكون من ذوات الأقدار أو مريضة وجب لها خادم لقوله عز وجل: {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} ومن العشرة بالمعروف أن يقيم لها من يخدمها ولا يجب لها أكثر من خادم واحد لأن المستحق خدمتها في نفسها وذلك يحصل بخادم واحد ولا يجوز أن يكون الخادم إلا امرأة أو ذا رحم محرم وهل يجوز أن يكون من اليهود والنصارى فيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز لأنهم يصلحون للخدمة

PASAL: Jika perempuan termasuk orang yang tidak melayani dirinya sendiri, seperti wanita yang memiliki kedudukan tinggi atau sedang sakit, maka wajib baginya mendapat seorang pelayan, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {wa ‘āsyirụhunna bil-ma‘rūf} (dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik). Termasuk dalam mu‘āsyarah bil-ma‘rūf adalah menyediakan orang yang melayaninya. Tidak wajib baginya lebih dari satu pelayan, karena yang menjadi haknya adalah pelayanan atas dirinya, dan hal itu cukup dengan satu pelayan. Tidak boleh pelayan tersebut selain perempuan atau mahram. Adapun apakah boleh dari kalangan Yahudi dan Nasrani, terdapat dua pendapat: pertama, boleh, karena mereka layak untuk menjadi pelayan.

والثاني: لا يجوز لأن النفس تعاف من استخدامهم وإن قالت المرأة أنا أخدم نفسي وآخذ أجرة الخادم لم يجبر الزوج عليه لأن القصد بالخدمة ترفيهها وتوفيرها على حقه وذلك لا يحصل بخدمتها وإن قال الزوج أنا أخدمها بنفسي ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه يلزمها الرضا به لأنه تقع الكفاية بخدمته والثاني: لا يلزمها الرضا به لأنها تحتشمه ولا تستوفي حقها من الخدمة.

dan pendapat kedua: tidak boleh, karena jiwa merasa jijik memperkerjakan mereka. Jika perempuan berkata, “Aku akan melayani diriku sendiri dan mengambil upah pelayan,” maka suami tidak dipaksa menyetujuinya, karena tujuan dari pelayanan adalah memberi kemudahan dan menjaga hak suami, dan hal itu tidak tercapai jika ia melayani dirinya sendiri. Jika suami berkata, “Aku sendiri yang akan melayaninya,” maka terdapat dua pendapat: pertama, menurut pendapat Abū Isḥāq, ia wajib menerima, karena kebutuhan pelayanan tercukupi dengan layanan suami; dan kedua, ia tidak wajib menerima, karena ia merasa sungkan terhadap suaminya dan tidak dapat memperoleh pelayanan secara sempurna.

فصل: وإن كان الخادم مملوكاً لها واتفقا على خدمته لزمه نفقته فإن كان موسراً لزمه للخادم مد وثلث من قوت البلد وإن كان متوسطاً أو معسراً لزمه مد لأنه لا تقع الكفاية بما دونه وفي أدمه وجهان: أحدهما: أنه يجب من نوع أدمها كما يجب الطعام من جنس طعامها والثاني: أنه يجب من دون أدمها وهو المنصوص لأن العرف في الأدم أن يكون من دون أدمها وفي الطعام العرف أن يكون من جنس طعامها ويجب لخادم كل زوجة من الكسوة والفراش والدثار دون ما يجب للزوجة ولا يجب له السراويل ولا يجب له المشط والسدر والدهن للرأس لأن ذلك يراد للزينة والخادم لا يراد للزينة وإن كانت خادمة تخرج للحاجات وجب لها خف لحاجتها إلى الخروج.

PASAL: Jika pembantu itu adalah milik istri dan keduanya sepakat bahwa pembantu itu melayaninya, maka wajib atas suami memberikan nafkah kepada pembantu tersebut. Jika suami seorang yang kaya, maka wajib memberinya satu mud dan sepertiga dari makanan pokok negeri. Jika suami termasuk golongan menengah atau miskin, maka wajib memberinya satu mud, karena kecukupan tidak dapat tercapai dengan kurang dari itu.

Adapun untuk lauk-pauk (admu) terdapat dua pendapat: pertama, wajib memberinya dari jenis lauk-pauk yang sama seperti lauk-pauk istri, sebagaimana makanan wajib dari jenis makanan istri; kedua, wajib memberinya dari jenis yang lebih rendah dari lauk-pauk istri, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan secara eksplisit (manṣūṣ), karena adat kebiasaan dalam hal lauk-pauk adalah memberikan yang lebih rendah dari lauk-pauk istri, sedangkan dalam hal makanan, adatnya adalah dari jenis makanan yang sama.

Wajib bagi pembantu setiap istri berupa pakaian, alas tidur, dan selimut, namun lebih rendah dari yang wajib diberikan kepada istri. Tidak wajib memberinya sirwāl (celana panjang), juga tidak wajib memberinya sisir, daun sidr, dan minyak rambut, karena itu semua digunakan untuk berhias, sedangkan pembantu tidak ditujukan untuk berhias. Jika pembantu perempuan tersebut keluar untuk keperluan, maka wajib diberikan khuff (sepatu kulit) karena kebutuhannya untuk keluar.

فصل: ويجب أن يدفع إليها نفقة كل يوم إذا طلعت الشمس لأنه أول وقت الحاجة ويجب أن يدفع إليها الكسوة في كل ستة أشهر لأن العرف في الكسوة أن تبدل في هذه المدة فإن دفع إليها الكسوة فبليت في أقل من هذا القدر لم يجب عليه بدلها كما لا يجب عليه بدل طعام اليوم إذا نفد قبل انقضاء اليوم وإذا انقضت المدة والكسوة باقية ففيه وجهان: أحدهما: لا يلزمه تجديدها لأن الكسوة مقدرة بالكفاية وهي مكفية

PASAL: Dan wajib memberinya nafkah setiap hari ketika matahari terbit, karena itu adalah awal waktu kebutuhan. Dan wajib memberinya pakaian setiap enam bulan sekali, karena kebiasaan dalam pakaian adalah diganti dalam jangka waktu tersebut. Jika ia telah memberinya pakaian lalu rusak sebelum waktu tersebut, maka tidak wajib menggantinya, sebagaimana tidak wajib mengganti makanan hari itu jika habis sebelum akhir hari. Jika waktu telah habis sementara pakaian masih layak, maka ada dua pendapat: pertama, tidak wajib memperbaruinya karena pakaian ditentukan berdasarkan kecukupan, dan ia telah tercukupi.

والثاني: يلزمه تجديدها وهو الصحيح كما يلزمه الطعام في كل يوم وإن بقي عندها طعام اليوم الذي قبله ولأن الاعتبار بالمدة لا بالكفاية بدليل أنها لو تلفت قبل انقضاء المدة لم يلزمه تجديدها والمدة قد انقضت فوجب التجديد وأما ما يبقى سنة فأكثر كالبسط والفرش وجبة الخز والإبريسم فلا يجب تجديدها في كل فصل لأن العادة أن لا تجدد في كل فصل.

dan yang kedua: wajib memperbaruinya, dan ini adalah pendapat yang sahih, sebagaimana wajib memberinya makanan setiap hari meskipun makanan hari sebelumnya masih ada padanya. Karena yang dijadikan patokan adalah waktu, bukan kecukupan, dengan dalil bahwa jika pakaian itu rusak sebelum habis waktunya maka tidak wajib memperbaruinya, dan sekarang waktunya telah habis maka wajib diperbarui. Adapun barang-barang yang tahan setahun atau lebih seperti tikar, alas tidur, jubah dari khazz dan ibrīsim, maka tidak wajib diperbarui setiap musim karena kebiasaannya memang tidak diperbarui setiap musim.

فصل: وإن دفع إليها نفقة يوم فبانت قبل انقضائه لم يرجع بما بقي لأنه دفع ما يستحق دفعه وإن سلفها نفقة أيام فبانت قبل انقضائها فله أن يرجع في نفقة ما بعد اليوم الذي بانت فيه لأنه غير مستحق وإن دفع إليها كسوة الشتاء أو الصيف فبانت قبل انقضائه ففيه وجهان أحدهما: له أن يرجع لأنه دفع لزمان مستقبل فإذا طرأ ما يمنع الاستحقاق ثبت له الرجوع كما لو أسلفها نفقة أيام فبانت قبل انقضائها والثاني: لا يرجع لأنه دفع ما يستحق دفعه فلم يرجع به كما لو دفع إليها نفقة يوم فبانت قبل انقضائه.

PASAL: Jika ia memberi nafkah harian kepada istri lalu istri itu bercerai sebelum hari itu berakhir, maka suami tidak boleh menarik kembali sisanya, karena ia telah memberikan sesuatu yang memang wajib diberikan. Namun jika ia memberi nafkah secara salam (di muka) untuk beberapa hari dan ternyata istri bercerai sebelum hari-hari itu habis, maka suami boleh menarik kembali nafkah untuk hari-hari setelah hari terjadinya perceraian, karena itu bukan lagi hak istri.

Jika ia memberikan pakaian musim dingin atau musim panas, lalu istri bercerai sebelum musim itu selesai, maka ada dua pendapat:
Pertama, suami boleh menarik kembali karena pakaian itu diberikan untuk waktu yang akan datang, sehingga ketika muncul sesuatu yang menggugurkan hak, maka ia berhak menariknya kembali, sebagaimana jika ia menyampaikan nafkah beberapa hari dan istri bercerai sebelum hari-hari itu habis.
Kedua, suami tidak boleh menarik kembali karena ia telah memberikan sesuatu yang memang wajib diberikan, sehingga tidak boleh ditarik kembali, sebagaimana ketika ia memberikan nafkah harian lalu istri bercerai sebelum hari itu berakhir.

فصل: وإن قبضت كسوة فصل وأرادت بيعها لم تمنع منه وقال أبو بكر بن الحداد المصري لا يجوز وقال أبو الحسن الموردي البصري إن أرادت بيعها بما دونها في الجمال لم يجز لأن للزوج حظاً في جمالها وعليه ضرراً في نقصان جمالها والأول أظهر لأنه عوض مستحق فلم تمنع من التصرف فيه كالمهر وإن قبضت النفقة وأرادت أن تبيعها أو تبدلها بغيرها لم تمنع منه ومن أصحابنا من قال إن أبدلتها بما يستضر بأكله كان للزوج منعها لما عليه من الضرر في الاستمتاع بمرضها والمذهب الأول لما ذكرناه في الكسوة والضرر في الأكل لا يتحقق فلا يجوز المنع منه.

PASAL: Jika istri telah menerima pakaian musim tertentu lalu ingin menjualnya, maka ia tidak dicegah melakukannya. Abu Bakr bin al-Ḥaddād al-Miṣrī berpendapat tidak boleh. Abu al-Ḥasan al-Māwardī al-Baṣrī berpendapat: jika ia ingin menjualnya dengan yang lebih rendah dari segi keindahan, maka tidak boleh, karena suami memiliki kepentingan dalam keindahan istrinya, dan berkurangnya keindahan itu membahayakan dirinya. Pendapat pertama lebih kuat, karena pakaian itu adalah ganti rugi yang menjadi hak istri, maka ia tidak dicegah untuk mengelolanya seperti mahr.

Jika istri telah menerima nafkah lalu ingin menjualnya atau menukarnya dengan makanan lain, maka ia tidak dicegah melakukannya. Sebagian sahabat kami berpendapat: jika ia menukarnya dengan makanan yang membahayakan jika dimakan, maka suami berhak mencegahnya karena ada bahaya baginya dalam menikmati istrinya jika ia sakit. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena seperti yang disebutkan pada kasus pakaian, bahaya dari makanan tidak dapat dipastikan, maka tidak boleh ada pencegahan.

باب الإعسار بالنفقة واختلاف الزوجين فيها
إذا أعسر الزوج بنفقة المعسر فلها أن تفسخ النكاح لما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال في الرجل لا يجد ما ينفق على امرأته قال: “يفرق بينهما”. ولأنه إذا ثبت لها الفسخ بالعجز عن الوطء والضرر ففيه أقل فلأن يثبت بالعجز عن النفقة والضرر فيه أكثر من الأولى وإذا أعسر ببعض نفقة المعسر ثبت لها الخيار لأن البدن لا يقوم بما دون المد وإن أعسر بما زاد على نفقة المعسر لم يثبت لها الفسخ لأن ما زاد غير مستحق مع الإعسار

BAB TENTANG SUAMI YANG TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH DAN PERSELISIHAN SUAMI-ISTRI TENTANGNYA

Jika suami tidak mampu memberikan nafkah minimal (nafkah orang yang tidak mampu), maka istri berhak memutuskan akad nikah, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda tentang seorang laki-laki yang tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya: “Maka dipisahkan antara keduanya.”

Dan karena jika istri berhak memutuskan akad karena suami tidak mampu melakukan hubungan badan yang menimbulkan mudarat (baginya), padahal mudaratnya lebih ringan, maka lebih layak lagi ia berhak memutuskan karena suami tidak mampu memberi nafkah yang mudaratnya lebih besar daripada ketidakmampuan berhubungan badan.

Jika suami tidak mampu memberi sebagian dari nafkah minimal, maka istri berhak memilih (antara bertahan atau berpisah), karena tubuh tidak dapat bertahan hidup dengan kurang dari mudd.

Namun jika suami tidak mampu memberi lebih dari nafkah minimal, maka istri tidak berhak memutuskan akad, karena kelebihan dari nafkah minimal bukanlah sesuatu yang wajib diberikan dalam kondisi tidak mampu.

وإن أعسر بالأدم لم يثبت لها الفسخ لأن البدن يقوم بالطعام من غير أدم وإن أعسر بالكسوة ثبت لها الفسخ لأن البدن لا يقوم بغير الكسوة كما لا يقوم بغير القوت وإن أعسر بنفقة الخادم لم يثبت لها الفسخ لأن النفس تقوم بغير خادم وإن أعسر بالمسكن ففيه وجهان: أحدهما: يثبت لها الفسخ لأنه يلحقها الضرر لعدم المسكن والثاني: لا يثبت لأنها لا تعدم موضع تسكن فيه.

Jika suami tidak mampu menyediakan udm, maka istri tidak berhak memutuskan akad, karena tubuh masih dapat bertahan dengan makanan tanpa udm.

Namun jika suami tidak mampu menyediakan pakaian, maka istri berhak memutuskan akad, karena tubuh tidak dapat bertahan tanpa pakaian sebagaimana tidak dapat bertahan tanpa makanan pokok.

Jika suami tidak mampu menyediakan nafkah untuk pembantu, maka istri tidak berhak memutuskan akad, karena jiwa masih dapat bertahan tanpa pembantu.

Jika suami tidak mampu menyediakan tempat tinggal, maka ada dua pendapat:
Pertama, istri berhak memutuskan akad karena ia akan terkena mudarat akibat tidak adanya tempat tinggal.
Kedua, tidak berhak memutuskan, karena ia tidak kehilangan tempat untuk tinggal.

فصل: وإن لم يجد إلا نفقة يوم بيوم لم يثبت لها الفسخ لأنه لا يلزمه في كل يوم أكثر من نفقة يوم وإن وجد في أول النهار ما يغديها وفي آخره ما يعشيها ففيه وجهان: أحدهما: لها الفسخ لأن نفقة اليوم لا تتبعض والثاني: ليس لها الفسخ لأنها تصل إلى كفايتها وإن كان يجد يوماً قدر الكفاية ولا يجد يوماً ثبت لها الفسخ لأنه لا يحصل لها في كل يوم إلا بعض النفقة

PASAL: Jika suami tidak memiliki kecuali nafkah harian yang hanya cukup untuk satu hari ke satu hari berikutnya, maka istri tidak berhak memutuskan akad, karena suami tidak diwajibkan memberi lebih dari nafkah satu hari dalam setiap hari.

Jika suami memiliki di awal hari sesuatu untuk makan siang istri, dan di akhir hari sesuatu untuk makan malamnya, maka ada dua pendapat:
Pertama, istri berhak memutuskan akad karena nafkah satu hari tidak dapat dipisah-pisah.
Kedua, istri tidak berhak memutuskan akad karena tetap terpenuhi kebutuhannya.

Namun jika suami kadang memiliki cukup nafkah dalam satu hari dan di hari lain tidak memilikinya, maka istri berhak memutuskan akad karena ia tidak memperoleh kecukupan nafkah setiap hari, melainkan hanya sebagian.

وإن كان نساجاً ينسج في كل أسبوع ثوباً تكفيه أجرته الأسبوع أو صانعاً يعمل في كل ثلاثة أيام تكة يكفيه ثمنها ثلاثة أيام لم يثبت لها الفسخ لأنه يقدر أن يستقرض لهذه المدة ما ينفقه فلا تنقطع به النفقة وإن كانت نفقته في عمل فعجز عن العمل بمرض نظرت فإن كان مرضه يرجى زواله في اليومين أو الثلاثة لم يثبت لها الفسخ لأنه يمكنها أن تستقرض ما تنفقه ثم تقتضيه

Jika suami adalah seorang penenun yang menenun selembar kain setiap pekan dan upahnya cukup untuk nafkah selama sepekan, atau seorang tukang yang membuat tikkah setiap tiga hari dan hasil penjualannya cukup untuk nafkah selama tiga hari, maka istri tidak berhak memutuskan akad, karena suami mampu berutang untuk jangka waktu tersebut guna mencukupi nafkahnya, sehingga nafkah tidak benar-benar terputus.

Jika nafkahnya bergantung pada pekerjaan lalu ia tidak mampu bekerja karena sakit, maka perlu diteliti: jika sakitnya diperkirakan akan sembuh dalam dua atau tiga hari, maka istri tidak berhak memutuskan akad, karena ia masih memungkinkan untuk berutang nafkah, lalu menagihnya setelah suaminya sembuh.

وإن كان مرضاً مما يطول زمانه ثبت لها الفسخ لأنه يلحقها الضرر لعدم النفقة وإن كان له مال غائب فإن كان في مسافة لا تقصر فيها الصلاة لم يجز لها الفسخ وإن كان في مسافة تقصر فيها الصلاة ثبت لها الفسخ لما ذكراه في المرض وإن كان له دين على موسر لم يثبت لها الفسخ وإن كان على معسر ثبت لها الفسخ لأن يسار الغريم كيساره وإعساره في تيسير النفقة وتعسيرها.

Jika suami menderita sakit yang waktu sembuhnya lama, maka istri berhak memutuskan akad karena ia akan terkena mudarat akibat tidak adanya nafkah.

Jika suami memiliki harta yang sedang berada di tempat yang jauh, maka:

  • Jika jaraknya tidak sampai batas boleh qashar shalat, maka istri tidak berhak memutuskan akad.
  • Namun jika jaraknya mencapai batas qashar, maka istri berhak memutuskan akad, seperti yang telah disebutkan dalam kasus sakit.

Jika suami memiliki piutang pada orang yang mampu (mampu membayar), maka istri tidak berhak memutuskan akad.
Namun jika piutangnya pada orang yang tidak mampu (miskin), maka istri berhak memutuskan akad, karena kemampuan atau ketidakmampuan orang yang berutang berpengaruh pada kemudahan atau kesulitan dalam memberi nafkah, sebagaimana kemampuan atau ketidakmampuan suami sendiri.

فصل: وإن كان الزوج موسراً وامتنع من الإنفاق لم يثبت لها الفسخ لأنه يمكن الاستيفاء بالحاكم وإن غاب وانقطع خبره لم يثبت لها الفسخ لأن الفسخ يثبت بالعيب بالإعسار ولم يثبت الإعسار ومن أصحابنا من ذكر فيه وجهاً آخر أنه يثبت لها الفسخ لأن تعذر النفقة بانقطاع خبره كتعذرها بالإعسار.

PASAL: Jika suami adalah orang yang mampu namun menolak memberi nafkah, maka istri tidak berhak memutuskan akad, karena nafkah masih bisa dipenuhi melalui perantara hakim.

Jika suami pergi dan tidak ada kabar beritanya, maka istri tidak berhak memutuskan akad, karena hak memutuskan hanya berlaku jika ada ‘aib berupa ketidakmampuan memberi nafkah, sedangkan ketidakmampuan belum terbukti.

Namun sebagian sahabat kami menyebutkan pendapat lain bahwa istri berhak memutuskan akad, karena terhalangnya nafkah akibat terputusnya kabar suami serupa dengan terhalangnya nafkah akibat ketidakmampuan.

فصل: إذا ثبت لها الفسخ بالإعسار واختارت المقام معه ثبت لها في ذمته ما يجب على المعسر من الطعام والأدم والكسوة ونفقة الخادم فإذا أيسر طولب بها لأنها حقوق واجبة عجز عن أدائها فإذا قدر طولب بها كسائر الديون ولا يثبت لها في الذمة ما لا يجب على المعسر من الزيادة على نفقة المعسر لأنه غير مستحق.

PASAL: Jika istri berhak memutuskan akad karena suami tidak mampu, namun ia memilih tetap bersama suaminya, maka tetap menjadi tanggungan suami dalam bentuk utang padanya apa yang wajib atas suami yang tidak mampu, berupa makanan, udm, pakaian, dan nafkah pembantu.

Apabila kemudian suami menjadi mampu, maka ia wajib membayar semuanya, karena itu adalah hak-hak yang wajib namun sebelumnya ia tidak mampu menunaikannya, dan ketika ia sudah mampu, ia dituntut membayarnya sebagaimana utang-utangnya yang lain.

Namun tidak menjadi tanggungannya dalam bentuk utang apa yang tidak wajib atas suami yang tidak mampu, seperti kelebihan dari nafkah orang yang tidak mampu, karena itu bukan termasuk yang wajib.

فصل: وإن اختارت المقام بعد الإعسار لم يلزمها التمكين من الاستمتاع ولها أن تخرج من منزله لأن التمكين في مقابلة النفقة فلا يجب مع عدمها وإن اختارت المقام معه على الإعسار ثم عن لها أن تفسخ فلها أن تفسخ لأن النفقة يتجدد وجوبها في كل يوم فيتجدد حق الفسخ وإن تزوجت بفقير مع العلم بحاله ثم أعسر بالنفقة فلها أن تفسخ لأن حق الفسخ يتجدد بالإعسار بتجدد النفقة.

PASAL: Jika istri memilih tetap bersama suami setelah suami mengalami ketidakmampuan, maka ia tidak wajib memberikan kesempatan bagi suami untuk berhubungan badan, dan ia berhak keluar dari rumah suami, karena hak suami atas hubungan badan merupakan imbalan atas nafkah, maka tidak wajib diberikan jika nafkah tidak ada.

Jika ia memilih tetap bersama suami dalam keadaan suami tidak mampu, lalu kemudian ia ingin memutuskan akad, maka ia berhak memutuskannya, karena kewajiban nafkah terus diperbarui setiap hari, maka hak untuk memutuskan pun ikut terus diperbarui.

Jika seorang wanita menikah dengan laki-laki miskin dalam keadaan ia mengetahui kondisi suaminya, lalu suami itu jatuh dalam ketidakmampuan memberi nafkah, maka ia tetap berhak memutuskan akad, karena hak memutuskan itu timbul kembali setiap kali terjadi ketidakmampuan baru seiring dengan terus terbarunya kewajiban nafkah.

فصل: وإن اختارت الفسخ لم يجز الفسخ إلا بالحاكم لأنه فسخ مختلف فيه فلم يصح بغير الحاكم كالفسخ بالتعنين وفي وقت الفسخ قولان: أحدهما: أن لها الفسخ في الحال لأنه فسخ لتعذر العوض فثبت في الحال كفسخ البيع بإفلاس المشتري بالثمن والثاني: أن يمهل ثلاثة أيام لأنه قد لا يقدر في اليوم ويقدر في غد ولا يمكن إمهاله أبداً لأنه يؤدي إلى الإضرار بالمرأة والثلاث في حد القلة فوجب إمهاله وعلى هذا لها أن تخرج في هذه الأيام من منزل الزوج لأنها لا يلزمها التمكين من غير نفقة.

PASAL: Jika istri memilih untuk memutuskan akad, maka tidak sah baginya melakukan fasakh kecuali melalui keputusan hakim, karena fasakh ini merupakan perkara yang diperselisihkan, sehingga tidak sah dilakukan tanpa perantara hakim, sebagaimana fasakh karena suami tidak mampu bersetubuh (taʿnīn).

Adapun waktu pelaksanaan fasakh, terdapat dua pendapat:
Pertama, istri berhak melakukan fasakh saat itu juga, karena fasakh ini disebabkan tidak adanya imbalan (nafkah), maka ia berlaku segera, sebagaimana pembatalan jual beli karena pembeli tidak mampu membayar harga.
Kedua, suami diberi tenggang waktu selama tiga hari, karena bisa jadi ia belum mampu hari ini tapi akan mampu esok hari. Namun tidak boleh diberi tenggang waktu tanpa batas, karena itu akan membahayakan istri, sedangkan tiga hari masih dalam batas sedikit, maka wajib diberi waktu.

Menurut pendapat kedua ini, istri boleh keluar dari rumah suami selama masa tiga hari tersebut, karena ia tidak wajib memberikan kesempatan (berhubungan) tanpa adanya nafkah.

فصل: إذا وجد التمكين الموجب للنفقة ولم ينفق حتى مضت مدة صارت النفقة ديناً في ذمته ولا تسقط بمضي الزمان لأنه مال يجب على سبيل البدل في عقد المعاوضة فلا يسقط بمضي الزمان كالثمن والأجرة والمهر ويصح ضمان ما استقر منها بمضي الزمان كما يصح ضمان سائر الديون وهل يصح ضمانها قبل استقرارها بمضي الزمان فيه قولان بناء على القول في النفقة هل تجب بالعقد أو بالتمكين فيه قولان: قال في الجديد تجب بالتمكين وهو الصحيح لأنها لو وجبت بالعقد لملكت المطالبة بالجميع كالمهر والأجرة وعلى هذا لا يصح ضمانها لأنه ضمان ما لم يجب وقال في القديم تجب بالعقد لأنها في مقابلة الاستمتاع والاستمتاع يجب بالعقد فكذلك النفقة وعلى هذا يصح أن يضمن منها نفقة موصوفة لمدة معلومة.

PASAL: Jika telah terdapat tamkīn (penyerahan diri) yang mewajibkan nafkah, namun suami tidak menafkahinya hingga lewat suatu masa, maka nafkah itu menjadi utang dalam tanggungannya dan tidak gugur karena lewatnya waktu. Hal ini karena nafkah adalah harta yang wajib diberikan sebagai ganti dalam akad mu‘āwaḍah (timbal balik), maka tidak gugur dengan berlalunya waktu, seperti harga, upah, dan mahr.

Boleh menjamin nafkah yang telah tetap dengan berlalunya waktu, sebagaimana sah menjamin utang-utang lainnya.

Adapun apakah boleh menjamin nafkah sebelum ia tetap karena berlalunya waktu, terdapat dua pendapat. Hal ini tergantung pada pendapat tentang kapan nafkah menjadi wajib: apakah dengan akad atau dengan tamkīn.

Menurut pendapat jadīd, nafkah menjadi wajib dengan tamkīn, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena jika nafkah menjadi wajib dengan akad, tentu istri berhak menuntut seluruh nafkah seperti mahr dan upah. Berdasarkan pendapat ini, tidak sah menjamin nafkah sebelum wajib, karena itu berarti menjamin sesuatu yang belum menjadi kewajiban.

Sedangkan menurut pendapat qadīm, nafkah menjadi wajib dengan akad, karena nafkah adalah imbalan atas hubungan badan, dan hubungan badan menjadi wajib dengan akad, maka begitu pula nafkah. Berdasarkan pendapat ini, sah menjamin nafkah dalam bentuk nafkah yang disifati untuk jangka waktu tertentu.

فصل: وإذا اختلف الزوجان في قبض النفقة فادعى الزوج أنها قبضت وأنكرت الزوجة فالقول قولها مع يمينها لقوله عليه السلام: “اليمين على المدعى عليه” . ولأن الأصل عدم القبض وإن مضت مدة لم ينفق فيها وادعت الزوجة أنه كان موسراً فيلزمه نفقة الموسر وادعى الزوج أنه كان معسراً فلا يلزمه إلا نفقة المعسر نظرت فإن عرف له مال فالقول قولها لأن الأصل بقاؤه وإن لم يعرف له مال قبل ذلك فالقول قوله لأن الأصل عدم المال

PASAL: Apabila suami istri berselisih tentang penerimaan nafkah, lalu suami mengklaim bahwa nafkah telah diterima dan istri mengingkarinya, maka perkataan istri yang diterima disertai sumpahnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sumpah itu atas tanggungan pihak yang mengingkari.” Karena asalnya adalah tidak adanya penerimaan. Dan jika telah berlalu masa di mana ia tidak menafkahi, lalu istri mengklaim bahwa suaminya saat itu dalam keadaan mampu sehingga wajib memberinya nafkah orang mampu, sedangkan suami mengklaim bahwa ia dalam keadaan tidak mampu sehingga hanya wajib nafkah orang tidak mampu, maka dilihat: jika diketahui bahwa ia memiliki harta, maka perkataan istri yang diterima karena asalnya harta itu masih ada; namun jika sebelumnya tidak diketahui bahwa ia memiliki harta, maka perkataan suami yang diterima karena asalnya adalah tidak memiliki harta.

وإن اختلفا في التمكين فادعت المرأة أنها مكنت وأنكر الزوج فالقول قوله لأن الأصل عدم التمكين وبراءة الذمة من النفقة وإن طلق زوجته طلقة رجعية وهي حامل فوضعت واتفقا على وقت الطلاق واختلفا في وقت الولادة فقال الزوج طلقتك قبل الوضع فانقضت العدة فلا رجعة لي عليك ولا نفقة لك علي وقالت المرأة بل طلقتني بعد الوضع فلك علي الرجعة ولي عليك النفقة فالقول قول الزوج أنه لا رجعة لي عليك لأنه حق له فقيل إقراره فيه والقول قول المرأة في وجوب العدة لأنه حق عليها فكان القول قولها والقول قولها مع يمينها في وجوب النفقة لأن الأصل بقاؤها. والله أعلم.

Dan jika keduanya berselisih dalam hal tamkīn, lalu istri mengaku bahwa ia telah memberikan tamkīn dan suami mengingkarinya, maka perkataan suami yang diterima karena asalnya adalah tidak adanya tamkīn dan bebasnya tanggungan dari kewajiban nafkah. Dan jika suami mentalak istrinya dengan talak raj‘ī sementara ia dalam keadaan hamil, lalu ia melahirkan, dan keduanya sepakat tentang waktu talak namun berselisih tentang waktu kelahiran, maka suami berkata: “Aku menalakmu sebelum melahirkan, maka telah habis masa ‘iddah-mu, tidak ada hak rujū‘ bagiku terhadapmu, dan tidak ada nafkah bagimu dariku.” Sedangkan istri berkata: “Bahkan engkau menalakku setelah melahirkan, maka engkau masih memiliki hak rujū‘ terhadapku dan aku berhak atas nafkah darimu.” Maka dalam hal tidak adanya hak rujū‘, perkataan suami yang diterima karena itu adalah haknya, maka pengakuannya berlaku. Dan dalam hal kewajiban ‘iddah, perkataan istri yang diterima karena itu adalah kewajiban atasnya, maka perkataan dipegang darinya. Dan perkataannya diterima dengan sumpah dalam kewajiban nafkah karena asalnya ia masih berhak. Wallāhu a‘lam.

باب نفقة المعتدة
إذا طلق امرأته بعد الدخول طلاقاً رجعياً وجب لها السكنى والنفقة في العدة لأن الزوجة باقية والتمكين من الاستمتاع موجود فإن طلقها طلاقاً بائناً وجب لها السكنى في العدة حائلاً كانت أو حاملا لقوله عز وجل: {أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ} وأما النفقة فإنها إن كانت حائلاً لم تجب وإن كانت حاملاً وجبت لقوله عز وجل: {وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} فأوجب النفقة مع الحمل فدل على أنها لا تجب مع عدم الحمل

Bab Nafkah bagi Perempuan yang Menjalani Masa ‘Iddah

Apabila seorang suami menalak istrinya setelah terjadi hubungan badan dengan talak raj‘ī, maka wajib memberinya tempat tinggal dan nafkah selama masa ‘iddah, karena status sebagai istri masih tetap dan tamkīn untuk hubungan suami istri masih ada. Namun jika ia menalaknya dengan talak bā’in, maka wajib baginya menyediakan tempat tinggal selama masa ‘iddah, baik ia tidak hamil maupun hamil, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Tempatkanlah mereka (para perempuan) di mana kamu tinggal, menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hidup) mereka.”

Adapun nafkah, maka jika ia tidak sedang hamil, tidak wajib diberikan. Namun jika ia sedang hamil, maka nafkah wajib diberikan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Dan jika mereka sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka hingga mereka melahirkan kandungannya.” Maka Allah mewajibkan nafkah apabila ada kehamilan, yang menunjukkan bahwa nafkah tidak wajib jika tidak ada kehamilan.

وهل تجب النفقة للحمل أو الحامل بسبب الحمل فيه قولان: قال في القديم تجب للحمل لأنها تجب بوجوبه وتسقط بعدمه وقال في الأم تجب للحامل بسبب الحمل وهو الصحيح لأنها لو وجبت للحمل لتقدرت بكفايته وذلك يحصل بما دون المد فإن قلنا تجب للحمل لم تجب إلا على من تجب عليه نفقة الولد فإن كانت الزوجة أمة والزوج حراً وجبت نفقتها على مولاها لأن الولد مملوك له وإن قلنا تجب النفقة للحامل وجبت على الزوج لأن نفقتها تجب عليه وإن كان الزوج عبداً وقلنا إن النفقة للحامل وجبت عليه وإن قلنا تجب للحامل لم تجب لأن العبد يلزمه نفقة ولده.

Apakah nafkah itu wajib untuk janin atau untuk perempuan hamil karena kehamilannya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Dalam pendapat qadīm, Imam asy-Syāfi‘ī berkata: nafkah wajib untuk janin, karena ia wajib dengan keberadaannya dan gugur dengan ketiadaannya. Sedangkan dalam al-Umm, beliau berkata: nafkah wajib untuk perempuan hamil karena kehamilannya, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena seandainya nafkah itu diwajibkan untuk janin, niscaya akan ditentukan sesuai kadar kecukupannya, padahal itu bisa terpenuhi dengan kadar yang lebih sedikit dari satu mudd.

Jika kita katakan bahwa nafkah wajib untuk janin, maka tidak wajib kecuali atas orang yang juga wajib memberi nafkah kepada anak. Maka apabila istrinya adalah seorang amah dan suaminya seorang lelaki merdeka, maka nafkahnya wajib atas tuannya, karena anaknya menjadi milik tuannya. Namun jika kita katakan nafkah wajib untuk perempuan hamil, maka nafkah wajib atas suami, karena nafkahnya adalah tanggungan suami.

Dan jika suaminya seorang budak, lalu kita katakan nafkah wajib untuk perempuan hamil, maka nafkah wajib atasnya (budak tersebut). Tetapi jika kita katakan nafkah wajib untuk janin, maka tidak wajib atas budak, karena budak tidak diwajibkan menafkahi anaknya.

فصل: وإذا وجبت النفقة للحمل أو للحامل بسبب الحمل ففي وجوب الدفع قولان: أحدهما: لا يوجب الدفع حتى تضع الحمل لجواز أن يكون ريحاً فانفش فلا يجب الدفع مع الشك والثاني: يجب الدفع يوماً بيوم لأن الظاهر وجود الحمل ولأنه جعل كالمتحقق في منع النكاح وفسخ البيع في الجارية والمنع من الأخذ في الزكاة ووجوب الدفع في الدية فجعل كالمتحقق في دفع النفقة

PASAL: Apabila nafkah wajib karena janin atau karena perempuan hamil disebabkan kehamilan, maka dalam kewajiban penyerahan nafkah terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: tidak wajib diserahkan sampai ia melahirkan, karena bisa jadi yang dikandung hanyalah angin lalu keluar, maka tidak wajib penyerahan nafkah dalam keadaan ragu.

Pendapat kedua: wajib diserahkan hari demi hari, karena secara lahiriah terdapat kehamilan, dan kehamilan itu diperlakukan seperti sesuatu yang telah diyakini dalam hal pelarangan menikah, pembatalan jual beli budak perempuan, pelarangan menerima zakat, dan kewajiban membayar diyah, maka diperlakukan pula seperti hal yang telah diyakini dalam hal penyerahan nafkah.

فإن دفع إليها ثم بان أنه لم يكن بها حمل فإن قلنا تجب يوماً بيوم فله أن يرجع عليها لأنه دفعها على أنها واجبة وقد بان أنها لم تجب فثبت له الرجوع وإن قلنا إنها لا تجب إلا بالوضع فإن دفعها بأمر الحاكم فله أن يرجع لأنه إذا أمره الحاكم لزمه الدفع فثبت له الرجوع وإن دفع من غير أمره فإن شرط أن ذلك عن نفقتها إن كانت حاملاً فله أن يرجع لأنه دفع عما يجب وقد بان أنه لم يجب وإن لم يشرط لم يرجع لأن الظاهر أنه متبرع.

Jika ia telah menyerahkan nafkah kepada perempuan tersebut lalu ternyata diketahui bahwa ia tidak hamil, maka jika kita katakan bahwa nafkah itu wajib diberikan hari demi hari, maka ia boleh menarik kembali (nafkah) tersebut, karena ia telah menyerahkannya dengan anggapan bahwa itu adalah kewajiban, namun ternyata tidak wajib, maka ia berhak untuk menariknya kembali.

Dan jika kita katakan bahwa nafkah tidak wajib kecuali setelah melahirkan, lalu ia menyerahkannya atas perintah hakim, maka ia berhak menariknya kembali, karena apabila hakim memerintahkannya, maka ia wajib menyerahkannya, sehingga ia berhak untuk menariknya kembali.

Namun jika ia menyerahkan tanpa perintah hakim, lalu ia mensyaratkan bahwa itu adalah untuk nafkah jika ternyata perempuan itu hamil, maka ia berhak untuk menariknya kembali karena ia menyerahkan atas sesuatu yang wajib, namun ternyata tidak wajib. Tetapi jika ia tidak mensyaratkan demikian, maka ia tidak dapat menariknya kembali karena secara lahiriah ia dianggap telah memberi secara sukarela.

فصل: فإن تزوج امرأة ودخل بها ثم انفسخ النكاح برضاع أو عيب وجب لها السكنى في العدة وأما النفقة فإنها إن كانت حائلاً لم تجب وإن كانت حاملاً وجبت لأنها معتدة عن فرقة في حال الحياة فكان حكمها في النفقة والسكنى ما ذكرناه كالمطلقة وإن لاعنها بعد الدخول فإن لم ينف الحمل وجبت النفقة وإن نفى الحمل لم تجب النفقة لأن النفقة تجب في أحد القولين للحمل والثاني: تجب لها بسبب الحمل والحمل منتف عنه فلم تجب بسببه نفقة وأما السكنى ففيها وجهان: أحدهما: تجب لأنها معتدة عن فرقة في حال الحياة فوجب لها السكنى كالمطلقة

PASAL: Jika seorang lelaki menikahi perempuan dan telah melakukan hubungan dengannya, lalu pernikahan itu fasakh karena raḍā‘ atau karena aib, maka wajib baginya tempat tinggal selama masa ‘iddah. Adapun nafkah, jika ia tidak hamil maka tidak wajib, dan jika ia hamil maka nafkah wajib diberikan, karena ia adalah perempuan yang menjalani ‘iddah akibat perpisahan dalam keadaan masih hidup, maka hukumnya dalam hal nafkah dan tempat tinggal sebagaimana yang telah disebutkan pada kasus perempuan yang ditalak.

Jika suami melakukan li‘ān terhadap istrinya setelah terjadi hubungan, maka jika ia tidak menafikan adanya kehamilan, maka nafkah wajib diberikan. Namun jika ia menafikan kehamilan, maka nafkah tidak wajib diberikan, karena dalam salah satu pendapat, nafkah itu wajib karena janin, dan menurut pendapat kedua: wajib karena kehamilan, sementara kehamilan telah dinafikan, maka tidak wajib nafkah karena sebab itu.

Adapun tempat tinggal, maka ada dua pendapat: pertama, wajib diberikan karena ia adalah perempuan yang menjalani ‘iddah akibat perpisahan dalam keadaan hidup, maka wajib baginya tempat tinggal sebagaimana perempuan yang ditalak.

والثاني: لا تجب لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قضى ألا تثبت لها من أجل أنهما يفترقان من غير طلاق ولا متوفى عنها زوجها ولأنها لم تحصن ماءه فلم يلزمه سكناها.

Dan pendapat kedua: tidak wajib diberikan tempat tinggal, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW memutuskan bahwa perempuan tersebut tidak berhak mendapatkan tempat tinggal, karena perpisahan antara keduanya bukan karena talak dan bukan pula karena wafatnya suami. Dan karena ia tidak menjaga air mani suaminya (mā’ahu) sehingga suami tidak wajib menyediakan tempat tinggal baginya.

فصل: وإن نكح امرأة نكاحاً فاسداً ودخل بها وفرق بينهما فلم تجب لها السكنى لأنها إذا لم تجب مع قيام الفراش واجتماعهما على النكاح فلأن لا تجب مع زوال الفراش والافتراق أولى وأما النفقة فإنها إن كانت حائلاً لم تجب لأنها إذا لم تجب في العدة عن نكاح صحيح فلأن لا تجب في العدة عن النكاح الفاسد أولى وإن كانت حاملاً فعلى القولين إن قلنا إن النفقة للحامل لم تجب لأن حرمتها في النكاح الفاسد غير كاملة وإن قلنا أنها تجب للحمل وجبت لأن الحمل في النكاح الفاسد كالحمل في النكاح الصحيح.

PASAL: Jika seorang lelaki menikahi perempuan dengan akad yang rusak (nikāḥ fāsid) lalu ia menggaulinya, kemudian dipisahkan antara keduanya, maka tidak wajib baginya tempat tinggal, karena jika dalam pernikahan sah saja tempat tinggal tidak wajib saat tidak ada hubungan suami istri dan terjadi perpisahan, maka dalam keadaan pernikahan fasid dan perpisahan, lebih utama lagi untuk tidak wajib.

Adapun nafkah, jika ia tidak hamil maka tidak wajib, karena jika dalam masa ‘iddah akibat pernikahan sah saja nafkah tidak wajib, maka dalam masa ‘iddah akibat pernikahan fasid tentu lebih utama untuk tidak wajib. Namun jika ia sedang hamil, maka terdapat dua pendapat:

Jika kita katakan bahwa nafkah itu wajib untuk perempuan hamil, maka tidak wajib diberikan karena status kehormatannya dalam pernikahan fasid tidak sempurna.

Dan jika kita katakan bahwa nafkah itu wajib karena janin, maka nafkah wajib diberikan, karena janin dalam pernikahan fasid sama hukumnya dengan janin dalam pernikahan sah.

فصل: وإن كانت الزوجة معتدة عن الوفاة لم تجب لها النفقة لأن النفقة إنما تجب للمتمكن من الاستمتاع وقد زال التمكين بالموت أو بسبب الحمل والميت مستحق عليه حق لأجل الولد وهل تجب لها السكنى فيه قولان: أحدهما: لا تجب وهو اختيار المزني لأنه حق يجب يوماً بيوم فلم تجب في عدة الوفاة كالنفقة والثاني: تجب لما روت فريعة بنت مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “اعتدي في البيت الذي أتاك فيه وفاة زوجك حتى يبلغ الكتاب أجله أربعة أشهر وعشرا”. ولأنها معتدة عن نكاح صحيح فوجب لها السكنى كالمطلقة.

PASAL: Jika istri sedang menjalani masa ‘iddah karena wafatnya suami, maka tidak wajib baginya nafkah, karena nafkah hanya wajib bagi yang memungkinkan untuk dinikmati (disetubuhi), sedangkan tamkīn telah hilang karena kematian. Adapun nafkah karena kehamilan, itu untuk janin, dan orang yang telah meninggal menjadi pihak yang wajib menunaikan hak karena adanya anak.

Apakah wajib baginya tempat tinggal? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: tidak wajib, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, karena tempat tinggal adalah hak yang wajib dari hari ke hari, maka tidak wajib dalam masa ‘iddah karena wafat sebagaimana nafkah.

Pendapat kedua: wajib, berdasarkan riwayat dari Farī‘ah bint Mālik bahwa Nabi SAW bersabda: “Ber‘iddahlah di rumah tempat suamimu wafat hingga habis masa yang telah ditentukan, yaitu empat bulan sepuluh hari.” Dan karena ia menjalani ‘iddah dari pernikahan yang sah, maka wajib baginya tempat tinggal sebagaimana perempuan yang ditalak.

فصل: إذا حسبت زوجة المفقود أربع سنين فلها النفقة لأنها محبوسة عليه في بيته فإن طلبت الفرقة بعد أربع سنين ففرق الحاكم بينهما فإن قلنا بقوله القديم إن التفريق صحيح فهي كالمتوفى عنها زوجها لأنها معتدة عن وفاة فلا تجب لها النفقة وفي السكنى قولان: فإن رجع الزوج فإن قلنا تسلم إليه عادت إلى نفقته في المستقبل وإن قلنا لا تسلم إليه لم يكن لها عليه نفقة

PASAL: Jika istri orang yang hilang (mafqūd) telah menunggu selama empat tahun, maka ia berhak mendapatkan nafkah karena ia terkurung untuk suaminya di rumahnya. Jika setelah empat tahun ia meminta perpisahan dan hakim memisahkan keduanya, maka apabila kita mengikuti pendapat qadīm bahwa perpisahan itu sah, maka ia seperti perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya karena ia menjalani ‘iddah karena kematian, maka nafkah tidak wajib baginya.

Adapun tempat tinggal, maka terdapat dua pendapat.

Jika suaminya kembali, maka jika kita katakan bahwa ia (istri) diserahkan kembali kepada suaminya, maka ia kembali berhak atas nafkah untuk masa mendatang. Namun jika kita katakan bahwa ia tidak diserahkan kembali kepada suaminya, maka tidak ada nafkah yang wajib atas suaminya.

فإن قلنا بقوله الجديد وأن التفريق باطل فلها النفقة في مدة التربص ومدة العدة لأنها محبوسة عليه في بيته وإن تزوجت سقطت نفقتها لأنها صارت كالناشزة وإن لم يرجع الزوج ورجعت إلى بيتها وقعدت فيه فإن قلنا بقوله القديم لم تعد النفقة وإن قلنا بقوله الجديد فهل تعود نفقتها بعودها إلى البيت فيه وجهان: أحدهما: تعود لأنها سقطت بنشوزها فعادت بعودها

Jika kita berpendapat dengan qaul jadīd bahwa pemisahan itu batal, maka ia berhak mendapatkan nafkah selama masa tartabbush dan masa ‘iddah, karena ia masih dianggap terpenjara di rumah suaminya. Namun, jika ia menikah (lagi), maka gugurlah nafkahnya karena ia menjadi seperti wanita nāsyizah. Jika suami tidak kembali, lalu ia kembali ke rumah suaminya dan menetap di situ, maka jika kita mengikuti qaul qadīm, nafkah tidak kembali lagi. Tetapi jika mengikuti qaul jadīd, maka apakah nafkahnya kembali dengan kembalinya ia ke rumah? Ada dua pendapat: pertama, nafkah kembali karena gugurnya nafkah itu disebabkan nushūz, maka ketika ia kembali (ke rumah), hak nafkah pun kembali.

والثاني: لا تعود لأن التسليم الأول قد بطل فلا تعود إلا بتسليم مستأنف كما أن الوديعة إذا تعدى فيها ثم ردها إلى المكان لم تعد الأمانة ومن أصحابنا من قال إن كان الحاكم فرق بينهما وأمرها بالاعتداد واعتدت وفارقت البيت ثم عادت إليه لم تعد نفقتها لأن التسليم الأول قد بطل لحكم الحاكم وإن كانت تربصت فاعتدت ثم فارقت البيت ثم عادت إليه عادت النفقة لأن التسليم الأول لم يبطل من غير حكم الحاكم. والله أعلم.

dan pendapat kedua: nafkah tidak kembali karena penyerahan yang pertama telah batal, maka tidak kembali kecuali dengan penyerahan yang baru, sebagaimana wadī‘ah apabila telah disalahgunakan lalu dikembalikan ke tempat semula, tidak kembali menjadi amanah.

Sebagian dari kalangan kami (ulama Syafi’iyyah) berkata: jika pemisahan dilakukan oleh hakim dan hakim memerintahkannya untuk ber‘iddah lalu ia menjalani masa ‘iddah dan meninggalkan rumah, kemudian kembali ke rumah tersebut, maka nafkah tidak kembali karena penyerahan pertama telah batal dengan keputusan hakim. Namun jika ia menunggu (tanpa keputusan hakim), lalu menjalani masa ‘iddah, kemudian meninggalkan rumah dan kembali lagi, maka nafkah kembali karena penyerahan pertama belum batal oleh keputusan hakim. Wallāhu a‘lam.

باب نفقة الأقارب والرقيق والبهائم
والقرابة التي تستحق بها النفقة قرابة الوالدين وإن علوا وقرابة الأولاد وإن سفلوا فتجب على الولد نفقة الأب والأم والدليل عليه قوله تعالى: {وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً} ومن الإحسان أن ينفق عليهما وروت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه وإن ولده من كسبه”.

BAB NAFKAH UNTUK KERABAT, BUDAK, DAN HEWAN

Kerabat yang berhak mendapatkan nafkah adalah kerabat dari jalur orang tua ke atas dan dari jalur anak ke bawah. Maka wajib atas anak untuk menafkahi ayah dan ibunya. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Wa qaḍā rabbuka allā ta‘budū illā iyyāhu wa bil-wālidayni iḥsānan} (Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua). Termasuk dalam iḥsān (berbuat baik) adalah menafkahi keduanya. Dan Aisyah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya termasuk hasil usahanya.”

ويجب عليه نفقة الأجداد والجدات لأن اسم الوالدين يقع على الجميع والدليل عليه قوله تعالى: {مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ} فسمى الله تعالى إبراهيم أباً وهو جد ولأن الجد كالأب والجدة كالأم في أحكام الولادة من رد الشهادة وغيرها وكذلك في إيجاب النفقة ويجب على الأب نفقة الولد لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رجلاً جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله عندي دينار فقال: “أنفقه على نفسك” قال: عندي آخر فقال: “أنفقه على ولدك” قال: عندي آخر فقال: “أنفقه على أهلك” قال: عندي آخر قال: “أنفقه على خادمك” قال: عندي آخر قال: “أنت أعلم به”.

Dan wajib atasnya memberi nafkah kepada para kakek dan nenek karena sebutan al-wālidayn mencakup semuanya. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Millata abīkum Ibrāhīm} (agama bapakmu Ibrahim), maka Allah Ta‘ala menyebut Ibrahim sebagai ayah, padahal ia adalah kakek. Dan karena kakek itu seperti ayah, dan nenek seperti ibu dalam hukum-hukum kelahiran, seperti penolakan kesaksian dan lainnya, begitu pula dalam kewajiban memberi nafkah.

Dan wajib atas ayah memberi nafkah kepada anak, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku memiliki satu dinar.” Beliau bersabda: “Nafkahkanlah untuk dirimu.” Ia berkata: “Aku memiliki yang lain.” Beliau bersabda: “Nafkahkanlah untuk anakmu.” Ia berkata: “Aku memiliki yang lain.” Beliau bersabda: “Nafkahkanlah untuk istrimu.” Ia berkata: “Aku memiliki yang lain.” Beliau bersabda: “Nafkahkanlah untuk pembantumu.” Ia berkata: “Aku memiliki yang lain.” Beliau bersabda: “Engkau lebih tahu penggunaannya.”

ويجب عليه نفقة ولد الوالد وإن سفل لأن اسم الولد يقع عليه والدليل عليه قوله عز وجل: {يَا بَنِي آدَمَ} وتجب على الأم نفقة الولد لقوله تعالى: {لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا} ولأنه إذا وجبت على الأب وولادته من جهة الظاهر فلأن تجب على الأم وولادتها من جهة القطع أولى وتجب عليها نفقة ولد الولد لما ذكرناه في الأب ولا تجب نفقة من عدا الوالدين والمولدين من الأقارب كالإخوة والأعمام وغيرهما لأن الشرع ورد بإيجاب نفقة الوالدين والمولدين ومن سواهم لا يلحق بهم في الولادة وأحكام الولادة فلم يلحق بهم في وجوب النفقة.

Dan wajib atasnya memberi nafkah kepada anak dari anak, meskipun ke bawah (cucu dan seterusnya), karena sebutan al-walad mencakup semuanya. Dalilnya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla: {Yā banī Ādam} (Wahai anak-anak Ādam).

Dan wajib atas ibu memberi nafkah kepada anak, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Lā tuḍārra wālidah biwaladiha} (Seorang ibu tidak boleh dirugikan karena anaknya). Dan karena jika nafkah wajib atas ayah yang kelahirannya ditetapkan secara zhahir, maka lebih utama lagi atas ibu yang kelahirannya ditetapkan secara pasti.

Dan wajib atas ibu memberi nafkah kepada cucunya sebagaimana disebutkan pada ayah.

Adapun selain ayah dan ibu serta anak keturunan, seperti saudara, paman, dan selainnya, maka tidak wajib memberi nafkah kepada mereka, karena syariat hanya mewajibkan nafkah kepada ayah, ibu, dan anak keturunan, sementara selain mereka tidak termasuk dalam hubungan kelahiran yang setara dan tidak masuk dalam hukum-hukum kelahiran, maka tidak disamakan dalam kewajiban nafkah.

فصل: ولا تجب نفقة القريب إلا على موسر أو مكتسب يفضل عن حاجته ما ينفق على قريبه وأما من لا يفضل عن نفقته شيء فلا تجب عليه لما روى جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إذا كان أحدكم فقيراً فليبدأ بنفسه فإن كان فضل فعلى عياله فإن كان فضل فعلى قرابته” . فإن لم يكن فضل غير ما ينفق على زوجته لم يلزمه نفقة القريب لحديث جابر رضي الله عنه ولأن نفقة القريب مواساة ونفقة الزوجة عوض فقدمت على المواساة ولأن نفقة الزوجة تجب لحاجته فقدمت على نفقة القريب كنفقة نفسه.

PASAL: Tidak wajib memberi nafkah kepada kerabat kecuali atas orang yang kaya atau yang memiliki penghasilan yang melebihi kebutuhannya, sehingga ada kelebihan untuk dinafkahkan kepada kerabatnya. Adapun orang yang tidak memiliki kelebihan dari nafkah untuk dirinya, maka tidak wajib atasnya memberi nafkah, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang dari kalian dalam keadaan miskin, maka hendaklah memulai dari dirinya sendiri. Jika ada kelebihan, maka untuk keluarganya. Jika ada kelebihan lagi, maka untuk kerabatnya.”

Jika tidak ada kelebihan selain dari nafkah untuk istrinya, maka tidak wajib atasnya memberi nafkah kepada kerabat, berdasarkan hadis Jābir RA. Dan karena nafkah untuk kerabat adalah bentuk muwāsāt (saling membantu), sedangkan nafkah istri adalah bentuk ‘iwaḍ (ganti/imbalan), maka nafkah istri didahulukan atas muwāsāt. Dan karena nafkah istri diwajibkan karena kebutuhan pihak istri, maka didahulukan atas nafkah kerabat sebagaimana nafkah untuk dirinya sendiri.

فصل: ولا يستحق القريب النفقة على قريبه من غير حاجة فإن كان موسراً لم يستحق لأنها تجب على سبيل المواساة والموسر مستغن عن المواساة وإن كان معسراً عاجزاً عن الكسب لعدم البلوغ أو الكبر أو الجنون أو الزمانة استحق النفقة على قريبه لأنه محتاج لعدم المال وعدم الكسب وإن كان قادراً على الكسب بالصحة والقوة فإن كان من الوالدين ففيه قولان: أحدهما: يستحق لأنه محتاج فاستحق النفقة على القريب كالزمن

PASAL: Kerabat tidak berhak mendapatkan nafkah dari kerabatnya kecuali dalam keadaan membutuhkan. Jika ia berkecukupan, maka ia tidak berhak mendapat nafkah, karena nafkah itu diberikan sebagai bentuk muwāsāt (bantuan), sedangkan orang yang berkecukupan tidak membutuhkan bantuan.

Jika ia dalam keadaan miskin dan tidak mampu bekerja karena belum baligh, sudah tua, gila, atau lumpuh, maka ia berhak mendapat nafkah dari kerabatnya karena ia membutuhkan, baik karena tidak memiliki harta maupun tidak mampu bekerja.

Namun jika ia mampu bekerja karena memiliki kesehatan dan kekuatan, maka:

Jika ia termasuk dari orang tua, terdapat dua qaul:
Pertama: berhak mendapat nafkah karena ia termasuk orang yang membutuhkan, maka berhak mendapatkan nafkah dari kerabat sebagaimana orang yang lumpuh.

والثاني: لا يستحق لأن القوة كاليسار ولهذا سوى رسول الله صلى الله عليه وسلم بينهما في تحريم الزكاة فقال: “لا تحل الصدقة لغني ولا لذي مرة قوي” . وإن كان من المولدين ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كالوالدين ومنهم من قال لا يستحق قولاً واحداً لأن حرمة الوالد آكد فاستحق بها مع القوة وحرمة الولد أضعف فلم يستحق بها مع القوة.

dan kedua: tidak berhak karena kekuatan itu seperti kecukupan. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW menyamakan antara keduanya dalam keharaman zakat, beliau bersabda: “Tidak halal sedekah bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang kuat lagi sehat.” Jika yang membutuhkan nafkah itu adalah dari kalangan anak-anak (keturunan), maka terdapat dua ṭarīqah: sebagian dari para aṣḥāb kami berkata bahwa di dalamnya terdapat dua qawl seperti halnya pada orang tua, dan sebagian dari mereka berkata bahwa tidak berhak nafkah menurut satu qawl saja, karena kehormatan orang tua lebih kuat, sehingga berhak mendapat nafkah meskipun dalam keadaan kuat, sedangkan kehormatan anak lebih lemah sehingga tidak berhak mendapat nafkah dalam keadaan kuat.

فصل: فإن كان للذي يستحق النفقة أب وجد أوجد وأبو جد وهما موسران كانت النفقة على الأقرب منهما لأنه أحق بالمواساة من الأبعد وإن كان له أب وابن موسران ففيه وجهان: أحدهما: أن النفقة على الأب لأن وجوب النفقة عليه منصوص عليه وهو قوله تعالى: {وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} ووجوبها على الولد ثبت بالاجتهاد

PASAL: Jika orang yang berhak menerima nafkah memiliki ayah dan kakek, atau ayah dari kakek, dan keduanya berkecukupan, maka nafkah dibebankan kepada kerabat yang lebih dekat karena ia lebih berhak untuk memberikan muwāsāh daripada yang lebih jauh. Jika ia memiliki ayah dan anak, dan keduanya berkecukupan, maka terdapat dua pendapat. Pertama: nafkah dibebankan kepada ayah karena kewajiban nafkah atasnya ditegaskan dalam nash, yaitu firman Allah Ta‘ala: “Wa ‘ala al-maulūdi lahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma‘rūf”, sedangkan kewajiban nafkah atas anak ditetapkan melalui ijtihād.

والثاني: أنهما سواء لتساويهما في القرب والذكورية وإن كان له أب وأم موسران كانت النفقة على الأب لقوله تعالى: {فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} فجعل أجرة الرضاع على الأب وروت عائشة رضي الله عنها أن هنداً أم معاوية جاءت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح وأنه لا يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه سرا وهولا يعلم فهل علي في ذلك من شيء؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف”.

Kedua: bahwa keduanya setara karena sama-sama dekat dan sama-sama laki-laki. Jika seseorang memiliki ayah dan ibu yang keduanya berkecukupan, maka nafkah dibebankan kepada ayah berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {fa in arda‘na lakum fa ātīhunna ujūrahunna}, maka Allah menjadikan upah menyusui sebagai tanggungan ayah. Dan ‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa Hindun, ibu Mu‘āwiyah, datang kepada Nabi SAW lalu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abū Sufyān adalah lelaki yang kikir, dan dia tidak memberiku nafkah yang mencukupi aku dan anakku kecuali apa yang aku ambil darinya secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena hal itu?” Maka Nabi SAW bersabda: “Ambillah apa yang mencukupi engkau dan anakmu sesuai dengan yang makruf.”

ولأن الأب ساوى الأم في الولادة وانفرد بالتعصيب فقدم وإن كان له أم وجد أبو الأب وهما موسران فالنفقة على الجد لأن له ولادة وتعصيباً فقدم على الأم كالأب وإن كانت له بنت وابن بنت ففيه قولان: أحدهما: أن النفقة على البنت لأنها أقرب والثاني: أنها على ابن البنت لأنه أقوى وأقدر على النفقة بالذكورية وإن كانت له بنت وابن ابن فالنفقة على ابن الابن لأن له ولادة وتعصيباً فقدم كما قدم الجد على الأم وإن كان له أم وبنت كانت النفقة على البنت لأن للبنت تعصيباً وليس للأم تعصيب وإن كان له أم أم وأبو أم فهما سواء لأنهما يتساويان في القرب وعدم التعصيب وإن كان له أم أم وأم أب ففيه وجهان: أحدهما: أنهما سواء لتساويهما في الدرجة والثاني: أن النفقة على أم الأب لأنها تدلي بالعصبة.

Karena ayah setara dengan ibu dalam hal melahirkan, namun ayah memiliki kelebihan dalam ta‘ṣīb, maka ia lebih didahulukan. Jika seseorang memiliki ibu dan kakek (ayah dari ayah), dan keduanya berkecukupan, maka nafkah dibebankan kepada kakek karena ia memiliki hubungan kelahiran dan ta‘ṣīb, sehingga lebih didahulukan daripada ibu sebagaimana ayah. Jika seseorang memiliki anak perempuan dan cucu laki-laki dari anak perempuan, maka ada dua pendapat: pertama, nafkah dibebankan kepada anak perempuan karena ia lebih dekat hubungannya; kedua, nafkah dibebankan kepada cucu laki-laki dari anak perempuan karena ia lebih kuat dan lebih mampu memberi nafkah karena sifat laki-lakinya.

Jika ia memiliki anak perempuan dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka nafkah dibebankan kepada cucu laki-laki dari anak laki-laki karena ia memiliki hubungan kelahiran dan ta‘ṣīb, maka ia lebih didahulukan sebagaimana kakek lebih didahulukan dari ibu. Jika seseorang memiliki ibu dan anak perempuan, maka nafkah dibebankan kepada anak perempuan karena anak perempuan memiliki ta‘ṣīb, sedangkan ibu tidak. Jika seseorang memiliki nenek dari pihak ibu dan kakek dari pihak ibu, maka keduanya setara karena keduanya sama dalam kedekatan dan sama-sama tidak memiliki ta‘ṣīb. Jika seseorang memiliki nenek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah, maka terdapat dua pendapat: pertama, keduanya setara karena sama dalam tingkat hubungan; kedua, nafkah dibebankan kepada nenek dari pihak ayah karena ia bersambung melalui jalur ‘aṣabah.

فصل: وإن كان الذي تجب عليه النفقة يقدر على نفقة قريب واحد وله أب وأم يستحقان النفقة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها: أن الأم أحق لما روي أن رجلاً قال: يا رسول الله من أبر؟ قال: “أمك” قال: ثم من؟ قال: “أمك” قال: ثم من؟ قال: “أمك” قال: ثم من؟ قال: “أبوك”. ولأنها تساوي الأب في الولادة وتنفرد بالحمل والوضع والرضاع والتربية. والثاني: أن الأب أحق لأنه يساويها في الولادة وينفرد بالتعصيب ولأنهما لوكانا موسرين والابن معسراً قدم الأب في وجوب النفقة عليها فقدم في النفقة له. والثالث: أنهما سواء لأن النفقة بالقرابة لا بالتعصيب وهما في القرابة سواء وإن كان له أب وابن ففيه وجهان: أحدهما: أن الابن أحق لأن نفقته ثبتت بنص الكتاب

PASAL: Jika orang yang wajib memberi nafkah hanya mampu menafkahi satu kerabat, sedangkan ia memiliki ayah dan ibu yang sama-sama berhak menerima nafkah, maka terdapat tiga pendapat:

Pertama: ibu lebih berhak, berdasarkan riwayat bahwa seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ayahmu.” Dan karena ibu setara dengan ayah dalam kelahiran, tetapi ia sendiri menanggung kehamilan, melahirkan, menyusui, dan mengasuh.

Kedua: ayah lebih berhak, karena ia setara dengan ibu dalam kelahiran namun memiliki kelebihan dalam ta‘ṣīb. Dan karena jika keduanya sama-sama berkecukupan sementara si anak dalam keadaan tidak mampu, maka ayah lebih didahulukan dalam kewajiban menafkahi ibu, maka demikian pula ia lebih didahulukan dalam menerima nafkah.

Ketiga: keduanya setara karena nafkah ditetapkan berdasarkan hubungan kekerabatan, bukan ta‘ṣīb, dan keduanya setara dalam hal kekerabatan.

Jika ia memiliki ayah dan anak laki-laki, maka terdapat dua pendapat: pertama, anak laki-laki lebih berhak karena kewajiban nafkah atasnya ditetapkan melalui nash kitab.

والثاني: أن الأب أحق لأن حرمته آكد ولهذا لا يقاد بالابن ويقاد به الابن وإن كان له ابن وابن ابن أو أب وجد ففيه وجهان: أحدهما: أن الابن أحق من ابن الابن والأب أحق من الجد لأنهما أقرب ولأنهما لوكانا موسرين وهو معسر كانت نفقته على أقربهما فكذلك في نفقته عليهما والثاني: أنهما سواء لأن النفقة بالقرابة ولهذا لا يسقط أحدهما: بالآخر إذا قدر على نفقتهما.

Kedua: bahwa ayah lebih berhak karena kehormatannya lebih kuat, oleh karena itu ia tidak dikenai qiṣāṣ karena membunuh anak, sedangkan anak dikenai qiṣāṣ karena membunuh ayah.

Jika seseorang memiliki anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau memiliki ayah dan kakek, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: anak laki-laki lebih berhak daripada cucu laki-laki, dan ayah lebih berhak daripada kakek, karena keduanya lebih dekat. Dan karena jika keduanya berkecukupan sedangkan ia dalam keadaan tidak mampu, maka kewajiban nafkah dibebankan kepada yang lebih dekat, maka begitu pula dalam hal nafkah atas keduanya.

Kedua: bahwa keduanya setara karena nafkah ditetapkan berdasarkan kekerabatan, dan karena itu tidak gugur salah satunya karena adanya yang lain selama ia mampu menafkahi keduanya.

فصل: ومن وجبت عليه نفقته بالقرابة وجبت نفقته على قدر الكفاية لأنها تجب للحاجة فقدرت بالكفاية وإن احتاج إلى من يخدمه وجبت نفقة خادمه وإن كانت له زوجة وجبت نفقة زوجته لأن ذلك من تمام الكفاية وإن مضت مدة ولم ينفق على من تلزمه نفقته من الأقارب لم يصر ديناً عليه لأنها وجبت عليه لتزجية الوقت ودفع الحاجة وقد زالت الحاجة لما مضى فسقطت.

PASAL: Siapa yang wajib atasnya memberi nafkah karena hubungan kekerabatan, maka wajib baginya memberikan nafkah sesuai kadar kecukupan, karena nafkah itu diwajibkan karena kebutuhan, maka ditentukan berdasarkan kecukupan. Jika orang yang diberi nafkah membutuhkan pembantu, maka wajib pula nafkah bagi pembantunya. Jika ia memiliki istri, maka wajib pula menafkahi istrinya karena hal itu termasuk penyempurna kecukupan.

Jika telah berlalu suatu masa tanpa ia memberi nafkah kepada kerabat yang wajib dinafkahinya, maka nafkah tersebut tidak menjadi utang atasnya, karena nafkah itu diwajibkan untuk kebutuhan waktu itu dan menghilangkan kebutuhan, dan karena kebutuhan pada masa lalu telah berlalu, maka gugurlah kewajibannya.

فصل: وإن كان له أب فقير مجنون أو فقير زمن واحتاج إلى الإعفاف وجب على الولد إعفافه على المنصوص وخرج أبوعلي بن خيران قولاً آخر أنه لا يجب لأنه قريب يستحق النفقة فلا يستحق الإعفاف كالابن والمذهب الأول لأنه معنى يحتاج الأب إليه ويلحقه الضرر بفقده فوجب كالنفقة وإن كان صحيحاً قوياً وقلنا إنه تجب نفقته وجب إعفافه وإن قلنا لا تجب نفقته ففي إعفافه وجهان: أحدهما: لا يجب لأنه لا تجب نفقته فلا يجب إعفافه

PASAL: Jika seseorang memiliki ayah yang fakir dan gila atau fakir dan zaman (lumpuh), lalu membutuhkan i‘fāf (pemenuhan kebutuhan untuk menjaga diri dari maksiat), maka wajib atas anak untuk memenuhi i‘fāf-nya menurut pendapat yang manshūsh. Abu ‘Ali bin Khirān mengeluarkan pendapat lain bahwa hal itu tidak wajib, karena ia adalah kerabat yang berhak mendapatkan nafkah, maka tidak berhak atas i‘fāf, sebagaimana anak. Namun, madzhab yang pertama lebih kuat, karena i‘fāf adalah makna yang dibutuhkan oleh ayah dan ia akan tertimpa bahaya jika kehilangan hal itu, maka wajib sebagaimana nafkah. Jika ayah tersebut sehat dan kuat, dan kita mengatakan bahwa ia wajib diberi nafkah, maka wajib pula i‘fāf-nya. Namun jika kita mengatakan tidak wajib nafkahnya, maka dalam i‘fāf-nya terdapat dua wajah: pertama, tidak wajib karena nafkahnya tidak wajib, maka i‘fāf-nya pun tidak wajib.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه يجب إعفافه لأن نفقته إن لم تجب على القريب أنفق عليه من بيت المال والإعفاف لا يجب في بيت المال فوجب على القريب ومن وجب عليه الإعفاف فهو بالخيار بين أن يزوجه بحرة وبين أن يسريه بجارية ولا يجوز أن يزوجه بأمة لأنه بالإعفاف يستغنى عن نكاح الأمة ولا يعفه بعجوز ولا بقبيحة لأن الأصل من العفة هو الاستمتاع ولا يحصل ذلك بالعجوز ولا القبيحة فإن زوجه بحرة أو سراه بجارية ثم استغنى لم يلزمه مفارقة الحرة ولا رد الجارية

dan yang kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa wajib i‘fāf-nya karena jika nafkahnya tidak wajib atas kerabat maka ia dinafkahi dari Bayt al-Māl, sedangkan i‘fāf tidak wajib atas Bayt al-Māl, maka wajib atas kerabat. Dan siapa yang wajib atasnya i‘fāf, maka ia boleh memilih antara menikahkannya dengan perempuan merdeka atau menyuruhnya menyetubuhi budak perempuan. Tidak boleh menikahkannya dengan budak perempuan, karena dengan i‘fāf telah tercapai tujuan sehingga tidak perlu menikahi budak. Dan tidak boleh i‘fāf dengan wanita tua atau buruk rupa, karena pokok dari ‘iffah adalah kenikmatan bersetubuh, dan hal itu tidak tercapai dengan wanita tua atau buruk rupa. Maka jika ia menikahkannya dengan perempuan merdeka atau menyuruhnya menyetubuhi budak lalu ia merasa cukup, maka tidak wajib atasnya menceraikan perempuan merdeka itu dan tidak pula mengembalikan budak perempuan tersebut.

لأن ما استحق للحاجة لم يجب رده بزوال الحاجة كما لو قبض نفقة يوم ثم أيسر وإن أعفه بحرة فطلقها أو سرا بجارية فأعتقها لم يجب عليه بدلها لأن ذلك مواساة لدفع الضرر فلو أوجبنا البدل خرج من حد المواساة وأدى إلى الضرر والضرر لا يزال بالضرر وإن ماتت عنده ففيه وجهان: أحدهما: لا يجب البدل لأنه يخرج عن حد المواساة والثاني: يجب لأنه زال ملكه عنها بغير تفريط فوجب بدله كما لو دفع إليه نفقة يوم فسرقت منه.

Karena sesuatu yang diberikan karena kebutuhan tidak wajib dikembalikan ketika kebutuhan itu hilang, sebagaimana jika seseorang menerima nafkah untuk satu hari lalu ia menjadi mampu. Dan jika ia telah dia‘fī (dipenuhi kebutuhan syahwatnya) dengan perempuan merdeka lalu ia menceraikannya, atau dengan budak perempuan lalu ia memerdekakannya, maka tidak wajib atasnya menggantinya, karena hal itu adalah bentuk muwāsāt (bantuan) untuk menolak bahaya. Maka jika kita mewajibkan pengganti, hal itu keluar dari batas muwāsāt dan akan menimbulkan bahaya, sedangkan bahaya tidak dihilangkan dengan bahaya lainnya. Dan jika wanita itu meninggal dunia saat masih dalam tanggungannya, maka terdapat dua wajah: pertama, tidak wajib menggantinya karena keluar dari batas muwāsāt; kedua, wajib menggantinya karena miliknya telah hilang tanpa tafrīṭ (kelalaian), maka wajib menggantinya sebagaimana jika diberikan nafkah untuk satu hari lalu dicuri darinya.

فصل: وإن احتاج الولد إلى الرضاع وجب على القريب إرضاعه لأن الرضاع في حق الصغير كالنفقة في حق الكبير ولا يجب إلا في حولين كاملين لقوله تعالى: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} فإن كان الولد من زوجته وامتنعت من الإرضاع لم تجبر وقال أبو ثور تجبر لقوله تعالى: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} وهذا خطأ لأنها إذا لم تجبر على نفقة الولد مع وجود الأب لم تجبر على الرضاع وإن أرادت إرضاعه كره للزوج منعها لأن لبنها أوفق له

PASAL: Jika anak membutuhkan radhā‘, maka wajib atas kerabat untuk menyusuinya, karena radhā‘ bagi anak kecil seperti nafkah bagi orang dewasa. Dan tidak wajib kecuali dalam dua tahun penuh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa-al-wālidātu yurḍi‘na awlādahunna ḥawlayni kāmilayni liman arāda an yutimma ar-raḍā‘ah}. Jika anak itu dari istrinya dan ia enggan menyusui, maka tidak dipaksa. Abū Ṯaur berpendapat bahwa ia dipaksa, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa-al-wālidātu yurḍi‘na awlādahunna ḥawlayni kāmilayni liman arāda an yutimma ar-raḍā‘ah}. Ini adalah pendapat yang keliru, karena jika ia tidak diwajibkan memberi nafkah anak padahal ayahnya ada, maka ia juga tidak diwajibkan menyusui. Jika ia ingin menyusui, maka makruh bagi suaminya melarangnya, karena air susunya lebih cocok untuk anak tersebut.

وإن أراد منعها منه كان له ذلك لأنه يستحق الاستمتاع بها في كل وقت إلا في وقت العبادة فلا يجوز لها تفويته عليه بالرضاع وإن رضيا بإرضاعه فهل تلزمه زيادة على نفقتها فيه وجهان: أحدهما: تلزمه وهو قول أبي سعيد وأبي إسحاق لأنها تحتاج في حال الرضاع إلى أكثر مما تحتاج في غيره والثاني: لا تلزمه الزيادة على نفقتها في النفقة لأن نفقتها مقدرة فلا تجب الزيادة لحاجتها كما لا تجب الزيادة في نفقة الأكولة لحاجتها وإن أرادت إرضاعه بأجرة ففيه وجهان: أحدهما: لا يجوز وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمة الله عليه لأن أوقات الرضاع مستحقة لاستمتاع الزوج ببدل وهو النفقة فلا يجوز أن تأخذ بدلاً آخر

Dan jika suami ingin melarangnya menyusui, maka ia berhak melakukannya, karena ia berhak mendapatkan kenikmatan darinya setiap waktu kecuali pada waktu ibadah, maka tidak boleh bagi istri menghalangi hak tersebut dengan menyusui. Jika keduanya rela dengan penyusuan itu, maka apakah suami wajib menambahkan nafkah di luar nafkah pokoknya? Ada dua wajah: pertama, wajib, dan ini adalah pendapat Abū Sa‘īd dan Abū Isḥāq, karena wanita saat menyusui membutuhkan lebih banyak daripada saat tidak menyusui; kedua, tidak wajib menambah di luar nafkah pokoknya, karena nafkahnya sudah ditentukan kadarnya, maka tidak wajib penambahan karena kebutuhan, sebagaimana tidak wajib menambah nafkah bagi wanita yang banyak makan karena kebutuhannya.

Jika istri ingin menyusui dengan upah, maka ada dua wajah: pertama, tidak boleh, dan ini adalah pendapat Asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfārāyīnī raḥimahullāh, karena waktu menyusui adalah hak suami untuk menikmati dengan ganti nafkah, maka tidak boleh baginya mengambil ganti yang lain.

والثاني: أنه يجوز لأنه عمل يجوز أخذ الأجرة عليه بعد البينونة فجاز أخذ الأجرة عليه قبل البينونة كالنسج وإن بانت لم يملك إجبارها على إرضاعه كما لا يملك قبل البينونة فإن طلبت أجرة المثل على الرضاع ولم يكن للأب من يرضع بدون الأجرة كانت الأم أحق به لقوله تعالى: {فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} وإن طلبت أكثر من أجرة المثل جاز انتزاعه منها وتسليمه إلى غيرها لقوله تعالى: {وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى} ولأن ما يوجد بأكثر من عوض المثل كالمعدوم ولهذا لو وجد الماء بأكثر من ثمن المثل جعل كالمعدوم في الانتقال إلى التيمم فكذلك ههنا

Dan yang kedua: boleh, karena itu adalah pekerjaan yang boleh diambil upahnya setelah terjadinya bain, maka boleh pula diambil upahnya sebelum bain, seperti menenun. Jika telah terjadi bain, maka suami tidak berhak memaksanya menyusui, sebagaimana sebelumnya juga tidak berhak. Jika ia meminta upah sepadan untuk menyusui dan sang ayah tidak menemukan orang yang mau menyusui tanpa upah, maka ibu lebih berhak menyusuinya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {fa-in arḍa‘na lakum fa-ātūhunna ujūrahunna}. Dan jika ia meminta lebih dari upah sepadan, maka boleh mencabut anak itu darinya dan menyerahkannya kepada selainnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa-in ta‘āsartum fa-saturḍi‘u lahu ukhrā}, dan karena sesuatu yang hanya bisa didapat dengan lebih dari nilai sepadannya itu dianggap tidak ada. Oleh karena itu, jika air hanya tersedia dengan harga lebih dari nilai sewajarnya, maka ia dianggap tidak ada dan diperbolehkan beralih ke tayammum—maka demikian pula dalam kasus ini.

وإن طلبت أجرة المثل وللأب من يرضعه بغير عوض أو بدون أجرة المثل ففيه قولان: أحدهما: أن الأم أحق بأجرة المثل لأن الرضاع لحق الولد ولأن لبن الأم أصلح له وأنفع وقد رضيت بعوض المثل فكان أحق والثاني: أن الأب أحق لأن الرضاع في حق الصغير كالنفقة في حق الكبير ولو وجد الكبير من يتبرع بإرضاعه لم يستحق على الأب أجرة الرضاع وإن ادعت المرأة أن الأب لا يجد غيرها فالقول قول الأب لأنها تدعي استحقاق أجرة المثل والأصل عدمه.

Jika ibu meminta upah sepadan (ujrah al-mitsl), sedangkan ayah memiliki orang yang mau menyusui tanpa imbalan atau dengan imbalan di bawah upah sepadan, maka ada dua pendapat:

Pertama: ibu lebih berhak mendapatkan upah sepadan, karena radhā‘ adalah demi kepentingan anak, dan air susu ibu lebih cocok dan lebih bermanfaat baginya, serta ia rela dengan imbalan sepadan, maka ia lebih berhak.

Kedua: ayah lebih berhak, karena radhā‘ bagi anak kecil seperti nafkah bagi orang dewasa. Andaikan orang dewasa mendapat seseorang yang rela memberinya nafkah tanpa imbalan, maka ia tidak berhak menuntut nafkah dari ayahnya. Jika perempuan mengklaim bahwa ayah tidak menemukan selain dirinya, maka yang dipegang adalah pernyataan ayah, karena perempuan mengklaim berhak atas upah sepadan, padahal asalnya adalah tidak berhak.

فصل: ويجب على المولى نفقة عبده وأمته وكسوتهما لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “للمملوك طعامه وكسوته ولا يكلف من العمل إلا ما يطيق”. ويجب عليه نفقته من قوت البلد لأنه هو المتعارف فإن تولى طعامه استحب أن يطعمه منه

PASAL: Wajib atas tuan memberikan nafkah kepada budak laki-laki dan budak perempuannya, serta memberi pakaian kepada keduanya, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Bagi budak itu makanannya dan pakaiannya, dan ia tidak dibebani pekerjaan kecuali sesuai kemampuannya.” Wajib atasnya memberi nafkah dari makanan pokok yang berlaku di negeri itu, karena itulah yang dikenal secara umum. Jika sang tuan sendiri yang mengurus makanannya, maka disunnahkan agar ia memberi makan dari makanan yang ia makan sendiri.

لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: “إذا جاء أحدكم خادمه بطعام فليجلسه معه فإن لم يجلسه معه فليناوله أكلة أو أكلتين فإنه تولى علاجه وحره ” . فإن كانت له جارية للتسري استحب أن تكون كسوتها أعلى من كسوة جارية الخدمة لأن العرف أن تكون كسوتها أعلى فوق كسوة جارية الخدمة.

Berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA, ia berkata: Abū al-Qāsim SAW bersabda: “Jika salah seorang dari kalian didatangi oleh pelayannya dengan membawa makanan, maka hendaklah ia mendudukannya bersamanya. Jika tidak mendudukannya bersamanya, maka hendaklah ia memberinya satu atau dua suap, karena ia telah bersusah payah mengolah dan menahan panasnya.”

Jika ia memiliki jāriyah untuk tujuan tasarrī (menjadikannya selir), maka disunnahkan agar pakaian jāriyah tersebut lebih baik daripada pakaian jāriyah untuk pelayanan, karena kebiasaan (‘urf) adalah pakaian jāriyah selir lebih tinggi derajatnya daripada pakaian jāriyah pelayan.

فصل: ولا يكلف عبده وأمته من الخدمة ما لا يطيقان لقوله صلى الله عليه وسلم: “ولا يكلفه من العمل ما لا يطيق” . ولا يسترضع الجارية إلا ما فضل عن ولدها لأن في ذلك إضراراً بولدها وإن كان لعبده زوجة أذن له في الاستمتاع بالليل لأن إذنه بالنكاح يتضمن الإذن في الاستمتاع بالليل وإن مرض العبد أو الأمة أو عميا أو زمنا لزمه نفقتهما لأن نفقتهما بالملك ولهذا تجب مع الصغر فوجبت مع العمى والزمانة

PASAL: Tidak boleh membebani budak laki-laki maupun budak perempuan dengan pekerjaan yang tidak mampu mereka tanggung, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Dan janganlah membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu ia kerjakan.”

Tidak boleh menjadikan jāriyah sebagai penyusu kecuali dari sisa air susu yang lebih dari kebutuhan anaknya, karena hal itu akan membahayakan anaknya.

Jika budak laki-lakinya memiliki istri, maka ia diizinkan untuk menikmati istrinya pada malam hari, karena izin untuk menikah mencakup izin untuk bersetubuh di malam hari.

Jika budak laki-laki atau budak perempuan itu sakit, buta, atau mengalami cacat fisik permanen, maka tuannya tetap wajib menafkahi mereka, karena nafkah mereka wajib disebabkan kepemilikan. Oleh karena itu, nafkah tetap wajib sekalipun masih kecil, maka wajib pula dalam kondisi buta atau cacat.

ولا يجوز أن يجبر عبده على المخارجة لأنه معاوضة فلم يملك إجباره عليها كالكتابة وإن طلب العبد ذلك لم يجبر المولى كما لا يجبر إذا طلب الكتابة فإن اتفقا عليها وله كسب جاز لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم حجمه أبو طيبة فأعطاه أجره وسأل مواليه أن يخففوا من خراجه وإن لم يكن له كسب لم يجز لأنه لا يقدر على أن يدفع إليه من جهة تحل فلم يجز.

Tidak boleh memaksa budak untuk melakukan mukhārajah (perjanjian setor hasil), karena itu termasuk akad pertukaran (mu‘āwaḍah), maka tuan tidak berhak memaksanya atasnya, sebagaimana tidak boleh memaksanya untuk melakukan kitābah (akad memerdekakan dengan tebusan). Dan jika budak yang meminta hal itu, maka tuan pun tidak dipaksa mengabulkannya, sebagaimana ia tidak dipaksa jika budak meminta kitābah. Jika keduanya sepakat dan budak memiliki penghasilan, maka mukhārajah itu boleh, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW pernah dibekam oleh Abū Ṭayyibah, lalu beliau memberinya upah dan memohon kepada para tuannya agar meringankan setorannya (kharāj-nya). Namun jika budak tidak memiliki penghasilan, maka tidak boleh, karena ia tidak mampu menyerahkan sesuatu dari sumber yang halal, maka hal itu tidak diperbolehkan.

فصل: ومن ملك بهيمة لزمه القيامة بعلفها لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “عذبت امرأة في هرة حبستها حتى ماتت جوعاً فدخلت فيها النار فقيل لها ـ والله أعلم ـ لا أنت أطعمتها وسقيتها حين حبستها ولا أنت أرسلتها حتى تأكل من خشاش الأرض حتى ماتت جوعاً” . ولا يجوز له أن يحمل عليها ما لا تطيق لأن النبي صلى الله عليه وسلم منع أن يكلف العبد ما لا يطيق فوجب أن تكون البهيمة مثله ولا يحلب من لبنها إلا ما يفضل عن ولدها لأنه غذاء للولد فلا يجوز منعه.

PASAL: Barang siapa memiliki hewan, maka wajib baginya memberikan pakan, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang ia kurung hingga mati kelaparan, lalu ia masuk neraka karenanya. Maka dikatakan kepadanya—dan Allah lebih mengetahui—‘Engkau tidak memberinya makan dan minum saat mengurungnya, dan tidak pula engkau lepaskan agar ia bisa makan dari serangga-serangga bumi, hingga akhirnya ia mati kelaparan.’”

Tidak boleh membebani hewan dengan beban yang tidak mampu ia tanggung, karena Nabi SAW melarang membebani budak dengan apa yang tidak mampu ia kerjakan, maka hewan lebih utama untuk diperlakukan demikian. Dan tidak boleh memerah susunya kecuali yang melebihi kebutuhan anaknya, karena susu adalah makanan bagi anaknya, maka tidak boleh menghalanginya.

فصل: وإن امتنع من الإنفاق على رقيقه أو على بهيمته أجبر عليه كما يجبر على نفقة زوجته وإن لم يكن له مال أكرى عليه إن أمكن إكراؤه فإن لم يمكن بيع عليه كما يزال الملك عنه في امرأته إذا أعسر بنفقتهما. والله أعلم.

PASAL: Jika seseorang enggan memberi nafkah kepada budaknya atau hewannya, maka ia dipaksa untuk menunaikannya, sebagaimana ia dipaksa memberi nafkah kepada istrinya. Jika ia tidak memiliki harta, maka budak atau hewan tersebut disewakan (untuk mendapatkan nafkah), jika memungkinkan untuk disewakan. Jika tidak memungkinkan, maka dijual darinya, sebagaimana kepemilikannya atas istrinya dihilangkan ketika ia tidak mampu menafkahinya. Wallāhu a‘lam.

باب الحضانة
إذا افترق الزوجان ولهما ولد بالغ رشيد فله أن ينفرد عن أبويه لأنه مستغن عن الحضانة والكفالة والمستحب أن لا ينفرد عنهما ولا يقطع بره عنهما وإن كانت جارية كره لها أن تنفرد لأنها إذا انفردت لم يؤمن أن يدخل عليها من يفسدها وإن كان لهما ولد مجنون أو صغير لا يميز وهو الذي له دون سبع سنين وجبت حضانته لأنه إن ترك حضانته ضاع وهلك.

BAB PENYUSUAN

Jika suami istri bercerai dan keduanya memiliki anak yang telah baligh dan rasyīd, maka anak tersebut boleh hidup mandiri terpisah dari kedua orang tuanya karena ia tidak lagi membutuhkan ḥaḍānah dan pengasuhan. Namun yang mustaḥab adalah ia tidak hidup terpisah dari keduanya dan tidak memutuskan baktinya kepada mereka.

Jika anak tersebut perempuan, maka makruh baginya untuk hidup sendirian, karena apabila ia hidup sendirian dikhawatirkan ada orang yang masuk menemuinya dan merusaknya.

Jika keduanya memiliki anak yang gila atau masih kecil yang belum mumayyiz —yaitu yang usianya di bawah tujuh tahun— maka wajib baginya ḥaḍānah, karena jika dibiarkan tanpa ḥaḍānah, ia akan binasa dan celaka.

فصل: ولا تثبت الحضانة لرقيق لأنه لا يقدر على القيام بالحضانة مع خدمة المولى ولا تثبت لمعتوه لأنه لا يكمل للحضانة ولا تثبت لفاسق لأنه لا يوفي الحضانة حقها ولأن الحضانة إنما جعلت لحظ الولد ولا حظ للولد في حضانة الفاسق لأنه ينشأ على طريقه ولا تثبت لكافر على مسلم وقال أبو سعيد الإصطخري تثبت للكافر على المسلم لما روى عبد الحميد بن سلمة عن أبيه أنه قال: أسلم أبي وأبت أمي أن تسلمني وأنا غلام فاختصما إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: “يا غلام اذهب إلى أيهما شئت إن شئت إلى أبيك وإن شئت إلى أمك” فتوجهت إلى أمي فلما رآني النبي صلى الله عليه وسلم سمعته يقول: “اللهم اهده فملت إلى أبي فقعدت في حجره”.

PASAL:

Ḥaḍānah tidak tetap bagi seorang hamba sahaya karena ia tidak mampu melaksanakan ḥaḍānah bersamaan dengan kewajiban melayani tuannya. Tidak tetap pula bagi orang gila (ma‘tūh) karena ia tidak sempurna untuk menjalankan ḥaḍānah. Tidak tetap bagi orang fasik karena ia tidak akan menunaikan hak ḥaḍānah dengan sempurna. Sebab ḥaḍānah ditetapkan demi kemaslahatan anak, sedangkan tidak ada kemaslahatan bagi anak di bawah asuhan orang fasik karena ia akan tumbuh mengikuti jalan kefasikannya.

Demikian pula ḥaḍānah tidak tetap bagi orang kafir atas anak Muslim.

Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berpendapat bahwa ḥaḍānah tetap bagi orang kafir atas anak Muslim, berdasarkan riwayat dari ‘Abd al-Ḥamīd bin Salamah dari ayahnya yang berkata: “Ayahku masuk Islam, sedangkan ibuku enggan menyerahkanku, padahal saat itu aku masih kecil. Keduanya mengadukan perkara itu kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda: ‘Wahai anak, pergilah kepada siapa yang engkau kehendaki; jika engkau mau, kepada ayahmu, dan jika engkau mau, kepada ibumu.’ Maka aku memilih ibuku. Ketika Nabi SAW melihatku, aku mendengar beliau berdoa: ‘Ya Allah, berilah ia petunjuk,’ maka aku pun condong kepada ayahku dan duduk di pangkuannya.”

والمذهب الأول لأن الحضانة جعلت لحظ الولد ولا حظ للولد المسلم في حضانة الكافر لأنه يفتنه من دينه وذلك من أعظم الضرر والحديث منسوخ لأن الأمة أجمعت على أنه لا يسلم الصبي المسلم إلى الكافر ولا حضانة للمرأة إذا تزوجت لما روى عبد الله بن عمرو بن العاص أن امرأة قالت يا رسول الله إن ابني هذا كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقني وأراد أن ينزعه مني فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أنت أحق به ما لم تنكحي “.

Mazhab yang pertama lebih kuat, karena ḥaḍānah ditetapkan demi kemaslahatan anak, sedangkan tidak ada kemaslahatan bagi anak Muslim di bawah ḥaḍānah orang kafir, sebab ia dapat menyesatkannya dari agamanya, dan hal itu merupakan bentuk bahaya terbesar.

Adapun hadis tersebut telah mansūkh, karena umat telah berijmak bahwa anak Muslim tidak boleh diserahkan kepada orang kafir.

Tidak ada ḥaḍānah pula bagi seorang perempuan jika ia telah menikah, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ bahwa seorang perempuan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini—rahimku adalah wadah baginya, susuku tempat minumnya, dan pangkuanku tempat berlindungnya—sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah.”

ولأنها إذا تزوجت اشتغلت باستمتاع الزوج عن الحضانة فإن أعتق الرقيق وعقل المعتوه وعدل الفاسق وأسلم الكافر عاد حقهم من الحضانة لأنها زالت لعلة فعادت بزوال العلة وإذا طلقت المرأة عاد حقها من الحضانة وقال المزني إن كان الطلاق رجعياً لم يعد لأن النكاح باق وهذا خطأ لأنه إنما سقط حقها بالنكاح لاشتغالها باستمتاع الزوج والطلاق الرجعي يحرم الاستمتاع كما يحرم بالطلاق البائن فعادت الحضانة.

Karena apabila perempuan itu menikah, ia akan disibukkan dengan pemenuhan hak suami sehingga terhalang dari ḥaḍānah.

Apabila seorang hamba sahaya dimerdekakan, orang gila (ma‘tūh) telah berakal, orang fasik menjadi adil, dan orang kafir masuk Islam, maka hak mereka atas ḥaḍānah kembali, karena hilangnya hak tersebut disebabkan oleh suatu ‘illat, dan ketika ‘illat itu hilang maka haknya pun kembali.

Apabila seorang perempuan dicerai, maka haknya atas ḥaḍānah juga kembali.

Al-Muzanī berpendapat bahwa jika talak tersebut adalah raj‘ī, maka hak ḥaḍānah belum kembali karena akad nikah masih tetap ada. Pendapat ini keliru, sebab haknya gugur karena kesibukan dengan pemenuhan hak suami, sedangkan pada talak raj‘ī suami tidak lagi berhak atas kenikmatan (istimta‘), sebagaimana pada talak bā’in, maka hak ḥaḍānah pun kembali.

فصل: ولا حضانة لمن لا يرث من الرجال من ذوي الأرحام وهم ابن البنت وابن الأخت وابن الأخ من الأم وأبو الأم والخال والعم من الأم لأن الحضانة إنما تثبت للنساء لمعرفتهن بالحضانة أولمن له قوة قرابة بالميراث من الرجال وهذا لا يوجد في ذوي الأرحام من الرجال ولا يثبت لمن أدلى بهم من الذكور والإناث لأنه إذا لم يثبت لهم لضعف قرابتهم فلأن لا يثبت لمن يدلي بهم أولى.

PASAL: Tidak ada hak hadhanah bagi laki-laki dari kalangan dzawī al-arḥām yang tidak mewarisi, yaitu anak perempuan dari anak perempuan, anak perempuan dari saudari perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki seibu, ayah dari ibu, paman dari pihak ibu, dan paman seibu. Karena hadhanah itu ditetapkan untuk perempuan karena mereka lebih mengetahui urusan hadhanah, atau bagi laki-laki yang memiliki kekuatan hubungan kekerabatan dalam warisan. Hal ini tidak terdapat pada dzawī al-arḥām dari kalangan laki-laki. Dan tidak ditetapkan juga bagi orang yang hubungan kekerabatannya melalui mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Karena jika mereka saja tidak ditetapkan hadhanah disebabkan lemahnya kekerabatan, maka orang yang bergantung pada mereka lebih utama untuk tidak ditetapkan.

فصل: وإن اجتمع النساء دون الرجال وهن من أهل الحضانة فالأم أحق من غيرها لما روى عب الله بن عمرو العاص أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أنت أحق ما لم تنكحي”. ولأنها أقرب إليه وأشفق عليه ثم تنتقل إلى من يرث من أمهاتها لمشاركتهن الأم في الولادة والإرث ويقدم الأقرب فالأقرب ويقدمن على أمهات الأب وإن قربن لتحقق ولادتهن ولأنهن أقوى في الميراث من أمهات الأب لأنهن لا يسقطن بالأب وتسقط أمهات الأب بالأم فإذا عدم من يصلح للحضانة من أمهات الأم ففيه قولان: قال في القديم: تنقل إلى الأخت والخالة ويقدمان على أم الأب

PASAL: Jika berkumpul para perempuan tanpa adanya laki-laki, sementara mereka termasuk ahli hadhanah, maka ibu lebih berhak daripada selainnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari ʿAbdullāh bin ʿAmr al-ʿĀṣ bahwa Nabi SAW bersabda: “Engkau lebih berhak selama engkau belum menikah.” Dan karena ia lebih dekat serta lebih kasih sayang kepadanya. Setelah itu berpindah hak hadhanah kepada perempuan yang mewarisi dari jalur ibu, karena mereka turut serta dalam kelahiran dan pewarisan. Didahulukan yang lebih dekat, kemudian yang lebih jauh. Mereka lebih didahulukan dibandingkan ibu-ibu dari pihak ayah, meskipun lebih dekat, karena mereka secara pasti melahirkan dan mereka lebih kuat dalam warisan daripada ibu-ibu dari pihak ayah. Sebab ibu-ibu dari pihak ayah bisa gugur karena keberadaan ibu, sedangkan ibu-ibu dari pihak ibu tidak gugur karena ayah. Jika tidak ditemukan siapa pun dari ibu-ibu dari jalur ibu yang layak untuk hadhanah, maka ada dua pendapat. Dalam qaul qadīm dinyatakan: berpindah kepada saudari perempuan dan bibi dari pihak ibu, dan mereka didahulukan dari ibu ayah.

لما روى البراء بن عازب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قضى في بنت حمزة لخالتها وقال: “الخالة بمنزلة الأم”. ولأن الخالة تدلي بالأم وأم الأب تدلي بالأب والأم تقدم على الأب فقدم من يدلي بها عل من يدلي به ولأن الأخت ركضت مع الولد في الرحم ولم تركض أم الأب معه في الرحم فقدمت عليها فعلى هذا تكون الحضانة للأخت من الأب والأم ثم الأخت من الأم ثم الخالة ثم لأم الأب ثم للأخت من الأب ثم للعمة

Karena telah diriwayatkan dari al-Barā’ bin ʿĀzib RA bahwa Nabi SAW memutuskan urusan tentang putri Ḥamzah kepada bibinya dari pihak ibu, dan beliau bersabda: “Bibi dari pihak ibu kedudukannya seperti ibu.” Dan karena bibi dari pihak ibu bersambung dengan ibu, sedangkan ibu dari ayah bersambung dengan ayah, dan ibu lebih didahulukan daripada ayah, maka didahulukan siapa yang bersambung melalui ibu atas siapa yang bersambung melalui ayah. Dan karena saudari perempuan sekandung turut berdenyut bersama anak di dalam rahim, sedangkan ibu dari ayah tidak demikian, maka ia lebih didahulukan. Berdasarkan ini, urutan hadhanah adalah: saudari perempuan sekandung, kemudian saudari seibu, kemudian bibi dari pihak ibu, kemudian ibu dari ayah, kemudian saudari seayah, lalu bibi dari pihak ayah.

وقال في الجديد: إذا عدمت أمهات الأم انتقلت الحضانة إلى أم الأب وهو الصحيح لأنها جدة وارثة فقدمت على الأخت والخالة كأم الأم فعلى هذا تكون الحضانة لأم الأب ثم لأمهاتها وإن علون الأقرب فالأقرب ويقدمن على أم الجد كما يقدم الأب على الجد فإن عدمت أمهات الأب انتقلت إلى أمهات الجد ثم إلى أمهاتها وإن علون ثم تنتقل إلى أمهات أب الجد فإذا عدم أمهات الأبوين انتقلت إلى الأخوات ويقدمن على الخالات والعمات لأنهن راكضن الولد في الرحم وشاركنا في النسب وتقدم الأخت من الأب والأم ثم الأخت للأب ثم الأخت للأم

Dan dalam qaul jadīd disebutkan: apabila tidak ditemukan ibu-ibu dari pihak ibu, maka hadhanah berpindah kepada ibu dari ayah, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia adalah nenek yang mewarisi, maka ia didahulukan atas saudari perempuan dan bibi dari pihak ibu, sebagaimana ibu dari pihak ibu didahulukan. Berdasarkan ini, urutan hadhanah adalah kepada ibu dari ayah, kemudian kepada ibu-ibunya, meskipun ke atas, dengan mendahulukan yang paling dekat. Mereka didahulukan atas ibu dari kakek, sebagaimana ayah didahulukan atas kakek. Jika tidak ada ibu-ibu dari ayah, maka berpindah kepada ibu-ibu dari kakek, kemudian kepada ibu-ibu mereka yang lebih tinggi ke atas. Setelah itu berpindah kepada ibu-ibu dari kakek ayah. Apabila tidak ada ibu-ibu dari kedua orang tua, maka hadhanah berpindah kepada para saudari perempuan. Mereka didahulukan atas bibi dari pihak ibu maupun pihak ayah karena mereka berdenyut bersama anak di dalam rahim dan turut serta dalam kekerabatan. Didahulukan saudari sekandung, kemudian saudari seayah, kemudian saudari seibu.

وقال أبو العباس بن سريج: تقدم الأخت للأم على الأخت للأب لأن إحداهما تدلي بالأم والأخرى تدلي بالأب فقدم المدلي بالأم على المدلي بالأب كما قدمت الأم على الأب وهذا خطأ لأن الأخت من الأب أقوى من الأخت من الأم في الميراث والتعصيب مع البنات ولأن الأخت من الأب تقوم مقام الأخت من الأب والأم في الميراث فقامت مقامها في الحضانة فإن عدمت الأخوات انتقلت إلى الخالات ويقدمن على العمات لأن الخالة تساوي العمة في الدرجة وعدم الإرث وتدلي بالأم والعمة تدلي بالأب والأم تقدم على الأب فقدم من يدلي بها وتقدم الخالة من الأب والأم على الخالة من الأب ثم الخالة من الأب ثم الخالة من الأم ثم تنتقل إلى العمات لأنهن يدلين بالأب وتقدم العمة من الأب والأم ثم العمة من الأب ثم العمة من الأم وعلى قياس قول المزني وابن العباس تقدم الخالة والعمة من الأم على الخالة والعمة من الأب.

Dan Abū al-ʿAbbās bin Surayj berkata: Saudari seibu didahulukan atas saudari seayah, karena salah satunya bersambung melalui ibu dan yang lainnya melalui ayah, maka yang bersambung melalui ibu didahulukan atas yang bersambung melalui ayah, sebagaimana ibu didahulukan atas ayah. Namun ini adalah kesalahan, karena saudari seayah lebih kuat daripada saudari seibu dalam warisan dan taʿṣīb bersama anak perempuan. Dan saudari seayah menempati kedudukan saudari sekandung dalam warisan, maka ia juga menempatinya dalam hadhanah.

Apabila tidak ada saudari-saudari, maka hadhanah berpindah kepada para bibi dari pihak ibu, dan mereka didahulukan atas bibi dari pihak ayah karena bibi dari pihak ibu setara derajatnya dengan bibi dari pihak ayah serta sama-sama tidak mewarisi, namun bibi dari pihak ibu bersambung melalui ibu dan bibi dari pihak ayah bersambung melalui ayah, sedangkan ibu didahulukan atas ayah, maka didahulukan pula yang bersambung melalui ibu.

Didahulukan bibi sekandung, lalu bibi seayah, kemudian bibi seibu. Setelah itu, berpindah kepada para bibi dari pihak ayah karena mereka bersambung melalui ayah. Didahulukan bibi sekandung, kemudian bibi seayah, lalu bibi seibu.

Dan menurut qiyās pendapat al-Muzanī dan Ibnu al-ʿAbbās, didahulukan bibi dari pihak ibu—baik bibi maupun saudari—atas bibi dan saudari dari pihak ayah.

فصل: وإن اجتمع الرجال وهم من أهل الحضانة وليس معهم نساء قدم الأب لأن له ولادة وفضل شفقة ثم تنتقل إلى آبائها الأقرب فالأقرب لمشاركتهم الأب في الولادة والتعصيب فإن عدم الجداد انتقلت إلى من بعدهم من العصبات ومن أصحابنا من قال لا يثبت لغير الآباء والأجداد من العصبات لأنه لا معرفة لهم في الحضانة ولا لهم ولاية بأنفسهم فلم تكن لهم حضانة كالأجانب والمنصوص هو الأول

PASAL: Jika yang berkumpul adalah para laki-laki yang termasuk ahli hadhanah dan tidak ada perempuan bersama mereka, maka didahulukan ayah karena ia memiliki hubungan kelahiran dan keutamaan kasih sayang. Kemudian berpindah kepada ayah-ayahnya secara berurutan dari yang paling dekat, karena mereka turut serta dengan ayah dalam kelahiran dan taʿṣīb. Jika tidak ada para kakek, maka berpindah kepada para ʿaṣabah setelah mereka.

Sebagian dari kalangan kami berkata: hak hadhanah tidak ditetapkan bagi selain ayah dan kakek dari kalangan ʿaṣabah, karena mereka tidak memiliki pengetahuan dalam hal hadhanah dan tidak memiliki wewenang atas diri sendiri, maka mereka tidak memiliki hak hadhanah sebagaimana orang asing. Namun pendapat yang manṣūṣ adalah pendapat pertama.

والدليل عليه ما روى البراء بن عازب رضي الله عنه أنه اختصم في بنت حمزة علي وجعفر وزيد بن حارثة رضي الله عنهم فقال علي رضي الله عنه: أنا أحق بها وهي بنت عمي وقال جعفر: ابنة عمي وخالتها عندي وقال زيد: بنت أخي فقضى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم لخالتها وقال: “الخالة بمنزلة الأم”.

Dalil atas hal itu adalah riwayat dari al-Barā’ bin ʿĀzib RA bahwa pernah terjadi perselisihan antara ʿAlī, Jaʿfar, dan Zayd bin Ḥārithah RA mengenai anak perempuan Ḥamzah. Maka ʿAlī RA berkata: “Aku lebih berhak atasnya, karena ia adalah putri pamanku.” Jaʿfar berkata: “Ia adalah putri pamanku, dan bibinya dari pihak ibu berada di sisiku.” Zayd berkata: “Ia adalah putri saudaraku.” Maka Rasulullah SAW memutuskan hak asuhnya kepada bibinya dari pihak ibu dan bersabda: “Al-khālah bimanzilati al-umm” (Bibi dari pihak ibu kedudukannya seperti ibu).

ولولم يكن ابن العم من أهل الحضانة لأنكر النبي صلى الله عليه وسلم على جعفر وعلى علي رضي الله عنهما ادعاءهما الحضانة بالعمومة ولأن له تعصيباً بالقرابة فثبتت له الحضانة كالأب والجد فعلى هذا تنتقل إلى الأخ من الأب والأم ثم إلى الأخ من الأب ثم إلى ابن الأخ من الأب والأم ثم إلى ابن الأخ من الأب ثم إلى العم من الأب والأم ثم إلى العم من الأب ثم إلى ابن العم من الأب والأم ثم إلى ابن العم من الأب لأن الحضانة تثبت لهم بقوة قرابتهم بالإرث فقدم من تقدم في الإرث.

Seandainya anak paman (sepupu) bukan termasuk ahli hadhanah, niscaya Nabi SAW akan mengingkari klaim Jaʿfar dan ʿAlī RA atas hadhanah karena hubungan sepupu. Dan karena ia memiliki taʿṣīb melalui kekerabatan, maka ditetapkan baginya hak hadhanah sebagaimana ayah dan kakek. Berdasarkan ini, urutan hadhanah berpindah kepada saudara laki-laki sekandung, kemudian kepada saudara seayah, lalu kepada anak laki-laki dari saudara sekandung, lalu anak laki-laki dari saudara seayah, kemudian kepada paman dari pihak ayah dan ibu, lalu paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki dari paman sekandung, lalu anak laki-laki dari paman seayah. Karena hadhanah ditetapkan bagi mereka berdasarkan kekuatan kekerabatan dalam warisan, maka didahulukan siapa yang lebih dahulu dalam urutan warisan.

فصل: وإن اجتمع الرجال والنساء والجميع من أهل الحضانة نظرت فإن اجتمع الأب مع الأم كانت الحضانة للأم لأن ولادتها متحققة وولادة الأب مظنونة ولأن لها فضلاً بالحمل والوضع ولها معرفة بالحضانة فقدمت على الأب فإن اجتمع مع أم الأم وإن علت كانت الحضانة لأم الأم لأنها كالأم في تحقق الولادة والميراث ومعرفة الحضانة وإن اجتمع مع أم نفسه أو مع الأخت من الأب أو مع العمة قدم عليهن لأنهن يدلين به فقدم عليهن وإن اجتمع الأب مع الأخت من الأم أو الخالة ففيه وجهان: أحدهما: أن الأب أحق وهو ظاهر النص لأن الأب له ولادة وإرث فقدم على الأخت والخالة كالأم

PASAL: Jika berkumpul laki-laki dan perempuan, dan semuanya termasuk ahli hadhanah, maka diperhatikan: apabila ayah berkumpul bersama ibu, maka hadhanah menjadi milik ibu, karena kelahirannya pasti sedangkan kelahiran dari ayah bersifat dugaan. Juga karena ia memiliki keutamaan berupa mengandung dan melahirkan, serta memiliki pengetahuan dalam hadhanah, maka ia didahulukan atas ayah.

Jika ayah berkumpul bersama nenek dari pihak ibu, meskipun lebih tinggi (derajatnya), maka hadhanah menjadi milik nenek dari pihak ibu, karena kedudukannya seperti ibu dalam hal kepastian kelahiran, pewarisan, dan pengetahuan tentang hadhanah.

Apabila ayah berkumpul bersama nenek dari pihak ayah, atau bersama saudari seayah, atau bibi dari pihak ayah, maka ia didahulukan atas mereka karena mereka semua bersambung melalui dirinya, maka ia lebih berhak daripada mereka.

Namun jika ayah berkumpul bersama saudari seibu atau bibi dari pihak ibu, maka terdapat dua wajah (pendapat): salah satunya adalah bahwa ayah lebih berhak, dan inilah yang tampak dari naṣṣ, karena ayah memiliki hubungan kelahiran dan hak waris, maka ia lebih didahulukan atas saudari dan bibi dari pihak ibu sebagaimana ia didahulukan atas ibu.

والثاني: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أنه يقدم الأخت والخالة على الأب لأنهما من أهل الحضانة والتربية ويدليان بالأم فقدمتا على الأب كأمهات الأم إن اجتمع الأب وأم الأب والأخت من الأم أو الخالة بنينا على القولين في الأخت من الأم والخالة إذا اجتمعا مع أم الأب فإن قلنا بقوله القديم إن الأخت والخالة يقدمان على أم الأب قدمت الأخت والخالة على الأب وأم الأب وإن قلنا بقوله الجديد إن أم الأب تقدم على الأخت والخالة بنينا على الوجهين في الأب إذا اجتمع مع الأخت من الأم أو الخالة فإن قلنا بظاهر النص إن الأب يقدم عليهما كانت الحضانة للأب لأنه يسقط الأخت والخالة وأم نفسه فانفرد بالحضانة

Pendapat yang kedua—dan ini adalah pendapat Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī—bahwa saudari seibu dan bibi dari pihak ibu didahulukan atas ayah, karena keduanya termasuk ahli hadhanah dan pengasuhan, serta bersambung melalui ibu, maka keduanya didahulukan atas ayah sebagaimana nenek dari pihak ibu didahulukan atas ayah.

Jika ayah, nenek dari pihak ayah, saudari seibu, dan bibi dari pihak ibu berkumpul, maka permasalahan ini dibangun di atas dua pendapat tentang saudari seibu dan bibi dari pihak ibu apabila berkumpul bersama nenek dari pihak ayah. Jika kita berpegang pada qaul qadīm bahwa saudari seibu dan bibi dari pihak ibu didahulukan atas nenek dari pihak ayah, maka mereka juga didahulukan atas ayah dan nenek dari pihak ayah.

Namun jika kita berpegang pada qaul jadīd bahwa nenek dari pihak ayah didahulukan atas saudari seibu dan bibi dari pihak ibu, maka permasalahan ini kembali kepada dua wajah dalam kasus ayah apabila berkumpul dengan saudari seibu atau bibi dari pihak ibu.

Jika kita berpegang pada ẓāhir al-naṣṣ bahwa ayah didahulukan atas mereka, maka hak hadhanah adalah milik ayah, karena ia menggugurkan hak saudari seibu, bibi dari pihak ibu, dan bahkan ibunya sendiri, sehingga ia mendapatkan hak hadhanah secara tunggal.

وإن قلنا بالوجه الآخر إن الحضانة للأخت والخالة ففي هذه المسألة وجهان: أحدهما: أن الحضانة للأخت والخالة لأن أم الأب تسقط بالأب والأب يسقط بالأخت والخالة والثاني: أن الحضانة للأب وهو قول أبي سعيد الإصطخري رحمه الله عليه لأن الأخت والخالة يسقطان بأم الأب ثم تسقط أم الأب بالأب فتصير الحضانة للأب ويجوز أن يمنع الشخص غيره من حق ثم لا يحصل له ما منع منه غيره كالأخوين مع الأبوين فإنهما يحجبان الأم من الثلث إلى السدس ثم لا يحصل لهما ما منعناه بل يصير الجميع للأب

Dan jika kita mengikuti wajah yang lain bahwa ḥaḍānah (hak asuh) adalah milik saudari dan bibi dari pihak ibu, maka dalam masalah ini terdapat dua wajah:

Pertama: bahwa ḥaḍānah adalah milik saudari dan bibi dari pihak ibu, karena ibu dari ayah gugur oleh (keberadaan) ayah, dan ayah gugur oleh (keberadaan) saudari dan bibi.

Kedua: bahwa ḥaḍānah adalah milik ayah, dan ini adalah pendapat Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī raḥimahullāh, karena saudari dan bibi gugur oleh ibu dari ayah, kemudian ibu dari ayah gugur oleh ayah, maka ḥaḍānah menjadi milik ayah. Dan boleh jadi seseorang menggugurkan hak orang lain namun ia sendiri tidak mendapatkan hak yang ia gugurkan dari orang lain tersebut, seperti dua saudara dengan kedua orang tua: keduanya menghalangi ibu dari sepertiga menjadi seperenam, namun keduanya tidak mendapat bagian yang dihalangi tersebut, bahkan seluruh bagian menjadi milik ayah.

وإن اجتمع الجد أب الأب مع الأم أو مع أم الأم وإن علت قدمت عليه كما تقدم على الأب وإن اجتمع مع أم الأب قدمت عليه لأنها تساويه في الدرجة وتنفرد بمعرفة الحضانة فقدمت عليه كما قدمت الأم على الأب وإن اجتمع مع الخالة أو مع الأخت من الأم ففيه وجهان كما لو اجتمعتا مع الأب وإن اجتمع مع الأخت من الأب ففيه وجهان: أحدهما: أن الجد أحق لأنه كالأب في الولادة والتعصيب فكذلك في التقدم على الأخت والثاني: أن الأخت أحق لأنها تساويه في الدرجة وتنفرد بمعرفة الحضانة.

Dan jika berkumpul kakek (ayah dari ayah) dengan ibu atau dengan nenek dari pihak ibu, sekalipun lebih tinggi, maka keduanya didahulukan atas kakek sebagaimana mereka didahulukan atas ayah.

Dan jika berkumpul dengan nenek dari pihak ayah, maka nenek didahulukan atasnya karena setara dalam derajat namun nenek lebih mengetahui ḥaḍānah, maka ia didahulukan sebagaimana ibu didahulukan atas ayah.

Dan jika berkumpul dengan bibi dari pihak ibu atau saudari seibu, maka terdapat dua wajah sebagaimana jika keduanya berkumpul dengan ayah.

Dan jika berkumpul dengan saudari seayah, maka terdapat dua wajah:

Pertama: bahwa kakek lebih berhak karena ia seperti ayah dalam nasab dan taʿṣīb, maka ia pun lebih didahulukan atas saudari.

Kedua: bahwa saudari lebih berhak karena ia setara dalam derajat dan lebih mengetahui ḥaḍānah.

فصل: وإن عدم الأمهات والآباء ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أن النساء أحق بالحضانة من العصبات فتكون الأخوات والخالات ومن أدلى بهن من البنات أحق من الأخوة وبنيهم والأعمام وبنيهم لاختصاصهن بمعرفة الحضانة والتربية والثاني: أن العصبات أحق من الأخوات والخالات والعمات ومن يدلي بهن لاختصاصهم بالنسب والقيام بتأديب الولد

PASAL: Jika tidak ada para ibu dan ayah, maka terdapat tiga pendapat:

Pertama: Para perempuan lebih berhak atas hadhānah dibanding para ‘aṣabah, maka saudari-saudari dan bibi dari pihak ibu serta yang memiliki hubungan melalui mereka dari kalangan anak perempuan lebih berhak dibanding para saudara laki-laki dan anak-anak mereka serta para paman dan anak-anak mereka, karena kekhususan mereka dalam memahami hadhānah dan pengasuhan.

Kedua: Para ‘aṣabah lebih berhak dibanding para saudari, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, dan siapa pun yang memiliki hubungan melalui mereka, karena kekhususan mereka dalam hubungan nasab dan kemampuan mereka dalam mendidik anak.

والثالث: أنه إن كان العصبات أقرب قدموا وإن كان النساء أقرب قدمن وإن استويا في القرب قدمت النساء لاختصاصهن بالتربية وإن استوى اثنان في القرابة والإدلاء كالأخوين أو الأختين أو الخالتين أو العمتين أقرع بينهما لأنه لا يمكن اجتماعهما على الحضانة ولا مزية لإحداهما على الأخرى فوجب التقديم بالقرعة، وإن عدم أهل الحضانة من العصبات والنساء وله أقارب من رجال ذوي الأرحام ومن يدلي بهم ففيه وجهان: أحدهما: أنهم أحق من السلطان لأن لهم رحماً فكانوا أحق من السلطان كالعصبات

Dan ketiga: Jika para ‘aṣabah lebih dekat, maka mereka didahulukan; dan jika para perempuan lebih dekat, maka mereka didahulukan; dan jika keduanya sama dalam tingkat kedekatan, maka para perempuan lebih didahulukan karena kekhususan mereka dalam hal pengasuhan. Dan jika ada dua orang yang setara dalam kedekatan dan hubungan perantara, seperti dua saudara laki-laki, atau dua saudari perempuan, atau dua bibi dari pihak ibu, atau dua bibi dari pihak ayah, maka dilakukan undian di antara keduanya, karena tidak mungkin mereka bersama-sama dalam hadhānah dan tidak ada keutamaan salah satu atas yang lain, maka yang didahulukan diputuskan dengan undian.

Dan jika tidak ada orang yang berhak atas hadhānah dari kalangan ‘aṣabah maupun perempuan, sementara ia memiliki kerabat dari kalangan laki-laki żawī al-arḥām atau yang memiliki hubungan melalui mereka, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: Mereka lebih berhak dibanding penguasa karena mereka memiliki hubungan rahim, maka mereka lebih berhak dibanding penguasa sebagaimana halnya para ‘aṣabah.

والثاني: أن السلطان أحق بالحضانة لأنه لا حق لهم مع وجود غيرهم فكان السلطان أحق منهم كما قلنا في الميراث وإن كان للطفل أبوان فثبتت الحضانة للأم فامتنعت منها فقد ذكر أبو سعيد الأصطخري فيه وجهين: أحدهما: أن الحضانة تنتقل إلى أم الأم كما تنتقل إليها بموت الأم أو جنونها أو فسقها أو كفرها والثاني: أنها تكون للأب لأن الأم لم يبطل حقها من الحضانة لأنها لو طالبت بها كانت أحق فلم تنتقل إلى من يدلي بها.

Dan pendapat kedua: Bahwa penguasa lebih berhak atas hadhānah, karena mereka (kerabat dari żawī al-arḥām) tidak memiliki hak jika masih ada selain mereka, maka penguasa lebih berhak daripada mereka sebagaimana yang telah kami katakan dalam masalah warisan.

Dan jika anak memiliki kedua orang tua, lalu hadhānah ditetapkan untuk ibu namun ia menolak menjalankannya, maka Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī menyebutkan dua pendapat:

Pertama: Hadhānah berpindah kepada ibu dari pihak ibu (nenek dari pihak ibu), sebagaimana berpindah kepadanya jika sang ibu wafat, gila, fasik, atau kafir.

Kedua: Hadhānah menjadi hak ayah, karena hak ibu atas hadhānah tidak batal; sebab jika ia menuntutnya, maka ia tetap lebih berhak, maka hadhānah tidak berpindah kepada orang yang memiliki hubungan melalui dirinya.

فصل: وإن افترق الزوجان ولهما ولد له سبع سنين أو ثمان سنين وهو مميز وتنازعا كفالته خير بينهما لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله إن زوجي يريد أن يذهب بابني وقد سقاني من بئر أبي عنبة وقد نفعني فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “هذا أبوك وهذه أمك فخذ بيد أيهما شئت”. فأخذ بيد أمه فانطلقت به فإن اختارهما أقرع بينهما لأنه لا يمكن اجتماعهما على كفالته ولا مزية لأحدهما: على الآخر فوجب التقديم بالقرعة

PASAL: Jika suami istri berpisah dan keduanya memiliki anak yang berumur tujuh atau delapan tahun serta telah mumayyiz, lalu keduanya saling bersengketa dalam mengasuhnya, maka anak tersebut diberi hak memilih di antara keduanya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA, bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku ingin membawa anakku, padahal dia telah memberiku minum dari sumur Abī ‘Unbah dan telah memberiku manfaat.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Ini ayahmu dan ini ibumu, maka genggamlah tangan siapa yang engkau kehendaki di antara keduanya.” Maka anak itu menggenggam tangan ibunya dan pergilah bersamanya.

Jika anak tersebut memilih keduanya sekaligus, maka dilakukan undian di antara keduanya, karena tidak mungkin keduanya mengasuh bersama, dan tidak ada kelebihan salah satu atas yang lain, maka wajib didahulukan berdasarkan undian.

وإن لم يختر واحداً منهما أقرع بينهما لأنه لا يمكن تركه وحده ما لم يبلغ لأنه يضيع ولا مزية لأحدهما: على الآخر فوجبت القرعة وإن اختار أحدهما: نظرت فإن كان ابناً فاختار الأم كان عندها بالليل ويأخذه الأب بالنهار ويسلمه في مكتب أو صنعة لأن القصد حظ الولد وحظ الولد فيما ذكرناه وإن اختار الأب كان عنده بالليل والنهار ولا يمنعه من زيارة أمه لأن المنع من ذلك إغراء بالعقوق وقطع الرحم فإن مرض كانت الأم أحق بتمريضه لأنه بالمرض صار كالصغير في الحاجة إلى من يقوم بأمره فكانت الأم أحق به

Jika anak tidak memilih salah satu dari keduanya, maka dilakukan undian di antara keduanya, karena tidak mungkin dibiarkan sendirian sebelum ia baligh, sebab itu akan menyebabkan ia terlantar, dan tidak ada keutamaan salah satu dari keduanya atas yang lain, maka wajib dilakukan undian.

Jika anak memilih salah satunya, maka dilihat: jika ia anak laki-laki dan memilih ibunya, maka ia tinggal bersama ibunya pada malam hari dan ayahnya mengambilnya pada siang hari untuk diserahkan ke tempat belajar atau untuk diajari suatu keahlian, karena tujuan utama adalah demi kemaslahatan anak, dan kemaslahatan anak adalah dalam hal tersebut.

Jika anak memilih ayahnya, maka ia tinggal bersama ayahnya siang dan malam, dan ayah tidak boleh melarang anak untuk mengunjungi ibunya, karena melarang hal itu adalah bentuk ajakan kepada durhaka dan pemutusan silaturahmi.

Jika anak sakit, maka ibu lebih berhak merawatnya, karena dengan sakitnya anak menjadi seperti anak kecil yang butuh orang yang mengurusnya, maka ibu lebih berhak atasnya.

وإن كانت جارية فاختارت أحدهما: كانت عنده بالليل والنهار ولا يمنع الآخر من زيارتها من غير إطالة وتبسط لأن الفرقة بين الزوجين تمنع من تبسط أحدهما: في دار الآخر وإن مرضت كانت الأم أحق بتمريضها في بيتها وإن مرض أحد الأبوين والولد عند الآخر لم يمنع من عيادته وحضوره عند موته لما ذكرناه وإن اختار أحدهما: فسلم إليه ثم اختار الآخر حول إليه وإن عاد فاختار الأول أعيد إليه لأن الاختيار إلى شهوته وقد يشتهي المقام عند أحدهما: في وقت وعند الآخر في وقت فاتبع ما يشتهيه كما يتبع ما يشتهيه من مأكول ومشروب

Jika anak tersebut perempuan lalu ia memilih salah satu dari keduanya, maka ia tinggal bersama yang dipilih siang dan malam, dan pihak yang tidak dipilih tidak dilarang untuk mengunjunginya, namun tanpa berlama-lama dan tanpa bersikap bebas, karena perpisahan antara suami istri mencegah salah satu dari keduanya untuk bersikap bebas di rumah yang lain.

Jika anak perempuan itu sakit, maka ibu lebih berhak untuk merawatnya di rumah ibunya.

Jika salah satu dari kedua orang tua sakit sementara anak berada di pihak yang lain, maka anak tidak dilarang untuk menjenguknya dan hadir saat kematiannya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Jika anak telah memilih salah satu lalu diserahkan kepadanya, kemudian memilih yang lain, maka dipindahkan kepadanya; dan jika kembali memilih yang pertama, maka dikembalikan kepadanya. Karena hak memilih diserahkan kepada keinginannya, dan bisa jadi ia ingin tinggal bersama salah satunya pada waktu tertentu, dan bersama yang lain pada waktu yang lain, maka diikuti apa yang ia inginkan sebagaimana diikuti keinginannya terhadap makanan dan minuman.

وإن لم يكن له أب وله أم وجد خير بينهما لأن الجد كالأب في الحضانة في حق الصغير فكان كالأب في التخيير في الكفالة فإن لم يكن له أب ولا جد فإن قلنا إنه لا حق لغير الآب والجد في الحضانة ترك مع الأم إلى أن يبلغ وإن قلنا بالمنصوص إن الحضانة تثبت للعصبة فإن كانت العصبة محرماً كالعم والأخ وابن الأخ خير بينهم وبين الأم لما روى عامر بن عبد الله قال: خاصم عمي أمي وأراد أن يأخذني فاختصما إلى علي بن أبي طالب كرم الله وجهه فخيرني على ثلاث مرات فاخترت أمي فدفعني إليها فإن كان العصبة ابن عم فإن كان الولد ابناً خير بينه وبين الأم وإن كانت بنتاً كانت عند الأم إلى أن تبلغ ولا تخير بينهما لأن ابن العم ليس بمحرم لها ولا يجوز أن تسلم إليه.

Jika anak tidak memiliki ayah, namun memiliki ibu dan kakek (ayah dari ayah), maka anak diberi hak memilih di antara keduanya, karena kakek seperti ayah dalam hal hadhānah bagi anak kecil, maka ia seperti ayah juga dalam hal diberi pilihan pengasuhan.

Jika anak tidak memiliki ayah maupun kakek, maka jika kita berpendapat bahwa tidak ada hak hadhānah bagi selain ayah dan kakek, maka anak dibiarkan bersama ibu hingga ia baligh. Namun jika kita mengikuti pendapat yang manṣūṣ bahwa hadhānah juga berlaku bagi para ‘aṣabah, maka jika ‘aṣabah tersebut adalah maḥram seperti paman, saudara laki-laki, atau anak dari saudara laki-laki, maka anak diberi hak memilih antara mereka dengan ibunya. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Āmir bin ‘Abdillāh, ia berkata: “Pamanku bersengketa dengan ibuku, dan ia ingin mengambilku, maka keduanya bersengketa di hadapan ‘Alī bin Abī Ṭālib raḍiyallāhu ‘anhu, lalu beliau memberiku pilihan tiga kali, dan aku memilih ibuku, maka beliau menyerahkanku kepadanya.”

Jika ‘aṣabah tersebut adalah anak paman (sepupu laki-laki), dan anak itu adalah laki-laki, maka ia diberi pilihan antara sepupu dan ibunya. Namun jika anak itu perempuan, maka ia tetap bersama ibunya hingga baligh, dan tidak diberi pilihan di antara keduanya, karena sepupu bukan maḥram baginya dan tidak boleh diserahkan kepadanya.

فصل: وإن افترق الزوجان ولهما ولد فأراد أحدهما: أن يسافر بالولد فإن كان السفر مخوفاً أبو البلد الذي يسافر إليه مخوفاً فالمقيم أحق به فإن كان مميزاً لم يخبر بينهما لأن في السفر تغريراً بالولد وإن كان السفر لا تقصر فيها الصلاة كانا كالمقيمين في حضانة الصغير ويخير المميز بينهما لأنهما يستويان في انتفاء أحكام السفر من القصر والفطر والمسح فصارا كالمقيمين في محلتين في بلد واحد

PASAL: Jika suami istri berpisah dan mereka memiliki anak, lalu salah satu dari keduanya ingin bepergian membawa anak tersebut, maka jika safarnya berbahaya atau negeri yang dituju berbahaya, maka pihak yang tinggal (tidak bepergian) lebih berhak atas anak. Jika anak sudah mumayyiz, maka tidak diberi hak memilih di antara keduanya karena safar mengandung risiko terhadap anak.

Namun jika safar tersebut tidak sampai menjadikan salat boleh qaṣar, maka keduanya dihukumi seperti orang yang menetap dalam hal hadhānah terhadap anak kecil, dan anak yang mumayyiz boleh memilih di antara keduanya. Sebab keduanya sama-sama tidak terkena hukum safar seperti qaṣar, fithr, dan masḥ, sehingga kedudukannya seperti dua orang yang tinggal di dua kampung dalam satu negeri.

وإن كان السفر لحاجة لا لنقلة كان المقيم أحق بالولد لأنه لا حظ للولد في حمله ورده وإن كان السفر للنقلة إلى موضع يقصر فيه الصلاة من غير خوف فالأب أحق به سواء كان هو المقيم أو المسافر لأن في الكون مع الأم حضانة وفي الكون مع الأب حفظ النسب والتأديب وفي الحضانة يقوم غير الأم مقامها وفي حفظ النسب لا يقوم غير الأب مقامه فكان الأب أحق وإن كان المسافر هو الأب فقالت الأم يسافر لحاجة فأنا أحق وقال الأب أسافر للنقلة فأنا أحق فالقول قول الأب لأنه أعرف بنيته. وبالله التوفيق.

Jika safar dilakukan karena suatu keperluan dan bukan untuk pindah tempat tinggal, maka pihak yang tinggal (tidak bepergian) lebih berhak atas anak, karena anak tidak memiliki kepentingan untuk dibawa dan dikembalikan.

Namun jika safar dilakukan untuk pindah ke tempat yang membolehkan qaṣar salat tanpa adanya bahaya, maka ayah lebih berhak atas anak, baik ia yang menetap maupun yang bepergian. Sebab tinggal bersama ibu termasuk hadhānah, sedangkan tinggal bersama ayah termasuk penjagaan nasab dan pendidikan. Dalam hal hadhānah, selain ibu bisa menggantikannya, sedangkan dalam penjagaan nasab tidak ada yang bisa menggantikan peran ayah, maka ayah lebih berhak.

Jika yang bepergian adalah ayah, lalu ibu berkata, “Dia bepergian untuk keperluan, maka aku lebih berhak,” dan ayah berkata, “Aku bepergian untuk pindah tempat tinggal, maka aku lebih berhak,” maka yang dipegang adalah pernyataan ayah, karena ia lebih mengetahui niatnya sendiri.

Wa-Allāhu a‘lam.

باب تحريم القتل ومن يجب عليه القصاص ومن لا يجب عليه
القتل بغير حق حرام وهو من الكبائر العظام والدليل عليه قوله عز وجل: {وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ الله عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً} وروى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لقتل مؤمن أعظم عند الله من زوال الدنيا”.

KITAB JINAYAT
BAB LARANGAN MEMBUNUH, ORANG YANG WAJIB DIQISHASH, DAN ORANG YANG TIDAK WAJIB

Membunuh tanpa hak adalah haram, dan termasuk dosa besar yang sangat besar. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutuknya, dan menyediakan azab yang besar baginya.”

Dan diriwayatkan dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Membunuh seorang mukmin lebih besar di sisi Allah daripada lenyapnya dunia.”

وروى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لو أن أهل السماوات والأرض اشتركوا في قتل مؤمن لعذبهم الله عز وجل إلا أن لا يشاء ذلك” .

Dan diriwayatkan dari Ibn ʿAbbās RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Seandainya seluruh penghuni langit dan bumi bersekutu dalam membunuh seorang mukmin, niscaya Allah Azza wa Jalla akan mengazab mereka, kecuali jika Dia tidak menghendaki hal itu.”

فصل: ويجب القصاص بجناية العبد وهو أن يقصد الإصابة بما يقتل غالباً فيقتله والدليل عليه قوله تعالى: {وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} وقوله تعالى: {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ} الآية وقوله تعالى: {وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ} وروى عثمان رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث الزاني المحصن والمرتد عن دينه وقاتل النفس” .

PASAL:

Wajib dilakukan qishāsh atas tindak kejahatan seorang budak, yaitu ketika ia sengaja melukai dengan sesuatu yang pada umumnya mematikan, lalu menyebabkan kematian. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala:

“Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya: jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishāsh-nya.”

Serta firman-Nya:

“Diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dibalas dengan orang merdeka, budak dengan budak…”

Dan firman-Nya:

“Dan dalam qishāsh itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal.”

Diriwayatkan dari ʿUtsmān RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: pezina yang sudah menikah, orang yang murtad dari agamanya, dan pembunuh jiwa.”

ولأنه لولم يجب القصاص أدى ذلك إلى سفك الدماء وهلاك الناس ولا يجب بجناية الخطأ وهو أن يقصد غيره فيصيبه فيقتله لقوله عليه السلام: “رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه”. ولأن القصاص عقوبة مغلظة فلا يستحق مع الخطأ ولا يجب في عمد الخطأ وهو أن يقصد الإصابة بما لا يقتل غالباً فيموت منه لأنه لم يقصد القتل فلا يجب عليه عقوبة القتل كما لا يجب حد الزنا في الوطء الشبهة حيث لم يقصد الزنا.

Dan karena jika qishāsh tidak diwajibkan, hal itu akan mengakibatkan pertumpahan darah dan kebinasaan manusia.

Qishāsh tidak wajib atas tindak pidana karena kesalahan (khaṭa’), yaitu ketika seseorang bermaksud menyerang orang lain, tetapi yang terkena justru selainnya, lalu terbunuh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Diangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang dipaksakan atas mereka.”

Juga karena qishāsh adalah hukuman yang berat, maka tidak diterapkan dalam kasus kesalahan.

Tidak wajib pula dalam kesalahan yang menyerupai kesengajaan (‘amd al-khaṭa’), yaitu ketika seseorang sengaja melukai dengan sesuatu yang umumnya tidak mematikan, lalu orang itu mati karenanya. Hal ini karena ia tidak berniat membunuh, maka tidak wajib atasnya hukuman pembunuhan, sebagaimana tidak wajib had zina dalam hubungan seksual yang syubhat karena tidak ada niat berzina.

فصل: ولا يجب القصاص على صبي ولا مجنون لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”. ولأنه عقوبة مغلظة فلم يجب على الصبي والمجنون كالحدود والقتل بالكفر وفي السكران طريقان من أصحابنا من قال يجب عليه القصاص قولاً واحداً ومنهم من قال فيه قولان وقد بيناه في كتاب الطلاق.

PASAL:

Tidak wajib qishāsh atas anak kecil maupun orang gila, berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Diangkat pena (taklif) dari tiga golongan: dari anak kecil hingga baligh, dari orang yang tidur hingga bangun, dan dari orang gila hingga sadar.”

Dan karena qishāsh adalah hukuman yang berat, maka tidak diwajibkan atas anak kecil dan orang gila, sebagaimana halnya ḥudūd dan hukuman mati karena kekufuran.

Adapun orang yang mabuk, terdapat dua ṭarīq dalam kalangan ulama kami:
Sebagian mengatakan wajib atasnya qishāsh secara qawl wāḥid,
dan sebagian lainnya mengatakan ada dua qawl dalam masalah ini, dan telah kami jelaskan hal ini dalam Kitāb al-Ṭalāq.

فصل: ويقتل المسلم بالمسلم والذمي بالذمي والحر بالحر والعبد بالعبد والذكر بالذكر والأنثى بالأنثى لقوله تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى} ويقتل الذمي بالمسلم والعبد بالحر والأنثى بالذكر لأنه إذا قتل كل واحد منهم بمن هو مثله فلأن يقتل بمن هو أفضل منه أولى ويقتل الذكر بالأنثى لما روى أبو بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن بكتاب فيه الفرائض والسنن أن الرجل يقتل بالمرأة ولأن المرأة كالرجل في حد القذف فكانت كالرجل في القصاص.

PASAL:

Seorang muslim dibunuh karena membunuh muslim, seorang żimmī karena żimmī, orang merdeka karena orang merdeka, budak karena budak, laki-laki karena laki-laki, dan perempuan karena perempuan. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dibalas dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan perempuan dengan perempuan.”

Dan dibunuh żimmī karena membunuh muslim, budak karena membunuh orang merdeka, dan perempuan karena membunuh laki-laki, karena jika masing-masing dari mereka dibunuh karena yang sejenis dengannya, maka dibunuh karena yang lebih utama darinya lebih utama lagi.

Dan laki-laki dibunuh karena membunuh perempuan, berdasarkan riwayat Abū Bakr bin Muḥammad bin ʿAmr bin Ḥazm dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman yang berisi tentang kewajiban dan sunnah, di antaranya bahwa:
“Seorang laki-laki dibunuh karena membunuh perempuan.”

Dan karena perempuan disamakan dengan laki-laki dalam had qadzaf, maka ia pun disamakan dengannya dalam qishāsh.

فصل: ولا يجب القصاص على المسلم بقتل الكافر ولا على الحر بقتل العبد لما روي عن علي كرم الله وجهه أنه قال من السنة أن لا يقتل مسلم بكافر ومن السنة أن لا يقتل حر بعبد فإن جرح ذمي ذمياً ثم أسلم الجاني أو جرح عبد عبداً ثم أعتق الجاني اقتص منه لأنهما متكافئان منه حال الوجوب والاعتبار بحال الوجوب لأن القصاص كالحد والحد يعتبر بحال الوجوب بدليل أنه إذا زنى وهو بكر ثم أحصن أقيم عليه حد البكر ولو زنى وهو عبد ثم أعتق عليه حد العبد فوجب أن يعتبر القصاص أيضاً بحال الوجوب

PASAL: Tidak wajib qiṣāṣ atas seorang muslim karena membunuh seorang kafir dan tidak atas orang merdeka karena membunuh seorang budak, berdasarkan riwayat dari ‘Alī raḍiya Allāhu ‘anhu bahwa ia berkata: “Termasuk sunnah bahwa tidak dibunuh seorang muslim karena (membunuh) seorang kafir dan termasuk sunnah bahwa tidak dibunuh orang merdeka karena (membunuh) seorang budak.” Maka apabila seorang żimmī melukai żimmī lain kemudian pelaku masuk Islam, atau seorang budak melukai budak lain kemudian pelaku dimerdekakan, maka dilakukan qiṣāṣ terhadapnya, karena keduanya setara pada saat kewajiban qiṣāṣ. Dan yang dijadikan tolok ukur adalah keadaan pada saat kewajiban itu timbul, karena qiṣāṣ seperti ḥadd, dan ḥadd ditetapkan berdasarkan keadaan saat timbulnya kewajiban, dengan dalil bahwa jika seseorang berzina dalam keadaan belum menikah (bikr), kemudian ia menikah (muḥṣan), maka ditegakkan atasnya ḥadd untuk bikr; dan jika ia berzina dalam keadaan budak kemudian dimerdekakan, maka ditegakkan atasnya ḥadd budak. Maka wajib juga bahwa qiṣāṣ ditetapkan berdasarkan keadaan saat timbulnya kewajiban.

وإن قطع مسلم يد ذمي ثم أسلم ثم مات أو قطع حر يد عبد ثم أعتق ثم مات لم يجب القصاص لأن التكافؤ معدوم عند وجود الجناية فإن جرح مسلم مسلماً ثم ارتد المجروح ثم أسلم ثم مات فإن أقام في الردة زمانا يسري الجرح في مثله لم يجب القصاص لأن الجناية في الإسلام توجب القصاص والسراية في الردة تسقط القصاص فغلب الإسقاط كما لو جرح جرحاً عمداً وجرحاً خطأ فإن لم يقم قي الردة زماناً يسري في الجرح ففيه قولان: أحدهما: لا يجب فيه القصاص لأنه أتى عليه زمان لو مات فيه لم يجب القصاص فسقط

Dan jika seorang muslim memotong tangan seorang żimmī, kemudian ia masuk Islam, lalu orang yang dipotong itu meninggal; atau seorang merdeka memotong tangan seorang budak, lalu ia dimerdekakan, kemudian orang yang dipotong itu meninggal, maka tidak wajib qiṣāṣ, karena tidak ada kesetaraan pada saat terjadinya tindak pidana.

Jika seorang muslim melukai muslim lainnya, kemudian korban murtad, lalu kembali masuk Islam, kemudian meninggal dunia—apabila ia tinggal dalam keadaan murtad dalam waktu yang cukup lama untuk memungkinkan luka tersebut menyebar dan menyebabkan kematian, maka tidak wajib qiṣāṣ, karena tindak pidana dalam keadaan Islam mewajibkan qiṣāṣ, sedangkan penyebaran luka dalam keadaan murtad menggugurkan qiṣāṣ, maka pengguguran lebih diutamakan, sebagaimana jika seseorang melukai secara sengaja dan juga secara tidak sengaja, maka yang tidak sengaja menggugurkan qiṣāṣ.

Namun, jika ia tidak tinggal dalam keadaan murtad dalam waktu yang cukup lama untuk memungkinkan penyebaran luka, maka terdapat dua pendapat: salah satunya, tidak wajib qiṣāṣ, karena telah berlalu suatu masa yang jika ia meninggal dalam masa itu maka tidak wajib qiṣāṣ, maka qiṣāṣ pun gugur.

والثاني: يجب القصاص وهو الصحيح لأن الجناية والموت وجدا في حال الإسلام وزمان الردة لم يسر فيه الجرح فكان وجوده كعدمه وإن قطع يده ثم ارتد ثم مات ففيه قولان: أحدهما: يسقط القصاص في الطرف لأنه تابع للنفس فإذا لم يجب القصاص في النفس لم يجب في الطرف والثاني: وهو الصحيح أنه يجب لأن القصاص في الطرف يجب مستقراً فلا يسقط بسقوطه في النفس والدليل عليه أنه لو قطع طرف إنسان ثم قتله من لا قصاص عليه لم يسقط القصاص في الطرف وإن سقط في النفس.

Dan pendapat kedua: qiṣāṣ tetap wajib, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena tindak pidana dan kematian terjadi dalam keadaan Islam, dan masa murtad tidak terjadi padanya penyebaran luka, maka keberadaannya dianggap seperti tidak ada.

Dan jika ia memotong tangannya (korban), kemudian korban murtad lalu meninggal, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: qiṣāṣ pada anggota tubuh gugur karena ia mengikuti jiwa; maka jika qiṣāṣ pada jiwa tidak wajib, maka tidak wajib pula pada anggota tubuh.

Pendapat kedua—dan ini yang ṣaḥīḥ: qiṣāṣ tetap wajib, karena qiṣāṣ pada anggota tubuh telah menjadi kewajiban yang tetap, maka tidak gugur dengan gugurnya qiṣāṣ pada jiwa. Dalilnya adalah bahwa jika seseorang memotong anggota tubuh seseorang lalu orang lain yang tidak wajib qiṣāṣ membunuhnya, maka qiṣāṣ pada anggota tubuh tidak gugur meskipun gugur pada jiwa.

فصل: وإن قتل مرتد ذمياً ففيه قولان: أحدهما: أنه يجب القصاص وهو اختيار المزني لأنهما كافران فجرى القصاص بينهما كالذميين والثاني: لا يجب لأن حرمة الإسلام باقية في المرتد بدليل أنه يجب عليه قضاء العبادات ويحرم استرقاقه وإن كانت امرأة لم يجز للذمي نكاحها فلا يجوز قتله بالذمي وإن جرح مسلم ذمياً ثم ارتد الجاني ثم مات المجني عليه لم يجب القصاص قولاً واحداً لأنه عدم التكافؤ في حال الجناية فلم يجب القصاص

PASAL: Jika seorang murtad membunuh seorang dzimmī, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa qiṣāṣ wajib, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, karena keduanya sama-sama kafir, sehingga berlaku qiṣāṣ di antara keduanya sebagaimana antara dua orang dzimmī. Pendapat kedua menyatakan bahwa qiṣāṣ tidak wajib, karena kehormatan Islam masih tetap pada orang murtad, dengan dalil bahwa ia tetap wajib mengqadha ibadah-ibadah dan haram diperbudak. Dan jika ia perempuan, maka tidak boleh dinikahi oleh seorang dzimmī, maka tidak boleh pula dibunuh karena dzimmī.

Jika seorang Muslim melukai seorang dzimmī, lalu pelaku menjadi murtad, kemudian korban meninggal dunia, maka tidak wajib qiṣāṣ menurut satu pendapat, karena tidak adanya kesetaraan pada saat terjadinya tindak pidana, maka qiṣāṣ tidak wajib.

وإن وجد التكافؤ بعد ذلك كما لو جرح حر عبداً ثم أعتق العبد وإن قتل ذمي مرتداً فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال يجب عليه القصاص إن كان القتل عمداً والدية إن كان خطأ لأن الذمي لا يقتل المرتد تديناً وإنما يقتله عناداً فأشبه إذا قتل مسلماً وقال أبو إسحاق: لا يلزمه قصاص ولا دية وهو الصحيح لأنه مباح الدم فلم يضمن بالقتل كما لو قتله مسلم وقال أبو سعيد الاصطخري إن قتله عمداً وجب القصاص لأنه قتله عناداً وإن قتله خطأ لم تلزمه الدية لأنه لا حرمة له.

Dan jika kesetaraan (dalam status hukum) baru terwujud setelahnya—seperti seseorang yang merdeka melukai seorang budak, lalu budak itu dimerdekakan—maka tidak wajib qiṣāṣ.

Jika seorang dzimmī membunuh orang murtad, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentangnya. Sebagian dari mereka berkata: wajib atasnya qiṣāṣ jika pembunuhan itu disengaja, dan wajib diyat jika pembunuhan itu tidak disengaja. Sebab, dzimmī tidak membunuh orang murtad karena alasan agama, tetapi karena permusuhan, maka ia seperti membunuh seorang Muslim.

Sedangkan Abū Isḥāq berkata: tidak wajib atasnya qiṣāṣ dan tidak pula diyat, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena darahnya halal (mubah), sehingga tidak ada kewajiban ganti rugi atas pembunuhannya, sebagaimana jika ia dibunuh oleh seorang Muslim.

Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī berkata: jika ia membunuhnya dengan sengaja, maka wajib qiṣāṣ, karena ia membunuhnya karena permusuhan; namun jika ia membunuhnya tanpa sengaja, maka tidak wajib diyat, karena ia tidak memiliki kehormatan (perlindungan jiwa).

فصل: وإن حبس السلطان مرتداً فأسلم وخلاه فقتله مسلم لم يعلم بإسلامه ففيه قولان: أحدهما: لا قصاص عليه لأنه لم يقصد قتل من يكافئه والثاني: يجب عليه القصاص لأن المرتد لا يخلى إلا بعد الإسلام فالظاهر أنه مسلم فوجب القصاص بقتله وإن قتل المسلم الزاني المحصن ففيه وجهان: أحدهما: يجب عليه القصاص لأن قتله لغيره فوجب عليه القصاص بقتله كما لو قتل رجل رجلاً فقتله غير ولي الدم والثاني: لا يجب وهو المنصوص لأنه مباح الدم فلا يجب القصاص بقتله كالمرتد.

PASAL: Jika penguasa memenjarakan seorang murtad, lalu orang itu masuk Islam dan dibebaskan, kemudian dibunuh oleh seorang Muslim yang tidak mengetahui keislamannya, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: tidak wajib qiṣāṣ atasnya, karena ia tidak bermaksud membunuh seseorang yang setara dengannya. Pendapat kedua: wajib qiṣāṣ atasnya, karena orang murtad tidak akan dibebaskan kecuali setelah masuk Islam, maka yang tampak adalah bahwa ia seorang Muslim, sehingga wajib qiṣāṣ atas pembunuhannya.

Dan jika seorang Muslim membunuh pezina muḥṣan, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: wajib qiṣāṣ atasnya, karena ia membunuh orang lain, maka wajib qiṣāṣ sebagaimana jika seseorang membunuh orang lain lalu dibunuh oleh selain wali darah. Pendapat kedua: tidak wajib qiṣāṣ, dan ini adalah pendapat yang manṣūṣ, karena darahnya halal (mubah), maka tidak wajib qiṣāṣ atas pembunuhannya, sebagaimana halnya orang murtad.

فصل: ولا يجب القصاص على الأب بقتل ولده ولا على الأم بقتل ولدها لما روى عمر بن الخطاب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يقاد الأب من ابنه” . فإذا ثبت هذا في الأب ثبت في الأم لأنها كالأب في الولادة ولا يجب على الجد وإن علا ولا على الجدة وإن علت بقتل ولد الولد وإن سفل لمشاركتهم الأب والأم في الولادة وأحكامها وإن ادعى رجلان نسب لقيط ثم قتلاه قبل أن يلحق نسبه بأحدهما: لم يجب القصاص لأن كل واحد منهما يجوز أن يكون هو الأب وإن رجعا في الدعوى لم يقبل رجوعهما

PASAL: Tidak wajib qiṣāṣ atas ayah karena membunuh anaknya, dan tidak pula atas ibu karena membunuh anaknya, berdasarkan riwayat dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak dilakukan qiṣāṣ atas ayah karena anaknya.”

Jika hukum ini berlaku atas ayah, maka berlaku pula atas ibu karena keduanya sama dalam hubungan kelahiran. Tidak wajib pula atas kakek, meskipun ke atas, dan nenek, meskipun ke atas, karena membunuh cucunya, meskipun ke bawah, karena keduanya ikut serta dengan ayah dan ibu dalam hubungan kelahiran dan hukum-hukumnya.

Jika dua orang laki-laki mengklaim nasab terhadap seorang laqīṭ, lalu mereka berdua membunuhnya sebelum nasabnya ditetapkan kepada salah satu dari keduanya, maka tidak wajib qiṣāṣ atas mereka, karena masing-masing dari mereka mungkin adalah ayahnya. Jika kemudian mereka mencabut pengakuan tersebut, maka pencabutan itu tidak diterima.

لأن النسب حق وجب عليهما فلا يقبل رجوعهما فيه بعد الإقرار وإن رجع أحدهما: وجب عليه القصاص لأنه ثبتت الأبوة للآخر ولقطع نسبه من الراجع وإن اشترك رجلان في وطء امرأة وأتت بولد يمكن أن يكون من كل واحد منهما وقتلاه قبل أن يلحق بأحدهما: لم يجب القصاص وإن أنكر أحدهما: النسب لم يقبل إنكاره ولم يجب عليه القصاص لأن بإنكاره لا ينقطع النسب عنه ولا يلحق بالآخر بخلاف المسألة قبلها فإن هناك لحق النسب الآخر وانقطع عن الراجع وإن قتل زوجته وله منها ابن لم يجب عليه القصاص

Karena nasab adalah hak yang telah tetap atas keduanya, maka tidak diterima pencabutan pengakuan setelah adanya pengakuan. Jika salah satu dari keduanya mencabut pengakuannya, maka wajib atasnya qiṣāṣ, karena ayah telah tetap pada pihak yang tidak mencabut, dan nasab terputus dari yang mencabut.

Jika dua orang laki-laki bergiliran menyetubuhi seorang wanita, lalu wanita itu melahirkan anak yang secara waktu memungkinkan berasal dari salah satu dari keduanya, lalu keduanya membunuh anak itu sebelum nasabnya ditetapkan kepada salah satu dari mereka, maka tidak wajib qiṣāṣ atas keduanya.

Jika salah satu dari mereka mengingkari nasab tersebut, maka pengingkarannya tidak diterima dan tidak wajib atasnya qiṣāṣ, karena dengan pengingkaran itu, nasab tidak terputus darinya dan tidak pula beralih kepada yang lain, berbeda dengan kasus sebelumnya, karena di sana nasabnya berpindah kepada pihak lain dan terputus dari yang mencabut.

Jika seseorang membunuh istrinya dan dari wanita itu ia memiliki seorang anak, maka tidak wajib atasnya qiṣāṣ.

لأنه إذا لم يجب له عليه بجنايته عليه فلا يجب له عليه بجنايته على أمه وإن كان لهما ابنان أحدهما: منه والآخر من غيره لم يجب عليه القصاص لأن القصاص لا تبعض فإذا سقط نصيب ابنه سقط نصيب الآخر كما لو وجب لرجلين على رجل قصاص فعفا أحدهما: عن حقه وإن اشترى المكاتب أباه وعنده عبد فقتل أبوه العبد لم يجز للمكاتب أن يقتص منه لأنه إذا لم يجب له القصاص عليه بجنايته عليه لم يجب بجنايته على عبده.

Karena jika tidak wajib baginya qiṣāṣ atas ayahnya karena ayah itu telah menjahatinya, maka tidak pula wajib baginya qiṣāṣ atas ayahnya karena menjahati ibunya.

Jika keduanya memiliki dua anak—salah satunya dari suami tersebut dan yang lainnya bukan—maka tidak wajib qiṣāṣ atas suami itu, karena qiṣāṣ tidak dapat dibagi-bagi. Maka jika gugur hak qiṣāṣ bagi anak kandungnya, maka gugur pula hak anak yang bukan anak kandung, sebagaimana jika qiṣāṣ wajib atas seorang pelaku untuk dua orang, lalu salah satu dari keduanya memaafkan haknya.

Jika seorang mukātib membeli ayahnya, lalu ia memiliki seorang budak, kemudian ayahnya membunuh budak tersebut, maka mukātib tidak boleh melakukan qiṣāṣ terhadap ayahnya. Karena jika qiṣāṣ tidak wajib baginya atas ayahnya karena kejahatan terhadap dirinya, maka tidak pula wajib baginya atas ayahnya karena kejahatan terhadap budaknya.

فصل: ويقتل الابن بالأب لأنه إذا قتل بمن يساويه فلأن يقتل بمن هو أفضل منه أولى وإن جنى المكاتب على أبيه وهو في ملكه ففيه وجهان: أحدهما: لا يقتص منه لأن المولى لا يقتص منه لعبده والثاني: يقتص منه وإليه أومأ الشافعي رحمه الله في بعض كتبه لأن المكاتب ثبت له حق الحرية بالكتابة وأبوه ثبت له حق الحرية بالابن ولهذا لا يملك بيعه فصار كالابن الحر إذا جنى على أبيه الحر.

PASAL: Dan anak dibunuh karena membunuh ayahnya, karena jika ia dibunuh karena membunuh orang yang setara dengannya, maka terlebih lagi ia dibunuh karena membunuh orang yang lebih utama darinya. Dan jika seorang mukātab melakukan kejahatan terhadap ayahnya yang masih dalam kepemilikan tuannya, maka terdapat dua wajah pendapat: pertama, tidak dilakukan qiṣāṣ terhadapnya karena tuan tidak boleh melakukan qiṣāṣ terhadap budaknya; dan kedua, dilakukan qiṣāṣ terhadapnya—dan ke arah inilah Imam al-Syafi‘i RA memberi isyarat dalam sebagian kitabnya—karena mukātab memiliki hak kemerdekaan dengan sebab kitābah, dan sang ayah memiliki hak kemerdekaan dengan sebab anaknya. Oleh karena itu, ia tidak boleh dijual, sehingga statusnya seperti anak yang merdeka apabila melakukan kejahatan terhadap ayahnya yang juga merdeka.

فصل: وإن قتل مسلم ذمياً أو قتل حر عبداً أو قتل الأب ابنه في المحاربة ففيه قولان: أحدهما: لا يجب عليه القصاص لما ذكرناه من الأخبار ولأن من لا يقتل بغيره إذا قتله في غير المحاربة لم يقتل به إذا قتله في المحاربة كالمخطئ والثاني: أنه يجب لأن القتل في المحاربة تأكد لحق الله تعالى حتى لا يجوز فيه عفو الولي فلم يعتبر فيه التكافؤ كحد الزنا.

PASAL: Jika seorang muslim membunuh seorang dzimmī, atau seorang merdeka membunuh seorang budak, atau seorang ayah membunuh anaknya dalam keadaan memerangi (negara Islam), maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak wajib atasnya qiṣāṣ, sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat-riwayat, dan karena orang yang tidak dibunuh karena membunuh selainnya di luar konteks peperangan, maka ia juga tidak dibunuh dalam konteks peperangan, sebagaimana orang yang membunuh karena keliru (khaṭa’); dan pendapat kedua, bahwa qiṣāṣ wajib atasnya karena pembunuhan dalam konteks peperangan itu lebih ditekankan sebagai hak Allah SWT, hingga tidak boleh dimaafkan oleh wali, maka tidak disyaratkan takāfu’ (kesetaraan) di dalamnya, sebagaimana dalam hudud zina.

فصل: وتقتل الجماعة بالواحد إذا اشتركوا في قتله وهو أن يجني كل واحد منهم جناية لو انفرد بها ومات أضيف القتل إليه ووجب القصاص عليه والدليل عليه ما روى سعيد بن المسيب أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قتل سبعة أنفس من أهل صنعاء قتلوا رجلاً وقال: لو تمالأ فيه أهل صنعاء لقتلتهم ولأنا لولم نوجب القصاص عليهم جعل الاشتراك طريقاً إلى إسقاط القصاص وسفك الدماء فإن اشترك جماعة في القتل وجناية بعضهم عمداً وجناية البعض خطأ لم يجب القصاص على واحد منهم لأنه لم يتمحض قتل العمد فلم يجب القصاص

PASAL: Sekelompok orang dibunuh karena membunuh satu orang apabila mereka bersama-sama membunuhnya, yaitu masing-masing dari mereka melakukan suatu tindak kejahatan yang jika dilakukan sendirian lalu menyebabkan kematian, maka kematian itu disandarkan kepadanya dan wajib atasnya qiṣāṣ. Dalilnya adalah riwayat dari Sa‘īd bin al-Musayyab bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA membunuh tujuh orang dari penduduk Ṣan‘ā’ yang membunuh seorang lelaki, dan ia berkata: “Seandainya seluruh penduduk Ṣan‘ā’ bersekongkol dalam pembunuhan itu, niscaya aku akan membunuh mereka semua.” Dan karena jika kita tidak mewajibkan qiṣāṣ atas mereka, berarti kita menjadikan persekongkolan sebagai jalan untuk menggugurkan qiṣāṣ dan menumpahkan darah. Namun jika sekelompok orang turut serta dalam pembunuhan dan sebagian dari mereka melakukan pembunuhan secara sengaja (‘amdan), sementara sebagian lainnya secara keliru (khaṭa’), maka tidak wajib qiṣāṣ atas seorang pun dari mereka karena pembunuhan itu tidak murni sebagai pembunuhan sengaja, maka qiṣāṣ tidak wajib.

وإن اشترك الأب والأجنبي في قتل الابن وجب القصاص على الأجنبي لأن مشاركة الأب لم تغير صفة العمد في القتل فلم يسقط القود عن شريكه كمشاركة غير الأب وإن اشترك صبي وبالغ في القتل فإن قلنا عمد الصبي خطأ لم يجب القصاص على البالغ لأن شريكه مخطئ وإن قلنا إن عمده عمد وجب لأن شريكه عامد فهو كشريك الأب وإن جرح رجل نفسه وجرحه آخر أو جرحه سبع وجرحه آخر ومات ففيه قولان: أحدهما: يجب القصاص على الجارح لأنه شاركه في القتل عامداً فوجب عليه القصاص كشريك الأب

Dan jika seorang ayah dan orang lain (asing) bersama-sama membunuh anak, maka qiṣāṣ wajib atas orang asing, karena keterlibatan ayah tidak mengubah sifat sengaja dalam pembunuhan tersebut, maka tidak gugur qiṣāṣ dari pasangannya, sebagaimana jika yang terlibat adalah selain ayah.

Dan jika seorang anak kecil (ṣabī) dan orang dewasa turut serta dalam pembunuhan, maka jika kita katakan bahwa pembunuhan yang dilakukan anak kecil adalah keliru (khaṭa’), maka tidak wajib qiṣāṣ atas orang dewasa, karena pasangannya adalah orang yang keliru. Namun jika kita katakan bahwa pembunuhan anak kecil itu dihukumi sebagai pembunuhan sengaja, maka wajib qiṣāṣ, karena pasangannya juga sengaja, sehingga seperti pasangan seorang ayah.

Dan jika seseorang melukai dirinya sendiri lalu orang lain juga melukainya, atau ia dilukai oleh binatang buas lalu dilukai oleh orang lain, lalu ia mati, maka terdapat dua pendapat: pertama, wajib qiṣāṣ atas orang yang melukai, karena ia turut serta dalam pembunuhan secara sengaja, maka wajib atasnya qiṣāṣ, sebagaimana pasangan ayah.

والثاني: لا يجب لأنه إذا لم يجب على شريك المخطئ وجنايته مضمونة فلأن لا يجب على شريك الجارح نفسه والسبع وجنايتهما غير مضمونة أولى وإن جرحه رجل جراحة وجرحه آخر مائة جراحة وجب القصاص عليهما لأن الجرح له سراية في البدن وقد يموت من جرح واحد ولا يموت من جراحات فلم تمكن إضافة القتل إلى واحد بعينه ولا يمكن إسقاط القصاص فوجب على الجميع وإن قطع أحدهما: يده وجز الآخر رقبته أو قطع حلقومه ومريئه أو شق بطنه فأخرج حشوته فالأول قاطع يجب عليه ما يجب على القاطع والثاني: قاتل لأن الثاني قطع سراية القطع فصار كما لو اندمل الجرح ثم قتله الآخر وإن قطع أحدهما: حلقومه ومريئه أو شق بطنه وأخرج حشوته ثم حز الآخر رقبته فالقاتل هو الأول

Dan pendapat kedua: tidak wajib qiṣāṣ, karena jika tidak wajib atas pasangan orang yang keliru (padahal jaminan atas kejahatannya tetap ada), maka lebih utama lagi untuk tidak mewajibkan atas pasangan orang yang melukai dirinya sendiri atau dilukai binatang buas, sedangkan kejahatan keduanya tidak dijamin.

Dan jika seseorang melukainya dengan satu luka, lalu orang lain melukainya dengan seratus luka, maka qiṣāṣ wajib atas keduanya, karena luka memiliki sifat menyebar (sarāyah) dalam tubuh, dan bisa jadi seseorang mati karena satu luka saja dan tidak mati karena luka-luka lainnya. Maka, tidak mungkin membatasi penyandaran kematian pada salah satu pihak tertentu, dan tidak mungkin menggugurkan qiṣāṣ, maka wajib atas seluruhnya.

Dan jika salah satu dari keduanya memotong tangannya, lalu yang lain memenggal lehernya, atau memotong kerongkongan (ḥalqūm) dan kerongkongan makanan (marī’), atau membelah perutnya dan mengeluarkan isi perutnya, maka yang pertama adalah pelukai, dan wajib atasnya hukum pelukai, sedangkan yang kedua adalah pembunuh, karena dia memutus kelanjutan sarāyah dari luka pertama, sehingga sama seperti jika luka pertama telah sembuh, lalu dibunuh oleh yang kedua.

Dan jika salah satu dari keduanya memotong ḥalqūm dan marī’-nya, atau membelah perutnya dan mengeluarkan isinya, kemudian yang lain memenggal lehernya, maka pembunuh adalah yang pertama.

لأنه لا تبقى بعد جنايته حياة مستقرة وإنما يتحرك حركة مذبوح ولهذا يسقط حكم كلامه في الإقرار والوصية والإسلام والتوبة وإن أجافه جائفة يتحقق الموت منها إلا أن الحياة فيه مستقرة ثم قتله الآخر كان القاتل هو الثاني لأن حكم الحياة باق ولهذا أوصى عمر رضي الله عنه بعد ما سقى اللبن وخرج من الجرح ووقع الأياس منه فعمل بوصيته فجرى مجرى المريض الميؤوس منه إذا قتل وإن جرحه رجل فداوى جرحه بسم غير موح إلا أنه يقتل في الغالب أو خاط جرحه في لحم حي أو خاف التآكل فقطعه فمات ففي وجوب القتل على الجاني طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما: يجب عليه القتل

Karena setelah kejahatannya (yaitu memotong ḥalqūm dan marī’) tidak tersisa kehidupan yang stabil, melainkan hanya gerakan seperti orang yang disembelih. Oleh sebab itu, tidak berlaku lagi hukum ucapan seperti dalam ikrar, wasiat, masuk Islam, dan taubat.

Dan jika ia menikamnya dengan luka tembus (jāʾifah) yang dipastikan membawa kematian, namun kehidupan masih stabil padanya, lalu dibunuh oleh orang lain, maka pembunuh adalah yang kedua, karena hukum kehidupan masih tetap. Oleh karena itu, ‘Umar RA berwasiat setelah ia meminum susu dan keluar dari lukanya, serta setelah muncul tanda-tanda putus harapan dari hidupnya, maka dilaksanakan wasiatnya. Maka kasusnya seperti orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, lalu dibunuh—qiṣāṣ berlaku pada si pembunuh.

Dan jika seseorang melukainya, lalu ia mengobatinya dengan racun yang tidak mematikan namun lazimnya menyebabkan kematian, atau ia menjahit lukanya pada daging yang masih hidup, atau ia khawatir luka itu akan membusuk lalu ia potong dan mati karenanya, maka dalam kewajiban qiṣāṣ atas pelaku luka terdapat dua ṭarīq (jalan pendalilan): sebagian sahabat kami berkata ada dua pendapat (qawlān): pertama, wajib atasnya hukuman mati.

والثاني: لا يجب لأنه شاركه في القتل من لا ضمان عليه فكان في قتله قولان كالجارح إذا شاركه المجروح أو السبع في الجرح ومنهم من قال: لا يجب عليه القتل قولاً واحداً لأن المجروح هاهنا لم يقصد الجناية وإنما قصد المداواة فكان فعله عمد خطأ فلم يجب القتل على شريكه والمجروح هناك والسبع قصدا الجناية فوجب القتل على شريكهما وإن كان على رأس مولى عليه سلعة فقطعها وليه أو جرحه رجل فداواه الولي بسم غير موح أو خاط جرحه في لحم حي ومات ففيه قولان: أحدهما: يجب على الولي القصاص لأنه جرح جرحاً مخوفاً فوجب عليه القصاص كما لو فعله غير الولي

Dan pendapat kedua: tidak wajib qiṣāṣ, karena yang turut serta dalam pembunuhan adalah pihak yang tidak ada tanggungan atasnya, maka dalam pembunuhannya terdapat dua pendapat, sebagaimana kasus orang yang melukai jika dilukai pula oleh korban atau oleh binatang buas.

Dan sebagian sahabat kami berkata: tidak wajib atasnya hukuman mati menurut satu pendapat saja, karena orang yang terluka dalam kasus ini tidak bermaksud melakukan kejahatan, melainkan bermaksud melakukan pengobatan. Maka perbuatannya dianggap sengaja yang keliru (‘amdu khaṭa’), sehingga tidak wajib hukuman mati atas pasangannya. Sedangkan dalam kasus sebelumnya—baik korban maupun binatang buas—keduanya memang bertujuan melakukan kejahatan, maka wajib hukuman mati atas pasangannya.

Dan jika pada tubuh seorang anak di bawah perwalian terdapat bisul, lalu walinya memotongnya, atau ada seseorang melukainya kemudian walinya mengobatinya dengan racun yang tidak mematikan atau menjahit lukanya pada daging yang hidup, lalu anak itu mati, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, wajib atas wali qiṣāṣ, karena ia telah melakukan luka yang membahayakan, maka wajib qiṣāṣ sebagaimana jika perbuatan itu dilakukan oleh selain wali.

والثاني: لا قصاص عليه لأنه لم يقصد الجناية وإنما قصد المداواة وله نظر في مداواته فلم يجب عليه القصاص فإن قلنا يجب عليه القصاص وجب على الجارح لأنهما شريكان في القتل وإن قلنا لا قصاص عليه لم يجب على الجارح لأنه شارك من فعله عمد خطأ.

Dan pendapat kedua: tidak wajib qiṣāṣ atasnya karena ia tidak bermaksud melakukan kejahatan, melainkan bermaksud melakukan pengobatan, dan ia memiliki kewenangan dalam pengobatan tersebut, maka tidak wajib atasnya qiṣāṣ.

Maka jika kita berpendapat bahwa qiṣāṣ wajib atasnya, maka wajib pula atas orang yang melukai, karena keduanya adalah sekutu dalam pembunuhan. Namun jika kita berpendapat bahwa tidak wajib qiṣāṣ atasnya, maka tidak wajib pula atas orang yang melukai, karena ia menjadi sekutu bagi orang yang perbuatannya tergolong sengaja namun keliru (‘amdu khaṭa’).

باب ما يجب به القصاص من الجنايات
إذا جرحه بما يقطع الجلد واللحم كالسيف والسكين والسنان أو بما حدد من الخشب والحجر والزجاج وغيرها أو بما له مور وبعد غور كالمسلة والنشاب وما حدد من الخشب والقصب ومات منه وجب عليه القود لأنه قتله بما يقتل غالباً وإن غرز فيه إبرة فإن كان في مقتل كالصدر والخاصرة والعين وأصول الأذن فمات منه وجب عليه القود لأن الإصابة بها في المقتل كالإصابة بالسكين والمسلة في الخوف عليه وإن كان في غير مقتل كالإلية والفخذ نظرت فإن بقي منه ضمناً إلى أن مات وجب عليه القود لأن الظاهر أنه مات منه وإن مات في الحال ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه يجب عليه القود لأنه له غور وسراية في البدن وفي البدن مقاتل خفية

BAB: Hal-hal yang menyebabkan wajibnya qiṣāṣ karena tindak kejahatan

Jika seseorang melukai orang lain dengan sesuatu yang memotong kulit dan daging seperti pedang, pisau, tombak, atau dengan benda tajam dari kayu, batu, kaca, dan selainnya, atau dengan benda yang memiliki ujung runcing dan masuk dalam seperti jarum besar (mislah), anak panah, dan benda tajam dari kayu atau bambu, lalu orang itu mati karenanya, maka wajib atas pelakunya qiṣāṣ, karena ia membunuh dengan sesuatu yang pada umumnya mematikan.

Dan jika ia menusukkan jarum padanya, maka jika pada bagian yang mematikan seperti dada, lambung, mata, atau pangkal telinga, lalu orang itu mati karenanya, maka wajib atasnya qiṣāṣ, karena mengenai bagian mematikan dengan jarum sama seperti mengenai dengan pisau atau jarum besar dari sisi bahayanya.

Namun jika mengenai selain bagian mematikan seperti pantat atau paha, maka dilihat: jika korban tetap dalam kondisi sakit dan berlanjut sampai ia mati, maka wajib atas pelaku qiṣāṣ, karena secara lahir ia mati karena luka itu. Dan jika ia mati seketika, maka terdapat dua wajah pendapat: salah satunya, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa wajib atas pelaku qiṣāṣ, karena luka tersebut masuk ke dalam dan menyebar dalam tubuh, dan dalam tubuh terdapat bagian-bagian mematikan yang tersembunyi.

والثاني: وهو قول أبي العباس وأبي سعيد الأصطخري أنه يجب لأنه لا يقتل في الغالب فلا يجب به القود كما لو ضربه بمثقل صغير ولأن في المثقل فرقاً بين الصغير والكبير فكذلك في المحدد.
Dan pendapat kedua, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās dan Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, adalah bahwa qiṣāṣ tidak wajib, karena (jarum pada selain anggota vital) tidak membunuh pada umumnya, maka tidak wajib qiṣāṣ karenanya, sebagaimana jika seseorang memukul dengan benda tumpul yang kecil. Dan sebagaimana pada benda tumpul terdapat perbedaan antara yang kecil dan yang besar, maka demikian pula pada benda tajam.

فصل: وإن ضربه بمثقل نظرت فإن كان كبيراً من حديد أو خشب أو حجر فمات منه وجب عليه القود لما روى أنس رضي الله عنه أن يهودياً قتل جارية على أوضاح لها بحجر فقتله رسول الله صلى الله عليه وسلم بين حجرين ولأنه يقتل غالبا فلولم يجب فيه القود جعل طريقاً إلى إسقاط القصاص وسفك الدماء وإن قتله بمثقل صغير لا يقتل مثله كالحصاة والقلم فمات لم يجب القود ولا الدية لأنا نعلم أنه لم يمت من ذلك

PASAL: Jika ia memukulnya dengan benda berat, maka diperhatikan; jika benda tersebut besar seperti besi, kayu, atau batu, lalu orang yang dipukul mati karena itu, maka wajib qishāsh atasnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Anas RA bahwa seorang Yahudi membunuh seorang gadis karena perhiasannya dengan sebuah batu, maka Rasulullah SAW membunuhnya dengan dua batu. Dan karena benda tersebut umumnya mematikan, maka jika tidak diwajibkan qishāsh atasnya, hal itu akan menjadi jalan untuk menggugurkan qishāsh dan menumpahkan darah. Namun, jika ia membunuhnya dengan benda berat yang kecil yang biasanya tidak mematikan seperti kerikil atau pena, lalu orang tersebut mati, maka tidak wajib qishāsh dan tidak pula diyah, karena kita mengetahui bahwa kematiannya bukan disebabkan oleh benda tersebut.

وإن كان بمثقل قد يموت منه وقد لا يموت كالعصا فإن كان في مقتل وفي مريض أوفي صغير أوفي حر شديد أوفي برد شديد أو والى عليه الضرب فمات وجب القود لأن ذلك يقتل غالباً فوجب القود فيه وإن رماه من شاهق أو رمى عليه حائطاً فمات وجب القود فيه لأن ذلك يقتل في الغالب وإن خنقه خنقاً شديداً أو عصر خصيتيه عصراً شديداً أو غمه بمخدة أو وضع يده على فيه ومنعه التنفس إلى أن مات وجب القود لأن ذلك يقتل في الغالب وإن خنقه ثم خلاه وبقي منه متألماً إلى أن مات وجب القود لأنه مات من سراية جنايته فهو كما لو جرحه وتألم منه إلى أن مات إن تنفس وصح ثم مات لم يجب القود لأن الظاهر أنه لم يمت منه فلم يجب القود كما لو جرحه واندمل الجرح ثم مات.

Dan jika dengan benda berat yang bisa menyebabkan kematian namun bisa juga tidak, seperti tongkat, maka diperhatikan: jika pukulannya mengenai bagian tubuh yang mematikan, atau terhadap orang yang sedang sakit, atau anak kecil, atau dalam keadaan panas yang sangat, atau dingin yang sangat, atau ia terus-menerus memukulinya lalu orang itu mati, maka wajib qishāsh, karena hal itu umumnya mematikan, maka wajib qishāsh atasnya.

Dan jika ia melemparkannya dari tempat tinggi, atau menjatuhkan tembok atasnya lalu ia mati, maka wajib qishāsh, karena itu pada umumnya mematikan.

Dan jika ia mencekiknya dengan cekikan kuat, atau menekan buah zakarnya dengan tekanan kuat, atau menekannya dengan bantal, atau menutup mulutnya dan menghalangi pernapasannya hingga ia mati, maka wajib qishāsh, karena hal itu biasa mematikan.

Dan jika ia mencekiknya lalu melepaskannya, kemudian orang itu tetap merasakan sakit sampai mati, maka wajib qishāsh, karena ia mati karena sarayān (kelanjutan) dari tindakan pelaku, maka hukumnya seperti jika ia melukainya lalu orang itu merasakan sakit hingga mati.

Namun jika ia sempat bernapas dan sembuh, lalu setelah itu mati, maka tidak wajib qishāsh, karena yang tampak adalah bahwa ia tidak mati karena tindakan tersebut, maka tidak wajib qishāsh, sebagaimana jika ia melukainya lalu lukanya sembuh, kemudian ia mati.

فصل: وإن طرحه في نار أو ماء ولا يمكنه التخلص منه لكثرة الماء أو النار أو لعجزه عن التخلص بالضعف أوبأن كتفه وألقاه فيه ومات وجب القود لأنه يقتل غالباً وإن ألقاه في ماء يمكنه التخلص منه فالتقمه حوت لم يجب القود لأن الذي فعله لا يقتل غالباً وإن كان في لجة لا يتخلص منها فالتقمه حوت قبل أن يصل إلى الماء ففيه قولان: أحدهما: يجب القود لأنه ألقاه في مهلكة فهلك والثاني: لا يجب لأن هلاكه لم يكن بفعله.

PASAL: Jika ia melemparkannya ke dalam api atau air dan orang itu tidak mampu menyelamatkan diri karena banyaknya air atau besarnya api, atau karena kelemahannya, atau karena ia telah mengikat bahunya lalu melemparkannya ke dalamnya, kemudian ia mati, maka wajib qishāsh, karena hal itu umumnya mematikan.

Namun jika ia melemparkannya ke dalam air yang memungkinkan ia menyelamatkan diri, lalu ia dimangsa ikan, maka tidak wajib qishāsh, karena perbuatan itu sendiri tidak lazim menyebabkan kematian.

Dan jika ia melemparkannya ke dalam pusaran air yang tidak mungkin ia bisa menyelamatkan diri darinya, lalu ikan memangsa dirinya sebelum sampai ke air, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: wajib qishāsh, karena ia melemparkannya ke tempat yang membinasakan, maka ketika ia binasa, wajib qishāsh.

Kedua: tidak wajib qishāsh, karena kebinasaannya tidak terjadi langsung oleh perbuatannya.

فصل: وإن حبسه ومنعه الطعام والشراب مدة لا يبقى فيها من غير طعام ولا شراب فمات وجب عليه القود لأنه يقتل غالباً وإن أمسكه على رجل ليقتله فقتله وجب القود على القاتل دون الممسك لما روى أبو شريح الخز اعي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن من أعتي الناس على الله عز وجل من قتل غير قاتله أوطلب بدم الجاهلية في الإسلام أو بصر عينيه في النوم ما لم تبصر”. وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “ليقتل القاتل ويصبر الصابر”. ولأنه سبب غير ملجئ ضمانه مباشرة فتعلق الضمان دون السبب كما لو حفر بئراً فدفع فيها آخر رجلا فمات.

PASAL: Jika ia menahannya dan menghalanginya dari makan dan minum dalam waktu yang tidak memungkinkan seseorang bertahan hidup tanpa makan dan minum, lalu orang itu mati, maka wajib qishāsh atasnya, karena hal itu lazim menyebabkan kematian.

Dan jika ia memegangi seseorang agar orang lain bisa membunuhnya, lalu orang lain itu membunuhnya, maka qishāsh wajib atas si pembunuh, bukan atas si pemegang. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Syarīḥ al-Khuzā‘ī bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya di antara orang yang paling berani menentang Allah adalah orang yang membunuh bukan pembunuhnya, atau menuntut darah pada masa jahiliah di dalam Islam, atau mengklaim bahwa matanya melihat dalam mimpi apa yang tidak ia lihat.”

Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Hendaknya yang membunuhlah yang dibunuh, dan hendaknya yang bersabar tetap bersabar.”

Karena perbuatan memegang itu bukan sebab yang memaksa (tidak langsung mematikan), dan dalam hukum diyat, yang wajib dijatuhi adalah pelaku langsung, bukan sebab tidak langsung, sebagaimana jika seseorang menggali sumur, lalu orang lain mendorong seseorang ke dalamnya hingga mati, maka yang bertanggung jawab adalah pendorongnya.

فصل: وإن كتف رجلا وطرحه في أرض مسبعة أو بين يدي سبع فقتله لم يجب القود لأنه سبب غير ملجئ فصار كمن أمسكه على من يقتله فقتله وإن جمع بينه وبين السبع في زريبة أو بيت صغير ضيق فقتله وجب عليه القود لأن السبع يقتل إذا اجتمع مع الآدمي في موضع ضيق وإن كتفه وتركه في موضع فيه حيات فنهسته فمات لم يجب القود ضيقاً كان المكان أو واسعاً

PASAL: Jika ia mengikat seorang laki-laki dan melemparkannya ke tanah yang penuh binatang buas, atau di hadapan binatang buas, lalu binatang itu membunuhnya, maka tidak wajib qishāsh, karena itu merupakan sebab yang tidak memaksa, sehingga seperti orang yang memegang korban agar orang lain membunuhnya, lalu dibunuh.

Namun jika ia menggabungkannya dengan binatang buas di dalam kandang atau rumah kecil yang sempit, lalu binatang itu membunuhnya, maka wajib qishāsh atasnya, karena binatang buas biasanya membunuh jika berada bersama manusia dalam tempat sempit.

Dan jika ia mengikatnya dan meninggalkannya di tempat yang terdapat ular, lalu ular itu mematuknya hingga mati, maka tidak wajib qishāsh, baik tempat itu sempit maupun luas.

لأن الحية تهرب من الآدمي فلم يكن تركه معها ملجئاً إلى قتله وإن أنهشه سبعاً أو حية يقتل مثلها غالباً فمات وجب عليه القود لأنه ألجأه إلى قتله وإن كانت حية لا يقتل مثلها غالباً ففيه قولان: أحدهما: يجب القود لأن خنس الحيات يقتل غالباً والثاني: لا يجب لأن الذي ألسعه لا يقتل غالباً.

Karena ular biasanya lari dari manusia, maka meninggalkannya bersama ular tidak termasuk memaksa hingga menyebabkan kematian.

Namun jika ia membuatnya dipatuk oleh binatang buas atau ular yang jenisnya biasa membunuh, lalu orang itu mati, maka wajib qishāsh atasnya, karena ia telah memaksakan keadaan yang menyebabkan terbunuh.

Dan jika ular tersebut termasuk yang tidak biasa membunuh, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: wajib qishāsh, karena bisanya ular—secara umum—lazim menyebabkan kematian.

Kedua: tidak wajib, karena jenis ular yang mematuk itu tidak lazim menyebabkan kematian.

فصل: وإن سقاه سماً مكرهاً فمات وجب عليه القود لأنه يقتل غالباً فهو كما لو جرحه جرحا يقتل غالبا وإن خلطه بطعام وتركه في بيته فدخل فأكله ومات لم يجب عليه القود كما لو حفر بئراً في داره فدخل رجل بغير إذنه فوقع فيها ومات وإن قدمه إليه أو خلطه بطعام فأكله فمات ففيه قولان: أحدهما: لا يجب عليه القود لأنه أكله باختياره فصار كما لو قتل نفسه بسكين والثاني: يجب لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل الهدية ولا يقبل الصدقة فأهدت إليه يهودية بخيبر شاة مصلية فأكل منها رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه ثم قال: “ارفعوا أيديكم فإنها قد أخبرتني أنها مسمومة”.

PASAL: Jika ia meminumkan racun kepada seseorang secara paksa lalu orang itu mati, maka wajib qishāsh atasnya, karena racun itu lazim mematikan, maka hukumnya seperti orang yang melukai dengan luka yang biasa mematikan.

Namun jika ia mencampurkan racun ke dalam makanan dan meletakkannya di rumahnya, lalu orang itu masuk dan memakannya hingga mati, maka tidak wajib qishāsh atasnya, sebagaimana jika seseorang menggali sumur di rumahnya, lalu ada orang yang masuk tanpa izin dan jatuh ke dalamnya hingga mati.

Dan jika ia menyuguhkannya kepada orang itu, atau mencampurkan racun dalam makanan lalu orang itu memakannya hingga mati, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak wajib qishāsh, karena orang itu memakannya atas kehendaknya sendiri, maka hukumnya seperti orang yang bunuh diri dengan pisau.

Kedua: wajib qishāsh, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW menerima hadiah dan tidak menerima sedekah. Lalu seorang wanita Yahudi di Khaibar menghadiahkan kepada beliau seekor kambing yang telah dipanggang, lalu Rasulullah SAW dan para sahabat memakannya. Kemudian beliau bersabda: “Angkat tangan kalian, karena kambing ini telah mengabarkan kepadaku bahwa ia telah diberi racun.”

فأرسل إلى اليهودية فقال: “ما حملك على ما صنعت”. قالت: قلت إن تكن نبياً لم يضرك الذي صنعت وإن كنت ملكاً أرحت الناس منك فأكل منها بشر بن البراءة بن معرور فمات فأرسل عليها فقتلها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ما زلت أجد من الأكلة التي أكلت بخيبر فهذا أو أن انقطاع أبهري”. ولأنه سبب يفضي إلى القتل غالباً فصار كالقتل بالسلاح وإن سقاه سماً وادعى أنه لم يعلم أنه قاتل ففيه قولان: أحدهما: أنه يجب عليه القود لأن السم يقتل غالباً والثاني: لا يجب لأنه يجوز أن يخفى عليه أنه قاتل وذلك شبهة فسقط بها القود.

Lalu beliau mengirim utusan kepada wanita Yahudi itu dan bersabda: “Apa yang mendorongmu melakukan ini?” Ia menjawab: “Aku berkata, jika engkau seorang nabi, maka racun ini tidak akan membahayakanmu; dan jika engkau seorang raja, maka aku telah membuat orang-orang beristirahat darimu.” Maka Bishr bin al-Barā’ bin Ma‘rūr memakannya dan meninggal. Lalu beliau mengirim utusan untuk menangkap wanita itu dan membunuhnya. Rasulullah SAW bersabda: “Aku terus merasakan sakit dari gigitan (makanan beracun) yang aku makan di Khaibar. Maka inilah penyebab terputusnya urat nadiku.”

Dan karena perbuatan itu merupakan sebab yang lazim menimbulkan kematian, maka hukumnya seperti membunuh dengan senjata.

Jika seseorang meminumkan racun lalu mengaku bahwa ia tidak tahu bahwa itu mematikan, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: wajib qishāsh, karena racun itu umumnya mematikan.

Kedua: tidak wajib, karena bisa jadi ia tidak tahu bahwa itu mematikan, dan ketidaktahuan tersebut menjadi syubhat yang menggugurkan qishāsh.

فصل: وإن قتله بسحر يقتل غالباً وجب عليه القود لأنه قتله بما يقتل غالباً فأشبه إذا قتله بسكين وإن كان مما يقتل ولا يقتل لم يجب القود لأنه عمد خطأ فهو كما لو ضربه بعصاً فمات.

PASAL: Jika ia membunuhnya dengan sihir yang lazim menyebabkan kematian, maka wajib qishāsh atasnya, karena ia telah membunuh dengan sesuatu yang biasa mematikan, maka hukumnya seperti membunuh dengan pisau.

Namun jika sihir tersebut kadang mematikan dan kadang tidak, maka tidak wajib qishāsh, karena hal itu termasuk ‘amdu khāṭi’ (sengaja tetapi seperti keliru), maka hukumnya seperti orang yang memukul dengan tongkat lalu orang itu mati.

فصل: وإن أكره رجل على قتل رجل بغير حق فقتله وجب القود على المكره لأنه تسبب إلى قتله بمعنى يفضي إلى القتل غالباً فأشبه إذا رماه بسهم فقتله وأما المكره ففيه قولان: أحدهما: لا يجب عليه القود لأنه قتله للدفع عن نفسه فلم يجب عليه القود كما لو قصده رجل ليقتله فقتله للدفع عن نفسه والثاني: أنه يجب عليه القود وهو الصحيح لأنه قتله ظلماً لاستبقاء نفسه فأشبه إذا اضطر إلى الأكل فقتله ليأكله وإن أمر الإمام بقتل رجل بغير حق فإن كان المأمور لا يعلم أن قتله بغير حق وجب ضمان القتل من الكفارة والقصاص والدية على الإمام

PASAL: Jika seseorang dipaksa untuk membunuh orang lain tanpa hak, lalu ia membunuhnya, maka wajib qishāsh atas orang yang memaksa karena ia telah menyebabkan kematian dengan cara yang umumnya mengantarkan kepada kematian, maka ia seperti orang yang melemparkan panah hingga membunuh. Adapun orang yang dipaksa, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak wajib qishāsh atasnya karena ia membunuh demi mempertahankan dirinya, maka tidak wajib qishāsh sebagaimana jika seseorang diserang oleh orang lain yang hendak membunuhnya lalu ia membunuhnya sebagai bentuk pertahanan diri.

Kedua: wajib qishāsh atasnya, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia telah membunuh secara zalim demi menyelamatkan dirinya sendiri, maka ia seperti orang yang dalam keadaan terpaksa untuk makan lalu ia membunuh orang lain demi memakannya.

Dan jika seorang imam memerintahkan untuk membunuh seseorang tanpa hak, maka jika orang yang diperintah tidak mengetahui bahwa pembunuhan itu tanpa hak, maka jaminan atas pembunuhan—berupa kaffārah, qishāsh, dan diyah—wajib atas imam.

لأن المأمور معذور في قتله لأن الظاهر أن الإمام لا يأمر إلا بالحق وإن كان يعلم أنه يقتله بغير حق وجب ضمان القتل من الكفارة والقصاص أو الدية على المأمور لأنه لا يجوز طاعته فيما لا يحل والدليل عليه ما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق” . وقد روى الشافعي رحمه الله أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من أمركم من الولاة بغير طاعة الله فلا تطيعوه” .

Karena orang yang diperintah itu dimaafkan dalam pembunuhannya, sebab yang tampak adalah bahwa imam tidak akan memerintahkan kecuali dengan kebenaran. Namun, jika ia mengetahui bahwa ia membunuh tanpa hak, maka jaminan atas pembunuhan—berupa kaffārah, qishāsh, atau diyah—wajib atas orang yang diperintah, karena tidak boleh taat kepadanya dalam hal yang tidak halal. Dalilnya adalah riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada al-Khāliq.” Dan Imam al-Syāfi‘i rahimahullāh meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa pun dari para penguasa kalian yang memerintahkan kepada selain ketaatan kepada Allah, maka janganlah kalian menaati mereka.”

فصار كما لو قتله بغير أمره وإن أمره بعض الرعية بالقتل فقتل وجب على المأمور القود علم أنه يقتله بغير حق أولم يعلم لأنه لا تلزمه طاعته فليس الظاهر أنه يأمره بحق فلم يكن له عذر في قتله فوجب عليه القود وإن أمر بالقتل صبياً لا يميز أو أعجمياً لا يعلم أن طاعته لا تجوز في القتل بغير حق فقتل وجب القصاص على الآمر لأن المأمور هاهنا كالآلة للآمر ولو أمره بسرقة مال فسرقه لم يجب الحد على الآمر لأن الحد لا يجب إلا بالمباشرة والقصاص يجب بالتسبب والمباشرة.

Maka hukumnya seperti orang yang membunuh tanpa perintah. Dan jika seseorang dari rakyat memerintahkan untuk membunuh, lalu orang yang diperintah membunuh, maka wajib qishāsh atas orang yang diperintah—baik ia tahu bahwa pembunuhan itu tanpa hak maupun tidak tahu—karena ia tidak wajib mentaatinya, dan tidak tampak bahwa perintah itu berdasarkan kebenaran, sehingga ia tidak punya uzur dalam membunuh tersebut, maka wajib atasnya qishāsh.

Dan jika yang memerintahkan untuk membunuh adalah seorang anak kecil yang belum tamyīz atau orang bisu yang tidak mengetahui bahwa taat kepadanya tidak boleh dalam pembunuhan tanpa hak, lalu ia membunuh, maka wajib qishāsh atas orang yang memerintah, karena orang yang diperintah di sini seperti alat bagi orang yang memerintah.

Dan jika ia memerintah untuk mencuri harta, lalu orang yang diperintah mencurinya, maka tidak wajib ḥadd atas orang yang memerintah, karena ḥadd tidak wajib kecuali atas pelaku langsung (mubāsyir), sedangkan qishāsh wajib baik dengan sebab (tasabbub) maupun langsung (mubāsyarah).

فصل: وإن شهد شاهدان على رجل بما يوجب القتل فقتل بشهادتهما بغير حق ثم رجعا عن شهادتهما وجب القود على الشهود لما روى القاسم بن عبد الرحمن أن رجلين شهدا عند علي كرم الله وجهه على رجل أنه سرق فقطعه ثم رجعا عن شهادتهما فقال: لو أعلم أنكما تعمدتما لقطعت أيدكما وأغرمهما دية يده ولأنهما توصلا إلى قتله بسبب يقتل غالباً فوجب عليهما القود كما لو جرحاه فمات.

PASAL: Jika dua orang saksi bersaksi terhadap seseorang dengan sesuatu yang mewajibkan hukuman mati, lalu orang tersebut dibunuh berdasarkan kesaksian mereka secara tidak benar, kemudian keduanya menarik kembali kesaksian mereka, maka wajib qishāsh atas para saksi. Hal ini berdasarkan riwayat dari al-Qāsim bin ‘Abd al-Raḥmān bahwa dua orang pernah bersaksi di hadapan ‘Alī karrama Allāh wajhah bahwa seseorang mencuri, lalu ‘Alī memotong tangannya, kemudian keduanya menarik kembali kesaksiannya. Maka ‘Alī berkata: “Seandainya aku tahu bahwa kalian berdua melakukannya dengan sengaja, niscaya aku potong tangan kalian berdua,” dan beliau membebankan kepada mereka berdua diyat atas tangan orang yang dipotong. Karena mereka berdua telah menyebabkan kematian dengan sebab yang lazimnya mengantarkan kepada kematian, maka wajib atas mereka qishāsh, sebagaimana jika mereka melukainya lalu ia meninggal.

باب القصاص في الجروح والأعضاء
يجب القصاص فيما دون النفس من الجروح والأعضاء والدليل قوله تعالى: {وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} وروى أنس رضي الله عنه أن الربيع بنت النضر بن أنس كسرت ثنية جارية فعرضوا عليهم الأرش فأبوا وطلبوا العفو فأبوا فأتوا النبي صلى الله عليه وسلم فأمر بالقصاص فجاء أخوها أنس بن النضر فقال يا رسول الله أتكسر ثنية الربيعة والذي بعثك بالحق لا تكسر ثنيتها فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “كتاب الله القصاص”. قال: فعفا القوم ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن من عباد الله من لو أقسم على الله لأبر قسمه”. ولأن ما دون النفس كالنفس في الحاجة إلى حفظه بالقصاص فكان كالنفس في وجوب القصاص.

PASAL QIṢĀṢ PADA LUKA DAN ANGGOTA TUBUH
Wajib dilakukan qiṣāṣ atas luka dan anggota tubuh selain jiwa. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā:
{وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ}
“Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun (dibalas dengan) qiṣāṣ.”

Dan telah diriwayatkan dari Anas RA bahwa ar-Rubayyi‘ bint an-Naḍr bin Anas mematahkan gigi serinya seorang gadis. Maka mereka menawarkan arasy (ganti rugi), namun pihak korban menolak, lalu diminta untuk memberi maaf, mereka pun menolak. Maka mereka datang kepada Nabi SAW, lalu beliau memerintahkan qiṣāṣ. Kemudian datanglah saudaranya, Anas bin an-Naḍr, seraya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau akan mematahkan gigi seri ar-Rubayyi‘? Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak akan dipatahkan gigi serinya!” Maka Nabi SAW bersabda: “Kitab Allah adalah qiṣāṣ.” Ia berkata: “Lalu mereka pun memaafkan.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang yang bila bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.”

Dan karena apa yang berada di bawah jiwa (selain jiwa) memiliki kebutuhan untuk dijaga sebagaimana jiwa, maka kedudukannya dalam kewajiban qiṣāṣ sama seperti jiwa.

فصل: ومن لا يقاد بغيره في النفس لا يقاد به فيما دون النفس ومن اقتيد بغيره في النفس اقتيد به فيما دون النفس لأنه لما كان ما دون النفس كالنفس في وجوب القصاص كان كالنفس فيما ذكرناه.

PASAL
Siapa yang tidak dapat dikenai qiṣāṣ dengan sebab selain dirinya dalam hal jiwa, maka tidak dikenai qiṣāṣ pula karena dia dalam perkara selain jiwa. Dan siapa yang dikenai qiṣāṣ dengan sebab selain dirinya dalam hal jiwa, maka dikenai pula qiṣāṣ karena dia dalam perkara selain jiwa. Karena ketika perkara selain jiwa disamakan dengan jiwa dalam kewajiban qiṣāṣ, maka disamakan pula dengannya dalam hal yang telah disebutkan.

فصل: وإن اشترك جماعة في إبانة عضو دفعة واحدة وجب عليهم القصاص لأنه أحد نوعي القصاص فجاز أن يجب على الجماعة بالجناية ما يجب على واحد كالقصاص في النفس وإن تفرقت جناياتهم بأن قطع واحد بعض العضو وأبانه الآخر لم يجب القصاص على واحد منهما لأن جناية كل واحد منهما في بعض العضو فلا يجوز أن يقتص منه في جميع العضو.

PASAL
Jika sekelompok orang bersama-sama memotong satu anggota tubuh dalam satu waktu sekaligus, maka wajib atas mereka qiṣāṣ, karena ini termasuk salah satu jenis qiṣāṣ, maka boleh dikenakan kepada sekelompok orang akibat suatu kejahatan sebagaimana diwajibkan atas satu orang, seperti qiṣāṣ dalam pembunuhan jiwa.

Namun jika kejahatan mereka terpisah-pisah—yakni salah satu dari mereka memotong sebagian anggota tubuh dan yang lainnya memisahkan (mencabut) seluruh anggota tersebut—maka tidak wajib qiṣāṣ atas salah satu dari keduanya, karena kejahatan masing-masing hanya mengenai sebagian anggota, maka tidak boleh dilakukan qiṣāṣ terhadap seluruh anggota karena tindakan masing-masing.

فصل: والقصاص فيما دون النفس شيئين في الجروح وفي الأطراف فأما الجروح فينظر فيها فإن كانت لا تنتهي إلى عظم كالجائفة وما دون الموضحة من الشجاج أو كانت الجناية على عظم ككسر الساعد والعضد والمأمومة والمنقلة لم يجب فيها القصاص لأنه لا تمكن المماثلة فيه ولا يؤمن أن يستوفى أكثر من الحق فسقط فإن كانت الجناية تنتهي إلى عظم فإن كانت موضحة في الرأس أو للوجه وجب فيها القصاص لأنه تمكن المماثلة فيه ويؤمن أن يستوفى أكثر من حقه

PASAL
Qiṣāṣ dalam perkara selain jiwa terbagi menjadi dua: pada luka dan pada anggota tubuh.

Adapun luka, maka dilihat keadaannya. Jika tidak sampai mengenai tulang—seperti al-jā’ifah atau luka kepala (asy-syijāj) yang berada di bawah al-muḍīḥah—atau jika kejahatan itu mengenai tulang seperti patahnya lengan bawah (as-sā‘id), lengan atas (al-‘aḍud), al-ma’mūmah (luka kepala yang sampai ke selaput otak), dan al-munqalli‘ah (patah yang membuat tulang bergeser), maka tidak wajib qiṣāṣ dalam kasus-kasus tersebut, karena tidak dimungkinkan adanya kesepadanan secara tepat dan dikhawatirkan akan melebihi dari hak yang seharusnya, maka qiṣāṣ gugur.

Namun jika kejahatan itu sampai mengenai tulang, dan berupa al-muḍīḥah pada kepala atau wajah, maka wajib dilakukan qiṣāṣ, karena memungkinkan dilakukan kesepadanan dan tidak dikhawatirkan melebihi dari hak yang semestinya.

وإن كانت فيما سوى الرأس والوجه كالساعد والعضد والساق والفخذ وجب فيها القصاص ومن أصحابنا من قال: لا يجب لأنه لما خالف موضحة الرأس والوجه في تقدير الأرش فخالفهما في وجوب القصاص والمنصوص هو الأول لأنه يمكن استيفاء القصاص فيها من غير حيف لانتهائها إلى العظم فوجب فيها القصاص كالموضحة في الرأس والوجه.

Dan jika luka itu berada selain di kepala dan wajah—seperti di lengan bawah (as-sā‘id), lengan atas (al-‘aḍud), betis (as-sāq), atau paha (al-fakhd)—maka wajib padanya qiṣāṣ.

Sebagian dari kalangan kami berkata: tidak wajib, karena ketika luka ini berbeda dengan muḍīḥah di kepala dan wajah dalam hal takaran arasy, maka berbeda pula dalam kewajiban qiṣāṣ.

Namun pendapat yang manṣūṣ (dinyatakan secara eksplisit) adalah yang pertama, karena memungkinkan untuk menunaikan qiṣāṣ padanya tanpa ada kezaliman, sebab luka tersebut sampai pada tulang. Maka wajib qiṣāṣ padanya sebagaimana muḍīḥah pada kepala dan wajah.

فصل: وإن كانت الجناية موضحة وجب القصاص بقدرها طولاً وعرضاً لقوله عز وجل: {وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} والقصاص هو المماثلة ولا تمكن المماثلة في الموضحة إلا بالمساحة في الطول والعرض فإن كانت في الرأس حلق موضعها من رأس الجاني وعلم على القدر المستحق بسواد أو غيره ويقتص منه فإن كانت الموضحة في مقدم الرأس أوفي مؤخره أوفي قزعته وأمكن أن يستوفي قدرها في موضعها من رأس الجاني لم يستوف في غيرها وإن كان قدرها يزيد على مثل موضعها من رأس الجاني استوفى بقدرها وإن جاوز الموضع الذي شجه في مثله لأن الجميع رأس

PASAL
Jika kejahatan itu berupa muḍīḥah, maka wajib dilakukan qiṣāṣ sesuai ukurannya, baik panjang maupun lebarnya, karena firman Allah ‘Azza wa Jalla:
{وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ}
dan qiṣāṣ itu adalah kesepadanan.

Kesepadanan dalam muḍīḥah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengukuran panjang dan lebar. Maka jika luka itu berada di kepala, dicukur bagian yang luka dari kepala pelaku, kemudian ditandai ukuran yang wajib dengan tinta hitam atau selainnya, lalu dilakukan qiṣāṣ padanya.

Jika muḍīḥah itu berada di bagian depan kepala, atau bagian belakang, atau bagian tengah yang bercukuran tipis (quza‘ah), dan memungkinkan untuk diambil ukuran luka itu pada bagian yang sepadan dari kepala pelaku, maka tidak diambil dari bagian lain.

Namun jika ukurannya lebih besar daripada bagian sepadan pada kepala pelaku, maka diambil qiṣāṣ sebesar ukurannya, meskipun melampaui bagian yang dilukai dari pihak korban, karena seluruhnya termasuk kepala.

وإن كان قدرها يزيد على رأس الجاني لم يجز أن ينزل إلى الوجه والقفا لأنه قصاص في غير العضو الذي جنى عليه ويجب فيما بقي الأرش لأنه تعذر فيه القصاص فوجب البدل فإن أوضح جميع رأسه ورأس الجاني أكبر فللمجني عليه أن يبتدئ بالقصاص من أي جانب شاء من رأس الجاني لأن الجميع محل للجناية وإن أراد أن يستوفي بعض حقه من مقدم الرأس وبعضه من مؤخره فقد قال بعض أصحابنا: أنه لا يجوز لأنه يأخذ موضحتين بموضحة قال الشيخ الإمام: ويحتمل عندي أنه يجوز

Jika ukuran luka melebihi seluruh bagian kepala pelaku, maka tidak boleh diperluas sampai ke wajah atau tengkuk, karena itu berarti melakukan qiṣāṣ pada selain anggota yang dikenai kejahatan. Dan wajib dibayarkan arasy (ganti rugi) untuk sisanya, karena qiṣāṣ tidak bisa dilakukan pada bagian tersebut, maka wajib diganti dengan yang lain.

Jika pelaku melukai seluruh kepala korban, sedangkan kepala pelaku lebih besar, maka korban berhak memulai qiṣāṣ dari sisi mana pun dari kepala pelaku yang ia kehendaki, karena seluruh kepala adalah tempat yang sah untuk dikenai luka.

Dan jika ia ingin mengambil sebagian haknya dari bagian depan kepala dan sebagian lagi dari bagian belakang kepala pelaku, maka sebagian dari kalangan kami berkata: itu tidak boleh, karena ia mengambil dua muḍīḥah sebagai ganti satu muḍīḥah.

Namun asy-syaikh al-imām berkata: menurutku hal itu boleh.

لأنه لا يجاوز موضع الجناية ولا قدرها إلا أن يقول أهل الخبرة إن في ذلك زيادة ضرر أو زيادة شين فيمنع لذلك وإن كانت الموضحة في غير الوجه والرأس وقلنا بالمنصوص أنه يجب فيها القصاص اقتص فيها على ما ذكرناه في الرأس فإن كانت في الساعد فزاد قدرها على ساعد الجاني لم ينزل إلى الكف ولم يصعد إلى العضد وإن كانت في الساق فزادت على قدر ساق الجاني لم ينزل إلى القدم ولم يصعد إلى الفخذ كما لا ينزل في موضحة الرأس إلى الوجه والقفا.

Karena ia tidak melampaui tempat luka maupun ukurannya, kecuali jika para ahli berpendapat bahwa hal itu menyebabkan kerusakan atau cacat yang lebih besar, maka dilarang karena alasan tersebut.

Dan jika muḍīḥah itu berada selain di wajah dan kepala, dan kita berpegang pada pendapat manṣūṣ bahwa padanya wajib qiṣāṣ, maka dilakukan qiṣāṣ sebagaimana yang telah disebutkan pada kasus di kepala.

Maka jika luka itu berada di lengan bawah (as-sā‘id) dan ukurannya melebihi lengan bawah pelaku, maka tidak boleh diturunkan ke telapak tangan dan tidak boleh dinaikkan ke lengan atas (al-‘aḍud).

Jika berada di betis (as-sāq) dan ukurannya melebihi betis pelaku, maka tidak boleh diturunkan ke telapak kaki dan tidak pula dinaikkan ke paha (al-fakhd), sebagaimana tidak boleh diturunkan pada muḍīḥah kepala ke wajah atau tengkuk.

فصل: وإن كانت الجناية هاشمة أو منقلة أو مأمومة فله أن يقتص في الموضحة لأنها داخلة في الجناية ويمكن القصاص فيها ويأخذ الأرش في الباقي لأنه تعذر فيه القصاص فانتقل إلى البدل.

PASAL
Jika kejahatan itu berupa hāsyimah (luka yang menghancurkan tulang), munqalli‘ah (luka yang menggeser tulang), atau ma’mūmah (luka kepala yang sampai ke selaput otak), maka korban berhak melakukan qiṣāṣ pada bagian muḍīḥah-nya, karena bagian itu termasuk dalam cakupan luka dan memungkinkan dilakukan qiṣāṣ padanya.

Sedangkan untuk sisanya, ia mengambil arasy (ganti rugi), karena qiṣāṣ tidak dapat dilakukan padanya, maka berpindah kepada bentuk pengganti.

فصل: وأما الأطراف فيجب فيها القصاص في كل ما ينتهي منها إلى مفصل فتؤخذ العين بالعين لقوله تعالى: {وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} ولأنه يمكن المماثلة فيها لانتهائها إلى مفصل فوجب فيها القصاص ولا يجوز أن يأخذ صحيحة بقائمة لأنه يأخذ أكثر من حقه ويجوز أن يأخذ القائمة بالصحيحة لأنه يأخذ دون حقه

PASAL
Adapun anggota tubuh, maka wajib qiṣāṣ padanya untuk setiap yang berujung pada persendian. Maka diambil mata dengan mata, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
{وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ}

Dan karena memungkinkan dilakukan kesepadanan padanya disebabkan anggota tersebut berakhir pada persendian, maka wajib qiṣāṣ padanya.

Tidak boleh mengambil anggota yang sehat sebagai ganti anggota yang cacat, karena itu berarti mengambil lebih dari haknya. Namun boleh mengambil yang cacat sebagai ganti yang sehat, karena itu berarti mengambil kurang dari haknya.

وإن أوضح رأسه فذهب ضوء عينه فالمنصوص أنه يجب فيه القصاص وقال فيمن قطع إصبع رجل فتأكل كفه أنه لا قصاص في الكف فنقل أبو إسحاق قوله في الكف إلى العين ولم ينقل قوله في العين إلى الكف فقال في ضوء العين قولان: أحدهما: لا يجب فيه القصاص لأنه سراية فيما دون النفس فلم يجب فيه القصاص كما لو قطع إصبعه فتأكل الكف والثاني: يجب لأنه لا يمكن إتلافه إلا بالمباشرة فوجب القصاص فيه بالسراية كالنفس ومن أصحابنا من حمل المسألتين على ظاهرهما فقال يجب القصاص في الضوء قولاً واحداً ولا يجب في الكف لأن الكف يمكن إتلافه بالمباشرة فلم يجب القصاص فيه بالسراية بخلاف الضوء.

PASAL
Jika seseorang membuat muḍīḥah di kepala lalu menyebabkan hilangnya penglihatan mata, maka pendapat manṣūṣ menyatakan bahwa wajib qiṣāṣ padanya. Namun beliau juga pernah berkata, dalam kasus memotong jari seseorang lalu telapak tangannya membusuk dan rusak: tidak wajib qiṣāṣ atas telapak tangan.

Maka Abū Isḥāq memindahkan ucapan beliau tentang telapak tangan ke kasus mata, namun tidak memindahkan ucapan beliau tentang mata ke telapak tangan. Maka dalam hal hilangnya cahaya mata terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak wajib qiṣāṣ, karena itu termasuk sarāyah (penyebaran luka) dalam perkara selain jiwa, sehingga tidak wajib qiṣāṣ padanya, sebagaimana jika memotong jari lalu telapak tangan membusuk.

Kedua: wajib qiṣāṣ, karena tidak mungkin merusaknya kecuali dengan tindakan langsung, maka wajib qiṣāṣ atasnya meskipun melalui sarāyah, seperti pada jiwa.

Sebagian dari kalangan kami memahami kedua kasus tersebut sebagaimana zhahirnya: bahwa wajib qiṣāṣ atas hilangnya cahaya mata menurut satu pendapat, dan tidak wajib qiṣāṣ atas telapak tangan, karena telapak tangan bisa dirusak dengan tindakan langsung, maka tidak wajib qiṣāṣ atasnya karena sarāyah, berbeda dengan cahaya mata.

فصل: ويؤخذ الجفن بالجفن لقوله تعالى: {وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} ولأنه يمكن القصاص فيه لانتهائه إلى مفصل فوجب فيه القصاص ويؤخذ جفن البصير بجفن الضرير وجفن الضرير بجفن البصير لأنهما متساويان في السلامة من النقص وعدم البصر نقص في غيره.

PASAL
Diambil kelopak mata dengan kelopak mata, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
{وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ}
dan karena memungkinkan dilakukan qiṣāṣ padanya karena berakhir pada persendian, maka wajib qiṣāṣ padanya.

Diambil kelopak mata orang yang dapat melihat dengan kelopak mata orang buta, dan kelopak mata orang buta dengan kelopak mata orang yang dapat melihat, karena keduanya sama-sama sempurna dari segi tidak adanya cacat. Adapun kehilangan penglihatan adalah kekurangan pada selainnya.

فصل: ويؤخذ الأنف بالأنف لقوله تعالى: {وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ} ولا يجب القصاص إلا في المارن لأنه ينتهي إلى مفصل ويؤخذ الشام بالأخشم والأخشم بالشام لأنهما متساويان في السلامة من النقص وعدم الشم نقص في غيره ويؤخذ البعض بالبعض وهو أن يقدر ما قطعه بالجزء كالنصف والثلث ثم يقتص بالنصف والثلث من مارن الجاني ولا يؤخذ قدره بالمساحة لأنه ربما يكون أنف الجاني صغيراً وأنف المجني عليه كبيراً فإذا اعتبرت المماثلة بالمساحة قطعنا جميع المارن بالبعض وهذا لا يجوز

PASAL: Diqishāṣ hidung dengan hidung, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {wa al-anf bi al-anf} (dan hidung dengan hidung). Qiṣāṣ tidak wajib kecuali pada al-mārīn karena ia berakhir pada satu persendian. Dapat diqishāṣ asy-syām dengan al-akhsham dan al-akhsham dengan asy-syām karena keduanya sama-sama selamat dari cacat, sedangkan tidak adanya kemampuan mencium merupakan kekurangan pada selainnya.

Dapat pula diqishāṣ sebagian dengan sebagian, yaitu dengan memperkirakan bagian yang dipotong, seperti setengah atau sepertiga, lalu dilakukan qiṣāṣ pada setengah atau sepertiga dari mārīn pelaku. Tidak boleh mengqishāṣ berdasarkan ukuran luasnya, karena bisa jadi hidung pelaku kecil sedangkan hidung korban besar. Jika kesamaan dianggap berdasarkan ukuran luas, maka seluruh mārīn akan dipotong untuk membalas sebagian, dan ini tidak diperbolehkan.

ويؤخذ المنخر بالمنخر والحاجز بين المنخرين بالحاجز لأنه يمكن القصاص فيه لانتهائه إلى مفصل ولا يؤخذ مارن صحيح بمارن سقط بعضه بجذام أو انخرام لأنه يأخذ أكثر من حقه فإن قطع من سقط بعض مارنه صحيحاً فللمجني عليه أن يأخذ الموجود فينتقل بالباقي إلى البدل لأنه وجد بعض حقه وعدم البعض فأخذ الموجود وانتقل في الباقي إلى البدل وإن قطع الأنف من أصله اقتص من المارن لأنه داخل في الجناية يمكن القصاص فيه وينتقل في الباقي إلى الحكومة لأنه لا يمكن القصاص فيه فانتقل فيه إلى البدل.

Dan diqishāṣ al-munkhir dengan al-munkhir, serta sekat antara dua munkhir dengan sekat pula, karena memungkinkan dilakukan qiṣāṣ padanya sebab berakhir pada satu persendian.

Tidak boleh diqishāṣ mārīn yang utuh dengan mārīn yang sebagian telah hilang karena judzām atau inkhirām, karena itu berarti mengambil lebih dari haknya. Jika seseorang yang sebagian mārīn-nya telah hilang memotong mārīn orang lain yang masih utuh, maka bagi korban boleh mengambil bagian yang ada, dan untuk sisanya berpindah ke bentuk ganti (al-badal), karena sebagian haknya masih ada sedangkan sebagian lainnya tidak, maka diambil yang ada dan sisanya diganti.

Jika pelaku memotong hidung dari pangkalnya, maka dilakukan qiṣāṣ pada mārīn, karena ia termasuk bagian dari tindak pidana yang memungkinkan dilakukan qiṣāṣ padanya, dan sisanya berpindah kepada al-ḥukūmah, karena tidak memungkinkan dilakukan qiṣāṣ padanya, sehingga diganti dengan bentuk ganti.

فصل: وتؤخذ الأذن بالأذن لقوله عز وجل: {وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ} ولا يمكن استيفاء القصاص فيه لانتهائه إلى حد فاصل تأخذ أذن السميع بأذن الأصم وأذن الأصم بأذن السميع لأنهما متساويان في السلامة من النقص وعدم السمع نقص في غيره ويؤخذ الصحيح بالمثقوب والمثقوب بالصحيح لأن الثقب ليس بنقص وإنما تثقب للزينة ويؤخذ البعض بالبعض على ما ذكرناه في الأنف ولا يؤخذ صحيح بمخروم لأنه يأخذ أكثر من حقه ويؤخذ المخروم بالصحيح ويؤخذ معه من الدية بقدر ما سقط منه لما ذكرناه في الأنف ولا يؤخذ غير المستحشف بالمستحشف وفيه قولان: أحدهما: أنه لا يؤخذ كما لا تؤخذ اليد الصحيحة بالشلاء

PASAL: Diqishāsh telinga dengan telinga berdasarkan firman Allah SWT: {wa al-udzuuni bi al-udzuuni} (dan telinga dengan telinga). Tidak dimungkinkan untuk menunaikan qishāsh secara sempurna karena telinga berakhir pada batas yang memisah. Diqishāsh telinga orang yang bisa mendengar dengan telinga orang tuli, dan telinga orang tuli dengan telinga orang yang bisa mendengar karena keduanya setara dalam hal tidak adanya cacat, sedangkan ketulian adalah kekurangan yang terjadi pada selain telinga.

Diqishāsh telinga yang utuh dengan telinga yang ditindik, dan telinga yang ditindik dengan telinga yang utuh, karena tindikan bukanlah cacat, bahkan ditindik untuk perhiasan. Diqishāsh sebagian dengan sebagian sebagaimana telah disebutkan dalam kasus hidung. Tidak boleh diqishāsh telinga yang utuh dengan telinga yang berlubang, karena itu berarti mengambil lebih dari haknya. Namun telinga yang berlubang boleh diqishāsh dengan telinga yang utuh, dan ditambahkan dari diyah sesuai kadar bagian yang hilang, sebagaimana telah disebutkan dalam kasus hidung.

Tidak diqishāsh antara telinga yang tidak lembek dengan telinga yang lembek (al-mustaḥshif), dan dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: tidak diqishāsh, sebagaimana tangan yang utuh tidak diqishāsh dengan tangan yang lumpuh (al-shalā’).

والثاني: يؤخذ لأنهما متساويان في المنفعة بخلاف اليد الشلاء فإنها لا تساوي الصحيحة في المنفعة فإن قطع بعض أذنه وألصقه المقطوع فالتصق لم يجب القصاص لأنه لم يمكن المماثلة فيما قطع منه وإن قطع أذنه حتى جعلها معلقة على خده وجب القصاص لأن المماثلة فيه ممكنة بأن يقطع أذنه حتى تصير معلقة على خده وإن أبان أذنه فأخذه المقطوع وألصقه فالتصق لم يسقط القصاص لأن القصاص يجب بالإبانة وما حصل من الالصاق لا حكم له لأنه يجب إزالته

dan pendapat kedua: boleh diqishāsh karena keduanya setara dalam hal manfaat, berbeda dengan tangan lumpuh (al-shalā’), karena tidak sebanding dengan tangan yang sehat dalam segi kemanfaatan.

Jika seseorang memotong sebagian telinga lawannya lalu menempelkan kembali bagian yang terpotong tersebut dan berhasil menempel, maka qishāsh tidak wajib, karena tidak memungkinkan adanya mumātsalah (kesetaraan) dalam bagian yang terpotong.

Namun jika ia memotong telinga lawannya sampai terkulai menggantung di pipinya, maka qishāsh wajib, karena mumātsalah dapat dilakukan, yaitu dengan memotong telinganya sampai menggantung di pipinya.

Jika ia memisahkan (memotong penuh) telinga lawannya, kemudian lawannya mengambil telinga tersebut dan berhasil menempelkannya kembali, maka hal itu tidak menggugurkan kewajiban qishāsh, karena qishāsh menjadi wajib karena adanya pemisahan (ibānah), dan penempelan kembali itu tidak berpengaruh secara hukum, bahkan wajib untuk dihilangkan.

ولا تجوز الصلاة معه وإن قطع أذنه فاقتص منه وأخذ الجاني أذنه فألصقه فالتصق لم يكن للمجني عليه أن يطالبه بقطعه لأنه اقتص منه بالإبانة وما فعله من الإلصاق لا حكم له لأنه يستحق إزالته للصلاة وذلك إلى السلطان وإن قطع أذنه فقطع المجني عليه ببعض أذن الجاني فألصقه الجاني فالتصق فللمجني عليه أن يعود فيقطعه لأنه يستحق الإبانة ولم يوجد ذلك وإن جنى على رأسه فذهب عقله أو على أنفه فذهب شمه أو على أذنه فذهب سمعه لم يجب القصاص في العقل والشم والسمع لأن هذه المعاني في غير محل الجناية فلم يمكن القصاص فيها.

Tidak sah shalat bersamanya. Jika ia memotong telinga seseorang lalu orang itu melakukan qishāsh padanya dan mengambil telinganya kemudian menempelkannya kembali dan berhasil menempel, maka pihak yang menjadi korban tidak berhak menuntut agar telinga itu dipotong lagi, karena ia telah melakukan qishāsh dengan cara ibānah (pemotongan penuh), sedangkan penempelan kembali yang dilakukan oleh pelaku tidak memiliki nilai hukum, karena bagian tersebut wajib dihilangkan demi keabsahan shalat, dan hal itu menjadi wewenang penguasa.

Jika ia memotong telinga seseorang, lalu orang tersebut hanya memotong sebagian telinganya dalam qishāsh, kemudian pelaku menempelkannya kembali dan berhasil menempel, maka pihak yang menjadi korban berhak untuk kembali memotongnya, karena ia berhak atas ibānah, dan hal tersebut belum terpenuhi.

Jika seseorang melakukan tindak kejahatan pada kepala lalu hilang akalnya, atau pada hidung lalu hilang indra penciumannya, atau pada telinga lalu hilang pendengarannya, maka tidak wajib qishāsh atas akal, penciuman, dan pendengaran, karena hal-hal tersebut berada di luar tempat terjadinya kejahatan, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan qishāsh atasnya.

فصل: وتؤخذ الشفة بالشفة وهو ما بين جلد الذقن والخدين علواً وسفلاً ومن أصحابنا من قال لا يجب فيه القصاص لأنه قطع لحم لا ينتهي إلى عظم فلم يجب فيه القصاص كالباضعة والمتلاحمة والصحيح هو الأول لقوله تعالى: {وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} ولأنه ينتهي إلى حد معلوم يمكن القصاص فيه فوجب فيه القصاص.

PASAL: Diqishāsh bibir dengan bibir, yaitu bagian yang terletak antara kulit dagu dan kedua pipi, baik bagian atas maupun bawah.

Sebagian ulama mazhab kami berpendapat bahwa tidak wajib qishāsh padanya, karena ia adalah potongan daging yang tidak sampai ke tulang, maka tidak wajib qishāsh padanya sebagaimana luka bāḍi‘ah dan mutalāḥimah.

Namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, berdasarkan firman Allah SWT: {wa al-jurūḥa qiṣāṣ} (dan luka-luka itu (dibalas dengan) qishāsh), dan karena ia memiliki batas yang jelas sehingga memungkinkan dilakukan qishāsh, maka wajib qishāsh padanya.

فصل: ويؤخذ السن بالسن لقوله تعالى: {وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ} ولما رويناه في أول الباب في حديث الربيع بنت النضر بن أنس ولأنه محدود في نفسه يمكن القصاص فيه فوجب فيه القصاص ولا يؤخذ سن صحيح بسن مكسور لأنه يأخذ أكثر من حقه ويؤخذ المكسور بالصحيح ويؤخذ معه من الدية بقدر ما انكسر منه لما ذكرناه في الأنف والأذن ويؤخذ الزائد إذا اتفق محلهما لأنهما متساويان وإن قلع سناً زائدة وليس للجاني مثلها وجبت على الحكومة لأنه تعذر المثل فوجب البدل وإن كان له مثلها في غير موضع المقلوع لم يؤخذ كما لا يؤخذ سن أصلي بسن أخرى

PASAL: Diqishāsh gigi dengan gigi berdasarkan firman Allah SWT: {wa al-sinna bi al-sinni} (dan gigi dengan gigi), dan sebagaimana telah kami riwayatkan di awal bab dalam hadis al-Rubayyi‘ binti al-Naḍr bin Anas, serta karena gigi memiliki batas yang jelas dan memungkinkan dilakukan qishāsh padanya, maka wajib qishāsh.

Tidak boleh diqishāsh gigi yang utuh dengan gigi yang patah, karena berarti mengambil lebih dari haknya. Namun gigi yang patah boleh diqishāsh dengan gigi yang utuh, dan ditambahkan diyah sesuai kadar yang patah, sebagaimana telah dijelaskan dalam kasus hidung dan telinga.

Gigi tambahan boleh diqishāsh jika letaknya sama, karena keduanya setara. Jika seseorang mencabut gigi tambahan dan pelaku tidak memiliki gigi serupa, maka wajib ḥukūmah, karena tidak memungkinkan adanya kesetaraan, maka diganti dengan pengganti.

Jika pelaku memiliki gigi yang serupa tetapi berada di tempat berbeda dari yang dicabut, maka tidak boleh diqishāsh, sebagaimana gigi asli tidak boleh diqishāsh dengan gigi lainnya.

وإن كسر نصف سنه وأمكن أن يقتص منه نصف سنه اقتص منه فإن لم يمكن وجب بقدره من دية السن وإن وجب له القصاص في السن فاقتص ثم نبت له مكانه سن آخر ففيه قولان: أحدهما: أن النابت هو المقلوع من جهة الحكم لأنه مثله في محله فصار كما لو قلع سن صغير ثم نبت فعلى هذا يجب على المجني عليه دية سن الجاني لأنه قلع سنه بغير سن والقول الثاني أن النابت هبة مجددة لأن الغالب أنه لا يستخلف فعلى هذا وقع القصاص موقعه ولا يجب عليه شيء للجاني

Jika seseorang mematahkan separuh gigi orang lain dan memungkinkan untuk diqishāsh separuh giginya, maka dilakukan qishāsh atas separuh giginya. Namun jika tidak memungkinkan, maka wajib dibayar bagian dari diyah sesuai kadar separuh gigi tersebut.

Apabila seseorang berhak mendapatkan qishāsh atas giginya, lalu ia melaksanakan qishāsh dan mencabut gigi pelaku, kemudian tumbuh gigi baru di tempat gigi yang tercabut tersebut, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: gigi yang tumbuh tersebut dihukumi sebagai gigi yang tercabut dari sisi hukum, karena ia serupa dan berada di tempat yang sama, sehingga disamakan dengan gigi anak kecil yang tercabut lalu tumbuh kembali. Berdasarkan pendapat ini, wajib atas korban untuk membayar diyah gigi kepada pelaku, karena ia telah mencabut giginya bukan dengan gigi serupa.

Pendapat kedua: gigi yang tumbuh tersebut adalah anugerah baru (hibah mujaddadah), karena umumnya gigi tidak akan tumbuh kembali, maka qishāsh dianggap sah pada tempatnya dan tidak ada kewajiban apa pun atas korban terhadap pelaku.

وإن قلع سن رجل فاقتص منه ثم نبت للجاني سن في مكان السن الذي اقتص منه فإن قلنا إن النابت هبة مجددة لم يكن للمجني عليه قلعه لأنه استوفى ما كان له وإن قلنا إن النابت هو المقلوع من جهة الحكم فهل يجوز للمجني عليه قلعه فيه وجهان: أحدهما: أن له أن يقلعه ولو نبت ألف مرة لأنه أعدمه السن فاستحق أن يعدم سنه والثاني: ليس له قلعه لأنه يجوز أن يكون هبة مجددة ويجوز أن يكون هو المقلوع فلم يجز قلعه مع الشك.

Jika seseorang mencabut gigi orang lain lalu dilakukan qishāsh padanya, kemudian tumbuh gigi baru bagi pelaku di tempat gigi yang diqishāsh, maka jika kita berpendapat bahwa gigi yang tumbuh itu adalah hibah mujaddadah (anugerah baru), maka korban tidak berhak mencabutnya, karena ia telah mengambil haknya secara sempurna.

Namun jika kita berpendapat bahwa gigi yang tumbuh itu adalah gigi yang tercabut dari sisi hukum, maka apakah korban boleh mencabutnya kembali? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: korban boleh mencabutnya, meskipun gigi itu tumbuh seribu kali, karena pelaku telah menghilangkan gigi korban, maka korban berhak menghilangkan gigi pelaku.

Pendapat kedua: korban tidak boleh mencabutnya, karena bisa jadi gigi tersebut adalah hibah mujaddadah dan bisa jadi itu adalah gigi yang tercabut, maka tidak boleh mencabutnya dalam keadaan ragu-ragu.

فصل: ويؤخذ اللسان باللسان لقوله تعالى: {وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} ولأن له حداً ينتهي إليه فاقتص فيه فلا يؤخذ لسان الناطق بلسان الأخرس لأنه يأخذ أكثر من حقه ويؤخذ لسان الأخرس بلسان الناطق لأنه يأخذ بعض حقه وإن قطع نصف لسانه أو ثلثه اقتص من لسان الجاني في نصفه أو ثلثه وقال أبو إسحاق: لا يقتص منه لأنه لا يأمن أن يجاوز القدر المستحق والمذهب أنه يقتص منه للآية ولأنه إذا أمكن القصاص في جميعه أمكن في بعضه.

PASAL: Diqishāsh lidah dengan lidah berdasarkan firman Allah SWT: {wa al-jurūḥa qiṣāṣ} (dan luka-luka itu (dibalas dengan) qishāsh), dan karena lidah memiliki batas yang dapat diakhiri padanya, maka dilakukan qishāsh padanya.

Tidak boleh diqishāsh lidah orang yang bisa berbicara dengan lidah orang bisu, karena berarti mengambil lebih dari haknya. Namun lidah orang bisu boleh diqishāsh dengan lidah orang yang bisa berbicara, karena itu berarti hanya mengambil sebagian dari haknya.

Jika seseorang memotong separuh atau sepertiga lidah orang lain, maka diqishāsh dari lidah pelaku sesuai separuh atau sepertiga tersebut.

Abū Isḥāq berpendapat: tidak boleh dilakukan qishāsh, karena dikhawatirkan melebihi kadar yang berhak. Namun pendapat yang dianggap sebagai mazhab adalah bahwa qishāsh tetap dilakukan, berdasarkan ayat, dan karena jika memungkinkan qishāsh secara keseluruhan, maka memungkinkan pula dilakukan pada sebagian.

فصل: وتأخذ اليد باليد والرجل بالرجل والأصابع بالأصابع والأنامل بالأنامل لقوله تعالى: {وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} ولأن لها مفاصل يمكن القصاص فيها من غير حيف فوجب فيها القصاص وإن قطع يده من الكوع اقتص منه لأنه مفصل وإن قطع من نصف الساعد فله أن يقتص من الكوع لأنه داخل في جناية يمكن القصاص فيها ويأخذ الحكومة في الباقي لأنه كسر عظم لا تمكن المماثلة فيه فانتقل فيه إلى البدل وإن قطع من المرفق فله أن يقتص مثله لأنه مفصل وإن أراد أن يقتص من الكوع ويأخذ الحكومة في الباقي لم يكن له ذلك لأنه يمكنه أن يستوفي جميع حقه بالقصاص في محل الجناية فلا يجوز أن يأخذ القصاص في غيره

PASAL: Diqishāsh tangan dengan tangan, kaki dengan kaki, jari dengan jari, dan ruas jari dengan ruas jari, berdasarkan firman Allah SWT: {wa al-jurūḥa qiṣāṣ} (dan luka-luka itu (dibalas dengan) qishāsh), dan karena semuanya memiliki persendian yang memungkinkan dilakukan qishāsh tanpa adanya kezaliman, maka wajib qishāsh padanya.

Jika seseorang memotong tangan dari pergelangan (al-kūʿ), maka diqishāsh darinya karena itu adalah sendi. Jika ia memotong dari pertengahan lengan bawah, maka korban boleh melakukan qishāsh dari pergelangan tangan, karena itu termasuk dalam bagian luka yang memungkinkan dilakukan qishāsh, dan sisanya diberikan ḥukūmah karena itu merupakan pemotongan tulang yang tidak memungkinkan dilakukan mumātsalah, maka dialihkan ke pengganti (al-badal).

Jika ia memotong dari siku (al-mirfaq), maka korban boleh melakukan qishāsh setara karena itu adalah sendi. Namun jika ia ingin melakukan qishāsh dari pergelangan tangan saja dan mengambil ḥukūmah untuk sisanya, maka hal itu tidak dibolehkan, karena ia memungkinkan untuk mengambil seluruh haknya melalui qishāsh pada tempat terjadinya jinayah, maka tidak boleh mengambil qishāsh pada selainnya.

وإن قطع يده من نصف العضد فله أن يقتص من المرفق ويأخذ الحكومة في الباقي وله أن يقتص في الكوع ويأخذ الحكومة في الباقي لأن الجميع مفصل داخل في الجناية ويخالف إذا قطعها من المرفق وأراد أن يقتص من الكوع لأن هناك يمكنه أن يقتص في الجميع في محل الجناية وهاهنا لا يمكنه أن يقتص في موضع الجناية وإن قطع يده من الكتف وقال أهل الخبرة إنه يمكنه أن يقتص منه من غير جائفة اقتص منه لأنه مفصل يمكن القصاص فيه من غير حيف

Jika pelaku memotong tangan korban dari tengah lengan atas (al-‘aḍud), maka korban boleh melakukan qiṣāṣ pada siku (al-mirfaq) dan mengambil al-ḥukūmah untuk sisanya. Ia juga boleh melakukan qiṣāṣ pada pergelangan tangan (al-kū‘) dan mengambil al-ḥukūmah untuk sisanya, karena keduanya adalah persendian dan termasuk dalam bagian tindak pidana.

Hal ini berbeda jika pelaku memotong dari siku lalu korban ingin melakukan qiṣāṣ pada pergelangan tangan, karena dalam kasus itu korban bisa melakukan qiṣāṣ pada seluruh bagian yang menjadi tempat tindak pidana, sedangkan dalam kasus sebelumnya tidak memungkinkan melakukan qiṣāṣ pada tempat persis terjadinya tindak pidana.

Jika pelaku memotong tangan korban dari bahu (al-katif), dan para ahli mengatakan bahwa memungkinkan dilakukan qiṣāṣ darinya tanpa menimbulkan luka dalam (jā’ifah), maka dilakukan qiṣāṣ darinya, karena ia adalah persendian dan memungkinkan dilakukan qiṣāṣ padanya tanpa aniaya.

وإن أراد أن يقتص من المرفق أو الكوع لم يجز لأنه يمكنه أن يقتص من محل الجناية فلا يجوز أن يقتص في غيره وإن قال أهل الخبرة إنه يخاف أن يحصل به جائفة لم يجز أن يقتص فيه لأنه لا يأمن أن يأخذ زيادة على حقه وله أن يقتص في المرفق ويأخذ الحكومة في الباقي وله أن يقتص في الكوع ويأخذ الحكومة في الباقي لما ذكرناه وحكم الرجل في القصاص من مفاصلها من القدم والركبة والورك وما يجب فيما بينهما من الحكومات حكم اليد وقد بيناه.

Jika korban ingin melakukan qiṣāṣ pada siku (al-mirfaq) atau pergelangan tangan (al-kū‘), maka tidak diperbolehkan, karena memungkinkan baginya untuk melakukan qiṣāṣ pada tempat terjadinya tindak pidana, maka tidak boleh melakukan qiṣāṣ di tempat lain.

Jika para ahli mengatakan bahwa dikhawatirkan akan timbul luka dalam (jā’ifah) jika dilakukan qiṣāṣ di tempat tindak pidana, maka tidak diperbolehkan melakukan qiṣāṣ di sana, karena tidak terjamin bahwa ia tidak akan mengambil lebih dari haknya.

Namun, ia boleh melakukan qiṣāṣ pada siku dan mengambil al-ḥukūmah untuk sisanya, atau melakukan qiṣāṣ pada pergelangan tangan dan mengambil al-ḥukūmah untuk sisanya, sebagaimana telah dijelaskan.

Adapun hukum kaki dalam hal qiṣāṣ pada persendiannya, seperti telapak kaki, lutut, dan pangkal paha (al-warak), serta kewajiban ḥukūmah atas bagian-bagian di antara ketiganya, maka hukumnya sama seperti tangan, dan telah kami jelaskan sebelumnya.

فصل: ولا تؤخذ يد صحيحة بيد شلاء ولا رجل صحيحة برجل شلاء لأنه يأخذ فوق حقه وإن أراد المجني عليه أن يأخذ الشلاء بالصحيحة نظرت فإن قال أهل الخبرة إنه إن قطع لم تنسد العروق ودخل الهواء إلى البدن وخيف عليه لم يجز أن يقتص منه لأنه يأخذ نفساً بطرف وإن قالوا لا يخاف عليه فله أن يقتص لأنه يأخذ دون حقه فإن طلب مع القصاص الأرش لنقص الشلل لم يكن له لأن الأشلاء كالصحيحة في الخلقة وإنما تنقص عنها في الصفة فلم يؤخذ الأرش للنقص مع القصاص كما لا يأخذ ولي المسلم من الذي مع القصاص أرشاً لنقص الكفر وفي أخذ الأشل بالأشل وجهان: أحدهما: أنه يجوز لأنهما متساويان والثاني: لا يجوز وهو قول أبي إسحاق لأن الشلل علة والعلل يختلف تأثيرها في البدن فلا تتحقق المماثلة بينهما.

PASAL: Tidak diambil tangan yang sehat dengan tangan yang lumpuh, dan tidak pula kaki yang sehat dengan kaki yang lumpuh, karena hal itu berarti mengambil lebih dari haknya. Dan apabila orang yang teraniaya ingin mengambil yang lumpuh sebagai ganti yang sehat, maka dilihat: jika para ahli mengatakan bahwa jika dipotong maka pembuluh darahnya tidak akan tertutup dan udara masuk ke dalam tubuh sehingga dikhawatirkan membahayakan, maka tidak boleh melakukan qiṣāṣ darinya karena berarti mengambil nyawa dengan anggota tubuh. Namun jika mereka mengatakan tidak dikhawatirkan, maka boleh melakukan qiṣāṣ karena ia mengambil kurang dari haknya. Jika ia meminta qiṣāṣ disertai arasy karena adanya kekurangan akibat kelumpuhan, maka ia tidak berhak mendapatkannya, karena anggota tubuh yang lumpuh secara bentuk sama dengan yang sehat, hanya saja kurang dalam sifatnya, maka tidak diambil arasy atas kekurangan tersebut bersamaan dengan qiṣāṣ, sebagaimana wali seorang muslim tidak boleh mengambil arasy atas kekurangan karena kekufuran. Adapun tentang pengambilan yang lumpuh dengan yang lumpuh, terdapat dua pendapat: salah satunya, boleh karena keduanya sama; dan yang kedua, tidak boleh, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena kelumpuhan adalah penyakit, sedangkan pengaruh penyakit pada tubuh berbeda-beda, maka tidak dapat dipastikan adanya kesetaraan antara keduanya.

فصل: ولا تؤخذ يد كاملة بيد ناقصة الأصابع فإن قطع من له خمس أصابع كف من له أربع أصابع أو قطع من له ست أصابع كف من له خمس أصابع لم يكن للمجني عليه أن يقتص منه لأنه يأخذ أكثر من حقه وله أن يقطع من أصابع الجاني مثل أصابعه لأنها داخلة في الجناية ويمكن استيفاء القصاص فيها وهل يدخل أرش ما تحت الأصابع من الكف في القصاص فيه وجهان: أحدهما: أن يدخل كما يدخل في ديتها

PASAL: Tidak boleh diqishāṣ tangan yang sempurna dengan tangan yang kurang jumlah jarinya. Maka jika seseorang yang memiliki lima jari memotong telapak tangan orang yang memiliki empat jari, atau orang yang memiliki enam jari memotong telapak tangan orang yang memiliki lima jari, maka korban tidak boleh melakukan qiṣāṣ atas seluruh telapak tangan pelaku, karena itu berarti mengambil lebih dari haknya.

Namun, ia boleh memotong dari jari-jari pelaku sejumlah jari yang dimilikinya, karena bagian tersebut termasuk dalam tindak pidana dan memungkinkan dilakukan qiṣāṣ padanya.

Adapun apakah termasuk pula arsy (ganti rugi) atas bagian telapak tangan di bawah jari-jari dalam pelaksanaan qiṣāṣ ini, maka terdapat dua wajah (pendapat): salah satunya menyatakan bahwa bagian tersebut termasuk, sebagaimana ia termasuk dalam perhitungan diyat.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يدخل بل يأخذ من القصاص الحكومة ما تحتها ولهذا لو قطع أصابعه والدية أن الكف يتبع الأصابع في الدية ولا يتبعها في القصاص ولهذا لو قطع أصابعه وتأكل منها الكف واختار الدية لم يلزمه أكثر من دية الأصابع ولو طلب القصاص قطع الأصابع ويأخذ الحكومة في الكف وتؤخذ يد ناقصة الأصابع بيد كاملة الأصابع فإن قطع من له أربع أصابع كف من له خمسة أصابع أو قطع من له خمسة أصابع كف من له ست أصابع فللمجني عليه أن يقتص منه لأنه يأخذ أكثر من حقه وله أن يقطع من أصابع الجاني مثل أصابعه لأنها داخلة في الجناية ويمكن استيفاء القصاص فيها

Adapun pendapat kedua—yaitu pendapat Abū Isḥāq—menyatakan bahwa bagian bawah jari tidak termasuk dalam qiṣāṣ, tetapi korban mengambil al-ḥukūmah sebagai ganti rugi untuk bagian tersebut. Karena itu, jika seseorang memotong jari-jari orang lain, maka diyat telapak tangan mengikuti jari-jari dalam diyat, tetapi tidak mengikutinya dalam qiṣāṣ.

Oleh karena itu, jika pelaku memotong jari-jari dan telapak tangan korban ikut rusak, lalu korban memilih diyat, maka tidak wajib atas pelaku lebih dari diyat jari-jari. Namun jika korban meminta qiṣāṣ, maka dipotonglah jari-jari dan diambil al-ḥukūmah untuk bagian telapak tangan.

Dan boleh diqishāṣ tangan yang kurang jari dengan tangan yang sempurna. Maka jika seseorang yang memiliki empat jari memotong telapak tangan orang yang memiliki lima jari, atau seseorang yang memiliki lima jari memotong telapak tangan orang yang memiliki enam jari, maka korban boleh melakukan qiṣāṣ padanya, karena ia tidak mengambil lebih dari haknya.

Korban juga boleh memotong dari jari-jari pelaku sejumlah jari yang dimilikinya, karena bagian tersebut termasuk dalam tindak pidana dan memungkinkan pelaksanaan qiṣāṣ padanya.

وهل يدخل أرش ما تحت الأصابع من الكف في القصاص فيه وجهان: أحدهما: يدخل كما يدخل في ديتها والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يدخل بل يأخذ مع القصاص الحكومة ما تحتها والفرق بين القصاص والدية أن الكف يتبع الأصابع في الدية ولا يتبعها في القصاص ولهذا لو قطع أصابعه وتأكل منها الكف واختار الدية لم يلزمه أكثر من دية الأصابع ولو طلب القصاص قطع الأصابع ويأخذ الحكومة في الكف وتؤخذ يد ناقصة الأصابع بيد كاملة الأصابع

Apakah arsy (ganti rugi) bagian telapak tangan di bawah jari-jari termasuk dalam qiṣāṣ? Terdapat dua wajah (pendapat):

Pertama: termasuk, sebagaimana ia termasuk dalam perhitungan diyat-nya.

Kedua: dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, tidak termasuk, melainkan diambil al-ḥukūmah bersama pelaksanaan qiṣāṣ untuk bagian tersebut.

Perbedaan antara qiṣāṣ dan diyat adalah bahwa telapak tangan mengikuti jari-jari dalam diyat, namun tidak mengikutinya dalam qiṣāṣ. Oleh karena itu, jika pelaku memotong jari-jari dan sebagian telapak tangan korban ikut rusak, lalu korban memilih diyat, maka tidak wajib atas pelaku lebih dari diyat jari-jari. Namun jika korban meminta qiṣāṣ, maka dipotong jari-jarinya dan diambil al-ḥukūmah untuk bagian telapak tangannya.

Dan boleh diqishāṣ tangan yang kurang jari dengan tangan yang sempurna.

فإن قطع من له أربع أصابع كف من له خمس أصابع أو قطع من له خمس أصابع كف من له ست أصابع فللمجني عليه أن يقتص من الكف ويأخذ دية الأصابع الخامسة أو الحكومة في الأصبع السادسة لأنه وجد بعض حقه وعدم البعض، فأخذ الموجود وانتقل في المعدوم إلى البدل كما لو قطع عضوين ووجد أحدهما:.

Jika seseorang yang memiliki empat jari memotong telapak tangan orang yang memiliki lima jari, atau seseorang yang memiliki lima jari memotong telapak tangan orang yang memiliki enam jari, maka korban boleh melakukan qiṣāṣ pada telapak tangan, dan mengambil diyat untuk jari kelima atau al-ḥukūmah untuk jari keenam.

Karena ia mendapatkan sebagian dari haknya dan tidak mendapatkan sebagian lainnya, maka ia mengambil bagian yang ada dan berpindah kepada bentuk ganti (al-badal) untuk bagian yang tidak ada, sebagaimana jika pelaku memotong dua anggota tubuh dan hanya ditemukan salah satunya.

فصل: ولا يؤخذ أصلي بزائد فإن قطع من له خمس أصابع أصلية كف من له أربع أصابع أصلية وإصبع زائد لم يكن للمجني عليه أن يقتص من الكف لأنه يأخذ أكثر من حقه ويجوز أن يقتص من الأصابع الأصلية لأنها داخلة في الجناية ويأخذ الحكومة في الأصبع الزائدة وما تحت الزائدة من الكف يدخل في حكومتها وهل يدخل ما تحت الأصابع التي اقتص منها في قصاصها على الوجهين

PASAL: Tidak boleh diambil anggota asal dengan anggota yang lebih. Maka apabila seseorang yang memiliki lima jari asli memotong telapak tangan orang yang memiliki empat jari asli dan satu jari tambahan, maka korban tidak berhak menuntut qiṣāṣ atas seluruh telapak tangan, karena itu berarti ia mengambil lebih dari haknya. Namun boleh baginya menuntut qiṣāṣ atas jari-jari asli karena itu termasuk dalam tindak kejahatan, dan ia boleh mengambil ḥukūmah untuk jari tambahan. Adapun bagian telapak tangan di bawah jari tambahan masuk dalam perhitungan ḥukūmah-nya. Sedangkan apakah bagian telapak tangan di bawah jari-jari yang dikenai qiṣāṣ ikut masuk dalam qiṣāṣ-nya, terdapat dua pendapat.

ويجوز أن يأخذ الزائد بالأصلي فإن قطع من له أربع أصابع أصلية وإصبع زائدة كف من له خمس أصابع أصلية فللمجني عليه أن يقتص من الكف لأنه دون حقه ولا شيء له لنقصان الإصبع الزائدة لأن الزائدة كالأصلية في الخلقة وإن كان لكل واحد منهما إصبع زائدة نظرت فإن لم يختلف محلهما أخذ أحدهما: بالأخرى لأنهما متساويان وإن اختلف محلهما لم تؤخذ إحداهما بالأخرى لأنهما مختلفان في أصل الخلقة.

Dan boleh mengambil anggota tambahan dengan anggota asal. Maka apabila seseorang yang memiliki empat jari asli dan satu jari tambahan memotong telapak tangan orang yang memiliki lima jari asli, maka korban boleh menuntut qiṣāṣ atas telapak tangan, karena itu lebih rendah dari haknya, dan ia tidak berhak atas ganti rugi karena kehilangan jari tambahan, karena jari tambahan sama seperti jari asli dalam bentuk penciptaannya. Jika masing-masing dari keduanya memiliki jari tambahan, maka dilihat: jika tempat tumbuhnya tidak berbeda, maka boleh di-qiṣāṣ salah satunya dengan yang lain karena keduanya setara; namun jika tempat tumbuhnya berbeda, maka tidak boleh salah satu di-qiṣāṣ dengan yang lain karena keduanya berbeda dalam asal penciptaannya.

فصل: وإن قطع من له يد صحيحة كف رجل له إصبعان شلا وإن لم يقتص منه في الكف لأنه يأخذ كاملاً بناقص ويجوز أن يقتص في الأصابع الثلاث الصحيحة لأنها مساوية لأصابعه ويأخذ الحكومة في الشلاوين لأنه لا يجد ما يأخذ به ويدخل في حكومة الشلاوين أرش ما تحتهما من الكف وهل يدخل أرش ما تحت الثلاثة في قصاصها على الوجهين.

PASAL: Jika seseorang yang memiliki tangan sehat memotong telapak tangan seseorang yang hanya memiliki dua jari yang lumpuh, maka tidak boleh dilakukan qiṣāṣ pada telapak tangan, karena ia mengambil yang sempurna dengan yang kurang. Namun boleh dilakukan qiṣāṣ pada tiga jari yang sehat karena setara dengan jari-jarinya, dan ia mengambil ḥukūmah atas dua jari yang lumpuh karena ia tidak mendapatkan apa yang bisa di-qiṣāṣ. Dan termasuk dalam ḥukūmah dua jari lumpuh itu adalah arsy atas bagian telapak di bawah keduanya. Adapun apakah arsy atas bagian telapak di bawah tiga jari sehat masuk dalam qiṣāṣ-nya, maka terdapat dua pendapat.

فصل: ولا تؤخذ يد ذات أظفار بيد لا أظفار لها لأن اليد بلا أظفار ناقصة فلا تؤخذ بها يد كاملة وتؤخذ يد لا أظفار لها بيد لها أظفار لأنه يأخذ بعض حقه.

PASAL: Tidak boleh diambil tangan yang memiliki kuku dengan tangan yang tidak memiliki kuku, karena tangan tanpa kuku adalah tangan yang kurang, maka tidak boleh di-qiṣāṣ dengannya tangan yang sempurna. Dan boleh di-qiṣāṣ tangan yang tidak memiliki kuku dengan tangan yang memiliki kuku, karena ia mengambil sebagian dari haknya.

فصل: فإن قطع أصبع رجل فتأكل منه الكف وجب القصاص في الإصبع لأنه أتلفه بجناية عمد ولا يجب في الكف لأنه لم يتلفه بجناية عمد لأن العمد فيه أن يباشره بالإتلاف ولم يوجد ذلك ويجب عليه دية كل إصبع من الأصابع لأنها تلفت بسبب جنايته ويدخل في دية كل إصبع أرش ما تحته من الكف لأن الكف تابع للأصابع في الدية وهل يدخل ما تحت الأصبع التي اقتص منها في قصاصها على الوجهين.

PASAL: Jika seseorang memotong jari seorang laki-laki lalu telapak tangannya ikut rusak karenanya, maka qiṣāṣ wajib atas jari tersebut karena ia merusaknya dengan jināyah sengaja. Namun tidak wajib qiṣāṣ pada telapak tangan karena tidak dirusak dengan jināyah sengaja, sebab kesengajaan itu harus langsung melakukan perusakan, dan hal itu tidak terjadi. Ia wajib membayar diyah setiap jari karena jari-jari tersebut rusak akibat jināyah-nya, dan dalam diyah setiap jari termasuk juga arsy bagian telapak di bawahnya karena telapak tangan mengikuti jari-jari dalam hal diyah. Adapun apakah bagian telapak di bawah jari yang dikenai qiṣāṣ masuk dalam qiṣāṣ-nya, maka terdapat dua pendapat.

فصل: وتؤخذ الأليتان وهما الناتئتان بين الظهر والفخذ وقال بعض أصحابنا: لا تؤخذ وهو قول المزني رحمة الله عليه لأنه لحم متصل بلحم فأشبه لحم الفخذ والمذهب الأول لقوله تعالى: {وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} ولأنهما ينتهيان إلى حد فاصل فوجب فيهما القصاص كالدين.

PASAL: Boleh di-qiṣāṣ dua pantat, yaitu dua bagian menonjol yang berada di antara punggung dan paha. Sebagian ulama mazhab kami berpendapat bahwa keduanya tidak boleh di-qiṣāṣ, dan ini adalah pendapat al-Muzanī rahimahullah, karena keduanya adalah daging yang tersambung dengan daging lainnya, maka kedudukannya seperti daging paha. Namun pendapat yang rajih adalah pendapat pertama, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “wal-jurūḥa qiṣāṣ” dan karena keduanya berakhir pada batas yang jelas, maka wajib qiṣāṣ atas keduanya sebagaimana pada tulang ekor.

فصل: ويقطع الذكر بالذكر لقوله تعالى: {وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} ولأنه ينتهي إلى حد فاصل يمكن القصاص فيه من غير حيف فوجب فيه القصاص ويؤخذ بعضه ببعضه وقال أبو إسحاق لا يؤخذ بعضه ببعض كما قال في اللسان والمذهب الأول لأنه إذا أمكن القصاص في جميعه أمكن في بعضه ويؤخذ ذكر الفحل بذكر الخصي لأنه كذكر الفحل في الجماع وعدم الإنزال لمعنى في غيره ويقطع الأغلف بالمختون لأنه يزيد على المختون بجلدة يستحق إزالتها بالختان ولا يؤخذ صحيح بأشل لأن الأشل ناقص الشلل فلا يؤخذ بكامله.

PASAL: Kemaluan laki-laki dipotong dengan kemaluan laki-laki pula, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa-al-jurūḥa qiṣāṣ} dan karena ia berakhir pada batas tertentu yang memungkinkan dilakukan qiṣāṣ tanpa adanya ketidakadilan, maka wajib qiṣāṣ padanya. Boleh di-qiṣāṣ sebagian dengan sebagian. Abu Ishaq berkata: Tidak boleh di-qiṣāṣ sebagian dengan sebagian, sebagaimana pendapatnya dalam masalah lidah. Namun pendapat yang rajih adalah yang pertama, karena jika memungkinkan qiṣāṣ secara keseluruhan, maka memungkinkan pula sebagian. Kemaluan lelaki yang masih utuh di-qiṣāṣ dengan kemaluan lelaki yang telah dikebiri, karena kemaluan keduanya sama dalam fungsi bersetubuh dan ketidakmampuan ejakulasi berasal dari sebab lain. Dan kemaluan laki-laki yang belum disunat boleh di-qiṣāṣ dengan yang telah disunat karena kelebihan kulit padanya adalah bagian yang layak dihilangkan dengan khitan. Tidak boleh dilakukan qiṣāṣ anggota yang sehat dengan anggota yang lumpuh, karena anggota yang lumpuh itu kurang nilainya, maka tidak di-qiṣāṣ dengan yang utuh.

فصل: ويقطع الأنثيان بالأنثيين لقوله تعالى: {وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} ولأنه ينتهي إلى حد فاصل يمكن القصاص فيه فوجب فيه القصاص فإن قطع إحدى الأنثيين وقال أهل الخبرة إنه أخذها من غير إتلاف الأخرى اقتص منه وإن قالوا إنه يؤدي قطعها إلى إتلاف الأخرى لم يقتص منه لأنه يقتص من أنثيين بواحدة.

PASAL: Boleh dipotong kedua buah zakar dengan kedua buah zakar, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “wal-jurūḥa qiṣāṣ”, dan karena keduanya berakhir pada batas yang jelas yang memungkinkan dilakukan qiṣāṣ, maka wajib qiṣāṣ atas keduanya. Jika seseorang memotong salah satu dari kedua buah zakar, dan para ahli mengatakan bahwa ia memotongnya tanpa merusak yang lainnya, maka boleh di-qiṣāṣ. Namun jika para ahli mengatakan bahwa pemotongan salah satunya akan menyebabkan kerusakan pada yang lainnya, maka tidak boleh di-qiṣāṣ, karena berarti membalas dua buah zakar hanya dengan satu.

فصل: واختلف أصحابنا في الشفريين فمنهم من قال لا قصاص فيهما وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله لأنه لحم وليس له مفصل ينتهي إليه فلم يجب فيه القصاص كلحم الفخذ ومنهم من قال: يجب فيه القصاص وهو المنصوص في الأم لأنهما لحمان محيطان بالفرج من الجانبين يعرف انتهاؤهما فوجب فيهما القصاص.

PASAL: Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai dua syafrah (bibir kemaluan perempuan). Sebagian dari mereka berpendapat tidak ada qiṣāṣ pada keduanya, dan ini adalah pendapat Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāʾīnī raḥimahullāh, karena keduanya hanyalah daging tanpa ada sendi yang menjadi batas akhir, maka tidak wajib qiṣāṣ padanya sebagaimana daging paha. Dan sebagian dari mereka berpendapat bahwa qiṣāṣ wajib padanya, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam al-Umm, karena keduanya adalah dua daging yang mengelilingi kemaluan dari dua sisi, yang diketahui batas akhirnya, maka wajib qiṣāṣ padanya.

فصل: وإن قطع رجل ذكر خنثى مشكل وأنثييه وشفريه وطلب حقه قبل أن يتبين حاله أنه ذكر أو أنثى نظرت فإن طلب القصاص لم يكن له لجواز أن يكون امرأة فلا يجب لها عليه في شيء من ذلك القصاص وإن طلب المال نظرت فإن عفا عن القصاص أعطى أقل حقيه وهو حق امرأة فيعطي دية عن الشفرين وحكومة في الذكر والأنثيين فإن بان أنه امرأة فقد استوفت حقها وإن بان أنه رجل تمم له الباقي من دية الذكر والأنثيين وحكومة عن الشفرين

PASAL: Jika seseorang memotong dzakar khuntsā musykil, kedua buah zakarnya, dan kedua syafr-nya, lalu ia menuntut haknya sebelum jelas keadaannya apakah ia laki-laki atau perempuan, maka diperhatikan: jika ia menuntut qiṣāṣ, maka tidak diberikan karena boleh jadi ia seorang perempuan, sedangkan perempuan tidak berhak mendapatkan qiṣāṣ atas hal tersebut. Jika ia menuntut harta, maka diperhatikan: jika ia memaafkan qiṣāṣ, maka diberikan hak yang paling sedikit dari dua kemungkinan, yaitu hak seorang perempuan. Maka ia diberikan diyah untuk dua syafr, dan ḥukūmah untuk dzakar dan kedua buah zakar. Jika kemudian ternyata ia seorang perempuan, maka ia telah menerima seluruh haknya. Namun jika ternyata ia seorang laki-laki, maka disempurnakan sisanya berupa diyah untuk dzakar dan kedua buah zakar, serta ḥukūmah untuk dua syafr.

فإن لم يعف عن القصاص وقف القصاص إلى أن يتبين لأنه يجوز أن يكون امرأة فلا يجب عليه القصاص أما المال ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أنه لا يعطى لأن دفع المال لا يجب مع القود وهو مطالب بالقود فسقطت المطالبة بالمال والوجه الثاني وهو قول أكثر أصحابنا أنه لا يعطي أقل ما يستحق مع القود لأنه يستحق القود في عضو والمال في غيره فلم يكن دفع المال عفواً عن القود فيعطي حكومة في الشفرين ويوقف القود في الذكر والأنثيين وقال القاضي أبو حامد المروروذي في جامعه يعطي دية الشفرين وهذا خطأ لأنه ربما بان أنه رجل فيجب القود في الذكر والأنثيين والحكومة في الشفرين.

Jika ia tidak memaafkan qiṣāṣ, maka pelaksanaan qiṣāṣ ditangguhkan hingga jelas keadaannya, karena bisa jadi ia seorang perempuan, sehingga tidak wajib qiṣāṣ atas hal tersebut. Adapun mengenai harta, terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah, menyatakan bahwa tidak diberikan apa pun karena pembayaran harta tidak wajib jika masih menuntut qiṣāṣ, dan karena ia menuntut qiṣāṣ, gugurlah tuntutan harta.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama kami, menyatakan bahwa ia tetap diberikan bagian paling sedikit yang berhak ia terima bersamaan dengan tuntutan qiṣāṣ, karena ia berhak atas qiṣāṣ pada sebagian anggota dan harta pada anggota lainnya, maka pemberian harta tidak dianggap sebagai pengguguran atas qiṣāṣ. Maka ia diberikan ḥukūmah atas dua syafr, dan qiṣāṣ atas dzakar dan kedua buah zakar ditangguhkan.

Al-Qāḍī Abū Ḥāmid al-Marwazī dalam kitab Jāmiʿ-nya berkata bahwa diberikan diyah dua syafr, namun ini adalah kesalahan, karena boleh jadi ternyata ia laki-laki, sehingga wajib qiṣāṣ atas dzakar dan kedua buah zakar, serta ḥukūmah atas dua syafr.

فصل: وما وجب فيه القصاص من الأعضاء وجب فيه القصاص وإن اختلف العضوان في الصغر والكبر والطول والقصر والصحة والمرض لأنا لو اعتبرنا المساواة في هذه المعاني سقط القصاص في الأعضاء لأنه لا يكاد أن يتفق العضوان في هذه الصفات فسقط اعتبارها.

PASAL: Dan anggota yang wajib di-qishāṣ, maka wajib di-qishāṣ meskipun dua anggota itu berbeda dalam hal kecil dan besar, panjang dan pendek, sehat dan sakit. Karena jika kita mensyaratkan kesamaan dalam sifat-sifat ini, niscaya qishāṣ pada anggota tubuh akan gugur, sebab hampir tidak mungkin dua anggota itu benar-benar sama dalam sifat-sifat tersebut. Maka gugurlah pertimbangan kesamaan itu.

فصل: وما انقسم من الأعضاء إلى يمين ويسار كالعين واليد وغيرهما لم تؤخذ اليمين فيه باليسار ولا اليسار باليمين وما انقسم إلى أعلى وأسفل كالشفة والجفن لم يؤخذ الأعلى بالأسفل ولا الأسفل بالأعلى ولا تؤخذ سن بسن غيرها ولا أصبع بأصبع غيرها ولا أنملة بأنملة غيرها لأنها جوارح مختلفة المنافع والأماكن فلم يؤخذ بعضها ببعض كالعين بالأنف واليد بالرجل وما لا يؤخذ بعضه ببعض مما ذكرناه لا يؤخذ وإن رضي الجاني والمجني عليه وكذلك ما لا يؤخذ من الأعضاء الكاملة بالأعضاء الناقصة كالعين الصحيحة بالقائمة واليد الصحيحة بالشلاء لا يؤخذ وإن رضي الجاني والمجني عليه بأخذها لأن الدماء لا تستباح بالإباحة.

PASAL: Anggota tubuh yang terbagi menjadi kanan dan kiri, seperti mata, tangan, dan selainnya, tidak boleh di-qiṣāṣ kanan dengan kiri, atau kiri dengan kanan. Anggota yang terbagi menjadi atas dan bawah, seperti bibir dan kelopak mata, tidak boleh di-qiṣāṣ atas dengan bawah, atau bawah dengan atas. Tidak boleh pula gigi dibalas dengan gigi selainnya, jari dengan jari selainnya, atau ruas jari dengan ruas jari selainnya, karena masing-masing adalah anggota yang berbeda manfaat dan tempatnya, maka tidak di-qiṣāṣ satu sama lain seperti halnya mata dengan hidung, atau tangan dengan kaki.

Apa yang tidak bisa di-qiṣāṣ sebagian dengan sebagian dari apa yang disebutkan di atas, tidak boleh di-qiṣāṣ meskipun pelaku dan korban saling merelakan, demikian pula anggota tubuh yang sempurna tidak boleh di-qiṣāṣ dengan anggota yang cacat, seperti mata yang sehat dengan mata yang hanya berdiri (tanpa penglihatan), atau tangan yang sehat dengan tangan yang lumpuh; tidak boleh di-qiṣāṣ meskipun pelaku dan korban rela, karena darah tidak boleh dihalalkan hanya dengan kerelaan.

فصل: وإن جنى على رجل جناية يجب فيها القصاص ثم قتله وجب القصاص فيهما عند الاجتماع كقطع اليد والرجل.

PASAL: Dan jika seseorang melakukan jināyah terhadap seorang laki-laki dengan jināyah yang mewajibkan qishāṣ, lalu ia membunuhnya, maka wajib qishāṣ pada keduanya ketika keduanya terkumpul, seperti memotong tangan dan kaki.

فصل: وإن قتل واحد جماعة أو قطع عضواً من جماعة لم تتداخل حقوقهم لأنها حقوق مقصودة لآدميين فلم تتداخل كالديون فإن قتل أو قطع واحداً بعد واحد اقتص منه الأول لأن له مزية بالسبق وإن سقط حق الأول بالعفو اقتص للثاني وإن سقط حق الثاني اقتص للثالث وعلى هذا وإذا اقتص منه لواحد بعينه تعين حق الباقين في الدية لأنه فاتهم القود بغير رضاهم فانتقل حقهم إلى الدية كما لو مات القاتل أو زال طرفه

PASAL: Jika seseorang membunuh beberapa orang atau memotong anggota tubuh dari beberapa orang, maka hak-hak mereka tidak saling masuk (tidak saling meniadakan), karena itu adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk manusia, maka tidak saling meniadakan sebagaimana utang. Jika ia membunuh atau memotong satu demi satu, maka dilakukan qiṣāṣ terhadap yang pertama karena ia memiliki keutamaan dalam hal mendahului. Jika hak orang pertama gugur karena pemaafan, maka dilakukan qiṣāṣ untuk yang kedua. Jika hak orang kedua gugur, maka dilakukan qiṣāṣ untuk yang ketiga, dan seterusnya. Jika telah dilakukan qiṣāṣ untuk salah satu dari mereka secara khusus, maka hak sisanya menjadi diyah, karena mereka kehilangan hak qiṣāṣ tanpa kerelaan mereka, maka berpindahlah hak mereka kepada diyah, sebagaimana jika pembunuhnya mati atau anggota tubuh pelaku hilang.

وإن قتلهم أو قطعهم دفعة واحدة أو أشكل الحال أقرع بينهم فمن خرجت له القرعة اقتص له لأنه لا مزية لبعضهم على بعض فقدم بالقرعة كما قلنا فيمن أراد السفر ببعض نسائه فإن خرجت القرعة لواحد فعفا عن حقه أعيدت القرعة للباقين لتساويهم وإن ثبت القصاص لواحد منهم بالسبق أو القرعة فبدر غيره واقتص صار مستوفياً لحقه وإن أساء في التقدم على من هو أحق منه كما قلنا قيمن قتل مرتداً بغير إذن الإمام أنه يصير مستوفياً لقتل الردة وإن أساء في الافتيات على الإمام وإن قتل رجل جماعة في المحاربة ففيه وجهان: أحدهما: أن حكمه حكم ما لو قتله في غير المحاربة والثاني: أنه يقتل بالجميع لأن قتل المحاربة لحق الله تعالى ولهذا لا يسقط بالعفو فتداخل كحدود الله تعالى.

Dan jika ia membunuh mereka atau memotong anggota tubuh mereka sekaligus, atau keadaannya tidak jelas, maka dilakukan pengundian di antara mereka. Siapa yang keluar undiannya, maka dilakukan qiṣāṣ untuknya, karena tidak ada keutamaan sebagian mereka atas sebagian yang lain, maka didahulukan dengan undian sebagaimana yang kami katakan pada orang yang hendak bepergian bersama sebagian istrinya. Jika undian jatuh pada salah satu dari mereka lalu ia memaafkan haknya, maka diundi ulang untuk sisanya karena mereka sama kedudukannya.

Jika qiṣāṣ telah ditetapkan bagi salah satu dari mereka karena mendahului atau melalui undian, lalu orang lain mendahului dan melakukan qiṣāṣ, maka ia dianggap telah mengambil haknya. Namun ia telah bersalah karena mendahului orang yang lebih berhak, sebagaimana kami katakan tentang orang yang membunuh murtad tanpa izin imam: ia dianggap telah menunaikan qiṣāṣ karena kemurtadan, namun ia bersalah karena melangkahi imam.

Dan jika seseorang membunuh sekelompok orang dalam kasus muḥārabah, maka ada dua pendapat:

Pertama: hukumnya sama seperti jika ia membunuh mereka di luar muḥārabah.

Kedua: ia dibunuh karena membunuh mereka semua, karena pembunuhan dalam muḥārabah merupakan hak Allah Ta‘ālā, dan oleh karena itu tidak gugur dengan pemaafan, maka hukumnya saling masuk sebagaimana hudud Allah Ta‘ālā.

فصل: وإن قطع يد رجل وقتل آخر قطع للمقطوع ثم قتل للمقتول تقدم القطع أو تأخر لأنا إذا قدمنا القتل سقط حق المقطوع وإن قدمنا القطع لم يسقط حق المقتول وإذا أمكن الجمع بين الحقين من غير نقص لم يجز إسقاط أحدهما: ويخالف إذا قتل اثنين لأنه لا يمكن إبقاء الحقين فقدم السبق وإن قطع إصبعاً من يمين رجل ثم قطع يمين آخر قطع الإصبع للأول ثم قطعت اليد للثاني ويدفع إليه أرش الأصبع ويخالف إذا قطع ثم قتل حيث قلنا إنه يقطع للأول ويقتل للثاني ولا يلزمه لنقصان اليد شيء

PASAL: Jika seseorang memotong tangan seorang laki-laki dan membunuh orang lain, maka ia dipotong karena orang yang tangannya dipotong, lalu dibunuh karena orang yang dibunuh, baik potongnya didahulukan maupun diakhirkan. Karena jika pembunuhan didahulukan, maka gugur hak orang yang tangannya dipotong, dan jika pemotongan didahulukan, maka tidak gugur hak orang yang dibunuh. Dan apabila memungkinkan untuk menggabungkan dua hak tersebut tanpa mengurangi salah satunya, maka tidak boleh menggugurkan salah satunya. Ini berbeda dengan kasus membunuh dua orang, karena tidak mungkin menggabungkan dua hak tersebut, maka didahulukan siapa yang lebih dulu. Dan jika ia memotong satu jari dari tangan kanan seseorang, lalu memotong seluruh tangan kanan orang lain, maka dipotong jari untuk yang pertama, lalu dipotong tangan untuk yang kedua, dan diberikan kepadanya arsy jari. Ini berbeda jika ia memotong lalu membunuh, sebagaimana kami katakan: ia dipotong untuk yang pertama dan dibunuh untuk yang kedua, dan tidak wajib mengganti kekurangan tangan dengan sesuatu.

لأن النفس لا تنقص لنقصان اليد ولهذا يقتل صحيح بمقطوع اليد واليد تنقص بنقصان الأصبع ولهذا لا تقطع اليد الصحيحة بيد ناقصة الأصابع وإن قطع يمين رجل ثم قطع إصبعاً من يد رجل آخر قطعت يمينه للأول لأن حقه سابق ويخالف إذا قتل رجلاً ثم قطع يد آخر حيث أخرنا القتل وإذا كان سابقاً لأن هناك يمكن إبقاء الحقين من غير نقص يدخل على ولي المقتول بقطع اليد وهاهنا يدخل النقص على صاحب اليد بنقصان الإصبع.

Karena jiwa tidak berkurang dengan berkurangnya tangan, oleh sebab itu orang yang sempurna (anggota tubuhnya) dibunuh karena membunuh orang yang tangannya terpotong. Sedangkan tangan berkurang dengan berkurangnya jari, oleh sebab itu tangan yang sempurna tidak dipotong karena tangan yang jari-jarinya kurang. Dan jika seseorang memotong tangan kanan seorang laki-laki, lalu memotong satu jari dari tangan laki-laki lain, maka dipotong tangannya untuk orang pertama karena haknya lebih dahulu. Ini berbeda jika ia membunuh seorang laki-laki lalu memotong tangan laki-laki lain, di mana pembunuhan diakhirkan sekalipun ia lebih dahulu, karena di sana memungkinkan untuk mempertahankan kedua hak tanpa mengurangi hak wali orang yang dibunuh melalui pemotongan tangan, sedangkan di sini (dalam kasus potong tangan lalu potong jari) terjadi pengurangan pada pemilik tangan karena hilangnya jari.

فصل: وإن قتل رجلاً وارتد أو قطع يمين رجل وسرق قدم حق الآدمي من القتل والقطع وسقط حق الله تعالى لأن حق الآدمي مبني على التشديد فقدم على حق الله تعالى.

PASAL: Jika seseorang membunuh seorang laki-laki lalu murtad, atau memotong tangan kanan seseorang lalu mencuri, maka didahulukan hak ādamī berupa qatl dan potong tangan, dan gugurlah hak Allah Ta‘ālā, karena hak ādamī dibangun di atas dasar penegasan (pemberatan), maka didahulukan atas hak Allah Ta‘ālā.

باب استيفاء القصاص
من ورث المال ورث الدية لما روى الزهري عن سعيد بن المسيب قال: كان عمر رضي الله عنه يقول: لا ترث المرأة من دية زوجها حتى قال له الضحاك بن قيس: كتب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ورث امرأة أشيم الضبابي من دية زوجها فرجع عمر رضي الله عنه عن ذلك ويقضي من الدية دينه وينفذ منها وصيته وقال أبو ثور: لا يقضي منها الدين ولا ينفذ منها الوصية لأنها تجب بعد الموت والمذهب الأول لأنه مال يملكه الوارث من جهة فقضى منه دينه ونفذت منه وصيته كسائر أمواله ومن ورث المال ورث القصاص

BAB PENGAMBILAN QIṢĀṢ

Barang siapa yang mewarisi harta, maka ia mewarisi diyat, berdasarkan riwayat dari al-Zuhrī dari Sa‘īd bin al-Musayyab, ia berkata: Dahulu ‘Umar RA berkata, “Perempuan tidak mewarisi diyat dari suaminya.” Hingga Ḍaḥḥāk bin Qays berkata kepadanya, “Rasulullah SAW menulis surat bahwa beliau mewariskan istri Asy-yam aḍ-Ḍibābī dari diyat suaminya.” Maka ‘Umar RA pun rujuk dari pendapat tersebut. Dan dari diyat itu dibayarkan utangnya dan dijalankan wasiatnya.

Abū Ṯawr berkata: “Tidak dibayarkan dari diyat itu utang dan tidak dijalankan wasiat, karena diyat itu menjadi wajib setelah kematian.”

Namun pendapat yang rajih adalah yang pertama, karena ia merupakan harta yang dimiliki oleh ahli waris dari pihak yang wafat, maka dibayarkan darinya utang dan dijalankan darinya wasiat sebagaimana harta lainnya.

Barang siapa yang mewarisi harta, maka ia mewarisi qiṣāṣ.

والدليل عليه ما روى أبو شريح الكعبي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “ثم أنتم يا خزاعة قد قتلتم هذا القتيل من هذيل وأنا والله عاقل فمن قتل بعده قتيلاً فأهله بين خيرتين إن أحبوا قتلوا وإن أحبوا أخذوا الدية”. وإن قطع مسلم طرف مسلم ثم ارتد ومات في الردة وقلنا بأصح القولين أنه يجب القصاص في طرفه فقد نقل المزني أنه قال: يقتص وليه المسلم

Dan dalilnya adalah riwayat dari Abū Syarīḥ al-Kaʿbī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian kalian wahai Khuza‘ah, sungguh kalian telah membunuh seseorang dari Hudzail, dan aku —demi Allah— yang menanggung diyatnya. Maka barang siapa setelah itu membunuh seseorang, maka keluarganya diberi dua pilihan: jika mereka menghendaki, mereka membunuh (sebagai qiṣāṣ), dan jika mereka menghendaki, mereka mengambil diyat.”

Dan jika seorang Muslim memotong anggota tubuh Muslim lain, lalu ia murtad dan mati dalam keadaan murtad, dan kita katakan berdasarkan pendapat yang paling ṣaḥīḥ bahwa wajib qiṣāṣ pada anggota tubuhnya, maka telah dinukil oleh al-Muzanī bahwa ia berkata: “Ahli warisnya yang Muslim mengeksekusi qiṣāṣ.”

وقال المزني رحمه الله لا يقتص غير الإمام لأن المسلم لا يرثه فمن أصحابنا من قال: لا يقتص غير الإمام كما قال المزني وحمل قول الشافعي رحمة الله عليه على الإمام وقال عامة أصحابنا: يقتص المناسب لأن القصد من القصاص التشفي ودرك الغيظ والذي يتشفى هو المناسب ويجوز أن يثبت القصاص لمن لا يرث شيئاً كما لو قتل من له وارث وعليه دين محيط بالتركة فإن القصاص للوارث وإن لم يرث شيئاً وإن كان الوارث صغيراً أو مجنوناً لم يستوف له الولي

Dan al-Muzanī rahimahullah berkata: “Tidak boleh mengeksekusi qiṣāṣ selain imam, karena Muslim tidak mewarisi (orang murtad).” Maka sebagian dari kalangan kami berkata: “Tidak boleh selain imam yang mengeksekusinya, sebagaimana pendapat al-Muzanī,” dan mereka menakwilkan perkataan al-Syāfi‘ī rahimahullah atas imam.

Namun mayoritas dari kalangan kami berkata: “Yang mengeksekusi adalah kerabat, karena tujuan dari qiṣāṣ adalah pelampiasan dan meredakan amarah, dan yang mendapatkan pelampiasan itu adalah kerabat.”

Dan boleh ditetapkan hak qiṣāṣ bagi orang yang tidak mewarisi harta sedikit pun, sebagaimana jika dibunuh seseorang yang memiliki ahli waris, namun ia memiliki utang yang menghabiskan seluruh warisan, maka qiṣāṣ tetap menjadi hak ahli waris meskipun ia tidak mewarisi harta sedikit pun.

Dan jika ahli waris itu masih kecil atau gila, maka walinya tidak boleh mengeksekusi qiṣāṣ untuknya.

لأن القصد من القصاص التشفي ودرك الغيظ وذلك لا يحصل باستيفاء الولي ويحبس القاتل إلى أن يبلغ الصغير أو يعقل المجنون لأن فيه حظاً للقاتل بأن لا يقتل وفيه حظاً للمولى عليه ليحصل له التشفي فإن أقام القاتل كفيلاً ليخلي لم يجز تخليته لأن فيه تغريراً بحق المولى عليه بأن يهرب فيضيع الحق وإن ركب الصبي أو المجنون على القاتل فقتله ففيه وجهان: أحدهما: أن يصير مستوفياً لحقه كما لو كانت له وديعة عند رجل فأتلفها

Karena tujuan dari qiṣāṣ adalah pelampiasan dan meredakan amarah, dan itu tidak tercapai dengan pelaksanaan oleh wali. Maka si pembunuh ditahan sampai anak kecil itu balig atau orang gila itu sadar, karena dalam hal itu terdapat maslahat bagi si pembunuh agar tidak dibunuh, dan terdapat maslahat bagi yang berada di bawah perwalian agar memperoleh pelampiasan.

Jika si pembunuh mengajukan penjamin agar dibebaskan, maka tidak boleh dibebaskan karena hal itu membahayakan hak orang yang berada di bawah perwalian, karena dikhawatirkan si pembunuh kabur sehingga hak menjadi hilang.

Dan jika anak kecil atau orang gila itu dinaikkan ke atas tubuh si pembunuh lalu membunuhnya, maka ada dua wajah:

Pertama, ia dianggap telah menunaikan haknya, sebagaimana jika ia memiliki barang titipan pada seseorang lalu ia merusaknya.

والثاني: لا يصير مستوفياً لحقه وهو الصحيح لأنه ليس من أهل استيفاء الحقوق ويخالف الوديعة فإنها لو تلفت من غير فعل برئ منها المودع ولو هلك الجاني من غير فعل لم يبرأ من الجناية وإن كان القصاص بين صغير وكبير لم يجز للكبير أن يستوفي وإن كان بين عاقل ومجنون لم يجز للعاقل أن يستوفي لأنه مشترك بينهما فلا يجوز لأحدهما: أن ينفرد به فإن قتل من لا وارث له كان القصاص للمسلمين واستيفاؤه إلى السلطان وإن كان له من يرث منه بعض القصاص كان استيفاؤه إلى الوارث والسلطان ولا يجوز لأحدهما: أن ينفرد به لما ذكرناه.

Dan pendapat kedua: tidak dianggap telah menunaikan haknya, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena ia bukanlah orang yang berhak menunaikan hak-hak. Hal ini berbeda dengan barang titipan (wadī‘ah), karena jika rusak tanpa perbuatannya maka si penerima titipan bebas dari tanggung jawab, sedangkan jika pelaku jināyah mati tanpa sebab dari pihak lain, ia tidak bebas dari tanggung jawab jināyah.

Jika qiṣāṣ terjadi antara anak kecil dan orang dewasa, maka orang dewasa tidak boleh menunaikan qiṣāṣ. Dan jika antara orang berakal dan orang gila, maka orang berakal juga tidak boleh menunaikannya, karena hak itu bersifat bersama, maka tidak boleh salah satu dari keduanya menunaikannya secara sepihak.

Jika seseorang membunuh orang yang tidak memiliki ahli waris, maka qiṣāṣ itu menjadi hak kaum Muslimin, dan pelaksanaannya diserahkan kepada sulṭān. Dan jika si terbunuh memiliki ahli waris yang hanya berhak atas sebagian dari qiṣāṣ, maka pelaksanaan qiṣāṣ berada di tangan ahli waris dan sulṭān secara bersama, dan tidak boleh salah satu dari keduanya menunaikannya secara sepihak sebagaimana telah disebutkan.

فصل: وإن قتل رجل وله اثنان من أهل الاستيفاء فبدر أحدهما: وقتل القاتل من غير إذن أخيه ففيه قولان: أحدهما: لا يجب عليه القصاص وهو الصحيح لأن له في قتله حقاً فلا يجب عليه القصاص بقتله كما لا يجب الحد على أحد الشريكين في وطء الجارية المشتركة والثاني: يجب عليه القصاص لأنه اقتص في أكثر من حقه فوجب عليه القصاص كما لو وجب له القصاص في طرفه فقتله ولأن القصاص يجب بقتل بعض النفس إذا عرى عن الشبهة ولهذا يجب على كل واحد من الشريكين في القتل

PASAL: Jika seseorang membunuh seorang laki-laki, dan yang berhak melakukan istifā’ (penuntutan) ada dua orang, lalu salah satunya segera membunuh si pembunuh tanpa izin saudaranya, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: tidak wajib qiṣāṣ atasnya, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena ia memiliki hak dalam membunuhnya, maka tidak wajib qiṣāṣ atasnya karena membunuhnya, sebagaimana tidak wajib ḥadd atas salah satu dari dua orang yang memiliki budak perempuan lalu menyetubuhinya.

Pendapat kedua: wajib qiṣāṣ atasnya karena ia telah melakukan istifā’ lebih dari haknya, maka wajib qiṣāṣ atasnya sebagaimana jika seseorang berhak mendapat qiṣāṣ pada anggota tubuh, lalu ia membunuh (pelaku), dan karena qiṣāṣ itu wajib atas pembunuhan sebagian jiwa apabila terbebas dari syubhat, dan karena itu pula qiṣāṣ wajib atas setiap orang yang turut serta dalam pembunuhan.

وإن كان قاتلاً لبعض النفس والنفس والنصف الذي لأخيه لا شبهة فيه فوجب القصاص عليه بقتله وإن عفا أحدهما: عن حقه من القصاص ثم قتله الآخر بعد العلم بالعفو نظرت فإن كان بعد حكم الحاكم بسقوط القود عنه وجب عليه القصاص لأنه لم يبق له شبهة وإن كان قبل حكم الحاكم بسقوط القود عنه فإن قلنا يجب عليه القود إذا قتله قبل العفو فلأن يجب عليه إذا قتله بعد العفو أولى

Dan jika ia membunuh sebagian dari jiwa, dan jiwa serta separuh yang menjadi hak saudaranya tidak terdapat syubhat padanya, maka wajib atasnya qiṣāṣ karena membunuhnya. Dan jika salah satu dari keduanya memaafkan haknya dari qiṣāṣ, kemudian yang lain membunuhnya setelah mengetahui adanya pemaafan, maka diperhatikan: jika itu terjadi setelah keputusan hakim tentang gugurnya qiṣāṣ atasnya, maka wajib qiṣāṣ atasnya karena tidak tersisa lagi syubhat. Namun jika itu terjadi sebelum keputusan hakim tentang gugurnya qiṣāṣ atasnya, maka jika kita berpendapat bahwa qiṣāṣ wajib atasnya apabila membunuh sebelum adanya pemaafan, maka lebih utama lagi diwajibkan atasnya apabila membunuh setelah adanya pemaafan.

وإن قلنا لا يجب عليه قبل العفو ففيما بعد العفو قولان: أحدهما: يجب عليه لأنه لا حق له في قتله فصار كما لو عفوا ثم قتله أحدهما: والثاني: لا يجب لأن على مذهب مالك رحمة الله عليه يجب له القود بعد عفو الشريك فيصير ذلك شبهة في سقوط القود فإذا قلنا إنه يجب القصاص على الابن القاتل وجب دية الأب في تركة قاتله نصفها للأخ الذي لم يقتل ونصفها للأخ القاتل ولورثته بعده

Dan jika kita berpendapat bahwa qiṣāṣ tidak wajib atasnya sebelum adanya pemaafan, maka mengenai setelah pemaafan terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa qiṣāṣ wajib atasnya karena ia tidak memiliki hak untuk membunuh, maka keadaannya seperti jika keduanya telah memaafkan lalu salah satu dari keduanya membunuh. Pendapat kedua menyatakan bahwa qiṣāṣ tidak wajib atasnya, karena menurut mazhab Mālik raḥimahullāh, qiṣāṣ tetap menjadi haknya setelah pemaafan dari sekutunya, maka hal itu menjadi syubhat dalam menjatuhkan qiṣāṣ.

Maka jika kita berpendapat bahwa qiṣāṣ wajib atas anak yang membunuh, maka wajib dibayarkan diyah ayah kepada harta peninggalan si pembunuh, setengahnya untuk saudara yang tidak membunuh, dan setengahnya untuk saudara yang membunuh dan (kemudian) kepada ahli warisnya setelah itu.

وإذا قلنا لا يجب القصاص على الابن القاتل وجب عليه نصف دية المقتول لأنه قتله وهو يستحق نصف النفس وللأخ الذي لم يقتل نصف الدية وفيمن يجب عليه قولان: أحدهما: يجب على الابن القاتل لأن نفس القاتل كانت مستحقة لهما فإذا أتلفها أحدهما: لزمه ضمان حق الآخر كما لو كانت لهما وديعة عند رجل فأتلفها أحدهما: فعلى هذا إن أبرأ لابن الذي لم يقتل ورثة قاتل أبيه من نصفه لم يصح إبراؤه لأنه أبرأ من لا حق له عليه

Dan jika kita berpendapat bahwa qiṣāṣ tidak wajib atas anak yang membunuh, maka wajib atasnya membayar setengah diyah orang yang dibunuh, karena ia membunuhnya padahal ia hanya berhak atas setengah jiwa. Maka saudara yang tidak membunuh berhak atas setengah diyah.

Dan mengenai siapa yang wajib membayar, terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa wajib atas anak yang membunuh, karena jiwa si terbunuh adalah milik bersama keduanya. Maka apabila salah satu dari keduanya membinasakannya, wajib baginya menjamin hak saudaranya, sebagaimana jika keduanya memiliki titipan pada seseorang lalu salah satunya merusaknya, maka ia wajib menanggung bagi saudaranya.

Berdasarkan pendapat ini, jika ahli waris si pembunuh ayahnya dibebaskan dari kewajiban membayar setengah diyah oleh saudara yang tidak membunuh, maka pembebasan itu tidak sah, karena ia membebaskan orang yang tidak memiliki kewajiban terhadapnya.

وإن أبرأ أخاه صح إبراؤه لأنه أبرأ من عليه الحق والقول الآخر أنه يجب ذلك في تركة قاتل أبيه لأنه قود سقط إلى مال فوجب في تركة القاتل كما لو قتله أجنبي ويخالف الوديعة فإنه لو أتلفها أجنبي وجب حقه عليه والقاتل لو قتله أجنبي لم يجب حقه عليه فعلى هذا لو أبرأ أخاه لم يصح إبراؤه وإن أبرأ ورثة قاتل أبيه صح إبراؤه ولورثة قاتل الأب مطالبة الابن القاتل بنصف الدية لأن ذلك حق لهم عليه فلا يسقط ببراءتهم عن الابن الآخر.

Dan jika ia membebaskan saudaranya, maka sah pembebasannya karena ia membebaskan orang yang memang memiliki kewajiban atasnya.

Adapun pendapat lain menyatakan bahwa kewajiban tersebut berada dalam harta peninggalan si pembunuh ayahnya, karena qiṣāṣ yang gugur menjadi harta (māl), maka wajib diambil dari harta peninggalan si pembunuh, sebagaimana jika yang membunuhnya adalah orang lain. Dan berbeda halnya dengan barang titipan (wadī‘ah), karena jika dirusak oleh orang lain, maka haknya wajib atasnya, sementara si pembunuh, jika ia dibunuh oleh orang lain, maka tidak wajib haknya atasnya.

Berdasarkan pendapat ini, jika ia membebaskan saudaranya, maka pembebasannya tidak sah. Dan jika ia membebaskan ahli waris si pembunuh ayahnya, maka pembebasannya sah. Dan ahli waris si pembunuh ayah berhak menuntut anak yang membunuh ayahnya untuk membayar setengah diyah, karena itu adalah hak mereka atasnya, maka tidak gugur dengan pembebasan mereka terhadap anak yang lain.

فصل: ولا يجوز استيفاء القصاص إلا بحضرة السلطان لأنه يفتقر إلى الاجتهاد ولا يؤمن فيه الحيف مع قصد التشفي فإن استوفاه من غير حضرة السلطان عزره على ذلك ومن أصحابنا من قال: لا يعزر لأنه استوفى حقه والمنصوص أنه يعزر لأنه افتيات على السلطان والمستحب أن يكون بحضرة شاهدين حتى لا ينكر المجني عليه الاستيفاء وعلى السلطان أن يتفقد الآلة التي يستوفى بها القصاص فإن كانت كالة منع من الاستيفاء بها

PASAL: Tidak boleh menunaikan qiṣāṣ kecuali di hadapan sulṭān, karena hal itu memerlukan ijtihād dan tidak terjamin terhindar dari keberpihakan ketika ada niat membalas dendam. Jika qiṣāṣ ditunaikan tanpa kehadiran sulṭān, maka pelakunya diberi ta‘zīr karena perbuatannya. Di antara para sahabat kami ada yang berpendapat bahwa tidak diberi ta‘zīr karena ia menunaikan haknya, tetapi pendapat yang manṣūṣ (ditegaskan) adalah bahwa ia tetap diberi ta‘zīr, karena telah mendahului sulṭān. Dianjurkan agar pelaksanaan qiṣāṣ disaksikan oleh dua orang saksi agar pihak yang dizalimi tidak mengingkari pelaksanaan tersebut. Dan sulṭān harus memeriksa alat yang akan digunakan untuk menunaikan qiṣāṣ; jika alat tersebut tumpul, maka ia harus melarang penggunaannya.

