اللَّهُمَّ يَسِّرْ وَأَعِنْ يَا كَرِيمُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَوْضَحَ لَنَا شَرَائِعَ دِينِهِ وَمَنَّ عَلَيْنَا بِتَنْزِيلِ كِتَابِهِ وَأَمَدَّنَا بِسُنَّةِ رَسُولِهِ حَتَّى تَمَهَّدَ لِعُلَمَاءِ الْأُمَّةِ أُصُولٌ، بِنَصٍّ وَمَعْقُولٍ، تَوَصَّلُوا بِهَا إِلَى عِلْمِ الْحَادِثِ النازل، وإدراك الغامض الْمُشْكِلِ، فَلِلَّهِ الْحَمْدُ عَلَى مَا أَنْعَمَ بِهِ مِنْ هِدَايَتِهِ وَصَلَوَاتُهُ عَلَى رَسُولِهِ مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَأَصْحَابِهِ
Segala puji bagi Allah yang telah menjelaskan kepada kita syariat agama-Nya, menganugerahkan kepada kita turunnya kitab-Nya, dan menguatkan kita dengan sunah Rasul-Nya, sehingga para ulama umat ini memiliki landasan—baik dari nash maupun akal—yang dengannya mereka dapat mengetahui hukum terhadap peristiwa yang baru terjadi dan memahami perkara-perkara yang rumit dan sulit. Maka segala puji bagi Allah atas karunia petunjuk-Nya, dan salawat-Nya atas Rasul-Nya Muhammad serta keluarga dan para sahabatnya.
ثُمَّ لَمَّا كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَدْ تَوَسَّطَ بِحُجَّتَيِ النصوص المنقولة والمعاني المعقولة حتى لم يصره بالميل إلى أحدهما مقصرا عن الأخرى أَحَقَّ، وَبِطَرِيقِهِ أَوْثَقَ. وَلَمَّا كَانَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدِ اقْتَصَرُوا عَلَى مُخْتَصَرِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى الْمُزَنِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ، لِانْتِشَارِ الْكُتُبِ الْمَبْسُوطَةِ عَنْ فَهْمِ الْمُتَعَلِّمِ، وَاسْتِطَالَةِ مُرَاجَعَتِهَا عَلَى الْعَالِمِ حَتَّى جَعَلُوا الْمُخْتَصَرَ أَصْلًا يُمْكِنُهُمْ تَقْرِيبُهُ عَلَى الْمُبْتَدِئِ، وَاسْتِيفَاؤُهُ لِلْمُنْتَهِي، وَجَبَ صَرْفُ الْعِنَايَةِ إِلَيْهِ وَإِيقَاعُ الِاهْتِمَامِ بِهِ
Kemudian, karena Muhammad bin Idris al-Syafi‘i—semoga Allah meridhainya—telah menempuh jalan tengah antara hujjah dari nash yang diriwayatkan dan makna yang dapat dipahami dengan akal, sehingga ia tidak condong kepada salah satunya dengan mengabaikan yang lain, dan jalannya itulah yang paling berhak dan paling kuat. Dan karena para sahabat al-Syafi‘i—semoga Allah meridhainya—telah mencukupkan diri dengan mukhtashar (ringkasan) karya Ibrahim bin Isma‘il bin Yahya al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—karena meluasnya kitab-kitab yang panjang yang di luar kemampuan pemahaman pelajar serta panjangnya waktu yang dibutuhkan oleh para ulama untuk mengkajinya, hingga mereka menjadikan mukhtashar itu sebagai dasar yang dapat didekatkan kepada pemula dan mencukupi bagi yang sudah lanjut, maka wajiblah memberikan perhatian kepadanya dan mencurahkan kepedulian terhadapnya.
وَلَمَّا صَارَ مُخْتَصَرُ الْمُزَنِيِّ بِهَذِهِ الْحَالِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، لَزِمَ اسْتِيعَابُ الْمَذْهَبِ فِي شَرْحِهِ واستيفاء اختلاف الفقهاء المغلق بِهِ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ خُرُوجًا عَنْ مُقْتَضَى الشرح الذي يقتضي الِاقْتِصَارَ عَلَى إِبَانَةِ الْمَشْرُوحِ لِيَصِحَّ الِاكْتِفَاءُ بِهِ، وَالِاسْتِغْنَاءُ عَنْ غَيْرِهِ. وَقَدِ اعْتَمَدْتُ بِكِتَابِي هَذَا شَرْحَهُ عَلَى أَعْدَلِ شُرُوحِهِ وَتَرْجَمْتُهُ بِ ” الْحَاوِي ” رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ حَاوِيًا لِمَا أُوجِبُهُ بِقَدْرِ الحال من الاستيفاء والاستيعاب في أوضح تقديم وأصح ترتيب وأسهل مأخذ واحد فِي فُصُولٍ. وَأَنَا أَسْأَلُ اللَّهَ أَكْرَمَ مَسْؤُولٍ أَنْ يَجْعَلَ التَّوْفِيقَ لِي مَادَّةً وَالْمَعُونَةَ هِدَايَةً بِطَوْلِهِ وَمَشِيئَتِهِ.
Dan ketika Mukhtashar al-Muzani telah mencapai kedudukan ini dalam mazhab al-Syafi‘i, maka menjadi keharusan untuk mencakup seluruh mazhab dalam penjelasannya dan merinci perbedaan para fuqaha yang terkait dengannya, walaupun hal itu keluar dari tuntutan penjelasan yang cukup hanya dengan menjelaskan bagian yang dibahas, agar bisa mencukupi tanpa memerlukan yang lain. Maka aku telah menjadikan kitabku ini sebagai penjelasan atasnya berdasarkan penjelasan yang paling adil, dan aku menamainya dengan “Al-Ḥāwī” dengan harapan bahwa ia mencakup apa yang wajib aku sampaikan sesuai kemampuan dalam bentuk yang paling jelas penyajiannya, paling benar urutannya, dan paling mudah cara pengambilannya dalam bentuk pasal-pasal. Dan aku memohon kepada Allah, sebaik-baik tempat memohon, agar menjadikan taufik sebagai bekal bagiku, dan pertolongan sebagai petunjuk bagiku dengan kemurahan dan kehendak-Nya.
قَالَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى الْمُزَنِيُّ: اخْتَصَرْتُ هَذَا مِنْ عِلْمِ الشَّافِعِيِّ مِنْ مَعْنَى قَوْلِهِ: لِأُقَرِّبَهُ عَلَى مَنْ أَرَادَهُ مَعَ إِعْلَامِيِّهِ نَهْيِهِ عَنْ تَقْلِيدِهِ وَتَقْلِيدِ غَيْرِهِ لِيَنْظُرَ فِيهِ لِدِينِهِ وَيَحْتَاطَ فِيهِ لِنَفْسِهِ، وَبِاللَّهِ التوفيق.
Berkata Ibrāhīm bin Ismā‘īl bin Yaḥyā al-Muzanī: Aku meringkas ini dari ilmu al-Syāfi‘ī berdasarkan maksud dari ucapannya, agar aku dapat mendekatkannya bagi siapa saja yang menghendakinya, seraya aku memberitahukan larangannya dari bertaklid kepadanya maupun kepada selainnya, agar orang itu meneliti isinya demi (keselamatan) agamanya dan berhati-hati di dalamnya demi dirinya sendiri. Dan hanya kepada Allah-lah taufik diberikan.
وقال الْمَاوَرْدِيُّ: ابْتَدَأَ الْمُزَنِيُّ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ فِي كِتَابِهِ فَاعْتَرَضَ عَلَيْهِ فِيهَا مِنْ حُسَّادِ الْفَضْلِ مَنْ أَغْرَاهُمُ التَّقَدُّمُ بِالْمُنَازَعَةِ، وَبَعَثَهُمُ الِاشْتِهَارُ عَلَى الْمَذَمَّةِ، وَكَانَ مِمَّنِ اعْتَرَضَ عَلَيْهِ فِيهَا ” النَّهْرُمَانِيُّ ” وَ ” المغربي ” و ” القهي ” وَأَبُو طَالِبٍ الْكَاتِبُ، ثُمَّ تَعَقَّبَهُمُ ابْنُ دَاوُدَ فَكَانَ اعْتِرَاضُهُمْ فِيهَا مِنْ وُجُوهٍ؛ فَأَوَّلُ وُجُوهِ اعْتِرَاضِهِمْ فِيهَا أَنْ قَالُوا: لِمَ لَمْ يَحْمَدِ الله تعالى تَبَرُّكًا بِذِكْرِهِ وَاقْتِدَاءً بِغَيْرِهِ، وَاتِّبَاعًا لِمَا رَوَاهُ الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ قُرَّةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ “.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ من خمسة أوجه:
Berkata al-Māwardī: Al-Muzanī memulai kitabnya dengan mukadimah ini, lalu ia dikritik karenanya oleh sebagian orang yang dengki terhadap keutamaannya, yang didorong oleh ambisi untuk bersaing dan termotivasi oleh keinginan untuk terkenal meskipun dengan celaan. Di antara mereka yang mengkritiknya adalah al-Nahramānī, al-Maghribī, al-Qahī, dan Abū Ṭālib al-Kātib. Kemudian kritik mereka ditanggapi oleh Ibn Dāwūd. Kritik-kritik tersebut datang dari beberapa sisi.
Sisi pertama dari kritik mereka adalah ucapan mereka: “Mengapa ia tidak memulai dengan memuji Allah Ta‘ālā sebagai bentuk tabarruk dengan menyebut nama-Nya, meneladani orang-orang lain, dan mengikuti apa yang diriwayatkan oleh al-Awzā‘ī dari Qurrat bin ‘Abd al-Raḥmān, dari al-Zuhrī, dari Abū Salamah, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Setiap urusan penting yang tidak diawali dengan pujian kepada Allah adalah terputus (kurang berkah).’”
Jawaban terhadap kritik ini terdiri dari lima sisi.
أحدها: أن يقلب الِاعْتِرَاضَ عَلَيْهِمْ، وَيُسْتَعْمَلَ دَلِيلُ الْخَبَرِ فِي سُؤَالِهِمْ فَيُقَالُ لَهُمْ: إِنْ كَانَ سُؤَالُكُمْ ذَا بَالٍ فَهَلَّا قَدَّمْتُمْ عَلَيْهِ حَمْدَ اللَّهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ غَيْرَ ذِي بَالٍ، فَلَا نُعَوِّلُ عَلَيْهِ، وَكُلُّ سُؤَالٍ انْقَلَبَ عَلَى سَائِلِهِ كَانَ مُطَّرَحًا.
Pertama: Bahwa kritik tersebut dapat dibalik kepada para pengkritik sendiri, dan dalil hadis itu bisa digunakan untuk mempertanyakan mereka. Maka dikatakan kepada mereka: “Jika pertanyaan kalian termasuk urusan yang penting, mengapa kalian tidak memulainya dengan memuji Allah? Kecuali jika pertanyaan itu bukan termasuk urusan yang penting, maka kami tidak perlu mengindahkannya. Dan setiap pertanyaan yang berbalik menjadi celaan bagi penanyanya, maka pertanyaan itu tertolak.”
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ حَمْدَ اللَّهِ تَارَةً يَكُونُ خَطًّا، وَتَارَةً يَكُونُ لَفْظًا، وَهُوَ أَشْبَهُ الْأَمْرَيْنِ بظاهر الأمر، والمزني تَرَكَ حَمْدَ اللَّهِ خَطًّا وَقَدْ ذَكَرَهُ لَفْظًا حَتَّى رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ عِنْدَ تَصْنِيفِ كُلِّ بَابٍ.
Jawaban kedua: Bahwa memuji Allah (ḥamd) terkadang dilakukan secara tertulis, dan terkadang secara lisan. Dan yang lebih sesuai dengan zahir perintah adalah secara lisan. Adapun al-Muzanī, ia memang meninggalkan penulisan pujian kepada Allah, tetapi ia telah melakukannya secara lisan. Bahkan diriwayatkan bahwa ia biasa melaksanakan dua rakaat salat setiap kali memulai penulisan satu bab.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْمُزَنِيَّ قَدْ حَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَأَتَى بِهِ كِتَابَةً وَلَفْظًا، وَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَا شَرِيكَ لَهُ، الَّذِي هُوَ كَمَا وَصَفَ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السميع البصير، فَحَذَفَ ذَلِكَ بَعْضُ النَّاقِلِينَ.
Jawaban ketiga: Bahwa al-Muzanī sebenarnya telah memuji Allah, menyebut nama-Nya, dan mencantumkannya baik secara tulisan maupun lisan. Ia berkata: “Segala puji bagi Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, yang Dia adalah sebagaimana sifat-Nya dan lebih tinggi dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya; tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Namun, sebagian perawi atau penyalin telah menghilangkan bagian tersebut.
وَالْجَوَابُ الرَّابِعُ: أَنَّ الْمُرَادَ بِحَمْدِ اللَّهِ إِنَّمَا هُوَ ذِكْرُ اللَّهِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ روي: ” لم يبدأ بذكر الله “.
والثاني: يقدر اسْتِعْمَالِهِ، لِأَنَّ التَّحْمِيدَ إِنْ قُدِّمَ عَلَى التَّسْمِيَةِ خُولِفَ فِيهِ الْعَادَةُ، وَإِنْ ذُكِرَ بَعْدَ التَّسْمِيَةِ لَمْ يَقَعْ بِهِ الْبِدَايَةُ، فَثَبَتَ بِهَذَيْنِ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ ذِكْرُ اللَّهِ، وَقَدْ بَدَأَ بِذِكْرِ اللَّهِ فِي قَوْلِهِ ” بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “.
Dan jawaban keempat: bahwa yang dimaksud dengan “pujian kepada Allah” adalah menyebut nama Allah karena dua hal:
Pertama, karena telah diriwayatkan: “Ia tidak memulai dengan menyebut nama Allah.”
Kedua, karena jika pujian (al-ḥamd) didahulukan sebelum basmalah, maka itu menyelisihi kebiasaan; dan jika disebutkan setelah basmalah, maka tidak terjadi permulaan dengannya. Maka, dengan dua hal ini, tetaplah bahwa yang dimaksud adalah menyebut nama Allah, dan ia telah memulai dengan menyebut nama Allah dalam ucapannya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
وَالْجَوَابُ الْخَامِسُ: أَنَّ الْأَمْرَ بِهِ مَحْمُولٌ عَلَى ابتداء الخطبة دُونَ غَيْرِهَا، زَجْرًا عَمَّا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ من تقديم المنثور والمنظوم والكلام المنثور، وَإِنَّمَا كَانَ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ.
أَحَدُهَا: مَا رُوِيَ أَنَّ أَعْرَابِيًّا خَطَبَ فَتَرَكَ التَّحْمِيدَ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ “.
وَالثَّانِي: أَنَّ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَوْلُهُ: {اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ} [العلق: 1] . وَقَوْلُهُ: {يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ} [المدثر: 1] . وَلَيْسَ فِي ابْتِدَائِهِمَا حَمْدُ اللَّهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْمُرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِمَا كِتَابُ اللَّهِ تَعَالَى دَالٌّ عَلَى خِلَافِهِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ خَبَرَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِخِلَافِ مُخْبَرِهِ فَقَدْ قَالَ: فَهُوَ أَبْتَرُ وَكِتَابُ الْمُزَنِيِّ أَشْهَرُ كِتَابٍ صنف، وأبدع مُخْتَصَرٍ أُلِّفَ، فَعُلِمَ بِهَذِهِ الْأُمُورِ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْخُطَبِ دُونَ غَيْرِهَا مِنَ الْمُصَنَّفَاتِ وَالْكُتُبِ.
Dan jawaban kelima: bahwa perintah tersebut dimaknai khusus untuk permulaan khutbah, bukan selainnya, sebagai bentuk larangan terhadap kebiasaan jahiliah yang mendahulukan susunan prosa dan syair serta ucapan-ucapan yang bersifat retoris. Hal ini karena tiga hal:
Pertama, telah diriwayatkan bahwa seorang Arab badui berkhutbah dan tidak memulai dengan pujian (ḥamd), maka Nabi ﷺ bersabda: “Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan pujian kepada Allah, maka ia terputus (kurang keberkahannya).”
Kedua, bahwa wahyu pertama dari Kitab Allah ‘azza wa jalla adalah firman-Nya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS. al-‘Alaq: 1), dan firman-Nya: “Wahai orang yang berselimut” (QS. al-Muddatsir: 1), dan tidak ada pujian kepada Allah di awal kedua ayat tersebut. Maka, tidak mungkin Rasulullah ﷺ memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh Kitab Allah Ta‘ala.
Ketiga, bahwa sabda Rasulullah ﷺ tidak mungkin bertentangan dengan realitasnya. Beliau bersabda: “Maka ia terputus,” padahal kitab karya al-Muzani adalah kitab yang paling masyhur disusun dan ringkasan yang paling indah ditulis. Maka, dari ketiga hal ini diketahui bahwa (perintah memulai dengan pujian) berlaku khusus untuk khutbah, bukan untuk karya tulis dan kitab-kitab.
فَصْلٌ: وَالِاعْتِرَاضُ الثَّانِي
أَنْ قَالُوا: لِمَ قَالَ: اخْتَصَرْتُ قَبْلَ اخْتِصَارِهِ؟ وَهَذَا كَذِبٌ وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ تَرْجَمَ كِتَابَهُ بعد فراغه منه، وأراد ما قد اختصر بالاختصار.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ صَوَّرَ الْكِتَابَ فِي نَفْسِهِ مُخْتَصَرًا أَوْ أَشَارَ بِالِاخْتِصَارِ إِلَى مَا فِي نَفْسِهِ مُخْتَصَرًا.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ قَالَ: اخْتَصَرْتُ بِمَعْنَى سَأَخْتَصِرُ، وَالْعَرَبُ تَقُولُ: فَعَلْتُ بِمَعْنَى سَأَفْعَلُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَتَى أَمْرُ اللَّهِ فَلا تَسْتَعْجِلُوهُ} [النحل: 1] بِمَعْنَى سَيَأْتِي أَمْرُ اللَّهِ. {وَنَادَى أَصْحَابُ الْجَنَّةِ} [الأعراف: 44] بِمَعْنَى سَيُنَادِي أَصْحَابُ الْجَنَّةِ.
Pasal: Bantahan Kedua
Yaitu bahwa mereka berkata: Mengapa ia mengatakan, “Aku telah meringkas sebelum meringkasnya”? Padahal ini adalah kebohongan.
Jawaban terhadap hal ini ada tiga sisi:
Pertama: Bahwa ia menuliskan pengantar kitabnya setelah selesai menyusunnya, dan yang dimaksudnya adalah bahwa ia telah merangkum dengan metode ringkas.
Kedua: Bahwa ia telah membayangkan bentuk ringkas kitab tersebut dalam benaknya, atau yang dimaksud dengan “meringkas” adalah isi yang telah tergambar secara ringkas dalam dirinya.
Ketiga: Bahwa ucapannya “aku telah meringkas” bermakna “aku akan meringkas,” karena orang Arab biasa menggunakan bentuk lampau dengan makna akan datang. Allah Ta‘ala berfirman: “Telah datang perintah Allah, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan.” (QS. al-Naḥl: 1), maksudnya: “Akan datang perintah Allah.” Dan firman-Nya: “Para penghuni surga menyeru…” (QS. al-A‘rāf: 44), maksudnya: “Akan menyeru para penghuni surga.”
فَصْلٌ: وَالِاعْتِرَاضُ الثَّالِثُ
: إِنْ قَالُوا: لِمَ قَالَ: اختصرت هذه؟ وَ ” هَذَا ” كَلِمَةٌ مَوْضُوعَةٌ فِي اللُّغَةِ إِشَارَةً إلى حاضر معين كما أن ذلك إِشَارَةٌ إِلَى غَائِبٍ غَيْرِ مُعَيَّنٍ، وَلَمْ يَكُنْ ثَمَّ حَاضِرٌ يُشِيرُ إِلَيْهِ، وَهَذَا جَهْلٌ بِاللُّغَةِ، وهو مَوْضُوعُ الْكَلَامِ، وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: أَحَدُهَا: أَنَّهُ تَرْجَمَ كِتَابَهُ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْهُ، فَصَارَ ذَلِكَ مِنْهُ إِشَارَةً إِلَى حَاضِرٍ مُعَيَّنٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ صَوَّرَهُ فِي نَفْسِهِ، وَأَشَارَ إِلَى مَا يُعَيِّنُ فِي ضَمِيرِهِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ ” هَذَا ” وَإِنْ كَانَ إِشَارَةً إِلَى حَاضِرٍ مُعَيَّنٍ فَقَدْ يَسْتَعْمِلُهُ الْعَرَبُ إِشَارَةً إِلَى غَائِبٍ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {هَذَا يَوْمُ الْفَصْلِ} [المرسلات: 38] {هَذَا يَوْمُ لا يَنْطِقُونَ} [المرسلات: 35] إِشَارَةً إِلَى يَوْمِ القيامة وإن لم يكن موضوعا حاضرا لِلْإِشَارَةِ إِلَى غَائِبٍ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {آلم ذَلِكَ الْكِتَابُ} [البقرة: 1 – 2] يَعْنِي هَذَا الْكِتَابُ.
وَكَقَوْلِ خفاف بن ندبة السلمي:
(فإن تك قد أصبت حميمها … فَعَمْدًا عَلَى عَيْنٍ تَيَمَّمْتُ مَالِكَا)
(أَقُولُ لَهُ والرمح يأطر منه … تَأَمَّلْ خِفَافًا إِنَّنِي أَنَا ذَلِكَا)
يَعْنِي: إِنَّنِي أَنَا هَذَا.
Pasal: Bantahan Ketiga
Jika mereka berkata: Mengapa ia berkata, “Aku meringkas kitab ini”? Padahal kata “hāżā” (ini) dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dan ditentukan, sebagaimana żālika digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang gaib dan tidak ditentukan. Sementara tidak ada sesuatu yang hadir untuk ditunjuk, maka hal ini menunjukkan ketidaktahuan terhadap bahasa, padahal bahasa adalah pokok pembicaraan ini.
Jawaban atasnya ada tiga sisi:
Pertama: Ia menuliskan pengantar kitabnya setelah selesai menyusunnya, sehingga ucapannya menjadi isyarat terhadap sesuatu yang hadir dan ditentukan.
Kedua: Ia telah membayangkan kitab tersebut dalam dirinya, lalu menunjuk kepada sesuatu yang telah ditentukan dalam benaknya.
Ketiga: Meskipun “hāżā” secara asal adalah isyarat kepada sesuatu yang hadir dan ditentukan, orang Arab kadang menggunakannya untuk menunjuk kepada sesuatu yang gaib. Seperti firman Allah Ta‘ala: “Inilah hari keputusan” (QS. al-Mursalāt: 38), “Inilah hari mereka tidak berbicara” (QS. al-Mursalāt: 35), padahal yang dimaksud adalah hari kiamat yang belum hadir. Begitu pula firman Allah Ta‘ala: “Alif Lām Mīm. Itulah Kitab…” (QS. al-Baqarah: 1–2), maksudnya: “Inilah kitab.”
Dan seperti ucapan Khuffāf ibn Nudbah al-Sulami:
“Jika engkau benar-benar telah membunuh karibnya, maka sungguh dengan sadar dan sengaja engkau mengincar Mālik.”
“Aku berkata kepadanya, sedang tombak menusuknya: ‘Lihatlah Khuffāf — sesungguhnya akulah orang itu.’”
Yang dimaksudnya adalah: Sesungguhnya akulah ‘ini’.
فَصْلٌ
: ثُمَّ يَبْدَأُ بِشَرْحِ التَّرْجَمَةِ فَيَقُولُ: أَمَّا قَوْلُهُ ” اخْتَصَرْتُ هَذَا ” فَحَدُّ الِاخْتِصَارِ هُوَ تَقْلِيلُ اللَّفْظِ مَعَ اسْتِبْقَاءِ الْمَعْنَى، وَقَالَ الْخَلِيلُ بْنُ أَحْمَدَ: هُوَ مَا دَلَّ قَلِيلُهُ على كثيره، وهي اختصار الاجتماعة، كَمَا سُمِّيَتِ الْمُخْتَصَرَةَ لِاجْتِمَاعِ السُّوَرِ فِيهَا، وَسُمِّيَ خَصْرُ الْإِنْسَانِ لِاجْتِمَاعِهِ وَمِنْهُ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ أبي ربيعة:
(رأت رجلا أما إِذَا الشَّمْسُ عَارَضَتْ … فَيَضْحَى وَأَمَّا بِالْعَشِيِّ فَيَخْصُرُ)
معنى أنه مجتمع مِنْ شِدَّةِ الْبَرْدِ. وَأَمَّا ” هَذَا ” فَهِيَ كَلِمَةُ إِشَارَةٍ تَجْمَعُ حَرْفًا وَاسْمًا، فَالْحَرْفُ الْهَاءُ الْمَوْضُوعَةُ لِلتَّنْبِيهِ، وَالِاسْمُ ذَا وَهُوَ مِنَ الْأَسْمَاءِ الْمُبْهَمَةِ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ حَسُنَ أَنْ يُفْصَلَ بَيْنَهُمَا، فَنَقُولُ: هَذَا.
فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ اخْتَصَرَ كِتَابَهُ وَهَلَّا بَسَطَهُ فَإِنَّ الْمَبْسُوطَ أَقْرَبُ إِلَى الْإِفْهَامِ، وَأَغْنَى عَنِ الشَّرْحِ.
قِيلَ: إِنَّمَا اخْتَصَرَهُ لِأَنَّ الْمُخْتَصَرَ أَقْرَبُ إِلَى الْحِفْظِ، وَأَبْسَطُ لِلْقَارِئِ، وَأَحْسَنُ مَوْقِعًا في النفوس، ولذلك تداول إِعْجَازَ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: {وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حيوة} [البقرة: 179] لِاخْتِصَارِ لَفْظِهِ وَإِجْمَاعِ مَعَانِيهِ وَعَجِبُوا مِنْ وَجِيزِ قَوْله تَعَالَى: {فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ} [الحجر: 94] . وَمِنَ اخْتِصَارِ قَوْله تَعَالَى: {يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي} [هود: 44] . وَقَالُوا: إِنَّهَا أخصر آية في كتاب الله تعالى. واستسحنوا اخْتِصَارَ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: {وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الأَعْيُنُ} [الزخرف: 71] كَيْفَ جَمَعَ بِهَذَا اللَّفْظِ الْوَجِيزِ بَيْنَ جَمِيعِ الْمَطْعُومَاتِ وَجَمِيعِ الْمَلْبُوسَاتِ. وَلِفَضْلِ الِاخْتِصَارِ عَلَى الْإِطَالَةِ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُوتِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ وَاخْتُصِرَتْ لِيَ الْحِكْمَةُ اخْتِصَارًا “. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ: خَيْرُ الْكَلَامِ مَا قَلَّ وَدَلَّ وَلَمْ يَطُلْ فَيَمَلَّ. غير أن للإطالة موضعا يحمد فِيهِ، وَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مُخْتَصَرًا بِهِ، وَقَدْ قَالَ الشَّاعِرُ فِي بَعْضِ خُطَبَاءِ إِيَادٍ:
(يَرْمُونَ بِالْخُطَبِ الطِّوَالِ وَتَارَةً … وَحْيَ الْمُلَاحِظِ خِيفَةَ الرُّقَبَاءِ)
غَيْرَ أَنَّ الِاخْتِصَارَ فِيمَا وَضَعَهُ الْمُزَنِيُّ أَحْمَدُ. وَقَالَ الْخَلِيلُ بْنُ أَحْمَدَ: مُخْتَصَرُ الْكِتَابِ لِيُحْفَظَ وَيُبْسَطُ لِيُفْهَمَ.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ شَرَطَ اخْتِصَارَ كِتَابِهِ، وَقَدْ أَطَالَ كَثِيرًا مِنْهُ، فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ شَرَطَ اخْتِصَارَ عِلْمِ الشَّافِعِيِّ، وَقَدِ اخْتَصَرَهُ وَإِنَّمَا أَطَالَ كَلَامَ نَفْسِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْحُكْمَ لِلْأَغْلَبِ وَالْأَغْلَبُ منه مختصر.
Pasal
Kemudian ia memulai penjelasan pengantarnya, lalu berkata: Adapun ucapannya “Aku telah meringkas kitab ini”, maka batasan ikhtiṣār (ringkasan) adalah meminimalkan lafaz dengan tetap menjaga makna. Al-Khalīl ibn Aḥmad berkata: Ringkasan adalah sesuatu yang sedikit lafalnya tetapi menunjukkan makna yang luas; dan ia berasal dari penggabungan sesuatu, sebagaimana dinamakan al-mukhtaṣarah (kitab ringkas) karena menggabungkan beberapa surah di dalamnya, dan dinamakan khaṣr (pinggang) pada manusia karena menjadi tempat himpunan anggota tubuh.
Di antara contohnya adalah ucapan ‘Umar ibn Abī Rabī‘ah:
“Ia melihat seorang lelaki, bila matahari menyinarinya ia tampak gagah, dan bila sore hari ia menyempit (berkumpul tubuhnya).”
Yang dimaksud adalah tubuhnya mengerut karena dingin.
Adapun “hāżā” (ini) adalah kata tunjuk yang terdiri dari huruf dan isim: hurufnya adalah hā’ yang berfungsi untuk penegasan, dan żā adalah isim tunjuk dari jenis isim-isim mubham (tidak spesifik). Oleh karena itu, baiklah jika dipisahkan penggunaannya menjadi satu kata “hāżā”.
Jika dikatakan: Mengapa ia meringkas kitabnya? Mengapa tidak membentangkannya saja, bukankah kitab yang panjang lebih mudah dipahami dan tidak lagi membutuhkan penjelasan?
Maka dijawab: Ia meringkasnya karena kitab ringkas lebih mudah dihafal, lebih ringan bagi pembaca, dan lebih menyenangkan di hati. Karena itu pula, manusia mengagumi keindahan firman Allah Ta‘ala: “Dan dalam qishāsh itu ada kehidupan bagimu” (QS. al-Baqarah: 179), karena ringkasnya lafaz dan padatnya makna. Mereka juga kagum terhadap singkatnya firman-Nya: “Maka sampaikanlah apa yang diperintahkan kepadamu” (QS. al-Ḥijr: 94), dan firman-Nya: “Wahai bumi, telanlah airmu, dan wahai langit, berhentilah (menurunkan hujan)” (QS. Hūd: 44), serta menyebutnya sebagai ayat paling ringkas dalam Kitab Allah. Mereka juga mengagumi ringkasnya firman-Nya: “Dan di dalamnya terdapat segala yang diingini jiwa dan menyenangkan pandangan mata” (QS. al-Zukhruf: 71), karena lafaz yang singkat itu menghimpun seluruh jenis makanan dan pakaian.
Karena keutamaan ringkasan atas panjang lebar, Nabi ﷺ bersabda: “Aku dikaruniai jawāmi‘ al-kalim (ucapan ringkas yang penuh makna), dan hikmah dipadatkan untukku.”
Al-Ḥasan ibn ‘Alī pun berkata: “Sebaik-baik ucapan adalah yang sedikit tapi menunjukkan makna, dan tidak panjang sehingga membosankan.”
Namun demikian, panjang lebar juga memiliki tempat yang dipuji, oleh karena itu Kitab Allah tidak disusun dalam bentuk ringkasan. Seorang penyair pun berkata tentang sebagian khatib dari kabilah Iyād:
“Mereka melemparkan khutbah yang panjang-panjang, dan kadang cukup dengan isyarat mata karena takut pada pengawas.”
Akan tetapi, ringkasan dalam karya al-Muzanī lebih baik. Al-Khalīl ibn Aḥmad berkata: “Kitab yang diringkas untuk dihafal, dan dibentangkan untuk dipahami.”
Jika dikatakan: Bukankah ia mengklaim telah meringkas kitabnya, padahal banyak bagian yang panjang? Maka jawabannya dua:
Pertama: Ia memang berjanji meringkas ilmu al-Shāfi‘ī, dan ia telah melakukannya, sedangkan panjangnya hanya pada penjelasan dari dirinya sendiri.
Kedua: Hukum itu didasarkan pada mayoritas, dan sebagian besar kitab tersebut memang ringkas.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” مِنْ عِلْمِ الشَّافِعِيِّ ” فَقَدِ اعْتَرَضَ عَلَيْهِ مَنْ ذَكَرْنَا، وَقَالُوا: عِلْمُ الشَّافِعِيِّ لَا يُمْكِنُهُ اخْتِصَارُهُ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُضْمَرٌ فِي النَّفْسِ وَذَلِكَ مِمَّا لَا يَصِلُ إِلَيْهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْعِلْمَ عَرَضٌ، وَالْعُرُوضُ يَسْتَحِيلُ اخْتِصَارُهَا. وَهَذَا الِاعْتِرَاضُ فَاسِدٌ بِمَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ مُرَادِ الْمُزَنِيِّ بِهِ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِهِ، فَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَرَادَ مِنْ كُتُبِ الشَّافِعِيِّ فَعَبَّرَ بِالْعِلْمِ عَنِ الْكُتُبِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُوصَلُ بِهَا إِلَى الْعِلْمِ كَمَا قِيلَ فِي تَأْوِيلِ قَوْله تَعَالَى: {هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا} [الأنعام: 48] ، أَيْ مِنْ كِتَابٍ، وقال أبو علي ابن أَبِي هُرَيْرَةَ: أَرَادَ مِنْ مَعْلُومِ الشَّافِعِيِّ، فَعَبَّرَ عَنْهُ بِالْعِلْمِ، لِأَنَّهُ حَادِثٌ عَلَى الْعِلْمِ كَمَا قِيلَ فِي تَأْوِيلِ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: {وَلا يحيطون بشيء من علمه} ، أَيْ مِنْ مَعْلُومِهِ، وَمَعْلُومُ الشَّافِعِيِّ مَا أُخِذَ عنه قولا ورسما.
Pasal
Adapun ucapannya: “dari ilmu al-Syāfi‘ī”, maka telah diajukan keberatan terhadapnya oleh sebagian pihak yang telah kami sebutkan. Mereka berkata: “Ilmu al-Syāfi‘ī tidak mungkin diringkas karena dua alasan:
Pertama, ilmu itu tersembunyi di dalam jiwa, dan hal yang demikian tidak dapat dijangkau.
Kedua, ilmu adalah sifat yang tidak menetap (ʿaraḍ), sedangkan segala sifat demikian mustahil untuk diringkas.”
Namun, keberatan ini rusak (tidak sahih) dengan mempertimbangkan maksud al-Muzanī, yang akan kami jelaskan. Para ulama mazhab kami berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud al-Muzanī.
Abū Isḥāq al-Marwazī raḥimahullāh berkata: “Yang dimaksud adalah kitab-kitab al-Syāfi‘ī; ia menyebutnya sebagai ‘ilmu’ karena melalui kitab-kitab itulah seseorang bisa sampai kepada ilmu.” Sebagaimana dalam penafsiran firman Allah Ta‘ālā:
“Adakah pada kalian ilmu yang dapat kalian keluarkan kepada kami?” (QS. al-An‘ām: 48), maksudnya adalah “dari kitab.”
Sementara Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah berkata: “Yang dimaksud adalah pengetahuan yang diketahui dari al-Syāfi‘ī, dan ia mengekspresikannya dengan kata ‘ilmu’ karena pengetahuan itu merupakan hasil dari ilmu.” Sebagaimana dalam tafsiran firman Allah Ta‘ālā:
“Dan mereka tidak mengetahui sesuatu pun dari ilmu-Nya” (QS. al-Baqarah: 255), maksudnya adalah dari ma‘lūm (yang diketahui) oleh-Nya.
Adapun ma‘lūm dari al-Syāfi‘ī adalah segala sesuatu yang diambil darinya, baik berupa ucapan maupun tulisan.
فصل: اعتراض ورد
وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” وَمِنْ مَعْنَى قَوْلِهِ ” فَقَدِ اعْتَرَضَ فِيهِ مَنْ ذَكَرْنَا، وَقَالُوا: الْمَعْنَى هُوَ صِفَةُ الْحُكْمِ وَاخْتِصَارُهُ مُبْطِلٌ لَهُ. وَهَذَا جَهْلٌ بِمَقْصُودِ الْكَلَامِ. وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِ الْمُزَنِيِّ بِمَا اخْتَصَرَهُ مِنْ مَعْنَى قَوْلِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ اخْتِصَارَ الْمَعْنَى هُوَ أَنْ يُعَبِّرَ عَنْهُ بِأَوْجَزِ لَفْظٍ، وَأَخْصَرِ كَلَامٍ. وَقَدْ أَفْصَحَ الْمُزَنِيُّ بِهَذَا فِي أَوَّلِ جَامِعِهِ الْكَبِيرِ فَقَالَ: وَلَيْسَ اخْتِصَارُ الْمَعَانِي هُوَ تَرْكُ بَعْضِهَا وَالْإِتْيَانُ بِالْبَعْضِ، وَلَكِنِ الْإِتْيَانُ بِالْمَعَانِي بِأَلْفَاظٍ مُخْتَصَرَةٍ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ اخْتِصَارَهُ الْمَعْنَى غَيْرُ رَاجِعٍ إِلَى لَفْظِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ رَاجِعٌ إِلَى عَيْنِهِ. وَلِمَنْ قَالَ بِهَذَا فِي كَيْفِيَّتِهِ ثَلَاثَةُ مَذَاهِبَ.
أَحَدُهَا: أَنَّهُ اخْتَصَرَ الْمَعْنَى بِإِيرَادِ إِحْدَى دَلَائِلِ الْمَسْأَلَةِ دُونَ جَمِيعِهَا فَيَكُونُ ذَلِكَ اخْتِصَارًا لَهَا، وَإِلَى هَذَا أَشَارَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْحُكْمَ إِذَا ثَبَتَ لِمَعْنَيَيْنِ مِثْلَ: الْكَلْبِ الْمَيِّتِ هُوَ نَجَسٌ، لِأَنَّهُ كَلْبٌ، وَلِأَنَّهُ مَيِّتٌ، اخْتَصَرَ ذَلِكَ بِإِيرَادِ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ، وَإِلَى هَذَا أَشَارَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُعَلِّلَ الْأُصُولَ بِمَعْنًى يَجْمَعُ أُصُولًا يُسْتَغْنَى بِهِ عَنْ تَعْلِيلِ كُلِّ أَصْلٍ مِنْهَا، بِمَعْنًى مُفْرَدٍ. مِثْلَ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ ” فَعَلَّلَ إِثْبَاتَ النِّيَّةِ فِي الصَّوْمِ بِأَنَّهُ عمل مقصود في عينه يصير التَّعْلِيلُ بِهَذَا الْمَعْنَى مُوجِبًا لِإِثْبَاتِ النِّيَّةِ فِي الطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَالصِّيَامِ وَلَا يَحْتَاجُ أن تختصر كُلَّ عِبَادَةٍ مِنْهَا بِمَعْنًى يُوجِبُ النِّيَّةَ فِيهَا فَيَكُونُ هَذَا اخْتِصَارًا لِلْمَعْنَى.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ قَوْلَهُ: ” وَمِنْ مَعْنَى قَوْلِهِ ” يُرِيدُ: عَلَى مَعْنَى قَوْلِهِ؛ فَيَكُونُ ” مِنْ ” بِمَعْنَى ” عَلَى “، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَنَصَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا} [الأنبياء: 77] . أَيْ عَلَى الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا، فَيَكُونُ مَعْنَاهُ: أَنَّهُ لَمَّا اخْتَصَرَ مَنْصُوصَاتِ الشَّافِعِيِّ اخْتَصَرَ عَلَى مَعْنَى قَوْلِهِ فُرُوعًا مِنْ عِنْدِهِ كَمَا فعل في الجوالة وَالضَّمَانِ وَالشَّرِكَةِ وَالشُّفْعَةِ.
Pasal: Bantahan dan Jawaban
Adapun ucapannya: “Dan dari makna ucapannya”, telah diajukan keberatan terhadapnya oleh pihak yang telah kami sebutkan. Mereka berkata: Makna adalah sifat dari hukum, dan meringkasnya berarti membatalkannya. Ini adalah bentuk ketidaktahuan terhadap maksud dari ucapan tersebut.
Para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai maksud al-Muzanī dalam pernyataannya bahwa ia telah meringkas “makna ucapan” al-Syafi‘i, dan terdapat tiga pendapat:
Pertama: Bahwa ikhtiṣār al-ma‘nā (meringkas makna) berarti mengungkapkannya dengan ungkapan yang paling singkat dan kalimat yang paling ringkas. Al-Muzanī secara jelas menyampaikan hal ini di awal kitab al-Jāmi‘ al-Kabīr, dengan ucapannya: “Bukanlah makna dari meringkas itu meninggalkan sebagian dan hanya mengambil sebagian lain, tetapi yang dimaksud adalah menyampaikan keseluruhan makna dengan lafaz-lafaz yang ringkas.”
Kedua: Bahwa ringkasan makna itu tidak merujuk pada lafalnya, tetapi pada substansinya (esensinya). Para pendukung pendapat ini berbeda lagi dalam menjelaskan caranya, dan mereka terbagi menjadi tiga mazhab:
Pertama: Bahwa ia meringkas makna dengan hanya menyebut satu dalil dari sebuah permasalahan tanpa menyebut seluruh dalilnya. Ini adalah isyarat dari Abū Isḥāq al-Marwazī.
Kedua: Bahwa jika suatu hukum ditetapkan karena dua alasan, seperti najisnya bangkai anjing karena ia adalah anjing dan karena ia bangkai, maka cukup menyebut salah satunya sebagai bentuk ringkasan. Ini adalah pendapat Abū ʿAlī Ibn Abī Hurayrah.
Ketiga: Bahwa ia memberikan satu alasan umum untuk beberapa hukum pokok, sehingga tidak perlu menjelaskan alasan untuk masing-masing hukum satu per satu. Seperti sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa dari malam hari,” yang dijadikan alasan bahwa niat adalah syarat dalam puasa sebagai ibadah yang bersifat khusus. Maka alasan ini juga berlaku untuk wudhu, shalat, zakat, haji, dan puasa sekaligus, tanpa perlu menyebut alasan niat untuk tiap ibadah secara terpisah. Ini adalah bentuk ringkasan makna.
Ketiga: Bahwa ucapannya “wa min ma‘nā qawlihi” (dan dari makna ucapannya), maksudnya adalah “‘alā ma‘nā qawlihi” (berdasarkan makna ucapannya), sehingga kata “min” bermakna “‘alā”, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā:
“Dan Kami menolongnya dari (min) kaum yang mendustakan” (QS. al-Anbiyā’: 77), maksudnya adalah “melawan kaum yang mendustakan.”
Maka maksudnya: Ketika al-Muzanī telah meringkas teks-teks al-Syāfi‘ī, ia pun meringkas cabang-cabang hukum berdasarkan makna dari ucapan al-Syāfi‘ī, dengan menyusun pendapat sendiri dalam masalah seperti: al-jawālah (keliling jual-beli), al-ḍamān (jaminan), al-syirkah (kemitraan), dan al-syuf‘ah (hak prioritas pembelian).
فَصْلٌ
: وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” لِأُقَرِّبَهُ عَلَى مَنْ أَرَادَهُ ” فَمَعْنَاهُ: لِأُسَهِّلَهُ عَلَى فَهْمِ مَنْ أَرَادَهُ، لِأَنَّ التَّقْرِيبَ يُسْتَعْمَلُ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ:
إِمَّا عَلَى تَقْرِيبِ الدَّانِي مِنَ الْبَعِيدِ.
وَإِمَّا تَقْرِيبُ التَّسْهِيلِ عَلَى الْفَهْمِ، وَهَذَا مُرَادُ الْمُزَنِيِّ دُونَ الْأَوَّلِ لِأَمْرَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِتَقْرِيبِ الْعِلْمِ إِنَّمَا هُوَ تَسْهِيلُهُ عَلَى الْفَهْمِ لَا الْأَدْنَى مِنَ الْبُعْدِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَالَ: على من أراده. وتقريب الأدنى، فقال فِيهِ: مَنْ أَرَادَهُ. فَأَمَّا الْهَاءُ الَّتِي فِي أُقَرِّبَهُ وَأَرَادَهُ، فَهُمَا كِنَايَتَانِ اخْتَلَفَ الْأَصْحَابُ فِيمَا يَرْجِعَانِ إِلَيْهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أحدها: أنهما كنايتان يرجعان إِلَى الْعِلْمِ فَيَكُونُ تَقْدِيرُ الْكَلَامِ: لِأُقَرِّبَ عِلْمَ الشَّافِعِيِّ بِاخْتِصَارِ هَذَا الْكِتَابِ عَلَى مَنْ أَرَادَ العلم.
والثاني: أنهما كنايتان يرجعان إِلَى الْكِتَابِ وَيَكُونُ تَقْدِيرُ الْكَلَامِ: لِأُقَرِّبَ هَذَا الْكِتَابَ بِاخْتِصَارِهِ، عَلَى مَنْ أَرَادَهُ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْكِنَايَةَ الْأُولَى تَرْجِعُ إِلَى الْعِلْمِ، وَيَكُونُ تَقْدِيرُ الْكَلَامِ: لِأُقَرِّبَ هَذَا الْكِتَابَ بِاخْتِصَارِهِ عَلَى مَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ. وَخَصَّ بِهِ الْمُرِيدَ، لِأَنَّ غَيْرَ الْمُرِيدِ لَا يُقَرَّبُ عَلَى فَهْمِهِ.
Pasal:
Adapun ucapannya: “agar aku dekatkan kepada siapa yang menghendakinya”, maknanya adalah: agar aku mudahkan bagi pemahaman orang yang menghendakinya. Karena “taqrīb” (pendekatan) digunakan dalam dua makna:
Pertama, pendekatan sesuatu yang jauh agar menjadi dekat.
Kedua, pendekatan dalam arti memudahkan untuk dipahami. Dan inilah yang dimaksud oleh al-Muzanī, bukan yang pertama, karena dua alasan:
Pertama, bahwa maksud dari pendekatan ilmu adalah memudahkannya untuk dipahami, bukan mendekatkan sesuatu yang jauh.
Kedua, karena ia berkata: “kepada siapa yang menghendakinya.” Sedangkan pendekatan dalam arti menjadikan dekat tidak menggunakan redaksi seperti itu.
Adapun huruf hā’ dalam kata uqarribahu dan arādahu, keduanya adalah kata ganti (kata tunjuk) yang para sahabat berbeda pendapat tentang kepada apa keduanya kembali, dalam tiga pendapat:
Pertama: bahwa keduanya kembali kepada ilmu, maka takdir kalimatnya adalah: agar aku dekatkan ilmu asy-Syāfi‘ī melalui ringkasan kitab ini kepada siapa yang menghendaki ilmu.
Kedua: bahwa keduanya kembali kepada kitab, maka takdir kalimatnya adalah: agar aku dekatkan kitab ini melalui ringkasannya kepada siapa yang menghendakinya.
Ketiga: bahwa kata ganti pertama kembali kepada ilmu, maka takdir kalimatnya adalah: agar aku dekatkan kitab ini melalui ringkasannya kepada siapa yang menghendaki ilmu. Dan ia mengkhususkan kepada orang yang menghendaki, karena selain orang yang menghendaki tidak bisa didekatkan kepada pemahaman.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” مَعَ إِعْلَامِيِّهِ نَهْيِهِ عَنْ تَقْلِيدِهِ وَتَقْلِيدِ غَيْرِهِ ” فَفِيهِ خَمْسُ كِنَايَاتٍ؛ مِنْهُنَّ كِنَايَتَانِ فِي ” إِعْلَامِيِّهِ ” وَهُمَا الْيَاءُ وَالْهَاءُ، وَثَلَاثُ كِنَايَاتٍ فِي نَهْيِهِ وَتَقْلِيدِهِ وَغَيْرِهِ فَلَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِي أَنَّ الْيَاءَ كِنَايَةٌ رَاجِعَةٌ وَأَنَّ الْهَاءَ فِي تقليده وغيره كنايتان رَاجِعَتَانِ إِلَى الشَّافِعِيِّ وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي الْهَاءِ التي في إعلامه، وَفِي الْهَاءِ الَّتِي فِي نَهْيِهِ، إِلَى مَا تَرْجِعُ الْكِنَايَةُ بِهِمَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّهُمَا كِنَايَتَانِ رَاجِعَتَانِ إِلَى الشَّافِعِيِّ أَيْضًا وَيَكُونُ تقدير الكلام: مع إعلام الشافعي ونهي الشَّافِعِيِّ عَنْ تَقْلِيدِهِ وَتَقْلِيدِ غَيْرِهِ مِنَ الْفُقَهَاءِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ رَحِمَهُ الله.
والثاني: أنهما كنايتان راجعتان إلى المزيد عَنْ تَقْلِيدِ الشَّافِعِيِّ وَتَقْلِيدِ غَيْرِهِ، وَهَذَا حَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْهَاءَ الَّتِي فِي ” إِعْلَامِيِّهِ ” كِنَايَةٌ رَاجِعَةٌ إلى المزيد، وَالْهَاءَ الَّتِي فِي ” نَهْيِهِ ” كِنَايَةٌ رَاجِعَةٌ إِلَى الشافعي، ويكون تقدير الكلام: مع إعلامي المزيد من نَهْيِ الشَّافِعِيِّ عَنِ التَّقْلِيدِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا فَيَكُونُ النَّهْيُ عَنِ التَّقْلِيدِ صَادِرًا عَنِ الشَّافِعِيِّ إِلَى الْمُزَنِيِّ وَالْمُرِيدِ.
Pasal:
Adapun ucapannya: “ma‘a i‘lāmīyihi nahyihi ‘an taqlīdihi wa taqlīdi ghayrihi” (beserta pemberitahuanku bahwa ia melarang untuk taklid kepadanya dan kepada selainnya), di dalamnya terdapat lima kata ganti (kināyah): dua di antaranya terdapat dalam “i‘lāmīyihi”, yaitu huruf yā’ dan hā’, dan tiga lainnya terdapat dalam “nahyihi, taqlīdihi, dan ghayrihi”.
Tidak ada perbedaan di kalangan sahabat kami bahwa huruf yā’ adalah kata ganti yang kembali kepada al-Muzanī, dan bahwa huruf hā’ dalam “taqlīdihi wa ghayrihi” adalah dua kata ganti yang kembali kepada asy-Syāfi‘ī.
Namun mereka berbeda pendapat mengenai huruf hā’ yang ada dalam “i‘lāmihi” dan “nahyihi”, kepada siapa keduanya kembali. Perbedaan ini melahirkan tiga pendapat:
Pertama: bahwa keduanya adalah kata ganti yang kembali kepada asy-Syāfi‘ī juga. Maka takdir kalimatnya adalah: “beserta pemberitahuan asy-Syāfi‘ī dan larangan asy-Syāfi‘ī untuk bertaklid kepadanya dan kepada para fuqaha lainnya.” Ini adalah pendapat Abū Ṭayyib Ibn Salamah rahimahullah.
Kedua: bahwa keduanya adalah kata ganti yang kembali kepada al-Muzanī yang menyampaikan tentang larangan bertaklid kepada asy-Syāfi‘ī dan selainnya. Ini diriwayatkan dari Ibn Abī Hurayrah rahimahullah.
Ketiga: bahwa huruf hā’ dalam “i‘lāmihi” kembali kepada al-Muzanī, sedangkan huruf hā’ dalam “nahyihi” kembali kepada asy-Syāfi‘ī. Maka takdir kalimatnya adalah: “beserta pemberitahuanku (al-Muzanī) tentang larangan asy-Syāfi‘ī terhadap taklid.” Ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī dan mayoritas sahabat kami. Maka larangan untuk taklid itu berasal dari asy-Syāfi‘ī, ditujukan kepada al-Muzanī dan siapa pun yang menghendaki.
فَصْلٌ
: فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ نَهَى الشَّافِعِيُّ عَنْ تَقْلِيدِهِ وَتَقْلِيدِ غَيْرِهِ، وَتَقْلِيدُهُ جَائِزٌ لِمَنِ اسْتَفْتَاهُ مِنَ الْعَامَّةِ، وَيَجُوزُ لَهُ وَلِغَيْرِهِ تَقْلِيدُ الصَّحَابَةِ؟
قِيلَ: أَمَّا التَّقْلِيدُ فَهُوَ قَبُولُ قَوْلٍ بِغَيْرِ حُجَّةٍ؛ مَأْخُوذٌ مِنْ قِلَادَةِ الْعُنُقِ. وَإِطْلَاقُ هَذَا النَّهْيِ مَحْمُولٌ عَلَى مَا نَصِفُهُ مِنْ أَحْوَالِ التَّقْلِيدِ فَنَقُولُ: اعْلَمْ أَنَّ الْكَلَامَ فِي التَّقْلِيدِ ينقسم قسمين. قسم فيما يجوز فيه التقليد وفيما لَا يَجُوزُ. وَقِسْمٌ فِيمَنْ يَجُوزُ تَقْلِيدُهُ، وَفِيمَنْ لَا يَجُوزُ
Pasal:
Jika dikatakan: “Mengapa asy-Syāfi‘ī melarang untuk bertaklid kepadanya dan kepada selainnya, padahal taklid kepadanya diperbolehkan bagi orang awam yang meminta fatwa, dan ia maupun selainnya boleh bertaklid kepada para sahabat?”
Dijawab: Adapun taklid adalah menerima suatu pendapat tanpa disertai dalil, yang secara etimologis diambil dari kata qilādah (kalung) di leher.
Larangan secara mutlak dalam pernyataan ini harus dipahami dalam konteks kondisi-kondisi taklid yang akan kami jelaskan. Maka kami katakan:
Ketahuilah bahwa pembahasan tentang taklid terbagi menjadi dua bagian: Bagian pertama: tentang perkara yang boleh dilakukan taklid padanya dan yang tidak boleh.
Bagian kedua: tentang siapa yang boleh dijadikan objek taklid dan siapa yang tidak boleh.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ فَيَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ يَجُوزُ فِيهِ التَّقْلِيدُ وَقِسْمٌ لَا يَجُوزُ فِيهِ التَّقْلِيدُ: وَقِسْمٌ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ حَالِ الْمُقَلِّدِ وَالْمُقَلَّدِ
Adapun bagian pertama terbagi menjadi tiga bagian: bagian yang boleh dilakukan taklid di dalamnya, bagian yang tidak boleh dilakukan taklid di dalamnya, dan bagian yang hukumnya berbeda-beda tergantung keadaan orang yang bertaklid dan orang yang ditaklidi.
فَأَمَّا مَا لَا يَجُوزُ فِيهِ التَّقْلِيدُ فَتَوْحِيدُ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِثْبَاتُ صِفَاتِهِ، وَبَعْثُهُ أَنْبِيَاءَهُ، وَتَصْدِيقُ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيمَا جَاءَ بِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُسْتَدَلُّ عَلَيْهِ بِالْعَقْلِ الَّذِي يَشْتَرِكُ فِيهِ جَمِيعُ الْمُكَلَّفِينَ، فَصَارَ جَمِيعُ أَهْلِ التَّكْلِيفِ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِيهِ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي الْعَقْلِ الْمُؤَدِّي إِلَيْهِ، فَلَمْ يَجُزْ لِبَعْضِهِمْ تَقْلِيدُ بَعْضٍ، كَالْعُلَمَاءِ الَّذِينَ لَا يَجُوزُ لِبَعْضِهِمْ تَقْلِيدُ بَعْضٍ، لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي آلَةِ الِاجْتِهَادِ الْمُؤَدِّيَةِ إِلَى أَحْكَامِ الشَّرْعِ
Adapun perkara yang tidak boleh dilakukan taklid di dalamnya adalah tauhid kepada Allah Ta‘ala, penetapan sifat-sifat-Nya, pengutusan para nabi-Nya, dan pembenaran terhadap Muhammad ﷺ atas apa yang beliau bawa. Sebab hal-hal tersebut dapat dijangkau melalui akal, yang merupakan kesamaan semua mukallaf. Maka seluruh orang yang dibebani syariat (mukallaf) menjadi termasuk ahli ijtihad dalam perkara ini karena mereka sama-sama memiliki akal yang dapat mengantarkan pada kebenaran tersebut. Maka tidak boleh bagi sebagian mereka untuk bertaklid kepada sebagian lainnya, sebagaimana tidak boleh bagi sebagian ulama untuk bertaklid kepada sebagian lainnya karena mereka sama-sama memiliki alat ijtihad yang dapat mengantarkan kepada hukum-hukum syariat.
وَأَمَّا مَا يَجُوزُ فيه التقليد فالأخبار. وهي تنقسم إلى قسمين: أخبار تواتر وأخبار آحَادٍ. فَأَمَّا أَخْبَارُ التَّوَاتُرِ فَخَارِجٌ عَنْ حَدِّ التَّقْلِيدِ لِحُصُولِ الْعِلْمِ الضَّرُورِيِّ بِهِ
Adapun perkara yang boleh dilakukan taklid di dalamnya adalah kabar-kabar. Kabar-kabar ini terbagi menjadi dua bagian: kabar mutawatir dan kabar ahad. Adapun kabar mutawatir, maka ia keluar dari batas taklid karena menghasilkan ilmu yang bersifat pasti (dharuri).
وَأَمَّا خَبَرُ الْوَاحِدِ فَتَقْلِيدُ الْمُخْبَرِ بِهِ إِذَا كَانَ ظَاهِرَ الصِّدْقِ جَائِزٌ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا دَعَتِ الضرورة فيما غاب إلى قبول الخبرية لِعَدَمِ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ، جَازَ التَّقْلِيدُ فِيهِ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ مَنَعَ أَنْ يَكُونَ خَبَرُ الْوَاحِدِ تَقْلِيدًا لِأَنَّهُ لَا يَقَعُ التَّسْلِيمُ لِقَوْلِهِ إِلَّا بَعْدَ الِاجْتِهَادِ فِي عَدَالَتِهِ فَصَارَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا بِدَلِيلٍ، وَهَذَا اخْتِيَارُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَهُوَ خَطَأٌ، لِأَنَّ عَدَالَةَ الْمُخْبِرِ لَيْسَتْ بِدَلِيلٍ عَلَى صِحَّةِ الْخَبَرِ كَمَا لَا يكون عَدَالَةُ الْعَالِمِ دَلِيلًا عَلَى صِحَّةِ فَتْوَاهُ، وَإِنَّمَا الدَّلِيلُ مَا اخْتَصَّ بِالْقَوْلِ الْمَقْبُولِ مِنْ خَبَرٍ أو حكم مَا اخْتَصَّ بِالْقَائِلِ مِنْ عَدَالَةٍ وَصِدْقٍ.
Adapun kabar ahad, maka bertaklid kepada pembawanya apabila tampak kejujurannya adalah diperbolehkan; karena ketika suatu perkara yang ghaib menuntut untuk diterima sebagai kabar (berita), disebabkan tidak adanya dalil langsung atasnya, maka diperbolehkan bertaklid padanya. Dan sebagian ulama dari kalangan kami melarang untuk menganggap kabar ahad sebagai bentuk taklid, karena menurut mereka tidak mungkin menerima perkataan pembawa kabar kecuali setelah melakukan ijtihad terhadap keadilannya. Maka perkataannya menjadi diterima karena adanya dalil. Ini adalah pendapat Ibn Abi Hurairah, namun ini adalah pendapat yang keliru. Sebab keadilan orang yang membawa kabar bukanlah dalil atas kebenaran beritanya, sebagaimana keadilan seorang alim bukanlah dalil atas kebenaran fatwanya. Sesungguhnya dalil adalah sesuatu yang berkaitan dengan perkataan yang diterima, berupa kabar atau hukum, sedangkan keadilan dan kejujuran hanyalah hal yang berkaitan dengan orang yang menyampaikan.
وَأَمَّا مَا اخْتَلَفَ بِاخْتِلَافِ حَالِ الْمُقَلِّدِ وَالْمُقَلَّدِ فَالْأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةُ الَّتِي تَنْقَسِمُ إِلَى تَحْلِيلٍ وَتَحْرِيمٍ وَإِبَاحَةٍ وَحَظْرٍ وَاسْتِحْبَابٍ وَكَرَاهِيَةٍ وَوُجُوبٍ وَإِسْقَاطٍ، فَالتَّقْلِيدُ فِيهَا مختلف باختلاف أحوال الناس من فهم آلَةِ الِاجْتِهَادِ الْمُؤَدِّي إِلَيْهِ أَوْ عَدَمِهِ، لِأَنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ مِنْ فَرْضِ الْكِفَايَةِ وَلَوْ مُنِعَ جَمِيعُ النَّاسِ مِنَ التَّقْلِيدِ وَكُلِّفُوا الِاجْتِهَادَ لَتَعَيَّنَ فَرْضُ الْعِلْمِ عَلَى الْكَافَّةِ، وَفِي هَذَا حَلُّ نِظَامٍ وَفَسَادٌ، وَلَوْ جَازَ لِجَمِيعِهِمُ الِاجْتِهَادُ لَبَطَلَ الِاجْتِهَادُ، وَسَقَطَ فَرْضُ الْعِلْمِ، وفي هذا تعطيل الشريعة وذهاب العلم
Adapun perkara yang hukumnya berbeda-beda tergantung keadaan orang yang bertaklid dan orang yang ditaklidi adalah hukum-hukum syariat yang terbagi menjadi: halal, haram, mubah, terlarang, sunnah, makruh, wajib, dan gugurnya kewajiban. Taklid dalam hal-hal ini berbeda-beda sesuai keadaan manusia dalam hal memiliki alat ijtihad yang dapat mengantarkan kepadanya atau tidak. Sebab menuntut ilmu termasuk fardu kifayah, dan jika semua orang dilarang dari bertaklid dan dibebani untuk berijtihad, maka menuntut ilmu akan menjadi fardu ain bagi seluruh manusia. Dalam hal ini akan terjadi kekacauan sistem dan kerusakan. Dan seandainya ijtihad boleh dilakukan oleh seluruh manusia, maka ijtihad akan kehilangan fungsinya dan gugurlah kewajiban menuntut ilmu. Dalam hal ini akan terjadi pengabaian terhadap syariat dan hilangnya ilmu.
فكذلك ما وَجَبَ الِاجْتِهَادُ عَلَى مَنْ نَفَعَ بِهِ كِفَايَةً لِيَكُونَ الْبَاقُونَ تَبَعًا، وَمُقَلِّدِينَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إليهم لعلهم يحذرون} فَلَمْ يَسْقُطِ الِاجْتِهَادُ عَنْ جَمِيعِهِمْ وَلَا أُمِرَ بِهِ كَافَّتُهُمْ.
Demikian pula, ijtihad diwajibkan atas siapa saja yang manfaatnya mencukupi sebagai fardu kifayah agar orang-orang yang lain dapat mengikuti dan menjadi mukallid. Allah Ta‘ala berfirman: {Maka seharusnya ada segolongan dari setiap kelompok di antara mereka yang berangkat (untuk menuntut ilmu), agar mereka dapat mendalami agama dan memberi peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali kepadanya, agar mereka berhati-hati}. Maka kewajiban ijtihad tidak dibebankan kepada seluruhnya, dan tidak pula gugur dari keseluruhannya.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي فَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ فِيمَنْ لَا يَجُوزُ تَقْلِيدُهُ وقسم فيمن يجوز تقليده. وقسم يختلف بِاخْتِلَافِ حَالِ السَّائِلِ وَالْمَسْؤُولِ.
Pasal: Adapun bagian kedua terbagi menjadi tiga bagian: bagian tentang orang yang tidak boleh ditaklidi, bagian tentang orang yang boleh ditaklidi, dan bagian yang berbeda-beda tergantung keadaan penanya dan orang yang ditanya.
فَأَمَّا مَنْ لَا يَجُوزُ تَقْلِيدُهُمْ فَهُمُ الْعَامَّةُ الَّذِينَ عُدِمُوا آلَةَ الِاجْتِهَادِ، فَلَا يَجُوزُ تَقْلِيدُهُمْ فِي شَيْءٍ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرْعِ، لِأَنَّهُمْ بِعَدَمِ الْآلَةِ لَا يُفَرِّقُونَ بَيْنَ الصَّوَابِ وَالْخَطَأِ، كَالْأَعْمَى الَّذِي لَا يَجُوزُ لِلْبَصِيرِ أَنْ يُقَلِّدَهُ فِي الْقِبْلَةِ، لِأَنَّهُ بِفَقْدِ الْبَصَرِ لَا يُفَرِّقُ بَيْنَ الْقِبْلَةِ وَخَطَئِهَا. فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْعَامَّةِ اسْتَفْتَى فَقِيهًا فِي حَادِثَةٍ فَأَفْتَاهُ بِجَوَابِهَا فَاعْتَقَدَهُ الْعَامِّيُّ مَذْهَبًا لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يُفْتِيَ بِهِ، وَلَا لِغَيْرِهِ أَنْ يُقَلِّدَهُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ مُعْتَقَدًا لَهُ، لِأَنَّهُ غَيْرُ عَالِمٍ بِصِحَّتِهِ، وَلَكِنْ يَجُوزُ لَهُ الْإِخْبَارُ بِهِ.
Adapun orang-orang yang tidak boleh ditaklidi adalah kalangan awam yang tidak memiliki alat ijtihad; karena itu, tidak boleh bertaklid kepada mereka dalam perkara apa pun dari hukum syariat. Sebab ketiadaan alat tersebut membuat mereka tidak mampu membedakan antara yang benar dan yang salah—seperti halnya orang buta yang tidak boleh diikuti oleh orang yang melihat dalam menentukan arah kiblat, karena kehilangan penglihatan membuatnya tidak dapat membedakan kiblat dari selainnya. Maka jika seorang awam meminta fatwa kepada seorang faqih mengenai suatu kasus, lalu faqih itu memberinya jawaban, kemudian si awam menjadikan jawaban itu sebagai mazhabnya, ia tidak boleh berfatwa dengan jawaban tersebut, dan orang lain pun tidak boleh bertaklid kepadanya di dalamnya, meskipun ia meyakininya, karena ia tidak mengetahui kebenarannya. Namun, ia boleh memberitakannya saja.
فَلَوْ عَلِمَ حُكْمَ الْحَادِثَةِ وَدَلِيلَهَا، وَأَرَادَ أَنْ يُفْتِيَ غَيْرَهُ بِهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ لَهُ تَقْلِيدُهُ فِيهَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ: أَحَدُهَا: يَجُوزُ لِأَنَّهُ قَدْ وَصَلَ إِلَى الْعِلْمِ بِهِ بِمِثْلِ وُصُولِ الْعَالِمِ إِلَيْهِ. وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي، وَهُوَ أَصَحُّ: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ هُنَاكَ دَلَالَةٌ تُعَارِضُهَا هِيَ أَقْوَى مِنْهَا. وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ إِنْ كَانَ الدَّلِيلُ عَلَيْهَا نَصًّا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ سُنَّةٍ جَازَ تَقْلِيدُهُ فِيهَا وَاسْتِفْتَاؤُهُ فِي حُكْمِهَا، وَإِنْ كَانَ نَظَرًا أَوِ اسْتِنْبَاطًا لَمْ يَجُزْ.
Maka apabila ia telah mengetahui hukum suatu peristiwa beserta dalilnya, lalu bermaksud memberi fatwa kepada orang lain mengenainya, para aṣḥāb kami berselisih pendapat apakah boleh baginya bertaklid dalam hal itu. Terdapat tiga mazhab: pertama, boleh, karena ia telah sampai pada ilmu tersebut sebagaimana seorang ‘ālim mencapainya. Mazhab kedua—dan ini yang lebih ṣaḥīḥ—tidak boleh; karena mungkin ada dalil lain yang lebih kuat menentangnya. Mazhab ketiga: bila dalilnya berupa naṣ dari Kitāb Allāh Ta‘ālā atau Sunnah, maka boleh bertaklid kepadanya dan memintanya berfatwa tentang hukumnya; tetapi bila dalilnya berupa naẓar atau istinbāṭ, maka tidak boleh.
فصل: من يجوز تقليدهم
وَأَمَّا مَنْ يَجُوزُ تَقْلِيدُهُمْ فَهُمْ أَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ: أحدها: النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيمَا شَرَعَهُ وَأَمَرَ بِهِ. وَالصِّنْفُ الثَّانِي: الْمُخْبِرُونَ عَنْهُ فِيمَا أَخْبَرَ بِهِ. وَالصِّنْفُ الثَّالِثُ: الْمُجْمِعُونَ فِيمَا أَجْمَعُوا عَلَيْهِ. وَالصِّنْفُ الرَّابِعُ: الصَّحَابَةُ فِيمَا قالوه وفعلوه.
Fasal: pihak-pihak yang boleh ditaqlidi
Adapun pihak yang boleh ditaqlidi ada empat golongan: pertama, Nabi ﷺ dalam apa yang beliau syariatkan dan perintahkan; kedua, para perawi yang mengabarkan darinya tentang apa yang beliau sampaikan; ketiga, para mujtahid yang berijmaʿ atas apa yang mereka sepakati; keempat, para sahabat dalam apa yang mereka katakan dan lakukan.
فَأَمَّا الْأَوَّلُ وَهُوَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَتَقْلِيدُهُ فِيمَا شَرَعَهُ وَأَمَرَ بِهِ وَاجِبٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عنه فانتهوا} [الحشر: 7] . ومنع أَصْحَابِنَا مِنْ أَنْ يَكُونَ الْمَأْخُوذُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَقْلِيدًا لِقِيَامِ الدَّلِيلِ عَلَى صِدْقِهِ؛ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ مَا أَمَرَ بِهِ وَنَهَى عَنْهُ لَا يُسْأَلُ عَنْ دَلِيلٍ فِيهِ
Adapun yang pertama, yakni Nabi ﷺ, maka taklid kepada beliau dalam apa yang beliau syariatkan dan perintahkan adalah wajib, berdasarkan firman Allah Taʿālā: {وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا} (al-Ḥasyr: 7). Para ashāb kami melarang menyebut apa yang diambil dari Rasulullah ﷺ sebagai taklid karena dalil atas kebenaran beliau telah tegak; namun hal ini tidak tepat, sebab apa yang beliau perintahkan dan larang tidak dimintai dalilnya.
وَهَذِهِ صِفَةُ التَّقْلِيدِ، وَلَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْأَحْكَامِ الْمَأْخُوذَةِ عَنْهُ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَأْمُرَ بِهَا اجْتِهَادًا أَمْ لَا؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: يَجُوزُ لَهُ الِاجْتِهَادُ فِيهَا، لِأَنَّ الِاجْتِهَادَ فَضِيلَةٌ تَقْتَضِي الثَّوَابَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَمْنُوعًا مِنْهَا.
وَقَالَ آخَرُونَ: لَا يَجُوزُ لَهُ الِاجْتِهَادُ وَإِنَّمَا يُشَرِّعُ الْأَحْكَامَ بِوَحْيِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَنِ أَمْرِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الهوى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى} [النجم: 3، 4] .
Ini adalah sifat taklid; namun para ashāb kami berselisih mengenai hukum-hukum yang diambil darinya: bolehkah beliau memerintahkannya berdasarkan ijtihad atau tidak? Sebagian mereka berpendapat: boleh bagi beliau berijtihad dalam hal tersebut, karena ijtihad adalah suatu keutamaan yang mendatangkan pahala; maka tidak layak Nabi ﷺ terhalang darinya. Sedangkan kelompok lain berpendapat: tidak boleh beliau berijtihad; beliau hanya mensyariatkan hukum-hukum melalui wahyu Allah Taʿālā dan perintah-Nya, berdasarkan firman-Nya: {dan tidaklah ia berbicara menurut hawa nafsu; tidak lain itu hanyalah wahyu yang diwahyukan} (an-Najm: 3-4).
وَاخْتَلَفُوا أَيْضًا هَلْ لِأَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِي عَصْرِهِ أَنْ يَجْتَهِدُوا فِي الْأَحْكَامِ أَمْ يَلْزَمُهُمْ سُؤَالُهُ وَلَا يَجُوزُ لَهُمُ الِاجْتِهَادُ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ: أَحَدُهَا: يَجُوزُ لَهُمُ الِاجْتِهَادُ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لمعاذ: ” بما تَحْكُمُ؟ قَالَ: بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ؟ قَالَ: بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ “. وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ لَهُمُ الِاجْتِهَادُ، لِأَنَّ الِاجْتِهَادَ يَجُوزُ مَعَ عَدَمِ النَّصِّ، وَالنَّصُّ مُمْكِنٌ فِي عَصْرِهِ بِسُؤَالِهِ. والمذهب الثالث: يجوز لمن بعد، وَلَا يَجُوزُ لِمَنْ قَرُبَ مِنْهُ، لِإِمْكَانِ السُّؤَالِ عَلَى مَنْ قَرُبَ، وَتَعَذُّرِهِ عَلَى مَنْ بَعُدَ.
Mereka juga berselisih pendapat, apakah para mujtahid pada masa beliau boleh berijtihad dalam hukum-hukum, ataukah wajib bagi mereka untuk bertanya kepada beliau dan tidak boleh berijtihad? Terdapat tiga mazhab: pertama, mereka boleh berijtihad, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Muʿāż: “Dengan apa engkau akan memutuskan perkara?” Ia menjawab: “Dengan Kitāb Allah.” Nabi bersabda: “Jika engkau tidak menemukannya?” Ia menjawab: “Dengan Sunnah Rasulullah.” Nabi bertanya: “Jika engkau tidak menemukannya?” Ia menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Maka Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah ﷺ terhadap apa yang diridhai Rasulullah.”
Mazhab kedua: tidak boleh mereka berijtihad, karena ijtihad dibolehkan ketika tidak ada naṣ, sedangkan pada masa beliau naṣ masih mungkin didapatkan dengan bertanya langsung kepada beliau.
Mazhab ketiga: boleh bagi yang jauh dari beliau, dan tidak boleh bagi yang dekat, karena orang yang dekat masih memungkinkan untuk bertanya, sementara yang jauh kesulitan untuk bertanya.
فصل: الصنف الثاني
وأما الصِّنْفُ الثَّانِي وَهُمُ الْمُخْبِرُونَ عَنْهُ فَتَقْلِيدُهُمْ فِيمَا أخبروا به ورووه عنه واجب إن كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا، وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ مِمَّنْ لَا يَقُولُ بِأَخْبَارِ الْآحَادِ: إِنِّي لَا أَقْبَلُ إِلَّا خَبَرَ اثْنَيْنِ حَتَّى يَتَّصِلَ ذَلِكَ بِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، لِأَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَمْ يَعْمَلْ عَلَى خَبَرِ ذِي الْيَدَيْنِ فِي سَهْوِهِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى سَأَلَ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَلَمْ يَعْمَلْ أَبُو بَكْرٍ عَلَى خَبَرِ الْمُغِيرَةِ فِي إِعْطَاءِ الْجَدَّةِ السُّدُسَ حَتَّى أَخْبَرَهُ مُحَمَّدُ بن سلمة. وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الصَّحَابَةَ قَدْ عَمِلَتْ عَلَى خَبَرِ عَائِشَةَ فِي الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ وَعَمِلَ عُمَرُ عَلَى خَبَرِ حَمَلِ بْنِ مَالِكٍ فِي دِيَةِ الْجَنِينِ، وَلَيْسَ فِيمَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْعُدُولِ عَنْ خَبَرِ الْوَاحِدِ دَلِيلٌ عَلَى الْعُدُولِ عَنْ خَبَرِ كُلِّ وَاحِدٍ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ مَقْبُولٌ فَلَا يَجُوزُ الْعَمَلُ بِهِ إِلَّا بَعْدَ ثبوت.