لما روى شداد بن أوس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن الله كتب الإحسان على كل شيء فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته” . وإن كانت مسمومة منع من الاستيفاء بها لأنه يفسد البدن ويمنع من غسله فإن عجل واستوفى بآلة كالة أو بآلة مسمومة عزر فإن طلب من له القصاص أن يستوفي بنفسه فإن كان في الطرف لم يمكن منه لأنه لا يؤمن مع قصد التشفي أن يجني عليه بما لا يمكن تلافيه

karena telah diriwayatkan dari Syaddād bin Aus RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan iḥsān atas segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh, berbuat baiklah dalam membunuh, dan apabila kalian menyembelih, berbuat baiklah dalam menyembelih. Hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan memberikan kenyamanan bagi hewan sembelihannya.”

Jika alat itu beracun, maka dicegah untuk melakukan istiḫfāʾ (penegakan qiṣāṣ) dengannya, karena alat tersebut merusak jasad dan menghalangi untuk dimandikan. Jika ia tergesa-gesa lalu menegakkan qiṣāṣ dengan alat yang tumpul atau dengan alat yang beracun, maka ia dikenai ta‘zīr. Jika orang yang memiliki hak qiṣāṣ meminta untuk menegakkannya sendiri, maka jika pada anggota tubuh, tidak dibolehkan baginya karena dikhawatirkan dengan dorongan balas dendam ia akan melukai dengan luka yang tidak bisa diperbaiki.

وإن كان في النفس فإن كان يكمل للاستيفاء بالقوة والمعرفة مكن منه لقوله تعالى: {وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً} ولقوله صلى الله عليه وسلم: “فمن قتل بعده قتيلاً فأهله بين خيرتين إن أحبوا قتلوا وإن أحبوا أخذوا الدية” . لأن القصد من القصاص التشفي ودرك الغيظ فمكن منه وإن لم يكمل للاستيفاء أمر بالتوكيل فإن يكن من يستوفي بغير عوض استؤجر من خمس المصالح من يستوفي لأن ذلك من المصالح وإن لم يكن خمس أو كان ولكنه يحتاج إليه لما هو أهم منه وجبت الأجرة على الجاني

dan jika qiṣāṣ itu pada jiwa, maka jika orang yang berhak menegakkan qiṣāṣ itu cakap untuk melakukannya dengan kekuatan dan pengetahuan, maka dibolehkan baginya untuk menegakkannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya, maka janganlah ia melampaui batas dalam pembunuhan, sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan” dan sabda Nabi SAW: “Barang siapa membunuh, maka keluarganya diberi dua pilihan: jika mereka menghendaki, mereka boleh membunuh (sebagai qiṣāṣ), dan jika mereka menghendaki, mereka boleh mengambil diyat.” Karena tujuan dari qiṣāṣ adalah pelampiasan dan penghilang rasa marah, maka dibolehkan untuk menegakkannya.

Jika ia tidak cakap untuk menegakkannya, maka ia diperintahkan untuk menunjuk wakil. Jika ada yang dapat menegakkannya tanpa imbalan, maka diupah dari khumus al-maṣāliḥ orang yang akan menegakkannya, karena hal itu termasuk kemaslahatan. Jika tidak ada khumus atau ada tetapi dibutuhkan untuk sesuatu yang lebih penting darinya, maka biaya upah menjadi tanggungan pelaku kejahatan.

لأن الحق عليه فكانت أجرة الاستيفاء عليه كالبائع في كيل الطعام المبيع فإن قال الجاني أقتص لك بنفسي ولا أؤدي الأجرة لم يجب تمكينه لأن القصاص أن يؤخذ منه مثل ما أخذ ولأن من لزمه إيفاء حق لغيره لم يجز أن يكون هو المستوفي كالبائع في كيل الطعام المبيع فإن كان القصاص لجماعة وهم من أهل الاستيفاء وتشاحوا أقرع بينهم لأنه لا يجوز اجتماعهم على القصاص لأن في ذلك تعذيباً للجاني ولا مزية لبعضهم على بعض فوجب التقديم بالقرعة.

karena hak itu berada atas tanggungannya, maka upah penegakan qiṣāṣ pun menjadi tanggungannya, sebagaimana penjual yang menakar makanan yang dijual. Jika pelaku kejahatan berkata, “Aku akan melaksanakan qiṣāṣ untukmu sendiri dan tidak membayar upah,” maka tidak wajib untuk memberinya izin, karena qiṣāṣ adalah bahwa diambil darinya seperti apa yang ia ambil. Dan karena siapa pun yang wajib menunaikan hak bagi orang lain, tidak boleh menjadi pelaksana hak itu sendiri, seperti penjual dalam menakar makanan yang dijual.

Jika qiṣāṣ menjadi milik sekelompok orang yang semuanya berhak menegakkannya, lalu mereka berselisih, maka dilakukan undian di antara mereka, karena mereka tidak boleh berkumpul bersama dalam pelaksanaan qiṣāṣ, sebab hal itu menyiksa pelaku kejahatan, dan tidak ada keutamaan satu di atas yang lain di antara mereka, maka harus didahulukan dengan undian.

فصل: وإن كان القصاص على امرأة حامل لم يقتص منها حتى تضع لقوله تعالى: {وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ} وفي قتل الحامل إسراف في القتل لأنه يقتل من قتل ومن لم يقتل وروى عمران بن الحصين رضي الله عنه أن امرأة من جهينة أتت النبي صلى الله عليه وسلم وقالت إنها زنت وهي حبلى فدعا النبي صلى الله عليه وسلم وليها فقال له: “أحسن إليها فإذا وضعت فجيء بها”.

PASAL: Jika qiṣāṣ terhadap seorang perempuan hamil, maka tidak boleh dilaksanakan qiṣāṣ terhadapnya hingga ia melahirkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan barang siapa yang dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah menjadikan untuk walinya kekuasaan, maka janganlah ia melampaui batas dalam membunuh.” Karena membunuh perempuan hamil termasuk melampaui batas dalam membunuh, sebab berarti membunuh orang yang membunuh dan juga yang tidak membunuh. Diriwayatkan dari ‘Imrān bin Ḥuṣain RA bahwa seorang perempuan dari Juhaynah datang kepada Nabi SAW dan berkata bahwa ia telah berzina dan ia sedang hamil. Maka Nabi SAW memanggil walinya dan berkata kepadanya: “Perlakukanlah dia dengan baik, dan apabila ia telah melahirkan, maka bawalah dia (kepadaku).”

فلما أن وضعت جاء بها فأمر بها النبي صلى الله عليه وسلم فرجمت ثم أمرهم فصلوا عليها وإذا وضعت لم تقتل حتى تسقي الولد اللبأ لأنه لا يعيش إلا به وإن لم يكن من يرضعه لم يجز قتلها حتى ترضعه حولين كاملين لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال للعامرية: “اذهبي حتى ترضعيه”. ولأنه لما أخر القتل لحفظه وهو حمل فلأن يؤخر لحفظه وهو مولود أولى وإن وجد له مرضعة راتبة جاز أن يقتص لأنه يستغني بها عن الأم وإن وجد مرضعات غير رواتب أو وجدت بهيمة يسقي من لبنها فالمستحب لولي الدم أن لا يقتصر حتى ترضعه

Maka ketika perempuan itu telah melahirkan, ia dibawa (kepada Nabi SAW), lalu Nabi SAW memerintahkan agar ia dirajam. Setelah itu beliau memerintahkan mereka untuk menyalatinya. Dan apabila telah melahirkan, maka ia tidak dibunuh hingga menyusui anaknya dengan labā’, karena anak tidak bisa hidup kecuali dengannya. Jika tidak ada orang yang bisa menyusuinya, maka tidak boleh dibunuh hingga ia menyusuinya selama dua tahun penuh, karena Nabi SAW bersabda kepada perempuan ‘Āmiriyyah: “Pergilah hingga engkau menyusuinya.” Dan karena ketika masih berupa janin saja pelaksanaan hukuman ditunda demi menjaganya, maka menundanya ketika ia telah lahir lebih utama. Jika ditemukan seorang perempuan yang tetap menyusuinya, maka boleh dilaksanakan qiṣāṣ karena ia tidak bergantung lagi kepada ibunya. Namun jika yang ada hanya para perempuan yang bukan penyusu tetap, atau hanya ada hewan yang bisa diperah susunya, maka yang lebih utama bagi wali darah adalah tidak melaksanakan qiṣāṣ hingga ibunya menyusuinya.

لأن اختلاف اللبن عليه والتربية بلبن البهيمة يفسد طبعه فإن لم يصبر اقتص منها لأن الولد يعيش بالألبان المختلفة وبلبن البهيمة وإن ادعت الحمل قال الشافعي رحمه الله تحبس حتى يتبين أمرها واختلف أصحابنا فيه فقال أبو سعيد الإصطخري رحمة الله عليه لا تحبس حتى يشهد أربع نسوة بالحمل لأن القصاص وجب فلا يؤخر بقولها وقال أكثر أصحابنا تحبس بقولها لأن الحمل وما يدل عليه من الدم وغيره يتعذر إقامة البينة عليه فقبل قولها فيه.

Karena perbedaan susu dapat berdampak pada anak, dan menyusui dengan susu hewan dapat merusak tabiatnya. Namun jika wali tidak bersabar, maka boleh dilakukan qiṣāṣ karena anak tetap bisa hidup dengan berbagai jenis susu dan dengan susu hewan. Apabila perempuan tersebut mengaku sedang hamil, Imam al-Syāfi‘i raḥimahullāh berkata: ia ditahan hingga jelas keadaannya. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī raḥimahullāh berkata: tidak ditahan kecuali setelah ada kesaksian dari empat perempuan atas kehamilannya, karena qiṣāṣ sudah wajib maka tidak boleh ditunda hanya berdasarkan pengakuannya. Mayoritas sahabat kami berpendapat: ia tetap ditahan hanya dengan pengakuannya, karena kehamilan dan tanda-tandanya seperti darah dan lainnya sulit untuk dibuktikan dengan kesaksian, maka diterima pengakuannya dalam hal ini.

فصل: وإن كان القصاص في الطرف فالمستحب أن لا يستوفي إلا بعد استقرار الجناية بالاندمال أو بالسراية إلى النفس لما روى عمرو بن دينار عن محمد بن طلحة قال: طعن رجل رجلاً بقرن في رجله فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: أقدني فقال: “دعه حتى يبرأ” فأعادها عليه مرتين أو ثلاثاً والنبي صلى الله عليه وسلم يقول: “حتى يبرأ”. فأبى فأقاده منه ثم عرج المستقيد فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: برئ صاحبي وعرت رجلي فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “لا حق لك”.

PASAL: Jika qiṣāṣ itu pada anggota tubuh, maka yang disunnahkan adalah tidak melakukannya kecuali setelah luka itu stabil, baik dengan sembuhnya luka atau dengan menjalar hingga menyebabkan kematian. Karena telah diriwayatkan dari ‘Amr bin Dīnār dari Muḥammad bin Ṭalḥah bahwa seorang laki-laki menusuk kaki laki-laki lain dengan tanduk, lalu ia datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Tegakkan qiṣāṣ untukku.” Maka beliau bersabda: “Biarkan sampai sembuh.” Ia mengulanginya dua atau tiga kali, dan Nabi SAW tetap bersabda: “Sampai sembuh.” Maka ia menolak kecuali segera dilakukan qiṣāṣ, lalu Nabi SAW menegakkan qiṣāṣ untuknya, namun orang yang menuntut qiṣāṣ itu kemudian pincang. Ia lalu datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Temanku telah sembuh, tapi kakiku jadi pincang.” Maka Nabi SAW bersabda: “Tidak ada hak lagi bagimu.”

فذلك حين نهى أن يستقيد أحد من جرح حتى يبرأ صاحبه فإن استوفى قبل الاندمال جاز للخبر وهل يجوز أخذ الأرش قبل الاندمال فيه قولان: أحدهما: يجوز كما يجوز استيفاء القصاص قبل الاندمال والثاني: لا يجوز لأن الأرش لا يستقر قبل الاندمال لأنه قد يسري إلى النفس ويدخل في دية النفس وقد يشاركه غيره في الجناية فينقص بخلاف القصاص فإنه لا يسقط بالسراية ولا تؤثر فيه المشاركة فإذا قلنا يجوز ففي القدر الذي يجوز أخذه وجهان: أحدهما: يجوز أخذه بالغاً ما بلغ لأنه قد وجب في الظاهر فجاز أخذه

Maka itu terjadi ketika dilarang untuk melakukan istiqṣāṣ (menuntut balasan luka) hingga orang yang terluka sembuh. Jika dilakukan istiqṣāṣ sebelum sembuh, maka hal itu boleh karena adanya khabar (riwayat). Adapun apakah boleh mengambil arasy (ganti rugi luka) sebelum sembuh, terdapat dua pendapat:

Pertama: boleh, sebagaimana boleh melakukan istiqṣāṣ sebelum sembuh.
Kedua: tidak boleh, karena arasy belum tetap sebelum sembuh, sebab bisa saja luka itu menyebar (menjadi parah) hingga menyebabkan kematian, maka masuk ke dalam diyat jiwa, dan bisa saja ada orang lain yang turut serta dalam tindak pidana itu, sehingga nilainya berkurang. Hal ini berbeda dengan qiṣāṣ, karena tidak gugur dengan penyebaran luka dan tidak terpengaruh oleh keterlibatan orang lain.

Apabila dikatakan bahwa mengambil arasy sebelum sembuh itu boleh, maka mengenai kadar yang boleh diambil terdapat dua pendapat:

Pertama: boleh diambil sebanyak apa pun, karena telah tetap secara zhahir, maka boleh diambil.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه يأخذ أقل الأمرين من أرش الجناية أودية النفس لأن ما زاد على دية النفس لا يتيقن استقراره لأنه ربما سقط فعلى هذا إن قطع يديه ورجليه وجب في الظاهر ديتان وربما سرت الجناية إلى النفس فرجع إلى دية فيأخذ دية فإن سرت الجناية إلى النفس فقد أخذ حقه وإن اندملت أخذ دية أخرى.

Dan pendapat kedua—yaitu pendapat Abū Isḥāq—bahwa yang diambil adalah yang lebih sedikit antara arasy jināyah dan diyat jiwa, karena yang melebihi diyat jiwa tidak dapat dipastikan akan tetap, sebab bisa jadi gugur. Berdasarkan pendapat ini, jika ia memotong kedua tangan dan kedua kaki seseorang, maka secara zhahir wajib dua diyat, namun bisa jadi luka tersebut menyebar hingga menyebabkan kematian, maka kembali menjadi satu diyat saja, sehingga ia mengambil satu diyat. Jika luka itu menyebar hingga menyebabkan kematian, maka ia telah mengambil haknya. Dan jika luka itu sembuh, maka ia mengambil diyat yang satu lagi.

فصل: وإن قلع سن صغير لم يثغر أوسن كبير قد أثغر وقال أهل الخبرة أنه يرجى أن ينبت إلى مدة لم يقتص منه قبل الإياس من نباته لأنه لا يتحقق الإتلاف فيه قبل الإياس كما لا يتحقق إتلاف الشعر قبل الإياس من نباته فإن مات قبل الإياس لم يجب القصاص لأنه لم يتحقق الإتلاف فلم يقتص مع الشك.

PASAL: Jika seseorang mencabut gigi anak kecil yang belum tumbuh gigi pengganti atau mencabut gigi orang dewasa yang telah tumbuh gigi pengganti, lalu para ahli berpendapat bahwa masih ada harapan tumbuh kembali dalam jangka waktu tertentu, maka tidak boleh dilakukan qiṣāṣ sebelum putus harapan akan tumbuhnya kembali, karena belum dapat dipastikan terjadinya kerusakan secara permanen, sebagaimana rambut yang dicabut tidak dianggap rusak sebelum putus harapan akan tumbuhnya kembali. Jika orang tersebut meninggal sebelum putus harapan tumbuhnya kembali, maka qiṣāṣ tidak wajib, karena belum terbukti adanya kerusakan, sehingga tidak dijatuhkan qiṣāṣ dalam keadaan ragu.

فصل: إذا قتل بالسيف لم يقتص منه إلا بالسيف لقوله تعالى: {فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ} ولأن السيف أرجى الآلات فإذا قتل به واقتص بغيره أخذ فوق حقه لأن حقه في القتل وقد قتل وعذب فإن أحرقه أو أغرقه أورماه بحجر أورماه من شاهق أو ضربه بخشب أو حبسه ومنعه من الطعام والشراب فمات فللولي أن يقتص بذلك لقوله تعالى: {وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ}

PASAL: Jika seseorang membunuh dengan pedang, maka tidak boleh di-qiṣāṣ darinya kecuali dengan pedang, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “fa-man i‘tadā ‘alaikum fa‘tadū ‘alaihi bi-mitsli mā i‘tadā ‘alaikum”, dan karena pedang adalah alat yang paling diharapkan (untuk minimalnya rasa sakit), maka jika ia membunuh dengan pedang lalu di-qiṣāṣ dengan selainnya, berarti telah diambil lebih dari haknya, karena haknya adalah dalam bentuk pembunuhan, dan dia telah dibunuh sekaligus disiksa. Maka jika si pelaku membakar, menenggelamkan, melempar dengan batu, melempar dari tempat tinggi, memukul dengan kayu, atau mengurungnya dan mencegahnya dari makanan dan minuman hingga mati, maka bagi wali korban berhak melakukan qiṣāṣ dengan cara tersebut, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “wa-in ‘āqabtum fa-‘āqibū bi-mitsli mā ‘ūqibtum bih”

ولما روى البراءة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من حرق حرقناه ومن غرق غرقناه”. ولأن القصاص موضوع على الماثلة والمماثلة ممكنة بهذه الأسباب فجاز أن يستوفي بها القصاص وله أن يقتص منه بالسيف لأنه قد وجب له القتل والتعذيب فإذا عدل إلى السيف فقد ترك بعض حقه فجاز فإن قتله بالسحر قتل بالسيف لأن عمل السحر محرم فسقط وبقي القتل فقتل بالسيف وإن قتله باللواط أو بسقي الخمر ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه إن قتله بسقي الخمر قتله بقيء الماء وإن قتله باللواط فعل به مثل ما فعله بخشبه لأنه تعذر مثله حقيقة ففعل به ما هو أشبه بفعله

Dan karena diriwayatkan dari al-Barā’ah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang membakar, kami bakar dia; dan barangsiapa yang menenggelamkan, kami tenggelamkan dia.” Karena qiṣāṣ ditetapkan atas kemiripan dan kemiripan itu mungkin terjadi oleh sebab-sebab ini, maka boleh menuntut qiṣāṣ dengan itu; dan boleh bagi wali untuk menuntut balas dengan pedang karena baginya telah menjadi wajib pembunuhan dan penyiksaan. Jika ia beralih kepada pedang berarti ia telah meninggalkan sebagian haknya sehingga diperbolehkan. Jika yang membunuhnya adalah sihir, maka dianggap membunuh dengan pedang karena perbuatan sihir itu terlarang sehingga gugur (unsur) sihirnya dan yang tersisa adalah pembunuhan, maka dibunuh dengan pedang. Jika membunuhnya melalui liwat atau dengan memaksanya minum khamr terdapat dua pendapat; salah satunya — yaitu pendapat Abu Ishaq — bahwa jika dibunuh dengan dipaksa minum khamr maka ia dibunuh oleh muntah air, dan jika dibunuh oleh liwat maka dikenakan padanya perlakuan seperti yang diperbuat kepadanya dengan kayunya, karena meniru persisnya tidak mungkin, maka dilakukan padanya yang paling mirip dengan perbuatannya.

والثاني: أنه يقتله بالسيف لأنه قتله بما هو محرم في نفسه فاقتص بالسيف كما لو قتله بالسحر وإن ضرب رجلاً بالسيف فمات فضرب بالسيف فلم يمت كرر عليه الضرب بالسيف لأن قتله مستحق وليس هاهنا ما هو أرجى من السيف فقتل به وإن قتله بمثقل أورماه من شاهق أو منعه من الطعام والشراب مدة ففعل به مثل ذلك فلم يمت ففيه قولان: أحدهما: يكرر عليه ذلك إلى أن يموت كما قلنا في السيف

Dan pendapat kedua: bahwa ia dibunuh dengan pedang karena ia membunuh dengan sesuatu yang haram pada dirinya, maka dibalas dengan pedang sebagaimana jika membunuh dengan sihir. Dan jika seseorang memukul orang lain dengan pedang lalu mati, lalu dibalas dengan pukulan pedang namun tidak mati, maka dipukul lagi dengan pedang karena pembunuhannya adalah hak yang wajib, dan tidak ada di sini alat yang lebih diharapkan dari pedang, maka dibunuh dengannya. Dan jika ia membunuh dengan benda tumpul, atau melempar dari tempat tinggi, atau mencegahnya dari makan dan minum dalam jangka waktu tertentu lalu dilakukan hal yang sama padanya namun tidak mati, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya, yaitu diulang perbuatan itu padanya hingga mati sebagaimana yang dikatakan dalam kasus pedang.

والثاني: أنه يقتل بالسيف لأنه فعل به مثل ما فعل وبقي إزهاق الروح فوجب بالسيف وإن جنى عليه جناية يجب فيها القصاص بأن قطع كفه أو أوضح رأسه فمات فللولي أن يستوفي القصاص بما جنى فيقطع كفه ويوضح رأسه لقوله تعالى: {وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} فإن مات به فقد استوفى حقه وإن لم يمت قتل بالسيف لأنه لا يمكن أن يقطع منه عضواً آخر ولا أن يوضع في موضع آخر لأنه يصير قطع عضوين بعضو وإيضاح موضحتين بموضحة

Dan pendapat kedua: bahwa ia dibunuh dengan pedang karena telah dilakukan padanya seperti yang ia lakukan, dan tersisa penghabisan nyawa, maka itu wajib dilakukan dengan pedang. Dan jika ia melakukan suatu tindak pidana yang mewajibkan qiṣāṣ, seperti memotong telapak tangan seseorang atau membuat luka terbuka di kepala lalu orang itu mati, maka wali korban boleh menuntut qiṣāṣ atas apa yang telah dilakukan padanya, yaitu dengan memotong telapak tangannya dan membuka luka di kepalanya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {wa al-jurūḥa qiṣāṣ}. Jika dengan itu ia mati, berarti haknya telah terpenuhi. Namun jika tidak mati, maka ia dibunuh dengan pedang, karena tidak mungkin untuk memotong anggota tubuh lain atau membuka luka di tempat lain, sebab itu berarti memotong dua anggota tubuh karena satu anggota, dan membuka dua luka karena satu luka.

وإن جنى عليه جناية لا يجب فيها القصاص كالجائفة وقطع اليد من الساعد فمات منه ففيه قولان: أحدهما: يقتل بالسيف ولا يقتص منه في الجائفة ولا في قطع اليد من الساعد لأنه جناية لا يجب فيها القصاص فلا يستوفي بها القصاص كاللواط والثاني: يقتص منه في الجائفة وقطع اليد من الساعد لأنه جهة يجوز القتل بها في غير القصاص فجاز القتل بها في القصاص كالقطع من المفصل وحز الرقبة إن اقتص بالجائفة أو قطع اليد من الساعد فلم يمت قتل بالسيف لأنه لا يمكن أن يجاف جائفة أخرى ولا أن يقطع منه عضو آخر فتصير جائفتان وقطع عضوين بعضو.

Dan jika ia melakukan suatu tindak pidana yang tidak mewajibkan qiṣāṣ, seperti melukai dengan jā’ifah atau memotong tangan dari lengan lalu korban mati karena itu, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: dibunuh dengan pedang dan tidak dikenakan qiṣāṣ atas luka jā’ifah maupun pemotongan tangan dari lengan, karena itu merupakan tindak pidana yang tidak mewajibkan qiṣāṣ, maka tidak dibalas dengan qiṣāṣ, sebagaimana dalam kasus liwāṭ.

Pendapat kedua: dikenakan qiṣāṣ padanya atas luka jā’ifah dan pemotongan tangan dari lengan, karena itu merupakan cara yang dibolehkan untuk membunuh dalam kasus selain qiṣāṣ, maka dibolehkan pula dalam qiṣāṣ, sebagaimana memotong dari sendi dan menyembelih leher.

Jika qiṣāṣ dilakukan dengan jā’ifah atau memotong tangan dari lengan namun tidak menyebabkan kematian, maka dibunuh dengan pedang, karena tidak mungkin untuk melukai lagi dengan jā’ifah lain atau memotong anggota tubuh lain, sebab itu berarti dua luka jā’ifah atau memotong dua anggota untuk satu anggota.

فصل: وإن أوضح رأسه بالسيف اقتص منه بحديدة ماضية كالموسى ونحوه ولا يقتص منه بالسيف لأنه لا يؤمن أن يهشم العظم.

PASAL: Jika ia menampakkan (menguliti) kepala seseorang dengan pedang, maka dilakukan qiṣāṣ darinya dengan besi yang tajam seperti pisau cukur dan semisalnya, dan tidak dilakukan qiṣāṣ dengan pedang karena dikhawatirkan akan menghancurkan tulangnya.

فصل: وإن جنى عليه جناية ذهب منها ضوء عينيه نظرت فإن كانت جناية لا يجب فيها القصاص كالهاشمة عولج بما يزيل ضوء العين من كافور يطرح في العين أو حديدة حامية تقرب منها لأنه تعذر استيفاء القصاص فيه بالهاشمة ولا يقلع الحدقة لأنه قصاص في غير محل الجناية فعدل إلى أسهل ما يمكن كما قلنا في القتل باللواط وإن كانت جناية يمكن فيها القصاص كالموضحة اقتص منه فإن ذهب الضوء فقد استوفى حقه

PASAL: Jika seseorang melakukan jinayah terhadap orang lain yang menyebabkan hilangnya penglihatan kedua matanya, maka diperhatikan: jika jinayah tersebut termasuk jinayah yang tidak mewajibkan qiṣāṣ seperti hāsyimah, maka dilakukan pengobatan yang menghilangkan penglihatan mata seperti menaruh kāfūr ke dalam mata atau mendekatkannya pada besi panas, karena tidak memungkinkan untuk melakukan qiṣāṣ dengan hāsyimah tersebut, dan tidak boleh mencabut bola mata karena itu merupakan qiṣāṣ pada selain tempat jinayah. Maka dialihkan kepada bentuk yang paling ringan yang memungkinkan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kasus pembunuhan dengan liwāṭ. Dan jika jinayah tersebut memungkinkan dilakukan qiṣāṣ seperti mauḍiḥah, maka dilakukan qiṣāṣ padanya, dan jika setelah itu penglihatannya hilang, maka ia telah mengambil haknya.

وإن لم يذهب عولج بما يزيل الضوء على ما ذكرناه في الهاشمة وإن لطمه فذهب الضوء فقد قال بعض أصحابنا إنه يلطم كما لطم فإن ذهب الضوء فقد استوفى حقه وإن لم يذهب عولج على ما ذكرناه وقال الشيخ الإمام: ويحتمل عندي أنه لا يقتص منه باللطمة بل يعالج بما يذهب الضوء على ما ذكرناه في الهاشمة

Dan jika penglihatannya tidak hilang, maka dilakukan pengobatan untuk menghilangkan penglihatan sebagaimana yang telah disebutkan dalam kasus hāsyimah. Dan jika ia menamparnya lalu penglihatannya hilang, sebagian dari para sahabat kami mengatakan: maka ia ditampar sebagaimana ia menampar, jika penglihatan itu hilang maka ia telah mengambil haknya, dan jika tidak hilang maka dilakukan pengobatan sebagaimana yang telah disebutkan. Dan berkata al-Syaikh al-Imām: Menurutku, kemungkinan yang benar adalah tidak dilakukan qiṣāṣ dengan tamparan, tetapi dilakukan pengobatan yang menghilangkan penglihatan sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam hāsyimah.

والدليل عليه ما روى يحيى بن جعده أن أعرابياً قدم بجلوبة له إلى المدينة فساومه فيها مولى لعثمان بن عفان رضي الله عنه فنازعه فلطمه ففقأ عينه فقال له عثمان هل لك أن أضعف لك الدية وتعفو عنه فأبى فرفعهما إلى علي فدعا علي رضي الله عنه بمرآة فأحماها ثم وضع القطن على عينه الأخرى ثم أخذ المرآة بكلبتين فأدناها من عينه حتى سال إنسان عينه ولأن اللطم لا يمكن اعتبار المماثلة فيه ولهذا فهو انفراد من إذهاب الضوء لم يجب فيه القصاص فلا يستوفي به القصاص في الضوء كالهاشمة وإن قلع عين رجل بالأصبع فأراد المجني عليه أن يقتص بالإصبع ففيه وجهان: أحدهما: يجوز لأنه يأتي على ما تأتي عليه الحديدة مع المماثلة والثاني: لا يجوز لأن الحديد أرجى فلا يجوز بغيره.

Dan dalil atas hal itu adalah riwayat dari Yaḥyā bin Ja‘dah bahwa seorang a‘rābī datang ke Madinah membawa barang dagangan, lalu seorang maula dari ‘Utsmān bin ‘Affān RA menawarnya, kemudian mereka berselisih, lalu maula tersebut menamparnya hingga membutakan matanya. Maka ‘Utsmān berkata kepadanya: “Maukah engkau jika aku menggandakan diat untukmu dan engkau memaafkannya?” Ia menolak, maka ‘Utsmān membawanya kepada ‘Alī. Maka ‘Alī RA meminta cermin lalu memanaskannya, kemudian meletakkan kapas pada mata satunya, lalu mengambil cermin itu dengan penjepit dan mendekatkannya ke matanya hingga cair bola matanya.

Dan karena tamparan tidak mungkin dilakukan tamāṡul padanya, dan karena hilangnya penglihatan akibat tamparan terjadi secara tersendiri tanpa menyebabkan kewajiban qiṣāṣ, maka tidak boleh digunakan sebagai bentuk qiṣāṣ atas hilangnya penglihatan, seperti dalam kasus hāsyimah.

Dan jika seseorang mencabut mata seseorang dengan jari, lalu korban ingin melakukan qiṣāṣ dengan jari pula, maka ada dua pendapat:

Pertama: boleh, karena jari dapat memberikan efek yang sama seperti besi panas dengan adanya tamāṡul.

Kedua: tidak boleh, karena besi lebih diharapkan keakuratannya, maka tidak boleh menggantinya dengan selainnya.

فصل: وإن وجب له القصاص بالسيف فضربه فأصاب غير الموضع وادعى أنه أخطأ فإن كان يجوز في مثله الخطأ فالقول قوله مع يمينه لأن ما يدعيه محتمل وإن كان لا يجوز في مثله الخطأ لم يقبل قوله ولا يسمع فيه يمينه لأنه يتحمل ما يدعيه وإن أراد أن يعود ويقتص فقد قال في موضع: لا يمكن وقال في موضع يمكن ومن أصحابنا من قال هما قولان: أحدهما: لا يمكن لأنه لا يؤمن في الثاني

PASAL: Jika ia berhak mendapatkan qiṣāṣ dengan pedang, lalu ia memukul namun mengenai selain tempat yang seharusnya, kemudian mengaku bahwa ia telah keliru, maka jika memungkinkan terjadi kesalahan pada orang semisal itu, maka ucapannya diterima disertai sumpahnya, karena apa yang ia dakwakan masih mungkin. Namun jika tidak mungkin terjadi kesalahan pada orang semisal itu, maka ucapannya tidak diterima dan sumpahnya tidak didengar, karena ia memikul tanggung jawab atas apa yang ia dakwakan.

Jika ia ingin mengulangi dan melaksanakan qiṣāṣ kembali, maka Imam al-Syāfi‘ī berkata dalam satu tempat: tidak memungkinkan. Dan di tempat lain: memungkinkan. Dan sebagian dari ulama kami berkata: ada dua pendapat. Pertama: tidak memungkinkan, karena tidak aman pada pelaksanaan yang kedua.

والثاني: أنه يمكن لأن الحق له والظاهر أنه لا يعود إلى مثله ومن أصحابنا من قال إن كان يحسن مكن لأن الظاهر أنه لا يعود إلى مثله ومن أصحابنا من قال إن كان يحسن مكن لأن الظاهر أنه لا يعود إلى مثله وإن لم يحسن لم يمكن لأنه لا يؤمن أن يعود إلى مثله وحمل القولين على هذين الحالين وإن وجب له القصاص في موضحة فاستوفى أكثر من حقه أو وجب له القصاص في أنملة فقطع أنملتين فإن كان عامداً وجب عليه القود في الزيادة وإن كان خطأ وجب عليه الأرش كما لو فعل ذلك في غير القصاص وإن استوفى أكثر من حقه باضطراب الجاني لم يلزمه شيء لأنه حصل بفعله فهدر.

dan pendapat kedua: memungkinkan, karena hak itu miliknya, dan yang tampak adalah ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Dan sebagian dari ulama kami berkata: jika ia ahli dalam melakukannya, maka diperbolehkan, karena yang tampak adalah ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Namun jika ia bukan ahli, maka tidak diperbolehkan karena tidak aman dari kemungkinan terulangnya kesalahan yang sama. Maka dua pendapat tersebut ditakwilkan pada dua keadaan ini.

Dan jika ia berhak mendapatkan qiṣāṣ pada luka mauḍiḥah, lalu ia melampaui dari haknya, atau ia berhak mendapatkan qiṣāṣ pada satu ruas jari lalu memotong dua ruas, maka jika dilakukan dengan sengaja, wajib qiṣāṣ atas kelebihan yang dilakukan. Namun jika dilakukan karena keliru, maka wajib membayar arasy atas kelebihan itu, sebagaimana jika hal itu dilakukan di luar pelaksanaan qiṣāṣ. Dan jika kelebihan itu terjadi karena gerakan tak terkendali dari si terhukum, maka tidak wajib apa pun atas pelaksana, karena kelebihan itu terjadi karena perbuatan si terhukum, maka ia gugur.

فصل: وإن اقتص من الطرف بحديدة مسمومة فمات لم يجب عليه القصاص لأنه تلف من جائز وغير جائز ويجب نصف الدية لأنه هلك من مضمون وغير مضمون فسقط النصف ووجب النصف.

PASAL: Jika seseorang melaksanakan qiṣāṣ pada anggota tubuh dengan besi yang beracun lalu orang itu mati, maka tidak wajib atasnya qiṣāṣ, karena kematiannya disebabkan oleh hal yang boleh (jā’iz) dan yang tidak boleh (ghayr jā’iz). Namun wajib membayar setengah diyah, karena ia binasa oleh sesuatu yang wajib dijamin (maḍmūn) dan yang tidak wajib dijamin, maka gugurlah setengahnya dan tetap wajib setengahnya.

فصل: وإن وجب له القصاص في يمينه فقال أخرج يمينك فأخرج اليسار من كم اليمين فإن قال: تعمدت إخراج اليسار وعلمت أنه لا يجوز قطعها عن اليمين لم يجب على القاطع ضمان لأنه قطعهما ببذله ورضاه وإن قال ظننتها اليمين أو ظننت أنه يجوز قطعها عن اليمين نظرت في المستوفى فإن جهل أنها اليسار لم يجب عليه القصاص لأنه موضع شبهة وهل يجب عليه الدية فيه وجهان: أحدهما: لا تجب عليه لأنه قطعها ببذل صاحبها

PASAL: Jika seseorang berhak melakukan qiṣāṣ pada tangan kanan, lalu ia berkata: “Keluarkan tangan kananmu,” namun orang itu mengeluarkan tangan kiri dari lengan baju kanan, kemudian ia berkata: “Aku sengaja mengeluarkan tangan kiri dan aku tahu bahwa tidak boleh memotong tangan kiri sebagai ganti dari tangan kanan,” maka orang yang memotong tidak wajib menanggung ganti rugi karena ia memotong berdasarkan penyerahan dan kerelaan orang tersebut.

Namun jika ia berkata: “Aku mengira ini tangan kanan,” atau “Aku mengira boleh memotong tangan kiri sebagai ganti dari tangan kanan,” maka dilihat keadaan orang yang menunaikan qiṣāṣ: jika ia tidak tahu bahwa itu adalah tangan kiri, maka tidak wajib atasnya qiṣāṣ karena terdapat unsur syubhat. Adapun apakah wajib atasnya membayar diyah, terdapat dua pendapat:
Pertama: tidak wajib membayar diyah karena ia memotong berdasarkan penyerahan dari pemiliknya.

والثاني: يجب وهو المذهب لأنه بذل على أن يكون عوضاً عن اليمين فإذا لم يصح العوض وتلف المعوض وجب له بدله كما لو اشترى سلعة بعوض فاسد وتلفت عنده فإن علم أنه اليسار وجب عليه ضمانه وفيما يضمن وجهان: أحدهما: وهو قول أبي حفص بن الوكيل أنه يضمن بالقود لأنه تعمد قطع يد محرمة والثاني: وهو المذهب أنه لا يجب القود لأنه قطعها ببذل الجاني ورضاه وتلزمه الدية لأنه قطع يداً لا يستحقها مع العلم به فإن وجب له القود في اليمين فصالحه على اليسار لم يصح الصلح لأن الدماء لا تستباح بالعوض وهل يسقط القصاص في اليمين فيه وجهان: أحدهما: يسقط لأن عدوله إلى اليسار رضاً بترك القصاص في اليمين

dan yang kedua: wajib, dan inilah pendapat mazhab, karena (tangan) itu diberikan sebagai ganti dari tangan kanan, maka jika ganti itu tidak sah dan yang digantikan rusak, wajib diberikan penggantinya, sebagaimana jika seseorang membeli barang dengan imbalan yang rusak, lalu barang itu rusak di tangannya. Jika ia mengetahui bahwa itu adalah tangan kiri, maka ia wajib menanggungnya, dan dalam hal apa yang harus diganti terdapat dua pendapat: pertama, yaitu pendapat Abū Ḥafṣ ibn al-Wakīl, bahwa ia wajib menanggung dengan qiṣāṣ, karena ia sengaja memotong tangan yang haram dipotong; dan kedua, yaitu pendapat mazhab, bahwa tidak wajib qiṣāṣ karena ia memotongnya dengan pemberian dan kerelaan pelaku, namun ia wajib membayar diyah karena ia memotong tangan yang tidak berhak dipotong padahal ia mengetahuinya. Maka jika ia berhak menuntut qiṣāṣ pada tangan kanan lalu berdamai dengannya dengan memberikan tangan kiri, maka perdamaian itu tidak sah, karena darah tidak bisa dijadikan tebusan dengan ganti. Apakah qiṣāṣ pada tangan kanan gugur? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, gugur karena pengalihannya ke tangan kiri merupakan kerelaan untuk meninggalkan qiṣāṣ pada tangan kanan.

والثاني: أنه لا يسقط لأنه أخذ اليسار على أن يكون بدلاً عن اليمين ولم يسلم البدل فبقي حقه في المبدل فإذا قلنا لا يسقط القصاص فله على المقتص دية اليسار وللمقتص عليه القصاص في اليمين وإن قلنا إنه يسقط القصاص فله دية اليمين وعليه دية اليسار وإن كان القصاص على مجنون فقال له المجني عليه أخرج يمينك فأخرج يساره فقطعها وجب عليه القصاص إن كان عالماً أو الدية إن كان جاهلاً لأن بذل المجنون لا يصح فصار كما لو بدأ بقطعه.

dan yang kedua: tidak gugur, karena ia mengambil (tangan) kiri dengan anggapan sebagai pengganti dari (tangan) kanan, namun pengganti itu tidak tersampaikan, maka haknya terhadap yang digantikan tetap ada. Maka jika kita mengatakan bahwa qiṣāṣ tidak gugur, maka korban berhak menuntut diyah atas tangan kiri dari pelaku, dan pelaku berhak menuntut qiṣāṣ atas tangan kanan. Dan jika kita mengatakan bahwa qiṣāṣ gugur, maka korban berhak atas diyah tangan kanan dan wajib baginya membayar diyah tangan kiri.

Dan jika qiṣāṣ itu terhadap orang gila, lalu korban berkata kepadanya, “Keluarkan tangan kananmu,” namun ia mengeluarkan tangan kirinya lalu korban memotongnya, maka wajib atasnya qiṣāṣ jika ia mengetahuinya, atau diyah jika ia tidak mengetahuinya, karena pemberian orang gila tidak sah, maka (kasus ini) menjadi seperti jika ia memulainya dengan memotong langsung.

فصل: إذا اقتص في الطرف فسرى إلى نفس الجاني فمات لم يجب ضمان السراية لما روي أن عمراً وعلياً رضي الله عنهما قالا في الذي يموت من القصاص: لا دية له وإن جنى على طرف رجل فاقتص منه ثم سرت الجناية إلى نفس الجاني قصاصاً عن سراية الجناية إلى نفس المجني عليه لأنه لما كانت السراية كالمباشرة في إيجاب القصاص كانت كالمباشرة في استيفاء القصاص

PASAL: Jika dilakukan qiṣāṣ pada anggota tubuh, lalu menyebar (sarayān) hingga menyebabkan kematian pelaku, maka tidak wajib membayar ganti rugi atas penyebaran itu. Karena telah diriwayatkan bahwa ʿUmar dan ʿAlī RA berkata tentang orang yang mati karena qiṣāṣ: “Tidak ada diyah baginya.” Dan jika seseorang melakukan kejahatan pada anggota tubuh seseorang, lalu dilaksanakan qiṣāṣ atasnya, kemudian luka itu menyebar hingga menyebabkan kematian pelaku, maka diberlakukan qiṣāṣ atasnya karena penyebaran luka tersebut yang telah menyebabkan kematian korban. Sebab ketika penyebaran luka diperlakukan seperti perbuatan langsung dalam mewajibkan qiṣāṣ, maka ia juga diperlakukan seperti perbuatan langsung dalam pelaksanaan qiṣāṣ.

وإن سرى القصاص إلى نفس الجاني ثم سرت الجناية إلى نفس المجني عليه ففيه وجهان: أحدهما: أن السراية قصاص لأنها سراية قصاص فوقعت عن القصاص كما لو سرت الجناية ثم سرى القصاص والثاني: وهو الصحيح أن السراية هدر ولا تكون قصاصاً لأنها سبقت القصاص فلا يجوز أن تكون قصاصاً عما وجب بعدها فعلى هذا يجب تركة الجاني نصف الدية لأنه قد أخذ منه بقدر نصف الدية وبقية النصف.

Dan jika qiṣāṣ menyebar hingga menyebabkan kematian pelaku, lalu setelah itu luka korban juga menyebar hingga menyebabkan kematiannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: bahwa penyebaran luka itu dihitung sebagai qiṣāṣ, karena ia merupakan penyebaran dari qiṣāṣ, maka ia termasuk dalam qiṣāṣ, sebagaimana jika luka korban menyebar lebih dahulu, lalu qiṣāṣ menyusul menyebar.

Pendapat kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ: bahwa penyebaran luka itu tidak dianggap sebagai qiṣāṣ (hadr), karena ia terjadi sebelum qiṣāṣ, maka tidak sah dianggap sebagai qiṣāṣ atas sesuatu yang wajib sesudahnya. Maka berdasarkan pendapat ini, harta peninggalan pelaku wajib membayar setengah diyah, karena sebelumnya telah diambil darinya sebesar setengah diyah, dan sisanya adalah setengahnya lagi.

فصل: من وجب عليه قتل بكفر أوردة أوزنا أو قصاص فالتجأ إلى الحرم قتل ولم يمنع الحرم من قتله والدليل عليه قوله عز وجل: {وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} ولأنه قتل لا يوجب الحرم ضمانه فلم يمنع منه كقتل الحية والعقرب.

PASAL: Barang siapa yang wajib dibunuh karena kekufuran, riddah, zina, atau qiṣāṣ, lalu ia berlindung di tanah ḥaram, maka ia tetap dibunuh dan tanah ḥaram tidak menghalangi pembunuhan terhadapnya. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Wa-aqtulūhum ḥayṡu wajadtumūhum” (dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka), dan karena pembunuhan tersebut tidak mewajibkan ganti rugi dalam ḥaram, maka tidak dicegah, sebagaimana membunuh ular dan kalajengking.

فصل: ومن وجب عليه القصاص في النفس فمات عن مال أو وجب عليه قصاص في الطرف فزال الطرف وله مال ثبت حق المجني عليه في الدية لأن ما ضمن بسببين على سبيل البدل إذا تعذر أحدهما: ثبت الآخر كذوات الأمثال.

PASAL: Barang siapa yang wajib dikenai qiṣāṣ jiwa lalu ia mati dan meninggalkan harta, atau wajib qiṣāṣ anggota tubuh lalu anggota itu hilang (tidak bisa dilaksanakan qiṣāṣ) sedangkan ia memiliki harta, maka hak korban tetap berlaku dalam bentuk diyah. Sebab sesuatu yang wajib karena dua sebab secara bergantian, apabila salah satunya terhalangi, maka yang lain menjadi tetap, sebagaimana barang-barang yang memiliki padanan (dhawāt al-amṡāl).

باب العفوعن القصاص
ومن وجب عليه القصاص وهو جائز التصرف فله أن يقتص وله أن يعفو على المال لما روى أبو شريح الكعبي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ثم أنتم يا خزاعة قد قتلتم هذا القتيل من هذيل وأنا والله عاقله فمن قتل بعده قتيلاً فأهله بين خيرتين إن أحبوا قتلوا وإن أحبوا أخذوا الدية”. فإن عفا مطلقاً بنينا على ما يجب بقتل العمد وفيه قولان: أحدهما: أن موجب قتل العبد القصاص وحده ولا تجب الدية إلا بالاختيار

BAB: Memaafkan dari Qiṣāṣ

Barang siapa yang telah wajib atasnya qiṣāṣ dan ia termasuk orang yang sah tindakan hukumnya, maka ia boleh melaksanakan qiṣāṣ dan boleh pula memaafkan dengan menerima harta, berdasarkan riwayat dari Abū Syarīḥ al-Ka‘bī bahwa Nabi SAW bersabda:
“Kemudian kalian wahai Khuza‘ah telah membunuh seseorang dari Hudzail, dan demi Allah, akulah yang menanggung diyatnya. Maka barang siapa membunuh setelah itu, maka keluarganya diberi dua pilihan: jika mereka mau, mereka boleh membunuh (sebagai balasan); dan jika mereka mau, mereka boleh mengambil diyah.”

Jika ia memaafkan secara mutlak, maka hal itu dikembalikan kepada apa yang wajib karena pembunuhan sengaja (‘amdan), dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa yang wajib karena pembunuhan sengaja hanyalah qiṣāṣ saja, dan diyah tidak wajib kecuali jika dipilih.

والدليل عليه قوله عز وجل: {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ} ولأن ما ضمن بالبدل في حق الآدمي ضمن ببدل معين كالمال والقول الثاني: أن موجبه أحد الأمرين من القصاص أو الدية والدليل عليه أن له أن يختار ما شاء منهما فكان الواجب أحدهما: كالهدي والطعام في جزاء الصيد فإذا قلنا إن الواجب هو القصاص وحده فعفا عن القصاص مطلقاً سقط القصاص ولم تجب الدية لأنه لا يجب له غير القصاص وقد أسقطه بالعفو

Dan dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: {Kutiba ‘alaikum al-qiṣāṣ fī al-qatlā al-ḥurru bi al-ḥurri wa al-‘abdu bi al-‘abdi} (Diwajibkan atas kalian qiṣāṣ dalam kasus orang-orang yang terbunuh: yang merdeka dibalas dengan yang merdeka, dan budak dengan budak). Dan karena sesuatu yang wajib diganti dalam hak sesama manusia (ḥaqq ādamī) maka diganti dengan sesuatu yang tertentu seperti harta.

Pendapat kedua: bahwa yang wajib adalah salah satu dari dua hal, yaitu qiṣāṣ atau diyah. Dalilnya adalah bahwa korban (atau walinya) berhak memilih salah satu dari keduanya, maka yang wajib hanyalah salah satunya, sebagaimana dalam hady (sembelihan) dan makanan sebagai tebusan atas perburuan di tanah haram.

Maka jika kita mengatakan bahwa yang wajib hanyalah qiṣāṣ semata, lalu ia memaafkan qiṣāṣ secara mutlak, maka qiṣāṣ gugur dan tidak wajib diyah, karena tidak ada kewajiban baginya selain qiṣāṣ, dan qiṣāṣ itu telah gugur dengan dimaafkan.

وإن قلنا إنه يجب أحد الأمرين فعفا عن القصاص وجبت الدية لأن الواجب أحدهما: فإذا ترك أحدهما: وجب الآخر وإن اختار الدية سقط القصاص وثبت المال ولم يكن له أن يرجع إلى القصاص وإن قال اخترت القصاص فهل له أن يرجع إلى الدية فيه وجهان: أحدهما: له أن يرجع لأن القصاص أعلى فجاز أن ينتقل عنه إلى الأدنى

Dan jika kita mengatakan bahwa yang wajib adalah salah satu dari dua hal, lalu ia memaafkan qiṣāṣ, maka wajib baginya diyah, karena yang wajib adalah salah satunya, maka jika salah satunya ditinggalkan, yang lainnya menjadi wajib. Dan jika ia memilih diyah, maka qiṣāṣ gugur dan harta menjadi tetap, dan ia tidak boleh kembali kepada qiṣāṣ. Namun jika ia berkata, “Aku memilih qiṣāṣ,” maka apakah ia boleh kembali kepada diyah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, ia boleh kembali karena qiṣāṣ lebih tinggi, maka boleh beralih darinya kepada yang lebih rendah.

والثاني: ليس له أن يرجع إلى الدية لأنه تركها فلم يرجع إليها كالقصاص فإن جنى عمد على رجل جناية توجب القصاص فاشتراه بأرش الجناية سقط القصاص لأن عدوله إلى الشراء اختيار للمال وهل يصح الشراء ينظر فيه فإن كانا لا يعرفان عدد الإبل وأسنانها لم يصح الشراء لأنه بيع مجهول فإن كانا يعرفان العدد والأسنان ففيه قولان: أحدهما: لا يصح الشراء لأن الجهل بالصفة كالجهل بالعدد والسن كما قلنا في السلم والثاني: أنه يصح لأنه مال مستقر في الذمة تصح المطالبة به فجاز البيع به كالعوض في القرض.

Dan yang kedua: tidak boleh ia kembali kepada diyah karena ia telah meninggalkannya sehingga tidak dapat kembali kepadanya seperti halnya qiṣāṣ. Misalnya: jika seseorang melakukan janiyah dengan sengaja kepada seorang lelaki sehingga menjadi wajib qiṣāṣ, kemudian ia membelinya dengan arsh al-janāyah, maka gugurlah qiṣāṣ karena pengalihannya kepada jual-beli adalah memilih harta. Apakah jual-beli itu sah? Hal ini dipandang: jika keduanya tidak mengetahui jumlah unta dan giginya, maka jual-beli itu tidak sah karena jual-beli tidak jelas; jika keduanya mengetahui jumlah dan gigi, maka ada dua pendapat: pertama, jual-beli itu tidak sah karena jahil terhadap sifat adalah seperti jahil terhadap jumlah dan gigi sebagaimana kami katakan pada salam; kedua, jual-beli itu sah karena itu adalah harta yang sudah mantap di dalam milik sehingga tuntutan atasnya sah dan boleh dijual seperti pengganti dalam pinjaman.

فصل: فإن كان القصاص لصغير لم يجز للولي أن يعفو عنه على غير مال لأنه تصرف لا حظ للصغير فيه فلا يملكه الولي كهبة ماله وإن أراد أن يعفو على مال فإن كان له مال أوله من ينفق عليه لم يجز العفو لأنه يفوت عليه القصاص من غير حاجة وإن لم يكن له مال ولا من ينفق عليه ففيه وجهان: أحدهما: يجوز العفو على مال لحاجته إلى المال ليحفظ به حياته

PASAL: Jika qiṣāṣ itu milik anak kecil, maka tidak boleh bagi walinya memaafkannya tanpa imbalan karena hal itu merupakan bentuk tindakan yang tidak ada maslahatnya bagi anak kecil, maka wali tidak berhak melakukannya sebagaimana hibah atas hartanya. Dan jika wali ingin memaafkan dengan mengambil imbalan, maka apabila anak itu memiliki harta atau ada yang menafkahinya, tidak boleh dilakukan pemaafan karena hal itu menyebabkan hilangnya hak qiṣāṣ tanpa ada kebutuhan. Namun jika ia tidak memiliki harta dan tidak ada yang menafkahinya, maka terdapat dua pendapat: pertama, boleh memaafkan dengan mengambil imbalan karena kebutuhannya terhadap harta untuk menjaga kehidupannya.

والثاني: لا يجوز وهو المنصوص لأنه يستحق النفقة في بيت المال ولا حاجة به إلى العفو عن القصاص وإن كان المقتول لا وارث له غير المسلمين كان الأمر إلى السلطان فإن رأى القصاص اقتص وإن رأى العفو على مال عفا لأن الحق للمسلمين فوجب على الإمام أن يفعل ما يراه من المصلحة فإن أراد أن يعفو على غير مال لم يجز لأنه تصرف لا حظ فيه للمسلمين فلم يملكه.

Dan pendapat kedua: tidak boleh, dan inilah yang dinyatakan secara manṣūṣ, karena ia berhak mendapatkan nafkah dari Bayt al-Māl, maka tidak ada kebutuhan untuk memaafkan dari qiṣāṣ. Dan jika orang yang dibunuh tidak memiliki ahli waris selain kaum Muslimin, maka urusannya berada di tangan sulṭān; jika ia melihat bahwa pelaksanaan qiṣāṣ lebih maslahat, maka ia laksanakan qiṣāṣ; dan jika ia melihat bahwa pemaafan dengan mengambil imbalan lebih maslahat, maka ia boleh memaafkan karena hak itu milik kaum Muslimin, maka wajib bagi imam untuk melakukan apa yang ia pandang sebagai kemaslahatan. Namun jika ia ingin memaafkan tanpa mengambil imbalan, maka tidak boleh, karena itu merupakan tindakan yang tidak mengandung maslahat bagi kaum Muslimin, maka ia tidak berhak melakukannya.

فصل: وإن كان القصاص لجماعة فعفا بعضهم سقط حق الباقين من القصاص لما روى زيد بن وهب أن عمر رضي الله عنه أتي برجل قتل رجلاً فجاء ورثة المقتول ليقتلوه فقالت أخت المقتول وهي امرأة القاتل قد عفوت عن حقي فقال عمر رضي الله عنه عتق من القتل وروى قتادة رضي الله عنه أن عمر رضي الله عنه رفع إليه رجل قتل رجلاً فجاء أولاد المقتول وقد عفا أحدهم فقال عمر لابن مسعود رضي الله عنهما وهو إلى جنبه ما تقول فقال: إنه قد أحرز من القتل فضرب على كتفه وقال كنيف ملئ علماً ولأن القصاص مشترك بينهم وهو مما لا يتبعض ومبناه على الإسقاط

PASAL: Jika qiṣāṣ itu milik bersama sekelompok orang, lalu sebagian dari mereka memaafkan, maka gugurlah hak qiṣāṣ bagi sisanya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Zaid bin Wahb bahwa ‘Umar RA didatangkan seorang laki-laki yang membunuh seseorang, lalu datanglah para ahli waris korban untuk menuntut qiṣāṣ. Namun, saudari korban yang juga istri si pembunuh berkata, “Aku telah memaafkan bagianku.” Maka ‘Umar RA berkata, “Ia telah bebas dari hukuman mati.” Dan diriwayatkan dari Qatadah RA bahwa ‘Umar RA diajukan perkara seorang lelaki yang membunuh seseorang, lalu datang anak-anak korban dan salah satu dari mereka telah memaafkan. Maka ‘Umar berkata kepada Ibnu Mas‘ūd RA yang berada di sampingnya, “Apa pendapatmu?” Ibnu Mas‘ūd menjawab, “Sesungguhnya dia telah aman dari hukuman mati.” Maka ‘Umar menepuk pundaknya dan berkata, “Wadah kecil yang penuh dengan ilmu.” Karena qiṣāṣ adalah hak bersama mereka dan termasuk perkara yang tidak dapat dipecah-pecah, serta dasarnya adalah pengguguran.

فإذا أسقط بعضهم حقه سرى إلى الباقي كالعتق في نصيب أحد الشريكين وينتقل حق الباقين إلى الدية لما روى زيد بن وهب قال: دخل رجل على امرأته فوجد عندها رجلاً فقتلها فاستعدى إخوتها عمر فقال بعض إخوتها قد تصدقت بحقي فقضى لسائرهم بالدية ولأنه سقط حق من لم يعف عن القصاص بغير رضاه فثبت له البدل مع وجود المال كما يسقط حق من لم يعتق من الشريكين إلى القيمة.

Maka apabila sebagian dari mereka menggugurkan haknya, maka gugurnya itu menular kepada sisanya, seperti halnya memerdekakan bagian salah satu dari dua orang yang berserikat dalam kepemilikan budak. Dan hak sisanya berpindah menjadi diyat. Hal ini berdasarkan riwayat dari Zaid bin Wahb bahwa seorang lelaki masuk menemui istrinya dan mendapati ada lelaki lain bersamanya, lalu ia membunuh istrinya. Maka saudara-saudara istrinya mengadukan hal itu kepada ‘Umar. Salah satu dari saudara-saudara itu berkata, “Aku telah menyedekahkan hakku.” Maka ‘Umar memutuskan untuk memberikan diyat kepada sisanya. Dan karena hak orang yang tidak memaafkan qiṣāṣ telah gugur tanpa keridaannya, maka ia berhak mendapatkan pengganti (diyat) selama harta (diyat) itu ada, sebagaimana halnya gugurnya hak orang yang tidak memerdekakan budak dari dua orang yang berserikat pada budak tersebut, yang berpindah menjadi nilai harta.

فصل: وإن وكل من له القصاص من يستوفي له ثم عفا وقتل الوكيل ولم يعلم بالعفو ففيه قولان: أحدهما: لا يصح العفو لأنه عفا في حال لا يقدر الوكيل على تلافي ما وكل فيه فلم يصح العفو كما لو عفا بعد ما رمى الحربة إلى الجاني والثاني: يصح لأنه حق له فلا يفتقر عفوه عنه إلى علم غيره كالإبراء من الدين ولا يجب القصاص على الوكيل لأن قتله وهو جاهل بتحريم القتل وأما الدية فعلى القولين: إن قلنا إن العفو لا يصح لم تجب الدية كما لا تجب إذا عفا عنه بعد القتل

PASAL: Jika orang yang memiliki hak qiṣāṣ mewakilkan pelaksanaannya kepada seseorang, lalu ia memaafkan setelah itu, namun si wakil telah membunuh pelaku tanpa mengetahui adanya pemaafan tersebut, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: pemaafan tidak sah, karena pemaafan dilakukan dalam keadaan wakil tidak mampu membatalkan pelaksanaan yang telah diwakilkan kepadanya. Maka pemaafan itu tidak sah sebagaimana jika ia memaafkan setelah tombak dilemparkan kepada pelaku.

Pendapat kedua: pemaafan sah, karena itu merupakan haknya sendiri, maka tidak disyaratkan adanya pengetahuan dari orang lain tentang pemaafan tersebut, sebagaimana penghapusan utang tidak bergantung pada pengetahuan orang lain.

Dan tidak wajib qiṣāṣ atas wakil karena ia membunuh dalam keadaan tidak mengetahui keharaman membunuh.

Adapun tentang kewajiban diyah, maka tergantung pada dua pendapat tadi: jika dikatakan bahwa pemaafan tidak sah, maka diyah tidak wajib, sebagaimana diyah tidak wajib jika pemaafan dilakukan setelah pembunuhan.

وإن قلنا يصح العفو وجبت الدية على الوكيل لأنه قتل محقون الدم ولا يرجع بما غرمه من الدية على الموكل وخرج أبو العباس قولاً آخر أنه يرجع عليه لأنه غره حين لم يعلمه بالعفو كما قلنا فيمن وطئ أمة غر بحريتها في النكاح وقلنا إن النكاح باطل أنه يلزمه المهر ثم يرجع به على من غره في أحد القولين وهذا خطأ لأن الذي غره في النكاح مسيء مفرط فرجع عليه والموكل ههنا محسن في العفو غير مفرط.

Dan jika dikatakan bahwa pemaafan sah, maka diyah wajib atas wakil karena ia telah membunuh orang yang darahnya terlindungi (muḥqān al-dam), dan ia tidak berhak menuntut ganti atas diyah yang telah ia bayarkan kepada pihak yang mewakilkannya.

Abu al-‘Abbās mengeluarkan satu pendapat lain, yaitu bahwa ia (wakil) boleh menuntut ganti rugi kepada pihak yang mewakilkannya, karena pihak itu telah menipunya dengan tidak memberitahukan adanya pemaafan—sebagaimana dalam kasus seseorang yang menggauli budak perempuan yang dikira merdeka dalam pernikahan, lalu dikatakan bahwa pernikahan tersebut batal, maka ia wajib membayar mahr, kemudian boleh menuntut ganti mahr kepada orang yang menipunya dalam salah satu dari dua pendapat.

Namun pendapat ini salah, karena orang yang menipunya dalam kasus pernikahan telah berbuat salah dan lalai, maka ia bertanggung jawab. Sedangkan pihak yang mewakilkan dalam kasus ini adalah orang yang berbuat baik dengan memaafkan, dan tidak ada unsur kelalaian padanya.

فصل: فإن جنى على رجل جناية فعفا المجني عليه عن القصاص فيها ثم سرت الجناية إلى النفس فإن كانت الجناية مما يجب فيها القصاص كقطع الكف والقدم لم يجب القصاص في النفس لأن القصاص لا يتبعض فإذا سقط في بالبعض سقط في الجميع وإن كانت الجناية مما لا قصاص فيها كالجائفة ونحوها وجب القصاص في النفس لأنه عفا عن القصاص فيما لا قصاص فيه فلم يعمل فيه العفو.

PASAL: Jika seseorang melakukan jināyah terhadap seorang laki-laki, lalu orang yang menjadi korban memaafkan qiṣāṣ atasnya, kemudian jināyah tersebut merambat hingga menyebabkan kematian, maka apabila jināyah tersebut termasuk yang wajib qiṣāṣ seperti memotong telapak tangan atau kaki, tidak wajib qiṣāṣ atas nyawa, karena qiṣāṣ tidak dapat dipilah-pilah; maka jika gugur sebagian, gugur pula keseluruhannya. Namun jika jināyah tersebut termasuk yang tidak ada qiṣāṣ-nya seperti jāʾifah dan semacamnya, maka wajib qiṣāṣ atas nyawa, karena dia telah memaafkan qiṣāṣ atas sesuatu yang memang tidak ada qiṣāṣ-nya, sehingga pemaafan tersebut tidak berlaku.

فصل: وإن قطع أصبع رجل عمداً فعفا المجني عليه عن القصاص والدية ثم اندملت سقط القصاص والدية وقال المزني رحمه الله يسقط القصاص ولا تسقط الدية لأنه عفا عن القصاص بعد وجوبه فسقط وعفا عن الدية قبل وجوبها لأن الدية لا تجب إلا بالاندمال والعفو وجد قبله فلم تسقط وهذا خطأ لأن الدية تجب بالجناية

PASAL: Jika seseorang memotong jari seorang laki-laki dengan sengaja, lalu orang yang terkena jinayah memaafkan dari qiṣāṣ dan diyah, kemudian lukanya sembuh, maka qiṣāṣ dan diyah gugur. Al-Muzanī raḥimahullāh berkata: qiṣāṣ gugur, tetapi diyah tidak gugur, karena ia memaafkan qiṣāṣ setelah qiṣāṣ itu wajib, maka qiṣāṣ gugur, dan ia memaafkan diyah sebelum diyah itu wajib, karena diyah tidak wajib kecuali setelah sembuh, sedangkan pemaafan terjadi sebelum itu, maka tidak menggugurkan. Ini adalah pendapat yang keliru, karena diyah wajib dengan sebab jinayah.

والدليل عليه أنه لو جنى على طرف عبده ثم باعه ثم اندمل كان أرش الطرف له دون المشتري فدل على أنه وجب بالجناية وإنما تأخرت المطالبة إلى ما بعد الإندمال فصار كما لو عفا عن دين مؤجل فإن سرت الجناية إلى الكف واندملت سقط القصاص في الأصبع بالعفو ولم يجب في الكف لأنه تلف بالسراية والقصاص فيما دون النفس لا يجب بالسراية وسقطت دية الأصبع لأنه عفا عنها بعد الوجوب ولا يسقط أرش ما تسري إليه لأنه عفا عنه قبل الوجوب

Dan dalil atas hal itu adalah bahwa jika seseorang melakukan jinayah pada anggota tubuh budaknya lalu ia menjual budak tersebut kemudian lukanya sembuh, maka arasy anggota tubuh itu menjadi milik penjual, bukan pembeli. Maka hal ini menunjukkan bahwa arasy itu wajib karena jinayah, hanya saja penuntutannya tertunda hingga setelah sembuh. Maka keadaannya seperti orang yang memaafkan utang yang ditangguhkan.

Jika jinayah itu menjalar ke telapak tangan lalu sembuh, maka qiṣāṣ pada jari gugur karena adanya pemaafan, dan tidak wajib qiṣāṣ pada telapak tangan karena kerusakannya terjadi karena saráyah, sedangkan qiṣāṣ pada anggota tubuh selain jiwa tidak wajib karena saráyah. Maka gugurlah diyah jari karena dimaafkan setelah wajib, dan tidak gugur arasy atas bagian yang terkena saráyah karena dimaafkan sebelum wajib.

وإن سرت الجناية إلى النفس نظرت فإن قال عفوت عن هذه الجناية قودها وديتها وما يحدث منها سقط القود في الأصبع والنفس لأنه سقط في الأصبع بالعفو بعد الوجوب وسقط في النفس لأنها لا تتبعض وأما الدية فإنه إن كان العفو بلفظ الوصية فهو وصية للقاتل وفيها قولان: فإن قلنا لا تصح وجبت دية النفس وإن قلنا تصح وخرجت من الثلث سقطت وإن خرج بعضها سقط ما خرج منها من الثلث ووجب الباقي وإن كان بغير لفظ الوصية فهل هو وصية في الحكم أم لا فيه قولان: أحدهما: أنه وصية لأنه يعتبر من الثلث

Jika jinayah itu menjalar ke jiwa, maka dilihat. Jika ia berkata: “Aku telah memaafkan jinayah ini, qiṣāṣ-nya, diyah-nya, dan segala akibat yang timbul darinya,” maka gugurlah qiṣāṣ pada jari dan jiwa; karena qiṣāṣ pada jari gugur dengan pemaafan setelah wajib, dan qiṣāṣ pada jiwa gugur karena ia tidak bisa dibagi-bagi.

Adapun diyah, jika pemaafan itu diungkapkan dengan lafaz wasiat, maka itu dianggap sebagai wasiat kepada si pembunuh, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Jika dikatakan wasiat tidak sah, maka diyah jiwa tetap wajib.
Jika dikatakan wasiat itu sah dan dikeluarkan dari sepertiga harta, maka diyah gugur.
Jika hanya sebagian yang keluar dari sepertiga harta, maka gugurlah bagian yang termasuk sepertiga, dan sisanya tetap wajib.

Jika pemaafan itu bukan dengan lafaz wasiat, maka apakah hukumnya dihukumi sebagai wasiat atau tidak, terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa itu adalah wasiat, karena dipertimbangkan keluar dari sepertiga harta.

والثاني: أنه ليس بوصية لأن الوصية ما تكون بعد الموت وهذا إسقاط في حال الحياة فإذا قلنا إنه وصية فعلى ما ذكرناه من القولين في الوصية للقاتل وإن قلنا إنه ليس بوصية صح العفوعن دية الأصبع لأنه عفا عنها بعد الوجوب ولا يصح عما زاد لأنه عفا قبل الوجوب فيجب عليه دية النفس إلا أرش أصبع وأما إذا قال عفوت عن هذه الجناية قودها وعقلها ولم يقل وما يحدث منها سقط القود في الجميع لما ذكرناه ولا تسقط دية النفس لأنه أبرأ منها قبل الوجوب وأما دية الأصبع فإنه إن كان عفا عنها بلفظ الوصية أو بلفظ العفو وقلنا إنه وصية للقاتل وفيها قولان وإن كان بلفظ العفو وقلنا إنه ليس بوصية فإن خرج من الثلث سقط وإن خرج بعضه سقط منه ما خرج ووجب الباقي لأنه إبراء عما وجب.

Dan pendapat kedua: bahwa itu bukan wasiat, karena wasiat adalah sesuatu yang berlaku setelah kematian, sedangkan ini adalah pelepasan (hak) saat masih hidup.

Maka jika dikatakan itu adalah wasiat, maka berlaku dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya mengenai wasiat kepada pembunuh.
Namun jika dikatakan itu bukan wasiat, maka sah pemaafan atas diyah jari karena dimaafkan setelah wajib, tetapi tidak sah pemaafan atas kelebihan dari itu karena dimaafkan sebelum wajib. Maka wajib atasnya diyah jiwa kecuali arasy jari.

Adapun jika ia berkata: “Aku telah memaafkan jinayah ini, qiṣāṣ-nya dan ‘aql-nya,” dan tidak mengatakan “serta akibat yang timbul darinya,” maka gugurlah qiṣāṣ untuk semuanya sebagaimana telah dijelaskan, dan tidak gugur diyah jiwa karena ia telah membebaskan sebelum wajib.

Adapun diyah jari, maka jika ia memaafkannya dengan lafaz wasiat atau dengan lafaz pemaafan, dan kita katakan bahwa itu adalah wasiat kepada pembunuh, maka berlaku dua pendapat.
Jika ia memaafkan dengan lafaz pemaafan, dan kita katakan itu bukan wasiat, maka jika seluruhnya masuk dalam sepertiga harta, maka gugur.
Jika hanya sebagian yang masuk, maka gugur bagian yang termasuk sepertiga, dan sisanya tetap wajib karena merupakan pembebasan dari sesuatu yang telah wajib.

فصل: فإن جنى جناية يجب فيها القصاص كقطع اليد فعفا عن القصاص وأخذ نصف الدية ثم عاد فقتله فقد اختلف أصحابنا فيه فذهب أبو سعيد الإصطخري رحمة الله عليه إلى أنه يلزمه القصاص في النفس أو الدية الكاملة إن عفى عن القصاص لأن القتل منفرد عن الجناية فلم يدخل حكمه في وجوب لأجله القصاص أو الدية، ومن أصحابنا من قال لا يجب القصاص ويجب نصف الدية لأن الجناية والقتل كالجناية الواحدة

PASAL: Jika seseorang melakukan jinayah yang mewajibkan qiṣāṣ seperti memotong tangan, lalu dimaafkan dari qiṣāṣ dan diambil setengah diyah, kemudian ia kembali membunuh (korban), maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya. Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī raḥimahullāh berpendapat bahwa wajib atasnya qiṣāṣ dalam jiwa atau diyah secara penuh jika dimaafkan dari qiṣāṣ, karena pembunuhan itu berdiri sendiri dari jinayah sebelumnya, maka hukumnya tidak termasuk dalam kewajiban qiṣāṣ atau diyah yang timbul karena jinayah tersebut. Dan sebagian dari sahabat kami berkata: tidak wajib qiṣāṣ, tetapi wajib setengah diyah, karena jinayah dan pembunuhan itu seperti satu jinayah.

فإذا سقط القصاص في بعضها سقط في جميعها ويجب نصف الدية لأنه وجب كمال الدية وقد أخذ نصفها وبقي له النصف ومنهم من قال يجب له القصاص في النفس وهو الصحيح لأن القتل انفرد عن الجناية فعفوه عن الجناية لا يوجب سقوط ما لزمه بالقتل ويجب له نصف الدية لأن القتل إذا تعقب الجناية قبل الاندمال صار بمنزلة ما لو سرت إلى النفس ولو سرت وجب فيها الدية وقد أخذ النصف وبقي النصف.

Maka apabila qiṣāṣ gugur pada sebagian dari keduanya, gugur pula pada seluruhnya, dan wajib setengah diyah, karena telah wajib diyah secara sempurna, sementara ia telah mengambil setengahnya, maka tersisa baginya setengah lagi. Dan sebagian dari mereka berpendapat bahwa wajib baginya qiṣāṣ dalam jiwa, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena pembunuhan itu berdiri sendiri dari jinayah sebelumnya, maka maafnya atas jinayah tidak menyebabkan gugurnya apa yang wajib karena pembunuhan. Dan wajib baginya setengah diyah, karena apabila pembunuhan terjadi setelah jinayah sebelum luka sembuh, maka keadaannya seperti jinayah yang merambat (sarāyah) ke jiwa. Dan seandainya memang merambat, niscaya wajib atasnya diyah, padahal ia telah mengambil setengahnya, maka tersisa setengahnya.

فصل: إذا قطع يد رجل فسرى القطع إلى النفس فاقتص في اليد ثم عفى عن النفس على غير مال لم يضمن اليد لأنه قطعها في حال لا يضمنها فأشبه إذا قطع يد مرتد فأسلم ولأن العفو يرجع إلى ما بقي دون ما استوفى كما لو قبض من ديته بعضه ثم أبرأه وإن عفى على مال وجب له نصف الدية لأنه بالعفو صار حقه في الدية وقد أخذ ما يساوي نصف الدية فوجب له النصف فإن قطع يدي رجل فسرى إلى نفسه فقطع الولي يدي الجاني ثم عفا عن النفس لم يجب له مال لأنه لم يجب له أكثر من دية وقد أخذ ما يساوي دية فلم يجب له شيء

PASAL: Jika seseorang memotong tangan seorang lelaki lalu luka itu merambat hingga menyebabkan kematian, kemudian dilaksanakan qiṣāṣ pada tangan, lalu dimaafkan untuk (pembalasan atas) jiwa tanpa imbalan, maka tidak wajib ganti rugi atas tangan, karena tangan itu dipotong dalam keadaan yang tidak menimbulkan tanggungan, sehingga serupa dengan memotong tangan seorang murtad lalu ia masuk Islam. Dan karena pemaafan kembali kepada bagian yang tersisa, bukan bagian yang telah di-istifā’, sebagaimana jika telah menerima sebagian dari diyat lalu ia membebaskannya. Namun jika ia memaafkan dengan imbalan, maka wajib baginya setengah dari diyat, karena dengan adanya pemaafan haknya berpindah ke diyat, dan ia telah mengambil sesuatu yang sepadan dengan setengah diyat, maka wajib baginya sisanya. Jika ia memotong kedua tangan seseorang lalu luka itu merambat hingga menyebabkan kematian, kemudian wali memotong kedua tangan pelaku, lalu memaafkan jiwa, maka tidak wajib baginya imbalan apa pun, karena tidak wajib baginya lebih dari satu diyat, dan ia telah mengambil sesuatu yang senilai satu diyat, maka tidak wajib baginya apa pun.

وإن قطع نصراني يد مسلم فاقتص منه في الطرف ثم سرى القطع إلى نفس المسلم فللوالي أن يقتله لأنه صارت الجناية نفساً وإن اختار أن يعفو على الدية ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب عشرة آلاف درهم لأن دية المسلم اثنا عشر ألفاً وقد أخذ ما يساوي ألفي درهم فوجب الباقي والثاني: أنه يجب له نصف ديته وهو ستة آلاف درهم لأنه رضي أن يأخذ يداً ناقصة بيد كاملة ديتها ستة آلاف درهم فوجب الباقي وإن قطع يديه فاقتص منه ثم سرى القطع إلى نفس المسلم فللوالي أن يقتله لأنه صارت الجناية نفساً

Dan jika seorang Nasrani memotong tangan seorang Muslim lalu dilaksanakan qiṣāṣ padanya pada anggota tubuh, kemudian potongan itu merambat hingga menyebabkan kematian Muslim tersebut, maka penguasa boleh membunuhnya karena jinayah itu telah menjadi jinayah jiwa. Dan jika ia memilih untuk memaafkan dengan mengambil diyah, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: wajib dibayar sepuluh ribu dirham karena diyah seorang Muslim adalah dua belas ribu dirham, dan ia telah mengambil yang senilai dua ribu dirham, maka wajib dibayar sisanya.

Kedua: wajib baginya setengah diyah-nya, yaitu enam ribu dirham, karena ia rela mengambil tangan yang cacat sebagai ganti tangan yang utuh yang diyah-nya enam ribu dirham, maka wajiblah sisanya.

Dan jika ia memotong kedua tangannya lalu dilaksanakan qiṣāṣ padanya kemudian potongan itu merambat hingga menyebabkan kematian Muslim tersebut, maka penguasa boleh membunuhnya karena jinayah itu telah menjadi jinayah jiwa.

فإن عفى على الدية أخذ على الوجه الأول ثمانية آلاف درهم لأنه أخذ ما يساوي أربعة آلاف درهم وبقي له ثمانية آلاف درهم وعلى الوجه الثاني لا شيء له لأنه رضي أن يأخذ نفسه بنفسه فيصير كما لو استوفى ديته وإن قطعت امرأة يد رجل فاقتص منها ثم سرى القطع إلى نفس الرجل فلوليه أن يقتلها لما ذكرناه فإن عفا على مال وجب على الوجه الأول تسعة آلاف درهم لأن الذي أخذ يساوي ثلاثة آلاف درهم وبقي تسعة آلاف درهم وعلى الوجه الثاني يجب ستة آلاف لأنه رضي أن يأخذ يدها بيده وذلك بقدر نصف ديته وبقي الصف.

Jika ia memaafkan dengan mengambil diyah, maka menurut pendapat pertama, ia mengambil delapan ribu dirham karena ia telah mengambil yang senilai empat ribu dirham dan tersisa untuknya delapan ribu dirham. Sedangkan menurut pendapat kedua, ia tidak berhak mendapatkan apa pun karena ia telah rela menukar jiwanya dengan jiwa pelaku, sehingga menjadi seperti orang yang telah mengambil seluruh diyah-nya.

Dan jika seorang perempuan memotong tangan seorang laki-laki lalu dilaksanakan qiṣāṣ padanya, kemudian potongan itu merambat hingga menyebabkan kematian laki-laki tersebut, maka wali dari laki-laki itu boleh membunuhnya sebagaimana yang telah disebutkan. Jika ia memaafkan dengan mengambil harta, maka menurut pendapat pertama wajib dibayar sembilan ribu dirham karena yang telah diambil setara dengan tiga ribu dirham dan sisanya sembilan ribu dirham. Dan menurut pendapat kedua wajib dibayar enam ribu dirham karena ia rela menukar tangan perempuan itu dengan tangannya, dan itu sepadan dengan setengah dari diyah-nya, maka sisanya adalah separuh.

باب من تجب الدية بقتله وما تجب به الدية من الجنايات
تجب الدية بقتل المسلم لقوله تعالى: {وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ} وتجب بقتل الذمي والمستأمن ومن بيننا وبينهم هدنة لقوله تعالى: {وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ} وتجب بقتل من لم تبلغه الدعوة لأنه محقون الدم مع كونه من أهل القتال فكان مضموناً بالقتل كالذمي.

KITAB DIYAT
PASAL ORANG YANG WAJIB DIBAYAR DIYAT KARENA DIBUNUH DAN JENIS JINAYAT YANG MEWAJIBKAN DIYAT

Diyat wajib dibayarkan karena membunuh seorang muslim, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak yang mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.”
Diyat juga wajib dibayarkan karena membunuh seorang dzimmī, musta’man, dan orang yang antara kita dan mereka ada perjanjian gencatan senjata, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan jika ia (yang terbunuh) dari suatu kaum yang antara kalian dan mereka ada perjanjian (damai), maka (wajib membayar) diyat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan seorang budak yang mukmin.”
Diyat juga wajib dibayarkan karena membunuh orang yang belum sampai kepadanya dakwah, karena darahnya terjaga (haram ditumpahkan) meskipun ia termasuk golongan yang layak diperangi, maka ia tetap wajib ditanggung bila dibunuh, sebagaimana halnya dzimmī.

فصل: وإن قطع طرف مسلم ثم ارتد ومات على الردة وقلنا إنه لا يجب القصاص في طرفه أو قلنا يجب فعفى عن القصاص على مال ففيه قولان: أحدهما: لا تجب دية الطرف لأنه تابع للنفس في الدية فإذا لم تجب دية النفس لم تجب دية الطرف والثاني: أنه تجب وهو الصحيح لأنه الجناية أوجبت دية الطرف والردة قطعت سراية الجريح فلا تسقط ما تقدم وجوبه كما لو قطع يد رجل ثم قتل الرجل نفسه فإن جرح مسلماً ثم ارتد ثم أسلم ومات فإن أقام في الردة زماناً تسري فيه الجناية ففيه قولان: أحدهما: تجب دية كاملة لأن الاعتبار في الدية بحال استقرار الجناية

PASAL: Jika seseorang memotong anggota tubuh seorang muslim lalu murtad dan mati dalam keadaan murtad, dan kita mengatakan bahwa tidak wajib qiṣāṣ pada anggota tubuhnya, atau kita mengatakan wajib lalu dimaafkan qiṣāṣ-nya dengan ganti harta, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak wajib diyah untuk anggota tubuh tersebut karena ia mengikuti diyah jiwa. Maka, jika tidak wajib diyah jiwa, tidak wajib pula diyah anggota tubuh.
Kedua, wajib diyah, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena jinayah tersebut mewajibkan diyah anggota tubuh, sementara murtad memutus potensi saranan jinayah ke jiwa. Maka, murtad tidak menggugurkan kewajiban yang sudah ditetapkan sebelumnya, sebagaimana jika seseorang memotong tangan orang lain, lalu orang yang terpotong tersebut membunuh dirinya sendiri.

Jika seseorang melukai seorang muslim lalu murtad, kemudian masuk Islam kembali dan meninggal dunia, maka jika ia tinggal dalam keadaan murtad selama waktu yang memungkinkan jinayah itu menyebar (menyebabkan kematian), terdapat dua pendapat:
Pertama, wajib diyah penuh, karena yang menjadi tolok ukur dalam diyah adalah saat jinayah itu menetap.

والدليل عليه أنه لو قطع يديه ورجليه واندملت وجبت له ديتان ولو سرت إلى النفس وجبت دية وهذا مسلم في حال استقرار الجناية فوجب فيه دية مسلم والثاني: يجب نصف الدية لأن الجناية في حال الإسلام توجب والسراية في حال الردة تسقط فوجب النصف كما لو جرحه رجل وجرح نفسه فمات وإن لم يقم في الردة زماناً تسري فيه الجناية وجبت دية مسلم لأنه مسلم في حال الجناية وفي حال استقرار الجناية ولا تأثير لما مضى في حال الردة فلم يكن له حكم.

Dan dalilnya adalah: jika seseorang memotong kedua tangan dan kedua kakinya lalu luka-luka itu sembuh, maka wajib baginya dua diyah, dan jika luka itu menjalar ke jiwa maka wajib satu diyah. Ini disepakati dalam keadaan jinayah telah menetap, maka wajib diyah seorang muslim.

Pendapat kedua: wajib setengah diyah, karena jinayah terjadi dalam keadaan Islam, namun saranan (menjalar) terjadi dalam keadaan murtad, maka yang wajib hanya setengahnya, sebagaimana jika seseorang melukainya lalu melukai dirinya sendiri hingga mati.

Jika ia tidak tinggal dalam keadaan murtad selama waktu yang memungkinkan jinayah itu menjalar, maka wajib diyah seorang muslim, karena ia adalah muslim saat jinayah terjadi dan saat jinayah menetap. Maka, keadaan sebelumnya dalam masa murtad tidak berpengaruh dan tidak memiliki konsekuensi hukum.

فصل: وإن قطع يد مرتد ثم أسلم ومات لم يضمن ومن أصحابنا من قال: تجب فيه دية مسلم لأنه مسلم في حال استقرار الجناية فوجبت ديته والمذهب الأول لأنها سراية قطع غير مضمون فلم يضمن كسراية القصاص وقطع السرقة.

PASAL: Jika seseorang memotong tangan seorang murtad, lalu orang itu masuk Islam dan meninggal, maka tidak ada kewajiban ganti rugi. Sebagian dari kalangan kami berkata: wajib membayar diyat seorang Muslim karena pada saat stabilnya bekas luka, ia sudah berstatus Muslim, maka wajib diyatnya. Namun pendapat yang rajih adalah pendapat pertama, karena itu merupakan sarayah dari pemotongan yang tidak dijamin, maka tidak wajib diyat seperti sarayah dalam kasus qiṣāṣ dan pemotongan dalam kasus pencurian.

فصل: وإن أرسل سهماً على حربي فأصابه وهو مسلم ومات وجبت فيه دية مسلم وقال أبو جعفر الترمذي لا يلزمه شيء لأنه وجد السبب من جهته في حال هو مأمور بقتله ولا يمكنه تلافي فعله عند الإسلام فلا يجب ضمانه كما لو جرحه ثم أسلم ومات والمذهب الأول لأن الاعتبار بحال الإصابة دون الارسال لأن الارسال سبب والإصابة جناية والاعتبار بحال الجناية لا بحال السبب والدليل عليه أنه لو حفر بئراً في الطريق وهناك حربي فأسلم ووقع فيها ومات ضمنه وإن كان عند السبب حربياً ويخالف إذا جرحه ثم أسلم ومات لأن الجناية هناك حصلت وهو غير مضمون وإن أرسل سهماً على مسلم فوقع به وهو مرتد فمات لم يضمن لأن الجناية حصلت وهو غير مضمون فلم يضمنه كما لو أرسله على حي فوقع به وهو ميت.

PASAL: Jika seseorang melepaskan anak panah ke arah seorang ḥarbī lalu mengenainya dalam keadaan ia telah masuk Islam dan mati, maka wajib baginya diyah seorang muslim. Abu Ja‘far al-Tirmiżī berpendapat bahwa tidak wajib apa pun, karena sebab berasal darinya dalam keadaan ia diperintahkan untuk membunuhnya, dan ia tidak mungkin membatalkan tindakannya saat orang itu masuk Islam, maka tidak wajib menggantinya, sebagaimana jika ia melukainya lalu orang itu masuk Islam dan mati.

Namun pendapat yang rajih adalah pendapat pertama, karena yang menjadi tolok ukur adalah keadaan saat terjadinya cedera (kena panah), bukan saat melepaskan panah. Sebab melepaskan adalah sebab, sedangkan mengenai (kena) adalah jinayah. Dan yang dijadikan ukuran adalah keadaan saat jinayah, bukan keadaan saat sebab.

Dalilnya: jika seseorang menggali sumur di jalan umum dan di sana ada seorang ḥarbī, lalu ia masuk Islam dan jatuh ke dalamnya dan mati, maka orang yang menggali wajib menanggungnya, meskipun saat sebab terjadi ia masih ḥarbī. Ini berbeda dengan kasus ketika ia melukainya lalu masuk Islam dan mati, karena jinayah di sana terjadi dalam keadaan tidak wajib tanggungan.

Jika ia melepaskan anak panah ke arah seorang muslim lalu mengenai saat orang itu dalam keadaan murtad lalu mati, maka tidak wajib tanggungan, karena jinayah terjadi saat tidak wajib ditanggung, maka tidak wajib menggantinya, sebagaimana jika ia melepaskan panah kepada orang hidup lalu mengenainya setelah mati.

فصل: وإن قتل مسلماً تترس به الكفار لم يجب القصاص لأنه لا يجوز أن يجب القصاص مع جواز الرمي وأما الدية فقد قال في موضع تجب وقال في موضع إن علمه مسلماً وجبت فمن أصحابنا من قال هو على قولين: أحدهما: أنها تجب لأنه ليس من جهته تفريط في الإقامة بين الكفار فلم يسقط ضمانه والثاني: أنه لا تجب لأن القاتل مضطر إلى رميه ومنهم من قال: إن علم أنه مسلم لزمه ضمانه وإن لم يعلم لم يلزمه ضمانه لأن مع العلم بإسلامه يلزمه أن يتوقاه ومع الجهل بإسلامه لا يلزمه أن يتوقاه وحمل القولين على هذين الحالين وقال أبو إسحاق إن عنيه بالرمي ضمنه وإن لم يعنه لم يضمنه وحمل القولين على هذين الحالين.

PASAL: Jika seseorang membunuh seorang Muslim yang dijadikan tameng oleh orang-orang kafir, maka tidak wajib qiṣāṣ, karena qiṣāṣ tidak mungkin diwajibkan dalam keadaan boleh melempar (menyerang). Adapun diyah, maka imam al-Syafi‘i berkata di satu tempat: wajib, dan di tempat lain: jika ia mengetahui bahwa yang terbunuh itu seorang Muslim maka wajib. Maka sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa hal itu merupakan dua qaul:

Pertama, bahwa diyah itu wajib karena tidak ada kelalaian dari pihak korban dalam tinggal bersama orang-orang kafir, maka tidak gugur jaminannya.
Kedua, bahwa diyah tidak wajib karena si pembunuh terpaksa melempar (menyerang).

Sebagian dari mereka berkata: jika ia tahu bahwa korban adalah Muslim, maka ia wajib menanggungnya, dan jika tidak tahu, maka tidak wajib menanggungnya. Karena jika ia tahu korban adalah Muslim, maka wajib baginya menghindari membunuhnya; dan jika ia tidak tahu, maka tidak wajib baginya untuk menghindari. Maka dua qaul tersebut ditakwilkan pada dua keadaan ini.

Abu Ishaq berkata: jika ia memang sengaja melempar ke arah korban, maka ia wajib menanggungnya; namun jika tidak sengaja mengarahkannya ke korban, maka tidak wajib menanggungnya. Maka dua qaul tersebut ditakwilkan pada dua keadaan ini.

فصل: وتجب الدية بقتل الخطأ لقوله عز وجل: {وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ} وتجب بقتل العمد في أحد القولين وبالعفو على الدية في القول الآخر وقد بيناه في الجنايات وتجب بشبه العمد لما روى عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ألا إن في دية الخطأ شبه العمد ما كان بالسوط والعصا مائة من الإبل منها أربعون خافة في بطونها أولادها” . فإن غرز إبرة في غير مقتل فمات وقلنا إنه لا يجب عليه القصاص ففي الدية وجهان: أحدهما: أنها تجب لأنه قد يفضي إلى القتل والثاني: لا تجب بأقل المثقل وهو الضرب بالقلم والرمي بالحصاة لم تجب بأقل المحدد.

PASAL: Diyah wajib dalam kasus pembunuhan karena kesalahan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ}.

Dan diyah juga wajib dalam pembunuhan sengaja menurut salah satu dari dua pendapat. Sedangkan menurut pendapat yang lain, hanya wajib jika dimaafkan dengan ganti diyah, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan jināyāt.

Dan diyah juga wajib dalam kasus syibh al-‘amd, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Ketahuilah, dalam diyah pembunuhan karena kesalahan yang mirip dengan sengaja (syibh al-‘amd), jika menggunakan cambuk atau tongkat, adalah seratus ekor unta, di antaranya empat puluh bunting yang di dalam perutnya ada anaknya.”

Jika seseorang menusukkan jarum ke bagian tubuh yang bukan tempat mematikan lalu orang itu mati, dan kita katakan bahwa tidak wajib qiṣāṣ atasnya, maka dalam hal diyah terdapat dua pendapat:
Pertama, diyah wajib, karena hal tersebut bisa menyebabkan kematian.
Kedua, tidak wajib, karena sebagaimana tidak wajib diyah akibat tindakan ringan dari alat berat seperti memukul dengan pena atau melempar dengan kerikil, maka tidak pula wajib diyah dengan tindakan ringan dari alat tajam.

فصل: وتجب على الجماعة إذا اشتركوا في القتل وتقسم بينهم على عددهم لأنه بدل متلف يتجزأ فقسم بين الجماعة على عددهم كغرامة المال فإن اشترك في القتل اثنان وهما من أهل القود فللولي أن يقتص من أحدهما: ويأخذ من الآخر نصف الدية وإن كان أحدهما: من أهل القود والآخر من أهل الدية فله أن يقتص ممن عليه القود ويأخذ من الآخر نصف الدية.

PASAL: Diyah wajib atas sekelompok orang jika mereka bersama-sama melakukan pembunuhan, dan dibagi di antara mereka sesuai jumlah masing-masing, karena diyah adalah pengganti dari sesuatu yang musnah dan dapat dibagi, maka dibagilah di antara mereka sebagaimana ganti rugi harta.

Jika dua orang bersama-sama melakukan pembunuhan dan keduanya termasuk dari kalangan yang dapat dikenai qiṣāṣ, maka wali (korban) berhak menegakkan qiṣāṣ terhadap salah satu dari keduanya dan mengambil setengah diyah dari yang lain.

Dan jika salah satunya termasuk dari kalangan yang bisa dikenai qiṣāṣ dan yang lain hanya terkena kewajiban diyah, maka wali berhak menegakkan qiṣāṣ terhadap yang wajib qiṣāṣ, dan mengambil setengah diyah dari yang lainnya.

فصل: وتجب الدية بالإشهاد فإن شهد اثنان على رجل بالقتل فقتل بشهادتهما بغير حق ثم رجعا عن الشهادة كان حكمهما في الدية حكم الشريكين لما روي أن شاهدين شهدا عند علي كرم الله وجهه على رجل أنه سرق فقطعه ثم رجعا عن شهادتهما فقال لو أعلم أنكما تعمدتما لقطعت أيديكما وأغرمهما دية يده.

PASAL: Diyat wajib karena kesaksian. Jika dua orang bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia telah membunuh, lalu ia dibunuh berdasarkan kesaksian keduanya tanpa hak, kemudian keduanya mencabut kembali kesaksiannya, maka hukum keduanya dalam kewajiban diyat sama seperti dua orang yang bersekutu (dalam pembunuhan). Hal ini berdasarkan riwayat bahwa dua orang saksi bersaksi di hadapan ʿAlī karamallāhu wajhah terhadap seorang laki-laki bahwa ia mencuri, lalu ʿAlī memotong tangannya, kemudian keduanya mencabut kembali kesaksiannya, maka beliau berkata: “Seandainya aku tahu bahwa kalian berdua sengaja, niscaya aku akan memotong tangan kalian berdua, dan aku akan membebankan kepada kalian berdua diyat tangannya.”

فصل: وإن أكره رجل على قتل رجل فقتله فإن قلنا إنه يجب القود عليهما فللولي أن يقتل من شاء منهما ويأخذ نصف الدية من الآخر لأنهما كالشريكين في القتل إذا كانا من أهل القود وإن قلنا لا يجب القود إلا على المكره الآمر دون المكره فللولي أن يقتل المكره ويأخذ من الآخر نصف الدية لأنهما كالشريكين غير أن القصاص يسقط بالشبهة فسقط عنه والدية لا تسقط بالشبهة فوجب عليه نصفها.

PASAL: Jika seseorang memaksa orang lain untuk membunuh seseorang, lalu orang yang dipaksa itu membunuhnya, maka jika kita berpendapat bahwa qiṣāṣ wajib atas keduanya, maka wali (korban) berhak membunuh salah satu dari keduanya dan mengambil setengah diyah dari yang lainnya, karena keduanya seperti dua orang yang berserikat dalam pembunuhan apabila keduanya termasuk dari kalangan yang dapat dikenai qiṣāṣ.

Namun jika kita berpendapat bahwa qiṣāṣ hanya wajib atas orang yang memaksa (al-āmir al-mukrih) dan tidak atas orang yang dipaksa, maka wali berhak membunuh orang yang memaksa dan mengambil setengah diyah dari yang dipaksa, karena keduanya seperti dua orang yang berserikat, hanya saja qiṣāṣ gugur karena adanya syubhat, maka gugur dari yang dipaksa, sedangkan diyah tidak gugur karena syubhat, maka wajib atasnya setengahnya.

فصل: وإن طرح رجلاً في نار يمكنه الخروج منها فلم يخرج حتى مات ففيه قولان: أحدهما: أنه تجب الدية لأن ترك التخلص من الهلاك لا يسقط به ضمان الجناية كما لو جرحه جراحة وقدر المجروح على مداواتها فترك المداواة حتى مات والقول الثاني: أنها لا تجب وهو الصحيح لأن طرحه في النار لا يحصل به التلف وإنما يحصل ببقائه فيها باختياره فسقط ضمانه كما لو جرحه جرحاً يسيراً لا يخاف منه فوسعه حتى مات

PASAL: Jika seseorang melempar orang lain ke dalam api yang memungkinkan dia keluar darinya, tetapi dia tidak keluar hingga mati, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa diyah wajib, karena meninggalkan usaha menyelamatkan diri dari kebinasaan tidak menggugurkan tanggungan atas jinayah, sebagaimana jika seseorang melukainya dengan luka yang memungkinkan si terluka untuk mengobatinya, namun dia meninggalkan pengobatan hingga mati. Pendapat kedua menyatakan bahwa diyah tidak wajib, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena melemparkannya ke dalam api tidak menyebabkan kebinasaan secara langsung, tetapi yang menyebabkan adalah tetap tinggalnya dia di dalamnya atas pilihannya sendiri, maka gugurlah tanggungan, sebagaimana jika seseorang melukainya dengan luka ringan yang tidak dikhawatirkan, lalu dia membiarkannya hingga mati.

وإن طرحه في ماء يمكنه الخروج منه فلم يخرج حتى مات ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كالنار ومنهم من قال لا تجب قولاً واحداً لأن الطرح في الماء ليس بسبب الهلاك لأن الناس يطرحون أنفسهم في الماء للسباحة وغيرها وإنما حصل الهلاك بمقامه فيه فسقط ضمانه بخلاف النار.

Dan jika seseorang melempar orang lain ke dalam air yang memungkinkan dia keluar darinya, namun dia tidak keluar hingga mati, maka terdapat dua ṭarīq. Sebagian dari aṣḥāb kami mengatakan bahwa di dalamnya terdapat dua pendapat sebagaimana pada kasus api. Dan sebagian dari mereka mengatakan bahwa diyah tidak wajib menurut satu pendapat saja, karena melempar ke dalam air bukanlah sebab kebinasaan, sebab manusia biasa melemparkan diri ke air untuk berenang dan keperluan lainnya. Maka kebinasaan itu terjadi karena tetap tinggalnya dia di dalam air, sehingga gugurlah tanggungan, tidak seperti dalam kasus api.

فصل: وإن شد يده ورجليه وطرحه في الساحل فزاد الماء وهلك فيه نظرت فإن كانت الزيادة معلومة الوجود كالمد بالبصرة فهو عمد محض ويجب به القصاص لأنه قصد تغريقه وإن كان قد يزيد وقد لا يزيد فهو عمد خطأ وتجب به الدية المغلظة فإن كان في موضع لا يزيد فيه الماء فزاد وهلك فيه فهو خطأ محض وتجب فيه الدية مخففة وإن شد يديه ورجليه وطرحه في أرض مسبعة فقتله السبع فهو عمد خطأ وتجب فيه دية مغلظة وإن كان في أرض غير مسبعة فقتله السبع فهو خطأ محض وتجب فيه دية مخففة.

PASAL: Jika seseorang mengikat tangan dan kakinya lalu melemparkannya ke tepi pantai, kemudian air laut naik dan ia binasa di dalamnya, maka dilihat keadaannya:

Jika kenaikan air itu diketahui pasti terjadi, seperti pasang laut di Basrah, maka itu adalah pembunuhan ‘amdan maḥḍan (sengaja murni) dan wajib qiṣāṣ, karena ia memang berniat menenggelamkannya.

Namun jika kenaikan air itu kadang terjadi dan kadang tidak, maka itu termasuk ‘amdu khuṭa’ (sengaja tapi seperti keliru), dan wajib atasnya diyah mughallaẓah (berat).

Jika dilakukan di tempat yang airnya tidak biasa naik lalu ternyata naik dan orang itu binasa, maka itu khaṭā’ maḥḍ (murni kesalahan), dan wajib diyah mukhaffafah (ringan).

Jika ia mengikat tangan dan kakinya lalu melemparkannya ke tanah yang banyak binatang buas lalu ia dibunuh oleh binatang itu, maka itu ‘amdu khuṭa’ dan wajib diyah mughallaẓah.

Namun jika ia melemparkannya ke tanah yang tidak dikenal sebagai tempat binatang buas lalu binatang buas membunuhnya, maka itu khaṭā’ maḥḍ, dan wajib diyah mukhaffafah.

فصل: وإن سلم صبياً إلى سابح ليعلمه السباحة فغرق ضمنه السابح لأنه سلمه إليه ليحتاط في حفظه فإذا هلك بالتعليم نسب إلى التفريط فضمنه كالمعلم إذا ضرب الصبي فمات وإن سلم البالغ نفسه إلى السابح فغرق لم يضمنه لأنه في يد نفس فلا ينسب إلى التفريط في هلاكه إلى غيره فلا يجب ضمانه.

PASAL: Jika seseorang menyerahkan seorang anak kecil kepada perenang untuk mengajarkannya berenang lalu anak itu tenggelam, maka perenang wajib menanggungnya, karena anak itu diserahkan kepadanya agar ia berhati-hati dalam menjaganya. Maka jika anak itu binasa karena proses pengajaran, hal itu dianggap sebagai kelalaian, sehingga ia wajib menanggungnya, sebagaimana seorang guru yang memukul anak kecil lalu anak itu mati. Namun jika orang dewasa menyerahkan dirinya sendiri kepada perenang lalu tenggelam, maka perenang tidak menanggungnya, karena ia berada di dalam kuasa dirinya sendiri, sehingga kebinasaan dirinya tidak dinisbatkan kepada kelalaian orang lain, maka tidak wajib menanggungnya.

فصل: وإن كان صبي على طرف سطح فصاح رجل ففزع فوقع من السطح ومات ضمنه لأن الصياح سبب لوقوعه وإن كان صياحه عليه فهو عمد خطأ وإن لم يكن صياحه عليه فهو خطأ وإن كان بالغ على طرف سطح فسمع الصيحة في حال غفلته فخر ميتاً ففيه وجهان: أحدهما: أنه كالصبي لأن البالغ في حال غفلته يفزع من الصيحة كما يفزع الصبي والثاني: لا يضمن لأن معه من الضبط ما لا يقع به مع الغفلة.

PASAL: Jika ada seorang anak kecil berada di tepi atap, lalu seseorang berteriak hingga membuatnya terkejut dan jatuh dari atap lalu mati, maka orang yang berteriak wajib menanggungnya karena teriakannya menjadi sebab jatuhnya anak tersebut.

Jika teriakan itu ditujukan langsung kepadanya, maka hukumnya ‘amdu khuṭa’ (sengaja yang menyerupai keliru). Jika bukan ditujukan kepadanya, maka hukumnya khaṭā’ (murni kesalahan).

Jika yang berada di tepi atap adalah orang dewasa, lalu ia mendengar teriakan dalam keadaan lalai dan jatuh hingga mati, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama, disamakan dengan anak kecil, karena orang dewasa dalam keadaan lalai juga bisa terkejut oleh teriakan sebagaimana anak kecil.
Kedua, tidak wajib menanggungnya, karena orang dewasa memiliki kendali diri yang mencegahnya jatuh walaupun sedang lalai.

فصل: وإن بعث السلطان إلى امرأة ذكرت عنده بسوء ففزعت فألقت جنيناً ميتاً وجب ضمانه لما روي أن عمر رضي الله عنه أرسل إلى امرأة مغيبة كان يدخل عليها فقالت: يا ويلها مالها ولعمر فبينا هي في الطريق إذ فزعت فضربها الطلق فألقت ولداً فصاح الصبي صيحتين ثم مات فاستشار عمر رضي الله عنه أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فأشار بعضهم أن ليس عليك شيء إنما أنت وال ومؤدب وصمت علي رضي الله عنه فأقبل عليه فقال ما تقول يا أبا الحسن فقال: إن كانوا قالوا برأيهم فقد أخطأ رأيهم وإن كانوا قالوا في هواك فلم ينصحوا لك إن ديته عليك لأنك أنت أفزعتها فألقت وإن فزعت المرأة فماتت لم تضمن لأن ذلك ليس بسبب لهلاكها في العادة.

PASAL: Jika seorang penguasa mengirim utusan kepada seorang perempuan yang disebut-sebut dengan keburukan di sisinya, lalu perempuan itu ketakutan dan menjatuhkan janin dalam keadaan mati, maka wajib menanggung diyah-nya. Karena diriwayatkan bahwa ‘Umar RA mengirim utusan kepada seorang perempuan yang suaminya sedang bepergian yang sering didatangi seseorang, lalu ia berkata, “Celakalah aku, apa urusanku dengan ‘Umar?” Maka ketika ia berada di jalan, ia merasa ketakutan lalu mengalami kontraksi dan melahirkan anak, dan si anak menangis dua kali lalu mati. Maka ‘Umar RA meminta pendapat para sahabat Nabi SAW, sebagian mereka berpendapat, “Engkau tidak menanggung apa pun, engkau hanyalah seorang penguasa dan pendidik.” Ali RA diam, lalu ‘Umar RA menoleh kepadanya dan berkata, “Apa pendapatmu wahai Abū al-Ḥasan?” Maka ia berkata, “Jika mereka berpendapat dengan akal mereka sendiri, maka pendapat mereka salah. Dan jika mereka berkata karena mengikuti hawa nafsumu, maka mereka tidak menasihatimu. Sesungguhnya diyah-nya wajib atasmu, karena engkaulah yang telah membuatnya takut hingga ia menjatuhkan (janinnya).” Namun jika perempuan itu ketakutan lalu mati, maka tidak wajib menanggungnya, karena kematiannya bukanlah hal yang lazim terjadi hanya karena rasa takut.

فصل: وإن طلب رجل بصيراً بالسيف فوقع في بئر أو ألقى نفسه من شاهق فمات لم يضمن لأن الطلب سبب والالقاء مباشرة فإذا اجتمعا سقط حكم السبب بالمباشرة ولأن الطالب لم يلجئه إلى الوقوع لأنه لو أدركه جاز أن لا يجني عليه فصار كما لو جرحه رجل فذبح المجروح نفسه وإن طلب ضريراً فوقع في بئر أومن شاهق ومات فإن كان عالماً بالشاهق أو بالبئر لم يضمن لأنه كالبصير وإن لم يعلم وجب ضمانه لأنه ألجأه إليه فتعلق به الضمان كالشهود إذا شهدوا بالقتل ثم رجعوا

PASAL: Jika seorang laki-laki mengejar orang yang dapat melihat (bashīr) dengan pedang, lalu orang itu jatuh ke dalam sumur atau menjatuhkan diri dari tempat tinggi lalu mati, maka pengejar tidak menanggung diyat, karena pengejaran adalah sebab dan menjatuhkan diri adalah tindakan langsung (mubāsyarah), maka jika keduanya berkumpul, gugurlah hukum sebab dengan adanya tindakan langsung. Dan karena si pengejar tidak memaksa (iljā’) orang itu untuk jatuh, sebab jika ia berhasil menangkapnya, bisa jadi ia tidak mencelakainya, maka kasus ini seperti seseorang yang terluka oleh orang lain lalu ia sendiri menyembelih dirinya.

Namun, jika ia mengejar orang buta lalu orang buta itu jatuh ke dalam sumur atau dari tempat tinggi dan mati, maka jika si pengejar mengetahui adanya tempat tinggi atau sumur tersebut, maka ia tidak menanggung diyat karena ia seperti orang yang dapat melihat. Tetapi jika ia tidak mengetahuinya, maka wajib atasnya menanggung diyat karena ia telah memaksanya (iljā’) untuk menjatuhkan diri, maka tanggungan diyat berkaitan dengannya, seperti halnya para saksi yang bersaksi atas pembunuhan lalu mereka menarik kembali kesaksian mereka.

وإن كان المطلوب صبياً أو مجنوناً ففيه وجهان بناء على القولين في عمدهما هل هو عمد أو خطأ فإن قلنا إن عمدهما عمد لم يضمن الطالب الدية وإن قلنا إنه خطأ ضمن وإن طلب رجل رجلاً فافترسه سبع في طريقه نظرت فإن ألجأه الطالب إلى موضع السبع ضمنه كما لو ألقاه عليه وإن لم يلجئه إليه لم يضمنه لأنه لم يلجئه إليه وإن انخسف من تحته سقف فسقط ومات ففيه وجهان: أحدهما: لا يضمن كما لا يضمن إذا افترسه سبع والثاني: يضمن لأنه ألجأه إلى ما لا يمكنه الاحتراز منه.

Dan jika orang yang dikejar adalah seorang anak kecil atau orang gila, maka dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat, didasarkan pada dua pendapat dalam masalah apakah tindakan sengaja dari keduanya dianggap ‘amdan (sengaja) atau khaṭa’ (tidak sengaja). Jika kita mengatakan bahwa tindakan sengaja mereka dihukumi sebagai ‘amdan, maka pengejar tidak menanggung diyat. Namun jika kita mengatakan bahwa itu adalah khaṭa’, maka pengejar wajib menanggung diyat.

Dan jika seorang laki-laki mengejar orang lain, lalu ia dimangsa oleh binatang buas di jalan, maka perlu diteliti: jika pengejar memaksa orang itu ke tempat binatang buas, maka ia menanggung diyat sebagaimana jika ia melemparkannya ke arah binatang buas tersebut. Namun jika ia tidak memaksanya ke sana, maka ia tidak menanggung diyat, karena ia tidak memaksanya.

Dan jika atap runtuh dari bawahnya lalu ia jatuh dan mati, maka terdapat dua wajah pendapat: pertama, pengejar tidak menanggung diyat sebagaimana tidak menanggung diyat jika ia dimangsa binatang buas. Kedua, pengejar menanggung diyat karena ia telah memaksanya ke arah sesuatu yang tidak mungkin dihindari.

فصل: وإن رماه من شاهق فاستقبله رجل بسيف فقده نصفين نظرت فإن كان من شاهق يجوز أن يسلم الواقع منه وجب الضمان على القاطع لأن الرامي كالجارح والقاطع كالذابح وإن كان من شاهق لا يسلم الواقع منه ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب الضمان عليهما لأن كل واحد منهما سبب للاتلاف فصار كما لو جرحاه والثاني: أن الضمان على القاطع لأن الرامي إنما يكون سبباً للتلف إذا وقع المرمي على الأرض وههنا لم يقع على الأرض وصار الرامي صاحب سبب والقاطع مباشراً فوجب الضمان على القاطع.

PASAL: Jika seseorang melempar orang lain dari tempat yang tinggi, lalu disambut oleh seseorang dengan pedang hingga membelahnya menjadi dua, maka dilihat keadaannya: jika tempat tinggi itu memungkinkan orang yang jatuh darinya selamat, maka wajib ganti rugi atas pemotong (orang yang menyambut dengan pedang), karena yang melempar seperti orang yang melukai, dan yang memotong seperti penyembelih.

Namun jika tempat itu begitu tinggi sehingga mustahil orang yang jatuh darinya bisa selamat, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa ganti rugi wajib atas keduanya, karena masing-masing merupakan sebab kerusakan, sehingga kedudukannya seperti dua orang yang melukai bersama.

Kedua: bahwa ganti rugi hanya wajib atas pemotong, karena orang yang melempar hanya menjadi sebab kematian jika yang dilempar jatuh ke tanah, sedangkan dalam kasus ini ia tidak jatuh ke tanah. Maka, pelempar adalah pelaku sebab, sementara pemotong adalah pelaku langsung (mubāsyir), sehingga ganti rugi wajib atas pemotong.

فصل: إذا زنى بامرأة وهي مكرهة وأحبلها وماتت من الولادة ففيه قولان: أحدهما: يجب عليه ديتها لأنها تلفت بسبب من جهته تعدى به فضمنها والثاني: لا يجب لأن السبب انقطع حكمه بنفي النسب عنه.

PASAL: Jika seseorang berzina dengan seorang perempuan dalam keadaan dipaksa, lalu ia hamil dan meninggal karena melahirkan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: wajib atasnya membayar diyatnya karena ia telah menyebabkan kematian dengan sebab dari pihaknya yang mengandung unsur pelanggaran, maka ia wajib menanggungnya.

Kedua: tidak wajib diyat karena sebab tersebut telah terputus hukumnya dengan penafian nasab darinya.

فصل: وإن حفر بئراً في طريق الناس أو وضع فيه حجراً أو طرح فيه ماء أو قشر بطيخ فهلك به إنسان وجب الضمان عليه لأنه تعدى به فضمن من هلك به كما لو جنى عليه وإن حفر بئراً في الطريق ووضع آخر حجراً فعثر رجل بالحجر ووقع في البئر فمات وجب الضمان على واضع الحجر لأنه هو الذي ألقاه في البئر فصار كما لو ألقاه فيها بيده وإن وضع رجل حجراً في الطريق فدفعه رجل على هذا الحجر فمات وجب الضمان على الدافع لأن الدافع مباشر وواضع الحجر صاحب سبب فوجب الضمان على المباشر

PASAL: Jika seseorang menggali sumur di jalan umum, atau meletakkan batu di dalamnya, atau membuang air, atau kulit semangka ke dalamnya, lalu ada seseorang yang binasa karenanya, maka wajib mengganti kerugiannya, karena ia telah berbuat ta‘addī (pelanggaran), sehingga ia menanggung siapa pun yang binasa karenanya, sebagaimana jika ia melakukan jinayah terhadapnya.

Dan jika seseorang menggali sumur di jalan, lalu orang lain meletakkan batu, kemudian ada seseorang tersandung batu tersebut lalu jatuh ke dalam sumur dan mati, maka wajib ganti rugi atas orang yang meletakkan batu, karena dialah yang menyebabkan orang itu jatuh ke dalam sumur, sehingga keadaannya seperti orang yang melemparkannya langsung dengan tangannya.

Dan jika seseorang meletakkan batu di jalan, lalu orang lain mendorong seseorang hingga mengenai batu tersebut dan mati, maka wajib ganti rugi atas orang yang mendorong, karena yang mendorong adalah pelaku langsung (mubāsyir), sedangkan yang meletakkan batu hanya penyebab (sabab), maka ganti rugi dibebankan kepada pelaku langsung.

وإن وضع رجل حجراً في الطريق ووضع آخر حديدة بقربه فعثر رجل بالحجر ووقع على الحديدة فمات وجب الضمان على واضع الحجر وقال أبو الفياض البصري إن كانت الحديدة سكيناً قاطعة وجب الضمان على واضع السكين دون واضع الحجر والأول هو الصحيح لأن الواضع هو المباشر وإن حفر بئراً في طريق لا يستضر به الناس فإن حفرها لنفسه كان حكمه حكم الطريق الذي يستضر الناس بحفر البئر فيه لأنه لا يجوز أن يختص بشيء من طريق المسلمين

Dan jika seseorang meletakkan batu di jalan, lalu orang lain meletakkan besi di dekatnya, kemudian seseorang tersandung batu itu dan jatuh menimpa besi hingga mati, maka wajib ganti rugi atas orang yang meletakkan batu. Abu al-Fayyāḍ al-Baṣrī berkata: jika besi itu berupa pisau yang tajam, maka wajib ganti rugi atas orang yang meletakkan pisau, bukan orang yang meletakkan batu. Pendapat pertama adalah yang ṣaḥīḥ, karena orang yang meletakkan batu adalah pelaku langsung (mubāsyir).

Dan jika seseorang menggali sumur di jalan yang tidak membahayakan manusia, jika ia menggali untuk dirinya sendiri, maka hukumnya sama dengan jalan yang terganggu dengan penggalian sumur, karena tidak boleh seseorang mengkhususkan bagian dari jalan kaum Muslimin untuk dirinya sendiri.

وإن حفرها لمصلحة الناس فإن كان بإذن الإمام فهلك به إنسان لم يضمن لأن ما فعله بإذن الإمام للمصلحة جائز فلا يتعلق به الضمان وإن كان بغير إذنه ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يضمن لأنه حفرها لمصلحة المسلمين من غير إضرار فصار كما لو حفرها بإذن الإمام والثاني: أنه يضمن لأن ما تعلق بمصلحة المسلمين يختص به الإمام فمن افتات عليه فيه كان متعدياً فضمن من هلك به وإن بنى مسجدا في موضع لا ضرر فيه أو علق قنديلاً في مسجد أو فرش فيه حصراً من غير إذن الإمام فهلك به إنسان فهو كالبئر التي حفرها للمسلمين

Dan jika ia menggali sumur untuk kemaslahatan orang banyak, maka jika dilakukan dengan izin imam, lalu ada seseorang yang binasa karenanya, maka tidak wajib ganti rugi, karena perbuatan yang dilakukan dengan izin imam demi kemaslahatan adalah sah, maka tidak berkaitan dengannya kewajiban ganti rugi.

Namun jika dilakukan tanpa izinnya, maka ada dua wajah: pertama, ia tidak wajib ganti rugi karena menggali sumur tersebut untuk kemaslahatan kaum Muslimin tanpa menimbulkan mudarat, maka keadaannya seperti menggali dengan izin imam. Kedua, ia wajib ganti rugi karena segala urusan yang berkaitan dengan kemaslahatan kaum Muslimin adalah wewenang imam, maka siapa yang melangkahinya berarti ia berbuat ta‘addī, sehingga ia wajib mengganti siapa yang binasa karenanya.

Dan jika seseorang membangun masjid di tempat yang tidak menimbulkan mudarat, atau menggantungkan lampu di dalam masjid, atau menghamparkan tikar di dalamnya tanpa izin imam, lalu seseorang binasa karenanya, maka hukumnya seperti sumur yang digali untuk kaum Muslimin.

وإن حفر بئراً في موات ليتملكها أو لينتفع بها الناس لم يضمن من هلك بها لأنه غير متعد في حفرها وإن كان في داره بئر قد غطى رأسها وكلب عقور فدخل رجل داره بغير إذنه فوقع في البئر فمات ففي ضمانه قولان كالقولين فيمن قدم طعاماً مسموماً إلى رجل فأكله فمات وإن قدم صبياً إلى هدف فأصابه سهم فمات ضمنه لأن الرامي كالحافر للبئر والذي قدمه كالملقي فيها فكان الضمان عليه وإن ترك على حائط جرة ماء فرمتها الريح على إنسان فمات لم يضمنه لأنه وضعها في ملكه ووقعت من غير فعله

Dan jika seseorang menggali sumur di tanah mati untuk memilikinya atau agar bisa dimanfaatkan oleh orang lain, maka ia tidak wajib mengganti siapa pun yang binasa karenanya, karena ia tidak berbuat ta‘addī dalam penggaliannya.

Dan jika di rumahnya terdapat sumur yang telah ditutup atasnya, serta terdapat anjing galak, lalu seseorang masuk ke rumahnya tanpa izin, kemudian jatuh ke dalam sumur itu dan mati, maka dalam hal kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat, sebagaimana dua pendapat dalam kasus seseorang menghidangkan makanan beracun kepada orang lain lalu dimakan hingga mati.

Dan jika seseorang menyerahkan seorang anak kecil ke tempat sasaran panah lalu anak itu terkena panah dan mati, maka ia wajib ganti rugi, karena orang yang memanah seperti orang yang menggali sumur, dan orang yang menyerahkan anak itu seperti orang yang melemparkannya ke dalam sumur, maka tanggungan ganti rugi ada padanya.

Dan jika seseorang meletakkan kendi air di atas dinding, lalu angin menjatuhkannya hingga mengenai seseorang dan menyebabkan kematian, maka ia tidak wajib mengganti rugi, karena ia meletakkannya di dalam miliknya dan kejatuhannya bukan karena perbuatannya.

وإن بنى حائطاً في ملكه فمال الحائط إلى الطريق ووقع على إنسان فقتله ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول إسحاق أنه يضمن لأنه لما مال إلى الطريق لزمه أزالته فإذا لم يزله صار متعدياً بتركه فضمن من هلك به كما لو أوقع حائطاً مائلاً إلى الطريق وترك نقضه حتى هلك به إنسان والثاني: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أنه لا يضمن وهو المذهب لأنه بناه في ملكه ووقع من غير فعله فأشبه إذا وقع من غير ميل.

Dan jika seseorang membangun dinding di dalam miliknya, lalu dinding itu miring ke arah jalan dan roboh menimpa seseorang hingga meninggal, maka ada dua wajah:

Pertama, yaitu pendapat Isḥāq, bahwa ia wajib ganti rugi karena ketika dinding itu telah miring ke jalan, ia wajib merobohkannya. Maka ketika ia tidak merobohkannya, berarti ia telah berbuat ta‘addī dengan membiarkannya, sehingga ia menanggung siapa yang binasa karenanya, sebagaimana jika ia menjatuhkan dinding yang miring ke jalan lalu membiarkannya hingga ada orang yang binasa karenanya.

Kedua, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa ia tidak wajib ganti rugi, dan ini adalah al-madhhab, karena ia membangunnya di dalam miliknya dan robohnya tidak disebabkan oleh perbuatannya, maka keadaannya seperti jika dinding itu roboh tanpa kemiringan.

فصل: وإن أخرج جناحاً إلى الطريق فوقع على إنسان ومات ضمن نصف ديته لأن بعضه في ملكه وبعضه خارج ملكه فسقط نصف الدية لما في ملكه وضمن نصفها للخارج عن ملكه وإن انكسرت خشبة من الخارج فوقعت على إنسان فمات ضمن جميع الدية لأنه هلك بالخارج من ملكه وإن نصب ميزاناً فوقع على إنسان فمات به ففيه قولان: قال في القديم لا يضمن لأنه غير مضطر إليه ولا يجد بداً منه بخلاف الجناح وقال في الجديد يضمن لأنه غير مضطر إليه لأنه كان يمكنه أن يحفر في ملكه بئراً يجري الماء إليها فكان كالجناح.

PASAL: Jika seseorang mengeluarkan janāḥ (bangunan menggantung seperti serambi atau atap tambahan) ke jalan lalu menimpa seseorang hingga meninggal, maka ia wajib membayar setengah diyat karena sebagian bangunan berada dalam miliknya dan sebagian di luar miliknya, sehingga gugur setengah diyat untuk bagian yang di dalam miliknya dan ia wajib membayar setengahnya untuk bagian yang di luar miliknya. Jika sebatang kayu dari bagian luar miliknya patah lalu menimpa seseorang hingga meninggal, maka ia wajib membayar diyat secara penuh karena korban meninggal akibat bagian yang berada di luar miliknya. Jika ia memasang timbangan lalu timbangan itu menimpa seseorang hingga meninggal, maka terdapat dua pendapat: dalam qawl qadīm, ia tidak wajib membayar karena tidak bisa tidak ia harus menggunakannya dan tidak ada jalan lain baginya, berbeda dengan janāḥ; dan dalam qawl jadīd, ia wajib membayar karena tidak ada keharusan baginya menggunakannya, sebab ia masih bisa menggali sumur di dalam miliknya untuk mengalirkan air ke situ, sehingga ia seperti janāḥ.

فصل: وإن كان معه دابة فأتلفت إنساناً أو مالاً بيدها أو رجلها أو نابها أو بالت في الطريق فزلق ببولها إنسان فوقع ومات ضمنه لأنها في يده وتصرفه فكانت جنايتها كجنايته.

PASAL: Jika seseorang bersama hewan tunggangannya lalu hewan itu merusak manusia atau harta dengan tangannya, kakinya, taringnya, atau ia kencing di jalan lalu seseorang terpeleset karena air kencingnya kemudian jatuh dan meninggal, maka ia wajib menanggungnya karena hewan itu berada dalam genggaman dan kendalinya, sehingga kejahatan hewan itu dianggap seperti kejahatannya sendiri.

فصل: وإن اصطدم فارسان أو راجلان وماتا وجب على كل واحد منهما نصف دية الآخر وقال المزني إن استلقى أحدهما: فانكب الآخر على وجهه وجب على المكب دية المستلقي وهدر دمه لأن الظاهر أن المنكب هو القاتل والمستلقي هو المقتول وهذا خطأ لأن كل واحد منهما هلك بفعله وفعل صاحبه فهدر النصف بفعله ووجب النصف بفعل صاحبه كما لو جرح كل واحد منهما نفسه وجرحه صاحبه ووجه قول المزني لا يصح لأنه يجوز أن يكون المستلقي صدم صدمة شديدة فوقع مستلقياً من شدة صدمته

PASAL: Jika dua orang penunggang kuda atau dua orang pejalan kaki saling bertabrakan lalu keduanya mati, maka wajib atas masing-masing dari keduanya membayar setengah dari diyah yang lain.

Al-Muzanī berkata: Jika salah satunya telentang lalu yang lain menubruk dan jatuh tertelungkup, maka wajib atas yang tertelungkup membayar diyah orang yang telentang, dan darah orang yang telentang tidak diganti, karena yang tampak adalah bahwa yang tertelungkup itulah yang membunuh dan yang telentang adalah terbunuh.

Ini adalah pendapat yang salah, karena masing-masing dari keduanya binasa karena perbuatannya sendiri dan perbuatan kawannya. Maka gugur setengahnya karena perbuatannya sendiri, dan wajib setengahnya karena perbuatan kawannya, sebagaimana jika masing-masing dari keduanya melukai dirinya sendiri dan dilukai oleh kawannya.

Dan pendapat al-Muzanī tidak sah, karena mungkin saja orang yang telentang itu menabrak dengan tabrakan yang sangat keras, lalu ia jatuh telentang karena kerasnya tabrakan itu.

وإن ركب صبيان أو أركبهما وليهما واصطدما وماتا فهما كالبالغين وإن أركبهما من لا ولاية له عليهما واصطدما وماتا وجب على الذي أركبهما دية كل واحد منهما النصف بسبب ما جنى كل واحد من الصبيين على نفسه والنصف بسبب ما جناه الآخر عليه وإن اصطدمت امرأتان حاملان فماتتا ومات جنيناهما كان حكمهما في ضمانهما حكم الرجلين فأما الحمل فأنه يجب على كل واحدة منهما نصف دية جنينها ونصف دية جنين الأخرى لجنايتهما عليهما.

Dan jika dua anak kecil menaiki kendaraan sendiri atau dinaikkan oleh wali mereka, lalu keduanya bertabrakan dan mati, maka keduanya seperti orang dewasa. Namun jika yang menaikkan mereka adalah orang yang tidak memiliki wilāyah atas keduanya, lalu mereka bertabrakan dan mati, maka wajib atas orang yang menaikkan mereka membayar diyah masing-masing dari keduanya: setengah karena perbuatan yang dilakukan oleh masing-masing anak terhadap dirinya sendiri, dan setengah karena perbuatan yang dilakukan oleh yang lain terhadapnya.

Dan jika dua perempuan hamil saling bertabrakan lalu keduanya mati beserta janin mereka, maka hukum keduanya dalam penjaminan seperti dua laki-laki. Adapun janin, maka wajib atas masing-masing dari keduanya membayar setengah dari diyah janinnya sendiri, dan setengah dari diyah janin perempuan yang lain karena perbuatan mereka terhadap kedua janin tersebut.

فصل: وإن وقف رجل في ملكه أوفي طريق واسع فصدمه رجل فماتا هدر دم الصادم لأنه هلك بفعل هو مفرط فيه فسقط ضمانه كما لو دخل دار رجل فيها بئر فوقع فيها وتجب دية المصدوم على عاقلة الصادم لأنه قتله بصدمة هو متعد فيها وإن وقف في طريق ضيق فصدمه رجل وماتا وجب على عاقلة كل واحد منهما دية الآخر لأن الصادم قتل الواقف بصدمة هو مفرط فيها والمصدوم قتل الصادم بسبب هو مفرط فيه وهو وقوفه في الطريق الضيق وإن قعد في طريق ضيق فعثر به رجل فماتا كان الحكم فيه كالحكم في الصادم والمصدوم وقد بيناه.

PASAL: Jika seorang laki-laki berdiri di dalam miliknya atau di jalan yang luas lalu ditabrak oleh orang lain dan keduanya mati, maka darah penabrak gugur karena ia binasa akibat perbuatannya sendiri yang merupakan bentuk kelalaian, sehingga tidak ada kewajiban ganti rugi sebagaimana jika seseorang masuk ke rumah orang lain yang di dalamnya terdapat sumur lalu jatuh ke dalamnya. Sedangkan diyah orang yang ditabrak wajib ditanggung oleh ‘āqilah si penabrak karena ia membunuhnya dengan tabrakan yang merupakan tindakan melampaui batas.

Jika orang itu berdiri di jalan yang sempit lalu ditabrak oleh seseorang dan keduanya mati, maka wajib atas ‘āqilah masing-masing membayar diyah pihak lainnya, karena si penabrak telah membunuh orang yang berdiri dengan tabrakan yang merupakan tindakan melampaui batas, dan orang yang ditabrak telah membunuh si penabrak karena sebab yang juga merupakan tindakan melampaui batas, yaitu berdirinya di jalan yang sempit.

Jika ia duduk di jalan yang sempit lalu seseorang tersandung padanya dan keduanya mati, maka hukumannya sama seperti hukum orang yang menabrak dan orang yang ditabrak, dan hal ini telah dijelaskan.

فصل: فإن اصطدمت سفينتان وهلكتا وما فيهما فإن كان بتفريط من القيمين بأن قصر في آلتهما أو قدرا على ضبطهما فلم يضبطا أو سيراً في ريح شديدة لا تسير السفن في مثلها وإن كانت السفينتان وما فيهما لهما وجب على كل واحد منهما نصف قيمة سفينة صاحبه ونصف قيمة ما فيها ويهدر النصف وإن كانتا لغيرهما وجب على كل واحد منهما نصف قيمة سفينته ونصف قيمة ما فيها ونصف قيمة سفينة صاحبه ونصف قيمة ما فيها لما بيناه في الفارسين

PASAL: Jika dua kapal saling bertabrakan lalu keduanya hancur beserta apa yang ada di dalamnya, maka jika hal itu terjadi karena kelalaian para pengurusnya—seperti lalai dalam peralatannya, atau keduanya mampu mengendalikan namun tidak melakukannya, atau berlayar dalam angin kencang yang tidak biasanya dilayari kapal—maka jika kedua kapal dan isinya milik mereka sendiri, wajib atas masing-masing dari keduanya membayar setengah dari nilai kapal milik temannya dan setengah dari nilai isi kapalnya, dan setengahnya gugur. Dan jika keduanya milik orang lain, maka wajib atas masing-masing dari keduanya membayar setengah dari nilai kapalnya sendiri dan setengah dari isi kapalnya, serta setengah dari nilai kapal milik temannya dan setengah dari isi kapal temannya, sebagaimana telah kami jelaskan pada kasus dua penunggang kuda.

فإن كان في السفن رجال فهلكوا ضمن عاقلة كل واحد منهما نصف ديات ركاب سفينته وركاب سفينة صاحبه فإن قصدا الاصطدام وشهد أهل الخبرة أن مثل هذا يوجب التلف وجب على كل واحد منهما القصاص لركاب سفينته وركاب سفينة صاحبه وإن لم يفرطا ففي الضمان قولان أحدهما: يجب كما يجب في اصطدام الفارسين إذا عجزا عن ضبط الفرسين والثاني: لا يجب لأنها تلفت من غير تفريط منهما فأشبه إذا تلفت بصاعقة واختلف أصحابنا في موضع القولين فمنهم من قال القولان إذا لم يكن من جهتهما فعل بأن كانت السفن واقفة فجاءت الريح فقلعتها فإما إذا سارت ثم جاءت الريح فغلبتهما ثم اصطدما وجب الضمان قولاً واحداً

Jika di dalam kapal terdapat orang-orang lalu mereka binasa, maka diwajibkan atas ‘āqilah masing-masing dari keduanya membayar setengah dari diyāt penumpang kapalnya sendiri dan setengah dari diyāt penumpang kapal milik temannya. Jika keduanya memang sengaja menabrakkan kapal, dan para ahli menyatakan bahwa seperti ini lazimnya menyebabkan kebinasaan, maka wajib atas masing-masing dari keduanya dikenakan qiṣāṣ karena membunuh penumpang kapalnya sendiri dan penumpang kapal milik temannya.

Dan jika keduanya tidak lalai, maka dalam hal kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: wajib ganti rugi, sebagaimana wajib dalam kasus dua penunggang kuda yang tidak mampu mengendalikan kudanya.
Pendapat kedua: tidak wajib, karena kebinasaan terjadi tanpa kelalaian dari keduanya, maka serupa dengan binasa karena sambaran petir.

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang letak kedua pendapat ini. Sebagian dari mereka mengatakan: kedua pendapat tersebut berlaku jika tidak ada perbuatan dari keduanya—yakni jika kapal-kapal itu sedang berhenti lalu datang angin dan menghantamnya. Adapun jika kapal sudah berjalan lalu datang angin dan mengalahkan keduanya hingga saling bertabrakan, maka wajib ganti rugi menurut satu pendapat saja.

لأن ابتداء السير كان منهما فلزمهما الضمان كالفارسين وقال أبو إسحاق وأبو سعيد القولان في الحالين وفرقوا بينهما وبين الفارسين بأن الفارس يمكنه ضبط الفرس باللجام والقيم لا يمكنه ضبط السفينة فإذا قلنا إنه يجب الضمان كان الحكم فيه كالحكم فيه إذا فرطا إلا في القصاص فإنه لا يجب مع عدم التفريط وإن قلنا إنه لا يجب الضمان نظرت فإن كانت السفن وما فيها لهما لم يجب على كل واحد منهما ضمان وإن كانت السفن مستأجرة والمتاع الذي فيها أمانة كالوديعة ومال المضاربة لم يضمن

Karena permulaan pelayaran berasal dari keduanya, maka wajib atas keduanya ganti rugi, sebagaimana halnya dua penunggang kuda. Dan Abū Isḥāq serta Abū Saʿīd berpendapat bahwa dua pendapat tersebut berlaku dalam kedua keadaan. Mereka membedakan antara kasus ini dengan kasus dua penunggang kuda, karena penunggang kuda dapat mengendalikan kudanya dengan tali kekang, sedangkan pengelola kapal tidak dapat sepenuhnya mengendalikan kapal.

Jika kita mengatakan bahwa ganti rugi wajib, maka hukumnya seperti pada kasus jika keduanya lalai, kecuali dalam hal qiṣāṣ, karena qiṣāṣ tidak wajib bila tidak ada kelalaian.

Dan jika kita mengatakan bahwa ganti rugi tidak wajib, maka diperhatikan: jika kapal dan seluruh isinya milik mereka berdua, maka tidak wajib atas masing-masing dari keduanya ganti rugi. Tetapi jika kapal disewa dan barang-barang di dalamnya adalah titipan seperti wadīʿah atau harta muḍārabah, maka tidak ada kewajiban ganti rugi.

لأن الجميع أمانة فلا تضمن مع عدم التفريط وإن كانت السفن مستأجرة والمتاع الذي فيها يحمل بأجرة لم يجب ضمان السفن لأنها أمانة وأما المال فهو مال في اليد أجير مشترك فإن كان معه صاحبه لم يضمن ولم يكن معه صاحبه فعلى القولين في الأجير المشترك وأن كان أحدهما: مفرطاً والآخر غير مفرط كان الحكم في المفرط ما ذكرناه إذا كانا مفرطين والحكم في غير المفرط ما ذكرناه إذا كانا غير مفرطين.

Karena seluruhnya adalah amanah, maka tidak wajib ganti rugi bila tidak ada kelalaian. Dan jika kapal disewa dan barang yang ada di dalamnya dibawa dengan upah, maka tidak wajib ganti rugi atas kapal karena ia termasuk amanah. Adapun harta tersebut adalah harta yang berada di tangan ajīr musytarak (pekerja bersama).

Jika pemilik barang ikut serta bersamanya, maka tidak wajib ganti rugi. Namun jika pemilik barang tidak ikut serta, maka berlaku dua pendapat dalam kasus ajīr musytarak.

Dan jika salah satu dari keduanya lalai dan yang lain tidak, maka hukum bagi yang lalai sebagaimana yang telah kami sebutkan pada kasus keduanya lalai, dan hukum bagi yang tidak lalai sebagaimana yang telah kami sebutkan pada kasus keduanya tidak lalai.

فصل: إذا كان في السفينة متاع لرجل فثقلت السفينة فقال رجل لصاحب المتاع ألق متاعك في البحر وعلي ضمانه فألقاه وجب عليه الضمان وقال أبو ثور لا يجب لأنه ضمان ما لم يجب وهذا خطأ لأن ذلك ليس بضمان لأن الضمان يفتقر إلى مضمون عنه وليس ههنا مضمون عنه وإنما هو استدعاء إتلاف بعوض صحيح فإن قال ألق متاعك وعلي وعلى ركاب السفينة ألف فألقاه لزمه بحصته فإن كانوا عشرة لزمه مائة وإن كانوا خمسة لزمه مائتان لأنه جعل الألف على الجميع فلم يلزمه أكثر من الحصة فإن قال أنا أقيه على أني وهم ضمناء فألقاه ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب عليه الحصة لما ذكرناه والثاني: يجب عليه ضمان الجميع لأنه باشر الإتلاف.

PASAL: Jika di dalam kapal terdapat barang milik seseorang lalu kapal menjadi berat, kemudian seseorang berkata kepada pemilik barang tersebut, “Buanglah barangmu ke laut dan aku akan menanggung ganti ruginya,” lalu ia pun membuangnya, maka orang itu wajib menanggung ganti rugi. Abū Ṯawr berkata bahwa tidak wajib, karena itu merupakan jaminan terhadap sesuatu yang belum wajib, dan ini adalah pendapat yang salah. Karena hal itu bukanlah jaminan (ḍamān), sebab jaminan membutuhkan pihak yang dijamin darinya (maḍmūn ‘anhu), dan dalam hal ini tidak ada pihak yang dijamin darinya, melainkan ini adalah permintaan untuk merusak sesuatu dengan imbalan yang sah.

Jika ia berkata, “Buanglah barangmu, dan aku serta para penumpang kapal menanggung seribu,” lalu ia pun membuangnya, maka ia wajib menanggung sesuai bagiannya. Jika mereka sepuluh orang, maka ia wajib membayar seratus. Jika mereka lima orang, maka ia wajib membayar dua ratus. Karena ia telah menjadikan seribu itu sebagai tanggungan bersama seluruh penumpang, maka tidak wajib atasnya lebih dari bagiannya.

Jika ia berkata, “Aku melindunginya (menanggungnya) dengan ketentuan bahwa aku dan mereka adalah penanggung bersama,” lalu ia pun membuangnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: ia wajib menanggung bagiannya sebagaimana telah dijelaskan. Pendapat kedua: ia wajib menanggung seluruhnya karena ia secara langsung melakukan perusakan.

فصل: فإن رمي عشرة أنفس حجراً بالمنجنيق فرجع الحجر وقتل أحدهم سقط من ديته العشر ووجب تسعة أعشار الدية على الباقين لأنه مات من فعله وفعلهم فهدر بفعله العشر ووجب الباقي على التسعة.

PASAL: Jika sepuluh orang melemparkan batu dengan manjanīq, lalu batu itu memantul kembali dan membunuh salah satu dari mereka, maka gugur dari diyah-nya sepersepuluh, dan wajib sembilan persepuluh diyah atas yang sembilan orang lainnya, karena ia mati karena perbuatannya sendiri dan perbuatan mereka. Maka gugurlah sepersepuluh karena perbuatannya, dan sisanya wajib atas sembilan orang lainnya.

فصل: وإذا وقع رجل في بئر ووقع آخر خلفه من غير جذب ولا دفع فإن مات الأول وجبت ديته على الثاني لما روى علي بن رباح اللخمي أن بصيراً كان يقود أعمى فوقعا في بشر فوقع الأعمى فوق البصير فقتله فقضى عمر رضي الله عنه بعقل البصير على الأعمى فكان الأعمى ينشد في الموسم:
يا أيها الناس لقيت منكرا … يعقل الأعمى الصحيح المبصرا … خرا معاً كلاهما تكسراً
ولأن الأول مات بوقوع الثاني عليه فوجبت ديته عليه وإن مات الثاني هدرت ديته

PASAL: Apabila seorang lelaki jatuh ke dalam sumur, lalu seorang lain jatuh setelahnya tanpa menarik atau mendorong, maka jika yang pertama mati, diwajibkan diyat-nya atas yang kedua. Sebab diriwayatkan dari ‘Alī bin Rabāḥ al-Lakhmī bahwa seorang buta sedang dipimpin oleh orang yang dapat melihat, lalu keduanya jatuh ke dalam sumur, dan si buta jatuh menimpa si celik hingga membunuhnya. Maka ‘Umar RA memutuskan bahwa diyat si celik wajib atas si buta. Lalu si buta bersyair di musim haji:

Yā ayyuhā al-nāsu laqītu munkaran
yu‘qalu al-a‘mā al-ṣaḥīḥa al-mubṣiran
kharā ma‘an kullāhumā takassaran

“Wahai manusia, aku mengalami hal yang mengherankan… orang buta membayar diyat orang celik… keduanya jatuh bersama dan sama-sama luka parah.”

Karena yang pertama mati disebabkan jatuhnya yang kedua atasnya, maka wajib diyat-nya atas yang kedua. Namun jika yang kedua yang mati, maka diyat-nya gugur.

لأنه لا صنع لغيره في هلاكه وإن ماتا جميعاً وجبت دية الأول على الثاني وهدرت دية الثاني لما ذكرناه فإن جذب الأول الثاني ومات الأول هدرت ديته لأنه مات بفعل نفسه وإن مات الثاني وجبت ديته على الأول لأنه بجذبه وإن وقع الأول ثم وقع الثاني ثم وقع الثالث فإن كان وقوعهم من غير جذب ولا دفع وجبت دية الأول على الثاني والثالث لأنه مات بوقوعهما عليه وتجب دية الثاني على الثالث لأنه انفرد بالوقوع عليه فانفرد بديته وتهدر دية الثالث لأنه مات من وقوعه

Karena tidak ada campur tangan orang lain dalam kematiannya. Dan jika keduanya mati, maka wajib diyat yang pertama atas yang kedua, dan gugur diyat yang kedua sebagaimana telah disebutkan. Jika yang pertama menarik yang kedua lalu yang pertama mati, maka gugur diyatnya karena ia mati karena perbuatannya sendiri. Namun jika yang kedua yang mati, maka wajib diyatnya atas yang pertama karena dialah yang menariknya.

Jika yang pertama jatuh, lalu yang kedua jatuh, kemudian yang ketiga, maka jika jatuhnya mereka tanpa saling tarik atau dorong, maka wajib diyat yang pertama atas yang kedua dan ketiga karena ia mati akibat jatuhnya mereka berdua atasnya. Dan wajib diyat yang kedua atas yang ketiga karena dia sendirian yang jatuh menimpanya, maka dia sendirian yang menanggung diyatnya. Adapun diyat yang ketiga gugur karena ia mati akibat jatuhnya sendiri.

فإن جذب بعضهم بعضاً بأن وقع الأول وجذب الثاني وجذب الثاني الثالث وماتوا وجب للأول نصف دية على الثاني لأنه مات من فعله بجذب الثاني ومن فعل الثاني بجذب الثالث فهدر النصف بفعله ووجب النصف ويجب للثاني نصف الدية على الأول لأنه جذبه ويسقط نصفها لأنه جذب الثالث ويجب للثالث الدية لأنه لا فعل له في هلاك نفسه وعلى من تجب فيه وجهان: أحدهما: أنها تجب على الثاني لأنه هو الذي جذبه والوجه الثاني أنها تجب على الأول والثاني: نصفين لأن الثاني جذبه والأول جذب الثاني فاضطره إلى جذب الثالث وكان كل واحد منهما سبباً في هلاكه فوجبت الدية عليهما.

Jika sebagian mereka menarik yang lain—yakni orang pertama jatuh lalu menarik orang kedua, dan orang kedua menarik orang ketiga—kemudian mereka semua mati, maka wajib bagi orang pertama setengah diyat atas orang kedua, karena ia mati akibat perbuatannya sendiri ketika menarik orang kedua, dan juga akibat perbuatan orang kedua yang menarik orang ketiga. Maka gugur setengah diyat karena perbuatannya sendiri, dan wajib setengahnya.

Dan wajib bagi orang kedua setengah diyat atas orang pertama karena ia yang menariknya, dan gugur setengahnya karena ia menarik orang ketiga.

Dan wajib bagi orang ketiga diyat penuh karena ia tidak melakukan apa pun dalam kematian dirinya. Adapun atas siapa diyat itu wajib, terdapat dua pendapat:

Pertama, bahwa diyat wajib atas orang kedua karena dialah yang menariknya.

Kedua, bahwa diyat wajib atas orang pertama dan kedua, masing-masing setengah, karena orang kedua yang menariknya, dan orang pertama menarik orang kedua sehingga memaksanya menarik orang ketiga. Maka masing-masing dari keduanya menjadi sebab kematiannya, sehingga diyat wajib atas keduanya.

فصل: وإن تجارح رجلان وادعى كل واحد منهما على صاحبه أنه قصد قتله فجرحه دفعا عن نفسه فالقول قول كل واحد منهما مع يمينه أنه ما قصد قتل صاحبه فإذا حلفا وجب على كل واحد منهما ضمان جرحه لأن الجرح قد وجد وما يدعيه كل واحد منهما من قصد الدفع عن نفسه لم يثبت فوجب الضمان.

PASAL: Jika dua orang saling melukai, lalu masing-masing mengklaim bahwa ia bermaksud membela diri dari upaya pembunuhan oleh lawannya, maka perkataan masing-masing diterima disertai sumpah bahwa ia tidak bermaksud membunuh lawannya. Jika keduanya bersumpah, maka masing-masing wajib menanggung ganti rugi atas luka yang ditimbulkannya, karena luka itu telah terjadi dan klaim masing-masing bahwa ia bertindak untuk membela diri belum terbukti, maka wajiblah ganti rugi.

باب الديات
دية الحر المسلم مائة من الإبل لما روى أبو بكر محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن بكتاب فيه الفرائض والسنن والديات وقريء على أهل اليمن أن في النفس مائة من الإبل فإن كانت الدية في عمد أو شبه عمد وجبت مائة مغلظة أثلاثاً ثلاثون حقة وثلاثون جذعة وأربعون خلفة وقال أبو ثور: دية شبه العمد أخماساً عشرون بنت مخاض وعشرون بنت لبون وعشرون ابن لبون وعشرون حقة وعشرون جذعة لأنه لما كانت كدية الخطأ في التأجيل والحمل على العاقلة كانت كدية الخطأ في التخميس وهذا خطأ

BAB DIYAT
Diyat seorang laki-laki merdeka yang muslim adalah seratus ekor unta, berdasarkan riwayat Abū Bakr Muḥammad bin ʿAmr bin Ḥazm dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman berisi tentang farā’iḍ, sunah, dan diyat. Dalam surat tersebut dibacakan kepada penduduk Yaman bahwa dalam (pembunuhan) jiwa (manusia) terdapat kewajiban seratus ekor unta.

Jika diyat itu karena pembunuhan ʿamdan atau syibh ʿamdin, maka diwajibkan seratus ekor unta yang diperberat, dan dibagi tiga: tiga puluh ekor ḥiqqah, tiga puluh ekor jadzaʿah, dan empat puluh ekor khalifah.

Abū Thawr berpendapat: diyat syibh ʿamdin dibagi lima bagian: dua puluh ekor bint makhāḍ, dua puluh ekor bint labūn, dua puluh ekor ibn labūn, dua puluh ekor ḥiqqah, dan dua puluh ekor jadzaʿah, karena ketika diyat syibh ʿamdin disamakan dengan diyat khaṭaʾ dalam hal penangguhan dan tanggungan oleh ʿāqilah, maka mestinya disamakan pula dalam pembagian lima bagian.

Namun ini adalah pendapat yang keliru.

لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خطب يوم فتح مكة فقال: “ألا إن دية الخطأ شبه العمد قتيل السوط والعصا دية مغلظة مائة من الإبل منها أربعون خلفة في بطونها أولادها”. وروى مجاهد عن عمر رضي الله عنه أن دية شبه العمد ثلاثون حقة وثلاثون جذعة وأربعون خلفة ويخالف الخطأ فإنه لم يقصد القتل ولا الجناية فخفف من كل وجه وفي شبه العمد لم يقصد القتل فجعل كالخطأ في التأجيل والحمل على العاقلة وقصد الجناية فجعل كالعمد في التغليظ بالأسنان وهل يعتبر في الخلفات السن مع الحمل فيه قولان: أحدهما: لا يعتبر لقوله صلى الله عليه وسلم: “منها أربعون خلفة في بطونها أولادها” ولم يفرق

Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ʿUmar RA bahwa Rasulullah SAW berkhutbah pada hari Fathu Makkah, lalu bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya diyat khaṭaʾ syibh al-ʿamd, yakni korban terbunuh karena cambuk dan tongkat, adalah diyat yang diperberat: seratus ekor unta, di antaranya empat puluh ekor khalifah yang di dalam perutnya ada anaknya.”

Dan telah diriwayatkan oleh Mujāhid dari ʿUmar RA bahwa diyat syibh al-ʿamd adalah tiga puluh ekor ḥiqqah, tiga puluh ekor jadzaʿah, dan empat puluh ekor khalifah.

Adapun pembunuhan khaṭaʾ berbeda, karena tidak disertai niat membunuh ataupun niat menyakiti, maka diringankan dari segala sisi. Sedangkan dalam syibh al-ʿamd, tidak ada niat membunuh, maka disamakan dengan khaṭaʾ dalam hal penangguhan dan ditanggung oleh ʿāqilah, namun ada niat untuk melakukan tindak kekerasan, maka disamakan dengan ʿamd dalam hal pemberatan dengan jenis umur unta.

Apakah dalam khalifah dipertimbangkan usia serta keberadaan anak dalam kandungannya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: tidak dipertimbangkan, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Di antaranya empat puluh khalifah yang di dalam perutnya ada anaknya,” dan beliau tidak membedakan.

والثاني: يعتبر أن تكون ثنيات فما فوقها لأنه أحد أقسام أعداد إبل الدية فاختص بسن كالثلاثين وإن كانت في قتل الخطأ والقتل في غير الحرم وفي غير الأشهر الحرم والمقتول غير ذي رحم محرم للقاتل وجبت دية مخففة أخماساً عشرون بنت مخاض وعشرون بنت لبون وعشرون حقة وعشرون ابن لبون وعشرون جذعة لما روى أبو عبيدة عن ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال في الخطأ عشرون جذعة وعشرون حقة وعشرون بنت لبون وعشرون ابن لبون وعشرون بنت مخاض وعن سليمان بن يسار أنهم كانوا يقولون دية الخطأ مائة من الإبل عشرون بنت مخاض وعشرون بنت لبون وعشرون ابن لبون وعشرون حقة وعشرون جذعة

Dan pendapat kedua: dipertimbangkan agar khalifah itu telah mencapai usia tsaniyyāt atau lebih, karena ia merupakan salah satu bagian dari pembagian unta dalam diyat, maka ditentukan juga batasan usia sebagaimana tiga puluh ekor yang lain.

Apabila pembunuhan itu adalah khaṭaʾ, dan terjadi bukan di tanah haram, bukan pula pada bulan-bulan haram, serta korban bukan maḥram bagi pelaku, maka diwajibkan diyat yang diringankan, yaitu dibagi lima:
dua puluh ekor bint makhāḍ,
dua puluh ekor bint labūn,
dua puluh ekor ḥiqqah,
dua puluh ekor ibn labūn,
dan dua puluh ekor jadzaʿah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū ʿUbaidah dari Ibnu Masʿūd RA bahwa beliau berkata tentang pembunuhan khaṭaʾ: “Diyatnya adalah dua puluh ekor jadzaʿah, dua puluh ekor ḥiqqah, dua puluh ekor bint labūn, dua puluh ekor ibn labūn, dan dua puluh ekor bint makhāḍ.”

Dan dari Sulaimān bin Yasār, bahwa mereka dahulu mengatakan: “Diyat pembunuhan khaṭaʾ adalah seratus ekor unta: dua puluh ekor bint makhāḍ, dua puluh ekor bint labūn, dua puluh ekor ibn labūn, dua puluh ekor ḥiqqah, dan dua puluh ekor jadzaʿah.”

وإن كان القتل في الحرم أوفي أشهر الحرم وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب أو كان المقتول ذا رحم محرم للقاتل وجبت دية مغلظة لما روى مجاهد أن عمر رضي الله عنه قضى فيمن قتل في الحرم أوفي الأشهر الحرم أو محرماً بالدية وثلث الدية وروى أبو النجيح عن عثمان رضي الله عنه أنه قضى في امرأة قتلت في الحرم فجعل الدية ثمانية آلاف ستة آلاف الدية وألفين للحرم وروى نافع بن جبير أن رجلاً قتل في البلد الحرام في شهر حرام فقال ابن عباس رضي الله عنه اثنا عشر ألفاً وللشهر الحرام أربعة ألاف وللبلد الحرام أربعة آلاف فكملها عشرين ألفاً

Dan jika pembunuhan terjadi di tanah haram atau di bulan-bulan haram—yaitu Dzulqa‘dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab—atau jika korban pembunuhan adalah kerabat mahram bagi pelaku, maka wajib membayar diyah yang diperberat, karena Mujāhid meriwayatkan bahwa ‘Umar RA memutuskan dalam kasus orang yang dibunuh di tanah haram, atau di bulan-bulan haram, atau dalam keadaan beriḥrām, dengan diyah ditambah sepertiga dari diyah. Abū al-Najīḥ meriwayatkan dari ‘Utsmān RA bahwa beliau memutuskan dalam kasus seorang perempuan yang dibunuh di tanah haram dengan menetapkan diyah sebesar delapan ribu—enam ribu sebagai diyah dan dua ribu untuk kehormatan tanah haram. Nāfi‘ bin Jubayr meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dibunuh di tanah haram pada bulan haram, lalu Ibnu ‘Abbās RA berkata: dua belas ribu sebagai diyah, empat ribu untuk bulan haram, dan empat ribu untuk tanah haram, sehingga totalnya menjadi dua puluh ribu.

فإن كان القتل في المدينة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يغلظ لأنها كالحرام في تحرم الصيد فكذلك في تغليظ الدية والثاني: لا تغلظ لأنها لا مزية لها على غيرها في تحريم القتل بخلاف الحرم واختلف قوله في عمد الصبي والمجنون فقال في أحد القولين عمدهما خطأ لأنه لو كان عمداً لأوجب القصاص فعلى هذا يجب بعمدهما دية مخففة والثاني: أن عمدهما عمد لأنه يجوز تأديبهما على القتل فكان عمدهما عمداً كالبالغ العاقل فعلى هذا يجب بعمدهما دية مغلظة وما يجب فيه كالنفس في الدية المغلظة والدية المخففة لأنه كالنفس في وجوب القصاص والدية فكان كالنفس في الدية المغلظة والدية المخففة.

Jika pembunuhan terjadi di Madinah, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa diyah diperberat karena Madinah seperti tanah haram dalam keharaman berburu, maka demikian pula dalam pemberatan diyah. Pendapat kedua menyatakan bahwa diyah tidak diperberat karena Madinah tidak memiliki keutamaan atas selainnya dalam hal keharaman membunuh, berbeda dengan tanah haram.

Dan terdapat perbedaan pendapat mengenai pembunuhan dengan sengaja (‘amdan) oleh anak kecil dan orang gila. Dalam salah satu pendapat, pembunuhan mereka dianggap sebagai kesalahan (khaṭa’), karena jika dianggap sengaja, maka harusnya diwajibkan qiṣāṣ. Maka berdasarkan pendapat ini, wajib atas keduanya diyah yang diringankan. Pendapat kedua menyatakan bahwa pembunuhan mereka adalah pembunuhan sengaja, karena keduanya boleh diberi hukuman sebagai bentuk pendidikan atas pembunuhan tersebut, maka pembunuhan mereka dianggap sengaja sebagaimana orang dewasa yang berakal. Maka berdasarkan pendapat ini, wajib atas keduanya diyah yang diperberat.

Dan sesuatu yang wajib padanya qiṣāṣ seperti jiwa, maka berlaku padanya ketentuan diyah yang diperberat dan diyah yang diringankan, karena ia seperti jiwa dalam kewajiban qiṣāṣ dan diyah, maka ia juga seperti jiwa dalam ketentuan diyah yang diperberat dan diyah yang diringankan.

فصل: وتجب الدية من الصنف الذي يملكه من تجب عليه الدية من القاتل أو العاقلة كما تجب الزكاة من الصنف الذي يملكه من تجب عليه الزكاة وإن كان عند بعض العاقلة من البخاتي وعند البعض من العراب أخذ من كل واحد منهم من الصنف الذي عنده وإن اجتمع في ملك كل واحد منهم صنفان ففيه وجهان: أحدهما: أنه يؤخذ من الصنف الأكثر فإن استويا دفع مما شاء منهما

PASAL: Diyat wajib dibayarkan dari jenis (unta) yang dimiliki oleh pihak yang diwajibkan membayar diyat, baik itu pelaku pembunuhan maupun ‘āqilah, sebagaimana zakat wajib dibayarkan dari jenis yang dimiliki oleh pihak yang wajib zakat. Jika sebagian anggota ‘āqilah memiliki unta bukhātī dan sebagian lain memiliki unta ‘irāb, maka diambil dari masing-masing orang dari jenis yang ia miliki. Jika dalam kepemilikan masing-masing orang terdapat dua jenis unta, maka ada dua pendapat: pertama, diambil dari jenis yang lebih banyak; dan jika keduanya seimbang, maka boleh memilih dari salah satu di antara keduanya.

والثاني: يؤخذ من كل صنف بقسطه بناء على القولين فيمن وجبت عليه الزكاة وما له أصناف وإن لم يكن عند من تجب عليه الدية إبل وجب من غالب إبل البلد فإن لم يكن في البلد إبل وجب من غالب أقرب البلاد إليه كما قلنا في زكاة الفطر وإن كانت إبل من تجب عليه الدية مراضاً أو عجافاً كلف أن يشتري إبلاً صحاحاً من النصف الذي عنده لأنه بدل متلف من غير جنسه فلا يؤخذ فيها معيب كقيمة الثوب المتلف

Kedua: Diambil dari setiap jenis secara proporsional, berdasarkan kedua pendapat mengenai orang yang diwajibkan zakat dan memiliki beberapa jenis harta. Jika orang yang diwajibkan diyat tidak memiliki unta, maka diambil dari jenis unta yang paling banyak di kota tersebut; jika di kota tidak ada unta, maka diambil dari jenis unta terbanyak di kota terdekat, sebagaimana yang kami sebutkan dalam zakat fitrah. Jika unta milik orang yang diwajibkan diyat sakit atau kurus, ia diwajibkan membeli unta yang sehat dari separuh unta yang dimilikinya, karena itu merupakan pengganti barang yang rusak dari jenis yang berbeda, sehingga unta yang cacat tidak diterima, seperti halnya nilai pakaian yang rusak.

وإن أراد الجاني دفع العوض عن الإبل مع وجودها لم يجبر الولي على قبوله وإن أراد الولي أخذ العوض عن الإبل مع وجودها لم يجبر الجاني على دفعه لأن ما ضمن لحق الآدمي ببدل لم يجز الإجبار فيه على دفع العوض ولا على أخذه مع وجوده كذوات الأمثال وإن تراضيا على العوض جاز لأنه بدل متلف فجاز أخذ العوض فيه بالتراضي كالبدل في سائر المتلفات.

Dan jika pelaku ingin membayar pengganti unta meskipun unta itu ada, wali tidak dipaksa untuk menerimanya. Demikian pula, jika wali ingin mengambil pengganti unta meskipun unta itu ada, pelaku tidak dipaksa untuk memberikannya. Hal ini karena hak yang dijamin bagi manusia dengan pengganti tidak boleh dipaksakan untuk dibayar maupun diterima selama unta itu ada, seperti halnya dalam kasus dhawāt al-amthāl. Namun, jika keduanya sepakat mengenai pengganti, maka diperbolehkan, karena itu merupakan pengganti barang yang rusak, sehingga pengambilan pengganti dengan persetujuan sah, sebagaimana halnya pengganti dalam semua barang yang rusak.

فصل: وإن أعوزت الإبل أو وجدت بأكثر من ثمن المثل ففيه قولان: قال في القديم يجب ألف دينار أو اثنا عشر ألف درهم لما روى عمرو بن حزم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن في النفس مائة من الإبل وعلى أهل الذهب ألف مثقال وعلى أهل الورق اثنا عشر ألف درهم وروى ابن عباس رضي الله عنه أن رجلاً قتل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فجعل النبي صلى الله عليه وسلم ديته اثني عشر ألفاً فعلى هذا إن كان في قتل يوجب التغليظ غلظ بثلث الدية

PASAL: Jika unta sulit didapat atau hanya ada dengan harga yang lebih mahal dari harga semisal, maka terdapat dua pendapat. Dalam qawl qadīm beliau berkata: wajib seribu dinar atau dua belas ribu dirham, berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Ḥazm bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman: “Untuk jiwa (yang terbunuh) seratus ekor unta, dan bagi pemilik emas seribu mithqāl, dan bagi pemilik perak dua belas ribu dirham.” Dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās RA bahwa seorang laki-laki terbunuh pada masa Rasulullah SAW, maka Nabi SAW menetapkan diyatnya dua belas ribu (dirham). Berdasarkan hal ini, jika pembunuhan tersebut termasuk yang wajib taghlīẓ (diyat diperberat), maka diperberat dengan sepertiga diyat.

لما رويناه عن عمر وعثمان وابن عباس في تغليظ الدية للحرم وقال في الجديد تجب قيمة الإبل بالغة ما بلغت لما روى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: كانت قيمة الدية على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ثمانمائة ديناراً وثمانية آلاف درهم وكان ذلك كذلك حتى استخلف عمر رضي الله عنه فقام عمر خطيباً فقال: ألا إن الإبل قد غلت قال فقوم على أهل الذهب ألف دينار وعلى أهل الورق اثني عشر ألف درهم وعلى أهل البقر مائتي بقرة وعلى أهل الشاء ألفي شاة وعلى أهل الحلل مائتي حلة ولأن ما ضمن بنوع من المال وتعذر وجبت قيمته كذوات الأمثال.

Karena sebagaimana telah kami riwayatkan dari ‘Umar, ‘Utsmān, dan Ibn ‘Abbās tentang diperberatnya diyat karena ḥaram, dan dalam qawl jadīd beliau berkata: wajib membayar nilai unta berapa pun harganya, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: “Nilai diyat pada masa Rasulullah SAW adalah delapan ratus dinar dan delapan ribu dirham, dan itu tetap demikian hingga ‘Umar RA menjadi khalifah, lalu beliau berdiri berkhutbah dan berkata: ‘Ketahuilah, sesungguhnya harga unta telah naik.’ Maka beliau menetapkan bagi pemilik emas seribu dinar, bagi pemilik perak dua belas ribu dirham, bagi pemilik sapi dua ratus ekor sapi, bagi pemilik kambing dua ribu ekor kambing, dan bagi pemilik pakaian dua ratus ḥullah.” Karena sesuatu yang dijamin dengan jenis harta tertentu lalu jenis itu sulit didapat, maka wajib diganti dengan nilainya, sebagaimana barang-barang yang memiliki kesamaan (dhawāt al-amthāl).

فصل: ودية اليهودي والنصراني ثلث دية المسلم ودية المجوسي ثلثا عشر دية المسلم لما روى سعيد بن المسيب أن عمر رضي الله عنه جعل دية اليهودي والنصراني أربعة آلاف درهم ودية المجوسي ثمانمائة درهم وأما الوثني إذا دخل بأمان وعقدت له هدنة فديته ثلثا عشر دية المسلم لأنه كافر لا يحل للمسلم مناكحة أهل ديته وإن لم يعرف وجبت فيه دية المجوسي لأنه متحقق وما زاد مشكوك فيه فلم يجب

PASAL: Diyat orang Yahudi dan Nasrani adalah sepertiga dari diyat orang Muslim, dan diyat orang Majusi adalah dua per tiga belas dari diyat orang Muslim. Hal ini berdasarkan riwayat Sa‘īd ibn al-Musayyab bahwa Umar RA menetapkan diyat orang Yahudi dan Nasrani sebesar empat ribu dirham, dan diyat orang Majusi sebesar delapan ratus dirham. Adapun orang musyrik apabila masuk dengan jaminan keamanan (amān) dan dibuatkan perjanjian (‘ahd), maka diyatnya dua per tiga belas dari diyat orang Muslim, karena ia orang kafir yang tidak halal bagi seorang Muslim menikah dengan kaum seagamanya. Jika jenis kekafirannya tidak diketahui, maka diwajibkan diyat orang Majusi, karena yang demikian sudah pasti, sedangkan yang lebih dari itu masih diragukan, maka tidak wajib.

وقال أبو إسحاق إن كان متمسكاً بدين مبدل وجبت فيه دية أهل ذلك الدين وإن كان متمسكاً بدين لم يبدل وجبت فيه دية مسلم لأنه مولود على الفطرة ولم يظهر منه عناد فكملت ديته كالمسلم والمذهب الأول لأنه كافر فلم تكمل ديته كالذمي وإن قطع يد ذمي ثم أسلم ومات وجبت فيه دية مسلم لأن الاعتبار في الدية بحال استقرار الجناية وهو في حال الاستقرار مسلم وإن جرح مسلم مرتداً فأسلم ومات من الجرح لم يضمن وقال الربيع فيه قول آخر أنه يضمن لأن الجرح استقر وهو مسلم قال أصحابنا هذا من كيس الربيع والمذهب الأول لأن الجرح وجد فيما استحق إتلافه فلم يضمن سرايته كما لو قطع الإمام يد السارق فمات منه.

Dan Abu Ishaq berkata: Jika seseorang berpegang pada agama yang telah diubah, maka diwajibkan atasnya diyat sebagaimana diyat pemeluk agama tersebut. Namun jika ia berpegang pada agama yang belum diubah, maka diwajibkan atasnya diyat seorang Muslim, karena ia dilahirkan di atas fitrah dan belum tampak darinya sikap menentang, maka sempurnalah diyatnya seperti halnya Muslim. Adapun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena ia seorang kafir, maka diyatnya tidak sempurna sebagaimana dzimmi.

Dan jika seseorang memotong tangan dzimmi kemudian dzimmi itu masuk Islam lalu mati, maka diwajibkan atasnya diyat seorang Muslim, karena penilaian dalam diyat berdasarkan keadaan saat menetapnya luka, dan saat itu ia adalah seorang Muslim.

Dan jika seorang Muslim melukai orang murtad kemudian orang itu masuk Islam lalu mati karena luka tersebut, maka ia tidak wajib membayar diyat. Ar-Rabi‘ berkata bahwa ada pendapat lain yaitu bahwa ia wajib, karena luka itu menetap dalam keadaan ia Muslim. Para sahabat kami berkata: “Ini adalah pendapat buatan Ar-Rabi‘,” dan pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena luka itu terjadi pada tubuh yang halal untuk dibinasakan, maka tidak wajib atasnya tanggungan kematian akibat luka itu, sebagaimana ketika imam memotong tangan pencuri lalu mati karenanya.

فصل: ودية المرأة نصف دية الرجل لأنه روي ذلك عن عمر وعثمان وعلي وابن عباس وابن عمر وزيد بن ثابت رضي الله عنهم.

PASAL: Diyat perempuan adalah setengah dari diyat laki-laki, karena hal itu telah diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid bin Tsabit ra.

فصل: ودية الجنين الحر غرة عبد أو أمة لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: اقتتلت امرأتان من هذيل فرمت إحداهما الأخرى بحجر فقتلتها وما في بطنها فقضى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن دية جنيتها غرة عبد أو أمة فقال حمل بن النابغة الهذلي كيف أغرم من لا أكل ولا شرب ولا نطق ولا استهل ومثل ذلك بطل فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “إنما هو من إخوان الكهان من أجل سجعه” .

PASAL: Diyat janin yang merdeka ialah ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan. Sebab, telah diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dua orang perempuan dari suku Huzail berkelahi, lalu salah satunya melempar yang lain dengan batu hingga membunuhnya beserta janin yang dikandungnya. Maka Rasulullah SAW memutuskan bahwa diyat janinnya adalah ghurrah, seorang budak laki-laki atau perempuan. Lalu Ḥamal bin an-Nābighah al-Huzalī berkata, “Bagaimana aku harus membayar ganti rugi untuk sesuatu yang tidak makan, tidak minum, tidak berbicara, dan tidak menangis, yang seperti itu tidaklah hidup?” Maka Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya ia termasuk dari saudara-saudara para tukang ramal karena ucapannya yang berirama seperti itu.”

وإن ضرب بطن امرأة منتفخة البطن فزال الانتفاخ أو بطن امراة تجد حركة في بطنها فسكنت الحركة لم يجب عليه شيء لأنه يمكن أن يكون ريحاً فانفشت فلم يجب الضمان مع الشك وإن ضرب بطن امرأة فألقت مضغة لم تظهر فيها صورة الآدمي فشهد أربع نسوة أن فيها صورة الآدمي وجبت فيها الغرة لأنهن يدركن من ذلك ما لا يدرك غيرهن وإن ألقت مضغة لم تتصور فشهد أربع نسوة أنه خلق آدمي ولو بقي لتصور فعلى ما بيناه في كتاب عتق أم الولد

Dan jika seseorang memukul perut seorang perempuan yang perutnya tampak buncit lalu kembung itu hilang, atau perut seorang perempuan yang merasakan gerakan di perutnya lalu gerakan itu berhenti, maka tidak wajib atasnya sesuatu apa pun, karena bisa jadi itu hanya angin yang keluar, sehingga tidak wajib jaminan disertai adanya keraguan. Dan jika ia memukul perut seorang perempuan lalu perempuan itu menggugurkan segumpal daging (muḍghah) yang belum tampak padanya rupa manusia, lalu empat orang perempuan bersaksi bahwa pada segumpal daging itu terdapat rupa manusia, maka wajib padanya ghurrah, karena mereka dapat mengetahui hal itu yang tidak dapat diketahui oleh selain mereka. Dan jika perempuan itu menggugurkan segumpal daging yang belum berbentuk, lalu empat perempuan bersaksi bahwa itu adalah makhluk manusia, dan sekiranya dibiarkan akan berbentuk, maka hukumnya sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam Kitab ‘Itq Umm al-Walad.

وإن ضرب بطن امرأة فألقت يداً أو رجلاً أو غيرهما من أجزاء الآدمي وجبت عليه الغرة لأنا تيقنا أنه من جنين والظاهر أنه تلف من جناية فوجب ضمانه وإن ألقت رأسين أو أربع أيد لم يجب أكثر من غرة لأنه يجوز أن يكون جنيناً برأسين أو أربعة أيد فلا يجب ضمان ما زاد على جنين بالشك وإن ضرب بطنها فألقت جنيناً فاستهل أو تنفس أو شرب اللبن ومات في الحال أو بقي متألماً إلى أن مات وجبت فيه دية كاملة وقال المزني إن ألقته لدون ستة أشهر ومات ضمنه بالغرة ولا يلزمه كاملة

Dan jika seseorang memukul perut seorang perempuan lalu perempuan itu menggugurkan satu tangan, satu kaki, atau bagian lain dari anggota tubuh manusia, maka wajib atasnya ghurrah, karena kita yakin bahwa bagian itu berasal dari janin, dan secara lahiriah ia binasa akibat pukulan tersebut, maka wajiblah jaminan atasnya. Dan jika perempuan itu menggugurkan dua kepala atau empat tangan, tidak wajib lebih dari satu ghurrah, karena boleh jadi janin itu memiliki dua kepala atau empat tangan, maka tidak wajib menanggung lebih dari satu janin disertai adanya keraguan. Dan jika seseorang memukul perutnya lalu perempuan itu menggugurkan janin yang kemudian menjerit (istahalla), atau bernapas, atau meminum susu, lalu mati seketika, atau hidup dalam keadaan sakit hingga mati, maka wajib atasnya diyah penuh. Sedangkan al-Muzani berkata: jika perempuan itu menggugurkannya sebelum genap enam bulan dan janin itu mati, maka wajib atasnya ghurrah, dan tidak wajib diyah penuh.

لأنه لم يتم له حياة وهذا خطأ لأننا تيقنا حياته والظاهر أنه تلف من جنايته فوجب عليه الدية كاملة وإن ألقته حياً وجاء آخر وقتله فإن كان فيه حياة مستقرة كان الثاني هو القاتل في وجوب القصاص والدية الكاملة والأول ضارب في وجوب التعزير وإن قتله وليس فيه حياة مستقرة فالقاتل هو الأول وتلزمه الدية والثاني: ضارب وليس بقاتل لأن جنايته لم تصادف حياة مستقرة

Karena janin itu belum sempurna hidupnya — dan ini keliru, sebab kita yakin bahwa ia telah hidup, dan secara lahiriah ia mati karena pukulannya, maka wajib atasnya diyah penuh. Dan jika perempuan itu menggugurkan janin dalam keadaan hidup lalu datang orang lain dan membunuhnya, maka jika janin itu memiliki kehidupan yang stabil, maka orang kedua itulah yang menjadi pembunuh dan wajib atasnya qiṣāṣ serta diyah penuh, sedangkan orang pertama yang memukul wajib dikenai ta‘zīr. Namun jika orang kedua membunuhnya dalam keadaan janin itu belum memiliki kehidupan yang stabil, maka pembunuhnya adalah orang pertama, dan wajib atasnya diyah, sedangkan orang kedua hanyalah pemukul dan bukan pembunuh, karena pukulannya tidak mengenai kehidupan yang stabil.

وإن ضرب بطن امرأة فألقت جنيناً وبقي زماناً سالماً غير متألم ثم مات لم يضمنه لأن الظاهر أنه لم يمت من الضرب ولا يلزمه ضمانه وإن ضربها فألقت جنيناً فاختلج ثم سكن وجبت فيه الغرة دون الدية لأنه يجوز أن يكون اختلاجه للحياة ويجوز أن يكون بخروجه من مضيق لأن اللحم الطري إذا حصل في مضيق القبض فإذا خرج منه اختلج فلا تجب الدية الكاملة بالشك.

Dan jika seseorang memukul perut seorang perempuan lalu perempuan itu menggugurkan janin yang kemudian hidup beberapa waktu dalam keadaan sehat tanpa merasa sakit lalu mati, maka tidak wajib atasnya jaminan, karena secara lahiriah janin itu tidak mati akibat pukulan tersebut, dan ia tidak berkewajiban menanggungnya. Dan jika ia memukul perempuan itu lalu perempuan tersebut menggugurkan janin yang bergerak (ikhtalaja) kemudian diam, maka wajib atasnya ghurrah dan bukan diyah penuh, karena bisa jadi gerakannya itu karena hidup, dan bisa jadi karena keluarnya dari tempat yang sempit — sebab daging yang lembut apabila berada di tempat sempit kemudian keluar darinya akan bergerak — maka tidak wajib diyah penuh disertai adanya keraguan.

فصل: ولا يقبل في الغرة ما له دون سبع سنين لأن الغرة هي الخيار ومن له دون سبع سنين ليس من الخيار بل يحتاج إلى من يكفله ولا يقبل الغلام بعد خمس عشرة سنة لأنه لا يدخل على النساء ولا الجارية بعد عشرين سنة لأنها تتغير وتنقص قيمتها فلم تكن من الخيار ومن أصحابنا من قال: يقتل ما لم يطعن في السن عبداً كان أو أمة ولا يقبل إذا طعن في السن لأنه يستغني بنفسه قبل أن يطعن في السن ولا يستغني إذا طعن في السن ولا يقبل فيه خصي وإن كثرت قيمته ولا معيب وإن قل عيبه

PASAL: Tidak diterima dalam ghurrah budak yang umurnya kurang dari tujuh tahun, karena ghurrah adalah budak pilihan, sedangkan yang berumur di bawah tujuh tahun bukan termasuk budak pilihan, bahkan masih membutuhkan orang yang menanggungnya. Dan tidak diterima budak laki-laki setelah berumur lima belas tahun karena ia tidak lagi masuk ke tempat para perempuan, dan tidak pula budak perempuan setelah dua puluh tahun karena tubuhnya telah berubah dan nilainya berkurang, maka ia tidak termasuk budak pilihan.

Sebagian sahabat kami berpendapat: diterima selama belum mencapai usia lanjut, baik budak laki-laki maupun perempuan, dan tidak diterima bila sudah tua, karena sebelum tua ia masih bergantung kepada orang lain, sedangkan setelah tua ia sudah tidak bergantung kepada orang lain. Dan tidak diterima budak yang dikebiri, sekalipun nilainya tinggi, serta tidak diterima budak yang cacat meskipun cacatnya ringan.

لأنه ليس من الخيار ولا يقبل إلا ما يساوي نصف عشر الدية لأنه روي ذلك عن زيد بن ثابت رضي الله عنه ولأنه لا يمكن إيجاب دية كاملة لأنه لم يكمل بالحياة ولا يمكن إسقاط ضمانه لأنه خلق بشر فضمن بأقل ما قدر به الأرش وهو نصف عشر الدية لأنه قدر به أرش الموضحة ودية السن ولا يجبر على قبول غير الغرة مع وجودها كما لا يقبل في دية النفس غير الإبل مع وجودها فإن أعوزت الغرة وجب خمس من الإبل لأن الإبل هي أصل في الدية

Karena ia bukan termasuk budak pilihan, dan tidak diterima kecuali yang nilainya setengah dari sepersepuluh diyah, karena hal itu diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit RA. Dan sebabnya, tidak mungkin diwajibkan diyah penuh karena janin itu belum sempurna hidupnya, dan tidak mungkin pula menggugurkan tanggungan diyah-nya karena ia telah diciptakan dalam bentuk manusia. Maka ditetapkan baginya kewajiban paling sedikit dari ukuran arasy, yaitu setengah dari sepersepuluh diyah, karena ukuran tersebut sama dengan arasy al-mauḍiḥah dan diyah gigi.

Dan tidak boleh memaksa penerima untuk menerima selain ghurrah selama ghurrah masih ada, sebagaimana tidak boleh mengganti diyah jiwa dengan selain unta selama unta masih ada. Jika ghurrah tidak ditemukan, maka wajib diganti dengan lima ekor unta, karena unta merupakan asal dalam pembayaran diyah.

فإن أعوزت وجبت قيمتها في أحد القولين أو خمسون ديناراً أو ستمائة درهم في القول الآخر فإن كانت الجناية خطأ وجبت دية مخففة وإن كانت عمداً أو عمد خطأ وجبت دية مغلظة كما قلنا في الدية الكاملة وإن كان أحد أبويه نصرانياً والآخر مجوسياً وجب فيه نصف عشر دية نصراني لأن في الضمان إذا وجد في أحد أبويه ما يوجب في الآخر ما يسقط غلب الإيجاب ولهذا لو قتل المحرم صيداً متولداً بين مأكول وغير مأكول وجب عليه الجزاء وإن ضرب بطن امرأة نصرانية حامل بنصراني ثم أسلمت ثم ألقت جنيناً ميتاً وجب فيه نصف عشر دية مسلم لأن الضمان يعتبر بحال استقرار الجناية والجنين مسلم عند استقرار الجناية فوجب فيه عشر دية مسلم وما يجب في الجنين يرثه ورثته لأنه بدل حر فورث عنه كدية غيره.

PASAL: Maka jika ghurrah tidak ditemukan wajib mengganti nilainya menurut salah satu pendapat atau lima puluh dinar atau enam ratus dirham menurut pendapat yang lain. Jika jinayah itu karena kesalahan wajib diyah yang dimudahkan, dan jika karena sengaja atau amdan khata’ wajib diyah yang diperberat sebagaimana kami sebutkan pada diyah penuh.

Jika salah satu orang tuanya Nasrani dan yang lain Majusi maka wajib padanya setengah dari sepersepuluh diyah Nasrani, karena dalam tanggungan apabila pada salah satu orang tuanya ada yang mewajibkan maka pada yang lain berlaku apa yang meniadakan keumuman kewajiban. Oleh sebab itu, apabila orang yang berihram membunuh binatang buruan yang lahir di antara yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan maka wajib atasnya pembalasan.

Dan jika seseorang memukul perut seorang wanita Nasrani yang mengandung anak Nasrani lalu ia masuk Islam dan kemudian melahirkan janin yang mati, wajib padanya setengah dari sepersepuluh diyah Muslim, karena tanggungan dinilai menurut keadaan saat kestabilan jinayah dan janin pada waktu itu adalah Muslim sehingga seharusnya dikenakan sepuluh diyah Muslim. Apa yang wajib atas janin diwarisi oleh ahli warisnya karena ia merupakan pengganti orang merdeka sehingga diwariskan sebagaimana diyah orang lain.

باب أروش الجنايات
والجنايات التي توجب الأورش ضربان: جروح وأعضاء فأما الجروح فضربان شجاج في الرأس والوجه وجروح فيما سواهما من البدن فأما الشجاج فهي عشر: الخارصة وهي التي تكشط الجلد والدامية وهي التي يخرج منها الدم والباضعة وهي التي تشق اللحم والمتلاحمة وهي التي تنزل في اللحم والسمحاق وهي التي تسميها أهل البلد الملطاط وهي التي تستوعب اللحم إلى أن تبقى غشاوة رقيقة فوق العظم والموضحة وهي التي تكشف عن العظم والهاشمية وهي التي تهشم العظم والمنقلة وتسمى أيضاً المنقولة وهي التي تنقل العظم من مكان إلى مكان والمأمومة وتسمى أيضاً الآمة وهي التي تصل إلى أم الرأس وهي جلدة رقيقة تحيط بالدماغ والدامغة وهي التي تصل إلى الدماغ.

PASAL AROSY JINAYAT
Jinayat yang mewajibkan arasy terbagi menjadi dua: luka dan anggota tubuh.

Adapun luka, terbagi menjadi dua: syijāj (luka di kepala dan wajah) dan luka selain keduanya dari tubuh.

Adapun syijāj ada sepuluh:

  1. Khāriṣah, yaitu yang mengelupas kulit.
  2. Dāmiyah, yaitu yang mengeluarkan darah.
  3. Bāḍi‘ah, yaitu yang membelah daging.
  4. Mutalāḥimah, yaitu yang masuk ke dalam daging.
  5. Saḥmāq, yang disebut oleh penduduk setempat sebagai al-mulṭāṭ, yaitu yang menyayat seluruh daging hingga tersisa selaput tipis di atas tulang.
  6. Muwaḍḍiḥah, yaitu yang menampakkan tulang.
  7. Hāsyimah, yaitu yang menghancurkan tulang.
  8. Munqilah, juga disebut Manqūlah, yaitu yang memindahkan tulang dari satu tempat ke tempat lain.
  9. Ma’mūmah, juga disebut Āmmah, yaitu yang sampai ke umm ar-ra’s, yaitu selaput tipis yang mengelilingi otak.
  10. Dāmighah, yaitu yang sampai ke otak.

فصل: والذي يجب فيه أرش مقدر من هذه الشجاج أربع وهي: الموضحة والهاشمة والمنقلة والمأمومة فأما الموضحة فالواجب فيها خمس من الإبل لما روى أبو بكر محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن بكتاب فيه الفرائض والسنن والديات وفي الموضحة خمس من الإبل ويجب ذلك في الصغيرة والكبيرة وفي البارزة والمستورة بالشعر لأن اسم الموضحة يقع على الجميع

PASAL: Yang wajib dibayar dengan arasy yang telah ditentukan dari jenis-jenis luka kepala (syajjāt) ada empat, yaitu: al-muḍiḥah, al-hāsyimah, al-munqillah, dan al-ma’mūmah. Adapun al-muḍiḥah, maka yang wajib padanya adalah lima ekor unta. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Bakr Muḥammad bin ʿAmr bin Ḥazm dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman yang berisi kewajiban-kewajiban, sunah-sunah, dan diyat-diyat, dan disebutkan bahwa untuk luka muḍiḥah wajib lima ekor unta. Ketentuan ini berlaku bagi anak kecil maupun dewasa, baik luka yang tampak jelas maupun yang tertutup rambut, karena nama muḍiḥah mencakup semuanya.

وإن أوضح موضحتين بينهما حاجز وجب عليه أرش موضحتين لأنهما موضحتان وإن أزال الحاجز بينهما وجب أرش موضحة لأنه صار الجميع بفعله موضحة واحدة فصار كما لو أوضح الجميع من غير حاجز وإن تأكل ما بينهما وجب أرش موضحة واحدة لأن سراية فعلهه كفعله وإن أزال المجني عليه الحاجز وجب على الجاني أرش الموضحتين لأن ما وجب بجنايته لا يسقط بفعل غيره

Dan jika seseorang membuat dua luka muḍiḥah yang dipisahkan oleh sekat, maka wajib atasnya arasy dua luka muḍiḥah, karena keduanya adalah dua luka muḍiḥah yang terpisah. Namun jika ia sendiri yang menghilangkan sekat di antara keduanya, maka wajib arasy satu luka muḍiḥah, karena seluruhnya menjadi satu luka muḍiḥah akibat perbuatannya, sehingga hukumnya seperti orang yang membuat satu luka muḍiḥah tanpa ada sekat. Jika bagian di antara keduanya rusak dengan sendirinya (taʾakkul), maka wajib arasy satu luka muḍiḥah, karena penyebaran akibat perbuatannya disamakan dengan perbuatannya sendiri. Namun jika orang yang menjadi korban yang menghilangkan sekat tersebut, maka tetap wajib atas pelaku arasy dua luka muḍiḥah, karena apa yang wajib disebabkan oleh tindak kejahatan tidak gugur hanya karena perbuatan orang lain.

وإن جاء آخر فأزال الحاجز وجب على الأول أرش الموضحتين وعلى الآخر أرش موضحة لأن فعل أحدهما: لا يبنى على الآخر فانفرد كل واحد منهما بحكم جنايته وإن أوضح موضحتين ثم قطع اللحم الذي بينهما في الباطن وترك الجلد الذي فوقهما ففيه وجهان: أحدهما: يلزمه أرش موضحتين لانفصالهما في الظاهر والثاني: يلزمه أرش موضحة لاتصالهما في الباطن

Dan jika datang orang lain lalu menghilangkan sekat tersebut, maka atas orang pertama wajib arasy dua luka muḍiḥah, dan atas orang kedua wajib arasy satu luka muḍiḥah, karena perbuatan salah satu tidak dibangun di atas perbuatan yang lain, maka masing-masing dari keduanya berdiri sendiri dalam hukum tindakannya.

Dan jika seseorang membuat dua luka muḍiḥah lalu memotong daging yang berada di antara keduanya di bagian dalam, tetapi membiarkan kulit di atas keduanya, maka terdapat dua pendapat: salah satunya, wajib arasy dua luka muḍiḥah karena tampak terpisah secara lahir; dan pendapat kedua, wajib arasy satu luka muḍiḥah karena keduanya menyatu di bagian dalam.

وإن شج رأسه شجة واحدة بعضها موضحة وبعضها باضعة لم يلزمه أكثر من أرش موضحة لأنه لو أوضح الجميع لم يلزمه أكثر من أرش موضحة فلأن لا يلزمه والإيضاح في البعض أولى وإن أوضح جميع رأسه وقدره عشرون إصبعاً ورأس الجاني خمس عشرة أصبعاً اقتص في جميع رأسه وأخذ عن الربع الباقي ربع أرش موضحة وخرج أبوعلي بن أبي هريرة وجهاً آخر أنه يأخذ عن الباقي أرش موضحة لأن هذا القدر لو انفرد لوجب فيه أرش موضحة وهذا خطأ لأنه إذا انفرد كان موضحة فوجب أرشها وههنا هو بعض موضحة فلم يجب فيه إلا فيه إلا ما يخصه.

Dan jika seseorang melukai kepala dengan satu luka, yang sebagian termasuk muḍiḥah dan sebagian lainnya bāḍi‘ah, maka tidak wajib atasnya lebih dari arasy luka muḍiḥah, karena seandainya seluruhnya merupakan muḍiḥah pun tidak akan wajib lebih dari arasy satu muḍiḥah, maka lebih utama lagi jika hanya sebagian yang merupakan muḍiḥah.

Dan jika seseorang membuka seluruh kepala korban, yang ukurannya dua puluh jari, sedangkan kepala pelaku berukuran lima belas jari, maka dilakukan qiṣāṣ pada seluruh kepala pelaku, dan sisanya yang seperempat dikenakan seperempat arasy dari muḍiḥah. Abū ʿAlī bin Abī Hurayrah mengemukakan pendapat lain bahwa korban mengambil arasy penuh satu muḍiḥah atas bagian yang tersisa, karena jika bagian tersebut berdiri sendiri, wajib atasnya arasy satu muḍiḥah. Namun pendapat ini keliru, karena jika bagian itu berdiri sendiri, ia menjadi satu muḍiḥah, sehingga wajib arasy-nya; adapun dalam kasus ini ia hanya bagian dari satu muḍiḥah, maka tidak wajib kecuali bagian arasy yang sesuai dengannya.

فصل: ويجب في الهاشمة عشر من الإبل لما روى قبيصة بن ذؤيب عن زيد بن ثابت أنه قال في الهاشمة عشر من الإبل وإن ضرب رأسه بمثقل فهشم العظم من غير إيضاح ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة أنه تجب فيه الحكومة لأنه كسر عظم من غير إيضاح فأوجب الحكومة ككسر عظم الساق والثاني: وهو قول أبي إسحاق إنه يجب فيه خمس من الإبل وهو الصحيح لأنه لو أوضحه وهشمه وجب عليه عشر من الإبل فدل على أن الخمس الزائدة لأجل الهاشمة وقد وجدت الهاشمة فوجب فيها الخمس وإن هشم هاشمتين بينهما حاجز وجب عليه أرش هاشمتين كما قلنا في الموضحتين.

PASAL: Dan wajib pada hāsyimah sepuluh ekor unta, berdasarkan riwayat dari Qabīṣah bin Dzuʾayb dari Zayd bin Tsābit bahwa ia berkata tentang hāsyimah: sepuluh ekor unta. Jika seseorang memukul kepala dengan benda tumpul lalu menghancurkan tulangnya tanpa menimbulkan īḍāḥ, maka ada dua pendapat:

Pertama, yaitu pendapat Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah, bahwa wajib ḥukūmah, karena ia mematahkan tulang tanpa īḍāḥ, maka wajib ḥukūmah sebagaimana mematahkan tulang betis.

Kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa wajib lima ekor unta, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena jika ia membuat īḍāḥ sekaligus menghancurkan tulang, maka wajib atasnya sepuluh ekor unta. Maka hal ini menunjukkan bahwa lima ekor tambahan adalah karena adanya hāsyimah, dan hāsyimah telah terjadi, maka wajib baginya lima ekor unta.

Jika ia menghancurkan dua hāsyimah yang di antara keduanya terdapat pemisah, maka wajib atasnya arasy dua hāsyimah, sebagaimana telah kami katakan pada dua muḍīḥah.

فصل: ويجب في المنقلة خمس عشرة من الإبل لما روى عمرو بن حزم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن في المنقلة خمس عشرة من الإبل وإن أوضح رأسه موضحة ونزل فيها إلى الوجه ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب عليه أرش موضحتين لأنه أوضح في عضوين فوجب أرش موضحتين كما لو فصل بينهما والثاني: يجب أرش موضحة لأنها موضحة واحدة فأشبه إذا أوضح في الهامة موضحة ونزل فيها إلى الناصية وإن أوضح في الرأس موضحة ونزل فيها إلى القفا وجب عليه أرش الموضحة في الرأس ويجب عليه حكومة في الجراحة في القفا لأنه ليس بمحل للموضحة فانفرد الجرح فيه بالضمان.

PASAL: Wajib dalam luka munqillah adalah lima belas ekor unta, berdasarkan riwayat dari ʿAmr bin Ḥazm bahwa Rasulullah SAW menulis kepada penduduk Yaman bahwa untuk luka munqillah wajib lima belas ekor unta.

Dan jika seseorang membuka kepala dengan luka muḍiḥah lalu luka itu turun sampai ke wajah, maka terdapat dua pendapat: pertama, wajib atasnya arasy dua luka muḍiḥah, karena ia membuka di dua anggota tubuh, maka wajib dua arasy seperti jika terdapat pemisah antara keduanya; kedua, wajib satu arasy muḍiḥah, karena itu merupakan satu luka muḍiḥah, maka disamakan dengan orang yang membuka luka dari ubun-ubun (hāmah) hingga turun ke dahi (nāṣiyah).

Dan jika seseorang membuka luka muḍiḥah di kepala lalu turun hingga ke tengkuk (qafā), maka wajib atasnya arasy muḍiḥah di kepala dan ḥukūmah atas luka di tengkuk, karena tengkuk bukan tempat luka muḍiḥah, maka luka di situ berdiri sendiri dalam penjaminannya.

فصل: ويجب في المأمومة ثلث الدية لما روى عكرمة بن خالد أن النبي صلى الله عليه وسلم قضى في المأمومة بثلث الدية وأما الدامغة فقد قال بعض أصحابنا يجب فيها ما يجب في المأمومة وقال قاضي القضاة أبو الحسن الماوردي البصري يجب عليه أرش المأمومة وحكومة لأن خرق الجلد جناية بعد المأمومة فوجب لأجلها حكومة.

PASAL: Dan wajib pada maʾmūmah sepertiga dari diyah, berdasarkan riwayat dari ʿIkrimah bin Khālid bahwa Nabi SAW memutuskan pada maʾmūmah dengan sepertiga diyah.

Adapun dāmiġah, sebagian sahabat kami berkata: wajib padanya sebagaimana yang diwajibkan pada maʾmūmah. Dan Qāḍī al-Quḍāt Abū al-Ḥasan al-Māwardī al-Baṣrī berkata: wajib atasnya arasy maʾmūmah dan ḥukūmah, karena melubangi kulit merupakan jinayat setelah maʾmūmah, maka wajib karenanya ḥukūmah.

فصل: وإن شج رأس رجل موضحة فجاء آخر فجعلها هاشمة وجاء آخر فجعلها منقلة وجاء آخر فجعلها مأمومة وجب على الأول خمس من الإبل وعلى الثاني خمس وعلى الثالث خمس وعلى الرابع ثمان عشر بعيراً وثلث لأن ذلك جناية كل واحد منهم.

PASAL: Jika seseorang melukai kepala seseorang dengan luka muḍiḥah, lalu datang orang kedua dan menjadikannya hāsyimah, lalu datang orang ketiga dan menjadikannya munqillah, lalu datang orang keempat dan menjadikannya ma’mūmah, maka wajib atas orang pertama lima ekor unta, atas orang kedua lima ekor, atas orang ketiga lima ekor, dan atas orang keempat delapan belas ekor unta dan sepertiga, karena masing-masing dari mereka melakukan satu tindak jinayah.

فصل: وأما الشجاج التي قبل الموضحة وهي خمسة الخارصة والدامية والباضعة والمتلاحقة والسمحاق فينظر فيها فإن أمكن معرفة قدرها من الموضحة بأن كانت في الرأس موضحة فشج رجل بجنبها باضعة أو متلاحمة وعرف قدر عمقها ومقدارها من الموضحة من نصف أو ثلث أو ربع وجب عليه قدر ذلك من أرش الموضحة لأنه يمكنه تقدير أرشها بنفسها فلم تقدر بغيرها وإن لم يمكن معرفة قدرها من الموضحة وجبت فيها الحكومة لأن تقدير الأرش بالشرع ولم يرد الشرع بتقدير الأرش فيما دون الموضحة وتعذر معرفة قدرها من الموضحة فوجبت فيها الحكومة.

PASAL: Adapun syijāj yang berada sebelum muḍīḥah—yaitu lima: khāriṣah, dāmiyah, bāḍiʿah, mutalāḥimah, dan samḥāq—maka dilihat keadaannya: jika memungkinkan untuk mengetahui kadarnya dibandingkan dengan muḍīḥah, seperti terdapat muḍīḥah di kepala lalu seseorang mengalami luka bāḍiʿah atau mutalāḥimah di sebelahnya, dan diketahui kedalaman serta ukurannya dibandingkan dengan muḍīḥah, apakah setengah, sepertiga, atau seperempat, maka wajib atas pelaku kadar tersebut dari arasy muḍīḥah, karena memungkinkan untuk mengukur arasy-nya secara langsung, maka tidak dinilai dengan selainnya.

Namun jika tidak memungkinkan untuk mengetahui kadarnya dibandingkan dengan muḍīḥah, maka wajib padanya ḥukūmah, karena penentuan arasy bersifat syar‘ī, dan syariat tidak menentukan arasy untuk luka yang berada di bawah muḍīḥah, dan tidak mungkin mengetahui ukurannya dari muḍīḥah, maka wajib padanya ḥukūmah.

فصل: وأما الجروح فيما سوى الرأس والوجه فضربان: جائفة وغير جائفة فأما غير الجائفة فهي الجراحات التي لا تصل إلى جوف الواجب فيها الحكومة فإن أوضح عظماً في غير الرأس والوجه أو هشمه أو نقله وجب فيه الحكومة لأنها لا تشارك نظائرها من الشجاج التي في الرأس والوجه في الاسم ولا تساويها في الشين والخوف عليه منها فلم تساوها في تقدير الأرش وأما الجائفة وهي التي تصل إلى الجوف من البطن أو الظهار أو الورك أو الصدر أو ثغرة النحر فالواجب فيها ثلث الدية

PASAL: Adapun luka-luka pada selain kepala dan wajah terbagi dua: jāʾifah dan selain jāʾifah. Adapun selain jāʾifah adalah luka-luka yang tidak sampai ke rongga tubuh, maka yang wajib padanya adalah ḥukūmah. Jika seseorang membuka tulang di selain kepala dan wajah, atau menghancurkannya, atau memindahkannya, maka wajib padanya ḥukūmah, karena luka-luka tersebut tidak termasuk dalam jenis syajjāt di kepala dan wajah, tidak sama dalam segi nama, tidak sebanding dalam keburukan rupa atau kekhawatiran yang ditimbulkannya, maka tidak disamakan pula dalam takaran arasy.

Adapun jāʾifah, yaitu luka yang sampai ke rongga tubuh seperti perut, punggung, pinggul, dada, atau celah leher (ṯaghratu n-naḥr), maka yang wajib padanya adalah sepertiga diyat.

لما روي في حديث عمرو بن حزم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن في الجائفة ثلث الدية فإن أجاف جائفتين بينهما حاجز وجب في كل واحدة منهما ثلث الدية وإن أجاف جائفة فجاء آخر ووسعها في الظاهر والباطن وجب على الثاني ثلث الدية لأن هذا القدر لو انفرد لكان جائفة فوجب فيه أرش الجائفة فإن وسعها في الظاهر دون الباطن أوفي الباطن دون الظاهر وجب عليه حكومة لأن جنايته لم تبلغ الجائفة

Karena diriwayatkan dalam hadis ‘Amr bin Ḥazm bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman bahwa pada jā’ifah wajib sepertiga diyat. Maka jika seseorang melukai dengan dua jā’ifah yang di antara keduanya terdapat pembatas, maka wajib pada masing-masing jā’ifah sepertiga diyat. Dan jika seseorang melukai dengan satu jā’ifah, lalu datang orang lain dan memperluasnya secara lahir maupun batin, maka wajib atas orang kedua sepertiga diyat, karena kadar ini jika berdiri sendiri sudah termasuk jā’ifah, sehingga wajib padanya arasy jā’ifah. Namun jika ia hanya memperluas secara lahir tanpa batin, atau secara batin tanpa lahir, maka wajib atasnya ḥukūmah, karena janiatnya belum sampai pada kadar jā’ifah.

وإن جرح فخذه وجر السكين حتى بلغ الورك وأجاف فيه أو جرح الكتف وجر السكين حتى بلغ الصدر وأجاف فيه أو جرح الكتف وجر السكين حتى بلغ الصدر وأجاف فيه وجب عليه أرش الجائفة وحكومة في الجراحة لأن الجراحة في غير موضع الجائفة فانفردت بالضمان كما قلنا فيمن نزل في موضحة الرأس إلى القفا وإن طعن بطنه بسنان فأخرجه من ظهره أو طعن ظهره فأخرجه من بطنه وجب عليه في الداخل إلى جوف أرش الجائفة لأنها جائفة وفي الخارج منه إلى الظاهر وجهان: أحدهما: وهو المنصوص أنه جائفة ويجب فيها أرش جائفة أخرى

Dan jika ia melukai pahanya lalu menyeret pisau hingga mencapai panggul dan melukai sampai masuk ke rongga tubuh (ajāfa) di situ, atau ia melukai pundak lalu menyeret pisau hingga mencapai dada dan melukai sampai masuk ke rongga tubuh, maka wajib atasnya arasy jā’ifah dan ḥukūmah untuk luka lainnya, karena luka itu berada di selain tempat jā’ifah, maka wajib diyat terpisah sebagaimana telah kami katakan tentang orang yang melukai kepala hingga mencapai tengkuk. Dan jika ia menusuk perut dengan ujung tombak lalu menembus hingga keluar dari punggung, atau ia menusuk punggung lalu menembus hingga keluar dari perut, maka pada bagian yang masuk ke rongga tubuh wajib arasy jā’ifah karena itu termasuk jā’ifah, dan pada bagian yang keluar ke arah lahir terdapat dua pendapat: yang pertama, dan ini adalah pendapat yang manṣūṣ, bahwa ia termasuk jā’ifah dan wajib padanya arasy jā’ifah lainnya.

لما روى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن عمر رضي الله عنه قضى في الجائفة إذا نفذت من الجوف جائفتان ولأنها جراحة نافذة إلى الجوف فوجب فيها أرش جائفة كالداخلة إلى الجوف والثاني: ليس بجائفة ويجب فيها حكومة لأن الجائفة ما تصل من الظاهر إلى الجوف وهذه خرجت من الجوف إلى الظاهر فوجب فيها حكومة.

Karena diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa ‘Umar RA memutuskan hukum tentang jā’ifah bahwa apabila ia menembus dari rongga tubuh maka dihitung dua jā’ifah, dan karena ia adalah luka yang menembus ke rongga tubuh maka wajib padanya arasy jā’ifah sebagaimana yang masuk ke rongga. Pendapat kedua: itu bukan jā’ifah dan wajib padanya ḥukūmah, karena jā’ifah adalah yang mencapai dari luar ke dalam rongga, sedangkan ini keluar dari rongga ke arah luar, maka wajib padanya ḥukūmah.

فصل: وإن طعن وجنته فهشم العظم ووصلت إلى الفم ففيه قولان: أحدهما: أنها جائفة ويجب فيها ثلث الدية لأنها جراحة من ظاهر إلى جوف فأشبهت الجراحة الواصلة إلى الباطن والثاني: أنه ليس بجائفة لأنه لا تشارك الجائفة في إطلاق الاسم ولا تساويها في الخوف عليه فلم تساوها في أرشها فعلى هذا يجب عليه دية هاشمة لأنه هشم العظم ويجب عليه حكومة لما زاد على الهاشمة.

PASAL: Jika seseorang menusuk pipi lalu menghancurkan tulangnya dan luka tersebut tembus hingga ke mulut, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: Itu termasuk jā’ifah dan wajib dibayar sepertiga diyat, karena ia merupakan luka dari bagian luar menuju ke rongga, maka disamakan dengan luka yang menembus ke bagian dalam.

Pendapat kedua: Itu bukan jā’ifah, karena tidak termasuk dalam cakupan nama jā’ifah dan tidak setara dengannya dalam hal bahaya yang ditimbulkan, maka tidak disamakan dengannya dalam kadar arsh-nya. Maka berdasarkan pendapat ini, wajib baginya membayar diyat hāsyimah karena ia menghancurkan tulang, dan wajib juga membayar ḥukūmah atas tambahan dari kerusakan yang melebihi hāsyimah.

فصل: وإن خاط الجائفة فجاء رجل وفتق الخياطة نظرت فإن كان قبل الإلتحام لم يلزمه أرش لأنه لم توجد منه جناية ويلزمه قيمة الخيط وأجرة المثل للخياطة وإن كان بعد التحام الجميع لزمه أرش جائفة لأنه بالالتحام عاد إلى ما كان قبل الجناية ويلزمه قيمة الخيط ولا تلزمه أجرة الخياطة لأنها دخلت في أرش الجائفة وإن كان بعد التحام بعضها لزمه الحكومة لجنايته على ما التحم وتلزمه قيمة الخيط ولا تلزمه أجرة الخياطة لأنها دخلت في الحكومة.

PASAL: Jika seseorang menjahit luka jā’ifah, lalu datang orang lain dan membukanya kembali, maka dilihat: jika hal itu dilakukan sebelum luka tersebut menyatu, maka tidak wajib membayar arasy karena tidak terdapat tindak kejahatan darinya, namun ia wajib mengganti harga benang dan upah menjahit sepadan. Jika dilakukan setelah seluruh luka menyatu, maka wajib atasnya arasy jā’ifah, karena dengan menyatunya luka tersebut maka ia kembali seperti sebelum terjadinya kejahatan, dan wajib atasnya mengganti harga benang, namun tidak wajib atasnya membayar upah menjahit karena telah termasuk dalam arasy jā’ifah. Jika dilakukan setelah sebagian luka menyatu, maka wajib atasnya ḥukūmah karena tindakannya terhadap bagian yang telah menyatu, dan wajib atasnya mengganti harga benang, namun tidak wajib membayar upah menjahit karena telah termasuk dalam ḥukūmah.

فصل: وإن أدخل خشبة أو حديدة في دبر إنسان فخرق حاجزاً في الباطن ففيه وجهان بناء على الوجهين فيمن خرق الحاجز بين الموضحتين في الباطن: أحدهما: يلزمه أرش جائفة لأنه خرق إلى الجوف والثاني: تلزمه حكومة لبقاء الحاجز الظاهر.

PASAL: Jika seseorang memasukkan kayu atau besi ke dubur seseorang lalu menembus penghalang bagian dalam, maka terdapat dua wajah (pendapat) yang dibangun atas dua wajah dalam kasus orang yang menembus penghalang antara dua mauḍiḥah di bagian dalam.

Pertama: wajib baginya arasy jā’ifah karena telah menembus hingga ke dalam rongga tubuh.
Kedua: wajib baginya ḥukūmah karena penghalang bagian luar masih tetap ada.

فصل: وإن أذهب بكارة امرأة بخشبة أو نحوها لزمته حكومة لأنه إتلاف حاجز وليس فيه أرش مقدر فوجبت فيه الحكومة وإن أذهبها بالوطء لم يلزمه أرش لأنها إن طاوعته فقد أذنت فيه وإن أكرهها دخل أرشها في المهر لأنا نوجب عليه مهر بكر.

PASAL: Jika seseorang merusak keperawanan seorang perempuan dengan kayu atau semisalnya, maka wajib atasnya ḥukūmah karena itu merupakan perusakan terhadap penghalang (selaput dara) dan tidak ada arasy yang ditentukan untuknya, maka wajiblah ḥukūmah. Jika ia merusaknya dengan jima‘, maka tidak wajib membayar arasy, karena jika ia melakukannya dengan kerelaan perempuan itu, maka perempuan tersebut telah mengizinkannya. Dan jika ia memaksanya, maka arasy-nya telah termasuk dalam mahar, karena kami mewajibkan atasnya mahar perawan.

فصل: وأما الأعضاء فيجب الرش في إتلاف كل عضو فيه منفعة أو جمال فيجب في إتلاف العينين الدية وفي أحدهما: نصفها لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال في كتاب كتبه لعمرو بن حزم: “هذا كتاب الجروح في النفس مائة من الإبل وفي العين خمسون من الإبل”. فأوجب في كل عين خمسين من الإبل فدل على أنه يجب في العينين مائة ولأنها من أعظم الجوارح جمالاً ومنفعة ويجب في عين الأعور نصف الدية للخبر ولأن ما ضمن بنصف الدية مع بقاء نظيره ضمن به مع فقد نظيره كاليد

PASAL: Adapun anggota tubuh, maka wajib membayar arasy atas perusakan setiap anggota yang memiliki manfaat atau keindahan. Maka wajib membayar diyat penuh atas perusakan kedua mata, dan atas perusakan salah satunya: setengah diyat. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda dalam surat yang beliau tulis kepada ‘Amr bin Ḥazm: “Ini adalah kitab tentang luka-luka, bahwa pada jiwa (yang terbunuh) ada kewajiban seratus ekor unta, dan pada mata ada lima puluh ekor unta.” Maka beliau mewajibkan lima puluh unta atas setiap mata, yang menunjukkan bahwa untuk kedua mata wajib membayar seratus ekor unta. Sebab mata termasuk anggota tubuh yang paling besar manfaat dan keindahannya. Dan wajib membayar setengah diyat pada mata orang yang bermata satu, berdasarkan hadis tersebut dan karena sesuatu yang dijamin dengan setengah diyat ketika pasangannya masih ada, juga dijamin dengannya ketika pasangannya telah tiada, sebagaimana pada tangan.

وإن جنى على عينيه أو رأسه أو غيرهما فذهب ضوء العينين وجبت الدية لأنه أتلف المنفعة المقصودة بالعضو فوجبت ديته كما لو جنى على يده فشلت وإن ذهب الضوء من إحداهما وجب نصف الدية لأن ما أوجب الدية في إتلافهما أوجب نصف الدية في إتلاف إحداهما كاليدين وإن أزال الضوء فأخذت منه الدية ثم عاد وجب رد الدية لأنه لما عاد علمنا أنه لم يذهب لأن الضوء إذا ذهب لم يعد

Dan jika seseorang melakukan jinayat pada kedua mata, kepala, atau anggota tubuh lainnya lalu hilang penglihatan kedua mata, maka wajib membayar diyat penuh karena ia telah merusak manfaat utama dari anggota tersebut, maka wajib diyatnya sebagaimana jika seseorang melakukan jinayat pada tangan lalu menjadi lumpuh. Jika yang hilang adalah penglihatan salah satu mata, maka wajib membayar setengah diyat karena sesuatu yang mewajibkan diyat penuh atas perusakan keduanya juga mewajibkan setengah diyat atas perusakan salah satunya, sebagaimana pada kedua tangan. Jika cahaya mata hilang lalu diambilkan diyat darinya, kemudian penglihatannya kembali, maka wajib mengembalikan diyat tersebut, karena ketika penglihatannya kembali, kita mengetahui bahwa penglihatan itu tidak benar-benar hilang, sebab jika cahaya mata telah hilang niscaya tidak akan kembali.

وإن زال الضوء فشهد عدلان من أهل الخبرة أنه يرجى عوده فإن لم يقدرا لعوده مدة معلومة لم ينتظر لأن الانتظار إلى غير مدة معلومة يؤدي إلى إسقاط موجب الجناية وإن قدرا مدة معلومة انتظر وإن عاد الضوء لم يجب شيء وإن لم يعد أحذ الجاني بموجب الجناية من القصاص أو الدية وإن مات قبل انقضاء المدة لم يجب القصاص لأنه موضع شبهة لأنه يجوز أن لا يكون بطل الضوء ولعله لو عاش لعاد والقصاص يسقط بالشبهة وأما الدية فقد قال فيمن قلع سناً وقال أهل الخبرة يرجى عده إلى مدة فمات قبل انقضائها إن في الدية قولين: أحدهما: تجب لأنه أتلف ولم يعد

Dan jika penglihatan hilang, lalu dua orang saksi ahli memberikan kesaksian bahwa masih ada harapan penglihatan itu kembali, maka jika mereka tidak menentukan batas waktu yang jelas untuk kembalinya, tidak perlu menunggu, karena menunggu tanpa batas waktu tertentu akan menyebabkan gugurnya akibat jinayah. Namun jika mereka menetapkan batas waktu yang jelas, maka ditunggu. Jika penglihatan itu kembali, tidak wajib apa-apa. Namun jika tidak kembali, maka pelaku jinayah dituntut dengan akibat jinayah tersebut, baik qiṣāṣ atau diyat. Jika orang yang terkena jinayah meninggal sebelum habis masa yang ditentukan, maka qiṣāṣ tidak wajib karena terdapat unsur syubhat—karena bisa jadi penglihatannya belum benar-benar hilang dan mungkin saja jika masih hidup, penglihatannya akan kembali. Sedangkan mengenai diyat, maka disebutkan dalam kasus seseorang mencabut gigi lalu para ahli menyatakan ada harapan tumbuh kembali dalam waktu tertentu, kemudian ia meninggal sebelum waktu tersebut habis, terdapat dua pendapat tentang diyat: salah satunya mengatakan diyat tetap wajib karena telah terjadi perusakan dan belum kembali.

والثاني: لا تجب لأنه لم يتحقق الإتلاف ولعله لو بقي لعاد فمن أصحابنا من جعل في دية الضوء قولين ومنهم من قال تجب دية الضوء قولاً واحداً لأن عود الضوء غير معهود بخلاف السن فإن عودها معهود.

Dan pendapat kedua: diyat tidak wajib karena belum dipastikan adanya perusakan, dan bisa jadi jika ia tetap hidup penglihatannya akan kembali. Maka sebagian ulama dari kalangan kami menyatakan bahwa pada diyat penglihatan terdapat dua pendapat, dan sebagian lagi berpendapat bahwa diyat penglihatan wajib secara qawl wāḥid, karena kembalinya penglihatan adalah sesuatu yang tidak lazim, berbeda dengan gigi, karena kembalinya gigi sudah dikenal kejadiannya.

فصل: فإن جنى على عينيه فنقض الضوء منهما فإن عرف مقدار النقصان بأن كان يرى الشخص من مسافة فصار لا يراه إلا من نصف تلك المسافة وجب من الدية بقسطها لأنه عرف مقدار ما نقص فوجب بقسطه وإن لم يعرف قدر النقصان بأن ساء إدراكه وجبت فيه الحكومة لأنه تعذر التقدير فوجبت فيه الحكومة وإن نقص الضوء في إحدى العينين عصبت العليلة وأطلقت الصحيحة ووقف له شخص في موضع يراه ثم لا يزال يبعد الشخص ويسأل عنه إلى أن يقول لا أراه ويمسح قدر المسافة ثم تطلق العليلة وتعصب الصحيحة ولا يزال يقرب الشخص إلى أن يراه ثم ينظر ما بين المسافتين فيجب من الدية بقسطها.

PASAL: Jika seseorang melakukan jinayah pada kedua mata lalu penglihatan keduanya berkurang, maka jika kadar pengurangannya diketahui—misalnya sebelumnya dapat melihat seseorang dari jarak tertentu lalu menjadi hanya bisa melihat dari setengah jarak itu—maka wajib membayar diyat sebanding, karena kadar kekurangan diketahui maka wajib dibayar sebanding. Jika kadar kekurangannya tidak diketahui, misalnya persepsi penglihatannya menjadi buruk, maka wajib membayar ḥukūmah, karena tidak memungkinkan dilakukan taksiran, maka wajib ḥukūmah. Jika penglihatan salah satu mata berkurang, maka mata yang sakit dibalut dan yang sehat dibuka, lalu seseorang berdiri pada jarak yang dapat dilihat, kemudian orang itu dijauhkan terus-menerus sambil ditanyakan sampai orang yang diuji berkata: “Aku tidak melihatnya.” Lalu diukur jaraknya. Setelah itu, mata yang sakit dibuka dan mata yang sehat dibalut, lalu orang tersebut didekatkan perlahan-lahan sampai terlihat. Kemudian diperhatikan jarak antara kedua pengukuran tersebut, dan wajib membayar diyat sebanding dengan selisihnya.

فصل: وإن جنى على عين صبي أو مجنون فذهب ضوء عينه وقال أهل الخبرة قد زال الضوء ولا يعود ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يجب عليه في الحال شيء حتى يبلغ الصبي ويفيق المجنون ويدعي زوال الضوء لجواز أن لا يكون الضوء زائلاً والقول الثاني أنه يجب القصاص أو الدية لأن الجناية قد وجدت فتعلق بها موجبها.

PASAL: Jika seseorang melakukan jinayah pada mata seorang anak kecil atau orang gila lalu cahaya matanya hilang, dan para ahli mengatakan bahwa cahaya itu telah hilang dan tidak akan kembali, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: Tidak wajib atas pelaku jinayah sesuatu pun saat itu hingga si anak kecil mencapai usia baligh dan si orang gila sadar kembali, serta mengklaim bahwa cahaya matanya benar-benar hilang. Hal ini karena ada kemungkinan cahaya matanya belum benar-benar hilang.

Kedua: Wajib qiṣāṣ atau diyah karena jinayah telah terjadi, maka kewajiban hukumnya pun melekat padanya.

فصل: وإن جنى على عين فشخصت أو أحولت وجبت عليه حكومة لأنه نقصان جمال من غير منفعة فضمن بالحكومة وإن أتلف عيناً قائمة وجبت عليه الحكومة لأنه إتلاف جمال من غير منفعة فوجبت فيها الحكومة.

PASAL: Jika seseorang melakukan jinayah pada mata lalu menyebabkan mata itu menonjol (syakhṣ) atau menjadi juling (aḥwalat), maka wajib atasnya membayar ḥukūmah, karena hal itu merupakan pengurangan keindahan tanpa menghilangkan manfaat, maka dijamin dengan ḥukūmah. Jika ia merusak mata yang masih ada tapi tidak berfungsi (hanya sekadar penampilan), maka wajib atasnya ḥukūmah, karena itu merupakan perusakan keindahan tanpa manfaat, sehingga wajib padanya ḥukūmah.

فصل: ويجب في الجفون الدية لأن فيها جمالاً كاملاً ومنفعة كاملة لأنها تقي العين من كل ما يؤذيها ويجب في كل واحد منها ربع الدية لأنه محدود لأنه ذو عدد تجب الدية في جميعها فوجب في كل واحد منها ما يخصها من الدية كالأصابع وإن قلع الأجفان والعينين وجب عله ديتان لأنهما جنسان جب بإتلاف كل واحد منهما الدية فوجب بإتلافهما ديتان كاليدين والرجلين

PASAL: Wajib pada kelopak mata diyat karena padanya terdapat kesempurnaan keindahan dan kesempurnaan manfaat, sebab ia melindungi mata dari segala sesuatu yang menyakitinya. Dan wajib pada setiap kelopak seperempat diyat karena ia terbatas jumlahnya, dan karena ia bagian yang memiliki bilangan, maka ketika diyat wajib atas keseluruhannya, maka wajib pada setiap satu bagian diyat sesuai bagiannya, seperti jari-jari. Jika seseorang mencabut kelopak-kelopak mata dan kedua mata sekaligus, maka wajib atasnya dua diyat karena keduanya dua jenis yang berbeda; setiap jenis mewajibkan diyat tersendiri saat rusak, maka ketika keduanya rusak, wajib dua diyat, sebagaimana dua tangan dan dua kaki.

فإن أتلف الأهداب وجبت عليه الحكومة لأنه إتلاف جمال من غير منفعة فضمن بحكومة وإن قلع الأجفان وعليها الأهداب ففيه وجهان: أحدهما: لا يجب للأهداب حكومة لأنه شعر نابت في العضو المتلف فلا يفرد بالضمان كشعر الذراع والثاني: يجب للأهداب حكومة لأن فيها جمالاً ظاهراً فأفردت عن العضو بالضمان.

Jika seseorang merusak bulu mata (ahdāb), maka wajib atasnya ḥukūmah, karena itu merupakan perusakan keindahan tanpa manfaat, sehingga dijamin dengan ḥukūmah. Dan jika ia mencabut kelopak mata (ajfān) yang padanya terdapat bulu mata, maka dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama: tidak wajib ḥukūmah untuk bulu mata, karena ia adalah rambut yang tumbuh pada anggota tubuh yang telah dirusak, maka tidak dipisahkan dalam jaminan, seperti rambut pada lengan.
Kedua: wajib ḥukūmah untuk bulu mata, karena padanya terdapat keindahan yang tampak, maka ia dipisahkan dari anggota tubuh dalam hal jaminan.

فصل: ويجب في الأذنين الدية وفي أحدهما: نصفها لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب في كتاب عمرو بن حزم في الأذن خمسون من الإبل فأوجب في الأذن خمسين من الإبل فدل على أنه يجب في الأذنين مائة ولأن فيها جمالاً ظاهراً ومنفعة مقصودة وهو أنها تجمع الصوت وتوصله إلى الدماغ فوجب فيها الدية كالعين وإن قطع بعضها من نصف أو ربع أو ثلث وجب فيه من الدية بقسطه لأن ما وجبت الدية فيه وجبت في بعضه بقسطه كالأصابع

PASAL: Dan wajib di kedua telinga diyat, dan pada salah satunya: setengahnya. Karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW menulis dalam surat ‘Amr bin Ḥazm bahwa pada (kerusakan) telinga (diyatnya) lima puluh unta. Maka Nabi SAW mewajibkan pada satu telinga lima puluh unta, yang menunjukkan bahwa pada dua telinga wajib seratus (unta). Dan karena pada keduanya terdapat keindahan yang tampak dan manfaat yang dimaksud, yaitu bahwa keduanya menghimpun suara dan menyampaikannya ke otak, maka wajib diyat padanya sebagaimana mata. Dan jika dipotong sebagian darinya, seperti setengah, seperempat, atau sepertiga, maka wajib bagian dari diyat sesuai bagiannya, karena sesuatu yang diwajibkan diyat padanya, maka pada sebagian bagiannya juga wajib bagian diyat, sebagaimana jari-jari.

وإن ضرب أذنه فاستحشفت ففيه قولان: أحدهما: تجب عليه الدية كما لو ضرب يده فشلت والثاني: تجب عليه الحكومة لأن منفعة الأذن جمع الصوت وذلك لا يزول بالاستحشاف بخلاف اليد فإن منفعتها بالبطش وذلك يزول بالشلل وإن قطع إذناً مستحشفة فإن قلنا إنه إذا ضربها فاستحشفت وجبت عليه الدية وجب في المستحشفة الحكومة كما لو قطع يداً شلاء وإن قلنا إنه تجب عليه الحكومة وجب في المستحشفة الدية كما لو قطع يداً مجروحة فإن قطع أذن الأصم وجبت عليه الدية لأن عدم السمع نقص في غير الأذن فلا يؤثر في دية الأذن.

Jika seseorang memukul telinga lalu menjadi mustahsyafah (rusak bentuknya), maka terdapat dua pendapat: pertama, wajib atasnya membayar diyat, sebagaimana jika memukul tangan lalu menjadi lumpuh; kedua, wajib atasnya membayar ḥukūmah, karena manfaat telinga adalah mengumpulkan suara, dan hal itu tidak hilang karena kerusakan bentuk, berbeda dengan tangan yang manfaatnya untuk memukul dan itu hilang dengan kelumpuhan.

Jika seseorang memotong telinga yang mustahsyafah, maka jika dikatakan bahwa ketika dipukul lalu menjadi mustahsyafah wajib diyat, maka wajib dalam kasus ini ḥukūmah, sebagaimana jika memotong tangan yang lumpuh. Dan jika dikatakan bahwa yang wajib adalah ḥukūmah, maka dalam kasus ini wajib diyat, sebagaimana jika memotong tangan yang terluka.

Jika seseorang memotong telinga orang tuli, maka wajib atasnya membayar diyat, karena tidak adanya pendengaran adalah kekurangan pada selain telinga, maka tidak mempengaruhi diyat telinga.

فصل: ويجب في السمع الدية لما روى أبو المهلب عن أبي قلابة أن رجلاً رمى رجلاً بحجر في رأسه فذهب سمعه وعقله ولسانه ونكاحه فقضى فيه عمر رضي الله عنه بأربع ديات والرجل حي ولأنها حاسة تختص بمنفعة فأشبهت حاسة البصر وإن أذهب السمع في أحد الأذنين وجب نصف الدية لأن كل شيئين وجبت الدية فيهما وجب نصفها في أحدهما: كالأذنين

PASAL: Wajib diyat atas hilangnya pendengaran, karena diriwayatkan dari Abū al-Muhallab dari Abū Qilābah bahwa seorang laki-laki melemparkan batu ke kepala orang lain sehingga hilang pendengaran, akal, kemampuan bicara, dan kemampuan bersetubuhnya, maka ‘Umar RA memutuskan bahwa baginya wajib empat diyat padahal orang itu masih hidup. Dan karena pendengaran adalah indra yang memiliki manfaat khusus, maka ia menyerupai indra penglihatan. Jika hilang pendengaran salah satu telinga, maka wajib setengah diyat, karena setiap dua anggota yang jika keduanya rusak wajib diyat, maka jika hanya satu yang rusak, wajib setengahnya; seperti dua telinga.

وإن قطع الأذنين وذهب السمع وجب عليه ديتان لأن السمع في غير الأذن فلا تدخل دية أحدهما: في الآخر وإن جنى عليه فزال السمع وأخذت منه الدية ثم عاد وجب رد الدية لأنه لم يذهب السمع لأنه لو ذهب لما عاد وإن ذهب السمع فشهد شاهدان من أهل الخبرة أنه يرجى عوده إلى مدة فالحكم فيه كالحكم في العين إذا ذهب ضوءها فشهد شاهدان أنه يرجى عوده قد بيناه وإن نقص السمع وجب أرش ما نقص

Dan jika memotong kedua telinga lalu pendengaran hilang, maka wajib atasnya dua diyat, karena pendengaran berada di selain telinga, maka tidak masuk salah satunya ke dalam yang lain. Jika melakukan jinayah hingga pendengaran hilang lalu diambil darinya diyat, kemudian pendengaran kembali, maka wajib mengembalikan diyat tersebut, karena pendengaran itu tidak benar-benar hilang; sebab jika benar-benar hilang niscaya tidak akan kembali. Dan jika pendengaran hilang, lalu dua orang saksi dari kalangan ahli memberi kesaksian bahwa ada harapan akan kembali dalam waktu tertentu, maka hukumnya seperti hukum mata apabila cahaya (penglihatan)-nya hilang lalu dua saksi bersaksi bahwa ada harapan kembali—telah kami jelaskan sebelumnya. Dan jika pendengaran berkurang, maka wajib membayar arsy atas apa yang berkurang.

فإن عرف القدر الذي نقص بأن كان يسمع الصوت من مسافة فصار لا يسمع إلا من بعضها وجب فيه من الدية بقسطه وإن لم يعرف القدر بأن ثقلت أذنه وساء سمعه وجبت الحكومة وإن نقص السمع في أحد الأذنين سدت العليلة وأطلقت الصحيحة ويؤمر رجل حتى يصيح من موضع يسمعه ثم لا يزال يبعد ويصيح إلى أن يقول لا أسمع ثم تمسح المسافة ثم تطلق العليلة وتسد الصحيحة ثم يصيح الرجل ثم لا يزال يقرب ويصيح إلى أن يسمعه وينظر ما بين المسافتين ويجب من الدية بقسطه.

Jika diketahui kadar kekurangan pendengaran—misalnya sebelumnya dapat mendengar suara dari jarak tertentu lalu menjadi tidak dapat mendengar kecuali dari sebagian jarak itu—maka wajib membayar dari diyat sesuai bagiannya. Namun jika tidak diketahui kadarnya—seperti telinga menjadi berat dan pendengarannya memburuk—maka wajib ḥukūmah. Dan jika pendengaran berkurang pada salah satu telinga, maka telinga yang sakit ditutup dan yang sehat dibuka, lalu seorang laki-laki disuruh berseru dari suatu tempat yang terdengar, kemudian terus menjauh sambil berseru hingga dikatakan: “Aku tidak mendengar lagi.” Lalu jarak tersebut diukur. Setelah itu telinga yang sakit dibuka dan yang sehat ditutup, lalu laki-laki tadi berseru lagi dan terus mendekat sambil berseru hingga terdengar, lalu dilihat selisih antara dua jarak tersebut, dan wajib membayar diyat sesuai bagiannya.

فصل: ويجب في مارن الأنف الدية لما روى طاوس قال: كان في كتاب رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأنف إذا أو عب مارنه جدعاً الدية ولأنه عضو فيه جمال ظاهر ومنفعة كاملة ولأنه يجمع الشم ويمنع من وصول التراب إلى الدماغ والأخشم كالأشم في وجوب الدية لأن عدم الشم نقص في غير الأنف فلا يؤثر في دية الأنف ويخالف العين القائمة فإن عدم البصر نقص في العين فمنع من وجوب الدية في العين وإن قطع جزءاً من المارن كالنصف والثلث وجب فيه من الدية بقدره لأن ما ضمن بالدية يضمن بعضه بقدره من الدية كالأصابع

PASAL: Wajib membayar diyat penuh atas mārin hidung, karena berdasarkan riwayat dari Ṭāwūs, disebutkan bahwa dalam kitab Rasulullah SAW disebutkan: “pada hidung, jika mārinnya rusak parah hingga terpotong, maka wajib diyat.” Karena ia merupakan anggota tubuh yang memiliki keindahan yang tampak dan manfaat yang sempurna; ia menjadi tempat berkumpulnya penciuman dan mencegah debu masuk ke otak.

Adapun orang yang tidak bisa mencium bau (al-akhsham) hukumnya sama dengan orang yang bisa mencium bau (al-asham) dalam hal wajibnya diyat, karena kehilangan kemampuan mencium merupakan kekurangan pada selain hidung, sehingga tidak mempengaruhi kewajiban diyat atas hidung. Ini berbeda dengan mata yang masih utuh, karena kehilangan penglihatan merupakan kekurangan pada mata itu sendiri, sehingga menggugurkan kewajiban diyat pada mata.

Jika seseorang memotong sebagian dari mārin, seperti setengah atau sepertiganya, maka wajib membayar diyat sesuai kadar bagian yang dipotong, karena anggota tubuh yang dijamin dengan diyat secara keseluruhan, maka bagian-bagiannya pun dijamin sesuai kadarnya, sebagaimana jari-jari.

وإن قطع أحد المنخرين ففيه وجهان: أحدهما: وهو المنصوص أن عليه نصف الدية لأنه أذهب نصف الجمال ونصف المنفعة والثاني: يجب عليه ثلث الدية لأن المارن يشتمل على ثلاثة أشياء المنخرين والحاجز فوجب في كل واحد من المنخرين ثلث الدية وإن قطع أحد المنخرين والحاجز وجب عليه على الوجه الأول نصف الدية للحاجز وعلى الوجه الثاني يجب عليه ثلثا الدية ثلث للحاجز وثلث للمنخر وإن شق الحاجز وجب عليه حكومة

Dan jika ia memotong salah satu dari kedua lubang hidung (minkhār), maka terdapat dua wajah: pertama, dan inilah yang dinyatakan dalam nash, bahwa wajib atasnya setengah diyat karena ia telah menghilangkan setengah keindahan dan setengah manfaat. Kedua, wajib atasnya sepertiga diyat karena mārin terdiri atas tiga bagian: dua lubang hidung dan satu sekat (hidung), maka wajib bagi tiap lubang hidung sepertiga diyat.

Jika ia memotong satu lubang hidung dan sekat hidung, maka menurut wajah pertama wajib atasnya setengah diyat untuk sekat tersebut, dan menurut wajah kedua wajib atasnya dua pertiga diyat: sepertiga untuk sekat dan sepertiga untuk lubang hidung.

Jika ia hanya membelah sekat hidung, maka wajib atasnya ḥukūmah.

وإن شق الحاجز وجب عليه حكومة وإن قطع المارن وقصبة الأنف وجب عليه الدية في المارن والحكومة في القصبة لأن القصبة تابعة فوجب فيها الحكومة كالذراع مع الكف وإن جنى على المارن فاستحشف ففيه قولان كالقولين فيمن جنى على الأذن حتى استحشف: أحدهما: تجب عليه الدية والثاني: تجب عليه الحكومة وقد مضى وجههما في الأذن.

Jika ia membelah sekat hidung, maka wajib atasnya ḥukūmah. Jika ia memotong mārin dan batang hidung (qaṣabah al-anf), maka wajib atasnya diyat untuk mārin dan ḥukūmah untuk qaṣabah, karena qaṣabah adalah bagian yang mengikuti, maka diwajibkan padanya ḥukūmah, seperti lengan terhadap telapak tangan.

Jika seseorang melakukan jinayah terhadap mārin hingga menjadi buruk bentuknya (istaḥshafa), maka terdapat dua pendapat, sebagaimana dua pendapat pada kasus jinayah terhadap telinga hingga menjadi buruk bentuknya: pertama, wajib atasnya diyat; kedua, wajib atasnya ḥukūmah. Dan telah dijelaskan alasan kedua pendapat tersebut dalam pembahasan telinga.

فصل: وتجب بإتلاف الشم الدية لأنها حاسة تختص بمنفعة مقصودة فوجب بإتلافها الدية كالسمع والبصر وإن ذهب الشم من أحد المنخرين وجب فيه نصف الدية كما تجب في إذهاب البصر من أحد العينين والسمع من أحد الأذنين وإن جنى عليه فنقص الشم وجب عليه أرش ما نقص وإن أمكن أن يعرف قدر ما نقص وجب فيه من الدية بقدره وإن لم يمكن معرفة قدره وجبت فيه الحكومة لما بيناه في نقصان السمع وإن ذهب الشم وأخذت فيه الدية ثم عاد وجب رد الدية لأنا تبينا أنه لم يذهب وإنما حال دونه حائل لأنه لو ذهب لم يعد.

PASAL: Wajib membayar diyat karena merusak indra penciuman, karena ia merupakan indra yang memiliki manfaat yang dimaksudkan secara khusus, maka wajib diyat atas kerusakannya sebagaimana halnya indra pendengaran dan penglihatan. Jika penciuman hilang dari salah satu lubang hidung, maka wajib membayar setengah diyat, sebagaimana wajib membayar setengah diyat atas hilangnya penglihatan dari salah satu mata dan pendengaran dari salah satu telinga. Jika seseorang melakukan jinayah lalu menyebabkan penciuman menjadi berkurang, maka wajib membayar arsy sebesar kadar yang hilang. Jika memungkinkan diketahui kadar kekurangannya, maka wajib membayar diyat sebesar kadar tersebut. Jika tidak memungkinkan untuk diketahui kadarnya, maka wajib membayar hukumah, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan tentang kekurangan pendengaran. Jika penciuman hilang dan diyat telah diambil atasnya, lalu penciuman itu kembali, maka diyat wajib dikembalikan, karena telah nyata bahwa penciuman tidak benar-benar hilang, melainkan hanya terhalang oleh suatu penghalang. Sebab jika benar-benar hilang, maka tidak akan kembali.

فصل: وإن جنى على رجل جناية لا أرش لها بأن لطمه أو لكمه أو ضرب رأسه بحجر فزال عقله وجب عليه الدية لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب في كتاب عمرو بن حزم وفي العقل الدية ولأن العقل أشرف من الحواس لأن به يتميز الإنسان من البهيمة وبه يعرف حقائق المعلومات ويدخل في التكليف فكان بإيجاب الدية أحق وإن نقص عقله فإن كان يعرف قدر ما نقص بأن يجن يوماً ويفيق يوماً وجب عليه من الدية بقدره

PASAL: Apabila seseorang melakukan jinayah terhadap orang lain dengan tindakan yang tidak memiliki arasy tertentu, seperti menampar, meninju, atau memukul kepala dengan batu hingga akalnya hilang, maka wajib atasnya membayar diyat. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW menulis dalam surat ‘Amr bin Ḥazm: “Dalam (kasus hilangnya) akal, diyat wajib.” Karena akal lebih mulia daripada pancaindra, sebab dengannya manusia dibedakan dari hewan, dengannya diketahui hakikat-hakikat pengetahuan, dan dengannya seseorang masuk dalam taklif, maka lebih utama untuk diwajibkan diyat.

Apabila akalnya berkurang, dan kadar kekurangan itu dapat diketahui — seperti jika ia gila sehari dan waras sehari — maka wajib atas pelaku jinayah membayar diyat sebesar kadar yang hilang.

لأن ما وجبت فيه الدية وجب بعضها في بعضه كالأصابع وإن لم يعرف قدره بأن صار إذا سمع صيحة زال عقله ثم يعود وجبت فيه الحكومة لأنه تعذر إيجاب جزء مقدر من الدية فعدل إلى الحكومة فإن كانت الجناية لها أرش مقدر نظرت فإن بلغ الأرش قدر الدية أو أكثر لم يدخل في دية العقل ولم تدخل فيه دية العقل لما روى أبو المهلب عم أبي قلابة أن رجلاً رمى رجلاً بحجر في رأسه فذهب عقله وسمعه ولسانه ونكاحه فقضى فيه عمر رضي الله عنه بأربع ديات وهو حي وإن كان الأرش دون الدية كأرش الموضحة ونحوه ففيه قولان: قال في القديم يدخل في دية العقل لأنه معنى يزول التكليف بزواله فدخل أرش الطرف في ديته كالنفس

Karena sesuatu yang wajib diyat secara keseluruhan, maka sebagian darinya juga wajib jika sebagian hilang — seperti jari-jari. Dan jika kadar kehilangan akal itu tidak dapat diketahui, misalnya ketika mendengar teriakan akalnya hilang lalu kembali lagi, maka wajib dibayar ḥukūmah, karena tidak mungkin menentukan bagian tertentu dari diyat, sehingga dialihkan kepada ḥukūmah.

Apabila jinayah tersebut termasuk yang memiliki arasy yang telah ditetapkan, maka dilihat: jika arasy-nya mencapai kadar diyat penuh atau lebih, maka tidak termasuk dalam diyat akal, dan diyat akal pun tidak termasuk di dalamnya. Sebagaimana diriwayatkan dari Abū al-Muhallab, paman Abū Qilābah, bahwa seorang laki-laki melempar kepala orang lain dengan batu hingga hilang akalnya, pendengarannya, lisannya, dan syahwat nikahnya; maka ‘Umar RA memutuskan atasnya empat diyat, padahal orang itu masih hidup.

Namun jika arasy-nya kurang dari diyat penuh — seperti arasy al-mauḍiḥah dan sejenisnya — maka terdapat dua pendapat: dalam qaul qadīm dinyatakan bahwa arasy tersebut masuk ke dalam diyat akal, karena akal merupakan makna yang dengan hilangnya berarti hilang pula taklif, maka arasy anggota masuk ke dalam diyatnya sebagaimana halnya pada jiwa.

وقال في الجديد: لا يدخل وهو الصحيح لأنه لو دخل في ديته ما دون الدية لدخلت فيها الدية كالنفس ولأن العقل في محل والجناية في محل آخر فلا يدخل أرشها في ديتها كما لو أوضح رأسه فذهب بصره وإن شهر سيفاً على صبي أو بالغ مضعوف أو صاح عليه صيحة عظيمة فزال عقله وجبت عليه الدية لأن ذلك سبب لزوال عقله وإن شهر سيفاً على بالغ متيقظ أو صاح عليه فزال عقله لم تجب عليه الدية لأن ذلك ليس بسبب لزوال عقله.

Dan dalam qaul jadīd beliau berkata: tidak termasuk, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena jika arasy yang kurang dari diyat penuh dimasukkan ke dalam diyat akal, niscaya diyat penuh pun akan termasuk ke dalamnya sebagaimana pada jiwa. Selain itu, akal berada pada satu tempat, sedangkan jinayah terjadi pada tempat lain, maka arasy-nya tidak termasuk dalam diyatnya, sebagaimana jika seseorang melukai kepala lalu penglihatannya hilang.

Apabila seseorang menghunus pedang kepada seorang anak kecil atau orang dewasa yang lemah, atau berteriak keras kepadanya hingga akalnya hilang, maka wajib atasnya membayar diyat, karena hal itu menjadi sebab hilangnya akal. Namun jika ia menghunus pedang kepada orang dewasa yang waspada, atau berteriak kepadanya lalu akalnya hilang, maka tidak wajib diyat, karena hal tersebut bukan sebab hilangnya akal.

فصل: ويجب في الشفتين الدية لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب في كتاب عمرو بن حزم في الشفتين الدية ولأن فيهما جمالاً ظاهراً ومنافع كثيرة لأنهما يقيان الفم من كل ما يؤذيه ويردان الريق وينفخ بهما ويتم بهما الكلام ويجب في إحداهما نصف الدية لأن كل شيئين وجب فيهما الدية وجب في أحدهما: نصف الدية كالعينين والأذنين وإن قطع بعضها وجب فيه من الدية بقدره كما قلنا في الأذن والمارن وإن جنى عليهما فيبستا وجبت عليه الدية لأنه أتلف منافعهما فوجبت عليه الدية كما لو جنى على يدين فشلتا فإن تقلصنا وجبت عليه الحكومة لأن منافعهما لم تبطل وإنما حدث بهما نقص.

PASAL: Dan wajib pada kedua bibir diyat penuh, karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW menulis dalam surat kepada ‘Amr bin Ḥazm bahwa pada kedua bibir terdapat diyat, dan karena pada keduanya terdapat keindahan yang tampak serta banyak manfaat, karena keduanya melindungi mulut dari segala yang menyakitinya, menahan air liur, meniup dengannya, dan menyempurnakan ucapan. Dan wajib pada salah satunya setengah diyat, karena setiap dua anggota yang wajib diyat padanya, maka pada salah satunya wajib setengah diyat seperti dua mata dan dua telinga. Dan jika dipotong sebagian darinya, maka wajib bagian dari diyat sesuai kadarnya sebagaimana telah kami sebutkan dalam pembahasan telinga dan mārīn. Dan jika dijahati hingga keduanya menjadi kering, maka wajib atasnya diyat karena telah merusak manfaat keduanya, maka wajib diyat sebagaimana orang yang menjahati dua tangan hingga keduanya lumpuh. Dan jika keduanya mengerut maka wajib ḥukūmah, karena manfaat keduanya tidak hilang, hanya saja terjadi kekurangan pada keduanya.

فصل: ويجب في اللسان الدية لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب في كتاب عمرو بن حزم وفي اللسان الدية ولأن فيه جمالاً ظاهراً ومنافع فأما الجمال فإنه من أحسن ما يتجمل به الإنسان والدليل عليه ما روى محمد بن علي بن الحسين أن النبي صلى الله عليه وسلم قال للعباس: “أعجبني جمالك يا عم النبي” فقال يا رسول الله وما الجمال في الرجل قال: “اللسان”. ويقال: المرء بأصغريه قلبه ولسانه ويقال ما الإنسان لولا اللسان إلا صورة ممثلة أو بهيمة مهملة وأما المنافع فإنه يبلغ به الأغراض ويقضى به الحاجات وبه تتم العبادات في القراءة والأذكار وبه يعرف ذوق الطعام والشراب ويستعين به في مضغ الطعام

PASAL: Wajib pada lidah diyat, karena telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW menulis dalam surat ‘Amr bin Ḥazm bahwa pada lidah itu diyat. Karena di dalamnya terdapat keindahan yang tampak dan berbagai manfaat. Adapun keindahan, maka lidah termasuk bagian paling indah yang menjadi perhiasan manusia. Dalilnya adalah riwayat dari Muḥammad bin ‘Alī bin al-Ḥusain bahwa Nabi SAW berkata kepada al-‘Abbās: “Aku mengagumi keelokanmu, wahai paman Nabi.” Al-‘Abbās berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu keelokan pada laki-laki?” Beliau menjawab, “Lisān (lidah).” Dikatakan pula: “Manusia itu dengan dua anggota kecilnya: qalb (hatinya) dan lisān-nya (lidah).” Dan dikatakan pula: “Apa arti manusia tanpa lidah selain hanya gambar yang menyerupai manusia atau hewan yang diabaikan.”

Adapun manfaatnya: dengan lidah seseorang dapat menyampaikan maksudnya, memenuhi berbagai kebutuhan, menyempurnakan ibadah melalui bacaan dan zikir, mengenal rasa makanan dan minuman, serta membantunya dalam mengunyah makanan.

وإن جنى عليه فخرس وجبت عليه الدية لأنه أتلف عليه المنفعة المقصودة فأشبه إذا جنى على اليد فشلت أو على العين فعميت وإن ذهب بعض الكلام وجب من الدية بقدره لأن ما ضمن جميعه بالدية ضمن بعضه ببعضها كالأصابع وبقسم على حروف كلامه لأن حروف اللغات مختلفة الإعداد فإن في بعض اللغات ما عدد حروف كلامها أحد وعشرون حرفاً ومنها ما عدد حروفها ستة وعشرون وحروف لغة العرب ثمانية وعشرون حرفاً فإن كان المجني عليه يتكلم بالعربية قسمت ديته على ثمانية وعشرين حرفاً وقال أبو سعيد الأصطخري: يقسم على حروف اللسان وهي ثمانية عشر حرفاً ويسقط حروف الحلق وهي ستة الهمزة والهاء والحاء والعين والغين ويسقط حروف الشفة وهي أربعة الباء والميم والفاء والواو

Dan jika ia melakukan jinayah padanya lalu menyebabkan bisu, maka wajib atasnya membayar diyat karena ia telah merusak manfaat yang menjadi tujuan, maka hal itu menyerupai jika seseorang melakukan jinayah pada tangan lalu lumpuh, atau pada mata lalu menjadi buta. Dan jika sebagian kemampuan bicara hilang, maka wajib membayar diyat sesuai kadarnya, karena sesuatu yang seluruhnya dijamin dengan diyat, maka sebagian darinya dijamin dengan sebagian diyat, sebagaimana jari-jari. Diyat dibagi berdasarkan huruf-huruf ucapan karena huruf-huruf dalam berbagai bahasa berbeda jumlahnya. Sesungguhnya dalam sebagian bahasa jumlah hurufnya dua puluh satu, dalam bahasa lain dua puluh enam, sedangkan huruf bahasa Arab berjumlah dua puluh delapan. Maka jika orang yang menjadi korban bertutur dalam bahasa Arab, maka diyatnya dibagi atas dua puluh delapan huruf. Dan Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī berkata: dibagi atas huruf-huruf lisan yang berjumlah delapan belas huruf, dan dikecualikan huruf-huruf tenggorokan yang berjumlah enam: hamzah, hāʾ, ḥāʾ, ʿain, ghain, dan dikecualikan huruf-huruf bibir yang berjumlah empat: bāʾ, mīm, fāʾ, dan wāw.

والمذهب الأول لأن هذه الحروف وإن كان مخرجها الحلق والشفة إلا أن الذي ينطق بها هو اللسان ولهذا لا ينطق بها الأخرس وإن ذهب حرف من كلامه وعجز به عن كلمة وجب عليه أرش الحرف لأن الضمان يجب لما تلف وإن جنى على لسانه فصار ألثغ وجب عليه دية الحرف الذي ذهب لأن ما بدل به لا يقوم مقام الذاهب وإن جنى عليه فحصل في لسانه ثقل لم يكن أو عجلة لم تكن أو تمتمة لم تجب عليه دية لأن المنفعة باقية وتجب عليه حكومة لما حصل من النقص والشين.

Dan madzhab yang pertama lebih kuat, karena huruf-huruf ini meskipun makhrajnya dari tenggorokan dan bibir, tetapi yang mengucapkannya adalah lisān, dan karena itu orang bisu tidak bisa mengucapkannya. Dan jika satu huruf dari ucapannya hilang dan ia tidak mampu mengucapkan suatu kata karenanya, maka wajib atas pelaku jinayah membayar arasy huruf tersebut, karena jaminan dikenakan atas apa yang rusak. Dan jika ia melakukan jinayah pada lisannya sehingga menjadi latsgh (cadel), maka wajib membayar diyat huruf yang hilang, karena pengganti yang muncul tidak sepadan dengan yang hilang. Dan jika ia melakukan jinayah sehingga timbul pada lisannya tsaqal (berat dalam berbicara) yang sebelumnya tidak ada, atau ‘ajalah (cepat tak jelas) yang sebelumnya tidak ada, atau tatamtu‘ (gagap), maka tidak wajib diyat karena manfaat lisan masih ada, namun wajib membayar ḥukūmah karena terjadi kekurangan dan celaan.

فصل: وإن قطع ربع لسانه فذهب ربع كلامه وجب عليه ربع الدية وإن قطع نصف لسانه وذهب نصف كلامه وجب عليه نصف الدية لأن الذي فات من العضو والكلام سواء في القدر فوجب من الدية بقدر ذلك فإن قطع ربع اللسان فذهب نصف الكلام وجب عليه نصف الدية وإن قطع نصف اللسان وذهب ربع الكلام وجب عليه نصف الدية واختلف أصحابنا في علته فمنهم من قال العلة فيه أن ما يتلف من اللسان مضمون وما يذهب من الكلام مضمون وقد اجتمعا فوجب أكثرهما

PASAL: Jika ia memotong seperempat lidah seseorang lalu hilang seperempat kemampuannya berbicara, maka wajib atasnya seperempat diyat. Jika ia memotong separuh lidah dan hilang separuh kemampuannya berbicara, maka wajib atasnya separuh diyat, karena yang hilang dari anggota tubuh dan dari kemampuan berbicara sama kadarnya, maka wajib diyat sesuai kadar tersebut. Jika ia memotong seperempat lidah namun yang hilang adalah separuh kemampuan berbicara, maka wajib atasnya separuh diyat. Jika ia memotong separuh lidah namun yang hilang hanya seperempat kemampuan berbicara, maka wajib atasnya tetap separuh diyat. Para sahabat kami berselisih pendapat tentang illat-nya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa sebabnya adalah: apa yang rusak dari lidah itu dijamin, dan apa yang hilang dari kemampuan berbicara juga dijamin, maka ketika keduanya berkumpul, wajib membayar yang lebih besar di antara keduanya.

وقال أبو إسحاق الاعتبار باللسان إلا أنه إذا قطع ربع اللسان فذهب نصف الكلام دل ذهاب نصف الكلام على شلل ربع آخر من اللسان فوجب عليه نصف الدية ربعها بالقطع وربعها بالشلل فإن قطع ربع اللسان وذهب نصف الكلام وقطع آخر ما بقي من اللسان وجب عليه على تعليل الأول ثلاثة أرباع الدية اعتباراً بما بقي من اللسان ويجب عليه على تعليل أبي إسحاق نصف الدية وحكومة لأنه قطع من اللسان نصفاً صحيحاً وربعاً أشل

Dan Abū Isḥāq berkata: yang menjadi tolok ukur adalah lidah, hanya saja jika seseorang memotong seperempat lidah lalu hilang separuh kemampuan berbicara, maka hilangnya separuh kemampuan itu menunjukkan bahwa seperempat lidah lainnya menjadi lumpuh, sehingga wajib atasnya membayar setengah diyat: seperempat karena pemotongan dan seperempat karena kelumpuhan. Jika ia memotong seperempat lidah lalu hilang separuh kemampuan bicara, kemudian ia memotong sisa lidah yang masih ada, maka menurut ta‘līl pendapat pertama wajib atasnya tiga perempat diyat dengan mempertimbangkan sisa lidah yang masih ada. Dan wajib atasnya menurut ta‘līl Abū Isḥāq adalah setengah diyat dan ḥukūmah, karena ia telah memotong separuh lidah yang masih sehat dan seperempat yang sudah lumpuh.

وإن قطع واحد نصف لسانه وذهب ربع الكلام وجاء الثاني وقطع الباقي وجب عليه على تعليل الأول ثلاثة أرباع الدية اعتباراً بما ذهب من الكلام ويجب عليه على تعليل أبي إسحاق نصف الدية اعتباراً بما قطع من اللسان وإن قطع نصف لسانه فذهب نصف كلامه فاقتص منه فذهب نصف كلامه فقد استوفى المجني عليه حقه وإن ذهب ربع كلامه أخذ المجني عليه مع القصاص ربع الدية حقه فإن ذهب بالقصاص ثلاثة أرباع كلامه لم يضمن الزيادة لأنه ذهب بقود مستحق.

Jika seseorang memotong separuh lidah lalu hilang seperempat kemampuan bicara, kemudian orang kedua datang dan memotong sisa lidah yang ada, maka menurut ta‘līl pendapat pertama, wajib atasnya tiga perempat diyat dengan mempertimbangkan hilangnya kemampuan bicara. Dan wajib atasnya menurut ta‘līl Abū Isḥāq adalah setengah diyat dengan mempertimbangkan bagian lidah yang dipotong.

Jika seseorang memotong separuh lidah dan hilang separuh kemampuan bicara, lalu dilakukan qiṣāṣ terhadapnya dan menyebabkan hilangnya separuh kemampuan bicara pelaku, maka korban telah menerima haknya secara penuh. Jika yang hilang dari pelaku hanya seperempat kemampuan bicara, maka korban berhak mengambil tambahan seperempat diyat sebagai haknya. Namun jika akibat qiṣāṣ yang hilang adalah tiga perempat kemampuan bicara pelaku, maka kelebihan itu tidak wajib diganti, karena hilangnya kemampuan bicara tersebut terjadi akibat qiṣāṣ yang memang berhak dilakukan.

فصل: وإن كان لرجل لسان له طرفان فقطع رجل أحد الطرفين فذهب كلامه وجبت عليه الدية وإن ذهب ربعه وجب عليه ربع الدية وإن لم يذهب من الكلام شيء نظرت فإن كانا متساويين في الخلقة فهما كاللسان المشقوق ويجب بقطعهما الدية وبقطع أحدهما: نصف الدية وإن كان أحدهما: تام الخلقة والآخر ناقص الخلقة فالتام هو اللسان الأصلي والآخر خلقة زائدة فإن قطعهما قاطع وجب عليه دية وحكومة وإن قطع التام وجبت عليه دية وإن قطع الناقص وجبت عليه حكومة.

PASAL: Jika seseorang memiliki lidah bercabang dua, lalu seseorang memotong salah satu ujungnya hingga hilang kemampuannya berbicara, maka wajib atas pelaku membayar diyat. Jika yang hilang hanya seperempat kemampuan bicara, maka wajib atasnya seperempat diyat. Jika tidak ada kemampuan bicara yang hilang, maka diperiksa: jika kedua ujung itu sama dalam bentuk penciptaannya, maka keduanya dianggap seperti lidah yang terbelah, sehingga wajib atas pemotongan keduanya diyat penuh, dan jika yang dipotong hanya salah satunya, maka wajib setengah diyat.

Namun jika salah satunya sempurna bentuk penciptaannya dan yang lainnya tidak sempurna, maka yang sempurna adalah lidah asli dan yang lainnya adalah penciptaan tambahan. Maka jika seseorang memotong keduanya, wajib atasnya diyat dan ḥukūmah. Jika yang dipotong adalah yang sempurna, maka wajib atasnya diyat. Jika yang dipotong adalah yang kurang sempurna, maka wajib atasnya ḥukūmah.

فصل: وإن جنى على لسانه فذهب ذوقه فلا يحس بشيء من المذاق وهي خمسة الحلاوة والمرارة والحموضة والملوحة والعذوبة وجبت عليه الدية لأنه أتلف عليه حاسة لمنفعة مقصودة فوجبت عليه الدية كما لو أتلف عليه السمع أو البصر وإن نقص بعض الذوق نظرت فإن كان النقصان لا يتقدر بأن كان يحس بالمذاق الخمس إلا أنه لا يدركها على كما لها وجبت عليه الحكومة لأنه نقص لا يمكن تقدير الأرش فيه فوجبت فيه حكومة وإن كان نقصاً يتقدر بأن لا يدرك أحد المذاق الخمس ويدرك الباقي وجب عليه خمس الدية وإن لم يدرك اثنين وجب عليه خمسان لأنه يتقدر المتلف فيقدر الأرش.

PASAL: Jika seseorang menjatuhkan jinayah pada lidahnya sehingga hilang rasa, sehingga ia tidak dapat merasakan apa pun dari rasa-rasa, padahal rasa itu ada lima: manis, pahit, asam, asin, dan tawar, maka wajib atas pelaku jinayah membayar diyat karena ia telah merusak suatu indra yang memiliki manfaat yang dimaksudkan, maka wajib diyat atasnya sebagaimana jika ia merusak pendengaran atau penglihatan.

Jika sebagian rasa hilang, maka dilihat: jika kekurangan tersebut tidak dapat ditakar, seperti ia masih dapat merasakan kelima rasa namun tidak secara sempurna, maka wajib atas pelaku jinayah membayar ḥukūmah karena itu merupakan kekurangan yang tidak mungkin ditakar arasy-nya, maka wajib padanya ḥukūmah.

Namun jika kekurangan tersebut dapat ditakar, seperti ia tidak dapat merasakan satu dari lima rasa namun masih merasakan sisanya, maka wajib atas pelaku membayar seperlima diyat. Jika ia tidak dapat merasakan dua dari lima rasa, maka wajib dua perlima diyat, karena bagian yang rusak dapat ditakar, maka arasy-nya pun dapat ditakar.

فصل: وإن قطع لسان أخرس فإن كان بقي بعد القطع ذوقه وجبت عليه الحكومة لأنه عضو بطلت منفعته فضمن بالحكومة كالعين القائمة واليد الشلاء وإن ذهب ذوقه بالقطع وجبت عليه دية كاملة لاتلاف حاسة الذوق وإن قطع لسان طفل فإن كان قد تحرك بالبكاء أو بما يعبر عنه اللسان كقوله بابا وماما وجبت عليه الدية لأنه لسان ناطق وإن لم يكن تحرك بالبكاء ولا بما يعبر عنه اللسان فإن كان بلغ حداً يتحرك اللسان فيه بالبكاء والكلام وجبت الحكومة لأن الظاهر أنه لم يكن ناطقاً لأنه لو كان ناطقاً لتحرك بما يدل عليه وإن قطعه قبل أن يمضي عليه زمان يتحرك فيه اللسان وجبت عليه الدية لأن الظاهر السلامة فضمن كما تضمن أطرافه وإن لم يظهر فيها بطش.

PASAL: Jika seseorang memotong lidah orang bisu, maka jika setelah dipotong masih tersisa rasa (pada lidahnya), wajib atas pelakunya ḥukūmah, karena lidah tersebut adalah anggota tubuh yang telah hilang manfaatnya, maka dijamin dengan ḥukūmah seperti mata yang masih ada namun tidak berfungsi atau tangan yang lumpuh. Jika rasa pada lidah hilang karena pemotongan itu, maka wajib atas pelakunya diyat sempurna karena telah merusak indera pengecap.

Jika seseorang memotong lidah seorang anak kecil, maka jika ia telah bersuara menangis atau mengucapkan sesuatu yang biasa diungkapkan oleh lidah seperti kata “bābā” dan “māmā”, maka wajib atas pelakunya diyat, karena lidah tersebut dianggap sudah bisa berbicara. Jika belum bersuara menangis dan belum mengucapkan sesuatu yang biasa diungkapkan oleh lidah, maka jika anak tersebut telah sampai pada usia yang secara umum lidah mulai bisa bergerak untuk menangis dan berbicara, maka wajib ḥukūmah, karena secara lahiriah tampak bahwa anak itu belum bisa berbicara, sebab jika bisa tentu sudah menunjukkan tanda-tandanya.

Jika lidah anak tersebut dipotong sebelum mencapai usia di mana lidah biasanya mulai bergerak, maka wajib atas pelakunya diyat, karena secara lahiriah diasumsikan kondisi lidahnya sehat, maka pelakunya menanggung sebagaimana menanggung anggota tubuh lain meskipun belum tampak adanya aktivitas dari anggota tubuh tersebut.

فصل: وإن قطع لسان رجل فقضى عليه بالدية ثم نبت لسانه فقد قال فيمن قلع سن من ثغر ثم نبت سنه أنه على قولين: أحدهما: يرد الدية والثاني: لا يرد فمن أصحابنا من جعل اللسان أيضاً على قولين وهو قول أبي إسحاق لأنه إذا كان في السن التي لا تنبت في العادة إذا نبتت قولان وجب أن يكون في اللسان أيضاً قولان ومنهم من قال لا يرد الدية في اللسان قولاً واحداً وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة والفرق بينه وبين السن أن في جنس السن ما يعود وليس في جنس اللسان ما يعود فوجب أن يكون ما عاد هبة مجددة فلم يسقط به بدل ما أتلف عليه وإن جنى على لسانه فذهب كلامه وقضى عليه بالدية ثم عاد الكلام وجب رد الدية قولاً واحداً لأن الكلام إذا ذهب لم يعد فلما عاد علمنا أنه لم يذهب وإنما امتنع لعارض.

PASAL: Jika seseorang memotong lidah seseorang lalu dijatuhi kewajiban membayar diyat, kemudian lidah itu tumbuh kembali, maka telah disebutkan dalam kasus seseorang yang mencabut gigi dari rongga mulut lalu giginya tumbuh kembali, bahwa ada dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa diyat harus dikembalikan, dan pendapat kedua tidak perlu dikembalikan. Maka sebagian dari kalangan kami menjadikan kasus lidah juga memiliki dua pendapat, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena jika dalam kasus gigi—yang biasanya tidak tumbuh kembali—namun ketika tumbuh kembali ada dua pendapat, maka dalam kasus lidah pun seharusnya ada dua pendapat.

Dan sebagian dari mereka berpendapat bahwa tidak wajib mengembalikan diyat pada kasus lidah menurut satu pendapat saja, dan ini adalah pendapat Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah. Perbedaan antara lidah dan gigi adalah bahwa dalam jenis gigi ada yang bisa tumbuh kembali, sedangkan dalam jenis lidah tidak ada yang bisa tumbuh kembali, maka sesuatu yang tumbuh kembali itu dianggap sebagai karunia baru sehingga tidak menggugurkan ganti rugi atas yang telah rusak.

Dan jika seseorang menjatuhkan jinayah pada lidah seseorang hingga hilang kemampuan bicaranya lalu dijatuhi diyat, kemudian kemampuan bicara itu kembali, maka wajib mengembalikan diyat menurut satu pendapat saja. Karena kemampuan bicara jika benar-benar hilang, maka tidak akan kembali. Maka ketika ia kembali, kita ketahui bahwa kemampuan bicara itu sebenarnya tidak hilang, melainkan tertahan oleh suatu penghalang.

فصل: ويجب في كل سن خمس من الإبل لما روى عمرو بن حزم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن وفي السن خمس من الإبل والأنياب والأضراس والثنايا والرباعيات في ذلك سواء للخبر ولأنه جنس ذو عدد فلم تختلف ديتها باختلاف منافعها كالأصابع وإن قلع ما ظهر وخرج من لحم اللثة وبقي السنخ لزمه دية السن لأن المنفعة والجمال فيما ظهر فكملت ديته كما لو قطع الأصابع دون الكف فإن عاد هو أو غيره وقلع السنخ المغيب وجبت عليه حكومة لأنه تابع لما ظهر فوجبت فيه الحكومة كما لو قطع الكف بعدما قطع الأصابع

PASAL: Wajib pada setiap gigi diyat lima ekor unta, berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Ḥazm bahwa Rasulullah SAW menulis kepada penduduk Yaman: “Pada setiap gigi diyatnya lima ekor unta.” Gigi taring, geraham, gigi seri, dan gigi rabā‘iyyāt semuanya sama dalam hal ini berdasarkan hadis tersebut. Hal itu karena ia termasuk jenis yang memiliki jumlah tertentu, sehingga tidak berbeda diyatnya meskipun berbeda manfaatnya, sebagaimana jari-jari.

Jika yang dicabut adalah bagian gigi yang tampak dan keluar dari daging gusi, sedangkan as-sanakh (akar gigi) masih tertinggal, maka wajib atasnya diyat gigi, karena manfaat dan keindahan terdapat pada bagian yang tampak, sehingga diyatnya sempurna, sebagaimana halnya bila jari-jari dipotong tanpa telapak tangan.

Jika ia atau orang lain kembali dan mencabut akar gigi yang tersembunyi, maka wajib atasnya ḥukūmah, karena ia adalah bagian yang mengikuti bagian yang tampak, sehingga wajib padanya ḥukūmah, sebagaimana bila seseorang memotong telapak tangan setelah memotong jari-jarinya.

وإن قلع السن من أصلها مع السنخ لم يلزمه لما تحتها من السنخ حكومة لأن السنخ تابع لما ظهر فدخل في ديته كالكف إذا قطع مع الأصابع وإن كسر بعض السن طولاً أو عرضاً وجب عليه من دية السن بقدر ما كسر منها من النصف أو الثلث أو الربع لأن ما وجب في جميعه الدية وجب في بعضه من الدية بقدره كالأصابع ويعتبر القدر من الظاهر دون السنخ المغيب لأن الدية تكمل بقطع الظاهر فاعتبر المكسور منه فإن ظهر السنخ المغيب بعلة اعتبر القدر المكسور بما كان ظاهراً قبل العلة لا بما ظهر بالعلة لأن الدية تجب فيما كان ظاهراً فاعتبر القدر المكسور منه.

Dan jika mencabut gigi dari pangkalnya bersama sanakh, maka tidak wajib membayar hukumah untuk sanakh yang berada di bawahnya, karena sanakh itu mengikuti apa yang tampak, maka masuk dalam diyatnya sebagaimana telapak tangan jika terpotong bersama jari-jari. Dan jika mematahkan sebagian gigi secara memanjang atau melintang, maka wajib atasnya bagian dari diyat gigi sesuai kadar yang patah, setengah atau sepertiga atau seperempat, karena sesuatu yang wajib diyat secara keseluruhan, maka wajib pula sebagian dari diyatnya jika yang rusak hanya sebagian, sebagaimana jari-jari. Dan kadar itu ditentukan dari bagian yang tampak, bukan dari sanakh yang tersembunyi, karena diyat menjadi sempurna dengan memotong bagian yang tampak, maka yang dipertimbangkan adalah bagian yang patah dari yang tampak. Jika sanakh yang tersembunyi menjadi tampak karena suatu penyakit, maka yang dipertimbangkan adalah bagian yang patah berdasarkan apa yang sebelumnya tampak sebelum adanya penyakit, bukan berdasarkan apa yang tampak karena penyakit, karena diyat itu wajib atas apa yang tampak, maka yang dipertimbangkan adalah bagian yang patah darinya.

فصل: وإن قلع سناً فيها شق أو أكلة فإن لم يذهب شيء من أجزائها وجبت فيها دية السن كاليد المريضة وإن ذهب من أجزائها شيء سقط من ديتها بقدر الذاهب ووجب الباقي فإن كانت إحدى ثنيتيه العلياوين أو السفلاوين أقصر من الأخرى فقلع القصير نقص من ديتها بقدر ما نقص منها لأنهما لا يختلفان في العادة فإذا اختلفا كانت القصيرة ناقصة فلم تكمل ديتها

PASAL: Jika seseorang mencabut gigi yang terdapat retakan atau uklah (keropos), maka jika tidak ada bagian darinya yang hilang, wajib atasnya diyat gigi tersebut sebagaimana halnya tangan yang sakit. Namun jika ada bagian darinya yang hilang, maka gugur dari diyatnya sebesar bagian yang hilang itu, dan sisanya tetap wajib dibayar. Jika salah satu dari dua gigi seri atas atau bawah lebih pendek dari yang lainnya, lalu yang dicabut adalah yang pendek, maka gugur dari diyatnya sebesar kekurangan yang ada padanya, karena pada umumnya keduanya tidak berbeda, maka jika berbeda, yang pendek dianggap kurang, sehingga tidak sempurna diyatnya.

وإن قلع سناً مضطربة نظرت فإن كانت منافعها باقية مع حركتها من المضغ وحفظ الطعام والريق وجبت فيها الدية لبقاء المنفعة والجمال وإن ذهبت منافعها وجبت فيها الحكومة لأنه لم يبق غير الجمال فلم يجب غير الحكومة كاليد الشلاء وإن نقصت منافعها فذهب بعضها وبقي البعض ففيه قولان: أحدهما: يجب فيها الدية لأن الجمال تام والمنفعة باقية وإن كانت ضعيفة فكملت ديتها كما لو كانت ضعيفة من أصل الخلقة

Dan jika seseorang mencabut gigi yang goyah, maka diperiksa: jika manfaatnya masih tetap meskipun bergerak—seperti untuk mengunyah, menjaga makanan, dan air liur—wajib atasnya diyat karena manfaat dan keindahannya masih ada. Namun jika manfaatnya telah hilang, maka wajib atasnya ḥukūmah, karena yang tersisa hanyalah keindahan, sehingga tidak wajib selain ḥukūmah, sebagaimana tangan yang lumpuh. Dan jika manfaatnya berkurang—sebagian hilang dan sebagian masih ada—maka terdapat dua pendapat: salah satunya, wajib atasnya diyat karena keindahannya tetap dan manfaatnya masih ada, meskipun lemah, maka sempurna diyatnya sebagaimana jika ia memang lemah sejak asal penciptaannya.

والثاني: يجب فيها الحكومة لأن المنفعة قد نقصت ويجهل قدر الناقص فوجب فيها الحكومة وإن ضرب سنه فاصفرت أو احمرت وجبت فيها الحكومة لأن منافعها باقية وإنما نقص بعض جمالها فوجب فيها الحكومة فإن ضربها فاسودت فقد قال في موضع تجب فيها الحكومة وقال في موضع: تجب الدية وليست على قولين وإنما هي على اختلاف حالين فالذي قال تجب فيها الدية إذا ذهبت المنفعة والذي قال تجب فيها الحكومة إذا لم تذهب المنفعة وذكر المزني أنها على قولين واختار أنه يجب فيها الحكومة والصحيح هو الطريق الأول.

Dan pendapat kedua: wajib atasnya ḥukūmah karena manfaatnya telah berkurang dan tidak diketahui kadar kekurangan tersebut, maka wajib padanya ḥukūmah. Jika seseorang memukul giginya lalu berubah menjadi kekuningan atau kemerahan, maka wajib padanya ḥukūmah, karena manfaatnya masih ada dan yang berkurang hanyalah sebagian dari keindahannya, maka wajib padanya ḥukūmah. Jika dipukul hingga menjadi kehitaman, maka terdapat pernyataan dalam satu tempat bahwa wajib padanya ḥukūmah, dan dalam tempat lain: wajib padanya diyat. Itu bukanlah dua pendapat, melainkan perbedaan dua keadaan. Maka yang mengatakan wajib diyat adalah ketika manfaatnya hilang, dan yang mengatakan wajib ḥukūmah adalah ketika manfaatnya tidak hilang. Al-Muzanī menyebutkan bahwa itu adalah dua pendapat, dan ia memilih bahwa yang wajib adalah ḥukūmah. Namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama.

فصل: وإذا قلع أسنان رجل كلها نظرت فإن قلع واحدة بعد واحدة لكل سن خمس من الإبل فيجب في أسنانه وهي اثنان وثلاثون سناً مائة وستون بعيراً وإن قلعها في دفعة واحدة ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجب عليه أكثر من دية لأنه جنس ذو عدد فلم يضمن بأكثر من دية كأصابع اليدين والثاني: أنه يجب في كل سن خمس من الإبل وهو المذهب لحديث عمرو بن حزم ولأن ما ضمن ديته بالجناية إذا انفرد لم تنقص ديته بانضمام غيره إليه كالموضحة.

PASAL: Apabila seseorang mencabut seluruh gigi seorang laki-laki, maka diperhatikan: jika ia mencabut satu per satu, maka untuk setiap gigi wajib lima ekor unta. Maka wajib atasnya karena gigi yang berjumlah tiga puluh dua sebanyak seratus enam puluh ekor unta. Dan jika ia mencabut semuanya sekaligus dalam satu waktu, maka ada dua wajah:

Pertama: tidak wajib atasnya lebih dari satu diyat, karena ia adalah satu jenis yang terdiri dari beberapa bagian, maka tidak dijamin lebih dari satu diyat, seperti jari-jari tangan.

Kedua: wajib atas setiap gigi lima ekor unta, dan inilah al-madzhab, berdasarkan hadis ‘Amr bin Ḥazm, dan karena sesuatu yang dijamin diyatnya secara terpisah tidak berkurang diyatnya hanya karena bergabungnya yang lain kepadanya, seperti luka muwaḍḍiḥah.

فصل: إذا لمع سن صغير لم يثغر لم يلزمه شيء في الحال لأن العادة في سنه أن يعود وينبت فلم يلزمه شيء في الحال كما لو نتف شعره فإن نبت له مثلها في مكانها لم يلزمه ديتها وهل تلزمه حكومة فيه وجهان: أحدهما: لا تلزمه كما لو نتف شعره فنبت مثله والثاني: تلزمه حكومة الجرح الذي حصل بالقلع وإن لم تنبت له ووقع الإياس من نباتها وجبت ديتها لأنا تحققنا إتلاف السن وإن مات قبل الإياس من نباتها ففيه قولان: أحدهما: يجب عليه دية السن لأنه قلع سناً لم تعد

PASAL: Jika gigi anak kecil yang belum tumbuh penuh bersinar (muncul) lalu tercabut, maka tidak wajib apa-apa atas pelakunya pada saat itu, karena pada usia tersebut gigi biasanya akan tumbuh kembali, sehingga tidak wajib diyat saat itu sebagaimana jika seseorang mencabut rambutnya. Jika kemudian tumbuh gigi yang serupa di tempatnya, maka tidak wajib diyat. Adapun apakah wajib ḥukūmah karena luka akibat pencabutan tersebut, terdapat dua pendapat: pertama, tidak wajib sebagaimana jika mencabut rambut lalu tumbuh kembali yang serupa; kedua, wajib ḥukūmah karena luka yang timbul akibat pencabutan. Namun jika tidak tumbuh kembali dan telah dipastikan tidak akan tumbuh, maka wajib diyat karena diyakini bahwa gigi tersebut telah rusak secara permanen. Jika anak tersebut meninggal sebelum dipastikan tidak akan tumbuh kembali, maka terdapat dua pendapat: pertama, wajib diyat gigi karena gigi telah dicabut dan tidak tumbuh kembali.

والثاني: لا يجب لأن الظاهر أنها تعود وإنما مات بموته وإن نبتت له سن خارجة عن صف الأسنان فإن كانت بحيث ينتفع بها وجبت ديتها وإن كانت بحيث لا ينتفع بها وجبت الحكومة للشين الحاصل بخروجها عن سمت الأسنان فإن نبتت أقصر من نظيرتها وجب عليه من ديتها بقدر ما نقص لأنه نقص بجنايته فصار كما لو كسر بعض سن وإن نبت أطول منها فقد قال بعض أصحابنا لا يلزمه شيء

Dan pendapat kedua: tidak wajib diyat, karena yang tampak (secara lahir) adalah bahwa gigi tersebut akan tumbuh kembali, dan kematian terjadi bukan karena pencabutan gigi tersebut. Jika kemudian tumbuh gigi baru namun keluar dari deretan gigi, maka jika gigi tersebut masih bisa dimanfaatkan, wajib diyat atasnya. Namun jika tidak dapat dimanfaatkan, wajib ḥukūmah karena adanya cacat akibat keluarnya dari barisan gigi. Jika tumbuhnya lebih pendek dari gigi yang sepadan, maka wajib atasnya bagian dari diyat sesuai kadar kekurangan, karena kekurangan itu terjadi karena perbuatannya, sehingga seperti orang yang mematahkan sebagian gigi. Dan jika tumbuhnya lebih panjang dari gigi yang sepadan, maka sebagian ulama kami mengatakan: tidak wajib apa pun atasnya.

وإن حصل بها شين لأن الزيادة لا تكون من الجناية قال الشيخ الإمام: ويحتمل عندي أنه تلزمه الحكومة للشين الحاصل بطولها كما تلزمه في الشين الحاصل بقصرها لأن الظاهر أن الجميع حصل بسبب قلع السن وإن نبتت له سن صفراء أوسن خضراء وجبت عليه الحكومة لنقصان الكمال فإن قلع سناً من أثغر وجبت ديتها في الحال لأن الظاهر أنه لا ينبت له مثلها فإن أخذ الدية ثم نبت له مثلها في مكانها ففيه قولان: أحدهما: يجب رد الدية لأنه عاد له مثلها فلم يستحق بدلها كالذي لم يثغر والثاني: أنه لا يجب رد الدية لأن العادة جرت في سن من ثغر أنه لا يعود فإذا عادت كان ذلك هبة مجددة فلا يسقط به ضمان ما أتلف عليه.

Dan jika muncul padanya cacat karena gigi yang tumbuh lebih panjang, maka hal itu tidak berasal dari tindakan jinayah. Namun as-syaikh al-imām berkata: Menurutku memungkinkan bahwa ia wajib membayar ḥukūmah karena cacat yang terjadi akibat panjangnya gigi, sebagaimana ia wajib membayar karena cacat yang timbul akibat pendeknya, karena yang tampak adalah bahwa semuanya disebabkan oleh pencabutan gigi. Dan jika tumbuh gigi berwarna kuning atau hijau, maka wajib atasnya ḥukūmah karena berkurangnya kesempurnaan. Jika seseorang mencabut gigi dari orang yang sudah athghara (gigi permanennya sudah tumbuh), maka wajib diyat saat itu juga karena yang tampak adalah bahwa tidak akan tumbuh gigi semisal di tempatnya. Jika ia telah mengambil diyat lalu tumbuh gigi semisal di tempatnya, maka ada dua pendapat: pertama, wajib mengembalikan diyat karena gigi telah tumbuh kembali semisalnya, maka ia tidak berhak mendapat ganti sebagaimana anak yang belum tumbuh gigi tetap; kedua, tidak wajib mengembalikan diyat karena kebiasaan menunjukkan bahwa gigi orang yang telah tsaghara tidak akan tumbuh kembali, maka jika tumbuh kembali maka itu dianggap sebagai karunia baru, sehingga tidak menggugurkan kewajiban ganti atas yang telah ia rusak.

فصل: ويجب في اللحيين الدية لأن فيهما جمالاً وكمالاً ومنفعة كاملة فوجبت فيهما الدية كالشفتين وإن قلع أحدهما: وتماسك الآخر وجب عليه نصف الدية لأنهما عضوان تجب الدية فيهما فوجب نصف الدية في أحدهما: كالشفتين واليدين وإن قلع اللحيين مع الأسنان وجب عليه دية اللحيين ودية الأسنان ولا تدخل دية أحدهما: في الآخر لأنهما جنسان مختلفان فيجب في كل واحد منهما دية مقدرة فلم تدخل دية إحداهما في دية الأخرى كالشفتين مع الأسنان وتخالف الكف مع الأصابع فإن الكف تابع للأصابع في المنفعة واللحيان أصلان في الجمال والمنفعة فهما كالشفتين مع الأسنان.

PASAL: Wajib pada kedua rahang denda penuh (diyat), karena padanya terdapat keindahan, kesempurnaan, dan manfaat yang sempurna, maka wajib diyat atas keduanya sebagaimana pada kedua bibir. Jika ia mencabut salah satunya dan yang lainnya masih dapat saling menahan, maka wajib atasnya setengah diyat, karena keduanya adalah dua anggota tubuh yang masing-masing wajib diyat, maka wajib atas salah satunya setengah diyat, sebagaimana kedua bibir dan kedua tangan. Jika ia mencabut kedua rahang beserta gigi-giginya, maka wajib atasnya diyat untuk kedua rahang dan diyat untuk gigi-gigi, dan tidak masuk salah satunya ke dalam yang lain, karena keduanya adalah dua jenis yang berbeda, maka wajib atas masing-masing satu diyat yang ditentukan, maka tidak masuk diyat salah satunya ke dalam diyat yang lain sebagaimana kedua bibir dan gigi-gigi. Dan berbeda dengan telapak tangan dan jari-jari, karena telapak tangan adalah pengikut jari-jari dalam hal manfaat, sedangkan kedua rahang adalah asal dalam hal keindahan dan manfaat, maka keduanya seperti kedua bibir dengan gigi.

فصل: ويجب في اليدين الدية لما روى معاذ رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “في اليدين دية”. ويجب في إحداهما نصف الدية لما روي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب عمرو بن حزم حين أمره على نجران في اليد خمسون من الإبل واليد التي تجب فيها الدية هي الكف فإن قطع الكف وجبت الدية وإن قطع من نصف الذراع أومن المرفق أومن العضد أومن المنكب وجبت الدية في الكف ووجب فيما زاد الحكومة

PASAL: Wajib pada dua tangan diyat, sebagaimana diriwayatkan dari Mu‘āż RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Pada dua tangan ada diyat.” Dan wajib pada salah satunya setengah diyat, karena diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menulis kepada ‘Amr bin Ḥazm ketika mengangkatnya sebagai gubernur di Najrān: “Pada tangan lima puluh ekor unta.” Tangan yang wajib dibayar diyat atasnya adalah kaf (telapak tangan). Jika telapak tangan dipotong maka wajib diyat. Dan jika dipotong dari pertengahan lengan, atau dari siku, atau dari lengan atas, atau dari bahu, maka wajib diyat pada telapak tangan dan wajib ḥukūmah atas bagian yang melebihi.

وقال أبو عبيد بن حرب: الذي تجب فيه الدية هو اليد من المنكب لأن اليد اسم للجميع والمذهب الأول لأن اسم اليد يطلق على الكف والدليل عليه قوله تعالى: {وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا} والمراد به الكف ولأن المنفعة المقصودة من اليد هو البطش والأخذ والدفع وهو بالكف وما زاد تابع للكف فوجبت الدية في الكف والحكومة فيما زاد ويجب في كل أصبع عشر الدية

Dan Abū ʿUbayd ibn Ḥarb berkata: yang wajib diyat padanya adalah tangan dari mankib (bahu), karena istilah yad (tangan) mencakup semuanya. Namun pendapat yang mu‘tamad adalah pendapat pertama, karena istilah yad digunakan untuk kaf (telapak tangan). Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā: {wa as-sāriqu wa as-sāriqatu faqṭaʿū aydiyahumā} dan yang dimaksud adalah telapak tangan. Dan karena manfaat utama dari tangan adalah untuk memegang, mengambil, dan menahan, yang semuanya dilakukan dengan telapak tangan, sedangkan selainnya adalah pengikut dari telapak tangan. Maka wajib diyat pada telapak tangan dan ḥukūmah pada bagian yang melebihi. Dan wajib pada setiap jari sepersepuluh diyat.

لما روى أبو بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن في كل أصبع من الأصابع من اليد والرجل عشر من الإبل ولا يفضل إصبع على إصبع لما ذكرناه من الخبر ولما روى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده مسنداً: “الأصابع كلها سواء عشر عشر من الإبل”. ولأنه جنس ذو عدد تجب فيه الدية فلم تختلف ديتها باختلاف منافعها كاليدين ويجب في كل أنملة من غير الإبهام ثلث دية الأصبع وفي كل أنملة من الإبهام نصف دية الأصبع لأنه لما قسمت دية اليد على عدد الأصابع وجب أن يقسم دية الأصبع على عدد الأنامل.

Karena diriwayatkan oleh Abū Bakr bin Muḥammad bin ʿAmr bin Ḥazm dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW menulis kepada penduduk Yaman: “Pada setiap jari dari jari-jari tangan dan kaki ada sepuluh unta.” Dan tidak ada kelebihan antara satu jari dengan jari lainnya, berdasarkan hadis tersebut dan juga berdasarkan riwayat dari ʿAmr bin Shuʿayb dari ayahnya dari kakeknya secara musnad: “Semua jari itu sama, masing-masing sepuluh ekor unta.” Dan karena jari-jari adalah satu jenis yang memiliki jumlah tertentu yang dikenakan diyat, maka diyatnya tidak berbeda karena perbedaan manfaatnya, sebagaimana dua tangan. Dan wajib pada setiap anmulah dari selain ibu jari sepertiga diyat jari, dan pada setiap anmulah dari ibu jari setengah diyat jari. Karena ketika diyat tangan dibagi menurut jumlah jari, maka wajib juga membagi diyat jari menurut jumlah anmulah-nya.

فصل: وإن جنى على يد فشلت أو على أصبع فشلت أو على أنملة فشلت وجب عليه ما يجب في قطعها لأن المقصود بها هو المنفعة فوجب في إتلاف منفعتها ما وجب في إتلافها وإن قطع يد شلاء أو إصبعاً شلاء أو أنملة شلاء وجب عليها الحكومة لأن إتلاف جمال من غير منفعة.

PASAL: Jika seseorang melakukan jinayat pada tangan lalu lumpuh, atau pada jari lalu lumpuh, atau pada ruas jari lalu lumpuh, maka wajib atasnya membayar sebagaimana kewajiban pada pemotongan anggota tersebut, karena yang menjadi maksud dari anggota itu adalah manfaatnya, maka wajib atas hilangnya manfaat sebagaimana wajib atas hilangnya anggota. Dan jika ia memotong tangan yang lumpuh, atau jari yang lumpuh, atau ruas jari yang lumpuh, maka wajib atasnya ḥukūmah, karena itu merupakan penghilangan keindahan tanpa manfaat.

فصل: ويجب في الرجلين الدية لما روى معاذ رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في الرجلين: “ويجب في إحداهما نصف الدية”. لما روى عمرو بن حزم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “في الرجل نصف دية”. والرجل التي يجب في قطعها نصف الدية فإن قطع من الساق أومن الركبة أومن بعض الفخذ أومن أصل الفخذ وجبت الدية في القدم ووجبت الحكومة فيما زاد لما ذكرناه في اليد ويجب في كل أصبع من أصابع الرجل عشر الدية لما ذكرناه في اليد من حديث عمرو بن حزم ويجب في كل أنملة من غير الإبهام ثلث دية الأصبع وفي كل أنملة من الإبهام نصف دية الإصبع لما ذكرناه في اليد

PASAL: Wajib pada dua kaki diyat, sebagaimana diriwayatkan dari Muʿāż RA bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang dua kaki: “Wajib pada keduanya diyat.” Dan wajib pada salah satunya setengah diyat, berdasarkan riwayat dari ʿAmr bin Ḥazm bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada satu kaki setengah diyat.” Kaki yang apabila dipotong dikenakan setengah diyat adalah qadam (telapak kaki). Maka jika dipotong dari betis, atau dari lutut, atau dari sebagian paha, atau dari pangkal paha, maka wajib diyat pada telapak kaki dan wajib ḥukūmah atas bagian yang melebihi, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan tangan. Dan wajib pada setiap jari kaki sepersepuluh diyat, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis ʿAmr bin Ḥazm tentang tangan. Dan wajib pada setiap anmulah dari selain ibu jari sepertiga diyat jari, dan pada setiap anmulah dari ibu jari setengah diyat jari, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan tangan.

فصل: ويجب في قدم الأعرج ويد الأعسم إذا كانتا سليمتين الدية لأن العرج إنما يكون من قصر إحدى الساقين وذلك ليس بنقص في القدم والعسم لقصر العضد أو الذراع أو اعوجاج الرسغ وذلك ليس بنقص في الكف فلم يمنع كمال الدية في القدم والكف كذكر الخصي وأذن الأصم وأنف الأخشم.

PASAL: Wajib pada kaki orang pincang dan tangan orang kidal jika keduanya dalam keadaan sehat adalah diyat penuh, karena pincang itu biasanya disebabkan oleh pendeknya salah satu betis, dan itu bukan kekurangan pada kaki. Adapun kidal itu karena pendeknya lengan atas atau bawah, atau karena pergelangan tangan yang bengkok, dan itu bukan kekurangan pada telapak tangan. Maka hal itu tidak menghalangi kesempurnaan diyat pada kaki dan telapak tangan, sebagaimana zakar orang yang dikhitan, telinga orang tuli, dan hidung orang pesek.

فصل: إذا كسر الساعد فجبره مجبر أو خلع كفه فاعوجت ثم جبرها فجبرت وعادت مستقيمة وجبت الحكومة لأنه حصل به نقص وإن لم تعد إلى ما كانت الحكومة أكثر لأن النقص أكثر فإن قال الجاني أنا أعيد خلعها وأعيدها مستقيمة منع من ذلك لأنه استئناف جناية أخرى فإن كابر وخلعه فعاد مستقيماً وجب عليه بهذا الخلع حكومة ولا يسقط ما وجب من الحكومة الأولى لأنها حكومة استقرت بالجناية وما حصل من الاستقامة حصل بمعنى آخر فلم يسقط ما وجب ويخالف إذا جنى على العين فذهب الضوء ثم عاد لأنا نتيقن أن الضوء لم يذهب.

PASAL: Jika seseorang mematahkan lengan bawah (sāʿid), lalu ada tukang pengobatan yang memasangnya kembali, atau memisahkan telapak tangan hingga menjadi bengkok lalu dipasang kembali hingga lurus seperti semula, maka wajib membayar ḥukūmah karena telah terjadi kekurangan. Dan jika tidak kembali seperti sediakala, maka ḥukūmah-nya lebih besar karena kekurangannya lebih banyak.

Jika pelaku berkata, “Aku akan memisahkannya kembali dan mengembalikannya agar lurus,” maka tidak diperbolehkan karena itu adalah jinayah yang baru. Jika ia memaksa dan memisahkannya lalu kembali lurus, maka wajib atasnya ḥukūmah karena pemisahan tersebut, dan tidak gugur ḥukūmah yang pertama karena telah ditetapkan dengan jinayah. Dan apa yang terjadi berupa kelurusan adalah karena sebab lain, maka tidak menggugurkan yang telah wajib.

Hal ini berbeda dengan kasus jika seseorang menjahati mata lalu cahaya penglihatan hilang, kemudian kembali, maka diyat tidak wajib karena kita meyakini bahwa cahaya penglihatan tersebut tidak benar-benar hilang.

فصل: وإن كان لرجل كفان من ذراع فإن كان ليبطش بواحد منهما لم يجب فيهما قود ولا دية لأن منافعهما قد بطلت فصارا كاليد الشلاء ويجب فيهما حكومة لأن فيهما جمالاً وإن كان أحدهما: يبطش دون الآخر فالذي يبطش به هو الأصل فيجب فيه القود أو الدية والآخر خلقة زائدة ويجب فيها الحكومة وإن كان أحدهما: أكثر بطشاً كان الأصلي هو أكثرهما بطشاً سواء كان الباطش على مستوى الذراع أو منحرفاً عنه لأن الله تعالى جعل البطش في الأصلي فوجب أن يرجع في الاستدلال عليه إليه كما يرجع في الخنثى إلى قوله

PASAL: Jika seseorang memiliki dua telapak tangan pada satu lengan, maka jika tidak ada satu pun dari keduanya yang dapat digunakan untuk memukul, tidak wajib qishash maupun diyat atas keduanya karena manfaat keduanya telah hilang, sehingga keduanya seperti tangan yang lumpuh, dan wajib atas keduanya hukumah karena mengandung unsur keindahan. Dan jika salah satunya dapat digunakan untuk memukul lebih baik daripada yang lain, maka yang dapat digunakan itulah yang asli, sehingga wajib padanya qishash atau diyat, sedangkan yang lainnya adalah ciptaan tambahan, dan padanya wajib hukumah. Dan jika salah satunya lebih kuat dalam memukul, maka yang lebih kuat itulah yang dianggap asli, baik telapak tangan yang memukul itu sejajar dengan lengan maupun menyimpang darinya, karena Allah Ta‘ala menjadikan kemampuan memukul pada anggota yang asli, maka dalam penetapan hukum harus kembali kepada yang asli, sebagaimana dalam kasus khuntsā (interseks) kembali pada pernyataannya.