Fasal: Golongan Kedua
Adapun golongan kedua, yaitu para perawi yang mengabarkan dari Nabi ﷺ, maka taklid kepada mereka dalam apa yang mereka kabarkan dan riwayatkan darinya adalah wajib jika yang mengabarkan itu satu orang. Sebagian orang yang tidak menerima khabar āḥād berkata: “Aku tidak menerima kecuali khabar dua orang hingga sampai kepada Rasulullah ﷺ, karena beliau ﷺ tidak langsung bertindak berdasarkan khabar Dzul-Yadayn dalam perkara lupa dalam salat hingga beliau bertanya kepada Abū Bakr dan ʿUmar raḍiyallāhu ʿanhumā. Dan Abū Bakr pun tidak bertindak atas khabar al-Mughīrah dalam pemberian bagian sepertiga kepada nenek hingga diberitahu oleh Muḥammad bin Salamah.”
Ini adalah kekeliruan, karena para sahabat telah beramal dengan khabar ʿĀisyah tentang bertemunya dua khitān (dalam hubungan suami-istri), dan ʿUmar telah beramal dengan khabar Ḥamal bin Mālik tentang diyat janin. Tidak ada dalam contoh yang mereka sebutkan berupa berpaling dari khabar satu orang suatu dalil bahwa setiap khabar satu orang mesti ditinggalkan. Maka apabila telah tetap bahwa khabar wāḥid itu diterima, tidak boleh beramal dengannya kecuali setelah dipastikan ketsahihannya.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا عُلِمَ إِسْلَامُهُ جَازَ الْعَمَلُ بِخَبَرِهِ، وَقَبُولُ شَهَادَتِهِ مِنْ غَيْرِ سُؤَالٍ عَنْ عَدَالَتِهِ، لِأَنَّ الْأَعْرَابِيَّ لَمَّا أَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ، فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَتَشْهَدُ أَنِّي مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ ” فَقَبِلَ خَبَرَهُ وَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِالصِّيَامِ لَمَّا عَلِمَ إِسْلَامَهُ مِنْ غَيْرِ سُؤَالٍ عَنْ عَدَالَتِهِ.
Abū Ḥanīfah berkata: apabila diketahui keislamannya, maka boleh beramal dengan khabarnya dan menerima kesaksiannya tanpa perlu menanyakan keadilannya. Karena ketika seorang Aʿrābī mengabarkan kepada Rasulullah ﷺ tentang terlihatnya hilal, beliau bersabda: “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Ia menjawab: “Ya.” Maka beliau menerima khabarnya, berpuasa, dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa setelah mengetahui keislamannya, tanpa menanyakan keadilannya.
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ خَطَأٌ، لِأَنَّ الْمُسْلِمَ يَكُونُ عَلَى صِفَةٍ لَا يَجُوزُ مَعَهَا قَبُولُ خَبَرِهِ، كَمَا أَنَّ الْمَجْهُولَ قَدْ يَكُونُ غَيْرَ مُسْلِمٍ فَلَا يَجُوزُ قَبُولُ خَبَرِهِ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ قَبُولُ خَبَرِ الْمَجْهُولِ إِلَّا بَعْدَ ثُبُوتِ إِسْلَامِهِ لَمْ يَجُزْ قَبُولُ خَبَرِ الْمُسْلِمِ إِلَّا بَعْدَ ثُبُوتِ عَدَالَتِهِ
Dan apa yang dikatakannya itu adalah keliru, karena seorang Muslim bisa saja berada dalam keadaan yang tidak boleh diterima khabarnya, sebagaimana orang yang majhūl bisa jadi bukan Muslim sehingga tidak boleh diterima khabarnya. Maka ketika tidak boleh menerima khabar orang majhūl kecuali setelah terbukti keislamannya, demikian pula tidak boleh menerima khabar seorang Muslim kecuali setelah terbukti keadilannya.
فَأَمَّا خَبَرُ الْأَعْرَابِيِّ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَسْلَمَ فِي الْحَالِ فَكَانَ عَدْلًا عَلَى أَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ أَحْوَالِ الْمُسْلِمِينَ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْعَدَالَةُ بِخِلَافِ الْأَعْصَارِ مِنْ بَعْدِهِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعَدَالَةَ شَرْطٌ فِي قَبُولِ خَبَرِهِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ، وَالرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ.
Adapun khabar dari al-Aʿrābī, boleh jadi ia masuk Islam pada saat itu juga sehingga ia termasuk orang yang ʿadl. Terlebih lagi bahwa keadaan lahiriah kaum Muslimin pada masa Rasulullah ﷺ menunjukkan keadilan, berbeda dengan generasi-generasi setelahnya. Maka apabila telah tetap bahwa keadilan adalah syarat dalam penerimaan khabarnya, maka tidak ada perbedaan antara orang merdeka dan hamba sahaya, serta antara laki-laki dan perempuan.
فَأَمَّا الصَّبِيُّ فَخَبَرُهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ؛ لِأَنَّ قَوْلَهُ لَا يَلْزَمُ بِهِ حُكْمٌ، وَلَكِنْ لَوْ سَمِعَ صَغِيرًا وَرَوَى كَبِيرًا جَازَ فَقَدْ كَانَ سَمْعُ ابْنِ عباس وابن زبير قَبْلَ بُلُوغِهِمَا، فَقَبِلَ الْمُسْلِمُونَ أَخْبَارَهُمَا، وَلَا يَصِحُّ لِلْمُخْبِرِ أَنْ يَرْوِيَ إِلَّا بَعْدَ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَسْمَعَ لَفْظَ مَنْ أَخْبَرَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَقْرَأَ عَلَيْهِ فَيَعْتَرِفَ بِهِ، وَإِمَّا بِالْإِجَازَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُرْوَى عَنْهُ، وَمِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ مَنْ أَجَازَ الرِّوَايَةَ بِالْإِجَازَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنْ كَانَتِ الْإِجَازَةُ بِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ جَازَ أَنْ يَرْوِيَهُ وَإِنْ كَانَتْ عامة لم يجز. وهو يروي كتبا في السنن، أو يقول: أجزت لمحمد بن خالد الدمشقي، وهناك جماعة مشتركون هذا الاسم.
Adapun anak kecil, maka khabarnya tidak diterima; karena ucapannya tidak menetapkan hukum. Namun, jika ia mendengarnya saat masih kecil dan meriwayatkannya ketika telah dewasa, maka hal itu diperbolehkan. Telah diketahui bahwa Ibn ʿAbbās dan Ibn al-Zubayr mendengar (ḥadīṡ) sebelum mereka baligh, dan kaum Muslimin menerima riwayat keduanya.
Tidak sah bagi seorang perawi untuk meriwayatkan kecuali setelah salah satu dari dua hal: mendengar langsung lafaz dari orang yang mengabarkannya, atau membacakannya kepada orang tersebut dan dia mengakuinya. Adapun dengan ijāzah, maka tidak boleh meriwayatkan darinya.
Sebagian ahli hadits membolehkan riwayat dengan ijāzah, dan sebagian lainnya berkata: jika ijāzah itu untuk sesuatu yang ditentukan, maka boleh meriwayatkannya; tetapi jika umum, maka tidak boleh.
Misalnya, ia meriwayatkan kitab-kitab dalam masalah sunan, atau berkata: “Aku memberikan ijāzah kepada Muḥammad bin Khālid al-Dimasyqī,” padahal ada banyak orang yang memiliki nama yang sama.
وَقَالَ آخَرُونَ: إِنْ دَفَعَ الْمُحَدِّثُ الْكِتَابَ مِنْ يَدِهِ، وَقَالَ: قَدْ أَجَزْتُكَ هَذَا جَازَ أَنْ يَرْوِيَهُ وَإِنْ لَمْ يَدْفَعْهُ إِلَيْهِ مِنْ يَدِهِ لَمْ يَجُزْ، وَكُلُّ هَذَا عِنْدَ الْفُقَهَاءِ غَلَطٌ لَا يَجُوزُ الْأَخْذُ بِهِ وَلَا الْعَمَلُ عَلَيْهِ إلا أن يقويه الْمُحَدِّثُ، أَوْ يَقْرَأَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ مَا فِي الْكِتَابِ مَجْهُولٌ قَدْ يَكُونُ فِيهِ الصَّحِيحُ وَالْفَاسِدُ
Sebagian yang lain berkata: jika seorang muḥaddits menyerahkan kitab dengan tangannya sendiri dan berkata, “Aku mengijazahkan ini kepadamu,” maka boleh meriwayatkannya. Namun, jika tidak diserahkan langsung oleh tangannya, maka tidak boleh. Semua ini menurut para fuqahā adalah kekeliruan yang tidak boleh diikuti dan diamalkan, kecuali jika dikuatkan oleh muḥaddits atau dibacakan di hadapannya. Sebab, apa yang terdapat dalam kitab adalah majhūl; bisa jadi di dalamnya terdapat yang ṣaḥīḥ maupun yang fāsid.
ولو صحت الإجازة لبطلت الرحلة، ولا يستغني النَّاسُ بِهَا عَنِ الطَّلَبِ وَمُعَانَاةِ السَّمَاعِ، فَإِذَا سَمِعَ عَلَى الْوَجْهَيْنِ الَّذِي ذَكَرْنَا وَكَتَبَهُ جَازَ أَنْ يَرْوِيَهُ مِنْ كِتَابِهِ إِذَا وَثِقَ بِهِ، وَعَرَفَ خَطَّهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَافِظًا لِمَا يَرْوِيهِ، وَلَا ذَاكِرًا لَهُ
Seandainya ijāzah itu sah, maka sia-sialah perjalanan (untuk menuntut ilmu), dan manusia tidak akan lagi memerlukan pencarian dan jerih payah dalam mendengarkan (ḥadīṡ). Apabila ia telah mendengarnya dengan dua cara yang telah kami sebutkan, lalu menulisnya, maka boleh baginya meriwayatkannya dari kitabnya sendiri apabila ia terpercaya dan mengenali tulisannya, meskipun ia tidak menghafal atau tidak mengingat isi yang diriwayatkannya.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَجُوزُ أَنْ يَرْوِيَ عَنْ خَطِّهِ، وَإِنْ عَرَفَهُ إِلَّا أَنْ يَذْكُرَهُ وَيَحْفَظَهُ، كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ نَشْهَدَ بِمَعْرِفَةِ خَطِّهِ حَتَّى يَذْكُرَ مَا نَشْهَدُ بِهِ، وَهَذَا فَاسِدٌ بِالْأَثَرِ الْمَعْمُولِ عَلَيْهِ وَالِاعْتِبَارِ الْمَأْخُوذِ بِهِ
Abū Ḥanīfah berkata: tidak boleh meriwayatkan dari tulisannya sendiri, meskipun ia mengenalinya, kecuali bila ia mengingatnya dan menghafalnya; sebagaimana tidak boleh memberi kesaksian atas tulisan seseorang sampai ia menyebutkan apa yang menjadi isi kesaksiannya. Ini adalah pendapat yang rusak, baik ditinjau dari atsar yang diamalkan maupun dari pertimbangan yang menjadi pegangan.
فَالْأَثَرُ مَا عَمِلَ عليه المسلمون فِيمَا أَخَذُوهُ مِنْ أَحْكَامِهِمْ، مِنْ كُتُبِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْهَا كِتَابُهُ إِلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَمِنْهَا الصَّحِيفَةُ الَّتِي أَخَذَهَا أَبُو بَكْرٍ مِنْ قِرَابِ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في نصف الزكاة فلما جاز ذلك في الْأَحْكَامُ، وَإِنْ لَمْ يَجُزْ فِي الشَّهَادَةِ جَازَ أن يعمل عليه فيما رواه على خطه وإن لم يجز أن نشهد بِخَطِّهِ.
Anas meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Seandainya tidak boleh kembali kepada tulisan ketika lupa, niscaya tidak ada faidah dari mengikatnya dengan tulisan. Dan kaum Muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, senantiasa mendengarkan (ḥadīṡ) dari orang yang meriwayatkan dari kitabnya tanpa mengingkarinya dan tidak pula menghindari untuk mendengarnya. Maka hal itu menjadi ijmāʿ dari mereka.
وَرَوَى أَنَسٌ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ ” فَلَوْلَا أَنَّ الرُّجُوعَ إِلَيْهِ عِنْدَ النِّسْيَانِ جَائِزٌ لَمْ يَكُنْ لِتَقْيِيدِهِ بِالْخَطِّ فَائِدَةٌ، وَلِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ لَمْ يَزَالُوا عَلَى قَدِيمِ الزَّمَانِ وَحُدُوثِهِ يَسْمَعُونَ عَمَّنْ حَدَّثَ مِنْ كِتَابِهِ فَلَا يُنْكِرُونَهُ، وَلَا يَجْتَنِبُونَ سَمَاعَهُ فَصَارَ ذَلِكَ مِنْهُمْ إِجْمَاعًا
Adapun atsar, maka kaum Muslimin telah mengamalkan apa yang mereka ambil dari hukum-hukum yang bersumber dari kitab-kitab Rasulullah; di antaranya adalah surat beliau kepada ʿAmr bin Ḥazm, dan juga ṣaḥīfah yang diambil Abū Bakr dari sarung pedang Rasulullah mengenai setengah dari zakat. Maka, ketika hal itu diperbolehkan dalam hukum-hukum, meskipun tidak diperbolehkan dalam persaksian, maka boleh pula diamalkan dalam riwayat dari tulisannya, meskipun tidak boleh dijadikan dasar untuk bersaksi atasnya.
وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَرْوِيَ عَنْ سَمَاعِ صَوْتِ الْمُحَدِّثِ، وَإِنْ لَمْ يره لرحمه أَوْ لِذَهَابِ بَصَرِهِ بِخِلَافِ الشَّهَادَةِ جَازَ أَنْ يَرْوِيَ مِنْ خَطِّهِ الْمَوْثُوقِ بِهِ بِخِلَافِ الشَّهَادَةِ.
Karena jika boleh meriwayatkan dari suara muḥaddits yang didengar meskipun tidak melihat orangnya, baik karena jauh hubungan atau karena kehilangan penglihatan—berbeda dengan persaksian—maka boleh pula meriwayatkan dari tulisannya yang terpercaya—berbeda dengan persaksian.
فصل: الصنف الثالث
وَأَمَّا الصِّنْفُ الثَّالِثُ وَهُمُ الْمُجْمِعُونَ عَلَى حُكْمٍ فَتَقْلِيدُهُمْ عَلَى مَا أَجْمَعُوا عَلَيْهِ وَاجِبٌ، وَفَرْضُ الِاجْتِهَادِ عَنَّا فِيهِ سَاقِطٌ، لِكَوْنِ الْإِجْمَاعِ حُجَّةً لَا يَجُوزُ خِلَافُهَا وَلَا وَجْهَ لِمَا قَالَهُ النَّظَّامُ وَذَهَبَ إِلَيْهِ الْخَوَارِجُ مِنْ إِبْطَالِ الْإِجْمَاعِ وَإِسْقَاطِ الِاحْتِجَاجِ بِهِ، اسْتِدْلَالًا بِتَجْوِيزِ الْخَطَأِ عَلَى جَمِيعِ الصَّحَابَةِ إِلَّا وَاحِدًا وَهُوَ عَلَى الْآخَرِ لجوز
Fasal: Golongan Ketiga
Adapun golongan ketiga, yaitu orang-orang yang berijmāʿ atas suatu hukum, maka taklid kepada mereka dalam apa yang mereka sepakati adalah wajib, dan kewajiban berijtihad dari pihak kita gugur dalam hal tersebut, karena ijmāʿ adalah hujjah yang tidak boleh diselisihi.
Tidak ada dasar bagi pendapat yang dikatakan oleh al-Naẓẓām dan dianut oleh kaum Khawārij yang membatalkan ijmāʿ dan menolak berhujah dengannya, dengan alasan kemungkinan terjadinya kesalahan pada seluruh sahabat kecuali satu orang, dan hal itu juga bisa terjadi pada yang satu terhadap yang lain.
فلما كان خلاف الجميع إلا واحد جَازَ خِلَافُهُمْ مَعَ الْوَاحِدِ لِأَنَّ هَذِهِ شُبْهَةٌ فَاسِدَةٌ يُبْطِلُهَا النَّصُّ وَيُفْسِدُهَا الدَّلِيلُ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء: 115] . فَتَوَعَّدَ عَلَى اتِّبَاعِ غَيْرِ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ جَوَّزَ خِلَافَ الْإِجْمَاعِ فَقَدِ اتَّبَعَ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
Maka ketika menyelisihi seluruh sahabat kecuali satu orang dianggap boleh, maka menyelisihi mereka bersama satu orang pun dianggap boleh. Ini adalah syubhat yang rusak, yang dibatalkan oleh naṣ dan dirusak oleh dalil. Allah Taʿālā berfirman:
{Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia bersama apa yang dipilihnya, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali} (an-Nisā’: 115).
Maka Allah mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin. Dan siapa yang membolehkan menyelisihi ijmāʿ, sungguh ia telah mengikuti selain jalan kaum mukminin.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ ” ومن أبطل الإجماع جعلهم مجتمعين على ضلال، وَلِأَنَّ الْإِجْمَاعَ مِنَ الْكَافَّةِ مَعَ اخْتِلَافِ أَغْرَاضِهِمْ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ إِلَّا عَنْ دَلِيلٍ يُوجِبُ اتِّفَاقَهُمْ، وَلَا يَخْلُو ذَلِكَ الدَّلِيلُ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَقْطُوعًا بِهِ، أَوْ غَيْرَ مَقْطُوعٍ، فَإِنْ كَانَ مَقْطُوعًا بِهِ لَمْ يَجُزْ خِلَافُهُ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَقْطُوعٍ بِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُهُ إِلَّا بِمَا هُوَ أَظْهَرُ مِنْهُ، وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَنْ وَصَلَ إِلَى الْأَخْفَى كَانَ وُصُولُهُ إِلَى الْأَظْهَرِ أَوْلَى. وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَخْفَى عَلَى الْكَافَّةِ دَلِيلٌ ظَاهِرٌ، وَيَكُونُ الْوَاحِدُ بِهِ ظَافِرًا.
Dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” Maka barang siapa yang membatalkan ijmāʿ, berarti ia menganggap mereka telah sepakat dalam kesesatan.
Dan karena ijmāʿ itu berasal dari seluruh kalangan—padahal tujuan mereka beragam—maka tidak mungkin terjadi kecuali karena adanya dalil yang mewajibkan mereka untuk sepakat. Dalil itu tidak lepas dari dua keadaan: bisa jadi dalil itu qat‘ī, atau tidak qat‘ī. Jika dalilnya qat‘ī, maka tidak boleh menyelisihinya. Dan jika tidak qat‘ī, maka tidak boleh meninggalkannya kecuali karena dalil yang lebih jelas darinya.
Dan hal itu tidak mungkin terjadi karena dua alasan:
Pertama, bahwa siapa yang sampai kepada dalil yang lebih samar, maka seharusnya lebih memungkinkan baginya untuk sampai pada yang lebih jelas.
Kedua, bahwa tidak mungkin dalil yang jelas tersembunyi dari seluruh kalangan, lalu hanya satu orang saja yang berhasil mengetahuinya.
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْإِجْمَاعَ حُجَّةٌ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا مَا عُلِمَ مِنْ دِينِ الرَّسُولِ ضَرُورَةً كَوُجُوبِ الصَّلَاةِ، وَالصِّيَامِ، وَالزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَتَحْرِيمِ الرِّبَا، وَشُرْبِ الْخَمْرِ، فَهَذَا يَجِبُ الِانْقِيَادُ إِلَيْهِ مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ الْإِجْمَاعِ فِيهِ، لِأَنَّ مَا عُلِمَ حُكْمُهُ ضَرُورَةً لَوْ صُوِّرَ أَنَّ الْأُمَّةَ خَالَفَتْهُ لَكَانُوا مَحْجُوبِينَ بِهِ فَصَارَ حُكْمُهُ ثَابِتًا بِغَيْرِ الْإِجْمَاعِ لِكَوْنِهِ حُجَّةً عَلَى الْإِجْمَاعِ.
Maka apabila telah tetap bahwa ijmāʿ adalah hujjah, maka ia terbagi menjadi dua jenis:
Pertama, hal-hal yang diketahui dari agama Rasul secara darurat, seperti kewajiban salat, puasa, zakat, haji, serta keharaman riba dan minum khamar. Maka yang seperti ini wajib ditaati tanpa mempertimbangkan adanya ijmāʿ di dalamnya, karena perkara yang hukumnya telah diketahui secara darurat, seandainya dibayangkan bahwa umat menyelisihinya sekalipun, niscaya mereka tertolak olehnya. Maka hukumnya tetap bukan karena ijmāʿ, tetapi karena ia sendiri menjadi hujjah atas ijmāʿ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا لَمْ يُعْلَمْ مِنْ ضَرُورَةٍ وَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: مَا اشْتَرَكَ فِيهِ الْخَاصَّةُ وَالْعَامَّةُ فِي مَعْرِفَةِ حُكْمِهِ كَأَعْدَادِ الرَّكَعَاتِ، وَمَوَاقِيتِ الصَّلَوَاتِ، وَسَتْرِ الْعَوْرَةِ، وَتَحْرِيمِ بِنْتِ الْبِنْتِ، كَالْبِنْتِ، وَإِحْلَالِ بِنْتِ الْعَمِّ، بِخِلَافِ الْعَمَّةِ، فَهَذَا يُعْتَبَرُ فِيهِ إِجْمَاعُ الْعُلَمَاءِ
Dan jenis yang kedua: yaitu yang tidak diketahui secara darurat, dan hal itu terbagi menjadi dua jenis: pertama, yang diketahui hukumnya secara bersama-sama oleh kalangan khusus dan awam, seperti jumlah rakaat, waktu-waktu salat, menutup aurat, haramnya anak perempuan dari anak perempuan sebagaimana anak perempuan, dan halalnya anak perempuan dari paman, berbeda dengan bibi. Maka dalam hal ini dipertimbangkan ijmak para ulama.
وَهَلْ يَكُونُ إِجْمَاعُ الْعَامَّةِ مَعَهُمْ مُعْتَبَرًا فِيهِ؟ لَوْلَا وَفَاقُهُمْ عَلَيْهِ مَا ثَبَتَ إِجْمَاعًا عَلَى وَجْهَيْنِ لِأَصْحَابِنَا. أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِجْمَاعَهُمْ مُعْتَبَرٌ فِي انْعِقَادِهِ وَلَوْلَاهُ مَا ثَبَتَ إِجْمَاعًا لِاشْتِرَاكِهِمْ وَالْعُلَمَاءَ فِي الْعِلْمِ بِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ إِجْمَاعَهُمْ فِيهِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ وَهُوَ مُنْعَقِدٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ دُونَهُمْ، لِأَنَّ الْإِجْمَاعَ إِنَّمَا يَصِحُّ إِذَا وَقَعَ عَنْ نَظَرٍ وَاجْتِهَادٍ، وَلَيْسَ الْعَامَّةُ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فَلَمْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ الْإِجْمَاعِ، وَلِأَنَّ الْإِجْمَاعَ يَكُونُ مُعْتَبَرًا بِمَنْ يَكُونُ خِلَافُهُ مُؤَثِّرًا وَخِلَافُ الْعَامَّةِ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ، فَكَانَ إِجْمَاعُهُمْ غَيْرَ مُعْتَبَرٍ.
Dan apakah ijmak orang-orang awam bersama para ulama dalam hal ini dianggap sah? Seandainya bukan karena kesesuaian mereka atasnya, niscaya tidak akan tetap sebagai ijmak. Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan sahabat kami:
Pertama, bahwa ijmak mereka dianggap dalam pembentukan ijmak tersebut, dan kalau bukan karena mereka, tidaklah tetap sebagai ijmak, karena mereka dan para ulama sama-sama mengetahui hal itu.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa ijmak mereka tidak dianggap, dan ijmak itu tetap sah dengan ijmak para ulama tanpa mereka. Karena ijmak itu hanya sah jika berdasarkan penelitian dan ijtihad, sedangkan orang-orang awam bukan termasuk ahli ijtihad, maka mereka tidak termasuk golongan yang sah untuk ijmak. Dan karena ijmak dianggap dari orang yang perselisihannya berpengaruh, sedangkan perselisihan orang awam tidak berpengaruh, maka ijmak mereka tidak dianggap.
والضرب الثالث: ما اختص بالعلماء بِمَعْرِفَةِ حُكْمِهِ دُونَ الْعَامَّةِ كَنَصْبِ الزَّكَاةِ، وَتَحْرِيمِ المرأة على خالتها وعمتها، وَإِبْطَالِ الْوَصِيَّةِ لِلْوَارِثِ، فَالْمُعْتَبَرُ فِيهِ إِجْمَاعُ الْعُلَمَاءِ من أهل الاجتهاد والفتيات دُونَ الْعَامَّةِ
Dan jenis yang ketiga: yaitu perkara yang khusus diketahui hukumnya oleh para ulama tanpa diketahui oleh orang-orang awam, seperti penetapan zakat, haramnya seorang perempuan atas bibi dari pihak ibu dan bibi dari pihak ayah, dan batalnya wasiat bagi ahli waris. Maka yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah ijmak para ulama dari kalangan ahli ijtihad dan para pemberi fatwa, bukan ijmak orang-orang awam.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُرَاعَى فِيهِ إجماع غير الفقهاء ومن الْمُتَكَلِّمِينَ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: يُرَاعَى إِجْمَاعُهُمْ فِيهِ وَيُؤَثِّرُ خِلَافُهُمْ، لِأَنَّهُمْ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ، وَلَهُمْ مَعْرِفَةٌ بِاعْتِبَارِ الْأُصُولِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ إِجْمَاعَ الْمُتَكَلِّمِينَ فِيهِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ وَخِلَافُهُمْ فِيهِ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ، لِأَنَّ الْفُقَهَاءَ أَقْوَمُ بِمَعْرِفَةِ الْأَحْكَامِ، وَأَكْثَرُ حِفْظًا لِلْفُرُوعِ، وَأَكْثَرُ ارْتِيَاضًا بِالْفِقْهِ
Dan para sahabat kami berselisih pendapat, apakah dalam hal ini dipertimbangkan ijmak selain para ahli fikih dari kalangan mutakallimin atau tidak? Ada dua pendapat:
Pertama, ijmak mereka dipertimbangkan dan perselisihan mereka berpengaruh, karena mereka termasuk ahli ijtihad dan memiliki pengetahuan dalam pertimbangan usul.
Pendapat kedua, bahwa ijmak para mutakallimin dalam hal ini tidak dipertimbangkan dan perselisihan mereka tidak berpengaruh, karena para ahli fikih lebih tepat dalam mengetahui hukum-hukum, lebih banyak hafalan terhadap cabang-cabang hukum, dan lebih banyak latihan dalam bidang fikih.
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ أَهْلَ الِاجْتِهَادِ مِنَ الْعُلَمَاءِ هُمُ الْمُعْتَبَرُونَ فِي انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ فَخَالَفَ مِنْهُمْ وَاحِدٌ لَمْ يَنْعَقِدِ الْإِجْمَاعُ، لِأَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ خَالَفَ الصَّحَابَةَ فِي مَسَائِلَ، وَلَمْ يَجْعَلُوا أَقْوَالَهُ حُجَّةً عَلَيْهِمْ، لِتَفَرُّدِهِ بِالْخِلَافِ فِيهِ، وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا هَلْ يَكُونُ خِلَافُ الْوَاحِدِ مَانِعًا مِنَ انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ مَشْرُوطًا بِعَدَمِ الْإِنْكَارِ أَبَدًا؟ فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: إِنَّمَا يُمْنَعُ خِلَافُ الْوَاحِدِ إِنْ أَنْكَرَهُ مِنَ انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنَ الْبَاقِينَ إنكار، فيكون ترك التكبير مِنْهُمْ دَلِيلًا عَلَى جَوَازِ الْخِلَافِ فِيهِمْ، فَأَمَّا مَنْ أَنْكَرُوهُ عَلَيْهِ كَانَ مَحْجُوبًا بِهِمْ.
Maka apabila telah tetap bahwa para ulama yang ahli ijtihad adalah pihak yang dipertimbangkan dalam terbentuknya ijmak, lalu salah satu dari mereka menyelisihi, maka ijmak tidak sah, karena Ibn Abbas menyelisihi para sahabat dalam beberapa masalah, dan mereka tidak menjadikan pendapatnya sebagai hujjah atas mereka, karena ia menyendiri dalam perbedaan itu.
Namun, mereka berselisih: apakah perselisihan satu orang dapat mencegah terbentuknya ijmak dengan syarat tidak adanya pengingkaran sama sekali?
Maka suatu kelompok berkata: perselisihan satu orang hanya dapat mencegah terbentuknya ijmak jika tidak ada pengingkaran dari yang lain; apabila tidak tampak pengingkaran dari yang lainnya, maka diamnya mereka menjadi dalil bolehnya perbedaan pendapat di antara mereka. Adapun jika mereka mengingkarinya, maka ia tertolak dengan pengingkaran mereka.
وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ قَدِ ارْتَفَعَ الْإِجْمَاعُ بِخِلَافِ الْوَاحِدِ سَوَاءٌ أَنْكَرُوا قَوْلَهُ عَلَيْهِ، أَوْ لَمْ يُنْكِرُوهُ، لأن ممن شهد لله بِالْحَقِّ، وَلِأَنَّ قَوْلَ الْأَقَلِّ غَيْرُ مَحْجُوجٍ بِالْأَكْثَرِ، كَذَلِكَ قَوْلُ الْوَاحِدِ وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ مَنْ جَعَلَ قَوْلَ الْأَكْثَرِ أَوْلَى بِالْحَقِّ مِنْ قَوْلِ الْأَقَلِّ
Dan kelompok lain berkata: bahkan ijmak telah gugur dengan adanya perselisihan satu orang, baik mereka mengingkari pendapatnya atau tidak, karena dia termasuk orang yang bersaksi kepada Allah atas kebenaran. Dan karena pendapat yang lebih sedikit tidak tertolak oleh yang lebih banyak, demikian pula pendapat satu orang. Meskipun ada di antara mereka yang menganggap bahwa pendapat mayoritas lebih layak untuk dianggap benar dibandingkan pendapat minoritas.
وَهَكَذَا لَوْ أَجْمَعُوا ثُمَّ رَجَعَ أَحَدُهُمْ بَطَلَ الْإِجْمَاعُ، لِأَنَّ الْإِجْمَاعَ مِنْ أَهْلِ الْعَصْرِ حُجَّةٌ عَلَى غَيْرِهِمْ، وَلَيْسَ بِحُجَّةٍ عَلَيْهِمْ.
Demikian pula, jika mereka telah berijmak lalu salah seorang dari mereka menarik kembali pendapatnya, maka batal ijmak tersebut. Karena ijmak dari ahli satu masa menjadi hujjah atas selain mereka, namun bukan hujjah atas mereka sendiri.
ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ إِجْمَاعَ كُلِّ عَصْرٍ حُجَّةٌ، وَخَصَّ أَهْلُ الظَّاهِرِ الْإِجْمَاعَ بَعْدَ الصَّحَابَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ كُلَّ عَصْرٍ حُجَّةٌ عَلَى مَنْ بَعْدَهُمْ فَلَوْ جَازَ عَلَيْهِمُ الْخَطَأُ فِيمَا أَجْمَعُوا حَتَّى لَا يَنْعَقِدَ الْإِجْمَاعُ بِهِ لَبَطَلَ التَّبْلِيغُ وَلَمَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ كُلُّ عَصْرٍ حُجَّةً عَلَى مَنْ بَعْدَهُمْ فَعَلَى هَذَا لَوِ اخْتَلَفَ الصَّحَابَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ فِي حَادِثَةٍ أَجْمَعَ التَّابِعُونَ فِيهَا عَلَى أَحَدِهِمَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَنْعَقِدُ الْإِجْمَاعُ بِهِمْ بَعْدَ خِلَافِ الصَّحَابَةِ قَبْلَهُمْ
فَذَهَبَ أَبُو الْعَبَّاسِ ابْنُ سُرَيْجٍ وَكَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ الْإِجْمَاعَ قَدِ انْعَقَدَ، وَالْخِلَافَ الْمُتَقَدِّمَ قَدِ ارْتَفَعَ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ إِجْمَاعُ الْعَصْرِ الثَّانِي حُجَّةً مَعَ عَدَمِ الْخِلَافِ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُجَّةً مَعَ وُجُودِ الْخِلَافِ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ لِأَنَّ مَا كَانَ حُجَّةً لَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَعْصَارِ
Kemudian ketahuilah bahwa ijmak setiap masa adalah hujjah. Kalangan Ahluzh-Zhahir mengkhususkan ijmak hanya setelah masa sahabat, dan ini adalah kesalahan. Sebab setiap masa merupakan hujjah atas generasi sesudahnya. Maka seandainya mereka boleh salah dalam perkara yang mereka sepakati sehingga ijmak tidak sah dengannya, niscaya batal penyampaian (ajaran), dan tidaklah wajib bahwa setiap masa menjadi hujjah atas generasi setelahnya.
Berdasarkan hal ini, jika para sahabat berselisih menjadi dua pendapat dalam suatu peristiwa, lalu para tabi’in berijmak atas salah satunya, maka para sahabat kami berselisih: apakah ijmak bisa terbentuk setelah adanya perselisihan sahabat sebelumnya?
وَذَهَبَ أَبُو بَكْرٍ الصَّيْرَفِيُّ وَطَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ حُكْمَ الْخِلَافِ بَاقٍ، وَالْإِجْمَاعَ غَيْرُ مُنْعَقِدٍ، لِأَنَّ إِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ: إِجْمَاعٌ مِنْهُمْ عَلَى تَسْوِيغِ الْقَوْلِ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَوْلَيْنِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ إِجْمَاعُ التَّابِعِينَ مُبْطِلًا لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، وَلِأَنَّ الْإِجْمَاعَ الثَّانِيَ لَوْ رَفَعَ الْقَوْلَ الْآخَرَ، كَانَ نَسْخًا، وَلَا يَجُوزُ حُدُوثُ النَّسْخِ بَعْدَ ارْتِفَاعِ الْوَحْيِ
Dan Abu Bakar ash-Shairafi serta sekelompok sahabat Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukum perselisihan tetap ada, dan ijmak tidak terbentuk. Karena ijmak para sahabat atas dua pendapat adalah ijmak dari mereka atas kebolehan berpendapat dengan masing-masing dari dua pendapat tersebut. Maka tidak boleh ijmak para tabi’in membatalkan ijmak para sahabat. Dan karena jika ijmak yang kedua menghapus pendapat yang lain, berarti itu adalah nasakh, sedangkan tidak boleh terjadi nasakh setelah terputusnya wahyu.
وَعَلَى هَذَا لَوْ أَدْرَكَ أَحَدُ التَّابِعِينَ عَصْرَ الصَّحَابَةِ وَكَانَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فَخَالَفَهُمْ فِيمَا أَجْمَعُوا عَلَيْهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ ذَلِكَ مَانِعًا مِنَ انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ أَوْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ: أَحَدُهَا: أَنَّ الْإِجْمَاعَ مُنْعَقِدٌ، وَأَنَّ خِلَافَ التَّابِعِيِّ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ، لِأَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنْكَرَتْ عَلَى أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عبد الرحمن خلافه، لأن ابن عَبَّاسٍ فِي عِدَّةِ الْحَامِلِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا وقالت: أراك كالفروج يصفع مَعَ الدِّيَكَةِ.
Berdasarkan hal ini, jika salah seorang tabi’in mendapati masa sahabat dan ia termasuk ahli ijtihad, lalu ia menyelisihi mereka dalam perkara yang telah mereka sepakati, maka para sahabat kami berselisih pendapat: apakah hal itu menjadi penghalang bagi terbentuknya ijmak atau tidak? Ada tiga pendapat:
Pertama: bahwa ijmak telah terbentuk dan perselisihan tabi’in tidak berpengaruh. Karena Aisyah radhiyallahu ‘anha telah mengingkari Abu Salamah bin Abdurrahman atas pendapatnya yang menyelisihi Ibn Abbas dalam masalah masa iddah wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya, dan ia berkata: “Aku lihat engkau seperti ayam betina yang dipatuk ayam jantan.”
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِهِمْ أن خلافه معتد به، ومانع انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ دُونَهُ، لِأَنَّهُ قَدْ عَاصَرَ الصَّحَابَةَ كَثِيرٌ مِنَ التَّابِعِينَ فَكَانُوا يُفْتُونَ بِاجْتِهَادِهِمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلَيْهِمْ فَصَارُوا مَعَهُمْ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ وَلَوْلَا ذَلِكَ لَمَنَعُوهُمْ مِنَ الفتى خَوْفًا مِنَ الْفُتْيَا بِمَا يُخَالِفُهُمْ.
Dan pendapat kedua, yaitu pendapat mayoritas dari mereka, bahwa perselisihan tabi’in dianggap dan menjadi penghalang terbentuknya ijmak tanpa mereka. Karena banyak dari kalangan tabi’in hidup sezaman dengan para sahabat, dan mereka memberi fatwa berdasarkan ijtihad mereka tanpa ada pengingkaran dari para sahabat atas mereka. Maka mereka bersama para sahabat termasuk ahli ijtihad. Seandainya bukan karena hal itu, niscaya para sahabat akan melarang mereka memberi fatwa karena khawatir mereka berfatwa dengan sesuatu yang menyelisihi pendapat sahabat.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ إِنَّ التَّابِعِيَّ إِنْ كَانَ حِينَ أَدْرَكَهُمْ خَاضَ مَعَهُمْ فِيمَا اخْتَلَفُوا فيه أعيد بِخِلَافِهِ، وَلَمْ يَنْعَقِدِ الْإِجْمَاعُ دُونَهُ، وَإِنْ تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْدَ أَنْ سَبَقَ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ عَلَيْهِ لَمْ يُعْتَدَّ بِخِلَافِهِ.
Dan pendapat ketiga, yaitu pendapat sebagian ulama muta’akhkhirin: jika seorang tabi‘i ketika menjumpai para sahabat turut serta bersama mereka dalam perkara yang mereka perselisihkan, maka perselisihannya dianggap, dan ijmak tidak terbentuk tanpa dirinya. Namun jika ia berbicara dalam masalah itu setelah ijmak sahabat telah lebih dahulu terbentuk atasnya, maka perselisihannya tidak dianggap.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ يَكُونُ انقراض العصر شرطا في صحة الإجماع قبل الْإِجْمَاعُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِجْمَاعٌ عَنْ قَوْلٍ. وَالثَّانِي: إِجْمَاعٌ عَنِ انْتِشَارٍ وَإِمْسَاكٍ
Jika dikatakan: apakah punahnya suatu masa menjadi syarat bagi sahnya ijmak? Maka ijmak terbagi menjadi dua jenis: Pertama, ijmak berdasarkan ucapan. Kedua, ijmak berdasarkan tersebarnya pendapat dan diamnya (para ulama).
فَالْإِجْمَاعُ عَلَى الِانْتِشَارِ وَالْإِمْسَاكِ، لَا يَنْعَقِدُ إِلَّا بِانْقِرَاضِ الْعَصْرِ لِأَنَّ الْإِمْسَاكَ قَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ لِالْتِمَاسِ الدَّلِيلِ، وَيُحْتَمَلُ الْوِفَاقُ، فَإِذَا انْقَرَضُوا عَلَيْهِ زَالَ الاحتمال، ويثبت أنه إمساك وفاق
Adapun ijmak yang berdasarkan penyebaran dan diam, tidaklah sah kecuali setelah punahnya masa itu. Karena diam itu masih mungkin disebabkan karena sedang mencari dalil, dan juga mungkin karena kesesuaian. Maka apabila mereka telah punah dalam keadaan diam atas hal itu, hilanglah kemungkinan (ta’wil), dan tetaplah bahwa diam itu adalah karena kesesuaian.
ولكن اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْمَاسِكِينَ فِيهِ، هَلْ يُعْتَبَرُ فِي انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ بِهِمْ وُجُودُ الرِّضَى مِنْهُمْ وَالِاعْتِقَادِ
Namun para sahabat kami berselisih pendapat tentang orang-orang yang diam dalam ijmak tersebut: apakah dalam terbentuknya ijmak melalui mereka harus dipertimbangkan adanya keridaan dan keyakinan dari mereka
عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: يُعْتَبَرُ فِيهِ اعْتِقَادُهُمْ، لِأَنَّ بِالِاعْتِقَادِ يَثْبُتُ الْحُكْمُ. وَالثَّانِي: يُعْتَبَرُ فِيهِ الرِّضَى لِأَنَّ الِاعْتِقَادَ غَيْرُ مَوْصُولٍ إِلَيْهِ، وَالرِّضَى دَلِيلٌ عَلَيْهِ
Ada dua pendapat: Pertama: dipertimbangkan adanya keyakinan mereka, karena dengan keyakinan itulah hukum menjadi tetap. Kedua: dipertimbangkan adanya keridaan mereka, karena keyakinan tidak dapat dijangkau, sedangkan keridaan merupakan dalil atasnya.
وَأَمَّا الْإِجْمَاعُ عَنْ قَوْلٍ فَهُوَ أَوْكَدُ مِنْهُ، لِانْتِفَاءِ الِاحْتِمَالِ عَنْهُ
Adapun ijmak yang berdasarkan ucapan, maka ia lebih kuat daripada yang sebelumnya, karena tidak ada kemungkinan penakwilan padanya.
وَلَيْسَ انْقِرَاضُ الْعَصْرِ شَرْطًا فِي انْعِقَادِهِ، وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ انْقِرَاضَ الْعَصْرِ شَرْطٌ فِي انْعِقَادِهِ لِأَنَّ لِبَعْضِ الْمُجْمِعِينَ الرُّجُوعَ كَمَا رَجَعَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي بيع أمهات الأولاد، لو كَانَ مُنْعَقِدًا لَمَا جَازَ خِلَافُهُ
Dan punahnya suatu masa bukanlah syarat bagi terbentuknya ijmak. Namun sebagian sahabat kami berpendapat bahwa punahnya suatu masa adalah syarat bagi terbentuknya ijmak, karena sebagian dari orang-orang yang berijmak masih mungkin menarik kembali pendapatnya, sebagaimana Ali radhiyallahu ‘anhu pernah menarik kembali pendapatnya dalam jual beli ummahatul awlad. Seandainya ijmak telah terbentuk, niscaya tidak boleh ada yang menyelisihinya.
وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْإِجْمَاعَ إِنَّمَا يَنْعَقِدُ بِالنَّظَرِ وَالِاسْتِدْلَالِ، وَذَلِكَ مِمَّا يَبْطُلُ بِالْمَوْتِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ انْقِرَاضُ الْعَصْرِ شَرْطًا فِيهِ، لِأَنَّ الْمَوْتَ يُبْطِلُ مَا انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ بِهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ قَوْلُهُ حُجَّةً بَعْدَ مَوْتِهِ كَانَ قَوْلُهُ حُجَّةً فِي حَيَاتِهِ كَالنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ لِبَعْضِهِمُ الرُّجُوعُ، وَإِنْ كان الإجماع منعقد، لِأَنَّ إِجْمَاعَهُمْ لَيْسَ بِحُجَّةٍ عَلَيْهِمْ، وَإِنَّمَا هُوَ حجة على من بعدهم.
Pendapat ini adalah keliru, karena ijmak terbentuk melalui penelitian dan pengambilan dalil, dan hal itu menjadi batal dengan kematian. Maka tidak sah menjadikan punahnya masa sebagai syarat terbentuknya ijmak, karena kematian membatalkan apa yang menjadi dasar ijmak itu. Dan karena setiap orang yang ucapannya menjadi hujjah setelah ia wafat, maka ucapannya juga menjadi hujjah semasa hidupnya, seperti Nabi. Dan tidak terlarang bahwa sebagian dari mereka boleh menarik kembali pendapatnya meskipun ijmak telah terbentuk, karena ijmak mereka bukan hujjah atas mereka sendiri, melainkan hanya hujjah atas generasi sesudah mereka.
فصل: الصنف الرابع
فَأَمَّا الصِّنْفُ الرَّابِعُ وَهُمُ الصَّحَابَةُ فَتَقْلِيدُهُمْ يَخْتَلِفُ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ فِيمَا قَالُوهُ وَلَهُمْ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ
Fasal: Golongan Keempat
Adapun golongan keempat, yaitu para sahabat, maka taklid kepada mereka berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mereka dalam apa yang mereka ucapkan. Dan mereka memiliki empat keadaan
أَحَدُهَا: أَنْ يُجْمِعُوا عَلَى الشَّيْءِ قَوْلًا، وَيَتَّفِقُوا لَفْظًا، فَهَذَا إِجْمَاعٌ لَا يَجُوزُ خِلَافُهُ، وَتَقْلِيدُهُمْ فِيهِ وَاجِبٌ، وَالْمَصِيرُ إِلَى قَوْلِهِمْ فِيهِ لَازِمٌ
Pertama: bahwa mereka berijmak atas suatu perkara secara ucapan dan sepakat dalam lafaz, maka ini adalah ijmak yang tidak boleh diselisihi, dan taklid kepada mereka dalam hal ini wajib, serta mengikuti pendapat mereka di dalamnya adalah keharusan.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَقُولَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ قَوْلًا، وَيَنْتَشِرَ فِي جَمِيعِهِمْ وَهُمْ مِنْ بَيْنِ قَائِلٍ بِهِ، وَسَاكِتٍ عَلَى الْخِلَافِ فِيهِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَظْهَرَ الرِّضَى مِنَ الساكت عما ظهر النطق مِنَ الْقَائِلِ، فَهَذَا إِجْمَاعٌ لَا يَجُوزُ خِلَافُهُ، لِأَنَّ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ نُطْقٌ مَوْجُودٌ فِي رضاء السَّاكِتِ. وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَظْهَرَ مِنَ السَّاكِتِ الرِّضَى وَلَا الْكَرَاهَةُ، فَهُوَ حُجَّةٌ، لِأَنَّهُمْ لَوْ عَلِمُوا خِلَافَهُ لَمْ يَسَعْهُمُ الْإِقْرَارُ عَلَيْهِ وَهَلْ يَكُونُ إِجْمَاعًا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: أحدهما: يكون إجماعا، لأنه كَانَ فِيهِمْ مُخَالِفٌ لَبَعَثَتْهُ الدَّوَاعِي عَلَى إِظْهَارِ خِلَافِهِ، لِأَنَّ كَتْمَ الشَّرِيعَةِ يَنْتَفِي عِنْدَهُمْ، فَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا يَكُونُ إِجْمَاعًا، قَالَ الشَّافِعِيُّ: مَنْ نَسَبَ إِلَى سَاكِتٍ كَلَامًا فَقَدْ كَذَبَ عَلَيْهِ، وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَقُولُ: إِنْ كَانَ مَا قَالَهُ الْوَاحِدُ فِيهِمْ حُكْمًا حَكَمَ بِهِ كَانَ انْتِشَارُهُ فِيهِمْ وَسُكُوتُهُمْ عَنِ الْخِلَافِ فِيهِ إجماعا وإن كان فينا لَمْ يَكُنْ إِجْمَاعًا، لِأَنَّ الْحُكْمَ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ إِلَّا عَنْ مَشُورَةٍ وَمُطَالَعَةٍ وَبُعْدِ نَظَرٍ وَمُبَاحَثَةٍ، وَإِنْ كَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولُ بضد هذا، إن كان فينا إِجْمَاعًا، وَإِنْ كَانَ حُكْمًا لَمْ يَكُنْ إِجْمَاعًا، لِأَنَّ الْحُكْمَ لَازِمٌ لَا يَجُوزُ اعْتِرَاضُ السَّاكِتِينَ فِيهِ، لِمَا فِيهِ مِنْ إِظْهَارِ الْمُبَايَنَةِ وَالْفُتْيَا غَيْرُ لَازِمَةٍ، وَلَيْسَ الْمُخَالَفَةُ فِيهَا مُبَايَنَةً، وَكَانَ السُّكُوتُ دَلِيلًا عَلَى رِضًى وَمُوَافَقَةٍ
Keadaan kedua: salah seorang dari mereka mengucapkan suatu pendapat, lalu pendapat itu tersebar di tengah-tengah mereka, dan mereka terbagi antara yang menyetujui serta yang diam tanpa menunjukkan penolakan. Maka hal ini terbagi menjadi dua:
Pertama: jika tampak adanya keridaan dari yang diam terhadap apa yang diucapkan oleh yang berbicara, maka ini adalah ijmak yang tidak boleh diselisihi, karena terdapat petunjuk yang menunjukkan bahwa diamnya menunjukkan keridaan.
Kedua: jika tidak tampak dari yang diam itu keridaan maupun ketidaksukaan, maka hal itu adalah hujjah, karena seandainya mereka mengetahui kebalikannya, niscaya mereka tidak akan membiarkannya. Apakah ini termasuk ijmak atau tidak? Ada dua pendapat:
Pertama: itu adalah ijmak, karena jika ada di antara mereka yang menyelisihi, tentu dorongan untuk menampakkan perselisihan itu akan muncul, sebab menyembunyikan syariat tidak mungkin terjadi di kalangan mereka.
Pendapat kedua: itu bukan ijmak. Imam Syafi’i berkata, “Barang siapa menisbatkan ucapan kepada orang yang diam, maka ia telah berdusta atasnya.”
Abu Ishaq al-Marwazi berkata: jika yang diucapkan oleh satu orang di antara mereka merupakan suatu keputusan hukum yang ia tetapkan, maka tersebarnya pendapat itu di tengah-tengah mereka dan diamnya mereka dari menyelisihinya adalah ijmak. Namun jika hal itu terjadi di tengah-tengah kita, maka itu bukan ijmak. Karena hukum di kalangan mereka tidak muncul kecuali dari musyawarah, peninjauan, ketelitian, dan pembahasan.
Sedangkan Abu ‘Ali Ibn Abi Hurairah berpendapat sebaliknya: jika hal itu terjadi di tengah-tengah kita maka itu adalah ijmak, tetapi jika itu adalah hukum maka bukan ijmak, karena hukum itu bersifat mengikat dan tidak boleh dibantah oleh orang yang diam, sebab di dalamnya terkandung sikap menampakkan perbedaan. Sedangkan fatwa tidak bersifat mengikat, dan menyelisihinya tidak dianggap sebagai perbedaan nyata, sehingga diam dianggap sebagai tanda keridaan dan kesesuaian.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَقُولَ الْوَاحِدُ مِنْهُمْ قَوْلًا لَا يُعْلَمُ انْتِشَارُهُ وَلَا يَظْهَرُ مِنْهُمْ خِلَافُهُ فَلَا يَكُونُ إِجْمَاعًا، وَهَلْ يَكُونُ حُجَّةً يَلْزَمُ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وأبي حنيفة إِنَّهُ حُجَّةٌ يَلْزَمُ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” أَصْحَابِي كَالنُّجُومِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمُ اهْتَدَيْتُمْ ” وَلِأَنَّ الصَّحَابَةَ قَدْ كَانَ بَعْضُهُمْ يَأْخُذُ بِقَوْلٍ، مِنْ غَيْرِ طَلَبِ دَلِيلٍ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ قَوْلَ آحَادِهِمْ حُجَّةٌ
Keadaan ketiga: salah seorang dari mereka mengucapkan suatu pendapat yang tidak diketahui telah tersebar, dan tidak tampak adanya penolakan dari sahabat lain terhadapnya. Maka hal ini tidak dianggap sebagai ijmak.
Lalu, apakah pendapat itu merupakan hujjah yang wajib diikuti atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, sebagaimana yang disebutkan dalam pendapat lama (qaul qadim) Imam Syafi‘i, dan merupakan mazhab Malik dan Abu Hanifah: bahwa itu adalah hujjah yang wajib diikuti. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang; siapa saja di antara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Dan karena para sahabat dahulu ada yang mengambil pendapat sebagian dari mereka tanpa meminta dalil, maka hal itu menunjukkan bahwa pendapat salah seorang dari mereka adalah hujjah.
فَعَلَى هَذَا هَلْ يَجُوزُ أن يختص به العموم الكتاب والسنة أولا؟ على وجهين: أحدهما: يجوز لأن عموم يَخْتَصُّ بِقِيَاسٍ مُحْتَمَلٍ وَقَوْلُهُ أَقْوَى مِنَ الْقِيَاسِ الْمُحْتَمَلِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ تَخْصِيصُ الْعُمُومِ بِهِ، لِأَنَّ الصَّحَابَةَ قَدْ كَانُوا يَتْرُكُونَ أَقْوَالَهُمْ لِعُمُومِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
Berdasarkan hal ini, apakah boleh mengkhususkan keumuman Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pendapat sahabat atau tidak? Terdapat dua pendapat: Pertama: boleh, karena keumuman dapat dikhususkan dengan qiyas yang masih mungkin (diperdebatkan), sedangkan pendapat sahabat lebih kuat daripada qiyas yang masih mungkin. Kedua: tidak boleh mengkhususkan keumuman dengannya, karena para sahabat dahulu meninggalkan pendapat mereka karena keumuman Al-Kitab dan As-Sunnah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ قَوْلَ الصَّحَابِيِّ مِنْ غَيْرِ انْتِشَارٍ لَيْسَ بِحُجَّةٍ، وَيَجُوزُ لِلتَّابِعِيِّ خِلَافُهُ، لِأَنَّ الْمُجْتَهِدَ لَا يَلْزَمُهُ قَبُولُ قَوْلِ الْمُجْتَهِدِ، وَلِأَنَّ الْقِيَاسَ حجة علينا وعلى الصحابي، وليس قول الواحد حجة على جميع الصحابة، فَعَلَى هَذَا إِنْ وَافَقَ قَوْلُ الصَّحَابِيِّ قِيَاسَ التَّقْرِيبِ فَهَلْ يَكُونُ أَوْلَى مِنْ قِيَاسِ الْمَعْنَى بِانْفِرَادِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ قِيَاسَ الْمَعْنَى بِانْفِرَادِهِ أَوْلَى لِأَنَّ بِانْفِرَادِهِ حُجَّةً. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ قَوْلَ الصَّحَابِيِّ مَعَ مُوَافَقَةِ قِيَاسِ النَّصِّ أَوْلَى مِنْ قِيَاسِ الْمَعْنَى الْمُنْفَرِدِ بِهِ. وَقَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: وَقَدْ أَخَذَ الشَّافِعِيُّ بِهِ فِي عُيُوبِ الْحَيَوَانِ حَيْثُ أَخَذَ بِقَضَاءِ عُثْمَانَ لِمُوَافَقَتِهِ قِيَاسَ التَّقْرِيبِ مَعَ مُخَالَفَتِهِ قياس المعنى
Pendapat kedua, disebutkan dalam qaul jadid, bahwa pendapat sahabat yang tidak tersebar tidaklah menjadi hujjah, dan boleh bagi tabi‘i untuk menyelisihinya. Karena seorang mujtahid tidak wajib mengikuti pendapat mujtahid lain. Dan karena qiyas adalah hujjah atas kita dan juga atas sahabat, serta pendapat satu orang tidak menjadi hujjah atas seluruh sahabat.
Berdasarkan hal ini, jika pendapat sahabat sesuai dengan qiyas taqrib (qiyas yang mendekatkan pada nash), maka apakah itu lebih utama dibanding qiyas makna yang berdiri sendiri atau tidak? Terdapat dua pendapat:
Pertama: bahwa qiyas makna yang berdiri sendiri lebih utama, karena berdiri sendiri sebagai hujjah.
Kedua: bahwa pendapat sahabat yang sesuai dengan qiyas terhadap nash lebih utama dibanding qiyas makna yang berdiri sendiri.
Ibn Abi Hurairah berkata: dan Imam Syafi‘i telah mengambil pendapat ini dalam masalah cacat pada hewan, di mana beliau mengambil keputusan Utsman karena sesuai dengan qiyas taqrib meskipun menyelisihi qiyas makna.
والحالة الرَّابِعَةُ: أَنْ يَقُولَ الْوَاحِدُ مِنْهُمْ قَوْلًا يُخَالِفُهُ فِيهِ غَيْرُهُ فَيَظْهَرُ الْخِلَافُ بَيْنَهُمْ وَيَنْتَشِرُ فِيهِمْ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Dan keadaan yang keempat: apabila salah seorang dari mereka mengucapkan suatu pendapat yang diselisihi oleh sahabat lain, sehingga tampaklah perselisihan di antara mereka dan tersebar di tengah-tengah mereka, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
قَالَ فِي الْقَدِيمِ: يُؤْخَذُ بِقَوْلِ الْأَكْثَرِينَ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” عَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ ” فَإِنِ اسْتَوَى أَخَذَ بِقَوْلِ مَنْ مَعَهُ مِنَ الْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ بَعْدِي “. فَإِنِ اسْتَوَى صَارَ كَالدَّلِيلَيْنِ إِذَا تَقَابَلَا فَيَرْجِعُ إِلَى التَّرْجِيحِ.
Disebutkan dalam pendapat lama (qaul qadim): diambil pendapat mayoritas sahabat, berdasarkan sabda Nabi : “Wajib atas kalian mengikuti kelompok terbesar (as-sawad al-a‘zham).”
Jika dua pendapat itu seimbang, maka diambil pendapat yang bersama salah seorang dari khulafaur rasyidin, berdasarkan sabda Nabi : “Wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk sepeninggalku.”
Jika tetap seimbang, maka keadaannya seperti dua dalil yang saling berhadapan, sehingga dikembalikan kepada metode tarjih.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ يَعُودُ عِنْدَ اخْتِلَافِهِمْ إِلَى مَا يُوجِبُهُ الدَّلِيلُ، وَيَقْتَضِيهِ الِاجْتِهَادُ، لِأَنَّ التَّقْلِيدَ مَعَ الِاخْتِلَافِ يُفْضِي إِلَى اعْتِقَادِ مَا لَا يُؤْمَنُ كَوْنُهُ جَهْلًا وَالْإِقْدَامُ عَلَى مَا لَا يُؤْمَنُ بِهِ يَكُونُ قَبِيحًا، وَقُبْحُ مَا يَجْرِي هَذَا الْمَجْرَى مُقَرَّرٌ فِي الْعُقُولِ وَإِفْرَادُ الصَّحَابَةِ كَإِفْرَادِ سَائِرِ الْأُمَّةِ فِيمَا عَلَيْهِمْ مِنَ الِاجْتِهَادِ فِي الْحَادِثَةِ لَكِنْ إِذَا اخْتَلَفَ الصَّحَابَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ لَمْ يَكُنْ لِمَنْ بَعْدَهُمْ إِحْدَاثُ قَوْلٍ ثَالِثٍ، بِخِلَافِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ دَاوُدُ وَأَهْلُ الظَّاهِرِ، لِأَنَّ ذَلِكَ إِجْمَاعٌ مِنْهُمْ عَلَى مَا سِوَى الْقَوْلَيْنِ بَاطِلٌ، لَيْسَ بِحَقٍّ
Pendapat kedua, disebutkan dalam qaul jadid: bahwa ketika para sahabat berselisih, maka perkara itu dikembalikan kepada apa yang ditunjukkan oleh dalil dan dituntut oleh ijtihad. Karena taklid dalam keadaan terjadi perbedaan akan mengantarkan pada keyakinan terhadap sesuatu yang belum dipastikan kebenarannya, dan melakukan sesuatu yang belum diyakini adalah perbuatan yang tercela. Keburukan hal semacam ini telah ditetapkan oleh akal.
Dan pendapat satu orang sahabat tidak berbeda dengan pendapat satu orang dari umat ini dalam hal kewajiban berijtihad terhadap suatu kejadian. Akan tetapi, apabila para sahabat berselisih pada dua pendapat, maka generasi setelah mereka tidak boleh membuat pendapat ketiga. Berbeda dengan apa yang dianut oleh Dawud dan Ahluzh-Zhahir, karena adanya kesepakatan para sahabat bahwa pendapat selain dua itu adalah batil, bukan kebenaran.
فَهَذِهِ أَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ يَجُوزُ تَقْلِيدُهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَرْتِيبِ الْحُكْمِ فِيهَا وَلَمْ يَرُدَّ الشَّافِعِيُّ شَيْئًا مِنْهَا بِنَهْيِهِ عَنْ تَقْلِيدِ غَيْرِهِ.
Maka inilah empat golongan yang boleh ditaqlidi, sebagaimana telah kami sebutkan menurut urutan hukum padanya. Dan Imam Syafi‘i tidak menolak satupun darinya dengan larangannya terhadap taklid kepada selainnya
فَصْلٌ
وَأَمَّا مَنْ يَخْتَلِفُ حَالُهُمْ بِاخْتِلَافِ حال السائل والمسؤول فهم علماء الأمصار، فَإِنْ كَانَ السَّائِلُ عَامِّيًّا لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ جَازَ لَهُ تَقْلِيدُهُمْ، فِيمَا يَأْخُذُ بِهِ ويعمل عليه، لقوله تعالى: {فاسئلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ} [الأنبياء: 7] . ولأن العامي عادم لآلة الاجتهاد للوصل إِلَى حُكْمِ الْحَادِثَةِ فَجَرَى مَجْرَى الضَّرِيرِ يَرْجِعُ فِي الْقِبْلَةِ لِذَهَابِ بَصَرِهِ إِلَى تَقْلِيدِ الْبَصِيرِ
Fasal
Adapun orang-orang yang keadaannya berbeda-beda tergantung keadaan penanya dan yang ditanya, maka mereka adalah para ulama negeri-negeri. Jika si penanya adalah orang awam yang bukan dari kalangan ahli ijtihad, maka boleh baginya untuk bertaklid kepada mereka dalam apa yang ia ambil dan amalkan. Berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka bertanyalah kepada ahlul zikr jika kalian tidak mengetahui.” Dan karena orang awam tidak memiliki alat ijtihad untuk sampai kepada hukum suatu kejadian, maka ia seperti orang buta yang karena tidak dapat melihat, kembali kepada taklid kepada orang yang dapat melihat untuk mengetahui arah kiblat.
لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَلْزَمُهُ الِاجْتِهَادُ فِي الأعيان من المعينين عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يَلْزَمُهُ أَنْ يَجْتَهِدَ وَلَا يُقَلِّدَ إِلَّا أَعْلَمَهُمْ وَأَوْرَعَهُمْ وَأَسَنَّهُمْ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا لَا يَلْزَمُهُمْ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَى مَعْرِفَةِ الْأَعْلَمِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُشَارِكًا فِي الْعِلْمِ، وَالْعَامِّيُّ لَيْسَ بِمُشَارِكٍ فَصَارَ عَادِمًا لِآلَةِ الِاجْتِهَادِ فِي أَعْلَمِهِمْ، كَمَا كَانَ عَادِمًا لِآلَةِ الِاجْتِهَادِ فِي حُجَّةِ قَوْلِهِمْ، فَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَوْ وَجَدَ عَالِمَيْنِ وَعَلِمَ أَنَّ أَحَدَهُمَا أَعْلَمُ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يَلْزَمُهُ تَقْلِيدُ الْأَعْلَمِ عِنْدَهُ وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: هُوَ بِالْخِيَارِ لِأَنَّ كَوْنَ أَحَدِهِمَا أَعْلَمَ فِي الْجُمْلَةِ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْآخَرُ أَوْصَلَ إِلَى حُكْمِ الْحَادِثَةِ الْمَسْؤُولِ عَنْهَا، أَوْ مُسَاوِيًا فِيهَا، وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، لَوِ اسْتَفْتَى فَقِيهًا لَمْ يَسْكُنْ إِلَى فُتْيَاهُ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْأَلَ ثَانِيًا وَثَالِثًا حَتَّى يَصِيرُوا عَدَدًا تَسْكُنُ نَفْسُهُ إِلَى فُتْيَاهُمْ، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي لَا يَلْزَمُهُ سُؤَالُ غَيْرِهِ، وَيَجُوزُ لَهُ الِاقْتِصَارُ عَلَى فُتْيَاهُ، لِأَنَّهُ لَيْسَ نُفُورُ نَفْسِهِ وَلَا سُكُونُهَا حُجَّةً.
Namun para sahabat kami berselisih pendapat: apakah wajib bagi orang awam untuk berijtihad dalam memilih orang tertentu dari kalangan ulama yang ada? Terdapat dua pendapat:
Pertama: pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, bahwa wajib baginya untuk berijtihad dan tidak boleh bertaklid kecuali kepada yang paling alim, paling wara‘, dan paling senior di antara mereka.
Kedua: pendapat mayoritas sahabat kami, bahwa hal itu tidak wajib, karena ia tidak dapat mengetahui siapa yang paling alim kecuali jika ia turut memiliki ilmu, sedangkan orang awam tidaklah memiliki partisipasi dalam ilmu. Maka ia dianggap tidak memiliki alat ijtihad untuk mengetahui siapa yang paling alim, sebagaimana ia juga tidak memiliki alat ijtihad untuk mengetahui dalil dari pendapat-pendapat mereka.
Berdasarkan dua pendapat ini, jika ia mendapati dua orang alim dan ia tahu bahwa salah satunya lebih alim, maka menurut pendapat pertama wajib baginya untuk bertaklid kepada yang lebih alim menurutnya. Sedangkan menurut pendapat kedua, ia bebas memilih, karena walaupun salah satunya lebih alim secara umum, belum tentu yang lain tidak lebih tepat dalam menentukan hukum masalah yang ditanyakan, atau setidaknya setara dalam hal itu.
Juga berdasarkan dua pendapat ini, jika ia telah meminta fatwa kepada seorang faqih namun tidak merasa mantap terhadap fatwanya, maka menurut pendapat pertama wajib baginya untuk bertanya lagi kepada orang kedua dan ketiga hingga jumlah mereka membuat dirinya merasa tenang dengan fatwa mereka. Sedangkan menurut pendapat kedua, tidak wajib baginya bertanya kepada yang lain, dan boleh baginya mencukupkan dengan fatwa orang pertama, karena rasa tidak mantap atau mantapnya hati bukanlah hujjah.
وَلَوِ اسْتَفْتَى فَقِيهًا، ثُمَّ رَجَعَ الْفَقِيهُ عَنْ فُتْيَاهُ، فَإِنْ لَمْ يَعْلَمِ السَّائِلُ بالرجوع فهو على ما كان عليه الْعَمَلِ بِهَا، وَإِنْ أَخْبَرَهُ بِرُجُوعِهِ، فَإِنْ كَانَ الْفَقِيهُ خَالَفَ نَصًّا لَزِمَ السَّائِلَ أَنْ يَرْجِعَ عَنِ الْأَوَّلِ إِلَى الثَّانِي، وَإِنْ كَانَ قَدْ خالف أولى التصوير فَإِنْ كَانَ قَدْ فَعَلَ السَّائِلُ بِمَا أَفْتَاهُ به لم يَنْقُضْهُ بِهِ، وَإِنْ كَانَ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ أَمْسَكَ عَنْهُ، وَلَوِ اسْتَفْتَى فَقِيهَيْنِ فَأَفْتَاهُ أَحَدُهُمَا بِتَحْلِيلٍ، وَالْآخِرُ بِتَحْرِيمٍ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ بِالْخِيَارِ بِالْأَخْذِ بِقَوْلِ مَنْ شَاءَ مِنْهُمَا، كَمَا كَانَ بِالْخِيَارِ فِي الِاقْتِصَارِ عَلَى قَوْلِ أَحَدِهِمَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَأْخُذُ بِأَثْقَلِهِمَا عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْحَقَّ ثَقِيلٌ.
فَهَذَا مَا فِي تَقْلِيدِ الْعَامِّيِّ لِلْعَالِمِ، ولم يرده الشافعي رحمه الله بالنبي عَنْ تَقْلِيدِهِ، فَأَمَّا الْعَالِمُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يقلد عالما فعلى ضربين:
أحدهما: أن يرد تَقْلِيدَهُ فِيمَا يُفْتَى بِهِ أَوْ يُحْكَمُ، فَلَا يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ، وَجَوَّزَهُ أبو حنيفة، وَلِذَلِكَ أَجَازَ لِلْعَامِّيِّ الْقَضَاءَ لِيَسْتَفْتِيَ الْعُلَمَاءَ فِيمَا يَحْكُمُ به، وهذا خطأ، لقوله تعالى: {فاسئلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ} [الأنبياء: 7] . فجعل فقد هذا الْعِلْمِ فِي سُؤَالِ أَهْلِ الذِّكْرِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ تَقْلِيدُ أَحَدِهِمَا لِصَاحِبِهِ بِأَوْلَى مِنْ تَقْلِيدِ صَاحِبِهِ له، كالمبصرين لَا يَجُوزُ لِأَحَدِهِمَا تَقْلِيدُ صَاحِبِهِ فِي الْقِبْلَةِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَرُدَّ تَقْلِيدَهُ فِيمَا نَزَلَتْ بِهِ مِنْ حَادِثَةٍ، فَإِنْ كَانَ الْوَقْتُ مُتَّسِعًا لِاجْتِهَادِهِ فِيهَا لَمْ يَجُزْ تَقْلِيدُ غَيْرِهِ، وَإِنْ ضَاقَ الْوَقْتُ عَنِ الِاجْتِهَادِ فِيهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ تَقْلِيدُ غَيْرِهِ فِيهَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يَجُوزُ لَهُ تَقْلِيدُ غَيْرِهِ، وَيَصِيرُ كَالْعَامِّيِّ فِي هَذِهِ الْحَادِثَةِ لِتَعَذُّرِ وُصُولِهِ إِلَى الدَّلَالَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا يَجُوزُ لَهُ التَّقْلِيدُ، لِأَنَّهُ قَدْ يَتَوَصَّلُ إِلَى الْحُكْمِ بِطَرِيقِ النَّظَرِ بِالسُّؤَالِ عَنْ وَجْهِ الدَّلِيلِ فَيَصِلُ بِاجْتِهَادِهِ وَنَظَرِهِ بَعْدَ السُّؤَالِ وَالْكَشْفِ إِلَى حُكْمِ الْحَادِثَةِ مِنْ غَيْرِ تَقْلِيدٍ، فَهَذَا مَا فِي تَقْلِيدِ الْمُجْتَهِدِ لِلْمُجْتَهِدِ، وَهَذَا الَّذِي أَوْرَدَهُ الشَّافِعِيُّ بِالنَّهْيِ عَنْ تَقْلِيدِهِ وَتَقْلِيدِ غَيْرِهِ.
Jika seorang bertanya kepada seorang faqih, lalu faqih tersebut menarik kembali fatwanya, maka:
– Jika si penanya tidak mengetahui bahwa faqih telah menarik pendapatnya, maka ia tetap boleh beramal dengan fatwa sebelumnya.
– Namun jika faqih memberitahunya bahwa ia telah menarik pendapatnya, maka:
- Jika faqih tersebut telah menyelisihi nash, maka wajib bagi penanya untuk meninggalkan fatwa pertama dan berpindah ke fatwa kedua.
• Jika yang diselisihi hanyalah pendapat yang lebih utama dalam cara penalarannya, maka:
– Jika si penanya telah mengamalkan fatwa tersebut, maka tidak perlu membatalkannya.
– Jika belum diamalkan, maka hendaknya ia menahan diri darinya.
Dan jika seseorang meminta fatwa kepada dua faqih, lalu salah satu dari keduanya memfatwakan boleh dan yang lain memfatwakan haram, maka ada dua pendapat:
– Pertama: ia bebas memilih pendapat siapa yang ingin ia ikuti, sebagaimana ia bebas memilih saat hanya bertanya kepada salah satu dari keduanya.
– Kedua: ia harus mengambil pendapat yang lebih berat baginya, karena kebenaran itu berat.
Inilah ketentuan dalam taklidnya orang awam kepada seorang alim, dan Imam Syafi’i tidak menolaknya dengan larangannya terhadap taklid.
Adapun seorang alim yang ingin bertaklid kepada alim lain, maka terbagi menjadi dua bentuk:
Pertama: ia ingin bertaklid dalam urusan fatwa atau hukum yang ia tetapkan. Maka ini tidak boleh baginya, sedangkan Abu Hanifah membolehkannya. Karena itu, Abu Hanifah membolehkan orang awam menjadi qadhi agar bisa bertanya kepada para ulama tentang apa yang akan ia putuskan. Dan ini adalah kesalahan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka bertanyalah kepada ahlul dzikr jika kalian tidak mengetahui.” Maka Allah menjadikan tidak adanya ilmu sebagai dasar untuk bertanya kepada ahlul dzikr. Sebab, taklid salah seorang dari dua orang alim kepada yang lainnya tidak lebih utama dibandingkan yang sebaliknya. Sama seperti dua orang yang melihat, tidak boleh salah satunya bertaklid kepada yang lain dalam menentukan arah kiblat.
Kedua: ia ingin bertaklid dalam suatu kejadian yang menimpanya. Jika waktunya masih cukup untuk berijtihad sendiri, maka tidak boleh baginya bertaklid kepada orang lain. Namun jika waktunya sempit dan tidak cukup untuk berijtihad, maka para sahabat kami berselisih:
– Pertama: pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, bahwa boleh baginya bertaklid kepada orang lain, dan ia berada dalam posisi orang awam dalam kejadian itu karena ia tidak mampu sampai kepada dalil.
– Kedua: pendapat Abu Ishaq dan Abu ‘Ali Ibn Abi Hurairah, bahwa tidak boleh baginya bertaklid, karena bisa saja ia sampai kepada hukum dengan cara menelaah dan bertanya tentang arah dalil, lalu dengan ijtihad dan penelusuran setelah bertanya ia sampai pada hukum tanpa perlu bertaklid.
Inilah ketentuan dalam taklidnya seorang mujtahid kepada mujtahid lain, dan inilah yang dilarang oleh Imam Syafi‘i dalam larangannya terhadap bertaklid, baik kepada dirinya maupun kepada selainnya.
فَصْلٌ
قَوْلُهُ: ” لِيَنْظُرَ فِيهِ لِدِينِهِ ” فَالْمَعْنِيُّ بِالنَّاظِرِ هُوَ الْمُرِيدُ، وَالنَّظَرُ ضربان:
الأول: نظر مشاهدة بالبصر.
والثاني: نَظَرُ فِكْرٍ بِالْقَلْبِ، وَمُرَادُهُ هُوَ الْفِكْرُ بِالْقَلْبِ دُونَ الْمُشَاهَدَةِ بِالْبَصَرِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {أَوَلَمْ ينظروا في ملكوت السموات وَالأَرْضِ} [الأعراف: 185] . يَعْنِي أَفَلَمْ يَتَفَكَّرُوا بِقُلُوبِهِمْ لِيَعْتَبِرُوا فِي الْمُرَادِ بِقَوْلِهِ: ” لِيَنْظُرَ فِيهِ لِدِينِهِ ” تَأْوِيلَانِ عَلَى مَا مَضَى.