وإن استويا في البطش فإن كان أحدهما: على مستوى الذراع والآخر منحرفاً عن مستوى الذراع فالأصلي هو الذي على مستوى الذراع فيجب فيه القود أو الدية ويجب في الآخر الحكومة فإن استويا في ذلك فإن كان أحدهما: تام الأصابع والآخر ناقص الأصابع فالأصلي هو التام الأصابع فيجب فيه القود أو الدية والآخر خلقة زائدة ويجب فيها الحكومة وإن استويا في تمام الأصابع إلا أن في أحدهما: زيادة أصبع لم ترجح الزيادة ولأنه قد يكون الأصبع الزائدة في غير اليد الأصلية فإذا استويا في الدلائل فهما يد واحدة فإن قطعهما قاطع وجب عليه القود أو الدية ووجب عليه للزيادة حكومة

Dan jika keduanya sama dalam kemampuan memukul, maka jika salah satunya sejajar dengan lengan dan yang lainnya menyimpang dari arah lengan, maka yang asli adalah yang sejajar dengan lengan, sehingga wajib padanya qishāsh atau diyah, dan pada yang lain wajib hukumah. Jika keduanya sama dalam hal itu, lalu salah satunya sempurna jumlah jarinya dan yang lain kurang jarinya, maka yang asli adalah yang sempurna jarinya, sehingga wajib padanya qishāsh atau diyah, dan yang lain adalah ciptaan tambahan, sehingga wajib padanya hukumah. Dan jika keduanya sama-sama sempurna jarinya, namun salah satunya memiliki tambahan jari, maka tambahan tersebut tidak menjadikannya lebih utama, karena bisa jadi jari tambahan itu berada pada tangan yang bukan asli. Maka apabila keduanya sama dalam semua indikator, maka dianggap sebagai satu tangan. Jika seseorang memotong keduanya, maka wajib atasnya qishāsh atau diyah, dan wajib juga hukumah atas tambahan tersebut.

فإن قطع إحداهما لم يجب القود لعدم المماثلة وعليه نصف دية يد وزيادة حكومة لأنها نصف يد زائدة وإن قطع أصبعاً من إحداهما فعليه نصف دية أصبع وزيادة حكومة لأنها نصف أصبع زائدة وإن قطع أنملة أصبع من إحداهما وجب عليه نصف دية أنملة وزيادة حكومة لأنها نصف أنملة زائدة.

Jika ia memotong salah satunya, maka tidak wajib qishāsh karena tidak adanya kesepadanan, dan wajib atasnya setengah diyat tangan serta tambahan hukumah, karena itu adalah setengah tangan tambahan. Jika ia memotong satu ruas jari dari salah satunya, maka wajib atasnya setengah diyat satu ruas jari serta tambahan hukumah, karena itu adalah setengah ruas jari tambahan. Jika ia memotong satu anmulah dari salah satunya, maka wajib atasnya setengah diyat anmulah serta tambahan hukumah, karena itu adalah setengah anmulah tambahan.

فصل: ويجب في الأليتين الدية لأن فيهم جمالاً كاملاً ومنفعة كاملة فوجب فيهما الدية كاليدين ويجب في إحدهما: نصف الدية لأن ما وجبت الدية في اثنين منه وجب نصفها في أحدهما: كاليدين وإن قطع بعضها وجب فيه من الدية بقدره وإن جهل قدره وجبت فيه الحكومة.

PASAL: Wajib pada kedua pantat diyah, karena pada keduanya terdapat kesempurnaan keindahan dan manfaat, maka wajib atas keduanya diyah sebagaimana pada kedua tangan. Dan wajib pada salah satunya setengah diyah, karena setiap sesuatu yang wajib atas dua bagian darinya diyah, maka wajib setengahnya pada salah satunya, sebagaimana kedua tangan. Dan apabila sebagian darinya terpotong, maka wajib diyah sesuai kadar bagian yang terpotong; dan apabila kadarnya tidak diketahui, maka wajib hukumah.

فصل: وإن كسر صلبه انتظر فإن جبر وعاد إلى حالته لزمته حكومة الكسر وإن احدودب لزمه حكومة للشين الذي حصل به وإن ضعف مشيه أو احتاج إلى عصا لزمته حكومة لنقصان مشيه وإن عجز عن المشي وجبت عليه الدية لما روى الزهري عن سعيد ابن المسيب أنه قال: مضت السنة أن في الصلب الدية وفي اللسان الدية وفي الذكر الدية وفي الأثنيين الدية ولأنه أبطل عليه منفعة مقصودة فوجبت عليه الدية وإن كسر صلبه وعجز عن الوطء وجبت عليه الدية لأنه أبطل عليه منفعة مقصودة

PASAL: Jika tulang punggungnya patah, maka ditunggu—jika menyatu kembali dan kembali seperti semula, wajib atas pelakunya ḥukūmah karena patahnya. Jika menjadi bungkuk, wajib ḥukūmah karena cacat yang timbul darinya. Jika jalannya menjadi lemah atau membutuhkan tongkat, wajib ḥukūmah karena berkurangnya kemampuan berjalan. Jika ia tidak mampu berjalan, maka wajib atas pelakunya diyah, karena az-Zuhrī meriwayatkan dari Saʿīd ibn al-Musayyib bahwa ia berkata: “Telah berlaku sunnah bahwa pada tulang punggung ada diyah, pada lisan ada diyah, pada dzakar ada diyah, dan pada dua pelir ada diyah.” Karena pelaku telah merusak suatu manfaat yang dimaksudkan, maka wajib atasnya diyah. Jika tulang punggungnya patah dan tidak bisa berjimaʿ, maka wajib atasnya diyah, karena pelaku telah menghilangkan manfaat yang dimaksudkan.

وإن ذهب مشيه وجماعه ففيه وجهان: أحدهما: لا تلزمه إلا دية واحدة لأنهما منفعتا عضو واحد والثاني: يلزمه ديتان وهو ظاهر النص لأنه يجب في كل واحد منهما الدية عند الانفراد فوجبت فيهما ديتان عند الاجتماع كما لو قطع أذنيه فذهب سمعه أو قطع أنفه فذهب شمه.

Dan jika hilang kemampuan berjalan dan berjimaʿ, maka dalam hal ini terdapat dua wajah: pertama, tidak wajib atasnya kecuali satu diyah saja karena keduanya adalah dua manfaat dari satu anggota tubuh; dan yang kedua, wajib atasnya dua diyah, dan ini adalah zahir dari nash, karena masing-masing dari keduanya mewajibkan diyah ketika berdiri sendiri, maka wajib atasnya dua diyah ketika keduanya bersatu, sebagaimana jika seseorang memotong kedua telinga lalu hilang pendengarannya, atau memotong hidungnya lalu hilang penciumannya.

فصل: ويجب في الذكر الدية لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب مع عمرو بن حزم إلى اليمن وفي الذكر الدية ويجب ذلك في ذكر الشيخ والطفل والخصي والعنين لأن العضو في نفسه سليم ولا تجب في ذكر أشل لأنه بطلب منفعته فلم تكمل ديته ويجب فيه الحكومة لأنه أتلف عليه جماله

PASAL: Dan wajib pada dzakar diyat, karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW menulis bersama ‘Amr bin Ḥazm ke Yaman bahwa pada dzakar terdapat diyat. Dan kewajiban itu berlaku pada dzakar seorang tua, anak kecil, kasim, dan ‘anin, karena anggota tersebut secara zatnya masih utuh. Dan tidak wajib diyat pada dzakar yang lumpuh karena manfaatnya telah hilang, maka tidak sempurna diyatnya, dan wajib padanya ḥukūmah karena pelaku telah merusak keindahannya.

وإن جنى على ذكره فشل وجبت ديته لأن المقصود بالعضو هو المنفعة فوجب في إتلاف منفعته ما وجب في إتلافه وإن قطع الحشفة وجبت الدية لأن منفعة الذكر تكمل بالحشفة كما تكمل منفعة الكف بالأصابع فكملت الدية بقطعها وإن قطع الحشفة وجاء آخر فقطع الباقي وجبت فيه حكومة كما لو قطع الأصابع وجاء آخر وقطع الكف وإن قطع بعض الحشفة وجب عليه من الدية بقسطها وهل تتقسط على الحشفة وحدها أو على جميع الذكر فيه قولان: أحدهما: تقسط على الحشفة لأن الدية تكمل بقطعها فقسطت عليها كدية الأصابع والثاني: يقسط على الجميع لأن الذكر هو الجميع فقسطت الدية على الجميع.

Dan jika seseorang melakukan jinayah terhadap dzakar lalu menjadi lumpuh, maka wajib baginya diyat, karena tujuan dari anggota tersebut adalah manfaatnya, maka wajib atas kerusakan manfaatnya sebagaimana wajib atas kerusakan dzatnya.

Dan jika ia memotong ḥasyafah, maka wajib diyat, karena manfaat dzakar menjadi sempurna dengan ḥasyafah sebagaimana manfaat telapak tangan menjadi sempurna dengan jari-jari, maka sempurnalah diyat dengan pemotongan ḥasyafah.

Dan jika ia memotong ḥasyafah, lalu datang orang lain dan memotong sisanya, maka wajib atasnya ḥukūmah, sebagaimana jika seseorang memotong jari-jari lalu datang orang lain dan memotong telapak tangan.

Dan jika ia memotong sebagian dari ḥasyafah, maka wajib atasnya dari diyat sebesar bagiannya. Apakah diyat itu dibagi pada ḥasyafah saja atau pada seluruh dzakar? Maka ada dua pendapat:

Pertama, dibagi pada ḥasyafah saja, karena diyat menjadi sempurna dengan pemotongannya, maka dibagi padanya sebagaimana diyat jari-jari.

Kedua, dibagi pada seluruh dzakar, karena dzakar mencakup semuanya, maka dibagilah diyat atas seluruhnya.

فصل: ويجب في الأثنيين الدية لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن مع عمرو بن حزم وفي الأنثيين الدية ويجب في أحدهما: نصف الدية لأن ما وجب في اثنين منه الدية وجبت في أحدهما: نصفها كاليد.

PASAL: Wajib pada dua buah pelir (al-unṡiyyain) diyat penuh, karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW menulis surat kepada penduduk Yaman melalui ‘Amr bin Ḥazm: “pada dua pelir terdapat diyat.” Dan wajib pada salah satunya: setengah diyat, karena sesuatu yang diwajibkan diyat penuh pada dua bagian darinya, maka diwajibkan setengahnya pada salah satunya, seperti halnya tangan.

فصل: وما اشترك فيه الرجل والمرأة من الجروح والأعضاء ففيه قولان: قال في القديم تساوي المرأة الرجل إلى ثلث الدية فإذا زادت على ذلك كانت المرأة على النصف من الرجل لما روى نافع عن ابن عمر أنه قال: تستوي دية الرجل والمرأة إلى ثلث الدية ويختلفان فيما سوى ذلك وقال في الجديد هي على النصف من الرجل في جميع الأروش وهو الصحيح لأنهما شخصان مختلفان في الدية النفس فاختلفا في أروش الجنايات كالمسام والكافر ولأنه جناية يجب فيها أرش مقدر فكانت المرأة على النصف من الرجل في أرشها كقطع اليد والرجل وقول ابن عمر يعارضه قول علي كرم الله وجهه في جراحات الرجال والنساء سواء على النصف فيما قل أو كثر.

PASAL: Pada bagian luka dan anggota tubuh yang dimiliki bersama antara laki-laki dan perempuan terdapat dua pendapat. Dalam qaul qadīm, perempuan disamakan dengan laki-laki sampai sepertiga diyat. Jika melebihi itu, maka perempuan mendapatkan setengah dari diyat laki-laki. Hal ini berdasarkan riwayat dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa ia berkata: “Diyat laki-laki dan perempuan sama sampai sepertiga diyat, dan berbeda dalam selebihnya.”

Sedangkan dalam qaul jadīd, perempuan mendapatkan setengah dari laki-laki dalam seluruh arasy (takaran ganti rugi), dan ini yang shahih. Karena keduanya adalah dua pribadi yang berbeda dalam diyat jiwa, maka berbeda pula dalam arasy jinayah, sebagaimana perbedaan antara Muslim dan kafir, atau antara manusia dan binatang. Dan karena ini adalah jinayah yang memiliki arasy yang ditetapkan, maka perempuan mendapatkan setengah dari laki-laki dalam arasynya, seperti dalam kasus pemotongan tangan dan kaki.

Adapun pendapat Ibn ‘Umar ditentang oleh perkataan ‘Alī, karamallāhu wajhah, yang berkata: “Dalam luka-luka antara laki-laki dan perempuan itu sama, yaitu setengah (dari diyat laki-laki) baik sedikit maupun banyak.”

فصل: ويجب في ثديي المرأة الدية لأن فيهما جمالاً ومنفعة فوجب فيهما الدية كاليدين والرجلين ويجب في إحداهما نصف الدية لما ذكرناه في الأثنيين وإن جنى عليهما فشلتا وجبت عليه الدية لأن المقصود بالعضو هو المنفعة فكان إتلاف منفعته كإتلافه وإن كانتا ناهدين فاسترسلتا وجبت الحكومة لأنه نقص جمالهما وإن كان لها لبن فجنى عليهما فانقطع لبنها وجبت عليه الحكومة لأنه قطع اللبن بجنايته وإن جنى عليهما قبل أن ينزل لها لبن فولدت ولم ينزل لها لبن سئل أهل الخبرة

PASAL: Wajib pada kedua payudara perempuan diyat karena keduanya memiliki keindahan dan manfaat, maka wajib atas keduanya diyat sebagaimana dua tangan dan dua kaki. Dan wajib pada salah satunya setengah diyat sebagaimana telah disebutkan pada dua anggota tubuh. Jika seseorang menjahati keduanya lalu menjadi lumpuh, maka wajib atasnya diyat karena tujuan dari anggota tersebut adalah manfaat, maka merusak manfaatnya sama seperti merusaknya. Jika keduanya sedang menonjol lalu mengendur, maka wajib atasnya ḥukūmah karena itu merupakan pengurangan keindahan. Jika perempuan tersebut memiliki air susu lalu dijahati sehingga air susunya terputus, maka wajib atasnya ḥukūmah karena hilangnya air susu tersebut disebabkan oleh kejahatannya. Jika seseorang menjahati keduanya sebelum air susu turun, lalu ia melahirkan dan air susunya tidak keluar, maka ditanyakan kepada ahli ilmu (kedokteran).

فإن قالوا لا ينقطع إلا بالجناية وجبت الحكومة وإن قالوا قد ينقطع من غير جناية لم تجب الحكومة لجواز أن يكون انقطاعه لغير الجناية فلا تجب الحكومة بالشك وتجب الدية في حلمتيهما وهو رأس الثدي لأن منفعة الثديين بالحلمتين لأن الصبي بها يمص اللبن وبذهابهما تتعطل منفعة الثديين فوجب فيهما ما يجب في الثديين كما يجب في الأصابع ما يجب في الكف وأما حلمتا الرجل فقد قال في موضع يجب فيه حكومة

Maka jika para ahli (kedokteran) mengatakan bahwa air susu tidak terputus kecuali karena adanya kejahatan, maka wajib ḥukūmah. Namun jika mereka mengatakan bahwa air susu bisa saja terputus tanpa adanya kejahatan, maka tidak wajib ḥukūmah, karena ada kemungkinan terputusnya bukan karena kejahatan, dan ḥukūmah tidak ditetapkan karena dugaan.

Dan wajib diyat pada kedua putingnya, yaitu ujung dari payudara, karena manfaat kedua payudara ada pada kedua puting, sebab bayi menyusu melalui keduanya, dan dengan hilangnya keduanya, maka manfaat kedua payudara menjadi hilang. Maka wajib padanya seperti yang diwajibkan pada kedua payudara, sebagaimana pada jari-jari diwajibkan seperti yang diwajibkan pada telapak tangan.

Adapun kedua puting laki-laki, maka telah disebutkan pada satu tempat bahwa padanya wajib ḥukūmah.

وقال في موضع قد قيل إن فيهما الدية فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما: تجب فيهما الدية لأن ما وجبت فيه الدية من المرأة وجبت فيه الدية من الرجل كاليدين والثاني: وهو الصحيح أنه يجب فيهما الحكومة لأنه إتلاف جمال من غير منفعة فوجبت فيه الحكومة ومنهم من قال يجب فيه الحكومة قولاً واحداً وقوله قد قيل إن فيهما الدية حكاية عن غيره.

Dan ia berkata pada satu tempat: “Telah dikatakan bahwa pada keduanya (puting laki-laki) ada diyat.” Maka sebagian dari kalangan kami (ulama mazhab) mengatakan ada dua pendapat:

Pertama, wajib atas keduanya diyat, karena sesuatu yang diwajibkan diyat padanya pada perempuan, maka juga diwajibkan diyat padanya pada laki-laki, seperti kedua tangan.

Kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ, bahwa yang wajib adalah ḥukūmah, karena itu merupakan perusakan keindahan tanpa manfaat, maka wajib padanya ḥukūmah.

Dan sebagian dari mereka berkata: yang wajib adalah ḥukūmah secara satu pendapat saja, dan ucapan “telah dikatakan bahwa padanya diyat” adalah riwayat dari selainnya.

فصل: ويجب في اسكتي المرأة وهما الشفران المحيطان بالفرج الدية لأن فيهما جمالاً ومنفعة في المباشرة ويجب في أحدهما: نصف الدية لأن كل ما وجب في اثنين منه الدية وجب في أحدهما: نصفها كاليدين.

PASAL: Dan wajib pada uskutay wanita, yaitu dua syafran (bibir luar) yang mengelilingi farji, diyat karena padanya terdapat keindahan dan manfaat dalam persetubuhan. Dan wajib pada salah satunya: setengah diyat, karena setiap sesuatu yang wajib diyat pada dua bagiannya, maka wajib pada salah satunya: setengahnya, sebagaimana dua tangan.

فصل: قال الشافعي رحمه الله: إذا وطئ امرأة فأفضاها وجبت عليه الدية واختلف أصحابنا في الإفضاء فقال بعضهم هو أن يزيل الحاجز الذي بين الفرج وثقبة البول وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمة الله عليه وقال بعضهم هو أن يزيل الحاجز الذي بين الفرج والدبر وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة وشيخنا أبي الطيب الطبري لأن الدية لا تجب إلا بإتلاف منفعة كاملة ولا يحصل ذلك إلا بإزالة الحاجز بين السبيلين

PASAL: Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika seseorang menyetubuhi seorang perempuan lalu menyebabkan ifḍā’ padanya, maka wajib atasnya membayar diyat.

Para sahabat kami berbeda pendapat dalam mendefinisikan ifḍā’. Sebagian mereka mengatakan bahwa ifḍā’ adalah hilangnya sekat yang memisahkan antara farji dan lubang kencing. Ini adalah pendapat Asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfaráyinī rahimahullah.

Sebagian yang lain mengatakan bahwa ifḍā’ adalah hilangnya sekat antara farji dan dubur. Ini adalah pendapat Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah dan guru kami Abū Ṭayyib aṭ-Ṭabarī, karena diyat tidaklah wajib kecuali jika hilang satu manfaat secara sempurna, dan hal itu tidak terjadi kecuali dengan hilangnya sekat antara dua jalan.

فأما إزالة الحاجز بين الفرج وثقبة البول فلا تتلف بها المنفعة وإنما تنقص بها المنفعة فلا يجوز أن يجب بها دية كاملة وإن أفضاها واسترسل البول وجب مع دية الإفضاء حكومة للنقص الحاصل باسترسال البول وإن أفضاها والتأم الجرح وجبت الحكومة دون الدية وإن أجاف جائفة والتأمت لم يسقط أرشها والفرق بينهما أن أرش الجائفة وجب باسمها فلم يسقط بالإلتئام ودية الإفضاء وجبت بإزالة الحاجز وقد عاد الحاجز فلم تجب الدية.

Adapun hilangnya sekat antara farji dan lubang kencing, maka hal itu tidak merusak manfaat secara sempurna, melainkan hanya menguranginya, maka tidak boleh diwajibkan diyat penuh karenanya.

Jika ia melakukan ifḍā’ sehingga menyebabkan air kencing mengalir terus-menerus, maka wajib, selain diyat karena ifḍā’, juga ḥukūmah karena adanya kekurangan akibat air kencing yang terus-menerus.

Jika ia melakukan ifḍā’ lalu lukanya sembuh, maka wajib ḥukūmah saja tanpa diyat.

Jika ia melukai dengan luka jā’ifah lalu luka itu sembuh, maka tidak gugur arsy-nya.

Perbedaannya adalah bahwa arsy al-jā’ifah diwajibkan karena namanya (jenis lukanya), maka tidak gugur dengan sembuhnya luka, sedangkan diyat ifḍā’ diwajibkan karena hilangnya sekat, dan jika sekat itu telah kembali, maka tidak wajib diyat.

فصل: ولا يجب في إتلاف الشعور غير الحكومة لأنه إتلاف جمال من غير المنفعة فلم تجب فيه غير الحكومة كإتلاف العين القائمة واليد الشلاء.

PASAL: Tidak wajib diyat pada perusakan rambut, selain ḥukūmah, karena hal itu merupakan perusakan keindahan tanpa adanya manfaat, maka tidak diwajibkan selain ḥukūmah, sebagaimana perusakan pada mata yang masih ada dan tangan yang lumpuh.

فصل: ويجب في تعويج الرقبة وتصغير الوجه الحكومة لأنه إذهاب جمال من غير منفعة فوجبت فيه الحكومة فإن كسر الترقوة أو كسر ضلعاً فقد قال في موضع آخر يجب فيه جمل وقال في موضع تجب فيه الحكومة واختلف فيه أصحابنا فقال أبو إسحاق وأبو علي ابن أبي هريرة تجب فيه الحكومة قولاً واحداً والذي قال فيه جمل أراد على سبيل الحكومة لأن تقدير الأرش لا يجوز إلا بنص أو قياس على أصل وليس في هذا نص ولا له أصل يقاس عليه وقال المزني وغيره هو على قولين وهو الصحيح أحدهما: أنه يجب فيه جمل

PASAL: Wajib pada tindakan membuat leher menjadi bengkok dan memperkecil wajah ḥukūmah, karena hal itu merupakan penghilangan keindahan tanpa menghilangkan suatu manfaat, maka wajib di dalamnya ḥukūmah. Jika ia mematahkan tulang selangka atau mematahkan tulang rusuk, maka ia pernah berkata dalam satu tempat bahwa wajib di dalamnya jaml, dan dalam tempat lain bahwa wajib di dalamnya ḥukūmah. Para sahabat kami berselisih pendapat dalam hal ini. Abu Ishaq dan Abu Ali Ibn Abi Hurairah berkata: yang wajib di dalamnya adalah ḥukūmah menurut satu pendapat saja. Adapun yang mengatakan “jaml”, maksudnya adalah dalam rangka ḥukūmah, karena penetapan arasy tidak dibolehkan kecuali berdasarkan nash atau qiyas terhadap pokok, dan dalam hal ini tidak ada nash dan tidak ada pokok yang bisa dijadikan qiyas. Dan al-Muzani serta yang lainnya mengatakan bahwa hal ini terbagi menjadi dua pendapat, dan ini yang ṣaḥīḥ, yaitu salah satunya: bahwa yang wajib di dalamnya adalah jaml.

لما روى أسلم مولى عمر رضي الله عنه أنه قضى في الترقوة بجمل وفي الضلع بجمل وقول الصحابي في قوله القديم حجة تقدم على القياس والقول الثاني: وهو الصحيح أنه يجب فيه الحكومة لأنه كسر عظم في غير الرأس والوجه فلم يجب فيه أرش مقدر ككسر عظم الساق وما روي عن عمر يحتمل أنه قضى به على سبيل الحكومة ولأن قول الصحابي ليس بحجة في قوله الجديد.

Karena Aslam, maula ‘Umar RA, meriwayatkan bahwa beliau memutuskan pada kasus tulang selangka dengan jaml dan pada tulang rusuk dengan jaml. Pendapat ṣaḥābī dalam qawl qadīm merupakan hujjah yang didahulukan atas qiyās.

Adapun pendapat kedua—dan inilah yang ṣaḥīḥ—adalah bahwa yang wajib di dalamnya adalah ḥukūmah, karena ini adalah patahan tulang pada selain kepala dan wajah, maka tidak wajib di dalamnya arsy yang telah ditetapkan ukurannya, seperti patahan tulang betis. Dan riwayat dari ‘Umar bisa jadi maksudnya adalah beliau memutuskan dengan jaml dalam rangka ḥukūmah. Dan pendapat ṣaḥābī bukanlah hujjah menurut qawl jadīd.

فصل: وإن لطم رجلاً أو لكمه أو ضربه بمثقل فإن لم يحصل به أثر لم يلزمه أرش لأنه لم يحصل به نقص في جمال ولا منفعة فلم يلزمه أرش وإن حصل به شين بأن اسود أو اخضر وجبت فيه الحكومة لما حصل به من الشين فإن قضى في بالحكومة ثم زال الشين سقطت الحكومة كما لو جنى على عين فابيضت ثم زال البياض وإن فزع إنسان فأحدث في الثياب لم يلزمه ضمان مال لأن المال إنما يجب في الجناية إذا أحدثت نقصاً في جمال أو منفعة ولم يوجد شيء من ذلك.

PASAL: Jika seseorang menampar, meninju, atau memukul orang lain dengan benda berat, maka jika tidak timbul bekas darinya, tidak wajib arsy, karena tidak terjadi kekurangan pada keindahan maupun manfaat, maka tidak wajib arsy. Namun jika timbul syain seperti menghitam atau menghijau, maka wajib ḥukūmah karena adanya syain. Jika telah diputuskan ḥukūmah lalu syain itu hilang, maka ḥukūmah gugur, sebagaimana jika seseorang melukai mata lalu memucat kemudian hilang warna pucatnya. Dan jika seseorang dikejutkan lalu mengotori pakaiannya, maka tidak wajib mengganti harta, karena harta hanya wajib diganti dalam kasus jinayah jika menyebabkan kekurangan pada keindahan atau manfaat, sedangkan hal itu tidak terjadi.

فصل: إذا جنى على حر جناية ليس فيها أرش مقدر نظرت فإن كان حصل بها نقص في منفعة أو جمال وجبت فيها حكومة وهو أن يقوم المجني عليه قبل الجناية ثم يقوم بعد اندمال الجناية فإن نقص العشر من قيمته وجب العشر من ديته وإن نقص الخمس من قيمته وجب الخمس من ديته لأنه ليس في أرشه نص فوجب التقدير بالاجتهاد ولا طريق إلى معرفة قدر النقصان من جهة الاجتهاد إلا بالتقويم وهذا كما قلنا في المحرم إذا قتل صيداً وليس في جزائه نص أنه يرجع إلى ذوي عدل في معرفة مثله إن كان له مثل من النعم أو إلى قيمته إذا لم يكن له مثل

PASAL: Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap orang merdeka dengan suatu tindak pidana yang tidak terdapat di dalamnya arsy yang ditentukan ukurannya, maka dilihat dahulu: jika timbul karenanya kekurangan dalam hal manfaat atau keindahan, maka wajib di dalamnya ḥukūmah, yaitu dengan menaksir harga korban sebelum terjadinya tindak pidana, kemudian ditaksir kembali setelah luka tersebut sembuh. Jika nilai dirinya berkurang sepersepuluh, maka wajib sepersepuluh dari diyah-nya; jika berkurang seperlima, maka wajib seperlima dari diyah-nya. Karena tidak ada nash dalam arsy-nya, maka wajib penetapannya melalui ijtihād, dan tidak ada cara untuk mengetahui kadar kekurangan berdasarkan ijtihād kecuali dengan penaksiran. Dan ini sebagaimana yang kami katakan dalam kasus muḥrim yang membunuh binatang buruan namun tidak ada nash tentang gantinya, maka dikembalikan kepada dua orang yang adil untuk menentukan binatang sejenisnya jika memang ada padanannya dari hewan ternak, atau dikembalikan kepada nilainya jika tidak ada padanannya.

ويجب القدر الذي نقص من قيمته من الدية لأن النفس مضمونة بالدية فوجب القدر الناقص منها كما يقوم المبيع عند الرجوع بأرش العيب ثم يؤخذ القدر الناقص من الثمن حيث كان المبيع مضموناً بالثمن وقال أصحابنا يعتبر نقص الجناية من دية العضو المجني عليه لا من دية النفس فإن كان الذي نقص هو العشر والجناية على اليد وجب عشر دية وإن كانت على أصبع وجب عشر دية الأصبع وإن كانت على الرأس فيما دون الموضحة وجب عشر أرش الموضحة

Dan wajib kadar yang berkurang dari nilainya diambil dari diyah, karena jiwa dijamin dengan diyah, maka bagian yang berkurang darinya wajib ditunaikan, sebagaimana barang dagangan yang dinilai ketika dikembalikan dengan arsy al-‘ayb, lalu diambil kadar yang berkurang dari harga, karena barang tersebut dijamin dengan harga.

Para sahabat kami berkata: yang dijadikan ukuran adalah pengurangan akibat tindak pidana itu dari diyah anggota tubuh yang menjadi objek tindak pidana, bukan dari diyah jiwa. Maka jika yang berkurang adalah sepersepuluh dan tindak pidananya terjadi pada tangan, maka wajib sepersepuluh diyah tangan; dan jika pada jari, maka wajib sepersepuluh diyah jari; dan jika pada kepala dalam perkara yang kurang dari muwaḍḍiḥah, maka wajib sepersepuluh dari arsy muwaḍḍiḥah.

وإن كانت على الجسد فيما دون الجائفة وجب عشر أرش الجائفة لأنا لو اعتبرناه من دية النفس لم نأمن أن تزيد الحكومة في عضو على دية العضو والمذهب الأول وعليه التفريغ لأنه لما وجب تقويم النفس وجب أن يعتبر النقص من دية النفس ولأن اعتبار النقص من دية العضو يؤدي إلى أن يتقارب الجنايتان ويتباعد الأرشان بأن تكون الحكومة في السمحاق فتوجب فيه عشر أرش الموضحة فيتباعد ما بينها وبين أرش الموضحة مع قربها منها

Dan jika (tindak pidana) itu terjadi pada tubuh dalam hal yang kurang dari jāʾifah, maka wajib sepersepuluh dari arsy jāʾifah, karena jika kita menilainya dari diyah jiwa, kita tidak akan aman dari kemungkinan bahwa ḥukūmah pada suatu anggota melebihi diyah anggota tersebut.

Dan madzhab yang pertama adalah yang benar, dan atas dasar itu dilakukan perincian, karena ketika wajib dilakukan penaksiran terhadap jiwa, maka kekurangan itu harus diambil dari diyah jiwa.

Dan karena menilai kekurangan dari diyah anggota akan menyebabkan dua tindak pidana yang hampir serupa menghasilkan arsy yang sangat jauh berbeda; misalnya jika ḥukūmah pada saḥmāq lalu diwajibkan sepersepuluh dari arsy muwaḍḍiḥah, maka akan sangat jauh perbedaannya dengan arsy muwaḍḍiḥah, padahal letaknya sangat dekat dengannya.

فإن كانت الجناية على أصبع فبلغت الحكومة فيها أرش الأصبع أو على الرأس فبلغت الحكومة فيها أرش الموضحة نقص الحاكم من أرش الأصبع ومن أرش الموضحة شيئا على قدر ما يؤدي إليه الاجتهاد لأنه لا يجوز أن يكون فيما دون الأصبع الموضحة ما يجب فيها وإن كانت الجناية في الكف فبلغت الحكومة أرش الأصابع نقص شيئا من أرش الأصابع لأن الكف تابع للأصابع في الجمال والمنفعة فلا يجوز أن يجب فيه ما يجب في الأصابع.

Jika tindak pidana terjadi pada jari lalu ḥukūmah yang ditetapkan setara dengan arsy jari, atau terjadi pada kepala lalu ḥukūmah yang ditetapkan setara dengan arsy muwaḍḍiḥah, maka hakim mengurangi dari arsy jari dan dari arsy muwaḍḍiḥah sejumlah tertentu sesuai kadar yang ditunjukkan oleh ijtihād, karena tidak boleh bagian yang lebih ringan dari jari atau dari muwaḍḍiḥah dikenai kewajiban sebesar yang berlaku pada jari atau muwaḍḍiḥah.

Dan jika tindak pidana itu mengenai telapak tangan lalu ḥukūmah-nya mencapai sebesar arsy jari-jari, maka dikurangi sebagian dari arsy jari-jari, karena telapak tangan adalah pengikut bagi jari-jari dalam hal keindahan dan manfaat, maka tidak boleh dikenakan padanya kewajiban sebesar yang berlaku pada jari-jari.

فصل: وإن لم يحصل بالجناية نقص في جمال ولا منفعة بأن قطع أصبعاً زائدة أو قلع سناً زائدة أو أتلف لحية امرأة واندمل الموضع من غير نقص ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي العباس بن سريج أنه لا شيء عليه لأنه جناية لم يحصل بها نقص فلم يجب بها أرش كما لو لطم وجهه فلم يؤثر والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه يجب فيه الحكومة لأنه إتلاف جزء من مضمون

PASAL: Jika dalam suatu tindak pidana tidak terjadi pengurangan pada keindahan maupun manfaat, seperti memotong jari yang berlebih, mencabut gigi yang berlebih, atau merusak janggut perempuan namun bagian yang rusak sembuh tanpa meninggalkan cacat, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abul ‘Abbās Ibn Surayj, bahwa tidak ada kewajiban apa pun atas pelaku, karena ini adalah tindak pidana yang tidak menyebabkan kerugian, sehingga tidak wajib diyat, sebagaimana jika seseorang menampar wajah orang lain namun tidak meninggalkan bekas.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa wajib dikenakan ḥukūmah, karena hal itu merupakan perusakan sebagian dari anggota tubuh yang tergolong bernilai.

فلا يجوز أن يعري من أرش فعلى هذا إن كان قد قطع أصبعاً زائدة قوم المجني عليه قبل الجناية ثم يقوم في أقرب أحواله إلى الاندمال ثم يجب ما بينهما من الدية لأنه لما سقط اعتبار قيمته بعد الاندمال قوم في أقرب الأحوال إليه وهذا كما قلنا في ولد المغرور بها لما تعذر تقويمه حال العلوق قوم في أقرب حال يمكن فيه التقويم بعد العلوق وهو عند الوضع فإن قوم ولم ينقص قوم قبيل الجناية ثم يقوم والدم جار لأنه لا بد أن تنقص قيمته لما يخاف عليه فيجب بقدر ما بينهما من الدية وإن قلع سناً زائدة ولم تنقص قيمته قوم وليس له خلف الزائدة سن أصلية ثم يقوم وليس له سن أصلية ولا زائدة ويجب بقدر ما بينهما من الدية وإن أتلف لحية امرأة قوم لو كان رجلاً وله لحية ثم يقوم ولا لحية له ويجب بقدر ما بينهما من الدية.

Maka tidak boleh tidak dikenakan ʿarsh (denda), oleh karena itu, jika ia telah memotong jari yang berlebih, maka korban dinilai (ditaksir) sebelum terjadinya tindak pidana, kemudian dinilai lagi dalam keadaan terdekat dengan proses penyembuhan, lalu diwajibkan diyat sebesar selisih nilai antara keduanya. Karena ketika nilai dirinya tidak lagi diperhitungkan setelah penyembuhan, maka penilaian dilakukan pada keadaan yang paling mendekati sebelum penyembuhan. Ini sebagaimana yang kami katakan mengenai anak dari wanita yang tertipu (dalam kasus pernikahan), ketika penilaian tidak memungkinkan saat masih dalam kandungan, maka dinilai pada waktu terdekat yang memungkinkan, yaitu saat dilahirkan.

Jika ia telah dinilai dan tidak terjadi pengurangan nilai, maka ia dinilai sebelum terjadinya tindak pidana, kemudian dinilai saat darah masih mengalir, karena pasti akan terjadi penurunan nilai akibat kekhawatiran terhadap kondisi dirinya, maka wajib dibayar diyat sebesar selisih di antara keduanya.

Jika ia mencabut gigi yang berlebih, dan nilainya tidak berkurang, maka ia dinilai dalam keadaan masih memiliki gigi tambahan namun belum tumbuh gigi asli, kemudian dinilai lagi dalam keadaan tidak memiliki gigi asli maupun gigi tambahan, dan diwajibkan diyat sebesar selisih nilai antara keduanya.

Jika ia merusak janggut perempuan, maka ia dinilai seandainya ia adalah seorang laki-laki yang memiliki janggut, kemudian dinilai lagi dalam keadaan tidak memiliki janggut, dan diwajibkan diyat sebesar selisih antara keduanya.

فصل: وإن جنى على رجل جناية لها أرش مقدر ثم قتله قبل الاندمال دخل أرش الجناية في دية النفس وقال أبو سعيد الإصطخري لا يدخل لأن الجناية انقطعت سرايتها بالقتل فلم يسقط ضمانها كما لو اندملت ثم قتله والمذهب الأول لأنه مات بفعله قبل استقرار الأرش فدخل في ديته كما لو مات من سراية الجناية ويخالف إذا اندملت فإن هناك استقر الأرش فلم تسقط.

PASAL: Jika seseorang melakukan jinayah terhadap seorang laki-laki yang memiliki arasy yang telah ditetapkan ukurannya, lalu membunuhnya sebelum luka tersebut sembuh, maka arasy jinayah tersebut masuk ke dalam diyat jiwa. Abu Sa‘id al-Ishṭakhri berkata: tidak masuk, karena pengaruh jinayah tersebut terputus dengan pembunuhan, maka jaminannya tidak gugur sebagaimana jika sudah sembuh lalu ia membunuhnya. Namun pendapat yang rajih adalah yang pertama, karena ia mati akibat perbuatannya sebelum arasy ditetapkan, maka arasy tersebut masuk ke dalam diyat, sebagaimana jika ia mati karena pengaruh lanjutan dari jinayah tersebut. Ini berbeda jika luka sudah sembuh, karena ketika itu arasy telah ditetapkan maka tidak gugur.

فصل: ويجب في قتل العبد قيمته بالغة ما بلغت لأنه مال مضمون بالإتلاف لحق الآدمي بغير جنسه فضمنه بقيمته بالغة ما بلغت كسائر الأموال وما ضمن مما دون النفس من الجزء بالدية كالأنف واللسان والذكر والأنثيين والعينين واليدين والرجلين ضمن من العبد بقيمته وما ضمن من الحر بجزء من الدية كاليد والأصبع والأنملة والموضحة والجائفة ضمن من العبد بمثله من القيمة لأنهما متساويان في ضمان الجناية بالقصاص والكفارة فتساويا في اعتبار ما دون النفس ببدل النفس كالرجل والمرأة والمسلم والكافر.

PASAL: Dalam pembunuhan budak, wajib mengganti dengan nilainya, berapa pun nilainya, karena budak adalah harta yang dijamin jika rusak demi hak manusia, bukan karena sejenisnya (yaitu bukan manusia merdeka), maka diganti dengan nilainya berapa pun besarnya, seperti halnya harta benda lainnya.

Adapun anggota tubuh yang jika pada manusia merdeka diganti dengan diyat penuh—seperti hidung, lisan, dzakar, dua antsiyah, dua mata, dua tangan, dan dua kaki—maka pada budak diganti dengan seluruh nilainya.

Sedangkan anggota tubuh yang jika pada manusia merdeka diganti dengan sebagian dari diyat, seperti tangan, jari, ruas jari, mauḍiḥah, dan jā’ifah, maka pada budak diganti dengan kadar yang sama dari nilai dirinya. Karena keduanya (budak dan merdeka) setara dalam jaminan atas tindak pidana melalui qiṣāṣ dan kafārah, maka keduanya pun setara dalam penggantian selain jiwa dengan pengganti jiwa, sebagaimana laki-laki dan perempuan, serta muslim dan kafir.

فصل: وإن قطع يد عبد ثم أعتق ثم مات من سراية القطع وجبت عليه دية حر لأن الجناية استقرت في حال الحرية ويجب للسيد من ذلك أقل الأمرين من أرش الجناية وهو نصف القيمة أو كمال الدية فإن كان نصف القيمة أقل لم يستحق أكثر منه لأنه هو الذي وجب في ملكه والزيادة حصلت في حال لا حق له فيها وإن كانت الدية أقل لم يستحق أكبر منها لأن ما نقص من نصف القيمة بسبب من جهته وهو العتق.

PASAL: Jika seseorang memotong tangan seorang budak, lalu budak tersebut dimerdekakan, kemudian mati karena pengaruh lanjutan dari pemotongan tersebut, maka wajib atas pelaku membayar diyat seorang merdeka, karena jinayah tersebut menjadi tetap dalam keadaan merdeka. Dan wajib bagi tuan budak dari diyat itu jumlah yang lebih sedikit antara dua hal: yaitu arasy jinayah (setengah nilai budak) atau jumlah penuh diyat. Jika setengah nilai budak lebih kecil, maka tidak berhak mendapatkan lebih dari itu, karena itulah yang wajib ketika budak masih dalam kepemilikannya, dan kelebihan terjadi pada keadaan yang tidak menjadi haknya. Namun jika diyat lebih kecil, maka tidak berhak mendapatkan lebih besar dari diyat, karena kekurangan dari setengah nilai budak itu berasal dari perbuatannya sendiri, yaitu karena memerdekakan.

فصل: وإن فقأ عيني عبد أو قطع يديه وقيمته ألفا دينار ثم أعتق ومات بعد اندمال الجناية وجب على الجاني أرش الجناية وهو قيمة العبد سواء كان الاندمال قبل العتق أو بعده لأن الجرح إذا اندمل استقر حكمه ويكون ذلك لمولاه لأنه أرش جناية كانت في ملكه وإن لم يندمل وسرى إلى نفسه وجب على الجانب دية حر وقال المزني يجب الأرش وهو ألفا دينار لأن السيد ملك هذا القدر بالجناية فلا ينقص وهذا خطأ لأن الاعتبار في الأرش بحال الاستقرار ولهذا لو قطع يدي رجل ورجليه وجب عليه ديتان فإذا سرت الجناية إلى النفس وجب دية اعتباراً بحال الاستقرار وفي حال الاستقرار هو حر فوجبت فيه الدية ودليل قول المزني يبطل بمن قطع يدي رجل ورجلين ثم مات فإنه وجبت ديتان ثم نقصت بالموت.

PASAL: Jika seseorang mencungkil kedua mata seorang budak atau memotong kedua tangannya, dan nilai budak tersebut adalah dua ribu dinar, lalu ia dimerdekakan dan meninggal setelah luka tersebut sembuh, maka wajib atas pelaku membayar ʿarsh (denda) atas tindak pidana tersebut, yaitu sebesar nilai budak, baik penyembuhannya terjadi sebelum atau sesudah merdeka. Sebab, jika luka telah sembuh, maka hukumnya telah tetap, dan hal itu menjadi milik tuannya, karena ʿarsh atas tindak pidana itu terjadi ketika masih dalam kepemilikannya.

Namun jika luka tersebut belum sembuh dan menjalar hingga menyebabkan kematian, maka wajib atas pelaku membayar diyat orang merdeka. Al-Muzanī berpendapat bahwa yang wajib adalah ʿarsh, yaitu dua ribu dinar, karena tuan telah memiliki hak atas jumlah tersebut karena tindak pidana, maka tidak boleh dikurangi. Pendapat ini salah, karena yang menjadi patokan dalam ʿarsh adalah keadaan saat hukum telah tetap. Oleh karena itu, jika seseorang memotong kedua tangan dan kedua kaki seseorang, maka wajib atasnya dua diyat, dan jika luka itu kemudian menjalar hingga menyebabkan kematian, maka wajib diyat penuh, berdasarkan keadaan saat hukum tetap. Dan dalam keadaan tersebut, ia adalah orang merdeka, maka wajib baginya diyat orang merdeka.

Dalil dari pendapat al-Muzanī batal dengan kasus seseorang memotong kedua tangan dan kedua kaki seseorang, lalu orang tersebut meninggal, maka awalnya wajib dua diyat, lalu menjadi berkurang karena kematian.

فصل: وإن قطع حر يد عبد فأعتق ثم قطع حر آخر يده الأخرى ومات لم يجب على الأول قصاص لعدم التكافؤ في حال الجناية وعليه نصف الدية لأن المجني عليه حر في وقت استقرار الجناية وأما الثاني ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي الطيب بن سلمة أنه يجب عليه القصاص في الطرف ولا يجب في النفس لأن الروح خرجت من سراية قطعين: وأحدهما: يوجب القود والآخر لا يوجب فسقط كحرين قتلاً من نصفه حر ونصفه عبد

PASAL: Jika seorang merdeka memotong tangan seorang budak, lalu budak itu dimerdekakan, kemudian seorang merdeka lain memotong tangan satunya, lalu budak tersebut meninggal, maka tidak wajib atas pelaku pertama qiṣāṣ karena tidak adanya takāfu’ pada saat terjadinya jinayah, dan wajib atasnya setengah diyat karena korban adalah orang merdeka saat jinayah itu menjadi tetap. Adapun pelaku kedua, maka ada dua wajah: pertama, yaitu pendapat Abū Ṭayyib ibn Salamah, bahwa wajib atasnya qiṣāṣ pada anggota tubuh namun tidak pada jiwa, karena ruh keluar akibat dua potongan: salah satunya mewajibkan qiṣāṣ dan yang lain tidak mewajibkannya, maka qiṣāṣ gugur, sebagaimana jika dua orang merdeka membunuh seseorang yang separuh merdeka dan separuh budak.

والثاني: وهو المذهب أنه يجب عليه القصاص في الطرف والنفس لأنهما متكافئان في حال الجناية وقد خرجت الروح عن عمد محض مضمون وإنما سقط القود عن أحدهما: لمعنى في نفسه فلم يسقط عن الآخر كما لو اشترك حر وعبد في قتل عبد ويخالف الحرين اذا قتلا من نصفه حر ونصفه عبد لأن كل واحد منهما غير مكافئ له حال الجناية فان عفى على مال كان عليه نصف الديه لأنهما شريكان في القتل وللمولى الأقل من نصف قيمته يوم الجناية الأولى أو نصف الدية

dan yang kedua — dan ini adalah mazhab — bahwa wajib atas pelaku kedua qiṣāṣ pada anggota tubuh dan jiwa, karena keduanya setara (mutakāfiʾān) pada saat jinayah, dan ruh keluar karena pembunuhan yang disengaja dan harus dijamin. Adapun gugurnya qiṣāṣ atas pelaku pertama adalah karena sebab yang ada pada dirinya sendiri, maka tidak menggugurkan qiṣāṣ atas yang lain, sebagaimana jika seorang merdeka dan seorang budak bersama-sama membunuh seorang budak. Ini berbeda dengan dua orang merdeka yang membunuh seseorang yang separuh merdeka dan separuh budak, karena masing-masing dari keduanya tidak sepadan pada saat jinayah. Jika dimaafkan dengan pembayaran harta, maka atasnya setengah diyat, karena keduanya adalah sekutu dalam pembunuhan. Dan bagi tuannya berhak atas jumlah yang lebih sedikit antara setengah nilai budak pada hari jinayah pertama atau setengah diyat.

فإن كان نصف القيمة أقل أو مثله كان له ذلك وإن كان أكثر فله نصف الدية لأن الحرية نقصت ما زاد عليه والفرق بينه وبين المسألة قبلها أن الجناية هناك من واحد وجميع الدية عليه فقوبل بين أرش الجناية وبين الدية والجناية ههنا من اثنين والدية عليهما والثاني: جنى عليه في حال الحرية فقوبل بين أرش الجناية وبين النصف المأخوذ من الجاني على ملكه وكان الفاضل لورثته.

Jika setengah nilai budak lebih sedikit atau sama dengan setengah diyat, maka tuannya berhak atas itu. Namun jika lebih banyak, maka ia hanya berhak atas setengah diyat, karena kemerdekaan telah mengurangi kelebihan tersebut. Perbedaan antara kasus ini dan kasus sebelumnya adalah bahwa jinayah di sana berasal dari satu orang, dan seluruh diyat menjadi tanggung jawabnya, maka dibandingkan antara arasy jinayah dan diyat. Adapun dalam kasus ini, jinayah berasal dari dua orang dan diyat menjadi tanggung jawab keduanya, sedangkan pelaku kedua melakukan jinayah saat korban sudah merdeka, maka dibandingkan antara arasy jinayah dengan setengah yang diambil dari pelaku saat korban masih dalam kepemilikan tuannya, dan kelebihannya menjadi milik ahli warisnya.

فصل: وإن قطع حر يد عبد ثم أعتق ثم قطع يده الأخرى نظرت فإن اندمل الجرحان لم يجب في اليد الأولى قصاص لأنه جنى عليه وهو غير مكافئ له ويجب فيها نصف ديته ويكون للمولى ويجب في اليد الأخرى القصاص لأنه قطعها وهو مكافئ له وإن عفى على المال وجب عليه نصف الدية وإن مات من الجراحتين قبل الاندمال وجب القصاص في اليد الأخرى التي قطعت بعد عتقه ولم يجب القصاص في النفس لأنه مات من جنايتين إحداهما توجب القصاص والأخرى لا توجب

PASAL: Jika seorang merdeka memotong tangan seorang budak, lalu budak itu dimerdekakan, kemudian ia memotong tangan satunya lagi, maka dilihat: jika kedua luka itu telah sembuh, maka tidak wajib qishāsh atas tangan pertama karena ia melakukan kejahatan terhadap orang yang tidak sepadan dengannya, dan wajib atasnya setengah diyat yang menjadi milik tuan budak. Dan wajib qishāsh atas tangan yang kedua karena ia memotongnya saat keduanya sudah sepadan. Jika dimaafkan dengan harta, maka wajib atasnya setengah diyat. Namun jika budak itu meninggal karena kedua luka tersebut sebelum sembuh, maka wajib qishāsh atas tangan kedua yang dipotong setelah ia merdeka, dan tidak wajib qishāsh atas nyawanya karena ia mati akibat dua kejahatan: salah satunya mewajibkan qishāsh dan yang lainnya tidak.

فإن اقتص منه في اليد وجب عليه نصف الدية لأنه مات بجنايته وقد استوفى منه ما يقابل نصف الدية ويكون للمولى أقل الأمرين من نصف القيمة وقت الجناية أو نصف الدية وإن عفى عن القصاص على مال وجب كمال الدية ويكون للمولى أقل الأمرين من نصف القيمة وقت الجناية أو نصف الدية ولورثته الباقي لأن الجناية الثانية في حال الحرية.

Jika dilakukan qishāsh atas tangannya, maka wajib atas pelaku setengah diyat karena korban meninggal akibat kejahatannya dan telah diambil darinya balasan yang sebanding dengan setengah diyat. Dan bagi tuan (bekas pemilik budak) berhak atas yang lebih kecil dari dua hal: setengah nilai (budak) saat terjadinya kejahatan atau setengah diyat.

Dan jika dimaafkan dari qishāsh dengan ganti harta, maka wajib baginya membayar diyat penuh. Dan bagi tuan berhak atas yang lebih kecil dari dua hal: setengah nilai saat terjadinya kejahatan atau setengah diyat, dan sisanya menjadi hak ahli waris karena kejahatan kedua terjadi dalam keadaan merdeka.

فصل: وإن قطع حر يد عبد فأعتق ثم قطع آخر يده الأخرى ثم قطع ثالث رجله ومات لم يجب على الأول القصاص في النفس ولا في الطرف لعدم التكافؤ ويجب عليه ثلث الدية ويجب على الآخرين القصاص في الطرف وفي النفس على المذهب فإن عفى عنهما كان عليهما ثلثا الدية وفيما يستحق المولى قولان: أحدهما: أقل الأمرين من أرش الجناية أو ما يجب على هذا الجاني في ملكه وهو ثلث الدية لأن الواجب بالجناية هو الأرش فإذا أعتق انقلب وصار ثلث الدية فيجب أن يكون له أقل الأمرين

PASAL: Jika seorang merdeka memotong tangan seorang budak, lalu budak itu dimerdekakan, kemudian orang kedua memotong tangan budak yang telah merdeka itu yang satunya, lalu orang ketiga memotong kakinya, dan ia pun meninggal, maka orang pertama tidak dikenai qiṣāṣ dalam jiwa maupun anggota tubuh karena tidak adanya kesetaraan, dan ia wajib membayar sepertiga diyat. Adapun dua orang lainnya wajib dikenai qiṣāṣ pada anggota tubuh dan pada jiwa menurut pendapat yang mu‘tamad. Jika keduanya dimaafkan, maka wajib atas mereka berdua dua pertiga diyat.

Adapun hak yang dimiliki oleh tuan (mantan pemilik budak), maka terdapat dua pendapat. Salah satunya: ia berhak atas yang lebih kecil antara nilai arasy atas tindak pidana tersebut atau yang wajib dibayar oleh pelaku tindak pidana tersebut semasa budak masih dalam kepemilikannya, yaitu sepertiga diyat. Karena yang wajib atas tindak pidana itu adalah arasy, maka ketika budak itu dimerdekakan nilainya berubah menjadi sepertiga diyat, maka harus menjadi hak tuan nilai yang lebih kecil di antara keduanya.

فإن كان الأرش أقل لم يكن له أكثر منه لأنه هو الذي وجب بالجناية في ملكه وما زاد بالسراية في حال الحرية لا حق له فيه وإن كان ثلث الدية أقل لم يكن له أكثر منه لأنه هو الذي يجب على الجاني في ملكه ونقص الأرش بسبب من جهته وهو العتق فلم يستحق أكثر منه والقول الثاني يجب له أقل الأمرين من ثلث الدية أو ثلث القيمة لأن الجاني على ملكه هو الأول والآخر لا حق له في جنايتهما فيجب أن يكون له أقل الأمرين من ثلث الدية أو ثلث القيمة فإن كان ثلث القيمة أقل لم يكن له أكثر منه لأنه لما كان عبداً كان له هذا القدر وما زاد وجب في حال الحرية فلم يكن له فيها حق وإن كان ثلث الدية أقل لم يكن له أكثر منه لأن ثلث القيمة نقص وعاد إلى ثلث الدية بفعله فلم يستحق أكثر منه.

Jika arasy lebih rendah, maka tuan tidak berhak atas yang lebih tinggi darinya, karena itulah yang wajib atas tindak pidana ketika budak masih dalam kepemilikannya, dan apa yang bertambah karena penyebaran luka (sarayān) dalam keadaan merdeka bukan haknya. Dan jika sepertiga diyat lebih rendah, maka ia tidak berhak atas yang lebih tinggi darinya, karena itulah yang wajib atas pelaku dalam masa kepemilikannya, dan arasy menjadi berkurang karena sebab dari pihaknya sendiri, yaitu karena memerdekakan, maka ia tidak berhak atas yang lebih tinggi.

Adapun pendapat kedua: ia berhak atas yang lebih rendah dari sepertiga diyat atau sepertiga nilai (budak), karena pelaku tindak pidana ketika budak masih dalam kepemilikannya adalah yang pertama, sedangkan dua lainnya tidak ada hak baginya atas tindak pidana mereka, maka ia hanya berhak atas yang lebih rendah dari sepertiga diyat atau sepertiga nilai. Jika sepertiga nilai lebih rendah, maka ia tidak berhak atas yang lebih tinggi darinya, karena ketika budak masih menjadi hamba, ia hanya memiliki bagian tersebut, dan kelebihan yang terjadi terjadi dalam keadaan merdeka, maka ia tidak memiliki hak atasnya. Dan jika sepertiga diyat lebih rendah, maka ia tidak berhak atas yang lebih tinggi darinya, karena sepertiga nilai telah berkurang dan kembali menjadi sepertiga diyat disebabkan oleh tindakannya (memerdekakan), maka ia tidak berhak atas yang lebih tinggi.

فصل: إذا ضرب بطن مملوكة حامل بمملوك فألقت جنيناً ميتاً وجب فيه عشر قيمة الأم لأن جنين آدمية سقط ميتاً بجنايته فضمن بعشر بدل الأم كجنين الحرة واختلف أصحابنا في الوقت الذي يعتبر فيه قيمة الأم فقال المزني وأبو سعيد الإصطخري: تعتبر قيمتها يوم الإسقاط لأنه حال استقرار الجناية والاعتبار في قدر الضمان بحال استقرار الجناية والدليل عليه أنه لو قطع يد نصراني ثم أسلم ومات وجب فيه دية مسلم

PASAL: Jika seseorang memukul perut seorang budak perempuan yang sedang hamil dengan anak budak, lalu ia keguguran dan janinnya lahir dalam keadaan mati, maka wajib atasnya sepersepuluh dari nilai ibu, karena janin seorang perempuan (manusia) gugur dalam keadaan mati akibat tindakannya, maka diganti dengan sepersepuluh dari ganti rugi ibunya sebagaimana janin perempuan merdeka.

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang waktu penetapan nilai ibu. Al-Muzanī dan Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī berkata: nilai ibu ditetapkan pada hari keguguran, karena itulah waktu stabilnya tindak pidana, dan ketetapan kadar ganti rugi bergantung pada saat stabilnya tindak pidana. Dalilnya adalah, jika seseorang memotong tangan seorang Nasrani, lalu orang itu masuk Islam dan meninggal, maka wajib atas pelakunya membayar diyat seorang Muslim.

وقال أبو إسحاق تعتبر قيمتها يوم الجناية وهو المنصوص لأن المجني عليه لم يتغير حاله فكان أولى الأحوال باعتبار قيمتها يوم الجناية لأنه حال الوجوب ولهذا لو قطع يد عبد ومات على الرق وجبت قيمته يوم الجناية لأنه حال الوجوب وإن ضرب بطن أمة ثم أعتقت وألقت جنيناً ميتاً وجب فيه دية جنين حر لأن الضمان يعتبر بحال استقرار الجناية والجنين حر عند استقرار الجناية فضمن بالدية.

Dan Abū Isḥāq berkata: nilai ibu dipertimbangkan pada hari terjadinya tindak pidana, dan inilah yang menjadi nash, karena keadaan korban tidak berubah, maka waktu yang lebih utama untuk dijadikan acuan dalam penilaian adalah hari terjadinya tindak pidana, karena itulah waktu kewajiban (ganti rugi). Oleh karena itu, jika seseorang memotong tangan seorang budak lalu ia meninggal dalam keadaan tetap sebagai budak, maka yang wajib dibayar adalah nilai tangannya pada hari tindak pidana, karena itulah waktu kewajiban.

Dan jika seseorang memukul perut seorang budak perempuan, lalu ia dimerdekakan, kemudian melahirkan janin dalam keadaan mati, maka wajib atas pelakunya membayar diyat janin orang merdeka, karena penetapan ganti rugi dipertimbangkan berdasarkan keadaan saat stabilnya tindak pidana, dan janin tersebut adalah orang merdeka saat stabilnya tindak pidana, maka wajib diganti dengan diyat.

باب العاقلة وما تحمله من الديات
إذا قتل الحر حراً عمد خطأ وله عاقلة وجب جميع الدية على عاقتله لما روى المغيرة بن شعبة قال: ضربت امرأة ضرة لها بعمود فسطاط فقضى رسول الله صلى الله عليه وسلم بديتها على عصبة القاتلة وإن قتله خطأ وجبت الدية على عاقلته لأنه إذا تحمل عن القاتل في عمد الخطأ تخفيفاً عنه مع قصده إلى الجناية فلأن يحمل عن قاتل الخطأ ولم يقصد الجناية أولى ولأن الخطأ وعمد الخطأ يكثر فلو أوجبنا ديتهما في مال الجاني أجحفنا به

BAB ‘ĀQILAH DAN DIYAT YANG WAJIB DITANGGUNGNYA

Apabila seorang merdeka membunuh orang merdeka lainnya dengan pembunuhan ‘amdan khathā’ (sengaja tetapi keliru objek), dan ia memiliki ‘āqilah, maka seluruh diyat wajib ditanggung oleh ‘āqilah-nya, berdasarkan riwayat dari al-Mughīrah bin Syu‘bah, ia berkata: “Seorang wanita memukul madunya dengan tiang tenda, lalu Rasulullah SAW memutuskan diyat wanita tersebut ditanggung oleh ‘aṣabah si pembunuh.”

Dan apabila ia membunuhnya dengan benar-benar keliru (khathā’ murni), maka diyat wajib atas ‘āqilah-nya, karena jika dalam kasus ‘amdu al-khaṭā’ saja pembunuh mendapat keringanan dan diyatnya ditanggung ‘āqilah, padahal ia tetap memiliki niat untuk berbuat, maka lebih utama lagi jika pembunuhan benar-benar keliru (tanpa maksud) untuk ditanggung oleh ‘āqilah. Selain itu, kasus pembunuhan khathā’ dan ‘amdu al-khaṭā’ sering terjadi, maka jika kami mewajibkan diyatnya atas harta pelaku, niscaya itu akan memberatkannya.

وإن قطع أطرافه خطأ أو عمد خطأ ففيه قولان قال في القديم: لا تحمل العاقلة ديتهما لأنه لا يضمن بالكفارة ولا تثبت فيه القسامة فلم تحمل العاقلة بدله كالمال وقال في الجديد: تحمل العاقلة ديتها لأن ما ضمن بالقصاص والدية وخففت الدية فيه بالخطأ حملت العاقلة بدله كالنفس فعلى هذا تحمل ما قل منه وكثر كما تحمل ما قل وكثر من دية النفس وإن قتل عمداً أو جنى على طرفه عمداً لم تحمل العاقلة ديته

Jika seseorang memotong anggota tubuh orang lain secara keliru (khaṭā’) atau ‘amdu al-khaṭā’ (sengaja tetapi keliru objek), maka terdapat dua pendapat. Dalam qawl qadīm, dikatakan: ‘āqilah tidak menanggung diyat anggota tubuh tersebut, karena tidak ada kewajiban kafārah padanya dan tidak ditetapkan qasāmah, maka ‘āqilah tidak menanggung gantinya, sebagaimana halnya dalam kasus harta.

Sedangkan dalam qawl jadīd, dikatakan: ‘āqilah menanggung diyat anggota tubuh, karena sesuatu yang bisa diganjar dengan qiṣāṣ dan diyat, dan diyatnya diringankan karena dilakukan secara keliru, maka ‘āqilah wajib menanggungnya sebagaimana pada jiwa. Maka berdasarkan pendapat ini, ‘āqilah menanggung baik yang kecil maupun yang besar dari diyat anggota tubuh, sebagaimana ia menanggung kecil dan besar dari diyat jiwa.

Namun, jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja (‘amdan) atau pelaku secara sengaja melukai anggota tubuh, maka ‘āqilah tidak menanggung diyatnya.

لأن الخبر ورد في الحمل عن القاتل في عمد الخطأ تخفيفاً عنه لأنه لم يقصد القتل والعامد قصد القتل فلم يلحق به في التخفيف وإن وجب له القصاص في الطرف فاقتص بحديدية مسمومة فمات فعليه نصف الدية وهل تحمل العاقلة ذلك أم لا؟ فيه وجهان: أحدهما: تحمله لأنها حكمنا بأنه ليس بعمد محض والثاني: لا تحمله لأنه قصد القتل بغير حق فلم تحمل العاقلة عنه وإن وكل من يقتص له في النفس ثم عفا وقتل الوكيل ولم يعلم بالعفو وقلنا إن العفو يصح ووجبت الدية على الوكيل فهل تحملها العاقلة فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه لا تحملها العاقلة وهو صحيح لأنه تعمد القتل فلم تحمل العاقلة عنه كما لو قتله بعد العلم بالعفو والثاني: وهو قول أبي علي بن أي هريرة أنه تحمله العاقلة لأنه لم يقصد الجناية.

Karena hadis datang mengenai tanggungan oleh ‘āqilah dari pelaku dalam kasus ‘amdu al-khaṭā’ sebagai bentuk keringanan baginya, karena ia tidak bermaksud membunuh. Sedangkan pelaku ‘amdu memang bermaksud membunuh, maka ia tidak disamakan dengannya dalam hal keringanan.

Dan apabila orang yang berhak qiṣāṣ pada anggota tubuh telah melakukannya dengan besi yang beracun lalu si pelaku mati, maka ia wajib membayar setengah diyah. Apakah ‘āqilah menanggung hal ini atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: ‘Āqilah menanggungnya, karena kita telah menetapkan bahwa perbuatan tersebut bukan ‘amdu murni.

Kedua: ‘Āqilah tidak menanggungnya karena ia bermaksud membunuh tanpa hak, maka ‘āqilah tidak menanggungnya.

Dan apabila orang yang berhak qiṣāṣ dalam jiwa mewakilkan kepada orang lain, kemudian ia memaafkan, lalu sang wakil tetap membunuh tanpa mengetahui adanya pemaafan, dan kita katakan bahwa pemaafan itu sah, sehingga diyah wajib atas sang wakil, maka apakah ‘āqilah menanggungnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa ‘āqilah tidak menanggungnya. Ini adalah pendapat yang shahih, karena sang wakil dengan sengaja melakukan pembunuhan, maka ‘āqilah tidak menanggungnya, sebagaimana jika ia membunuh setelah mengetahui adanya pemaafan.

Kedua: yaitu pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah, bahwa ‘āqilah menanggungnya, karena ia tidak bermaksud melakukan kejahatan.

فصل: وإن قتل عبداً خطأ أو عمد خطأ ففيه قيمته قولان: أحدهما: أنها تحملها العاقلة لأنه يجب القصاص والكفارة بقتله فحملت العاقلة بدله كالحر والثاني: أنه لا تحمله العاقلة لأنه مال فلم تحمل العاقلة بدله كسائر الأموال.

PASAL: Jika seseorang membunuh seorang budak karena kesalahan atau pembunuhan yang mirip kesalahan (‘amd khuṭā’), maka berlaku padanya nilai budak tersebut. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah, karena dengan membunuhnya wajib qiṣāṣ dan kafārah, maka ‘āqilah menanggung gantinya sebagaimana dalam kasus orang merdeka.

Kedua: bahwa ‘āqilah tidak menanggungnya karena budak adalah harta, sehingga ‘āqilah tidak menanggung gantinya sebagaimana pada harta-harta lainnya.

فصل: ومن قتل نفسه خطأ لم تجب الدية بقتله ولا تحمل العاقلة ديته لما روي أن عوف بن مالك الأشجعي ضرب مشركاً بالسيف فرجع السيف عليه فقتله فأمتنع أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من الصلاة عليه وقالوا قد أبطل جهاده فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “بل مات مجاهداً”. ولو وجبت الدية على عاقلته لبين رسول الله صلى الله عليه وسلم ذلك.

PASAL: Barang siapa membunuh dirinya sendiri karena kekeliruan, maka tidak wajib diyah atas pembunuhannya, dan ‘āqilah-nya tidak menanggung diyah-nya. Karena diriwayatkan bahwa ‘Awf bin Mālik al-Asyja‘ī memukul seorang musyrik dengan pedang, lalu pedang itu berbalik mengenainya dan membunuhnya. Maka para sahabat Rasulullah SAW enggan menyalatinya dan berkata: “Sungguh ia telah membatalkan jihadnya.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Bahkan ia mati sebagai seorang mujahid.”

Dan seandainya diyah wajib atas ‘āqilah-nya, niscaya Rasulullah SAW akan menjelaskannya.

فصل: وما يجب بخطأ الإمام من الدية بالقتل ففيه قولان: أحدهما: يجب على عاقلته لما روي أن عمر رضي الله عنه قال لعلي رضي الله عنه في جنين المرأة التي بعث إليها عزمت عليك أن لا تبرح حتى تقسمها على قومك والثاني: يجب في بيت المال لأن الخطأ يكثر منه في أحكامه واجتهاده فلو أوجبنا ما يجب بخطئه على عاقلته أجحفنا بهم فإذا قلنا أنه يجب على عاقلته وجبت الكفارة في ماله كغير الإمام وإذا قلنا إنها تجب في بيت المال ففي الكفارة وجهان: أحدهما: أنها تجب في ماله لأنها لا تتحمل والثاني: أنها تجب في بيت المال لأنه يكثر خطؤه فلو أوجبنا في ماله أجحفنا به.

PASAL: Apa yang wajib karena kesalahan imam berupa diyat akibat pembunuhan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: wajib atas ‘āqilah-nya, karena diriwayatkan bahwa ʿUmar RA berkata kepada ʿAlī RA mengenai janin perempuan yang ia kirim utusan kepadanya: “Aku mewajibkan atasmu agar tidak pergi sebelum engkau membebankannya kepada kaummu.”

Kedua: wajib dari Bayt al-Māl, karena kesalahan banyak terjadi darinya dalam putusan dan ijtihād-nya. Maka jika kita mewajibkan apa yang wajib karena kesalahannya atas ‘āqilah-nya, hal itu akan memberatkan mereka.

Jika kita mengatakan bahwa ia wajib atas ‘āqilah-nya, maka kafarat wajib dari hartanya sebagaimana selain imam.

Dan jika kita mengatakan bahwa ia wajib dari Bayt al-Māl, maka dalam hal kafarat terdapat dua wajah:

Pertama: wajib dari hartanya, karena kafarat tidak ditanggung oleh orang lain.

Kedua: wajib dari Bayt al-Māl, karena kesalahannya banyak, maka jika kita mewajibkannya dari hartanya, hal itu akan memberatkannya.

فصل: وما يجب بجناية العمد يجب حالاً لأنه بدل متلف لا تتحمله العاقلة بحال فوجب حالاً كغرامة المتلفات وما يجب بجناية الخطأ وشبه العمد من الدية يجب مؤجلاً فإن كانت دية كاملة وجبت في ثلاث سنين لأنه روي ذلك عن عمر وابن عباس رضي الله عنهما ويجب في كل سنة ثلثها فإن كان دية نفس كان ابتداء الأجل من وقت القتل لأنه حق المؤجل فاعتبر الأجل من حين وجود السبب كالدين المؤجل

PASAL: Segala yang wajib karena jinayah ‘amdan wajib dibayar segera karena merupakan pengganti dari sesuatu yang dimusnahkan dan tidak ditanggung oleh ‘āqilah dalam keadaan apa pun, maka wajib segera seperti ganti rugi atas benda-benda yang dirusak. Sedangkan apa yang wajib karena jinayah khaṭa’ dan syibh al-‘amdi berupa diyah maka wajib dibayar secara tangguhan. Jika diyah itu sempurna, maka dibayar dalam tiga tahun karena hal itu diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbās RA. Dalam setiap tahun wajib sepertiganya. Jika yang dibayar adalah diyat al-nafs, maka permulaan tempo dihitung sejak waktu terjadinya pembunuhan karena ia adalah hak yang ditangguhkan, maka waktu penangguhan dihitung sejak sebabnya terjadi, seperti utang yang ditangguhkan.

وإن كان دية الطرف فإن لم تسر واعتبرت المدة من وقت الجناية لأنه وقت الوجوب وإن سرت إلى عضو آخر اعتبرت المدة من وقت الاندمال لأن الجناية لم تقف فاعتبرت المدة من وقت الاستقرار وإن كان الواجب أقل من دية نظرت فإن كان ثلث الدية أو دونه لم تجب إلا في سنة لأنه لا يجب على العاقلة شيء في أقل من سنة فإن كان أكثر من الثلث ولم يزد على الثلثين وجب في السنة الأولى الثلث ووجب الباقي في السنة الثانية

Dan jika yang wajib dibayar adalah diyat anggota tubuh, maka jika tidak menjalar, maka masa tangguhnya dihitung sejak waktu terjadinya jinayah karena saat itu adalah waktu kewajibannya. Namun jika menjalar ke anggota tubuh lain, maka masa tangguhnya dihitung sejak waktu luka itu sembuh karena jinayah belum berhenti, maka masa tangguhnya dihitung sejak waktunya menjadi tetap. Dan jika yang wajib dibayar kurang dari satu diyah penuh, maka dilihat: jika sepertiga diyah atau kurang, maka tidak wajib kecuali dalam satu tahun karena tidak ada sesuatu pun yang dibebankan kepada ‘āqilah dalam waktu kurang dari satu tahun. Jika lebih dari sepertiga dan tidak melebihi dua pertiga, maka wajib dibayar sepertiga pada tahun pertama dan sisanya wajib dibayar pada tahun kedua.

وإن كان أكثر من الثلثين ولم يزد على الدية وجب في السنة الأولى الثلث وفي الثانية الثلث والثالثة الباقي وإن وجب بجنايته ديتان فإن كانتا لاثنتين بأن قتل اثنين وجب في كل سنة لكل واحد منهما ثلث الدية لأنهما يجبان لمستحقين فلا ينقص حق كل واحد منهما في كل سنة من الثلث فإن كانتا لواحد بأن قطع اليدين والرجلين من رجل وجب الكل في ست سنين في كل سنة ثلث دية لأنها جناية على واحد فلا يجب له على العاقلة في كل سنة أكثر من ثلث دية

Dan jika lebih dari dua pertiga namun tidak melebihi satu diyah penuh, maka wajib dibayar sepertiga pada tahun pertama, sepertiga pada tahun kedua, dan sisanya pada tahun ketiga. Jika karena jinayah-nya wajib membayar dua diyah, maka jika keduanya untuk dua orang—misalnya membunuh dua orang—wajib dibayar setiap tahun kepada masing-masing sepertiga dari diyah, karena keduanya wajib untuk dua pihak yang berhak, maka hak masing-masing tidak boleh kurang dari sepertiga setiap tahunnya. Namun jika keduanya untuk satu orang—misalnya memotong kedua tangan dan kedua kaki dari satu orang—maka seluruhnya wajib dibayar dalam enam tahun, yaitu sepertiga diyah setiap tahun, karena itu adalah jinayah terhadap satu orang, maka tidak wajib bagi ‘āqilah untuk membayar kepada satu orang lebih dari sepertiga diyah setiap tahun.

وإن وجب بجناية الخطأ أو عمد الخطأ دية ناقصة كدية الجنين والمرأة ودية أهل الذمة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب في ثلاث سنين في كل سنة ثلثها لأنها دية نفس فوجب في كل سنة ثلثها كالدية الكاملة والثاني: أنه كأرش الطرف إذا نقص عن الدية لأنه دون الدية الكاملة فعلى هذا إن كان ثلث دية وهو كدية اليهودي والنصراني أو أقل من الثلث وهو دية المجوسي ودية الجنين وجب الكل في سنة واحدة

Dan jika karena jinayah khaṭa’ atau ‘amdu al-khaṭa’ wajib membayar diyah yang kurang dari sempurna, seperti diyah janin, wanita, atau diyah ahli dzimmah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, wajib dibayar dalam tiga tahun, setiap tahun sepertiganya karena ia termasuk diyat al-nafs, maka wajib dibayar sepertiganya setiap tahun seperti diyah yang sempurna.
Kedua, hukumnya seperti arsy anggota tubuh jika kurang dari satu diyah, karena nilainya di bawah diyah sempurna. Maka berdasarkan pendapat ini, jika sebesar sepertiga diyah—seperti diyah untuk Yahudi dan Nasrani—atau kurang dari sepertiga—seperti diyah untuk Majusi dan janin—maka seluruhnya wajib dibayar dalam satu tahun.

وإن كان أكثر من الثلث وهو دية المرأة وجب في السنة الأولى ثلث دية كاملة ويجب ما زاد في السنة الثانية كما قولنا في الطرف وإن كان قيمة عبد وقولنا أنها على العاقلة ففيه وجهان: أحدهما: أنها تقسم في ثلاث سنين وأن زاد حصة كل سنة على ثلث الدية لأنها دية نفس والثانية: تؤدى في كل سنة ثلث دية الحر.

Dan jika lebih dari sepertiga—yaitu diyah wanita—maka wajib dibayar pada tahun pertama sepertiga diyah sempurna, dan sisanya wajib dibayar pada tahun kedua, sebagaimana yang kami katakan dalam diyah anggota tubuh. Dan jika yang wajib dibayar adalah nilai seorang budak, dan menurut pendapat kami bahwa itu ditanggung oleh ‘āqilah, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, dibagi dalam tiga tahun meskipun bagian tiap tahun melebihi sepertiga diyah, karena ia termasuk diyat al-nafs.
Kedua, dibayar setiap tahun sebesar sepertiga dari diyah seorang merdeka.

فصل: والعاقلة هم العصبات الذين يرثون بالنسب أو الولاء غير الأب والجد والابن وابن الابن والدليل عليه ما روى المغيرة بن شعبة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قضى في المرأة بديتها على عصبة العاقلة وأما الأب والجد والابن وابن الابن فلا يعقلون لما روى جابر رضي الله عنه أن امرأتين من هذيل قتلت إحداهما الأخرى ولكل واحدة منهما زوج وولد فجعل النبي صلى الله عليه وسلم دية المقتولة على عاقلة القاتلة وبرأ زوجها وولدها

PASAL: ‘Āqilah adalah para ‘aṣabah yang mewarisi karena nasab atau wala’, selain dari ayah, kakek, anak, dan cucu laki-laki. Dalilnya adalah riwayat dari al-Mughīrah bin Syu‘bah RA bahwa Nabi SAW memutuskan dalam perkara seorang perempuan bahwa diyatnya ditanggung oleh ‘aṣabah dari ‘āqilah. Adapun ayah, kakek, anak, dan cucu laki-laki tidak menanggung ‘aql karena riwayat dari Jābir RA bahwa dua perempuan dari suku Hudzail, salah satunya membunuh yang lain, dan masing-masing dari keduanya memiliki suami dan anak, maka Nabi SAW menetapkan diyat perempuan yang terbunuh atas ‘āqilah perempuan yang membunuh dan membebaskan suami serta anaknya dari tanggungan.

وإذا ثبت هذا في الولد ثبت في الأب لتساويهما في العصبة ولأن الدية جعلت على العاقلة إبقاء على القاتل حتى لا يكثر عليه فيجحف به فلو جعلناه على الأب والابن أجحفنا به لأن مالهما كماله ولهذا لا نقبل شهادته لهما كما لا تقبل لنفسه ويستغنى عن المسألة بمالهما كما يستغنى بمال نفسه وإن كان في بني عمها ابن لها لم يحمل معهم لما ذكرناه وإن لم يكن له عصبة نظرت فإن كان مسلماً حملت عنه من بيت المال لأن مال بيت المال للمسلمين وهم يرثونه كما ترث العصبات

Dan apabila hal ini telah ditetapkan bagi anak, maka berlaku pula bagi ayah karena keduanya sama-sama termasuk ‘aṣabah. Dan karena diyat dibebankan kepada ‘āqilah sebagai bentuk keringanan bagi pelaku agar tidak terlalu memberatkannya sehingga menyulitkannya. Maka jika diyat dibebankan kepada ayah dan anak, berarti kita telah memberatkannya karena harta keduanya adalah bagian dari hartanya, sebagaimana kesaksiannya tidak diterima untuk keduanya sebagaimana tidak diterima untuk dirinya sendiri. Dan ia dapat mencukupi dari membayar diyat dengan harta keduanya sebagaimana mencukupi dengan hartanya sendiri.

Dan jika di antara anak-anak paman terdapat anak pelaku, maka ia tidak menanggung diyat bersama mereka karena alasan yang telah disebutkan. Dan jika pelaku tidak memiliki ‘aṣabah, maka dilihat: jika ia seorang muslim, maka diyatnya ditanggung dari Bayt al-Māl, karena harta Bayt al-Māl adalah milik kaum muslimin dan mereka mewarisinya sebagaimana ‘aṣabah mewarisinya.

وإن كان ذمياً لم يحمل عنه في بيت المال لأن مال بيت المال للمسلمين وهم لا يرثونه وإنما ينقل ماله إلى بيت المال فيئاً واختلف قوله في المولى من أسفل فقال في أحد القولين: لا يعقل عنه وهو الصحيح لأنه لا يرثه فلم يعقله وقال في الآخر: يعقله لأنه يعقله المولى فعقل عنه المولى كالأخوين فعلى هذا يقدم على بيت المال لأنه من خواص العاقلة فقدم على بيت المال كالمولى من أعلى

Dan jika pelaku adalah seorang dzimmī, maka tidak ditanggung dari Bayt al-Māl, karena harta Bayt al-Māl adalah milik kaum muslimin, sedangkan mereka tidak mewarisi dzimmī, melainkan hartanya dipindahkan ke Bayt al-Māl sebagai fay’.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai mawlā min asfal. Dalam salah satu pendapat, dinyatakan bahwa ia tidak menanggung diyat, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia tidak mewarisinya, maka ia tidak menanggung diyatnya. Dan dalam pendapat lain, dikatakan bahwa ia menanggung diyatnya karena ia sendiri ditanggung diyatnya oleh mawlā, maka mawlā juga menanggung diyatnya sebagaimana dua saudara. Maka berdasarkan pendapat ini, ia didahulukan atas Bayt al-Māl karena termasuk khawāṣṣ al-‘āqilah, maka ia lebih didahulukan dari Bayt al-Māl, sebagaimana mawlā min a‘lā.

وإن لم يكن له عاقلة ولا بيت مال فهل يجب على القاتل فيه وجهان بناء على أن الدية هل تجب على القاتل تتحمل عنه العاقلة أو تجب على العاقلة ابتداء وفيه قولان: أحدهما: تجب على القاتل ثم تنتقل إلى العاقلة لأنه هو الجاني فوجبت الدية عليه فعلى هذا تجب الدية في ماله والقول الثاني تجب على العاقلة ابتداء لأنه لا يطالب غيرهم فعلى هذا لا تجب عليه وقال أبوعلي الطبري: إذا قلنا إنها تجب على القاتل عند عدم بيت المال حمل الأب والابن ويبدأ بهما قبل القاتل لأنا لم نحمل عليهما إبقاء على القاتل

Dan jika pelaku tidak memiliki ‘āqilah dan tidak ada Bayt al-Māl, maka apakah diyat wajib atas pelaku? Terdapat dua wajah pendapat, yang dibangun di atas pertanyaan: apakah diyat itu wajib atas pelaku kemudian ditanggung oleh ‘āqilah, ataukah wajib atas ‘āqilah sejak awal? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: diyat wajib atas pelaku kemudian berpindah kepada ‘āqilah, karena dialah yang melakukan tindak pidana, maka diyat wajib atasnya. Maka berdasarkan pendapat ini, diyat wajib dibayar dari hartanya.

Pendapat kedua: diyat wajib atas ‘āqilah sejak awal, karena tidak dituntut dari selain mereka. Maka berdasarkan pendapat ini, diyat tidak wajib atas pelaku.

Abū ‘Alī al-Ṭabarī berkata: jika kita mengatakan bahwa diyat wajib atas pelaku ketika tidak ada Bayt al-Māl, maka ayah dan anak menanggungnya, dan dimulai dari keduanya sebelum pelaku, karena kita tidak membebankan kepada keduanya sebagai bentuk keringanan atas pelaku.

وإذا حمل على القاتل كانا بالحمل أولى قال الشيخ الإمام حرس الله مدته: ويحتمل عندي أنه لا يجب عليهما لأنا إنما أوجبنا على القاتل على هذا القول لأنه وجب عليه في الأصل فإذا لم يجد من يتحمل بقي الوجوب في محله والأب والابن لم يجب عليهما في الأصل ولا حملا مع العاقل فلم يجب الحمل عليهما.

Dan apabila diyat dibebankan kepada pelaku, maka ayah dan anak lebih utama untuk menanggungnya. Syekh Imām – semoga Allah menjaga usianya – berkata: Menurutku, kemungkinan tidak wajib atas keduanya, karena kita hanya mewajibkan atas pelaku menurut pendapat ini sebab pada asalnya kewajiban itu memang atasnya. Maka apabila ia tidak menemukan pihak yang menanggung, tetaplah kewajiban itu pada tempatnya. Adapun ayah dan anak, tidak ada kewajiban atas mereka sejak awal dan mereka pun tidak menanggung bersama ‘āqilah, maka tidak wajib pula atas mereka untuk menanggung.

فصل: ولا يعقل مسلم عن كافر ولا كافر عن مسلم ولا ذمي عن حربي ولا حربي عن ذمي لأنه لا يرث بعضهم من بعض فإن رمى نصراني سهماً إلى الصيد ثم أسلم ثم أصاب السهم إنساناً وقتله وجبت الدية في ماله لأنه لا يمكن إيجابها على عاقلته من النصارى لأنه وجد القتل وهو مسلم ولا يمكن إيجابها على عاقلته من المسلمين لأنه رمى وهو نصراني فإن قطع نصراني يد رجل ثم أسلم ومات المقطوع عقلت عنه عصباته من النصارى دون المسلمين

PASAL: Seorang muslim tidak menanggung diyat atas orang kafir, begitu pula orang kafir tidak menanggung diyat atas orang muslim, dan seorang dzimmī tidak menanggung atas ḥarbī, begitu pula ḥarbī tidak menanggung atas dzimmī, karena mereka tidak saling mewarisi.

Apabila seorang Nasrani melepaskan anak panah ke arah buruan, kemudian ia masuk Islam, lalu anak panah itu mengenai seseorang dan membunuhnya, maka diyat wajib dari hartanya sendiri. Karena tidak mungkin diwajibkan atas ‘āqilah-nya dari kalangan Nasrani sebab pembunuhan terjadi saat ia sudah muslim, dan tidak mungkin pula diwajibkan atas ‘āqilah-nya dari kalangan muslim karena pelemparan dilakukan saat ia masih Nasrani.

Jika seorang Nasrani memotong tangan seseorang lalu ia masuk Islam, kemudian orang yang terpotong itu meninggal dunia, maka diyatnya ditanggung oleh ‘aṣabah-nya dari kalangan Nasrani, bukan dari kalangan muslim.

لأن الجناية وجدت منه وهو نصراني ولهذا يجب بها القصاص ولا يسقط عنه بالإسلام وإن رمى مسلم سهماً إلى صيد ثم ارتد ثم أصاب السهم إنساناً فقتله وجبت الدية في ذمته لأنه لا يمكن إيجابها على عاقلته من المسلمين لأنه وجد القتل وهو مرتد ولا يمكن إيجابها على الكفار لأنه ليس له منهم عاقلة يرثونه فوجبت في ذمته

Karena tindak pidana terjadi darinya saat ia masih Nasrani, oleh karena itu wajib atasnya qiṣāṣ dan tidak gugur dengan masuk Islam.

Dan jika seorang muslim melepaskan anak panah ke arah buruan, lalu ia murtad, kemudian anak panah itu mengenai seseorang dan membunuhnya, maka diyat wajib dalam tanggungannya. Karena tidak mungkin dibebankan kepada ‘āqilah-nya dari kalangan muslim sebab pembunuhan terjadi saat ia murtad, dan tidak mungkin dibebankan kepada orang-orang kafir karena ia tidak memiliki ‘āqilah dari kalangan mereka yang mewarisinya, maka diyat pun wajib dalam tanggungannya.

وإن جرح مسلم إنساناً ثم ارتد الجارح وبقي في الردة زمناً يسري في مثله الجرح ثم أسلم ومات المجروح وجبت الدية وعلى من تجب فيه قولان: أحدهما: تجب على عاقلته لأن الجناية في حال الإسلام وخروح الروح في حال الإسلام والعاقلة تحمل ما يجب بالجنايتين في حال الإسلام فوجبت ديته عليها والقول الثاني: أنه يجب على العاقلة نصف الدية ويجب في مال الجاني النصف لأنه وجد سراية في حال الإسلام وسراية في حال الردة فحملت ما سرى في حال الإسلام ولم تحمل ما سرى في الردة.

Jika seorang muslim melukai seseorang, kemudian pelaku luka itu murtad dan tetap dalam kemurtadan selama masa yang memungkinkan terjadinya sarayān (penyebaran luka) semisal itu, lalu ia masuk Islam kembali dan orang yang terluka itu meninggal dunia, maka diyat wajib dibayarkan. Adapun kepada siapa diyat itu dibebankan, terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: diyat wajib atas ‘āqilah-nya, karena tindak pidana terjadi dalam keadaan Islam dan keluarnya ruh juga dalam keadaan Islam, sedangkan ‘āqilah menanggung apa yang disebabkan oleh kedua keadaan itu dalam Islam, maka diyatnya wajib atas mereka.

Pendapat kedua: bahwa setengah diyat wajib atas ‘āqilah dan setengahnya wajib dari harta pelaku, karena terdapat sarayān (penyebaran luka) yang terjadi dalam keadaan Islam dan sarayān yang terjadi dalam keadaan murtad. Maka ‘āqilah menanggung yang terjadi saat Islam, dan tidak menanggung yang terjadi saat murtad.

فصل: ولا يعقل صبي ولا معتوه ولا امرأة لأن حمل الدية على سبيل النصرة بدلاً عما كان في الجاهلية من النصرة بالسيف ولا نصرة في الصبي والمعتوه والمرأة ويعقل المريض والشيخ الكبير إذا لم يبلغ المريض حد الزمانة والشيخ حد الهرم لأنهما من أهل النصرة بالتدبير وقد قاتل عمار في محفة وأما إذا بلغ الشيخ حد الهرم والمريض حد الزمانة ففيه وجهان بناء على القولين في قتلهما في الأسر فإن قلنا إنهما يقتلان في الأسر عقلا وإن قلنا لا يقتلان في الأسر لم يعقلا.

PASAL: Anak kecil, orang gila, dan perempuan tidak menanggung diyat, karena penanggungan diyat dilakukan sebagai bentuk pertolongan, menggantikan bentuk pertolongan pada masa jahiliah yang dilakukan dengan pedang, sedangkan mereka—anak kecil, orang gila, dan perempuan—tidak termasuk ahli nuṣrah (pertolongan) seperti itu.

Adapun orang sakit dan orang tua lanjut usia tetap menanggung diyat jika penyakitnya belum mencapai batas zamānah (kelumpuhan total) dan orang tua belum mencapai batas haram (kepikunan), karena keduanya masih termasuk ahli pertolongan melalui taktik dan siasat, dan ‘Ammār pernah ikut berperang dalam tandu.

Namun, jika orang tua telah mencapai batas haram dan orang sakit mencapai zamānah, maka dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat yang dibangun atas dua pendapat dalam hukum membunuh mereka saat tertawan: jika kita katakan bahwa keduanya boleh dibunuh saat tertawan, maka mereka menanggung diyat; dan jika kita katakan tidak boleh dibunuh saat tertawan, maka mereka tidak menanggung diyat.

فصل: ولا يعقل فقير لأن حمل الدية على العاقل مواساة الفقير ليس من أهل المواساة ولهذا لا تجب عليه الزكاة ولا نفقة الأقارب ولأن العاقلة تتحمل لدفع الضرر عن القاتل والضرر لا يزال بالضرر ويجب على المتوسط ربع دينار لأن المواساة لا تحصل بأقل قليل ولا يمكن إيجاد الكثير لأن فيه إضراراً بالعاقلة فقدر أقل ما يؤخذ بربع دينار لأنه ليس في حد التافه

PASAL: Dan tidak wajib bagi orang fakir untuk menanggung ‘āqilah, karena tanggungan diyat atas ‘āqilah adalah bentuk muwāsāt (saling membantu), sedangkan orang fakir bukan termasuk ahli muwāsāt. Oleh karena itu, ia tidak wajib membayar zakat maupun nafkah kerabat. Sebab ‘āqilah menanggung (diyat) untuk mencegah mudarat dari pelaku pembunuhan, dan mudarat tidak dihilangkan dengan mendatangkan mudarat lain. Dan wajib atas orang yang berada di tingkat menengah sebesar seperempat dīnār, karena muwāsāt tidak terwujud dengan jumlah yang terlalu sedikit, dan tidak mungkin dibebankan jumlah besar karena hal itu akan memudaratkan ‘āqilah, maka ditetapkan jumlah minimal yang diambil adalah seperempat dīnār, karena ia tidak tergolong barang remeh.

والدليل عليه أنه تقطع فيه يد السارق وقد قالت عائشة رضي الله عنها: يد السارق لم تكن تقطع في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم في الشيء التافه ويجب على الغني نصف دينار لأنه لا يجوز أن يكون ما يؤخذ من الغني والمتوسط واحداً فقدر بنصف دينار لأنه أقل قدر يؤخذ من الغني في الزكاة التي قصد فيها المواساة فيقدر ما يؤخذ من الغني في الدية بذلك لأن في معناه ويجب هذا القدر في كل سنة لأنه حق يتعلق بالحال على سبيل المواساة فتكرر بتكرر الحول كالزكاة

Dan dalil atas hal itu adalah bahwa tangan pencuri dipotong karena mencuri seperempat dīnār, dan telah berkata ‘Āisyah RA: “Tangan pencuri tidak dipotong pada masa Rasulullah SAW karena mencuri sesuatu yang remeh.” Dan wajib atas orang kaya sebesar setengah dīnār, karena tidak boleh jumlah yang diambil dari orang kaya dan orang menengah disamakan. Maka ditetapkan sebesar setengah dīnār, karena itu adalah kadar paling sedikit yang diambil dari orang kaya dalam zakat, yang memang ditujukan untuk muwāsāt, maka ditetapkan pula kadar yang diambil dari orang kaya dalam (tanggungan) diyat seperti itu, karena maknanya serupa. Dan jumlah ini wajib dibayar setiap tahun, karena ia merupakan hak yang berkaitan dengan kondisi (kekayaan) secara bentuk muwāsāt, maka ia berulang setiap tahun sebagaimana zakat.

ومن أصحابنا من قال يجب ذلك القدر في الثلاث سنين لأنا لو أوجدنا هذا القدر في كل سنة أجحف به ويعتبر حاله في الفقر والغنى والتوسط عند حلول النجم لأنه حق مال يتعلق بالحلول على سبيل المواساة فاعتبر فيه حاله عند حلول الحول كالزكاة إذا مات قبل حلول الحول لم تجب كما لا تجب الزكاة إذا مات قبل الحول وإن مات بعد الحول لم يسقط ما وجب كما لا يسقط ما وجب من الزكاة قبل الموت.

Dan sebagian dari sahabat kami berpendapat bahwa jumlah tersebut wajib dibayar dalam tiga tahun, karena jika kami mewajibkan jumlah itu setiap tahun, niscaya memberatkan dirinya. Dan keadaan seseorang dalam hal kefakiran, kekayaan, atau pertengahan dinilai saat masuknya nujūm (jatuh tempo cicilan diyat), karena ia merupakan hak harta yang berkaitan dengan waktu jatuh tempo sebagai bentuk muwāsāt, maka keadaannya dinilai saat jatuh tempo sebagaimana zakat. Jika ia meninggal sebelum jatuh tempo, maka tidak wajib sebagaimana zakat tidak wajib apabila seseorang meninggal sebelum genap satu tahun. Dan jika ia meninggal setelah jatuh tempo, maka tidak gugur apa yang telah wajib, sebagaimana tidak gugur kewajiban zakat yang telah menjadi beban sebelum kematian.

فصل: وإذا أراد الحاكم قسمة على العاقلة قدم الأقرب فالأقرب من العصبات على ترتيبهم في الميراث لأنه حق يتعلق بالتعصيب فقدم فيه الأقرب فالأقرب كالميراث، وإن كان فيهم من يدلي بالأبوين وفيهم من يدلي بالأب ففيه قولان: أحدهما: أنهما سواء لتساويهما في قرابة الأب لأن الأم لا مدخل لها في النصرة وحمل الدية فلا يقدم بها

PASAL: Apabila hakim hendak membagi (tanggungan diyat) kepada ‘āqilah, maka didahulukan kerabat terdekat dari kalangan ‘aṣabah sesuai urutan mereka dalam warisan, karena hal ini merupakan hak yang berkaitan dengan ta‘ṣīb, maka didahulukan yang paling dekat sebagaimana dalam warisan. Jika di antara mereka ada yang bersandar kepada kedua orang tua (ayah dan ibu), dan ada pula yang hanya bersandar kepada ayah, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: keduanya sama, karena keduanya setara dalam kekerabatan melalui ayah, dan ibu tidak berperan dalam pertolongan dan tanggungan diyat, maka tidak didahulukan karenanya.

والثاني: يقدم من يدلي بالأبوين على من يدلي بالأب لأنه حق يستحق بالتعصيب فقدم من يدلي بالأبوين على من يدلي بالأب كالميراث فإن أمكن أن يقسم ما يجب على الأقربين منهم لم يحمل على من بعدهم وإن لم يمكن أن يقسم على الأقربين لقلة عددهم قسم ما فضل على من بعدهم على الترتيب فإن كان القاتل من بني هاشم قسم عليهم فإن عجزوا دخل معهم بنو عبد مناف فإن عجزوا دخل معهم بنو قصي ثم كذلك حتى تستوعب قريش ولا يدخل معهم غير قريش لأن غيرهم لا ينسب إليهم وإن غاب الأقربون في النسب وحضر الأبعدون ففيه قولان: أحدهما: يقدم الأقربون في النسب لأنه حق يستحق بالتعصيب فقدم فيه الأقربون في النسب كالميراث

Pendapat kedua: didahulukan orang yang bersandar kepada kedua orang tua daripada yang hanya bersandar kepada ayah, karena ini adalah hak yang diperoleh dengan ta‘ṣīb, maka didahulukan yang bersandar kepada kedua orang tua sebagaimana dalam warisan. Jika memungkinkan untuk membagi kewajiban kepada kerabat terdekat saja, maka tidak dibebankan kepada yang lebih jauh. Namun jika tidak memungkinkan karena sedikitnya jumlah mereka, maka sisa tanggungan dibagi kepada yang lebih jauh secara berurutan.

Jika pelaku pembunuhan berasal dari Bani Hāsyim, maka pembagian ditetapkan kepada mereka; jika mereka tidak mampu, maka masuklah bersama mereka Bani ‘Abd Manāf; jika mereka tidak mampu, maka masuklah Bani Quṣayy; dan demikian seterusnya hingga mencakup seluruh Quraisy. Tidak dimasukkan selain Quraisy, karena selain mereka tidak memiliki hubungan nasab.

Jika kerabat yang lebih dekat secara nasab tidak hadir, sedangkan yang lebih jauh hadir, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: didahulukan yang lebih dekat secara nasab, karena ini adalah hak yang diperoleh dengan ta‘ṣīb, maka didahulukan yang lebih dekat dalam nasab sebagaimana dalam warisan.

والثاني: يقدم الأقربون في الحضور على الأقربين في النسب لأن تحمل العاقلة على سبيل النصرة والحاضرون أحق بالنصرة من الغيب فعلى هذا إن كان القاتل بمكة وبعض العاقلة بالمدينة وبعضهم بالشام قدم من بالمدينة على من بالشام لأنهم أقرب إلى القاتل وإن استوت جماعة في النسب وبعضهم حضور وبعضهم غيب ففيه قولان: أحدهما: يقدم الحضور لأنهم أقرب إلى النصرة

Pendapat kedua: didahulukan yang lebih dekat dalam kehadiran daripada yang lebih dekat dalam nasab, karena tanggungan ‘āqilah adalah atas dasar pertolongan, dan orang-orang yang hadir lebih berhak untuk memberi pertolongan daripada yang tidak hadir. Berdasarkan pendapat ini, jika pelaku pembunuhan berada di Makkah, sementara sebagian ‘āqilah berada di Madinah dan sebagian lainnya di Syam, maka yang berada di Madinah didahulukan atas yang di Syam karena mereka lebih dekat kepada pelaku.

Jika sekelompok orang setara dalam nasab, namun sebagian dari mereka hadir dan sebagian lainnya tidak, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: didahulukan yang hadir karena mereka lebih dekat dalam memberikan pertolongan.

والثاني: يسوي بين الجميع كما يسوي في الميراث وإن كثرت العاقلة وقل المال المستحق بالجناية بحيث إذا قسم عليهم خص المتوسط دون ربع دينار والغني دون نصف دينار ففيه قولان: أحدهما: أن الحاكم يقسمه على من يرى منهم لأن في تقسيط القليل على الجميع مشقة والثاني: هو الصحيح أنه يقس على الجميع لأنه حق يستحق بالتعصيب فقسم قليله وكثيره بين الجميع كالميراث.

Pendapat kedua: disamakan antara semuanya, sebagaimana disamakan dalam warisan.

Jika jumlah ‘āqilah banyak sedangkan harta yang wajib dibayar karena tindak pidana sedikit, sehingga jika dibagikan kepada mereka menyebabkan bagian orang menengah kurang dari seperempat dīnār dan bagian orang kaya kurang dari setengah dīnār, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: hakim membaginya kepada siapa saja yang ia pandang layak dari mereka, karena membagikan bagian yang sedikit kepada semua orang merupakan suatu kesulitan.

Pendapat kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ: dibagi kepada seluruh ‘āqilah, karena ini adalah hak yang diperoleh dengan ta‘ṣīb, maka bagian yang sedikit maupun banyak dibagi kepada semuanya sebagaimana dalam warisan.

فصل: وإن جنى عبد على حر أو عبد جناية توجب المال تعلق المال برقبته لأنه لا يجوز إيجابه على المولى لأنه لم يوجد منه جناية ولا يجوز تأخيره إلى أن يعتق لأنه يؤدي إلى إهدار الدماء فتعلق برقبته والمولى بالخيار بين أن يبيعه ويقضي حق الجناية من ثمنه وبين أن يفديه ولا يجب عليه تسليم العبد إلى المجني عليه لأنه ليس من جنس حقه وإن اختار بيعه فباعه فإن كان الثمن بقدر مال الجناية صرفه فيه

PASAL: Jika seorang budak melakukan jinayah terhadap orang merdeka atau budak lain yang mengharuskan pembayaran harta, maka harta tersebut terkait dengan leher budak, karena tidak boleh mewajibkannya atas tuannya, sebab tidak ada jinayah yang berasal dari tuannya. Dan tidak boleh pula menangguhkannya sampai budak itu merdeka, karena hal itu akan menyebabkan penghilangan darah yang tertumpahkan. Maka, harta itu terkait pada lehernya, dan tuannya diberi pilihan antara menjualnya dan membayar hak jinayah dari hasil penjualannya, atau menebusnya. Tuannya tidak wajib menyerahkan budak itu kepada korban jinayah karena budak bukan termasuk jenis harta yang menjadi haknya. Jika tuan memilih untuk menjualnya lalu menjualnya, dan hasil penjualannya sebanding dengan harta jinayah, maka hasil tersebut digunakan untuk membayar jinayah.

وإن كان أكثر قضى ما عليه والباقي للمولى وإن كان أقل لم يلزم المولى ما بقي لأن حق المجني عليه لا يتعلق بأكثر من الرقبة فإن اختار أن يفديه ففيه قولان: أحدهما: يلزمه أن يفديه بأقل الأمرين من أرش الجناية أو قيمة العبد لأنه لا يلزمه ما زاد على واحد منهما والقول الثاني: يلزمه أرش الجناية بالغاً أو يسلمه للبيع لأنه قد يرغب فيه راغب فيشتريه بأكثر من قيمته فإذا امتنع من البيع لزمه الأرش بالغاً ما بلغ وإن قتل عشرة أعبد لرجل عبد الآخر عمداً فاقتص مولى المقتول من خمسة وعفا عن خمسة على المال تعلق برقبتهم نصف القيمة في رقبة كل واحد منهم عشرها لأنه قتل خمسة بنصف عبده وعفا عن خمسة على المال وبقي له النصف.

Jika harga budak lebih banyak dari nilai jinayah, maka dibayarkan dari hasil penjualan untuk melunasi tanggungan jinayah, dan sisanya menjadi milik tuannya. Namun jika harga budak lebih sedikit dari nilai jinayah, maka tuannya tidak wajib menanggung sisanya karena hak korban jinayah tidak terkait lebih dari leher budak itu saja. Jika tuan memilih untuk menebusnya, maka terdapat dua pendapat: pertama, wajib menebus dengan yang lebih rendah antara arsy jinayah dan harga budak, karena tidak wajib atasnya melebihi salah satu dari keduanya. Pendapat kedua, wajib membayar penuh arsy jinayah, berapapun jumlahnya, atau menyerahkan budak untuk dijual, karena bisa jadi ada orang yang berminat membeli budak itu dengan harga lebih dari nilainya. Maka jika ia menolak menjualnya, ia wajib membayar penuh arsy jinayah berapapun jumlahnya.

Jika sepuluh budak milik seseorang dibunuh secara sengaja oleh budak orang lain, kemudian tuan dari budak yang terbunuh menuntut qiṣāṣ dari lima budak pelaku dan memaafkan lima lainnya dengan ganti harta, maka yang tersisa adalah separuh haknya. Maka, terkaitlah pada leher mereka (lima budak yang dimaafkan) separuh dari harga budak, dan setiap budak dari mereka terkena tanggungan sepersepuluhnya, karena lima dibunuh dengan separuh dari budaknya dan lima lainnya dimaafkan dengan harta, dan yang tersisa baginya adalah separuh.

باب اختلاف الجاني وولي الدم
إذا قتل رجلاً ثم ادعى أن المقتول كان عبداً وقال الولي بل حراً فالمنصوص أن القول قول الولي مع يمينه وقال فيمن قذف امرأة ثم ادعى أنها أمة أن القول قول القاذف فمن أصحابنا من نقل جوابه في كل واحدة من المسألتين إلى الأخرى وجعلهما على قولين: أحدهما: أن القول قول الجاني والقاذف لأن ما يدعيان محتمل لأن الدار تجمع الأحرار والعبيد والأصل فيه حمى للظهر وحقن الدم

BAB PERSELISIHAN ANTARA PELAKU DAN WALI DARAH

Jika seseorang membunuh seorang laki-laki, kemudian ia mengklaim bahwa orang yang dibunuh adalah seorang budak, sedangkan wali korban berkata bahwa ia adalah orang merdeka, maka pendapat yang dinyatakan (oleh Imam al-Syafi‘i) adalah bahwa perkataan wali diterima dengan sumpahnya. Dan (beliau juga) berkata dalam kasus seseorang yang menuduh seorang perempuan dengan zina kemudian mengklaim bahwa perempuan itu adalah seorang budak, maka yang diterima adalah ucapan si penuduh. Maka sebagian dari sahabat kami menukil jawabannya dalam masing-masing dari dua masalah tersebut ke yang lainnya dan menjadikannya sebagai dua pendapat:

Pertama: bahwa perkataan diterima dari pelaku pembunuhan dan si penuduh, karena apa yang mereka klaim masih mungkin terjadi, sebab sebuah negeri bisa mencakup orang-orang merdeka dan budak, dan hukum asal dalam hal itu adalah perlindungan bagi punggung (yakni kebolehan memperbudak) dan penahanan darah.

والثاني: أن القول قول ولي المجني عليه والمقذوف لأن الظاهر من الدار الحرية ولهذا لو وجد في الدار لقيط حكم بحريته ومن أصحابنا من قال القول في الجناية قول الولي والقول في القذف قول القاذف والفرق بينهما أنا إذا جعلنا القول قول القاذف أسقطنا حد القذف وأوجبنا التعزير فيحصل به الردع وإذا جعلنا القول قول الجاني سقط القصاص ولم يبق ما يقع به الردع.

Kedua: bahwa yang diterima adalah ucapan wali korban dan perempuan yang dituduh, karena yang tampak dari keadaan negeri adalah kemerdekaan. Oleh sebab itu, seandainya ditemukan seorang laqīṭ di negeri itu, maka dihukumi merdeka.

Sebagian sahabat kami ada yang berpendapat: ucapan yang diterima dalam kasus jinayah adalah ucapan wali, sedangkan dalam kasus qadżaf adalah ucapan si penuduh. Perbedaannya adalah: apabila kita menerima ucapan si penuduh, maka yang gugur adalah ḥadd al-qadżaf dan yang berlaku adalah ta‘zīr, yang dengannya sudah tercapai efek jera. Sedangkan jika kita menerima ucapan pelaku jinayah, maka qiṣāṣ gugur, dan tidak tersisa sesuatu pun yang dapat menimbulkan efek jera.

فصل: إذا وجب له القصاص في موضحة فاقتص في أكثر من حقه أو وجب له القصاص في أصبع فاقتص في أصبعين وادعى أن أخطأ في ذلك وادعى المستقاد منه أنه تعمد فالقول قول المقتص مع يمينه لأنه أعرف بفعله وقصده وما يدعيه يجوز الخطأ في مثله فقبل قوله فيه وإن قال المقتص منه أن هذه زيادة حصلت باضطرابه وأنكره المستقاد منه ففيه وجهان: أحدهما: أن القول قول المقتص لأن ما يدعيه كل واحد منهما محتمل والأصل براءة الذمة والثاني: أن القول قول المستقاد منه لأنه الأصل عدم الاضطراب.

PASAL: Jika seseorang berhak mendapatkan qiṣāṣ atas luka mauḍiḥah, lalu ia menuntut qiṣāṣ melebihi haknya, atau ia berhak mendapatkan qiṣāṣ atas satu jari lalu menuntut qiṣāṣ atas dua jari, dan ia mengklaim bahwa ia keliru dalam hal itu, sementara orang yang dikenai qiṣāṣ mengklaim bahwa ia sengaja, maka ucapan yang diterima adalah ucapan orang yang menuntut qiṣāṣ dengan sumpahnya, karena ia lebih tahu tentang perbuatan dan maksudnya, dan apa yang ia klaim memungkinkan terjadi kekeliruan dalam hal seperti itu, maka diterima ucapannya.

Dan jika orang yang dikenai qiṣāṣ berkata bahwa kelebihan ini terjadi karena gerakannya yang tidak terkendali, sedangkan yang menuntut qiṣāṣ menyangkalnya, maka terdapat dua wajah:

Pertama: ucapan yang diterima adalah ucapan yang menuntut qiṣāṣ, karena apa yang diklaim oleh masing-masing dari keduanya masih mungkin terjadi, dan hukum asalnya adalah terbebasnya tanggungan.

Kedua: ucapan yang diterima adalah ucapan orang yang dikenai qiṣāṣ, karena hukum asalnya adalah tidak adanya gerakan tidak terkendali.

فصل: إذا اشترك ثلاثة في جرح رجل ومات المجروح ثم ادعى أحدهم أن جراحته اندملت وأنكر الآخران وصدق الوالي المدعي نظرت فإن أراد القصاص قبل تصديقه ولم يجب على المدعي إلا ضمان الجراحة لأنه لا ضرر على الآخرين لأن القصاص يجب عليهما في الحالين وإن أراد أن يأخذ الدية لم يقبل تصديقه لأنه يدخل الضرر على الآخرين لأنه إذا حصل القتل من الثلاثة وجب على كل واحد منهم ثلث الدية وإذا حصل من جراحهما وجب على كل واحد منهما نصف الدية والأصل براءة ذمتهما مما زاد على الثلث.

PASAL: Jika tiga orang bersama-sama melukai seorang lelaki lalu lelaki itu meninggal, kemudian salah seorang dari mereka mengaku bahwa lukanya telah sembuh, sedangkan dua lainnya mengingkari, dan penguasa membenarkan pengakuan orang yang mengaku, maka diperhatikan: jika ia menghendaki qiṣāṣ sebelum adanya pembenaran, maka ia tidak wajib kecuali menjamin luka itu saja, karena tidak ada mudarat bagi dua orang lainnya, sebab qiṣāṣ tetap wajib atas keduanya dalam kedua keadaan tersebut. Namun jika ia menghendaki untuk mengambil diyah, maka pengakuannya tidak diterima karena hal itu menimbulkan mudarat bagi dua orang lainnya, sebab apabila kematian terjadi akibat perbuatan ketiganya, maka wajib atas masing-masing sepertiga diyah, sedangkan jika kematian terjadi karena luka dua orang lainnya, maka wajib atas masing-masing dari keduanya setengah diyah, dan asalnya adalah bahwa keduanya bebas dari tanggungan atas kelebihan dari sepertiga.

فصل: إذا قد رجلاً ملفوفاً في كساء ثم ادعى أنه قده وهو ميت وقال الوالي بل كان حياً ففيه قولان: أحدهما: أن القول قول الجاني لأن ما يدعيه محتمل والأصل براءة ذمته والثاني: أن القول قول الوالي لأن الأصل حياته وكونه مضموناً فصار كما لو قتل مسلماً وادعى أنه كان مرتداً.

PASAL: Jika seseorang membelah tubuh seorang laki-laki yang terbungkus dalam selimut, lalu ia mengaku bahwa ia membelahnya dalam keadaan sudah mati, namun penguasa berkata bahwa ia masih hidup, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
pertama: bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan pelaku karena apa yang ia klaim masih mungkin terjadi dan hukum asalnya adalah terbebasnya tanggungan dari dirinya;
kedua: bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan penguasa karena hukum asalnya adalah bahwa orang itu masih hidup dan termasuk jiwa yang harus dijamin, sehingga hukumnya seperti orang yang membunuh seorang muslim lalu mengaku bahwa ia telah murtad.

فصل: وإن جنى على عضو ثم اختلفا في سلامته فادعى الجاني أنه جنى عليه وهو أشل وادعى المجني عليه أنه جنى عليه وهو سليم فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال فيه قولان: أحدهما: أن القول قول الجاني لأن ما يدعيه كل واحد منهما محتمل والأصل براءة ذمته والثاني: أن القول قول المجني عليه لأن الأصل سلامة العضو ومنهم من قال القول في الأعضاء الظاهرة قول الجاني وفي الأعضاء الباطنة القول قول المجني عليه لأنه يتعذر عليه إقامة البينة على السلامة في الأعضاء الظاهرة فكان القول قول الجاني ويتعذر عليه إقامة البينة على الأعضاء الباطنة والأصل السلامة فكان القول قول المجني عليه

PASAL: Jika seseorang melakukan jināyah pada suatu anggota tubuh lalu keduanya berselisih tentang keselamatannya—pelaku mengaku bahwa ia melakukannya pada anggota yang sudah lumpuh, sedangkan korban mengklaim bahwa anggota itu masih sehat saat terkena jināyah—maka para ulama kami berbeda pendapat:
Di antara mereka ada yang mengatakan ada dua pendapat:
pertama: bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan pelaku, karena klaim masing-masing memungkinkan, dan hukum asalnya adalah bebasnya tanggungan pelaku;
kedua: bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan korban karena hukum asalnya adalah keselamatan anggota.
Dan di antara mereka ada pula yang berpendapat: untuk anggota tubuh yang tampak, maka ucapan pelaku dijadikan pegangan, dan untuk anggota yang tersembunyi, ucapan korbanlah yang dijadikan pegangan. Sebab, korban sulit mendatangkan bukti keselamatan untuk anggota yang tampak, maka ucapan pelaku diterima; dan sulit baginya mendatangkan bukti keselamatan untuk anggota yang tersembunyi, padahal hukum asalnya adalah selamat, maka ucapan korban diterima.

ولهذا لم علق طلاق امرأته على ولادتها فقالت ولدت لم يقبل قولها لأنه يمكن إقامة البينة على الولادة ولو علق طلاقها على حيضها فقالت حضت قبل قولها لأنه يتعذر إقامة البينة على حيضها فإن اتفقا على سلامة العضو الظاهر وادعى الجاني أنه طرأ عليه الشلل وأنكر المجني عليه ففيه قولان: أحدهما: أن القول قول الجاني لأنه يتعذر إقامة البينة على سلامته والثاني: أن القول قول المجني عليه لأنه قد ثبتت سلامته فلا يزال عنه حتى يثبت الشلل.

Oleh karena itu, apabila seorang suami menggantungkan talak istrinya pada kelahirannya lalu sang istri berkata, “Aku telah melahirkan,” maka ucapannya tidak diterima karena memungkinkan untuk mendatangkan bukti atas kelahiran. Namun jika ia menggantungkan talaknya pada haidnya lalu sang istri berkata, “Aku telah haid,” maka ucapannya diterima karena sulit didatangkan bukti atas haid.

Apabila keduanya sepakat bahwa anggota tubuh yang tampak itu semula sehat, lalu pelaku jināyah mengaku bahwa setelah itu anggota tersebut menjadi lumpuh, dan korban mengingkari, maka terdapat dua pendapat:
pertama: bahwa ucapan pelaku dijadikan pegangan karena sulit didatangkan bukti atas keselamatannya;
kedua: bahwa ucapan korban dijadikan pegangan karena keselamatan anggota tersebut telah tetap, maka tidak dapat dinyatakan berubah hingga terbukti adanya kelumpuhan.

فصل: إذا أوضح رأس رجل موضحتين بينهما حاجز ثم زال الحاجز فقال الجاني تأكل ما بينهما بسراية فعلي فلا يلزمني مني إلا أرش موضحة وقال المجني عليه أنا خرقت ما بينهما فعليك أرش موضحتين فالقول قول المجني عليه لأن ما يدعيه كل واحد منهما محتمل والأصل بقاء الموضحتين ووجوب الأرشين وإن أوضح رأسه فقال الجاني أوضحته موضحة واحدة وقال المجني عليه أو ضحتني موضحتين وأنا خرقت ما بينهما فالقول قول الجاني لأن ما يدعيه كل واحد منهما محتمل والأصل براءة الذمة.

PASAL: Jika seseorang membuat dua mauḍiḥah di kepala seseorang dengan adanya pemisah di antara keduanya, lalu pemisah itu hilang, kemudian pelaku berkata, “Yang menghilangkan bagian di antara keduanya adalah sarayān (penyebaran luka), maka aku tidak wajib membayar kecuali arasy satu mauḍiḥah saja,” sedangkan korban berkata, “Aku yang merobek bagian di antara keduanya, maka engkau wajib membayar dua arasy mauḍiḥah,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat korban karena apa yang diklaim masing-masing memungkinkan, dan hukum asalnya adalah tetapnya dua mauḍiḥah dan wajibnya dua arasy.

Dan jika ia membuat mauḍiḥah di kepalanya, lalu pelaku berkata, “Aku membuat satu mauḍiḥah,” dan korban berkata, “Engkau membuat dua mauḍiḥah dan akulah yang merobek bagian di antara keduanya,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat pelaku karena apa yang diklaim masing-masing memungkinkan, dan hukum asalnya adalah bebasnya tanggungan.

فصل: وإن قطع رجل يدي رجل ورجليه ومات واختلف الجاني والولي فقال الجاني مات من سراية الجنايتين فعلي دية واحدة وقال الولي بل اندملت الجنايتين ثم مات فعليك ديتان فإن كان قد مضى زمان يمكن فيه اندمال الجراحتين فالقول قول الولي لأن الأصل وجوب الديتين وإن لم يمض زمن يمكن فيه الاندمال فالقول قول الجاني لأن ما يدعيه الولي غير محتمل وإن اختلفا في المدة فقال الولي مضت مدة يمكن فيها الاندمال وقال الجاني لم يمض فالقول قول الجاني لأن الأصل عدم المدة.

PASAL: Jika seseorang memotong kedua tangan dan kedua kaki seseorang, lalu orang itu meninggal dunia, dan terjadi perselisihan antara pelaku dan wali korban, di mana pelaku berkata, “Ia meninggal karena sarayān dari dua luka tersebut, maka aku hanya wajib membayar satu diyat,” sedangkan wali korban berkata, “Dua luka itu telah sembuh lalu ia meninggal, maka atasmu dua diyat,” maka jika telah berlalu waktu yang memungkinkan untuk sembuhnya dua luka tersebut, pendapat yang diterima adalah pendapat wali, karena hukum asalnya adalah wajibnya dua diyat. Namun jika belum berlalu waktu yang memungkinkan terjadinya kesembuhan, pendapat yang diterima adalah pendapat pelaku, karena klaim wali tidak mungkin terjadi.

Dan jika keduanya berselisih tentang jangka waktu, lalu wali berkata, “Telah berlalu waktu yang memungkinkan untuk sembuh,” dan pelaku berkata, “Belum berlalu,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat pelaku, karena hukum asalnya adalah tidak adanya jangka waktu tersebut.

فصل: وإن قطع يد رجل ومات فقال الولي مات من سراية قطعك فعليك الدية وقال الجاني اندملت جنايتي ومات بسبب آخر فعلي نصف الدية نظرت فإن لم تمض مدة يمكن فيها الاندمال فالقول قول الولي لأن الظاهر أنه مات من سراية الجناية ويحلف على ذلك لجواز أن يكون قتله آخر أو شرب سماً فمات منه وإن مضت مدة يمكن فيها الاندمال ثم مات فإن كان مع الولي بينة أنه لم يزل متألماً ضمناً إلى أن مات فالقول قوله مع يمينه لأن الظاهر أنه مات من الجناية وإن لم يكن معه بينة على ذلك فالقول قول الجاني لأن ما يدعيه كل واحد منهما ممكن والأصل براءة ذمة الجاني مما زاد على نصف الدية.

PASAL: Jika seseorang memotong tangan orang lain lalu orang tersebut meninggal, kemudian wali korban berkata, “Ia meninggal karena sarayān dari potongan yang engkau lakukan, maka atasmu diyat penuh,” dan pelaku berkata, “Lukaku telah sembuh dan ia meninggal karena sebab lain, maka atasku hanya setengah diyat,” maka hal itu ditinjau. Jika belum berlalu waktu yang memungkinkan untuk sembuh, maka pendapat yang diterima adalah pendapat wali karena secara lahiriah ia meninggal karena sarayān dari luka tersebut. Wali bersumpah atas hal itu karena mungkin saja ia dibunuh oleh orang lain atau meminum racun lalu mati karenanya.

Namun jika telah berlalu waktu yang memungkinkan untuk sembuh lalu ia meninggal, dan wali memiliki bukti bahwa korban senantiasa merasa kesakitan hingga meninggal, maka pendapatnya diterima beserta sumpahnya, karena secara lahiriah ia meninggal karena luka tersebut. Tetapi jika wali tidak memiliki bukti atas hal itu, maka pendapat yang diterima adalah pendapat pelaku, karena apa yang diklaim masing-masing memungkinkan, dan hukum asalnya adalah bebasnya tanggungan pelaku dari kewajiban lebih dari setengah diyat.

فصل: وإن قطع يد رجل ومات ثم اختلف الولي والجاني فقال الجاني شرب سماً أو جنى عليه آخر بعد جنايتي فلا يجب علي إلا نصف الدية وقال الولي مات من سراية جنايتك فعليك الدية فليس فيها نص ويحتمل أن يكون القول قول الولي لأن الأصل حصول جنايته وعدم غيرها ويحتمل أن يكون القول قول الجاني لأنه يحتمل ما يدعيه والأصل براءة ذمته.

PASAL: Jika seseorang memotong tangan orang lain lalu orang tersebut meninggal, kemudian terjadi perselisihan antara wali korban dan pelaku, di mana pelaku berkata, “Ia meminum racun atau orang lain menjatuhkan jinayah padanya setelah jinayahku, maka aku hanya wajib membayar setengah diyat,” dan wali berkata, “Ia meninggal karena sarayān dari jinayahmu, maka atasmu diyat penuh,” maka dalam masalah ini tidak terdapat nash.

Dan hal ini mengandung dua kemungkinan: kemungkinan pertama, pendapat yang diterima adalah pendapat wali, karena hukum asalnya adalah terjadinya jinayah dari pelaku dan tidak adanya jinayah dari selainnya; dan kemungkinan kedua, pendapat yang diterima adalah pendapat pelaku, karena apa yang ia klaim memungkinkan terjadi dan hukum asalnya adalah bebasnya tanggungan dari diyat penuh.

فصل: وإن جنى عليه جناية ذهب بها ضوء العين وقال أهل الخبرة يرجى عود البصر فمات واختلف الولي والجاني فقال الجاني عاد الضوء ثم مات وقال الولي لم يعد فالقول قول الولي مع يمينه لأن الأصل ذهاب الضوء وعدم العود وإن جنى على عينه فذهب الضوء ثم جاء آخر فقلع العين واختلف الجانيان فقال الأول عاد الضوء ثم قلعت أنت فعليك الدية وقال الثاني قلعت ولم يعد الضوء فعلي حكومة وعليك الدية فالقول قول الثاني لأن الأصل عدم العود فإن صدق المجني عليه الأول قبل قوله في براءة الأول لأنه يسقط عنه حقاً له ولا يقبل قوله على الثاني لأنه يوجب عليه حقاً له والأصل عدمه.

PASAL: Jika seseorang menjatuhkan jinayah sehingga hilang cahaya (penglihatan) mata korban, lalu para ahli mengatakan bahwa penglihatan tersebut masih diharapkan bisa kembali, kemudian korban meninggal dunia dan terjadi perselisihan antara wali dan pelaku, di mana pelaku berkata, “Cahaya penglihatan telah kembali lalu ia meninggal,” dan wali berkata, “Cahayanya tidak kembali,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat wali beserta sumpahnya, karena hukum asalnya adalah hilangnya cahaya dan tidak kembalinya.

Dan jika seseorang menjatuhkan jinayah pada mata hingga hilang penglihatan, kemudian datang orang lain dan mencabut matanya, lalu kedua pelaku berselisih: pelaku pertama berkata, “Penglihatan telah kembali kemudian engkau mencabutnya, maka atasmu diyat,” dan pelaku kedua berkata, “Aku mencabut mata itu saat penglihatannya belum kembali, maka atasku ḥukūmah, dan atasmu diyat,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat pelaku kedua karena hukum asalnya adalah tidak kembalinya penglihatan.

Jika korban membenarkan pelaku pertama, maka pernyataannya diterima untuk membebaskan pelaku pertama, karena ia menggugurkan haknya sendiri, tetapi tidak diterima untuk menuntut pelaku kedua, karena ia menetapkan hak untuk dirinya, dan hukum asalnya adalah tidak adanya hak tersebut.

فصل: إذا جنى على رجل جناية فادعى المجني عليه أنه ذهب سمعه وأنكر الجاني امتحن في أوقات غفلاته بالصياح مرة بعد مرة فإن ظهر منه إمارات السماع فالقول قول الجاني لأن الظاهر يشهد له ولا يقبل قوله من غير يمين لأنه يحتمل أن يكون ما ظهر من أمارة السماع اتفاقاً وإن لم يظهر منه أمارة السماع فالقول قول المجني عليه لأن الظاهر معه ولا يقبل قوله في ذلك من غير يمين لجواز ما ظهر من عدم السماع لجودة تحفظه

PASAL: Jika seseorang melakukan jināyah terhadap seorang laki-laki, lalu orang yang terkena jināyah mengklaim bahwa pendengarannya hilang sementara pelaku jināyah mengingkarinya, maka dilakukan pengujian terhadapnya pada saat-saat lalai dengan cara berteriak kepadanya berulang kali. Jika tampak darinya tanda-tanda pendengaran, maka yang menjadi pegangan adalah ucapan pelaku jināyah, karena yang lahir mendukungnya. Namun, ucapannya tidak diterima tanpa sumpah, karena bisa jadi tanda-tanda pendengaran yang tampak itu terjadi secara kebetulan. Dan jika tidak tampak tanda-tanda pendengaran darinya, maka ucapan korban jināyah yang dipegang karena yang lahir mendukungnya. Akan tetapi, ucapannya tidak diterima tanpa sumpah, karena mungkin saja ketidaknampakan tanda-tanda pendengaran itu karena ia sangat pandai menjaga diri.

وإن ادعى نقصان السمع فالقول قوله مع يمينه لأنه يتعذر إقامة البينة عليه ولا يعرف ذلك إلا من جهته وما يدعيه محتمل فقبل قوله مع يمينه كما يقبل قول المرأة في الحيض وإن ادعى ذهاب السمع من إحدى الأذنين سد التي لم يذهب السمع منها ثم يمتحن بالصياح في أوقات غفلاته فإن ظهر منه أمارة السمع فالقول قول الجاني مع يمينه وإن لم يظهر منه أمارة السماع فالقول قول المجني عليه مع يمينه لما ذكرناه.

Dan jika ia mengklaim bahwa pendengarannya berkurang, maka ucapannya diterima disertai sumpahnya, karena sulit mendatangkan saksi atas hal tersebut dan tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali dari pihaknya sendiri, serta apa yang diklaimnya memungkinkan terjadi, maka diterima ucapannya dengan sumpahnya sebagaimana diterima ucapan perempuan tentang haidnya. Dan jika ia mengklaim hilangnya pendengaran dari salah satu telinganya, maka telinga yang pendengarannya tidak hilang ditutup, lalu diuji dengan teriakan pada saat-saat lalai. Jika tampak darinya tanda-tanda pendengaran, maka ucapannya pelaku jināyah yang diterima disertai sumpahnya. Dan jika tidak tampak tanda-tanda pendengaran darinya, maka ucapannya korban jināyah yang diterima disertai sumpahnya, sebagaimana telah disebutkan.

فصل: وإن ادعى المجني عليه ذهاب شمه وأنكر الجاني امتحن في أوقات غفلته بالروائح الطيبة والروائح المنتنة فإن كان لا يرتاح إلى الروائح الطيبة ولا تظهر منه كراهية الروائح النتنة فالقول قوله لأن الظاهر معه ويحلف عليه لجواز أن يكون قد تصنع لذلك وإن ارتاح إلى الروائح الطيبة ظهرت منه الكراهية للروائح المنتنة فالقول قول الجاني لأن الظاهر يشهد له ويحلف على ذلك لجواز أن يكون ما ظهر من المجني عليه من الارتياح والتكره اتفاقا وإن حلف المجني عليه على ذهاب شمه ثم غطى أنفه عند رائحة منتنة فادعى الجاني أنه غطاه ببقاء شمه وادعى المجني عليه أنه غطاه لحاجة أو لعادة فالقول قول المجني عليه لأنه يحتمل ما يدعيه.

PASAL: Jika korban jināyah mengklaim hilangnya penciuman dan pelaku jināyah mengingkarinya, maka diuji pada saat-saat lalai dengan wewangian yang harum dan bau yang busuk. Jika ia tidak merasa nyaman terhadap wewangian yang harum dan tidak tampak darinya rasa tidak suka terhadap bau busuk, maka ucapannya diterima karena yang lahir mendukungnya, dan ia disumpah atasnya karena memungkinkan ia berpura-pura demikian. Namun, jika ia merasa nyaman terhadap wewangian yang harum dan tampak darinya rasa tidak suka terhadap bau busuk, maka ucapannya pelaku yang diterima karena yang lahir mendukungnya, dan ia disumpah atasnya karena bisa jadi apa yang tampak dari korban berupa kenyamanan dan ketidaksukaan itu terjadi secara kebetulan. Dan jika korban bersumpah bahwa penciumannya telah hilang, lalu ia menutup hidungnya saat mencium bau busuk, kemudian pelaku mengklaim bahwa ia menutupnya karena penciumannya masih ada, dan korban mengklaim bahwa ia menutupnya karena suatu kebutuhan atau kebiasaan, maka ucapannya korban yang diterima karena apa yang diklaimnya memungkinkan terjadi.

فصل: وإن كسر صلب رجل فادعى المجني عليه أنه ذهب جماعة فالقول قوله مع يمينه لأن ما يدعيه محتمل ولا يعرف ذلك إلا من جهته فقبل قوله مع يمينه كالمرأة في دعوى الحيض.
فصل: وإن اصطدمت سفينتان فتلفتا وادعى صاحب السفينة على القيم أنه فرط في ضبطها وأنكر القيم ذلك فالقول قوله مع يمينه لأن الأصل عدم التفريط وبراءة الذمة.

PASAL: Jika seseorang mematahkan tulang punggung seorang laki-laki, lalu korban jināyah mengklaim bahwa ia kehilangan kemampuan berjima‘, maka ucapannya diterima dengan sumpahnya, karena apa yang diklaimnya memungkinkan terjadi dan tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali dari pihaknya sendiri, maka diterima ucapannya dengan sumpahnya sebagaimana perempuan dalam klaim haid.

PASAL: Jika dua perahu bertabrakan lalu keduanya rusak, dan pemilik perahu mengklaim bahwa pengelola perahu telah lalai dalam mengendalikannya, sementara pengelola tersebut mengingkarinya, maka ucapannya pengelola yang diterima dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada kelalaian dan terbebasnya tanggungan.

فصل: إذا ضرب بطن امرأة فألقت جنيناً ميتاً ثم اختلفا فقال الضارب ما أسقطت من ضربي وقالت المرأة أسقطت من ضربك نظرت فإن كان الإسقاط عقيب الضربة فالقول قولها لأن الظاهر معها وإن كان الإسقاط بعد مدة نظرت فإن بقيت المرأة متألمة إلى أن أسقطت فالقول قولها لأن الظاهر معها وإن لم تكن متألمة فالقول قوله لأنه يحتمل ما يدعيه كل واحد منهما والأصل براءة الذمة وإن اختلفا في التألم فالقول قول الجاني

PASAL: Jika seseorang memukul perut seorang perempuan lalu ia mengalami keguguran janin dalam keadaan mati, kemudian keduanya berselisih pendapat—si pemukul berkata, “Yang gugur itu bukan karena pukulanku,” sedangkan perempuan berkata, “Aku gugur karena pukulanmu”—maka dilihat keadaannya. Jika keguguran terjadi langsung setelah pukulan, maka perkataan perempuan yang diterima karena zahir berpihak kepadanya. Jika keguguran terjadi setelah beberapa waktu, maka dilihat lagi: jika perempuan tetap merasakan sakit hingga mengalami keguguran, maka perkataannya diterima karena zahir berpihak kepadanya. Jika ia tidak merasakan sakit, maka perkataan pemukul yang diterima karena masing-masing kemungkinan masih bisa terjadi, dan asalnya adalah bebasnya tanggungan. Jika keduanya berselisih tentang adanya rasa sakit, maka perkataan pelaku (pemukul) yang diterima.

لأن الأصل عدم التألم وإن ضربها فأسقطت جنيناً حياً ومات واختلفا فقالت المرأة مات من ضربك وقال الضارب مات بسبب آخر فإن مات عقب الإسقاط فالقول قولها لأن الظاهر معها وأنه مات من الجناية وإن مات بعد مدة ولم تقم البينة أنه بقي متألماً إلى أن مات فالقول قول الضارب مع يمينه لأنه يحتمل ما يدعيه والأصل براءة الذمة وإن أقامت بينة أنه بقي متألماً إلى أن مات فالقول قولها مع اليمين لأن الظاهر أنه مات من جنايته.

Karena asalnya tidak ada rasa sakit. Jika ia memukul perempuan lalu perempuan itu menggugurkan janin dalam keadaan hidup lalu janin itu mati, kemudian keduanya berselisih—perempuan berkata, “Ia mati karena pukulanmu,” sedangkan si pemukul berkata, “Ia mati karena sebab lain”—maka jika kematian terjadi langsung setelah keguguran, maka perkataan perempuan yang diterima karena zahir berpihak kepadanya dan kematiannya disebabkan oleh tindak pidana. Namun jika janin mati setelah beberapa waktu dan tidak ada bukti bahwa ia tetap merasakan sakit hingga mati, maka perkataan pemukul yang diterima dengan sumpahnya, karena apa yang ia klaim masih mungkin terjadi dan asalnya adalah bebasnya tanggungan. Namun jika perempuan menghadirkan bukti bahwa janin itu tetap merasakan sakit hingga akhirnya mati, maka perkataannya yang diterima disertai sumpah karena zahir menunjukkan bahwa kematiannya disebabkan oleh tindak pidana.

فصل: وإن اختلفا فقالت المرأة استهل ثم مات وأنكر الضارب فالقول قوله لأن الأصل عدم الاستهلال وإن ألقت جنيناً حياً ومات ثم اختلفا فقال الضارب كان أنثى وقالت المرأة أنه كان ذكراً فالقول قول الضارب لأن الأصل براءة الذمة مما زاد على دية الأنثى.

PASAL: Jika keduanya berselisih, lalu wanita berkata, “Ia menangis lalu mati,” dan si pemukul mengingkarinya, maka perkataan si pemukul yang diterima karena asalnya adalah tidak adanya istihlal. Dan jika ia melahirkan janin dalam keadaan hidup lalu mati, kemudian keduanya berselisih, lalu si pemukul berkata, “Itu perempuan,” dan wanita berkata, “Itu laki-laki,” maka perkataan si pemukul yang diterima karena asalnya adalah bebasnya tanggungan dari tambahan atas diyah perempuan.

فصل: وإن ادعى رجل على رجل قتلاً تجب فيها الدية على العاقل صدقه المدعى عليه وأنكرت العاقلة وجبت الدية على الجاني بإقراره ولا تجب على العاقلة من غير بينة لما روي عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال: لا تحمل العاقلة عمداً ولا عبداً ولا صلحاً ولا اعترافاً ولأنا لو قبلنا إقراره على العاقلة لم يؤمن إن لم يواطىء في كل وقت من يقوله بقتل الخطأ فيودي إلى الإضرار بالعاقلة

PASAL: Jika seorang laki-laki menuduh laki-laki lain melakukan pembunuhan yang mengharuskan pembayaran diyah atas tanggungan ‘āqilah, lalu terdakwa membenarkan pengakuan tersebut, namun ‘āqilah mengingkarinya, maka diyah wajib atas pelaku karena pengakuannya, dan tidak wajib atas ‘āqilah tanpa adanya bukti. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Ibn ‘Abbās RA bahwa ia berkata: “‘Āqilah tidak menanggung (pembayaran diyah) karena pembunuhan sengaja, juga tidak karena budak, tidak karena ṣulḥ, dan tidak karena pengakuan.” Karena jika kita menerima pengakuan pelaku atas ‘āqilah, dikhawatirkan ia akan bersekongkol setiap saat dengan orang lain untuk mengaku bahwa ia membunuh karena kesalahan, sehingga hal itu dapat menyebabkan kerugian bagi ‘āqilah.

وإن ضرب بطن امرأة فألقت جنيناً فقال الجاني كان ميتاً وقالت المرأة كان حياً فالقول قول الجاني لأنه يحتمل ما يدعيه لك واحد منهما والأصل براءة الذمة وإن صدق الجاني المرأة وأنكرت العاقلة وجب على العاقلة قدر الغرة لأنها لم تعترف بأكثر منها ووجبت الزيادة في ذمة الجاني لأن قوله مقبول على نفسه دون العاقلة.

Dan jika seseorang memukul perut seorang perempuan lalu ia keguguran, kemudian pelaku berkata, “Janinnya sudah mati,” sementara perempuan berkata, “Ia lahir dalam keadaan hidup,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan pelaku, karena apa yang diklaim masing-masing memungkinkan, dan hukum asalnya adalah bebasnya tanggungan.

Namun jika pelaku membenarkan ucapan perempuan dan ‘āqilah mengingkarinya, maka wajib atas ‘āqilah kadar ghurrah saja, karena ia tidak mengakui lebih dari itu. Sedangkan kelebihan (dari kadar ghurrah) menjadi tanggungan pelaku, karena ucapannya berlaku atas dirinya sendiri namun tidak berlaku atas ‘āqilah.

فصل: إذا سلم من عليه الدية الإبل في قتل العمد ثم اختلفا فقال الولي لم يكن فيها خلفات وقال من عليه الدية كانت فيها خلفات فإن لم يرجع في حال الدفع إلى أهل الخبرة فالقول قول الولي لأن الأصل عدم الحمل فإن رجع في الدفع إلى قول أهل الخبرة ففيه وجهان: أحدهما: أن القول قول الولي لما ذكرناه والثاني: أن القول قول من عليه الدية لأن حكمنا بأنها خلفات بقول أهل الخبرة فلم يقبل فيه قول الولي.

PASAL: Jika orang yang berkewajiban membayar diyah menyerahkan unta-unta dalam kasus pembunuhan ‘amdan, lalu keduanya berselisih pendapat—wali korban berkata: “tidak ada di antara unta-unta itu yang bunting”, sedangkan pihak yang membayar diyah berkata: “di antaranya ada unta-unta yang bunting”—maka apabila dalam proses penyerahan tidak merujuk kepada pendapat ahli, maka perkataan wali yang diterima karena asalnya adalah tidak adanya kebuntingan. Namun apabila dalam proses penyerahan merujuk kepada pendapat ahli, maka terdapat dua pendapat: pertama, perkataan wali yang diterima karena alasan yang telah disebutkan; kedua, perkataan orang yang membayar diyah yang diterima karena kita menetapkan kebuntingan unta berdasarkan pendapat ahli, maka tidak diterima perkataan wali dalam hal ini.

باب كفارة القتل
من قتل من يحرم عليه قتله من مسلم أو كافر له أمان خطأ وهو من أهل الضمان وجبت عليه الكفارة لقوله تعالى: {وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ} وقوله تبارك وتعالى: {فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ} فإن قتله عمداً أو شبه عمد وجبت عليه الكفارة لأنها إذا وجبت في قتل الخطأ مع عدم المأثم فلأن تجب في العمد وشبه العمد وقد تغلظ بالإثم أولى وإن توصل إلى قتله بسبب يضمن فيه النفس كحفر بئر وشهادة الزور والإكراه وجبت عليه الكفارة

PASAL: Kafarat atas Pembunuhan

Barang siapa membunuh seseorang yang haram baginya untuk dibunuh, baik seorang muslim maupun kafir yang memiliki amān secara tidak sengaja, dan ia termasuk dari kalangan yang dikenai kewajiban jaminan (ḍamān), maka wajib atasnya membayar kafarat, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin tanpa sengaja, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya…” dan firman-Nya yang Mahasuci: “Jika ia (yang terbunuh) dari suatu kaum yang memusuhi kalian, sedangkan ia seorang mukmin, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak mukmin. Dan jika ia dari suatu kaum yang antara kalian dan mereka ada perjanjian, maka (wajib atasnya) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan seorang budak mukmin.”

Jika ia membunuhnya secara sengaja atau syibh al-‘amdi, maka wajib atasnya membayar kafarat. Sebab, apabila kafarat itu diwajibkan dalam pembunuhan karena keliru—padahal tidak mengandung dosa—maka mewajibkannya dalam pembunuhan sengaja atau syibh al-‘amdi, yang mengandung dosa, tentu lebih utama. Dan apabila ia membunuhnya melalui perantaraan sebab yang mengharuskan jaminan terhadap jiwa, seperti menggali sumur, memberikan kesaksian palsu, atau melakukan pemaksaan, maka wajib atasnya membayar kafarat.

لأن السبب كالمباشرة في إيجاب الضمان فكان كالمباشرة في إيجاب الكفارة فإن ضرب بطن امرأة فألقت جنيناً ميتاً وجبت عليه الكفارة لأنه آدمي محقون الدم لحرمته فضمن بالكفارة كغيره وإن قتل نفسه أو قتل عبده وجبت عليه الكفارة لأن الكفارة تجب لحق الله تعالى،

Karena sebab (tidak langsung) itu diposisikan seperti perbuatan langsung dalam mewajibkan jaminan (ḍamān), maka ia diposisikan pula seperti perbuatan langsung dalam mewajibkan kafarat. Maka jika seseorang memukul perut seorang perempuan lalu ia mengalami keguguran janin dalam keadaan mati, maka wajib atasnya membayar kafarat, karena janin tersebut adalah manusia yang darahnya terjaga karena kehormatannya, maka ia dijamin dengan kafarat sebagaimana yang lain. Dan jika seseorang membunuh dirinya sendiri atau membunuh budaknya, maka wajib atasnya membayar kafarat, karena kafarat itu diwajibkan sebagai hak Allah Ta‘ālā.

كتاب قتال أهل البغي
مدخل

كتاب قتال أهل البغي
لا يجوز الخروج عن الإمام لمل روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من نزع يده من طاعة إمامه فإنه يأتي يوم القيامة ولا حجة له ومن مات وهو مفارق للجماعة فإنه يموت ميتة جاهلية”. وروى أبو هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من حمل علينا السلاح فليس منا” .

Kitab Qitāl Ahl al-Baghī
Pendahuluan

Kitab Qitāl Ahl al-Baghī

Tidak boleh keluar (memberontak) terhadap imam, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa mencabut tangannya dari ketaatan terhadap imamnya, maka ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah, dan barang siapa mati dalam keadaan memisahkan diri dari jamaah, maka ia mati dalam keadaan jahiliah.” Dan diriwayatkan dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.”

فصل: إذا خرجت على الإمام طائفة من المسلمين ورامت خلعه بتأويل أو منعت حقاً توجب عليها بتأويل وخرجت عن قبضة الإمام وامتنعت بمنعة قاتلها الإمام لقوله عز وجل: {وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ الله} ولأن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قاتل مانعي الزكاة وقاتل علي كرم الله وجهه أهل البصرة يوم الجمل وقاتل معاوية بصفين وقاتل الخوارج بالنهروان ولا يبدأ القتال حتى يسألهم ما ينقمون منه فإن ذكروا مظلمة أزالها

PASAL: Jika suatu kelompok dari kaum muslimin memberontak terhadap imam dan berkeinginan untuk mencopotnya dengan ta’wil, atau menolak kewajiban yang mesti mereka tunaikan dengan ta’wil, serta keluar dari kekuasaan imam dan membentengi diri dengan kekuatan, maka imam boleh memerangi mereka berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satunya melanggar terhadap yang lain, maka perangilah yang melanggar itu sampai ia kembali kepada perintah Allah}, dan karena Abu Bakar ash-Shiddiq RA memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, dan Ali Karramallahu Wajhah memerangi penduduk Bashrah pada hari Jamal, serta memerangi Mu’awiyah di Shiffin, dan memerangi kaum Khawarij di Nahrawan. Tidak boleh memulai peperangan sebelum terlebih dahulu menanyakan alasan keberatan mereka terhadap imam; jika mereka menyebutkan adanya kezaliman, maka imam wajib menghilangkannya.

وإن ذكروا علة يمكن إزاحتها أزاحها وإن ذكروا شبهة كشفها لقوله تعالى: {فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا} وفيما ذكرناه إصلاح وروى عبد الله بن شداد أن علي كرم الله وجهه لما كتب معاوية وحكم وعتب عليه ثمانية آلاف ونزلوا بأرض يقال لهل حروراء فقالوا: انسلخت من قميص ألبسك الله وحكمت في دين الله ولا حكم إلا لله فقال علي: بيني وبينكم كتاب الله يقول الله تعالى في رجل وامرأة: {وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَماً مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحاً يُوَفِّقِ الله بَيْنَهُمَا} وأمة محمد صلى الله عليه وسلم أعظم دما وحرمة من امرأة ورجل ونقموا أني كاتبت معاوية من علي بن أبي طالب وجاء سهيل بن عمرو ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالحديبية حين صالح قومه قريشاً فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أكتب من محمد رسول الله”.

Dan jika mereka menyebutkan suatu ‘illat yang bisa disingkirkan, maka ia menyingkirkannya. Dan jika mereka menyebutkan suatu syubhat, maka ia menyingkapkannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Fa-aṣliḥū baynahumā} — dan dalam apa yang telah kami sebutkan itu terdapat perbaikan.

Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Syaddād bahwa ‘Alī — karrama Allāhu wajhah — ketika menulis surat kepada Mu‘āwiyah dan menetapkan keputusan, delapan ribu orang mencelanya dan mereka turun di suatu tempat yang disebut Ḥarūrā’. Mereka berkata: “Engkau telah menanggalkan gamis yang Allah pakaikan kepadamu, dan engkau telah memutuskan hukum dalam agama Allah, padahal tidak ada hukum kecuali milik Allah.”

Maka ‘Alī berkata: “Antara aku dan kalian adalah Kitab Allah.” Allah Ta‘ala berfirman tentang seorang laki-laki dan perempuan: {Wa-in khiftum syiqāqa baynihimā fa-b‘athū ḥakaman min ahlihī waḥakaman min ahlihā in yurīdā iṣlāḥan yuwafiqillāhu baynahumā} — dan umat Muḥammad SAW lebih agung darah dan kehormatannya daripada seorang laki-laki dan perempuan.

Dan mereka mencelaku karena aku menulis surat kepada Mu‘āwiyah dengan: ‘dari ‘Alī bin Abī Ṭālib.’ Dan telah datang Suhayl bin ‘Amr kepada kami saat kami bersama Rasulullah SAW di Ḥudaybiyyah ketika beliau berdamai dengan kaum Quraisy. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Tulislah: dari Muḥammad, Rasulullah.”

فقالوا لو نعلم أنك رسول الله صلى الله عليه وسلم لم نخالفك فقال أكتب فكتب: “هذا ما قاضى محمد عليه قريشاً”. يقوا الله عز وجل: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ} وبعث إليهم عبد الله بن عباس فواضعوا عبد الله كتاب الله تعالى ثلاثة أيام ورجع منهم أربعة آلاف فإن أبوا وعظهم وخوفهم القتال فإن أبوا قاتلهم

mereka berkata, “Seandainya kami tahu bahwa engkau adalah Rasulullah SAW, niscaya kami tidak akan menentangmu.” Maka beliau bersabda, “Tulislah,” lalu ditulislah: “Ini adalah perjanjian yang dilakukan oleh Muhammad atas kaum Quraisy.” Allah SWT berfirman: {Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir}. Kemudian beliau mengutus kepada mereka Abdullah bin ‘Abbās, lalu mereka sepakat dengan Abdullah untuk menjadikan Kitabullah sebagai pedoman selama tiga hari, dan sebanyak empat ribu orang dari mereka kembali (kepada kebenaran). Jika mereka enggan, maka hendaklah ia menasihati mereka dan menakut-nakuti mereka dengan (ancaman) peperangan. Jika mereka tetap enggan, maka perangi mereka.

فإن طلبوا الأنظار نظرت فإن كان يومين أو ثلاثة أنظرهم لأن ذلك مدة قريبة ولعلهم يرجعون إلى الطاعة فإن طلبوا أكثر من ذلك بحث عنه الإمام فإن كان قصدهم الاجتماع على الطاعة أمهلهم وإن كان قصدهم الاجتماع على القتال لم ينظرهم لما في الأنظار من الأضرار وإن أعطوا على الأنظار رهائن لم يقبل منهم لأنه لا يؤمن أن يكون هذا مكراً وطريقة إلى قهر أهل العدل وإن بذلوا عليه مالاً لم يقبل لما ذكرناه ولأن فيه إجزاء صغاراً على طائفة من المسلمين فلم يجز كأخذ الجزية منهم.

jika mereka meminta penangguhan, maka dilihat dulu: apabila hanya dua atau tiga hari, maka boleh diberi penangguhan karena itu waktu yang dekat dan boleh jadi mereka akan kembali kepada ketaatan. Namun jika mereka meminta lebih dari itu, maka imam meneliti maksud mereka: jika tujuannya untuk berkumpul demi ketaatan, maka ia boleh menangguhkan; tetapi jika tujuannya untuk berkumpul guna berperang, maka tidak diberi penangguhan karena penangguhan itu membawa bahaya. Jika mereka memberikan sandera sebagai jaminan penangguhan, maka tidak diterima karena bisa jadi itu tipu daya dan siasat untuk menaklukkan pihak yang adil. Dan jika mereka menawarkan harta untuk penangguhan, maka juga tidak diterima karena alasan yang telah disebutkan, dan karena di dalamnya terdapat penghinaan terhadap sebagian kaum muslimin, maka tidak diperbolehkan seperti halnya tidak bolehnya mengambil jizyah dari mereka.

فصل: ولا يتبع في القتال مدبرهم ولا يذفف على جريحهم لما روى عبد الله بن مسعود أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “يا ابن أم عبد ما حكم من بغى من أمتي” فقلت الله ورسوله أعلم فقال: “لا يتبع مدبرهم ولا يجاز على جريحهم ولا يقتل أسيرهم ولا يقسم فيؤهم”: عن علي كرم الله وجهه أنه قال: لا تجيزوا على جريح ولا تتبعوا مدبرا

PASAL: Tidak boleh mengejar orang yang mundur dalam pertempuran dan tidak boleh menghabisi yang terluka, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd bahwa Nabi SAW bersabda: “Wahai Ibnu Umm ‘Abd, bagaimana hukum orang yang memberontak dari umatku?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka beliau bersabda: “Janganlah dikejar yang mundur, jangan dihabisi yang terluka, jangan dibunuh yang tertawan, dan jangan dibagi harta rampasan mereka.” Diriwayatkan dari ‘Alī karramallāhu wajhah bahwa ia berkata: “Janganlah kalian menghabisi yang terluka dan jangan mengejar yang mundur.”

وعن أبي أمامة قال شهدت صفين فكانوا لا يجيزون على جريح ولا يطلبون موليا ولا يسلبون قتيلا ولأن قتالهم للدفع والرد إلى الطاعة دون القتل فلا يجوز فيه القصد إلى القتل من غير حاجة وإن حضر معهم من لا يقاتل ففيه وجهان:

Dan dari Abu Umāmah, ia berkata: Aku menyaksikan (perang) Ṣiffīn, dan mereka tidak menghabisi orang yang terluka, tidak mengejar orang yang melarikan diri, dan tidak merampas harta orang yang terbunuh. Karena tujuan peperangan mereka adalah untuk menolak (kezaliman) dan mengembalikan (mereka) kepada ketaatan, bukan untuk membunuh, maka tidak boleh berniat membunuh tanpa adanya kebutuhan. Dan jika hadir bersama mereka orang yang tidak ikut berperang, maka terdapat dua wajah pendapat:

أحدهما: لا يقصد بالقتل لأن القصد من قتالهم كفهم وهذا قد كف نفسه فلم يقصدوا الثاني والثاني: يقتل لأن علياً كرم الله وجهه نهاهم عن قتل محمد بن طلحة السجاد وقال إياكم وقتل صاحب البرنس فقتله رجل وأنشأ يقول:
وأشعث قوام بآيات ربه … قليل الذي فيما ترى العين مسلم
هتكت له بالرمح جيب قميصه
… فخر صريعا لليدين وللفم
على غير شيء غير أن ليس تابعاً … عليا ومن لا يتبع الحق يظلم
يناشدني حم والرمح شاجر … فهلا تلاحم قبل التقدم
ولم ينكر علي كرم الله وجهه قتله ولأنه صار ردءا لهم ولا تقتل النساء والصبيان كما لا يقتلون في حرب الكفار فإن قاتلوا جاز قتلهم كما يجوز قتلهم إذا قصدوا قتله في غير القتال ويكره أن يقصد قتل ذي رحم محرم كما يكره في قتال الكفار فإن قاتله لم يكره كما لا يكره إذا قصد قتله في غير القتال.

Pertama: tidak boleh diniatkan untuk dibunuh karena maksud dari memerangi mereka adalah untuk menahan (pemberontakan), sedangkan orang ini telah menahan dirinya, maka tidak diniatkan untuk dibunuh.
Kedua: boleh dibunuh, karena ʿAlī raḍiyallāhu ʿanhu melarang mereka membunuh Muḥammad bin Ṭalḥah as‑Sajjād dan berkata: “Jangan kalian bunuh pemilik al-burnus”, namun ia tetap dibunuh oleh seseorang dan orang itu menggubah syair:

Seorang kusut yang tekun berdiri malam dengan ayat-ayat Tuhannya, sedikit sekali dari apa yang dilihat mata sebagai Muslim
Kulebarkan kerah bajunya dengan tombakku… Maka ia pun roboh tersungkur, dengan tangan dan mulut penuh darah
Padahal bukan karena apa-apa, selain karena ia tidak mengikuti ʿAlī, dan siapa yang tidak mengikuti kebenaran niscaya zalim
Ia memohon padaku dengan ḥā mīm, sementara tombak menembusnya… Kenapa tidak berpelukan dulu sebelum maju menyerang?

Dan ʿAlī raḍiyallāhu ʿanhu tidak mengingkari pembunuhannya. Karena ia telah menjadi pendukung mereka.
Adapun perempuan dan anak-anak, tidak dibunuh sebagaimana tidak dibunuh dalam peperangan melawan orang-orang kafir. Namun jika mereka ikut berperang, boleh dibunuh, sebagaimana boleh membunuh mereka ketika mereka berniat membunuh di luar peperangan.
Dan dimakruhkan untuk berniat membunuh kerabat maḥram, sebagaimana dimakruhkan dalam peperangan melawan orang-orang kafir. Namun jika kerabat maḥram itu memerangi, maka tidak dimakruhkan, sebagaimana tidak dimakruhkan jika ia berniat membunuh di luar peperangan.

فصل: ولا يقتل أسيرهم لقوله صلى الله عليه وسلم في حديث عبد الله بن مسعود: “ولا يقتل أسيرهم”. فإن قتله ضمنه بالدية لأنه بالأسر صار محقون الدم فصار كما لو رجع إلى الطاعة وهل يضمنه بالقصاص فيه وجهان: أحدهما: يضمنه لما ذكرناه والثاني: لا يضمنه لأن أبا حنيفة رحمه الله يجيز قتله فصار ذلك شبهة في إسقاط القود فإن كان الأسير حراً بالغاً فدخل في الطاعة أطلقه وإن لم يدخل في الطاعة حبسه إلى أن تنقضي الحرب ليكف شره ثم يطلقه ويشرط عليه أن لا يعود إلى القتال وإن كان عبداً أو صبياً لم يحبسه لأنه ليس من أهل البيعة ومن أصحابنا من قال يحبسه لأن في حبسه كسرا لقلوبهم.

PASAL: Tidak boleh membunuh tawanan mereka, berdasarkan sabda Nabi SAW dalam hadis ʿAbdullāh bin Masʿūd: “Dan tidak dibunuh tawanan mereka.” Maka jika ia membunuhnya, ia wajib menanggung diyat, karena dengan ditawan, darahnya menjadi terlindungi, sehingga seperti orang yang telah kembali kepada ketaatan.

Apakah wajib menanggung dengan qiṣāṣ? Terdapat dua wajah pendapat:
Pertama: wajib menanggungnya dengan qiṣāṣ sebagaimana telah disebutkan.
Kedua: tidak wajib, karena Abū Ḥanīfah raḥimahullāh membolehkan membunuhnya, maka hal itu menjadi syubhat yang menggugurkan kewajiban qiṣāṣ.

Jika tawanan tersebut seorang lelaki merdeka dan telah baligh lalu masuk ke dalam ketaatan, maka ia dibebaskan.
Namun jika tidak masuk ke dalam ketaatan, maka ia ditahan sampai perang selesai agar tertahan keburukannya, kemudian dibebaskan dengan syarat ia tidak kembali memerangi.

Jika tawanan itu seorang budak atau anak kecil, maka tidak ditahan karena bukan termasuk ahli baiʿat.
Sebagian dari ulama kami mengatakan: ia tetap ditahan, karena dalam penahanan itu terdapat pemecah semangat bagi kelompok mereka.

فصل: ولا يجوز قتالهم بالنار والرمي عن المنجنيق من غير ضرورة لأنه لا يجوز أن يقتل إلا من يقاتل والقتل بالنار أو المنجنيق يعم من يقاتل ومن لا يقاتل وإن دعت إليه الضرورة جاز كما يجوز أن يقتل من لا يقاتل إذا قصد قتله للدفع ولا يستعين في قتالهم بالكفار ولا بمن يرى قتلهم مدبرين لأن القصد كفهم وردهم إلى الطاعة دون قتلهم وهؤلاء يقصدون قتلهم فإن دعت الحاجة إلى الاستعانة بهم فإن كان يقدر على منعهم من إتباع المدبرين جاز وإن لم يقدر لم يجز.

PASAL: Tidak boleh memerangi mereka dengan api atau melempari mereka dengan manjaniq tanpa ada keadaan darurat, karena tidak boleh membunuh kecuali orang yang memerangi, sedangkan membunuh dengan api atau manjaniq mencakup orang yang memerangi dan yang tidak memerangi. Namun, jika keadaan darurat menuntut hal itu, maka dibolehkan, sebagaimana dibolehkan membunuh orang yang tidak memerangi jika maksudnya adalah untuk menolaknya agar tidak membunuh. Tidak boleh meminta bantuan orang-orang kafir dalam memerangi mereka, dan juga tidak boleh meminta bantuan orang-orang yang berpendapat bolehnya membunuh orang yang melarikan diri, karena maksud dari peperangan ini adalah menahan mereka dan mengembalikan mereka kepada ketaatan, bukan membunuh mereka. Adapun mereka, tujuannya adalah membunuh. Jika terdapat kebutuhan untuk meminta bantuan mereka, maka jika mampu mencegah mereka dari mengejar orang-orang yang melarikan diri, hal itu diperbolehkan. Namun jika tidak mampu, maka tidak diperbolehkan.

فصل: وإن اقتتل فريقان من أهل البغي فإن قدر الإمام على قهرهما لم يعاون واحداً منهما لأن الفريقين على خطأ وإن لم يقدر على قهرهما ولم يأمن أن يجتمعا على قتاله ضم إلى نفسه أقربهما إلى الحق فإن استويا في ذلك اجتهد في رأيه في ضم أحدهما: إلى نفسه ولا يقصد بذلك معاونته على الآخر بل يقصد الاستعانة به على الآخر فإذا انهزم الآخر لم يقاتل الذي ضمه إلى نفسه حتى يدعوه إلى الطاعة لأنه حصل بالاستعانة به في أمانة.

PASAL: Jika dua kelompok dari Ahl al-Baghy saling berperang, maka jika imam mampu menundukkan keduanya, ia tidak membantu salah satu dari keduanya, karena keduanya berada dalam kesalahan. Namun jika ia tidak mampu menundukkan keduanya dan tidak merasa aman kalau-kalau mereka bersatu memeranginya, maka ia bergabung dengan pihak yang paling dekat kepada kebenaran.

Jika keduanya sama dalam hal tersebut, maka imam berijtihad menurut pendapatnya untuk bergabung dengan salah satunya. Dan tidaklah ia bermaksud membantu satu pihak untuk mengalahkan pihak yang lain, tetapi ia bermaksud menjadikan pihak tersebut sebagai bantuan untuk menghadapi pihak lawan.

Apabila pihak lawan telah kalah, maka imam tidak memerangi pihak yang ia jadikan sekutu sampai ia mengajaknya terlebih dahulu kepada ketaatan, karena dengan kerjasama tersebut ia telah berada dalam perlindungan.

فصل: ولا يجوز أخذ مالهم لحديث ابن مسعود وحديث أبي أمامة في صفين ولأن الإسلام عصم دمهم ومالهم وإنما أبيح قتالهم للدفع والرد إلى الطاعة وبقي حكم المال على ما كان فلم يجز أخذه كمال قطاع الطريق ولا يجوز الانتفاع بسلاحهم وكراعهم من غير إذنهم من غير ضرورة لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه” . لا يجوز أخذ ماله محمد لم يجز الانتفاع بماله من غير إذنه ومن غير ضرورة كغيرهم وإن اضطر إليه جاز كما يجوز أكل مال غيره عند الضرورة.

PASAL: Tidak boleh mengambil harta mereka berdasarkan hadis Ibnu Mas‘ūd dan hadis Abū Umāmah tentang peristiwa Ṣiffīn, dan karena Islam telah menjaga darah dan harta mereka. Hanya saja diperbolehkan memerangi mereka untuk menolak dan mengembalikan mereka kepada ketaatan, sedangkan hukum harta tetap sebagaimana sebelumnya, maka tidak boleh diambil sebagaimana harta para perampok jalanan. Tidak boleh memanfaatkan senjata dan hewan tunggangan mereka tanpa izin mereka dan tanpa adanya keadaan darurat, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.” Maka tidak boleh mengambil harta seseorang, Muhammad, dan tidak boleh memanfaatkannya tanpa izinnya dan tanpa keadaan darurat, sebagaimana terhadap orang lain. Jika dalam keadaan darurat, maka diperbolehkan, sebagaimana diperbolehkan memakan harta orang lain ketika darurat.

فصل: وإن أتلف أحد الفريقين على الآخر نفساً أو مالاً في غير القتال وجب عليه الضمان لأن تحريم نفس كل واحد منهما وماله كتحريمهما قبل البغي فكان ضمانهما كضمانهما قبل البغي إن أتلف أهل العدل على أهل البغي نفساً أو مالاً في حال الحرب بحكم القتال لم يجب عليه الضمان لأنه مأمور بإتلافه فلا يلزمه ضمانه كما لو قتل من يقصد نفسه أو ماله من قطاع الطريق وإذا أتلف أهل البغي على أهل العدل ففيه قولان: أحدهما: يجب عليه الضمان لأنه أتلف عليه بعدوان فوجب عليه الضمان كما لو أتلف عليه في غير القتال والزنى لا يجب عليه الضمان وهو الصحيح

PASAL: Jika salah satu dari dua kelompok merusak jiwa atau harta kelompok lain di luar pertempuran, maka wajib menggantinya, karena keharaman jiwa dan harta masing-masing tetap berlaku sebagaimana sebelum terjadinya pembangkangan, maka kewajiban menggantinya pun sebagaimana sebelum pembangkangan. Jika kelompok yang berada di pihak yang benar merusak jiwa atau harta kelompok pembangkang dalam keadaan perang berdasarkan hukum pertempuran, maka tidak wajib menggantinya, karena ia diperintahkan untuk merusaknya, sehingga tidak wajib menggantinya, sebagaimana jika ia membunuh orang yang hendak menyerangnya atau mengambil hartanya dari kalangan perampok jalanan. Jika kelompok pembangkang merusak jiwa atau harta kelompok yang berada di pihak yang benar, maka terdapat dua pendapat: pertama, wajib menggantinya, karena ia merusaknya secara zalim, maka wajib menggantinya sebagaimana jika merusaknya di luar pertempuran; dan pendapat kedua—yang merupakan pendapat yang ṣaḥīḥ—tidak wajib menggantinya.

لما روي عن الزهري أنه قال كانت الفتنة العظمى بين الناس وفيهم البدريون فأجمعوا على أن لا يقام حد على رجل ارتكب فرجاً حراماً بتأويل القرآن ولا يقتل رجل سفك دماً حراً بتأويل القرآن ولا يغرم مالا أتلفه بتأويل القرآن ولأنها طائفة ممتنعة بالحرب بتأويل فلم تضمن ما تتلف على الأخرى بحكم الحرب كأهل العدل ومن أصحابنا من قال القولان في غير القصاص فأما القصاص فلا يجب قولاً واحداً لأنه يسقط الشبهة ولهم في القتل شبهة.

Karena telah diriwayatkan dari az-Zuhrī bahwa ia berkata: “Telah terjadi fitnah besar di tengah manusia, padahal di antara mereka terdapat para peserta Perang Badar, lalu mereka sepakat bahwa tidak ditegakkan ḥadd terhadap seseorang yang melakukan perbuatan keji terhadap kemaluan secara haram karena takwil terhadap Al-Qur’an, dan tidak dibunuh seseorang yang menumpahkan darah orang merdeka karena takwil terhadap Al-Qur’an, dan tidak diganti harta yang dirusak karena takwil terhadap Al-Qur’an.” Dan karena mereka adalah satu kelompok yang menolak (untuk tunduk) dengan kekuatan perang karena adanya takwil, maka mereka tidak menanggung ganti rugi atas apa yang mereka rusak dari kelompok lain dalam konteks hukum perang, sebagaimana halnya kelompok yang berada di pihak yang benar.

Dan sebagian dari aṣḥābunā berpendapat bahwa dua pendapat tersebut berlaku untuk selain qiṣāṣ, adapun dalam hal qiṣāṣ maka tidak wajib secara qawlan wāḥidan, karena qiṣāṣ menghilangkan syubhat, sedangkan dalam pembunuhan terdapat unsur syubhat.

فصل: وإن استعان أهل البغي بأهل الحرب في القتال وعقدوا لهم أماناً أو ذمة بشرط المعاونة لم ينعقد لأن من شرط الذمة والأمان أن لا يقتلوا المسلمين فلم ينعقد على شرط القتال فإن عاونوهم جاز لأهل العدل قتلهم مدبرين وجاز أن يذفف على جريحهم إن أسروا جاز قتلهم واسترقاقهم والمن عليهم والمفاداة لهم لأنه لا عهد لهم ولا ذمة فصاروا كما جاؤوا منفردين عن أهل البغي ولا يجوز شيء من ذلك لمن عاونهم من أهل البغي لأنهم بذلوا لهم الذمة والأمان فلزمهم الوفاء به

PASAL: Jika ahlul-baghy meminta bantuan kepada ahlul-ḥarb dalam peperangan dan mereka membuat perjanjian aman atau żimmah dengan syarat bantuan, maka perjanjian tersebut tidak sah. Sebab, salah satu syarat żimmah dan aman adalah tidak membunuh kaum muslimin, maka tidak sah jika disyaratkan untuk berperang. Jika ahlul-ḥarb membantu mereka, maka boleh bagi ahlul-‘adl membunuh mereka saat melarikan diri, dan boleh juga menghabisi yang terluka. Jika mereka ditawan, maka boleh dibunuh, diperbudak, dimerdekakan tanpa tebusan, atau ditebus, karena mereka tidak memiliki perjanjian dan tidak berada dalam perlindungan, sehingga mereka seperti datang secara mandiri terpisah dari ahlul-baghy. Tidak boleh melakukan hal-hal tersebut terhadap ahlul-baghy yang membantu mereka, karena mereka telah memberikan żimmah dan aman, maka wajib bagi mereka menunaikan perjanjian itu.

وإن استعانوا بأهل الذمة فعاونوهم نظرت فإن قالوا كنا مكرهين أو ظننا أنه يجوز أن نعاونهم عليكم كما يجوز أن نعاونكم عليهم لم تنتقض الذمة لأن ما ادعوه محتمل فلا يجوز نقض العقد مع الشبهة وإن قاتلوا معهم عالمين من غير إكراه فإن كان قد شرط عليهم ترك المعاونة في عقد الذمة انتقض العهد لأنه زال شرط الذمة إن لم يشترط ذلك ففيه قولان: أحدهما: ينتقض كما لو انفردوا بالقتال لأهل العدل

Dan jika ahlul-baghy meminta bantuan kepada ahluż-żimmah lalu mereka membantu, maka diteliti: jika mereka mengatakan, “Kami dipaksa” atau “Kami mengira bahwa boleh membantu mereka melawan kalian sebagaimana boleh membantu kalian melawan mereka,” maka żimmah mereka tidak batal, karena apa yang mereka klaim masih memungkinkan (terjadi), maka tidak boleh membatalkan akad karena adanya syubhat.

Namun jika mereka berperang bersama ahlul-baghy dengan sadar dan tanpa paksaan, maka jika dalam akad żimmah disyaratkan larangan membantu, maka perjanjian tersebut batal karena syarat żimmah telah gugur. Jika tidak disyaratkan demikian, maka terdapat dua pendapat: salah satunya, żimmah mereka batal sebagaimana jika mereka secara mandiri memerangi ahlul-‘adl.

والثاني: لا ينتقض لأنهم قاتلوا تابعين لأهل البغي فإذا قلنا لا ينتقض عهدهم كانوا في القتال كأهل البغي لا يتبع مدبرهم ولا يدفف على جريحهم وإن أتلفوا نفساً أو مالاً في الحرب لزمهم الضمان قولا واحدا والفرق بينهم وبين أهل البغي أن في تضمين أهل البغي تنفيراً عن الرجوع إلى الطاعة فسقط عنهم الضمان في أحد القولين ولا يخاف تنفير أهل الذمة لأنا قد أمناهم على هذا القول

Dan pendapat kedua: żimmah mereka tidak batal karena mereka berperang sebagai pengikut ahlul-baghy. Jika dikatakan bahwa ‘ahd mereka tidak batal, maka dalam peperangan mereka diperlakukan seperti ahlul-baghy: tidak boleh dikejar yang melarikan diri dan tidak boleh dihabisi yang terluka.

Namun jika mereka membinasakan jiwa atau harta dalam peperangan, maka mereka wajib membayar ganti rugi menurut satu pendapat. Perbedaan antara mereka dan ahlul-baghy adalah bahwa mewajibkan ganti rugi atas ahlul-baghy dapat membuat mereka enggan untuk kembali kepada ketaatan, sehingga gugur kewajiban ganti rugi atas mereka menurut salah satu pendapat. Sedangkan ahluż-żimmah tidak dikhawatirkan akan enggan, karena mereka telah diberi jaminan keamanan menurut pendapat ini.

وإن استعانوا بمن له أمان إلى مدة فعاونوهم انتقض أمانهم فإن ادعوا أنهم كانوا مكرهين ولم تكن لهم بينة على الإكراه انتقض الأمان والفرق بينهم وبين أهل الذمة في أحد القولين أن الأمان المؤقت ينتقض بالخوف من الخيانة فانتقض بالمعاونة وعقد الذمة لا ينتقض بالخوف من الخيانة فلم ينتقض بالمعاونة.

Dan jika ahlul-baghy meminta bantuan kepada orang yang memiliki aman sampai waktu tertentu, lalu mereka membantu, maka aman mereka batal. Jika mereka mengklaim bahwa mereka dipaksa, namun tidak memiliki bukti atas adanya paksaan, maka aman mereka batal.

Perbedaan antara mereka dan ahluż-żimmah menurut salah satu pendapat adalah bahwa aman yang bersifat sementara dapat batal karena kekhawatiran akan pengkhianatan, maka batal karena adanya bantuan. Sedangkan akad żimmah tidak batal hanya karena kekhawatiran akan pengkhianatan, maka tidak batal karena bantuan.

فصل: وإن ولوا فيما استولوا عليه قاضياً نظرت فإن كان ممن يستبيح دماء أهل العدل وأموالهم لهم ينفذ حكمه لأنه من شرط القضاء العدالة والاجتهاد وهذا ليس بعدل ولا مجتهد وإن كان ممن لا يستبيح دماءهم ولا أموالهم نفذ من حكمه ما ينفذ من حكم قاضي أهل العدل ورد من حكمه ما يرد من حكم قاضي أهل العدل لأن لهم تأويلاً يسوغ فيه الاجتهاد فلم ينقض من حكمه ما يسوغ فيه الاجتهاد وإن كتب قاضيهم إلى قاضي أهل العدل استحب أن لا يقبل كتابه استهانة بهم وكسرا لقلوبهم فإن قبله جاز لأنه ينفذ حكمه فجاز الحكم بكتابه كقاضي أهل العدل.

PASAL: Jika mereka mengangkat seorang qāḍī atas wilayah yang mereka kuasai, maka hal itu perlu diteliti. Jika qāḍī tersebut termasuk orang yang menghalalkan darah dan harta kelompok yang adil bagi pihaknya, maka tidak sah putusannya, karena syarat menjadi qāḍī adalah ‘adālah dan ijtihād, sedangkan orang seperti ini bukanlah orang yang ‘ādil dan bukan pula mujtahid. Namun jika ia termasuk orang yang tidak menghalalkan darah dan harta mereka, maka sah putusannya sebagaimana sahnya putusan qāḍī dari kelompok yang adil, dan batal putusannya sebagaimana batalnya putusan qāḍī dari kelompok yang adil, karena mereka memiliki ta’wīl yang memungkinkan terjadinya ijtihād, maka tidak dibatalkan putusannya dalam perkara yang memungkinkan terjadinya ijtihād. Jika qāḍī dari mereka menulis surat kepada qāḍī dari kelompok yang adil, maka disunnahkan agar tidak menerimanya sebagai bentuk merendahkan mereka dan mematahkan hati mereka, namun jika ia menerimanya maka hal itu boleh, karena putusannya berlaku sehingga boleh menghukumi berdasarkan suratnya sebagaimana qāḍī dari kelompok yang adil.

فصل: وإن استولوا على بلد وأقاموا الحدود وأخذوا الزكاة والخراج والجزية اعتد به لأن علياً كرم الله وجهه قاتل أهل البصرة ولم يلغ ما فعلوه وأخذوه ولأن ما فعلوه وأخذوه بتأويل سائغ فوجب إمضاؤه كالحاكم إذا حكم بما يسوغ فيه الاجتهاد فإن عاد البلد إلى أهل العدل فادعى من عليه الزكاة أنه دفعها إلى أهل البغي قبل قوله

PASAL: Jika mereka menguasai suatu negeri lalu menegakkan ḥudūd, memungut zakat, kharāj, dan jizyah, maka hal itu dianggap sah, karena Aliy karamallāhu wajhah memerangi penduduk Bashrah namun tidak membatalkan apa yang telah mereka lakukan dan ambil. Dan karena apa yang mereka lakukan dan ambil didasarkan pada ta’wil yang dapat dibenarkan, maka harus dibenarkan, sebagaimana seorang hakim yang memutuskan perkara dalam hal yang memungkinkan adanya ijtihād. Jika negeri itu kembali ke tangan Ahl al-‘Adl lalu seseorang yang terkena kewajiban zakat mengaku telah membayarkannya kepada Ahl al-Baghy, maka pengakuannya diterima.

وهل يحلف عليه مستحباً أو واجباً فيه وجهان: ذكرناهما في الزكاة وإن ادعى من عليه الجزية أنه دفعها إليهم لم يقبل قوله لأنها عوض فلم يقبل قوله في الدفع كالمستأجر إذا ادعى دفع الأجرة وإن ادعى من عليه الخراج أنه دفعه إليهم ففيه وجهان: أحدهما: يقبل قوله لأنه مسلم فقبل قوله في الدفع كما قلنا فيمن عليه الزكاة والثاني: لا يقبل لأن الخراج ثمن أو أجرة فلم يقبل قوله في الدفع كالثمن في البيع والأجرة في الإجارة.

Dan apakah ia disumpah atas pengakuannya itu secara mustaḥabb atau wajib? Dalam hal ini terdapat dua wajah, sebagaimana telah kami sebutkan dalam (pembahasan) zakat. Jika orang yang terkena kewajiban jizyah mengaku telah membayarkannya kepada mereka, maka pengakuannya tidak diterima, karena jizyah adalah pengganti (‘iwaḍ), maka tidak diterima pengakuannya dalam pembayaran, seperti penyewa yang mengaku telah membayar sewa. Dan jika orang yang terkena kewajiban kharāj mengaku telah membayarkannya kepada mereka, maka terdapat dua wajah: yang pertama, diterima pengakuannya karena ia seorang Muslim, maka diterima pengakuannya dalam pembayaran sebagaimana halnya orang yang terkena zakat. Yang kedua, tidak diterima karena kharāj adalah harga atau upah, maka tidak diterima pengakuannya dalam pembayaran sebagaimana harga dalam jual beli dan upah dalam sewa-menyewa.

فصل: وإن أظهر قوم رأي الخوارج ولم يخرجوا عن قبضة الإمام لم يتعرض لهم لأن علياً كرم الله وجهه سمع رجلاً من الخوارج يقول لا حكم إلا لله تعريضاً له في التحكيم في صفين فقال كلمة حق أريد بها باطل ثم قال لكم علينا ثلاث: لا نمنعكم مساجد الله أن تذكروا فيها اسم الله ولا نمنعكم من الفيء ما دامت أيديكم معنا ولا نبدؤكم بقتال ولأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يتعرض للمنافقين الذين كانوا معه في المدينة فلأن لا نتعرض لأهل البغي وهم من المسلمين أولى وحكمها في ضمان النفس والمال والحد حكم أهل العدل

PASAL: Jika suatu kaum menampakkan pandangan khawārij namun tidak keluar dari kekuasaan imam, maka mereka tidak boleh diganggu, karena Aliy karamallāhu wajhah mendengar seorang dari kaum khawārij berkata, “Lā ḥukma illā lillāh,” sebagai sindiran terhadapnya dalam peristiwa tahkīm di Ṣiffīn, maka beliau berkata, “Kalimat yang benar, namun dimaksudkan untuk kebatilan.” Kemudian beliau berkata, “Kalian memiliki tiga hal dari kami: kami tidak akan melarang kalian dari masjid-masjid Allah untuk menyebut nama Allah di dalamnya, kami tidak akan menghalangi kalian dari fay’ selama tangan kalian masih bersama kami, dan kami tidak akan memulai memerangi kalian.” Dan karena Nabi SAW tidak mengganggu kaum munafik yang berada bersamanya di Madinah, maka lebih utama untuk tidak mengganggu Ahl al-Baghy yang masih tergolong kaum Muslimin. Hukum mereka dalam hal tanggungan jiwa, harta, dan ḥadd adalah sebagaimana hukum Ahl al-‘Adl.

لأن ابن ملجم جرح عليا كرم الله وجهه فقال: أطعموه واسقوه واحبسوه فإن عشت فأنا ولي دمي أعفو إن شئت وإن شئت استقدت وإن مت فاقتلوه ولا تمثلوا به فإن قتل فهل يتحتم قتله فيه وجهان: أحدهما: يتحتم لأنه قتل بشهر السلاح فانحتم قتله كقاطع الطريق والثاني: لا يتحتم وهو الصحيح لقول علي كرم الله وجهه أعفوا إن شئت وإن شئت استقدت وإن سبوا الإمام أو غيره من أهل العدل عزروا لأنه محرم ليس فيه حد ولا كفارة فوجب فيه التعزيز وإن عرضوا بالسب ففيه وجهان: أحدهما: يعزرون لأنهم إذا لم يعزروا على التعريض وصرحوا وخرقوا الهيبة

Karena Ibn Muljam telah melukai Aliy karamallāhu wajhah, maka beliau berkata: “Berilah dia makan dan minum serta tahanlah dia. Jika aku hidup, akulah wali darahku, aku boleh memaafkan jika aku mau, dan aku boleh menuntut qiṣāṣ jika aku mau. Jika aku mati, maka bunuhlah dia, dan jangan kalian muthhlah (menganiaya jasadnya).” Maka apabila dia membunuh (imam), apakah pembunuh itu wajib dibunuh? Dalam hal ini ada dua wajah: pertama, wajib dibunuh karena dia membunuh dengan menampakkan senjata, maka wajib dibunuh sebagaimana qāṭi‘u ṭarīq; dan yang kedua: tidak wajib dibunuh, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena Aliy karamallāhu wajhah berkata: “Aku memaafkan jika aku mau, dan aku menuntut qiṣāṣ jika aku mau.”

Dan jika mereka mencaci imam atau selainnya dari Ahl al-‘Adl, maka mereka dikenai ta‘zīr, karena hal itu haram namun tidak ada padanya ḥadd dan tidak pula kafārah, maka wajib dikenai ta‘zīr. Dan jika mereka mencaci secara sindiran, maka ada dua wajah: pertama, dikenai ta‘zīr karena jika tidak dikenai ta‘zīr atas sindiran, maka mereka akan terang-terangan mencaci dan merobek wibawa.

والثاني: لا يعزرون لما روى أبو يحيى قال: صلى بنا علي رضي الله عنه صلاة الفجر فناداه رجل من الخوارج {لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} فأجابه علي رضوان الله عليه وهو في الصلاة {فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ الله حَقٌّ وَلا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لا يُوقِنُونَ} ولم يعزره.

Dan wajah yang kedua: mereka tidak dikenai ta‘zīr, berdasarkan riwayat dari Abū Yaḥyā yang berkata: Aliy raḍiyallāhu ‘anhu mengimami kami shalat Subuh, lalu seorang dari kalangan khawārij memanggilnya seraya membaca: {La’in asyrakta la-yaḥbaṭanna ‘amaluka wa la-takūnanna mina al-khāsirīn}, maka Aliy raḍiyallāhu ‘anhu menjawabnya saat masih dalam shalat: {Faṣbir inna wa‘da Allāhi ḥaqq wa lā yastakhiffannaka alladzīna lā yūqinūn}, dan beliau tidak menjatuhkan ta‘zīr kepadanya.

فصل: وإن خرجت على الإمام طائفة لا منعة لها أو أظهرت رأي الخوارج كان حكمهم في ضمان النفس والمال والحدود حكم أهل العدل لأنه لا يخاف نفورهم لقلتهم وقدرة الإمام عليهم فكان حكمهم فيما ذكرناه حكم الجماعة كما لو كانوا في قبضته.

PASAL: Jika suatu kelompok keluar menentang imam namun mereka tidak memiliki kekuatan, atau mereka menampakkan pemikiran kaum Khawārij, maka hukum mereka dalam hal pertanggungjawaban jiwa, harta, dan penegakan ḥudūd adalah seperti hukum ahl al-‘adl, karena tidak dikhawatirkan adanya penolakan dari mereka disebabkan jumlah mereka yang sedikit dan kemampuan imam untuk menguasai mereka. Maka hukum mereka dalam hal-hal tersebut adalah seperti hukum jamaah, sebagaimana jika mereka berada dalam kekuasaan imam.

فصل: وإن خرجت طائفة من المسلمين عن طاعة الإمام بغير تأويل واستولت على البلاد ومنعت ما عليها وأخذت ما لا يجوز أخذه قصدهم الإمام وطالبهم بما منعوا ورد ما أخذوا وغرمهم ما أتلفوه بغير حق وأقام عليهم حدود ما ارتكبوا لأنه لا تأويل لهم فكلن حكمهم ما ذكرناه كقطاع الطريق.

PASAL: Jika suatu kelompok dari kaum Muslimin keluar dari ketaatan kepada imam tanpa ta’wīl, lalu mereka menguasai negeri, menahan apa yang menjadi kewajiban mereka, dan mengambil sesuatu yang tidak boleh diambil, maka imam mendatangi mereka, menuntut apa yang mereka tahan, mengembalikan apa yang mereka ambil, membebankan ganti rugi atas apa yang mereka rusak tanpa hak, serta menegakkan ḥudūd atas pelanggaran yang mereka lakukan. Karena mereka tidak memiliki ta’wīl, maka hukum mereka dalam hal-hal yang disebutkan adalah seperti hukum qaṭṭā‘ al-ṭarīq.

باب قتل المرتد
تصح الردة من كل بالغ عاقل مختار فأما الصبي والمجنون فلا تصح ردتهما لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”. وأما السكران ففيه طريقان: من أصحابنا من قال: تصح ردته قولاً واحداً ومنهم من قال فيه قولان وقد بينا ذلك في الطلاق فأما المكره فلا تصح ردته لقوله تعالى: {إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْأِيمَانِ}

BAB PEMBUNUHAN ORANG MURTAD
Riddah sah terjadi dari setiap orang yang baligh, berakal, dan memilih secara sadar. Adapun anak kecil dan orang gila, maka tidak sah riddah mereka karena sabda Nabi SAW: “Diangkat pena dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia baligh, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari orang gila hingga ia sadar.”

Adapun orang yang mabuk, terdapat dua pendapat: sebagian dari ulama mazhab kami mengatakan bahwa riddah-nya sah menurut satu pendapat; dan sebagian lain mengatakan ada dua pendapat tentangnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab ṭalāq.

Adapun orang yang dipaksa, maka tidak sah riddah-nya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ} (kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tetap tenang dalam keimanan).

وإن تلفظ بكلمة الكفر وهو أسير لم يحكم بردته لأنه مكره وإن تلفظ بها في دار الحرب في غير الأسر حكم بردته لأن كونه في دار الحرب لا يدل على الإكراه وإن أكل لحم الخنزير أو شرب الخمر لم يحكم بردته لأنه قد يأكل ويشرب من غير اعتقاد ومن أكره على كلمة الكفر فالأفضل أن لا يأتي بها لما روى أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله عز وجل وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن توقد نار فيقذف فيها” .

Jika seseorang mengucapkan kalimat kekufuran dalam keadaan menjadi tawanan, maka tidak dihukumi murtad karena ia dalam keadaan dipaksa. Namun jika ia mengucapkannya di wilayah musuh tanpa dalam keadaan ditawan, maka dihukumi murtad karena keberadaannya di wilayah musuh tidak menunjukkan bahwa ia dipaksa.

Jika ia memakan daging babi atau meminum khamar, maka tidak dihukumi murtad karena bisa jadi ia melakukannya tanpa keyakinan.

Barang siapa yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kekufuran, maka yang lebih utama adalah tidak mengucapkannya, berdasarkan riwayat dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tiga perkara, barang siapa yang ada padanya maka ia akan merasakan manisnya iman: (pertama) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, (kedua) mencintai seseorang hanya karena Allah Azza wa Jalla, (ketiga) membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia membenci dilemparkan ke dalam api.”

وروى حباب بن الأرت أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن كان الرجل ممن كان قبلكم ليحفر له في الأرض فيجعل فيها فيجاء بمنشار فتوضع على رأسه ويشق باثنتين فلا يمنعه ذلك عن دينه ويمشط بأمشاط الحديد ما دون عظمه من لحم وعصب ما يصده ذلك عن دينه” . ومن أصحابنا من قال: إن كان ممن يرجو النكاية في العدو أو القيام بأحكام الشرع فالأفضل له أن يدفع القتل عن نفسه ويتلفظ بكلمة الكفر لما في لقائه من صلاح المسلمين وإن كان لا يرجوا ذلك اختار القتل.

Diriwayatkan dari Ḥabbāb bin al-Aratt bahwa Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya ada seorang lelaki dari orang-orang sebelum kalian yang dibuatkan lubang di tanah untuknya lalu ia dimasukkan ke dalamnya, kemudian didatangkan gergaji yang diletakkan di atas kepalanya, lalu tubuhnya dibelah menjadi dua, namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Dan ia disisir dengan sisir dari besi hingga menembus daging dan urat-uratnya sampai ke tulangnya, namun itu pun tidak membuatnya berpaling dari agamanya.”

Sebagian ulama mazhab kami berkata: jika seseorang termasuk orang yang diharapkan dapat menyakiti musuh atau menegakkan hukum-hukum syariat, maka yang lebih utama baginya adalah menolak terbunuh dengan mengucapkan kalimat kufur karena dalam kelangsungan hidupnya terdapat kemaslahatan bagi kaum Muslimin. Namun jika ia tidak diharapkan untuk itu, maka ia memilih terbunuh.

فصل: إذا ارتد الرجل وجب قتله لما روى أمير المؤمنين عثمان رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث رجل كفر بعد إسلامه أو زنى بعد إحصانه أو قتل نفساً بغير نفس” . فإن ارتدت امرأة وجب قتلها،

PASAL: Jika seorang laki‑laki murtad wajib dibunuhnya, karena diriwayatkan dari Amīr al‑Muʾminīn Utsmān radhiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim kecuali pada tiga perkara: orang yang kufur setelah masuk Islamnya, atau berzina setelah iḥṣān‑nya, atau membunuh nyawa tanpa (balasan) nyawa.” Jika seorang perempuan murtad wajib dibunuhnya

لما روى جابر رضي الله عنه أن امرأة يقال لهل أم رومان ارتدت عن الإسلام فبلغ أمرها إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأمر أن تستتاب فإن تابت وإلا قتلت وهل يجب أن يستتاب أو يستحب فبه قولان أحدهما: لا يجب لأنه لو قتل قبل الاستتابة لم يضمنه القاتل ولو وجبت الاستتابة لضمنه والثاني: أنها تجب

Karena diriwayatkan dari Jābir radhiyallāhu ‘anhu bahwa ada seorang perempuan yang bernama Ummu Rūmān murtad dari Islam, lalu kabar tentangnya sampai kepada Nabi SAW, maka beliau memerintahkan agar ia diminta untuk bertobat; jika ia bertobat (maka dibiarkan hidup), jika tidak, maka dibunuh.

Apakah wajib diminta bertobat atau hanya disunnahkan? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: tidak wajib, karena jika dibunuh sebelum diminta tobat, pelakunya tidak dikenai diyat; dan seandainya permintaan tobat itu wajib, tentu pelakunya akan dikenai diyat.
Kedua: bahwa permintaan tobat itu wajib.

لما روي أنه لمل ورد على عمر رضي الله عنه فتح تستر فسألهم هل كان من مغربة خبر؟ قالوا: نعم رجل ارتد عن الإسلام ولحق بالمشركين فأخذناه وقتلناه قال: فهلا أدخلتموه بيتا وأغلقتم عليه بابا وأطعمتموه كل يوم رغيفا واستتبتموه ثلاثا فإن تاب وإلا قتلتموه اللهم إني لم أشهد ولم آمر ولم أرض إذ بلغني ولو لم تجب الاستتابة لما تبرأ من فعلهم فإن قلنا أنه تجب الاستتابة أو تستحب ففي مدتها وجهان: أحدهما: أنها ثلاثة أيام لحديث عمر رضي الله عنه ولأن الردة لا تكون إلا عن شبهة وقد لا يزول ذلك بالاستتابة في الحال

Karena diriwayatkan bahwa ketika penaklukan Tustar sampai kepada ʿUmar radhiyallāhu ‘anhu, beliau bertanya kepada mereka: “Apakah ada kabar dari ujung pasukan?” Mereka menjawab: “Ya, ada seorang laki-laki yang murtad dari Islam lalu bergabung dengan kaum musyrik. Kami menangkapnya dan membunuhnya.” Maka ʿUmar berkata: “Mengapa kalian tidak memasukkannya ke dalam rumah, menutup pintunya, memberinya sepotong roti setiap hari, dan memintanya bertobat selama tiga hari? Jika ia bertobat (maka dibiarkan), jika tidak, maka barulah kalian membunuhnya. Ya Allah, aku tidak menyaksikan, tidak memerintahkan, dan tidak meridhai saat kabar itu sampai kepadaku.”

Seandainya permintaan tobat itu tidak wajib, niscaya beliau tidak akan berlepas diri dari perbuatan mereka.

Jika dikatakan bahwa permintaan tobat itu wajib atau disunnahkan, maka tentang lamanya ada dua pendapat:
Pertama: tiga hari, berdasarkan hadis ʿUmar radhiyallāhu ‘anhu, dan karena kemurtadan itu biasanya disebabkan oleh syubhat, dan mungkin syubhat itu tidak langsung hilang dengan permintaan tobat seketika.

فإن تاب وإلا قتل لحديث أم رومان ولأنه استتابة من الكفر فلم تتقدر بثلاث كاستتابة الحربي وإن كان سكراناً فقد قال الشافعي رحمه الله تؤخر الاستتابة ومن أصحابنا من قال تصح الاستتابة والتأخير مستحب لأنه تصح ردته فصحت استتابته ومنهم من قال لا تصح استتابته ويجب التأخير لأن ردته لا تكون إلا عن شبهة ولا يمكن بيان الشبهة ولا إزالتها مع السكر إن ارتد ثم جن لم يقتل حتى يفيق ويعرض عليه الإسلام لأن القتل يجب بالردة والإصرار عليها والمجنون لا يوصف بأنه مصر على الردة.

Jika ia bertobat maka dibiarkan, jika tidak maka dibunuh, berdasarkan hadis tentang Ummu Rūmān, dan karena permintaan tobat itu dari kekufuran, maka tidak dibatasi hanya tiga hari, sebagaimana permintaan tobat kepada orang ḥarbī.

Jika ia dalam keadaan mabuk, maka al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: permintaan tobat ditunda. Sebagian dari ulama mazhab kami berkata: permintaan tobat tetap sah, dan penundaan hanya disunnahkan, karena kemurtadannya sah maka permintaan tobatnya pun sah. Sebagian lain berkata: permintaan tobat tidak sah dan wajib ditunda, karena kemurtadan itu tidak terjadi kecuali karena syubhat, dan syubhat itu tidak bisa dijelaskan atau dihilangkan dalam keadaan mabuk.

Jika seseorang murtad lalu menjadi gila, maka tidak boleh dibunuh sampai ia sadar kembali, dan ditawarkan kembali masuk Islam, karena hukuman mati itu wajib disebabkan oleh kemurtadan dan tetap bertahan di atasnya, sedangkan orang gila tidak bisa digambarkan sebagai orang yang tetap bertahan dalam kemurtadan.

فصل: وإذا تاب المرتد قبلت توبته سواء كانت ردته إلى كفر ظاهر به أهله أو إلى كفر يستتر به أهله كالتعطيل والزندقة لما روى أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله” . فإذا شهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله واستقبلوا قبلتنا وصلوا صلاتنا وأكلوا ذبيحتنا فقد حرمت علينا دماءهم وأموالهم إلا بحقها ولهم ما للمسلمين وعليهم ما على المسلمين

PASAL: Jika orang murtad bertobat, maka tobatnya diterima, baik kemurtadannya kepada kekufuran yang secara lahiriah dilakukan oleh para pengikutnya, maupun kepada kekufuran yang disembunyikan oleh para pengikutnya seperti ta‘ṭīl dan zandaqah, karena diriwayatkan dari Anas radhiyallāhu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan lā ilāha illallāh dan bahwa Muḥammad adalah Rasulullah.”
Maka apabila mereka telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muḥammad adalah Rasulullah, menghadap kiblat kami, melaksanakan shalat kami, dan memakan sembelihan kami, maka darah dan harta mereka haram atas kami kecuali dengan haknya, dan mereka mendapatkan hak sebagaimana yang didapat oleh kaum muslimin, serta berkewajiban sebagaimana kewajiban kaum muslimin.

ولأن النبي صلى الله عليه وسلم كف عن المنافقين لما أظهروا من الإسلام مع ما كانوا يبطنون من خلافه فوجب أن يكف عن المعطل والزنديق لمل يظهرونه من الإسلام فإن كان المرتد ممن لا تأويل له في كفره فأتى بالشهادتين حكم بإسلامه لحديث أنس رضي الله عنه فإن صلى في دار الحرب حكم بإسلامه وإن صلى في دار الإسلام لم يحكم باسلامه لأنه يحتمل أن تكون صلاته في دار الإسلام للمراآة والتقية وفي دار الحرب لا يحتمل ذلك فدل على إسلامه

Dan karena Nabi SAW menahan diri dari (memerangi) kaum munafik ketika mereka menampakkan keislaman, meskipun mereka menyembunyikan hal yang bertentangan dengannya, maka wajib pula menahan diri dari mu‘aṭṭil dan zindīq karena mereka menampakkan keislaman.

Jika orang murtad tersebut termasuk yang tidak memiliki takwil dalam kekufurannya, lalu ia mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dihukumi telah masuk Islam berdasarkan hadis Anas radhiyallāhu ‘anhu.

Jika ia melaksanakan shalat di dār al-ḥarb, maka dihukumi telah masuk Islam. Namun jika ia shalat di dār al-islām, tidak langsung dihukumi telah masuk Islam, karena bisa jadi shalatnya di dār al-islām itu karena riya atau taqiyyah, sedangkan di dār al-ḥarb tidak mungkin ada kemungkinan demikian, maka hal itu menunjukkan keislamannya.

وإن كان ممن يزعم أن النبي صلى الله عليه وسلم بعث الى العرب وحدها أو ممن يقول إن محمدا نبي يبعث وهو غير الذي بعث لم يصح إسلامه حتى يتبرأ مع الشهادتين من كل دين خلاف الإسلام لأنه إذا اقتصر على الشهادتين احتمل أن يكون أراد ما يعتقده وإن ارتد بجحود فرض أو استباحة محرم لم يصح إسلامه حتى يرجع عما اعتقده ويعيد الشهادتين لأنه كذب الله وكذب رسوله بما اعتقده في خبره فلا يصح إسلامه حتى يأتي بالشهادتين وإن ارتد ثم أسلم ثم ارتد ثم أسلم وتكرر منه ذلك قبل إسلامه ويعزر على تهاونه بالدين

Jika ia termasuk orang yang mengklaim bahwa Nabi SAW hanya diutus kepada bangsa Arab saja, atau termasuk orang yang mengatakan bahwa Muḥammad yang akan diutus itu bukanlah yang telah diutus, maka tidak sah keislamannya sampai ia berlepas diri, bersama dengan dua kalimat syahadat, dari semua agama selain Islam. Karena jika ia hanya mengucapkan dua kalimat syahadat, masih mungkin ia menginginkan sesuatu yang sesuai dengan keyakinannya.

Jika ia murtad karena mengingkari suatu kewajiban atau menghalalkan sesuatu yang haram, maka tidak sah keislamannya sampai ia mencabut keyakinannya dan mengulangi dua kalimat syahadat, karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya dalam apa yang ia yakini dari berita syariat. Maka tidak sah keislamannya sampai ia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Jika ia murtad lalu masuk Islam, kemudian murtad lagi, lalu masuk Islam lagi, dan hal itu berulang, maka diterima keislamannya, namun ia dikenai hukuman ta‘zīr karena meremehkan agama.

وقال أبو إسحاق: لا يقبل إسلامه إذا تكررت ردته وهذا خطأ لقوله عز وجل: {قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ} ولأنه أتى بالشهادتين بعد الردة فحكم بإسلامه كما لو ارتد مرة ثم أسلم.

Dan Abū Isḥāq berkata: tidak diterima keislamannya jika kemurtadannya berulang. Ini adalah pendapat yang keliru, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Qul lilladzīna kafarū in yantahū yughfar lahum mā qad salaf} — “Katakanlah kepada orang-orang kafir: jika mereka berhenti (dari kekufurannya), maka akan diampuni apa yang telah lalu.”

Dan karena ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat setelah kemurtadan, maka dihukumi masuk Islam, sebagaimana jika ia murtad satu kali lalu masuk Islam kembali.

فصل: وإن ارتد ثم أقام على الردة فإن كان حراً كان قتله إلى الإمام لأنه قتل يجب لحق الله تعالى فكان إلى الإمام كقتل الزاني فإن قتله غيره بغير إذنه عزر لأنه أفتات على الإمام فإن كان عبداً ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز للمولى قتله لأنه عقوبة تجب لحق الله تعالى فجاز للمولى إقامتها كحد الزنى والثاني: لا يجوز للمولى قتله لأنه حق الله عز وجل لا يتصل بحق المولى فلم يكن للمولى فيه حق بخلاف حد الزنا فإنه يتصل بحقه في إصلاح ملكه.

PASAL: Jika seseorang murtad lalu tetap tinggal dalam kemurtadannya, maka jika ia seorang hamba sahaya merdeka, pembunuhannya diserahkan kepada imam, karena ini termasuk pembunuhan yang wajib dilakukan demi hak Allah Ta‘ala, maka pelaksanaannya diserahkan kepada imam seperti halnya pembunuhan terhadap pezina. Maka jika ada orang lain yang membunuhnya tanpa izin imam, ia dikenai ta‘zīr karena telah melampaui kewenangan imam.

Jika orang yang murtad itu adalah seorang budak, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, boleh bagi tuannya untuk membunuhnya, karena ini adalah hukuman yang wajib dilakukan demi hak Allah Ta‘ala, sehingga boleh ditegakkan oleh tuannya sebagaimana ḥadd zina.

Kedua, tidak boleh bagi tuannya untuk membunuhnya, karena ini adalah hak Allah ‘Azza wa Jalla yang tidak berkaitan dengan hak tuannya, maka tuannya tidak memiliki hak dalam hal ini, berbeda dengan ḥadd zina karena ia berkaitan dengan hak tuan dalam memperbaiki miliknya.

فصل: إذا ارتد وله مال ففيه ثلاثة أقوال: أحدهما: لا يزول ملكه عن ماله وهو اختيار المزني رحمه الله لأنه لم يوجد أكثر من سبب يبيح الدم وهذا لا يوجب زوال الملك عن ماله كما لو قتل أو زنى والقول الثاني: أنه يزول ملكه عن ماله وهو الصحيح لما روى طارق بن شهاب أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قال لوفد بزاخة وغطفان: نغنم ما أصبنا منكم وتردون إلينا ما أصبتم منا ولأنه عصم بالإسلام دمه وماله ثم ملك المسلمين دمه بالردة فوجب أن يملكوا ماله بالردة والقول الثالث: أنه مراعي

PASAL: Jika seseorang murtad sedangkan ia memiliki harta, maka terdapat tiga pendapat:

Pertama, kepemilikannya atas harta tidak hilang. Ini adalah pilihan al-Muzanī rahimahullah, karena tidak terjadi lebih dari sekadar sebab yang membolehkan penumpahan darah, dan itu tidak menyebabkan hilangnya kepemilikan atas harta, sebagaimana halnya jika ia membunuh atau berzina.

Kedua, kepemilikannya atas harta hilang, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan riwayat Ṭāriq bin Syihāb bahwa Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu berkata kepada delegasi Buzākhah dan Ghaṭafān: “Kami mengambil sebagai rampasan apa yang kami dapatkan dari kalian, dan kalian mengembalikan kepada kami apa yang kalian ambil dari kami.” Karena sesungguhnya ia telah mendapatkan perlindungan darah dan hartanya melalui Islam, kemudian kaum Muslimin menjadi memiliki darahnya karena kemurtadannya, maka wajib bagi mereka juga memiliki hartanya karena kemurtadannya.

Ketiga, kepemilikannya itu mu‘allaq (tergantung/ditangguhkan).

فإن أسلم حكمنا بأنه لم يزل ملكه وإن قتل أو مات على الردة حكمنا بأنه زال ملكه لأن ماله معتبر بدمه ثم استباحة دمه موقوفة على توبته فوجب أن يكون زوال ملكه عن المال موقوفا وعلى هذا في ابتداء ملكه بالاصطياد والابتياع وغيرهما الأقوال الثلاثة: أحدهما: يملك والثاني: لا يملك والثالث: أنه مراعى فإن قلنا أن ملكه قد زال بالردة صار المال فيئا للمسلمين وأخذ إلى بيت المال

Jika ia masuk Islam, maka ditetapkan bahwa kepemilikannya atas harta tidak hilang. Namun jika ia dibunuh atau mati dalam keadaan murtad, maka ditetapkan bahwa kepemilikannya atas harta telah hilang, karena hartanya dipertimbangkan bersama darahnya, sedangkan kebolehan menumpahkan darahnya tergantung pada tobatnya. Maka wajib pula bahwa hilangnya kepemilikan atas hartanya juga tergantung (mauqūf).

Berdasarkan hal ini, maka dalam hal perolehan kepemilikan baru melalui berburu, jual beli, dan selainnya, terdapat tiga pendapat:

Pertama, ia tetap memiliki (menjadi milik sah).
Kedua, tidak sah menjadi miliknya.
Ketiga, kepemilikan itu ditangguhkan (murā‘ā).

Jika kita berpendapat bahwa kepemilikannya telah hilang karena murtad, maka hartanya menjadi fay’ bagi kaum Muslimin dan disalurkan ke Bayt al-Māl.

وإن قلنا أنه لا يزول أو مرعى حجر عليه ومنع من التصرف فيه لأنه تعلق به حق المسلمين وهو متهم في إضاعته فحفظ كما يحفظ مال السفيه وأما تصرفه في المال فإنه إن كان بعد الحجر لم يصح لأنه حجر ثبت بالحاكم فمنع صحة التصرف فيه كالحجر على السفيه وإن كان قبل الحجر ففيه ثلاثة أقوال بناء على الأقوال في بقاء ملكه أحدها أنه يصح والثاني: أنه لا يصح والثالث: أنه موقوف.

Dan jika kita berpendapat bahwa kepemilikannya tidak hilang, atau kepemilikannya ditangguhkan (murā‘ā), maka ia dikenai ḥajr (pembatasan hukum) dan dicegah dari melakukan transaksi terhadap hartanya, karena harta itu berkaitan dengan hak kaum Muslimin, sementara ia dituduh akan menyia-nyiakannya, maka hartanya dijaga sebagaimana harta orang safīh (tidak cakap mengelola harta) dijaga.

Adapun tindakan/transaksi terhadap harta tersebut, maka jika dilakukan setelah dikenai ḥajr, maka tidak sah, karena ḥajr tersebut ditetapkan oleh hakim sehingga mencegah keabsahan transaksi, sebagaimana ḥajr atas orang safīh.

Namun jika transaksi dilakukan sebelum dikenai ḥajr, maka terdapat tiga pendapat yang dibangun di atas perbedaan pendapat tentang tetap atau tidaknya kepemilikan:

Pertama, transaksinya sah.
Kedua, transaksinya tidak sah.
Ketiga, transaksinya ditangguhkan (mauqūf).

فصل: وإن ارتد وعليه دين قضى من ماله لأنه ليس بأكثر من موته ولو مات قضيت ديونه فكذلك إذا ارتد.

PASAL: Jika seseorang murtad dan ia memiliki utang, maka utangnya dibayarkan dari hartanya, karena hal itu tidak lebih besar dari kematiannya. Jika ia mati maka utangnya tetap dibayarkan, maka demikian pula jika ia murtad.

فصل: ولا يجوز استرقاقه لأنه لا يجوز إقراره على الكفر فإن ارتد وله ولد أو حمل كان محكوماً بإسلامه فإذا بلغ ووصف الكفر قتل وقال أبو العباس: فيه قول آخر أنه لا يقتل لأن الشافعي رحمه الله قال: ولو بلغ فقتله قاتل قبل أن يصف الإسلام لم يجب عليه القود والمذهب الأول لأنه محكوم بإسلامه إنما أسقط الشافعي رحمه الله القود بعد البلوغ للشبهة وهو أنه بلغ ولم يصف الإسلام ولهذا لو قتل قبل البلوغ وجب القود وإن ولد له ولد بعد الردة من ذمية فهو كافر لأنه ولد بين كافرين

PASAL: Tidak boleh diperbudak karena tidak boleh dibiarkan tetap dalam kekufuran. Jika ia murtad dan memiliki anak atau kandungan, maka anak itu dihukumi sebagai muslim. Jika telah baligh dan menyatakan kekufuran, maka ia dibunuh. Abu al-‘Abbās berkata: ada pendapat lain bahwa ia tidak dibunuh, karena asy-Syāfi‘ī rahimahullah berkata: “Seandainya ia baligh lalu dibunuh oleh seorang pembunuh sebelum ia menyatakan keislaman, maka tidak wajib qawad atasnya.” Namun, mazhab yang pertama lebih kuat, karena ia telah dihukumi muslim. Asy-Syāfi‘ī rahimahullah hanya menggugurkan qawad setelah baligh karena adanya syubhat, yaitu karena ia telah baligh namun belum menyatakan keislaman. Oleh karena itu, jika dibunuh sebelum baligh, maka qawad wajib. Dan jika ia memiliki anak setelah murtad dari seorang perempuan dzimmī, maka anak itu adalah kafir karena lahir dari dua orang kafir.

وهل يجوز استقراره؟ فيه قولان: أحدهما: لا يجوز لأنه لا يسترق أبواه فلم يسترق والثاني: لأنه كافر ولد بين كافرين فجاز استرقاقه كولد الحربيين فإن قلنا لا يجوز استرقاقه استتيب بعد البلوغ فإن تاب وإلا قتل وإن قلنا يجوز استرقاقه فوقع في الأسر فللإمام أن يمن عليه وله أن يفادي به وله أن يسترقه كولد الحربيين غير أنه إذا استرقه لم يجز إقراره على الكفر لأنه دخل في الكفر بعد نزول القرآن.

Dan apakah boleh diperbudak? Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: tidak boleh, karena kedua orang tuanya tidak diperbudak, maka ia pun tidak diperbudak.

Pendapat kedua: boleh, karena ia adalah kafir yang lahir dari dua orang kafir, maka boleh diperbudak seperti anak dari dua orang ḥarbiyy.

Jika kita katakan tidak boleh diperbudak, maka setelah baligh ia diminta bertobat. Jika bertobat, maka dibiarkan; jika tidak, maka dibunuh.

Dan jika kita katakan boleh diperbudak lalu ia jatuh dalam tawanan, maka imam boleh memberikan pengampunan, atau menebusnya, atau memperbudaknya seperti anak dari dua orang ḥarbiyy, hanya saja apabila ia diperbudak maka tidak boleh dibiarkan tetap dalam kekufuran karena ia masuk dalam kekufuran setelah turunnya al-Qur’an.

فصل: وإن ارتدت طائفة وامتنعت بمنعة وجب على الإمام قتالها لأن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قاتل المرتدة ويتبع في الحرب مدبرهم ويذفف على جريحهم لأنه إذل وجب ذلك في قتال أهل الحرب فلأن يجب ذلك في قتال المرتدة وكفرهم أغلظ أولى وإن أخذ منهم أسير استتيب فإن تاب وإلا قتل لأنه لا يجوز إقراره على الكفر.

PASAL: Jika suatu kelompok murtad dan berlindung dengan kekuatan, maka wajib atas imam untuk memerangi mereka, karena Abu Bakar ash-Shiddīq RA telah memerangi orang-orang yang murtad. Dalam peperangan terhadap mereka, orang yang lari dikejar dan yang terluka dihabisi, karena jika hal tersebut wajib dilakukan dalam memerangi orang-orang kafir harbi, maka dalam memerangi orang-orang murtad yang kekafirannya lebih berat lebih utama lagi. Jika di antara mereka tertawan, maka diminta untuk bertobat; jika bertobat, diterima; jika tidak, dibunuh, karena tidak boleh membiarkan seseorang tetap dalam kekafiran.

فصل: ومن أتلف منهم نفساً أو مالاً على مسلم فإن كان ذلك في غير القتال وجب عليه ضمانه لأنه التزم ذلك بالإقرار بالإسلام فلم يسقط عنه بالجحود كما لا يسقط عنه ما التزمه بالإقرار عند الحاكم بالحجود فإن أتلف ذلك في حال القتال ففيه طريقان: أحدهما: وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني وغيره من البغداديين أنه على قولين كما قلنا في أهل البغي

PASAL: Siapa saja di antara mereka yang merusak jiwa atau harta milik seorang muslim, maka jika hal itu terjadi di luar peperangan, wajib atasnya membayar ganti rugi, karena ia telah berkomitmen terhadap hal itu melalui pengakuannya terhadap Islam, maka kewajiban itu tidak gugur hanya karena ia mengingkarinya, sebagaimana tidak gugur apa yang ia komitmenkan melalui pengakuan di hadapan hakim hanya karena ia mengingkarinya. Jika ia merusak jiwa atau harta tersebut dalam keadaan perang, maka terdapat dua jalan: yang pertama—dan ini adalah pendapat asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāyinī dan lainnya dari kalangan ulama Baghdad—bahwa hukumnya ada dua pendapat, sebagaimana yang kami sebutkan dalam (kasus) ahl al-baghī.

والثاني: وهو قول القاضي أبي حامد المروروذي وغيره من البصريين أنه يجب عليه الضمان قولاً واحداً لأنه لا ينفذ قضاء قاضيهم فكان حكمهم في الضمان حكم قاطع الطريق ولأول وهو الصحيح أنه على قولين أصحهما أنه لا يجب الضمان لما روى طارق بن شهاب قال: جاء وفد بزاخة وغطفان إلى أبي بكر يسألونه الصلح فقال: تدون قتلانا وقتلاكم في النار فقال عمر: إن قتلانا قتلوا على أملا الله ليس لهم ديات فتفرق الناس على رأي عمر رضي الله عنه.

dan kedua: yaitu pendapat al-Qadhi Abū Ḥāmid al-Marwazī dan selainnya dari kalangan bashriyyīn, bahwa wajib atasnya membayar ganti rugi menurut satu pendapat saja, karena keputusan qadhi mereka tidak sah, maka hukum mereka dalam ganti rugi seperti hukum qāṭiʿ al-ṭarīq.

Dan pertama—dan inilah yang ṣaḥīḥ—bahwa ada dua pendapat, yang paling aṣaḥḥ-nya adalah tidak wajib membayar ganti rugi, berdasarkan riwayat Ṭāriq ibn Shihāb, ia berkata: delegasi dari Buzākhah dan Ghaṭafān datang kepada Abū Bakr untuk meminta perdamaian. Maka Abū Bakr berkata: “Apakah kalian akan menanggung diyat bagi orang-orang kami yang terbunuh, sedangkan orang-orang kalian terbunuh di neraka?” Maka ʿUmar berkata: “Sesungguhnya orang-orang kami terbunuh di atas perintah Allah, tidak ada diyat untuk mereka.” Maka orang-orang pun bersepakat atas pendapat ʿUmar RA.

فصل: وللسحر حقيقة وله تأثير في إيلام الجسم وإتلافه وقال أبو جعفر الإستراباذي من أصحابنا من قال لا حقيقة ولا تأثير له والمذهب الأول لقوله تعالى: {وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ} والنفاثات السواحر ولو لم يكن للسحر حقيقة لما أمر بالاستعاذة من شره وروت عائشة رضي الله عنها قالت: سحر رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أنه ليخيل إليه أنه قد فعل الشيء وما فعله ويحرم فعله

PASAL: Sihir itu memiliki hakikat dan memiliki pengaruh dalam menyakiti tubuh dan merusaknya. Abu Ja‘far al-Istirābādzī berkata: sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa sihir tidak memiliki hakikat dan tidak berpengaruh. Namun, mazhab yang pertama adalah yang benar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa min sharri an-naffāthāti fī al-‘uqad}, dan an-naffāthāt adalah para penyihir perempuan. Seandainya sihir tidak memiliki hakikat, niscaya tidak akan diperintahkan untuk berlindung dari keburukannya. ‘Āisyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah disihir sampai-sampai beliau mengira telah melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya, dan hal itu diharamkan untuk dilakukan.

لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ليس منا من سحر أو سحر له وليس منا من تكهن أو تكهن له وليس منل من تطير أو تطير له”. ويحرم تعلمه لقوله تعالى: {وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ} فذمهم على تعليمه ولأن تعلمه يدعوا إلى فعله وفعله محرم فحرم ما يدعوا إليه فإن علم أم تعلم واعتقد تحريمه لم يكفر لأنه إذا لم يكفر بتعلم الكفر فلأن لا يكفر بتعلم السحر أولى وإن اعتقد إباحته مع العلم بتحريمه فقد كفر لأنه كذب الله تعالى في خبره ويقتل كما يقتل المرتد.

Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyihir atau disihirkan untuknya, bukan termasuk golongan kami orang yang melakukan takahhun atau dilakukan takahhun untuknya, dan bukan termasuk golongan kami orang yang melakukan ṭayyur atau dilakukan ṭayyur untuknya.” Dan haram hukumnya mempelajari sihir, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {walākinna asy-syayāṭīn kafarū yu‘allimūna an-nāsa as-siḥr}, maka Allah mencela mereka karena mengajarkan sihir. Juga karena mempelajarinya mendorong untuk melakukannya, dan melakukannya adalah haram, maka apa yang mendorong kepada yang haram juga diharamkan. Apabila seseorang mempelajarinya atau mengajarkannya, namun meyakini keharamannya, maka ia tidak kafir, karena apabila tidak menjadi kafir karena mempelajari kekufuran, maka terlebih lagi tidak kafir karena mempelajari sihir. Tetapi jika ia meyakini kebolehannya padahal mengetahui keharamannya, maka ia telah kafir karena ia telah mendustakan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya, dan ia dibunuh sebagaimana dibunuh orang murtad.

باب صول الفحل
من قصده رجل في نفسه أو ماله أو أهله بغير حق فله أن يدفعه لما روى سعيد بن زيد أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من قاتل دون أهله أو ماله فقتل فهو شهيد” . وهل يجب عليه الدفع ينظر فيه فإن كان في المال لم يجب لأن المال يجوز إباحته وإن كان في أهله وجب عليه الدفع لأنه لا يجوز إباحته وإن كان في النفس ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب عليه الدفع لقوله عز وجل: {وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ} والثاني: أنه لا يجب لأن عثمان رضي الله عنه لم يدفع عن نفسه ولأنه ينال به الشهادة إذا قتل فجاز له ترك الدفع لذلك.

BAB SERANGAN SECARA ZALIM

Apabila seseorang diserang oleh orang lain terhadap dirinya, hartanya, atau keluarganya tanpa hak, maka ia boleh menolaknya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Sa‘īd bin Zayd bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang berperang demi membela keluarganya atau hartanya lalu ia terbunuh, maka ia adalah syahid.”

Adapun apakah ia wajib menolaknya, hal ini dirinci. Jika serangan tersebut terhadap harta, maka tidak wajib menolaknya, karena harta boleh untuk dihalalkan. Jika terhadap keluarganya, maka wajib menolaknya, karena tidak boleh menghalalkan (menyerahkannya). Jika terhadap dirinya, maka terdapat dua wajah (pendapat):

Pertama, wajib menolaknya, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {wa lā tulqū bi-aidīkum ilā at-tahlukah}.

Kedua, tidak wajib, karena ‘Utsmān RA tidak menolak serangan terhadap dirinya, dan karena jika ia terbunuh, maka ia mendapatkan syahadah, maka boleh baginya untuk tidak menolak demi memperoleh hal itu.

فصل: وإذا أمكنه الدفع بالصياح والاستغاثة لم يدفع باليد وإن كان في موضع لا يلحقه الغوث دفعه باليد فإذا لم يندفع دفعه بالعصا فإن لم يندفع بالعصا دفعه بالسلاح فإن لم يندفع إلا بإتلاف عضو دفعه بإتلاف العضو فإن لم يندفع إلا بالقتل دفعه بالقتل وإن عض يده ولم يمكنه تخليصها إلا بفك لحييه وإن لم يندفع إلا بأن يبعج جوفه بعج جوفه ولا يجب عليه في شيء من ذلك ضمان

PASAL: Apabila seseorang mampu menolak serangan dengan teriakan atau meminta tolong, maka tidak boleh ia menolaknya dengan tangan. Namun jika berada di tempat yang tidak memungkinkan datangnya pertolongan, maka ia boleh menolak dengan tangan. Jika tidak berhasil dengan tangan, maka boleh menolaknya dengan tongkat. Jika tidak berhasil dengan tongkat, maka boleh dengan senjata. Jika tidak juga berhasil kecuali dengan merusak anggota tubuh, maka boleh merusaknya. Jika tidak juga berhasil kecuali dengan membunuh, maka boleh membunuh. Jika orang tersebut menggigit tangannya dan tidak bisa dilepaskan kecuali dengan mematahkan rahangnya, maka boleh mematahkan rahangnya. Jika tidak bisa dihentikan kecuali dengan membelah perutnya, maka boleh membelah perutnya. Dan dalam semua hal itu, ia tidak wajib menanggung ganti rugi.

لما روى عمران بن الحصين قال: قاتل يعلى بن أمية رجلاً فعض أحدهما: يد صاحبه فانتزع يده من فيه فنزع ثتيته فاختصما إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يعض أحدكم أخاه كما يعض الفحل لا دية له”. ولأن فعله ألجأه إلى الإتلاف فلم يضمنه كما لو رمى حجراً فرجع الحجر عليه فأتلفه وإن قدر على دفعه بالعصا فقطع عضواً أو قدر على دفعه بالقطع فقتله وجب عليه الضمان لأنه جناية لغير حق فأشبه إذا جنى عليه من غير دفع

Karena telah diriwayatkan dari ‘Imrān bin Ḥuṣain bahwa Ya‘là bin Umayyah berkelahi dengan seorang laki-laki, lalu salah satu dari keduanya menggigit tangan temannya. Maka yang digigit menarik tangannya dari mulut orang itu hingga mencabut gigi serinya. Mereka berdua pun mengadukan perkara itu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian menggigit saudaranya seperti gigitan jantan hewan? Tidak ada diyah baginya.”

Dan karena perbuatannya membuat orang lain terpaksa merusaknya, maka ia tidak menanggung ganti rugi, sebagaimana orang yang melempar batu lalu batu itu memantul kembali dan merusaknya sendiri.

Namun, apabila ia mampu menolaknya dengan tongkat lalu justru memotong anggota tubuhnya, atau mampu menolaknya dengan memotong lalu membunuhnya, maka wajib atasnya membayar ganti rugi, karena hal itu merupakan suatu tindakan menyakiti tanpa hak, sehingga serupa dengan orang yang menyakiti tanpa adanya penolakan.

وإن قصده ثم انصرف عنه لم يتعرض له وإن ضربه فعطله لم يجز أن يضربه مرة أخرى لأن القصد كف أذاه فإن قصده فقطع يده فولى عنه فقطع يده الأخرى وهو مول لم يضمن الأولى لأنه قطع بحق ويضمن الثانية لأنه قطع بغير حق وإن مات منهما لم يجب عليه القصاص في النفس لأنه مات من مباح ومحظور ولولي المقتول الخيار في أن يقتص من اليد الثانية وبين أن يأخذ نصف دية النفس.

Dan jika orang itu bermaksud menyerangnya lalu berpaling darinya, maka tidak boleh ia mengganggunya. Jika ia telah memukulnya hingga membuatnya tidak berdaya, maka tidak boleh ia memukulnya lagi, karena tujuannya adalah menolak gangguannya.

Jika orang itu menyerangnya lalu ia memotong tangannya, kemudian orang itu berbalik pergi dan ia memotong tangan satunya dalam keadaan orang itu berpaling, maka ia tidak wajib membayar ganti rugi atas tangan pertama karena dipotong dengan hak, namun wajib mengganti tangan kedua karena dipotong tanpa hak.

Jika orang tersebut mati akibat keduanya, maka tidak wajib atasnya qiṣāṣ dalam hal jiwa, karena ia mati akibat gabungan antara yang mubah dan yang terlarang. Maka ahli waris yang terbunuh memiliki pilihan antara menuntut qiṣāṣ atas tangan kedua atau mengambil setengah dari diyah jiwa.

فصل: وإن وجد رجلا يزني بامرأته ولم يمكنه المنع إلا بالقتل فقتله لم يجب عليه شيء فيما بينه وبين الله عز وجل لأنه قتله بحق فإن ادعى أنه قتله لذلك وأنكر الولي ولم يكن بينة لم يقبل قوله فإذا حلف الولي حكم عليه بالقود لما روى أبو هريرة أن سعد بن عبادة قال يا رسول الله أرأيت لو وجدت مع امرأتي رجلاً أمهله حتى آتي بأربعة شهداء قال: “نعم” فدل على أنه لا يقبل قوله من غير بينة

PASAL: Jika seseorang mendapati seorang laki-laki berzina dengan istrinya dan tidak mungkin baginya untuk mencegahnya kecuali dengan membunuh, lalu ia membunuhnya, maka tidak wajib atasnya sesuatu pun antara dirinya dengan Allah Azza wa Jalla karena ia membunuh dengan hak. Namun, jika ia mengaku bahwa ia membunuhnya karena hal itu dan wali si terbunuh mengingkarinya, serta tidak ada bukti, maka tidak diterima pengakuannya. Maka apabila wali bersumpah, ditetapkan atasnya qawad (hukuman balasan), berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa Sa‘d bin ‘Ubādah berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku, apakah aku menundanya hingga aku mendatangkan empat saksi?” Beliau bersabda: “Ya.” Hal ini menunjukkan bahwa tidak diterima pengakuan seseorang tanpa bukti.

وروى سعيد بن المسيب قال: أرسل معاوية أبا موسى إلى علي كرم الله وجهه يسأله عن رجل وجد على امرأته رجلاً فقتله فقال علي كرم الله وجهه لتخبرني لم تسأل عن هذا فقال إن معاوية كتب إلي فقال علي أنا أبو الحسن إن جاء بأربعة شهداء يشهدون على الزنا وإلا أعطى برمته يقول يقتل.

Diriwayatkan dari Sa‘īd bin al-Musayyib, ia berkata: Mu‘āwiyah mengutus Abū Mūsā kepada ‘Alī karramallāhu wajhah untuk menanyakan tentang seorang laki-laki yang mendapati seorang laki-laki lain bersama istrinya lalu membunuhnya. Maka ‘Alī karramallāhu wajhah berkata: “Kabarkan kepadaku mengapa engkau bertanya tentang hal ini?” Ia menjawab: “Sesungguhnya Mu‘āwiyah menuliskan surat kepadaku.” Maka ‘Alī berkata: “Aku adalah Abū al-Ḥasan, jika ia mendatangkan empat orang saksi yang bersaksi atas perbuatan zina, maka tidak apa-apa. Jika tidak, maka ia harus diserahkan dengan tali pengikatnya,” maksudnya: dibunuh.

فصل: وإن صالت عليه بهيمة فلم تندفع إلا بالقتل فقتلها لم يضمن لأنه إتلاف بدفع جائز فلم يضمن كما لو قصده آدم فقتله للدفع.

PASAL: Jika seekor hewan menyerangnya dan tidak dapat dihalau kecuali dengan membunuhnya, lalu ia membunuhnya, maka ia tidak wajib membayar ganti rugi, karena hal itu merupakan tindakan pembinasaan untuk tujuan pertahanan yang dibolehkan, sehingga tidak wajib ganti rugi, sebagaimana jika ada manusia yang menyerangnya lalu ia membunuhnya untuk membela diri.

فصل: فإن أطلع رجل أجنبي في بيته على أهله فله أن يفقأ عينه لما روى سهل بن سعد قال: أطلع رجل من جحر في حجرة رسول الله صلى الله عليه وسلم ومع النبي صلى الله عليه وسلم مدرا يحك به رأسه فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “لو علمت أنك تنظر لطعنت به عينك إنما جعل الاستئذان من أجل البصر”.

PASAL: Jika seorang laki-laki asing mengintip ke dalam rumah seseorang untuk melihat keluarganya, maka ia boleh memencungkan matanya, berdasarkan riwayat dari Sahl bin Sa‘d, ia berkata: Seorang laki-laki mengintip dari lubang di kamar Rasulullah SAW, dan saat itu Nabi SAW sedang memegang midrā (besi kecil) yang beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Maka Nabi SAW bersabda: “Seandainya aku tahu bahwa kamu sedang melihat, niscaya aku akan mencucukkan benda ini ke matamu. Sesungguhnya disyariatkannya meminta izin itu karena penglihatan.”

وهل له أن يصيبه قبل أن ينهاه بالكلام فيه وجهان: أحدهما: وهو قول القاضي أبي حامد المروروذي والشيخ أبي حامد الإسفرايني أنه يجوز للخبر والثاني: أنه لا يجوز كما لا تجوز إصابة من يقصد نفسه بالقتل إذا اندفع بالقول ولا يجوز أن يصيبه إلا بشيء خفيف لأن المستحق بهذه الجناية فقء العين وذلك يحصل بسبب خفيف فلم تجز الزيادة عليه وإن فقأ عينه فمات منه لم يضمن لأنه سراية من مباح فلم يضمن كسرية القصاص

Dan apakah boleh baginya menyakitinya sebelum memperingatkannya dengan ucapan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: yaitu pendapat al-Qāḍī Abū Ḥāmid al-Marwazī dan asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāyinī, bahwa hal itu diperbolehkan karena adanya hadits.

Kedua: tidak diperbolehkan, sebagaimana tidak diperbolehkan menyakiti orang yang hendak menyerang dirinya dengan pembunuhan jika bisa dicegah dengan ucapan. Dan tidak boleh menyakitinya kecuali dengan sesuatu yang ringan, karena yang berhak ia dapatkan dari pelanggaran ini hanyalah pemencungan mata, dan hal itu bisa terjadi dengan sebab yang ringan, maka tidak diperbolehkan melebihi dari itu.

Dan jika ia mencungkil matanya lalu orang itu mati karenanya, maka ia tidak wajib membayar diyat, karena kematian itu adalah akibat dari sesuatu yang mubah, maka ia tidak bertanggung jawab, sebagaimana halnya dengan akibat dari pelaksanaan qiṣāṣ.

فإن رماه بشيء يقتل فمات منه ضمنه لأنه قتله بغير حق وإن رماه فلم يرجع استغاث عليه فإن لم يكن من يغيثه فمن المستحب أن يخوفه بالله تعالى فإن لم يقبل فله أن يصيبه بما يدفعه فإن أتى على نفسه لم يضمن لأنه تلف بدفع جائز فإن اطلع أعمى لم يجز له رميه لأته لا ينظر إلى محرم وإن اطلع ذو رحم محرم لأهله لم يجز رميه لأنه غير ممنوع النظر وإن كانت زوجته متجردة فقصد النظر إليها جاز له رميه لأنه محرم عليه النظر إلى ما دون السرة وفوق الركبة منها كما يحرم على الأجنبي

Maka jika ia melemparnya dengan sesuatu yang mematikan lalu orang itu mati karenanya, maka ia wajib menanggungnya karena ia telah membunuh tanpa hak. Namun jika ia melemparnya tetapi orang itu tidak pergi, maka ia boleh meminta pertolongan terhadapnya. Jika tidak ada orang yang bisa menolongnya, maka dianjurkan baginya untuk menakut-nakutinya dengan (ancaman) kepada Allah Ta‘ala. Jika ia tidak mau menerima, maka boleh baginya untuk melukainya dengan sesuatu yang dapat mengusirnya. Jika orang itu mati karenanya, maka ia tidak menanggungnya karena kematiannya terjadi akibat tindakan pertahanan yang dibolehkan.

Jika yang mengintip itu seorang buta, maka tidak boleh melemparnya karena ia tidak dapat melihat sesuatu yang haram. Dan jika yang mengintip itu adalah kerabat mahram dari keluarganya, maka tidak boleh pula melemparnya karena ia tidak dilarang untuk melihat. Namun jika istrinya sedang telanjang lalu orang itu bermaksud melihatnya, maka boleh baginya untuk melemparnya karena haram baginya melihat bagian tubuh antara pusar dan lutut istrinya, sebagaimana haram bagi orang asing.

وإن اطلع عليه من باب مفتوح أو كوة واسعة فإن نظر وهو على اجتيازه لم يجز رميه لأنه المفرط صاحب الدار بفتح الباب وتوسعة الكوة وإن وقف وأطال النظر ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز له رميه لأنه مفرط في الإطلاع فأشبه إذا اطلع من ثقب والثاني: أنه لا يجوز له رميه وهو قول القاضي أبي القاسم العمري لأن صاحب الدار مفرط في فتح الباب وتوسعة الكوة.

Dan jika seseorang mengintipnya melalui pintu yang terbuka atau celah yang lebar, maka apabila ia melihat dalam keadaan sedang lewat saja, tidak boleh melemparnya karena yang lalai adalah pemilik rumah dengan membuka pintu dan melebarkan celah itu. Namun jika ia berhenti dan memperpanjang pandangannya, maka ada dua wajah:

Pertama: Boleh baginya melempar orang itu karena orang tersebut telah lalai dengan mengintip, maka keadaannya seperti orang yang mengintip dari lubang kecil.

Kedua: Tidak boleh melemparnya, dan ini adalah pendapat al-Qadhi Abul Qasim al-‘Umari, karena yang lalai adalah pemilik rumah dengan membuka pintu dan melebarkan celah tersebut.

فصل: وإذا دخل رجل داره بغير إذنه أمره بالخروج فإن لم يقبل فله أن يدفعه بما يدفع به من قصد ماله أو نفسه فإن قتله فادعى أنه قتله للدفع عن داره وأنكر الولي لم يقبل قول القاتل من غير بينة لأن القتل متحقق وما يدعيه خلاف الظاهر فإن أقام بينة أنه دخل داره مقبلاً عليه بسلاح شاهر لم يضمن لأن الظاهر أنه قصد قتله وإن أقام الولي بينة أنه دخل داره بسلاح غير شاهر ضمنه بالقود أو بالدية لأن القتل متحقق وليس ههنا ما يدفعه.

PASAL: Apabila seseorang masuk ke rumah seorang laki-laki tanpa izinnya, maka pemilik rumah memerintahkannya untuk keluar. Jika ia tidak mau, maka pemilik rumah boleh mendorongnya sebagaimana ia boleh mendorong orang yang berniat menyerang hartanya atau dirinya. Jika ia membunuhnya lalu mengaku bahwa ia membunuhnya untuk membela rumahnya, namun wali korban mengingkarinya, maka pengakuan si pembunuh tidak diterima tanpa adanya bukti, karena pembunuhan telah terjadi dan apa yang diklaim itu menyelisihi yang tampak. Jika ia mendatangkan bukti bahwa orang itu masuk ke rumahnya sambil menghadap kepadanya dengan senjata yang terhunus, maka ia tidak dikenai tanggungan, karena yang tampak menunjukkan bahwa orang itu bermaksud membunuhnya. Namun jika wali korban mendatangkan bukti bahwa ia masuk ke rumahnya dengan membawa senjata yang tidak terhunus, maka si pembunuh dikenai tanggungan berupa qiṣāṣ atau diyah, karena pembunuhan telah terjadi dan tidak ada sesuatu yang membenarkan tindakan itu.

فصل: إذا أفسدت ماشيته زرعا لغيره ولم بكن معها فإن كان ذلك بالنهار لم يضمن وإن كان بالليل ضمن لما روى حزام ابن سعد بن محيصة أن ناقة البراء بن عازب دخلت حائط قوم فأفسدت زرعاً فقضى النبي صلى الله عليه وسلم أن على أهل الأموال حفظ أموالهم بالنهار وعلى أهل المواشي ما أصابت مواشيهم بالليل وإن كانت له هرة تأكل الطيور فأكلت طيراً لغيره أوله كلب عقور فأتلف إنساناً وجب عليه الضمان لأنه مفرط في ترك حفظه.

PASAL: Jika hewan ternaknya merusak tanaman milik orang lain dan tidak ada yang menyertainya, maka jika itu terjadi pada siang hari, ia tidak wajib mengganti rugi. Namun jika terjadi pada malam hari, ia wajib mengganti rugi. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ḥizām bin Sa‘d bin Muḥayṣah bahwa unta al-Barā’ bin ‘Āzib masuk ke kebun milik suatu kaum dan merusak tanaman mereka, maka Nabi SAW memutuskan bahwa pemilik harta bertanggung jawab menjaga hartanya pada siang hari, dan pemilik hewan ternak bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan ternaknya pada malam hari. Jika ia memiliki kucing yang biasa memakan burung, lalu memakan burung milik orang lain, atau memiliki anjing buas yang membunuh seseorang, maka ia wajib mengganti rugi karena ia telah lalai dalam menjaga hewannya.

فصل: وإن مرت بهيمة له بجوهرة لآخر فابتلعتها نظرت فإن كان معها ضمن الجوهرة لأن فعلها منسوب إليه وقال أبوعلي بن أبي هريرة إن كانت شاة لم يضمن وإن كان بعيراً ضمن لأن العادة في البعير أنه يضبط وفي الشاة أن ترسل وهذا فاسد لأنه يبطل بإفساد الزرع لأنه لا فرق فيه بين الجميع فإن لم يكن معها ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي بن أبي هريرة فإنه إن كان ذلك نهارا لم يضمن وإن كان ليلا ضمن كالزرع

PASAL: Jika ada hewan miliknya melewati sebuah permata milik orang lain lalu menelannya, maka dilihat keadaannya. Jika hewan tersebut bersama pemiliknya, maka ia wajib mengganti permata itu karena perbuatannya dinisbatkan kepadanya. Abu ‘Alī Ibn Abī Hurairah berkata: jika hewan itu seekor kambing maka tidak wajib mengganti, namun jika seekor unta maka wajib mengganti karena kebiasaan unta dijaga sedangkan kambing biasa dilepas. Pendapat ini rusak, karena dapat dibatalkan oleh kasus perusakan tanaman, sebab tidak ada perbedaan dalam hal itu di antara semua jenis hewan.

Jika hewan tersebut tidak bersama pemiliknya, maka ada dua pendapat: pertama, yaitu pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah, bahwa jika itu terjadi di siang hari maka tidak wajib mengganti, namun jika di malam hari maka wajib mengganti, seperti dalam kasus tanaman.

والثاني: وهو قول القاضي أبي الحسن الماوردي البصري أنه يضمنها ليلا ونهارا والفرق بينه وبين الزرع أن رعي الزرع مألوف صاحبه فلزم صاحبه حفظه منها وابتلاع الجوهرة غير مألوف فلم يلزم صاحبها حفظه منها فغلى هذا إن طلب صاحب الجوهرة ذبح البهيمة لأجل الجوهرة لم تذبح يغرم قيمة الجوهرة فإن دفع القيمة ثم ماتت البهيمة ثم أخرجت الجوهرة من جوفها وجب ردها إلى صاحبها لأنها عين ماله واسترجعت القيمة فإن نقصت قيمة الجوهرة بالابتلاع ضمن صاحب البهيمة ما نقص وإن كانت البهيمة مأكولة ففي ذبحها وجهان بناء على القولين فيمن غصب خيطاً وخاط به جرح حيوان مأكول.

dan yang kedua: yaitu pendapat al-Qāḍī Abū al-Ḥasan al-Māwardī al-Baṣrī, bahwa ia wajib mengganti permata tersebut baik siang maupun malam. Perbedaan antara kasus ini dan tanaman adalah bahwa merumputi tanaman adalah hal yang lazim, maka pemilik tanaman wajib menjaganya dari hewan, sedangkan menelan permata bukan hal yang lazim, maka pemilik permata tidak wajib menjaganya dari hewan.

Berdasarkan pendapat ini, jika pemilik permata meminta agar hewan tersebut disembelih untuk mengambil permata, maka tidak boleh disembelih. Sebaliknya, pemilik hewan harus mengganti nilai permata tersebut. Jika ia telah mengganti nilainya lalu hewan itu mati dan permata berhasil dikeluarkan dari perutnya, maka permata itu wajib dikembalikan kepada pemiliknya karena itu adalah harta miliknya, dan nilai yang telah diganti harus dikembalikan.

Jika nilai permata berkurang karena telah ditelan, maka pemilik hewan wajib mengganti selisih kekurangannya. Jika hewan tersebut termasuk hewan yang boleh dimakan, maka dalam hal penyembelihannya terdapat dua wajah, berdasarkan dua pendapat dalam kasus orang yang mengg usur benang lalu menjahitkan benang itu ke luka hewan yang boleh dimakan.

من أسلم في دار الحرب ولم يقدر على إظهار دينه وقدر على الهجرة وجبت عليه الهجرة لقوله عز وجل: {إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ الله وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيراً} روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أنا بريء من كل مسلم مع مشرك”.
Kitab al-Siyar

Barang siapa yang memeluk Islam di dār al-ḥarb namun tidak mampu menampakkan agamanya, sementara ia mampu untuk berhijrah, maka wajib atasnya untuk berhijrah. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri mereka sendiri, para malaikat itu berkata: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami orang-orang yang tertindas di negeri.’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka mereka itu tempatnya di neraka Jahanam dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal bersama orang musyrik.”

فإن لم يقدر على الهجرة لم يجب عليه لقوله عز وجل: {إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلاً فَأُولَئِكَ عَسَى الله أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ الله عَفُوّاً غَفُوراً} وإن قدر على إظهار الدين ولم يخف الفتنة في الدين لم تجب عليه الهجرة لأنه لما أوجب على المستضعفين دل على أنه لا تجب على غيرهم ويستحب له أن يهاجر لقوله عز وجل: {لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} ولأنه إذا أقام في دار الشرك كثر سوادهم ولأنه لا يؤمن أن يميل إليهم ولأنه ربما ملك الدار فاسترق ولده.

Jika ia tidak mampu berhijrah, maka tidak wajib atasnya berhijrah, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {kecuali orang-orang yang tertindas dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tidak berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan, maka mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun}.

Jika ia mampu menampakkan agama dan tidak khawatir terhadap fitnah dalam agama, maka tidak wajib atasnya berhijrah, karena ketika Allah mewajibkan hijrah atas orang-orang yang tertindas, itu menunjukkan bahwa hijrah tidak wajib atas selain mereka. Namun disunnahkan baginya untuk berhijrah berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali (kalian), sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain}, dan karena jika ia tetap tinggal di negeri syirik maka ia menambah jumlah mereka, dan dikhawatirkan ia condong kepada mereka, serta karena boleh jadi ia menguasai rumah lalu anaknya dijadikan budak.

فصل: والجهاد فرض والدليل عليه قوله عز وجل: {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ} وقوله تعالى: {جَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ} وهو فرض إلى الكفاية إذا قام به من فيه كفاية سقط الفرض عن الباقين قوله عز وجل: {لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ الله بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ الله الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلّاً وَعَدَ الله الْحُسْنَى} ولو كان فرضاً على الجميع لما فاضل بين من فعل وبين من ترك ولأنه وعد الجميع بالحسنى يدل على أنه ليس بفرض على الجميع

PASAL
Jihad adalah fardu, dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala:
{Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu sesuatu yang kalian benci}
dan firman-Nya:
{Berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian}.

Hukumnya adalah fardu kifāyah: apabila telah dilaksanakan oleh sejumlah orang yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban dari yang lain, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{Tidaklah sama antara orang-orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing Allah menjanjikan kebaikan}.

Seandainya jihad itu wajib atas setiap individu, niscaya Allah tidak akan membedakan antara orang yang melakukannya dan yang meninggalkannya. Dan karena Allah menjanjikan kebaikan kepada semuanya, hal ini menunjukkan bahwa jihad bukanlah fardu ‘ayn atas setiap individu.

وروى أبو سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث إلى بني لحيان وقال: “ليخرج من كل رجلين رجل ثم قال للقاعدين: ” أيكم خلف الخارج في أهله وماله بخير كان له مثل أجر نصف الخارج”. ولأنه لو جعل فرضاً على الأعيان لاشتغل الناس به عن العمارة وطلب المعاش فيؤدي ذلك إلى خراب الأرض وهلاك الخلق.

Diriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī RA bahwa Rasulullah SAW mengutus pasukan ke Banī Laḥyān dan bersabda: “Hendaklah keluar satu orang dari setiap dua orang.” Lalu beliau bersabda kepada orang-orang yang tidak ikut: “Siapa di antara kalian yang menjaga keluarga dan harta orang yang keluar dengan baik, maka baginya pahala seperti setengah pahala orang yang keluar.”

Dan karena jika jihad dijadikan sebagai fardu ‘ayn atas setiap individu, niscaya manusia akan tersibukkan dengannya dari pembangunan dan mencari penghidupan, sehingga hal itu akan mengakibatkan kerusakan bumi dan kebinasaan makhluk.

فصل: ويستحب الإكثار منه لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الأعمال أفضل قال: “الإيمان بالله ورسوله وجهاد في سبيل الله”. وروى أبو سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “يا أبا سعيد من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد صلى الله عليه وسلم نبيا وجبت له الجنة” فقال: أعدها يا رسول الله ففعل ثم قال: “وأخرى يرفع الله بها للعبد مائة درجة في الجنة ما بين كل درجتين كما بين السماء والأرض” قلت: وما هي يا رسول الله؟ قال: “الجهاد في سبيل الله الجهاد في سبيل الله “

PASAL: Disunnahkan memperbanyak jihad, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW ditanya: “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah.”

Dan diriwayatkan dari Abū Saʿīd al-Khudrī RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Abā Saʿīd, barang siapa ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama, dan kepada Muhammad SAW sebagai nabi, maka wajib baginya surga.” Ia berkata: “Ulangilah wahai Rasulullah.” Maka beliau melakukannya, kemudian bersabda: “Dan ada satu lagi yang dengannya Allah akan mengangkat bagi seorang hamba seratus derajat di surga, antara setiap dua derajat seperti antara langit dan bumi.” Aku berkata: “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Jihād fī sabīlillāh, jihād fī sabīlillāh.”

وروى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “والذي نفسي بيده وددت أن أقاتل في سبيل الله فأقتل ثم أحيا فأقتل ثم أحيا فأقتل”  كان أبو هريرة يقول ثلاثاً أشهد أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قالها ثلاثا وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم غزا سبعا وعشرين غزوة وبعث خمسا وثلاثين سرية.

Diriwayatkan dari Abū Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin berperang di jalan Allah lalu terbunuh, kemudian dihidupkan kembali lalu terbunuh, kemudian dihidupkan kembali lalu terbunuh.”

Abū Hurairah biasa mengatakan sebanyak tiga kali: “Aku bersaksi bahwa Rasulullah SAW mengucapkannya tiga kali.”

Dan diriwayatkan bahwa Nabi SAW ikut berperang dalam dua puluh tujuh ghazwah, dan mengutus tiga puluh lima sariyyah.

فصل: وأقل مل يجزئ في كل سنة مرة لأن الجزية تجب في كل سنة مرة وهي بدل عن القتل فكذلك القتل ولأن في تعطيله في أكثر من سنة ما يطمع العدو في المسلمين فإن دعت الحاجة في السنة إلى أكثر من مرة وجب لأنه فرض على الكفاية فوجب منه ما دعت الحاجة إليه فإن دعت الحاجة الى تأخيره لضعف المسلمين أو قلة ما يحتاج إليه من قتالهم من المدة وللطمع في إسلامهم ونحو ذلك من الأعذار جاز تأخيره لأن النبي صلى الله عليه وسلم أخر قتال قريش بالهدنة وأخر قتال غيرهم من القبائل بغير هدنة ولأن ما يجري من النفع بتأخيره أكثر مما يجرى من النفع بتقديمه فوجب تأخيره.

PASAL: Minimal jihad yang mencukupi adalah sekali dalam setiap tahun, karena jizyah diwajibkan setiap tahun sekali dan ia adalah pengganti dari pembunuhan, maka demikian pula hukum pembunuhan (dalam jihad).

Juga karena jika jihad ditinggalkan lebih dari setahun, hal itu akan memberi harapan kepada musuh terhadap kaum Muslimin. Maka jika dalam satu tahun dibutuhkan jihad lebih dari sekali, maka wajib dilakukan, karena jihad adalah fardhu kifayah, maka wajib dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.

Namun jika kebutuhan menuntut penundaan jihad karena lemahnya kaum Muslimin, atau karena sedikitnya kebutuhan untuk memerangi mereka dalam jangka waktu tertentu, atau karena harapan masuk Islamnya mereka, atau sebab-sebab lain yang merupakan uzur yang dibenarkan, maka boleh menunda jihad. Karena Nabi SAW pernah menunda memerangi Quraisy karena adanya perjanjian damai (hudnah), dan juga menunda memerangi kabilah-kabilah lain tanpa hudnah.

Dan karena manfaat yang dihasilkan dari penundaan itu lebih besar dibanding manfaat dari mempercepatnya, maka penundaan itu menjadi wajib.

فصل: ولا يجاهد أحد عن أحد بعوض وبغير عوض لأنه إذا حضر تعين عليه الفرض في حق نفسه فلا يؤديه عن غيره كما لا يحج عن غيره وعليه فرضه.

PASAL: Dan tidak boleh seseorang berjihad menggantikan orang lain, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan, karena apabila ia telah hadir maka fardu telah menjadi wajib atas dirinya, sehingga ia tidak boleh melakukannya atas nama orang lain, sebagaimana tidak boleh berhaji atas nama orang lain padahal ia sendiri masih memiliki kewajiban haji.

فصل: ولا يجب الجهاد على المرأة لما روت عائشة رضي الله عنه قالت: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الجهاد فقال: “جهادكن الحج أو حسبكن الحج”. ولأن الجهاد هو القتال وهن لا يقاتلن ولهذا رأى عمر بن أبي ربيعة امرأة مقتولة فقال:
إن من أكبر الكبائر عندي … قتل بيضاء حرة عطبول
كتب القتل والقتال علينا … وعلى الغانيات جر الذيول

PASAL: Jihad tidak wajib atas perempuan, berdasarkan riwayat dari ʿĀisyah RA bahwa ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang jihad, maka beliau bersabda: “Jihad kalian adalah haji” atau “Cukuplah bagi kalian haji.”

Dan karena jihad adalah pertempuran, sedangkan mereka (perempuan) tidak ikut bertempur. Oleh karena itu, ʿUmar bin Abī Rabīʿah melihat seorang wanita terbunuh lalu berkata:

Inna min akbari al-kabā’iri ʿindī
Qatlu bayḍā’a ḥurratin ʿaṭbūl
Kutiba al-qatlu wa al-qitālu ʿalainā
Wa ʿala al-ghāniyāti jarru al-dhuyūl

“Sesungguhnya termasuk dosa besar yang paling besar menurutku
adalah membunuh wanita merdeka yang suci lagi pemalu.
Ditetapkan bagi kami pembunuhan dan pertempuran,
dan bagi wanita-wanita anggun hanyalah menyeret ujung kain (berjalan anggun).”

ولا يجب على الخنثى المشكل لأنه يجوز أن بكون امرأة فلا يجب عليه بالشك ولا يجب على العبد لقوله عز وجل: {لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ} والعبد لا يجد ما ينفق وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أسلم عنده رجل لا يعرفه قال: “أحر هو أم مملوك” فإن قال: أنا حر بايعه على الإسلام والجهاد وإن قال: أنا مملوك بايعه على الإسلام ولم يبايعه على الجهاد ولأنه عبادة متعلقة بقطع مسافة بعيدة فلا يجب على العبد كالحج.

Tidak wajib jihad atas khuntsā musykil, karena boleh jadi ia adalah perempuan, maka tidak diwajibkan atasnya karena adanya keraguan.

Dan tidak wajib pula atas budak, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Tidak ada dosa atas orang-orang yang lemah, tidak pula atas orang-orang sakit, dan tidak pula atas orang-orang yang tidak memiliki apa yang dapat mereka infakkan}, sementara budak tidak memiliki sesuatu untuk diinfakkan.

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW apabila ada seorang laki-laki yang masuk Islam di hadapannya dan ia belum mengenalnya, beliau bertanya: “Apakah engkau orang merdeka atau budak?” Jika ia menjawab: “Aku orang merdeka,” maka beliau membaiatnya atas Islam dan jihad. Jika ia menjawab: “Aku budak,” maka beliau membaiatnya atas Islam dan tidak membaiatnya atas jihad.

Dan karena jihad adalah ibadah yang bergantung pada menempuh jarak yang jauh, maka tidak wajib atas budak, sebagaimana haji.

فصل: ولا يجب على الصبي والمجنون لما روى علي كرم الله وجهه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”. وروى عروة بن الزبير قال: رد رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم بدر نفراً من أصحابه استصغرهم منهم عبد الله بن عمر وهو يومئذ ابن أربع عشرة سنة وأسامة بن زيد والبراء بن عازب وزيد بن ثابت وزيد بن أرقم وعرابة بن أوس ورجل من بني حارثة فجعلهم حرسا للذراري والنساء ولأنه عبادة على البدن فلا يجب على الصبي والمجنون كالصوم والصلاة والحج.

PASAL: Tidak wajib atas anak kecil dan orang gila, karena telah diriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah bahwa Nabi SAW bersabda: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia baligh, dari orang tidur sampai ia bangun, dan dari orang gila sampai ia sadar.” Dan diriwayatkan dari ‘Urwah bin al-Zubair bahwa Rasulullah SAW menolak beberapa orang sahabatnya pada hari Perang Badar karena dianggap masih kecil, di antara mereka adalah ‘Abdullah bin ‘Umar yang saat itu berumur empat belas tahun, Usamah bin Zaid, al-Barā’ bin ‘Āzib, Zaid bin Tsābit, Zaid bin Arqam, ‘Arābah bin Aws, dan seorang laki-laki dari Bani Ḥāriṯah. Maka Nabi menjadikan mereka sebagai penjaga anak-anak dan perempuan. Dan karena jihad adalah ibadah yang dilakukan dengan fisik, maka tidak wajib atas anak kecil dan orang gila, sebagaimana puasa, salat, dan haji.

فصل: ولا يجب على الأعمى لقوله عز وجل: {لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ} ولا يختلف أهل التفسير أنها في سورة الفتح أنزلت في الجهاد ولأنه لا يصلح للقتال فلم يجب عليه وإن كان في بصره شيء فإن كان يدرك الشخص وما يتقيه من السلاح وجب عليه لأنه يقدر على القتال وإن لم يدرك ذلك لم يجب عليه لأنه لا يقدر على القتال

PASAL: Tidak wajib jihad atas orang buta, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Tidak ada dosa atas orang-orang yang lemah, tidak pula atas orang-orang sakit, dan tidak pula atas orang-orang yang tidak memiliki apa yang dapat mereka infakkan}. Para ahli tafsir tidak berselisih bahwa ayat ini diturunkan dalam Surah al-Fatḥ berkenaan dengan jihad.

Dan karena orang buta tidak layak untuk bertempur, maka jihad tidak diwajibkan atasnya.

Namun jika pada penglihatannya ada gangguan, maka apabila ia masih bisa mengenali sosok lawan dan dapat menghindari senjata, maka wajib atasnya berjihad karena ia mampu bertempur. Tetapi jika ia tidak mampu mengenali hal itu, maka tidak wajib atasnya karena ia tidak mampu untuk bertempur.

ويجب على الأعور والأعشى وهو الذي يبصر بالنهار دون الليل لأنه كالبصير في القتال ولا يجب على الأعرج الذي يعجز عن الركوب والمشي للآية ولأنه لا يقدر على القتال ويجب عليه إذا قدر على الركوب والمشي لأنه يقدر على القتال ولا يجب على الأقطع والأشل لأنه يحتاج في القتال إلى يد يضرب بها ويد يتقي بها وإن قطع أكثر أصابعه لم يجب عليه لأنه لا يقدر على القتال وإن قطع الأقل وجب عليه لأنه يقدر على القتال ولا يجب على المريض الثقيل للآية ولأنه لا يقدر على القتال ويجب على من به حمى خفيفة أو صداع قليل لأنه يقدر على الفتال.

Wajib jihad atas orang yang bermata satu (aʿwar) dan orang yang hanya bisa melihat di siang hari saja (aʿshā), karena keduanya seperti orang yang normal penglihatannya dalam urusan pertempuran.

Tidak wajib atas orang pincang (aʿraj) yang tidak mampu naik kendaraan atau berjalan, berdasarkan ayat (yang disebutkan sebelumnya), dan karena ia tidak mampu untuk bertempur. Namun jika ia mampu naik kendaraan dan berjalan, maka wajib atasnya karena ia mampu bertempur.

Tidak wajib atas orang yang buntung tangannya (aqṭaʿ) dan yang lumpuh tangannya (ashall), karena dalam pertempuran dibutuhkan tangan untuk menyerang dan tangan untuk menangkis. Jika sebagian besar jarinya terpotong, tidak wajib atasnya karena ia tidak mampu bertempur. Tetapi jika hanya sebagian kecil yang terpotong, maka wajib atasnya karena ia masih mampu bertempur.

Tidak wajib atas orang sakit berat, berdasarkan ayat, dan karena ia tidak mampu bertempur. Namun wajib atas orang yang hanya menderita demam ringan atau sakit kepala ringan, karena ia masih mampu untuk bertempur.

فصل: ولا يجب على الفقير الذي لا يجد ما ينفق في طريقه فاضلاً عن نفقة عياله لقوله عز وجل: {وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ} فإن كان القتل على باب البلد أو حواليه وجب عليه لأنه لا يحتاج إلى نفقة الطريق وإن كان على مسافة تقصر فيها الصلاة ولم يقدر على مركوب يحمله لم يجب عليه قوله عز وجل: {وَلا عَلَى الَّذِينَ إذا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَناً أَلّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ}

PASAL: Tidak wajib atas orang fakir yang tidak menemukan nafkah untuk perjalanannya melebihi nafkah bagi keluarganya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa lā ‘ala alladzīna lā yajidūna mā yunfiqūna ḥaraj}. Maka jika pertempuran terjadi di gerbang kota atau di sekitarnya, wajib baginya (untuk ikut serta) karena ia tidak membutuhkan nafkah perjalanan. Namun jika (pertempuran itu) berada pada jarak yang memperbolehkan qashar shalat dan ia tidak mampu mendapatkan tunggangan yang membawanya, maka tidak wajib atasnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa lā ‘ala alladzīna idzā mā atau-ka li-taḥmilahum qulta lā ajidu mā aḥmilukum ‘alayhi tawallaw wa a‘yunum tafīḍu min ad-dam‘i ḥazan an lā yajidū mā yunfiqūn}.

ولأنها عبادة تتعلق بقطع مسافة بعيدة فلم تجب من غير مركوب كالحج وإن بذل له الإمام ما يحتاج اليه من مركوب وجب عليه أن يقبل ويجاهد لأن ما يعطيه الإمام حق له وإن بذل له غيره لم يلزمه قبوله لأنه اكتساب مال لتجب به العبادة فلم يجب كاكتساب المال للحج والزكاة.

Dan karena jihad adalah ibadah yang terkait dengan menempuh jarak jauh, maka tidak wajib (atasnya) tanpa adanya tunggangan, seperti halnya haji. Jika imam memberinya apa yang ia butuhkan berupa tunggangan, maka wajib baginya menerimanya dan berjihad, karena apa yang diberikan oleh imam adalah haknya. Namun jika yang memberinya adalah selain imam, maka tidak wajib baginya untuk menerimanya, karena hal itu merupakan usaha memperoleh harta untuk menjadikan ibadah itu wajib, maka tidak wajib seperti halnya usaha memperoleh harta untuk menunaikan haji dan zakat.

فصل: ولا يجب على من عليه دين حال من أن يجاهد من غير إذن غريمه لما روى أبو قتادة رضي الله عنه أن رجلاً أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله أرأيت إن قتلت في سبيل الله كفر الله خطاياي؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أن قتلت في سبيل الله صابراً محتسباً مقبلاً غير مدبر كفر خطاياك إلا الدين كذلك قال لي جبريل”  ولأن فرض الدين متعين عليه فلا يجوز تركه لفرض على الكفاية يقوم عنه غيره مقامه فإن استناب من يقضيه من مال حاضر جاز لأن الغريم يصل إلى حقه

PASAL: Tidak wajib bagi orang yang memiliki utang yang telah jatuh tempo untuk berjihad tanpa izin dari si piutang, berdasarkan riwayat dari Abū Qatādah RA bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah Allah akan menghapus dosa-dosaku?” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau terbunuh di jalan Allah dalam keadaan sabar, mengharap pahala, maju tidak mundur, niscaya dosa-dosamu diampuni—kecuali utang. Itu pula yang dikatakan Jibril kepadaku.” Karena kewajiban membayar utang adalah kewajiban yang bersifat taʿayyun atas dirinya, maka tidak boleh ia meninggalkannya demi kewajiban kifāyah yang dapat dilaksanakan oleh orang lain sebagai pengganti dirinya. Jika ia mewakilkan kepada seseorang untuk membayarkan utangnya dari harta yang telah ada, maka hal itu diperbolehkan karena pihak piutang dapat memperoleh haknya.

وإن كان من مال غائب لم يجز لأنه قد يتلف فيضيع حق الغريم وإن كان الدين مؤجلاً ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز أن يجاهد من غير إذن الغريم كما يجوز أن يسافر لغير الجهاد والثاني: أنه لا يجوز لأنه يتعرض للقتل طلباً للشهادة فلا يؤمن أن يقتل فيضيع دينه.

Dan jika (pembayaran utang itu) dari harta yang tidak hadir (tidak tersedia saat itu), maka tidak diperbolehkan, karena bisa jadi harta itu rusak sehingga hak si piutang hilang. Dan jika utangnya adalah utang yang belum jatuh tempo, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama, boleh baginya berjihad tanpa izin dari si piutang sebagaimana ia dibolehkan bepergian untuk selain jihad; dan pendapat kedua, tidak boleh, karena ia menghadapkan dirinya pada kemungkinan terbunuh demi meraih syahadah, sehingga tidak aman dari kemungkinan terbunuh yang menyebabkan utangnya hilang.

فصل: وإن كان أحد أبويه مسلماً لم يجز أن يجاهد بغير إذنه لما روى عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يستأذنه في الجهاد فقال: “أحي والداك” قال: نعم فقال: “ففيهما فجاهد”. وروى عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي الأعمال أفضل؟ فقال: “الصلاة لميقاتها” قلت ثم ماذا؟ فقال: “بر الوالدين” قلت: ثم ماذا؟ قال: “الجهاد في سبيل الله” . فدل على أن بر الوالدين مقدم على الجهاد ولأن الجهاد فرض على الكفاية ينوب عنه فيه غيره وبر الوالدين فرض يتعين عليه

PASAL: Jika salah satu dari kedua orang tuanya seorang muslim, maka tidak boleh berjihad tanpa izinnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Amr bin al-‘Āṣ RA bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berjihad. Beliau bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab: “Ya.” Maka beliau bersabda: “Maka pada keduanyalah engkau berjihad.”

Dan diriwayatkan dari Abdullah bin Mas‘ūd RA, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi SAW, “Amalan apa yang paling utama?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.”

Maka hal ini menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua lebih diutamakan daripada jihad. Karena jihad adalah fardu kifāyah yang bisa digantikan oleh orang lain, sedangkan berbakti kepada kedua orang tua adalah fardu ‘ayn yang wajib atasnya secara langsung.

لأنه لا ينوب عنه فيه غيره ولهذا قال رجل لابن عباس رضي الله عنه إني نذرت أن أغزو الروم وإن أبوي منعاني فقال: أطع أبويك فإن الروم ستجد من يغزوها غيرك وإن لم يكن له أبوان وله جد أو جدة لم يجز أن يجاهد من غير إذنهما لأنهما كالأبوين في البر وإن كان له أب وجد أو أم وجدة فهل يلزمه استئذان الأب مع الحد أو استئذان الجدة مع الأم فيه وجهان: أحدهما: لا يلزمه لأن الأب والأم يحجبان الجد والجدة عن الولاية والحضانة والثاني: يلزمه وهو الصحيح عندي لأن وجود الأبوين لا يسقط بر الجدين ولا ينقص شفقتهما عليه

karena tidak ada yang bisa menggantikannya dalam hal itu. Oleh karena itu, seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Abbās RA: “Aku bernazar untuk berperang melawan Romawi, namun kedua orang tuaku melarangku.” Maka beliau berkata: “Taatilah kedua orang tuamu, karena Romawi akan tetap ada orang yang memeranginya selain kamu.”

Jika ia tidak memiliki kedua orang tua, tetapi memiliki kakek atau nenek, maka tidak boleh berjihad tanpa izin keduanya karena kedudukan mereka seperti kedua orang tua dalam hal birr (berbakti).

Jika ia memiliki ayah dan kakek, atau ibu dan nenek, maka apakah wajib baginya meminta izin ayah bersama kakek, atau izin nenek bersama ibu? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak wajib, karena ayah dan ibu menghalangi (mewarisi tempat) kakek dan nenek dalam hal perwalian dan pengasuhan.

Kedua: wajib, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ menurutku, karena keberadaan kedua orang tua tidak menggugurkan kewajiban berbakti kepada kakek dan nenek, serta tidak mengurangi kasih sayang mereka terhadapnya.

وإن كان الأبوان كافرين جاز أن يجاهد من غير إذنهما لأنهما متهمان في الدين وإن كانا مملوكين فقد قال بعض أصحابنا أنه يجاهد من غير إذنهما لأنه لا إذن لهما في أنفسهما فلم يعتبر إذنهما لغيرهما قال الشيخ الإمام: وعندي أنه لا يجوز أن يجاهد إلا بإذنهما لأن المملوك كالحر في البر والشفقة فكان كالحر في اعتبار الإذن وان أراد الولد أن يسافر في تجارة أوفي طلب علم جاز من غير إذن الأبوين لأن الغالب في سفره السلامة.

Jika kedua orang tuanya adalah kafir, maka boleh berjihad tanpa izin keduanya karena mereka diragukan dalam urusan agama.

Dan jika keduanya adalah budak, sebagian dari para sahabat kami berpendapat bahwa ia boleh berjihad tanpa izin keduanya karena mereka tidak memiliki hak izin atas diri mereka sendiri, maka tidak dipertimbangkan pula izin mereka terhadap orang lain.

Namun al-Syaikh al-Imām berkata: Menurutku, tidak boleh berjihad kecuali dengan izin keduanya, karena budak itu sama seperti orang merdeka dalam hal berbakti dan kasih sayang, maka dalam hal mempertimbangkan izin pun sama seperti orang merdeka.

Jika seorang anak ingin bepergian untuk berdagang atau menuntut ilmu, maka diperbolehkan tanpa izin kedua orang tuanya karena keselamatan biasanya lebih dominan dalam perjalanan semacam itu.

فصل: وإن أذن الغريم لغريمه أو الوالد لولده ثم رجعا أو كانا كافرين فأسلما فإن كان ذلك قبل التقاء الزحفين لم يجز الخروج إلا بالإذن وان كان بعد التقاء الزحفين ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يجوز أن يجاهد إلا بالإذن لأنه عذر يمنع وجوب الجهاد فإذا طرأ منع من الوجوب كالعمى والمرض والثاني: أنه يجاهد من غير إذن لأنه اجتمع حقان متعينان وتعين الجهاد سابق فقدم وإن أحاط العدو بهم تعين فرض الجهاد وجاز من غير إذن الغريم ومن غير إذن الأبوين لأن ترك الجهاد في هذه الحالة يؤدي إلى الهلاك فقدم على حق الغريم والأبوين.

PASAL: Jika seorang pemilik piutang mengizinkan orang yang berutang kepadanya (untuk berjihad), atau seorang ayah mengizinkan anaknya, lalu mereka menarik kembali izinnya, atau keduanya sebelumnya kafir lalu masuk Islam, maka jika hal itu terjadi sebelum dua barisan pasukan saling berhadapan, tidak boleh keluar (untuk berjihad) kecuali dengan izin. Namun jika terjadi setelah dua barisan saling berhadapan, maka ada dua pendapat:

Pertama: tidak boleh berjihad kecuali dengan izin, karena itu adalah uzur yang menggugurkan kewajiban jihad, sehingga jika datang setelahnya maka mencegah kewajiban, seperti buta dan sakit.

Kedua: ia boleh berjihad tanpa izin, karena telah berkumpul dua hak yang bersifat pribadi (muʿayyan) dan kewajiban jihad lebih dahulu ditetapkan, maka ia didahulukan.

Jika musuh telah mengepung mereka, maka jihad menjadi fardu ʿayn dan boleh dilakukan tanpa izin pemilik piutang maupun tanpa izin kedua orang tua, karena meninggalkan jihad dalam keadaan seperti ini akan mengakibatkan kebinasaan, maka kewajiban jihad didahulukan atas hak pemilik piutang dan kedua orang tua.

فصل: ويكره الغزو من غير إذن الإمام أو الأمير من قبله لأن الغز وعلى حسب حال الحاجة والإمام والأمير أعرف بذلك ولا يحرم لأنه ليس فيه أكثر من التغرير بالنفس والتغرير بالنفس يجوز في الجهاد.

PASAL: Dimakruhkan berangkat berjihad tanpa izin imam atau amir yang ditunjuk olehnya, karena peperangan itu tergantung pada kondisi kebutuhan, dan imam serta amir lebih mengetahui hal itu. Namun tidak diharamkan, karena paling jauh hanya mengandung unsur mempertaruhkan diri, sedangkan mempertaruhkan diri dibolehkan dalam berjihad.

فصل: ويجب على الإمام أن يشحن ما يلي الكفار من بلاد المسلمين بجيوش يكفون من يليهم ويستعمل عليهم أمراء ثقات من أهل الإسلام مدبرين لأنه إذا لم يفعل ذلك لم يؤمن أنه إذا توجه في جهة الغز وأن يدخل العدو من جهة أخرى فيملك بلاد الإسلام وإن احتاج إلى بناء حصن أو حفر خندق فعل لأن النبي صلى الله عليه وسلم حفر الخندق وقال البراء بن عازب: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يوم الخندق ينقل التراب حتى وارى التراب شعره وهو يرتجز برجز عبد الله بن رواحة وهو يقول:
اللهم لولا أنت ما اهتدينا
… ولا تصدقنا ولا صلينا
فأنزلن سكينة علينا … وثبت الأقدام إن لاقينا

PASAL: Wajib bagi imam untuk memperkuat wilayah kaum muslimin yang berbatasan dengan wilayah kaum kafir dengan pasukan-pasukan yang mencukupi untuk menghadapi musuh yang berseberangan dengan mereka. Imam juga harus mengangkat para panglima yang tepercaya dari kalangan kaum muslimin yang cakap dalam strategi, karena jika tidak dilakukan demikian, dikhawatirkan ketika ia sedang memimpin penyerangan ke satu arah, musuh dapat masuk dari arah lain dan menguasai negeri-negeri Islam.

Apabila diperlukan untuk membangun benteng atau menggali parit, maka ia melakukannya, karena Nabi SAW pernah menggali parit. Al-Barāʾ ibn ʿĀzib berkata: “Aku melihat Nabi SAW pada hari Khandaq sedang memindahkan tanah hingga tanah menutupi rambut beliau, sementara beliau melantunkan syair ʿAbdullāh ibn Rawāḥah:

Allāhumma lawlā anta mā ihtadaynā
wa-lā taṣaddaqnā wa-lā ṣallaynā
Fa-anziln sakīnata ʿalaynā
wa-thabbit al-aqdāma in lāqaynā

وإذا أراد الغز وبدأ بالأهم فالأهم لقوله عز وجل: {قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ} فاذا استوت الجهاد في الخوف اجتهد وبدأ بأهمها عنده.

Dan apabila imam hendak melakukan penyerangan (ghazw) maka ia memulai dari yang paling penting, kemudian yang lebih penting, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Qātilū alladzīna yalūnakum minal-kuffār} (Perangilah orang-orang kafir yang dekat dengan kalian). Maka apabila tempat-tempat jihad sama dalam hal kekhawatiran, imam berijtihad dan memulai dari yang menurutnya paling penting.

فصل: وإذا أراد الخروج عرض الجيش ولا يأذن لمخذل ولا لمن يعاون الكفار بالمكاتبة لقوله عز وجل: {لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ إِلَّا خَبَالاً وَلَأَوْضَعُوا خِلالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ} قيل في التفسير لأوقعوا بينكم الاختلاف وقيل وشرعوا في تفريق جمعكم ولأن في حضورهم إضرارا بالمسلمين ولا نستعين بالكفار من غير حاجة الله لما روت عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج إلى بدر فتبعه رجل من المشركين فقال له: “تؤمن بالله ورسوله قال: لا قال: فارجع فلن أستعين بمشرك” .

PASAL: Apabila imam hendak berangkat (pergi berjihad), ia harus memeriksa pasukan dan tidak mengizinkan orang yang melemahkan semangat (tentara) atau yang membantu orang-orang kafir dengan surat-menyurat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {لو خرجوا فيكم ما زادوكم إلا خبالا ولأوضعوا خلالكم يبغونكم الفتنة} (jika mereka keluar bersama kalian, niscaya mereka tidak menambah bagi kalian selain kerusakan, dan mereka akan bergegas di tengah-tengah kalian, menginginkan kalian terkena fitnah). Dikatakan dalam tafsir: mereka akan menimbulkan perpecahan di antara kalian, dan dikatakan pula: mereka akan memulai upaya untuk memecah belah barisan kalian. Karena kehadiran mereka membahayakan kaum muslimin. Dan kita tidak meminta bantuan kepada orang-orang kafir kecuali dalam keadaan darurat, karena diriwayatkan dari ‘Āisyah RA bahwa Rasulullah SAW keluar menuju Badar, lalu seorang lelaki dari kaum musyrikin mengikutinya. Maka beliau SAW bersabda kepadanya: “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?” Ia menjawab: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan kepada seorang musyrik.”

فان احتاج أن يستعين بهم فإن لم يكن من يستعين به حسن الرأي في المسلمين لم نستعن به لأن ما يخاف من الضرر بحضورهم أكثر مما يرجى من المنفعة وإن كان حسن الرأي في المسلمين جاز أن نستعين بهم لأن صفوان بن أمية شهد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في شركه حرب هوازن وسمع رجلا يقول غلبت هوازن وقتل محمد فقال بفيك الحجر لرب من قريش أحب إلي من رب من هوازن وإن احتاج إلى أن يستأجرهم جاز لأنه لا يقع الجهاد له وفي القدر الذي يستأجر به وجهان: أحدهما: لا يجوز له أن تبلغ الأجرة سهم راجل لأنه ليس من أهل فرض الجهاد فلا يبلغ حقه سهم راجل كالصبي والمرأة

Maka jika diperlukan untuk meminta bantuan kepada mereka (orang-orang kafir), apabila tidak ada orang yang bisa dimintai bantuan yang memiliki pandangan baik terhadap kaum muslimin, maka tidak boleh meminta bantuannya, karena mudarat yang dikhawatirkan dari kehadiran mereka lebih besar dari manfaat yang diharapkan. Namun jika ia memiliki pandangan baik terhadap kaum muslimin, maka boleh meminta bantuannya. Karena Ṣafwān bin Umayyah ikut bersama Rasulullah SAW dalam keadaan masih musyrik pada perang Hawāzin, dan ia mendengar seseorang berkata, “Hawāzin telah menang dan Muhammad telah terbunuh,” maka ia berkata, “Mulutmu dipenuhi batu! Sesungguhnya seorang lelaki dari Quraisy lebih aku cintai daripada lelaki dari Hawāzin.”

Jika dibutuhkan untuk menyewa mereka, maka itu dibolehkan karena jihad tidak diperuntukkan untuk mereka. Mengenai besarnya bayaran yang diberikan kepada mereka, terdapat dua pendapat: pendapat pertama, tidak boleh bayaran itu sebesar bagian seorang prajurit berjalan kaki, karena mereka bukan termasuk ahli fardu jihad, maka tidak berhak mendapatkan bagian seperti bagian prajurit berjalan kaki, sebagaimana halnya anak kecil dan perempuan.

والثاني: وهو المذهب أنه يجوز لأنه عوض في الإجارة فجاز أن يبلغ قدر سهم الراجل كالأجرة في سائر الإجارات ويجوز أن يأذن للنساء لما روت الربيع بنت معوذ قالت: كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنخدم القوم ونسقيهم الماء ونرد الجرحى والقتلى إلى المدينة ويجوز أن يأذن لمن اشتد من الصبيان لأن فيهم معاونة ولا يأذن المجنون لأنه يعرضه للهلاك من غير منفعة وينبغي أن يتعاهد الخيل فلا يدخل حطبا وهو الكسير ولا فحماً وهو الكبير ولا ضرعاً وهو الصغير ولا أعجف وهو الهزيل لأنه ربما كان سببا للهزيمة ولأنه يزاحم به الغانمين في سهمهم ويأخذ البيعة على الجيش أن لا يفروا

Dan pendapat kedua—dan inilah mazhab—bahwa boleh, karena itu merupakan imbalan dalam akad sewa, maka boleh mencapai kadar bagian seorang prajurit berjalan kaki, sebagaimana upah dalam akad sewa lainnya.

Dan boleh bagi imam memberi izin kepada para perempuan, karena diriwayatkan dari ar-Rubayyi‘ bint Mu‘awwidz ia berkata: “Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah SAW, kami melayani pasukan, memberi mereka minum, dan membawa pulang orang-orang yang terluka dan terbunuh ke Madinah.”

Dan boleh pula memberi izin kepada anak-anak laki-laki yang sudah kuat, karena mereka bisa membantu. Namun tidak boleh memberi izin kepada orang gila, karena ia akan dihadapkan pada kebinasaan tanpa memberi manfaat.

Dan sepatutnya imam memeriksa kuda-kuda (pasukan), maka tidak boleh dimasukkan ḥaṭab (kuda yang patah), tidak pula faḥm (kuda tua), tidak pula ḍar‘ (kuda kecil), tidak pula a‘jaf (kuda kurus), karena bisa menjadi sebab kekalahan, dan karena akan menyempitkan bagian para mujahid dalam rampasan perang.

Dan hendaknya imam mengambil bai‘at dari pasukan agar mereka tidak lari dari medan perang.

لما روى جابر رضي الله عنه قال: كنا يوم الحديبية ألف رجل وأربعمائة فبايعناه تحت الشجرة على أن لا نفر ولم نبايعه على الموت يعني النبي صلى الله عليه وسلم ويوجه الطلائع ومن يتجسس أخبار الكفار لما روى جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الخندق: “من يأتينا بخبر القوم”؟ فقال الزبير: أنا فقال: “إن لكل نبي حوارياً وحواريي الزبير” .

Karena diriwayatkan dari Jābir RA, ia berkata: “Pada hari Ḥudaibiyyah, kami berjumlah seribu empat ratus orang, lalu kami membaiat Nabi SAW di bawah pohon agar tidak lari (dari medan perang), dan kami tidak membaiat beliau untuk mati.”

Dan imam mengutus pasukan pengintai serta orang-orang yang memata-matai berita orang-orang kafir, karena diriwayatkan dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda pada hari Khandaq: “Siapa yang akan membawa berita dari kaum (musuh) kepada kita?” Maka az-Zubair berkata: “Aku.” Maka beliau bersabda: “Setiap nabi memiliki ḥawārī (pengikut setia), dan ḥawārī-ku adalah az-Zubair.”

والمستحب أن يخرج يوم الخميس لما روى كعب بن مالك قال قلما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج في سفر إلا يوم الخميس ويستحب أن يعقد الرايات ويجعل تحت كل راية طائفة لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن أبا سفيان أسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يا عباس أحبسه على الوادي حتى تمر به جنود الله فيراها” قال العباس: فحبسته حيث أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم ومرت به القبائل على راياتها حتى مر به رسول الله صلى الله عليه وسلم في الكتيبة الخضراء كتيبة فيها المهاجرون والأنصار لا يرى منهم إلا الحدق من الحديد فقال: “من هؤلاء يا عباس” قال: قلت هذا رسول الله صلى الله عليه وسلم في المهاجرين والأنصار فقال: “ما لأحد بهؤلاء من قبل والله يا أبا الفضل لقد أصبح ملك ابن أخيك الغداة عظيما”

Dan yang disunnahkan adalah berangkat pada hari Kamis, karena diriwayatkan dari Ka‘b bin Mālik, ia berkata: “Jarang sekali Rasulullah SAW keluar dalam suatu perjalanan kecuali pada hari Kamis.”

Dan disunnahkan pula untuk mengikat panji-panji dan menjadikan di bawah setiap panji satu kelompok, karena diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Abū Sufyān masuk Islam, maka Rasulullah SAW bersabda: “Wahai ‘Abbās, tahan dia di lembah agar ia melihat pasukan Allah melewatinya.” ‘Abbās berkata: “Maka aku menahannya sebagaimana diperintahkan Rasulullah SAW, dan suku-suku pun melewatinya dengan panji-panji mereka, hingga Rasulullah SAW melewatinya bersama al-Katībah al-Khaḍrā’—pasukan yang terdiri dari kaum Muhājirīn dan Anṣār, tidak terlihat dari mereka kecuali mata-mata mereka yang menyembul dari balik besi.” Maka ia berkata: “Siapa mereka itu, wahai ‘Abbās?” Aku menjawab: “Itu Rasulullah SAW bersama Muhājirīn dan Anṣār.” Maka ia berkata: “Tidak ada yang sanggup menghadapi mereka, demi Allah wahai Abā al-Faḍl, sungguh kerajaan anak saudaramu pagi ini telah menjadi agung.”

والمستحب أن يدخل إلى دار الحرب بتعية الحرب لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة فجعل خالد بن الوليد على إحدى المجنبتين وجعل الزبير على الأخرى وجعل أبا عبيدة على الساقة وبطن الوادي ولأن ذلك أحوط للحرب وأبلغ في إرهاب العدو.

Dan yang disunnahkan adalah masuk ke Dār al-Ḥarb dengan formasi perang, karena diriwayatkan dari Abū Hurairah RA, ia berkata: “Aku bersama Nabi SAW pada hari penaklukan Makkah, lalu beliau menempatkan Khālid bin al-Walīd di salah satu sayap pasukan, az-Zubair di sayap lainnya, dan Abū ‘Ubaydah di bagian belakang pasukan serta di tengah lembah.” Hal itu karena lebih menjaga dari sisi strategi perang dan lebih efektif dalam menakut-nakuti musuh.

فصل: وإن كان العدو ممن لم تبلغهم لدعوة لم يجز قتالهم حتى يدعوهم الى الإسلام لأنه لا يلزمهم الإسلام قبل العلم والدليل عليه قوله عز وجل: {وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً} ولا يجوز قتالهم على ما يلزمهم وإن بلغتهم الدعوة فالأحب أن يعرض عليهم الإسلام لما روى سهل بن سعد قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الله لعلي كرم الله وجهه يوم خيبر: “إذا نزلت بساحتهم فادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم فو الله لأن يهدي لله بهداك رجلاً واحداً خير لك من حمر النعم” .

PASAL: Jika musuh termasuk orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah, maka tidak boleh memerangi mereka sampai mereka didakwahi kepada Islam, karena Islam tidaklah wajib atas mereka sebelum mereka mengetahuinya. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: {wa mā kunnā mu‘adzdzibīna ḥattā naba‘atsa rasūlā}.

Tidak boleh memerangi mereka atas sesuatu yang belum wajib atas mereka. Namun jika dakwah telah sampai kepada mereka, maka yang lebih utama adalah menawarkan Islam kepada mereka, sebagaimana riwayat dari Sahl bin Sa‘d, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada ‘Ali karramallāhu wajhah pada hari Khaybar: “Jika engkau tiba di hadapan mereka, maka dakwahlah mereka kepada Islam dan beritahukan kepada mereka kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah, sungguh jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.”

وإن قاتلهم من غير أن يعرض عليهم الإسلام جاز لما روى نافع قال: أغار رسول الله صلى الله عليه وسلم على بني المصطلق وهم غارون وقيل وهم غافلون.

Dan jika memerangi mereka tanpa terlebih dahulu menawarkan Islam, maka itu dibolehkan, karena diriwayatkan dari Nāfi‘, ia berkata: “Rasulullah SAW menyerang Banū al-Muṣṭaliq saat mereka sedang lengah,” dan dikatakan: “sedang lalai.”

فصل: فان كانوا ممن لا يجوز إقرارهم على الكفر بالجزية قاتلهم الى أن يسلموا لقوله صلى الله عليه وسلم: “أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله الا الله فإذا قالوها عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها” وإن كانوا ممن يجوز إقرارهم على الكفر بالجزية قاتلهم الى أن يسلموا أو يبذلوا الجزية والدليل عليه قوله تعالى: {قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالله وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ الله وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ}

PASAL: Jika mereka termasuk golongan yang tidak boleh dibiarkan tetap dalam kekufuran dengan membayar jizyah, maka diperangi hingga mereka masuk Islam, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan lā ilāha illallāh, apabila mereka telah mengucapkannya maka darah dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya.” Dan jika mereka termasuk golongan yang boleh dibiarkan tetap dalam kekufuran dengan membayar jizyah, maka diperangi sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah, dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Qātilū alladhīna lā yu’minūna billāhi wa lā bil-yawmi al-ākhir, wa lā yuḥarrimūna mā ḥarramallāhu wa rasūluh, wa lā yadīnūna dīna al-ḥaqqi min alladhīna ūtū al-kitāba ḥattā yu‘ṭū al-jizyata ‘an yadin wa hum ṣāghirūn}

وروى بريدة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا بعث أميراً على جيش أو سرية قال: إذا لقيت عدواً من المشركين فادعهم الى إحدى ثلاث خصال فأيتهن ما أجابوك إليها فاقبل منهم وكف عنهم وادعهم الى الدخول في الإسلام فإن أجابوك فاقبل منهم وكف عنهم ثم ادعهم إلى التحول من دارهم الى دار الهجرة فان فعلوا فأخبرهم أن لهم ما للمهاجرين وعليهم ما على المهاجرين فإن دخلوا في الإسلام وأبوا أن يتحولوا الى دار الهجرة فأخبرهم أنهم كأعراب المؤمنين الذين يجري عليهم حكم الله تعالى ولا يكون لهم في الفيء والغنيمة شيء حتى يجاهدوا مع المؤمنين فإن فعلوا فاقبل منهم وكف عنهم وإن أبوا فادعهم الى إعطاء الجزية فإن فعلوا فاقبل منهم وكف عنهم وإن أبوا فاستعن بالله عليهم ثم قاتلهم ويستحب الاستنصار بالضعفاء

Diriwayatkan dari Buraidah RA, ia berkata: Dahulu Rasulullah SAW apabila mengangkat seseorang menjadi amir dalam sebuah pasukan atau sariyyah, beliau bersabda: “Apabila engkau bertemu musuh dari kalangan musyrikin, maka serulah mereka kepada salah satu dari tiga hal. Maka manapun dari ketiganya yang mereka terima darimu, terimalah itu dari mereka dan tahanlah dirimu dari memerangi mereka. Serulah mereka untuk masuk Islam. Jika mereka menerima, terimalah itu dari mereka dan tahanlah dirimu dari mereka. Lalu serulah mereka untuk berpindah dari negeri mereka ke negeri hijrah. Jika mereka melakukannya, maka beritahukanlah bahwa mereka mendapatkan hak yang sama seperti kaum muhājirīn dan kewajiban yang sama pula atas mereka sebagaimana kaum muhājirīn. Namun jika mereka masuk Islam tetapi enggan berpindah ke negeri hijrah, maka beritahukan bahwa mereka seperti a‘rāb dari kalangan kaum mukminin yang berlaku atas mereka hukum Allah Ta‘ala, namun mereka tidak memiliki bagian dari fay’ dan rampasan perang sedikit pun hingga mereka berjihad bersama kaum mukminin. Jika mereka melakukannya, terimalah itu dari mereka dan tahanlah dirimu dari mereka. Jika mereka enggan, maka serulah mereka untuk membayar jizyah. Jika mereka melakukannya, terimalah itu dari mereka dan tahanlah dirimu dari mereka. Jika mereka enggan, maka mintalah pertolongan kepada Allah atas mereka, kemudian perangilah mereka. Dan dianjurkan untuk meminta pertolongan kepada kaum lemah.”

لما روى أبو الدرداء رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “ائتوني بضعفائكم فإنما تنصرون وترزقون بضعفائكم” . ويستحب أن يدعوا عند التقاء الصفين لما روى أنس رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا غزا قال: “اللهم أنت عضدي وأنت ناصري وبك أقاتل”. وروى أبو موسى الأشعري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا خاف أمراً قال: “اللهم إني أجعلك في نحورهم وأعوذ بك من شرورهم”.

Karena telah diriwayatkan dari Abu Darda RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Bawalah kepadaku orang-orang yang lemah di antara kalian, karena sesungguhnya kalian diberi pertolongan dan rezeki disebabkan oleh orang-orang yang lemah di antara kalian.”

Dan disunnahkan untuk berdoa ketika dua barisan pasukan saling berhadapan, karena telah diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata: Dahulu Rasulullah SAW apabila pergi berperang, beliau berdoa: “Ya Allah, Engkau adalah sandaranku dan Engkau adalah penolongku. Dengan-Mu aku berperang.”

Dan telah diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy‘ari bahwa Rasulullah SAW apabila merasa takut terhadap sesuatu, beliau berdoa: “Ya Allah, aku serahkan mereka kepada-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka.”

ويستحب أن يحرض الجيش على القتال لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “يا معشر الأنصار هذه أوباش قريش قد جمعت لكم إذا لقيتموهم غداً فاحصدوهم حصدا”. وروى سعد رضي الله عنه قال: نقل لي رسول الله صلى الله عليه وسلم كنانته يوم أحد وقال: “ارم فداك أبي وأمي”.

Dan disunnahkan untuk menyemangati pasukan agar berperang, karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Wahai kaum Anshar, ini adalah sisa-sisa pasukan Quraisy yang telah dikumpulkan untuk kalian. Jika kalian menemui mereka besok, maka binasakanlah mereka dengan sehabis-habisnya.”

Dan telah diriwayatkan dari Sa‘d RA, ia berkata: Rasulullah SAW memberikan tempat anak panahnya kepadaku pada hari Uhud dan bersabda: “Panahlah, ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu.”

ويستحب أن يكبر عند لقاء العدو لما روى أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم غزا خيبر فلما رأى القرية قال: “الله أكبر خربت خيبر فإذا نزلنا بساحة قوم فساء صباح المنذرين”. قالها ثلاثا ولا يرفع الصوت بالتكبير لما روى أبو موسى الأشعري قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في غزوة فأشرفوا على واد فجعل الناس يكبرون ويهللون الله أكبر الله أكبر يرفعون أصواتهم فقال: “يا أيها الناس إنكم لا تدعون أصم ولا غائباً إنما تدعون قريباً سميعاً إنه معكم”.

Dan disunnahkan untuk bertakbir ketika menghadapi musuh, karena telah diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW melakukan ekspedisi ke Khaibar, lalu ketika beliau melihat perkampungan tersebut, beliau bersabda: “Allāhu akbar, hancurlah Khaibar! Jika kita telah tiba di halaman suatu kaum, maka amat buruklah pagi bagi orang-orang yang diperingatkan.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.

Namun tidak disunnahkan mengeraskan suara dalam bertakbir, karena telah diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy‘ari, ia berkata: Rasulullah SAW berada dalam suatu ekspedisi, lalu mereka sampai di sebuah lembah. Maka orang-orang pun mulai bertakbir dan bertahlil dengan suara keras, “Allāhu akbar, Allāhu akbar!” Maka beliau bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian tidak menyeru yang tuli dan tidak pula yang jauh. Kalian sesungguhnya menyeru Dzat Yang Maha Dekat lagi Maha Mendengar. Sesungguhnya Dia bersama kalian.”