أَحَدُهُمَا: فِي الْعِلْمِ. وَالثَّانِي: فِي مُخْتَصَرِهِ هَذَا، وَأَمَّا قَوْلُهُ ” لِدِينِهِ ” فَلِأَنَّ الْفِقْهَ عِلْمٌ دِينِيٌّ، فَالنَّاظِرُ فِيهِ نَاظِرٌ فِي دِينِهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ ” وَيَحْتَاطُ لِنَفْسِهِ “: أَيْ لِيَطْلُبَ الِاحْتِيَاطَ لِنَفْسِهِ بِالِاجْتِهَادِ فِي الْمَذَاهِبِ فَتَرَكَ التَّقْلِيدَ بطلب الدلالة. والله أعلم.
Fasal
Ucapannya: “Agar ia meneliti padanya demi agamanya” — yang dimaksud dengan “meneliti” di sini adalah orang yang menghendaki (sesuatu), dan “nadhar” (penelitian/pemikiran) terbagi menjadi dua:
Pertama: nadhar berupa penglihatan dengan mata.
Kedua: nadhar berupa pemikiran dengan hati. Yang dimaksud di sini adalah pemikiran dengan hati, bukan penglihatan dengan mata, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Tidakkah mereka memikirkan tentang kerajaan langit dan bumi?” Artinya, tidakkah mereka merenung dengan hati mereka agar mengambil pelajaran.
Maka maksud dari ucapan: “Agar ia meneliti padanya demi agamanya,” memiliki dua penafsiran sebagaimana telah lalu:
Pertama: berkaitan dengan ilmu.
Kedua: berkaitan dengan ringkasan (kitab) ini.
Adapun ucapannya “demi agamanya,” karena fikih adalah ilmu agama, maka orang yang menelitinya berarti meneliti agamanya.
Dan ucapannya “dan berhati-hati untuk dirinya,” maksudnya adalah agar ia mencari kehati-hatian bagi dirinya dengan berijtihad dalam berbagai mazhab, maka ia meninggalkan taklid dengan mencari dalil.
Wallahu a‘lam.
قال المزني رحمه الله: قال الشافعي رضي الله عنه: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا} [الفرقان: 48] . وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنَّهُ قَالَ فِي الْبَحْرِ: ” هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْتَرَضَ مَنْ ذَكَرْنَا إعناته للمزني على هَذَا الْفَصْلِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَالُوا أَسْنَدَ الْمُزَنِيُّ الْقُرْآنَ عَنِ الشَّافِعِيِّ، وَالْقُرْآنُ مَقْطُوعٌ بِهِ، لَا يَقْتَصِرُ إِلَى الْإِسْنَادِ لِاسْتِوَاءِ الْكُلِّ فِيهِ.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ بَعْدَ الِاسْتِيعَاذِ مِنْ خِدَعِ الْهَوَى أَنَّ الْمُزَنِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ لَمْ يَقْصِدْ بِهِ إِسْنَادَ الْقُرْآنِ، وَإِنَّمَا أَرَادَ إِضَافَةَ الِاسْتِدْلَالِ بِهِ إِلَى الشَّافِعِيِّ لِيَعْلَمَ النَّاظِرُ فِيهِ أَنَّ الْمُسْتَدِلَّ بِالْآيَةِ هُوَ الشَّافِعِيُّ دُونَ الْمُزَنِيِّ.
وَالِاعْتِرَاضُ الثَّانِي إن قَالُوا: قَدَّمَ الدَّلِيلَ عَلَى الْمَدْلُولِ وَهَذَا خَطَأٌ فِي الْمَوْضُوعِ.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَمَّا ابْتَدَأَ بِالنَّهْيِ عَنِ التَّقْلِيدِ حَسُنَ أَنْ يَبْدَأَ بِتَقْدِيمِ الدَّلِيلِ عَلَى الْمَدْلُولِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ فَعَلَ ذَلِكَ لِيَكُونَ مُبْتَدِئًا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى تَبَرُّكًا عَلَى أَنَّ الدَّلَائِلَ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَكُونُ دَلِيلًا عَلَى مَسْأَلَةٍ فَالْأَوْلَى تَأْخِيرُهُ عَنِ الْمَسْأَلَةِ. وَضَرْبٌ يَكُونُ دَلَالَةً عَلَى أَصْلِ الْبَابِ فَالْأَوْلَى تَقْدِيمُهُ عَلَى الْبَابِ
[Kitab Thaharah]
Bab Thaharah
Al-Muzani rahimahullah berkata: Imam Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: Allah Ta‘ala berfirman: “Dan Kami turunkan dari langit air yang menyucikan.”
Diriwayatkan dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda tentang laut: “Laut itu airnya suci, bangkainya halal.”
Al-Mawardi berkata: Ada yang mengkritik al-Muzani dalam pasal ini dari dua sisi:
Pertama: mereka berkata bahwa al-Muzani menyandarkan ayat Al-Qur’an kepada Imam Syafi‘i, padahal Al-Qur’an itu telah pasti (maqṭū‘), dan tidak perlu disandarkan karena semuanya sama-sama mengetahuinya.
Jawabannya—dengan memohon perlindungan dari tipu daya hawa nafsu—bahwa al-Muzani rahimahullah tidak bermaksud menyandarkan Al-Qur’an itu, melainkan hanya ingin menisbatkan istidlal (pengambilan dalil) dengan ayat tersebut kepada Imam Syafi‘i, agar diketahui oleh yang membaca bahwa orang yang menjadikan ayat itu sebagai dalil adalah Imam Syafi‘i, bukan al-Muzani sendiri.
Kritik kedua: jika mereka berkata bahwa ia mendahulukan dalil atas madlul (yang ditunjukkan oleh dalil), dan ini keliru dalam penyusunan.
Jawabannya dari dua sisi:
Pertama, karena ia memulai dengan larangan terhadap taklid, maka pantas pula memulai dengan mendahulukan dalil atas madlul.
Kedua, bahwa ia melakukan hal itu agar memulai dengan Kitab Allah Ta‘ala sebagai bentuk tabarruk (mengharap keberkahan).
Dan sesungguhnya dalil itu ada dua jenis:
– Jenis yang merupakan dalil atas suatu masalah, maka lebih utama diletakkan setelah masalah.
– Dan jenis yang menjadi dalil atas pokok bab, maka lebih utama untuk didahulukan sebelum pembahasan bab.
فَصْلٌ: دَلَائِلُ طَهَارَةِ الْمَاءِ
وَالدَّلَائِلُ عَلَى طَهَارَةِ الْمَاءِ وَجَوَازِ التَّطْهِيرِ بِهِ آيتان: إِحْدَاهُمَا: قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طهورا} ، وَالثَّانِيَةُ: {وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ به} . وَسُنَّتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: مَا رَوَاهُ رَاشِدُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” خُلِقَ الْمَاءُ طَهُورًا لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَيَّرَ لَوْنَهُ أَوْ طَعْمَهُ أَوْ رِيحَهُ “.
وَالثَّانِيَةُ: مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سلمة أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَمَعَنَا الْقَلِيلُ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ “. وَرُوِيَ فِي خَبَرٍ آخَرَ أَنَّ الْعَرَكِيَّ قَالَ: ” إِنَّا نَرْكَبُ فِي الْبَحْرِ فِي أَرْمَاثٍ لَنَا “. وَالْعَرَكِيُّ: الصَّيَّادُ.
والأرماث: الخشب يضم بعضه إلى بعض فنركب عَلَيْهَا فِي الْبَحْرِ “. قَالَ الشَّاعِرُ:
(تَمَنَّيْتُ مِنْ حُبِّي بُثَيْنَةَ أَنَّنَا … عَلَى رَمَثٍ فِي الْبَحْرِ لَيْسَ لَنَا وَفْرُ)
قَالَ الْحُمَيْدِيُّ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” هذا الحديث نصف العلم الطهارة، وَلَعَمْرِي إِنَّ هَذَا الْقَوْلَ صَحِيحٌ، لِأَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ دَلَّ عَلَى طَهَارَةِ مَا يَنْبُعُ مِنَ الْأَرْضِ، وَالْآيَةُ دَالَّةٌ عَلَى طَهَارَةِ مَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ، وَالْمَاءُ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ نَازِلًا مِنَ السَّمَاءِ أَوْ نَابِعًا مِنَ الْأَرْضِ.
Fasal: Dalil-Dalil atas Kesucian Air
Dalil-dalil atas kesucian air dan bolehnya bersuci dengannya ada dua ayat:
Pertama, firman Allah Ta‘ala: “Dan Kami turunkan dari langit air yang menyucikan.”
Kedua, firman-Nya: “Dan Dia turunkan kepada kalian air dari langit agar Dia menyucikan kalian dengannya.”
Dan dua hadis:
Pertama, apa yang diriwayatkan oleh Rasyid bin Sa‘d dari Abu Umamah bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Air diciptakan dalam keadaan suci, tidak menajiskannya sesuatu kecuali yang mengubah warnanya, atau rasanya, atau baunya.”
Kedua, apa yang diriwayatkan oleh Imam Syafi‘i dari Malik dari Shafwan bin Sulaim dari Sa‘id bin Salamah, bahwa al-Mughirah bin Abi Burdah mendengar Abu Hurairah berkata:
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ:
“Wahai Rasulullah, kami bepergian dengan menunggangi laut dan membawa sedikit air. Jika kami gunakan air itu untuk berwudu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudu dengan air laut?”
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Airnya suci, bangkainya halal.”
Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa al-‘Arakiyy berkata:
“Kami berlayar di laut dengan rakit-rakit kami.”
Yang dimaksud dengan al-‘Arakiyy adalah nelayan.
Sedangkan al-armāth adalah potongan kayu yang disambung satu sama lain dan dinaiki di laut.
Sebagaimana dikatakan oleh penyair:
“Aku berharap karena cintaku pada Buthainah, andai kita berada di atas rakit di laut yang tidak memiliki kelebihan bekal.”
Al-Humaidi berkata: Imam Syafi‘i berkata:
“Hadis ini adalah separuh dari ilmu thaharah.”
Dan demi hidupku, sungguh ucapan ini benar, karena hadis ini menunjukkan kesucian air yang memancar dari bumi, sedangkan ayat menunjukkan kesucian air yang turun dari langit. Dan air tidak lepas dari dua keadaan: turun dari langit atau memancar dari bumi.
فَصْلٌ
فَأَمَّا الطَّهُورُ الْمَوْصُوفُ بِهِ الْمَاءُ فِي الْآيَةِ وَالْخَبَرِ فَهُوَ صِفَةٌ تَزِيدُ عَلَى الطاهر يتعدى التطهير منه لغيره، فَيَكُونُ مَعْنَى الطَّهُورِ هُوَ الْمُطَهِّرُ.
وَقَالَ أبو حنيفة وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَالْحَسَنُ، وَابْنُ دَاوُدَ وَالْأَصَمُّ: إِنَّ الطَّهُورَ بِمَعْنَى الطَّاهِرِ لَا يَخْتَصُّ بِزِيَادَةِ التَّعَدِّي.
وَفَائِدَةُ هَذَا الْخِلَافِ تَجْوِيزُهُمْ إِزَالَةَ الْأَنْجَاسِ بِالْمَائِعَاتِ الطَّاهِرَاتِ وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَسَقَاهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُورًا} [الإنسان: 21] . يَعْنِي طَاهِرًا لِأَنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ لَا يَحْتَاجُونَ إِلَى التَّطْهِيرِ بِهِ وَقَالَ جرير:
(إِلَى رَجَحِ الْأَكْفَالِ عُدَّ مِنَ الظُّبَى … عِذَابُ الثَّنَايَا رِيقُهُنَّ طَهُورُ)
يَعْنِي: طَاهِرًا، لِأَنَّ رِيقَهُنَّ لَا يَكُونُ مُطَهِّرًا قَالُوا: وَلِأَنَّ كُلَّ فَعُولٍ كَانَ مُتَعَدِّيًا كَانَ فَاعِلُهُ مُتَعَدِّيًا، كَالْمَقْتُولِ وَالْقَاتِلِ، وَكُلَّ فَاعِلٍ كَانَ غَيْرَ مُتَعَدٍّ كَانَ فَعُولُهُ غَيْرَ مُتَعَدٍّ كَالصَّبُورِ وَالصَّابِرِ فَلَمَّا كَانَ الطَّاهِرُ غَيْرَ مُتَعَدٍّ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الطَّهُورُ غَيْرَ مُتَعَدٍّ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الطَّهُورَ لَوْ كَانَ مُتَعَدِّيًا لَمَا انْطَلَقَ هَذَا الِاسْمُ عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ وُجُودِ التَّعَدِّي مِنْهُ، كَالْقَتُولِ وَالضَّرُوبِ، فَلَمَّا انْطَلَقَ اسْمُ الطَّهُورِ عَلَى الْمَاءِ قَبْلَ وُجُودِ التَّطَهُّرِ بِهِ، عُلِمَ أَنَّهُ لَمْ يُسَمَّ بِهِ لِتَعَدِّي الْفِعْلِ مِنْهُ، بَلْ لِلُزُومٍ، وَالصِّفَةُ لَهُ أَيِ الْوَصْفُ، قَالُوا وَلِأَنَّ الطَّهُورَ لَوْ كَانَ مُتَعَدِّيًا لَوَجَبَ أَنْ يَتَكَرَّرَ فِعْلُ التَّطْهِيرِ مِنْهُ كَالْقَتُولِ وَالضَّرُوبِ فَلَمَّا لَمْ يَتَكَرَّرْ مِنْهُ لِأَنَّهُ يَصِيرُ بِالْمَرَّةِ الْوَاحِدَةِ مُسْتَعْمَلًا عُلِمَ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ.
Fasal
Adapun “ṭahūr” yang disifati kepada air dalam ayat dan hadis, maka itu adalah sifat yang lebih dari sekadar “ṭāhir” (suci), yaitu sifat yang dapat digunakan untuk menyucikan selainnya. Maka makna dari “ṭahūr” adalah “yang menyucikan (al-muṭahhir)”.
Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, al-Hasan, Ibn Dawud, dan al-Aṣam berpendapat bahwa “ṭahūr” bermakna “ṭāhir” (suci) saja dan tidak khusus menunjukkan tambahan makna dapat menyucikan.
Manfaat dari perbedaan pendapat ini adalah bahwa mereka membolehkan menghilangkan najis dengan cairan-cairan yang suci. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan Rabb mereka memberi mereka minuman yang ṭahūr” (yakni suci), karena penghuni surga tidak membutuhkan bersuci dengannya.
Dan disebut dalam bait syair Jirīr:
“Menuju punggung yang bulat dari kijang-kijang… air liur mereka bagai ṭahūr nan lembut di sela gigi-gigi kecil.”
Maksudnya: suci, karena air liur mereka tidak mungkin menyucikan.
Mereka juga berkata: karena setiap bentuk “fa‘ūl” yang bermakna transitive (muta‘addi), maka pelakunya juga transitive, seperti “maqtūl” dan “qātil”. Dan setiap bentuk “fā‘il” yang tidak transitive (lāzim), maka bentuk “fa‘ūl”-nya pun tidak transitive, seperti “ṣabūr” dan “ṣābir”. Maka ketika “ṭāhir” tidak transitive, wajib pula bahwa “ṭahūr” tidak transitive.
Mereka berkata pula: jika “ṭahūr” bermakna transitive, maka nama itu tidak akan disematkan padanya kecuali setelah ada penyucian darinya, seperti “qatūl” dan “ḍarūb”. Ketika nama “ṭahūr” disematkan pada air sebelum digunakan untuk bersuci, maka diketahui bahwa ia tidak dinamai demikian karena adanya perbuatan penyucian, melainkan karena sifatnya yang tetap — yakni sebagai sifat baginya.
Mereka juga berkata: seandainya “ṭahūr” itu transitive, tentu penyucian darinya harus berulang, seperti “qatūl” dan “ḍarūb”. Namun karena air menjadi “mustakmal” (bekas pakai) hanya dengan satu kali pemakaian, maka jelas bahwa ia bukan sifat transitive.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ} [الأنفال: 11] ، فَأَخْبَرَ أَنَّ الْمَاءَ يُتَطَهَّرُ بِهِ، وَهَذِهِ عِبَارَةٌ عَنْ تَعَدِّي الْفِعْلِ مِنْهُ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الْبَحْرِ: ” هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ” جَوَابًا عَنْ سُؤَالِهِمْ فِي تَعَدِّي فِعْلِهِ إِلَيْهِمْ إِذْ قَدْ عَلِمُوا طَهَارَتَهُ قَبْلَ سُؤَالِهِمْ. وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ قَبْلِي نَبِيٌّ ” فَذَكَرَ مِنْهَا: ” وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَتُرَابُهَا طَهُورًا ” يَعْنِي مُطَهِّرًا، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ طَاهِرًا عَلَى مُحَمَّدٍ وَغَيْرِهِ وَإِنَّمَا افْتَخَرَ بِمَا خُصَّ بِهِ مِنْ زِيَادَةِ التَّطْهِيرِ بِهِ. وَقَالَ عليه السلام: ” دِبَاغُهَا طَهُورُهَا “. أَيْ مُطَهِّرُهَا.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan Dia menurunkan kepada kalian air dari langit agar Dia menyucikan kalian dengannya” — maka Allah mengabarkan bahwa air dapat digunakan untuk bersuci, dan ini merupakan ungkapan tentang sifat transitive dari perbuatannya (air menyucikan selainnya).
Rasulullah juga bersabda tentang laut: “Airnya suci menyucikan, bangkainya halal”, sebagai jawaban atas pertanyaan mereka tentang kemampuan air laut menyucikan mereka, karena mereka telah mengetahui bahwa air laut itu suci sebelum bertanya.
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda: “Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada nabi sebelumku,” dan beliau menyebutkan di antaranya: “Dijadikan bumi bagiku sebagai masjid dan tanahnya sebagai penyuci (ṭahūr).” Maknanya adalah “menyucikan”, karena tanah itu memang sudah suci atas Nabi Muhammad dan selain beliau, dan beliau berbangga diri dengan keutamaan khusus berupa tambahan kemampuan menyucikan dengannya.
Dan beliau bersabda: “Penyamakannya adalah penyucinya.” Maksudnya: penyamak itu menyucikan kulit tersebut.
وَقَالَ: ” طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ” أَيْ: مُطَهِّرُهُ فَكَانَتْ هَذِهِ الظَّوَاهِرُ الشَّرْعِيَّةُ كُلُّهَا دَلَالَةً عَلَى أَنَّ الطَّهُورَ بِمَعْنَى مُطَهِّرٍ، وَكَذَا فِي كُلِّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ.
Dan beliau bersabda: “Penyuci bejana salah seorang dari kalian…” maksudnya: yang menyucikannya. Maka seluruh zahir nash-nash syar‘i ini menunjukkan bahwa “ṭahūr” bermakna “menyucikan (muṭahhir)”, demikian pula dalam setiap konteks yang datang dalam syariat.
وَأَمَّا مِنْ طَرِيقِ اللُّغَةِ فَهُوَ أَنَّ فَعُولَ أَبْلَغُ فِي اللُّغَةِ مِنْ فَاعِلٍ، فَلَمَّا اخْتَصَّ قَوْلَهُمْ طَهُورٌ بِمَا يَكُونُ مِنْهُ التَّطْهِيرُ مِنَ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ دُونَ مَا كَانَ طَاهِرًا مِنَ الْخَشَبِ وَالثِّيَابِ عَلَى أَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا فِي الْمُبَالَغَةِ تَعَدِّي الطَّهُورِ، وَلُزُومُ الطَّاهِرِ، وَلِأَنَّ مَا أَمْكَنَ الْفَرْقُ بَيْنَ فَعُولِهِ وَفَاعِلِهِ بِالتَّكْرَارِ، لَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهُمَا بِالتَّعَدِّي، كَالْقَتُولِ وَالْقَاتِلِ وَمَا لَمْ يُمْكِنِ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا بِالتَّكْرَارِ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا بِالتَّعَدِّي، وَلَيْسَ يُمْكِنُ الْفَرْقُ بَيْنَ طَهُورٍ وَطَاهِرٍ بِتَكْرَارِ الْفِعْلِ فَبَانَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا بِالتَّعَدِّي.
Adapun dari sisi bahasa, maka bentuk fa‘ūl lebih kuat dalam makna dibanding bentuk fā‘il. Maka ketika kata “ṭahūr” secara khusus digunakan untuk sesuatu yang dengannya dapat dilakukan pensucian — yaitu air dan tanah — tidak seperti benda suci lainnya seperti kayu dan pakaian, menunjukkan bahwa perbedaan antara “ṭahūr” dan “ṭāhir” terletak pada makna yang lebih kuat, yaitu bahwa ṭahūr bersifat menyucikan (transitif), sedangkan ṭāhir bersifat tetap (lazim).
Dan karena dalam beberapa kata bisa dibedakan antara fa‘ūl dan fā‘il dengan pengulangan perbuatan, maka tidak dibedakan antara keduanya dari segi transisi perbuatan — seperti qatūl dan qātil. Namun jika tidak memungkinkan dibedakan antara keduanya melalui pengulangan perbuatan, maka dibedakan melalui makna transisi. Dan tidak mungkin dibedakan antara ṭahūr dan ṭāhir dengan pengulangan perbuatan, maka jelaslah perbedaan antara keduanya adalah dari sisi transisi (yakni bahwa ṭahūr bermakna menyucikan).
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْآيَةِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذِهِ صِفَةٌ لِلْمَاءِ فَلَمْ يَمْنَعْ مِنْهَا عَدَمُ الْحَاجَةِ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ إِلَى التَّطْهِيرِ بِهِ.
Adapun istidlal mereka dengan ayat (yaitu firman Allah: “Dan Rabb mereka memberi mereka minuman yang ṭahūr”), maka jawabannya dari dua sisi:
Pertama: bahwa ini adalah sifat bagi air itu sendiri, maka tidak terhalangi oleh kenyataan bahwa penghuni surga tidak membutuhkan bersuci dengannya.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْآيَةِ الِامْتِنَانُ بِمَا أَعَدَّهُ اللَّهُ تَعَالَى لِخَلْقِهِ فِي الجنة مما هو أعز مَشْرُوبًا فِي الدُّنْيَا.
وَأَمَّا قَوْلُ جَرِيرٍ فَهُوَ دَلِيلٌ لَنَا، لِأَنَّهُ قَصَدَ بِهِ الْمَدْحَ لِرِيقِهِنَّ بِالطَّهُورِ بِهِ مُبَالَغَةً، وَلَوْ كَانَ مَعْنَاهُ طَاهِرًا لما كان مادحا، لأن ريق البهائم طاهرا أَيْضًا، وَإِنَّمَا بَالَغَ بِأَنْ جَعَلَهُ مُطَهِّرًا تَشْبِيهًا بِالْمَاءِ.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ كُلَّ فَعُولٍ كَانَ مُتَعَدِّيًا كَانَ فَاعِلُهُ مُتَعَدِّيًا.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ إِنَّمَا سَوَّى بَيْنَهُمَا فِي التَّعَدِّي إِذَا أَمْكَنَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ غَيْرِ التَّعَدِّي، وَلَيْسَ يُمْكِنُ الْفَرْقُ بَيْنَ الطَّهُورِ وَالطَّاهِرِ مِنْ غَيْرِ التَّعَدِّي. فَثَبَتَ أَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا مِنْ جِهَةِ التَّعَدِّي.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ لَوْ كَانَ مُتَعَدِّيًا لَمْ يَنْطَلِقِ الِاسْمُ عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ وُجُودِ التَّعَدِّي مِنْهُ فَهُوَ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُسَمَّى بِصِفَةٍ قَدْ تُوجَدُ فِي الْبَاقِي مِنْهُ كَقَوْلِهِمْ طَعَامٌ مشبع، وماء مروي، ونار مُحْرِقَةٌ، وَسَيْفٌ قَاطِعٌ.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: لَوْ كَانَ متعديا لتكرر الفعل منه.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذِهِ صِفَةٌ لِجِنْسِ الْمَاءِ وَجِنْسُ الْمَاءِ يَتَكَرَّرُ مِنْهُ فِعْلُ الطَّهَارَةِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ جُزْءٍ مِنَ الْمَاءِ يَتَكَرَّرُ مِنْهُ الْفِعْلُ فِي إِمْرَارِهِ عَلَى العضو وانتقاله من محل إلى محل
Jawaban kedua: bahwa maksud dari ayat tersebut adalah sebagai bentuk karunia atas apa yang Allah siapkan bagi makhluk-Nya di surga berupa sesuatu yang sangat berharga sebagai minuman di dunia.
Adapun syair Jirīr, justru menjadi dalil bagi kami, karena ia bermaksud memuji air liur mereka dengan menyebutnya “ṭahūr” sebagai bentuk mubālaghah (penekanan kelebihan). Seandainya maknanya hanya “ṭāhir” (suci), maka itu bukanlah pujian, karena air liur hewan pun suci. Yang dimaksud adalah penekanan bahwa ia menyucikan, sebagai bentuk penyerupaan dengan air.
Adapun istidlal mereka bahwa setiap bentuk fa‘ūl yang bermakna transitive, maka pelakunya juga transitive, maka jawabannya: penyamaan antara keduanya dalam makna transitive hanya berlaku jika memungkinkan perbedaan antara keduanya tanpa melihat transisinya. Namun tidak mungkin membedakan antara ṭahūr dan ṭāhir tanpa melihat transisinya, maka tetaplah bahwa perbedaan keduanya terletak pada aspek transisinya
Adapun perkataan mereka bahwa seandainya ṭahūr itu bermakna transitive, niscaya tidak dinamakan demikian kecuali setelah benar-benar menyucikan, maka jawabannya: boleh saja dinamakan dengan suatu sifat yang terdapat potensi padanya untuk menyucikan, seperti dalam ucapan mereka: makanan yang mengenyangkan, air yang melegakan, api yang membakar, dan pedang yang memotong.
Adapun perkataan mereka: “Seandainya ṭahūr bermakna transitive, niscaya perbuatan menyucikannya akan berulang darinya,” maka jawabannya dari dua sisi:
Pertama: bahwa ini adalah sifat bagi jenis air secara umum, dan perbuatan menyucikan itu memang berulang dari jenis air.
Kedua: bahwa setiap bagian dari air itu bisa berulang peran menyucikannya, saat dialirkan ke anggota tubuh atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
مسألة
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ سَمَاءٍ أَوْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْفَصْلِ مَنْ ذَكَرْنَا مِنْ طَرِيقِ اللُّغَةِ فَقَالُوا: قَوْلُهُ ” فَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ ” خَطَأٌ فِي اللُّغَةِ، لِأَنَّ الْعَرَبَ تَقُولُ مَاءٌ مِلْحٌ، وَلَا تَقُولُ: مَالِحٌ، وَإِنَّمَا هَذَا مِنْ كَلَامِ الْعَامَّةِ.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَصَدَ بِهِ إِفْهَامَ الْعَامَّةِ، لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ مَاءٌ مِلْحٌ لَأَشْكَلَ عَلَيْهِمْ وَإِنْ كَانَ هُوَ الصَّوَابَ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ الْعَرَبَ تَقُولُ مَاءٌ مِلْحٌ وَمَاءٌ مَالِحٌ. قَالَ عُمَرُ بْنُ أَبِي رَبِيعَةَ وَهُوَ شَاعِرُ قُرَيْشٍ:
(فَلَوْ تَفِلَتْ فِي الْبَحْرِ وَالْبَحْرُ مَالِحٌ … لَأَصْبَحَ مَاءُ الْبَحْرِ مِنْ رِيقِهَا عَذْبًا)
وَقَالَ آخَرُ:
(تَلَوَّنْتَ أَلْوَانًا عَلَيَّ كَثِيرَةً … وَخَالَطَ عَذْبًا مِنْ إِخَايِكَ مَالِحُ)
وَمَاءُ الْبَحْرِ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ غَيْرُ مَكْرُوهٍ، وَحُكِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وعن سعيد بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّهُمْ كَرِهُوهُ وَقَدَّمُوا التَّيَمُّمَ عَلَيْهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [فاطر: 12] . فَمَنْعُهُ مِنَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمَا يَمْنَعُ مِنْ تَسَاوِي الْحُكْمِ فِي الطَّهَارَةِ بِهِمَا، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْبَحْرُ نَارٌ مِنْ نَارٍ.
Masalah
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Setiap air, baik dari laut yang tawar maupun asin, atau dari sumur, langit, hujan es, salju, yang dipanaskan atau tidak dipanaskan, hukumnya sama. Dan bersuci dengannya adalah boleh.”
Al-Mawardi berkata: Beberapa orang mengkritik Imam Syafi‘i dalam pasal ini dari sisi bahasa, mereka berkata: Ucapannya, “Setiap air dari laut yang tawar atau māliḥ (asin)” adalah salah dalam bahasa, karena orang Arab mengatakan māʼun milḥun (air asin), dan tidak mengatakan māliḥ, karena itu adalah bahasa kalangan awam.
Jawabannya dari dua sisi:
Pertama: bahwa Imam Syafi‘i bermaksud memudahkan pemahaman bagi kalangan awam, karena jika beliau mengatakan māʼun milḥun bisa membingungkan mereka, meskipun itu lebih tepat secara bahasa.
Kedua: bahwa orang Arab juga menggunakan kata māliḥ untuk air laut. Umar bin Abi Rabi‘ah, penyair Quraisy, berkata:
“Seandainya ia meludah ke laut yang asin… tentu air laut dari ludahnya menjadi tawar.”
Dan penyair lain berkata:
“Engkau telah berubah dalam banyak rupa terhadapku… dan telah bercampur yang tawar dari saudaramu yang asin.”
Air laut itu suci lagi menyucikan dan tidak makruh. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dan dari Sa‘id bin al-Musayyab bahwa mereka memakruhkannya dan mendahulukan tayammum daripada menggunakannya. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan tidaklah sama dua lautan: yang satu tawar dan segar yang mudah diminum, dan yang lain asin dan pahit.” (Fāṭir: 12). Maka peniadaan kesetaraan di antara keduanya menunjukkan ketidaksamaan hukum dalam bersuci dengannya.
Dan juga karena Nabi bersabda: “Laut adalah api dari api.”
وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الْبَحْرِ: ” الْبَحْرُ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ “.
وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ أَبِي هِنْدٍ الْفِرَاسِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ لَمْ يُطَهِّرْهُ الْبَحْرُ فَلَا طَهَّرَهُ اللَّهُ ” وَلِأَنَّ الْمَاءَ قَدْ يَخْتَلِفُ فِي طَعْمِهِ وَلَوْنِهِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ اخْتِلَافُ أَلْوَانِهِ يَمْنَعُ مِنْ تَسَاوِي الْحُكْمِ فِي الطَّهَارَةِ بِهِ لَمْ يَكُنِ اخْتِلَافُ طَعْمِهِ مَانِعًا مِنْ تَسَاوِي حُكْمِهِ فِي الطَّهَارَةِ. وَأَمَّا قَوْلُهُ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ} [فاطر: 12] . فَإِنَّمَا نَعْنِي مَا ذَكَرَهُ مِنْ أَنَّ أَحَدَهُمَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَالْآخَرُ مِلْحٌ أُجَاجٌ غَيْرُ سَائِغٍ شَرَابُهُ
Dan dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ tentang laut: “Laut itu suci menyucikan airnya, halal bangkainya.”
Imam Syafi‘i meriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad, dari Abdul ‘Aziz bin ‘Umar, dari Sa‘id bin Tsauban, dari Abu Hind al-Firasi, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Barang siapa tidak disucikan oleh laut, maka Allah tidak akan menyucikannya.”
Dan karena air dapat berbeda dalam rasa dan warnanya, maka ketika perbedaan warna tidak menghalangi kesamaan hukum dalam bersuci dengannya, maka perbedaan rasa pun tidak menghalangi kesamaan hukum dalam bersuci.
Adapun firman Allah Ta‘ala: “Dan tidaklah sama dua lautan…” (Fāṭir: 12), maka maksudnya hanyalah apa yang disebutkan dalam ayat, yaitu bahwa salah satunya tawar, segar, dan mudah diminum, sedangkan yang lain asin, pahit, dan tidak enak diminum.
وَأَمَّا قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” الْبَحْرُ نَارٌ فِي نَارٍ ” يَعْنِي أَنَّهُ كَالنَّارِ لِسُرْعَةِ إِتْلَافِهِ أَوْ أَنَّهُ يَصِيرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ نَارًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ} [التكوير: 6] . فَثَبَتَ أَنْ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمَاءِ الْمَالِحِ وَالْعَذْبِ، فَأَمَّا الْمَاءُ الَّذِي يَنْعَقِدُ مِنْهُ الْمِلْحُ فَإِنِ ابْتَدَأَ بِالْجُمُودِ خَرَجَ عَنْ حَدِّ الْجَارِي، فَلَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ، وَإِنْ كَانَ مَاءً جَارِيًا فَهُوَ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَصِيرُ مِلْحًا بِجَوْهَرِهِ فِي الْمَاءِ، دُونَ الْبَرِّيَّةِ كَأَعْيُنِ الْمِلْحِ الَّتِي تَنْبُعُ مَاءً مَائِعًا وَيَصِيرُ جَوْهَرُهُ مِلْحًا جَامِدًا فَظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ جَوَازُ اسْتِعْمَالِهِ لِأَنَّ اسْمَ الْمَاءِ الْمُطْلَقِ يَتَنَاوَلُهُ فِي الْحَالِ، وَإِنْ كَانَ هَذَا الِاسْمُ يُؤَوَّلُ عَنْهُ إِذَا جَمُدَ فِي ثَانِي الْحَالِ كَمَا يَجْمُدُ الْمَاءُ فَيَصِيرُ ثَلْجًا. قَالَ أَبُو سَهْلٍ الصُّعْلُوكِيُّ: لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ، لِأَنَّهُ جِنْسٌ آخَرُ غَيْرُ الْمَاءِ كَالنِّفْطِ وَالْقَارِ.
Adapun sabda Nabi : “Laut adalah api dalam api”, maka maksudnya adalah bahwa laut seperti api karena cepatnya membinasakan, atau bahwa laut akan menjadi api pada hari kiamat, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan apabila lautan dijadikan meluap (menyala seperti api).” (At-Takwīr: 6)
Maka tetaplah bahwa tidak ada perbedaan antara air asin dan air tawar.
Adapun air yang menjadi garam padat (menghasilkan endapan garam), jika dari awal bentuknya sudah beku, maka ia keluar dari batasan air yang mengalir, sehingga tidak boleh digunakan.
Tetapi jika ia berupa air yang mengalir, maka terbagi dua:
- Jenis yang zatnya berubah menjadi garam di dalam air, bukan dari luar, seperti mata air asin yang memancar berupa air cair dan zatnya kemudian membeku menjadi garam—maka menurut pendapat zahir mazhab Syafi‘i dan mayoritas sahabat beliau, penggunaannya boleh. Karena nama “air mutlak” (air murni) masih mencakupnya pada keadaan tersebut, meskipun nama itu tidak lagi digunakan padanya setelah ia membeku, sebagaimana air yang membeku menjadi salju.
Abu Sahl ash-Shu‘luki berkata: Tidak boleh digunakan, karena ia adalah jenis lain selain air, seperti minyak tanah dan aspal.
فَصْلٌ:
وَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَوْ بِئْرٍ أَوْ سَمَاءٍ فَإِنَّمَا أَرَادَ مَاءَ بِئْرٍ أَوْ مَاءَ سَمَاءٍ فَحَذَفَ ذِكْرَ الْمَاءِ اكْتِفَاءً بِفَهْمِ السَّامِعِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ} [فاطر: 12] . يَعْنِي مَاءَ الْبَحْرَيْنِ وَأَمَّا مَاءُ السَّمَاءِ فَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَى جَوَازِ الطَّهَارَةِ بِهِ لِقَوْلِهِ: {وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا} [الفرقان: 48] . وَأَمَّا مَاءُ الْبِئْرِ وَالْعَيْنِ وَالنَّهْرِ فَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي الأَرْضِ} [الزمر: 21] . يَعْنِي بِهَا مَاءَ الْبِئْرِ وَالْعَيْنِ وَالنَّهْرِ.
Fasal:
Adapun ucapan Imam Syafi‘i “atau dari sumur, atau dari langit,” maka yang beliau maksud adalah air sumur atau air langit. Beliau menghilangkan penyebutan kata air karena cukup dipahami oleh pendengar, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan tidaklah sama dua lautan” (Fāṭir: 12), maksudnya adalah air dua lautan.
Adapun air langit, maka telah kami jelaskan kebolehan bersuci dengannya berdasarkan firman-Nya: “Dan Kami turunkan dari langit air yang menyucikan” (Al-Furqān: 48).
Sedangkan air sumur, mata air, dan sungai, maka dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu mengalirkannya menjadi mata-mata air di bumi?” (Az-Zumar: 21) — yang dimaksud dengannya adalah air sumur, mata air, dan sungai.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا قَوْلُهُ أَوْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ فَيُرِيدُ بِهِ أَيْضًا مَاءَ بَرَدٍ أَوْ مَاءَ ثَلْجٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ الطهارة به ما روي عنه عليه السلام أَنَّهُ قَالَ: ” اللَّهُمَّ طَهِّرْنِي بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ كما تطهر النوب مِنَ الدَّرَنِ ” وَلِأَنَّهُ كَانَ مَاءً فَجَمُدَ، ثُمَّ صَارَ مَاءً حِينَ ذَابَ وَانْحَلَّ، فَأَمَّا إِذَا أُخِذَ الثَّلْجَ وَالْبَرَدَ فَدَلَكَ بِهِ أَعْضَاءَ طَهَارَتِهِ قَبْلَ ذَوَبَانِهِ وَانْحِلَالِهِ، قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: يُجْزِيهِ، وَإِطْلَاقُ مَا قَالَهُ الْأَوْزَاعِيُّ غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ إِمْرَارَهُ الثَّلْجَ عَلَى أَعْضَائِهِ يَكُونُ مَسْحًا يَصِلُ إِلَى الْعُضْوِ بِكُلِّ الْمَاءِ، فَإِنْ كَانَ الْمُسْتَحَقُّ فِي الْعُضْوِ الْمَسْحَ كَالرَّأْسِ أَجْزَأَهُ بِحُصُولِ الْمَسْحِ، وَإِنْ كَانَ الْمُسْتَحَقُّ الْغَسْلَ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ حَدَّ الْغَسْلِ أَنْ يَجْرِيَ الْمَاءُ بِطَبْعِهِ، وَهَذَا مَسْحٌ، وَلَيْسَ بِغَسْلٍ وَمَسْحُ مَا يَجِبُ غَسْلُهُ غَيْرُ مُجْزِئٍ، فَلَوْ كَانَ فِي إِمْرَارِهِ عَلَى الْأَعْضَاءِ يَذُوبُ عَلَيْهَا ثُمَّ يَجْرِي مَاؤُهُ عَلَيْهَا فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا أَحَدُهُمَا يُجْزِئُ لِحُصُولِ الْغَسْلِ بِجَرَيَانِ الْمَاءِ عَلَى الْأَعْضَاءِ، وَالثَّانِي لَا يُجْزِئُ لِأَنَّهُ بَعْدَ مُلَاقَاةِ الْأَعْضَاءِ صَارَ جَارِيًا.
Fasal
Adapun ucapan Imam Syafi‘i “atau dari hujan es atau dari salju,” maka yang beliau maksud adalah air dari hujan es atau air dari salju. Dalil kebolehan bersuci dengannya adalah riwayat dari Nabi bahwa beliau bersabda: “Ya Allah, sucikanlah aku dengan air salju dan hujan es sebagaimana Engkau menyucikan pakaian putih dari kotoran.”
Dan karena ia pada asalnya adalah air yang membeku, lalu kembali menjadi air saat mencair dan meleleh.
Adapun jika seseorang mengambil salju atau hujan es, lalu menggosokkannya ke anggota wudhunya sebelum mencair dan meleleh, maka menurut al-Awza‘i: hal itu mencukupi (sah). Namun pendapat al-Awza‘i secara mutlak tidaklah benar, karena menggosokkan salju ke anggota tubuh itu hanya berupa usapan, dan tidak menyebabkan air menyentuh seluruh bagian anggota tersebut
Jika anggota tubuh yang dibersihkan hanya diwajibkan untuk diusap, seperti kepala, maka itu mencukupi karena telah terjadi usapan. Namun jika anggota tersebut diwajibkan untuk dicuci, maka tidak mencukupi, karena batasan mencuci adalah mengalirnya air secara alami, sedangkan ini hanyalah usapan, bukan cucian. Dan mengusap sesuatu yang wajib dicuci tidak mencukupi.
Namun jika ketika digosokkan ke anggota tubuh, salju atau es tersebut mencair di atasnya, lalu airnya mengalir di atas anggota tersebut, maka terdapat dua pendapat di kalangan sahabat kami:
– Pertama: sah, karena telah terjadi pencucian dengan mengalirnya air di atas anggota tubuh.
– Kedua: tidak sah, karena air tersebut baru mengalir setelah menyentuh anggota tubuh.
فَصْلٌ
وَأَمَّا قَوْلُهُ ” مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ، وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ ” فَإِنَّمَا قَصَدَ بِالْمُسَخَّنِ أَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: الْفَرْقُ بَيْنَ الْمُسَخَّنِ بِالنَّارِ وَبَيْنَ الْحَامِي بِالشَّمْسِ فِي أَنَّ الْمُسَخَّنَ غَيْرُ مَكْرُوهٍ وَالْمُشَمَّسَ مَكْرُوهٌ.
وَالثَّانِي: الرَّدُّ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ مُجَاهِدٌ وَزَعَمُوا أَنَّ الْمُسَخَّنَ بِالنَّارِ مَكْرُوهٌ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُسَخَّنُ لَهُ الْمَاءُ فَيَسْتَعْمِلُهُ وَالصَّحَابَةُ يَعْلَمُونَ ذَلِكَ مِنْهُ، وَلَا يُنْكِرُونَهُ، وَلِأَنَّ تَسْخِينَ الْمَاءِ بِمَنْزِلَةِ التَّبْرِيدِ يُرْفَعَانِ عَنْهُ تَارَةً وَيَحِلَّانِ فِيهِ أُخْرَى، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ تَبْرِيدُهُ مَانِعًا مِنَ اسْتِعْمَالِهِ لَمْ يَكُنْ تَسْخِينُهُ الدَّافِعَ لِرَدِّهِ مَانِعًا مِنَ اسْتِعْمَالِهِ، وَلَعَلَّ مُجَاهِدًا كَرِهَ مِنْهُ مَا اشْتَدَّ حَمَاهُ، فَلَمْ يُمْكِنِ اسْتِعْمَالُهُ، وذلك عندنا مكروه، وكذلك كما اشْتَدَّ بَرْدُهُ فَلَمْ يُمْكِنِ اسْتِعْمَالُهُ فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَالْمِيَاهُ كُلُّهَا نَوْعَانِ: نَوْعٌ نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ مِيَاهٍ مَاءُ الْمَطَرِ، وَمَاءُ الثَّلْجِ، وَمَاءُ الْبَرَدِ، وَنَوْعٌ يَنْبُعُ مِنَ الْأَرْضِ وَهُوَ أَرْبَعُ مِيَاهٍ: مَاءُ الْبَحْرِ، وَمَاءُ النَّهْرِ، وَمَاءُ الْعَيْنِ، وَمَاءُ الْبِئْرِ، وَجَمِيعُ هَذِهِ الْمِيَاهِ طَاهِرَةٌ مُطَهِّرَةٌ عَلَى اخْتِلَافِهَا فِي اللَّوْنِ وَالطَّعْمِ والرائحة
Fasal
Adapun ucapan Imam Syafi‘i: “Air yang dipanaskan dan yang tidak dipanaskan adalah sama, dan bersuci dengannya boleh,” maka yang beliau maksud dengan “dipanaskan” mencakup dua hal:
Pertama: membedakan antara air yang dipanaskan dengan api dan air yang menjadi panas karena matahari, yaitu bahwa air yang dipanaskan (dengan api) tidak makruh, sedangkan air yang dijemur terkena matahari adalah makruh.
Kedua: sebagai bantahan terhadap sekelompok orang, di antaranya Mujahid, yang berpendapat bahwa air yang dipanaskan dengan api adalah makruh. Ini tidak benar, karena diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab raḍiyallāhu ‘anhu biasa dipanaskan air untuknya dan beliau menggunakannya, dan para sahabat mengetahui hal itu darinya tanpa mengingkarinya.
Juga karena memanaskan air itu sama kedudukannya dengan mendinginkannya; kadang air menjadi terlalu panas atau terlalu dingin, lalu kembali ke suhu yang bisa digunakan. Maka jika pendinginan tidak menjadi penghalang penggunaannya, maka pemanasan juga tidak boleh menjadi penghalang untuk menggunakannya.
Kemungkinan Mujahid memakruhkan air yang sangat panas sehingga tidak mungkin digunakan, maka dalam pandangan kami itu memang makruh, sebagaimana jika air terlalu dingin sehingga tidak memungkinkan untuk dipakai, maka juga makruh.
Jika hal ini telah dijelaskan, maka air terbagi menjadi dua jenis: Pertama, Air yang turun dari langit, yaitu tiga macam: air hujan, air salju, dan air hujan es. Kedua, Air yang memancar dari bumi, yaitu empat macam: air laut, air sungai, air mata air, dan air sumur.
Dan seluruh jenis air ini adalah suci dan menyucikan, meskipun berbeda-beda dalam warna, rasa, dan bau.
مسألة
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَلَا أَكْرَهُ الْمَاءَ الْمُشَمَّسَ إِلَّا مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ لِكَرَاهِيَةِ عُمْرَ ذَلِكَ وَقَوْلِهِ: ” يُورِثُ الْبَرَصَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فَهَذَا صَحِيحٌ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ الْمُشَمَّسِ مَكْرُوهٌ لِرِوَايَةِ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عنهما – شَمَّسَتْ مَاءً لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا تفعلي يا حميرا فَإِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ ” وَرُوِيَ عَنْ عُمْرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَرِهَ الْمَاءَ الْمُشَمَّسَ، وَقَالَ: إِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ، فَإِذَا ثَبَتَ الْخَبَرُ وَالْأَثَرُ كَرَاهِيَةُ الْمَاءِ الْمُشَمَّسِ، فَإِنَّ الْكَرَاهَةَ مُخْتَصَّةٌ بِمَا أَثَّرَتْ فِيهِ الشَّمْسُ مِنْ مِيَاهِ الْأَوَانِي، وَأَمَّا مِيَاهُ الْبِحَارِ وَالْأَنْهَارِ وَالْآبَارِ لَا يُكْرَهُ لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّمْسَ لَا تُؤَثِّرُ فِيهَا كَتَأْثِيرِهَا فِي الْأَوَانِي. وَالثَّانِي: التَّحَرُّزُ مِنْهَا غَيْرُ مُمْكِنٍ وَمِنَ الْأَوَانِي مُمْكِنٌ وَتَأْثِيرُ الشَّمْسِ فِي مِيَاهِ الْأَوَانِي قَدْ يَكُونُ تَارَةً بِالْحَمَا، وَتَارَةً بِزَوَالِ بِرْدِهِ، وَالْكَرَاهَةُ فِي الْحَالَيْنِ عَلَى سَوَاءٍ، فَإِنْ لَمْ تُؤَثِّرِ الشَّمْسُ فِيهِ لَمْ يُكْرَهْ فَسَوَاءٌ مَا قَصَدَ بِهِ الشَّمْسَ، وَمَا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ
Masalah
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Aku tidak memakruhkan air yang dijemur (air yang terkena panas matahari) kecuali dari sisi medis, karena kebencian ‘Umar terhadap hal itu dan sabdanya: ‘Itu dapat menyebabkan belang (barash)’.”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang sahih. Penggunaan air yang dijemur hukumnya makruh karena riwayat Abū az-Zubair dari Jābir bahwa ‘Ā’isyah – raḍiyallāhu ‘anhumā – pernah menjemur air untuk Rasulullāh – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam –, maka Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – bersabda: “Jangan lakukan, wahai Ḥumayrā’, karena itu menyebabkan belang (barash).” Dan diriwayatkan dari ‘Umar – raḍiyallāhu ‘anhu – bahwa beliau membenci air yang dijemur dan berkata: “Itu menyebabkan belang.”
Maka apabila telah tetap adanya hadis dan atsar mengenai makruhnya air yang dijemur, sesungguhnya kemakruhan itu khusus bagi air yang terkena pengaruh matahari dari air dalam wadah. Adapun air laut, sungai, dan sumur, maka tidak dimakruhkan karena dua alasan:
Pertama: Matahari tidak berpengaruh padanya sebagaimana pengaruhnya pada air dalam wadah.
Kedua: Menghindari air-air tersebut tidak memungkinkan, sedangkan menghindari air dari wadah memungkinkan.
Pengaruh matahari terhadap air dalam wadah terkadang terjadi karena panas, dan terkadang karena hilangnya rasa dingin. Kemakruhan berlaku dalam kedua kondisi tersebut secara setara. Maka apabila matahari tidak berpengaruh pada air tersebut, tidak dimakruhkan, baik air itu dijemur secara sengaja maupun terkena sinar matahari tanpa sengaja.
وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ الْمَكْرُوهَ مِنْهُ مَا قَصَدَ بِهِ الشَّمْسَ دُونَ مَا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِعَائِشَةَ: ” لَا تَفْعَلِي ” فَكَانَ النَّهْيُ مُتَوَجِّهًا إِلَى الْفِعْلِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ نَصَّ عَلَى مَعْنَى النَّهْيِ وَأَنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ وَهَذَا الْمَعْنَى لَا يَخْتَصُّ بِالْقَصْدِ دُونَ غَيْرِهِ، وَكَذَا أَيْضًا لَا فَرْقَ بَيْنَ مَا حَمِيَ بِالشَّمْسِ فِي بِلَادِ تِهَامَةَ وَالْحِجَازِ، وَبَيْنَ مَا حَمِيَ بِهَا فِي سَائِرِ الْبِلَادِ، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَجْعَلُ النَّهْيَ مَخْصُوصًا بِمَا حَمِيَ بِتِهَامَةَ وَالْحِجَازِ لِأَنَّهُ هُنَاكَ تُورِثُ الْبَرَصَ دُونَ مَا حَمِيَ بِالْعِرَاقِ وَسَائِرِ الْبِلَادِ، وَهَذَا التَّخْصِيصُ إِنَّمَا هُوَ إِطْلَاقُ قَوْلٍ بِغَيْرِ دَلِيلٍ مَعَ عُمُومِ النَّهْيِ الشَّامِلِ لِجَمِيعِ الْبِلَادِ، فَأَمَّا مَا حَمِيَ بِالشَّمْسِ ثُمَّ بَرُدَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَرَاهَةِ اسْتِعْمَالِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى حَالِ الْكَرَاهَةِ لِثُبُوتِ الْحُكْمِ لَهُ قَبْلَ الْبَرْدِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ، لِأَنَّ مَعْنَى الْكَرَاهَةِ كَانَ لِأَجْلِ الْحَمْيِ، فَإِذَا زَالَ الْحَمْيُ زَالَ مَعْنَى الْكَرَاهَةِ، وَكَانَ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا يَقُولُ: يَنْبَغِي أَنْ يُرْجَعَ فِيهِ إِلَى عُدُولِ الطِّبِّ فَإِنْ قَالُوا: إِنَّهُ بَعْدَ بَرْدِهِ يُورِثُ الْبَرَصَ كَانَ مَكْرُوهًا، وَإِنْ قَالُوا: إِنَّهُ لَا يُورِثُ الْبَرَصَ لَمْ يَكُنْ مَكْرُوهًا، وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ، لِأَنَّ الْأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ لَا تَثْبُتُ بِغَيْرِ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ في الشريعة، لأن من الطِّبِّ مَنْ يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ الْمُشَمَّسُ يُورِثُ الْبَرَصَ وَلَا يُرْجَعُ إِلَى قَوْلِهِ فِيهِ.
Dan sebagian sahabat kami berpendapat bahwa yang dimakruhkan adalah air yang dijemur dengan sengaja di bawah sinar matahari, bukan air yang terkena sinar matahari tanpa sengaja, karena Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – bersabda kepada ‘Ā’isyah: “Jangan lakukan,” maka larangan itu ditujukan pada perbuatan (penjemuran) tersebut. Namun pendapat ini tidak benar, karena Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – telah menjelaskan makna larangan, yaitu bahwa air itu menyebabkan penyakit belang (barash), dan makna ini tidak khusus pada air yang dijemur secara sengaja saja, tetapi juga berlaku pada yang terkena matahari tanpa sengaja.
Demikian pula, tidak ada perbedaan antara air yang menjadi panas karena matahari di daerah Tihāmah dan Ḥijāz, dengan yang menjadi panas karena matahari di daerah lainnya. Sebagian sahabat kami membatasi larangan hanya pada air yang menjadi panas karena matahari di Tihāmah dan Ḥijāz, karena di sana air seperti itu dapat menyebabkan belang, berbeda dengan yang menjadi panas di Irak dan daerah lainnya. Pembatasan seperti ini hanyalah perkataan yang dilepaskan tanpa dalil, padahal larangan itu bersifat umum mencakup seluruh negeri.
Adapun air yang menjadi panas karena matahari lalu kemudian dingin kembali, maka para sahabat kami berselisih pendapat tentang kemakruhan penggunaannya menjadi dua wajah:
Pertama: hukumnya tetap makruh karena ketetapan hukum tersebut berlaku atasnya sebelum menjadi dingin.
Kedua: tidak makruh, karena sebab kemakruhannya adalah karena panasnya, maka apabila panasnya hilang, hilang pula sebab kemakruhannya.
Sebagian ulama muta’akhkhirīn dari kalangan sahabat kami mengatakan: sebaiknya perkara ini dikembalikan kepada para dokter terpercaya. Jika mereka mengatakan bahwa setelah dingin pun masih dapat menyebabkan belang, maka hukumnya makruh. Dan jika mereka mengatakan bahwa tidak menyebabkan belang, maka tidak makruh. Namun pendapat ini tidak dapat diterima, karena hukum-hukum syariat tidak ditetapkan kecuali oleh ahlul ijtihād dalam syariat. Lagipula, di kalangan ahli medis sendiri ada yang mengingkari bahwa air yang dijemur dapat menyebabkan belang, maka tidak dapat dijadikan sandaran pendapat mereka dalam hal ini.
فَصْلٌ
فَإِذَا ثَبَتَ كَرَاهَةُ الْمَاءِ الْمُشَمَّسِ فَإِنَّمَا تَخْتَصُّ الْكَرَاهَةُ فِي اسْتِعْمَالِهِ فِيمَا يُلَاقِي الْجَسَدَ مِنْ طَهَارَةِ حَدَثٍ، وَإِزَالَةِ نَجَسٍ أَوْ بَرَدٍ، أَوْ تَنْظِيفٍ، أَوْ شُرْبٍ، سَوَاءٌ لَاقَى الْجَسَدَ فِي عِبَادَةٍ أَوْ غَيْرِ عِبَادَةٍ، فَأَمَّا اسْتِعْمَالُهُ فِيمَا لَا يُلَاقِي الْجَسَدَ مِنْ غَسْلِ ثَوْبٍ أَوْ إِنَاءٍ أَوْ إِزَالَةِ نَجَاسَةٍ عَنْ أَرْضٍ، فَلَا يُكْرَهُ، لِأَنَّ مَعْنَى الْكَرَاهَةِ أَنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ، وَهَذَا مُخْتَصٌّ بِمُلَاقَاةِ الْجَسَدِ دُونَ غَيْرِهِ، فأما إن استعماله فِي طَعَامٍ يُرِيدُ أَكْلَهُ، فَإِنْ كَانَ قَدْ يَبْقَى فِي الطَّعَامِ كَالْمُرِّيِّ بِهِ فِي الطَّبْخِ كَانَ مَكْرُوهًا، وَإِنْ كَانَ لَا يَبْقَى مَا يُعَافِيهِ كَالدَّقِيقِ الْمَعْجُونِ بِهِ، أَوِ الْأُرْزِ الْمَطْبُوخِ به لم يكره
Fasal
Apabila telah tetap hukum makruh terhadap air yang dijemur, maka kemakruhan itu khusus pada penggunaannya dalam hal-hal yang bersentuhan langsung dengan tubuh, seperti bersuci dari ḥadats, menghilangkan najis, mendinginkan badan, membersihkan, atau untuk diminum—baik bersentuhan dengan tubuh itu dalam ibadah maupun di luar ibadah.
Adapun penggunaannya dalam hal-hal yang tidak bersentuhan dengan tubuh, seperti mencuci pakaian, bejana, atau menghilangkan najis dari tanah, maka tidak dimakruhkan. Karena makna kemakruhannya adalah bahwa air tersebut menyebabkan penyakit belang (barash), dan hal itu khusus terjadi karena kontak langsung dengan tubuh, bukan selainnya.
Adapun jika digunakan dalam makanan yang hendak dimakan, maka apabila air itu masih tersisa dalam makanan—seperti dalam kuah yang tetap ada setelah dimasak—maka hukumnya makruh. Namun jika tidak tersisa sesuatu yang menjijikkan darinya—seperti adonan tepung atau nasi yang dimasak dengannya—maka tidak dimakruhkan.
مسألة
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَمَا عَدَا ذَلِكَ مِنْ مَاءِ وَرْدٍ أَوْ شَجَرٍ أَوْ عَرَقٍ.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ مُعْتَصَرًا مِنْ شَجَرٍ أَوْ ثَمَرٍ، أَوْ وَرَقٍ، كماء الورد والبقول الفواكه فَهُوَ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ لَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَعْمَلَ فِي حَدَثٍ، وَلَا نَجَسٍ وَحُكِيَ عَنِ ابن أبي ليلى والأصم أنه طاهر يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ، وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ فِي إِزَالَةِ النَّجَسِ دُونَ الْحَدَثِ، فَأَمَّا ابْنُ أَبِي لَيْلَى وَالْأَصَمُّ فَاسْتَدَلَّا بِأَنَّهُ مَائِعٌ طَاهِرٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُطَهِّرًا كَالْمَاءِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى: أَوْدَعَ كُلَّ مَاءٍ مَعْدِنًا وَأَوْدَعَ هَذِهِ الْمِيَاهَ فِي النَّبَاتِ كَمَا أَوْدَعَ غَيْرَهَا فِي الْعُيُونِ وَالْآبَارِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَغَيَّرَ حُكْمُهَا فِي التَّطْهِيرِ بِاخْتِلَافِ مَعَادِنِهَا كَسَائِرِ الْمِيَاهِ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ هَذَا الْقَوْلِ تَخْصِيصُ اللَّهِ تَعَالَى الْمَاءَ الْمُطْلَقَ بِالتَّطْهِيرِ، وَتَخْصِيصُ الذِّكْرِ إِذَا عُلِّقَ بِصِفَةٍ يُوجِبُ اخْتِصَاصَهَا بِالْحُكْمِ وَمَنَعَ غَيْرَهَا مِنَ الْمُشَارَكَةِ ولأن مَا خَرَجَ عَنِ اسْمِ الْمَاءِ الْمُطْلَقِ خَرَجَ عَنْ حُكْمِهِ فِي التَّطْهِيرِ كَالْأَدْهَانِ وَمَاءِ اللَّحْمِ وهذا يفسد ما استدلوا به.
Masalah
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Adapun selain itu, seperti air mawar, air pohon, atau air keringat…”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang diperas dari pohon, buah, atau daun—seperti air mawar, sayur-sayuran, dan buah-buahan—hukumnya suci tetapi tidak menyucikan. Maka tidak boleh digunakan untuk bersuci dari ḥadats maupun untuk menghilangkan najis.
Diriwayatkan dari Ibn Abī Laylā dan al-Aṣamm bahwa air-air tersebut suci dan boleh digunakan untuk bersuci dari ḥadats maupun menghilangkan najis. Abū Ḥanīfah berkata: boleh digunakan untuk menghilangkan najis, tetapi tidak untuk bersuci dari ḥadats.
Adapun Ibn Abī Laylā dan al-Aṣamm berdalil bahwa air tersebut adalah cairan yang suci, maka wajib hukumnya dianggap menyucikan sebagaimana air. Mereka juga berkata: karena Allah Ta‘ālā telah menjadikan setiap air memiliki sumbernya, dan telah meletakkan air-air ini di dalam tumbuhan sebagaimana meletakkan air lainnya di mata air dan sumur, maka tidak seharusnya hukum penyuciannya berbeda hanya karena perbedaan sumbernya, sebagaimana seluruh air lainnya tetap satu hukum.
Namun dalil atas rusaknya pendapat ini adalah bahwa Allah Ta‘ālā telah mengkhususkan air muthlaq untuk menyucikan, dan pengkhususan suatu lafaz apabila dikaitkan dengan suatu sifat maka wajib menetapkan kekhususan hukum padanya dan mencegah selainnya dari berbagi hukum tersebut. Dan karena segala sesuatu yang keluar dari nama “air muthlaq” maka keluar pula dari hukumnya dalam penyucian, seperti minyak dan air daging. Maka ini membatalkan dalil yang mereka ajukan.
فصل: دليل أبي حنيفة والرد عليه
وَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ عَلَى إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ بِكُلِّ مَائِعٍ طَاهِرٍ بِمَا رُوِيَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي وَأَجُرُّهُ فِي الْمَكَانِ الْقَذِرِ. فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ ” وَمَعْلُومٌ أَنْ لَيْسَ بَعْدَهُ إِلَّا التُّرَابُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِغَيْرِ الْمَاءِ مَدْخَلٌ فِي تَطْهِيرِ النَّجَاسَةِ، وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أصاب ثوبها دم قبلته وَقَرَصَتْهُ بِرِيقِهَا، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الرِّيقَ يُزِيلُ النجاسة، قالوا: وَلِأَنَّهُ مَائِعٌ طَاهِرٌ مُزِيلٌ فَزَالَ إِزَالَةَ النَّجَاسَةِ بِهِ كَالْمَاءِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ مَا أَزَالَ عَيْنَ النَّجَاسَةِ أَوْجَبَ إِزَالَةَ حُكْمِهَا، كَالْقَطْعِ بِالْمِقَصِّ، قَالُوا: وَلِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّ إِزَالَةَ عَيْنِهِ بَعِيدًا لَمْ يَخْتَصَّ بِالْمَاءِ كَالطِّيبِ عَلَى بَدَنِ الْمُحْرِمِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الْحُكْمَ إِذَا ثَبَتَ لِمَعْنًى زَالَ الْحُكْمُ بِزَوَالِ ذَلِكَ الْمَعْنَى، فَلَمَّا كَانَ الْمَعْنَى فِي تَنْجِيسِ الْمَحَلِّ وُجُودَ الْعَيْنِ وَجَبَ إِذَا ارْتَفَعَتْ أَنْ يَزُولَ تَنْجِيسُ الْمَحَلِّ، قَالُوا: وَلِأَنَّ إِنَاءَ الْخَمْرِ لَمَّا طَهُرَ بِانْقِلَابِهِ خَلًّا، عُلِمَ أَنَّ الْخَلَّ طَهَّرَهُ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَكُونَ الْخَلُّ مُطَهِّرًا لِإِنَاءِ الْخَمْرِ، جَازَ أَنْ يَكُونَ مُطَهِّرًا لِكُلِّ نَجِسٍ، قَالُوا: وَلِأَنَّ هِرًّا لَوْ أَكَلَتْ فَارَةً أَوْ مَيْتَةً ثُمَّ وَلَغَتْ فِي إِنَاءٍ كان الماء طاهرا، فدل أن فيها طهر بريقها، قالوا: ولأن لَمَّا كَانَ لِغَيْرِ الْمَائِعِ مَدْخَلٌ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ، وَهُوَ الشَّثُّ وَالْقَرَظُ فِي الدِّبَاغَةِ لَمْ يَكُنِ الْمَاءُ مُخْتَصًّا بِالْإِزَالَةِ فَكَانَ الْمَائِعُ أَوْلَى مِنَ الْجَامِدِ، لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي الْإِزَالَةِ.
Fashal: Dalil Abū Ḥanīfah dan bantahan atasnya
Adapun Abū Ḥanīfah berdalil atas bolehnya menghilangkan najis dengan setiap cairan yang suci berdasarkan riwayat dari Umm Salamah bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah perempuan yang memanjangkan ujung pakaianku dan menyeretnya di tempat yang kotor.” Maka Rasulullah – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – bersabda: “Yang setelahnya menyucikannya.” Padahal diketahui bahwa yang mengenainya setelah itu hanyalah tanah, maka ini menunjukkan bahwa selain air pun bisa berperan dalam menyucikan najis.
Dan berdasarkan riwayat bahwa ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā ketika terkena darah di pakaiannya, ia menggosoknya dengan air liurnya, maka ini menunjukkan bahwa air liur dapat menghilangkan najis.
Mereka juga berkata: karena ia (cairan suci) adalah cairan yang suci dan dapat menghilangkan (najis), maka ia dapat menghilangkan najis sebagaimana air. Mereka berkata: karena sesuatu yang dapat menghilangkan zat najis, maka wajib juga menghilangkan hukumnya, seperti memotong najis dengan gunting. Mereka berkata: karena sesuatu yang wajib dihilangkan dzatnya, tidak dikhususkan dengan air saja, seperti minyak wangi pada tubuh orang berihram.
Mereka berkata: karena suatu hukum apabila ditetapkan karena suatu sebab, maka hilangnya sebab itu mengharuskan hilangnya hukum. Maka ketika sebab kenajisan tempat adalah adanya zat najis, jika zatnya hilang maka kenajisannya juga hilang.
Mereka berkata: karena bejana khamr (arak) menjadi suci setelah berubah menjadi cuka, maka diketahui bahwa cuka telah menyucikannya. Maka ketika boleh cuka menyucikan bejana khamr, maka boleh juga ia menyucikan segala sesuatu yang najis.
Mereka berkata: seandainya seekor kucing memakan tikus atau bangkai, lalu menjilat ke dalam bejana, maka airnya tetap suci. Maka ini menunjukkan bahwa ada unsur penyucian dalam air liur kucing.
Mereka berkata: karena sesuatu yang bukan cair pun memiliki peran dalam menghilangkan najis, yaitu seperti asy-tsats dan al-qaraẓ dalam penyamakan kulit, maka air tidaklah khusus dalam penghilangan najis. Maka cairan lebih utama daripada benda padat, karena ia lebih efektif dalam menghilangkan.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ} [الأنفال: 11] وَالِاسْتِدْلَالُ بِهَا مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَخْرَجَ هَذَا مَخْرَجَ الْفَضِيلَةِ لِلْمَاءِ وَالِامْتِنَانِ بِهِ فَلَوْ شَارَكَهُ غَيْرُهُ فِيهِ لَبَطَلَتْ فَائِدَةُ الِامْتِنَانِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ أَرَادَ بِالنَّصِّ عَلَى الْمَاءِ التَّنْبِيهَ عَلَى مَا سواه لنص على أدون الْمَائِعَاتِ، لِيَكُونَ تَنْبِيهًا عَلَى أَعْلَاهَا فَلَمَّا نَصَّ عَلَى الْمَاءِ وَعَلَى أَعْلَى الْمَائِعَاتِ عُلِمَ أَنَّ اختصاصه بالحكم.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan Dia menurunkan kepadamu air dari langit untuk menyucikan kamu dengannya} [al-Anfāl: 11].
Pendalilan dengan ayat ini dari dua sisi:
Pertama: Bahwa Allah Ta‘ālā menyebutkan hal ini dalam bentuk penegasan keutamaan bagi air dan bentuk karunia-Nya atas manusia. Maka jika ada selain air yang turut serta dalam penyucian, hilanglah faedah penyebutan nikmat itu secara khusus.
Kedua: Seandainya maksud dari penyebutan air dalam nash adalah untuk memberi isyarat kepada cairan lain, niscaya Allah akan menyebutkan jenis cairan yang lebih rendah tingkatannya agar itu menjadi isyarat bagi yang lebih tinggi. Maka ketika Allah menyebutkan air, yang merupakan yang paling utama dari segala cairan, diketahui bahwa pengkhususan hukum penyucian hanya berlaku padanya.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ولا سيما فِي دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ حُتِّيهِ ثُمَّ اقْرُصِيهِ ثُمَّ اغْسِلِيهِ بِالْمَاءِ ” فَأَمَرَهَا بِالْمَاءِ، وَالْأَمْرُ إِذَا وَرَدَ مُقَيَّدًا بِشَرْطٍ لَمْ يَسْقُطْ إِلَّا بِوُجُودِ ذَلِكَ الشَّرْطِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ شَرْعِيَّةٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَجُوزَ بِمَائِعٍ غَيْرِ الْمَاءِ، كَرَفْعِ الْحَدَثِ، وَلِأَنَّهُ غَسْلٌ مَفْرُوضٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجُوزَ بِمَائِعٍ غَيْرِ الْمَاءِ كَالْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ وَلِأَنَّهُ مَائِعٌ لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَزُولَ النَّجَسُ كَالدُّهْنِ، وَالْمَرَقِ، وَلِأَنَّ لِلْمَاءِ نَوْعَيْنِ مِنَ التَّطْهِيرِ: أَحَدُهُمَا: تَطْهِيرُ نَفْسِهِ بِالْمُكَاثَرَةِ. وَالثَّانِي: تَطْهِيرُ غَيْرِهِ بِالْمُبَاشَرَةِ. فَلَمَّا انْتَفَى عَنِ المائع تطهير نفسه بالمكاثرة. وجب أن تنتفي عَنِ الْمَائِعِ تَطْهِيرُ غَيْرِهِ بِالْمُبَاشَرَةِ، وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ التَّطْهِيرِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنِ الْمَائِعِ قِيَاسًا عَلَى تَطْهِيرِ الْمُكَاثَرَةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا نَجِسَ بِوُرُودِ النَّجَاسَةِ عَلَيْهِ بِكُلِّ حَالٍ نَجِسَ بِوُرُودِهِ عَلَى النَّجَاسَةِ بِكُلِّ حَالٍ كَغَيْرِهِ الْمَائِعِ طَرْدًا، وَكَالْمَاءِ عَكْسًا، وَإِنْ شِئْتَ قُلْتَ مُلَاقَاةُ الْحِلِّ وَالنَّجَاسَةِ يُوجِبُ أَنْ يَغْلِبَ عَلَيْهِ حُكْمُ النَّجَاسَةِ، كَمَا لَوْ وَقَعَتْ مِنْهُ نَجَاسَةٌ، ولأن إزالة النجس أعلا مِنْ رَفْعِ الْحَدَثِ بِدَلَالَةِ أَنَّ مَنْ كَانَ مُحْدِثًا، وَعَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ، وَوَجَدَ مِنَ الْمَاءِ مَا يَكْفِي أَحَدَهُمَا لَزِمَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي النَّجَاسَةِ دون الحدث، فلم يَجُزِ اسْتِعْمَالُ الْمَائِعَاتِ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ وَهُوَ أَخَفُّ الْأَمْرَيْنِ حَالًا فَالْأَوْلَى أَنْ لَا يَجُوزَ اسْتِعْمَالُهُ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ لِأَنَّهُ أَغْلَظُهُمَا حَالًا.
Dan diriwayatkan bahwa Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – bersabda: “Terutama pada darah haid yang mengenai pakaian: gosoklah, lalu keriklah, lalu cucilah dengan air.” Maka beliau memerintahkan menggunakan air. Dan perintah apabila datang dalam keadaan terikat dengan syarat, maka tidak gugur kecuali dengan adanya syarat tersebut.
Karena ini adalah bentuk penyucian secara syar‘i, maka wajib tidak boleh dilakukan dengan cairan selain air, sebagaimana mengangkat ḥadats. Dan karena ini adalah basuhan yang diwajibkan, maka wajib tidak boleh dilakukan dengan cairan selain air, sebagaimana mandi janabah.
Dan karena ia adalah cairan yang tidak mengangkat ḥadats, maka wajib tidak bisa digunakan untuk menghilangkan najis, seperti minyak dan kuah. Dan karena air memiliki dua jenis penyucian:
Pertama: menyucikan dirinya sendiri dengan jumlah yang banyak (mukātharah),
Kedua: menyucikan selainnya dengan secara langsung (mubāsyarah).
Maka ketika cairan selain air tidak bisa menyucikan dirinya sendiri dengan cara mukātharah, wajib pula bahwa ia tidak dapat menyucikan selainnya secara mubāsyarah. Dan penjelasannya, bahwa ini merupakan salah satu dari dua jenis penyucian, maka wajib di-naskh-kan dari cairan dengan qiyās terhadap penyucian melalui mukātharah.
Dan karena setiap benda yang menjadi najis dengan masuknya najis kepadanya dalam segala keadaan, maka ia juga menajisi jika mengenai najis dalam segala keadaan, sebagaimana benda padat lainnya (ṭardan), dan seperti air secara kebalikannya (ʿaksan). Dan jika engkau mau, engkau bisa mengatakan: pertemuan antara sesuatu yang halal dan najis menyebabkan hukum kenajisan mengalahkan, sebagaimana jika najis itu keluar dari zat tersebut.
Dan karena menghilangkan najis lebih utama daripada mengangkat ḥadats, berdasarkan dalil bahwa seseorang yang berhadats dan terdapat najis pada tubuhnya, dan ia hanya memiliki air yang cukup untuk salah satunya, maka ia wajib menggunakannya untuk najis, bukan untuk hadats. Maka tidak boleh menggunakan cairan-cairan selain air untuk mengangkat ḥadats yang keadaannya lebih ringan, maka lebih utama lagi bahwa tidak boleh digunakan untuk menghilangkan najis yang keadaannya lebih berat.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ تَعَلُّقِهِمْ بِحَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ وَقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ ” فَهُوَ أَنَّهَا إِشَارَاتٌ إِلَى غَيْرِ النَّجَاسَةِ، أَوْ إِلَى نَجَاسَةٍ يَابِسَةٍ بِدَلِيلِ أَنَّ النَّجَاسَةَ الرَّطْبَةَ لَا تُطَهَّرُ بِالدَّلْكِ اتِّفَاقًا.
وَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ فَمَحْمُولٌ عَلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا عَلَى نَجَاسَةٍ يَسِيرَةٍ يُعْفَى عَنْ مِثْلِهَا أَوْ عَلَى أَنَّهَا فَعَلَتْ ذَلِكَ لِتُلِينَ النَّجَاسَةَ بَرِيقِهَا، ثُمَّ تَغْسِلُهَا بِدَلِيلِ أَنَّ الرِّيقَ لَا يُزِيلُ النَّجَاسَةَ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ على الماء، فالمهنى فِي الْمَاءِ أَنَّهُ يَرْفَعُ الْحَدَثَ فَلِذَلِكَ أَزَالَ النَّجَسَ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْقَطْعِ بِالْمِقَصِّ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ أَزَالَ مَحَلَّ النَّجَاسَةِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الطِّيبِ فِي بَدَنِ الْمُحْرِمِ فَالْمَعْنَى فِي الطِّيبِ أَنَّ الْقَصْدَ مِنْهُ إِزَالَةُ رِيحِهِ لَا إِزَالَةَ حُكْمِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ النَّجَاسَةُ.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka yang berdalil dengan hadis Umm Salamah dan sabda beliau – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam –: “Yang setelahnya menyucikannya,” maka itu adalah isyarat kepada sesuatu yang bukan najis, atau kepada najis yang kering, dengan dalil bahwa najis yang basah tidak dapat disucikan dengan menggosoknya, menurut kesepakatan.
Adapun hadis ‘Ā’isyah, maka dapat ditakwil dengan dua kemungkinan:
Pertama, bahwa itu najis yang sedikit yang dimaafkan semisalnya;
Kedua, bahwa ia melakukan itu (menggosok dengan air liur) untuk melunakkan najis tersebut dengan air liurnya, kemudian membasuhnya, dengan dalil bahwa air liur tidak menghilangkan najis.
Adapun qiyās mereka terhadap air, maka keistimewaan pada air adalah karena ia mengangkat ḥadats, maka karena itu pula ia dapat menghilangkan najis.
Adapun qiyās mereka dengan memotong najis menggunakan gunting, maka maknanya adalah bahwa ia menghilangkan tempat najisnya.
Adapun qiyās mereka terhadap minyak wangi pada tubuh orang berihram, maka maksud dari penghilangan di situ adalah menghilangkan baunya, bukan menghilangkan hukumnya; dan itu tidak sama dengan najis.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ ارْتِفَاعَ الْمَعْنَى الْمُوجِبِ لِلْحِكَمِ يُوجِبُ ارْتِفَاعَ ذَلِكَ الْحُكْمِ، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ، ويقول: ليس ارتفاع معنى الحكم موجب لِارْتِفَاعِ ذَلِكَ الْحُكْمِ، فَعَلَى هَذَا يَمْنَعُونَ مِنْ وَجْهِ الِاسْتِدْلَالِ، وَقَالَ أَكْثَرُهُمْ: إِنَّ ارْتِفَاعَهُ يُوجِبُ ارْتِفَاعَ حُكْمِهِ فَعَلَى هذا أن يَكُونُ الْمَعْنَى هُوَ حُكْمُ النَّجَاسَةِ دُونَ الْعَيْنِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ حُكْمُ النَّجَاسَةِ مَعَ عَدَمِ الْعَيْنِ، وَذَلِكَ فِي وُلُوغِ الْكَلْبِ فِي الْمَاءِ الْقَلِيلِ إِذَا نَجِسَ، وَقَدْ يُوجَدُ عَيْنُ النَّجَاسَةِ فِي الْمَاءِ الْكَثِيرِ، وَلَا يُحْكَمُ بِنَجَاسَتِهِ مَا لَمْ تُغَيِّرْهُ، وَفِي مَسْأَلَتِنَا حُكْمُ النَّجَاسَةِ لَمْ يَزُلْ بِالْمَائِعِ فَكَانَ مَعْنَى الْحُكْمِ بَاقِيًا، وَأَمَّا نَجَاسَةُ الْإِنَاءِ إِذَا ارْتَفَعَتْ بِانْقِلَابِ الخمر خلا، وإنما كَانَ ذَلِكَ لِأَنَّ نَجَاسَةَ الْإِنَاءِ عَلَى ظَاهِرِهِ مِنْ إِجْزَاءِ الْخَمْرِ فَإِذَا انْقَلَبَتْ فِي الْإِنَاءِ خَلًّا انْقَلَبَتْ تِلْكَ الْأَجْزَاءُ مَعَهَا فَصَارَتْ خَلًّا فَطَهَّرَ الْجَمِيعَ، وَلَا يَكُونُ هَذَا إِزَالَةَ نَجَسٍ، وَإِنَّمَا هُوَ انْقِلَابُ خَمْرٍ إِلَى خَلٍّ.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْهِرَّةِ إِذَا أَكَلَتْ فَأْرَةً فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ لِأَنَّنَا مَتَى عَلِمْنَا نَجَاسَةَ فَمِهَا بِأَنْ وَلَغَتْ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ عَنِ الْعَيْنِ فَالْمَاءُ نُجِّسَ، وَإِنْ غَابَتْ عَنِ الْعَيْنِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَصَحُّهُمَا: أَنَّ الْمَاءَ نَجِسٌ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ النَّجَاسَةِ فِي فَمِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَاءَ طاهر لأن الأصل طاهرة الْمَاءِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنَّ الْهِرَّةَ حِينَ غَابَتْ وَلَغَتْ فِي إِنَاءٍ آخَرَ فَطَهُرَ فَمُهَا.
وَأَمَّا اسْتِشْهَادُهُمْ بِالدِّبَاغَةِ فَحُكْمُهَا خَارِجٌ عَنْ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ أَلَا تَرَى أَنَّ الدِّبَاغَةَ لَا تَجُوزُ بِالْمَاءِ الَّذِي هُوَ أَقْوَى الْمَائِعَاتِ حُكْمًا فِي إِزَالَةِ الْأَنْجَاسِ، لِخُرُوجِهَا عَنْ حُكْمِ سَائِرِ الْأَنْجَاسِ.
Adapun pernyataan mereka bahwa hilangnya makna yang menjadi sebab hukum menyebabkan hilangnya hukum tersebut, maka sebagian dari sahabat kami menolaknya dan berkata: Hilangnya makna suatu hukum tidak otomatis mengharuskan hilangnya hukum itu. Maka menurut pendapat ini, mereka menolak dari sisi pendalilan.
Dan mayoritas dari mereka berkata: sesungguhnya hilangnya sebab mengharuskan hilangnya hukum. Maka berdasarkan pendapat ini, makna yang menjadi dasar hukum kenajisan adalah hukumnya, bukan zatnya (najis itu sendiri). Tidakkah engkau melihat bahwa terkadang hukum kenajisan tetap berlaku meskipun zatnya tidak ada, seperti pada kasus jilatan anjing dalam air yang sedikit, maka ia dihukumi najis, padahal zat najisnya belum tampak. Dan terkadang zat najis itu ada dalam air yang banyak, namun tidak dihukumi najis selama tidak mengubah sifat air tersebut.
Dalam permasalahan kita, hukum kenajisan belum hilang dengan menggunakan cairan (selain air), maka makna hukumnya masih tetap ada.
Adapun kenajisan bejana jika hilang karena khamr berubah menjadi cuka, maka sebabnya adalah karena kenajisan bejana itu berasal dari partikel khamr yang menempel padanya. Maka ketika khamr itu sendiri berubah menjadi cuka di dalam bejana, maka partikel yang menempel pun ikut berubah menjadi cuka, sehingga seluruhnya menjadi suci. Ini bukanlah bentuk menghilangkan najis, tetapi perubahan dari khamr menjadi cuka.
Adapun dalil mereka dengan kucing yang memakan tikus, maka itu tidak dapat diterima. Karena bila kita mengetahui bahwa mulut kucing najis dan ia menjilat bejana sebelum hilang dari pandangan (yakni sebelum ia menjauh dalam waktu yang cukup lama), maka air tersebut menjadi najis. Namun jika kucing telah hilang dari pandangan, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat yang lebih sahih: airnya najis, karena hukum asalnya adalah najis masih ada di mulut kucing.
Pendapat kedua: airnya tetap suci, karena hukum asal air itu suci, dan bisa jadi kucing telah menjilat bejana lain sebelum kembali, sehingga mulutnya menjadi suci.
Adapun istidlāl mereka dengan penyamakan kulit (dibāghah), maka hukumnya di luar dari konteks menghilangkan najis. Tidakkah engkau melihat bahwa penyamakan tidak sah dilakukan dengan air, padahal air adalah cairan yang paling kuat dalam hukum menghilangkan najis, maka hal ini menunjukkan bahwa penyamakan memiliki hukum tersendiri yang berbeda dari hukum najis pada umumnya.
فَصْلٌ
وَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” أَوْ عَرَقٍ فِيهِ لِأَصْحَابِنَا رِوَايَتَانِ “:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عِرَقٌ بِكَسْرِ الْعَيْنِ يَعْنِي عُرُوقَ الْأَشْجَارِ، إِذَا اعْتُصِرَ مَاؤُهَا، كَانَ غَيْرَ مُطَهِّرٍ، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.
وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ: عَرَقٌ بِفَتْحِ الْعَيْنِ، يَعْنِي: عَرَقَ الْإِنْسَانِ يَرْشَحُ مِنْ بَدَنِهِ، لَا يَجُوزُ التَّطَهُّرُ بِهِ، وإن كان طاهرا، وكذلك كلما اعْتُصِرَ مِنْ أَجْوَافِ الْإِبِلِ إِذَا نُحِرَتْ عِنْدَ الْعَطَشِ لَا يَجُوزُ التَّطَهُّرُ بِهِ، وَيَكُونُ نَجِسًا وسمي عرقا.
Fasal
Adapun perkataan Imam al-Syāfi‘ī: “atau ‘araq,” maka menurut sahabat-sahabat kami terdapat dua riwayat:
Pertama: ‘irq dengan kasrah pada ‘ain, yaitu akar-akar pohon; apabila airnya diperas, maka tidak menyucikan. Ini adalah pendapat Ibn Abī Hurayrah.
Riwayat kedua: ‘araq dengan fatḥah pada ‘ain (عَرَق), yaitu keringat manusia yang keluar dari tubuhnya; tidak boleh digunakan untuk bersuci, meskipun ia suci. Demikian pula semua cairan yang diperas dari rongga unta ketika disembelih dalam kondisi kehausan, tidak boleh digunakan untuk bersuci, dan dihukumi najis. Cairan itu disebut ‘araq.
مسألة
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” أَوْ مَاءِ زَعْفَرَانٍ أَوْ عُصْفُرٍ. “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ كُلَّ مَا خَالَطَهُ مَذْرُورٌ طَاهِرٌ كَالزَّعْفَرَانِ وَالْعُصْفُرِ وَالْحِنَّاءِ، أَوْ خَالَطَ الْمَائِعَ طَاهِرٌ كَمَاءِ الْوَرْدِ وَالْخَلِّ، فَإِنْ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي تَغَيُّرِ الْمَاءِ جَازَ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمَائِعُ الْمَخَالِطُ أَكْثَرَ وَإِنْ غَيَّرَ أَحَدَ أَوْصَافِ الْمَاءِ مِنْ لَوْنٍ أَوْ طَعْمٍ أَوْ رَائِحَةٍ لَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ فِي حَدَثٍ وَلَا نَجَسٍ، وَجَوَّزَ أبو حنيفة اسْتِعْمَالَهُ فِي الْأَنْجَاسِ عَلَى أَصْلِهِ، وَفِي الْأَحْدَاثِ أَيْضًا مَا لَمْ يَحْتَرِزْ بِالْمَذْرُورِ فَيَخْرُجُ عَنْ طَبْعِهِ فِي الْجَرَيَانِ وَمَا لَمْ يَكُنِ الْمَائِعُ أَكْثَرَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا كَانَ طَاهِرًا إِذَا غَلَبَ عَلَى الْمَاءِ لَمْ يَمْنَعْهُ حُكْمُ التَّطْهِيرِ، كَالتُّرَابِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَسْلُبْهُ التُّرَابُ حُكْمَ التَّطْهِيرِ لَمْ يَسْلُبْهُ غَيْرُهُ مِنَ الْمَذْرُورَاتِ حُكْمَ التَّطْهِيرِ، كَمَا الَّذِي لَمْ يَتَغَيَّرْ بِالْمُخَالَطَةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ تَغَيُّرٍ لَوْ كَانَ لِطُولِ الْمُكْثِ لو يمنع مِنَ التَّطْهِيرِ، وَجَبَ إِذَا كَانَ بِالْمُخَالَطَةِ أَنْ لَا يَمْنَعَ مِنَ التَّطْهِيرِ كَالْمُلُوحَةِ.
Masalah
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Atau air yang dicampuri za‘farān atau ‘uṣfur (sejenis pewarna kuning).”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa setiap air yang tercampur dengan serbuk yang suci seperti za‘farān, ‘uṣfur, dan ḥinnā’, atau tercampur dengan cairan suci seperti air mawar dan cuka, maka jika tidak memengaruhi perubahan air, boleh digunakan untuk bersuci dari ḥadats dan najis—kecuali jika cairan yang tercampur lebih banyak. Dan jika perubahan itu sampai mengubah salah satu sifat air, baik warna, rasa, atau bau, maka tidak boleh digunakan untuk bersuci dari ḥadats maupun najis.
Abū Ḥanīfah membolehkan penggunaannya untuk menghilangkan najis berdasarkan pendapat asalnya, dan juga membolehkannya untuk bersuci dari ḥadats selama tidak bercampur dengan serbuk yang menghilangkan sifat mengalir dari air, dan selama cairan yang tercampur tidak lebih banyak.
Ia berdalil bahwa sesuatu yang suci apabila mengalahkan air, tidak menghilangkan hukum penyuciannya, seperti tanah. Dan bahwa segala sesuatu yang tidak menghilangkan hukum penyucian oleh tanah, maka selain tanah dari serbuk-serbuk pun tidak menghilangkan hukum penyucian, sebagaimana air yang tidak berubah karena percampuran. Dan bahwa setiap perubahan, seandainya terjadi karena lama tertampung, tidak menghalangi penyucian, maka jika perubahan itu karena percampuran pun tidak menghalangi penyucian, seperti rasa asin pada air.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ مَا تَغَيَّرَ بِمُخَالَطَةِ مَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنَ التَّطْهِيرِ بِهِ كَمَاءِ الْبَاقِلَّاءِ وَلِأَنَّهُ مَا تَغَيَّرَ بِمُخَالَطَةِ مَأْكُولٍ فَوَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ جَوَازَ التَّطَهُّرِ بِهِ كَالْمَرَقِ، وَلِأَنَّ الْمَذْرُورَاتِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ مُوَافِقٌ لِلْمَاءِ فِي الطَّهَارَةِ، وَالتَّطْهِيرِ وَهُوَ التُّرَابُ فَإِذَا غَلَبَ عَلَى الْمَاءِ لَمْ يَسْلُبْهُ وَاحِدَةً مِنْ صِفَتَيْهِ لَا الطَّهَارَةِ وَلَا التَّطْهِيرِ لِمُوَافَقَتِهِ لَهُمَا فِيهِمَا.
وَقِسْمٌ مُخَالِفٌ لِلْمَاءِ فِي الطَّهَارَةِ وَالتَّطْهِيرِ وَهُوَ النَّجَاسَةُ فَإِذَا غَلَبَ عَلَى الْمَاءِ سَلَبَهُ الْوَصْفَيْنِ مَعًا الطَّهَارَةَ وَالتَّطَهُّرَ، لِمُخَالَفَتِهِ لَهُ فِيهِمَا جَمِيعًا.
Dalil kami adalah bahwa air yang berubah karena bercampur dengan sesuatu yang bisa ditinggalkan (tidak dibutuhkan), maka wajib dicegah penggunaannya untuk bersuci, seperti air rebusan baqillā’ (kacang). Dan karena air yang berubah karena bercampur dengan makanan, maka wajib tidak boleh digunakan untuk bersuci, seperti kuah (marāq).
Dan karena zat-zat yang ditaburkan (al-madhrūrāt) terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: bagian yang sesuai dengan air dalam hal suci dan menyucikan, yaitu tanah. Maka apabila tanah mengalahkan air, tidaklah ia menghilangkan dua sifat air tersebut—yakni kesucian dan kemampuan menyucikan—karena kesesuaiannya dengan air dalam dua sifat itu.
Kedua: bagian yang bertentangan dengan air dalam kesucian dan kemampuan menyucikan, yaitu najis. Maka apabila najis mengalahkan air, ia menghilangkan kedua sifat air sekaligus: suci dan menyucikan, karena bertentangan dengannya dalam keduanya.
وَقِسْمٌ مُوَافِقٌ الْمَاءَ فِي الطَّهَارَةِ دُونَ التَّطْهِيرِ وَهُوَ الزَّعْفَرَانُ وَمَا شَاكَلَهُ، فَإِذَا غَلَبَ عَلَى الْمَاءِ وَجَبَ أَنْ يَسْلُبَهُ الصِّفَةَ الَّتِي يُخَالِفُهُ فِيهَا وَهُوَ التَّطْهِيرُ دُونَ الصِّفَةِ الَّتِي وَافَقَهُ فِيهَا، وَهُوَ الطَّهَارَةُ، وَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ يَمْنَعُ مِنْ جَمْعِهِمْ بَيْنَ التُّرَابِ وَسَائِرِ الْمَذْرُورَاتِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ، فَالْمَعْنَى فِيهِ فَقْدُ الْغَلَبَةِ بِعَدَمِ التَّأْثِيرِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُلُوحَةِ فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ، وَسَنَذْكُرُ الْمَذْهَبَ فِيمَا تَغَيَّرَ بِالْمِلْحِ.
Dan bagian ketiga: yaitu zat yang sesuai dengan air dalam hal kesucian namun tidak dalam hal kemampuan menyucikan, seperti za‘farān dan yang semisalnya. Maka apabila ia mengalahkan air, wajib baginya untuk menghilangkan sifat yang ia tidak sejalan dengannya, yaitu kemampuan menyucikan, dan tidak menghilangkan sifat yang ia sejalan dengannya, yaitu kesucian.
Pendalilan ini mencegah untuk menggabungkan antara tanah dengan seluruh zat yang ditaburkan ‘madhrūrāt’
Adapun qiyās mereka terhadap sesuatu yang tidak berubah, maka maknanya adalah karena tidak adanya dominasi disebabkan tidak adanya pengaruh.
Dan qiyās mereka terhadap rasa asin (al-mulūḥah), maka tidak dapat diterima, dan kami akan sebutkan pendapat mazhab terkait air yang berubah karena garam.
مسألة
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” أَوْ نَبِيذٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا يَجُوزُ الْوُضُوءُ بِشَيْءٍ مِنَ الْأَنْبِذَةِ لَا نَيًّا، وَلَا مَطْبُوخًا، لَا فِي حَضَرٍ، وَلَا فِي سَفَرٍ، وَهُوَ نَجِسٌ إِنْ أَسْكَرَ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: يَجُوزُ الْوُضُوءُ بِسَائِرِ الْأَنْبِذَةِ، وَيُرْوَى نَحْوُهُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ الْوُضُوءُ بِنَبِيذِ التَّمْرِ الْمَطْبُوخِ، إِذَا كَانَ مُسْكِرًا فِي السَّفَرِ دُونَ الْحَضَرِ، وَقَالَ: محمد بن الحسن: يَجْمَعُ بَيْنَ النَّبِيذِ وَالتَّيَمُّمِ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا رَوَاهُ أَبُو فَزَارَةَ الْعَبْسِيُّ عَنْ أَبِي زَيْدٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَيْلَةَ الْجِنِّ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَمَعَكَ مَاءٌ، قُلْتُ لَا مَعِي نَبِيذُ التَّمْرِ فَقَالَ: ” هَاتِهِ تَمْرَةٌ طَيِّبَةٌ وَمَاءٌ طَهُورٌ “. وَتَوَضَّأَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى بِنَا صَلَاةَ الْفَجْرِ. قَالُوا وَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” النَّبِيذُ وُضُوءُ مَنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ “. قَالُوا: وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عَلِيًّا وَابْنَ عباس توضآ بالنبيذ، فلا يخلوا فِعْلُ ذَلِكَ مِنْهُمَا أَنْ يَكُونَ عَنْ قِيَاسٍ أَوْ تَوْقِيفٍ، فَلَا مَدْخَلَ لِلْقِيَاسِ فِي هَذَا، لِأَنَّهُ لَا يَقْتَضِيهِ فَثَبَتَ أَنَّهُ تَوْقِيفٌ قَالُوا: وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} [المائدة: 26] . وَفِي النَّبِيذِ مَاءٌ فَلَمْ يَجُزْ أن يتيمم مع وجوده.
Masalah
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Atau nabīż.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan—tidak boleh berwudu dengan sesuatu pun dari anbiżah, baik yang mentah maupun yang dimasak, baik dalam keadaan muqīm maupun safar. Dan ia najis jika memabukkan.
Al-Awzā‘ī berkata: Boleh berwudu dengan semua jenis anbiżah, dan dinukil yang semisal dari ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu.
Abū Ḥanīfah berkata: Boleh berwudu dengan nabīż tamr yang dimasak jika memabukkan dalam keadaan safar, tidak dalam keadaan muqīm.
Muḥammad ibn al-Ḥasan berkata: Menggabungkan antara nabīż dan tayammum.
Mereka berdalil dengan riwayat Abū Fazārah al-‘Absī dari Abū Zayd mawlā ‘Amr ibn Ḥurayts dari Ibn Mas‘ūd, ia berkata: Aku bersama Rasulullah – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – pada malam jin, maka beliau bersabda: “Wahai ‘Abdullāh, apakah engkau membawa air?” Aku menjawab: “Tidak, aku hanya membawa nabīż tamr.” Maka beliau bersabda: “Berikanlah, itu adalah tamr yang baik dan air yang suci.” Lalu beliau berwudu dengannya dan salat subuh bersama kami.
Mereka juga berkata: Telah diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās dari Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – bahwa beliau bersabda: “Nabīż adalah wudu bagi orang yang tidak mendapatkan air.”
Dan diriwayatkan bahwa ‘Alī dan Ibn ‘Abbās berwudu dengan nabīż. Maka perbuatan keduanya tidak lepas dari dua kemungkinan: berdasarkan qiyās atau berdasarkan tauqīf (ajaran dari Nabi). Maka tidak ada tempat bagi qiyās dalam masalah ini karena tidak mengharuskan demikian, maka tetaplah bahwa itu adalah tauqīf.
Mereka juga berkata: Karena Allah Ta‘ālā berfirman: {Jika kalian tidak menemukan air, maka bertayammumlah} [al-Mā’idah: 6]. Dan pada nabīż terdapat unsur air, maka tidak boleh bertayammum selama masih ada itu.
قالوا: وَلِأَنَّهُ مَائِعٌ سُمِّيَ فِي الشَّرْعِ طَهُورًا فَجَازَ الوضوء به كالماء.
قالوا: وَلِأَنَّ الرَّأْسَ وَالرِّجْلَيْنِ عُضْوَانِ مِنْ أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ فَثَبَتَ فِيهِمَا بَدَلٌ عِنْدَ عَدَمِ الْمَاءِ كَالْوَجْهِ واليدين.
قالوا: لأن الْوُضُوءَ نَوْعُ تَطْهِيرٍ يُفْضِي إِلَى بَدَلَيْنِ كَالْعِتْقِ فِي الْكَفَّارَةِ.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَلَمْ تَجِدُوا ماء فتيمموا} . فَنَقَلَنَا اللَّهُ تَعَالَى عِنْدَ عَدَمِ الْمَاءِ إِلَى التُّرَابِ بِلَا وَسِيطٍ، وَهُوَ النَّبِيذُ، وَلَيْسَ النَّبِيذُ مَاءً مُطْلَقًا، لَا فِي اللُّغَةِ، وَلَا فِي الشَّرْعِ.
Mereka berkata: Karena ia adalah cairan yang dinamai dalam syariat sebagai ṭahūr, maka boleh digunakan untuk wudu sebagaimana air.
Mereka berkata: Karena kepala dan kedua kaki adalah dua anggota dari anggota-anggota ṭahārah, dan telah tetap adanya pengganti bagi keduanya ketika tidak ada air, sebagaimana wajah dan tangan.
Mereka berkata: Karena wudu adalah jenis penyucian yang mengantarkan kepada dua bentuk pengganti, seperti memerdekakan budak dalam kafārah.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Jika kalian tidak menemukan air, maka bertayammumlah} [al-Mā’idah: 6]. Maka Allah Ta‘ālā memindahkan kita ketika tidak menemukan air langsung kepada tanah, tanpa perantara—yakni tanpa perantara nabīż.
Dan nabīż bukanlah mā’ muṭlaq, baik secara bahasa maupun dalam istilah syariat.
فَإِنْ قَالُوا: هُوَ مَاءٌ فِي الشَّرْعِ بِدَلِيلِ قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” تَمْرَةٌ طَيِّبَةٌ وَمَاءٌ طَهُورٌ “.
قِيلَ: لَوْ دَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ النَّبِيذَ مَاءٌ فِي الشَّرْعِ لَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ تَمْرٌ فِي الشَّرْعِ، وَهَذَا مَدْفُوعٌ بِالْإِجْمَاعِ، ثُمَّ لَوْ كَانَ مِنْ طَرِيقِ الشَّرْعِ مَا يُسَاوِي حُكْمَ سَائِرِ الْمِيَاهِ، وَفِي مُبَايَنَتِهِ لَهَا مَعَ مَا مَنَعَ مِنْ إِطْلَاقِ الِاسْمِ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّهُ مَائِعٌ لَا يَدْفَعُ الْحَدَثَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُسْتَبَاحَ بِهِ الصَّلَاةُ كَالْخَلِّ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْحَضَرِ لَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ فِي السَّفَرِ، كَالنَّقِيعِ، وَلِأَنَّهُ شَرَابٌ مُسْكِرٌ فَلَمْ يَجُزِ الْوُضُوءُ بِهِ كَالْخَمْرِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَائِعٍ لَا يَجُوزُ التَّطَهُّرُ بِهِ قَبْلَ طَبْخِهِ، لَمْ يَجُزِ التَّطَهُّرُ بِهِ بَعْدَ الطَّبْخِ كَالْمَاءِ النَّجِسِ، وَلِأَنَّ تَأْثِيرَ الطَّبْخِ عِنْدَهُمْ عَدَمُ التَّطْهِيرِ دُونَ إِبَاحَتِهِ كَمَاءِ الزَّعْفَرَانِ يَجُوزُ الطَّهَارَةُ بِهِ عِنْدَهُمْ قَبْلَ الطَّبْخِ، وَلَا يَجُوزُ بَعْدَ الطَّبْخِ.
Jika mereka berkata: “Nabīż itu air dalam syariat berdasarkan sabda beliau – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam –: ‘Tamarah yang baik dan air yang suci (ṭahūr)’,”
Maka dijawab: Seandainya hal itu menunjukkan bahwa nabīż adalah air menurut syariat, niscaya juga menunjukkan bahwa ia adalah tamr menurut syariat, dan ini tertolak berdasarkan ijmā‘.
Kemudian, seandainya ia setara secara hukum dengan air-air lainnya menurut syariat, tentu tidak akan ada perbedaan antara keduanya, padahal ada perbedaan yang nyata dan terdapat penghalang untuk menyematkan nama mā’ (air) atasnya.
Dan karena ia adalah cairan yang tidak mengangkat ḥadats, maka tidak boleh digunakan untuk menghalalkan salat, sebagaimana cuka.
Dan karena sesuatu yang tidak boleh digunakan di saat muqīm, maka tidak boleh pula digunakan dalam safar, seperti naqī‘ (perasan).
Dan karena ia adalah minuman yang memabukkan, maka tidak boleh berwudu dengannya, seperti khamr.
Dan karena setiap cairan yang tidak boleh digunakan untuk bersuci sebelum dimasak, maka tidak boleh pula setelah dimasak, seperti air najis.
Dan karena efek dari proses memasak menurut mereka adalah menghilangkan kemampuan menyucikan, bukan menghalalkan penggunaannya, sebagaimana air za‘farān yang menurut mereka boleh digunakan untuk bersuci sebelum dimasak, namun tidak boleh setelah dimasak.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: ضَعْفُ الْخَبَرِ من وجهين ضعف رواية لِأَنَّ أَبَا فَزَارَةَ كَانَ نَبَّاذًا بِالْكُوفَةِ وَأَبُو زيد مجهول وليس رِوَايَةُ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي فَزَارَةَ دَلِيلًا عَلَى ثِقَتِهِ كَمَا رَوَى الشَّعْبِيُّ عَنِ الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ وَقَالَ كَانَ وَالِدُهُ كَذَّابًا.
وَالثَّانِي: أَنَّ الطحاوي خَصَّ نَقْلَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ لأبي حنيفة قَالَ: فَاعْتَمَدَ أبو حنيفة فيها على حديث ابن مسعود، وليس ثابت فَهَذَا أَحَدُ الْأَجْوِبَةِ.
Adapun jawaban atas hadis Ibn Mas‘ūd, maka ada tiga sisi:
Pertama: Lemahnya hadis tersebut dari dua arah. Dari sisi sanad, karena Abū Fazārah dikenal sebagai nabbādh (pembuat nabīż) di Kufah, dan Abū Zayd adalah majhūl (tidak dikenal). Dan riwayat Sufyān dari Abū Fazārah tidak menjadi dalil atas kepercayaannya, sebagaimana asy-Sya‘bī meriwayatkan dari al-Ḥārith al-A‘war, namun berkata: “Ayahnya adalah pendusta.”
Kedua: Bahwa al-Ṭaḥāwī secara khusus menyandarkan riwayat dalam masalah ini kepada Abū Ḥanīfah, ia berkata: “Abū Ḥanīfah bersandar dalam masalah ini pada hadis Ibn Mas‘ūd, padahal hadis tersebut tidak tsabit (tidak sahih),” maka ini salah satu dari jawaban-jawaban yang dikemukakan.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: مُعَارَضَةُ الْخَبَرِ مما تنفيه وَهُوَ أَنَّ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيَّ رَوَى عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ: قُلْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ كَنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَيْلَةَ الْجِنِّ فَقَالَ: لَا وَدِدْتُ أَنْ لَوْ كُنْتُ مَعَهُ، قَالَ: فَقُلْتُ: إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ إِنَّكَ كُنْتَ مَعَهُ، قَالَ فَقَدْنَا رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقُلْنَا: اغْتِيلَ أَوِ اسْتُطِيرَ فَبِتْنَا بشر ليلة بات لها أهلها فلما أصحبنا أَقْبَلَ مِنْ نَاحِيَةِ حِرَاءَ وَذَكَرَ أَنَّ دَاعِيَ الْجِنِّ أَتَاهُ.
فَتَعَارَضَتِ الرِّوَايَةُ فَسَقَطَتَا.
Jawaban kedua: Hadis tersebut bertentangan dengan riwayat lain yang menafikannya, yaitu bahwa Ibrāhīm an-Nakha‘ī meriwayatkan dari ‘Alqamah, ia berkata: Aku berkata kepada ‘Abdullāh ibn Mas‘ūd: “Apakah engkau bersama Rasulullah – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – pada malam (pertemuan) dengan jin?” Ia menjawab: “Tidak, aku justru berharap seandainya aku bersama beliau.” Maka aku berkata: “Sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa engkau bersama beliau.” Ia menjawab: “Kami pernah kehilangan Rasulullah – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – pada suatu malam. Kami berkata: ‘Beliau telah dibunuh atau diculik.’ Maka kami pun melewati malam yang paling buruk yang pernah dilalui oleh satu kaum. Ketika pagi, beliau datang dari arah Ḥirā’, dan beliau menyebutkan bahwa ada utusan jin yang mendatanginya.”
Maka dua riwayat ini saling bertentangan, sehingga keduanya gugur (tidak bisa dijadikan hujjah).
فَإِنْ قِيلَ: فَخَبَرُنَا مُثْبِتٌ وَخَبَرُكُمْ نَافٍ وَالْمُثْبَتُ أَوْلَى.
قِيلَ: هما سواء فخبركم ثبت كَوْنَ عَبْدِ اللَّهِ مَعَ النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَيَنْفِي كَوْنَهُ مَعَ الصَّحَابَةِ، وَخَبَرُنَا يُثْبِتُ كَوْنَهُ مَعَ الصَّحَابَةِ وَيَنْفِي كَوْنَهُ مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
Jika dikatakan: “Hadis kami menetapkan, sedangkan hadis kalian menafikan, dan yang menetapkan lebih didahulukan,”
Maka dijawab: Keduanya setara. Hadis kalian menetapkan bahwa ‘Abdullāh bersama Nabi – ‘alayhis-salām – dan menafikan bahwa ia bersama para sahabat. Sedangkan hadis kami menetapkan bahwa ia bersama para sahabat dan menafikan bahwa ia bersama Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: تَسْلِيمُ الْخَبَرِ وَالِانْفِصَالُ عَنْهُ بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا بِأَنَّهُ مَنْسُوخٌ بِآيَةِ التَّيَمُّمِ، لِأَنَّ لَيْلَةَ الْجِنَّ كَانَتْ بِمَكَّةَ، وَآيَةُ التَّيَمُّمِ نَزَلَتْ بَعْدَ الْهِجْرَةِ، وَإِمَّا بِأَنْ يُسْتَعْمَلَ فِي مَا نَبَذَ فِيهِ التَّمْرَ لِيُحِلُّوا لِأَنَّ قَوْلَهُ تَمْرَةٌ طيبة وماء طهور تقتضي ذلك تمييزا أَحَدِهِمَا مِنَ الْآخَرِ وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ إِنَّ مَعِي نَبِيذًا، يَعْنِي: مَا يَصِيرُ نَبِيذًا، وَبِمَعْنَى قَدْ نَبَذَ فِيهِ تَمْرًا.
Jawaban ketiga: Menerima (mengakui) hadis tersebut namun menjawabnya dengan salah satu dari dua cara:
Pertama, bahwa hadis tersebut telah mansūkh (dinasakh) dengan ayat tayammum, karena peristiwa malam jin terjadi di Makkah, sedangkan ayat tayammum turun setelah hijrah.
Kedua, bahwa yang digunakan dalam hadis itu adalah air yang telah direndam tamr di dalamnya dengan maksud untuk membuatnya menjadi halal (yakni belum menjadi nabīż yang memabukkan). Karena sabda beliau: “Tamrah yang baik dan air yang suci” menunjukkan adanya pembedaan antara keduanya.
Dan makna dari ucapan Ibn Mas‘ūd “Sesungguhnya bersamaku ada nabīż” maksudnya adalah: sesuatu yang akan menjadi nabīż, yakni air yang telah direndam tamr di dalamnya (belum memabukkan).
فَإِنْ قِيلَ: فَيُحْمَلُ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” تَمْرَةٌ طَيِّبَةٌ وَمَاءٌ طَهُورٌ ” عَلَى أَنَّهُ كَانَ تَمْرًا وَمَاءً طَهُورًا.
قِيلَ: إِذَا لَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ حَمْلِ أَحَدِهِمَا عَلَى الْحَقِيقَةِ وَالْآخَرِ عَلَى الْمَجَازِ كَانَ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى الْحَقِيقَةِ مِنْ قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ كَذَا يُجَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِأَنَّهُ قَدْ نَبَذَ فِيهِ، لِأَنَّهُ نَبِيذٌ مُشْتَدٌّ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ رِوَايَتِهِمْ عَنِ اسْتِعْمَالِ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَهُ فَهُوَ أَنَّهُ لَيْسَ عَنْ تَوْقِيفٍ، وَلَوْ كَانَ لَنَقَلُوهُ، وَلَيْسَ يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ لَا حَتْمًا دِرَايَةً إِنْ صَحَّ النَّقْلُ عَنْهُمَا.
Jika dikatakan: Maka sabda Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – “Tamrah yang baik dan air yang suci” dibawa kepada makna bahwa itu adalah benar-benar tamr dan air yang suci (yakni belum bercampur menjadi nabīż),
Maka dijawab: Jika harus salah satu dari dua ungkapan itu dibawa kepada makna hakiki dan yang lain kepada makna majazi, maka sabda Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – lebih utama untuk dibawa kepada makna hakiki daripada ucapan Ibn Mas‘ūd.
Demikian pula dijawab atas hadis Ibn ‘Abbās bahwa air tersebut telah dicampur tamr (sudah dinabż), karena itu adalah nabīż yang sudah mengalami fermentasi (musytadd).
Adapun jawaban atas riwayat mereka dari penggunaan ‘Alī dan Ibn ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā terhadap nabīż, maka itu bukan berdasarkan tauqīf (perintah dari Nabi). Seandainya itu bersumber dari tauqīf, niscaya mereka meriwayatkannya.
Dan tidak menghalangi kemungkinan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan sesuatu yang pasti berdasarkan pengetahuan mereka, jika memang riwayat dari keduanya sahih.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: ” إِنَّ فِي النَّبِيذِ مَاءَ سهو ” هو جَهْلٌ مِنْ قَائِلِهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَاءٌ وَانْتَقَلَ عَنْهُ لِأَنَّ اسْمَ الْمَاءِ فِي اللُّغَةِ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يَنْطَلِقَ اسْمُ الْمَاءِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مَاءً لَكَانَ الْخَلُّ أَحَقَّ، لِأَنَّهُ طَاهِرٌ بِاتِّفَاقٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ كَانَ فِيهِ مَاءٌ مُطْلَقٌ لَاسْتَوَى حُكْمُهُ وَحُكْمُ الْمَاءِ الْمُطْلَقِ، وَهُمَا مُفْتَرِقَانِ فِي الِاسْمِ وَالْحُكْمِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ بأنه مائع سمي في الشرع طهور فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” تَمْرَةٌ طَيِّبَةٌ وَمَاءٌ طَهُورٌ ” فَوَصَفَ الْمَاءَ بِأَنَّهُ طَهُورٌ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمَاءِ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْحَضَرِ جَازَ اسْتِعْمَالُهُ فِي السَّفَرِ، وَلَمَّا لَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُ النَّبِيذِ فِي الْحَضَرِ لَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ فِي السَّفَرِ.
Adapun jawaban terhadap pernyataan mereka: “Sesungguhnya dalam nabīż terdapat unsur air,” maka ini adalah bentuk ketidaktahuan dari yang mengatakannya, dari dua sisi:
Pertama: Karena air tersebut telah berubah, dan nama air (mā’) dalam bahasa tidak lagi berlaku atasnya. Seandainya dibolehkan menyebutnya air hanya karena asalnya air, maka cuka lebih berhak disebut demikian, padahal ia suci berdasarkan kesepakatan.
Kedua: Seandainya di dalamnya masih terdapat mā’ muṭlaq, niscaya hukumnya sama dengan hukum mā’ muṭlaq. Padahal keduanya berbeda, baik dari sisi penamaan maupun hukum.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka bahwa ia adalah cairan yang disebut dalam syariat sebagai ṭahūr, maka itu tidak dapat diterima. Karena Nabi – ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam – bersabda: “Tamrah yang baik dan air yang suci,” maka beliau menyifati air (bukan nabīż) sebagai ṭahūr.
Kemudian, makna yang terkandung dalam air adalah: karena boleh digunakan dalam keadaan muqīm, maka boleh pula digunakan dalam safar. Sedangkan nabīż, ketika tidak boleh digunakan dalam keadaan muqīm, maka tidak boleh pula digunakan dalam safar.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمُ الرَّأْسَ وَالرِّجْلَيْنِ بِهِ فِي انْتِقَالِهِمَا إلى بلل يَدُلُّ عَلَى الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمَّا سَقَطَ فَرْضُ الرَّأْسِ وَالرِّجْلَيْنِ عَنْهُ بَدَلَ الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِيرَ إِذَا بُدِّلَ كَالْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْعِتْقِ فِي الْكَفَّارَةِ فَمُنْتَقَصٌ بِالْعِتْقِ فِي كَفَّارَةِ الْقَتْلِ ليس له بدلا إِلَّا الصَّوْمُ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي بَدَلِ الْعِتْقِ فِي الْكَفَّارَةِ وُجُودُ النَّصِّ فِيهِمَا، وَاقْتِصَارُ النَّصِّ فِي الْوُضُوءِ عَلَى أَحَدِهِمَا، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُلْحَقَ بِالثَّانِي مِنْ بَدَلِ الْعِتْقِ جِنْسُ البدل الثاني حتى تكون طعاما بعد الصيام لَمْ يَجُزْ أَنْ يُلْحَقَ بِهِ ثُبُوتُ أَصْلِهِ حَتَّى يَكُونَ بَدَلًا ثَانِيًا بَعْدَ أَوَّلٍ.
Adapun qiyās mereka terhadap kepala dan kedua kaki dalam hal penggantiannya dengan usapan atau basuhan yang menunjukkan bolehnya mengganti wajah dan kedua tangan,
Maka jawabannya: Ketika kewajiban membasuh kepala dan kedua kaki telah gugur dan digantikan oleh pengganti (yakni usapan dan basuhan), maka tidak boleh jika setelah digantikan itu, diperlakukan seperti wajah dan kedua tangan yang asalnya wajib dibasuh. Artinya, kedudukan pengganti tidak disamakan dengan yang asal.
Adapun qiyās mereka terhadap memerdekakan budak dalam kaffārah, maka tertolak dengan kaffārah pembunuhan, karena dalam kaffārah pembunuhan tidak ada pengganti kecuali puasa.
Kemudian, makna adanya pengganti dalam kaffārah adalah karena adanya nash (dalil) pada kedua bentuk tersebut, sedangkan dalam wudu nash hanya ada pada salah satunya.
Maka ketika tidak boleh menetapkan pengganti kedua dalam kaffārah selain berdasarkan nash, seperti menjadikan makanan sebagai pengganti kedua setelah puasa, maka tidak boleh pula menetapkan dalam wudu adanya pengganti kedua berdasarkan keberadaan asalnya, sampai ada nash yang menunjukkan bahwa ia adalah pengganti kedua setelah pengganti yang pertama.
مَسْأَلَةٌ
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: أَوْ مَاءٍ بُلَّ فِيهِ خُبْزٌ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَاءِ الْمُطْلَقِ حَتَّى يُضَافَ إِلَى مَا خَالَطَهُ أَوْ خَرَجَ مِنْهُ فَلَا يَجُوزُ التَّطَهُّرُ بِهِ.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي شَرْحِ الْمِيَاهِ إِلَّا أَنَّا نَخْتَصِرُهُ بِقِسْمٍ جَامِعٍ نُمَهِّدُ بِهِ أُصُولَهُ وَتُبْتَنَى عَلَيْهِ فُرُوعُهُ، فَنَقُولُ: الْمَاءُ ضَرْبَانِ مُطْلَقٌ، وَمُضَافٌ، فَالْمُطْلَقُ عَلَى حُكْمِ أَصْلِهِ فِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ فِي الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ، وَالْمُضَافُ عَلَى ضَرْبَيْنِ: إِضَافَةٌ تَمْنَعُ من جواز استعماله، وإضافة لا تمنع منه، فَأَمَّا الَّتِي لَا تَمْنَعُ مِنَ الِاسْتِعْمَالِ فَإِضَافَتَانِ إِضَافَةُ قَرَارٍ كَمَاءِ الْبَحْرِ وَالزَّهْرِ، وَإِضَافَةُ صِفَةٍ كَمَاءٍ عَذْبٍ أَوْ أُجَاجٍ، فَأَمَّا الْمَانِعَةُ مِنْ جواز الاستعمال فيتقسم إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: إِضَافَةُ حُكْمٍ وَإِضَافَةُ جِنْسٍ وَإِضَافَةُ غَلَبَةٍ.
Masalah
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Atau air yang direndam di dalamnya roti atau selainnya dari sesuatu yang tidak lagi disebut mā’ muṭlaq (air murni), hingga harus disandarkan kepada apa yang mencampurinya atau berasal darinya, maka tidak boleh digunakan untuk bersuci.”
Al-Māwardī berkata: Telah berlalu penjelasan mengenai macam-macam air, namun kami ringkas di sini dalam satu pembagian umum yang menjadi dasar pokoknya dan tempat berdirinya cabang-cabang hukumnya. Maka kami katakan: Air itu ada dua jenis—muṭlaq dan muḍāf.
Adapun muṭlaq, maka hukumnya tetap sesuai dengan asalnya dalam hal boleh digunakan untuk bersuci dari ḥadats dan najis.
Sedangkan muḍāf, maka terbagi menjadi dua: Pertama: Penambahan yang tidak mencegah boleh digunakan untuk bersuci, yaitu dua jenis: Jenis pertama,Penambahan dari segi tempat tetap (iḍāfat qarār), seperti mā’ al-baḥr (air laut), mā’ az-zahr (air bunga). Jenis kedua, Penambahan dari segi sifat (iḍāfat ṣifah), seperti mā’ ‘adzb (air tawar) atau mā’ ujāj (air asin).
Kedua: Penambahan yang menghalangi bolehnya digunakan untuk bersuci, maka ini terbagi menjadi tiga jenis: 1. Penambahan hukum (iḍāfat ḥukm), 2. Penambahan jenis (iḍāfat jins), 3 Penambahan dominasi/pengaruh (iḍāfat ghalabah).
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ إِضَافَةُ الْحُكْمِ فَضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا سَلَبَ الْمَاءَ حُكْمُ التَّطْهِيرِ دُونَ الطَّهَارَةِ كَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ فَلَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ فِي حَدَثٍ وَلَا نَجَسٍ لِمَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ. وَالثَّانِي: مَا سَلَبَهُ حُكْمُ التَّطْهِيرِ وَالطَّهَارَةِ كَالْمَاءِ النَّجِسِ.
Adapun jenis pertama dari penambahan hukum, maka terbagi menjadi dua:
Pertama: Apa yang menghilangkan dari air hukum menyucikan (tathhīr) namun tidak menghilangkan sifat suci (ṭahārah), seperti air musta‘mal. Maka tidak boleh digunakan untuk bersuci dari ḥadats maupun untuk menghilangkan najis—sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
Kedua: Apa yang menghilangkan dari air hukum menyucikan dan juga sifat suci, seperti air najis.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ إِضَافَةُ الْجِنْسِ كَمَاءِ الْوَرْدِ وَالْفَوَاكِهِ وَالْبُقُولِ وَكُلِّ مُعْتَصَرٍ مِنْ نَبَاتٍ فَلَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ فِي حَدَثٍ، وَلَا نَجَسٍ، وَخَالَفَنَا أبو حنيفة فِيهِ فيجوز إِزَالَةَ النَّجَاسَةِ بِهِ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ مَعَهُ. وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ إِضَافَةُ الْغَلَبَةِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا: غَلَبَةُ مُخَالَطَةٍ. وَالثَّانِي: غَلَبَةُ مُجَاوَرَةٍ
Adapun jenis kedua, yaitu iḍāfat al-jins (penambahan jenis), seperti air mawar, air buah-buahan, air sayuran, dan semua yang diperas dari tumbuh-tumbuhan, maka tidak boleh digunakan untuk bersuci dari ḥadats maupun untuk menghilangkan najis.
Abū Ḥanīfah menyelisihi kami dalam hal ini: ia membolehkan penghilangan najis dengannya, dan telah disebutkan pembahasan masalah ini bersamanya sebelumnya.
Adapun jenis ketiga, yaitu iḍāfat al-ghalabah (penambahan karena dominasi), maka terbagi menjadi dua: Pertama: Dominasi karena percampuran. Kedua: Dominasi karena berdekatan atau bersandingan (mujāwarah).
فَأَمَّا غَلَبَةُ الْمُخَالَطَةِ فَهُوَ أَنْ يَتَغَيَّرَ الْمَاءُ بِمَائِعٍ كَالْعَسَلِ أَوْ مَذْرُورٍ كَالزَّعْفَرَانِ، وَذَلِكَ مَانِعٌ مِنْ جَوَازِ الِاسْتِعْمَالِ، وَأَمَّا غَلَبَةُ الْمُجَاوَرَةِ فَهُوَ أَنْ يَتَغَيَّرَ الْمَاءُ بِجَامِدٍ كَالْخَشَبِ أَوْ مُتَمَيِّزٍ كَالدُّهْنِ، وَذَلِكَ غَيْرُ مَانِعٍ مِنْ جواز استعماله
Adapun dominasi percampuran adalah perubahan air karena benda cair seperti madu atau taburan seperti za‘farān, dan hal itu menghalangi kebolehan penggunaannya. Adapun dominasi keterdekatan adalah perubahan air karena benda padat seperti kayu atau yang terpisah seperti minyak, dan hal itu tidak menghalangi kebolehan penggunaannya.
فَصْلٌ
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَقْسِيمِ الْمِيَاهِ فَجَمِيعُ الْفُرُوعِ مُرَتَّبٌ عَلَيْهَا وَمُسْتَفَادٌ مِنْهَا فَمِنْ فُرُوعِ هَذَا الْفَصْلِ أَنَّ التَّمْرَ وَالزَّبِيبَ وَالْبُرَّ وَالشَّعِيرَ إِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ فَغَيَّرَهُ، فَإِنْ كَانَ بِحَالِهِ صَحِيحًا لَمْ يَنْحَلَّ فِي الْمَاءِ فَاسْتِعْمَالُهُ جَائِزٌ، لِأَنَّهُ تَغْيِيرُ مُجَاوَرَةٍ كَمَا لَوْ تَغَيَّرَ بِالْخَشَبِ وَإِنْ ذَابَ فِي الْمَاءِ وَانْحَلَّ فَاسْتِعْمَالُهُ غَيْرُ جَائِزٍ، لِأَنَّهُ تَغْيِيرُ مُخَالَطَةٍ كَمَا لَوْ تَغَيَّرَ بِمَذْرُورِ الزَّعْفَرَانِ وَالْعُصْفُرِ، وَهَكَذَا حُكْمُ سَائِرِ الْحُبُوبِ مِنَ الْأُرْزِ وَالْحِمَّصِ وَالْعَدَسِ وَإِنْ طُبِخَ بِالنَّارِ فَإِنِ انْحَلَّتْ فِي الْمَاءِ فَاسْتِعْمَالُهُ غَيْرُ جَائِزٍ، وَإِنْ لَمْ يَنْحَلَّ وَلَا تغير بها الماء فَاسْتِعْمَالُهُ جَائِزٌ، وَإِنْ تَغَيَّرَ بِهَا الْمَاءُ مِنْ غَيْرِ انْحِلَالِ أَجْزَائِهَا فَفِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ كَمَا لَوْ يَتَغَيَّرُ بِلَا انْحِلَالٍ مِنْ غَيْرِ طَبْخٍ.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ، لِأَنَّهُ بِالطَّبْخِ صَارَ مَرَقًا.
Fashl
Apabila telah ditetapkan pembagian air sebagaimana telah kami sebutkan, maka seluruh cabang hukum ditata berdasarkan pembagian itu dan diambil darinya. Maka di antara cabang dari fashl ini adalah bahwa kurma, zabīb, gandum, dan sya‘īr apabila jatuh ke dalam air lalu mengubahnya, maka jika ia tetap dalam keadaan utuh tidak larut dalam air, maka penggunaannya boleh, karena itu termasuk perubahan karena keterdekatan, sebagaimana jika berubah karena kayu. Namun jika ia larut dalam air dan menyatu, maka penggunaannya tidak boleh, karena itu termasuk perubahan karena percampuran, sebagaimana jika berubah karena taburan za‘farān dan ‘uṣfur. Demikian pula hukum seluruh jenis biji-bijian seperti beras, ḥimmaṣ, dan ‘adas. Jika dimasak dengan api lalu larut dalam air, maka penggunaannya tidak boleh. Namun jika tidak larut dan tidak mengubah air, maka penggunaannya boleh. Dan jika air berubah karenanya tanpa larutnya bagian-bagian biji tersebut, maka dalam kebolehan penggunaannya terdapat dua pendapat:
Pertama: boleh, sebagaimana jika berubah tanpa larutan dan tanpa dimasak.
Kedua: tidak boleh digunakan, karena dengan dimasak ia telah menjadi kuah.
وَمِنْ فُرُوعِ هَذَا الْفَصْلِ أَنَّ الْقَطِرَانَ إِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ فغيره فقد قال الشافعي في كتاب الأمم: لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ، وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا وَهِمَ فِيهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، وَلَكِنَّ الْقَطِرَانَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
[الْأَوَّلُ] : ضَرْبٌ فِيهِ دُهْنِيَّةٌ فَتَغَيُّرُ الْمَاءِ بِهِ لَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ، كَمَا لو تغير بدهن.
و [الثاني] : ضَرْبٌ لَا دُهْنِيَّةَ فِيهِ فَتَغَيُّرُ الْمَاءِ فِيهِ مانع من جواز استعماله، كما لو يتغير بِمَائِعٍ.
Dan di antara cabang dari fashl ini adalah bahwa apabila qaṭirān jatuh ke dalam air lalu mengubahnya, maka Imam al-Syāfi‘ī berkata dalam kitab al-Umm: tidak boleh digunakan. Dan beliau berkata di tempat lain: boleh digunakan. Dan hal ini bukan merupakan dua qaul sebagaimana disangka oleh sebagian sahabat kami, melainkan qaṭirān itu terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: jenis yang mengandung minyak, maka perubahan air karenanya tidak menghalangi kebolehan penggunaannya, sebagaimana jika berubah karena minyak.
Kedua: jenis yang tidak mengandung minyak, maka perubahan air karenanya menghalangi kebolehan penggunaannya, sebagaimana jika berubah karena cairan.
وَمِنْ فُرُوعِ هَذَا الْفَصْلِ: أَنَّ الْمَاءَ إِذَا تَغَيَّرَ بِالشَّمْعِ جَازَ اسْتِعْمَالُهُ، كَمَا لَوْ تغير بدهن، ولو تغير شحم أُذِيبَ فِيهِ بِالنَّارِ كَانَ فِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِأَنَّ الشَّحْمَ دُهْنٌ.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ لِأَنَّ مُخَالَطَةَ الشَّحْمِ لِلْمَاءِ تَجْعَلُهُ مَرَقًا.
وَمِنْ فُرُوعِ هَذَا الْفَصْلِ: أَنَّ الْمَاءَ إِذَا تَغَيَّرَ بِالْكَافُورِ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
حَالٌ يُعْلَمُ انْحِلَالُ الْكَافُورِ فِيهِ فَاسْتِعْمَالُهُ غَيْرُ جَائِزٍ، لِأَنَّهُ تَغَيُّرُ مُخَالَطَةٍ.
وَحَالٌ يُعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يَنْحَلَّ فِيهِ فَاسْتِعْمَالُهُ جَائِزٌ، لِأَنَّهُ تَغَيُّرُ مُجَاوَرَةٍ.
وَحَالَةُ شَكٍّ فِيهِ، فَيُنْظَرُ فِي صَفَاءِ التَّغَيُّرِ، فَإِنْ تَغَيَّرَ الطَّعْمُ دُونَ الرَّائِحَةِ فَهُوَ دال على تغير المخالطة ولا يجوز اسْتِعْمَالُهُ، وَإِنْ كَانَ تَغَيُّرَ الرِّيحُ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَغْلِبَ فِيهِ تَغَيُّرُ الْمُخَالَطَةِ فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَغْلِبُ تَغَيُّرُ الْمُجَاوَرَةِ فَيَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ.
Dan di antara cabang dari fashl ini: bahwa jika air berubah karena lilin, maka boleh digunakan, sebagaimana jika berubah karena minyak. Dan jika berubah karena lemak yang dilelehkan di dalamnya dengan api, maka dalam kebolehan penggunaannya terdapat dua pendapat:
Pertama: boleh, karena lemak itu adalah minyak.
Kedua: tidak boleh digunakan, karena percampuran lemak dengan air menjadikannya kuah.
Dan di antara cabang dari fashl ini: bahwa jika air berubah karena kāfūr, maka ada tiga keadaan:
Keadaan pertama: diketahui bahwa kāfūr larut dalam air, maka penggunaannya tidak boleh, karena itu termasuk perubahan karena percampuran.
Keadaan kedua: diketahui bahwa ia tidak larut, maka penggunaannya boleh, karena itu termasuk perubahan karena keterdekatan.
Keadaan ketiga: ragu dalam hal itu, maka dilihat kejernihan perubahan tersebut. Jika berubah rasa tanpa aroma, maka itu menunjukkan perubahan karena percampuran dan tidak boleh digunakan. Dan jika yang berubah adalah aroma, maka menurut sahabat-sahabat kami ada dua pendapat:
Pertama: yang dominan adalah perubahan karena percampuran, maka berdasarkan itu tidak boleh digunakan.
Kedua: yang dominan adalah perubahan karena keterdekatan, maka boleh digunakan.
وَمِنْ فُرُوعِ هَذَا الْفَصْلِ أَنَّ الْمَنِيَّ إِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ كَانَ طَاهِرًا لِطَهَارَةِ الْمَنِيِّ، فَإِنْ لَمْ يُغَيِّرِ الْمَاءَ جَازَ اسْتِعْمَالُهُ وَإِنْ تَغَيَّرَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ اسْتِعْمَالَهُ غَيْرُ جَائِزٍ كَمَا لَوْ تَغَيَّرَ بِمَائِعٍ غَيْرَ الْمَنِيِّ.
وَالثَّانِي: أَنَّ اسْتِعْمَالَهُ جَائِزٌ لِأَنَّهُ لَا يَكَادُ يُمَاعُ فِي الْمَاءِ كَالدُّهْنِ، فَلَمْ يَمْنَعْ مِنَ اسْتِعْمَالِهِ، لِأَنَّ تَغَيُّرَهُ تَغَيُّرُ مُجَاوَرَةٍ.
قَالَ أَبُو العباس بن العاص: إن الورق في الماء بعد أن ربا فَاسْتِعْمَالُهُ غَيْرُ جَائِزٍ، وَإِنْ لَمْ يُعْصَرْ فِيهِ جَازَ اسْتِعْمَالُهُ، فَأَمَّا إِذَا كَانَ وَرَقُ الشَّجَرِ مَدْقُوقًا نَاعِمًا فَغَيَّرَ الْمَاءَ لَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ، لِأَنَّهُ تَغَيُّرُ مُخَالَطَةٍ كَالزَّعْفَرَانِ، وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الاسفرايني: يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ كَمَا لَوْ كَانَ صَحِيحًا، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ تَغَيُّرَ الْمَاءِ بِالْوَرَقِ الْمَدْقُوقِ تَغَيُّرُ مُخَالَطَةٍ، وَتَغَيُّرُهُ بِالْوَرَقِ الصَّحِيحِ تَغَيُّرُ مُجَاوَرَةٍ.
Dan di antara cabang dari fashl ini: bahwa manī jika jatuh ke dalam air, maka ia suci karena sucinya manī. Jika tidak mengubah air, maka penggunaannya boleh. Namun jika ia mengubahnya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: penggunaannya tidak boleh, sebagaimana jika berubah karena cairan selain manī.
Kedua: penggunaannya boleh, karena ia tidak mudah bercampur dalam air seperti minyak, maka tidak menghalangi penggunaannya, karena perubahannya adalah perubahan karena keterdekatan.
Abū al-‘Abbās ibn al-‘Āṣ berkata: daun jika berada dalam air setelah ia mengembang, maka penggunaannya tidak boleh. Namun jika tidak diperas di dalamnya, maka boleh digunakan. Adapun jika daun pohon ditumbuk halus lalu mengubah air, maka tidak boleh digunakan, karena itu termasuk perubahan karena percampuran seperti za‘farān. Dan Abū Ḥāmid al-Isfarā’īnī berkata: boleh digunakan sebagaimana jika ia dalam keadaan utuh. Namun ini tidak benar, karena perubahan air oleh daun yang ditumbuk adalah perubahan karena percampuran, sedangkan perubahan oleh daun yang utuh adalah perubahan karena keterdekatan.
وَمِنْ فُرُوعِ هَذَا الْفَصْلِ أَنَّ الْمَاءَ إِذَا تَغَيَّرَ بِالْمِلْحِ لَمْ يَنْحَلَّ أَنْ يَكُونَ مِلْحَ حَجَرٍ أَوْ مِلْحَ جَمْدٍ فَإِنْ كَانَ مِلْحَ حَجَرٍ فَاسْتِعْمَالُ مَا تَغَيَّرَ بِهِ مِنَ الْمَاءِ غَيْرُ جَائِزٍ، كَمَا لَوْ تَغَيَّرَ الْمَاءُ بِمَا يَنْحَلُّ فِيهِ مِنْ جَوَاهِرِ الْأَرْضِ كَالْكُحْلِ وَغَيْرِهِ، وَإِنْ كَانَ مِلْحَ جَمْدٍ فَفِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِأَنَّ أَصْلَهُ مَا قَدْ جَمَدَ، فَإِذَا ذَابَ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ جَوَازِ الِاسْتِعْمَالِ كَالثَّلْجِ إِذَا ذَابَ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَحَالَ عَنِ الْمَاءِ فَصَارَ جَوْهَرًا كَغَيْرِهِ. وَمِنْ فُرُوعِ هَذَا الْفَصْلِ أَنَّ الْمَاءَ إِذَا تَغَيَّرَ بِالْجَمَادِ أَوْ بِطُولِ المكث كان استعماله جائز لِأَنَّهُ تَغَيُّرُ مُجَاوَرَةٍ، فَأَمَّا إِذَا تَغَيَّرَ بِالتُّرَابِ فَإِنْ صَارَ بِحَيْثُ لَا يُجْزِئُ بِطَبْعِهِ لَمْ يجز استعماله، لأنه صار علينا، وَإِنْ كَانَ جَارِيًا بِطَبْعِهِ لَكِنْ تَكَدَّرَ لَوْنُهُ وَتَغَيَّرَ طَبْعُهُ فَفِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مَذْرُورٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الأصح يجوز قَرَارٌ لِلْمَاءِ لَا يَنْفَكُّ غَالِبًا عَنْهُ كَالطِّينِ.
Dan di antara cabang dari fashl ini: bahwa apabila air berubah karena garam yang tidak larut, baik berupa garam batu atau garam beku, maka jika berupa garam batu, maka penggunaan air yang berubah karenanya tidak boleh, sebagaimana jika air berubah karena benda-benda bumi yang larut di dalamnya seperti kuḥl dan semisalnya. Namun jika berupa garam beku, maka dalam kebolehan penggunaannya terdapat dua pendapat:
Pertama: boleh, karena asalnya adalah benda yang telah membeku, maka ketika mencair tidak menghalangi kebolehan penggunaannya seperti salju apabila mencair.
Pendapat kedua: tidak boleh digunakan karena ia telah berubah dari sifat air menjadi zat lain sebagaimana benda selainnya.
Dan di antara cabang dari fashl ini: bahwa jika air berubah karena benda padat atau karena lama tersimpan, maka penggunaannya boleh karena itu termasuk perubahan karena keterdekatan.
Adapun jika berubah karena tanah, maka apabila sampai pada keadaan yang tidak dapat mengalir secara alami, maka tidak boleh digunakan, karena telah menjadi lumpur. Namun jika tetap mengalir secara alami tetapi warna dan sifatnya menjadi keruh, maka dalam kebolehan penggunaannya terdapat dua pendapat:
Pertama: tidak boleh, karena ia adalah bubuk yang tersebar.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih ṣaḥīḥ: boleh, karena itu adalah endapan air yang umumnya tidak terpisah darinya, seperti lumpur.
وَمِنَ الْفُرُوعِ الْمُضَاهِيَةِ لِهَذَا الْفَصْلِ تَكْمِيلُ مَاءِ الطَّهَارَةِ بِمَائِعٍ طَاهِرٍ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ يَكْتَفِي فِي غَسْلِهِ بِعَشَرَةِ أَرْطَالٍ مِنْ مَاءٍ فَيَجِدُ ثَمَانِيَةَ أَرْطَالٍ قِيمَتُهَا بِرِطْلَيْنِ مِنْ لَبَنٍ أَوْ مَائِعٍ غَيْرِهِ، وَلَا تُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ أَوْصَافِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِ جَمِيعِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ وَطَائِفَةٍ أَنَّ اسْتِعْمَالَ جَمِيعِهِ غَيْرُ جَائِزٍ لِلْإِحَاطَةِ بِاسْتِعْمَالِ الْمَائِعِ فِي طَهَارَتِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ أَنَّ اسْتِعْمَالَهُ جَائِزٌ لِأَنَّهُ لَا حُكْمَ لِمَا صَارَ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ مِنَ الْمَائِعِ، أَلَّا تَرَى أَنَّهُ لَوِ اسْتَعْمَلَ ثَمَانِيَةَ أَرْطَالٍ هِيَ مِقْدَارُ الْمَاءِ وَبَقِيَ مِنْهُ رطلين هِيَ مِقْدَارُ الْمَائِعِ جَازَ، وَإِنْ أُحِطْنَا عِلْمًا بِأَنَّ الثَّانِيَ لَيْسَ بِمَائِعٍ فَرْدٍ، وَأَنَّ الَّذِي اسْتَعْمَلَهُ لَيْسَ بِمَاءٍ فَرْدٍ فَكَذَا إِذَا اسْتَعْمَلَ الْكُلَّ لِكَوْنِ الْمَائِعِ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan di antara cabang yang menyerupai fashl ini adalah menyempurnakan air untuk bersuci dengan cairan yang suci, yaitu seseorang yang mencukupkan diri dalam mandi dengan sepuluh raṭl air, lalu ia mendapatkan delapan raṭl air yang nilainya setara dengan dua raṭl susu atau cairan lainnya, dan cairan itu tidak mengubah sedikit pun dari sifat air tersebut, maka para sahabat kami berselisih pendapat tentang kebolehan menggunakan seluruh campuran itu dalam dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat Abū ‘Alī al-Ṭabarī dan sekelompok ulama, bahwa penggunaannya tidak boleh, karena berarti ia menggunakan cairan tersebut sepenuhnya dalam bersucinya.
Pendapat kedua: yaitu pendapat jumhur, bahwa penggunaannya boleh, karena tidak ada ketentuan hukum terhadap cairan yang larut di dalam air. Tidakkah engkau lihat bahwa jika ia hanya menggunakan delapan raṭl yang merupakan kadar air, dan tersisa dua raṭl yang merupakan kadar cairan, maka boleh? Meskipun kita tahu secara pasti bahwa dua sisanya bukan cairan murni, dan bahwa yang digunakan juga bukan air murni. Maka demikian pula hukumnya jika ia menggunakan semuanya, karena cairan itu telah larut di dalamnya. Wallāhu a‘lam.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَيَتَوَضَّأُ فِي جُلُودِ الميتة إذا دبغت ” واحتج بقوله عليه السلام: ” أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ ” كَذَلِكَ جُلُودُ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ مِنَ السِّبَاعِ إِذَا دُبِغَتْ إِلَّا جِلْدَ كَلْبٍ أَوْ خِنْزِيرٍ، لِأَنَّهُمَا نَجِسَانِ وَهُمَا حَيَّانِ.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا بَدَأَ بِأَوَانِي الْجُلُودِ لِاخْتِلَافِ أَحْكَامِهَا وَاخْتِلَافِ الْفُقَهَاءِ فِيمَا يطهر منها، وللكلام فيها مقدمتان.
أحدهما: أَنَّ الْحَيَوَانَ كُلَّهُ طَاهِرٌ إِلَّا خَمْسَةً: وَهِيَ الْكَلْبُ، وَالْخِنْزِيرُ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَخِنْزِيرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ خِنْزِيرٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ، وَسَيَأْتِي الدَّلِيلُ عَلَى تَنْجِيسِهَا فِي مَوْضِعِهِ، وَمَا سِوَاهَا مِنَ الْحَيَوَانَاتِ كُلِّهَا مِنْ دَوَابِّهِ وَطَائِرِهِ طَاهِرٌ فِي حَيَاتِهِ.
وَالْمُقَدِّمَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّ الْمَيْتَةَ كُلَّهَا نَجِسَةٌ إِلَّا خَمْسَةَ أَشْيَاءَ: وَهِيَ الْحُوتُ، وَالْجَرَادُ وَابْنُ آدَمَ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ وَالْجَنِينُ إِذَا مَاتَ بَعْدَ ذَكَاةِ أُمِّهِ، وَالصَّيْدُ إِذَا مَاتَ فِي يَدِ الْجَارِحِ بَعْدَ إِرْسَالِ مُرْسِلِهِ، وَسَنَدُلُّ عَلَى طَهَارَتِهَا، وَمَا سِوَاهَا مِنَ الْمَيْتَةِ كُلِّهَا نَجِسَةٌ فَإِذَا ثَبَتَتْ هَاتَانِ الْمُقَدِّمَتَانِ، فَكُلُّ مَا كَانَ طَاهِرًا بَعْدَ مَوْتِهِ جَازَ اسْتِعْمَالُ جِلْدِهِ قَبْلَ دِبَاغِهِ إِلَّا ابْنَ آدَمَ فَإِنَّ الِانْتِفَاعَ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ مُحَرَّمٌ لِحُرْمَتِهِ، وَلَيْسَ لِلْجَرَادِ جِلْدٌ يُوصَفُ بِالِانْتِفَاعِ بِهِ، وَالْحُوتُ فقد يكون لبعضه من البحري جِلْدٌ يُنْتَفَعُ بِهِ.
Bab Perihal Wadah
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Boleh berwudu dengan menggunakan kulit bangkai jika telah disamak.” Beliau berdalil dengan sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam: “Kulit apa saja yang telah disamak, maka sungguh ia telah suci.” Demikian pula kulit hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya dari jenis binatang buas, apabila telah disamak, maka boleh digunakan, kecuali kulit anjing dan babi, karena keduanya najis ketika masih hidup.
Al-Māwardī berkata: “Alasan dimulai dengan pembahasan wadah dari kulit adalah karena perbedaan hukum-hukumnya dan perselisihan para fuqahā’ mengenai bagian mana yang menjadi suci darinya. Dalam pembahasannya terdapat dua pendahuluan:
Pendahuluan pertama: bahwa seluruh hewan itu suci, kecuali lima, yaitu anjing, babi, hewan yang lahir dari anjing dan babi, hewan yang lahir dari anjing dan hewan yang suci, dan hewan yang lahir dari babi dan hewan yang suci. Dalil kenajisannya akan dijelaskan pada tempatnya. Adapun selainnya dari seluruh hewan, baik yang berkaki empat maupun yang terbang, semuanya suci ketika hidup.
Pendahuluan kedua: bahwa seluruh bangkai adalah najis, kecuali lima hal, yaitu: ikan, belalang, manusia menurut pendapat ṣaḥīḥ dalam mazhab, janin yang mati setelah induknya disembelih, dan buruan yang mati di tangan hewan pemburu setelah dilepas oleh tuannya. Kami akan menunjukkan dalil atas kesuciannya. Adapun selain itu dari seluruh bangkai adalah najis.
Jika dua pendahuluan ini telah ditetapkan, maka setiap hewan yang suci setelah kematiannya, maka boleh menggunakan kulitnya sebelum disamak, kecuali tubuh manusia, karena mengambil manfaat dari bagian tubuhnya setelah mati adalah haram karena kehormatannya. Adapun belalang tidak memiliki kulit yang dapat diambil manfaatnya. Sedangkan ikan, sebagian jenis lautnya memiliki kulit yang dapat dimanfaatkan.
فَصْلٌ
وَأَمَّا الْحَيَوَانُ فَمَا كَانَ مِنْهُ نَجِسًا فِي حَيَاتِهِ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الْخَمْسَةِ لَا يَطْهُرُ جِلْدُ شَيْءٍ مِنْهَا بِذَكَاتِهِ وَلَا بِدِبَاغِهِ، وَلَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ فِي ذَائِبٍ وَلَا يَابِسٍ.
وَقَالَ أبو يوسف، وَدَاوُدُ: يَطْهُرُ جُلُودُ جَمِيعِهَا بِالدِّبَاغَةِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَطْهُرُ جِلْدُ الْكَلْبِ دُونَ الخنزير استدلالا بعموم قوله عليه السلام: ” أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ “، وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ يَجُوزُ الِانْتِفَاعُ بِهِ حَيًّا فَجَازَ أَنْ يَطْهُرَ جِلْدُهُ بِالدِّبَاغِ كَالْبَغْلِ، وَالْحِمَارِ.
قَالَ: وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ مُخْتَلَفٌ فِي جَوَازِ أَكْلِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَطْهُرَ جِلْدُهُ بِالدِّبَاغِ قِيَاسًا عَلَى الضَّبُعِ.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قوله عليه السلام: ” لَا تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ “، وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ نَجِسٌ فِي حَيَاتِهِ فَلَمْ يَطْهُرْ جِلْدُهُ بِالدِّبَاغِ كَالْخِنْزِيرِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَطْهُرْ مِنَ الْخِنْزِيرِ لَمْ يَطْهُرْ مِنَ الْكَلْبِ كَاللَّحْمِ، وَلِأَنَّ النَّجَاسَةَ إِنَّمَا تَزُولُ بِالْمُعَالَجَةِ إِذَا كَانَتْ طَارِئَةً عَلَى مَحَلٍّ طَاهِرٍ كَالثَّوْبِ النَّجِسِ فَأَمَّا إِذَا كَانَتْ لَازِمَةً لِوُجُودِ الْعَيْنِ فِي ابْتِدَاءِ ظُهُورِهَا فَلَا يَطْهُرُ بِالْمُعَالَجَةِ كَالْعُذْرَةِ وَالدَّمِ وَنَجَاسَةُ الْكَلْبِ لَازِمَةٌ لَا طَارِئَةٌ، وَلِأَنَّ الْحَيَاةَ أقوى في التطهير من الدباغة لتطهرها جَمِيعَ الْحَيَوَانِ حَيًّا وَاخْتِصَاصُ الدِّبَاغَةِ بِتَطْهِيرِ جِلْدِهَا منفردا فلما لم يؤثر الْحَيَاةُ فِي تَطْهِيرِ الْكَلْبِ فَالدِّبَاغَةُ أَوْلَى أَنْ لَا تُؤَثِّرَ فِي تَطْهِيرِ جِلْدِهِ فَأَمَّا عُمُومُ قوله عليه السلام فَمَخْصُوصٌ بِدَلِيلِنَا، فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْبَغْلِ وَالْحِمَارِ فالمعنى فيه: طهارته حيا وكذلك الضبع.
Fashl
Adapun hewan, maka setiap hewan yang najis ketika hidupnya dari lima jenis hewan itu, maka tidak menjadi suci kulitnya dengan disembelih maupun dengan disamak, dan tidak boleh digunakan baik dalam keadaan cair maupun kering.
Abū Yūsuf dan Dāwūd berkata: kulit semua hewan tersebut menjadi suci dengan disamak.
Abū Ḥanīfah berkata: kulit anjing menjadi suci dengan disamak, tidak demikian dengan babi. Ia berdalil dengan keumuman sabda Nabi ﷺ: “Kulit apa saja yang telah disamak, maka sungguh telah suci,” dan karena anjing adalah hewan yang boleh diambil manfaatnya saat hidup, maka boleh kulitnya menjadi suci dengan disamak, seperti baghl dan ḥimār.
Ia juga berkata: karena anjing adalah hewan yang diperselisihkan kebolehan memakannya, maka seharusnya kulitnya menjadi suci dengan disamak, sebagaimana ḍabbu‘.
Dalil kami adalah keumuman sabda Nabi ﷺ: “Janganlah kalian memanfaatkan kulit dan urat dari bangkai.” Dan karena anjing adalah hewan yang najis dalam keadaan hidup, maka tidak menjadi suci kulitnya dengan disamak, sebagaimana babi. Dan karena segala sesuatu yang tidak menjadi suci dari babi, maka tidak pula menjadi suci dari anjing, seperti daging. Dan karena najis itu hanya bisa dihilangkan dengan pembersihan apabila ia datang menimpa benda yang asalnya suci, seperti pakaian yang terkena najis. Adapun jika najis itu melekat karena zat itu sendiri sejak awal kemunculannya, maka tidak dapat disucikan dengan pembersihan, seperti kotoran, darah, dan najis anjing yang merupakan najis bawaan, bukan yang datang dari luar.
Dan karena kehidupan lebih kuat dalam hal mensucikan dibanding penyamakan, karena kehidupan mensucikan seluruh hewan ketika hidup, sedangkan penyamakan hanya menyucikan kulitnya saja. Maka ketika kehidupan tidak berpengaruh dalam mensucikan anjing, maka penyamakan lebih utama untuk tidak berpengaruh dalam mensucikan kulitnya.
Adapun keumuman sabda Nabi ﷺ tersebut, maka telah dikhususkan oleh dalil kami.
Adapun qiyās mereka terhadap baghl dan ḥimār, maka alasannya adalah karena keduanya suci saat hidup, demikian pula ḍabbu‘.