فصل: وإذا التقى الزحفان ولم يزدد عدد الكفار على مثلي عدد المسلمين ولم يخافوا الهلاك تعين عليهم فرض الجهاد لقوله عز وجل: {الْآنَ خَفَّفَ الله عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفاً فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ} وهذا أمر بلفظ الخبر لأنه لوكان خبراً لم يقع الخبر بخلاف المخبر فدل على أنه أمر المائة بمصابرة المائتين وأمر الألف بمصابرة الألفين ولا يجوز لمن تعين عليه أن يولي إلا متحرفا لقتال وهو أن ينتقل من مكان الى مكان أمكن للقتال أو متحيزا إلى فئة وهو أن ينضم الى قوم ليعود معهم الى قتال

PASAL: Jika kedua pasukan bertemu dan jumlah al‑kuffār tidak bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah al‑muslimīn dan mereka tidak takut akan khawf al‑halāk, maka atas mereka menjadi wajib jihad berdasarkan firman Allah: {al‑ān khaffafa Allāhu ʿankum wa ʿalima anna fīkum ḍaʿfan fa‑in yakun minkum miʾatun ṣābiratun yaghlabū miʾatayni wa in yakun minkum alfun yaghlabū alfayni} yang artinya: sekarang Allah meringankan (beban) bagi kamu dan mengetahui bahwa di antara kamu ada kelemahan; maka jika di antara kamu ada seratus orang yang sabar, mereka akan mengalahkan dua ratus, dan jika di antara kamu ada seribu, mereka akan mengalahkan dua ribu. Ini merupakan perintah dengan lafaz berita karena jika itu berupa berita niscaya berita itu tidak akan terjadi, berbeda dengan al‑mukhbir; sehingga menunjukkan perintah kepada seratus untuk bersabar menghadapi dua ratus dan perintah kepada seribu untuk bersabar menghadapi dua ribu. Dan tidak boleh bagi orang yang diwajibkan atasnya (melaksanakan kewajiban itu) untuk berbalik kecuali secara mutaḥarrifan untuk berperang — yakni berpindah dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih memungkinkan untuk berperang — atau secara mutaḥayyizan, yaitu bergabung dengan suatu golongan agar kembali bersama mereka untuk berperang.

والدليل عليه قوله عز وجل: {يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفاً فَلا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ َمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفاً لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ الله} وسواء كانت الفئة قريبة أو بعيدة والدليل عليه ما روى ابن عمر رضي الله عنه أنه كان في سرية من سرايا رسول الله صلى الله عليه وسلم فحاص الناس حيصة عظيمة وكنت ممن حاص فلما برزنا قلت كيف نصنع وقد فررنا من الزحف وبؤنا بغضب ربنا فجلسنا لرسول الله صلى الله عليه وسلم قبل صلاة الفجر

Dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {yā ayyuhā alladhīna āmanū idhā laqītumu alladhīna kafarū zaḥfan fa-lā tuwallūhum al-adbār wa man yuwallihim yawmaʾidhin duburahū illā mutaḥarrifan li-qitālin aw mutaḥayyizan ilā fiʾatin faqad bāʾa bighaḍabin mina Allāh} — Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang datang menyerang, maka janganlah kamu membelakangi mereka. Barang siapa yang membelakangi mereka pada saat itu kecuali karena mutaḥarrifan untuk berperang atau mutaḥayyizan kepada suatu kelompok, maka sungguh ia kembali dengan kemurkaan dari Allah.

Dan tidak ada bedanya apakah kelompok itu dekat atau jauh. Dalilnya adalah riwayat dari Ibn ʿUmar RA bahwa ia berada dalam suatu pasukan kecil dari pasukan-pasukan Rasulullah SAW, lalu orang-orang pun lari dengan lari yang sangat besar, dan aku termasuk di antara yang lari. Setelah kami keluar (dari pertempuran), aku berkata: “Bagaimana yang harus kita lakukan? Kita telah lari dari pertempuran dan kembali dengan murka Tuhan kita.” Lalu kami duduk menanti Rasulullah SAW sebelum shalat Subuh.

فلما خرج قمنا وقلنا نحن الفرارون فقال: “لا بل أنتم العكارون” فدنونا فقبلنا يده فقال إنا فئة المسلمين وروي عن عمر رضي الله عنه أنه قال: أنا فئة كل مسلم وهو بالمدينة وجيوشه في الآفاق إن ولى غير متحرف لقتال أو متحيزا إلى فئة أثم وارتكب كبيرة والدليل عليه ما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “الكبائر سبع أولهن الشرك بالله وقتل النفس بغير حقها وأكل الربا وأكل مال اليتيم بدارا أن يكبروا وفرار يوم الزحف ورمي المحصنات وانقلاب الى الأعراب” .

Ketika beliau keluar, kami berdiri dan berkata, “Kami adalah orang-orang yang lari,” maka beliau bersabda, “Tidak, bahkan kalian adalah ‘akkārūn.” Maka kami mendekat dan mencium tangan beliau, lalu beliau bersabda, “Kami adalah kelompok kaum Muslimin.”

Dan diriwayatkan dari ʿUmar RA bahwa ia berkata, “Aku adalah kelompok bagi setiap Muslim,” sementara ia berada di Madinah dan pasukannya di berbagai penjuru. Barang siapa mundur bukan karena berpindah posisi untuk bertempur atau bergabung dengan suatu kelompok, maka ia berdosa dan telah melakukan dosa besar.

Dalilnya adalah hadis riwayat Abū Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Dosa-dosa besar itu ada tujuh: yang pertama adalah menyekutukan Allah, membunuh jiwa tanpa hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang saat musuh menyerang, menuduh wanita-wanita suci berzina, dan berpaling menjadi orang Arab badui kembali.”

فإن غلب على ظنهم أنهم إن ثبتوا لمثليهم هلكوا ففيه وجهان: أحدهما: أن لهم أن يولوا لقوله عز وجل: {وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ} والثاني: أنه ليس لهم أن يولوا وهو الصحيح لقوله عز وجل: {إذا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا} ولأن المجاهد إنما يقاتل ليقتل أو يقتل وإن زاد عدد الكفار على مثلي عدد المسلمين فلهم أن يولوا لأنه لما أوجب الله عز وجل على المائة مصابرة المائتين دل على أنه لا يجب عليهم مصابرة ما زاد على المائتين وروى عطاء عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال: من فر من اثنين فقد فر ومن فر من ثلاثة فلم يفر وإن غلب على ظنهم أنهم لا يهلكون فالأفضل أن يثبتوا حتى لا ينكسر المسلمون

Jika mereka berprasangka kuat bahwa jika mereka tetap bertahan menghadapi lawan yang jumlahnya dua kali lipat, mereka akan binasa, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: mereka boleh mundur, berdasarkan firman Allah SWT: {wa lā tulqū bi-aydīkum ilā at-tahlukah} (“dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan”).

Pendapat kedua: mereka tidak boleh mundur, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan firman Allah SWT: {idhā laqītum fi’atan faṣbutū} (“apabila kalian bertemu dengan suatu kelompok, maka tetaplah teguh”), dan karena seorang mujāhid berperang dengan tujuan membunuh atau terbunuh.

Namun, jika jumlah orang kafir melebihi dua kali lipat dari jumlah kaum Muslimin, maka mereka boleh mundur, karena ketika Allah SWT mewajibkan seratus orang untuk menghadapi dua ratus, hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak wajib menghadapi lebih dari dua ratus.

ʿAṭā’ meriwayatkan dari Ibn ʿAbbās RA bahwa ia berkata: “Barang siapa lari dari dua orang maka sungguh ia telah lari, dan barang siapa lari dari tiga orang maka ia tidaklah lari (dalam arti berdosa).”

Dan jika mereka berprasangka kuat bahwa mereka tidak akan binasa, maka yang lebih utama adalah mereka tetap bertahan agar kaum Muslimin tidak terpukul mundur.

وان غلب على ظنهم أنهم يهلكون ففيه وجهان أحدهما: أنه يلزمهم أن ينصرفوا لقوله عز وجل: {وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ} والثاني: أنه يستحب أن ينصرفوا ولا يلزمهم لأنهم إن قتلوا فازوا بالشهادة وإن لقي رجل من المسلمين رجلين من المشركين في غير الحرب فإن طلباه ولم يطلبهما فله أن يولي عنهما لأنه غير نتأهب للقتال وإن طلبهما ولم يطلباه ففيه وجهان أحدهما: أن له أن يولي عنهما لأن فرض الجهاد في الجماعة دون الانفراد والثاني: أنه يحرم عليه أن يولي عنهما لأنه مجاهد لهما فلم يول عنهما كمل لو كان مع جماعة.

Dan jika mereka berprasangka kuat bahwa mereka akan binasa, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: mereka wajib mundur, berdasarkan firman Allah SWT: {wa lā tulqū bi-aydīkum ilā at-tahlukah} (“dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan”).

Pendapat kedua: dianjurkan bagi mereka untuk mundur, tetapi tidak wajib, karena jika mereka terbunuh, mereka akan mendapatkan syahādah.

Dan jika seorang Muslim menghadapi dua orang musyrik di luar suasana perang, maka jika keduanya yang mengejarnya, sedangkan dia tidak mengejar mereka, maka ia boleh mundur dari keduanya karena ia tidak sedang bersiap untuk berperang.

Namun jika ia yang mengejar keduanya, sedangkan keduanya tidak mengejarnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: ia boleh mundur dari keduanya karena kewajiban jihād itu ditetapkan bagi kelompok, bukan bagi individu.

Pendapat kedua: haram baginya untuk mundur dari keduanya karena ia telah memulai memerangi mereka, maka tidak boleh mundur sebagaimana jika ia bersama pasukan.

فصل: ويكره أن يقصد قتل ذي رحم محرم لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم منع أبا بكر رضي الله عنه من قتل ابنه فإن قتله لم يكره أن يقصد قتله كما لا يكره إذا قصد قتله وهو مسلم وإن سمعه يذكر الله عز وجل أو رسوله صلى الله عليه وسلم بسوء لم يكره أن يقتله لأن أبا عبيدة بن الجراح رضي الله عنه قتل أباه وقال لرسول الله صلى الله عليه وسلم: سمعته يسبك ولم ينكر عليه.

PASAL: Dimakruhkan untuk sengaja membunuh kerabat mahram, karena Rasulullah SAW melarang Abu Bakar RA membunuh anaknya. Namun jika ia tetap membunuhnya, maka tidak dimakruhkan untuk sengaja membunuhnya, sebagaimana tidak dimakruhkan jika ia sengaja membunuhnya padahal ia seorang Muslim. Jika ia mendengar orang itu mencela Allah Azza wa Jalla atau Rasul-Nya SAW, maka tidak dimakruhkan untuk membunuhnya, karena Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ RA membunuh ayahnya dan berkata kepada Rasulullah SAW: “Aku mendengarnya mencacimu,” dan beliau tidak mengingkari perbuatannya.

فصل: ولا يجوز قتل نسائهم ولا صبيانهم إذا لم يقاتلوا لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن قتل النساء والصبيان ولا يجوز قتل الخنثى المشكل لأنه يجوز أن يكون رجلا ويجوز أن يكون امرأة فلم يقتل مع الشك وان قاتلوا جاز قتلهم لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم مر بامرأة مقتولة يوم حنين فقال: “من قتل هذه؟ ” فقال رجل: أنا يا رسول الله غنمتها فأردفتها خلفي فلما رأت الهزيمة فينا أهوت الى سيفي أو إلى قائم سيفي لتقتلني فقتلتها فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “ما بال النساء”. ما شأن قتل النساء ولو حرم ذلك لأنكره النبي صلى الله عليه وسلم ولأنه إذا جاز قتلهن إذا قصدن القتل وهن مسلمات فلأن يجوز قتلهن وهن كافرات أولى.

PASAL: Tidak boleh membunuh wanita-wanita mereka dan anak-anak mereka jika mereka tidak ikut berperang, karena diriwayatkan dari Ibn ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW melarang membunuh wanita dan anak-anak. Tidak boleh pula membunuh khuntsā musykil, karena bisa jadi ia laki-laki dan bisa jadi ia perempuan, maka tidak dibunuh karena adanya keraguan. Namun jika mereka ikut berperang, maka boleh dibunuh, karena diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW melewati seorang wanita yang terbunuh pada hari Ḥunain, lalu beliau bersabda: “Siapa yang membunuh wanita ini?” Maka seseorang berkata: “Saya, wahai Rasulullah. Aku menawannya dan mendudukannya di belakangku, lalu ketika ia melihat kami kalah, ia menggapai pedangku atau gagangnya untuk membunuhku, maka aku membunuhnya.” Maka Nabi SAW bersabda: “Kenapa wanita-wanita dibunuh?” Apa urusan membunuh wanita? Andaikan hal itu haram, niscaya Nabi SAW akan mengingkarinya. Karena jika boleh membunuh mereka ketika mereka berniat membunuh padahal mereka muslimah, maka membunuh mereka dalam keadaan kafir tentu lebih utama.

فصل: وأما الشيخ الذي لا قتال فيه فإن كان له رأي في الحرب جاز قتله لأن دريد بن الصمة كان شيخا كبيرا وكان له رأي فإنه أشار على هوازن يوم حنين ألا يخرجوا معهم بالذراري فخالفه مالك بن عوف فخرج بهم فهزموا فقال دريد في ذلك:
أمرتهم أمري بمنعرج اللوى … فلم يستبينوا الرشد إلا ضحى الغد

PASAL: Adapun orang tua yang tidak memiliki kemampuan berperang, maka jika ia memiliki pendapat dalam strategi perang, boleh dibunuh. Karena Duraid bin al-Ṣimmah adalah seorang lelaki tua, namun ia memiliki pandangan dalam peperangan. Ia memberi saran kepada Hāwāzin pada hari Ḥunain agar tidak membawa serta anak-anak, namun Mālik bin ‘Awf menyelisihinya dan tetap membawa mereka, lalu mereka pun kalah. Maka Duraid berkata dalam hal itu:

Amartuhum amrī biman‘arij al-lawā … fa lam yastabīnū al-rusydā illā ḍuḥā al-ghad
“Aku perintahkan mereka dengan pendapatku di tikungan Lawā,
Namun mereka tidak melihat petunjuk kecuali pada pagi hari esok.”

وقتل ولم ينكر النبي صلى الله عليه وسلم قتله ولأن الرأي في الحرب أبلغ من القتال لأنه هو الأصل وعنه يصدر القتال ولهذا قال المتنبي:
الرأي قبل شجاعة الشجعان
… هو أول وهي المحل الثاني
فإذا هما اجتمعا لنفس مرة … بلغت من العلياء كل مكان

ولربما طعن الفتى أقرانه … بالرأي قبل تطاعن الفرسان

Dan Duraid dibunuh, dan Nabi SAW tidak mengingkari pembunuhannya. Karena pendapat dalam peperangan lebih kuat daripada pertempuran itu sendiri, sebab ia merupakan asal, dan dari situlah pertempuran bersumber. Oleh karena itu, al-Mutanabbī berkata:

Al-ra’yu qabla syajā‘ati al-syuja‘ān … huwa awwalu wa hiyal-maḥallu al-tsānī
“Pendapat itu lebih dahulu daripada keberanian para pemberani,
Dialah yang utama, sedangkan keberanian itu tempat kedua.”

Fa idzā humā ijtama‘ā linafsin marrah … balaghat min al-‘ulyā kulla makān
“Jika keduanya berkumpul dalam satu jiwa yang tangguh,
Ia akan mencapai segala tempat dari ketinggian.”

Wa la-rubbamā ṭa‘ana al-fatā aqrānahu … bi al-ra’yi qabla tuṭā‘ani al-fursān
“Dan sungguh, seorang pemuda bisa menusuk lawan-lawannya dengan pendapat,
Sebelum para ksatria saling tikam dengan tombak.”

وإن لم يكن له رأي ففيه وفي الراهب قولان: أحدهما: أنه يقتل لقوله عز وجل: {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} ولأنه ذكر مكلف حربي فجاز قتله بالكفر كالشاب والثاني: أنه لا يقتل لما روي أن أبا بكر رضي الله عنه قال ليزيد بن أبي سفيان وعمرو بن العاص وشرحبيل بن حسنة لما بعثهم الى الشام لا تقتلوا الولدان ولا النساء ولا الشيوخ وستجدون أقواما حبسوا أنفسهم إلى الصوامع فدعوهم وما حبسوا له أنفسهم ولأنه لا نكاية له في المسلمين فلم يقتل بالكفر الأصلي كالمرأة.

Dan jika ia tidak memiliki pendapat (dalam peperangan), maka padanya dan pada rahib terdapat dua pendapat: pendapat pertama, bahwa ia boleh dibunuh, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu menemui mereka”, dan karena ia adalah orang dewasa dari golongan ḥarbī maka boleh dibunuh karena kekufurannya sebagaimana pemuda. Pendapat kedua, bahwa ia tidak boleh dibunuh, karena diriwayatkan bahwa Abu Bakar RA berkata kepada Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin al-Ash, dan Syarhabil bin Hasanah ketika mengutus mereka ke Syam: “Janganlah kalian membunuh anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua. Dan kalian akan menemukan kaum yang mengurung diri mereka di biara-biara, maka biarkanlah mereka dan apa yang mereka kerjakan untuk diri mereka.” Dan karena ia tidak membahayakan kaum muslimin, maka tidak dibunuh hanya karena kekufuran asal sebagaimana perempuan.

فصل: ولا يقتل رسولهم لما روى أبو وائل قال: لما قتل عبد الله بن مسعود بن النواحة قال: إن هذا وابن أثال قد كانا أتيا رسول الله صلى الله عليه وسلم رسولين لمسيلمة فقال لهما رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أتشهدان أني رسول الله” قالا: نشهد أن مسيلمة رسول الله فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لو كنت قاتلاً رسولاً لضربت أعناقكم”. فجرت سنة أن لا تقتل الرسل.

PASAL: Tidak boleh membunuh utusan mereka, berdasarkan riwayat dari Abu Wā’il, ia berkata: Ketika Abdullah bin Mas’ūd membunuh Ibn an-Nawwāḥah, ia berkata: Sesungguhnya orang ini dan Ibn Atsāl pernah datang kepada Rasulullah SAW sebagai utusan dari Musailamah. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada keduanya: “Apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?” Keduanya menjawab: “Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah utusan Allah.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya aku ingin membunuh seorang utusan, pasti aku akan penggal leher kalian berdua.” Maka jadilah sunnah (ketetapan hukum) bahwa para utusan tidak boleh dibunuh.

فصل: فإن تترسوا بأطفالهم ونسائهم فإن كان في حال التحام الحرب جاز رميهم ويتوقى الأطفال والنساء لأنا لو تركنا رميهم جعل ذلك طريقاً إلى تعطيل الجهاد وذريعة إلى الظفر بالمسلمين وإن كان في غير حال الحرب ففيه قولان: أحدهما: أنه يجوز رميهم لأن ترك قتالهم يؤدي إلى تعطيل الجهاد

PASAL: Jika mereka berlindung dengan anak-anak dan perempuan mereka, maka jika itu terjadi dalam keadaan pertempuran yang telah menyatu, maka boleh menyerang mereka dan diusahakan menghindari mengenai anak-anak dan perempuan. Karena jika kita meninggalkan penyerangan terhadap mereka, hal itu akan menjadi jalan untuk menonaktifkan jihad dan menjadi celah untuk meraih kemenangan atas kaum muslimin. Namun jika hal itu terjadi di luar keadaan perang, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama, bahwa boleh menyerang mereka karena meninggalkan peperangan terhadap mereka akan mengakibatkan terhentinya jihad.

والثاني: أنه لا يجوز رميهم لأنه يؤدي إلى قتل أطفالهم ونسائهم من غير ضرورة وإن تترسوا بمن معهم من أسارى المسلمين فإن كان ذلك في حال التحام الحرب جاز رميهم ويتوقى المسلم لما ذكرناه وإن كان في غير التحام الحرب لم يجوز رميهم قولا واحدا والفرق بينهم وبين أطفالهم ونسائهم أن المسلم محقون الدم لحرمة الدين فلم يجز قتله من غير ضرورة والأطفال والنساء حقن دمهم لأنهم غنيمة للمسلمين فجاز قتلهم من غير ضرورة وإن تترسوا بأهل الذمة أو بمن بيننا وبينهم أمان كان الحكم فيه كالحكم فيه إذا تترسوا بالمسلمين لأنه يحرم قتلهم كما يحرم قتل المسلمين.

Dan pendapat kedua: tidak boleh menyerang mereka karena hal itu akan menyebabkan terbunuhnya anak-anak dan perempuan mereka tanpa adanya kebutuhan yang mendesak.

Jika mereka berlindung dengan para tawanan muslim yang mereka bawa, maka apabila itu terjadi dalam keadaan pertempuran yang telah menyatu, maka boleh menyerang mereka dan diusahakan menghindari terkenanya kaum muslimin, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Namun jika itu terjadi di luar keadaan pertempuran yang menyatu, maka tidak boleh menyerang mereka menurut satu pendapat, dan perbedaan antara mereka (tawanan muslim) dengan anak-anak dan perempuan mereka adalah bahwa darah muslim terlindungi karena kehormatan agama, maka tidak boleh dibunuh tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Adapun anak-anak dan perempuan, darah mereka terlindungi karena mereka adalah harta rampasan bagi kaum muslimin, maka boleh membunuh mereka tanpa kebutuhan yang mendesak.

Dan jika mereka berlindung dengan ahludz-dzimmah atau dengan orang-orang yang antara kita dan mereka terdapat perjanjian keamanan, maka hukumnya sama seperti jika mereka berlindung dengan kaum muslimin, karena haram membunuh mereka sebagaimana haram membunuh kaum muslimin.

فصل: وإن نصب عليهم منجنيقا أو بيتهم ليلا وفيهم النساء والأطفال جاز لما روى علي كرم الله وجهه أن النبي صلى الله عليه وسلم نصب المنجنيق على أهل الطائف وإن كانت لا تخلو من النساء والأطفال وروى الصعب بن جثامة قال: سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن الذراري من المشركين يبيتون فيصاب من نسائهم وذراريهم فقال: “هم منهم” ولأن الكفار لا يخلون من النساء والأطفال فلو تركنا رميهم لأجل النساء والأطفال بطل الجهاد

PASAL: Jika dipasang kepada mereka manjanīq atau pada rumah mereka pada malam hari sedangkan di dalamnya ada wanita dan anak‑anak, maka hal itu boleh sebagaimana diriwayatkan dari Ali karama Allāhu wajhahu bahwa Nabi SAW memasang manjanīq terhadap penduduk aṭ-Ṭā’if, meskipun tempat itu tidak kosong dari wanita dan anak‑anak. Dan diriwayatkan dari al-Ṣaʿb ibn Juthāmah bahwa ia berkata: aku bertanya kepada Nabi SAW tentang al-ḏurārī dari kaum musyrik yang bermalam sehingga mengenai (kena) dari wanita‑wanita dan anak‑anak mereka, lalu beliau berkata: “mereka termasuk dari mereka”. Karena kaum kafir tidak pernah lepas dari wanita dan anak‑anak; jika kita meninggalkan melempar mereka karena wanita dan anak‑anak, maka jihad akan batal.

وإن كان فيهم أسارى من المسلمين نظرت فإن خيف منهم أنهم إذا تركوا قاتلوا وظفروا بالمسلمين جاز رميهم لأن حفظ من معنا من المسلمين أولى من حفظ من معهم وإن لم يخف منهم نظرت فإن كان الأسرى قليلاً جاز رميهم لأن الظاهر أنه لا يصيبهم والأولى أن لا نرميهم لأنه ربما أصاب المسلمين وإن كانوا كثيراً لم يجز رميهم لأن الظاهر أنه يصيب المسلمين وذلك لا يجوز من غير ضرورة.

Dan jika di antara mereka terdapat para tawanan dari kaum muslimin, maka dilihat dulu: jika dikhawatirkan bahwa apabila mereka dibiarkan akan memerangi dan mengalahkan kaum muslimin, maka boleh melempari mereka, karena menjaga kaum muslimin yang bersama kita lebih utama daripada menjaga mereka yang bersama musuh.

Namun jika tidak dikhawatirkan demikian, maka dilihat lagi: apabila jumlah tawanan sedikit, maka boleh melempari mereka karena dugaan kuat tidak mengenainya, namun yang lebih utama adalah tidak melempari mereka karena mungkin saja mengenai kaum muslimin. Dan jika jumlah mereka banyak, maka tidak boleh melempari mereka karena dugaan kuat akan mengenainya, dan hal itu tidak boleh dilakukan tanpa adanya darurat.

فصل: ويجوز قتل ما يقاتلون عليه من الدواب لما روي أن حنظلة بن الراهب عقر بأبي سفيان فرسه فسقط عنه فجلس على صدره فجاء ابن شعوب فقال:
لأحمين صاحبي ونفسي … بطعنة مثل شعاع الشمس
فقتل حنظلة واستنقذ أبا سفيان ولم ينكر النبي صلى الله عليه وسلم فعل حنظلة ولأن بقتل الفرس يتوصل إلى قتل الفارس.

PASAL: Dan boleh membunuh hewan tunggangan yang mereka gunakan untuk berperang, karena diriwayatkan bahwa Ḥanẓalah bin ar-Rāhib melukai kuda milik Abū Sufyān, maka Abū Sufyān terjatuh darinya dan ia duduk di atas dadanya. Lalu datang Ibn Syuʿūb seraya berkata:

La-aḥmiyanna ṣāḥibī wa nafsī
bi-ṭaʿnatin mitla shuʿāʿi asy-syamsi

“Akan aku lindungi temanku dan diriku dengan satu tikaman seperti sinar matahari.”

Maka ia membunuh Ḥanẓalah dan menyelamatkan Abū Sufyān, dan Nabi SAW tidak mengingkari perbuatan Ḥanẓalah. Karena dengan membunuh kuda, dapat ditempuh jalan untuk membunuh penunggangnya.

فصل: وان احتيج إلى تخريب منازلهم وقطع أشجارهم ليظفروا بهم جاز ذلك وإن لم يحتج إليه نظرت فإن لم يغلب على الظن أنها تملك عليهم جاز فعله وتركه وإن غلب على الظن أنها تملك عليهم ففيه وجهان أحدهما: لا يجوز لأنها تصير غنيمة فلا يجوز إتلافها والثاني: أن الأولى أن لا يفعل فإن فعل جاز لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حرق على بني النضير وقطع البويرة فأنزل الله عز وجل: {مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ الله وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ} .

PASAL: Jika diperlukan untuk merusak rumah‑rumah mereka dan memotong pohon‑pohon mereka agar dapat menawan mereka, diperbolehkan itu; dan jika tidak diperlukan, dipertimbangkan. Jika tidak kuat dugaan bahwa hal itu akan menjadi milik mereka, maka diperbolehkan melakukannya ataupun meninggalkannya; dan jika kuat dugaan bahwa hal itu akan menjadi milik mereka, terdapat dua pendapat — yang pertama: tidak diperbolehkan karena hal itu menjadi ghanimah sehingga tidak boleh merusaknya; yang kedua: yang utama adalah tidak melakukannya, tetapi jika dilakukan maka diperbolehkan, karena diriwayatkan dari Ibn ʿUmar bahwa Rasulullāh SAW membakar Bani an‑Nadhīr dan memotong al‑Buwairah, lalu Allah Ta’ālā menurunkan: “Apa saja yang kamu potong dari pohon kurma atau kamu biarkan tetap berdiri pada pangkalnya, maka itu dengan izin Allah; dan (perbuatan itu) untuk mempermalukan orang‑orang fasik.”

فصل: ويجوز للمسلم أن يأمن من الكفار آحاداً لا يتعطل بأمانهم الجهاد في ناحية كالواحد والعشرة والمائة وأهل القلعة لما روي عن علي كرم الله وجهه أنه قال: ما عندي شيء إلا كتاب الله عز وجل وهذه الصحيفة عن النبي صلى الله عليه وسلم أن ذمة المسلمين واحدة فمن أخفر مسلما فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين ويجوز للمرأة من ذلك ما يجوز للرجل لما روى ابن عباس رضي الله عنه عن أم هانئ رضي الله عنها أنها قالت: يا رسول الله يزعم ابن أمي أنه قاتل من أجرت فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “قد أجرت من أجرت يا أم هانئ”.

PASAL: Dan boleh bagi seorang muslim memberikan jaminan keamanan kepada orang-orang kafir secara individu, selama jaminan keamanan itu tidak mengakibatkan terhentinya jihad di suatu wilayah—seperti terhadap satu orang, sepuluh orang, seratus orang, atau penduduk sebuah benteng. Hal ini berdasarkan riwayat dari ʿAlī Karramallāhu Wajhah bahwa ia berkata: “Aku tidak memiliki sesuatu kecuali Kitābullāh Azza wa Jalla dan lembaran ini dari Nabi SAW: ‘Perjanjian keamanan kaum muslimin itu satu, maka siapa yang mengkhianati seorang muslim, atasnya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.’”

Dan wanita memiliki hak yang sama dalam hal ini sebagaimana laki-laki, karena diriwayatkan dari Ibn ʿAbbās RA dari Ummu Hāni’ RA bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, anak ibuku mengira akan membunuh orang yang telah aku beri perlindungan.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh engkau telah memberi perlindungan, wahai Ummu Hāni’.”

ويجوز ذلك للعبد لما روى عبد الله بن عمرو أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “يجير على المسلمين أدناهم” . وروى فضل بن يزيد الرقاشي قال: جهز عمر بن الخطاب رضي الله عنه جيشاً كنت فيه فحصرنا قرية من قرى رام هرمز فكتب عبد منا أمانا في صحيفة وشدها مع سهم ورمى بها إليهم فأخذوها وخرجوا بأمانة فكتب بذلك الى عمر رضي الله عنه فقال العبد المسلم رجل من المسلمين ذمته منهم ولا يصح ذلك من صبي ولا مجنون ولا مكره لأنه عقد فلم يصح منهم كسائر العقود

Dan hal itu boleh dilakukan oleh seorang budak, berdasarkan riwayat dari ʿAbdullāh bin ʿAmr bahwa Nabi SAW bersabda: “Seorang yang paling rendah di antara kaum muslimin dapat memberikan jaminan keamanan atas nama mereka.”

Dan diriwayatkan dari Faḍl bin Yazīd ar-Raqāsyī bahwa ʿUmar bin al-Khaṭṭāb RA pernah mengirim pasukan—dan aku termasuk di dalamnya—lalu kami mengepung sebuah desa dari desa-desa Rām Hurmuz. Maka seorang budak dari kami menulis jaminan keamanan pada selembar kertas, mengikatkannya bersama sebuah anak panah, lalu melemparkannya kepada mereka. Mereka pun mengambilnya dan keluar dalam keadaan mendapat jaminan keamanan. Maka peristiwa itu ditulis dan disampaikan kepada ʿUmar RA, lalu beliau berkata: “Budak muslim adalah salah satu dari kaum muslimin, jaminan keamanannya berlaku atas nama mereka.”

Namun hal itu tidak sah dari seorang anak kecil, orang gila, atau orang yang dipaksa, karena hal ini adalah akad, maka tidak sah dari mereka sebagaimana akad-akad lainnya.

فإن دخل مشرك على أمان واحد منهم فإن عرف أن أمانه لا يصح حل قتله لأنه حربي ولا أمان له وإن لم يعرف أن أمانه لا يصح فلا يحل قتله إلى أن يرجع الى مأمنه لأنه دخل على أمان ويصح الأمان بالقول وهو أن يقول أمنتك أو أجرتك أو أنت آمن أو مجار أولا بأس عليك أولا خوف عليك أولا تخف أو مترس بالفارسية وما أشبه ذلك لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال يوم فتح مكة: “من دخل دار أبي سفيان فهو آمن” وقال لأم هانئ: “قد أجرت من أجرت” وقال أنس لعمر رضي الله عنه في قصة هرمز أن ليس لك إلا قتله من سبيل قلت له تكلم لا بأس عليك فأمسك عمر وروى زر عن عبد الله أنه قال: إن الله يعلم كل لسان فمن أتى منكم أعجميا وقال مترس فقد أمنه ويصح الأمان بالإشارة

Jika seorang musyrik masuk ke wilayah kaum muslimin dengan jaminan keamanan dari salah satu dari mereka, maka jika diketahui bahwa jaminannya tidak sah, halal darahnya karena ia adalah ḥarbī dan tidak memiliki jaminan keamanan. Namun jika ia tidak mengetahui bahwa jaminannya tidak sah, maka tidak halal dibunuh hingga ia kembali ke tempat amannya, karena ia masuk dengan membawa jaminan keamanan.

Jaminan keamanan sah dengan ucapan, yaitu dengan mengatakan: “Aamantu-ka” (aku telah memberimu keamanan), atau “Ajartu-ka” (aku telah melindungimu), atau “Anta āmin” (engkau aman), atau “Mujār” atau “Lā ba’sa ʿalaika” atau “Lā khawfa ʿalaika” atau “Lā takhaf” atau “Matras” (dalam bahasa Persia), dan yang semacamnya. Karena Nabi SAW bersabda pada hari Fathu Makkah: “Siapa yang masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Dan beliau bersabda kepada Ummu Hāni’: “Engkau telah memberikan perlindungan kepada orang yang engkau lindungi.”

Dan Anas berkata kepada ʿUmar RA dalam kisah Hurmuz: “Engkau tidak memiliki jalan terhadapnya selain membunuhnya, dan aku telah berkata kepadanya: ‘Katakan, lā ba’sa ʿalaika’ maka ʿUmar pun menahan diri.”

Dan diriwayatkan dari Zirr dari ʿAbdullāh bahwa ia berkata: “Sesungguhnya Allah mengetahui segala bahasa. Maka siapa di antara kalian yang datang kepada orang ajam lalu berkata matras, maka sungguh ia telah memberinya jaminan keamanan.”

Dan jaminan keamanan itu sah pula dengan isyarat.

لما روى أبو سلمة قال: قال عمر رضي الله عنه: والذي نفس عمر بيده لو أن أحدكم أشار بأصبعه إلى مشرك ثم نزل إليه على ذلك ثم قتله لقتلته فإن أشار إليه الأمان ثم قال لم أرد الأمان قبل قوله لأنه أعرف بمل أراده وبعرف المشرك أنه لا أمان له ولا يتعرض له إلى أن يرجع الى مأمنه لأنه دخل على أنه آمن وإن أمن مشركاً فرد الأمان لم يصح الأمان لأنه إيجاب حق لغيره بعقد فلم يصح مع الرد كالإيجاب في البيع والهبة وإن أمن أسيراً لم يصح الأمان لأنه يبطل ما ثبت الإمام فيه من الخيار بين القتل والاسترقاق والمن والفداء وإن قال كنت أمنته قبل الأسر لم يقبل قوله لأنه لا يملك عقد الأمان في هذه الحال فلم يقبل إقراره به.

Karena diriwayatkan dari Abū Salamah bahwa ʿUmar RA berkata: “Demi Zat yang jiwa ʿUmar berada di tangan-Nya, jika salah seorang dari kalian menunjuk kepada seorang musyrik dengan jarinya, lalu si musyrik itu turun (menyerah) karena isyarat itu, kemudian kalian membunuhnya, niscaya aku akan membunuh kalian.”

Jika seseorang memberikan isyarat jaminan keamanan kepada seorang musyrik, lalu berkata: “Aku tidak bermaksud memberikan jaminan,” maka perkataannya diterima, karena ia lebih tahu terhadap apa yang ia maksudkan, sedangkan orang musyrik itu mengetahui bahwa ia sebenarnya tidak memiliki jaminan keamanan. Namun ia tidak boleh diserang hingga kembali ke tempat amannya, karena ia telah masuk dengan keyakinan bahwa dirinya aman.

Jika seorang muslim memberikan jaminan keamanan kepada musyrik lalu ia membatalkannya, maka jaminan itu tidak sah, karena ia adalah bentuk pemberian hak kepada pihak lain melalui akad, maka tidak sah apabila dibatalkan, sebagaimana ijāb dalam akad jual beli dan hibah.

Jika seseorang memberikan jaminan keamanan kepada tawanan, maka tidak sah, karena hal itu membatalkan hak pilihan yang dimiliki oleh imam antara membunuh, memperbudak, memaafkan, atau menebusnya.

Dan jika ia berkata: “Aku telah memberinya jaminan sebelum ia ditawan,” maka tidak diterima pengakuannya, karena ia tidak memiliki kewenangan akad jaminan keamanan dalam keadaan seperti itu, maka pengakuannya pun tidak diterima.

فصل: وإن أسر امرأة حرة أو صبياً حراً رق بالأسر لأن النبي صلى الله عليه وسلم قسم سبي بني المصطلق واصطفى صفية من سبي خيبر وقسم سبي هوازن ثم استنزلته هوازن فنزل واستنزا الناس فنزلوا وإن أسر حر بالغ من أهل القتال فللإمام أن يختار ما يرى من القتل أو الاسترقاق والمن والفداء فإن رأى القتل قتل لقوله عز وجل: {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} ولأن النبي صلى الله عليه وسلم قتل يوم بدر ثلاثة من المشركين من قريش مطعم بن عدي والنضر بن الحارث وعقبة بن أبي معيط وقتل يوم أحد أبا عزة الجمحي وقتل يوم الفتح ابن خطل

PASAL: Jika seorang perempuan merdeka atau anak kecil merdeka ditawan, maka ia menjadi budak karena tawanan, karena Nabi SAW membagi tawanan Bani al-Muṣṭaliq, dan beliau memilih Ṣafiyyah dari tawanan Khaybar, serta membagi tawanan Hawāzin, lalu Hawāzin memohon agar mereka dikembalikan, maka beliau mengembalikannya, dan meminta para sahabat untuk mengembalikan, lalu mereka pun mengembalikannya.

Dan jika yang ditawan adalah orang merdeka yang sudah baligh dari kalangan yang ikut berperang, maka imam boleh memilih antara membunuh, memperbudak, membebaskan tanpa tebusan, atau membebaskan dengan tebusan. Jika imam memilih untuk membunuh, maka ia boleh membunuhnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu menemui mereka” serta karena Nabi SAW membunuh tiga orang musyrik dari Quraisy pada hari Perang Badar: Muṭʿim bin ʿAdī, al-Naḍr bin al-Ḥārith, dan ʿUqbah bin Abī Muʿīṭ. Beliau juga membunuh Abā ʿUzzah al-Jumaḥī pada hari Uhud, dan membunuh Ibn Khaṭal pada hari Fathu Makkah.

وإن رأى المن عليه جاز لقوله عز وجل: {فَإِمَّا مَنّاً بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً} ولأن النبي صلى الله عليه وسلم من على أبي عزة الجمحي ومن على ثمامة الحنفي ومن على أبي العاص ابن الربيع وإن رأى أن يفادي بمال أو بمن أسرى من المسلمين فادى به لقوله عز وجل: {فَإِمَّا مَنّاً بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً}

Dan jika imam memilih untuk membebaskannya tanpa tebusan, maka itu boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka (terhadap mereka) bebaslah dengan pemberian (tanpa tebusan) atau dengan tebusan” serta karena Nabi SAW membebaskan Abā ʿUzzah al-Jumaḥī, membebaskan Thumāmah al-Ḥanafī, dan membebaskan Abū al-ʿĀṣ bin al-Rabīʿ.

Dan jika imam memilih untuk membebaskannya dengan tebusan harta atau menukarnya dengan tawanan kaum muslimin, maka boleh ditebus dengannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka (terhadap mereka) bebaslah dengan pemberian (tanpa tebusan) atau dengan tebusan.”

وروى عمران بن الحصين رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم فادى أسيراً من عقيل برجلين من أصحابه أسرتهما ثقيف وإن رأى أن يسترقه فإن كان من غير العرب نظرت فإن كان ممن له كتاب أوشبه كتاب استرقه لما روي عن ابن عباس أنه قال في قوله عز وجل: {مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ} وذلك يوم بدر والمسلمين يومئذ قليل فلما كثروا واشتد سلطانهم أمر الله عز وجل في الأسارى فإما منا بعد وإما فداء فجعل الله سبحانه وتعالى للنبي صلى الله عليه وسلم والمؤمنين في أمر الأسارى بالخيار إن شاءوا قتلوا

Diriwayatkan dari ʿImrān bin Ḥuṣayn RA bahwa Nabi SAW menukar seorang tawanan dari Bani ʿAqīl dengan dua orang dari sahabat beliau yang ditawan oleh Tsaqīf.

Dan jika imam memilih untuk memperbudaknya, maka jika ia bukan dari bangsa Arab, maka dilihat keadaannya. Jika ia berasal dari kaum yang memiliki kitab atau yang menyerupai ahli kitab, maka ia boleh diperbudak, sebagaimana riwayat dari Ibn ʿAbbās yang berkata mengenai firman Allah Ta‘ala: “Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia melakukan pembunuhan besar-besaran di bumi” — ayat ini turun pada hari Badar, dan kaum muslimin ketika itu sedikit. Maka ketika jumlah mereka bertambah dan kekuasaan mereka menguat, Allah Ta‘ala memberi perintah mengenai para tawanan: “Maka (terhadap mereka) bebaslah dengan pemberian (tanpa tebusan) atau dengan tebusan.” Maka Allah SWT memberikan pilihan kepada Nabi SAW dan kaum mukminin dalam urusan para tawanan: jika mereka menghendaki, mereka membunuh.

وإن شاءوا استعبدوهم وإن شاءوا فادوهم فإن كان من عبدة الأوثان ففيه وجهان أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أنه لا يجوز استرقاقهم لأنه لا يجوز إقراره على الكفر بالجزية فلم يجز الاسترقاق كالمرتد والثاني: أنه يجوز لما رويناه عن ابن عباس ولأن من جاز المن عليه في الأسر جاز استرقاقه كأهل الكتاب وإن كان من العرب ففيه قولان قال في الجديد يجوز استرقاقه والمفاداة به وهو الصحيح لأن من جاز المن عليه والمفاداة به من الأسارى جاز استرقاقه كغير الغرب وقال في القديم لا يجوز استرقاقه

Dan jika mereka menghendaki, mereka boleh memperbudak para tawanan itu, dan jika mereka menghendaki, mereka boleh menebusnya.

Jika tawanan tersebut berasal dari penyembah berhala, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama —yaitu pendapat Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī— mengatakan bahwa tidak boleh diperbudak, karena tidak boleh dibiarkan tetap dalam kekufuran dengan membayar jizyah, maka tidak boleh pula diperbudak, sebagaimana murtad.

Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh diperbudak, sebagaimana telah kami riwayatkan dari Ibn ʿAbbās, dan karena siapa saja yang boleh dimaafkan dalam tawanan, maka boleh pula diperbudak, seperti ahli kitab.

Dan jika ia berasal dari bangsa Arab, maka ada dua pendapat:

Dalam qawl jadīd, beliau (al-Syāfiʿī) berpendapat bahwa boleh diperbudak dan boleh pula ditebus dengannya, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena siapa saja dari tawanan yang boleh dimaafkan atau ditebus, maka boleh pula diperbudak, seperti selain bangsa Arab.

Sedangkan dalam qawl qadīm, beliau berpendapat bahwa tidak boleh diperbudak.

لما روى معاذ رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يوم حنين لو كان استرقاق ثابتاً على العرب لكان اليوم وإنما هو أسر وفداء فإن تزوج عربي بأمة فأتت منه بولد فعلى القول الجديد الولد مملوك وعلى القديم الولد حر ولا ولاء عليه لأنه حر من الأصل.

Karena diriwayatkan dari Muʿāż RA bahwa Nabi SAW bersabda pada hari Ḥunain: “Seandainya perbudakan itu berlaku atas bangsa Arab, niscaya hari inilah saatnya.” Padahal yang terjadi hanyalah penawanan dan penebusan.

Maka jika seorang Arab menikahi seorang perempuan budak lalu perempuan itu melahirkan anak darinya, menurut qawl jadīd, anak itu berstatus budak. Sedangkan menurut qawl qadīm, anak itu merdeka dan tidak ada walā’ atasnya karena ia merdeka dari asalnya.

فصل: ولا يختار الإمام في الأسير من القتل والاسترقاق والمن والفداء إلا ما فيه الحظ للإسلام والمسلمين لأنه ينظر لهما فلا يفعل إلا ما فيه الحظ لهما فان بذل الأسير الجزية وطلب أن تعقد له الذمة وهو ممن يجوز أن تعقد له الذمة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب قبولها كما يجب إذا بذل وهو في غير الأسر وهو ممن يجوز أن تعقد لمثله الذمة

PASAL: Tidak boleh bagi imam memilih dalam urusan tawanan antara membunuh, memperbudak, membebaskan, atau menebus kecuali apa yang mengandung maslahat bagi Islam dan kaum muslimin, karena ia bertindak untuk kepentingan keduanya, maka tidak boleh melakukan kecuali yang mengandung maslahat bagi keduanya. Jika tawanan menawarkan jizyah dan meminta agar dijadikan ahl al-dzimmah, padahal ia termasuk orang yang boleh dijadikan ahl al-dzimmah, maka terdapat dua pendapat: pertama, wajib menerimanya sebagaimana wajib menerimanya bila ia menawarkan jizyah saat bukan dalam keadaan tawanan dan termasuk orang yang boleh dijadikan ahl al-dzimmah.

والثاني: أنه لا يجب لأنه يسقط بذلك ما ثبت من اختيار القتل والاسترقاق والمن والفداء وإن قتله مسلم قبل أن يختار الإمام ما يراه عزر القاتل لا فتياته على الإمام ولا ضمان عليه لأنه حربي لا أمان له وإن أسلم حقن دمه لقوله صلى الله عليه وسلم: “أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله الا الله فإذا قالوها عصموا مني دماءهم وأموالكم إلا بحقها”. وهل يرق الإسلام أو يبقى الخيار فيه بين الاسترقاق والمن والفداء فيه قولان: أحدهما: أنه يرق بنفس الإسلام ويسقط الخيار في الباقي لأنه أسير لا يقتل فرق الصبي والمرأة

dan pendapat kedua: tidak wajib diterima karena dengan itu gugur pilihan yang telah ditetapkan antara membunuh, memperbudak, membebaskan, atau menebus. Jika seorang muslim membunuhnya sebelum imam memilih apa yang dipandangnya baik, maka si pembunuh dikenai ta‘zīr, tetapi tidak wajib memberi fidyah kepada imam dan tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, karena dia adalah harbī yang tidak memiliki jaminan keamanan. Jika ia masuk Islam, maka darahnya tidak boleh ditumpahkan, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan lā ilāha illallāh, jika mereka mengatakannya maka darah dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya.”

Apakah dengan masuk Islam ia langsung menjadi budak atau tetap ada pilihan antara diperbudak, dimerdekakan, atau ditebus—dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, ia langsung menjadi budak dengan keislamannya dan gugur pilihan lainnya, karena ia adalah tawanan yang tidak boleh dibunuh, seperti anak kecil dan perempuan.

والثاني: أنه لا يرق بل يبق الخيار في الباقي لما روى عمران بن الحصين رضي الله عنه أن الأسير العقيلي قال: يا محمد إني مسلم ثم فاداه برجلين ولأن ما ثبت الخيار فيه بين أشياء إذا سقط أحدهما: لم يسقط الخيار في الباقي ككفارة اليمين إذا عجز فيها عن العتق فعلى هذا اذا اختار الفداء لم يجز أن يفادى به إلا أن يكون له عشيرة يأمن معهم على دينه ونفسه وإن أسر شيخ لا قتال فيه ولا رأي له في الحرب فإن قلنا أنه يجوز قتله فهو كغيره في الخيار بين القتل والاسترقاق والمن والفداء وإن قلنا لا يجوز قتله فهو كغيره إذا أسلم في الأسر وقد بيناه.

dan pendapat kedua: ia tidak langsung menjadi budak, melainkan pilihan tetap ada pada hal-hal lainnya. Karena diriwayatkan dari ‘Imrān bin Ḥuṣayn RA bahwa seorang tawanan dari ‘Aqīl berkata: “Wahai Muḥammad, aku telah masuk Islam,” namun Nabi SAW tetap menebusnya dengan dua orang tawanan. Dan karena sesuatu yang terdapat pilihan antara beberapa hal, jika salah satunya gugur, maka pilihan terhadap sisanya tidak ikut gugur—seperti dalam kafārah sumpah, jika tidak mampu memerdekakan budak, maka pilihan terhadap yang lain tetap berlaku.

Berdasarkan ini, jika imam memilih opsi penebusan, maka tidak boleh ditebus kecuali jika ia memiliki ‘asyīrah (keluarga atau kabilah) yang dengannya ia merasa aman atas agamanya dan dirinya. Jika yang ditawan adalah seorang lelaki tua yang tidak memiliki kemampuan bertempur dan tidak memiliki pendapat dalam urusan perang, maka jika kita berpendapat bahwa ia boleh dibunuh, maka statusnya seperti selainnya: imam boleh memilih antara membunuh, memperbudak, membebaskan, atau menebus. Dan jika kita berpendapat bahwa ia tidak boleh dibunuh, maka statusnya seperti selainnya jika ia masuk Islam dalam tawanan, dan hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

فصل: وإن رأى الإمام القتل ضرب عنقه لقوله عز وجل: {فَإذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ} ولا يمثل به لما روى بريدة قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أمر أميراً على جيش أو سرية قال: “اغزوا بسم الله قاتلوا من كفر بالله ولا تغدروا ولا تمثلوا ولا تغلوا”. ويكره حمل رأس من قتل من الكفار الى بلاد المسلمين

PASAL: Jika imam memandang bahwa pembunuhan adalah pilihan, maka ia memenggal lehernya, berdasarkan firman Allah SWT: {Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir maka pancunglah batang leher mereka}. Dan tidak boleh melakukan mutslah (mencacah atau merusak anggota tubuh) terhadapnya, berdasarkan riwayat dari Buraidah, ia berkata: Adalah Rasulullah SAW apabila mengangkat seorang panglima atas suatu pasukan atau satuan kecil pasukan, beliau bersabda: “Berperanglah kalian dengan menyebut nama Allah, perangi orang-orang yang kafir kepada Allah, jangan berkhianat, jangan melakukan mutslah, dan jangan berbuat ghulul.” Dan makruh hukumnya membawa kepala orang kafir yang terbunuh ke negeri kaum muslimin.

لما روى عقبة بن عامر أن شرحبيل بن حسنة وعمرو بن العاص بعثا بريداً إلى أبي بكر الصديق رضي الله عنه برأس بناق البطريق فقال أتحملون الجيف الى مدينة رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قلت يا خليفة رسول الله إنهم يفعلون بنا هكذا قال لا تحملوا منهم إلينا شيئا وإن اختار استرقاقه كان للغانمين وإن فاداه بمال كان للغانمين وإن أراد أن يسقط منهم شيئاً من المال لم يجز الا برضا الغانمين

Karena telah diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Āmir bahwa Syarḥabīl bin Ḥasanah dan ‘Amr bin al-‘Āṣ mengirim utusan kepada Abū Bakar aṣ-Ṣiddīq RA dengan membawa kepala Banāq al-Baṭrīq. Maka beliau berkata: “Apakah kalian membawa bangkai ke kota Rasulullah SAW?” Aku berkata: “Wahai khalifah Rasulullah, sesungguhnya mereka memperlakukan kami seperti itu.” Maka beliau berkata: “Jangan kalian bawa sedikit pun dari mereka kepada kami.”

Dan jika imam memilih untuk memperbudaknya, maka budak itu menjadi milik para pejuang. Jika ia menebusnya dengan harta, maka harta itu menjadi milik para pejuang. Dan jika ia ingin menggugurkan sebagian dari harta tersebut, tidak boleh kecuali dengan kerelaan para pejuang.

لما روى عروة بن الزبير أن مروان بن الحكم والمسور بن مخرمة أخبراه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم جاءه وفد هوازن مسلمين فقال: “إن أخوانكم هؤلاء جاؤونا تائبين وإني قد رأيت أن أرد إليهم فمن أحب منكم أن يطيب ذلك فليفعل ومن أحب منكم أن يكون على حقه حتى نعطيه إياه من أول ما يفيء الله علينا فليفعل” فقال: الناس قد طيبنا لك يا رسول الله قال الزهري أخبرني سعيد بن المسيب وعروة بن الزبير أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رد ستة آلاف سبي من سبي هوازن من النساء والصبيان والرجال إلى هوازن حين أسلموا وإن أسر عبد فرأى الإمام أن يمن عليه لم يجز إلا برضا الغانمين وإن رأى قتله لشره وقوته قتله وضمن قيمته للغانمين لأنه مال لهم.

Karena telah diriwayatkan dari ‘Urwah bin az-Zubair bahwa Marwān bin al-Ḥakam dan al-Miswar bin Makhramah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh delegasi Hawāzin dalam keadaan telah masuk Islam. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya saudara-saudara kalian ini datang kepada kita dalam keadaan bertaubat, dan sungguh aku telah memandang untuk mengembalikan (tawanan) kepada mereka. Maka siapa di antara kalian yang ingin merelakan hal itu, silakan lakukan; dan siapa yang ingin tetap pada haknya hingga kami memberikannya dari harta rampasan pertama yang Allah limpahkan kepada kami, silakan lakukan.” Maka orang-orang pun berkata: “Kami telah merelakan untukmu, wahai Rasulullah.” Az-Zuhrī berkata: Telah mengabarkan kepadaku Sa‘īd bin al-Musayyab dan ‘Urwah bin az-Zubair bahwa Rasulullah SAW telah mengembalikan enam ribu tawanan dari kalangan wanita, anak-anak, dan laki-laki Hawāzin kepada mereka ketika mereka telah masuk Islam.

Dan jika seorang budak ditawan lalu imam memandang untuk memaafkannya (membebaskannya), maka tidak boleh kecuali dengan kerelaan para pejuang. Jika imam memandang bahwa ia layak dibunuh karena kejahatan dan kekuatannya, maka ia boleh membunuhnya dan wajib mengganti nilainya kepada para pejuang karena ia adalah harta milik mereka.

فصل: وإن دعا مشرك الى المبارزة فالمستحب أن يبرز إليه مسلم لما روي أن عتبة وشيبة ابني ريبعة والوليد بن عتبة دعوا الى المبارزة فبرز إليهم حمزة بن عبد المطلب وعلي بن أبي طالب وعبيدة بن الحارث ولأنه إذا لم يبرز إليه أحد ضعفت قلوب المسلمين وقويت قلوب المشركين فإن بدأ المسلم ودعا إلى المبارزة لم يكره وقال أبوعلي بن أبي هريرة يكره لأنه ربما قتل وانكسرت قلوب المسلمين والصحيح أنه لا يكره

PASAL: Jika seorang musyrik menantang untuk mubārazah (duel satu lawan satu), maka yang mustahab adalah seorang muslim maju menghadapinya. Karena diriwayatkan bahwa ‘Utbah dan Syaibah, dua putra Rabi‘ah, serta al-Walīd bin ‘Utbah menantang mubārazah, lalu maju menghadapi mereka: Ḥamzah bin ‘Abd al-Muṭṭalib, ‘Alī bin Abī Ṭālib, dan ‘Ubaidah bin al-Ḥārith. Dan karena jika tidak ada yang maju menghadapi, maka hati kaum muslimin menjadi lemah dan hati kaum musyrikin menjadi kuat.

Jika seorang muslim yang memulai dan menantang untuk mubārazah, maka tidak makruh. Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah berkata bahwa hal itu makruh karena bisa jadi ia terbunuh dan hati kaum muslimin menjadi patah. Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah bahwa hal itu tidak makruh.

لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن المبارزة بين الصفين فقال: “لا بأس”. ويستحب أن لا يبارز الأقوى في الحرب لأنه إذا بارز ضعيف لم يأمن أن يقتل فيضعف قلوب المسلمين وإن بارز ضعيف جاز ومن أصحابنا من قال: لا يجوز لأن القصد من المبارزة إظهار القوة وذلك لا يحصل من مبارزة الضعيف والصحيح هو الأول لأن التغرير بالنفس يجوز في الجهاد ولهذا يجوز للضعيف أن يجاهد كما يجوز للقوي والمستحب أن لا يبارز إلا بإذن الأمير ليكون ردءاً له إذا احتاج فإن بارز بغير إذنه جاز

Karena telah diriwayatkan dari Abū Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang mubārazah (duel) antara dua barisan, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa.” Dan dianjurkan agar yang maju mubārazah bukanlah orang yang paling kuat dalam peperangan, karena jika ia justru menghadapi yang lemah, dikhawatirkan ia terbunuh sehingga hati kaum muslimin menjadi lemah. Namun jika yang maju adalah orang lemah, maka hal itu boleh. Dan sebagian dari kalangan kami berkata: tidak boleh, karena tujuan dari mubārazah adalah menampakkan kekuatan, dan hal itu tidak tercapai bila yang maju adalah orang lemah. Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena mempertaruhkan diri dibolehkan dalam jihad, dan karena itu orang yang lemah boleh berjihad sebagaimana orang yang kuat.

Dan yang mustahab adalah tidak maju mubārazah kecuali dengan izin amir, agar ia dapat menjadi pelindungnya jika dibutuhkan. Namun jika ia maju tanpa izinnya, maka itu tetap sah.

ومن أصحابنا من قال: لا يجوز لأنه لا يؤمن أن يتم عليه ما ينكسر به الجيش والصحيح أنه يجوز لأن التغرير بالنفس في الجهاد جائز وإن بارز مشرك مسلماً نظرت فإن بارز من غير شرط جاز لكل أحد أن يرميه لأنه حربي لا أمان له وإن شرط أن لا يقابله غير من برز إليه لم يجز رميهم وفاء بشرطه فإن ولى عنه مختاراً أو مثخناً أو ولى عنه المسلم مختاراً أو مثخناً جاز لكل أحد رميه لأنه شرط الأمان في حال القتال وقد انقضى القتال فزال الأمان

Dan sebagian dari kalangan kami berkata: tidak boleh, karena dikhawatirkan terjadi sesuatu yang menyebabkan pasukan kaum muslimin menjadi patah semangat. Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah bahwa hal itu boleh, karena mempertaruhkan diri dalam jihad adalah hal yang dibolehkan.

Jika seorang musyrik menantang seorang muslim untuk mubārazah, maka hal itu ditinjau: jika ia menantang tanpa syarat, maka setiap orang boleh memanahnya karena ia adalah ḥarbī yang tidak memiliki jaminan keamanan. Namun jika disyaratkan bahwa tidak ada yang boleh melawannya selain lawan yang telah ditentukan, maka tidak boleh memanahnya demi memenuhi syarat tersebut.

Namun jika ia mundur dengan kehendaknya sendiri atau karena terluka parah, atau jika yang mundur adalah muslim baik secara sukarela maupun karena terluka, maka setiap orang boleh memanahnya, karena syarat keamanan itu berlaku dalam keadaan pertempuran, dan ketika pertempuran telah selesai maka jaminan keamanan pun hilang.

وإن استنجد المشرك أصحابه في حال القتال فانجدوه أو بدأ المشركون بمعاونته فلم يمنعهم جاز لكل أحد رميه لأنه نقض الأمان وإن أعانوه فمنعهم فلم يقبلوا منه فهو على أمانه لأنه لم ينقض الأمان ولا انقضى القتال وإن لم يشترط ولكن العادة في المبارزة أن لا يقاتله غير من يبرز إليه فقد قال بعض أصحابنا أنه يستحب أن لا يرميه غيره وعندي أنه لا يجوز لغيره رميه وهو ظاهر النص لأن العادة كالشرط فإن شرط أن لا يقاتله غيره ولا يتعرض له إذا انقضى القتال حتى يرجع الى موضعه وفى له بالشرط فان ولى عنه المسلم فتبعه ليقتله جاز لكل أحد أن يرميه لأنه نقض الشرط فسقط أمانه.

Jika seorang musyrik meminta bantuan kepada kawan-kawannya di tengah pertempuran lalu mereka membantunya, atau para musyrik memulai untuk membantunya namun ia tidak melarang mereka, maka setiap orang boleh memanahnya karena ia telah membatalkan jaminan keamanan.

Namun jika mereka membantunya lalu ia melarang mereka, namun mereka tidak menerima larangannya, maka ia tetap berada dalam jaminan keamanannya karena ia tidak membatalkannya dan pertempuran belum selesai.

Jika tidak ada syarat sebelumnya, namun kebiasaan dalam mubārazah adalah bahwa tidak ada yang boleh memeranginya selain lawan tandingnya, maka sebagian dari kalangan kami berkata: disunnahkan agar tidak ada yang memanahnya selain lawannya. Dan menurutku, tidak boleh bagi selain lawannya untuk memanahnya, dan ini adalah ẓāhir an-naṣṣ, karena kebiasaan itu seperti syarat.

Jika disyaratkan bahwa tidak ada yang boleh memeranginya selain lawannya, dan bahwa tidak akan ada yang mengganggunya setelah pertempuran berakhir hingga ia kembali ke tempatnya, maka wajib memenuhi syarat tersebut.

Namun jika lawan muslimnya mundur lalu ia mengejarnya untuk membunuhnya, maka setiap orang boleh memanahnya karena ia telah membatalkan syarat tersebut, maka gugurlah jaminan keamanannya.

فصل: وإن غرر بنفسه من له سهم في قتل كافر مقبل على الحرب فقتله استحق سلبه لما روى أبو قتادة قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم حنين فرأيت رجلاً من المشركين علا رجلاً من المسلمين فاستدرت له حتى أتيته من ورائه فضربته على حبل عاتقه فأقبل علي فضمني ضمة وجدت منها ريح الموت ثم أدركه الموت فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من قتل قتيلاً له عليه بينة فله سلبه” فقصصت عليه فقال رجل صدق يا رسول الله وسلب ذلك الرجل عندي فأرضه

PASAL: Jika seseorang yang memiliki bagian dalam harta rampasan perang membahayakan dirinya sendiri dengan menyerang seorang kafir yang sedang maju dalam pertempuran, lalu ia membunuhnya, maka ia berhak mendapatkan barang rampasan pribadinya (salab), berdasarkan riwayat dari Abū Qatādah yang berkata: Kami keluar bersama Rasulullah SAW pada hari Ḥunayn, lalu aku melihat seorang dari kaum musyrik menaiki seorang muslim, maka aku berputar ke arahnya hingga aku datang dari belakangnya, lalu aku memukulnya pada bagian pundaknya. Ia pun berbalik ke arahku dan memelukku dengan pelukan yang aku rasakan bau kematian darinya, kemudian kematian menjemputnya. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang membunuh seorang musuh dan memiliki bukti atasnya, maka ia berhak atas salab-nya.” Maka aku ceritakan kejadian itu kepada beliau. Lalu seseorang berkata: “Ia benar wahai Rasulullah, dan salab orang itu ada padaku.” Maka beliau bersabda: “Berikan kerelaan kepadanya.”

فقال أبو بكر رضي الله عنه لاها الله إذاً لا يعمد إلى أسد من أسد الله تعالى يقاتل عن دين الله فيعطيك سلبه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “صدق فأعطه إياه”. فأعطاني إياه فبعث الدرع فابتعت به مخرفا في بني سلمة وإنه لأول مال تأثلته في الإسلام فإن كان ممن لا حق له في الغنيمة كالمخذل والكافر إذا حضر من غير إذن لم يستحق لأنه لا حق له في السهم الراتب فلأن لا يستحق السلب وهو غير راتب أولى فإن كان ممن يرضخ له كالصبي والمرأة والكافر إذا حضر بالإذن ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يستحق لما ذكرناه

Maka Abū Bakr RA berkata: “Demi Allah, tidak! Apakah akan diberikan rampasan perang kepada singa di antara singa-singa Allah Ta‘ala yang berperang demi agama Allah, lalu engkau mengambilnya?” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Benar, berikanlah kepadanya.” Maka ia memberikannya kepadaku, lalu aku menjual baju zirah tersebut dan membelinya dengan mukhraf (kebun kurma) di kalangan Banī Salimah, dan itulah harta pertama yang aku miliki dalam Islam.

Jika yang membunuh itu termasuk orang yang tidak memiliki hak dalam ghanīmah, seperti al-mukhadhdzil (orang yang melemahkan semangat pasukan) atau orang kafir yang hadir tanpa izin, maka ia tidak berhak karena ia tidak memiliki bagian yang tetap, maka lebih utama lagi ia tidak berhak mendapatkan salab yang bukan bagian tetap.

Jika ia termasuk orang yang boleh diberi raḍkh (pemberian tambahan), seperti anak kecil, perempuan, atau orang kafir yang hadir dengan izin, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, ia tidak berhak, karena alasan yang telah disebutkan.

والثاني: أنه يستحق لأن له حقاً في الغنيمة فأشبه من له سهم وإن لم يغرر بنفسه في قتله بأن رماه من وراء الصف فقتله لم يستحق سلبه وإن قتله وهو غير مقبل على الحرب كالأسير والمثخن والمنهزم لم يستحق سلبه وقال أبو ثور: كل مسلم قتل مشركاً استحق سلبه لما روى أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من قتل كافرا فله سلبه” . ولم يفصل وهذا لا يصح لأن ابن مسعود رضي الله عنه قتل أبا جهل وكان قد أثخنه غلامان من الأنصار فلم يدفع النبي صلى الله عليه وسلم سلبه إلى ابن مسعود وإن قتله وهو مول ليكر استحق السلب لأن الحرب كر وفر

Pendapat kedua: ia berhak mendapatkan salab, karena ia memiliki hak dalam ghanīmah, sehingga disamakan dengan orang yang memiliki bagian tetap.

Jika ia tidak membahayakan dirinya dalam membunuhnya, seperti melempar dari belakang barisan lalu membunuhnya, maka ia tidak berhak atas salab. Dan jika ia membunuhnya dalam keadaan musuh tidak sedang menghadapi perang, seperti tawanan, orang yang terluka parah, atau orang yang melarikan diri, maka ia juga tidak berhak atas salab.

Abū Thawr berkata: Setiap muslim yang membunuh orang musyrik berhak atas salab-nya, berdasarkan riwayat dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa membunuh orang kafir, maka baginya salab-nya.” Dan dalam hadis itu tidak ada perincian.

Namun ini tidak sah sebagai dalil, karena ʿAbdullāh ibn Masʿūd RA membunuh Abū Jahl, sedangkan ia telah dilumpuhkan oleh dua pemuda Anṣār sebelumnya, namun Nabi SAW tidak memberikan salab-nya kepada Ibn Masʿūd.

Jika ia membunuh musuh yang sedang mundur untuk kembali menyerang, maka ia berhak atas salab-nya, karena peperangan adalah silih berganti antara maju dan mundur.

وإن اشترك اثنان في القتل اشتركا في السلب لاشتراكهما في القتل وإن قطع أحدهما: يديه أو رجليه وقتله الآخر ففيه قولان: أحدهما: أن السلب للأول لأنه عطله والثاني: أن السلب للثاني لأنه هو الذي كف شره دون الأول لأن بعد قطع اليدين يمكنه أن يعدو أو يجلب وبعد قطع الرجلين يمكنه أن يقاتل إذا ركب وإن غرر من له سهم فأسر رجلاً مقبلاً على الحرب وسلمه الى الإمام حياً ففيه قولان: أحدهما: لا يستحق سلبه لأنه لم يكف شره بالقتل

Jika dua orang bersama-sama membunuh (musuh), maka keduanya berbagi salab karena keduanya turut serta dalam pembunuhan.

Jika salah satu dari keduanya memotong tangan atau kaki musuh, lalu yang lainnya membunuhnya, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: salab menjadi milik orang yang pertama karena ia telah melumpuhkannya.
Pendapat kedua: salab menjadi milik orang kedua karena dialah yang benar-benar melenyapkan bahayanya, tidak seperti yang pertama. Sebab, setelah dipotong tangannya, musuh masih bisa berlari atau memanggil bantuan; dan setelah dipotong kakinya, ia masih bisa berperang jika ditunggangkan.

Jika seseorang yang memiliki bagian dalam rampasan perang membahayakan dirinya lalu menangkap seorang musuh yang sedang maju dalam perang dan menyerahkannya hidup-hidup kepada imam, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: ia tidak berhak atas salab-nya karena ia tidak benar-benar melenyapkan bahayanya dengan membunuh.

والثاني: أنه يستحق لأن تغريره بنفسه في أسره ومنعه من القتال أبلغ من القتل وإن من عليه الإمام أو قتله استحق الذي أسره سلبه وإن استرقه أو فاداه بمال بمال ففي رقبته وفي المال المفادي به قولان: أحدهما: أنه للذي أسره والثاني: أنه لا يكون له لأنه مال حصل بسبب تغريره فكان فيه قولان كالسلب.

Pendapat kedua: ia berhak atas salab-nya, karena membahayakan dirinya untuk menangkap dan menahan musuh dari peperangan lebih besar daripada membunuhnya.

Jika imam memberikan pembebasan sebagai anugerah (man), atau membunuh tawanan itu, maka orang yang menangkapnya tetap berhak atas salab-nya.

Jika imam memperbudaknya atau menebusnya dengan harta, maka terhadap tubuhnya (yakni hak perbudakannya) dan terhadap harta hasil penebusan terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: keduanya milik orang yang menangkapnya.
Pendapat kedua: keduanya bukan miliknya, karena harta tersebut diperoleh dari usaha membahayakan diri, sehingga statusnya seperti salab—maka terdapat dua pendapat pula di dalamnya.

فصل: والسلب ما كان يده عليه من جنة الحرب كالثياب التي يقاتل فيها والسلاح الذي يقاتل فيه والمركوب الذي يقاتل عليه فأما ما لا بد له عليه كخيمته وما في رجله من السلاح والكراع فلا يستحب سلبه لأنه ليس من السلب وأما ما في يده مما لا يقاتل به كالطوق والمنطقة والسوار والخاتم وما في وسطه من النفقة ففيه قولان: أحدهما: أنه ليس من السلب لأنه ليس من جنة الحرب والثاني: أنه من السلب لأن يده عليه فهو كجنة الحرب ولا يخمس السلب لما روى عوف بن مالك وخالد بن الوليد رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قضى في السلب للقاتل ولم يخمس السلب.

PASAL: Sālab adalah apa yang berada di tangannya dari perlengkapan perang, seperti pakaian yang ia gunakan untuk berperang, senjata yang ia gunakan untuk berperang, dan tunggangan yang ia gunakan untuk berperang. Adapun sesuatu yang tidak bisa ia tinggalkan seperti tendanya dan apa yang berada di kakinya dari senjata serta kurā‘, maka tidak disunnahkan untuk mengambilnya sebagai sālab karena itu bukan termasuk sālab.

Adapun apa yang berada di tangannya namun bukan untuk berperang seperti kalung, ikat pinggang, gelang, cincin, dan uang belanja yang berada di pinggangnya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: itu bukan termasuk sālab karena bukan termasuk perlengkapan perang.
Kedua: itu termasuk sālab karena berada di tangannya, maka hukumnya seperti perlengkapan perang.

Dan sālab tidak dibagikan sebagai khumus (seperlima), karena telah diriwayatkan dari ‘Awf bin Mālik dan Khālid bin al-Walīd RA bahwa Rasulullah SAW memutuskan bahwa sālab diberikan kepada pembunuh (musuh) dan tidak dibagikan sebagai khumus.

فصل: وإن حاصر قلعة ونزل أهلها على حكم حاكم جاز لأن بني قريظة نزلوا على حكم سعد بن معاذ فحكم بقتل رجالهم وسبي نسائهم وذراريهم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لقد حكمت فيهم بحكم الله تعالى من فوق سبعة أرقعة” . ويجب أن يكون الحاكم حراً مسلماً ذكراً بالغاً عاقلاً عدلاً عالماً لأنه ولاية حكم فشرط فيها هذه الصفات كولاية القضاء

PASAL: Jika ia mengepung sebuah benteng lalu penduduknya menyerah kepada keputusan seorang hakim, maka hal itu boleh, karena Bani Quraizhah menyerah kepada keputusan Sa‘d bin Mu‘āż, lalu ia memutuskan untuk membunuh para lelaki mereka serta menawan perempuan dan anak-anak mereka. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh engkau telah memutuskan terhadap mereka dengan hukum Allah Ta‘ālā dari atas tujuh langit.”

Dan wajib bagi hakim tersebut untuk merupakan seorang yang merdeka, muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, serta memiliki ilmu, karena itu adalah bentuk kekuasaan kehakiman, maka disyaratkan padanya sifat-sifat tersebut sebagaimana dalam kewenangan qāḍī.

ويجوز أن يكون أعمى لأن الذي يقتضي الحكم هو الذي يشتهر من حالهم والذي يدرك بالسماع فصح من الأعمى كالشهادة فيما طريقه الاستفاضة ويكره أن يكون الحاكم حسن الرأي فيهم لميله إليهم ويجوز حكمه لأنه عدل في الدين وإن نزلوا على حكم حاكم يختاره الإمام جاز لأنه لا يختار الإمام إلا من يجوز حكمه وإن نزلوا على حكم من يختارونه لم يجز إلا أن يشترط أن يكون الحاكم على الصفات التي ذكرناها

Dan boleh hakim itu seorang yang buta, karena yang menjadi dasar keputusan adalah apa yang masyhur dari keadaan mereka dan yang bisa diketahui melalui pendengaran, maka sah dari orang buta sebagaimana persaksian dalam perkara yang jalurnya berdasarkan istifāḍah.

Dimakruhkan apabila hakim itu memiliki kecenderungan baik terhadap mereka karena dikhawatirkan condong kepada mereka, namun keputusannya tetap sah karena ia adil dalam agama.

Jika mereka menyerah kepada keputusan hakim yang dipilih oleh imam, maka hal itu boleh, karena imam tidak akan memilih kecuali orang yang sah untuk menjadi hakim. Dan jika mereka menyerah kepada keputusan orang yang mereka pilih sendiri, maka tidak boleh kecuali dengan syarat bahwa hakim tersebut memiliki sifat-sifat yang telah kami sebutkan.

وإن نزلوا على حكم اثنين جاز لأنه تحكيم في مصلحة طريقها الرأي فجاز أن يجعل إلى اثنين كالتحكيم في اختيار الإمام وإن نزلوا على حكم مثلاً يجوز أن يكون حاكماً أو على حكم من يجوز أن يكون حاكماً فمات أو على حكم اثنين فماتا أو مات أحدهما: وجب ردهم إلى القلعة لأنهم نزلوا على أمان فلا يجوز أخذهم إلا برضاهم ولا يحكم الحاكم إلا بما فيه مصلحة المسلمين من القتل والاسترقاق والمن والفداء وإن حكم بعقد الذمة وأخذ الجزية ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجوز إلا برضاهم لأنه عقد معاوضة فلا يجوز من غير رضاهم

Dan jika mereka menyerah kepada keputusan dua orang, maka hal itu boleh, karena ini merupakan bentuk tahkīm dalam suatu kemaslahatan yang jalannya melalui ijtihad, maka boleh diserahkan kepada dua orang sebagaimana tahkīm dalam pemilihan imam.

Dan jika mereka menyerah kepada keputusan seseorang yang sah menjadi hakim, atau kepada keputusan orang yang sah menjadi hakim lalu ia wafat, atau kepada dua orang lalu keduanya wafat atau salah satunya wafat, maka wajib mengembalikan mereka ke benteng, karena mereka menyerah dalam keadaan aman, maka tidak boleh diambil kecuali dengan kerelaan mereka.

Dan hakim tidak boleh memutuskan kecuali dengan sesuatu yang mengandung maslahat bagi kaum muslimin, baik berupa pembunuhan, perbudakan, pembebasan, atau penebusan.

Jika ia memutuskan untuk membuat akad dzimmah dan mengambil jizyah, maka terdapat dua wajah: yang pertama, bahwa hal itu tidak boleh kecuali dengan kerelaan mereka, karena ia adalah akad mu‘āwaḍah, maka tidak boleh dilakukan tanpa kerelaan mereka.

والثاني: يجوز لأنهم نزلوا على حكمه وإن حكم أن من أسلم منهم استرق ومن أقام على الكفر قتل جاز وإن حكم بذلك ثم أراد أن يسترق من حكم بقتله لم يجز لأنه لم ينزل على هذا الشرط وإن حكم عليهم بالقتل ثم رأى هو أو الإمام أن يمن عليهم جاز لأن سعد بن معاذ رضي الله عنه حكم بقتل رجال بني قريظة فسأل ثابت الأنصاري رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يهب له الزبير بن باطا اليهودي ففعل فإن حكم باسترقاقهم لم يجز أن يمن عليهم إلا برضا الغانمين لأنهم صاروا مالاً لهم.

Dan wajah yang kedua: boleh, karena mereka telah menyerah kepada keputusannya.

Jika ia memutuskan bahwa siapa pun dari mereka yang masuk Islam akan diperbudak dan yang tetap dalam kekufuran akan dibunuh, maka hal itu boleh.

Namun jika ia telah memutuskan demikian lalu ingin memperbudak orang yang sebelumnya ia putuskan untuk dibunuh, maka tidak boleh, karena mereka tidak menyerah atas syarat tersebut.

Dan jika ia memutuskan agar mereka dibunuh, lalu ia atau imam berkehendak untuk memberi ampunan kepada mereka, maka hal itu boleh, karena Sa‘d bin Mu‘āż RA telah memutuskan agar laki-laki Bani Quraizhah dibunuh, kemudian Ṡābit al-Anṣārī meminta kepada Rasulullah SAW agar menghadiahkan kepadanya Zubair bin Bāṭā al-Yahūdī, maka beliau pun mengabulkannya.

Namun jika ia memutuskan untuk memperbudak mereka, maka tidak boleh memberi ampunan kepada mereka kecuali dengan kerelaan para ghanimīn, karena mereka telah menjadi harta milik mereka.

فصل: ومن أسلم من الكفار قبل الأسر عصم دمه وماله لما روى عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوها عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها”. فإن كانت له منفعة بإجارة لم تملك عليه لأنها كالمال وإن كانت له زوجة جاز استرقاقها على المنصوص ومن أصحابنا من قال: لا يجوز كما لا يجوز أن يملك ماله ومنفعته وهذا خطأ لأن منفعة البضع ليست بمال ولا تجري مجرى المال ولهذا لا يضمن بالغصب بخلاف المال والمنفعة وإن كان له ولد صغير لم يجز استرقاقه

PASAL: Dan barang siapa dari orang-orang kafir yang masuk Islam sebelum ditawan, maka terjaga darah dan hartanya, berdasarkan riwayat dari ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘lā ilāha illa Allāh’, maka apabila mereka telah mengucapkannya, terjagalah dari-ku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya.” Jika ia memiliki suatu manfaat berupa ijarah, maka tidak boleh dimiliki darinya karena manfaat itu seperti harta. Jika ia memiliki seorang istri, maka boleh diperbudak menurut pendapat yang manṣūṣ, dan sebagian dari kalangan kami berkata: tidak boleh, sebagaimana tidak boleh dimiliki hartanya dan manfaatnya. Namun ini adalah kesalahan, karena manfaat kemaluan bukanlah harta dan tidak berjalan seperti hukum harta. Oleh sebab itu, ia tidak dijamin jika digasabi, berbeda dengan harta dan manfaat. Dan jika ia memiliki anak kecil, maka tidak boleh diperbudak.

لأن النبي صلى الله عليه وسلم حاصر بني قريظة فأسلم ابنا شعية فأحرزا بإسلامهما أموالهما وأولادهما ولأنه مسلم فلم يجز استرقاقه كالأب وإن كان حمل من حربية لم يجز استرقاقه لأنه محكوم بإسلامه فلم يسترق كالولد وهل يجوز استرقاق الحامل فيه وجهان: أحدهما: لا يجوز لأنه إذا لم يسترق الحمل لم يسترق الحامل ألا ترى أنه لما لم يجز بيع الحر لم يجز بيع الحامل به والثاني: أنه يجوز لأنها حربية لا أمان لها.

Karena Nabi SAW mengepung Bani Qurayzhah, lalu dua putra Syu‘ay‘ah masuk Islam, maka keduanya melindungi dengan keislaman mereka harta dan anak-anak mereka. Dan karena ia seorang Muslim, maka tidak boleh diperbudak sebagaimana (tidak bolehnya memperbudak) seorang ayah. Dan jika ada janin dari seorang wanita ḥarbiyyah, maka tidak boleh diperbudak karena dihukumi sebagai Muslim, maka tidak diperbudak sebagaimana anak kecil. Adapun apakah boleh memperbudak wanita hamil, maka terdapat dua wajah:

Pertama, tidak boleh, karena jika janinnya tidak boleh diperbudak, maka ibunya pun tidak boleh diperbudak. Tidakkah engkau melihat bahwa ketika tidak boleh menjual orang merdeka, maka tidak boleh menjual wanita hamil dengannya?

Kedua, boleh, karena ia seorang ḥarbiyyah yang tidak memiliki perlindungan keamanan.

فصل: وإن أسلم رجل وله ولد صغير تبعه الولد في الإسلام لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ} وإن أسلمت امرأة ولها ولد صغير تبعها في الإسلام لأنها أحد لأبوين فتبعها الولد في الإسلام كالأب وإن أسلم أحدهما: والولد حمل تبعه في الإسلام لأنه لا يصح إسلامه بنفسه فتبع المسلم منهما كالولد وإن أسلم أحد الأبوين دون الآخر تبع الولد المسلم منهما لأن الإسلام أعلى فكان إلحاقه بالمسلم منهما أولى وإن لم يسلم واحد منهما فالولد كافر لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أن ينصرانه أو يمجسانه” .

PASAL: Jika seorang laki-laki masuk Islam dan ia memiliki anak kecil, maka anak tersebut mengikuti ayahnya dalam Islam, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka}. Dan jika seorang perempuan masuk Islam dan ia memiliki anak kecil, maka anak itu mengikuti ibunya dalam Islam, karena ia adalah salah satu dari kedua orang tua, maka anak itu mengikuti dalam Islam sebagaimana mengikuti ayah. Dan jika salah satu dari keduanya masuk Islam sementara anak itu masih berupa janin, maka ia mengikuti keislaman orang tuanya yang masuk Islam, karena ia belum sah masuk Islam sendiri, maka ia mengikuti yang muslim dari keduanya sebagaimana anak kecil. Dan jika hanya salah satu dari kedua orang tua yang masuk Islam, maka anak itu mengikuti yang muslim di antara keduanya, karena Islam itu lebih tinggi, maka mengikutkan kepada yang muslim lebih utama. Dan jika tidak ada satu pun dari keduanya yang masuk Islam, maka anak itu dihukumi kafir, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

فإن بلغ وهو مجنون فأسلم أحد أبويه تبعه في الإسلام لأنه لا يصح إسلامه بنفسه فتبع الأبوين في الإسلام كالطفل وإن بلغ عاقلاً ثم جن ثم أسلم أحد أبويه ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يتبعه لأنه زال حكم الإتباع ببلوغه عاقلاً فلا يعود إليه والثاني: أنه يتبعه وهو المذهب لأنه لا يصح إسلامه بنفسه فتبع أبويه في الإسلام كالطفل.

Jika ia telah baligh dalam keadaan gila, lalu salah satu dari kedua orang tuanya masuk Islam, maka ia mengikuti keislaman orang tuanya, karena tidak sah Islamnya sendiri, maka ia mengikuti kedua orang tuanya dalam Islam sebagaimana anak kecil. Dan jika ia telah baligh dalam keadaan berakal, lalu menjadi gila, kemudian salah satu dari orang tuanya masuk Islam, maka dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama, ia tidak mengikutinya, karena hukum mengikuti telah gugur dengan balighnya dalam keadaan berakal, maka tidak kembali lagi.

Kedua, ia mengikutinya, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat (al-madhhab), karena ia tidak sah masuk Islam sendiri, maka ia mengikuti kedua orang tuanya dalam Islam sebagaimana anak kecil.

فصل: وإن سبى المسلم صبياً فإن كان معه أحد أبويه كان كافراً لما ذكرناه من حديث أبي هريرة رضي الله عنه وإن سبى وحده ففيه وجهان: أحدهما: إنه باق على حكم كفره ولا يتبع السابي في الإسلام وهو ظاهر المذهب لأن يد السابي يد ملك فلا توجب إسلامه كيد المشتري والثاني: أنه يتبعه لأنه لا يصح إسلامه بنفسه ولا معه من يتبعه في كفره فجعل تابعاً للسابي لأنه كالأب في حضانته وكفالته فتبعه في الإسلام.

PASAL: Jika seorang muslim menawan seorang anak kecil, maka jika anak itu bersama salah satu dari kedua orang tuanya, ia tetap kafir sebagaimana yang telah kami sebutkan dari hadis Abu Hurairah RA. Namun jika ia tertawan sendirian, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: ia tetap pada hukum kekufurannya dan tidak mengikuti orang yang menawannya dalam keislaman. Ini adalah pendapat yang tampak dari mazhab, karena tangan orang yang menawan adalah tangan kepemilikan, sehingga tidak mewajibkan keislaman, sebagaimana tangan pembeli.

Pendapat kedua: ia mengikuti (orang yang menawan) dalam keislaman, karena ia tidak sah masuk Islam dengan sendirinya dan tidak ada yang bisa diikutinya dalam kekufuran, maka ia dijadikan pengikut orang yang menawan karena kedudukannya seperti ayah dalam pengasuhan dan tanggungan, maka ia pun mengikutinya dalam keislaman.

فصل: وإن وصف الإسلام صبي عاقل من أولاد الكفار لم يصح إسلامه على ظاهر المذهب لما روى علي كرم الله وجهه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون – المغلوب على عقله – حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم”. ولأنه غير مكلف فلم يصح إسلامه بنفسه كالمجنون فعلى هذا يحال بينه وبين أهله من الكفار إلى أن يبلغ

PASAL: Jika seorang anak kecil yang berakal dari anak-anak orang kafir menyatakan keislaman, maka tidak sah keislamannya menurut ẓāhir al-madhhab, berdasarkan riwayat dari ‘Alī Karramallāhu Wajhah bahwa Nabi SAW bersabda: “Pena (taklif) diangkat dari tiga golongan: dari orang gila—yang akalnya hilang—hingga sadar, dari orang tidur hingga bangun, dan dari anak kecil hingga ia bermimpi (baligh).” Dan karena ia belum mukallaf, maka tidak sah keislamannya sendiri sebagaimana orang gila. Maka berdasarkan hal ini, ia dipisahkan dari keluarganya yang kafir hingga ia baligh.

لأنه إذا ترك معهم خدعوه وزهدوه في الإسلام فإن بلغ ووصف الإسلام حكم بإسلامه وإن وصف الكفر هدد وضرب وطولب بالإسلام وإن أقام على الكفر رد إلى أهله من الكفار ومن أصحابنا من قال يصح إسلامه لأنه يصح صومه وصلاته فصح إسلامه كالبالغ.

Karena jika ia dibiarkan bersama mereka, niscaya mereka akan menipunya dan membuatnya membenci Islam. Maka jika ia telah baligh dan menyatakan keislaman, dihukumi Islam. Dan jika ia menyatakan kekufuran, maka ia diancam, dipukul, dan dituntut untuk masuk Islam. Jika ia tetap dalam kekufuran, maka dikembalikan kepada keluarganya yang kafir. Dan sebagian dari kalangan kami berpendapat bahwa sah Islamnya, karena sah puasa dan shalatnya, maka sah pula Islamnya sebagaimana orang yang sudah baligh.

فصل: وإن سبيت امرأة ومعها ولد صغير لم يجز التفريق بينهما وقد بيناه في البيع وإن سبى رجل ومعه ولد صغير ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجوز التفريق بينهما لأنه أحد الأبوين فلم يفرق بينه وبين الولد الصغير كالأم والثاني: أنه يجوز أن يفرق بينهما لأن الأب لا بد أن يفارقه في الحضانة لأنه لا يتولى حضانته بنفسه وإنما يتولاها غيره فلم يحرم التفريق بينهما بخلاق الأم فإنها لا تفارقه في الحضانة فإنه إذا فرق بينهما ولهت بمفارقته فحرم التفريق بينهما.

PASAL: Jika seorang perempuan ditawan bersama anak kecilnya, maka tidak boleh dipisahkan antara keduanya, dan hal ini telah dijelaskan dalam bab jual beli. Jika seorang laki-laki ditawan bersama anak kecilnya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak boleh dipisahkan antara keduanya karena ia adalah salah satu dari kedua orang tua, maka tidak dipisahkan dari anak kecil sebagaimana ibu.

Kedua: boleh dipisahkan antara keduanya karena ayah pada dasarnya akan berpisah dengannya dalam urusan ḥaḍānah, karena ia tidak mengurus ḥaḍānah secara langsung, melainkan orang lain yang mengurusnya. Maka tidak diharamkan memisahkan keduanya, berbeda dengan ibu, karena ia tidak berpisah dari anak dalam ḥaḍānah, dan jika dipisahkan keduanya maka ibu akan menderita karena perpisahan tersebut, maka diharamkan memisahkan antara keduanya.

فصل: وإن سبى الزوجان أو أحدهما: انفسخ النكاح لما روى أبو سعيد الخدري رضي الله عنه قال: أصبنا نساء يوم أو طاس فكرهوا أن يقعوا عليهن فأنزل الله تعالى: {وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} فاستحللناهن قال الشافعي رحمه الله: سبى رسول الله صلى الله عليه وسلم أو طاس وبني المصطلق وقسم الفيء وأمر أن لا توطأ حامل حتى تضع ولا حائل حتى تحيض ولم يسأل عن ذات زوج ولا غيرها

PASAL: Jika suami istri atau salah satu dari keduanya ditawan, maka nikahnya menjadi fasakh. Karena telah diriwayatkan dari Abū Saʿīd al-Khudrī RA bahwa ia berkata: Kami memperoleh tawanan wanita pada hari perang Autās, lalu mereka tidak suka untuk menggauli mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “wal-muḥṣanātu min an-nisāʾi illā mā malakat aymānukum” (QS. an-Nisāʾ: 24), lalu kami pun menghalalkan mereka. Imām al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: Rasulullah SAW menawan Autās dan Banī al-Muṣṭaliq, lalu membagi faiʾ dan memerintahkan agar jangan digauli wanita yang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil sampai haid. Dan beliau tidak menanyakan apakah mereka memiliki suami atau tidak.

وإن كان الزوجان مملوكين فسبيا أو أحدهما فلا نص فيه والذي يقتضيه قياس المذهب أن لا ينفسخ النكاح لأنه لم يحدث بالسبي رق وإنما حدث انتقال الملك فلم ينفسخ النكاح كما لو انتقل الملك فيهما بالبيع ومن أصحابنا من قال ينفسخ النكاح لأنه ينفسخ النكاح كما لو انتقل الملك فيهما بالبيع ومن أصحابنا من قال ينفسخ النكاح لأنه حدث سبي يوجب الاسترقاق وإن صادف رقاً كما أن الزنى يوجب الحد وإن صادق حداً.

Dan jika suami istri keduanya adalah budak, lalu keduanya atau salah satunya ditawan, maka tidak ada nash (teks eksplisit) tentang hal ini. Namun, yang ditunjukkan oleh qiyās mazhab adalah bahwa nikahnya tidak fasakh, karena perbudakan tidak terjadi akibat penawanan, melainkan yang terjadi hanyalah perpindahan kepemilikan. Maka tidaklah fasakh nikahnya sebagaimana apabila kepemilikan atas keduanya berpindah melalui jual beli.

Dan sebagian dari kalangan kami (ulama mazhab) berpendapat bahwa nikahnya menjadi fasakh, karena terjadi penawanan yang menyebabkan perbudakan, meskipun menimpa orang yang telah menjadi budak. Sebagaimana zina menyebabkan dikenakannya ḥadd, meskipun pelakunya telah terkena ḥadd sebelumnya.

فصل: إذا دخل الجيش دار الحرب فأصابوا ما يؤكل من طعام أو فاكهة أو حلاوة واحتاجوا إليه جاز لهم أكله من غير ضمان لما روى ابن عمر رضي الله عنه قال: كنا نصيب من المغازي العسل والفاكهة فنأكله ولا نرفعه وسئل ابن أبي أوفى عن طعام خيبر فقال كان الرجل يأخذ منه قدر حاجته ولأن الحاجة تدعوا إلى ما يؤكل ولا يوجد من يشتري منه مع قيام الحرب فجاز لهم الأكل وهل يجوز لهم الأكل من غير حاجة فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي بن أبي هريرة فإنه لا يجوز كما لا يجوز في غير دار الحرب أكل مال الغير بغير إذنه من غير حاجة

PASAL: Jika pasukan memasuki dār al-ḥarb lalu mereka mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan seperti makanan, buah-buahan, atau manisan, dan mereka membutuhkannya, maka boleh bagi mereka memakannya tanpa wajib mengganti, berdasarkan riwayat dari Ibn ʿUmar RA bahwa beliau berkata: “Kami memperoleh madu dan buah-buahan dalam peperangan lalu kami memakannya dan tidak menyimpannya.” Dan Ibn Abī Awfā pernah ditanya tentang makanan Khaibar, maka beliau menjawab: “Seseorang mengambil darinya sesuai kebutuhannya.” Hal ini karena kebutuhan mendorong untuk memakan sesuatu dan tidak ada yang bisa membelinya dalam situasi perang, maka diperbolehkan bagi mereka untuk memakannya. Adapun apakah boleh memakannya tanpa adanya kebutuhan, terdapat dua pendapat: pertama, yaitu pendapat Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah, bahwa tidak boleh, sebagaimana tidak boleh memakan harta orang lain tanpa izinnya di luar dār al-ḥarb tanpa adanya kebutuhan.

والثاني: أنه يجوز وهو ظاهر المذهب وهو قول أكثر أصحابنا لما روى عبد الله بن مغفل رضي الله عنه قال: دلي جراب من شحم يوم خيبر فأتيته فالتزمته ثم قلت لا أعطي من هذا أحداً اليوم شيئاً فالتقت فإذا برسول الله صلى الله عليه وسلم يتبسم إلي ولو لم يجز أكل ما زاد على الحاجة لنهاه عن منع ما زاد على الحاجة ويخالف طعام الغير بأن ذلك لا يجوز أكله من غير ضرورة وهذا يجوز أكله من غير ضرورة قطعاً وطعام الغير يأكله بعوض وهذا يأكله بغير عوض فجاز أكله من غير حاجة ولا يجوز لأحد منهم أن يبيع شيئاً منه لأن حاجته إلى الأكل دون البيع

dan pendapat kedua: bahwa hal itu boleh, dan inilah yang tampak dalam mazhab, serta merupakan pendapat mayoritas para sahabat kami, berdasarkan riwayat dari ʿAbdullāh bin Mughaffal RA bahwa ia berkata: “Sebuah kantong berisi lemak jatuh pada hari Khaibar, lalu aku mendatanginya dan memeluknya, kemudian aku berkata: ‘Hari ini aku tidak akan memberikan sedikit pun dari ini kepada siapa pun.’ Maka aku menoleh, ternyata Rasulullah SAW sedang tersenyum kepadaku.” Seandainya tidak boleh memakan lebih dari sekadar kebutuhan, tentu beliau akan melarang tindakan menahan kelebihan dari kebutuhan tersebut. Hal ini berbeda dengan makanan milik orang lain, karena tidak boleh dimakan kecuali dalam keadaan darurat, sedangkan ini boleh dimakan meskipun tanpa darurat secara pasti. Makanan milik orang lain hanya boleh dimakan dengan imbalan, sedangkan yang ini dimakan tanpa imbalan, maka boleh dimakan meskipun tanpa kebutuhan. Namun tidak boleh bagi salah satu dari mereka menjual sesuatu darinya, karena kebutuhannya adalah untuk dimakan, bukan untuk dijual.

وإن باع شيئاً منه نظرت فإن باعه من بعض الغانمين وسمله إليه صار المشتري أحق به لأنه من الغانمين وقد حصل في يده ما يجوز له أخذه للأكل فكان أحق به فإن رده إلى البائع صار البائع أحق به لما ذكرناه في المشتري وإن باعه من غير الغانمين وسلمه إليه وجب على المشتري رده إلى الغنيمة لأنه ابتاعه لمن لا يملك بيعه وليس هو من الغانمين فيمسكه لحقه فوجب رده إلى الغنيمة.

Jika seseorang menjual sesuatu darinya, maka perlu dilihat: jika ia menjualnya kepada sebagian dari para ghānimīn dan menyerahkannya kepadanya, maka pembeli lebih berhak atasnya, karena ia termasuk ghānimīn dan telah memperoleh di tangannya sesuatu yang boleh ia ambil untuk dimakan, maka ia lebih berhak atasnya. Jika ia mengembalikannya kepada penjual, maka penjual lebih berhak atasnya sebagaimana disebutkan dalam kasus pembeli.

Namun, jika ia menjualnya kepada selain ghānimīn dan menyerahkannya kepadanya, maka wajib bagi pembeli untuk mengembalikannya kepada ghanimah, karena ia telah membelinya dari orang yang tidak memiliki hak untuk menjualnya, dan pembeli bukan termasuk ghānimīn, maka ia menahannya tanpa hak, sehingga wajib dikembalikan kepada ghanimah.

فصل: ويجوز أن يعلف منه المركوب وما يحمل عليه رحله من البهائم لأن حاجته إليه كحاجته ولا يدهن منه شعره ولا شعر البهائم لأنه لا حاجة به إليه ولا يعلف منه ما معه من الجوارح كالصقر والفهد لأنه لا حاجة به إليه وإن خرج إلى دار الإسلام ومعه بقية من الطعام ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يلزمه ردها في المغنم لأنه مال اختص به من الغنيمة فلا يجب رده فيها كالسلب

PASAL: Dan boleh memberi makan darinya (yaitu dari الغنيمة) kepada hewan tunggangan dan hewan yang digunakan untuk membawa barang bawaannya karena kebutuhannya terhadap makanan tersebut seperti kebutuhannya sendiri. Dan tidak boleh mengoleskan minyak darinya ke rambutnya atau ke rambut hewan-hewan tersebut karena tidak ada kebutuhan terhadap hal itu. Dan tidak boleh pula memberi makan darinya kepada binatang buas yang dibawanya seperti elang dan cheetah, karena tidak ada kebutuhan terhadapnya.

Dan jika ia keluar menuju negeri Islam dengan membawa sisa makanan, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: Tidak wajib mengembalikannya ke dalam harta rampasan perang, karena itu adalah harta yang menjadi hak khusus baginya dari harta rampasan, maka tidak wajib dikembalikan seperti salab.

والثاني: أنه يجب ردها لأنه إنما أجيز أخذه في دار الحرب للحاجة ولا حاجة إليه في دار الإسلام ومن قال إن كان كثيراً وجب رده قولاً واحداً وإن كان قليلاً فعلى القولين والصحيح هو الأول ولا يجوز تناول ما يصاب من الأدوية من غير حاجة وإن دعت الحاجة إليه جاز تناوله ويجب ضمانه لأنه ليس من الأطعمة التي يحتاج إليها في العادة ولا يجوز له لبس ما يصاب من الثياب

dan pendapat kedua: Wajib mengembalikannya karena diizinkan mengambilnya di daerah perang hanyalah karena kebutuhan, sedangkan di negeri Islam tidak ada lagi kebutuhan terhadapnya.

Dan menurut sebagian ulama: Jika jumlahnya banyak, maka wajib dikembalikan menurut satu pendapat; dan jika sedikit, maka ada dua pendapat. Dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama.

Dan tidak boleh memanfaatkan obat-obatan yang didapatkan kecuali karena kebutuhan. Jika ada kebutuhan untuk menggunakannya, maka boleh menggunakannya dan wajib menggantinya, karena ia bukan termasuk makanan yang biasa dibutuhkan. Dan tidak boleh baginya memakai pakaian yang didapatkan.

لما روى رويفع بن ثابت الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يركب دابة من فيء المسلمين حتى إذا أعجفها ردها فيه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يلبس ثوباً من فيء المسلمين حتى إذا أخلقه رده فيه” . ولأنه لا يحتاج إليه في العادة فإن لبسها لزمته أجرته لأنه كالغاصب.

Karena telah diriwayatkan dari Ruwayfi‘ bin Ṯābit al-Anṣārī RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menunggangi hewan dari fai’ kaum Muslimin hingga apabila ia telah melemahkannya, ia mengembalikannya ke dalam fai’. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia mengenakan pakaian dari fai’ kaum Muslimin hingga apabila ia telah membuatnya lusuh, ia mengembalikannya ke dalam fai’.”

Dan karena ia tidak membutuhkannya dalam keadaan biasa. Maka jika ia memakainya, wajib atasnya membayar sewanya karena ia seperti seorang perampas.

فصل: ويجوز ذبح ما يؤكل للأكل ومن أصحابنا من قال لا يجوز والمذهب الأول لأنه مما يؤكل في العادة فهو كسائر الطعام ولا يجوز أن يعمل من أهبها حذاء ولا سقاء ولا دلاء ولا فراء فإن اتخذ منه شيئاً من ذلك وجب رده في المغنم وإن زادت بالصنعة قيمته لم يكن له في الزيادة حق وإن نقص لزمه أرش ما نقص لأنه كالغاصب.

PASAL: Dan boleh menyembelih hewan yang boleh dimakan untuk dimakan. Sebagian dari para sahabat kami berkata tidak boleh, dan pendapat yang menjadi mazhab adalah pendapat pertama, karena termasuk sesuatu yang biasa dimakan, maka hukumnya seperti makanan yang lain. Dan tidak boleh membuat dari kulitnya alas kaki, tempat air, ember, atau pakaian bulu. Jika ia membuat sesuatu dari itu, maka wajib dikembalikan ke dalam ghanimah. Jika nilainya bertambah karena proses pembuatannya, maka ia tidak berhak atas tambahan tersebut. Jika nilainya berkurang, maka ia wajib mengganti selisih kerugiannya, karena ia seperti seorang ghāṣib (perampas).

فصل ك وإن أصابوا كتباً فيها كفر لم يجز تركها على حالها لأن قراءتها والنظر فيها معصية وإن أصابوا كتباً والإنجيل لم يجز تركها على حالها أنه لا حرمة لها لأنها مبدلة فإن أمكن الانتفاع بما كتب عليه إذا غسل كالجلود غسل وقسم مع الغنيمة وإن لم يمكن الانتفاع به إذا غسل كالورق مزق ولا يحرق لأنه إذا حرق لم يكن له قيمة فإذا مزق كانت له قيمة فلا يجوز إتلافه على الغانمين.

PASAL: Dan jika mereka mendapatkan kitab-kitab yang berisi kekufuran, maka tidak boleh membiarkannya dalam keadaannya karena membacanya dan melihatnya adalah maksiat. Dan jika mereka mendapatkan kitab-kitab serta Injīl, maka tidak boleh membiarkannya dalam keadaannya karena tidak ada kehormatan baginya, sebab telah mengalami perubahan.

Jika memungkinkan untuk memanfaatkan media tulisannya setelah dicuci, seperti kulit, maka dicuci dan dibagikan bersama harta rampasan. Namun jika tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan setelah dicuci, seperti kertas, maka harus dikoyak dan tidak boleh dibakar, karena jika dibakar maka tidak bernilai lagi, sedangkan jika dikoyak ia masih memiliki nilai. Maka tidak boleh merugikan para perampas (harta rampasan).

فصل: وإذا أصابوا خمراً وجب إراقتها كما يجب إذا أصيبت في يد مسلم فإن أصابوا خنزيراً فقد نقل في سير الواقدي أنه يقتل إن كان به عدو فمن أصحابنا من قال إن كان فيه عدو قتل لما فيه من الضرر وإن لم يكن فيه عدو لم يقتل لأنه لا ضرر فيه ومنهم من قال: يجب قتله بكل حال لأنه يحرم الانتفاع به فوجب إتلافه كالخمر وإن أصابوا كلباً فإن كان عقوراً قتل لما فيه من الضرر وإن كان فيه منعة دفع إلى من ينتفع به من الغانمين أومن أهل الخمس وإن لم يكن فيهم من يحتاج إليه خلي لأن اقتناءه لغير حاجة محرم وقد بيناه في البيوع.

PASAL: Jika mereka mendapatkan khamr, maka wajib ditumpahkan sebagaimana wajib ditumpahkan jika didapati di tangan seorang Muslim. Jika mereka mendapatkan babi, maka telah dinukil dalam Siyar al-Wāqidī bahwa ia dibunuh jika ada musuh bersamanya. Maka sebagian dari sahabat kami berkata: jika ada musuh bersamanya, maka dibunuh karena adanya bahaya; dan jika tidak ada musuh bersamanya, maka tidak dibunuh karena tidak ada bahaya padanya. Dan sebagian dari mereka berkata: wajib dibunuh dalam segala keadaan karena haram mengambil manfaat darinya, maka wajib dimusnahkan seperti khamr. Dan jika mereka mendapatkan anjing, maka jika anjing itu ganas, dibunuh karena membahayakan; dan jika ia berguna sebagai penjaga, maka diberikan kepada siapa saja dari kalangan para pejuang atau dari ahli khumus yang dapat mengambil manfaat darinya. Jika tidak ada di antara mereka yang membutuhkan, maka dibiarkan, karena memeliharanya tanpa kebutuhan adalah haram, dan hal itu telah kami jelaskan dalam bab jual beli.

فصل: وإن أصابوا مباحاً لم يمكله الكفار كالصيد والحجر والحشيش والشجر فهو لمن أخذه كما لو وجده في دار الإسلام وإن وجد ما يمكن أن يكون للمسلمين ويمكن أن يكون للكفار كالسيف والقوس عرف سنة فإن لم يوجد صاحبه فهو غنيمة.

PASAL: Dan jika mereka mendapatkan sesuatu yang mubah yang tidak dimiliki oleh orang kafir, seperti binatang buruan, batu, rumput, dan pohon, maka itu menjadi milik siapa saja yang mengambilnya, sebagaimana jika ditemukan di negeri Islam.

Dan jika mereka mendapatkan sesuatu yang mungkin milik kaum Muslimin dan mungkin juga milik orang-orang kafir, seperti pedang dan busur, maka diumumkan selama setahun. Jika tidak ditemukan pemiliknya, maka ia menjadi ghanīmah.

فصل: وإن فتحت أرض عنوة وأصيب فيها موات فإن لم يمنع الكفار عنها فهو لمن أحياه كموات دار الإسلام وإن منعوا عنها كان للغانمين لأنه يثبت لهم بالمنع عنها حق التملك فانتقل ذلك الحق إلى الغانمين كما لو تحجروا مواتاً للإحياء ثم صارت الدار للمسلمين وإن فتحت صلحاً على أن تكون الأرض لهم لم يجز للمسلمين أن يملكوا فيها مواتاً بالإحياء لأن الدار لهم فلم يملك المسلم فيها بالإحياء.

PASAL: Jika suatu negeri dibuka dengan cara ‘anwatan, lalu didapati padanya tanah mati (amwāt), maka jika orang-orang kafir tidak menghalangi dari tanah tersebut, maka tanah itu menjadi milik siapa pun yang menghidupkannya, seperti tanah mati di negeri Islam. Namun jika mereka menghalangi darinya, maka tanah itu menjadi milik para ghānimīn, karena dengan adanya penghalangan tersebut, mereka memperoleh hak kepemilikan, lalu hak itu berpindah kepada para ghānimīn, sebagaimana jika mereka telah menandai tanah mati untuk dihidupkan, lalu negeri itu menjadi milik kaum muslimin. Jika negeri dibuka melalui ṣulḥ dengan syarat bahwa tanahnya tetap menjadi milik mereka, maka tidak boleh bagi kaum muslimin memiliki tanah mati di dalamnya melalui proses menghidupkannya, karena negeri itu milik mereka, sehingga seorang muslim tidak berhak memilikinya melalui ihyā’.

فصل: وما أصاب المسلمين من مال الكفار وخيف أن يرجع إليهم ينظر فيه فإن كان غير الحيوان أتلف حتى لا ينتفعوا به ويتقووا به على المسلمين وإن كان حيواناً لم يجز إتلافه من غير ضرورة لما روى عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من قتل عصفوراً فما فوقها بغير حقها سأله الله تعالى عن قتلها قيل: يا رسول الله وما حقها؟ قال: أن تذبحها فتأكلها ولا تقطع رأسها فترمي بها”

PASAL: Apa yang diperoleh kaum muslimin dari harta orang-orang kafir dan dikhawatirkan akan kembali kepada mereka, maka dilihat keadaannya. Jika berupa selain hewan, wajib dimusnahkan agar mereka tidak dapat mengambil manfaat darinya dan menggunakannya untuk memperkuat diri menghadapi kaum muslimin. Namun jika berupa hewan, tidak boleh dimusnahkan kecuali karena darurat. Karena diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa membunuh seekor burung pipit atau yang lebih besar dari itu tanpa haknya, niscaya Allah akan menanyakannya tentang pembunuhan itu.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, apa haknya?” Beliau bersabda: “Engkau menyembelihnya lalu memakannya, dan janganlah engkau memotong kepalanya lalu membuangnya.”

وإن دعت إلى قتله ضرورة بأن كان الكفار لا خيل لهم وما أصابه المسلمون خيل وخيف أن يأخذوه ويقاتلونا علي جاز قتله لأنه إذا لم يقتل أخذه الكفار وقاتلوا به المسلمين.

Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk membunuhnya—yaitu apabila orang-orang kafir tidak memiliki kuda, sedangkan yang diperoleh kaum muslimin adalah kuda, dan dikhawatirkan mereka akan merebutnya lalu memerangi kita dengannya—maka boleh dibunuh. Karena jika tidak dibunuh, kuda itu akan diambil oleh orang-orang kafir dan mereka akan memerangi kaum muslimin dengannya.

فصل: إذا سرق بعض الغانمين نصاباً من الغنيمة فإن كان قبل إخراج الخمس لم يقطع لمعنيين أحدهما: أن له حقاً في خمسها والثاني: أن له حقاً في أربعة أخماسها وإن سرق بعد إخراج الخمس نظرت فإن سرق من الخمس لم يقطع لأن له حقاً فيه وإن سرق من أربعة أخماسها نظرت فإن سرق قدر حقه أو دونه لم يقطع لأن له في ذلك القدر شبهة

PASAL: Jika sebagian dari para pengambil ghanīmah mencuri niṣāb dari ghanīmah, maka jika pencurian itu terjadi sebelum dikeluarkannya seperlima bagian (khums), ia tidak dipotong tangannya karena dua alasan: pertama, ia memiliki hak pada seperlimanya; kedua, ia memiliki hak pada empat perlima sisanya. Jika ia mencuri setelah khums dikeluarkan, maka perlu dilihat: jika ia mencuri dari bagian khums, ia tidak dipotong karena ia memiliki hak di dalamnya. Namun jika ia mencuri dari empat perlima bagian, maka dilihat lagi: jika ia mencuri sejumlah kadar haknya atau kurang dari itu, maka tidak dipotong, karena ia masih memiliki syubhat (alasan yang meragukan) atas bagian tersebut.

وإن كان أكثر من حقه ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقطع لأنه لا شبهة له في سرقة النصاب والثاني: أنه لا يقطع لأن حقه شائع في الجميع فلم يقطع فيه وإن كان السارق من غير الغانمين نظرت فإن كان قبل إخراج الخمس لم يقطع لأن له حقاً في خمسها وإن كان بعد أخراج الخمس فإن سرق من الخمس لم يقطع لأن فيه حقاً وإن سرق ذلك من أربعة أخماسها فإن كان في الغانمين من للسارق شبهة في ماله كالأب والابن لم يقطع لأن له شبهة فيما سرق وإن لم يكن له فيهم من له شبهة في ماله قطع لأنه لا شبهة له فيما سرق.

Dan jika (yang dicuri) lebih dari bagiannya, maka ada dua pendapat:
Pertama: dipotong tangannya karena tidak ada syubhat baginya dalam mencuri satu niṣāb.
Kedua: tidak dipotong karena haknya bersifat menyebar (tidak ditentukan) dalam seluruh ghanīmah, maka tidak dipotong karenanya.

Dan jika pencurinya bukan dari kalangan para ghanimīn, maka dilihat keadaannya:
Jika (mencuri) sebelum dikeluarkan khumus, maka tidak dipotong karena ia memiliki hak dalam seperlimanya.
Dan jika (mencuri) setelah dikeluarkan khumus, maka jika ia mencuri dari bagian khumus, tidak dipotong karena ia memiliki hak di dalamnya.
Dan jika ia mencuri dari empat perlimanya, maka jika di antara para ghanimīn terdapat orang yang dengannya si pencuri memiliki syubhat terhadap hartanya—seperti ayah atau anak—maka tidak dipotong karena ada syubhat dalam barang yang dicuri.
Namun jika ia tidak memiliki hubungan syubhat dengan siapa pun di antara mereka, maka dipotong karena tidak ada syubhat baginya dalam apa yang dicurinya.

فصل: وإن وطئ بعض الغانمين جارية من الغنيمة لم يجب عليه الحد وقال أبو ثور: يجب وهذا خطأ لأن له فيها شبهة وهو حق التملك ويجب عليه المهر لأنه وطء يسقط فيه الحد على الموطوءة للشبهة فوجب المهر على الواطئ كالوطء في النكاح الفاسد وإن أحبلها ثبت النسب للولد وينقد الولد حراً للشبهة وهل تقسم الجارية في الغنيمة أو تقوم على الواطئ فيه طريقان: من أصحابنا من قال: إن قلنا إنه إذا ملكها صارت أم ولد قومت عليه

PASAL: Dan apabila sebagian dari para pengambil ghanīmah menyetubuhi seorang jariyah dari harta rampasan perang, maka tidak wajib atasnya ḥadd, dan Abū Ṯaur berkata: wajib, dan ini adalah kesalahan, karena ia memiliki syubhat padanya, yaitu hak kepemilikan. Dan wajib atasnya membayar mahar, karena itu adalah persetubuhan yang menggugurkan ḥadd terhadap perempuan yang disetubuhi karena adanya syubhat, maka wajib atas lelaki yang menyetubuhi membayar mahar, sebagaimana dalam pernikahan yang rusak (nikāḥ fāsid). Jika ia menghamilinya, maka nasab anaknya tetap sah, dan anak tersebut dinyatakan merdeka karena adanya syubhat. Apakah jariyah tersebut dibagikan dalam ghanīmah atau dinilai dan dibebankan pada lelaki yang menyetubuhinya, maka terdapat dua metode: sebagian sahabat kami mengatakan: jika kita katakan bahwa apabila ia memilikinya maka ia menjadi umm walad, maka jariyah itu dinilai atasnya.

وإن قلنا إنها لا تصير أم ولد له لم تقوم عليه وقال أبو إسحاق تقوم على القولين لأنه لا يجوز قمستها كما لا يجوز بيعها ولا يجوز تأخير القسمة لأن فيه إضراراً بالغانمين فوجب أن تقوم وإن وضعت فهل تلزمه قيمة الولد ينظر فيه فإن كان قد قومت عليه لم تلزمه لأنها تضع في ملكه وإن لم تكن قومت عليه لزمه قيمة الولد لأنها وضعته في غير ملكه.

Dan jika kita katakan bahwa jariyah tersebut tidak menjadi umm walad baginya, maka tidak dinilai atasnya. Dan Abū Isḥāq berkata: jariyah itu tetap dinilai menurut kedua pendapat, karena tidak boleh dibagikan sebagaimana tidak boleh dijual, dan tidak boleh mengakhirkan pembagian karena hal itu memberi mudarat kepada para pengambil ghanīmah, maka wajiblah ia dinilai.

Dan jika jariyah tersebut melahirkan, maka apakah wajib atas lelaki tersebut membayar nilai anak—maka hal itu dilihat: jika jariyah itu telah dinilai atasnya, maka tidak wajib baginya membayar nilai anak, karena anak itu lahir dalam kepemilikannya; namun jika belum dinilai atasnya, maka wajib baginya membayar nilai anak, karena anak tersebut lahir bukan dalam miliknya.

فصل: ومن قتل في دار الحرب قتلاً يوجب القصاص أو أتى بمعصية توجب الحد وجب عليه ما يجب في دار الإسلام لأنه لا تختلف الدارن في تحريم الفعل فلم تختلفا فيما يجب به من العقوبة.

PASAL: Siapa yang membunuh di dār al-ḥarb dengan pembunuhan yang mewajibkan qiṣāṣ, atau melakukan maksiat yang mewajibkan ḥadd, maka wajib atasnya apa yang diwajibkan di Dār al-Islām, karena kedua negeri tidak berbeda dalam pengharaman perbuatan, maka tidak pula berbeda dalam hukuman yang wajib karenanya.

فصل: وإن تجسس رجل من المسلمين للكفار لم يقتل لما روي عن علي كرم الله وجهه قال: بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا والزبير والمقداد وقال: “انطلقوا حتى تأتوا روضة خاخ فإن فيها ظعينة معها كتاب فخذوه منها” فانطلقنا حتى أتينا الروضة فإذا بالظعينة فقلنا: أخرجي الكتاب فأخرجته من عقاصها فأتينا به رسول الله صلى الله عليه وسلم

PASAL: Jika seorang muslim memata-matai untuk orang-orang kafir, maka ia tidak dibunuh. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata: Rasulullah SAW mengutusku bersama az-Zubair dan al-Miqdād, lalu bersabda: “Pergilah kalian hingga sampai di Rawḍat Khākh, karena di sana ada seorang perempuan yang membawa surat, maka ambillah surat itu darinya.” Maka kami pun pergi hingga sampai di Rawḍah, ternyata ada perempuan itu, lalu kami berkata: “Keluarkan surat itu!” Maka ia mengeluarkannya dari sanggul rambutnya, lalu kami membawanya kepada Rasulullah SAW.

فإذا فيه من حاطب ابن أبي بلتعة رضي الله عنه إلى أناس بمكة يخبرهم ببعش أمور رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “يا حاطب ما هذا” قال: يا رسول الله لا تعجل علي إنما كنت امرأ ملصقاً فأحببت أن أتخذ عندهم يداً يحمون بها قرابتي ولم أفعل ذلك ارتداداً عن ديني ولا أرضى الكفر بعد الإسلام

Maka ternyata dalam surat itu terdapat tulisan dari Ḥāṭib bin Abī Balta‘ah raḍiyallāhu ‘anhu kepada sekelompok orang di Makkah, memberitahukan kepada mereka sebagian urusan Rasulullah SAW. Maka beliau bersabda: “Wahai Ḥāṭib, apa ini?” Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, jangan tergesa-gesa terhadapku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang yang tidak punya kedudukan (di antara mereka), maka aku ingin memiliki jasa pada mereka agar mereka melindungi kerabatku. Aku tidak melakukan hal itu karena murtad dari agamaku dan aku tidak ridha dengan kekufuran setelah Islam.”

فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أما إنه قد صدق” فقال عمر: دعني يا رسول الله أضرب عنق هذا المنافق فقال: “إنه قد شهد بدراً” فقال سفيان بن عيينة فأنزل الله: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ} وقرأ سفيان إلى قوله: {فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ} .

Maka Rasulullah SAW bersabda: “Ketahuilah, sungguh ia telah berkata jujur.” Lalu ‘Umar berkata: “Biarkan aku, wahai Rasulullah, untuk memenggal leher orang munafik ini.” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya ia telah ikut serta dalam Perang Badar.” Sufyān bin ‘Uyainah berkata: Lalu Allah menurunkan firman-Nya: {Yā ayyuhallażīna āmanū lā tattakhidzū ‘aduwī wa ‘aduwwakum awliyā’} hingga firman-Nya: {faqad ḍalla sawā’a as-sabīl}.

فصل: إذا أخذ المشركون مال المسلمين بالقهر لم يملكوه وإذا استرجع منهم وجب رده إلى صاحبه لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه”. وروى عمران بن الحصين رضي الله عنه قال: أغار المشركون على سرح رسول الله صلى الله عليه وسلم فذهبوا به وذهبوا بالعضباء واسروا امرأة من المسلمين فركبتها وجعلت لله عليها إن نجاها الله لتنحرنها فقدمت المدينة وأخبرت بذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “بئس ما جزيتها لا وفاء لنذر في معصية الله عز وجل ولا فيما لا يملكه ابن آدم” .

PASAL: Jika orang-orang musyrik mengambil harta kaum muslimin dengan paksa, maka mereka tidak memilikinya, dan jika harta itu berhasil direbut kembali dari mereka, wajib dikembalikan kepada pemiliknya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.” Dan diriwayatkan dari ‘Imrān bin Ḥuṣayn RA, ia berkata: Orang-orang musyrik menyerang ternak Nabi SAW, lalu mereka membawanya serta membawa al-‘aḍbā’ dan menawan seorang perempuan dari kalangan muslimin. Perempuan itu menaiki unta tersebut dan bernazar kepada Allah bahwa jika Allah menyelamatkannya, ia akan menyembelih unta itu. Ketika sampai di Madinah dan menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Sungguh buruk balasanmu terhadap unta itu. Tidak ada nazar dalam kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla, dan tidak pula pada sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak Adam.”

فإن لم يعمل به حتى قسم دفع إلى من وقع في مهمه العوض من خمس الخمس ورد إلى صاحبه لأنه يضق نقض القمسة.

Jika tidak dijalankan (yakni harta tersebut tidak dikembalikan) hingga (harta ghanīmah) dibagi, maka diberikan kepada orang yang mendapatkannya sebagai ganti dari khumus al-khumus, dan sisanya dikembalikan kepada pemiliknya, karena pembatalan pembagian itu menyulitkan.

فصل: وإن أسر مسلماً وأطلقوه من غير شرط فله أن يغتالهم في النفس والمال لأنهم كفار لا أمان لهم وإن أطلقوه على أنه في أمان ولم يستأمنوه ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة أنه لا أمان لهم لأنهم لم يستأمنوه والثاني: وهو ظاهر المذهب أنهم في أمانه لأنهم جعلوه في أمان فوجب أن يكونوا منه في أمان وإن كان محبوساً فأطلقوه واستحلفوه أنه لا يرجع إلى دار الإسلام لم يلزمه حكم اليمين ولا كفارة عليه إذا حلف لأن ظاهره الإكراه

PASAL: Jika seorang Muslim ditawan lalu mereka (orang kafir) membebaskannya tanpa syarat, maka ia boleh mengkhianati mereka dalam hal jiwa dan harta, karena mereka orang-orang kafir yang tidak memiliki jaminan keamanan. Namun, jika mereka membebaskannya dengan keyakinan bahwa ia berada dalam perlindungan (amān) tetapi mereka tidak secara eksplisit memberikan perlindungan kepadanya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: yaitu pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah, bahwa mereka tidak memiliki perlindungan karena mereka tidak secara nyata memberikan perlindungan.

Kedua: dan ini adalah pendapat yang tampak dalam mazhab, bahwa mereka berada dalam perlindungannya karena mereka telah menempatkannya dalam keadaan aman, maka wajib hukumnya agar mereka pun berada dalam perlindungan darinya.

Dan jika ia dalam keadaan dipenjara lalu dibebaskan dengan syarat ia harus bersumpah tidak akan kembali ke dār al-islām, maka sumpah tersebut tidak mengikatnya, dan tidak ada kewajiban membayar kafarat jika ia bersumpah, karena lahiriah sumpah itu adalah paksaan.

فإن ابتدأ وحلف أنه إن أطلق لم يخرج إلى دار الإسلام ففيه وجهان: أحدهما: أنه يمين إكراه فإن خرج لم تلزمه كفارة لأنه لم يقدر على الخروج إلا باليمين فأشبه إذا حلفوه على ذلك والثاني: أنه يمين اختيار فإن خرج لزمته الكفارة لأنه بدأ بها من غير إكراه وإن أطلق ليخرج إلى دار الإسلام وشرط عليه أن يعود إليهم أو يحمل مالاً لم يلزمه العود لأن مقامه في دار الحرب لا يجوز ولا يلزمه بالشرط ما ضمن من المال لأنه ضمان من مال بغير حق والمستحب أن يحمل لهم ما ضمن ليكون ذلك طريقاً إلى إطلاق الأسرى.

Jika ia memulai sendiri dengan bersumpah bahwa jika ia dibebaskan maka ia tidak akan keluar ke dār al-islām, maka ada dua pendapat:

Pertama: bahwa itu adalah sumpah karena paksaan, maka jika ia keluar tidak wajib atasnya kafarat, karena ia tidak mampu keluar kecuali dengan sumpah, maka hal ini menyerupai keadaan jika mereka memaksanya untuk bersumpah atas hal tersebut.

Kedua: bahwa itu adalah sumpah dengan kehendak sendiri, maka jika ia keluar, wajib atasnya kafarat karena ia memulainya tanpa adanya paksaan.

Dan jika ia dibebaskan untuk keluar ke dār al-islām dengan syarat ia harus kembali kepada mereka atau membawa harta, maka tidak wajib atasnya untuk kembali, karena menetap di dār al-ḥarb tidak diperbolehkan. Dan tidak wajib atasnya menunaikan harta yang ia janjikan, karena itu merupakan jaminan atas harta tanpa hak.

Namun yang disunnahkan adalah agar ia membawa harta yang telah ia janjikan, agar hal itu menjadi jalan untuk membebaskan para tawanan.

باب الأنفال
يجوز لأمير الجيش أن ينفل لمن فعل فعلاً يفضي الى الظفر بالعدو كالتجسيس والدلالة على طريق أو قلعة أو التقدم بالدخول الى دار الحرب أو الرجوع إليها بعد خروج الجيش منها لما روى عبادة ابن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان ينفل في البدأة الربع وفي القفول الثلث وتقدير النفل الى رأي أمير الجيش لأنه بذل لمصلحة الحرب فكان تقديره الى رأي الأمير ويكون ذلك على قدر العمل لأن النبي صلى الله عليه وسلم جعل في البدأة الربع وفي القفول الثلث

PASAL ANFAL

Boleh bagi amir pasukan untuk memberikan nafal kepada orang yang melakukan suatu perbuatan yang mengantarkan kepada kemenangan atas musuh, seperti memata-matai, menunjukkan jalan atau benteng, mendahului masuk ke dār al-ḥarb, atau kembali ke dalamnya setelah pasukan keluar darinya. Karena telah diriwayatkan dari ‘Ubādah bin al-Ṣāmit RA bahwa Rasulullah SAW dahulu memberikan nafal pada awal pertempuran sebesar seperempat dan pada saat kembali sebesar sepertiga. Penentuan kadar nafal diserahkan kepada pendapat amir pasukan karena itu adalah pemberian demi kemaslahatan perang, maka penentuannya dikembalikan kepada pendapat amir. Dan itu disesuaikan dengan kadar amal, karena Nabi SAW menetapkan pada awal pertempuran sebesar seperempat dan pada saat kembali sebesar sepertiga.

لان التغرير في القفول أعظم لأنه يدخل إلى دار الحرب والعدو منه على حذر وفي البدأة يدخل والعدو منه على غير حذر ويجوز شرط النفل من بيت مال المسلمين ويجوز شرطه من المال الذي يؤخذ من المشركين فإن جعل في بيت مال المسلمين كان ذلك من خمس الخمس لما روى سعيد بن المسيب قال: كان الناس يعطون النفل من الخمس ولأنه مال يصرف في مصلحة فكان من خمس الخمس ولا يجوز أن يكون مجهولاً

Karena membahayakan diri pada saat kembali (dari pertempuran) lebih besar, sebab ia masuk ke dār al-ḥarb sementara musuh dalam keadaan waspada terhadapnya. Adapun pada saat awal (berangkat), ia masuk sementara musuh tidak dalam keadaan waspada terhadapnya.

Boleh menetapkan nafal dari Bayt Māl al-Muslimīn, dan boleh pula menetapkannya dari harta yang diambil dari kaum musyrik. Jika nafal diambil dari Bayt Māl al-Muslimīn, maka itu diambil dari khumus al-khumus, berdasarkan riwayat dari Sa‘īd bin al-Musayyab yang berkata: Dahulu orang-orang diberikan nafal dari khumus. Dan karena itu adalah harta yang disalurkan untuk kemaslahatan, maka diambil dari khumus al-khumus. Dan tidak boleh nafal itu dalam keadaan majhūl (tidak diketahui kadarnya).

لأنه عوض في عقد لا تدعوا الحاجة فيه الى الجهل به فلم يجز أن يكون مجهولاً لأنه عوض في عقد لا تدعوا الحاجة فيه الى الجهل به فلم يجز أن يكون مجهولاً كالجهل في رد الآبق وإن كان النفل من مال الكفار جاز أن يكون مجهولاً لأن النبي صلى الله عليه وسلم جعل في البدأة الربع وفي القفول الثلث وذلك جزء من غنيمة مجهولة.

Karena nafal adalah imbalan dalam suatu akad yang tidak ada kebutuhan untuk menjadikannya majhūl (tidak diketahui), maka tidak boleh ia dalam keadaan majhūl—sebagaimana larangan ketidaktahuan dalam akad pengembalian budak yang melarikan diri.

Namun jika nafal itu berasal dari harta kaum kafir, maka boleh dalam keadaan majhūl, karena Nabi SAW menetapkan pada awal pertempuran sebesar seperempat dan pada saat kembali sebesar sepertiga, sedangkan itu merupakan bagian dari ghanīmah yang belum diketahui kadarnya.

فصل: وإن قال الأمير من دلني على القلعة الفلانية فله منها جارية فدله عليها رجل نظرت فإن لم تفتح القلعة لم يجب الدليل شيء ومن أصحابنا من قال: يرضخ له لدلالته والمذهب الأول لأنه لما جعل له الجارية من القلعة صار تقديره من دلني على القلعة وفتحت كانت له منها جارية لانه لا يقدر على تسليم الجارية إلا بالفتح فلم يستحق من غير الفتح شيئا وإن فتحت عنوة ولم تكن فيها جارية لم يستحق شيئاً لأنه شرط معدوم وإن كانت فيها جارية سلمت إليه ولا حق فيها للغانمين ولا لأهل الخمس لأنه استحقها بسبب سابق للفتح

PASAL

Jika amir berkata, “Siapa yang menunjukkan aku jalan ke benteng fulan, maka baginya seorang jariah dari benteng itu,” lalu seseorang menunjukkan jalannya, maka dilihat keadaannya: jika benteng tersebut tidak berhasil ditaklukkan, maka orang yang menunjukkan jalan itu tidak berhak mendapatkan apa pun. Sebagian dari kalangan kami (ulama mazhab) berpendapat bahwa ia diberi bagian kecil (raḍkh) karena jasanya menunjukkan jalan, namun pendapat yang dianggap sebagai mazhab adalah pendapat pertama. Sebab ketika amir menjanjikan seorang jariah dari benteng itu, maka maksudnya adalah: siapa yang menunjukkan aku ke benteng itu dan benteng itu berhasil ditaklukkan, maka baginya seorang jariah dari benteng tersebut. Karena tidak mungkin menyerahkan jariah kecuali setelah penaklukan, maka tidak ada yang ia peroleh tanpa penaklukan.

Jika benteng ditaklukkan secara ‘anwah (dengan kekuatan), namun tidak terdapat jariah di dalamnya, maka ia tidak berhak atas apa pun karena syaratnya tidak terpenuhi (syarat yang tidak ada). Dan jika terdapat jariah di dalamnya, maka jariah itu diserahkan kepadanya, dan para ghanim (penerima ghanīmah) maupun ahli khumus tidak memiliki hak atasnya, karena ia telah berhak atas jariah tersebut dengan sebab yang telah ada sebelum penaklukan.

وإن أسلمت الجارية قبل القدرة عليها لم يستحقها لأن إسلامها يمنع من استرقاقها ويجب له قيمتها لأن النبي صلى الله عليه وسلم صالح أهل مكة على أن يرد إليهم من جاء من المسلمات فمنعه الله عز وجل من ردهن وأمره أن يرد مهورهن وإن أسلمت بعد القدرة عليها فإن كان الدليل مسلما سلمت إليه وإن كان كافراً فإن قلنا إن الكافر يملك العبد المسلم بالشراء استحقها ثم أجبر على إزالة الملك عنها

Dan jika jariah itu masuk Islam sebelum dikuasai, maka ia tidak berhak atasnya karena Islamnya mencegah dari diperbudak. Maka wajib diberikan kepadanya (sebagai ganti) nilainya. Karena Nabi SAW berdamai dengan penduduk Mekah dengan syarat mengembalikan wanita-wanita muslimah yang datang kepada beliau, lalu Allah ‘azza wa jalla melarang beliau mengembalikan mereka dan memerintahkan untuk membayar mahar mereka.

Dan jika jariah itu masuk Islam setelah dikuasai, maka jika orang yang menunjukkan jalan itu seorang muslim, jariah tersebut diserahkan kepadanya. Namun jika ia seorang kafir, maka apabila kita berpendapat bahwa orang kafir boleh memiliki budak muslim melalui jual beli, maka ia berhak memilikinya, kemudian ia dipaksa untuk melepaskan kepemilikan atasnya.

وإن قلنا إنه لا يملك دفع إليه قيمتها وإن أسلم الدليل بعد ذلك لم يستحقها لأنه أسلم بعدما انتقل حقه إلى قيمتها وإن فتحت والجارية قد ماتت ففيه قولان: أحدهما: أن له قيمتها لأنه تعذر تسليمها فوجب قيمته كما لو أسلمت والثاني: أنه لا يجب له قيمتها لأنه غير مقدور عليها فلم يجب قيمتها كما لولم تكن فيها جارية وفتحت صلحاً نظرت فإن لم تدخل الجارية في الصلح كان الحكم فيها كالحكم إذا فتحت عنوة

Dan jika kita katakan bahwa ia tidak memilikinya, maka diberikan kepadanya nilainya. Dan jika penunjuk jalan masuk Islam setelah itu, maka ia tidak berhak atas budak perempuan itu karena ia masuk Islam setelah haknya berpindah kepada nilainya.

Dan jika wilayah itu ditaklukkan, sementara budak perempuan itu telah meninggal dunia, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa ia berhak atas nilainya karena telah terhalang penyerahannya, maka wajib nilainya sebagaimana jika ia masuk Islam.

Kedua: bahwa ia tidak berhak atas nilainya karena ia tidak lagi dapat diserahkan, maka tidak wajib nilainya sebagaimana jika tidak terdapat budak perempuan di dalamnya.

Dan jika wilayah itu ditaklukkan melalui perjanjian damai, maka diperhatikan: jika budak perempuan itu tidak termasuk dalam perjanjian damai, maka hukum atasnya seperti hukum jika wilayah itu ditaklukkan dengan kekuatan (secara ‘anwatan).

فإن دخلت في الصلح ففيه وجهان أحدهما: وهو قول أبي إسحاق إن الجارية للدليل وشرطها في الصلح لا يصح كما لو زوجت امرأة من رجل ثم زوجت من آخر والثاني: أن شرطها في الصلح صحيح لأن الدليل لو عفا عنها أمضينا الصلح فيها ولو كان فاسداً لم يمض إلا بعقد مجدد فعلى هذا إن رضي الدليل بغيرها من جواري القلعة أو رضي بقيمتها أمضينا الصلح،

Jika budak perempuan itu termasuk dalam ṣulḥ, maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa budak perempuan itu menjadi milik penunjuk jalan (al-dalīl), dan syarat tentangnya dalam ṣulḥ tidak sah, sebagaimana jika seorang perempuan dinikahkan dengan seorang lelaki, lalu dinikahkan lagi dengan lelaki lain.

Pendapat kedua, bahwa syarat tentangnya dalam ṣulḥ adalah sah, karena seandainya penunjuk jalan memaafkan haknya atas budak perempuan tersebut, maka kami akan menetapkan ṣulḥ atasnya. Dan kalau ṣulḥ itu rusak (tidak sah), maka tidak akan sah kecuali dengan akad yang baru. Berdasarkan pendapat ini, jika penunjuk jalan rela dengan budak perempuan lain dari kalangan budak-budak perempuan benteng tersebut, atau rela dengan nilai harganya, maka kami menetapkan ṣulḥ.

وإن لم يرض ورضي أهل القلعة بتسليمها فكذلك وإن امتنع أهل القلعة من دفع الجارية وامتنع الدليل من الانتقال الى البدل ردوا إلى القلعة وقد زال الصلح لأنه اجتمع أمران متنافيان وتعذر الجمع بينهما وحق الدليل سابق ففسخ الصلح ولصاحب القلعة أن يحصن القلعة كما كانت من غير زيادة وإن فتحت بعد ذلك عنوة كانت الجارية للدليل وإن لم تفتح لم يكن له شيء.

Dan jika penunjuk jalan tidak rela, sementara penduduk benteng rela menyerahkannya, maka ṣulḥ tetap berlaku. Namun jika penduduk benteng menolak menyerahkan budak perempuan itu, dan penunjuk jalan juga menolak untuk menerima ganti selainnya, maka keduanya dikembalikan ke benteng, dan ṣulḥ menjadi batal, karena telah berkumpul dua hal yang saling bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan, sementara hak penunjuk jalan lebih dahulu, maka ṣulḥ dibatalkan.

Pemilik benteng boleh memperkuat benteng sebagaimana sebelumnya, tanpa ada tambahan. Jika kemudian benteng itu ditaklukkan secara ‘anwatan (dengan kekuatan), maka budak perempuan itu menjadi milik penunjuk jalan. Namun jika tidak berhasil ditaklukkan, maka ia tidak mendapatkan apa pun.

فصل: إذا قال الأمير قبل الحرب من أخذ شيئا فهوله فقد أومأ فيه الى قولين: أحدهما: أن الشرط صحيح لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال يوم بدر: من أخذ شيئا فهوله والثاني: وهو الصحيح أنه لا يصح الشرط لأنه جزء من الغنيمة شرطه لمن لا يستحقها من غير شرط فلا يستحقه بالشرط كما لو شرطه لغير الغانمين والخبر ورد في غنائم بدر وكانت لرسول الله صلى الله عليه وسلم يضعها حيث شاء.

PASAL: Jika seorang amir berkata sebelum peperangan, “Barang siapa mengambil sesuatu maka itu miliknya,” maka hal ini mengisyaratkan dua pendapat:

Pendapat pertama: Bahwa syarat tersebut sah, karena Nabi SAW bersabda pada hari Badr, “Barang siapa mengambil sesuatu maka itu miliknya.”

Pendapat kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ: Bahwa syarat tersebut tidak sah, karena itu merupakan bagian dari ghanimah, dan ia mensyaratkannya bagi orang yang tidak berhak mendapatkannya tanpa syarat, maka tidak berhak pula mendapatkannya dengan syarat, sebagaimana jika disyaratkan untuk selain para ghānimīn. Adapun hadits itu turun berkaitan dengan ghanāʾim Badr, dan itu adalah milik Rasulullah SAW, sehingga beliau boleh meletakkannya di mana saja yang beliau kehendaki.

باب قسم الغنيمة
والغنيمة ما أخذ من الكفار بإيجاف الخيل والركاب فإن كان فيها سلب للقاتل أو مال لمسلم سلم إليه لأنه استحقه قبل الاغتنام ثم يدفع منها أجرة النقال والحافظ لأنه لمصلحة الغنيمة فقدم ثم يقسم الباقي على خمسة أخماس خمس لأهل الخمس ثم يقسم أربعة أخماسها بين الغانمين لقوله عز وجل {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ} فأضاف الغنيمة إلى الغانمين ثم جعل الخمس لأهل الخمس فدل على أن الباقي للغانمين

BAB PEMBAGIAN GHANIMAH

Ghanīmah adalah harta yang diambil dari orang-orang kafir dengan penyerbuan menggunakan kuda dan unta. Jika di dalamnya terdapat salab (barang rampasan pribadi) milik si pembunuh musuh, atau harta milik seorang Muslim, maka diserahkan kepadanya karena ia telah berhak atasnya sebelum pembagian ghanīmah. Kemudian dari ghanīmah itu dikeluarkan biaya jasa pengangkut dan penjaga, karena itu merupakan kemaslahatan bagi ghanīmah, maka diutamakan. Lalu sisa ghanīmah dibagi menjadi lima bagian: seperlima untuk para penerima khumus, dan empat perlima dibagi kepada para mujahid (para pengambil ghanīmah). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa‘lamū annamā ghanimtum min syai’in fa-anna lillāhi khumusahu wa li’r-rasūli wa li dhī al-qurbā wa al-yatāmā wa al-masākīn wa ibni as-sabīl} (QS al-Anfāl: 41). Maka Allah menisbahkan ghanīmah kepada para pengambilnya, kemudian menetapkan khumus untuk para penerima khumus, maka ini menunjukkan bahwa sisanya adalah untuk para pengambil ghanīmah.

والمستحب أن يقسم ذلك في دار الحرب ويكره تأخيرها الى دار الإسلام من غير عذر لأن النبي صلى الله عليه وسلم قسم غنائم بدر بشعب من شعاب الصفراء قريب من بدر وقسم غنائم بني المصطلق على مياههم وقسم غنائم حنين بأو طاس وهو واد من أودية حنين فإن كان الجيش رجالة سوى بينهم وإن كانوا فرساناً سوى بينهم وإن كان بعضهم فرساناً وبعضهم رجالة جعل للراجل سهماً وللفارس ثلاثة أسهم

Dan yang disunnahkan adalah agar ghanīmah dibagikan di dār al-ḥarb, dan makruh menundanya sampai ke dār al-islām tanpa uzur, karena Nabi SAW membagikan ghanīmah Perang Badar di sebuah lembah di Sha‘b aṣ-Ṣafrā’ yang dekat dengan Badar, membagikan ghanīmah Banī al-Muṣṭaliq di mata air mereka, dan membagikan ghanīmah Ḥunain di Auwṭās, yaitu sebuah lembah dari lembah-lembah Ḥunain.

Jika pasukan semuanya berjalan kaki (rijālah), maka dibagikan secara merata di antara mereka. Jika semuanya berkuda (furṣān), maka juga dibagikan secara merata di antara mereka. Namun jika sebagian pasukan berkuda dan sebagian berjalan kaki, maka diberikan satu bagian untuk yang berjalan kaki dan tiga bagian untuk yang berkuda.

لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أسهم للرجل ولفرسه ثلاثة أسهم للرجل سهم وللفرس سهمان ولا يفضل من قاتل على من لم يقاتل لأن من لم يقاتل كالمقاتل في إرهاب العدو ولأنه أرصد نفسه للقتال ولا يسهم لمركوب غير الخيل لأنه لا يلحق بالخيل في التأثير في الحرب من الكر والفر،فلم يلحق بها في السهم ويسهم للفرس العتيق وهو الذي أبواه عربيان وللبرذون وهو الذي أبواه عجميان وللمقرف وهو الذي أمه عربية وأبوه عجمي وللهجين وهو الذي أبوه عربي وأمه عجمية

Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW memberikan bagian kepada seseorang dan kudanya: tiga bagian — satu bagian untuk orangnya dan dua bagian untuk kudanya. Tidak diutamakan antara yang bertempur dengan yang tidak bertempur, karena yang tidak bertempur kedudukannya seperti yang bertempur dalam menakut-nakuti musuh, dan karena ia telah menyediakan dirinya untuk berperang.

Tidak diberikan bagian untuk tunggangan selain kuda, karena tidak sebanding dengan kuda dalam pengaruhnya terhadap peperangan — dalam hal maju dan mundur — maka tidak disamakan dengannya dalam pembagian bagian.

Diberikan bagian untuk al-faras al-‘atīq yaitu yang kedua orang tuanya adalah kuda Arab; untuk al-bardzawn, yaitu yang kedua orang tuanya non-Arab; untuk al-muqarraf, yaitu yang induknya kuda Arab dan bapaknya non-Arab; dan untuk al-hajīn, yaitu yang bapaknya kuda Arab dan induknya non-Arab.

لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “الخيل معقود في نواصيها الخير إلى يوم القيامة”  ولأنه حيوان يسهم له فلم يختلف سهمه باختلاف أبويه كالرجل وإن حضر بفرس حطم أو صرع أو أعجف فقد قال في الأم: قيل لا يسهم له وقيل يسهم له فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما: أنه لا يسهم له لأنه لا يغني غناء الخيل فلم يسهم له كالبغل

Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Al-khaylu mu‘qadun fī nawāṣīhā al-khayr ilā yawm al-qiyāmah” — “Pada ubun-ubun kuda terikat kebaikan hingga hari kiamat.” Dan karena ia adalah hewan yang diberi bagian, maka tidak berbeda pembagiannya karena perbedaan kedua induknya, sebagaimana halnya manusia.

Jika seseorang hadir dengan kuda yang ḥaṭam (pincang), atau ṣur‘i (jatuh karena penyakit), atau a‘jaf (sangat kurus), maka disebutkan dalam al-Umm: ada yang mengatakan tidak diberi bagian, dan ada yang mengatakan diberi bagian. Maka sebagian ulama dari mazhab kami mengatakan ada dua pendapat:

Pertama, tidak diberi bagian karena tidak berguna sebagaimana kuda pada umumnya, maka tidak diberi bagian seperti halnya baghal.

والثاني: يسهم له لأن ضعفه لا يسقط سهمه كضعف الرجل وقال أبو إسحاق إن أمكن القتال عليه أسهم له وإن لم يمكن القتال عليه لم يسهم له لأن الفرس يراد للقتال عليه وهذا أقيس والأول أشبه بالنص ولا يسهم للرجل لأكثر من فرس لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن الزبير حضر يوم حنين بأفراس فلم يسهم له النبي صلى الله عليه وسلم إلا لفرس واحد ولأنه لا يقاتل إلا على فرس واحد فلا يسهم لأكثر منه وإن حضر بفرس والقتال في الماء أو على حصن استحق سهمه لأنه أرهب بفرسه فاستحق سهمه كما لو حضر به القتال ولم يقاتل ولأنه قد يحتاج إليه إذا خرجوا من الماء والحصن.

Dan pendapat kedua: diberi bagian untuknya karena kelemahannya tidak menggugurkan hak bagiannya, sebagaimana kelemahan pada orang. Abu Ishaq berkata: Jika memungkinkan untuk berperang dengan kuda tersebut, maka diberi bagian; dan jika tidak memungkinkan berperang dengannya, maka tidak diberi bagian, karena kuda memang dimaksudkan untuk digunakan dalam pertempuran, dan ini lebih mendekati qiyās. Namun pendapat pertama lebih sesuai dengan nash.

Tidak diberi bagian bagi seseorang untuk lebih dari satu ekor kuda, karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar RA bahwa az-Zubair hadir pada hari Ḥunain dengan beberapa ekor kuda, namun Nabi SAW tidak memberinya bagian kecuali untuk satu ekor kuda saja. Dan karena seseorang tidak berperang kecuali hanya dengan satu ekor kuda, maka tidak diberi bagian untuk lebih dari itu.

Jika seseorang hadir dengan seekor kuda, lalu pertempuran terjadi di air atau di atas benteng, maka ia tetap berhak atas bagian untuk kudanya, karena ia telah menimbulkan rasa gentar dengan kudanya, maka berhak atas bagian sebagaimana jika ia hadir di medan perang namun tidak ikut bertempur. Dan juga karena bisa jadi kuda tersebut akan dibutuhkan ketika mereka keluar dari air atau dari benteng.

فصل: فإن غصب فرسا وحضر به الحرب استحق للفرس سهمين لأنه حصل به الإرهاب وفي مستحقه وجهان: أحدهما: أنه له والثاني: أنه لصاحب الفرس بناء على القولين في ربح الدراهم المغصوبة: أحدهما: أنه للغاصب والثاني: أنه للمغصوب منه وإن استعار فرساً أو استأجره للقتال فحضر به الحرب استحق به السهم لأنه ملك القتال عليه وإن حضر دار الحرب بفرس وانقضت الحرب ولا فرس معه بأن نفق أو باعه أو أجره أو أعاره أو غصب منه لم يسهم له

PASAL: Jika seseorang merampas seekor kuda lalu hadir ke medan perang dengannya, maka ia berhak mendapatkan dua bagian untuk kudanya karena dengannya terjadi tindakan meneror (musuh). Adapun siapa yang berhak atas bagian tersebut, terdapat dua pendapat: pertama, bagian itu miliknya; kedua, bagian itu milik pemilik kuda, berdasarkan dua pendapat dalam masalah keuntungan dari uang yang digelapkan: pertama, keuntungan itu milik penggelap; kedua, keuntungan itu milik pemilik uang. Jika seseorang meminjam seekor kuda atau menyewanya untuk berperang lalu hadir ke medan perang dengannya, maka ia berhak atas bagian karena ia memiliki hak untuk berperang dengannya. Dan jika seseorang masuk ke wilayah musuh dengan membawa kuda lalu perang usai sedang kudanya sudah tidak bersamanya, baik karena mati, dijual, disewakan, dipinjamkan, atau dirampas darinya, maka tidak diberi bagian untuknya.

وإن دخل دار الحرب راجلاً ثم ملك فرساً أو استعاره وحضر به الحرب استحق السهم لأن استحقاق المقاتل بالحضور فكذلك الاستحقاق بالفرس وإن حضر بفرس وعار الفرس إلى أن انقضت الحرب لم يسهم له ومن أصحابنا من قال: يسهم له لأنه خرج من يده بغير اختياره والمذهب الأول لأن خروجه من يده يسقط السهم وإن كان بغير اختياره كما يسقط سهم الراجل إذا ضل عن الوقعة وإن كان بغير اختياره.

Dan jika seseorang masuk ke wilayah musuh dalam keadaan berjalan kaki, kemudian ia memiliki seekor kuda atau meminjamnya lalu hadir ke medan perang dengannya, maka ia berhak mendapatkan bagian, karena hak seorang muqātil diperoleh dengan kehadiran, maka begitu pula hak dengan kuda. Dan jika seseorang hadir dengan seekor kuda, lalu kuda itu dipinjamkan kepada orang lain hingga perang usai, maka tidak diberi bagian untuknya. Namun sebagian dari para sahabat kami berpendapat: diberi bagian untuknya karena kudanya keluar dari kepemilikannya tanpa pilihannya. Tetapi pendapat yang menjadi mazhab adalah pendapat pertama, karena keluarnya kuda dari kepemilikannya menggugurkan hak atas bagian, walaupun tanpa pilihannya, sebagaimana gugurnya bagian orang yang berjalan kaki apabila ia tersesat dari lokasi pertempuran, meskipun tanpa pilihannya.

فصل: ومن حضر الحرب ومرض فإن كان مريضاً يقدر معه على القتال كالسعال ونفور الطحال والحمى الخفيفة أسهم له لأنه من أهل القتال ولأن الإنسان لا يخلو من مثله فلا يسقط سهمه لأجله وإن كان لا يقدر على القتال لم يسهم له لأنه ليس من أهل القتال فلم يسهم له كالمجنون والطفل.

PASAL: Dan barang siapa yang hadir dalam perang lalu sakit, maka jika sakitnya masih memungkinkan untuk berperang, seperti batuk, gangguan limpa, atau demam ringan, maka ia tetap mendapat bagian karena ia termasuk golongan yang layak berperang. Dan karena manusia tidak lepas dari penyakit semacam itu, maka tidak gugur hak bagiannya karenanya. Namun jika ia tidak mampu untuk berperang, maka tidak diberi bagian karena ia bukan termasuk golongan yang layak berperang, sehingga tidak diberi bagian sebagaimana orang gila dan anak kecil.

فصل: ولا حق في الغنيمة لمخذل ولا لمن يرجف بالمسلمين ولا لكافر حضر بغير إذن لأنه لا مصلحة للمسلمين في حضورهم ويرضخ للصبي والمرأة والعبد والمشرك إذا حضر بالإذن ولم يقسم لهم لما روى عمير قال: غزوت مع النبي صلى الله عليه وسلم وأنا عبد مملوك فلما فتح الله على نبيه خيبر قلت يا رسول الله سهمي فلم يضرب لي بسهم وأعطاني سيفا فتقلدته وكنت أخط بنعله في الأرض وأمر لي من خرثي المتاع وروى يزيد بن هرمز أن نجدة كتب الى ابن عباس يسأله هل كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يغزو بالنساء وهل كان يضرب لهن سهم؟ فكتب إليه ابن عباس كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يغزوا بالنساء فيداوين الجرحى ويحذين من الغنيمة وأما سهم فلم يضرب لهن بسهم.

PASAL: Tidak ada hak dalam ghanīmah bagi orang yang melemahkan semangat (muḫadzdzil), tidak pula bagi orang yang menebarkan kegelisahan di tengah kaum muslimin, dan tidak pula bagi orang kafir yang hadir tanpa izin, karena tidak ada maslahat bagi kaum muslimin dengan kehadiran mereka. Akan tetapi diberikan raḍḍ kepada anak kecil, perempuan, budak, dan orang musyrik jika mereka hadir dengan izin, namun tidak dibagi untuk mereka bagian resmi. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Umayr, ia berkata: Aku ikut berperang bersama Nabi SAW padahal aku adalah budak milik orang, lalu ketika Allah memberikan kemenangan kepada Nabi-Nya di Khaibar, aku berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan bagian untukku?” Maka beliau tidak memberikan bagian resmi kepadaku, namun beliau memberiku sebilah pedang, lalu aku mengalungkannya, dan aku berjalan hingga sandal beliau membekas di tanah, dan beliau memerintahkan agar aku diberi dari sisa-sisa barang rampasan.

Dan telah diriwayatkan dari Yazīd bin Hurmuz bahwa Najdah menulis surat kepada Ibnu ‘Abbās bertanya apakah Rasulullah SAW pernah pergi berperang bersama para perempuan dan apakah beliau memberikan bagian kepada mereka? Maka Ibnu ‘Abbās menulis balasan kepadanya: Rasulullah SAW pernah pergi berperang bersama para perempuan, mereka mengobati orang-orang yang terluka, dan beliau memberi mereka bagian dari harta rampasan, tetapi bagian resmi (saham) tidak diberikan kepada mereka.

فصل: وتقدير الرضخ إلى اجتهاد أمير الجيش ولا يبلغ به سهم راجل لأنه تابع لمن له سهم فنقص عنه كالحكومة لا يبلغ بها أرش العضو ومن أين يرضخ لهم فيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يرضخ لهم من أصل الغنيمة لأنهم أعوان المجاهدين فجعل حقهم من أصل الغنيمة كالنقال والحافظ والثاني: أنه من أربعة أخماس الغنيمة لأنهم من المجاهدين فكان حقهم من أربعة أخماس الغنيمة والثالث أنه من خمس الخمس لأنهم من أهل المصالح فكان حقهم من سهم الصالح.

PASAL: Penentuan besar raḍkh diserahkan kepada ijtihad amir pasukan, namun tidak boleh mencapai kadar satu bagian pejalan kaki, karena mereka adalah pengikut dari yang memiliki bagian, sehingga diberi kurang darinya, sebagaimana ḥukūmah yang tidak mencapai arsy anggota tubuh. Adapun dari mana raḍkh diberikan kepada mereka, terdapat tiga pendapat:

Pertama, raḍkh diberikan dari pokok ghanimah, karena mereka adalah penolong para mujahid, maka dijadikan hak mereka dari pokok ghanimah seperti para pengangkut barang dan penjaga.

Kedua, raḍkh berasal dari empat per lima ghanimah, karena mereka termasuk dari kalangan mujahid, maka hak mereka dari empat per lima ghanimah.

Ketiga, raḍkh berasal dari seperlima dari seperlima (yaitu dari khumus al-khumus), karena mereka termasuk golongan yang memperoleh bagian karena maslahat, maka hak mereka dari bagian maslahat.

فصل: وإن حضر أجير في أجارة مقدرة بالزمان ففيه ثلاثة أقوال: أحدها أنه يرضخ له مع الأجرة لأن منفعته مستحقة لغيره فرضخ له كالعبد والثاني: أنه يسهم له مع الأجرة لأن الأجرة تجب بالتمكين والسهم بالحضور وقد وجد الجميع والثالث أنه يخير بين السهم والأجرة فإن اختار الأجرة رضخ له مع الأجرة وإن اختار السهم أسهم له وسقطت الأجرة لأن المنفعة واحدة لا يستحق بها حقان واختلف قوله في تجار الجيش فقال في أحد القولين: يسهم لهم لأنهم شهدوا الوقعة والثاني: أنه لا يسهم لهم لأنهم لم يحضروا للقتال واختلف أصحابنا في موضع القولين فمنهم من قال القولان إذا حضروا ولم يقاتلوا وأما إذا حضروا فقاتلوا فإنه يسهم لهم قولا واحدا ومنهم من قال القولان إذا قاتلوا فأما إذا لم يقاتلوا فإنه لا يسهم لهم قولاً واحدا.

PASAL: Jika seorang pekerja hadir dalam peperangan dengan status sebagai pekerja sewaan berdasarkan waktu tertentu, maka terdapat tiga pendapat:

Pertama, ia diberi raḍḍ (bagian sukarela) bersamaan dengan upah, karena manfaat dirinya menjadi milik orang lain, sehingga diberi raḍḍ sebagaimana budak.

Kedua, ia diberi bagian resmi (sahm) bersama upah, karena upah menjadi hak dengan adanya kesiapan (tamkīn), dan sahm menjadi hak dengan kehadiran, dan keduanya telah terpenuhi.

Ketiga, ia diberi hak memilih antara sahm dan upah. Jika ia memilih upah, maka ia diberi raḍḍ bersamaan dengan upah. Dan jika ia memilih sahm, maka ia diberi sahm dan gugur hak upahnya, karena satu manfaat tidak bisa melahirkan dua hak.

Dan telah terjadi perbedaan pendapat dalam qawl Imam Syafi‘i mengenai para pedagang yang ikut bersama pasukan: dalam salah satu qawl, beliau berkata bahwa mereka diberi sahm, karena mereka menyaksikan pertempuran. Dalam qawl lain, beliau berkata tidak diberi sahm, karena mereka tidak hadir untuk berperang.

Para sahabat kami juga berbeda pendapat tentang konteks dua qawl tersebut. Sebagian mengatakan: dua qawl itu berlaku ketika mereka hadir namun tidak ikut bertempur. Adapun jika mereka hadir dan ikut bertempur, maka menurut satu qawl saja mereka mendapat sahm. Dan sebagian yang lain berkata: dua qawl itu berlaku ketika mereka ikut bertempur, adapun jika mereka tidak ikut bertempur, maka tidak diberi sahm menurut satu qawl saja.

فصل: وإذا لحق بالجيش مدد أو افلت أسير ولحق بهم نظرت فإن كان قبل انقضاء الحرب وحيازة الغنيمة أسهم لهم لقول عمر رضي الله عنه الغنيمة لمن شهد الوقعة وإن كان بعد انقضاء الحرب وحيازة الغنيمة لم يسهم لأنهم حضروا بعدما صارت الغنيمة للغانمين وإن كان بعد انقضاء الحرب وقبل حيازة الغنيمة ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يسهم لهم لأنهم لم يشهدوا الوقعة والثاني: أنه يسهم لهم لأنهم حضروا قبل أن يملك الغانمون.

PASAL: Apabila datang bala bantuan kepada pasukan atau seorang tawanan berhasil meloloskan diri lalu bergabung dengan mereka, maka hal itu dilihat keadaannya. Jika terjadi sebelum berakhirnya peperangan dan sebelum harta ghanimah dikuasai, maka mereka mendapat bagian, berdasarkan ucapan ‘Umar RA: “Ghanimah adalah bagi siapa yang menyaksikan pertempuran.” Namun jika kejadiannya setelah perang selesai dan ghanimah telah dikuasai, maka mereka tidak mendapat bagian karena mereka hadir setelah ghanimah menjadi milik para mujahid. Dan jika setelah perang usai namun sebelum ghanimah dikuasai, maka ada dua pendapat:

Pertama, mereka tidak mendapat bagian karena tidak menyaksikan pertempuran.
Kedua, mereka tetap mendapat bagian karena hadir sebelum para mujahid memilikinya.

فصل: وإن خرج أمير في جيش وأنفذ سرية من الجيش إلى الجهة التي يقصدها أو إلى غيرها فغنمت السرية شاركهم الجيش وإن غنم الجيش شاركتهم السرية لأن النبي صلى الله عليه وسلم حين هزم هوازن بحنين أسرى قبل أوطاس سرية وغنمت فقسم غنائمهم بين الجميع وروى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “المسلمون يد على من سواهم يسعى بذمتهم أدناهم ويرد عليهم أقصاهم وترد سراياهم على قاعدهم” .

PASAL: Jika seorang amir keluar bersama pasukan lalu mengirim satu sariyah (pasukan kecil) dari pasukan tersebut ke arah yang dituju atau ke arah lain, lalu sariyah itu mendapatkan ghanīmah, maka pasukan besar ikut serta dalam ghanīmah mereka. Dan jika pasukan besar mendapatkan ghanīmah, maka sariyah ikut serta dalam ghanīmah mereka. Hal ini karena Nabi SAW ketika mengalahkan Hawāzin dalam Perang Ḥunain, beliau mengutus satu sariyah ke arah Awṭās, lalu mereka mendapatkan ghanīmah, maka beliau membagikan ghanīmah mereka kepada seluruh pasukan.

Dan telah diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi SAW bersabda: “Kaum muslimin itu satu tangan terhadap selain mereka; perlindungan mereka berlaku dengan jaminan yang diberikan oleh yang paling rendah di antara mereka; yang jauh di antara mereka dipulangkan kepada yang dekat; dan pasukan-pasukan kecil mereka mengembalikan kepada yang tinggal di belakang.”

ولأن الجميع جيش واحد فلم يختص بعضهم بالغنيمة وإن أنفذ سريتين إلى جهة واحدة من طريق أو طريقين اشترك الجيش والسريتان فيما يغنم كل واحد منهم لأن الجميع جيش واحد وإن أنفذ سريتين إلى جهتين شارك السريتان الجيش فيما يغنمه وشارك الجيش السريتين فيما يغنمان وهل تشارك كل واحدة من السريتين السرية الأخرى فيما تغنمه فيه وجهان: أحدهما: أنها لا تشارك لأن الجيش أصل السريتين وليست إحدى السريتين أصلا للأخرى

Dan karena semuanya merupakan satu pasukan, maka tidak ada yang berhak khusus atas ghanīmah. Jika dua sariyah diutus ke satu arah, baik melalui satu jalan atau dua jalan yang berbeda, maka pasukan utama dan kedua sariyah itu saling berbagi atas apa yang didapat masing-masing, karena semuanya adalah satu pasukan.

Jika dua sariyah diutus ke dua arah yang berbeda, maka kedua sariyah itu berbagi dengan pasukan utama atas apa yang diperoleh pasukan utama, dan pasukan utama juga berbagi dengan keduanya atas apa yang diperoleh masing-masing dari keduanya.

Adapun apakah masing-masing dari kedua sariyah itu berbagi dengan yang lain atas apa yang didapatnya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, tidak berbagi, karena pasukan utama adalah asal dari kedua sariyah, sementara salah satu sariyah bukanlah asal bagi sariyah yang lain.

والثاني: وهو الصحيح أنها تشارك لأنهما من جيش واحد وإن أنفذ الأمير سرية من الجيش وأقام هو مع الجيش فغنمت السرية لم يشاركها الجيش المقيم مع الأمير لأن النبي صلى الله عليه وسلم بعث السرايا من المدينة فلم يشاركهم أهل المدينة فيما غنموا ولأن الغنيمة للمجاهدين والجيش مقيم مع الأمير ما جاهدوا فلم يشارك السرية فيما غنمت. والله أعلم.

Dan pendapat kedua—yang merupakan pendapat yang ṣaḥīḥ—adalah bahwa masing-masing sariyah tetap saling berbagi, karena keduanya berasal dari satu pasukan.

Dan jika amir mengirim satu sariyah dari pasukannya sementara ia sendiri tetap tinggal bersama pasukan utama, lalu sariyah itu memperoleh ghanīmah, maka pasukan yang tinggal bersama amir tidak ikut serta dalam ghanīmah tersebut.

Hal ini karena Nabi SAW pernah mengutus sariyah-sariyah dari Madinah, dan penduduk Madinah tidak ikut serta dalam ghanīmah yang mereka peroleh.

Juga karena ghanīmah itu adalah hak para mujahid, sementara pasukan yang tinggal bersama amir tidak ikut berjihad, maka mereka tidak ikut serta dalam ghanīmah yang didapat oleh sariyah.

Wa Allāhu a‘lam.

باب قسم الخمس
ويقسم الخمس على خمس أسهم: سهم لرسول الله صلى الله عليه وسلم وسهم لذوي القربى وسهم لليتامى وسهم للمساكين وسهم لابن السبيل والدليل عليه قوله عز وجل: {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ} فأما سهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فإنه يصرف في مصالح المسلمين

PASAL PEMBAGIAN KHUMUS
Khumus dibagi menjadi lima bagian: bagian untuk Rasulullah SAW, bagian untuk dzawil qurba, bagian untuk anak-anak yatim, bagian untuk orang-orang miskin, dan bagian untuk ibnu sabil. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Wa‘lamū annamā ghanimtum min syai’in fa-anna lillāhi khumusahu wa lir-rasūli wa liżīl-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni wabnis-sabīl.”
Adapun bagian Rasulullah SAW maka digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin.

والدليل عليه ما روى جبير بن مطعم رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين صدر من خيبر تناول بيده نبذة من الأرض أو وبرة من بعيره وقال: “والذي نفسي بيده ما لي مما أفاء الله إلا الخمس والخمس مردود عليكم”. فجعله لجميع المسلمين ولا يمكن صرفه إلى جميع المسلمين إلا بأن يصرف في مصالحهم وأهم المصالح سد الثغور لأنه يحفظ به الإسلام والمسلمين ثم الأهم فالأهم.

Dan dalilnya adalah riwayat dari Jubair bin Muṭ‘im RA bahwa Rasulullah SAW ketika kembali dari Khaybar mengambil segenggam tanah atau sehelai bulu dari untanya, lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada hakku dari apa yang Allah limpahkan selain khumus, dan khumus itu dikembalikan kepada kalian.” Maka beliau menjadikannya untuk seluruh kaum muslimin, dan tidak mungkin menyalurkannya kepada semua kaum muslimin kecuali dengan menyalurkannya untuk kemaslahatan mereka. Dan kemaslahatan yang paling penting adalah menutup celah perbatasan (tsugūr), karena dengannya Islam dan kaum muslimin terlindungi, kemudian diutamakan hal-hal yang lebih penting setelahnya.

فصل: وأما سهم ذوي القربى فهو لمن ينتسب إلى هاشم والمطلب ابني عبد مناف لما روى جبير بن مطعم رضي الله عنه قال: لما قسم رسول الله صلى الله عليه وسلم ذوي القربى بين بني هاشم وبني المطلب جئت أنا وعثمان فقلنا يا رسول الله هؤلاء بنو هاشم لا ننكر فضلهم لمكانك الذي وضعك الله فيهم أرأيت إخواننا من بني المطلب أعطيتهم وتركتنا وإنما نحن وإياهم منك بمنزلة واحدة قال: “إنهم لم يفارقوني في جاهلية ولا إسلام وإنما بنو هاشم وبنو المطلب شيء واحد”

PASAL: Adapun bagian dzawil qurba maka diberikan kepada orang-orang yang nasabnya kembali kepada Hasyim dan al-Muṭṭalib, dua anak dari ‘Abd Manāf. Hal ini berdasarkan riwayat dari Jubair bin Muṭ‘im RA, ia berkata: Ketika Rasulullah SAW membagikan bagian dzawil qurba kepada Bani Hasyim dan Bani al-Muṭṭalib, aku dan ‘Utsmān datang dan berkata: “Wahai Rasulullah, mereka ini adalah Bani Hasyim, kami tidak mengingkari keutamaan mereka karena kedudukanmu yang Allah tempatkan di tengah mereka. Bagaimana dengan saudara-saudara kami dari Bani al-Muṭṭalib? Engkau memberi mereka dan meninggalkan kami, padahal kami dan mereka memiliki hubungan yang sama denganmu.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka tidak pernah berpisah dariku, baik di masa jahiliah maupun Islam. Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani al-Muṭṭalib adalah satu kesatuan.”

ثم شبك بين أصابعه ويسوي فيه بين الأغنياء والفقراء لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطى منه العباس وكان موسراً يقول عامة بني عبد المطلب ولأنه حق يستحق بالقرابة بالشرع فاستوى فيه الغني والفقير كالميراث ويشترك فيه الرجال والنساء لما روى عبد الله بن الزبير رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم أسهم لأم الزبير في ذوي القربي ولأنه حق يستحق بالقرابة بالشرع فاستوى فيه الذكر والأنثى كالميراث ويجعل للذكر مثل حظ الأنثيين

Kemudian beliau menyilangkan jari-jarinya. Dalam pembagian bagian ini disamakan antara orang kaya dan orang miskin, karena Rasulullah SAW memberikan bagian tersebut kepada al-‘Abbās, padahal beliau adalah orang yang berkecukupan. Dikatakan: “umumnya Bani ‘Abd al-Muṭṭalib demikian.” Dan karena ia adalah hak yang ditetapkan berdasarkan kekerabatan menurut syariat, maka disamakan antara yang kaya dan miskin di dalamnya, sebagaimana dalam warisan.

Juga disertakan laki-laki dan perempuan di dalamnya, karena diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin al-Zubair RA bahwa Nabi SAW memberikan bagian kepada ibunda al-Zubair dari bagian dzawil qurba. Dan karena itu adalah hak yang diperoleh karena kekerabatan menurut syariat, maka disamakan antara laki-laki dan perempuan di dalamnya sebagaimana warisan, dan bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan.

وقال المزني وأبو ثور يسوي بين الذكر والأنثى لأنه مال يستحق باسم القرابة فلا يفضل الذكر فيه على الأنثى كالمال المستحق بالوصية للقرابة وهذا خطأ لأنه مال خطأ لأنه مال يستحق بقرابة الأب بالشرع ففضل الذكر فيه على الأنثى كميراث ولد الأب ويدفع ذلك إلى القاصي منهم والداني وقال أبو إسحاق يدفع ما في كل إقليم إلى من فيه منهم لأنه يشق نقله من إقليم إلى إقليم والمذهب الأول لقوله عز وجل: {وَلِذِي الْقُرْبَى} ولم يخص ولأنه حق مستحق بالقرابة فاستوى فيه القاصي والداني كالميراث.

Al-Muzanī dan Abū Ṯawr berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan disamakan dalam bagian ini, karena harta ini diperoleh atas nama kekerabatan, maka tidak diutamakan laki-laki atas perempuan, sebagaimana harta yang diberikan melalui wasiat karena kekerabatan.

Namun pendapat ini keliru, karena harta ini diperoleh karena kekerabatan dari jalur ayah menurut syariat, maka laki-laki diutamakan atas perempuan di dalamnya, sebagaimana warisan anak-anak dari jalur ayah. Dan bagian ini diberikan kepada yang jauh maupun yang dekat dari mereka.

Abū Isḥāq berkata: diberikan bagian yang ada di setiap wilayah kepada siapa pun dari mereka yang ada di wilayah itu, karena memindahkannya dari satu wilayah ke wilayah lain menyulitkan.

Tetapi mazhab yang benar adalah pendapat pertama, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa liżīl-qurbā} tanpa pengecualian. Dan karena itu adalah hak yang ditetapkan karena kekerabatan, maka disamakan antara yang jauh dan yang dekat sebagaimana warisan.

فصل: وأما سهم اليتامى فهو لكل صغير فقير لا أب له فأما من له أب فلا حق له فيه لأن اليتيم هو الذي لا أب له وليس لبالغ فيه حق لأنه لا يسمى بعد البلوغ يتيماً والدليل عليه قوله صلى الله عليه وسلم: “لا يتم بعد الحلم”  وليس للغني فيه حق ومن أصحابنا من قال للغني فيه حق لأن اليتيم هو الذي لا أب له غنياً كان أو فقيراً والمذهب الأول لأن غناه بالمال أكثر من غناه بالأب فإذا لم يكن لمن له أب فيه حق فلأن لا يكون لمن له مال أولى.

PASAL: Adapun bagian anak yatim, maka diberikan kepada setiap anak kecil yang fakir dan tidak memiliki ayah. Adapun yang masih memiliki ayah, maka tidak memiliki hak atas bagian ini, karena yatim adalah anak yang tidak memiliki ayah. Dan orang yang sudah baligh tidak memiliki hak atas bagian ini karena setelah baligh tidak lagi disebut yatim. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Tidak ada status yatim setelah mimpi basah (baligh).”

Orang yang kaya juga tidak memiliki hak atas bagian ini. Namun sebagian dari para sahabat kami berkata bahwa orang kaya pun memiliki hak, karena yatim adalah yang tidak memiliki ayah, baik kaya maupun miskin. Akan tetapi mazhab yang benar adalah pendapat pertama, karena kekayaan dengan harta lebih kuat daripada kekayaan dengan ayah. Maka jika anak yang memiliki ayah tidak diberi bagian, maka terlebih lagi yang memiliki harta.

فصل: وأما سهم المساكين فهو لكل محتاج من الفقراء والمساكين لأنه إذا أفرد المساكين تناول الفريقين.
فصل: وأما سهم ابن السبيل فهو لكل مسافر أو مريد السفر في غير معصية وهو محتاج على ما ذكرناه في الزكاة.

PASAL: Adapun bagian untuk orang-orang miskin, maka diberikan kepada setiap orang yang membutuhkan dari kalangan fakir dan miskin, karena apabila disebut secara khusus masākīn, maka mencakup kedua golongan tersebut.

PASAL: Adapun bagian untuk ibnu sabil, maka diberikan kepada setiap musafir atau orang yang hendak bepergian (safar) dalam perkara yang tidak mengandung maksiat, dan ia dalam keadaan membutuhkan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan zakat.

فصل: ولا يدفع شيء من الخمس إلى كافر لأنه عطية من الله تعالى فلم يكن للكافر فيها حق كالزكاة ولأنه مال مستحق على الكافر بكفره فلم يجز أن يستحقه الكافر. وبالله التوفيق.

PASAL: Tidak boleh memberikan sesuatu pun dari bagian khumus kepada orang kafir, karena khumus adalah pemberian dari Allah Ta‘ala, maka orang kafir tidak memiliki hak di dalamnya sebagaimana zakat. Dan karena khumus adalah harta yang wajib atas orang kafir disebabkan kekafirannya, maka tidak boleh orang kafir mengambil manfaat darinya. Wabillāhi at-taufīq.

باب قسم الفيء
الفيء هو المال الذي يؤخذ من الكفار من غير قتال وهو ضربان: أحدهما: ما انجلوا عنه خوفاً من المسلمين أو بذلوه للكف عنهم فهذا يخمس ويصرف خمسه إلى من يصرف إليه خمس الغنيمة والدليل عليه قوله عز وجل: {مَا أَفَاءَ الله عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ}

BAB PEMBAGIAN AL-FAY’

Al-fay’ adalah harta yang diambil dari orang-orang kafir tanpa peperangan, dan al-fay’ itu ada dua macam:

Pertama: harta yang mereka tinggalkan karena takut kepada kaum muslimin, atau yang mereka serahkan untuk menghindarkan diri dari serangan kaum muslimin. Maka harta ini dikenai khumus (dipungut seperlimanya), dan seperlimanya disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak menerima khumus dari ghanimah. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala:
{مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ}.

والثاني: ما أخذ من غير خوف كالجزية وعشور تجاراتهم ومال من مات منهم في دار الإسلام ولا وارث له ففي تخميسه قولان: قال في القديم: لا يخمس لأنه مال أخذ من غير خوف فلم يخمس كالمال المأخوذ بالبيع والشراء وقال في الجديد: يخمس وهو الصحيح للآية ولأنه مال مأخوذ من الكفار بحق الكفر لا يختص به بعض المسلمين فوجب تخميسه كالمال الذي انجلوا عنه وأما أربعة أخماسه فقد كانت لرسول الله صلى الله عليه وسلم في حياته

Dan kedua: yaitu harta yang diambil bukan karena rasa takut, seperti jizyah, bea atas perdagangan mereka, dan harta orang kafir yang meninggal di dār al-islām tanpa ahli waris. Dalam hal kewajiban mengambil khumus darinya terdapat dua pendapat:

Ia berkata dalam qaul qadīm: tidak dikenai khumus, karena ia adalah harta yang diambil bukan karena rasa takut, maka tidak dikenai khumus sebagaimana harta yang diperoleh melalui jual beli.

Dan ia berkata dalam qaul jadīd: dikenai khumus, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan ayat, serta karena harta tersebut diambil dari orang-orang kafir atas dasar kekufuran mereka, dan tidak dikhususkan untuk sebagian kaum muslimin, maka wajib di-khumus sebagaimana harta yang ditinggalkan karena ketakutan.

Adapun empat per lima sisanya, maka dahulu itu menjadi milik Rasulullah SAW pada masa hidup beliau.

والدليل عليه قوله عز وجل: {مَا أَفَاءَ الله عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ} ولا ينتقل ما ملكه إلى ورثته لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تقتسم ورثتي ديناراً ولا درهماً ما تركته بعد نفقة نسائي ومؤنة عاملي فإنه صدقه”

Dan dalil atas hal itu adalah firman Allah Azza wa Jalla: {mā afā’a-llāhu ‘alā rasūlihi min ahli-l-qurā fa-li-llāhi wa li-r-rasūli wa li-dhī-l-qurbā wa-l-yatāmā wa-l-masākīni wa-bni-s-sabīl} (QS al-Ḥasyr: 7). Dan apa yang telah dimiliki oleh Nabi SAW tidak berpindah kepada para ahli warisnya, karena telah diriwayatkan dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah ahli warisku membagi-bagikan satu dinar pun atau satu dirham pun. Apa yang aku tinggalkan setelah nafkah para istriku dan biaya pekerjaku maka itu adalah ṣadaqah.”

وروى مالك بن أوس بن الحدثان رضي الله عنه عن عمر رضي الله عنه أنه قال لعثمان وطلحة والزبير وعبد الرحمن بن عوف أنشدكم بالله أيها الرهط هل سمعتم رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إنا لا نورث ما تركنا صدقة إن الأنبياء لا تورث”  فقال القوم بلى قد سمعناه ثم أقبل على علي وعباس فقال: أنشدكما بالله هل سمعتما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “ما تركناه صدقة إن الأنبياء لا تورث” فقالا: نعم أخرجه البخاري ومسلم وأبو داود.

Dan telah meriwayatkan Mālik bin Aws bin al-Ḥadathān raḍiyallāhu ‘anhu dari ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata kepada ‘Utsmān, Ṭalḥah, az-Zubair, dan ‘Abd ar-Raḥmān bin ‘Awf: “Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah, wahai sekelompok orang, apakah kalian mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Innā lā nūrathu mā taraknā ṣadaqah, inna-l-anbiyā’a lā yūrathūn’ (Kami tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan adalah ṣadaqah, sesungguhnya para nabi tidak diwarisi)?” Maka mereka menjawab: “Benar, sungguh kami telah mendengarnya.” Kemudian ‘Umar menghadap kepada ‘Alī dan ‘Abbās seraya berkata: “Aku memohon kepada kalian berdua dengan nama Allah, apakah kalian berdua mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Mā taraknāhu ṣadaqah, inna-l-anbiyā’a lā yūrathūn’ (Apa yang kami tinggalkan adalah ṣadaqah, sesungguhnya para nabi tidak diwarisi)?” Keduanya menjawab: “Ya.” Hadis ini dikeluarkan oleh al-Bukhārī, Muslim, dan Abū Dāwud.

واختلف قول الشافعي رضي الله عنه فيما يحصل من مال الفيء بعد موت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال في أحد القولين: يصرف في المصالح لأنه مال راتب لرسول الله صلى الله عليه وسلم فصرف بعد موته في المصالح كخمس الخمس فعلى هذا يبدأ بالأهم وهو سد الثغور وأرزاق المقاتلة ثم الأهم فالأهم وقال في القول الثاني هو للمقاتلة لأن ذلك كان لرسول الله صلى الله عليه وسلم لما كان فيه من حفظ الإسلام والمسلمين ولما كان له في قلوب الكفار من الرعب وقد صار ذلك بعد موته في المقاتلة فوجب أن يصرف إليهم.

Imam al-Syafi‘i RA berselisih pendapat tentang harta al-fay’ yang diperoleh setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dalam salah satu pendapatnya, beliau mengatakan: harta itu digunakan untuk kemaslahatan umum karena ia merupakan harta tetap bagi Rasulullah SAW, maka setelah wafatnya beliau, harta itu digunakan untuk kemaslahatan umum sebagaimana khumus al-khumus. Maka menurut pendapat ini, dimulai dari yang paling penting, yaitu menutup celah perbatasan dan gaji pasukan, kemudian yang lebih penting setelah itu.

Sedangkan dalam pendapat kedua, beliau mengatakan bahwa harta itu untuk para pasukan, karena dahulu harta tersebut diberikan kepada Rasulullah SAW disebabkan oleh peran beliau dalam menjaga Islam dan kaum muslimin, serta rasa takut yang beliau tanamkan dalam hati orang-orang kafir. Maka setelah beliau wafat, peran itu berpindah kepada para pasukan, sehingga harta tersebut wajib diberikan kepada mereka.

فصل: وينبغي للإمام أن يضع ديواناً يثبت فيه أسماء المقاتلة وقدر أرزاقهم لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: قدمت على عمر رضي الله عنه من عند أبي موسى الأشعري بثمانمائة ألف درهم فلما صلى الصبح اجتمع إليه نفر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لهم: قد جاء للناس مال لم يأتهم مثله منذ كان الإسلام أشيروا علي بمن أبدأ منهم فقالوا: بك يا أمير المؤمنين إنك ولي ذلك قال: لا ولكن أبدأ برسول الله صلى الله عليه وسلم ثم الأقرب فالأقرب إليه فوضع الديوان على ذلك

PASAL: Hendaknya imam menetapkan dīwān yang dicatat di dalamnya nama-nama para tentara dan besaran tunjangan mereka. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA, ia berkata: Aku datang kepada ʿUmar RA dari Abū Mūsā al-Ashʿarī membawa delapan ratus ribu dirham. Ketika ia selesai salat Subuh, sekelompok sahabat Rasulullah SAW berkumpul mendatanginya. Ia berkata kepada mereka: Telah datang kepada manusia harta yang tidak pernah datang semisalnya sejak Islam datang. Berilah aku pendapat, dari siapa aku memulai (pembagian) ini? Mereka menjawab: Dari engkau, wahai Amīr al-Muʾminīn, karena engkau adalah pemegang urusannya. Ia berkata: Tidak, tetapi aku akan memulai dari Rasulullah SAW, kemudian yang paling dekat lalu yang paling dekat (hubungannya) dengannya. Maka ia menetapkan dīwān berdasarkan hal tersebut.

ويستحب أن يجعل على كل طائفة عريفاً لأن النبي صلى الله عليه وسلم جعل عام خيبر على كل عشرة عريفاً ولأن في ذلك مصلحة وهو أن يقوم التعريف بأمورهم ويجمعهم في وقت العطاء وفي وقت الغزو ويجعل العطاء في كل عام مرة أو مرتين ولا يجعل في كل شهر ولا في كل أسبوع لأن ذلك يشغلهم عن الجهاد.

Dan disunnahkan untuk menetapkan seorang ʿarīf (pemimpin kelompok) bagi setiap kelompok, karena Nabi SAW pada tahun Khaybar menetapkan satu ʿarīf untuk setiap sepuluh orang. Hal ini mengandung kemaslahatan, yaitu agar ʿarīf mengurus urusan mereka, mengumpulkan mereka saat pembagian tunjangan dan saat berangkat perang. Pembagian tunjangan dilakukan setahun sekali atau dua kali, dan tidak dilakukan setiap bulan atau setiap pekan, karena hal itu dapat menyibukkan mereka dari berjihad.

فصل: ويستحب أن يبدأ بقريش لقوله صلى الله عليه وسلم: “قدموا قريشاً ولا تتقدموها” ولأن النبي صلى الله عليه وسلم منهم فإنه محمد بن عبد الله بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف بن قصي بن كلاب بن مرة بن كعب بن لؤي بن غالب بن فهر بن مالك بن النضر ابن كنانة واختلف الناس في قريش فمنهم من قال: كل من ينتسب إلى فهر بن مالك فهو من قريش ومنهم من قال: كل من ينتسب إلى النضر بن كنانة فهو من قريش ويقدم من قريش بني هاشم لأنهم أقرب قبائل قريش إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ويضم إليهم بنو المطلب

PASAL: Disunnahkan untuk memulai dengan Quraisy berdasarkan sabda Nabi SAW: “Dahulukanlah Quraisy dan janganlah kalian mendahului mereka,” dan karena Nabi SAW berasal dari mereka, yaitu Muḥammad bin ʿAbd Allāh bin ʿAbd al-Muṭṭalib bin Hāsyim bin ʿAbd Manāf bin Quṣayy bin Kilāb bin Murrah bin Kaʿb bin Luʾayy bin Ghālib bin Fihr bin Mālik bin al-Naḍr bin Kinānah.

Manusia berbeda pendapat tentang siapa yang termasuk Quraisy; sebagian mengatakan: setiap orang yang nasabnya sampai kepada Fihr bin Mālik maka ia termasuk Quraisy. Sebagian lain mengatakan: setiap orang yang nasabnya sampai kepada al-Naḍr bin Kinānah maka ia termasuk Quraisy.

Dan didahulukan dari kalangan Quraisy adalah Banū Hāsyim karena mereka merupakan kabilah Quraisy yang paling dekat dengan Rasulullah SAW, dan digabungkan kepada mereka Banū al-Muṭṭalib.

لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إنما بنو هاشم وبنو المطلب شيء واحد”. وشبك بين أصابعه وعن عمر رضي الله عنه أنه قال: حضرت رسول الله صلى الله عليه وسلم يعطيهم فإذا كان السن في الهاشمي قدمه على المطلبي وإذا كان في المطلبي قدمه على الهاشمي ثم يعطي بني عبد شمس وبني نوفل وبني عبد مناف ويقدم بني عبد شمس على بني نوفل لأن عبد شمس أقرب إليه

Karena Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Banū Hāsyim dan Banū al-Muṭṭalib adalah satu kesatuan,” lalu beliau menyilangkan jari-jarinya.

Dan dari ʿUmar RA bahwa ia berkata: Aku menyaksikan Rasulullah SAW memberikan kepada mereka; apabila yang lebih tua dari Banū Hāsyim, maka beliau mendahulukannya atas yang dari Banū al-Muṭṭalib, dan apabila yang lebih tua dari Banū al-Muṭṭalib, maka beliau mendahulukannya atas yang dari Banū Hāsyim.

Kemudian beliau memberikan kepada Banū ʿAbd Syams, Banū Nawfal, dan Banū ʿAbd Manāf. Beliau mendahulukan Banū ʿAbd Syams atas Banū Nawfal karena ʿAbd Syams lebih dekat kepada beliau.

لأنه أخو هاشم من أبيه وأمه ونوفل أخوف من أبيه وأنشد آدم بن عبد العزيز بن عمر بن عبد العزيز:

يا أمين الله إني قائل … قول ذي بر ودين وحسب
عبد شمس لا تهنها إنما … عبد شمس عم عبد المطلب
عبد شمس كان يتلو هاشماً … وهما بعد الأم والأب
ثم يعطي بني عبد العزى وبني عبد الدار ويقدم عبد العزى على عبد الدار لأن فيهم أصهار رسول الله صلى الله عليه وسلم فإن خديجة بنت خويلد منهم

Karena ʿAbd Syams adalah saudara kandung Hāsyim dari ayah dan ibunya, sedangkan Nawfal adalah saudara hanya dari ayahnya.

Ādam bin ʿAbd al-ʿAzīz bin ʿUmar bin ʿAbd al-ʿAzīz bersyair:

Yā amīnallāh innī qāʾilun
Qawla dhī birrin wa dīnin wa ḥasab
ʿAbd Syams lā tuhin-hā innamā
ʿAbd Syams ʿammu ʿAbd al-Muṭṭalib
ʿAbd Syams kāna yatlū Hāsyiman
Wahumā baʿda al-umm wa al-ab

Wahai utusan Allah, aku hendak mengatakan
Ucapan orang yang berbakti, beragama, dan memiliki keturunan mulia
ʿAbd Syams janganlah engkau hinakan—karena
ʿAbd Syams adalah paman ʿAbd al-Muṭṭalib
ʿAbd Syams datang setelah Hāsyim
Dan keduanya dari satu ibu dan ayah

Kemudian diberikan kepada Banū ʿAbd al-ʿUzzā dan Banū ʿAbd al-Dār. Didahulukan Banū ʿAbd al-ʿUzzā atas Banū ʿAbd al-Dār karena di antara mereka terdapat keluarga mertua Rasulullah SAW, sebab Khadīja bint Khuwaylid berasal dari mereka.

ولأن فيهم من حلف المطيبين وحلف الفضول وهما حلفان كانا من قوم من قريش اجتمعوا فيهما على نصر المظلوم ومنع الظالم وروت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “شهدت حلف الفضول ولو دعيت إليه لأجبت”. وعلى هذا يعطي الأقرب فالأقرب حتى تنقضي قريش فإن استوى اثنان في القرب قدم أسنهما لما رويناه من حديث عمر في بني هاشم وبني المطلب فإن استويا في السن قدم أقدمهما هجرة وسابقة فإذا انقضت قريش قدم الأنصاري على سائر العرب لما لهم من السابقة والآثار الحميدة في الإسلام ثم يقسم على سائر العرب ثم يعطي العجم ولا يقدم بعضهم على بعض إلا بالسن والسابقة دون النسب.

Dan karena di antara mereka terdapat para anggota Ḥilf al-Muṭayyibīn dan Ḥilf al-Fuḍūl, yaitu dua persekutuan dari kalangan Quraisy yang berkumpul untuk menolong orang yang dizalimi dan mencegah orang yang zalim.

ʿĀʾisyah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku pernah menyaksikan Ḥilf al-Fuḍūl, dan seandainya aku diajak lagi kepadanya, pasti aku akan memenuhinya.”

Berdasarkan hal ini, pemberian dimulai dari yang paling dekat lalu yang lebih dekat, hingga selesai Quraisy. Jika dua orang setara dalam kedekatan, maka didahulukan yang lebih tua, sebagaimana kami riwayatkan dari perkataan ʿUmar mengenai Banū Hāsyim dan Banū al-Muṭṭalib.

Jika keduanya setara dalam usia, maka didahulukan yang lebih dahulu hijrah dan memiliki keutamaan.

Apabila Quraisy telah selesai, maka didahulukan orang Anṣārī atas selain mereka dari kalangan Arab karena mereka memiliki keutamaan terdahulu dan jasa-jasa yang baik dalam Islam.

Kemudian dibagikan kepada selain mereka dari kalangan Arab. Setelah itu diberikan kepada orang ʿAjam, dan tidak didahulukan sebagian mereka atas yang lain kecuali karena usia dan keutamaan, bukan karena nasab.

فصل: ويقسم بينهم على قدر كفايتهم لأنهم كفوا المسلمين أمر الجهاد فوجب أن يكفوا أمر النفقة ويتعاهد الإمام في وقت العطاء عدد عيالهم لأنه قد يزيد وينقص ويتعرف الأسعار وما يحتاجون إليه من الطعام والكسوة لأنه قد يغلو ويرخص ليكون عطيتهم على قدر حاجتهم ولا يفضل من سبق إلى الإسلام أو إلى الهجرة على غيره لأن الاستحقاق بالجهاد قد تساووا في الجهاد فلم يفضل بعضهم على بعض كالغانمين في الغنيمة.

PASAL: Dan dibagikan kepada mereka sesuai kadar kebutuhan mereka, karena mereka telah mencukupi urusan jihad bagi kaum muslimin, maka wajib pula dicukupi urusan nafkah mereka.

Imam hendaknya memeriksa pada waktu pembagian jumlah tanggungan keluarga mereka, karena bisa jadi bertambah atau berkurang.

Ia juga hendaknya mengetahui harga-harga dan apa saja yang mereka butuhkan berupa makanan dan pakaian, karena bisa saja harga menjadi mahal atau murah, agar pemberian mereka disesuaikan dengan kadar kebutuhan mereka.

Tidak diutamakan orang yang lebih dahulu masuk Islam atau hijrah atas selainnya, karena hak ini ditetapkan berdasarkan jihad, dan mereka telah sama dalam jihad, maka tidak diutamakan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, sebagaimana para mujahid yang mendapatkan bagian dari ghanīmah.

فصل: ولا يعطي من الفيء صبي ولا مجنون ولا عبد ولا امرأة ولا ضعيف لا يقدر على القتال لأن الفيء للمجاهدين وليس هؤلاء من أهل الجهاد وإن مرض مجاهد فإن كان مرضاً يرجى زواله أعطي لأن الناس لا يخلون من عارض مرض وإن كان مرضاً لا يرجى زواله سقط حقه من الفيء لأنه خرج عن أن يكون من المجاهدين وإن مات المجاهد وله ولد صغير أو زوجة ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يعطي ولده ولا زوجته من الفيء شيئاً لأن ما كان يصل إليهما على سبيل التبع لمن يعولهما وقد زال الأصل وانقطع التبع

PASAL: Tidak diberikan bagian dari fay’ kepada anak kecil, orang gila, budak, perempuan, dan orang lemah yang tidak mampu berperang, karena fay’ adalah untuk para mujahid, sedangkan mereka bukan termasuk ahli jihad.

Jika seorang mujahid sakit, maka jika penyakitnya masih diharapkan sembuh, ia tetap diberi bagian, karena manusia tidak lepas dari kemungkinan sakit. Namun jika penyakitnya tidak diharapkan kesembuhannya, gugurlah haknya dari fay’ karena ia telah keluar dari golongan mujahid.

Jika seorang mujahid meninggal dunia dan ia memiliki anak kecil atau istri, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, anak dan istrinya tidak diberikan bagian dari fay’ sedikit pun, karena sebelumnya mereka hanya menerima bagian sebagai tanggungan dari orang yang menafkahi mereka, sedangkan asal nafkah telah tiada maka gugurlah hak yang mengikuti.

والثاني: أنه يعطى الولد إلى أن يبلغ وتعطى الزوجة إلى أن تتزوج ولأن في ذلك مصلحة فإن المجاهد إذا علم أنه يعطى عياله بعد موته توفر على الجهاد وإذا علم أنه لا يعطى اشتغل بالكسب لعياله وتعطل الجهاد فإذا قلنا بهذا فبلغ الولد فإن كان لا يصلح للقتال كالأعمى والزمن أعطي الكفاية كما كان يعطى قبل البلوغ وإن كان يصلح للقتال وأراد الجهاد فرض له وإن لم يرد الجهاد لم يكن له في الفيء حق لأنه صار من أهل الكسب وإن تزوجت الزوجة سقط حقها من الفيء لأنها استغنت بالزوج وإن دخل وقت العطاء فمات المجاهد انتقل حقه إلى ورثته لأنه مات بعد الاستحقاق فانتقل حقه إلى الوارث.

Dan pendapat kedua: anak diberi bagian hingga ia baligh, dan istri diberi hingga ia menikah. Karena di dalamnya terdapat kemaslahatan, yaitu apabila seorang mujahid mengetahui bahwa keluarganya akan diberi bagian setelah kematiannya, maka ia akan lebih bersemangat dalam berjihad. Namun jika ia mengetahui bahwa keluarganya tidak akan diberi, maka ia akan sibuk mencari nafkah untuk keluarganya dan jihad pun akan terbengkalai.

Apabila kita memilih pendapat ini, lalu si anak telah baligh, maka jika ia tidak layak untuk berperang seperti orang buta atau orang yang lumpuh, maka ia diberi sesuai kebutuhannya sebagaimana sebelumnya ketika belum baligh. Namun jika ia layak untuk berperang dan ingin berjihad, maka ditetapkan baginya bagian. Tetapi jika ia tidak ingin berjihad, maka ia tidak memiliki hak dalam fay’, karena ia telah menjadi orang yang wajib mencari nafkah sendiri.

Dan jika sang istri menikah, maka gugur haknya atas fay’, karena ia telah mencukupi kebutuhannya melalui suaminya.

Dan apabila waktu pembagian telah tiba lalu mujahid meninggal, maka haknya berpindah kepada ahli warisnya, karena ia meninggal setelah memiliki hak, maka berpindahlah hak itu kepada ahli warisnya.

فصل: وإن كان في الفيء أراض كان خمسها لأهل الخمس فأما أربعة أخماسها فقد قال الشافعي رحمه الله تكون وقفاً فمن أصحابنا من قال هذا على القول الذي يقول إنه للمصالح فإن المصلحة في الأراضي أن تكون وقفاً لأنها تبقى فتصرف غلتها في المصالح وأما إذا قلنا إنها للمقاتلة فإنه يجب قسمتها بين أهل الفيء لأنها صارت لهم فوجبت قمستها بينهم كأربعة أخماس الغنيمة ومن أصحابنا من قال تكون وقفاً على القولين

PASAL: Jika dalam fay’ terdapat tanah-tanah, maka seperlimanya diberikan kepada ahli khumus. Adapun empat perlimanya, menurut pendapat asy-Syafi‘i rahimahullah, dijadikan sebagai wakaf. Sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa hal ini berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa fay’ itu untuk kemaslahatan, karena kemaslahatan pada tanah adalah dengan menjadikannya wakaf, sebab tanah itu tetap ada dan hasilnya dapat disalurkan untuk kemaslahatan. Adapun jika dikatakan bahwa tanah itu milik para muqātil, maka wajib dibagikan di antara mereka karena tanah itu telah menjadi milik mereka, sehingga wajib dibagi sebagaimana empat per lima bagian dari ghanimah. Sebagian dari kalangan kami juga mengatakan bahwa tanah itu menjadi wakaf menurut kedua pendapat tersebut.

فإن قلنا إنها للمصالح صرفت غلتها في المصالح وإن قلنا إنها للمقاتلة صرفت غلتها في مصالحهم لأن الاجتهاد في مال الفيء إلى الإمام ولهذا يجوز أن يفضل بعضهم على بعض ويخالف الغنيمة فإنه ليس للإمام فيها الاجتهاد ولهذا لا يجوز أن يفضل بعض الغانمين على بعض. وبالله التوفيق.

Jika dikatakan bahwa tanah itu untuk kemaslahatan, maka hasilnya disalurkan untuk kemaslahatan. Dan jika dikatakan bahwa tanah itu untuk para muqātil, maka hasilnya disalurkan untuk kemaslahatan mereka, karena ijtihad dalam harta fay’ merupakan wewenang imam. Oleh karena itu, boleh bagi imam untuk mengutamakan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Hal ini berbeda dengan ghanimah, karena imam tidak memiliki wewenang ijtihad di dalamnya. Oleh karena itu, tidak boleh mengutamakan sebagian dari para ghanim atas sebagian yang lain. Wa billāhi at-taufīq.

باب الجزية
لا يجوز أخذ الجزية ممن لا كتاب له ولا شبهة كتاب كعبدة الأوثان لقوله عز وجل: {قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالله وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ الله وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} تخص أهل الكتاب بالجزية فدل على أنهم لا تؤخذ من غيرهم ويجوز أخذها من أهل الكتابين وهم اليهود والنصارى للآية ويجوز أخذها ممن بدل منهم دينه لأنه وإن لم تكن لهم حرمة بأنفسهم فلهم حرمة بآبائهم

BAB JIZYAH
Tidak boleh mengambil jizyah dari orang yang tidak memiliki kitab atau tidak memiliki syubhat kitab seperti para penyembah berhala, karena firman Allah Azza wa Jalla: {Qātilū alladzīna lā yu’minūna billāhi wa lā bilyawmil-ākhiri wa lā yuḥarrimūna mā ḥarramallāhu wa rasūluhu wa lā yadīnūna dīnal-ḥaqqi minallażīna ūtū al-kitāba ḥattā yu‘ṭu al-jizyata ‘an yadin wa hum ṣāghirūn}, yang mengkhususkan ahl al-kitāb dalam hal jizyah. Maka hal itu menunjukkan bahwa jizyah tidak diambil dari selain mereka. Boleh mengambilnya dari dua golongan ahl al-kitāb, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, berdasarkan ayat tersebut. Dan boleh juga mengambilnya dari orang yang telah mengganti agamanya dari kalangan mereka, karena meskipun mereka tidak memiliki kehormatan dengan dirinya sendiri, namun mereka memiliki kehormatan melalui ayah-ayah mereka.

ويجوز أخذها من المجوس لما روى عبد الرحمن ابن عوف أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “سنوا بهم سنة أهل الكتاب”. وروى أيضاً عبد الرحمن بن عوف أن النبي صلى الله عليه وسلم أخذ الجزية من مجوس هجر واختلف قول الشافعي رحمه الله هل كان لهم كتاب أم لا؟ فقال فيه قولان: أحدهما: أنه لم يكن لهم كتاب

Dan boleh mengambil jizyah dari kaum Majusi, karena Abdurrahman bin ‘Auf meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Perlakukanlah mereka seperti perlakuan terhadap ahl al-kitāb.” Abdurrahman bin ‘Auf juga meriwayatkan bahwa Nabi SAW mengambil jizyah dari Majusi Hajar. Dan Imam al-Syafi‘i rahimahullah berbeda pendapat apakah mereka memiliki kitab atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa mereka tidak memiliki kitab.

والدليل عليه قوله عز وجل: {وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ} والثاني: أنه كان لهم كتاب والدليل عليه ما روي عن علي كرم الله وجه أنه قال كان لهم علم يعلمونه وكتاب يدرسونه وإن ملكهم سكر فوقع على ابنته أو أخته فاطلع عليه بعض أهل مملكته فجاءوا يقيمون عليه الحد فامتنع فرفع الكتاب من بين أظهرهم وذهب العلم من صدورهم.

Dalil atas pendapat pertama adalah firman Allah Azza wa Jalla: *{Wa hāżā kitābun anzalnāhu mubārakun fattabi‘ūhu wattaqū la‘allakum turḥamūn an taqūlū innamā unzila al-kitābu ‘alā ṭā’ifatayn min qablinā wa in kunnā ‘an dirāsatihim laghāfilīn}.

Pendapat kedua: bahwa mereka dahulu memiliki kitab. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Alī karramallāhu wajhah, bahwa beliau berkata: “Dahulu mereka memiliki ilmu yang mereka pelajari dan kitab yang mereka baca. Namun ketika raja mereka mabuk lalu menyetubuhi anak perempuannya atau saudarinya, dan sebagian penduduk kerajaannya mengetahuinya lalu datang untuk menegakkan had atasnya, ia menolak. Maka diangkatlah kitab dari tengah-tengah mereka dan hilanglah ilmu dari dada-dada mereka.”

فصل: وإن دخل وثني في دين أهل الكتاب نظرت فإن دخل قبل التبديل أخذت منه الجزية وعقدت له الذمة لأنه دخل في دين حق وإن دخل بعد التبديل نظرت فإن دخل في دين من بدل لم تؤخذ منه الجزية لم تعقد له الذمة لأنه دخل في دين باطل وإن دخل في دين من لم يبدل فإن كان ذلك قبل النسخ بشريعة بعده أخذت منه الجزية لأنه دخل في حق

PASAL: Jika seorang musyrik masuk ke dalam agama Ahli Kitab, maka diteliti keadaannya. Jika ia masuk sebelum terjadi perubahan (tahrīf), maka dipungut darinya jizyah dan dibuatkan akad dzimmah untuknya karena ia masuk ke dalam agama yang benar. Namun jika ia masuk setelah terjadi perubahan, maka diteliti lagi: jika ia masuk ke dalam agama yang telah diubah, maka tidak dipungut jizyah darinya dan tidak dibuatkan akad dzimmah untuknya karena ia masuk ke dalam agama yang batil. Tetapi jika ia masuk ke dalam agama yang belum diubah, dan itu terjadi sebelum dinasakh dengan syariat setelahnya, maka dipungut jizyah darinya karena ia masuk ke dalam kebenaran.

وإن كان بعد النسخ بشريعة بعده لم تؤخذ منه الجزية وقال المزني رحمه الله تؤخذ منه ووجهه أنه دخل في دين يقر عليه أهله وهذا خطأ لأنه دخل في دين باطل فلم تؤخذ منه الجزية كالمسلم إذا ارتد وإن دخل في دينهم ولم يعلم أنه دخل في دين من بدل أوفي دين من لم يبدل كنصارى العرب وهم بهراء وتنوخ وتغلب أخذت منهم الجزية لأن عمر رضي الله عنه أخذ منهم الجزية باسم الصدقة ولأنه أشكل أمره فحقن دمه بالجزية احتياطاً للدم وأما من تمسك بالكتب التي أنزلت على شيث وإبراهيم وداود ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنهم يقرون ببذل الجزية لأنهم أهل كتاب فأقروا ببذل الجزية كاليهود والنصارى

Dan jika (masuknya) setelah dinasakh oleh syariat setelahnya, maka tidak dipungut darinya jizyah. Al-Muzanī raḥimahullāh berkata: dipungut darinya jizyah, dan alasannya adalah karena ia masuk ke dalam agama yang masih diakui atas pemeluknya. Ini adalah kesalahan, karena ia masuk ke dalam agama yang batil, maka tidak dipungut darinya jizyah sebagaimana seorang muslim jika murtad.

Dan jika ia masuk ke dalam agama mereka tanpa diketahui apakah ia masuk ke dalam agama yang telah diubah atau agama yang belum diubah — seperti orang-orang Nasrani Arab dari kabilah Bahra’, Tanūkh, dan Taghlib — maka dipungut dari mereka jizyah karena ʿUmar raḍiyallāhu ʿanhu mengambil dari mereka jizyah dengan nama sedekah. Dan karena status mereka samar, maka darah mereka dilindungi dengan jizyah sebagai bentuk kehati-hatian terhadap darah.

Adapun orang yang berpegang pada kitab-kitab yang diturunkan kepada Syīts, Ibrāhīm, dan Dāwūd, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, yang merupakan perkataan Abū Isḥāq, adalah bahwa mereka tetap diakui dengan membayar jizyah karena mereka termasuk Ahli Kitab, maka mereka diakui dengan pembayaran jizyah sebagaimana Yahudi dan Nasrani.

والثاني: لا يقرون لأن هذه الصحف كالأحكام التي تنزل بها الوحي وأما السامرة والصابئون ففيهم وجهان: أحدهما: أنه تؤخذ منهم الجزية والثاني: لا تؤخذ وقد بيناهما في كتاب النكاح وأما من كان أحد أبويه وثنياً والآخر كتابياً فعلى ما ذكرناه في النكاح وإن دخل وثني في دين أهل الكتاب وله ابن صغير فجاء الإسلام وبلغ الابن واختار المقام على الدين الذي انتقل إليه أبوه أخذت منه الجزية لأنه تبعه في الدين فأخذت منه الجزية وإن غزا المسلمون قوماً من الكفار لا يعرفون دينهم فادعوا أنهم من أهل الكتاب أخذت منهم الجزية لأنه لا يمكن معرفة دينهم إلا من جهتهم فقبل قولهم وإن أسلم منهم اثنان وعدلا وشهدا أنهم من غير أهل الكتاب نبذ إليهم عهدهم لأنه بان بطلان دعواهم.

Dan pendapat kedua: tidak diakui (dengan jizyah), karena ṣuḥuf tersebut seperti hukum-hukum yang diturunkan melalui wahyu (namun bukan syariat yang utuh).

Adapun Sāmirah dan Ṣābi’ūn, maka terdapat dua pendapat tentang mereka: pertama, bahwa dipungut jizyah dari mereka; kedua, tidak dipungut jizyah. Keduanya telah kami jelaskan dalam Kitāb an-Nikāḥ.

Adapun seseorang yang salah satu dari kedua orang tuanya adalah penyembah berhala dan yang lainnya Ahli Kitab, maka hukumnya sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam bab nikah.

Dan jika seorang musyrik masuk ke dalam agama Ahli Kitab dan ia memiliki anak kecil, lalu datang Islam dan anak itu telah baligh serta memilih tetap tinggal dalam agama yang dianut ayahnya, maka dipungut jizyah darinya karena ia mengikuti ayahnya dalam agama, maka dipungut darinya jizyah.

Dan jika kaum muslimin memerangi suatu kaum dari kalangan kuffār yang tidak diketahui agama mereka, lalu mereka mengaku bahwa mereka dari Ahli Kitab, maka dipungut jizyah dari mereka karena tidak mungkin mengetahui agama mereka kecuali dari pengakuan mereka, maka diterima ucapan mereka.

Namun jika dari mereka ada dua orang yang masuk Islam dan keduanya ʿadl (terpercaya), lalu bersaksi bahwa mereka bukan dari kalangan Ahli Kitab, maka dibatalkan perjanjian mereka karena telah nyata kebatilan pengakuan mereka.

فصل: وأقل الجزية دينار لما روى معاذ بن جبل رضي الله عنه قال: بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى اليمن وأمرني أن آخذ من كل حالم ديناراً أو عدله معافرياً وإن التزم أكثر من دينار عقدت له الذمة أخذ بأدائه لأنه عوض في عقد منع الشرع فيه من النقصان عن دينار وبقي الأمر فيما زاد على ما يقع عليه التراضي كما لو وكل وكيلاً في بيع سلعة وقال لا تبع بما دون ينار فإن امتنع قوم من أداء الجزية باسم الجزية وقالوا نؤدي باسم الصدقة ورأى الإمام أن يأخذ باسم الصدقة جاز

PASAL: Jumlah paling sedikit dari jizyah adalah satu dinar, berdasarkan riwayat dari Mu‘āż bin Jabal RA, ia berkata: Rasulullah SAW mengutusku ke Yaman dan memerintahkanku agar aku mengambil dari setiap orang yang telah mimpi basah satu dinar atau senilai dengannya berupa kain mu‘āfirī. Jika ada yang bersedia membayar lebih dari satu dinar, maka diikatlah żimmah-nya dan ia wajib membayar jumlah itu, karena ia merupakan imbalan dalam akad yang syariat melarang pengurangannya dari satu dinar. Adapun kelebihan dari jumlah tersebut dikembalikan kepada kesepakatan kedua belah pihak, sebagaimana seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual barang dan berkata: “Jangan jual di bawah satu dinar.” Jika suatu kaum enggan membayar jizyah dengan menyebutnya sebagai jizyah dan berkata: “Kami akan membayar dengan nama ṣadaqah,” dan imam melihat bahwa boleh mengambil dengan nama ṣadaqah, maka hal itu diperbolehkan.

لأن نصارى العرب قالوا لعمر رضي الله عنه لا نؤدي ما تؤدي العجم ولكن خذ منا باسم الصدقة كما تأخذ من العرب فأبى عمر رضي الله عنه وقال: لا أقركم إلا بالجزية فقالوا خذ منا ضعف ما تأخذ من المسلمين فأبى عليهم فأرادوا اللحاق بدار الحرب فقال زرعة بن النعمان أو النعمان بن زرعة لعمر إن بنى تغلب عرب وفيهم قوة فخذ منهم ما قد بذلوا ولا تدعهم أن يلحقوا بعدوك فصالحهم على أن يضعف عليهم الصدقة

Karena kaum Nasrani dari Arab berkata kepada ‘Umar RA: “Kami tidak mau membayar sebagaimana yang dibayar oleh bangsa ‘ajam, tetapi ambillah dari kami dengan nama ṣadaqah sebagaimana engkau mengambil dari bangsa Arab.” Maka ‘Umar RA menolak dan berkata: “Aku tidak akan mengakui kalian kecuali dengan jizyah.” Mereka pun berkata: “Ambillah dari kami dua kali lipat dari yang engkau ambil dari kaum muslimin,” namun beliau tetap menolak. Mereka pun berniat untuk bergabung dengan negeri musuh. Maka Zura‘ah bin al-Nu‘mān atau al-Nu‘mān bin Zura‘ah berkata kepada ‘Umar: “Sesungguhnya Banū Taghlib adalah orang Arab dan mereka memiliki kekuatan, maka ambillah dari mereka apa yang telah mereka tawarkan dan jangan biarkan mereka bergabung dengan musuhmu.” Maka ‘Umar pun berdamai dengan mereka dengan menetapkan kewajiban ṣadaqah yang dilipatgandakan atas mereka.

وإن كان ما يؤخذ منهم باسم الصدقة لا يبلغ الدينار وجب إتمام الدينار لأن الجزية لا تكون أقل من دينار وإن أضعف عليهم الصدقة فبلغت دينارين فقالوا أسقط عنا ديناراً وخذ منا ديناراً باسم الجزية وجب أخذ الدينار لأن الزيادة وجبت لتغيير الاسم فإذا رضوا بالاسم وجب إسقاط الزيادة.

Dan jika apa yang diambil dari mereka dengan nama ṣadaqah tidak mencapai satu dinar, maka wajib disempurnakan hingga satu dinar, karena jizyah tidak boleh kurang dari satu dinar. Dan jika ṣadaqah yang dilipatgandakan atas mereka mencapai dua dinar lalu mereka berkata: “Hapuskan satu dinar dari kami dan ambillah dari kami satu dinar dengan nama jizyah,” maka wajib diambil satu dinar, karena tambahan tersebut wajib disebabkan oleh perubahan nama, maka apabila mereka ridha dengan penamaan itu, wajib dihapuskan kelebihannya.

فصل: والمستحب أن يجعل الجزية على ثلاث طبقات فيجعل على الفقير المعتمل ديناراً وعلى المتوسط دينارين وعلى الغني أربعة دنانير لأن عمر رضي الله عنه بعث عثمان بن حنيف إلى الكوفة فوضع عليهم ثمانية وأربعين وأربعة وعشرين واثني عشر ولأن بذلك يخرج من الخلاف لأن أبا حنيفة لا يجيز إلا كذلك.

PASAL: Yang disunnahkan adalah menjadikan jizyah dalam tiga tingkatan: ditetapkan satu dinar bagi orang fakir yang bekerja, dua dinar bagi orang menengah, dan empat dinar bagi orang kaya. Karena ʿUmar raḍiyallāhu ʿanhu pernah mengutus ʿUtsmān bin Ḥunaif ke Kūfah, lalu ia menetapkan atas mereka jizyah sebanyak empat puluh delapan, dua puluh empat, dan dua belas. Dan karena dengan pembagian seperti ini dapat keluar dari khilaf, sebab Abū Ḥanīfah tidak membolehkan kecuali dengan cara demikian.

فصل: ويجوز أن يضرب الجزية على مواشيهم وعلى ما يخرج من الأرض من ثمر أو زرع فإن كان لا يبلغ ما يضرب على الماشية وما يخرج من الأرض ديناراً لم يجز لأن الجزية لا تجوز أن تنقص عن دينار وإن شرط أنه إن نقص عن دينار تمم الدينار جاز لأنه يتحقق حصول الدينار وإن غلب على الظن أنه يبلغ الدينار ولم يشترط أنه لو نقص الدينار تمم الدينار ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجوز لأنه قد ينقص عن الدينار

PASAL: Dan boleh menetapkan jizyah atas hewan ternak mereka dan atas hasil bumi berupa buah-buahan atau tanaman. Jika yang ditetapkan atas ternak dan hasil bumi itu tidak mencapai satu dinar, maka tidak boleh, karena jizyah tidak boleh kurang dari satu dinar. Namun jika disyaratkan bahwa jika kurang dari satu dinar maka akan disempurnakan menjadi satu dinar, maka hal itu diperbolehkan karena dipastikan tercapai satu dinar. Dan jika kuat dugaan bahwa akan mencapai satu dinar namun tidak disyaratkan bahwa bila kurang dari satu dinar maka akan disempurnakan, maka dalam hal ini terdapat dua wajah: pertama, tidak boleh, karena bisa jadi kurang dari satu dinar.

والثاني: أنه يجوز لأن الغالب في الثمار أنها لا تختلف وإن ضرب الجزية على ما يخرج من الأرض فبلغ الأرض من مسلم صح البيع لأنه مال له وينتقل ما ضرب عليها إلى الرقبة لأنه لا يمكن أخذ ما ضرب عليها من المسلم لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا ينبغي لمسلم أن يؤدي الخراج”. ولأنه جزية فلا يجوز أخذها من المسلم ولا يجوز إقرار الكافر على الكفر من غير جزية فانتقل إلى الرقبة.

dan yang kedua: boleh, karena umumnya hasil buah-buahan tidak banyak berubah. Dan jika jizyah ditetapkan atas hasil bumi, lalu tanah tersebut dibeli oleh seorang muslim, maka jual beli itu sah karena tanah tersebut adalah miliknya, dan kewajiban yang ditetapkan atasnya berpindah ke tanah itu (bukan lagi kepada pemiliknya), karena tidak mungkin mengambil kewajiban tersebut dari seorang muslim berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak sepantasnya bagi seorang muslim membayar kharāj.” Dan karena itu adalah jizyah, maka tidak boleh diambil dari seorang muslim. Dan tidak boleh membiarkan seorang kafir dalam kekafirannya tanpa membayar jizyah, maka kewajiban itu berpindah ke tanahnya.

فصل: وتجب الجزية في آخر الحول لأن النبي صلى الله عليه وسلم كتب إلى أهل اليمن أن يؤخذ من كل حالم في كل سنة دينار وروى أبو مجلز أن عثمان بن حنيف وضع على الرؤوس على كل رجل أربعة وعشرين في كل سنة فإن مات أو أسلم بعد الحول لم يسقط ما وجب لأنه عوض عن الحقن والمساكنة وقد استوفى ذلك فاستقر عليه العوض كالأجرة بعد استيفاء المنفعة فإن مات أو أسلم في أثناء الحول ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يلزمه شيء لأنه مال يتعلق وجوبه بالحول فسقط بموته في أثناء الحول كالزكاة والثاني: وهو الصحيح أنه يلزمه من الجزية بحصة ما مضى لأنها تجب عوضاً عن الحقن والمساكنة وقد استوفى البعض فوجب عليه بحصته كما لو استأجر عيناً مدة واستوفى المنفعة في بعضها ثم هلكت العين.

PASAL: Dan wajib menetapkan jizyah di akhir tahun, karena Nabi SAW menulis kepada penduduk Yaman bahwa dipungut dari setiap orang yang balig setiap tahun satu dinar. Dan Abu Majliz meriwayatkan bahwa ‘Utsman bin Hunaif menetapkan atas kepala (manusia), atas setiap laki-laki dua puluh empat (dirham) setiap tahun. Maka jika ia mati atau masuk Islam setelah genap setahun, tidak gugur kewajiban yang telah ditetapkan karena ia merupakan imbalan atas perlindungan jiwa dan hak bertempat tinggal, dan hal itu telah ia nikmati, maka tetaplah imbalannya seperti upah setelah menikmati manfaat. Jika ia mati atau masuk Islam di tengah tahun, maka ada dua pendapat: pertama, bahwa ia tidak wajib membayar apa pun karena harta ini kewajiban penetapannya bergantung pada genapnya setahun, maka gugur dengan kematiannya di tengah tahun seperti zakat; dan pendapat kedua, yang shahih, adalah bahwa ia wajib membayar jizyah sesuai bagian waktu yang telah berlalu, karena jizyah itu wajib sebagai imbalan atas perlindungan jiwa dan hak bertempat tinggal, dan ia telah menikmati sebagian darinya maka wajib membayar sesuai bagiannya, sebagaimana jika seseorang menyewa suatu benda untuk jangka waktu tertentu lalu telah menikmati manfaatnya sebagian kemudian benda itu rusak.

فصل: ويجوز أن يشترط عليها في الجزية ضيافة من يمر بهم من المسلمين لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم صالح أكيدر دومة من نصارى أيلة على ثلاثمائة دينار وكانوا ثلاثمائة رجل وأن يضيفوا من يمر بهم من المسلمين وروى عبد الرحمن بن غنم قال: كتبت لعمر بن الخطاب رضي الله عنه حين صالح نصارى أهل الشام بسم الله الرحمن الرحيم هذا كتاب لعبد الله بن عمر بن الخطاب أمير المؤمنين ومن نصارى مدينة كدى إنكم لما قدمتم علينا سألناكم الأمان لأنفسنا وذرارينا وأموالنا وشرطنا لكم أن ننزل من يمر بنا من المسلمين ثلاثة أيام نطعمهم ولا يشترط ذلك عليهم إلا برضاهم

PASAL: Dan boleh disyaratkan atas mereka dalam jizyah kewajiban menjamu siapa saja dari kaum muslimin yang melewati mereka, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW berdamai dengan Akīdir Dūmah dari kalangan Nasrani Aylah atas tiga ratus dinar—mereka berjumlah tiga ratus orang—dan bahwa mereka menjamu siapa saja dari kaum muslimin yang melewati mereka. Dan diriwayatkan dari ʿAbd al-Raḥmān bin Ghanm, ia berkata: Aku menulis untuk ʿUmar bin al-Khaṭṭāb RA ketika ia berdamai dengan Nasrani penduduk Syam: “Bismillāh al-Raḥmān al-Raḥīm. Ini adalah surat dari ʿAbdullāh ʿUmar bin al-Khaṭṭāb, Amīr al-Muʾminīn, untuk kaum Nasrani kota Kadā. Sesungguhnya ketika kalian datang kepada kami, kalian meminta jaminan keamanan untuk diri, anak-anak, dan harta kalian. Dan kami mensyaratkan atas kalian agar kalian memberikan tempat singgah bagi siapa saja dari kaum muslimin yang melewati kalian selama tiga hari dan memberi mereka makan.” Dan hal itu tidak boleh disyaratkan atas mereka kecuali dengan kerelaan mereka.

لأنه ليس من الجزية ويشترط عليهم الضيافة بعد الدينار لحديث أكيدر دومة لأنه إذا جعل الضيافة من الدينار لم يؤمن أن لا يحصل من بعد الضيافة مقدرا الدينار ولا تشترط الضيافة إلا على غني أو متوسط وأما الفقير فلا تشترط عليه وإن وجبت عليه الجزية لأن الضيافة تتكرر فلا يمكنه القيام بها ويجب أن تكون أيام الضيافة من السنة معلومة وعدد من يضاف من الفرسان والرجالة وقدر الطعام والأدم العلوفة معلوماً ولأنه من الجزية فلم يجز مع الجهل بها ولا يكلفون إلا من طعامهم وإدامهم

Karena hal itu bukan bagian dari jizyah, maka disyaratkan kewajiban menjamu setelah dikenakan satu dinar, berdasarkan hadis tentang Akīdir Dūmah. Karena jika jamuan dijadikan bagian dari dinar, dikhawatirkan tidak akan tersisa jumlah satu dinar setelah diberikan jamuan. Dan tidak boleh disyaratkan jamuan kecuali atas orang yang kaya atau menengah, adapun orang fakir maka tidak disyaratkan atasnya meskipun jizyah tetap wajib atasnya, karena jamuan bersifat berulang dan ia tidak mampu menunaikannya. Dan wajib menetapkan hari-hari jamuan dalam satu tahun secara jelas, jumlah pasukan berkuda dan berjalan kaki yang dijamu, serta kadar makanan, lauk-pauk, dan pakan ternak yang diberikan juga harus diketahui, karena hal itu termasuk bagian dari jizyah, maka tidak sah jika tidak diketahui kadarnya. Dan mereka hanya dibebani dengan makanan dan lauk-pauk yang berasal dari jenis yang mereka miliki.

لما روى أسلم أن أهل الجزية من أهل الشام أتوا عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقالوا: إن المسلمين إذا مروا بنا كلفونا ذبح الغنم والدجاج في ضيافتهم فقال: أطعموهم مما تأكلون ولا تزيدوهم على ذلك ويقسط ذلك على قدر جزيتهم ولا تزاد أيام الضيافة على ثلاثة أيام لما روي أن الني صلى الله عليه وسلم قال: “الضيافة ثلاثة أيام”.

Karena telah diriwayatkan oleh Aslam bahwa penduduk jizyah dari Syam datang kepada ʿUmar bin al-Khaṭṭāb RA dan berkata: “Sesungguhnya kaum muslimin jika melewati kami membebani kami untuk menyembelih kambing dan ayam dalam menjamu mereka.” Maka beliau berkata: “Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan, dan jangan kalian tambahi dari itu.” Dan kewajiban itu dibagi sesuai kadar jizyah mereka. Dan tidak boleh menambah hari-hari jamuan lebih dari tiga hari, karena telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Jamuan itu tiga hari.”

وعليهم أن يسكنوهم في فضول مساكنهم وكنائسهم لما روى عبد الرحمن بن غنم في الكتاب الذي كتب على نصارى الشام وشرطنا أن لا نمنع كنائسنا أن ينزلها أحد من المسلمين من ليل ونهار وأن توسع أبوابها للمارة وأبناء السبيل فإن كثروا وضاق المكان قدم من سبق فإذا جاءوا في وقت واحد أقرع بينهم لتساويهم وإن لم تسعهم هذه المواضع نزلوا في فضول بيوت الفقراء من غير ضيافة.

Dan mereka wajib menempatkan kaum muslimin di sisa-sisa tempat tinggal dan gereja-gereja mereka, berdasarkan riwayat dari ʿAbd al-Raḥmān bin Ghanm dalam surat yang ditulis atas kaum Nasrani Syam: “Dan kami mensyaratkan agar kami tidak melarang gereja-gereja kami untuk ditempati oleh siapa pun dari kaum muslimin, baik siang maupun malam, dan agar pintu-pintunya diluaskan untuk orang-orang yang lewat dan para musafir.” Jika jumlah mereka banyak dan tempatnya sempit, maka yang datang lebih dahulu didahulukan, dan jika mereka datang bersamaan maka diundi di antara mereka karena mereka sama dalam hak. Jika tempat-tempat itu tidak mencukupi, maka mereka ditempatkan di sisa rumah-rumah orang fakir tanpa kewajiban jamuan.

فصل: ولا تؤخذ الجزية من صبي لحديث معاذ قال: أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن آخذ من كل حالم ديناراً أو عدله معافرياً ولأن الجزية تجب لحقن الدم والصبي محقون الدم وإن بلغ صبي من أولاد أهل الذمة فهو في أمان لأنه كان في الأمان فلا يخرج منه من غير عناد فإن اختار أن يكون في الذمة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يستأنف له عقد الذمة لأن العقد الأول كان للأب دونه فعلى هذا جزيته على ما يقع عليه التراضي والثاني: لا يحتاج إلى استئناف عقد لأنه تبع الأب في الأمان فتبعه في الذمة فعلى هذا يلزمه جزية أبيه وجده من الأب ولا يلزمه جزية جده من الأم لأنه لا جزية على الأم فلا يلزمه جزية أبيها.

PASAL: Tidak diambil jizyah dari anak kecil, berdasarkan hadis Mu‘āż yang berkata: Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengambil dari setiap yang telah bermimpi basah satu dinar atau senilainya dari ma‘āfirī. Karena jizyah diwajibkan untuk perlindungan darah, sedangkan anak kecil darahnya sudah terlindungi.

Jika seorang anak dari kalangan ahl al-żimmah telah baligh, maka ia tetap berada dalam perlindungan, karena sebelumnya ia sudah berada dalam perlindungan, maka tidak keluar darinya kecuali dengan penolakan. Jika ia memilih untuk tetap dalam status żimmah, maka ada dua pendapat:

Pertama: perlu dibuatkan akad żimmah yang baru untuknya, karena akad sebelumnya adalah untuk ayahnya bukan untuk dirinya. Maka menurut pendapat ini, jizyahnya ditetapkan sesuai dengan kesepakatan bersama.

Kedua: tidak perlu memperbaharui akad, karena ia mengikuti ayahnya dalam perlindungan, maka ia juga mengikutinya dalam żimmah. Maka berdasarkan pendapat ini, ia dikenai jizyah sebagaimana ayah dan kakeknya dari pihak ayah, dan tidak dikenai jizyah kakek dari pihak ibu, karena ibu tidak terkena jizyah, maka kakeknya dari pihak ibu pun tidak terkena jizyah.

فصل: ولا تؤخذ الجزية من مجنون لأنه محقون الدم فلا تؤخذ منه الجزية كالصبي وإن كان يجن يوماً ويفيق يوماً لفق أيام الإفاقة فإذا بلغ قدر سنة أخذت منه الجزية لأنه ليس تغليب أحد الأمرين بأولى من الآخر فوجب التلفيق وإن كان عاقلاً في أول الحول ثم جن في أثنائه وأطبق الجنون ففي جزية ما مضى من أول الحول قولان كما قلنا فيمن مات أو أسلم في أثناء الحول.

PASAL: Tidak diambil jizyah dari orang gila karena darahnya terjaga, maka tidak diambil darinya jizyah sebagaimana anak kecil. Jika ia mengalami kegilaan satu hari dan sadar satu hari, maka dijumlahkan hari-hari kesadarannya, apabila mencapai kadar satu tahun, maka diambil darinya jizyah, karena tidak ada yang lebih utama antara memilih salah satu dari dua keadaan tersebut, maka wajib dijumlahkan. Jika ia berakal di awal tahun kemudian menjadi gila di pertengahannya dan kegilaannya terus-menerus, maka dalam jizyah untuk masa awal tahun terdapat dua pendapat, sebagaimana yang dikatakan dalam hal orang yang meninggal atau masuk Islam di tengah tahun.

فصل: ولا تؤخذ الجزية من امرأة لما روى أسلم أن عمر رضي الله عنه كتب إلى أمراء الجزية أن لا تضربوا الجزية على النساء ولا تضربوا إلى على من جرت عليه الموسى ولأنها محقونة الدم فلا تؤخذ منها الجزية كالصبي ولا تؤخذ من الخنثى المشكل لجواز أن يكون امرأة وإن طلبت امرأة من دار الحرب أن تعقد لها الذمة وتقيم في دار الإسلام من غير جزية جاز لأنه لا جزية عليها ولكن يشترط عليها أن تجري عليها أحكام الإسلام

PASAL: Tidak diambil jizyah dari perempuan, berdasarkan riwayat dari Aslam bahwa ʿUmar RA menulis kepada para amir penarik jizyah: “Janganlah kalian menetapkan jizyah atas perempuan, dan janganlah kalian menetapkan jizyah kecuali atas orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya.” Karena perempuan darahnya terjaga, maka tidak diambil darinya jizyah sebagaimana halnya anak kecil. Dan tidak diambil pula dari khuntsā musykil, karena mungkin ia adalah perempuan. Dan jika ada seorang perempuan dari dār al-ḥarb meminta untuk dibuatkan akad dzimmah baginya dan tinggal di dār al-islām tanpa jizyah, maka hal itu boleh, karena tidak ada jizyah atasnya, namun disyaratkan atasnya untuk tunduk pada hukum-hukum Islam.

وإن نزل المسلمون على حصن فيه نساء بلا رجال فطلبن عقد الذمة بالجزية ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يعقد لهن لأن دماءهن محقونة فعلى هذا يقيمون حتى يفتحوا الحصن ويستبقوهن والثاني: أنه يجوز أن يعقد لهن الذمة وتجري عليهن أحكام المسلمين كما قلنا في الحربية إذا طلبت عقد الذمة فعلى هذا لا يجوز سبيهن وما بذلن من الجزية كالهدية وإن دفعن أخذ منهن وإن امتنعن لم يخرجن من الذمة.

Dan jika kaum muslimin mengepung sebuah benteng yang di dalamnya terdapat perempuan-perempuan tanpa laki-laki, lalu mereka meminta agar dibuatkan akad dzimmah dengan membayar jizyah, maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama: tidak boleh dibuatkan akad dzimmah bagi mereka karena darah mereka sudah terjaga, maka berdasarkan pendapat ini mereka tetap dikepung hingga benteng dibuka dan mereka dijadikan tawanan.

Pendapat kedua: boleh dibuatkan akad dzimmah bagi mereka dan berlaku atas mereka hukum-hukum kaum muslimin, sebagaimana yang telah kami katakan tentang perempuan ḥarbiyyah jika ia meminta akad dzimmah; maka berdasarkan pendapat ini tidak boleh dijadikan tawanan, dan jizyah yang mereka tawarkan diperlakukan seperti hadiah. Jika mereka membayarkannya, maka diambil dari mereka, dan jika mereka menolak, mereka tetap berada dalam status dzimmah.

فصل: ولا يؤخذ من العبد ولا من السيد بسببه لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال لا جزية على مملوك لأنه لا يقتل بالكفر فلم تؤخذ منه الجزية كالصبي والمرأة ولا تؤخذ ممن نصفه حر ونصفه عبد لأنه محقون الدم فلم تؤخذ منه الجزية كالعبد ومن أصحابنا من قال فيه وجه آخر أنه يؤخذ منه بقدر ما فيه من الجزية لأنه يملك المال بقدر ما فيه من الحرية وإن أعتق العبد نظرت فإن كان المعتق مسلماً عقدت له الذمة بما يقع عليه التراضي من الجزية وإن كان ذمياً ففيه وجهان: أحدهما: أنه يستأنف له عقد الذمة بما يقع عليه التراضي من الجزية لأن عقد المولى كان له دون العبد والثاني: يلزمه جزية المولى لأنه تبعه في الأمان فلزمه جزيته.

PASAL: Tidak diambil jizyah dari budak, dan tidak pula dari tuannya karena sebab dirinya, berdasarkan riwayat dari ʿUmar RA bahwa ia berkata: “Tidak ada jizyah atas budak,” karena ia tidak dibunuh karena kekufuran, maka tidak diambil darinya jizyah sebagaimana anak kecil dan perempuan. Dan tidak diambil dari orang yang separuh dirinya merdeka dan separuhnya budak, karena darahnya terjaga, maka tidak diambil darinya jizyah seperti halnya budak.

Sebagian dari ulama mazhab kami mengatakan ada pendapat lain, yaitu diambil darinya jizyah sebanding dengan kadar kemerdekaannya, karena ia memiliki harta sesuai kadar kemerdekaan yang ia miliki.

Jika budak itu dimerdekakan, maka dilihat: jika yang memerdekakannya adalah seorang muslim, maka dibuatkan akad dzimmah baginya dengan jizyah sesuai kesepakatan. Namun jika yang memerdekakannya adalah seorang dzimmī, maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama: akad dzimmah harus diulang untuknya dengan jizyah yang disepakati, karena akad dari tuannya berlaku untuk dirinya, bukan untuk budak.

Pendapat kedua: ia dikenai jizyah tuannya, karena ia mengikuti tuannya dalam perlindungan keamanan, maka wajib pula baginya jizyah-nya.

فصل: وفي الراهب والشيخ الفاني قولان بناء على القولين في قتلهما فإن قلنا يجوز قتلهما أخذت منهما الجزية ليحقن بها دمهما وإن قلنا إنه لا يجوز قتلهما لم تؤخذ منهما لأن دمهما محقون فلم تؤخذ منهما الجزية كالصبي والمرأة وفي الفقير الذي لا كسب له قولان: أحدهما: أنه لا تجب عليه الجزية لأن عمر رضي الله عنه جعل أهل الجزية طبقات وجعل أدناهم الفقير المعتمل فدل على أنها لا تجب على غير المعتمل ولأنه إذا لم يجب خراج الأرض في أرض لا نبات لها لم يجب خراج الرقاب في رقبة لا كسب لها فعلى هذا يكون مع الأغنياء في عقد الذمة

PASAL: Dalam hal rahib dan orang tua renta, terdapat dua pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam hukum membunuh keduanya. Jika dikatakan boleh membunuh mereka, maka dipungut dari mereka jizyah agar darah mereka dapat dihindarkan dengannya. Namun jika dikatakan tidak boleh membunuh mereka, maka tidak dipungut jizyah dari mereka karena darah mereka sudah terlindungi, sehingga tidak dipungut jizyah sebagaimana halnya anak kecil dan perempuan.

Adapun mengenai orang fakir yang tidak memiliki penghasilan, terdapat dua pendapat: pertama, bahwa jizyah tidak wajib atasnya, karena Umar RA membagi orang-orang yang dikenai jizyah ke dalam beberapa tingkatan dan menjadikan tingkatan paling rendah adalah orang fakir yang masih bekerja, maka ini menunjukkan bahwa jizyah tidak wajib atas orang yang tidak bekerja. Karena apabila kharaj tanah tidak diwajibkan atas tanah yang tidak memiliki tanaman, maka tidak diwajibkan pula kharaj kepala (yakni jizyah) atas seseorang yang tidak memiliki penghasilan. Maka menurut pendapat ini, ia tetap termasuk dalam akad dzimmah bersama orang-orang kaya.

فإذا أيسر استؤنف الحول والثاني: أنها تجب عليه لأنها تجب على سبيل العوض فاستوى فيه المعتمل وغير المعتمل كالثمن والأجرة ولأن المعتمل وغير المعتمل يستويان في القتل بالكفر فاستويا في الجزية فعلى هذا ينظر إلى الميسرة فإذا أيسر طولب بجزية ما مضى ومن أصحابنا من قال لا ينظر لأنه يقدر على حقن الدم بالإسلام فلم ينظر كما لا ينظر من وجبت عليه كفارة ولا يجد رقبة وهو يقدر على الصوم فعلى هذا يقول له إن توصلت إلى أداء الجزية خليناك وإن لم تفعل نبذنا إليك العهد.

Maka apabila ia menjadi mampu, maka dimulai kembali hitungan haul. Pendapat kedua: jizyah tetap wajib atasnya, karena jizyah diwajibkan sebagai ganti (perlindungan), sehingga sama saja antara yang bekerja maupun tidak, sebagaimana harga dan upah. Dan karena baik yang bekerja maupun yang tidak bekerja sama-sama layak dibunuh karena kekafiran, maka keduanya pun sama dalam kewajiban jizyah. Maka menurut pendapat ini, dilihat kemampuan finansialnya; apabila ia menjadi mampu, maka dituntut membayar jizyah untuk masa lalu.

Sebagian dari kalangan kami mengatakan: tidak perlu melihat (kemampuan), karena ia mampu menghindarkan darahnya dengan masuk Islam, maka tidak dipandang seperti orang yang wajib membayar kafarat dan tidak mendapatkan budak, padahal ia mampu berpuasa. Maka menurut pendapat ini, dikatakan kepadanya: “Jika engkau mampu membayar jizyah, kami biarkanmu; jika tidak, kami batalkan perjanjian denganmu.”

فصل: ويثبت الإمام عدد أهل الذمة أسماءهم ويحليهم بالصفات التي لا تتغير بالأيام فيقول طويل أو قصير أو ربعة أو أبيض أو أسود أو أسمر أو أشقر أو أدعج العينين أو مقرون الحاجبين أو أقنى الأنف ويكتب ما يؤخذ من كل واحد منهم ويجعل على كل طائفة عريفاً ليجمعهم عند أخذ الجزية ويكتب من يدخل معهم في الجزية بالبلوغ ومن يخرج منهم بالموت والإسلام وتؤخذ منهم الجارية برفق كما تؤخذ سائر الديون ولا يؤذيهم في أخذها بقول ولا فعل لأنه عوض في عقد فلم يؤذهم في أخذه بقول ولا فعل كأجرة الدار ومن قبض منه جزيته كتبت له براءة لتكون حجة له إذا احتاج إليها.

PASAL: Imam menetapkan jumlah ahludz-dzimmah, nama-nama mereka, dan menyebutkan ciri-ciri yang tidak berubah seiring waktu, seperti: tinggi atau pendek atau sedang, putih atau hitam atau sawo matang atau pirang, bermata hitam pekat, alis menyatu, berhidung mancung. Kemudian ia menulis jumlah yang diambil dari masing-masing mereka, dan mengangkat seorang ‘arīf pada setiap kelompok untuk mengumpulkan mereka saat pengambilan jizyah. Ia juga mencatat siapa saja yang masuk dalam kewajiban jizyah karena telah baligh, dan siapa yang keluar darinya karena wafat atau masuk Islam. Jizyah diambil dari mereka dengan lemah lembut sebagaimana pengambilan utang lainnya, dan tidak boleh menyakiti mereka baik dengan ucapan maupun perbuatan, karena ia merupakan ganti dalam suatu akad, maka tidak boleh disakiti dalam pengambilannya baik dengan ucapan maupun perbuatan seperti halnya sewa rumah. Barang siapa yang telah diambil darinya jizyah, maka dituliskan baginya surat bebas tanggungan sebagai bukti jika suatu saat ia membutuhkannya.

فصل: وإن مات الإمام أو عزل وولى غيره ولم يعرف مقدار ما عليهم من الجزية رجع إليهم في ذلك لأنه لا تمكن معرفته مع تعذر البنية إلا من جهتهم ويحلفهم استظهاراً ولا يجب لأن ما يدعونه لا يخالف الظاهر فإن قال بعضهم هو دينار وقال بعضهم هو ديناران أخذ من كل واحد منهم ما أقر به لأن إقرارهم مقبول ولا تقبل شهادة بعضهم على بعض لأن شهادتهم لا تقبل وإن ثبت بعد ذلك بإقرار أو بينة أن الجزية كانت أكثر استوفى منهم

PASAL: Jika imam meninggal dunia atau dipecat, lalu diangkat pengganti yang baru dan ia tidak mengetahui berapa jumlah jizyah yang wajib atas mereka, maka dikembalikan perkara itu kepada mereka karena tidak mungkin mengetahuinya dengan ketiadaan catatan kecuali dari pihak mereka. Imam boleh meminta mereka bersumpah sebagai tindakan kehati-hatian, namun tidak wajib karena apa yang mereka akui tidak bertentangan dengan lahiriah. Jika sebagian dari mereka mengatakan satu dinar dan sebagian lainnya mengatakan dua dinar, maka diambil dari masing-masing sesuai dengan apa yang mereka akui karena pengakuan mereka diterima. Namun kesaksian sebagian mereka atas sebagian yang lain tidak diterima karena kesaksian mereka tidak diterima. Jika setelah itu terbukti melalui pengakuan atau bukti bahwa jizyah tersebut lebih dari itu, maka sisanya ditagih dari mereka.

فإن قالوا كنا ندفع دينارين ديناراً عن الجزية وديناراً هدية فالقول قولهم مع يمينهم واليمين واجبة لأن دعواهم تخالف الظاهر وإن غاب منهم رجل سنين ثم قدم وهو مسلم وادعى أنه أسلم في أول ما غاب ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يقبل قوله ويطالب بجزية ما مضى من غيبته في حال الكفر لأن الأصل بقاؤه على الكفر والثاني: أنه يقبل لأن الأصل براءة الذمة من الجزية.

Jika mereka berkata, “Kami dahulu membayar dua dinar: satu dinar untuk jizyah dan satu dinar sebagai hadiah,” maka perkataan mereka diterima beserta sumpah mereka, dan sumpah itu wajib karena klaim mereka bertentangan dengan lahiriah.

Dan jika salah satu dari mereka pergi dalam waktu beberapa tahun, lalu datang kembali dalam keadaan telah masuk Islam, dan ia mengaku bahwa ia telah masuk Islam sejak awal masa kepergiannya, maka ada dua pendapat:
pertama, pengakuannya tidak diterima dan ia dituntut membayar jizyah selama masa kepergiannya dalam keadaan kafir, karena hukum asalnya tetap dalam kekafiran;
kedua, pengakuannya diterima karena hukum asalnya adalah bebas dari kewajiban jizyah.

باب عقد الذمة
لا يصح عقد الذمة إلا من الإمام أو ممن فوض إليه الإمام لأنه من المصالح العظام فكان إلى الإمام ومن طلب عقد الذمة وهو ممن يجوز إقراره على الكفر بالجزية وجب العقد له لقوله عز وجل: {قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالله وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ الله وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ} ثم قال: {حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} فدل على أنهم إذا أعطوا الجزية وجب الكف عنهم

BAB AKAD DZIMMAH

Tidak sah akad dzimmah kecuali dari imam atau orang yang didelegasikan oleh imam, karena ini termasuk maslahat besar maka menjadi wewenang imam. Dan apabila seseorang yang boleh dibiarkan tetap dalam kekafiran dengan membayar jizyah meminta akad dzimmah, maka wajib dilakukan akad untuknya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar,” kemudian Allah berfirman: “hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka sendiri dalam keadaan tunduk.” Maka ini menunjukkan bahwa apabila mereka telah membayar jizyah, wajib menghentikan peperangan terhadap mereka.

وروى بريدة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا بعث أميراً على جيش قال: إذا لقيت عدواً من المشركين فادعهم إلى الدخول في الإسلام فإن أجابوك فاقبل منهم وكف عنهم وإن أبوا فادعهم الى إعطاء الجزية فإن فعلوا فاقبل منهم وكف عنهم ولا يجوز عقد الذمة إلا بشرطين بذل الجزية والتزام أحكام المسلمين في حقوق الآدميين في العقود والمعاملات وغرامات المتلفات فإن عقد على غير هذين الشرطين لم يصح العقد

Dan diriwayatkan dari Buraidah RA bahwa Nabi SAW apabila mengutus seorang amir untuk memimpin pasukan, beliau bersabda: “Apabila engkau menjumpai musuh dari kaum musyrikin, maka ajaklah mereka masuk Islam. Jika mereka menerima, maka terimalah dan hentikan (perang) terhadap mereka. Jika mereka menolak, maka ajaklah mereka membayar jizyah. Jika mereka mau, maka terimalah dan hentikan (perang) terhadap mereka.”

Dan tidak boleh akad dzimmah kecuali dengan dua syarat: membayar jizyah dan berkomitmen terhadap hukum-hukum kaum Muslimin dalam hak-hak antar sesama manusia, baik dalam akad, transaksi, maupun ganti rugi terhadap kerusakan. Maka apabila akad dilakukan tanpa dua syarat ini, tidak sah akadnya.

والدليل عليه قوله عز وجل: {قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالله وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ الله وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} والصغار هو أن تجري عليهم أحكام المسلمين ولا فرق بين الخيابرة وغيرهم في الجزية والذي يدعيه الخيابرة أن معهم كتاباً من علي بن أبي طالب كرم الله وجهه بالبراءة من الجزية لا أصل له ولم يذكره أحد من علماء الإسلام وأخبار أهل الذمة لا تقبل وشهادتهم لا تسمع.

Dan dalil atas hal ini adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar, dari kalangan Ahlulkitab, hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk.” Dan ṣaghār (kerendahan) adalah tunduknya mereka kepada hukum-hukum kaum Muslimin.

Tidak ada perbedaan antara penduduk Khaybar dan selain mereka dalam hal jizyah. Adapun klaim penduduk Khaybar bahwa mereka memiliki surat dari ʿAlī bin Abī Ṭālib karramallāhu wajhah yang membebaskan mereka dari jizyah, maka tidak ada asal-usulnya. Tidak ada satu pun ulama Islam yang menyebutkannya, dan kabar dari Ahludz Dzimmah tidak dapat diterima serta kesaksian mereka tidak dapat didengar.

فصل: وإن كان أهل الذمة في دار الإسلام أخذوا بلبس الغيار وشد الزنار والغيار أن يكون فيما يظهر من ثيابهم ثوب يخالف لونه لون ثيابهم كالأزرق والأصفر ونحوهما والزنار أن يشدوا في أوساطهم خيطاً غليظاً فوق الثياب وإن لبسوا القلانس جعلوا فيها خرقاً ليتميزوا عن قلانس المسلمين

PASAL: Jika ahlul dzimmah berada di Dār al-Islām, maka mereka dikenakan kewajiban mengenakan ghiyār dan mengikat zunnār. Ghiyār adalah mengenakan pakaian luar yang berbeda warnanya dari pakaian kaum muslimin, seperti warna biru, kuning, dan semisalnya. Sedangkan zunnār adalah mengikatkan tali tebal di pinggang mereka di atas pakaian. Jika mereka mengenakan qalansuwah (topi), maka dibuatkan lubang pada bagian atasnya agar berbeda dengan qalansuwah kaum muslimin.

لما روى عبد الرحمن بن غنم في الكتاب الذي كتبه لعمر حين صالح نصارى الشام فشرط أن لا نتشبه بهم في شيء من لباسهم من قلنسوة ولا عمامة ولا نعلين ولا فرق شعر وأن نشد الزنانير في أوساطنا ولأن الله عز وجل أعز الإسلام وأهله وندب إلى أعزاز أهله وأذل الشرك وأهله ونذب إلى إذلال أهله، والدليل عليه ما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبد الله ولا يشرك به شيء وجعل الصغار والذل على من خالف أمري”.

Karena telah diriwayatkan oleh ‘Abd al-Raḥmān bin Ghanm dalam surat yang ia tulis kepada ‘Umar ketika mengadakan perjanjian damai dengan kaum Nasrani Syam, bahwa disyaratkan agar kami tidak menyerupai mereka dalam sesuatu pun dari pakaian mereka, baik qalansuwah, ‘imāmah, sandal, maupun model rambut, dan agar kami mengikat zunnār di pinggang kami. Hal ini karena Allah ‘azza wa jalla telah memuliakan Islam dan para pemeluknya, dan menganjurkan untuk memuliakan mereka, serta menghinakan kemusyrikan dan para pelakunya, dan menganjurkan untuk menghinakan mereka. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang hingga hanya Allah yang disembah dan tidak dipersekutukan dengan sesuatu pun. Dan dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang yang menyelisihi perintahku.”

فوجب أن يتميزوا عن المسلمين لنستعمل مع كل واحد منهم ما ندبنا إليه وإن شرط عليهم الجمع بين الغيار والزنار أخذوا بهما وإن شرط أحدهما: أخذوا به لأن التمييز يحصل بأحدهما: ويجعل في أعناقهما خاتم ليتميزوا به عن المسلمين في الحمام وفي الأحوال التي يتجردون فيها عن الثياب ويكون ذلك من حديد أو رصاص أو نحوهما ولا يكون من ذهب أو فضة لأن في ذلك إعظاماً لهم وإن كان لهم شعر أمروا بجز النواصي ومنعوا من إرساله كما تصنع الأشراف والأخيار من المسلمين

Maka wajiblah agar mereka dibedakan dari kaum muslimin, agar kita dapat memperlakukan masing-masing dari mereka sesuai dengan apa yang dianjurkan kepada kita. Jika dalam syarat disebutkan penggabungan antara ghiyār dan zunnār, maka mereka wajib menjalankannya keduanya. Dan jika yang disyaratkan hanya salah satunya, maka mereka diambil dengan yang disyaratkan, karena pembedaan dapat tercapai dengan salah satunya. Diletakkan pula cincin di leher mereka agar dapat dibedakan dari kaum muslimin ketika berada di ḥammām (pemandian umum) atau dalam kondisi yang mengharuskan mereka menanggalkan pakaian. Cincin tersebut dibuat dari besi, timah, atau semisalnya, dan tidak dari emas atau perak, karena hal itu merupakan bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jika mereka memiliki rambut, maka mereka diperintahkan untuk mencukur bagian depan kepala (nawāṣī), dan dilarang membiarkannya panjang seperti yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dan mulia dari kalangan kaum muslimin.

لما روى عبد الرحمن بن غنم في كتاب عمر على نصارى الشام وشرطنا أن نجز مقادم رؤوسنا ولا يمنعون من لبس العمائم والطيلسان لأن التمييز يحصل بالغيار والزنار وهل يمنعون من لبس الديباج؟ فيه وجهان: أحدهما: أنهم يمنعون لما فيه من التجبر والتفخيم والتعظيم والثاني: أنهم لا يمنعون كما لا يمنعون من لبس المرتفع من القطن والكتان وتؤخذ نساؤهم بالغيار والزنار لما روى أن عمر كتب إلى أهل الآفاق أن مروا نساء أهل الأديان أن يعقدن زنانيرهن وتكون زنانيرهن تحت الإزار

Karena telah diriwayatkan oleh ‘Abd al-Raḥmān bin Ghanm dalam surat ‘Umar kepada kaum Nasrani Syam: “Kami disyaratkan untuk mencukur bagian depan kepala kami.” Mereka tidak dilarang memakai ‘imāmah dan ṭaylasān, karena pembedaan telah tercapai dengan ghiyār dan zunnār. Adapun apakah mereka dilarang memakai kain dībāj (sutra tebal mewah), maka terdapat dua wajah: yang pertama, mereka dilarang karena di dalamnya terdapat unsur kesombongan, pengagungan, dan pembesaran diri; dan yang kedua, mereka tidak dilarang sebagaimana mereka tidak dilarang memakai pakaian tinggi dari kapas dan linen. Para perempuan mereka pun dikenai kewajiban memakai ghiyār dan zunnār, karena diriwayatkan bahwa ‘Umar menulis surat kepada para gubernur di daerah agar memerintahkan perempuan-perempuan dari kalangan ahli agama lain untuk mengikat zunnār mereka, dan hendaknya zunnār mereka berada di bawah kain penutup tubuh (izār).

لأنه إذا كان فوق الإزار انكشفت رؤوسهن واتصفت أبدانهن ويجعلن في أعناقهن خاتم حديد ليتميزن به عن المسلمات في الحمام كما قلنا في الرجال وإن لبسن الخفاف جعلن الخفين من لونين ليتميزن عن النساء المسلمات ويمنعون من ركوب الخيل لما روي في حديث عبد الرحمن بن غنم شرطنا أن لا نتشبه بالمسلمين في مراكبهم

Karena jika zunnār dikenakan di atas izār, maka kepala mereka akan tersingkap dan tubuh mereka akan tampak. Mereka juga dikenakan cincin dari besi di leher mereka agar dapat dibedakan dari perempuan muslimah di ḥammām, sebagaimana telah disebutkan pada laki-laki. Jika mereka memakai khuff (sepatu kulit), maka dibuat dari dua warna agar dapat dibedakan dari perempuan muslimah. Mereka juga dilarang menunggang kuda, berdasarkan riwayat dalam hadis ‘Abd al-Raḥmān bin Ghanm: “Kami disyaratkan agar tidak menyerupai kaum muslimin dalam kendaraan mereka.”

وإن ركبوا الحمير والبغال ركبوها على الأكف دون السروج ولا يتقلدون السيوف ولا يحملون السلاح لما روى عبد الرحمن بن غنم في كتاب عمر ولا نركب بالسروج ولا نتقلد بالسيوف ولا نتخذ شيئاً من السلاح ولا نحمله ويركبون عرضاً من جانب واحد لما روى ابن عمر أن عمر كان يكتب إلى عماله يأمرهم أن يجعل أهل الكتاب المناطق في أوساطهم وأن يركبوا الدواب عرضاً على شق.

Dan jika mereka menunggang keledai atau bighal, maka mereka menungganginya dengan akuff (pelana polos) tanpa memakai pelana lengkap (sarj), dan mereka tidak mengenakan pedang maupun membawa senjata. Hal ini berdasarkan riwayat ‘Abd al-Raḥmān bin Ghanm dalam surat ‘Umar: “Kami tidak menunggang dengan pelana, tidak menggantungkan pedang, tidak memiliki senjata apa pun, dan tidak membawanya.” Mereka juga harus menunggang secara menyamping dari satu sisi, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ‘Umar biasa menulis kepada para gubernurnya agar memerintahkan ahlul kitāb mengenakan ikat pinggang (minṭaqah) di pinggang mereka, dan menunggang hewan dengan posisi menyamping di satu sisi.

فصل: ولا يبدؤون بالسلام ويلجئون إلى أضيق الطرق لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا لقيتم المشركين في طريق فلا تبدؤوهم بالسلام واضطروهم إلى أضيقها” . ولا يصدرون في المجالس لما روى عبد الرحمن بن غنم في كتاب عمر وأن نوقر المسلمين ونقوم لهم من مجالسنا إذا أرادوا الجلوس ولأن في تصديرهم في المجالس إعزازاً لهم وتسوية بينهم وبين المسلمين في الإكرام فلم يجز ذلك.

PASAL: Tidak boleh memulai salam kepada mereka dan mereka diarahkan ke jalan yang sempit, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kalian menjumpai orang musyrik di jalan, maka janganlah kalian memulai mereka dengan salam, dan paksa mereka ke jalan yang paling sempit.”

Dan mereka tidak didahulukan dalam tempat duduk, berdasarkan riwayat dari ʿAbd al-Raḥmān bin Ghanm dalam Kitāb ʿUmar: “Dan kami menghormati kaum Muslimin dan berdiri dari majelis kami jika mereka ingin duduk.” Karena mempersilakan mereka di tempat terdepan dalam majelis mengandung unsur memuliakan mereka dan menyamakan mereka dengan kaum Muslimin dalam hal penghormatan, maka hal itu tidak diperbolehkan.

فصل: ويمنعون من إحداث بناء بعلو بناء جيرانهم من المسلمين لقوله صلى الله عليه وسلم: “الإسلام يعلو ولا يعلى” . وهل يمنعون مساراتهم في البناء؟ فيه وجهان: أحدهما: أنهم لا يمنعون لأنه يؤمن أن يشرف المشرك على المسلم والثاني: أنهم يمنعون لأن القصد أن يعلو الإسلام ولا يحصل ذلك مع المساواة وإن ملكوا داراً عالية أقروا عليها وإن كانت أعلى من دور جيرانهم لأنه ملكها على هذه الصفة وهل يمنعون من الاستعلاء في غير محلة المسلمين؟ فيه وجهان: أحدهما: أنهم لا يمنعون لأنه يؤمن مع العبد أن يعلوا على المسلمين والثاني: أنهم يمنعون في جميع البلاد لأنهم يتطاولون على المسلمين.

PASAL: Mereka (ahludz-dzimmah) dilarang membangun bangunan yang lebih tinggi dari bangunan tetangga mereka dari kaum muslimin, karena sabda Nabi SAW: “al-Islām ya‘lū wa lā yu‘lā ‘alayh (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya).”

Apakah mereka juga dilarang jalur bangunan (seperti jalan masuk atau lorong yang menyambung ke bangunan)? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, mereka tidak dilarang karena dikhawatirkan orang musyrik bisa melihat ke dalam rumah muslim.
Kedua, mereka dilarang karena tujuan utamanya adalah agar Islam tetap di atas, dan itu tidak terwujud jika ada kesetaraan.

Jika mereka memiliki rumah tinggi, maka mereka tetap dibiarkan memilikinya, meskipun lebih tinggi dari rumah tetangga kaum muslimin, karena mereka memilikinya sejak awal dalam kondisi seperti itu.

Apakah mereka dilarang meninggikan bangunan di daerah yang bukan pemukiman kaum muslimin? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat:
Pertama, mereka tidak dilarang karena dikhawatirkan mereka tetap bisa menjulang di atas kaum muslimin.
Kedua, mereka dilarang di seluruh negeri karena hal itu merupakan bentuk ketakaburan terhadap kaum muslimin.

فصل: ويمنعون من إظهار الخمر والخنزير وضرب النواقيس والجهر بالتوراة والإنجيل وإظهار الصليب وإظهار أعيادهم ورفع الصوت على موتاهم لما روى عبد الرحمن بن غنم في كتاب عمر رضي الله عنه على نصارى الشام شرطنا أن لا نبيع الخمور ولا نظهر صلباننا ولا كتبنا في شيء من طرق المسلمين ولا أسواقهم ولا نضرب نواقيسنا إلا ضرباً خفياً ولا نرفع أصواتنا بالقراءة في كنائسنا في شيء من حضرة المسلمين ولا نخرج شعانيننا ولا باعوثنا ولا نرفع أصواتنا على موتانا.

PASAL: Mereka (ahludz-dzimmah) dilarang menampakkan khamar dan babi, membunyikan lonceng, mengeraskan suara dalam membaca Taurat dan Injil, menampakkan salib, menampakkan hari-hari raya mereka, serta meninggikan suara ketika ada orang mati di antara mereka.

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdurraḥmān bin Ghanm dalam Kitāb ‘Umar RA tentang perjanjian dengan Nasrani Syam:
“Kami mensyaratkan agar kami tidak menjual khamar, tidak menampakkan salib kami, tidak menampakkan kitab-kitab kami di jalan-jalan kaum muslimin dan di pasar-pasar mereka, tidak membunyikan lonceng kecuali dengan bunyi yang pelan, tidak meninggikan suara dalam membaca (kitab kami) di gereja-gereja kami di hadapan kaum muslimin, tidak mengadakan perayaan Sha‘ānīn dan Bā‘ūth, dan tidak meninggikan suara kami ketika ada orang mati di antara kami.”

فصل: ويمنعون من إحداث الكنائس والبيع والصوامع في بلاد المسلمين لما روي عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال: أيما مصر مصرته العرب فليس للعجم أن يبنوا فيه كنيسة وروى عبد الرحمن بن غنم في كتاب عمر على نصارى الشام إنكم لما قدمتم علينا شرطنا لم على أنفسنا أن لا يحدث في مدائننا ولا فيما حولها ديراً ولا قلاية ولا كنيسة ولا صومعة راهب وهل يجوز إقرارهم على ما كان منها قبل الفتح ينظر فيه

PASAL: Mereka (ahludz dzimmah) dilarang membangun gereja, bi‘ah, dan ṣawāmi‘ di negeri-negeri kaum muslimin, karena diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa beliau berkata: “Negeri mana pun yang ditaklukkan oleh bangsa Arab, maka tidak boleh bagi orang-orang ‘ajam membangun gereja di dalamnya.” Dan diriwayatkan oleh ‘Abdurraḥmān bin Ghanm dalam Kitab ‘Umar kepada kaum Nasrani Syam: “Sesungguhnya ketika kalian datang kepada kami, kami telah menetapkan syarat atas diri kami bahwa tidak boleh dibangun di kota-kota kami maupun daerah sekitarnya biara, rumah pertapaan, gereja, ataupun ṣawma‘ah (tempat pertapaan rahib).”

Adapun apakah boleh membiarkan bangunan-bangunan tersebut yang sudah ada sebelum penaklukan, maka hal itu perlu dilihat kembali.

فإن كان في بلد فتح صلحاً واستثنى فيه الكنائس والبيع جاز إقرارهما لأنه إذا جاز أن يصالحوا على أن لنا النصف ولهم النصف جاز أن يصالحوا على أن لنا البلد إلا الكنائس والبيع وإن كان في بلد فتح عنوة أو فتح صلحاً ولم تستثن الكنائس والبيع ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجوز كما لا يجوز إقرار ما أحدثوا بعد الفتح والثاني: أنه يجوز لأنه لما جاز إقرارهم على ما كانوا عليه من الكفر جاز إقرارهم على ما يبنى للكفر وما جاز تركه من ذلك في دار الإسلام إذا انهدم فهل يجوز إعادته؟ فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري وأبي علي بن أبي هريرة أنه لا يجوز

Jika suatu negeri ditaklukkan melalui perjanjian damai (ṣulḥ) dan dalam perjanjian itu dikecualikan gereja-gereja dan bi‘ah, maka boleh dibiarkan keberadaan keduanya. Sebab, jika boleh berdamai dengan syarat bahwa setengah negeri untuk kita dan setengahnya untuk mereka, maka boleh pula berdamai dengan syarat bahwa negeri itu untuk kita kecuali gereja dan bi‘ah.

Namun, jika negeri itu ditaklukkan dengan kekuatan senjata (‘anwatan) atau melalui perjanjian damai tanpa ada pengecualian terhadap gereja dan bi‘ah, maka ada dua wajah (pendapat):
Pertama, tidak boleh dibiarkan, sebagaimana tidak boleh membiarkan bangunan yang mereka dirikan setelah penaklukan.
Kedua, boleh dibiarkan, karena ketika boleh membiarkan mereka atas keyakinan kekafiran mereka, maka boleh pula membiarkan bangunan yang dibuat untuk kekafiran tersebut.

Adapun jika bangunan-bangunan tersebut rusak di Dār al-Islām, apakah boleh dibangun kembali? Maka ada dua wajah (pendapat):
Pertama, menurut Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, tidak boleh.

لما روى كثير بن مرة قال سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا تبنى الكنيسة في دار الإسلام ولا يجدد ما خرب منها”. وروى عبد الرحمن بن غنم في كتاب عمر بن الخطاب على نصارى الشام ولا يجدد ما خرب منها ولأنه بناء كنيسة في دار الإسلام فمنع منه كما لو بناها في موضع آخر والثاني: أنه يجوز لأنه لما جاز تشييد ما تشعب منها جاز إعادة ما انهدم وإن عقدت الذمة في بلد لهم ينفردون به لم يمنعوا من إحداث الكنائس والبيع والصوامع ولا من إعادة ما خرب منها ولا يمنعون من إظهار الخمر والخنزير والصليب وضرب الناقوس والجهر بالتوراة والإنجيل وإظهار ما لهم من الأعياد ولا يؤخذون بلبس الغيار وشد الزنانير لأنهم في دار لهم فلم يمنعوا من إظهار دينهم فيه.

Karena diriwayatkan oleh Katsīr bin Murrah, ia berkata: Aku mendengar ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidak dibangun gereja di Dār al-Islām dan tidak pula diperbaharui yang telah rusak darinya.” Dan diriwayatkan oleh ‘Abdurraḥmān bin Ghanm dalam Kitab ‘Umar bin al-Khaṭṭāb kepada kaum Nasrani Syam: “Dan tidak diperbaharui yang telah rusak darinya.”

Dan karena itu adalah pembangunan gereja di Dār al-Islām, maka dilarang sebagaimana jika ia membangunnya di tempat lain.

Wajah (pendapat) kedua: boleh, karena ketika diperbolehkan memperbaiki bagian yang retak darinya, maka boleh pula membangun kembali yang telah runtuh.

Dan jika akad dzimmah dilangsungkan di suatu negeri yang memang khusus milik mereka, maka mereka tidak dilarang membangun gereja, bi‘ah, dan ṣawāmi‘, juga tidak dilarang membangun kembali yang telah rusak darinya. Mereka juga tidak dilarang menampakkan khamr, babi, salib, membunyikan lonceng, mengeraskan bacaan Taurat dan Injil, serta menampakkan perayaan-perayaan mereka. Mereka juga tidak diwajibkan mengenakan pakaian pembeda atau mengikat zunnār, karena mereka berada di negeri milik mereka, maka mereka tidak dilarang menampakkan agama mereka di dalamnya.

فصل: ويجب على الإمام الذب عنهم ومنع من يقصدهم من المسلمين والكفار واستنقاذ من أسر منهم واسترجاع ما أخذ من أموالهم سواء كانوا مع المسلمين أو كانوا منفردين عنهم في بلد لهم لأنهم بذلوا الجزية لحفظهم وحفظ أموالهم فإن لم يدفع حتى مضى حول لم تجب الجزية عليهم لأن الجزية للحفظ وذلك لم يوجد فيه يجب ما في مقابلته كما لا تجب الأجرة إذا لم يوجد التمكين من المنفعة وإن أخذ منهم خمر أو خنزير لم يجب استرجاعه لأنه يحرم فلا يجوز اقتناؤه في الشرع فلم تجب المطالبة به.

PASAL: Wajib bagi imam untuk melindungi mereka (ahludz dzimmah), mencegah siapa pun yang hendak mencelakai mereka baik dari kalangan muslim maupun kafir, membebaskan tawanan dari kalangan mereka, serta mengembalikan harta mereka yang dirampas—baik mereka hidup bersama kaum muslimin maupun tinggal terpisah di negeri milik mereka. Hal ini karena mereka telah membayar jizyah sebagai imbalan atas perlindungan jiwa dan harta mereka.

Apabila imam tidak memberikan perlindungan hingga berlalu satu tahun, maka jizyah tidak wajib atas mereka, karena jizyah itu sebagai imbalan atas perlindungan, dan bila perlindungan itu tidak terealisasi maka tidak wajiblah imbalannya, sebagaimana sewa tidak wajib bila tidak ada pemanfaatan yang mungkin dilakukan.

Namun, jika yang diambil dari mereka adalah khamr atau babi, maka tidak wajib dikembalikan, karena keduanya haram dan tidak boleh dimiliki menurut syariat, maka tidak wajib menuntut pengembaliannya.

فصل: وإن عقدت الذمة بشرط أن يمنع عنهم أهل الحرب نظرت فإن كانوا مع المسلمين أوفي موضع إذا قصدهم أهل الحرب كان طريقهم على المسلمين لم يصح العقد لأنه عقد على تمكين الكفار من المسلمين فلم يصح وإن كانوا منفردين عن المسلمين في موضع ليس لأهل الحرب طريق على المسلمين صح العقد لأنه ليس فيه تمكين الكفار من المسلمين وهل يكره هذا الشرط؟ قال الشافعي رضي الله عنه في موضع يكره وقال في موضع لا يكره وليست المسألة على قولين وإنما هي على اختلاف حالين فالموضع الذي قال يكره إذا طلب الإمام الشرط

PASAL: Jika akad dzimmah diadakan dengan syarat agar kaum ahl al-ḥarb (musuh) dicegah dari menyakiti mereka, maka hal ini dilihat kembali keadaannya: apabila mereka berada bersama kaum muslimin atau di tempat yang jika kaum musuh hendak menyerang mereka, maka jalurnya harus melalui kaum muslimin, maka akad tersebut tidak sah. Karena hal itu berarti mengizinkan kaum kafir untuk menguasai kaum muslimin, sehingga tidak sah. Namun apabila mereka terpisah dari kaum muslimin di tempat yang tidak menjadi jalur kaum musuh menuju kaum muslimin, maka akad tersebut sah karena tidak mengandung unsur penyerahan kaum muslimin kepada kaum kafir.

Adapun apakah syarat ini makruh? Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh pernah mengatakan di satu tempat bahwa hal itu makruh, dan di tempat lain beliau mengatakan tidak makruh. Namun permasalahan ini bukan termasuk perbedaan dua pendapat, melainkan perbedaan dua kondisi. Tempat yang beliau katakan makruh adalah apabila syarat itu datang dari pihak imam.

لأن فيه إظهار ضعف المسلمين والموضع الذي قال لا يكره إذا طلب أهل الذمة الشرط لأنه ليس فيه إظهار ضعف المسلمين وإن أغار أهل الحرب على أهل الذمة وأخذوا أموالهم ثم ظفر الإمام بهم واسترجع ما أخذوه من أهل الذمة وجب على الإمام رجه عليهم وإن أتلفوا أموالهم أو قتلوا منهم لم يضمنوا لأنهم لم يلتزموا أحكام المسلمين

karena di dalamnya terdapat penampakan kelemahan kaum muslimin. Adapun tempat yang beliau katakan tidak makruh adalah apabila syarat itu datang dari pihak ahl al-dzimmah, karena hal itu tidak mengandung penampakan kelemahan kaum muslimin.

Jika kaum ahl al-ḥarb menyerang ahl al-dzimmah dan merampas harta mereka, lalu imam mendapatkan kemenangan atas mereka dan berhasil merebut kembali apa yang telah diambil dari ahl al-dzimmah, maka wajib bagi imam untuk mengembalikannya kepada mereka. Namun jika harta mereka telah dirusak atau mereka terbunuh, maka tidak ada kewajiban ganti rugi terhadap kaum ahl al-ḥarb, karena mereka (ahl al-ḥarb) tidak terikat dengan hukum-hukum kaum muslimin.

وإن أغار من بيننا وبينهم هدنة على أهل الذمة وأخذوا أموالهم وظهر بها الإمام واسترجع ما أخذوه وجب رده على أهل الذمة وإن أتلفوا أموالهم وقتلوا منهم وجب عليهم الضمان لأنهم التزموا بالهدنة حقوق الآدميين وإن نقضوا العهد وامتنعوا في ناحية ثم أغاروا على أهل الذمة وأتلفوا عليهم أموالهم وقتلوا منهم ففيه قولان: أحدهما: أنه يجب عليهم الضمان والثاني: لا يجب كالقولين فيما يتلف أهل الرد إذا امتنعوا وأتلفوا على المسلمين أموالهم أو قتلوا منهم.

Dan jika orang-orang yang terikat perjanjian gencatan senjata dengan kita menyerang ahl al-dzimmah dan merampas harta mereka, lalu imam berhasil mengalahkan mereka dan merebut kembali apa yang telah mereka ambil, maka wajib mengembalikannya kepada ahl al-dzimmah. Namun jika mereka merusak harta ahl al-dzimmah atau membunuh sebagian dari mereka, maka wajib atas mereka membayar ganti rugi, karena dengan adanya perjanjian gencatan senjata, mereka telah berkomitmen terhadap hak-hak kemanusiaan.

Dan jika mereka melanggar perjanjian dan menarik diri ke suatu wilayah, kemudian menyerang ahl al-dzimmah, merusak harta mereka, atau membunuh sebagian dari mereka, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa mereka wajib membayar ganti rugi, dan pendapat kedua menyatakan tidak wajib, sebagaimana dua pendapat yang ada terkait orang-orang murtad (ahl al-riddah) jika mereka menarik diri dan kemudian merusak harta kaum muslimin atau membunuh sebagian dari mereka.

فصل: وإن تحاكم مشركان إلى حاكم المسلمين نظرت فإن كانا معاهدين فهو بالخيار بين أن يحكم بينهما وبين أن لا يحكم لقوله عز وجل: {فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أو اعْرِضْ عَنْهُمْ} ولا يختلف أهل العلم أن هذه الآية نزلت فيمن وادعهم رسول الله صلى الله عليه وسلم من يهود المدينة قبل فرض الجزية وإن حكم بينهما لم يلزمهما حكمه وإن دعا الحاكم أحدهما: ليحكم بينهما لم يلزمه الحضور وإن كانا ذميين نظرت

PASAL: Jika dua orang musyrik mengajukan perkara kepada hakim kaum muslimin, maka hal itu ditinjau; jika keduanya adalah orang-orang yang mengadakan perjanjian (mu‘āhad), maka hakim boleh memilih antara memutuskan perkara di antara mereka atau tidak memutuskan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah perkara mereka atau berpalinglah dari mereka.” Para ulama sepakat bahwa ayat ini diturunkan mengenai orang-orang Yahudi Madinah yang diadakan perjanjian oleh Rasulullah SAW sebelum diwajibkannya jizyah. Jika hakim memutuskan perkara di antara mereka, maka putusannya tidak mengikat mereka. Jika hakim memanggil salah satu dari mereka untuk memutuskan perkara, maka ia tidak wajib memenuhi panggilan itu. Namun jika keduanya adalah dzimmī, maka hal itu ditinjau kembali.

فإن كان على دين واحد ففيه قولان: أحدهما: أنه بالخيار بين أن يحكم بينهما وبين أن لا يحكم لأنهما كافران فلا يلزمه الحكم بينهما كالمعاهدين وإن حكم بينهما لم يلزمهما حكمه وإن دعا أحدهما: ليحكم بينهما لم يلزمه الحضور والقول الثاني أنه يلزمه الحكم بينهما وهو اختيار المزني لقوله تعالى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ الله} ولأنه يلزمه دفع ما قصد كل واحد منهما بغير حق فلزمه الحكم بينهما كالمسلمين

Jika keduanya berada dalam satu agama, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: hakim bebas memilih antara memutuskan perkara di antara mereka atau tidak memutuskan, karena keduanya adalah orang kafir, sehingga tidak wajib baginya memutuskan perkara di antara mereka seperti halnya mu‘āhad. Jika hakim memutuskan perkara di antara mereka, maka putusannya tidak mengikat mereka. Jika hakim memanggil salah satunya untuk memutuskan perkara, maka ia tidak wajib memenuhi panggilan itu.

Pendapat kedua: wajib bagi hakim memutuskan perkara di antara mereka, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,” serta karena ia wajib mencegah setiap orang dari mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka wajib pula baginya memutuskan perkara di antara mereka sebagaimana antara kaum muslimin.

وإن حكم بينهما لزمهما حكمه وإن دعا أحدهما: ليحكم بينهما لزمه الحضور وإن كانا على دينين كاليهودي والنصراني ففيه طريقان: أحدهما: أنه على القولين كالقسم قبله لأنهما كافران قصارا كما لوكانا على دين واحد والثاني: قول أبي علي بن أبي هريرة أنه يجب الحكم بينهما قولاً واحداً لأنهما إذا كانا على دين واحد فلم يحكم بينهما تحاكما إلى رئيسهما فيحكم بينهما وإذا كانا على دينين لم يرض كل واحد منهما برئيس الآخر فيضيع الحق واختلف أصحابنا في موضع القولين فمنهم من قال القولان في حقوق الآدميين وفي حقوق الله تعالى ومنهم من قال القولان في حقوق الآدميين وأما حقوق الله تعالى فإنه يجب الحكم بينهما قولاً واحداً

Jika hakim memutuskan perkara di antara mereka, maka putusannya mengikat keduanya. Jika ia memanggil salah satunya untuk memutuskan perkara di antara mereka, maka ia wajib hadir.

Jika keduanya berbeda agama, seperti Yahudi dan Nasrani, maka ada dua metode (jalan pendapat):

Pertama: perkara ini kembali kepada dua pendapat seperti pembagian sebelumnya, karena keduanya adalah orang kafir, maka diperlakukan seperti jika mereka berada dalam satu agama.

Kedua: merupakan pendapat Abū ʿAlī bin Abī Hurairah, bahwa wajib memutuskan perkara di antara mereka menurut satu pendapat saja, karena jika keduanya dalam satu agama dan hakim tidak memutuskan perkara, maka mereka akan mengadu kepada pemimpin mereka sendiri dan diputuskan oleh pemimpin itu. Namun jika keduanya berbeda agama, maka masing-masing tidak akan ridha dengan pemimpin agama yang lain, sehingga akan menyebabkan hilangnya hak.

Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai ruang lingkup dua pendapat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa dua pendapat itu berlaku baik dalam hak-hak manusia (ḥuqūq al-ādāmiyyīn) maupun hak-hak Allah Ta‘ala. Sebagian yang lain mengatakan bahwa dua pendapat itu hanya berlaku dalam hak-hak manusia, sedangkan untuk hak-hak Allah Ta‘ala, maka wajib memutuskan perkara di antara mereka menurut satu pendapat saja.

لأن الحقوق الآدميين من يطالب بها ويتوصل إلى استيفائها فلا تضيع بترك الحكم بينهما وليس لحقوق الله تعالى من يطالب بها فإذا لم يحكم بينهما ضاعت ومنهم من قال القولان في حقوق الله تعالى فأما في حقوق الآدميين فإنه يجب الحكم بينهما قولاً واحداً لأنه إذا لم يحكم بينهما في حقوق الآدميين ضاع حقه واستضر ولا يوجد ذلك في حقوق الله تعالى فإن تحاكم إليه ذمي ومعاهد ففيه قولان كالذميين

Karena hak-hak manusia ada yang menuntut dan dapat diusahakan untuk ditunaikan, maka hak tersebut tidak hilang meskipun hakim tidak memutuskan perkara di antara mereka. Adapun hak-hak Allah Ta‘ala, tidak ada yang menuntutnya secara langsung, maka jika hakim tidak memutuskan perkara di antara mereka, hak itu akan hilang.

Sebagian dari mereka mengatakan bahwa dua pendapat tersebut berlaku dalam hak-hak Allah Ta‘ala, sedangkan dalam hak-hak manusia, maka wajib memutuskan perkara di antara mereka menurut satu pendapat saja, karena jika tidak diputuskan, akan hilanglah hak dan terjadi kerugian, sedangkan hal tersebut tidak terjadi pada hak-hak Allah Ta‘ala.

Jika yang mengadukan perkara kepada hakim adalah seorang dzimmī dan seorang mu‘āhad, maka terdapat dua pendapat, sebagaimana halnya dua orang dzimmī.

وإن تحاكم إليه مسلم وذمي أو مسلم ومعاهد لزمه الحكم بينهما قولاً واحداً لأنه يلزمه دفع كل واحد منهما عن ظلم الآخر فلزمه الحكم بينهما ولا يحكم بينهما إلا بحكم الإسلام لقوله تعالى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ الله} ولقوله تعالى: {وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ}

Jika seorang muslim dan seorang dzimmī atau seorang muslim dan seorang mu‘āhad mengajukan perkara kepada hakim, maka wajib bagi hakim memutuskan perkara di antara mereka menurut satu pendapat, karena ia wajib mencegah setiap pihak dari menzalimi pihak lainnya, maka wajib pula memutuskan perkara di antara mereka.

Dan tidak boleh memutuskan perkara di antara mereka kecuali dengan hukum Islam, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,” serta firman-Nya: “Jika kamu memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil.”

وإن تحاكم إليه رجل وامرأة في نكاح فإن كانا على نكاح لو أسلما عليه لم يجز إقرارهما عليه كنكاح ذوات المحارم حكم بإبطاله وإن كانا على نكاح لو أسلما عليه جاز إقرارهما عليه حكم بصحته لأن أنكحة الكفار محكوم بصحتها والدليل عليه قوله تعالى {وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ} فأضاف إلى فرعون زوجته وقوله تعالى: {وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ} فأضاف إلى أبي لهب زوجته ولأنه أسلم خلق كثير على أنكحة في الكفر فأقروا على أنكحتهم فإن طلقها أو آلى منها وظاهر منها حكم في الجميع بحكم الإسلام.

Jika seorang laki-laki dan perempuan mengajukan perkara kepada hakim dalam urusan nikah, maka:

Jika pernikahan mereka adalah jenis pernikahan yang, seandainya mereka masuk Islam di atasnya, tidak boleh dibiarkan tetap, seperti pernikahan dengan perempuan yang merupakan mahram, maka hakim memutuskan batalnya pernikahan tersebut.

Namun jika pernikahan mereka adalah jenis yang, seandainya mereka masuk Islam di atasnya, boleh dibiarkan, maka hakim memutuskan keabsahannya, karena pernikahan orang kafir dianggap sah. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan istri Fir‘aun berkata…” — maka Allah sandarkan perempuan itu sebagai istri Fir‘aun — dan firman-Nya: “Dan istrinya, pembawa kayu bakar,” — maka Allah sandarkan perempuan itu sebagai istri Abu Lahab.

Juga karena banyak orang masuk Islam dalam keadaan mereka telah menikah saat kafir, dan mereka tetap dibiarkan dalam pernikahan mereka.

Jika ia menceraikannya, atau melakukan īlā’ terhadapnya, atau zhihār, maka semua perkara tersebut diputuskan dengan hukum Islam.

فصل: وإن تزوجها على مهر فاسد وسلم إليها بحكم حاكمهم ثم ترافعا إلينا ففيه قولان: أحدهما: يقرون عليه لأنه مهر مقبوض فأقرا عليه كما لو أقبضهما من غير حكم والثاني: أنه يجب لها مهر المثل لأنها قبضت على إكراه بغير حق فصار كما لولم تقبض.

PASAL: Jika seorang lelaki menikahinya dengan mahar yang fāsid dan telah menyerahkannya kepadanya berdasarkan putusan hakim mereka, lalu keduanya mengadukan perkara kepada kita, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: mereka tetap diberi keputusan atas dasar itu, karena mahar tersebut telah diterima, maka dianggap sah sebagaimana jika mahar itu diserahkan tanpa melalui putusan.

Kedua: wajib diberikan mahar al-mitsl, karena ia menerima mahar tersebut dalam keadaan terpaksa dan tanpa hak, sehingga hukumnya seperti tidak menerima mahar sama sekali.

فصل: ومن أتى من أهل الذمة محرماً يوجب عقوبة نظرت فإن كان ذلك محرماً في دينه كالقتل والزنا والسرقة والقذف وجب عليه ما يجب على المسلم والدليل عليه ما روى أنس رضي الله عنه أن يهوياً قتل جارية على أوضاح لها بحجر فقتله رسول الله صلى الله عليه وسلم بين حجرين وروى ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم أتى بيهوديين قد فجرا بعد إحصانهما فأمر بهما فرجما ولأنه محرم في دينه وقد التزم حكم الإسلام بعقد الذمة فوجب عليه ما يجب على المسلم وإن كان يعتقد إباحته كشرب الخمر لم يجب عليه الحد لأنه لا يعتقد تحريمه فلم يحب عليه عقوبة كالكفر فإن تظاهر به عزر لأنه إظهار منكر في دار الإسلام فعزر عليه.

PASAL: Siapa saja dari kalangan ahlul dzimmah yang melakukan suatu perbuatan haram yang mewajibkan hukuman, maka hal itu ditinjau:

Jika perbuatan itu haram menurut agamanya, seperti membunuh, berzina, mencuri, atau menuduh zina, maka wajib dikenakan atasnya hukuman sebagaimana yang berlaku bagi seorang muslim. Dalilnya adalah riwayat dari Anas RA bahwa seorang Yahudi membunuh seorang budak perempuan karena perhiasannya dengan batu, maka Rasulullah SAW membunuhnya dengan batu di antara dua batu. Dan riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW didatangkan dua orang Yahudi yang telah berzina setelah keduanya muḥṣan, lalu beliau memerintahkan keduanya dirajam.

Karena hal itu haram dalam agamanya dan ia telah tunduk kepada hukum Islam dengan akad dzimmah, maka wajib dikenakan atasnya sebagaimana muslim.

Namun jika ia meyakini kebolehan perbuatan itu, seperti minum khamr, maka tidak dikenakan had atasnya, karena ia tidak meyakini keharamannya, sehingga tidak wajib hukuman atasnya sebagaimana kekufuran. Tetapi jika ia melakukannya secara terang-terangan, maka ia dikenai ta‘zīr, karena itu termasuk perbuatan mungkar yang tampak di Dār al-Islām, sehingga wajib dikenai ta‘zīr.

فصل: إذا امتنع الذمي من التزام الجزية أو امتنع من التزام أحكام المسلمين اتنقض عهده لأن عقد الذمة لا ينعقد إلا بهما فلم يبق دونهما وإن قاتل المسلمين انتقض عهده سواء شرط عليه تركه في العقد أولم يشرط لأن مقتضى عقد الذمة الأمان من الجانبين والقتال ينافي الأمان فانتقض به العهد

PASAL: Jika seorang dzimmī menolak menunaikan jizyah atau menolak tunduk kepada hukum-hukum kaum muslimin, maka batal perjanjiannya, karena akad dzimmah tidak sah kecuali dengan keduanya, sehingga tidak tetap berlaku tanpa keduanya.

Dan jika ia memerangi kaum muslimin, maka batal pula perjanjiannya, baik larangan memerangi itu telah disyaratkan dalam akad maupun tidak, karena konsekuensi akad dzimmah adalah adanya jaminan keamanan dari kedua belah pihak, sementara peperangan bertentangan dengan keamanan, maka dengan itu batal perjanjiannya.

وإن فعل ما سوى ذلك نظرت فإن كان مما فيه إضرار بالمسلمين فقد ذكر الشافعي رحمه الله تعال ستة أشياء وهو أن يزني بمسلمة أو يصيبها باسم النكاح أو يفتن مسلماً عن دينه أو يقطع عليه الطريق أو يؤوي عيناً لهم أو يدل على عوراتهم وأضاف إليهم أصحابنا أن يقتل مسلماً فإن لم يشرط الكف عن ذلك في العقد لم ينتقض عهده لبقاء ما يقتضي العقد من التزام أداء الجزية والتزام أحكام المسلمين والكف عن قتالهم وإن شرط عليهم الكف عن ذلك في العقد ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا ينتقض به العقد لأنه لا ينتقض به العهد ومن غير شرط فلا ينتقض به مع الشرط كإظهار الخمر والخنزير وترك الغيار

Dan jika ia melakukan selain itu, maka dilihat terlebih dahulu. Jika termasuk perbuatan yang membahayakan kaum muslimin, maka Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh menyebutkan enam hal, yaitu: berzina dengan wanita muslimah, menggaulinya dengan klaim pernikahan, menyesatkan seorang muslim dari agamanya, merampok di jalan, melindungi mata-mata musuh mereka, atau menunjukkan kelemahan pertahanan mereka. Para ulama mazhab kami juga menambahkan: membunuh seorang muslim.

Jika dalam akad tidak disyaratkan larangan melakukan hal-hal tersebut, maka perjanjiannya tidak batal, karena masih ada hal-hal yang mengharuskan sahnya akad, yaitu komitmen untuk membayar jizyah, tunduk kepada hukum-hukum kaum muslimin, dan tidak memerangi mereka.

Namun jika dalam akad disyaratkan larangan melakukan hal-hal tersebut, maka ada dua pendapat:

Pertama: tidak membatalkan akad, karena perjanjian tidak batal karena hal itu ketika tidak ada syarat, maka tidak batal pula ketika ada syarat — sebagaimana dalam hal menampakkan khamr dan babi serta tidak mengenakan pakaian pembeda (ghiyār).

والثاني: أنه ينتقض به العهد لما روي أن نصرانياً استكره امرأة مسلمة على الزنا فرفع إلى أبي عبيدة ابن الجراح فقال ما على هذا صالحناكم وضرب عنقه ولأن عقوبة هذه الأفعال تستوفي عليه من غير شرط فوجب أن يكون لشرطها تأثير ولا تأثير إلا ما ذكرنا من نقض العهد فإن ذكر الله عز وجل أو كناية أو ذكر رسول الله صلى الله عليه وسلم أو دينه بما لا ينبغي فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق في حكمه حكم الثلاثة الأولى وهي الامتناع من التزام الجزية والتزام أحكام المسلمين والاجتماع على قتالهم وقال عامة أصحابنا حكمه حكم ما فيه ضرر بالمسلمين وهي الأشياء السبعة إن لم يشترط في العقد الكف عنه لم ينقض العهد

Dan pendapat kedua: bahwa perjanjiannya batal karena hal itu, berdasarkan riwayat bahwa seorang Nasrani memaksa seorang wanita muslimah untuk berzina, lalu diadukan kepada Abū ‘Ubaidah ibn al-Jarrāḥ, maka beliau berkata: “Bukan karena ini kami mengadakan perjanjian dengan kalian”, lalu beliau memenggal lehernya.

Dan karena hukuman terhadap perbuatan-perbuatan ini dapat ditegakkan atasnya tanpa adanya syarat, maka ketika disyaratkan, harus ada pengaruhnya. Dan tidak ada pengaruh kecuali yang telah kami sebutkan, yaitu batalnya perjanjian.

Adapun jika ia menyebut Allah ‘azza wa jalla, atau menyebut Nabi SAW, atau agamanya dengan ucapan yang tidak pantas, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenainya.

Abū Isḥāq berpendapat: hukumnya seperti tiga hal pertama, yaitu penolakan membayar jizyah, penolakan tunduk kepada hukum kaum muslimin, dan berkumpul untuk memerangi mereka.

Sedangkan mayoritas ulama mazhab kami berpendapat: hukumnya seperti perkara-perkara yang membahayakan kaum muslimin, yaitu tujuh hal tersebut. Maka jika tidak disyaratkan larangan hal itu dalam akad, perjanjian tidak batal karenanya.

وإن شرط الكف عنه فعلى الوجهين لأن في ذلك إضراراً بالمسلمين لما يدخل عليهم من العار فألحق بما ذكرناه مما فيه إضرار بالمسلمين ومن أصحابنا من قال من سب رسول الله صلى الله عليه وسلم وجب قتله لما روي أن رجلاً قال لعبد الله بن عمر سمعت راهباً يشتم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لو سمعته لقتلته إنا لم نعطه الأمان على هذا

Dan jika disyaratkan larangan atas hal itu, maka berlaku dua pendapat yang telah disebutkan, karena hal tersebut mengandung unsur membahayakan kaum muslimin disebabkan aib yang menimpa mereka, maka disamakan dengan hal-hal yang telah kami sebutkan yang membahayakan kaum muslimin.