فصل
وأما الحيوان الطاهر فضربان: [الأول] : مأكول. و [الثاني] : غير مأكول. فأما الْمَأْكُولُ كَالْبَغْلِ، وَالْحِمَارِ وَالسَّبُعِ، وَالذِّئْبِ فَيَطْهُرُ جِلْدُهُ بِالدِّبَاغَةِ وَلَا يَطْهُرُ بِالذَّكَاةِ. وَقَالَ أبو حنيفة: يَطْهُرُ جِلْدُهُ بِالذَّكَاةِ كَمَا يَطْهُرُ بِالدِّبَاغَةِ. وَقَالَ أبو ثور – إبراهيم بن بشر – لَا يَطْهُرُ جِلْدُهُ بِالدِّبَاغِ كَمَا لَا يَطْهُرُ بِالذَّكَاةِ، فَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ عَلَى طَهَارَةِ جلده بالذكاة بقوله عليه السلام: ” دِبَاغُ الْأَدِيمِ ذَكَاتُهُ ” فَأَقَامَ الذَّكَاةَ مَقَامَ الدِّبَاغَةِ، وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ جِلْدَهُ بِالدِّبَاغَةِ يَطْهُرُ، فَوَجَبَ أَنْ يَطْهُرَ بِالذَّكَاةِ كَالْمَأْكُولِ. قَالَ: وَلِأَنَّ مَا طَهَّرَ جِلْدَ الْمَأْكُولِ طَهَّرَ جِلْدَ غَيْرِ الْمَأْكُولِ كَالدِّبَاغَةِ.
Fashl
Adapun hewan yang suci, terbagi menjadi dua jenis: pertama, yang boleh dimakan; dan kedua, yang tidak boleh dimakan.
Adapun yang boleh dimakan, seperti baghl, ḥimār, binatang buas, dan serigala, maka kulitnya menjadi suci dengan disamak, dan tidak menjadi suci dengan disembelih.
Abū Ḥanīfah berkata: kulitnya menjadi suci dengan disembelih sebagaimana menjadi suci dengan disamak.
Abū Ṯaur (Ibrāhīm ibn Bisyr) berkata: kulitnya tidak menjadi suci dengan disamak sebagaimana tidak menjadi suci dengan disembelih.
Adapun Abū Ḥanīfah berdalil atas sucinya kulit karena penyembelihan dengan sabda Nabi ﷺ: “Penyamakan kulit adalah seperti penyembelihan baginya.” Maka beliau menyamakan penyembelihan dengan penyamakan. Dan telah tetap bahwa kulitnya menjadi suci dengan disamak, maka seharusnya menjadi suci pula dengan penyembelihan seperti hewan yang boleh dimakan.
Ia berkata: karena sesuatu yang menyucikan kulit hewan yang boleh dimakan, maka itu juga menyucikan kulit hewan yang tidak boleh dimakan, seperti penyamakan.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ تَقْوِيتَ الرُّوحِ إِذَا لَمَّ يُطَهِّرْ غَيْرَ الْجِلْدِ لَمْ يُطَهِّرِ الْجِلْدَ كَالرَّمْيِ فِي الْمَقْدُورِ عَلَيْهِ من الحيوان طردا، وفي غير المقدرور عَلَيْهِ عَكْسًا، وَلِأَنَّهَا ذَكَاةٌ لَا تُبِيحُ أَكْلَ لَحْمِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُفِيدَ طَهَارَةَ جِلْدِهِ كَزَكَاةِ الْمَجُوسِيِّ طَرْدًا، أَوْ كَزَكَاةِ الْمُسْلِمِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ التَّطْهِيرَ الْمُسْتَفَادَ بِذَكَاةِ الْمَأْكُولِ يَنْتَفِي عَنْ ذكاة غير المأكول كتطهر اللحم.
Dalil kami adalah bahwa penguatan ruh (yakni penyembelihan) apabila tidak menyucikan selain kulit, maka tidak pula menyucikan kulit, seperti hewan yang mampu dikendalikan lalu dilempar, maka tidak menyucikan (secara ṭard), dan pada hewan yang tidak mampu dikendalikan (liar) maka tidak menyucikan secara kebalikan (‘aks).
Dan karena penyembelihan itu tidak menjadikan dagingnya halal untuk dimakan, maka tidak pula menjadikan kulitnya suci, seperti penyembelihan orang Majusi secara ṭard, atau seperti penyembelihan orang Muslim terhadap hewan yang tidak boleh dimakan secara ‘aks.
Dan karena penyucian yang diperoleh dari penyembelihan hewan yang boleh dimakan, tidak berlaku pada penyembelihan hewan yang tidak boleh dimakan, sebagaimana penyucian dagingnya.
وأما الخبر فمعنى قوله عليه السلام: ” دباغ الأديم ذكاته “، أي: مطهره أو الذكاة لَا تُطَهِّرُ، لِأَنَّهَا تُبْقِي نَجَاسَةً نَظَرًا بِالْمَوْتِ لا إنها تبقى نجاسة ثابتة،، قبل عَلَى الْمَأْكُولِ فَالْمَعْنَى فِي ذَكَاتِهِ أَنَّهَا أَبَاحَتْ أَكْلَ لَحْمِهِ فَأَفَادَتْ طَهَارَةَ جِلْدِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ غَيْرُ الْمَأْكُولِ.
Adapun hadis, maka makna sabda Nabi : “Penyamakan kulit adalah penyembelihannya,” maksudnya adalah penyucinya, atau bahwa penyembelihan tidak menyucikan, karena ia tetap menyisakan najis jika dilihat dari sisi kematian, bukan karena ada najis yang tetap.
Hadis itu berlaku atas hewan yang boleh dimakan, maka makna dari penyembelihannya adalah bahwa ia menjadikan dagingnya halal dimakan, sehingga memberikan efek kesucian pada kulitnya. Adapun hewan yang tidak boleh dimakan, maka tidak demikian halnya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الدِّبَاغَةِ فَالْمَعْنَى فِي الدِّبَاغَةِ: أَنَّهَا مَوْضُوعَةٌ لِنَفْيِ النَّجَاسَةِ الطَّارِئَةِ بِالْمَوْتِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الذَّكَاةُ.
وَأَمَّا أَبُو ثَوْرٍ فاستدل على أن مالا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ لَا يَطْهُرُ جِلْدُهُ بِالدِّبَاغَةِ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” دِبَاغُ الْأَدِيمِ ذَكَاتُهُ “، فَلَمَّا لَمْ تَعْمَلِ الذَّكَاةُ فِي غَيْرِ الْمَأْكُولِ لَمْ تَعْمَلْ فِيهِ الدِّبَاغَةُ وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” نهى عن افتراش جلود السباع ” فلو كانت تطهر بالدباغة لم ينه عن افتراشها، وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ لَا يَطْهُرُ جِلْدُهُ بِالذَّكَاةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَطْهُرَ بِالدِّبَاغَةِ كَالْكَلْبِ، وَالْخِنْزِيرِ، وَلِأَنَّ الدباغة أحد مَا يَطْهُرُ بِهِ الْجِلْدُ فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنْ غَيْرِ الْمَأْكُولِ كَالذَّكَاةِ.
Adapun qiyās mereka terhadap penyamakan, maka makna dalam penyamakan adalah bahwa ia ditetapkan untuk menghilangkan najis yang muncul karena kematian, sedangkan penyembelihan tidak demikian.
Adapun Abū Ṯaur berdalil bahwa hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, kulitnya tidak menjadi suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi : “Penyamakan kulit adalah penyembelihannya.” Maka ketika penyembelihan tidak berpengaruh pada hewan yang tidak boleh dimakan, demikian pula penyamakan tidak berpengaruh padanya.
Juga berdasarkan riwayat bahwa Nabi : “Melarang memakai alas dari kulit binatang buas.” Maka jika kulit tersebut menjadi suci dengan penyamakan, tentu tidak dilarang untuk dijadikan alas.
Dan karena ia adalah hewan yang kulitnya tidak menjadi suci dengan penyembelihan, maka semestinya tidak menjadi suci dengan penyamakan, sebagaimana anjing dan babi. Dan karena penyamakan adalah salah satu sebab yang menyucikan kulit, maka seharusnya tidak berlaku atas hewan yang tidak boleh dimakan, sebagaimana penyembelihan.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْلِهِ عليه السلام: ” أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ ” وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ طَاهِرٌ فَجَازَ أَنْ يَطْهُرَ جِلْدُهُ بِالدِّبَاغَةِ كَالْمَأْكُولِ ولأن ما ينفي عَنِ الْمَأْكُولِ تَنْجِيسُ جِلْدِهِ نُفِيَ عَنْ غَيْرِ الْمَأْكُولِ تَنْجِيسَ جِلْدِهِ كَالْحَيَاةِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ، فَقَدْ تَقَدَّمَ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ الدِّبَاغَةِ وَالذَّكَاةِ مَا يُوَضِّحُ الْجَوَابَ عَنْهُ.
وَأَمَّا نَهْيُهُ عَنِ افْتِرَاشِ جُلُودِ السِّبَاعِ فَمَحْمُولٌ عَلَى مَا قبل الدباغة أو على ما بعد الدباغة إذا كان الشعر باقيا، لأن المقصود منها شعورها كَالْفُهُودَةِ وَالنُّمُورَةِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ فالمعنى فيه: نجاسة فِي الْحَيَاةِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الذَّكَاةِ فَالْمَعْنَى فِي الذَّكَاةِ: أَنَّهَا لَا مَدْخَلَ لَهَا فِي إِزَالَةِ الْأَنْجَاسِ، وَلِلدِّبَاغَةِ مَدْخَلٌ فِي إِزَالَةِ الْأَنْجَاسِ.
Dan dalil kami adalah keumuman sabda beliau SAW: “Ayyu mā ihābin dubigha faqad ṭahura” (kulit apa saja yang telah disamak maka sungguh ia telah suci). Dan karena ia adalah hewan yang suci, maka boleh kulitnya menjadi suci dengan penyamakan seperti hewan yang boleh dimakan. Dan karena hal yang meniadakan kenajisan kulit hewan yang boleh dimakan juga meniadakan kenajisan kulit hewan yang tidak boleh dimakan, sebagaimana kehidupan.
Adapun jawaban terhadap hadis, telah dijelaskan sebelumnya perbedaan antara penyembelihan dan penyamakan yang memperjelas jawaban terhadapnya.
Adapun larangan beliau untuk membentangkan kulit binatang buas, maka ditakwilkan pada kulit sebelum disamak, atau setelah disamak namun bulunya masih ada, karena yang dimaksud darinya adalah bulunya, seperti kulit al-fuhūdah (macan tutul) dan al-numūrah (harimau bintang).
Adapun qiyas terhadap anjing dan babi, maka illat-nya adalah kenajisan ketika hidup. Dan qiyas terhadap penyembelihan, maka illat-nya: bahwa penyembelihan tidak memiliki peran dalam menghilangkan najis, sedangkan penyamakan memiliki peran dalam menghilangkan najis.
فصل
فأما المأكول فَيَطْهُرُ جِلْدُهُ بِالذَّكَاةِ إِجْمَاعًا، وَبِالدِّبَاغَةِ إِنْ مَاتَ.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: جِلْدُ الْمَيْتَةِ لَا يَطْهُرُ بِالدِّبَاغَةِ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الميتة} [المائدة: 3] . إشارة إلى حملها وإجرائها.
وَبِرِوَايَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ قَالَ: كَتَبَ إِلَيْنَا رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَبْلَ مَوْتِهِ بِشَهْرَيْنِ: ” أَنْ لَا تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ “. وَلِأَنَّ مَا نَجِسَ بِالْمَوْتِ لَمْ يَطْهُرْ بِالدِّبَاغَةِ كَاللَّحْمِ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَطْهُرْ بِهِ اللَّحْمُ لَمْ يَطْهُرْ بِهِ الجلد كالغسل، ولعلة التَّنْجِيسِ بِالْمَوْتِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْتَفِعَ التَّنْجِيسُ مَعَ بَقَاءِ الْمَوْتِ، لِأَنَّ ارْتِفَاعَ الْحُكْمِ مَعَ بَقَاءِ الْعِلَّةِ مُحَالٌ.
PASAL
Adapun hewan yang boleh dimakan, maka kulitnya menjadi suci dengan penyembelihan menurut ijmak, dan dengan penyamakan jika ia mati.
Ahmad bin Hanbal berkata: Kulit bangkai tidak menjadi suci dengan penyamakan, karena keumuman firman Allah Ta‘ala: “Ḥurri mat ‘alaykumu al-maytah” (telah diharamkan atas kalian bangkai) [al-Māidah: 3], sebagai isyarat kepada larangan membawanya dan menggunakannya.
Dan berdasarkan riwayat ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Lailā dari ‘Abdullāh bin ‘Ukaym, ia berkata: Rasulullah SAW menulis surat kepada kami dua bulan sebelum wafat beliau: “Janganlah kalian mengambil manfaat dari bangkai, baik dari kulit maupun uratnya.”
Dan karena sesuatu yang menjadi najis karena mati tidak menjadi suci dengan penyamakan, seperti daging. Dan karena sesuatu yang tidak menjadikan daging suci tidak pula menjadikan kulit suci, seperti pencucian. Dan karena illat kenajisan adalah karena kematian, maka tidak boleh hilangnya kenajisan itu sementara kematian tetap ada, karena hilangnya hukum sementara illat-nya tetap ada adalah hal yang mustahil.
وَدَلِيلُنَا: مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنِ ابْنِ وَعْلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” إذا دبغ الإهاب فَقَدْ طَهُرَ ” إِنَّمَا يَكُونُ فِيمَا لَحِقَهُ التَّنْجِيسُ، فصار بمثابة قوله أَيُّمَا إِهَابٍ نَجِسَ بِالْمَوْتِ طَهُرَ بِالدِّبَاغَةِ.
وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ بِشَاةٍ لِمَوْلَاةِ مَيْمُونَةَ مَيْتَةً فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَا عَلَى أَهْلِ هَذِهِ لَوْ أَخَذُوا إِهَابَهَا فَدَبَغُوهُ فَانْتَفَعُوا بِهِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَتْ مَيْتَةً فَقَالَ: إِنَمَا حُرِّمَ مِنَ الْمَيْتَةِ أَكْلُهَا ” وَهَذَا نَصٌّ.
Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari Mālik, dari Zayd bin Aslam, dari Ibn Wa‘lah al-Miṣrī, dari Ibn ‘Abbās, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Idzā dubigha al-ihāb faqad ṭahura” (apabila kulit telah disamak maka sungguh ia telah suci). Ini berlaku atas apa yang terkena kenajisan, maka seakan-akan sabdanya: ayyumā ihābin najasa bi al-mawt ṭahura bi al-dibāghah (kulit apa pun yang menjadi najis karena mati maka suci dengan penyamakan).
Dan al-Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyān bin ‘Uyaynah, dari al-Zuhrī, dari ‘Ubaydullāh bin ‘Abdillāh, dari Ibn ‘Abbās, bahwa Nabi SAW melewati bangkai kambing milik budak perempuan Maimūnah, lalu beliau SAW bersabda: “Mengapa pemilik kambing ini tidak mengambil kulitnya lalu menyamaknya, kemudian memanfaatkannya?” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah ia bangkai?” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya.” Dan ini adalah nash.
وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُسَيْطٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ أُمِّهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَمَرَ أَنْ يُسْتَمْتَعَ بِجُلُودِ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَتْ ” وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ طَاهِرٌ فَجَازَ أَنْ يَطْهُرَ جِلْدُهُ بعد وفاة روحه كالمذكي، ولأنه جلد نجس بعد طهارة فجاز أن يطرأ عَلَيْهِ الطَّهَارَةُ كَالَّذِي نَجِسَ بِدَمٍ، أَوْ غَيْرِهِ.
Dan al-Syafi‘i meriwayatkan dari Mālik, dari Yazīd bin ‘Abdillāh bin Qusayṭ, dari Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Thawbān, dari ibunya, dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa Nabi SAW “memerintahkan agar memanfaatkan kulit bangkai apabila telah disamak.”
Dan karena ia adalah hewan yang suci, maka boleh kulitnya menjadi suci setelah keluarnya ruh sebagaimana hewan yang disembelih. Dan karena ia adalah kulit yang najis setelah sebelumnya suci, maka boleh disucikan kembali, sebagaimana sesuatu yang menjadi najis karena darah atau selainnya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِحَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَعَ ضَعْفِهِ مُرْسَلٌ، لِأَنَّ عَلِيَّ بْنَ الْمَدِينِيِّ قَالَ: مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ سَنَةٌ، وَقَدْ كَانَ يرويه مرة عن شيخه قَوْمِهِ نَاسٍ مِنْ جُهَيْنَةَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مُسْتَعْمَلٌ عَلَى مَا قَبْلَ الدِّبَاغَةِ، لِأَنَّ اسْمَ الْإِهَابِ يَتَنَاوَلُ الْجِلْدَ قَبْلَ دِبَاغِهِ، وَيَنْتَقِلُ عَنْهُ الِاسْمُ بعد دباغة، قال عنترة:
(فشككت بِالرُّمْحِ الْأَصَمِّ إِهَابَهُ … لَيْسَ الْكَرِيمُ عَلَى الْفَتَى بِمُحَرَّمِ)
Adapun jawaban terhadap pendalilan dengan hadis ‘Abdullāh bin ‘Ukaym maka dari dua sisi:
Pertama: bahwa selain lemah, ia juga mursal, karena ‘Alī bin al-Madīnī berkata: Rasulullah SAW wafat sedangkan usia ‘Abdullāh bin ‘Ukaym baru setahun. Ia juga pernah meriwayatkannya sekali dari gurunya dari kaumnya—sekelompok orang dari Juhaynah.
Kedua: bahwa hadis tersebut ditakwilkan pada kulit sebelum disamak, karena nama ihāb mencakup kulit sebelum disamak, dan nama itu tidak lagi berlaku setelah disamak. Sebagaimana syair ‘Antarah:
(Fa-syakaktu bi al-rumḥi al-aṣamm ihābahu… Laysa al-karīmu ‘ala al-fatā bi muḥarrami)
(“Maka kutikam kulitnya dengan tombak yang tajam… Tiada orang mulia akan diharamkan atas pemuda”)
وَأَمَّا الْآيَةُ فَمَخْصُوصَةٌ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى اللَّحْمِ فَهُوَ قِيَاسٌ يَرْفَعُ النَّصَّ فَاطَّرَحْنَاهُ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي اللَّحْمِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلدِّبَاغَةِ فِيهِ تَأْثِيرٌ لَمْ يَطْهُرْ بِهَا وَالْجِلْدُ لَمَّا أَثَّرَتْ فِيهِ الدِّبَاغَةُ طَهُرَ بِهَا.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْغَسْلِ فَكَذَا الْجَوَابُ عَنْهُ، لِأَنَّ الْغَسْلَ لَا يُؤَثِّرُ فِي الْجِلْدِ كَتَأْثِيرِ الدِّبَاغَةِ.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ الْمَوْتَ عِلَّةُ التَّنْجِيسِ فعنه جوابان: أحدهما: أن علة التنجيس الْمَوْتُ وَفَقْدُ الدِّبَاغَةِ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَوْتَ عِلَّةٌ في تنجيسه غَيْرِ مُتَأَبِّدٍ وَفَقْدَ الدِّبَاغَةِ عِلَّةٌ فِي التَّنْجِيسِ المتأبد.
Adapun ayat tersebut adalah makhṣūṣah (telah dikhususkan), dan qiyās terhadap daging adalah qiyās yang menolak nash, maka kami tolak. Di samping bahwa makna pada daging adalah: karena penyamakan tidak berpengaruh padanya maka ia tidak menjadi suci karenanya, sedangkan kulit karena penyamakan berpengaruh padanya maka ia menjadi suci karenanya.
Adapun qiyās terhadap pencucian, maka jawabannya sama, karena pencucian tidak berpengaruh pada kulit sebagaimana pengaruh penyamakan.
Adapun ucapannya bahwa kematian adalah illat kenajisan, maka jawabannya dua:
Pertama: bahwa illat kenajisan adalah kematian dan ketiadaan penyamakan.
Kedua: bahwa kematian adalah illat kenajisan yang tidak kekal, dan ketiadaan penyamakan adalah illat kenajisan yang kekal.
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ جِلْدَ الْمَيْتَةِ يَطْهُرُ بِالدِّبَاغَةِ، فَإِنَّهُ يَطْهُرُ بِهَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَيَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ في الذائب واليابس والصلاة عَلَيْهِ وَفِيهِ.
وَقَالَ مَالِكٌ: يَطْهُرُ ظَاهِرُهُ دُونَ بَاطِنِهِ وَجَازَ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْيَابِسِ دُونَ الذَّائِبِ وجازت الصلاة عليه، ولم يجز فيما اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الدِّبَاغَةَ تُؤَثِّرُ فِيمَا لَاقَتْهُ وَهُوَ ظَاهِرُ الْجِلْدِ دُونَ بَاطِنِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَطْهُرَ بِهَا ظَاهِرُ الْجِلْدِ دُونَ بَاطِنِهِ.
Apabila telah tetap bahwa kulit bangkai menjadi suci dengan penyamakan, maka ia menjadi suci secara lahir dan batin, dan boleh digunakan pada benda cair maupun kering, serta boleh salat di atasnya dan padanya.
Mālik berkata: Yang suci hanya bagian luarnya saja, tidak bagian dalamnya. Boleh digunakan untuk benda kering, tidak untuk benda cair. Boleh salat di atasnya, namun tidak di dalamnya. Ia berdalil bahwa penyamakan hanya berpengaruh pada bagian yang disentuhnya, yaitu bagian luar kulit, bukan bagian dalamnya. Maka wajiblah bahwa yang menjadi suci hanyalah bagian luar kulit, tidak bagian dalamnya.
وَدَلِيلُنَا: قَوْلُهُ عليه السلام: ” أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي طَهَارَةِ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ.
Dan dalil kami adalah sabda beliau SAW: “Ayyu mā ihābin dubigha faqad ṭahura” (kulit apa saja yang telah disamak maka sungguh ia telah suci), maka tetaplah keumumannya mencakup kesucian lahir dan batin.
وَرُوِيَ عَنْ سَوْدَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: ” مَاتَتْ لَنَا شَاةٌ وَدَبَغْنَا إِهَابَهَا فَجَعَلْنَاهُ قِرْبَةً كُنَّا نَنْبِذُ فِيهَا إلى أن صارت شنا “. ومالك لَا يُجَوِّزُ الِانْتِبَاذَ فِيهَا وَإِنَّمَا يُجَوِّزُ اسْتِعْمَالَهَا فِي الْمَاءِ، لِأَنَّ عِنْدَهُ أَنَّ الْمَاءَ لَا يَنْجَسُ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ، وَلِأَنَّ مَا طَهُرَ به ظاهر الجلد طهر به باطنه كَالذَّكَاةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ مِنَ الْجِلْدِ طَهُرَ بالذكاة طهر بالدباغة كالظاهر.
Dan diriwayatkan dari Sawdah bahwa ia berkata: “Kami memiliki seekor kambing yang mati, lalu kami samak kulitnya dan menjadikannya sebagai wadah air, kami biasa merendam sesuatu di dalamnya hingga menjadi shinā (minuman yang telah difermentasi).”
Sedangkan Mālik tidak membolehkan perendaman di dalamnya, dan hanya membolehkan penggunaannya untuk air, karena menurutnya air tidak menjadi najis selama tidak berubah. Dan karena sesuatu yang menjadikan bagian luar kulit suci, juga menjadikan bagian dalamnya suci, seperti penyembelihan. Dan karena setiap bagian dari kulit yang menjadi suci dengan penyembelihan, juga menjadi suci dengan penyamakan, seperti bagian luar.
وأما استدلاله بأنها تؤثر فيما لاقته فخطأ، لأن تأثيرها في نشف الرطوبة الباطنة والسهوكة الداخلة كتأثيرها في الظاهر فيها.
Adapun pendalilannya bahwa penyamakan hanya berpengaruh pada apa yang disentuhnya adalah keliru, karena pengaruhnya dalam menyerap kelembapan bagian dalam dan menghilangkan bau busuk yang masuk ke dalam seperti pengaruhnya pada bagian luar kulit.
فَإِذَا ثَبَتَ طَهَارَةُ ظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ بِالدِّبَاغَةِ فَهُوَ قبل الدباغة ممنوع من الاستعمال في الذائب.
وقال الزهري: هو قبل الدباغة وبعدها عَلَى سَوَاءٍ فِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ فِي الذَّائِبَاتِ وَالْيَابِسَاتِ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الْحَارِثِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنَّ عَنَاقًا كَانَتْ عِنْدَهُمْ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّهَا مَاتَتْ قَالَ أَلَا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ، فَأَبَاحَ الانتفاع به من غير أن يذكر دباغا.
Maka apabila telah tetap bahwa bagian luar dan dalam kulit menjadi suci dengan penyamakan, maka sebelum disamak, penggunaannya pada benda cair adalah terlarang.
Al-Zuhrī berkata: Ia sebelum dan sesudah disamak adalah sama dalam kebolehan penggunaannya pada benda cair maupun kering, dengan berdalil pada riwayat al-Ḥārith dari ‘Abd al-Raḥmān bin Thawbān dari ‘Āisyah, dari Nabi SAW: bahwa seekor anak kambing betina berada di sisi mereka, lalu mereka mengabarkan bahwa ia telah mati. Beliau bersabda: “Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya lalu memanfaatkannya?” Maka beliau membolehkan mengambil manfaat darinya tanpa menyebutkan penyamakan.
ودليلنا قوله عليه السلام: ” أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ ” عَلَى أَنَّ قبل دباغة لم يطهر الإهاب، وَلِأَنَّ مَا أَوْجَبَ تَنْجِيسَ اللَّحْمِ أَوَجَبَ تَنْجِيسَ الجلد كنجاسة الكلب، ولأن فقد الحياة يوجب تَسَاوِيَ الْحُكْمِ فِي الْجِلْدِ وَاللَّحْمِ كَالْحُوتِ، وَالْجَرَادِ فِي التَّطْهِيرِ، وَالْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ فِي التَّنْجِيسِ، وَأَمَّا الْخَبَرُ فَمَحْمُولٌ عَلَى مَا بَعْدَ الدِّبَاغَةِ بِمَا بَيَّنَهُ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْإِخْبَارِ وَعَلَى الِانْتِفَاعِ بِهِ فِي الْيَابِسَاتِ.
Dan dalil kami adalah sabda beliau SAW: “Ayyu mā ihābin dubigha faqad ṭahura” (kulit apa saja yang telah disamak maka sungguh ia telah suci), yang menunjukkan bahwa sebelum disamak, kulit itu belum suci. Dan karena hal yang menyebabkan kenajisan daging juga menyebabkan kenajisan kulit, seperti kenajisan anjing. Dan karena hilangnya kehidupan menyebabkan kesamaan hukum antara kulit dan daging, seperti pada ikan dan belalang dalam hal penyucian, dan anjing serta babi dalam hal penajisan.
Adapun hadis tersebut ditakwilkan atas kulit setelah disamak, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain, dan ditakwilkan pula atas pemanfaatannya dalam hal-hal yang kering.
فَصْلٌ: بِمَا يَكُونُ الدِّبَاغُ
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ جِلْدَ الْمَيْتَةِ نَجِسٌ وَأَنَّهُ بَعْدَ الدِّبَاغَةِ طَاهِرٌ انْتَقَلَ الْكَلَامُ فِيهِ إِلَى مَا تَكُونُ بِهِ الدِّبَاغَةُ فَقَدْ جَاءَ الْخَبَرُ بِالنَّصِّ عَلَى الشَّثِّ وَالْقَرَظِ فَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِ فَذَهَبَ أَهْلُ الظَّاهِرِ إِلَى أَنَّ حُكْمَ الدِّبَاغَةِ مَقْصُورٌ عَلَيْهِ وَأَنَّهُ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِهِ لِأَنَّ الدِّبَاغَةَ رُخْصَةٌ فاقتضى أن يكون حكمها موقوف عَلَى النَّصِّ.
Pasal: tentang apa yang digunakan untuk menyamak
Apabila telah tetap bahwa kulit bangkai itu najis dan bahwa ia menjadi suci setelah disamak, maka pembahasan berlanjut kepada: dengan apa penyamakan itu dilakukan?
Telah datang hadis yang secara nash menyebutkan syats dan qarazh, maka para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini. Ahl al-Ẓāhir berpendapat bahwa hukum penyamakan terbatas pada keduanya dan tidak sah kecuali dengan keduanya, karena penyamakan adalah suatu rukhṣah, maka mengharuskan hukumnya bergantung pada nash.
وَقَالَ أبو حنيفة: الْمَعْنَى فِي الشث والقرظ أنه منشف مجفف بكل شَيْءٍ كَانَ فِيهِ تَنْشِيفُ الْجِلْدِ وَتَجْفِيفُهُ جَازَتْ بِهِ الدِّبَاغَةُ حَتَّى بِالشَّمْسِ وَالنَّارِ، وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ – رحمه الله – أَنَّ الْمَعْنَى فِي الشَّثِّ وَالْقَرَظِ أَنَّهُ يُحْدِثُ فِي الْجِلْدِ أَرْبَعَةَ أَوْصَافٍ:
أَحَدُهَا: تَنْشِيفُ فُضُولِهِ الطاهرة ورطوبته الباطنة. والثاني: تطيب رِيحِهِ وَإِزَالَةُ مَا ظَهَرَ عَلَيْهِ مِنْ سُهُوكَةٍ وَنَتَنٍ. وَالثَّالِثُ: نَقْلُ اسْمِهِ مِنَ الْإِهَابِ إِلَى الْأَدِيمِ وَالسِّبْتِ وَالدَّارِشِ. وَالرَّابِعُ: بَقَاؤُهُ عَلَى هَذِهِ الْأَحْوَالِ بَعْدَ الِاسْتِعْمَالِ فَكُلُّ شَيْءٍ أَثَّرَ فِي الجلد هذه الأوصاف الأربعة من العفص وقشور الرمان جازت به الدباغة، لأنه في معنى الشث والقرظ وهذا صحيح من وجهين: أحدهما: أنه لما أثر الشث والقرظ هذه الأوصاف الأربعة لَمْ يَكُنِ اعْتِبَارُ بَعْضِهَا بِالدِّبَاغَةِ بِأَوْلَى مِنْ بَعْضٍ فَصَارَ جَمِيعُهَا مُعْتَبَرًا وَلَمْ يَكُنْ حُكْمُهَا على الشث والقرظ مقصود، لأنها في غيرها موجودة. والثاني: أن الدباغة عرف في العرب ولم يكن في عرفهم مقصورا عَلَى الشَّثِّ وَالْقَرَظِ، كَمَا قَالَ أَهْلُ الظَّاهِرِ لِاخْتِلَافِ عَادَتِهِمْ فِي الْبِلَادِ وَلَا اقْتَصَرُوا فِيهَا عَلَى مُجَرَّدِ التَّجْفِيفِ بِالشَّمْسِ كَمَا قَالَ أبو حنيفة فصار كلا المذهبين مدفوعان بِعُرْفِ الْكَافَّةِ وَمَعْهُودِ الْجَمِيعِ فَثَبَتَ بِهَذَا جَوَازُ الدِّبَاغَةِ بِمَا سِوَى الشَّثِّ وَالْقَرَظِ إِذَا حَدَثَ فِي الْجِلْدِ مَا وَصَفْنَا مِنَ الْأَوْصَافِ الْأَرْبَعَةِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ شَرْطًا فِيهَا عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: لَيْسَ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ شَرْطًا فِيهَا وَيَجْرِي الِاقْتِصَارُ فِيهَا عَلَى مَذْرُورَاتِ الدباغة من الأشياء المنشقة فإذا دبغ الْجِلْدُ طَهُرَ وَجَازَ اسْتِعْمَالُهُ مِنْ غَيْرِ غَسْلٍ لقوله – عليه السلام -: ” أو ليس في الشث والقرظ ما يذهب رجسه وَنَجَسِهِ ” فَجَعَلَ مُجَرَّدَ الشَّثِّ وَالْقَرَظِ مُذْهِبًا لِرِجْسِهِ وَنَجَسِهِ وَلِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ يَطْهُرُ بِانْقِلَابِهِ فَلَيْسَ لِطَهَارَتِهِ إِلَّا وَجْهٌ وَاحِدٌ يَطْهُرُ بِهِ كَالْخَمْرِ إذا انقلب خَلًّا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ فِي الدِّبَاغَةِ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهَا لِرِوَايَةِ مَيْمُونَةَ قَالَتْ: مَرَّ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رِجَالٌ مِنْ قُرَيْشٍ يَجُرُّونَ شَاةً لَهُمْ مِثْلَ الْحِمَارِ. فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ. فَقَالَ: يطهر الْمَاءُ وَالْقَرَظُ ” فَأَحَالَ تَطْهِيرَهُ عَلَى الْمَاءِ وَالْقَرَظِ، وَلِأَنَّ جِلْدَ الْمَيْتَةِ أَغْلَظُ تَنْجِيسًا وَالْمَاءَ أَقْوَى تَطْهِيرًا فَكَانَ اسْتِعْمَالُهُ فِيهِ أَخَصَّ فَعَلَى هَذَا في كَيْفِيَّةِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُسْتَعْمَلُ فِي إِنَاءِ الدِّبَاغَةِ لِيَلِينَ الْجِلْدُ بِالْمَاءِ فَيَصِلُ عَمَلُ الشَّثِّ وَالْقَرَظِ إِلَى جِمِيعِ أَجْزَاءِ الْجِلْدِ فيكون أبلغ في تنشيفها وتطهيرها فيصير دباغة الجلد وتطهيره بها جميعا معا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَسْتَعْمِلُ الْمَاءَ بَعْدَ الدِّبَاغَةِ لِيَخْتَصَّ الشَّثُّ وَالْقَرَظُ بِدِبَاغَتِهِ وَيَخْتَصَّ الْمَاءُ بِتَطْهِيرِهِ، فَيَصِيرُ بَعْدَ الدِّبَاغَةِ وَقَبْلَ الْغَسْلِ كَالثَّوْبِ النَّجِسِ يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ.
Abu Ḥanīfah berkata: Makna pada syats dan qarazh adalah bahwa keduanya bersifat menyerap dan mengeringkan. Maka setiap sesuatu yang dapat mengeringkan dan menyerap kelembapan kulit, sah digunakan untuk menyamak, bahkan dengan matahari dan api sekalipun.
Adapun al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berpendapat bahwa makna pada syats dan qarazh adalah bahwa keduanya menimbulkan empat sifat pada kulit:
Pertama: menyerap sisa-sisa kelembapan yang suci dan mengeringkan kelembapan batinnya.
Kedua: mengharumkan baunya dan menghilangkan bau busuk dan amis yang tampak padanya.
Ketiga: memindahkan namanya dari ihāb menjadi adīm, sibṭ, dan dārisy.
Keempat: tetapnya sifat-sifat tersebut setelah digunakan.
Maka setiap benda yang menimbulkan empat sifat ini pada kulit—seperti ‘aḍafṣ (tumbuhan penyamak) dan kulit delima—sah untuk penyamakan, karena termasuk dalam makna syats dan qarazh.
Dan ini benar dari dua sisi:
Pertama: karena ketika syats dan qarazh menimbulkan empat sifat ini, maka tidak ada alasan untuk hanya mempertimbangkan sebagian dari sifat tersebut dalam penyamakan, sehingga seluruhnya harus dipertimbangkan. Dan hukum itu tidak khusus bagi syats dan qarazh, karena sifat-sifat tersebut juga terdapat pada selain keduanya.
Kedua: karena penyamakan dikenal dalam tradisi Arab, dan dalam kebiasaan mereka tidak terbatas pada syats dan qarazh sebagaimana pendapat Ahl al-Ẓāhir, sebab adat mereka berbeda-beda di setiap negeri. Mereka juga tidak membatasi penyamakan hanya dengan pengeringan menggunakan matahari seperti pendapat Abu Ḥanīfah. Maka kedua pendapat tersebut tertolak oleh adat seluruh masyarakat dan kebiasaan umum mereka.
Dengan demikian, tetaplah bahwa boleh menyamak dengan selain syats dan qarazh jika dalam kulit tersebut muncul sifat-sifat yang telah kami sebutkan dari keempat sifat itu.
Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat kami mengenai apakah penggunaan air merupakan syarat dalam penyamakan, terdapat dua pendapat:
Pertama: bahwa penggunaan air tidak disyaratkan, dan cukup dalam penyamakan dengan serbuk-serbuk penyamak dari bahan-bahan yang kering. Maka jika kulit telah disamak, ia menjadi suci dan boleh digunakan tanpa dicuci, berdasarkan sabda beliau SAW: “Bukankah pada syats dan qarazh terdapat sesuatu yang dapat menghilangkan kotoran dan najisnya?” Maka beliau menjadikan syats dan qarazh saja cukup untuk menghilangkan kotoran dan najisnya.
Dan karena setiap sesuatu yang menjadi suci karena perubahan sifatnya, maka tidak memiliki cara penyucian lain selain satu cara tersebut, sebagaimana khamr yang menjadi suci jika berubah menjadi cuka.
Kedua: bahwa penggunaan air dalam penyamakan adalah syarat sahnya, berdasarkan riwayat dari Maimūnah, ia berkata: Sekelompok laki-laki dari Quraisy melewati Rasulullah SAW sambil menyeret kambing mereka yang mati seperti keledai. Maka Nabi SAW bersabda: “Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?” Mereka menjawab: “Ia adalah bangkai.” Maka beliau bersabda: “Air dan qarazh yang menyucikannya.” Maka beliau mengaitkan penyuciannya dengan air dan qarazh.
Dan karena kulit bangkai itu lebih berat kenajisannya, dan air lebih kuat daya penyuciannya, maka penggunaan air padanya lebih dikhususkan.
Berdasarkan pendapat ini, dalam tata cara penggunaan air terdapat dua wajah:
Pertama: digunakan dalam bejana penyamakan agar kulit menjadi lunak dengan air, sehingga kerja syats dan qarazh dapat menjangkau seluruh bagian kulit. Maka ini lebih sempurna dalam mengeringkan dan menyucikannya, sehingga proses penyamakan dan penyucian berlangsung bersamaan.
Kedua: bahwa air digunakan setelah penyamakan, agar syats dan qarazh khusus dalam proses penyamakan, dan air khusus dalam penyucian. Maka setelah penyamakan dan sebelum pencucian, ia seperti pakaian najis yang disucikan dengan mencucinya.
فَصْلٌ:
وَأَمَّا الدِّبَاغَةُ بِمَا كَانَ نجسا من الشث والقرظ فيه وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ، وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَجْعَلُ طَهَارَةَ الْجِلْدِ مُخْتَصَّةً بِالشَّثِّ وَالْقَرَظِ دُونَ الْمَاءِ، لِأَنَّ النَّجَاسَةَ لَا تَرْتَفِعُ بِالنَّجَاسَةِ إذ ما لَا يَرْفَعُ نَجَاسَةَ نَفْسِهِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَرْفَعَ نَجَاسَةَ غَيْرِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الدِّبَاغَةَ بِهَا جَائِزَةٌ، وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَجْعَلُ طَهَارَةَ الْجَلْدِ مُخْتَصَّةً بِالْمَاءِ، لِأَنَّ تَأْثِيرَ الشَّثِّ وَالْقَرَظِ فِي الْجِلْدِ وَإِنْ كَانَ نَجِسًا كَتَأْثِيرِهِ وَهُوَ طَاهِرٌ فَإِنَّهُ يَصِيرُ بِالْمُلَاقَاةِ نَجِسًا فَعَلَى هَذَا إِذَا انْدَبَغَ بِهِ لَمْ يَطْهُرْ إِلَّا بَعْدَ غَسْلِهِ.
PASAL:
Adapun penyamakan dengan syats dan qarazh yang najis, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: tidak boleh, dan ini berdasarkan pendapat yang menjadikan kesucian kulit terbatas pada syats dan qarazh tanpa air, karena najis tidak dapat dihilangkan dengan benda najis. Maka sesuatu yang tidak dapat menghilangkan kenajisan dirinya sendiri, lebih utama untuk tidak dapat menghilangkan kenajisan selainnya.
Kedua: bahwa penyamakan dengannya boleh, dan ini berdasarkan pendapat yang menjadikan kesucian kulit bergantung pada air. Karena pengaruh syats dan qarazh pada kulit, meskipun dalam keadaan najis, adalah sama seperti pengaruhnya dalam keadaan suci. Namun ia menjadi najis karena bersentuhan, maka menurut pendapat ini, apabila kulit disamak dengannya, ia tidak menjadi suci kecuali setelah dicuci.
فَصْلٌ
وَالدِّبَاغَةُ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى فِعْلِ فَاعِلٍ، لِأَنَّ مَا طَرِيقُهُ إِزَالَةُ النَّجَاسَةِ لا يفتقر إلى فعل كَالسَّيْلِ إِذَا مَرَّ بِنَجَاسَةٍ فَأَزَالَهَا طَهُرَ مَحَلُّهَا، وَلِذَلِكَ لَمْ تَفْتَقِرْ إِزَالَتُهَا إِلَى نِيَّةٍ بِخِلَافِ الْحَدَثِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَطَارَتِ الرِّيحُ جِلْدَ ميتة وألقته في المدبغة فاندبغ صار طاهر فأما إن أخذ رجل جلد ميتة بغيره فَدَبَغَهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ مِلْكًا لِرَبِّهِ أَوْ لِدَابِغِهِ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: يَكُونُ مِلْكًا لِرَبِّهِ دُونَ دَابِغِهِ كَالْخَمْرِ المنقلب خلا في يد أحده يكون ملكه لِرَبِّهِ دُونَ مَنْ صَارَ خَلًّا فِي يَدِهِ.
والوجه الثاني: يكون ملكا لدباغه دون ربه كالمحيي أرضا مَوَاتٍ بَعْدَ إِجَازَةِ غَيْرِهِ يَكُونُ مِلْكًا لِمَنْ أَحْيَاهَا دُونَ مَنْ أَجَازَهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ كَانَ رَبُّ الْجِلْدِ قَدْ رَفَعَ يَدَهُ عَنْهُ فَأَخَذَهُ الدَّابِغُ فَدَبَغَهُ كَانَ مِلْكًا لدَابِغِهِ دُونَ رَبِّهِ وَإِنْ كَانَتْ يَدُهُ عَلَيْهِ فَغَصْبُهُ إِيَّاهُ كَانَ مِلْكًا لِرَبِّهِ دُونَ دَابِغِهِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ جِلْدَ الْمَيْتَةِ لَا يُوصَفُ بِثُبُوتِ الملك عليه وإنما يوصف الْيَدِ عَلَيْهِ فَإِذَا رَفَعَ يَدَهُ زَالَتْ صِفَةُ استحقاقه.
فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ طَهَارَةِ جِلْدِ الْمَيْتَةِ بِالدِّبَاغَةِ تَعَلَّقَ الْكَلَامُ بِفَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: بَيَانُ حُكْمِهِ قَبْلَ الدِّبَاغَةِ.
وَالثَّانِي: بَيَانُ حُكْمِهِ بَعْدَ الدِّبَاغَةِ.
فَأَمَّا مَا قَبْلَ الدِّبَاغَةِ فَيَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْيَابِسَاتِ دُونَ الذَّائِبَاتِ وَيَجُوزُ هِبَتُهُ، وَلَا يَجُوزُ بَيْعُهُ، وَلَا رَهْنُهُ. وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ بَيْعُهُ وَرَهْنُهُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا أَمْكَنَ تَطْهِيرُهُ بَعْدَ نَجَاسَتِهِ جَازَ بَيْعُهُ كَالثَّوْبِ النَّجِسِ.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ} [المائدة: 3] . لأن الْأَعْيَانَ النَّجِسَةَ لَا يَجُوزُ بَيْعُهَا كَالْعُذْرَةِ.
وَأَمَّا الثَّوْبُ فَهُوَ طَاهِرُ الْعَيْنِ وَإِنَّمَا جَاوَرَتْهُ النَّجَاسَةُ فجاز بيعه لأن العذرة تَتَنَاوَلُ عَيْنًا ظَاهِرَةً وَإِنْ جَاوَرَتْهَا نَجَاسَةٌ وَكَذَلِكَ الْجِلْدُ الطَّاهِرُ إِذَا جَاوَرَتْهُ نَجَاسَةٌ.
PASAL
Penyamakan tidak membutuhkan perbuatan pelaku, karena sesuatu yang bertujuan menghilangkan najis tidak disyaratkan harus dilakukan oleh pelaku, seperti air banjir jika mengalir melewati najis lalu menghilangkannya, maka tempat itu menjadi suci. Oleh karena itu, penghilangan najis tidak memerlukan niat, berbeda dengan hadats.
Berdasarkan hal ini, jika angin menerbangkan kulit bangkai lalu menjatuhkannya ke tempat penyamakan hingga tersamak, maka kulit itu menjadi suci. Adapun jika seseorang mengambil kulit bangkai milik orang lain lalu menyamaknya, maka para sahabat kami berbeda pendapat: apakah menjadi milik pemiliknya atau milik penyamaknya? Terdapat tiga pendapat:
Pertama: menjadi milik pemiliknya, bukan penyamaknya, seperti khamr yang berubah menjadi cuka di tangan seseorang, tetap menjadi milik pemiliknya, bukan milik orang yang menyebabkan perubahan itu.
Kedua: menjadi milik penyamaknya, bukan milik pemiliknya, seperti orang yang menghidupkan tanah mati setelah mendapat izin dari pemiliknya, maka ia menjadi milik orang yang menghidupkannya, bukan milik orang yang memberi izin.
Ketiga: jika pemilik kulit itu telah melepaskan tangannya darinya, lalu penyamak mengambilnya dan menyamaknya, maka ia menjadi milik penyamaknya, bukan pemiliknya. Namun jika tangan pemiliknya masih ada padanya, lalu diambil secara paksa oleh penyamak, maka tetap menjadi milik pemiliknya, bukan penyamaknya. Hal ini karena kulit bangkai tidak disifati dengan kepemilikan tetap, melainkan hanya disifati dengan tangan (penguasaan), maka jika tangannya terangkat, gugurlah sifat hak miliknya.
Apabila telah tetap bahwa kulit bangkai menjadi suci dengan penyamakan, maka pembahasan berlanjut kepada dua hal:
Pertama: penjelasan hukumnya sebelum disamak.
Kedua: penjelasan hukumnya setelah disamak.
Adapun sebelum disamak, maka boleh digunakan untuk hal-hal yang kering, tidak untuk yang cair. Boleh dihibahkan, tetapi tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan.
Abu Ḥanīfah berkata: boleh dijual dan digadaikan, dengan berdalil bahwa sesuatu yang mungkin disucikan setelah najisnya, boleh dijual, seperti pakaian najis.
Adapun dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Ḥurri mat ‘alaykumu al-maytah} (Telah diharamkan atas kalian bangkai) [al-Māidah: 3], karena benda-benda yang najis tidak boleh diperjualbelikan, seperti kotoran manusia.
Adapun pakaian, maka ia adalah suci zatnya, dan hanya bersentuhan dengan najis, maka boleh dijual. Karena kotoran itu mengenai benda yang kelihatan secara zat, meskipun terkena najis. Demikian pula kulit yang suci jika hanya bersentuhan dengan najis.
فَصْلٌ
فَأَمَّا بَعْدَ الدِّبَاغَةِ فَفِي جَوَازِ بَيْعِهِ وَرَهْنِهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ} [المائدة: 3] ، وَلِأَنَّ إِبَاحَةَ الِانْتِفَاعِ بِالْمَيْتَةِ لَا تَقْتَضِي جَوَازَ بَيْعِهَا كَالْمُضْطَرِّ إِلَى أَكْلِهَا، وَلِأَنَّ تَأْثِيرَ الدِّبَاغَةِ إِنَّمَا هُوَ التَّطْهِيرُ وَلَيْسَ التَّطْهِيرُ عِلَّةً فِي جَوَازِ الْبَيْعِ كَ ” أُمِّ الْوَلَدِ “.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة: إِنَّ بَيْعَهُ جَائِزٌ لِأَنَّهُ جِلْدٌ طَاهِرٌ فَجَازَ بَيْعُهُ كَ ” الْمُزَكَّى ” وَلِأَنَّ حُدُوثَ النَّجَاسَةِ إِذَا مَنَعَ مِنْ جواز البيع كان مأذونا بِجَوَازِ الْبَيْعِ كَنَجَاسَةِ الْخَمْرِ إِذَا ارْتَفَعَتْ بِانْقِلَابِهَا خَلًّا، وَلِأَنَّ دِبَاغَةَ الْجِلْدِ قَدْ أَعَادَتْهُ إِلَى حُكْمِ الْحَيَاةِ فَلَمَّا كَانَ بَيْعُهُ فِي الْحَيَاةِ جائز اقتضى أن يكون بعد الدباغة جائز.
فَأَمَّا الْآيَةُ فَمَخْصُوصَةٌ، وَأَمَّا الْمُضْطَرُّ إِلَى أَكْلِ الْمَيْتَةِ فَإِنَّمَا اسْتَبَاحَهَا لِمَعْنًى فِيهِ لَا فِي الْمَيْتَةِ وَاسْتِبَاحَةُ الْجَلْدِ لِمَعْنًى فِي الْجِلْدِ لَا في المستبيح.
PASAL
Adapun setelah penyamakan, maka dalam hal kebolehan menjual dan menggadaikannya terdapat dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa tidak boleh menjualnya. Ini juga pendapat Mālik, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Ḥurri mat ‘alaykumu al-maytah} [al-Māidah: 3]. Dan karena kebolehan memanfaatkan bangkai tidak mengharuskan kebolehan menjualnya, sebagaimana orang yang dalam keadaan darurat boleh memakannya. Dan karena pengaruh penyamakan hanyalah penyucian, sedangkan penyucian bukanlah sebab bolehnya menjual, sebagaimana umm al-walad (budak yang melahirkan anak dari tuannya).
Kedua: yaitu pendapatnya dalam qaul jadīd, dan ini juga pendapat Abu Ḥanīfah, bahwa menjualnya boleh, karena ia adalah kulit yang suci, maka boleh dijual sebagaimana kulit yang disembelih secara sah (muzakkā). Dan karena munculnya kenajisan, jika dapat menghalangi kebolehan jual beli, maka hilangnya kenajisan mengizinkan kebolehannya, sebagaimana kenajisan khamr yang hilang karena berubah menjadi cuka. Dan karena penyamakan kulit telah mengembalikannya kepada hukum kehidupan, maka ketika jual beli kulit itu dalam keadaan hidup boleh, maka setelah disamak pun seharusnya boleh.
Adapun ayat, maka telah dikhususkan. Adapun orang yang terpaksa memakan bangkai, ia membolehkannya karena adanya kebutuhan dalam dirinya, bukan karena sesuatu dalam bangkainya. Sedangkan kebolehan memanfaatkan kulit, adalah karena sesuatu yang ada dalam kulit itu sendiri, bukan karena pelakunya.
وَأَمَّا أُمُّ الْوَلَدِ فَالْمَنْعُ مِنْ بَيْعِهَا لِحُرْمَتِهَا فلم تكن طهارتها علما فِي جَوَازِ بَيْعِهَا وَجِلْدُ الْمَيْتَةِ لَمْ يَجُزْ بيعه لنجاسته وكانت طهارته علما في جواز بيعه فَإِذَا ثَبَتَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِي الْبَيْعِ وَالرَّهْنِ تَعَلَّقَ بِهِمَا فَرْعَانِ:
أَحَدُهُمَا: جَوَازُ أَكْلِهِ إِنْ كَانَ مِنْ جِلْدِ مَأْكُولٍ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ بَيْعَهُ لَا يَجُوزُ لَمْ يَجُزْ أَكْلُهُ، لِأَنَّ تَحْرِيمَ بَيْعِهِ لِبَقَاءِ حُكْمِ مَوْتِهِ، وَإِنْ قُلْنَا بِجَوَازِ بَيْعِهِ كَانَ فِي جَوَازِ أَكْلِهِ وَجْهَانِ:
أحدهما: يجوز لأن إباحته الْبَيْعَ لِارْتِفَاعِ حُكْمِ الْمَوْتِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يجوز للنص على تحريم أكله بقوله عليه السلام: ” إِنَّمَا حَرُمَ مِنَ الْمَيْتَةِ أَكْلُهَا “.
وَالْفَرْعُ الثَّانِي: فِي جَوَازِ إِجَارَتِهِ فَإِنْ قُلْنَا بِجَوَازِ بَيْعِهِ جَازَتْ إِجَارَتُهُ، وَإِنْ قُلْنَا بِبُطْلَانِ بَيْعِهِ فَفِي جواز إجارته وجهان كالكلب المعلم.
Adapun umm al-walad, larangan menjualnya adalah karena kehormatannya, maka kesuciannya bukanlah ‘illat dalam kebolehan menjualnya. Sedangkan kulit bangkai, tidak boleh dijual karena kenajisannya, dan kesuciannya menjadi ‘illat dalam kebolehan menjualnya.
Apabila telah dijelaskan pendalilan kedua pendapat dalam jual beli dan gadai, maka dari keduanya bercabang dua masalah:
Pertama: kebolehan memakannya jika berasal dari kulit hewan yang boleh dimakan. Jika kita katakan bahwa menjualnya tidak boleh, maka tidak boleh pula memakannya, karena larangan menjualnya karena tetapnya hukum kematian padanya. Namun jika kita katakan bahwa menjualnya boleh, maka dalam kebolehan memakannya terdapat dua pendapat:
Salah satunya: boleh, karena kebolehan menjualnya menunjukkan telah hilangnya hukum kematian.
Yang kedua: tidak boleh, karena terdapat nash yang melarang memakannya, yaitu sabda beliau SAW: “Sesungguhnya yang diharamkan dari bangkai adalah memakannya.”
Kedua: kebolehan menyewakannya. Jika kita katakan bahwa menjualnya boleh, maka boleh pula menyewakannya. Dan jika kita katakan bahwa jual belinya batal, maka dalam kebolehan menyewakannya terdapat dua pendapat, sebagaimana pada anjing yang terlatih.
مسألة
: قال الشافعي رحمه الله: ولا يطهر بالدباغ إِلَّا الْإِهَابُ وَحْدَهُ، وَلَوْ كَانَ الصُّوفُ وَالشَّعْرُ وَالرِّيشُ لَا يَمُوتُ بِمَوْتِ ذَوَاتِ الرُّوحِ أَوْ كَانَ يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ لَكَانَ ذَلِكَ فِي قَرْنِ الميتة وسيها وَجَازَ فِي عَظْمِهَا، لِأَنَّهُ قَبْلَ الدِّبَاغِ وَبَعْدَهُ سَوَاءٌ.
Masalah:
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: Tidak ada yang menjadi suci dengan penyamakan kecuali ihāb (kulit) saja. Seandainya bulu, rambut, dan bulu unggas tidak mati dengan kematian hewan yang bernyawa, atau seandainya ia menjadi suci dengan penyamakan, tentu hal itu juga berlaku pada tanduk bangkai dan selainnya, serta dibolehkan pada tulangnya, karena sebelum dan sesudah penyamakan keadaannya tetap sama.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَالْمُعَوَّلِ عَلَيْهِ مِنْ قَوْلِهِ إِنَّ الصُّوفَ، وَالشَّعْرَ، وَالرِّيشَ، وَالْوَبَرَ ضَرْبَانِ طَاهِرٌ، وَنَجِسٌ، فَالطَّاهِرُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا أُخِذَ مِنَ الْمَأْكُولِ اللَّحْمَ فِي حَيَاتِهِ. وَالثَّانِي: مَا أُخِذَ مِنْهُ بَعْدَ ذَكَاتِهِ.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa pendapat yang zahir dari mazhab al-Syāfi‘ī dan yang menjadi pegangan dari ucapannya adalah bahwa bulu, rambut, bulu unggas, dan wabar (bulu halus) terbagi menjadi dua jenis: suci dan najis.
Adapun yang suci terbagi menjadi dua:
Pertama: yang diambil dari hewan yang boleh dimakan dagingnya dalam keadaan hidup.
Kedua: yang diambil darinya setelah disembelih secara syar‘i.
وَالنَّجِسُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا أُخِذَ من غير المأكول وما أخذ من ميت وأنه ذُو رُوحٍ إِذَا فَقَدَهَا نَجِسَ بِالْمَوْتِ، وَكَذَلِكَ فِي الْعَظْمِ، وَالْقَرْنِ، وَالسِّنِّ، وَالظُّفُرِ يَنْجَسُ بِالْمَوْتِ، هَذَا الْمَرْوِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي كتبه، والذي نقله أصحاب الْقَدِيمِ، وَحَكَى أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيِّ أَنَّ الشافعي رجع عن تنجيس الشعر، وحكى إِبْرَاهِيمُ الْبَلَدِيُّ عَنِ الْمُزَنِيِّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَجَعَ عَنْ تَنْجِيسِ شَعْرِ ابن آدم، وحكى الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْجِيزِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الشَّعْرَ تَابِعٌ لِلْجِلْدِ يَنْجَسُ بِنَجَاسَتِهِ وَيَطْهُرُ بِطَهَارَتِهِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذِهِ الْحِكَايَاتِ الثَّلَاثِ الَّتِي شَذَّتْ عَنِ الْجُمْهُورِ وَخَالَفَتِ الْمَسْطُورَ فَكَانَ بَعْضُهُمْ يَجْعَلُهَا قَوْلًا ثَانِيًا لِلشَّافِعِيِّ فِي الشَّعْرِ أَنَّهُ طَاهِرٌ لَا يَنْجَسُ بِالْمَوْتِ، وَلَا يُحِلُّهُ رُوحٌ وَامْتَنَعَ جُمْهُورُهُمْ مِنْ تَخْرِيجِهَا قَوْلًا لِلشَّافِعِيِّ لِمُخَالَفَتِهَا نُصُوصَ كُتُبِهِ وَمَا تَوَاتَرَ بِهِ النَّقْلُ الصَّحِيحُ عَنْ أَصْحَابِهِ وَأَنَّهُ قَدْ يَحْتَمِلُ ذَلِكَ مِنْهُ حِكَايَةُ غَيْرِهِ.
Dan jenis yang najis ada dua:
Pertama: apa yang diambil dari hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, dan apa yang diambil dari bangkai, yaitu hewan yang bernyawa—apabila kehilangan nyawanya maka ia menjadi najis karena mati. Demikian pula tulang, tanduk, gigi, dan kuku menjadi najis karena mati. Ini yang diriwayatkan dari al-Syāfi‘ī raḥimahullāh dalam kitab-kitabnya, dan yang dinukil oleh para pengikut qaul qadīm-nya.
Abū al-‘Abbās Ibn Surayj meriwayatkan dari Abū al-Qāsim al-Anmāṭī dari Ibrāhīm al-Muzanī bahwa al-Syāfi‘ī telah rujuk dari pendapat yang menajiskan rambut. Dan Ibrāhīm al-Baladī meriwayatkan dari al-Muzanī bahwa al-Syāfi‘ī rujuk dari pendapat yang menajiskan rambut anak Adam.
Dan al-Rabī‘ bin Sulaymān al-Jīzī meriwayatkan dari al-Syāfi‘ī bahwa rambut mengikuti hukum kulit: ia menjadi najis jika kulitnya najis, dan menjadi suci jika kulitnya suci.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang tiga riwayat ini yang menyelisihi pendapat mayoritas dan bertentangan dengan yang tertulis dalam karya-karya beliau. Sebagian mereka menjadikannya sebagai pendapat kedua al-Syāfi‘ī bahwa rambut adalah suci dan tidak najis karena mati, serta tidak dimasuki ruh.
Namun mayoritas sahabat beliau menolak menjadikannya sebagai pendapat al-Syāfi‘ī karena bertentangan dengan nash-nash kitabnya dan apa yang diriwayatkan secara mutawatir dari para muridnya. Dan mereka mengatakan bahwa kemungkinan itu hanyalah riwayat dari selain beliau.
وَأَمَّا شَعْرُ بَنِي آدَمَ فَخَرَّجُوهُ عَلَى قَوْلَيْنِ. أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَشْهَرُ عَنْهُ أَنَّهُ نجس بعد انفصاله وإن عفى عن سيره، لأنه شعر غَيْرِ مَأْكُولٍ. وَالثَّانِي: وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ طَاهِرٌ لِأَنَّ ابْنَ آدَمَ لَمَّا اختص شعره بِالطَّهَارَةِ مَيِّتًا اخْتُصَّ شَعْرُهُ بِالطَّهَارَةِ مُنْفَصِلًا، وَكَانَ أَبُو جَعْفَرٍ التِّرْمِذِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا يَزْعُمُ أَنَّ شعر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَحْدَهُ طَاهِرٌ وَشَعْرُ غَيْرِهِ مِنَ النَّاسِ نَجِسٌ، لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ حَلَقَ شَعْرَهُ بِمِنًى قَسَّمَهُ بَيْنَ أَصْحَابِهِ، وَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَمَنَعَهُمْ مِنْهُ وَلَيْسَ بِمُنْكَرٍ اخْتِصَاصُ نَبِيِّ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِهَذِهِ الْفَضِيلَةِ قِيلَ لَهُ وَإِنْ كَانَ هَذَا دَلِيلًا عَلَى طَهَارَةِ شَعْرِهِ فَقَدْ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ وَشَرِبَ مِنْ دَمِهِ بِحَضْرَتِهِ أَفَتَقُولُ إِنَّ دمه طاهر؟ فركب الباب، وقال: أقول بطهارته، لأنه لا يجوز أن يقر أحد على منكر، وقد أقر أبو طَيْبَةَ عَلَى شُرْبِهِ.
Adapun rambut manusia, maka para ulama mengeluarkan dua pendapat atasnya:
Pertama, dan ini yang lebih masyhur dari al-Syāfi‘ī, bahwa ia najis setelah terpisah dari tubuh, meskipun dimaafkan bila terbawa angin, karena termasuk rambut dari makhluk yang tidak boleh dimakan.
Kedua, dan ini dinukil darinya dalam qaul jadīd, bahwa ia suci, karena manusia ketika mati rambutnya tetap suci, maka rambutnya yang terpisah pun khusus dengan kesucian.
Abū Ja‘far al-Tirmiżī dari kalangan sahabat kami berpendapat bahwa hanya rambut Nabi SAW saja yang suci, sedangkan rambut selain beliau dari kalangan manusia adalah najis. Karena ketika Nabi SAW mencukur rambutnya di Minā, beliau membagikan rambut itu kepada para sahabatnya. Seandainya itu najis, tentu beliau melarang mereka untuk mengambilnya. Tidaklah mengherankan jika Nabi SAW memiliki keistimewaan ini.
Dikatakan kepadanya: “Kalau itu menjadi dalil atas kesucian rambut beliau, maka Abu Ṭaybah pernah membekam beliau dan meminum darahnya di hadapan beliau. Apakah engkau juga mengatakan bahwa darah beliau suci?”
Maka ia pun menyamakan hukumnya dan berkata: “Aku mengatakan bahwa darah beliau suci, karena tidak mungkin beliau membiarkan seseorang melakukan kemungkaran, dan beliau telah membiarkan Abu Ṭaybah meminumnya.”
قِيلَ: فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ امرأة شربت بوله فقال: ” إِذًا لَا يُوجِعُكِ بَطْنُكِ ” أَفَتَقُولُ بِطَهَارَةِ بَوْلِهِ؟ قَالَ: لَا، لِأَنَّ الْبَوْلَ مُنْقَلِبٌ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الشَّعْرُ وَالدَّمُ، لِأَنَّهُمَا مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ قِيلَ لَهُ: فَقَدْ بَطَلَ دَلِيلُكَ عَلَى طَهَارَةِ دَمِهِ بِإِقْرَارِهِ أَبَا طَيْبَةَ عَلَى شَرَابِهِ، وَهَذَا قَوْلٌ مَدْخُولٌ وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كسائر أمته كان منهم طاهرا ونجسا، وَمَا فَعَلَهُ مِنْ قَسْمِ شَعْرِهِ بَيْنَ أَصْحَابِهِ فَقَدْ أَلْقَى شَعْرَهُ مِرَارًا وَلَمْ يُقَسِّمْهُ وَلَا خَصَّ بِهِ أَحَدًا وَإِنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ مَرَّةً بِمِنًى، وَقَصَدَ بِهِ أَحَدَ أَمْرَيْنِ إِمَّا التوصل إِلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَتِهِ وَإِمَّا لِتَمَيُّزِ مَنْ خَصَّهُ فَيَصِيرُ ذَلِكَ لَهُمْ شَرَفًا وَفَخْرًا، وَقَدْ أَنْكَرَ عَلَى أَبِي طَيْبَةَ شُرْبَهُ دَمَهُ وَنَهَاهُ عَنْ مِثْلِهِ وَقَالَ حَرَّمَ اللَّهُ جِسْمَكَ عَلَى النَّارِ.
Dikatakan kepadanya: “Telah diriwayatkan bahwa ada seorang wanita yang meminum air kencing Nabi SAW, lalu beliau bersabda: ‘Idzan lā yūji‘uki baṭnuki (kalau begitu, perutmu tidak akan sakit). Apakah engkau juga mengatakan bahwa air kencing beliau suci?”
Ia menjawab: “Tidak, karena air kencing adalah hasil dari perubahan makanan dan minuman, sedangkan rambut dan darah tidak demikian, karena keduanya berasal dari asal penciptaan.”
Dikatakan kepadanya: “Kalau begitu, batal sudah dalilmu tentang kesucian darah beliau dengan alasan bahwa beliau membiarkan Abu Ṭaybah meminumnya.”
Ini adalah pendapat yang tertolak. Rasulullah SAW, sebagaimana umatnya yang lain, dalam dirinya terdapat bagian yang suci dan yang najis.
Adapun yang beliau lakukan berupa membagikan rambutnya kepada para sahabatnya, maka beliau juga pernah membuang rambutnya beberapa kali tanpa membagikannya atau mengkhususkan seseorang dengannya. Beliau hanya melakukan itu sekali di Minā, dan tujuannya adalah salah satu dari dua hal:
— Entah agar para sahabat dapat mengambil keberkahannya,
— Atau agar yang diberi rambut itu menjadi istimewa, sehingga hal itu menjadi kehormatan dan kebanggaan bagi mereka.
Dan sungguh beliau telah mengingkari perbuatan Abu Ṭaybah yang meminum darah beliau, serta melarangnya dari perbuatan semacam itu, dan bersabda: “Ḥarrama Allāhu jismaka ‘ala al-nār” (Allah telah mengharamkan tubuhmu dari neraka).
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَالْمَذْهَبُ نَجَاسَةُ الشَّعْرِ بِالْمَوْتِ لِحُلُولِ الرُّوحِ فِيهِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ أَقُولُ فِيهِ لَا حَيَاةَ وَلَا أَقُولُ فِيهِ رُوحٌ، وَهَذَا اخْتِلَافُ عِبَارَةٍ تَتَّفِقُ الْمَعْنَى فِيهِ.
Apabila telah ditetapkan apa yang kami uraikan, maka mazhab (al-Syāfi‘ī) adalah bahwa rambut menjadi najis karena mati, karena ruh menyatu padanya.
Dan sebagian dari sahabat kami berkata: “Aku katakan bahwa padanya tidak ada kehidupan, namun aku tidak mengatakan bahwa padanya tidak ada ruh.”
Ini adalah perbedaan redaksi saja, sementara maknanya tetap sama.
وَقَالَ أبو حنيفة: الشَّعْرُ وَالْعَظْمُ لَيْسَ بِذِي رُوحٍ، وَلَا يَنْجَسُ بِالْمَوْتِ. وَقَالَ مَالِكٌ: الشعر ليس بذي روح ولا في العظم رود تنجس بِالْمَوْتِ
Abu Ḥanīfah berkata: Rambut dan tulang bukan termasuk yang memiliki ruh, maka keduanya tidak menjadi najis karena mati.
Mālik berkata: Rambut tidak memiliki ruh, dan tidak ada riwayat bahwa tulang menjadi najis karena mati.
وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا رُوحَ فِيهِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَنْجَسُ بِالْمَوْتِ.
فَأَمَّا دَلِيلُهُمْ عَلَى أَنْ لَا رُوحَ فِيهِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الألم من سمات الرُّوحِ فَلَمَّا كَانَ وُجُودُهُ دَلِيلًا عَلَى ثُبُوتِ الْحَيَاةِ كَانَ انْتِفَاؤُهُ دَلِيلًا عَلَى عَدَمِ الْحَيَاةِ وَلَيْسَ فِي الشَّعْرِ وَالْعَظْمِ أَلَمٌ فَلَمْ يَكُنْ فيه حياة.
والثاني: أن ما حلته الْحَيَاةُ أَسْرَعَ إِلَيْهِ الْفَسَادُ بِزَوَالِ الْحَيَاةِ كَاللَّحْمِ، فلما كان العظم والشعر على حاله وَاحِدَةٍ قَبْلَ الْمَوْتِ وَبَعْدَهُ فِي انْتِفَاءِ الْفَسَادِ عَنْهُ دَلَّ عَلَى أَنْ لَا حَيَاةَ فِيهِ.
والثالث: أن ما حلته الحياة فالشرع مانع مِنْ أَخْذِهِ مِنْهُ فِي حَالِ الْحَيَاةِ كَالْجِلْدِ وَمَا لَمْ تُحِلَّهُ الْحَيَاةُ لَمْ يَمْنَعِ الشَّرْعُ مِنْ أَخْذِهِ مِنْهُ فِي حَالِ حَيَاتِهِ كَاللَّبَنِ، فَلَمَّا جَازَ أَخْذُ الشَّعْرِ مِنَ الْحَيَوَانِ دَلَّ على أن ليس فيه حياة.
Mereka berdalil atas hal tersebut dari dua sisi:
Pertama: bahwa tidak ada ruh di dalamnya.
Kedua: bahwa ia tidak menjadi najis karena mati.
Adapun dalil mereka atas ketiadaan ruh di dalamnya, maka dari tiga sisi:
Pertama: bahwa rasa sakit adalah tanda adanya ruh. Maka ketika keberadaan rasa sakit menjadi bukti adanya kehidupan, ketiadaannya menjadi bukti tiadanya kehidupan. Dan pada rambut dan tulang tidak terdapat rasa sakit, maka tidak ada kehidupan di dalamnya.
Kedua: bahwa sesuatu yang di dalamnya terdapat kehidupan, lebih cepat rusak ketika kehidupan itu hilang, seperti daging. Maka ketika tulang dan rambut tetap dalam kondisi yang sama sebelum dan sesudah kematian, tanpa mengalami kerusakan, itu menunjukkan bahwa tidak ada kehidupan di dalamnya.
Ketiga: bahwa sesuatu yang di dalamnya ada kehidupan, maka syariat melarang mengambilnya saat hewan masih hidup, seperti kulit. Sedangkan sesuatu yang tidak mengandung kehidupan, syariat tidak melarang mengambilnya saat hewan masih hidup, seperti susu. Maka ketika dibolehkan mengambil rambut dari hewan dalam keadaan hidup, itu menunjukkan bahwa di dalamnya tidak terdapat kehidupan.
وأما دليلهم عَلَى أَنَّهُ لَا يَنْجَسُ بِالْمَوْتِ فَمِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: قَوْله تَعَالَى: {وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ} [النحل: 80] . فَكَانَ مِنْهَا دَلِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا يَقْتَضِيهِ عُمُومُ لَفْظِهَا مِنَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ خِطَابٌ خَرَجَ عَلَى وَجْهِ الِامْتِنَانِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْكُمَ بِتَنْجِيسِ شَيْءٍ مِنْهُ لِمَا فِيهِ مِنْ إِسْقَاطِ الِامْتِنَانِ.
وَالثَّانِي: حَدِيثُ أم سلمة أن النبي عليه السلام قال: ” لا بأس بمسك الميت إِذَا دُبِغَ وَشَعْرِهَا إِذَا غُسِلَ “، فَمَا اقْتَضَى هَذَا الْحَدِيثُ طَهَارَةَ الشَّعْرِ بَعْدَ الْغَسْلِ وَالْعَيْنُ النَّجِسَةُ لَا تَطْهُرُ بِالْغَسْلِ دَلَّ عَلَى طَهَارَةِ الشَّعْرِ قَبْلَ الْغَسْلِ.
وَالثَّالِثُ: مَا رُوِيَ أَنَّ النبي – عليه السلام – سُئِلَ عَنِ الْفِرَاءِ فَقَالَ: ” أَيْنَ الدِّبَاغُ ” فَدَلَّ عَلَى طَهَارَةِ الشَّعْرِ بِالدِّبَاغِ.
Adapun dalil mereka bahwa rambut tidak menjadi najis karena mati adalah dari empat sisi:
Pertama: firman Allah Ta‘ala: {Wa min aṣwāfihā wa awbārihā wa asy‘ārihā āthāthan wa matā‘an ilā ḥīn} [an-Naḥl: 80]. Maka darinya terdapat dua dalil:
— Pertama: apa yang ditunjukkan oleh keumuman lafaznya tentang penyamaan antara hewan hidup dan mati.
— Kedua: bahwa ayat ini merupakan bentuk pernyataan nikmat, maka tidak mungkin dihukumi kenajisan atas salah satu darinya karena itu akan menggugurkan makna kenikmatan.
Kedua: hadis Umm Salamah bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak mengapa menggunakan kulit bangkai jika telah disamak, dan rambutnya jika telah dicuci.” Maka hadis ini menunjukkan kesucian rambut setelah dicuci. Dan sesuatu yang zatnya najis tidak menjadi suci hanya dengan dicuci, maka ini menunjukkan bahwa rambut itu memang suci sebelum dicuci.
Ketiga: riwayat bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang al-firā’ (kulit berbulu), maka beliau bersabda: “Di mana penyamakan itu?” Maka ini menunjukkan bahwa rambut menjadi suci melalui penyamakan.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ الْأَعْيَانَ الَّتِي لَا تَنْجَسُ بِانْفِصَالِهَا مِنَ الْحَيَوَانِ الْحَيِّ لا تنجس باتصالها بالحيوان كَالْوَلَدِ طَرْدًا وَالْأَعْضَاءِ عَكْسًا، فَلَمَّا لَمْ يَنْجَسِ الشَّعْرُ بِأَخْذِهِ حَيًّا لَمْ يَنْجَسْ بِاتِّصَالِهِ مَيِّتًا.
Keempat: bahwa benda-benda yang tidak menjadi najis ketika terpisah dari hewan yang hidup, maka tidak menjadi najis pula saat masih melekat padanya—seperti anak (janin) secara ṭard (sejalan), dan anggota tubuh secara ‘aks (kebalikan). Maka ketika rambut tidak menjadi najis saat diambil dari hewan hidup, ia juga tidak menjadi najis karena tetap melekat pada hewan yang mati.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمْ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: إِثْبَاتُ الْحَيَاةِ فِيهِ. وَالثَّانِي: نَجَاسَةُ الْمَوْتِ.
Dan dalil atas pendapat mereka (yang menajiskan rambut karena mati) dari dua sisi:
Pertama: penetapan adanya kehidupan di dalamnya.
Kedua: bahwa kematian menyebabkan kenajisan.
فَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى ثبوت الحياة فثلاثة أشياء: أحدها: قَوْله تَعَالَى: {قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رميم قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ} [يس: 78، 79] . وَالْإِحْيَاءُ إِنَّمَا يَكُونُ بِحَيَاةٍ تَعُودُ بِهَا إِلَى مَا قَبْلَ الْمَوْتِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ النَّمَاءَ مِنْ سِمَاتِ الْحَيَاةِ لِحُدُوثِ النَّمَاءِ بِوُجُودِهَا وَفَقْدِهِ بِزَوَالِهَا فَلَمَّا كَانَ الشَّعْرُ نَامِيًا فِي حَالِ الِاتِّصَالِ مَفْقُودَ النَّمَاءِ بَعْدَ الِانْفِصَالِ دَلَّ عَلَى ثُبُوتِ الْحَيَاةِ فِيهِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ مَا اتَّصَلَ نَامِيًا بِذِي حَيَاةٍ وَجَبَ أَنْ تُحِلَّهُ كَاللَّحْمِ طَرْدًا وَاللَّبَنِ عَكْسًا.
Adapun dalil atas tetapnya kehidupan (dalam rambut dan sejenisnya) adalah tiga hal:
Pertama: firman Allah Ta‘ala: {Qāla man yuḥyī al-‘iẓāma wa hiya ramīm, qul yuḥyīhā alladhī ansya’ahā awwala marratin} [Yāsīn: 78–79]. Sedangkan “menghidupkan” hanya mungkin terjadi dengan kehidupan yang kembali padanya sebagaimana keadaan sebelum mati.
Kedua: bahwa pertumbuhan adalah tanda dari kehidupan, karena pertumbuhan terjadi dengan adanya kehidupan dan hilang dengan hilangnya kehidupan. Maka ketika rambut tumbuh saat masih melekat (pada tubuh), dan pertumbuhannya terhenti setelah terlepas, itu menunjukkan bahwa sebelumnya ia memiliki kehidupan.
Ketiga: bahwa setiap sesuatu yang tumbuh dan menyatu dengan makhluk hidup, maka wajib baginya memiliki kehidupan—seperti daging secara ṭard (sejalan), dan seperti susu secara ‘aks atau berbalikan
وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى نَجَاسَةٍ بِالْمَوْتِ فَخَمْسَةُ أَشْيَاءَ: أَحَدُهَا: قَوْله تَعَالَى: {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ} [المائدة: 3] . هَذَا تَحْرِيمُ تَنْجِيسٍ لِعَدَمِ حُرْمَتِهِ وَالشَّعْرُ مِنْ جُمْلَةِ الْمَيْتَةِ، لِأَنَّهُ لَوْ حَلَفَ لَا يَمَسُّ مَيْتَةً يَحْنَثُ بِمَسِّهِ وَلَيْسَ إِذَا انْفَرَدَ بِاسْمٍ بَعْدَ الِانْفِصَالِ فَخَرَجَ مِنْ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْجُمْلَةِ فِي الِاتِّصَالِ كَاسْمِ الْإِنْسَانِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يَدْخُلَ فِي عُمُومِ التَّحْرِيمِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ شَعْرٌ نَابِتٌ عَلَى مَحَلٍّ نَجِسٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ نَجِسًا كَشَعْرِ الْخِنْزِيرِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ مَا طَرَأَ عَلَى الْحَيَوَانِ مِنْ حَظْرٍ تَعَلَّقَ بِهِ وَبِالشَّعْرِ كَالْإِحْرَامِ. والرابع: أن ما ورد التَّعَبُّدُ بِقَطْعِهِ فِي حَالٍ نَجِسٍ بِالْمَوْتِ قِيَاسًا على موضع الختان والتعبد في قطع الشَّعْرِ يَكُونُ فِي حَالِ الْإِحْرَامِ.
وَالْخَامِسُ: أَنَّ ما وجب الأرش يقطعة لَحِقَهُ حُكْمُ التَّنْجِيسِ كَاللَّحْمِ.
Adapun dalil atas kenajisan karena mati, maka terdapat lima hal:
Pertama: firman Allah Ta‘ala: {Ḥurri mat ‘alaykumu al-maytah} [al-Māidah: 3]. Ini adalah bentuk pengharaman yang bermakna kenajisan, karena tidak ada larangan dari sisi kehormatan (hurmah). Dan rambut termasuk bagian dari bangkai, karena jika seseorang bersumpah tidak akan menyentuh bangkai, lalu ia menyentuh rambutnya, maka ia dianggap melanggar sumpah. Dan fakta bahwa rambut memiliki nama khusus setelah terlepas tidak mengeluarkannya dari bagian bangkai saat masih menyatu, sebagaimana istilah “manusia”. Jika demikian, maka ia harus termasuk dalam keumuman larangan.
Kedua: bahwa ia adalah rambut yang tumbuh pada tempat yang najis, maka wajib ia juga najis, sebagaimana rambut babi.
Ketiga: bahwa apa pun yang terkena larangan pada hewan, maka berlaku pula larangan itu atas hewan dan rambutnya, seperti dalam keadaan ihram.
Keempat: bahwa apa yang ditetapkan syariat untuk dipotong dalam kondisi tertentu—lalu saat itu najis karena mati—dikiaskan dengan tempat khitan. Dan ibadah berupa memotong rambut terjadi dalam keadaan ihram.
Kelima: bahwa apa yang dikenakan arasy (ganti rugi) jika dipotong, maka berlaku atasnya hukum kenajisan, seperti daging.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ عِلَّةَ الْحَيَاةِ حُدُوثُ الْأَلَمِ فَهُوَ أَنَّ لِلْحَيَاةِ عِلَّتَيْنِ، حُدُوثُ الْأَلَمِ فِي حَالٍ وَوُجُودُ النَّمَاءِ فِي حَالٍ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عِلَّةٌ لِلْحَيَاةِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فَقْدُ الْأَلَمِ مَانِعًا مِنْ ثُبُوتِ الْحَيَاةِ لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أنه قد يُفْقَدُ الْأَلَمُ مِنْ لَحْمِ الْعَصَبِ وَلَا يَدُلُّ عَلَى عَدَمِ الْحَيَاةِ فَكَذَلِكَ الشَّعْرُ
وَالثَّانِي: أَنَّ الْأَلَمَ قَدْ يَخْتَلِفُ فِي الْمَوَاضِعِ الْمُؤْلِمَةِ عَلَى حَسَبِ كَثْرَةِ الدَّمِ فِيهِ أَوْ قُرْبِهِ مِنَ الْعَصَبِ وَلَا يَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ الْحَيَاةَ مُخْتَلِفَةٌ فِيهِ بِحَسْبَ أَلَمِهِ فَكَذَلِكَ فِي حَالِ عَدَمِهِ
Adapun jawaban atas ucapan mereka bahwa illat kehidupan adalah adanya rasa sakit, maka sesungguhnya kehidupan memiliki dua illat: adanya rasa sakit dalam satu keadaan, dan adanya pertumbuhan dalam keadaan lain. Keduanya adalah tanda adanya kehidupan.
Dan tidak boleh dikatakan bahwa ketiadaan rasa sakit menunjukkan ketiadaan kehidupan karena dua hal:
Pertama: bahwa terkadang rasa sakit tidak dirasakan pada daging saraf, padahal itu tidak menunjukkan ketiadaan kehidupan; demikian pula rambut.
Kedua: bahwa rasa sakit berbeda-beda pada anggota tubuh yang menyakitkan, tergantung pada banyaknya darah di dalamnya atau kedekatannya dengan saraf, dan perbedaan itu tidak menunjukkan bahwa kehidupan juga berbeda-beda sesuai kadar sakitnya. Maka demikian pula pada keadaan ketika rasa sakit itu tidak ada.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ امْتِنَاعَ الْفَسَادِ عَنْهُ دليل على عدم الحياة منه فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِأَنَّ إِسْرَاعَ الْفَسَادِ إِنَّمَا يَكُونُ لِكَثْرَةِ الرُّطُوبَةِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْجِلْدَ قَبْلَ دِبَاغِهِ يُسْرِعُ إِلَيْهِ الْفَسَادُ لِرُطُوبَتِهِ وَبَعْدَ الدِّبَاغِ يَنْتَفِي عَنْهُ الْفَسَادُ لِذَهَابِ رُطُوبَتِهِ، وَلَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْجِلْدَ لَا حَيَاةَ فِيهِ كَذَلِكَ الشَّعْرُ.
Adapun pendalilan mereka bahwa tidak adanya kerusakan (pada rambut dan tulang) menunjukkan tidak adanya kehidupan padanya, maka itu tidaklah benar. Karena cepat atau lambatnya kerusakan itu disebabkan oleh banyaknya kelembapan.
Tidakkah engkau melihat bahwa kulit sebelum disamak cepat rusak karena kelembapannya, dan setelah disamak tidak lagi rusak karena kelembapannya telah hilang? Dan hal itu tidak menunjukkan bahwa kulit tidak memiliki kehidupan. Maka demikian pula halnya dengan rambut.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِوُرُودِ الشَّرْعِ بِإِبَاحَةِ أَخْذِهِ فِي الْحَيَاةِ بِخِلَافِ اللَّحْمِ فَهُوَ أَنَّ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى وُجُودِ الْحَيَاةِ فِي اللَّحْمِ وَفَقْدِهَا فِي الشَّعْرِ، وَلَكِنَّ أَخْذَ الشَّعْرِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ لَا يَضُرُّ بِالْحَيَوَانِ وَرُبَّمَا نَفَعَهُ فَوَرَدَ الشَّرْعُ بِإِبَاحَةِ أَخْذِهِ لِانْتِفَاءِ الضَّرَرِ عَنْهُ وَاللَّحْمُ فِي أَخْذِهِ مِنْهُ إِضْرَارٌ بِهِ فَمَنَعَ الشَّرْعُ مِنْ أَخْذِهِ مِنْهُ
Adapun pendalilan mereka dengan datangnya syariat yang membolehkan mengambil rambut saat hewan masih hidup—berbeda dengan daging—maka hal itu tidak menunjukkan adanya kehidupan pada daging dan ketiadaannya pada rambut.
Akan tetapi, pengambilan rambut saat hewan masih hidup tidak membahayakan hewan tersebut, bahkan terkadang memberi manfaat, maka syariat membolehkan mengambilnya karena tidak ada mudarat.
Adapun daging, mengambilnya dari hewan hidup justru membahayakan, maka syariat melarang pengambilannya darinya.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ} [النحل: 80] . فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: أَحَدُهَا: أَنَّهَا عَامَّةٌ وَمَخْصُوصَةٌ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الدَّلِيلِ. وَالثَّانِي: أَنَّهَا مُجْمَلَةٌ لِأَنَّهُ أَبَاحَهَا إِلَى حِينٍ فَقَدَ يَحْتَمِلُ ذَلِكَ إِلَى حِينِ الْمَوْتِ. وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا تَقْتَضِي التَّبْعِيضَ، لِأَنَّهُ قَالَ: ” ومن أصوافها ” فدل على أن منها ما لا يكون أثاثا، ومنها مَا يَكُونُ أَثَاثًا.
Adapun pendalilan mereka dengan firman Allah Ta‘ala: {Wa min aṣwāfihā wa awbārihā wa asy‘ārihā āthāthan wa matā‘an ilā ḥīn} [an-Naḥl: 80], maka jawabannya dari tiga sisi:
Pertama: bahwa ayat tersebut bersifat umum namun telah dikhususkan dengan dalil-dalil yang telah kami sebutkan.
Kedua: bahwa ayat tersebut bersifat mujmal (global), karena Allah membolehkan pemanfaatannya “ilā ḥīn” (hingga waktu tertentu), maka bisa jadi maksudnya hingga waktu mati.
Ketiga: bahwa lafaz ayat menunjukkan makna tab‘īḍ (sebagian), karena firman-Nya: “wa min aṣwāfihā…” (dan dari bulu dombanya…), menunjukkan bahwa sebagian dari bulu-bulu itu tidak menjadi perabot, dan sebagian yang lain menjadi perabot.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِحَدِيثِ أُمِّ سلمة فرواية يُوسُفُ بْنُ السَّفْرِ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سُلَيْمٍ عَنْ أُمِّ سلمة عن النبي – عليه السلام – وَيُوسُفُ بْنُ السَّفْرِ ضَعِيفٌ، وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ الْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُ لَا بَأْسَ لَا يَدُلُّ عَلَى الطَّهَارَةِ وَإِنَّمَا يَقْتَضِي إِبَاحَةَ الِاسْتِعْمَالِ وَالثَّانِي: أَنَّهُ شَرَطَ فِيهِ الْغَسْلَ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الْغَسْلِ نَجِسًا وَالْغَسْلُ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فَلَمْ يَكُنْ فِي ظَاهِرِهِ دَلِيلٌ.
Adapun pendalilan mereka dengan hadis Umm Salamah, maka riwayatnya adalah dari Yūsuf bin al-Safar dari al-Awzā‘ī, dari Yaḥyā bin Kathīr, dari Abū Sulaym, dari Umm Salamah, dari Nabi SAW — dan Yūsuf bin al-Safar adalah perawi yang lemah.
Dan seandainya hadis itu sahih, maka jawabannya dari dua sisi:
Pertama: bahwa sabda beliau “lā ba’sa” (tidak mengapa) tidak menunjukkan kesucian, melainkan hanya mengandung kebolehan penggunaan.
Kedua: bahwa beliau mensyaratkan pencucian padanya, yang menunjukkan bahwa sebelum dicuci ia adalah najis. Dan karena pencucian itu tidak dianggap sebagai penyuci, maka tidak terdapat dalil yang jelas pada zahir hadis tersebut.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ حِينَ سُئِلَ عَنِ الْفِرَاءِ ” أَيْنَ الدِّبَاغُ ” يَعْنِي لِاسْتِصْلَاحِ لَبْسِهَا إِذْ لَا يَكُونُ لَبْسُهَا قبل الدباغ
Adapun jawaban atas sabda beliau ketika ditanya tentang al-firā’ (kulit berbulu): “Ayna al-dibāgh?” (di mana penyamakan?), maka maksudnya adalah untuk memperbaiki kelayakan memakainya, karena tidak layak dipakai sebelum disamak.
وأما استدلالهم فَإِنَّمَا لَمْ يَنْجَسْ بِمَوْتِ الْأُمِّ لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أنه منفصل عَنْهَا وَالشَّعْرُ مُتَّصِلٌ بِهَا وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَيَاةَ لَا تُفَارِقُ الْوَلَدَ بِمَوْتِ الْأُمِّ وَتُفَارِقُ الشَّعْرَ بِمَوْتِ الْأَصْلِ لِوُجُودِ النَّمَاءِ فِي الْوَلَدِ وَفَقْدِ النماء في الشعر فَإِذَا ثَبَتَ نَجَاسَةُ الشَّعْرِ بِالْمَوْتِ فَلَا يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ، وَلَا بِالدِّبَاغِ
Adapun pendalilan mereka (bahwa rambut tidak najis) — maka sesungguhnya rambut tidak menjadi najis karena kematian induk, disanggah dengan dua alasan:
Pertama: karena anak terpisah dari induknya, sedangkan rambut masih melekat padanya.
Kedua: bahwa kehidupan tidak terputus dari anak karena kematian induknya, sedangkan kehidupan terputus dari rambut karena matinya asal (tubuh), karena terdapat pertumbuhan pada anak dan tidak terdapat pertumbuhan pada rambut.
Maka apabila telah tetap bahwa rambut menjadi najis karena kematian, maka ia tidak menjadi suci dengan pencucian, dan tidak pula dengan penyamakan.
وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَالْأَوْزَاعِيُّ: وَالشَّعْرُ يَنْجَسُ بِالْمَوْتِ وَلَكِنْ مطهر بالغسل لقوله عليه السلام: ” لا بأس بمسك الميتة إذا دبغ وشعرها إِذَا غُسِلَ ” وَهَذَا الَّذِي قَالُوهُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ، لأن الْأَعْيَانَ النَّجِسَةَ لَا تَطْهُرُ بِالْغَسْلِ كَاللَّحْمِ، وَالرَّوَثِ، وَالْخَبَرُ مَحْمُولٌ عَلَى نَفْيِ النَّاسِ فِي إِبَاحَةِ الاستعمال فِي حُصُولِ التَّطْهِيرِ، فَلَوْ دُبِغَ جِلْدُ الْمَيْتَةِ بشعره لطهر الْجِلْدُ دُونَ الشَّعْرِ، لِتَأْثِيرِ الدِّبَاغَةِ فِي الْجِلْدِ دُونَ الشَّعْرِ، وَلَا يُسْتَحَبُّ اسْتِعْمَالُهُ إِلَّا بَعْدَ إِمَاطَةِ الشَّعْرِ عَنْهُ، فَإِنَّ اسْتِعْمَالَهُ قَبِلَ إِمَاطَتِهِ في يابس جاز وإن استعماله فِي ذَائِبٍ نُظِرَ، فَإِنِ اسْتَعْمَلَهُ فِي بَاطِنِهِ الَّذِي لَا شَعْرَ عَلَيْهِ جَازَ، وَإِنِ اسْتَعْمَلَهُ فِي ظَاهِرِهِ الَّذِي عَلَيْهِ الشَّعْرُ نَجِسَ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ قُلَّتَيْنِ مِنْ مَاءٍ فَيَكُونُ طَاهِرًا
Al-Ḥasan al-Baṣrī, al-Layth bin Sa‘d, dan al-Awzā‘ī berkata: “Rambut menjadi najis karena mati, tetapi dapat disucikan dengan pencucian,” dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “Lā ba’sa bi mask al-maytah idhā dubigha wa sya‘ruhā idhā ghusila” (“Tidak mengapa menggunakan kulit bangkai jika telah disamak, dan rambutnya jika telah dicuci”).
Namun pendapat yang mereka sampaikan itu tidak benar, karena benda-benda najis tidak menjadi suci dengan pencucian, seperti daging, kotoran, dan lainnya.
Hadis tersebut ditakwilkan sebagai penghilangan keberatan orang-orang dalam membolehkan penggunaan karena telah dianggap cukup dengan penyucian.
Maka jika kulit bangkai disamak dalam keadaan masih ada rambutnya, maka yang menjadi suci adalah kulitnya saja, bukan rambutnya. Karena penyamakan hanya berpengaruh pada kulit, tidak pada rambut.
Dan tidak dianjurkan menggunakan kulit tersebut kecuali setelah mencabut rambutnya. Jika digunakan sebelum mencabutnya pada sesuatu yang kering, maka boleh. Tetapi jika digunakan untuk sesuatu yang cair, maka perlu diperinci:
— Jika digunakan pada bagian dalam kulit yang tidak terdapat rambut padanya, maka boleh.
— Jika digunakan pada bagian luar yang masih terdapat rambutnya, maka najis, kecuali jika airnya sebanyak dua qullah, maka ia tetap suci.
فَصْلٌ
فَلَوْ بَاعَ جِلْدَ الْمَيْتَةِ بَعْدَ دِبَاغَتِهِ وَقَبْلَ إِمَاطَةِ الشَّعْرِ عَنْهُ.
وَقِيلَ: يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَ جِلْدَ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَبِيعَ الْجِلْدَ دُونَ شَعْرِهِ فَبَيْعُهُ جَائِزٌ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَبِيعَهُ مَعَ شَعْرِهِ فَالْبَيْعُ فِي الشَّعْرِ بَاطِلٌ، وَفِي الْجِلْدِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَبِيعَهُ مُطْلَقًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَقْتَضِي إِطْلَاقُهُ دُخُولَ الشَّعْرِ فِي الْبَيْعِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَقْتَضِي دُخُولَهُ فِي الْبَيْعٍ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَلَا يَصِحُّ فِيهِ الْبَيْعُ فَلَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِ الْعَقْدُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ بَيْعُ الْجِلْدِ جَائِزًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ دَاخِلٌ فِي الْبَيْعِ لِاتِّصَالِهِ بِالْمَبِيعِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْبَيْعُ فِي الشَّعْرِ بَاطِلًا وَهَلْ يَبْطُلُ فِي الجلد؟ على القولين من تفريق الصفقة، فَلَوْ رَأَى شَعْرًا فَلَمْ يَعْلَمْ أَطَاهِرٌ هُوَ أم نجس فهذا على ثلاثة أضراب:
أَحَدُهَا ” أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ مِنْ غَيْرِ مَأْكُولِ اللَّحْمِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ مِنْ مَأْكُولِ اللحم.
والثالث: أن يشكل هَلْ هُوَ مِنْ مَأْكُولِ اللَّحْمِ أَوْ غَيْرِ مَأْكُولِ اللَّحْمِ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَأْكُولِ اللَّحْمِ فَهُوَ نَجِسٌ إِذْ لَا مَدْخَلَ لَهُ فِي الطَّهَارَةِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ شَعْرِ مَأْكُولِ اللَّحْمِ فَهُوَ طَاهِرٌ اعْتِبَارًا بِأَصْلِهِ، وَأَنَّ الطَّاهِرَ أَخَذَهُ فِي حَيَاتِهِ وَإِنَّ شَكَّ فَلَمْ يَعْلَمْ أَمِنْ شَعْرِ مَأْكُولٍ أَوْ غَيْرِ مَأْكُولٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي أُصُولِ الْأَشْيَاءِ هَلْ هِيَ عَلَى الْحَظْرِ أَوْ عَلَى الْإِبَاحَةِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْأَشْيَاءَ فِي أُصُولِهَا عَلَى الْحَظْرِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ نَجِسًا، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا عَلَى الْإِبَاحَةِ كَانَ هَذَا الشَّعْرُ طَاهِرًا.
PASAL
Apabila seseorang menjual kulit bangkai setelah disamak dan sebelum mencabut rambutnya, maka dikatakan: boleh baginya menjual kulit bangkai jika telah disamak, dan dalam hal ini terdapat tiga keadaan:
Pertama: ia menjual kulit tanpa rambutnya, maka jual belinya sah.
Kedua: ia menjualnya beserta rambutnya, maka jual beli pada rambutnya batal, sedangkan pada kulitnya terdapat dua pendapat berdasarkan kaidah tafrīq aṣ-ṣafqah (pemisahan akad antara yang sah dan yang batal).
Ketiga: ia menjualnya secara mutlak (tanpa menyebut secara khusus kulit atau rambut), maka para sahabat kami berbeda pendapat: apakah keumuman akad itu mencakup rambut atau tidak? Terdapat dua wajah:
— Pertama: bahwa keumuman akad tidak mencakup rambut, karena rambut bukan maksud utama, dan jual beli atasnya tidak sah, maka akad tidak diarahkan padanya. Berdasarkan ini, jual beli kulit sah.
— Kedua: bahwa rambut termasuk dalam akad karena ia menyatu dengan objek jual beli. Maka dalam hal ini, jual beli rambut batal. Dan apakah jual beli atas kulit juga batal? Kembali pada dua pendapat dalam masalah tafrīq aṣ-ṣafqah.
Kemudian jika seseorang melihat rambut tetapi tidak mengetahui apakah ia suci atau najis, maka keadaannya terbagi menjadi tiga:
Pertama: ia tahu bahwa rambut itu berasal dari hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, maka ia najis, karena tidak memiliki kemungkinan untuk dianggap suci.
Kedua: ia tahu bahwa rambut itu berasal dari hewan yang boleh dimakan dagingnya, maka ia suci, berdasarkan asalnya dan bahwa rambut yang diambil dari hewan tersebut saat hidup adalah suci.
Ketiga: ia ragu apakah rambut itu dari hewan yang boleh dimakan atau tidak, maka dalam hal ini terdapat dua wajah dari perbedaan pendapat sahabat kami dalam kaidah asal benda: apakah asal segala sesuatu itu haram atau mubah?
— Jika dikatakan bahwa asal segala sesuatu adalah ḥaẓr (terlarang), maka rambut itu najis.
— Jika dikatakan bahwa asal segala sesuatu adalah ibāḥah (boleh), maka rambut itu suci.
فَصْلٌ
فأما حمل الميتة – أي ولد الْمَيْتَةِ – إِذَا انْفَصَلَ بَعْدَ مَوْتِهَا حَيًّا فَهُوَ طَاهِرٌ لَكِنْ قَدْ نَجِسَ ظَاهِرُ جِسْمِهِ بِالْبَلَلِ الْخَارِجِ مَعَهُ، وَلَوْ كَانَ قَدِ انْفَصَلَ عَنْهَا في حياتها كان البلل الخارج معه ومع البيضة من الطاهر وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:
أَحَدُهُمَا: نَجِسُّ كَالْبَوْلِ.
وَالثَّانِي: طَاهِرٌ كَالْمَنِيِّ، وَهَكَذَا الْبَلَلُ الْخَارِجُ مِنَ الْفَرْجِ فِي حال المباشرة على هذين الوجهين، فَأَمَّا مَا فِي جَوْفِ الطَّائِرِ الْمَيِّتِ مِنَ الْبَيْضِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ نَجِسٌ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ لأنه قبل الانفصال حرمتها.وَالثَّانِي: أَنَّهُ طَاهِرٌ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة لتميزه فيها فَصَارَ بِالْوَلَدِ أَشْبَهَ.
وَالثَّالِثُ: إِنْ كَانَ قَوِيًّا فَهُوَ طَاهِرٌ مَأْكُولٌ، وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا رَخْوًا، فَهُوَ نَجِسٌ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْفَيَّاضِ وَأَبِي الْحَسَنِ بْنِ الْقَطَّانِ مِنْ أَصْحَابِنَا فَلَوْ وُضِعَتْ هَذِهِ الْبَيْضَةُ تَحْتَ طَائِرٍ فَصَارَتْ فَرْخًا كَانَ الْفَرْخُ طَاهِرًا عَلَى الْمَذَاهِبِ كُلِّهَا.
PASAL
Adapun janin bangkai—yakni anak dari induk yang mati—jika ia terpisah darinya setelah induknya mati dalam keadaan hidup, maka ia suci. Namun, bagian luar tubuhnya terkena najis karena basah yang keluar bersamanya.
Seandainya ia terpisah darinya saat induknya masih hidup, maka basah yang keluar bersamanya—dan bersama telur—terdapat dua pendapat dari sahabat kami:
Pertama: najis seperti air kencing.
Kedua: suci seperti mani.
Demikian pula cairan yang keluar dari kemaluan saat bersentuhan (hubungan) — hukumnya juga dua wajah seperti di atas.
Adapun telur yang berada dalam perut burung yang mati, maka para sahabat kami berbeda pendapat menjadi tiga mazhab:
Pertama: bahwa ia najis, dan ini pendapat Mālik, karena sebelum terpisah ia masih bagian dari hewan yang haram.
Kedua: bahwa ia suci, dan ini pendapat Abū Ḥanīfah, karena ia dapat dibedakan dalam tubuh burung, maka menjadi seperti janin.
Ketiga: jika telur itu keras dan kuat, maka ia suci dan boleh dimakan. Namun jika masih lembek dan lemah, maka ia najis. Ini adalah pendapat Abū al-Fayyāḍ dan Abū al-Ḥasan bin al-Qaṭṭān dari kalangan sahabat kami.
Maka seandainya telur itu diletakkan di bawah burung lalu menetas menjadi anak burung, maka anak burung itu dihukumi suci menurut seluruh mazhab.
فَصْلٌ
وَأَمَّا الْعَظْمُ، وَالْقَرْنُ، وَالسِّنُّ، وَالظُّفُرُ، وَالْخُفُّ، وَالْحَافِرُ فَضَرْبَانِ: [الأول] : ضَرْبٌ أُخِذَ مِنْ غَيْرِ مَأْكُولٍ فَهُوَ نَجِسٌ إذا لا أصل لطهارة أجزائه. و [الثاني] : وَضَرْبٌ أُخِذَ مِنْ مَأْكُولِ اللَّحْمِ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الذَّكَاةِ فَهُوَ طَاهِرٌ، لِأَنَّ الذَّكَاةَ قَدْ طَهَّرَتْ جَمِيعَ أَجْزَائِهِ سِوَى دَمِهِ وَحُكِيَ عَنْ بعض الشاذة أَنَّهُ قَالَ بِطَهَارَةِ دَمِهِ، وَهَذَا قَوْلٌ مَدْفُوعٌ بِالنَّصِّ وَالْإِجْمَاعِ.
PASAL
Adapun tulang, tanduk, gigi, kuku, teracak, dan kuku kaki hewan, maka terbagi menjadi dua jenis:
[Pertama]: Jenis yang diambil dari hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, maka ia najis, karena tidak ada asal kesucian bagi bagian-bagiannya.
[Kedua]: Jenis yang diambil dari hewan yang boleh dimakan dagingnya; jika diambil setelah disembelih secara syar‘i (disembelih dengan benar), maka ia suci, karena penyembelihan telah menyucikan seluruh bagiannya, kecuali darahnya.
Dan dinukil dari sebagian pendapat syādzdz bahwa ia mengatakan darahnya juga suci, namun ini adalah pendapat yang tertolak berdasarkan nash dan ijmak.
فَأَمَّا الْمَأْخُوذُ مِنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ فَنَجِسُّ لِمَا دَلَّلْنَا، وَكَذَا الْمَأْخُوذُ مِنْهُ فِي حَيَاتِهِ لِرِوَايَةِ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ “. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ الْمَأْخُوذُ مِنْهُ فِي حَيَاتِهِ طَاهِرًا كَالشَّعْرِ.
قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّعْرَ طَاهِرٌ بَارِزٌ فَصَارَ كَالْمُتَمَيِّزِ، وَالْعَظْمَ بَاطِنٌ كَامِنٌ يَجْرِي مَجْرَى اللَّحْمِ وَالشَّحْمِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الشَّعْرَ يُسْتَخْلَفُ، وَفِي أَخْذِهِ منفعة فصار باللبن أشبه، والعظم لا يستخلف وفي أخذه مضرة بالأعضاء وَإِذَا نَجِسَ الْعَظْمُ لَا يَطْهُرُ بِالدِّبَاغَةِ، وَلَا بالغسل، ولا بِالطَّبْخِ، وَحُكِيَ عَنِ اللَّيْثِ أَنَّ الْعَظْمَ النَّجِسَ إِذَا طُبِخَ حَتَّى خَرَجَ دُهْنُهُ صَارَ طَاهِرًا، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ عَظْمَ الْمَيْتَةِ نَجِسُ الذَّاتِ فلم يطهر بفراق ما جافره من الدهن، ولا يجوز استعماله في شيء من الذائبات لكن يجوز في الْيَابِسَاتِ، وَيَجُوزُ وَقُودُهُ فِي النَّارِ تَحْتَ الْقُدُورِ، وَفِي التَّنَانِيرِ
Adapun bagian yang diambil dari hewan setelah matinya, maka ia najis sebagaimana telah kami jelaskan. Begitu pula bagian yang diambil dari hewan dalam keadaan hidup, berdasarkan riwayat Abū Wāqid al-Laythī dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Mā quṭi‘a min ḥayyin fahuwa mayyit” (“Apa yang dipotong dari hewan hidup, maka ia adalah bangkai”).
Jika dikatakan: Mengapa bagian yang diambil darinya saat hidup tidak dihukumi suci seperti rambut?
Maka dijawab: perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
Pertama: bahwa rambut adalah bagian luar yang tampak, sehingga ia dipandang sebagai bagian yang terpisah; sedangkan tulang adalah bagian dalam yang tersembunyi, sehingga ia mengikuti hukum daging dan lemak.
Kedua: bahwa rambut dapat tumbuh kembali, dan pengambilannya memberi manfaat, maka ia serupa dengan susu. Sedangkan tulang tidak tumbuh kembali, dan pengambilannya merusak anggota tubuh.
Apabila tulang itu najis, maka tidak menjadi suci dengan penyamakan, tidak dengan pencucian, dan tidak pula dengan perebusan.
Diriwayatkan dari al-Layth bahwa tulang yang najis jika direbus hingga minyaknya keluar menjadi suci, dan ini adalah kesalahan. Karena tulang bangkai adalah najis pada zatnya, maka tidak menjadi suci hanya dengan terpisahnya lemak yang menempel padanya.
Tidak boleh menggunakannya pada sesuatu yang cair, tetapi boleh pada benda kering, dan boleh pula digunakan sebagai bahan bakar di bawah periuk dan tungku.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي نَجَاسَةِ دُخَانِهِ وَدُخَانِ سَائِرِ النَّجَاسَاتِ الْمُوقَدَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ طَاهِرٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ أَبَاحَ الِاسْتِصْبَاحَ بِالزَّيْتِ النَّجِسِ مَعَ عِلْمِهِ بِحَالِ دُخَانِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ نَجِسٌ لِأَنَّهُ حَادِثٌ عَنْ عَيْنٍ نَجِسَةٍ وَالنَّارُ لَا تُطَهِّرُ النَّجَاسَةَ
Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai kenajisan asap dari tulang bangkai dan asap dari najis-najis lain yang dibakar, menjadi dua pendapat:
Pertama: bahwa asap tersebut suci, karena Nabi SAW telah membolehkan penerangan dengan minyak najis, padahal beliau mengetahui kondisi asapnya.
Kedua: bahwa asap tersebut najis, karena berasal dari benda yang najis, dan api tidak dapat menyucikan najis.
فَعَلَى هَذَا هَلْ يُعْفَى عَنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: يُعْفَى عَنْهُ لِلُحُوقِ الْمَشَقَّةِ فِي التَّحَرُّزِ مِنْهُ وَاعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ الْمُسْتَعْمَلِ فِيهِ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُعْفَى عَنْهُ؛ لِأَنَّ نَجَاسَتَهُ نَادِرَةٌ فَكَانَ التَّحَرُّزُ مِنْهُمَا مُمْكِنًا فَعَلَى هَذَا لَوْ حَصَلَ فِي تَنُّورٍ مَسْجُورٍ وَجَبَ مَسْحُهُ قَبْلَ الْخَبْزِ فِيهِ؛ فَإِنْ مَسَحَهُ بِخِرْقَةٍ يَابِسَةٍ طَهُرَ، لِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ يَابِسَةٌ زَالَتْ عَنْهُ بِالْمَسْحِ وَإِنْ مَسَحَهُ بِخِرْقَةٍ رَطْبَةٍ لَمْ يطهر إلا بالغسل.
Berdasarkan hal itu, apakah asap najis tersebut dimaafkan atau tidak? Terdapat dua pendapat:
Pertama: dimaafkan, karena sulit menghindar darinya dan mempertimbangkan kebiasaan umum dalam penggunaannya.
Kedua: tidak dimaafkan, karena kenajisannya termasuk jarang, sehingga memungkinkan untuk dihindari.
Berdasarkan pendapat ini, jika asap najis mengenai tungku yang menyala, maka wajib dibersihkan sebelum digunakan untuk memanggang roti di dalamnya. Jika dibersihkan dengan kain kering, maka menjadi suci, karena itu najis kering yang hilang dengan pengusapan. Namun jika dibersihkan dengan kain basah, maka tidak menjadi suci kecuali dengan pencucian.
مسألة:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَلَا بِدُهْنٍ فِي عظم فيل، واحتج بكراهية ابن عمر لذلك. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
وَالْفِيلُ فِي الْأَصْلِ طَاهِرُ الْخِلْقَةِ حَيًّا. وَقَالَ أبو حنيفة: هُوَ نَجِسٌ، لِأَنَّهُ سَبُعٌ، وَالسِّبَاعُ عِنْدَهُ نَجِسَةٌ وَالْكَلَامُ مَعَهُ يَأْتِي.
وَهُوَ غَيْرُ مَأْكُولٍ. وَقَالَ مَالِكٌ: هُوَ مَأْكُولٌ وَالْكَلَامُ مَعَهُ يَأْتِي مِنَ الدليل عليه حديث ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مخلب من الطيور “. وَالْفِيلُ مِنْ أَعْظَمِهَا نَابًا وَبَيْعُهُ إِنْ كَانَ مُنْتَفَعًا بِهِ جَائِزٌ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُنْتَفَعٍ بِهِ فَبَاطِلٌ، لِأَنَّهُ مِنْ أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ.
Masalah:
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Dan tidak boleh memakai minyak dalam tulang gading (gajah).” Beliau berdalil dengan kebencian (keraḥah) Ibn ‘Umar terhadap hal itu.
Al-Māwardī berkata: Dan itu sebagaimana yang dikatakan.
Gajah pada asalnya adalah hewan yang suci zatnya saat hidup.
Abu Ḥanīfah berkata: Ia najis, karena termasuk binatang buas (sabu‘), dan menurutnya semua binatang buas adalah najis. Dan pembahasan dengannya akan datang.
Gajah adalah hewan yang tidak boleh dimakan.
Mālik berkata: Gajah boleh dimakan, dan pembahasan dengannya akan datang pula.
Dalil yang menunjukkan keharamannya adalah hadis Ṯa‘labah al-Khushanī, bahwa Nabi SAW bersabda: “Nabi SAW melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap burung yang bercakar.” Dan gajah termasuk hewan yang paling besar taringnya.
Adapun jual belinya: jika ada manfaat padanya, maka jual belinya boleh. Namun jika tidak bermanfaat, maka batal, karena termasuk memakan harta dengan cara yang batil.
فَأَمَّا إِذَا مَاتَ أَوْ ذُكِّيَ فَالْحُكْمُ فِيهِمَا قد عم سوى وَكُلُّهُ نَجِسٌ لَا يَطْهُرُ شَيْءٌ مِنْهُ إِلَّا جِلْدُهُ بِالدِّبَاغَةِ وَحُكِيَ عَنْ طَائِفَةٍ أَنَّ جِلْدَهُ لَا يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ لِثِخَنِهِ، وَأَنَّ الدِّبَاغَةَ لَا تصل إلى باطنه، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا فِيهِ مِنْ دَفْعِ الْعِيَانِ مِنْ وُصُولِ الدِّبَاغَةِ إِلَيْهِ فَتَأْثِيرُهَا فِيهِ مَعَ الْعُمُومِ الْمُشْتَمَلِ عَلَيْهِ
Adapun jika gajah mati atau disembelih, maka hukumnya sama pada keduanya: seluruh bagiannya adalah najis, dan tidak ada yang menjadi suci darinya kecuali kulitnya melalui penyamakan.
Diriwayatkan dari sekelompok ulama bahwa kulitnya tidak menjadi suci dengan penyamakan karena ketebalannya, dan bahwa penyamakan tidak sampai ke bagian dalamnya.
Namun ini adalah pendapat yang keliru, karena menolak kenyataan bahwa penyamakan bisa sampai ke bagian dalam. Pengaruh penyamakan padanya nyata, dan nash umum mencakupnya.
فَأَمَّا عَظْمُهُ وَنَابُهُ الَّذِي هُوَ الْعَاجُ فَنَجِسٌ لَا يَطْهُرُ بِحَالٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة: هُوَ طَاهِرٌ سَوَاءٌ مَاتَ أَوْ ذُكِّيَ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْعَظْمَ لَا تُحِلُّهُ الْحَيَاةُ.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ ذُكِّيَ كَانَ عَظْمُهُ طَاهِرًا، لِأَنَّهُ مَأْكُولٌ عِنْدَهُ وَإِنْ مَاتَ كَانَ نَجِسًا، لِأَنَّ الْعَظْمَ تُحِلُّهُ الْحَيَاةُ عِنْدَهُ، وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ فَاسِدٌ، وَمَا مَهَّدْنَا مِنَ الْأُصُولِ كَافٍ
Adapun tulang dan gadingnya—yakni ‘āj (gading gajah)—maka hukumnya najis dan tidak dapat menjadi suci dalam keadaan apa pun.
Abu Ḥanīfah berkata: Ia suci, baik gajah itu mati maupun disembelih, berdasarkan pada asas pendapatnya bahwa tulang tidak dimasuki oleh kehidupan (lā tuḥilluhu al-ḥayāh).
Mālik berkata: Jika disembelih, maka tulangnya suci karena menurutnya gajah boleh dimakan; namun jika mati, maka najis karena menurutnya tulang itu dimasuki oleh kehidupan.
Kedua mazhab ini adalah pendapat yang rusak, dan apa yang telah kami tetapkan dari dasar-dasar sebelumnya sudah mencukupi.
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ نَجِسٌ فَلَا يَطْهُرُ بِحَالٍ. وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: طَهَارَةُ الْعَاجِ خرطه صار فإذا فرط طَاهِرًا.
وَاسْتَدَلَّ بِأَنَّهُ فِي جِهَازِ فَاطِمَةَ سِوَارَانِ مِنْ عَاجٍ.
وَهَذَا غَلَطٌ: لِأَنَّ جُمْلَةَ الْعَيْنِ نَجِسَةٌ وَالْعَيْنُ النَّجِسَةُ لَا تَطْهُرُ بِذَهَابِ بَعْضِ الْجُمْلَةِ وَبَقَاءِ بَعْضِهَا، وَمَا رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ فِي جِهَازِ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ سِوَارَانِ مِنْ عَاجٍ، فَقَدْ قِيلَ إِنَّهُ مِنْ عَظْمِ بَعِيرٍ.
وَقِيلَ: مِنْ ذَبْلٍ وَهُوَ عَظْمُ سَمَكَةٍ فِي البحر سمي عاجا لبياضه.
Apabila telah ditetapkan bahwa ia (gading) adalah najis, maka ia tidak menjadi suci dalam keadaan apa pun.
Ibrāhīm al-Nakha‘ī berkata: Gading menjadi suci jika dipotong dan dibentuk, maka ketika dihaluskan, ia menjadi suci.
Ia berdalil dengan riwayat bahwa dalam peralatan pernikahan Fāṭimah RA terdapat dua gelang dari gading.
Namun ini adalah kekeliruan. Karena keseluruhan zat (gading) adalah najis, dan zat yang najis tidak menjadi suci hanya karena sebagian darinya hilang dan sebagian lainnya tetap.
Adapun riwayat bahwa dalam peralatan Fāṭimah ‘alaihas-salām terdapat dua gelang dari gading, maka dikatakan bahwa itu berasal dari tulang unta.
Dan ada yang mengatakan: itu berasal dari dhabl, yaitu tulang ikan laut yang dinamai ‘āj (gading) karena warnanya yang putih.
فأما استدلال الشَّافِعِيُّ بِكَرَاهَةِ ابْنِ عُمَرَ فَهِيَ كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ، لأن عمرو بن دينار روى أنه كره، لِأَنَّهُ مَيْتَةٌ وَإِنَّمَا خَصَّ الشَّافِعِيُّ عَظْمَ الْفِيلِ بِالذِّكْرِ وَإِنْ كَانَ دَاخِلًا فِي عُمُومِ مَا بَيَّنَهُ مِنْ عَظْمِ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ لِلْخِلَافِ فِيهِ وَكَثْرَةِ الِاسْتِعْمَالِ لَهُ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَخَذَ رَجُلٌ إِنَاءً مِنْ عَاجٍ وَاسْتَعْمَلَهُ في الذئبات صَارَ نَجِسًا إِلَّا أَنْ يَكُونَ قُلَّتَيْنِ مِنْ مَاءٍ، وَإِنِ اسْتَعْمَلَهُ فِي يَابِسٍ كَرِهْنَاهُ وَإِنْ كَانَ جَائِزًا، وَلَوِ اتَّخَذَ مُشْطًا مِنْ عَاجٍ ثُمَّ سَرَّحَ بِهِ شَعْرَهُ كَرِهْنَاهُ، وَإِنِ اسْتَعْمَلَهُ وَكَانَ الْمُشْطُ أَوِ الشَّعْرُ نِدِيًّا فَقَدْ نَجِسَ، وَوَجَبَ غَسْلُ شَعْرِهِ وَإِنْ كَانَ يَابِسًا جَازَ
Adapun pendalilan al-Syāfi‘ī dengan kebencian (keraḥah) Ibn ‘Umar, maka itu adalah keraḥah taḥrīm (larangan haram), karena ‘Amr bin Dīnār meriwayatkan bahwa beliau membencinya karena ia adalah bangkai.
Dan al-Syāfi‘ī menyebutkan tulang gajah secara khusus, meskipun ia masuk dalam keumuman tulang hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, karena adanya perbedaan pendapat tentangnya dan banyaknya penggunaan terhadapnya.
Berdasarkan hal ini, jika seseorang menggunakan wadah dari gading lalu menggunakannya untuk benda cair, maka menjadi najis, kecuali jika air di dalamnya mencapai dua qullah, maka tetap suci.
Namun jika digunakan untuk benda kering, maka kami membencinya meskipun hukumnya boleh.
Jika seseorang membuat sisir dari gading lalu menyisir rambutnya dengannya, maka kami membencinya. Dan jika ia menggunakannya dan sisir atau rambutnya dalam keadaan basah, maka rambutnya menjadi najis dan wajib dicuci. Tetapi jika dalam keadaan kering, maka penggunaannya dibolehkan.
مسألة
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: فَأَمَا جِلْدُ كُلِّ ذَكِيٍّ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ فَلَا بَأْسَ بِالْوُضُوءِ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يُدْبَغْ.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
كُلُّ مَأْكُولِ اللَّحْمِ إِذَا ذُكِّيَ فَجِلْدُهُ طَاهِرٌ وَاسْتِعْمَالُهُ قَبْلَ الدِّبَاغَةِ فِي الذَّائِبِ وَالْيَابِسِ جَائِزٌ، وَكَذَلِكَ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ وَفِيهِ مَا لَمْ يَنْجَسْ بِفَرْثٍ وَلَا دَمٍ وَلَيْسَ يُدْبَغُ لِنَجَاسَتِهِ وَلَكِنْ لِاسْتِحْكَامِهِ وَبَقَائِهِ وَتَنْشِيفِ فُضُولِهِ الَّتِي تُسْرِعُ فِي فَسَادِهِ، وَلِأَنَّ تَطَيُّبَ النَّفْسِ بِاسْتِعْمَالِهِ لِطِيبِ رَائِحَتِهِ
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Adapun kulit setiap hewan yang disembelih secara syar‘i dan boleh dimakan dagingnya, maka tidak mengapa berwudhu darinya meskipun belum disamak.”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang benar.
Setiap hewan yang boleh dimakan dagingnya, apabila disembelih secara syar‘i, maka kulitnya suci, dan boleh digunakan sebelum disamak untuk benda cair maupun kering, demikian pula boleh shalat di atasnya dan di dalamnya, selama tidak terkena kotoran usus atau darah.
Kulit itu tidak disamak karena najis, namun karena untuk memperkuat, mempertahankan, dan mengeringkan sisa-sisa kelembapan yang mempercepat kerusakannya, serta agar terasa menyenangkan saat digunakan karena harum baunya.
مسألة
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَلَا أَكْرَهُ مِنَ الْآنِيَةِ إِلَّا الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الذي يشرب في آنية الفضة إنما يجرجر فِي جَوْفِهِ نَارَ جَهَنَمَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كما قال الأواني ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ. وَالثَّانِي: مَا كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْأَثْمَانِ، فَأَمَّا مَا كَانَ مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ فَأَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَاسْتِعْمَالُهَا حَرَامٌ فِي الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ وغيره.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Aku tidak membenci dari jenis wadah kecuali yang terbuat dari emas dan perak, berdasarkan sabda Nabi SAW: ‘Orang yang minum dari bejana perak, sesungguhnya ia sedang menggeretakkan api neraka Jahanam ke dalam perutnya.’”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan. Wadah-wadah terbagi dua:
Pertama: yang termasuk dari jenis mata uang (logam mulia).
Kedua: yang bukan dari jenis mata uang.
Adapun yang termasuk dari jenis mata uang, maka itu adalah bejana emas dan perak. Menggunakannya—baik untuk makan, minum, maupun penggunaan lain—hukumnya haram.
وَقَالَ دُوَادُ بْنُ عَلِيٍّ: إِنَّمَا يَحْرُمُ اسْتِعْمَالُهَا فِي الشُّرْبِ وَحْدَهُ دُونَ الْأَكْلِ وَغَيْرِهِ اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الَّذِي يَشْرَبُ فِي آنِيَةِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي جَوْفِهِ نَارَ جَهَنَّمَ “. فَلَمَّا خَصَّ الشُّرْبَ بِالذِّكْرِ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى اخْتِصَاصِهِ بِالتَّحْرِيمِ.
Dāwud bin ‘Alī berkata: Yang diharamkan dari penggunaan bejana emas dan perak hanyalah untuk minum saja, tidak termasuk makan dan penggunaan lainnya. Ia berdalil dengan hadis Umm Salamah, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Orang yang minum dari bejana perak, sesungguhnya ia sedang menggeretakkan api neraka Jahanam ke dalam perutnya.”
Ketika Nabi SAW secara khusus menyebutkan minum, hal itu menunjukkan bahwa pengharaman tersebut khusus berlaku untuk minum saja.
وَبِمَا رُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ اسْتَسْقَى مِنْ دِهْقَانٍ بِالْمَدَائِنِ مَاءً فَسَقَاهُ فِي إِنَاءٍ مِنْ فِضَّةٍ فَحَذَفَهُ ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَى الْقَوْمِ فَقَالَ إِنِّي كُنْتُ نُهِيتُهُ أَنْ تَسْقِيَنِي فِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَامَ فِينَا خَطِيبًا فَقَالَ: لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَلْبِسُوا الدِّيبَاجَ وَالْحَرِيرَ فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ “
Dan berdasarkan riwayat dari Mujāhid, dari ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Lailā, bahwa Ḥudzaifah bin al-Yamān meminta air kepada seorang dihqān di al-Madāin, lalu orang itu memberinya minum dengan wadah dari perak. Maka Ḥudzaifah membuangnya, kemudian meminta maaf kepada orang-orang seraya berkata, “Aku telah melarangnya untuk memberiku minum dengannya. Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berdiri di hadapan kami sebagai khatib lalu bersabda: ‘Janganlah kalian minum dengan bejana dari emas dan perak, dan jangan memakai kain dībāj dan sutra. Sesungguhnya itu (semua) untuk mereka di dunia, dan untuk kalian di akhirat.’”
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” نَهَى عَنِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فِي أَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ” وَهَذَا نَصٌّ؛ لِأَنَّهُ نَهَى عَنِ الْأَكْلِ وَدَاوُدُ يُجِيزُهُ، وَلِأَنَّ الشُّرْبَ فِيهِ أَصْوَنُ اسْتِعْمَالًا مِنَ الِاغْتِسَالِ مِنْهُ فلما كان الشرب محرما، وكان مَا سِوَاهُ أَوْلَى بِالتَّحْرِيمِ، وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الشُّرْبِ فِيهِ لِأَحَدِ مَعْنَيَيْنِ إِمَّا لِمَا فِيهِ مِنَ الْخُيَلَاءِ وَالْكِبْرِ الْمُفْضِي إِلَى الْبَغْضَاءِ وَالْمَقْتِ، وَلِمَا فِيهِ مِنَ انْكِسَارِ قُلُوبِ الْفُقَرَاءِ الْمُفْضِي إِلَى التحاسد التقاطع، وَوُجُودُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَعْنَيَيْنِ فِيمَا سِوَى الشُّرْبِ مِنَ الِاسْتِعْمَالِ أَكْثَرُ مِنْ وُجُودِهِ فِي الشُّرْبِ وَكَانَ بِالتَّحْرِيمِ أَحَقَّ
Dan dalil kami adalah riwayat Ibn Sīrīn dari Anas bin Mālik bahwa Rasulullah SAW “melarang makan dan minum dengan bejana dari emas dan perak.” Ini adalah nash, karena beliau melarang makan, sedangkan Dāwud membolehkannya. Dan karena minum dengannya adalah bentuk penggunaan yang lebih terjaga (kesuciannya) daripada mandi darinya. Maka ketika minum dengannya diharamkan, maka selainnya lebih utama untuk diharamkan. Dan karena pengharaman minum darinya disebabkan oleh salah satu dari dua makna: pertama, karena di dalamnya terdapat kesombongan dan keangkuhan yang mengarah kepada kebencian dan kemurkaan; kedua, karena di dalamnya terdapat kehancuran hati orang-orang fakir yang mengarah kepada hasad dan terputusnya tali persaudaraan. Dan keberadaan masing-masing dari dua makna tersebut dalam penggunaan selain minum lebih besar dibandingkan keberadaannya dalam minum, maka lebih berhak untuk diharamkan.
وَأَمَّا نَصُّهُ عَلَى الشرب ينبه بِهِ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الِاسْتِعْمَالِ كَمَا نَصَّ عَلَى الْفِضَّةِ يُنَبَّهُ بِهِ عَلَى الذَّهَبِ.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي جَوْفِهِ نَارَ جَهَنَّمَ ” فَالْجَرْجَرَةُ: التَّصْوِيتُ. قَالَ الشَّاعِرُ:
(وَهُوَ إِذَا جَرْجَرَ بعد الهب … جَرْجَرَ فِي حَنْجَرِهِ كَالْحَبِّ)
Adapun penyebutan beliau secara nash terhadap minum, itu untuk menunjukkan selainnya dari bentuk-bentuk penggunaan, sebagaimana penyebutan beliau terhadap perak, yang dengannya dimaksudkan pula emas.
Adapun sabda beliau: “Sesungguhnya ia menggargarkan api neraka di dalam perutnya,” maka al-jarjarah adalah suara keras. Seorang penyair berkata:
(wa huwa idzā jārjara ba‘da al-habbi … jārjara fī ḥanjarihi ka al-ḥabbi)
“Dan dia apabila menggargarkan setelah menelan … menggargarkan di tenggorokannya seperti biji-bijian.”
وَقَوْلُهُ: نَارُ جَهَنَّمَ. فالجرجرة يَعْنِي: سَيَصِيرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ نَارًا فَعَبَّرَ عَنِ الحال بالمآل كَمَا قَالَ تَعَالَى: {إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا} [النساء: 10] . يَعْنِي: يَصِيرُ يَوْمَ القيامة نارا
Dan sabdanya: “api neraka Jahanam.” Maka al-jarjarah maksudnya adalah: ia akan menjadi api pada hari kiamat. Maka beliau mengungkapkan keadaan dengan sesuatu yang akan menjadi akibatnya, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sesungguhnya mereka itu menelan api ke dalam perut mereka} (QS. al-Nisā’: 10), yakni akan menjadi api pada hari kiamat.
فإذا ثبت تحريم استعمالها فأكل فيها وتوضأ مِنْهَا كَانَ الطَّعَامُ حَلَالًا وَالْوُضُوءُ جَائِزًا وَإِنَّمَا يَكُونُ بِالِاسْتِعْمَالِ عَاصِيًا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ النَّهْيَ عَنْهُ لِمَعْنًى فِي الْإِنَاءِ لَا لِمَعْنًى فِي الْمَاءِ وَالطَّعَامِ بِخِلَافِ الْمَاءِ النَّجِسِ الَّذِي يَخْتَصُّ النَّهْيُ عَنْهُ لِمَعْنًى فِيهِ لَا فِي غَيْرِهِ، وَالْأُصُولُ مُقَرَّرَةٌ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ وُرُودِ النهي عن الشيء لمعنى فيه فتقتضي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَبَيْنَ وُرُودِهِ لِمَعْنًى فِي غيره فلا تقتضي فساد المناهي عَنْهُ كَالنَّهْيِ عَنِ الصَّلَاةِ فِي بُقْعَةٍ نَجِسَةٍ لِمَا اخْتُصَّ لِمَعْنًى فِي الْبُقْعَةِ بَطَلَتْ، وَفِي الدَّارِ الْمَغْصُوبَةِ لَمَّا اخْتُصَّ لِمَعْنًى فِي الْمَالِكِ لَمْ يَبْطُلْ وَالْأَوْلَى: لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَتَوَقَّى الْمَعْصِيَةَ بِأَكْلِ مَا فِي أَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ أَنْ يُخْرِجَ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ مِنْهَا ثُمَّ يَأْكُلَهُ إِنْ شَاءَ وَلَا يَعْصِي بِهِ كَمَا حُكِيَ أن فرقد السبخي، والحسن البصري حضرا وليمة بالبصرة مقدم إِلَيْهِمَا طَعَامٌ فِي إِنَاءٍ مِنْ فِضَّةٍ فَقَبَضَ يَدَهُ عَنِ الْأَكْلِ مِنْهُ فَأَخَذَ الْحَسَنُ الْإِنَاءَ وَأَكَبَّهُ عَلَى الْخِوَانِ وَقَالَ: كُلِ الْآنَ إِنْ شِئْتَ
Maka apabila telah tetap keharaman menggunakan (bejana emas dan perak), lalu seseorang makan darinya atau berwudu darinya, maka makanan itu tetap halal dan wudu itu tetap sah. Hanya saja, dia berdosa karena menggunakan (bejana tersebut). Hal itu karena larangan tersebut terkait dengan makna yang ada pada bejana, bukan pada air atau makanan, berbeda dengan air najis yang larangan terhadapnya karena makna yang ada padanya, bukan pada selainnya. Dan kaidah-kaidah usul telah menetapkan perbedaan antara larangan terhadap sesuatu karena makna yang ada padanya — maka hal itu meniscayakan rusaknya yang dilarang — dengan larangan terhadap sesuatu karena makna yang ada pada selainnya — maka hal itu tidak meniscayakan rusaknya yang dilarang, seperti larangan salat di tempat yang najis, maka salat itu batal karena sebabnya ada pada tempatnya; namun salat di rumah yang dirampas tidak batal karena larangannya terkait dengan hak pemilik rumah.
Yang lebih utama bagi orang yang ingin menghindari maksiat dengan memakan makanan dari bejana emas dan perak adalah mengeluarkan makanan dan minuman dari bejana tersebut, kemudian memakannya jika ia menghendaki, dan ia tidak berdosa karenanya. Sebagaimana diceritakan bahwa Farqad al-Sabakhī dan al-Ḥasan al-Baṣrī menghadiri sebuah jamuan makan di Baṣrah, lalu disajikan kepada mereka makanan dalam bejana dari perak, maka Farqad menarik tangannya dari makan darinya, lalu al-Ḥasan mengambil bejana itu dan menuangkannya ke atas khuwān (nampan besar), lalu berkata, “Makanlah sekarang jika engkau mau.”
فَأَمَّا اتِّخَاذُ أَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ لِلِادِّخَارِ وَالزِّينَةِ دُونَ الِاسْتِعْمَالِ فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِاخْتِصَاصِ الِاسْتِعْمَالِ بِالتَّحْرِيمِ. وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ ادِّخَارَهَا دَاعٍ إِلَى اسْتِعْمَالِهَا وَمَا دَعَا إِلَى الْحَرَامِ كَانَ حَرَامًا كَإِمْسَاكِ الْخَمْرِ لَمَّا كَانَ دَاعِيًا إِلَى تَنَاوُلِهَا كَانَ الْإِمْسَاكُ حَرَامًا
Adapun menjadikan bejana emas dan perak untuk disimpan dan dijadikan perhiasan tanpa digunakan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: Boleh, karena penggunaanlah yang secara khusus diharamkan.
Kedua: Tidak boleh, karena menyimpannya mendorong kepada penggunaannya, dan segala sesuatu yang mendorong kepada hal yang haram, maka ia pun haram, seperti menyimpan khamar, karena hal itu mendorong untuk meminumnya, maka menyimpannya menjadi haram.
فَصْلٌ
وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي: مِنَ الْأَوَانِي فَهُوَ مَا سِوَى أَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فَضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا لَمْ يَكُنْ فَاخِرًا وَلَا ثَمِينًا ” كَالصُّفْرِ ” وَ ” النُّحَاسِ ” وَ ” الرَّصَاصِ ” وَ ” الْخَشَبِ ” وَ ” الْحَجَرِ ” فَاسْتِعْمَالُهَا جَائِزٌ إِذَا كانت طاهرة. وقد روي عن النبي – عليه السلام – أنه تؤضأ فِي تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فَاخِرًا ثَمِينًا فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ كَثْرَةُ ثَمَنِهِ لِحُسْنِ صَنْعَتِهِ وَلِنَفَاسَةِ جَوْهَرِهِ كَأَوَانِي الزُّجَاجِ الْمُحْكَمِ وَالْبَلُّورِ الْمَخْرُوطِ فَاسْتِعْمَالُهَا حَلَالٌ؛ لِأَنَّ مَا فِيهِ مِنَ الصَّنْعَةِ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ وَهُوَ قَبْلَ الصَّنْعَةِ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ.
PASAL
Adapun jenis kedua dari bejana adalah selain bejana emas dan perak, maka terbagi menjadi dua:
Pertama: Yang tidak mewah dan tidak mahal, seperti ṣufr (kuningan), tembaga, timah, kayu, dan batu. Maka penggunaannya diperbolehkan apabila ia suci. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW berwudu dalam tawr (baskom) dari ṣufr.
Jenis kedua: Yang mewah dan mahal, maka itu terbagi menjadi dua:
Pertama: Bahwa mahalnya karena keindahan buatannya dan karena keistimewaan bahannya, seperti bejana dari kaca berkualitas tinggi dan ballūr (kristal) yang diukir. Maka penggunaannya halal, karena keindahan buatannya tidaklah haram, dan sebelum diolah pun bahannya bukan sesuatu yang haram.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ كَثْرَةُ ثَمَنِهِ لِنَفَاسَةِ جَوْهَرِهِ كَالْعَقِيقِ وَالْفَيْرُوزَجِ وَالْيَاقُوتِ وَالزَّبَرْجَدِ فَفِيهَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ اسْتِعْمَالَهَا حَرَامٌ؛ لِأَنَّ الْمُبَاهَاةَ بِهَا أَعْظَمُ، وَالْمُفَاخَرَةَ فِي اسْتِعْمَالِهَا أَكْثَرُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ اسْتِعْمَالَهَا حَلَالٌ لِاخْتِصَاصِ خَوَاصِّ النَّاسِ بِمَعْرِفَتِهَا وَجَهْلِ أَكْثَرِ الْعَوَامِّ بِهَا، وَالذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ يَعْرِفُ قَدْرَهُمَا الْخَاصَّةُ وَالْعَامَّةُ
Dan jenis kedua: bahwa mahalnya karena keistimewaan bahannya, seperti ‘aqīq, fayrūzaj, yāqūt, dan zabarjad. Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: Bahwa penggunaannya haram, karena sikap membanggakan diri dengannya lebih besar, dan bermegah-megahan dalam menggunakannya lebih banyak.
Pendapat kedua: Bahwa penggunaannya halal, karena hanya orang-orang khusus yang mengetahui nilainya, sedangkan kebanyakan orang awam tidak mengetahuinya. Adapun emas dan perak, maka nilainya diketahui oleh kalangan khusus maupun awam.
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ الْأَوَانِي الْمُتَّخَذَةُ مِنَ الطِّيبِ الرَّفِيعِ كَالْكَافُورِ الْمُرْتَفِعِ وَالْكَافُورِ الْمُصَاعِدِ، وَالْمَعْجُونِ مِنَ الْمِسْكِ وَالْعَنْبَرِ فَتَخْرُجُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَحْرُمُ اسْتِعْمَالُهَا بِحُصُولِ الْمُبَاهَاةِ وَالْمُفَاخَرَةِ بِهَا.
Dan cabang dari dua pendapat tersebut adalah bejana-bejana yang terbuat dari ṭīb (wewangian) yang mewah, seperti kāfūr berkualitas tinggi, kāfūr muṣa‘ad, dan adonan dari misk serta ‘anbar, maka permasalahannya keluar dalam dua wajah (pendapat):
Pertama: Haram menggunakan bejana-bejana tersebut karena terdapat unsur membanggakan diri dan bermegah-megahan dengannya.
وَالثَّانِي: لَا يَحْرُمُ اسْتِعْمَالُهَا لِانْصِرَافِ عَوَامِّ النَّاسِ عَنْهَا، فَأَمَّا غَيْرُ الْمُرْتَفِعِ مِنْهَا كَالصَّنْدَلِ وَالْمِسْكِ فاستعمالها جائز.
Dan yang kedua: Tidak haram menggunakannya karena kebanyakan orang awam tidak tertarik padanya. Adapun yang tidak mewah darinya seperti ṣandal dan misk, maka penggunaannya diperbolehkan.
مسألة
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَأَكْرَهُ الْمُضَبَّبَ بِالْفِضَّةِ لِئَلَّا يَكُونَ شَارِبًا عَلَى فِضَّةٍ
وَقَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وهذا صحيح، اعْلَمْ أَنَّ الْمُضَبَّبَ بِالْفِضَّةِ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ التَّضْبِيبُ فِي جَمِيعِ الْإِنَاءِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي بَعْضِهِ، فَإِنْ كَانَ التَّضْبِيبُ فِي جَمِيعِ الْإِنَاءِ حَتَّى قَدْ غَطَّى جَمِيعَهُ وَغَشَّى سَائِرَهُ فَاسْتِعْمَالُهُ حَرَامٌ كَالْمُصْمَتِ مِنْ أَوَانِي الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: اسْتِعْمَالُهُ جَائِزٌ؛ لِأَنَّهُ إِنَاءٌ جَاوَرَتْهُ فِضَّةٌ أَوْ ذَهَبٌ فَجَازَ اسْتِعْمَالُهُ كَمَا لَوْ أَخَذَ إِنَاءً بِكَفِّهِ وَفِيهَا خَاتَمٌ.
Masalah
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Aku memakruhkan bejana yang diberi ḍabb (penambal/pengikat) dari perak agar tidak terjadi (penggunaan) minum dari perak.”
Dan al-Māwardī berkata: “Ini benar. Ketahuilah bahwa bejana yang diberi ḍabb dari perak ada dua macam:
Pertama: Penambalannya pada seluruh bagian bejana.
Kedua: Penambalan hanya pada sebagian bagiannya.
Jika penambalannya meliputi seluruh bejana hingga menutupi keseluruhannya dan melapisi seluruh sisinya, maka penggunaannya haram seperti bejana yang seluruhnya terbuat dari perak atau emas.
Abū Ḥanīfah berkata: Penggunaannya boleh, karena itu adalah bejana yang berdekatan dengan perak atau emas, maka boleh digunakan sebagaimana seseorang memegang bejana dengan telapak tangannya yang padanya terdapat cincin.
قَالَ: وَلِأَنَّ الْفِضَّةَ تَابِعَةٌ لِلْإِنَاءِ فَأَشْبَهَ الثَّوْبَ الْمُطَرَّزَ، وَمَا كَانَ سِوَاهُ مِنْ حَرِيرٍ وَلُحْمَتُهُ قُطْنٌ.
Ia berkata: “Dan karena perak itu mengikuti bejana, maka ia menyerupai pakaian yang bersulam (perak), atau selainnya yang terbuat dari sutra sedangkan luḥmatuhu (benang pakan-nya) dari kapas.”
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ شَرِبَ مِنْ إِنَاءِ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ أَوْ إِنَاءٍ فِيهِ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فَإِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ ” وَهَذَا نَصٌّ، وَلِأَنَّ غِشَاءَ الْإِنَاءِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ هُوَ إِنَاءٌ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ جَاوَرَهُ غيره وأوني الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ لَا يَحِلُّ اسْتِعْمَالُهَا لِمُجَاوَرَةِ غَيْرِهَا، وَلِأَنَّ أَوَانِيَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ إِنَّمَا حُرِّمَ اسْتِعْمَالُهَا إِمَّا لِمَا فِيهَا مِنَ الْمُبَاهَاةِ وَالْمُفَاخَرَةِ وَإِمَّا لِمَا فِيهَا مِنَ انْكِسَارِ قُلُوبِ الْفُقَرَاءِ وَإِمَّا لِمَا فِيهَا مِنْهُ السَّرَفُ، وَكُلُّ هَذِهِ الْمَعَانِي مَوْجُودَةٌ فِي الْمُضَبَّبِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُحَرَّمًا كَتَحْرِيمِ الْمُصْمَتِ
Dan dalil kami adalah riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa minum dari bejana emas atau perak, atau bejana yang di dalamnya terdapat sesuatu dari keduanya, maka sesungguhnya ia menggargarkan api neraka Jahanam dalam perutnya.” Ini adalah nash.
Dan karena pelapisan bejana dengan emas dan perak adalah bejana dari emas atau perak yang berdekatan dengan selainnya, sedangkan bejana emas dan perak tidak halal digunakan hanya karena berdekatan dengan selainnya.
Dan sesungguhnya bejana-bejana emas dan perak diharamkan penggunaannya karena salah satu dari tiga hal:
– karena di dalamnya terdapat sikap membanggakan diri dan bermegah-megahan,
– atau karena di dalamnya terdapat kehancuran hati orang-orang fakir,
– atau karena di dalamnya terdapat pemborosan.
Dan seluruh makna ini terdapat dalam bejana yang diberi ḍabb (lapisan) dari emas atau perak, maka wajib dihukumi haram sebagaimana haramnya bejana yang seluruhnya terbuat dari emas atau perak.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّهُ إِنَاءٌ جَاوَرَتْهُ فِضَّةٌ أَوْ ذَهَبٌ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَإِنَّمَا هُوَ إِنَاءٌ مِنْ فِضَّةٍ أَوْ ذَهَبٍ جَاوَرَهُ غَيْرُهُ عَلَى أَنَّهُمَا لَوِ اسْتَوَيَا لَكَانَ تَغْلِيبُ الْحَظْرِ أَوْلَى
Adapun ucapannya: bahwa itu adalah bejana yang hanya berdekatan dengan perak atau emas, maka itu tidak benar. Bahkan sesungguhnya itu adalah bejana dari perak atau emas yang berdekatan dengannya bahan lain.
Lagipula, seandainya keduanya setara (antara unsur yang halal dan yang haram), maka menguatkan sisi larangan lebih utama.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ الْفِضَّةَ تَابِعَةٌ فَصَارَتْ كَالثَّوْبِ الْمَنْسُوجِ مِنْ حَرِيرٍ وَغَيْرِهِ فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ، لِأَنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَجْعَلَ الْفِضَّةَ تَابِعَةً لِغَيْرِهَا فِي الْإِبَاحَةِ وَلَا لِغَيْرِهِ أَنْ يَجْعَلَ غَيْرَ الْفِضَّةِ تَابِعَةً لِلْفِضَّةِ فِي التَّحْرِيمِ، ثُمَّ الْفَرْقُ بَيْنَ الثَّوْبِ الْمَنْسُوجِ مِنَ الْحَرِيرِ وَغَيْرِهِ وبين الإناء من الفضة أو الْحَرِيرَ مُبَاحٌ لِجِنْسٍ مِنَ النَّاسِ وَهُوَ النِّسَاءُ فَجَازَ أَنْ يُعْفَى عَنْ يَسِيرِهِ مَعَ غَيْرِهِ وَأَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ لَمْ يَأْتِ الشَّرْعُ بِإِبَاحَتِهِ لِأَحَدٍ فَلَمْ يَعْفُ عَنْهُ مَعَ غَيْرِهِ
Adapun ucapannya bahwa perak itu hanya sekadar pengikut, sehingga menjadi seperti pakaian yang ditenun dari sutra dan selainnya, maka hal itu tidak bisa diterima. Karena tidak dibenarkan bagi siapa pun menjadikan perak sebagai pengikut selainnya dalam hal kebolehan, dan tidak pula menjadikan selain perak sebagai pengikut perak dalam hal keharaman.
Kemudian, perbedaan antara pakaian yang ditenun dari sutra dan selainnya dengan bejana dari perak adalah bahwa sutra itu halal bagi sebagian jenis manusia, yaitu perempuan. Maka diperbolehkan dimaafkan keberadaannya yang sedikit bersama selainnya. Adapun bejana emas dan perak, syariat tidak membolehkan penggunaannya bagi siapa pun, maka tidak dimaafkan keberadaannya walau bersama selainnya.
فَصْلٌ
وَإِنْ كَانَ التَّضْبِيبُ فِي بَعْضِ الْإِنَاءِ دُونَ جميعه فضربان: أحداهما: أَنْ يَكُونَ بِالْفِضَّةِ. وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِالذَّهَبِ فإن كان بالذهب فاستعماله حرام، لأن الذَّهَبِ مُبَاهَاةً وَسَرَفًا
PASAL
Jika penambalan (taḍbīb) berada pada sebagian bejana saja dan bukan seluruhnya, maka terbagi menjadi dua:
Pertama: Penambalan dengan perak.
Kedua: Penambalan dengan emas.
Jika penambalan itu dengan emas, maka penggunaannya haram, karena emas mengandung unsur bermegah-megahan (mubāhāh) dan pemborosan (sarf).
وَإِنْ كَانَ بِالْفِضَّةِ فَعَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ كَثِيرًا، لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَاسْتِعْمَالُهُ حَرَامٌ لِمَا فِيهِ مِنَ الْمُبَاهَاةِ.
Dan jika penambalannya dengan perak, maka terbagi menjadi empat macam:
Pertama: Jika jumlahnya banyak dan tidak karena kebutuhan, maka penggunaannya haram karena di dalamnya terdapat unsur bermegah-megahan (mubāhāh).
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ كَثِيرًا لِحَاجَةٍ فَإِنْ كَانَ فِي أَعَالِيهِ وَمَوْضِعِ الشُّرْبِ مِنْهُ كَانَ استعماله حرام.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لِأَنْ لَا يَكُونَ شَارِبًا عَلَى فِضَّةٍ، وَإِنْ كَانَ فِي أَسَافِلِهِ، وَغَيْرِ مَوَاضِعِ الشُّرْبِ مِنْهُ كَانَ اسْتِعْمَالُهُ مَكْرُوهًا
Jenis kedua: Jika jumlahnya banyak namun karena kebutuhan, maka jika berada pada bagian atas bejana dan tempat minumnya, maka penggunaannya haram.
Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Agar tidak sampai minum langsung dari perak.”
Namun jika berada pada bagian bawahnya dan bukan pada tempat minumnya, maka penggunaannya makruh.
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ يَسِيرًا فَاسْتِعْمَالُهُ جَائِزٌ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كانت له قصعة فيها حلقتين فضة وكان لسيفه قبيعة قائمة فِضَّةٌ، وَأَهْدَى فِي بُدْنِهِ عَامَ حَجِّهِ جَمَلًا لِأَبِي جَهْلٍ فِي أَنْفِهِ بُرَّةٌ مِنْ فِضَّةٍ
Jenis ketiga: Jika penambalannya sedikit, maka penggunaannya boleh. Karena Rasulullah SAW memiliki sebuah mangkuk besar (qaṣ‘ah) yang padanya terdapat dua lingkaran dari perak, dan pada pedang beliau terdapat gagang yang berdiri dari perak. Beliau juga menghadiahkan dalam hadyu-nya saat haji seekor unta milik Abū Jahl yang di hidungnya terdapat burrah (hiasan) dari perak.
وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ يَسِيرًا لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَاسْتِعْمَالُهُ لَيْسَ بِحَرَامٍ وَفِي كَرَاهَةِ اسْتِعْمَالِهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: غَيْرُ مَكْرُوهٍ كَالثَّوْبِ الْمُطَرَّزِ بِالْحَرِيرِ. وَالثَّانِي: مَكْرُوهٌ بِخِلَافِ الطِّرَازِ، لِأَنَّ الْحَرِيرَ أَخَفُّ لِإِبَاحَتِهِ لِجِنْسٍ مِنَ النَّاسِ فَكَانَ حُكْمُهُ أَخَفَّ مِنَ الفضة التي لم يستبح أوانيها لجنس.
Jenis keempat: Jika penambalannya sedikit dan bukan karena kebutuhan, maka penggunaannya tidak haram.
Namun dalam hal makruhnya penggunaannya terdapat dua pendapat:
Pertama: Tidak makruh, seperti pakaian yang disulam dengan sutra.