Sebagian ulama mazhab kami berpendapat: barang siapa mencaci Nabi SAW maka wajib dibunuh, berdasarkan riwayat bahwa seorang laki-laki berkata kepada ‘Abdullāh ibn ‘Umar: “Aku mendengar seorang rahib mencaci Nabi SAW,” maka beliau berkata: “Seandainya aku mendengarnya, niscaya aku akan membunuhnya, karena kami tidak memberikan jaminan keamanan untuk hal seperti itu.”

وإن أظهر من منكر دينهم ما لا ضرر فيه على المسلمين كالخمر والخنزير وضرب الناقوس والجهر بالتوراة والإنجيل وترك الغيار لم ينتقض العهد شرط أولم يشرط واختلف أصحابنا في تعليله فمنهم من قال: لا ينتقض العهد لأنه إظهار ما لا ضرر فيه على المسلمين ومنهم من قال ينتقض لأنه إظهار ما يتدينون به وإذا فعل ما ينتقض به العهد ففيه قولان: أحدهما: أنه يرد إلى مأمنه لأنه حصل في دار الإسلام بأمان فلم يجز قتله قبل الرد إلى مأمنه كما لو دخل دار الإسلام بأمان صبي

Dan jika ia menampakkan sesuatu dari kemungkaran agama mereka yang tidak membahayakan kaum muslimin — seperti khamr, babi, membunyikan lonceng, mengeraskan bacaan Taurat dan Injil, serta tidak mengenakan ghiyār — maka tidak batal perjanjiannya, baik disyaratkan larangan atas hal itu dalam akad maupun tidak.

Para ulama mazhab kami berbeda pendapat dalam mengemukakan alasan: sebagian dari mereka berkata, “Perjanjiannya tidak batal karena itu merupakan penampakan sesuatu yang tidak membahayakan kaum muslimin.” Sebagian lain berkata, “Perjanjiannya batal karena itu merupakan penampakan ajaran agama mereka.”

Dan apabila ia melakukan sesuatu yang membatalkan perjanjian, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: ia dikembalikan ke tempat yang aman, karena ia masuk ke Dār al-Islām dengan jaminan keamanan, maka tidak boleh dibunuh sebelum dikembalikan ke tempat amannya — sebagaimana jika seseorang masuk ke Dār al-Islām dengan jaminan keamanan dari seorang anak kecil.

والثاني: وهو الصحيح أنه لا يجب رده إلى مأمنه كالأسير ويخالف من دخل بأمان الصبي لأن ذلك غير مفرط لأنه اعتقد صحة عقد الأمان فرد إلى مأمنه وهذا مفرط لأنه نقض العهد فلم يرد إلى مأمنه فعلى هذا يختار الإمام ما يراه من القتل والاسترقاق والمن والفداء كما قلنا في الأسر.

Dan pendapat kedua — dan inilah yang ṣaḥīḥ — bahwa tidak wajib mengembalikannya ke tempat amannya, sebagaimana tawanan perang. Ia berbeda dengan orang yang masuk dengan jaminan keamanan dari seorang anak kecil, karena orang tersebut tidak lalai, sebab ia mengira akad keamanannya sah, maka ia dikembalikan ke tempat amannya. Adapun orang ini, ia telah lalai karena telah melanggar perjanjian, maka tidak dikembalikan ke tempat amannya.

Berdasarkan hal ini, imam memiliki pilihan sesuai yang ia pandang maslahat: antara membunuhnya, memperbudaknya, membebaskannya tanpa tebusan, atau menukarnya dengan tebusan — sebagaimana telah kami sebutkan dalam hukum tawanan.

فصل: ولا يمكن مشرك من الإقامة في الحجاز قال الشافعي رحمه الله هي مكة والمدينة واليمامة ومخاليفها قال الأصمعي سمي حجازاً لأنه حاجز بين تهامة ونجد والدليل عليه ما روى ابن عباس رضي الله عنه قال: اشتد برسول الله صلى الله عليه وسلم وجعه فقال: “أخرجوا المشركين من جزيرة العرب”.

PASAL: Tidak boleh seorang musyrik diizinkan menetap di wilayah Hijaz. Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: Yang dimaksud adalah Makkah, Madinah, Yamamah, dan wilayah-wilayah sekitarnya (mukhālif‑nya). Al-Aṣma‘ī berkata: Dinamakan Hijaz karena menjadi pemisah antara Tihāmah dan Najd. Dalilnya adalah riwayat dari Ibn ‘Abbās RA bahwa rasa sakit Nabi SAW semakin parah, lalu beliau bersabda: “Keluarkanlah orang-orang musyrik dari Jazīrah al-‘Arab.”

وأراد الحجاز والدليل عليه ما روى أبو عبيدة بن الجراح رضي الله عنه قال: آخر ما تكلم به رسول الله صلى الله عليه وسلم أخرجوا اليهود من الحجاز وأهل نجران من جزيرة العرب وروى ابن عمر أن عمر رضي الله عنه أجلى اليهود والنصارى من الحجاز ويم ينقل أن أحداً من الخلفاء أجلى من كان باليمن من أهل الذمة

Dan yang dimaksud beliau adalah Hijaz. Dalilnya adalah riwayat dari Abū ‘Ubaydah ibn al-Jarrāḥ RA bahwa sabda terakhir Rasulullah SAW adalah: “Keluarkanlah orang-orang Yahudi dari Hijaz dan penduduk Najrān dari Jazīrah al-‘Arab.” Dan Ibn ‘Umar meriwayatkan bahwa ‘Umar RA mengusir orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Hijaz, dan tidak dinukil bahwa salah seorang dari para khalifah mengusir Ahl al-Dzimmah yang berada di Yaman.

وإن كانت من جزيرة العرب فإن جزيرة العرب في قول الأصمعي من أقصى عدن إلى ريف العراق في الطول ومن جدة وما والاها من ساحل البحر إلى أطرار الشام في العرض وفي قول أبي عبيدة ما بين حفر أبي موسى الأشعري إلى أقصى اليمن في الطول وما بين النهرين إلى المساواة في العرض قال يعقوب: حفر أبي موسى على منازل من البصرة من طريق مكة على خمسة أو ستة منازل

Jika suatu wilayah termasuk Jazīrah al-‘Arab, maka Jazīrah al-‘Arab menurut pendapat al-Aṣma‘ī membentang dari ujung ‘Adan hingga wilayah pertanian ‘Irāq secara memanjang, dan dari Jeddah serta wilayah sekitarnya di tepi laut hingga pinggiran Syām secara melebar.

Sedangkan menurut Abū ‘Ubaydah, Jazīrah al-‘Arab adalah wilayah antara Ḥafar Abī Mūsā al-Asy‘arī hingga ujung Yaman secara memanjang, dan antara al-Nahrayn hingga al-Musāwāh secara melebar.

Ya‘qūb berkata: Ḥafar Abī Mūsā berada di antara beberapa pos perjalanan dari Baṣrah ke arah jalan Makkah, berjarak lima atau enam pos.

وأما نجران فليست من الحجاز ولكن صالحهم رسول الله صلى الله عليه وسلم على أن لا يأكلوا الربا فأكلوه ونقضوا العهد فأمر بإجلائهم فأجلاهم عمر ويجوز تمكينهم من دخول الحجاز لغير الإقامة لأن عمر رضي الله عنه أذن لمن دخل منهم تاجراً في مقام ثلاثة أيام ولا يمكنون من الدخول بغير إذن الإمام لأن دخولهم إنما أجيز لحاجة المسلمين فوقف على رأي الإمام

Adapun Najrān bukan termasuk wilayah Hijaz, namun Rasulullah SAW mengadakan perjanjian damai dengan mereka dengan syarat mereka tidak memakan ribā, lalu mereka memakannya dan melanggar perjanjian, maka beliau memerintahkan agar mereka diusir, lalu ‘Umar mengusir mereka.

Boleh membolehkan mereka masuk ke Hijaz selama tidak untuk menetap, karena ‘Umar RA mengizinkan siapa pun dari mereka yang datang sebagai pedagang untuk tinggal selama tiga hari. Mereka tidak boleh diizinkan masuk tanpa izin imam, karena masuknya mereka hanya diperbolehkan karena kebutuhan kaum muslimin, maka hal itu bergantung pada keputusan imam.

فإن استأذن في الدخول فإن كان للمسلمين فيه منفعة بدخوله لحمل ميرة أو أداء رسالة أو عقد ذمة أو عقد هدنة أذن فيه لأن فيه مصلحة للمسلمين فإن كان في تجارة لا يحتاج إليها المسلمون لم يؤذن له إلا بشرط أن يأخذ من تجارتهم شيئاً لأن عمر رضي الله عنه أمر أن تؤخذ من أنباط الشام من حمل القطنية من الحبوب العشر ومن حمل الزيت والقمح نصف العشر ليكون أكثر للحمل وتقدير ذلك إلى رأي الإمام لأن أخذه باجتهاده فكان تقديره إلى رأيه فإن دخل للتجارة فله أن يقيم ثلاثة أيام ولا يقيم أكثر منها لحديث عمر رضي الله عنه،

Jika mereka meminta izin untuk masuk, maka jika dalam masuknya itu terdapat manfaat bagi kaum muslimin—seperti membawa perbekalan, menyampaikan pesan, mengadakan akad dzimmah, atau mengadakan perjanjian gencatan senjata—maka diizinkan, karena di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin.

Namun jika masuknya hanya untuk berdagang yang tidak dibutuhkan oleh kaum muslimin, maka tidak diizinkan kecuali dengan syarat kaum muslimin mengambil sebagian dari barang dagangan mereka, karena ‘Umar RA memerintahkan agar diambil dari Anbāṭ al-Syām yang membawa quṭniyyah dari jenis biji-bijian sebesar sepersepuluh (‘usyur), dan dari yang membawa minyak dan gandum sebesar setengah dari sepersepuluh, agar barang bawaan mereka lebih banyak nilainya. Penentuan hal itu dikembalikan kepada ijtihad imam, karena pengambilan tersebut bersifat ijtihadi sehingga penetapannya menjadi wewenang imam.

Jika mereka masuk untuk berdagang, maka boleh tinggal selama tiga hari dan tidak boleh tinggal lebih dari itu berdasarkan hadis dari ‘Umar RA.

ولأنه لا يصير مقيماً بالثلاثة ويصير مقيماً بما زاد وإن أقام في موضع ثلاثة أيام ثم انتقل إلى موضع آخر وأقام ثلاثة أيام ثم كذلك ينتقل من موضع إلى موضع ويقيم في كل موضع ثلاثة أيام جاز لأنه لم يصر مقيماً في موضع ولا يمنع من ركوب بحر الحجاز لأنه ليس بموضع للإقامة ويمنع من المقام في سواحله والجزائر المكونة فيه لأنه من بلاد الحجاز وإن دخل لتجارة فمرض فيه ولم يمكنه الخروج أقام حتى يبرأ لأنه موضع ضرورة وإن مات فيه وأمكن نقله من غير تغير لم يدفن فيه لأن الدفن إقامة على التأبيد وإن خيف عليه التغير في النقل عنه لبعد المسافة دفن فيه لأنه موضع ضرورة.

Karena dengan tinggal selama tiga hari belum dianggap menetap, dan akan dianggap menetap jika melebihi tiga hari. Jika ia tinggal di suatu tempat selama tiga hari, lalu berpindah ke tempat lain dan tinggal di situ tiga hari, kemudian terus berpindah-pindah dan tinggal di setiap tempat selama tiga hari, maka hal itu diperbolehkan karena ia tidak dianggap menetap di satu tempat.

Tidak dilarang menaiki laut Hijaz karena laut bukanlah tempat untuk menetap. Namun, ia dilarang tinggal di pesisirnya dan pulau-pulau yang terbentuk di dalamnya, karena itu termasuk wilayah Hijaz.

Jika ia masuk untuk berdagang lalu jatuh sakit di dalamnya dan tidak memungkinkan untuk keluar, maka ia boleh tinggal sampai sembuh karena itu adalah kondisi darurat. Jika ia wafat di sana dan memungkinkan untuk dipindahkan tanpa mengalami perubahan (bau busuk), maka tidak boleh dikuburkan di sana karena penguburan merupakan bentuk tinggal secara permanen. Namun jika dikhawatirkan akan mengalami perubahan karena jauhnya perjalanan, maka dikuburkan di sana karena keadaan darurat.

فصل: ولا يمكن مشرك من دخول الحرم لقوله عز وجل: {إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا} والمسجد الحرام عبارة عن الحرم والدليل عليه قوله عز وجل: {سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى} وأراد به مكة لأنه أسرى به من منزل خديجة وروى عطاء أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يدخل مشرك المسجد الحرام” فإن جاء رسولاً خرج إليه من يسمع رسالته

PASAL: Tidak boleh membiarkan seorang musyrik masuk ke tanah ḥaram, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.” Adapun yang dimaksud dengan Masjidil Haram adalah wilayah ḥaram. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” Yang dimaksud adalah Makkah, karena beliau SAW diperjalankan dari rumah Khadijah. Diriwayatkan dari ‘Aṭā’ bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak boleh orang musyrik masuk Masjidil Haram.” Jika ia datang sebagai utusan, maka hendaknya seseorang keluar menemuinya untuk mendengarkan pesannya.

وإن جاء لحمل مبرة خرج إليه من يشتري منه وإن جاء ليسلم خرج إليه من يسمع كلامه وإن دخل ومرض فيه لم يترك فيه وإن مات لم يدفن فيه وإن دفن فيه نبش وأخرج منه للآية ولأنه إذا لم يجز دخوله في حياته فلأن لا يجوز دفن جيفته فيه أولى وإن تقطع ترك لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يأمر بنقل من مات فيه منهم ودفن قبل الفتح وإن دخل بغير إذن فإن كان عالماً بتحريمه عزر وإن كان جاهلاً أعلم فإن عاد عزر وإن أذن له في الدخول بمال لم يجز

Dan jika ia datang untuk mengantarkan sedekah, maka hendaknya seseorang keluar menemuinya untuk membelinya darinya. Jika ia datang untuk masuk Islam, maka hendaknya seseorang keluar menemuinya untuk mendengarkan ucapannya. Jika ia masuk lalu sakit di dalamnya, tidak boleh dibiarkan tetap di sana. Jika ia mati, tidak boleh dikubur di dalamnya. Jika sampai dikuburkan, maka harus digali dan dikeluarkan darinya karena firman Allah, dan karena jika tidak boleh masuk dalam keadaan hidup, maka larangan mengubur jasadnya di dalamnya lebih utama. Namun jika jasadnya telah hancur, maka dibiarkan, karena Nabi SAW tidak memerintahkan memindahkan orang-orang yang mati di dalamnya dari kalangan mereka dan telah dikubur sebelum penaklukan. Jika ia masuk tanpa izin, maka jika ia tahu keharamannya, ia dikenai ta‘zīr. Jika ia tidak tahu, maka ia diberi tahu. Jika ia mengulangi, maka ia dikenai ta‘zīr. Jika ia diizinkan masuk dengan imbalan harta, maka tidak boleh.

فإن فعل استحق عليه المسمى لأنه حصل له المعوض ولا يستحق عوض المثل وإن كان فاسداً لأنه لا أجرة لمثله والحرم من طريق المدينة على ثلاثة أميال ومن طريق العراق على تسعة أميال ومن طريق الجعرانة على تسعة أميال ومن طريق الطائف على عرفة على سبعة أميال ومن طريق جدة على عشرة أميال.

Jika hal itu dilakukan, maka ia berhak mendapatkan imbalan yang telah disepakati, karena ia telah memberikan sesuatu yang menjadi objek imbalan, dan tidak berhak mendapatkan imbalan sepadan meskipun akadnya fāsid, karena tidak ada upah untuk yang sepadan dengannya. Batas tanah ḥaram dari arah Madinah adalah sejauh tiga mil, dari arah Irak sejauh sembilan mil, dari arah Ji‘irānah sejauh sembilan mil, dari arah Ṭā’if menuju ‘Arafah sejauh tujuh mil, dan dari arah Jeddah sejauh sepuluh mil.

فصل: وأما دخول ما سوى المسجد الحرام من المساجد فإنه يمنع منه من غير إذن لما روى عياض الأشعري أن أبا موسى وفد إلى عمر ومعه نصراني فأعجب عمر خطه فقال: قل لكاتبك هذا يقرأ لنا كتاباً فقال أنه لا يدخل المسجد فقال لم؟ أجنب هو؟ قال لا هو نصراني قال: فانتهره عمر فإن دخل من غير إذن عزر لما روت أم غراب قالت: رأيت علياً كرم الله وجهه على المنبر وبصر بمجوسي فنزل فضربه وأخرجه من باب كندة

PASAL: Adapun masuk ke masjid-masjid selain Masjidil Haram, maka dilarang tanpa izin, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Iyāḍ al-Asy‘arī bahwa Abū Mūsā datang menemui ‘Umar bersama seorang Nasrani, lalu ‘Umar takjub dengan tulisan tangannya. Maka ia berkata: “Katakan kepada penulismu itu agar membacakan untuk kita sebuah surat.” Abū Mūsā berkata: “Ia tidak masuk masjid.” ‘Umar berkata: “Kenapa? Apakah ia junub?” Ia menjawab: “Tidak, ia seorang Nasrani.” Maka ‘Umar membentaknya. Jika ia masuk tanpa izin, maka dikenai ta‘zīr, sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Ghurāb: “Aku melihat ‘Alī karramallāhu wajhah di atas mimbar, lalu ia melihat seorang Majusi, maka ia turun, memukulnya, dan mengusirnya dari pintu Kindah.”

فإن استأذن في الدخول فإن كان لنوم أو أكل لم يأذن له لأنه يرى ابتذاله تديناً فلا يحميه من أقذاره وإن كان لسماع قرآن أو علم فإن كان ممن يرجى إسلامه أذن له لقوله عز وجل: {وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ الله} لأنه ربما كان سبباً لإسلامه وقد روي أن عمر رضي الله عنه سمع أخته تقرأ طه فأسلم وإن كان جنباً ففيه وجهان: أحدهما: أنه يمنع من المقام فيه لأنه إذا منع المسلم إذا كان جنباً فلأن يمنع المشرك أولى

Jika ia meminta izin untuk masuk, maka jika tujuannya untuk tidur atau makan, tidak diberi izin, karena hal itu dianggap sebagai bentuk merendahkan kehormatan masjid sebagai bagian dari agama, maka tidak dijaga dari kotorannya. Namun jika untuk mendengarkan al-Qur’an atau ilmu, maka jika ia termasuk orang yang diharapkan masuk Islam, diizinkan baginya, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla: {Wa in aḥadun mina al-musyrikīna istajāraka fa-ajirhu ḥattā yasma‘a kalāma Allāh}, karena bisa jadi hal itu menjadi sebab keislamannya. Telah diriwayatkan bahwa ‘Umar RA mendengar saudarinya membaca surah Ṭāhā, lalu ia masuk Islam. Jika ia dalam keadaan junub, maka ada dua pendapat: salah satunya, ia dilarang berdiam di dalam masjid, karena jika seorang muslim saja dilarang dalam keadaan junub, maka larangan bagi seorang musyrik lebih utama.

والثاني: أنه لا يمنع لأن المسلم يعتقد تعظيمه فمنع والمشرك لا يعتقد تعظيمه فلم يمنع وإن وفد قوم من الكفار ولم يكن للإمام موضع ينزلهم فيه جاز أن ينزلهم في المسجد لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم أنزل سبي بني قريظة والنضير في مسجد المدينة وربط ثمامة بن أثال في المسجد.

dan kedua: bahwa tidak dilarang, karena seorang muslim meyakini keagungan masjid maka ia dilarang (dari berdiam di dalamnya), sedangkan musyrik tidak meyakini keagungannya maka tidak dilarang. Dan jika datang suatu delegasi dari kaum kafir sementara imam tidak memiliki tempat untuk menurunkan mereka, maka boleh menurunkan mereka di masjid, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW menurunkan tawanan Bani Qurayzhah dan al-Naḍīr di Masjid Madinah, dan beliau mengikat Thumāmah bin Uthāl di masjid.

فصل: ولا يمكن حربي من دخول دار الإسلام من غير حاجة لأنه لا يؤمن كيده ولعله يدخل للتجسيس أو شارء سلاح فإن استأذن في الدخول لأداء رسالة أو عقد ذمة أو خدنة أو حمل ميرة وللمسلمين إليها حاجة جاز الإذن له من غير عوض لأن في ذلك مصلحة للمسلمين وإذا انقضت حاجته لم يمكن من المقام فإن دخل من غير ذمة ولا أما فللإمام أن يختار ما يراه من القتل والاسترقاق والمن والفداء

PASAL: Tidak boleh seorang ḥarbī masuk ke Dār al‑Islām tanpa kebutuhan, karena tidak terjamin niatnya; barangkali ia masuk untuk pengintaian (tajāssis) atau untuk membeli senjata. Jika ia meminta izin masuk untuk menyampaikan surat, mengadakan ʿaqd dhimmah, atau khidnah, atau membawa mīrah, dan kaum Muslimin memerlukan hal itu, maka diizinkan ia masuk tanpa imbalan karena terdapat maslahat bagi kaum Muslimin. Setelah kebutuhannya selesai, tidak dibolehkan baginya menetap. Jika ia masuk tanpa dhimmah maupun tempat tinggal, maka kepada imam diserahkan pilihan apa yang dipandangnya antara pembunuhan, perbudakan (istirqāq), pengambilan al‑man, atau penebusan (al‑fidāʼ).

والدليل عليه ما روى ابن عباس في فتح مكة ومجيء أبي سفيان مع العباس إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن عمر دخل وقال يا رسول الله هذا أبو سفيان قد أمكن الله منه من غير عقد ولا عهد فدعني أضرب عنقه فقال العباس: يا رسول الله إني قد أجرته ولأنه حربي لا أمان له فكان حكمه ما ذكرناه كالأسير وإن دخل وادعى أنه دخل لرسالة قبل قوله لأنه يتعذر إقامة البينة على الرسالة وإن ادعى أنه دخل بأمان مسلم ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقبل قوله لأنه لا يتعذر إقامة البينة على الأمان

Dan dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbās tentang peristiwa Fathu Makkah dan kedatangan Abū Sufyān bersama al-‘Abbās kepada Rasulullah SAW, bahwa ‘Umar masuk seraya berkata: “Wahai Rasulullah, ini Abū Sufyān, sungguh Allah telah memberimu kekuasaan atasnya tanpa ada perjanjian dan tanpa perjanjian damai, maka izinkan aku memenggal lehernya.” Maka al-‘Abbās berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah memberinya jaminan.” Karena ia adalah ḥarbī yang tidak memiliki amān, maka hukumnya sebagaimana yang telah kami sebutkan, seperti tawanan.

Jika ia masuk dan mengaku bahwa ia masuk untuk menyampaikan risalah, maka diterima pengakuannya, karena sulit menghadirkan bukti atas adanya risalah. Namun jika ia mengaku bahwa ia masuk dengan jaminan (amān) dari seorang Muslim, maka terdapat dua wajah:

Pertama: tidak diterima pengakuannya, karena tidak sulit untuk menghadirkan bukti atas amān.

والثاني: أنه يقبل قوله وهو ظاهر المذهب لأن الظاهر أنه لا يدخل من غير أمان وإن أراد الدخول لتجارة ولا حاجة للمسلمين إليها لم يؤذن له إلا بمال يؤخذ من تجارته لأن عمر رضي الله عنه أخذ العشر من أهل الحرب ويستحب أن لا ينقص عن ذلك اقتداء بعمر رضي الله عنه فإن نقص باجتهاده جاز لأن أخذه باجتهاده فكان تقديره إليه ولا يؤخذ ما يشترط على الذمي في دخول الحجاز في السنة إلا مرة كما لا تؤخذ الجزية منا في السنة إلا مرة وما يؤخذ من الحربي في دخول دار الإسلام فيه وجهان: أحدهما: أنه يؤخذ منه في كل سنة مرة كأهل الذمة في الحجاز

Dan yang kedua: bahwa diterima pengakuannya, dan ini adalah ẓāhir al-madzhab, karena pada zahirnya, ia tidak akan masuk kecuali dengan amān. Jika ia hendak masuk untuk berdagang, padahal kaum Muslimin tidak membutuhkan perdagangannya, maka tidak diizinkan masuk kecuali dengan membayar sejumlah harta yang diambil dari perdagangannya, karena ‘Umar RA mengambil sepersepuluh dari orang-orang ḥarbī. Dan disunnahkan agar tidak dikurangi dari kadar itu, mengikuti jejak ‘Umar RA. Namun jika dikurangi karena ijtihād-nya, maka boleh, karena pengambilannya berdasarkan ijtihād, maka penetapan kadarnya pun diserahkan padanya.

Adapun yang dipungut dari dzimmī untuk masuk ke wilayah Ḥijāz dalam setahun, tidak diambil lebih dari sekali, sebagaimana jizyah juga tidak dipungut lebih dari sekali dalam setahun. Dan mengenai apa yang dipungut dari ḥarbī untuk masuk ke Dār al-Islām, terdapat dua wajah:

Pertama: diambil darinya sekali dalam setiap tahun, seperti ahl al-dhimmah di Ḥijāz.

والثاني: أنه يؤخذ منه في كل مرة يدخل لأن الذمي تحت يد الإمام ولا يفوت ما شرط عليه بالتأخير والحربي يرجع إلى دار الحرب فإذا لم يؤخذ منه فات ما شرط عليه وإن شرط أن يؤخذ من تجارته أخذ منه باع أولم يبع وإن شرط أن يؤخذ من ثمن تجارته فكسد المتاع ولم يبع لم يؤخذ منه لأنه لم يحصل الثمن وإن دخل الذمي الحجاز أو الحربي دار الإسلام ولم يشرط عليه في دخوله مال لم يؤخذ منه شيء ومن أصحابنا من قال: يؤخذ من تجارة الذمي نصف العشر ومن تجارة الحربي العشر لأنه قد تقرر هذا في الشرع بفعل عمر رضي الله عنه فحمل مطلق العقد عليه والمذهب الأول لأنه أمان من غير شرط المال فلم يستحق به مال كالهدنة.

Dan yang kedua: bahwa diambil darinya setiap kali ia masuk, karena dzimmī berada di bawah kekuasaan imam, maka tidak hilang apa yang disyaratkan padanya hanya karena penundaan, sedangkan ḥarbī kembali ke Dār al-Ḥarb, maka jika tidak segera diambil, hilanglah apa yang disyaratkan padanya.

Jika disyaratkan bahwa yang diambil adalah dari perdagangannya, maka diambil darinya, baik ia berhasil menjual atau tidak. Dan jika disyaratkan bahwa yang diambil adalah dari hasil penjualan dagangannya, lalu barang dagangannya tidak laku dan tidak terjual, maka tidak diambil darinya karena harganya tidak diperoleh.

Jika dzimmī masuk ke wilayah Ḥijāz atau ḥarbī masuk ke Dār al-Islām dan tidak disyaratkan adanya pembayaran dalam perjanjiannya, maka tidak diambil sesuatu pun darinya.

Sebagian ulama kami berkata: diambil dari perdagangan dzimmī sebesar setengah ‘usyur (seperdua puluh), dan dari perdagangan ḥarbī sebesar ‘usyur (sepersepuluh), karena hal ini telah ditetapkan dalam syariat melalui tindakan ‘Umar RA, maka akad yang bersifat mutlak dibawa kepada ketetapan tersebut.

Namun al-madzhab al-awwal adalah yang lebih kuat, karena hal itu merupakan bentuk amān tanpa disertai syarat harta, maka tidak menetapkan hak untuk mengambil harta, sebagaimana halnya hudnah.

باب الهدنة
لا يجوز عقد الهدنة لإقليم أو صقع عظيم إلا للإمام أولمن فوض إليه الإمام لأنه لو جعل ذلك إلى كل واحد لم يؤمن أن يهادن الرجل أهل إقليم والمصلحة في قتالهم فيعظم الضرر فلم يجز إلا للإمام أو للنائب عنه فإن كان الإمام مستظهراً نظرت فإن لم يكن في الهدنة مصلحة لم يجز عقدها لقوله عز وجل: {فَلا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَالله مَعَكُمْ}

PASAL HUDNAH
Tidak boleh mengadakan hudnah untuk suatu wilayah atau daerah besar kecuali oleh imam atau orang yang telah didelegasikan oleh imam, karena apabila hal itu diserahkan kepada setiap individu, tidak aman dari kemungkinan seseorang mengadakan hudnah dengan penduduk suatu wilayah padahal maslahatnya ada pada memerangi mereka, sehingga kerusakannya besar. Maka tidak diperbolehkan kecuali oleh imam atau wakilnya. Apabila imam berada dalam posisi yang unggul, maka dilihat: jika dalam hudnah itu tidak terdapat maslahat, maka tidak boleh diadakan perjanjian tersebut, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {maka janganlah kamu lemah dan menyeru kepada perdamaian, padahal kamu-lah yang lebih unggul, dan Allah (pun) beserta kamu}.

وإن كان فيها مصلحة بأن يرجوا إسلامهم أو بذل الجزية أو معاونتهم على قتال غيرهم جاز أن يهادن أربعة أشهر لقوله عز وجل: {بَرَاءَةٌ مِنَ الله وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَسِيحُوا فِي الْأَرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ} ولا يجوز أن يهادنهم سنة فما زاد لأنها مدة يجب فيها الجزية فلا يجوز إقرارهم فيها من غير جزية

Dan jika dalam hudnah itu terdapat maslahat, seperti diharapkan mereka masuk Islam, atau bersedia membayar jizyah, atau membantu dalam memerangi musuh lain, maka boleh mengadakan hudnah selama empat bulan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {(Inilah) pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu adakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum musyrik) di muka bumi selama empat bulan}. Dan tidak boleh mengadakan hudnah selama satu tahun atau lebih karena itu adalah masa yang di dalamnya wajib ditarik jizyah, maka tidak boleh membiarkan mereka di dalamnya tanpa jizyah.

وهل يجوز فيما زاد على أربعة أشهر وما دون سنة فيه قولان: أحدهما: أنه لا يجوز لأن الله تعالى بقتال أهل الكتاب إلى أن يعطوا الجزية لقوله تعالى: {قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالله وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ الله وَرَسُولُهُ} وأمر بقتال عبدة الأوثان إلى أن يؤمنوا لقوله عز وجل: {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} ثم أذن في الهدنة في أربعة أشهر وبقي ما زاد على ظاهر الآيتين

Apakah boleh mengadakan hudnah lebih dari empat bulan tetapi kurang dari setahun? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak boleh, karena Allah Ta‘ala memerintahkan untuk memerangi Ahli Kitab sampai mereka membayar jizyah, sebagaimana firman-Nya: {Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya}. Dan Allah memerintahkan untuk memerangi para penyembah berhala sampai mereka beriman, sebagaimana firman-Nya: {Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui mereka}. Kemudian Allah mengizinkan hudnah selama empat bulan, sedangkan yang lebih dari itu tetap mengikuti keumuman (zahir) dua ayat tersebut.

والقول الثاني أنه يجوز لأنها مدة تقصر عن مدة الجزية فجاز فيها عقد الهدنة كأربعة أشهر وإن كان الإمام غير مستظهر بأن كان في المسلمين ضعف وقلة وفي المشركين قوة وكثرة أو كان الإمام مستظهراً لكن العدو على بعد ويحتاج في قصدهم إلى مؤنة مجحفة جاز عقد الهدنة إلى مدة تدعوا إليها الحاجة وأكثرها عشر سنين لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم هادن قريشاً في الحديبية عشر سنين ولا يجوز فيما زاد على ذلك لأن الأصل وجوب الجهاد إلا فيما وردت فيه الرخصة وهو عشر سنين وبقي ما زاد على الأصل

Pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu boleh, karena masa tersebut lebih pendek dari masa wajibnya jizyah, maka boleh mengadakan hudnah di dalamnya sebagaimana empat bulan. Dan jika imam tidak berada dalam posisi unggul, seperti kaum Muslimin dalam keadaan lemah dan sedikit, sedangkan kaum musyrikin dalam keadaan kuat dan banyak, atau imam dalam posisi unggul namun musuh berada di tempat yang jauh dan untuk menyerang mereka membutuhkan biaya yang sangat besar, maka boleh mengadakan hudnah selama masa yang diperlukan, dan paling lama adalah sepuluh tahun, karena Rasulullah SAW mengadakan hudnah dengan Quraisy di Hudaibiyah selama sepuluh tahun. Dan tidak boleh lebih dari itu, karena hukum asalnya adalah wajibnya berjihad kecuali pada masa yang telah terdapat rukhshah di dalamnya, yaitu sepuluh tahun, sedangkan yang lebih dari itu kembali kepada hukum asal.

وإن عقد على أكثر من عشر سنين بطل فيما زاد على العشر وفي العشر قولان بناء على تفريق الصفقة في البيع وإن دعت الحاجة إلى خمس سنين لم تجز الزيادة عليها فإن عقد على ما زاد على الخمس سنين بطل العقد فيما زاد وفي الخمس قولان: فإن عقد الهدنة مطلقاً من غير مدة لم يصح لأن إطلاقه يقتضي التأبيد وذلك لا يجوز وإن هادن على أن له أن ينقض إذا شاء جاز لأن النبي صلى الله عليه وسلم وادع يهود خيبر وقال: “أقركم ما أقركم الله”.

Jika hudnah diadakan lebih dari sepuluh tahun, maka batal bagian yang melebihi sepuluh tahun. Adapun pada sepuluh tahun itu sendiri terdapat dua pendapat, didasarkan pada perbedaan pendapat dalam membagi akad dalam jual beli. Jika kebutuhan hanya menuntut lima tahun, maka tidak boleh melebihi lima tahun. Jika hudnah diadakan lebih dari lima tahun, maka batal bagian yang melebihi lima tahun. Adapun pada lima tahun itu sendiri terdapat dua pendapat. Jika hudnah diadakan secara mutlak tanpa batas waktu, maka tidak sah, karena mutlak berarti berlaku selamanya, dan itu tidak diperbolehkan. Namun jika hudnah diadakan dengan syarat bahwa imam berhak membatalkannya kapan saja ia kehendaki, maka hal itu diperbolehkan, karena Nabi SAW pernah mengadakan perjanjian dengan Yahudi Khaibar dan bersabda: “Aku biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian.”

وإن قال غير النبي صلى الله عليه وسلم هادنتكم إلى أن يشاء الله تعالى أو أقررتكم ما أقركم الله تعالى لم يجز لأنه لا طرق له إلى معرفة ما عند الله تعالى ويخالف الرسول صلى الله عليه وسلم فإنه كان يعلم ما عند الله تعالى بالوحي وإن هادنهم ما شاء فلان وهو رجل مسلم أمين عالم له رأي جاز فإن شاء فلان أن ينقض نقض وإن قال هادنتكم ما شيئم لم يصح لأنه جعل الكفار محكمين على المسلمين وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: “الإسلام يعلو ولا يعلى”.

Jika selain Nabi SAW berkata, “Aku mengadakan hudnah dengan kalian sampai Allah menghendaki,” atau “Aku membiarkan kalian selama Allah membiarkan kalian,” maka tidak diperbolehkan, karena ia tidak memiliki jalan untuk mengetahui kehendak Allah Ta‘ala. Ini berbeda dengan Rasul SAW, karena beliau mengetahui apa yang di sisi Allah Ta‘ala melalui wahyu. Dan jika ia mengadakan hudnah selama yang dikehendaki oleh si fulan — sementara fulan adalah seorang Muslim yang terpercaya, berilmu, dan berpandangan bijak — maka diperbolehkan, dan jika fulan ingin membatalkannya, maka batal. Namun jika ia berkata, “Aku mengadakan hudnah dengan kalian selama kalian kehendaki,” maka tidak sah, karena ia telah menjadikan orang-orang kafir sebagai pihak yang menentukan hukum atas kaum Muslimin, padahal Nabi SAW bersabda: “Islam itu unggul dan tidak diungguli.”

ويجوز عقد الهدنة على مال يؤخذ منهم لأن في ذلك مصلحة للمسلمين ولا يجوز بمال يؤدي إليهم من غير ضرورة لأن في ذلك إلحاق صغار بالإسلام فلم يجز من غير ضرورة فإن دعت إلى ذلك ضرورة بأن أحاط الكفار بالمسلمين وخافوا الاصطلام أو أسروا رجلاً من المسلمين وخيف تعذيبه جاز بذل المال لاستنقاذه منهم

Dan boleh mengadakan hudnah dengan imbalan harta yang diambil dari mereka, karena di dalamnya terdapat maslahat bagi kaum Muslimin. Namun tidak boleh mengadakan hudnah dengan memberikan harta kepada mereka kecuali dalam keadaan darurat, karena hal itu mengandung unsur merendahkan Islam, maka tidak diperbolehkan tanpa adanya kebutuhan mendesak. Jika terdapat kebutuhan darurat, seperti ketika orang-orang kafir mengepung kaum Muslimin dan dikhawatirkan mereka akan dibinasakan seluruhnya, atau mereka menawan seorang Muslim dan dikhawatirkan akan disiksa, maka boleh memberikan harta untuk menyelamatkannya dari mereka.

لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن الحرث بن عمر والغطفاني رئيس غطفان قال للنبي صلى الله عليه وسلم إن جعلت لي شطر ثمار المدينة وإلا ملأتها عليك خيلاً ورجلاً فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “حتى أشاور السعديين”. يعني سعد بن معاذ وسعد بن عبادة وأسعد بن زرارة فقالوا: إن كان هذا بأمر من السماء فتسليم لأمر الله عز وجل

Karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa al-Ḥārith bin ‘Āmir al-Ghaṭafānī, pemimpin suku Ghaṭafān, berkata kepada Nabi SAW: “Jika engkau menjadikan setengah hasil kebun kurma Madinah untukku, (aku akan tinggalkan kalian); jika tidak, niscaya akan aku penuhi kota ini dengan pasukan berkuda dan pejalan kaki.” Maka Nabi SAW bersabda: “Akan aku musyawarahkan dahulu dengan dua Sa‘ad.” Maksudnya adalah Sa‘ad bin Mu‘āż, Sa‘ad bin ‘Ubādah, dan As‘ad bin Zurārah. Maka mereka berkata: “Jika hal ini merupakan perintah dari langit, maka kami pasrah terhadap ketetapan Allah Azza wa Jalla.”

وإن كان برأيك فرأينا تبع لرأيك وإن لم يكن بأمر من السماء ولا برأيك فوالله ما كنا نعطيهم في الجاهلية تمرة إلا شراء أو قراء وكيف وقد أعزنا الله بك فلم يعطهم شيئا فلولم يجز عند الضرورة لما رجع إلى الأنصار ليدفعوه إن رأوا ذلك ولأن ما يخاف من الاصطلام وتعذيب الأسير أعظم في الضرورة من بذل المال فجاز دفع أعظم الضررين بأخفهما وهل يجب بذل المال؟ فيه وجهان بناء على الوجهين في وجوب الدفع عن نفسه وقد بيناه في الصول فإذا بذل لهم على ذلك مال لم يملكوه لأنه مال مأخوذ بغير حق فلم يملكوه كالمأخوذ بالقهر.

“Dan jika itu pendapatmu sendiri, maka pendapat kami mengikuti pendapatmu. Namun jika bukan perintah dari langit dan bukan pula pendapatmu, maka demi Allah, dahulu di masa jāhiliyyah kami tidak pernah memberikan kepada mereka sebutir kurma pun kecuali dengan jual beli atau sebagai tamu, lalu bagaimana mungkin (kami memberikannya) sekarang, padahal Allah telah memuliakan kami denganmu.” Maka Nabi SAW tidak memberikan apa pun kepada mereka.

Seandainya tidak diperbolehkan memberikan harta saat darurat, tentu beliau tidak akan merujuk kepada kaum Anshar untuk menyerahkan harta itu jika mereka menyetujuinya. Dan karena bahaya yang dikhawatirkan seperti pembinasaan total (istiṣlām) dan penyiksaan terhadap tawanan lebih besar tingkat kedaruratannya daripada sekadar memberikan harta, maka diperbolehkan menolak bahaya yang lebih besar dengan melakukan bahaya yang lebih ringan.

Apakah memberikan harta itu wajib? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, berdasarkan dua pendapat pula dalam kewajiban seseorang membela dirinya sendiri — sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab al-ṣaul. Jika diberikan harta kepada mereka dalam kondisi demikian, maka mereka tidak memilikinya secara sah, karena harta tersebut diambil bukan dengan hak, maka mereka tidak memilikinya sebagaimana harta yang diambil dengan paksaan.

فصل: ولا يجوز عقد الهدنة على رد من جاء من المسلمات لأن النبي صلى الله عليه وسلم عقد الصلح الحديبية فجاءت أم كلثوم بنت عقبة بن أبي معيط مسلمة فجاء أخوها فطالباها فأنزل الله عز وجل: {فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ} فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “إن الله تعالى منع من الصلح في النساء” ولأنه لا يؤمن أن تزوج بمشرك فيصيبها ولا يؤمن أن تفتن في دينها لنقصان عقلها ولا يجوز عقدها على رد من لا عشيرة له من الرجال تمنع عنه لأنه لا يأمن على نفسه في إظهار دينه فيما بينهم ويجوز عقدها على رد من له عشيرة تمنع عنه لأنه يأمن على نفسه في إظهار دينه ولا يجوز عقدها مطلقاً على رد من جاء من الرجال مسلما لأنه يدخل فيه من يجوز رده ومن لا يجوز.

PASAL: Tidak boleh mengadakan akad hudnah dengan syarat mengembalikan perempuan-perempuan muslimah yang datang, karena Nabi SAW mengadakan perjanjian Hudaibiyah, lalu datanglah Ummu Kultsūm binti ‘Uqbah bin Abī Mu‘īṭ dalam keadaan muslimah, maka datanglah saudaranya menuntut pengembaliannya, lalu Allah ‘azza wa jalla menurunkan firman-Nya: {فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ} — “Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir.” Maka Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā telah melarang perdamaian dalam perkara perempuan.”

Karena dikhawatirkan ia dinikahi oleh seorang musyrik lalu menyentuhnya, dan dikhawatirkan ia tergoda dalam agamanya karena kekurangan akalnya.

Dan tidak boleh mengadakan akad hudnah dengan syarat mengembalikan laki-laki muslim yang tidak memiliki ‘asyīrah (keluarga besar) yang dapat melindunginya, karena ia tidak aman menampakkan agamanya di tengah-tengah mereka.

Namun boleh mengadakan akad dengan syarat mengembalikan laki-laki yang memiliki ‘asyīrah yang melindunginya, karena ia merasa aman dalam menampakkan agamanya.

Dan tidak boleh mengadakan akad secara mutlak dengan syarat mengembalikan laki-laki yang datang dalam keadaan muslim, karena hal itu mencakup orang yang boleh dikembalikan dan yang tidak boleh dikembalikan.

فصل: وإن عقدت الهدنة على ما لا يجوز مما ذكرناه أو عقدت الذمة على ما لا يجوز من النقصان عن دينار في الجزية أو المقام في الحجاز أو الدخول إلى الحرم أو بناء كنيسة في دار الإسلام أوترك الغيار أو إظهار الخمر والخنزير في دار الإسلام وجب نقضه لقوله صلى الله عليه وسلم: “من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد” . ولما روي عن عمر رضي الله عنه أنه خطب الناس وقال: ردوا الجهالات إلى السنة ولأنه عقد على محرم فلم يجز الإقرار عليه كالبيع بشرط باطل أو عوض محرم.

PASAL: Jika perjanjian hudnah dilakukan atas sesuatu yang tidak boleh seperti yang telah kami sebutkan, atau perjanjian dzimmah dilakukan atas sesuatu yang tidak boleh seperti pengurangan dari satu dinar dalam jizyah, atau tinggal di wilayah Hijaz, atau masuk ke Tanah Haram, atau membangun gereja di Dār al-Islām, atau tidak mengenakan tanda pembeda (ghiyār), atau menampakkan khamar dan babi di Dār al-Islām, maka wajib dibatalkan. Karena sabda Nabi SAW: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami atasnya, maka ia tertolak.” Dan karena riwayat dari ‘Umar RA bahwa ia berkhutbah kepada manusia dan berkata: “Kembalikanlah kebodohan-kebodohan kepada sunnah.” Dan karena perjanjian tersebut dilakukan atas sesuatu yang haram, maka tidak boleh dibiarkan, sebagaimana jual beli dengan syarat yang batil atau imbalan yang haram.

فصل: وإن عقدت الهدنة على ما يجوز إلى مدة وجب الوفاء بها إلى أن تنقضي المدة ما أقاموا على العهد لقوله عز وجل: {أَوْفُوا بِالْعُقُودِ} ولقوله تعالى: {وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئاً وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَداً فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ الله يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ} ولقوله عز وجل: {فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ}

PASAL: Jika perjanjian hudnah dilakukan atas sesuatu yang diperbolehkan dalam jangka waktu tertentu, maka wajib menepatinya hingga masa itu berakhir, selama mereka tetap berpegang pada perjanjian. Berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Tepatilah segala akad}, dan firman-Nya: {Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang kafir berupa azab yang pedih, kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka, lalu mereka tidak mengurangi apa pun darimu dan tidak membantu siapa pun untuk memusuhimu, maka sempurnakanlah janji mereka sampai batas waktunya; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa}, serta firman-Nya: {Maka selama mereka bersikap lurus terhadapmu, bersikap luruslah terhadap mereka}.

وروى سليمان ابن عامر قال كان بين معاوية وبين الروم هدنة فسار معاوية في أرضهم كأنهم يريد أن يغير عليهم فقال له عمرو ابن عبسة سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “من كان بينه وبين قوم عهد فلا يحل عقده ولا يشدها حتى يمضي أمدها أو ينبذ إليهم على سواء”. قال: فانصرف معاوية ذلك العام ولأن الهدنة عقدت لمصلحة المسلمين فإذا لم يف لهم عند قدرتنا عليهم لم يفوا لنا عند قدرتهم علينا فيؤدي ذلك إلى الإضرار بالمسلمين وإن مات الإمام الذي عقد الهدنة ولي غيره لزمه إمضاؤه

Diriwayatkan dari Sulaimān bin ‘Āmir, ia berkata: Dahulu terdapat perjanjian hudnah antara Mu‘āwiyah dan bangsa Rūm. Maka Mu‘āwiyah berjalan di tanah mereka seakan-akan hendak menyerang mereka. Lalu ‘Amr bin ‘Abasah berkata kepadanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa antara dirinya dan suatu kaum terdapat perjanjian, maka tidak halal baginya membatalkannya dan tidak pula menguatkannya hingga masa perjanjiannya selesai atau ia memberitahukan kepada mereka secara setara (tanpa tipu daya).” Maka Mu‘āwiyah pun kembali pada tahun itu.

Dan karena hudnah diadakan demi kemaslahatan kaum Muslimin, maka jika kita tidak menepatinya saat kita mampu (mengalahkan mereka), niscaya mereka juga tidak akan menepatinya saat mereka mampu atas kita, yang dapat berujung pada mudarat terhadap kaum Muslimin.

Jika imam yang mengadakan perjanjian hudnah itu wafat, kemudian digantikan oleh imam lain, maka wajib bagi pengganti tersebut untuk melanjutkannya.

لما روي أن نصارى نجران أتوا علياً كرم الله وجهه وقالوا: إن الكتاب كان بيديك والشفاعة إليك وإن عمر أجلانا من أرضنا فردنا إليها فقال علي: إن عمر كان رشيداً في أمره وإني لا أغير أمراً فعله عمر رضي الله عنه.

Karena telah diriwayatkan bahwa kaum Nasrani Najrān datang kepada ‘Alī karramallāhu wajhah dan berkata: “Sesungguhnya surat perjanjian dahulu berada di tanganmu dan syafaat pun kepadamu, sedangkan ‘Umar telah mengusir kami dari negeri kami, maka kembalikanlah kami ke sana.” Maka ‘Alī berkata: “Sesungguhnya ‘Umar adalah orang yang bijak dalam keputusannya, dan aku tidak akan mengubah perkara yang telah dilakukan oleh ‘Umar RA.”

فصل: ويجب على الإمام منع من يقصدهم من المسلمين ومن معهم من أهل الذمة لأن الهدنة عقدت على الكف عنهم ولا يجب عليه منع من قصدهم من أهل الحرب ولا منع بعضهم من بعض لأن الهدنة لم تعقد على حفظهم وإنما عقدت على تركهم بخلاف أهل الذمة فإن أهل الذمة عقدت على حفظهم فوجب منع كل من يقصدهم ويجب على المسلمين ومن معهم من أهل الذمة ضمان أنفسهم وأموالهم والتعزير بقذفهم لأن الهدنة تقتضي الكف عن أنفسهم وأموالهم وأعراضهم فوجب ضمان ما يجب في ذلك.

PASAL: Wajib atas imam untuk mencegah siapa pun dari kaum Muslimin atau dari kalangan ahludz-dzimmah yang bersama mereka, yang hendak menyerang kaum yang memiliki perjanjian hudnah, karena hudnah adalah akad untuk menahan diri dari mereka. Namun, tidak wajib atas imam untuk mencegah orang-orang dari kalangan ahlul ḥarb yang hendak menyerang mereka, dan tidak pula mencegah sebagian mereka dari sebagian yang lain, karena hudnah tidak diadakan untuk melindungi mereka, melainkan hanya untuk membiarkan mereka, berbeda dengan ahludz-dzimmah, karena perjanjian dzimmah diadakan untuk menjaga mereka, maka wajib mencegah siapa pun yang hendak menyerang mereka.

Wajib atas kaum Muslimin dan orang-orang dari kalangan ahludz-dzimmah yang bersama mereka untuk menjamin keselamatan jiwa dan harta kaum yang memiliki hudnah, serta memberi ta‘zīr atas pencemaran kehormatan mereka, karena hudnah mengandung konsekuensi menahan diri dari menyakiti jiwa, harta, dan kehormatan mereka, maka wajib menanggung segala hal yang wajib dijamin terkait hal itu.

فصل: إذا جاءت منعم حرة بالغة عاقلة مسلمة مهاجرة إلى بلد فيه الإمام أو نائب عنه ولها زوج مقيم على الشرك وقد دخل بها وسلم إليها مهراً حلالاً فجاء زوجها في طلبها فهل يجب رد ما سلم إليها من المهر؟ فيه قولان: أحدهما: يجب لقوله تعالى عز وجل: {فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا}

PASAL: Jika datang seorang perempuan merdeka, baligh, berakal, dan muslimah yang berhijrah ke negeri tempat imam atau wakilnya berada, sedangkan ia memiliki suami yang tetap tinggal dalam kekafiran dan ia telah digauli olehnya serta telah diserahkan kepadanya mahar yang halal, lalu suaminya datang menuntutnya, maka apakah wajib mengembalikan mahar yang telah diserahkan kepadanya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama, wajib mengembalikannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا} — “Janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir; mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan bayarkanlah kepada mereka apa yang telah mereka nafkahkan.”

ولأن البضع مقوم حيل بينه وبين مالكه فوجب رد بدله كما لو أخذ منهم مالاً وتعذر رده والقول الثاني وهو الصحيح وهو اختيار المزني أنه لا يجب لأن البضع ليس بمال والأمان لا يدخل فيه إلا المال ولهذا لو أمن مشركاً لم تدخل امرأته في الأمان ولأنه لو ضمن البضع الحيلولة لضمن بمهر المثل كما يضمن المال عند تعذر الرد بالمثل بقيمته ولا خلاف أنه لا يضمن البضع بمهر المثل فلم يضمن بالمسمى وأما الآية فإنها نزلت في صلح رسول الله صلى الله عليه وسلم بالحديبية قبل تحريم رد النساء وقد منع الله تعالى من ذلك بقوله تعالى: {فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ} فسقط ضمان المهر

Dan karena al-buḍ‘ (hak bersenang-senang dengan istri) adalah sesuatu yang bernilai, lalu terhalangi dari pemiliknya, maka wajib mengganti gantinya sebagaimana jika diambil harta mereka lalu sulit dikembalikan. Pendapat kedua—dan inilah yang ṣaḥīḥ, serta merupakan pilihan al-Muzanī—bahwa tidak wajib menggantinya, karena al-buḍ‘ bukanlah harta, sedangkan jaminan keamanan tidak mencakup kecuali harta. Oleh karena itu, seandainya seorang musyrik diberi jaminan keamanan, maka istrinya tidak termasuk dalam jaminan tersebut.

Dan karena jika al-buḍ‘ dijamin karena terhalang (dari suaminya), tentu diganti dengan mahar al-mitsl sebagaimana harta yang diganti nilainya saat sulit dikembalikan dengan yang sejenis. Padahal tidak ada khilaf bahwa al-buḍ‘ tidak diganti dengan mahar al-mitsl, maka tidak pula diganti dengan mahar yang telah disebut (dalam akad). Adapun ayat tersebut, maka ia turun dalam perjanjian damai Rasulullah SAW di Hudaibiyah sebelum diharamkannya mengembalikan para wanita. Dan Allah Ta‘ala telah melarang hal itu dengan firman-Nya: {فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ}, maka gugurlah kewajiban mengganti mahar.

فإن قلنا لا يجب رد المهر فلا تفريع وإن قلنا إنه يجب وعليه التفريع وجب ذلك في خمس الخمس لأنه مال يجب على سبيل المصلحة فوجب في خمس الخمس وإن لم يكن قد دفع إليها المهر لم يجب له المهر لقوله تعالى: {وآتوهم ما أنفقوا} وهذا لم ينفق وإن دفع إليها مهراً حراماً كالخمر والخنزير لم يجب له شيء لأنه لا قيمة لما دفع إليها فصار كما لولم يدفع إليها شيئاً فإن دفع إليها بعض مهرها لم يجب له أكثر منه لأن الوجوب يتعلق بالمدفوع فلم يجب إلا ما دفع وإن جاءت إلى بلد ليس فيها إمام ولا نائب عنه لم يجب رد المهر لأنه يجب في سهم المصالح وذلك إلى الإمام أو النائب عنه فلم يطالب به غيره.

Jika kita katakan bahwa tidak wajib mengembalikan mahar, maka tidak ada tafrī‘ (rincian hukum lanjutan). Namun jika kita katakan bahwa itu wajib dan memerlukan tafrī‘, maka wajib memasukkannya ke dalam khumus al-khumus, karena ia adalah harta yang wajib dibayarkan demi kemaslahatan, maka masuk dalam khumus al-khumus.

Jika mahar tersebut belum diserahkan kepadanya, maka suaminya tidak berhak atas mahar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا} — “Berikanlah kepada mereka apa yang telah mereka nafkahkan” — sedangkan ini belum menafkahkan.

Jika ia menyerahkan mahar yang haram seperti khamar atau babi, maka tidak wajib memberikan sesuatu pun kepadanya, karena tidak ada nilai pada apa yang diserahkan, sehingga hukumnya seperti orang yang tidak menyerahkan apa pun.

Jika ia menyerahkan sebagian dari maharnya, maka tidak berhak mendapat lebih dari itu, karena kewajiban hanya berkaitan dengan yang diserahkan, maka tidak wajib selain dari apa yang telah diserahkan.

Dan jika wanita itu datang ke negeri yang tidak ada imam atau wakilnya, maka tidak wajib mengembalikan mahar, karena hal itu harus disalurkan ke bagian ṣadaqah yang dikhususkan untuk kemaslahatan, dan itu merupakan wewenang imam atau wakilnya, maka selain mereka tidak bisa diminta untuk melakukannya.

فصل: وإن جاءت مسلمة عاقلة ثم جنت وجب رد المهر لأن الحيلولة حصلت بالإسلام وإن جاءت مجنونة ووصفت الإسلام ولم يعلم هل وصفته في حال عقلها أوفي حال جنونها لم ترد إليه لجواز أن يكون وصفته في حال عقلها فإذا ردت إليهم خدعوها وزهدوها في الإسلام فلم يجز ردها احتياطاً للإسلام وإن أفاقت ووصفت الكفر وقالت: إنها لم تزل كافرة ردت إلى زوجها وإن وصفت الإسلام لم ترد فإذا جاء الزوج في طلبها دفع إليها مهرها لأنه حيل بينهما بالإسلام وإن طلب مهرها قبل الإفاقة لم يدفع إليه لأن المهر يجب بالحيلولة وذلك لا يتحقق قبل الإفاقة لجواز أن تفيق وتصف الكفر فترد إليه فلم يجب مع الشك.

PASAL: Jika seorang perempuan datang dalam keadaan muslimah dan berakal, kemudian menjadi gila, maka wajib mengembalikan mahar karena terhalangnya (suami) terjadi disebabkan oleh keislamannya. Dan jika ia datang dalam keadaan gila lalu menyatakan masuk Islam, namun tidak diketahui apakah ia mengucapkannya saat sadar atau saat gila, maka tidak dikembalikan kepadanya (suaminya), karena bisa jadi ia mengucapkannya saat sadar. Maka jika ia dikembalikan kepada mereka (kaum kafir), mereka akan menipunya dan membuatnya enggan terhadap Islam, sehingga tidak boleh dikembalikan kepadanya sebagai bentuk kehati-hatian terhadap Islam.

Jika ia sadar kembali lalu menyatakan kekafiran dan berkata bahwa ia tidak pernah keluar dari kekafiran, maka ia dikembalikan kepada suaminya. Dan jika ia menyatakan keislaman, maka tidak dikembalikan. Maka apabila suaminya datang menuntutnya, diberikanlah kepadanya maharnya, karena telah terjadi penghalangan disebabkan oleh keislaman. Dan jika ia menuntut mahar sebelum si istri sadar, maka tidak diberikan, karena mahar wajib disebabkan adanya penghalangan, dan hal itu tidak bisa dipastikan sebelum sadar, sebab bisa jadi ia sadar dan menyatakan kekafiran lalu dikembalikan kepada suaminya, maka tidak wajib (mahar) dalam keadaan ragu.

فصل: فإن جاءت صبية ووصفت الإسلام لم ترد إليهم وإن لم يحكم بإسلامها لأنا نرجوا إسلامها فإذا ردت إليهم خدعوها وزهدوها في الإسلام فإن بلغت ووصفت الكفر قرعت فإن أقامت على الكفر ردت إلى زوجها فإن وصفت الإسلام دفع إلى زوجها المهر لأنه تحقق المنع بالإسلام فإن جاء يطالب مهرها قبل البلوغ ففيه وجهان: أحدهما: أنه يدفع إليه مهرها لأنها منعت منه بوصف الإسلام فهي كالبالغة والثاني: أنه لا يدفع لأن الحيلولة لا تتحقق قبل البلوغ لجواز أن تبلغ وتصف الكفر فترد إليه فلم يجب المهر كما قلنا في المجنونة.

PASAL: Jika datang seorang anak perempuan dan ia menyatakan masuk Islam, maka tidak dikembalikan kepada mereka, meskipun belum dihukumi masuk Islam, karena kita berharap ia akan masuk Islam. Jika ia dikembalikan kepada mereka, niscaya mereka akan menipunya dan membuatnya tidak tertarik kepada Islam. Jika ia telah baligh dan menyatakan kekufuran, maka diundi; jika ia tetap dalam kekufuran, dikembalikan kepada suaminya; jika ia menyatakan Islam, maka diberikan kepada suaminya maharnya, karena penghalang telah terjadi dengan keislamannya. Jika suaminya datang menuntut maharnya sebelum ia baligh, maka ada dua pendapat: pertama, maharnya diberikan kepadanya karena ia telah terhalang darinya dengan penyataan Islam, sehingga ia seperti yang telah baligh; kedua, tidak diberikan karena penghalang belum terwujud sebelum baligh, bisa jadi ia baligh dan menyatakan kekufuran lalu dikembalikan kepada suaminya, maka tidak wajib mahar sebagaimana kami katakan pada wanita gila.

فصل: وإن جاءت مسلمة ثم ارتدت لم ترد إليهم لأنه يجب قتلها وإن جاء زوجها يطلب مهرها فإن كان بعد القتل لم يجب دفع المهر لأن الحيلولة حصلت بالقتل وإن كان قبل القتل ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب لأن المنع وجب بحكم الإسلام والثاني: لا يجب لأن المنع وجب لإقامة الحد لا بالإسلام.

PASAL: Jika seorang perempuan datang dalam keadaan muslimah kemudian murtad, maka tidak dikembalikan kepada mereka karena ia wajib dibunuh. Dan jika suaminya datang menuntut mahar, maka jika penuntutan itu terjadi setelah ia dibunuh, tidak wajib membayar mahar karena penghalangan terjadi karena pembunuhan. Namun jika sebelum dibunuh, maka ada dua pendapat: pendapat pertama, bahwa mahar wajib dibayar karena penghalangan terjadi dengan hukum Islam; dan pendapat kedua, tidak wajib dibayar karena penghalangan terjadi karena pelaksanaan hudud, bukan karena Islam.

فصل: وإن جاءت مسلمة ثم جاء زوجها ومات أحدهما: فإن كان الموت بعد المطالبة بها وجب المهر لأن الحيلولة حصلت بالإسلام وإن كان قبل المطالبة لم يجب لأن الحيلولة حصلت بالموت.

PASAL: Jika seorang wanita datang dalam keadaan Muslimah lalu datang suaminya, kemudian salah satu dari keduanya meninggal dunia: jika kematian terjadi setelah adanya tuntutan terhadapnya, maka mahar wajib diberikan karena penghalang telah terjadi dengan sebab keislaman; namun jika kematian terjadi sebelum adanya tuntutan, maka mahar tidak wajib karena penghalang terjadi disebabkan oleh kematian.

فصل: فإن أسلمت ثم طلقها زوجها فإن كان الطلاق بائناً فهو كالموت وقد بيناه وإن كان رجعياً لم يجب دفع المهر لأنه تركها برضاه وإن راجعها ثم طالب بها وجب دفع المهر لأنه حيل بينهما بالإسلام وإن جاءت مسلمة ثم أسلم الزوج فإن أسلم قبل انقضاء العدة لم يجب المهر لاجتماعهما على النكاح وإن أسلم بعد انقضاء العدة فإن كان قد طالب بها قبل انقضاء العدة وجب المهر لأنه وجب قبل البينونة وإن طالب بعد انقضاء العدة لم يجب لأن الحيلولة حصلت بالبينونة باختلاف الدين.

PASAL: Jika seorang perempuan masuk Islam lalu ditalak oleh suaminya, maka jika talaknya bā’in, hukumnya seperti kematian, dan hal itu telah dijelaskan. Jika talaknya raj‘ī, maka tidak wajib membayar mahar karena ia meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Namun jika ia merujuknya lalu menuntutnya, maka wajib membayar mahar karena telah terjadi penghalangan antara keduanya disebabkan Islam.

Dan jika perempuan datang dalam keadaan muslimah lalu suaminya masuk Islam, maka jika suami masuk Islam sebelum habis masa ‘iddah, tidak wajib mahar karena mereka berkumpul kembali dalam pernikahan. Namun jika ia masuk Islam setelah habis masa ‘iddah, maka jika ia telah menuntut sebelum habis masa ‘iddah, maka mahar wajib dibayar karena telah wajib sebelum terjadi perpisahan. Tetapi jika ia menuntut setelah habis masa ‘iddah, maka tidak wajib karena penghalangan terjadi karena perpisahan akibat perbedaan agama.

فصل: وإن هاجرت منهم أمة وجاءت إلى بلد فيه الإمام نظرت فإن فارقتهم وهي مشركة ثم أسلمت صارت حرة لأنا يبنا أن الهدنة لا توجب أمان بعضهم من بعض فملكت نفسها بالقهر فإن جاء مولاها في طلبها لم ترد عليه لأنها أجنبية منه لا حق له في رقبتها ولأنها مسلمة فلا يجوز ردها إلى مشرك وإن طلب قيمتها فقد ذكر الشيخ أبو حامد الإسفرايني رحمه الله فيها قولين كالحرة إذا هاجرت وجاء زوج يطلب مهرها والصحيح أنه لا تجب قيمتها قولاً واحداً وهو قول شيخنا القاضي أبي الطيب الطبري رحمه الله لأن الحيلولة حصلت بالقهر قبل الإسلام

PASAL: Jika seorang hamba perempuan dari mereka berhijrah dan datang ke negeri yang di dalamnya ada imam, maka dilihat: jika ia meninggalkan mereka dalam keadaan musyrik lalu masuk Islam, maka ia menjadi merdeka karena kami telah menjelaskan bahwa hudnah tidak mewajibkan adanya keamanan antara sesama mereka, maka ia memiliki dirinya sendiri melalui penaklukan. Jika datang tuannya untuk menuntutnya, maka ia tidak dikembalikan kepadanya karena ia adalah orang asing baginya dan tidak memiliki hak atas dirinya, dan karena ia telah menjadi seorang muslimah, maka tidak boleh dikembalikan kepada seorang musyrik. Jika ia menuntut ganti rugi atasnya, maka asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī rahimahullah menyebutkan padanya dua pendapat, sebagaimana wanita merdeka yang berhijrah lalu suaminya datang menuntut mahar. Pendapat yang shahih adalah bahwa ganti rugi tidak wajib secara qaul wāḥid, dan ini adalah pendapat guru kami al-Qāḍī Abū Ṭayyib aṭ-Ṭabarī rahimahullah, karena ḥīlūlah terjadi dengan penaklukan sebelum keislamannya.

وإن أسلمت وهي عندهم ثم هاجرت لم تصر حرة لأنهم في أمان منا وأموالهم محظورة علينا فلم يزل الملك فيها بالهجرة فإن جاء مولاها في طلبها لم ترد لأنها مسلمة فلم يجز ردها إلى مشرك وإن طلب قيمتها وجب دفعها إليه كما لو غصب منها مال وتلف وإن كانت الأمة مزوجة من حر فجاء زوجها في طلبها لم ترد إليه وإن طلب مهرها فعلى القولين في الحرة وإن كانت مزوجة من عبد فعلى القولين أيضاً إلا أنه لا يجب دفع المهر إلا أن يحضر الزوج فيطالب بها لأن البضع له فلا يملك المولى المطالبة به ويحضر المولى ويطالب بالمهر لأن المهر له فلا يملك الزوج المطالبة به.

Jika ia masuk Islam ketika masih berada di tengah-tengah mereka lalu berhijrah, maka ia tidak menjadi merdeka karena mereka berada dalam jaminan keamanan dari kita, dan harta benda mereka terjaga dari kita, maka kepemilikan atas dirinya tidak hilang hanya karena hijrah. Jika tuannya datang untuk menuntutnya, maka ia tidak dikembalikan karena ia telah menjadi seorang muslimah, maka tidak boleh dikembalikan kepada seorang musyrik. Jika ia menuntut ganti rugi atas dirinya, maka wajib diberikan kepadanya sebagaimana jika mereka telah merampas hartanya dan kemudian harta itu rusak.

Jika hamba perempuan tersebut telah bersuami dengan lelaki merdeka, lalu suaminya datang menuntutnya, maka ia tidak dikembalikan kepadanya. Dan jika ia menuntut maharnya, maka hukumnya kembali kepada dua pendapat sebagaimana dalam kasus wanita merdeka.

Dan jika ia bersuami dengan seorang hamba sahaya, maka hukumnya juga kembali kepada dua pendapat tersebut, kecuali bahwa mahar tidak wajib diberikan kecuali jika suaminya hadir dan menuntutnya, karena buḍū‘ (kemaluan) adalah miliknya, maka tuannya tidak memiliki hak untuk menuntutnya. Adapun tuannya hadir dan menuntut mahar, maka itu boleh karena mahar adalah miliknya, maka suami tidak memiliki hak untuk menuntutnya.

فصل: وإن هاجر منهم رجل مسلم فإن كان له عشيرة تمنع عنه جاز له العود إليهم والأفضل أن لا يعود وقد بينا ذلك في أول السير فإن عقد الهدنة على رده واختار العود لم يمنع لأن النبي صلى الله عليه وسلم أذن لأبي جندل وأبي بصير في العود وإن اختار المقام في دار الإسلام لم يمنع لأنه لا يجوز إجبار المسلم على الانتقال إلى دار الشرك وإن جاء من يطلبه قلنا للمطالب إن قدرت على رده لم نمنعك منه وإن لم تقدر لم نعنك عليه ونقول للمطلوب في السر إن رجعت إليهم ثم قدرت أن تهرب منهم وترجع إلى دار الإسلام كان أفضل لأن النبي صلى الله عليه وسلم رد أبا بصير فهرب منهم وأتى النبي صلى الله عليه وسلم وقال: قد وفيت لهم ونجاني الله منهم.

PASAL: Jika seorang laki-laki muslim hijrah dari mereka, maka jika ia memiliki ‘asyirah (keluarga besar) yang dapat melindunginya, boleh baginya kembali kepada mereka, namun yang lebih utama adalah tidak kembali, sebagaimana telah kami jelaskan di awal pembahasan as-siyar. Jika perjanjian hudnah disepakati dengan syarat ia dikembalikan dan ia memilih untuk kembali, maka tidak dicegah, karena Nabi SAW mengizinkan Abu Jandal dan Abu Bashir untuk kembali. Dan jika ia memilih untuk tinggal di Dār al-Islām, maka tidak boleh dipaksa untuk berpindah ke Dār al-Syirk, karena tidak dibolehkan memaksa seorang muslim pindah ke negeri syirik.

Jika ada yang datang menuntutnya, maka dikatakan kepada penuntut: “Jika kamu mampu menangkap dan membawanya kembali, kami tidak akan menghalangimu.” Namun jika kamu tidak mampu, kami tidak akan membantu. Dan dikatakan kepada orang yang dituntut secara rahasia: “Jika engkau kembali kepada mereka, kemudian engkau mampu melarikan diri dan kembali ke Dār al-Islām, maka itu lebih utama,” karena Nabi SAW telah mengembalikan Abu Bashir, lalu ia melarikan diri dari mereka dan datang kepada Nabi SAW seraya berkata: “Aku telah menunaikan janji kepada mereka dan Allah telah menyelamatkanku dari mereka.”

فصل: ومن أتلف منهم على مسلم مالاً وجب عليه ضمانه وإن قتله وجب عليه القصاص وإن فدفه وجب عليه الحد لأن الهدنة تقتضي أمان المسلمين في النفس والمال والعرض فلزمهم ما يجب في ذلك ومن شرب منهم الخمر أوزنى لم يجب عليه الحد لأنه حق الله تعالى ولم يلتزم بالهدنة حقوق الله تعالى فإن سرق مالاً لمسلم ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يجب عليه القطع لأنه حد خالص لله تعالى فلم يجب عليه كحد الشرب والزنا والثاني: أنه يجب عليه لأنه حد يجب لصيانة حق الآدمي فوجب عليه كحد القذف.

PASAL: Barang siapa di antara mereka merusak harta seorang muslim, maka wajib atasnya mengganti rugi. Jika ia membunuhnya, maka wajib atasnya qiṣāṣ. Jika ia menuduhnya (qadf), maka wajib atasnya ḥadd, karena hudnah mengharuskan keamanan bagi kaum muslimin dalam hal jiwa, harta, dan kehormatan, maka wajib atas mereka segala yang menjadi konsekuensi dari hal itu. Barang siapa di antara mereka meminum khamar atau berzina, maka tidak wajib atasnya ḥadd, karena itu adalah hak Allah Ta‘ala, sedang ia tidak berkomitmen terhadap hak-hak Allah Ta‘ala melalui hudnah. Jika ia mencuri harta milik seorang muslim, maka ada dua pendapat: pertama, tidak wajib dipotong tangannya karena itu adalah ḥadd murni milik Allah Ta‘ala, maka tidak wajib seperti ḥadd minum khamar dan zina; kedua, wajib dipotong karena itu adalah ḥadd yang ditetapkan demi menjaga hak manusia, maka wajib atasnya sebagaimana ḥadd qaẓf.

فصل: إذا نقض أهل الهدنة عهدهم بقتال أو مظاهرة عدو أو قتل مسلم أو أخذ مال انتقضت الهدنة لقوله عز وجل: {فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ} فدل على أنهم إذا لم يستقيموا لنا لم نستقم لهم لقوله عز وجل: {إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئاً وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَداً فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ} فدل على أنهم إن ظاهروا عليكم أحداً لم تتم إليهم عهدهم ولأن الهدنة تقتضي الكف عنا فانتقضت بتركة ولا يفتقر نقضها إلى حكم الإمام بنقضها لأن الحكم إنما يحتاج إليه في أمر محتمل وما تظاهروا به لا يحتمل غير نقض العهد وإن نقض بعضهم وسكت الباقون ولم ينكروا ما فعل الناقض انتقضت الهدنة في حق الجميع

PASAL: Jika ahlul-hudnah melanggar perjanjian mereka dengan cara memerangi, membantu musuh, membunuh seorang muslim, atau mengambil harta, maka perjanjian damai itu batal, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ} — yang menunjukkan bahwa jika mereka tidak berpegang teguh kepada kalian, maka kalian pun tidak wajib berpegang teguh kepada mereka. Dan firman-Nya Azza wa Jalla: {إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئاً وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَداً فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ} — yang menunjukkan bahwa jika mereka membantu musuh kalian, maka tidak wajib menyempurnakan perjanjian mereka. Karena perjanjian damai mengandung makna menahan diri dari menyerang kita, maka jika itu ditinggalkan, batalah perjanjian tersebut. Tidak disyaratkan adanya keputusan dari imam untuk menyatakan batalnya perjanjian, karena keputusan hanya dibutuhkan dalam perkara yang masih mengandung kemungkinan. Adapun pelanggaran yang tampak jelas itu tidak mengandung kemungkinan lain selain pembatalan perjanjian. Jika sebagian dari mereka melanggar dan yang lain diam serta tidak mengingkari perbuatan pelanggar tersebut, maka perjanjian batal bagi semuanya.

والدليل عليه أن ناقة صالح عليه السلام عقرها القدار العيزار بن سالف وأمسك عنها القوم فأخذهم الله تعالى جميعهم به فقال الله عز وجل: {فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا وَلا يَخَافُ عُقْبَاهَا} ولأن النبي صلى الله عليه وسلم وادع بني قريظة وأعان بعضهم أبا سفيان بن حرب على حرب رسول الله صلى الله عليه وسلم في الخندق وقيل: إن الذي أعان منهم حيي بن أخطب وأخوه وآخر معهم فنقض النبي صلى الله عليه وسلم عهدهم وغزاهم وقتل رجالهم وسبى ذراريهم

Dan dalilnya adalah bahwa unta betina Nabi Ṣāliḥ AS disembelih oleh al-Qidār al-ʿIyazār bin Sālif, sementara kaumnya tidak mencegah perbuatannya, maka Allah Ta‘ala membinasakan mereka semuanya karenanya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla: {فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا وَلا يَخَافُ عُقْبَاهَا}. Dan karena Nabi SAW pernah mengadakan perjanjian dengan Banū Qurayzhah, lalu sebagian dari mereka membantu Abū Sufyān bin Ḥarb dalam memerangi Rasulullah SAW pada perang Khandaq — dan dikatakan bahwa yang membantu adalah Ḥuyayy bin Akhṭab dan saudaranya serta seorang lainnya — maka Nabi SAW membatalkan perjanjian mereka, memerangi mereka, membunuh laki-laki mereka, dan menawan anak-anak serta perempuan mereka.

ولأن النبي صلى الله عليه وسلم هادن قريشا بالحديبية وكان بنو بكر حلفاء قريش وخزاعة حلفاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فحاربت بنو بكر خزاعة وأعان نفر من قريش بني بكر على خزاعة وأمسك سائر قريش فجعل النبي صلى الله عليه وسلم ذلك نقضاً لعهدهم وسار إليهم حتى فتح مكة ولأنه لما كان عقد بعضهم الهدنة أماناً لمن عق ولمن أمسك وجب أن يكون نقض بعضهم نقضاً لمن نقض ولمن أمسك

Dan karena Nabi SAW mengadakan perjanjian damai dengan Quraisy di Ḥudaibiyah, sedangkan Banū Bakr adalah sekutu Quraisy dan Khuza‘ah adalah sekutu Rasulullah SAW. Maka ketika Banū Bakr memerangi Khuza‘ah dan beberapa orang dari Quraisy membantu Banū Bakr atas Khuza‘ah, sementara sisanya dari Quraisy diam, Nabi SAW menganggap hal itu sebagai pelanggaran perjanjian dari mereka, lalu beliau berangkat menuju mereka hingga berhasil menaklukkan Makkah. Dan karena ketika sebagian dari mereka mengadakan perjanjian damai, maka hal itu menjadi jaminan keamanan bagi yang mengadakan dan yang diam, maka semestinya jika sebagian dari mereka melanggar, maka itu menjadi pelanggaran juga bagi yang melanggar maupun yang diam.

وإن نقض بعضهم العهد وأنكر الباقون أو اعتزلوهم أو راسلوا إلى الإمام بذلك انتقض عهد من نقض وصار حرباً لنا بنقضه ولم ينتقض عهد من لم يرض لأنه لم ينقض العهد ولا رضي مع من نقض فإن كان من لم ينقض مختلطاً بمن نقض أمر من لم ينقض بتسليم من نقض إن قدروا أو بالتميز عنهم فإن لم يفعلوا أحد هذين مع القدرة عليه انتقضت هدنتهم لأنهم صاروا مظاهرين لأهل الحرب وإن لم يقدروا على ذلك كان حكمهم حكم من أسره الكفار من المسلمين وقد بيناه في أول السير وإن أسر الإمام قوماً منهم وادعوا أنهم ممن لم ينقض العهد وأشكل عليه حالهم قبل قولهم لأنه لا يتوصل إلى معرفة ذلك إلا من جهتهم.

Jika sebagian dari mereka melanggar perjanjian sementara yang lainnya mengingkarinya, atau memisahkan diri dari mereka, atau mengirim utusan kepada imam untuk memberitahukan hal itu, maka perjanjian hanya batal bagi pihak yang melanggar dan ia menjadi musuh bagi kita karena pelanggarannya. Sedangkan perjanjian pihak yang tidak ridha tidak batal, karena ia tidak melanggar dan tidak meridhai pihak yang melanggar.

Jika pihak yang tidak melanggar bercampur dengan pihak yang melanggar, maka mereka diperintahkan untuk menyerahkan pihak yang melanggar jika mampu, atau memisahkan diri dari mereka. Jika mereka tidak melakukan salah satu dari keduanya padahal mampu, maka batal perjanjian mereka karena mereka telah menjadi penolong bagi pihak yang memerangi.

Namun jika mereka tidak mampu melakukan keduanya, maka hukum mereka seperti hukum orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan hal ini telah dijelaskan pada awal al-siyar.

Jika imam menangkap sekelompok dari mereka dan mereka mengaku sebagai pihak yang tidak melanggar perjanjian, sementara kondisinya tidak jelas baginya, maka ucapan mereka diterima, karena tidak ada jalan untuk mengetahui hal tersebut kecuali dari pihak mereka sendiri.

فصل: وإن ظهر منهم من يخاف معه الخيانة جاز للإمام أن ينبذ إليهم عهدهم لقوله عز وجل: {وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ الله لا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ} ولا تنتقض الهدنة إلا أن يحكم الإمام بنقضها لقولها عز وجل: {فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ} ولأن نقضها لخوف الخيانة وذلك يفتقر إلى نظر واجتهاد فافتقر إلى الحاكم وإن خاف من أهل الذمة خيانة لم ينبذ عليهم والفرق بينهم وبين عقد أهل الهدنة أن النظر في عقد الذمة وجب لهم ولهذا إذا طلبوا عقد الذمة وجب العقد لهم فلم ينقض لخوف الخيانة والنظر في عقد الهدنة لنا ولهذا لو طلبوا الهدنة كان النظر فيها إلى الإمام وإن رأى عقدها عقد

PASAL: Jika tampak dari mereka sesuatu yang dikhawatirkan mengandung unsur khianat, maka boleh bagi imam untuk melepaskan perjanjian damai dengan mereka, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Wa immā takhāfanna min qawmin khiyānah fanbidh ilayhim ‘alā sawā’ inna Allāha lā yuḥibbul-khā’inīn” (QS al-Anfāl: 58). Dan perjanjian damai tidak batal kecuali jika imam memutuskan untuk membatalkannya, karena firman-Nya: “Fanbidh ilayhim ‘alā sawā’”—dan karena pembatalan itu disebabkan oleh kekhawatiran akan adanya pengkhianatan, maka hal itu memerlukan pertimbangan dan ijtihad, sehingga membutuhkan keputusan dari penguasa.

Adapun jika dikhawatirkan adanya pengkhianatan dari ahlul-dzimmah, maka tidak boleh melepaskan perjanjian atas mereka. Perbedaan antara mereka dan perjanjian dengan ahlul-hudnah adalah bahwa dalam akad dzimmah, pertimbangannya kembali kepada mereka. Oleh karena itu, jika mereka meminta akad dzimmah, maka wajib dipenuhi untuk mereka, sehingga tidak bisa dibatalkan hanya karena kekhawatiran akan pengkhianatan. Sedangkan dalam akad hudnah, pertimbangannya berada di tangan kita. Oleh sebab itu, seandainya mereka meminta hudnah, maka keputusannya dikembalikan kepada imam; jika imam memandang baik untuk mengadakannya, maka ia boleh mengadakannya.

وإن لم ير عقدها لم يعقد فكان النظر إليه في نقضها عند الخوف ولأن أهل الذمة في قبضته فإذا ظهرت منهم خيانة أمكن استدراكها وأهل الهدنة خارجون عن قبضته فإذا ظهرت خيانتهم لم يمكن استدراكها فجاز نقضها بالخوف وإن لم يظهر منهم ما يخاف معهم الخيانة لم يجز نقضها لأن الله تعالى أمر بنبذ العهد عند الخوف فدل على أنه لا يجوز مع عدم الخوف ولأن نقض الهدنة من غير سبب يبطل مقصود الهدنة ويمنع الكفار من الدخول فيها والسكون إليها وإذا نقض الهدنة عند خوف الخيانة ولم يكن عليهم حق ردهم إلى مأمنهم لأنهم دخلوا على أمان فوجب ردهم إلى المأمن وإن كان عليهم حق استوفاه منهم ثم ردهم إلى مأمنهم.

Dan jika imam tidak memandang layak untuk mengadakan perjanjian hudnah, maka tidak diadakan; maka pertimbangan dalam membatalkannya saat ada kekhawatiran kembali kepada imam. Dan karena ahlul-dzimmah berada dalam genggamannya, maka jika tampak dari mereka pengkhianatan, masih mungkin untuk diperbaiki; sedangkan ahlul-hudnah berada di luar genggamannya, maka jika tampak pengkhianatan dari mereka, tidak mungkin lagi diperbaiki, sehingga boleh membatalkan karena kekhawatiran.

Dan jika tidak tampak dari mereka sesuatu yang menimbulkan kekhawatiran akan pengkhianatan, maka tidak boleh membatalkannya, karena Allah Ta‘ala memerintahkan untuk melepaskan perjanjian hanya saat ada kekhawatiran, maka hal itu menunjukkan bahwa tidak boleh dilakukan tanpa adanya kekhawatiran. Dan karena membatalkan perjanjian damai tanpa sebab akan merusak maksud dari perjanjian itu sendiri dan akan menghalangi orang kafir dari masuk ke dalamnya dan merasa tenang dengannya.

Dan apabila perjanjian damai dibatalkan karena kekhawatiran akan pengkhianatan, dan mereka tidak memiliki tanggungan hak yang harus dipenuhi, maka wajib mengembalikan mereka ke tempat yang aman, karena mereka masuk dengan jaminan keamanan, maka wajib dikembalikan ke tempat aman. Namun jika mereka memiliki tanggungan hak, maka hak tersebut harus diambil terlebih dahulu dari mereka, kemudian dikembalikan ke tempat aman.

فصل: إذا دخل الحربي دار الإسلام بأمان في تجارة أو رسالة ثبت له الأمان في نفسه وماله ويكون حكمه في ضمان النفس والمال وما يجب عليه من الضمان والحدود حكم المهادن لأنه مثله في الأمان فكان مثله فيما ذكرناه وإن عقد الأمان ثم عاد إلى دار الحرب في تجارة أو رسالة فهو على الأمان في النفس والمال كالذمي إذا خرج إلى دار الحرب في تجارة أو رسالة

PASAL: Jika seorang ḥarbī masuk ke Dār al-Islām dengan jaminan keamanan untuk tujuan perdagangan atau penyampaian pesan, maka tetap baginya jaminan keamanan atas jiwa dan hartanya. Hukum terkait jaminan atas jiwa, harta, serta kewajiban ganti rugi dan ḥudūd yang berlaku padanya adalah sebagaimana hukum bagi orang yang mengadakan perjanjian damai (muhādanah), karena keduanya sama-sama berada dalam jaminan keamanan, maka kedudukannya pun sama dalam hal-hal yang telah disebutkan. Dan jika ia telah mengadakan jaminan keamanan lalu kembali ke Dār al-ḥarb dalam rangka perdagangan atau menyampaikan pesan, maka tetap berlaku baginya jaminan keamanan atas jiwa dan hartanya sebagaimana seorang dzimmī apabila keluar ke Dār al-ḥarb untuk tujuan perdagangan atau menyampaikan pesan.

وإن رجع إلى دار الحرب بنية المقام وترك ماله في دار الإسلام انتقض الأمان في نفسه ولم ينتقض في ماله فإن قتل أو مات انتقل المال إلى وارثه وهل يغنم أم لا؟ فيه قولان: قال في سير الواقدي ونقله المزني أنه يغنم ماله وينتقل إلى بيت المال فيئاً وقال في المكاتب يرد إلى ورثته فذهب أكثر أصحابنا إلى أنها على قولين: أحدهما: أنه يرد إلى ورثته وهو اختيار المزني والدليل عليه أن المال لوارثه ومن ورث مالاً ورثه بحقوقه وهذا الأمان من حقوق المال فوجب أن يورث

Dan jika ia kembali ke Dār al-ḥarb dengan niat menetap di sana, sementara hartanya ditinggalkan di Dār al-Islām, maka jaminan keamanannya atas jiwa menjadi batal, namun tidak batal atas hartanya. Maka jika ia dibunuh atau meninggal, hartanya berpindah kepada ahli warisnya. Apakah harta tersebut menjadi ghanīmah atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Disebutkan dalam Siyar al-Wāqidī dan dinukil oleh al-Muzanī bahwa hartanya menjadi ghanīmah dan berpindah ke Bayt al-Māl sebagai fay’. Namun disebutkan dalam al-Mukatab bahwa harta tersebut dikembalikan kepada ahli warisnya. Maka mayoritas ulama mazhab kami berpendapat bahwa masalah ini memiliki dua pendapat: pertama, bahwa harta tersebut dikembalikan kepada ahli warisnya, dan ini adalah pilihan al-Muzanī. Dalilnya adalah bahwa harta itu milik ahli warisnya, dan siapa yang mewarisi suatu harta, maka ia mewarisinya beserta hak-haknya. Dan jaminan keamanan ini termasuk hak-hak yang berkaitan dengan harta, maka wajib diwariskan.

والقول الثاني أنه يغنم وينتقل إلى بيت المال فيئاً ووجهه أنه لما مات انتقل ماله إلى وارثه وهو كافر لا أمان له في نفسه ولا في ماله فكان غنيمة وقال أبوعلي بن خيران: المسألة على اختلاف حالين فالذي قال يغنم إذا عقد الأمان مطلقاً ولم يشرط لوارثه والذي قال لا يغنم إذا عقد الأمان لنفسه ولوارثه وليس للشافعي رحمه الله ما يدل على هذه الطريقة وأما إذا مات في دار الإسلام فقد قال في سير الواقدي أنه يرد إلى ورثته واختلف أصحابنا فيه فيمنهم من قال هو أيضا على قولين كالتي قبلها والشافعي نص على أحد القولين ومنهم من قال يرد إلى وارثه قولاً واحداً والفرق بين المسألتين أنه إذا مات في دار الإسلام مات على أمانه فكان ماله على الأمان

Dan pendapat kedua menyatakan bahwa harta tersebut menjadi ghanīmah dan berpindah ke Bayt al-Māl sebagai fay’. Dasarnya adalah bahwa ketika ia meninggal, hartanya berpindah kepada ahli warisnya yang merupakan orang kafir yang tidak memiliki jaminan keamanan atas jiwa dan hartanya, maka hartanya menjadi ghanīmah.

Abū ʿAlī bin Khayyār berkata: Masalah ini tergantung pada dua keadaan yang berbeda. Pendapat yang mengatakan harta tersebut menjadi ghanīmah adalah jika akad jaminan keamanannya bersifat mutlak dan tidak disyaratkan juga untuk ahli warisnya. Adapun pendapat yang mengatakan harta tersebut tidak menjadi ghanīmah adalah jika akad jaminan keamanan itu diperuntukkan bagi dirinya dan ahli warisnya. Namun al-Syāfiʿī RA tidak memiliki nash yang menunjukkan metode ini.

Adapun jika ia meninggal di Dār al-Islām, maka disebutkan dalam Siyar al-Wāqidī bahwa hartanya dikembalikan kepada ahli warisnya. Para ulama mazhab kami berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mereka berkata: kasus ini juga memiliki dua pendapat sebagaimana yang sebelumnya, dan al-Syāfiʿī telah menegaskan salah satu dari dua pendapat tersebut. Sebagian lainnya berkata: harta itu dikembalikan kepada ahli warisnya secara qawl wāḥid. Perbedaan antara dua kasus ini adalah bahwa jika ia meninggal di Dār al-Islām, maka ia meninggal dalam keadaan masih berada dalam jaminan keamanan, maka hartanya pun masih berada dalam jaminan.

وإذا مات في دار الحرب فقد مات بعد زواله أمانه فبطل في أحد القولين أمان ماله فإن استرق زال ملكه عن المال بالاسترقاق وهل يغنم؟ فيه قولان: أحدهما: يغنم فيئاً لبيت المال والقول الثاني أنه موقوف لأنه لا يمكن نقله إلى الوارث لأنه حي ولا إلى مسترقه لأنه مال له أمان فإن عتق دفع المال إليه بملكه القديم وإن مات عبداً ففي ماله قولان حكاهما أبوعلي بن أبي هريرة: أحدهما: أنه يغنم فيئاً ولا يكون موروثاً لأن العبد لا يورث والثاني: أنه لوارثه لأنه ملكه في حريته.

Dan jika ia meninggal di Dār al-ḥarb, maka ia meninggal setelah hilangnya jaminan keamanan, sehingga batal pula jaminan atas hartanya menurut salah satu dari dua pendapat. Jika ia ditawan dan dijadikan budak (istirqāq), maka kepemilikannya atas harta pun gugur karena perbudakan. Apakah harta tersebut menjadi ghanīmah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama, harta tersebut menjadi fay’ bagi Bayt al-Māl.
Pendapat kedua, harta tersebut dihukumi mauqūf (tertahan), karena tidak bisa dipindahkan kepada ahli warisnya sebab ia masih hidup, dan tidak bisa pula diserahkan kepada orang yang memperbudaknya karena harta tersebut berada dalam jaminan keamanan.

Jika ia merdeka, maka harta tersebut diserahkan kembali kepadanya berdasarkan kepemilikan lamanya. Namun jika ia meninggal dalam keadaan budak, maka mengenai hartanya terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abū ʿAlī bin Abī Hurayrah:

Pertama, harta tersebut menjadi fay’ dan tidak diwariskan, karena budak tidak dapat diwarisi.
Kedua, harta tersebut tetap menjadi milik ahli warisnya, karena ia memilikinya sewaktu masih merdeka.

فصل: فإن اقترض حربي من حربي مالاً ثم دخل إلينا بأمان أو أسلم فقد قال أبو العباس عليه رد البدل على المقرض لأنه أخذه على سبيل المعاوضة فلزمه البدل كما لو تزوج حربية ثم أسلم قال: ويحتمل أنه لا يلزمه البدل فإن الشافعي رحمه الله قال في النكاح: إذا تزوج حربي حربية ودخل بها وماتت ثم أسلم الزوج أو دخل إلينا بأمان فجاء وارثها يطلب ميراثه من صداقها أنه لا شيء له

PASAL: Jika seorang ḥarbī meminjam harta dari ḥarbī lain, lalu ia masuk ke negeri Islam dengan jaminan keamanan atau masuk Islam, maka Abū al-‘Abbās berkata: Wajib baginya mengembalikan pengganti (utang) kepada pihak pemberi pinjaman, karena ia mengambilnya dalam bentuk mu‘āwaḍah (transaksi imbal-balik), maka wajib menggantinya sebagaimana jika ia menikahi wanita ḥarbiyyah lalu masuk Islam. Ia berkata: Mungkin juga tidak wajib menggantinya, karena asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata dalam bab nikah: Jika seorang ḥarbī menikahi wanita ḥarbiyyah, lalu menggaulinya dan wanita itu meninggal dunia, kemudian suaminya masuk Islam atau masuk ke negeri Islam dengan jaminan keamanan, lalu ahli warisnya datang menuntut warisan dari maharnya, maka tidak ada bagian baginya.

لأنه مال فائت في حال الكفر قال: والأول أصح ويكون تأويل المسألة أن الحربي تزوجها على غير مهر فإن دخل مسلم دار الحرب بأمان فسرق منهم مالاً أو اقترض منهم مالاً وعاد إلى دار الإسلام ثم جاء صاحب المال إلى دار الإسلام بأمان وجب على المسلم رد ما سرق أو اقترض لأن الأمان يوجب ضمان المال في الجانبين فوجب رده.

Karena itu adalah harta yang telah hilang pada masa kekufuran. Ia berkata: Pendapat pertama lebih kuat, dan penakwilan masalahnya adalah bahwa si ḥarbī menikahinya tanpa mahar. Maka jika seorang Muslim masuk ke negeri ḥarb dengan jaminan keamanan, lalu mencuri harta dari mereka atau meminjam harta dari mereka, kemudian kembali ke negeri Islam, lalu pemilik harta tersebut datang ke negeri Islam dengan jaminan keamanan, maka wajib atas Muslim tersebut mengembalikan harta yang dicuri atau dipinjam, karena jaminan keamanan mewajibkan adanya tanggungan terhadap harta dari kedua belah pihak, maka wajib mengembalikannya.

باب خراج السواد
سواد العراق ما بين عبادان إلى الموصل طولاً ومن القادسية إلى حلوان عرضاً قال الساجي: هو اثنان وثلاثون ألف ألف جريب وقال أبو عبيد: هو ستة وثلاثون ألف ألف جريب وفتحها عمر رضي الله عنه وقسمها بين الغانمين ثم سألهم أن يردوا ففعلوا والدليل عليه ما روى قيس بن أبي حازم البجلي قال: كنا ربع الناس في القادسية فأعطانا عمر رضي الله عنه ربع السواد وأخذناها ثلاث سنين ثم وفد جرير بن عبد الله البجلي إلى عمر رضي الله عنه بعد ذلك فقال أما والله لولا أني قاسم مسؤول لكنتم على ما قسم لكم وأرى أن تردوا على المسلمين ففعلوا ولا تدخل في ذلك البصرة

BAB KHARAJ NEGERI SAWAD

Sawād Irak adalah wilayah yang membentang dari ʿAbbādān hingga Mosul secara memanjang, dan dari Qādisiyyah hingga Ḥulwān secara melebar. As-Sājī berkata: luasnya adalah dua puluh dua juta jarīb, sedangkan Abū ʿUbayd berkata: tiga puluh enam juta jarīb. Wilayah ini ditaklukkan oleh ʿUmar RA, lalu beliau membagikannya kepada para pejuang yang ikut berperang, kemudian meminta mereka untuk mengembalikannya, maka mereka pun melakukannya.

Dalil atas hal ini adalah riwayat dari Qais bin Abī Ḥāzim al-Bajalī, ia berkata: Kami adalah seperempat pasukan dalam Perang Qādisiyyah, lalu ʿUmar RA memberikan kepada kami seperempat Sawād, dan kami mengelolanya selama tiga tahun. Setelah itu Jarīr bin ʿAbdullāh al-Bajalī menghadap kepada ʿUmar RA, maka beliau berkata: “Demi Allah, kalau bukan karena aku adalah pembagi yang akan dimintai pertanggungjawaban, niscaya kalian akan tetap memiliki bagian yang telah dibagikan itu. Namun aku melihat bahwa kalian harus mengembalikannya kepada kaum muslimin.” Maka mereka pun melakukannya.

Kota Baṣrah tidak termasuk dalam wilayah tersebut.

وإن كانت داخلة في حد السواد لأنها كانت أرضاً سبخة فأحياها عمرو بن العاص الثقفي وعتبة بن غزوان بعد الفتح إلا مواضع من شرقي دخلتها تسميها أهل البصرة الفرات ومن غربي دخلتها نهر يعرف بنهر المرة واختلف أصحابنا فيما فعل عمر رضي الله عنه فيما قتح من أرض السواد فقال أبو العباس وأبو إسحاق: باعها من أهلها وما يؤخذ من الخراج ثمن

Dan meskipun secara batas wilayah termasuk dalam kawasan Sawād, namun Baṣrah merupakan tanah rawa yang dihidupkan kembali oleh ʿAmr bin al-ʿĀṣ ats-Tsaqafī dan ʿUtbah bin Ghazwān setelah penaklukan, kecuali beberapa tempat dari bagian timur wilayahnya yang disebut oleh penduduk Baṣrah sebagai al-Furāt, dan dari bagian baratnya terdapat sungai yang dikenal dengan nama Nahr al-Mirrah.

Ulama kami berbeda pendapat tentang apa yang dilakukan oleh ʿUmar RA terhadap tanah Sawād yang dibuka. Abū al-ʿAbbās dan Abū Isḥāq berkata: beliau menjualnya kepada penduduknya, dan kharaj yang diambil adalah sebagai harga (jual beli) tanah tersebut.

والدليل عليه أن من لدن عمر إلى يومنا هذا تباع وتبتاع من غير إنكار وقال أبو سعيد الإصطخري وقفها عمر رضي الله عنه على المسلمين فلا يجوز بيعها ولا شراؤها ولا هبتها ولا رهنها وإنما تنقل من يد إلى يد وما يؤخذ من الخراج فهو أجرة وعليه نص في سير الواقدي

Dalilnya adalah bahwa sejak masa ʿUmar hingga hari ini, tanah-tanah tersebut diperjualbelikan tanpa ada pengingkaran. Namun Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī berkata: ʿUmar RA telah mewakafkannya untuk kaum muslimin, maka tidak boleh dijual, tidak boleh dibeli, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh digadaikan. Tanah tersebut hanya berpindah dari satu tangan ke tangan lain, dan kharaj yang diambil darinya adalah sebagai ujrah (sewa). Dan hal ini disebut secara tegas dalam Siyar al-Wāqidī.

والدليل عليه ما روى بكير بن عام عن عامر قال: اشترى عقبة بن فرقد أرضاً من أرض الخراج فأتى عمر فأخبره فقال: ممن اشتريتها قال: من أهلها قال: فهؤلاء أهلها المسلمون أبعتموه شيئاً قالوا: لا قال: فاذهب فاطلب مالك فإذا قلنا إنه وقف فهل تدخل المنازل في الوقف فيه وجهان: أحدهما: أن الجميع وقف والثاني: أنه لا يدخل في الوقف غير المزارع لأنا لو قلنا إن المنازل دخلت في الوقف أدى إلى خرابها وأما الثمار فهل يجوز لمن هي في يده الانتفاع بها فيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجوز وعلى الإمام أن يأخذها ويبيعها ويصرف ثمنها في مصالح المسلمين

Dalil atas hal tersebut adalah riwayat dari Bukair bin ʿĀm dari ʿĀmir, ia berkata: ʿUqbah bin Farqad membeli sebidang tanah kharāj, lalu datang kepada ʿUmar dan memberitahukannya. Maka ʿUmar berkata: “Dari siapa engkau membelinya?” Ia menjawab: “Dari penduduknya.” ʿUmar berkata: “Ini adalah penduduknya, kaum muslimin. Apakah kalian menjual sesuatu kepadanya?” Mereka menjawab: “Tidak.” ʿUmar berkata: “Kalau begitu pergilah dan ambillah kembali hartamu.”

Jika dikatakan bahwa tanah tersebut adalah wakaf, maka apakah rumah-rumah termasuk dalam wakaf itu? Dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama, semuanya termasuk wakaf.
Kedua, yang termasuk dalam wakaf hanyalah lahan pertanian saja, karena jika rumah-rumah juga termasuk wakaf maka akan menyebabkan kerusakannya.

Adapun buah-buahan, maka apakah orang yang memegang tanah itu boleh mengambil manfaat darinya? Dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama, tidak boleh, dan wajib bagi imam untuk mengambil dan menjualnya serta mengalokasikan hasil penjualannya untuk kemaslahatan kaum muslimin.

والدليل عليه ما روى الساجي في كتابه عن أبي الوليد الطيالسي أنه قال: أدركت الناس بالبصرة ويحمل إليهم الثمر من الفرات فيؤتى به ويطرح على حافة الشط ويلقى عليه الحشيش ولا يطير ولا يشتري منه إلا أعرابي أومن يشتريه فينبذه وما كان الناس يقدمون على شرائه والوجه الثاني أنه يجوز لمن في يده الأرض الانتفاع بثمرتها لأن الحاجة تدعوا إليه فجاز كما تجوز المساقاة والمضاربة على جزء مجهول.

Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh as-Sājī dalam kitabnya dari Abū al-Walīd aṭ-Ṭayālisī, bahwa ia berkata: “Aku menjumpai manusia di Baṣrah, dan buah-buahan dibawa kepada mereka dari al-Furāt, lalu diletakkan di tepi sungai, dan ditutup dengan rerumputan, namun tidak ada yang mengangkutnya, dan tidak ada yang membelinya kecuali orang Aʿrāb atau orang yang membelinya lalu membuangnya. Manusia tidak berani membelinya.”

Sedangkan wajah kedua: boleh bagi orang yang menguasai tanah tersebut untuk mengambil manfaat dari buahnya, karena kebutuhan mendorong kepada hal itu, maka dibolehkan sebagaimana dibolehkannya musāqāh dan muḍārabah atas bagian yang tidak diketahui secara pasti.

فصل: ويؤخذ الخراج من كل جريب شعير درهمان ومن كل جريب حنطة أربعة دراهم ومن كل جريب شجر وقصب وهو الرطبة ستة دراهم واختلف أصحابنا في خراج النخل والكرم فمنهم من قال: يؤخذ من كل جريب نخل عشرة دراهم ومن كل جريب كرم ثمانية دراهم لما روى مجاهد عن الشعبي أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه بعث عثمان بن حنيف فجعل على جريب الشعير درهمين وعلى جريب الحنطة أربعة دراهم وعلى جريب الشجر والقضب ستة دراهم وعلى جريب الكرم ثمانية دراهم وعلى جريب النخل عشرة دراهم وعلى جريب الزيتون اثني عشر ومنهم من قال: يجب على جريب الكرم عشرة وعلى جريب الزيتون اثنا عشر ومنهم من قال: يجب على جريب الكرم عشرة وعلى جريب النخل ثمانية

PASAL: Dipungut kharāj dari setiap jarīb gandum kasar (syair) sebanyak dua dirham, dari setiap jarīb gandum halus (ḥinṭah) sebanyak empat dirham, dan dari setiap jarīb pohon dan tanaman muda (qashab), yaitu tanaman basah (raṭbah), sebanyak enam dirham. Para sahabat kami berselisih pendapat tentang kharāj untuk pohon kurma dan anggur. Di antara mereka ada yang berkata: dipungut dari setiap jarīb pohon kurma sebanyak sepuluh dirham, dan dari setiap jarīb kebun anggur sebanyak delapan dirham, berdasarkan riwayat dari Mujāhid dari al-Syaʿbī bahwa ʿUmar bin al-Khaṭṭāb RA mengutus ʿUtsmān bin Ḥunayf, lalu ia menetapkan kharāj atas jarīb gandum kasar dua dirham, atas jarīb gandum halus empat dirham, atas jarīb pohon dan quḍb enam dirham, atas jarīb kebun anggur delapan dirham, atas jarīb pohon kurma sepuluh dirham, dan atas jarīb pohon zaitun dua belas dirham. Ada juga yang berpendapat: wajib atas jarīb kebun anggur sepuluh dirham, dan atas jarīb pohon zaitun dua belas dirham. Ada pula yang mengatakan: wajib atas jarīb kebun anggur sepuluh dirham, dan atas jarīb pohon kurma delapan dirham.

لما روى أبوقتادة عن لاحق بن حميد يعني أيا مجلز قال: بعث عمر بن الخطاب رضي الله عنه عثمان بن حنيف وفرض على جريب الكرم عشرة وعلى جريب النخل ثمانية وعلى جريب البر أربعة وعلى جريب الشعير درهمين وعلى جريب القضب ستة وكتب بذلك إلى عمر رضي الله عنه فأجازه ورضي به وروى عباد بن كثير عن قحزم قال جبى عمر رضي الله عنه العراق مائة ألف ألف وسبعة وثلاثين ألف ألف وجباها عمر بن عبد العزيز مائة ألف وأربعة وعشرون ألف ألف وجباها الحجاج ثمانية عشر ألف ألف وما يؤخذ من ذلك يصرف في مصالح المسلمين الأهم فالأهم لأنه للمسلمين فصرف في مصالحهم. والله أعلم.

Karena telah diriwayatkan oleh Abū Qatādah dari Lāḥiq bin Ḥumayd—yakni Abū Majliz—bahwa ʿUmar bin al-Khaṭṭāb RA mengutus ʿUtsmān bin Ḥunayf dan menetapkan pada jarīb kebun anggur sepuluh dirham, pada jarīb pohon kurma delapan dirham, pada jarīb gandum halus (bar) empat dirham, pada jarīb gandum kasar (syaʿīr) dua dirham, dan pada jarīb tanaman muda (quḍb) enam dirham. Ia pun menulis tentang hal itu kepada ʿUmar RA, lalu beliau menyetujuinya dan meridhainya.

Dan diriwayatkan oleh ʿAbbād bin Katsīr dari Qaḥzam bahwa ʿUmar RA memungut kharāj dari Irak sebesar seratus tiga puluh tujuh juta (alf alf), dan ʿUmar bin ʿAbd al-ʿAzīz memungutnya sebesar seratus dua puluh empat juta, sedangkan al-Ḥajjāj memungutnya sebesar delapan belas juta.

Apa yang dipungut dari itu seluruhnya disalurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, dari yang paling penting menuju yang lebih penting, karena itu adalah milik kaum muslimin, maka disalurkan pada kemaslahatan mereka. Wallāhu aʿlam.

باب حد الزنا
الزنا حرام وهو من الكبائر العظام والدليل عليه قوله عز وجل: {وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً} وقوله تعالى: {وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ الله إِلَهاً آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ الله إِلَّا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً} وروى عبد الله قال: سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي الذنب أعظم عند الله عز وجل قال: “أن تجعل لله نداً وهو خلقك” قلت إن ذلك لعظيم قال: قلت: ثم أي قال: “أن تقتل ولدك مخافة أن يأكل معك” قال: قلت: ثم أي قال: “أن تزاني حليلة جارك” .

KITAB HUDŪD
BAB HAD ZINA

Zina adalah haram dan termasuk dosa besar yang sangat berat. Dalil atas keharamannya adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Dan firman-Nya Ta‘ala: “Dan orang-orang yang tidak menyeru sembahan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina; barang siapa melakukan hal itu akan mendapat dosa.”

Diriwayatkan dari ʿAbdullāh, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi SAW: “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah Azza wa Jalla?” Beliau menjawab: “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia yang menciptakanmu.” Aku berkata: “Sungguh itu dosa besar.” Aku bertanya: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Engkau membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu.” Aku bertanya: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.”

فصل: إذا وطئ رجل من أهل دار الإسلام امرأة محرمة عليه من غير عقد ولا شبهة عقد وغير ملك ولا شبهة ملك وهو عاقل بالغ مختار عالم بالتحريم وجب عليه الحد فإن كان محصناً وجب عليه الرجم لما روى ابن عباس رضي الله عنه قال: قال عمر لقد خشيت أن يطول بالناس زمان حتى يقول قائلهم ما نجد الرجم في كتاب الله فيضلون ويتركون فريضة أنزلها الله ألا إن الرجم إذا أحصن الرجل وقامت البينة أو كان الحمل أو الإعتراف وقد قرأتها الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة وقد رجم رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجمنا ولا يجلد المحصن مع الرجم

PASAL: Jika seorang lelaki dari penduduk Dār al-Islām menyetubuhi seorang perempuan yang haram atasnya, bukan melalui akad nikah, bukan karena syubhat akad, bukan karena kepemilikan, dan bukan karena syubhat kepemilikan, sedangkan ia berakal, balig, atas kehendaknya sendiri, serta mengetahui keharamannya, maka wajib atasnya dikenakan ḥadd. Jika ia muḥṣan, maka wajib dirajam berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa ‘Umar berkata: “Sungguh aku khawatir akan datang suatu masa yang panjang bagi manusia sehingga seseorang berkata: ‘Kami tidak mendapati hukum rajam dalam Kitab Allah’, lalu mereka sesat dan meninggalkan satu kewajiban yang telah Allah turunkan. Ketahuilah bahwa rajam itu berlaku jika seseorang telah muḥṣan, kemudian tegak bukti atau karena hamil atau karena pengakuan.” Dan sungguh aku telah membacanya: Asy-syaikhu wa asy-syaikhatu iżā zanayā farjumūhumā al-battah, dan sungguh Rasulullah SAW telah merajam dan kami pun telah merajam. Orang yang muḥṣan tidak dicambuk bersama dengan rajam.

لما روى أبو هريرة وزيد بن خالد الجهني رضي الله عنهما قالا: كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام إليه رجل فقال: إن ابني كان عسيفاً على هذا فزنى بامرأته فقال صلى الله عليه وسلم: “على ابنك جلد مائة وتغريب عام واغد يا أنيس على امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها”. فغدا عليها فاعترفت فرجمها ولو وجب الجلد مع الرجم لأمر به

Karena telah diriwayatkan dari Abū Hurairah dan Zayd bin Khālid al-Juhani RA, keduanya berkata: Kami berada di sisi Rasulullah SAW, lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan berkata: “Sesungguhnya anakku menjadi pekerja upahan pada orang ini, lalu ia berzina dengan istrinya.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Atas anakmu adalah jild seratus kali dan pengasingan selama setahun. Dan berangkatlah engkau, wahai Anīs, kepada istri orang ini. Jika ia mengakui, maka rajamlah dia.” Maka Anīs pun mendatanginya, dan ia mengakui, lalu dirajam. Seandainya jild itu wajib bersama rajam, niscaya beliau akan memerintahkannya.

فصل: والمحصن الذي يرجم هو أن يكون بالغاً عاقلاً حراً وطئ في نكاح صحيح فإن كان صبياً أو مجنوناً لم يرجم لأنهما ليسا من أهل الحد وإن كان مملوكاً لم يرجم وقال أبو ثور: إذا أحصن بالزوجية رجم لأنه حد لا يتبعض فاستوى فيه الحر والعبد كالقطع في السرقة وهذا خطأ لقوله عز وجل: {فَإذا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ} فأوجب مع الإحصان خمسين جلدة وروى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إذا زنت أمة أحدكم فليجلدها الحد” .

PASAL: Orang muḥṣan yang dirajam adalah orang yang balig, berakal, merdeka, dan telah bersetubuh dalam pernikahan yang sah. Jika ia masih anak-anak atau gila, maka tidak dirajam karena keduanya bukan termasuk ahli ḥadd. Jika ia adalah seorang budak, maka tidak dirajam. Abu Ṯaur berkata: jika ia telah menjadi muḥṣan dengan pernikahan maka ia dirajam, karena ḥadd tidak terbagi-bagi, maka sama antara orang merdeka dan budak sebagaimana hukum potong tangan dalam pencurian. Pendapat ini salah, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {fa-idzā uḥṣínna fa-in atayna bifāḥisyatin fa-‘alayhinna niṣfu mā ‘ala al-muḥṣanāti mina al-‘adzāb}, maka Allah mewajibkan dengan status iḥṣān bagi budak wanita hukuman lima puluh cambukan. Dan telah meriwayatkan Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika budak perempuan salah seorang dari kalian berzina, maka hendaklah ia mencambuknya dengan hukuman ḥadd.”

ولأن الرجم أعلى من جلد مائة فإذا لم يجب على المملوك جلد مائة فلأن لا يجب الرجم أولى ويخالف القطع في السرقة فإنه ليس في السرقة حد غير القطع فلو أسقطناه القطع سقط الحد وفي ذلك فساد وليس كذلك في الزنا فإن فيه حداً غير الرجم فإذا أسقطناه لم يسقط الحد وأما من لم يطأ في النكاح الصحيح فليس بمحصن وإذا زنى لم يرجم لما روى مسروق عن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث: الثيب الزاني والنفس بالنفس والتارك لدينه المفارق للجماعة” .

Karena rajam lebih berat daripada seratus cambukan, maka jika mubahalah seratus cambukan tidak wajib bagi budak, maka lebih utama rajam pun tidak wajib baginya. Dan hal ini berbeda dengan potong tangan dalam pencurian, karena dalam pencurian tidak ada ḥadd selain potong tangan. Maka jika kita gugurkan potong tangan, gugurlah ḥadd, dan itu menimbulkan kerusakan. Adapun dalam perzinaan, terdapat ḥadd selain rajam. Maka jika kita gugurkan rajam, tidak gugur ḥadd.

Adapun orang yang belum bersetubuh dalam pernikahan yang sah, maka ia bukan muḥṣan, dan jika berzina, maka tidak dirajam. Berdasarkan riwayat dari Masrūq dari ‘Abdullāh, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali karena salah satu dari tiga hal: pezina ṯayyib, nyawa dibalas dengan nyawa, dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jamaah.”

ولا خلاف أن المراد بالثيب الذي وطئ في نكاح صحيح واختلف أصحابنا هل يكون من شرطه أن يكون الوطء بعد كماله بالبلوغ والعقل والحرية أم لا؟ فمنهم من قال ليس من شرطه أن يكون الوطء بعد الكمال فلو وطئ وهو صغير أو مجنون أو مملوك ثم كمل فزنى رجم لأنه وطء أبيح للزوج الأول فثبت به الإحصان كما لو وطئ بعد الكمال ولأن النكاح يجوز أن يكون قبل الكمال فكذلك الوطء ومنهم من قال: من شرطه أن يكون الوطء بعد الكمال فإن وطئ في حال الصغر أو الجنون أو الرق ثم كمل وزنى لم يرجم وهو ظاهر النص

Dan tidak ada khilaf bahwa yang dimaksud dengan ṯayyib adalah orang yang telah bersetubuh dalam pernikahan yang sah. Para ashāb kami berbeda pendapat apakah termasuk syarat bahwa persetubuhan itu harus terjadi setelah sempurna sifat-sifatnya, yaitu balig, berakal, dan merdeka, atau tidak.

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tidak disyaratkan persetubuhan itu terjadi setelah sempurna. Maka jika ia bersetubuh saat masih kecil, gila, atau budak lalu kemudian sempurna keadaannya dan berzina, maka ia dirajam. Karena persetubuhan tersebut telah dihalalkan bagi suami yang pertama, maka tetaplah status iḥṣān sebagaimana jika ia bersetubuh setelah sempurna. Dan karena akad nikah boleh dilakukan sebelum sempurna, maka demikian pula persetubuhannya.

Sebagian lain berpendapat bahwa disyaratkan persetubuhan itu harus terjadi setelah sempurna. Maka jika ia bersetubuh dalam keadaan kecil, gila, atau budak, lalu kemudian sempurna dan berzina, maka ia tidak dirajam. Dan ini adalah zahir dari nash.

والدليل عليه ما روى عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “خذوا عني خذوا عني قد جعل الله لهن سبيلاً البكر بالبكر جلد مائة وتغريب عام والثيب بالثيب جلد مائة والرجم” . فلو جاز أن يحصن الوطء في حال النقصان لما علق الرجم بالزنا ولأن الإحصان كمال فشرط أن يكون وطؤه في حال الكمال فعلى هذا إذا وطئ في نكاح صحيح فإن كانا حرين بالغين عاقلين صارا محصنين

Dan dalil atasnya adalah riwayat dari ‘Ubādah bin al-Ṣāmit RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Ambillah dariku, ambillah dariku, sungguh Allah telah menetapkan jalan bagi mereka: al-bikr bi al-bikr (lajang dengan lajang) hukumannya seratus cambukan dan pengasingan selama setahun, dan al-ṯayyib bi al-ṯayyib (yang sudah menikah dengan yang sudah menikah) hukumannya seratus cambukan dan rajam.”

Maka seandainya boleh status iḥṣān ditetapkan dengan persetubuhan dalam keadaan belum sempurna, niscaya tidak akan dikaitkan rajam dengan perzinaan. Dan karena iḥṣān adalah bentuk kesempurnaan, maka disyaratkan persetubuhan itu terjadi dalam keadaan sempurna.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang bersetubuh dalam pernikahan yang sah, maka jika keduanya adalah orang merdeka, telah balig, dan berakal, maka keduanya menjadi muḥṣan.

وإذا كانا مملوكين أو صغيرين أو مجنونين لم يصيرا محصنين وإن كان أحدهما: حراً بالغاً عاقلاً والآخر مملوكاً أو صغيراً أو مجنوناً ففيه قولان: أحدهما: أن الكامل منهما محصن والناقص منهما غير محصن وهو الصحيح لأنه لما جاز أن يجب بالوطء الواحد الرجم على أحدهما: دون الآخر جاز أن يصير أحدهما: بالوطء الواحد محصناً دون الآخر والقول الثاني: أنه لا يصير واحد منهما محصناً لأنه وطء لا يصير به أحدهما: محصناً فلم يصر الآخر به محصناً كوطء الشبهة ولا يشترط في إحصان الرجم أن يكون مسلماً لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتى بيهوديين زنيا فأمر برجمهما.

Jika keduanya adalah budak, atau anak kecil, atau orang gila, maka keduanya tidak menjadi muḥṣan. Dan jika salah satunya adalah orang merdeka, balig, dan berakal, sedangkan yang lainnya adalah budak, atau anak kecil, atau orang gila, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: yang sempurna dari keduanya menjadi muḥṣan, sedangkan yang kurang tidak menjadi muḥṣan, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ. Karena ketika dimungkinkan bahwa dengan satu kali persetubuhan bisa diwajibkan rajam atas salah satu dari keduanya tanpa yang lain, maka dimungkinkan pula dengan satu kali persetubuhan salah satu dari keduanya menjadi muḥṣan tanpa yang lain.

Pendapat kedua: tidak satu pun dari keduanya menjadi muḥṣan, karena persetubuhan itu tidak menjadikan salah satu dari mereka muḥṣan, maka yang lainnya pun tidak menjadi muḥṣan dengannya, sebagaimana persetubuhan karena syubhat.

Dan tidak disyaratkan dalam iḥṣān bagi hukum rajam bahwa pelakunya harus Muslim, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW didatangkan dua orang Yahudi yang berzina, maka beliau memerintahkan untuk merajam keduanya.

فصل: وإن كان غير محصن نظرت فإن كان حراً جلد مائة جلدة وغرب سنة لقوله عز وجل: {الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ} وروى عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “خذوا عني خذوا عني قد جعل الله لهن سبيلاً البكر بالبكر جلد مائة وتغريب عام والثيب بالثيب جلد مائة والرجم”. وإن كان مملوكاً جلد خمسين عبداً كان أو أمة لقوله عز وجل: {فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ} فجعل ما على الأمة نصف ما على الحرة لنقصانها بالرق والدليل عليه أنها لو أعتقت كمل حدها والعبد كالأمة في الرق فوجب عليه نصف ما على الحر وهل يغرب العبد بعد الجلد؟ فيه قولان: أحدهما: أنه لا يغرب

PASAL: Jika pelakunya bukan muḥṣan, maka dilihat, jika ia seorang merdeka maka dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ” dan berdasarkan riwayat dari ʿUbādah bin aṣ-Ṣāmit RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah dariku, ambillah dariku, sungguh Allah telah menjadikan jalan keluar bagi mereka: al-bikr dengan al-bikr dijilid seratus dan diasingkan satu tahun, dan aṡ-ṡayyib dengan aṡ-ṡayyib dijilid seratus dan dirajam.”

Jika ia seorang budak, maka dijilid lima puluh kali, baik ia laki-laki atau perempuan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ” — maka Allah menjadikan bagi seorang amah setengah dari yang dikenakan atas wanita merdeka karena kekurangannya akibat status budak. Dalilnya adalah, jika ia dimerdekakan maka sempurna hukumannya. Budak laki-laki seperti amah dalam hal status perbudakan, maka wajib atasnya setengah dari yang dikenakan atas orang merdeka.

Apakah budak diasingkan setelah dijilid? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya mengatakan bahwa ia tidak diasingkan.

لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا زنت أمة أحدكم فليجلدها الحد”. ولم يذكر النفي ولأن القصد بالتغريب تعذيبه بالإخراج عن الأهل والمملوك لا أهل له والقول الثاني: أنه يغرب وهو الصحيح لقوله عز وجل: {فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ} ولأنه حد يتبعض فوجب على العبد كالجلد فإن قلنا إنه يغرب ففي قدره قولان: أحدهما: أنه يغرب سنة لأنها مدة مقدرة بالشرع فاستوى فيها الحر والعبد كمدة العنين والثاني: أنه يغرب نصف سنة للآية ولأنه حد يتبعض فكان العبد فيه على النصف من الحر كالجلد.

karena telah diriwayatkan dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila seorang amah salah satu dari kalian berzina, maka hendaklah ia menegakkan had atasnya.” Dan beliau tidak menyebutkan pengasingan (nasyru). Karena maksud dari pengasingan adalah menyiksanya dengan memisahkannya dari keluarga, sedangkan budak tidak memiliki keluarga.

Pendapat kedua: ia tetap diasingkan, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {faʿalayhinna niṣfu mā ʿala al-muḥṣanāti mina al-ʿadhāb}, dan karena ini adalah had yang bisa dibagi-bagi, maka wajib juga atas budak sebagaimana cambukan.

Apabila kita mengatakan bahwa ia diasingkan, maka tentang lamanya terdapat dua pendapat:
pertama, diasingkan selama setahun, karena itu adalah masa yang ditentukan secara syariat, sehingga budak dan orang merdeka sama dalam hal ini, sebagaimana masa untuk suami yang impoten (ʿīnīn);
kedua, diasingkan selama setengah tahun berdasarkan ayat tersebut dan karena had ini bisa dibagi-bagi, maka budak memperoleh setengah dari orang merdeka sebagaimana dalam hal cambukan.

فصل: وإن زنى وهو بكر فلم يحد حتى أحصن وزنى ففيه وجهان: أحدهما: أنه يرجم ويدخل فيها الجلد والتغريب لأنهما حدان يجبان بالزنا فتداخلا كما لو وجب حدان وهو بكر والثاني: أنه لا يدخل فيه لأنهما حدان مختلفان فلم يدخل أحدهما: في الآخر كحد السرقة والشرب فعلى هذا يجلد ثم يرجم ولا يغرب لأن التغريب يحصل بالرجم.

PASAL: Jika seseorang berzina dalam keadaan bikr namun belum ditegakkan had atasnya hingga ia menjadi muḥṣan lalu berzina lagi, maka dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama, ia dirajam dan masuk pula ke dalamnya hukuman cambuk dan pengasingan, karena keduanya merupakan dua had yang wajib karena zina, maka keduanya saling masuk sebagaimana jika dua had wajib atasnya saat masih bikr.

Kedua, tidak masuk ke dalamnya, karena keduanya adalah dua had yang berbeda, maka salah satunya tidak masuk ke dalam yang lain sebagaimana had pencurian dan minum khamar. Maka berdasarkan pendapat ini, ia dicambuk terlebih dahulu kemudian dirajam, dan tidak diasingkan karena pengasingan sudah tercapai dengan rajam.

فصل: والوطء الذي يجب به الحد أن يغيب الحشفة في الفرج فإن أحكام الوطء تتعلق بذلك ولا تتعلق بما دونه وما يجب بالوطء في الفرج من الحد يجب بالوطء في الدبر لأنه فرج مقصود فتعلق الحد بالإيلاج فيه كالقبل ولأنه إذا وجب بالوطء في القبل وهو مما يستباح فلأن يجب بالوطء في الدبر وهو مما لا يستباح أولى.

PASAL: Persetubuhan yang mewajibkan ḥadd adalah apabila ḥasyafah (kepala zakar) masuk ke dalam farj. Karena hukum-hukum persetubuhan bergantung padanya, dan tidak bergantung pada yang kurang dari itu. Dan apa yang diwajibkan karena persetubuhan di farj berupa ḥadd, juga diwajibkan karena persetubuhan di dubur, karena ia adalah farj yang dimaksud (oleh syahwat), maka ḥadd berkaitan dengan penetrasi padanya sebagaimana pada qubul. Dan karena jika ḥadd diwajibkan karena persetubuhan di qubul, padahal ia sesuatu yang boleh dilakukan, maka lebih utama lagi diwajibkan karena persetubuhan di dubur, yang merupakan sesuatu yang tidak boleh dilakukan.

فصل: ولا يجب على الصبي والمجنون حد الزنا لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”. ولأنه إذا سقط عنه التكليف في العبادات والمآثم في المعاصي فلأن يسقط الحد ومبناه على الدرء والإسقاط أولى وفي السكران قولان وقد بيناهما في الطلاق.

PASAL: Tidak wajib atas anak kecil dan orang gila had zina, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia baligh, dari orang yang tidur sampai ia terbangun, dan dari orang gila sampai ia sadar.”

Dan karena ketika gugur darinya taklif dalam ibadah dan gugur pula dosa dalam maksiat, maka lebih utama lagi had juga gugur, karena dasar had adalah pencegahan dan pengguguran.

Adapun bagi orang mabuk terdapat dua pendapat, dan telah dijelaskan keduanya dalam bab ṭalāq.

فصل: ولا يجب على المرأة إذا أكرهت على التمكين من الزنا لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه”. ولأنها مسلوبة الإختيار فلم يجب عليها الحد كالنائمة وهل يجب على الرجل إذا أكره على الزنا فيه وجهان ك أحدهما: وهو المذهب أنه لا يجب عليه لما ذكرناه في المرأة والثاني: أنه يجب لأن الوطء لا يكون إلا بالانتشار الحاث عن الشهوة والاختيار.

PASAL: Tidak wajib ḥadd atas perempuan jika dipaksa untuk membiarkan terjadinya zina, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Diangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa atasnya.” Dan karena ia kehilangan pilihan, maka tidak wajib atasnya ḥadd, sebagaimana orang yang tidur.

Adapun apakah ḥadd wajib atas laki-laki jika dipaksa untuk berzina, terdapat dua pendapat. Salah satunya—dan inilah pendapat mazhab—tidak wajib atasnya, sebagaimana yang disebutkan dalam kasus perempuan. Dan pendapat kedua: wajib, karena persetubuhan tidak bisa terjadi kecuali dengan ereksi yang didorong oleh syahwat dan adanya kehendak.

فصل: ولا يجب على من لا يعلم تحريم الزنا لما روى سعيد بن المسيب قال: ذكر الزنا بالشام فقال رجل: زنيت البارحة فقالوا ما تقول قال: ما علمت أن الله عز وجل حرمه فكتب يعني عمر إن كان يعلم أن الله حرمه فخذوه وإن لم يكن قد علم فأعلموه فإن عاد فارجموه

PASAL: Tidak wajib dikenakan had atas orang yang tidak mengetahui keharaman zina, karena diriwayatkan dari Sa‘īd bin al-Musayyab bahwa pernah disebutkan perihal zina di Syam, lalu seorang lelaki berkata, “Aku telah berzina semalam.” Mereka berkata, “Apa yang engkau katakan?” Ia menjawab, “Aku tidak tahu bahwa Allah ‘azza wa jalla mengharamkannya.” Maka ‘Umar menulis, maksudnya perintah: “Jika ia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya maka tangkaplah dia, dan jika ia belum mengetahuinya maka ajarilah dia. Jika ia mengulanginya lagi, maka rajamlah dia.”

وروي أن جارية سوداء رفعت إلى عمر رضي الله عنه وقيل إنها زنت فخفقها بالدرة خفقات وقال: أي لكاع زنيت؟ فقالت: من غوش بدرهمين تخبر بصاحبها الذي زنى بها ومهرها الذي أعطاها فقال عمر رضي الله عنه ما ترون وعنده علي وعثمان عبد الرحمن بن عوف فقال علي رضي الله عنه أرى أن ترجمها وقال عبد الرحمن أرى مثل ما رأى أخوك فقال لعثمان ما تقول: قال أراها تستهل بالذي صنعت لا ترى به بأساً وإنما حد الله على من علم أمر الله عز وجل فقال صدقت

Dan diriwayatkan bahwa seorang budak perempuan berkulit hitam dibawa kepada ‘Umar RA dan dikatakan bahwa ia telah berzina. Maka ‘Umar memukulnya dengan durrāh beberapa kali sambil berkata: “Wahai perempuan bejat, engkau telah berzina?” Ia menjawab: “Karena kebodohan demi dua dirham,” lalu ia memberitahukan siapa laki-laki yang menzinainya dan mahar yang diberikannya. Maka ‘Umar RA berkata: “Apa pendapat kalian?” Saat itu bersamanya ada ‘Alī, ‘Utsmān, dan ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf. Maka ‘Alī RA berkata: “Aku berpendapat agar ia dirajam.” Dan ‘Abd al-Raḥmān berkata: “Aku berpendapat sebagaimana pendapat saudaramu.” Lalu ‘Umar bertanya kepada ‘Utsmān: “Apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Aku melihat bahwa ia menganggap remeh apa yang ia lakukan dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang tercela, dan sesungguhnya Allah tidak menetapkan had kecuali atas orang yang mengetahui perintah Allah ‘azza wa jalla.” Maka ‘Umar berkata: “Engkau benar.”

فإن زنى رجل بامرأة وادعى أنه لم يعلم بتحريمه فإن كان نشأ فيما بين المسلمين لم يقبل قوله لأنا نعلم كذبه وإن كان قريب العهد بالإسلام أو نشأ في بادية بعيدة أو كان مجنوناً فأفاق وزنى قبل أن يعلم الأحكام قبل قوله لأنه يحتمل ما يدعيه فلم يجب الحد وإن وطئ المرتهن الجارية المرهونة بإذن الراهن وادعى أنه جهل تحريمه ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقبل دعواه إلا أن يكون قريب العهد بالإسلام أو نشأ في موضع بعيد من المسلمين كما لا يقبل دعوى الجهل إذا وطئها من غير إذن الراهن والثاني: أنه يقبل قوله لأن معرفة ذلك تحتاج إلى فقه.

Maka jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan dan mengaku bahwa ia tidak mengetahui keharamannya, maka jika ia tumbuh di tengah kaum Muslimin, tidak diterima pengakuannya, karena kita mengetahui bahwa ia berdusta. Namun jika ia baru masuk Islam atau tumbuh di perkampungan yang jauh, atau ia sebelumnya gila lalu sadar dan berzina sebelum mengetahui hukum-hukum (Islam), maka diterima pengakuannya karena mungkin apa yang ia dakwakan, maka tidak dikenakan had.

Dan jika seorang pemegang gadai menyetubuhi budak perempuan yang digadaikan dengan izin dari pihak yang menggadaikan, lalu mengaku bahwa ia tidak mengetahui keharamannya, maka dalam hal ini ada dua wajah (pendapat):

Pertama, bahwa pengakuannya tidak diterima kecuali jika ia baru masuk Islam atau tumbuh di tempat yang jauh dari kaum Muslimin, sebagaimana tidak diterima pengakuan jahil jika ia menyetubuhinya tanpa izin dari pihak yang menggadaikan.

Kedua, bahwa pengakuannya diterima karena pengetahuan tentang hal itu memerlukan pemahaman fikih.

فصل: وإن وجد امرأة في فراشه فظنها أمته أو زوجته فوطئها لم يلزمه الحد لأنه يحتمل ما يدعيه من الشبهة.

PASAL: Jika seseorang mendapati seorang perempuan di atas tempat tidurnya lalu ia mengira bahwa perempuan itu adalah hambanya atau istrinya, kemudian ia menyetubuhinya, maka tidak wajib atasnya ḥadd, karena kemungkinan adanya syubhat seperti yang ia klaim.

فصل: وإن كان أحد الشريكين في الوطء صغيراً والآخر بالغاً أو أحدهما: مستيقظاً والآخر نائماً أو أحدهما: مختاراً والآخر مستكرهاً أو أحدهما: مسلماً والآخر مستأمناً وجب الحد على من هو من أهل الحد ولم يجب على الآخر لأن أحدهما: انفرد بما يوجب الحد وانفرد الآخر بما يسقط الحد فوجب الحد على أحدهما: وسقط عن الآخر وإن كان أحدهما: محصناً والآخر غير محصن وجب على المحصن الرجم وعلى غير المحصن الجلد والتغريب لأن أحدهما: انفرد بسبب الرجم والآخر انفرد بسبب الجلد والتغريب وإن أقر أحدهما: بالزنا وأنكر الآخر وجب على المقر الحد

PASAL: Jika salah satu dari dua orang yang berzina adalah anak kecil dan yang lainnya baligh, atau salah satunya terjaga dan yang lainnya tidur, atau salah satunya melakukan dengan pilihan sendiri dan yang lainnya dipaksa, atau salah satunya muslim dan yang lainnya musta’man, maka dikenakan ḥadd kepada pihak yang termasuk golongan yang layak dikenai ḥadd, dan tidak dikenakan kepada yang lainnya. Karena salah satunya secara mandiri melakukan hal yang mewajibkan ḥadd, sedangkan yang lain secara mandiri melakukan hal yang menggugurkan ḥadd, maka wajib ḥadd atas yang pertama dan gugur dari yang kedua.

Jika salah satunya muḥṣan dan yang lainnya tidak, maka wajib rajam atas yang muḥṣan, dan wajib cambuk serta pengasingan atas yang belum muḥṣan. Karena salah satunya secara mandiri memiliki sebab rajam, dan yang lainnya secara mandiri memiliki sebab cambuk dan pengasingan.

Jika salah satunya mengaku telah berzina dan yang lainnya mengingkarinya, maka wajib ḥadd atas yang mengaku.

لما روى سهل بن الساعدي أن رجلا أقر أنه زنى بامرأة فبعث النبي صلى الله عليه وسلم إليها فجحدت فحد الرجل وروى أبو هريرة رضي الله عنه وزيد بن خالد الجهني أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “على ابنك جلد مائة وتغريب عام واغد يا أنيس على امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها”. فأوجب الحد على الرجل وعلق الرجم على اعتراف المرأة.

Karena telah diriwayatkan dari Sahl bin Sa‘id bahwa seorang laki-laki mengaku telah berzina dengan seorang perempuan, lalu Nabi SAW mengutus orang kepada perempuan tersebut, namun ia mengingkari, maka Nabi SAW menjatuhkan ḥadd kepada laki-laki itu.

Dan telah diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dan Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa Nabi SAW bersabda: “Atas anakmu (hukuman) cambuk seratus kali dan pengasingan selama setahun. Dan pergilah wahai Anis kepada perempuan ini, jika ia mengaku maka rajamlah dia.” Maka Nabi SAW mewajibkan ḥadd kepada laki-laki, dan menggantungkan hukuman rajam atas pengakuan dari perempuan.

فصل: وإن استأجر امرأة ليزني بها فزنى بها أو تزوج ذات رحم فوطئها وهو يعتقد تحريمها وجب عليه الحد لأنه لا تأثير للعقد في إباحة وطئها فكان وجوده كعدمه وإن ملك ذات رحم محرم ووطئها ففيه قولان: أحدهما: أنه يجب عليه الحد لأن ملكه لا يبيح وطأها بحال فلم يسقط الحد والثاني: أنه لا يجب عليه الحد وهو الصحيح لأنه وطء في ملك فلم يجب به الحد كوطء أمته الحائض ولأنه وطئ جارية مشتركة بينه وبين غيره لم يجب عليه الحد

PASAL: Jika seseorang menyewa seorang perempuan untuk berzina dengannya lalu ia menzinainya, atau ia menikahi perempuan yang merupakan mahram dan menyetubuhinya dalam keadaan meyakini keharamannya, maka wajib atasnya ḥadd, karena akad tidak berpengaruh dalam menghalalkan persetubuhan dengannya, maka keberadaan akad itu seperti tidak ada.

Dan jika ia memiliki seorang perempuan yang merupakan mahram karena nasab, lalu ia menyetubuhinya, maka ada dua pendapat:
Pertama, wajib atasnya ḥadd, karena kepemilikannya tidak menghalalkan persetubuhan dengannya dalam keadaan apa pun, maka tidak menggugurkan ḥadd.
Kedua, tidak wajib atasnya ḥadd, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena itu adalah persetubuhan dalam milik, maka tidak wajib ḥadd sebagaimana menyetubuhi budaknya yang sedang haid, dan sebagaimana jika ia menyetubuhi budak perempuan yang dimiliki bersama dengan orang lain, maka tidak wajib atasnya ḥadd.

وقال أبو ثور: إن علم بتحريمها وجب عليه الحد لأن ملك البعض لا يبيح الوطء فلم يسقط الحد كملك ذات رحم محرم وهذا خطأ لأنه اجتمع في الوطء ما يوجب الحد وما يسقط فغلب الإسقاط لأن مبنى الحد على الدرء والإسقاط وإن وطئ جارية ابنه لم يجب عليه الحد لأن له فيها شبهة ويلحقه نسب ولدها فلم يلزمه الحد بوطئها.

Dan Abū Ṯawr berkata: Jika ia mengetahui keharamannya, maka wajib atasnya ḥadd, karena kepemilikan sebagian tidak menghalalkan persetubuhan, maka tidak menggugurkan ḥadd, sebagaimana memiliki perempuan yang merupakan mahram karena nasab.

Namun ini adalah kesalahan, karena dalam persetubuhan tersebut terkumpul hal yang mewajibkan ḥadd dan hal yang menggugurkan ḥadd, maka yang menggugurkan lebih didahulukan, karena hukum ḥadd dibangun di atas prinsip peniadaan dan pengguguran.

Dan jika seseorang menyetubuhi budak perempuan milik anaknya, maka tidak wajib atasnya ḥadd, karena ia memiliki syubhat padanya, dan nasab anak dari perempuan itu dinisbatkan kepadanya, maka tidak wajib atasnya ḥadd karena persetubuhan tersebut.

فصل: واللواط محرم لقوله عز وجل: {وَلُوطاً إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ} فسماه فاحشة وقد قال عز وجل: {وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ} ولأن الله عز وجل عذب بها قوم لوط بما لم يعذب به أحداً فدل على تحريمه ومن فعل ذلك وهو ممن يجب عليه حد الزنا وجب عليه الحد وفي حده قولان: أحدهما: وهو المشهور من مذهبه أنه يجب فيه ما يجب في الزنا

PASAL: Liwāṭ (hubungan seksual sesama laki-laki) adalah haram, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla: {Dan (ingatlah kisah) Lūṭ, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Apakah kalian mendatangi kekejian yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kalian?”} Maka Allah menamakannya fāḥisyah (kekejian). Dan Allah ‘azza wa jalla juga berfirman: {Dan janganlah kalian mendekati kekejian, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.}

Dan karena Allah ‘azza wa jalla mengazab kaum Lūṭ dengan siksaan yang tidak pernah Dia timpakan kepada siapa pun, maka hal itu menunjukkan keharamannya.

Barangsiapa melakukan perbuatan itu, dan ia termasuk orang yang wajib dikenai ḥadd karena zina, maka wajib atasnya ḥadd. Dalam hal hukumannya terdapat dua pendapat:

Pertama, dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab, bahwa wajib dijatuhkan padanya hukuman sebagaimana hukuman zina.

فإن كان غير محصن وجب الجلد والتغريب وإن كان محصناً وجب عليه الرجم لما روى أبو موسى الأشعري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا أتى الرجل الرجل فهما زانيان وإذا أتت المرأة المرأة فهما زانيتان”. ولأنه حد يجب بالوطء فاختلف فيه البكر والثيب كحد الزنا

Jika pelakunya belum muḥṣan, maka wajib dijatuhi hukuman cambuk dan pengasingan. Dan jika pelakunya muḥṣan, maka wajib atasnya hukuman rajam.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Mūsā al-Asy‘arī RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila laki-laki mendatangi laki-laki, maka keduanya adalah pezina, dan apabila perempuan mendatangi perempuan, maka keduanya adalah pezina.”

Dan karena ini merupakan ḥadd yang wajib karena persetubuhan, maka dibedakan antara yang masih lajang dan yang sudah menikah, sebagaimana dalam ḥadd zina.

والقول الثاني أنه يجب قتل الفاعل والمفعول به لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به” . ولأن تحريمه أغلظ فكان حده أغلظ وكيف يقتل فيه وجهان: أحدهما: أنه يقتل بالسيف لأنه أطلق القتل في الخبر في الخبر فينصرف إطلاقه إلى القتل بالسيف والثاني: أنه يرجم لأنه قتل يجب بالوطء فكان بالرجم كقتل الزنا.

Pendapat kedua menyatakan bahwa wajib dibunuh pelaku dan yang menjadi objek perbuatan, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa kalian dapati melakukan perbuatan kaum Lūṭ, maka bunuhlah pelaku dan objeknya.”

Dan karena keharamannya lebih berat, maka ḥadd-nya pun lebih berat.

Adapun cara pelaksanaannya, terdapat dua pendapat:
Pertama, dibunuh dengan pedang, karena dalam hadis disebutkan perintah membunuh secara mutlak, maka pemaknaan mutlak tersebut dikembalikan kepada pembunuhan dengan pedang.
Kedua, dirajam, karena pembunuhan itu wajib karena persetubuhan, maka dilaksanakan dengan rajam seperti dalam kasus zina.

فصل: ومن حرمت مباشرته في الفرج بحكم الزنا أو اللواط حرمت مباشرته فيما دون الفرج بشهوة والدليل عليه قوله عز وجل: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ} ولأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يخلون أحدكم بامرأة ليست له بمحرم فإن ثالثهما الشيطان”.

PASAL: Barang siapa diharamkan menyentuh kemaluan (berjima’) seseorang karena hukum zina atau liwāṭ, maka haram pula menyentuh bagian selain kemaluannya dengan syahwat.

Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla: {Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela}.

Dan karena Nabi SAW bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang perempuan yang bukan mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan.”

فإذا حرمت الخلوة بها فلأن تحرم المباشرة أولى لانها أدعى إلى الحرام فإن فعل ذلك لم يجب عليه الحد لما روى ابن مسعود رضي الله عنه أن رجلاً جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: إني أخذت امرأة في البستان وأصبت منها كل شيء غير أني لم أنكحها فاعمل بي ما شئت فقرأ عليه {وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} ويعزر عليه لأنه معصية ليس فيها حد ولا كفارة فشرع فيها التعزير.

Maka jika khalwat dengannya saja diharamkan, maka pengharaman menyentuh (tubuhnya) lebih utama, karena hal itu lebih mendorong kepada keharaman.

Jika seseorang melakukannya, maka tidak wajib atasnya ḥadd, berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas‘ūd RA bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Aku mengambil seorang perempuan di kebun, lalu aku melakukan segala sesuatu dengannya kecuali jima‘. Maka hukumilah aku sesukamu.” Lalu Nabi SAW membacakan kepadanya ayat: {Dan dirikanlah shalat pada kedua ujung siang dan pada beberapa bagian dari malam. Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapuskan keburukan-keburukan.}

Namun ia tetap dikenai ta‘zīr, karena perbuatan tersebut adalah maksiat yang tidak ada padanya ḥadd maupun kafārah, maka disyariatkan padanya ta‘zīr.

فصل: ويحرم إتيان المرأة المرأة لما روى أبو موسى الأشعري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا أتت المرأة المرأة فهما زانيتان”. ويجب فيه التعزير دون الحد لأنها مباشرة من غير إيلاج فوجب بها التعزير دون الحد كمباشرة الرجل المرأة فيما دون الفرج.

PASAL: Diharamkan wanita mendatangi wanita (dengan syahwat), karena diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy‘ari bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila seorang wanita mendatangi wanita (dengan syahwat), maka keduanya adalah pezina.” Dalam hal ini wajib dikenakan ta‘zīr, bukan ḥadd, karena perbuatan tersebut merupakan mubāsharah tanpa ilāj, sehingga wajib ta‘zīr tanpa ḥadd, sebagaimana mubāsharah laki-laki terhadap perempuan pada selain kemaluan.

فصل: ويحرم إتيان البهيمة لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ} فإن أتى البهيمة وهو ممن يجب عليه حد الزنا ففيه ثلاثة أقوال: أحدها أنه يجب عليه القتل لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من أتى بهيمة فاقتلوه واقتلوها معه”. وروى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من وقع على بهيمة فاقتلوه واقتلوها معه” . وكيف يقتل على الوجهين في اللواط

PASAL: Haram mendatangi bahīmah karena firman Allah Azza wa Jalla: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ}.

Jika seseorang menyetubuhi bahīmah dan dia termasuk orang yang dikenakan ḥadd zina, maka terdapat tiga pendapat:

Pertama, wajib dibunuh, berdasarkan riwayat dari Ibnu ʿAbbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa mendatangi bahīmah, maka bunuhlah ia dan binatang itu bersamanya.”

Dan diriwayatkan dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa menjimaʿ bahīmah, maka bunuhlah ia dan binatang itu bersamanya.”

Dan cara pelaksanaannya serupa dengan dua pendapat dalam perkara liwāṭ.

والقول الثاني: أنه كالزنا فإن غير محصن جلد وغرب وإن كان محصناً رجم لأنه حد يجب بالوطء فاختلف فيه البكر والثيب كحد الزنا والقول الثالث أنه يجب فيه التعزير لأن الحد يجب للردع عما يشتهي وتميل إليه النفس ولهذا وجب في شرب الخمر ولم يجب في شرب البول وفرج البهيمة لا يشتهى فلم يجب فيه الحد وأما البهيمة فقد اختلف أصحابنا فيها فمنهم من قال يجب قتلها لحديث ابن عباس وأبي هريرة ولأنها ربما أتت بولد مشوه الخلق

Dan pendapat kedua: bahwa hukumnya seperti zina; jika pelakunya belum muḥṣan maka ia dicambuk dan diasingkan, dan jika ia muḥṣan maka dirajam, karena ini adalah ḥadd yang wajib akibat persetubuhan, sehingga dibedakan antara perawan dan janda sebagaimana dalam ḥadd zina.

Dan pendapat ketiga: bahwa yang dikenakan adalah taʿzīr, karena ḥadd itu disyariatkan sebagai pencegah terhadap sesuatu yang diinginkan dan disukai oleh nafsu, oleh karena itu diwajibkan pada minum khamar dan tidak diwajibkan pada minum air kencing. Sementara kemaluan bahīmah tidak diinginkan oleh nafsu, maka tidak diwajibkan ḥadd padanya.

Adapun bahīmah itu sendiri, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai hukumnya: di antara mereka ada yang mengatakan wajib dibunuh, berdasarkan hadis Ibnu ʿAbbās dan Abū Hurairah, dan karena bisa jadi ia melahirkan anak yang cacat fisik.

ولأنها إذا بقيت كثر تعيير الفاعل بها ومنهم من قال: لا يجب قتلها لأن البهيمة لا تذبح لغير مأكلة وحديث ابن عباس يرويه عمرو بن عمرو وهو ضعيف وحديث أبي هريرة يرويه علي بن مسهر وقال أحمد رحمه الله إن كان روى هذا الحديث غير علي وإلا فليس بشيء ومنهم من قال: إن كانت البهيمة مما تؤكل ذبحت وإن كانت مما لا تؤكل لم تذبح لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذبح الحيوان لغير مأكلة

Dan karena jika bahīmah itu tetap dibiarkan hidup, akan semakin banyak ejekan terhadap pelakunya. Di antara mereka ada yang berpendapat: tidak wajib dibunuh, karena bahīmah tidak disembelih kecuali untuk dimakan, dan hadis Ibnu ʿAbbās diriwayatkan oleh ʿAmr bin ʿAmr, sementara dia adalah perawi yang lemah. Sedangkan hadis Abū Hurairah diriwayatkan oleh ʿAlī bin Mus-hir, dan Aḥmad rahimahullah berkata: “Jika hadis ini tidak diriwayatkan kecuali oleh ʿAlī, maka ia tidak bernilai apa-apa.”

Dan di antara mereka ada yang berpendapat: jika bahīmah itu termasuk hewan yang boleh dimakan, maka disembelih; dan jika termasuk hewan yang tidak boleh dimakan, maka tidak disembelih, karena Nabi SAW melarang menyembelih hewan tanpa tujuan untuk dimakan.

فإن قلنا إنه يجب قتلها وهي ما يؤكل ففي أكلها وجهان: أحدهما: أنه يحرم لأن ما أمر بقتله لم يؤكل كالسبع والثاني: أنه يحل أكلها لأنه حيوان مأكول ذبحه وهو من أهل الذكاة وإن كانت البهيمة لغيره وجب عليه ضمانها إن كانت مما لا تؤكل وضمان ما نقص بالذبح إذا قلنا أنها تؤكل لأنه هو السبب في إتلافها وذبحها.

Jika kita katakan bahwa bahīmah tersebut wajib dibunuh dan ia termasuk hewan yang boleh dimakan, maka dalam hal memakannya terdapat dua pendapat:

Pertama, haram dimakan karena hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tidak boleh dimakan, seperti binatang buas.

Kedua, halal dimakan karena ia adalah hewan yang halal dimakan dan telah disembelih oleh orang yang layak menyembelih.

Dan jika bahīmah itu milik orang lain, maka wajib menggantinya jika ia termasuk hewan yang tidak boleh dimakan, dan mengganti nilai kekurangannya akibat penyembelihan jika kita berpendapat bahwa ia boleh dimakan, karena pelaku adalah penyebab kerusakan dan penyembelihan hewan tersebut.

فصل: وإن وطئ امرأة ميتة وهو من أهل الحد ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجب عليه الحد لأنه إيلاج في فرج محرم ولا شبهة له فيه فأشبه إذا كانت حية والثني أنه لا يجب لأنه لا يقصد فلا يجب فيه الحد.

PASAL: Jika seseorang menyetubuhi perempuan yang telah meninggal dunia, sedangkan dia termasuk orang yang wajib dikenai ḥadd, maka dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat):

Pertama: Wajib atasnya ḥadd, karena itu merupakan ilāj (penetrasi) pada farji yang haram dan tidak ada syubhat padanya, maka ia seperti menyetubuhi perempuan hidup.

Kedua: Tidak wajib ḥadd, karena tidak ada maksud (syahwat timbal balik) dari pihak mayit, maka tidak wajib atasnya ḥadd.

فصل: ويحرم الاستمناء لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ} ولأنها مباشرة تفضي إلى قطع النسل فحرم كاللواط فإن فعل عزر ولم يحد لأنها مباشرة محرمة من غير إيلاج فأشبهت مباشرة الأجنبية فيما دون الفرج. وبالله التوفيق.

PASAL: Haram melakukan istimnāʾ berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ}.

Karena ia merupakan perbuatan langsung yang mengarah kepada terputusnya keturunan, maka diharamkan sebagaimana liwāṭ. Jika dilakukan, maka dikenakan taʿzīr dan tidak dikenakan ḥadd, karena ia merupakan perbuatan haram tanpa adanya ilāj, sehingga serupa dengan menyentuh perempuan asing selain di kemaluan.

Wa billāhi at-taufīq.

باب إقامة الحدود
لا يقيم الحدود على الأحرار إلا الإمام أومن فوض لأنه لم يقم حد على حر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا بإذنه ولا في أيام الخلفاء إلا بإذنهم ولأنه حق لله تعالى يفتقر إلى الإجتهاد ولا يؤمن في استيفائه الحيف فلم يجز بغير إذن الإمام ولا يلزم الإمام أن يحضر إقامة الحد ولا أن يبتدئ بالرجم لأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر برجم جماعة ولم ينقل أنه حضر بنفسه ولا أنه رماهم بنفسه فإن ثبت الحد على عبد بإقراره ومولاه حر مكلف عدل فله أن يجلده في الزنا والقذف والشرب لما روى علي كرم الله وجهه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أقيموا الحدود على ما ملكت أيمانكم” .

BAB PENEGAKAN HUDUD
Tidak boleh menegakkan ḥudūd atas orang merdeka kecuali oleh imam atau orang yang diberi kuasa olehnya, karena tidak ada satu pun ḥadd yang ditegakkan atas orang merdeka pada masa Rasulullah SAW kecuali dengan izinnya, dan tidak pula pada masa para khalifah kecuali dengan izin mereka. Hal ini karena ia merupakan hak Allah Ta‘ala yang membutuhkan ijtihad, dan tidak aman dari kemungkinan kezaliman dalam pelaksanaannya, maka tidak boleh dilakukan tanpa izin imam.

Tidak wajib bagi imam untuk hadir saat pelaksanaan ḥadd, dan tidak wajib pula baginya untuk memulai pelemparan dalam hukuman rajam. Sebab Nabi SAW pernah memerintahkan untuk merajam sekelompok orang, namun tidak diriwayatkan bahwa beliau hadir sendiri atau melempar mereka dengan tangannya sendiri.

Jika ḥadd ditetapkan atas seorang budak melalui pengakuannya, dan tuannya adalah orang merdeka yang mukallaf dan ‘adil, maka dia berhak untuk mencambuk budaknya dalam kasus zina, qadzaf, dan minum khamar, berdasarkan riwayat dari ‘Ali karramallāhu wajhah bahwa Nabi SAW bersabda: “Tegakkanlah ḥudūd atas apa yang dimiliki tangan kanan kalian.”

وقال عبد الرحمن بن أبي ليلى: أدركت بقايا الأنصار وهم يضربون الوليدة من ولائدهم في مجالسهم إذا زنت وهل له أن يغربه فيه وجهان: أحدهما: أنه لا يغرب إلا الإمام لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا زنت أمة أحدكم فتبين زناها فليجلدها الحد ولا يثرب عليها ثم إذا زنت فليجلدها الحد ولا يثرب عليها ثم إذا زنت الثالثة فتبين زناها فليبعها ولو بحبل من شعر” . فأمر بالجلد دون النفي

Dan Abdurraḥmān bin Abī Lailā berkata: “Aku menjumpai sisa-sisa kaum Anṣār, mereka mencambuk budak perempuan mereka di majelis-majelis mereka jika berzina.”

Apakah tuannya berhak mengasingkannya (menghukum dengan taghrīb)? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, bahwa yang berhak mengasingkan hanyalah imam, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika budak perempuan salah seorang dari kalian berzina dan terbukti zinanya, maka cambuklah ia dengan ḥadd, dan jangan mencelanya. Kemudian jika ia berzina lagi, cambuklah ia dengan ḥadd, dan jangan mencelanya. Kemudian jika ia berzina ketiga kali dan terbukti zinanya, maka juallah dia meskipun hanya seharga seutas tali dari rambut.” Maka beliau memerintahkan untuk mencambuk tanpa menyebut pengasingan.

والثاني: وهو المذهب أن له من يغرب لحديث علي كرم الله وجهه ولأن ابن عمر جلد أمة له زنت ونفاها إلى فدك ولأن من ملك الجلد ملك النفي كالإمام وإن ثبت عليه الحد بالبينة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز أن يقيم عليه الحد وهو المذهب لأنا قد جعلناه في حقه كالإمام وكذلك في إقامة الحد عليه بالبينة والثاني: أنه لا يجوز لأنه يحتاج إلى تزكية الشهود وذلك إلى الحاكم فعلى هذا إذا ثبت عند الحاكم بالبينة جاز للسيد أن يقيم الحد من غير إذنه

Dan pendapat kedua—dan inilah mazhab—adalah bahwa tuan budak berhak mengasingkannya (taghrīb), berdasarkan hadis ‘Alī karramallāhu wajhah, dan karena Ibnu ‘Umar pernah mencambuk budak perempuannya yang berzina dan mengasingkannya ke Fadak. Dan karena siapa yang memiliki kewenangan mencambuk, maka ia juga memiliki kewenangan mengasingkan, sebagaimana imam.

Jika ḥadd ditetapkan atasnya dengan bukti persaksian, maka terdapat dua wajah:

Pertama, bahwa tuannya boleh menegakkan ḥadd atasnya, dan ini adalah mazhab, karena kami telah menyamakan kedudukan tuan dalam hal ini dengan imam, demikian pula dalam pelaksanaan ḥadd dengan bukti persaksian.

Kedua, bahwa tidak boleh, karena hal itu membutuhkan tazkiyah terhadap para saksi, dan itu merupakan kewenangan hakim. Maka berdasarkan wajah ini, jika ḥadd telah ditetapkan di hadapan hakim melalui bukti persaksian, maka diperbolehkan bagi tuan untuk melaksanakan ḥadd atas budaknya tanpa perlu izin hakim.

وهل له أن يقطعه في السرقة؟ فيه وجهان: أحدهما: أحدهما: أنه لا يملك لأنه لا يملك من جنس القطع ويملك من الجلد وهو التعزير والثاني: أنه يملك وهو المنصوص في البويطي لحديث علي كرم الله وجهه لأن ابن عمر قطع عبداً له سرق وقطعت عائشة رضي الله عنها أمة لها سرقت ولأنه حد فملك السيد إقامته على مملوكه كالجلد وله أن يقتله بالردة على قول من ملك إقامة الحد على العبد وعلى قول من منع من القطع يجب أن لا يجوز له القتل والصحيح أن له أن يقتله لأن حفصة رضي الله عنها قتلت أمة لها سحرتها والقتل بالسحر لا يكون إلا في كفر ولأنه حد فملك المولى إقامته على المملوك كسائر الحدود

Apakah tuan budak berhak memotong tangan budaknya karena mencuri? Dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama, bahwa ia tidak berhak, karena ia tidak memiliki kuasa atas jenis hukuman potong tangan, berbeda dengan cambuk yang termasuk dalam bentuk ta‘zīr.

Kedua, bahwa ia berhak, dan inilah yang dinyatakan dalam al-Buwaiṭī, berdasarkan hadis dari ‘Alī karramallāhu wajhah, karena Ibnu ‘Umar pernah memotong tangan budaknya yang mencuri, dan ‘Ā’isyah RA juga memotong tangan budak perempuannya yang mencuri. Dan karena ini termasuk ḥadd, maka tuan memiliki wewenang menegakkannya atas budaknya sebagaimana dalam kasus cambuk.

Ia juga boleh membunuh budaknya karena murtad menurut pendapat yang membolehkan penegakan ḥadd atas budak oleh tuannya. Namun menurut pendapat yang tidak membolehkan pemotongan tangan, maka seharusnya ia juga tidak diperbolehkan membunuh.

Yang ṣaḥīḥ adalah bahwa ia boleh membunuhnya, karena Ḥafṣah RA pernah membunuh budak perempuannya yang telah menyihirnya, dan hukuman bunuh karena sihir tidak berlaku kecuali karena kekufuran. Dan karena ia adalah ḥadd, maka tuan memiliki kewenangan menegakkannya atas budaknya seperti halnya ḥudūd yang lain.

وإن كان المولى فاسقاً ففيه وجهان: أحدهما: أنه يملك إقامة الحد لأنه ولاية تثبت بالملك فلم يمنع الفسق منها كتزويج الأمة والثاني: أنه لا يملكه لأنه ولاية في إقامة الحد فمنع الفسق منها كولاية الحاكم وإن كانت امرأة فالمذهب أنه يجوز لها إقامة الحد لأن الشافعي بأن فاطمة رضي الله عنها جلدت أمة لها زنت وقال أبوعلي بن أبي هريرة لا يجوز لها لأنها ولاية على الغير فلا تملكها المرأة كولاية التزويج فعلى هذا فيمن يقيم وجهان: أحدهما: أنه يقيمه وليها في النكاح قياساً على تزويج أمتها والثاني: أنه يقيمه عليها الإمام لأن الأصل في إقامة الحد هو الإمام فإذا سقطت ولاية المولى ثبت الأصل وإن كان للمولى مكاتب ففيه وجهان ذكرناهما في الكتابة.

Jika tuan budak adalah seorang fāsiq, maka terdapat dua wajah:

Pertama, bahwa ia tetap berhak menegakkan ḥadd, karena itu adalah bentuk wilayah yang ditetapkan berdasarkan kepemilikan, maka kefasikan tidak menghalanginya, sebagaimana dalam hal pernikahan budak perempuan.

Kedua, bahwa ia tidak berhak menegakkan ḥadd, karena itu merupakan wilayah dalam penegakan ḥadd, sehingga kefasikan menghalangi kewenangan tersebut, sebagaimana wilayah hakim.

Jika tuannya adalah seorang perempuan, maka mazhab menyatakan bahwa ia boleh menegakkan ḥadd, karena al-Syāfi‘i menyebut bahwa Fāṭimah RA pernah mencambuk budak perempuannya yang berzina.

Dan Abū ‘Alī bin Abī Hurayrah berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menegakkan ḥadd, karena itu merupakan wilayah atas orang lain, maka perempuan tidak memilikinya, sebagaimana dalam hal wilayah pernikahan.

Maka menurut pendapat ini, siapa yang menegakkannya? Ada dua wajah:

Pertama, yang menegakkannya adalah wali pernikahan si perempuan, sebagai qiyās terhadap pernikahan budaknya.

Kedua, yang menegakkannya adalah imam, karena asal dalam penegakan ḥadd adalah imam, maka ketika gugur wilayah tuan, kembalilah kepada asalnya.

Jika tuannya adalah seorang mukātab, maka terdapat dua wajah sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam bab kitābah.

فصل: المستحب أن يحضر إقامة الحد جماعة لقوله عز وجل: {وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ} والمستحب أن يكونوا أربعة لأن الحد يثبت بشهادتهم فإن كان الحد هو الجلد وكان صحيحاً قوياً والزمان معتدل أقام الحد ولا يجوز تأخيره فإن القرض لا يجوز تأخيره من غير عذر ولا يجرد ولا يمد

PASAL: Disunahkan agar pelaksanaan ḥadd dihadiri oleh sekelompok orang, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Dan hendaklah menyaksikan azab mereka itu sekelompok dari orang-orang mukmin”. Disunahkan agar mereka berjumlah empat orang karena ḥadd dapat ditegakkan dengan kesaksian mereka. Jika ḥadd-nya adalah cambuk, dan pelaku dalam keadaan sehat dan kuat, serta cuaca dalam kondisi sedang, maka ḥadd wajib ditegakkan dan tidak boleh ditunda karena qaṣāṣ tidak boleh ditunda tanpa uzur. Pelaku tidak boleh ditelanjangi dan tidak boleh direntangkan.

لما روي عن عبد الله بن مسعود أنه قال: ليس في الأمة مد ولا تجريد ولا غل ولا صفد ويفرق الضرب على الأعضاء ويتوقى الوجه المواضع المخوفة لما روى هنيدة بن خالد الكندي أنه شهد علياً كرم الله وجهه أقام على رجل حداً وقال للجلاد: اضربه وأعط كل عضو منه حقه واتق وجهه ومذاكيره وعن عمر أنه أتى بجارية قد فجرت فقال اذهبا بها واضرباها ولا تخرقا لها جلداً ولأن القصد الردع دون القتل

Karena diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd bahwa ia berkata: “Tidak ada dalam hukuman budak perempuan madd, tidak ada tajrīd, tidak ada belenggu dan rantai, dan pukulan itu dibagi pada anggota tubuh dan dihindari wajah serta tempat-tempat yang membahayakan.” Karena diriwayatkan dari Hunaydah bin Khālid al-Kindī bahwa ia menyaksikan ‘Alī Karramallāhu Wajhah menegakkan ḥadd atas seorang lelaki, lalu ia berkata kepada algojo: “Pukullah dia dan berikanlah kepada setiap anggota tubuhnya haknya, dan hindarilah wajah dan kemaluannya.” Dan dari ‘Umar bahwa ia didatangkan seorang budak perempuan yang telah berzina, maka ia berkata: “Bawalah dia dan pukullah dia, tetapi jangan sampai merobek kulitnya.” Karena maksud dari hukuman adalah menimbulkan efek jera, bukan membunuh.

وإن كان الحر شديداً أو البرد شديداً أو كان مريضاً مرضاً يرجى برؤه أو كان مقطوعاً أو أقيم عليه حد آخر ترك إلى أن يعتدل الزمان ويبرأ من المرض أو القطع ويسكن ألم الحد لأنه إذا أقيم عليه الحد في هذه الأحوال أعان على قتله وإن كان نضو الخلق لا يطيق الضرب أو مريضاً لا يرجى برؤه جمع مائة شمراخ فضرب به دفعة واحدة لما روى سهل بن حنيف أنه أخبره بعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم من الأنصار أنه اشتكى رجل منهم حتى أضنى فدخلت عليه جارية لبعضهم فوقع عليها

Dan jika cuaca sangat panas atau sangat dingin, atau jika ia sedang sakit dengan penyakit yang masih diharapkan kesembuhannya, atau anggota tubuhnya terpotong, atau telah ditegakkan atasnya ḥadd yang lain, maka ditunda sampai waktu menjadi sejuk, dan ia sembuh dari sakit atau luka, dan rasa sakit akibat ḥadd pun mereda. Karena jika ḥadd ditegakkan dalam keadaan-keadaan ini, maka itu akan membantu dalam membunuhnya.

Dan jika tubuhnya sangat kurus sehingga tidak sanggup menahan pukulan, atau jika ia sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka dikumpulkan seratus pelepah kurma dan dipukulkan kepadanya sekali pukulan saja, berdasarkan riwayat dari Sahl bin Ḥunaif bahwa sebagian sahabat Nabi SAW dari kalangan Anṣār memberitahunya bahwa ada seorang lelaki dari mereka yang jatuh sakit hingga sangat lemah, lalu masuklah seorang jariyah milik salah seorang dari mereka dan ia melakukan hubungan dengannya.

فلما دخل عليه رجال من قومه يعودونه ذكر لهم ذلك وقال استفتوا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكروا ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم وقالوا ما رأينا بأحد من الضر مثل الذي هو به لو حملناه إليك يا رسول الله لتفسخت عظامه ما هو إلا جلد على عظم فأمر رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يأخذوا مائة شمراخ فيضربوه بها ضربة واحدة ولأنه لا يمكن ضربه بالسوط لأنه يتلف به ولا يمكن تركه لأنه يؤدي إلى تعطيل الحد قال الشافعي رحمه الله: ولأنه إذا كانت الصلاة تختلف باختلاف حاله فالحد بذلك أولى وإن وجب الحد على امرأة حامل لم يقم عليها الحد حتى تضع وقد بيناه في القصاص.

Tatkala beberapa lelaki dari kaumnya masuk menjenguknya, ia menceritakan hal itu kepada mereka dan berkata: “Mintakan fatwa kepada Rasulullah SAW.” Maka mereka menyebutkan hal itu kepada Rasulullah SAW dan mereka berkata: “Kami tidak pernah melihat seseorang dalam keadaan selemah ini, seandainya kami membawanya kepadamu, wahai Rasulullah, niscaya akan hancur tulangnya, tubuhnya hanyalah kulit yang menempel pada tulang.” Maka Rasulullah SAW memerintahkan agar mereka mengambil seratus pelepah kurma dan memukulnya dengan satu pukulan saja.

Karena tidak memungkinkan untuk memukulnya dengan cambuk karena akan membinasakannya, dan tidak memungkinkan untuk meninggalkannya karena itu akan menyebabkan penonaktifan ḥadd.

Berkata asy-Syāfi‘ī rahimahullāh: “Karena jika salat saja berbeda pelaksanaannya tergantung pada keadaan orangnya, maka ḥadd lebih layak untuk mengikuti keadaan.”

Dan jika ḥadd wajib atas perempuan yang sedang hamil, maka tidak ditegakkan atasnya sampai ia melahirkan, dan hal ini telah dijelaskan dalam pembahasan qiṣāṣ.

فصل: وإن أقيم الحد في الحال التي لا تجوز فيها اقامته فهلك منه لم يضمن لان الحق قتله وإن أقيم في الحال التي لا تجوز إقامته فان كانت حاملاً فتلف منه الجنين وجب الضمان لأنه مضمون فلا يسقط ضمانه بجناية غيره وإن تلف المحدود فقد قال: إذا أقيم الحد في شدة حر أو برد فهلك لا ضمان عليه وقال في الأم: إذا ختن في شدة حر أو برد فتلف وجبت على عاقلته الدية

PASAL: Jika ḥadd ditegakkan pada waktu yang tidak boleh ditegakkan, lalu ia binasa karenanya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi, karena haknya memang untuk dibunuh. Namun jika ḥadd ditegakkan pada waktu yang tidak diperbolehkan, seperti terhadap perempuan hamil, lalu janinnya binasa, maka wajib menggantinya karena janin itu tergolong harta yang dijamin, maka tidak gugur jaminannya karena pelanggaran orang lain. Dan jika orang yang dikenai ḥadd itu binasa, maka disebutkan: apabila ḥadd ditegakkan dalam kondisi panas atau dingin yang sangat lalu ia binasa, maka tidak ada kewajiban ganti rugi. Namun Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: apabila dikhitan dalam kondisi panas atau dingin yang sangat lalu ia binasa, maka diwajibkan atas ‘āqilah-nya membayar diyat.

فمن أصحابنا: من نقل جواب كل واحدة من المسألتين إلى الأخرى وجعلهما على قولين: أحدهما: لا يجب لأنه مفرط ومنهم من قال لا يجب الضمان في الحد لأنه منصوص عليه ويجب في الختان لأنه ثبت بالاجتهاد وإن قلنا إنه يضمن ففي القدر الذي يضمن وجهان: أحدهما: أنه يضمن جميع الدية لانه مفرط والثاني: انه يضمن نصف الدية لأنه مات من واجب ومحظور فسقط النصف ووجب النصف.

Maka sebagian sahabat kami ada yang memindahkan jawaban masing-masing dari dua permasalahan itu kepada yang lain, dan menjadikannya sebagai dua pendapat:

Pertama: tidak wajib ganti rugi karena pelakunya telah melakukan tafrīṭ (kelalaian).

Dan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak wajib ganti rugi dalam perkara ḥadd karena telah ada nash yang menetapkannya, sedangkan wajib ganti rugi dalam perkara khitan karena hukumnya ditetapkan melalui ijtihād.

Dan jika kita katakan bahwa wajib ganti rugi, maka dalam hal kadar yang wajib diganti terdapat dua pendapat:

Pertama: wajib mengganti seluruh diyat karena ia telah melakukan kelalaian.

Kedua: wajib mengganti setengah diyat karena ia meninggal akibat suatu kewajiban dan larangan sekaligus, maka gugurlah separuhnya dan wajiblah separuhnya.

فصل: وإن وجب التغريب نفي إلى مسافة يقصر فيها الصلاة لأن ما دون ذلك في حكم الموضع الذي كان فيه من المنع من القصر والفطر والمسح على الخف ثلاثة أيام فإن رجع قبل انقضاء المدة رد إلى الموضع الذي نفي إليه فإن انقضت المدة فهو بالخيار بين الإقامة وبين العودة إلى موضعه وإن رأى الإمام أن ينفيه الى أبعد من المسافة التي يقصر فيها الصلاة كان له ذلك لأن عمر رضي الله عنه غرب إلى الشام وغرب عثمان رضي الله عنه الى مصر

PASAL: Jika wajib dilakukan tagrīb (pengasingan), maka ia diasingkan ke jarak yang memperbolehkan qasr dalam salat, karena jarak yang kurang dari itu masih dianggap sebagai bagian dari tempat asalnya dalam hal larangan qasr, berbuka puasa, dan menyapu khuf selama tiga hari. Jika ia kembali sebelum habis masa pengasingan, maka dikembalikan ke tempat ia diasingkan. Jika masa pengasingan telah selesai, maka ia bebas memilih antara menetap atau kembali ke tempat asalnya. Jika imam memandang perlu untuk mengasingkannya lebih jauh dari jarak yang memperbolehkan qasr salat, maka ia berwenang melakukannya, karena ‘Umar RA pernah mengasingkan seseorang ke Syam, dan ‘Utsmān RA pernah mengasingkan seseorang ke Mesir.

وإن رأى أن يزيد على سنة لم يجز لأن السنة منصوص عليها والمسافة مجتهد فيها وحكي عن أبي علي بن أبي هريرة أنه قال: يغرب الى حيث ينطلق عليه اسم الغربة وإن كان دون ما تقصر إليه الصلاة لأن القصد تعذيبه بالغربة وذلك يحصل بدون ما تقصر إليه الصلاة ولا تغرب المرأة إلا في صحبة ذي رحم محرم أو امرأة ثقة في صحبة مأمونة وإن لم تجد ذا رحم محرم ولا امرأة ثقة يتطوع بالخروج معها استؤجر من يخرج معها ومن أين يستأجر فيه وجهان من أصحابنا من قال: يستأجر من مالها لأنه حق عليها فكانت مؤنته عليها وإن لم يكن لها مال استؤجرت من بيت المال ومن أصحابنا من قال: يستأجر من بيت المال لأنه حق لله عز وجل فكانت مؤنته من بيت المال فإن لم يكن في بيت المال ما يستأجر به استؤجر من مالها.

Dan jika imam memandang perlu menambah masa tagrīb lebih dari satu tahun, maka tidak diperbolehkan karena satu tahun itu telah ditentukan secara naṣṣ, sedangkan jarak masih merupakan perkara ijtihādī. Diriwayatkan dari Abū ‘Alī bin Abī Hurairah bahwa ia berkata: seseorang diasingkan ke tempat yang masih layak disebut sebagai tempat pengasingan (ghurba), meskipun jaraknya kurang dari batas yang memperbolehkan qasr salat, karena tujuan pengasingan adalah menyiksanya dengan keterasingan, dan hal itu sudah tercapai meskipun belum mencapai jarak qasr salat.

Dan perempuan tidak boleh diasingkan kecuali bersama mahram atau perempuan tepercaya dalam rombongan yang aman. Jika tidak ada mahram dan tidak ada perempuan tepercaya yang bersedia menemaninya, maka seseorang disewa untuk menemani perjalanannya.

Terkait dari mana biaya penyewaan itu diambil, terdapat dua pendapat di kalangan aṣḥāb kami: sebagian dari mereka mengatakan biaya tersebut diambil dari hartanya sendiri karena pengasingan adalah kewajiban atas dirinya, maka biayanya juga ditanggung olehnya. Jika ia tidak memiliki harta, maka biayanya diambil dari Bayt al-Māl. Sebagian yang lain dari aṣḥāb kami mengatakan bahwa biaya penyewaan diambil dari Bayt al-Māl, karena pengasingan adalah hak Allah Azza wa Jalla, maka biayanya berasal dari Bayt al-Māl. Jika di Bayt al-Māl tidak terdapat dana untuk itu, maka diambil dari hartanya.

فصل: وإن كان الحد رجماً وكان صحيحاً والزمان معتدل رجم لأن الحد لا يجوز تأخيره من غير عذر وإن كان مريضاً مرضاً يرجى زواله أو الزمان مسرف الحر أو البرد ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يؤجل رجمه لان القصد قتله فلا يمنع الحر والبرد والمرض منه والثاني: أنه يؤخر لأنه ربما رجع في خلال الرجم وقد أثر في جسمه الرجم فيعين الحر والبرد والمرض على قتله وإن كان امرأة حاملاً لم ترجم حتى تضع لأنه يتلف الجنين.

PASAL: Jika ḥadd-nya adalah rajam, dan ia dalam keadaan sehat serta cuaca sedang, maka ia dirajam, karena ḥadd tidak boleh ditunda tanpa uzur. Namun jika ia sedang sakit dengan penyakit yang masih diharapkan sembuh, atau cuaca sangat panas atau sangat dingin, maka ada dua pendapat:

Pertama: tidak ditunda rajamnya, karena tujuannya adalah membunuhnya, maka panas, dingin, dan sakit tidak menghalangi pelaksanaan rajam.

Kedua: ditunda, karena bisa jadi ia bertaubat di tengah-tengah rajam, dan karena rajam memberi pengaruh pada tubuhnya, maka panas, dingin, dan sakit akan membantu percepatan kematiannya.

Jika yang dirajam adalah perempuan hamil, maka tidak dirajam sampai ia melahirkan, karena rajam akan membinasakan janin.

فصل: فان كان المرجوم رجلاً لم يحفر له لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يحفر لماعز ولأنه ليس بعورة وإن كان امرأة حفر لها لما روى بريدة قال: جاءت امرأة من غامد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فاعترفت بالزنا فأمر فحفر لها حفرة الى صدرها ثم أمر برجمها لأن ذلك أستر لها.

PASAL: Jika yang dirajam adalah laki-laki, maka tidak dibuatkan lubang untuknya, karena Nabi SAW tidak membuatkan lubang untuk Māʿiz, dan karena auratnya tidak harus ditutupi. Namun jika yang dirajam adalah perempuan, maka dibuatkan lubang untuknya—sebagaimana riwayat dari Buraydah: seorang wanita dari Ghamid datang kepada Rasulullah SAW dan mengakui perzinaan, lalu beliau memerintahkan untuk dibuatkan lubang sampai ke dadanya, kemudian memerintahkan untuk merajamnya—karena hal itu lebih menutupinya.

فصل: وإن هرب المرجوم من الرجم فإن كان الحد ثبت بالبينة اتبع ورجم لأنه لا سبيل الى تركه وإن ثبت بالإقرار لم يتبع لما روى أبو سعيد الخدري قال: جاء ماعز الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال إن الأخر زنى وذكر إلى أن قال اذهبوا بهذا فارجموه فأتينا به مكاناً قليل الحجارة فلما رمينا اشتد من بين أيدينا يسعى فتبعناه فأتى بناحرة كثيرة الحجارة فقام ونصب نفسه فرميناه حتى قتلناه ثم اجتمعنا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخبرناه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “سبحان الله فهلا خليتم عنه حين سعى من بين أيديكم”. وإن وقف وأقام الإقرار رجم وإن رجع عن الإقرار لم يرجم لأن رجوعه مقبول. وبالله التوفيق.

PASAL: Jika orang yang sedang dirajam melarikan diri dari rajam, maka jika ḥadd tersebut ditetapkan dengan kesaksian, maka ia dikejar dan dirajam, karena tidak ada jalan untuk meninggalkan pelaksanaannya. Namun jika ḥadd tersebut ditetapkan dengan pengakuan, maka ia tidak dikejar, berdasarkan riwayat dari Abū Saʿīd al-Khudrī, ia berkata: Māʿiz datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa ia telah berzina, sampai pada bagian beliau bersabda: “Bawa orang ini dan rajamlah dia.” Maka kami membawanya ke tempat yang sedikit batunya. Ketika kami melemparinya, ia lari dari hadapan kami. Kami mengejarnya, dan ia sampai di tempat yang banyak batunya, lalu ia berdiri dan menegakkan dirinya, lalu kami merajamnya hingga mati. Kemudian kami menghadap Rasulullah SAW dan memberitahukannya, maka beliau bersabda: “Subḥānallāh, mengapa tidak kalian biarkan saja ketika ia lari dari hadapan kalian?”

Jika ia berhenti dan mengulangi pengakuannya, maka ia dirajam. Namun jika ia mencabut pengakuannya, maka tidak dirajam, karena pencabutan tersebut dapat diterima. Wa billāhi at-taufīq.

باب حد القذف
القذف محرم والدليل عليه ما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال: الشرك بالله عز وجل والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات”.

BAB HAD QADZAF
Qadzaf itu haram. Dalilnya adalah riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.”
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu?”
Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah ‘Azza wa Jalla, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh perempuan-perempuan muḥṣanāt.”

فصل: إذا قذف بالغ عاقل مختار مسلم أو كافر التزم حقوق المسلمين من مرتد أو ذمي أو معاهد محصناً ليس بولد له بوطء يوجب الحد وجب عليه الحد فإن كان حراً جلد ثمانين جلدة لقوله تعالى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً} وإن كان مملوكاً جلد أربعين

PASAL: Jika seorang yang baligh, berakal, dan memilih (tidak dipaksa), baik ia seorang Muslim atau kafir yang terikat dengan kewajiban terhadap hak-hak kaum Muslimin — baik murtad, dzimmi, atau mu‘āhad — menuduh seorang muḥṣan (terjaga kehormatannya), yang bukan anak kandungnya, dengan tuduhan perzinaan yang mengharuskan hukuman ḥadd, maka wajib dikenakan ḥadd atasnya.

Jika yang menuduh itu orang merdeka, maka ia harus didera delapan puluh cambukan berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan muḥṣanāt, kemudian mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah mereka delapan puluh cambukan.”

Dan jika yang menuduh itu seorang budak, maka ia didera empat puluh cambukan.

لما روى يحيى بن سعيد الانصاري قال: ضرب أبو بكر بن محمد بن عمرو بن حزم مملوكاً افترى على حر ثمانين جلدة فبلغ ذلك عبد الله بن عامر بن ربيعة فقال: ادركت الناس من زمن عمر بن الخطاب رضي الله عنه إلى اليوم فما رأيت أحداً ضرب المملوك المفتري على الحر ثمانين قبل أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم وروى خلاس أن علياً كرم الله وجهه قال في عبد قذف حراً نصف الحد ولأنه حد يتبعض فكان المملوك على النصف من الحر كحد الزنا.

Karena telah diriwayatkan oleh Yaḥyā bin Sa‘īd al-Anṣārī bahwa Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm pernah mencambuk seorang budak yang menuduh seorang merdeka dengan tuduhan dusta sebanyak delapan puluh cambukan. Maka hal itu sampai kepada ‘Abdullāh bin ‘Āmir bin Rabī‘ah, lalu ia berkata: “Aku menjumpai manusia sejak zaman ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA hingga hari ini, dan aku belum pernah melihat seorang pun mencambuk budak yang menuduh orang merdeka sebanyak delapan puluh cambukan sebelum Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm.”

Dan telah diriwayatkan dari Khallās bahwa ‘Alī Karramallāhu Wajhah berkata tentang seorang budak yang menuduh seorang merdeka: “Separuh dari ḥadd.”

Karena ḥadd ini dapat dibagi, maka budak dikenai setengah dari ḥadd orang merdeka, sebagaimana dalam ḥadd zina.

فصل: وإن قذف غير محصن لم يجب عليه الحد لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً} فدل على أنه إذا قذف غير محصن لم يجلد والمحصن الذي يجب الحد بقذفه من الرجال والنساء من اجتمع فيه البلوغ والعقل والإسلام والحرية والعفة عن الزنا فإن قذف صغيراً أو مجنوناً لم يجب به عليه الحد لأن ما يرمي به الصغير والمجنون لو تحقق لم يجب به الحد فلم يجب الحد على القاذف كما لو قذف بالغاً عاقلاً بما دون الوطء وإن قذف كافراً لم يجب عليه الحد

PASAL: Dan jika seseorang menuduh orang lain yang bukan muḥṣan, maka tidak wajib atasnya ḥadd, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً}, maka ini menunjukkan bahwa apabila yang dituduh bukan muḥṣan, maka tidak dijilid. Dan yang disebut muḥṣan yang wajib ḥadd atas orang yang menuduhnya, baik dari laki-laki maupun perempuan, adalah yang terkumpul padanya: baligh, berakal, muslim, merdeka, dan terjaga dari zina. Maka jika menuduh anak kecil atau orang gila, tidak wajib ḥadd atasnya, karena apa yang dituduhkan kepada anak kecil dan orang gila itu, seandainya benar terjadi pun, tidak mewajibkan ḥadd, maka demikian pula tidak wajib ḥadd atas penuduhnya, sebagaimana jika menuduh orang baligh dan berakal dengan selain wath’. Dan jika menuduh orang kafir, maka tidak wajib atasnya ḥadd.

لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من أشرك بالله فليس بمحصن”. وإن قذف مملوكاً لم يجب عليه الحد لأن نقص الرق يمنع كمال الحد فيمنع وجوب الحد على قاذفه وإن قذف زانياً لم يجب عليه الحد لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً} فأسقط الحد عنه إذا ثبت أنه زنى فدل أنه إذا قذفه وهو زان لم يجب عليه الحد وإن قذف من وطئ في غير ملك وطئاً محرماً لا يجب به الحد كمن وطئ امرأة ظنها زوجته أو وطئ في نكاح مختلف في صحته ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجب عليه الحد لأنه وطء محرم لم يصادف ملكاً فسقط به الإحصان كالزنا والثاني: أنه وطء لا يجب به الحد فلم يسقط به الإحصان كما لو وطئ زوجته وهي حائض.

Karena telah diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa menyekutukan Allah, maka ia bukanlah muḥṣan.” Dan jika menuduh seorang budak, maka tidak wajib atasnya ḥadd, karena kekurangan akibat perbudakan menghalangi kesempurnaan ḥadd, maka juga menghalangi kewajiban ḥadd atas orang yang menuduhnya. Dan jika menuduh seorang pezina, tidak wajib atasnya ḥadd, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً}, maka gugurlah ḥadd dari penuduh apabila terbukti bahwa orang yang dituduh memang berzina, maka hal ini menunjukkan bahwa jika ia menuduh seorang pezina, tidak wajib atasnya ḥadd. Dan jika ia menuduh seseorang yang melakukan wath’ dalam keadaan bukan miliknya, yaitu wath’ yang haram namun tidak mewajibkan ḥadd, seperti orang yang menyetubuhi perempuan yang disangkanya istrinya, atau melakukan wath’ dalam pernikahan yang diperselisihkan keabsahannya, maka terdapat dua pendapat:
pertama, tidak wajib ḥadd atasnya, karena itu adalah wath’ haram yang tidak mengenai kepemilikan, maka gugurlah status iḥṣān-nya sebagaimana dalam zina;
kedua, bahwa itu adalah wath’ yang tidak mewajibkan ḥadd, maka tidak menggugurkan status iḥṣān, sebagaimana jika menyetubuhi istrinya yang sedang haid.

فصل: وان قذف الوالد ولده أو قذف الجد ولد ولده لم يجب عليه الحد وقال أبو ثور: يجب عليه الحد لعموم الآية والمذهب الأول لأنه عقوبة تجب لحق الآدمي فلم تجب للولد على الوالد كالقصاص وإن قذف زوجته فماتت وله منها ولد سقط الحد لأنه لما لم يثبت له عليه الحد بقذفه لم يثبت له عليه بالإرث عن أمه وإن كان لها ابن آخر من غيره وجب له لأن حد القذف يثبت لكل واحد من الورثة على الانفراد.

PASAL: Jika seorang ayah menuduh anaknya berzina, atau seorang kakek menuduh cucunya berzina, maka tidak wajib atasnya ḥadd (karena tuduhan zina). Abū Ṯawr berkata: Wajib atasnya ḥadd berdasarkan keumuman ayat. Namun, pendapat yang benar adalah yang pertama karena ini merupakan hukuman yang ditetapkan demi hak manusia (ḥaqq ādamī), maka tidak diberlakukan dari anak terhadap orang tua, sebagaimana dalam kasus qiṣāṣ. Jika ia menuduh istrinya berzina lalu istrinya meninggal dunia, sementara ia memiliki anak dari istri tersebut, maka gugurlah ḥadd, karena ketika ia tidak dapat dikenai ḥadd atas tuduhannya terhadap istrinya, maka ia juga tidak dapat dikenai ḥadd melalui warisan anaknya dari ibu tersebut. Namun jika istri tersebut memiliki anak lain dari suami yang berbeda, maka anak tersebut berhak menuntut ḥadd, karena ḥadd qadzaf ditetapkan untuk masing-masing ahli waris secara independen.

فصل: وإن رفع القاذف إلى الحاكم وجب عليه السؤال عن إحصان المقذوف لأنه شرط في الحكم فيجب السؤال عنه كعدالة الشهود ومن أصحابنا من قال: لا يجب لأن البلوغ والعقل معلوم بالنظر غليه والظاهر الحرية والإسلام والعفة وإن قال القاذف: أمهلني لأقيم البينة على الزنا أمهل ثلاثة أيام لأنه قريب لقوله تعالى: {وَلا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ} ثم قال: {تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ} .

PASAL: Apabila orang yang menuduh dibawa kepada hakim, maka wajib bagi hakim menanyakan tentang iḥṣān orang yang dituduh, karena itu merupakan syarat dalam penetapan hukum, maka wajib ditanyakan sebagaimana keadilan para saksi. Namun sebagian dari ulama kami mengatakan: tidak wajib, karena baligh dan berakal dapat diketahui dengan melihatnya, dan pada umumnya orang itu merdeka, muslim, dan ‘iffah (menjaga kehormatan). Apabila si penuduh berkata: “Tangguhkanlah aku agar aku dapat mendatangkan bukti atas perzinaan,” maka ia diberi tenggang waktu selama tiga hari, karena waktunya dekat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: wa lā tamassūhā bisū’in fa ya’khudzakum ‘adhābun qarīb, kemudian Allah berfirman: tamatta‘ū fī dārikum ṡalāṡata ayyām.

فصل: وإن قذف محصنا ثم زنى المقذوف أو وطئ وطئاً زال به الإحصان سقط الحد عن القاذف وقال المزني وأبو ثور: لا يسقط لأنه معنى طرأ بعد وجوب الحد فلا يسقط ما وجب من الحد كردة المقذوف وثيوبة الزاني وحريته وهذا خطأ لان ما ظهر من الزنا يوقع شبهة في حال القذف ولهذا روي أن رجلاً زنى بامرأة في زمان أمير المؤمنين عمر رضي الله عنه فقال: والله ما زنيت إلا هذه المرة فقال له عمر كذبت إن الله لا يفضح عبده في أول مرة والحد يسقط بالشبهة وأما ردة المقذوف ففيها وجهان: أحدهما: أنها تسقط الحد والثاني: أنها لا تسقط لأن الردة تدين والعادة فيها الإظهار وليس كذلك الزنا فإنه يكتم فإذا ظهر دل على تقدم أمثاله وأما ثيوبة الزاني وحريته فإنها لا تورث شبهة في بكارته ورقه في حال الزنا.

PASAL: Apabila seseorang menuduh orang yang muḥṣan, kemudian orang yang dituduh itu berzina atau melakukan persetubuhan yang menghilangkan status iḥṣān, maka gugurlah had dari si penuduh. Namun al-Muzanī dan Abū Ṯawr berkata: had tidak gugur, karena itu merupakan keadaan yang muncul setelah had menjadi wajib, maka tidak menggugurkan had yang telah ditetapkan, sebagaimana murtadnya orang yang dituduh, atau status janda dari pezina, dan status merdekanya. Ini adalah pendapat yang keliru, karena apa yang tampak dari perbuatan zina menimbulkan syubhat terhadap keadaan saat penuduhan. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki berzina dengan seorang perempuan pada masa Amīr al-Mu’minīn ‘Umar RA, lalu dia berkata, “Demi Allah, aku tidak berzina kecuali kali ini saja.” Maka ‘Umar berkata kepadanya, “Engkau dusta, sesungguhnya Allah tidak akan membongkar aib hamba-Nya pada kali pertama,” dan had gugur karena adanya syubhat.

Adapun tentang murtadnya orang yang dituduh, terdapat dua pendapat: pertama, murtad menggugurkan had; kedua, tidak menggugurkan, karena murtad berkaitan dengan agama dan biasanya dilakukan secara terang-terangan, berbeda dengan zina yang biasanya disembunyikan, maka jika zina itu tampak, menunjukkan bahwa sebelumnya telah terjadi yang serupa. Adapun tentang status janda dari pezina dan status merdekanya, keduanya tidak menimbulkan syubhat terhadap keperawanannya atau status budaknya saat berzina.

فصل: ولا يجب الحد إلا بصريح القذف أو بالكناية مع النية فالصريح مثل ان يقول زنيت أويا زاني والكناية كقوله يا فاجر أويا خبيث أويا حلال بن الحلال فإن نوى به القذف وجب به الحد لأن ما لا تعتبر فيه الشهادة كانت الكناية فيه مع النية بمنزلة الصريح كالطلاق والعتاق وإن لم ينوبه القذف لم يجب به الحد سواء كان ذلك في حال الخصومة او غيرها لأنه يحتمل القذف وغيره فلم يجعل قذفاً من غير نية كالكناية في الطلاق والعتاق.

PASAL: Tidak wajib ḥadd kecuali dengan lafaz qadzaf yang sharih atau dengan kinayah disertai niat. Lafaz sharih seperti mengatakan: “Engkau telah berzina” atau “Wahai pezina.” Sedangkan lafaz kinayah seperti mengatakan: “Wahai fajir,” atau “Wahai khabits,” atau “Wahai anak halal dari orang halal.” Jika ia meniatkan qadzaf, maka wajib ḥadd, karena perkara yang tidak disyaratkan adanya saksi, maka kinayah padanya dengan niat menempati kedudukan lafaz sharih, seperti talak dan ‘itq. Dan jika ia tidak meniatkan qadzaf, maka tidak wajib ḥadd, baik dalam keadaan bertikai maupun tidak, karena lafaz itu mengandung kemungkinan qadzaf dan selainnya, maka tidak dianggap sebagai qadzaf tanpa niat, sebagaimana kinayah dalam talak dan ‘itq.

فصل: وإن قال لطت أو لاط بك فلان باختيارك فهو قذف لأنه قذفه بوطء يوجب الحد فأشبه بالزنا وإن قال يا لوطي وأراد به أنه على دين قوم لوط لم يجب الحد لأنه يحتمل ذلك وإن أراد أنه يعمل عمل قوم لوط وجب الحد وإن قال لامرأته يا زانية فقالت بك زنيت لم يكن قولها قذفاً له من غير نية لأنه يجوز أن تكون زانية ولا يكون هو زانياً بأن وطئها وهو يظن أنها زوجته وهي تعلم أنه أجنبي ولأنه يجوز أن تكون قد قصدت نفي الزنا كما يقول الرجل لغيره سرقت فيقول معك سرقت ويريد أني لم أسرق كما لم تسرق

PASAL: Apabila seseorang berkata, “Laṭṭa” atau “Lāṭa bika fulān bi-ikhtiyārik” (si fulan telah melakukan liwāṭ padamu dengan kehendakmu), maka itu termasuk qadzf, karena dia menuduh dengan perbuatan persetubuhan yang mewajibkan had, maka serupa dengan tuduhan zina. Namun jika dia berkata, “Wahai lūṭī,” dan yang dimaksud adalah bahwa orang tersebut berada di atas agama kaum Lūṭ, maka tidak wajib had karena bisa mengandung makna tersebut. Tetapi jika yang dimaksud adalah bahwa dia melakukan perbuatan kaum Lūṭ, maka wajib dikenakan had.

Apabila seseorang berkata kepada istrinya, “Wahai pezina,” lalu si istri menjawab, “Engkau yang berzina denganku,” maka ucapannya itu tidak dianggap sebagai qadzf terhadap suaminya apabila tidak disertai niat, karena mungkin saja perempuan itu adalah pezina namun si suami bukan pezina, misalnya dia menyetubuhinya dengan sangkaan bahwa dia adalah istrinya, padahal si perempuan tahu bahwa dia adalah orang asing. Juga karena bisa saja si perempuan bermaksud menafikan perbuatan zina, sebagaimana seorang laki-laki berkata kepada orang lain, “Engkau mencuri,” lalu yang lain menjawab, “Bersamamulah aku mencuri,” dan maksudnya adalah: “Aku tidak mencuri sebagaimana engkau pun tidak mencuri.”

ويجوز أن يكون معناه ما وطئني غيرك فإن كان ذلك زنا فقد زنيت وإن قال لها يا زانية فقالت أنت أزنى مني لم يكن قولها قذفاً له من غير نية لأنه يجوز أن يكون معناه ما وطئني غيرك فإن كان ذلك زنا فأنت أزنى مني لأن المغلب في الجماع فعل الرجل وإن قال لغيره أنت أزنى من فلان أو أنت أزنى الناس لم يكن قذفاً من غير نية لأن لفظة أفعل لا تستعمل إلا في امر يشتركان فيه ثم ينفرد أحدهما: فيه بمزية وما ثبت أن فلاناً زان ولا أن الناس زناة فيكون هو أزنى منهم وإن قال فلان زان وأنت أزنى منه أو أنت أزنى زناة الناس فهو قذف لأنه أثبت زنا غيره ثم جعله أزنى منه.

Dan boleh jadi maksudnya adalah: “Tidak ada yang menyetubuhiku selain engkau. Maka jika hal itu adalah zina, berarti engkau telah berzina.” Apabila seseorang berkata kepada istrinya, “Wahai pezina,” lalu sang istri menjawab, “Engkaulah yang lebih pezina dariku,” maka perkataannya tidak dianggap sebagai qadzf terhadap suaminya tanpa adanya niat, karena bisa saja maksudnya adalah: “Tidak ada yang menyetubuhiku selain engkau. Maka jika itu dianggap zina, engkaulah yang lebih berzina dariku,” karena yang dominan dalam hubungan persetubuhan adalah perbuatan laki-laki.

Apabila seseorang berkata kepada orang lain, “Engkau lebih pezina daripada si fulan,” atau “Engkau adalah orang yang paling pezina,” maka itu tidak dianggap qadzf tanpa adanya niat, karena bentuk lafaz af‘al (seperti “lebih”) tidak digunakan kecuali dalam perkara yang keduanya sama-sama melakukannya, lalu salah satu memiliki kelebihan di dalamnya. Dan belum tentu si fulan adalah pezina atau orang-orang lain itu pezina, sehingga orang tersebut menjadi lebih pezina dibanding mereka.

Namun apabila dia berkata, “Si fulan adalah pezina, dan engkau lebih pezina darinya,” atau “Engkau paling pezina di antara para pezina,” maka itu adalah qadzf, karena dia telah menetapkan bahwa si fulan berzina, kemudian menjadikannya lebih pezina dari si fulan.

فصل: وإن قال لامرأته يا زاني فهو قذف لأنه صرح بإضافة الزنا إليها وأسقط الهاء للترخيم كقولهم في مالك يا مال وفي حارث يا حار وإن قال لرجل يا زانية فهو قذف لأنه صرح بإضافة الزنا إليه وزاد الهاء للمبالغة كقولهم علامة ونسابة وشتامة ونوامة فإن قال: زنأت في الجبل فليس بقذف من غير نية لأن الزنء هو الصعود في الجبل والدليل عليه قول الشاعر:
وارق إلى الخيرات زنئا في الجبل

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Wahai pezina (yā zānī)”, maka itu adalah qadhf, karena ia telah secara terang-terangan menyandarkan zina kepadanya, dan ia menggugurkan huruf hā’ sebagai bentuk tarkhīm, sebagaimana perkataan mereka kepada Mālik: yā Māl, dan kepada Ḥārits: yā Ḥār. Dan jika ia berkata kepada seorang laki-laki, “Wahai pezina perempuan (yā zāniyah)”, maka itu juga merupakan qadhf, karena ia secara terang-terangan menyandarkan zina kepadanya dan menambahkan huruf hā’ sebagai bentuk mubālaghah, sebagaimana mereka mengatakan ‘allāmah, nassābah, shattāmah, dan nawwāmah. Namun, jika ia berkata, “Aku zanā’tu di gunung”, maka itu bukan qadhf tanpa disertai niat, karena az-zan’ adalah menaiki gunung. Dalilnya adalah perkataan penyair:

Wārqi ilā al-khayrāti zan’an fī al-jabal
“Naiklah menuju kebaikan-kebaikan dengan mendaki gunung.”

وإن قال زنأت ولم يذكر الجبل ففيه وجهان: احدهما: أنه قذف لأنه لم يقرن به ما يدل على الصعود والثاني: وهو قول أبي الطيب ابن سلمة رحمه الله أنه إن كان من أهل اللغة فليس بقذف وإن كان من العامة فهو قذف لأن العامة لا يفرقون بين زنيت وزنأت.

Dan jika ia berkata: “Zana’tu” tanpa menyebutkan (kata) “gunung”, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, itu adalah qadhf, karena ia tidak menyertakan sesuatu yang menunjukkan makna naik (ke gunung).
Kedua, dan ini adalah pendapat Abū Ṭayyib Ibn Salamah raḥimahullāh, bahwa jika ia termasuk ahli bahasa, maka bukan qadhf, dan jika ia dari kalangan orang awam maka itu adalah qadhf, karena orang awam tidak membedakan antara zanaitu dan zana’tu.

فصل: وإن قال زنى فرجك او دبرك أو ذكرك فهو قذف لأن الزنا يقع بذلك وإن قال زنت عينك او يدك أو رجلك فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال: هو قذف وهو ظاهر ما نقله المزني رحمه الله لأنه أضاف الزنا الى عضو منه فأشبه إذا أضاف إلى الفرج ومنهم من قال: ليس بقذف من غير نية وخطأ المزني في النقل لأن الزنا لا يوجد من هذه الأعضاء حقيقة ولهذا قال النبي صلى الله عليه وسلم: “العينان تزنيان واليدان تزنيان والرجلان تزنيان ويصدق ذلك كله الفرج أو يكذبه” .

PASAL: Jika seseorang berkata, “Telah berzina farjimu” atau “duburmu” atau “dzakarmu”, maka itu adalah qadhf, karena zina terjadi dengan anggota-anggota tersebut. Dan jika ia berkata, “Telah berzina matamu” atau “tanganmu” atau “kakimu”, maka para sahabat kami berbeda pendapat:

Sebagian dari mereka berkata: itu adalah qadhf, dan ini adalah zahir dari riwayat yang dinukil oleh al-Muzanī raḥimahullāh, karena ia telah menisbatkan zina kepada salah satu anggota tubuhnya, maka hal itu seperti menisbatkannya kepada farji.

Sebagian yang lain berkata: itu bukan qadhf kecuali dengan niat, dan mereka menyalahkan al-Muzanī dalam riwayat tersebut, karena zina tidak benar-benar terjadi melalui anggota-anggota tersebut. Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda: “Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, dan kedua kaki berzina, dan yang membenarkan atau mendustakan itu semua adalah farji.”

فإن قال زنى بدنك ففيه وجهان: أحدهما: أنه ليس بقذف من غير نية لان الزنا بجميع البدن يكون بالمباشرة فلم يكن صريحاً في القذف والثاني: أنه قذف لأنه أضاف إلى جميع البدن والفرج داخل فيه وإن قال لا ترد يد لامس لم يكن قاذفاً لما روى أن رجلاً من بني فزارة قال للنبي صلى الله عليه وسلم: “إن امرأتي لا ترد يد لامس ولم يجعله النبي صلى الله عليه وسلم قاذفاً.

Jika seseorang berkata, “Telah berzina tubuhmu,” maka terdapat dua pendapat:

Pertama, itu bukan qadhf tanpa niat, karena zina dengan seluruh tubuh terjadi melalui mubāsyarah, maka tidak dianggap sebagai lafaz qadhf secara jelas.

Kedua, itu adalah qadhf, karena ia menisbatkan zina kepada seluruh tubuh, dan farji termasuk di dalamnya.

Dan jika ia berkata, “Ia tidak menolak tangan orang yang menyentuh,” maka ia bukan seorang qādzif, berdasarkan riwayat bahwa ada seorang laki-laki dari Bani Fuzārah berkata kepada Nabi SAW: “Istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya,” dan Nabi SAW tidak menjadikannya sebagai qādzif.

وإن قال زنى بك فلان وهو صبي لا يجامع مثله لم يكن قاذفاً لأنه لا يوجد منه الوطء الذي يجب به الحد عليه وإن كان صبياً يجامع مثله فهو قذف لانه يوجد منه الوطء الذي يجب به الحد عليها وإن قال لامرأته زنيت بفلانة أوزنت بك فلانة لم يجب به الحد لان ما رماها به لا يوجب الحد.

Dan jika ia berkata, “Si fulan telah menzinahimu,” sedangkan yang dimaksud adalah seorang anak kecil yang tidak mungkin melakukan jima‘, maka ia tidak dianggap sebagai pelaku qadzf, karena tidak mungkin terjadi darinya wath’i yang mewajibkan had atasnya. Namun jika anak kecil itu adalah tipe yang memungkinkan melakukan jima‘, maka itu termasuk qadzf, karena bisa terjadi darinya wath’i yang mewajibkan had atas perempuan tersebut. Dan jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau telah berzina dengan fulanah,” atau, “Fulanah telah menzinahimu,” maka tidak wajib had atasnya, karena tuduhan yang ia lontarkan tidak mengharuskan adanya had.

فصل: وإن اتت امرأته بولد فقال ليس مني لم يكن قاذفاً من غير نية لجواز أن يكون معناه ليس مني خلقاً أو خلقا أومن زوج غيري أومن وطء شبهة او مستعار وإن نفى نسب ولده باللعان فقال رجل لهذا الولد لست بابن فلان لم يكن قذفاً لأنه صادق في الظاهر أنه ليس منه لأنه منفي عنه قال الشافعي رحمه الله: إذا اقر بنسب ولد فقال له رجل لست بابن فلان فهو قذف

PASAL: Jika seorang istri melahirkan anak lalu suaminya berkata, “Anak itu bukan dariku,” maka ia tidak dianggap sebagai qādzif (penuduh zina) tanpa niat, karena memungkinkan ia bermaksud “bukan dariku dari segi ciptaan atau akhlak,” atau “dari suami selainku,” atau “dari wath’ syubhat,” atau “dari hubungan pinjaman (susu atau selainnya).” Dan jika ia menafikan nasab anaknya melalui li‘ān, lalu seseorang berkata kepada anak tersebut, “Engkau bukan anak Fulan,” maka itu bukan qadzf, karena secara lahiriah memang benar bahwa anak itu bukan darinya, sebab nasabnya telah dinafikan. Imam asy-Syafi‘i RA berkata: Jika ia telah mengakui nasab anak tersebut, lalu ada orang berkata kepada anak itu, “Engkau bukan anak Fulan,” maka itu adalah qadzf.

وقال في الزوج إذا قال للولد الذي أقر به لست بابني أنه ليس بقذف واختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال إن أراد القذف فهو قذف في المسألتين وإن لم يرد القذف فليس بقذف في المسألتين وحمل جوابه في المسألتين على هذين الحالين ومن أصحابنا من نقل جوابه في كل واحدة منهما إلى الأخرى وجعلها على قولين: أحدهما: أنه ليس بقذف فيها لجواز أن يكون معناه لست بابن فلان او لست بابني خلقاً او خلقاً

Dan beliau (asy-Syafi‘i) berkata tentang seorang suami yang berkata kepada anak yang telah ia akui: “Engkau bukan anakku,” bahwa itu bukan qadzf. Para sahabat kami berselisih dalam hal ini. Sebagian dari mereka berkata: Jika ia bermaksud qadzf, maka itu adalah qadzf dalam kedua permasalahan; dan jika ia tidak bermaksud qadzf, maka itu bukan qadzf dalam keduanya. Mereka menafsirkan jawaban beliau dalam dua kasus tersebut berdasarkan dua keadaan ini.

Sebagian lain dari sahabat kami menukil jawaban beliau dalam masing-masing kasus kepada yang lainnya, dan menjadikannya sebagai dua pendapat:

Pendapat pertama: bahwa itu bukan qadzf dalam kedua kasus, karena memungkinkan ia bermaksud: “Engkau bukan anak Fulan,” atau “Engkau bukan anakku secara ciptaan (khalqan) atau akhlak (khuluqan).”

والثاني: أنه قذف لأن الظاهر منه النفي والقذف ومن أصحابنا من قال: ليس بقذف من الزوج وهو قذف من الأجنبي لأن الأب يحتاج إلى تأديب ولده فيقول: لست بابني مبالغة في تأديبه والاجنبي غير محتاج إلى تأديبه فجعل قذفا منه.

Pendapat kedua: bahwa itu adalah qadzf, karena lafaz tersebut secara lahir menunjukkan penafian nasab dan tuduhan zina.

Sebagian dari sahabat kami berkata: Itu bukan qadzf jika berasal dari suami, namun merupakan qadzf jika berasal dari orang lain (asing), karena seorang ayah terkadang membutuhkan untuk mendidik anaknya, maka ia berkata: “Engkau bukan anakku” sebagai bentuk penekanan dalam mendidiknya. Sedangkan orang asing tidak memiliki kebutuhan untuk mendidiknya, maka ucapannya dianggap sebagai qadzf.

فصل: وإن قال لعربي يا نبطي فإن أراد نبطي اللسان أو نبطي الدار لم يكن قذفاً وإن أراد نفي نسبه من العرب ففيه وجهان: أحدهما: أنه ليس بقذف لأن الله تعالى علق الحد على الزنا فقال: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ} وشهادة الأربعة يحتاج إليها في إثبات الزنا والثاني: أنه يجب به الحد لما روى الأشعث بن قيس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا أوتى برجل يقول إن كنانة ليست من قريش إلا جلدته”. وعن ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال: لا حد إلا في اثنين قذف محصنة ونفي رجل من أبيه.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada seorang Arab, “Wahai Nabṭī,” maka jika yang dimaksud adalah nabṭī dalam bahasa atau tempat tinggal, maka tidak termasuk qadzf. Namun jika yang dimaksud adalah menafikan nasabnya dari orang Arab, maka ada dua pendapat:

Pertama: tidak termasuk qadzf, karena Allah Ta‘ālā menggantungkan ḥadd atas tuduhan zina, sebagaimana firman-Nya: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ}, dan syarat empat saksi hanya berlaku dalam pembuktian zina.

Kedua: wajib dikenai ḥadd, berdasarkan riwayat dari al-Asy‘ats bin Qais bahwa Nabi SAW bersabda: “Jangan sampai aku didatangi seseorang yang mengatakan bahwa Kinanah bukan dari Quraisy kecuali pasti aku akan mencambuknya.” Dan dari Ibn Mas‘ūd RA bahwa beliau berkata: “Tidak ada ḥadd kecuali dalam dua hal: menuduh wanita terjaga (berzina) dan menafikan seseorang dari ayahnya.”

فصل: ومن لا يجب عليه الحد لعدم إحصان المقذوف أو للتعريض بالقذف من غير نية عزر لأنه آذى من لا يجوز أذاه وإن قال لامرأته استكرهت على الزنا ففيه وجهان: أحدهما: أنه يعزر لأنه يلحقها بذلك عار عند الناس والثاني: أنه لا يعزر لأنه لا عار عليها في الشريعة بما فعل بها مستكرهة.

PASAL: Barang siapa yang tidak wajib dikenai ḥadd karena muqadzaf tidak memenuhi syarat iḥṣān atau karena isyarat kepada qadzf tanpa disertai niat, maka ia dikenai ta‘zīr, karena ia telah menyakiti orang yang tidak boleh disakiti.

Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau dipaksa untuk berzina,” maka terdapat dua pendapat:

Pertama: dikenai ta‘zīr, karena ia telah menimbulkan aib baginya di mata manusia.

Kedua: tidak dikenai ta‘zīr, karena tidak ada aib baginya menurut syariat atas perbuatan yang dilakukan terhadapnya dalam keadaan dipaksa.

فصل: وما يجب بالقذف من الحد أو التعزير بالأذى فهو حق للمقذوف يستوفي إذا طالب به ويسقط إذا عفى عنه والدليل عليه ما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أيعجز أحدكم أن يكون كأبي ضمضم كان يقول تصدقت بعرضي”. والتصدق بالعرض لا يكون إلا بالعفو عما يجب له ولأنه لا خلاف أنه لا يستوفي إلا بمطالبته فكان له العفو كالقصاص وإن قال لغيره اقذفني فقذفه ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا حد عليه لأنه حق له فسقط بإذنه كالقصاص والثاني: أنه يجب عليه الحد لأن العار يلحق بالعشيرة فلا يملك إلا بإذن فيه وإذا أسقط الإذن وجب الحد ومن وجب له الحد أو التعزير لم يجز أن يستوفي إلا بحضرة السلطان لأنه يحتاج الى الاجتهاد ويدخله التخفيف فلو فرض الى المقذوف لم يؤمن أن يحيف للتشفي.

PASAL: Apa yang wajib karena qadzaf berupa ḥadd atau ta‘zīr karena menyakiti, maka itu adalah hak milik pihak yang dituduh (maqżūf); ia boleh menunaikannya jika menuntut, dan gugur jika ia memaafkannya. Dalilnya adalah riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian tidak mampu menjadi seperti Abu Dhamdham yang biasa berkata: Aku sedekahkan kehormatanku.” Dan bersedekah dengan kehormatan tidak lain adalah dengan memaafkan sesuatu yang menjadi haknya. Juga karena tidak ada khilaf bahwa ḥadd ini tidak ditegakkan kecuali dengan tuntutan dari pihak yang dituduh, maka ia memiliki hak untuk memaafkan sebagaimana dalam kasus qiṣāṣ.

Dan jika seseorang berkata kepada orang lain: “Tuduhlah aku (qadzaf-lah aku)”, lalu orang itu menuduhnya, maka ada dua wajah:
Pertama, tidak dikenai ḥadd karena itu adalah hak miliknya dan telah gugur dengan izinnya sebagaimana qiṣāṣ.
Kedua, tetap wajib ḥadd atasnya karena aib itu menjalar kepada kerabatnya, maka tidak boleh diizinkan kecuali dengan seizin mereka juga, dan jika izin itu tidak ada maka wajib dikenai ḥadd.

Dan siapa pun yang memiliki hak atas ḥadd atau ta‘zīr, tidak boleh ia menegakkannya kecuali di hadapan penguasa, karena penegakan ḥadd memerlukan ijtihad dan bisa mengandung unsur keringanan. Maka, jika diserahkan kepada pihak yang dituduh (maqżūf), dikhawatirkan ia akan berbuat zalim karena dorongan balas dendam.

فصل: وإن مات من له الحد أو التعزير وهو ممن يورث انتقل ذلك إلى الوارث وفيمن يرثه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يرثه جميع الورثة لأنه موروث فكان لجميع الورثة كالمال والثاني: أنه لجميع الورثة إلا لمن يرث بالزوجية لأن الحد يجب لدفع العار ولا يلحق الزوج عار بعد الموت لأنه لا تبقى زوجية والثالث أنه يرثه العصبات دون غيرهم لأنه حق ثبت لدفع العار فاختص به العصبات كولاية النكاح وإن كان له وارثان فعفى احدهما: ثبت للآخر جميع الحد لأنه جعل للردع ولا يحصل الردع إلا بما جعله الله عز وجل للردع وإن لم يكن له وارث فهو للمسلمين ويستوفيه السلطان.

PASAL: Jika orang yang memiliki hak atas ḥadd atau ta‘zīr wafat, sedang ia termasuk orang yang mewariskan, maka hak tersebut berpindah kepada ahli warisnya. Tentang siapa yang mewarisinya, terdapat tiga wajah:
Pertama, bahwa semua ahli waris mewarisinya karena itu termasuk harta warisan, maka menjadi milik semua ahli waris seperti halnya harta.
Kedua, bahwa ia menjadi milik semua ahli waris kecuali yang mewarisi karena hubungan pernikahan, karena ḥadd itu wajib untuk menolak aib, dan tidak ada aib yang menimpa suami atau istri setelah kematian karena ikatan pernikahan telah terputus.
Ketiga, bahwa ia diwarisi oleh para ‘aṣabah saja tidak selain mereka, karena itu adalah hak yang ditetapkan untuk menolak aib, maka dikhususkan bagi para ‘aṣabah sebagaimana wali dalam pernikahan.

Jika yang mewarisinya ada dua orang, lalu salah satunya memaafkan, maka ḥadd tetap menjadi hak penuh bagi yang satunya, karena ḥadd itu ditetapkan sebagai pencegahan, dan pencegahan tidak akan tercapai kecuali dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai bentuk pencegahan.

Dan jika tidak ada ahli waris baginya, maka hak itu menjadi milik kaum muslimin, dan yang menegakkannya adalah sultan.

فصل: وإن جن من له الحد او التعزير لم يكن لوليه أن يطالبه باستيفائه لأنه حق يجب للتشفي ودرك الغيظ فأخر الى الإفاقة كالقصاص وإن قذف مملوكاً كانت المطالبة بالتعزير للمملوك دون السيد لأنه ليس بمال ولا له بدل هو مال فلم يكن للسيد فيه حق كفسخ النكاح إذا عتت الأمة تحت عبد وغن مات المملوك ففي التعزير ثلاثة أوجه: أحدها أنه يسقط لأنه لا يستحق عنه بالإرث فلا يستحق المولى لانه لو ملك بحق الملك لملك في حياة والثاني: أنه للمولى لأنه حق ثبت للمملوك فكان المولى احق به بعد الموت كمال المكاتب والثالث أنه ينتقل الى عصباته لانه حق ثبت لنفي العار فكان عصباته احق به.

PASAL: Jika orang yang memiliki hak atas ḥadd atau ta‘zīr menjadi gila, maka walinya tidak berhak menuntut pelaksanaan hukuman tersebut, karena ia adalah hak yang ditetapkan untuk pelampiasan dan peluapan amarah, maka ditunda sampai ia sembuh, sebagaimana qiṣāṣ.

Jika seseorang menuduh budak dengan qadzaf, maka yang berhak menuntut ta‘zīr adalah budak itu sendiri, bukan tuannya, karena ta‘zīr bukanlah harta dan tidak memiliki pengganti berupa harta, maka tuan tidak memiliki hak atasnya, sebagaimana fasakh pernikahan jika seorang budak perempuan membangkang terhadap suaminya yang juga seorang budak.

Jika budak tersebut wafat, maka dalam pelaksanaan ta‘zīr ada tiga wajah:
Pertama, bahwa ia gugur karena tidak bisa diwariskan, maka tidak menjadi hak tuan. Sebab, jika ia bisa dimiliki karena status kepemilikan, niscaya ia bisa dimiliki semasa hidup budak tersebut.
Kedua, bahwa ia menjadi hak milik tuan, karena ia adalah hak yang ditetapkan untuk budak, maka tuannya lebih berhak atasnya setelah kematian, seperti halnya harta milik budak yang sedang mukātabah.
Ketiga, bahwa ia berpindah kepada para ‘aṣabah-nya, karena itu adalah hak yang ditetapkan untuk menolak aib, maka para ‘aṣabah-nyalah yang paling berhak atasnya.

فصل: وإن قذف جماعة نظرت فإن كانوا جماعة فلا يجوز أن يكونوا كلهم زناة كأهل بغداد لم يجب الحد لأن الحد يجب لنفي العار ولا عار على المقذوف لأنا نقطع بكذبه ويعزر للكذب وإن كانت جماعة يجوز أن يكونوا كلهم زناة نظرت فإن كان قد قذف كل واحد منهم على الانفراد وجب لكل واحد منهم حد وإن قذفهم بكلمة واحدة ففيه قولان: قال في القديم: يجب حد واحد لأن كلمة نقذف واحدة فوجب حد واحد كما لو قذف امرأة واحدة

PASAL: Jika seseorang menuduh sekelompok orang dengan qadzaf, maka dilihat dahulu: jika mereka adalah sekelompok orang yang tidak mungkin semuanya pezina — seperti penduduk Baghdad — maka tidak wajib ḥadd, karena ḥadd ditetapkan untuk menolak aib, dan tidak ada aib bagi yang dituduh karena kita yakin bahwa ia dusta. Namun ia tetap dikenai ta‘zīr karena berdusta.

Jika kelompok tersebut memungkinkan semuanya adalah pezina, maka diperinci: jika ia menuduh masing-masing secara terpisah, maka wajib satu ḥadd bagi tiap orang yang dituduh.

Namun jika ia menuduh mereka sekaligus dengan satu ucapan, maka ada dua pendapat:

Pertama, sebagaimana dalam qaul qadīm, wajib satu ḥadd saja, karena ucapannya satu, maka hukumannya pun satu, sebagaimana jika ia menuduh satu perempuan saja.

وقال: في الجديد: يجب لكل واحد منهم حد وهو الصحيح لأنه ألحق العار بقذف كل واحد منهم فلزمه لكل واحد منهم حد كما لو أفرد كل واحد منهم بالقذف فإن قذف زوجته برجل ولم يلاعن ففيه طريقان من أصحابنا من قال: هي على قولين كما لو قذف رجلين أو امرأتين ومنهم من قال: يجب حد واحد قولاً واحداً لأن القذف ههنا بزنا واحد والقذف هناك بزناءين فإن وجب عليه حد لاثنين فإن وجب لأحدهما: قبل الآخر وتشاحا قدم السابق منهما لأن حقه أسبق

Dan beliau berkata: dalam qaul jadīd: wajib bagi masing-masing dari mereka satu ḥadd, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena ia telah menimbulkan aib dengan menuduh masing-masing dari mereka, maka wajib atasnya satu ḥadd untuk setiap orang sebagaimana jika ia menuduh masing-masing secara terpisah.

Jika seseorang menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki dan ia tidak melakukan li‘ān, maka terdapat dua jalan menurut para aṣḥāb kami: sebagian dari mereka berkata, ini berdasarkan dua qaul, sebagaimana jika seseorang menuduh dua laki-laki atau dua perempuan; dan sebagian dari mereka berkata, wajib satu ḥadd saja menurut satu qaul, karena tuduhan di sini atas satu perzinaan, sedangkan tuduhan di sana atas dua perzinaan.

Jika wajib atasnya dua ḥadd karena dua orang, dan salah satu dari keduanya menuntut sebelum yang lain, lalu keduanya berselisih, maka didahulukan yang lebih dahulu karena haknya lebih awal.

وإن وجب عليه لهما في حالة واحدة بأن قذفهما معاً وتشاحا أقرع بينهما لأنه لا مزية لأحدهما: على الآخر فقدم بالقرعة وإن قال لزوجته: يا زانية بنت الزانية وهما محصنتان لزمه حدان ومن حضر منهما وطلبت بحدها حد لها وإن حضرتا وطالبتا بحدهما ففيه وجهان: أحدهما: أنه يبدأ بحد البنت لأنه بدأ بقذفها والثاني: هو المذهب أنه يبدأ بحد الأم لأن حدها مجمع عليه وحد البنت مختلف فيه لأن عند أبي حنيفة لا يجب على الزوج بقذف زوجته حد ولأن حد الأم آكد لأنه لا يسقط إلا بالبينة وحد البنت يسقط بالبينة وباللعان فقدم آكدهما.

Dan jika wajib atasnya dua had dalam satu keadaan, yaitu ketika ia menuduh keduanya sekaligus, lalu keduanya berselisih (siapa yang didahulukan), maka dilakukan undian di antara keduanya, karena tidak ada kelebihan salah satunya atas yang lain, maka didahulukan dengan undian.

Dan jika ia berkata kepada istrinya: “Wahai pezina, anak perempuan pezina,” padahal keduanya adalah muḥṣanat, maka wajib atasnya dua had. Siapa pun di antara keduanya yang hadir dan menuntut had-nya, maka ditegakkan had untuknya. Jika keduanya hadir dan menuntut had mereka, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: dimulai dengan had atas anak perempuan, karena ia yang lebih dahulu dituduh zina.

Kedua: inilah pendapat yang menjadi mazhab, yaitu dimulai dengan had atas ibu, karena had atasnya disepakati, sedangkan had atas anak perempuan diperselisihkan. Sebab menurut Abū Ḥanīfah, tidak wajib had atas suami yang menuduh istrinya. Dan karena had atas ibu lebih kuat, sebab tidak gugur kecuali dengan adanya saksi, sedangkan had atas anak perempuan gugur dengan saksi atau dengan liʿān, maka didahulukan yang lebih kuat di antara keduanya.

فصل: وإن وجل حدان على حر لاثنين فحد لأحدهما: لم يحد للآخر حتى يبرأ ظهره من الأول لأن الموالاة بينهما تؤدي إلى التلف وإن كان الحدان على عبد ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجوز الموالاة بينهما كما لوكانا على حر والثاني: أنه يجوز لأن الحدين على العبد كالحد الواحد.

PASAL: Jika wajib dua ḥadd atas seorang lelaki merdeka karena dua orang, lalu ḥadd telah ditegakkan untuk salah satu dari keduanya, maka tidak ditegakkan ḥadd untuk yang lainnya hingga punggungnya sembuh dari yang pertama, karena muwaālāt (berturut-turut tanpa jeda) antara keduanya dapat menyebabkan kebinasaan. Dan jika kedua ḥadd tersebut atas seorang budak, maka ada dua pendapat:
pertama, tidak boleh muwaālāt antara keduanya sebagaimana jika atas seorang merdeka;
kedua, boleh, karena dua ḥadd atas budak seperti satu ḥadd.

فصل: وإن قذف أجنبيا بالزنا فحد ثم قذفه ثانياً بذلك الزنا عزر للأذى ولم يحد لأن أبا بكرة شهد على المغيرة بالزنا فجلده عمر رضي الله عنه ثم أعاد القذف وأراد أن يجلده فقال له علي كرم الله وجهه: إن كنت تريد أن تجلده فارجم صاحبك فترك عمر رضي الله عنه جلده ولأنه قد حصل التكذيب بالحد وإن قذفه بزنا ثم قذفه بزنا آخر قبل أن يقام عليه الحد ففيه قولان: أحدهما: أنه يجب عليه حدان لأنه من حقوق الآدميين فلم تتداخل كالديون

PASAL: Jika seseorang menuduh seorang ajnabī (orang lain yang bukan mahramnya) berzina, lalu ditegakkan had atasnya (karena tidak mampu mendatangkan empat saksi), kemudian ia mengulangi tuduhan zina yang sama, maka ia dikenai taʿzīr karena menyakiti (dengan ucapannya), namun tidak dikenai had. Sebab Abū Bakrah pernah bersaksi atas al-Mughīrah dalam kasus zina, lalu ʿUmar RA mencambuknya, kemudian Abū Bakrah mengulangi tuduhannya, dan ʿUmar ingin mencambuknya lagi, namun ʿAlī karamallāhu wajhah berkata kepadanya: “Jika engkau ingin mencambuknya lagi, maka rajamlah sahabatmu (yaitu al-Mughīrah)”, maka ʿUmar pun tidak mencambuknya. Sebab dengan ditegakkannya had, telah tetap kebohongannya.

Dan jika ia menuduhnya berzina, lalu menuduhnya lagi dengan zina lain (berbeda), sebelum had ditegakkan atasnya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: Wajib dua had atasnya, karena ini termasuk hak manusia (ḥuqūq al-ādamiīn) sehingga tidak saling masuk (tadākhul), sebagaimana dalam kasus utang.

والثاني: يلزمه حد واحد وهو الصحيح لأنهما حدان من جنس واحد لمستحق واحد فتداخلا كما لو زنى ثم زنى وإن قذف زوجته ولاعنها ثم قذفها بزنا أضافة إلى ما قبل اللعان ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجب عليه الحد لأن اللعان في حق الزوج كالبينة ولو أقام عليها البينة ثم قذفها لم يلزمه الحد فكذلك إذا لاعنها والثاني: أنه يجب عليه الحد لأن اللعان إنما يسقط إحصانها في الحالة التي يوجد فيها وما بعدها وما يسقط فيما تقدم فوجب الحد بما رماها به

dan kedua: wajib atasnya satu ḥadd saja, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena keduanya adalah dua ḥadd dari jenis yang sama untuk satu orang yang berhak, maka saling masuk seperti orang yang berzina lalu berzina lagi. Dan jika ia menuduh istrinya berzina lalu melakukan li‘ān, kemudian menuduhnya lagi dengan zina yang dinisbahkan kepada masa sebelum li‘ān, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: tidak wajib atasnya ḥadd, karena li‘ān dalam hak suami seperti halnya bayyinah. Seandainya ia mendatangkan bayyinah atas istrinya lalu menuduhnya, maka tidak wajib atasnya ḥadd, maka demikian pula jika ia melakukan li‘ān.

Kedua: wajib atasnya ḥadd, karena li‘ān hanya menggugurkan status iḥṣān pada saat terjadi dan sesudahnya, dan tidak menggugurkan terhadap apa yang telah lalu, maka wajib ḥadd atas apa yang ia tuduhkan kepadanya.

وإن قذف زوجته وتلاعنا ثم قذفها أجنبي وجب الحد لأن اللعان يسقط الإحصان في حق الزوج لأنه بينة يختص بها فأما في حق الأجنبي فهي باقية على إحصانها فوجب عليه الحد بقذفها وإن قذفها الزوج ولاعنها ولم تلاعن فحدت ثم قذفها الاجنبي بذلك الزنا ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا حد عليه لأنه قذفها بزنا حدت فيه فلم يجب كما لو أقيم عليها الحد بالبينة والثاني: أنه يجب لأن اللعان يختص به الزوج فزال به الإحصان في حقه وبقي في حق الأجنبي.

Dan jika seorang suami menuduh istrinya berzina lalu mereka melakukan li‘ān, kemudian seorang laki-laki asing menuduh istrinya berzina, maka wajib atasnya ḥadd, karena li‘ān menggugurkan status iḥṣān hanya dalam hak suami, sebab ia adalah bayyinah yang khusus baginya. Adapun dalam hak laki-laki asing, maka ia tetap dalam status iḥṣān, maka wajib atasnya ḥadd karena menuduhnya.

Dan jika suami menuduh istrinya lalu melakukan li‘ān, tetapi istrinya tidak melakukan li‘ān balasan, sehingga ia dikenai ḥadd, lalu setelah itu ada laki-laki asing yang menuduhnya dengan zina yang sama, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: tidak wajib atasnya ḥadd, karena ia menuduhnya dengan zina yang telah ditegakkan ḥadd atasnya, maka tidak wajib seperti halnya jika ditegakkan ḥadd atasnya karena bayyinah.

Kedua: wajib atasnya ḥadd, karena li‘ān hanya khusus berlaku untuk suami, maka dengan itu status iḥṣān hilang dalam hak suami, namun tetap berlaku dalam hak orang lain.

فصل: إذا سمع السلطان رجلاً يقول زنى رجل لم يقم عليه الحد لأن المستحق مجهول ولا يطالبه بتعيينه لقوله عز وجل: {لا تَسْأَلوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ} ولأن الحد يدرأ بالشبهة ولهذا قال صلى الله عليه وسلم: “ألا سترته بثوبك يا هزال” وإن قال سمعت رجلاً يقول إن فلاناً زنى لم يحد لأنه ليس بقاذف وإنما هو حاك ولا يسأله عن القاذف لأن الحد يدرأ بالشبهة

PASAL: Jika seorang sultan mendengar seseorang berkata, “Seseorang telah berzina,” maka tidak ditegakkan ḥadd atasnya karena yang berhak (atas ḥadd) tidak diketahui, dan ia tidak diminta untuk menyebutkan siapa yang dimaksud, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {lā tasʾalū ʿan asy-yāʾa in tubda lakum tasuʾkum} (QS al-Māʾidah: 101). Dan karena ḥadd digugurkan dengan adanya syubhat. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda: “Mengapa engkau tidak menutupinya dengan kainmu, wahai Hizzāl?” Jika ia berkata, “Aku mendengar seseorang berkata bahwa si Fulan telah berzina,” maka tidak dikenai ḥadd karena ia bukan pencela (qāżif), melainkan hanya sekadar menyampaikan cerita, dan tidak ditanyakan kepadanya siapa pencela itu, karena ḥadd digugurkan dengan adanya syubhat.

 

وإن قال زنى فلان فهل يلزم السلطان أن يسأل المقذوف فيه وجهان: أحدهما: أنه يلزمه لأنه قد ثبت له حق لا يعلم به فلزم الإمام إعلامه كما لوثبت له عنده مال لا يعلم به فعلى هذا إن سأل المقذوف فأكذبه وطالب بالحد حد وإن صدقه حد المقذوف لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “يا أنيس اغد على امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها”. والوجه الثاني أنه لا يلزم الإمام إعلامه لقوله صلى الله عليه وسلم: “ادرؤوا الحد بالشبهات”.

Jika seseorang berkata, “Si Fulan telah berzina,” apakah wajib bagi sultan untuk menanyai orang yang dituduh (al-maqżūf)? Maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Wajib baginya, karena telah tetap hak bagi orang tersebut namun ia tidak mengetahuinya. Maka wajib bagi imam untuk memberitahukannya, sebagaimana jika ada harta miliknya di sisi imam namun ia tidak mengetahuinya. Berdasarkan pendapat ini, jika imam menanyai orang yang dituduh, lalu orang itu mendustakan tuduhan dan menuntut ḥadd, maka pelakunya dikenai ḥadd. Namun jika ia membenarkannya, maka ia sendiri yang dikenai ḥadd, karena Nabi SAW bersabda: “Wahai Anīs, pergilah pagi-pagi kepada wanita ini, jika ia mengaku, maka rajamlah dia.”

Pendapat kedua: Tidak wajib bagi imam untuk memberitahukannya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Hindarkanlah ḥadd dengan adanya syubhat.”

فصل: إذا قذف محصناً وقال قذفته وأنا ذاهب العقل فإن لم يعلم له حال جنون فالقول قول المقذوف مع يمينه أنه لا يعلم أنه مجنون لأن الأصل عدم الجنون وإن علم له حال جنون ففيه قولان بناء على القولين في المقذوف إذا قده ثم اختلفا في حياته: أحدهما: أن القول قول المقذوف لأن الأصل الصحة والثاني: أن القول قول القاذف لأنه يحتمل ما يدعيه والأصل حمى الظهر ولأن الحد يسقط بالشبهة والدليل عليه قوله صلى الله عليه وسلم: “ادرءوا الحدود بالشبهات وادرءوا الحدود ما استطعت ولأن يخطئ الإمام في العفو خير من أن يخطئ في العقوبة”.

PASAL: Jika seseorang menuduh seorang muḥṣan dengan qadzaf lalu berkata, “Aku menuduhnya saat aku tidak sadar (hilang akal),” maka jika tidak diketahui adanya kondisi gila padanya, maka yang dipegang adalah ucapan orang yang dituduh, disertai sumpahnya bahwa ia tidak mengetahui adanya kegilaan, karena asalnya adalah tidak adanya kegilaan.

Namun jika memang diketahui ada kondisi gila, maka ada dua pendapat, yang dibangun atas dua pendapat dalam kasus orang yang dituduh lalu mereka berselisih tentang apakah ia masih hidup:

Pertama: ucapan orang yang dituduh dipegang, karena asalnya adalah sehat.

Kedua: ucapan si penuduh dipegang, karena apa yang ia klaim memungkinkan, dan asalnya adalah penjagaan terhadap kehormatan, serta karena ḥadd gugur dengan adanya syubhat. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Hindarilah penerapan ḥudūd dengan syubhat, dan hindarilah penerapan ḥudūd semampu kalian. Dan sesungguhnya kesalahan imam dalam memaafkan lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum.”

فصل: وإن عرض بالقذف أنه أراد قذفه وأنكر القاذف فالقول قوله لأن ما يدعيه محتمل والاصل براءة ذمته.

PASAL: Jika seseorang menyiratkan qadzaf dan maksudnya memang menuduh zina namun si penuduh mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapannya, karena apa yang ia klaim masih memungkinkan, dan asalnya tanggungannya bebas dari tuntutan.

فصل: وإن قال لمحصنة زنيت في الوقت الذي كنت نصرانية أو أمة فإن عرف أنها كانت نصرانية أو أمة لم يجب الحد لأنه أضاف القذف إلى حال هي فيها غير محصنة وإن قال لها زنيت ثم قال أردت في الوقت الذي كنت فيه نصرانية أو أمة وقالت المقذوفة بل أردت قذفي في هذا الحال وجب الحد لأن الظاهر أنه أراد قذفها في الحال

PASAL: Jika seseorang berkata kepada seorang perempuan muḥṣanah, “Engkau telah berzina pada waktu engkau masih beragama Nasrani atau masih berstatus budak,” maka apabila diketahui bahwa ia memang pernah menjadi seorang Nasrani atau budak, maka tidak wajib dikenakan ḥadd, karena ia menisbatkan perbuatan qadżaf pada waktu ia belum memiliki sifat iḥṣān. Namun, apabila ia berkata, “Engkau telah berzina,” kemudian ia berkata, “Aku maksudkan pada waktu engkau masih Nasrani atau budak,” sementara perempuan yang dituduh berkata, “Bahkan engkau maksudkan aku pada keadaan saat ini,” maka wajib dikenakan ḥadd, karena zahir ucapannya menunjukkan bahwa ia bermaksud menuduhnya pada keadaan sekarang.

فإن قذف امرأة وادعى أنها مشركة أو أمة وادعت أنها أسلمت أو أعتقت فالقول قول القاذف لأن الأصل بقاء الشرك والرق وإن قذف امرأة وأقر أنها كانت مسلمة وادعى أنها ارتدت وأنكرت المرأة ذلك فالقول قولها لأن الأصل بقاؤها على الإسلام وإن قذف مجهولة وادعى أنها أمة أو نصرانية وأنكرت المرأة ففيه طريقتان ذكرناهما في الجنايات.

Jika seseorang menuduh seorang perempuan berzina dan mengklaim bahwa perempuan tersebut adalah seorang musyrikah atau budak, sementara perempuan itu mengaku bahwa ia telah masuk Islam atau telah merdeka, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan si penuduh, karena hukum asalnya adalah tetapnya kekufuran dan status perbudakan.

Dan jika seseorang menuduh seorang perempuan berzina lalu ia mengakui bahwa perempuan tersebut dahulu adalah seorang muslimah, namun ia mengklaim bahwa perempuan itu telah murtad, sedangkan perempuan itu membantahnya, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan si perempuan, karena hukum asalnya adalah tetapnya keislaman.

Dan jika ia menuduh seorang perempuan yang tidak dikenal identitasnya, lalu ia mengklaim bahwa perempuan itu adalah seorang budak atau Nasraniyah, namun perempuan itu membantahnya, maka dalam hal ini terdapat dua metode pendapat yang telah kami sebutkan dalam bab al-jināyāt.

فصل: وإن ادعت المرأة على زوجها أنه قذفها وأنكر فشهد شاهدان أنه قذفها جاز أن يلاعن لأن إنكاره للقذف لا يكذب ما يلاعن عليه من الزنا لأنه يقول إنما أنكرت القذف وهو الرمي بالكذب وما كذبت عليها لأني صادق أنها زنت فجاز أن يلاعن كما لو ادعى على رجل أنه أودعه مالاً فقال المدعى عليه مالك عندي شيء فشهد شاهدان أنه أودعه فإن له أن يحلف لأن إنكاره لا يمنع الإيداع لأنه قد يودعه ثم يتلف فلا يلزمه شيء.

PASAL: Jika seorang perempuan menuduh suaminya telah menuduhnya berzina (qadżaf), namun suaminya mengingkarinya, lalu ada dua orang saksi yang bersaksi bahwa suaminya memang telah menuduhnya, maka boleh bagi suami untuk melakukan li‘ān, karena pengingkarannya terhadap qadżaf tidak bertentangan dengan apa yang ia li‘ān-kan berupa tuduhan zina. Sebab ia bisa saja berkata, “Aku mengingkari qadżaf, yakni menuduh secara dusta, dan aku tidak berdusta atasnya karena aku benar-benar meyakini bahwa ia berzina.” Maka boleh baginya untuk li‘ān, sebagaimana seseorang yang mengaku telah menitipkan harta kepada orang lain, dan orang yang dituduh berkata, “Engkau tidak memiliki sesuatu pun padaku,” lalu ada dua orang saksi yang bersaksi bahwa ia memang menerima titipan tersebut, maka si penuduh tetap boleh bersumpah, karena pengingkarannya tidak menafikan terjadinya penitipan, sebab bisa jadi ia telah menitipkan lalu harta itu rusak, sehingga tidak ada yang wajib ia kembalikan.

باب حد السرقة
ومن سرق وهو بالغ عاقل مختار التزم حكم الإسلام نصاباً من المال الذي يقصد إلى سرقته من حرز مثله لا شبهة له فيه وجب عليه القطع والدليل قوله تعالى: {وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا} ولأن السارق يأخذ المال على وجه لا يمكن الاحتراز منه ولولم يجب القطع عليه لأدى ذلك إلى هلاك الناس بسرقة أموالهم ولا يجب القطع على المنتهب ولا على المختلس

BAB ḤADD UNTUK PENCURIAN
Barang siapa mencuri dalam keadaan balig, berakal, atas kehendak sendiri, serta tunduk pada hukum Islam, terhadap harta yang mencapai niṣāb, yang memang lazim dicuri, dari tempat penyimpanan yang sesuai, tanpa adanya syubhat, maka wajib dipotong tangannya. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala:
{وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا}
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya.”
Dan karena pencuri mengambil harta dengan cara yang tidak bisa dicegah, maka apabila tidak dikenakan ḥadd potong tangan atasnya, hal itu akan menyebabkan kehancuran manusia karena pencurian harta mereka.

Tidak wajib dipotong tangan bagi pelaku intihāb (perampasan terang-terangan) dan ikhtilās (pengambilan secara cepat tanpa merusak tempatnya).

لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ليس على المنتهب قطع ولا على المختلس قطع ومن انتهب نهنة مشهورة فليس منا”. ولأن المنتهب والمختلس يأخذان المال على وجه يمكن انتزاعه منه بالاستعانة بالناس وبالسلطان فلم يحتج في ردعه إلى القطع ولا يجب على من جحد امانة أو عارية لأنه يمكن أخذ المال منه بالحكم فلم يحتج إلى القطع.

Karena telah diriwayatkan dari Jābir RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Laysa ‘ala al-muntahib qaṭ‘ wa lā ‘ala al-mukhtalis qaṭ‘, wa man intahaba nuhnatan masy-hūrah fa-laysa minnā” —
“Tidak ada (ḥadd) potong tangan atas perampas (al-muntahib), dan tidak pula atas pencopet (al-mukhtalis). Dan barang siapa merampas dengan terang-terangan, maka ia bukan termasuk golongan kami.”

Dan karena perampas (al-muntahib) dan pencopet (al-mukhtalis) mengambil harta dengan cara yang masih memungkinkan untuk direbut kembali dengan bantuan masyarakat dan penguasa, maka tidak diperlukan hukum potong tangan untuk mencegah perbuatan mereka.

Demikian pula, tidak wajib dikenakan potong tangan atas orang yang mengingkari titipan atau barang pinjaman (‘āriyah), karena harta tersebut bisa diambil kembali melalui putusan hakim, maka tidak dibutuhkan potong tangan.

فصل: ولا يجب على صبي ولا مجنون لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”. وروى ابن مسعود رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتى بجارية قد سرقت فوجدها لم تحض فلم يقطعها وهل يجب على السكران فيه قولان ذكرناهما في الطلاق ولا يجب على مكره لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه”. ولأن ما أوجب عقوبة الله عز وجل على المختار لم يوجب على المكره ككلمة الكفر ولا تجب على الحربي لأنه لم يلتزم حكم الإسلام وهل يجب على المستأمن فيه قولان ذكرناهما في السير.

PASAL: Tidak wajib (dijatuhkan had) atas anak kecil dan orang gila, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Diangkat pena dari tiga golongan: dari anak kecil hingga balig, dari orang tidur hingga terbangun, dan dari orang gila hingga sadar.” Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd RA bahwa Rasulullah SAW didatangkan seorang budak perempuan yang mencuri, lalu didapati ia belum haid, maka beliau tidak memotong tangannya.

Adapun apakah wajib atas orang yang mabuk, terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan dalam bab ṭalāq. Tidak wajib atas orang yang dipaksa, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Diangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa melakukannya.” Dan karena sesuatu yang mewajibkan hukuman dari Allah Azza wa Jalla atas yang memilih (secara sadar) tidaklah mewajibkan atas yang dipaksa, seperti ucapan kekufuran.

Tidak wajib atas orang ḥarbī karena ia tidak berkomitmen terhadap hukum Islam. Adapun apakah wajib atas orang yang diberi jaminan keamanan (musta’man), maka terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan dalam bab al-siyar.

فصل: ولا يجب فيما دون النصاب والنصاب ربع دينار أو ما قيمته ربع دينار لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يقطع يد السارق إلا في ربع دينار فصاعداً فإن سرق غير الذهب قوم بالذهب لأن النبي صلى الله عليه وسلم قدر النصاب بالذهب فوجب أن يقوم غيره به وإن سرق ربع مثقال من الجلاص وقيمته دون ربع دينار ففيه قولان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري وأبي علي بن أبي هريرة أنه لا يقطع لأن النبي صلى الله عليه وسلم نص على ربع دينار وهذا قيمته دون ربع دينار

PASAL: Tidak wajib (dihukum potong tangan) pada pencurian di bawah nisab, dan nisab itu adalah seperempat dīnār atau sesuatu yang senilai dengan seperempat dīnār, karena Aisyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tidak memotong tangan pencuri kecuali dalam (pencurian) seperempat dīnār ke atas. Jika ia mencuri sesuatu selain emas, maka dinilai dengan emas, karena Nabi SAW menentukan nisab dengan emas, maka wajib menilai yang lainnya dengan emas. Jika ia mencuri seperempat miṡqāl dari al-julāṣ yang nilainya di bawah seperempat dīnār, maka ada dua pendapat. Pertama, yaitu pendapat Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī dan Abū ʿAlī ibn Abī Hurayrah, bahwa tidak dipotong, karena Nabi SAW menetapkan seperempat dīnār, sedangkan yang ini nilainya di bawah seperempat dīnār.

والثاني: وهو قول عامة أصحابنا أنه يقطع لأن الخلاص يقع عليه اسم الدينار وإن لم يصرف لأنه يقال دينار خلاص كما يقال دينار قراضة وإن نقب اثنان حرزاً وسرقا نصابين قطعا لأن كل واحد منهما سرق نصاباً وإن أخرج أحدهما: نصابين ولم يخرج الآخر شيئاً قطع الذي أخرج دون الآخر لأنه هو الذي انفرد بالسرقة فإن اشتركا في سرقة نصاب لم يقطع واحد منهما وقال أبو ثور يجب القطع عليهما كما لو اشترك رجلان في القتل وجب القصاص عليهما وهذا خطأ لأن كل واحد منهما لم يسرق نصاباً ويخالف القصاص فإنا لولم نوجب على الشريكين جعل الاشتراك جعل الاشتراك طريقاً إلى إسقاط القصاص وليس كذلك السرقة

dan yang kedua: yaitu pendapat jumhur dari para sahabat kami, bahwa pelaku dipotong karena al-khulāṣ (emas murni) termasuk dalam kategori dīnār, meskipun tidak berlaku sebagai mata uang, karena dikatakan “dīnār khulāṣ” sebagaimana dikatakan “dīnār qirāḍah”.

Jika dua orang membobol tempat yang terjaga (ḥirz) dan mencuri dua nisab, maka keduanya dipotong, karena masing-masing dari mereka mencuri satu nisab. Jika salah satunya mengeluarkan dua nisab dan yang lain tidak mengeluarkan sedikit pun, maka yang dipotong hanyalah orang yang mengeluarkan, karena dialah yang secara mandiri melakukan pencurian.

Jika keduanya bersama-sama mencuri satu nisab, maka tidak dipotong salah satu pun dari mereka. Abū Ṯawr berkata: keduanya wajib dipotong, sebagaimana jika dua orang berserikat dalam pembunuhan, maka wajib qiṣāṣ atas keduanya. Namun ini pendapat yang keliru, karena masing-masing dari mereka tidak mencuri satu nisab, dan ini berbeda dengan qiṣāṣ, karena jika kita tidak mewajibkan qiṣāṣ atas dua orang yang berserikat, maka berarti menjadikan keberserikatan sebagai jalan menggugurkan qiṣāṣ, sedangkan hal ini tidak berlaku dalam kasus pencurian.

فإنا إذا لم نوجب القطع على الشريكين في سرقة النصاب لم يصر الاشتراك طريقاً إلى إسقاط القطع لأنهما لا يقصدان إلى سرقة نصاب واحد لقلة ما يصيب كل واحد منهما فإذا اشتركا في نصابين أوجبنا القطع وإذا نقب حرزاً وسرق منه ثمن دينار ثم عاد وسرق ثمناً آخر ففيه ثلاثة أوجه: أحدها وهو قول أبي العباس أنه يجب القطع لأنه سرق نصاباً من حرز مثله فوجب عليه القطع كما لو سرقه في دفعة واحدة والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يجب القطع لأنه سرق تمام النصاب من حرز مهتوك والثالث وهو قول أبي علي بن خيران أنه إن عاد وسرق الثمن الثاني بعد ما اشتهر هتك الحرز لم يقطع لأنه سرق من حرز اشتهر خرابه وإن سرق قبل أن يشتهر خرابه قطع لأنه سرق من قبل ظهور خرابه.

Karena sesungguhnya jika kami tidak mewajibkan potong tangan atas dua orang yang berserikat dalam mencuri satu nisab, maka hal itu tidak menjadikan keberserikatan sebagai jalan untuk menggugurkan hukuman potong tangan, sebab keduanya tidak bermaksud mencuri satu nisab, karena sedikitnya bagian yang diperoleh masing-masing. Maka apabila mereka berserikat dalam mencuri dua nisab, kami wajibkan potong tangan.

Jika seseorang membobol tempat yang terjaga lalu mencuri sepertiga dīnār, kemudian kembali dan mencuri sepertiga lainnya, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

Pertama, yaitu pendapat Abū al-ʿAbbās, bahwa wajib dipotong, karena ia mencuri satu nisab dari tempat yang terjaga, maka wajib dipotong sebagaimana jika ia mencurinya dalam satu kali pencurian.

Kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa tidak wajib dipotong karena ia menyempurnakan nisab dari tempat yang penjagaannya telah rusak (muhtak).

Ketiga, yaitu pendapat Abū ʿAlī ibn Khayrān, bahwa jika ia kembali dan mencuri sepertiga kedua setelah terkenal kerusakan tempat itu, maka tidak dipotong, karena ia mencuri dari tempat yang telah dikenal rusaknya. Namun jika ia mencuri sebelum kerusakannya tersebar (terkenal), maka dipotong, karena ia mencuri sebelum terlihat rusaknya tempat tersebut.

فصل: ولا يجب القطع فيما سرق من غير حرز لما روى عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه أن رجلاً من مزينة قال: يا رسول الله كيف ترى في حريسة الجبل قال ليس في شيء من الماشية قطع إلا ما أواه المراح وليس في الثمر المعلق قطع إلا ما أواه الجرين فما اخذ من الجرين فبلغ ثمن المجن ففيه القطع فأسقط القطع في الماشية غلا ما أواه المراح وفي الثمر المعلق إلا ما أواه الجرين فدل على أن الحرز شرط في إيجاب القطع ويرجع في الحرز إلى ما يعرفه الناس حرزاً فما عرفوه حرزاً قطع بالسرقة منه وما لا يعرفونه حرزاً لم يقطع بالسرقة منه

PASAL: Tidak wajib potong tangan atas pencurian yang dilakukan dari selain tempat yang terjaga (ḥirz), berdasarkan riwayat dari ʿAbdullāh ibn ʿAmr ibn al-ʿĀṣ RA bahwa seorang laki-laki dari Muzainah berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ternak yang digembalakan di gunung?” Beliau menjawab: “Tidak ada hukuman potong tangan atas sesuatu dari ternak kecuali yang dikandangkan di kandang; dan tidak ada potong tangan pada buah yang masih tergantung kecuali yang disimpan di al-jurayn; maka barang siapa mencuri dari al-jurayn senilai harga tameng, maka wajib potong tangan.” Maka beliau mengecualikan hukuman potong tangan atas ternak kecuali yang dikandangkan di marāḥ, dan pada buah yang masih tergantung kecuali yang disimpan di al-jurayn. Hal ini menunjukkan bahwa ḥirz adalah syarat untuk mewajibkan potong tangan.

Adapun mengenai definisi ḥirz, maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat: apa yang menurut mereka dikenal sebagai ḥirz, maka pencurian darinya dikenai potong tangan, dan apa yang tidak dikenal sebagai ḥirz, maka tidak dikenai potong tangan jika mencurinya.

لأن الشرع دل على اعتبار الحرز وليس له حد من جهة الشرع فوجب الرجوع فيه إلى العرف كالقبض والتفرق في البيع وإحياء الموات فإن سرق مالاً مثمناً كالذهب والفضة والخز من البيوت أو الخانات الحريزة والدور المنيعة في العمران ودونها اغلاق وجب القطع لأن ذلك حرز مثله وإن لم يكن دونها أغلاق فإن كان في الموضع حافظ مستيقظ وجب القطع لأنه محرز به وإن لم يكن حافظ أو كان فيه حافظ نائم لم يجب القطع لأنه غير محرز

karena syariat menunjukkan bahwa ḥirz itu diperhitungkan, namun tidak ada batasannya dari sisi syariat, maka wajib merujuk padanya menurut kebiasaan (‘urf), sebagaimana dalam qabḍ dan tafarruq dalam jual beli, serta iḥyā’ al-mawāt. Maka jika seseorang mencuri harta yang bernilai seperti emas, perak, atau kain khazz dari rumah-rumah, atau tempat penyimpanan yang terjaga, dan bangunan-bangunan kuat di daerah pemukiman, dan di bawahnya ada pengunci, maka wajib dipotong tangannya karena tempat itu merupakan ḥirz bagi barang-barang tersebut. Namun jika tidak ada penutup/pengunci, maka apabila di tempat tersebut ada penjaga yang sadar, wajib dipotong karena dianggap muḥraz dengannya. Tetapi jika tidak ada penjaga, atau penjaganya sedang tidur, maka tidak wajib dipotong karena tidak dianggap muḥraz.

فإن سرق من بيوت في غير العمران كالرباطات التي في البرية والجواسق التي في البساتين فإن لم يكن فيها حافظ لم تقطع مغلقاً كان الباب أو مفتوحاً لأن المال لا يحرز فيه من غير حافظ وإن كان فيها حافظ فإن كان مستيقظاً قطع السارق مغلقاً كان الباب أو مفتوحاً لأنه محرز به وإن كان نائماً فإن كان مغلقاً قطع لأنه محرز

maka jika mencuri dari rumah-rumah di luar daerah pemukiman seperti ribāṭ di padang pasir dan jawāsiq di kebun-kebun, maka jika tidak ada penjaga di dalamnya, tidak dipotong tangannya—baik pintunya tertutup maupun terbuka—karena harta tidak dianggap terjaga tanpa penjaga. Namun jika di dalamnya ada penjaga, maka apabila ia dalam keadaan terjaga, maka tangan pencuri dipotong—baik pintunya tertutup maupun terbuka—karena dianggap terjaga dengannya. Dan apabila penjaganya sedang tidur, maka jika pintunya tertutup, maka dipotong tangannya karena dianggap terjaga.

وإن كان مفتوحاً لم يقطع لأنه غير محرز وإن سرق متاع الصيادلة والبقالين من الدكاكين في الأسواق ودونها أغلاق أو درابات وعليها قفل أو سرق أواني الخزف ودونها شرايح القصب فإن كان الأمن ظاهراً قطع السارق لأن ذلك حرز مثله وإن قل الأمن فإن كان في السوق حارس قطع لأنه محرز به وإن لم يكن حارس لم يقطع لأنه غير محرز وإن سرق باب دار أو دكان قطع لأن حرزه بالنصب

Dan jika (pintu) itu terbuka, tidak dipotong (tangan pencurinya) karena tidak termasuk ḥirz. Dan jika seseorang mencuri barang-barang milik para ahli ṣayādilah (apoteker) dan para baqqālīn (pedagang sembako) dari toko-toko di pasar, dan toko-toko itu memiliki penutup atau pintu dorong dan padanya terdapat gembok, atau mencuri peralatan dari tembikar yang dijaga dengan penutup dari anyaman bambu (s̱̱arā’iḥ al-qaṣab), maka jika keamanan tampak terjaga, pencuri dipotong (tangannya) karena itu adalah ḥirz menurut kebiasaan. Namun jika keamanan tidak terlalu terjaga, maka jika di pasar terdapat penjaga, pencuri tetap dipotong karena barang tersebut terjaga olehnya. Namun jika tidak ada penjaga, maka tidak dipotong karena tidak termasuk ḥirz. Dan jika seseorang mencuri pintu rumah atau toko, maka ia dipotong, karena ḥirz-nya adalah dengan pemasangannya.

وإن سرق حلقة الباب وهي مسمرة فيه قطع لأنها حرزة بالتسمير في الباب وإن سرق آجر الحائط قطع لأنه محرز بالتشريج في البناء وإن سرق الطعام أو الدقيق في غرائر شد بعضها إلى بعض في موضع البيع قطع على المنصوص فمن أصحابنا من قال: إن كان في موضع مأمون في وقت الأمن فيه ظاهر ولم يمكن أخذ شيء منه إلا بحل رباطه أو فتق طرفه قطع لأن العادة تركها في موضع البيع ومن أصحابنا من قال: لا يقطع إلا أن يكون في بيت دونه باب مغلق والذي نص عليه الشافعي رحمه الله في غير المغلق

Dan jika mencuri cincin pintu yang dipaku padanya, maka dipotong, karena ia terjaga dengan dipaku pada pintu. Dan jika mencuri batu bata dari dinding, maka dipotong, karena ia terjaga dengan disusun dalam bangunan. Dan jika mencuri makanan atau tepung dari karung-karung yang diikat satu sama lain di tempat penjualan, maka dipotong menurut pendapat yang manṣūṣ. Di antara para sahabat kami ada yang berpendapat: jika (barang itu) berada di tempat yang aman pada waktu yang tampak keamanannya, dan tidak mungkin mengambil sesuatu darinya kecuali dengan membuka ikatannya atau merobek salah satu sisinya, maka dipotong, karena kebiasaan memang meletakkannya di tempat penjualan. Dan di antara para sahabat kami ada yang berpendapat: tidak dipotong kecuali jika berada dalam rumah yang di depannya terdapat pintu tertutup. Dan pendapat yang dinyatakan oleh Imam al-Syāfi‘i rahimahullah adalah dalam selain tempat yang tertutup.

وإن سرق حطباً شد بعضه إلى بعض بحيث لا يمكن أن يسل منه شيء إلا بحل رباطه قطع لأنه محرز بالشد وإن كان متفرقاً لم يقطع لأنه غير محرز ومن أصحابنا من قال: لا يقطع إلا أن يكون في بيت دنه باب مغلق مجتمعاً كان أو متفرقاً وإن سرق أجزاعاً ثقالاً مطروحة على أبواب المساكن قطع لأن العادة فيها تركها على الأبواب.

Dan jika mencuri kayu bakar yang diikat satu sama lain sehingga tidak mungkin mengambil sesuatu darinya kecuali dengan membuka ikatannya, maka dipotong karena ia terjaga dengan ikatan tersebut. Namun jika kayu itu tercerai-berai, maka tidak dipotong karena tidak termasuk ḥirz. Dan sebagian sahabat kami berpendapat: tidak dipotong kecuali jika berada di dalam rumah yang di depannya terdapat pintu tertutup, baik kayu itu terkumpul maupun tercerai-berai. Dan jika mencuri batang-batang kayu besar yang berat yang diletakkan di depan pintu rumah, maka dipotong karena kebiasaan memang meletakkannya di depan pintu rumah.

فصل: وإن نبش قبراً وسرق منه الكفن فإن كان في برية لم يقطع لأنه ليس بحرز للكفن وإنما يدفن في البرية للضرورة وإن كان في مقبرة تلي العمران قطع لما روى البراء بن عازب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من حرق حرقناه ومن غرق غرقناه ومن نبش قطعناه”. ولأن القبر حرز للكفن وإن كان الكفن أكثر من خمسة أثواب فسرق ما زاد على الخمسة لم يقطع لأن ما زاد على الخمسة ليس بمشروع في الكفن فلم يجعل القبر حرزاً له كالكيس المدفون معه

PASAL: Jika seseorang membongkar kubur lalu mencuri kain kafan dari dalamnya, maka jika kubur itu berada di tanah lapang, tidak dipotong tangannya karena tempat itu bukanlah ḥirz (tempat aman) bagi kain kafan; kain itu dikuburkan di tanah lapang hanya karena darurat. Namun jika kuburnya berada di pemakaman yang dekat dengan pemukiman, maka dipotong tangannya, berdasarkan riwayat dari al-Barā’ bin ‘Āzib RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa membakar (orang), kami bakar dia. Barang siapa menenggelamkan, kami tenggelamkan dia. Dan barang siapa membongkar kubur, kami potong tangannya.” Karena kubur termasuk ḥirz bagi kain kafan.

Jika kain kafan itu lebih dari lima lembar lalu yang dicuri adalah kelebihan dari lima lembar itu, maka tidak dipotong, karena kelebihan dari lima itu bukan bagian yang disyariatkan dalam kafan, sehingga kubur tidak dianggap sebagai ḥirz untuknya, seperti halnya kantong uang yang dikuburkan bersama mayit.

وإن أكل السبع الميت وبقي الكفن ففيه وجهان: أحدهما: أنه ملك للورثة يقسم عليهم وهو قول أبي علي بن أبي هريرة وأبي علي الطبري لأن ذلك المال ينتقل اليهم بالإرث وإنما اختص الميت بالكفن للحاجة وقد زالت الحاجة فرجع إليهم والثاني: أنه لبيت المال لأنهم لم يورثوه عند الموت فلم يرثوه بعده.

Jika kain kafan masih tersisa setelah mayit dimakan oleh binatang buas, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: kain kafan tersebut menjadi milik para ahli waris dan dibagikan kepada mereka. Ini adalah pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah dan Abū ‘Alī al-Ṭabarī, karena harta itu berpindah kepada mereka melalui warisan, dan sesungguhnya mayit hanya diberi hak atas kain kafan karena kebutuhan, maka ketika kebutuhannya telah hilang, harta itu kembali kepada ahli waris.

Pendapat kedua: kain kafan itu milik Bayt al-Māl, karena mereka (para ahli waris) tidak mewarisinya saat kematian, maka mereka pun tidak mewarisinya setelahnya.

فصل: وإن نام رجل على ثوب فسرقه سارق قطع لما روى صفوان بن أمية أنه قدم المدينة فنام في المسجد متوسداً رداءه فجاءه سارق فأخذ الرداء من تحت رأسه فأخذ صفوان السارق فجاء به إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بقطع يده فقال صفوان إني لم أرد هذا هو عليه صدقة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فهلا قبل أن تأتيني به”. ولأنه محرز به وإن زحف عنه في النوم فسرق لم يقطع لأنه زال الحرز فيه وإن ضرب فسطاطاً وترك فيه مالاً فسرق وهو فيه أو على بابه نائم أو مستيقظ قطع لأن عادة الناس إحراز المتاع في الخيم على هذه الصفة وإن لم يكن صاحبه معه لم يقطع السارق لأنه لا يترك الفسطاط بلا حافظ.

PASAL: Jika seorang laki-laki tidur di atas kain lalu kain itu dicuri oleh pencuri, maka pencuri tersebut dipotong tangannya, karena diriwayatkan dari Shafwān bin Umayyah bahwa ia datang ke Madinah lalu tidur di masjid dengan menjadikan rida’nya sebagai bantal, lalu datanglah seorang pencuri dan mengambil rida’ itu dari bawah kepalanya. Maka Shafwān menangkap si pencuri dan membawanya kepada Nabi SAW, lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk memotong tangannya. Maka Shafwān berkata: “Aku tidak menginginkan ini, aku sedekahkan saja kain itu kepadanya.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa engkau tidak lakukan itu sebelum engkau membawanya kepadaku.” Karena barang itu dipelihara (diḥirz) dengan tidur di atasnya. Namun jika kain itu tergeser dari bawah kepalanya saat tidur lalu dicuri, maka tidak dipotong, karena ḥirz-nya telah hilang.

Jika seseorang mendirikan kemah dan meninggalkan harta di dalamnya lalu harta itu dicuri, sedangkan ia berada di dalam kemah atau tidur/mengawasi di depan pintunya, maka tangan pencuri dipotong karena kebiasaan orang-orang adalah menjaga barang-barang dalam kemah dengan cara seperti itu. Tetapi jika pemiliknya tidak bersamanya (tidak berada di situ), maka tangan pencuri tidak dipotong karena orang tidak meninggalkan kemah tanpa penjaga.

فصل: وإن كان ماله بين يديه وهو ينظر إليه فتغفله رجل وسرق ماله قطع لأنه سرق من حرزه وإن نام أو اشتغل عنه أو جعله خلغه بحيث يناله اليد فسرق لم يقطع لأنه سرقه من غير حرز وإن علق الثياب في الحمام ولم يأمر الحمامي بحفظها فسرقت لم يضمن الحمامي لأنه لا يلزمه حفظها ولا يقطع السارق لأنه سرق من غير حرز لأن الحمام مستطرق وإن أمر الحمامي بحفظها فسرقت فإن كان الحمامي مراعياً له لم يضمن لأنه لم يفرط ويقطع السارق لأنه سرق من حرز وإن نام الحمامي أو تشاغل عن الثياب فسرقت ضمن الحمامي لأنه فرط في الحفظ ولم يقطع السارق لأنه سرق من غير حرز.

PASAL: Jika hartanya berada di hadapannya dan ia sedang melihatnya, lalu seseorang lengahkannya dan mencuri hartanya, maka dipotong tangannya karena ia mencuri dari ḥirz. Namun jika ia tertidur atau lalai darinya, atau meletakkannya di tempat yang terbuka sehingga mudah dijangkau tangan, lalu dicuri, maka tidak dipotong, karena ia mencurinya dari tempat yang bukan ḥirz.

Jika ia menggantungkan pakaiannya di pemandian umum (ḥammām) dan tidak menyuruh penjaga ḥammām untuk menjaganya, lalu pakaian itu dicuri, maka penjaga ḥammām tidak wajib mengganti karena ia tidak dibebani kewajiban menjaga, dan si pencuri tidak dipotong karena ia mencuri dari tempat yang bukan ḥirz, sebab pemandian umum adalah tempat yang bisa dimasuki siapa saja.

Namun jika ia memerintahkan penjaga ḥammām untuk menjaganya, lalu pakaian itu dicuri, maka jika penjaga ḥammām memperhatikan penjagaan, maka ia tidak menanggung ganti rugi karena tidak lalai, dan si pencuri dipotong karena mencuri dari ḥirz. Namun jika penjaga ḥammām tertidur atau lalai dari penjagaan pakaian lalu dicuri, maka penjaga wajib mengganti karena ia telah lalai dalam penjagaan, dan si pencuri tidak dipotong karena mencuri dari tempat yang bukan ḥirz.

فصل: فإن سرق ماشية من الرعي نظرت فإن كان الراعي ينظر إليها ويبلغها صوته إذا زجرها قطع السارق لأنها في حرز وإن سرق والراعي نائم أو سرق منها ما غاب عن عينه بحائل لم يقطع لأن الحرز بالحفظ وما لا يراه غير محفوظ وإن سرق مالاً يبلغها صوته لم يقطع لأنها تجتمع وتفترق بصوته وإذا لم يبلغها صوته لم تكن في حفظه فلم يجب القطع بسرقته وإن سرق ماشية سائرة أو جمالاً مقطرة فإن كان خلفها سائق ينظر إليها جميعها ويبلغها صوته إذا زجرها قطع لأنها محرزة به

PASAL: Jika seseorang mencuri hewan ternak dari padang gembalaan, maka diperhatikan keadaannya: jika sang penggembala melihat hewan-hewan itu dan suaranya bisa terdengar oleh mereka ketika menghardiknya, maka tangan pencuri dipotong karena hewan-hewan itu berada dalam ḥirz. Namun jika pencurian terjadi saat penggembala sedang tidur, atau pencuri mengambil hewan yang tertutup dari pandangan penggembala oleh penghalang, maka tidak dipotong, karena ḥirz itu dengan pengawasan, dan apa yang tidak terlihat tidak dianggap terjaga. Jika yang dicuri adalah harta, sedangkan suara penggembala hanya mampu mencapai hewan-hewan itu (tanpa bisa melihat), maka tidak dipotong karena hewan-hewan itu berkumpul dan berpencar hanya dengan suaranya, dan jika suaranya tidak sampai kepada mereka maka itu bukan dalam penjagaannya, sehingga tidak wajib potong tangan karena mencurinya.

Jika yang dicuri adalah hewan ternak yang sedang berjalan atau unta yang diikat satu sama lain, dan di belakang mereka ada seseorang yang menggiring dan dapat melihat semuanya serta suaranya sampai kepada mereka saat menghardik, maka pencuri dipotong tangannya karena mereka berada dalam ḥirz melalui penggiring itu.

وإن سرق ما غاب عن عينه أو ما لم يبلغه صوته لبعده لم يقطع لما ذكرناه في الراعية وإن كان مع الجمال قائد إذا التفت نظر إلى جميعها وبلغها صوته إذا زجرها وأكثر الإلتفات إليها قطع لأنها محرزة بالقائد وإن سرق مالاً ينظر إليه إذا التفت أولا يبلغه صوته أولم يكثر الإلتفات إليها لم يقطع لأنه سرق من غير حرز وإن كانت الجمال باركة فإن كان صاحبها ينظر إليها قطع السارق لأنها محرزة بحفظه وإن سرق وصاحبها نائم فإن كانت غير معقلة لم يقطع لأنها غير محرزة وإن كانت معقلة قطع لأن عادة الجمال إذا نام أن يعقلها وإن كان على الجمال أحمال كان حرزها كحرز الجمال لأن العادة ترك الأحمال على الجمال.

Dan jika ia mencuri sesuatu yang tidak tampak oleh matanya atau yang tidak sampai suara teriakannya karena jauhnya, maka tidak dipotong (tangannya), sebagaimana yang telah kami sebutkan pada (kasus) hewan ternak yang digembalakan.

Dan jika bersama unta-unta itu ada seorang pemandu yang apabila menoleh dapat melihat semuanya dan suaranya sampai kepada mereka saat menghardik, serta ia sering menoleh kepada mereka, maka dipotong (tangan pencuri) karena (unta-unta itu) dijaga oleh sang pemandu.

Dan jika ia mencuri harta yang hanya terlihat jika pemandu menoleh, tetapi suaranya tidak sampai kepada harta itu, atau ia jarang menoleh kepadanya, maka tidak dipotong (tangannya), karena ia mencuri dari tempat yang bukan ḥirz.

Dan jika unta-unta itu sedang duduk, maka apabila pemiliknya melihat mereka, maka pencuri dipotong (tangannya) karena (unta-unta itu) dijaga oleh pengawasan pemiliknya.

Namun jika ia mencuri ketika pemiliknya sedang tidur, maka jika unta-unta itu tidak diikat, tidak dipotong (tangan pencuri) karena mereka tidak dalam keadaan terjaga.

Dan jika unta-unta itu diikat, maka dipotong (tangannya) karena kebiasaan orang-orang yang memiliki unta adalah mengikat mereka ketika tidur.

Dan jika di atas unta-unta itu ada barang-barang muatan, maka tempat aman bagi barang-barang itu seperti tempat aman bagi unta-unta itu, karena kebiasaan orang-orang adalah membiarkan muatan tetap di atas unta.

فصل: ولا يجب القطع إلا بأن يخرج المال من الحرز بفعله فإن دخل الحرز ورمى المال إلى خارج الحرز أو نقب الحرز وأدخل يده أو محجنا معه فأخرج المال قطع وإن دخل الحرز وأخذ المال ودفعه إلى آخر خارج الحرز قطع لأنه هو الذي أخرجه فإن أخرجه ولم يأخذه منه الآخر فرده إلى الحرز لم يسقط القطع لأنه وجب القطع بالإخراج فلم يسقط بالرد وإن بط جيبه أو كمه فوقع منه المال أو نقب حرزاً فيه طعام فانثال قطع لأنه خرج بفعله

PASAL: Tidak wajib potong tangan kecuali bila harta itu keluar dari ḥirz karena perbuatannya. Maka jika ia masuk ke dalam ḥirz lalu melemparkan harta itu ke luar ḥirz, atau membobol ḥirz lalu memasukkan tangannya atau pengait yang dibawanya, lalu mengeluarkan harta, maka dipotong tangannya. Jika ia masuk ke dalam ḥirz dan mengambil harta lalu menyerahkannya kepada orang lain di luar ḥirz, maka tetap dipotong karena dialah yang mengeluarkannya. Jika ia telah mengeluarkan harta, lalu orang lain tidak mengambilnya tapi mengembalikannya ke dalam ḥirz, maka potong tangan tidak gugur, karena kewajiban potong tangan telah ditetapkan dengan perbuatan mengeluarkan, sehingga tidak gugur karena dikembalikan. Jika ia merobek saku atau lengan bajunya lalu harta jatuh darinya, atau membobol ḥirz yang berisi makanan lalu makanan itu mengalir keluar, maka tetap dipotong karena keluarnya harta itu disebabkan perbuatannya.

وإن كان في الحرز ماء جار فترك فيه المال حتى خرج إلى خارج الحرز قطع لأنه خرج بسبب فعله وإن تركه في ماء راكد فحركه حتى خرج المال قطع لما ذكرناه وإن حركه غيره لم يقطع لأنه لم يخرج بفعله وإن تفجر الماء ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقطع لأنه سبب لخروجه والثاني: أنه لا يقطع لأن خروجه بالانفجار الحادث من غير فعله وإن وضع المال في النقب في وقت هبوب الريح فأطارته الريح إلى خارج الحرز قطع كما لو تركه في ماء جار وإن وضعه ولا ريح ثم هبت ريح فأخرجته ففيه وجهان كما قلنا فيما لو تركه في ماء راكد فتفجر الماء فخرج به

Dan jika di dalam ḥirz terdapat air yang mengalir lalu ia meletakkan harta di dalamnya hingga terbawa keluar dari ḥirz, maka dipotong tangannya karena keluarnya harta disebabkan perbuatannya. Jika ia meletakkannya di air yang tenang lalu ia gerakkan hingga harta itu keluar, maka dipotong karena alasan yang telah disebutkan. Namun jika yang menggerakkan adalah orang lain, maka tidak dipotong karena harta tidak keluar karena perbuatannya. Jika air itu memancar dengan sendirinya, maka ada dua wajah: pertama, tetap dipotong karena ia menjadi sebab keluarnya; kedua, tidak dipotong karena keluarnya disebabkan oleh ledakan yang terjadi bukan karena perbuatannya.

Jika ia meletakkan harta di lubang pada saat angin bertiup lalu angin menerbangkannya ke luar ḥirz, maka dipotong sebagaimana jika ia meletakkannya di air yang mengalir. Namun jika ia meletakkannya saat tidak ada angin lalu angin bertiup dan mengeluarkannya, maka ada dua wajah sebagaimana disebutkan dalam kasus ia meletakkannya di air tenang lalu air memancar dan mengeluarkannya.

فإن وضع المال على حمار ثم قاده أو ساقه حتى خرج من الحرز قطع لأنه خرج بسبب فعله وإن خرج الجمار من غير سوق ولا قود ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقطع لأن عادة البهائم إذا أثقلها الحمل أن تسير والثاني: أنه لا يقطع لأنه سار باختياره وإن ثقب الحرز وأمر صغيراً لا يميز بإخراج المال من الحرز فأخرجه قطع لأن الصغير كالآلة وإن دخل الحرز وأخذ جوهرة فابتلعها وخرج ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقطع لأنه استهلكها في الحرز ولهذا يجب عليه قيمتها فلم يقطع كما لو اخذ طعاماً فأكله

Jika ia meletakkan harta di atas keledai lalu menuntunnya atau menggiringnya hingga keluar dari ḥirz, maka dipotong karena harta itu keluar disebabkan perbuatannya. Jika keledai itu keluar tanpa dituntun atau digiring, maka ada dua wajah: pertama, dipotong karena kebiasaan hewan jika diberi beban berat adalah berjalan; kedua, tidak dipotong karena keledai berjalan atas kehendaknya sendiri.

Jika ia melubangi ḥirz lalu menyuruh anak kecil yang belum mumayyiz untuk mengeluarkan harta dari ḥirz lalu anak itu mengeluarkannya, maka ia dipotong karena anak kecil itu seperti alat baginya. Jika ia masuk ke ḥirz lalu mengambil permata dan menelannya kemudian keluar, maka ada dua wajah: pertama, tidak dipotong karena ia telah menghilangkannya di dalam ḥirz, dan karena itu ia wajib mengganti nilainya, maka tidak dipotong sebagaimana orang yang mengambil makanan lalu memakannya.

والثاني: أنه يقطع لأنه أخرجه من الحرز في وعاء فأشبه إذا جعلها في جيبه ثم خرج وإن أخذ طيباً فتطيب به ثم خرج فإن لم يمكن أن يجتمع منه قدر النصاب لم يقطع لأنه استهلكه في الحرز فصار كما لو كان طعاماً فأكله وإن أمكن أن يجتمع منه النصاب ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقطع لأن استعمال الطيب إتلاف له فصار كالطعام إذا أكله في الحرز والثاني: أنه يقطع لأن عينه باقية ولهذا يجوز لصاحبه أن يطالبه برده.

Dan wajah yang kedua: ia dipotong karena ia telah mengeluarkannya dari ḥirz dalam wadah, maka serupa dengan orang yang meletakkannya di sakunya lalu keluar.

Jika ia mengambil minyak wangi lalu memakainya kemudian keluar, maka bila tidak mungkin terkumpul darinya kadar niṣāb, tidak dipotong karena ia telah menghabiskannya di dalam ḥirz, sehingga serupa dengan makanan yang dimakan di dalam ḥirz. Namun jika memungkinkan terkumpul kadar niṣāb, maka ada dua wajah: pertama, tidak dipotong karena penggunaan minyak wangi adalah bentuk penghancuran, maka serupa dengan makanan yang dimakan di dalam ḥirz; kedua, dipotong karena zatnya masih ada, dan karena itu pemiliknya boleh menuntut agar dikembalikan.

فصل: ولا يجب القطع حتى ينفصل المال عن جميع الحرز فإن سرق جذعاً أو عمامة فأخذ قبل أن ينفصل الجميع من الحرز لم يقطع لأنه لا ينفرد بعضه عن بعض ولهذا لو كان في طرف منه نجاسة لم تصح صلاته فيه فإذا لم يجب القطع فيما بقي من الحرز لم يجب فيما خرج منه وإن ثقب رجلان حرزاً فأخذ أحدهما: المال ووضعه على باب الثقب وأخذه الآخر ففيه قولان: أحدهما: أنه يجب عليهما القطع لأنا لولم نوجب القطع عليهما صار هذا طريقاً إلى إسقاط القطع

PASAL: Tidak wajib qat‘ hingga harta benar-benar terpisah seluruhnya dari ḥirz. Maka jika seseorang mencuri sebatang kayu atau serban lalu tertangkap sebelum seluruh bagian barang itu keluar dari ḥirz, maka tidak dikenai qat‘, karena sebagian barang tersebut tidak bisa terpisah dari bagian lainnya. Oleh karena itu, jika terdapat najis pada salah satu ujungnya maka tidak sah salat dengan benda tersebut. Maka jika tidak wajib qat‘ atas bagian yang masih berada di dalam ḥirz, maka tidak wajib pula atas bagian yang telah keluar. Dan jika dua orang melubangi ḥirz, lalu salah satunya mengambil harta dan meletakkannya di mulut lubang dan yang lain mengambilnya, maka ada dua pendapat: salah satunya bahwa wajib dikenai qat‘ atas keduanya, karena jika tidak dikenai qat‘, hal ini bisa menjadi celah untuk menggugurkan hukum qat‘.

والثاني: أنه لا يقطع واحد منهما وهو الصحيح لأن كل واحد منهما لم يخرج المال من كمال الحرز وإن نقب أحدهما: الحرز ودخل الآخر وأخرج المال ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كالمسألة قبلها ومنهم من قال لا يجب القطع قولاً واحداً لأن أحدهما: نقب ولم يخرج المال والآخر أخرج المال من غير حرزه.

dan pendapat kedua: tidak dikenai qat‘ atas salah satu dari keduanya, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena masing-masing dari keduanya tidak mengeluarkan harta secara sempurna dari ḥirz. Dan jika salah satunya melubangi ḥirz lalu yang lainnya masuk dan mengeluarkan harta, maka dalam hal ini terdapat dua ṭarīq:

Sebagian dari aṣḥāb kami berkata: ada dua pendapat sebagaimana dalam masalah sebelumnya.

Sebagian lain berkata: tidak wajib qat‘ menurut satu pendapat saja, karena salah satunya hanya melubangi dan tidak mengeluarkan harta, sementara yang lainnya mengeluarkan harta dari tempat yang bukan ḥirz-nya.

فصل: وإن فتح مراحاً فيه غنم فحلب من ألبانها قدر النصاب وأخرجه قطع لأن الغنم مع اللبن في حرز واحد فصار كما لو سرق نصاباً من حرزين في بيت واحد.

PASAL: Jika seseorang membuka kandang yang di dalamnya terdapat kambing, lalu ia memerah susu kambing-kambing itu sebanyak kadar nishab dan mengeluarkannya, maka dipotong tangannya, karena kambing-kambing itu beserta susunya berada dalam satu ḥirz (tempat yang dilindungi), sehingga hukumnya seperti mencuri kadar nishab dari dua ḥirz dalam satu rumah.

فصل: فإن دخل السارق إلى دار فيها سكان ينفرد كل واحد منهم ببيت مقفل فيه مال ففتح بيتاً وأخرج المال إلى صحن الدار قطع لأنه أخرج المال من حرزه وإن كانت الدار لواحد وفيها بيت فيه مال فأخرج السارق المال من البيت إلى الصحن فإن كان باب البيت مفتوحاً وباب الدار مغلقاً لم يقطع لأن ما في البيت محرز بباب الدار وإن كان باب الدار مفتوحاً وباب البيت مغلقاً قطع لأن المال محرز بالبيت دون الدار

PASAL: Jika pencuri masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat para penghuni dan masing-masing dari mereka menempati kamar tertutup yang di dalamnya terdapat harta, lalu ia membuka salah satu kamar dan mengeluarkan harta ke pelataran rumah, maka ia dipotong karena ia telah mengeluarkan harta dari tempat yang terlindungi.

Dan jika rumah itu milik satu orang dan di dalamnya terdapat kamar yang di dalamnya ada harta, lalu pencuri mengeluarkan harta dari kamar itu ke pelataran rumah: jika pintu kamar terbuka dan pintu rumah tertutup, maka tidak dipotong karena harta yang ada di dalam kamar dilindungi oleh pintu rumah. Namun jika pintu rumah terbuka dan pintu kamar tertutup, maka ia dipotong karena harta tersebut terlindungi oleh kamar, bukan oleh rumah.

وإن كان باب الدار مفتوحاً وباب البيت مفتوحاً لم يقطع لأن المال غير محرز وإن كان باب البيت مغلقاً وباب الدار مغلقاً ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقطع لأن البيت حرز لما فيه فقط كما لوكان باب الدار مفتوحاً والثاني: أنه لا يقطع لأن البيت المغلق في دار مغلقة حرز في حرز فلم يقطع بالإخراج من أحدهما: كما لو كان في بيت مقفل في صندوق مقفل فأخرج المال من الصندوق ولم يخرجه من البيت.

Dan jika pintu rumah terbuka dan pintu kamar juga terbuka, maka tidak dipotong karena harta tersebut tidak dalam lindungan (tidak terjaga).

Namun jika pintu kamar tertutup dan pintu rumah juga tertutup, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, ia dipotong karena kamar tersebut merupakan tempat perlindungan bagi harta yang ada di dalamnya saja, sebagaimana jika pintu rumah terbuka.

Pendapat kedua, ia tidak dipotong karena kamar yang tertutup di dalam rumah yang juga tertutup adalah perlindungan di dalam perlindungan, maka tidak dipotong hanya dengan mengeluarkan dari salah satunya, sebagaimana jika harta berada dalam kotak tertutup di dalam kamar yang juga tertutup, lalu harta itu dikeluarkan dari kotak tetapi tidak dikeluarkan dari kamar.

فصل: وإن سرق الضيف من مال المضيف نظرت فإن سرقه من مال لم يحرزه عنه لم يقطع لما روى أبو الزبير عن جابر قال: أضاف رجل رجلاً فأنزله في مشربة له فوجد متاعاً له قد اختانه فيه فأتى به أبا بكر رضي الله عنه فقال: خل عنه فليس بسارق وإنما هي أمانة اختانها ولأنه غير محرز عنه فلم يقطع فيه وإن سرقه من بيت مقفل قطع

PASAL: Jika seorang tamu mencuri dari harta tuan rumah, maka diperhatikan keadaannya. Jika ia mencuri dari harta yang tidak diharuskan disimpan secara aman darinya, maka tidak dipotong tangannya, berdasarkan riwayat dari Abū az-Zubair dari Jābir, bahwa ada seseorang menjamu seorang tamu, lalu menempatkannya di musyrabah miliknya. Ia mendapati barang miliknya telah dikhianati oleh tamu tersebut, maka ia membawanya kepada Abū Bakr RA. Lalu Abū Bakr berkata: “Lepaskan dia, karena dia bukan pencuri, melainkan ia mengkhianati amanah.” Dan karena harta tersebut tidak dipagari darinya, maka tidak dipotong. Namun jika ia mencuri dari kamar yang terkunci, maka dipotong.

لما روى محمد بن حاطب أو الحارث أن رجلاً قدم المدينة فكان يكثر الصلاة في المسجد وهو أقطع اليد والرجل فقال له أبو بكر رضي الله عنه: ما ليلك بليل سارق فلبثوا ما شاء الله ففقدوا حليا لهم فجعل الرجل يدعوا على من سرق أهل هذا البيت الصالح فمر رجل بصائغ فرأى عنده حلياً فقال: ما أشبه هذه الحلي بحلي آل أبي بكر فقال للصائغ: ممن اشتريته فقال: من ضيف أبي بكر فأخذ فأقر فجعل أبو بكر رضي الله عنه يبكي فقالوا: ما يبكيك من رجل سرق فقال أبكي لغرته بالله تعالى فأمر به فقطعت يده ولأن البيت المغلق حرز لما فيه فقطع بالسرقة منه.

Karena telah diriwayatkan dari Muḥammad bin Ḥāṭib atau al-Ḥārits, bahwa seorang laki-laki datang ke Madinah dan ia banyak melakukan shalat di masjid, padahal ia tidak memiliki tangan dan kaki (karena sudah dipotong). Maka Abū Bakr RA berkata kepadanya: “Malam-mu bukanlah malam seorang pencuri.” Lalu beberapa waktu setelah itu, orang-orang kehilangan perhiasan mereka, dan orang itu (yang diduga pencuri) mendoakan agar Allah mengazab orang yang mencuri dari keluarga yang saleh ini. Kemudian seorang lelaki melewati tukang emas dan melihat perhiasan di sana, lalu berkata: “Betapa miripnya perhiasan ini dengan perhiasan keluarga Abū Bakr.” Ia pun bertanya kepada tukang emas: “Dari siapa kamu membelinya?” Tukang emas menjawab: “Dari tamu Abū Bakr.” Maka ia ditangkap dan mengakui perbuatannya. Abū Bakr RA pun menangis. Mereka berkata: “Mengapa engkau menangis karena seorang pencuri?” Ia menjawab: “Aku menangis karena ia telah tertipu oleh Allah Ta‘ālā.” Maka diperintahkanlah agar tangannya dipotong. Dan karena rumah yang tertutup adalah ḥirz (tempat penyimpanan aman) terhadap apa yang ada di dalamnya, maka dipotonglah tangannya karena mencuri darinya.

فصل: ولا يجب القطع بسرقة ما ليس بمال كالكلب والخنزير والخمر والسرجين سواء سرقه من مسلم أومن ذمي لأن القطع جعل لصيانة الأموال وهذه ليست الأشياء ليست بمال فإن سرق إناء يساوي نصاباً فيه خمر ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقطع لأن ما فيه تجب إراقته ولا يجوز إقراره فيه والثاني: أنه يقطع لأن سقوط القطع فيما فيه لا يوجب سقوط القطع فيه كما لو سرق إناء فيه بول.

PASAL: Tidak wajib dipotong tangan karena mencuri sesuatu yang bukan harta, seperti anjing, babi, khamar, dan pupuk kandang, baik mencurinya dari seorang muslim maupun dari dzimmi, karena pemotongan tangan disyariatkan untuk menjaga harta, sementara benda-benda ini bukanlah harta. Jika seseorang mencuri bejana senilai niṣāb yang di dalamnya terdapat khamar, maka ada dua pendapat: pertama, tidak dipotong karena isi bejana wajib ditumpahkan dan tidak boleh tetap ada di dalamnya; dan kedua, dipotong, karena gugurnya pemotongan terhadap isi tidak menyebabkan gugurnya pemotongan terhadap wadahnya, sebagaimana jika mencuri bejana yang di dalamnya terdapat air kencing.

فصل: وإن سرق صنماً أو بربطاً أو مزماراً فإن كان إذا فصل لم يصلح لغير معصية لم يقع لأنه لا قيمة لما فيه من التأليف وإن كان إذا فصل يصلح لمنفعة مباحة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يقطع لأنه مال يقوم على متلفه والثاني: أنه لا يقطع لأنه آلة معصية فلم يقطع بسرقته كالخمر والثالث وهو قول أبي علي بن أبي هريرة رحمه الله أنه إن أخرجه مفصلاً قطع لزوال المعصية وإن أخرجه غير مفصل لم يقطع لبقاء المعصية وإن سرق أواني الذهب والفضة قطع لأنها تتخذ للزينة لا للمعصية.

PASAL: Jika seseorang mencuri patung, burbut, atau seruling, maka jika barang itu ketika dipisahkan tidak layak digunakan kecuali untuk maksiat, maka tidak dikenakan hukum potong karena tidak ada nilai pada apa yang tersusun darinya. Namun jika ketika dipisahkan ia layak digunakan untuk kemanfaatan yang mubah, maka terdapat tiga pendapat:

Pendapat pertama: dikenakan potong karena itu adalah harta yang wajib diganti jika dirusak.

Pendapat kedua: tidak dikenakan potong karena ia adalah alat maksiat, maka tidak dipotong karena mencurinya sebagaimana halnya khamar.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abī Hurairah rahimahullah: jika ia mencurinya dalam keadaan sudah dipisah-pisah maka dikenakan potong karena unsur maksiatnya telah hilang, dan jika mencurinya dalam keadaan belum dipisah maka tidak dipotong karena unsur maksiatnya masih ada.

Dan jika mencuri bejana dari emas atau perak maka dikenakan potong, karena ia dibuat untuk perhiasan, bukan untuk maksiat.

فصل: وإن سرق حراً صغيراً لم يقطع لأنه ليس بمال وإن سرقه وعليه حلي بقدر النصاب ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقطع لأنه قصد سرقة ما عليه من المال والثاني: أنه لا يقطع لأن يده ثابتة على ما عليه ولهذا لو وجد لقيط ومعه مال كان المال له فلم يقطع كما لو سرق جملاً وعليه صاحبه وإن سرق أم ولد نائمة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقطع لأنها تضمن باليد فقطع بسرقتها كسائر الأموال والثاني: أنه لا يقطع لأن معنى المال فيها ناقص لأنه لا يمكن نقل الملك فيها وإن سرق عيناً موقوفة على غيره ففيه وجهان كالوجهين في أم الولد وإن سرق من غلة وقف على غيره قطع لأنه مال يباع ويبتاع وإن سرق الماء ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقطع لأنه يباع ويبتاع والثاني: أنه لا يقطع لأنه لا يقصد إلى سرقته لكثرته.

PASAL: Jika mencuri anak kecil yang merdeka, maka tidak dipotong karena ia bukanlah harta. Jika ia mencurinya dalam keadaan anak itu memakai perhiasan seharga nishab, maka ada dua wajah: pertama, dipotong karena ia bermaksud mencuri harta yang melekat padanya; kedua, tidak dipotong karena tangan anak itu tetap atas apa yang ada padanya, oleh karena itu jika ditemukan laqīṭ bersama harta maka harta itu miliknya, maka tidak dipotong sebagaimana jika mencuri unta yang sedang dinaiki pemiliknya. Jika mencuri umm walad yang sedang tidur, maka ada dua wajah: pertama, dipotong karena ia menjadi tanggungan dengan tangan, maka dipotong karena mencurinya seperti harta lainnya; kedua, tidak dipotong karena makna harta dalam dirinya itu kurang, sebab tidak memungkinkan untuk memindahkan kepemilikan atasnya. Jika mencuri barang yang diwakafkan untuk orang lain, maka terdapat dua wajah sebagaimana pada umm walad. Namun jika mencuri hasil wakaf yang diperuntukkan untuk orang lain, maka dipotong karena ia adalah harta yang dapat diperjualbelikan. Jika mencuri air, maka ada dua wajah: pertama, dipotong karena air dapat diperjualbelikan; kedua, tidak dipotong karena orang tidak berniat mencurinya karena banyaknya.

فصل: ولا يقطع فيما له فيه شبهة لقوله صلى الله عليه وسلم: “ادرءوا الحدود بالشبهات”. فإن سرق مسلم من مال بيت المال لم يقطع لما روي أن عاملاً لعمر رضي الله عنه كتب إليه يسأله عمن سرق من مال بيت المال قال: لا تقطعه فما من أحد إلا وله فيه حق وروى الشعبي أن رجلاً سرق من بيت المال فبلغ علياً كرم الله وجهه فقال إن له فيه سهماً ولم يقطعه وإن سرق ذمي من بيت المال قطع لأنه لا حق له فيه وإن كفن ميت بثوب من بيت المال فسرقه سارق قطع لأن بالتكفين به انقطع عنه حق سائر المسلمين وإن سرق من غلة وقف على المسلمين لم يقطع لأن له فيه حقاً وإن سرق فقير من غلة وقف على الفقراء لم يقطع لأن له فيه حقاً وإن سرق منها غني قطع لأنه لا حق له فيها.

PASAL: Tidak dipotong tangan dalam hal yang mengandung syubhat, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Hindarilah hudud dengan syubhat.” Maka jika seorang Muslim mencuri dari harta baitul māl, tidak dipotong tangannya, karena diriwayatkan bahwa seorang amil menulis surat kepada ‘Umar RA menanyakan tentang orang yang mencuri dari baitul māl, maka beliau menjawab: “Jangan potong tangannya, karena tidak ada seorang pun melainkan memiliki hak di dalamnya.” Dan diriwayatkan dari al-Sya‘bī bahwa seorang laki-laki mencuri dari baitul māl, lalu hal itu sampai kepada ‘Alī RA, maka beliau berkata: “Sesungguhnya ia memiliki bagian di dalamnya,” dan beliau tidak memotong tangannya.

Namun, jika seorang żimmī mencuri dari baitul māl, maka dipotong tangannya, karena ia tidak memiliki hak di dalamnya. Jika ada mayit yang dikafani dengan kain dari baitul māl, lalu seorang pencuri mencurinya, maka dipotong tangannya, karena dengan dikafankan padanya telah terputus hak seluruh kaum Muslimin atas kain itu.

Jika seseorang mencuri dari hasil kebun wakaf untuk kaum Muslimin, maka tidak dipotong tangannya karena ia memiliki hak di dalamnya. Jika orang fakir mencuri dari hasil wakaf untuk orang-orang fakir, maka tidak dipotong tangannya karena ia memiliki hak di dalamnya. Namun jika orang kaya mencurinya, maka dipotong tangannya karena ia tidak memiliki hak atasnya.

فصل: وإن سرق رتاج الكعبة أو باب المسجد أو تأزيره قطع لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قطع سارقاً سرق قبطية من منبر رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأنه مال محرز بحرز مثله لا شبهة له فيه وإن سرق مسلم من قناديل المسجد أومن حصره لم يقطع لأنه جعل ذلك لمنفعة المسلمين وللسارق فيها حق وإن سرقه ذمي قطع لأنه لا حق له فيها.

PASAL: Jika mencuri ritāj Ka’bah, atau pintu masjid, atau ta’zīr-nya, maka dipotong, karena diriwayatkan dari ‘Umar RA bahwa ia memotong tangan pencuri yang mencuri kain qibṭiyyah dari mimbar Rasulullah SAW. Dan karena itu adalah harta yang berada dalam ḥirz yang sepadan dan tidak ada syubhat padanya. Namun jika seorang muslim mencuri dari lampu-lampu masjid atau dari tikar-tikarnya, maka tidak dipotong karena benda-benda tersebut diperuntukkan untuk kemaslahatan kaum muslimin dan pencuri pun memiliki hak di dalamnya. Adapun jika yang mencurinya adalah seorang żimmī, maka dipotong karena ia tidak memiliki hak padanya.

فصل: ومن سرق من ولده أو ولد ولده وإن سفل أومن أبيه أوجده وإن علا لم يقطع وقال أبو ثور: يقطع لقوله عز وجل: {وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا} فعم ولم يخص وهذا خطأ لقوله صلى الله عليه وسلم: “ادرءوا الحدود بالشبهات”. وللأب شبهة في مال الابن وللابن شبهة في مال الأب لأنه جعل ماله كماله في استحقاق النفقة ورد الشهادة فيه والآية تخصها بما ذكرناه ومن سرق ممن سواهما من الأقارب قطع لأنه لا شبهة له في ماله ولا يقطع العبد بسرقة مال مولاه وقال أبو ثور: يقطع لعموم الآية وهذا خطأ

PASAL: Barang siapa mencuri dari anaknya atau cucunya meskipun ke bawah, atau dari bapaknya atau kakeknya meskipun ke atas, maka tidak dipotong. Abu Ṯaur berkata: dipotong, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {wa as-sāriqu wa as-sāriqatu faqṭaʿū aydiyahumā}, maka ayat itu bersifat umum dan tidak mengecualikan. Ini adalah kesalahan, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Hindarilah hukum ḥadd dengan sebab syubhat.” Karena sang bapak memiliki syubhat dalam harta anak, dan anak memiliki syubhat dalam harta bapak, karena harta salah satunya diperlakukan seperti hartanya sendiri dalam hal kewajiban nafkah dan penolakan kesaksian atasnya. Maka ayat tersebut ditakhsis dengan apa yang telah kami sebutkan. Dan barang siapa mencuri dari selain keduanya dari kerabatnya, maka dipotong, karena tidak ada syubhat baginya dalam harta tersebut. Dan budak tidak dipotong karena mencuri harta tuannya. Abu Ṯaur berkata: dipotong karena keumuman ayat, dan ini adalah kesalahan.

لما روى السائب بن يزيد أنه حضر عمر بن الخطاب رضي الله عنه وقد جاءه عبد الله بن عمرو الحضرمي فقال: إن غلامي هذا سرق فاقطع يده فقال عمر ما سرق فقال مرآة امرأتي فقال له أرسله خادمكم أخذ متاعكم ولكن لو سرق من غيركم قطع ولأن يده كيد المولى بدليل أنه لوكان بيده مال فادعاه رجل كان القول فيه قول المولى فيصير كما لو نقل ماله من زاوية داره إلى زاوية أخرى ولأن له في ماله شبهة في استحقاق النفقة فلم يقطع كالأب والابن

Karena telah diriwayatkan dari as-Sā’ib bin Yazīd bahwa ia menyaksikan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA ketika didatangi oleh ‘Abdullāh bin ‘Amr al-Ḥaḍramī, lalu ia berkata: “Sesungguhnya budakku ini mencuri, maka potonglah tangannya.” Maka ‘Umar berkata: “Apa yang ia curi?” Ia menjawab: “Cermin istriku.” Maka ‘Umar berkata kepadanya: “Itu hanyalah pelayan kalian yang mengambil barang kalian sendiri. Tetapi seandainya ia mencuri dari selain kalian, niscaya ia akan dipotong.”

Dan karena tangan budak itu seperti tangan tuannya. Buktinya, jika di tangan budak terdapat harta, lalu ada orang lain mengklaim harta itu, maka yang dijadikan pegangan adalah pengakuan tuannya. Maka hal ini seperti memindahkan hartanya dari satu sudut rumah ke sudut lainnya.

Dan karena ia memiliki syubhat dalam harta tuannya dalam hal istihqāq nafkah, maka ia tidak dipotong sebagaimana halnya bapak dan anak.

وإن سرق من غيره قطع لقول عمر رضي الله عنه ولأنه لا شبهة له في مال غيره وإن سرق أحد الزوجين من الآخر ما هو محرز عنه ففيه ثلاثة أقوال: أحدها أنه يقطع لأن النكاح عقد على المنفعة فلا يسقط القطع بالسرقة كالإجارة والثاني: أنه لا يقطع لأن الزوجة تستحق النفقة على الزوج والزوج يملك أن يحجر عليها ويمنعها من التصرف على قول بعض الفقهاء فصار ذلك شبهة والثالث أنه يقطع الزوج بسرقة مال الزوجة ولا تقطع الزوجة بسرقة مال الزوج لأن للزوجة حقاً في مال الزوج بالنفقة وليس للزوج حق في مالها ومن لا يقطع من الزوجين بسرقة مال الآخر لا يقطع عبده بسرقة ماله لقول عمر رضي الله عنه في سرقة غلام الحضرمي الذي سرق مرآة امرأته أرسله فلا قطع عليه خادمكم أخد متاعكم ولأن يد عبده كيده فكانت سرقته من ماله كسرقته.

Dan jika mencuri dari selainnya, maka dipotong karena ucapan Umar RA, dan karena tidak ada syubhat baginya dalam harta orang lain. Dan jika salah satu dari suami-istri mencuri dari yang lain sesuatu yang terjaga darinya, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, dipotong, karena nikah adalah akad atas manfaat, maka tidak menggugurkan hukuman potong tangan karena pencurian, sebagaimana sewa-menyewa.
Kedua, tidak dipotong, karena istri berhak mendapat nafkah dari suami, dan suami memiliki hak untuk menahan dan melarangnya dari bertindak (atas hartanya), menurut sebagian ahli fiqih, maka hal itu menjadi syubhat.
Ketiga, bahwa suami dipotong karena mencuri harta istri, sedangkan istri tidak dipotong karena mencuri harta suami, karena istri memiliki hak atas harta suami berupa nafkah, sedangkan suami tidak memiliki hak atas harta istri.

Dan siapa yang tidak dipotong dari kedua suami-istri karena mencuri harta pasangannya, maka budaknya juga tidak dipotong karena mencuri harta tuannya, berdasarkan ucapan Umar RA tentang pencurian oleh budak al-Ḥaḍramī yang mencuri cermin istrinya: “Lepaskan dia, maka tidak dipotong tangannya, itu pelayan kalian yang mengambil barang kalian,” dan karena tangan budak adalah seperti tangan tuannya, maka pencurian dari harta tuannya seperti pencurian dari hartanya sendiri.

فصل: وإن كان له على رجل دين فسرق من ماله فإن كان جاحداً له أو مماطلاً له لم يقطع لأن له أن يتوصل إلى أخذه بدينه وإن كان مقراً ملياً قطع لأنه لا شبهة له في سرقته وإن غصب مالاً فأحرزه في بيت فنقب المغصوب منه البيت وسرق مع ماله نصاباً من مال الغاصب ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه لا يقطع لأنه هتك حرزاً كان له هتكه لأخذ ماله والثاني: أنه يقطع لأنه لما سرق مال الغاصب علم أنه قصد سرقة مال الغاصب

PASAL: Jika ia memiliki piutang atas seseorang, lalu ia mencuri dari hartanya, maka jika orang itu mengingkari atau menunda-nunda (membayar), maka tidak dipotong, karena ia berhak mengambilnya melalui haknya (piutang). Namun jika orang itu mengakui dan mampu membayar, maka dipotong karena tidak ada syubhat dalam pencuriannya.

Dan jika seseorang telah merampas hartanya, lalu ia menyimpannya dalam sebuah rumah, kemudian orang yang dirampasi membobol rumah itu dan mencuri bersama hartanya sendiri sejumlah niṣāb dari harta si perampas, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, tidak dipotong karena ia membongkar tempat yang ia berhak bongkar untuk mengambil hartanya.
Kedua, dipotong karena ketika ia mencuri harta si perampas, maka diketahui bahwa ia bermaksud mencuri harta orang lain.

والثالث أنه إن كان ما سرقه متميزاً عن ماله قطع لأنه لا شبهة له في سرقته وإن كان مختلطاً بماله لم يقطع لأنه لا يتميز ما يجب فيه القطع مما لا يجب فيه فلم يقطع وإن سرق الطعام عام المجاعة نظرت إن كان الطعام موجوداً قطع لأنه غير محتاج إلى سرقته وإن كان معدوماً لم يقطع لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال: لا قطع في عام المجاعة أو السنة ولأن له أن يأخذه فلم يقطع فيه.

Dan pendapat ketiga: jika barang yang dicurinya terpisah dari hartanya, maka dipotong karena tidak ada syubhat dalam pencuriannya. Namun jika bercampur dengan hartanya, maka tidak dipotong karena tidak dapat dibedakan antara apa yang wajib dipotong dengannya dan yang tidak wajib, maka tidak dipotong.

Dan jika mencuri makanan pada tahun paceklik, maka dilihat: jika makanan masih tersedia, maka dipotong karena ia tidak membutuhkan untuk mencuri. Namun jika makanan tidak tersedia, maka tidak dipotong, berdasarkan riwayat dari Umar RA bahwa ia berkata: “Tidak ada pemotongan tangan pada tahun paceklik atau tahun kelaparan,” dan karena ia memiliki hak untuk mengambilnya, maka tidak dipotong dalam hal itu.

فصل: وإن نقب المؤجر الدار المستأجرة وسرق منها مالاً للمستأجر قطع لأنه لا شبهة له في ماله ولا في هتك حرزه وإن نقب المعير الدار المستعارة وسرق منها مالاً للمستعير ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقطع لأن له أن يرجع في العارية فجعل النقب رجوعاً والثاني: وهو المنصوص أنه يقطع لأنه أحرز ماله بحرز بحق فأشبه إذا نقب المؤجر الدار المستأجرة وسرق مال المستأجر وإن غصب رجل مالاً أو سرقه وأحرزه فجاء سارق فسرقه ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقطع لأنه حرز لم يرضه مالكه والثاني: أنه يقطع لأنه سرق ما لا شبهة له فيه من حرز مثله.

PASAL: Jika orang yang menyewakan rumah membobol rumah yang disewakan dan mencuri harta milik penyewa darinya, maka tangannya dipotong karena tidak ada syubhat baginya dalam harta tersebut dan tidak pula dalam membobol tempat penyimpanannya. Dan jika orang yang meminjamkan rumah membobol rumah yang dipinjamkan lalu mencuri harta milik peminjam darinya, maka ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa ia tidak dipotong karena ia berhak menarik kembali pinjamannya, maka pembobolan dianggap sebagai penarikan kembali; dan pendapat kedua—dan ini yang dinyatakan oleh al-Imam—adalah bahwa ia dipotong karena peminjam telah menyimpan hartanya dalam tempat yang layak sebagai penyimpanan dengan hak, maka ini serupa dengan kasus orang yang menyewakan rumah lalu membobolnya dan mencuri harta penyewa.

Dan jika seseorang merampas atau mencuri suatu harta lalu menyimpannya, kemudian datang pencuri lain dan mencurinya, maka ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa ia tidak dipotong karena tempat penyimpanan itu tidak disetujui oleh pemilik harta; dan pendapat kedua adalah bahwa ia dipotong karena ia telah mencuri sesuatu yang tidak ada syubhat padanya dari tempat penyimpanan yang layak.

فصل: وإن وهب المسروق منه العين المسروقة من السارق بعد ما رفع إلى السلطان لم يسقط القطع لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر في سارق رداء صفوان أن تقطع يده فقال صفوان: إني لم أرد هذا هو عليه صدقة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فهلا قبل أن تأتيني به”. ولأن ما حدث بعد وجوب الحد ولم يوجب شبهة في الوجوب فلم يؤثر في الحد كما لو زنى وهو عبد فصار حراً قبل أن يحد أو زنى وهو بكر فصار ثيباً قبل أن يحد وإن سرق عيناً قيمتها ربع دينار فنقصت قيمتها قبل أن يقطع لم يسقط القطع لما ذكرناه

PASAL: Jika orang yang kecurian memberikan hibah barang curian tersebut kepada pencuri setelah perkara tersebut diajukan kepada sulṭān, maka tidak gugur hukum potong tangan. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW memerintahkan agar dipotong tangan pencuri kain milik Ṣafwān. Ṣafwān berkata, “Aku tidak menghendaki ini, aku memberikannya sebagai sedekah.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Mengapa engkau tidak melakukannya sebelum engkau membawanya kepadaku.” Karena sesuatu yang terjadi setelah wajibnya ḥadd dan tidak menimbulkan syubhat dalam kewajibannya, maka tidak berpengaruh terhadap ḥadd, sebagaimana jika seseorang berzina saat masih budak lalu merdeka sebelum dijatuhi ḥadd, atau berzina dalam keadaan belum menikah lalu menjadi muḥṣan sebelum dijatuhi ḥadd. Jika ia mencuri suatu barang yang nilainya seperempat dīnār lalu nilainya turun sebelum ia dipotong, maka tidak gugur hukum potong tangan sebagaimana telah dijelaskan.

وإن ثبتت السرقة بالبينة فأقر المسروق منه بالملك للسارق أو قال كنت أبحته له سقط القطع لأنه يحتمل أن يكون صادقاً في إقراره وذلك شبهة فلم يجب معها الحد وإن ثبتت السرقة بالبينة فادعى السارق أن المسروق ماله وهبه منه أو أباحه له وأنكر المسروق منه ولم يكن للسارق بينة لم يقبل دعواه في حق المسروق منه لأنه خلاف الظاهر بل يجب تسليم المال إليه وأما القطع فالمنصوص أنه لا يجب

Dan jika pencurian dibuktikan dengan dua saksi, lalu orang yang kehilangan barang mengakui bahwa barang tersebut milik pencuri, atau berkata, “Aku telah memberikannya kepadanya,” maka gugur hukum potong tangan karena mungkin saja ia jujur dalam pengakuannya, dan itu merupakan syubhat sehingga tidak wajib ḥadd bersamanya.

Dan jika pencurian dibuktikan dengan dua saksi, lalu pencuri mengklaim bahwa barang curian itu miliknya, atau dihibahkan kepadanya, atau diizinkan untuk mengambilnya, namun orang yang kehilangan barang mengingkarinya dan pencuri tidak memiliki bukti, maka pengakuannya tidak diterima dalam kaitannya dengan hak orang yang kehilangan barang karena bertentangan dengan keadaan lahiriah, bahkan barang itu harus diserahkan kepadanya. Adapun hukum potong tangan, maka pendapat yang manshūṣ adalah tidak wajib.

لأنه يجوز أن يكون صادقاً وذلك شبهة فمنعت وجوب الحد وذكر أبو إسحاق وجهاً آخر أنه يقطع لأنا لو أسقطنا القطع بدعواه أفضى إلى أن لا يقطع سارق وهذا خطأ لأنه يبطل به إذا ثبت عليه الزنى بامرأة وادعى زوجيتها فإنه يسقط الحد وإن أفضى ذلك إلى إسقاط حد الزنا وإن ثبتت السرقة بالبينة والمسروق منه غائب فالمنصوص في السرقة أنه لا يقطع حتى يحضر فيدعي

Karena boleh jadi ia jujur, dan itu merupakan syubhat yang mencegah wajibnya ḥadd. Dan Abū Isḥāq menyebutkan wajah lain bahwa ia tetap dipotong, karena jika kami menggugurkan hukum potong tangan hanya karena pengakuan tersebut, niscaya hal itu akan menyebabkan tidak ada pencuri yang dipotong tangannya. Ini adalah kesalahan, karena dengan alasan seperti ini, jika seseorang terbukti berzina dengan seorang perempuan lalu mengaku bahwa perempuan itu adalah istrinya, maka ḥadd zina akan gugur, meskipun hal itu mengakibatkan gugurnya ḥadd zina.

Dan jika pencurian dibuktikan dengan dua saksi, sedangkan orang yang kehilangan barang sedang tidak hadir, maka pendapat manshūṣ dalam masalah pencurian adalah: tidak dipotong tangan hingga orang tersebut hadir dan mengajukan klaim.

وقال فيمن قامت البينة عليه أنه زنى بأمة ومولاها غائب أنه يحد ولا ينتظر حضور المولى فاختلف أصحابنا فيه على ثلاثة مذاهب: أحدها وهو قول أبي العباس بن سريج رحمه الله أنه لا يقام عليه الحد في المسألتين حتى يحضر وما روي في حد الزنى سهو من الناقل ووجهه أنه يجوز أن يكون عند الغائب شبهة تسقط الحد بأن يقول المسروق منه كنت أبحته له ويقول مولى الأمة كنت وقفتها عليه والحد يدرأ بالشبهة فلا يقام عليه قبل الحضور

Dan beliau berkata tentang orang yang didatangkan dua saksi atasnya bahwa ia berzina dengan seorang amah sementara tuannya sedang tidak hadir, maka ia tetap dijatuhi ḥadd dan tidak menunggu hadirnya tuan amah. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam dua permasalahan ini menjadi tiga pendapat:

Pendapat pertama —yaitu pendapat Abū al-‘Abbās ibn Suraij rahimahullah— bahwa tidak ditegakkan ḥadd atasnya dalam kedua kasus tersebut sampai pihak yang bersangkutan hadir. Dan riwayat yang menyebutkan ditegakkannya ḥadd dalam kasus zina adalah kekeliruan dari perawi.

Alasannya: karena mungkin saja pihak yang tidak hadir memiliki alasan syar‘i yang bisa menggugurkan ḥadd, seperti orang yang kehilangan barang berkata, “Aku telah menghalalkannya baginya,” atau tuan amah berkata, “Aku telah mewakafkannya untuknya,” dan ḥadd gugur karena adanya syubhat. Maka tidak ditegakkan sebelum kehadiran mereka.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه ينقل جواب كل واحدة منهما إلى الأخرى فيكون في المسألتين قولان: أحدهما: أنه لا يحد لجواز أن يكون عند الغائب شبهة والثاني: أن يحد لأنه وجب الحد في الظاهر فلا يؤخر والثالث وهو قول أبي الطيب بن سلمة وأبي حفص بن الوكيل أنه يحد الزاني ولا يقطع السارق على ما نص عليه لأن حد الزنا لا تمنع الإباحة من وجوبه والقطع في السرقة تمنع الإباحة من وجوبه

Dan pendapat kedua —yaitu pendapat Abū Isḥāq— adalah bahwa jawaban masing-masing dari dua kasus tersebut dipindahkan ke yang lain, sehingga dalam kedua permasalahan ada dua pendapat:

Pertama: tidak dijatuhi ḥadd, karena mungkin saja orang yang tidak hadir memiliki syubhat.

Kedua: dijatuhi ḥadd, karena ḥadd telah wajib secara lahir, maka tidak ditunda.

Dan pendapat ketiga —yaitu pendapat Abū al-Ṭayyib ibn Salamah dan Abū Ḥafṣ ibn al-Wakīl— bahwa pezina dijatuhi ḥadd, sedangkan pencuri tidak dipotong tangannya sebagaimana yang dinyatakan secara manṣūṣ. Karena ḥadd zina tidak gugur hanya karena dihalalkan, sedangkan hukum potong tangan dalam pencurian gugur karena adanya penghalalan.

وإن ثبتت السرقة والزنا بالإقرار فهو كما لو ثبتت بالبينة فيكون على ما تقدم من المذاهب ومن أصحابنا من قال فيه وجه آخر أنه يقطع السارق ويحد الزاني في الإقرار وجهاً واحداً والصحيح أنه كالبينة وإذا قلنا أنه ينتظر قدوم الغائب ففيه وجهان: أحدهما: أنه يحبس لأنه قد وجب الحد وبقي الاستيفاء فحبس كما يحبس من عليه القصاص إلى أن يبلغ الصبي ويقدم الغائب والثاني: أنه إن كان السفر قريباً حبس إلى أن يقدم الغائب وإن كان السفر بعيداً لم يحبس لأن في حبسه إضراراً به والحق لله عز وجل فلم يحبس لأجله.

Dan jika pencurian dan zina dibuktikan dengan pengakuan, maka hukumnya sebagaimana jika dibuktikan dengan dua saksi, sehingga kembali kepada pendapat-pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.

Sebagian sahabat kami berkata bahwa dalam hal ini ada wajah lain, yaitu bahwa pencuri tetap dipotong tangannya dan pezina tetap dijatuhi ḥadd dalam kasus pengakuan menurut satu wajah saja.

Dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah bahwa hal itu seperti kasus pembuktian dengan dua saksi.

Dan jika kita mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman menunggu datangnya pihak yang tidak hadir, maka dalam hal ini ada dua wajah:

Pertama: ia dipenjara karena hukum ḥadd telah wajib dan hanya tinggal pelaksanaannya. Maka ia dipenjara sebagaimana orang yang wajib qishāṣ ditahan sampai anak kecil baligh atau orang yang tidak hadir datang.

Kedua: jika perjalanannya dekat, maka ditahan sampai orang yang tidak hadir datang; dan jika jauh, maka tidak ditahan karena hal itu akan menimbulkan mudarat baginya, sedangkan hak itu milik Allah ‘azza wa jalla, maka ia tidak ditahan karenanya.

فصل: وإذا ثبت الحد عند السلطان لم يجز العفو عنه ولا تجوز الشفاعة فيه لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم بسارق قد سرق فأمر به فقطع فقيل يا رسول الله ما كنا نراك تبلغ به هذا قال: لو كانت فاطمة بنت محمد لأقمت عليها الحد وروى عروة قال: شفع الزبير في سارق فقيل حتى يأتي السلطان قال: إذا بلغ السلطان فلعن الله الشافع والمشفع كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأن الحد لله فلا يجوز فيه العفو والشفاعة.

PASAL: Apabila had telah terbukti di hadapan sulṭān, maka tidak boleh dimaafkan dan tidak boleh pula diberi syafaat, berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa ia berkata: Rasulullah SAW didatangkan seorang pencuri yang telah mencuri, maka beliau memerintahkan agar dipotong (tangannya). Maka dikatakan: Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka engkau akan menghukumnya sampai seperti ini. Maka beliau bersabda: “Seandainya Fāṭimah binti Muḥammad mencuri, sungguh aku akan menegakkan had atasnya.” Dan diriwayatkan dari ‘Urwah bahwa ia berkata: Az-Zubair memberi syafaat untuk seorang pencuri, maka dikatakan: “(Tunggu) hingga perkara ini sampai kepada sulṭān.” Ia menjawab: “Jika telah sampai kepada sulṭān, maka laknat Allah atas pemberi syafaat dan yang diberi syafaat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.” Dan karena had adalah hak Allah, maka tidak boleh diberi maaf dan syafaat.

فصل: وإذا وجب القطع قطعت يده اليمنى فإن سرق ثانياً قطعت رجله اليسرى فإن سرق ثالثاً قطعت يده اليسرى فإن سرق رابعاً قطعت رجله اليمنى لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال في السارق: “وإن سرق فاقطعوا يده ثم إن سرق فاقطعوا رجله ثم إن سرق فاقطعوا يده ثم إن سرق فاقطعوا رجله” . وإن سرق خامساً لم يقتل لأن النبي صلى الله عليه وسلم بين في حديث أبي هريرة ما يجب عليه في أربع مرات فلو وجب في الخامسة قتل لبين ويعزر لأنه معصية ليس فيها حد ولا كفارة فعزر فيها.

PASAL: Apabila wajib dilakukan pemotongan, maka dipotong tangan kanannya. Jika mencuri untuk kedua kalinya, dipotong kaki kirinya. Jika mencuri untuk ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya. Jika mencuri untuk keempat kalinya, dipotong kaki kanannya, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi SAW bersabda tentang pencuri: “Jika ia mencuri, maka potonglah tangannya; kemudian jika ia mencuri, potonglah kakinya; kemudian jika ia mencuri, potonglah tangannya; kemudian jika ia mencuri, potonglah kakinya.” Jika ia mencuri untuk kelima kalinya, maka tidak dibunuh, karena Nabi SAW telah menjelaskan dalam ḥadīṡ Abū Hurairah apa yang wajib dilakukan dalam empat kali (pencurian). Seandainya pada pencurian kelima wajib dibunuh, niscaya Nabi SAW telah menjelaskannya. Maka ia diberi ta‘zīr karena itu merupakan maksiat yang tidak ada had dan tidak ada kaffārah, maka diberi ta‘zīr karenanya.

فصل: وتقطع اليد من مفصل الكف لما روي عن أبي بكر رضي الله عنهما أنهما قالا: إذا سرق فاقطعوا يمينه من الكوع ولأن البطش بالكف وما زاد من الذراع تابع ولهذا تجب الدية فيه ويجب فيما زاد الحكومة وتقطع الرجل من مفصل القدم وقال أبو ثور: تقطع الرجل من شطر القدم لما روى الشعبي قال: كان علي كرم الله وجهه يقطع الرجل من شطر القدم ويترك له عقباً ويقول أدع له ما يعتمد عليه والمذهب ما ذكرناه والدليل عليه ما روي عن عمر رضي الله عنه أنه كان يقطع القدم من مفصلها ولأن البطش بالقدم ويجب فيها الدية فوجب قطعه.

PASAL: Dipotong tangan dari pergelangan telapak tangan, berdasarkan riwayat dari Abu Bakar RA bahwa keduanya berkata: “Jika mencuri, maka potonglah tangan kanannya dari kā‘ (pergelangan).” Karena aktivitas memegang dilakukan dengan telapak tangan, sedangkan bagian lengan yang lebih dari itu adalah pengikutnya; oleh sebab itu dikenakan diyat padanya, dan untuk bagian yang lebih dari itu dikenakan ḥukūmah. Dan dipotong kaki dari pergelangan kaki. Abu Ṯaur berkata: Dipotong kaki dari separuh telapak kaki, berdasarkan riwayat dari al-Sya‘bī bahwa ‘Alī Karramallāhu Wajhah memotong kaki dari separuh telapak kaki dan menyisakan tumitnya, seraya berkata: “Aku sisakan agar dia bisa berpijak padanya.” Namun, al-madzhab adalah sebagaimana yang kami sebutkan. Dalilnya ialah riwayat dari ‘Umar RA bahwa beliau memotong kaki dari pergelangannya. Karena aktivitas memijak dilakukan dengan telapak kaki dan padanya dikenakan diyat, maka wajib dipotong.

فصل: وإن سرق ولا يمين له قطعت الرجل اليسرى فإن كانت له يمين عند السرقة فذهبت بآكلة أو جناية سقط الحد ولم ينتقل الحد إلى الرجل والفرق بين المسألتين أنه سرق ولا يمين له تعلق الحد بالعضو الذي يقطع بعدها وإذا سرق وله يمين تعلق القطع بها فإذا ذهبت زال ما تعلق به القطع فسقط وإن سرق وله يد ناقصة الأصابع قطعت لأن اسم اليد يقع عليها وإن لم يبق غير الرحة ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقطع وينتقل الحد إلى الرجل لأنه قد ذهبت المنفعة المقصودة بها ولهذا لا يضمن بأرش مقدر فصار كما لولم يبق منها شيء

PASAL: Jika seseorang mencuri dan ia tidak memiliki tangan kanan, maka dipotong kaki kirinya. Namun jika ia memiliki tangan kanan saat mencuri, lalu tangan itu hilang karena penyakit ākilah atau karena jināyah, maka had gugur dan tidak berpindah ke kaki. Perbedaan antara dua masalah ini adalah: jika ia mencuri dalam keadaan tidak memiliki tangan kanan, maka had berkaitan dengan anggota tubuh yang dipotong setelahnya; tetapi jika ia mencuri dengan tangan kanan yang masih ada, maka pemotongan terkait dengannya, dan jika tangan itu hilang, maka gugurlah had karena tempat pelaksanaan had telah hilang.

Jika seseorang mencuri dengan tangan yang kurang jari-jarinya, maka tetap dipotong karena nama yad masih berlaku atasnya. Namun jika yang tersisa hanyalah pergelangan tangan (raḥah), maka ada dua wajah: pertama, tidak dipotong dan had berpindah ke kaki, karena manfaat utama tangan telah hilang, dan karena itu pula tidak dikenakan arasy yang ditentukan; maka hukumnya seperti jika tidak tersisa sama sekali.

والثاني: أنه يقطع ما بقي لأنه بقي جزء من العضو الذي تعلق به القطع فوجب قطعه كما لو بقيت أنملة إن سرق وله يد شلاء فإن قال أهل الخبرة إنها إذا قطعت انسدت عروقها قطعت وإن قالوا لا تنسد عروقها لم تقطع لأن قطعها يؤدي إلى أن يهلك.

dan yang kedua: bahwa dipotong apa yang masih tersisa, karena yang tersisa itu adalah bagian dari anggota tubuh yang menjadi tempat pelaksanaan pemotongan, maka wajib dipotong sebagaimana jika yang tersisa hanya ruas jari (anmulah).

Jika seseorang mencuri dengan tangan yang lumpuh (shalā’), maka jika ahli medis mengatakan bahwa jika dipotong maka urat-uratnya akan tertutup, maka dipotong. Namun jika mereka mengatakan bahwa urat-uratnya tidak akan tertutup (dan akan membahayakan), maka tidak dipotong, karena pemotongan itu dapat menyebabkan kematian.

فصل: وإذا قطع فالسنة أن يعلق العضو في عنقه ساعة لما روى فضالة بن عبيد قال: أتى النبي صلى الله عليه وسلم بسارق فأمر به فقطعت يده ثم أمر فعلقت في رقبته ولأن في ذلك ردعاً للناس ويحسم موضع القطع لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتى بسارق فقال: “اذهبوا به فاقطعوه ثم احسموه ثم ائتوني” فقطع فأتى به فقال: “تب إلى الله تعالى” فقال تبت إلى الله تعالى فقال: “تاب الله عليك” والحسم هو أن يغلي الزيت غلياً جيداً ثم يغمس فيه موضع القطع لتنحسم العروق وينقطع الدم

PASAL: Apabila telah dipotong, maka sunnah untuk menggantungkan anggota tubuh yang dipotong itu di lehernya sejenak. Hal ini berdasarkan riwayat dari Faḍālah bin ‘Ubayd, ia berkata: Nabi SAW didatangkan seorang pencuri, lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangannya, kemudian beliau memerintahkan agar tangannya digantungkan di lehernya. Karena di dalam hal tersebut terdapat efek penjeraan bagi manusia dan juga untuk menghentikan pendarahan dari tempat potongan. Berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW didatangkan seorang pencuri, maka beliau bersabda: “Bawa ia dan potonglah, kemudian hasimūhu, lalu bawalah kembali kepadaku.” Maka dipotonglah dan dibawa kembali, lalu beliau bersabda: “Bertobatlah kepada Allah Ta‘ālā.” Ia menjawab: “Aku bertobat kepada Allah Ta‘ālā.” Maka beliau bersabda: “Semoga Allah menerima tobatmu.” Al-ḥasm adalah memanaskan minyak sampai benar-benar mendidih, kemudian tempat potongan itu dicelupkan ke dalamnya agar pembuluh darah tertutup dan darah berhenti mengalir.

فإن ترك الحسم جاز لأنها مداواة فجاز تركها وأما ثمن الزيت وأجرة القاطع فهو في بيت المال لأنه من المصالح فإن قال أنا أقطع بنفسي ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يمكن كما في القصاص والثاني: أنه يمكن لأن الحق لله تعالى والقصد به التنكيل وذلك قد يحصل بفعله بخلاف القصاص فإنه يجب للآدمي للتشفي فكان الاستيفاء إليه.

Jika tidak dilakukan ḥasm, maka hal itu dibolehkan karena ḥasm termasuk pengobatan, maka boleh ditinggalkan. Adapun harga minyak dan upah pemotong ditanggung oleh Bayt al-Māl karena termasuk dalam kemaslahatan umum. Jika pelaku berkata, “Aku sendiri yang akan memotong,” maka terdapat dua wajah (pendapat): pertama, tidak diperbolehkan sebagaimana dalam qiṣāṣ; dan kedua, diperbolehkan karena hak ini milik Allah Ta‘ālā dan tujuannya adalah untuk memberi efek jera, dan itu bisa tercapai dengan pelaku melakukannya sendiri. Berbeda dengan qiṣāṣ yang merupakan hak manusia untuk melampiaskan rasa sakitnya, maka pelaksanaannya berada di tangan yang berhak.

فصل: وإن وجب عليه قطع يمينه فأخرج يساره فاعتقد أنها يمينه أو اعتقد أن قطعها يجزئ عن اليمين فقطعها القاطع ففيه وجهان: أحدهما: وهو المنصوص أنه يجزئه عن اليمين لأن الحق لله تعالى ومبناه على المساهلة فقامت اليسار فيه مقام اليمين والثاني: أنه لا يجزئه لأنه قطع غير العضو الذي تعلق به القطع فعلى هذا إن كان القاطع تعمد قطع اليسار وجب عليه القصاص في يساره وإن قطعها وهو يعتقد أنها يمينه أو قطعها وهو يعتقد أن قطعها يجزئه عن اليمين وجب عليه نصف الدية.

PASAL: Jika wajib atasnya dipotong tangan kanan, lalu ia mengulurkan tangan kirinya karena mengira bahwa itu tangan kanannya, atau karena mengira bahwa memotong tangan kiri sudah mencukupi dari kewajiban memotong tangan kanan, lalu si pelaksana memotong tangan kirinya, maka terdapat dua wajah (pendapat):

Pertama, dan ini yang dinashkan, bahwa itu mencukupi dari tangan kanan karena hak tersebut milik Allah Ta‘ālā dan dasarnya adalah kemudahan, maka tangan kiri dianggap mewakili tangan kanan dalam hal ini.

Kedua, tidak mencukupi karena yang dipotong bukan anggota yang terkait dengan hukum potong. Berdasarkan pendapat ini, jika pemotong dengan sengaja memotong tangan kiri, maka ia wajib dikenai qiṣāṣ atas tangan kirinya. Namun jika ia memotongnya karena mengira itu tangan kanan, atau mengira bahwa memotongnya mencukupi dari memotong tangan kanan, maka ia wajib membayar setengah diyah.

فصل: إذا تلف المسروق في يد السارق ضمن بدله وقطع ولا يمنع أحدهما: الآخر لأن الضمان يجب لحف الآدمي والقطع يجب لله تعالى فلا يمنع أحدهما: الآخر كالدية والكفارة.

PASAL: Jika barang curian rusak di tangan pencuri, maka ia wajib mengganti dengan barang pengganti, dan tetap dikenai potong. Salah satunya tidak mencegah yang lainnya, karena kewajiban ganti rugi ditetapkan demi kepentingan manusia, sedangkan pemotongan tangan ditetapkan karena hak Allah Ta‘ālā, maka salah satunya tidak menggugurkan yang lainnya, sebagaimana diyah dan kafārah.

باب حد قاطع الطريق
من شهر السلاح وأخاف السبيل في مصر أوبرية وجب على الإمام طلبه لأنه إذا ترك قويت شوكته وكثر الفساد به في قتل النفوس وأخذ الأموال فإن وقع قبل أن يأخذ المال ويقتل النفس عزر وحبس على حسب ما يراه السلطان لأنه تعرض للدخول في معصية عظيمة فعزر كالمتعرض للسرقة بالنقب والمتعرض للزنا بالقبلة وإن أخذ نصاباً محرزاً بحرز مثله ممن يقطع بسرقة ماله وجب عليه قطع يده اليمنى ورجله اليسرى

PASAL: Hukuman bagi perampok jalanan
Barang siapa yang menenteng senjata dan menakut-nakuti orang-orang di jalan, baik di kota maupun di wilayah luar kota, maka wajib bagi imam mencarinya, karena jika dibiarkan maka akan semakin kuat kekuasaannya dan kerusakan pun meluas melalui pembunuhan jiwa dan pengambilan harta.

Jika tertangkap sebelum membunuh jiwa dan mengambil harta, maka ia diberi taʿzīr dan dipenjara sesuai dengan pertimbangan penguasa, karena ia telah mencoba melakukan maksiat besar, sehingga layak ditaʿzīr seperti orang yang mencoba mencuri dengan membobol atau mencoba berzina dengan mencium.

Jika ia mengambil harta senilai niṣāb yang terjaga dengan ḥirz yang layak, dari orang yang seandainya mencuri hartanya maka wajib dipotong, maka wajib dipotong tangan kanannya dan kaki kirinya.

لما روى الشافعي عن ابن عباس أنه قال في قطاع الطريق إذا قتلوا وأخذوا المال قتلوا وصلبوا وإذا قتلوا ولم يأخذوا المال قتلوا ولم يصلبوا وإذا أخذوا المال ولم يقتلوا قطعت أيديهم وأرجلهم من خلاف ونفيهم إذا هربوا أن يطلبوا حتى يؤخذوا وتقام عليهم الحدود لأنه ساوى السارق في أخذ النصاب على وجه لا يمكن الاحتراز منه فساواه في قطع اليد وزاد عليه بإخافة السبيل بشهر السلاح فغلظ بقطع الرجل

Karena Imam al-Syafi‘i meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata mengenai para perampok jalanan: “Jika mereka membunuh dan mengambil harta, maka mereka dibunuh dan disalib. Jika mereka membunuh tetapi tidak mengambil harta, maka mereka dibunuh dan tidak disalib. Jika mereka hanya mengambil harta tanpa membunuh, maka dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang. Dan pengasingan mereka adalah jika mereka melarikan diri maka dikejar sampai tertangkap dan ditegakkan atas mereka hukum-hukum ḥadd.”

Karena ia menyamai pencuri dalam hal mengambil harta senilai niṣāb dengan cara yang tidak memungkinkan untuk dijaga, maka disamakanlah hukumnya dalam pemotongan tangan, dan ditambahkan atasnya karena ia menakut-nakuti jalanan dengan menenteng senjata, maka diperberatlah hukuman dengan pemotongan kaki.

فإن لم يكن له اليد اليمنى ولا الرجل اليسرى انتقل القطع إلى اليد اليسرى والرجل اليمنى لأن ما يبدأ به معدوم فتعلق الحد بما بعده وإن أخذ دون النصاب لم يقطع وخرج أبوعلي بن خيران قولاً آخر أنه لا يعتبر النصاب كما لا يعتبر التكافؤ في القتل في المحاربة في أحد القولين وهذا خطأ لأنه قطع يجب بأخذ المال فشرط فيه النصاب كالقطع في السرقة فإن أخذ المال من غير حرز بأن انفرد عن القافلة أو أخذ من جمال مقطرة ترك القائد تعاهدها لم يقطع لأنه قطع يتعلق بأخذ المال فشرط فيه الحرز كقطع السرقة.

Jika ia tidak memiliki tangan kanan dan kaki kiri, maka pemotongan dipindah ke tangan kiri dan kaki kanan, karena anggota yang seharusnya didahulukan tidak ada, maka ḥadd berpindah ke anggota setelahnya.

Jika ia mengambil harta kurang dari niṣāb, maka tidak dipotong. Abu ‘Alī bin Khirān mengemukakan pendapat lain bahwa dalam kasus perampokan tidak disyaratkan niṣāb, sebagaimana tidak disyaratkan adanya keseimbangan (antara pelaku dan korban) dalam kasus pembunuhan dalam muḥārabah menurut salah satu dari dua pendapat. Pendapat ini keliru, karena pemotongan itu diwajibkan karena mengambil harta, maka disyaratkan niṣāb sebagaimana pemotongan dalam pencurian.

Jika ia mengambil harta dari tempat yang bukan ḥirz, seperti ia memisahkan diri dari kafilah atau mengambil dari unta-unta yang diikat dalam barisan namun penggembalanya lalai menjaganya, maka tidak dipotong, karena ini adalah pemotongan yang berkaitan dengan pengambilan harta, maka disyaratkan ḥirz, sebagaimana pemotongan dalam pencurian.

فصل: وإن قتل ولم يأخذ المال انحتم قتله ولم يجز لولي الدم العفو عنه لما روى ابن عباس رضي الله عنه قال: نزل جبريل عليه السلام بالحد فيهم أن من قتل ولم يأخذ المال قتل والحد لا يكون إلا حتماً ولأن ما أوجب عقوبة في غير المحاربة تغلظت العقوبة فيه بالمحاربة كأخذ المال يغلظ بقطع الرجل وإن جرح جراحة توجب القود فهل يتحتم القوم فيه قولان: أحدهما: أنه يتحتم لأن ما أوجب القود في غير المحاربة انحتم القود فيه في المحاربة كالقتل والثاني: أنه لا يتحتم لأنه تغليظ لا يتبعض في النفس فلم يجب فيما دون النفس كالكفارة.

PASAL: Jika ia membunuh namun tidak mengambil harta, maka hukuman bunuh wajib dijatuhkan atasnya dan tidak boleh bagi wali darah memaafkannya, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Jibril AS turun membawa ketentuan hukum tentang mereka, bahwa siapa yang membunuh namun tidak mengambil harta maka wajib dibunuh, dan ḥadd itu tidak berlaku kecuali secara wajib. Dan karena sesuatu yang mewajibkan hukuman dalam selain kasus muḥārabah, maka dalam muḥārabah hukumannya menjadi lebih berat, sebagaimana mengambil harta yang diperberat dengan pemotongan tangan.

Jika ia melukai dengan luka yang mewajibkan qiṣāṣ, maka apakah wajib juga dijatuhkan hukuman qiṣāṣ? Ada dua pendapat:
Pertama, wajib dijatuhkan, karena sesuatu yang mewajibkan qiṣāṣ di luar muḥārabah menjadi wajib pula dalam muḥārabah, sebagaimana pembunuhan.
Kedua, tidak wajib dijatuhkan, karena bentuk pemberatan ini tidak berlaku pada selain jiwa, maka tidak wajib dalam selain pembunuhan, sebagaimana kafarat.

فصل: وإن قتل وأخذ المال قتل وصلب ومن أصحابنا من قال: يصلب حياً ويمنع الطعام والشراب حتى يموت وحكى أبو العباس ابن القاص في التخليص عن الشافعي رضي الله عنه أنه قال يصلب ثلاثاً قبل القتل ولا يعرف هذا للشافعي والدليل على أنه يصلب بعد القتل قوله صلى الله عليه وسلم: “إذا قتلتم فأحسنوا القتلة” .

PASAL: Jika ia membunuh dan mengambil harta, maka ia dibunuh dan disalib. Sebagian dari kalangan kami berkata: disalib dalam keadaan hidup dan dicegah dari makan dan minum hingga mati. Abu al-‘Abbās Ibn al-Qāṣ meriwayatkan dalam at-Takhlīṣ dari asy-Syāfi‘i RA bahwa beliau berkata: “Disalib selama tiga hari sebelum dibunuh.” Namun hal ini tidak dikenal dari asy-Syāfi‘i. Dalil bahwa ia disalib setelah dibunuh adalah sabda Nabi SAW: “Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik.”

وإن كان الزمان بارداً أو معتدلاً صلب بعد القتل ثلاثاً وإن كان الحر شديداً وخيف عليه التغير قبل الثلاث حنط وغسل وكفن وصلي عليه وقال أبوعلي بن أبي هريرة رحمه الله: يصلب إلى أن يسيل صديده وهذا خطأ لأن في ذلك تعطيل أحكام الموتى من الغسل والتكفين والصلاة والدفن وإن مات فهل يصلب فيه وجهان: أحدهما: وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله أنه لا يصلب لأن الصلب تابع للقتل وصفة له وقد سقط القتل فسقط الصلب والثاني: وهو قول شيخنا القاضي أبي الطيب الطبري رحمه الله أنه يصلب لأنهما حقان فإذا تعذر أحدهما: لم يسقط الآخر.

Dan jika waktunya dingin atau sedang, maka disalib setelah dibunuh selama tiga hari. Namun jika panasnya sangat menyengat dan dikhawatirkan tubuhnya berubah sebelum tiga hari, maka ia dibalsem, dimandikan, dikafani, dan dishalatkan. Abū ‘Alī bin Abī Hurairah rahimahullah berkata: “Disalib hingga nanahnya mengalir.” Ini adalah kekeliruan, karena hal itu mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan hukum jenazah seperti mandi, kafan, shalat, dan pemakaman.

Dan jika ia mati, apakah masih disalib? Maka ada dua wajah:

Pertama, yaitu pendapat asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāyinī rahimahullah, bahwa tidak disalib, karena penyaliban adalah pengikut dari pembunuhan dan bagian dari sifatnya. Maka ketika pembunuhan gugur, penyaliban pun gugur.

Kedua, yaitu pendapat guru kami al-Qāḍī Abū Ṭayyib aṭ-Ṭabarī rahimahullah, bahwa ia tetap disalib, karena keduanya adalah dua hak, maka jika salah satunya terhalangi, tidaklah menggugurkan yang lain.

فصل: وإن وجب عليه الحد ولم يقع في يد الإمام طلب إلى أن يقع فيقام عليه الحد لقوله عز وجل: {أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ} وقد روينا عن ابن عباس أنه قال: ونفيهم إذا هربوا أن يطلبوا حتى وجدوا فتقام عليهم الحدود.

PASAL: Jika had telah wajib atasnya namun belum tertangkap oleh imam, maka ia dicari hingga tertangkap, lalu ditegakkan atasnya had, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ} (atau mereka diasingkan dari bumi). Dan telah kami riwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia berkata: “Pengasingan mereka apabila mereka melarikan diri adalah dengan cara mereka dicari hingga ditemukan, lalu ditegakkan atas mereka hudud.”

فصل: ولا يجب ما ذكرناه من الحد إلا على من باشر القتل أو أخذ المال فأما من حضر ردءاً لهم أوعينا فلا يلزمه الحد لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث كفر بعد إيمان وزنا بعد إحصان أو قتل نفس بغير حق” . ويعزر لأنه أعان على معصية فعزر وإن قتل بعضهم وأخذ بعضهم المال وجب على من قتل القتل وعلى من أخذ المال القطع لأن كل واحد منهم انفرد بسبب حد فاختص بحده.

PASAL: Tidaklah wajib hukuman had yang telah kami sebutkan kecuali atas orang yang langsung melakukan pembunuhan atau mengambil harta. Adapun siapa yang hadir sebagai pendukung mereka atau sebagai pengintai, maka tidak wajib atasnya had, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena tiga hal: kekufuran setelah beriman, zina setelah menikah, atau membunuh jiwa tanpa hak.”

Namun ia tetap dikenai ta‘zīr karena telah membantu dalam kemaksiatan, maka ia dihukum ta‘zīr. Jika sebagian dari mereka membunuh dan sebagian lagi mengambil harta, maka atas yang membunuh wajib hukuman bunuh, dan atas yang mengambil harta wajib hukuman potong, karena masing-masing dari mereka melakukan sebab had secara terpisah, maka masing-masing dikenai had-nya sendiri.

فصل: إذا قطع قاطع الطريق اليد اليسرى من رجل وأخذ المال قدم قطع القصاص سواء تقدم على أخذ المال أو تأخر لأن حق الآدمي آكد فإذا اندمل موضع القصاص قطع اليد اليمنى والرجل اليسرى لأخذ المال ولا يوالي بينهما لأنهما عقوبتان مختلفتان فلا تجوز الموالاة بينهما وإن قطع اليد اليمنى والرجل اليسرى وأخذ المال وقلنا إن القصاص يتحتم نظرت فإن تقدم أخذ المال سقط القطع الواج بسببه لأنه يجب تقديم القصاص عليه لتأكد حق الآدمي وإذا قطع للآدمي زال ما تعلق الوجوب به لأخذ المال فسقط وإن تقدمت الجناية لم يسقط الحد لأخذ المال فتقطع يده اليسرى ورجله اليمنى لأنه استحق بالجناية فيصير كمن أخذ المال وليس له يد يمنى ولا رجل يسرى فتعلق باليد اليسرى والرجل اليمنى.

PASAL: Jika perampok memotong tangan kiri seseorang dan mengambil harta, maka didahulukan pemotongan karena qiṣāṣ, baik pemotongan itu terjadi sebelum pengambilan harta maupun sesudahnya, karena hak manusia lebih kuat. Apabila luka bekas qiṣāṣ telah sembuh, maka dipotong tangan kanan dan kaki kiri karena pengambilan harta. Tidak boleh di-muwālāh (dilakukan secara berurutan tanpa jeda) antara keduanya, karena keduanya merupakan dua jenis hukuman yang berbeda, maka tidak boleh di-muwālāh.

Jika ia memotong tangan kanan dan kaki kiri lalu mengambil harta, dan kita berpendapat bahwa qiṣāṣ wajib secara pasti, maka dilihat: jika pengambilan harta dilakukan terlebih dahulu, maka pemotongan yang wajib karena pengambilan harta gugur, karena pemotongan untuk qiṣāṣ harus didahulukan atasnya karena lebih kuatnya hak manusia. Maka ketika telah dilakukan pemotongan untuk manusia, gugurlah sebab kewajiban pemotongan karena pengambilan harta.

Namun jika kejahatan (pemotongan tangan dan kaki) dilakukan terlebih dahulu, maka hudud karena pengambilan harta tidak gugur, maka dipotong tangan kirinya dan kaki kanannya, karena ia berhak dihukum dengan itu akibat kejahatannya. Maka kasus ini menjadi seperti orang yang mengambil harta dan ia tidak memiliki tangan kanan dan kaki kiri, maka hukumannya berpindah ke tangan kiri dan kaki kanan.

فصل: وإن تاب قاطع الطريق بعد القدرة عليه لم يسقط عنه شيء مما وجب عليه من حد المحاربة لقوله عز وجل: {إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ الله غَفُورٌ رَحِيمٌ} فشرط في العفو عنهم أن تكون التوبة قبل القدرة عليهم فدل على أنهم إذا تابوا بعد القدرة لم يسقط عنهم وإن تاب قبل القدرة عليه سقط عنه ما يختص بالمحاربة وهو انحتام القتل والصلب وقطع الرجل للآية وهل يسقط قطع اليد فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي بن أبي هريرة إنه يسقط لأنه قطع عضو وجب بأخذ المال في المحاربة فسقط بالتوبة قبل القدرة كقطع الرجل والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يسقط لأنه قطع يد لأخذ المال فلم يسقط بالتوبة قبل القدرة كقطع السرقة.

PASAL: Jika perampok jalan bertobat setelah tertangkap, maka tidak gugur darinya apa pun yang telah wajib atasnya dari ḥadd al-muḥārabah, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu menangkap mereka, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Maka Allah mensyaratkan dalam pengampunan itu bahwa tobat harus dilakukan sebelum tertangkap, sehingga menunjukkan bahwa jika mereka bertobat setelah tertangkap maka tidak gugur (ḥadd).

Namun jika ia bertobat sebelum tertangkap, maka gugur darinya apa yang khusus berkenaan dengan muḥārabah, yaitu wajibnya dibunuh, disalib, dan dipotong kaki, berdasarkan ayat tersebut.

Adapun apakah pemotongan tangan gugur, maka ada dua wajah:
Pertama, yaitu pendapat Abū ʿAlī ibn Abī Hurairah, bahwa pemotongan tangan juga gugur, karena ia adalah pemotongan anggota badan yang wajib karena mengambil harta dalam konteks muḥārabah, maka gugur dengan tobat sebelum tertangkap, sebagaimana potong kaki.
Kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa pemotongan tangan tidak gugur, karena ia adalah potong tangan karena mengambil harta, maka tidak gugur dengan tobat sebelum tertangkap, seperti potong tangan dalam kasus pencurian.

فصل: فأما الحد الذي لا يختص بالمحاربة ينظر فيه فإن كان للآدمي وهو حد القذف لم يسقط بالتوبة لأنه حق للآدمي فلم يسقط بالتوبة كالقصاص وإن كان لله عز وجل وهو حد الزنا واللواط والسرقة وشرب الخمر ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يسقط بالتوبة لأنه حد لا يختص بالمحاربة فلم يسقط بالتوبة كحد القذف

PASAL: Adapun ḥadd yang tidak khusus berkaitan dengan muḥārabah, maka diperinci: jika merupakan hak bagi sesama manusia, seperti ḥadd al-qadżf, maka tidak gugur dengan tobat karena ia merupakan hak manusia, maka tidak gugur dengan tobat sebagaimana qiṣāṣ.

Namun jika merupakan hak Allah Azza wa Jalla, seperti ḥadd zina, liwāṭ, pencurian, dan minum khamar, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa ia tidak gugur dengan tobat, karena merupakan ḥadd yang tidak khusus dengan muḥārabah, maka tidak gugur dengan tobat sebagaimana ḥadd al-qadżf.

والثاني: أنه يسقط وهو الصحيح والدليل علي قوله عز وجل في الزنا: {فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ الله كَانَ تَوَّاباً رَحِيماً} وقوله تعالى في السرقة: {فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ الله يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ الله غَفُورٌ رَحِيمٌ} وقوله صلى الله عليه وسلم: “التوبة تجب ما قبلها” . ولأنه حد خالص لله تعالى فسقط بالتوبة كحد قاطع الطريق فإن قلنا إنها تسقط نظرت فإن كانت وجبت في غير المحاربة لم تسقط بالتوبة حتى يقترن بها الإصلاح في زمان يوثق بتوبته لقوله تعالى: {فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا}

Dan pendapat kedua: bahwa ḥadd itu gugur dengan tobat, dan inilah yang ṣaḥīḥ. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala dalam perkara zina: “Jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri, maka berpalinglah dari keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

Dan firman-Nya Ta‘ala tentang pencurian: “Barang siapa bertobat setelah kezalimannya dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dan sabda Nabi SAW: “Tobat menghapus apa yang sebelumnya.”

Karena ḥadd tersebut murni merupakan hak Allah Ta‘ala, maka gugur dengan tobat sebagaimana ḥadd perampok jalanan.

Jika kita katakan bahwa ia gugur, maka diperinci: jika ḥadd itu telah wajib di luar konteks muḥārabah, maka tidak gugur dengan tobat kecuali jika disertai dengan perbaikan diri dalam waktu yang dapat dipercaya bahwa ia benar-benar bertobat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri, maka berpalinglah dari keduanya.”

ولقوله تعالى: {فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ الله يَتُوبُ عَلَيْهِ} فعلق العفو بالتوبة والإصلاح ولأنه قد يظهر التوبة للتقية فلا يعلم صحتها حتى يقترن بها الإصلاح في زمان يوثق فيه بتوبته وإن وجبت عليه الحدود في المحاربة سقطت بإظهار التوبة والدخول في الطاعة لأنه خارج من يد الإمام ممتنع عليه فإذا أظهر التوبة لم تحمل توبته على التقية.

Dan firman-Nya Ta‘ala: “Barang siapa bertobat setelah kezalimannya dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya.” Maka Allah menggantungkan pengampunan pada tobat dan perbaikan diri.

Karena bisa jadi seseorang menampakkan tobat karena taqiyyah, sehingga tidak diketahui kebenarannya kecuali jika disertai perbaikan diri dalam rentang waktu yang dapat dipercaya bahwa ia benar-benar telah bertobat.

Adapun jika ḥadd telah wajib atasnya dalam konteks muḥārabah, maka gugur dengan menampakkan tobat dan masuk ke dalam ketaatan, karena ia berada di luar kekuasaan imam dan menolak untuk ditangkap. Maka apabila ia menampakkan tobat, tidak dianggap bahwa tobatnya karena taqiyyah.

باب حد الخمر
كل شراب أسكر كثيره حرم قليله وكثيره والدليل عليه قوله تعالى: {إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} واسم الخمر يقع على كل مسكر والدليل عليه ما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “كل مسكر خمر وكل خمر حرام” .

PASAL HAD KHAMR

Setiap minuman yang memabukkan apabila banyaknya, maka haram juga sedikit maupun banyaknya. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya khamr, judi, berhala-berhala, dan undian dengan anak panah adalah najis, termasuk perbuatan setan, maka jauhilah agar kamu beruntung}. Dan nama khamr berlaku atas setiap yang memabukkan. Dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.”

وروى النعمان بن بشير رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن من التمر لخمراً وإن من البر لخمراً وإن من الشعير لخمراً وإن من العسل خمراً” . وروى سعد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أنهاكم عن قليل ما أسكر كثيره” . وروت أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ما أسكر الفرق منه فملء الكف منه حرام” .

Diriwayatkan dari Nu‘mān bin Basyīr RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya dari kurma ada yang menjadi khamr, dari gandum ada yang menjadi khamr, dari jelai ada yang menjadi khamr, dan dari madu pun ada yang menjadi khamr.”

Dan diriwayatkan dari Sa‘d RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Aku melarang kalian dari sedikit sesuatu yang memabukkan banyaknya.”

Dan Ummul Mu’minīn ‘Āisyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apa yang memabukkan satu farq, maka segenggam darinya pun haram.”

فصل: ومن شرب مسكراً وهو مسلم بالغ عاقل مختار وجب عليه الحد فإن كان حراً جلد لما روى أبو ساسان قال: لما شهد على الوليد بن عقبة قال عثمان لعلي عليه السلام دونك ابن عمك فاجلده قال: قم يا حسن فاجلده قال: فيم أنت وذاك ول هذا غيري قال: ولكنك ضعفت وعجزت ووهنت فقال: قم يا عبد الله بن جعفر فاجلده فجلده وعلي كرم الله وجهه يعد ذلك فعد أربعين وقال جلد رسول الله صلى الله عليه وسلم في الخمر أربعين وأبو بكر أربعين وعمر ثمانين وكل سنة

PASAL: Barang siapa meminum minuman memabukkan, sedangkan ia seorang muslim, baligh, berakal, dan melakukannya atas kehendak sendiri, maka wajib dikenakan had atasnya. Jika ia seorang merdeka, maka ia dikenai hukuman cambuk, berdasarkan riwayat dari Abū Sāsān: Ketika kesaksian atas al-Walīd bin ‘Uqbah disampaikan, ‘Utsmān berkata kepada ‘Alī RA: “Tegakkanlah had atas sepupumu itu.” Maka ‘Alī berkata kepada al-Ḥasan: “Bangunlah dan cambuk dia.” Al-Ḥasan menjawab: “Apa urusanmu dan urusanku dengan hal itu? Serahkan urusan ini kepada orang lain.” Maka ‘Alī berkata: “Engkau telah melemah, menjadi lemah dan lemas.” Lalu ia berkata: “Bangunlah wahai ‘Abdullāh bin Ja‘far dan cambuklah dia.” Maka ‘Abdullāh pun mencambuknya dan ‘Alī menghitung jumlah cambukannya. Ia menghitung hingga empat puluh kali, lalu berkata: “Rasulullah SAW mencambuk (peminum) khamr sebanyak empat puluh kali, Abū Bakar juga empat puluh kali, dan ‘Umar delapan puluh kali. Semuanya adalah sunnah.”

وإن كان عبداً جلد عشرين لأنه حد يتبعض فكان العبد فيه على النصف من الحر كحد الزنا فإن رأى الإمام أن يبلغ بحد الحر ثمانين وبحد العبد أربعين جاز لما روى أبو وبرة الكلبي قال: أرسلني خالد بن الوليد إلى عمر رضي الله عنه فأتيته ومعه عثمان وعبد الرحمن بن عوف وعلي وطلحة والزبير رضي الله عنهم فقلت: إن خالد بن الوليد رضي الله عنه يقرأ عليك السلام ويقول: إن الناس قد انهمكوا في الخمر وتحاقروا العقوبة فيه قال عمر: هم هؤلاء عندك فسلهم

Dan jika pelakunya adalah seorang budak, maka dicambuk sebanyak dua puluh kali, karena had ini dapat terbagi, sehingga budak mendapat setengah dari hukuman orang merdeka, sebagaimana dalam had zina. Jika imam memandang perlu untuk menetapkan had orang merdeka sebanyak delapan puluh kali cambuk, dan had budak sebanyak empat puluh kali cambuk, maka hal itu boleh, berdasarkan riwayat dari Abū Wabarah al-Kalbī, ia berkata: “Khalid bin al-Walīd RA mengutusku kepada ‘Umar RA, maka aku datang kepadanya, sedangkan bersamanya ada ‘Utsmān, ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf, ‘Alī, Ṭalḥah, dan az-Zubair RA. Maka aku berkata: ‘Khalid bin al-Walīd RA menyampaikan salam kepadamu dan berkata: Sesungguhnya manusia telah larut dalam minum khamr dan mereka meremehkan hukumannya.’ Maka ‘Umar berkata: ‘Mereka semua ada bersamamu, maka tanyakanlah kepada mereka.’”

فقال علي كرم الله وجهه: تراه إذا سكر هذى وإذا هذ افترى وعلى المفتري ثمانون فقال عمر بلغ صاحبك ما قال فجلد خالد ثمانين وإذا أتى بالرجل الضعيف الذي كانت منه الزلة جلده أربعين فإن جلده أربعين ومات لم يضمن لأن الحق قتله وإن جلده ثمانين ومات ضمن نصف الدية لأن نصفه حد ونصفه تعزير وسقط النصف بالحد ووجب النصف بالتعزير وإن جلد إحدى وأربعين فمات ففيه قولان: أحدهما: أنه يضمن نصف ديته لأنه مات من مضمون وغير مضمون فضمن نصف ديته كما لو جرحه واحد جراحة وجرح نفسه جراحات

Maka ‘Alī Karramallāhu Wajhah berkata: “Engkau lihat, jika ia mabuk maka ia mengigau, dan jika mengigau maka ia memfitnah, sedangkan bagi pemfitnah hukumannya adalah delapan puluh kali cambukan.” Maka ‘Umar berkata: “Sampaikan kepada sahabatmu apa yang dikatakan,” lalu Khalid mencambuk sebanyak delapan puluh kali.

Dan apabila didatangkan seorang lelaki lemah yang terpeleset dalam kesalahan, maka ia dicambuk empat puluh kali. Jika dicambuk empat puluh kali lalu mati, maka tidak ada tanggungan, karena kematiannya disebabkan oleh hak (had) yang membunuhnya. Namun jika dicambuk delapan puluh kali lalu mati, maka wajib membayar setengah diyat, karena setengahnya merupakan had dan setengahnya adalah ta‘zīr; maka setengahnya gugur karena had, dan setengahnya wajib karena ta‘zīr.

Dan apabila dicambuk sebanyak empat puluh satu kali lalu mati, maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama: wajib membayar setengah diyat karena ia mati akibat gabungan antara yang ditanggung dan yang tidak ditanggung, sehingga wajib membayar setengah diyat, sebagaimana jika seseorang melukainya dengan satu luka, dan dia melukai dirinya sendiri dengan beberapa luka.

والثاني: أنه يضمن جزءاً من أحد وأربعين جزءاً من الدية ووجب النصف بالتعزير وإن جلد إحدى وأربعين فمات ففيه قولان: أحدهما: أنه يضمن نصف ديته لأنه مات من مضمون وغير مضمون فضمن نصف ديته كما لو جرحه واحد جراحة وجرح نفسه جراحات والثاني: أنه يضمن جزءاً من أحد وأربعين جزءاً من الدية لأن الأسواط متماثلة فقسطت الدية على عددها وتخالف الجراحات فإنها لا تتماثل وقد يموت من جراحة ولا يموت من جراحات ولا يجوز أن يموت من سوط ويعيش من أسواط

Pendapat kedua: wajib membayar bagian dari satu per empat puluh satu bagian dari diyat, karena pukulan-pukulan itu setara, maka diyat dibagi rata menurut jumlah pukulan. Hal ini berbeda dengan luka, karena luka tidak setara; bisa jadi seseorang mati karena satu luka, dan tidak mati karena beberapa luka. Sedangkan dalam kasus cambukan, tidak mungkin seseorang mati karena satu cambukan tetapi tetap hidup karena beberapa cambukan.

وإن أمر الإمام الجلاد أن يضرب في الخمر ثمانين فجلده إحدى وثمانين ومات المضروب فإن قلنا إن الدية تقسط على عدد الضرب سقط منها أربعون جزءاً لأجل الحد ووجب على الإمام أربعون جزءاً لأجل العزير ووجب على الجلاد جزء

Jika imam memerintahkan algojo untuk mencambuk dalam kasus khamr sebanyak delapan puluh kali, lalu algojo mencambuk sebanyak delapan puluh satu kali dan orang yang dicambuk itu meninggal, maka jika kita mengatakan bahwa diyat dibagi rata sesuai jumlah cambukan, maka gugur empat puluh satu bagiannya karena termasuk had, dan wajib atas imam empat puluh bagian karena ta‘zīr, dan wajib atas algojo satu bagian.

وإن قلنا أنه يقسط على عدد الجناية ففيه وجهان: أحدهما: يسقط نصفها لأجل الحد ويبقى النصف على الإمام نصفه وعلى الجلاد نصفه لأن الضرب نوعان مضمون وغير مضمون فسقط النصف بما ليس بمضمون ووجب النصف بما هو مضمون والثاني: أنه تقسط الدية أثلاثاً فسقط ثلثها بالحد وثلثها على الإمام وثلثها على الجلاد لأن الحد ثلاثة أنواع فجعل لكل نوع الثلث.

Dan jika kita mengatakan bahwa diyat dibagi berdasarkan jenis tindakannya, maka terdapat dua wajah (pendapat):

Pendapat pertama: gugur setengah diyat karena merupakan bagian dari had, dan sisanya tetap, separuhnya atas tanggungan imam, dan separuhnya lagi atas tanggungan algojo. Karena cambukan itu terdiri dari dua jenis: yang tidak ditanggung dan yang ditanggung. Maka setengah gugur karena tidak ditanggung (yaitu had), dan setengahnya wajib karena termasuk yang ditanggung (yaitu ta‘zīr dan kelebihan cambukan).

Pendapat kedua: diyat dibagi menjadi tiga bagian: sepertiganya gugur karena had, sepertiganya atas imam, dan sepertiganya atas algojo, karena had terdiri dari tiga jenis, maka masing-masing jenis mendapatkan sepertiga.

فصل: ويضرب في حد الخمر بالأيدي والنعال وأطراف الثياب على ظاهر النص لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتى برجل قد شرب الخمر فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “اضربوه” قال فمنا الضارب بيده ومنا الضارب بنعله ومنا الضارب بثوبه فلما انصرف قال بعض الناس أخزال الله فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا تقولوا هكذا ولا يعينوا عليه الشيطان ولكن قولوا رحمك الله” .

PASAL: Dihukum dalam had khamr dengan tangan, sandal, dan ujung-ujung pakaian, berdasarkan zhahir nash, karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW didatangkan seorang laki-laki yang telah minum khamr, maka Rasulullah SAW bersabda: “Pukullah dia.” Abu Hurairah berkata: Maka di antara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya, dan ada yang memukul dengan pakaiannya. Ketika ia telah pergi, sebagian orang berkata: “Semoga Allah menghinakannya,” maka Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian berkata demikian dan jangan bantu setan atas dirinya, tetapi katakanlah: raḥimakallāh.”

ولأنه لما كان أخف من غيره في العدد وجب أن يكون أخف من غيره في الصفة وقال أبو العباس وأبو إسحاق يضرب بالسوط ووجهه ما روي أن علياً رضي الله عنه لما أقام الحد على الوليد بن عقبة قال لعبد الله بن جعفر أقم عليه الحد قال: فأخذ السوط فجعله حتى انتهى إلى أربعين سوطاً فقال له: أمسك وإن قلنا إنه يضرب بغير السوط فضرب بالسوط أربعين سوطاً فمات ضمن لأنه تعدى بالضرب بالسوط وكم يضمن فيه وجهان: أحدهما: أنه يضمن بقدر ما زاد ألمه تعدى بالضرب بالسوط وكم يضمن فيه وجهان: أحدهما: أنه يضمن بقدر ما زاد ألمه على ألم النعال والثاني: أنه يضمن جميع الدية لأنه عدل من جنس إلى غيره فأشبه إذا ضربه بما يجرح فمات منه.

Dan karena ketika had ini lebih ringan dari selainnya dalam jumlah, maka wajib juga lebih ringan dalam sifatnya. Abu al-‘Abbās dan Abu Ishāq berpendapat bahwa pukulan dilakukan dengan cambuk, dan alasan pendapat ini adalah riwayat bahwa ‘Alī RA ketika menegakkan had atas al-Walīd ibn ‘Uqbah, ia berkata kepada ‘Abdullāh ibn Ja‘far: “Tegakkan atasnya had.” Maka ia mengambil cambuk dan memukulnya hingga mencapai empat puluh cambukan. Kemudian ‘Alī berkata: “Cukup.”

Jika kita mengatakan bahwa ia dipukul dengan selain cambuk, lalu seseorang memukul dengan cambuk sebanyak empat puluh cambukan dan orang tersebut mati, maka ia wajib menanggung ganti rugi karena ia telah melampaui dengan memukul menggunakan cambuk. Dan berapa besar tanggungannya? Ada dua pendapat:

Pertama: ia wajib mengganti sesuai kadar kelebihan rasa sakit yang ditimbulkan oleh cambuk dibanding rasa sakit dari sandal.

Kedua: ia wajib mengganti seluruh diyah, karena ia telah berpindah dari satu jenis alat ke jenis lain, maka hal itu serupa dengan orang yang memukul dengan sesuatu yang melukai hingga menyebabkan kematian.

فصل: والسوط الذي يضرب به سوط بين سوطين ولا يمد ولا يجرد ولا يشد يده لما روي عن ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال: ليس في هذه الأمة مد ولا تجريد ولا غل ولا صفد.

PASAL: Cambuk yang digunakan untuk memukul adalah cambuk yang pertengahan antara dua cambuk, dan tidak boleh diulur, tidak boleh dilucuti, tidak boleh dikeraskan tangannya, berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas‘ūd RA bahwa ia berkata: “Tidak ada dalam umat ini uluran (pukulan panjang), pelucutan (baju), belenggu, dan rantai.”

فصل: ولا يقام الحد في المسجد لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن إقامة الحد في المسجد ولأنه لا يؤمن أن يشق الجلد بالضرب فيسيل منه الدم أو يحدث من شدة الضرب فيتنجس المسجد وإن أقيم الحد في المسجد سقط التمرض لأن النهي لمعنى يرجع إلى المسجد لا إلى الحد فلم يمنع صحته كالصلاة في الأرض المغصوبة.

PASAL: Tidak ditegakkan ḥadd di dalam masjid, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW melarang menegakkan ḥadd di dalam masjid. Hal itu karena dikhawatirkan kulit akan robek akibat pukulan sehingga darah mengalir, atau terjadi sesuatu dari kerasnya pukulan sehingga masjid menjadi najis. Namun, jika ḥadd ditegakkan di dalam masjid, maka tidak batal hukumannya, karena larangan tersebut berkaitan dengan masjid, bukan dengan ḥadd, sehingga tidak membatalkan keabsahannya sebagaimana shalat di tanah yang dirampas.

فصل: إذا زنى دفعات حد للجميع حداً واحداً وكذلك إن سرق دفعات أو شرب الخمر دفعات حد للجميع حداً واحداً لأن سببها واحد فتداخلت وإن اجتمعت عليه حدود بأسباب بأن زنى وسرق وشرب الخمر وقذف لم تتداخل لأنها حدود وجبت بأسباب فلم تتداخل وإن اجتمع عليه الجلد في حد الزنا والقطع في السرقة أوفي قطع الطريق قدم حد الزنا أو تأخر لأنه أخف من القطع فإذا تقدم أمكن استيفاء القطع بعده

PASAL: Jika seseorang berzina beberapa kali, maka dijatuhi satu had untuk semuanya. Begitu pula jika ia mencuri beberapa kali atau minum khamr beberapa kali, maka dijatuhi satu had untuk semuanya, karena sebabnya satu sehingga saling masuk (hukumnya). Namun jika berkumpul atasnya beberapa had karena beberapa sebab—seperti berzina, mencuri, minum khamr, dan menuduh zina—maka tidak saling masuk karena had-had tersebut wajib karena sebab-sebab yang berbeda, maka tidak saling masuk. Jika berkumpul atasnya hukuman cambuk karena zina dan hukuman potong tangan karena pencurian atau karena perampokan, maka didahulukan had zina atau diakhirkan karena lebih ringan dari potong, sehingga jika didahulukan memungkinkan pelaksanaan pemotongan setelahnya.

وإذا قدم القطع لم يؤمن أن يموت منه فيبطل حد الزنا وإن اجتمع عليه مع ذلك حد الشرب أوحد القذف قدم حد الشرب وحد القذف على تحد الزنا لأنهما أخف منه وأمكن للاستيفاء وإن اجتمع حد الشرب وحد القذف ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقدم حد القذف لأنه للآدمي

Dan jika didahulukan hukuman potong, tidak aman (dikhawatirkan) ia mati karenanya sehingga menggugurkan had zina. Jika berkumpul atasnya selain itu had minum khamr atau had qadf, maka didahulukan had minum dan had qadf atas had zina karena keduanya lebih ringan darinya dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Jika berkumpul had minum khamr dan had qadf, maka ada dua wajah: pertama, didahulukan had qadf karena itu hak bagi manusia.

والثاني: أنه يقدم حد الشرب وهو الصحيح لأنه أخف من حد القذف فإذا أقيم عليه حد لم يقم عليه حد آخر حتى يبرأ من الأول لأنه إذا توالى عليه حدان لم يؤمن أن يتلف وإن اجتمع عليه حد السرقة والقطع في قطع الطريق قطعت يمينه للسرقة وقطع الطريق ثم تقطع رجله لقطع الطريق وهل تجوز الموالاة بينهما؟ فيه وجهان: أحدهما: أنه تجوز لأن قطع الرجل مع قطع اليد حد واحد فجاز الموالاة بينهما

Dan wajah kedua: bahwa didahulukan had minum khamr, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena lebih ringan daripada had qadf. Jika telah ditegakkan atasnya satu had, maka tidak ditegakkan had yang lain hingga ia sembuh dari yang pertama, karena jika dua had dilaksanakan berurutan atasnya, tidak aman ia akan binasa. Jika berkumpul atasnya had pencurian dan pemotongan karena perampokan, maka dipotong tangan kanannya karena pencurian dan perampokan, kemudian dipotong kakinya karena perampokan. Apakah boleh mualat antara keduanya? Ada dua wajah: pertama, bahwa boleh, karena pemotongan kaki bersama pemotongan tangan adalah satu had, maka dibolehkan mualat di antara keduanya.

والثاني: أنه لا يجوز قطع الرجل حتى تندمل اليد لأن قطع الرجل لقطع الطريق وقطع اليد للسرقة وهما سببان مختلفان فلا يوالي بين حديهما والأول أصح لأن اليد تقطع لقطع الطريق أيضاً فأشبه إذا قطع الطريق ولم يسرق وإن كان مع هذه الحدود قتل فإن كان في غير المحاربة أقيمت الحدود على ما ذكرناه من الترتيب والتفريق بينهما فإذا فرغ من الحدود قتل

Dan yang kedua: bahwa tidak boleh memotong kaki hingga tangan sembuh, karena pemotongan kaki itu karena perampokan, sedangkan pemotongan tangan karena pencurian, dan keduanya disebabkan oleh dua sebab yang berbeda, maka tidak boleh dimualat antara dua had tersebut. Pendapat pertama lebih ṣaḥīḥ, karena tangan juga dipotong karena perampokan, maka hal itu serupa dengan keadaan jika ia merampok tanpa mencuri. Jika disertai dengan hukuman bunuh selain dalam kasus muḥārabah, maka ditegakkan had-had sebagaimana disebutkan sebelumnya dengan urutan dan pemisahan, lalu setelah selesai dari had-had tersebut, ia dibunuh.

وإن كان القتل في المحاربة ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه يوالي بين الجميع والفرق بينه وبين القتل في غير المحاربة أن القتل في غير المحاربة غير متحتم وربما عفى عنه فتسلم نفسه والقتل في المحاربة متحتم فلا معنى لترك الموالاة والوجه الثاني أنه لا يوالي بينهما لأنه لا يؤمن إذا والى بين الحدين أن يموت في الثاني فيسقط ما بقي من الحدود.

Dan jika hukuman bunuh itu karena muḥārabah, maka ada dua wajah: pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa dimualat antara semuanya. Perbedaan antara ini dengan hukuman bunuh dalam selain muḥārabah adalah bahwa hukuman bunuh dalam selain muḥārabah tidak wajib secara pasti, dan bisa jadi dimaafkan sehingga jiwanya selamat, sedangkan hukuman bunuh dalam muḥārabah adalah wajib secara pasti, maka tidak ada makna untuk meninggalkan muwālāt. Wajah kedua: bahwa tidak dimualat di antara keduanya, karena tidak aman jika dimualat antara dua had, ia akan mati pada had yang kedua sehingga menggugurkan had-had yang tersisa.

باب التعزير
من أتى معصية لا حد فيها ولا كفارة كمباشرة الأجنبية فما دون الفرج وسرقة ما دون النصاب أو السرقة من غير حرز أو القذف بغير الزنا أو الجناية التي لا قصاص فيها وما أشبه ذلك من المعاصي عزر على حسب ما يراه السلطان لما روى عبد الملك بن عمير قال: سأل علي كرم الله وجهه عن قول الرجل للرجل يا فاسق يا خبيث قال: هن فواحش فيهن التعزير وليس فيهن حد وروي عن ابن عباس أنه لما خرج من البصرة استخلف أبا الأسود الديلي فأتى بلص نقب حرزاً على قوم فوجدوه في النقب فقال: مسكين أراد أن يسرق فأعجلتموه فضربه خمسة وعشرين سوطاً وخلى عنه ولا يبلغ بالتعزير أدنى الحدود فإن كان على حر لم يبلغ به أربعين وإن كان على عبد لم يبلغ به عشرين

BAB TAAZIR
Barang siapa melakukan maksiat yang tidak ada had dan tidak ada kafarat, seperti menyentuh perempuan ajnabiyyah tanpa sampai kemaluan, mencuri di bawah niṣāb, mencuri dari tempat yang bukan ḥirz, menuduh selain zina, atau melakukan tindak pidana yang tidak ada qiṣāṣ-nya, dan hal-hal semisal itu dari berbagai bentuk maksiat, maka ia dikenai ta‘zīr sesuai yang dipandang layak oleh sultan.

Karena telah diriwayatkan dari ʿAbdul Malik bin ʿUmayr, ia berkata: Ali karramallāhu wajhah pernah ditanya tentang ucapan seseorang kepada orang lain: “Wahai fāsiq, wahai khabīṡ,” maka beliau berkata: “Itu termasuk fāḥisyah yang dikenai ta‘zīr, tidak ada had di dalamnya.”

Dan diriwayatkan dari Ibn ʿAbbās bahwa ketika beliau keluar dari Baṣrah, beliau mengangkat Abū al-Aswad al-Duʾalī sebagai wakil, lalu dibawakan kepadanya seorang pencuri yang membobol ḥirz suatu kaum dan mereka mendapati dia di dalam lubang yang dibobolnya. Maka ia berkata: “Orang miskin ini hendak mencuri, tetapi kalian keburu menangkapnya,” lalu ia mencambuknya 25 cambukan dan membebaskannya.

Ta‘zīr tidak boleh mencapai batas minimal ḥadd. Jika ta‘zīr dijatuhkan atas orang merdeka, maka tidak boleh mencapai 40 cambukan, dan jika atas budak, maka tidak boleh mencapai 20 cambukan.

لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من بلغ بما ليس بحد حداً فهو من المعتدين”. وروي عن عمر رضي الله عنه أنه كتب إلى أبي موسى لا تبلغ بنكال أكثر من عشرين سوطاً وروي عنه ثلاثين سوطاً وروي عنه ما بين الثلاثين إلى الأربعين سوطاً ولأن هذه العاصي دون ما يجب فيه الحد فلا تحلق بما يجب فيه الحد من العقوبة وإن رأى السلطان ترك التعزير جاز تركه إذا لم يتعلق به حق آدمي لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم إلا في الحدود” .

Karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa menjatuhkan hukuman had terhadap sesuatu yang bukan had, maka ia termasuk orang-orang yang melampaui batas.”

Dan diriwayatkan dari ʿUmar RA bahwa ia menulis surat kepada Abū Mūsā: “Jangan engkau menjatuhkan hukuman lebih dari 20 cambukan.” Dan diriwayatkan darinya juga 30 cambukan, dan ada riwayat darinya antara 30 sampai 40 cambukan.

Karena maksiat-maksiat ini lebih ringan daripada yang wajib dikenai ḥadd, maka tidak disamakan dengan ḥadd dalam hal beratnya hukuman.

Dan apabila sultan memandang boleh tidak menjatuhkan ta‘zīr, maka boleh ditinggalkan jika tidak berkaitan dengan hak sesama manusia. Karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Maafkanlah orang-orang yang terhormat jika mereka terpeleset, kecuali dalam perkara ḥadd.”

وروى عبد الله بن الزبير أن رجلاً خاصم الزبير عند رسول الله صلى الله عليه وسلم في شراج الحرة الذي يسقون به النخل فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم للزبير: “اسق أرضك الماء ثم أرسل الماء إلى جارك”. فغضب الأنصاري فقال يا رسول الله وأن كان ابن عمتك فتغير وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “يا زبير اسق أرضك الماء ثم احبس الماء حتى يرجع إلى الجدر”. فقال الزبير: فوالله إني لأحسب هذه الأية نزلت في ذلك {فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ} ولولم يجز ترك التعزير لعزره رسول الله صلى الله عليه وسلم على ما قال.

Diriwayatkan dari ʿAbdullāh bin al-Zubayr bahwa seorang laki-laki berselisih dengan al-Zubayr di hadapan Rasulullah SAW mengenai saluran air al-ḥurrah yang digunakan untuk menyiram pohon kurma. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada al-Zubayr: “Siramlah tanahmu dengan air itu, kemudian alirkan air itu ke tanah tetanggamu.” Maka orang Anṣār itu marah dan berkata: “Wahai Rasulullah, meskipun dia adalah anak bibi Anda?” Maka berubah wajah Rasulullah SAW lalu bersabda: “Wahai Zubayr, siramilah tanahmu dengan air itu, lalu tahanlah air itu sampai kembali ke batas tanah.”

Zubayr berkata: “Demi Allah, aku menduga ayat ini turun berkenaan dengan kejadian itu: {فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ}.”

Seandainya ta‘zīr itu wajib diberlakukan secara mutlak, niscaya Rasulullah SAW telah menjatuhkan ta‘zīr kepada laki-laki itu atas ucapannya tersebut.

فصل: وإن عزر الإمام رجلاً فمات وجب ضمانه لما روى عمرو بن سعيد عن علي كرم الله وجهه أنه قال: ما من رجل أقمت عليه حداً فمات فأجد في نفسي أنه لا دية له إلا شارب الخمر فإنه لو مات وديته لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يسنه ولا يجوز أن يكون المراد به إذا مات من الحد فإن النبي صلى الله عليه وسلم حد في الخمر فثبت أنه أراد من الزيادة على الأربعين ولأنه ضرب جعل إلى اجتهاده فإذا أدى إلى التلف ضمن كضرب الزوج زوجته.

PASAL: Jika imam memberi ta‘zīr kepada seseorang lalu ia mati, maka wajib membayar diyatnya. Karena diriwayatkan dari ‘Amr bin Sa‘īd dari ‘Alī karramallāhu wajhah bahwa ia berkata: “Tidak ada seorang pun yang aku tegakkan atasnya ḥadd lalu ia mati dan aku merasa bersalah karenanya, maka tidak ada diyat baginya—kecuali peminum khamr, jika ia mati maka wajib diyatnya, karena Nabi SAW tidak menetapkan hukumannya.” Tidak boleh dimaknai bahwa yang dimaksud adalah jika ia mati karena ḥadd, karena Nabi SAW telah menegakkan ḥadd bagi peminum khamr. Maka telah tetap bahwa yang dimaksud adalah hukuman yang melebihi empat puluh cambukan. Dan karena pukulan dalam ta‘zīr diserahkan kepada ijtihad, maka jika menyebabkan kematian, wajib membayar diyat, sebagaimana suami yang memukul istrinya.

فصل: وإن كان على رأس بالغ عاقل سلعة لم يجز قطعها بغير إذنه فإن قطعها قاطع بإذنه فمات لم يضمن لأنه قطع إذنه وإن قطعها بغير إذنه فمات وجب عليه القصاص لأنه تعدى بالقطع وإن كان على رأس صبي أو مجنون لم يجز قطعها لأنه جرح لا يؤمن معه الهلاك فإن قطعت فمات منه نظرت فإن كان القاطع لا ولاية له عليه وجب عليه القود لأنها جناية يعدي بها وإن كان أباً أوجدا وجبت عليه الدية وإن كان ولياً غيرهما ففيه قولان: أحدهما: أنه يجب عليه القود لأنه قطع منه ما لا يجوز قطعه والثاني: أنه لا يجب القود لأنه لم يقصد القتل وإنما قصد المصلحة فعلى هذا يجب عليه دية مغلظة لأنها عمد خطأ. وبالله التوفيق.

PASAL: Jika di kepala seorang balig berakal terdapat sil‘ah (benjolan/tumor), maka tidak boleh dipotong tanpa izinnya. Jika ada orang yang memotongnya dengan izinnya lalu ia meninggal, maka tidak ada tanggungan karena pemotongan itu atas izinnya. Namun jika dipotong tanpa izinnya lalu ia meninggal, maka wajib atas pelakunya qiṣāṣ karena ia telah melakukan pelanggaran dengan memotong.

Jika hal itu terjadi pada kepala anak kecil atau orang gila, maka tidak boleh dipotong karena merupakan luka yang bisa menyebabkan kematian. Jika tetap dipotong dan kemudian meninggal karenanya, maka dilihat: jika yang memotong tidak memiliki wilāyah (hak perwalian) atasnya, maka wajib atasnya qiṣāṣ karena merupakan tindak pidana yang melampaui batas. Jika pelakunya adalah ayah atau kakek, maka wajib atasnya membayar diyat.

Jika pelakunya adalah wali selain keduanya, maka ada dua pendapat: pertama, wajib atasnya qiṣāṣ karena ia memotong bagian yang tidak boleh dipotong. Kedua, tidak wajib qiṣāṣ karena ia tidak berniat membunuh, melainkan bertujuan untuk kemaslahatan. Maka menurut pendapat ini, wajib atasnya diyat yang diperberat karena merupakan kesengajaan yang salah. Wa biLlāhi at-taufīq.

باب ولاية القضاء وأدب القاضي
القضاء فرض على الكفاية والدليل عليه قوله عز وجل: {يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ} وقوله عز وجل: {إِنَّ الله يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإذا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ} وقوله تعالى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ الله}

Kitab al-Aqdhiyah
PASAL: Wilayah Qadha dan Adab Qadhi

Qadha adalah fardu kifayah. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:
“Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah putusan di antara manusia dengan adil.”
Dan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kalian menetapkannya dengan adil.”
Serta firman-Nya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan.”

ولأن النبي صلى الله عليه وسلم حكم بين الناس وبعث علياً كرم الله وجهه إلى اليمن للقضاء بين الناس ولأن الخلفاء الراشدين رضي الله عنهم حكموا بين الناس وبعث عمر رضي الله عنه أبا موسى الأشعري إلى البصرة قاضياً وبعث عبد الله بن مسعود إلى الكوفة قاضياً ولأن الظلم في الطباع فلا بد من حاكم ينصف المظلوم من الظالم

Dan karena Nabi SAW pernah memutuskan perkara di antara manusia, serta beliau mengutus ‘Ali karramallāhu wajhah ke Yaman untuk memutuskan perkara di antara manusia. Juga karena para khalifah yang diberi petunjuk raḍiyallāhu ‘anhum memutuskan perkara di antara manusia. ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu mengutus Abu Musa al-Asy‘ari ke Bashrah sebagai qadhi, dan mengutus ‘Abdullah bin Mas‘ud ke Kufah sebagai qadhi. Dan karena kezaliman termasuk tabiat manusia, maka harus ada seorang hakim yang memberi keadilan kepada yang dizalimi dari orang yang menzalimi.

فإن لم يكن من يصلح للقضاء إلا واحد تعين عليه ويلزمه طلبه وإذا امتنع أجبر عليه لأن الكفاية لا تحصل إلا به فإن كان هناك من يصلح له غيره نظرت فإن كان خاملاً وإذا ولى القضاء انتشر علمه استحب أن يطلبه لما يحصل به من المنفعة بنشر العلم وإن كان مشهوراً فإن كانت له كفاية كره له الدخول فيه

Jika tidak ada yang layak untuk menjadi qadhi kecuali satu orang saja, maka ia menjadi orang yang ditentukan (untuk menjabat), dan wajib baginya untuk menunaikannya. Jika ia enggan, maka ia dipaksa karena tercapainya kifayah tidak mungkin kecuali dengannya. Jika ada orang lain yang juga layak menjadi qadhi, maka dilihat: jika ia orang yang tidak dikenal (khāmil), namun jika diangkat sebagai qadhi ilmunya akan tersebar, maka disunnahkan baginya untuk memintanya karena manfaat berupa penyebaran ilmu. Namun jika ia orang yang sudah masyhur, maka jika ia telah memiliki kecukupan, makruh baginya untuk masuk (menjadi qadhi).

لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من استقضى فكأنما ذبح بغير سكين” . ولأنه يلزمه بالقضاء حفظ الأمانات وربما عجز عنه وقصر فيه فكره له الدخول فيه وإن كان فقيرا يرجوا بالقضاء كفاية من بيت المال لم يكره له الدخول فيه لأنه يكتسب كفاية بسبب مباح وإن كان جماعة يصلحون للقضاء اختار الإمام أفضلهم وأورعهم وقلده فإن اختار غيره جاز لأنه تحصل به الكفاية وإن امتنعوا من الدخول فيه أثموا لأنه حق وجب عليهم فأثموا بتركه كالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وهل يجوز للإمام أن يجبر واحداً منهم على الدخول فيه أم لا؟ فيه وجهان: أحدهما: أنه ليس له إجباره لأنه فرض على الكفاية فلو أجبرناه عليه تعين عليه والثاني: أن له إجباره لأنه إذا لم يجبر بقي الناس بلا قاض وضاعت الحقوق وذلك لا يجوز.

Karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa meminta jabatan qadhi, maka seakan-akan ia telah disembelih tanpa pisau.” Dan karena dengan jabatan qadha, ia dibebani untuk menjaga amanah, sementara bisa jadi ia tidak mampu menunaikannya atau lalai di dalamnya, maka dimakruhkan baginya untuk masuk ke dalamnya.

Namun, jika ia orang fakir yang berharap mendapatkan kecukupan dari Baitul Mal melalui jabatan qadhi, maka tidak dimakruhkan baginya untuk masuk ke dalamnya karena ia mencari kecukupan melalui cara yang mubah.

Jika terdapat sekelompok orang yang layak menjadi qadhi, maka imam memilih yang paling utama dan paling wara‘ di antara mereka, lalu mengangkatnya. Jika ia memilih selainnya, maka tetap sah karena kifayah telah terpenuhi dengannya.

Jika mereka semua enggan menjabat, maka mereka berdosa, karena itu adalah kewajiban yang telah dibebankan kepada mereka, sehingga mereka berdosa dengan meninggalkannya, sebagaimana amar makruf dan nahi mungkar.

Apakah imam boleh memaksa salah satu dari mereka untuk menerima jabatan qadhi atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, bahwa imam tidak boleh memaksanya, karena ia termasuk fardu kifayah; jika dipaksa maka menjadi fardu ‘ain baginya.
Kedua, bahwa imam boleh memaksanya, karena jika tidak dipaksa maka manusia akan dibiarkan tanpa qadhi dan hak-hak akan lenyap, dan hal itu tidak boleh terjadi.

فصل: ومن تعين عليه القضاء وهو في كفاية لم يجز أن يأخذ عليه رزقاً لأنه فرض تغين عليه فلا يجوز أن يأخذ عليه مالاً من غير ضرورة فإن لم يكن له كفاية فله أن يأخذ الرزق عليه لأن القضاء لا بد منه والكفاية لا بد منها فجاز أن يأخذ عليه الرزق فإن لم يتعين عليه فإن كانت له كفاية كره أن يأخذ عليه الرزق لأنه قربة فكره أخذ الرزق عليها من غير حاجة

PASAL: Dan barang siapa yang telah ditentukan baginya tugas kehakiman sementara ia memiliki kecukupan, maka tidak boleh baginya mengambil rizq (gaji) atasnya, karena itu adalah fardu ‘ain atasnya, maka tidak boleh mengambil harta atasnya tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Namun jika ia tidak memiliki kecukupan, maka boleh baginya mengambil rizq atas tugas kehakiman tersebut, karena tugas kehakiman adalah sesuatu yang harus ada, dan kecukupan juga merupakan kebutuhan, maka diperbolehkan baginya mengambil rizq atasnya. Dan jika tugas kehakiman tidak ditentukan atasnya, maka jika ia memiliki kecukupan, makruh baginya mengambil rizq atasnya, karena itu adalah bentuk qurbah (pendekatan diri kepada Allah), maka dimakruhkan mengambil rizq atasnya tanpa ada kebutuhan.

فإن أخذ جاز لأنه لم يتعين عليه وإن لم يكن له كفاية لم يكره أن يأخذ عليه الرزق لأن أبا بكر الصديق رضي الله عنه لما ولي خرج برزمة إلى السوق فقيل ما هذا؟ فقال: أنا كاسب أهلي فأجروا له كل يوم درهمين وعن عمر رضي الله عنه أنه قال: أنزلت نفسي من هذا المال بمنزلة ولي اليتيم ومن كان غيناً فليستعفف ومن كان فقيراً فليأكل بالمعروف وبعث عمر رضي الله عنه إلى الكوفة عمار بن ياسر والياً وعبد الله بن مسعود قاضياً وعثمان بن حنيف ماسحاً وفرض لهم كل يوم شاة نصفها وأطرافها لعمار والنصف الآخر بين عبد الله وعثمان

Maka jika ia mengambil rizq, itu dibolehkan karena tugas kehakiman belum ditentukan atasnya. Dan jika ia tidak memiliki kecukupan, maka tidak dimakruhkan baginya mengambil rizq atas tugas kehakiman, karena Abu Bakar ash-Shiddiq RA ketika menjabat (sebagai khalifah) pernah keluar membawa bungkusan ke pasar. Lalu dikatakan kepadanya, “Apa ini?” Maka beliau menjawab, “Aku mencari nafkah untuk keluargaku.” Lalu ditetapkan baginya gaji dua dirham setiap hari. Dan dari Umar RA bahwa beliau berkata, “Aku menempatkan diriku terhadap harta ini sebagaimana wali bagi anak yatim: Dan barang siapa yang berkecukupan, maka hendaklah ia menjaga diri (dari memakannya); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan dengan cara yang makruf.” Dan Umar RA mengutus ke Kufah ‘Ammar bin Yasir sebagai gubernur, ‘Abdullah bin Mas‘ud sebagai qadhi, dan ‘Utsman bin Hunaif sebagai petugas ukur tanah. Maka beliau menetapkan untuk mereka seekor kambing setiap hari: separuh (daging) dan bagian-bagian tubuhnya untuk ‘Ammar, dan separuh lainnya dibagi antara ‘Abdullah dan ‘Utsman.

ولأنه لما جاز للعامل على الصدقات أن يأخذ مالاً على العمامة جاز للقاضي أن يأخذ على القضاء ويدفع إليه مع رزقه شيء للقرطاس لأنه يحتاج إليه لكتب المحاضر ويعطى لمن على بابه من الأجر لأنه يحتاج إليهم لإحضار الخصوم كما يعطى من يحتاج إليه العامل على الصدقات من العرفاء ويكون ذلك من سهم المصالح لأنه من المصالح.

Dan karena ketika diperbolehkan bagi petugas pemungut zakat mengambil harta sebagai imbalan atas pekerjaannya, maka dibolehkan pula bagi qadhi mengambil (imbalan) atas tugas kehakiman. Dan boleh juga diberikan kepadanya, selain rizq-nya, sesuatu untuk membeli kertas, karena ia membutuhkannya untuk menulis catatan persidangan. Dan boleh pula diberikan kepada orang-orang yang berada di pintunya berupa upah, karena ia membutuhkan mereka untuk menghadirkan para pihak bersengketa, sebagaimana diberikan pula kepada orang-orang yang dibutuhkan oleh petugas zakat dari kalangan para ‘urfā’. Dan semua itu termasuk dari bagian mashlahah, karena ia termasuk dalam kemaslahatan.

فصل: ولا يجوز أن يكون القاضي كافراً ولا فاسقاً ولا عبداً ولا صغيراً ولا معتوهاً لأنه إذا لم يجز أن يكون واحد من هؤلاء شاهداً فلأن لا يجوز أن يكون قاضياً أولى ولا يجوز أن يكون امرأة لقوله صلى الله عليه وسلم: “ما أفلح قوم أسندوا أمرهم إلى امرأة” . ولأنه لا بد للقاضي من مجالسة الرجال من الفقهاء والشهود والخصوم والمرأة ممنوعة من مجالسة الرجال لما يخاف عليهم من الإفتتان بها

PASAL: Tidak boleh seorang qadi (hakim) itu seorang kafir, fasik, budak, anak kecil, maupun orang yang tidak waras, karena apabila mereka tidak sah menjadi saksi, maka lebih utama lagi mereka tidak sah menjadi qadi. Tidak boleh pula seorang wanita menjadi qadi, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” Karena seorang qadi harus duduk bersama laki-laki dari kalangan fuqaha, saksi, dan para pihak yang bersengketa, sedangkan wanita dilarang duduk bersama laki-laki karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah bagi mereka.

ولا يجوز أن يكون أعمى لأنه لا يعرف الخصوم والشهود وفي الأخرس الذي يفهم الإشارة وجهان كالوجهين في شهادته ولا يجوز أن يكون جاهلاً بطرق الأحكام لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “القضاة ثلاثة: قاضيان في النار وقاض في الجنة فأما الذي في الجنة فرجل عرف الحق فحكم به فهو في الجنة وأما اللذان في النار فرجل عرف الحق فجار في حكه فهو في النار ورجل قضى للناس على جهل فهو في النار” .

Tidak boleh seorang qadi itu buta, karena ia tidak dapat mengenali para pihak dan para saksi. Adapun orang yang bisu namun memahami isyarat, terdapat dua wajah pendapat, sebagaimana dua wajah dalam kesaksiannya. Tidak boleh pula seorang qadi itu jahil terhadap metode pengambilan hukum, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Para qadi itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Adapun yang di surga adalah seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan dengannya, maka ia di surga. Adapun dua yang di neraka: seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran lalu berlaku zalim dalam putusannya, maka ia di neraka, dan seorang yang memutuskan perkara manusia dalam keadaan bodoh, maka ia di neraka.”

ولأنه إذا لم يجز أن يفتي الناس وهولا يلزمهم الحكم فلأن لا يجوز أن لا يقضي بينهم وهو يلزمهم الحكم أولى ويكره أن يكون القاضي جباراً عسوفاً وأن يكون ضعيفاً مهيناً لأن الجبار يهابه الخصم فلا يتمكن من استيفاء حجته والضعيف يطمع فيه الخصم وينشط عليه ولهذا قال بعض السلف وجدنا هذا الأمر لا يصلحه إلا شدة من غير عنف ولين من غير ضعف.

Karena apabila tidak boleh seseorang memberi fatwa kepada manusia padahal fatwa tidak bersifat mengikat bagi mereka, maka lebih utama lagi ia tidak boleh menjadi qadi yang hukumannya bersifat mengikat bagi mereka. Dan makruh jika seorang qadi itu seorang yang kejam dan zalim, atau seorang yang lemah dan hina, karena orang yang kejam akan ditakuti oleh pihak yang bersengketa sehingga ia tidak bisa menyampaikan hujahnya secara sempurna, sedangkan orang yang lemah akan dipermainkan oleh pihak yang bersengketa dan mereka akan berani terhadapnya. Oleh karena itu, sebagian salaf berkata: “Kami dapati bahwa urusan ini (peradilan) tidak akan baik kecuali dengan ketegasan tanpa kekerasan dan kelembutan tanpa kelemahan.”

فصل: ولا يجوز ولاية القضاء إلا بتولية الإمام أو تولية من فوض إليه الإمام لأنه من المصالح العظام فلا يجوز إلا من جهة الإمام فإن تحاكم رجلان إلى من يصلح أن يكون حاكماً ليحكم بينهما جاز لأنه تحاكم عمر وأبي بن كعب إلى زيد بن ثابت تحاكم عثمان وطلحة إلى جبير بن مطعم واختلف قوله في الذي يلزم به حكمه فقال في أحد القولين لا يلزم الحكم إلا بتراضيهما بعد الحكم وهو قول المزني رحمه الله تعالى لأنا لو ألزمناهما حكمه كان ذلك عزلاً للقضاة وافتياتاً على الإمام ولأنه لما اعتبر تراضيهما في الحكم اعتبر رضاهما في لزوم الحكم

PASAL: Tidak sah kewenangan qadha (menjadi qadi) kecuali dengan pengangkatan dari imam atau dari orang yang diberi wewenang oleh imam, karena qadha termasuk urusan kemaslahatan besar, maka tidak sah kecuali dari pihak imam. Namun, apabila dua orang saling bersengketa mengajukan perkara kepada seseorang yang layak menjadi hakim agar memutuskan di antara mereka, maka hal itu boleh, karena Umar dan Ubay bin Ka‘b pernah mengajukan perkara kepada Zaid bin Tsabit, dan ‘Utsman dan Thalhah kepada Jubayr bin Muṭ‘im.

Dan terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah hukum dari hakim tersebut mengikat. Dalam salah satu pendapat, disebutkan bahwa hukum tersebut tidak mengikat kecuali setelah keduanya rela dengan keputusan tersebut setelah dijatuhkan, dan ini adalah pendapat al-Muzani rahimahullah, karena jika kita mewajibkan keduanya menerima keputusan tersebut maka itu berarti menyingkirkan para qadi yang diangkat dan merupakan tindakan mendahului wewenang imam. Dan karena kerelaan mereka dipertimbangkan saat menjatuhkan hukum, maka kerelaan mereka juga dipertimbangkan dalam mewajibkan keputusan itu.

والثاني: أنه يلزم بنفس الحكم لأن من جاز حكمه لزم حكمه كالقاضي الذي ولاه الإمام واختلف أصحابنا فيما يجوز فيه التحكيم فمنهم من قال يجوز في كل ما تحاكم فيه الخصمان كما يجوز حكم القاضي الذي ولاه الإمام ومنهم من قال: يجوز في الأموال فأما في النكاح والقصاص واللعان وحد القذف فلا يجوز فيها التحكيم لأنها حقوق بنيت على الاحتياط فلم يجز فيها التحكيم.

Dan pendapat yang kedua: bahwa keputusan itu langsung mengikat dengan dijatuhkannya hukum, karena siapa saja yang sah menjadi hakim maka putusannya pun sah dan mengikat, sebagaimana qadi yang diangkat oleh imam.

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang perkara apa saja yang boleh dilakukan taḥkīm (pengajuan perkara kepada selain qadi resmi). Sebagian dari mereka berpendapat: boleh dalam seluruh perkara yang diperselisihkan dua pihak, sebagaimana sahnya keputusan qadi yang diangkat oleh imam. Dan sebagian lain berpendapat: hanya boleh dalam perkara harta. Adapun dalam perkara nikah, qiṣāṣ, li‘ān, dan ḥadd qadhf, tidak boleh dilakukan taḥkīm, karena perkara-perkara tersebut adalah hak-hak yang dibangun di atas prinsip kehati-hatian, sehingga tidak dibolehkan taḥkīm di dalamnya.

فصل: ويجوز أن يجعل قضاء بلد إلى اثنين وأكثر على أن يحكم كل واحد منهم في موضع ويجوز أن يجعل إلى أحدهما: القضاء في حق وإلى الآخر في حق آخر وإلى أحدهما: في زمان وإلى الآخر في زمان آخر لأنه نيابة عن الإمام فكان على حسب الاستنابة وهل يجوز أن يجعل إليهما القضاء في مكان واحد في حق واحد وزمان واحد فيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز لأنه نيابة فجاز أن يجعل إلى اثنين كالوكالة والثاني: أنه لا يجوز لأنهما قد يختلفان في الحكم فتقف الحكومة ولا تنقطع الخصومة.

PASAL: Boleh menjadikan urusan peradilan suatu negeri kepada dua orang atau lebih, dengan syarat masing-masing mengadili pada tempatnya masing-masing. Dan boleh juga diberikan kepada salah satu dari keduanya kewenangan mengadili dalam satu jenis perkara dan kepada yang lain dalam jenis perkara yang lain, atau kepada salah satunya pada suatu waktu dan kepada yang lainnya pada waktu yang lain, karena peradilan adalah bentuk perwakilan dari imam, maka hukumnya sesuai dengan bentuk perwakilan tersebut.

Adapun apakah boleh menyerahkan urusan peradilan kepada keduanya dalam satu tempat, satu jenis perkara, dan satu waktu, maka dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat): pertama, boleh, karena merupakan bentuk perwakilan, sehingga boleh diberikan kepada dua orang sebagaimana dalam perwakilan biasa (wakālah); dan kedua, tidak boleh, karena keduanya bisa saja berbeda pendapat dalam memutuskan perkara sehingga hukum menjadi tertunda dan perselisihan tidak berakhir.

فصل: ولا يجوز أن يعقد تقلد القضاء على أن يحكم بمذهب بعينه لقوله عز وجل: {فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ} والحق ما دل عليه الدليل وذلك لا يتعين في مذهب بعينه فإن قلد على هذا الشرط بطلت التولية لأنه علقها على شرط وقد بطل الشرط فبطلت التولية.

PASAL: Tidak boleh diadakan pengangkatan jabatan qadhi dengan syarat harus memutuskan berdasarkan mazhab tertentu, karena firman Allah SWT: {faḥkum baina an-nāsi bil-ḥaqq} (maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan adil), dan yang dimaksud dengan al-ḥaqq adalah apa yang ditunjukkan oleh dalil, sedangkan itu tidak terbatas pada satu mazhab tertentu. Maka jika pengangkatan dilakukan dengan syarat demikian, batal pengangkatannya, karena ia tergantung pada syarat, sedangkan syarat tersebut batal, maka batal pula pengangkatannya.

فصل: وإذا ولى القضاء على بلد كتب له العهد بما ولى لأن النبي صلى الله عليه وسلم كتب لعمرو بن حزم حين بعثه إلى اليمن وكتب أبو بكر الصديق رضي الله عنه لأنس حين بعثه إلى البحرين كتاباً وختمه بخاتم رسول الله صلى الله عليه وسلم وروى حارثة بن مضرب أن عمر كتب إلى أهل الكوفة أما بعد فإني بعثت إليكم عماراً أميراً وعبد الله قاضياً ووزيراً فاسمعوا لهما وأطيعوا فقد آثرتكم بهما فإن كان البلد الذي ولاه بعيداً أشهد له على التولية شاهدين ليثبت بهما التولية وإن كان قريباً بحيث يتصل به الخبر في التولية ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه يجب الإشهاد لأنه عقد فلا يثبت بالاستفاضة كالبيع

PASAL: Apabila seseorang diangkat menjadi qadi atas suatu negeri, maka dituliskan untuknya surat pengangkatan sesuai dengan wilayah yang diamanahkan kepadanya. Hal ini karena Nabi SAW menulis surat kepada ‘Amr bin Ḥazm ketika beliau mengutusnya ke Yaman, dan Abu Bakar aṣ-Ṣiddīq RA juga menulis surat kepada Anas ketika mengutusnya ke Baḥrain dan membubuhi surat tersebut dengan stempel Rasulullah SAW. Dan Ḥāritsah bin Muḍarib meriwayatkan bahwa ‘Umar menulis surat kepada penduduk Kufah: “Amma ba‘du, sungguh aku telah mengutus kepada kalian ‘Ammār sebagai amir, dan ‘Abdullāh sebagai qadi dan wazir, maka dengarkanlah mereka dan taatilah, sungguh aku telah mengutamakan kalian dengan keduanya.”

Jika negeri yang ditugaskan kepadanya itu jauh, maka imam menghadirkan dua orang saksi atas pengangkatannya agar terbukti dengan keduanya. Namun, jika negeri tersebut dekat sehingga berita pengangkatan bisa sampai kepadanya secara langsung, maka ada dua wajah (pendapat): pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa tetap wajib menghadirkan saksi karena ini adalah bentuk akad, dan tidak dapat ditetapkan hanya dengan penyiaran umum (istifāḍah), seperti halnya akad jual beli.

والثاني: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أنه لا يجب الإشهاد لأنه يثبت بالاستفاضة فلا يفتقر إلى الإشهاد والمستحب للقاضي أن يسأل عن أمناء البلد ومن فيه من العلماء لأنه لا بد له منهم فاستحب تقدم العلم بهم والمستحب أن يدخل البلد يوم الإثنين لأن النبي صلى الله عليه وسلم دخل المدينة يوم الإثنين والمستحب أن ينزل وسط البلد ليتساوى الناس كلهم في القرب منه ويجمع الناس ويقرأ عليهم العهد ليعلموا التولية وما فوض إليه.

dan yang kedua: yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī bahwa tidak wajib menghadirkan saksi karena pengangkatan itu dapat ditetapkan dengan istifāḍah (penyiaran berita yang masyhur), maka tidak membutuhkan kesaksian.

Dan disunnahkan bagi qadi untuk menanyakan tentang para orang kepercayaan di kota tersebut dan siapa saja yang termasuk ulama di sana, karena ia pasti membutuhkan mereka, maka dianjurkan untuk mengetahui mereka terlebih dahulu.

Disunnahkan pula baginya untuk memasuki kota pada hari Senin, karena Nabi SAW memasuki Madinah pada hari Senin. Dan disunnahkan ia tinggal di tengah kota agar seluruh masyarakat sama jaraknya dalam mendekatinya, dan hendaknya ia mengumpulkan masyarakat dan membacakan kepada mereka surat pengangkatannya agar mereka mengetahui pengangkatannya dan apa saja yang telah dikuasakan kepadanya.

فصل: فإذا أذن له من ولاء أن يستخلف فله أن يستخلف وإن نهاه عن الاستخلاف لم يجز له أن يستخلف لأنه نائب عنه فتبع أمره ونهيه وإن لم يأذن له ولم ينهه نظرت فإن كان ما تقلده يقدر أن يقضي فيه بنفسه ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الاصطخري أنه يجوز أن يستخلف لأنه ينظر في المصالح فجاز أن ينظر بنفسه وبغيره

PASAL: Maka apabila orang yang mengangkatnya memberi izin untuk mengangkat pengganti, maka boleh baginya mengangkat pengganti. Namun jika ia melarangnya dari mengangkat pengganti, maka tidak boleh baginya untuk mengangkat pengganti, karena ia adalah wakil darinya, maka ia mengikuti perintah dan larangannya. Dan jika tidak memberinya izin dan juga tidak melarangnya, maka dilihat: jika perkara yang diembannya memungkinkan untuk diputuskan langsung olehnya, maka dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat: yang pertama—dan ini adalah pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī—bahwa boleh baginya mengangkat pengganti karena ia memandang pada kemaslahatan, maka boleh baginya memandang sendiri ataupun melalui orang lain.

والثاني: وهو المذهب أنه لا يجوز لأن الذي ولاه لم يرض بنظر غيره وإن كان ما ولاه لا يقدر أن يقضي فيه بنفسه لكثرته جاز أن يستخلف فيما لا يقدر عليه لأن تقليده لا يقدر عليه بنفسه أذن في الاستخلاف فيما لا يقدر عليه كما أن توكيل الوكيل فيما لا يقدر عليه بنفسه أذن له في استنابة غيره وهل له أن يستخلف فيما يقدر عليه أن يقضي فيه بنفسه فيه وجهان: أحدهما: أن له ذلك لأن ما جاز له أن يستخلف في البعض جاز أن يستخلف في الجميع كالإمام والثاني: أنه لا يجوز لأنه إنما أجيز له أن يستخلف فيما لا يقدر علي للعجز فوجب أن يكون مقصوراً على ما عجز عنه.

dan yang kedua—dan ini adalah mazhab—bahwa tidak boleh baginya mengangkat pengganti karena orang yang mengangkatnya tidak merelakan selainnya untuk memutus perkara. Dan jika perkara yang diembannya tidak mungkin diputuskan olehnya sendiri karena terlalu banyak, maka boleh baginya mengangkat pengganti dalam perkara yang tidak sanggup ia tangani, karena penugasannya pada perkara yang tidak bisa ia tangani sendiri merupakan izin untuk mengangkat pengganti dalam perkara yang tidak mampu ia tangani, sebagaimana seorang wakil apabila diberi tugas pada sesuatu yang tidak bisa ia tangani sendiri, maka hal itu merupakan izin baginya untuk mewakilkan kepada orang lain. Adapun apakah ia boleh mengangkat pengganti dalam perkara yang sebenarnya mampu ia tangani sendiri, maka dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat: yang pertama, bahwa boleh baginya melakukan itu karena apabila ia dibolehkan mengangkat pengganti untuk sebagian, maka boleh pula untuk seluruhnya, sebagaimana halnya imam. Dan yang kedua, bahwa tidak boleh, karena diperbolehkannya mengangkat pengganti hanyalah dalam perkara yang tidak mampu ditangani, maka harus dibatasi hanya pada apa yang ia tidak mampu.

فصل: ولا يجوز أن يقضي ولا يولي ولا يسمع البينة ولا يكاتب قاضياً في حكم في غير عمله فإن فعل شيئاً من ذلك في غير عمله لم يعتد به لأنه لا ولاية له في غير عمله فكان حكمه فيما ذكرناه حكم الرعية.

PASAL: Tidak boleh seorang qadhi memutuskan perkara, atau mengangkat pejabat (pengganti), atau mendengarkan bukti, atau berkirim surat kepada qadhi lain dalam suatu hukum di luar wilayah tugasnya. Maka apabila ia melakukan salah satu dari hal tersebut di luar wilayah tugasnya, maka tidak dianggap (sah), karena ia tidak memiliki wewenang di luar wilayah kerjanya. Maka hukumnya dalam hal-hal tersebut sama seperti rakyat biasa.

فصل: ولا يحكم لنفسه وإن اتفقت له حكومة مع خصم تحاكما فيها إلى خليفة له لأن عمر بن الخطاب رضي الله عنه تحاكم مع أبي بن كعب إلى زيد بن ثابت وتحاكم عثمان رضي الله عنه مع طلحة إلى جبير بن مطعم وتحاكم علي كرم الله وجهه مع يهودي في درع إلى شريح ولأنه لا يجوز أن يكون شاهداً لنفسه فلا يجوز أن يكون حاكماً لنفسه ولا يجوز أن يحكم لوالده وإن علا ولا لولده وإن سفل وقال أبو ثور: يجوز وهذا خطأ لأنه متهم في الحكم لهما كما يتهم في الحكم لنفسه وإن تحاكم إليه والده مع ولده فحكم لأحدهما: فقد قال بعض أصحابنا: إنه يحتمل وجهين: أحدهما: أنه لا يجوز كما لا يجوز إذا حكم له مع أجنبي

PASAL: Tidak boleh seorang qāḍī memutuskan perkara untuk dirinya sendiri. Dan apabila kebetulan ia terlibat perkara dengan lawan, maka keduanya harus membawa perkara itu kepada wakilnya. Karena Umar bin al-Khaṭṭāb RA pernah bersengketa dengan Ubay bin Ka‘b lalu keduanya membawa perkara itu kepada Zayd bin Thābit. Dan ‘Utsmān RA pernah bersengketa dengan Ṭalḥah lalu membawa perkara itu kepada Jubayr bin Muṭ‘im. Dan ‘Alī Karramallāhu Wajhah bersengketa dengan seorang Yahudi tentang baju zirah, lalu membawa perkara itu kepada Syarīḥ. Hal ini karena tidak boleh seseorang menjadi saksi bagi dirinya sendiri, maka demikian pula tidak boleh menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Dan tidak boleh seorang qāḍī memutus perkara untuk ayahnya meskipun ke atas (kakek dan seterusnya), dan juga tidak untuk anaknya meskipun ke bawah (cucu dan seterusnya).

Abū Thawr berpendapat bahwa hal itu boleh, namun ini adalah pendapat yang keliru, karena ia dituduh berat sebelah dalam memberi putusan kepada keduanya, sebagaimana ia juga dituduh jika memutus untuk dirinya sendiri.

Apabila ayahnya bersengketa dengan anaknya lalu keduanya mengangkatnya sebagai hakim dan ia memutuskan untuk salah satunya, maka sebagian ulama mazhab kami berkata bahwa dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat: salah satunya bahwa hal itu tidak boleh, sebagaimana tidak boleh jika ia memutus untuk ayahnya dalam perkara dengan orang lain.

والثاني: أنه يجوز لأنهما استويا في التعصيب فارتفعت عنه تهمة الميل وإن أراد أن يستخلف في أعماله والده وولده جاز لأنهما يجريان مجرى نفسه ثم يجوز أن يحكم في أعماله فجاز أن يستخلفهما للحكم في أعماله وأما إذا فوض الإمام إلى رجل أن يختار قاضياً لم يجز أن يختار والده أو ولده لأنه لا يجوز أن يختار نفسه فلا يجوز أن يختار والده أو ولده.

dan yang kedua, bahwa hal itu boleh karena keduanya sama dalam hubungan nasab (ta‘ṣīb), sehingga tuduhan keberpihakan pun hilang darinya. Dan apabila ia ingin mengangkat ayahnya atau anaknya sebagai wakil dalam tugas-tugasnya, maka hal itu boleh karena keduanya berlaku seperti dirinya sendiri, dan sebagaimana ia boleh memutus dalam tugas-tugasnya, maka boleh pula ia mengangkat mereka untuk memutus dalam tugas-tugasnya.

Adapun apabila imam memberikan wewenang kepada seseorang untuk memilih seorang qāḍī, maka tidak boleh baginya memilih ayahnya atau anaknya, karena ia tidak boleh memilih dirinya sendiri, maka demikian pula tidak boleh memilih ayah atau anaknya.

فصل: ولا يجوز أن يرتشي على الحكم لما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم”. ولأنه أخذ مال على حرام فكان حراماً كمهر البغي ولا يقبل هدية ممن لم يكن له عادة أن يهدي إليه قبل الولاية

PASAL: Tidak boleh menerima suap atas suatu keputusan hukum, karena Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum.” Dan karena ia mengambil harta atas sesuatu yang haram, maka hukumnya haram, seperti mahar bagi wanita pezina. Tidak boleh pula menerima hadiah dari orang yang sebelumnya tidak biasa memberinya sebelum mendapat jabatan.

لما روى أبو حميد الساعدي قال: استعمل رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلاً من بني أسد يقال له ابن اللتبية على الصدقة فلما قدم قال هذا لكم وهذا أهدي إلي فقام صلى الله عليه وسلم على المنبر فقال: “ما بال العامل نبعثه على بعض أعمالنا فيقول هذا لكم وهذا أهدي إلي ألا جلس في بيت أبيه أو أمه فينظر أيهدى إليه أم لا والذي نفسي بيده لا يأخذ أحد منهما شيئاً إلا جاء يوم القيامة يحمله على رقبته” .

Karena telah diriwayatkan dari Abu Ḥumayd al-Sā‘idī bahwa Rasulullah SAW mengangkat seorang laki-laki dari Bani Asad yang bernama Ibn al-Lutbiyyah untuk mengurusi sedekah. Ketika ia kembali, ia berkata: “Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan kepadaku.” Maka Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar dan bersabda: “Apa urusan seorang petugas yang kami utus untuk suatu pekerjaan, lalu ia berkata: ‘Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan kepadaku’? Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya, lalu melihat apakah akan diberi hadiah atau tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang mengambil sesuatu dari keduanya (harta zakat atau hadiah karena jabatan) melainkan ia akan datang pada hari kiamat dengan membawanya di atas pundaknya.”

فدل على أن ما أهدي إليه بعد الولاية لا يجوز قبوله وأما من كانت له عادة بأن يهدى إليه قبل الولاية برحم أو مودة فإنه إن كانت له في الحال حكومة لم يجز قبولها منه لأنه لا يأخذ في حال يتهم فيه وإن لم يكن له حكومة فإن كان أكثر مما كان يهدى إليه أو أرفع منه لم يجز له قبولها لأن الزيادة حدث بالولاية وإن لم يكن أكثر ولا أرفع مما كان يهد إليه جاز قبولها لخروجها عن تسبب الولاية والأولى أن لا يقبل لجواز أن يكون قد أهدي إليه لحكومة منتظرة.

Maka hal ini menunjukkan bahwa apa yang dihadiahkan kepadanya setelah mendapat jabatan tidak boleh diterima. Adapun orang yang telah terbiasa memberinya hadiah sebelum ia menjabat, karena hubungan kerabat atau kasih sayang, maka jika pada saat itu ia memiliki perkara hukum dengannya, tidak boleh hadiah itu diterima, karena ia mengambilnya dalam keadaan yang menimbulkan tuduhan. Jika tidak ada perkara hukum, dan hadiah itu lebih banyak atau lebih mewah dari yang biasa diberikan sebelumnya, maka tidak boleh menerimanya karena tambahan itu muncul karena jabatan. Namun jika tidak lebih banyak dan tidak lebih mewah dari yang biasa diberikan, maka boleh menerimanya karena tidak disebabkan oleh jabatan. Tetapi yang lebih utama adalah tidak menerimanya, karena bisa jadi hadiah itu diberikan karena ada perkara hukum yang akan datang.

فصل: ويجوز أن يحضر الولائم لأن الإجابة إلى وليمة غير العرس مستحبة وفي وليمة العرس وجهان: أحدهما: أنها فرض على الأعيان والثاني: أنها فرض على الكفاية ولا يخص في الإجابة قوماً دون قوم لأن في تخصيص بعضهم ميلاً وتركاً للعدل فإن كثرت عليه وقطعته عن الحكم ترك الحضور في حق الجميع لأن الإجابة إلى الوليمة إما أن تكون سنة أو فرضاً على الكفاية أو فرضاً على الأعيان إلا أنه لا يستضر بتركها جميع المسلمين والقضاء فرض عليه ويستضر بتركه جميع المسلمين فوجب تقديم القضاء

PASAL: Boleh menghadiri walimah, karena memenuhi undangan walimah selain walimah nikah hukumnya mustahab. Adapun dalam walimah nikah terdapat dua pendapat: pertama, bahwa ia fardhu ‘ain atas setiap individu; kedua, bahwa ia fardhu kifayah. Tidak boleh mengkhususkan sekelompok orang dalam memenuhi undangan tanpa yang lain, karena hal itu menunjukkan kecenderungan (pada sebagian) dan meninggalkan keadilan. Jika undangan terlalu banyak dan mengganggu pelaksanaan tugas kehakiman, maka hendaknya ia meninggalkan seluruh undangan tersebut, karena memenuhi undangan walimah —baik yang hukumnya sunnah, fardhu kifayah, maupun fardhu ‘ain— tidak akan membahayakan seluruh kaum muslimin. Sedangkan tugas kehakiman adalah fardhu yang jika ditinggalkan akan membahayakan seluruh kaum muslimin, maka wajib mendahulukan tugas kehakiman.

فصل: ويجوز أن يعود المرضى ويشهد الجنائز ويأتي مقدم الغائب لقوله صلى الله عليه وسلم: “عائد المريض في مخوف من مخارف الجنة حتى يرجع” . وعاد النبي صلى الله عليه وسلم سعداً وجابراً وعاد غلاماً يهودياً في جواره وعرض عليه السلام فأجاب وكان يصلي على الجنائر فإن كثرت عليه أتى من ذلك ما لا يقطعه عن الحكم والفرق بينه وبين حضور الولائم حيث قلنا إنها إذا كثرت عليه ترك الجميع أن الحضور في الولائم لحق أصحابنا فإذا حضر عند بعضهم كان ذلك للميل إلى من يحضره والحضور في هذه الأشياء لطلب الثواب لنفسه فلم يترك ما قدر عليه.

PASAL: Boleh menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, dan menyambut kedatangan orang yang baru datang dari bepergian, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Orang yang menjenguk orang sakit berada di jalan yang menakutkan dari jalan-jalan surga hingga ia kembali.” Nabi SAW pernah menjenguk Sa‘d dan Jābir, dan juga menjenguk seorang anak Yahudi yang bertetangga dengannya, lalu beliau menawarkan Islam kepadanya, dan anak itu pun menerimanya. Nabi SAW juga biasa menshalatkan jenazah. Jika hal-hal ini terlalu banyak menimpa beliau, maka beliau lakukan sebagian yang tidak menghalangi dari tugas penghakiman. Perbedaan antara hal ini dengan menghadiri walimah, yang jika terlalu banyak maka ditinggalkan semuanya, karena menghadiri walimah adalah hak saudara-saudara kita. Jika dihadiri sebagian, itu menunjukkan kecenderungan kepada yang dihadiri. Adapun menghadiri hal-hal seperti ini (menjenguk, menyaksikan jenazah, dll.) adalah untuk mencari pahala bagi dirinya sendiri, maka tidak ditinggalkan selama masih mampu dilakukan.

فصل: ويكره أن يباشر البيع والشراء بنفسه لما روى أبو الأسود المالكي عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ما عدل وال اتجر في رعيته أبدا”. وقال شريح: شرط علي غضبان ولأنه إذا باشر ذلك بنفسه لم يؤمن أن يحابى فيميل إلى من حاباه فإن احتاج إلى البيع والشراء وكل من ينوب عنه ولا يكون معروفاً به فإن عرف أنه وكيله استبدل بمن لا يعرف به حتى لا يحابى فتعود المحاباة إليه فإن لم يجد من ينوب عنه تولى بنفسه لأنه لا بد له منه فإذا وقعت لمن بايعه حكومة استخلف من يحكم بينه وبين خصمه لأنه إذا تولى الحكم بنفسه لم يؤمن أن يميل إليه.

PASAL: Dimakruhkan bagi seorang penguasa untuk langsung melakukan jual beli sendiri, karena telah diriwayatkan dari Abul Aswad al-Mālikī dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada seorang penguasa yang berbuat adil jika ia berdagang di tengah rakyatnya.” Dan Syuraiḥ berkata: “Itu adalah syarat yang ditetapkan kepadaku saat aku sedang marah.” Karena jika ia melakukan jual beli sendiri, tidak terjamin ia tidak akan diberi keistimewaan, sehingga ia condong kepada orang yang memberinya keistimewaan. Jika ia membutuhkan untuk jual beli, maka ia mewakilkan kepada orang lain dan tidak dikenal sebagai wakilnya. Jika diketahui bahwa ia adalah wakilnya, maka diganti dengan orang yang tidak dikenal sebagai wakil agar tidak terjadi keistimewaan yang akhirnya kembali kepadanya. Jika tidak menemukan orang yang bisa mewakilinya, maka ia sendiri yang melakukannya karena ia membutuhkannya. Namun jika orang yang melakukan transaksi dengannya memiliki perkara yang dibawa ke pengadilan, maka ia harus mengangkat orang lain untuk memutuskan perkara antara mereka, karena jika ia sendiri yang memutuskan, dikhawatirkan ia akan condong kepadanya.

فصل: ولا يقضي في حال الغضب ولا في حال الجوع والعطش ولا في حال الحزن والفرح ولا يقضي والنعاس يغلبه ولا يقضي والمرض يقلقه ولا يقضي وهو يدافع الأخبثين ولا يقضي وهو في حر مزعج ولا في برد مؤلم لما روى أبو بكرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا ينبغي للقاضي أن يقضي بين اثنين وهو غضبان” .

PASAL: Tidak boleh mengadili dalam keadaan marah, lapar, haus, sedih, gembira, dalam keadaan mengantuk yang menguasainya, dalam keadaan sakit yang mengganggunya, dalam keadaan menahan buang air besar atau kecil, dan tidak pula dalam keadaan panas yang menyengat atau dingin yang menyakitkan. Karena Abū Bakrah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak layak bagi seorang qadhi mengadili antara dua orang dalam keadaan marah.”

وروى أبو سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا يقضي القاضي إلا وهو شبعان ريان”. ولأن في هذه الأحوال يشتغل قلبه فلا يتوفر على الاجتهاد في الحكم وإن حكم في هذه الأحوال صح حكمه لأن الزبير ورجلاً من الأنصار اختصما إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في شراج الحرة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم للزبير: “اسق زرعك ثم أرسل الماء إلى جارك” فقال الأنصاري: وأن كان ابن عمتك يا رسول الله فغضب رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى احمر وجهه ثم قال للزبير: “اسق زرعك واحبس الماء حتى يبلغ الجدر ثم أرسله إلى جارك”. فحكم في حال الغضب.

Dan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seorang qadhi tidak boleh mengadili kecuali dalam keadaan kenyang dan tidak haus.” Karena dalam keadaan-keadaan tersebut (marah, lapar, haus, dll.), hati seseorang tersibukkan sehingga tidak sepenuhnya dapat mencurahkan ijtihad dalam penghakiman. Namun, apabila ia tetap memutuskan perkara dalam keadaan-keadaan tersebut, maka putusannya tetap sah. Karena al-Zubair dan seorang laki-laki Anshar berselisih kepada Rasulullah SAW mengenai saluran air di al-Ḥirrah, maka Rasulullah SAW bersabda kepada al-Zubair: “Siramilah tanamanmu, kemudian alirkan air itu ke tetanggamu.” Maka orang Anshar itu berkata: “Wahai Rasulullah, meskipun dia adalah anak bibi engkau?” Maka Rasulullah SAW marah hingga wajah beliau memerah, kemudian beliau bersabda kepada al-Zubair: “Siramilah tanamanmu, lalu tahan air itu sampai mencapai batas dinding, kemudian alirkan ke tetanggamu.” Maka beliau memutuskan perkara dalam keadaan marah.

فصل: والمستحب أن يجلس للحكم في موضع بارز يصل إليه كل أحد ولا يحتجب من غير عذر لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من ولي من أمر الناس شيئاً فاحتجب دون حاجتهم وفاقتهم احتجب الله دون فاقته وفقره”. والمستحب أن يكون المجلس فيسحاً حتى لا يتأذى بضيقه الخصوم ولا يزاحم فيه الشيخ والعجوز وأن يكون موضعاً لا يتأذى فيه بحر أو برد أو دخان أو رائحة منتنة

PASAL: Dianjurkan bagi hakim duduk untuk memutuskan perkara di tempat yang terbuka yang dapat dijangkau oleh setiap orang, dan tidak boleh menutup diri tanpa uzur, karena telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang diserahi urusan manusia lalu ia menutup diri dari kebutuhan dan kefakiran mereka, maka Allah akan menutup diri dari kebutuhan dan kefakirannya.” Dianjurkan pula agar majelis tersebut luas agar para pihak yang bersengketa tidak merasa terganggu karena sempitnya tempat, dan agar orang tua laki-laki maupun perempuan tidak berdesak-desakan. Hendaknya pula tempat tersebut tidak membuat terganggu karena panas atau dingin, atau asap, atau bau yang tidak sedap.

لأن عمر رضي الله عنه كتب إلى أبي موسى الأشعري رضي الله عنه وإياك والقلق والضجر وهذه الأشياء تفضي إلى الشجر وتمنع الحاكم من التوفر على الاجتهاد وتمنع الخصوم من استيفاء الحجة فإن حكم مع هذه الأحوال صح الحكم كما يصح في حال الغضب ويكره أن يجلس للقضاء في المسجد لما روى معاذ رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “جنبوا مساجدكم صبيانكم ومجانينكم ورفع أصواتكم وخصوماتكم وحدودكم وسل سيوفكم وشراءكم وبيعكم” .

Karena Umar RA menulis kepada Abu Musa al-Asy‘ari RA: “Jauhilah kegelisahan dan kebosanan,” sebab hal-hal tersebut membawa kepada pertengkaran dan menghalangi hakim untuk mencurahkan kesungguhannya dalam berijtihad, serta menghalangi para pihak yang bersengketa untuk menyampaikan hujah secara tuntas. Jika hakim memutuskan perkara dalam keadaan-keadaan tersebut, maka hukumnya tetap sah sebagaimana sahnya keputusan dalam keadaan marah. Dan dimakruhkan bagi hakim duduk untuk mengadili perkara di masjid, karena Mu‘adz RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak kecil, orang-orang gila, suara yang keras, pertengkaran, pelaksanaan hudud, hunusan pedang, jual beli kalian.”

ولأن الخصومة يحضرها اللغط والسفه فينزه المسجد عن ذلك ولأنه قد يكون الخصم جنباً أو حائضاً فلا يمكنه المقام في المسجد للخصومة فإن جلس في المسجد لغير الحكم فحضر خصمان لم يكره أن يحكم بينهما لما روى الحسن البصري قال: دخلت المسجد فرأيت عثمان رضي الله عنه قد ألقى رداءه ونام فأتاه سقاء بقربة ومعه خصم فجلس عثمان وقضى بينهما وإن جلس في البيت لغير الكم فحضره خصمان لم يكره أن يحم بينهما لما روت أم سلمة رضي الله عنها قالت: اختصم إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلان من الأنصار في مواريث متقادمة فقضى رسول الله صلى الله عليه وسلم بينهما في بيتي.

Karena dalam sengketa biasanya terdapat keributan dan kebodohan, maka masjid harus dijauhkan dari hal itu. Selain itu, bisa jadi salah satu pihak yang bersengketa dalam keadaan junub atau haid sehingga tidak memungkinkan baginya untuk tetap berada di masjid demi menyelesaikan sengketa. Namun, jika hakim duduk di masjid bukan untuk memutuskan perkara, lalu datang dua orang bersengketa, maka tidak dimakruhkan baginya memutuskan perkara di antara keduanya. Sebagaimana telah diriwayatkan dari al-Ḥasan al-Baṣrī bahwa ia berkata: “Aku masuk masjid dan melihat ‘Utsmān RA telah meletakkan selendangnya dan tertidur, lalu datang seorang penjual air dengan kantong air dan bersama dia seorang lawan sengketa, maka ‘Utsmān pun duduk dan memutuskan perkara di antara keduanya.” Dan apabila hakim duduk di rumah bukan untuk memutuskan perkara, lalu datang dua orang bersengketa, maka tidak dimakruhkan pula baginya memutuskan perkara mereka, sebagaimana riwayat dari Ummu Salamah RA bahwa ia berkata: “Dua orang dari kaum Anṣār bersengketa tentang warisan yang lama, lalu Rasulullah SAW memutuskan perkara di antara keduanya di rumahku.”

فصل: وإن احتاج إلى أجرياء لإحضار الخصوم اتخذ أجرياء أمناء ويوصيهم بالرفق بالخصوم ويكره أن يتخذ حاجباً لأنه لا يؤمن أن يمنع من له ظلامة أو يقدم خصماً على خصم فإن دعت الحاجة إلى ذلك اتخذ أميناً بعيداً من الطم ويوصيه بما يلزمه من تقديم من سبق من الخصوم ولا يكره للإمام أن يتخذ حاجباً لأن يرفأ كان حاجب عمر والحسن البصري كان حاجب عثمان وقنبر كان حاجب علي كرم الله وجهه ولأن الإمام ينظر في جميع المصالح فتدعوه الحاجة إلى أن يجعل لكل مصلحة وقتاً لا يدخل فيه كل أحد.

PASAL: Jika qadhi membutuhkan para petugas untuk menghadirkan para pihak yang bersengketa, maka ia mengangkat para petugas yang dapat dipercaya, dan ia mewasiatkan kepada mereka agar berlaku lemah lembut kepada para pihak. Makruh hukumnya qadhi mengangkat penjaga pintu (hājib), karena dikhawatirkan ia akan menghalangi orang yang memiliki pengaduan, atau mendahulukan salah satu pihak atas pihak lainnya. Namun jika terdapat kebutuhan, maka qadhi boleh mengangkat seorang penjaga pintu yang amanah dan jauh dari sifat zalim, dan ia mewasiatkan kepadanya agar melaksanakan kewajibannya, yaitu mendahulukan pihak yang datang lebih dahulu dari para pihak yang bersengketa. Tidak makruh bagi imam (kepala negara) untuk memiliki penjaga pintu, karena Rifā’ adalah penjaga pintu ‘Umar, al-Ḥasan al-Baṣrī adalah penjaga pintu ‘Utsmān, dan Qanbar adalah penjaga pintu ‘Alī karramallāhu wajhah. Hal ini karena imam mengurus seluruh kemaslahatan, sehingga kadang ia membutuhkan pengaturan waktu untuk setiap kepentingan dan tidak membiarkan setiap orang masuk kapan saja.

فصل: ويستحب أن يكون له حبس لأن عمر رضي الله عنه اشترى داراً بمكة بأربعة آلاف درهم وجعلها سجناً واتخذ علي كرم الله وجهه سجناً وحبس عمر رضي الله عنه الحطيئة الشاعر فقال:
ماذا تقول لأفراخ بذي مرخ … حمر الحواصل لا ماء ولا شجر
ألقيت كاسبهم في قعر مظلمة … فارحم عليك سلام الله يا عمر
فخلاه وحبس عمر آخر فقال:
يا عمر الفاروق طال حبسي … ومل مني إخواتي وعرسي
في حدث لم تقترنه نفسي … والأمر أضوأ من شعاع الشمس
ولأنه يحتاج إليه للتأديب ولاستيفاء الحق من المماطل بالدين ويستحب أن يكون له درة للتأديب لأن عمر رضي الله عنه كانت له درة يؤدب بها الناس.

PASAL: Dianjurkan bagi seorang qadhi untuk memiliki penjara, karena Umar RA pernah membeli sebuah rumah di Mekah seharga empat ribu dirham dan menjadikannya sebagai penjara. Ali Karramallahu Wajhah juga membangun penjara, dan Umar RA pernah memenjarakan penyair al-Ḥuṭai’ah, lalu al-Ḥuṭai’ah berkata:

Māżā taqūlu li-afrākhin bi-Dzi Marakhin
Ḥumru al-ḥawāṣili lā mā’a wa-lā shajar
Alqayta kāsibahum fī qa‘ri muẓlimatin
Fārḥam ‘alaika salāmuLlāhi yā ‘Umar

“Apa yang akan engkau katakan kepada anak-anak kecil di Dzi Marakh
Yang paruhnya merah, tak ada air dan tak ada pohon
Engkau telah lemparkan pencari nafkah mereka ke dasar tempat gelap
Maka kasihanilah, atasmu salam Allah wahai Umar”

Lalu Umar membebaskannya. Umar juga pernah memenjarakan orang lain, dan orang itu berkata:

Yā ‘Umar al-Fārūq ṭāla ḥabsī
Wa-malla minnī ikhwātī wa-‘ursī
Fī ḥadatsin lam tuqtarinhu nafsī
Wa-al-amru aḍwa’u min shu‘ā‘i al-shams

“Wahai Umar al-Faruq, panjang sudah masa hukumanku
Saudara-saudaraku dan istriku bosan padaku
Untuk suatu kejadian yang tidak aku niatkan
Padahal perkara ini lebih terang dari cahaya mentari”

Karena penjara dibutuhkan untuk mendisiplinkan dan mengambil hak dari orang yang menunda pembayaran utang. Dianjurkan pula baginya memiliki durrat (cambuk pendek) untuk mendidik, karena Umar RA memiliki durrat yang digunakannya untuk mendisiplinkan orang-orang.

فصل: وإن احتاج إلى كاتب اتخذ كاتباً لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان له كتاب منهم علي بن أبي طالب وزيد بن ثابت رضي الله عنهما ومن شرطه أن يكون عارفاً بما يكاتب به القضاة من الأحكام وما يكتبه من المحاضر والسجلات لأنه إذا لم يعرف ذلك أفسد ما يكتبه بجهله

PASAL: Dan jika membutuhkan seorang penulis, maka ia mengambil seorang penulis, karena Nabi SAW memiliki para penulis, di antaranya adalah ‘Alī bin Abī Ṭālib dan Zayd bin Thābit RA. Di antara syarat penulis adalah harus mengetahui perkara-perkara yang dikirimi surat kepada para qāḍī berupa hukum-hukum, dan mengetahui apa yang ditulis dalam maḥāḍir dan as-sijillāt, karena jika ia tidak mengetahui hal tersebut, maka ia akan merusak apa yang ditulisnya karena kebodohannya.

وهل من شرطه أن يكون مسلماً عدلاً؟ فيه وجهان: أحدهما: أن ذلك شرط فلا يجوز أن يكون كافراً لأن أبا موسى الأشعري قدم على عمر رضي الله عنه ومعه كاتب نصراني فانتهره عمر رضي الله عنه وقال: لا تأمنوهم وقد خونهم الله ولا تدنوهم وقد أبعدهم الله ولا تعزوهم وقد أذلهم الله ولأن الكافر عدو للمسلمين فلا يؤمن أن يكتب ما بطل به حقوقهم ولا يجوز أن يكون فاسقاً لأنه لا يؤمن أن يخون والوجه الثاني أن ذلك يستحب لأن ما يكتبه لا بد أن يقف عليه القاضي ثم يمضيه فيؤمن فيه من الخيانة.

Dan apakah termasuk syaratnya harus seorang Muslim yang ‘adl? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama menyatakan bahwa hal tersebut adalah syarat, maka tidak boleh penulis itu seorang kāfir, karena Abū Mūsā al-Asy‘arī datang kepada ‘Umar RA bersama seorang penulis Nasrani, lalu ‘Umar RA menghardiknya dan berkata: “Jangan kalian percayai mereka, sungguh Allah telah menghukumi mereka sebagai pengkhianat. Jangan kalian dekatkan mereka, sungguh Allah telah menjauhkan mereka. Jangan kalian muliakan mereka, sungguh Allah telah menghinakan mereka.” Dan karena orang kāfir adalah musuh kaum Muslimin, maka tidak aman jika ia menulis sesuatu yang membatalkan hak-hak mereka. Tidak boleh pula penulis itu seorang fāsiq, karena tidak aman dari kemungkinan berkhianat.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hal tersebut disunnahkan, karena apa yang ditulis oleh penulis harus dilihat terlebih dahulu oleh qāḍī, kemudian disahkan olehnya, maka aman dari kemungkinan pengkhianatan.

فصل: ولا يتخذ شهوداً معينين لا تقبل شهادة غيرهم لأن في ذلك تضييقاً على الناس وإضراراً بهم في حفظ حقوقهم ولأن شروط الشهادة لا تختص بالعينين فلم يجز تخصيصهم بالقبول.
فصل: ويتخذ قوماً من أصحاب المسائل ليتعرف بهم أحوال من جهلت عدالته من الشهود وينبغي أن يكونوا عدولاً برآء من الشحناء بينهم وبين الناس بعداء من العصبية في نسب أو مذهب حتى لا يحملهم ذلك على جرح عدل أو تزكية غير عدل وأن يكونوا وافري العقول ليصلوا بوفور عقولهم إلى المطلوب ولا يسترسلوا فيسألوا عدواً أو صديقاً

PASAL: Dan tidak boleh menjadikan saksi-saksi tertentu yang tidak diterima kesaksian selain mereka, karena hal itu merupakan penyempitan bagi manusia dan menimbulkan mudarat bagi mereka dalam menjaga hak-hak mereka. Dan karena syarat-syarat kesaksian tidak khusus bagi orang-orang tertentu, maka tidak boleh mengkhususkan penerimaan kesaksian hanya dari mereka.

PASAL: Dan hendaknya mengangkat sekelompok orang dari kalangan ahli masalah untuk mengenali keadaan orang-orang yang tidak diketahui keadilannya dari para saksi. Dan seharusnya mereka adalah orang-orang yang adil, bersih dari permusuhan antara mereka dengan manusia, jauh dari fanatisme terhadap nasab atau mazhab, agar hal itu tidak mendorong mereka mencela orang yang adil atau memuji orang yang tidak adil. Dan hendaknya mereka orang-orang yang sempurna akalnya agar dengan kesempurnaan akalnya itu mereka bisa sampai pada tujuan, dan tidak tergesa-gesa dengan bertanya kepada musuh atau teman.

لأن العدو يظهر القبيح ويخفي الجميل والصديق يظهر الجميل ويخفي القبيح وإن شهد عنده شاهد نظرت فإن علم عدالته قبل شهادته وإن علم فسقه لم يقبل شهادته ويعمل في العدالة والفسق بعلمه وإن جهل إسلامه لم يحكم حتى يسألة عن إسلامه ولا يعمل في إسلامه بظاهر الدار كما يعمل في إسلام اللقيط بظاهر الدار لأن أعرابياً شهد عند النبي صلى الله عليه وسلم برؤية الهلال فلم يحكم بشهادته حتى سأل عن إسلامه ولأنه يتعلق بشهادته إيجاب حق على غيره فلا يعمل فيه بظاهر الدار ويرجع في إسلامه إلى قوله لأن النبي صلى الله عليه وسلم رجع إلى قول الأعرابي

Karena musuh akan menampakkan yang buruk dan menyembunyikan yang baik, sedangkan teman akan menampakkan yang baik dan menyembunyikan yang buruk. Dan apabila ada seorang saksi bersaksi di hadapannya, maka dilihat: jika diketahui keadilannya, diterima kesaksiannya. Dan jika diketahui kefasikannya, tidak diterima kesaksiannya, dan dalam perkara keadilan dan kefasikan digunakan pengetahuannya. Jika tidak diketahui keislamannya, maka tidak boleh memutuskan hukum sampai ia menanyakan tentang keislamannya. Dan tidak boleh menetapkan keislamannya hanya dengan melihat keadaan umum negeri, sebagaimana boleh ditetapkan keislaman laqīṭ dengan keadaan umum negeri. Karena seorang a‘rābī pernah bersaksi di hadapan Nabi SAW tentang terlihatnya hilal, maka Nabi SAW tidak memutuskan berdasarkan kesaksiannya sampai menanyakan keislamannya. Hal ini karena kesaksiannya mengandung konsekuensi penetapan hak atas orang lain, maka tidak cukup hanya dengan keadaan umum negeri. Namun, dalam keislamannya dikembalikan kepada pengakuannya, karena Nabi SAW menerima pengakuan a‘rābī tersebut.

وإذا جهل حريته ففيه وجهان: أحدهما: وهو ظاهر النص أنها تثبت بقوله لأن الظاهر من الدار حرية أهلها كما أن الظاهر من الدار إسلام أهلها ثم يثبت الإسلام بقوله فكذلك الحرية والثاني: وهو الأظهر أنها لا تثبت بقوله والفرق بينها وبين الإسلام أنه يملك الإسلام إذا كان كافراً فقبل إقراره به ولا يملك الحرية إذا كان عبداً فلم يقبل إقراراه بها وإن جهل عدالته لم يحكم حتى ثبتت عدالته لقوله تعالى: {فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ} ولا يعلم أنه مرضي قبل السؤال

Dan jika tidak diketahui apakah ia merdeka, maka ada dua pendapat: pertama, dan ini yang tampak dari nash, bahwa kemerdekaannya ditetapkan dengan pengakuannya, karena yang tampak dari suatu rumah adalah kebebasan penghuninya, sebagaimana yang tampak dari rumah adalah keislaman penghuninya, lalu Islam ditetapkan dengan pengakuannya, maka begitu pula kemerdekaan. Kedua, dan ini yang lebih kuat, bahwa kemerdekaan tidak ditetapkan dengan pengakuannya, dan perbedaannya dengan Islam adalah bahwa seseorang memiliki kendali untuk masuk Islam jika ia kafir, maka diterima pengakuannya terhadapnya, sedangkan kemerdekaan tidak ia miliki jika ia budak, maka tidak diterima pengakuannya terhadapnya.

Dan jika keadilannya tidak diketahui, maka tidak boleh dihukumi hingga keadilannya terbukti, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Fa in lam yakūnā rajulaini farajulun wamra’atāni mimman tarḍawna min asy-syuhadā’}, dan tidak diketahui bahwa ia orang yang diridhai sebelum ditanyakan.

وروى سليمان عن حريث قال: شهد رجل عند عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقال له عمر رضي الله عنه: إني لست أعرفك ولا يضرك أني لا أعرفك فأتني بمن يعرفك فقال رجل: أنا أعرفه يا أمير المؤمنين فقال بأي شيء تعرفه قال: بالعدالة قال: هو جارك الأدنى تعرف ليله ونهاره ومدخله ومخرجه قال: لا قال: فمعاملك بالدينار والدرهم اللذين يستدل بهما على الورع قال: لا قال: فصاحبك في السفر الذي يستدل له على مكارم الأخلاق قال: لا قال: لست تعرفه ثم قال للرجل ائتني بمن يعرفك ولأنه لا يؤمن أن يكون فاسقاً فلا يحكم بشهادته

Dan diriwayatkan oleh Sulaiman dari Ḥurayṯ, ia berkata: Seorang laki-laki memberikan kesaksian di hadapan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, maka ‘Umar RA berkata kepadanya: “Aku tidak mengenalmu, dan tidaklah merugikanmu bahwa aku tidak mengenalmu. Maka bawalah seseorang yang mengenalmu.” Lalu seseorang berkata: “Aku mengenalnya, wahai Amīr al-Mu’minīn.” ‘Umar berkata: “Dengan apa engkau mengenalnya?” Ia menjawab: “Dengan keadilannya.” ‘Umar berkata: “Apakah ia tetanggamu yang paling dekat, yang engkau ketahui malam dan siangnya, tempat masuk dan keluarnya?” Ia menjawab: “Tidak.” ‘Umar berkata: “Apakah engkau pernah bertransaksi dengannya dengan dinar dan dirham yang dengannya dapat diketahui kewara‘annya?” Ia menjawab: “Tidak.” ‘Umar berkata: “Apakah engkau teman safarnya yang dengannya dapat dikenali kemuliaan akhlaknya?” Ia menjawab: “Tidak.” Maka ‘Umar berkata: “Engkau tidak mengenalnya.” Lalu ia berkata kepada laki-laki itu: “Bawalah seseorang yang mengenalmu.”

Dan karena tidak aman dari kemungkinan bahwa ia seorang fāsiq, maka tidak dihukumi berdasarkan kesaksiannya.

وإن أراد أن يعرف عدالته كتب اسمه ونسبه وحليته وصنعته وسوقه ومسكنه حتى لا يشتبه بغيره ويذكر من يشهد له حتى لا يكون ممن لا تقبل شهادته ولومن والد أو ولد ويذكر من يشهد عليه حتى لا يكون عدواً لا يقبل شهادته عليه ويذكر قدر ما يشهد به لأنه قد يكون ممن يقبل قوله في قليل ولا يقبل قوله في كثير ويبعث ما يكتبه مع أصحاب المسائل

Dan jika ia ingin mengetahui keadilannya, maka ditulislah nama, nasab, ciri-ciri, pekerjaan, pasar tempat ia beraktivitas, dan tempat tinggalnya agar tidak tertukar dengan orang lain. Dan disebutkan pula siapa yang bersaksi mendukungnya, agar tidak termasuk orang yang tidak diterima kesaksiannya, walaupun itu ayah atau anak. Dan disebutkan pula siapa yang bersaksi atasnya, agar tidak termasuk musuh yang kesaksiannya tidak diterima terhadapnya. Dan disebutkan kadar perkara yang disaksikan olehnya, karena bisa jadi dia adalah orang yang diterima ucapannya dalam hal yang sedikit tetapi tidak diterima dalam hal yang banyak. Dan apa yang ditulis itu dikirimkan bersama para pemilik pertanyaan.

ويجتهد أن لا يكون أصحاب المسائل معروفين عند الشهود ولا عند الشهود حتى لا يحتالوا في تعديل أنفسهم ولا عند المسؤولين عن الشهود حتى لا يحتال لهم الأعداء في الجرح ولا الأصدقاء في التعديل ويجتهد أن لا يعلم أصحاب المسائل بعضهم ببعض فيجمعهم الهوى على التواطؤ على الجرح والتعديل قال الشافعي رحمه الله: ولا يثبت الجرح والتعديل إلا باثنين ووجهه أنه شهادة فاعتبر فيها العدد واختلف أصحابنا هل يحكم القاضي في الجرح والتعديل بأصحاب المسائل أو بمن عدل أو جرح من الجيران

Dan hendaknya berusaha agar para pemilik pertanyaan tidak dikenal oleh para saksi, dan tidak pula dikenal oleh para saksi terhadap mereka, agar mereka tidak merekayasa untuk men-tazkiyah diri mereka sendiri. Dan tidak pula dikenal oleh orang-orang yang ditanya tentang para saksi, agar tidak dimanfaatkan oleh musuh-musuh mereka untuk mencacatkan, dan oleh teman-teman mereka untuk men-tazkiyah. Dan hendaknya berusaha agar para pemilik pertanyaan tidak saling mengetahui satu sama lain, sehingga hawa nafsu tidak menghimpun mereka untuk bersekongkol dalam mencacatkan atau men-tazkiyah. Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: Tidak sah al-jarḥ dan at-ta‘dīl kecuali dengan dua orang, dan alasannya karena itu merupakan kesaksian, maka disyaratkan bilangan (dua orang). Para sahabat kami berbeda pendapat: Apakah qadi boleh menghukumi dalam masalah al-jarḥ dan at-ta‘dīl dengan para pemilik pertanyaan, ataukah dengan orang-orang yang men-tazkiyah atau mencacatkan dari kalangan tetangga?

فقال أبو إسحاق: يحكم بشهادة الجيران لأنهم يشهدون بالجرح والتعديل فعلى هذا يجوز أن يقتصر على قول الواحد من أصحاب المسائل ويجوز بلفظ الخبر ويسمى للحاكم من عدل أو جرح ثم يسمع الشهادة بالتعديل والجرح من الجيران على شرط الشهادة في العدد ولفظ الشهادة وحمل قول الشافعي رحمه الله في العدد على الجيران وقال أبو سعيد الإصطخري يحكم بشهادة أصحاب المسائل وهو ظاهر النص لأن الجيران لا يلزمهم الحضور للشهادة بما عندهم فحكم بشهادة أصحاب المسائل فعلى هذا لا يجوز أن يكون أصحاب المسائل أقل من اثنين

maka berkata Abū Isḥāq: diputuskan dengan kesaksian para tetangga karena merekalah yang memberikan kesaksian tentang al-jarḥ dan al-ta‘dīl, maka berdasarkan ini boleh cukup dengan satu orang dari para aṣḥāb al-masā’il, dan boleh menggunakan lafaz khabar, lalu disebutkan kepada hakim siapa yang melakukan ta‘dīl atau jarḥ, kemudian didengarkan kesaksian ta‘dīl dan jarḥ dari para tetangga dengan syarat-syarat kesaksian, baik dari sisi jumlah maupun lafaz kesaksiannya, dan pendapat al-Syāfi‘ī rahimahullāh tentang jumlah dibawa kepada (jumlah) para tetangga. Dan berkata Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī: diputuskan dengan kesaksian para aṣḥāb al-masā’il, dan ini adalah makna zahir dari nash, karena para tetangga tidak wajib hadir untuk bersaksi dengan apa yang mereka ketahui, maka diputuskan dengan kesaksian para aṣḥāb al-masā’il, maka berdasarkan ini tidak boleh jumlah para aṣḥāb al-masā’il kurang dari dua orang.

ويجوز أن يكون من يخبرهم من الجيران واحداً إذا وقع في نفوسهم صدقه ويجب أن يشهد أصحاب المسائل عند الحاكم على شرط الشهادة في العدد ولفظ الشهادة وحمل قول الشافعي رحمه الله تعالى في العدد على أصحاب المسائل وإن بعث اثنين فعادا بالجرح حكم بالجرح وإن عادا بالتعديل حكم بالتعديل وإن عاد أحدهما: بالتعديل وعاد الآخر بالجرح لم يحكم بقول واحد منهما في جرح ولا تعديل ويبعث ثالثاً فإن عاد بالجرح كملت بينة الجرح

dan boleh orang yang mengabarkan kepada mereka dari kalangan tetangga hanya satu orang, jika telah tertanam dalam hati mereka bahwa ia jujur, dan wajib bagi para aṣḥāb al-masā’il untuk bersaksi di hadapan hakim dengan memenuhi syarat kesaksian dari sisi jumlah dan lafaz kesaksian, dan pendapat al-Syāfi‘ī rahimahullāh tentang jumlah dibawa kepada (jumlah) para aṣḥāb al-masā’il. Jika ia mengutus dua orang lalu keduanya kembali dengan jarḥ, maka diputuskan berdasarkan jarḥ. Jika keduanya kembali dengan ta‘dīl, maka diputuskan berdasarkan ta‘dīl. Jika salah satunya kembali dengan ta‘dīl dan yang lainnya kembali dengan jarḥ, maka tidak diputuskan berdasarkan salah satu dari keduanya, baik dalam jarḥ maupun ta‘dīl, lalu dikirimkan orang ketiga. Jika ia kembali dengan jarḥ, maka sempurnalah bukti jarḥ.

وإن عاد بالتعديل كملت بينة التعديل وإن شهد اثنان بالجرح واثنان بالتعديل حكم بالجرح لأن شاهدي الجرح يخبران عن أمر باطن وشاهدي العدالة يخبران عن أمر ظاهر فقدم من يخبر بالباطن كما لو شهد اثنان بالإسلام وشهد آخران بالردة وإن شهد اثنان بالجرح وشهد ثلاثة بالعدالة قدمت بينة الجرح لأن بينة الجرح كملت فقدمت على بينة التعديل ولا يقبل الجرح إلا مفسراً وهو أن يذكر السبب الذي به جرح

Dan jika yang kembali membawa ta‘dīl, maka sempurnalah kesaksian ta‘dīl. Dan jika dua orang bersaksi dengan jarḥ dan dua orang bersaksi dengan ta‘dīl, maka diputuskan dengan jarḥ, karena dua saksi jarḥ mengabarkan tentang perkara batin, sedangkan dua saksi ‘adālah mengabarkan tentang perkara lahir, maka didahulukan yang mengabarkan tentang perkara batin, sebagaimana jika dua orang bersaksi bahwa seseorang masuk Islam dan dua orang lain bersaksi bahwa ia murtad. Dan jika dua orang bersaksi dengan jarḥ dan tiga orang bersaksi dengan ‘adālah, maka didahulukan kesaksian jarḥ, karena kesaksian jarḥ telah sempurna, maka didahulukan atas kesaksian ta‘dīl. Dan tidak diterima jarḥ kecuali yang dijelaskan, yaitu dengan menyebutkan sebab yang menyebabkan seseorang dijarḥ.

ولأن الناس يختلفون فيما يفسق به الإنسان ولعل من شهد بفسقه شهد على اعتقاده والحاكم لا يعتقد أن ذلك فسق والجرح والتعديل إلى رأي الحاكم فوجب بيانه لينظر فيه ولا يشهد بالجرح من يشهد من الجيران وأهل الخبرة إلا أن يعلم الجرح بالمشاهدة في الأفعال كالسرقة وشرب الخمر أو بالسماع في الأقوال كالشتم والقذف والكذب وإظهار ما يعتقده من البدع أو استفاض عنه ذلك بالخبر لأنه شهادة على علم

Dan karena manusia berbeda pendapat dalam hal-hal yang menyebabkan seseorang dianggap fāsiq, boleh jadi orang yang bersaksi atas kefāsiqan hanya berdasarkan keyakinannya, sementara hakim tidak meyakini bahwa hal tersebut adalah kefāsiqan. Dan jarḥ serta ta‘dīl dikembalikan kepada penilaian hakim, maka wajib dijelaskan agar hakim dapat meneliti hal itu. Dan tidak boleh bersaksi dengan jarḥ orang yang hanya mendengarnya dari tetangga atau orang yang berpengalaman, kecuali apabila jarḥ itu diketahui secara langsung melalui perbuatan seperti mencuri, meminum khamar, atau melalui pendengaran terhadap ucapan seperti mencela, menuduh, berdusta, dan menampakkan keyakinan terhadap bid‘ah, atau hal itu telah masyhur tentangnya melalui berita, karena hal itu adalah kesaksian atas dasar pengetahuan.

فأما إذا قال بلغني أو قيل لي أنه يفعل أو يقول أو يعتقد لم يجز أن يشهد به لقوله تعال: {إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ} قال الشافعي رحمه الله: ولا تقبل الشهادة بالتعديل حتى يقول هو عدل على ولي فمن أصحابنا من قال يكفي أن يقول هو عدل وهو قول أبي سعيد الإصطخري لأن قوله عدل يقتضي أنه عدل عليه وله وما ذكره الشافعي رحمه الله تعالى ذكره على سبيل الاستحباب ومنهم من قال لا يقبل حتى يقول عدل لي وعلي وهو قول أبي إسحاق لأن قوله عدل لا يقتضي العدالة على الإطلاق لأنه قد يكون عدلاً في شيء دون شيء وإذا قال عدل على ولي دل على العدالة على الإطلاق.

Adapun jika seseorang berkata, “Telah sampai kepadaku” atau “Dikatakan kepadaku bahwa ia melakukan, mengatakan, atau meyakini sesuatu,” maka tidak boleh dijadikan dasar kesaksian, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {illā man syahida bil-ḥaqqi wa hum ya‘lamūn} (kecuali orang yang bersaksi dengan kebenaran dan mereka mengetahuinya).

Imam al-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: Tidak diterima kesaksian ta‘dīl hingga ia mengatakan, “Ia adalah ‘adl terhadapku dan terhadap selainku.”

Sebagian dari kalangan sahabat kami berkata: Cukup dengan mengatakan, “Ia ‘adl,” dan ini adalah pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, karena ucapannya “‘adl” mencakup bahwa ia ‘adl terhadap diri dan orang lain. Dan apa yang disebutkan oleh Imam al-Syāfi‘ī rahimahullāh adalah dalam rangka anjuran.

Dan sebagian dari mereka berkata: Tidak diterima hingga ia mengatakan, “Ia ‘adl terhadapku dan terhadap orang lain,” dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena ucapannya “‘adl” tidak menunjukkan keadilan secara mutlak, sebab bisa jadi seseorang ‘adl dalam suatu hal tetapi tidak dalam hal lain. Dan jika ia mengatakan, “Ia ‘adl terhadapku dan terhadap orang lain,” maka itu menunjukkan keadilan secara mutlak.

فصل: ولا يقبل التعديل إلا ممن تقدمت معرفته وطالت خبرته بالشاهد لأن المقصود معرفة العدالة في الباطن ولا يعمل ذلك ممن لم يتقدم به معرفته ويقبل الجرح ممن تقدمت معرفته به وممن لم يتقدم معرفته لأنه لا يشهد في الجرح إلا بما شاهد أو سمع أو استفاض عنه وبذلك يعلم فسقه.
فصل: وإن شهد مجهول العدالة فقال المشهود عليه هو عدل ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز للحاكم أن يحكم بشهادته لأن البحث عن العدالة لحق المشهود عليه وهو قد شهد له بالعدالة والثاني: أنه لا يحكم لأن حكمه شهادته حكم بتعديله وذلك لا يجوز بقول الواحد ولأن اعتبار العدالة في الشاهد حق لله تعالى ولهذا لو رضي المشهود عليه بشهادة الفاسق لم يجز للحاكم أن يحكم بشهادته.

PASAL: Tidak diterima ta‘dīl kecuali dari orang yang telah lama dikenal dan cukup pengalamannya terhadap saksi, karena yang dimaksud adalah mengetahui keadilan batin, dan hal itu tidak dapat diketahui dari orang yang belum dikenal sebelumnya.

Sedangkan jarḥ diterima baik dari orang yang telah dikenal sebelumnya maupun dari yang belum dikenal, karena dalam jarḥ tidak diperbolehkan bersaksi kecuali berdasarkan apa yang ia saksikan, atau ia dengar, atau yang telah masyhur darinya, dan dengan itulah diketahui kefāsiqan seseorang.

PASAL: Jika ada seorang saksi yang tidak dikenal keadilannya, lalu orang yang disaksikan berkata, “Ia adalah ‘adl,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: Boleh bagi hakim untuk memutuskan berdasarkan kesaksiannya, karena penelitian tentang keadilan adalah demi hak orang yang disaksikan, dan ia sendiri telah menyatakan keadilan bagi saksi tersebut.
Kedua: Tidak boleh memutuskan dengan kesaksian itu, karena penetapan hakim atas kesaksian tersebut berarti menetapkan ta‘dīl-nya, dan hal itu tidak sah hanya dengan ucapan satu orang saja. Dan karena pertimbangan keadilan saksi adalah hak Allah Ta‘ala, oleh karena itu jika orang yang disaksikan ridha dengan kesaksian seorang fāsiq, tidak boleh bagi hakim untuk memutuskan dengan kesaksian tersebut.

فصل: وإن ثبت عدالة الشاهد ومضى على ذلك زمان ثم شهد عند الحاكم بحق نظرت فإن كان بعد زمان قريب يحكم بشهادته ولم يسألة عن عدالته وإن كان بعد زمان طويل ففيه وجهان: أحدهما: أنه يحكم بشهادته لأن الأصل بقاء العدالة والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يحكم بشهادته حتى يعيد السؤال عن عدالته لأنه مع طول الزمان يتغير الحال.

PASAL: Jika telah tetap keadilan seorang saksi dan telah berlalu waktu setelah itu, kemudian ia bersaksi di hadapan hakim dalam suatu hak, maka dilihat: jika waktu yang berlalu itu dekat, maka diputuskan dengan kesaksiannya dan tidak ditanyakan lagi tentang keadilannya. Namun jika waktu yang berlalu itu lama, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa diputuskan dengan kesaksiannya karena asalnya keadilan itu tetap.
Kedua: dan ini adalah pendapat Abu Ishaq, bahwa tidak diputuskan dengan kesaksiannya sampai ditanyakan kembali tentang keadilannya, karena dengan lamanya waktu bisa saja terjadi perubahan keadaan.

فصل: وإن شهد عنده شهود وارتاب بهم فالمستحب أن يسألهم عن تحمل الشهادة ويفرقهم ويسأل كل واحد منهم على الانفراد عن صفة التحمل ومكانه وزمانه لما روي أن أربعة شهدوا على امرأة بالزنا عند دانيال ففرقهم وسألهم فاختلفوا فدعا عليهم فنزلت عليهم نار من السماء فأحرقتهم وإن فرقهم فاختلفوا سقطت شهادتهم وإن اتفقوا وعظهم

PASAL: Jika para saksi datang bersaksi di hadapan hakim dan ia merasa ragu terhadap mereka, maka yang disunnahkan adalah menanyai mereka tentang bagaimana mereka menerima kesaksian, memisahkan mereka, dan menanyai setiap orang secara terpisah mengenai cara mereka menerima kesaksian, tempat dan waktunya.

Hal ini berdasarkan riwayat bahwa empat orang bersaksi atas seorang perempuan dengan tuduhan zina di hadapan Nabi Dāniyāl, lalu beliau memisahkan mereka dan menanyai masing-masing, maka mereka berbeda pendapat. Lalu beliau mendoakan keburukan atas mereka, maka turunlah api dari langit yang membakar mereka.

Jika mereka dipisah lalu terjadi perbedaan di antara mereka, maka kesaksian mereka gugur. Namun jika mereka sepakat, maka hakim menasihati mereka.

لما روى أبو حنيفة رحمه الله قال: كنت جالساً عند محارب بن دثار وهو قاضي الكوفة فجاءه رجل فادعى على رجل حقاً فأنكره فأحضر المدعي شاهدين فشهدا له فقال المشهود عليه والذي تقوم به السموات والأرض لقد كذا علي في الشهادة وكان محارب ابن دثار متكئاً فاستوى جالساً وقال سمعت ابن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “إن الطير لتخفق بأجنحتها وتمي بما في حواصلها من هول يوم القيامة وإن شاهد الزور لا تزول قدماه حتى يتبوأ مقعده من النار”. فإن صدقتما فاثبتا وإن كذبتما فغطيا على رؤوسكما وانصرفا فغطيا رؤوسهما وانصرفا.

Diriwayatkan dari Abū Ḥanīfah rahimahullāh, ia berkata: Aku sedang duduk di sisi Muḥārib bin Dithār—ia adalah qāḍī Kufah—lalu datang seorang lelaki yang menggugat hak atas lelaki lain, dan orang yang digugat mengingkari. Maka si penggugat mendatangkan dua orang saksi, lalu keduanya bersaksi untuknya.

Lalu orang yang digugat berkata, “Demi Dzat yang menegakkan langit dan bumi, sungguh keduanya berdusta atas kesaksiannya.” Saat itu Muḥārib bin Dithār sedang bersandar, lalu ia duduk tegak dan berkata:

Aku mendengar Ibn ‘Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya burung-burung mengepakkan sayapnya dan melepaskan isi temboloknya karena dahsyatnya hari kiamat. Dan sesungguhnya saksi palsu tidak akan bergeser kedua kakinya hingga ia menempati tempat duduknya di neraka.”

Lalu ia berkata kepada dua saksi itu: “Jika kalian benar, tetaplah (dengan kesaksian kalian). Jika kalian dusta, tutuplah kepala kalian dan pergilah.” Maka keduanya menutup kepala mereka dan pergi.

فصل: والمستحب أن يحضر مجلسه الفقهاء ليشاورهم فيما يشكل لقوله تعالى: {وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ} قال الحسن: إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم عن مشاورتهم لغنياً ولكن أراد الله تعالى أن يستسن بذلك الحكام ولأن النبي صلى الله عليه وسلم شاور في أسارى بدر فأشار أبو بكر بالفداء وأشر عمر رضي الله عنه بالقتل

PASAL: Dan yang disunnahkan adalah para fuqaha menghadiri majelisnya agar dapat bermusyawarah dengan mereka dalam perkara yang rumit, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa shāwirhum fī al-amr} (dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu). Al-Ḥasan berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak membutuhkan musyawarah mereka, tetapi Allah Ta‘ala menghendaki agar hal itu dijadikan sunnah oleh para hakim.” Dan karena Nabi SAW pernah bermusyawarah dalam perkara tawanan Badar, lalu Abū Bakar berpendapat agar mereka ditebus, dan ‘Umar RA berpendapat agar mereka dibunuh.

وروى عبد الرحمن ابن القاسم عن أبيه أن أبا بكر رضي الله عنه كان إذا نزل به أمر يريد فيه مشاورة أهل الرأي والفقه دعا رجالاً من المهاجرين ورجالاً من الأنصار ودعا عمر وعثمان وعلياً وعبد الرحمن بن عوف ومعاذ بن جبل وأبي بن كعب وزيد بن ثابت رضي الله عنهم فمضى أبو بكر على ذلك ثم ولي عمر رضي الله عنه وكان يدعوا هؤلاء النفر فإن اتفق ولا يقلد غيره لأنه مجتهد فلا يقلد

Dan Abdurraḥmān ibn al-Qāsim meriwayatkan dari ayahnya bahwa Abū Bakar RA apabila menghadapi suatu perkara yang ia ingin bermusyawarah dengan para ahli ra’yu dan fiqih, ia memanggil sejumlah orang dari kalangan Muhājirīn dan sejumlah orang dari kalangan Anṣār, serta memanggil ‘Umar, ‘Utsmān, ‘Alī, ‘Abdurraḥmān ibn ‘Awf, Mu‘āż ibn Jabal, Ubayy ibn Ka‘b, dan Zayd ibn Thābit RA. Maka Abū Bakar terus menjalankan hal itu. Kemudian ketika ‘Umar RA menjabat, ia pun memanggil orang-orang tersebut. Jika mereka sepakat, ia tidak mengikuti selain mereka karena ia seorang mujtahid, maka ia tidak bertaklid.

وقال أبو العباس: إن ضاق الوقت وخاف الفوت بأن يكون الحكم بين مسافرين وهم على الخروج قلد غيره وحكم كما قال في القبلة إذا خاف فوت الصلاة وقد بينا ذلك في كتاب الصلاة وإن اجتهد فأداه اجتهاده إلى حكم فحكم به ثم بان له أنه أخطأ فإن كان ذلك بدليل مقطوع به كالنص والإجماع والقياس الجلي نقض الحكم لقوله تعالى: {وأن احكم بينهم بما أنزل الله} ولما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال: ردوا الجهالات إلى السنة وكتب إلى أبي موسى لا يمنعنك قضاء قضيت به ثم راجعت فيه نفسك فهديت فيه لرشدك أن تراجع الحق فإن الحق قديم لا يبطله شيء وإن الرجوع إلى الحق أولى من التمادي في الباطل ولأنه مفرط في حكمه غير معذور فيه فوجب نقضه.

Dan Abū al-‘Abbās berkata: Jika waktu sempit dan dikhawatirkan kehilangan kesempatan, seperti ketika hendak memutuskan perkara antara dua orang musafir yang akan segera berangkat, maka boleh ia menyerahkan keputusan kepada selainnya, dan yang selain itu boleh memutuskan perkara tersebut—sebagaimana dikatakan dalam masalah qiblah apabila dikhawatirkan luputnya shalat. Dan kami telah menjelaskan hal itu dalam Kitāb al-Ṣalāh.

Apabila ia telah berijtihad lalu ijtihadnya membawanya kepada suatu putusan, kemudian ia memutuskan berdasarkan ijtihad tersebut, lalu tampak baginya bahwa ia keliru, maka jika kekeliruannya itu diketahui berdasarkan dalil yang maqṭū‘ seperti naṣṣ, ijmā‘, atau qiyās jallī, maka putusannya dibatalkan. Berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa an iḥkum baynahum bimā anzala Allāh} (dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah), dan berdasarkan riwayat dari ‘Umar RA bahwa ia berkata: “Kembalikan perkara-perkara yang tidak diketahui kepada sunnah,” dan ia menulis surat kepada Abū Mūsā: “Janganlah keputusan yang telah engkau buat menghalangimu dari kembali kepada kebenaran apabila engkau telah meninjau ulangnya dan mendapat petunjuk menuju kebenaran, karena kebenaran itu sudah ada sejak dahulu dan tidak akan dibatalkan oleh apa pun. Dan kembali kepada kebenaran lebih utama daripada terus-menerus dalam kebatilan.” Karena ia telah melakukan tafrīṭ dalam putusannya dan tidak memiliki udzur, maka wajiblah dibatalkan.

فصل: وإن ولي قضاء بلد وكان القاضي قبله لا يصلح للقضاء نقض أحكامه كلها أصاب فيها أو أخطأ لأنه حكم ممن لا يجوز له القضاء فوجب نقضه كالحكم من بعض الرعية وإن كان يصلح للقضاء لم يجب عليه أن يتتبع أحكامه لأن الظاهر أنها صحيحة فإن أراد أن يتتبعها من غير متظلم فهل يجوز له ذلك أم لا فيه وجهان: أحدهما: وهو اختيار الشيخ أبي حامد الإسفرايني أنه يجوز لأن فيه احتياطاً

PASAL: Jika seseorang diangkat menjadi qadhi di suatu negeri, dan qadhi sebelum dia tidak layak untuk menjadi qadhi, maka seluruh putusan qadhi sebelumnya dibatalkan, baik yang sesuai maupun yang keliru, karena ia telah memutuskan perkara padahal tidak diperbolehkan baginya untuk menjadi qadhi. Maka wajiblah membatalkan putusannya, sebagaimana putusan dari sebagian rakyat biasa. Namun jika qadhi sebelumnya layak untuk menjadi qadhi, maka tidak wajib bagi qadhi yang baru untuk menelusuri semua putusannya, karena pada dasarnya putusan-putusan itu dianggap sah. Jika ia ingin menelusurinya tanpa adanya orang yang mengadukan, apakah itu diperbolehkan atau tidak, terdapat dua pendapat. Pendapat pertama—dan ini adalah pilihan al-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī—adalah bahwa hal itu diperbolehkan karena mengandung unsur kehati-hatian.

والثاني: أنه لا يجوز لأنه يشتغل بماض لا يلزمه عن مستقبل يلزمه وإن تظلم منه متظلم فإن سأل إحضاره لم يحضره حتى يسأله عما بينهما لأنه ربما قصد أن يبتذ له ليحلف من غير حق وإن قال لي عليه مال من معاملة أو غصب أو إتلاف أو رشوة أخذها منه على حكم أحضره وإن قال حكم علي بشهادة عبدين أو فاسقين ففيه وجهان: أحدهما: أنه يحضره كما يحضره إذا ادعى عليه مالاً

dan yang kedua: bahwa tidak boleh, karena ia menyibukkan diri dengan perkara masa lalu yang tidak wajib atasnya, padahal ia wajib memperhatikan masa depan. Namun jika ada orang yang mengadukan dirinya karena terzalimi, lalu ia meminta agar lawannya dihadirkan, maka tidak langsung dihadirkan sampai ditanya terlebih dahulu tentang perkara di antara keduanya, karena bisa jadi ia bermaksud menghinakannya agar bersumpah tanpa hak. Jika ia berkata, “Ia punya utang kepadaku dari suatu transaksi, atau karena merampas, atau merusak, atau karena suap yang ia ambil dariku dalam suatu putusan,” maka hakim menghadirkannya. Jika ia berkata, “Ia memutuskan perkara atasku berdasarkan kesaksian dua budak atau dua orang fasik,” maka ada dua pendapat: pertama, bahwa ia dihadirkan sebagaimana dihadirkan apabila seseorang menuduhnya berutang.

والثاني: أنه لا يحضره حتى يقيم بينة بما يدعيه لأنه لا تتعذر إقامة البينة على الحكم فإن حضر وقال ما حكمت عليه إلا بشهادة حرين عدلين فالقول قوله لأنه أمين وهل يحلف فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أنه لا يخلف لأنه عدل والظاهر أنه صادق والثاني: أنه يحلف لأنه أمين ادعى عليه خيانة فلم يقبل قوله من غير يمين كالمودع إذا ادعى عليه خيانة وأنكرها

dan yang kedua: bahwa ia tidak dihadirkan sampai si penuduh menghadirkan bukti atas apa yang ia dakwakan, karena tidak sulit untuk menghadirkan bukti terhadap suatu putusan. Jika ia telah dihadirkan lalu berkata, “Aku tidak memutuskan atasnya kecuali dengan kesaksian dua orang merdeka lagi adil,” maka ucapannya diterima karena ia orang terpercaya. Apakah ia harus bersumpah? Ada dua pendapat: pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa ia tidak disumpah karena ia orang adil dan pada zahirnya ia jujur; dan kedua, bahwa ia disumpah karena ia orang terpercaya yang dituduh berkhianat, maka tidak diterima ucapannya tanpa sumpah sebagaimana orang yang dititipi (muwadda‘) ketika dituduh berkhianat lalu mengingkarinya.

وإن قال جار علي في الحكم نظرت فإن كان ما حكم به مما لا يسوغ فيه الاجتهاد نقضه كما ينقض على نفسه إذا حكم بما لا يسوغ فيه الاجتهاد وإن كان مما يسوغ فيه الاجتهاد كثمن الكلب وضمان ما أتلف على الذمي من الخمر لم ينقضه كما لا ينقض على نفسه ما حكم فيه مما يسوغ فيه الاجتهاد لأنها لو نقضنا ما يسوغ فيه الاجتهاد لم يستقر لأحد حق ولا ملك لأنه كلما ولى حاكم نقض ما حكم به من قبله فلا يستقر لأحد حق ولا ملك.

Jika ia berkata, “Ia telah berlaku zalim terhadapku dalam putusan,” maka dilihat terlebih dahulu: jika putusan yang diputuskan termasuk perkara yang tidak dibolehkan berijtihad padanya, maka putusan tersebut dibatalkan sebagaimana ia membatalkan putusan dirinya sendiri jika ia memutuskan pada perkara yang tidak dibolehkan ijtihad. Namun jika perkara tersebut termasuk perkara yang dibolehkan berijtihad padanya, seperti harga anjing atau ganti rugi atas barang milik dzimmī yang dirusak berupa khamar, maka putusannya tidak dibatalkan sebagaimana ia tidak membatalkan putusan dirinya sendiri dalam perkara yang dibolehkan ijtihad padanya. Sebab, jika kita membatalkan putusan dalam perkara yang boleh berijtihad, niscaya tidak akan ada hak atau kepemilikan yang tetap bagi siapa pun, karena setiap kali hakim berganti maka ia akan membatalkan putusan hakim sebelumnya, sehingga tidak ada hak atau kepemilikan yang tetap bagi siapa pun.

فصل: وإذا خرج إلى مجلس الحكم فالمستحب له أن يدعوا بدعاء رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ما روت أم سلمة رضي الله عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خرج من بيته يقول: “اللهم أعوذ بك من أن أزل أو أزل أو أضل أو أضل أو أظلم أو أظلم أو أجهل أو يجهل علي”

PASAL: Apabila keluar menuju majelis pengadilan, disunnahkan baginya untuk berdoa dengan doa Rasulullah SAW, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah RA, ia berkata: Rasulullah SAW apabila keluar dari rumahnya, beliau berdoa: “Allāhumma a‘ūdzu bika min an azilla aw uzalla, aw adilla aw udalla, aw azhlima aw uzhlama, aw aj-hala aw yujhala ‘alayya.” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tergelincir atau digelincirkan, dari sesat atau disesatkan, dari menzalimi atau dizalimi, dari berlaku bodoh atau dibodohi).

والمستحب أن يجلس مستقبل القبلة لقوله صلى الله عليه وسلم: “خير المجالس ما استقبل به القبلة” ولأنه قربة فكانت جهة القبلة فيها أولى كالأذان والمستحب أن يقعد وعليه السكينة والوقار من غير جبرية ولا استكبار لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلاً وهو متكئ على يساره فقال: هذه جلسة المغضوب عليهم ويترك بين يديه القمطر مختوماً ليترك فيه ما يجتمع من المحاضر والسجلات ويجلس الكاتب بقربه ليشاهد ما يكتبه فإن غلط في شيء رده عليه.

Dan disunnahkan baginya duduk menghadap kiblat berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik majelis adalah yang menghadap kiblat.” Karena hal itu merupakan suatu bentuk qurbah, maka arah kiblat lebih utama padanya sebagaimana dalam adzan. Dan disunnahkan baginya duduk dengan tenang dan wibawa, tanpa kesombongan dan keangkuhan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi SAW melihat seorang lelaki duduk bersandar pada sisi kirinya, lalu beliau bersabda: “Ini adalah duduknya orang-orang yang dimurkai.” Dan hendaknya diletakkan di hadapannya qimṭar yang tertutup, untuk menyimpan dokumen dan catatan yang terkumpul. Penulis duduk di dekatnya agar dapat menyaksikan apa yang ia tulis; jika ia keliru dalam sesuatu, maka hakim dapat membetulkannya.

فصل: والمستحب أن يبدأ في نظرت بالمحبسين لأن الحبس عقوبة وعذاب وربما كان فيهم من تجب تخليته فاستحب البداية بهم ويكتب أسماء المحبسين وينادي في البلدان القاضي يريد النظر في أمر المحبسين في يوم كذا فليحضر من له محبوس فإذا حضر الخصوم أخرج خصم كل واحد منهم فإن وجب إطلاقه أطلقه وإن وجب حبسه أعاده إلى الحبس فإن قال المحبوس حبست على دين وأنا معسر فإن ثبت إعساره أطلق

PASAL: Dan yang disunnahkan adalah memulai pemeriksaan dengan para tahanan, karena penjara adalah siksaan dan penderitaan, dan boleh jadi di antara mereka ada yang wajib dibebaskan, maka disunnahkan memulai dengan mereka. Dan ditulis nama-nama para tahanan, lalu diumumkan di negeri-negeri bahwa qadhi akan memeriksa perkara para tahanan pada hari tertentu, maka hendaklah hadir siapa saja yang memiliki kerabat atau pihak yang ditahan. Jika para pihak telah hadir, dikeluarkan lawan perkara masing-masing dari mereka. Jika wajib dibebaskan, maka ia dibebaskan. Dan jika wajib tetap ditahan, maka ia dikembalikan ke penjara. Jika si tahanan berkata, “Aku dipenjara karena utang dan aku tidak mampu membayarnya,” maka jika terbukti ketidakmampuannya, ia dibebaskan.

وإن لم يثبت إعساره أعيد إلى الحبس فإن ادعى صاحب الدين أن له داراً وأقام على ذلك البينة فقال المحبوس هي لزيد سئل زيد فإن أكذبه بيعت الدار وقضى الدين لأن إقراره يسقط بإكذابه وإن صدقه زيد نظرت فإن أقام زيد بينة أن الدار له حكم له بالدار ولم تبع في الدين لأن له بينة ويداً بإقرار المحبوس ولصاحب الدين بينة من غير يد فقدمت بينة زيد وإن لم يكن لزيد بينة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يحكم بها لزيد ولا تباع في الدين لأن بينة صاحب الدين بطلت بإكذاب المحبوس وبقي إقرار المحبوس بالدار لزيد

Dan jika tidak terbukti ketidakmampuannya, maka ia dikembalikan ke penjara. Jika si pemilik utang mengklaim bahwa si tahanan memiliki rumah, lalu ia mendatangkan bukti atas klaim tersebut, kemudian si tahanan berkata, “Itu milik Zaid,” maka Zaid ditanya. Jika Zaid mendustakannya, maka rumah itu dijual dan utangnya dibayarkan, karena pengakuan si tahanan gugur dengan pendustaan Zaid. Namun jika Zaid membenarkannya, maka diteliti lebih lanjut: jika Zaid mendatangkan bukti bahwa rumah itu miliknya, maka diputuskan kepemilikan rumah untuknya dan tidak dijual untuk membayar utang, karena ia memiliki bukti dan pegangan melalui pengakuan si tahanan. Sedangkan si pemilik utang hanya memiliki bukti tanpa pegangan, maka bukti milik Zaid lebih didahulukan. Jika Zaid tidak memiliki bukti, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya adalah diputuskan kepemilikan rumah untuk Zaid dan tidak dijual untuk membayar utang, karena bukti si pemilik utang telah gugur dengan pendustaan si tahanan, dan pengakuan si tahanan atas kepemilikan Zaid tetap berlaku.

والثاني: أنه لا يحكم بها لزيد وتباع في الدين لأن بينة صاحب الدين شهدت للمحبوس بالملك وله بقضاء الدين من ثمنها فإذا أكذبها المحبوس سقطت البينة في حقه ولم تسقط في حق صاحب الدين.

Dan pendapat kedua: tidak diputuskan kepemilikan rumah untuk Zaid, melainkan rumah itu dijual untuk membayar utang, karena bukti si pemilik utang menyatakan bahwa rumah itu milik si tahanan, dan ia berhak menagih utangnya dari hasil penjualan rumah tersebut. Maka, ketika si tahanan mendustakan bukti tersebut, gugurlah kekuatan bukti itu terhadap dirinya, tetapi tidak gugur terhadap si pemilik utang.

فصل: ثم ينظر في أمر الأوصياء والأمناء لأنهم يتصرفون في حق من لا يملك المطالبة بماله وهم الأطفال فإذا ادعى رجل أنه وصي للميت لم يقبل قوله إلا ببينة لأن الأصل عدم الوصية فإن أقام على ذلك بينة فإن كان عدلاً قوياً أقر على الوصية وإن كان فاسقاً لم يقر على الوصية لأن الوصية ولاية والفاسق ليس من أهل الولاية وإن كان عدلاً ضعيفاً ضم إليه غيره ليتقوى به وإن أقام يبنة أن الحاكم الذي كان قبله أنقذ الوصية إليه أقره ولم يسأله عن عدالته لأن الظاهر أنه لم ينفذ الوصية إليه إلا وهو عدل

PASAL: Kemudian dilihat urusan para waṣī dan para amīn, karena mereka bertindak dalam hak orang yang tidak memiliki kuasa menuntut hartanya, yaitu anak-anak. Maka jika seseorang mengaku bahwa ia adalah waṣī dari orang yang telah meninggal, tidak diterima pengakuannya kecuali dengan bukti, karena asalnya adalah tidak adanya wasiat. Jika ia mendatangkan bukti atas hal itu, maka jika ia adalah orang yang ‘adl lagi kuat, ia ditetapkan sebagai waṣī. Namun jika ia seorang fāsiq, maka tidak ditetapkan sebagai waṣī, karena wasiat adalah sebuah wilāyah (kekuasaan), dan orang fāsiq bukan termasuk ahli wilāyah. Dan jika ia seorang ‘adl namun lemah, maka disertakan orang lain bersamanya agar menjadi kuat dengannya. Jika ia mendatangkan bukti bahwa hakim sebelumnya telah menetapkan wasiat kepadanya, maka ia ditetapkan tanpa ditanya keadilannya, karena secara lahiriah tidaklah wasiat itu ditetapkan kepadanya kecuali dalam keadaan ia adalah orang ‘adl.

فإن كان وصياً في تفرقة ثلثه فإن لم يفرقه فالحكم في إقراره على الوصية على ما ذكرناه وإن كان قد فرقه فإن كان عدلاً لم يلزمه شيء وإن كان فاسقاً فإن كانت الوصية لمعينين لم يلزمه شيء لأنه دفع الموصي به إلى مستحقه وإن كانت الوصية لغير معينين ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يغرم لأنه دفع الماس إلى مستحقه فأشبه إذا كانت الوصية لمعينين والثاني: أنه يغرم ما فرق لأنه فرق ما لم يكن له تفرقته فغرمه كما لو فرق ما جعل تفرقته إلى غيره.

Jika ia adalah waṣī dalam membagikan sepertiga harta (wasiat), maka jika ia belum membagikannya, maka hukum dalam pengakuannya sebagai waṣī adalah seperti yang telah disebutkan. Namun jika ia telah membagikannya, maka jika ia seorang ‘adl, tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Dan jika ia seorang fāsiq, maka jika wasiat tersebut ditujukan kepada orang-orang tertentu, tidak ada kewajiban atasnya karena ia telah menyerahkan apa yang diwasiatkan kepada orang yang berhak menerimanya. Namun jika wasiat ditujukan kepada orang-orang yang tidak tertentu, maka terdapat dua wajah: pertama, bahwa ia tidak wajib mengganti karena ia telah menyerahkan harta kepada orang yang berhak menerimanya, sehingga serupa dengan wasiat kepada orang yang tertentu; dan kedua, bahwa ia wajib mengganti apa yang telah ia bagikan karena ia telah membagikan sesuatu yang tidak berhak ia bagikan, maka wajib menggantinya sebagaimana jika ia membagikan sesuatu yang telah ditugaskan pembagiannya kepada selain dirinya.

فصل: ثم ينظر في اللقطة والضوال وأمر الأوقاف العامة وغيرها من المصالح ويقدم الأهم فالأهم لأنه ليس لها مستحق معين فتعين على الحاكم النظر فيها.

PASAL: Kemudian diperhatikan perkara luqāṭ dan ḍawāl serta urusan wakaf-wakaf umum dan selainnya dari berbagai kemaslahatan, dan didahulukan yang lebih penting lalu yang penting berikutnya, karena perkara-perkara tersebut tidak memiliki pihak tertentu yang berhak, maka wajib bagi hakim untuk memperhatikannya.

باب ما يجب على القاضي في الخصوم والشهود
إذا حضر الخصوم واحداً بعد واحد قدم الأول فالأول لأن الأول سبق إلى حق له فقدم على من بعده كما لو سبق إلى موضع مباح وإن حضروا في وقت واحد أو سبق بعضهم واشكل السابق أقرع بينهم فمن خرجت له القرعة قدم لأنه لا مزية لبعضهم على بعض فوجب القديم بالقرعة كما قلنا فيمن أراد السفر ببعض نسائه

PASAL: Apa yang Wajib atas Qadhi dalam Menghadapi Para Pihak dan Saksi

Jika para pihak datang satu per satu, maka didahulukan yang datang lebih dahulu, karena ia telah lebih dulu terhadap haknya, maka ia didahulukan atas yang datang setelahnya, sebagaimana jika seseorang lebih dulu mendapatkan tempat yang mubah. Dan jika mereka datang bersamaan waktunya atau sebagian lebih dulu tetapi tidak diketahui siapa yang lebih dulu, maka dilakukan undian di antara mereka. Siapa yang keluar undiannya, maka ia didahulukan, karena tidak ada kelebihan sebagian mereka atas sebagian yang lain, maka wajib mendahulukan dengan undian, sebagaimana yang kami katakan tentang siapa yang ingin bepergian dengan sebagian istrinya.

فإن ثبت السبق لأحدهم فقدم السابق غيره على نفسه جاز لأن الحق له فجاز أن يؤثر به غيره كما لو سبق إلى منزل مباح ولا يقدم السابق في أكثر من حكومة لأنا لو قدمناه في أكثر من حكومة استوعب المجلس بدعاويه وأضر بالباقين

Maka jika terbukti ada yang lebih dahulu, lalu yang lebih dahulu itu mendahulukan orang lain atas dirinya, maka hal itu boleh karena hak itu miliknya, maka boleh baginya mengutamakan orang lain sebagaimana jika ia lebih dahulu sampai ke sebuah tempat yang mubah. Dan tidak boleh mendahulukan orang yang lebih dahulu dalam lebih dari satu perkara hukum, karena jika kita mendahulukannya dalam lebih dari satu perkara, maka ia akan menguasai majelis dengan seluruh perkara gugatannya dan akan merugikan yang lainnya.

وإن حضر مسافرون ومقيمون في وقت واحد نظرت فإن كان المسافرون قليلاً وهم على الخروج قدموا لأن عليهم ضرراً في المقام ولا ضرر على المقيمين وحكى بعض أصحابنا فيه وجهاً آخر أنهم لا يقدمون إلا بإذن المقيمين لتساويهم في الحضور وظاهر النص هو الأول وإن كان المسافرون مثل المقيمين أو أكثرلم يجز تقديمهم من غير رضى المقيمين لأن في تقديمهم إضراراً بالمقيمين والضرر لا يزال بالضرر وإن تقدم إلى الحاكم اثنان فادعى أحدهما: على الآخر حقاً فقال المدعي قدم السابق بالدعوى لأن ما يدعيه كل واحد منهما محتمل وللسابق بالدعوى حق السبق فقدم.

Dan jika para musafir dan orang-orang yang menetap datang pada waktu yang bersamaan, maka dilihat dahulu: jika para musafir sedikit jumlahnya dan mereka sedang hendak berangkat, maka mereka didahulukan karena mereka akan terkena mudarat jika harus menetap, sedangkan orang-orang yang menetap tidak terkena mudarat. Sebagian sahabat kami meriwayatkan pendapat lain, yaitu bahwa mereka (musafir) tidak didahulukan kecuali dengan izin dari orang-orang yang menetap karena mereka sama-sama datang pada waktu yang bersamaan. Namun, ẓāhir dari nash adalah pendapat pertama.

Dan jika jumlah musafir sama dengan jumlah orang yang menetap atau lebih banyak dari mereka, maka tidak boleh mendahulukan mereka tanpa keridaan dari orang-orang yang menetap karena dalam mendahulukan mereka terdapat mudarat bagi yang menetap, dan mudarat tidak dihilangkan dengan mudarat lainnya.

Dan jika ada dua orang datang kepada hakim, lalu salah satu dari keduanya mengaku memiliki hak atas yang lain, maka si penggugat berkata: “Dahulukanlah orang yang lebih dulu mengajukan gugatan,” karena apa yang diklaim oleh masing-masing dari keduanya masih bersifat kemungkinan, dan orang yang lebih dulu dalam menggugat memiliki hak untuk didahulukan, maka ia didahulukan.

فصل: وعلى الحاكم أن يسوي بين الخصمين في الدخول والإقبال عليهما والاستماع منهما لما روت أم سلمة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من ابتلي بالقضاء بين المسلمين فليعدل بينهم في لحظه ولفظه وإشارته ومقعده” وكتب عمر رضي الله عنه إلى أبي موسى الأشعري آس بين الناس في وجهك وعدلك ومجلسك حتى لا يطمع شريف في حيفك ولا ييأس ضعيف من عدلك ولأنه إذا قدم أحدهما: على الآخر في شيء من ذلك انكسر الآخر ولا يتمكن من استيفاء حجته والمستحب أن يجلس الخصمان بين يديه

PASAL: Wajib atas hakim untuk menyamakan antara kedua pihak yang bersengketa dalam hal masuk (ke majelis), menghadap kepadanya, dan dalam mendengarkan dari keduanya. Karena Ummu Salamah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang diuji dengan tugas mengadili di antara kaum muslimin maka hendaklah ia berlaku adil di antara mereka dalam pandangan, ucapan, isyarat, dan tempat duduknya.” Dan Umar RA menulis surat kepada Abu Musa al-Asy‘ari: “Samakanlah antara manusia dalam wajahmu (sambutan), keadilanmu, dan tempat dudukmu, agar orang terpandang tidak berharap akan kezalimanmu dan orang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.” Karena apabila hakim mendahulukan salah satu dari keduanya dalam perkara-perkara itu, maka pihak lainnya akan merasa tersakiti dan tidak mampu menunaikan hujahnya secara sempurna. Disunnahkan agar kedua pihak duduk di hadapan hakim.

لما روى عبد الله بن الزبير قال: قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجلس الخصمان بين القاضي ولأن ذلك أمكن لخطابهما وإن كان أحدهما: مسلماً والآخر ذمياً ففيه وجهان: أحدهما: أنه يسوي بينهما في المجلس كما يسوي بينهما في الدخول والإقبال عليهما والإسماع منهما

Karena telah diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Zubair bahwa Rasulullah SAW memutuskan agar dua orang yang bersengketa duduk di hadapan qadhi. Dan karena hal itu lebih memungkinkan bagi hakim untuk berbicara kepada keduanya. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang muslim dan yang lainnya adalah dzimmī, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama, bahwa keduanya disamakan dalam tempat duduk sebagaimana disamakan dalam hal masuk, menghadap, dan dalam mendengarkan dari keduanya.

والثاني: أنه يرفع المسلم على الذمي في المجلس وأجلس علياً كرم الله وجهه فيه فقال علي كرم الله وجهه لولا أني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “لا تسووا بينهم في المجالس” لجلست معه بين يديك ولا يضيف أحدهما: دون الآخر لما روي أن رجلاً نزل بعلي بن أبي طالب كرم الله وجهه فقال له: ألك خصم قال: نعم قال تحول عنا فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “لا يضيفن أحد الخصمين إلا ومعه خصمه”

Pendapat kedua: bahwa orang muslim didudukkan lebih tinggi dari dzimmī dalam majelis. Ali Karramallāhu Wajhah pernah didudukkan dalam posisi seperti itu, lalu ia berkata: “Seandainya aku tidak mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Janganlah kalian samakan mereka dalam majelis,’ niscaya aku akan duduk bersamanya di hadapanmu.” Dan tidak boleh salah satu dari keduanya diberi jamuan tanpa yang lain, karena telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertamu kepada Ali bin Abi Ṭālib Karramallāhu Wajhah, lalu ia bertanya kepadanya: “Apakah engkau punya lawan sengketa?” Ia menjawab: “Ya.” Maka Ali berkata: “Menjauhlah dari kami, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Janganlah salah satu dari dua orang yang bersengketa dijamu kecuali bersama lawannya.’”

ولأن في إضافة أحدهم إظهار الميل وترك العدل ولا يسار أحدهما: ولا يلقنه حجة لما ذكرناه ولا يأمر أحدهما: بإقرار لأن فيه إضراراً به ولا بإنكار لأن فيه إضراراً بخصمه وإن ادعى أحدهما: دعوى غير صحيحة فهل له أن يلقنه كيف يدعي فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أنه يجوز لأنه لا ضرر على الآخر في تصحيح دعواه

Dan karena menjamu salah satu dari keduanya mengandung unsur menunjukkan keberpihakan dan meninggalkan keadilan. Tidak boleh berjalan bersama salah satunya, dan tidak boleh membisikkan hujah kepadanya sebagaimana yang telah disebutkan. Dan tidak boleh memerintahkan salah satunya untuk mengakui karena hal itu membahayakannya, dan tidak boleh pula menyuruh untuk mengingkari karena hal itu membahayakan lawannya. Jika salah satu dari keduanya mengajukan gugatan yang tidak sah, maka apakah boleh bagi hakim membisikkan cara menggugat yang benar? Terdapat dua pendapat: pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa hal itu boleh karena tidak ada mudarat bagi lawan dalam memperbaiki gugatan.

والثاني: أنه لا يجوز لأنه ينكسر قلب الآخر ولا يتمكن من استيفاء حجته وله أن يزن عن أحدهما: ما عليه لأن في ذلك نفعاً لهما وله أن يشفع لأحدهما: لأن الإجابة إلى المشفوع إليه إن شاء شفعه وإن شاء لم يشفعه وإن مال قلبه إلى أحدهما: أو أحب أن يفلح أحدهما: على خصمه ولم يظهر ذلك منه بقول ولا فعل جاز لأنه لا يمكن التسوية بينهما في المحبة والميل بالقلب ولهذا قلنا يلزمه التسوية بين النساء في القسم ولا يلزمه التسوية بينهن في المحبة والميل بالقلب.

Pendapat kedua: tidak boleh, karena hal itu akan menyakiti hati pihak lain dan menghalanginya untuk menyempurnakan hujahnya. Boleh bagi hakim membayar utang salah satu dari keduanya karena hal itu bermanfaat bagi keduanya. Dan boleh baginya memberi syafaat untuk salah satu dari keduanya, karena pihak yang dimintai syafaat boleh menerima atau menolak syafaat tersebut. Jika hati hakim condong kepada salah satu dari keduanya, atau ia menginginkan agar salah satunya menang atas lawannya, namun tidak tampak darinya ucapan atau perbuatan yang menunjukkan hal itu, maka hal itu dibolehkan. Karena tidak mungkin menyamakan keduanya dalam hal kecintaan dan kecenderungan hati. Oleh sebab itu kami katakan bahwa wajib menyamakan para istri dalam pembagian giliran, namun tidak wajib menyamakan mereka dalam cinta dan kecenderungan hati.

فصل: ولا ينتهر خصماً لأن ذلك يكسره ويمنعه من استيفاء الحجة وإن ظهر من أحدهما: لدد أو سوء أدب نهاه فإن عاد زبره وإن عاد عزره ولا يزجر شاهداً ولا يتعنته لأن ذلك يمنعه من الشهادة على وجهها ويدعوه إلى ترك القيام بتحمل الشهادة وأدائها وفي ذلك تضييع للحقوق.

PASAL: Dan tidak boleh menghardik seorang pihak yang bersengketa karena hal itu dapat menghancurkan hatinya dan menghalanginya dari menyampaikan hujjah secara sempurna. Jika tampak dari salah satu dari keduanya sifat keras kepala atau buruk akhlak, maka hendaknya ia menegurnya; jika ia mengulangi, maka hendaknya ia mencelanya dengan keras; dan jika ia mengulangi lagi, maka hendaknya ia menghukumnya. Dan tidak boleh membentak seorang saksi atau bersikap keras terhadapnya, karena hal itu akan menghalanginya dari memberikan kesaksian dengan benar dan mendorongnya untuk meninggalkan kewajiban memikul dan menyampaikan kesaksian, dan dalam hal itu terdapat penyia-nyiaan terhadap hak-hak.

فصل: فإن كان بين نفسين حكومة فدعا أحدهما: صاحبه إلى مجلس الحكم وجبت عليه إجابته لقوله تعال: {إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إذا دُعُوا إِلَى الله وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا} فإن لم يحضر فاستعدى عليه الحاكم وجب عليه أن يعديه لأنه إذا لم يعده أدى ذلك إلى إبطال الحقوق فإن استدعاه الحاكم فامتنع من الحضور تقدم إلى صاحب الشرطة ليحضره

PASAL: Jika ada perkara antara dua orang, lalu salah satunya memanggil lawannya ke majelis pengadilan, maka wajib atas yang dipanggil untuk memenuhinya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan perkara di antara mereka, hanyalah ucapan: “Kami mendengar dan kami taat”}. Jika ia tidak datang, lalu lawannya mengadukannya kepada hakim, maka wajib atas hakim untuk menindaklanjutinya, karena jika tidak ditindaklanjuti akan menyebabkan hilangnya hak-hak. Jika hakim memanggilnya namun ia menolak hadir, maka hakim memerintahkan kepada kepala polisi untuk menghadirkannya.

وإن كان بينه وبين غائب حكومة ولم يكن عليه بينة فاستعدى الحاكم عليه فإن كان الغائب في موضع فيه حاكم كتب إليه لينظر بينهما وإن لم يكن حاكم وهناك من يتوس بينهم كتب إليه لينظر بينهما وإن لم يكن من ينظر بينهما لم يحضره حتى يحقق الدعوى لأنه يجوز أن يكون ما يدعيه ليس بحق عنده كالشفعة للجار وثمن الكلب وقيمة خمر النصراني فلا يكلفه تحمل المشقة للحضور لما لا يقضي به ويخالف الحاضر في البلد حيث قلنا إنه يحضر قبل أن يحقق المدعي دعواه لأنه لا مشقة عليه في الحضور فإن حقق الدعوى على الغائب أحضره

Dan jika antara dia dan orang yang tidak hadir terdapat perkara, sementara ia tidak memiliki bukti, lalu ia mengadukan kepada hakim, maka jika orang yang tidak hadir itu berada di tempat yang memiliki hakim, maka hakim menulis surat kepada hakim tersebut agar memeriksa perkara antara keduanya. Jika tidak ada hakim, namun ada orang yang dapat memediasi perkara mereka, maka hakim menulis surat kepadanya untuk memeriksa perkara tersebut. Jika tidak ada orang yang dapat memeriksa perkara mereka, maka tidak wajib menghadirkannya sebelum si penggugat membuktikan gugatan, karena bisa jadi yang ia klaim bukanlah perkara yang berhak diputuskan menurut pihak tergugat, seperti syuf‘ah bagi tetangga, harga anjing, dan nilai khamar milik Nasrani. Maka tidak dibebani ia untuk bersusah payah hadir demi sesuatu yang tidak bisa diputuskan. Hal ini berbeda dengan orang yang hadir di negeri tersebut, karena kami katakan ia tetap dihadirkan meskipun si penggugat belum membuktikan gugatannya, sebab tidak ada kesulitan baginya untuk hadir. Namun jika si penggugat membuktikan gugatannya terhadap pihak yang tidak hadir, maka wajib untuk menghadirkannya.

لما روي أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه كتب إلى المهاجرين أمية أن ابعث إلي بقيس بن مكشوح في وثاق فأحلفه خمسين يوماً على منبر رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما قتل دادويه ولأنا لولم نلزمه الحضور جعل البعد طريقاً إلى إبطال الحقوق فإن استعداه على امرأة فإن كانت برزة فهي كالجل لأنها كالرجل في الخروج للحاجات وإن كانت غير برزة لم تكلف الحضور بل توكل من يخاطب عنها وإن توجهت عليها يمين بعض إليها من يحلفها لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال يا أنيس اغد على امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها فبعث من يسمع إقرارها ولم يكلفها الحضور.

Karena telah diriwayatkan bahwa Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu menulis surat kepada para Muhājirīn dari suku Umayyah: “Kirimlah kepadaku Qais bin Maksyūḥ dalam keadaan terikat, agar aku dapat menyuruhnya bersumpah sebanyak lima puluh kali di atas mimbar Rasulullah SAW bahwa dia tidak membunuh Dādawiyyah.” Karena, seandainya kita tidak mewajibkan kehadirannya, maka jauhnya tempat akan menjadi jalan untuk menggugurkan hak-hak.

Jika ia mengadukan perkara terhadap seorang perempuan, maka jika perempuan itu barizah (terbiasa keluar rumah), maka hukumnya seperti laki-laki, karena ia seperti laki-laki dalam hal keluar rumah untuk berbagai keperluan. Namun jika ia bukan barizah, maka tidak dibebani untuk hadir, tetapi cukup mengutus wakil untuk berbicara atas namanya. Dan jika ia diminta bersumpah, maka dikirimkan orang yang akan menyumpahkannya di tempatnya, karena Nabi SAW bersabda: “Wahai Anīs, pergilah pagi-pagi kepada perempuan ini. Jika ia mengaku, rajamlah ia.” Maka Nabi SAW mengutus orang untuk mendengar pengakuannya dan tidak membebani dia untuk hadir.

باب صفة القضاء
إذا حضر عند القاضي خصمان وادعى أحدهما: على الآخر حقاً يصح فيه دعواه وسأل القاضي مطالبة الخصم بالخروج من دعواه طالبه وإن لم يسأله مطالبة الخصم ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجوز للقاضي مطالبته لأن ذلك حق للمدعي فلا يجوز استيفاؤه من غير إذنه

PASAL: SIFAT PENGADILAN
Apabila datang kepada qādī dua orang yang berselisih, lalu salah satu dari keduanya mengklaim atas yang lain suatu hak yang sah untuk diklaim, dan qādī dimintai oleh penggugat untuk menuntut lawannya agar membantah klaim tersebut, maka qādī menuntutnya. Namun jika penggugat tidak memintanya untuk menuntut lawannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, bahwa qādī tidak boleh menuntutnya, karena hal itu adalah hak bagi penggugat, maka tidak boleh diambil kecuali dengan izinnya.

والثاني: وهو المذهب أنه يجوز له مطالبته لأن شاهد الحال يدل على الإذن في المطالبة فإن طولب لم يخل إما أن يقرأ أو ينكر أولا يقر ولا ينكر فإن أقر لزمه الحق ولا يحكم به إلا بمطالبة المدعي لأن الحكم حق فلا يستوفيه من غير إذنه فإن طالبه بالحكم حكم له عليه وإن أنكر فإن كان المدعي لا يعلم أن له إقامة البينة قال له القاضي ألك بينة وإن كان يعمل فله أن يقول ذلك وله أن يسكت وإن لم تكن له بينة وكانت الدعوى في غير دم فله أن يحلف المدعى عليه

Dan pendapat kedua —dan inilah mazhab— bahwa qādī boleh menuntutnya karena keadaan menunjukkan adanya izin untuk menuntut. Apabila telah dituntut, maka tidak lepas dari tiga kemungkinan: mengakui, mengingkari, atau tidak mengakui dan tidak mengingkari.

Jika ia mengakui, maka ia wajib menunaikan hak tersebut, namun qādī tidak boleh memutuskan perkara kecuali setelah ada permintaan dari penggugat, karena keputusan adalah hak, maka tidak boleh diambil tanpa izinnya. Apabila penggugat meminta keputusan, maka qādī memutuskan untuknya atas tergugat.

Jika tergugat mengingkari, dan penggugat tidak tahu bahwa ia memiliki bukti, maka qādī berkata kepadanya: “Apakah engkau punya bukti?” Dan jika penggugat tahu bahwa ia memiliki bukti, maka qādī boleh mengatakannya, dan boleh juga diam.

Jika penggugat tidak memiliki bukti, dan perkara yang disengketakan bukan perkara darah (damm), maka qādī boleh menyuruh tergugat bersumpah.

ولا يجوز للقاضي إحلافه إلا بمطالبة المدعي لأنه حق له فلا يستوفيه من غير إذنه وإن أحلفه قبل المطالبة لم يعتد بها لأنها يمين قبل وقتها وللمدعي أن يطالب بإعادتها لأن اليمين الأولى لم تكن يمينه وإن أمسك المدعي عن إحلاف المدعى عليه ثم أراد أن يحلفه بالدعوى المتقدمة جاز لأنه لم يسقط حقه من اليمين وإنما أخرها وإن قال أبرأتك من اليمين سقط حقه منها في هذه الدعوى وله أن يستأنف الدعوى لأن حقه لم يسقط بالإبراء من اليمين فإن استأنف الدعوى فأنكر المدعى عليه فله أن يحلفه لأن هذه الدعوى غير الدعوى التي أبرأه فيها من اليمين فإن حلف سقطت الدعوى

Dan tidak boleh bagi qādī menyuruh tergugat bersumpah kecuali atas permintaan penggugat, karena sumpah adalah hak bagi penggugat, maka tidak boleh diambil tanpa izinnya. Jika qādī menyuruhnya bersumpah sebelum ada permintaan, maka sumpah itu tidak dianggap, karena itu adalah sumpah sebelum waktunya. Penggugat berhak meminta pengulangan sumpah tersebut karena sumpah yang pertama bukan sumpah yang sah menurut haknya.

Jika penggugat menahan diri dari menyuruh tergugat bersumpah, lalu kemudian ia ingin menyuruhnya bersumpah atas gugatan yang terdahulu, maka hal itu diperbolehkan, karena ia belum menggugurkan haknya atas sumpah, melainkan hanya menundanya.

Jika ia berkata, “Aku membebaskanmu dari sumpah,” maka gugurlah haknya atas sumpah dalam gugatan tersebut. Namun ia tetap boleh mengajukan gugatan baru, karena haknya tidak gugur hanya karena membebaskan dari sumpah. Jika ia mengajukan gugatan baru dan tergugat mengingkarinya, maka ia boleh menyuruh tergugat bersumpah, karena gugatan ini berbeda dengan gugatan yang sebelumnya ia bebaskan dari sumpah. Jika tergugat bersumpah, maka gugatan gugur.

لما روى وائل بن حجر أن رجلاً من حضرموت ورجلاً من كندة أيتا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال الحضرمي هذا غلبني على أرض ورثتها من أبي وقال الكندي: أرضي وفي يدي أزرعها لا حق له فيها فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “شاهداك أو يمينه” قال إنه لا يتورع عن شيء فقال: “ليس له إلا ذلك” فإن امتنع عن اليمين لم يسأل عن سبب امتناعه فإن ابتدأ وقال امتنعت لأنظر في الحساب أمهل ثلاثة أيام لأنها مدة قريبة ولا يمهل أكثر منها لأنها مدة كثيرة

Karena telah diriwayatkan dari Wāʾil bin Ḥujr bahwa ada seorang laki-laki dari Ḥaḍramaut dan seorang laki-laki dari Kindah datang kepada Rasulullah SAW. Maka orang Ḥaḍramaut berkata: “Orang ini telah merampas tanah yang aku warisi dari ayahku.” Orang Kindah berkata: “Itu tanahku, berada di tanganku, aku menanaminya, dan dia tidak memiliki hak apa pun atasnya.” Maka Nabi SAW bersabda: “Saksimu atau sumpahnya.” Ia berkata: “Dia tidak segan-segan melakukan apa pun (yakni tidak jujur).” Maka Nabi SAW bersabda: “Tidak ada hak baginya kecuali itu.”

Jika tergugat menolak untuk bersumpah, maka tidak ditanya alasan penolakannya. Namun, jika ia memulai dengan berkata, “Aku menolak karena ingin memeriksa perhitungan terlebih dahulu,” maka ia diberi tenggang waktu selama tiga hari karena itu masa yang singkat. Dan tidak diberi tenggang waktu lebih dari itu karena merupakan masa yang panjang.

فإن لم يذكر عذراً لامتناعه جعله ناكلاً ولا يقضى عليه بالحق بنكوله لأن الحق إنما يثبت بالإقرار أو البينة والنكول ليس بإقرار ولا بينة فإن بذلك اليمين بعد النكول لم يسمع لأن بنكوله ثبت للمدعي حق وهو اليمين فلم يجز إبطاله عليه فإن لم يعلم المدعي أن اليمين صارت إليه قال له القاضي أتحلف وتستحق وإن كان يعمل فله أن يقول ذلك وله أن يسكت وإن قال أحلف ردت اليمين عليه

Jika tergugat tidak menyebutkan uzur atas penolakannya, maka ia dianggap nākil (orang yang menolak bersumpah). Namun tidak diputuskan atasnya kewajiban membayar hak hanya karena penolakannya, karena hak itu hanya dapat ditetapkan dengan pengakuan atau bukti, sedangkan penolakan bersumpah bukanlah pengakuan dan bukan pula bukti.

Jika setelah menolak sumpah ia kemudian bersedia bersumpah, maka sumpahnya tidak diterima, karena dengan penolakannya, telah tetap bagi penggugat hak untuk bersumpah, maka tidak boleh dibatalkan atasnya.

Jika penggugat tidak mengetahui bahwa hak sumpah telah beralih kepadanya, maka qādī berkata kepadanya: “Apakah engkau bersumpah dan mengambil hakmu?” Dan jika ia tahu, maka qādī boleh mengatakannya, dan boleh juga diam. Jika penggugat berkata, “Aku bersumpah,” maka sumpah dikembalikan kepadanya.

لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم رد اليمين على صاحب الحق وروي أن المقداد استقرض من عثمان مالاً فتحاكما إلى عمر فقال المقداد هو أربعة آلاف وقال عثمان سبعة آلاف فقال المقداد لعثمان: احلف أنه سبعة آلاف فقال عمر: إنه أنصفك فلم يحلف عثمان فلما ولى المقداد قال عثمان: والله لقد أقرضته سبعة آلاف فقال عمر: لم لم تحلف فقال: خشيت أن يرافق ذلك به قدر بلاء فيقال بيمينه

Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW mengembalikan sumpah kepada pihak yang memiliki hak. Dan diriwayatkan bahwa al-Miqdād meminjam harta dari ‘Utsmān, lalu keduanya mengajukan perkara kepada ‘Umar. Maka al-Miqdād berkata: “(Pinjaman itu) empat ribu,” dan ‘Utsmān berkata: “Tujuh ribu.” Maka al-Miqdād berkata kepada ‘Utsmān: “Bersumpahlah bahwa itu tujuh ribu.” Maka ‘Umar berkata: “Sungguh dia telah bersikap adil kepadamu.” Namun ‘Utsmān tidak bersumpah. Ketika al-Miqdād pergi, ‘Utsmān berkata: “Demi Allah, sungguh aku telah meminjamkannya tujuh ribu.” Maka ‘Umar berkata: “Mengapa engkau tidak bersumpah?” Ia menjawab: “Aku khawatir bila bersamaan dengan sumpah itu datang takdir bala, lalu dikatakan bahwa itu akibat sumpahnya.”

واختلف قول الشافعي رحمه الله تعالى في نكول المدعي عليه مع يمين المدعي فقال في أحد القولين هما بمنزلة البينة لأنه حجة من جهة المدعي وقال في القول الآخر هما بمنزلة الإقرار وهو الصحيح لأن النكول صادر من جهة المدعى عليه واليمين ترتب عليه وله فصار كإقراره فإن نكل المدعي عن اليمين سئل عن سبب نكوله والفرق بينه وبين المدعى عليه حيث لم يسأل عن سبب نكوله أن بنكول المدعى عليه وجب للمدعي حق في رد اليمين والقضاء له فلم يجز سؤال المدعى عليه وبنكول المدعي لم يجب لغيره حق فيسقط بسؤاله

Dan Imam al-Syafi‘i rahimahullah memiliki dua pendapat tentang penolakan sumpah oleh tergugat disertai sumpah dari penggugat. Dalam salah satu pendapatnya, keduanya dianggap seperti bayyinah, karena merupakan hujjah dari pihak penggugat. Dan dalam pendapat lainnya, keduanya dianggap seperti iqrār, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena penolakan sumpah berasal dari pihak tergugat dan sumpah (penggugat) itu mengikuti setelahnya dan untuk kepentingannya, maka hukumnya seperti pengakuannya. Jika penggugat menolak untuk bersumpah, maka ditanyakan sebab penolakannya. Perbedaan antara dia dan tergugat yang tidak ditanyakan sebab penolakannya adalah bahwa dengan penolakan sumpah dari tergugat, maka berpindahlah hak kepada penggugat berupa hak untuk meminta sumpah dan keputusan baginya, maka tidak boleh ditanyakan sebab dari tergugat. Sedangkan dengan penolakan sumpah dari penggugat, tidak wajib berpindah hak kepada pihak lain, sehingga boleh ditanyakan sebabnya.

فإن سئل فذكر أنه امتنع من اليمين لأن له بينة يقيمها وحساباً ينظر فيه فهو على حقه من اليمين ولا يضيق عليه في المدة ويترك ما ترك المدعى عليه يتأخر حق المدعي في الحكم له وبترك المدعي لا يتأخر إلا حقه وإن قال امتنعت لأني لا أختار أن أحلف كم بنكوله فإن بذل اليمين بعد النكول لم يقبل في هذه الدعوى لأنه أسقط حقه منها فإن عاد في مجلس آخر واستأنف الدعوى وأنكر المدعى عليه وطلب يمينه حلف فإن حلف ترك وإن نكل ردت اليمين على المدعي فإذا حلف حكم له لأنها يمين في غير الدعوى التي حكم فيها بنكوله

Jika ia ditanya lalu menyebutkan bahwa ia menolak bersumpah karena memiliki bayyinah yang akan ia ajukan, atau ada perhitungan yang sedang ia periksa, maka ia tetap berhak atas sumpah, dan tidak dibatasi dalam hal waktu. Karena keterlambatan dari pihak tergugat mengakibatkan tertundanya hak penggugat dalam memperoleh putusan, sedangkan keterlambatan dari pihak penggugat hanya menyebabkan tertundanya haknya sendiri.

Dan jika ia berkata, “Aku menolak karena tidak memilih untuk bersumpah,” maka itu seperti nukūl-nya. Jika setelah nukūl ia menawarkan sumpah, maka tidak diterima dalam perkara ini, karena ia telah menggugurkan haknya di dalamnya.

Namun jika ia kembali dalam majelis lain dan memulai perkara baru, lalu tergugat mengingkari dan ia meminta sumpah dari tergugat, maka tergugat bersumpah. Jika bersumpah, maka ditinggalkan. Jika menolak, maka sumpah dikembalikan kepada penggugat. Jika penggugat bersumpah, maka diputuskan baginya, karena sumpah ini terjadi dalam perkara yang berbeda dari perkara yang sebelumnya diputuskan karena nukūl.

فإن كان له شاهد واختار أن يحلف المدعى عليه جاز وتنتقل اليمين إلى جنبة المدعى عليه فإن أراد أن يحلف مع شاهده لم يكن له في هذا المجلس لأن اليمين انتقلت عنه إلى جنبة غيره فلم تعد إليه فإن عاد في مجلس آخر واستأنف الدعوى جاز أن يقيم الشاهد ويحلف معه لأن حكم الدعوى الأولى قد سقط وإن حلف المدعى عليه في الدعوى الأولى سقطت عنه المطالبة وإن نكل عن اليمين لم يقض عليه بنكوله وشاهد المدعي لأن للشاهد معنى تقوى به جنبة المدعي فلم يقض به مع النكول من غير يمين كاللوث في القسامة

Jika ia memiliki seorang saksi dan memilih agar yang bersumpah adalah pihak tergugat, maka hal itu boleh, dan sumpah pun berpindah ke sisi tergugat. Jika ia ingin bersumpah bersama saksinya, maka ia tidak boleh melakukannya dalam majelis ini, karena sumpah telah berpindah darinya kepada pihak lain, sehingga tidak kembali kepadanya. Jika ia kembali dalam majelis lain dan memulai gugatan kembali, maka boleh baginya mengajukan saksi dan bersumpah bersamanya, karena hukum gugatan pertama telah gugur. Jika tergugat bersumpah dalam gugatan pertama, maka gugatan gugur darinya. Jika ia enggan bersumpah, maka tidak diputuskan atasnya dengan keengganan itu bersama dengan adanya saksi pihak penggugat, karena saksi memiliki makna yang menguatkan sisi penggugat, maka tidak diputuskan dengan itu bersamaan dengan keengganan bersumpah tanpa ada sumpah, seperti al-luṯ dalam perkara qasāmah.

وهل ترد اليمين على المدعي ليحلف مع الشاهد فيه قولان: أحدهما: أنه لا ترد لأنها كانت في جنبته وقد أسقطت وصارت في جنبة غيره فلم تعد إليه كالمدعى عليه إذا نكل عن اليمين فردت إلى المدعي فنكل فإنها لا ترد على المدعى عليه والقول الثاني: وهو الصحيح أنها ترد لأن هذه اليمين غير الأول لأن سبب الأولى قوت جنبة المدعي بالشاهد وسبب الثانية قوة جنبته بنكول المدعى عليه واليمين الأولى لا يحكم بها إلا في المال وما يقصد به المال والثانية: يقضي بها في جميع الحقوق التي تسمع فيها الدعوى فلم يكن سقوط إحداهما موجباً لسقوط الأخرى فإن قلنا إنها لا ترد حبس المدعى عليه حتى يحلف أو يقر لأنه تعين عليه ذلك وإن قلنا إنها ترد حلف مع الشاهد واستحق.

Apakah sumpah dikembalikan kepada penggugat agar ia bersumpah bersama saksi? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama, bahwa sumpah tidak dikembalikan karena sumpah itu sebelumnya berada pada pihaknya, lalu ia menggugurkannya dan berpindah ke pihak selainnya, maka tidak kembali lagi kepadanya—sebagaimana tergugat apabila enggan bersumpah lalu sumpah dikembalikan kepada penggugat, kemudian penggugat juga enggan, maka sumpah itu tidak dikembalikan lagi kepada tergugat.

Kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ, bahwa sumpah dikembalikan, karena sumpah ini berbeda dari sumpah pertama. Sebab sumpah pertama adalah karena kuatnya pihak penggugat dengan adanya saksi, sedangkan sebab sumpah yang kedua adalah karena kuatnya pihak penggugat akibat penolakan tergugat untuk bersumpah. Sumpah pertama tidak dipakai untuk memutuskan perkara kecuali dalam perkara harta atau yang bertujuan memperoleh harta, sedangkan sumpah yang kedua diputuskan dengannya dalam seluruh hak yang dengannya diterima sebuah gugatan. Maka, gugurnya salah satu dari dua sumpah itu tidak menjadikan gugur yang lainnya.

Jika dikatakan sumpah tidak dikembalikan, maka tergugat ditahan sampai ia bersumpah atau mengakui. Dan jika dikatakan sumpah dikembalikan, maka penggugat bersumpah bersama saksi dan ia memperoleh haknya.

فصل: وإن كانت الدعوى في موضع لا يمكن رد اليمين على المدعى بأن ادعى على رجل ديناً ومات المدعي ولا وارث له غير المسلمين وأنكر المدعى عليه ونكل عن اليمين ففيه وجهان ذكرهما أبو سعيد الإصطخري: أحدهما: أنه يقضي بنكوله لأنه لا يمكن رد اليمين على الحاكم لأنه لا يجوز أن يحلف عن المسلمين لأن اليمين لا تدخلها النيابة ولا يمكن ردها على المسلمين لأنهم لا يتعينون فقضى بالنكول لموضع الضرورة

PASAL: Dan jika gugatan berada pada keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengembalikan sumpah kepada pihak penggugat, seperti seseorang menggugat orang lain atas suatu utang, lalu si penggugat meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris selain kaum muslimin, sementara tergugat mengingkari dan enggan bersumpah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī:

Pertama: diputuskan berdasarkan keengganannya bersumpah (nakl) karena tidak mungkin mengembalikan sumpah kepada hakim, sebab hakim tidak boleh bersumpah atas nama kaum muslimin, karena sumpah tidak bisa diwakilkan, dan tidak mungkin dikembalikan kepada kaum muslimin karena mereka tidak ditentukan orangnya; maka diputuskan berdasarkan keengganan bersumpah karena kondisi darurat.

والثاني: وهو المذهب أنه يحبس المدعى عليه حتى يحلف أو يقر لأن الرد لا يمكن لما ذكرناه والقضاء بالنكول لا يجوز لما قدمناه لأنه إما أن يكون صادقاً في إنكاره فلا ضرر عليه في اليمين أو كاذباً فيلزمه الإقرار وإن ادعى وصي ديناً لطفل في حجره على رجل وأنكر الرجل ونكل عن اليمين وقف إلى أن يبلغ الطفل فيحلف لأنه لا يمكن رد اليمين على الوصي لأن اليمين لا تدخلها النيابة ولا على الطفل في الحال لأنه لا يصح يمينه فوجب التوقف إلى أن يبلغ.

Dan pendapat kedua—dan inilah mazhab—adalah bahwa tergugat dipenjara hingga ia bersumpah atau mengakui, karena tidak mungkin mengembalikan sumpah sebagaimana telah disebutkan, dan tidak boleh memutuskan dengan nukūl sebagaimana telah dijelaskan, sebab jika ia jujur dalam pengingkarannya maka tidak ada mudarat baginya untuk bersumpah, dan jika ia berdusta maka wajib baginya mengakui.

Dan apabila seorang waṣī menggugat utang untuk anak kecil yang berada dalam asuhannya kepada seseorang, lalu orang tersebut mengingkari dan enggan bersumpah, maka perkara itu ditangguhkan hingga si anak mencapai usia balig lalu bersumpah, karena tidak mungkin mengembalikan sumpah kepada waṣī, sebab sumpah tidak dapat diwakilkan, dan tidak bisa pula kepada si anak dalam keadaan sekarang karena sumpahnya belum sah, maka wajib ditangguhkan hingga ia balig.

فصل: وإن كان للمدعي بينة عادلة قدمت على يمين المدعى عليه لأنها حجة لا تهمة فيها لأنها من جهة غيره واليمين حجة يتهم فيها لأنها من جهته ولا يجوز سماع البينة ولا الحكم بها إلا بمسألة المدعي لأنه حق له فلا يستوفي إلى بإذنه فإن قال المدعى عليه أحلفوه أنه يستحق ما شهدت به البينة لم يحلف لأن في ذلك طعناً في البينة العادلة وإن قال أبراني منه فحلفوه أنه لم يبرئني منه أو قضيته فحلفوه إني لم أقضه حلف لأنه ليس في ذلك قدح في البينة وما يدعيه محتمل فحلف عليه وإن كانت البينة غير عادلة قال له القاضي زدني في شهودك

PASAL: Jika penggugat memiliki bainah yang adil, maka bainah tersebut didahulukan atas sumpah tergugat, karena bainah adalah hujjah yang tidak mengandung tuduhan, sebab berasal dari pihak lain. Sedangkan sumpah adalah hujjah yang mengandung tuduhan karena berasal dari pihaknya sendiri. Tidak boleh mendengarkan bainah dan tidak boleh memutuskan dengannya kecuali atas permintaan dari penggugat, karena itu adalah hak miliknya, maka tidak boleh ditunaikan kecuali dengan izinnya.

Jika tergugat berkata, “Suruhlah dia bersumpah bahwa ia memang berhak atas apa yang disaksikan oleh bainah,” maka ia tidak disumpahkan, karena hal itu berarti mencela bainah yang adil.

Jika ia berkata, “Ia telah membebaskanku darinya,” maka ia disumpahkan dengan lafaz, “Ia tidak membebaskanku darinya.” Atau ia berkata, “Aku telah melunasinya,” maka ia disumpahkan dengan lafaz, “Aku belum melunasinya,” karena hal itu tidak mencela bainah, dan apa yang ia klaim masih mungkin, maka ia disumpahkan atas hal itu.

Jika bainah tidak adil, maka qadhi berkata kepadanya, “Tambahkan saksi dalam kesaksianmu.”

وإن قال المدعي لي بينة غائبة وطلب يمين المدعى عليه أحلف لأن الغائبة كالمعدومة لتعذر إقامتها فإن حلف المدعى عليه ثم حضرت البينة وطلب سماعها والحكم بها وجب سماعها والحكم بها لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال البينة العادلة أحق من اليمين الفاجرة ولأن البينة كالإقرار ثم يجب الحكم بالإقرار بعد اليمين فكذلك بالبينة وإن قال لي بينة حاضرة ولكني أريد أن أحلفه حلف لأنه قد يكون له غرض في إحلافه بأن يتورع عن اليمين فيقر وإثبات الحق بالإقرار أقوى وأسهل من إثباته بالبينة

Dan jika penggugat berkata, “Aku memiliki bukti yang sedang tidak hadir,” lalu ia meminta agar tergugat disumpah, maka tergugat disumpah, karena bukti yang tidak hadir itu seperti tidak ada, sebab sulit untuk didatangkan. Jika kemudian tergugat bersumpah, lalu bukti itu hadir dan penggugat meminta agar bukti itu didengar dan diputuskan berdasarkan bukti tersebut, maka wajib mendengarkannya dan memutuskan berdasar bukti itu, karena diriwayatkan dari ‘Umar RA bahwa ia berkata, “Bukti yang adil lebih berhak daripada sumpah yang dusta.” Dan karena bukti itu seperti pengakuan, dan sesungguhnya keputusan hukum wajib dijatuhkan berdasarkan pengakuan setelah sumpah, maka begitu pula berdasarkan bukti.

Dan jika ia berkata, “Aku memiliki bukti yang hadir, tetapi aku ingin menyuruhnya bersumpah,” maka tergugat tetap disumpah, karena bisa jadi penggugat punya tujuan dalam menyuruh tergugat bersumpah, yaitu agar tergugat bersikap wara‘ dan tidak mau bersumpah lalu mengakui, sedangkan penetapan hak dengan pengakuan lebih kuat dan lebih mudah daripada penetapannya dengan bukti.

وإن قال ليس لي بينة حاضرة ولا غائبة أو قال كل بينة تشهد لي فهي كاذبة وطلب إحلافه فحلف ثم أقام البينة على الحق ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنها لا تسمع لأنه كذبه بقوله والثاني: أنه إن كان هو الذي استوثق بالبينة لم تسمع لأنه كذبها وإن كان غيره المستوثق بالبينة سمعت لأنه لم يعلم بالبينة فرجع قوله لا بينة لي إلى ما عنده والثالث أنها تسمع بكل حال وهو الصحيح لأنه يجوز أن يكون ما علم وإن علم فلعله نسي فرجع قوله لا بينة لي إلى ما يعتقده.

Dan jika ia berkata, “Aku tidak memiliki bainah yang hadir maupun yang gaib,” atau ia berkata, “Setiap bainah yang bersaksi untukku adalah dusta,” lalu ia meminta agar lawannya disumpah, kemudian lawannya bersumpah, lalu ia mendatangkan bainah atas kebenaran (haknya), maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

Pertama, bainah tersebut tidak diterima karena ia telah mendustakannya dengan ucapannya.

Kedua, jika ia sendiri yang meminta bainah tersebut, maka tidak diterima karena ia telah mendustakannya. Namun jika orang lain yang meminta bainah tersebut, maka bainah diterima karena ia tidak mengetahuinya, sehingga ucapan “aku tidak punya bainah” kembali kepada pengetahuannya saja.

Ketiga, bainah diterima dalam segala keadaan, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena boleh jadi ia memang tidak tahu, dan kalaupun ia tahu, bisa jadi ia lupa, maka ucapan “aku tidak punya bainah” kembali kepada keyakinannya sendiri.

فصل: وإن قال المدعي لي بينة بالحق لم يجز له ملازمة الخصم قبل حضورها لقوله صلى الله عليه وسلم: “شاهداك أو يمينه ليس لك إلا ذلك”. وإن شهد له شاهدان عدلان عند الحاكم وهولا يعلم أن له دفع البينة بالجرح قال له قد شهد عليك فلان وفلان وقد ثبتت عدالتهما عندي وقد أطردتك جرحهما وإن كان يعلم فله أن يقول وله أن يسكت فإن قال المشهود عليه لي بينة بجرحهما نظر فإن لم يأت بها حكم عليه لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال في كتابه إلى أبي موسى الأشعري رضي الله عنه واجعل لمن ادعى حقاً غائباً أمدا ينتهي إليه

PASAL: Jika penggugat berkata, “Aku memiliki bainah atas kebenaran (hakku),” maka tidak boleh baginya untuk terus-menerus mendampingi lawannya sebelum kehadiran bainah-nya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Dua orang saksimu atau sumpahnya; tidak ada bagimu kecuali itu.” Jika dua orang saksi yang ‘adil telah bersaksi di hadapan hakim, dan terdakwa tidak mengetahui bahwa ia memiliki hak untuk menolak bainah dengan jarḥ, maka hakim berkata kepadanya, “Si Fulan dan si Fulan telah bersaksi atasmu, dan telah tetap keadilan keduanya di sisiku, dan aku menolak jarḥ-mu terhadap mereka.” Namun, jika terdakwa mengetahui, maka ia boleh berkata dan boleh diam. Jika orang yang disaksikan berkata, “Aku memiliki bainah untuk mencela keduanya,” maka dilihat: jika ia tidak mendatangkan bainah-nya, maka diputuskan hukum atasnya, berdasarkan riwayat dari ‘Umar RA bahwa ia berkata dalam suratnya kepada Abū Mūsā al-Asy‘arī RA: “Berikanlah bagi siapa yang mengklaim hak yang ghaib suatu batas waktu yang harus ia selesaikan.”

فإن أحضر بينته أخذت له حقه وإلا استحللت عليه القضية فإنه أنفى للشك وأجلى للعمى ولا ينظر أكثر من ثلاثة أيام لأنه كثير وفيه إضرار بالمدعي وإن قال لي بينة بالقضاء أو الإبراء أمهل ثلاثة أيام فإن لم يأت بها حلف المدعي أنه لم يقضه ولم يبرئه ثم يقضي له لما ذكرناه وله أن يلازمه إلى أن يقيم البينة بالجرح أو القضاء لأن الحق قد ثبت له في الظاهر وإن شهد له شاهدان ولم تثبت عدالتهما في الباطن فسأل المدعي أن يحبس الخصم إلى أن يسأل عن عدالة الشهود ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق وهو ظاهر المذهب أنه يحبس لأن الظاهر العدالة وعدم الفسق

Jika ia menghadirkan bainah-nya, diambilkan haknya untuknya, dan jika tidak, maka aku akan putuskan perkara atasnya, karena hal itu lebih menyingkirkan keraguan dan lebih menjernihkan dari kebutaan. Tidak diperkenankan menunggu lebih dari tiga hari karena itu adalah waktu yang lama dan di dalamnya terdapat ḍarar terhadap penggugat. Jika ia berkata, “Aku memiliki bainah atas pelunasan atau pelepasan,” maka diberi tenggang waktu tiga hari; jika tidak mendatangkannya, maka penggugat disumpah bahwa tergugat belum melunasi dan belum membebaskannya, kemudian diputuskan untuknya, sebagaimana telah disebutkan. Dan ia boleh terus mendampingi lawannya sampai mendatangkan bainah tentang jarḥ atau pelunasan, karena hak itu telah tetap secara lahir. Jika ada dua saksi yang bersaksi untuknya, namun keadilan keduanya belum tetap secara bāṭin, lalu penggugat meminta agar tergugat ditahan sampai dilakukan pemeriksaan terhadap keadilan para saksi, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq dan merupakan pendapat yang ẓāhir dari mazhab, adalah bahwa tergugat ditahan karena secara ẓāhir para saksi adalah ‘ādil dan tidak fāsiq.

والثاني: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أنه لا يحبس لأن الأصل براءة ذمته وإن شهد له شاهد واحد وسأل أن يحبسه إلى أن يأتي بشاهد آخر ففيه قولان: أحدهما: أنه يحبس كما يحبس إذا جهل عدالة الشهود والثاني: أنه لا يحبس وهو الصحيح لأنه لم يأت بتمام البينة ويخالف إذا جهل عدالتهم لأن البينة تم عددها والظاهر عدالتها وقال أبو إسحاق: إن كان الحق مما يقضي فيه بالشاهد واليمين حبس قولاً واحداً لأن الشاهد الواحد حجة فيه لأنه يحلف معه.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, adalah bahwa tergugat tidak ditahan karena asalnya adalah terbebasnya tanggungan. Jika ada satu orang saksi yang bersaksi untuknya, lalu ia meminta agar tergugat ditahan sampai ia mendatangkan saksi yang lain, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa tergugat ditahan sebagaimana ditahan jika keadilan para saksi belum diketahui; pendapat kedua menyatakan bahwa tergugat tidak ditahan, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia belum mendatangkan bainah yang sempurna. Hal ini berbeda dengan kasus ketika keadilan mereka belum diketahui, karena jumlah bainah-nya telah sempurna dan secara ẓāhir mereka adalah ‘ādil. Abū Isḥāq berkata: jika hak tersebut termasuk perkara yang dapat diputuskan dengan satu saksi dan sumpah, maka tergugat ditahan menurut satu pendapat, karena satu saksi adalah hujjah dalam hal tersebut karena ia akan disumpah bersamanya.

فصل: وإذا علم القاضي عدالة الشاهد أو فسقه عمل بعمله في قبوله ورده وإن علم حال المحكوم فيه نظرت فإن كان ذلك في حق الآدمي ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يجوز أن يحكم فيه بعلمه لقوله عليه الصلاة والسلام للحضرمي: “شاهداك أو يمينه ليس له إلا ذلك” ولأنه لو كان علمه كشهادة اثنين لانعقد النكاح به وحده والثاني: وهو الصحيح وهو اختيار المزني رحمه الله أنه يجوز أن يحكم بعلمه

PASAL: Jika qadhi mengetahui keadilan atau kefasikan seorang saksi, maka ia beramal berdasarkan pengetahuannya dalam menerima atau menolaknya. Jika ia mengetahui keadaan perkara yang diputuskan, maka dilihat: jika hal itu berkaitan dengan hak manusia, maka terdapat dua pendapat.

Pertama: tidak boleh qadhi memutuskan berdasarkan pengetahuannya sendiri, karena sabda Nabi SAW kepada al-Ḥaḍramī: “Dua orang saksi atau sumpahnya, ia tidak memiliki selain itu,” dan karena jika pengetahuannya dianggap seperti dua saksi, niscaya akad nikah sah hanya dengan pengetahuan qadhi saja.

Kedua: dan ini yang ṣaḥīḥ, yaitu pilihan al-Muzanī raḥimahullāh, bahwa boleh qadhi memutuskan perkara dengan pengetahuannya sendiri.

لما روى أبو سعيد الخدري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يمنع أحدكم هيبة الناس أن يقول في حق إذا رآه أو علمه أو سمعه”  ولأنه إذا جاز أن يحكم بما شهد به الشهود وهو من قولهم على ظن فلأن يجوز أن يحكم بما سمعه أو رآه وهو على علم أولى وإن كان ذلك في حق الله تعالى ففيه طريقان: أحدهما: وهو قول أبي العباس وأبي علي بن أبي هريرة أنها على قولين كحقوق الآدميين

Karena telah diriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah rasa segan kepada manusia menghalangi salah seorang dari kalian untuk mengatakan kebenaran jika ia melihatnya, mengetahuinya, atau mendengarnya.” Dan karena jika dibolehkan bagi qadhi untuk memutuskan berdasarkan kesaksian para saksi yang merupakan perkataan mereka atas dasar dugaan, maka memutuskan berdasarkan apa yang ia dengar atau lihat—yang merupakan pengetahuan—itu lebih utama.

Jika hal itu berkaitan dengan hak Allah Ta‘ālā, maka terdapat dua pendekatan:
Pertama: dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās dan Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah, bahwa hukumnya seperti hak-hak manusia, yaitu terdapat dua pendapat.

والثاني: وهو قول أكثر أصحابنا أنه لا يجوز أن يحكم فيه بعلمه قولاً واحداً لما روي عن أبي بكر الصديق رضي الله عنه أنه قال: لو رأيت رجلاً على حد لم أحده حتى تقوم البينة عندي ولأنه مندوب إلى ستره ودرئه والدليل عليه قوله صلى الله عليه وسلم: “هلا سترته بثوبك يا هزال”. فلم يجز الحكم فيه بعلمه.

Dan kedua: yaitu pendapat mayoritas ulama mazhab kami, bahwa tidak boleh qadhi memutuskan perkara hak Allah berdasarkan pengetahuannya sendiri secara qaulan wāḥidan (satu pendapat yang tegas). Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu yang berkata: “Seandainya aku melihat seseorang melakukan perbuatan yang terkena ḥadd, niscaya aku tidak akan menegakkan ḥadd atasnya hingga tegak bayyinah (bukti) di hadapanku.”

Dan karena qadhi dianjurkan untuk menutupinya dan mencegah penerapan ḥadd, sebagaimana dalil sabda Nabi SAW: “Mengapa tidak engkau tutupi dia dengan pakaianmu, wahai Hizzāl?” Maka tidak diperbolehkan memutuskan perkara tersebut berdasarkan pengetahuannya.

فصل: وإن سكت المدعى عليه ولم يقر ولم ينكر قال له الحاكم إن أجبت وإلا جعلتك ناكلاً والمستحب أن يقول له ذلك ثلاثاً فإن لم يجب جعله ناكلاً وحلف المدعي وقضى له لأنه لا يخلوا إذا أجاب أن يقر أو ينكر فإن أقر فقد قضى عليه بما يجب على المقر وإن أنكر فقد وصل إنكاره بالنكول عن اليمين فقضينا عليه بما يجب على المنكر إذا نكل عن اليمين.

PASAL: Jika tergugat diam, tidak mengakui dan tidak pula mengingkari, maka hakim berkata kepadanya: “Jika engkau tidak menjawab, aku akan menjadikanmu sebagai orang yang menolak bersumpah (nākil).” Dan yang mustaḥab adalah mengucapkan hal itu kepadanya sebanyak tiga kali. Jika ia tetap tidak menjawab, maka ia dianggap nākil, lalu penggugat disuruh bersumpah dan diputuskan hak untuknya.

Karena jika tergugat menjawab, pasti tidak lepas dari dua kemungkinan: mengakui atau mengingkari. Jika ia mengakui, maka diputuskan atas dirinya sesuai apa yang wajib atas orang yang mengaku. Jika ia mengingkari, maka pengingkarannya telah disambung dengan penolakannya untuk bersumpah, sehingga kami memutuskan atas dirinya sebagaimana keputusan terhadap pengingkar yang menolak bersumpah.

فصل: وإذا تحاكم إلى الحاكم أعجمي لا يعرف لسانة لم يقبل في الترجمة إلا عدلين لأنه إثبات قول يقف الحكم عليه فلم يقبل إلا من عدلين كالإقرار وإن كان الحق مما يثبت بالشاهد والمرأتين قبل ذلك في الترجمة وإن كان مما لا يقبل فيه إلا ذكرين لم يقبل في الترجمة إلا ذكرين فإن كان إقراراً بالزنا ففيه قولان: أحدهما: أنه يثبت بشاهدين والثاني: أنه لا يثبت إلا بأربعة.

PASAL: Jika seseorang berperkara kepada hakim yang berbahasa asing dan tidak memahami bahasanya, maka dalam penerjemahan tidak diterima kecuali dari dua orang laki-laki yang ‘adil, karena penerjemahan adalah penetapan suatu ucapan yang menjadi dasar hukum, maka tidak diterima kecuali dari dua orang ‘adil sebagaimana dalam pengakuan.

Jika perkara yang disengketakan termasuk hal yang dapat ditetapkan dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan, maka penerjemahan juga diterima dengan komposisi tersebut. Dan jika perkara tersebut tidak dapat diterima kecuali dengan dua saksi laki-laki, maka penerjemahan pun tidak diterima kecuali dari dua laki-laki.

Jika perkara itu berupa pengakuan zina, maka ada dua pendapat:
Pertama: ditetapkan dengan dua orang saksi.
Kedua: tidak ditetapkan kecuali dengan empat orang.

فصل: وإن حضر رجل عند القاضي وادعى على غائب عن البلد أو على حاضر فهرب أو على حاضر في البلد استتر وتعذر إحضاره فإن لم يكن بينة لم يسمع دعواه لأن استماعها لا يفيه وإن كانت معه بينة سمع دعواه وسمعت بينته لأنا لولم نسمع جعلت الغيبة والاستتار طريقاً إلى إسقاط الحقوق التي نصب الحاكم لحفظها ولا يحكم عليه إلا أن يحلف المدعي أنه لم يبرئ من الحق

PASAL: Jika seseorang datang kepada qadhi dan mengajukan gugatan terhadap orang yang tidak berada di kota, atau terhadap orang yang hadir lalu melarikan diri, atau terhadap orang yang berada di kota namun bersembunyi sehingga tidak mungkin dihadirkan, maka apabila tidak ada bainah, gugatan tersebut tidak didengar karena mendengarkannya tidak memberikan faedah. Namun jika disertai bainah, maka gugatan dan bainah-nya didengar, karena jika tidak didengar, berarti menjadikan keadaan ghaib dan bersembunyi sebagai jalan untuk menggugurkan hak-hak yang dijaga oleh hakim. Namun tidak boleh dijatuhkan putusan terhadap pihak tergugat kecuali setelah penggugat bersumpah bahwa ia tidak membebaskan (tergugat) dari hak tersebut.

لأنه يجوز أن يكون قد حدث بعد ثبوته بالبينة إقراء أو قضاء أو حوالة ولهذا لو حضر من عليه الحق وادعى البراء بشيء من ذلك سمعت دعواه وحلف عليه المدعي فإذا تعذر حضوره وجب على الحاكم أن يحتاط له ويحلف عليه المدعي وإن ادعى على حاضر في البلد يمكن إحضاره ففيه وجهان: أحدهما: أنه تسمع الدعوى والبينة ويقضى بها بعد ما يحلف المدعي لأنه غائب عن مجلس الحكم فجاز القضاء عليه كالغائب عن البلد المستتر في البلد

Karena boleh jadi setelah hak itu ditetapkan dengan bainah telah terjadi pembebasan, pelunasan, atau pemindahan piutang (ḥawālah). Oleh karena itu, jika orang yang dikenai hak itu hadir lalu mengklaim telah bebas dengan salah satu dari hal tersebut, maka pengakuannya didengar dan penggugat disumpah atasnya. Maka apabila kehadirannya tidak memungkinkan, wajib bagi hakim untuk berhati-hati untuknya dan menyumpah penggugat.

Dan jika gugatan ditujukan kepada orang yang hadir di kota dan memungkinkan untuk dihadirkan, maka dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat): yang pertama, bahwa gugatan dan bainah-nya didengar dan dijatuhkan keputusan setelah penggugat disumpah, karena ia tidak hadir di majelis pengadilan, maka boleh dijatuhkan keputusan atasnya seperti orang yang ghaib dari kota atau bersembunyi di dalam kota.

والثاني: أنه لا يجوز سماع البينة عليه ولا الحكم وهو المذهب لأنه يمكن سؤاله فيه يجوز القضاء عليه قبل السؤال كالحاضر في مجلس الحكم وإن ادعى على ميت سمعت البينة وقضى عليه فإن كان له واره كان إحلاف المدعي إليه وإن لم يكن له وارث فعلى الحاكم أن يحلفه ثم يقضي له وإن كان على صبي سمعت البينة وقضى عليه بعدما يحلف المدعي لأنه تعذر الرجوع إلى جوابه فقضى عليه مع يمين المدعي كالغائب والمستتر وإن حكم على الغائب ثم قدم أو على الصبي ثم بلغ كان على حجته في المدح في البينة والمعارضة بينة يقيمها على لا قضاء أو الإبراء.

Dan pendapat kedua: tidak boleh mendengar bainah terhadapnya dan tidak boleh menjatuhkan putusan—dan inilah mazhab—karena memungkinkan untuk menanyakannya, maka tidak boleh menjatuhkan putusan atasnya sebelum dilakukan pertanyaan, seperti halnya orang yang hadir di majelis pengadilan.

Dan jika gugatan ditujukan kepada orang yang telah meninggal, maka bainah didengar dan dijatuhkan putusan atasnya. Jika ia memiliki ahli waris, maka sumpah penggugat ditujukan kepada ahli waris tersebut. Dan jika ia tidak memiliki ahli waris, maka hakimlah yang menyumpah penggugat lalu menjatuhkan putusan untuknya.

Dan jika gugatan ditujukan kepada anak kecil, maka bainah didengar dan dijatuhkan putusan atasnya setelah penggugat disumpah, karena tidak mungkin kembali kepada jawabannya, maka diputus atasnya dengan disertai sumpah penggugat seperti orang yang ghaib dan bersembunyi.

Dan jika telah diputus atas orang ghaib lalu ia datang, atau atas anak kecil lalu ia telah baligh, maka ia tetap memiliki hak untuk memberikan kritik terhadap bainah dan mengajukan bantahan berupa bainah yang menunjukkan tidak ada keputusan atau telah ada pembebasan (ibrā’).

فصل: ويجوز للقاضي أن يكتب إلى القاضي فيما ثبت عنده ليحكم به ويجوز أن يكتب إليه فيما حكم به لينفذه لما روى الضحاك ابن قيس قال كتب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أورث امرأة أشيم الضبابي من دية زوجها ولأن الحاجة تدعوا إلى كتاب القاضي إلى القاضي فيما ثبت عنده ليحكم به وفيما حكم به لينفذه فإن كان الكتاب فيما حكم به جاز قبول ذلك في المسافة القريبة والبعيدة لأن ما حكم به يلزم كل أحد إمضاؤه وإن كان فيما ثبت عنده لم يجز قبوله إذا كان بينهما مسافة لا تقصر فيها الصلاة ن لأن القاضي الكاتب فيما حمل شهود الكتاب كشاهد الأصل والشهود الذين يشهدون بما في الكتاب كشهود الفرع وشاهد الفرع لا يقبل مع قرب شاهد الأصل.

PASAL: Seorang qadhi boleh menulis surat kepada qadhi lain tentang perkara yang telah terbukti di hadapannya agar qadhi itu menetapkannya, dan boleh juga menulis surat tentang perkara yang telah diputuskan agar qadhi itu mengeksekusinya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ḍaḥḥāk bin Qays bahwa ia berkata: “Telah ditulis surat kepada Rasulullah SAW agar mewariskan istri Asyim al-Ḍiḍābī dari diyat suaminya.” Dan karena kebutuhan mengharuskan adanya surat-menyurat antara qadhi dalam perkara yang telah terbukti agar diputuskan, atau perkara yang telah diputuskan agar dilaksanakan.

Jika surat tersebut berkenaan dengan perkara yang telah diputuskan, maka boleh diterima baik dalam jarak dekat maupun jauh, karena putusan tersebut mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Namun jika surat itu mengenai perkara yang baru terbukti (belum diputuskan), maka tidak boleh diterima apabila jarak antara keduanya tidak membolehkan qaṣr shalat, karena qadhi yang menulis surat tersebut dan para saksi atas isi surat seperti syāhid al-aṣl, dan saksi yang menyampaikan isi surat seperti syāhid al-far‘, sementara syāhid al-far‘ tidak diterima jika syāhid al-aṣl berada dalam jarak dekat.

فصل: ولا يقبل الكتاب إلا أن يشهد به شاهدان وقال أبو ثور يقبل من غير شهادة لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يكتب ويعمل بكتبه من غير شهادة وقال أبو سعيد الإصطخري: إذا عرف المكتوب إليه خط القاضي الكاتب وختمه جاز قبوله وهذا خطأ لأن الخط يشبه الخط والختم يشبه الختم فلا يؤمن أن يزور على الخط والختم

PASAL: Dan tidak diterima surat (putusan) kecuali disaksikan oleh dua orang saksi. Abū Ṯaur berkata: diterima tanpa adanya kesaksian karena Nabi SAW dahulu menulis dan melaksanakan surat-suratnya tanpa adanya kesaksian. Dan Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī berkata: jika orang yang dituju mengetahui tulisan tangan qāḍī yang menulis dan capnya, maka boleh diterima. Ini adalah pendapat yang keliru, karena tulisan bisa menyerupai tulisan lain, dan cap pun bisa menyerupai cap lain, sehingga tidak aman dari kemungkinan adanya pemalsuan terhadap tulisan dan cap tersebut.

وإذا أراد إنفاذ الكتاب أحضر شاهدين ويقرأ الكتاب عليهما أو يقرأ غيره وهو يسمعه والمستحب أن ينظر الشاهدان في الكتاب حتى لا يحذف منه شيء وإن لم ينظرا جاز لأنهما يؤديان ما سمعا وإذا وصلا إلى القاضي المكتوب إليه قرآ الكتاب عليه وقالا تشهدان هذا الكتاب كتاب فلان إليك وسمعناه وأشهدنا أنه كتب إليك بما فيه وإن لم يقرآ الكتاب ولكنهما سلماه إليه وقالا نشهد أنه كتب إليك بهذا لم يجز لأنه ربما زور الكتاب عليهما وإن انكسر ختم الكتاب لم يضر لأن المعول على ما فيه وإن محى بعضه فإن كانا يحفظان ما فيه أو معهما نسخة أخرى شهدا وإن لم يحفظاه ولا معهما نسخة أخرى لم يشهدا لأنهما لا يعلمان ما امحى منه.

Dan apabila ia ingin mengirimkan surat tersebut, maka ia menghadirkan dua orang saksi dan membaca surat itu kepada keduanya, atau orang lain membacakannya sedang ia mendengarkan. Dan yang mustahab adalah kedua saksi itu melihat ke dalam surat tersebut agar tidak ada sesuatu pun yang dihapus darinya. Namun jika keduanya tidak melihat, tetap sah karena mereka menyampaikan apa yang mereka dengar.

Apabila keduanya sampai kepada qadhi yang dituju, maka mereka membaca surat itu kepadanya dan berkata, “Kami bersaksi bahwa surat ini adalah surat dari Fulan kepadamu, dan kami mendengarnya serta dia menyaksikan kepada kami bahwa dia menulis kepadamu apa yang terkandung di dalamnya.”

Jika keduanya tidak membaca surat itu namun hanya menyerahkannya kepadanya dan berkata, “Kami bersaksi bahwa dia menulis kepadamu surat ini,” maka tidak sah, karena bisa jadi surat itu dipalsukan terhadap mereka berdua.

Dan apabila segel surat itu pecah, tidak mengapa karena yang menjadi sandaran adalah isi surat itu. Jika sebagian isi surat itu terhapus, maka jika keduanya menghafal isinya atau mereka memiliki salinan lainnya, maka keduanya dapat bersaksi. Namun jika keduanya tidak menghafalnya dan tidak memiliki salinan lainnya, maka keduanya tidak boleh bersaksi karena mereka tidak mengetahui apa yang telah terhapus darinya.

فصل: وإن مات القاضي الكاتب أو عزل جاز للمكتوب إليه قبول الكتاب والعمل به لأنه إن كان الكتاب بما حكم به وجب على كل من بلغه أن ينفذه في كل حال وإن كان الكتاب بما ثبت عنده فالكاتب كشاهد الأصل وشهود الكتاب كشاهد الفرع وموت شاهد الأصل لا يمنع من قبول شهادة شهود الفرع إن فسق الكاتب ثم وصل كتابه فإن كان ذلك فيما حكم به لم يؤثر فسقه لأن الحكم لا يبطل بالفسق الحارث بعده وإن كان فيما ثبت عنده لم يجز الحكم به لأنه كشاهد الأصل وشاهد الأصل إذا فسق قبل الحكم لم يحكم بشهادة شاهد الفرع وإن مات القاضي المكتوب إليه أو عزل أوولي غيره قبل الكتاب لأن المعول على ما حفظه شهود الكتاب وتحملوه ومن تحمل شهادة وجب على كل قاض أن يحكم بشهادته.

PASAL: Dan jika qadhi yang menulis surat itu meninggal atau diberhentikan, maka boleh bagi qadhi yang dituju untuk menerima surat tersebut dan menetapkan hukum berdasarkannya. Karena jika surat itu berisi tentang perkara yang telah diputuskan, maka wajib bagi setiap orang yang sampai kepadanya keputusan tersebut untuk melaksanakannya dalam segala keadaan.

Dan jika surat itu berisi perkara yang telah terbukti di hadapan qadhi penulis, maka qadhi penulis kedudukannya seperti syāhid al-aṣl (saksi pokok), dan para saksi surat seperti syāhid al-far‘ (saksi cabang). Kematian saksi pokok tidak menghalangi diterimanya kesaksian saksi cabang.

Jika qadhi penulis menjadi fasiq kemudian suratnya sampai, maka jika surat itu berisi perkara yang telah diputuskan, kefasiqannya tidak berpengaruh karena keputusan hukum tidak batal dengan kefasiqan yang datang setelahnya. Namun jika surat itu berisi perkara yang terbukti di hadapannya, maka tidak boleh menetapkan hukum berdasarkannya, karena ia seperti saksi pokok, dan saksi pokok apabila menjadi fasiq sebelum diputuskan hukum, maka tidak boleh menetapkan hukum berdasarkan kesaksian saksi cabang.

Dan jika qadhi yang dituju oleh surat itu meninggal, diberhentikan, atau diganti oleh qadhi lain, maka surat itu tetap diterima, karena yang menjadi sandaran adalah apa yang dihafal dan dibawa oleh para saksi surat. Dan siapa saja yang memikul kesaksian, wajib bagi setiap qadhi untuk memutuskan hukum berdasarkan kesaksiannya.

فصل: فإن وصل الكتاب إلى المكتوب إليه فحضر الخصم وقال لست فلان ابن فلان فالقول قوله مع يمينه لأن الأصل أنه لا مطالبة عليه فإن أقام المدعي بينة أنه فلان ابن فلان فقال أنا فلان بن فلان إلا أني غير المحكوم عليه لم يقبل قوله إلا أن يقيم البينة أن له من يشاركه في جميع ما وصف به لأن الأصل عدم من يشاركه فلم يقبل قوله من غير بينة وإن أقام بينة أن له من يشاركه في جميع ما وصف به توقف عن الحكم حتى يعرف من المحكوم عليه منهما

PASAL: Jika surat itu sampai kepada qadhi yang dituju, lalu hadir pihak yang menjadi lawan dan berkata, “Aku bukanlah Fulan bin Fulan,” maka perkataannya diterima disertai sumpah, karena asalnya ia tidak dalam posisi dituntut.

Namun jika pihak penggugat menghadirkan bayyinah bahwa dia adalah Fulan bin Fulan, lalu orang itu berkata, “Aku memang Fulan bin Fulan, tetapi bukan orang yang dijatuhi putusan,” maka tidak diterima perkataannya kecuali ia mendatangkan bayyinah bahwa ada orang lain yang menyertai dirinya dalam semua ciri-ciri yang disebutkan (dalam surat), karena asalnya tidak ada yang menyertai dirinya, maka tidak diterima perkataannya tanpa bukti.

Jika ia mendatangkan bayyinah bahwa ada orang lain yang menyertai dirinya dalam semua ciri yang disebutkan, maka dihentikan pemberian keputusan sampai diketahui siapa sebenarnya yang dijatuhi keputusan di antara keduanya.

وإذا حكم المكتوب إليه على المدعى عليه بالحق فقال المحكوم عليه اكتب إلى الحاكم الكاتب إنك حكمت علي حتى لا يدعي علي ثانياً ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري رحمه الله أنه يلزمه لأنه لا يأمن أن يدعي ثانياً ويقيم عليه البينة فيقضي عليه ثانياً والثاني: أنه لا يلزمه لأن الحاكم إنما يكتب ما حكم به أوثبت عنده والكاتب هو الذي حكم أوثبت عنده دون المكتوب إليه.

Dan jika qadhi yang ditulisi memutuskan perkara atas tergugat dengan menetapkan hak bagi penggugat, lalu pihak yang diputus atasnya berkata, “Tulislah kepada qadhi penulis bahwa engkau telah memutuskan terhadapku agar tidak ada lagi gugatan terhadapku untuk kedua kalinya,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī rahimahullah, bahwa wajib menuliskannya, karena tidak ada jaminan bahwa pihak lain tidak akan menggugatnya lagi dan mendatangkan bainah atasnya lalu diputuskan kembali terhadapnya.

Pendapat kedua, bahwa tidak wajib menuliskannya, karena qadhi hanya menuliskan apa yang ia putuskan atau yang telah ditetapkan di hadapannya, dan dalam hal ini yang memutuskan atau yang menetapkan adalah qadhi penulis, bukan qadhi yang ditulisi.

فصل: إذا ثبت عند القاضي حق بالإقرار فسأله المقر له أن يشهد على نفسه بما ثبت عنده من الإقرار لزمه ذلك لأنه لا يؤمن أن ينكر المقر فلزمه الإشهاد ليكون حجة له إذا أنكر وإن ثبت عنده الحق بيمين المدعي غير الإشهاد وإن ثبت عنده الحق بالبينة فسأله المدعي الإشهاد ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجب لأن له بالحق بينة فلم يلزم القاضي تجديد بينة أخرى

PASAL: Jika suatu hak telah ditetapkan di sisi qadhi melalui pengakuan, lalu orang yang diakui memintanya untuk bersaksi atas dirinya tentang apa yang telah ditetapkan melalui pengakuan tersebut, maka hal itu wajib baginya, karena tidak aman dari kemungkinan pengaku itu akan mengingkari, maka wajib baginya untuk meminta penyaksian agar menjadi hujah jika nanti ia mengingkari. Dan jika hak itu ditetapkan di sisinya melalui sumpah pihak penggugat, maka tidak wajib adanya penyaksian. Dan jika hak itu ditetapkan di sisinya melalui bayyinah, lalu pihak penggugat memintanya untuk mengadakan penyaksian, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa hal itu tidak wajib karena ia sudah memiliki bayyinah atas haknya, maka qadhi tidak wajib memperbarui bayyinah yang lain.

والثاني: أنه يلزمه لأن في إشهاده على نفسه تعديلاً لبينته وإثباتاً لحقه وإلزاماً لخصمه فإن ادعى عليه حقاً فأنكره وحلف عليه وسأله الحالف أن يشهد على براءته لزمه ليكون حجة له في سقوط الدعوى حتى لا يطالبه بالحق مرة أخرى وإن سأله أن يكتب له محضراً في هذه المسائل كلها وهو أن يكتب ما جرى وما ثبت به الحق فإن لم يكن عنده قرطاس من بيت المال ولم يأته المحكوم له بقرطاس لم يلزمه أن يكتب لأن عليه أن يكتب وليس عليه أن يغرم وإن كان عنده قرطاس من بيت المال أو أتاه صاحب الحق بقرطاس فهل يلزمه أن يكتب المحضر فيه وجهان: أحدهما: أنه يلزمه لأنه وثيقة بالحق فلزمه كالإشهاد على نفسه

dan kedua: bahwa hal itu wajib baginya, karena dengan bersaksi atas dirinya terdapat penguatan terhadap bayyinah-nya, penetapan terhadap haknya, dan pengikatan terhadap lawannya. Jika ia menuntut suatu hak lalu pihak tergugat mengingkari dan bersumpah atasnya, kemudian orang yang bersumpah itu memintanya untuk bersaksi atas kebebasannya dari tuntutan, maka wajib baginya untuk melakukannya agar menjadi hujah atas gugurnya tuntutan, sehingga tidak dituntut lagi atas hak tersebut di kemudian hari.

Jika ia memintanya untuk menuliskan berita acara dalam seluruh masalah ini—yaitu menuliskan apa yang terjadi dan dengan apa hak itu ditetapkan—maka jika tidak ada kertas dari Bayt al-Māl dan orang yang dimenangkan tidak membawakannya kertas, maka ia tidak wajib menuliskannya karena ia berkewajiban menulis, bukan menanggung biaya.

Namun jika ada kertas dari Bayt al-Māl atau pemilik hak membawakannya kertas, maka apakah ia wajib menuliskan berita acara? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa ia wajib menuliskannya karena itu merupakan dokumen atas hak, maka wajib sebagaimana kewajiban bersaksi atas dirinya sendiri.

والثاني: أنه لا يلزمه لأن الحق يثبت باليمين أو بالبينة دون المحضر وإن سأله أن يسجل له وهو أن يذكر ما يكتبه في المحضر ويشهد على إنفاذه ويسجل له فهل يلزم ذلك أم لا على ما ذكرناه في كتب المحضر وما يكتب من المحاضر والسجلات يكتب في نسختين إحداهما تسلم إلى المحكوم له والأخرى تكون في ديوان الحكم فإن حضر عند القاضي رجلان لا يعرفهما وحكم بينهما ثم سأل المحكوم له كتب محضر أو سجل كتب حضر إلي رجلان قال أحدهما: أنا فلان بن فلان وقال الآخر: أنا فلان بن فلان ويحليهما ويذكر ما جرى بينهما ويشهد على ذلك.

dan yang kedua: bahwa tidak wajib, karena hak itu tetap dengan sumpah atau dengan bainah, bukan dengan maḥḍar. Jika yang bersangkutan memintanya untuk mencatatkannya, yaitu dengan menyebutkan apa yang ditulis dalam maḥḍar dan menghadirkan saksi atas pelaksanaannya serta menetapkan catatan itu untuknya, maka apakah hal itu wajib atau tidak, tergantung pada apa yang telah kami sebutkan mengenai penulisan maḥāḍir dan apa yang ditulis dari maḥāḍir dan sijillāt, ditulis dalam dua salinan: salah satunya diserahkan kepada pihak yang dimenangkan dan yang lainnya disimpan di kantor pengadilan. Jika datang kepada qāḍī dua orang lelaki yang tidak dikenalnya, lalu ia memutuskan perkara di antara keduanya, kemudian pihak yang dimenangkan memintanya untuk menulis maḥḍar atau sijill, maka ia menulis: “Telah datang kepadaku dua orang lelaki, yang satu berkata: ‘Aku Fulan bin Fulan’, dan yang lain berkata: ‘Aku Fulan bin Fulan’,” lalu ia menyebutkan identitas mereka berdua, menyebutkan apa yang terjadi di antara mereka, dan menghadirkan saksi atas hal tersebut.

فصل: وإن اجتمعت عنده محاضر وسجلات كتب على كل محضر اسم المتداعيين ويضم ما اجتمع منها في كل شهر أوفي كل سنة على قدر قلتها وكثرتها وضم بعضها إلى بعض ويكتب عليها محاضر شهر كذا وكذا من سنة كذا ليسهل عليه طلبته إذا احتاج إليه وإن حضر رجلان عند القاضي فادعى أحدهما: أن له في ديوان الحكم حجة على خصمه فوجدها فإن كان حكماً حكم به غيره لم يشمل به إلا أن يشهد به شاهدان أن هذا حكم به فلان القاضي ولا يرجع في ذلك إلى الخط والختم فإنه يحتمل التزوير في الخط والختم وإن كان حكماً حكم هو به فإن كان ذاكراً للحكم به عالماً به عمل به وألزم الخصم حكمه

PASAL: Jika terkumpul padanya beberapa maḥāḍir dan sijillāt, maka ia menuliskan pada setiap maḥḍar nama kedua pihak yang bersengketa, lalu mengumpulkan apa yang terkumpul darinya dalam setiap bulan atau setiap tahun, sesuai dengan sedikit atau banyaknya, dan menggabungkan sebagian dengan yang lain, serta menuliskan padanya: “Maḥāḍir bulan sekian dan sekian dari tahun sekian,” agar memudahkan pencariannya ketika membutuhkannya. Jika datang dua orang lelaki kepada qāḍī, lalu salah satunya mengklaim bahwa ia memiliki ḥujjah atas lawannya dalam dīwān al-ḥukm, lalu ditemukan, maka jika itu merupakan putusan yang diputuskan oleh qāḍī lain, maka tidak bisa diberlakukan dengannya kecuali jika ada dua saksi yang bersaksi bahwa ini adalah putusan dari Fulan sang qāḍī, dan tidak bisa kembali hanya pada tulisan tangan dan stempel, karena mungkin terjadi pemalsuan dalam tulisan dan stempel. Dan jika itu merupakan putusan yang ia sendiri putuskan, maka jika ia mengingat putusannya dan mengetahuinya, maka ia memberlakukannya dan mewajibkan lawannya dengan putusannya itu.

وإن كان غير ذاكر لم يعمل به لأنه يجوز أن يكون قد زور على خطه وختمه وإن شهد اثنان عليه أنه حكم به لم يرجع إلى شهادتهما لأنه يشك في فعله فلا يرجع فيه إلى قول غيره ما لو شك في فرض من فروض صلاته فإن شهد الشاهدان على حكمه عند حاكم آخر أنفذ ما شهدا به فإن شهد شاهدان أن الأول توقف في شهادتهما لم يجز للثاني أن ينفذ الحكم الذي شهدا به لأن الشهود فرع للحاكم الأول فإذا توقف الأصل لم يجز الحكم بشهادة الفرع كما لو شهد شاهدان على شهادة شاهد الأصل ثم شهد شاهدان أن شاهد الأصل توقف في الشهادة.

Dan jika ia tidak mengingatnya, maka tidak boleh memberlakukan putusan tersebut, karena bisa jadi itu adalah pemalsuan terhadap tulisan tangan dan stempelnya. Jika ada dua orang saksi bersaksi bahwa ia telah memutuskan perkara tersebut, maka tidak boleh kembali pada kesaksian keduanya, karena ia ragu terhadap perbuatannya sendiri, maka tidak boleh kembali pada ucapan orang lain, sebagaimana jika seseorang ragu dalam salah satu fardu shalatnya. Namun jika dua orang saksi bersaksi atas putusannya di hadapan qāḍī lain, maka qāḍī yang kedua memberlakukan apa yang mereka saksikan. Tetapi jika dua orang saksi bersaksi bahwa qāḍī pertama ragu terhadap kesaksian mereka, maka tidak boleh bagi qāḍī kedua untuk memberlakukan putusan yang mereka saksikan, karena saksi merupakan far‘ (cabang) dari qāḍī pertama, maka jika aṣl (pokok) ragu, tidak boleh memutuskan perkara berdasarkan kesaksian far‘, sebagaimana jika dua orang saksi bersaksi atas kesaksian saksi asal, kemudian dua orang saksi lainnya bersaksi bahwa saksi asal ragu dalam kesaksiannya.

فصل: إذا اتضح الحكم للقاضي بين الخصمين فالمستحب أن يأمرهما بالصلح فإن لم يفعلا لم يجز تردادهما لأن الحكم لازم فلا يجوز تأخيره من غير رضا من له الحكم.

PASAL: Jika hukum telah jelas bagi qāḍī antara kedua pihak yang bersengketa, maka yang disunnahkan adalah memerintahkan keduanya untuk berdamai. Jika keduanya tidak melakukan perdamaian, maka tidak boleh menunda-nunda mereka berdua, karena hukum itu bersifat mengikat, maka tidak boleh ditunda tanpa kerelaan pihak yang berhak atas hukum tersebut.

فصل: إذا قال القاضي حكمت لفلان بكذا قبل قوله لأنه يملك الحكم فقبل الإقرار به كالزوج لما ملك الطلاق قبل إقراره به وإن عزل ثم قال حكمت لفلان بكذا لم يقبل إقراره لأنه لا يملك الحكم فلم يملك الإقرار به وهل يكون شاهداً في ذلك فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري أنه يكون شاهداً لأنه ليس فيه أكثر من أنه يشهد على فعل نفسه وذلك لا يوجب رد شهادته كما لو قالت امرأة أرضعت هذا الصبي

PASAL: Jika qadhi berkata, “Aku telah memutuskan untuk si Fulan dengan sekian,” maka ucapannya diterima karena ia memiliki wewenang untuk memutuskan, maka diterima pengakuannya seperti suami yang memiliki wewenang menjatuhkan ṭalāq, maka diterima pengakuannya. Namun jika ia telah diberhentikan kemudian berkata, “Aku telah memutuskan untuk si Fulan dengan sekian,” maka tidak diterima pengakuannya karena ia tidak lagi memiliki wewenang memutuskan, maka tidak sah pengakuannya. Apakah ia bisa menjadi saksi dalam hal ini? Ada dua wajah: pertama, yaitu pendapat Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī, bahwa ia bisa menjadi saksi karena itu tidak lebih dari kesaksiannya atas perbuatannya sendiri, dan hal itu tidak menyebabkan ditolaknya kesaksiannya, sebagaimana jika seorang wanita berkata, “Aku telah menyusui anak ini.”

والثاني: وهو المذهب أنه لا يكون شاهداً لأن شهادته بالحكم تثبت لنفسه العدالة لأن الحكم لا يكون إلا من عدل فتلحقه التهمة في هذه الهادة فلم تقبل وخالف المرضعة لأن شهادتها بالرضاع لا تثبت عدالة لنفسها لأن الرضاع يصح من غير عدل ولأن المغلب في الرضاع فعل المرتضع ولهذا يصح به دونها والمغلب في الحكم فعل الحاكم فيكون شهادته على فعله فلم يقبل. وبالله التوفيق.

dan yang kedua — dan inilah mazhab — bahwa ia tidak bisa menjadi saksi karena kesaksiannya atas putusan berarti menetapkan keadilan bagi dirinya sendiri, sebab suatu putusan tidak sah kecuali dari orang yang ‘adl, maka ia terkena tuduhan dalam kesaksian ini, sehingga tidak diterima. Berbeda dengan wanita yang menyusui, karena kesaksiannya atas penyusuan tidak menetapkan keadilan bagi dirinya, sebab penyusuan sah dilakukan oleh selain orang ‘adl, dan karena yang dominan dalam penyusuan adalah perbuatan anak yang disusui, maka sah dengan itu tanpa melihat pada ibunya. Adapun yang dominan dalam putusan adalah perbuatan hakim, maka kesaksiannya atas perbuatannya sendiri tidak diterima. Wa billāhi al-taufīq.

باب القسمة
تجوز قسمة الأموال المشتركة لقوله عز وجل: {وَإذا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً} ولأن النبي صلى الله عليه وسلم قسم غنائم بدر بشعب يقال له الصفراء وقسم غنائم خيبر على ثمانية عشر بينهم وقسم غنائم حنين بأوطاس وقيل بالجعرانة ولأن الشرطاء حاجة إلى القسمة ليتمكن كل واحد منهم من التصرف في ماله على الكمال ويتخلص من كثرة الأيدي وسوء المشاركة.

PASAL: QASMAH (PEMBAGIAN)
Boleh melakukan qismah (pembagian) terhadap harta bersama, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Dan apabila pada pembagian itu hadir kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka sebagian darinya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik}, dan karena Nabi SAW pernah membagi ghanimah Perang Badar di sebuah lembah yang disebut as-Shafrā’, dan beliau membagi ghanimah Khaibar kepada delapan belas orang di antara mereka, dan beliau membagi ghanimah Hunain di Auwṭās, dan ada juga yang mengatakan di al-Ju‘rānah.
Dan karena para pemilik saham membutuhkan pembagian, agar masing-masing dari mereka dapat mengelola miliknya secara sempurna dan terbebas dari banyaknya tangan yang ikut serta dan buruknya kerjasama.

فصل: ويجوز لهم أن يتقاسموا بأنفسهم ويجوز أن ينصبوا من يقسم بينهم ويجوز أن يرفعوا إلى الحاكم لينصب من أنفسهم بينهم ويجب أن يكون القاسم عالماً بالقسمة ليوصل كل واحد منهم إلى حقه كما يجب إن كان الحاكم عالماً ليحكم بينهم بالحق فإن كان القاسم من جهة الحاكم لم يجز أن يكون فاسقاً ولا عبداً لأنه نصيبه لألزام الحكم فلم يجز أن يكون فاسقاً ولا عبداً كالحاكم فإن لم يكن فيها تقويم جاز قاسم واحد وإن كان فيها تقويم لم يجز أقل من اثنين لأن التقويم لا يثبت إلا باثنين وإن كان فيها خرص ففيه قولان: أحدهما: أنه يجوز أن يكون الخارص واحداً والثاني: أنه يجب أن يكون الخرص اثنين.

PASAL: Mereka boleh melakukan pembagian harta sendiri, dan boleh juga menunjuk seseorang untuk membagi di antara mereka, dan boleh juga membawa perkara itu kepada hakim agar hakim menunjuk seseorang dari mereka untuk membagi. Dan wajib bagi pembagi (al-qāsim) untuk mengetahui ilmu pembagian agar dapat menyampaikan hak masing-masing dengan tepat, sebagaimana hakim wajib mengetahui hukum agar dapat memutuskan perkara dengan adil. Jika pembagi ditunjuk oleh hakim, maka tidak boleh ia seorang fāsiq dan tidak boleh seorang budak, karena ia menjalankan tugas penetapan hukum, maka tidak sah bila dilakukan oleh fāsiq dan budak, sebagaimana halnya hakim.

Jika dalam pembagian itu tidak ada penilaian harga (taqwīm), maka cukup satu orang pembagi. Namun jika terdapat penilaian harga, maka tidak boleh kurang dari dua orang, karena penilaian harga tidak sah kecuali oleh dua orang. Jika di dalamnya terdapat taksiran (kharsh), maka ada dua pendapat: pertama, boleh taksiran dilakukan oleh satu orang; kedua, harus dilakukan oleh dua orang.

فصل: فإن كان القاسم نصبه الحاكم كانت أجرته من سهم المصالح لما روي أن علياً رضي الله عنه أعطى القاسم من بيت المال ولأنه من المصالح فكانت أجرته من سهم المصالح فإن لم يكن في بيت المال شيء وجبت على الشركاء على قدر أملاكهم لأنه مؤنة تجب لمال مشترك فكانت على قدر الملك كنفقة العبيد والبهائم المشتركة وإن كان القاسم نصبه الشركاء جاز أن يكون فاسقاً وعبداً لأنه وكيل لهم وتجب أجرته عليهم على ما شرطوا لأنه أجير لهم.

PASAL: Jika pembagi (qāsim) ditunjuk oleh hakim, maka upahnya diambil dari bagian al-maṣāliḥ karena diriwayatkan bahwa ‘Alī RA memberikan upah kepada pembagi dari Bayt al-Māl. Hal ini karena tugas tersebut termasuk dalam kemaslahatan, maka upahnya diambil dari bagian al-maṣāliḥ. Jika tidak ada sesuatu pun dalam Bayt al-Māl, maka upah tersebut wajib ditanggung oleh para pemilik bersama sesuai dengan kadar kepemilikan masing-masing, karena itu termasuk biaya yang wajib untuk harta bersama, maka ditanggung sesuai dengan kadar kepemilikan seperti nafkah untuk budak dan hewan yang dimiliki bersama.

Jika pembagi ditunjuk oleh para pemilik bersama, maka boleh ia seorang fāsiq atau budak, karena ia adalah wakil mereka, dan upahnya wajib ditanggung oleh mereka sesuai dengan yang disepakati, karena ia adalah pekerja bagi mereka.

فصل: وإن كان في القسمة رد فهو بيع لأن صاحب الرد بذل المال في مقابلة ما حصل له من حق شريكه عوضاً وإن لم يكن فيها رد ففيه قولان: أحدهما: أنها بيع لأن كل جزء من المال مشترك بينهما فإذا أخذ نصف الجميع فقد باع حقه بما حصل له من حق صاحبه والقول الثاني أنها فرز النصيبين وتمييز الحقين لأنها لو كانت بيعاً لم يجز تعليقه على ما تخرجه القرعة ولأنها لو كانت بيعاً لافتقرت إلى لفظ التمليك ولثبتت فيها الشفعة ولما تقدر بقدر حقه كسائر البيوع

PASAL: Jika dalam qismah terdapat radd (tambahan dari salah satu pihak), maka itu adalah jual beli, karena pihak yang memberikan tambahan menyerahkan harta sebagai ganti dari hak milik rekannya. Namun jika tidak terdapat radd di dalamnya, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa itu adalah jual beli, karena setiap bagian dari harta itu adalah milik bersama, maka ketika ia mengambil setengah dari keseluruhan, berarti ia telah menjual hak miliknya dengan apa yang ia peroleh dari hak milik rekannya. Pendapat kedua menyatakan bahwa itu adalah pemisahan dua bagian dan pembeda dua hak, karena jika ia adalah jual beli, niscaya tidak boleh digantungkan pada hasil undian. Dan jika ia adalah jual beli, niscaya memerlukan lafaz pemilikan, dan akan menetapkan hak syuf‘ah padanya, dan tidak mungkin ditakar sepadan dengan haknya sebagaimana jual beli lainnya.

فإن قلنا إنها بيع لم يجز فيما لا يجوز بيع بعضه ببعض كالرطب والعسل الذي انعقدت أجزاؤه بالنار وإن قلنا إنها فرز النصيبين جاز وإن قسم الحبوب والأدهان فإن قلنا إنها بيع لم يجز أن يتفرقا من غير قبض ولم يجز قسمتها إلا بالكيل كما لا يجوز في البيع وإن قلنا إنها فرز النصيبين لم يحرم التفرق فيها قبل التقابض ويجوز قسمتها بالكيل والوزن وإن كانت بينهما ثمرة على شجرة فإن قلنا إن القسمة بيع لم تجز قسمتها خرصاً كما لا يجوز بيع بعضها ببعض خرصاً وإن قلنا إنها تمييز الحقين فإن كانت ثمرة غير الكرم والنخل لم تجز قسمتها لأنها لا يصح فيها الخرص وإن كانت ثمرة النخل والكرم جاز لأنه يجوز خرصها للفقراء في الزكاة فجاز للشركاء.

Jika kita katakan bahwa qismah adalah jual beli, maka tidak boleh dilakukan pada sesuatu yang tidak boleh dijual sebagian dengan sebagian, seperti ruthab dan madu yang bagian-bagiannya mengeras karena api. Namun jika kita katakan bahwa qismah adalah pemisahan dua bagian, maka hal itu diperbolehkan.

Jika yang dibagi adalah biji-bijian atau minyak, maka apabila kita katakan bahwa itu jual beli, tidak boleh berpisah tanpa adanya serah terima, dan tidak boleh dibagi kecuali dengan takaran, sebagaimana tidak diperbolehkan dalam jual beli. Namun apabila kita katakan bahwa itu adalah pemisahan dua bagian, maka tidak haram berpisah sebelum ada serah terima dan boleh dibagi dengan takaran dan timbangan.

Jika di antara mereka terdapat buah-buahan yang masih di pohon, maka apabila kita katakan bahwa qismah adalah jual beli, tidak boleh dibagi dengan cara kharsh, sebagaimana tidak boleh menjual sebagian dengan sebagian secara kharsh. Namun jika kita katakan bahwa qismah adalah pembeda dua hak, maka jika buah tersebut bukan dari pohon kurma atau anggur, tidak boleh dibagi karena tidak sah kharsh padanya. Namun jika dari pohon kurma dan anggur, maka boleh karena kharsh diperbolehkan untuk fakir miskin dalam zakat, maka diperbolehkan pula untuk para sekutu.

فصل: وإن وقف على قوم نصف أرض وأراد أهل الوقف أن يقاسموا صاحب الطلق فإن قلنا إن القسمة بيع لم يصح وإن قلنا إنها تمييز الحقين نظرت فإن لم يكن فيها رد صحت وإن كان فيها رد فإن كان من أهل الوقف جاز لأنهم يتنازعون الطلق وإن كان من أصحاب الطلق لم يجز لأنهم يتنازعون الوقف.