Kedua: Makruh, berbeda dengan ṭirāz (hiasan sulam), karena sutra lebih ringan (hukumnya) sebab dihalalkan bagi suatu jenis manusia (yaitu perempuan), maka hukumnya lebih ringan dibandingkan perak, yang tidak dihalalkan penggunaannya dalam bentuk bejana bagi satu pun jenis manusia.
مسألة:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَا بَأْسَ بِالْوُضُوءِ مِنْ مَاءِ مُشْرِكٍ وَبِفَضْلِ وُضُوئِهِ مَا لَمْ يعلم نجاسته فقد توضأ عمر – رضي الله عنه – مِنْ مَاءٍ فِي جَرَّةٍ نَصْرَانِيَّةٍ “.
وَقَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْمُشْرِكُونَ عَلَى أَصْلِ الطَّهَارَةِ في أبدانهم، وثيابهم، وأوانيهم، وهو قول جمهور الْفُقَهَاءِ. وَحُكِيَ عَنْ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَدَاوُدَ أَنَّهُمْ أَنْجَاسٌ يَحْرُمُ اسْتِعْمَالُ مَا لَقَوْهُ بِأَجْسَادِهِمُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا} [التوبة: 28] فَنَصَّ على نجاستهم.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Tidak mengapa berwudu dengan air milik orang musyrik dan dengan sisa wudunya, selama tidak diketahui kenajisannya. Sesungguhnya ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu pernah berwudu dengan air dari kendi milik seorang Nasrani.”
Dan al-Māwardī berkata: “Hal ini sebagaimana yang dikatakan: bahwa orang-orang musyrik pada asalnya suci — pada badan mereka, pakaian mereka, dan bejana mereka — dan ini adalah pendapat mayoritas para fuqahā’.”
Dan dinukil dari Aḥmad, Isḥāq, dan Dāwud bahwa mereka (berpendapat): orang-orang musyrik itu najis, dan haram menggunakan sesuatu yang bersentuhan dengan tubuh mereka, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini} (QS. al-Tawbah: 28). Maka ayat ini adalah nash atas kenajisan mereka.
ودليلنا قوله تَعَالَى: {الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ} [المائدة: 5] .
وَمَعْلُومٌ أَنَّ طَعَامَهُمْ مَصْنُوعٌ بِأَيْدِيهِمْ وَمِيَاهِهِمْ وَفِي أَوَانِيهِمْ فَدَلَّ عَلَى طَهَارَةِ ذَلِكَ كُلِّهِ.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَرِبَ مَاءً مِنْ مَزَادَةِ وَثَنِيَّةٍ
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Pada hari ini dihalalkan bagi kalian segala yang baik-baik, dan makanan orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagi kalian} (QS. al-Mā’idah: 5).
Dan telah dimaklumi bahwa makanan mereka dibuat dengan tangan mereka, menggunakan air mereka, dan dalam bejana-bejana mereka, maka hal itu menunjukkan bahwa semuanya suci.
Dan diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah meminum air dari mazādah (wadah air dari kulit) milik seorang musyrik penyembah berhala.
وَرُوِيَ أَنَّ عمر رضي الله عنه توضأ من جر نَصْرَانِيَّةٍ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ كَانَ يَأْذَنُ لِلْمُشْرِكِينَ فِي دُخُولِ مَسْجِدِهِ وَرَبَطَ ثُمَامَةَ بْنَ أَثَالٍ حِينَ أَسَرَهُ عَلَى سَارِيَةٍ فِي الْمَسْجِدِ، وَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَكَانَ أَوْلَى الْأُمُورِ بِهِ تَطْهِيرُ مَسْجِدِهِ مِنْهُ، وَلِأَنَّ الِاعْتِقَادَ لَا يُؤَثِّرُ فِي تَنْجِيسِ الْأَعْيَانِ، وَلَوْ كَانَ بِسُوءِ مُعْتَقَدِهِ يُنَجِّسُ مَا كَانَ طَاهِرًا لَكَانَ حُسْنُ مُعْتَقَدِنَا يُطَهِّرُ مَا كَانَ نَجِسًا.
Dan diriwayatkan bahwa ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu berwudu dari kendi milik perempuan Nasrani.
Dan sesungguhnya Rasulullah SAW telah membolehkan orang-orang musyrik masuk ke masjid beliau, dan beliau mengikat Tsumāmah bin Uthāl ketika ia ditawan pada tiang di dalam masjid. Seandainya ia najis, maka hal yang paling utama adalah mensucikan masjid beliau darinya.
Dan sesungguhnya keyakinan tidak berpengaruh dalam menajiskan benda-benda. Seandainya keburukan akidah seseorang menjadikan sesuatu yang suci menjadi najis, maka baiknya akidah kita tentu akan menyucikan sesuatu yang najis.
فَأَمَّا قَوْله تَعَالَى: {إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ} [التوبة: 28] . فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمْ أَنْجَاسُ الْأَبْدَانِ كَنَجَاسَةِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ، وَهَذَا قَوْلُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ. وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ كَذَلِكَ، وَأَوْجَبَ الْوُضُوءَ عَلَى مَنْ صَافَحَهُمْ
Adapun firman Allah Ta‘ālā: {Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis} (QS. al-Tawbah: 28), maka dalam ayat ini terdapat dua penakwilan:
Pertama: Bahwa mereka najis secara fisik, seperti kenajisan anjing dan babi. Ini adalah pendapat ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz. Al-Ḥasan al-Baṣrī juga berpendapat demikian, bahkan mewajibkan wudu bagi siapa yang bersalaman dengan mereka.
والثاني: وهو قول الجمهور أنه سماهم نجسا، لِأَنَّهُمْ لَا يَغْتَسِلُونَ مِنَ الْجَنَابَةِ فَصَارُوا لَمَّا وَجَبَ عَلَيْهِمُ الْغُسْلُ كَالنَّجَاسَةِ الَّتِي يَجِبُ غَسْلُهَا لا أنهم في أبدانهم أنجاس
Dan pendapat kedua — yaitu pendapat jumhur — bahwa Allah menamai mereka najis karena mereka tidak mandi janabah. Maka ketika mandi wajib itu diwajibkan atas mereka, mereka menjadi seperti najis yang wajib untuk dibersihkan, bukan karena tubuh mereka itu najis.
فَإِذَا ثَبَتَ طَهَارَةُ الْمُشْرِكِينَ فَهُمْ عَلَى ثَلَاثَةِ أضرب. [الأول] : ضَرْبٌ مِنْهُمْ يَرَوْنَ اجْتِنَابَ الْأَنْجَاسِ كَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى واستعمال مياههم والصلاة في ثيابهم جائزة.
و [الثاني] ضرب مِنْهُمْ لَا يَرَوْنَ اجْتِنَابَهَا وَلَا يَعْتَقِدُونَ الْعِبَادَةَ فِي اسْتِعْمَالِهَا كَالدَّهْرِيَّةِ، وَالزَّنَادِقَةِ فَيَجُوزُ اسْتِعْمَالُ مِيَاهِهِمْ وَالصَّلَاةُ فِي ثِيَابِهِمْ، لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا الطَّهَارَةُ، وَنَكْرَهُهَا خَوْفًا مِنْ حُلُولِ النَّجَاسَةِ.
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أن لا يجتبنوها وَيَرَوْنَ الْعِبَادَةَ فِي اسْتِعْمَالِهَا كَالْبَرَاهِمَةِ مِنَ الْهِنْدِ، وَطَائِفَةٌ مِنَ الْمَجُوسِ يَرَوْنَ اسْتِعْمَالَ الْأَبْوَالِ قُرْبَةً، فَاسْتِعْمَالُ مِيَاهِهِمْ جَائِزٌ، وَإِنْ كَانَ مَكْرُوهًا، وَأَمَّا الصلاة في ثيابهم، فيجوز فيما لَمْ يَلْبَسُوهُ كَثِيرًا كَالْيَوْمِ أَوْ بَعْضِهِ
Maka apabila telah tetap bahwa orang-orang musyrik itu suci, maka mereka terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Golongan dari mereka yang meyakini keharusan menghindari najis, seperti Yahudi dan Nasrani. Maka penggunaan air mereka dan salat dengan pakaian mereka hukumnya boleh.
Kedua: Golongan dari mereka yang tidak meyakini keharusan menghindari najis dan tidak menganggap penggunaan najis sebagai bentuk ibadah, seperti dahriyyah dan zanādiqah. Maka boleh menggunakan air mereka dan salat dengan pakaian mereka, karena hukum asalnya adalah suci. Namun kami memakruhkannya karena khawatir adanya najis.
Ketiga: Golongan yang tidak menghindari najis dan meyakini bahwa menggunakan najis adalah ibadah, seperti kaum barāhima dari India, dan sebagian kaum Majusi yang meyakini penggunaan air kencing sebagai bentuk pendekatan diri (ibadah). Maka penggunaan air mereka tetap boleh, meskipun hukumnya makruh.
Adapun salat dengan pakaian mereka, maka boleh dilakukan selama pakaian itu tidak terlalu sering mereka pakai, seperti baru dipakai hari ini atau sebagian dari hari tersebut.
وَأَمَّا مَا كَثُرَ لِبَاسُهُمْ لَهَا حَتَّى طَالَ زَمَانُهُمْ فِيهَا، فَفِي جَوَازِ الصَّلَاةِ فِيهَا وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، لَا يَجُوزُ الصَّلَاةُ فِيهَا، وَمَنْ صَلَّى فِيهَا فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، لِأَنَّ الْغَالِبَ فِيهَا حُلُولُ النَّجَاسَةِ كَالْمُسْلِمِ الَّذِي لَا يَخْلُو لِبَاسُهُ إِذَا طَالَ عَلَيْهِ مِنْ حُلُولِ الْمَاءِ فِيهِ، لِأَنَّهُ يَسْتَعْمِلُهُ عِبَادَةً فَلَمْ يَنْفَكَّ مِنْهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّ الصَّلَاةَ فِيهَا جَائِزَةٌ وَإِنْ كُرِهَتْ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا الطَّهَارَةُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْكُمَ نَجَاسَتَهَا بِالشَّكِّ، وَأَشَدُّ مَا يُكْرَهُ مِنْ ثِيَابِ مَنْ لَا يَجْتَنِبُ الْأَنْجَاسَ الْمَيَارِزَ وَالسَّرَاوِيلَاتِ
Adapun pakaian yang telah sering mereka pakai hingga dalam waktu yang lama, maka dalam kebolehan salat dengannya terdapat dua pendapat:
Pertama: Yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: tidak boleh salat dengannya, dan siapa yang salat dengannya maka wajib mengulang, karena umumnya pakaian itu telah terkena najis, seperti halnya seorang Muslim yang tidak lepas dari terkena air jika pakaian telah lama dipakai, sebab ia menggunakannya untuk ibadah, maka tidak terpisahkan darinya.
Kedua: Yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah: salat dengannya boleh meskipun makruh, karena hukum asalnya adalah suci, maka tidak boleh dihukumi najis hanya dengan keraguan. Dan pakaian yang paling makruh dari pakaian orang yang tidak menghindari najis adalah mayāriz dan sarāwīlāt.
فَأَمَّا أَوَانِي الْمُشْرِكِينَ، فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ لَا يَرَى أَكْلَ لَحْمِ الْخِنْزِيرِ جَازَ اسْتِعْمَالُ أَوَانِيهِمْ، وَمَنْ كَانَ يَرَى أَكْلَهُ فَفِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهَا إِذَا طَالَ اسْتِعْمَالُهُمْ لَهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ نَجَاسَتُهَا، وَقَدْ رَوَى أَبُو قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقُلْتُ: إِنَّا بِأَرْضِ أَهْلِ الْكِتَابِ، وَأَنَا مُحْتَاجٌ إِلَى آنِيَتِهِمْ، فَقَالَ: فَارْحَضُوهَا بِالْمَاءِ ثُمَّ اطْبُخُوا فِيهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ اسْتِعْمَالَهَا جَائِزٌ، وَإِنْ كُرِهَتِ اعْتِبَارًا بِالْأَصْلِ فِي طَهَارَتِهَا، وَإِسْقَاطُهَا بِحُكْمِ الشَّكِّ فِي نَجَاسَتِهَا غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Adapun bejana orang-orang musyrik, maka barang siapa dari mereka yang tidak meyakini kehalalan memakan daging babi, maka boleh menggunakan bejana mereka. Dan barang siapa yang meyakini kehalalannya, maka dalam kebolehan menggunakan bejana mereka — jika mereka telah lama menggunakannya — terdapat dua pendapat:
Pertama: Yaitu pendapat Abū Isḥāq: tidak boleh, karena secara lahiriah bejana tersebut najis. Dan telah meriwayatkan Abū Qilābah dari Abū Tsa‘labah al-Khusyanī, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, aku berkata: Sesungguhnya kami berada di negeri Ahli Kitab dan aku membutuhkan bejana mereka.” Maka beliau bersabda: “Basuhlah dengan air, lalu masaklah di dalamnya.”
Kedua: Yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah: bahwa penggunaannya boleh, meskipun makruh, dengan pertimbangan bahwa hukum asalnya adalah suci, dan tidak disukai menggugurkan kesuciannya hanya karena keraguan terhadap kenajisannya.
Wallāhu a‘lam.
قال الشافعي رحمه الله: ” وأجب السِّوَاكَ لِلصَّلَوَاتِ، وَعِنْدَ كُلِّ حَالٍ تَغَيَّرَ فِيهَا الفم للاستيقاظ من النوم والأدم وَكُلِّ مَا يُغَيِّرُ الْفَمَ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ “.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ كَانَ وَاجِبًا لَأَمَرَهُمْ بِهِ شَقَّ أَوْ لَمْ يشق.
Bab Siwak
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Aku menganjurkan siwak untuk salat-salat, dan pada setiap keadaan yang menyebabkan mulut berubah (baunya), seperti bangun tidur, makan makanan, dan segala hal yang mengubah kondisi mulut. Karena Rasulullah SAW bersabda: ‘Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak salat.’”
Al-Syāfi‘ī berkata: “Seandainya siwak itu wajib, niscaya beliau akan memerintahkan mereka melakukannya baik memberatkan atau tidak.”
قال الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، السِّوَاكُ عِنْدَنَا سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ، وَفَضِيلَةٌ حَسَنَةٌ، لِمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنِ ابْنِ أَبِي عَتِيقٍ عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ.
وَرُوِيَ مَثْرَاةٌ لِلْمَالِ، مَنْمَاةٌ لِلْوَلَدِ
Al-Māwardī berkata: “Dan ini benar. Siwak menurut kami adalah sunnah yang dianjurkan dan keutamaan yang baik, berdasarkan riwayat al-Syāfi‘ī dari Sufyān bin ‘Uyainah, dari Muḥammad bin Isḥāq, dari Ibn Abī ‘Atīq, dari ‘Āisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Siwak adalah penyuci bagi mulut dan mendatangkan keridaan Rabb.’”
Dan diriwayatkan pula: “Menambah keberkahan harta, dan menumbuhkan anak.”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” طَهِّرُوا أَفْوَاهَكُمْ بِالسِّوَاكِ، فَإِنَّهَا مَسَالِكُ القرآن “. وروي أن الناس استبطئوا الْوَحْيَ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: وَكَيْفَ لَا يُبْطِئُ وَأَنْتُمْ لَا تُسَوِّكُونَ أَفْوَاهَكُمْ، وَلَا تُقَلِّمُونَ أَظْفَارَكُمْ، وَلَا تَنْقَعُونَ بَرَاجِمَكُمْ
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Sucikanlah mulut kalian dengan siwak, karena sesungguhnya ia adalah jalan-jalan (keluar-masuk) al-Qur’an.”
Dan diriwayatkan bahwa ketika wahyu terlambat turun, orang-orang pun merasa heran, maka Nabi SAW bersabda: “Bagaimana mungkin wahyu tidak terlambat, sedangkan kalian tidak membersihkan mulut dengan siwak, tidak memotong kuku, dan tidak membersihkan lipatan-lipatan jari kalian?”
وَرَوَى الزُّبَيْرُ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ،، وَالْمَضْمَضَةُ، وَالِاسْتِنْشَاقُ، وَقَصُّ الْأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِفَاضُ الْمَاءِ، يَعْنِي: ” الاستنجاء “.
Dan al-Zubair meriwayatkan dari ‘Āisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Sepuluh perkara termasuk fitrah: memotong kumis, memelihara janggut, bersiwak, berkumur, menghirup air ke hidung (istinsyāq), memotong kuku, mencuci lipatan-lipatan jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan mengguyur air (yaitu: istinjā’).”
فَإِذَا ثَبَتَ بِمَا ذَكَرْنَا أَنَّ السِّوَاكَ مَأْمُورٌ بِهِ، فَهُوَ سُنَّةٌ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: السِّوَاكُ وَاجِبٌ، لَكِنْ لَا يَقْدَحُ تركه في صحة الصلاة.
Maka apabila telah tetap dengan apa yang kami sebutkan bahwa siwak itu diperintahkan, maka ia adalah sunnah, bukan wajib.
Adapun Dāwud bin ‘Alī berpendapat bahwa siwak itu wajib, namun meninggalkannya tidak membatalkan keabsahan salat.
وقال إسحاق بن رَاهْوَيْهِ السِّوَاكُ وَاجِبٌ، فَإِنْ تَرَكَهُ عَامِدًا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ، وَإِنْ تَرَكَهُ نَاسِيًا لَمْ تَبْطُلْ، وَاسْتَدَلَّا جَمِيعًا عَلَى وُجُوبِهِ بِمَا رُوِيَ أَنَّ قَوْمًا دَخَلُوا عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَأَى فِي أَسْنَانِهِمْ صُفْرَةً، فَقَالَ؛ مَا لِي أَرَاكُمْ تَدْخُلُونَ عَلَيَّ قُلْحًا اسْتَاكُوا. وَهَذَا أَمْرٌ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ، وَالْقَلَحُ فِي الْأَسْنَانِ: الصُّفْرَةُ.
Dan Isḥāq bin Rāhawayh berkata: “Siwak itu wajib. Jika seseorang meninggalkannya dengan sengaja, batal salatnya. Namun jika ia meninggalkannya karena lupa, salatnya tidak batal.”
Keduanya (Dāwud dan Isḥāq) berdalil atas kewajibannya dengan riwayat bahwa suatu kaum masuk menemui Nabi SAW, lalu beliau melihat ada warna kekuningan pada gigi-gigi mereka, maka beliau bersabda: ‘Kenapa aku melihat kalian masuk menemuiku dalam keadaan gigi penuh kekuningan? Bersiwaklah kalian!’
Ini adalah perintah yang menunjukkan kewajiban. Adapun qalḥ pada gigi adalah warna kekuningan.
وَرَوَى سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الْحُوَيْرِثِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالسِّوَاكِ حَتَى خَشِيتُ أَنْ يَدْرِدَنِي “. أَيْ: تَتَنَاثَرُ أَسْنَانِي، فَأَصِيرُ أَدْرَدَ مِنْ كَثْرَةِ السِّوَاكِ، وَمِنْ قَوْلِ الشاعر:
(أخذت بالجمة رأسا ارعوا … وَبِالثَّنَايَا الْوَاضِحَاتِ الدَرْدَرَا)
Dan Sufyān meriwayatkan dari Abū al-Ḥuwairith, dari Nāfi‘, dari Ibn Jubayr, dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku tentang siwak, hingga aku khawatir gigi-gigiku akan rontok.”
Yakni: gigi-gigiku akan tanggal satu per satu, lalu aku menjadi ompong karena terlalu sering bersiwak.
Sebagaimana dalam bait syair:
“Aku memegang rambut panjang di kepala orang yang penurut … dan dengan gigi-gigi depan yang putih bersinar, tetapi sudah ompong.”
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بتأخير الْعِشَاءِ، وَبِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِ صَلَاةٍ “. وَفِيهِ دَلِيلَانِ.
أَحَدُهُمَا: مَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ، أَنَّهُ لَوْ كَانَ وَاجِبًا، لَأَمَرَهُمْ بِهِ، شَقَّ أَوْ لَمْ يَشُقَّ.
وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ: ” لَأَمَرْتُهُمْ ” بِهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَأْمُرْهُمْ بِهِ، وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالسِّوَاكِ حَتَّى خَشِيتُ أَنْ يَفْرِضَهُ “. فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لم يفرض، وروى عن النبي عليه السلام أَنَّهُ قَالَ: ” كُتِبَ الْوِتْرُ عَلَيَّ وَلَمْ يُكْتَبْ عليكم، وكتب الأضحى علي ولم يكتب عليكم وكتب السواك علي وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ ” وَهَذَا نَصٌّ
Dan dalil bahwa siwak bukanlah wajib adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Syāfi‘ī dari Sufyān, dari Abī al-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan perintahkan mereka untuk mengakhirkan salat ‘Isyā’ dan bersiwak setiap kali hendak salat.”
Dalam hadis ini terdapat dua dalil:
Pertama: Apa yang disebutkan oleh al-Syāfi‘ī, bahwa seandainya siwak itu wajib, niscaya beliau akan memerintahkan umatnya melakukannya, baik memberatkan atau tidak.
Kedua: Ucapan beliau “niscaya aku akan perintahkan mereka” menunjukkan bahwa beliau tidak memerintahkan hal itu (secara wajib).
Dan diriwayatkan pula dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku tentang siwak hingga aku khawatir siwak itu akan diwajibkan.”
Maka ini menunjukkan bahwa siwak tidak diwajibkan.
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Telah diwajibkan kepadaku salat witir dan tidak diwajibkan atas kalian; telah diwajibkan kepadaku salat Idul Adha dan tidak diwajibkan atas kalian; telah diwajibkan kepadaku siwak dan tidak diwajibkan atas kalian.”
Dan ini adalah nash.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: اسْتَاكُوا فَهُوَ أَنَّهُ أَمَرَ بِهِ لِإِزَالَةِ الْقَلَحِ، وَإِزَالَةُ الْقَلَحِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَكَذَلِكَ السِّوَاكُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَأَمَّا الْخَبَرُ الْآخَرُ، فَقَدْ بَيَّنَهُ ” حَتَّى خَشِيتُ أَنْ يفرضه “. فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، فَهُوَ مُسْتَحَبٌّ فِي خَمْسَةِ أَحْوَالٍ:
Adapun jawaban terhadap istidlāl mereka dengan sabda beliau SAW: “Istawkū”, maka sesungguhnya beliau memerintahkannya untuk menghilangkan qalaḥ, dan menghilangkan qalaḥ tidaklah wajib, begitu pula bersiwak tidaklah wajib. Adapun hadis yang lain, maka telah dijelaskan: “hingga aku khawatir akan diwajibkan.” Maka apabila telah tetap bahwa ia tidak wajib, maka hukumnya mustahabb pada lima keadaan:
أَحَدُهَا: عِنْدَ الْقِيَامِ مِنَ النوم، لرواية أبي وائل عن حذيفة ابن الْيَمَانِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان إذا قام من الليل، شوص فَاهُ بِالسِّوَاكِ.
وَقَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: الشَّوْصُ الْغَسْلُ. والموص مِثْلُهُ، وَأَنْشَدَ لِامْرِئِ الْقَيْسِ:
(بِأَسْوَدَ مُلْتَفِّ الْغَدَائِرِ وارد … وذي أشر تسوفه وتشوص)
Pertama: ketika bangun dari tidur, berdasarkan riwayat Abū Wā’il dari Ḥuẓaifah ibn al-Yamān, bahwa Rasulullah SAW apabila bangun dari malam, beliau menyikat mulutnya dengan siwak.
Abū ʿUbaid berkata: asy-syauṣ adalah mencuci. Al-mawṣ juga semakna dengannya. Dan ia mengutip syair Imru’ al-Qais:
(Bi-aswada multaffi al-ghadā’iri wāridin … wa dhī ashrin tusawwifuhu wa tusyawwiṣu).
والحالة الثَّانِيَةُ: عِنْدَ الْوُضُوءِ لِلصَّلَاةِ، لِرِوَايَةِ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان يوضع له وضوءه وسواكه
Dan keadaan kedua: ketika berwudu untuk salat, berdasarkan riwayat Saʿd bin Hisyām dari ʿĀisyah, bahwa Rasulullah SAW disiapkan untuk beliau air wudu dan siwaknya.
والحالة الثَّالِثَةُ: عِنْدَ الْقِيَامِ إِلَى الصَّلَاةِ، لِرِوَايَةِ عَبْدِ الله بن حنظلة بن أبي عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ بِالْوُضُوءِ لِكُلِّ صَلَاةٍ، طَاهِرًا كَانَ أَوْ غَيْرَ طَاهِرٍ، فَلَمَّا شَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ، أَمَرَ بالسواك لكل صلاة.
Dan keadaan ketiga: ketika berdiri untuk salat, berdasarkan riwayat ʿAbdullāh bin Ḥanẓalah bin Abī ʿĀmir, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan berwudu untuk setiap salat, baik dalam keadaan suci maupun tidak suci. Maka ketika hal itu memberatkan beliau, beliau memerintahkan bersiwak untuk setiap salat.
والحالة الرابعة: عند قراءة القرآن، لقوله عليه السلام: ” السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَبِّ “. وَالْفَمُ قَدْ يَتَغَيَّرُ فِي أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ: إِمَّا عِنْدَ كَثْرَةِ الْكَلَامِ، وَإِمَّا بِطُولِ السُّكُوتِ، وَإِمَّا بِشِدَّةِ الْجُوعِ، وَإِمَّا لِأَكْلِ مَا يُغَيِّرُ الْفَمَ مِنَ الْأَشْيَاءِ الْمُرِيحَةِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَالِاسْتِيقَاظُ مِنَ النَّوْمِ، وَالْأَزْمُ، وَفِي الْأَزْمِ تَأْوِيلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الْجُوعُ، وَمِنْهُ مَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلَ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ، وَكَانَ طبيب العرق فَقَالَ: مَا أَلَذُّ؟ فَقَالَ: الْأَكْلُ، فَقَالَ: وَمَا الدَّوَاءُ؟ قَالَ: الْأَزْمُ. يَعْنِي الْجُوعَ وَالِاحْتِمَاءَ. وَقَالَ كَعْبُ بْنُ زُهَيْرٍ:
(الْمُطْعِمُونَ إِذَا مَا أَزْمَةٌ … وَالطَّيِّبُونَ ثِيَابًا كُلَّمَا عَرِقُوا)
وَالثَّانِي: أَنَّهُ السُّكُوتُ، وهو في اللغة: الإمساك، فتارة يقربه عَنِ الْجُوعِ، لِأَنَّهُ إِمْسَاكٌ عَنِ الْأَكْلِ، وَتَارَةً يُعَبِّرُ بِهِ عَنِ السُّكُوتِ، لِأَنَّهُ إِمْسَاكٌ عَنِ الكلام
Dan keadaan keempat: ketika membaca al-Qur’an, berdasarkan sabda beliau SAW: “Siwak itu pensuci mulut, dan mendatangkan keridaan Rabb.”
Mulut bisa berubah (baunya) dalam empat keadaan: karena banyak bicara, karena lama diam, karena sangat lapar, atau karena memakan sesuatu yang mengubah bau mulut dari hal-hal yang berbau tidak sedap.
Imam al-Syafi’i berkata: dan (di antaranya) adalah bangun dari tidur, dan al-azm. Dalam al-azm terdapat dua tafsiran: pertama, bahwa ia adalah rasa lapar, dan darinya riwayat bahwa ʿUmar bin al-Khaṭṭāb RA bertanya kepada al-Ḥārith bin Kaladah, seorang tabib Arab, “Apa yang paling lezat?” Ia menjawab, “Makan.” Lalu ia bertanya, “Apa obat?” Ia menjawab, “Al-azm,” yakni lapar dan menjaga diri (dari makanan). Dan Kaʿb bin Zuhair berkata:
(Al-muṭʿimūna idzā mā azmatin … waṭ-ṭayyibūna ṯiyāban kullamā ʿariqū)
Dan tafsiran kedua: bahwa ia adalah diam. Dalam bahasa, ia berarti menahan diri. Terkadang maknanya dekat dengan lapar, karena merupakan penahanan dari makan, dan terkadang bermakna diam, karena merupakan penahanan dari bicara.
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا، فَقَدْ قَالَ الْخَلِيلُ بْنُ أَحْمَدَ: السِّوَاكُ مَأْخُوذٌ مِنَ الِاضْطِرَابِ وَالتَّحَرُّكِ، مِنْ قَوْلِهِمْ: تَسَاوَكَتِ الْإِبِلُ، إِذَا اضْطَرَبَتْ أَعْنَاقُهَا مِنَ الْهُزَالِ، وَأَنْشَدَ قَوْلَ الشَّاعِرِ
(إِلَى اللَّهِ أشكوا مَا أَرَى بِجِيَادِنَا … تَسَاوَكُ هَزْلَى مُخُّهُنَّ قَلِيلُ)
Maka apabila telah tetap apa yang kami jelaskan, sungguh al-Khalīl bin Aḥmad berkata: as-siwāk diambil dari makna gerakan dan kegoncangan, dari ucapan mereka: tasāwakat al-ibil, apabila leher-leher unta berguncang karena kurus, dan ia mengutip syair penyair:
(Ilā Allāhi asykū mā arā bijiyādinā … tasāwaku hazlā mukhhunna qalīlu).
وَالْكَلَامُ فِي السِّوَاكِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: فِي صِفَةِ السِّوَاكِ. وَالثَّانِي: مَا يُسْتَحَبُّ بِهِ السِّوَاكُ
Dan pembahasan tentang siwak mencakup dua PASAL:
pertama: tentang sifat siwak,
dan kedua: tentang hal-hal yang disunahkan bersiwak karenanya.
فَأَمَّا صِفَةُ السِّوَاكِ، فَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَسْتَاكَ عرضا في ظاهر الأسنان. وباطنها، ويمر السوك على أطراف أسنانه، وكراسي أضراسه، ليجلوا جَمِيعًا مِنَ الصُّفْرَةِ، وَالتَّغَيُّرِ، وَمَمَرُّهُ عَلَى سَقْفِ حَلْقِهِ إِمْرَارًا خَفِيفًا لِيَزُولَ الْخُلُوفُ عَنْهُ، فَقَدْ كان النبي عليه السلام يشوص فاه بِالسِّوَاكِ، وَيَكْرَهُ أَنْ يَسْتَاكَ طُولًا مِنْ أَطْرَافِ أَسْنَانِهِ إِلَى عَمُودِهِ، لِمَا فِيهِ مِنْ إِدْمَاءِ اللثة، وفساد الْعَمُودِ، وَكَذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اسْتَاكُوا عَرْضًا وَادَّهِنُوا غِبًّا وَاكْتَحِلُوا وِتْرًا “. وَإِنَّمَا اخْتَارَهُ أَنْ يَدَّهِنَ غِبًّا، وَلَا يَدَّهِنُ فِي كُلِّ يَوْمٍ، لِمَا فِيهِ مِنْ دَرَنِ الثَّوْبِ، وَتَنْمِيسِ الشَّعْرِ، وَكَذَلِكَ نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ كَثْرَةِ الْأَدْفَاهِ، قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: هُوَ كَثْرَةُ التَّدْهِينِ، وَإِنَّمَا يُرَادُ الدُّهْنُ لِتَحْسِينِ الْبَشَرَةِ، وَإِذْهَابِ النَّوْسِ.
Adapun sifat siwak, disunahkan bersiwak secara melintang pada bagian luar gigi dan bagian dalamnya, serta menggosokkan siwak pada ujung-ujung gigi dan pangkal geraham, agar membersihkan semuanya dari kuning dan perubahan (bau), dan juga menggosokkan pada langit-langit mulut dengan gosokan ringan agar hilang bau mulut darinya. Nabi SAW dahulu menyikat mulutnya dengan siwak.
Dimakruhkan bersiwak secara memanjang dari ujung gigi ke pangkalnya, karena hal itu dapat menyebabkan gusi berdarah dan merusak akar gigi. Demikian pula Nabi SAW bersabda: “Bersiwaklah secara melintang, berilah minyak rambut selang-seling hari, dan bercelaklah dengan bilangan ganjil.”
Beliau memilih memakai minyak rambut secara selang-seling hari dan tidak setiap hari, karena (kalau terlalu sering) dapat mengotori pakaian dan menipiskan rambut. Demikian pula Nabi SAW melarang banyak memakai adfāh. Abū ʿUbaid berkata: yang dimaksud adalah terlalu sering memakai minyak. Minyak hanya digunakan untuk memperindah kulit dan menghilangkan ketombe.
وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” ادَّهِنُوا يَذْهَبِ النَّوْسُ عَنْكُمْ وَالْبَسُوا تَظْهَرْ نِعْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ، وَأَحْسِنُوا إِلَى مَمَالِيكِكُمْ، فَإِنَّهُ أَكْبَتُ لِعَدُوِّكُمْ، وَأَدْفَعُ لِنَقْمَةِ اللَّهِ عَنْكُمْ “، فَأَمَّا مَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يُسْتَاكَ بِهِ، فَهُوَ الْأَرَاكُ، لِرِوَايَةِ أَبِي خَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَسْتَاكُ بِالْأَرَاكِ، فَإِنْ تَعَذَّرَ الْأَرَاكُ، اسْتَاكَ بِعَرَاجِينِ النَّخْلِ، فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ، اسْتَاكَ بِمَا وَجَدَهُ، وَيَخْتَارُ أَنْ يَكُونَ الْعُودُ الَّذِي يَسْتَاكُ بِهِ نَدِيًّا، وَلَا يَكُونَ يَابِسًا فَيَجْرَحَ، وَلَا رطبا فلا تبقى، فَلَوْ لَفَّ عَلَى أُصْبُعِهِ خِرْقَةً خَشِنَةً، وَأَمَرَّهَا عَلَى أَسْنَانِهِ حَتَّى زَالَ الصُّفْرَةَ وَالْخُلُوفَ، فَقَدْ أَتَى بِسُنَّةِ السِّوَاكِ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ؛ لِأَنَّهُ يقول مقام العود في الانقاء
Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Gunakanlah minyak rambut, niscaya akan hilang ketombe dari kalian, dan pakailah pakaian (yang layak), agar nikmat Allah tampak atas kalian, dan berbuat baiklah kepada budak-budak kalian, karena hal itu lebih merendahkan musuh kalian dan lebih menolak murka Allah dari kalian.”
Adapun benda yang disunahkan untuk bersiwak dengannya adalah al-arāk, berdasarkan riwayat Abū Khayrah bahwa Rasulullah SAW bersiwak dengan al-arāk. Jika tidak didapati al-arāk, maka bersiwaklah dengan pelepah kurma. Jika itu pun tidak ada, maka bersiwaklah dengan apa pun yang ia temukan.
Dan disukai agar batang yang digunakan bersiwak itu basah, tidak kering yang bisa melukai, dan tidak pula terlalu basah hingga mudah hancur. Jika seseorang melilitkan kain kasar pada jarinya, lalu menggosokkannya ke giginya hingga hilang kuning dan bau mulut, maka ia telah melaksanakan sunnah siwak. Hal ini dinyatakan oleh Imam al-Syafi’i, karena menurut beliau, benda tersebut bisa menggantikan fungsi kayu siwak dalam membersihkan.
فأما خلال أَسْنَانَهُ بِالْحَدِيدِ، أَوْ بَرَدَهَا بِالْمِبْرَدِ، فَمَكْرُوهٌ لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُذِيبُ الْأَسْنَانَ وَيُفْضِي إِلَى انْكِسَارِهَا. والثاني: أنها تخشن فتراكب الصُّفْرَةُ وَالْخُلُوفُ فِيهَا، وَلِذَلِكَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ، وَهِيَ: الَّتِي تُبَرِّدُ أَسْنَانَهَا بِالْمِبْرَدِ، فَأَمَّا الصَّائِمُ، فَلَا يَأْمَنُ أَنْ يَسْتَاكَ غَدْوَةً، وَيُكْرَهَ لَهُ أَنْ يَسْتَاكَ عَشِيًّا عَلَى مَا نذكره في كتاب الصيام، لقوله عليه السلام: لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ، فَإِنِ اسْتَاكَ عَشِيًّا لَمْ يَفْسُدْ صَوْمُهُ وَإِنْ أَسَاءَ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Adapun membersihkan sela-sela gigi dengan besi, atau mengikirnya dengan mibraad, maka hukumnya makruh karena dua hal:
Pertama: karena dapat mengikis gigi dan menyebabkan kerusakannya.
Kedua: karena membuat permukaan gigi menjadi kasar, sehingga warna kuning dan bau mulut mudah menempel padanya. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW melaknat al-wāsyirah dan al-mustawsyirah, yaitu perempuan yang mengikir giginya dengan mibraad.
Adapun orang yang berpuasa, maka tidak aman jika bersiwak pada waktu pagi, dan dimakruhkan baginya bersiwak pada waktu sore, sebagaimana akan disebutkan dalam Kitāb al-Ṣiyām, berdasarkan sabda beliau SAW: “Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misk.”
Namun jika ia tetap bersiwak pada waktu sore, maka puasanya tidak rusak, meskipun ia telah melakukan hal yang kurang baik – dan Allah lebih mengetahui.
قال الشافعي رضي الله عنه: وَلَا يُجْزِئُ طَهَارَةٌ مِنْ غُسْلٍ وَلَا وُضُوءَ إِلَّا بِنِيَّةٍ وَاحْتَجَّ عَلَى مَنْ أَجَازَ الْوُضُوءَ بِغَيْرِ نِيَّةٍ بِقَوْلِهِ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَلَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ إِلَّا بِنِيَّةٍ وَهُمَا طَهَارَتَانِ فَكَيْفَ يفترقان.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الطَّهَارَةُ ضَرْبَانِ مِنْ نَجَسٍ وَحَدَثٍ.
فَأَمَّا طَهَارَةُ النَّجَسِ فَلَا تَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ إِجْمَاعًا لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِزَالَةَ النَّجَاسَةِ إِنَّمَا هُوَ تَعَبُّدُ مُفَارَقَةٍ وَتَرْكٍ، وَالتُّرُوكُ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ كَسَائِرِ مَا أُمِرَ بِاجْتِنَابِهِ فِي عِبَادَاتِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا طَهَّرَ ما أصبته النَّجَاسَةُ مِنَ الْأَرْضِ وَالثَّوْبِ بِمُرُورِ السَّيْلِ عَلَيْهِ وَإِصَابَةِ الْمَاءِ لَهُ عُلِمَ أَنَّ الْقَصْدَ فِيهِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ، وَأَنَّ النِّيَّةَ فِي إِزَالَتِهِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ.
PASAL: Niat Wudu
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Tidak sah bersuci, baik mandi maupun wudu, kecuali dengan niat. Dan beliau berdalil terhadap orang yang membolehkan wudu tanpa niat dengan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya.” Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat, padahal keduanya adalah dua bentuk thaharah, maka bagaimana mungkin dibedakan?
Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa ṭahārah itu ada dua macam: dari najis dan dari ḥadats.
Adapun thaharah dari najis, maka tidak membutuhkan niat secara ijma‘ karena dua hal:
Pertama: bahwa menghilangkan najis adalah bentuk penghambaan dalam bentuk meninggalkan dan menjauhi, dan perkara-perkara yang ditinggalkan tidak membutuhkan niat, seperti seluruh larangan dalam ibadah.
Kedua: bahwa ketika najis yang mengenai tanah atau pakaian menjadi suci karena dilalui air bah atau terkena air, maka dipahami bahwa kesengajaan tidak diperhitungkan di dalamnya, dan bahwa niat dalam menghilangkan najis tidaklah wajib.
فَأَمَّا طَهَارَةُ الْحَدَثِ فَلَا تَصِحُّ إِلَّا بِنِيَّةٍ سَوَاءٌ كَانَتْ بِمَائِعٍ كَالْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ، أَوْ بِجَامِدٍ كَالتُّرَابِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، وَجُمْهُورُ أَهْلِ الْحِجَازِ. وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ، وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ الْكُوفِيُّ تَصِحُّ بِغَيْرِ نِيَّةٍ سَوَاءٌ كَانَتْ بِمَائِعٍ أَوْ جَامِدٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ: الطَّهَارَةُ بِالْمَاءِ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ وَالتَّيَمُّمُ بِالتُّرَابِ يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تعالى: {ياأيها الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [المائدة: 6] . فَأَمَرَ بِغَسْلِ هَذِهِ الْأَعْضَاءِ وَلَمْ يذكر النية.
وفي إيجابها ما يخرج الْغَسْلَ الْمَذْكُورَ فِي الْآيَةِ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ جواز الصلاة وذلك نسخ لِأَنَّهُ إِبْطَالُ حُكْمِهِ، وَفِي إِجْمَاعِ الْأُمَّةِ عَلَى أَنَّ آيَةَ الطَّهَارَةِ غَيْرُ مَنْسُوخَةٍ مَا يُوجِبُ منع الزِّيَادَةِ عَلَيْهَا، وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ كَيْفَ أَتَوَضَّأُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ: تَوَضَأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ، اغْسِلْ وَجْهَكَ وَذِرَاعَيْكَ وَامْسَحْ بِرَأْسِكَ وَاغْسِلْ رِجْلَيْكَ
Adapun ṭahārah dari ḥadats, maka tidak sah kecuali dengan niat, baik dilakukan dengan benda cair seperti wudu dan mandi, maupun dengan benda padat seperti tanah (tayammum). Pendapat ini dikatakan oleh Mālik, Aḥmad, Isḥāq, dan jumhur ahli Hijaz.
Adapun al-Awzāʿī dan al-Ḥasan bin Ṣāliḥ al-Kūfī berpendapat bahwa ṭahārah sah tanpa niat, baik dengan benda cair maupun benda padat.
Abū Ḥanīfah dan Sufyān al-Thawrī berkata: ṭahārah dengan air tidak membutuhkan niat, sedangkan tayammum dengan tanah membutuhkan niat. Mereka berdalil dengan firman Allah Taʿālā:
{Yā ayyuhalladzīna āmanū idzā qumtum ilāṣ-ṣalāti faghsilū wujūhakum} [al-Mā’idah: 6] — Maka Allah memerintahkan untuk membasuh anggota-anggota tersebut dan tidak menyebutkan niat.
Mewajibkan niat berarti mengeluarkan makna basuhan yang disebut dalam ayat dari hubungannya dengan keabsahan salat, dan ini termasuk nasakh (penghapusan), karena berarti membatalkan hukumnya. Padahal telah menjadi ijma‘ umat bahwa ayat ṭahārah ini tidak dinasakh, maka hal itu menunjukkan bahwa tidak boleh ada tambahan atasnya.
Dan berdasarkan riwayat bahwa seorang Aʿrābī berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana aku harus berwudu?” Maka beliau bersabda: “Berwudulah sebagaimana Allah perintahkan padamu: basuhlah wajahmu, kedua lenganmu, usaplah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu.”
فَأَجَابَهُ عَلَى مَا تَضَمَّنَتْهُ الْآيَةُ مِنْ غَسْلِ هَذِهِ الْأَعْضَاءِ دُونَ النِّيَّةِ.
قَالُوا: وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ بِالْمَاءِ فَوَجَبَ أَلَّا تَفْتَقِرَ إلى نية كإزالة النجاسة.
قالوا: وَلِأَنَّهُ أَصْلٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلَاةُ فَوَجَبَ أَلَّا يفتقر إلى نية كستر العورة.
قالوا: وَلِأَنَّ النِّيَّةَ لَوْ كَانَتْ مِنْ شُرُوطِ صِحَّةِ الطَّهَارَةِ لَمَا صَحَّ غُسْلُ الذِّمِّيَّةِ مِنَ الْحَيْضِ، وَلَمَا اسْتَبَاحَ الزَّوْجُ الْمُسْلِمُ وَطْأَهَا، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى صِحَّةِ غُسْلِهَا وَجَوَازِ وَطْئِهَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ النِّيَّةَ لَيْسَتْ شَرْطًا فِي صِحَّةِ طَهَارَتِهَا
Maka mereka menjawabnya berdasarkan kandungan ayat tentang membasuh anggota-anggota ini tanpa menyebut niat.
Mereka berkata: karena ini adalah ṭahārah dengan air, maka wajib tidak memerlukan niat, sebagaimana menghilangkan najis.
Mereka berkata: karena ini adalah pokok yang dibolehkan dengannya shalat, maka wajib tidak memerlukan niat, sebagaimana menutup aurat.
Mereka berkata: seandainya niat merupakan salah satu syarat sahnya ṭahārah, niscaya tidak sah mandi seorang perempuan non-Muslim dari haid, dan niscaya suaminya yang Muslim tidak boleh menyetubuhinya. Padahal ijma‘ mereka atas sahnya mandi tersebut dan bolehnya menyetubuhinya adalah dalil bahwa niat bukanlah syarat sahnya ṭahārah-nya.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ} [البينة: 5] [فَأُمِرُوا] بِالْإِخْلَاصِ فِي الْعِبَادَةِ وَالْإِخْلَاصُ عَمَلُ الْقَلْبِ
وَقَالَ تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [المائدة: 6] . وَمِنْهَا دَلِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أنَّ قَوْلَهُ: {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [المائدة: 6] . يَعْنِي: لِلصَّلَاةِ فَحُذِفَ ذِكْرُهَا اكْتِفَاءً بِمَا تَقَدَّمَ مِنْهُ كَمَا يُقَالُ: إِذَا رَأَيْتَ الْأَمِيرَ فَقُمْ يَعْنِي: لِلْأَمِيرِ. وَإِذَا رَأَيْتَ الْأَسَدَ فَتَأَهَّبْ يَعْنِي: لِلْأَسَدِ، وَمِثْلُهُ قَوْله تَعَالَى: {وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا} [المائدة: 38] . يَعْنِي: لِلسَّرِقَةِ
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {wa mā umirū illā liya‘budūllāha mukhliṣīna lahud-dīn} [al-Bayyinah: 5] – mereka diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlāṣ dalam dīn, sedangkan ikhlāṣ adalah amalan hati.
Dan firman-Nya Ta‘ālā: {idhā qumtum ilāṣ-ṣalāti faghṣilū wujūhakum} [al-Mā’idah: 6]. Dari ayat ini terdapat dua dalil:
Pertama: bahwa firman-Nya: {faghṣilū wujūhakum} [al-Mā’idah: 6] bermakna: “untuk shalat”, maka penyebutan shalat dihilangkan karena telah cukup dengan konteks sebelumnya, sebagaimana dikatakan: “Jika engkau melihat amir, berdirilah” – maksudnya: “untuk amir”, dan “Jika engkau melihat singa, bersiaplah” – maksudnya: “untuk singa”. Semisal juga firman-Nya Ta‘ālā: {was-sāriqu was-sāriqatu faqṭa‘ū aydiyahumā} [al-Mā’idah: 38], maksudnya: “karena mencuri”.
وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا} [المائدة: 6] . يَعْنِي: قَبْلَ قِيَامِكُمْ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ لِإِرَادَةِ الصَّلَاةِ.
وَمِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إبراهيم التميمي عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ عَلَى الْمِنْبَرِ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. وَالدَّلَالَةُ فِيهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَلَمْ يُرِدْ بِذَلِكَ إِثْبَاتَ وُجُودِهَا، لِأَنَّهَا قَدْ تُوجَدُ بِغَيْرِ نِيَّةٍ، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِهَا إِثْبَاتُ حُكْمِهَا.
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَكَانَ دَلِيلُ خِطَابِهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ مَا لَمْ يَنْوِهِ عَلَى أَنَّ قَوْلَهُمْ إِنَّمَا هِيَ مَوْضُوعَةٌ فِي اللُّغَةِ لِإِثْبَاتٍ مَا اتَّصَلَ بِهَا وَنَفْيِ مَا انْفَصَلَ عَنْهَا.
dan yang kedua: bahwa firman-Nya: {apabila kalian hendak melaksanakan salat maka basuhlah wajah kalian} [al-Mā’idah: 6], maksudnya: sebelum kalian berdiri untuk salat, maka basuhlah wajah kalian karena menginginkan salat.
Dan dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Syāfi‘ī dari Sufyān, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari Muḥammad bin Ibrāhīm al-Tamīmī, dari ‘Alqamah bin Waqqāṣ al-Laythī, ia berkata: aku mendengar ‘Umar bin al-Khaṭṭāb di atas mimbar menyampaikan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu kepada apa yang ia tuju.”
Dan petunjuk darinya ditinjau dari dua sisi:
pertama: sabdanya inna al-a‘mālu bi al-niyyāt, dan beliau tidak menghendaki dengan itu penetapan keberadaannya, karena bisa saja amal itu ada tanpa niat. Yang dimaksud adalah penetapan hukumnya.
dan kedua: sabdanya wa innamā li kulli imri’in mā nawa, maka mafhūm mukhālafah darinya adalah: tidak ada (baginya) apa yang tidak ia niatkan, atas dasar bahwa perkataan mereka “innamā” itu dalam bahasa digunakan untuk menetapkan sesuatu yang menyertainya dan menafikan sesuatu yang tidak menyertainya.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ قَوْلًا إِلَّا بِعَمَلٍ، وَلَا قُوَةً وَلَا عَمَلًا إِلَّا بِنِيَّةٍ.
وروي عنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَنْظُرُ إِلَى أَعْمَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى نِيَّاتِكُمْ “.
ثُمَّ الدَّلِيلُ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى أَنَّهَا طَهَارَةٌ مِنْ حَدَثٍ فَوَجَبَ أَنْ تَفْتَقِرَ إِلَى النِّيَّةِ كَالتَّيَمُّمِ، فَإِنْ قِيلَ: قِيَاسُ الْوُضُوءِ عَلَى التَّيَمُّمِ غَيْرُ جَائِزٍ، لِأَنَّ الْوُضُوءَ أَصْلٌ وَالتَّيَمُّمَ فَرْعٌ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُؤْخَذَ حُكْمُ الْأَصْلِ مِنَ الْفَرْعِ.
dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Allah tidak menerima ucapan kecuali dengan amal, dan tidak ada kekuatan serta amal kecuali dengan niat.”
Dan diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā tidak melihat kepada amal-amal kalian, tetapi Dia melihat kepada niat-niat kalian.”
Kemudian dalil secara makna adalah bahwa ia merupakan ṭahārah dari ḥadats, maka wajib ia membutuhkan niat, sebagaimana tayammum.
Jika dikatakan: qiyās wuḍū’ terhadap tayammum tidak sah, karena wuḍū’ adalah asal dan tayammum adalah cabang, dan tidak boleh hukum asal diambil dari cabangnya.
قيل: التَّيَمُّمُ بَدَلٌ مِنَ الْوُضُوءِ وَلَيْسَ بِفَرْعٍ لَهُ، لِأَنَّ فَرْعَ الْأَصْلِ مَا كَانَ حُكْمُهُ مَأْخُوذًا مِنْ ذَلِكَ الْأَصْلِ.
وَلَيْسَ حُكْمُ التَّيَمُّمِ مَأْخُوذًا مِنَ الْوُضُوءِ، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْمُبْدَلِ مَأْخُوذًا مِنْ بَدَلِهِ إِذَا كَانَ الْبَدَلُ مُجْتَمِعًا عَلَى حُكْمِهِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَرْجِعُ فِي حَالِ الْعُذْرِ إِلَى شَرْطِهَا. فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ النية شَطْرِهَا كَالصَّلَاةِ فَإِنْ مَنَعُوا أَنْ يَكُونَ الْوُضُوءُ عبادة كان نزاعا مطرحا، لِأَنَّ الْعِبَادَةَ مَا وَرَدَ التَّعَبُّدُ بِهِ قُرْبَةً لِلَّهِ، وَهَذِهِ صِفَةُ الْوُضُوءِ عَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْوُضُوءُ شَطْرُ الْإِيمَانِ ” وَمَنْ كَانَتْ هذه حالته فن الْمُحَالِ أَلَّا تَكُونَ عِبَادَةً، وَلِأَنَّ كُلَّ عَمَلٍ كَانَتِ النِّيَّةُ شَرْطًا فِي بَدَلِهِ كَانَتِ النِّيَّةُ شرطا في مبدله كالكفارت، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا افْتَقَرَ نَقْلُهُ إِلَى النِّيَّةِ افْتَقَرَ فَرْضُهُ إِلَى النِّيَّةِ كَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ.
Dikatakan: tayammum adalah pengganti dari wuḍū’ dan bukan cabang darinya, karena cabang dari asal adalah sesuatu yang hukumnya diambil dari asal tersebut.
Sementara hukum tayammum tidak diambil dari wuḍū’, dan tidaklah mustahil bahwa hukum asal diambil dari penggantinya apabila pengganti tersebut telah disepakati hukumnya.
Dan karena ia adalah ibadah yang pada saat ada uzur kembali kepada syaratnya, maka wajib bahwa niat adalah bagian darinya sebagaimana salat.
Apabila mereka menolak bahwa wuḍū’ adalah ibadah, maka penolakan ini tertolak, karena ibadah adalah sesuatu yang ditetapkan perintahnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan ini adalah sifat wuḍū’.
Terlebih lagi telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Wuḍū’ adalah separuh dari iman.” Maka siapa yang keadaannya demikian, mustahil jika tidak termasuk ibadah.
Dan karena setiap amal yang niat menjadi syarat dalam penggantinya, maka niat pun menjadi syarat dalam yang digantikannya, seperti dalam kaffārat.
Dan karena setiap hal yang pemindahannya membutuhkan niat, maka kewajibannya juga membutuhkan niat, seperti salat dan puasa.
وَبَيَانُهُ: أَنَّ أبا حنيفة أَوْجَبَ النِّيَّةَ فِي تَجْدِيدِ الْوُضُوءِ فَاقْتَضَى أَنْ تَجِبَ النِّيَّةُ فِي فَرْضِهِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْآيَةِ فَهُوَ أَنَّ وَجْهَيِ اسْتِدْلَالِنَا يَمْنَعُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ عَلَيْنَا بِهَا.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِحَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ فهو: أن في قوله: توضأ كما أمرك اللَّهُ، وَقَدْ ثَبَتَ بِمَا ذَكَرَنَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَمَرَ بِالنِّيَّةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ أَمْرَ الْأَعْرَابِيِّ مُتَضَمِّنٌ النِّيَّةَ.
Dan penjelasannya: bahwa Abū Ḥanīfah mewajibkan niat dalam memperbarui wuḍū’, maka hal itu menuntut wajibnya niat dalam wuḍū’ yang fardu.
Adapun jawaban terhadap pendalilan mereka dengan ayat adalah bahwa dua sisi pendalilan kami menghalangi untuk digunakan sebagai dalil atas kami.
Adapun jawaban terhadap pendalilan mereka dengan hadis tentang orang Arab Badui adalah: bahwa dalam sabda beliau: “Berwudu-lah sebagaimana Allah memerintahkanmu,” dan sungguh telah tetap dengan apa yang kami sebutkan bahwa Allah Ta‘ālā telah memerintahkan niat, maka hal itu menunjukkan bahwa perintah kepada orang Arab Badui itu mencakup niat.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أحدها: أن قوله طَهَارَةٌ بِالْمَاءِ لَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي الْأَصْلِ، لِأَنَّ إِزَالَةَ النَّجَاسَةِ بِالْجَامِدِ وَالْمَائِعِ سَوَاءٌ فِي سُقُوطِ النِّيَّةِ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ تَأْثِيرٌ فِي الْأَصْلِ سَقَطَ اعْتِبَارُهُ وَانْتَقَضَتِ النِّيَّةُ، بِالتَّيَمُّمِ.
والثاني: أنا نقلبه عليهم، فنقول فوجب أن يستوي الطَّهَارَةُ بِالْمَائِعِ وَالْجَامِدِ فَيَ اعْتِبَارِ النِّيَّةِ قِيَاسًا عَلَى إِزَالَةِ الْأَنْجَاسِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ إِزَالَةَ الْأَنْجَاسِ طَرِيقُهَا التَّرْكُ، وَالتُّرُوكُ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ. كَتَرْكِ الرِّبَا وَالْقَتْلِ، وَالْغَصْبِ، وَالْوُضُوءُ فِعْلٌ، وَالْفِعْلُ مِنْ شَرْطِهِ النِّيَّةُ كَالصَّلَاةِ، وَالْحَجِّ، وَالصَّوْمِ، مَخْصُوصٌ مِنْ سَائِرِ التُّرُوكِ بِإِيجَابِ النِّيَّةِ فِيهِ،، وَالْقِيَاسِ عَلَى الْجُمْلَةِ دُونَ الْمَخْصُوصِ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي النَّجَاسَةِ أَنَّهَا طَهَارَةٌ لَا تَتَعَدَّى إِلَى مَحَلِّ مُوجِبِهَا. وَالْحَدَثُ يَتَعَدَّى مَحَلَّ مُوجِبِهِ كَالتَّيَمُّمِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ، عَلَى سَتْرِ الْعَوْرَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ سَتْرَ الْعَوْرَةِ لَا يَخْتَصُّ بِالصَّلَاةِ، لِأَنَّهُ وَاجِبٌ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِ الصَّلَاةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّهَارَةُ لِاخْتِصَاصِهَا بِالصَّلَاةِ.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan menghilangkan najis, maka dari tiga sisi:
Pertama: bahwa perkataan mereka “ṭahārah dengan air” tidak berpengaruh pada asal, karena menghilangkan najis dengan benda padat maupun cair adalah sama-sama tidak membutuhkan niat. Maka apabila tidak ada pengaruhnya dalam asal, gugurlah pertimbangannya dan batallah qiyās niat dengannya, dengan keberadaan tayammum.
Kedua: kami membalik dalil tersebut atas mereka, maka kami katakan: wajib disamakan antara ṭahārah dengan cairan dan dengan benda padat dalam kewajiban niat, berdasarkan qiyās terhadap penghilangan najis.
Ketiga: bahwa menghilangkan najis jalurnya adalah meninggalkan (sesuatu), dan tark tidak membutuhkan niat, seperti meninggalkan riba, pembunuhan, dan ghaṣb, sedangkan wuḍū’ adalah perbuatan, dan perbuatan itu syaratnya adalah niat, seperti salat, haji, dan puasa — yang dikhususkan dari semua bentuk tark dengan diwajibkannya niat padanya. Maka qiyās terhadap keseluruhan tanpa memperhatikan yang dikhususkan tidak sah.
Dan bahwa makna pada najis adalah ia merupakan ṭahārah yang tidak menjalar kepada tempat penyebabnya, sedangkan ḥadats menjalar kepada tempat penyebabnya, seperti tayammum.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan menutup ‘awrah adalah dari dua sisi:
Pertama: bahwa menutup ‘awrah tidak khusus untuk salat, karena ia wajib baik dalam salat maupun di luar salat, sedangkan ṭahārah tidak demikian, karena khusus untuk salat.
وَالثَّانِي: أَنَّ سَتْرَ الْعَوْرَةِ لِلصَّلَاةِ مُقَارِنٌ لِلصَّلَاةِ مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا، فَاكْتَفَى بِنِيَّةِ الصَّلَاةِ كَاسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُ الْوُضُوءِ، لِأَنَّ فِعْلَهُ يَتَقَدَّمُ الصَّلَاةَ، وَإِنَّمَا يَسْتَصْحِبُ حُكْمَهُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يُجِزْهُ نِيَّةُ الصَّلَاةِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِطَهَارَةِ الذِّمِّيَّةِ فَهُوَ: أَنَّ طَهَارَتَهَا غَيْرُ مُجْزِئَةٍ، وَكَذَلِكَ لَزِمَهَا إِعَادَةُ الطَّهَارَةِ إِذَا أَسْلَمَتْ، وَإِنَّمَا أَجَزْنَا غَسْلَهَا فِي حَقِّ الزَّوْجِ، لِأَنَّ حَقَّ الزَّوْجِ مُضَيَّقٌ، وَفِي مَنْعِهِ مِنْ وَطْئِهَا إِلَّا بَعْدَ إِسْلَامِهَا تَفْوِيتٌ لِحَقِّهِ وَمَنْعٌ مِنْ تَزْوِيجِ أَهْلِ الذِّمَّةِ، فَصَارَتْ كَالْمَجْنُونَةِ الَّتِي يَسْتَبِيحُ زوجها وطأها إذا اغتسلت في جنوبها بِغَيْرِ نِيَّةٍ لِلضَّرُورَةِ الدَّاعِيَةِ، وَلَوْ أَفَاقَتْ لَمْ يَجُزْ وَطْؤُهَا إِذَا اغْتَسَلَتْ إِلَّا بِنْيَةٍ كَذَلِكَ الذِّمِّيَّةُ يَجُوزُ وَطْؤُهَا إِذَا اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضِهَا بِغَيْرِ نِيَّةٍ، وَلَوْ أَسْلَمَتْ لَمْ يَجُزْ وَطْؤُهَا إذا اغتسلت إلا بنية.
Dan yang kedua: bahwa menutup ‘awrah dalam salat bersamaan dengan salat dari awal hingga akhir, maka cukup dengan niat salat, seperti menghadap kiblat. Tidak demikian halnya dengan wuḍū’, karena pelaksanaannya mendahului salat, dan hanya hukum wuḍū’ yang menyertai salat, maka tidak mencukupi dengan niat salat.
Adapun jawaban terhadap pendalilan mereka dengan ṭahārah perempuan dzimmiyyah, maka: ṭahārah-nya tidak mencukupi, dan ia tetap wajib mengulang ṭahārah jika masuk Islam. Kami hanya membolehkan mandinya itu dalam hak suami, karena hak suami bersifat sempit, dan jika dilarang untuk menyetubuhinya kecuali setelah ia masuk Islam, maka hal itu menyebabkan hilangnya hak suami dan menghalangi dari menikahi perempuan dzimmiyyah.
Maka jadilah ia seperti perempuan gila yang halal digauli oleh suaminya jika ia mandi junub tanpa niat karena adanya kebutuhan mendesak. Dan jika ia sadar, maka tidak halal disetubuhi jika ia mandi tanpa niat. Demikian pula perempuan dzimmiyyah, boleh digauli jika ia mandi dari haidnya tanpa niat, namun jika ia masuk Islam maka tidak boleh digauli kecuali setelah mandi dengan niat.
فَصْلٌ
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ النِّيَّةِ فِي طَهَارَةِ الْحَدَثِ فَقَدْ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: وُضُوءٌ، وَغُسْلٌ وَتَيَمُّمٌ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي وُجُوبِ النِّيَّةِ فِي الْوُضُوءِ وَالتَّيَمُّمِ.
PASAL
Apabila telah tetap kewajiban niat dalam ṭahārah dari ḥadaṡ, maka ṭahārah itu terbagi menjadi tiga bagian: wuḍūʼ, ghusl, dan tayammum, dan telah lalu pembahasan tentang kewajiban niat dalam wuḍūʼ dan tayammum.
فَأَمَّا الْغُسْلُ فَقَدْ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: فَرْضٌ عَلَى الْأَعْيَانِ، وَفَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ، وَمَسْنُونٌ. فَأَمَّا فرض الأعيان فثلاثة:
الأول: غسل الجنابة، والثاني: وغسل الحيض، والثالث: غسل النِّفَاسِ، وَالنِّيَّةُ فِيهَا مُسْتَحَقَّةٌ لِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَتِ النِّيَّةُ فِي الطَّهَارَةِ الصُّغْرَى كَانَ وُجُوبُهَا فِي الطَّهَارَةِ الْكُبْرَى أَوْلَى.
Adapun ghusl maka terbagi menjadi tiga bagian: fardu ‘ayn, fardu kifāyah, dan sunnah. Adapun fardu ‘ayn ada tiga:
pertama: ghusl karena janābah,
kedua: ghusl karena ḥaiḍ,
ketiga: ghusl karena nifās.
Niat dalam ketiganya wajib, karena ketika niat diwajibkan dalam ṭahārah ṣughrā, maka kewajibannya dalam ṭahārah kubrā lebih utama.
فَأَمَّا الْمَسْنُونُ فَغُسْلُ الْجُمُعَةِ، وَالْعِيدَيْنِ، وَمَا يَسْتَوْفِي عَدَدَهُ فِي مَوْضِعِهِ فَالنِّيَّةُ مُسْتَحَقَّةٌ لِيَمْتَازَ بِهَا عَمَّا لَيْسَ بِعِبَادَةٍ مِنَ الْغُسْلِ، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ كَانْتِ النِّيَّةُ مُسْتَحَقَّةً فِي فَرْضِهَا كَانَتِ النِّيَّةُ مُسْتَحَقَّةً فِي نَفْلِهَا كالصلاة، والصيام.
وأما فرض الكفاية: فغسل الموتى، فالظاهر من مذهب الشافعي – رضي الله عنه – أَنَّهُ يُجْزِئُ بِغَيْرِ نِيَّةٍ لِأَنَّ الْمُزَنِيَّ نَقَلَ عَنْهُ فِي ” جَامِعِهِ الْكَبِيرِ “: أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا مَاتَ وَلَهُ زَوْجَةٌ ذِمِّيَّةٌ كَرِهَتْ أَنْ تُغَسِّلَهُ فَلَوْ غَسَّلَتْهُ أَجْزَأَ “.
Adapun yang sunnah adalah ghusl Jum’at, dua hari raya, dan yang akan disebutkan jumlahnya pada tempatnya. Maka niat padanya adalah wajib agar dapat dibedakan dari ghusl yang bukan termasuk ibadah. Dan karena setiap ibadah yang niat diwajibkan pada yang fardunya, maka niat juga diwajibkan pada yang sunnahnya, seperti ṣalāt dan ṣiyām.
Adapun fardu kifāyah adalah ghusl mayit. Pendapat yang tampak dari mazhab al-Syafi‘i RA bahwa hal itu sah tanpa niat, karena al-Muzanī meriwayatkan darinya dalam Jāmi‘ al-Kabīr: bahwa seorang Muslim apabila meninggal dan ia memiliki istri żimmīyah yang tidak menyukai untuk memandikannya, maka seandainya ia memandikannya maka sudah mencukupi.
فَلَوْ كَانَتِ النِّيَّةُ عِنْدَهُ شَرْطًا فِي جَوَازِ غُسْلِهِ لَمَا جَازَ أَنْ تُغَسِّلَهُ الذِّمِّيَّةُ، لِأَنَّ النِّيَّةَ مِنَ الذِّمِّيَّةِ لَا تَصِحُّ فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ مَذْهَبِهِ عَلَى أَنَّ النِّيَّةَ فِي غُسْلِ الْمَيِّتِ غَيْرُ مُسْتَحَقَّةٍ، وَدَلِيلُ ذَلِكَ أَنَّ فِعْلَ الطَّهَارَةِ إِذَا كَانَ مُسْتَحَقًّا فِي بَدَنِ الْغَيْرِ سَقَطَتِ النِّيَّةُ عَنْ فَاعِلِ التطهير كالزوج إِذَا اسْتَحَقَّ غُسْلَ زَوْجَتِهِ الْمَجْنُونَةِ مِنْ حَيْضِهَا لِيَسْتَبِيحَ وَطْأَهَا سَقَطَتْ عَنْهُ النِّيَّةُ فِي غُسْلِهَا.
وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى وُجُوبِ النِّيَّةِ فِي غُسْلِ الْمَيِّتِ كَوُجُوبِهَا فِي غُسْلِ الْحَيِّ، وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدِي، لِأَنَّ غُسْلَ الْأَبْدَانِ إِذَا اسْتَحَقَّ تعبد الله تَعَالَى اسْتَحَقَّتِ النِّيَّةُ فِيهِ، كَالْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ، وَلَوْ كَانَ غُسْلُ الْمَيِّتِ لَا يَسْتَحِقُّ النِّيَّةَ فِيهِ لَمَا وَجَبَ غُسْلُ الْغَرِيقِ لِوُصُولِ الْمَاءِ إِلَى جَسَدِهِ.
Seandainya niat menurutnya merupakan syarat sahnya ghusl mayit, niscaya tidak sah bagi seorang żimmīyah memandikannya, karena niat dari seorang żimmīyah tidak sah. Maka hal itu menunjukkan bahwa menurut mazhab beliau, niat dalam ghusl mayit tidaklah wajib.
Dalilnya adalah bahwa perbuatan ṭahārah apabila dilakukan pada badan orang lain, maka gugurlah kewajiban niat dari orang yang melakukannya, seperti suami yang berkewajiban memandikan istrinya yang gila dari ḥaiḍ-nya agar halal digauli, maka gugurlah kewajiban niat dalam memandikannya.
Namun sebagian dari para sahabat kami berpendapat bahwa niat dalam ghusl mayit wajib sebagaimana wajibnya niat dalam ghusl orang hidup, dan ini adalah pendapat yang benar menurutku. Karena ghusl badan apabila diniatkan sebagai bentuk ta‘abbud kepada Allah Ta‘ālā, maka niat wajib padanya, sebagaimana dalam janābah dan ḥaiḍ. Dan kalau seandainya ghusl mayit tidak mewajibkan niat, niscaya tidak diwajibkan memandikan orang yang tenggelam karena air telah sampai ke tubuhnya.
وَفِي اسْتِحْقَاقِ غُسْلِهِ بَعْدَ وُصُولِ الْمَاءِ إِلَى جَسَدِهِ، دَلِيلٌ عَلَى اسْتِحْقَاقِ النِّيَّةِ الْمَفْقُودَةِ فِي الْغُسْلِ الْأَوَّلِ، فَأَمَّا غُسْلُ الزَّوْجِ امْرَأَتَهُ الْمَجْنُونَةَ فَإِنَّمَا سَقَطَتِ النِّيَّةُ عَنْهُ، لِأَنَّ غُسْلَهَا فِي حَقِّ نَفْسِهِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ لَمْ يُرِدْ إِصَابَتَهَا لَمَا وَجَبَ غَسْلُهَا، وَلَيْسَ كذلك غسل الميت لأنه قد استحق تعبد الله جل جلاله. والله أعلم.
Dan dalam kewajiban memandikannya setelah air telah sampai ke tubuhnya terdapat dalil atas kewajiban niat yang tidak ada pada ghusl yang pertama. Adapun ghusl seorang suami terhadap istrinya yang gila, maka niat gugur darinya karena ghusl itu ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia tidak berniat menggaulinya, maka tidak wajib baginya memandikannya?
Adapun ghusl mayit tidaklah demikian, karena ia dilakukan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Jalla Jalāluh. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: وَإِنْ تَوَضَّأَ لِنَافِلَةٍ أَوْ لِقِرَاءَةِ مُصْحَفٍ أَوْ لِجَنَازَةٍ أَوْ لِسُجُودِ قُرْآنٍ أَجْزَأَهُ أَنْ يُصَلِّيَ به الفريضة “.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى أَرْبَعَةِ فُصُولٍ:
أَحَدُهَا: فِي مَحَلِّ النِّيَّةِ.
وَالثَّانِي: فِي زَمَانِ النِّيَّةِ.
وَالثَّالِثُ: فِي كَيْفِيَّةِ النِّيَّةِ.
وَالرَّابِعُ: فِيمَنْ تَصِحُّ مِنْهُ النِّيَّةُ.
Masalah
Al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang berwudu untuk nāfilah, atau untuk membaca muṣḥaf, atau untuk jenazah, atau untuk sujud tilawah, maka sah baginya untuk salat fardu dengan wudu tersebut.”
Al-Māwardī berkata: “Ini adalah pendapat yang benar.”
Pembahasan dalam masalah ini mencakup empat pasal:
pertama: tentang tempat niat,
kedua: tentang waktu niat,
ketiga: tentang cara niat,
keempat: tentang siapa yang sah niat darinya.
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ مَحَلُّ النِّيَّةِ: فَهُوَ الْقَلْبُ، لِأَنَّهَا مُشْتَقَّةٌ مِنَ الْإِنَاءِ، لِاخْتِصَاصِهَا بِإِنَاءِ أَعْضَاءِ الْجَسَدِ وَهُوَ الْقَلْبُ. فَالنِّيَّةُ اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَذِكْرٌ بِاللِّسَانِ.
وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا: النِّيَّةُ اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَذِكْرٌ بِاللِّسَانِ لِيُظْهِرَ بِلِسَانِهِ مَا اعْتَقَدَهُ بِقَلْبِهِ فَيَكُونُ عَلَى كَمَالٍ مِنْ نِيَّتِهِ وَثِقَةٍ مِنَ اعْتِقَادِهِ، وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ؛ لِأَنَّ الْقَوْلَ لَمَّا اخْتَصَّ بِاللِّسَانِ لَمْ يَلْزَمِ اعْتِقَادُهُ بِالْقَلْبِ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ إِذَا اخْتَصَّتْ بِالْقَلْبِ لَا يَلْزَمْ ذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ. فَعَلَى هَذَا لَوْ ذَكَرَ النِّيَّةَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَعْتَقِدْهَا بِقَلْبِهِ لَمْ يُجِزْهُ عَلَى المذهبين معا. فلو اعتقدها بِقَلْبِهِ وَذَكَرَهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ جَمِيعًا وَذَلِكَ أَكْمَلُ أَحْوَالِهِ.، وَلَوِ اعْتَقَدَ النِّيَّةَ بِقَلْبِهِ ولم يذكرها بلسانه أجزاء عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَلَمْ يُجْزِئْهُ عَلَى مَذْهَبِ الزُّبَيْرِيِّ.
Adapun pasal pertama, yaitu tempat niat: maka tempatnya adalah hati, karena ia diambil dari kata ina’ (wadah), disebabkan ia khusus berada pada wadah anggota badan, yaitu hati. Maka niat adalah keyakinan dengan hati dan penyebutan dengan lisan.
Abū ‘Abdillāh az-Zubairī dari kalangan sahabat kami berkata: “Niat adalah keyakinan dengan hati dan penyebutan dengan lisan, agar ia menampakkan dengan lisannya apa yang ia yakini dalam hatinya, sehingga niatnya menjadi sempurna dan keyakinannya menjadi mantap.” Namun pendapat ini tidak memiliki dasar, karena ketika ucapan itu khusus dilakukan dengan lisan, maka keyakinan hati tidaklah wajib; maka demikian pula niat, ketika ia khusus dilakukan dengan hati, maka tidak wajib menyebutkannya dengan lisan.
Atas dasar ini, seandainya seseorang mengucapkan niat dengan lisannya namun tidak meyakininya dalam hatinya, maka tidak sah menurut kedua mazhab tersebut. Namun jika ia meyakininya dalam hati dan menyebutkannya dengan lisannya, maka sah menurut kedua mazhab, dan ini adalah keadaan yang paling sempurna. Dan jika ia hanya meyakini niat dalam hatinya tanpa menyebutkannya dengan lisannya, maka itu sah menurut mazhab al-Syafi‘i, namun tidak sah menurut mazhab az-Zubairī.
فَصْلٌ
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي: وَهُوَ زَمَانُ النِّيَّةِ فَهُوَ عِنْدَ ابْتِدَاءِ الطَّهَارَةِ فَإِنْ كَانَتْ غُسْلًا فَعِنْدَ أَوَّلِ إِفَاضَةِ الْمَاءِ عَلَى جَسَدِهِ، فَإِنْ نَوَى بَعْدَ أَنْ غَسَلَ بَعْضَ جَسَدِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ لَكِنْ عَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ غَسْلَ مَا غَسَلَهُ قَبْلَ نِيَّتِهِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّهُ فِي الْغُسْلِ لَا يُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ الِابْتِدَاءُ بِمَحَلٍّ مِنْ جَسَدِهِ فَكُلُّ مَوْضِعٍ مِنْهُ فِي جَوَازِ الِابْتِدَاءِ بِغَسْلِهِ جَائِزٌ فَجَازَ أَنْ يَنْوِيَ عِنْدَ غُسْلِهِ وَلَا يَعْتَدُّ بِمَا غَسَلَهُ مِنْ قَبْلُ وَإِنْ كَانَ وُضُوءًا فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَنْوِيَ عِنْدَ غَسْلِ وَجْهٍ، لِأَنَّ الْمُسْتَحَقَّ عَلَيْهِ الِابْتِدَاءُ بِوَجْهِهِ.