PASAL: Jika seseorang mewakafkan separuh tanah kepada suatu kaum, lalu para penerima wakaf ingin membagi bagian mereka dengan pemilik bagian bebas (ṭalq), maka apabila kita katakan bahwa qismah adalah jual beli, maka hal itu tidak sah. Namun jika kita katakan bahwa qismah adalah pembeda dua hak, maka hal itu ditinjau kembali: apabila tidak terdapat radd di dalamnya, maka sah. Namun jika terdapat radd, maka jika radd tersebut berasal dari pihak penerima wakaf, maka boleh karena mereka sedang bersengketa dengan pemilik bagian bebas. Namun jika radd berasal dari pemilik bagian bebas, maka tidak boleh karena mereka sedang bersengketa dengan bagian yang diwakafkan.

فصل: وإن طلب أحد الشريكين القسمة وامتنع الآخر نظرت فإن لم يكن على واحد منهم ضرر في القسمة كالحبوب والأدهان والثياب الغليظة وما تساوت أجزاؤه من الأرض والدور أجبر الممتنع لأن الطالب يريد أن ينتفع بماله على الكمال وأن يتخلص من سوء المشاركة من غير إضرار بأخذ فوجبت إجابته إلى ما طلب وإن كان عليهما ضرر كالجواهر والثياب المرتفعة التي تنقص قيمتها بالقطع والرحى الواحدة والبشر والحمام الصغير لم يجبر الممتنع لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا ضرر ولا إضرار” .

PASAL: Apabila salah satu dari dua orang yang berserikat meminta dilakukan qismah dan yang lain menolak, maka dilihat terlebih dahulu. Jika tidak ada mudarat bagi salah satu dari keduanya dalam pembagian, seperti biji-bijian, minyak, pakaian kasar, dan tanah serta rumah yang bagian-bagiannya setara, maka yang menolak dipaksa, karena pihak yang meminta ingin memanfaatkan hartanya secara sempurna dan ingin terbebas dari buruknya kemitraan tanpa menimbulkan mudarat terhadap yang lain, maka wajib memenuhi permintaannya. Namun jika pembagian itu menimbulkan mudarat bagi keduanya, seperti permata, pakaian mahal yang nilainya berkurang jika dipotong, satu batu gilingan, budak, dan anak burung merpati, maka yang menolak tidak dipaksa, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan.”

وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن إضاعة المال ولأنه إتلاف مال وسفه يستحق بها الحجر فلم يجبر عليه وإن كان على أحدهما: ضرر دون الآخر نظرت فإن كان الضرر على الممتنع أجبر عليها وقال أبو ثور رحمه الله: لا يجبر لأنها قسمة فيها ضرر فلم يجبر عليها كما لو دخل الضرر عليهما وهذا خطأ لأنه يطلب حقاً له فيه منفعة فوجبت الإجابة إليه

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang menyia-nyiakan harta. Karena hal itu merupakan perusakan harta dan kebodohan yang dengannya seseorang layak dikenai ḥajr, maka tidak dipaksakan atasnya. Dan jika mudarat menimpa salah satu dari keduanya lebih daripada yang lain, maka dilihat: jika mudarat itu menimpa pihak yang menolak, maka ia dipaksa untuk melakukan pembagian. Abū Ṯaur raḥimahullāh berkata: Tidak dipaksa, karena ini adalah qismah yang mengandung mudarat, maka tidak dipaksa sebagaimana jika mudarat menimpa keduanya. Ini adalah kesalahan, karena ia sedang menuntut hak yang mengandung manfaat baginya, maka wajib dipenuhi.

وإن كان على المطلوب منه ضرر كما لو كان له دين على رجل لا يملك إلا ما يقضي به دينه وإن كان الضرر على الطالب دون الآخر ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجبر لأنه قسمة لا ضرر فيها على أحدهما: فأجبر الممتنع كما لو كان الضرر على الممتنع دون الطالب والثاني: أنه لا يجبر وهو الصحيح لأنه يطلب مالا يستضر به فلم يجبر الممتنع ويخالف إذا لم يكن على الطالب ضرر لأنه يطلب ما ينتفع به وهذا يطلب ما يستضر به وذلك سفه فلم يجبر الممتنع.

Jika mudarat menimpa pihak yang diminta untuk membagi, seperti ia memiliki piutang atas seseorang yang tidak memiliki harta selain bagian yang akan digunakan untuk melunasi utangnya, dan jika mudarat itu justru menimpa pihak yang meminta tanpa menimpa yang lain, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: ia tetap dipaksa, karena ini adalah qismah yang tidak mengandung mudarat bagi salah satunya, maka pihak yang menolak dipaksa sebagaimana jika mudarat menimpa pihak yang menolak, bukan pihak yang meminta.

Pendapat kedua: ia tidak dipaksa, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia sedang menuntut harta yang justru akan menimbulkan mudarat baginya, maka pihak yang menolak tidak dipaksa. Ini berbeda jika tidak ada mudarat pada pihak yang meminta, karena ia sedang menuntut sesuatu yang mengandung manfaat, sedangkan yang ini menuntut sesuatu yang membawa mudarat, dan itu adalah kebodohan, maka pihak yang menolak tidak dipaksa.

فصل: وإن كان بينهما دور أو أراض مختلفة في بعضها نخل وفي بعضها شجر، أو بعضها يسقى بالسيح وبعضها يسقي بالناضح وطلب أحدهما: أن يقسم بينهما أعياناً بالقيمة وطلب الآخر قسمة كل عين قسم كل عين لأن كل واحد منهما له حق في الجميع فجاز له أن يطالب بحقه في الجميع وإن كان بينهما عضائد متلاصقة وأراد أحدهما: أن يقسم أعياناً وطلب الآخر أن يقسم كل واحد منهما على الإنفراد ففيه وجهان: أحدهما: أنها تقسم أعياناً كالدار الواحدة إذا كان فيها بيوت والثاني: أنه يقسم كل واحدة منهما لأن كل واحدة على الإنفراد فقسم كل واحد منهما كالدور المتفرقة.

PASAL: Jika antara keduanya terdapat rumah-rumah atau tanah yang berbeda-beda, sebagian di antaranya ada pohon kurma dan sebagian lagi ada pohon lain, atau sebagian disiram dengan aliran air (al-sayḥ) dan sebagian disiram dengan alat timba (al-nāḍiḥ), lalu salah satu dari mereka meminta agar dibagi dalam bentuk barang dengan nilai, sedangkan yang lain meminta agar setiap barang dibagi tersendiri, maka setiap barang dibagi tersendiri, karena masing-masing dari mereka memiliki hak atas seluruhnya, maka boleh baginya menuntut haknya atas keseluruhan barang.

Jika di antara mereka terdapat bangunan-bangunan yang berderet dan saling menempel, lalu salah satu meminta agar dibagi dalam bentuk barang, dan yang lain meminta agar setiap bangunan dibagi tersendiri, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: dibagi dalam bentuk barang, seperti satu rumah yang memiliki beberapa kamar.

Pendapat kedua: setiap bangunan dibagi tersendiri, karena masing-masing berdiri sendiri, maka pembagian setiap bangunan seperti rumah-rumah yang terpisah.

فصل: فإن كان بينهما دار وطلب أحدهما: أن تقسم فيجعل العلو لأحدهما: والسفل للآخر وامتنع الآخر لم يجبر الممتنع لأن العلو تابع للعرصة في القسمة ولهذا لو كان بينهما عرصة وطلب أحدهما: القسمة وجبت القسمة ولو كان بينهما غرفة فطلب أحدهما: القسمة لم يجب ولا يجوز أن يجعل التابع في القسمة متبوعاً

PASAL: Jika ada di antara keduanya sebuah rumah, lalu salah satu dari keduanya meminta agar dibagi dengan cara bagian atas diberikan kepada salah satunya dan bagian bawah kepada yang lainnya, sementara yang lain menolak, maka yang menolak tidak bisa dipaksa, karena bagian atas mengikuti tanah (halaman) dalam pembagian. Oleh karena itu, jika keduanya memiliki sebidang tanah (halaman) bersama lalu salah satunya meminta pembagian, maka pembagian wajib dilakukan. Namun jika yang dimiliki bersama hanyalah sebuah kamar di lantai atas, lalu salah satu dari keduanya meminta pembagian, maka tidak wajib dilakukan pembagian. Tidak boleh menjadikan sesuatu yang bersifat ikutan dalam pembagian sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.

فصل: وإن كان بين ملكهما عرصة حائط فأراد أن تقسم طولاً فيجعل لكل واحد منهما نصف الطول في كمال العرض واتفقا عليه جاز وإن طلب أحدهما: ذلك وامتنع الآخر أجبر عليها لأنه لا ضرر فيها وإن أرادا قسمتها عرضاً في كمال الطول واتفقا عليه جاز وإن طلب أحدهما: وامتنع الآخر ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجبر لأنه لا تدخله القرعة لأنه إذا أقرع بينهما ربما صار بهما مال كل واحد منهما إلى ناحية ملك الآخر ولا ينتفع به وكل قسمة لا تدخلها القرعة لا يجبر عليها كالقسمة التي فيها رد

PASAL: Jika di antara milik keduanya terdapat tanah lapang (ʿarṣah) berpagar, lalu keduanya ingin membaginya secara memanjang, sehingga masing-masing memperoleh setengah panjang dengan lebar penuh, dan keduanya sepakat atas hal itu, maka hal tersebut boleh. Jika salah satu dari keduanya meminta hal itu dan yang lain menolak, maka pihak yang menolak dipaksa untuk menerimanya karena tidak ada mudarat di dalamnya.

Jika keduanya ingin membaginya secara melebar dalam panjang penuh dan keduanya sepakat, maka boleh. Namun jika salah satunya meminta hal itu dan yang lain menolak, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak dipaksa, karena pembagian ini tidak bisa dimasuki oleh undian (qur‘ah), sebab jika diundi di antara mereka, bisa jadi harta masing-masing berpindah ke arah kepemilikan pihak lain dan tidak bisa dimanfaatkan. Dan setiap pembagian yang tidak bisa dimasuki oleh undian, tidak dipaksakan sebagaimana pembagian yang mengandung pengembalian (harta).

والثاني: وهو الصحيح أنه لا يجبر عليها لأنه ملك مشترك يمكن كل واحد من الشريكين أن ينتفع بحصته إذا قسم فأجبر على القسمة كما لو أرادا أن يقسماها طولاً فإن كان بينهما حائط فأراد قسمته نظرت فإن أراد قسمته طولاً في كمال العرض واتفقا عليه جاز وإن أراد ذلك واحد وامتنع الآخر ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجبر لأنه لا بد من قطع الحائط وفي ذلك إتلاف

dan pendapat kedua—dan ini yang ṣaḥīḥ—bahwa ia tidak dipaksa untuk membaginya, karena ini adalah milik bersama yang memungkinkan masing-masing dari kedua syarik untuk mengambil manfaat dari bagiannya jika dibagi, maka tidak dipaksa untuk membaginya, sebagaimana jika mereka ingin membaginya secara memanjang.

Jika di antara mereka terdapat sebuah pagar lalu mereka ingin membaginya, maka dilihat: jika mereka ingin membaginya secara memanjang dengan lebar penuh dan mereka sepakat, maka hal itu boleh. Namun jika hanya salah satu yang menginginkannya dan yang lain menolak, maka ada dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa ia tidak dipaksa, karena harus memotong pagar dan hal itu mengandung unsur perusakan.

والثاني: أنه يجبر وهو الصحيح لأنه تمكن قسمته على وجه ينتفعان به فأجبرا عليها كالعرصة فإن أرادا قسمته عرضاً في كمال الطول واتفقا عليها جاز وإن طلب أحدهما: وامتنع الآخر لم يجبر لأن ذلك إتلاف وإفساد.

dan pendapat kedua: bahwa ia dipaksa, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena memungkinkan untuk membaginya dengan cara yang dapat dimanfaatkan oleh keduanya, maka keduanya dipaksa sebagaimana pada ʿarṣah. Jika keduanya ingin membaginya secara melebar dengan panjang penuh dan sepakat atasnya, maka hal itu boleh. Namun jika salah satu memintanya dan yang lain menolak, maka tidak dipaksa karena hal itu termasuk perusakan dan pengrusakan.

فصل: وإن كان بينهما أرض مختلفة الأجزاء بعضها عامر وبعضها خراب أو بعضها قوي وبعضها ضعيف أو بعضها شجر أو بناء وبعضها بياض أو بعضها يسقي بالسيح وبعضها بالناضح نظرت فإن أمكن التسوية بين الشريكين في جيده ورديئه بأن يكون الجيد في مقدمها والرديء في مؤخرها فإذا قسمت بينهما نصفين صار إلى كل واحد منهما من الجيد والرديء مثل ما صار إلى الآخر من الجيد والرديء فطلب أحدهما: هذه القسمة أجبر الآخر عليها لأنها كالأرض المتساوية الأجزاء في إمكان التسوية بينهما فيها وإن لم تمكن التسوية بينهما في الجيد والرديء بأن كانت العمارة أو الشجر أو البناء في أحد النصفين دون الآخر نظرت

PASAL: Jika di antara keduanya terdapat tanah yang bagian-bagiannya berbeda—sebagian ada yang makmur dan sebagian lagi rusak, atau sebagian kuat dan sebagian lemah, atau sebagian ada pohon atau bangunan dan sebagian lagi tanah kosong, atau sebagian disiram dengan al-saiḥ dan sebagian dengan al-nāḍiḥ—maka hal itu diteliti. Jika memungkinkan untuk menyamakan antara dua orang yang berserikat dalam bagian yang baik dan buruk—seperti jika bagian yang baik berada di bagian depan dan bagian yang buruk di bagian belakang, lalu dibagi menjadi dua bagian yang sama, maka masing-masing mendapatkan bagian dari yang baik dan yang buruk sebagaimana yang didapatkan oleh yang lain dari yang baik dan buruk—dan salah satu dari keduanya meminta pembagian semacam ini, maka yang lain dipaksa untuk menerimanya karena hal itu seperti tanah yang bagian-bagiannya sama dalam hal memungkinkan adanya kesetaraan di antara mereka.

Namun, jika tidak memungkinkan adanya kesetaraan antara mereka dalam hal bagian yang baik dan buruk—misalnya karena bangunan, pohon, atau pemakmuran hanya berada pada salah satu dari kedua bagian dan tidak ada pada yang lain—maka hal itu dilihat kembali.

فإذا أمكن أن يقسم قسمة تعديل بالقيمة بأن تكون الأرض ثلاثين جريباً وتكون عشرة أجربة من جيدها بقيمة عشرين جريباً من رديئها فدعا إلى ذلك أحد الشريكين وامتنع الآخر ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يجبر الممتنع جيدها بقيمة عشرين جريباً من رديئها فدعا إلى ذلك أحد الشريكين وامتنع الآخر ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يجبر الممتنع لتعذر التساوي في الزرع وتوقف القسمة إلى أن يتراضيا

Maka jika memungkinkan untuk membaginya dengan cara ta‘dīl (penyesuaian) berdasarkan nilai—seperti tanah itu seluas tiga puluh jurayb, dan sepuluh jurayb dari bagian yang baik setara nilainya dengan dua puluh jurayb dari bagian yang buruk—lalu salah satu dari dua orang yang berserikat mengajak kepada pembagian seperti ini dan yang lain menolak, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa pihak yang menolak tidak dipaksa, karena tidak memungkinkan terwujudnya kesetaraan dalam hasil tanam, dan pembagian bergantung pada adanya kesepakatan di antara keduanya.

والقول الثاني: أنه يجبر لوجود التساوي بالتعديل فعلى هذا في أجرة القسام وجهان: أحدهما: أنه يجب على كل واحد منهما نصف الأجرة لأنهما يتسايان في أصل الملك والثاني: أنه يجب على صاحب العشرة ثلث الأجرة وعلى صاحب العشرين ثلثاها لتفاضلهما في المأخوذ بالقسمة وإن أمكن قسمته بالتعديل وقسمة الرد فدعا أحدهما: إلى قسمة التعديل ودعا الأخ إلى قسمة الرد فإن قلنا إن قسمة التعديل يجبر عليها فالقول قول من دعا إليها لأن ذلك مستحق وإن قلنا لا يجبر وقف إلى أن يتراضيا على إحداهما.

Dan pendapat yang kedua: bahwa ia dipaksa, karena telah terdapat kesetaraan melalui ta‘dīl (penyesuaian nilai). Berdasarkan pendapat ini, maka dalam hal upah juru bagi (qassām) terdapat dua wajah:

Pertama: bahwa masing-masing dari keduanya wajib membayar setengah dari upah, karena keduanya sama dalam kepemilikan asal.

Kedua: bahwa pemilik sepuluh jurayb wajib membayar sepertiga dari upah, dan pemilik dua puluh jurayb wajib membayar dua pertiganya, karena perbedaan keduanya dalam bagian yang diperoleh dari pembagian.

Jika memungkinkan untuk membaginya dengan ta‘dīl dan juga dengan radd (tambahan nilai), lalu salah satunya meminta pembagian dengan ta‘dīl dan yang lain meminta pembagian dengan radd, maka jika kita berpendapat bahwa pembagian dengan ta‘dīl itu bisa dipaksakan, maka yang diikuti adalah pendapat orang yang meminta pembagian dengan ta‘dīl, karena itu adalah hak. Dan jika kita berpendapat bahwa tidak boleh dipaksakan, maka ditangguhkan hingga keduanya saling meridhai salah satunya.

فصل: وإن كانت بينهما أرض مزروعة وطلب أحدهما قسمة الأرض دون الزرع وجبت القسمة لأن الزرع لا يمنع القسمة في الأرض فلم يمنع وجوبها كالقماش في الدار وإن طلب أحدهما قسمة الأرض والزرع لم يجبر لأن الزرع لا يمكن تعديله فإن تراضيا على ذلك فإن كان بذراً لم يجز قسمته لأنه مجهول وإن كان مما لا ربا فيه كالقصل والقطن جاز لأنه معلوم مشاهد وإن كان قد انعقد فيه الحب لم يجز لأنا إن قلنا إن القسمة بيع لم يجز لأنه بيع أرض وطعام بأرض وطعام ولأنه قسمة مجهول ومعلوم وإن قلنا إن القسمة فرز النصيبين لم يجز لأنه قسمة مجهول ومعلوم.

PASAL: Jika antara keduanya terdapat tanah yang sedang ditanami, lalu salah satu dari mereka meminta pembagian tanah tanpa tanaman, maka wajib dilakukan pembagian, karena tanaman tidak menghalangi pembagian tanah, maka tidak menghalangi kewajibannya, sebagaimana perabotan rumah tidak menghalangi pembagian rumah.

Jika salah satu dari mereka meminta pembagian tanah beserta tanaman, maka tidak boleh dipaksa, karena tanaman tidak bisa disetarakan nilainya. Jika keduanya sepakat atas hal itu, maka jika tanamannya masih berupa benih, tidak boleh dibagi karena tidak diketahui. Namun jika tanamannya tidak mengandung riba seperti batang kacang atau kapas, maka boleh dibagi karena bisa dilihat dan diketahui. Jika bijinya sudah mulai terbentuk, maka tidak boleh dibagi. Sebab jika dikatakan bahwa pembagian adalah jual beli, maka tidak boleh karena berarti menjual tanah dan makanan dengan tanah dan makanan, dan itu termasuk pembagian antara yang diketahui dan yang tidak diketahui. Jika dikatakan bahwa pembagian adalah pemisahan dua bagian hak, maka tetap tidak boleh karena termasuk pembagian antara yang diketahui dan yang tidak diketahui.

فصل: وإن كان بينهما عبيد أو ماشية أو أخشاب أو ثياب فطلب أحدهما قسمتها أعياناً وامتنع الآخر فإن كانت متفاضلة لم يجبر الممتنع وإن كانت متماثلة ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي العباس وأبي إسحاق وأبي سعيد الإصطخري أنه يجبر الممتنع وهو ظاهر المذهب لأنها متماثلة والثاني: وهو قول أبي علي بن خيران وأبي علي بن أبي هريرة أنه لا يجبر الممتنع لأنها أعيان مختلفة فلم يجبر على قسمتها أعياناً كالدور المتفرقة.

 

فصل: وإن كان بينهما منافع فأرادا قسمتها مهايأة وهو أن تكون العين في يد أحدهما: مدة ثم في يد الآخر مثل تلك المدة جاز لأن المنافع كالأعيان فجاز قسمتها كالأعيان وإن طلب أحدهما: وامتنع الآخر لم يجبر الممتنع ومن أصحابنا من حكى فيه وجهاً آخر أنه يجبر كما يجبر على قسمة الأعيان والصحيح أنه لا يجبر لأن حق كل واحد منهما تعجل فلا يجبر على تأخيره بالمهايأة ويخالف الأعيان فإنه لا يتأخر بالقسمة حق كل واحد فإذا عقدا على مدة اختص كل واحد منهما بمنفعة تلك المدة

PASAL: Jika antara keduanya terdapat manfaat, lalu keduanya menghendaki untuk membaginya dengan muhāya’ah—yaitu suatu bentuk pembagian di mana suatu barang berada di tangan salah satunya selama suatu masa, lalu berada di tangan yang lain selama masa yang sama—maka hal itu diperbolehkan, karena manfaat seperti ‘ayn, sehingga boleh dibagi sebagaimana ‘ayn. Namun, jika salah satunya meminta dan yang lain menolak, maka pihak yang menolak tidak dipaksa. Sebagian ulama mazhab kami meriwayatkan pendapat lain bahwa ia dipaksa sebagaimana dipaksa dalam pembagian ‘ayn, tetapi pendapat yang sahih adalah bahwa ia tidak dipaksa, karena hak masing-masing dari keduanya adalah atas pemanfaatan yang langsung (ta‘ajjul), maka tidak dipaksa untuk menundanya dengan cara muhāya’ah. Ini berbeda dengan ‘ayn, karena hak masing-masing tidak tertunda dengan pembagian. Jika keduanya telah menyepakati suatu masa, maka masing-masing dari keduanya menjadi berhak secara khusus atas manfaat selama masa tersebut.

وإن كان يحتاج إلى النفقة كالعبد والبهيمة كانت نفقته على من يستوفي منفعته وإن كسب العبد كسباً معتاداً في مدة أحدهما: كان لمن هو في مدته وهل تدخل فيها الأكساب النادرة كاللقطة والركاز والهبة والوصية فيه قولان: أحدهما: أنها تدخل فيها لأنه كسب فأشبه المعتاد والثاني: أنها لا تدخل فيها لأن المهايأة بيع لأنه يبيع حقه من الكسب في أحد اليومين بحقه في اليوم الآخر والبيع لا يدخل فيه إلا ما يقدر على تسليمه في العادة والنادر لا يقدر على تسليمه في العادة فلم يدخل فيه فعلى هذا يكون بينهما.

Jika sesuatu yang dimuḥāya’ahkan membutuhkan nafkah, seperti budak atau hewan ternak, maka nafkahnya ditanggung oleh pihak yang memanfaatkan manfaatnya. Jika budak tersebut memperoleh penghasilan yang biasa dalam masa salah satunya, maka penghasilan itu menjadi milik orang yang berhak atas masa tersebut.

Adapun apakah penghasilan yang jarang terjadi seperti luqṭah, rikāz, hibah, dan wasiat termasuk di dalamnya, terdapat dua pendapat:
Pertama, termasuk di dalamnya, karena ia merupakan penghasilan, sehingga disamakan dengan penghasilan yang biasa.
Kedua, tidak termasuk di dalamnya, karena muhāya’ah merupakan jual beli, yakni seseorang menjual haknya atas penghasilan pada satu hari dengan haknya pada hari lainnya, dan dalam jual beli tidak termasuk kecuali sesuatu yang mampu diserahkan secara umum (‘ādah), sedangkan yang jarang tidak mampu diserahkan secara umum, maka tidak termasuk.

Berdasarkan pendapat kedua ini, maka penghasilan yang jarang itu menjadi milik bersama antara keduanya.

فصل: وينبغي للقاسم أن يحصي عدد أهل السهام ويعدل السهام بالأجزاء أو بالقيمة أو بالرد فإن تساوى عددهم وسهامهم كثلاثة بينهم أرض أثلاثاً فله أن يكتب الأسماء ويخرج على السهام وله أن يكتب السهام ويخرج على الأسماء فإن كتب الأسماء كتبها في ثلاث رقاع في كل رقعة اسم واحد من الشركاء ثم يأمر من لم يحضر كتب الرقاع والبندقة أن يخرج رقعة على السهم الأول فمن خرج اسمه أخذه ثم يخرج على السهم الثاني فمن خرج اسمه أخذه وتعين السهم الثالث للشريك الثالث

PASAL: Hendaknya al-qāsim menghitung jumlah para ahli as-sihām dan menyamakan as-sihām dengan bagian-bagian, atau dengan nilai, atau dengan pengurangan. Jika jumlah mereka dan sihām-nya sama, seperti tiga orang yang di antara mereka ada sebidang tanah sepertiga-sepertiga, maka ia boleh menulis nama-nama lalu mengundi atas as-sihām, atau menulis as-sihām lalu mengundi atas nama-nama. Jika ia menulis nama-nama, maka ia menuliskannya dalam tiga lembar, pada setiap lembar tertulis satu nama dari para sekutu, kemudian ia memerintahkan seseorang yang tidak hadir saat penulisan lembar dan kelereng untuk mengambil satu lembar untuk bagian pertama. Siapa yang keluar namanya maka ia mengambil bagian itu, kemudian mengundi untuk bagian kedua. Siapa yang keluar namanya maka ia mengambil bagian itu, dan bagian ketiga menjadi bagian bagi sekutu yang ketiga.

فإن كتب السهام كتب في ثلاث رقاع في رقعة السهم الأول وفي رقعة السهم الثاني وفي رقعة السهم الثالث ثم يأمر بإخراج رقعة على اسم أحد الشركاء أي سهم خرج أخذه ثم يأمر بإخراج رقعة على اسم آخر فأي سهم خرج أخذه الثاني ثم يتعين السهم الباقي للشريك الثالث وإن اختلفت سهامهم فإن كان لواحد السدس وللآخر الثلث وللثالث النصف قسمها على أقل السهام وهو السدس فيجعلها أسداساً

Maka jika ia menulis bagian-bagian (saham), ia menulis dalam tiga lembaran: pada satu lembar bagian pertama, pada lembar kedua bagian kedua, dan pada lembar ketiga bagian ketiga. Kemudian ia memerintahkan untuk mengundi satu lembar atas nama salah satu dari para sekutu; bagian mana pun yang keluar, itulah yang ia ambil. Lalu ia memerintahkan untuk mengundi satu lembar atas nama sekutu kedua; bagian mana pun yang keluar, itulah yang ia ambil. Maka bagian yang tersisa menjadi milik sekutu ketiga.

Dan jika bagian-bagian mereka berbeda, seperti jika satu orang memiliki as-suds (seperenam), yang lain memiliki as-tsuluts (sepertiga), dan yang ketiga memiliki an-nishf (setengah), maka dibagilah menurut bagian yang paling kecil, yaitu as-suds, lalu dijadikan bagian-bagian itu menjadi dalam bentuk asdās (seperenam-seperenam).

وإن اختلفت سهامهم فإن كان لواحد السدس وللآخر الثلث وللثالث النصف قسمها على أقل السهام وهو السدس فيجعلها أسداساً ويكتب الأسماء ويخرج على السهام فيأمر أن يخرج على السهم الأول فإن خرج اسم صاحب السدس أخذه ثم يخرج على السهم الثاني فإن خرج اسم صاحب الثلث أخذ الثاني والذي يليه لأن له سهمين وتعين الباقي لصاحب النصف وإن خرجت الرقعة الأولى على اسم صاحب النصف أخذ السهم الأول واللذين يليانه وهو الثاني والثالث ثم يخرج على السهم الرابع

Dan jika bagian-bagian mereka berbeda, seperti jika satu orang memiliki as-suds (seperenam), yang lain memiliki as-tsuluts (sepertiga), dan yang ketiga memiliki an-nishf (setengah), maka dibagilah berdasarkan bagian yang paling kecil, yaitu as-suds, lalu dijadikan bagian-bagian itu menjadi asdās (seperenam-seperenam). Kemudian ia menulis nama-nama dan mengundi atas bagian-bagian tersebut. Maka ia memerintahkan agar diundi atas bagian pertama. Jika yang keluar adalah nama pemilik as-suds, maka ia mengambil bagian itu. Lalu diundi atas bagian kedua; jika yang keluar adalah nama pemilik as-tsuluts, maka ia mengambil bagian kedua dan yang sesudahnya karena ia memiliki dua bagian. Dan bagian yang tersisa menjadi milik pemilik an-nishf.

Jika undian pertama keluar atas nama pemilik an-nishf, maka ia mengambil bagian pertama dan dua bagian sesudahnya, yaitu bagian kedua dan ketiga. Lalu diundi atas bagian keempat.

فإن خرج اسم صاحب الثلث أخذه والسهم الذي يليه وهو الخامس وتعين السهم السادس لصاحب السدس وإنما قلنا إنه يأخذ مع الذي يليه لينتفع بما يأخذه ولا يستضر به ولا يخرج في هذا القسم السهام على الأسماء لأنا لو فعلنا ذلك ربما خرج السهم الرابع لصاحب النصف فيقول آخذه وسهمين قبله ويقول الآخران بل نأخذه وسهمين بعده فيؤدي إلى الخلاف والخصومة.

Maka jika keluar nama pemilik sepertiga, ia mengambilnya dan saham setelahnya yaitu yang kelima, dan ditentukanlah saham keenam untuk pemilik seperenam. Kami mengatakan bahwa ia mengambil bersama saham setelahnya agar ia mendapatkan manfaat dari yang ia ambil dan tidak mengalami kerugian karenanya. Dan dalam pembagian ini, tidak dikeluarkan saham berdasarkan nama-nama, karena jika kami melakukannya, mungkin saham keempat keluar untuk pemilik setengah, lalu ia berkata, “Aku ambil ini dan dua saham sebelumnya,” dan dua orang lainnya berkata, “Justru kami yang mengambil ini dan dua saham setelahnya,” sehingga hal itu akan menimbulkan perselisihan dan pertengkaran.

فصل: وإذا ترافع الشريكان إلى الحاكم وسألاه أن ينصب من يقسم بينهما فقسم قسمة إجبار لم يعتبر تراضي الشركاء لأنه لما لم يعتبر التراضي في ابتداء القسمة لم يعتبر بعد خروج القرعة فإن نصب الشريكان قاسماً فقسم بينهما فالمنصوص أنه يعتبر التراضي في ابتداء القسمة وبعد خروج القرعة وقال في رجلين حكما رجلاً ليحكم بينهما ففيه قولان: أحدهما: أنه يلزم الحكم ولا يعتبر رضاهما

PASAL: Jika dua orang sekutu mengadu kepada hakim dan meminta agar hakim menunjuk seseorang untuk membagi harta di antara mereka, lalu orang tersebut membagi dengan pembagian yang bersifat paksaan, maka kerelaan para sekutu tidak diperhitungkan, karena ketika kerelaan tidak dianggap dalam permulaan pembagian, maka tidak pula diperhitungkan setelah keluarnya undian. Namun jika dua sekutu menunjuk seorang pembagi, lalu ia membagi di antara mereka, maka pendapat yang ditetapkan adalah bahwa kerelaan diperhitungkan baik pada permulaan pembagian maupun setelah keluarnya undian. Dan disebutkan dalam kasus dua orang yang menyerahkan urusan hukum kepada seseorang untuk memutuskan perkara di antara mereka, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa keputusannya mengikat dan kerelaan mereka berdua tidak diperhitungkan.

والثاني: أنه لا يلزم الحكم إلا برضاهما والقاسم ههنا بمنزلة هذا الحاكم لأنه نصبه الشريكان فيكون على قولين: أحدهما: وهو المنصوص أنه يعتبر الرضى بعد خروج القرعة لأنه لما اعتبر الرضى في الإبتداء اعتبر بعد خروج القرعة والثاني: أنه لا يعتبر لأن القاسم مجتهد في تعديل السهام والإقراع فلم يعتبر الرضى بعد حكمه كالحاكم وإن كان في القسمة رد وخرجت القرعة لم تلزم إلا بالتراضي وقال أبو سعيد الإصطخري: تلزم من غير تراض كقسمة الإجبار وهذا خطأ لأن في قسمته الإجبار لا يعتبر الرضى في الإبتداء وههنا يعتبر فاعتبر بعد القرعة.

kedua: bahwa tidak wajib hukum kecuali dengan kerelaan keduanya, dan al-qāsim di sini seperti kedudukan hakim ini karena dia ditunjuk oleh dua orang sekutu, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, yaitu yang dinyatakan oleh an-naṣṣ, bahwa kerelaan dipertimbangkan setelah undian dilakukan, karena ketika kerelaan dianggap penting di awal, maka dianggap juga setelah undian; dan kedua: bahwa kerelaan tidak dianggap karena al-qāsim adalah seorang yang melakukan ijtihād dalam menilai keseimbangan bagian dan mengundi, maka tidak dipertimbangkan kerelaan setelah keputusannya sebagaimana halnya hakim. Dan jika dalam pembagian terdapat tambahan (radd) dan undian telah dilakukan, maka tidak mengikat kecuali dengan kerelaan. Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: itu mengikat meskipun tanpa kerelaan, sebagaimana qismat al-ijbār — dan ini adalah kesalahan karena dalam qismat al-ijbār tidak dipertimbangkan kerelaan di awal, sedangkan dalam kasus ini dipertimbangkan, maka harus dipertimbangkan pula setelah undian.

فصل: إذا تقاسما أرضاً ثم ادعى أحدهما: غلطاً فإن كان في قسمة إجبار لم يقبل قوله من غير بينة لأن القاسم كالحاكم فلم تقبل دعوى الغلط عليه من غير بينة كالحاكم فإن أقام البينة على الغلط نقضت القسمة وإن كان في قسمة اختيار نظرت فإن تقاسما بأنفسهما من غير قاسم لم يقبل قوله لأنه رضي بأخذ حقه ناقصاً وإن أقام بينة لم تقبل لجواز أن يكون قد رضي دون حقه ناقصاً وإن قسم بينهما قاسم نصباه فإن قلنا إنه يفتقر إلى التراضي بعد خروج القرعة لم تقبل دعواه لأنه رضي بأخذ الحق ناقصاً

PASAL: Jika keduanya telah membagi sebidang tanah, kemudian salah satu dari keduanya mengklaim telah terjadi kesalahan, maka apabila pembagian tersebut merupakan qismah ijbār (pembagian paksa), tidak diterima pengakuannya tanpa ada bukti, karena pembagi (al-qāsim) kedudukannya seperti hakim, maka tidak diterima pengakuan kesalahan atasnya tanpa bukti sebagaimana tidak diterima atas hakim. Jika ia menghadirkan bukti atas kesalahan, maka pembagian dibatalkan. Dan apabila pembagian itu berdasarkan pilihan (ikhtiyār), maka diperinci: jika keduanya membagi sendiri tanpa ada pembagi, maka tidak diterima pengakuannya karena ia telah rela mengambil bagiannya dalam keadaan kurang. Dan jika ia menghadirkan bukti, tetap tidak diterima, karena mungkin saja ia telah rela menerima bagiannya dalam keadaan kurang. Dan jika pembagian itu dilakukan oleh pembagi yang ditunjuk oleh keduanya, maka jika kita mengatakan bahwa pembagian itu membutuhkan kerelaan setelah undian keluar, maka tidak diterima pengakuannya karena ia telah rela mengambil haknya dalam keadaan kurang.

وإن قلنا إنه لا يفتقر إلى التراضي بعد خروج القرعة فهو كقسمة الإجبار فلا يقبل قوله إلا ببينة فإن كان في القسمة رد لم يقبل قوله على المذهب وعلى قول أبي سعيد الإصطخري هو كقسمة الإجبار فلم يقبل قوله إلا ببينة.

Dan jika dikatakan bahwa pembagian itu tidak membutuhkan kerelaan setelah keluarnya undian, maka hukumnya seperti qismah ijbār (pembagian paksa), sehingga tidak diterima pengakuannya kecuali dengan bukti. Jika dalam pembagian tersebut terdapat radd (penyesuaian nilai), maka menurut mazhab tidak diterima pengakuannya. Dan menurut pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, hukumnya seperti qismah ijbār, maka tidak diterima pengakuannya kecuali dengan bukti.

فصل: وإن تنازع الشريكان بعد القسمة في بيت في دار اقتسماها فادعى كل واحد منهما أنه في سهمه ولم يكن له بينة تحالفا ونقضت القسمة كما قلنا في المتبايعين وإن وجد أحدهما: بما صار إليه عيناً فله الفسخ كما قلنا في البيع.

PASAL: Jika dua orang sekutu berselisih setelah pembagian terhadap sebuah rumah di dalam sebuah bangunan yang telah mereka bagi, lalu masing-masing mengklaim bahwa rumah tersebut termasuk dalam bagiannya, dan tidak ada yang memiliki bukti, maka keduanya saling bersumpah dan pembagian dibatalkan, sebagaimana telah dijelaskan dalam permasalahan dua orang yang saling membeli. Dan jika salah satu dari keduanya mendapati pada bagiannya suatu ‘ayn (barang tertentu yang cacat), maka ia berhak membatalkan, sebagaimana telah dijelaskan dalam jual beli.

فصل: إذا اقتسما أرضاً ثم استحق مما صار لأحدهما: شيء بعينه نظرت فإن استحق مثله من نصيب الآخر أمضيت القسمة وإن لم يستحق من حصة الآخر مثله بطلت القسمة لأن لمن استحق جزء مشاع بطلت القسمة في المستحق وهل تبطل في الباقي فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي بن أبي هريرة إنه يبني على تفريق الصفقة فإن قلنا إن الصفقة لا تفرق بطلت القسمة في الجميع وإن قلنا إنها تفرق صحت في الباقي والثاني: وهو قول أبي إسحاق أن القسمة تبطل في الباقي قولاً واحداً لأن القصد من القسمة تمييز الحقين ولم يحصل ذلك لأن المستحق صار شريكاً لكل واحد منهما فبطلت القسمة.

PASAL: Jika keduanya telah membagi sebidang tanah, lalu ternyata terdapat sesuatu yang menjadi milik orang lain secara khusus dalam bagian salah satu dari keduanya, maka diperinci: jika pada bagian yang lain terdapat yang sepadan dengannya, maka pembagian tetap sah. Namun jika pada bagian yang lain tidak terdapat yang sepadan dengannya, maka pembagian batal, karena jika ada yang berhak atas bagian yang bersifat musyā‘ (tidak terbagi), maka pembagian batal pada bagian yang menjadi milik orang lain itu. Adapun apakah pembatalan berlaku juga pada sisanya, maka terdapat dua wajah: wajah pertama, yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa hal ini dibangun di atas persoalan tafrīq aṣ-ṣafqah (apakah satu akad bisa dibatalkan sebagian): jika dikatakan bahwa akad tidak bisa dipisahkan, maka pembagian batal seluruhnya; dan jika dikatakan bahwa akad bisa dipisahkan, maka sah pembagian pada sisanya. Wajah kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa pembagian batal pada sisanya secara qaul wāḥid, karena tujuan dari pembagian adalah memisahkan dua hak, dan hal itu tidak terwujud karena pemilik hak yang sebenarnya menjadi sekutu bagi masing-masing dari keduanya, maka batal pembagian tersebut.

فصل: وإذا قسم الوارثان التركة ثم ظهر دين على الميت فإنه يبني على بيع التركة قبل قضاء الدين وفيه وجهان ذكرناهما في التفليس فإن قلنا إن القسمة تمييز الحقين لم تنقض القسمة وإن قلنا إنها بيع ففي نقضها وجهان. والله أعلم.

PASAL: Apabila dua orang ahli waris telah membagi harta warisan, kemudian muncul utang atas si mayit, maka hal itu dikaitkan dengan hukum menjual harta sebelum melunasi utang. Dalam hal ini terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan dalam bab taflīs. Jika dikatakan bahwa pembagian warisan adalah pemisahan dua hak, maka pembagian tersebut tidak dibatalkan. Namun jika dikatakan bahwa pembagian itu adalah jual beli, maka dalam pembatalannya terdapat dua pendapat. والله أعلم.

باب الدعوى والبينات
لا تصح دعوى مجهول في غير الوصية لأن القصد بالحكم فصل الحكومة والتزام الحق ولا يمكن ذلك في المجهول فإن كان المدعي ديناً ذكر الجنس والنوع والصفة وإن ذكر قيمتها كان أحوط وإن كانت العين تالفة فإن كان لها مثل ذكر صفتها وإن ذكر القيمة كان أحوط وإن لم يكن لها مثل ذكر قيمتها وإن كان المدعى سيفاً محلى أو لجاماً محلى فإن كان بفضة قومه بالذهب وإن كان بالذهب قومه بالفضة وإن محلى بالذهب والفضة قومه بما شاء منهما

BAB DAKWA DAN BUKTI

Tidak sah dakwaan terhadap sesuatu yang majhūl kecuali dalam wasiat, karena tujuan dari hukum adalah menyelesaikan perselisihan dan menunaikan hak, dan hal itu tidak mungkin dilakukan pada perkara yang majhūl. Jika yang didakwakan adalah dīn, maka harus disebutkan jenis, macam, dan sifatnya. Jika menyebutkan nilainya, maka itu lebih berhati-hati. Jika benda yang didakwakan telah rusak dan memiliki padanan, maka disebutkan sifat padanannya, dan jika menyebutkan nilainya maka itu lebih berhati-hati. Jika tidak memiliki padanan, maka disebutkan nilainya.

Jika yang didakwakan adalah pedang bertatah atau kekang bertatah, maka jika bertatah perak, dinilai dengan emas. Jika bertatah emas, dinilai dengan perak. Jika bertatah emas dan perak, maka dinilai dengan salah satu yang dikehendaki di antara keduanya.

وإن كان المدعى مالاً عن وصية جاز أن يدعي مجهولاً لأن بالوصية يملك المجهول ولا يلزم في دعوى المال ذكر السبب الذي ملك به لأن أسبابه كثيرة فيشق معرفة سبب كل درهم فيه وإن كان المدعى قتلاً لزمه ذكر صفته وأنه عمد أو خطأ وأنه انفرد به أو شاركه فيه غيره ويذكر صفة العمد لأن القتل لا يمكن تلافيه فإذا لم يبين لم تؤمن أن يقتص فيما لا يجب فيه القصاص

Jika yang didakwakan adalah harta berdasarkan wasiat, maka boleh mendakwakan sesuatu yang majhūl, karena dengan wasiat seseorang dapat memiliki sesuatu yang majhūl. Tidak wajib dalam dakwaan harta untuk menyebutkan sebab kepemilikannya, karena sebab-sebabnya banyak, sehingga memberatkan untuk mengetahui sebab setiap dirham darinya.

Jika yang didakwakan adalah pembunuhan, maka wajib menyebutkan sifatnya, apakah disengaja (‘amdan) atau tidak disengaja (khaṭa’an), dan apakah dilakukan sendirian atau bersama orang lain, serta menyebutkan bentuk kesengajaannya. Hal ini karena pembunuhan tidak dapat diperbaiki, maka jika tidak dijelaskan dikhawatirkan akan dilakukan qiṣāṣ pada kasus yang tidak wajib qiṣāṣ.

وإن كان المدعى نكاحاً فقد قال الشافعي رحمه الله لا يسمع حتى يقول نكحتها بولي وشاهدين ورضاها فمن أصحابنا من قال: لا يشترط لأنه دعوى ملك فلا يشترط فيه ذكر السبب كدعوى المال وما قال الشافعي رحمه الله ذكره على سبيل الاستحباب كما قال في امتحان الشهود إذا ارتاب بهم ومنهم من قال: إن ذلك شرط لأنه مبني على الاحتياط وتتعلق العقوبة بجنسه فشرط في دعواه ذكر الصفة كدعوى القتل ومنهم من قال إن كان يدعي ابتداء النكاح لزمه ذكره لأنه شرط في الابتداء وإن كان يدعي استدامة النكاح لم يشترط لأنه ليس بشرط في الاستدامة وإن ادعت امرأة على رجل نكاحاً فإن كان مع النكاح حق تدعيه من مهر أو نفقة سمعت دعواها

Dan jika yang didakwakan adalah nikah, maka Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak diterima sampai ia mengatakan, ‘Aku menikahinya dengan wali, dua saksi, dan dengan kerelaannya.’” Sebagian sahabat kami berkata: Tidak disyaratkan (menyebutkan hal itu), karena ini adalah dakwaan milik, maka tidak disyaratkan penyebutan sebab, sebagaimana dakwaan harta. Dan apa yang dikatakan oleh Imam al-Syafi‘i rahimahullah hanyalah dalam rangka istihbāb, sebagaimana dalam ujian terhadap para saksi jika ada keraguan terhadap mereka.

Sebagian mereka berkata: Hal itu merupakan syarat, karena (perkara nikah) dibangun atas kehati-hatian dan terkait dengan jenis perkara yang bisa mengandung hukuman, maka disyaratkan dalam dakwaannya penyebutan sifatnya, sebagaimana dakwaan pembunuhan.

Sebagian lagi berkata: Jika ia mendakwakan permulaan akad nikah, maka wajib menyebutkan hal tersebut, karena hal itu merupakan syarat pada permulaan akad. Dan jika ia mendakwakan kelangsungan akad nikah, maka tidak disyaratkan, karena itu bukanlah syarat dalam kelangsungan akad.

Dan jika seorang perempuan mendakwa seorang laki-laki dengan dakwaan adanya akad nikah, maka jika dalam akad nikah itu terdapat hak yang ia dakwakan seperti mahr atau nafkah, maka didengar dakwaannya.

وإن لم تدع حقاً سواه ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا تسمع دعواها لأن النكاح حق للزوج على المرأة فإذا ادعت المرأة كان ذلك إقراراً والإقرار لا يقبل مع إنكار المقر له كما لو أقرت له بدار والثاني: أنه تسمع لأن النكاح يتضمن حقوقاً لها فصح دعواها فيه وإن كان المدعى بيعاً أو إجارة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه لا يفتقر إلى ذكر شروطه ن لأن المقصود به المال فلم يفتقر إلى ذكر شروطه كدعوى المال والثاني: أنه يفتقر لأنه لا يقصد به غير المال وإن كان في جارية افتقر لأنه يملك به الوطء فأشبه النكاح وما لزم ذكره في الدعوى ولم يذكره سأله الحاكم عنه ليذكره فتصير الدعوى معلومة فيمكن الحكم بها.

Dan jika ia tidak mengklaim hak selain itu, maka ada dua pendapat:
pertama, gugatan perempuan tidak didengar karena nikah adalah hak suami atas istri. Maka jika perempuan mengklaimnya, itu adalah sebuah pengakuan, dan pengakuan tidak diterima bila yang diakui menyangkalnya, sebagaimana jika ia mengaku telah memberikan rumah kepadanya.
Kedua, gugatan itu didengar karena nikah mengandung hak-hak bagi perempuan, maka sah baginya untuk menggugatnya.

Dan jika yang digugat adalah jual beli atau ijarah, maka ada tiga pendapat:
Pertama, tidak perlu menyebutkan syarat-syaratnya karena yang menjadi tujuan adalah harta, maka tidak disyaratkan menyebutkan syarat-syaratnya, seperti gugatan terhadap harta.
Kedua, harus menyebutkan syarat-syaratnya karena tidak bertujuan selain harta.
Ketiga, jika terkait seorang jariyah maka harus disebutkan karena dengan itu ia memiliki hak untuk melakukan wati’, maka menyerupai nikah.

Dan hal-hal yang wajib disebutkan dalam gugatan namun tidak disebutkan, maka hakim akan menanyakannya agar disebutkan, sehingga gugatan menjadi jelas dan memungkinkan untuk diputuskan.

فصل: وإن ادعى عليه مالاً مضافاً إلى سببه فإن ادعى عليه ألفاً اقترضه أو أتلف عليه فقال: ما أقرضني أو ما أتلفت عليه صح الجواب لأنه أجاب عما ادعى عليه وإن لم يتعرض لما ادعى عليه بل قال لا يستحق علي شيئاً صح الجواب ولا يكلف إنكار ما ادعى عليه من القرض أو الإتلاف لأنه يجوز أن يكون قد أقرضه أو أتلف عليه ثم قضاه أو أبرأه منه فإن أنكره كان كاذباً في إنكاره وإن أقر به لم يقبل قوله أنه قضاه أو أبرأه منه فيستضر به وإن أنكر الاستحقاق كان صادقاً ولم يكن عليه ضرر.

PASAL: Jika seseorang didakwa telah berutang harta yang disandarkan kepada sebabnya, seperti ketika ia dituduh berutang seribu karena pinjaman atau karena telah merusaknya, lalu ia berkata: “Aku tidak dipinjami” atau “Aku tidak merusaknya”, maka jawaban itu sah karena ia menjawab atas apa yang dituduhkan kepadanya. Dan jika ia tidak menyinggung apa yang didakwakan atasnya, tetapi hanya berkata, “Ia tidak berhak atasku sedikit pun,” maka jawaban itu juga sah dan ia tidak dibebani untuk mengingkari adanya pinjaman atau perusakan, karena boleh jadi ia memang pernah meminjam atau merusak, lalu telah melunasi atau telah dibebaskan dari tanggungan tersebut. Maka jika ia mengingkarinya, berarti ia berdusta dalam pengingkarannya, dan jika ia mengakuinya, maka tidak diterima pengakuannya bahwa ia telah melunasi atau telah dibebaskan darinya, sehingga ia akan dirugikan karenanya. Namun jika ia mengingkari hak (klaim) tersebut, maka ia benar dan tidak terkena mudarat.

فصل: وإن ادعى على رجل ديناً في ذمته فأنكره ولم تكن بينة فالقول قوله مع يمينه لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لو أن الناس أعطوا بدعواهم لادعى ناس من الناس دماء ناس وأموالهم لكن اليمين على المدعى عليه”  ولأن الأصل براءة ذمته فجعل القول قوله وإن ادعى عيناً في يده فأنكره ولا بينة فالقول قوله مع يمينه

PASAL: Jika seseorang mengklaim adanya utang atas seseorang yang mengikat tanggungannya, lalu orang tersebut mengingkarinya dan tidak ada bukti, maka ucapan orang yang dituduhlah yang diterima dengan sumpahnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Seandainya manusia diberi (apa yang mereka minta) hanya dengan klaim mereka, niscaya akan ada orang-orang yang mengklaim darah dan harta milik orang lain. Namun, sumpah itu atas yang dituduh.” Dan karena asalnya tanggungannya bebas (dari utang), maka ucapan orang yang dituduhlah yang dipegang. Dan jika seseorang mengklaim kepemilikan suatu barang yang berada di tangan orang lain, lalu orang itu mengingkarinya dan tidak ada bukti, maka ucapan orang yang memegang barang tersebut yang diterima dengan sumpahnya.

لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال في قصة الحضرمي والكندي: “شاهداك أو يمينه”. ولأن الظاهر من اليد الملك فقبل قوله وإن تداعيا عيناً في يدهما ولا بينة حلفا وجعل المدعى بينهما نصفين لما روى أبو موسى الأشعري رضي الله عنه أن رجلين تداعيا دابة ليس لأحدهما: بينة فجعلها رسول الله صلى الله عليه وسلم بينهما ولأن يد كل واحد منهما على نصفها فكان القول فيه قوله كما لو كانت العين في يد أحدهما.

Karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda dalam kisah al-Ḥaḍramī dan al-Kindī: “(Datangkan) dua saksi atau sumpahnya.” Dan karena zahir dari kepemilikan melalui tangan menunjukkan kepemilikan, maka diterimalah ucapannya. Dan apabila keduanya saling mengklaim suatu barang yang berada di tangan mereka berdua dan tidak ada bukti, maka keduanya bersumpah dan barang yang disengketakan dibagi dua di antara mereka. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Mūsā al-Ash‘arī RA bahwa dua orang lelaki saling mengklaim seekor hewan tunggangan dan tidak ada bukti dari salah satu pihak, maka Rasulullah SAW menjadikannya milik bersama di antara mereka berdua. Dan karena tangan masing-masing dari mereka berada atas separuhnya, maka ucapan mereka dianggap atas bagian itu sebagaimana jika barang itu berada di tangan salah satunya.

فصل: وإن تداعيا عيناً ولأحدهما: بينة وهي في يدهما أوفي يد أحدهما: أوفي غيرهما حكم لمن له البينة لقوله صلى الله عليه وسلم: “شاهداك أو يمينه”. فبدأ بالحكم بالشهادة ولأن البينة حجة صريحة في إثبات الملك لا تهمة فيها واليد تحتمل الملك وغيره والذي يقويها هو اليمين وهو متهم فيها فقدمت البينة عليها وإن كان لكل واحد منهما بينة نظرت فإن كانت العين في يد أحدهما: قضى لمن له اليد من غير يمين

PASAL: Dan jika keduanya saling mengklaim suatu ‘ayn (barang tertentu), dan salah satu dari keduanya memiliki bayyinah, sedangkan barang tersebut berada di tangan mereka berdua, atau di tangan salah satu dari mereka, atau di tangan selain mereka, maka diputuskan untuk yang memiliki bayyinah, berdasarkan sabda Nabi SAW: “(Bukti) dua saksimu atau sumpahnya.” Maka beliau memulai dengan menetapkan hukum berdasarkan kesaksian. Karena bayyinah adalah hujjah yang jelas dalam menetapkan kepemilikan, tidak mengandung tuduhan, sedangkan tangan bisa menunjukkan kepemilikan dan juga yang lainnya, dan yang menguatkan tangan adalah sumpah, sedangkan ia adalah pihak yang tertuduh dalam hal itu, maka bayyinah didahulukan atas tangan.

Dan jika masing-masing dari keduanya memiliki bayyinah, maka dilihat: jika barang tersebut berada di tangan salah satu dari keduanya, maka diputuskan untuk yang memegangnya tanpa sumpah.

ومن أصحابنا من قال: لا يقضى لصاحب اليد من غير يمين والمنصوص أنه يقضى له من غير يمين لأن معه بينة معها ترجيح وهو اليد ومع الآخر بينة لا ترجيح معها والحجتان إذا تعارضتا ومع إحداهما ترجيح قضى بالتي معها الترجيح كالخبرين إذا تعارضا ومع أحدهما: قياس وإن كانت العين في يد أحدهما: فأقام الآخر بينة فقضى له وسلمت العين إليه ثم قام صاحب اليد بينة أنها له نقض الحكم وردت العين إليه لأنا حكمنا للآخر ظناً منا أنه لا بينة له فإذا أتى بالبينة بان أنه كانت له يد وبينة فقدمت على بينة الآخر.

Dan sebagian dari sahabat kami ada yang berpendapat: tidak diputuskan untuk orang yang memegang barang kecuali dengan sumpah. Dan pendapat yang manshūsh adalah diputuskan untuknya tanpa sumpah karena bersamanya ada bayyinah yang disertai penguat, yaitu tangan (penguasaan), sedangkan yang satu lagi memiliki bayyinah tanpa penguat. Dan jika dua hujjah bertentangan sementara salah satunya memiliki penguat, maka diputuskan dengan yang disertai penguat, seperti dua khabar yang bertentangan sedangkan salah satunya disertai qiyās.

Dan jika barang berada di tangan salah satunya lalu yang lain mendatangkan bayyinah, kemudian diputuskan untuknya dan diserahkan barang tersebut kepadanya, kemudian pihak yang semula memegang barang mendatangkan bayyinah bahwa barang itu miliknya, maka putusan dibatalkan dan barang dikembalikan kepadanya. Karena sebelumnya kita memutuskan untuk pihak lain berdasarkan dugaan bahwa pihak yang memegang barang tidak memiliki bayyinah, maka ketika ternyata ia memiliki tangan (penguasaan) dan bayyinah, maka didahulukan daripada bayyinah pihak lain.

فصل: وإن كان لكل واحد منهما بينة والعين في يدهما أوفي يد غيرهما أولا يد لأحدهما: عليها تعارضت البينتان وفيهما قولان: أحدهما: أنهما يسقطان وهو الصحيح لأنهما حجتان تعارضتا ولا مزية لإحداهما على الأخرى فسقطتا كالنصين في الحادثة فعلى هذا يكون الحكم فيه كما لو تداعيا ولا بينة لواحد منهما

PASAL: Jika masing-masing dari keduanya memiliki bukti dan barangnya berada di tangan mereka berdua, atau di tangan selain mereka, atau tidak berada di tangan salah satu dari keduanya, maka kedua bukti tersebut saling bertentangan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: kedua bukti gugur, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena keduanya merupakan dua hujjah yang saling bertentangan dan tidak ada kelebihan salah satunya atas yang lain, maka keduanya gugur sebagaimana dua nash dalam satu kasus yang saling bertentangan.

Berdasarkan ini, maka hukum dalam kasus ini seperti halnya jika keduanya saling mengklaim namun tidak ada bukti bagi keduanya.

والثاني: أنهما يستعملان وفي كيفية الاستعمال ثلاثة أقوال أحدها: أنه يوقف الأمر إلى أن ينكشف أو يصطلحا لأن إحداهما صادقة والأخرى كاذبة ويرجى معرفة الصادقة فوجب التوقف كالمرأة إذا زوجها وليان أحدهما: بعد الآخر ونسي السابق منهما والثاني: أنه يقسم بينهما لأن البينة حجة كاليد ولو استويا في اليد قسم بينهما فكذلك إذا استويا في البينة والثالث: أنه يقرع بينهما فمن خرجت له القرعة حكم له لأنه لا مزية لإحداهما على الأخرى فوجب التقديم بالقرعة كالزوجتين إذا أراد الزوج السفر بإحداهما.

Dan pendapat yang kedua: bahwa kedua bukti digunakan. Dalam cara penggunaannya terdapat tiga pendapat:

Pertama: perkara tersebut ditangguhkan hingga menjadi jelas atau keduanya berdamai, karena salah satu dari keduanya benar dan yang lain dusta, dan diharapkan bisa diketahui siapa yang benar, maka wajib menangguhkan, sebagaimana dalam kasus seorang perempuan yang dinikahkan oleh dua wali, salah satunya setelah yang lain, lalu lupa siapa yang lebih dahulu.

Kedua: dibagi antara keduanya, karena bukti adalah hujjah sebagaimana tangan, dan seandainya keduanya sama-sama memegang barang, maka dibagi antara mereka berdua, maka begitu pula jika keduanya sama dalam hal bukti.

Ketiga: dilakukan undian antara keduanya. Siapa yang keluar namanya dalam undian, maka diputuskan untuknya, karena tidak ada kelebihan salah satunya atas yang lain, maka wajib didahulukan dengan undian, sebagaimana dua istri jika suami ingin bepergian dengan salah satu dari keduanya.

فصل: وإن كانت بينة أحدهما: شاهدين وبينة الآخر أربعة وأكثر فهما متعارضتان وفيهما القولان لأن الاثنين مقدران بالشرع فكان حكمهما وحكم ما زاد سواء وإن كانت إحدى البينتين أعدل من الأخرى فهما متعارضتان وفيهما القولان ولأنهما متساويتان في إثبات الحق وإن كانت بينة أحدهما: شاهدين وبينة الآخر شاهداً وامرأتين فهما متعارضتان وفيهما القولان لأنهما يتساويان في إثبات المال والقول الثاني أنه يقضى لمن له الشاهدان لأن بينته مجمع عليها وبينة الآخر مختلف فيها.

PASAL: Jika salah satu dari keduanya memiliki bukti berupa dua orang saksi, dan yang lainnya memiliki bukti berupa empat orang saksi atau lebih, maka keduanya saling bertentangan, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat. Karena dua orang saksi telah ditentukan oleh syariat, maka hukumnya sama dengan lebih dari dua.

Jika salah satu dari dua bukti lebih ‘adālah (lebih terpercaya) daripada yang lain, maka keduanya tetap saling bertentangan, dan berlaku dua pendapat juga, karena keduanya sama-sama menetapkan hak.

Jika salah satu dari keduanya memiliki bukti berupa dua orang saksi, dan yang lainnya memiliki bukti berupa satu orang saksi dan dua perempuan, maka keduanya juga saling bertentangan dan berlaku dua pendapat, karena keduanya sama-sama menetapkan hak dalam perkara harta.

Dan pendapat kedua menyatakan bahwa diputuskan untuk orang yang memiliki dua orang saksi, karena buktinya disepakati, sedangkan bukti pihak yang lain diperselisihkan.

فصل: وإن كانت العين في يد غيرهما فشهد بينة أحدهما: بأنه ملكه من سنة وشهدت بينة الآخر أنه ملكه من سنتين ففيه قولان: قال في البويطي: هما سواء لأن القصد إثبات الملك في الحال وعما متساويتان في إثبات الملك في الحال والقول الثاني أن التي شهدت بالملك المتقدم أولى وهو اختيار المزني هو الصحيح لأنها انفردت بإثبات الملك في زمان لا تعارضها فيه البينة الأخرى وأما إذا كان الشيء في يد أحدهما: فإن كان في يد من شهد له بالملك المتقدم حكم له

PASAL: Jika barang berada di tangan selain keduanya, lalu bukti salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ia memilikinya sejak satu tahun yang lalu, dan bukti pihak lainnya bersaksi bahwa ia memilikinya sejak dua tahun yang lalu, maka terdapat dua pendapat:

Imam asy-Syāfi‘ī dalam al-Buwaiṭī berkata: keduanya sama, karena yang menjadi tujuan adalah penetapan kepemilikan saat ini, dan keduanya sama-sama menetapkan kepemilikan saat ini.

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang bersaksi dengan kepemilikan yang lebih lama lebih didahulukan, dan ini adalah pilihan al-Muzanī serta merupakan pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia secara khusus menetapkan kepemilikan pada waktu yang tidak bertentangan dengan bukti pihak lain.

Adapun jika barang tersebut berada di tangan salah satu dari keduanya, maka jika yang memegang adalah orang yang disaksikan memiliki barang sejak waktu yang lebih lama, maka diputuskan baginya.

وإن كان في يد الآخر فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو العباس رحمه الله يبنى على القولين في المسألة قبلها إن قلنا إنهما يتساويان حكم لصاحب اليد وإن قلنا إن التي شهدت بالملك المتقدم تقدم قدمت ههنا أيضاً لأن الترجيح من جهة البينة أولى من الترجيح باليد ومن أصحابنا من قال: يحكم به لمن هو في يده قولاً واحداً لأن اليد الموجودة أولى من الشهادة بالملك المتقدم وأما إذا تداعيا دابة وأقام أحدهما: بينة أنها ملكه نتجت في ملكه وأقام الآخر أنها دابته ولم يذكر المتقدم وفيها قولان لأن الشهادة بالنتاج كشهادته بالملك المتقدم وقال أبو إسحاق يحكم لمن شهدت له البينة بالنتاج قولاً واحداً لأن بينة النتاج تنفي أن يكون الملك لغيره والبينة بالملك المتقدم لا تنفي أن يكون الملك قبل ذلك لغير المشهود له.

Dan jika berada di tangan pihak yang lain, maka para sahabat kami berselisih pendapat tentangnya. Abu al-‘Abbas rahimahullah berkata: hal ini dibangun di atas dua pendapat dalam masalah sebelumnya. Jika kita mengatakan bahwa keduanya seimbang, maka diputuskan untuk pemilik tangan. Dan jika kita mengatakan bahwa yang memberikan kesaksian tentang kepemilikan terdahulu lebih diutamakan, maka di sini pun didahulukan juga, karena pendahuluan berdasarkan sisi kekuatan bayyinah lebih utama dibandingkan pendahuluan berdasarkan tangan.

Dan sebagian sahabat kami berkata: diputuskan untuk orang yang tangannya atas barang tersebut, secara satu pendapat saja, karena tangan yang nyata lebih kuat dibandingkan kesaksian atas kepemilikan yang terdahulu.

Adapun jika keduanya saling mengklaim seekor hewan, dan salah satu dari keduanya mendatangkan bayyinah bahwa hewan itu miliknya yang lahir di dalam kepemilikannya, sedangkan yang satu lagi mendatangkan bayyinah bahwa itu adalah hewannya tanpa menyebutkan kepemilikan terdahulu, maka dalam hal ini ada dua pendapat, karena kesaksian tentang kelahiran (dalam miliknya) seperti kesaksian atas kepemilikan terdahulu.

Dan Abu Ishaq berkata: diputuskan untuk orang yang bayyinah-nya menunjukkan kelahiran (dalam miliknya), secara satu pendapat saja, karena bayyinah tentang kelahiran menafikan kepemilikan selain dirinya, sedangkan bayyinah atas kepemilikan terdahulu tidak menafikan kemungkinan kepemilikan sebelumnya oleh selain orang yang disaksikan.

فصل: إذا ادعى رجل داراً في يد رجل وأقام بينة أن هذه الدار كانت في يده أوفي ملكه أمس فقد نقل المزني والربيع أنه لا يحكم بهذه الشهادة وحكى البويطي أنه يحكم بها فقال أبو العباس فيها قولان: أحدهما: أنه يحكم بذلك لأنه قد ثبت بالبينة أن الدار كانت له والظاهر بقاء الملك والقول الثاني أنه لا يحكم بها وهو الصحيح لأنه ادعى ملك الدار في الحال وشهدت له البينة بما لم يدعه فلم يحكم بها كما لو ادعى داراً فشهدت له البينة بدار أخرى وقال أبو إسحاق: لا يحكم بها قولاً واحداً وما ذكره البويطي من تخريجه.

PASAL: Jika seseorang mengklaim memiliki sebuah rumah yang berada di tangan orang lain, lalu ia menghadirkan bayyinah bahwa rumah tersebut kemarin berada di tangannya atau dalam kepemilikannya, maka al-Muzani dan ar-Rabi‘ meriwayatkan bahwa tidak diputuskan hukum berdasarkan kesaksian ini. Al-Buwayṭī meriwayatkan bahwa diputuskan hukum dengannya. Maka Abu al-‘Abbās berkata: Dalam masalah ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: bahwa diputuskan hukum berdasarkan kesaksian tersebut, karena telah ditetapkan dengan bayyinah bahwa rumah itu dahulu miliknya, dan secara lahiriah kepemilikan itu masih tetap. Pendapat kedua: bahwa tidak diputuskan hukum dengannya, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena ia mengklaim kepemilikan rumah pada waktu sekarang, sedangkan bayyinah bersaksi atas sesuatu yang tidak ia klaim, maka tidak diputuskan hukum dengannya sebagaimana jika ia mengklaim rumah lalu bayyinah bersaksi atas rumah yang lain. Dan Abu Isḥāq berkata: Tidak diputuskan hukum dengannya menurut satu pendapat, dan yang disebut oleh al-Buwayṭī adalah bentuk takhrīj.

فصل: وإن ادعى رجل على رجل داراً في يده وأقر بها لغيره نظرت فإن صدقه المقر له حكم له لأنه مصدق فيما في يده وقد صدقه المقر له فحكم له وتنتقل الخصومة إلى المقر له فإن طلب المدعي يمين المقر أنه لا يعلم أنها له ففيه قولان بناء على من أقر بشيء في يده لغيره ثم أقر به لآخر وفيه قولان: أحدهما: يلزمه أن يغرم للثاني

PASAL: Jika seorang laki-laki mengklaim atas laki-laki lain sebuah rumah yang ada di tangannya, lalu orang yang rumah itu di tangannya mengaku bahwa rumah itu milik orang lain, maka dilihat dahulu: jika orang yang disebut sebagai pemilik oleh pengaku mengiyakannya, maka diputuskan untuknya karena ia dibenarkan atas apa yang ada di tangannya dan orang yang disebut pun membenarkannya, maka diputuskan untuknya dan berpindahlah perkara kepada orang yang disebut sebagai pemilik. Jika si penggugat meminta sumpah dari si pengaku bahwa ia tidak mengetahui bahwa rumah itu milik si penggugat, maka ada dua pendapat berdasarkan masalah orang yang mengakui sesuatu yang ada di tangannya kepada seseorang, kemudian mengakuinya kepada orang lain; dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, ia wajib membayar kepada orang kedua.

والثاني: لا يلزمه فإن قلنا يلزمه أن يغرم حلف لأنه ربما خاف أن يحلف فيقر للثاني فيغرم له وإن قلنا لا يلزمه لم يحلف لأنه إن خاف من اليمين فأقر للثاني لم يلزمه شيء فلا فائدة في تحليفه وإن كذبه المقر له ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي العباس أنه يأخذها الحاكم ويحفظها إلى أن يجد صاحبها لأن الذي في يده لا يدعيها والمقر له أسقط إقراره بالتكذيب وليس للمدعي بينة فلم يبق إلا أن يحفظها الحاكم كالمال الضال

dan yang kedua: tidak wajib mengganti. Jika kita katakan bahwa ia wajib mengganti, maka ia disuruh bersumpah karena bisa jadi ia takut bersumpah lalu mengakui kepada orang kedua, maka ia wajib mengganti kepadanya. Dan jika kita katakan bahwa ia tidak wajib mengganti, maka ia tidak disuruh bersumpah, karena jika ia takut bersumpah lalu mengakui kepada orang kedua, maka ia tidak wajib apa-apa, sehingga tidak ada faedahnya menyuruhnya bersumpah.

Jika orang yang disebut sebagai pemilik mendustakannya, maka ada dua pendapat: pertama, yaitu pendapat Abu al-‘Abbās, bahwa hakim mengambil rumah tersebut dan menjaganya hingga ditemukan pemiliknya, karena orang yang memegangnya tidak mengakuinya, dan orang yang disebut sebagai pemilik telah membatalkan pengakuan tersebut dengan pendustaan, dan penggugat tidak memiliki bayyinah, maka tidak tersisa selain hakim menyimpannya seperti harta yang tersesat.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه يسلم إلى الدعي لأنه ليس ههنا من يدعيه غيره وهذا خطأ لأنه حكم بمجرد الدعوى وإن أقر بها لغائب ولا بينة وقف الأمر إلى أن يقدم الغائب لأن الذي في يده لا يدعيها ولا بينة تقضي بها فوجب التوقف فإن طلب المدعي يمين المدعى عليه أنه لا يعلم أنها له فعلى ما ذكرناه من القولين وإن كان للمدعي بينة قضي له

dan yang kedua: yaitu pendapat Abu Ishaq, bahwa rumah itu diserahkan kepada si penggugat karena tidak ada orang lain yang mengakuinya. Namun ini adalah pendapat yang keliru, karena itu merupakan keputusan hanya berdasarkan pengakuan semata.

Jika orang yang memegang barang itu mengakuinya kepada orang yang sedang tidak hadir dan tidak ada bayyinah, maka perkara itu ditangguhkan hingga orang yang tidak hadir itu datang, karena orang yang memegang tidak mengakuinya dan tidak ada bayyinah yang bisa menjadi dasar putusan, maka wajib menangguhkan perkara.

Jika si penggugat meminta sumpah dari tergugat bahwa ia tidak mengetahui rumah itu miliknya, maka kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan. Dan jika si penggugat memiliki bayyinah, maka diputuskan untuknya.

وهل يحتاج إلى أن يحلف مع البينة؟ فيه وجهان: أحدهما: أنه يحتاج أن يحلف مع البينة لأنا حكمنا بإقرار المدعى عليه أنها ملك للغائب ولا يجوز القضاء بالبينة على الغائب من غير يمين والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يحتاج أن يحلف لأنه قضاء على الحاضر وهو المدعى عليه

Dan apakah perlu disertai sumpah bersama bayyinah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: perlu disertai sumpah bersama bayyinah, karena kita telah memutuskan berdasarkan pengakuan tergugat bahwa rumah itu milik orang yang sedang tidak hadir, dan tidak boleh memutuskan perkara atas orang yang ghaib hanya dengan bayyinah tanpa sumpah.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq: tidak perlu disertai sumpah, karena ini adalah putusan terhadap orang yang hadir, yaitu tergugat.

وإن كان مع المدعى عليه بينة أنها للغائب فالمنصوص أنه يحكم ببينة المدعي وتسلم إليه ولا يحكم ببينة المدعى عليه وإن كان معها يد لأن بينة صاحب اليد إنما يقضي بها إذا أقامها صاحب الملك أو وكيل له والمدعى عليه ليس بمالك ولا هو وكيل للمالك فلم يحكم بنينته وحكى أبو إسحاق رحمه الله عن بعض أصحابنا أنه قال: إن كان المقر للغائب يدعي أن الدار في يده وديعة أو عارية لم تسمع بينته

Dan jika bersama tergugat ada bukti bahwa rumah itu milik orang yang tidak hadir, maka pendapat yang masyhur adalah bahwa diputuskan berdasarkan bukti penggugat dan rumah diserahkan kepadanya, dan tidak diputuskan berdasarkan bukti tergugat meskipun rumah itu berada dalam genggamannya. Karena bukti orang yang memegang benda hanya dapat dijadikan dasar putusan apabila didatangkan oleh pemilik benda atau wakilnya, sedangkan tergugat bukanlah pemilik dan juga bukan wakil dari pemilik, maka tidak diputuskan berdasarkan buktinya. Dan Abu Ishaq rahimahullah meriwayatkan dari sebagian sahabat kami yang berkata: Jika orang yang mengakui bahwa rumah itu milik orang yang tidak hadir mengklaim bahwa rumah itu berada di tangannya sebagai titipan (wadī‘ah) atau pinjaman pakai (‘āriyah), maka buktinya tidak dapat diterima.

وإن كان يدعي أنها في يده بإجارة سمعت بينته وقضى بها لأنه يدعي لنفسه حقاً فسمعت بينته فيصح الملك للغائب ويستوفي بها حقه من المنفعة وهذا خطأ لأنه إذا لم تسمع البينة في إثبات الملك وهو الأصل فلأن لا تسمع لإثبات الإجارة وهي فرع على الملك أولى وإن أقر بها لمجهول فقد قال أبو العباس فيه وجهان: وأحدهما: أنه يقال له إقرارك لمجهول لا يصح فإما أن تقر بها لمعروف أو تدعيها لنفسك أو نجعلك ناكلاً ويحلف المدعي ويقضي له والثاني: أن يقال له إما أن تقربها لمعروف أو نجعلك ناكلاً ولا يقبل دعواه لنفسه لأنه بإقراره لغيره نفي أن يكون الملك له فلم تقبل دعواه بعد.

Dan jika ia mengklaim bahwa rumah itu berada di tangannya karena sewa (ijārah), maka buktinya didengar dan diputuskan berdasarkan itu, karena ia mengklaim adanya hak untuk dirinya, maka buktinya didengar. Maka sah kepemilikan bagi orang yang tidak hadir dan ia bisa mengambil hak manfaatnya dengan itu. Namun ini adalah kekeliruan, karena jika bukti tidak didengar untuk menetapkan kepemilikan—padahal itu adalah pokok—maka lebih utama lagi untuk tidak didengar dalam menetapkan sewa—karena itu cabang dari kepemilikan.

Dan jika ia mengakuinya kepada orang yang tidak dikenal, maka Abu al-‘Abbās berkata ada dua wajah: pertama, dikatakan kepadanya: “Pengakuanmu kepada orang yang tidak dikenal tidak sah, maka akuilah kepada orang yang dikenal, atau klaimlah bahwa itu milikmu sendiri, atau kami anggap engkau menolak bersumpah (nākil) dan penggugatlah yang bersumpah, lalu diputuskan untuknya.” Dan wajah kedua: dikatakan kepadanya: “Akuilah kepada orang yang dikenal, atau kami anggap engkau menolak bersumpah,” dan tidak diterima pengakuannya untuk dirinya sendiri, karena dengan pengakuannya kepada orang lain ia telah menafikan bahwa kepemilikan itu untuk dirinya, maka tidak diterima lagi pengakuannya setelah itu.

فصل: إذا ادعى جارية وشهدت البينة أنها ابنة أمته لم يحكم له بها لأنها قد تكون ابنة أمته ولا تكون له بأن تلدها في ملك غيره ثم يملك الأمة دونها فتكون ابنة أمته ولا تكون له وإن شهدت البينة أنها ابنة أمته ولدتها في ملكه فقد قال الشافعي رحمه الله: حكمت بذلك وذكر في الشهادة بالملك المتقدم قولين فنقل أبو العباس جواب تلك المسألة إلى هذه وجعلها على قولين وقال سائر أصحابنا: يحكم بها ههنا قولاً واحداً وهناك على قولين والفرق بينهما أن الشهادة هناك بأصل الملك فلم تقبل حتى يثبت في الحال والشهادة ههنا بتمام الملك وأنه حدث في ملكه فلم يفتقر إلى إثبات الملك في الحال وإن ادعى غزلاً أو طيراً أو آجراً وأقام البينة أن الغزل من قطنه والطير من بيضه والآجر من طينه قضي له لأن الجميع عين ماله وإنما تغيرت صفته.

PASAL: Jika seseorang mengklaim seorang jāriyah dan ada bayyinah yang bersaksi bahwa dia adalah anak dari amat-nya, maka tidak diputuskan kepemilikan untuknya, karena bisa jadi dia adalah anak dari amat-nya namun bukan miliknya—yakni amat tersebut melahirkannya saat berada dalam kepemilikan orang lain, lalu ia membeli amat tersebut tanpa anaknya, sehingga anak tersebut adalah anak dari amat-nya namun bukan miliknya. Namun jika bayyinah bersaksi bahwa ia adalah anak dari amat-nya yang dilahirkan saat dalam kepemilikannya, maka Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: aku memutuskan kepemilikan atas dasar itu. Dan beliau menyebutkan bahwa dalam kesaksian atas kepemilikan yang terdahulu terdapat dua pendapat. Abu al-‘Abbās memindahkan jawaban masalah tersebut ke dalam masalah ini dan menjadikannya juga dua pendapat. Sedangkan seluruh ulama mazhab kami berpendapat bahwa dalam kasus ini diputuskan secara pasti, dan dalam kasus sebelumnya terdapat dua pendapat. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa kesaksian dalam kasus sebelumnya berkaitan dengan asal kepemilikan, sehingga tidak diterima kecuali jika dibuktikan kepemilikan saat ini, sedangkan kesaksian dalam kasus ini menunjukkan kesempurnaan kepemilikan dan bahwa kepemilikan terjadi dalam masa kepemilikannya, sehingga tidak membutuhkan pembuktian kepemilikan saat ini.

Dan jika seseorang mengklaim benang pintalan (ghazl), atau burung, atau batu bata (ājur) dan menghadirkan bayyinah bahwa benang pintalan itu berasal dari kapasnya, burung dari telurnya, dan batu bata dari tanah liatnya, maka diputuskan untuknya, karena semuanya merupakan bagian dari hartanya secara zat, hanya saja sifatnya berubah.

فصل: إذا ادعى رجل أن هذه الدار ملكه من سنتين وأقام على ذلك بينة وادعى آخر أنه ابتاعها منذ سنتين وأقام على ذلك بينة قضى ببينة الابتياع لأن بينة الملك شهدت بالملك على الأصل وبينة الابتياع شهدت بأمر حادث خفي على بينة الملك فقدمت على بينة الملك كما تقدم بينة الجرح على بينة التعديل.

PASAL: Jika seorang lelaki mengaku bahwa rumah ini adalah miliknya sejak dua tahun yang lalu dan ia mengajukan bukti atas hal itu, lalu orang lain mengaku bahwa ia telah membelinya sejak dua tahun yang lalu dan juga mengajukan bukti atas hal itu, maka diputuskan dengan bukti pembelian. Karena bukti kepemilikan memberikan kesaksian atas kepemilikan berdasarkan asal, sedangkan bukti pembelian memberikan kesaksian atas suatu kejadian baru yang tersembunyi dari bukti kepemilikan, maka bukti pembelian didahulukan atas bukti kepemilikan sebagaimana bukti jarḥ didahulukan atas bukti taʿdīl.

فصل: وإن كان في يد رجل دار وادعى رجل أنه ابتاعها من زيد وهو يملكها وأقام على ذلك بينة حكم له لأنه ابتاعها من مالكها وإن شهدت له البينة أنه ابتاعها منه ولم تذكر الملك ولا التسليم لم يحكم بهذه الاشهادة ولم تؤخذ الدار ممن هي في يده لأنه قد يبيع الإنسان ما يملكه وما لا يملكه فلا تزال يد صاحب اليد.

PASAL: Jika sebuah rumah berada dalam tangan seseorang, lalu datang orang lain mengklaim bahwa ia membelinya dari Zaid saat Zaid memilikinya, dan ia mendatangkan bayyinah atas hal itu, maka diputuskan untuknya, karena ia membelinya dari pemiliknya. Namun jika bayyinah bersaksi bahwa ia membelinya dari Zaid tanpa menyebutkan kepemilikan dan penyerahan, maka kesaksian ini tidak dihukumi, dan rumah tersebut tidak diambil dari tangan orang yang sedang memilikinya, karena seseorang bisa saja menjual sesuatu yang ia miliki maupun yang tidak ia miliki, maka tangan pemilik tetap dipertahankan.

فصل: وإن كان في يد رجل دار فادعاها رجل وأقام البينة أنها له أجرها ممن هي في يده وأقام الذي في يده الدار بينة أنها له قدمت بينة الخارج الذي لا يد له لأن الدار المستأجرة في مالك المؤجر وبيده وليس للمستأجر إلا الانتفاع فتصير كما لو كانت في يده وادعى رجل أنها له غصبه عليها الذي هي في يده وأقام البينة فإنه يحكم بها للمغصوب منه.

PASAL: Jika sebuah rumah berada di tangan seseorang, lalu seseorang mengakuinya sebagai miliknya dan menghadirkan bainnah bahwa rumah itu miliknya, dan orang yang memegang rumah tersebut juga menghadirkan bainnah bahwa rumah itu miliknya, maka didahulukan bainnah orang luar yang tidak memegang rumah tersebut. Karena rumah yang disewakan berada dalam kepemilikan pemilik yang menyewakan dan berada dalam genggamannya, sementara penyewa hanya memiliki hak untuk memanfaatkannya. Maka hukumnya menjadi seperti seolah rumah itu berada di tangannya, lalu seseorang mengakuinya sebagai miliknya dan menyatakan bahwa yang memegangnya telah merampas rumah tersebut darinya, serta ia menghadirkan bainnah, maka diputuskan rumah itu milik orang yang dirampas darinya.

فصل: وإن تداعى رجلان داراً في يد ثالث فشهد لأحدهما: شاهدان أن الذي في يده الدار غصبه عليها وشهد للآخر شاهدان أنه أقر له بها قضى للمغصوب منه لأنه ثبت بالبينة أنه غاصب وإقرار الغاصب لا يقبل فحكم بها للمغصوب منه.

PASAL: Jika dua orang saling mengklaim sebuah rumah yang berada di tangan orang ketiga, lalu dua orang saksi bersaksi untuk salah satunya bahwa orang yang memegang rumah tersebut telah merampasnya darinya, dan dua saksi lainnya bersaksi untuk yang lain bahwa orang tersebut mengakui rumah itu miliknya, maka diputuskan untuk orang yang dirampas karena telah terbukti dengan bayyinah bahwa ia adalah perampas, dan pengakuan dari perampas tidak diterima, maka rumah tersebut diputuskan untuk yang dirampas.

فصل: إذا ادعى رجل أنه ابتاع داراً من فلان ونقده الثمن وأقام على ذلك بينة وادعى آخر أنه ابتاعها منه ونقده الثمن وأقام على ذلك بينة وتاريخ أحدهما: في رمضان وتاريخ الآخر في شوال قضى لمن ابتاعها في رمضان لأنه ابتاعها وهي في ملكه والذي ابتاعها في شوال ابتاعها بعد ما زال ملكه عنها وإن كان تاريخهما واحداً أو كان تاريخهما مطلقاً أو تاريخ أحدهما: مطلقاً وتاريخ الآخر مؤرخاً فإن كانت الدار في يد أحدهما: قضى له لأن معه بينة ويداً

PASAL: Jika seseorang mengaku bahwa ia telah membeli sebuah rumah dari si Fulan dan telah membayar harganya serta mendatangkan bukti atas hal itu, lalu orang lain juga mengaku bahwa ia telah membelinya darinya dan telah membayar harganya serta mendatangkan bukti, dan tanggal salah satu dari keduanya pada bulan Ramadan dan tanggal yang lain pada bulan Syawal, maka diputuskan untuk orang yang membelinya pada bulan Ramadan, karena ia membelinya saat rumah itu masih dalam kepemilikannya, sedangkan yang membelinya pada bulan Syawal telah membeli setelah kepemilikannya hilang. Namun jika tanggal keduanya sama, atau keduanya tidak bertanggal, atau salah satunya tidak bertanggal dan yang lain bertanggal, maka jika rumah itu berada di tangan salah satu dari keduanya, maka diputuskan untuknya karena ia memiliki bukti dan juga tangan.

وإن كانت في يد البائع تعارضت البينتان وفيهما قولان: أحدهما: أنهما يسقطان والثاني: أنهما يستعملان فإن قلنا أنهما يسقطان رجع إلى البائع فإن أنكرهما حلف لكل واحد منهما يميناً عل الانفراد وقضى له وإن أقر لأحدهما: سلمت إليه وهل يحلف للآخر فيه قولان وإن أقر لهما جعلت لهما نصفين وهل يحلف كل واحد منهما للآخر على النصف الآخر على القولين وإن قلنا أنهما يستعملان نظرت

Dan jika rumah itu berada di tangan penjual, maka kedua bukti menjadi saling bertentangan, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama, keduanya gugur.
Kedua, keduanya digunakan.

Jika kita mengatakan bahwa keduanya gugur, maka dikembalikan kepada penjual. Jika ia mengingkari keduanya, maka ia bersumpah kepada masing-masing dari keduanya secara terpisah, lalu diputuskan untuknya. Jika ia mengakui salah satunya, maka diserahkan kepadanya. Apakah ia bersumpah untuk yang lainnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Jika ia mengakui keduanya, maka diberikan kepada keduanya secara setengah-setengah. Apakah masing-masing dari keduanya bersumpah terhadap setengah lainnya? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat.

Dan jika kita mengatakan bahwa keduanya digunakan, maka diperhatikan terlebih dahulu.

فإن صدق البائع أحدهما: ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي العباس أنها تجعل لمن صدقه البائع لأن الدار في يده فإذا أقر لأحدهما: فقد نقل يده إلي فتصير له يد وبينة وقال أكثر أصحابنا: لا يرجح بإقرار البائع وهو الصحيح لأن البينتين اتفقتا على إزالة ملك البائع وإسقاط يده فعلى هذا يقرع بينهما في أحد الأقوال ويقسم بينهما في الثاني فيجعل لكل واحد منهما نصف الدار بنصف الثمن الذي ادعى أنه ابتاع به ولا يجيء القول بالوقف لأن العقود لا توقف.

Jika penjual membenarkan salah satunya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa rumah diberikan kepada orang yang dibenarkan oleh penjual, karena rumah itu berada di tangannya, maka ketika ia mengakui kepada salah satu dari keduanya, berarti ia telah memindahkan tangannya kepada orang tersebut, sehingga orang itu menjadi pemilik tangan dan bukti.

Mayoritas sahabat kami mengatakan: tidak boleh menguatkan dengan pengakuan penjual, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena kedua bukti telah sepakat atas hilangnya kepemilikan penjual dan hilangnya tangannya. Maka berdasarkan pendapat ini, diundi antara keduanya menurut salah satu pendapat, dan dibagi antara keduanya menurut pendapat kedua, yaitu masing-masing diberikan separuh rumah dengan separuh dari harga yang diklaim telah dibeli dengannya. Tidak muncul pendapat tentang waqf (penangguhan) karena akad tidak bisa ditangguhkan.

فصل: وإن ادعى رجل أنه ابتاع هذه الدار من زيد وهو يملكها ونقده الثمن وأقام عليه بينة وادعى آخر أنه ابتاعها من عمرو وهو يملكها ونقده الثمن وأقام عليه بينة فإن كانت في يد أجنبي أوفي يد أحد البائعين وقلنا على المذهب الصحيح أنه لا ترجح البينة بقول البائع تعارضت البينتان وفيهما قولان: أحدهما: أنهما يسقطان

PASAL: Jika seorang laki-laki mengaku bahwa ia membeli rumah ini dari Zaid saat Zaid memilikinya, dan ia telah membayar harganya serta mendatangkan bukti atas hal itu, lalu orang lain mengaku bahwa ia membelinya dari ‘Amr saat ‘Amr memilikinya, dan ia juga telah membayar harganya serta mendatangkan bukti atas hal itu, maka jika rumah tersebut berada di tangan orang ketiga (asing) atau di tangan salah satu dari dua penjual, dan menurut mazhab yang shahih kita mengatakan bahwa bukti tidak dikuatkan dengan ucapan penjual, maka kedua bukti itu saling bertentangan, dan dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, keduanya gugur.

والثاني: أنهما يستعملان فإن قلنا أنهما يسقطان رجع إلى من هو في يده فإن ادعاه لنفسه فالقول قوله ويحلف لكل واحد منهما وإن أقر لأحدهما: سلم إليه وهل يحلف للآخر فيه قولان وإن أقر لهما جعل لكل واحد منهما نصفه وهل يحلف للآخر على النصف الآخر على القولين وإن قلنا إنهما يستعملان أقرع بينهما في أحد الأقوال ويقسم بينهما في القول الثاني فيجعل لكل واحد منهما النصف بنصف الثمن الذي ادعى أنه ابتاعه ولا يجيء الوقف لأن العقود لا توقف.

dan kedua: keduanya digunakan. Maka jika kita katakan bahwa keduanya gugur, dikembalikan kepada siapa yang rumah itu berada di tangannya. Jika ia mengaku bahwa itu miliknya, maka ucapannya diterima dan ia bersumpah untuk masing-masing dari keduanya. Jika ia mengakui salah satunya, diserahkan kepadanya. Apakah ia harus bersumpah untuk yang lain? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Jika ia mengakui keduanya, maka diberikan kepada masing-masing setengah. Apakah masing-masing dari mereka harus bersumpah atas setengah lainnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

Dan jika kita katakan bahwa keduanya digunakan, maka dilakukan undian di antara keduanya menurut salah satu pendapat, dan dibagi di antara keduanya menurut pendapat kedua, sehingga masing-masing mendapat setengah dengan setengah harga yang dia klaim telah ia beli. Dan tidak berlaku hukum waqf karena akad tidak bisa dihentikan.

فصل: وإن كان في يد رجل دار فادعى زيد أنه باعها منه بألف وأقام عليه بينة وادعى عمرو أنه باعها منه بألف وأقام عليه بينة فإن كانت البينتان بتاريخ واحد تعارضتا وفيهما قولان: أحدهما: إنهما يسقطان والثاني: أنهما يستعملان فإذا قلنا أنهما يسقطان رجع إلى قول من هي في يده فإن ادعاها لنفسه وأنكر الشراء حلف لكل واحد منهما وحكم له وإن أقر لأحدهما: لزمه الثمن لمن أقر له وحلف للآخر قولاً واحداً لأنه لو أقر له بعد إقراره للأول لزمه له الألف لأنه يقر له بحق في ذمته فلزمه أن يحلف قولاً واحداً

PASAL: Jika sebuah rumah berada di tangan seorang laki-laki, lalu Zaid mengaku bahwa ia membelinya darinya seharga seribu dan mendatangkan bukti, dan Amr juga mengaku bahwa ia membelinya darinya seharga seribu dan mendatangkan bukti, maka jika kedua bukti bertanggal sama, keduanya saling bertentangan, dan dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, bahwa keduanya gugur; dan kedua, bahwa keduanya digunakan.

Jika dikatakan keduanya gugur, maka kembali kepada ucapan orang yang rumah itu ada di tangannya. Jika ia mengakuinya sebagai miliknya dan mengingkari adanya jual beli, maka ia bersumpah kepada masing-masing dari keduanya dan diputuskan untuknya. Jika ia mengakui kepada salah satunya, maka ia wajib membayar harga kepada orang yang ia akui, dan ia bersumpah kepada yang lain menurut satu pendapat, karena jika ia mengaku kepadanya setelah pengakuannya kepada yang pertama, ia wajib membayar seribu kepadanya karena ia mengaku ada hak dalam tanggungannya, maka wajib baginya untuk bersumpah menurut satu pendapat.

وإن قلنا إنهما يستعملان أقرع بينهما في أحد الأقوال ويقسم في القول الثاني ولا يجيء الوقف لأن العقود لا توقف وإن كانتا بتاريخين مختلفين بأن شهدت بينة أحدهما: بعقد في رمضان وبينة أحدهما: في شوال لزمه الثمنان لأنه يمكن الجمع بينهما بأن يكون قد اشتراه في رمضان من أحدهما: ثم باعه واشتراه من الآخر في شوال وإن كانت البينتان مطلقتين ففيه وجهان: أحدهما: أنه يلزمه الثمنان لأنه يمكن استعمالهما بأن يكون قد اشتراه في وقتين مختلفين والثاني: أنهما يتعارضان فيكون على القولين لأنه يحتمل أن يكونا في وقتين فيلزمه الثمنان ويحتمل أن يكونا في وقت واحد والأصل براءة الذمة.

Dan jika dikatakan bahwa keduanya digunakan, maka diundi antara keduanya menurut salah satu pendapat, dan dibagi menurut pendapat yang kedua. Dan tidak berlaku waqf, karena akad tidak bisa dihentikan.

Dan jika kedua bukti bertanggal berbeda, yaitu bahwa salah satu bukti menyatakan akad terjadi pada bulan Ramadan, dan yang lainnya pada bulan Syawal, maka wajib baginya membayar dua harga, karena mungkin dikompromikan keduanya, yaitu bahwa ia membeli dari salah satunya pada Ramadan, lalu ia menjualnya dan membelinya kembali dari yang lain pada Syawal.

Dan jika kedua bukti bersifat mutlak (tanpa tanggal), maka terdapat dua pendapat: pertama, bahwa ia wajib membayar dua harga, karena mungkin keduanya digunakan, yaitu bahwa ia membelinya pada dua waktu yang berbeda; dan kedua, bahwa keduanya saling bertentangan, maka kembali kepada dua pendapat, karena ada kemungkinan bahwa keduanya terjadi pada dua waktu, sehingga ia wajib membayar dua harga, dan ada kemungkinan bahwa keduanya terjadi pada waktu yang sama, sedangkan asalnya adalah bebas dari tanggungan.

فصل: وإن ادعى رجل ملك عبد فأقام عليه بينة وادعى آخر أنه باعه أو وقفه أو أعتقه وأقام عليه بينة قدم البيع والوقف والعتق لأن بينة الملك شهدت بالأصل وبينة البيع والوقف والعتق شهدت بأمر حادث خفي على بينة الملك فقدمت على بينة الملك وإن كان في يد رجل عبد فادعى رجل أنه ابتاعه وأقام عليه بينة وادعى العبد أن مولاه أعتقه وأقام عليه بينة فإن عرف السابق منهما بالتاريخ قضى بأسبق التصرفين لأن السابق منهما يمنع صحة الثاني فقدم عليه

PASAL: Jika seorang laki-laki mengaku memiliki seorang budak lalu mendatangkan bukti atas kepemilikannya, kemudian orang lain mengaku bahwa ia telah menjualnya, atau mewakafkannya, atau memerdekakannya dan mendatangkan bukti atas hal itu, maka didahulukan bukti jual, wakaf, dan ‘itq, karena bukti kepemilikan menunjukkan pada asal, sementara bukti jual, wakaf, dan ‘itq menunjukkan pada perkara yang baru yang tersembunyi dari bukti kepemilikan, maka didahulukan atas bukti kepemilikan.

Dan jika budak itu berada di tangan seseorang, lalu seseorang mengaku bahwa ia telah membelinya dan mendatangkan bukti, sementara budak itu mengaku bahwa tuannya telah memerdekakannya dan mendatangkan bukti, maka jika diketahui mana yang lebih dahulu dari keduanya berdasarkan tanggal, maka diputuskan dengan transaksi yang lebih dahulu, karena yang lebih dahulu mencegah sahnya yang kedua, maka didahulukan atasnya.

وإن لم يعرف السابق منهما تعارضتا وفيهما قولان: أحدهما: أنهما يسقطان ويرجع إلى من في يده العبد وإن كان كذبهما حلف لكل واحد منهما يميناً على الانفراد وإن صدق أحدهما: قضى لمن صدقه والقول الثاني أنهما يستعملان فيقرع بينهما في أحد الأقوال فمن خرجت له القرعة قضى له ويقسم في القول الثاني: فيعتق نصفه ويحكم للمبتاع بنصف الثمن ولا يجيء القول بالوقف لأن العقود لا توقف.

Dan jika tidak diketahui mana yang lebih dahulu di antara keduanya, maka kedua bukti itu saling bertentangan, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: keduanya gugur, lalu dikembalikan kepada orang yang memegang budak tersebut. Jika budak itu mendustakan keduanya, maka ia bersumpah untuk masing-masing dari keduanya secara terpisah. Jika ia membenarkan salah satunya, maka diputuskan untuk orang yang dibenarkannya.

Pendapat kedua: keduanya digunakan, lalu dilakukan undian di antara keduanya menurut salah satu pendapat. Maka siapa yang namanya keluar dalam undian, diputuskan untuknya. Dan dalam pendapat kedua: dibagi dua, maka budak itu merdeka separuhnya, dan diputuskan kepada pembeli dengan separuh harga. Tidak berlaku pendapat waqf (penangguhan) karena akad tidak bisa ditangguhkan.

فصل: قال في الأم: إذا قال لعبده إن قتلت فأنت حر فأقام العبد بينة أنه قتل وأقام الورثة بينة أنه مات ففيه قولان: أحدهما: أنه تتعارض البينتان ويسقطان ويرق العبد لأن بينة القتل تثبت القتل وتنفي الموت وبينة الموت تثبت الموت وتنفي القتل فتسقطان ويبقى العبد على الرق والثاني: أنه تقدم بينة القتل ويعتق العبد لأن بينة الورثة تشهد بالموت وبينة العبد تشهد بالقتل لأن المقتول ميت ومعها زيادة صفة وهي القتل فقدمت

PASAL: Dalam al-Umm disebutkan: Jika seseorang berkata kepada hambanya, “Jika aku dibunuh maka engkau merdeka,” lalu sang hamba mendatangkan bukti bahwa tuannya dibunuh, dan para ahli waris mendatangkan bukti bahwa ia mati, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: Kedua bukti saling bertentangan dan gugur, sehingga status hamba tetap sebagai budak. Karena bukti pembunuhan menetapkan bahwa ia dibunuh dan menafikan kematian biasa, sedangkan bukti kematian menetapkan bahwa ia mati dan menafikan pembunuhan. Maka keduanya gugur dan hamba tetap dalam perbudakan.

Pendapat kedua: Bukti pembunuhan didahulukan dan hamba menjadi merdeka, karena bukti dari para ahli waris menyatakan kematian, sedangkan bukti dari hamba menyatakan pembunuhan. Dan orang yang dibunuh itu pasti mati, namun bukti pembunuhan mengandung tambahan sifat, yaitu adanya unsur pembunuhan, maka bukti tersebut lebih didahulukan.

وإن كان له عبدان سالم وغانم فقال لغانم: إن مت في رمضان فأنت حر وإن قال لسالم: إن مت في شوال فأنت حر ثم مات فأقام غانم بينة أنه مات في رمضان وأقام سالم بينة بالموت في شوال ففيه قولان: أحدهما: أنه تتعارض البينتان ويسقطان ويرق العبدان لأن الموت في رمضان ينفي الموت في شوال والموت في شوال ينفي الموت في رمضان فيسقطان وبقي العبدان على الرق

Dan jika ia memiliki dua orang budak, yaitu Sālim dan Ghānim, lalu ia berkata kepada Ghānim: “Jika aku mati pada bulan Ramadan maka engkau merdeka”, dan ia berkata kepada Sālim: “Jika aku mati pada bulan Syawwal maka engkau merdeka”, kemudian ia meninggal dunia, maka Ghānim mengajukan bukti bahwa tuannya mati di bulan Ramadan, dan Sālim mengajukan bukti bahwa tuannya mati di bulan Syawwal, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa kedua bukti saling bertentangan dan gugur, dan kedua budak tetap berstatus sebagai budak, karena kematian di bulan Ramadan menafikan kematian di bulan Syawwal, dan kematian di bulan Syawwal menafikan kematian di bulan Ramadan, maka keduanya saling menggugurkan dan kedua budak tetap dalam status perbudakan.

والقول الثاني أنه تقدم بينة الموت في رمضان لأنه يجوز أن يكون قد علمت البينة بالموت في رمضان وخفي ذلك على البينة الأخرى إلى شوال فقدمت بينة رمضان لما معها من زيادة العلم وإن قال لغانم إن مت من مرضي فأنت حر وقال لسالم: إن برئت من مرضي فأنت حر ثم مات فأقام غانم بينة بالموت من مرضه وأقام سالم بينة بأنه بريء من المرض ثم مات تعارضت البينتان وسقطتا ورق العبدان لأن بينة أحدهما: أثبتت الموت من مرضه ونفت البرء منه والأخرى أثبتت البرء من مرضه ونفت موته منه فتعذر الجمع بينهما فتعارضتا وسقطتا وبقي العبدان على الرق.

Dan pendapat kedua adalah bahwa didahulukan bukti kematian di bulan Ramadan, karena mungkin saja bukti tersebut mengetahui kematian di bulan Ramadan sementara hal itu tersembunyi bagi bukti yang lain sampai bulan Syawwal. Maka didahulukan bukti Ramadan karena mengandung tambahan pengetahuan.

Dan jika ia berkata kepada Ghānim: “Jika aku mati karena sakitku ini maka engkau merdeka”, dan ia berkata kepada Sālim: “Jika aku sembuh dari sakitku maka engkau merdeka”, kemudian ia meninggal, lalu Ghānim mengajukan bukti bahwa ia mati karena sakitnya, dan Sālim mengajukan bukti bahwa ia sembuh dari sakitnya lalu mati, maka kedua bukti itu saling bertentangan dan gugur, dan kedua budak tetap dalam status perbudakan. Karena bukti salah satunya menetapkan kematian karena sakit dan menafikan kesembuhan darinya, sedangkan yang lain menetapkan kesembuhan dari sakit dan menafikan kematian karena sakit. Maka tidak mungkin menggabungkan keduanya, sehingga keduanya saling bertentangan dan gugur, dan kedua budak tetap sebagai budak.

فصل: وإن اختلف المتبايعان في قدر الثمن أو اختلف المتكاريان في قدر الأجرة أوفي مدة الإجارة فإن لم يكن بينة فالحكم في التحالف والفسخ على ما ذكرناه في الفسخ في البيع وإن كان لأحدهما: بينة قضي له وإن كان لكل واحد منهما يبنة نظرت فإن كانتا مؤرختين بتاريخين مختلفين قضى بالأول منهما لأن العقد الأول يمنع صحة العقد الثاني

PASAL: Jika penjual dan pembeli berselisih tentang kadar harga, atau pihak yang menyewakan dan penyewa berselisih tentang kadar upah atau tentang lamanya waktu sewa, maka jika tidak ada bainah, maka hukum tahāluf dan pembatalan adalah seperti yang telah kami sebutkan dalam pembatalan dalam jual beli. Dan jika salah satu dari keduanya memiliki bainah, maka diputuskan untuknya. Dan jika masing-masing dari keduanya memiliki bainah, maka diperhatikan: jika keduanya bertanggal dan tanggalnya berbeda, maka diputuskan dengan yang lebih dahulu dari keduanya, karena akad yang pertama mencegah sahnya akad yang kedua.

وإن كانتا مطلقتين أو مؤرختين تاريخاً واحداً أو إحداهما مطلقة والأخرى مؤرخة فهما متعارضتان وفيهما قولان: أحدهما: أنهما يستعملان فيقرع بينهما فمن خرجت له القرعة قضي له ولا يجيء القول بالوقف لأن العقود لا توقف ولا يجيء القول بالقسمة لأنهما يتنازعان في عقد والعقد لا يمكن قسمته وخرج أبو العباس قولاً آخر أنه إذا كان الاختلاف في قدر المدة أوفي قدر الأجرة قضي بالبينة التي توجب الزيادة كما لو شهدت بينة أن لفلان عليه ألفاً وشهدت بينة أن له عليه ألفين وهذا خطأ

Dan jika keduanya bersifat mutlak, atau keduanya bertanggal dengan tanggal yang sama, atau salah satunya mutlak dan yang lainnya bertanggal, maka keduanya saling bertentangan, dan dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: bahwa keduanya dipakai, lalu dilakukan pengundian (qur‘ah) di antara keduanya, maka siapa yang keluar namanya dalam undian, diputuskan untuknya. Dan tidak berlaku pendapat waqf karena akad tidak bisa dihentikan, dan tidak berlaku pendapat pembagian karena mereka berselisih dalam satu akad, sedangkan akad tidak mungkin dibagi.

Dan Abū al-‘Abbās mengemukakan pendapat lain bahwa jika perselisihan dalam kadar waktu atau kadar upah, maka diputuskan dengan bainah yang menunjukkan tambahan, sebagaimana jika satu bainah bersaksi bahwa seseorang memiliki seribu, dan bainah lain bersaksi bahwa dia memiliki dua ribu. Dan ini adalah pendapat yang keliru.

لأن الشهادة بالألف لا تنفي الزيادة عليه فلم يكن بينها وبين بينة الأخرى تعارض وههنا أحد البينتين ينفي ما شهدت به البينة الأخرى لأنه إذا عقد بأحد العوضين لم يجز أن يعقد بالعوض الآخر فتعارضتا.

Karena kesaksian atas seribu tidak menafikan tambahan di atasnya, maka tidak terjadi pertentangan antara keduanya dan antara bainah yang lain. Adapun dalam kasus ini, salah satu dari dua bainah menafikan apa yang disaksikan oleh bainah yang lain, karena jika akad dilakukan dengan salah satu dari dua imbalan, maka tidak boleh dilakukan akad dengan imbalan yang lain, maka keduanya saling bertentangan.

فصل: إذا ادعى رجلان داراً في رجل وعزيا الدعوى إلى سبب يقتضي اشتراكهما كالإرث عن ميت والابتياع في صفقة فأقر المدعى عليه بنصفها لأحدهما: شاركه الآخر لأن دعواهما تقتضي اشتراكهما في كل جزء منهما ولهذا لو كان طعاماً فهلك بعضه كان هالكاً منهما وكان الباقي بينهما فإذا جحد النصف وأقر بالنصف جعل المجحود بينهما والمقر به بينهما وإن ادعيا ولم يعزيا إلى سبب فأقر لأحدهما: بنصفها لم يشاركه الآخر لأن دعواه لا تقتضي الاشتراك في كل جزء منه.

PASAL: Jika dua orang laki-laki mengaku memiliki sebuah rumah yang ada pada seseorang, dan mereka menyandarkan pengakuan tersebut kepada sebab yang mengharuskan keduanya berbagi, seperti warisan dari orang mati atau pembelian dalam satu transaksi, lalu orang yang digugat mengakui separuhnya kepada salah satu dari keduanya, maka yang lain ikut serta, karena klaim keduanya mengharuskan mereka berbagi pada setiap bagian dari rumah tersebut. Oleh karena itu, jika rumah itu berupa makanan lalu sebagian darinya rusak, maka kerusakannya ditanggung oleh keduanya, dan sisanya menjadi milik bersama. Maka apabila ia mengingkari separuh dan mengakui separuh, maka bagian yang diingkari dibagi di antara keduanya, dan bagian yang diakui juga dibagi di antara keduanya.

Namun jika keduanya mengklaim tanpa menyandarkan kepada suatu sebab, lalu ia mengakui separuhnya kepada salah satu dari keduanya, maka yang lain tidak ikut serta, karena klaimnya tidak mengharuskan berbagi pada setiap bagian darinya.

فصل: وإن ادعى رجلان داراً في يد ثالث لكل واحد منهما نصفها وأقر الذي هي في يده بجميعها لأحدهما: نظرت فإن كان قد سمع من المقر له الإقرار للمدعي الآخر بنصفها لزمه تسليم النصف إليه لأنه أقر بذلك فإذا صار إليه لزمه حكم إقراره كرجل أقر لرجل بعين ثم صارت العين في يده وإن لم يسمع منه إقرار فادعى جميعها حكم له بالجميع لأنه يجوز أن يكون لجميع له ودعواه للنصف صحيح لأن من له الجميع فله النصف

PASAL: Jika dua orang laki-laki mengaku memiliki sebuah rumah yang berada di tangan orang ketiga, dan masing-masing mengklaim separuhnya, lalu orang yang rumah itu berada di tangannya mengakui seluruh rumah tersebut milik salah satu dari keduanya, maka hal itu dilihat kembali. Jika pernah terdengar dari orang yang diakui (oleh pemegang rumah) bahwa ia mengakui setengahnya kepada penggugat lainnya, maka ia wajib menyerahkan setengah rumah itu kepadanya karena ia telah mengakuinya; maka ketika rumah itu menjadi miliknya, ia terkena kewajiban hukum atas pengakuannya, seperti seseorang yang mengakui suatu barang milik orang lain, kemudian barang itu berada di tangannya. Namun jika tidak terdengar darinya pengakuan, lalu ia mengklaim seluruh rumah tersebut, maka diputuskan rumah itu seluruhnya miliknya, karena boleh jadi rumah itu memang seluruhnya miliknya, dan klaimnya atas setengah rumah adalah sah, karena siapa yang memiliki keseluruhan, maka sah baginya mengklaim separuhnya.

ويجوز أن يكون قد خص النصف بالدعوى لأن على النصف بينة أو يعلم أنه مقر له بالنصف وتنتقل الخصومة إليه مع المدعي الآخر في النصف وإن قال الذي في يده الدار نصفها لي والنصف الآخر لا أعلم لمن هو ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يترك النصف في يده لأنه أقر لمن لا يدعيه فبطل الإقرار وبقي على ملكه والثاني: أن الحاكم ينتزعه منه ويكون عنده لأن الذي في يده لا يدعيه والمقر له لا يدعيه فأخذه الحاكم للحفظ كالمال الضال والثالث أنه يدفع إلى المدعي الآخر لأنه يدعيه وليس له مستحق آخر وهذا خطأ لأنه حكم بمجرد الدعوى.

Dan boleh jadi ia membatasi pengakuannya hanya pada setengah rumah karena ada bukti atas setengah itu, atau karena ia mengetahui bahwa yang bersangkutan telah mengakuinya untuknya, maka berpindahlah perkara sengketa kepadanya bersama penggugat lainnya atas setengah rumah tersebut.

Jika orang yang rumah itu berada di tangannya berkata: “Separuhnya milikku dan separuh lainnya aku tidak tahu milik siapa,” maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:

Pertama, dibiarkan separuh itu tetap di tangannya karena ia mengakuinya untuk orang yang tidak mengklaimnya, maka batal pengakuannya dan tetap menjadi miliknya.

Kedua, hakim mengambil separuh itu darinya dan menyimpannya karena orang yang memegangnya tidak mengklaimnya dan orang yang disebut sebagai penerima pengakuan juga tidak mengklaimnya, maka hakim menyimpannya seperti harta yang hilang.

Ketiga, diberikan kepada penggugat lainnya karena ia mengklaimnya dan tidak ada pihak lain yang mengakuinya. Ini adalah pendapat yang keliru karena merupakan putusan berdasarkan semata-mata klaim.

فصل: إذا مات رجل وخلف ابناً مسلماً وابناً نصرانياً وادعى كل واحد منهما أنه مات أبوه على دينه وأنه يرثه وأقام على ما يدعيه بينة فإن عرف أنه كان نصرانياً نظرت فإن كانت البينتان غير مؤرختين حكم ببينة الإسلام لأن من شهد بالنصرانية شهد بالأصل والذي شهد بالإسلام شهد بأمر حادث خفي على من شهد بالنصرانية فقدمت شهادته كما تقدم بينة الجرح على بينة التعديل

PASAL: Jika seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki muslim dan seorang anak laki-laki nasrani, lalu masing-masing dari keduanya mengklaim bahwa ayahnya meninggal dalam agamanya dan bahwa ia mewarisinya, serta masing-masing mendatangkan bukti atas klaimnya, maka apabila diketahui bahwa sang ayah dulunya adalah nasrani, maka dilihat: jika kedua bukti tersebut tidak bertanggal, maka diputuskan berdasarkan bukti keislaman, karena yang bersaksi atas kenasranian bersaksi atas keadaan asal, sedangkan yang bersaksi atas keislaman bersaksi atas perkara baru yang tersembunyi dari yang bersaksi atas kenasranian, maka kesaksiannya didahulukan sebagaimana didahulukannya bukti jarḥ atas bukti taʿdīl.

فإن شهدت إحداهما بأنه مات وآخر كلامه الإسلام وشهدت الأخرى بأنه مات وآخر كلامه النصرانية فهما متعارضتان وفيهما قولان: أحدهما: أنهما يسقطان فيكون كما لو مات ولا بينة فيكون القول قول النصراني لأن الظاهر معه والثاني: أنهما يستعملان فإن قلنا بالقرعة أقرع بينهما فمن خرجت له القرعة ورث وإن قلنا بالوقف وقف وإن قلنا بالقسمة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقسم كما يقسم في غير الميراث

Jika salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ia meninggal dan ucapan terakhirnya adalah Islam, sedangkan yang lainnya bersaksi bahwa ia meninggal dan ucapan terakhirnya adalah nasrani, maka kedua kesaksian tersebut saling bertentangan dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa kedua kesaksian tersebut gugur, sehingga keadaannya seperti orang yang meninggal tanpa ada bukti, maka perkataan anak yang nasrani diterima karena zhahir mendukungnya.

Kedua: bahwa keduanya dapat digunakan. Jika kita mengatakan dengan cara undian, maka dilakukan undian di antara keduanya, dan siapa yang keluar undiannya, maka dialah yang mewarisi. Jika kita mengatakan dengan penangguhan, maka perkara tersebut ditangguhkan. Dan jika kita mengatakan dengan pembagian, maka dalam hal ini ada dua wajah: salah satunya adalah bahwa warisan dibagi sebagaimana pembagian dalam selain warisan.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يقسم لأنه إذا قسم بينهما تيقن الخطأ في توريثهما وفي غير الميراث يجوز أن يكون المال مشتركاً بينهما فقسم وإن لم يعرف أصل دينه تعارضت البينتان سواء كانتا مطلقتين أو مؤرختين وفيها قولان: أحدهما: أنهما تسقطان فإن كان المال في يد غيرهما فالقول قول من في يده المال وإن كان في يديهما كان بينهما وإن قلنا أنهما يستعملان فإن قلنا يقرع أقرع بينهما

Dan yang kedua — yaitu pendapat Abū Isḥāq — adalah bahwa warisan tidak dibagi, karena jika dibagi antara keduanya maka dipastikan terjadi kesalahan dalam mewariskan kepada keduanya, sedangkan dalam selain warisan dimungkinkan bahwa harta itu memang milik bersama keduanya, maka boleh dibagi meskipun asal kepemilikannya tidak diketahui.

Jika tidak diketahui asal agama si mayit, maka kedua bukti saling bertentangan, baik keduanya bersifat mutlak maupun bertanggal, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa keduanya gugur. Maka jika harta berada di tangan selain mereka berdua, maka perkataan orang yang memegang harta itu diterima. Dan jika berada di tangan mereka berdua, maka harta dibagi di antara mereka.

Dan jika kita mengatakan bahwa keduanya dapat digunakan, maka jika kita berpendapat dengan undian, maka dilakukan undian di antara mereka.

وإن قلنا يوقف وقف إلى أن ينكشف وإن قلنا يقسم قسم وقال أبو إسحاق لا يقسم لأنه يتيقن الخطأ في توريثهما والمنصوص أنه يقسم وما قاله أبو إسحاق خطأ لأنه يجوز أن يموت وهو نصراني فورثه ابناه وهما نصرانيان: ثم أسلم أحدهما: وادعى أن أباه مات مسلماً ليأخذ الجميع ويغسل الميت ويصلي عليه في المسائل كلها ويدفن في مقابر المسلمين وينوي بالصلاة عليه وإن كان مسلماً كما قلنا في موتى المسلمين إذا اختلطوا بموتى الكفار.

Dan jika dikatakan ditangguhkan, maka ditangguhkan sampai jelas (keadaannya), dan jika dikatakan dibagi, maka dibagi. Abu Ishaq berkata: tidak dibagi karena diyakini adanya kesalahan dalam mewariskan keduanya. Namun pendapat yang dinyatakan (oleh Imam al-Syafi‘i) adalah bahwa hal itu dibagi, dan apa yang dikatakan Abu Ishaq adalah keliru, karena bisa jadi ia wafat dalam keadaan Nasrani, lalu diwarisi oleh dua anaknya yang keduanya adalah Nasrani, kemudian salah satunya masuk Islam dan mengklaim bahwa ayahnya wafat dalam keadaan Muslim agar ia bisa mengambil seluruh harta, memandikan jenazah, menshalatkannya dalam seluruh hukum yang berlaku, serta menguburkannya di pemakaman kaum Muslimin, dan meniatkan dalam shalat jenazahnya bahwa ia seorang Muslim, sebagaimana kami katakan pada jenazah kaum Muslimin yang bercampur dengan jenazah kaum kafir.

فصل: وإن مات رجل وخلف ابنين واتفق الابنان أن أباهما مات مسلماً وأن أحد الابنين أسلم قبل موت الأب واختلفا في الآخر فقال: أسلمت أنا أيضاً قبل موت أبي فالميراث بيننا وأنكر الآخر فالقول قول المتفق على إسلامه لأن الأصل بقاؤه على الكفر ولو اتفقا على إسلامهما واختلفا في وقت موت الأب فقال أحدهما: مات أبي قبل إسلامك فالميراث لي وقال الآخر: بل مات بعد إسلامي أيضاً فالقول قول الثاني لأن الأصل حياة الأب

PASAL: Jika seorang lelaki wafat dan meninggalkan dua anak laki-laki, lalu kedua anak tersebut sepakat bahwa ayah mereka wafat dalam keadaan Muslim, dan salah satu dari keduanya mengakui bahwa ia telah masuk Islam sebelum wafatnya sang ayah, sedangkan yang satu lagi berselisih dengannya dan berkata: “Aku juga masuk Islam sebelum ayahku wafat, maka warisan adalah milik kita berdua,” sementara yang lain mengingkarinya, maka yang dipegang adalah ucapan anak yang disepakati keislamannya, karena asalnya adalah tetap dalam kekufuran.

Dan jika keduanya sepakat bahwa mereka sama-sama telah masuk Islam, namun berselisih mengenai waktu wafatnya sang ayah, lalu salah satunya berkata: “Ayahku wafat sebelum engkau masuk Islam, maka warisan hanya milikku,” sedangkan yang lain berkata: “Bahkan ia wafat setelah aku juga masuk Islam,” maka yang dipegang adalah ucapan yang kedua, karena asalnya adalah ayahnya masih hidup.

وإن مات رجل وخلف أبوين كافرين وابنين مسلمين فقال الأبوان مات كافراً وقال الابنان: مات مسلماً فقد قال أبو العباس يحتمل قولين: أحدهما: أن القول قول الأبوين لأنه إذا ثبت أنهما كافران كان الولد محكوماً بكفره إلى أن يعلم الإسلام والثاني: أن الميراث بوقف إلى أن يصطلحوا أو ينكشف الأمر لأن الولد إنما يتبع الأبوين في الكفر قبل البلوغ فأما بعد البلوغ فله حكم نفسه ويحتمل أنه كان مسلماً ويحتمل أنه كان كافراً فوقف الأمر إلى أن ينكشف.

Jika seorang lelaki wafat dan meninggalkan kedua orang tua yang kafir serta dua anak laki-laki yang Muslim, lalu kedua orang tua mengatakan bahwa ia wafat dalam keadaan kafir, sedangkan kedua anak mengatakan bahwa ia wafat dalam keadaan Muslim, maka Abu al-‘Abbās berkata: dalam hal ini terdapat dua kemungkinan pendapat.

Pertama: bahwa ucapan kedua orang tua yang dipegang, karena apabila telah tetap bahwa keduanya kafir, maka anak tersebut dihukumi sebagai kafir hingga diketahui keislamannya.

Kedua: bahwa warisan ditangguhkan hingga mereka berdamai atau perkara menjadi jelas, karena anak itu mengikuti kedua orang tuanya dalam kekufuran hanya sebelum balig, adapun setelah balig maka ia memiliki status hukum tersendiri, dan bisa jadi ia wafat dalam keadaan Muslim atau bisa jadi dalam keadaan kafir, maka perkara ditangguhkan hingga menjadi jelas.

فصل: وإن مات رجل وله ابن حاضر وابن غائب وله دار في يد رجل فادعى الحاضر أن أباه مات وأن الدار بينه وبين أخيه وأقام بينة من أهل الخبرة بأنه مات وأنه لا وارث له سواهما انتزعت الدار ممن هي في يده ويسلم إلى الحاضر نصفها وحفظ النصف للغائب وإن كان له دين في الذمة قبض الحاضر نصفه وفي نصيب الغائب وجهان: أحدهما: أنه يأخذه الحاكم ويحفظ عليه كالعين

PASAL: Jika seorang laki-laki meninggal dunia dan ia memiliki seorang anak yang hadir dan seorang anak yang tidak hadir, serta ia memiliki sebuah rumah yang berada di tangan seseorang, lalu anak yang hadir mengaku bahwa ayahnya telah meninggal dan bahwa rumah tersebut adalah miliknya bersama saudaranya, dan ia mendatangkan bukti dari orang-orang yang ahli bahwa ayahnya telah wafat dan tidak ada ahli waris selain keduanya, maka rumah itu diambil dari tangan orang yang menguasainya dan diserahkan setengahnya kepada anak yang hadir, sementara setengahnya disimpan untuk anak yang tidak hadir. Jika ia memiliki piutang di dalam tanggungan (orang lain), maka anak yang hadir mengambil setengahnya, dan untuk bagian anak yang tidak hadir terdapat dua pendapat: salah satunya adalah bahwa hakim mengambilnya dan menjaganya sebagaimana menjaga harta berwujud.

والثاني: أنه لا يأخذه لأن كونه في الذمة أحفظ له لا يطالب الحاضر فيما يدفع إليه بضمين لأن في ذلك قدحاً في البينة وإن لم تكن البينة من أهل الخبرة الباطنة أو كانت من أهل الخبرة إلا أنها لم تشهد بأنها لا تعرف له وارثاً سواه لم يدفع إليه شيء حتى يبعث الحاكم إلى البلاد التي كان يسافر إليها فيسأل هل له وارث آخر؟ فإذا سأل ولم يعرف له وارث غيره دفع إليه قال الشافعي رحمه الله: يأخذ منه ضميناً وقال في الأم: وأحب أن يأخذ منه ضميناً فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما: أنه يجب أخذ الضمين لأنه ربما ظهر وارث آخر

dan pendapat kedua: bahwa hakim tidak mengambilnya karena keberadaannya dalam tanggungan (piutang) lebih terjaga, serta tidak dituntut dari anak yang hadir untuk memberikan penjamin atas apa yang diserahkan kepadanya, sebab hal itu merupakan celaan terhadap kesaksian. Jika kesaksian tersebut bukan dari orang yang ahli secara mendalam, atau dari orang yang ahli namun mereka tidak bersaksi bahwa mereka tidak mengetahui adanya ahli waris selain dia, maka tidak diberikan apa pun kepadanya sampai hakim mengirim ke negeri-negeri yang biasa didatangi si mayit untuk bepergian, guna menanyakan apakah ia memiliki ahli waris lain. Jika telah dilakukan penelusuran dan tidak diketahui adanya ahli waris selain dia, maka diberikanlah kepadanya. Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata: hendaknya ia mengambil darinya seorang penjamin. Dan dalam al-Umm beliau berkata: “Aku menyukai jika ia mengambil penjamin darinya.” Di antara para sahabat kami ada yang berkata bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, wajib mengambil penjamin karena bisa jadi kelak muncul ahli waris lain.

والثاني: أنه يستحب ولا يجب لأن الظاهر أنه لا وارث له غيره ومنهم من قال: إن كان الوارث ممن يحجب كالأخ والعم وجب وإن كان ممن لا يحجب كالابن استحب لأن من لا يحجب يتيقن أنه وارث ويشك فيمن يزاحمه فلم يترك اليقين بالشك ومن يحجب يشك في إرثه وحمل القولين على هذين الحالين ومنهم من قال إن كان الوارث غير مأمون وجب لأنه لا يؤمن أن يضيع حق من يظهر وإن كان مأموناً لم يجب لأنه لا يضيع حق من يظهر وحمل القولين على هذين الحالين

dan pendapat kedua: bahwa hal itu disunnahkan dan tidak wajib, karena secara lahiriah tidak ada ahli waris selain dia. Dan di antara mereka ada yang berkata: jika ahli waris termasuk orang yang dapat menutup (menghalangi) ahli waris lain, seperti saudara atau paman, maka wajib mengambil penjamin; namun jika termasuk orang yang tidak menutup seperti anak, maka disunnahkan, karena orang yang tidak menutup diyakini sebagai ahli waris dan hanya diduga adanya pihak yang dapat menyertainya, maka tidak boleh meninggalkan keyakinan karena dugaan. Adapun orang yang menutup, maka masih diragukan keahliwarisannya, sehingga dua pendapat tersebut dipahami sesuai dua keadaan ini.

Dan sebagian dari mereka berkata: jika ahli waris bukan orang yang dapat dipercaya, maka wajib mengambil penjamin karena dikhawatirkan ia menyia-nyiakan hak orang yang kelak muncul; namun jika ia orang yang terpercaya, maka tidak wajib karena tidak dikhawatirkan ia akan menyia-nyiakan hak orang yang akan muncul. Maka dua pendapat itu ditakwilkan atas dua keadaan ini.

وإن كان الوارث ممن له فرض لا ينقص كالزوجين فإن شهد الشهود أنه لا وارث له سواه وهم من أهل الخبرة دفع إليه أكمل الفرضين ولا يؤخذ منه ضمين وإن لم يشهدوا أنه لا وارث له سواه أو شهدوا بذلك ولم يكونوا من أهل الخبر دفع إليه أنقص الفرضين فإن كان زوجاً دفع إليه ربع المال عائلاً وإن كان زوجة دفع إليها ربع الثمن عائلاً ويوقف الباقي فإن لم يظهر وارث آخر دفع إليه الباقي.

Jika ahli waris adalah orang yang memiliki bagian fardhu yang tidak berkurang seperti suami-istri, maka apabila para saksi bersaksi bahwa tidak ada ahli waris selain dia dan mereka termasuk orang-orang yang ahli (berpengalaman), maka diberikan kepadanya bagian yang sempurna dari dua bagian fardhu tersebut dan tidak diambil darinya penjamin. Namun jika mereka tidak bersaksi bahwa tidak ada ahli waris selain dia, atau mereka bersaksi demikian tetapi bukan termasuk ahli yang terpercaya, maka diberikan kepadanya bagian yang lebih kecil dari dua bagian fardhu tersebut. Jika dia seorang suami, maka diberikan seperempat harta dengan pembagian ‘āil (terbagi karena kebutuhan). Dan jika dia seorang istri, maka diberikan seperempat dari seperdelapan (yakni satu tiga puluh dua) dengan pembagian ‘āil, dan sisanya ditahan. Jika tidak muncul ahli waris lain, maka sisanya diberikan kepadanya.

فصل وإن ماتت امرأة وابنها فقال زوجها: ماتت فورثها الابن ثم مات الابن فورثته وقال أخوها: بل مات الابن أولاً فورثته الأم ثم ماتت فورثتها لم يورث ميت من ميت بل يجعل مال الابن للزوج ومال المرأة للزوج والأخ لأنه لا يرث إلا من تيقن حياته عند موت مورثه وههنا لا تعرف حياة واحد من الميتين عند موت مورثه فلم يورث أحدهما: من الآخر كالغرقى.

PASAL: Jika seorang wanita dan anaknya meninggal, lalu suaminya berkata: wanita itu meninggal terlebih dahulu, maka anaknya mewarisinya, kemudian anak itu meninggal, maka ia (suami) mewarisi anaknya. Dan saudara perempuan wanita itu berkata: justru anaknya yang meninggal terlebih dahulu, lalu ibunya mewarisinya, kemudian sang ibu meninggal, maka saudaranya mewarisi ibunya—maka tidaklah diwariskan seseorang dari orang yang tidak dipastikan hidupnya saat wafatnya pewaris. Oleh karena itu, harta anak diberikan kepada suami, dan harta wanita diberikan kepada suami dan saudara perempuannya, karena seseorang hanya mewarisi dari orang yang dipastikan wafat setelahnya. Dalam kasus ini tidak diketahui siapa di antara keduanya yang lebih dahulu hidup saat wafat yang lain, maka keduanya tidak saling mewarisi, sebagaimana kasus para korban tenggelam.

فصل: وإن مات رجل وله دار وخلف ابناً وزوجة فادعى الابن أنه تركها ميراثاً وادعت الزوجة أنه أصدقها الدار وأقام كل واحد منهما بينة قدمت بينة الزوجة على بينة الإرث لأن بينة الإرث تشهد بظاهر الملك المتقدم وبينة الصداق تشهد بأمر حادث على الملك خفي على بينة الإرث.

PASAL: Jika seorang laki-laki meninggal dunia dan ia memiliki sebuah rumah serta meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang istri, lalu anak laki-laki tersebut mengaku bahwa rumah itu adalah warisan, dan sang istri mengaku bahwa suaminya menjadikannya sebagai ṣadāq, serta masing-masing dari keduanya mengajukan bukti, maka didahulukanlah bukti dari pihak istri atas bukti warisan. Sebab, bukti warisan hanya menunjukkan kepemilikan yang tampak sebelumnya, sedangkan bukti ṣadāq menunjukkan peristiwa baru yang terjadi pada kepemilikan tersebut dan tersembunyi dari bukti warisan.

فصل: وإن تداعى رجلان حائطاً بين داريهما فإن كان مبنياً على تربيع إحداهما مساوياً لها في السم والحد ولم يكن بناؤه مخالفاً لبناء الدار الأخرى ولم تكن بينة لأحدهما: فالقول قول من بنى على تربيع داره لأن الظاهر أنه بني لداره وإن كان لأحدهما أزج فالقول قوله لأن الظاهر أنه بني للأزج

PASAL: Jika dua orang bersengketa atas tembok yang berada di antara dua rumah mereka, maka jika tembok itu dibangun di atas batas persegi salah satu dari keduanya, sejajar dengan rumah itu dalam hal tinggi dan batas, dan bangunannya tidak berbeda dari bangunan rumah yang lain, serta tidak ada bukti dari salah satu pihak, maka perkataan orang yang membangun di atas batas persegi rumahnya yang diterima, karena yang tampak menunjukkan bahwa tembok itu dibangun untuk rumahnya. Dan jika salah satu dari keduanya memiliki azj (semacam atap tambahan yang menjorok ke luar), maka perkataannya yang diterima karena yang tampak menunjukkan bahwa tembok itu dibangun untuk azj tersebut.

وإن كان مطلقاً وهو الذي لم يقصد به سوى السترة ولم تكن بينة حلفا وجعل بينهما لأنه متصل بالملكين اتصالاً واحداً وإن كان لأحدهما: عليه جذوح ولم يقدم على الآخر بذلك لأنهما لو تنازعا فيه قبل وضع الجدوع كان بينهما ووضع الجدوع يجوز أن يكون بإذن من الجار أو بقضاء حاكم يرى وضع الجدوع على حائط الجار بغير رضاه يلزم ما تيقناه بأمر محتمل كما لو مات رجل عن دار ثم وجد الدار في يد أجنبي.

Dan jika tembok itu muthlaq (yaitu yang tidak dimaksudkan kecuali sekadar sebagai pembatas/pelindung) dan tidak ada bukti dari keduanya, maka keduanya diminta bersumpah dan tembok itu dibagi antara mereka berdua, karena ia bersambung kepada dua kepemilikan dengan satu sambungan. Dan jika salah satu dari keduanya memiliki kayu-kayu atap (judzūḥ) yang tertancap di atasnya, maka tidak diutamakan karenanya atas pihak yang lain, karena seandainya keduanya bersengketa atasnya sebelum diletakkan kayu-kayu itu, maka tembok itu milik bersama, dan peletakan kayu-kayu itu bisa jadi atas izin tetangga atau dengan keputusan hakim yang membolehkan meletakkan kayu-kayu di atas tembok milik tetangga tanpa izinnya. Maka tidak bisa didahulukan keyakinan atas dasar suatu kemungkinan, sebagaimana jika seseorang wafat dan meninggalkan rumah, kemudian rumah itu didapati di tangan orang asing.

فصل: وإن تداعى صاحب السفل وصاحب العلو السقف ولا بينة حلف كل واحد منهما وجعل بينهما لأنه حاجز توسط ملكيهما فكان بينهما كالحائط بين الدارين فإن تنازعا في الدرجة فإن كان تحتها مسكن فهي بينهما لأنهما متساويان في الانتفاع بها وإن كان تحتها موضع جب ففيه وجهان: أحدهما: أنهما يحلفان ويجعل بينهما لأنهما يرتفقان بها والثاني: أنه يحلف صاحب العلو ويقضي له لأن المقصود بها منفعة صاحب العلو

PASAL: Jika pemilik rumah bagian bawah dan pemilik rumah bagian atas bersengketa mengenai langit-langit (saqf) dan tidak ada bukti, maka masing-masing dari keduanya bersumpah dan langit-langit dijadikan milik bersama antara keduanya karena ia adalah pembatas yang berada di tengah-tengah dua kepemilikan mereka, sehingga menjadi milik bersama seperti tembok di antara dua rumah. Jika mereka berselisih mengenai tangga, maka apabila di bawahnya terdapat tempat tinggal, maka tangga itu menjadi milik bersama karena mereka sama-sama mendapatkan manfaat darinya. Namun jika di bawahnya terdapat tempat galian (lubang), maka ada dua pendapat: pertama, keduanya bersumpah dan tangga dijadikan milik bersama karena keduanya mendapatkan manfaat darinya; kedua, pemilik bagian atas saja yang bersumpah dan diputuskan untuknya karena tujuan utama dari tangga tersebut adalah untuk kemaslahatan pemilik bagian atas.

وإن تداعيا سلماً منصوباً حلف صاحب العلو وقضي له لأنه يختص بالانتفاع به في الصعود وإن تداعيا صحن الدار نظرت فإن كانت الدرجة في الدهليز ففيه وجهان: أحدهما: أنها بينهما لأن لكل واحد منهما يداً ولهذا لو تنازعا في أصل الدار كانت بينهما والثاني: أنه لصاحب السفل لأنها في يده ولهذا يجوز أن تمنع صاحب العلو من الاستطراق فيها.

Dan jika mereka berselisih tentang tangga yang sudah terpasang, maka pemilik bagian atas bersumpah dan diputuskan untuknya karena ia yang secara khusus mengambil manfaat darinya untuk naik. Dan jika mereka berselisih mengenai ṣaḥn rumah, maka diperhatikan: apabila tangga berada di dihlīz (lorong masuk), maka ada dua pendapat: pertama, ṣaḥn itu menjadi milik bersama karena masing-masing dari keduanya memiliki tangan atasnya, dan oleh karena itu jika mereka berselisih tentang kepemilikan rumah secara keseluruhan, maka rumah itu menjadi milik bersama; kedua, ṣaḥn itu milik pemilik bagian bawah karena berada dalam genggamannya, dan karena itu ia boleh melarang pemilik bagian atas dari melintasinya.

فصل: وإن تداعى رجلان مسناة بين نهر أحدهما: وأرض الآخر حلفا وجعل بينهما لأن فيها منفعة لصاحب النهر لأنها تجمع الماء في النهر ولصاحب الأرض منها منفعة لأنها تمنع الماء من أرضه.

PASAL: Apabila dua orang saling mengklaim kepemilikan musannāh (pematang) yang terletak di antara sungai milik salah satunya dan tanah milik yang lain, maka keduanya disuruh bersumpah, lalu dijadikan milik bersama di antara keduanya. Hal ini karena musannāh tersebut memberikan manfaat bagi pemilik sungai karena dapat mengumpulkan air di sungainya, dan juga memberikan manfaat bagi pemilik tanah karena dapat mencegah air masuk ke tanahnya.

فصل: وإن تداعى رجلان دابة وأحدهما: راكبها والآخر آخذ بلجامها حلف الراكب وقضى له وقال أبو إسحاق رحمه الله هي بينهما لأن كل واحد منهما لو انفرد لكانت له والصحيح هو الأول لأن الراكب هو المنفرد بالتصرف فقضي له وإن تداعيا عمامة وفي يد أحدهما: منها ذراع وفي يد الآخر الباقي حلفا وجعلت بينهما لأن يد كل واحد منهما ثابتة على العمامة وإن تداعيا عبداً ولأحدهما: عليه ثياب حلف وجعل بينهما ولا يقدم صاحب الثياب لأن منفعة الثياب تعود إلى العبد لا إلى صاحب الثياب.

PASAL: Jika dua orang berselisih mengenai seekor hewan tunggangan, sedangkan salah satunya sedang menungganginya dan yang lainnya memegang kendalinya, maka yang menunggangilah yang bersumpah dan diputuskan untuknya. Abu Ishaq rahimahullah berkata: hewan itu milik bersama karena masing-masing dari keduanya jika berdiri sendiri maka bisa memilikinya. Namun pendapat yang benar adalah yang pertama karena orang yang menunggangilah yang secara eksklusif melakukan tindakan terhadap hewan itu, maka diputuskan untuknya.

Dan jika dua orang berselisih mengenai sorban, dan salah satunya memegang satu hasta dari sorban itu sedangkan yang lainnya memegang sisanya, maka keduanya bersumpah dan sorban dijadikan milik bersama karena tangan masing-masing dari mereka ada atas sorban tersebut.

Dan jika mereka berselisih mengenai seorang budak, sedangkan salah satunya memakaikan baju pada budak tersebut, maka keduanya bersumpah dan budak itu dijadikan milik bersama. Pemilik pakaian tidak didahulukan karena manfaat pakaian kembali kepada budak, bukan kepada pemilik pakaian.

فصل: وإن كان في يد رجل عبد بالغ عاقل فادعى أنه عبده فإن صدقه حكم له بالملك وإن كذبه فالقول قوله مع يمينه لأن الظاهر الحرية وإن كان طفلاً لا يميز فالقول قول المدعي لأنه لا يعبر عن نفسه وهو في يده فهو كالبهيمة وإن بلغ هذا الطفل فقال لست بمملوك له لم يقبل قوله لأنا حكمنا له بالملك فلا يسقط بإنكاره

PASAL: Jika ada seorang lelaki memegang seorang budak yang telah baligh dan berakal, lalu ia mengaku bahwa dia adalah budaknya, maka jika budak itu membenarkannya, dihukumi bahwa ia adalah miliknya. Namun jika budak itu mendustakannya, maka perkataannya yang diterima disertai sumpahnya, karena hukum asalnya adalah merdeka.

Jika yang dipegang adalah anak kecil yang belum bisa membedakan, maka perkataan yang diterima adalah milik pengaku, karena anak itu tidak bisa mengungkapkan dirinya sendiri, dan ia berada dalam genggamannya, maka hukumnya seperti hewan ternak.

Namun jika anak kecil itu telah baligh lalu berkata, “Aku bukan budaknya,” maka ucapannya tidak diterima, karena kita telah menghukumi bahwa ia adalah miliknya, maka pengingkarannya tidak membatalkan ketetapan itu.

وإن جاء رجل فادعى أنه ابنه لم يثبت نسبه بمجرد دعواه لأن فيه إضراراً بصاحب الملك لأنه ربما يعتقه فيثبت له عليه الولاء وإذا ثبت نسب لمن يدعي النسب سقط حق ولائه وإن كان مراهقاً وادعى أنه مملوكه مع إنكاره كالبالغ والثاني: أنه يحكم له بالملك وهو الصحيح لأنه لا حكم لقوله.

Dan jika datang seorang laki-laki lalu mengaku bahwa anak itu adalah anaknya, maka nasabnya tidak bisa ditetapkan hanya dengan pengakuannya saja, karena hal itu dapat merugikan pemilik (budak), sebab bisa jadi dia memerdekakannya lalu menetapkan walā’ untuk dirinya, padahal jika nasab orang yang mengaku itu ditetapkan, maka hak walā’-nya gugur.

Dan jika anak itu telah murāhiq lalu ia mengaku bahwa dirinya adalah milik orang tersebut, namun ia mengingkarinya seperti orang baligh, maka ada dua pendapat:
Pendapat kedua mengatakan bahwa diputuskan sebagai miliknya, dan ini yang sahih, karena tidak ada pengaruh hukum pada perkataannya.

فصل: وإن تداعى الزوجان متاع البيت الذي يسكنانه ولا بينة حلفا وجعل الجميع بينهما نصفين لأنه في يدهما فجعل بينهما كما لو تداعيا الدار التي يسكنان فيها وإن تداعى المكري والمكتري المتاع الذي في الدار المكراة فالقول قول المكتري لأن يده ثابتة على ما في الدار وإن تداعيا سلماً غير مسمر فهو للمكتري لأنها متصلة بالدار فصارت كأجزائها وإن كانت غير مسمرة فقد قال الشافعي رحمه الله بأنهما يتحالفان وتجعل بينهما لأن الرفوف قد تترك في العادة وقد تنقل عنها فيجوز أن تكون للمكتري ويجوز أن تكون للمكري فجعل بينهما.

PASAL: Jika suami istri bersengketa atas barang-barang rumah yang mereka tempati dan tidak ada bukti, maka keduanya disuruh bersumpah dan seluruh barang dibagi dua karena berada dalam kekuasaan mereka berdua, sehingga dibagi antara keduanya sebagaimana jika mereka bersengketa atas rumah yang mereka tinggali.

Jika pemberi sewa dan penyewa bersengketa atas barang-barang yang ada di rumah sewaan, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan penyewa karena tangannya tetap atas barang-barang yang ada di rumah.

Jika mereka bersengketa atas tangga yang tidak dipakukan, maka tangga itu milik penyewa karena menyatu dengan rumah sehingga dihukumi seperti bagian dari rumah. Namun jika tangga itu tidak dipakukan, maka menurut pendapat asy-Syafi‘i rahimahullah, keduanya saling bersumpah dan dibagi antara keduanya karena rak-rak dalam kebiasaan bisa saja ditinggalkan atau dibawa pergi, sehingga mungkin saja milik penyewa dan mungkin juga milik pemberi sewa, maka dibagi antara keduanya.

فصل: ومن وجب له حق على رجل وهو غير ممتنع من دفعه لم يجز لصاحب الحق أن يأخذ من ماله حقه بغير إذنه لأن الخيار فيما يقضي به الدين إلى من عليه الدين ولا يجوز أن يأخذ إلا ما يعطيه وإن أخذ بغير إذنه لزمه رده فإن تلف ضمنه لأنه أخذ مال غيره بغير حق وإن كان ممتنعاً من أدائه فإن لم يقدر على أخذه بالحاكم، فله أن يأخذ من ماله لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا ضرر ولا إضرار” وفي منعه من أخذ ماله في هذا الحال إضرار به وإن كان يقدر على أخذه بالحاكم بأن تكون له عليه بينة ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجوز أن يأخذه لأنه يقدر على أخذه بالحاكم فلم يجز أن يأخذه بنفسه

PASAL: Barang siapa yang memiliki hak atas seseorang dan orang tersebut tidak menolak untuk membayarnya, maka tidak boleh bagi pemilik hak mengambil harta orang itu tanpa izinnya, karena pilihan dalam melunasi utang adalah milik orang yang berutang, dan tidak boleh diambil kecuali yang ia berikan. Jika ia mengambilnya tanpa izin, wajib baginya mengembalikannya, dan jika rusak, ia wajib menggantinya karena ia telah mengambil harta milik orang lain tanpa hak.

Namun, jika orang yang berutang menolak membayar, dan ia tidak mampu mengambilnya melalui hakim, maka boleh baginya mengambil harta orang tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Lā ḍarara wa lā ḍirār” (tidak boleh membahayakan dan tidak boleh saling membahayakan), dan melarangnya mengambil hartanya dalam keadaan seperti ini adalah bentuk membahayakan.

Jika ia mampu mengambilnya melalui hakim, misalnya ia memiliki bukti atas utangnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama: tidak boleh ia mengambilnya sendiri karena ia mampu mengambilnya melalui hakim, maka tidak boleh mengambilnya sendiri.

والثاني: وهو المذهب أنه يجوز لأن هنداً قالت يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح وأنه لا يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما آخذه سراً فقال عليه السلام: “وخذي ما يكفيك وولدك بالمعروف”. فأذن لها في الأخذ مع القدرة على الأخذ بالحاكم ولأن عليه في المحاكمة مشقة فجاز له أخذه فإن كان الذي قدر عليه من جنس حقه أخذ قدر حقه وإن كان من غير جنسه أخذه ولا يجوز أن يتملكه لأنه من غير جنس ماله فلا يجوز أن يتملكه ولكن يبيعه ويصرف ثمنه في حقه وفي كيفية البيع وجهان: أحدهما: أنه يواطئ رجلاً ليقر له بحق وأنه ممتنع من أدائه فيبيع الحاكم المال عليه

dan pendapat kedua—dan ini adalah mazhab—bahwa boleh baginya mengambil, karena Hindun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang kikir, dan dia tidak memberiku nafkah yang mencukupi aku dan anakku kecuali yang aku ambil secara diam-diam.” Maka Nabi SAW bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma‘rūf.” Maka beliau membolehkannya mengambil harta meskipun mampu menempuh jalur hakim. Dan karena menempuh jalur pengadilan mengandung kesulitan, maka diperbolehkan baginya mengambil secara langsung.

Jika yang bisa ia ambil itu sejenis dengan haknya, maka ia mengambil sebanyak kadar haknya. Namun jika bukan dari jenis yang sama, maka ia boleh mengambilnya, tetapi tidak boleh memilikinya karena ia bukan dari jenis harta yang menjadi haknya. Maka tidak boleh dimiliki, tetapi harus dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi haknya.

Adapun tata cara penjualannya terdapat dua pendapat. Pertama: ia bersepakat dengan seseorang untuk mengakui adanya hak dan bahwa pihak yang berutang enggan membayar, lalu hakim menjual harta tersebut.

والثاني: وهو المذهب أنه يبيع المال بنفسه لأنه يتعذر عليه أن يثبت الحق عند الحاكم وأنه ممتنع من بيعه فملك بيعه بنفسه فإن تلفت العين قبل البيع ففيه وجهان: أحدهما: أنها تتلف من ضمان من عليه الحق ولا يسقط دينه لأنها محبوسة لاستيفاء حقه منها فكان هلاكها من ضمان المالك كالرهن والوجه الثاني أنها تتلف من ضمان صاحب الحق لأنه أخذها بغير إذن المالك فتلفت من ضمانه بخلاف الرهن فإنه أخذه بإذن المالك فتلف من ضمانه.

dan pendapat kedua—dan ini adalah mazhab—bahwa ia boleh menjual harta itu sendiri karena sulit baginya membuktikan hak di hadapan hakim, dan karena orang yang berutang enggan menjualnya, maka ia berhak menjualnya sendiri.

Jika barang tersebut rusak sebelum dijual, maka ada dua pendapat. Pertama: kerusakannya menjadi tanggungan pihak yang berutang dan utangnya tidak gugur, karena barang tersebut ditahan untuk pelunasan hak, maka kerusakannya menjadi tanggungan pemiliknya, sebagaimana barang gadai (rahn).

Pendapat kedua: kerusakannya menjadi tanggungan pemilik hak, karena ia mengambil barang itu tanpa izin pemiliknya, maka kerusakannya menjadi tanggungannya, berbeda dengan barang gadai, karena diambil dengan izin pemiliknya sehingga kerusakannya menjadi tanggungan penerima gadai.

باب اليمين في الدعاوي
إذا ادعى رجل على رجل حقاً فأنكره ولم يكن للمدعي بينة فإن كان ذلك في غير الدم تحلف المدعى عليه فإن نكل عن اليمين ردت اليمين على المدعي وقد بينا ذلك في باب الدعاوي وإن كانت الدعوى في دم ولم يكن للمدعي بينة فإن كان في قتل لا يوجب القصاص نظرت فإن كان هناك لوث حلف المدعي خمسين يميناً وقضى له بالدية

BAB SUMPAH DALAM DAKWAAN

Jika seseorang mendakwa orang lain atas suatu hak lalu yang didakwa mengingkarinya, dan si pendakwa tidak memiliki bukti, maka jika perkara tersebut bukan tentang darah, yang didakwa diminta bersumpah. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada si pendakwa. Hal ini telah dijelaskan dalam bāb dakwaan.

Dan jika dakwaan tersebut mengenai darah dan si pendakwa tidak memiliki bukti, maka jika berkaitan dengan pembunuhan yang tidak mewajibkan qiṣāṣ, maka dilihat: jika terdapat lauwṡ, maka si pendakwa bersumpah sebanyak lima puluh kali sumpah dan diputuskan baginya diyah.

والدليل عليه ما روى سهل بن أبي جثمة أن عبد الله ومحيصة خرجا إلى خيبر من جهد أصابهما فأتى محيصة وذكر أن عبد الله طرح في فقير أوعين ماء فأتى يهوداً، فقال أنتم والله قتلتموه قالوا: والله ما قتلناه فأقبل هو وأخوه حويصة وعبد الرحمن أخو المقتول إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فذهب محيصة يتكلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “الكبر الكبر” فتكلم حويصة ثم تكلم محيصة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إما أن يدوا صاحبكم وإما أن يأذنوا بحرب من الله ورسوله”.

Dan dalil atas hal itu adalah riwayat dari Sahl bin Abī Juthamah bahwa ‘Abdullāh dan Muḥayyiṣah keluar menuju Khaybar karena kesulitan yang menimpa mereka. Lalu Muḥayyiṣah datang dan menyebutkan bahwa ‘Abdullāh ditemukan terbunuh di sebuah lembah atau mata air. Maka ia mendatangi orang-orang Yahudi seraya berkata, “Kalian—demi Allah—yang membunuhnya.” Mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak membunuhnya.” Maka datanglah ia bersama saudaranya Ḥuwayyiṣah dan ‘Abdurraḥmān, saudara si terbunuh, kepada Rasulullah SAW.

Ketika Muḥayyiṣah hendak berbicara, Rasulullah SAW bersabda, “Yang tua, yang tua (yang lebih tua dahulu bicara).” Maka Ḥuwayyiṣah pun berbicara, kemudian baru Muḥayyiṣah. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah mereka membayar diyah kepada rekan kalian, atau kalau tidak, maka izinkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.”

فكتب إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ذلك فكتبوا إنا والله ما قتلناه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لحويصة ومحيصة وعبد الرحمن: “أتحلفون خمسين وتستحقون دم صاحبكم” فقالوا: لا قال: “أيحلف لكم يهود” قالوا: لا ليسوا بمسلمين فوداه رسول الله صلى الله عليه وسلم من عنده فبعث إليهم بمائة ناقة قال سهل: لقد ركضتني منها ناقة حمراء ولأن باللوث تقوى جنبة المدعي ويغلب على الظن صدقه فسمعت يمينه كالمدعي إذا شهد له عدل وحلف معه

maka Rasulullah SAW menulis surat kepada mereka tentang hal itu, lalu mereka menulis balasan, “Demi Allah, kami tidak membunuhnya.” Maka Rasulullah SAW berkata kepada Ḥuwaiṣah, Muḥaiṣah, dan ‘Abd al-Raḥmān, “Apakah kalian mau bersumpah lima puluh kali dan kalian berhak atas darah saudara kalian?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Apakah orang-orang Yahudi mau bersumpah untuk kalian?” Mereka berkata, “Tidak, karena mereka bukan orang Islam.” Maka Rasulullah SAW membayar diyat dari hartanya sendiri, lalu mengirim kepada mereka seratus ekor unta. Sahl berkata, “Sungguh seekor unta merah dari unta-unta itu pernah menendangku.” Karena dengan adanya luwats (tanda kuat) menguatkan sisi kebenaran pihak yang mendakwa dan lebih besar kemungkinan dia benar, maka sumpahnya didengar, seperti halnya seorang pendakwa yang disaksikan oleh seorang ‘adl (saksi yang adil) lalu ia bersumpah bersamanya.

وإن كانت الدعوى في قتل يوجب القود ففيه قولان: قال في القديم يجب القود بأيمان المدعي لأنها حجة يثبت بها قتل العمد فوجب بها القود كالبينة وقال في الجديد: لا يجب لقوله صلى الله عليه وسلم: “إما أن يدوا صاحبكم أو يأذنوا بحرب من الله ورسوله” فذكر الدية ولم يذكر القصاص ولأنه حجة لا يثبت بها النكاح فلا يثبت بها القصاص كالشاهد واليمين فإن قلنا بقوله القديم وكانت الدعوى على جماعة وجب القود عليهم وقال أبو إسحاق رحمه الله: لا يقتل إلا واحد يختاره والقسامة على هذا القول كالبينة في إيجاب القود فإذا قتل بها الواحد قتل بها الجماعة.

Jika dakwaan berkaitan dengan pembunuhan yang mewajibkan qiṣāṣ, maka terdapat dua pendapat. Dalam pendapat qadīm, beliau (Imam al-Syāfi‘ī) berpendapat bahwa qiṣāṣ wajib dengan sumpah pihak pendakwa, karena sumpah adalah hujjah yang dapat menetapkan pembunuhan sengaja, maka wajiblah qiṣāṣ dengannya sebagaimana jika menggunakan bukti kesaksian (bayyinah). Sedangkan dalam pendapat jadīd, beliau mengatakan bahwa qiṣāṣ tidak wajib, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Apakah mereka akan membayar diyat sahabat kalian ataukah mengizinkan perang dari Allah dan Rasul-Nya.” Maka beliau menyebut diyah dan tidak menyebut qiṣāṣ. Juga karena sumpah itu adalah hujjah yang tidak dapat menetapkan pernikahan, maka tidak dapat pula menetapkan qiṣāṣ, sebagaimana satu saksi ditambah sumpah.

Jika kita mengikuti pendapat qadīm dan dakwaan ditujukan kepada sekelompok orang, maka wajib qiṣāṣ atas mereka. Dan Abū Isḥāq rahimahullāh berkata: tidak dibunuh kecuali satu orang yang dipilih, dan qasāmah menurut pendapat ini seperti bayyinah dalam mewajibkan qiṣāṣ. Jika seseorang dibunuh dengan qasāmah, maka sekelompok orang pun dapat dibunuh dengannya.

فصل: وإن كان المدعي جماعة ففيه قولان: أحدهما: أنه يحلف كل واحد منهم خمسين يميناً لأن ما حلف به الواحد إذا انفرد حلف به كل واحد من الجماعة كاليمين الواحدة في سائر الدعاوي والقول الثاني أنه يقسط عليهم الخمسون يميناً على قدر مواريثهم لأنه لما قسط عليهم ما يجب بأيمانهم من الدية على قدر مواريثهم وجب أن تقسط الأيمان أيضاً على قدر مواريثهم وإن دخلها كسر جبر الكسر لأن اليمين الواحدة لا تتبعض فكملت

PASAL: Jika para penggugat adalah sekelompok orang, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama: masing-masing dari mereka bersumpah lima puluh kali, karena sumpah yang dilakukan oleh satu orang secara sendiri juga dilakukan oleh setiap individu dalam kelompok, seperti satu sumpah dalam berbagai gugatan lainnya. Pendapat kedua: lima puluh sumpah itu dibagi di antara mereka sesuai dengan bagian warisan mereka, karena ketika bagian dari diyat yang harus dibayar melalui sumpah-sumpah itu dibagi sesuai warisan mereka, maka sumpah-sumpah itu pun harus dibagi sesuai dengan bagian warisan mereka. Dan jika terdapat pecahan (koma) dalam pembagiannya, maka pecahan itu dibulatkan, karena satu sumpah tidak bisa dibagi, maka disempurnakan.

فإن نكل المدعي عن اليمين ردت اليمين على المدعى عليه فيحلف خمسين يميناً لقوله عليه الصلاة والسلام: “يبرئكم يهود متهم بخمسين يمينا”. ولأن التغليظ بالعدد لحرمة النفس وذلك يوجد في يمين المدعي والمدعى عليه وإن كان المدعى عليه جماعة ففيه قولان: أحدهما: أنه يحلف كل واحد منهم خمسين يميناً

Jika penggugat enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada tergugat, lalu ia bersumpah lima puluh kali, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Kalian dibebaskan oleh orang Yahudi yang tertuduh dengan lima puluh sumpah.” Dan karena penguatan dengan jumlah sumpah itu dimaksudkan untuk menjaga kehormatan jiwa, maka hal itu berlaku baik dalam sumpah penggugat maupun tergugat. Jika para tergugat adalah sekelompok orang, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama: masing-masing dari mereka bersumpah lima puluh kali.

والثاني: أن الخمسين تقسط على عددهم والصحيح من القولين ههنا أن يحلف كل واحد منهم خمسين يميناً والصحيح من القولين في المدعين أنهم يحلفون خمسين يميناً والفرق بينهما أن كل واحد من المدعى عليه ينفي عن نفسه ما ينفيه لو انفرد وليس كذلك المدعون فإن كان واحد منهم لا يثبت لنفسه ما يثبته إذا انفرد.

Pendapat kedua: lima puluh sumpah itu dibagi sesuai jumlah mereka. Pendapat yang sahih dari dua pendapat dalam kasus ini adalah bahwa masing-masing dari mereka (tergugat) bersumpah lima puluh kali. Dan pendapat yang sahih dari dua pendapat dalam kasus para penggugat adalah bahwa mereka bersumpah lima puluh kali. Perbedaannya adalah bahwa masing-masing dari para tergugat menafikan dari dirinya sesuatu yang akan ia nafikan juga seandainya ia sendiri, tidak demikian halnya dengan para penggugat, karena salah seorang dari mereka tidak bisa menetapkan untuk dirinya sesuatu yang dapat ia tetapkan jika ia sendiri.

فصل: فأما إذا لم يكن لوث ولا شاهد فالقول قول المدعى عليه مع يمينه لقوله صلى الله عليه وسلم: “لو أن الناس أعطوا بدعواهم لادعى ناس من الناس دماء ناس وأموالهم ولكن اليمين على المدعي عليه”. ولأن اليمين إنما جعلت في جنبة المدعي عند اللوث لقوة جنبته باللوث فإذا عدم اللوث حصلت القوة في جنبة المدعى عليه لأن الأصل براءة ذمته وعدم القتد فعادت اليمين إليه وهل تغلظ بالعدد فيه قولان: أحدهما: أنها لا تغلظ بل يحلف يميناً واحدة وهو اختيار المزني لأنها يمين توجهت على المدعى عليه ابتداء فلم تغلظ بالعدد كما في سائر الدعاوي

PASAL: Adapun jika tidak ada lūts dan tidak ada saksi, maka pernyataan diterima dari pihak tergugat dengan sumpahnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Seandainya manusia diberi (hak) hanya dengan pengakuan mereka, niscaya akan ada orang-orang yang mengklaim darah dan harta orang lain. Tetapi sumpah itu atas (kewajiban) tergugat.” Dan karena sumpah itu ditempatkan pada pihak penggugat saat ada lūts karena kuatnya posisinya dengan adanya lūts, maka ketika lūts tidak ada, kekuatan berpindah ke pihak tergugat karena asalnya adalah bebas dari tanggungan dan tidak adanya pembunuhan. Maka sumpah itu kembali kepada tergugat.

Apakah sumpah tersebut diperberat dengan jumlah (lima puluh)? Maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: tidak diperberat, tetapi hanya satu sumpah, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, karena ini adalah sumpah yang ditujukan kepada tergugat sejak awal, maka tidak diperberat dengan jumlah sebagaimana dalam gugatan-gugatan lain.

والثاني: أنها تغلظ فيحلف خمسين يميناً وهو الصحيح لأن التغليظ بالعدد لحرمة الدم وذلك موجود مع عدم اللوث فإن قلنا إنها يمين واحدة فإن كان المدعى عليه جماعة حلف كل واحد منهم يميناً واحدة فإن نكلوا ردت اليمين على المدعي فإن كان واحداً حلف يميناً واحدة وإن كانوا جماعة حلف كل واحد منهم يميناً واحدة وإن قلنا يغلظ بالعدد وكان المدعى عليه واحداً حلف خمسين يميناً وإن كانوا جماعة فعلى القولين: أحدهما: أنه يحلف كل واحد خمسين يميناً

Pendapat kedua: sumpah itu diperberat, maka ia bersumpah lima puluh kali, dan ini adalah pendapat yang sahih, karena perberatan jumlah sumpah itu bertujuan untuk menjaga kehormatan darah, dan hal itu tetap berlaku meskipun tidak ada lūts.

Jika kita mengatakan bahwa sumpah hanya satu, maka jika tergugat adalah sekelompok orang, masing-masing dari mereka bersumpah satu kali. Jika mereka enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada penggugat. Jika penggugat hanya satu orang, maka ia bersumpah satu kali. Jika penggugat terdiri dari beberapa orang, maka masing-masing bersumpah satu kali.

Namun jika kita mengatakan bahwa sumpah diperberat dengan jumlah, dan tergugat adalah satu orang, maka ia bersumpah lima puluh kali. Jika tergugat adalah sekelompok orang, maka ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa masing-masing dari mereka bersumpah lima puluh kali.

والثاني: أنه يقسط على عدد رؤوسهم فإن نكلوا ردت اليمين على المدعي فإن كان واحداً حلف خمسين يميناً وإن كانوا جماعة فعلى القولين: أحدهما: أنه يحلف كل واحد منهم خمسين يميناً والثاني: أنه يقسط عليهم خمسون يميناً على قدر مواريثهم من الدية وإذا نكل المدعى عليه فحلف المدعي وقضي له فإن كان في قتل يوجب المال قضي له بالدية وإن كان في قتل يوجب القصاص وجب القصاص قولاً واحداً لأن يمين المدعي مع نكول المدعى عليه كالبينة في أحد القولين وكالإقرار في القول الآخر والقصاص يجب بكل واحد منهما.

Pendapat kedua: lima puluh sumpah itu dibagi sesuai jumlah kepala mereka. Jika mereka enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada penggugat. Jika penggugat satu orang, ia bersumpah lima puluh kali. Jika penggugat adalah sekelompok orang, maka terdapat dua pendapat: pertama, masing-masing dari mereka bersumpah lima puluh kali; kedua, lima puluh sumpah itu dibagi kepada mereka sesuai bagian warisan mereka dari diyat.

Jika tergugat enggan bersumpah lalu penggugat bersumpah dan diputuskan menang untuknya, maka jika pembunuhan itu termasuk yang mewajibkan pembayaran harta, maka ia berhak atas diyat; dan jika termasuk pembunuhan yang mewajibkan qishāsh, maka wajib dilakukan qishāsh menurut satu pendapat, karena sumpah penggugat yang disertai dengan keengganan tergugat bersumpah itu seperti bayyinah menurut salah satu pendapat, dan seperti pengakuan menurut pendapat lain. Dan qishāsh wajib dengan keduanya.

فصل: وإن ادعى القتل على اثنين وعلى أحدهما: لوث دون الآخر حلف المدعي على صاحب اللوث لوجود اللوث وحلف الذي لا لوث عليه لعدم اللوث وإن ادعى القتل على جماعة لا يصح اشتراكهم على القتل لم تسمع دعواه لأنها دعوى محال، وإن ادعى القتل على ثلاثة وهناك لوث فحضر منهم واحد وغاب اثنان وأنكر الحاضر حلف المدعي خمسين يميناً فإن حضر الثاني وأنكر ففيه وجهان: أحدهما: أنه يحلف عليه خمسين يميناً لأنهما لو حضرا ذكر كل واحد منهما في يمينه فإذا انفرد وجب أن يكرر ذكره

PASAL: Jika seseorang mengaku bahwa pembunuhan dilakukan oleh dua orang, dan hanya salah satunya terdapat lūts sementara yang lain tidak, maka si penggugat bersumpah terhadap yang ada lūts-nya karena adanya lūts, dan yang tidak ada lūts-nya bersumpah karena ketiadaan lūts. Dan jika ia menuduh sekelompok orang melakukan pembunuhan yang tidak mungkin dilakukan secara bersama-sama, maka tidak diterima pengakuannya karena merupakan pengakuan yang mustahil.

Jika ia menuduh pembunuhan dilakukan oleh tiga orang dan ada lūts, kemudian salah satu hadir dan dua lainnya tidak hadir, lalu yang hadir mengingkari, maka penggugat bersumpah lima puluh kali. Jika kemudian yang kedua hadir dan juga mengingkari, maka terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa ia bersumpah atasnya lima puluh kali, karena jika keduanya hadir, maka ia akan menyebut masing-masing dari mereka dalam sumpahnya. Maka jika mereka hadir terpisah, wajib baginya mengulang penyebutan.

والوجه الثاني أنه يحلف خمساً وعشرين يميناً لأنهما لو حضرا حلف عليهما خمسين يميناً فإذا انفرد وجب أن يحلف عليه نصف الخمسين فإن حضر الثالث وأنكر ففيه وجهان: أحدهما: أنه يحلف عليه خمسين يميناً والثاني: أنه يحلف عليه ثلث خمسين يميناً ويجبر الكسر فيحلف سبع عشرة يميناً وإن قال قتله هذا عمداً ولا أعلم كيف قتله الآخران أقسم على الحاضر وقف الأمر إلى أن يحضر الآخران فإن حضرا وأقرا بالعمد ففي القود قولان وإن أقرا بالخطأ وجب على الأول ثلث الدية مغلظة وعلى كل واحد من الآخرين ثلث الدية مخففة وإن أنكر القتل ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يحلف لأنه لا يعلم ما يحلف عليه ولا يعلم الحاكم ما يحكم به

dan pendapat kedua: bahwa ia bersumpah sebanyak dua puluh lima kali, karena jika keduanya hadir maka ia bersumpah lima puluh kali atas mereka, maka jika salah satunya hadir, ia cukup bersumpah atasnya setengah dari lima puluh.

Jika orang ketiga hadir dan mengingkari, maka terdapat dua pendapat:
pertama: ia bersumpah atasnya lima puluh kali,
kedua: ia bersumpah sepertiga dari lima puluh, dan pecahan dibulatkan, maka ia bersumpah tujuh belas kali.

Jika ia berkata, “Yang ini membunuhnya dengan sengaja, dan aku tidak tahu bagaimana dua lainnya membunuh,” maka ia bersumpah atas yang hadir, dan perkara ditangguhkan hingga dua lainnya hadir.

Jika keduanya hadir dan mengakui bahwa mereka membunuh dengan sengaja, maka dalam hal qishāsh ada dua pendapat.
Jika keduanya mengaku membunuh dengan tidak sengaja, maka atas yang pertama wajib sepertiga diyah yang diperberat, dan atas masing-masing dari dua lainnya sepertiga diyah yang diringankan.
Jika keduanya mengingkari pembunuhan, maka ada dua pendapat:
pertama: ia tidak bersumpah karena ia tidak mengetahui apa yang akan ia sumpahkan, dan hakim pun tidak mengetahui apa yang harus diputuskan.

والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه يحلف لأن جهله بصفة القتل ليس بجهل بأصل القتل فإذا حلف حبسا حتى يصفا القتل وإن قال قتله هذا ونفر لا أعلم عددهم فإن قلنا إنه لا يجب القود لم يقسم على الحاضر لأنه لا يعلم ما يخصه وإن قلنا إنه يجب القود ففيه وجهان: أحدهما: أنه يقسم لأن الجماعة تقتل بالواحد فلم يضر الجهل بعددهم والثاني: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يقسم لأنه ربما عفا عن القود على الدية ولا يعلم ما يخصه منها

dan pendapat kedua – yaitu pendapat Abū Isḥāq – bahwa ia tetap bersumpah karena ketidaktahuannya tentang sifat pembunuhan bukanlah ketidaktahuan terhadap asal pembunuhan. Maka apabila ia telah bersumpah, keduanya ditahan hingga menjelaskan sifat pembunuhan.

Jika ia berkata, “Yang ini membunuhnya bersama sekelompok orang yang aku tidak tahu jumlahnya,” maka jika kita katakan bahwa qishāsh tidak wajib, maka ia tidak bersumpah atas yang hadir karena ia tidak tahu bagian tanggung jawabnya.

Namun jika kita katakan bahwa qishāsh wajib, maka terdapat dua pendapat:
pertama: ia bersumpah karena suatu kelompok bisa dihukum qishāsh atas satu orang, sehingga ketidaktahuan terhadap jumlah mereka tidak berpengaruh.
kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa ia tidak bersumpah karena bisa jadi ada pihak yang telah memaafkan qishāsh dengan menerima diyah, dan ia tidak tahu berapa bagian yang menjadi tanggung jawab orang yang hadir.

فصل: واللوث الذي يثبت لأجله اليمين في جنبة المدعي هو أن يوجد معنى يغلب معه على الظن صدق المدعي فإن وجد القتيل في محلة أعدائه لا يخالطهم غيرهم كان ذلك لوثاً فيحلف المدعي لأن قتيل الأنصار وجد في خيبر وأهلها أعداء للأنصار فجعل النبي صلى الله عليه وسلم اليمين على المدعين فصار هذا أصلاً لكل من يغلب معه على الظن صدق المدعي فيجعل القول قول المدعي مع يمينه وإن كان يخالطهم غيرهم لم يكن لوثاً لجواز أن يكون قتله غيرهم وإن تفرقت جماعة عن قتيل في دار أو بستان وادعى الولي أنهم قتلوه فهو لوث فيحلف المدعي أنهم قتلوه لأن الظاهر أنهم قتلوه

PASAL: Lūts yang menjadi dasar penetapan sumpah pada pihak penggugat adalah adanya indikasi yang kuat yang membuat dugaan kebenaran penggugat lebih dominan. Maka jika ditemukan orang yang terbunuh di lingkungan musuh-musuhnya yang tidak dicampuri oleh selain mereka, maka itu merupakan lūts dan penggugat bersumpah. Karena orang Anshar yang terbunuh ditemukan di Khaibar, dan penduduknya adalah musuh orang-orang Anshar, maka Nabi SAW menetapkan sumpah pada pihak penggugat. Maka hal ini menjadi dasar bagi setiap kasus yang didominasi oleh dugaan kuat atas kebenaran pihak penggugat, maka ditetapkan bahwa pihak penggugatlah yang dianggap benar disertai sumpahnya.

Namun jika lingkungan tersebut bercampur dengan selain musuh, maka itu bukan lūts, karena bisa jadi yang membunuh bukan mereka. Dan jika sekelompok orang bubar dari tempat ditemukannya korban di dalam rumah atau kebun, lalu wali korban menuduh bahwa mereka yang membunuh, maka itu adalah lūts, dan penggugat bersumpah bahwa mereka membunuhnya, karena secara lahir mereka yang tampak melakukannya.

وإن وجد قتيل في زحمة فهو لوث فإن ادعى الولي أنهم قتلوه حلف وقضى له وإن وجد قتيل في أرض وهناك رجل معه سيف مخضب بالدم وليس هناك غيره فهو لوث فإن ادعى الولي عليه القتل حلف عليه لأن الظاهر أنه قتله فإن كان هناك غيره من سبع أو رجل مول لم يثبت اللوث على صاحب السيف لأنه يجوز أن يكون قتله السبع أو الرجل المولي وإن تقابلت طائفتان فوجد قتيل من إحدى الطائفتين فهو لوث على الطائفة الأخرى

Dan jika ditemukan orang terbunuh di tengah keramaian, maka itu adalah luats; jika wali korban menuduh bahwa mereka yang membunuhnya, ia bersumpah dan diputuskan untuknya. Dan jika ditemukan orang terbunuh di suatu tanah dan di sana ada seorang lelaki dengan pedang berlumur darah dan tidak ada orang lain selain dia, maka itu adalah luats; jika wali korban menuduh bahwa ia yang membunuhnya, maka ia bersumpah atasnya, karena tampaknya ia yang membunuhnya. Namun jika ada selainnya seperti binatang buas atau orang yang lewat, maka luats tidak terbukti atas pemilik pedang, karena bisa jadi yang membunuh adalah binatang buas atau orang yang lewat. Dan jika dua kelompok saling berhadapan, lalu ditemukan korban dari salah satu kelompok, maka itu adalah luats atas kelompok yang lain.

فإن ادعى الولي أنهم قتلوه حلف وقضى له بالدية لأن الظاهر أنه لم تقتله طائفة وإن شهد جماعة من النساء أو العبيد على رجل بالقتل نظرت فإن جاءوا دفعة واحدة وسمع بعضهم كلام البعض لم يكن ذلك لوثا لأنه يجوز أن يكونوا قد تواطئوا على الشهادة وإن جاءوا متفرقين واتفقت أقوالهم ثبت اللوث ويحلف الولي معهم وإن شهد صبيان أو فساق أو كفار على ترجل بالقتل وجاءوا دفعة واحدة وشهدوا لم يكن ذلك لوثاً لأنه جوز أن يكونوا قد تواطئوا على الشهادة

Maka jika wali korban menuduh bahwa mereka yang membunuhnya, ia bersumpah dan diputuskan untuknya dengan diyat, karena tampaknya bukan kelompok lain yang membunuhnya. Dan jika sekelompok perempuan atau budak bersaksi atas seorang lelaki dalam perkara pembunuhan, maka dilihat: jika mereka datang secara bersamaan dan sebagian mereka mendengar ucapan sebagian yang lain, maka itu tidak dianggap luats, karena bisa jadi mereka telah bersepakat dalam kesaksian. Namun jika mereka datang terpisah dan kesaksian mereka saling sesuai, maka luats dianggap terbukti dan wali korban bersumpah bersama mereka. Dan jika anak-anak, orang fasik, atau orang kafir bersaksi atas seorang lelaki dalam perkara pembunuhan, dan mereka datang secara bersamaan serta memberikan kesaksian, maka itu tidak dianggap luats, karena bisa jadi mereka telah bersepakat dalam kesaksian.

فإن جاءوا متفرقين وتوافقت أقوالهم ففيه وجهان: أحدهما: أن ذلك لوث لأن اتفاقهم على شيء واحد من غير تواطؤ يدل على صدقهم والثاني: أنه ليس بلوث لأنه لا حكم لخبرهم فلو أثبتنا بقلوهم لوثاً لجعلنا لخبرهم حكماً وإن قال المجروح قتلني فلان ثم مات لم يكن قوله لوثاً لأنه دعوى ولا يعلم به صدقه فلا يجعل لوثاً فإن شهد عدل على رجل بالقتل فإن كانت الدعوى في قبل يوجب المال حلف المدعي يميناً وقضى له بالدية لأن المال يثبت بالشاهد واليمين وإن كانت في قتل يوجب القصاص حلف خمسين يميناً ويجب القصاص في قوله القديم والدية في قوله الجديد.

Jika mereka datang secara terpisah dan ucapan mereka sesuai, maka ada dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa itu adalah luats, karena kesesuaian ucapan mereka tanpa kesepakatan menunjukkan kebenaran mereka; dan pendapat kedua menyatakan bahwa itu bukan luats, karena kesaksian mereka tidak dianggap sah, maka jika dijadikan dasar luats, berarti menjadikan kesaksian mereka sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan hukum.

Jika orang yang terluka berkata, “Si Fulan yang membunuhku,” lalu ia meninggal, maka ucapannya tidak dianggap luats, karena itu hanyalah sebuah dakwaan dan tidak diketahui kebenarannya, maka tidak dijadikan luats.

Jika seorang ‘adl bersaksi atas seorang lelaki dalam perkara pembunuhan, maka jika gugatan itu terkait pembunuhan yang mewajibkan pembayaran harta, maka pihak penggugat bersumpah satu kali dan diputuskan untuknya diyat, karena harta dapat ditetapkan dengan satu saksi dan sumpah. Dan jika berkaitan dengan pembunuhan yang mewajibkan qiṣāṣ, maka ia bersumpah lima puluh kali, dan qiṣāṣ wajib menurut pendapat qadīm, dan diyat menurut pendapat jadīd.

فصل: وإن شهد واحد أنه قتله فلان بالسيف وشهد آخر أنه قتله بالعصا لم يثبت القتل بشهادتهما لأنه لم تتفق شهادتهما على قتل واحد وهل يكون ذلك لوثاً يوجب القسامة في جانب المدعي؟ قال في موضع يوجب القسامة وقال في موضع لا يوجب القسامة واختلف أصحابنا في ذلك فقال أبو إسحاق: هو لوث يوجب القسامة قولاً واحداً لأنهما اتفقا على إثبات القتل وإنما اختفا في صفته وجعل القول الآخر غلطاً من الناقل

PASAL: Jika seorang saksi bersaksi bahwa si Fulan membunuh dengan pedang, dan saksi lain bersaksi bahwa ia membunuh dengan tongkat, maka pembunuhan tidak dapat ditetapkan dengan kesaksian keduanya karena kesaksian mereka tidak sepakat pada satu bentuk pembunuhan. Apakah hal itu termasuk lūts yang mewajibkan qasāmah di pihak penggugat? Dalam satu tempat, Imam al-Syafi‘i berkata bahwa itu mewajibkan qasāmah, dan dalam tempat lain beliau berkata tidak mewajibkan qasāmah. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Ishaq berkata: Itu adalah lūts yang mewajibkan qasāmah secara pasti, karena keduanya sepakat menetapkan terjadinya pembunuhan, hanya berbeda dalam sifatnya. Ia menganggap pendapat lain sebagai kesalahan dari perawi.

وقال أبو الطيب بن سلمة وابن الوكيل: إن ذلك ليس بلوث ولا يوجب القسامة قولاً واحداً لأن كل واحد منهما يكذب الآخر فلا يغلب على الظن صدق ما يدعيه والقول الآخر غلظ من الناقل ومنهم من قال في المسألة قولان: أحدهما: أنه لوث يوجب القسامة والثاني: ليس بلوث ووجههما ما ذكرناه وإن شهد واحد أنه قتله فلان وشهد آخر أنه أقر بقتله لم يثبت القتل بشهادتهما لأن أحدهما: شهد بالقتل والآخر شهد بالإقرار وثبت اللوث على المشهود عليه وتخالف المسألة قبلها

Dan Abu ath-Thayyib ibn Salamah serta Ibn al-Wakīl berkata: Itu bukan lūts dan tidak mewajibkan qasāmah secara pasti, karena masing-masing dari keduanya mendustakan yang lain, maka tidak kuat dugaan atas kebenaran apa yang didakwakan. Pendapat yang lain adalah kekeliruan dari perawi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa itu adalah lūts yang mewajibkan qasāmah; kedua, bahwa itu bukan lūts. Dalil kedua pendapat ini telah kami sebutkan.

Jika seorang saksi bersaksi bahwa si Fulan membunuhnya, dan saksi lain bersaksi bahwa ia mengakui telah membunuhnya, maka pembunuhan tidak ditetapkan dengan kesaksian keduanya karena salah satunya bersaksi atas pembunuhan dan yang lainnya atas pengakuan. Namun lūts tetap ditetapkan terhadap orang yang disaksikan, dan ini berbeda dengan masalah sebelumnya.

فإن هناك كل واحد منهما يكذب الآخر وههنا كل واحد منهما غير مكذب للآخر بل كل واحد منهما يقوب الآخر فيحلف المدعي مع من شاء منهما فإن كان القتل خطأ حلف يميناً واحدة وثبتت الدية فإن حلف مع من شهد بالقتل وجبت الدية على العاقلة لأنها تثبت بالبينة وإن حلف مع من شهد بالإقرار وجبت الدية في ماله لأنها تثبت بالإقرار

Karena dalam kasus sebelumnya, masing-masing dari keduanya saling mendustakan, sedangkan dalam kasus ini masing-masing tidak mendustakan yang lain, bahkan masing-masing menguatkan yang lain. Maka penggugat bersumpah bersama salah satu dari keduanya yang ia pilih. Jika pembunuhan itu khaṭa’, maka ia bersumpah satu kali dan diyat ditetapkan. Jika ia bersumpah bersama orang yang bersaksi atas pembunuhan, maka diyat wajib atas ‘āqilah karena ia ditetapkan dengan kesaksian. Namun jika ia bersumpah bersama orang yang bersaksi atas pengakuan, maka diyat wajib dari hartanya karena ditetapkan dengan pengakuan.

وإن كان القتل موجباً للقصاص حلف المدعي خمسين يميناً ووجب له القصاص في أحد القولين والدية في الآخر وإن ادعى على رجل أنه قتل وليه ولم يقل عمداً ولا خطأ وشهد له بما ادعاه شاهد لم يكن ذلك لوثاً لأنه لو حلف مع شاهده لم يمكن الحكم بيمينه لأنه لا يعلم صفة القتل حتى يستوفي موجبه فسقطت الشهادة وبطل اللوث.

Jika pembunuhan itu mewajibkan qiṣāṣ, maka penggugat bersumpah lima puluh kali dan berhak mendapat qiṣāṣ menurut salah satu dari dua pendapat, dan diyat menurut pendapat yang lain.

Jika seseorang menuduh bahwa seseorang telah membunuh walinya, namun tidak menyebut apakah dengan sengaja atau tidak sengaja, lalu ada seorang saksi bersaksi sesuai tuduhannya, maka itu tidak dianggap lūts, karena jika ia bersumpah bersama saksinya, tidak mungkin dihukumi berdasarkan sumpahnya, sebab tidak diketahui sifat pembunuhan agar dapat ditetapkan hukuman yang sesuai. Maka kesaksian gugur dan lūts menjadi batal.

فصل: وإن شهد شاهدان أن فلاناً قتله أحد هذين الرجلين ولم يعينا ثبت اللوث فيحلف الولي على من يدعي القتل عليه لأنه قد ثبت أن المقتول قتله أحدهما: فصار كما لو وجد بينهما مقتول فإن شهد شاهد على رجل أنه قتل أحد هذين الرجلين لم يثبت اللوث لأن اللوث ما يغلب معه على الظن صدق ما يدعيه المدعي ولا يعلم أن الشاهد لمن شهد من الوليين فلا يغلب على الظن صدق واحد من الوليين فلم يثبت في حقه لوث وإن ادعى أحد الوارثين قتل مورثه على رجل في موضع اللوث وكذبه الآخر سقط حق المكذب من القسامة

PASAL: Jika dua orang saksi bersaksi bahwa seseorang dibunuh oleh salah satu dari dua orang lelaki ini dan mereka tidak menentukan siapa di antara keduanya, maka luṯ tetap dianggap ada. Maka wali (ahli waris) bersumpah terhadap siapa yang ia tuduh melakukan pembunuhan, karena telah tetap bahwa si terbunuh dibunuh oleh salah satu dari keduanya. Maka hal ini seperti jika seseorang ditemukan terbunuh di antara dua orang.

Jika seorang saksi bersaksi terhadap seseorang bahwa ia membunuh salah satu dari dua orang lelaki ini, maka luṯ tidak tetap, karena luṯ adalah sesuatu yang dengannya lebih kuat dugaan kebenaran pengakuan pihak penggugat. Dan tidak diketahui bahwa saksi tersebut menyaksikan untuk siapa dari kedua wali tersebut, maka tidak kuat dugaan kebenaran salah satu dari kedua wali tersebut, maka tidak tetap luṯ dalam haknya.

Jika salah satu ahli waris mengklaim bahwa seseorang membunuh pewarisnya di tempat yang menguatkan dugaan (luṯ), lalu ahli waris yang lain mendustakannya, maka hak orang yang mendustakan itu gugur dari qasāmah.

وهل يسقط اللوث في حق المدعي فيه قولان: أحدهما: أنه لا يسقط فيحلف ويستحق نصف الدية وهو اختيار المزني لأن القسامة مع اللوث كاليمين مع الشاهد ثم تكذيب أحد الوارثين لا يمنع الآخر من أن يحلف مع الشهادة فكذلك تكذيب أحد الوارثين لا يمنع الآخر من أن يقسم مع اللوث والقول الثاني: أنه يسقط لأن اللوث يدل على صدق المعي من جهة الظن وتكذيب المكر يدل على كذب المدعي من جهة الظن فتعارضا وسقطا وبقي القتل بغير لوث فيحلف المدعى عليه على ما ذكرناه

Apakah al-lūts gugur bagi pihak yang mendakwanya? Ada dua pendapat:

Pertama: tidak gugur, maka ia bersumpah dan berhak atas setengah diyat. Ini adalah pilihan al-Muzanī, karena qasāmah dengan adanya lūts seperti sumpah bersama saksi. Kemudian, pengingkaran salah satu ahli waris tidak menghalangi yang lain untuk bersumpah bersama saksi, maka demikian pula, pengingkaran salah satu ahli waris tidak menghalangi yang lain untuk bersumpah bersama lūts.

Kedua: gugur, karena lūts menunjukkan kebenaran pihak yang mendakwa dari sisi dugaan, sementara pengingkaran dari pihak yang didakwa menunjukkan kedustaan pihak yang mendakwa dari sisi dugaan, sehingga keduanya saling bertentangan dan saling menggugurkan, dan pembunuhan tetap dianggap tanpa lūts, maka yang bersumpah adalah pihak yang didakwa sebagaimana telah kami sebutkan.

وإن قال أحد الابنين قتل أبي زيد ورجل آخر لا أعرفه وقال الآخر قتله عمرو ورجل آخر لا أعرفه أقسم كل واحد على من عينه ويستحق عليه ربع الدية لأن كل واحد منهما غير مكذب للآخر لجواز أن يكون الآخر هو الذي ادعى عليه أخوه فإن رجعا وقال كل واحد منهما علمت أن الآخر هو الذي ادعى عليه أخي أقسم كل واحد منهما على الذي ادعى عليه أخوه ويستحق عليه ربع الدية وإن قال كل واحد منهما علمت أن الآخر غير الذي اادعى عليه أخي صار كل واحد منهما مكذباً للآخر

Jika salah satu dari dua anak berkata, “Ayahku dibunuh oleh Zaid dan seorang laki-laki lain yang tidak aku kenal,” dan yang lainnya berkata, “Ayahku dibunuh oleh ‘Amr dan seorang laki-laki lain yang tidak aku kenal,” maka masing-masing dari keduanya bersumpah atas orang yang ia sebutkan, dan ia berhak atas seperempat diyat, karena masing-masing tidak mendustakan yang lain — bisa jadi orang yang lain itu adalah yang didakwakan oleh saudaranya.

Jika kemudian keduanya berubah dan masing-masing berkata, “Aku telah mengetahui bahwa orang yang satu lagi adalah orang yang didakwakan oleh saudaraku,” maka masing-masing dari keduanya bersumpah atas orang yang didakwakan oleh saudaranya, dan ia berhak atas seperempat diyat.

Namun, jika masing-masing berkata, “Aku telah mengetahui bahwa orang yang satu lagi bukanlah orang yang didakwakan oleh saudaraku,” maka masing-masing dari keduanya menjadi pendusta atas yang lain.

فإن قلنا إن تكذيب أحدهما: لا يسقط اللوث أقسم كل واحد منهما على الذي عينه ثانياً واستحق عليه ربع الدية وإن قلنا إن التكذيب يسقط اللوث بثلث القسامة فإن أخذ شيئاً رده ويكون القول قول المدعى عليه مع يمينه وإن ادعى القتل على رجل عليه لوث فجاء آخر وقال أنا قتلته ولم يقتله هذا لم يسقط حق المدعي من القسامة بإقراره وإقراره على نفسه لا يقبل لأن صاحب الدم لا يدعيه وهل للمدعي أن يرجع ويطالب المقر بالدية؟ فيه قولان: أحدهما: أنه ليس له مطالبته لأن دعواه على الأول إبراء لكل من سواه

Jika kita katakan bahwa pendustaan salah satu dari keduanya tidak menggugurkan al-lūts, maka masing-masing dari keduanya bersumpah atas orang yang ia tunjuk pada pernyataan kedua, dan ia berhak atas seperempat diyat.

Namun, jika kita katakan bahwa pendustaan menggugurkan al-lūts, maka gugurlah qasāmah, dan jika ia telah mengambil sesuatu (dari diyat), maka ia harus mengembalikannya, dan perkataan diterima dari pihak yang didakwa disertai sumpahnya.

Jika seseorang menuduh pembunuhan kepada seseorang yang terdapat lūts atasnya, lalu datang orang lain dan berkata, “Akulah yang membunuhnya, bukan orang itu,” maka hak pihak yang mendakwa tidak gugur dari qasāmah karena pengakuan tersebut, dan pengakuan itu atas dirinya sendiri tidak diterima, karena pemilik darah tidak menuntutnya.

Apakah pihak yang mendakwa boleh menarik kembali tuduhannya dan menuntut orang yang mengaku tadi untuk membayar diyat? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak boleh menuntutnya, karena tuduhannya terhadap orang pertama merupakan pengguguran hak terhadap selainnya.

والثاني: أن له أن يطالب لأن دعواه على الأول باللوث من جهة الظن والإقرار يقين فجاز أن يترك الظن ويرجع إلى اليقين وإن ادعى على رجل قتل العمد فقيل له صف العمد ففسره بشبه العمد فقد نقل المزني أنه لا يقسم وروى الربيع أنه يقسم فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما: أنه لا يقسم لأن بقوله قتله عمداً أبرأ العاقلة وبتفسيره أبرأ القاتل والقول الثاني: أنه يقسم وتجب الدية على العاقلة لأن المعول على التفسير وقد فسر بشبه العمد ومنهم من قال: يقسم قولاً واحداً لما بينا وقوله لا يقسم معناه لا يقسم على ما ادعاه.

Kedua: bahwa ia boleh menuntut, karena tuduhannya terhadap orang pertama berdasarkan lūts adalah berdasarkan dugaan, sedangkan pengakuan adalah sesuatu yang pasti, maka boleh baginya meninggalkan dugaan dan kembali kepada sesuatu yang pasti.

Jika seseorang menuduh orang lain melakukan pembunuhan ‘amd (sengaja), lalu dikatakan kepadanya, “Sebutkan bentuk ‘amd itu,” maka ia menjelaskannya sebagai syibh al-‘amd, maka menurut riwayat al-Muzanī, ia tidak boleh melakukan qasāmah, dan menurut riwayat al-Rabī‘, ia boleh melakukannya.

Sebagian dari kalangan kami berkata bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: tidak boleh melakukan qasāmah, karena dengan ucapannya “dibunuh secara sengaja,” ia telah membebaskan ‘āqilah, dan dengan penjelasannya (sebagai syibh al-‘amd), ia membebaskan si pembunuh.

Kedua: boleh melakukan qasāmah, dan diyat wajib atas ‘āqilah, karena yang dijadikan pegangan adalah penjelasannya, dan ia telah menjelaskan bahwa itu syibh al-‘amd.

Dan sebagian dari mereka berkata: boleh melakukan qasāmah secara pasti (tanpa khilaf), sebagaimana telah kami jelaskan, dan maksud dari perkataan “tidak boleh melakukan qasāmah” adalah: tidak boleh melakukan qasāmah atas apa yang ia dakwakan sebelumnya.

فصل: وإن كانت الدعوى في الجناية على الطرف ولم تكن شهادة فالقول قول المدعى عليه مع يمينه لأن اللوث قضى به في النفس بحرمة النفس فلا يقضي به في الطرف كالكفارة وهل تغلظ اليمين فيه بالعدد؟ فيه قولان: أحدهما: لا تغلظ لأنه يسقط فيه حكم اللوث فسقط فيه حكم التغليظ بالعدد

PASAL: Jika gugatan berkaitan dengan jināyah terhadap anggota tubuh dan tidak ada persaksian, maka perkataan (pengingkaran) tergugat diterima dengan sumpahnya, karena lūṯs hanya berlaku dalam kasus pembunuhan karena kehormatan jiwa, maka tidak diberlakukan pada anggota tubuh sebagaimana kafārah. Apakah sumpah di dalamnya diperberat dengan jumlah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak diperberat karena hukum lūṯs tidak berlaku di dalamnya, maka gugur pula hukum memperberat dengan jumlah.

والثاني: أنه تغلظ بالعدد لأنه يجب فيه القصاص والدية المغلظة فوجب فيه تغليظ اليمين فإن قلنا لا نغلظ حلف المدعى عليه يميناً واحدة وإن قلنا تغلظ فإن كان في جناية توجب دية كاملة كاليدين غلظ بخمسين يميناً وإن كان فيما لا توجب دية كاملة كاليد الواحدة ففي قدر التغليظ قولان: أحدهما: أنه يغلظ بخمسين يميناً لأن التغليظ لحرمة الدم وذلك موجود في اليد الواحدة والثاني: أنه تغلظ بحصته من الدية لأن ديته دون النفس فلم تغلظ بما تغلظ به في النفس.

dan kedua: bahwa sumpah diperberat dengan jumlah karena pada kasus ini wajib qiṣāṣ dan diyah yang diperberat, maka wajib pula memperberat sumpah. Jika kita katakan tidak diperberat, maka tergugat bersumpah satu kali. Dan jika kita katakan diperberat, maka jika jināyah itu menimbulkan kewajiban diyah penuh seperti pada kedua tangan, maka diperberat dengan lima puluh sumpah. Dan jika berkaitan dengan yang tidak mewajibkan diyah penuh seperti satu tangan, maka dalam kadar memperberatnya terdapat dua pendapat: pertama, diperberat dengan lima puluh sumpah karena perberatan itu disebabkan kehormatan darah, dan itu ada pada satu tangan; dan yang kedua, diperberat sesuai kadar bagiannya dari diyah karena diyah-nya lebih rendah dari jiwa, maka tidak diperberat seperti pada jiwa.

فصل: فإن كانت الدعوى في قتل عبد وهناك لوث ففيه طريقان: أحدهما: أنه يبني ذلك على أن العاقلة هل تحمل قيمته بالجناية؟ فإن قلنا تحمل العاقلة قيمته ثبتت فيه القسامة للسيد وإن قلنا لا تحمل لم تثبت القسامة والثاني: وهو قول أبي العباس أن للسيد القسامة قولاً واحداً لأن القسامة لحرمة النفس فاستوى فيه الحر والعبد كالكفارة فإن قلنا إن السيد يقسم أقسم المكاتب في قتل عبده

PASAL: Jika gugatan terkait pembunuhan terhadap seorang budak dan di sana terdapat lūṯ, maka ada dua jalan:

Pertama: Hal ini dibangun di atas persoalan apakah ‘āqilah menanggung nilai budak karena jinayah. Jika dikatakan bahwa ‘āqilah menanggung nilainya, maka qasāmah ditetapkan bagi tuannya. Dan jika dikatakan bahwa ‘āqilah tidak menanggung, maka qasāmah tidak ditetapkan.

Kedua: Dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa bagi tuan budak tetap ditetapkan qasāmah secara pasti, karena qasāmah ditetapkan karena kehormatan jiwa, maka sama saja antara orang merdeka dan budak, sebagaimana dalam kafarat.

Jika dikatakan bahwa tuan budak boleh bersumpah, maka seorang mukātab bersumpah atas pembunuhan terhadap budaknya.

فإن لم يقسم حتى عجز عن أداء الكتابة أقسم المولى وإن قتل عبد وهناك لوث ووصى مولاه بقيمته لأم ولده ولم يقسم السيد حتى مات ولم تقسم الورثة فهل تقسم أم الولد فيه قولان: أحدهما: تقسم والثاني: لا تقسم كما قلنا في غرماء الميت إذا كان له دين وله شاهد ولم تحلف الورثة أن الغرماء يقسمون في أحد القولين ولا يقسمون في الآخر وقد بينا ذلك في التفليس.

Jika mukātab tidak bersumpah hingga ia tidak mampu melunasi perjanjian kitābah-nya, maka tuannya yang bersumpah. Dan jika seorang budak dibunuh dan di sana ada lūṯ, lalu tuannya mewasiatkan nilai budak tersebut kepada ibu dari anaknya (umm walad), namun tuan tersebut tidak bersumpah hingga ia wafat, dan para ahli warisnya juga tidak bersumpah, maka apakah umm walad boleh bersumpah?

Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: ia boleh bersumpah.
Kedua: ia tidak boleh bersumpah, sebagaimana yang kami katakan dalam kasus para penagih utang dari orang mati, jika si mayit memiliki piutang dan memiliki satu saksi, namun para ahli waris tidak bersumpah, maka para penagih utang dapat bersumpah menurut salah satu dari dua pendapat, dan tidak boleh bersumpah menurut pendapat lainnya. Dan kami telah menjelaskan hal ini dalam bab taflīs (pembatalan harta karena bangkrut).

فصل: وإن قتل مسلم وهناك لوث فلم يقسم وليه حتى ارتد المدعي لم يقسم لأنه إذا أقدم على الردة وهي من أكبر الكبائر لم يؤمن أن يقدم على اليمين الكاذبة فإن أقسم صحت القسامة وقال المزني رحمه الله لا تصح لأنه كافر فلا يصح يمينه بالله وهذا خطأ لأن القصد بالقسامة اكتساب المال والمرتد من أهل الاكتساب فإذا أقسم وجب القصاص لوارثه أو الدية فإن رجع إلى الإسلام كان له وإن مات على الردة كان ذلك لبيت المال فيئا

PASAL: Jika seorang Muslim terbunuh dan terdapat lūts, namun walinya tidak bersumpah hingga si penuntut murtad, maka tidak boleh bersumpah. Karena ketika seseorang berani melakukan riddah, yang merupakan salah satu dosa besar, maka tidak aman dari kemungkinan berani bersumpah dusta. Namun jika ia tetap bersumpah, maka qasāmah itu sah. Al-Muzanī rahimahullah berkata: tidak sah, karena ia seorang kafir, dan sumpah dengan menyebut nama Allah tidak sah darinya. Ini adalah kekeliruan, karena tujuan qasāmah adalah memperoleh harta, dan orang murtad termasuk orang yang berhak memperoleh harta. Maka apabila ia bersumpah, wajib dilaksanakan qiṣāṣ untuk ahli warisnya atau dibayarkan diyat. Jika ia kembali masuk Islam, maka harta itu menjadi miliknya. Dan jika ia mati dalam keadaan murtad, maka harta itu menjadi milik Bayt al-Māl sebagai fay’.

وقال أبوعلي بن خيران وأبو حفص بن الوكيل: يبني وجوب الدية بقسامته على حكم ملكه فإن قلنا إن ملكه لا يزول بالردة أو قلنا أنه موقوف فعاد إلى الإسلام ثبتت الدية وإن قلنا إن ملكه يزول بالردة أو قلنا أنه موقوف فلم يسلم حتى مات لم تثبت الدية وهذا غلط لأن اكتسابه للمال يصح على الأقوال كلها وهذا اكتساب.

Dan Abū ‘Alī ibn Khayrān serta Abū Ḥafṣ ibn al-Wakīl berkata: kewajiban membayar diyat berdasarkan qasāmah-nya tergantung pada hukum kepemilikannya. Jika kita katakan bahwa kepemilikannya tidak hilang karena riddah, atau kita katakan bahwa kepemilikannya mauqūf lalu ia kembali masuk Islam, maka diyat itu ditetapkan. Namun jika kita katakan bahwa kepemilikannya hilang karena riddah, atau kita katakan bahwa kepemilikannya mauqūf dan ia tidak kembali masuk Islam hingga meninggal, maka diyat tidak ditetapkan. Ini adalah kekeliruan, karena perolehannya terhadap harta sah menurut semua pendapat, dan ini termasuk perolehan harta.

فصل: ومن توجهت عليه يمين في م غلظ عليه في اليمين لما روي أن عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه مر بقوم يحلفون بين الركن والمقام فقال أعلى دم؟ قيل لا قال: أفعلى عظيم من المال؟ قيل: لا قال: لقد خشيت أن يبهأ الناس بهذا المقام وإن كانت اليمين في نكاح أو طلاق أوحد قذف أو غيرها مما ليس بمال ولا المقصود منه المال غلظ لأنه ليس بمال ولا المقصود منه المال فغلظ اليمين فيه كالدم

PASAL: Barang siapa dikenai sumpah dalam suatu perkara, maka dikeraskan sumpahnya, berdasarkan riwayat bahwa ‘Abdurraḥmān bin ‘Awf RA melewati sekelompok orang yang bersumpah di antara rukn dan maqām, lalu beliau berkata: “Apakah ini karena darah?” Dijawab: “Bukan.” Beliau berkata: “Apakah karena harta yang besar nilainya?” Dijawab: “Bukan.” Maka beliau berkata: “Sungguh aku khawatir manusia akan meremehkan tempat ini.”

Jika sumpah itu dalam perkara nikah, atau talak, atau ḥad qażaf, atau selainnya dari perkara yang bukan harta dan bukan pula bertujuan untuk mendapatkan harta, maka dikeraskan sumpahnya karena bukan perkara harta dan bukan bertujuan mendapatkan harta, sehingga dikeraskan sumpahnya sebagaimana dalam kasus darah.

وإن كانت اليمين في مال أو ما يقصد به المال فإن كان يبلغ عشرين مثقالاً غلظ وإن لم يبلغ ذلك لم يغلظ لأن عبد الرحمن بن عوف فرق بين المال العظيم وبين ما دونه فإن كانت اليمين في دعوى عتق فإن كان السيد هو الذي يحلف فإن كات قيمة العبد تبلغ عشرين مثقالاً غلظ اليمين وإن لم تبلغ عشرين مثقالاً لم يغلظ لأن المولى يحلف لإثبات المال ففرق بين القليل والكثير كأروش الجنايات فإن كان الذي يحلف هو العبد غلظ قلت قيمته أو كثرت لأنه يحلف إثبات العتق والعتق ليس بمال ولا المقصود منه المال فلم تعتبر قيمته كدعوى القصاص ولا فرق بين أن يكون في طرف قليل الأرش أوفي طرف كثير الأرش.

Dan jika sumpah itu mengenai harta atau sesuatu yang dimaksudkan sebagai harta, maka jika mencapai dua puluh mithqāl maka sumpahnya diperberat, dan jika tidak mencapai itu maka tidak diperberat, karena ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf membedakan antara harta yang besar dengan yang di bawahnya. Maka jika sumpah itu dalam gugatan memerdekakan budak, bila yang bersumpah adalah tuannya, maka jika nilai budak itu mencapai dua puluh mithqāl maka sumpahnya diperberat, dan jika tidak mencapai dua puluh mithqāl maka tidak diperberat, karena tuan bersumpah untuk menetapkan harta, maka dibedakan antara sedikit dan banyak seperti arsy dalam perkara jinayah. Tetapi bila yang bersumpah adalah budaknya, maka sumpah diperberat baik nilainya sedikit maupun banyak, karena ia bersumpah untuk menetapkan kemerdekaan, dan kemerdekaan bukanlah harta dan bukan pula sesuatu yang dimaksudkan sebagai harta, maka tidak dianggap nilainya seperti gugatan qiṣāṣ, dan tidak ada perbedaan apakah mengenai anggota tubuh dengan arś sedikit atau anggota tubuh dengan arś banyak.

فصل: والتغليظ قد يكون بالزمان وبالمكان وفي اللفظ فأما التغليظ بالمكان ففيه قولان: أحدهما: أنه يستحب والثاني: أنه واجب وأما التغليظ بالزمان فقد ذكر الشيخ أبو حامد الإسفرايني رحمه الله أنه يستحب وقد بينا ذلك في اللعان وقال أكثر أصحابنا إن التغليظ بالزمان كالتغليظ بالمكان وفيه قولان وأما التغليظ باللفظ فهو مستحب وهو أن يقول والله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب والشهادة الرحمن الرحيم الذي يعلم من السر ما يعلم من العلانية

PASAL: Penguatan sumpah bisa dilakukan melalui waktu, tempat, dan lafaz. Adapun penguatan melalui tempat, maka terdapat dua pendapat: pertama, hukumnya sunnah; kedua, hukumnya wajib. Sedangkan penguatan melalui waktu, telah disebutkan oleh asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī rahimahullah bahwa hukumnya sunnah, dan kami telah menjelaskan hal itu dalam bab li‘ān. Mayoritas ulama mazhab kami mengatakan bahwa penguatan melalui waktu sama seperti penguatan melalui tempat, dan dalam hal ini juga terdapat dua pendapat. Adapun penguatan melalui lafaz, maka hukumnya sunnah, yaitu dengan mengucapkan: “Demi Allah yang tidak ada ilah selain Dia, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang mengetahui rahasia sebagaimana Dia mengetahui yang tampak.”

لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم أحلف رجلاً فقال: “قل والله الذي لا إله إلا هو”. لأن القصد باليمين الزجر عن الكذب وهذه الألفاظ أبلغ في الزجر وأمنع من الإقدام على الكذب وإن اقتصر على قوله والله أجزأه لأن النبي صلى الله عليه وسلم اقتصر في إحلاف ركانة على قوله والله وإن اقتصر على صفة من صفات الذات كقوله: وعزة الله أجرأه لأنها بمنزلة قوله والله في الحنث في اليمين وإيجاب الكفارة

Karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW menyuruh seorang laki-laki bersumpah seraya bersabda: “Katakan: Demi Allah yang tidak ada ilah selain Dia.” Sebab tujuan dari sumpah adalah untuk mencegah dari dusta, dan lafaz-lafaz tersebut lebih kuat dalam mencegah dan lebih menghalangi dari keberanian untuk berdusta. Namun, jika seseorang hanya mengucapkan “Demi Allah”, maka itu sudah mencukupi, karena Nabi SAW hanya menyuruh Rukānah bersumpah dengan lafaz “Demi Allah”. Dan jika seseorang hanya menyebut salah satu sifat Dzat, seperti ucapannya: “Demi kemuliaan Allah”, maka itu pun mencukupi, karena itu sepadan dengan ucapan “Demi Allah” dalam hal pelanggaran sumpah dan kewajiban membayar kafarat.

وإن حلف بالمصحف وما فيه من القرآن فقد حكى الشافعي رحمه الله عن مطرف أن ابن الزبير كان يحلف على المصحف قال: ورأيت مطرفاً بصنعاء يحلف على المصحف قال الشافعي وهو حسن ولأن القرآن من صفات الذات ولهذا يجب بالحنث فيه الكفارة وإن كان الحالف يهودياً أحلفه الله الذي أنزل التوراة على موسى ونجاه من الغرق وإن كان نصرانياً أحلفه بالله الذي أنزل الإنجيل على عيسى وإن كان مجوسياً أو وثنياً أحلفه بالله الذي خلقه وصوره.

Dan jika seseorang bersumpah dengan muṣḥaf dan apa yang ada di dalamnya berupa Al-Qur’an, maka Imam asy-Syāfi‘i rahimahullah menukil dari Muṭarrif bahwa Ibnuz-Zubair dahulu bersumpah di atas muṣḥaf. Ia berkata: Aku melihat Muṭarrif di Ṣan‘ā’ bersumpah di atas muṣḥaf. Imam asy-Syāfi‘i berkata: Itu baik, karena Al-Qur’an termasuk sifat Dzat, oleh sebab itu jika melanggar sumpah tersebut maka wajib membayar kafarat.

Jika orang yang bersumpah adalah seorang Yahudi, maka disumpah dengan menyebut: “Demi Allah yang menurunkan Taurat kepada Mūsā dan menyelamatkannya dari tenggelam.”
Jika Nasrani, maka disumpah dengan menyebut: “Demi Allah yang menurunkan Injil kepada ‘Īsā.”
Jika Majusi atau penyembah berhala, maka disumpah dengan menyebut: “Demi Allah yang menciptakannya dan membentuk rupanya.”

فصل: ولا يصح اليمين في الدعوى إلا أن يستحلفه القاضي لأن ركانة بن عبد يزيد قال لرسول الله: يا رسول الله إني طلقت امرأتي سهيبة البتة والله ما أردت إلا واحدة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “والله ما أردت إلا واحدة”. قال ركانة: والله ما أردت إلا واحدة ولأن الاعتبار بنية الحاكم فإذا حلف من غير استحلافه نوى ما لا يحنث به فيجعل ذلك طريقاً إلى إبطال الحقوق وإن وصل بيمينه استثناء أو شرطاً أو وصله بكلام لم يفهمه أعاد عليه اليمين من أولها

PASAL: Tidak sah sumpah dalam gugatan kecuali jika diminta bersumpah oleh hakim, karena Rukānah bin ‘Abd Yazīd berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, aku telah menceraikan istriku Suhaibah al-battah (talak tiga langsung), demi Allah aku tidak menghendaki kecuali satu talak saja.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah, tidaklah engkau menghendaki kecuali satu.” Rukānah berkata: “Demi Allah, aku tidak menghendaki kecuali satu.” Dan karena yang menjadi acuan adalah niat hakim, maka apabila seseorang bersumpah tanpa diminta oleh hakim, lalu ia meniatkan sesuatu yang tidak membuatnya melanggar sumpah, hal itu bisa dijadikan sebagai jalan untuk menggugurkan hak-hak. Jika ia menyambung sumpahnya dengan pengecualian, atau dengan syarat, atau dengan ucapan yang tidak dipahami, maka hakim mengulangi permintaan sumpah dari awal.

وإن كان الحالف أخرس ولا يفهم إشارته وقف الأمر إلى أن يفهم إشارته فإن طلب المدعي أن يرد اليمين عليه لم يرد اليمين عليه لأن رد اليمين يتعلق بنكول المدعى عليه ولا يوجد النكول فإن كان الذي عليه اليمين حلف بالطلاق أنه لا يحلف بيمين مغلظة فإن كان التغليظ غير مستحق لم يلزمه أن يحلف يميناً مغلظة وإن امتنع من التغليظ لم يجعل ناكلاً.

Dan jika orang yang bersumpah adalah bisu dan isyaratnya tidak dipahami, maka perkara ditangguhkan sampai isyaratnya dapat dipahami. Jika penggugat meminta agar sumpah dikembalikan kepadanya, maka tidak dikembalikan kepadanya karena pengembalian sumpah berkaitan dengan penolakan sumpah oleh tergugat, dan penolakan tersebut tidak ada.

Jika orang yang wajib bersumpah itu bersumpah dengan talak bahwa ia tidak akan bersumpah dengan sumpah yang dikuatkan (yāmīn mughallaẓah), maka jika penguatan sumpah itu tidak wajib, maka tidak wajib baginya untuk bersumpah dengan sumpah yang dikuatkan. Dan jika ia menolak penguatan sumpah, maka tidak dianggap sebagai orang yang menolak bersumpah (nākil).

فصل: وإن حلف على فعل نفسه في نفي أو إثبات حلف على القطع لأن علمه يحيط بحاله فيما فعل وفيما لم يفعل وإن حلف على فعل غيره فإن كان في إثبات حلف على القطع لأن له طريقاً إلى العلم بما فعل غيره وإن كان على نفي حلف على نفي العلم فيقول والله لا أعلم أن أبي أخذ منك مالاً ولا أعلم أن أبي أبرأك من دينه لأنه لا طريق له إلى القطع بالنفي فلم يكف اليمين عليه.

PASAL: Jika seseorang bersumpah atas perbuatan dirinya sendiri dalam hal penetapan atau penafian, maka ia bersumpah dengan jazm (pasti), karena ilmunya mencakup keadaannya sendiri dalam apa yang telah ia lakukan dan apa yang belum ia lakukan. Namun jika ia bersumpah atas perbuatan orang lain, maka jika dalam hal penetapan, ia bersumpah dengan jazm, karena ia memiliki jalan untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh orang lain. Tetapi jika dalam hal penafian, maka ia bersumpah atas tidak adanya pengetahuan, yaitu dengan mengatakan: “Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa ayahku mengambil harta darimu,” atau “Aku tidak mengetahui bahwa ayahku telah membebaskanmu dari utangnya,” karena ia tidak memiliki jalan untuk mengetahui dengan pasti tentang penafian tersebut, maka tidak cukup sumpah atas dasar kepastian.

فصل: وإن ادعى عليه دين من بيع أو قرض فأجاب بأنه لا يستحق عليه شيء ولم يتعرض للبيع والقرض لم يحلف إلا على ما أجاب ولا يكلف أن يحلف على نفي البيع والقرض لأنه يجوز أن يكون قد استقرض منه أو ابتاع ثم قضاه أو أبرأه منه فإذا حلف على نفي البيع والقرض حلف كاذباً وإن أجاب بأنه ما باعني ولا أقرضني ففي الإحلاف وجهان: أحدهما: أنه يحلف أنه لا يستحق عليه شيء ولا يكلف أن يحلف على نفي البيع والقرض لما ذكرناه من التعليل

PASAL: Jika seseorang digugat dengan tuntutan utang dari jual beli atau pinjaman, lalu ia menjawab bahwa penggugat tidak memiliki hak apa pun atas dirinya dan tidak menyebut tentang jual beli atau pinjaman, maka ia hanya disumpah atas apa yang ia jawab dan tidak dibebani untuk bersumpah menafikan jual beli dan pinjaman. Karena boleh jadi ia memang pernah meminjam atau membeli, lalu ia telah melunasinya atau telah diberi pembebasan. Maka jika ia bersumpah menafikan jual beli dan pinjaman, berarti ia bersumpah dusta. Dan jika ia menjawab: “Ia tidak menjual kepadaku dan tidak meminjamkanku,” maka dalam hal ini ada dua wajah: pertama, ia hanya disumpah bahwa penggugat tidak memiliki hak apa pun atas dirinya dan tidak dibebani bersumpah menafikan jual beli dan pinjaman, karena alasan yang telah disebutkan.

والثاني: أنه يحلف على نفي البيع والقرض لأنه نفى ذلك في الجواب فلزمه أن يحلف على النفي فإن ادعى رجل على رجل ألف درهم فأنكر حلف أنه لا يستحق عليه ما يدعيه ولا شيئاً منه فإن حلف أنه لا يستحق عليه الألف لم يجزه لأن يمينه على نفي الألف لا يمنع وجوب بعضها.

dan yang kedua: ia disumpah untuk menafikan jual beli dan pinjaman karena ia telah menafikannya dalam jawabannya, maka wajib atasnya bersumpah untuk menafikannya. Jika seseorang menggugat orang lain atas seribu dirham, lalu tergugat mengingkarinya, maka ia disumpah bahwa penggugat tidak memiliki hak atasnya atas apa yang dituduhkan dan tidak atas sebagian pun darinya. Jika ia bersumpah bahwa penggugat tidak memiliki hak atas seribu dirham, maka tidak mencukupi, karena sumpahnya hanya menafikan seribu dirham tidak mencegah kemungkinan adanya kewajiban atas sebagian darinya.

فصل: وإن كان لجماعة على رجل حق فوكلوا رجلاً في استحلافه لم يجز أن يحلف لهم يميناً واحدة لأن لكل واحد منهم عليه يميناً فلم تتداخل فإن رضوا بأن يحلف لهم يميناً واحدة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز كما يجوز أن يثبت ببينة واحدة حقوق الجماعة والثاني: وهو المذهب أنه لا يجوز لأن القصد من اليمين الزجر وما يحصل من الزجر بالتفريق لا يحصل بالجمع فلم يجز وإن رضوا كما لو رضيت المرأة أن يقتصر الزوج في اللعان على شهادة واحدة.

PASAL: Jika sekelompok orang memiliki hak atas seseorang lalu mereka mewakilkan seseorang untuk menyuruhnya bersumpah, maka tidak sah baginya untuk bersumpah bagi mereka dengan satu sumpah saja, karena masing-masing dari mereka memiliki hak sumpah terhadapnya, maka sumpah-sumpah itu tidak bisa digabungkan. Jika mereka rela bahwa ia bersumpah bagi mereka dengan satu sumpah saja, maka ada dua pendapat:

Pertama: boleh, sebagaimana dibolehkan hak-hak sekelompok orang dibuktikan dengan satu kesaksian.

Kedua: dan ini adalah mazhab (yang dipegang), tidak boleh, karena tujuan dari sumpah adalah penjeraan, dan penjeraan yang diperoleh dengan pemisahan tidak akan tercapai dengan penggabungan, maka tidak dibolehkan meskipun mereka rela, sebagaimana jika seorang istri rela suaminya mencukupkan satu kali persaksian dalam li‘ān.

تحمل الشهادة وأداؤها فرض لقوله عز وجل: {وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إذا مَا دُعُوا} [البقرة: 282] وقوله تعالى: {وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ} قال ابن عباس رضي الله عنه: من الكبائر كتمان الشهادة، فإن قام بها من فيه كفاية سقط الفرض عن الباقين لأن المقصود بها حفظ الحقوق وذلك يحصل ببعضهم، وإن كان في موضع لا يوجد فيه غيره ممن يقع به الكفاية تعين عليه لأنه لا يحصل المقصود إلا به فتعين عليه ويجب الإشهاد على عقد النكاح وقد بيناه في النكاح،


Kitab asy-Syahādāt
Memikul kesaksian dan menyampaikannya adalah fardhu, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla: {wa lā ya’ba asy-syuhadā’u idzā mā du‘ū}, dan firman-Nya Ta‘ala: {wa lā taktumū asy-syahādah wa man yaktum-hā fa innahu ātsimun qalbuh}. Ibn ‘Abbās RA berkata: termasuk dosa besar adalah menyembunyikan kesaksian. Jika telah melaksanakannya orang yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya karena maksud dari kesaksian adalah menjaga hak-hak, dan hal itu dapat tercapai dengan sebagian dari mereka. Namun jika ia berada di tempat yang tidak ada selain dirinya yang mencukupi, maka kewajiban itu menjadi tertuju khusus padanya, karena tujuan tidak tercapai kecuali dengannya, maka wajib atasnya. Dan wajib menghadirkan saksi dalam akad nikah, sebagaimana telah kami jelaskan dalam bab nikah.

وهل يجب على الرجعة فيه قولان، وقد بيناهما في الرجعة وأما ما سوى ذلك من العقود كالبيع والإجارة وغيرهما، فالمستحب أن يشهد عليه لقوله تعالى: {وَأَشْهِدُوا إذا تَبَايَعْتُمْ} ولا يجب لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم ابتاع من أعرابي فرسا فجحده، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “من يشهد لي” فقال خزيمة بن ثابت الأنصاري: أنا أشهد لك، قال: “لم تشهد ولم تحضر” فقال نصدقك على أخبار السماء ولا نصدقك علا أخبار الأرض، فسماه النبي صلى الله عليه وسلم ذات الشهادتين.

Dan apakah wajib menghadirkan saksi dalam ruj‘ah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, dan keduanya telah kami jelaskan dalam bab ruj‘ah. Adapun selain itu dari akad-akad seperti jual beli, ijarah, dan selain keduanya, maka yang disunnahkan adalah menghadirkan saksi atasnya berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa asy-hidū idzā tabāya‘tum}, namun tidak wajib. Karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW membeli seekor kuda dari seorang Arab badui, lalu si Arab tersebut mengingkarinya. Maka Nabi SAW bersabda: “Siapa yang menjadi saksi untukku?” Maka Khuzaymah bin Ṡābit al-Anṣārī berkata: “Aku bersaksi untukmu.” Beliau SAW bertanya: “Apa yang membuatmu bersaksi, padahal engkau tidak hadir?” Ia menjawab: “Kami membenarkan engkau atas berita dari langit, maka apakah kami tidak membenarkan engkau atas berita di bumi?” Maka Nabi SAW menjulukinya Dzū asy-Syahādatayn (pemilik dua kesaksian).

فصل: ومن كانت عنده شهادة في حد الله تعالى فالمستحب أن لا يشهد به لأنه مندوب إلى ستره ومأمور بدرئه، فإن شهد به جاز لأنه شهد أبو بكرة ونافع وشبل بن معبد على المغيرة بن شعبة بالزنا عند عمر رضي الله عنه فلم ينكر عمر ولا غيره من الصحابة عليهم ذلك، ومن كانت عنده شهادة لآدمي،

PASAL: Barang siapa yang memiliki kesaksian dalam ḥadd Allah Ta‘ala, maka yang disunnahkan adalah tidak bersaksi dengannya karena dianjurkan untuk menutupinya dan diperintahkan untuk menolaknya. Namun jika ia bersaksi, maka boleh, karena Abu Bakrah, Nāfi‘, dan Syibl bin Ma‘bad memberikan kesaksian terhadap al-Mughīrah bin Syu‘bah atas perbuatan zina di hadapan ‘Umar RA, dan ‘Umar serta para sahabat lainnya tidak mengingkari mereka. Barang siapa yang memiliki kesaksian untuk perkara sesama manusia,

فإن كان صاحبها يعلم بذلك لم يشهد قبل أن يسأل لقوله عليه الصلاة والسلام: “خير الناس قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم، ثم يقشوا الكذب حتى يشهد الرجل قبل أن يستشهد” . وإن كان صاحبها لا يعلم شهد قبل أن يسأل لما روى زيد بن خالد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “خير الشهود الذي يأتي بالشهادة قبل أن يسألها” .

Jika pemilik kesaksian mengetahui bahwa pihak yang berkepentingan mengetahuinya, maka ia tidak bersaksi sebelum diminta, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka, lalu akan tersebar dusta hingga seseorang bersaksi sebelum diminta menjadi saksi.” Dan jika pemilik kesaksian tidak mengetahui bahwa pihak yang berkepentingan mengetahuinya, maka ia bersaksi sebelum diminta, berdasarkan riwayat dari Zaid bin Khālid RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sebaik-baik saksi adalah orang yang datang membawa kesaksian sebelum diminta.”

فصل: ولا يجوز لمن تعين عليه فرض الشهادة أن يأخذ عليها أجرة لأنه فرض تعين عليه فلم يجز أن يأخذ عليه أجرة كسائر الفرائض، ومن لم يتعين عليه ففيه وجهان: أحدهما: أنه يجوز له أخذ الأجرة لأنه لا يتعين عليه فجاز أن يأخذ عليه أجرة كما يجوز على كتب الوثيقة. والثاني: أنه لا يجوز لأنه تلحقه التهمة بأخذ العوض.

PASAL: Tidak boleh bagi orang yang telah ditetapkan atasnya kewajiban memberikan kesaksian untuk mengambil upah atasnya, karena itu merupakan kewajiban yang telah ditetapkan atasnya, maka tidak boleh mengambil upah atasnya sebagaimana kewajiban-kewajiban lain. Adapun orang yang belum ditetapkan atasnya, maka terdapat dua wajah: pertama, boleh baginya mengambil upah karena tidak wajib atasnya sehingga boleh mengambil upah atasnya sebagaimana diperbolehkan atas penulisan dokumen. Kedua, tidak boleh karena dikhawatirkan adanya tuduhan disebabkan menerima imbalan.

باب من تقبل شهادته ومن لا تقبل
لا تقبل شهادة الصبي لقوله تعالى: {وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ} والصبي ليس من الرجال ولما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”.

PASAL: Orang yang Diterima dan Tidak Diterima Kesaksiannya

Tidak diterima kesaksian ṣabī karena firman Allah Ta‘ala: {wa’stasy-hidū syahīdayni min rijālikum, fa-in lam yakūnā rajulayni fa-rajulun wamra’atān} (dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari kalangan laki-laki kalian, jika tidak ada dua orang laki-laki maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan). Sedangkan ṣabī bukan termasuk laki-laki (rijāl). Dan berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari ṣabī sampai ia baligh, dari orang tidur sampai ia terbangun, dan dari orang gila sampai ia sadar.”

ولأنه إذا لم يؤتمن على حفظ أمواله فلأن لا يؤتمن على حفظ حقوق غيره أولى ولا تقبل شهادة المجنون للخبر والمعنى الذي ذكرناه ولا تقبل شهادة المغفل الذي يكثر منه الغلط لأنه لا يؤمن أن يغلط في شهادته وتقبل الشهادة ممن يقل منه الغلط لأن أحداً لا ينفك من الغلط واختلف أصحابنا في شهادة الأخرس فمنهم من قال: تقبل لأن إشارته كعبارة الناطق في نكاحه وطلاقه فكذلك في الشهادة ومنهم من قال: لا تقبل لأن إشارته أقيمت مقام العبارة في موضع الضرورة وهو في النكاح والطلاق لأنها لا تستفاد إلا من جهته ولا ضرورة بنا إلى شهادته لأنها تصح من غيره بالنطق فلا تجوز بإشارته.

Dan karena jika ia tidak dipercaya untuk menjaga hartanya sendiri, maka lebih utama lagi untuk tidak dipercaya dalam menjaga hak orang lain. Tidak diterima kesaksian orang gila karena hadis dan alasan yang telah disebutkan. Tidak diterima pula kesaksian orang mughafal (yang sangat polos dan ceroboh) yang sering melakukan kesalahan, karena dikhawatirkan ia keliru dalam kesaksiannya. Diterima kesaksian orang yang jarang melakukan kesalahan, karena tidak ada seorang pun yang sepenuhnya bebas dari kesalahan.

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang kesaksian orang akhras (bisu): sebagian dari mereka berpendapat bahwa kesaksiannya diterima karena isyaratnya dianggap setara dengan ucapan orang yang bisa berbicara dalam akad nikah dan talak, maka demikian pula dalam kesaksian. Sebagian lain berpendapat bahwa kesaksiannya tidak diterima, karena isyaratnya hanya dianggap sebagai pengganti ucapan dalam keadaan darurat, yaitu dalam nikah dan talak karena dua perkara itu hanya bisa diketahui darinya, sementara tidak ada kebutuhan darurat terhadap kesaksiannya, karena kesaksian dapat diperoleh dari selainnya melalui ucapan, maka tidak sah jika hanya dengan isyarat.

فصل: ولا تقبل شهادة العبد لأنها أمر لا يتبعض بني على التفاضل فلم يكن للعبد فيه مدخل كالميراث والرحم ولا تقبل شهادة الكافر لما روى معاذ رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا تجوز شهادة أهل دين على أهل دين آخر إلا المسلمين فإنهم عدول على أنفسهم وعلى غيرهم”.

PASAL: Tidak diterima kesaksian budak karena kesaksian adalah perkara yang tidak bisa dipilah-pilah, dibangun di atas asas keutamaan, maka budak tidak memiliki andil di dalamnya, seperti halnya warisan dan hubungan kekerabatan. Dan tidak diterima pula kesaksian orang kafir, berdasarkan riwayat dari Mu‘āż RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah kesaksian pemeluk suatu agama terhadap pemeluk agama lain, kecuali kaum Muslimin, karena mereka adalah orang-orang yang adil terhadap diri mereka sendiri dan terhadap selain mereka.”

ولأنه إذا لم تقبل شهادة من يشهد بالزور على الآدمي فلأن لا تقبل شهادة من شهد بالزور على الله تعالى أولى ولا تقبل شهادة فاسق لقوله تعالى: {إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ} فإن ارتكب كبيرة كالغصب والسرقة والقذف وشرب الخمر فسق وردت شهادته سواء فعل ذلك مرة أو تكرر منه والدليل عليه قوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَداً وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}

Dan karena jika tidak diterima kesaksian orang yang bersaksi dusta terhadap sesama manusia, maka lebih utama lagi untuk tidak diterima kesaksian orang yang bersaksi dusta terhadap Allah Ta‘ala. Dan tidak diterima kesaksian orang fasik, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka telitilah dengan cermat agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum karena kebodohan, lalu kalian menyesali apa yang telah kalian lakukan}. Maka jika seseorang melakukan dosa besar seperti merampas, mencuri, menuduh zina, atau meminum khamar, maka ia menjadi fasik dan kesaksiannya ditolak, baik ia melakukannya satu kali maupun berulang kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita terjaga kehormatannya lalu mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali cambukan dan janganlah kalian menerima kesaksian mereka selamanya. Dan mereka itulah orang-orang fasik}.

وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تجوز شهادة خائن ولا خائنة ولا زان ولا زانية ولا ذي غمر على أخيه” . فورد النص في القذف والزنا وقسنا عليهم سائر الكبائر ولأن من ارتكب كبيرة ولم يبال شهد بالزور ولم يبال وإن تجنب الكبائر وارتكب الصغائر فإن كان ذلك نادراً من أفعاله لم يفسق ولم ترد شهادته وإن كان ذلك غالباً في أفعاله فسق وردت شهادته

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak sah kesaksian seorang pengkhianat laki-laki maupun perempuan, pezina laki-laki maupun perempuan, dan orang yang memiliki ghamr terhadap saudaranya.” Maka, nash datang dalam perkara qadzaf dan zina, dan kami mengqiyaskan kepada keduanya seluruh dosa besar. Karena siapa yang melakukan dosa besar dan tidak peduli, maka ia akan bersaksi palsu dan tidak peduli. Adapun jika ia menjauhi dosa besar namun melakukan dosa kecil, maka jika hal itu jarang terjadi darinya, ia tidak dianggap fasik dan kesaksiannya tidak tertolak. Namun jika hal itu dominan dalam perbuatannya, maka ia fasik dan kesaksiannya tertolak.

لأنه لا يمكن رد شهادته بالقليل من الصغائر لأنه لا يوجد من يمحض الطاعة ولا يخلطها بمعصية ولهذا قال النبي صلى الله عليه وسلم: “ما منا إلا من عصى أو عم بمعصية إلا يحيى ابن زكريا”. ولهذا قال الشاعر:
من لك بالمحض وليس محض … يخبث بعض ويطيب بعض
ولا يمكن قبول الشهادة مع الكثير من الصغائر لأن من استجاز الإكثار من الصغائر استجاز أن يشهد بالزور فعلقنا الحكم على الغالب من أفعاله لأن الحكم للغائب والنادر لا حكم له ولهذا قال الله تعالى: {فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ} .

Karena tidak mungkin menolak kesaksian hanya karena sedikit dari dosa-dosa kecil, sebab tidak ada seorang pun yang benar-benar murni dalam ketaatan tanpa tercampur dengan maksiat. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda: “Tidak seorang pun dari kami kecuali pernah bermaksiat atau terjerumus dalam maksiat, kecuali Yahya bin Zakariya.” Dan karena itu pula seorang penyair berkata:

Siapa yang bagimu dengan yang murni, padahal tak ada yang murni… sebagian tercemar dan sebagian bersih.

Namun tidak mungkin pula menerima kesaksian orang yang banyak melakukan dosa kecil, karena siapa yang meremehkan banyaknya dosa kecil, ia akan meremehkan pula kesaksian palsu. Maka kami gantungkan hukum pada hal yang dominan dari perbuatannya, karena hukum itu bagi yang dominan, sedangkan yang jarang tidak dianggap. Oleh karena itu Allah Ta‘ala berfirman: {Barang siapa berat timbangan amalnya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan amalnya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan diri mereka; mereka kekal di dalam neraka Jahanam}.

فصل: ولا تقبل شهادة من لا مروءة له كالقوال والرقاص ومن يأكل في الأسواق ويمشي مكشوف الرأس في موضع لا عادة له في كشف الرأس فيه لأن المروءة هي الإنسانية وهي مشتقة من المرء ومن ترك الإنسانية لم يؤمن أن يشهد بالزور ولأن من لا يستحيي من الناس في ترك المروءة لم يبال بما يصنع والدليل عليه ما روى أبو مسعود البدري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى إذا لم تستحي فاصنع ما شئت” .

PASAL: Tidak diterima kesaksian orang yang tidak memiliki muru’ah, seperti tukang mengadu domba, penari, orang yang makan di pasar, dan orang yang berjalan dengan kepala terbuka di tempat yang tidak biasa membuka kepala di dalamnya. Karena muru’ah adalah sifat kemanusiaan, yang diambil dari kata al-mar’ (manusia), maka siapa yang meninggalkan sifat kemanusiaan tidak dijamin aman dari bersaksi dusta. Dan karena siapa yang tidak malu dari manusia dalam meninggalkan muru’ah, maka ia tidak peduli dengan apa yang ia perbuat. Dalil atas hal ini adalah hadis riwayat Abū Mas‘ūd al-Badrī RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya di antara ucapan kenabian terdahulu yang masih dikenal manusia adalah: Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu.”

واختلف أصحابنا في أصحاب الصنائع الدنيئة إذا حسنت طريقتهم في الدين كالكناس والدباغ والزبال والنخال والحجام والقيم الحمام فمنهم من قال لا تقبل شهادتهم لدناءتهم ونقصان مروءتهم ومنهم من قال: تقبل شهادتهم لقوله تعالى: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ الله أَتْقَاكُمْ} ولأن هذه صناعات مباحة وبالناس إليها حاجة فلم ترد بها الشهادة.

Dan para sahabat kami berbeda pendapat tentang para pelaku pekerjaan rendahan apabila baik jalan hidup mereka dalam agama, seperti penyapu jalan, penyamak kulit, pemungut sampah, pembersih tepung, juru bekam, dan penjaga pemandian. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kesaksian mereka tidak diterima karena kerendahan pekerjaan mereka dan kurangnya muru’ah mereka. Sebagian yang lain berpendapat bahwa kesaksian mereka diterima berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa}, dan karena pekerjaan-pekerjaan ini adalah pekerjaan yang mubah dan manusia membutuhkannya, maka tidak menyebabkan tertolaknya kesaksian.

فصل: ويكره اللعب بالشطرنج لأنه لعب لا ينتفع به في أمر الدين ولا حاجة تدعوا إليه فكان تركه أولى ولا يحرم لأنه روي اللعب به عن ابن عباس وابن الزبير وأبي هريرة وسعيد بن المسيب رضي الله عنهم وروي عن سعيد بن جبير أنه كان يلعب به استدباراً ومن لعب به من غير عوض ولم يترك فرضاً ولا مروءة لم ترد شهادته

PASAL: Dimakruhkan bermain catur karena termasuk permainan yang tidak bermanfaat dalam urusan agama dan tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukannya, maka meninggalkannya lebih utama. Namun tidak diharamkan karena telah diriwayatkan bahwa para sahabat seperti Ibn ‘Abbās, Ibn az-Zubair, Abū Hurairah, dan Sa‘īd ibn al-Musayyab RA pernah bermain catur. Diriwayatkan pula bahwa Sa‘īd ibn Jubayr pernah memainkannya dalam keadaan membelakangi. Barang siapa yang bermain catur tanpa taruhan, serta tidak meninggalkan kewajiban dan tidak merusak muru’ah, maka kesaksiannya tidak ditolak.

وإن لعب به عوض نظرت فإن أخرج كل واحد منهما مالاً على أن من غلب منهما أخذ المالين فهو قمار تسقط به العدالة وترد به الشهادة لقوله تعالى: {إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ} والميسر القمار وإن أخرج أحدهما: مالاً على أنه إن غلب أخذ ماله وإن غلبه صاحبه أخذ المال لم يصح العقد لأنه ليس من آلات الحرب فلا يصح بذل العوض فيه ولا ترد به الشهادة لأنه ليس بقمار

Dan jika bermain catur dengan taruhan, maka dilihat dahulu: jika masing-masing dari keduanya mengeluarkan harta dengan kesepakatan bahwa siapa yang menang dari keduanya akan mengambil kedua harta tersebut, maka itu adalah qimār (perjudian) yang menjatuhkan ‘adālah (keadilan) dan menyebabkan kesaksiannya ditolak, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Sesungguhnya khamar, perjudian, berhala, dan anak panah undian adalah najis dari perbuatan setan, maka jauhilah ia}, dan al-maysir adalah perjudian. Dan jika hanya salah satu dari keduanya yang mengeluarkan harta dengan syarat bahwa jika ia menang maka ia akan mengambil harta tersebut, dan jika ia kalah maka lawannya yang mengambil harta, maka akad ini tidak sah karena catur bukan termasuk alat peperangan, sehingga tidak sah memberikan imbalan atasnya. Namun, kesaksiannya tidak ditolak karena hal itu tidak termasuk qimār.

لأن القمار أن لا يخلوا أحد من أن يغتم أو يغرم وههنا أحدهما: يغنم ولا يغرم وإن اشتغل به عن الصلاة في وقتها مع العلم فإن لم يكثر ذلك منه لم ترد شهادته وإن كثر منه ردت شهادته لأنه من الصغائر ففرق بين قليلها وكثيرها فإن ترك فيه المروءة بأن يلعب به على طريق أو تكلم في لعبه بما يسخف من الكلام أو اشتغل بالليل والنهار ودت شهادته لترك المروءة.

Karena al-qimār adalah sesuatu yang tidak lepas darinya salah satu pihak dari rasa sedih atau kerugian, sementara dalam hal ini salah satunya mendapatkan keuntungan tanpa mengalami kerugian. Jika permainan itu menyibukkannya dari salat pada waktunya dengan sepengetahuan, maka jika hal itu tidak sering dilakukan, kesaksiannya tidak tertolak. Namun jika hal itu sering dilakukan, maka kesaksiannya ditolak, karena hal tersebut tergolong dosa kecil, sehingga dibedakan antara yang sedikit dan yang banyak darinya. Jika ia meninggalkan muru’ah karena bermain catur di jalanan, atau berbicara dalam permainannya dengan ucapan yang tidak pantas, atau terus bermain siang dan malam, maka kesaksiannya ditolak karena telah meninggalkan muru’ah.

فصل: ويحرم اللعب بالنرد وترد به الشهادة وقال أبو إسحاق رحمه الله: هو كالشطرنج وهذا خطأ لما روى أبو موسى الأشعري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من لعب بالنرد فقد عصى الله ورسوله” . وروى بريدة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من لعب بالنرد فكأنما غمس يده في لحم الخنزير ودمه” . ولأن المعول فيه على ما يخرجه الكعبان فشابه الأزلام ويخالف الشطرنج فإن المعول فيه على رأيه ويحرم اللعب بالأربعة عشر لأن المعول فيها على ما يخرجه الكعبان فحرم كالنرد.

PASAL: Haram bermain nard dan kesaksian ditolak karenanya. Abu Ishaq rahimahullah berkata: hukumnya seperti syiṭranj. Ini adalah kesalahan karena telah diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy‘ari RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa bermain nard, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dan diriwayatkan dari Buraidah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa bermain nard, maka seolah-olah ia mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.” Karena penentu hasil dalam permainan ini adalah dua buah dadu (al-ka‘bān), maka ia menyerupai azlām, dan berbeda dengan syiṭranj yang penentu hasilnya adalah pemikiran. Diharamkan pula bermain al-arba‘ata ‘asyar karena hasilnya ditentukan oleh dua dadu, sehingga hukumnya haram seperti nard.

فصل: ويجوز اتخاذ الحمام لما روى عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رجلاً شكى إلى النبي صلى الله عليه وسلم الوحشة فقال: اتخذ زوجاً من حمام ولأن فيه منفعة لأنه يأخذ بيضه وفرخه ويكره اللعب به لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلاً يسعى بحمامة فقال: شيطان يتبع شيطانة وحكمه في رد الشهادة حكم الشطرنج وقد بيناه.

PASAL: Boleh memelihara burung merpati, karena telah diriwayatkan dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit RA bahwa seorang lelaki mengadu kepada Nabi SAW tentang rasa kesepiannya, maka beliau bersabda: “Peliharalah sepasang burung merpati.” Dan karena dalam memeliharanya terdapat manfaat, yaitu bisa diambil telurnya dan anaknya. Namun dimakruhkan bermain dengannya, karena telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW melihat seorang laki-laki mengejar burung merpati, lalu beliau bersabda: “Setan mengejar setan betina.” Dan hukumnya dalam penolakan kesaksian sama seperti catur, dan telah kami jelaskan sebelumnya.

فصل: ومن شرب قليلاً من النبيذ لم يفسق ولم ترد شهادته ومن أصحابنا من قال إن كان يعتقد تحريمه فسق وردت شهادته والمذهب الأول لأن استحلال الشيء أعظم من فعله بدليل أن من استحل الزنا كفر ولو فعله لم يكفر فإذا لم ترد شهادة من استحل القليل من النبيذ فلأن لا يرد شربه أولى ويجب عليه الحد وقال المزني رحمه الله: لا يجب كما لا ترد شهادته وهذا خطأ لأن الحد للردع والنبيذ كالخمر في الحاجة إلى الردع لأنه يشتهى كما يشتهى الخمر ورد الشهادة لارتكاب كبيرة لأنه إذا أقدم على كبيرة أقدم على شهادة الزور وشرب النبيذ ليس بكبيرة لأنه مختلف في تحريمه وليس من أقدم على مختلف فيه أقدم على شهادة الزور وهي من الكبائر.

PASAL: Barang siapa meminum sedikit nabīż, maka tidak menjadi fasik dan kesaksiannya tidak ditolak. Dan sebagian dari para sahabat kami berpendapat: jika ia meyakini keharamannya, maka ia menjadi fasik dan kesaksiannya ditolak. Namun pendapat yang lebih kuat adalah yang pertama, karena menghalalkan sesuatu lebih besar dosanya daripada melakukannya. Sebagai bukti, barang siapa menghalalkan zina maka ia kafir, sedangkan jika ia melakukannya tanpa menghalalkan tidak sampai kafir. Maka jika kesaksian orang yang menghalalkan sedikit nabīż saja tidak ditolak, maka lebih layak lagi bahwa kesaksian peminum nabīż tidak ditolak. Namun ia tetap wajib dikenai ḥadd.

Al-Muzanī raḥimahullāh berkata: tidak wajib dikenai ḥadd, sebagaimana kesaksiannya tidak ditolak. Ini adalah pendapat yang salah, karena ḥadd diberlakukan untuk menimbulkan efek jera, dan nabīż sama halnya dengan khamar dalam hal kebutuhan untuk dicegah, sebab ia diinginkan sebagaimana khamar diinginkan. Penolakan kesaksian diberlakukan karena pelanggaran terhadap dosa besar, karena orang yang berani melakukan dosa besar akan berani pula memberikan kesaksian palsu. Adapun meminum nabīż bukanlah dosa besar karena masih diperselisihkan keharamannya, dan siapa yang melakukan sesuatu yang masih diperselisihkan keharamannya tidak bisa dikatakan berani melakukan kesaksian palsu, karena kesaksian palsu termasuk dosa besar.

فصل: ويكره الغناء وسماعه من غير آلة مطربة لما روى ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الغناء ينبت النفاق في القلب كما ينبت الماء البقل”. ولا يحرم لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم مر بجارية لحسان بن ثابت وهي تقول:
هل علي ويحكما … إن لهوت من حرج
فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “لا حرج إن شاء الله”.

PASAL: Dimakruhkan bernyanyi dan mendengarkannya tanpa alat yang membuat lalai, berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas‘ūd bahwa Nabi SAW bersabda: “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.” Namun tidak diharamkan, karena telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW melewati seorang budak perempuan milik Ḥassān bin Tsābit, sementara ia sedang bernyanyi:
Hal ‘alayya wayḥakumā… in lahawtu min ḥaraj
Lalu Nabi SAW bersabda: “Tidak ada dosa, insyaAllah.”

وروت أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها قالت: كان عندي جاريتان تغنيان فدخل أبو بكر رضي الله عنه فقال مزمار الشيطان في بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “دعهما فإنها أيام عيد” . فإن غنى لنفسه أو سمع غناء جاريته ولم يكثر منه لم ترد شهادته لأن عمر رضي الله عنه كان إذا دهل في داره يرنم بالبيت والبيتين واستؤذن عليه لعبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه وهو يترنم فقال أسمعتني يا عبد الرحمن قال نعم قال: إنا إذا خلونا في منازلنا نقول كما يقول الناس

Diriwayatkan oleh Ummul Mukminīn ‘Āisyah RA, ia berkata: Aku memiliki dua budak perempuan yang sedang bernyanyi, lalu Abū Bakr RA masuk dan berkata: “Seruling setan di rumah Rasulullah SAW?” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Biarkanlah mereka, karena ini adalah hari ‘ied.” Maka jika seseorang bernyanyi untuk dirinya sendiri atau mendengarkan nyanyian budak perempuannya dan tidak berlebihan, maka kesaksiannya tidak tertolak, karena ‘Umar RA apabila berada di rumahnya terkadang melantunkan satu dua bait syair, dan pernah dimintakan izin untuk menemui ‘Abdurraḥmān bin ‘Awf RA saat ia sedang bersenandung, lalu ia berkata: “Apakah engkau mendengarku wahai ‘Abdurraḥmān?” Ia menjawab: “Ya.” Maka ia berkata: “Sesungguhnya apabila kami sendirian di rumah kami, kami berkata sebagaimana yang dikatakan orang-orang.”

وروي عن أبي الدرداء رضي الله عنه وهو من زهاد الصحابة وفقهائها أنه قال: إني لأجم قلبي شيئاً من الباطل لأستعين به على الحق فأما إذا أكثر من الغناء أو اتخذه صنعة يغشاه الناس للسماع أو يدعى إلى المواضع ليغني ردت شهادته لأنه سفه وترك للمروءة وإن اتخذ جارية ليجمع الناس لسماعها ردت شهادته لأنه سفه وترك مروءة ودناءة.

Dan diriwayatkan dari Abū ad-Dardā’ RA, seorang zahid dan ahli fiqih dari kalangan sahabat, bahwa ia berkata: “Sesungguhnya aku menyegarkan hatiku dengan sesuatu yang mubah untuk membantuku dalam kebenaran.” Adapun jika seseorang terlalu banyak bernyanyi atau menjadikannya sebagai profesi yang menyebabkan orang-orang berkumpul untuk mendengarnya, atau ia diundang ke berbagai tempat untuk bernyanyi, maka kesaksiannya tertolak karena hal itu merupakan kebodohan dan bentuk meninggalkan muru’ah. Dan jika seseorang memelihara seorang budak perempuan untuk mengumpulkan orang-orang demi mendengarkan nyanyiannya, maka kesaksiannya juga tertolak karena hal itu adalah kebodohan, meninggalkan muru’ah, dan kehinaan.

فصل: ويحرم استعمال الآلات التي تطرب من غير غناء كالعود والطنبور والمعزفة والطبل والمزمار والدليل عليه قوله تعالى: {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ الله} قال ابن عباس: إنها الملاهي وروى عبد الله بن عمرو بن العاص أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن الله حرم على أمتي الخمر والميسر والمزر والكوبة والقنين” .

PASAL: Haram menggunakan alat-alat yang menimbulkan ketertarikan (ketakjuban) tanpa disertai nyanyian seperti ‘ūd, ṭunbūr, ma‘zifah, ṭabl, dan mizmar. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah}. Ibnu ‘Abbās berkata: yang dimaksud adalah al-malāhī (segala bentuk hiburan yang melalaikan).

Dan diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas umatku: khamar, judi, mizr, kūbah, dan qīnīn.”

فالكوبة الطبل والقنين البربط وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “تمسخ أمة من أمتي بشربهم الخمر وضربهم بالكوبة والمعازف” . ولأنها تطرب وتدعوا إلى الصد عن ذكر الله تعالى وعن الصلاة وإلى إتلاف المال فحرم كالخمر ويجوز ضرب الدف في العرس والختان دون غيرهما

karena al-kūbah adalah ṭabl (gendang), dan al-qīnīn adalah barbaṭ (sejenis alat petik). Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Akan ada sebagian dari umatku yang akan diubah bentuknya karena mereka meminum khamr, memukul al-kūbah, dan memainkan al-ma‘āzif.” Karena alat-alat tersebut menimbulkan ketertarikan (t ṭarb), mendorong untuk lalai dari mengingat Allah Ta‘ala dan dari salat, serta mengakibatkan pemborosan harta, maka diharamkan sebagaimana khamr. Adapun memukul duff diperbolehkan pada acara pernikahan dan khitanan, tidak pada selain keduanya.

لما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “أعلنوا النكاح واضربوا عليه بالدف” . ويكره القضيب الذي يزيد الغناء طرباً ولا يطرب إذا انفرد لأنه تابع للغناء فكان حكمه حمك الغناء وأما رد الشهادة فما حكمنا بتحريمه من ذلك فهو من الصغائر فلا ترد الشهادة بما قل منه وترد بما كثر منه كما قلنا في الصغائر وما حكمنا بكراهيته وإباحته فهو كالشطرنج في رد الشهادة وقد بيناه.

 

فصل: وأما الحداء فهو مباح لما روى ابن مسعود رضي الله عنه قال: كان مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة نام بالوادي حاديان وروت عائشة رضي الله عنها قالت: كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر وكان عبد الله بن رواحة جيد الحداء وكان مع الرجال وكان أنجشة مع النساء فقال النبي صلى الله عليه وسلم لعبد الله بن رواحة “حرك بالقوم”. فاندفع يرتجز فتبعه أنجشة فأعنقت الإبل في السير فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “يا أنجشة رويدك رفقاً بالقوارير”.

PASAL: Adapun ḥadā’ maka hukumnya mubah, berdasarkan riwayat dari Ibn Mas‘ūd RA, ia berkata: Suatu malam bersama Rasulullah SAW di sebuah lembah ada dua orang penggiring unta yang bernyanyi. Dan diriwayatkan dari ‘Āisyah RA, ia berkata: Kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, dan ‘Abdullāh bin Rawāḥah adalah orang yang pandai ḥadā’ (bernyanyi sambil menggiring unta), ia bersama para laki-laki, sedangkan Anjasyah bersama para perempuan. Maka Nabi SAW bersabda kepada ‘Abdullāh bin Rawāḥah: “Gerakkan (semangatkan) orang-orang itu.” Maka ia mulai melantunkan rajaz, lalu diikuti oleh Anjasyah, maka unta-unta pun mempercepat langkahnya, lalu Nabi SAW bersabda: “Wahai Anjasyah, pelan-pelanlah, perlakukan dengan lembut ‘kaca-kaca’ itu.”

ويجوز استماع نشيد الأعرابي لما روى عمرو بن الشريد عن أبيه قال: أردفني رسول الله صلى الله عليه وسلم وراءه ثم قال: “أمعك شيء من شعر أمية بن أبي الصلت” فقلت: نعم فأنشدته بيتاً فقال: “هيه”. فأنشدته بيتاً آخر فقال هيه فأنشدته إلى أن بلغ مائة بيت.

Dan boleh mendengarkan nasyid orang Arab dusun, berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syarīd dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah SAW memboncengku di belakangnya, lalu beliau bersabda: “Apakah engkau hafal sesuatu dari syair Umayyah bin Abī al-Ṣalt?” Aku menjawab: “Ya.” Maka aku melantunkannya sebaik, lalu beliau bersabda: “Lanjutkan.” Maka aku melantunkan bait lain, beliau bersabda: “Lanjutkan,” hingga aku melantunkan seratus bait.

فصل: ويستحب تحسين الصوت بالقرآن لما روى الشافعي رحمه الله بإسناده عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “ما أذن الله لشيء كإذنه لنبي حسن الترنم بالقرآن” . وروي حسن الصوت بالقرآن وروى البراء بن عازب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “حسنوا القرآن بأصواتكم”  وقال عليه الصلاة والسلام: “ليس منا من لم يتغن بالقرآن” .

PASAL: Dianjurkan memperindah suara ketika membaca Al-Qur’an, berdasarkan riwayat dari asy-Syāfi‘ī rahimahullāh dengan sanadnya dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tidaklah Allah memperkenankan sesuatu sebagaimana Dia memperkenankan seorang nabi yang bagus lantunan bacaannya terhadap Al-Qur’an.” Dan diriwayatkan pula tentang bagusnya suara dalam membaca Al-Qur’an. Al-Barā’ bin ‘Āzib ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Perindahlah Al-Qur’an dengan suara kalian.” Dan beliau SAW bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak yataghannā dengan Al-Qur’an.”

وحمله الشافعي على تحسين الصوت وقال: لو كان المراد به الاستغناء بالقرآن لقال من لم يتغان بالقرآن وأما القراءة بالألحان فقد قال في موضع: أكرهه وقال في موضع آخر لا أكرهه وليست على قولين وإنما هي على اختلاف حالين فالذي قال أكرهه أراد إذا جاوز الحد في التطويل وإدغام بعضه في بعض والذي قال لا أكرهه إذا لم يجاوز الحد.

Dan asy-Syāfi‘ī menafsirkan hadis tersebut dengan makna memperindah suara, dan beliau berkata: “Seandainya yang dimaksud adalah merasa cukup dengan Al-Qur’an, tentu akan dikatakan: ‘Barang siapa tidak yataghanna dengan Al-Qur’an’.” Adapun membaca dengan alḥān (nada-nada lagu), maka beliau berkata di satu tempat: “Aku membencinya”, dan di tempat lain: “Aku tidak membencinya”. Kedua pernyataan ini bukanlah dua pendapat yang berbeda, tetapi berdasarkan dua keadaan yang berbeda. Yang beliau maksud dengan “aku membencinya” adalah apabila pembacaan itu melampaui batas dalam pemanjangan atau mencampuradukkan sebagian huruf dengan yang lain. Dan yang beliau maksud dengan “aku tidak membencinya” adalah apabila tidak melampaui batas.

فصل: ويجوز قول الشعر لأنه كان للنبي صلى الله عليه وسلم شعراء منهم حسان بن ثابت وكعب ابن مالك وعبد الله بن رواحة ولأنه وفد عليه الشعراء ومدحوه وجاءه كعب بن زهير وأنشده:
بانت سعاد فقلبي اليوم متنبول … متيم عندها لم يفد مكبول
فأعطاه رسول الله صلى الله عليه وسلم بردة كانت عليه فابتاعها منه معاوية بعشرة آلاف درهم وهي التي مع الخلفاء إلى اليوم وحكمه حكم الكلام في حظره وإباحته وكراهيته واستحبابه ورد الشهادة به

PASAL: Boleh mengucapkan syi‘ir, karena Nabi SAW memiliki para penyair, di antaranya Ḥassān bin Tsābit, Ka‘b bin Mālik, dan ‘Abd Allāh bin Rawāḥah. Juga karena para penyair datang kepada beliau dan memujinya. Ka‘b bin Zuhayr datang kepada beliau dan membacakan:

Bānat Su‘ād fa-qalbī al-yawma matbūl
Mutayyam ‘indahā lam yuftad maqbūl

Maka Rasulullah SAW memberinya burdah (selimut) yang sedang beliau pakai, lalu dibeli oleh Mu‘āwiyah seharga sepuluh ribu dirham. Burdah itu terus berada di tangan para khalifah hingga hari ini.

Hukum syi‘ir adalah seperti hukum ucapan: bisa haram, boleh, makruh, mustaḥabb, dan bisa menyebabkan penolakan kesaksian karenanya.

والدليل عليه ما روى عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الشعر بمنزلة الكلام حسنه كحسن الكلام وقبيحه كقبيح الكلام”.

Dan dalilnya adalah riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Syair itu seperti halnya perkataan; yang baiknya seperti baiknya perkataan, dan yang buruknya seperti buruknya perkataan.”

فصل: ومن شهد بالزور فسق وردت شهادته لأنها من الكبائر والدليل عليه ما روى خريم بن فاتك قال صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح ولما انصرف قام قائماً ثم قال: “عدلت شهادة الزور بالإشراك بالله” . ثلاث مرات ثم تلا قوله عز وجل: {فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ}

PASAL: Dan barang siapa memberikan kesaksian palsu, maka ia menjadi fāsiq dan kesaksiannya ditolak, karena kesaksian palsu termasuk dosa besar. Dalilnya adalah riwayat dari Khuraim bin Fātik, ia berkata: Rasulullah SAW menunaikan salat subuh, dan ketika telah selesai beliau berdiri lalu bersabda: “Kesaksian palsu disamakan dengan menyekutukan Allah” – sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membaca firman Allah ‘azza wa jalla: {فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ} (Karena itu jauhilah najis dari berhala-berhala itu dan jauhilah perkataan dusta).

وروى محارب بن دثار عن عمر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “شاهد الزور لا يزول قدماه حتى يتبوأ مقعده من النار” . ويثبت أنه شاهد زور من ثلاثة أوجه: أحدها أن يقر أنه شاهد زور والثاني: أن تقوم البينة أنه شاهد زور والثالث: أن يشهد بما يقطع بكذبه بأن شهد على رجل أنه قتل أو زنى في وقت معين في موضع معين والمشهود عليه في ذلك الوقت كان في بلد آخر وأما إذا شهد بشيء أخطأ فيه فلم يكن شاهد زور لأنه لم يفسد الكذب

Dan diriwayatkan oleh Muḥārib bin Dithār dari ‘Umar RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Orang yang memberikan kesaksian palsu, tidak akan bergeser kedua kakinya hingga ia menempati tempat duduknya di neraka.” Dan seseorang ditetapkan sebagai saksi palsu dengan tiga cara: Pertama, ia mengakui bahwa ia telah memberikan kesaksian palsu. Kedua, terdapat bayyinah bahwa ia adalah saksi palsu. Ketiga, ia memberikan kesaksian yang secara pasti diketahui sebagai dusta, seperti bersaksi bahwa seseorang membunuh atau berzina pada waktu tertentu di tempat tertentu, padahal orang yang disaksikan pada waktu itu berada di negeri lain. Adapun bila ia bersaksi dalam perkara yang ia keliru di dalamnya, maka ia tidak dianggap sebagai saksi palsu, karena kekeliruan tidak termasuk dusta yang merusak.

وإن شهد لرجل بشيء وشهد به آخر أنه لغيره لم يكن شاهد زور لأنه ليس تكذيب أحدهما: بأولى من تكذيب الآخر فلم يقدح ذلك في عدالته وإذا ثبت أنه شاهد زور ورأى الإمام تعزيره بالضرب أو الحبس أو الزجر فعل وإن رأى أن يشهر أمره في سوقه ومصلاه وقبيلته وينادي عليه أنه شاهد زور فاعرفوه فعل لما روى بهز بن حكيم عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “اذكروا الفاسق بما فيه ليحذره الناس”. ولأن في ذلك زجراً له ولغيره عن فعل مثله وحكى عن أبي علي بن أبي هريرة أنه قال: إن كان من أهل الصيانة لم يناد عليه لقوله عليه الصلاة والسلام: “أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهن”. وهذا غير صحيح لأن بشهادة الزور يخرج عن أن يكون من أهل الصيانة.

Dan apabila seseorang bersaksi untuk seorang laki-laki atas suatu hal, lalu orang lain bersaksi bahwa hal itu milik orang lain, maka yang pertama tidak dianggap sebagai saksi palsu, karena tidak ada yang lebih layak untuk dibenarkan antara keduanya, sehingga hal itu tidak merusak keadilannya. Jika telah terbukti bahwa seseorang adalah saksi palsu, dan imam melihat perlunya menjatuhkan ta‘zīr berupa cambukan, penjara, atau teguran, maka boleh dilakukan. Dan jika imam memandang perlu untuk mempermalukan orang tersebut di pasar, tempat salat, dan di hadapan kabilahnya, serta diumumkan padanya bahwa dia adalah saksi palsu agar dikenali, maka boleh juga dilakukan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Bahz bin Ḥakīm, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sebutkanlah orang fāsiq sebagaimana adanya agar orang-orang mewaspadainya.” Karena dalam tindakan tersebut terdapat pencegahan baginya dan bagi orang lain dari melakukan hal serupa. Dan dinukil dari Abū ‘Alī bin Abī Hurairah bahwa ia berkata: Jika ia termasuk orang yang terjaga kehormatannya (ahl aṣ-ṣiyānah), maka tidak diumumkan atasnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Maafkanlah orang-orang yang memiliki kedudukan ketika mereka tergelincir.” Namun pendapat ini tidak benar, karena dengan kesaksian palsu, seseorang keluar dari golongan ahl aṣ-ṣiyānah.

فصل: ولا تقبل شهادة جار إلى نفسه نفعاً ولا دافع عن نسه ضرراً لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تقبل شهادة خصم ولا ظنين ولا ذي إحنة” . والظنين المتهم والجار إلى نفسه نفعاً والدافع عنها ضرراً متهمان فإن شهد المولى لمكاتبه بمال لم تقبل شهادته لأن يثبت لنفسه حقاً لأن مال المكاتب يتعلق به حق المولى

PASAL: Tidak diterima kesaksian orang yang condong untuk memberikan manfaat bagi dirinya sendiri atau menolak mudarat dari dirinya sendiri, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak diterima kesaksian orang yang bersengketa, orang yang dicurigai, dan orang yang memiliki dendam.” Ẓannīn adalah orang yang dituduh, sedangkan orang yang condong memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan menolak mudarat dari dirinya sendiri termasuk orang yang dituduh. Maka jika seorang mawlā bersaksi untuk mukātab-nya mengenai harta, tidak diterima kesaksiannya karena berarti menetapkan hak bagi dirinya sendiri, sebab harta mukātab berkaitan dengan hak mawlā.

وإن شهد الوصي لليتيم والوكيل للموكل فيما فوض النظر فيه إليه لم تقبل لأنهما يثبتان لأنفسها حق المطالبة والتصرف وإن وكله في شيء ثم عزله لم يشهد فيما كان النظر فيه إليه فإن كان قد خاصم فيه لم تقبل شهادته وإن لم يكن قد خاصم فيه ففيه وجهان: أحدهما: أنه تقبل لأنه لا يحلقه تهمة

Dan jika seorang waṣī (wali wasiat) bersaksi untuk anak yatim, dan seorang wakīl bersaksi untuk pihak yang mewakilkannya dalam perkara yang urusannya telah diserahkan kepadanya, maka tidak diterima kesaksian mereka, karena keduanya menetapkan hak menuntut dan bertindak untuk diri mereka sendiri. Dan jika seseorang mewakilkan kepadanya suatu urusan, lalu kemudian mencabut wakalahnya, maka ia tidak boleh memberikan kesaksian dalam perkara yang sebelumnya berada dalam wewenangnya. Jika ia pernah bersengketa dalam perkara itu, maka tidak diterima kesaksiannya. Namun jika ia belum pernah bersengketa dalam perkara itu, maka ada dua pendapat: salah satunya adalah kesaksiannya diterima, karena tidak terdapat tuduhan terhadapnya.

والثاني: أنه لا تقبل لأنه بعقد الوكالة يملك الخصومة فيه وإن شهد الغريم لمن له عليه دين وهو محجور عليه بالفلس لم تقبل شهادته لأنه يتعلق حقه بما يثبت له بشهادته وإن شهد لمن له عليه دين وهو موسر قبلت شهادته لأنه لا يتعين حقه فيما شهد به وإن شهد له وهو معسر قبل الحجر ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقبل لأنه يثبت له حق المطالبة والثاني: أنه يقبل لأنه لا يتعلق بما يشهد به له حق.

Dan pendapat kedua: kesaksiannya tidak diterima, karena dengan akad wakalah ia memiliki kewenangan untuk bersengketa dalam perkara itu. Dan jika orang yang berutang memberikan kesaksian untuk pihak yang memiliki piutang atas dirinya, sementara ia sedang dalam keadaan ditetapkan maḥjūr karena muflis, maka kesaksiannya tidak diterima karena haknya berkaitan dengan apa yang ditetapkan untuk orang itu melalui kesaksiannya. Namun jika ia bersaksi untuk orang yang memiliki piutang atas dirinya sementara ia adalah orang yang kaya (musir), maka kesaksiannya diterima karena haknya tidak pasti terhadap apa yang ia saksikan. Dan jika ia bersaksi untuk orang itu saat ia dalam keadaan miskin sebelum ditetapkan sebagai maḥjūr, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama, kesaksiannya tidak diterima karena berarti menetapkan hak penagihan bagi dirinya; pendapat kedua, kesaksiannya diterima karena tidak ada hak yang berkaitan dengan apa yang ia saksikan.

فصل: وإن شهد رجلان على رجل أنه جرح أخاهما وهما وارثاه قبل الاندمال لم تقبل لأنه يسري إلى نفسه فيجب الدم به لهما وإن شهدا له بمال وهو مريض ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه لا تقبل لأنهما متهمان لأنه قد يموت فيكون المال لهما فلم تقبل كما لو شهدا بالجراحة والثاني: وهو قول أبي الطيب ابن سلمة أنه تقبل لأن الحق يثبت للمريض ثم ينتقل بالموت إليهما وفي الجناية إذا وجبت الدية وجبت لهما لأنهما تجب بموته فلم تقبل

PASAL: Jika dua orang laki-laki bersaksi terhadap seorang laki-laki bahwa ia telah melukai saudara mereka, dan keduanya adalah ahli warisnya, sebelum luka itu sembuh maka kesaksian mereka tidak diterima karena hal itu akan berbalik menguntungkan diri mereka sendiri, sebab darah itu wajib dibayar kepada mereka berdua. Dan jika keduanya bersaksi untuknya mengenai harta sementara ia dalam keadaan sakit, maka ada dua pendapat:

Pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa kesaksian itu tidak diterima karena keduanya adalah orang yang dicurigai, sebab bisa saja ia meninggal dan hartanya menjadi milik mereka, maka kesaksian itu tidak diterima sebagaimana jika keduanya bersaksi tentang luka.

Kedua, yaitu pendapat Abū Ṭayyib Ibn Salamah, bahwa kesaksian itu diterima karena hak itu memang ditetapkan bagi orang sakit tersebut, kemudian berpindah kepada mereka berdua dengan kematiannya. Adapun dalam kasus luka, jika diyat menjadi wajib, maka wajib bagi mereka berdua karena diyat itu wajib disebabkan oleh kematiannya, maka kesaksian mereka tidak diterima.

وإن شهدا له بالجراحة وهناك ابن قبلت شهادتهما لأنهما غير متهمين وإن مات الابن وصار الأخوان وارثين نظرت فإن مات الابن بعد الحكم بشهادتهما لم تسقط الشهادة لأنه حكم بها وإن مات قبل الحكم بشهادتهما سقطت الشهادة كما لو فسقا قبل الحكم وإن شهد المولى على غريم مكاتبه والوصي على غريم الصبي أو الوكيل على غريم الموكل بالإبراء من الدين أو بفسق شهود الدين لم تقبل الشهادة لأنه دفع بالشهادة عن نفسه ضرراً وهو حق المطالبة

Dan jika keduanya bersaksi untuknya tentang luka, sementara ada seorang anak (pewaris lain), maka kesaksian keduanya diterima karena keduanya tidak lagi dicurigai. Namun jika anak itu meninggal dan kedua saudara itu menjadi ahli waris, maka dilihat kembali: apabila anak itu meninggal setelah keputusan hukum dijatuhkan berdasarkan kesaksian keduanya, maka kesaksian tidak gugur karena telah diputuskan dengan kesaksian tersebut. Tetapi jika anak itu meninggal sebelum keputusan dijatuhkan berdasarkan kesaksian keduanya, maka kesaksian gugur sebagaimana jika keduanya menjadi fāsiq sebelum keputusan.

Dan jika seorang mawlā bersaksi terhadap orang yang berutang kepada mukātib-nya, atau seorang waṣī terhadap orang yang berutang kepada anak kecil (yang berada dalam asuhannya), atau seorang wakil terhadap orang yang berutang kepada pihak yang mewakilkannya, baik tentang pembebasan dari utang atau tentang kefasikan para saksi utang tersebut, maka kesaksian tidak diterima karena dengan kesaksian itu ia menolak bahaya terhadap dirinya sendiri, yaitu berupa hak untuk ditagih.

وإن شهد شاهدان من عاقلة القاتل بفسق شهود القتل فإن كانا موسرين لم تقبل شهادتهما لأنهما يدفعان بهذه الشهادة عن أنفسهما ضرراً وهو الدية وإن كانا فقيرين فقد قال الشافعي رضي الله عنه: ردت شهادتهما وقال في موضع آخر إذا كانا من أباعد العصبات بحيث لا يصل العقل إليهما حتى يموت من قبلهما قبلت شهادتهما فمن أصحابنا من نقل جواب إحداهما إلى الأخرى وجعلهما على قولين: أحدهما: أنه تقبل لأنهما في الحال لا يحملان العقل

Dan jika dua orang saksi dari ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) si pembunuh bersaksi tentang kefasikan para saksi pembunuhan, maka jika keduanya adalah orang kaya, kesaksian mereka tidak diterima karena dengan kesaksian itu mereka menolak bahaya terhadap diri mereka sendiri, yaitu berupa kewajiban membayar diyat.

Namun jika keduanya miskin, maka asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: kesaksian keduanya ditolak. Dan beliau berkata di tempat lain: jika keduanya berasal dari kerabat jauh dari pihak ‘aṣabah sedemikian rupa sehingga kewajiban ‘aql (tanggungan diyat) tidak sampai kepada mereka kecuali setelah kematian yang lebih dekat dari mereka, maka kesaksian keduanya diterima.

Sebagian dari para sahabat kami ada yang memindahkan jawaban dari salah satu pernyataan ke pernyataan lainnya dan menjadikannya sebagai dua pendapat:

Pertama, bahwa kesaksian mereka diterima karena pada saat itu keduanya tidak memikul tanggungan ‘aql.

والثاني: أنه لا تقبل لأنه قد يموت القريب قبل الحول ويوسر الفقير فيصيران من العاقلة ومنهم من حملهما على ظاهرهما فقال تقبل شهادة الأباعد ولا تقبل شهادة القريب الفقير لأن القريب معدود في العاقلة واليسار يعتبر عند الحول وربما يصير موسراً عند الحول والبعيد غير معدود في العاقلة وإنما يصير من العاقلة إذا مات الأقرب.

Dan pendapat yang kedua: bahwa kesaksian mereka tidak diterima karena bisa jadi kerabat yang dekat meninggal sebelum genap setahun (ḥawl), dan si fakir menjadi kaya, sehingga keduanya masuk dalam ‘āqilah.

Sebagian dari kalangan kami ada yang memahami kedua pendapat itu sesuai zhahirnya, lalu berkata: kesaksian kerabat jauh diterima, sedangkan kesaksian kerabat dekat yang fakir tidak diterima, karena kerabat dekat sudah termasuk dalam ‘āqilah, sementara kemampuan (yisār) dinilai saat genap setahun, dan bisa jadi ia menjadi kaya saat itu. Adapun kerabat jauh tidak termasuk dalam ‘āqilah, kecuali bila kerabat yang lebih dekat telah meninggal dunia.

فصل: ولا تقبل شهادة الوالدين للأولاد وإن سفلوا ولا شهادة الأولاد للوالدين وإن علوا وقال المزني رحمه الله وأبو ثور: تقبل ووجهه قوله تعالى: {وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ} فعم ولم يخص ولأنهم كغيرهم في العدالة فكانوا كغيرهم في الشهادة وهذا خطأ لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تقبل شهادة خصم ولا ظنين ولا ذي إحنة”. والظنين المتهم وهذا متهم لأنه يميل إليه ميل الطبع ولأن الوالد بضعة من الوالد ولهذا قال عليه السلام: “يا عائشة إن فاطمة بضعة مني يريبني ما يريبها” .

PASAL: Tidak diterima kesaksian orang tua untuk anak-anak mereka, sekalipun keturunan ke bawah, dan tidak pula kesaksian anak-anak untuk orang tua mereka, sekalipun keturunan ke atas. Al-Muzanī rahimahullah dan Abū Ṯaur berpendapat: diterima. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā: {wa-isytahidū syahīdayni min rijālikum} yang bersifat umum dan tidak mengkhususkan. Dan karena mereka seperti selain mereka dalam hal ‘adālah, maka mereka pun seperti selain mereka dalam kesaksian. Namun pendapat ini keliru, karena telah diriwayatkan dari Ibn ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak diterima kesaksian pihak yang bersengketa, yang dicurigai, dan yang punya dendam.” Aẓ-ẓannīn adalah orang yang dicurigai, dan orang tua termasuk yang dicurigai karena secara tabiat condong kepada anak. Dan karena anak adalah bagian dari orang tua. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda: “Wahai ‘Āisyah, sesungguhnya Fāṭimah adalah bagian dariku, apa yang menyakitinya menyakitiku.”

ولأن نفسه كنفسه وماله كماله ولهذا قال عليه السلام لأبي معشر الدارمي: “أنت ومالك لأبيك”. وقال صلى الله عليه وسلم: “إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه وإن ولده من كسبه”. ولهذا يعتق عليه إذا ملكه ويستحق عليه النفقة إذا احتاج والأية نخصها بما ذكرناه والاستدلال بأنهم كغيرهم في العدالة يبطل بنفسه فإنه كغيره في العدالة ثم لا تقبل شهادته لنفسه وتقبل شهادة أحدهما: على الآخر في جميع الحقوق

Dan karena dirinya seperti dirinya sendiri dan hartanya seperti hartanya sendiri. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda kepada Abū Ma‘syr ad-Dāramī: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” Dan Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari usahanya, dan anaknya termasuk dari usahanya.” Oleh karena itu, anak menjadi merdeka bila dimiliki oleh orang tuanya, dan orang tua berhak mendapat nafkah dari anak bila membutuhkan. Maka ayat tersebut dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan. Dan istidlāl bahwa mereka seperti selain mereka dalam hal ‘adālah tertolak dengan sendirinya, sebab seseorang seperti yang lain dalam hal ‘adālah, namun kesaksiannya tidak diterima untuk dirinya sendiri. Dan diterima kesaksian salah satunya atas yang lain dalam semua hak.

ومن أصحابنا من قال لا تقبل شهادة الولد على الوالد في إيجاب القصاص وحد القذف لأنه لا يلزمه القصاص بقتله ولا حد القذف بقذفه فلا يلزمه ذلك بقوله والمذهب الأول لأنه لا يلزمه القصاص بقتله ولا حد القذف بقذفه فلا يلزمه ذلك بقوله والمذهب الأول لأنه إنما ردت شهادته له للتهمة ولا تهمة في شهادته عليه ومن عد الوالدين والأولاد من الأقارب كالأخ والعم وغيرهما تقبل شهادة بعضهم لبعض لأنه لم يجعل نفس أحدهما: كنفس الآخر في العتق ولا ماله كماله في النفقة

Dan sebagian dari sahabat kami berkata: tidak diterima kesaksian anak terhadap ayah dalam penetapan qiṣāṣ dan ḥadd karena tuduhan zina, karena ia tidak dikenai qiṣāṣ jika membunuh ayahnya, dan tidak dikenai ḥadd jika menuduhnya zina, maka tidak wajib hukuman tersebut atas ayahnya melalui ucapannya (kesaksiannya). Namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena sesungguhnya kesaksiannya untuk ayahnya ditolak karena adanya tuduhan (condong), sedangkan tidak ada tuduhan dalam kesaksiannya atas ayahnya. Dan barang siapa yang menghitung orang tua dan anak sebagai kerabat seperti saudara atau paman dan selainnya, maka kesaksian sebagian mereka untuk sebagian lainnya diterima, karena tidak diposisikan diri salah satunya sebagai diri yang lain dalam hal memerdekakan, dan tidak pula hartanya seperti hartanya dalam hal nafkah.

وإن شهد شاهدان على رجل أنه قذف ضرة أمهما ففيه قولان: قال في القديم: لا تقبل لأنهما يجران إلى أمهما نفعاً لأنه يجب عليه بقذفها الحد فيحتاج أن يلاعن وتقع الفرقة بينه وبين ضرة أمها وقال في الجديد: تقبل وهو الصحيح لأن حق أمهما لا يزيد بمفارقة الضرة وإن شهد أنه طلق ضرة أمهما ففيه قولان: أحدهما: أنه تقبل والثاني: أنه لا تقبل وتعليلهما ما ذكرناه.

Jika dua orang saksi bersaksi bahwa seorang lelaki telah menuduh zina istri lain dari ibu mereka, maka ada dua pendapat. Pendapat dalam qaul qadīm: tidak diterima, karena mereka menarik manfaat untuk ibu mereka, sebab lelaki tersebut wajib dikenai ḥadd karena menuduh, sehingga ia perlu melakukan li‘ān dan terjadilah perpisahan antara dia dan istri lain dari ibu mereka. Dan dalam qaul jadīd: diterima, dan itulah yang benar, karena hak ibu mereka tidak bertambah dengan berpisahnya istri lain. Dan jika mereka bersaksi bahwa lelaki itu telah menceraikan istri lain dari ibu mereka, maka ada dua pendapat: pertama, diterima; dan kedua, tidak diterima. Dan alasan keduanya seperti yang telah disebutkan.

فصل: وتقبل شهادة أحد الزوجين للآخر لأن النكاح سبب لا يعتق به أحدهما: على الآخر بالملك فلم يمنع من شهادة أحدهما: للآخر كقرابة ابن العم ولا تقبل شهادة الزوج على الزوجة في الزنا لأن شهادته دعوى خيانة في حقه فلم تقبل كشهادة المودع على المودع بالخيانة في الوديعة ولأنه خصم لها فيما يشهد به فلم تقبل كما لو شهد عليها أنه جنت عليه.

PASAL: Diterima kesaksian salah satu dari suami istri untuk pasangannya, karena nikah adalah sebab yang tidak menjadikan salah satunya sebagai milik yang lain, maka tidak menghalangi diterimanya kesaksian salah satunya untuk yang lain, seperti hubungan kekerabatan sepupu. Namun, tidak diterima kesaksian suami terhadap istri dalam perkara zina, karena kesaksiannya merupakan tuduhan khianat terhadap dirinya, maka tidak diterima sebagaimana kesaksian orang yang dititipi terhadap penitip atas pengkhianatan dalam titipan. Dan juga karena ia adalah pihak yang bersengketa dalam apa yang ia saksikan, maka tidak diterima sebagaimana jika ia bersaksi bahwa istrinya telah melukainya.

فصل: ولا تقبل شهادة العدو على عدوه لقوله عليه الصلاة والسلام: “لا تقبل شهادة خصم ولا ظنين ولا ذي إحنة”. وذو الإحنة هو العدو ولأنه متهم في شهادته بسبب منهي عنه فلم تقبل شهادته.

PASAL: Tidak diterima kesaksian musuh atas musuhnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak diterima kesaksian pihak yang bersengketa, yang dicurigai, dan yang memiliki dendam.” Ẓū al-iḥnah adalah musuh, dan karena ia dicurigai dalam kesaksiannya disebabkan adanya motif yang tercela, maka tidak diterima kesaksiannya.

فصل: ومن جمع في الشهادة بين أمرين فردت شهادته في أحدهما: نظرت فإن ردت للعداوة بينه وبين المشهود عليه مثل أن يشهد على رجل أنه قذفه وأجنبياً ردت شهادته في حقه وفي حق الأجنبي لأن هذه الشهادة تضمنت الإجبار عن عداوة بينهما وشهادة العدو على عدوه لا تقبل فإن ردت شهادته في أحدهما: لتهمة غير العداوة بأن شهد على رجل أنه اقترض من أبيه ومن أجنبي مالاً ردت شهادته في حق أبيه وهل ترد في حق الأجنبي؟ فيه قولان: أحدهما: أنها ترد كما لو شهد أنه قذفه وأجنبياً والثاني: أنها لا ترد لأنها ردت في حق أبيه للتهمة ولا تهمة في حق الأجنبي فقبلت.

PASAL: Dan barang siapa menghimpun dalam kesaksiannya dua perkara, lalu ditolak kesaksiannya dalam salah satunya, maka dilihat: apabila ditolak karena permusuhan antara dia dengan orang yang disaksikan atasnya—seperti jika ia bersaksi bahwa seseorang telah mencacinya dan juga mencaci seorang asing—maka ditolak kesaksiannya terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang asing tersebut, karena kesaksian ini mengandung unsur pembelaan dari permusuhan antara keduanya, dan kesaksian musuh terhadap musuhnya tidak diterima.

Jika ditolak kesaksiannya dalam salah satunya karena tuduhan selain permusuhan—seperti bersaksi bahwa seseorang meminjam uang dari ayahnya dan dari orang asing—maka ditolak kesaksiannya terhadap ayahnya. Adapun apakah ditolak juga terhadap orang asing, terdapat dua pendapat:
Pertama, ditolak, sebagaimana jika ia bersaksi bahwa orang itu mencaci dia dan mencaci seorang asing.
Kedua, tidak ditolak, karena ditolaknya kesaksian terhadap ayahnya disebabkan tuduhan, dan tidak ada tuduhan terhadap orang asing, maka kesaksiannya diterima.

فصل: ومن ردت شهادته بمعصية فتاب قبلت شهادته لقوله تعالى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَداً وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا} التوبة توبتان توبة في الباطن وتوبة في الظاهر فأما التوبة في الباطن فهي ما بينه وبين الله عز وجل فينظر في المعصية فإن لم يتعلق بها مظلمة لآدمي ولا حد لله تعالى كالاستمتاع بالأجنبية فيما دون الفرج فالتوبة منها أن يقلع عنها ويندم على ما فعل ويعزم على أن لا يعود إلى مثلها

PASAL: Dan barang siapa ditolak kesaksiannya karena maksiat, lalu ia bertobat, maka diterima kesaksiannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berzina) kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh cambukan dan janganlah kalian menerima kesaksian mereka selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat}.

Tobat itu ada dua: tobat batin dan tobat lahir. Adapun tobat batin adalah antara dia dan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka dilihat bentuk maksiatnya. Jika tidak berkaitan dengan kezaliman terhadap sesama manusia atau had dari Allah Ta‘ala—seperti menikmati wanita ajnabiyyah selain kemaluan—maka tobat darinya adalah dengan menghentikan perbuatan tersebut, menyesali apa yang telah dilakukan, dan bertekad untuk tidak mengulanginya.

والدليل عليه قوله تعالى: {وَالَّذِينَ إذا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا الله فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا الله وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ} وإن تعلق بها حق آدمي فالتوبة منها أن يقلع عنها ويندم على ما فعل ويعزم على أن لا يعود إلى مثلها وأن يبرأ من حق الآدمي إما أن يؤديه أو يسأله حتى يبرئه منه

Dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka mengingat Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka—dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?—dan mereka tidak meneruskan perbuatan itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal}.

Dan jika maksiat itu berkaitan dengan hak sesama manusia, maka tobat darinya adalah dengan menghentikannya, menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan melepaskan diri dari hak manusia tersebut, baik dengan cara menunaikannya ataupun memintakan kehalalan hingga ia dibebaskan darinya.

لما روى إبراهيم النخعي أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه رأى رجلاً يصلي مع النساء فضربه بالدرة فقال الرجل: والله لئن كنت أحسنت فقد ظلمتني وإن كنت أسأت فما علمتني، فقال عمر اقتص قال لا أقتص قال فاعف قال لا أعفوا فافترقا على ذلك ثم لقيه عمر من الغد فتغير لون عمر فقال له الرجل: يا أمير المؤمنين أرى ما كان مني قد أسرع فيك قال: أجل قال: فاشهد إني قد عفوت عنك وإن لم يقدر على صاحب الحق نوى أنه إن قدر أوفاه حقه

Karena telah diriwayatkan dari Ibrāhīm al-Nakha‘ī bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA melihat seorang laki-laki shalat bersama para perempuan, maka ia memukulnya dengan durrāh (cambuk kecil). Laki-laki itu berkata: “Demi Allah, jika engkau benar, sungguh engkau telah menzalimiku; dan jika aku yang salah, maka engkau tidak mengajariku.” Maka ‘Umar berkata: “Qishāshlah dariku.” Ia menjawab: “Aku tidak mau qishāsh.” ‘Umar berkata: “Kalau begitu maafkanlah.” Ia menjawab: “Aku tidak mau memaafkan.” Maka keduanya pun berpisah dalam keadaan demikian.

Keesokan harinya ‘Umar bertemu dengannya, lalu wajah ‘Umar pun berubah. Orang itu berkata: “Wahai Amīr al-Mu’minīn, aku melihat apa yang aku lakukan kemarin cepat memengaruhimu.” ‘Umar berkata: “Benar.” Ia berkata: “Kalau begitu saksikanlah bahwa aku telah memaafkanmu.”

Dan apabila seseorang tidak mampu mengembalikan hak pemiliknya, maka ia meniatkan bahwa jika kelak mampu, ia akan menunaikan hak tersebut.

وإن تعلق بالمعصية حد لله تعالى كحد الزنا والشرب فإن لم يظهر ذلك فالأولى أن يستره على نفسه لقوله عليه السلام: “من أتى من هذه القاذورات شيئاً فليستتر بستر الله تعالى فإن من أبدى لنا صفحته أقمنا عليه حد الله” . وإن أظهره لم يأثم لأن ماعزاً والغامدية اعترفا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم بالزنا فرجمهما ولم ينكر عليهما وأما التوبة في الظاهر وهي التي تعود بها العدالة والولاية وقبول الشهادة فينظر في المعصية

Dan jika maksiat itu mengandung ḥad dari Allah Ta‘ala seperti ḥad zina dan minum khamr, maka jika belum tampak, yang utama adalah ia menutupi dirinya dengan penutup dari Allah Ta‘ala, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barang siapa melakukan sesuatu dari kekejian ini, maka hendaklah ia menutupinya dengan penutup Allah Ta‘ala. Sesungguhnya barang siapa menampakkan dirinya kepada kami, maka kami akan menegakkan atasnya ḥad Allah.”

Namun jika ia menampakkannya, maka ia tidak berdosa, karena Mā‘iz dan perempuan dari suku Ghamīd mengakui perzinaan di hadapan Rasulullah SAW, maka beliau merajam keduanya, dan beliau tidak mengingkari mereka.

Adapun tobat secara lahir—yaitu tobat yang dengannya seseorang kembali mendapatkan keadilan, kelayakan untuk menjadi wali, dan diterimanya kesaksian—maka hal itu dilihat dari jenis maksiatnya.

فإن كانت فعلاً كالزنا والسرقة لم يحكم بصحة التوبة حتى يصلح عمله مدة لقوله تعالى: {إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا} وقدر أصحابنا المدة بسنة لأنه لا تظهر صحة التوبة في مدة قريبة فكانت أولى المدد بالتقدير سنة لأنه تمر فيها الفصول الأربعة التي تهيج فيها الطبائع وتغير فيها الأحوال وإن كانت المعصية بالقول فإن كانت ردة فالتوبة منها أن يظهر الشهادتين وإن كانت قذفا فقد قال الشافعي رحمه الله: التوبة منه إكذابه نفسه واختلف أصحابنا فيه فقال أبو سعيد الإصطخري رحمه الله: هو أن يقول كذبت فيما قلت ولا أعود إلى مثله ووجهه ما روي عن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “توبة القاذف إكذابه نفسه”

Jika maksiat itu berupa perbuatan seperti zina dan pencurian, maka tidak dihukumi sah tobatnya hingga ia memperbaiki amalnya dalam jangka waktu tertentu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {kecuali orang-orang yang bertobat setelah itu dan memperbaiki diri}. Para ashḥāb kami menetapkan jangka waktu tersebut selama satu tahun, karena tobat tidak tampak sah dalam waktu yang singkat. Maka waktu yang paling layak untuk dijadikan ukuran adalah satu tahun, karena dalam satu tahun terjadi pergantian empat musim yang menggerakkan tabiat dan mengubah keadaan.

Dan jika maksiat itu berupa ucapan, maka jika berupa riddah, maka tobat darinya adalah dengan menampakkan dua kalimat syahadat. Dan jika berupa qazaf (tuduhan zina), maka Imam al-Syāfi‘ī rahimahullah berkata: “Tobat darinya adalah dengan mendustakan dirinya sendiri.” Para ashḥāb kami berbeda pendapat tentang hal ini. Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī rahimahullah berkata: “Yaitu dengan mengatakan: ‘Aku telah berdusta dalam apa yang aku ucapkan dan aku tidak akan mengulanginya lagi.’” Dalilnya adalah riwayat dari ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tobat orang yang menuduh zina adalah dengan mendustakan dirinya sendiri.”

وقال أبو إسحاق وأبو علي بن أبي هريرة هو أن يقول: قذفي له كان باطلاً ولا يقول إني كنت كاذباً لجواز أن يكون صادقاً فيصير بتكذيبه نفسه عاصياً كما كان بقذفه عاصياً ولا تصح التوبة منه إلا بإصلاح العمل على ما ذكرناه في الزنا والسرقة فأما إذا شهد عليه بالزنا ولم يتم العدد فإن قلنا إنه لا يجب عليه الحد فهو على عدالته ولا يحتاج إلى التوبة وإن قلنا إنه يجب عليه الحد وجبت التوبة وهو أن يقول ندمت على ما فعلت ولا أعود إلى ما أتهم به

Dan Abu Ishaq serta Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: hendaknya ia mengatakan, “Tuduhanku terhadapnya adalah batil,” dan jangan mengatakan, “Aku telah berdusta,” karena bisa jadi ia benar, sehingga jika ia mendustakan dirinya sendiri, ia menjadi maksiat sebagaimana ia maksiat karena menuduh. Dan tidak sah tobat darinya kecuali dengan memperbaiki amal sebagaimana telah kami sebutkan dalam (kasus) zina dan pencurian. Adapun jika ia bersaksi atas seseorang dalam perkara zina namun jumlah saksi tidak mencukupi, maka jika kami katakan bahwa ia tidak wajib dikenai ḥadd, maka ia tetap dalam keadilannya dan tidak membutuhkan tobat. Namun jika kami katakan bahwa ia wajib dikenai ḥadd, maka tobat wajib atasnya, yaitu dengan mengatakan, “Aku menyesal atas apa yang telah aku lakukan dan aku tidak akan mengulangi menuduh seperti itu.”

فإذا قال هذا عادت عدالته ولا يشترط فيه إصلاح العمل لأن عمر رضي الله عنه قال لأبي بكرة: تب أقبل شهادتك وإن لم يتب لم تقبل شهادته ويقبل خبره لأن أبا بكرة ردت شهادته وقبلت أخباره وإن كانت معصية بشهادة زور فالتوبة منها أن يقول كذبت فيما قلت ولا أعود إلى مثله ويشترط في صحة توبته إصلاح العمل على ما ذكرناه.

Jika ia mengucapkan hal itu, maka kembali keadilannya dan tidak disyaratkan padanya perbaikan amal, karena ‘Umar RA berkata kepada Abu Bakrah: “Bertobatlah, niscaya aku akan menerima kesaksianmu.” Jika ia tidak bertobat, maka tidak diterima kesaksiannya. Namun beritanya tetap diterima, karena Abu Bakrah kesaksiannya ditolak, namun beritanya tetap diterima. Dan jika maksiatnya adalah dengan memberikan kesaksian palsu, maka tobat darinya adalah dengan mengatakan, “Aku telah berdusta dalam apa yang aku katakan dan aku tidak akan mengulanginya.” Dan disyaratkan dalam sahnya tobatnya perbaikan amal, sebagaimana telah kami sebutkan.

فصل: وإن شهد صبي أو عبد أو كافر لم تقبل شهادته فإن بلغ الصبي أو أعتق العبد أو أسلم الكافر وأعاد تلك الشهادة قبلت وإن شهد فاسق فردت شهادته ثم تاب وأعاد تلك الشهادة لم تقبل وقال المزني وأبو ثور رحمهما الله تقبل كما تقبل من الصبي إذا بلغ والعبد إذا أعتق والكافر إذا أسلم وهذا خطأ لأن هؤلاء لا عار عليهم فيرد شهادتهم فلا يحلقهم تهمة في إعادة الشهادة بعد الكمال والفاسق عليه عار في رد شهادته فلا يؤمن أن يظهر التوبة لإزالة العار فلا تنفك شهادته من التهمة

PASAL: Jika seorang anak kecil, budak, atau orang kafir memberikan kesaksian, maka kesaksiannya tidak diterima. Namun, jika anak itu telah baligh, budak itu telah merdeka, atau orang kafir itu telah masuk Islam, lalu mengulang kembali kesaksiannya, maka kesaksiannya diterima. Dan jika orang fasik memberikan kesaksian lalu ditolak kesaksiannya, kemudian ia bertobat dan mengulang kembali kesaksiannya, maka kesaksiannya tidak diterima. Al-Muzani dan Abu Ṯaur rahimahumallah berpendapat bahwa kesaksiannya diterima sebagaimana diterima kesaksian anak kecil setelah baligh, budak setelah merdeka, dan orang kafir setelah masuk Islam. Pendapat ini keliru, karena anak kecil, budak, dan orang kafir tidak memiliki cela dalam penolakan kesaksiannya, sehingga tidak ada kecurigaan dalam pengulangan kesaksian setelah kesempurnaan. Adapun orang fasik, ada cela atasnya dalam penolakan kesaksiannya, maka tidak aman dari kemungkinan menampakkan tobat hanya untuk menghilangkan cela tersebut, sehingga kesaksiannya tidak terlepas dari tuduhan.

وإن شهد المولى لمكاتبه بمال فردت شهادته ثم أدى المكاتب مال الكتابة وعتق وأعاد المولى الشهادة له بالمال فقد قال أبو العباس فيه وجهان: أحدهما: أنه تقبل لأن شهادته لم ترد بمعرة وإنما ردت لأنه ينسب لنفسه حقاً بشهادته وقد زال هذا المعنى بالعتق والثاني: أنها لا تقبل وهو الصحيح لأنه ردت شهادته للتهمة فلم تقبل إذا أعادها كالفاسق إذا ردت شهادته ثم تاب وأعاد الشهادة وإن شهد رجل على رجل أنه قذفه وزوجته فردت شهادته ثم عفا عن قذفه وحسنت الحال بينهما ثم أعاد الشهادة للزوجة لم تقبل شهادته لأنها شهادة ردت للتهمة فلم تقبل

Dan jika seorang mawlā memberikan kesaksian untuk mukātab-nya tentang harta lalu kesaksiannya ditolak, kemudian mukātab itu melunasi uang kitābah dan merdeka, lalu mawlā mengulangi kesaksiannya untuknya tentang harta tersebut, maka Abu al-‘Abbās berkata ada dua pendapat: salah satunya, bahwa kesaksiannya diterima karena penolakan sebelumnya bukan karena cela, melainkan karena dia menetapkan hak bagi dirinya dengan kesaksiannya, dan makna ini telah hilang dengan kemerdekaan. Pendapat kedua: kesaksiannya tidak diterima, dan inilah yang benar, karena kesaksiannya ditolak karena tuduhan, maka tidak diterima jika diulang sebagaimana orang fasik yang ditolak kesaksiannya lalu bertobat dan mengulangi kesaksiannya.

Dan jika seseorang bersaksi atas orang lain bahwa dia menuduhnya dan istrinya melakukan zina, lalu kesaksiannya ditolak, kemudian ia memaafkan tuduhan kepadanya dan hubungan antara keduanya membaik, lalu ia mengulangi kesaksian untuk istrinya, maka kesaksiannya tidak diterima karena merupakan kesaksian yang ditolak karena tuduhan, maka tidak diterima.

وإن زالت التهمة كالفاسق إذا ردت شهادته ثم تاب وأعاد الشهادة وإن شهد لرجل أخوان له بجراحة لم تندمل وهما وارثان له فردت شهادتهما ثم اندملت الجراحة فأعاد الشهادة ففيه وجهان: أحدهما: أنه تقبل لأنها ردت للتهمة وقد زالت التهمة والثاني: وهو قول أبي إسحاق وظاهر المذهب أنها لا تقبل لأنها شهادة ردت للتهمة فلم تقبل كالفاسق إذا ردت شهادته ثم تاب وأعاد.

Dan jika tuduhan telah hilang, seperti orang fasik yang kesaksiannya ditolak kemudian ia bertobat dan mengulangi kesaksiannya—dan jika dua orang saudara bersaksi untuk seorang lelaki tentang luka yang belum sembuh, dan keduanya adalah ahli warisnya, lalu kesaksian mereka ditolak, kemudian lukanya sembuh dan mereka mengulangi kesaksiannya—maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama: kesaksian mereka diterima karena sebelumnya ditolak karena tuduhan, dan tuduhan itu telah hilang.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq dan yang zahir dari mazhab: kesaksiannya tidak diterima karena merupakan kesaksian yang ditolak karena tuduhan, maka tidak diterima sebagaimana orang fasik yang kesaksiannya ditolak kemudian bertobat dan mengulangi kesaksiannya.

باب عدد الشهود
لا يقبل في الشهادة على الزنا أقل من أربعة أنفس ذكور لقوله تعالى: {وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ الله لَهُنَّ سَبِيلاً} الآية

PASAL: Jumlah Saksi

Tidak diterima dalam kesaksian atas perzinaan kurang dari empat orang laki-laki, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan perempuan-perempuan yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, hendaklah kamu adakan empat orang saksi dari kalangan kamu terhadap mereka. Maka jika mereka telah memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka di dalam rumah hingga maut menjemput mereka atau Allah menjadikan untuk mereka jalan (keluar)” .

وروي أن سعد ابن عبادة قال يا رسول الله أرأيت إن وجدت مع امرأتي رجلاً أمهله حتى آتي بأربعة شهداء قال: “نعم” وشهد على المغيرة بن شعبة ثلاثة أبو بكرة ونافع وشبل بن معبد وقال زياد: رأيت استاً ونفساً يعلو ورجلان كأنهما أذنا حمار لا أدري ما وراء ذلك فجلد عمر رضي الله عنه الثلاثة ولم يجلد المغيرة ولا يقبل في اللواط إلا أربعة لأنه كالزنا في الحد فكان كالزنا في الشهادة فأما إتيان البهيمة فإنا إن قلنا إنه يجب فيه الحد فهو كالزنا في الشهادة لأنه كالزنا في الحد فكان كالزنا في الشهادة

Dan diriwayatkan bahwa Sa‘d bin ‘Ubādah berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku, apakah aku harus menunggu hingga mendatangkan empat orang saksi?” Beliau bersabda: “Ya.”

Dan telah bersaksi atas al-Mughīrah bin Syu‘bah tiga orang: Abū Bakrah, Nāfi‘, dan Syibl bin Ma‘bad. Sedangkan Ziyād berkata: “Aku melihat bagian belakang dan tubuh yang naik-turun, dan dua kaki seperti telinga keledai, aku tidak tahu apa yang ada di balik itu.” Maka ‘Umar RA mencambuk tiga orang tersebut dan tidak mencambuk al-Mughīrah.

Dan tidak diterima dalam kesaksian atas liwāṭ kecuali empat orang, karena ia seperti zina dalam hal hukum had, maka demikian pula dalam kesaksian. Adapun hubungan dengan hewan, maka jika kita mengatakan bahwa padanya wajib had, maka ia seperti zina dalam kesaksian, karena ia seperti zina dalam had, maka demikian pula dalam kesaksian.

وإن قلنا إنه يجب فيه التعزير ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي علي بن خيران واختيار المزني رحمه الله أنه يثبت بشاهدين لأنه لا يلحق بالزنا في الحد فلم يحلق به في الشهادة والثاني: وهو الصحيح أنه لا يثبت إلا بأربعة لأنه فرج حيوان يجب بالإيلاج فيه العقوبة فاعتبر في الشهادة عليه أربعة كالزنا ونقصانه عن الزنا في العقوبة لا يوجب نقصانه عنه في الشهادة كزنا الأمة ينقص عن زنا الحرة في الحد ولا ينقص عنه في الشهادة واختلف قوله في الإقرار بالزنا فقال في أحد القولين: يثبت بشاهدين لأنه إقرار فثبت بشاهدين كالإقرار في غيره والثاني: أنه لا يثبت إلا بأربعة لأنه سبب يثبت به فعل الزنا فاعتبر فيه أربعة كالشهادة على القتل وإن كان المقر أعجمياً ففي الترجمة وجهان: أحدهما: أنه يثبت باثنين كالترجمة في غيره والثاني: أنه كالإقرار فيكون على قولين كالإقرار.

Dan jika kita mengatakan bahwa padanya wajib ta‘zīr, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama—yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Khayrān dan pilihan al-Muzanī RA—bahwa hal tersebut ditetapkan dengan dua orang saksi, karena tidak disamakan dengan zina dalam hal had, maka tidak disamakan pula dalam hal kesaksian.

Pendapat kedua—dan ini yang ṣaḥīḥ—bahwa tidak ditetapkan kecuali dengan empat orang, karena itu adalah farj hewan yang dengan penetrasi padanya wajib hukuman, maka disyaratkan empat saksi dalam kesaksiannya sebagaimana dalam zina. Dan berkurangnya hukuman dibandingkan dengan zina tidak mengharuskan berkurangnya jumlah saksi, sebagaimana zina budak lebih ringan dari zina perempuan merdeka dalam hal hukuman, namun tidak lebih ringan dalam hal kesaksian.

Dan terdapat perbedaan pendapat dalam hal pengakuan terhadap zina. Dalam salah satu pendapat: ditetapkan dengan dua saksi karena itu adalah pengakuan, maka ditetapkan dengan dua saksi sebagaimana pengakuan dalam selainnya. Pendapat kedua: tidak ditetapkan kecuali dengan empat orang karena ia adalah sebab yang menetapkan perbuatan zina, maka disyaratkan empat orang sebagaimana kesaksian atas pembunuhan.

Dan jika yang mengaku adalah orang ‘ajamī (non-Arab), maka dalam penerjemahan (ucapannya) terdapat dua wajah: wajah pertama, bahwa hal itu ditetapkan dengan dua orang sebagaimana penerjemahan dalam selainnya; wajah kedua, bahwa itu seperti pengakuan, maka berlaku dua pendapat sebagaimana dalam pengakuan.

فصل: وإن شهد ثلاثة بالزنا ففيه قولان: أحدهما: أنهم قذفوه ويحدون وهو أشهر القولين لأن عمر رضي الله عنه جلد الثلاثة الذين شهدوا على المغيرة وروى ابن الوصي أن ثلاثة شهدوا على رجل بالزنا وقال الرابع: رأيتهما في ثوب واحد فإن كان هذا زنا فهو ذلك فجلد علي بن أبي طالب رضي الله عنه الثلاثة وعزر الرجل والمرأة ولأنا لولم نوجب الحد جعل القذف بلفظ الشهادة طريقاً إلى القذف والقول الثاني أنهم لا يحدون لأن الشهادة على الزنا أمر جائز فلا يوجب الحد كسائر الجائزات

PASAL: Jika tiga orang bersaksi tentang perzinaan, maka ada dua pendapat:

Pertama: mereka dianggap telah menuduh zina dan dikenai had, dan ini adalah pendapat yang lebih masyhur. Karena Umar RA pernah mencambuk tiga orang yang bersaksi atas al-Mughīrah. Diriwayatkan dari Ibn al-Waṣī bahwa tiga orang bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia berzina, sementara orang keempat berkata: “Aku melihat mereka berdua dalam satu selimut, jika itu zina maka itulah (zina).” Maka Ali bin Abi Ṭālib RA mencambuk ketiga orang itu dan memberi ta‘zīr kepada laki-laki dan perempuan tersebut. Karena jika kita tidak mewajibkan had, maka tuduhan zina dengan lafaz kesaksian akan menjadi jalan untuk menuduh tanpa konsekuensi.

Kedua: mereka tidak dikenai had, karena kesaksian atas zina adalah perkara yang boleh, maka tidak mewajibkan had sebagaimana perkara-perkara mubah lainnya.

ولأن إيجاب الحد عليهم يؤدي إلى أن لا يشهد أحد بالزنا خوفاً من أن يقف الرابع عن الشهادة فيحدون فتبطل الشهادة على الزنا وإن شهد أربعة على امرأة بالزنا وأحدهم الزوج ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق وظاهر النص أنه يحد الزوج قولاً واحداً لأنه لا تجوز شهادته عليها بالزنا فجعل قاذفاً وفي الثلاثة قولان والثاني: وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أن الزوج كالثلاثة لأنه أتى بلفظ الشهادة فيكون على القولين.

Dan karena mewajibkan ḥadd atas mereka akan menyebabkan tidak ada seorang pun yang mau bersaksi tentang zina karena khawatir orang keempat tidak bersaksi sehingga mereka dikenai ḥadd, maka batal kesaksian atas zina. Dan jika empat orang bersaksi bahwa seorang perempuan telah berzina, dan salah satunya adalah suaminya, maka ada dua pendapat:

Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq dan zahir dari naṣṣ, bahwa suami dikenai ḥadd secara pasti, karena tidak sah kesaksiannya atas istrinya dalam perkara zina, maka ia dianggap sebagai qāżif. Adapun terhadap tiga orang lainnya, ada dua pendapat.

Kedua: yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa suami seperti ketiga orang tersebut, karena ia menggunakan lafaz kesaksian, maka mengikuti dua pendapat yang telah disebutkan.

فصل: فإن شهد أربعة على رجل بالزنا فرد الحاكم شهادة أحدهم فإن كان بسبب ظاهر بأن كان عبداً أو كافراً أو متظاهرا بالفسق كان كما لولم يتم العدد لأن وجوده كعدمه وإن كان بسبب خفي كالفسق الباطن ففيه وجهان: أحدهما: أن حكمه حكم ما لو قص بالعدد لأن عدم العدالة كعدم العدد

PASAL: Jika empat orang bersaksi bahwa seseorang telah berzina lalu hakim menolak kesaksian salah satu dari mereka, maka jika penolakan itu karena sebab yang tampak jelas seperti karena ia seorang budak, atau kafir, atau terang-terangan melakukan kefasikan, maka hukumnya seperti tidak terpenuhinya jumlah (saksi), karena keberadaannya dianggap seperti tidak ada. Namun jika penolakannya karena sebab yang tersembunyi seperti kefasikan yang tidak tampak, maka ada dua pendapat: pertama, hukumnya seperti tidak terpenuhinya jumlah saksi karena tidak adanya ‘adālah sama dengan tidak adanya jumlah (saksi).

والثاني: أنهم لا يحدون قولاً واحداً لأنه إذا كان الرد بسبب في الباطن لم يكن من جهتهم تفريط في الشهادة لأنهم معذورون فلم يجدوا وإذا كان بسبب ظاهر كانوا مفرطين فوجب عليهم الحد وإن شهد أربعة بالزنا ورجع واحد منهم قبل أن يحكم بشهادتهم لزم الراجع حد القذف لأنه اعترف بالقذف ومن أصحابنا من قال في حده قولان لأنه أضاف الزنا إليه بلفظ الشهادة وليس بشيء وأما الثلاثة فالمنصوص أنه لا حد عليهم قولاً واحداً لأنه ليس من جهتهم تفريط لأنهم شهدوا والعدد تام ورجوع من رجعوا كلهم قالوا تعدمنا الشهادة وجب عليهم الحد

dan yang kedua: bahwa mereka tidak dikenai ḥadd secara qawl wāḥid, karena jika penolakan disebabkan oleh sesuatu yang tersembunyi maka tidak ada kelalaian dari pihak mereka dalam penyaksian, sebab mereka punya uzur sehingga tidak mendapatkan saksi yang keempat. Namun jika disebabkan oleh sesuatu yang tampak, maka mereka telah melakukan kelalaian, sehingga wajib atas mereka ḥadd.

Dan jika empat orang bersaksi atas perbuatan zina lalu salah satunya menarik kembali kesaksiannya sebelum hakim memutuskan dengan kesaksian mereka, maka orang yang menarik kembali kesaksiannya wajib dikenai ḥadd al-qażf karena ia telah mengakui melakukan qażf. Di antara para sahabat kami ada yang mengatakan bahwa terhadapnya ada dua pendapat, karena ia menisbatkan zina dengan lafaz kesaksian, dan ini tidak benar.

Adapun terhadap tiga orang lainnya, maka teks yang jelas menyatakan bahwa mereka tidak dikenai ḥadd secara qawl wāḥid, karena dari pihak mereka tidak terdapat kelalaian, sebab mereka telah bersaksi dan jumlahnya telah lengkap, namun yang menarik diri adalah sebagian dari mereka. Jika mereka semua mengatakan, “kami tidak lagi bersaksi,” maka wajib atas mereka ḥadd.

ومن أصحابنا من قال فيه قولان وليس بشيء وإن شهد أربعة على امرأة بالزنا وشهد أربعة نسوة أنها بكر لم يجب عليها الحد لأنه يحتمل أن تكون البكارة أصلية لم تزل ويحتمل أن تكون عائدة لأن البكارة تعود إذا لم يبالغ في الجماع فلا يجب الحد مع الاحتمال ولا يجب الحد على الشهود لأنا إذا درأنا الحد عنها لجواز أن تكون البكارة أصلية وهم كاذبون وجب أن ندرأ الحد عنهم لجواز أن تكون البكارة عائدة وهم صادقون.

dan di antara para sahabat kami ada yang mengatakan bahwa padanya terdapat dua pendapat, dan itu tidak benar.

Jika empat orang bersaksi bahwa seorang perempuan telah berzina, lalu empat perempuan bersaksi bahwa perempuan itu masih perawan, maka tidak wajib atasnya ḥadd, karena ada kemungkinan bahwa keperawanannya adalah keperawanan asli yang belum hilang, dan ada kemungkinan bahwa keperawanannya telah kembali, sebab keperawanan bisa kembali apabila jima‘ tidak dilakukan secara mendalam. Maka tidak wajib ḥadd dalam keadaan adanya kemungkinan.

Dan tidak wajib ḥadd atas para saksi, karena jika kita gugurkan ḥadd dari perempuan tersebut dengan alasan boleh jadi keperawanannya asli dan para saksi berdusta, maka wajib pula kita gugurkan ḥadd dari mereka dengan alasan boleh jadi keperawanan itu telah kembali dan mereka benar.

فصل: ويثبت المال وما يصد به كالبيع والإجارة والهبة والوصية والرهن والضمان بشاهد وامرأتين لقوله تعالى: {وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ} فنص على ذلك في السلم وقسنا عليه المال وكل ما يقصد به المال.

PASAL: Harta dan segala sesuatu yang menjadi alat penetapannya seperti jual beli, ijārah, hibah, wasiat, rahn, dan ḍamān dapat ditetapkan dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ}—Allah telah menyebutnya secara tegas dalam akad salam, dan kami mengqiyaskan kepadanya perkara harta dan semua hal yang bertujuan untuk memperoleh harta.

فصل: وما ليس بمال ولا المقصود منه المال ويطلع عليه الرجال كالنكاح والرجعة والطلاق والعتاق والوكالة والوصية إليه وقتل العمد والحدود سوى حد الزنا لا يثبت إلا بشاهدين ذكرين لقوله عز وجل في الرجعة: {وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} وعن الزهري أنه قال: جرت السنة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم والخليفتين من بعده أن لا تقبل شهادة للنساء في الحدود فدل النص على الرجعة والنكاح والحدود وقسنا عليها كل ما لا يقصد به المال ويطلع عليه الرجال

PASAL: Segala hal yang bukan berupa harta dan bukan pula dimaksudkan untuk memperoleh harta, serta biasanya dapat diketahui oleh laki-laki, seperti nikah, rujū‘, ṭalāq, ‘itāq, wakālah, waṣiyyah yang ditujukan kepada seseorang, qatl al-‘amd, dan ḥudūd selain ḥadd az-zinā, maka tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dua orang saksi laki-laki, berdasarkan firman Allah SWT tentang rujū‘: “Wa asyhidū dhaway ‘adlin minkum” (dan persaksikanlah dengan dua orang laki-laki yang adil di antara kalian). Dan dari az-Zuhrī, ia berkata: Telah berlaku sunnah pada masa Rasulullah SAW dan dua khalifah setelah beliau bahwa tidak diterima kesaksian perempuan dalam perkara ḥudūd. Maka nash menunjukkan hal itu berlaku dalam perkara rujū‘, nikah, dan ḥudūd, dan kami mengqiyaskan kepada semua hal yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh harta dan biasanya diketahui oleh laki-laki.

وإن اتفق الزوجان على النكاح واختلفا في الصداق ثبت الصداق بالشاهد والمرأتين لأنه إثبات مال وإن ادعت المرأة الخلع وأنكر الزوج لم يثبت إلا بشهادة رجلين وإن ادعى الزوج الخلع وأنكرت المرأة ثبت بشهادة رجلين أو رجل وامرأتين لأن بينة المرأة لإثبات الطلاق وبينة الرجل لإثبات المال وإن شهد رجل وامرأتان بالسرقة ثبت المال دون القطع وإن شهد رجل وامرأتان بقتل العمد لم يثبت القصاص ولا الدية والفرق بين القتل والسرقة أن قتل العمل في أحد القولين يوجب القصاص والدية بدل عنه تجب العفو عن القصاص لم يثبت بدله

Jika suami istri sepakat tentang terjadinya nikah namun berselisih tentang ṣadaq, maka ṣadaq dapat ditetapkan dengan kesaksian satu laki-laki dan dua perempuan karena hal itu merupakan penetapan harta. Jika istri mengaku terjadi khulu‘ dan suami mengingkarinya, maka tidak ditetapkan kecuali dengan kesaksian dua laki-laki. Namun jika suami yang mengaku khulu‘ dan istri mengingkarinya, maka dapat ditetapkan dengan kesaksian dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan, karena bāyinah istri untuk menetapkan ṭalāq, sedangkan bāyinah suami untuk menetapkan harta.

Jika seorang laki-laki dan dua perempuan bersaksi tentang pencurian, maka yang ditetapkan adalah harta (yang dicuri), bukan pemotongan tangan. Jika seorang laki-laki dan dua perempuan bersaksi tentang pembunuhan ‘amd, maka tidak ditetapkan qiṣāṣ dan tidak pula diyah. Perbedaan antara pembunuhan dan pencurian adalah bahwa pembunuhan ‘amd menurut salah satu dari dua pendapat mewajibkan qiṣāṣ, dan diyah hanyalah sebagai pengganti yang wajib jika qiṣāṣ dimaafkan, sehingga pengganti itu tidak bisa ditetapkan (secara langsung).

وفي القول الثاني يوجب أحد البدلين لا بعينه وإنما يتعين بالاختيار فلو أوجبنا الدية دون القصاص أوجبنا معيناً وهذا خلاف موجب القتل وليس كذلك السرقة فإنها توجب القطع والمال على سبيل الجمع وليس أحدهما: بدلاً عن الآخر فجاز أن يوجب أحدهما: دون الآخر.

Dan menurut pendapat kedua, pembunuhan ‘amd mewajibkan salah satu dari dua ganti (yaitu qiṣāṣ atau diyah) secara tidak tertentu, dan yang menjadi tertentu ditentukan oleh pilihan. Maka jika kita menetapkan diyah saja tanpa qiṣāṣ, berarti kita menetapkan sesuatu yang tertentu, padahal hal itu bertentangan dengan konsekuensi hukum dari pembunuhan. Tidak demikian halnya dengan pencurian, karena pencurian mewajibkan pemotongan tangan dan pengembalian harta sekaligus, dan bukan salah satu sebagai pengganti dari yang lain, maka boleh ditetapkan salah satunya tanpa yang lain.

فصل: ولا يقبل في موضحة العمد إلا شاهدان ذكران لأنا جناية توجب القصاص وفي الهاشمة والمنقلة قولان: أحدهما: أنه لا يثبت إلا بشاهدين ذكرين لأنها جناية تتضمن القصاص والثاني: أنها تثبت بالشاهد والمرأتين لأن الهاشمة والمنقلة لا قصاص فيهما وإنما القصاص في ضمنهما فثبت بالشاهد والمرأتين فعلى هذا يجب أرش الهاشمة والمنقلة ولا يثبت القصاص في الموضحة وإن اختلف السيد والمكاتب في قدر المال أوصفته أو أدائه قضي فيه بالشاهد والمرأتين لأن الشهادة على المال وإن أفضى إلى العتق الذي لا يثبت بشهادة الرجل والمرأتين كما تثبت الولادة بشهادة النساء وإن أفضى إلى النسب الذي لا يثبت بشهادتهن.

PASAL: Tidak diterima dalam kasus muḍiḥah yang disengaja kecuali dengan dua orang saksi laki-laki, karena ia adalah jinayat yang mewajibkan qiṣāṣ. Adapun dalam hāsyimah dan munqallāh terdapat dua pendapat:

Pertama, bahwa tidak ditetapkan kecuali dengan dua orang saksi laki-laki karena keduanya adalah jinayat yang mengandung qiṣāṣ.
Kedua, bahwa keduanya ditetapkan dengan seorang laki-laki dan dua perempuan karena hāsyimah dan munqallāh tidak ada qiṣāṣ padanya, sedangkan qiṣāṣ hanya ada dalam kandungan keduanya, maka ditetapkan dengan seorang laki-laki dan dua perempuan. Maka berdasarkan pendapat ini, wajib arsy untuk hāsyimah dan munqallāh, dan tidak ditetapkan qiṣāṣ dalam muḍiḥah.

Dan apabila tuan dan mukātib berselisih dalam kadar harta, sifatnya, atau pembayarannya, maka diputuskan dengan seorang laki-laki dan dua perempuan karena kesaksiannya atas harta. Meskipun hal itu mengantarkan kepada kemerdekaan yang tidak bisa ditetapkan dengan kesaksian seorang laki-laki dan dua perempuan, sebagaimana kelahiran bisa ditetapkan dengan kesaksian para perempuan meskipun itu mengantarkan kepada nasab yang tidak bisa ditetapkan dengan kesaksian mereka.

فصل: وإن كان في يد رجل جارية لها ولد فادعى رجل أنها أم ولده وولدها منه وأقام على ذلك شاهداً وامرأتين قضى له بالجارية لأنها مملوكة فقضي فيها بشاهد وامرأتين وإذا مات عتقت بإقراره وهل يثبت نسب الولد وحريته؟ فيه قولان: أحدهما: أنه لا يثبت لأن النسب والحرية لا تثبت بشاهد وامرأتين فيكون الوالد باقياً على ملك المدعى عليه والقول الثاني أنه يثبت لأن الولد نماء الجارية وقد حكم له بالجارية فحكم له بالولد فعلى هذا يحكم بنسب الولد وحريته لأنه أقر بذلك

PASAL: Jika ada seorang laki-laki memegang seorang jariyah yang memiliki anak, lalu datang seorang laki-laki mengaku bahwa perempuan itu adalah ummu walad-nya dan anaknya berasal darinya, serta ia mendatangkan satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, maka diputuskan kepemilikan jariyah untuknya karena ia adalah budak, dan perkara budak diputuskan dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan. Jika orang tersebut wafat, maka jariyah itu merdeka karena pengakuannya. Apakah nasab anak dan status kemerdekaannya juga ditetapkan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama, tidak ditetapkan, karena nasab dan kemerdekaan tidak dapat ditetapkan dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan, sehingga anak tersebut tetap menjadi milik orang yang semula menguasai jariyah itu.

Kedua, ditetapkan, karena anak merupakan bagian dari pertumbuhan (hasil) jariyah, dan ketika kepemilikan jariyah diputuskan untuknya, maka kepemilikan anak pun diputuskan untuknya. Maka berdasarkan pendapat ini, ditetapkan nasab anak dan kemerdekaannya karena ia telah mengakuinya.

وإن ادعى رجل أن العبد الذي في يد فلان كان له وأنه أعتقه وشهد له شاهد وامرأتان فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال فيه قولان: أحدهما: أنه لا يحكم بهذه البينة لأنها تشهد له بملك متقدم فلم يحكم بها كما لو ادعى على رجل عبداً وشهد له شاهد وامرأتان أنه كان له والثاني: أنه يحكم بها لأنه ادعى ملكاً متقدماً وشهدت له البينة فيما ادعاه ومن أصحابنا من قال يحكم بها قولاً واحداً والفرق بينه وبين المسألة قبلها أن هناك لا يدعي ملك الولد وهو يقر أنه حر الأصل فلم يحكم ببينته في أحد القولين وههنا ادعى ملك العبد وأنه أعتقه فحكم ببنته.

Dan jika seseorang mengklaim bahwa budak yang berada di tangan si Fulan dahulu miliknya dan bahwa ia telah memerdekakannya, lalu ia menghadirkan satu saksi laki-laki dan dua perempuan yang bersaksi untuknya, maka para sahabat kami berselisih pendapat dalam hal ini.

Sebagian dari mereka berkata bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Pertama, tidak diputuskan hukum berdasarkan kesaksian tersebut karena kesaksian itu menunjukkan kepemilikan terdahulu, maka tidak dihukumi dengannya sebagaimana jika seseorang mengklaim terhadap orang lain bahwa budak itu adalah miliknya, dan ada satu saksi laki-laki dan dua perempuan yang bersaksi bahwa budak itu dahulu miliknya.

Kedua, diputuskan hukum dengannya karena ia mengklaim kepemilikan terdahulu dan bukti kesaksiannya sesuai dengan apa yang ia klaim.

Sebagian dari sahabat kami juga berkata bahwa diputuskan hukum dengannya secara qaul wāḥid (satu pendapat saja). Perbedaan antara kasus ini dan kasus sebelumnya adalah bahwa dalam kasus sebelumnya ia tidak mengklaim kepemilikan anak, bahkan mengakui bahwa anak itu merdeka sejak asalnya, maka dalam salah satu pendapat tidak diputuskan berdasarkan kesaksiannya. Sedangkan dalam kasus ini ia mengklaim kepemilikan budak dan bahwa ia telah memerdekakannya, maka diputuskan berdasarkan kesaksiannya.

فصل: ويقبل فيما لا يطلع عليه الرجال من الولادة والرضاع والعيوب التي تحت الثياب شهادة النساء مفردات لأن الرجال لا يطلعون عليها في العادة فلولم تقبل فيها شهادة النساء منفردات بطلب عند التجاحد ولا يثبت شيء من ذلك إلا بعدد لأنها شهادة فاعتبر فيها العدد ولا يقبل أقل من أربع نسوة لأن أقل الشهادات رجلان وشهادة امرأتين بشهادة رجل

PASAL: Diterima dalam perkara yang tidak dapat disaksikan oleh laki-laki seperti kelahiran, penyusuan, dan cacat yang berada di bawah pakaian, kesaksian para perempuan secara sendiri-sendiri, karena laki-laki secara kebiasaan tidak menyaksikan hal tersebut. Maka, jika tidak diterima kesaksian perempuan secara sendiri-sendiri dalam hal ini, akan menyebabkan tidak bisa menetapkan sesuatu dalam kondisi saling mengingkari. Dan tidak ditetapkan sesuatu dari perkara tersebut kecuali dengan jumlah tertentu karena ia merupakan kesaksian, maka disyaratkan adanya jumlah. Tidak diterima kurang dari empat perempuan, karena jumlah kesaksian paling sedikit adalah dua laki-laki, dan kesaksian dua perempuan setara dengan satu laki-laki.

والدليل عليه قوله تعالى: {فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ} فأقام المرأتين مقام الرجل وروى عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “ما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب على ذي لب منكن” قالت امرأة يا رسول الله ما ناقصات العقل والدين قال: “أما ناقصات العقل فشهادة امرأتين كشاهدة رجل فهذا نقصان العقل والدين قال: أما نقصان العقل فشهادة امرأتين كشهادة رجل فهذا نقصان العقل وأما نقصان الدين فإن إحداكن تمكث الليالي لا تصلي وتفطر في شهر رمضان فهذا من نقصان الدين”. فقبل فيها شهادة الرجلين وشهادة الرجل والمرأتين لأنه إذا أجيز شهادة النساء منفردات لتعذر الرجال فلأن تقبل شهادة الرجال والرجال والنساء أولى وتقبل في الرضاع شهادة المرضعة

Dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {fa-in lam yakūnā rajulayni farajulun wamra’atān} (Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan), maka Allah menjadikan dua perempuan sebagai pengganti satu laki-laki. Dan diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah aku melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun lebih mampu menguasai orang berakal daripada kalian.” Seorang perempuan bertanya: “Wahai Rasulullah, apa maksud kurang akal dan agama itu?” Beliau menjawab: “Adapun kurang akal adalah karena kesaksian dua perempuan sebanding dengan kesaksian satu laki-laki, itulah kekurangan akal. Adapun kekurangan agama adalah karena salah seorang dari kalian tidak salat beberapa malam dan tidak berpuasa di bulan Ramadan, maka itu adalah kekurangan dalam agama.”

Maka diterima dalam hal tersebut kesaksian dua laki-laki dan kesaksian satu laki-laki dan dua perempuan, karena jika kesaksian para perempuan sendiri diterima karena tidak adanya laki-laki, maka menerima kesaksian laki-laki saja atau laki-laki dan perempuan itu lebih utama. Dan diterima dalam perkara penyusuan kesaksian perempuan yang menyusui.

لما روى عقبة بن الحارث أنه تزوج أم يحيى بنت أبي إهاب فجاءت امرأة سوداء فقالت: قد أرضعتكما فجاءت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت له ذلك فقال: كيف وقد زعمت أنها أرضعتكما فنهاه عنها ولأنها لا تجر بهذه الشهادة نفعاً إلى نفسها ولا تدفع عنها ضرراً ولا تقبل شهادة المرأة على ولادتها لأنا تثبت لنفسها بذلك حقاً وهو النفقة وتقبل شهادة النساء منفردات على استهلال الولد وإنه بقي متألماً إلى أن مات وقال الربيع رحمه الله فيه قول آخر أنه لا يقبل إلا شهادة رجلين والصحيح هو الأول لأن الغالب أنه لا يحضرها الرجال.

Karena telah diriwayatkan bahwa ‘Uqbah bin al-Ḥārits menikahi Umm Yaḥyā binti Abī Ihaab, lalu datang seorang perempuan berkulit hitam dan berkata: “Aku telah menyusui kalian berdua.” Maka ‘Uqbah datang kepada Nabi SAW dan menyampaikan hal tersebut kepadanya, lalu beliau bersabda: “Bagaimana mungkin padahal ia mengaku telah menyusui kalian berdua?” Maka beliau melarangnya menikahinya.

Dan karena perempuan tersebut tidak menarik manfaat untuk dirinya dengan kesaksian itu, dan tidak pula menolak mudarat dari dirinya. Tidak diterima kesaksian perempuan atas kelahiran dirinya sendiri karena ia menetapkan hak nafkah untuk dirinya dengan kesaksian itu. Namun diterima kesaksian para perempuan secara sendiri-sendiri atas suara tangis bayi (istihlāl al-walad) dan bahwa ia sempat merasakan sakit hingga meninggal dunia.

Dan ar-Rabī‘ rahimahullah berkata bahwa dalam hal ini ada pendapat lain: tidak diterima kecuali kesaksian dua laki-laki. Namun pendapat yang sahih adalah yang pertama karena umumnya laki-laki tidak menyaksikan kejadian tersebut.

فصل: وما يثبت بالشاهد والمرأتين يثبت بالشاهد واليمين لما روى عمرو بن دينار عن ابن عباس رضي الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قضى بيمين وشاهد قال عمرو: ذلك في الأموال واختلف أصحابنا في الوقف فقال أبو إسحاق وعامة أصحابنا يبنى على القولين فإن قلنا إن الملك للموقوف عليه قضي فيه بالشاهد واليمين لأنه نقل ملك فقضى فيه بالشاهد واليمين كالبيع إن قلنا إنه ينتقل إلى الله عز وجل لم يقض فيه بالشاهد واليمين لأنه إزالة ملك إلى غير الآدمي فلم يقض فيه بالشاهد واليمين كالعتق وقال أبو العباس رحمه الله يقضي فيه بالشاهد واليمين على القولين جميعاً لأن القصد بالوقف تمليك المنفعة فقضي فيه بالشاهد واليمين كالإجارة.

PASAL: Apa yang dapat ditetapkan dengan satu saksi dan dua perempuan, dapat pula ditetapkan dengan satu saksi dan sumpah, berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Dīnār dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Rasulullah SAW memutuskan perkara dengan satu saksi dan sumpah. ‘Amr berkata: Itu dalam perkara harta. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam masalah wakaf. Abu Ishaq dan mayoritas sahabat kami berkata: Masalah ini dibangun di atas dua pendapat. Jika dikatakan bahwa kepemilikan adalah milik orang yang menerima wakaf, maka diputuskan dengan satu saksi dan sumpah, karena hal itu adalah pemindahan kepemilikan, maka diputuskan dengannya sebagaimana dalam jual beli. Jika dikatakan bahwa wakaf berpindah kepada Allah Azza wa Jalla, maka tidak diputuskan dengan satu saksi dan sumpah karena hal itu merupakan pengalihan kepemilikan kepada selain manusia, maka tidak diputuskan dengan satu saksi dan sumpah sebagaimana dalam masalah pembebasan budak. Abu al-‘Abbās rahimahullah berkata: Diputuskan dengan satu saksi dan sumpah dalam kedua pendapat tersebut, karena maksud dari wakaf adalah kepemilikan manfaat, maka diputuskan dengan satu saksi dan sumpah sebagaimana dalam sewa-menyewa.

باب تحمل الشهادة وأدائها
لا يجوز تحمل الشهادة وأداؤها إلا عن علم والدليل عليه قوله تعالى: {وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً} وقوله تعالى: {إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ} فأمر الله تعالى أن يشهد عن علم وقوله عز وجل: {سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلونَ} وهذا الوعيد يوجب التحفظ في الشهادة وأن لا يشهد إلا عن علم

BAB MEMIKUL DAN MENYAMPAIKAN KESAKSIAN
Tidak boleh memikul kesaksian dan menyampaikannya kecuali berdasarkan ilmu. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {wa lā taqfu mā laysa laka bihi ‘ilm, inna as-sam‘a wal-baṣara wal-fu’āda kullu ulā’ika kāna ‘anhu mas’ūlā} (Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati—semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban). Dan firman Allah Ta‘ala: {illā man syahida bil-ḥaqqi wa hum ya‘lamūn} (kecuali orang yang memberi kesaksian dengan benar, dan mereka mengetahui). Maka Allah Ta‘ala memerintahkan untuk bersaksi berdasarkan ilmu.

Dan firman-Nya ‘azza wa jalla: {satu ktabu syahādatuhum wa yus’alūn} (Kesaksian mereka akan dicatat dan mereka akan ditanyai). Ancaman ini mewajibkan kehati-hatian dalam memberikan kesaksian dan bahwa seseorang tidak boleh bersaksi kecuali berdasarkan ilmu.

وروى طاوس عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الشهادة فقال: “هل ترى الشمس”؟ قال: نعم قال: “فعلى مثلها فاشهد أودع”. وإن كانت الشهادة على فعل كالجناية والغصب والزنا والسرقة والرضاع والولادة وغيرها بما يدرك بالعين لم تجز الشهادة به إلا عن مشاهدة لأنها لا تعلم إلا بها وإن كانت الشهادة على عورة ووقع بصره عليها من غير قصد جاز أن يشهد بما شاهد وإن أراد أن يقصد النظر ليشهد فالمنصوص أنه يجوز وهو قول أبي إسحاق المروزي لأن أبا بكر ونافعاً وشبل بن معبد شهدوا على المغيرة بالزنا عند عمر رضي الله عنه فلم ينكر عمر ولا غيره نظرهم

Diriwayatkan oleh Ṭāwūs dari Ibn ‘Abbās RA bahwa ia berkata: Rasulullah SAW ditanya tentang kesaksian, lalu beliau bersabda: “Apakah engkau melihat matahari?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Maka bersaksilah atas sesuatu seperti engkau melihat matahari itu, atau tinggalkanlah.”

Jika kesaksian itu atas suatu perbuatan seperti jinayah, ghoṣb, zina, pencurian, penyusuan, kelahiran, dan semisalnya yang hanya bisa diketahui dengan penglihatan, maka tidak boleh bersaksi kecuali berdasarkan penglihatan langsung, karena hal tersebut hanya dapat diketahui dengannya.

Dan jika kesaksiannya atas aurat dan ia melihatnya tanpa sengaja, maka boleh ia bersaksi atas apa yang telah ia lihat. Dan jika ia bermaksud untuk melihat dengan sengaja agar bisa bersaksi, maka pendapat yang manshūṣ (dinyatakan secara eksplisit) adalah bahwa hal itu diperbolehkan, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, karena Abū Bakar, Nāfi‘, dan Syibl bin Ma‘bad bersaksi atas al-Mughīrah dalam perkara zina di hadapan ‘Umar RA, dan ‘Umar maupun selainnya tidak mengingkari pandangan mereka.

وقال أبو سعيد الإصطخري: لا يجوز أن يقصد النظر لأنه في الزنا مندوب إلى الستر وفي الولادة والرضاع تقبل شهادة النساء فلا حاجة بالرجال إلى النظر للشهادة ومن أصحابنا من قال يجوز في الزنا دون غيره لأن الزاني هتك حرمة الله تعالى بالزنا فجاز أن تهتك حركته بالنظر إلى عورته وفي غير الزنا لم يوجد من المشهود عليه هتك حركته ومنهم من قال يجوز في غير الزنا ولا يجوز في الزنا لأن حد الزنا يبنى على الدرء والإسقاط فلا يجوز أن يتوصل إلى إثباته بالنظر وغيره لم يبن على الدرء والإسقاط فجاز أن يتوصل إلى إثباته بالنظر.

Dan Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: Tidak boleh sengaja melihat, karena dalam perkara zina dianjurkan untuk menutupinya, dan dalam perkara kelahiran dan penyusuan diterima kesaksian perempuan, maka tidak ada kebutuhan bagi laki-laki untuk melihat demi kesaksian.

Sebagian dari kalangan kami (ulama mazhab) berkata: Boleh melihat dengan sengaja dalam perkara zina saja, tidak dalam selainnya, karena pezina telah menodai kehormatan Allah Ta‘ala dengan perbuatan zinanya, maka boleh kehormatannya dilanggar dengan melihat auratnya. Adapun selain zina, orang yang disaksikan tidak menodai kehormatannya, maka tidak boleh dilihat.

Dan sebagian mereka berkata: Boleh melihat dalam selain zina, tidak dalam zina, karena hukum had zina dibangun atas dasar dar’ (menggugurkan) dan penghapusan, maka tidak boleh berusaha menetapkannya dengan cara melihat. Sedangkan selain zina tidak dibangun atas dasar dar’ dan penghapusan, maka boleh berusaha menetapkannya dengan melihat.

فصل: وإن كانت الشهادة على قول كالبيع والنكاح والطلاق والإقرار لم يجز التحمل فيها إلا بسماع القول ومشاهدة القائل لأنه لا يحصل العلم بذلك إلا بالسماع والمشاهدة وإن كانت الشهادة على ما لا يعلم إلا بالخبر وهو ثلاثة النسب والملك والموت جاز أن يشه فيه بالاستفاضة فإن استفاض في الناس أن فلاناً ابن فلان وأن فلاناً هاشمي أو أموي جاز أن يشهد به لأن سبب النسب لا يدرك بالمشاهدة وإن استفاض في الناس أن هذه الدار وهذا العبد لفلان جاز أن يشهد به لأن أسباب الملك لا تضبط فجاز أن يشهد فيه بالاستفاضة

PASAL: Dan jika kesaksian itu atas ucapan seperti jual beli, nikah, talak, dan pengakuan, maka tidak boleh menanggung kesaksian di dalamnya kecuali dengan mendengar ucapan dan menyaksikan orang yang mengucapkannya, karena ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan mendengar dan menyaksikan. Dan jika kesaksian itu atas sesuatu yang tidak diketahui kecuali dengan berita, maka itu ada tiga: nasab, kepemilikan, dan kematian, maka boleh bersaksi padanya dengan istifāḍah. Jika telah tersebar di tengah masyarakat bahwa si fulan adalah anak dari si fulan, atau bahwa si fulan adalah Hasyimi atau Umayyah, maka boleh bersaksi atasnya karena sebab nasab tidak bisa diketahui dengan penyaksian. Dan jika telah tersebar di tengah masyarakat bahwa rumah ini atau budak ini milik si fulan, maka boleh bersaksi atasnya karena sebab-sebab kepemilikan tidak dapat dipastikan secara rinci, maka boleh bersaksi di dalamnya dengan istifāḍah.

وإن استفاض أن فلاناً مات جاز أن يشهد به لأن أسباب الموت كثيرة منها خفية ومنها ظاهرة ويتعذر الوقوف عليها وفي عدد الاستفاضة وجهان: أحدهما: وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله أن أقله أن يسمع من اثنين عدلين لأن ذلك بينة والثاني: وهو قول أقضى القضاة أبي الحسن الماوردي رحمه الله أنه لا يثبت إلا بعدد يقع العلم بخبرهم لأن ما دون ذلك من أخبار الآحاد فلا يقع العلم من جهتهم

Dan jika telah tersebar bahwa si fulan telah meninggal, maka boleh bersaksi atasnya karena sebab-sebab kematian itu banyak, ada yang tersembunyi dan ada yang tampak, dan sulit untuk mengetahuinya secara langsung. Tentang jumlah istifāḍah, terdapat dua pendapat: pertama, yaitu pendapat asy-syaikh Abū Ḥāmid al-Isfārā’īnī rahimahullah bahwa batas minimalnya adalah mendengar dari dua orang yang ‘adl, karena hal itu merupakan bayyinah; kedua, yaitu pendapat Aqḍā al-Quḍāh Abū al-Ḥasan al-Māwardī rahimahullah bahwa tidak dapat ditetapkan kecuali dengan jumlah yang beritanya menimbulkan ilmu (yakin), karena di bawah jumlah itu tergolong khabar āḥād, sehingga tidak menimbulkan ilmu dari sisi mereka.

فإن سمع إنساناً يقر بنسب أب أو ابن فإن صدقه المقر له جاز له أن يشهد به لأنه شهادة على إقرار وإن كذبه لم يجز أن يشهد به لأنه لم يثبت النسب وإن سكت فله أن يشهد به لأن السكوت في النسب رضى بدليل أنه إذا بشر بولد فسكت عن نفسه لحقه نسبه ومن أصحابنا من قال لا يشهد حتى يتكرر الإقرار به مع السكوت وإن رأى شيئاً في يد إنسان مدة يسيرة جاز أن يشهد له باليد ولا يشهد له بالملك وإن رآه في يده مدة طويلة يتصرف فيه جاز أن يشهد له باليد

Jika seseorang mendengar orang lain mengaku sebagai ayah atau anak, maka jika orang yang diakui membenarkannya, boleh baginya bersaksi karena itu adalah kesaksian atas suatu pengakuan. Namun jika orang yang diakui mendustakannya, tidak boleh bersaksi karena nasab belum terbukti. Jika ia diam, maka boleh bersaksi karena diam dalam hal nasab dianggap sebagai keridhaan, dengan dalil bahwa jika seseorang diberi kabar gembira dengan kelahiran anak lalu ia diam, maka nasab anak itu tetap dinisbahkan kepadanya. Sebagian dari ulama kami berpendapat bahwa tidak boleh bersaksi kecuali pengakuan itu terulang dengan diiringi sikap diam. Jika seseorang melihat sesuatu berada di tangan orang lain dalam waktu singkat, boleh baginya bersaksi tentang yad (kepemilikan fisik), namun tidak boleh bersaksi tentang kepemilikan hak milik (mulk). Jika ia melihatnya dalam jangka waktu lama dan orang tersebut menggunakannya, maka boleh baginya bersaksi tentang yad.

وهل يجوز أن يشهد له بالملك فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي سعيد الإصطخري رحمه الله أنه يجوز لأن اليد والتصرف يدلان على الملك والثاني: وهو قول أبي إسحاق رحمه الله أنه لا يجوز أن يشهد له بالملك لأنه قد تكون اليد والتصرف عن ملك وقد تكون عن إجارة أو وكالة أو غصب فلا يجوز أن يشهد له بالملك مع الاحتمال واختلف أصحابنا في النكاح والعتق والوقف والولاء فقال أبو سعيد الإصطخري رحمه الله يجوز أن يشهد فيها بالاستفاضة لأنه يعرف بالاستفاضة أن عائشة رضي الله عنها زوجة النبي صلى الله عليه وسلم وأن نافعاً مولى ابن عمر رضي الله عنه كما يعرف أن فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال أبو إسحاق رحمه الله: لا يجوز لأنه عقد فلا يجوز أن يشهد فيه بالاستفاضة كالبيع.

Dan apakah boleh bersaksi tentang kepemilikan (milik)? Maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī rahimahullah: boleh bersaksi tentang kepemilikan karena yad (penguasaan fisik) dan taṣarruf (penggunaan) menunjukkan kepemilikan.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq rahimahullah: tidak boleh bersaksi tentang kepemilikan karena bisa jadi yad dan taṣarruf itu berdasarkan kepemilikan, namun bisa juga karena sewa, perwakilan, atau perampasan, maka tidak boleh bersaksi atas kepemilikan selama masih ada kemungkinan demikian.

Para ulama kami berbeda pendapat tentang nikah, ‘itq (pembebasan budak), wakaf, dan walā’. Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī rahimahullah berpendapat: boleh bersaksi tentangnya berdasarkan istifāḍah (berita yang menyebar luas), karena telah dikenal melalui istifāḍah bahwa ‘Āisyah RA adalah istri Nabi SAW, dan bahwa Nāfi‘ adalah mawlā (budak yang dibebaskan) Ibnu ‘Umar RA, sebagaimana diketahui bahwa Fāṭimah adalah putri Rasulullah SAW.

Adapun Abū Isḥāq rahimahullah berpendapat: tidak boleh, karena itu merupakan akad, maka tidak boleh bersaksi atasnya berdasarkan istifāḍah, sebagaimana halnya jual beli.

فصل: ويجوز أن يكون الأعمى شاهداً فيما يثبت بالاستفاضة لأن طريق العلم به السماع والأعمى كالبصير في السماع ويجوز أن يكون شاهداً في الترجمة لأنه يفسر ما سمعه يحضره الحاكم وسماعه كسماع البصير ولا يجوز أن يكون شاهداً على الأفعال كالقتل والغصب والزنا لأن طريق العلم بها البصر ولا يجوز أن يكون شاهداً على الأقوال كالبيع والإقرار والنكاح والطلاق إذا كان المشهود عليه خارجاً عن يده

PASAL: Boleh orang buta menjadi saksi dalam perkara yang ditetapkan berdasarkan istifāḍah, karena jalan untuk mengetahuinya adalah pendengaran, dan orang buta sama dengan orang yang melihat dalam hal pendengaran. Dan boleh menjadi saksi dalam tarjamah (penerjemahan atau penyampaian kembali), karena ia menjelaskan apa yang ia dengar di hadapan hakim, dan pendengarannya sama seperti pendengaran orang yang melihat. Namun tidak boleh menjadi saksi atas perbuatan seperti pembunuhan, perampasan, dan zina, karena jalan untuk mengetahuinya adalah penglihatan. Dan tidak boleh pula menjadi saksi atas ucapan-ucapan seperti jual beli, pengakuan, nikah, dan talak, jika orang yang menjadi objek kesaksian berada di luar kekuasaannya.

وحكي عن المزني رحمه الله أنه قال يجوز أن يكون شاهداً فيها إذا عرف الصوت ووجهه أنه إذا جاز أن يروي الحديث إذا عرف المحدث بالصوت ويستمتع بالزوجة إذا عرفها بالصوت جاز أن يشهد إذا عرف المشهود عليه بالصوت وهذا خطأ لأن من شرط الشهادة العلم وبالصوت لا يحصل له العلم بالمتكلم لأن الصوت يشبه الصوت ويخالف رواية الحديث والاستمتاع بالزوجة لأن ذلك يجوز بالظن وهو خبر الواحد

Diriwayatkan dari al-Muzani rahimahullah bahwa beliau berkata: Boleh seseorang menjadi saksi dalam hal itu jika ia mengenali suara dan wajahnya, karena jika diperbolehkan meriwayatkan hadis apabila mengenali muhaddits dari suaranya, dan diperbolehkan bersenang-senang dengan istri jika mengenalinya dari suaranya, maka boleh pula bersaksi jika ia mengenali orang yang disaksikan atasnya dari suaranya. Dan ini adalah kekeliruan, karena di antara syarat kesaksian adalah ‘ilm (pengetahuan), sedangkan dengan suara tidak dapat diperoleh ‘ilm terhadap orang yang berbicara, karena suara bisa mirip dengan suara lain. Ini berbeda dengan meriwayatkan hadis dan bersenang-senang dengan istri, karena keduanya boleh dilakukan dengan ẓann, dan itu merupakan khabar al-wāḥid.

وأما إذا جاء رجل وترك فمه على أذنه وطلق أو أعتق أو أقر ويد الأعمر على رأس الرجل فضبطه إلى أن حضر عند الحاكم فشهد علي بما سمعه منه قبلت شهادته لأنه شهد عن علم وإن تحمل الشهادة على فعل أو قول وهو يبصر ثم عمر نظرت فإن كان لا يعرف المشهود عليه إلا بالعين وهو خارج عن يده لم تقبل شهادته عليه لأنه لا علم له بمن يشهد عليه وإن تحمل الشهادة ويده في يده وهو بصير ثم عمي ولم تفارق يده يده حتى حضر إلى الحاكم وشهد عليه قبلت شهادته لأنه يشهد عليه عن علم وإن تحمل الشهادة على رجل يعرفه بالاسم والنسب وهو بصير ثم عمر قبلت شهادته لأنه يشهد على من يعلمه.

Adapun jika datang seorang laki-laki dan mendekatkan mulutnya ke telinga orang lain lalu menjatuhkan ṭalāq, atau memerdekakan budak, atau mengakui sesuatu, sedangkan tangan orang buta berada di atas kepala laki-laki tersebut dan ia menahannya hingga dihadirkan kepada hakim lalu bersaksi atas apa yang ia dengar darinya, maka kesaksiannya diterima karena ia bersaksi berdasarkan ilmu.

Dan jika ia menerima kesaksian atas suatu perbuatan atau ucapan dalam keadaan ia melihat, lalu ia menjadi buta, maka dilihat: jika ia tidak mengenali orang yang disaksikan atasnya kecuali dengan penglihatan, dan orang tersebut berada di luar kekuasaannya, maka tidak diterima kesaksiannya terhadapnya karena ia tidak memiliki ilmu tentang siapa yang ia saksikan. Namun jika ia menerima kesaksian dalam keadaan tangannya menggenggam tangan orang tersebut dan ia masih dalam keadaan dapat melihat, kemudian ia menjadi buta, dan tangannya tidak lepas dari tangan orang itu hingga ia dihadirkan kepada hakim dan bersaksi atasnya, maka kesaksiannya diterima karena ia bersaksi berdasarkan ilmu.

Dan jika ia menerima kesaksian atas seorang laki-laki yang ia kenal dengan nama dan nasab dalam keadaan ia dapat melihat, lalu ia menjadi buta, maka kesaksiannya diterima karena ia bersaksi atas orang yang ia ketahui.

فصل: ومن شهد بالنكاح ذكر شروطه لأن الناس يختلفون في شروطه فوجب ذكرها في الشهادة وإن رهن رجل عبداً عند رجل بألف ثم زاده ألفاً آخر وجعل العين رهناً بهما وأشهد الشهود على نفسه أن العين رهن بألفين وعلم الشهود حال الرهن في الباطن فإن كانوا يعقدون أنه لا يجوز إلحاق الزيادة بالدين في الرهن لم يجز أن يشهدوا إلا بما جرى الأمر عليه في الباطن وإن كانوا يعتقدون أنه يجوز إلحاق الزيادة بالدين في الرهن ففيه وجهان: أحدهما: يجوز أن يشهدوا بأن العين رهن بألفين لأنهم يعتقدون أنهم صادقون في ذلك والثاني: أنه لا يجوز أن يشهدوا إلا بذكر ما جرى الأمر عليه في الباطن لأن الاعتبار في الحكم باجتهاد الحاكم دون الشهود.

PASAL: Barang siapa yang bersaksi dalam akad nikah, maka ia harus menyebutkan syarat-syaratnya, karena manusia berbeda pendapat dalam syarat-syaratnya, maka wajib menyebutkannya dalam kesaksian.

Jika seseorang menjadikan seorang budak sebagai barang gadai kepada orang lain dengan seribu, kemudian ia menambahkan seribu lagi dan menjadikan barang tersebut sebagai gadai untuk keduanya, lalu ia mempersaksikan para saksi atas dirinya bahwa barang tersebut menjadi gadai atas dua ribu, dan para saksi mengetahui keadaan gadai tersebut secara batin, maka jika mereka berkeyakinan bahwa tidak boleh menyertakan tambahan pada utang dalam gadai, maka tidak boleh mereka bersaksi kecuali atas apa yang terjadi secara batin.

Namun jika mereka berkeyakinan bahwa boleh menyertakan tambahan pada utang dalam gadai, maka ada dua pendapat: pertama, boleh bagi mereka untuk bersaksi bahwa barang tersebut menjadi gadai atas dua ribu karena mereka meyakini bahwa mereka jujur dalam hal itu. Kedua, tidak boleh mereka bersaksi kecuali dengan menyebutkan apa yang terjadi secara batin, karena pertimbangan dalam hukum itu berdasarkan ijtihād hakim, bukan para saksi.

فصل: ومن شهد بالرضاع وصف الرضاع وأنه ارتضع الصبي من ثديها أومن لبن حلب منها خمس رضعات متفرقات في حولين لاختلاف الناس في شروط الرضاع فإن شهد أنه ابنها من الرضاع لم تقبل لأن الناس يختلفون فيما يصير به ابناً من الرضاع وإن رأى امرأة أخذت صبياً تحت ثيابها وأرضعته لم يجز أن يشهد بالرضاع لأنه يجوز أن يكون قد أعدت شيئاً فيه لبن من غيرها على هيئة الثدي فرأى الصبي يمص فظة ثدياً

PASAL: Barang siapa bersaksi tentang raḍā‘ (susuan), maka ia harus menjelaskan sifat raḍā‘-nya, yaitu bahwa si anak menyusu langsung dari payudaranya, atau dari susu yang diperah darinya, sebanyak lima kali susuan yang terpisah-pisah dalam rentang dua tahun, karena terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai syarat-syarat raḍā‘. Jika ia bersaksi bahwa anak itu adalah anak susuan perempuan tersebut, maka kesaksiannya tidak diterima, karena para ulama berbeda pendapat tentang hal apa yang menyebabkan seseorang menjadi anak susuan.

Dan jika ia melihat seorang perempuan mengambil seorang anak kecil ke bawah kainnya dan menyusuinya, maka tidak boleh bersaksi bahwa telah terjadi raḍā‘, karena bisa jadi perempuan itu telah menyiapkan sesuatu yang berisi susu dari selain dirinya, dengan bentuk menyerupai payudara, lalu ia melihat si anak mengisap benda itu, sehingga tampak seolah-olah sedang menyusu.

فصل: ومن شهد بالجناية ذكر صفاتها فإن قال ضربه بالسيف فمات أو قال ضربه بالسيف فوجدته ميتاً لم يثبت القتل بشهادته لجواز أن يكون مات من غير ضربه وإن قال ضربه بالسيف فمات منه أو ضربه لقتله ثبت القتل بشهادته وإن قال ضربه بالسيف فأنهر دمه فمات مكانه ثبت القتل لشهادته على المنصوص لأنه إذا أنهر دمه فمات علم أنه مات من ضربه فإن قال ضربه فاتضح أو قال ضربه بالسيف فوجدته موضحا لم تثبت الموضحة بشهادته لأنه أضاف الموضحة إليه

PASAL: Dan barang siapa bersaksi tentang suatu jināyah, maka ia harus menyebutkan sifat-sifatnya. Jika ia berkata, “Ia memukulnya dengan pedang lalu mati,” atau berkata, “Ia memukulnya dengan pedang lalu aku dapati ia telah mati,” maka tidak ditetapkan pembunuhan dengan kesaksiannya, karena bisa jadi ia mati bukan karena pukulan tersebut. Namun jika ia berkata, “Ia memukulnya dengan pedang lalu ia mati karena pukulan itu,” atau “Ia memukulnya dengan maksud membunuhnya,” maka pembunuhan ditetapkan dengan kesaksiannya.

Jika ia berkata, “Ia memukulnya dengan pedang hingga mengalirkan darahnya, lalu ia mati di tempat,” maka pembunuhan ditetapkan berdasarkan kesaksiannya menurut nash, karena apabila darahnya mengalir lalu ia mati, maka diketahui bahwa ia mati karena pukulan tersebut. Jika ia berkata, “Ia memukulnya lalu terjadi muwaḍḥah,” atau berkata, “Ia memukulnya dengan pedang lalu aku dapati ia mengalami muwaḍḥah,” maka muwaḍḥah tidak dapat ditetapkan dengan kesaksiannya, karena ia menyandarkan muwaḍḥah itu kepada dirinya sendiri.

وإن قال ضربه فسال دمه لم تثبت الدامية بالشهادة لجواز أن يكون سيلان الدم من غير الضرب وإن قال ضربه فتسال دمه ومات قبلت شهادته في الدامية لأنه أضافها إليه ولا تقبل في الموت لأنه يحتمل أن يكون الموت من غيره وإن قال ضربه بالسيف فأوضحه فوجدت في رأسه موضحتيه لم يجز القصاص لأنا لا نعلم على أي الموضحتين شهد ويجب أرش موضحة لأن الجهل بعينها ليس بجهل لأنه قد أوضحه.

Jika ia berkata, “Ia memukulnya lalu darahnya mengalir,” maka dāmiyah tidak dapat ditetapkan dengan kesaksiannya, karena bisa jadi darah itu mengalir bukan karena pukulan. Namun jika ia berkata, “Ia memukulnya lalu darahnya mengalir, dan ia mati,” maka kesaksiannya diterima dalam hal dāmiyah, karena ia menyandarkan dāmiyah itu kepada pukulan tersebut. Namun tidak diterima dalam hal kematian, karena bisa jadi kematiannya disebabkan oleh selain itu.

Jika ia berkata, “Ia memukulnya dengan pedang lalu membuat muwaḍḥah, dan aku mendapati di kepalanya dua muwaḍḥah,” maka tidak boleh dilakukan qiṣāṣ, karena kita tidak mengetahui pada muwaḍḥah yang mana ia bersaksi. Namun wajib membayar arsy muwaḍḥah, karena ketidaktahuan atas yang mana dari keduanya bukanlah ketidaktahuan mutlak, sebab ia memang telah membuat muwaḍḥah itu.

فصل: وإن شهد بالنا ذكر الزاني ومن زنى به لأنه قد يراه على بهيمة فيعتقد أن ذلك زنا والحاكم لا يعتقد أن ذلك زنا أو يراه على زوجته أو جارية ابنه فيظن أنه زنى ويذكر صفة الزنا فإن لم يذكر أنه أولج أو رأى ذكره في فرجها لك يحكم له لأن زياداً لما شهد على المغيرة عند عمر رضي الله عنه ولم يذكر ذلك لم يقم الحد على المغيرة فإن لم يذكر الشهود ذلك سألهم الإمام عنه فإن شهد ثلاثة بالزنا ووصفوا الزنا وشهد الرابع ولم يذكر الزنا لم يجب الحد على المشهور عليه لأن البينة لم تكمل ولم يحد الرابع عليه لأنه لم يشهد بالزنا

PASAL: Jika seorang saksi bersaksi tentang zina, maka ia harus menyebutkan pelaku zina dan dengan siapa ia berzina, karena bisa jadi ia melihat seseorang di atas hewan lalu menyangka itu adalah zina, atau melihatnya di atas istrinya atau jariah anaknya lalu mengira itu zina. Maka ia harus menyebutkan sifat zina tersebut. Jika ia tidak menyebutkan bahwa telah terjadi ilāj atau bahwa ia melihat dzakar dimasukkan ke dalam farj, maka tidak dijatuhi hukum atasnya, karena ketika Ziyād bersaksi atas al-Mughīrah di hadapan ‘Umar RA namun tidak menyebutkan hal tersebut, maka tidak ditegakkan had atas al-Mughīrah. Jika para saksi tidak menyebutkan hal itu, maka imam harus menanyakannya kepada mereka. Jika tiga orang bersaksi atas perzinaan dan mereka menyebutkan sifat zina, lalu orang keempat bersaksi namun tidak menyebutkan zina, maka had tidak wajib atas yang dituduh karena kesaksian belum lengkap, dan orang keempat tidak dijatuhi had karena ia tidak bersaksi atas zina.

وهل يجب الحد على الثلاثة فيه قولان وإن شهد أربعة بالزنا وفسر ثلاثة منهم الزنا وفسر الرابع بما ليس بزنا لم يحد المشهود عليه لأنه لم تكمل البينة ويجب الحد على الرابع قولاً واحداً لأنه قذفه بالزنا ثم ذكر ما ليس بزنا وهل يحد الثلاثة على القولين فإن شهد أربعة بالزنا ومات واحد منهم قبل أن يفسر وفسر الباقون بالزنا لم يجب الحد على المشهود عليه لجواز أن يكون ما شهد به الرابع ليس بزنا ولا يجب على الشهود الباقين الحد لجواز أن يكون ما شهد به الرابع زنا فلا يجب الحد مع الاحتيال.

Dan apakah wajib had atas tiga orang itu? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Jika empat orang bersaksi atas zina dan tiga di antara mereka menjelaskan sifat zina, sedangkan yang keempat menjelaskan sesuatu yang bukan zina, maka had tidak ditegakkan atas orang yang dituduh karena kesaksiannya belum sempurna, dan orang keempat wajib dijatuhi had menurut satu pendapat saja, karena ia telah menuduh dengan zina lalu menjelaskan sesuatu yang bukan zina. Adapun tiga orang lainnya, maka ada dua pendapat mengenai apakah mereka juga dikenai had. Jika empat orang bersaksi atas zina lalu salah satu dari mereka meninggal sebelum menjelaskan (sifat zina), sedangkan sisanya menjelaskan dengan jelas bahwa itu zina, maka had tidak wajib atas orang yang dituduh karena bisa jadi kesaksian orang keempat bukan tentang zina, dan tidak wajib pula had atas saksi-saksi yang tersisa karena bisa jadi kesaksian orang keempat adalah tentang zina, maka had tidak wajib dengan adanya kemungkinan tersebut.

فصل: ومن شهد بالسرقة ذكر السارق والمسروق منه والحرز والنصاب وصفة السرقة لأن الحم يختلف باختلافها فوجب ذكرها ومن شهد بالردة بين ما سمع منه لاختلاف الناس فيما يصير به مرتداً فلم يجز الحكم قبل البيان كما لا يحكم بالشهادة على جرح الشهود قبل بيان الجرح وهل يجوز للحاكم أن يعرض للشهود بالتوقف في الشهادة في حدود الله تعالى فيه وجهان: أحدهما: أنه لا يجوز لأنه فيه قدحاً في الشهود والثاني: أنه يجوز لأن عمر رضي الله عنه عرض لزياد في شهادته على المغيرة فروي أنه قال أرجوا أن لا يفضح الله تعالى علي يديك أحداً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأنه يجوز أن يعرض للمقر بالتوقف فجاز أن يعرض للشاهد.

PASAL: Barang siapa yang bersaksi tentang pencurian, maka ia harus menyebutkan pelaku pencurian, orang yang kehilangan barang, tempat penyimpanan yang terlindungi (ḥirz), nilai barang yang dicuri (niṣāb), dan sifat pencurian, karena hukuman berbeda-beda tergantung padanya, maka wajib disebutkan dalam kesaksian. Dan barang siapa yang bersaksi atas murtad, maka ia harus menjelaskan apa yang didengarnya darinya, karena terdapat perbedaan pendapat di kalangan manusia tentang hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi murtad, maka tidak boleh dihukumi sebelum dijelaskan, sebagaimana tidak boleh menghukumi berdasarkan kesaksian tentang celaan terhadap saksi sebelum dijelaskan celanya.

Apakah boleh bagi hakim memberi isyarat kepada para saksi untuk tidak melanjutkan kesaksian dalam perkara ḥudūd Allah SWT? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh karena hal itu merupakan celaan terhadap para saksi; dan kedua, boleh karena Umar RA memberi isyarat kepada Ziyād dalam kesaksiannya atas al-Mughīrah, diriwayatkan bahwa beliau berkata: “Aku berharap Allah tidak akan membongkar aib salah seorang dari sahabat Rasulullah SAW melalui tanganmu.” Dan karena boleh bagi hakim memberi isyarat kepada orang yang mengaku untuk tidak meneruskan pengakuannya, maka boleh pula memberi isyarat kepada saksi.

باب الشهادة على الشهادة
وتجوز الشهادة على الشهادة في حقوق الآدميين وفيما لا يسقط بالشبهة من حقوق الله تعالى لأن الحاجة تدعوا إلى ذلك عند تعذر شهادة الأصل بالموت والمرض والغيبة وفي حدود الله تعالى وهو حد الزنا وحد السرقة وقطع الطريق وشرب الخمر قولان: أحدهما: أنه يجوز لأنه حق يثبت بالشهادة فجاز أن يثبت بالشهادة على الشهادة كحقوق الآدميين

BAB TENTANG KESAKSIAN ATAS KESAKSIAN
Dan boleh memberikan kesaksian atas kesaksian dalam hak-hak manusia dan dalam hak-hak Allah Ta‘ala yang tidak gugur karena syubhat, karena adanya kebutuhan terhadap hal itu ketika kesaksian asal terhalang karena kematian, sakit, atau kepergian. Adapun dalam hudūd Allah Ta‘ala, yaitu had zina, had pencurian, had perampokan di jalan, dan had minum khamar, terdapat dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa hal itu diperbolehkan karena merupakan hak yang ditetapkan melalui kesaksian, maka boleh ditetapkan dengan kesaksian atas kesaksian sebagaimana hak-hak manusia.

والثاني: أنه لا يجوز لأن الشهادة على الشهادة تراد لتأكيد الوثيقة ليتوصل بها إلى إثبات الحق وحدود الله تعالى مبنية على الدواء والإسقاط فلم يجز تأكيدها وتوثيقها بالشهادة على الشهادة وما يثبت الشهادة على الشهادة يثبت بكتاب القاضي إلى القاضي وما لا يثبت بالشهادة على الشهادة لا يثبت بكتاب القاضي إلى القاضي لأن الكتاب لا يثبت إلا بتحمل الشهادة من جهة القاضي الكتاتب فكان حكمه حكم الشهادة على الشهادة.

Dan pendapat kedua: bahwa hal itu tidak diperbolehkan, karena kesaksian atas kesaksian dimaksudkan untuk menguatkan dokumen agar dapat dijadikan jalan untuk menetapkan hak, sedangkan hudūd Allah Ta‘ala dibangun atas dasar menghindari dan menggugurkan (hukuman), maka tidak boleh ditegakkan dan dikuatkan dengan kesaksian atas kesaksian. Dan sesuatu yang ditetapkan dengan kesaksian atas kesaksian, maka dapat pula ditetapkan dengan surat dari qadhi kepada qadhi. Dan sesuatu yang tidak dapat ditetapkan dengan kesaksian atas kesaksian, maka tidak dapat pula ditetapkan dengan surat dari qadhi kepada qadhi, karena surat itu tidak dapat menjadi bukti kecuali dengan penanggung jawaban kesaksian dari pihak qadhi yang menulis, sehingga hukumnya seperti kesaksian atas kesaksian.

فصل: ولا يجوز الحكم بالشهادة على الشهادة إلا عند تعذر حضور شهود الأصل بالموت أو المرض أو الغيبة لأن شهادة الأصل أقوى لأنها تثبت نفس الحق والشهادة على الشهادة لا تثبت نفس الحق فلم تقبل مع القدرة على شهود الأصل والغيبة التي يجوز بها الحكم بالشهادة على الشهادة أن يكون شاهد الأصل من موضع الحكم على مسافة إذا حضر لم يقدر أن يرجع بالليل إلى منزله فإنه تلحقه المشقة في ذلك وأما إذا كان في موضع إذا حضر أمكنه أن يرع إلى بيته بالليل لم يجز الحكم بشهادة شهود الفرع لأنه يقدر على شهادة شهود الأصل من غير مشقة.

PASAL: Tidak boleh menetapkan hukum berdasarkan kesaksian atas kesaksian kecuali jika saksi asal tidak dapat hadir karena wafat, sakit, atau sedang bepergian, karena kesaksian asal lebih kuat sebab ia menetapkan pokok hak, sedangkan kesaksian atas kesaksian tidak menetapkan pokok hak, maka tidak diterima jika masih memungkinkan menghadirkan saksi asal. Adapun jarak bepergian yang membolehkan menetapkan hukum dengan kesaksian atas kesaksian adalah apabila saksi asal berada di tempat yang jika ia datang ke tempat pengadilan maka ia tidak bisa kembali ke rumahnya pada malam hari karena akan mendapatkan kesulitan dalam hal itu. Adapun jika ia berada di tempat yang memungkinkan ia kembali ke rumahnya pada malam hari setelah hadir, maka tidak boleh menetapkan hukum dengan kesaksian saksi cabang karena memungkinkan menghadirkan saksi asal tanpa kesulitan.

فصل: ولا يقبل في الشهادة على الشهادة وكتاب القاضي إلى القاضي شهادة النساء لأنه ليس بمال ولا المقصود منه المال وهو مما يطلع عليه الرجال فلم يقبل فيه شهادة النساء كالنكاح.

PASAL: Tidak diterima kesaksian perempuan dalam kesaksian atas kesaksian dan dalam surat qadhi kepada qadhi, karena hal itu bukan merupakan harta dan bukan pula sesuatu yang dimaksudkan darinya harta, serta termasuk perkara yang dapat disaksikan oleh laki-laki, maka tidak diterima di dalamnya kesaksian perempuan sebagaimana dalam perkara nikah.

فصل: ولا يقبل إلا من عدد لأنه شهادة فاعتبر فيها العدد كسائر الشهادات وإن كان شهود الأصل اثنين فشهد على أحدهما: شاهدان وعلى الآخر شاهدان جاز لأنه يثبت قول كل واحد منهما بشاهدين وإن شهد واحد على شهادة أحدهما: وشهد الآخر على شهادة الثاني لم يجز لأنه إثبات قول اثنين فجاز بشاهدين كالشهادة على إقرار نفسين والثاني: أنه لا يجوز وهو اختيار المزني رحمه الله تعالى لأنهما قاما في التحمل مقام شاهد واحد في حق واحد فإذا شهدا فيه على الشاهد الآخر صارا كالشاهد إذا شهد بالحق مرتين وإذا كان شهود الأصل رجلاً وامرأتين قبل في أحد القولين شهادة اثنين على شهادة كل واحد منهم ولا يقبل في الآخر إلا ستة يشهد كل اثنين على شهادة واحد منهم،

PASAL: Tidak diterima kecuali dari sejumlah orang, karena ini adalah kesaksian, maka disyaratkan padanya jumlah sebagaimana pada kesaksian-kesaksian lainnya. Jika saksi asal ada dua, lalu dua orang bersaksi atas salah satunya, dan dua orang lagi atas yang lainnya, maka sah, karena setiap satu dari keduanya ditegakkan dengan dua saksi. Namun jika satu orang bersaksi atas kesaksian salah satu dari keduanya, dan satu orang lain atas yang kedua, maka tidak sah, karena itu menetapkan ucapan dua orang hanya dengan dua saksi, seperti halnya kesaksian atas pengakuan dua orang.

Pendapat kedua: tidak sah, dan ini adalah pilihan al-Muzanī rahimahullāh, karena keduanya mengambil tanggungan (kesaksian asal) sebagai pengganti satu saksi dalam satu perkara, maka jika mereka berdua bersaksi atas saksi lainnya, jadilah keduanya seperti seorang saksi yang bersaksi atas satu hak dua kali.

Jika saksi asal adalah seorang laki-laki dan dua perempuan, maka dalam salah satu dari dua pendapat diterima kesaksian dua orang atas kesaksian masing-masing dari mereka. Dalam pendapat yang lain tidak diterima kecuali enam orang, yaitu setiap dua orang bersaksi atas satu dari mereka.

وإن كان شهود الأصل أربع نسوة وهو في الولادة والرضاع قبل في أحد القولين شهادة رجلين على كل واحدة منهن ولا يقبل في الآخر إلا شهادة ثمانية يشهد كل اثنين على شهادة واحدة منهن وإن كان شهود الأصل أربعة من الرجال وهو في الزنا وقلنا إنه تقبل الشهادة على الشهادة في الحدود فإن قلنا يقبل شاهدان على شاهدي الأصل في غير الزنا ففي حد الزنا قولان: أحدهما: أنه يكفي شاهدان في إثبات شهادة الأربعة كما يكفي شاهدان في إثبات شهادة اثنين

Dan jika saksi asal adalah empat perempuan dalam perkara kelahiran dan raḍā‘, maka dalam salah satu dari dua pendapat diterima kesaksian dua laki-laki atas masing-masing dari mereka. Dalam pendapat yang lain tidak diterima kecuali kesaksian delapan orang, yaitu setiap dua orang bersaksi atas satu dari mereka.

Dan jika saksi asal adalah empat laki-laki dalam perkara zinā, dan kita berpendapat bahwa kesaksian atas kesaksian diterima dalam perkara ḥudūd, maka jika kita mengatakan bahwa dua orang saksi cukup untuk menetapkan kesaksian dua saksi asal dalam selain zinā, maka dalam perkara ḥadd zinā terdapat dua pendapat: salah satunya adalah bahwa cukup dua saksi untuk menetapkan kesaksian empat orang sebagaimana cukup dua saksi untuk menetapkan kesaksian dua orang.

والثاني: أنه يحتاج إلى أربعة لأن فيما يثبت باثنين تحتاج شهادة كل واحد منهما إلى العدد الذي يثبت به أصل الحق وهو اثنان وأصل الحق ههنا لا يثبت إلى بأربعة فلم تثبت شهادتهم إلا بأربعة إن قلنا إنه لا يقبل فيما يثبت بشاهدين إلى الأربعة ففي حد الزنا قولان: أحدهما: أنه يحتاج إلى ثمانية ليثبت بشهاد كل شاهدين شهادة واحد والثاني: أنه يحتاج إلى ستة عشر لأن ما يثبت بشاهدين لا يثبت كل شاهد إلا بما يثبت به أصل الحق وأصل الحق لا يثبت إلا بأربعة فلا تثبت شهادة كل واحد منهم إلا بأربعة فيصير الجميع ستة عشر.

Pendapat kedua: bahwa diperlukan empat orang saksi, karena dalam perkara yang ditetapkan dengan dua saksi, maka kesaksian atas masing-masing dari keduanya membutuhkan jumlah saksi yang dengannya ditetapkan asal hak, yaitu dua orang. Dan asal hak di sini tidak bisa ditetapkan kecuali dengan empat saksi, maka kesaksian mereka tidak bisa ditetapkan kecuali dengan empat saksi.

Jika kita mengatakan bahwa dalam perkara yang ditetapkan dengan dua saksi tidak bisa diterima kesaksian atasnya kecuali dengan empat, maka dalam perkara ḥadd zina terdapat dua pendapat:

Pertama: bahwa dibutuhkan delapan orang, agar setiap dua saksi menetapkan kesaksian satu orang.

Kedua: bahwa dibutuhkan enam belas orang, karena perkara yang ditetapkan dengan dua saksi, maka kesaksian tiap satu saksi darinya tidak bisa diterima kecuali dengan jumlah yang bisa menetapkan asal hak, dan asal hak tidak bisa ditetapkan kecuali dengan empat saksi, maka kesaksian tiap satu orang dari mereka tidak bisa ditetapkan kecuali dengan empat saksi, sehingga seluruhnya menjadi enam belas orang.

فصل: ولا تقبل الشهادة على الشهادة حتى يسمى شاهد الفرع شاهد الأصل بما يعرف به لأن عدالته شرط فإذا لم تعرف لمتعلم عدالته فإن سماهم شهود الفرع وعدلوهم حكم بشهادتهم لأنهم غير متهمين في تعديلهم وإن قالوا نشهد على شهادة عدلين ولم يسموا لم يحكم بشهادتهم لأنه يجوز أن يكونوا عدولاً عندهم غير عدول عند الحاكم.

PASAL: Tidak diterima kesaksian atas kesaksian kecuali saksi cabang menyebutkan nama saksi asal dengan sebutan yang dapat dikenal, karena keadilan saksi asal adalah syarat, dan jika tidak dikenal maka tidak dapat diketahui keadilannya. Jika saksi cabang menyebutkan nama-nama mereka dan menyatakan bahwa mereka adil, maka diputuskan dengan kesaksian mereka, karena mereka tidak dituduh dalam penilaian adil tersebut. Namun jika mereka hanya mengatakan, “Kami bersaksi atas kesaksian dua orang yang adil,” tanpa menyebut nama mereka, maka tidak diputuskan dengan kesaksian mereka, karena bisa jadi orang yang mereka anggap adil belum tentu adil menurut pandangan hakim.

فصل: ولا يصح تحمل الشهادة على الشهادة إلا من ثلاثة أوجه: أحدها أن يسمع رجلاً يقول أشهد أن لفلان على فلان كذل مضافاً إلى سبب يوجب المال من ثمن مبيع أو مهر لأنه لا يحتمل مع ذكر السبب إلا الوجوب والثاني: أن يسمعه يشهد عند الحاكم على رجل بحق لأنه لا يشهد عند الحاكم إلا بما يلزم الحكم به والثالث أن يسترعيه رجل بأن يقول أشهد أن لفلان على فلان كذا فاشهدوا على شهادتي بذلك لأنه لا يسترعيه إلا على واجب لأن الاسترعاء وثيقة والوثيقة لا تكون على واجب

PASAL: Tidak sah menanggung kesaksian atas kesaksian kecuali dari tiga sisi:

Pertama, mendengar seorang laki-laki berkata: “Aku bersaksi bahwa si fulan memiliki hak atas si fulan sebesar sekian,” disertai dengan sebab yang mewajibkan harta seperti harga jual suatu barang atau mahar, karena dengan penyebutan sebab tersebut tidak mungkin dimaknai selain sebagai kewajiban.

Kedua, mendengarnya bersaksi di hadapan hakim atas seseorang mengenai suatu hak, karena seseorang tidak bersaksi di hadapan hakim kecuali terhadap sesuatu yang wajib diputuskan oleh hakim.

Ketiga, seseorang meminta untuk dijadikan saksi (meminta peneguhan kesaksian), dengan berkata: “Aku bersaksi bahwa si fulan memiliki hak atas si fulan sebesar sekian, maka saksikanlah kesaksianku itu,” karena seseorang tidak meminta dijadikan saksi kecuali terhadap sesuatu yang wajib, sebab permintaan untuk dijadikan saksi merupakan bentuk penguatan, dan penguatan tidak mungkin dilakukan terhadap sesuatu yang tidak wajib.

وأما إذا سمع رجلاً في دكانه أو طريقه يقول أشهد أن لفلان على فلان ألف درهم ولم يقل فاشهد على شاهدتي لم يحكم به لأنه يحتمل أنه أراد أن له عليه ألفاً من وعد وعده بها فلم يجز تحمل الشهادة عليه مع الاحتمال وإن سمع رجلاً يقول لفلان على ألف درهم فهل يجوز أن يشهد عليه بذلك؟ فيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يجوز أن يشهد عليه كما لا يجوز أن يتحمل الشهادة عليه

Adapun jika seseorang mendengar seorang laki-laki di tokonya atau di jalannya berkata: “Aku bersaksi bahwa si fulan memiliki hak atas si fulan sebanyak seribu dirham,” namun ia tidak berkata, “Maka saksikanlah atas kesaksianku,” maka tidak boleh diputuskan hukum berdasar ucapan tersebut. Karena bisa saja maksudnya adalah bahwa si fulan memiliki hak atas seribu dirham dari janji yang pernah dijanjikan kepadanya, maka tidak boleh menanggung kesaksian atas dasar ucapan yang mengandung kemungkinan (ta’wil).

Dan jika seseorang mendengar seorang laki-laki berkata: “Si fulan memiliki hak atas si fulan sebanyak seribu dirham,” maka apakah boleh bersaksi atas ucapan itu? Dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat):

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq, bahwa tidak boleh bersaksi atasnya, sebagaimana tidak boleh menanggung kesaksian atasnya.

والثاني: وهو المنصوص أنه يجوز أن يشهد عليه والفرق بينه وبين التحمل أن المقر يوجب الحق على نفسه فجاز من غير استرعاء والشاهد يوجب الحق على غيره فاعتبر فيه الاسترعاء ولأن الشهادة آكد لأنه يعتبر فيها العدالة ولا يعتبر ذلك ف الإقرار.

Dan pendapat kedua, yaitu pendapat yang dinyatakan secara nash, adalah bahwa boleh bersaksi atasnya. Perbedaan antara hal ini dengan menanggung kesaksian adalah bahwa orang yang mengakui (mujir) mewajibkan hak atas dirinya sendiri, maka diperbolehkan tanpa adanya permintaan menjadi saksi (istir‘ā’). Adapun saksi mewajibkan hak atas orang lain, maka disyaratkan adanya permintaan menjadi saksi (istir‘ā’). Dan karena kesaksian itu lebih kuat, sebab dipersyaratkan adanya ‘adālah, sedangkan dalam pengakuan tidak disyaratkan hal itu.

فصل: وإذا أراد شاهد الفرع أن يؤدي الشهادة أداها على الصفة التي تحملها فإن سمعه يشهد بحق مضاف إلى سبب يوجب الحق ذكره وإن سمعه يشهد عند الحاكم ذكره وإن أشهده شاهد الأصل على شهادته أو استرعاه قال أشهد أن فلاناً يشهد أن لفلان على فلان كذا وأشهدني على شهادته.

PASAL: Apabila saksi cabang ingin menyampaikan kesaksian, maka ia menyampaikannya sesuai dengan bentuk saat ia menerima kesaksian itu. Jika ia mendengar saksi asal bersaksi atas suatu hak yang disertai sebab yang menetapkan hak tersebut, maka ia harus menyebutkan sebabnya. Jika ia mendengar kesaksian itu disampaikan di hadapan hakim, maka ia harus menyebutkan hal tersebut. Dan jika saksi asal meminta saksi cabang untuk menjadi saksi atas kesaksiannya atau memintanya untuk menyampaikan kesaksiannya, maka ia berkata: “Aku bersaksi bahwa si fulan bersaksi bahwa si fulan mempunyai hak atas si fulan sebesar sekian, dan ia telah menjadikanku saksi atas kesaksiannya.”

فصل: وإن رجع شهود الأصل قبل الحكم بشهادة الفرع بطلت شهادة الفلاع لأنه بطل الأصل فبطل الفرع وإن شهد شهود الفرع ثم حضر شهود الأصل قبل الحكم لم يحكم بشهادتهم لأنه قدر على الأصل فلا يجوز الحكم بالبدل. والله أعلم.

PASAL: Jika para saksi asal menarik kembali kesaksiannya sebelum diputuskan dengan kesaksian cabang, maka batallah kesaksian cabang, karena asalnya batal maka batal pula cabangnya. Dan jika para saksi cabang telah memberikan kesaksiannya, kemudian para saksi asal hadir sebelum adanya putusan, maka tidak boleh diputuskan berdasarkan kesaksian mereka (cabang), karena telah memungkinkan untuk menggunakan saksi asal, maka tidak boleh diputuskan dengan pengganti. Dan Allah lebih mengetahui.

باب اختلاف الشهود في الشهادة
إذا ادعى رجل على رجل ألفين وشهد له شاهد أنه أقر له بألف وشهد آخر أنه أقر بألفين ثبت له ألف بشهادتهما لأنهما اتفقا على إثباتها وله أن يحلف مع شاهد الألفين ويثبت له الألف الأخرى لأنه شهد له بها شاهد وإن ادعى ألفاً فشهد له شاهد بألف وشهد آخر بألفين ففي وجهان: أحدهما: أنه يحلف مع الذي شهد له بالألف ويقضي له وتسقط شهادة من شهد له بالألفين لأنه صار مكذباً له فسقطت شهادته له في الجميع والثاني: أنه يثبت له الألف بشهادتهما ويحلف ويستحق الألف الأخرى ولا يصير مكذباً بالشهادة لأنه يجوز أن يكون له حق ويدعي بعضه ويجوز أنه لم يعلم أن له من يشهد له بالألفين.

BAB PERBEDAAN PARA SAKSI DALAM PERSAKSIAN

Jika seseorang mengklaim atas orang lain dua ribu, lalu seorang saksi bersaksi bahwa ia mengaku kepadanya seribu, dan saksi lain bersaksi bahwa ia mengaku dua ribu, maka ditetapkan baginya seribu berdasarkan kesepakatan keduanya atas penetapannya. Dan ia boleh bersumpah bersama saksi yang menyatakan dua ribu untuk menetapkan seribu lainnya, karena seorang saksi telah bersaksi untuknya.

Dan jika ia mengklaim seribu, lalu seorang saksi bersaksi untuknya atas seribu dan saksi lain atas dua ribu, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia bersumpah bersama yang bersaksi untuknya atas seribu dan diputuskan untuknya, sedangkan kesaksian yang bersaksi atas dua ribu gugur karena telah menjadi pendusta baginya, maka gugur kesaksiannya seluruhnya.
Kedua, ditetapkan untuknya seribu berdasarkan kesaksian keduanya dan ia bersumpah lalu berhak atas seribu lainnya, dan tidak menjadi pendusta dalam persaksian karena mungkin saja ia memiliki hak dan hanya mengklaim sebagiannya, dan mungkin juga ia tidak mengetahui bahwa ada yang bersaksi untuknya atas dua ribu.

فصل: وإن شهد شاهد على رجل أنه زنى بامرأة في زاوية من بيت وشهد آخر أنه زنى بها في زاوية ثانية وشهد آخر أنه زنى بها في زاوية ثالثة وشهد آخر أنه زنى بها في زانية رابعة لم يجب الحد على المشهود عليه لأنه لم تكمل البينة على فعل واحد وهل يجب حد القذف على الشهود على القولين

PASAL: Jika seorang saksi bersaksi bahwa seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan di suatu sudut rumah, dan saksi kedua bersaksi bahwa ia berzina dengannya di sudut kedua, dan saksi ketiga bersaksi bahwa ia berzina dengannya di sudut ketiga, dan saksi keempat bersaksi bahwa ia berzina dengannya di sudut keempat, maka tidak wajib had atas orang yang disaksikan karena kesaksian tidak sempurna atas satu perbuatan. Dan apakah wajib had qazaf atas para saksi, terdapat dua pendapat.

وإن شهد اثنان أنه زنى بها وهي مطاوعة وشهد اثنان أنه زنى بها وهي مكرهة لم يجب الحد عليها لأنه لم تكمل بينة الحد في ناها وأما الرجل فالمذهب أنه لا يجب عليه الحد وخرج أبو العباس وجهاً آخر أنه يجب عليه الحد لأنهم اتفقوا على أنه زنى وهذا خطأ لأن زناه بها وهي مطاوعة غير زناه بها وهي مكرهة فصار كما لو شهد اثنان أنه زنى بها في زاوية وشهد آخران أنه زنى بها في زاوية أخرى.

Dan jika dua orang bersaksi bahwa ia berzina dengannya dalam keadaan rela, dan dua orang lainnya bersaksi bahwa ia berzina dengannya dalam keadaan dipaksa, maka tidak wajib had atas perempuan tersebut karena tidak sempurna bainah had dalam salah satu dari keduanya. Adapun laki-laki, maka al-madzhab adalah tidak wajib atasnya had, dan Abu al-‘Abbās mengeluarkan satu wajah lain bahwa wajib atasnya had karena mereka sepakat bahwa ia telah berzina. Namun ini adalah pendapat yang keliru, karena zina dengannya dalam keadaan rela bukanlah zina dengannya dalam keadaan dipaksa, sehingga hukumnya seperti jika dua orang bersaksi bahwa ia berzina dengannya di satu sudut dan dua orang lainnya bersaksi bahwa ia berzina dengannya di sudut lain.

فصل: وإن شهد شاهد أنه قذف رجلاً بالعربية وشهد آخر أنه قذفه بالعجمية أو شهد أحدهما: أنه قذفه يوم الخميس وشهد آخر أنه قذفه يوم الجمعة لم يجب الحد لأنه لم تكمل البينة على قذف واحد وإن شهد أحدهما: أنه أقر بالعربية أنه قذفه وشهد آخر أنه أقر بالعجمية أنه قذفه أو شهد أحدهما: أنه أقر بالقذف يوم الخميس وشهد الآخر أنه أقر بالقذف يوم الجمعة وجب الحد لأن المقربة واحد وإن اختلفت العبارة فيه.

PASAL: Jika seorang saksi bersaksi bahwa ia menuduh seseorang melakukan qadzaf (tuduhan zina) dengan bahasa Arab, dan saksi lain bersaksi bahwa ia menuduhnya dengan bahasa Ajam, atau salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ia menuduhnya pada hari Kamis dan yang lain bersaksi bahwa ia menuduhnya pada hari Jumat, maka tidak wajib dikenakan had, karena tidak sempurna pembuktian atas satu tuduhan qadzaf.

Namun jika salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ia mengaku dengan bahasa Arab bahwa ia telah menuduhnya, dan yang lain bersaksi bahwa ia mengaku dengan bahasa Ajam bahwa ia telah menuduhnya, atau salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ia mengaku melakukan qadzaf pada hari Kamis dan yang lain bersaksi bahwa ia mengaku pada hari Jumat, maka wajib dikenakan had, karena pengakuan itu satu, meskipun berbeda ungkapan di dalamnya.

فصل: وإن شهد شاهد أنه سرق من رجل كبشاً أبيض غدوة وشهد آخر أنه سرق ذلك الكبش بعينه عشية لم يجب الحد لأنه لم تكمل بينة الحد على سرقة واحدة وللمسروق منه أن يحلف ويقضي له بالغرم لأن الغرم يثبت بشاهد ويمين فإن شهد شاهدان أنه سرق كبشاً أبيض غدوة وشهد آخران أنه سرق منه ذلك الكبش بعينه عشية تعارضت البينتان ولم يحكم بواحدة منهما وتخالف المسألة قبلها فإن كل واحد من الشاهدين ليس بينة والتعارض لا يكون في غير بينة وههنا كل واحد منهما بينة فتعارضتا وسقطتا

PASAL: Jika seorang saksi bersaksi bahwa seseorang mencuri seekor domba putih dari seorang laki-laki pada waktu pagi, dan saksi lain bersaksi bahwa ia mencuri domba yang sama pada waktu sore, maka tidak wajib ḥadd, karena kesaksian tidak sempurna atas satu peristiwa pencurian. Akan tetapi, pihak yang kehilangan barang boleh bersumpah, dan diputuskan baginya untuk mendapatkan ganti rugi, karena ganti rugi ditetapkan dengan satu saksi dan sumpah. Jika dua orang saksi bersaksi bahwa seseorang mencuri seekor domba putih pada waktu pagi, dan dua saksi lainnya bersaksi bahwa ia mencuri domba yang sama pada waktu sore, maka dua kesaksian itu saling bertentangan dan tidak diputuskan berdasarkan salah satunya. Ini berbeda dengan masalah sebelumnya, karena masing-masing dari satu saksi itu bukanlah suatu bayyinah, dan pertentangan tidak terjadi kecuali antara dua bayyinah, sedangkan dalam kasus ini masing-masing adalah bayyinah, maka keduanya saling bertentangan dan gugur.

وإن شهد شاهد أنه سرق منه كبشاً غدوة وشهد آخر أنه سرق منه كبشاً عشية ولم يعينا الكبش لم يجب الحد لأنه لم تكمل بينة الحد وله أن يحلف مع أيهما شاء ويحكم له فإن ادعى الكبشين حف مع كل واحد منهما يميناً وحكم له بهما لأنه لا تعارض بينها وإن شهد شاهدان أنه سرق كبشاً غدوة وشهد آخران أنه سرق منه كبشاً عشية وجب القطع والغرم فيهما لأنه كملت بينة الحد والغرم

Dan jika seorang saksi bersaksi bahwa ia mencuri darinya seekor domba pada waktu pagi, dan saksi lain bersaksi bahwa ia mencuri darinya seekor domba pada waktu sore, dan keduanya tidak menentukan domba tersebut, maka tidak wajib ḥadd karena kesaksian ḥadd belum sempurna. Ia boleh bersumpah bersama salah satunya yang ia kehendaki, lalu diputuskan untuknya. Jika ia mengklaim dua ekor domba, maka ia bersumpah bersama masing-masing dari keduanya satu sumpah, dan diputuskan baginya kedua domba itu karena tidak ada pertentangan di antara keduanya. Dan jika dua saksi bersaksi bahwa ia mencuri seekor domba pada waktu pagi, dan dua saksi lainnya bersaksi bahwa ia mencuri darinya seekor domba pada waktu sore, maka wajib qaṭ‘ dan ganti rugi atas keduanya karena telah sempurna bayyinah untuk ḥadd dan ganti rugi.

وإن شهد شاهد أنه سرق ثوباً وقيمته ثمن دينار وشهد آخر أنه سرق ذلك الثوب وقيمته ربع دينار لم يجب القطع لأنه لم تكمل بينة الحد ووجب له الثمن لأنه اتفق عليه الشاهدان وله أن يحلف على الثمن الآخر ويحكم له لأنه انفرد به شاهد فقضى به مع اليمين وإن أتلف عليه ثوباً فشهد شاهدان أن قيمته عشرة وشهد آخران أن قيمته عشرون قضي بالعشرة لأن البينتين اتفقتا على العشرة وتعارضتا في الزيادة لأن إحداهما تثبتها والأخرى تنفيها فسقطت.

Dan jika seorang saksi bersaksi bahwa ia mencuri sebuah kain yang nilainya sepertiga dinar, dan saksi lain bersaksi bahwa ia mencuri kain tersebut dan nilainya seperempat dinar, maka tidak wajib qaṭ‘ karena kesaksian ḥadd belum sempurna. Namun ia berhak mendapatkan sepertiga karena kedua saksi sepakat atasnya. Ia boleh bersumpah atas bagian sisanya dan diputuskan baginya karena bagian itu disaksikan oleh satu saksi, maka diputuskan dengannya bersama sumpah. Dan jika ia merusak sebuah kain milik orang lain, lalu dua saksi bersaksi bahwa nilainya sepuluh, dan dua saksi lainnya bersaksi bahwa nilainya dua puluh, maka diputuskan berdasarkan sepuluh karena kedua bayyinah sepakat atas nilai sepuluh, dan bertentangan dalam kelebihan nilainya karena salah satu menetapkan dan yang lain meniadakan, maka gugurlah pertentangannya.

فصل: وإن شهد شاهدان على رجلين أنهما قتلا فلاناً وشهد المشهود عليهما على الشاهدين أنهما قتلاه فإن صدق الولي الأولين حكم بشهادتهما ويقتل الآخران لأن الأولين غير متهمين فيما شهدا به والآخران متهمان لأنهما يدفعان عن أنفسهما القتل وإن كذب الولي الأولين وصدق الآخرين بطلت شهادة الجميع لأن الأولين كذبهما الولي والآخران يدفعان عن أنفسهما القتل.

PASAL: Jika dua orang saksi bersaksi terhadap dua orang laki-laki bahwa keduanya telah membunuh si Fulan, lalu kedua terdakwa tersebut bersaksi terhadap dua orang saksi bahwa keduanya (para saksi) yang telah membunuhnya, maka jika wali (korban) membenarkan dua saksi yang pertama, maka dihukumi dengan kesaksian keduanya, dan kedua terdakwa dibunuh karena dua saksi pertama tidak tertuduh dalam apa yang mereka saksikan, sedangkan dua terdakwa tertuduh karena keduanya sedang menghindari hukuman bunuh atas diri mereka. Namun, jika wali mendustakan dua saksi pertama dan membenarkan dua terdakwa, maka batallah kesaksian seluruhnya karena dua saksi pertama telah didustakan oleh wali, dan dua terdakwa sedang menghindari hukuman bunuh atas diri mereka.

فصل: وإن ادعى رجل على رجل أنه قتل مورثه عمداً فقال المدعى عليه قتلته خطأ فأقام المدعي ساهدين فشهد أحدهما: أنه أقر بقتله عمداً وشهد الآخر عن إقراره بالقتل خطأ فالقول قول المدعى عليه مع يمينه لأن صفة القتل لا تثبت بشاهد واحد فإذا حلف ثبتت دية الخطأ فإن نكل حلف المدعي أنه قتله عمدا ويجب القصاص أودية مغلظة.

PASAL: Jika seorang laki-laki mengklaim bahwa seorang laki-laki lain telah membunuh orang tuanya secara sengaja, lalu pihak yang dituduh mengatakan, “Aku membunuhnya secara tidak sengaja,” kemudian si penggugat menghadirkan dua saksi: salah satunya bersaksi bahwa ia (tergugat) mengaku membunuhnya secara sengaja, dan yang lain bersaksi bahwa ia mengaku membunuhnya secara tidak sengaja—maka perkataan tergugat yang dipegang bersama sumpahnya, karena sifat pembunuhan tidak dapat ditetapkan hanya dengan satu saksi. Jika ia bersumpah, maka ditetapkan diyat pembunuhan tidak sengaja. Namun jika ia enggan bersumpah, maka penggugat bersumpah bahwa ia membunuhnya secara sengaja, dan wajiblah qishash atau diyat yang diperberat.

فصل: وإن قتل رجل عمداً وله ابنان أو أخوان فشهد أحدهما: على أخيه أن عفا عن القود والمال سقط القود عن القاتل عدلاً كان أو فاسقاً لأن شهادته على أخيه تضمنت الإقرار بسقوط القود فأما الدية فإن نصيب الشاهد يثبت لأنه ما عفا عنه وأما نصيب المشهود عليه فإنه إن كان الشاهد ممن لا تقبل شهادته حلف المشهود عليه أنه ما عفا ويستحق نصف الدية

PASAL: Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan sengaja dan korban memiliki dua anak laki-laki atau dua saudara laki-laki, lalu salah satunya bersaksi atas saudaranya bahwa ia telah memaafkan pelaku dari qishāsh dan māl, maka gugurlah qishāsh dari pelaku, baik yang bersaksi itu orang adil maupun fasik, karena kesaksiannya atas saudaranya mencakup pengakuan atas gugurnya qishāsh. Adapun diyah, maka bagian dari yang bersaksi tetap berlaku karena ia tidak memaafkannya. Sedangkan bagian dari yang disaksikan, apabila yang bersaksi termasuk orang yang tidak diterima kesaksiannya, maka saudaranya yang disaksikan bersumpah bahwa ia tidak memaafkan, dan ia berhak atas separuh diyah.

وإن كان ممن تقبل شهادته حلف القاتل معه ويسقط عنه حقه من الدية لأن ما طريقه المال يثبت بالشاهد واليمين وفي كيفية اليمين وجهان أحدهما: أنه يحلف أنه قد عفا عن المال والثاني: أنه يحلف أنه قد عفا عن القود والمال وهو ظاهر النص لأنه قد يعفو عن الدية ولا يسقط حقه منها وهو إذا قلنا إن قتل العمد لا يوجب غير القود فإذا عفا عن الدية كان ذلك كلا عفو فوجب أن يحلف أنه ما عفا عن القود والدية.

Jika yang bersaksi termasuk orang yang diterima kesaksiannya, maka pelaku bersumpah bersamanya, dan gugurlah haknya dari diyah, karena perkara yang berkaitan dengan harta dapat ditetapkan dengan satu saksi dan sumpah.

Adapun cara sumpahnya, terdapat dua pendapat:
Pertama, bersumpah bahwa ia telah memaafkan dalam hal harta.
Kedua, bersumpah bahwa ia telah memaafkan dari qishāsh dan māl, dan ini adalah zahir dari nash, karena bisa jadi seseorang memaafkan diyah tetapi haknya dari diyah tidak gugur—yakni jika kita berpendapat bahwa pembunuhan sengaja tidak mewajibkan selain qishāsh—maka jika seseorang memaafkan diyah, hal itu tidak dianggap sebagai maaf yang sah. Maka wajiblah ia bersumpah bahwa ia tidak memaafkan dari qishāsh dan diyah.

فصل: وإن شهد شاهد أنه قال وكلتك وشهد آخر أنه قال أديت لك أو أنت جريي لم تثبت الوكالة لأن شهادتهما لم تتفق على قول واحد وإن شهد أحدهما: أنه قال وكلتك وشهد الآخر أنه أذن له في التصرف أو أنه سلطه على التصرف ثبتت الوكالة لأن أحدهما: ذكر اللفظ والآخر ذكر المعنى ولم يخالفه الآخر إلى في اللفظ.

PASAL: Jika seorang saksi bersaksi bahwa seseorang berkata “aku mewakilkanmu”, dan saksi lain bersaksi bahwa ia berkata “aku telah melaksanakan untukmu” atau “engkau adalah budakku”, maka tidaklah tetap wakālah-nya karena kesaksian keduanya tidak sepakat pada satu ucapan. Namun jika salah satunya bersaksi bahwa ia berkata “aku mewakilkanmu”, dan yang lain bersaksi bahwa ia mengizinkannya untuk melakukan tindakan atau ia memberinya kekuasaan untuk bertindak, maka tetaplah wakālah-nya karena salah satunya menyebutkan lafal, dan yang lain menyebutkan makna, dan tidak ada pertentangan di antara keduanya kecuali dalam lafal.

فصل: وإن شهد شاهدان على رجل أنه أعتق في مرضه عبده سالماً وقيمته ثلث ماله وشهد آخر أنه أعتق غانماً وقيمته ثلث ماله فإن علم السابق منهما عتق ورق الآخر ولإن لم يعلم ذلك ففيه قولان: أحدهما: أنه يقرع بينهما لأنه لا يمكن الجمع بينهما لأن الثلث لا يحتملهما وليس أحدهما: بأولى من الآخر فأقرع بينهما كما لو أعتق عبدين وعجز الثلث عنهما والقول الثاني أنه يعتق من كل واحد منهما النصف لأن السابق حر

PASAL: Jika dua orang saksi bersaksi atas seorang lelaki bahwa ia memerdekakan budaknya Sālim pada waktu sakit dan nilainya sepertiga hartanya, dan saksi lain bersaksi bahwa ia memerdekakan Ghānim dan nilainya sepertiga hartanya, maka jika diketahui siapa yang lebih dahulu, maka yang lebih dahulu merdeka dan yang lain tetap sebagai budak. Namun jika tidak diketahui siapa yang lebih dahulu, maka ada dua pendapat: pertama, dilakukan undian di antara keduanya karena tidak mungkin menggabungkan keduanya sebab sepertiga harta tidak mencukupi untuk keduanya dan tidak ada yang lebih utama dari yang lain, sehingga diundi di antara keduanya sebagaimana jika ia memerdekakan dua budak padahal sepertiga hartanya tidak mencukupi bagi keduanya. Pendapat kedua, masing-masing dari keduanya merdeka setengah karena yang lebih dahulu dari keduanya adalah orang merdeka.

والثاني: عبد فإذا أقرع بينهما لم يؤمن أن يخرج سهم الرق على السابق وهو حر فيسترق وسهم العتق على الثاني فيعتق وهو عبد فوجب أن يعتق من كل واحد منهما النصف لتساويهما كما لو أوصى لرجل بثلث ماله ولآخر بالثلث ولم يجز الورثة ما زاد على الثلث فإن الثلث يقسم عليهما وإن شهد شاهداً على رجل أنه أوصى لرجل بثلث ماله وشهد آخران أنه رجع عن الوصية وأوصى لآخر بالثلث بطلت الوصية الأولى وصحت الوصية للثاني

dan yang kedua: adalah budak. Maka jika diundi di antara keduanya, tidak aman dari kemungkinan bahwa undian jatuh pada bagian perbudakan atas yang lebih dahulu, padahal ia adalah orang merdeka, sehingga ia diperbudak, dan bagian kemerdekaan jatuh pada yang kedua, sehingga ia merdeka padahal ia adalah budak. Maka wajib memerdekakan setengah dari masing-masing karena keduanya setara, sebagaimana jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan sepertiga hartanya dan kepada laki-laki lain juga dengan sepertiga, namun ahli waris tidak mengizinkan kelebihan dari sepertiga, maka sepertiga tersebut dibagi kepada keduanya. Dan jika satu orang saksi bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia berwasiat kepada seseorang dengan sepertiga hartanya, dan dua orang saksi bersaksi bahwa ia telah mencabut wasiat tersebut dan mewasiatkan kepada orang lain dengan sepertiga, maka wasiat pertama batal dan sah wasiat kepada yang kedua.

وإن ادعى رجل على رجلين أنهما رهنا عبداً لهما عنده بدين له عليهما فصدقه كل واحد منهما في حق شريكه وكذبه في حق نفسه ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا تقبل شهادتهما لأن يدعي أن كل واحد منهما كاذب والثاني: تقبل شهادتهما ويحلف مع كل واحد منهما ويصير العبد رهناً عنده لأنه يجوز أن يكون قد نسي فلا يكون كذبه معلوماً.

Dan jika seorang laki-laki mengklaim terhadap dua orang bahwa keduanya telah menjadikan seorang budak milik mereka berdua sebagai gadai di tangannya atas utang mereka kepadanya, lalu masing-masing dari keduanya membenarkannya dalam hak rekannya namun mendustakannya dalam hak dirinya sendiri, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak diterima kesaksian mereka berdua karena masing-masing dari mereka menuduh yang lain berdusta; dan pendapat kedua, kesaksian mereka diterima dan ia bersumpah bersama masing-masing dari keduanya, lalu budak itu menjadi gadai di tangannya, karena mungkin saja yang mendustakan lupa sehingga pendustaannya tidak dapat dipastikan.

باب الرجوع عن الشهادة
إذا شهد الشهود بحث ثم رجعوا عن الشهادة لم يخل إما أن يكون قبل الحكم أو بعد الحكم وقبل الاستيفاء أو بعد الحكم وبعد الاستيفاء فإن كان قبل الحكم لم يحكم بشهادتهم وحكي عن أبي ثور أنه قال يحكم وهذا خطأ لأنه يحتمل أن يكونوا صادقين في الشهادة كاذبين في الرجوع ويجوز أن يكونوا صادقين في الرجوع كاذبين في الشهادة ولم يحكم مع الشك كما لو جهل عدالة الشهود

BAB TENTANG MENARIK KEMBALI KESAKSIAN

Jika para saksi memberikan kesaksian kemudian mereka menarik kembali kesaksiannya, maka tidak lepas dari tiga keadaan: apakah penarikan itu dilakukan sebelum putusan, atau setelah putusan tetapi sebelum pelaksanaan, atau setelah putusan dan setelah pelaksanaan.

Jika penarikan dilakukan sebelum putusan, maka tidak diputuskan berdasarkan kesaksian mereka. Diriwayatkan dari Abu Ṯaur bahwa ia berkata: diputuskan berdasarkan kesaksian tersebut. Dan ini adalah kesalahan, karena bisa jadi mereka jujur dalam kesaksian dan berdusta dalam penarikan, atau bisa jadi mereka jujur dalam penarikan dan berdusta dalam kesaksian. Maka tidak diputuskan dalam keadaan ragu, sebagaimana apabila keadilan para saksi tidak diketahui.

فإن رجعوا بعد لا حكم وقبل الاستيفاء فإن كان في حد أو قصاص لم يجز الاستيفاء لأن هذا الحقوق تسقط بالشبهة والرجوع شبهة ظاهرة فلم يجز الاستيفاء بالشبهة معها وإن كان مالاً أو عقداً فالمنصوص أنه يجوز الاستيفاء ومن أصحابنا من قال: لا يجوز لأن الحكم غير مستقر قبل الاستيفاء وهذا خطأ لأن الحكم نفذ والشبهة لا تؤثر فيه فجاز الاستيفاء وإن رجعوا بعد الحكم والاستيفاء لم ينقض الحكم ولا يجب على المشهود له رد ما أخذه لأنه يجوز أن يكونوا صادقين ويجوز أن يكونوا كاذبين وقد اقترن بأخذ الجائزين الحكم والاستيفاء فلا ينقض برجوع محتمل.

Jika mereka menarik kembali kesaksian setelah putusan tetapi sebelum pelaksanaan, maka jika hal itu berkaitan dengan ḥadd atau qiṣāṣ, tidak boleh dilakukan pelaksanaan karena hak-hak ini gugur dengan adanya syubhat, sedangkan penarikan kesaksian merupakan syubhat yang nyata, maka tidak boleh dilakukan pelaksanaan bersamanya.

Namun jika berkaitan dengan harta atau akad, maka pendapat yang manṣūṣ adalah boleh dilakukan pelaksanaan. Sebagian ulama dari kalangan kami berkata: tidak boleh, karena putusan belum mantap sebelum pelaksanaan. Dan ini adalah kesalahan, karena putusan telah berlaku dan syubhat tidak berpengaruh terhadapnya, maka pelaksanaan dibolehkan.

Jika mereka menarik kembali kesaksian setelah putusan dan pelaksanaan, maka putusan tidak dibatalkan dan orang yang mendapat putusan tidak wajib mengembalikan apa yang telah diterimanya, karena bisa jadi para saksi jujur dan bisa jadi mereka berdusta, dan telah bersamaan antara pengambilan yang diperbolehkan dengan adanya putusan dan pelaksanaan, maka tidak dibatalkan dengan penarikan yang sifatnya masih mungkin.

فصل: وإن شهدوا بما يوجب القتل ثم رجعوا نظرت فإن قالوا: تعمدنا ليقتل بشهادتنا وجب علهم القود لما روى الشعبي أن رجلين شهدا عند علي رضي الله عنه على رجل أنه سرق فقطعه ثم أتياه برجل آخر فقالا: إنا أخطأنا بالأول وهذا السارق فأبطل شهادتهما على الآخر وضمنهما دية يد الأول وقال: لو أعلم أنكما تعمدتما لقطعتكما ولأنهما ألجآه إلى قتله بغير حق فلزمهما القود كما لو أكرهاه على قتله

PASAL: Jika mereka bersaksi dengan sesuatu yang mewajibkan hukuman mati kemudian mereka menarik kembali kesaksiannya, maka dilihat: jika mereka berkata, “Kami sengaja agar ia dibunuh karena kesaksian kami,” maka wajib atas mereka qishāsh, karena diriwayatkan dari al-Sya‘bī bahwa ada dua orang bersaksi di hadapan ‘Alī RA terhadap seorang lelaki bahwa ia mencuri, lalu ‘Alī memotong tangannya. Kemudian keduanya datang membawa orang lain dan berkata, “Kami keliru pada yang pertama, dan inilah pencuri yang sebenarnya.” Maka ‘Alī membatalkan kesaksian mereka atas orang yang kedua, dan mewajibkan keduanya membayar diyat tangan orang yang pertama. Ia berkata, “Seandainya aku tahu kalian sengaja, niscaya aku potong kalian berdua.” Karena keduanya telah menyebabkan pembunuhan tanpa hak, maka wajib atas mereka qishāsh, sebagaimana jika keduanya memaksanya untuk membunuh.

وإن قالوا: تعمدنا الشهادة ولم تعمل أنه يقتل وهم يجهلون قتله وجبت عليهم دية مغلظة لما فيه من العمد ومؤجله لما فيه من الخطأ فإن قالوا: أخطأنا وجبت دية مخففة لأنه خطأ ولا تحمله العاقلة لأنها وجبت باعترافهم فإن اتفقوا أن بعضهم تعمد وبعضهم أخطأ وجب على المخطئ قسطه من الدية المخففة وعلى المتعمد قسطه من الدية المغلظة ولا يجب عليه القود لمشاركة المخطئ

Dan jika mereka berkata, “Kami sengaja memberikan kesaksian, tetapi tidak mengetahui bahwa ia akan dibunuh,” sedangkan mereka tidak mengetahui akibat kesaksian tersebut adalah pembunuhan, maka wajib atas mereka diyat yang diperberat (mughallazhah) karena adanya unsur kesengajaan, dan ditangguhkan (mu’ajjalah) karena mengandung unsur kekeliruan. Jika mereka berkata, “Kami keliru,” maka wajib atas mereka diyat yang diringankan (mukhaffafah), karena itu termasuk kesalahan, dan tidak ditanggung oleh ‘āqilah karena ditetapkan berdasarkan pengakuan mereka.

Jika mereka sepakat bahwa sebagian dari mereka sengaja dan sebagian lainnya keliru, maka wajib atas yang keliru bagian diyat yang diringankan, dan atas yang sengaja bagian diyat yang diperberat. Dan tidak wajib atasnya qishāsh karena adanya partisipasi dari yang keliru.

وإن اختلفوا فقال بعضهم: تعمدنا كلنا وقال بعضهم: أخطأنا كلنا وجب على المقر بعمد الجميع القود وعلى المقر بخطأ الجميع قسطه من الدية المخففة وإن كانوا أربعة شهدوا بالرجم فقال اثنان منهم: تعمدنا وأخطأ هذان وقال الآخران تعمدنا وأخطأ الأولان ففيه قولان: أحدهما: أنه يجب القود على الجميع لأن كل واحد منهما أقر بالعمد وأضاف الخطأ إلى من أقر بالعمد فصاروا كما لو أقر جميعهم بالعمد

Dan jika mereka berbeda pendapat, sebagian berkata: “Kami semua sengaja,” dan sebagian lainnya berkata: “Kami semua keliru,” maka wajib atas yang mengaku bahwa semuanya sengaja untuk dikenai qishāsh, dan atas yang mengaku bahwa semuanya keliru wajib membayar bagian diyat yang diringankan.

Jika mereka adalah empat orang yang bersaksi atas hukuman rajam, lalu dua orang di antara mereka berkata: “Kami sengaja, sedangkan kedua orang ini keliru,” dan dua lainnya berkata: “Kami sengaja, sedangkan dua yang pertama keliru,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: Wajib qishāsh atas seluruhnya, karena masing-masing dari mereka mengakui kesengajaan dan menisbatkan kekeliruan kepada pihak lain yang juga mengakui kesengajaan, sehingga mereka semua seperti halnya jika seluruhnya mengakui kesengajaan.

والقول الثاني وهو الصحيح أنه لا يؤخذ كل واحد منهم إلا بإقراره وكل واحد منهم مقر بعمد شاركه فيه مخطئ فلا يجب عليه القود بإقراره وكل واحد منهم مقر بعمد شاركه فيه مخطئ فلا يجب عليه القود بإقرار غيره بالعمد وإن قال اثنان تعمدنا كلنا وقال الآخران: تعمدنا وأخطأ الأولان فعلى الأولين القود وفي الآخرين القولان: أحدهما: يجب عليهما القود والثاني: وهو الصحيح أنه يجب عليهما قسطهما من الدية المغلظة وقد مضى توجيههما وإن قال بعضهم تعمدت ولا أعلم حال الباقين فإن قال الباقون: تعمدنا وجب القود على الجميع وإن قالوا: أخطأنا سقط القود عن الجميع.

Dan pendapat kedua—yang merupakan pendapat yang ṣaḥīḥ—bahwa tidak seorang pun dari mereka dikenai qishāsh kecuali berdasarkan pengakuannya sendiri. Setiap dari mereka mengaku melakukan kesengajaan yang di dalamnya terdapat keterlibatan orang yang keliru, maka tidak wajib atasnya qishāsh berdasarkan pengakuannya. Dan tidak wajib pula atasnya qishāsh berdasarkan pengakuan kesengajaan dari selainnya.

Jika dua orang berkata, “Kami semua sengaja,” dan dua orang lainnya berkata, “Kami sengaja, sedangkan dua yang pertama keliru,” maka atas dua yang pertama wajib qishāsh, dan terhadap dua yang terakhir terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: Wajib atas keduanya qishāsh;
Pendapat kedua—yang ṣaḥīḥ: Wajib atas keduanya bagian mereka dari diyat yang diperberat (mughallazhah), dan penjelasan keduanya telah lalu.

Jika sebagian mereka berkata: “Aku sengaja dan aku tidak mengetahui keadaan yang lainnya,” maka jika yang lainnya berkata: “Kami juga sengaja,” maka wajib qishāsh atas seluruh mereka. Namun jika mereka berkata: “Kami keliru,” maka gugurlah qishāsh dari semuanya.

فصل: فإن رجع بعضهم نظرت فإن لم يزد عددهم على عدد البينة بأن شهد أربعة على رجل بالزنا فرجم ثم رجع واحد منهم وقال أخطأت ضمن ربع الدية وإن رجع اثنان ضمنا نصف الدية وإن زاد عددهم على عدد البينة بأن شهد خمسة على رجل بالزنا فرجم ورجع واحد منهم لم يجب القود على الراجع لبقاء وجوب القتل على المشهور عليه وهل يجب عليه من الدية شيء؟ فيه وجهان: أحدهما: وهو الصحيح أنه لا يجب لبقاء وجوب القتل

PASAL: Jika sebagian dari mereka menarik kembali (kesaksiannya), maka dilihat: jika jumlah mereka tidak melebihi jumlah syarat bainah, seperti jika empat orang bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia berzina lalu ia dirajam, kemudian salah satu dari mereka menarik kembali dan berkata: “Aku keliru”, maka ia menanggung seperempat dari diyat. Jika dua orang menarik kembali, maka keduanya menanggung setengah dari diyat.

Namun jika jumlah mereka melebihi jumlah syarat bainah, seperti lima orang bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia berzina lalu ia dirajam, kemudian salah satu dari mereka menarik kembali, maka tidak wajib qishāsh atas orang yang menarik kembali karena kewajiban hukuman mati masih tetap berlaku atas orang yang dituduh menurut pendapat yang masyhur. Apakah wajib atasnya membayar bagian dari diyat? Maka ada dua wajah: pertama—dan ini yang ṣaḥīḥ—tidak wajib, karena kewajiban hukuman mati masih tetap berlaku.

والثاني: أنه يجب عليه خمس الدية لأن الرجم حصل بشهادتهم فقسمت الدية على عددهم فإن رجع اثنان وقالا تعمدنا كلنا وجب عليهما القود وإن قالا أخطأنا كلنا ففي الدية وجهان: أحدهما: أنهما يضمنان الخمس من الدية اعتباراً بعددهم والثاني: يضمنان ربع الدية لأنه بقي ثلاثة أرباع البينة.

Dan yang kedua: bahwa wajib atasnya seperlima diyat karena rajam terjadi berdasarkan kesaksian mereka, maka diyat dibagi menurut jumlah mereka. Jika dua orang dari mereka menarik kembali dan berkata, “Kami semua sengaja,” maka wajib atas keduanya qishāsh. Dan jika keduanya berkata, “Kami semua keliru,” maka dalam hal diyat terdapat dua wajah:

Pertama: keduanya menanggung seperlima diyat dengan mempertimbangkan jumlah mereka.

Kedua: keduanya menanggung seperempat diyat karena masih tersisa tiga perempat dari bainah.

فصل: وإن شهد أربعة بالزنا على رجل وشهد اثنان بالإحصان فرجم ثم رجعوا كلهم عن الشهادة فهل يجب على شهود الإحصان ضمان فيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه لا يجب لأنهم لم يشهدوا بما يوجب القتل والثاني: أنه يجب على الجميع لأن الرجم لم يستوف إلا بهم والثالث أنهما إن شهدا بالإحصان قبل ثبوت الزنا لم يضمنا لأنهما لم يثبتا إلا صفة وإن شهدا بعد ثبوت الزنا ضمنا لأن الرجم لم يستوف إلا بهما وفي قدر ما يضمنان من الدية وجهان: أحدهما: أنهما يضمنان نصف الدية لأنه رجم بنوعين من البينة الإحصان والزنا فقسمت الدية عليهما

PASAL: Jika empat orang bersaksi atas zina seorang laki-laki, dan dua orang bersaksi bahwa ia muḥṣan, lalu ia dirajam, kemudian semua mereka menarik kembali kesaksiannya, maka apakah wajib atas saksi iḥṣān untuk menanggung ganti rugi? Maka ada tiga pendapat:

Pertama, tidak wajib karena mereka tidak bersaksi dengan sesuatu yang mewajibkan pembunuhan.
Kedua, wajib atas semuanya karena rajam tidak dilaksanakan kecuali dengan kesaksian mereka.
Ketiga, jika keduanya bersaksi atas iḥṣān sebelum terbuktinya zina maka keduanya tidak menanggung, karena keduanya hanya menetapkan sifat; dan jika keduanya bersaksi setelah terbuktinya zina maka keduanya menanggung karena rajam tidak dilaksanakan kecuali dengan keduanya.

Dan dalam kadar diyat yang harus ditanggung keduanya terdapat dua pendapat:
Pertama, keduanya menanggung setengah diyat karena rajam dilakukan dengan dua jenis kesaksian: iḥṣān dan zina, maka diyat dibagi di antara keduanya.

والثاني: أنه يجب عليهما ثلث الدية لأنه رجم بشهادة ستة فوجب على الاثنين ثلث الدية وإن شهد أربعة بالزنا وشهد اثنان منهم بالإحصان قبلت شهادتهما لأنهما لا يجران بهذه الشهادة إلى أنفسهما نفعاً ولا يدفعان عنهما ضرراً فإن شهدوا فرجم المشهود عليه ثم رجعوا عن الشهادة فإن قلنا لا يجب الضمان على شهود الإحصان وجبت الدية عليهم أرباعاً على كل واحد منهم ربعها وإن قلنا إنه يجب الضمان على شهود الإحصان ففي هذه المسألة وجهان: أحدهما: أنه لا يجب لأجل الشهادة بالإحصان شيء بل يجب على من شهد بالإحصان نصف الدية كأربعة أنفس جنى اثنان جنايتين وجنى اثنان أربعة جنايات

dan kedua: bahwa keduanya wajib menanggung sepertiga diyat karena rajam dilakukan dengan kesaksian enam orang, maka wajib atas dua orang sepertiga diyat.

Jika empat orang bersaksi atas zina, dan dua di antara mereka bersaksi atas iḥṣān, maka diterima kesaksian keduanya karena dengan kesaksian ini mereka tidak menarik manfaat bagi diri mereka dan tidak menolak mudarat dari mereka.

Jika mereka bersaksi lalu orang yang disaksikan dirajam, kemudian mereka semua menarik kembali kesaksiannya, maka jika dikatakan tidak wajib diyat atas saksi iḥṣān, maka diyat wajib atas mereka dengan pembagian seperempat untuk masing-masing.

Dan jika dikatakan wajib diyat atas saksi iḥṣān, maka dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Pertama, bahwa tidak wajib apa pun karena kesaksian iḥṣān, melainkan wajib atas mereka yang bersaksi iḥṣān setengah dari diyat, seperti empat orang di mana dua di antaranya melakukan dua tindak jināyah dan dua lainnya melakukan empat tindak jināyah.

والوجه الثاني أنه يجب الضمان لأجل الشهادة بالإحصان فإن قلنا يجب على شاهدي الإحصان نصف الدية وعلى شهود الزنا النصف وجب ههنا على الشاهدين بشهادتهما باللإحصان نصف الدية وقسم النصف بينهم نصفين على شاهدي الإحصان النصف وعلى الآخرين النصف فيصير على شاهدي الإحصان ثلاثة أرباع الدية وعلى الآخرين ربعها وإذا قلنا إنه يجب على شاهدي الإحصان ثلث الدية وجب ههنا عليهما الثلث بشهادتهما بالإحصان ويبقى الثلثان بينهم النصف على من شهد بالإحصان والنصف على الآخرين فيصير على من شهد بالإحصان ثلثا الدية وعلى من انفرد بشهادة الزنا ثلثها.

Dan pendapat kedua: bahwa wajib menanggung diyat karena kesaksian atas iḥṣān.

Jika dikatakan bahwa wajib atas dua saksi iḥṣān setengah diyat dan atas saksi zina setengahnya, maka dalam hal ini wajib atas dua saksi yang bersaksi atas iḥṣān setengah diyat, dan setengahnya lagi dibagi di antara mereka, separuhnya atas dua saksi iḥṣān dan separuhnya lagi atas yang lain, sehingga menjadi atas dua saksi iḥṣān tiga perempat diyat dan atas yang lainnya seperempatnya.

Dan jika dikatakan bahwa wajib atas dua saksi iḥṣān sepertiga diyat, maka dalam hal ini wajib atas keduanya sepertiga karena kesaksiannya atas iḥṣān, dan sisanya yang dua pertiga dibagi di antara mereka: separuhnya atas yang bersaksi iḥṣān, dan separuhnya atas yang lainnya. Maka menjadi atas yang bersaksi iḥṣān dua pertiga diyat dan atas yang bersaksi atas zina saja sepertiganya.

فصل: وإن شهد على رجل أربعة بالزنا وشهد اثنان بتزكيتهم فرجم ثم بان أن الشهود كانوا عبيدا أوكفارا وجب الضمان على المزكيين لأن المرجوم قتل بغير حق ولا شيء على شهود الزنا لأنهم يقولون إنا شهدنا بالحق ولولي الدم أن يطالب من شاء من الإمام أو المزكيين لأن الإمام رجم المزكيين ألجآ فإن طالب الإمام رجع على المزكيين لأنه رجمه بشهادتهما وإن طالب المزكيين لم يرجعا على الإمام لأنه كالآلة لهما.

PASAL: Jika empat orang bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia berzina, dan dua orang bersaksi bahwa para saksi tersebut ‘udūl (berkepribadian adil), lalu orang yang dituduh dirajam, kemudian ternyata para saksi zina tersebut adalah budak atau orang-orang kafir, maka wajib ada ganti rugi atas para pemberi tazkiyah, karena orang yang dirajam telah dibunuh tanpa hak. Tidak ada kewajiban apa pun atas saksi-saksi zina, karena mereka dapat mengatakan: “Kami bersaksi sesuai dengan kebenaran.”

Ahli waris dari orang yang dibunuh berhak menuntut siapa pun yang ia kehendaki, baik imam maupun para pemberi tazkiyah, karena imam melakukan rajam disebabkan dorongan dari para pemberi tazkiyah. Jika ia menuntut imam, maka imam dapat kembali menuntut para pemberi tazkiyah, karena ia merajam berdasarkan kesaksian mereka. Namun jika ia menuntut para pemberi tazkiyah, maka mereka tidak dapat menuntut balik kepada imam, karena imam seperti alat bagi mereka.

فصل: وإن شهد شاهدان على رجل أنه أعتق عبده ثم رجعا عن الشهادة وجب عليهما قيمة العبد لأنهما ألفاه عليه فلزمهما ضمانه كما لو قتلاه وإن شهدا على رجل أنه طلق امرأته ثم رجعا عن الشهادة فإن كان بعد الدخول وجب عليهما مهر المثل لأنهما أتلفا عليه مقوماً فلزمهما ضمانه كما لو أتلفا عليه ماله وإن كان قبل الدخول ففيه طريقان ذكرناهما في الرضاع.

PASAL: Jika dua orang saksi bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia telah memerdekakan budaknya, kemudian keduanya menarik kembali kesaksiannya, maka wajib atas keduanya membayar nilai budak tersebut karena keduanya telah menyebabkan budak itu lepas darinya, maka wajib atas keduanya menanggungnya sebagaimana jika keduanya membunuh budak itu.

Dan jika keduanya bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia telah menceraikan istrinya, kemudian keduanya menarik kembali kesaksiannya, maka jika itu terjadi setelah dukhūl, wajib atas keduanya membayar mahar yang semisal, karena keduanya telah merusak sesuatu yang bernilai pada dirinya, maka wajib atas keduanya menggantinya sebagaimana jika keduanya merusak hartanya. Dan jika terjadi sebelum dukhūl, maka dalam hal ini terdapat dua cara yang telah kami sebutkan dalam pembahasan raḍā‘.

فصل: وإن شهدا عليه بمال وحكم عليه ثم رجعا عن الشهادة فالمنصوص أنه لا يرجع على المشهود وقال فيمن في يده دار فأقر أنه غصبها من فلان ثم أقر أنه غصبها من آخر أنها تسلم إلى الأموال بإقراره السابق وهل يجب عليه أن يغرم قيمتها للثاني فيه قولان ورجوع الشهود كرجوع المقر فمن أصحابنا من قال: هو على قولين وهو قول أبي العباس: أحدهما: أنه يرجع على المشهود بالغرم لأنهم حالوا بينه وبين ماله بعدوان وهو الشهادة فلزمهم الضمان

PASAL: Jika dua orang bersaksi atas seseorang mengenai harta, lalu hakim memutuskan atas dasar kesaksian itu, kemudian keduanya menarik kembali kesaksian mereka, maka menurut pendapat yang masyhur, tidak dikembalikan kepada pihak yang disaksikan. Dan dalam kasus seseorang yang memiliki sebuah rumah lalu mengaku bahwa ia telah merampasnya dari si Fulan, kemudian ia mengaku lagi bahwa ia telah merampasnya dari orang lain, maka rumah tersebut diserahkan kepada pihak yang disebut dalam pengakuan pertama. Apakah ia wajib mengganti nilainya kepada pihak kedua, dalam hal ini terdapat dua pendapat. Penarikan kembali kesaksian oleh para saksi seperti halnya penarikan pengakuan. Sebagian ulama kami berkata: statusnya mengikuti dua pendapat tersebut. Ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās: pertama, bahwa wajib mengganti kerugian kepada orang yang disaksikan karena mereka telah menghalangi orang itu dari hartanya secara zalim melalui kesaksian, maka mereka wajib menanggung ganti rugi.

والثاني: أنه لا يرجع عليهم لأن العين لا تضمن إلا باليد أو بالإتلاف ولم يوجد من الشهود واحد منهما ومن أصحابنا من قال: لا يرجع على الشهود قولاً واحداً والفرق بينهما وبين الغاصب أن الغاصب ثبتت يده على المال بعدوان والشهود لم تثبت أيديهم على المال والصحيح أن المسألة على قولين والصحيح من القولين أنه يجب عليهم الضمان فإن شهد رجل وامرأتان بالمال ثم رجعوا وجب على الرجل النصف وعلى كل امرأة الربع لأن كل امرأتين كالرجل

dan yang kedua: bahwa tidak ada tanggungan atas mereka karena suatu benda tidak wajib diganti kecuali dengan tangan atau perusakan, dan keduanya tidak terjadi dari para saksi. Dan sebagian sahabat kami berkata: tidak ada tanggungan atas para saksi secara qoul satu. Perbedaan antara mereka dan ghāṣib adalah bahwa ghāṣib tangannya tetap atas harta secara ‘udwān, sementara tangan para saksi tidak tetap atas harta. Dan pendapat yang ṣaḥīḥ bahwa masalah ini ada dua pendapat, dan pendapat yang ṣaḥīḥ dari keduanya adalah bahwa mereka wajib mengganti. Jika seorang laki-laki dan dua perempuan bersaksi atas harta, kemudian mereka menarik kembali kesaksiannya, maka wajib atas laki-laki setengah, dan atas tiap perempuan seperempat, karena dua perempuan setara dengan satu laki-laki.

وإن شهد ثلاثة رجال ثم رجعوا وجب على كل واحد منهم الثلث فإن رجع واحد وبقي اثنان ففيه وجهان: أحدهما: أنه يلزمه ضمان الثلث لأن المال يثبت بشهادة الجميع والثاني: وهو المذهب أنه لا شيء عليه لأنه بقيت بينة يثبت بها المال فإن رجع آخر وجب عليه وعلى الأول ضمان النصف لأنه انحل نصف البينة وإن شهد رجل وعشر نسوة ثم رجعوا عن الشهادة وجب على الرجل ضمان السدس وعلى كل امرأة ضمان نصف السدس

Jika tiga orang laki-laki bersaksi lalu mereka menarik kembali kesaksiannya, maka wajib atas masing-masing dari mereka sepertiga. Jika salah satu dari mereka menarik kembali dan dua orang tetap pada kesaksiannya, maka dalam hal ini ada dua wajah: pertama, bahwa ia wajib menanggung sepertiga karena harta itu ditetapkan dengan kesaksian seluruhnya; dan yang kedua—dan inilah madzhab—bahwa tidak ada tanggungan atasnya karena masih tersisa bayyinah yang dengannya harta bisa ditetapkan. Jika seorang lagi menarik kembali, maka wajib atasnya dan atas yang pertama menanggung setengah karena separuh bayyinah telah gugur.

Jika seorang laki-laki dan sepuluh perempuan bersaksi lalu mereka menarik kembali kesaksiannya, maka wajib atas laki-laki menanggung seperenam, dan atas setiap perempuan menanggung setengah dari seperenam.

وقال أبو العباس: يجب على الرجل ضمان النصف والصحيح هو الأول لأن الرجل في المال بمنزلة امرأتين وكل امرأتين بمنزلة رجل فصاروا كستة رجال شهدوا ثم رجعوا فيكون حصة الرجل السدس وحصة كل امرأتين السدس وإن رجع ثماني نسوة لم يجب على الصحيح من المذهب عليهن شيء لأنه بقيت بينة ثبت بها الحق فإن رجعت أخرى وجب عليها وعلى الثماني ضمان الربع وإن رجعت أخرى وجب عليها وعلى التسع النصف.

Dan Abu al-‘Abbās berkata: Wajib atas laki-laki menanggung setengah. Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama, karena laki-laki dalam perkara harta setara dengan dua perempuan, dan setiap dua perempuan setara dengan satu laki-laki, sehingga mereka menjadi seperti enam laki-laki yang bersaksi lalu menarik kembali, maka bagian laki-laki adalah seperenam, dan bagian setiap dua perempuan adalah seperenam.

Jika delapan perempuan menarik kembali, maka menurut pendapat yang ṣaḥīḥ dari madzhab, tidak wajib atas mereka apa pun, karena masih tersisa bayyinah yang dengannya hak tetap berlaku. Jika seorang lagi menarik kembali, maka wajib atasnya dan atas delapan orang itu menanggung seperempat. Jika seorang lagi menarik kembali, maka wajib atasnya dan atas sembilan orang menanggung setengah.

فصل: وإن شهد شاهد بحق ثم مات أو جن أو أغمي عليه قبل الحكم لم تبطل شهادته لأن ما حدث لا يوقع شبهة في الشهادة فلم يمنع الحكم لها وإن شهد ثم فسق قبل الحكم لم يجز الحكم بشهادته لأن الفسق يوقع شكاً في عدالته عند الشهادة فمنع الحكم بها وإن شهد على رجل ثم صار عدواً له بأن قذفه المشهود عليه لم تبطل شهادته لأن هذه عداوة حدثت بعد الشهادة فلم تمنع من الحكم بها

PASAL: Jika seorang saksi memberikan kesaksian atas suatu hak, lalu ia meninggal, atau menjadi gila, atau pingsan sebelum ada keputusan hukum, maka kesaksiannya tidak batal, karena kejadian tersebut tidak menimbulkan syubhat dalam kesaksian, sehingga tidak menghalangi pengambilan keputusan berdasarkan kesaksian itu. Namun jika ia bersaksi lalu menjadi fasiq sebelum ada keputusan hukum, maka tidak boleh diputuskan berdasarkan kesaksiannya, karena kefasiqan menimbulkan keraguan terhadap keadilannya saat bersaksi, sehingga mencegah pengambilan keputusan dengannya. Dan jika ia bersaksi atas seseorang, lalu setelahnya menjadi musuhnya, seperti karena dicaci oleh orang yang disaksikan, maka kesaksiannya tidak batal, karena permusuhan itu terjadi setelah kesaksian, sehingga tidak menghalangi pengambilan keputusan dengannya.

وإن شهد وحكم الحاكم بشهادته ثم فسق فإن كان في مال أو عقد لم يؤثر على الحكم لأنه يجوز أن يكون حادثاً ويجوز أن يكون موجوداً عند الشهادة فلا ينقض حكم نفذ بأمر محتمل وإن كان في حد أو قصاص لم يجز الاستيفاء لأن ذلك يوقع شبهة في الشهادة والحد والقصاص مما يسقطان بالشبهة فلم يجز استيفاؤه مع الشبهة.

Dan jika seorang saksi telah memberikan kesaksian dan hakim telah memutuskan berdasarkan kesaksiannya, kemudian ia menjadi fasiq, maka jika kesaksian itu dalam perkara harta atau akad, tidak berpengaruh pada putusan, karena boleh jadi kefasiqan itu terjadi setelahnya dan boleh jadi telah ada saat kesaksian, maka tidak dibatalkan putusan yang telah dijalankan dengan suatu hal yang masih mungkin. Namun jika dalam perkara ḥadd atau qiṣāṣ, maka tidak boleh dilakukan eksekusi, karena hal itu menimbulkan syubhat dalam kesaksian, sementara ḥadd dan qiṣāṣ adalah hal-hal yang gugur karena adanya syubhat, maka tidak boleh dieksekusi bersamaan dengan adanya syubhat.

فصل: وإن حكم بشهادة شاهد ثم بان أنه عبد أو كافر نقض الحكم لأنه تيقن الخطأ في حكمه فوجب نقضه كما لوحكم بالاجتهاد ثم وجد النص بخلافه وإن حكم بشهادة شاهد ثم قامت البينة أنه فاسق فإن لم تسند الفسق إلى حال الحكم لم ينقض الحكم لجواز أن يكون الفسق حدث بعد الحكم فلم ينقض الحكم مع الاحتمال

PASAL: Jika seorang hakim memutuskan berdasarkan kesaksian seorang saksi, kemudian ternyata ia adalah seorang budak atau kafir, maka keputusan itu dibatalkan karena telah diyakini adanya kesalahan dalam putusannya, sehingga wajib dibatalkan sebagaimana halnya jika ia memutuskan dengan ijtihad lalu ditemukan nash yang bertentangan dengannya. Dan jika hakim memutuskan berdasarkan kesaksian seorang saksi, lalu muncul bukti bahwa ia adalah seorang fāsiq, maka jika kefāsikannya tidak dikaitkan dengan waktu keputusan itu diambil, maka keputusan tidak dibatalkan karena bisa jadi kefāsikan itu terjadi setelah keputusan, sehingga keputusan tidak dibatalkan karena masih adanya kemungkinan.

وإن قامت البينة أنه كان فاسقاً عند الحكم فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق رحمه الله: ينقض الحكم قولاً واحداً لأنه إذا نقض بشهادة العبد ولا نص في رد شهادته ولا إجماع فلأن ينقض بشهادة الفاسق وقد ثبت رد شهادته بالنص والإجماع أولى وقال أبو العباس رحمه الله: فيه قولان: أحدهما: أنه ينقض لما ذكرناه والثاني: أنه لا ينقض لأن فسقه ثبت بالبينة من جهة الظاهر فلا ينقض حكم نفذ في الظاهر والصحيح هو الأول لأن هذا يبطل به إذا حكم بالاجتهاد فيه ثم وجد النص بخلافه فإن النص ثبت من جهة لا ظاهر وهو خبر الواحد ثم ينقض به الحكم.

Dan jika muncul bukti bahwa ia adalah seorang fāsiq pada saat keputusan diambil, maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya. Abū Isḥāq rahimahullāh berkata: keputusan itu dibatalkan secara qaul wāḥid, karena jika keputusan dibatalkan karena kesaksian seorang budak—padahal tidak ada nash atau ijmā‘ yang menolak kesaksiannya—maka membatalkan keputusan karena kesaksian fāsiq, padahal telah tetap penolakan kesaksiannya dengan nash dan ijmā‘, tentu lebih utama. Dan Abū al-‘Abbās rahimahullāh berkata: ada dua pendapat dalam hal ini. Pertama: bahwa keputusan dibatalkan, sebagaimana telah kami sebutkan. Kedua: bahwa keputusan tidak dibatalkan karena kefāsikannya terbukti melalui bayyinah berdasarkan zhāhir, sehingga tidak dibatalkan keputusan yang telah ditegakkan berdasarkan zhāhir. Dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama, karena ini dapat membatalkan seperti halnya jika seorang hakim memutuskan dengan ijtihād lalu ditemukan nash yang menyelisihinya, padahal nash itu datang dari sisi yang bukan zhāhir, yakni melalui khabar al-wāḥid, dan tetap keputusan dibatalkan dengannya.

فصل: وإذا نقض الحكم نظرت فإن كان المحكوم به قطعاً أو قتلاً وجب على الحاكم ضمانه لأنه لا يمكن إيجابه على الشهود وهم يقولون شهدنا بالحق ولا يمكن إيجابه على المشهود له لأنه يقول استوفيت حقي فوجب على الحاكم الذي حكم بالإتلاف ولم يبحث عن الشهادة وفي الموضع الذي يضمن قولان: أحدهما: في بيت المال والثاني: على عاقلته وقد بيناه في الديات وإن كان المحكوم به مالاً فإن كان باقياً في يد المحكوم له وجب عليه رد وإن كان تالفاً وجب عليه ضمانه لأنه حصل في يده بغير حق ويخالف ضمان القطع والقتل حيث لم يوجب على المحكوم له لأن الجناية لا تضمن إلا أن تكون محرمة ويحرم الحاكم خرج عن أن يكون محرماً فوجب على الحاكم دونه.

PASAL: Apabila suatu keputusan dibatalkan, maka diperhatikan keadaannya. Jika yang diputuskan adalah hukuman potong (anggota tubuh) atau pembunuhan, maka wajib atas hakim untuk menanggung (ganti rugi) karena tidak mungkin mewajibkannya kepada para saksi—sementara mereka berkata: kami bersaksi dengan kebenaran, dan tidak mungkin juga mewajibkannya kepada pihak yang diputuskan haknya, karena dia berkata: aku hanya mengambil hakku. Maka wajib atas hakim yang memutuskan suatu bentuk penghilangan (jiwa atau anggota tubuh) tanpa meneliti kesaksian.

Adapun tempat ditanggungnya (ganti rugi itu), terdapat dua pendapat: pertama, dari baitul māl; kedua, dari ‘āqilah-nya. Dan ini telah kami jelaskan dalam pembahasan diyāt.

Jika yang diputuskan adalah harta, maka apabila harta tersebut masih ada di tangan pihak yang diputuskan haknya, maka wajib baginya mengembalikannya. Dan jika telah rusak (hilang), maka wajib baginya mengganti rugi, karena harta itu ada di tangannya tanpa hak.

Ini berbeda dengan ganti rugi atas pemotongan atau pembunuhan yang tidak diwajibkan atas pihak yang diputuskan haknya, karena jināyah tidak diwajibkan (ganti rugi) kecuali jika bersifat haram, sedangkan hakim ketika menetapkan (hukuman tersebut), dia keluar dari status haram. Maka wajib atas hakim, bukan pihak tersebut.

فصل: ومن حكم له الحاكم بمال أو بضع أو غيرهما بيمين فاجرة أو شهادة زور لم يحل له ما حكم له به لما روت أم سلمة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إنكم تختصمون إلي وإنما أنا بشر ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض فأقضي له بما أسمع وأظنه صادقاً فمن قضيت له بشيء من حق أخيه فإنما أقطع له قطعة من النار فليأخذها أو ليدعها” . ولأنه يقطع بتحريم ما حكم له به فلم يحل له بحكمه كما لوحكم له بما يخالف النص والإجماع.

PASAL: Barang siapa diputuskan oleh hakim mendapatkan harta, atau budak, atau selain keduanya dengan sumpah palsu atau kesaksian palsu, maka tidak halal baginya apa yang diputuskan untuknya itu. Karena Ummu Salamah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kepadaku, dan aku hanyalah seorang manusia. Barangkali sebagian kalian lebih fasih dalam berargumentasi daripada yang lain, lalu aku memutuskan perkara untuknya berdasarkan apa yang aku dengar dan aku menyangka ia benar. Maka barang siapa aku putuskan untuknya sesuatu dari hak saudaranya, sesungguhnya aku memotongkan untuknya sepotong api neraka, maka hendaklah ia mengambilnya atau meninggalkannya.” Dan karena dipastikan keharaman atas apa yang diputuskan untuknya, maka tidak menjadi halal dengan adanya putusan hakim, sebagaimana apabila hakim memutuskan untuknya sesuatu yang bertentangan dengan nash dan ijma‘.

الحكم بالإقرار واجب لقوله صلى الله عليه وسلم: “يا أنيس اغد على امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها”. ولأن النبي صلى الله عليه وسلم رجم ماعزاً والغامدية بإقرارهما ولأنه إذا وجب الحكم بالشهادة فلأن يجب بالإقرار وهو من الريبة أبعد وأولى.

Kitāb al-Iqrār
Pendahuluan

Kitab Iqrār (Pengakuan)
Hukum berdasarkan iqrār (pengakuan) adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Wahai Unais, pergilah kepada wanita ini, jika ia mengaku, maka rajamlah.” Dan karena Nabi SAW telah merajam Mā‘iz dan al-Ghāmidiyyah berdasarkan pengakuan mereka berdua. Dan karena apabila hukum harus ditegakkan dengan kesaksian, maka lebih wajib lagi ditegakkan dengan pengakuan, karena pengakuan lebih jauh dari keraguan dan lebih utama.

فصل: وإن كان المقر به حقاً لآدمي أو حقاً لله تعالى لا يسقط بالشبهة كالزكاة والكفارة ودعت الحاجة إلى الإقرار به لزمه الإقرار به لقوله عز وجل: {كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ} ولقوله تعالى: {فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ} والإملال هو الإقرار فإن كان حقاً لله تعالى يسقط بالشبهة فقد بيناه في كتاب الشهادة.

PASAL: Jika yang diikrarkan adalah hak manusia atau hak Allah Ta‘ālā yang tidak gugur karena syubhat seperti zakat dan kafārat, dan ada kebutuhan untuk mengikrarkannya, maka wajib baginya mengikrarkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {Jadilah kalian orang-orang yang menegakkan keadilan, sebagai saksi karena Allah, meskipun terhadap diri kalian sendiri}, dan firman-Nya Ta‘ālā: {Jika orang yang berutang itu orang bodoh, atau lemah, atau tidak mampu mengemukakan sendiri, maka hendaklah walinya mengemukakannya dengan adil}, dan al-imlāl adalah iqrār (pengakuan). Adapun jika itu hak Allah Ta‘ālā yang gugur karena syubhat, maka telah dijelaskan dalam Kitāb al-Syahādah.

فصل: ولا يصح الإقرار إلا من بالغ عاقل مختار فأما الصبي والمجنون فلا يصح إقرارهما لقوله عليه الصلاة والسلام: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق”. ولأنه التزام حق بالقول فلم يصح من الصبي والمجنون كالبيع فإن أقر مراهق وادعى أنه غير بالغ فالقول قوله وعلى المقر له أن يقيم البينة على بلوغه ولا يحلف المقر لأنا حكمنا بأنه غير بالغ وأما السكران فإن كان سكره بسبب مباح فهو كالمجنون

PASAL: Tidak sah iqrār kecuali dari orang yang baligh, berakal, dan atas kehendak sendiri. Adapun anak kecil dan orang gila, maka tidak sah iqrār dari keduanya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia baligh, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari orang gila hingga ia sadar.” Dan karena iqrār adalah pengakuan hak dengan ucapan, maka tidak sah dari anak kecil dan orang gila, sebagaimana jual beli. Jika seorang murāhiq (mendekati baligh) mengaku lalu mengklaim bahwa ia belum baligh, maka yang dijadikan pegangan adalah pengakuannya, dan pihak yang menerima iqrār wajib mendatangkan bukti atas kebalighannya, dan tidak diminta sumpah dari pengaku, karena kami telah menetapkan bahwa ia belum baligh. Adapun orang mabuk, jika mabuknya disebabkan oleh hal yang mubah, maka hukumnya seperti orang gila.

وإن كان بمعصية الله فعلى ما ذكرنا في الطلاق وأما المكره فلا يصح إقراره لقوله عليه الصلاة والسلام: “رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه”. ولأنه قول أكره عليه بغير حق فلم يصح كالبيع ويصح إقرار السفيه والمفلس بالحد والقصاص لأنه غير متهم وأما إقراره بالمال فقد بيناه في الحجر والتفليس.

Dan jika mabuknya karena maksiat kepada Allah, maka hukumnya sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam masalah ṭalāq. Adapun orang yang dipaksa, maka tidak sah iqrār-nya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Diangkat dari umatku kesalahan, lupa, dan apa yang mereka dipaksa melakukannya.” Dan karena itu adalah ucapan yang dipaksakan tanpa hak, maka tidak sah sebagaimana jual beli. Sah iqrār orang safīh dan orang muflis dalam perkara ḥadd dan qiṣāṣ, karena ia tidak tertuduh. Adapun iqrār-nya dalam perkara harta, maka telah kami jelaskan dalam bab ḥajr dan taflīs.

فصل: ويصح إقرار العبد بالحد والقصاص لأن الحق عليه دون مولاه ولا يقبل إقرار المولى عليه في ذلك لأن المولى لا يملك من العبد إلا المال وإن جنى رجل على عبد جناية توجب القصاص أو قذفه قذفاً يوجب التعزير ثبت القصاص والتعزير له وله المطالبة به والعفو عنه وليس للمولى المطالبة به ولا العفو عنه لأنه حق غير مال فكان له دون المولى

PASAL: Sah pengakuan seorang budak terhadap ḥadd dan qiṣāṣ, karena hak tersebut tertuju kepadanya, bukan kepada tuannya. Tidak diterima pengakuan tuan atas budaknya dalam hal ini, karena tuan tidak memiliki dari budak kecuali harta.

Apabila seseorang melakukan jinayat terhadap seorang budak yang mewajibkan qiṣāṣ atau menuduhnya dengan qażaf yang mewajibkan ta‘zīr, maka qiṣāṣ dan ta‘zīr tersebut ditetapkan untuk budak itu. Ia berhak menuntutnya dan memaafkannya, dan tuannya tidak memiliki hak untuk menuntut atau memaafkannya, karena itu merupakan hak yang bukan harta, sehingga menjadi hak budak, bukan hak tuannya.

ولا يقبل إقرار العبد بجناية الخطأ لأنه إيجاب مال في رقبته ويقبل إقرار المولى عليه لأنه إيجاب حق في ماله ويقبل إقرار العبد المأذون في دين المعاملة ويجب قضاؤه من المال الذي في يده لأن المولى سلطه عليه ولا يقبل إقرار غير المأذون في دين معاملة في الحال ويتبع به إذا عتق لأنه لا يمكن أخذه من رقبته لأنه لزمه برضى من له الحق وإن أقر بسرقة مال لا يجب فيه القطع كمال دون النصاب وما سرق من غير حرز وصدقه المولى وجب التسليم إن كان باقياً وتعلق برقبته إن كان تالفاً لأنه لزمه بغير رضى صاحبه

Dan tidak diterima pengakuan budak atas jinayat khaṭā’ (tidak sengaja), karena hal itu mewajibkan harta atas lehernya (yakni tubuhnya menjadi jaminan), dan diterima pengakuan tuannya atas budak tersebut karena hal itu mewajibkan hak dalam hartanya.

Diterima pengakuan budak yang diberi izin (ma’żūn) dalam utang mu‘āmalah, dan wajib dilunasi dari harta yang ada di tangannya, karena tuannya telah memberinya wewenang atas harta itu.

Tidak diterima pengakuan budak yang tidak diberi izin dalam utang mu‘āmalah secara langsung, namun akan ditagih setelah ia merdeka, karena tidak memungkinkan diambil dari tubuhnya (sebagai jaminan), sebab ia menanggungnya atas kerelaan pemilik hak.

Jika budak mengaku mencuri harta yang tidak mewajibkan potong tangan—seperti harta di bawah nisab atau mencuri dari tempat yang bukan ḥirz—dan tuannya membenarkannya, maka wajib diserahkan jika harta itu masih ada, dan jika sudah rusak, maka tanggungannya terkait dengan tubuhnya, karena ia menanggungnya tanpa kerelaan pemiliknya.

وإن كذبه المولى كان في ذمته يتبع به إذا عتق وإن وجب فيه القطع قطع لأنه غير متهم في إيجاب القطع وفي المال قولان واختلف أصحابنا في موضع القولين على ثلاثة طرق: أحدها وهو قول أبي إسحاق أنه كان المال في يده ففيه قولان أحدهما: أنه يسلم إليه لأنه انتفت التهمة عنه في إيجاب القطع على نفسه

Dan jika tuannya mendustakannya, maka (tanggungannya) berada di dalam żimmah-nya, dan akan ditagih setelah ia merdeka. Jika dalam kasus tersebut wajib dikenai qaṭ‘ (potong tangan), maka ia dipotong, karena tidak ada tuduhan bahwa ia ingin mewajibkan potong tangan atas dirinya.

Adapun dalam masalah harta, terdapat dua pendapat. Para ashḥāb kami berbeda pendapat mengenai tempat dua pendapat ini dalam tiga cara:

Cara pertama—dan ini pendapat Abū Isḥāq—adalah: apabila harta itu berada di tangannya, maka ada dua pendapat:

Pertama: diserahkan kepadanya, karena tidak ada tuduhan terhadap dirinya dalam hal mewajibkan potong tangan atas dirinya.

والثاني: أنه لا يسلم لأن يده كيد المولى فلم يقبل إقراره فيه كما لو كان المال في يد المولى وإن كان المال تالفاً لم يقبل إقراره ولا يتعلق برقبته قولاً واحداً لأن للغرم محلاً يثبت برقبته وإن كان باقياً لم يقبل إقراره قولاً واحداً لأن يده كيد المولى فلم يقبل إقراره فيه كما لو أقر بسرقة مال في يد المولى والطريق الثالث وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أن القولين في الحالين سواء كان المال باقياً أو تالفاً لأن العبد وما في يده في حكم ما في يد المولى فإن قبل في أحدهما: قبل في الآخر وإن رد في أحدهما: رد في الآخر فلا معنى للفرق بينهما.

Dan pendapat kedua: tidak diserahkan (hartanya), karena tangannya dianggap seperti tangan tuannya, maka tidak diterima pengakuannya atasnya, sebagaimana jika harta itu berada di tangan tuan.

Apabila hartanya telah rusak, maka tidak diterima pengakuannya dan tidak terkait dengan lehernya (raqabah) menurut satu pendapat, karena tempat tanggungan itu ada, dan itu dapat ditetapkan atas lehernya.

Dan jika harta itu masih ada, maka tidak diterima pengakuannya menurut satu pendapat, karena tangannya seperti tangan tuannya, maka tidak diterima pengakuannya atasnya, sebagaimana jika ia mengaku mencuri harta yang berada di tangan tuannya.

Adapun jalan ketiga—dan ini pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah—bahwa dua pendapat itu berlaku dalam kedua keadaan: baik harta masih ada maupun telah rusak. Karena budak dan apa yang ada di tangannya berada dalam hukum seperti apa yang ada di tangan tuannya. Maka jika diterima dalam salah satunya, diterima pula dalam yang lain; dan jika ditolak dalam salah satunya, ditolak pula dalam yang lain. Maka tidak ada makna membedakan antara keduanya.

فصل: وإن باع السيد عبده من نفسه فقد نص في الأم أنه يجوز وقال الربيع رحمه الله فيه قول آخر أنه لا يجوز واختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق وأبو علي بن أبي هريرة يجوز قولاً واحداً وذهب القاضي أو حامد المروروذي والشيخ أبو حامد الإسفرايني رحمهما الله إلى أنها على قولين: أحدهما: أنه يجوز لأنه إذا جازت كتابته فلأن يجوز بيعه وهو أثبت والعتق فيه أسرع أولى

PASAL: Jika seorang tuan menjual budaknya kepada dirinya sendiri, maka dalam al-Umm ditegaskan bahwa hal itu boleh. Namun ar-Rabī‘ RA berpendapat lain, bahwa hal itu tidak boleh. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang hal ini. Abū Isḥāq dan Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah berpendapat bahwa hal itu boleh secara qaul wāḥid. Sedangkan al-Qāḍī Abū Ḥāmid al-Marwazī dan asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfara’inī RA berpendapat bahwa hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama, bahwa hal itu boleh, karena jika penulisan (kitābah) dibolehkan maka penjualan lebih layak untuk dibolehkan, karena penjualan lebih kuat dan pembebasan (budak) di dalamnya lebih cepat. Maka hal ini lebih utama.

والثاني: أنه لا يجوز لأنه لا يجوز بيعه بما في يده لأنه للمولى ولا يجوز بمال في ذمته لأن المولى لا يثبت له مال في ذمة عبده فإذا قلنا إنه يجوز وهو الصحيح فأقر المولى أنه باعه من نفسه وأنكر العبد عتق بإقراره وحلف العبد أنه لم يشتر نفسه ولا يجب عليه الثمن.

dan kedua: bahwa hal itu tidak boleh, karena tidak boleh menjualnya dengan harta yang ada di tangannya, sebab harta itu milik tuan. Dan tidak boleh pula dengan harta yang menjadi tanggungan budak, karena tuan tidak memiliki hak atas harta dalam tanggungan budaknya. Maka jika dikatakan bahwa hal itu boleh —dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ— kemudian tuan mengaku bahwa ia telah menjual budaknya kepada dirinya sendiri, sementara budak itu mengingkari, maka budak itu merdeka karena pengakuan tuannya. Budak itu bersumpah bahwa ia tidak membeli dirinya sendiri dan ia tidak wajib membayar harga (tebusan).

فصل: ويقبل إقرار المريض بالحد والقصاص لأنه غير متهم ويقبل إقراره بالمال لغير وارث لأنه غير متهم في حقه وإن أقر لرجل بدين في الصحة وأقر لآخر بدين في المرض وضاق المال عنهما قسم بينهما على قدر الدينين لأنهما حقان يجب قضاؤهما من رأس المال ولم يقدم أحدهما: على الآخر كما لو أقر لهما في حال الصحة واختلف أصحابنا في إقراره للوارث فمنهم من قال فيه قولان: أحدهما: أنه لا يقبل لأنه إثبات مال للوارث بقوله من غير رضى الورثة فلم يصح من غير رضى سائر الورثة كالوصية

PASAL: Diterima pengakuan orang sakit tentang ḥadd dan qiṣāṣ karena ia tidak dituduh berdusta, dan diterima pengakuannya tentang harta kepada selain ahli waris karena ia tidak dituduh dalam hak mereka. Jika ia mengaku kepada seseorang memiliki utang di waktu sehat, kemudian mengaku kepada orang lain memiliki utang di waktu sakit, dan hartanya tidak mencukupi untuk membayar keduanya, maka dibagi di antara keduanya sesuai kadar utang masing-masing, karena keduanya adalah hak yang wajib dibayar dari pokok harta, dan tidak ada yang lebih didahulukan dari yang lain, sebagaimana jika ia mengaku kepada keduanya di saat sehat. Ulama kami berbeda pendapat tentang pengakuannya kepada ahli waris: sebagian mereka berkata, dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama: tidak diterima, karena itu adalah penetapan harta untuk ahli waris berdasarkan pengakuan dirinya tanpa kerelaan para ahli waris lainnya, maka tidak sah tanpa kerelaan seluruh ahli waris, seperti wasiat.

والثاني: أنه يقبل وهو الصحيح لأن من صح إقراره له في الصحة صح إقراره في المرض كالأجنبي ومن أصحابنا من قال يقبل إقراره قولاً واحداً والقول الآخر حكاه عن غيره وإن كان وارثه أخاً فأقر له بمال فلم يمت المقر حتى حدث له ابن صح إقراره للأخ قولاً واحداً لأنه خرج عن أن يكون وارثاً وإن أقر لأخيه وله ابن فلم يمت حتى مات الابن صار الإقرار للوارث فيكون على ما ذكرناه من الطريقين في الإقرار للوارث

dan pendapat kedua: diterima, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena siapa yang sah pengakuannya kepada orang itu di waktu sehat, maka sah pula pengakuannya di waktu sakit, sebagaimana (pengakuan kepada) orang luar. Dan sebagian ulama kami berkata: diterima pengakuannya secara qawl wāḥid, dan pendapat yang lain hanya dinukil dari selain mereka. Jika ahli warisnya adalah saudara, lalu ia mengaku kepadanya dengan harta, kemudian yang mengaku tidak meninggal dunia hingga ia memiliki seorang anak, maka sah pengakuannya kepada saudara secara qawl wāḥid, karena saudara itu telah keluar dari status ahli waris. Namun jika ia mengaku kepada saudaranya padahal ia memiliki anak, lalu ia tidak meninggal dunia hingga anaknya meninggal dunia, maka pengakuannya itu menjadi kepada ahli waris, dan hukumnya kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam masalah pengakuan kepada ahli waris.

وإن ملك رجل أخاه ثم أقر في مرضه أنه كان أعتقه في صحته وهو أقرب عصبته بعد عتقه هل يرث أم لا؟ إن قلنا إن الإقرار للوارث لا يصح لم يرث لأن توريثه يوجب إبطال الإقرار بحريته وإذا بطلت الحرية سقط الإرث فثبتت الحرية وسقط الإرث وإن قلنا إن الإقرار للوارث يصح نفذ العتق بإقراره وثبت الإرث بنسبه.

Jika seseorang memiliki saudara kandungnya sebagai budak, kemudian ia mengaku dalam sakitnya bahwa ia telah memerdekakannya di waktu sehatnya, padahal ia (si saudara) adalah kerabat ‘aṣabah terdekat setelah dimerdekakan, apakah ia mewarisi atau tidak?

Jika kita katakan bahwa pengakuan kepada ahli waris tidak sah, maka ia tidak mewarisi, karena mewariskannya berarti membatalkan pengakuan atas kemerdekaannya, dan apabila kemerdekaan itu batal maka gugurlah hak warisnya; maka tetaplah kemerdekaannya dan gugurlah warisannya.

Namun jika kita katakan bahwa pengakuan kepada ahli waris itu sah, maka sah pemerdekaan dengan pengakuannya, dan warisan ditetapkan berdasarkan nasab.

فصل: ويصح الإقرار لكل من يثبت له الحق المقر به فإن أقر لعبد بالنكاح أو القصاص أو تعزير القذف صح الإقرار له صدقه السيد أو كذبه لأن الحق له دون المولى فإن أقر له بمال فإن قلنا إنه يملك المال صح الإقرار وإن قلنا إنه لا يملك كان الإقرار لمولاه يلزم بتصديقه ويبطل برده.

PASAL: Sah pengakuan kepada setiap orang yang berhak atas hak yang diakui. Maka jika seseorang mengakui kepada seorang budak tentang pernikahan, atau qiṣāṣ, atau ta‘zīr karena qaḏf, maka sah pengakuan tersebut, baik tuannya membenarkan maupun mendustakannya, karena hak itu milik budak, bukan milik tuannya. Jika ia mengakui kepada budak tentang harta, maka jika kita katakan bahwa budak memiliki harta, maka sah pengakuan tersebut. Dan jika kita katakan bahwa budak tidak memiliki harta, maka pengakuan itu menjadi milik tuannya, yang mengikat jika dibenarkan oleh tuannya, dan batal jika ditolak olehnya.

فصل: وإن أقر لحمل بمال فإن عزاه إلى إرث أو وصية صح الإقرار فإن أطلق ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يصح لأنه لا يثبت له الحق من جهة المعاملة ولا من جهة الجناية والثاني: أنه يصح وهو الصحيح لأنه يجوز أن يملكه بوجه صحيح وهو الإرث والوصية فصح الإقرار له مطلقاً كالطفل ولا يصح الإقرار إلا لحمل يتيقن وجوده عند الإقرار كما بيناه في كتاب الوصية وإن أقر لمسجد أو مصنع وعزاه إلى سبب صحيح من غلة وقف عليه صح الإقرار فإن أطلق ففيه وجهان بناء على القولين في الإقرار للحمل.

PASAL: Jika seseorang mengakui (berutang) kepada janin dengan harta, maka jika ia menyandarkannya kepada warisan atau wasiat, maka sah pengakuan tersebut. Namun jika ia mengatakannya secara mutlak (tanpa penjelasan), maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak sah, karena janin tidak memiliki hak dari sisi mu‘āmalah maupun jināyah; dan kedua, sah, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena mungkin saja ia memiliki harta melalui cara yang sah seperti warisan atau wasiat, maka sah pengakuan tersebut secara mutlak sebagaimana anak kecil.

Pengakuan tersebut tidak sah kecuali kepada janin yang diyakini keberadaannya saat pengakuan, sebagaimana telah dijelaskan dalam Kitāb al-Waṣiyyah.

Jika seseorang mengakui kepada masjid atau tempat industri (pabrik) dan ia menyandarkannya kepada sebab yang sah seperti hasil dari wakaf yang diperuntukkan baginya, maka sah pengakuan tersebut. Namun jika ia mengatakannya secara mutlak, maka terdapat dua pendapat, mengikuti dua pendapat dalam pengakuan kepada janin.

فصل: وإن أقر بحق لآدمي أو بحق لله تعالى لا يسقط بالشبهة ثم رجع في إقراره لم يقبل رجوعه لأنه حق ثبت لغيره فلم يملك إسقاط بغير رضاه وإن أقر بحق لله عز وجل يسقط بالشبهة نظرت فإن كان حد الزنا أوحد الشرب قبل رجوعه وقال أبو ثور رحمه الله: لا يقبل لأنه حق ثبت بالإقرار فل يسقط بالرجوع كالقصاص وحد القذف وهذا خطأ

PASAL: Jika seseorang mengakui suatu hak bagi sesama manusia atau hak bagi Allah SWT yang tidak gugur karena syubhat, lalu ia menarik kembali pengakuannya, maka penarikan itu tidak diterima, karena itu adalah hak yang telah tetap bagi orang lain sehingga tidak boleh digugurkan tanpa kerelaannya. Namun jika ia mengakui hak bagi Allah SWT yang bisa gugur karena syubhat, maka hal itu perlu ditinjau kembali. Jika itu adalah ḥadd zina atau ḥadd minum khamar, kemudian ia menarik kembali pengakuannya sebelum ḥadd ditegakkan, maka ada pendapat dari Abū Ṯawr rahimahullāh bahwa penarikannya tidak diterima, karena itu adalah hak yang telah tetap dengan pengakuan, maka tidak gugur dengan penarikan kembali sebagaimana qiṣāṣ dan ḥadd qadzaf. Namun pendapat ini keliru.

لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: أتى رجل من أسلم إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن الأخر زنى فأعرض عنه قال: أتى رجل من أسلم إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن الأخر زنى فأعرض عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم فتنحى لشق وجهه الذي أعرض عنه فقال: يا رسول الله إن الأخر زنى فأعرض عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم فتنحى له الرابعة فلما شهد على نفسه أربع مرات دعاه رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “هل بك جنون” فقال: لا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “اذهبوا به فارجموه”.

Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Seorang laki-laki dari (kabilah) Aslam datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya si Fulan telah berzina.” Maka Rasulullah SAW berpaling darinya. Lalu laki-laki itu datang lagi kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya si Fulan telah berzina.” Maka Rasulullah SAW berpaling darinya. Kemudian ia datang lagi ke sisi Rasulullah SAW untuk ketiga kalinya dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya si Fulan telah berzina.” Maka Rasulullah SAW berpaling darinya. Ia pun berpindah ke sisi wajah Rasulullah SAW yang lain dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya si Fulan telah berzina.” Maka ketika ia telah bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali, Rasulullah SAW memanggilnya dan bersabda: “Apakah engkau gila?” Ia menjawab: “Tidak.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Bawalah dia dan rajamlah.”

وكان قد أحصن فلولم يسقط بالرجوع لما عرض له ويخالف القصاص وحد القذف فإن ذلك يجب لحق الآدمي وهذا يجب لحق الله تعالى وقد ندب فيه إلى الستر وإن كان حد السرقة أو قطع الطريق ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقبل فيه الرجوع لأنه حق يجب لصيانة حق الآدمي فلم يقبل فيه الرجوع عن الإقرار كحد القذف والثاني: وهو الصحيح أنه يقبل لما روى أبو أمية المخزومي أن النبي صلى الله عليه وسلم أتى بلص قد اعترف فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ما إخالك سرقت”. فقال له مرتين أو ثلاثة ثم أمر بقطعه فلولم يقبل فيه رجوعه لما عرض له ولأنه حق لله تعالى يقبل فيه الرجوع عن الإقرار كحد الزنا والشرب.

Dan ia adalah seorang muḥṣan, maka seandainya ḥadd itu tidak gugur dengan penarikan kembali, niscaya tidak akan ditanyakan kepadanya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW. Ini berbeda dengan qiṣāṣ dan ḥadd qadzaf, karena keduanya merupakan hak untuk sesama manusia, sedangkan ḥadd ini merupakan hak bagi Allah Ta‘ālā, dan di dalamnya dianjurkan untuk menutup aib.

Adapun jika yang diakui adalah ḥadd pencurian atau pemotongan karena perampokan di jalan, maka terdapat dua wajah pendapat:

Pertama: bahwa penarikan kembali pengakuan tidak diterima, karena ḥadd tersebut ditetapkan demi menjaga hak sesama manusia, maka tidak diterima penarikan pengakuan di dalamnya sebagaimana ḥadd qadzaf.

Kedua: dan ini yang ṣaḥīḥ, bahwa penarikan kembali pengakuan diterima, berdasarkan riwayat dari Abū Umayyah al-Makhzūmī bahwa Nabi SAW didatangkan seseorang pencuri yang telah mengaku, lalu Rasulullah SAW bersabda: “Aku tidak menyangka engkau mencuri.” Beliau mengulanginya dua atau tiga kali, kemudian memerintahkan agar tangannya dipotong. Maka seandainya penarikan kembali tidak diterima, niscaya tidak akan dilakukan pengujian sebagaimana yang beliau lakukan. Dan karena itu merupakan hak Allah Ta‘ālā, maka diterima penarikan kembali pengakuan sebagaimana ḥadd zina dan minum khamar.

فصل: وما قبل فيه الرجوع عن الإقرار إذا أقر به فالمستحب للإمام أن يعرضه للرجوع لما رويناه من حديث أبي هريرة وحديث أبي أمية المخزومي فإن أقر فأقيم عليه بعض الحد ثم رجع عن الإقرار قبل لأنه إذا سقط بالرجوع جميع الحد سقط بعضه وإن وجد ألم الحد فهرب فالأولى أن يخلى لأنه ربما رجع عن الإقرار فيسقط عنه الحد وإن اتبع وأقيم عليه تمام الحد جاز

PASAL: Dan perkara yang diterima padanya penarikan kembali dari iqrār, apabila seseorang telah mengaku dengannya, maka yang disunahkan bagi imam adalah menawarkannya untuk menarik kembali, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah dan Abu Umayyah al-Makhzumi. Maka apabila ia mengaku, lalu sebagian ḥadd ditegakkan atasnya, kemudian ia menarik kembali pengakuannya, maka diterima, karena apabila seluruh ḥadd gugur dengan penarikan kembali, maka sebagian ḥadd pun demikian. Dan apabila ia merasakan sakitnya ḥadd lalu melarikan diri, maka yang utama adalah dibiarkan, karena mungkin ia menarik kembali pengakuannya, maka ḥadd gugur darinya. Namun apabila ia dikejar dan disempurnakan atasnya pelaksanaan ḥadd, maka hal itu boleh.

لما روى الزهري قال: أخبرني من سمع جابر بن عبد الله قال كنت فيمن رجم ماعزاً فرجمناه في المصلى بالمدينة فلما أذلقته الحجارة تجمز حتى أدركناه بالحرة فرجمناه حتى مات فلولم يجز ذلك لأنكر عليهم النبي صلى الله عليه وسلم وضمنهم ولأن الهرب ليس بصريح في الرجوع فلم يسقط به الحد.

Karena telah meriwayatkan az-Zuhrī, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku seseorang yang mendengar dari Jābir bin ‘Abdillāh, ia berkata: Aku termasuk di antara orang yang merajam Mā‘iz, maka kami merajamnya di tempat shalat di Madinah. Ketika batu telah menyakitinya, ia melarikan diri, hingga kami menangkapnya di al-Ḥarrah, lalu kami rajam dia sampai mati. Maka seandainya hal itu tidak boleh, tentu Nabi SAW akan mengingkari mereka dan membebankan tanggung jawab kepada mereka. Dan karena lari bukanlah bentuk jelas dari penarikan kembali, maka ḥadd tidak gugur dengannya.

فصل: ومن أقر لرجل بمال في يده فكذبه المقر له بطل الإقرار لأنه رده وفي المال وجهان أحدهما: أنه يؤخذ منه ويحفظ لأنه لا يدعيه والمقر له لا يدعيه فوجب على الإمام حفظه كالمال الضائع والثاني: أنه لا يؤخذ منه لأنه محكوم له بملكه فإذا رد المقر له بقي على ملكه.

PASAL: Barang siapa mengaku kepada seseorang tentang harta yang ada di tangannya, lalu orang yang diakui tersebut mendustakannya, maka batal pengakuannya karena ia telah ditolak. Dalam hal harta tersebut terdapat dua pendapat:

Pertama, harta itu diambil darinya dan disimpan karena ia tidak mengaku memilikinya, dan orang yang diakui juga tidak mengaku memilikinya, maka wajib bagi imam untuk menyimpannya seperti harta yang hilang.

Kedua, harta itu tidak diambil darinya karena telah diputuskan sebagai miliknya, maka ketika orang yang diakui menolaknya, harta itu tetap menjadi miliknya.

فصل: فإن أقر الزوج أن امرأته أخته من الرضاع وكذبته المرأة قبل قوله في فسخ النكاح لأنه إقرار في حق نفسه ولا يقبل إقراره في إسقاط مهرها لأن قوله لا يقبل في حق غيره وإن أقرت المرأة أن الزوج أخوها من الرضاع وأنكر الزوج لم يقبل قولها في فسخ النكاح لأنه إقرار في حق غيرها وقبل قولها في إسقاط المهر لأنه إقرار ف حق نفسها.

PASAL: Jika suami mengaku bahwa istrinya adalah saudara sesusu dengannya, dan istri mendustakannya, maka diterima pengakuannya dalam pembatalan nikah karena itu adalah pengakuan terhadap dirinya sendiri. Namun, tidak diterima pengakuannya dalam menggugurkan mahar istrinya karena pengakuannya tidak diterima dalam hal yang berkaitan dengan hak orang lain. Dan jika istri mengaku bahwa suaminya adalah saudara sesusu dengannya dan suami mengingkarinya, maka tidak diterima pengakuannya dalam pembatalan nikah karena itu adalah pengakuan terhadap hak orang lain, namun diterima pengakuannya dalam menggugurkan mahar karena itu adalah pengakuan terhadap hak dirinya sendiri.

فصل: وإن قال لرجل لي عندك ألف فقال لا أنكر لم يكن إقراراً لأنه يحتمل أن يريد أني لا انكر أنه مبطل في دعواه وإن قال أقر لكم لم يكن إقرار لأنه وعد بالإقرار وإن قال لا أنكر أن تكون محقاً لم يكن إقراراً لأنه يحتمل أنه يريد أني لا أنكر أن تكون محقاً في اعتقاده وإن قال لا أنكر أن تكون محقاً في دعواك كان إقراراً لأنه يحتمل غير الإقرار وإن قال أنا مقر ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله أنه لا يكون إقراراً لأنه يحتمل غير الإقرار

PASAL: Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Aku punya seribu di sisimu,” lalu orang itu menjawab, “Aku tidak mengingkarinya,” maka itu bukanlah pengakuan, karena bisa jadi maksudnya adalah “aku tidak mengingkari bahwa ia batil dalam pengakuannya.” Dan jika ia berkata, “Aku akan mengaku untukmu,” maka itu bukanlah pengakuan, karena itu adalah janji untuk mengaku. Dan jika ia berkata, “Aku tidak mengingkari bahwa engkau berada di pihak yang benar,” maka itu bukanlah pengakuan, karena bisa jadi maksudnya adalah “aku tidak mengingkari bahwa engkau berada di pihak yang benar menurut keyakinanmu.” Namun jika ia berkata, “Aku tidak mengingkari bahwa engkau benar dalam pengakuanmu,” maka itu merupakan pengakuan karena tidak mengandung kemungkinan selain pengakuan. Dan jika ia berkata, “Aku mengaku,” maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama—yaitu pendapat asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfara’inī rahimahullah—bahwa itu bukan pengakuan karena masih mengandung kemungkinan makna selain pengakuan.

وإن قال أنا مقر ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله أنه لا يكون إقراراً لأنه يحتمل أنه يريد أني مقر ببطلان دعواك والوجه الثاني: أن يكون إقراراً لأنه جواب عن الدعوى فانصرف الإقرار إلى ما ادعى عليه وإن قال لي عليك ألف فقال نعم أو أجل أو صدق أو لعمري كان مقراً لأن هذه الألفاظ وضعت للتصديق وإن قال لعل أو عسى لم يكن إقراراً لأنها ألفاظ تستعمل في الشك

Dan jika ia berkata, “Aku mengaku,” maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama—yaitu pendapat asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfara’inī rahimahullah—bahwa itu bukanlah pengakuan karena bisa jadi maksudnya adalah “aku mengaku akan batilnya pengakuanmu”; dan pendapat kedua: bahwa itu merupakan pengakuan karena itu adalah jawaban atas dakwaan, maka pengakuan diarahkan pada apa yang dituduhkan kepadanya.

Dan jika dikatakan kepadanya, “Engkau berutang seribu kepadaku,” lalu ia menjawab, “Ya,” atau “Benar,” atau “Engkau benar,” atau “Demi hidupku,” maka ia telah mengaku karena ungkapan-ungkapan tersebut digunakan untuk menyatakan pembenaran.

Namun jika ia berkata, “Mungkin,” atau “Barangkali,” maka itu bukan pengakuan karena ungkapan-ungkapan tersebut digunakan dalam konteks keraguan.

وإن قال له علي في علمي كان إقراراً لأنما عليه في علمه لا يحتمل إلا الوجوب وإن قال اقض الألف التي لي عليك فقال نعم كان إقراراً لأنه تصديق لما ادعاه وإن قال اشتر عبدي هذا فقال: نعم أو أعطني عبدي هذا فقال: نعم كان إقراراً بالعبد لما ذكرناه وإن ادعى عليه ألفاً فقال: خذ أو اتزن لم يكن إقراراً لأنه يحتمل أنه أراد خذ الجواب مني أو اتزن إن كان ذلك على غيري وإن قال خذها أو اتزنها ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي عبد الله الزبيري رحمه الله أنه يكون إقراراً لأن هاء الكناية ترجع إلى ما تقدم من الدعوى

Dan jika ia berkata, “Bagiku atasnya (utang) menurut pengetahuanku,” maka itu merupakan pengakuan, karena apa yang ia akui menurut pengetahuannya tidak mengandung kemungkinan selain kewajiban. Dan jika dikatakan kepadanya, “Bayarlah seribu yang engkau utang padaku,” lalu ia menjawab, “Ya,” maka itu adalah pengakuan karena merupakan pembenaran terhadap apa yang didakwakan.

Dan jika dikatakan kepadanya, “Belilah budakku ini,” lalu ia menjawab, “Ya,” atau dikatakan kepadanya, “Berikan budakku ini kepadaku,” lalu ia menjawab, “Ya,” maka itu adalah pengakuan terhadap kepemilikan budak tersebut sebagaimana telah disebutkan.

Namun jika seseorang menuntut seribu darinya lalu ia berkata, “Ambillah,” atau “Timbanglah,” maka itu bukan pengakuan, karena bisa jadi maksudnya adalah, “Ambil jawabanku,” atau “Timbanglah jika itu adalah atas tanggungan selainku.” Tetapi jika ia berkata, “Ambillah itu,” atau “Timbanglah itu,” maka terdapat dua pendapat: salah satunya—yaitu pendapat Abū ‘Abdillāh az-Zubairī rahimahullah—bahwa itu merupakan pengakuan, karena hā’ kata ganti kembali kepada apa yang telah disebutkan dalam dakwaan.

والثاني: وهو قول عامة أصحابنا أنه لا يكون إقراراً لأن هاء الصفات ترجع إلى المدعي به ولم يقر أنه واجب وإن قال وهي صحاح فقد قال أبو عبد الله الزبيري إنه إقرار لأنها صفة للمدعي والإقرار بالصفة إقرار بالموصوف وقال عامة أصحابنا: لا يكون إقراراً لأن الصفة ترجع إلى المدعي ولا تقتضي الوجوب عليه وإن قال له علي ألف إن شاء الله لم يلزمه شيء لأن ما علق على مشيئة الله تعالى لا سبيل إلى معرفته

Dan pendapat kedua—yaitu pendapat mayoritas para sahabat kami—bahwa itu bukan merupakan pengakuan, karena hā’ sifat kembali kepada sesuatu yang didakwakan, dan ia tidak mengakui bahwa hal itu wajib atas dirinya.

Dan jika ia berkata, “Dan ia (barang itu) dalam keadaan baik,” maka Abū ‘Abdillāh az-Zubairī mengatakan bahwa itu adalah pengakuan karena itu merupakan sifat dari yang didakwakan, dan pengakuan terhadap sifat adalah pengakuan terhadap yang disifati. Namun mayoritas sahabat kami mengatakan bahwa itu bukan pengakuan, karena sifat tersebut kembali kepada yang didakwakan dan tidak menunjukkan kewajiban atas dirinya.

Dan jika ia berkata, “Atasku seribu, insyā’ Allāh,” maka tidak wajib atasnya sesuatu pun, karena sesuatu yang digantungkan pada kehendak Allah Ta‘ālā tidak ada jalan untuk mengetahuinya.

وإن قال له علي ألف إن شاء زيد أوله علي ألف إن قدم فلان لم يلزمه شيء لأن ما لا يلزمه لا يصير واجباً عليه بوجود الشرط وإن قال إن شهد لك فلان وفلان بدينار فهما صادقان ففيه وجهان: أحدهما: أنه ليس بإقرار لأنه إقرار معلق على شرط فلم يصح كما لو قال إن شهد فلان على صدقته أووزنت ولأن الشافعي رحمه الله تعالى قال: إذا قال لفلان علي ألف إن شهد بها على فلان وفلان لم يكن إقراراً فإن شهدا عليه وهما عدلان لزمه بالشهود دون الإقرار

Dan jika ia berkata, “Atasku seribu jika Zaid menghendaki,” atau “Atasku seribu jika Fulan datang,” maka tidak wajib atasnya sesuatu pun, karena sesuatu yang tidak wajib atasnya tidak menjadi wajib dengan adanya syarat.

Dan jika ia berkata, “Jika Fulan dan Fulan bersaksi untukmu atas satu dinar, maka keduanya benar,” maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa itu bukanlah pengakuan, karena merupakan pengakuan yang digantungkan pada syarat, maka tidak sah—sebagaimana jika ia berkata, “Jika Fulan bersaksi atas sedekahnya,” atau “Aku menimbangkannya.” Dan karena asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: jika seseorang berkata, “Atasku seribu untuk Fulan jika Fulan dan Fulan bersaksi atasnya,” maka itu bukan pengakuan; dan jika keduanya bersaksi atasnya dan keduanya adalah adil, maka wajib baginya karena kesaksian, bukan karena pengakuan.

والثاني: وهو قول أبي العباس بن القاص أنه إقرار وإن لم يشهدا به وهو قول شيخنا القاضي أبي الطيب الطبري رحمه الله لأنه أخبر أنه إن شهدا به فهما صادقان ولا يجوز أن يكونا صادقين إلا والدينار واجب عليه لأنه لولم يكن واجباً عليه لكان الشاهد به كاذباً فإذا قال يكون صادقاً دل على أن المشهود به ثابت فصار كما لو شهد عليه رجل بدينار فقال صدق الشاهد ويخالف قوله إن شهد فلان صدقته أووزنت لك لأنه قد يصدق الإنسان من ليس يصادق وقد يزن بقوله ما لا يلزمه ويخالف ما قال الشافعي رحمه الله لفلان علي ألف إن شهد به فلان وفلان لأن وجوب الألف لا يجوز أن يتعلق بشهادة من يشهد عليه

dan kedua: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās ibn al-Qāṣ bahwa itu adalah iqrār meskipun keduanya tidak memberikan kesaksian, dan ini adalah pendapat guru kami al-Qāḍī Abū al-Ṭayyib al-Ṭabarī raḥimahullāh, karena ia mengabarkan bahwa jika keduanya bersaksi, maka keduanya benar, dan tidak mungkin keduanya benar kecuali dinar itu memang wajib atasnya. Karena jika tidak wajib atasnya, maka orang yang bersaksi tentangnya adalah pendusta. Maka ketika ia mengatakan bahwa keduanya benar, itu menunjukkan bahwa apa yang disaksikan adalah tetap, sehingga menjadi seperti seseorang yang disaksikan atasnya oleh seseorang dengan dinar, lalu ia berkata: “Saksi itu benar.”

Dan berbeda dengan ucapannya: “Jika Fulan bersaksi, aku membenarkannya,” atau: “Aku telah menimbang untukmu,” karena seseorang bisa saja membenarkan orang yang sebenarnya tidak benar, dan bisa saja ia mengatakan “aku telah menimbang” tanpa ada kewajiban atasnya. Dan berbeda pula dengan apa yang dikatakan oleh al-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Fulan berutang seribu kepadaku, jika Fulan dan Fulan bersaksi,” karena kewajiban seribu tidak boleh dikaitkan dengan kesaksian orang yang menjadi objek kesaksian.

فإذا علق بشهادته دل على أنه غير واجب وههنا لم يعلق وجوب الدينار بالشهادة وإنما أخبر أن يكون صادقاً وهذا تصريح بوجوب الدينار عليه في الحال وإن كان قال له علي ألف ففيه وجهان: أحدهما: أنه يلزمه لأنه أقر بالوجوب والأصل بقاؤه والثاني: أنه لا يلزمه لأنه أقر به في زمان مضى فلا يلزمه في الحال شيء وإن أقر أعجمي بالعربية أو عربي بالعجمية ثم ادعى أنه لم يعلم بما قال فالقول قوله مع يمينه لأن الظاهر ما يدعيه.

Maka jika ia menggantungkan pada kesaksian, itu menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib. Adapun di sini, ia tidak menggantungkan kewajiban dinar pada kesaksian, melainkan mengabarkan bahwa keduanya benar, dan ini adalah pernyataan tegas atas kewajiban dinar atasnya saat itu juga.

Dan jika ia berkata, “Fulan berutang seribu kepadaku,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, itu menjadi wajib atasnya karena ia telah mengakui adanya kewajiban, dan hukum asalnya adalah keberlangsungan.
Yang kedua, tidak wajib atasnya karena ia mengakui dalam waktu yang telah lalu, maka tidak ada yang wajib atasnya saat ini.

Dan jika seorang ‘ajamī mengucapkan pengakuan dengan bahasa Arab, atau orang Arab dengan bahasa ‘ajamī, lalu ia mengklaim bahwa ia tidak mengetahui makna dari apa yang ia ucapkan, maka ucapan diterima darinya disertai sumpahnya, karena yang tampak adalah sebagaimana yang ia klaim.

باب جامع الاقرار
إذا قال لفلان علي شيء طولب بالتفسير فإن امتنع عن التفسير جعل ناكلاً ورد اليمين على المدعي وقضى له لأنه كالساكت عن جواب المدعي ومن أصحابنا من حكى فيه قولين: أحدهما: ما ذكرناه والثاني: أنه يحبس حتى يفسر لأنه قد أقر بالحق وامتنع من أدائه فحبس وإن شهد شاهدان على رجل بمال مجهول ففيه وجهان: أحدهما: أنه يثبت بالحق كما يثبت الإقرار ثم يطالب المشهود عليه كما يطالب المقر

PASAL: Bab Komprehensif tentang Iqrar
Jika seseorang berkata, “Si fulan memiliki sesuatu atas tanggunganku,” maka ia dituntut untuk menjelaskan maksud dari sesuatu tersebut. Jika ia enggan menjelaskan, maka ia dianggap sebagai orang yang enggan bersumpah (nākil) dan sumpah dikembalikan kepada penggugat, lalu diputuskan menang untuknya, karena itu seperti orang yang diam dari menjawab klaim penggugat.

Sebagian ulama dari kalangan kami meriwayatkan dua pendapat dalam hal ini:
Pertama, seperti yang telah disebutkan.
Kedua, bahwa ia ditahan sampai mau menjelaskan, karena ia telah mengakui adanya hak namun menolak untuk menunaikannya, maka ia dipenjara.

Jika ada dua orang saksi bersaksi bahwa seseorang memiliki utang berupa harta yang tidak diketahui (jumlah atau jenisnya), maka terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa hak itu ditetapkan seperti halnya penetapan melalui iqrār, kemudian orang yang disaksikan dituntut sebagaimana orang yang mengaku.

والثاني: أنه لا يثبت الحق لأن البينة ما أبانت عن الحق وهذه ما أبانت عن الحق وإن أقر بشيء وفسره بما قل أو كثر من المال قبل لأن اسم الشيء يقع عليه وإن فسره بالخمر والخنزير أو الكلب أو السرجين أو جلد الميتة قبل الدباغ ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يقبل لأنه يقع عليه اسم الشيء والثاني: أنه لا يقبل لأن الإقرار إخبار عما يجب ضمانه وهذه الأشياء لا يجب ضمانها والثالث أنه إن فسره بالخمر والخنزير لم يقبل لأنه لا يجب تسليمه وإن فسره بالكلب والسرجين وجلد الميتة قبل الدباغ قبل لأنه يجب تسليمه وإن قال غصبتك شيئاً ثم قال عصبته نفسه لم يقبل لأن الإقرار يقتضي غصب شيء منه ويطالب بتفسير الشيء.

Dan pendapat kedua: bahwa hak tidak bisa ditetapkan karena bukti (kesaksian) harus menjelaskan secara terang hak tersebut, sedangkan yang ini tidak menjelaskannya.

Jika seseorang mengakui sesuatu lalu menjelaskannya dengan harta, baik sedikit maupun banyak, maka diterima, karena kata sesuatu mencakupnya.

Namun jika ia menjelaskannya sebagai khamr, babi, anjing, kotoran, atau kulit bangkai sebelum disamak, maka terdapat tiga pendapat:

Pertama, diterima karena semua itu termasuk dalam cakupan kata sesuatu.
Kedua, tidak diterima karena iqrār adalah penyampaian tentang sesuatu yang wajib dijamin, sedangkan hal-hal ini tidak wajib dijamin.
Ketiga, jika dijelaskan sebagai khamr atau babi, maka tidak diterima karena keduanya tidak wajib diserahkan. Namun jika dijelaskan sebagai anjing, kotoran, atau kulit bangkai sebelum disamak, maka diterima karena wajib diserahkan.

Jika ia berkata, “Aku telah merampas sesuatu darimu,” lalu ia berkata bahwa yang dimaksud adalah dirinya sendiri, maka tidak diterima, karena iqrār menuntut adanya perampasan sesuatu dari pihak lain, dan ia tetap dituntut untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sesuatu itu.

فصل: وإن قال له علي مال ففسره بما قل أو كثر قبل لأن اسم المال يقع عليه وإن قال له علي مال عظيم أو كثير قبل في تفسيره القليل والكثير لأن ما من مال إلا وهو عظيم وكثير بالإضافة إلى ما هو دونه ولأنه يحتمل أنه أراد به أنه عظيم أو كثير عنده لقلة ماله أو لفقر نفسه فإن قال له علي أكثر من مال فلان قبل في بيانه القليل والكثير لأنه يحتمل أنه يريد أنه أكثر من مال فلان لكونه من الحلال أو أكثر بقاء لكونه في ذمته.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Fulan mempunyai harta atas tanggunganku,” lalu ia menafsirkannya dengan jumlah yang sedikit atau banyak, maka diterima, karena nama māl mencakup keduanya. Jika ia berkata, “Fulan mempunyai māl ‘aẓīm atau māl katsīr atas tanggunganku,” maka boleh ditafsirkan dengan jumlah sedikit maupun banyak, karena tidak ada harta kecuali dapat dianggap besar dan banyak jika dibandingkan dengan sesuatu yang lebih kecil darinya. Dan karena bisa jadi ia bermaksud bahwa harta tersebut besar atau banyak menurut dirinya karena sedikit hartanya atau karena kefakirannya. Jika ia berkata, “Atas tanggunganku ada harta yang lebih banyak dari harta si Fulan,” maka diterima tafsirnya baik sedikit maupun banyak, karena bisa jadi maksudnya adalah bahwa hartanya lebih banyak dari harta si Fulan karena hartanya halal, atau karena lebih lama bertahan karena masih berupa utang di tanggungannya.

فصل: وإن قال له علي درهم لزمه درهم من دراهم الإسلام وهو ستة دوانق وزن كل عشرة سبعة مثاقيل فإن فسره بدرهم طبر كطبرية الشام وهو الذي فيه أربعة دوانق فإن كان ذلك متصلاً بالإقرار قبل منه كما لو قال له علي درهم إلا دانقين وإن كان منفصلاً نظرت فإن كان الإقرار في غير الموضع الذي يتعامل فيه بالدراهم الطبرية لم يقبل كما لا يقبل الاستثناء المنفصل عن الجملة

PASAL: Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Aku berutang satu dirham kepadamu,” maka ia wajib membayar satu dirham dari dirham Islam, yaitu yang terdiri dari enam dānaq, dengan berat sepuluh dirham setara dengan tujuh miṡqāl. Jika ia menafsirkannya dengan dirham ṭabar seperti Ṭabariyyah di Syam, yaitu yang berisi empat dānaq, maka jika penafsiran itu bersambung dengan pengakuan, maka diterima, sebagaimana jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham kecuali dua dānaq.” Namun jika terpisah, maka diperhatikan: jika pengakuan itu dilakukan di tempat yang tidak digunakan transaksi dengan dirham ṭabar, maka tidak diterima, sebagaimana tidak diterimanya pengecualian yang terpisah dari kalimat.

وإن كان في الموضع الذي يتعامل فيه بالدراهم الطبرية ففيه وجهان: أحدهما: وهو المنصوص أنه يقبل لأن إطلاق الدراهم يحمل على دراهم الإسلام لأنه إخبار عن وجوب سابق بخلاف البيع فإنه إيجاب في الحال فحمل على دراهم الموضع الذي يجب فيه وإن قال له علي درهم كبير لزمه درهم من دراهم الإسلام لأنه درهم كبير في العرف فإن فسره بما هو أكبر منه وهو الدرهم البغلي قبل منه لأنه يحتمل ذلك وهو غير متهم فيه وإن قال له علي درهم صغير أوله علي درهم لزمه درهم وازن لأنه هو المعروف فإن كان في البلد دراهم صغار ففسره بها قبل لأنه محتمل اللفظ وإن قال له عل مائة درهم عدداً لزمه مائة وازنة عددها مائة لأن الدراهم تقتضي الوازفة وذكر العدد لا ينافيها فوجب الجمع بينهما.

Dan jika (pengakuan itu) terjadi di tempat yang digunakan transaksi dengan dirham ṭabar, maka ada dua pendapat: pertama, yaitu yang dinyatakan secara naṣṣ, bahwa itu diterima karena lafaz umum darakim dibawa kepada dirham Islam, sebab itu adalah pemberitahuan tentang kewajiban yang telah lalu, berbeda dengan jual beli, karena jual beli merupakan akad yang berlangsung saat itu juga, maka ia dibawa kepada dirham yang berlaku di tempat tersebut.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham besar kepadamu,” maka ia wajib membayar satu dirham dari dirham Islam, karena dirham besar secara ‘urf adalah dirham Islam. Jika ia menafsirkannya dengan dirham baghlī yang lebih besar darinya, maka diterima karena masih memungkinkan secara makna, dan ia tidak dituduh (berniat curang) dalam hal itu.

Jika ia berkata, “Aku berutang satu dirham kecil,” atau “Aku berutang satu dirham,” maka ia wajib membayar satu dirham wāzin, karena itu yang dikenal. Jika di negeri tersebut terdapat dirham kecil, lalu ia menafsirkannya dengan yang demikian, maka diterima karena lafaznya memungkinkan.

Dan jika ia berkata, “Aku berutang seratus dirham secara hitungan,” maka ia wajib membayar seratus dirham wāzin yang jumlahnya seratus, karena kata dirham menuntut makna dirham wāzin, dan penyebutan jumlah tidak menafikan hal itu, maka wajib menggabungkan keduanya.

فصل: وإن قال له علي دراهم ففسرها بدراهم مزيفة لا فضة فيها لم يقبل لأن الدراهم لا تتناول ما لا فضة فيه وإن فسرها بدراهم مغشوشة فالحكم فيها كالحكم فيمن أقر بدراهم وفسرها بالدراهم الطبرية وقد بيناه وإن قال له علي دراهم وفسرها بسكة دون سكة دراهم البلد الذي اقر فيه ولا تنقص عنها في الوزن فالمنصوص أنه يقبل منه وقال المزني: لا يقبل منه لأن إطلاق الدراهم يقتضي سكة البلد كما يقتضي ذلك في البيع وهذا خطأ لأن البيع إيجاب في الحال فاعتبر الموضع الذي يجب فيه والإقرار إخبار عن وجوب سابق وذلك يختلف فرجع إليه.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Atas tanggungan saya beberapa dirham”, lalu ia menafsirkannya dengan dirham palsu yang tidak mengandung perak, maka tidak diterima, karena kata dirham tidak mencakup sesuatu yang tidak mengandung perak. Namun jika ia menafsirkannya dengan dirham yang bercampur (tidak murni), maka hukumnya sebagaimana orang yang mengaku memiliki utang berupa dirham dan menafsirkannya dengan dirham ṭabarīyah, dan hal ini telah kami jelaskan sebelumnya. Dan jika ia menafsirkannya dengan dirham dari cetakan (sikkah) yang berbeda dengan cetakan dirham negeri tempat ia mengaku, namun tidak lebih ringan timbangannya, maka menurut pendapat yang manṣūṣ (ditegaskan) hukumnya adalah diterima. Al-Muzanī berkata: tidak diterima, karena penyebutan dirham secara mutlak menunjukkan dirham yang berlaku di negeri itu, sebagaimana halnya dalam jual beli. Ini adalah pendapat yang keliru, karena jual beli merupakan akad yang mengikat saat itu juga, maka yang diperhitungkan adalah tempat terjadinya kewajiban. Sedangkan iqrār adalah pemberitahuan tentang kewajiban yang telah lalu, dan hal ini berbeda, maka kembali pada penafsiran orang yang berikrar.

فصل: وإن أقر بدرهم في وقت ثم أقر بدرهم في وقت آخر لزمه درهم واحد لأنه إخبار فيجوز أن يكون ذلك خبراً عما أخبر به في الأول ولهذا لو قال رأيت زيداً ثم قال رأيت زيداً لم يقتض أن يكون الثاني إخباراً عن رؤية ثانية وإن قال له علي درهم من ثمن ثوب ثم قال له علي درهم من ثمن عبد لزمه درهمان لأنه لا يحتمل أن يكون الثاني هو الأول وإن قال له علي درهم ودرهم لزمه درهمان لأن الواو تقتضي أن يكون المعطوف غير المعطوف عليه وإن قال له علي درهم ودرهمان لزمه ثلاثة دراهم لما ذكرناه وإن قال له علي درهم فدرهم لزمه درهم واحد

PASAL: Jika seseorang mengaku berutang satu dirham pada suatu waktu, lalu mengaku lagi satu dirham pada waktu lain, maka ia wajib membayar satu dirham saja, karena itu merupakan suatu pemberitaan, sehingga mungkin saja itu adalah kabar tentang hal yang sama dengan pengakuan pertama. Oleh karena itu, jika ia berkata, “Aku melihat Zaid,” lalu berkata lagi, “Aku melihat Zaid,” maka tidak mengharuskan bahwa yang kedua adalah penglihatan yang berbeda.

Namun jika ia berkata, “Atas tanggunganku satu dirham dari harga baju,” lalu berkata, “Atas tanggunganku satu dirham dari harga budak,” maka ia wajib membayar dua dirham, karena tidak mungkin bahwa yang kedua adalah yang pertama.

Jika ia berkata, “Atas tanggunganku satu dirham dan satu dirham,” maka ia wajib membayar dua dirham, karena huruf wāw menunjukkan bahwa yang ma‘ṭūf berbeda dari yang ma‘ṭūf ‘alayh.

Jika ia berkata, “Atas tanggunganku satu dirham dan dua dirham,” maka ia wajib membayar tiga dirham karena alasan yang telah disebutkan.

Namun jika ia berkata, “Atas tanggunganku satu dirham lalu satu dirham (fa-dirham),” maka ia wajib membayar satu dirham saja.

وإن قال لامرأته أنت طالق فطالق وقعت طلقتان واختلف أصحابنا في ذلك فقال أبوعلي بن خيران رحمه الله: لا فرق بين المسألتين فجعلهما على قولين ومنهم من قال يلزمه في الإقرار درهم وفي الطلاق طلقتان والفرق بينهما أن الطلاق لا يدخله التفصيل والدراهم يدخلها التفصيل فيجوز أن يريد له علي درهم فدرهم خير منه وإن قال له علي درهم ودرهم ودرهم لزمه ثلاثة دراهم وإن قال أنت طالق وطالق وطالق ولم ينو شيئاً فيه قولان: أحدهما: أنه يقع طلقتان

PASAL: Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak lalu tertalak (fa-ṭāliq),” maka jatuh dua talak. Para ulama kami berselisih pendapat dalam hal ini. Abu ‘Ali bin Khayrān rahimahullah berkata: Tidak ada perbedaan antara dua masalah ini, sehingga menjadikannya sebagai dua pendapat. Sebagian dari mereka berkata: Dalam pengakuan, ia wajib membayar satu dirham, sedangkan dalam talak, jatuh dua talak. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa talak tidak menerima perincian, sedangkan dirham bisa diperinci. Maka bisa saja yang dimaksud dengan ucapan “Atas tanggunganku satu dirham lalu satu dirham (fa-dirham)” adalah bahwa yang kedua lebih baik dari yang pertama.

Jika ia berkata, “Atas tanggunganku satu dirham dan satu dirham dan satu dirham,” maka ia wajib membayar tiga dirham.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak dan tertalak dan tertalak,” tanpa meniatkan apa pun, maka terdapat dua pendapat; salah satunya adalah bahwa jatuh dua talak.

والثاني: أنه يقع ثلاث طلقات فنقل أبوعلي بن خيران جوابه في الطلاق إلى الإقرار وجعلهما على قولين ومن أصحابنا من قال يقع طلقتان في أحد القولين وفي الإقرار يلزمه ثلاثة دراهم قولاً واحداً لأن الطلاق يدخله التأكيد فحمل التكرار على التأكيد والإقرار لا يدخله التأكيد فحمل التكرار على العدد وإن قال له علي درهم فوق درهم أودرهم تحت درهم لزمه درهم واحد لأنه يحمل أن يكون فوق درهم أو تحت درهم في الجودة ويحتمل فوق درهم أو تحت درهم لي فل يلزمه زيادة مع الاحتمال

dan yang kedua: bahwa jatuh tiga talak. Maka Abū ‘Alī bin Khirān memindahkan jawabannya dalam masalah talak ke dalam masalah iqrār, dan menjadikannya dalam dua pendapat. Dan sebagian dari ulama kami mengatakan: jatuh dua talak menurut salah satu dari dua pendapat, dan dalam masalah iqrār wajib tiga dirham menurut satu pendapat, karena talak mengandung penegasan, maka pengulangan dianggap sebagai penegasan. Sedangkan iqrār tidak mengandung penegasan, maka pengulangan dianggap sebagai bilangan.

Dan jika seseorang berkata, “Atasmu satu dirham di atas satu dirham,” atau “satu dirham di bawah satu dirham,” maka ia wajib satu dirham saja. Karena kemungkinan maksudnya adalah satu dirham yang lebih baik mutunya atau lebih rendah mutunya. Dan juga dimungkinkan bahwa maksudnya adalah satu dirham di atas satu dirham milikku, maka tidak wajib tambahan karena ada kemungkinan.

وإن قال له علي درهم مع درهم لزمه درهم لأنه يحتمل مع درهم لي فلم يلزمه ما زاد مع الاحتمال وإن قال له علي درهم قبله درهم أو بعده درهم لزمه درهمان لأن قبل وبعد تستعمل في التقديم والتأخير في الوجوب وإن قال له علي درهم في عشرة فإن أراد الحساب لزمه عشرة لأن ضرب الواحد في عشرة عشرة وإن لم يرد الحساب لزمه درهم لأنه يحتمل أن له علي درهماً مختلطاً بعشرة لي

Dan jika ia berkata kepadanya, “Atasmu satu dirham bersama satu dirham,” maka ia wajib satu dirham saja, karena mungkin maksudnya adalah bersama satu dirham milikku, maka tidak wajib tambahan karena adanya kemungkinan.

Dan jika ia berkata kepadanya, “Atasmu satu dirham, sebelumnya satu dirham,” atau, “setelahnya satu dirham,” maka ia wajib dua dirham, karena kata qabla (sebelum) dan ba‘da (setelah) digunakan untuk menunjukkan urutan waktu dalam kewajiban.

Dan jika ia berkata kepadanya, “Atasmu satu dirham dalam sepuluh,” maka jika ia bermaksud hisab (perhitungan), maka ia wajib sepuluh, karena satu dikalikan sepuluh menjadi sepuluh. Namun jika tidak bermaksud hisab, maka ia wajib satu dirham saja, karena bisa jadi maksudnya adalah satu dirham yang bercampur dengan sepuluh milikku.

وإن قال له علي درهم بل درهم لزمه درهم لأنه لم يقر بأكثر من درهم وإن قال له علي درهم بل درهمان لزمه درهمان وإن قال له علي درهم بل دينار لزمه الدرهم والدينار والفرق بينهما أن قوله بل درهمان ليس برجوع عن الدرهم لأن الدرهم داخل في الدرهمين وإنما قصد إلحاق الزيادة به وقوله بل دينار رجوع عن الدرهم وإقرار بالدينار فلم يقبل رجوعه عن الدرهم فلزمه وقبل إقراره بالدينار فلزمه وإن قال له علي درهم أو دينار لزمه أحدهما: وأخذ بتعيينه لأنه أقر بأحدهما: وإن قال له علي درهم في دينار لزمه الدرهم ولا يلزمه الدينار لأنه يجوز أن يكون أراد في دينار لي.

Dan jika ia berkata kepadanya, “Atasmu satu dirham, bahkan satu dirham,” maka ia wajib satu dirham, karena ia tidak mengakui lebih dari satu dirham.

Dan jika ia berkata, “Atasmu satu dirham, bahkan dua dirham,” maka ia wajib dua dirham.

Dan jika ia berkata, “Atasmu satu dirham, bahkan satu dinar,” maka ia wajib satu dirham dan satu dinar. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa ucapan “bahkan dua dirham” bukanlah penarikan kembali dari pengakuan terhadap satu dirham, karena satu dirham termasuk dalam dua dirham, dan ia hanya bermaksud menambahkan. Sedangkan ucapan “bahkan satu dinar” adalah penarikan dari satu dirham dan pengakuan terhadap dinar, maka penarikannya dari dirham tidak diterima, maka wajib atasnya, dan pengakuannya terhadap dinar diterima, maka itu pun wajib atasnya.

Dan jika ia berkata, “Atasmu satu dirham atau satu dinar,” maka wajib salah satunya, dan ditentukan oleh pilihannya, karena ia mengakui salah satunya.

Dan jika ia berkata, “Atasmu satu dirham dalam satu dinar,” maka ia wajib satu dirham saja, dan tidak wajib dinar, karena mungkin maksudnya adalah satu dirham yang bercampur dalam satu dinar milikku.

فصل: وإن قال له علي دراهم لزمه ثلاثة دراهم لأنه جمع وأقل الجمع ثلاثة وإن قال دراهم كثيرة لم يلزمه أكثر من ثلاثة لأنه يحتمل أنه أراد بها كثيرة بالإضافة إلى ما دونها أو أراد أنها كثيرة في نفسه وإن قال له علي ما بين درهم إلى عشرة ففيه وجهان: أحدهما: أنه يلزمه ثمانية لأن الأول والعاشر حدان فلم يدخلا في الإقرار فلزمه ما بينهما والثاني: أنه يلزمه تسعة لأن الواحد أول العدد وإذا قال من واحد كان ذلك إقراراً بالواحد وما بعده فلزمه والعاشر حد فلم يدخل فيه.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Atas tanggungan saya darāhim,” maka wajib atasnya tiga dirham, karena itu merupakan lafaz jamak dan jumlah paling sedikit dari jamak adalah tiga. Dan jika ia berkata, “Darāhim yang banyak,” maka tidak wajib atasnya lebih dari tiga karena bisa jadi maksudnya banyak dibandingkan dengan yang kurang darinya, atau maksudnya banyak menurut pandangannya sendiri.

Jika ia berkata, “Atas tanggungan saya (sesuatu) antara satu dirham sampai sepuluh,” maka ada dua pendapat:

Pertama: Wajib atasnya delapan, karena satu dan sepuluh merupakan batas (ekstrem) dan tidak termasuk dalam ikrarnya, maka yang wajib hanyalah yang berada di antara keduanya.

Kedua: Wajib atasnya sembilan, karena satu adalah awal bilangan, dan jika ia berkata “dari satu” maka itu berarti ikrar atas satu dan yang setelahnya, maka itu termasuk, sedangkan sepuluh adalah batas akhir sehingga tidak termasuk.

فصل: وإن قال له علي كذا رجع في التفسير إليه لأنه أقر بمبهم فصار كما لو قال له علي شيء وإن قال له علي كذا درهم لزمه درهم لأنه فسر المبهم بالدرهم وإن قال له علي كذا وكذا رجع في التفسير إليه لأنه أقر بمبهم وأكده بالتكرار فربع إليه كما لو قال له علي كذا وإن قال له علي كذا كذا درهماً لزمه درهم لأنه فسر المبهم به وإن قال له علي كذا وكذا رجع في التفسير إليه لأنه اقر بمبهمين لأن العطف بالواو يقتضي أن يكون الثاني غير الأول فصار كما لو قال له علي شيء وشيء وإن قال له علي كذا وكذا درهم فقد روى المزني فيه قولين: أحدهما: أنه يلزمه درهم

PASAL: Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Atas tanggungan saya kadza,” maka penafsiran dikembalikan kepadanya, karena ia mengakui sesuatu yang mubham (samar), maka hukumnya seperti orang yang berkata, “Atas tanggungan saya sesuatu.” Jika ia berkata, “Atas tanggungan saya kadza dirham,” maka ia wajib satu dirham, karena ia telah menafsirkan yang mubham dengan dirham. Jika ia berkata, “Atas tanggungan saya kadza wa kadza,” maka penafsirannya dikembalikan kepadanya, karena ia mengakui sesuatu yang mubham dan menegaskannya dengan pengulangan, maka dikembalikan kepadanya sebagaimana jika ia berkata, “Atas tanggungan saya kadza.” Jika ia berkata, “Atas tanggungan saya kadza kadza dirham,” maka ia wajib satu dirham karena ia telah menafsirkan yang mubham dengan dirham. Jika ia berkata, “Atas tanggungan saya kadza wa kadza,” maka penafsirannya dikembalikan kepadanya karena ia mengakui dua hal yang mubham, sebab penggabungan dengan huruf wāw menunjukkan bahwa yang kedua berbeda dari yang pertama, maka hukumnya seperti orang yang berkata, “Atas tanggungan saya sesuatu dan sesuatu.” Jika ia berkata, “Atas tanggungan saya kadza wa kadza dirham,” maka al-Muzanī meriwayatkan dua pendapat tentangnya: salah satunya bahwa ia wajib satu dirham.

والثاني: يلزمه درهمان فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما: أنه يلزمه درهمان لأنه ذكر مبهمين ثم فسر المبهمين بالدرهم فرجع إلى كل واحد منهما والثاني: أنه يلزمه درهم أنه يجوز أن يكون فسر المبهمين بالدرهم لكل واحد منهما نصفاً فلا يلزمه ما زاد مع الاحتمال وقال أبو إسحاق وعامة أصحابنا إذا قال كذا وكذا درهماً بالنصب لزمه درهمان لأنه جعل الدرهم تفسيراً فرجع إلى كل واحد منهما وإن قال كذا وكذا هل هذين الحالين وقد نص الشافعي رحمة الله عليه في الإقرار والمواهب.

dan kedua: ia wajib membayar dua dirham. Di antara para sahabat kami ada yang mengatakan ada dua pendapat dalam hal ini: salah satunya, ia wajib membayar dua dirham karena ia menyebut dua hal yang mubham, lalu menafsirkan keduanya dengan satu dirham, maka kembali kepada masing-masing satu dirham. Dan pendapat kedua: ia hanya wajib satu dirham, karena boleh jadi ia menafsirkan dua hal yang mubham tersebut dengan satu dirham untuk keduanya, yakni setengah untuk masing-masing, maka tidak wajib lebih dari itu karena masih ada kemungkinan. Dan Abū Isḥāq serta mayoritas sahabat kami mengatakan, jika ia berkata kadzā wa kadzā dirhaman (dengan naṣab), maka ia wajib dua dirham, karena ia menjadikan “satu dirham” sebagai tafsir, sehingga kembali kepada masing-masing satu dari dua hal yang mubham tersebut. Dan jika ia berkata kadzā wa kadzā, apakah dua keadaan ini sama? Dan sungguh al-Syāfi‘i rahimahullāh telah menashkannya dalam Bab Iqrār dan al-Mawāhib.

فصل: وإن قال له علي ألف رجع في البيان إليه وبأي جنس من المال فسره قبل منه وإن فسره بأجناس قبل منه لأنه يحتمل الجميع وإن قال له علي ألف درهم لزمه درهم ورجع في تفسير الألف إليه وقال أبو ثور يكون الجمعي دراهم وهذا خطأ لأن العطف لا يقتضي أن يكون المعطوف من جنس المعطوف عليه لأنه قد يعطف الشيء على غير جنسه كما يعطف على جنسه ألا ترى أنه ترى أنه يجوز أن يقول رأيت رجلاً وخمسون درهماً أوله علي ألف وعشرة دراهم ففيه وجهان: أحدهما: أنه يلزمه خمسون درهماً وعشرة دراهم ويرجع في تفسير المائة والألف إليه كما قلنا في قوله ألف ودرهم

PASAL: Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Atas tanggunganku seribu,” maka penafsirannya dikembalikan kepadanya. Dengan jenis harta apa pun ia menafsirkannya, maka diterima darinya. Jika ia menafsirkannya dengan berbagai jenis, maka diterima pula karena hal itu memuat semua kemungkinan.

Jika ia berkata, “Atas tanggunganku seribu dirham,” maka ia wajib satu dirham, dan selebihnya dikembalikan penafsirannya kepadanya. Abū Ṯaur berkata: bilangan jama‘ itu bermakna dirham semuanya. Ini adalah kesalahan, karena ‘aṭf tidak mensyaratkan bahwa ma‘ṭūf harus sejenis dengan ma‘ṭūf ‘alayh, karena bisa saja sesuatu di-‘aṭfkan kepada yang bukan sejenis sebagaimana boleh juga kepada yang sejenis.

Tidakkah engkau melihat bahwa boleh saja seseorang berkata, “Aku melihat seorang laki-laki dan lima puluh dirham,” atau berkata, “Atas tanggunganku seribu dan sepuluh dirham”? Dalam hal ini terdapat dua wajah:

Pertama, ia wajib lima puluh dirham dan sepuluh dirham, dan selebihnya dikembalikan penafsirannya kepadanya, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam ucapan “seribu dan satu dirham.”

والثاني: أنه يلزمه مائة درهم وخمسون درهماً أو ألف درهم وعشرة دراهم والفرق بينها وبين قوله ألف ودرهم أن الدرهم المعطوف على الألف لم يذكره للتفسير وإنما ذكره لإيجاب ولهذا يجب به زيادة على الألف والدراهم المذكورة بعد الخمسين والألف ذكرها للتفسير ولهذا لا يجب به زيادة على الخمسين والألف فجعل تفسيرا لما تقدم.

dan kedua, ia wajib seratus lima puluh dirham, atau seribu sepuluh dirham. Perbedaannya dengan ucapan “seribu dan satu dirham” adalah bahwa dirham yang di-‘aṭf-kan pada seribu dalam ucapan tersebut tidak disebutkan untuk penafsiran, melainkan untuk penambahan kewajiban. Oleh karena itu, ia menimbulkan tambahan kewajiban atas seribu.

Adapun dirham-dirham yang disebutkan setelah lima puluh dan seribu, itu disebutkan untuk penafsiran. Oleh karena itu, tidak wajib tambahan atas lima puluh dan seribu tersebut. Maka ia dijadikan sebagai penafsiran terhadap apa yang disebut sebelumnya.

فصل وإذا قال لفلان علي عشرة دراهم إلا درهما لزمه تسعة لأن الاستثناء لغة للعرب وعادة أهل اللسان وإن قال علي عشرة إلا تسعة لزمه ما بقي لأن استثناء الأكبر من الجملة لغة العرب والدليل عليه قوله عز وجل: {قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِين إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ} ثم قال عز وجل: {إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ} فاستثنى الغاوين من العباد وإن كانوا أكثر وإن قال له علي عشرة إلا عشرة لزمه عشرة لأن ما يرفع الجملة لا يعرف في الاستثناء فسقط وبقي المستثنى منه

PASAL: Jika seseorang berkata, “Aku memiliki tanggungan sepuluh dirham untuk si Fulan, kecuali satu dirham,” maka ia wajib membayar sembilan, karena istitsnā’ (pengecualian) merupakan bahasa orang Arab dan kebiasaan ahli bahasa.

Dan jika ia berkata, “Aku memiliki tanggungan sepuluh kecuali sembilan,” maka ia wajib membayar sisanya, karena mengecualikan yang lebih banyak dari jumlah keseluruhan merupakan bagian dari bahasa Arab. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Qāla fa-bi-‘izzatika la-ughwiyannahum ajma‘īn illā ‘ibādaka min-humul-mukhlashīn}, kemudian Allah Ta‘ala berfirman: {Inna ‘ibādī laisa laka ‘alaihim sulṭān illā manittaba‘aka minal-ghāwīn}, maka Allah mengecualikan orang-orang yang sesat dari para hamba-Nya, meskipun mereka lebih banyak.

Dan jika ia berkata, “Aku memiliki tanggungan sepuluh kecuali sepuluh,” maka ia tetap wajib membayar sepuluh, karena sesuatu yang menghapus keseluruhan kalimat tidak dikenal dalam istitsnā’, maka pengecualian itu gugur dan yang tersisa adalah jumlah asalnya.

وإن قال له علي مائة درهم إلا ثوباً وقيمة الثوب دون المائة لزمه الباقي لأن الاستثناء من غير جنس المستثني منه لغة العرب والدليل عليه قوله تعالى: {فَسَجَدَ الْمَلائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ إِلَّا إِبْلِيسَ} فاستثنى إبليس من الملائكة وليس منهم قال الشاعر:
وبلدة ليس بها أنيس … إلا اليعافير وإلا العيس
فاستثنى اليعافير والعيس من الأنيس وإن لم يكن منهم وإن قال له علي ألف إلا درهماً ثم فسر الألف بجنس قيمته أكثر من درهم سقط الدرهم ولزمه الباقي

Dan jika ia berkata, “Atas tanggunganku seratus dirham kecuali tsaub (pakaian),” dan nilai tsaub tersebut di bawah seratus, maka ia wajib membayar sisanya, karena pengecualian dari selain jenis yang dikecualikan adalah kebiasaan bahasa Arab. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Maka seluruh malaikat sujud semuanya tanpa kecuali, kecuali Iblis,” maka Iblis dikecualikan dari malaikat padahal ia bukan termasuk dari mereka. Dikatakan oleh penyair:

Wa baldah laysa bihā anīsun… illā al-ya‘āfīru wa illā al-‘īsu

“Dan sebuah negeri yang tidak ada penghuninya… kecuali kijang-kijang dan unta-unta putih,”

Maka ia mengecualikan kijang dan unta dari anīs (penghuni), padahal keduanya bukan dari golongan anīs. Dan jika ia berkata, “Atas tanggunganku seribu, kecuali satu dirham,” kemudian ia menjelaskan bahwa seribu tersebut adalah dari jenis yang nilai satuannya lebih besar dari satu dirham, maka satu dirham tersebut gugur dan ia wajib membayar sisanya.

وإن فسره بجنس قيمته درهم أو أقل ففيه وجهان: أحدهما: أنه يلزمه الجنس الذي فسر به الألف ويسقط الاستثناء لأنه استثناء يرفع جميع ما أقر به فسقط وبقي المقر به كما لو قال له علي عشرة دراهم إلا عشرة دراهم والثاني: أنه يطالب بتفسير الألف بجنس قيمته أكثر من درهم لأنه فسر إقرار المبهم بتفسير باطل فسقط التفسير لبطلانه وبقي الإقرار بالمبهم فلزمه تفسيره.

Dan jika ia menjelaskan seribu itu dengan jenis yang nilainya satu dirham atau kurang, maka ada dua wajah:

Pertama, ia wajib membayar jenis yang ia jadikan penjelas untuk seribu tersebut, dan pengecualian gugur, karena pengecualian tersebut menghapus seluruh yang ia akui, maka gugurlah (pengecualian) itu dan tetaplah pengakuan, sebagaimana jika ia berkata, “Atas tanggunganku sepuluh dirham kecuali sepuluh dirham.”

Kedua, ia dituntut untuk menjelaskan seribu itu dengan jenis yang nilainya lebih dari satu dirham, karena ia telah menjelaskan pengakuan yang mubham dengan penjelasan yang batil, maka penjelasan itu gugur karena batil, dan tetaplah pengakuan terhadap hal yang mubham, maka ia wajib menjelaskannya.

فصل: وإن قال هؤلاء العبيد لفلان إلا واحداً طولب بالتعيين لأنه ثبت بقوله فرجع في بيانه إليه فإنه ماتوا إلا واحداً منهم فقال الذي بقي هو المستثنى ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقبل لأنه يرفع به الإقرار فلم يقبل كما لو استثنى الجميع بقوله والثاني: وهو المذهب أنه يقبل لأنه يحتمل أن يكون هو المستثنى فقبل قوله فيه ويخالف إذا استثنى الجميع بقوله لأنه يحتمل أن يكون هو المستثنى فقبل قوله فيه ويخالف إذا استثنى الجميع بقوله

PASAL: Jika ia berkata, “Budak-budak ini adalah milik Fulan kecuali satu,” maka ia diminta untuk menyebutkan (siapa yang dikecualikan) karena hal itu telah ditetapkan dengan ucapannya, maka dikembalikan penjelasannya kepadanya. Jika mereka semua mati kecuali satu dari mereka, lalu ia berkata bahwa yang tersisa itulah yang dikecualikan, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama, tidak diterima, karena dengan pernyataan itu ia ingin membatalkan pengakuannya, maka tidak diterima sebagaimana jika ia mengecualikan semuanya dengan ucapannya.

Kedua, dan ini adalah mazhab (pendapat yang dipegang), bahwa pernyataannya diterima karena masih dimungkinkan bahwa dialah yang dikecualikan, maka diterima ucapannya dalam hal itu. Ini berbeda dengan kondisi jika ia mengecualikan semuanya dengan ucapannya.

لأنه يحتمل أن يكون هو المستثنى فقبل قوله فيه ويخالف إذا استثنى الجميع بقوله لأنه رفع المقر به بقوله وههنا لم يرفع بالاستثناء إلا واحداً وإنما سقط في الباقي بالموت فصار كما لو أعتق واحداً منهم ثم ماتوا إلا واحداً وإن قتل الجميع إلا واحداً فقال الذي بقي هو المستثنى قبل وجها واحداً لأنه لا يسقط حكم الإقرار لأن المقر له بهم يستحق قيمتهم بالموت.

karena masih dimungkinkan bahwa dialah yang dikecualikan, maka diterima ucapannya dalam hal itu. Ini berbeda jika ia mengecualikan semuanya dengan ucapannya, karena ia membatalkan seluruh pengakuannya dengan perkataannya. Adapun dalam kasus ini, ia tidak membatalkan dengan pengecualian itu kecuali satu orang saja, sedangkan sisanya gugur karena kematian. Maka keadaannya seperti orang yang memerdekakan salah satu dari mereka lalu mereka semua mati kecuali satu.

Jika mereka semua dibunuh kecuali satu, lalu ia berkata bahwa yang tersisa itulah yang dikecualikan, maka diterima menurut satu wajah (pendapat) saja, karena itu tidak menggugurkan hukum pengakuan, sebab pihak yang diberi pengakuan tetap berhak atas nilai (ganti rugi) mereka karena kematian.

فصل: وإن قال هذه الدار لفلان إلا هذا البيت لم يدخل البيت في الإقرار لأنه استثناه وإن قال هذه الدار لفلان وهذا البيت لي قبل لأنه أخرج بعض ما دخل في الإقرار بلفظ متصل وصار كما لو استثناه بلفظ الاستثناء.

PASAL: Jika ia berkata, “Rumah ini milik Fulan kecuali kamar ini,” maka kamar tersebut tidak termasuk dalam pengakuan karena ia mengecualikannya. Namun jika ia berkata, “Rumah ini milik Fulan dan kamar ini milikku,” maka diterima, karena ia mengeluarkan sebagian dari yang termasuk dalam pengakuan dengan lafaz yang bersambung, sehingga hukumnya seperti jika ia mengecualikannya dengan lafaz istitsnā’.

فصل: وإن قال له هذه الدار هبة سكنى أو هبة عارية لم يكن إقراراً بالدار لأنه رفع بآخر كلامه بعض ما دخل في أوله وبقي البعض فصار كما لو أقر بجملة واستثنى بعضها وله أن يمنعه من سكناها لأنها هبة منافع لم يتصل بها القبض فجاز له الرجوع فيها

PASAL: Jika ia berkata kepadanya, “Rumah ini hibah untuk tempat tinggal” atau “hibah ‘āriyah” (pinjam pakai), maka itu bukanlah pengakuan bahwa rumah itu miliknya, karena di akhir ucapannya ia meniadakan sebagian dari makna yang terkandung di awal ucapannya dan menyisakan sebagian lainnya. Maka hal itu menjadi seperti orang yang mengakui sesuatu secara keseluruhan lalu mengecualikan sebagian darinya. Ia berhak melarang orang tersebut dari menempatinya karena itu adalah hibah manfaat yang belum disertai dengan penerimaan, sehingga ia boleh menarik kembali hibah tersebut.

فصل: وإن أقر لرجل بمال في ظرف بأن قال له عندي زيت في جرة أوتين في غرارة أو سيف في عمد أو فص في خاتم لزمه المال دون الظرف لأن الإقرار لم يتناول الظرف ويجوز أن يكون المال في ظرف للمقر وإن قال له عندي جرة فيها زيت أو غرارة فيها تبن أو غمد فيه سيف أو خاتم عليه فص لزمه الظرف دون ما فيه لأنه لم يقر إلا بالظرف ويجوز أن يكون ما فيه للمقر

PASAL: Jika seseorang mengakui kepada orang lain memiliki harta di dalam suatu wadah, seperti ia berkata: “Padaku ada minyak dalam kendi,” atau “gandum dalam karung,” atau “pedang dalam sarung,” atau “permata pada cincin,” maka ia wajib terhadap hartanya saja tanpa wadahnya, karena pengakuan tersebut tidak mencakup wadah, dan boleh jadi harta itu berada dalam wadah milik orang yang mengaku. Namun jika ia berkata: “Padaku ada kendi berisi minyak,” atau “karung berisi jerami,” atau “sarung yang berisi pedang,” atau “cincin yang bertatahkan permata,” maka ia wajib terhadap wadahnya tanpa isi yang ada di dalamnya, karena ia hanya mengakui wadah, dan boleh jadi isi tersebut milik orang yang mengaku.

وإن قال له عندي خاتم لزمه الخاتم والفص لأن اسم الخاتم بجمعهما وإن قال له عندي ثوب مطرز لزمه الثوب بطرازه ومن أصحابنا من قال: إن كان الطراز مركباً على الثوب بعد النسج ففيه وجهان: أحدهما: ما ذكرناه والثاني: أنه لا يدخل فيه لأنه متميز عنه وإن قال له في يدي دار مفروشة لزمه الدار دون الفرش لأنه يجوز أن تكون مفروشة بفرش للمقر وإن قال له عندي فرس عليه سرج لزمه الفرس دون السرج وإن قال له عندي عبد وعليه ثوب لزمه تسليم العبد والثوب والفرق بينهما أن العبد له يد على الثوب وما في يد العبد لمولاه والفرس لا يد له على السرج.

Jika ia berkata: “Padaku ada cincin,” maka wajib baginya menyerahkan cincin beserta permatanya, karena nama khātam mencakup keduanya. Jika ia berkata: “Padaku ada kain bersulam,” maka ia wajib menyerahkan kain beserta sulamannya. Di antara para sahabat kami ada yang berpendapat: jika sulaman itu dilekatkan pada kain setelah ditenun, maka ada dua wajah: pertama, seperti yang telah kami sebutkan; kedua, tidak termasuk karena ia terpisah darinya. Jika ia berkata: “Di tanganku ada rumah yang berperabot,” maka ia wajib menyerahkan rumah tanpa perabotnya, karena bisa jadi perabot itu milik orang yang mengaku. Jika ia berkata: “Padaku ada kuda dengan pelana,” maka ia wajib menyerahkan kuda tanpa pelananya. Namun jika ia berkata: “Padaku ada budak yang mengenakan pakaian,” maka ia wajib menyerahkan budak beserta pakaiannya. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa budak memiliki kekuasaan atas pakaian, dan apa yang ada di tangan budak adalah milik tuannya, sedangkan kuda tidak memiliki kekuasaan atas pelana.

فصل: وإن قال لفلان علي الف درهم ثم أحضر ألفاً وقال هي التي أقررت بها وهي وديعة فقال المقر له هذه وديعة لي عندي والألف التي أقر بها دين لي عليه غير الوديعة ففيه قولان: أحدهما: أنه لا يقبل قوله لأن قوله على إخبار عن حق واجب عليه فإذا فسر بالوديعة فقد فسر بما لا يجب عليه فلم يقبل والثاني: أنه يقبل لأن الوديعة علي ردها وقد يجب عليه ضمانها إذا تلفت

PASAL: Jika seseorang berkata, “Untuk fulan, aku punya tanggungan seribu dirham,” kemudian ia menghadirkan seribu dirham seraya berkata, “Inilah yang aku akui, dan ini adalah wadī‘ah,” lalu pihak yang diakui berkata, “Ini adalah wadī‘ah milikku yang ada padaku, sedangkan seribu dirham yang ia akui adalah utang yang berbeda dari wadī‘ah ini,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama: Tidak diterima perkataannya, karena ia mengabarkan tentang suatu hak yang wajib atasnya, lalu menafsirkannya dengan sesuatu yang tidak wajib atasnya, yaitu wadī‘ah, maka tidak diterima.

Kedua: Diterima, karena wadī‘ah wajib dikembalikan, dan bisa saja ia wajib menanggung ganti ruginya jika wadī‘ah tersebut rusak atau hilang.

وإن قال له علي ألف في ذمتي ثم فسر ذلك بالألف التي هي وديعة عنده وقال المقر له بل هي دين لي في ذمته غير الوديعة فإن قلنا في التي قبلها أنه لا يقبل قوله فيها فههنا أولى أن لا يقبل وإن قلنا يقبل هناك قوله ففي هذه وجهان: أحدهما: أنه لا يقبل وهو الصحيح لأن الألف التي أقر بها في الذمة والعين لا تثبت في الذمة والثاني: أنه يقبل لأنه يحتمل أنها في ذمتي لأني تعديت فيها فيجب ضمانها في ذمتي وإن قال له علي ألف ثم قال هي وديعة كانت عندي وظننت أنها باقية وقد هلكت لم يقبل قوله لأن الإقرار يقتضي وجوب ردها أو ضمانها والهالكة لا يجب ردها ولا ضمانها فلم يصح تفسير الإقرار بها.

Dan jika ia berkata, “Untukmu seribu dirham dalam tanggunganku,” lalu ia menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah seribu dirham yang merupakan wadī‘ah di sisinya, dan pihak yang diakui berkata, “Bahkan itu adalah utang yang berbeda dan tetap menjadi tanggungannya, bukan wadī‘ah,” maka jika kita berpendapat pada kasus sebelumnya bahwa tidak diterima perkataannya, maka dalam hal ini lebih utama untuk tidak diterima.

Dan jika kita berpendapat bahwa perkataannya diterima pada kasus sebelumnya, maka dalam kasus ini terdapat dua wajah:

Pertama: tidak diterima, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena seribu yang diakui berada dalam żimmah (tanggungan), sedangkan barang yang ada (di tangan) tidak bisa ditetapkan dalam żimmah.

Kedua: diterima, karena bisa jadi ia berada dalam żimmah-ku karena aku telah melampaui batas terhadapnya, maka wajib menjamin dan menjadi tanggunganku.

Dan jika ia berkata, “Untukmu seribu,” lalu berkata, “Itu adalah wadī‘ah yang ada padaku dan aku kira masih ada, ternyata telah rusak,” maka tidak diterima perkataannya, karena pengakuan mengandung makna wajib mengembalikannya atau menanggungnya, sedangkan barang yang telah rusak tidak wajib dikembalikan dan tidak wajib ditanggung, maka tidak sah menafsirkan pengakuan dengannya.

فصل: وإن قال له علي ألف درهم وديعة ديناً لزمه الألف لأن الوديعة قد يتعدى فيها فتصير ديناً وإن قال له علي ألف درهم عارية لزمه ضمانها لأن إعارة الدراهم تصح في أحد الوجهين فيجب ضمانها وفي الوجه الثاني لا تصح إعارتها فيجب ضمانها لأن ما وجب ضمانه في العقد الصحيح وجب ضمانه في العقد الفاسد.

PASAL: Jika seseorang berkata, “Aku punya tanggungan seribu dirham sebagai wadī‘ah (titipan) berupa utang,” maka ia wajib membayar seribu dirham, karena wadī‘ah bisa saja disalahgunakan lalu berubah menjadi utang. Dan jika ia berkata, “Aku punya tanggungan seribu dirham sebagai ‘āriyah (pinjaman pakai),” maka ia wajib menanggungnya, karena meminjamkan dirham itu sah menurut salah satu pendapat sehingga wajib menanggungnya; dan menurut pendapat kedua tidak sah meminjamkan dirham, namun tetap wajib menanggungnya, karena sesuatu yang wajib ditanggung dalam akad yang sah, maka wajib pula ditanggung dalam akad yang rusak.

فصل: وإن قال له في هذا العبد ألف درهم أوله من هذا العبد ألف درهم ثم قال أردت أنه وزن في ثمنه ألف درهم ووزنت أنا ألف درهم في صفقة واحدة كان ذلك إقراراً بنصفه وإن قال اشتري ثلثه أو ربعه بألف في عقد واشتريت أنا الباقي بألف في عقد آخر قبل قوله لأن إقراراه مبهم وما فسر به محتمل والعبد في يده فقبل قوله فيه، وإن قال جنى عليه العبد جناية أرشها ألف درهم قبل قوله وله أن يبيع العبد ويدفع إليه الأرش وله أن يفديه وإن قال وصى له من ثمنه بألف درهم بيع ودفع إليه من ثمنه ألف درهم

PASAL: Jika ia berkata, “Pada budak ini ada seribu dirham,” atau, “Dari budak ini ada seribu dirham,” lalu ia berkata, “Maksudku bahwa dalam harga jualnya terdapat seribu dirham dan aku menimbang seribu dirham dalam satu transaksi,” maka itu merupakan pengakuan atas setengahnya. Jika ia berkata, “Aku membeli sepertiganya atau seperempatnya dengan seribu dalam satu akad, dan aku membeli sisanya dengan seribu dalam akad lain,” maka diterima ucapannya karena pengakuannya bersifat mujmal dan penjelasannya memungkinkan, sedangkan budak berada dalam genggamannya, maka diterima ucapannya. Jika ia berkata, “Budak itu melakukan jinayah terhadapnya yang diyat-nya seribu dirham,” maka diterima ucapannya, dan ia boleh menjual budak itu dan memberikan diyat kepadanya, atau ia boleh menebusnya. Jika ia berkata, “Ia diwasiatkan seribu dirham dari hasil penjualan budak itu,” maka budak dijual dan diberikan kepadanya seribu dirham dari hasil penjualannya.

فإن أراد أن يدفع إليه ألفاً من ماله لم يجز لأن بالوصية يتعين حقه في ثمنه وإن قال العبد مرهون عنده بألف ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يقبل لأن حق المرتهن في الذمة لا في العين والثاني: وهو الصحيح أنه يقبل لأن المرتهن متعلق حقه بالذمة والعين.

Jika ia ingin memberikan kepadanya seribu dari hartanya, maka tidak boleh, karena dengan wasiat telah ditentukan haknya pada harganya. Dan jika ia berkata, “Hamba ini tergadai padanya dengan seribu,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: tidak diterima, karena hak al-murtahin berada di dalam dzimmah (tanggungan), bukan pada benda (hamba) itu sendiri.
Kedua: dan ini yang shahih, diterima, karena hak al-murtahin terkait dengan dzimmah dan juga dengan ‘ain (benda).

فصل: وإن قال له ميراث أبي ألف درهم لزمه تسليم ألف إليه وإن قال له في ميراثي من أبي ألف درهم ثم قال أردت هبة قبل منه لأنه أضاف الميراث إلى نفسه فلا ينتقل ماله إلى غيره لا من جهته وإن قال له في هذا المال ألف درهم لزمه وإن قال له في مالي هذا ألف درهم لم يلزمه لأن ماله لا يصير لغيره بإقراره.

PASAL: Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Harta warisan ayahku adalah seribu dirham,” maka ia wajib menyerahkan seribu itu kepadanya. Jika ia berkata, “Dalam warisanku dari ayahku terdapat seribu dirham,” kemudian ia berkata, “Aku maksudkan itu sebagai hibah,” maka diterima ucapannya karena ia telah menyandarkan warisan itu kepada dirinya sendiri, sehingga hartanya tidak berpindah kepada orang lain dari arah tersebut. Jika ia berkata, “Dalam harta ini terdapat seribu dirham,” maka ia wajib menyerahkannya. Namun jika ia berkata, “Dalam hartaku ini terdapat seribu dirham,” maka ia tidak wajib menyerahkannya, karena hartanya tidak menjadi milik orang lain hanya dengan pengakuannya.

فصل: وإذا أقر بحق وصله بما يسقطه بأن أقر بأنه تكفل بنفس أو مال على أنه بالخيار أو أقر أن عليه لفلان ألف درهم من ثمن خمر أو خنزير أو لفلان عليه الف درهم قضاها ففيه قولان: أحدهما: أنه يلزمه ما أقر به ولا يقبل ما وصله به لأنه يسقط ما أقر به فلم يقبل كما لو قال له علي عشرة إلا عشرة والثاني: أنه لا يلزمه الحق لأنه يحتمل ما قاله فصار كما لو قال له علي ألف إلا خمسمائة وإن قال له علي ألف درهم مؤجلة ففيه طريقان: من أصحابنا من قال: هي على القولين لأن التأجيل كالقضاء ومنهم من قال يقبل قولاً واحداً لأن التأجيل لا يسقط الحق وإنما يؤخره فهو كاستثناء بعض الجملة بخلاف القضاء فإنه يسقطه.

PASAL: Jika seseorang mengakui adanya hak, lalu menyambungkannya dengan sesuatu yang membatalkannya—seperti ia mengakui bahwa ia menjamin jiwa atau harta dengan syarat pilihan, atau ia mengakui bahwa ia berutang kepada seseorang seribu dirham dari harga khamr atau babi, atau ia berkata kepada seseorang bahwa ia berutang seribu dirham yang telah dilunasi—maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: ia tetap wajib membayar apa yang ia akui, dan tidak diterima tambahan yang ia sambungkan karena tambahan tersebut membatalkan pengakuannya, maka tidak diterima sebagaimana jika ia berkata: “Aku berutang sepuluh kecuali sepuluh.”

Pendapat kedua: ia tidak wajib membayar hak tersebut karena kemungkinan adanya makna dalam perkataannya, maka keadaannya seperti orang yang berkata: “Aku berutang seribu kecuali lima ratus.”

Dan jika ia berkata: “Aku berutang seribu dirham yang ditangguhkan,” maka terdapat dua metode (penyikapan):

Sebagian dari kalangan kami berkata: Ini juga termasuk dalam dua pendapat di atas karena penangguhan itu seperti pelunasan.

Dan sebagian dari mereka berkata: Diterima secara qawl wāḥid karena penangguhan tidak menggugurkan hak, melainkan hanya menundanya. Maka ia seperti pengecualian sebagian dari keseluruhan, berbeda dengan pelunasan yang memang menggugurkannya.

فصل: وإن قال هذه الدار لزيد بل لعمرو أو قال غصبتها من زيد لا بل من عمرو حكم بها لزيد لأنه أقر له بها ولا يقبل قوله لعمر ولأنه رجوع عن الإقرار لزيد وهل يلزمه أن يغرم قيمتها لعمر وفيه قولان: أحدهما: أنه لا يلزمه لأن العين قائمة فلا يستحق قيمتها والثاني: أنه يلزمه وهو الصحيح لأنه حال بينه وبين ماله فلزمه ضمانه كما لو أخذ ماله ورمى به في البحر فإن قال غصبت هذا من أحد هذين الرجلين طولب بالتعيين فإن عين أحدهما: فإن قلنا إنه إذا أقر به لأحدهما: بعد الآخر غرم للثاني حلف لأنه إذا نكل غرم له

PASAL: Jika seseorang berkata, “Rumah ini milik Zaid, bahkan milik ‘Amr,” atau ia berkata, “Aku telah merampasnya dari Zaid, tidak, tapi dari ‘Amr,” maka rumah itu diputuskan untuk Zaid karena ia telah mengakuinya untuk Zaid, dan tidak diterima pengakuannya kepada ‘Amr, karena itu merupakan penarikan kembali dari pengakuan kepada Zaid. Apakah ia wajib mengganti nilainya kepada ‘Amr? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, ia tidak wajib menggantinya karena barangnya masih ada, maka tidak berhak atas nilainya. Kedua, ia wajib menggantinya, dan ini yang shahih, karena ia telah menghalangi ‘Amr dari hartanya, maka wajib menggantinya sebagaimana jika ia mengambil hartanya lalu melemparkannya ke laut. Jika ia berkata, “Aku telah merampas ini dari salah satu dari dua orang ini,” maka ia dituntut untuk menunjuk salah satunya. Jika ia menunjuk salah satunya, dan jika kita berpendapat bahwa apabila ia mengakuinya untuk salah satunya setelah yang lain maka ia wajib mengganti untuk yang kedua, maka ia diminta bersumpah, karena jika ia enggan bersumpah, maka ia wajib mengganti untuknya.

وإن قلنا إنه لا يغرم للثاني لم يحلف لأنه لا فائدة في تحليفه لأنه إذا نكل لم ينقض عليه بشيء وإن كان في يده دار فقال غصبتها من زيد وملكها لعمرو حكم بها لزيد لأنها في يده فقبل إقراره بها ولا يقبل قوله إن ملكها لعمرو لأنه إقرار في حق غيره ولا يغرم لعمرو شيئاً لأنه لم يكن منه تفريط لأنه يجوز أن يكون ملكها لعمرو وهي في يد زيد بإجارة أورهن أو غصبها منه فأقر بها على ما هي عليه فأما إذا قال هذه الدار ملكها لعمرو وغصبها من زيد ففيه وجهان: أحدهما: أنها كالمسألة قبلها إذ لا فرق بين أن يقدم ذكر الملك وبين أن يقدم ذكر الغصب والثاني: أنها تسلم إلى زيد وهل يغرم لعمرو على قولين كما لو قال هذه الدار لزيد لا بل لعمرو.

Dan jika kita berpendapat bahwa ia tidak wajib mengganti untuk yang kedua, maka ia tidak diminta bersumpah, karena tidak ada manfaat dalam menyuruhnya bersumpah—karena jika ia enggan bersumpah, tidak ada konsekuensi apa pun atasnya.

Jika di tangannya ada sebuah rumah lalu ia berkata, “Aku merampasnya dari Zaid dan kepemilikannya milik ‘Amr,” maka rumah itu diputuskan untuk Zaid karena berada di tangannya, maka diterima pengakuannya. Dan tidak diterima ucapannya bahwa kepemilikannya milik ‘Amr karena itu merupakan pengakuan atas hak orang lain, dan ia tidak wajib mengganti apa pun kepada ‘Amr karena ia tidak dianggap lalai. Sebab bisa jadi rumah itu milik ‘Amr dan berada di tangan Zaid karena sewa, gadai, atau Zaid merampasnya dari ‘Amr, lalu ia mengakuinya sebagaimana kenyataannya.

Adapun jika ia berkata, “Rumah ini milik ‘Amr dan aku merampasnya dari Zaid,” maka ada dua wajah:
Pertama, hukumnya seperti permasalahan sebelumnya, karena tidak ada perbedaan antara mendahulukan penyebutan kepemilikan atau mendahulukan penyebutan perampasan.
Kedua, rumah itu diserahkan kepada Zaid, dan apakah ia wajib mengganti kepada ‘Amr? Dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana jika ia berkata, “Rumah ini milik Zaid, bahkan milik ‘Amr.”

فصل: وإن أقر رجل على نفسه بنسب مجهول النسب يمكن أن يكون منه فإن كان المقر به صغيراً أو مجنوناً ثبت نسبه لأنه أقر له بحث فثبت كما لو أقر له بمال فإن بلغ الصبي أو أفاق المجنون وأنكر النسب لم يسقط النسب لأنه نسب حكم بثبوته فلم يسقط برده وإن كان المقر به بالغاً عاقلاً لم يثبت إلا بتصديقه لأن له قولاً صحيحاً فاعتبر تصديقه في الإقرار كما لو أقر له بمال وإن كان المقر به ميتاً فإن كان صغيراً أو مجنوناً ثبت نسبه لأنه يقبل إقراره به إذا كان حياً فقبل إذا كان ميتاً وإن كان عاقلاً بالغاً ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يثبت لأن نسب البالغ لا يثبت إلا بتصديقه وذلك معدوم بعد الموت

PASAL: Jika seseorang mengakui bahwa seorang yang tidak diketahui nasabnya adalah anaknya, padahal secara kemungkinan bisa jadi memang anaknya, maka apabila orang yang diakui itu masih kecil atau gila, maka nasabnya ditetapkan karena ia telah mengakui suatu hak baginya, maka nasab pun ditetapkan sebagaimana jika ia mengakui harta baginya. Jika anak kecil itu telah balig atau orang gila itu sadar, lalu ia mengingkari nasab tersebut, maka nasabnya tidak gugur, karena nasab itu telah ditetapkan melalui hukum, maka tidak gugur dengan pengingkaran. Namun jika orang yang diakui itu adalah orang dewasa dan berakal, maka nasab tidak ditetapkan kecuali dengan pembenarannya, karena ia memiliki hak jawab yang sah, maka pembenarannya dianggap dalam pengakuan sebagaimana jika ia diakui memiliki harta. Jika orang yang diakui telah meninggal, maka apabila ia ketika hidup adalah anak kecil atau orang gila, maka nasabnya ditetapkan, karena seandainya ia hidup akan diterima pengakuan nasab kepadanya, maka diterima pula jika ia telah mati. Namun apabila ia adalah orang dewasa dan berakal, maka ada dua pendapat: pertama, nasabnya tidak ditetapkan karena nasab orang dewasa tidak ditetapkan kecuali dengan pembenarannya, dan itu tidak mungkin lagi setelah mati.

والثاني: أنه يثبت وهو الصحيح لأنه ليس له قول فثبت نسبه بالإقرار كالصبي والمجنون وإن أقر بنسب بالغ عاقل ثم رجع عن الإقرار وصدقه المقر له في الرجوع ففيه وجهان: أحدهما: أنه يسقط النسب وهو قول أبي علي الطبري رحمه الله كما لو أقر له بمال ثم رجع في الإقرار وصدقه المقر له في الرجوع والثاني: وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله أنه لا يسقط لأن النسب إذا ثبت لا يسقط بالاتفاق على نفيه كالنسب الثابت بالفراش.

dan yang kedua: nasabnya ditetapkan, dan ini adalah pendapat yang sahih, karena ia tidak memiliki hak jawab, maka nasabnya ditetapkan dengan pengakuan sebagaimana anak kecil dan orang gila. Jika seseorang mengakui nasab kepada seorang yang balig dan berakal, kemudian ia menarik kembali pengakuannya, dan orang yang diakui membenarkan penarikan itu, maka ada dua pendapat: pertama, nasabnya gugur—ini adalah pendapat Abu ‘Ali ath-Ṭabarī rahimahullah—sebagaimana jika ia mengakui harta lalu menarik pengakuannya dan orang yang diakui membenarkannya dalam penarikan itu. Dan yang kedua—ini adalah pendapat asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarā’īnī rahimahullah—nasabnya tidak gugur, karena nasab apabila telah ditetapkan tidak gugur hanya karena adanya kesepakatan dalam penafian, sebagaimana nasab yang ditetapkan melalui firāsy.

فصل: وإن مات رجل وخلف ابناً فأقر على أبيه بنسب فإن كان لا يرثه بأن كان عبداً أو قاتلاً أو كافراً والأب مسلم لم يقبل إقراره لأنه لا يقبل إقراره عليه بالمال فر يقبل إقراره عليه في النسب كالأجنبي وإن كان يرثه فأقر عليه بنسب لو أقر به الأب لحقه فإن كان قد نفاه الأب لم يثبت لأنه يحمل عليه نسباً حكم ببطلانه وإن لم ينفه الأب ثبت النسب بإقراره

PASAL: Jika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan seorang anak, lalu anak tersebut mengakui adanya nasab atas ayahnya, maka jika anak itu tidak mewarisinya—seperti jika ia adalah seorang budak, atau seorang pembunuh, atau seorang kafir sedangkan sang ayah seorang Muslim—tidak diterima pengakuannya karena ia tidak diterima pengakuannya atas ayahnya dalam hal harta, maka tidak diterima pula pengakuannya dalam nasab, sebagaimana halnya orang asing. Dan jika ia mewarisinya lalu mengakui nasab atas ayahnya yang sekiranya jika ayahnya sendiri yang mengakuinya niscaya nasab itu berlaku atasnya, maka jika ayahnya telah mengingkari nasab tersebut, maka tidak ditetapkan karena hal itu mengandung kemungkinan bahwa nasab tersebut adalah nasab yang telah dihukumi batal. Dan jika ayah tidak mengingkarinya, maka nasab itu ditetapkan dengan pengakuan si anak.

لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: اختصم سعيد بن أبي وقاص وعبد ابن زمعه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في ابن أمة زمعة فقال سعد بن أبي وقاص: أوصاني أخي عتبة إذا قدمت مكة أن أنظر إلى ابن أمة زمعة وأقبضه فإنه ابنه وقال عبد بن زمعة أخي وابن وليدة أبي ولد على فراشه فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “الولد للفراش وللعاهر الحجر”. وإن مات وله ابنان فأقر أحدهما: بنسب ابن وأنكر الآخر لم يثبت لأن النسب لا يتبعض

Karena telah diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Sa‘īd bin Abī Waqqāṣ dan ‘Abd bin Zam‘ah berselisih di hadapan Rasulullah SAW tentang anak dari hamba perempuan Zam‘ah. Sa‘d bin Abī Waqqāṣ berkata: “Saudaraku ‘Utbah berwasiat kepadaku jika aku sampai ke Mekah agar aku melihat anak dari hamba perempuan Zam‘ah itu dan mengambilnya, karena dia adalah anaknya.” Dan ‘Abd bin Zam‘ah berkata: “Dia adalah saudaraku dan anak dari budak perempuan ayahku, dia dilahirkan di atas tempat tidur (ayahku).” Maka Nabi SAW bersabda: “Anak itu milik tempat tidur, dan bagi pezina adalah batu (hukuman).”

Dan jika seseorang meninggal dan memiliki dua anak laki-laki, lalu salah satu dari keduanya mengakui adanya nasab seorang anak, sementara yang lain mengingkarinya, maka nasab itu tidak ditetapkan karena nasab tidak bisa terbagi.

فإذا لم يثبت في حق أحدهما: لم يثبت في حق الآخر ولا يشاركهما في الميراث لأن الميراث فرع على النسب والنسب لم يثبت فلم يثبت الإرث وإن أقر أحد الابنين بزوجة لأبيه وأنكر الآخر ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا تشارك بحصتها من حق المقر كما لا يشارك الابن إذا اختلف الوارثان في نسبه والثاني: أنها تشارك بحصتها من حق المقر لأن المقر به حقها من الإرث لأن الزوجية زالت بالموت وإن مات وخلف بنتاً فأقرت بنسب أخ لم يثبت النسب لأنها لا ترث جميع المال فإن أقر معها الإمام ففيه وجهان: أحدهما: أنه يثبت لأن الإمام نافذ الإقرار في مال بيت المال

Maka jika nasab itu tidak ditetapkan atas salah satu dari keduanya, tidak pula ditetapkan atas yang lain, dan ia tidak ikut mewarisi bersama keduanya karena warisan adalah cabang dari nasab, dan nasab belum ditetapkan, maka warisan pun tidak ditetapkan. Dan jika salah satu dari dua anak laki-laki mengakui seorang istri bagi ayahnya, sementara yang lain mengingkarinya, maka dalam hal ini ada dua wajah pendapat: pertama, bahwa ia (istri) tidak ikut serta dalam bagian warisan dari pihak yang mengakui, sebagaimana anak yang tidak ikut warisan jika para ahli waris berselisih tentang nasabnya; kedua, bahwa ia ikut serta dalam bagian warisan dari pihak yang mengakui, karena yang diakui itu merupakan haknya dari warisan, sebab pernikahan telah terputus dengan kematian.

Dan jika seseorang meninggal dan meninggalkan seorang anak perempuan, lalu anak perempuan itu mengakui adanya nasab seorang saudara laki-laki, maka nasab itu tidak ditetapkan karena ia tidak mewarisi seluruh harta. Maka jika imam ikut mengakui, terdapat dua wajah pendapat: pertama, bahwa nasab itu ditetapkan karena imam berwenang dalam pengakuan terhadap harta Bayt al-Māl.

والثاني: أنه لا يثبت لأنه لا يملك المال بالإرث وإنما يملكه المسلمون وهم لا يتعينون فلم يثبت النسب إن مات رجل وخلف ابنين عاقلاً ومجنوناً فأقر العاقل بنسب ابن آخر لم يثبت النسب لأنه لم يوجد الإقرار من جميع الورثة فإن مات المجنون قبل الإفاقة فإن كان له وارث غير الأخ المقر قام وارثه مقامه في الإقرار وإن لم يكن له وارث غيره ثبت النسب لأنه صار جميع الورثة فإن خلف الميت ابنين فأقر أحدهما: بنسب صغير وأنكر الآخر ثم مات المنكر فهو يثبت النسب فيه وجهان: أحدهما: أنه يثبت نسبه لأن المقر صار جميع الورثة

Dan pendapat yang kedua: bahwa nasab itu tidak ditetapkan karena imam tidak memiliki harta tersebut melalui warisan, melainkan kaum Musliminlah yang memilikinya, sedangkan mereka tidak dapat ditentukan satu per satu, maka tidak ditetapkan nasab.

Jika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan dua anak, satu berakal dan satu gila, lalu yang berakal mengakui adanya nasab seorang anak yang lain, maka nasab tidak ditetapkan karena tidak terdapat pengakuan dari seluruh ahli waris. Jika yang gila meninggal sebelum siuman, maka jika ia memiliki ahli waris selain saudara yang mengakui, maka ahli warisnya menggantikan posisinya dalam pengakuan. Namun jika tidak ada ahli waris lain selain saudara yang mengakui, maka nasab itu ditetapkan karena ia menjadi seluruh ahli waris.

Jika si mayit meninggalkan dua anak, lalu salah satunya mengakui nasab seorang anak kecil, dan yang lain mengingkarinya, kemudian yang mengingkari meninggal, maka apakah nasab itu ditetapkan—terdapat dua wajah pendapat: pertama, bahwa nasabnya ditetapkan karena yang mengakui telah menjadi seluruh ahli waris.

والثاني: أنه لا يثبت نسبه لأن تكذيب شريطه يبطل الحكم بنسبه فلم يثبت النسب كما لو أنكر الأب نسبه في حياته ثم أقر به الوارث وإن مات رجل وخلف ابناً وارثاً فأقر بابن آخر بالغ عاقل وصدقه المقر له ثم أقرا معاً بابن ثالث ثبت نسب الثالث فإن قال الثالث إن الثاني ليس بأخ لنا ففيه وجهان: أحدهما: أنه لا يسقط نسب الثاني لأن الثالث ثبت نسبه بإقرار الأول والثاني: فلا يجوز أن يسقط نسب الأصل بالفرع والثاني: أنه يسقط نسبه وهو الأظهر لأن الثالث صار ابناً فاعتبر إقراره في ثبوت نسب الثاني

Dan wajah pendapat yang kedua: bahwa nasabnya tidak ditetapkan karena pendustaan adalah syarat yang membatalkan penetapan nasab, maka nasab tidak ditetapkan sebagaimana jika sang ayah mengingkari nasabnya semasa hidup, lalu ahli waris mengakuinya.

Dan jika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan seorang anak yang menjadi ahli waris, lalu ia mengakui adanya seorang anak lain yang telah baligh dan berakal, dan orang yang diakui itu membenarkannya, kemudian keduanya bersama-sama mengakui adanya anak ketiga, maka nasab anak ketiga ditetapkan. Jika anak ketiga berkata bahwa anak kedua bukan saudara mereka, maka dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat:

Pertama, bahwa nasab anak kedua tidak gugur karena anak ketiga ditetapkan nasabnya dengan pengakuan anak pertama dan kedua, maka tidak boleh nasab aṣl (asal) digugurkan oleh far‘ (cabang).

Kedua, bahwa nasab anak kedua gugur, dan ini yang lebih ẓāhir, karena anak ketiga telah menjadi anak, maka pengakuannya dipertimbangkan dalam penetapan nasab anak kedua.

وإن أقر الابن الوارث بأخوين في وقت واحد فصدق كل واحد منهما صاحبه ثبت نسبهما وميراثهما وإن كذب كل واحد منهما صاحبه لم يثبت نسب واحد منهما وإن صدق أحدهما: صاحبه وكذبه الآخر ثبت نسب المصدق دون المكذب وإن أقر الابن الوارث بنسب أحد التوأمين ثبت نسبهما وإن أقر بهما وكذب أحدهما: الآخر لم يؤثر التكذيب في نسبهما لأنهما لا يفترقان في النسب.

Dan jika anak yang menjadi ahli waris mengakui dua orang sebagai saudara dalam satu waktu, lalu masing-masing dari keduanya membenarkan saudaranya, maka nasab dan warisan keduanya ditetapkan. Jika masing-masing dari keduanya mendustakan saudaranya, maka nasab keduanya tidak ditetapkan. Jika salah satu dari keduanya membenarkan saudaranya dan yang lain mendustakannya, maka nasab yang membenarkan ditetapkan, sedangkan yang mendustakan tidak ditetapkan.

Dan jika anak ahli waris mengakui nasab salah satu dari dua anak kembar, maka nasab keduanya ditetapkan. Dan jika ia mengakui keduanya, lalu salah satu dari keduanya mendustakan saudaranya, maka pendustaan itu tidak berpengaruh terhadap nasab keduanya, karena keduanya tidak dapat dipisahkan dalam nasab.

فصل: وإن كان بين المقر وبين المقر به واحد وهو حي لم يثبت النسب إلا بتصديقه وإن كان بينهما اثنان أو أكثر لم يثبت النسب إلا بتصديق من بينهما لأن النسب يتصل بالمقر من جهتهم فلا يثبت إلا بتصديقهم.

PASAL: Jika antara orang yang mengakui dan yang diakui sebagai kerabat terdapat satu orang yang masih hidup, maka nasab tidak dapat ditetapkan kecuali dengan pengakuan orang yang berada di antara mereka. Dan jika antara keduanya terdapat dua orang atau lebih, maka nasab tidak dapat ditetapkan kecuali dengan pengakuan dari orang-orang yang berada di antara mereka, karena nasab itu bersambung kepada orang yang mengakui melalui mereka, maka tidak dapat ditetapkan kecuali dengan pengakuan mereka.

فصل: وإن كان المقر به لا يحجب المقر عن الميراث ورث معه ما يرثه كما إذا أقر به الموروث وإن كان يحجب المقر مثل أن يموت الرجل ويخلف أخاً فيقر الأخ بابن للميت أو يخلف الميت أخاً من أب فيقر بأخ من الأب والأم ثبت له النسب ولم يرث لأنا لو أثبتنا له الإرث أدى ذلك إلى إسقاط إرثه لأن توريثه يخرج المقر عن أن يكون وارثاً وإذا خرج عن أن يكون وارثاً بطل إقراره وسقط نسبه وميراثه فأثبتنا النسب وأسقطنا الإرث وقال أبو العباس: يث المقر به يحجب المقر لأنه لو كان حجبه يسقط إقراره لأنه إقرار عن غير وارث لوجب أن لا يقبل إقرار ابن بابن آخر لأنه إقرار من بعض الورثة والنسب لا يثبت بإقرار بعض الورثة وهذا خطأ لأنه إنما يقبل إذا صدقه المقر به فيصير الإقرار من جميع الورثة.

PASAL: Jika orang yang diakui tidak menghalangi pewaris dari warisan, maka ia mewarisi bersama pewaris sebagaimana jika yang mengaku adalah orang yang mewariskan. Namun jika yang diakui menghalangi pewaris—seperti jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang saudara, lalu si saudara mengaku bahwa si mayit memiliki seorang anak, atau si mayit meninggalkan saudara seayah lalu si saudara mengaku adanya saudara seayah-seibu—maka nasab orang yang diakui itu ditetapkan, namun ia tidak mewarisi. Karena jika kami menetapkan waris baginya, niscaya hal itu menyebabkan terhalangnya si pengaku dari warisan. Dan jika si pengaku terhalang dari warisan, maka batal pengakuannya dan gugurlah nasab serta waris orang yang diakui. Maka kami tetapkan nasabnya dan gugurkan hak warisnya.

Abu al-‘Abbās berkata: Orang yang diakui mewarisi meskipun hal itu menyebabkan terhalangnya si pengaku, karena jika pengakuannya gugur hanya karena ia bukan ahli waris, maka semestinya tidak boleh diterima pengakuan seorang anak terhadap anak lainnya, karena itu merupakan pengakuan dari sebagian ahli waris saja, dan nasab tidak bisa ditetapkan hanya dengan pengakuan sebagian ahli waris. Ini adalah pendapat yang keliru, karena pengakuan itu hanya diterima jika orang yang diakui membenarkannya, sehingga pengakuan itu dianggap berasal dari seluruh ahli waris.

فصل: وإن وصى للمريض بأبيه فقبله ومات عتق ولم يرث لأن توريثه يؤدي إلى إسقاط ميراثه وعتقه لأن عتقه في المرض وصية وتوريثه يمنع من الوصية والمنع من الوصية يوجب بطلان عتقه وإرثه فثبت العتق وسقط الإرث وإن أعتق موسر جارية في مرضه وتزوجها ومات من مرضه لم ترثه لأن توريثها يبطل عتقها وميراثها لأن العتق في المرض وصية والوصية للوارث لا تصح وإذا بطل العتق بطل النكاح وإذا بطل النكاح سقط الإرث فثبت العتق وسقط الإرث وإن أعتق عبدين وصارا عدلين وادعى رجل على المعتق أن العبدين له وشهد العبدان بذلك فقبل شهادتهما لأن قبول شهادتهما يؤدي إلى إبطال الشهادة لأنه يبطل بها العتق فإذا بطل العتق بطلت الشهادة.

PASAL: Jika seseorang berwasiat kepada orang sakit agar memerdekakan ayahnya, lalu ia menerima wasiat itu dan meninggal dunia, maka ayahnya merdeka namun tidak mewarisinya. Karena mewariskannya akan menyebabkan hilangnya warisan dan kemerdekaan, sebab kemerdekaan dalam keadaan sakit adalah wasiat, dan mewariskannya menghalangi wasiat. Penghalangan terhadap wasiat mengakibatkan batalnya kemerdekaan dan warisan. Maka ditetapkan kemerdekaannya dan gugur warisannya.

Jika seseorang yang mampu secara finansial memerdekakan seorang budak perempuan dalam sakitnya, lalu menikahinya, kemudian ia meninggal dalam sakit itu, maka budak tersebut tidak mewarisinya. Karena mewariskannya membatalkan kemerdekaan dan warisannya, sebab kemerdekaan dalam keadaan sakit adalah wasiat, dan wasiat kepada ahli waris tidak sah. Jika kemerdekaan batal maka batal pula pernikahannya, dan jika pernikahan batal maka gugur pula hak waris. Maka ditetapkan kemerdekaan dan gugur warisannya.

Jika seseorang memerdekakan dua budak, lalu keduanya menjadi orang yang ‘adl (adil), kemudian seseorang mengklaim bahwa kedua budak itu adalah miliknya, dan kedua budak itu bersaksi untuk orang yang memerdekakannya, maka kesaksian mereka diterima. Karena menolak kesaksian mereka berarti membatalkan kesaksian itu sendiri, sebab hal itu menyebabkan kemerdekaan batal. Jika kemerdekaan batal maka kesaksian pun batal.

فصل: وإن مات رجل وخلف أخاف فقدم رجل مجهول النسب وقال أنا ابن الميت فالقول قول الأخ مع يمينه لأن الأصل عدم النسب فإن نكل وحلف المدعي فإن قلنا أن يمين المدعي مع نكول المدعى عليه كالإقرار لم يرث كما لا يرث إن أقر به وإن قلنا إنه كالبينة ورث كما يرث إذا أقام البينة.

PASAL: Jika seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan saudara laki-laki, lalu datang seorang laki-laki yang tidak diketahui nasabnya dan berkata, “Aku adalah anak dari orang yang meninggal ini,” maka perkataan saudara laki-laki diterima dengan sumpahnya, karena asalnya adalah tidak adanya nasab. Jika saudara tersebut enggan bersumpah lalu si pengaku bersumpah, maka jika kita berpendapat bahwa sumpah pengaku setelah pihak yang dituduh enggan bersumpah seperti pengakuan, maka ia tidak mewarisi sebagaimana ia juga tidak mewarisi jika diakui; dan jika kita berpendapat bahwa sumpah itu seperti bukti, maka ia mewarisi sebagaimana ia mewarisi jika ia mendatangkan bukti.

فصل: وإذا مات رجل ولا يعلم له وارث فجاء رجل وادعى أنه وارثه لم تسمع الدعوى حتى يبين سبب الإرث لجواز أن يعتقد أنه وارث بسبب لا يورث به ولا يقبل قوله حتى يشهد له شاهدان من أهل الخبرة بحاله ويشهدان أنه وارثه ولا نعلم له وارثاً سواه ويبينان سبب الإرث كما يبين المدعي فإذا شهدا على ما ذكرناه حكم به لأن الظاهر مع هذه الشهادة أنه لا وارث له غيره

PASAL: Apabila seorang laki-laki meninggal dunia dan tidak diketahui adanya ahli waris baginya, lalu datang seorang laki-laki dan mengaku bahwa ia adalah ahli warisnya, maka pengakuan tersebut tidak diterima sampai ia menjelaskan sebab pewarisan, karena mungkin saja ia menyangka dirinya ahli waris dengan sebab yang tidak menjadikan warisan. Dan tidak diterima perkataannya sampai ada dua orang saksi dari kalangan orang-orang yang ahli dalam hal keadaannya bersaksi bahwa ia adalah ahli warisnya dan bahwa mereka tidak mengetahui adanya ahli waris selain dirinya, dan keduanya menjelaskan sebab pewarisan sebagaimana dijelaskan oleh penggugat. Apabila keduanya bersaksi sesuai dengan yang telah disebutkan, maka ditetapkan hukum berdasarkan hal itu, karena zhahirnya dengan kesaksian ini menunjukkan bahwa tidak ada ahli waris selain dia.

وإن لم يكونا من أهل الخبرة أو كانا من أهل الخبرة ولكنهما لم يقولا ولا نعلم له وارثاً سواه نظرت فإن كان المشهود له ممن له فرض لا ينقص أعطى ليقين فيعطي الزوج ربعاً عائلاً والزوجة ثمناً عائلاً ويعطى الأبوان كل واحد منهما سدساً عائلاً ن وإن كان ممن ليس له فرض وهو من عدا الزوجين والأبوين بعث الحاكم إلى البلاد التي دخلها الميت فإن لم يجدوا وارثا توقف حتى تمضي مدة لوكان له وارث ظهر وإن لم يظهر غيره فإن كان الوارث ممن لا يحجب بحال كالأب والابن دفعت التركة كلها إليه لأن البحث مع هذه الشهادة بمنزلة شهادة أهل الخبرة ويستحب أنه يؤخذ منه كفيل بما يدفع إليه

Dan jika kedua saksi tersebut bukan dari kalangan ahli dalam hal keadaannya, atau mereka termasuk orang yang ahli tetapi tidak mengatakan, “kami tidak mengetahui adanya ahli waris selain dia,” maka diperhatikan keadaannya. Jika orang yang disaksikan itu termasuk golongan yang memiliki bagian yang pasti (fardh) yang tidak berkurang, maka diberikan berdasarkan keyakinan. Maka suami diberi seperempat secara ‘ā’il, istri diberi seperdelapan secara ‘ā’il, dan kedua orang tua masing-masing diberi sepertiga secara ‘ā’il.

Namun jika ia termasuk golongan yang tidak memiliki bagian tertentu, yaitu selain suami, istri, dan kedua orang tua, maka hakim mengutus utusan ke daerah-daerah yang pernah didatangi oleh si mayit. Jika tidak ditemukan ahli waris, maka harta ditahan sampai berlalu masa yang seandainya ia memiliki ahli waris, niscaya akan muncul.

Jika tidak muncul ahli waris lain, dan orang yang mengaku sebagai ahli waris tersebut adalah orang yang tidak mungkin terhalangi hak warisnya dalam keadaan apa pun, seperti ayah dan anak, maka seluruh harta diberikan kepadanya. Karena pencarian disertai kesaksian ini seperti kesaksian dari orang-orang ahli. Dan dianjurkan agar diambil darinya penjamin atas apa yang diserahkan kepadanya.

وإن كان المشهود له ممن يحجب كالجد والأخ والعم ففيه وجهان: أحدهما: وهو قول أبي إسحاق أنه لا يدفع إليه إلا نصيبه لأنه يجوز أن يكون له وارث يحجبه فلم يدفع إليه أكثر منه والثاني: وهو المذهب أنه يدفع إليه الجميع لأن البحث مع هذه البينة بمنزلة شهادة أهل الخبرة وهل يستحب أخذ الكفيل أو يجب فيه وجهان: أحدهما: أنه يستحب والثاني: أنه واجب.

Dan jika orang yang disaksikan sebagai ahli waris itu termasuk golongan yang dapat terhalangi hak warisnya, seperti kakek, saudara laki-laki, dan paman, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa tidak diberikan kepadanya kecuali bagiannya saja, karena mungkin saja ia memiliki ahli waris lain yang menghalangi hak warisnya, maka tidak diberikan lebih dari bagiannya.

Pendapat kedua, dan inilah yang menjadi mazhab, bahwa seluruh harta diberikan kepadanya, karena pencarian disertai bukti tersebut setara dengan kesaksian ahli yang berpengalaman.

Adapun apakah dianjurkan atau diwajibkan mengambil penjamin atas harta yang diberikan kepadanya, terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa hal itu dianjurkan.
Kedua, bahwa hal itu diwajibkan.

فصل: وإن كان لرجل أمتان ولكل واحدة منهما ولد ولا زوج لواحدة منهما ولا أقر المولى بوطء واحدة منهما فقال أحد هذين الولدين ابني من أمتي طولب بالبيان فإن عين أحدهما: لحقه نسبه وحكم بحريته ثم يسأل عن الاستيلاد فإن قال استولدتها في ملكي فالولد حر لا ولاء عليه لأنه لم يمسه رق وأمه أم ولد وإن قال استولدتها في نكاح عتق الولد بالملك وعليه الولاء لأنه مسه الرق وأمه مملوكة لأنها علقت منه بمملوك وترق الأمة الأخرى وولدها وإن ادعت أنها هي التي استولدها فالقول قول المولى مع يمينه لأن الأصل عدم الاستيلاد وإن مات قبل البيان وله وارث يجوز ميراثه قام مقامه في البيان، لأنه يقوم مقامه في إلحاق النسب وغيره

PASAL: Jika seorang lelaki memiliki dua amah, dan masing-masing dari keduanya mempunyai anak, sementara tidak ada suami bagi keduanya dan tuan tidak mengakui telah menggauli salah satunya, lalu salah satu dari dua anak itu berkata, “Aku adalah anak dari amah tuanku,” maka ia diminta menjelaskan. Jika ia menunjuk salah satu dari keduanya, maka nasabnya ditetapkan kepadanya dan ia dihukumi merdeka. Kemudian ditanya tentang status istilād (pengakuan telah menghamili budak) – jika ia berkata, “Aku menghamilinya dalam keadaan sebagai milikku,” maka anak itu merdeka dan tidak ada walā’ atasnya karena ia tidak pernah disentuh oleh perbudakan, dan ibunya menjadi umm walad. Jika ia berkata, “Aku menghamilinya dalam pernikahan,” maka anak itu merdeka karena sebab kepemilikan, dan atasnya ada walā’, karena ia sempat disentuh oleh perbudakan, dan ibunya tetap sebagai budak, karena ia mengandung dari seorang budak. Sementara amah yang lain dan anaknya menjadi budak. Jika keduanya mengaku bahwa ia adalah yang dihamili, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan tuan disertai sumpahnya, karena asalnya adalah tidak ada penghamilan. Jika ia meninggal sebelum menjelaskan dan memiliki ahli waris yang dapat menerima warisan darinya, maka ahli waris itu menggantikannya dalam menjelaskan, karena ia menggantikannya dalam penetapan nasab dan selainnya.

فإن لم يعلم الوارث جهة الاستيلاد ففيه وجهان: أحدهما: أن الأمة لا تصير أم ولد لأن الأصل الرق فلا يزال بالاحتمال والثاني: وهو المنصوص أنها تكون أم ولد لأن الظاهر من ولده منها أنه استولدها في ملكه وإن لم يكن له وارث أو كان له وارث ولكنه لم يعين الولد عرض الولدان على القافة فإن ألحقت به أحد الولدين ثبت نسبه ويكون الحكم فيه كالحكم فيه إذا عينه الوارث وإن لم تكن قافة أو كانت ولم تعرف أو ألحقت الولدين به سقط حكم النسب لتعذر معرفته وأقرع بينهما لتمييز العتق لأن القرعة لها مدخل في تمييز العتق فإن خرجت القرعة على أحدهما: عتق ولا يحكم لواحد منهما بالإرث لأنه لم يتعين

Jika ahli waris tidak mengetahui dari sisi mana terjadinya istilād, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa budak perempuan tersebut tidak menjadi umm walad karena asal hukumnya adalah status budak, maka tidak bisa dihilangkan hanya karena dugaan; dan pendapat kedua – inilah yang dinyatakan secara manshūsh – menyatakan bahwa ia menjadi umm walad karena tampaknya anak itu lahir darinya saat ia masih dalam kepemilikan tuannya.

Jika tuan tidak memiliki ahli waris, atau memiliki ahli waris namun tidak menunjuk anak yang mana, maka kedua anak itu diajukan kepada qāfah (ahli nasab berdasarkan tanda fisik). Jika qāfah menetapkan salah satunya sebagai anaknya, maka nasabnya ditetapkan dan hukum yang berlaku sama seperti jika ditunjuk oleh ahli waris. Jika tidak ada qāfah, atau ada tetapi tidak mengetahui, atau qāfah menetapkan kedua anak itu sebagai anaknya, maka hukum nasab gugur karena tidak dapat ditentukan secara pasti.

Kemudian diadakan undian di antara keduanya untuk menentukan siapa yang merdeka, karena undian memiliki peran dalam penetapan kemerdekaan. Jika undian jatuh kepada salah satunya, maka ia merdeka. Namun tidak ada satu pun dari keduanya yang dihukumi mewarisi, karena tidak ada penetapan yang pasti.

وهل يوقف ميراث ابن فيه وجهان: أحدهما: أنه يوقف وهو قول المزني رحمه الله لأنا نتيقن أن أحدهما: ابن وارث والثاني: أنه لا يوقف لأن الشيء إنما يوقف إذا رجي انكشافه وههنا لا يرجى انكشافه.

dan apakah warisan bagi anak itu ditangguhkan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: warisannya ditangguhkan, dan ini adalah pendapat al-Muzanī rahimahullah, karena kita yakin bahwa salah satu dari keduanya adalah anak yang berhak mewarisi.

Pendapat kedua: warisan tidak ditangguhkan, karena sesuatu itu hanya layak untuk ditangguhkan apabila ada harapan akan terungkap, sedangkan dalam kasus ini tidak ada harapan untuk terungkap.

فصل: وإن كان له أمة ولها ثلاثة أولاد ولا زوج لها ولا أقر المولى بوطئها فقال أحد هؤلاء ولدي أخذ بالبيان فإن عين الأصغر ثبت نسبه وحريته ثم يسال عن جهة الاستيلاد فإن قال استولدتها في ملكي فالولد حر لا ولاء عليه والجارية أم ولد والولد الأكبر والأوسط مملوكان وإن قال استولدتها في نكاح ثم ملكها فقد عتق الولد بالملك وعليه الولاء لأنه مسه الرق وأمه أمة قن والأكبر والأوسط مملوكان وإن عين الأوسط تعين نسبه وحريته ويسأل عن استيلاده فإن قال استولدتها في ملكي فالولد حر الأصل وأمه أم ولد وأما الأصغر فهو ابن أم ولد وثبت لها حرمة الاستيلاد

PASAL: Jika seseorang memiliki seorang amah dan ia memiliki tiga anak, tidak memiliki suami, serta tuannya tidak mengakui telah menyetubuhinya, lalu salah satu dari anak-anak itu berkata, “Aku adalah anaknya,” maka tuan tersebut diminta menjelaskan. Jika ia menunjuk anak yang paling kecil, maka nasab dan kemerdekaannya ditetapkan, lalu ditanya tentang bentuk istīlād (pengakuan sebagai ibu dari anaknya). Jika ia berkata, “Aku menjadikannya umm walad saat dia masih dalam kepemilikanku,” maka anak itu merdeka dan tidak ada walā’ atasnya, dan wanita itu menjadi umm walad, sedangkan anak yang paling besar dan yang tengah adalah budak.

Jika ia berkata, “Aku menjadikannya umm walad saat dia dalam ikatan nikah, kemudian aku memilikinya,” maka anak itu merdeka karena sebab kepemilikan, tetapi ia memiliki walā’ karena pernah disentuh oleh perbudakan, dan ibunya adalah budak murni (amah qiḥṭ), dan anak yang besar dan tengah tetap budak.

Jika ia menunjuk anak yang tengah, maka nasab dan kemerdekaannya ditetapkan, lalu ditanya tentang bentuk istīlād. Jika ia berkata, “Aku menjadikannya umm walad saat dia masih dalam kepemilikanku,” maka anak itu merdeka secara asal dan ibunya menjadi umm walad. Maka anak yang paling kecil adalah anak dari umm walad dan ditetapkan bagi ibunya status istīlād.

وهل يعتق بموته كأمه فيه وجهان: أحدهما: أنه يعتق لأنه ولد أم ولده والثاني: أنه عبد قن لا يعتق بعتق أمه لجواز أن يكون عبداً قناً بأن أحبل أمه وهي مرهونة فثبت لها حرمة الاستيلاد فتباع على أحد القولين وإذا ملكها بعد ذلك صارت أم ولده وولده الذي اشتراه معها عبد قن فلا يعتق مع الاحتمال وإن قال استولدتها في نكاح عتق الولد بالملك وعليه الولاء لأنه مسه الرق وأمه أمة قن والولدان الآخران مملوكان وإن عين الأكبر تعين نسبه وحريته ويسأل عن الاستيلاد فإن قال استولدتها في ملكي فهو حر الأصل وأمه أم ولد والأوسط والأصغر مملوكان وإن مات قبل البيان وخلف ابناً يجوز الميراث قام مقامه في التعيين

Apakah anak itu merdeka karena kematian tuannya sebagaimana ibunya? Ada dua pendapat:

Pertama, anak itu merdeka karena ia adalah anak dari umm walad.

Kedua, ia adalah budak murni (‘abd qiḥṭ) yang tidak merdeka karena kematian ibunya, karena mungkin saja ia adalah budak murni—misalnya tuannya menghamili ibunya saat ia masih dalam status rahn (gadai), lalu ditetapkan untuknya hukum istīlād, dan pada salah satu dari dua pendapat, ia boleh dijual. Kemudian jika tuan itu memilikinya setelah itu, maka ia menjadi umm walad, dan anaknya yang dibeli bersama ibunya adalah budak murni, sehingga tidak merdeka karena ada kemungkinan seperti itu.

Jika tuannya berkata, “Aku menjadikannya umm walad saat dia dalam ikatan nikah,” maka anak itu merdeka karena sebab kepemilikan dan memiliki walā’ karena pernah disentuh perbudakan, sedangkan kedua anak lainnya tetap budak.

Jika ia menunjuk anak yang paling besar, maka nasab dan kemerdekaannya ditetapkan, lalu ditanya tentang bentuk istīlād. Jika ia berkata, “Aku menjadikannya umm walad saat dia masih dalam kepemilikanku,” maka anak itu merdeka secara asal dan ibunya menjadi umm walad, sedangkan anak tengah dan kecil tetap budak.

Jika tuannya meninggal sebelum menjelaskan, dan ia meninggalkan seorang anak yang dapat mewarisi, maka anak tersebut menempati posisinya dalam melakukan penunjukan.

فإن عين كان الحكم فيه على ما ذكرناه في الموروث إذا عين وإن لم يكن له ابن أو كان له ولم يعين عرض على القافة فإن عينت القافة كان الحكم على ما ذكرناه وإن لم تكن قافة أو أنت وأشكل عليها أقرع بينهم لتمييز الحرية لأنها تتميز بالقرعة، فإن خرجت على أحدهما: حكم بحريته ولا يثبت النسب لأن القرعة لا يتميز بها النسب وأما الأمة فإنه يبحث عن جهة استيلادها فإن كانت في ملكه فهي أم ولده وإن كان في نكاح فهي أمة قن وإن لم يعرق فعلى ما ذكرناه من الوجهين فلا يرث الابن الذي لم يتعين نسبه وهل يوقف له نصيب ابن أو يعطى الابن المعروف النسب حقه فيه وجهان: أحدهما: يوقف له ميراث ابن وهو قول المزني رحمه الله والثاني: وهو المذهب أنه لا يوقف له شيء بل تدفع التركة إلى المعروف النسب وقد بينا ذلك فيما تقدم.

Jika ahli waris menetapkan (salah satu anak), maka hukum yang berlaku atasnya seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya pada orang yang mewariskan ketika ia melakukan penetapan.

Jika ia tidak memiliki anak, atau ia memiliki anak namun tidak menetapkan, maka diajukan kepada qāfah (ahli kecocokan garis keturunan). Jika qāfah menetapkan (salah satu dari mereka), maka berlaku hukum sebagaimana yang telah kami sebutkan.

Jika tidak ada qāfah atau ada namun mereka bingung, maka dilakukan pengundian di antara mereka untuk menentukan status kemerdekaan, karena kemerdekaan dapat dibedakan melalui undian. Jika undian jatuh pada salah satu dari mereka, maka ditetapkan kemerdekaannya, namun nasabnya tidak ditetapkan karena nasab tidak dapat dipastikan melalui undian.

Adapun amah, maka ditelusuri bentuk istīlād-nya: jika ia berada dalam kepemilikannya, maka ia adalah umm walad, dan jika dalam ikatan nikah, maka ia adalah budak murni (amah qiḥṭ). Jika tidak diketahui, maka hukumnya kembali pada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.

Maka anak yang nasabnya belum ditetapkan tidak berhak mewarisi. Apakah bagian warisan anak itu ditangguhkan, atau diberikan sepenuhnya kepada anak yang telah ditetapkan nasabnya? Terdapat dua pendapat:

Pertama, bagian warisan anak ditangguhkan. Ini adalah pendapat al-Muzani RA.

Kedua, dan ini adalah pendapat yang menjadi mazhab, tidak ditangguhkan sedikit pun. Seluruh warisan diberikan kepada anak yang nasabnya telah dikenal. Dan kami telah menjelaskan hal ini sebelumnya.

فصل: وإن مات رجل وخلف ابنين فأقر أحدهما: على أبيه بدين وأنكر الآخر نظرت فإن كان المقر عدلاً جاز أن يقضي بشهادته مع شاهد آخر أو مع امرأتين أو مع يمين المدعي وإن لم يكن عدلاً حلف المنكر ولم يلزمه شيء وأما المقر ففيه قولان: أحدهما: أنه يلزمه جميع الدين في حصته لأن الدين قد يتعلق ببعض التركة إذا هلك بعضها كما يتعلق بجميعها فوجب قضاؤه من حصة المقر والقول الثاني: وهو الصحيح أنه لا يلزمه من الدين إلا بقدر حصته لأنه لو لزمه بالإقرار جميع الدين لم تقبل شهادته بالدين لأنه يدفع بهذه الشهادة عن نفسه ضرراً. والله أعلم.
بحمد الله حسن توفيقه تم طبع المهذب
لأبي إسحاق إبراهيم بن علي بن يوسف الشيرازي

PASAL: Jika seorang lelaki wafat dan meninggalkan dua anak laki-laki, lalu salah satu dari keduanya mengakui bahwa ayahnya memiliki utang, sedangkan yang lain mengingkarinya, maka dilihat: jika yang mengakui adalah orang ‘adl (terpercaya), maka boleh diputuskan dengan kesaksiannya bersama saksi lain atau dua orang perempuan, atau dengan sumpah dari pihak penggugat. Jika ia bukan orang ‘adl, maka yang mengingkari diminta bersumpah dan tidak wajib membayar apa pun. Adapun yang mengakui, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama: ia wajib membayar seluruh utang itu dari bagiannya, karena utang bisa saja berkaitan dengan sebagian harta warisan apabila sebagian harta tersebut rusak, sebagaimana bisa berkaitan dengan seluruhnya. Maka, wajib dibayarkan dari bagian si pengaku.

Pendapat kedua – dan ini yang ṣaḥīḥ – bahwa ia tidak wajib membayar utang kecuali sebesar bagiannya, karena jika ia diwajibkan membayar seluruh utang hanya karena pengakuannya, maka kesaksiannya tentang utang tidak akan diterima, sebab dengan kesaksian itu ia telah menghindari bahaya atas dirinya.

Wallāhu a‘lam.

Dengan memuji Allah dan taufik-Nya yang sempurna, telah dicetak kitab al-Muhadzdzab karya Abū Isḥāq Ibrāhīm bin ‘Alī bin Yūsuf asy-Syīrāzī.