PASAL
Adapun pasal kedua, yaitu waktu niat, maka waktunya adalah pada permulaan ṭahārah. Jika ṭahārah itu berupa ghusl, maka pada awal mengalirkan air ke tubuhnya. Jika ia berniat setelah membasuh sebagian tubuhnya, maka niatnya sah, tetapi ia wajib mengulang basuhan atas bagian tubuh yang telah ia basuh sebelum berniat.
Hal itu karena dalam ghusl tidak disyaratkan memulai dari bagian tubuh tertentu, maka setiap bagian tubuh adalah boleh untuk dijadikan permulaan basuhan. Maka sah ia berniat ketika membasuh bagian tersebut, dan apa yang telah ia basuh sebelumnya tidak dihitung.
Namun jika ṭahārah itu berupa wuḍūʼ, maka wajib baginya berniat ketika membasuh wajah, karena yang disyaratkan adalah memulai wuḍūʼ dengan membasuh wajah.
وَمِنْ حِكَمِ الْعِبَادَةِ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ مَنُوطَةً بِأَوَّلِهَا مَا خَلَا الصَّوْمَ الْمَخْصُوصَ بِالشَّرْعِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَهُ فِي النِّيَّةِ أربعة حوال:
أَحَدُهَا: حَالُ اسْتِحْبَابٍ.
وَالثَّانِيَةُ: حَالُ جَوَازٍ.
وَالثَّالِثَةُ: حال فساد.
والرابعة: حال اختلاف.
فأما الحالة الْأُولَى: فِي الِاسْتِحْبَابِ، فَهُوَ أَنْ يَبْتَدِئَ بِالنِّيَّةِ عِنْدَ غَسْلِ كَفَّيْهِ وَيَسْتَدِيمَهَا ذِكْرًا إِلَى غَسْلِ وَجْهِهِ، ثُمَّ عَلَيْهِ بَعْدَ الْوَجْهِ أَنْ يَسْتَدِيمَهَا حكما وليس عليه أن يستديمها ذكرا، ومعنى استدامتها ذِكْرًا: أَنْ يَكُونَ مُسْتَصْحِبًا لِذِكْرِهَا وَاعْتِقَادِهَا، فَإِنْ أَخَلَّ بِهَا نَاسِيًا أَوْ عَامِدًا لَمْ يُجِزْهُ، وَهَذَا لَازِمٌ لَهُ فِي الْوُضُوءِ إِلَى غَسْلِ الْوَجْهُ وَاسْتِدَامَتُهَا حُكْمًا أَنْ يَكُونَ مُسْتَصْحِبًا لِحُكْمِ نِيَّتِهِ فَلَا يُحْدِثُ نِيَّةً تُخَالِفُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ نِيَّتِهِ وَإِنْ أَخَلَّ بِذِكْرِهِ عَامِدًا أَوْ نَاسِيًا أَجْزَأَهُ، وَهَذَا لَازِمٌ لَهُ بَعْدَ الْوَجْهِ إِلَى فَرَاغِهِ مِنْ طَهَارَتِهِ، فَإِنِ اسْتَدَامَهَا ذكرا كان أكمله.
Dan termasuk dari hikmah ibadah adalah bahwa niat itu dikaitkan dengan permulaannya, kecuali puasa yang dikhususkan oleh syariat. Jika demikian halnya, maka dalam niat terdapat empat keadaan:
pertama: keadaan istihbāb,
kedua: keadaan kebolehan (jawāz),
ketiga: keadaan rusak (fasād),
keempat: keadaan yang diperselisihkan (ikhtilāf).
Adapun keadaan pertama, yaitu dalam istihbāb, adalah memulai niat saat membasuh kedua telapak tangan dan terus menyertakannya secara dzikir (kesadaran dan ingatan) hingga saat membasuh wajah. Setelah membasuh wajah, ia wajib menyertakannya secara hukum, dan tidak wajib menyertakannya secara dzikir.
Yang dimaksud menyertainya secara dzikir adalah bahwa ia tetap mengingat dan meyakininya. Jika ia lalai darinya baik karena lupa atau sengaja, maka tidak sah. Hal ini wajib baginya dalam wuḍūʼ hingga membasuh wajah.
Adapun menyertainya secara hukum, maksudnya adalah tetap membawa hukum niatnya, yakni tidak menghadirkan niat lain yang bertentangan dengan niat sebelumnya. Jika ia lalai dari menyertainya secara dzikir baik dengan sengaja atau lupa, maka itu tetap sah.
Hal ini wajib baginya setelah wajah sampai ia selesai dari ṭahārah-nya. Dan jika ia menyertainya dengan dzikir, maka itu adalah bentuk yang paling sempurna.
وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ: فِي الْجَوَازِ: فَهُوَ أَنْ يَبْتَدِئَ بِالنِّيَّةِ عِنْدَ غَسْلِ الْوَجْهِ فَيُجْزِئُهُ وَإِنْ أَخَلَّ بِالنِّيَّةِ فِيمَا قَبِلُ، لِأَنَّ مَا تَقَدَّمَ الْوَجْهَ فِي الْوُضُوءِ مِنْ غَسْلِ الْكَفَّيْنِ وَالْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ مَسْنُونٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَتَرْكُهُ لَا يَقْدَحُ فِي وُضُوئِهِ فَكَذَلِكَ تَرْكُ النِّيَّةِ عِنْدَهُ.
Adapun keadaan kedua, yaitu dalam kebolehan (jawāz), adalah ketika seseorang memulai niat saat membasuh wajah, maka itu mencukupi baginya, meskipun ia telah lalai dari niat pada bagian sebelumnya. Karena apa yang mendahului wajah dalam wuḍūʼ seperti membasuh kedua telapak tangan, berkumur (maḍmaḍah), dan menghirup air ke hidung (istinśyāq), hukumnya sunnah dan bukan wajib. Maka meninggalkannya tidak merusak wuḍūʼ-nya, demikian pula meninggalkan niat padanya.
لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا فَعَلَهُ ثُمَّ أَحْدَثَ النِّيَّةَ بَعْدَهُ. هَلْ يَكُونُ فَاعِلًا لِلْمَسْنُونِ مِنْهُ مُعْتَدًّا بِهِ مِنْ وُضُوئِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ فاعلا لمسنونه، ولا معتد بِهِ مِنْ وُضُوئِهِ لِخُلُوِّهِ عَنْ نِيَّةٍ قَارَنَتْهُ أَوْ تَقَدَّمَتْهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فَاعِلًا لِلسُّنَّةِ مُعْتَدًّا بِهِ مِنَ الْوُضُوءِ، لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ طَهَارَةٍ قَدْ أَتَى بِالنِّيَّةِ لَهَا فِي مَحَلِّهَا، فَلَوْ نَوَى بَعْدَ أَنْ غَسَلَ بَعْضَ وَجْهِهِ انْعَقَدَتْ نِيَّتُهُ وَلَزِمَهُ إِعَادَةُ غَسْلِ مَا كَانَ غَسَلَهُ كَالْجُنُبِ إِذَا نَوَى عِنْدَ غَسْلِ بَعْضِ جَسَدِهِ.
وَأَمَّا الْحَالُ الثَّالِثَةُ فِي الْفَسَادِ: فَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ بَعْدَ غَسْلِ الْوَجْهِ فَلَا يُجْزِئُهُ لِفَسَادِ نِيَّتِهِ بِتَأْخِيرِهَا عَنِ ابْتِدَاءِ وُضُوئِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ غَسْلَ وَجْهِهِ مُبْتَدِئًا بِالنِّيَّةِ بِهِ حَتَّى تَكُونَ النِّيَّةُ مُقَارِنَةً لِغَسْلِ الْوَجْهِ.
Namun para sahabat kami berbeda pendapat tentang seseorang yang telah melakukan sebagian amal, lalu baru menghadirkan niat setelahnya. Apakah amal yang ia lakukan itu dianggap sebagai amal sunnah yang sah dan dihitung sebagai bagian dari wuḍūʼ-nya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: tidak dianggap melakukan amal sunnah, dan tidak dihitung sebagai bagian dari wuḍūʼ-nya, karena kosong dari niat yang menyertainya atau mendahuluinya.
Kedua: dianggap telah melakukan sunnah dan dihitung sebagai bagian dari wuḍūʼ-nya, karena ia termasuk dari rangkaian ṭahārah yang niatnya telah dilakukan pada tempat yang semestinya. Maka jika ia berniat setelah membasuh sebagian wajahnya, niatnya dianggap sah, dan ia wajib mengulang basuhan terhadap bagian yang telah ia basuh sebelumnya, sebagaimana orang junub yang berniat saat membasuh sebagian tubuhnya.
Adapun keadaan ketiga, yaitu dalam kebatilan (fasād), adalah ketika seseorang berniat setelah membasuh wajah, maka wuḍūʼ-nya tidak sah karena niatnya rusak dengan mengakhirkan niat dari permulaan wuḍūʼ. Maka ia wajib mengulang basuhan wajahnya dengan memulai dari niat saat membasuhnya, agar niat itu bertepatan dengan basuhan wajah.
وَأَمَّا الْحَالُ الرَّابِعَةُ فِي اخْتِلَافِ النِّيَّةِ: فَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ قَبْلَ غَسْلِ وَجْهِهِ وَيَحِلَّ بِالنِّيَّةِ عِنْدَ غَسْلِ وَجْهِهِ فَإِنْ نَوَى قَبْلَ أَخْذِهِ فِي الْوُضُوءِ فِي غَسْلِ الْكَفَّيْنِ وَالْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ لَمْ يُجِزْهُ.
وَإِنْ نَوَى عِنْدَ غَسْلِ كَفَّيْهِ أَوْ عِنْدَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَفْصِ بْنِ الْوَكِيلِ أَنَّهُ يُجْزِئُهُ لِأَنَّ غَسْلَ الْكَفَّيْنِ شُرُوعٌ فِي الْوُضُوءِ فَصَارَتِ النِّيَّةُ مَوْجُودَةً عِنْدَ ابْتِدَائِهِ.
Adapun keadaan keempat, yaitu dalam perbedaan niat: yaitu seseorang berniat sebelum membasuh wajahnya dan menghadirkan niat tersebut saat membasuh wajahnya. Maka jika ia berniat sebelum memulai wuḍūʼ, saat membasuh kedua telapak tangan, berkumur (maḍmaḍah), dan menghirup air ke hidung (istinśāq), maka wuḍūʼ-nya tidak sah.
Namun jika ia berniat saat membasuh kedua telapak tangannya, atau saat maḍmaḍah dan istinśāq, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang kebolehan hal itu menjadi tiga pendapat:
Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Ḥafṣ ibn al-Wakīl, bahwa hal itu sah, karena membasuh kedua telapak tangan merupakan permulaan wuḍūʼ, sehingga niat tersebut dianggap hadir pada awal wuḍūʼ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ عِنْدَ غَسْلِ كَفَّيْهِ، لِأَنَّهُ غَسْلٌ لَا يُعْتَدُّ بِهِ، وَيُجْزِئُهُ عِنْدَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ، لِأَنَّهُمَا فِي الْوَجْهِ فَصَارَتِ النِّيَّةُ مَوْجُودَةً عِنْدَ أَخْذِهِ فِي تَطْهِيرِ الْوَجْهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ سَوَاءٌ نَوَى عِنْدَ غَسْلِ كَفَّيْهِ أَوْ عِنْدَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ حَتَّى يَنْوِيَ عِنْدَ غَسْلِ الْوَجْهِ، لِأَنَّ الْوُضُوءَ قَدْ يَصِحُّ بِغَيْرِ مَضْمَضَةٍ وَاسْتِنْشَاقٍ إِلَّا أَنْ يَكُونَ حِينَ تَمَضْمَضَ أَوِ اسْتَنْشَقَ أَصَابَ الْمَاءُ شَيْئًا مِنْ وَجْهِهِ فَيُجْزِئُهُ لِأَنَّهُ يَصِيرُ نَاوِيًا عِنْدَ غَسْلِ وَجْهِهِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, menyatakan bahwa niat tidak mencukupi bila dilakukan saat membasuh kedua telapak tangan, karena basuhan tersebut tidak dihitung. Namun niat mencukupi bila dilakukan saat maḍmaḍah dan istinśāq, karena keduanya termasuk bagian dari wajah, maka niat dianggap hadir ketika ia mulai menyucikan wajahnya.
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās ibn Surayj, menyatakan bahwa niat tidak mencukupi baik dilakukan saat membasuh kedua telapak tangan maupun saat maḍmaḍah dan istinśāq, sampai ia berniat saat membasuh wajah, karena wuḍūʼ bisa sah tanpa maḍmaḍah dan istinśāq. Kecuali jika saat maḍmaḍah atau istinśāq air mengenai bagian dari wajahnya, maka niatnya mencukupi, karena berarti ia berniat ketika membasuh wajahnya.
فَصْلٌ
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ وَهُوَ كَيْفِيَّةُ النِّيَّةِ: فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَنْوِيَ أَحَدَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: إِمَّا رَفْعَ الْحَدَثِ أَوِ اسْتِبَاحَةَ الصَّلَاةِ، أَوِ الطَّهَارَةَ لِفِعْلِ مَا لَا يَصِحُّ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ رَفْعَ الْحَدَثِ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مُتَوَضِّئًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُغْتَسِلًا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مُتَيَمِّمًا.
PASAL
Adapun pasal ketiga, yaitu tentang kayyfiyah (cara) niat: maka seseorang diberi pilihan antara tiga bentuk niat:
yaitu berniat untuk mengangkat ḥadaṡ,
atau untuk membolehkan ṣalāh,
atau untuk melakukan ṭahārah bagi suatu perbuatan yang tidak sah tanpa ṭahārah.
Adapun bagian pertama, yaitu berniat untuk mengangkat ḥadaṡ, maka itu memiliki tiga keadaan:
pertama: dalam keadaan berwudu,
kedua: dalam keadaan mandi (ghusl),
ketiga: dalam keadaan bertayammum.
فَإِنْ كَانَ مُتَوَضِّئًا أَجْزَأَهُ أَنْ يَنْوِيَ رَفْعَ الْحَدَثِ سَوَاءٌ عَيَّنَ الْحَدَثَ فِي نِيَّتِهِ أَوْ لَمْ يُعَيِّنْهُ نَوَى رَفْعَ جَمِيعِهَا، أَوْ رَفْعَ أَحَدِهَا، وَإِنَّمَا أَجْزَأَهُ أَنْ يَنْوِيَ رَفْعَ الْحَدَثِ، لِأَنَّ الْحَدَثَ هُوَ الْمَانِعُ مِنَ الصَّلَاةِ فَإِذَا نَوَى رَفْعَهُ زَالَ مَا كَانَ مَانِعًا مِنَ الصَّلَاةِ وَأَجْزَأَهُ.
فَلَوْ كَانَ بِهِ حَدَثَانِ حَدَثٌ مِنْ بَوْلٍ وَحَدَثٌ مِنْ نَوْمٍ فَنَوَى رَفْعَ أَحَدِهِمَا ارْتَفَعَا مَعًا لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ بَقَاءُ أَحَدِهِمَا مَعَ ارْتِفَاعِ الْآخَرِ، فَلَوْ نَوَى رَفْعَ أَحَدِهِمَا عَلَى أَلَّا يَرْفَعَ الْآخَرَ فَفِي صِحَّةِ وُضُوئِهِ وَارْتِفَاعِ حَدَثِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ وُضُوءَهُ بَاطِلٌ وَحَدَثَهُ بَاقٍ، لِأَنَّهُ لَمَّا شَرَطَ فِي نِيَّتِهِ بَقَاءَ أَحَدِ الْحَدَثَيْنِ كَانَ ذَلِكَ قَادِحًا فَفَسَدَتِ النِّيَّةُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ وُضُوءَهُ صَحِيحٌ وَحَدَثَهُ مُرْتَفِعٌ، لِأَنَّهُ لَمَّا نَوَى رَفْعَ أَحَدِ الْحَدَثَيْنِ كَانَ ذَلِكَ أَقْوَى حُكْمًا، فَبَطَلَ الشَّرْطُ، فَلَوْ كَانَ بِهِ حَدَثٌ مِنْ بَوْلٍ لَا غَيْرَ فَنَوَى رَفْعَ الْحَدَثِ مِنْ نَوْمٍ وَلْمٍ يَكُنْ قَدْ أَحْدَثَ عَنْ نَوْمٍ أَجْزَأَهُ لِأَنَّ تَغْيِيرَ النِّيَّةِ عَنِ الْحَدَثِ لَا يَلْزَمُ، وَالنَّوْمُ حُدُوثٌ فَصَارَ نَاوِيًا رَفْعَ الْحَدَثِ.
Jika ia dalam keadaan berwudu, maka cukup baginya berniat untuk mengangkat ḥadaṡ, baik ia menyebutkan jenis ḥadaṡ dalam niatnya maupun tidak, baik ia berniat mengangkat seluruh ḥadaṡ atau hanya salah satunya. Hal itu mencukupi karena ḥadaṡ adalah penghalang dari ṣalāh, maka ketika ia berniat untuk mengangkatnya, hilanglah penghalang dari ṣalāh dan itu mencukupi.
Jika seseorang terkena dua ḥadaṡ sekaligus — ḥadaṡ karena buang air kecil dan ḥadaṡ karena tidur — lalu ia berniat mengangkat salah satunya, maka keduanya terangkat bersamaan, karena tidak mungkin salah satu dari keduanya tetap ada sementara yang lainnya telah diangkat.
Namun jika ia berniat mengangkat salah satunya dengan syarat tidak mengangkat yang lainnya, maka dalam keabsahan wuḍūʼ-nya dan terangkatnya ḥadaṡ terdapat dua pendapat:
Pertama: wuḍūʼ-nya batal dan ḥadaṡ-nya tetap ada, karena ketika ia mensyaratkan dalam niatnya bahwa salah satu dari dua ḥadaṡ tetap ada, maka syarat itu merusak niat, sehingga niat menjadi rusak.
Kedua: wuḍūʼ-nya sah dan ḥadaṡ-nya terangkat, karena ketika ia berniat mengangkat salah satu dari dua ḥadaṡ, itu telah cukup kuat dari segi hukum, sehingga syaratnya batal.
Maka jika seseorang terkena ḥadaṡ karena buang air kecil dan tidak ada yang lain, lalu ia berniat mengangkat ḥadaṡ karena tidur — padahal ia tidak dalam keadaan ber-ḥadaṡ karena tidur — maka itu mencukupi, karena kesalahan dalam menentukan jenis ḥadaṡ tidak berpengaruh. Dan tidur itu termasuk jenis ḥadaṡ, maka dengan demikian ia dianggap berniat mengangkat ḥadaṡ.
وَإِنْ كَانَ مُغْتَسِلًا فَيَحْتَاجُ أَنْ يَنْوِيَ رَفْعَ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ فَلَوْ نَوَى رَفْعَ الْحَدَثِ وَلَمْ يَذْكُرْ فِي نِيَّتِهِ الْأَكْبَرَ أَجْزَأَهُ، لِأَنَّ نِيَّتَهُ تَنْصَرِفُ إِلَى حَدَثِهِ الَّذِي هُوَ فِيهِ، فَلَوْ كَانَ بِهِ حَدَثَانِ أَصْغَرُ وَأَكْبَرُ فَاغْتَسَلَ فَنَوَى رَفْعَ الْحَدَثِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ هَلْ يَسْقُطُ حُكْمُهُ بِالْحَدَثِ الْأَكْبَرِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ سَقَطَ حُكْمُهُ فَعَلَى هَذَا يُجْزِئُهُ غُسْلُهُ عَنْ حَدَثِهِ الْأَكْبَرِ.
Jika seseorang sedang mandi (mughtasil), maka ia harus berniat untuk mengangkat ḥadaṡ akbar. Jika ia berniat mengangkat ḥadaṡ tanpa menyebutkan “akbar” dalam niatnya, maka itu tetap mencukupi, karena niatnya secara otomatis tertuju kepada ḥadaṡ yang sedang ia alami.
Jika pada dirinya terdapat dua ḥadaṡ, yaitu ḥadaṡ aṣghar dan ḥadaṡ akbar, lalu ia mandi dan berniat mengangkat ḥadaṡ, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang apakah hukum ḥadaṡ aṣghar gugur bersama ḥadaṡ akbar atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: bahwa hukum ḥadaṡ aṣghar telah gugur, maka berdasarkan pendapat ini, mandinya mencukupi untuk mengangkat ḥadaṡ akbar.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَسْقُطُ حَدَثُهُ الْأَصْغَرُ فَعَلَى هَذَا لَا يُجْزِئُهُ غُسْلُهُ مِنْ وَاحِدٍ مِنَ الْحَدَثَيْنِ لِامْتِيَازِهِمَا وَإِنْ أَطْلَقَ النِّيَّةَ يُحْتَمَلُ التَّشْرِيكُ بَيْنَهُمَا، فَلَوْ عَيَّنَ النِّيَّةَ فَنَوَى غسل الْجَنَابَةِ أَوْ كَانَتِ امْرَأَةً فَنَوَتْ غُسْلَ الْحَيْضِ أَجْزَأَهُمَا ذَلِكَ فَلَوْ كَانَ جُنُبًا فَنَوَى رَفْعَ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ لَمْ يُجْزِهِ وَإِنْ كَانَ مُحْدِ فَنَوَى رَفْعَ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ أَجْزَأَهُ، لِأَنَّهُ يَصِحُّ أَنْ يُرْفَعَ الْأَدْنَى بِالْأَعْلَى، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يُرْفَعَ الْأَعْلَى بِالْأَدْنَى.
Pendapat kedua: bahwa ḥadaṡ aṣghar tidak gugur. Maka berdasarkan pendapat ini, mandinya tidak mencukupi untuk mengangkat salah satu dari dua ḥadaṡ, karena keduanya berbeda (imtizāz). Dan apabila ia melafalkan niat secara umum, maka masih mungkin terdapat unsur penyekutuan niat antara keduanya.
Namun jika ia menentukan niat secara spesifik, misalnya ia berniat mandi janābah, atau seorang wanita berniat mandi ḥaiḍ, maka itu mencukupi bagi keduanya.
Maka jika seseorang dalam keadaan junub, lalu ia berniat mengangkat ḥadaṡ aṣghar, maka tidak mencukupi. Tetapi jika ia dalam keadaan muḥdaṡ (ber-ḥadaṡ kecil), lalu ia berniat mengangkat ḥadaṡ akbar, maka itu mencukupi. Karena dibolehkan mengangkat yang lebih rendah (adnā) dengan yang lebih tinggi (a‘lā), namun tidak sah mengangkat yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah.
فَإِنْ كَانَ مُتَيَمِّمًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْوِيَ رَفْعَ الْحَدَثِ، لِأَنَّ حَدَثَهُ لَا يَرْتَفِعُ بِالتَّيَمُّمِ وَهَكَذَا الْمُسْتَحَاضَةُ، وَمَنْ بِهِ سَلَسُ الْبَوْلِ لَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَنْوُوا رَفْعَ الْحَدَثِ لِأَنَّ حَدَثَهُمْ لَا يَرْتَفِعُ.
وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْمُتَيَمِّمِ وَالْمُسْتَحَاضَةِ، وَمَنْ بِهِ سَلَسُ الْبَوْلِ أَنْ يَنْوُوا رَفْعَ الْحَدَثِ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِرَفْعِ الْحَدَثِ اسْتِبَاحَةُ الصَّلَاةِ وَهَؤُلَاءِ قَدْ يَسْتَبِيحُونَ الصَّلَاةَ بِطَهَارَتِهِمْ.
Jika seseorang bertayammum, maka tidak sah baginya berniat untuk mengangkat ḥadaṡ, karena ḥadaṡ-nya tidak terangkat dengan tayammum. Demikian pula halnya wanita yang mengalami istiḥāḍah dan orang yang terkena salas al-bawl (keluar air kencing terus-menerus), tidak sah bagi mereka berniat mengangkat ḥadaṡ, karena ḥadaṡ mereka tidak terangkat.
Namun terdapat pendapat lain dari sebagian sahabat kami bahwa boleh bagi orang yang bertayammum, wanita mustaḥāḍah, dan orang yang terkena salas al-bawl untuk berniat mengangkat ḥadaṡ, karena maksud dari mengangkat ḥadaṡ adalah untuk membolehkan ṣalāh, dan mereka itu dapat dibolehkan melaksanakan ṣalāh dengan ṭahārah mereka.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ اسْتِبَاحَةَ الصَّلَاةِ فيجزئه، لأن الحدث مانع من استباحتها فَصَارَ اسْتِبَاحَتُهَا رَفَعًا لِلْحَدَثِ، وَسَوَاءٌ كَانَ مُتَوَضِّئًا أَوْ مُغْتَسِلًا فَلَيْسَ عَلَيْهِ تَعْيِينُ الصَّلَاةِ الَّتِي يَسْتَبِيحُ فِعْلَهَا وَسَوَاءٌ نَوَى اسْتِبَاحَةَ الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا أَوْ نَوَى اسْتِبَاحَةَ صَلَاةٍ بِعَيْنِهَا سَوَاءٌ كَانَتِ الصلاة فرضا أو نفلا، لأن النقل لَا يَصِحُّ فِعْلُهُ بِالْحَدَثِ كَالْفَرْضِ.
فَأَمَّا الْمُتَيَمِّمُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَلْزَمُهُ فِي نِيَّتِهِ تَعْيِينُ الصَّلَاةِ الَّتِي يُرِيدُ أَنْ يَسْتَبِيحَهَا بِتَيَمُّمِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهُ ذَلِكَ كَالْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ.
Adapun bagian kedua, yaitu berniat untuk membolehkan ṣalāh, maka hal itu mencukupi, karena ḥadaṡ adalah penghalang untuk membolehkannya, maka membolehkannya berarti sama dengan mengangkat ḥadaṡ. Baik ia dalam keadaan berwudu ataupun mandi, tidak wajib baginya menentukan jenis ṣalāh yang ingin ia kerjakan. Sama saja apakah ia berniat membolehkan semua ṣalāh atau membolehkan satu ṣalāh tertentu, baik yang fardu maupun yang sunnah, karena ṣalāh nafl tidak sah dilakukan dalam keadaan ber-ḥadaṡ sebagaimana ṣalāh fardu.
Adapun orang yang bertayammum, maka para sahabat kami berbeda pendapat: apakah ia wajib menentukan dalam niatnya jenis ṣalāh yang ingin ia kerjakan dengan tayammum-nya atau tidak, dengan dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak wajib, sebagaimana halnya wuḍūʼ dan ghusl.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَلْزَمُهُ فِي النِّيَّةِ أَنْ يُعَيِّنَ الصَّلَاةَ الَّتِي يَتَيَمَّمُ لَهَا لِأَنَّ التَّيَمُّمَ لَمَّا لَمْ يَرْفَعِ الْحَدَثَ وَاخْتَصَّ بِأَدَاءِ فَرْضٍ وَاحِدٍ مِنْ جَمِيعِ الصَّلَوَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ صَارَ شَرْطًا فِيهَا فَيَلْزِمَهُ تَعْيِينُهَا إِلَّا أَنْ يُرِيدَ التَّيَمُّمَ لِنَافِلَةٍ فَيَجُوزُ أَلَّا يَنْوِيَ تَعْيِينَ النية لها لأن النوافل لا تتعيين.
Pendapat kedua: wajib baginya dalam niat untuk menentukan ṣalāh yang ia bertayammum untuknya, karena tayammum tidak mengangkat ḥadaṡ dan hanya berlaku untuk satu ṣalāh fardu dari seluruh ṣalawāt mafruḍah, maka ia menjadi syarat dalam pelaksanaannya. Maka wajib menentukan ṣalāh tersebut dalam niatnya.
Kecuali jika ia menghendaki tayammum untuk ṣalāh nāfilah, maka boleh baginya untuk tidak menentukan jenisnya dalam niat, karena ṣalāh nāfilah tidak membutuhkan penentuan.
فَلَوْ تَوَضَّأَ رَجُلٌ لِصَلَاةِ الظُّهْرِ جَازَ أَنْ يُصَلِّيَهَا وَمَا شَاءَ مِنَ الصَّلَوَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ وَالْمَسْنُونَاتِ مَا لَمْ يُحْدِثْ لِأَنَّ النَبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِعُمَرَ حِينَ أَذْكَرَهُ عَامَ الْفَتْحِ أَنَّهُ صَلَّى الْخَمْسَ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَمْدًا فَعَلْتَ ذَلِكَ يَا عُمَرُ. فَلَوْ تَوَضَّأَ لِصَلَاةِ الظُّهْرِ عَلَى أَلَّا يُصَلِّيَ بِهِ مَا سِوَاهَا مِنَ الصَّلَاةِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ لِأَصْحَابِنَا:
أَحَدُهَا: أَنَّ وُضُوءَهُ صَحِيحٌ وَيُصَلِّي بِهِ مَا شَاءَ مِنَ الصَّلَوَاتِ لِأَنَّ الْحَدَثَ إِذَا ارْتَفَعَ لِصَلَاةٍ ارْتَفَعَ لِجَمِيعِ الصَّلَوَاتِ.
Maka jika seseorang berwudu untuk salat ẓuhr, maka boleh baginya untuk menunaikan salat tersebut dan salat-salat lainnya, baik yang fardu maupun yang sunnah, selama ia belum ber-ḥadaṡ. Karena Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar ketika ‘Umar menyebutkan pada tahun Fathu Makkah bahwa ia melaksanakan lima salat dengan satu wudu: “Dengan sengaja engkau lakukan itu, wahai ‘Umar.”
Jika seseorang berwudu untuk salat ẓuhr dengan syarat tidak akan menggunakan wudu itu untuk salat selainnya, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat dari kalangan sahabat kami:
Pertama: bahwa wudunya sah, dan boleh ia salat dengan wudu tersebut untuk salat apapun yang ia kehendaki, karena apabila ḥadaṡ telah terangkat untuk satu salat, maka ia juga terangkat untuk seluruh salat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ وُضُوءَهُ بَاطِلٌ وَحَدَثَهُ بَاقٍ لِأَنَّ حَدَثَهُ إِذَا لم يترفع لِجَمِيعِ الصَّلَوَاتِ لَمْ يَرْتَفِعْ لِتِلْكَ الصَّلَاةِ. وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ وُضُوءَهُ يَصِحُّ وَحَدَثَهُ يَرْتَفِعُ لِتِلْكَ الصَّلَاةِ وَحْدَهَا دُونَ غَيْرِهَا لِأَنَّ الطَّهَارَةَ قَدْ تَصِحُّ أَنْ تَكُونَ لِصَلَاةٍ بِعَيْنِهَا دُونَ غَيْرِهَا كَالْمُسْتَحَاضَةِ وَالْمُتَيَمِّمِ وَالْمَاسِحِ عَلَى خُفَّيْهِ.
Pendapat kedua: bahwa wuḍūʼ-nya batal dan ḥadaṡ-nya tetap ada, karena apabila ḥadaṡ-nya tidak terangkat untuk seluruh salat, maka ia juga tidak terangkat untuk salat tertentu tersebut.
Pendapat ketiga: bahwa wuḍūʼ-nya sah dan ḥadaṡ-nya terangkat hanya untuk salat itu saja, tidak untuk selainnya. Karena ṭahārah dapat sah jika diniatkan untuk satu salat tertentu saja tanpa mencakup salat lainnya, sebagaimana halnya pada wanita mustaḥāḍah, orang yang bertayammum, dan orang yang mengusap dua khuf-nya.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ الطَّهَارَةَ لِفِعْلِ مَا لَا يَصِحُّ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ فَجُمْلَةُ الْأَعْمَالِ الَّتِي يَتَطَهَّرُ لَهَا أَنَّهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا: مَا يَجِبُ فِيهِ طَهَارَةٌ وَلَا يَصِحُّ فِعْلُهُ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ كَالطَّوَافِ، وَصَلَاةِ الْجِنَازَةِ، وَحَمْلِ المصحف وسجود السهو والسكر وَالتِّلَاوَةِ.
فَمَنْ تَوَضَّأَ أَوِ اغْتَسَلَ يَنْوِي فِعْلَ شَيْءٍ مِنْ هَذَا كُلِّهِ ارْتَفَعَ حَدَثُهُ وَصَحَّ وضوءه وَغُسْلُهُ، لِأَنَّ الْحَدَثَ لَمَّا كَانَ مَانِعًا مِنْ هَذَا كُلِّهِ كَالصَّلَاةِ صَارَ الْمُتَوَضِّئُ لَهُ كَالْمُتَوَضِّئِ لِفِعْلِ الصَّلَاةِ.
Adapun bagian ketiga: yaitu berniat melakukan ṭahārah untuk melaksanakan sesuatu yang tidak sah tanpa ṭahārah, maka seluruh amal yang disyaratkan ṭahārah padanya terbagi menjadi tiga macam:
Pertama: perkara yang diwajibkan padanya ṭahārah dan tidak sah dilakukan tanpa ṭahārah, seperti ṭawāf, salat jenazah, membawa muṣḥaf, sujud sahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah.
Maka siapa yang berwudu atau mandi dengan niat untuk melakukan salah satu dari semua hal tersebut, maka ḥadaṡ-nya terangkat dan wuḍūʼ-nya serta ghusl-nya sah. Karena ketika ḥadaṡ menjadi penghalang dari semua itu sebagaimana halnya ṣalāh, maka orang yang berwudu untuk itu sama hukumnya dengan orang yang berwudu untuk menunaikan ṣalāh.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا يَصِحُّ فِعْلُهُ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ وَلَيْسَ بِمَنْدُوبٍ فِيهِ إِلَى الطَّهَارَةِ كَالصِّيَامِ وَعُقُودِ الْمَنَاكِحِ وَالْبَيْعَاتِ وَلِقَاءِ السُّلْطَانِ وَالْخُرُوجِ إِلَى سَفَرٍ فَهَذِهِ كُلُّهَا أَعْمَالٌ تَصِحُّ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ وَلَيْسَ الْإِنْسَانُ مَنْدُوبًا فِيهَا إِلَى الطَّهَارَةِ فَإِذَا تَوَضَّأَ أَوِ اغْتَسَلَ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا كُلِّهِ فَوُضُوؤُهُ وَغُسْلُهُ بَاطِلَانِ لَا يَرْتَفِعُ بِهِمَا حَدَثٌ وَلَا يُسْتَبَاحُ بِهِمَا صَلَاةٌ لِأَنَّ الْحَدَثَ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ هَذِهِ الْأَعْمَالِ لَمْ يَكُنْ لِلطَّهَارَةِ لَهَا تَأْثِيرٌ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ وَهَكَذَا لَوْ تَوَضَّأَ لِلتَّبَرُّدِ وَالتَّنَظُّفِ فَهُوَ عَلَى حدثه ووضوء غَيْرُ مُجْزِئٍ وَلَكِنْ لَوْ تَوَضَّأَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ وَالتَّبَرُّدِ وَالتَّنَظُّفِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: أَجْزَأَهُ لِأَنَّ التَّبَرُّدَ وَالتَّنَظُّفَ قَدْ يَحْصُلُ لَهُ وَإِنْ لَمْ يَنْوِهْ.
Jenis kedua: yaitu perbuatan-perbuatan yang sah dilakukan tanpa ṭahārah dan tidak disunnahkan untuk dilakukan dalam keadaan suci, seperti puasa, akad pernikahan, transaksi jual beli, menemui penguasa, dan keluar untuk bepergian. Semua ini adalah amalan yang sah tanpa ṭahārah, dan tidak ada anjuran untuk bersuci saat melakukannya.
Maka jika seseorang berwudu atau mandi dengan niat untuk salah satu dari semua itu, maka wuḍūʼ-nya dan ghusl-nya batal, ḥadaṡ-nya tidak terangkat, dan ia tidak boleh mengerjakan salat dengan ṭahārah tersebut. Karena ketika ḥadaṡ bukanlah penghalang bagi amalan-amalan itu, maka ṭahārah untuk tujuan tersebut tidak berdampak apa-apa terhadap pengangkatan ḥadaṡ.
Demikian pula jika seseorang berwudu untuk tujuan menyegarkan diri atau membersihkan tubuh, maka ia tetap berada dalam keadaan ḥadaṡ dan wuḍūʼ-nya tidak mencukupi.
Akan tetapi, jika ia berwudu dengan niat untuk mengangkat ḥadaṡ sekaligus untuk menyegarkan diri dan membersihkan badan, maka Imam al-Syafi‘i berkata: “Itu mencukupi,” karena kesegaran dan kebersihan bisa ia peroleh meskipun tidak ia niatkan.
والضرب الثالث: ما يصح فعله طَهَارَةٍ لَكِنَّهُ مَنْدُوبٌ فِي فِعْلِهِ إِلَى الطَّهَارَةِ كَالْمُحْدِثِ إِذَا تَوَضَّأَ لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ طَاهِرًا أَوْ لِدُخُولِ الْمَسْجِدِ وَالْمُقَامِ فِيهِ أَوْ لِدِرَاسَةِ الْعِلْمِ وَأَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْ لِأَنْ يُؤَذِّنَ أَوْ يَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ أَوْ لِأَنْ يَقِفَ بِعَرَفَةَ أَوْ لِزِيَارَةِ قبر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. فَفِي صِحَّةِ وُضُوئِهِ وَارْتِفَاعِ حَدَثِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ وُضُوءَهُ صَحِيحٌ وَحَدَثَهُ مُرْتَفِعٌ، لِأَنَّهُ وَضَوْءٌ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ، فَأَشْبَهَ وُضُوءَهُ لِمَا لَا يَجُوزُ بِغَيْرِ وُضُوءٍ، وَاسْتِشْهَادًا مِنْ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: وَلَوْ تَوَضَّأَ لِنَافِلَةٍ أَوْ قِرَاءَةِ مُصْحَفٍ فَجَمَعَ بَيْنَ الْوُضُوءِ لِلْقِرَاءَةِ وَبَيْنَ الْوُضُوءِ لِلنَّافِلَةِ.
Jenis ketiga: yaitu perkara yang sah dilakukan tanpa ṭahārah, namun disunnahkan melakukannya dalam keadaan suci. Seperti seseorang yang ber-ḥadaṡ lalu berwudu untuk membaca al-Qur’an dalam keadaan suci, atau untuk masuk ke masjid dan tinggal di dalamnya, atau untuk menuntut ilmu dan mempelajari hadis-hadis Rasulullah SAW, atau untuk adzan, atau sa‘i antara Ṣafā dan Marwah, atau untuk wukuf di ‘Arafah, atau untuk ziarah ke makam Nabi SAW.
Maka dalam keabsahan wuḍūʼ-nya dan terangkatnya ḥadaṡ-nya terdapat dua pendapat:
Pertama: bahwa wuḍūʼ-nya sah dan ḥadaṡ-nya terangkat, karena itu adalah wuḍūʼ yang disunnahkan, sehingga menyerupai wuḍūʼ untuk sesuatu yang tidak sah dilakukan tanpa wuḍūʼ. Sebagaimana dikuatkan dengan ucapan Imam al-Syafi‘i: “Seandainya seseorang berwudu untuk nāfilah atau untuk membaca muṣḥaf, lalu ia menggabungkan antara wuḍūʼ untuk membaca dan wuḍūʼ untuk nāfilah.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ وُضُوءَهُ بَاطِلٌ وَحَدَثَهُ بَاقٍ لِأَنَّهُ تَوَضَّأَ لِمَا يَصِحُّ بِغَيْرِ وُضُوءٍ فَأَشْبَهَ وُضُوءَهُ لِمَا لَمْ يُنْدَبْ فِيهِ إِلَى الْوُضُوءِ، وَحَمَلَ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ وَلَوْ تَوَضَّأَ لِنَافِلَةٍ أَوْ لِقِرَاءَةِ مُصْحَفٍ أَنَّهُ أَرَادَ الْقَارِئَ فِي الْمُصْحَفِ إِذَا كَانَ حَامِلًا لَهُ.
وَمَنْ تَوَضَّأَ لِحَمْلِ مُصْحَفٍ ارْتَفَعَ حَدَثُهُ لِأَنَّ حمل المصحف لا يجوز لمحدث (وعلى هذين الوجهين يَكُونُ الْجَوَابُ) فِيمَنْ تَوَضَّأَ يَنْوِي تَجْدِيدَ الطَّهَارَةِ لِأَنَّ تَجْدِيدَ الطَّهَارَةِ مَنْدُوبٌ إليه فيكون (في صحة) : الطهارة وجهان: فأما من توضأ ينوي الطهارة وحدها أجزأه وضوءه وارتفع حدثه لأن الطهارة ترفع الْحَدَثِ، وَلَكِنْ لَوْ نَوَى الْوُضُوءَ وَحْدَهُ فَالْوُضُوءُ قَدْ يَكُونُ مَنْدُوبًا إِلَيْهِ وَقَدْ يَكُونُ وَاجِبًا فَيَكُونُ فِي ارْتِفَاعِ حَدَثِهِ وَجْهَانِ كَمَنْ تَوَضَّأَ لمندوب إليه.
Pendapat kedua—dan ini yang lebih ṣaḥīḥ—adalah bahwa wuḍūʼ-nya batal dan ḥadaṡ-nya masih tetap ada, karena ia berwudu untuk sesuatu yang sah dilakukan tanpa wuḍūʼ, sehingga serupa dengan orang yang berwudu untuk perkara yang tidak disunnahkan padanya wuḍūʼ. Dan orang yang berpendapat seperti ini menafsirkan ucapan al-Syafi‘i: “Seandainya seseorang berwudu untuk nāfilah atau membaca muṣḥaf,” maksudnya adalah pembaca muṣḥaf yang membawanya (ḥāmilan lahu).
Dan barang siapa berwudu untuk membawa muṣḥaf, maka ḥadaṡ-nya terangkat, karena membawa muṣḥaf tidak diperbolehkan bagi orang yang ber-ḥadaṡ. (Berdasarkan dua pendapat ini juga) berlaku hukum bagi orang yang berwudu dengan niat tajdīd aṭ-ṭahārah (memperbarui ṭahārah), karena memperbarui ṭahārah adalah sesuatu yang disunnahkan. Maka dalam keabsahan ṭahārah-nya terdapat dua pendapat.
Adapun orang yang berwudu dengan niat ṭahārah saja, maka wuḍūʼ-nya sah dan ḥadaṡ-nya terangkat, karena ṭahārah itu sendiri mengangkat ḥadaṡ.
Namun bila seseorang hanya meniatkan “wuḍūʼ” secara mutlak, maka wuḍūʼ itu bisa jadi disunnahkan dan bisa jadi diwajibkan, sehingga dalam hal terangkatnya ḥadaṡ darinya terdapat dua pendapat, sebagaimana orang yang berwudu untuk perkara yang disunnahkan.
فأما الْجُنُبُ: إِذَا نَوَى الْغُسْلَ وَحْدَهُ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ الْغُسْلَ قَدْ يَكُونُ تَارَةً عِبَادَةً وَتَارَةً غَيْرَ عِبَادَةٍ (فَصَارَ نَاوِي الطَّهَارَةِ يُجْزِئُهُ وَنَاوِي الْغُسْلِ لَا يُجْزِئُهُ) وَفِي نَاوِي الْوُضُوءِ وَجْهَانِ:
فَأَمَّا الْجُنُبُ إِذَا نَوَى بِغُسْلِهِ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ أو المقام فِي الْمَسْجِدِ أَجْزَأَهُ لِأَنَّ الْجُنُبَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقْرَأَ وَلَا أَنْ يُقِيمَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَكِنْ لَوْ نَوَى أَنْ يَمُرَّ فِي الْمَسْجِدِ عَابِرُ سَبِيلٍ كَانَ فِي صِحَّةِ غُسْلِهِ وَجْهَانِ، لِأَنَّ غُسْلَهُ لِلْمُرُورِ فِي الْمَسْجِدِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَهَكَذَا لَوْ نَوَى غُسْلَ الْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، لِأَنَّهُ غُسْلٌ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ فَلَوْ تَوَضَّأَ مُحْدِثٌ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَصَلَّاهَا ثُمَّ جَدَّدَ وَضَوْءَهُ لِلظُّهْرِ وَصَلَّاهَا ثُمَّ أحدث وقت العصر فتوضأ أو صلاها ثُمَّ تَيَقَّنَ أَنَّهُ تَرَكَ غَسْلَ وَجْهِهِ فِي إِحْدَى الطَّهَارَاتِ الثَّلَاثِ، نَظَرَ فَإِنْ تَيَقَّنَ تَرْكَهُ مِنْ طَهَارَةِ الصُّبْحِ أَعَادَهَا وَلَمْ يُعِدِ الْعَصْرَ وَفِي إِعَادَةِ الظُّهْرِ وَجْهَانِ لِأَنَّهُ تَوَضَّأَ لَهَا تَجْدِيدًا لَا فَرْضًا وَإِنْ تَيَقَّنَ تَرْكَهُ مِنْ طَهَارَةِ الظُّهْرِ لَمْ يَلْزَمْهُ إِعَادَتُهَا وَلَا إِعَادَةُ الصُّبْحِ قَبْلَهَا وَلَا إِعَادَةُ الْعَصْرِ بَعْدَهَا، وَكَأَنَّهُ لَمْ يُجَدِّدْ طَهَارَتَهُ لِلظُّهْرِ وَإِنْ تَيَقَّنَ أَنَّهُ تَرَكَهُ مِنْ طَهَارَةِ الْعَصْرِ أَعَادَهَا وَحْدَهَا، وَإِنْ شَكَّ وَلَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيِّ طَهَارَةٍ تَرَكَهَا أَعَادَ الصُّبْحَ وَالْعَصْرَ لِجَوَازِ أَنَّهُ تَرَكَهُ مِنْ أَحَدِهِمَا وَفِي وُجُوبِ إِعَادَةِ الظُّهْرِ وَجْهَانِ لِأَنَّهُ تَوَضَّأَ لَهَا تَجْدِيدًا.
Adapun orang yang junub, jika ia hanya berniat mandi (ghusl) semata, maka tidak sah, karena mandi kadang dilakukan dalam rangka ibadah, dan kadang bukan dalam rangka ibadah. (Maka orang yang berniat ṭahārah sah ghusl-nya, sedangkan orang yang hanya berniat ghusl tidak sah.) Adapun orang yang hanya berniat wuḍūʼ, maka dalam sahnya terdapat dua pendapat.
Jika orang yang junub berniat dengan ghusl-nya untuk membaca al-Qur’an atau untuk tinggal di masjid, maka ghusl-nya sah, karena orang yang junub tidak diperbolehkan membaca (al-Qur’an) dan tidak boleh berdiam di masjid. Namun bila ia berniat ghusl hanya untuk sekadar melewati masjid sebagai seorang musafir yang lewat, maka dalam sahnya ghusl-nya terdapat dua pendapat, karena ghusl untuk lewat di masjid disunnahkan, bukan diwajibkan.
Demikian pula jika ia berniat ghusl untuk salat Jum‘at atau dua hari raya, maka berlaku dua pendapat tersebut juga, karena itu adalah ghusl yang disunnahkan.
Maka jika seorang yang ber-ḥadaṡ kecil berwudu untuk salat Subuh lalu ia salat, kemudian ia memperbarui wudunya untuk salat Ẓuhr lalu ia salat, kemudian ia ber-ḥadaṡ lagi di waktu ‘Aṣr, lalu ia berwudu dan salat, kemudian ia yakin telah meninggalkan membasuh wajah dalam salah satu dari tiga ṭahārah tersebut, maka diperhatikan:
– Jika ia yakin bahwa ia meninggalkannya pada ṭahārah Subuh, maka ia wajib mengulangi salat Subuh dan tidak perlu mengulangi salat ‘Aṣr.
– Adapun salat Ẓuhr, maka dalam wajib tidaknya mengulanginya terdapat dua pendapat, karena ia berwudu untuknya dalam rangka tajdīd, bukan untuk fardu.
– Jika ia yakin meninggalkannya pada ṭahārah salat Ẓuhr, maka tidak wajib mengulangi salat itu, tidak pula salat Subuh sebelumnya, dan tidak pula salat ‘Aṣr setelahnya, karena seakan-akan ia tidak memperbarui ṭahārah untuk salat Ẓuhr.
– Jika ia yakin bahwa ia meninggalkannya pada ṭahārah salat ‘Aṣr, maka ia hanya wajib mengulang salat ‘Aṣr saja.
– Namun jika ia ragu dan tidak tahu pada ṭahārah yang mana ia meninggalkannya, maka ia wajib mengulangi salat Subuh dan ‘Aṣr karena kemungkinan bahwa ia meninggalkannya pada salah satu dari keduanya.
– Adapun tentang wajib tidaknya mengulangi salat Ẓuhr, maka terdapat dua pendapat, karena ia hanya berwudu untuknya dalam rangka tajdīd.
فَصْلٌ
وَأَمَّا الْفَصْلُ الرَّابِعُ فِيمَنْ تَصِحُّ مِنْهُ النِّيَّةُ:
فَتَصِحُّ فِي أَكْمَلِ أَحْوَالِهَا مِمَّنْ قَدْ جَمَعَ ثَلَاثَةَ شُرُوطٍ الْبُلُوغَ وَالْعَقْلَ وَالْإِسْلَامَ فَإِذَا كَانَ فِي حَالِ نِيَّتِهِ لِوُضُوئِهِ أَوْ غُسْلِهِ أَوْ تَيَمُّمِهِ عَاقِلًا بَالِغًا مُسْلِمًا انْعَقَدَتْ نِيَّتُهُ وَصَحَّتْ طَهَارَتُهُ.
PASAL
Adapun pasal keempat tentang siapa yang sah darinya niat:
Maka niat sah dalam keadaan yang paling sempurna dari seseorang yang telah memenuhi tiga syarat: balig, berakal, dan muslim. Maka apabila saat ia berniat untuk wuḍūʼ, ghusl, atau tayammum, ia dalam keadaan berakal, balig, dan muslim, maka niatnya sah dan ṭahārah-nya pun sah.
فَأَمَّا الصَّبِيُّ غَيْرُ الْبَالِغِ إِذَا تَوَضَّأَ فَإِنْ كَانَ طِفْلًا لا يميز فوضوءه بَاطِلٌ وَطَهَارَتُهُ عَبَثٌ لِأَنَّ النِّيَّةَ مِنْ مِثْلِهِ لَا تَصِحُّ وَإِنْ كَانَ مُرَاهِقًا مُمَيِّزًا صَحَّ وضوءه إِذَا نَوَى وَارْتَفَعَ حَدَثُهُ حَتَّى لَوْ بَلَغَ بَعْدَ وُضُوئِهِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ الْوُضُوءُ لَا يَخْتَلِفُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ لِصِحَّةِ قَصْدِهِ. أَلَا تَرَاهُ يَقُولُ: ” لَوْ أَحْرَمَ صَبِيٌّ بِصَلَاةٍ ثُمَّ بَلَغَ فِي تَضَاعِيفِهَا وَأَتَمَّهَا أَجْزَأَهُ ” فَلَوْلَا صِحَّةُ نِيَّتِهِ فِي طَهَارَتِهِ وَصَلَاتِهِ وَانْعِقَادِهَا بِقَصْدِهِ لَمْ تُجْزِهِ.
Adapun anak kecil yang belum balig, jika ia berwudu:
– maka jika ia masih kecil yang belum bisa membedakan (lā yumayyiz), maka wuḍūʼ-nya batal dan ṭahārah-nya hanyalah main-main, karena niat dari anak semacam ini tidak sah.
– Namun jika ia sudah mendekati balig dan dapat membedakan (murāhiq mumayyiz), maka wuḍūʼ-nya sah jika ia berniat, dan ḥadaṡ-nya terangkat. Hingga jika ia balig setelah wuḍūʼ-nya, maka wuḍūʼ tersebut tetap mencukupi baginya.
Tidak ada perbedaan dalam mazhab al-Syafi‘i mengenai hal ini, karena niatnya sah. Tidakkah engkau melihat bahwa Imam al-Syafi‘i berkata: “Seandainya seorang anak kecil mengucapkan takbir untuk salat, lalu ia balig di pertengahan salatnya dan menyempurnakannya, maka salatnya mencukupi”?
Maka kalau bukan karena sahnya niat anak itu dalam ṭahārah dan salatnya, dan terjadinya niat berdasarkan kesengajaannya, niscaya salat tersebut tidak mencukupi baginya.
وَهَكَذَا لَوْ فَعَلَ صَبِيٌّ مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ مِنَ الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ وَاغْتَسَلَ نَاوِيًا ثُمَّ بَلَغَ صَحَّ غُسْلُهُ وَارْتَفَعَتْ جَنَابَتُهُ.
وَلَكِنْ لَوْ تَيَمَّمَ قَبْلَ بُلُوغِهِ لِنَفْلٍ أَوْ لِفَرْضٍ ثُمَّ بَلَغَ لَمْ يُجْزِهِ أَنْ يُصَلِّيَ بِذَلِكَ التَّيَمُّمِ فَرْضًا بِحَالٍ لِأَنَّهُ قَبْلَ بُلُوغِهِ غَيْرُ مُلْتَزِمٍ لِفَرْضٍ فَصَارَ حِينَ تَيَمَّمَ غَيْرَ مُحْتَاجٍ إِلَى التَّيَمُّمِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤَدِّيَ بِهِ الْفَرْضَ كَمَنْ تَيَمَّمَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ النَّفْلَ، وَأَمَّا الْمَجْنُونُ إِذَا تَوَضَّأَ فِي حَالِ جُنُونِهِ عَنْ حَدَثٍ أَوِ اغْتَسَلَ من جنابة لم يجزه وضوءه وَلَا غُسْلُهُ وَلَزِمَهُ إِعَادَةُ ذَلِكَ بَعْدَ إِفَاقَتِهِ بِخِلَافِ الصَّبِيِّ لِأَنَّ لِلصَّبِيِّ تَمْيِيزًا وَقَصْدًا وَلَيْسَ لِلْمَجْنُونِ قَصْدٌ وَلَا تَمْيِيزٌ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيَلْزَمُهُ بَعْدَ إِسْلَامِهِ أَنْ يَتَوَضَّأَ عَنْ حَدَثِهِ فِي كُفْرِهِ فَلَوْ كَانَ قَدْ تَوَضَّأَ مِنَ الْحَدَثِ قَبْلَ إِسْلَامِهِ نَاوِيًا فَفِي إِجْزَائِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُجْزِيهِ لِأَنَّهُ أَصَحُّ قَصْدًا مِنَ الصَّبِيِّ وَهَذَا قَوْلُ أبي حنيفة.
Demikian pula jika seorang anak kecil melakukan sesuatu yang mewajibkan mandi, seperti bertemunya dua kemaluan (iltiqā’ al-khitānayni), lalu ia mandi dengan niat, kemudian balig, maka ghusl-nya sah dan janābah-nya terangkat.
Namun, jika ia tayammum sebelum balig untuk salat sunnah atau fardu, kemudian ia balig, maka tidak sah baginya melaksanakan salat fardu dengan tayammum tersebut dalam keadaan apa pun. Karena sebelum balig ia bukanlah orang yang berkewajiban menunaikan kewajiban (ghair multazim bi farḍ), maka saat ia tayammum ia tidak dalam kondisi membutuhkan tayammum, sehingga tidak boleh ia gunakan untuk menunaikan fardu—sebagaimana orang yang tayammum sebelum masuk waktu salat. Akan tetapi, ia boleh melaksanakan salat sunnah dengan tayammum tersebut.
Adapun orang gila, jika ia berwudu dalam keadaan gila karena ḥadaṡ atau mandi karena janābah, maka wuḍūʼ-nya dan ghusl-nya tidak sah, dan ia wajib mengulanginya setelah sadar. Berbeda dengan anak kecil, karena anak kecil memiliki kemampuan membedakan dan niat, sedangkan orang gila tidak memiliki niat dan tidak bisa membedakan.
Adapun orang kafir, maka setelah masuk Islam ia wajib berwudu karena ḥadaṡ yang terjadi saat kafir. Jika sebelumnya ia telah berwudu dari ḥadaṡ tersebut dengan niat, maka dalam keabsahannya terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: sah wuḍūʼ-nya, karena niatnya lebih sempurna dibandingkan dengan anak kecil—dan ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ مِنَ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ لِأَنَّهُ لَا تَصِحُّ مِنْهُ مَعَ الْكُفْرِ انْعِقَادُ عِبَادَةٍ كَمَا لَا تَصِحُّ مِنْهُ انْعِقَادُ الصَّلَاةِ وَخَالَفَ الصَّبِيَّ الَّذِي تَصِحُّ مِنْهُ انْعِقَادُ الصلاة، وأما إِذَا أَجْنَبَ الْكَافِرُ قَبْلَ إِسْلَامِهِ فَقَدْ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: إِنَّ حُكْمَ جَنَابَتِهِ سَاقِطٌ بِإِسْلَامِهِ، فَإِنَّ اغْتِسَالَهُ مِنْهَا غَيْرُ وَاجِبٍ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ “، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَأْمُرْ جَمِيعَ مَنْ أَسْلَمَ مِنَ الْكُفَّارِ بِالْغُسْلِ مَعَ كَوْنِهِمْ غَالِبًا عَلَى جَنَابَةٍ، وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَأَبُو إِسْحَاقَ وَسَائِرُ أَصْحَابِنَا: إِنَّ حُكْمَ جَنَابَتِهِ بَاقٍ، وَإِنَّ الْغُسْلَ عَلَيْهِ بَعْدَ إِسْلَامِهِ وَاجِبٌ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَسْقُطْ بِالْإِسْلَامِ حُكْمُ حَدَثِهِ فِي حَالِ الْكُفْرِ وَلَزِمَهُ الْوُضُوءُ لَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ جَنَابَتِهِ وَلَزِمَهُ الْغُسْلُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا لَزِمَ الصَّبِيَّ وَالْمَجْنُونَ غُسْلُ الْجَنَابَةِ بَعْدَ الْإِفَاقَةِ وَالْبُلُوغِ وَهُمَا فِي حَالِ (الْحَدَاثَةِ) مِنْ غَيْرِ أَهْلِ التَّكْلِيفِ فَالْكَافِرُ إِذَا أَسْلَمَ أَوْلَى أَنْ يَلْزَمَهُ غُسْلُ الْجَنَابَةِ لِأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ التَّكْلِيفِ فَأَمَّا الْمُرْتَدُّ إِذَا أَسْلَمَ جُنُبًا فَمَأْخُوذٌ بِجَنَابَتِهِ وَالْغُسْلُ مِنْهَا وَاجِبٌ عَلَيْهِ بِوِفَاقِ أَبِي سَعِيدٍ فَلَوْ كَانَ قَدِ اغْتَسَلَ فِي حَالِ رِدَّتِهِ كَانَ على وجهين كالكافر.
Adapun pendapat kedua — dan inilah yang ṣaḥīḥ dalam mazhab — adalah bahwa wuḍūʼ orang kafir sebelum masuk Islam tidak mencukupi, karena dalam keadaan kafir tidak sah pelaksanaan ibadah, sebagaimana tidak sah pelaksanaan salat darinya. Ia berbeda dengan anak kecil, yang sah darinya pelaksanaan salat.
Adapun jika orang kafir mengalami janābah sebelum masuk Islam, maka Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: Hukum janābah-nya gugur dengan keislamannya, maka mandi dari janābah tersebut tidak wajib baginya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Islam menghapus apa yang sebelumnya.” Dan karena Nabi SAW tidak memerintahkan seluruh orang kafir yang masuk Islam untuk mandi, padahal kebanyakan dari mereka dalam keadaan junub.
Namun Abū al-‘Abbās ibn Surayj, Abū Isḥāq, dan seluruh sahabat kami berpendapat bahwa hukum janābah-nya tetap ada, dan mandi wajib atasnya setelah masuk Islam, berdasarkan dua alasan:
Pertama: karena ketika hukum ḥadaṡ tidak gugur dengan keislamannya dan ia tetap wajib berwudu, maka demikian pula hukum janābah-nya tidak gugur, dan ia tetap wajib mandi.
Kedua: karena ketika anak kecil dan orang gila diwajibkan mandi janābah setelah balig atau sadar — padahal mereka tidak termasuk mukallaf — maka orang kafir yang masuk Islam lebih utama untuk diwajibkan mandi janābah, karena ia termasuk ahli taklif.
Adapun murtad, jika ia kembali masuk Islam dalam keadaan junub, maka ia tetap terikat dengan janābah-nya, dan wajib mandi darinya, sebagaimana disepakati oleh Abū Sa‘īd. Maka jika ia mandi dalam keadaan murtad, maka ada dua pendapat — sebagaimana perbedaan pendapat dalam hal orang kafir.
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ نَوَى فَتَوَضَّأَ ثُمَّ عَزَبَتْ نِيَّتُهُ أَجْزَأَهُ نِيَّةٌ وَاحِدَةٌ مَا لَمْ يُحْدِثْ نِيَّةَ أَنْ يَتَبَرَّدَ أَوْ يَتَنَظَّفَ فَيُعِيدُ مَا كَانَ غَسَلَهُ لتبرد أو لتنظف “.
قال الماوردي: أما تَقْطِيعُ النِّيَّةِ عَلَى أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ وَصُورَتُهُ أَنْ يَنْوِيَ عِنْدَ غَسْلِ وَجْهِهِ رَفْعَ الْحَدَثِ عَنْ وَجْهِهِ وَحْدَهُ وَيَنْوِيَ عِنْدَ غَسْلِ ذِرَاعَيْهِ رَفْعَ الْحَدَثِ عَنْهُمَا لَا غَيْرَ وَكَذَلِكَ عِنْدَ كُلِّ عُضْوٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ: أحدهما: لا يجزيه كَمَا لَا يَجُوزُ تَقْطِيعُ النِّيَّةِ عَلَى رَكَعَاتِ الصَّلَاةِ.
Masalah
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Jika seseorang berniat lalu berwudu, kemudian niatnya terlintas (hilang dari ingatan) di tengah jalan, maka satu niat saja sudah mencukupi selama ia tidak menghadirkan niat baru untuk menyegarkan diri atau membersihkan diri. Maka ia harus mengulang bagian yang telah ia basuh jika ia melakukannya karena menyegarkan atau membersihkan diri.”
Al-Māwardī berkata:
Adapun memotong niat pada masing-masing anggota ṭahārah, maka para sahabat kami berbeda pendapat. Contohnya adalah seseorang berniat ketika membasuh wajah bahwa ia ingin mengangkat ḥadaṡ dari wajah saja, lalu ketika membasuh kedua lengan ia berniat mengangkat ḥadaṡ dari kedua lengan saja, demikian pula pada setiap anggota. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak sah, sebagaimana tidak diperbolehkan memotong niat pada setiap rakaat dalam salat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لِأَنَّ الصَّلَاةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَخَلَّلَهَا مَا لَيْسَ مِنْهَا فَلَمْ يَجُزْ تَقْطِيعُ النِّيَّةِ عَلَيْهَا فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَصُورَةُ مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ فِي مُتَوَضِّئٍ غَسَلَ وَجْهَهُ نَاوِيًا بِهِ رَفْعَ الحدث جملة ثم استحصب حُكْمَ نِيَّتِهِ حَتَّى غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَيَّرَ النِّيَّةَ عِنْدَ غَسْلِ رِجْلَيْهِ فَغَسَلَهُمَا بِنِيَّةِ التَّبَرُّدِ وَالتَّنَظُّفِ فَيُجْزِيهِ غَسْلُ وَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ وَمَسْحُ رَأْسِهِ دُونَ غَسْلِ رِجْلَيْهِ وَجْهًا وَاحِدًا سَوَاءٌ قُلْنَا بِجَوَازِ تَقْطِيعِ النِّيَّةِ عَلَى أَعْضَاءِ الطهارة أولا لِأَنَّ نِيَّتَهُ الْأُولَى كَانَتْ عَامَّةً لِجَمِيعِ أَعْضَائِهِ فَارْتَفَعَ حَدَثُ مَا غَسَلَهُ بِتِلْكَ النِّيَّةِ وَلَمْ يَرْتَفِعْ حَدَثُ مَا غَيَّرَ فِيهِ النِّيَّةَ مِنْ غَسْلِ رِجْلَيْهِ وَلَا يُجْزِيهِ أَنْ يُصَلِّيَ بِهَذَا الْوُضُوءِ شَيْئًا حَتَّى يُعِيدَ غَسْلَ رِجْلَيْهِ نَاوِيًا بغسلهما ما رَفْعَ الْحَدَثِ فَإِنْ فَعَلَ هَذَا وَالزَّمَانُ قَرِيبٌ لم يطل صح وضوءه وَارْتَفَعَ حَدَثُهُ وَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ بَعْدَ تَطَاوُلِ الزَّمَانِ وَبُعْدِهِ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الْوُضُوءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua — dan ini yang lebih kuat — adalah bahwa hal itu boleh, karena salat tidak boleh disela dengan sesuatu yang bukan bagian darinya, maka tidak boleh memotong niat dalam salat. Berbeda halnya dengan ṭahārah.
Jika hal ini telah dipahami, maka gambaran permasalahan dalam kitab adalah seseorang yang berwudu, lalu ia membasuh wajahnya dengan niat mengangkat ḥadaṡ secara keseluruhan, kemudian ia terus membawa hukum niatnya hingga membasuh kedua lengan dan mengusap kepalanya. Lalu ia mengubah niatnya ketika membasuh kedua kaki, dan membasuhnya dengan niat untuk menyegarkan diri (tabarrud) dan membersihkan diri (tanazzuf). Maka basuhan wajah, kedua tangan, dan usapan kepala sah baginya, namun basuhan kakinya tidak sah, berdasarkan satu pendapat saja — baik kita mengatakan bolehnya memotong niat pada anggota ṭahārah atau tidak. Karena niat pertamanya mencakup semua anggota, maka ḥadaṡ terangkat dari anggota yang dibasuh dengan niat tersebut, dan tidak terangkat dari anggota yang ia ubah niat padanya, yaitu kedua kakinya.
Maka tidak sah baginya untuk salat dengan wuḍūʼ itu sampai ia mengulangi basuhan kedua kakinya dengan niat mengangkat ḥadaṡ. Jika ia melakukannya dan waktunya masih dekat (lam yaṭul), maka wuḍūʼ-nya sah dan ḥadaṡ-nya terangkat. Namun jika ia membasuh kakinya setelah waktu yang lama dan terpisah, maka berlaku dua pendapat dalam masalah memisah wuḍūʼ.
Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ ” “.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِذَا قَامَ الرَّجُلُ إِلَى الصَّلَاةِ مِنْ نَوْمٍ أَوْ كَانَ غَيْرَ مُتَوَضِّئٍ فَأُحِبُّ أَنْ يُسَمِّيَ اللَّهَ تَعَالَى.
BAB SUNAH WUDU
Masalah
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Telah mengabarkan kepada kami Sufyān, dari az-Zuhrī, dari Abū Salamah, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia membasuhnya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.’”
Al-Syafi‘i berkata:
“Maka apabila seseorang berdiri untuk salat setelah tidur, atau dalam keadaan tidak berwudu, aku menyukai agar ia menyebut nama Allah Ta‘ālā.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ أَوَّلُ مَا يَبْدَأُ بِهِ الْمُتَوَضِّئُ مِنْ أَعْمَالِ وُضُوئِهِ التَّسْمِيَةُ فَيَقُولُ: ” بِسْمِ اللَّهِ ” وَهِيَ سنة. وقال أبو حامد الإسفرايني: هِيَ هَيْئَةٌ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْهَيْئَةِ وَالسُّنَّةِ بِأَنْ قَالَ: الْهَيْئَةُ مَا تَهَيَّأَ بِهِ لِفِعْلِ الْعِبَادَةِ، وَالسُّنَّةُ مَا كَانَتْ فِي أَفْعَالِهَا الرَّاتِبَةِ فِيهَا وهكذا نقول في غسل الكفين: وهذا يعد في العبارة مَعَ تَسْلِيمِ الْمَعْنَى.
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (al-Syafi‘i), bahwa hal pertama yang dilakukan oleh orang yang berwudu dari rangkaian amal wuḍūʼ-nya adalah membaca basmalah, dengan mengucapkan: “Bismillāh”, dan hal itu adalah sunnah.
Abū Ḥāmid al-Isfarā’īnī berkata: Itu adalah hai’ah (tata cara). Perbedaan antara hai’ah dan sunnah adalah: hai’ah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai bentuk kesiapan untuk melaksanakan ibadah, sedangkan sunnah adalah hal-hal yang termasuk dalam perbuatan rutin dari ibadah itu sendiri.
Demikian pula kami katakan
وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهْوَيْهِ: التسمية واجبة فإن تركها عامدا بطل وضوءه وَإِنْ تَرَكَهَا نَاسِيًا أَجْزَأَهُ.
وَقَالَ أَهْلُ الظَّاهِرِ هِيَ وَاجِبَةٌ وَإِنْ تَرَكَهَا عَامِدًا أَوْ نَاسِيًا لَمْ يُجْزِهِ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَهِ عليه “.
Dan Isḥāq bin Rāhuwaih berkata: Tasmiyah (mengucapkan “Bismillāh”) adalah wajib. Maka jika seseorang meninggalkannya dengan sengaja, batal wuḍūʼ-nya, dan jika ia meninggalkannya karena lupa, maka wuḍūʼ-nya sah.
Adapun Ahl al-Ẓāhir berpendapat bahwa tasmiyah itu wajib, dan apabila seseorang meninggalkannya baik karena sengaja maupun lupa, maka tidak sah wuḍūʼ-nya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak sah salat bagi orang yang tidak berwudu, dan tidak sah wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya.”
قالوا: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَبْطُلُ بِالْحَدَثِ فَوَجَبَ أَنْ يَفْتَقِرَ ابْتِدَاؤُهَا إِلَى نُطْقٍ كَالصَّلَاةِ وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [المائدة: 6] فَلَمَّا كَانَتْ وَاجِبَاتُ الْوُضُوءِ مَأْخُوذَةً مِنْهَا لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلْأَعْرَابِيِّ: ” تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ “، وَلَمْ يَكُنْ لِلتَّسْمِيَةِ فِيهَا ذِكْرٌ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ، وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ تَوَضَّأَ وَذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ كَانَ طَهُورًا لِجَمِيعِ بَدَنِهِ، وَمَنْ تَوَضَّأَ وَلَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ كَانَ طَهُورًا لِأَعْضَائِهِ “، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ لَيْسَ فِي آخِرِهَا نُطْقٌ وَاجِبٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ فِي ابْتِدَائِهَا نُطْقٌ وَاجِبٌ كَالصِّيَامِ وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ مِنْ شَرْطِهَا التَّسْمِيَةُ كَإِزَالَةِ النَّجَاسَةِ.
Mereka (Ahl al-Ẓāhir) berkata: Karena wuḍūʼ adalah ibadah yang batal dengan ḥadaṡ, maka wajib permulaannya disertai dengan ucapan (nuṭq), sebagaimana salat.
Adapun dalil kami (kalangan Syafi‘iyyah) adalah firman Allah Ta‘ālā:
{إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [al-Mā’idah: 6],
maka ketika kewajiban-kewajiban wuḍūʼ diambil dari ayat ini, berdasarkan sabda Nabi SAW kepada orang Arab Badui: “Berwudulah sebagaimana Allah memerintahkan kepadamu,” dan dalam ayat tersebut tidak terdapat penyebutan tasmiyah, maka hal itu menunjukkan bahwa tasmiyah bukanlah hal yang wajib.
Juga diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Barang siapa berwudu dan menyebut nama Allah padanya, maka itu menjadi penyuci bagi seluruh tubuhnya. Dan barang siapa berwudu namun tidak menyebut nama Allah padanya, maka itu menjadi penyuci bagi anggota-anggota tubuhnya.”
Dan karena wuḍūʼ adalah ibadah yang tidak ada ucapan wajib pada akhirnya, maka tidak sepatutnya pada permulaannya ada ucapan yang wajib, seperti halnya puasa. Dan karena ia merupakan ṭahārah, maka tidak seharusnya tasmiyah dijadikan syarat padanya, sebagaimana dalam menghilangkan najis.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْحَدِيثِ فَضَعِيفُ الْإِسْنَادِ لِأَنَّهُ مَرْوِيٌّ مِنْ طَرِيقَيْنِ وَاهِيَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَبُو فَضَّالٍ عَنْ جَدَّتِهِ عَنْ أَبِيهَا أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ وَالثَّانِي: يَعْقُوبُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَقَدْ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَيْسَ فِي التَّسْمِيَةِ حَدِيثٌ ثَبْتٌ وَلَوْ سَلِمَ لَكَانَ الْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَحَمُّلَ التَّسْمِيَةِ عَلَى النِّيَّةِ وَهُوَ تَأْوِيلُ الْأَوْزَاعِيِّ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى نَفْيِ الْكَمَالِ دُونَ الْإِجْزَاءِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ فَمُنْتَقَضٌ بِالطَّوَافِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي آخِرِهَا نُطْقٌ وَاجِبٌ كَانَ فِي أَوَّلِهَا نُطْقٌ وَاجِبٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الْوُضُوءِ.
Adapun istidlāl (pendalilan) mereka dengan hadis tersebut, maka sanadnya ḍa‘īf, karena diriwayatkan melalui dua jalur yang lemah:
Pertama: dari Abū Faḍḍāl, dari neneknya, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Abū Hurairah.
Kedua: dari Ya‘qūb bin Salamah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Abū Hurairah.
Dan telah berkata Aḥmad bin Ḥanbal: “Tidak ada satu pun hadis yang tsabit (kuat) tentang tasmiyah.”
Dan seandainya hadis itu sahih, maka tetap dapat dijawab dari dua sisi:
Pertama: bahwa tasmiyah dalam hadis itu ditakwilkan sebagai niat — dan ini adalah takwil al-Awzā‘ī.
Kedua: bahwa maksud hadis itu adalah penafian kesempurnaan, bukan penafian keabsahan.
Adapun qiyās mereka terhadap salat, maka itu tertolak dengan perbandingan ṭawāf.
Selain itu, alasan dalam salat adalah: karena pada akhirnya terdapat nuṭq (ucapan) yang wajib, maka pada awalnya pun terdapat nuṭq yang wajib. Sedangkan wuḍūʼ tidak demikian.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّسْمِيَةَ سُنَّةٌ فَهِيَ سُنَّةٌ فِي الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ وَالتَّيَمُّمِ مُبْتَدِئًا بِهَا عَلَى طَهَارَتِهِ فَإِنْ نَسِيَهَا فِي الِابْتِدَاءِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الْقَدِيمِ يُسَمِّي إِذَا ذَكَرَهَا فِي ابْتِدَاءِ الطَّهَارَةِ أَوْ آخرها.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa tasmiyah adalah sunnah, maka ia adalah sunnah dalam wuḍūʼ, ghusl, dan tayammum, dengan memulai ṭahārah-nya dengannya. Maka jika ia lupa membacanya di permulaan, Imam al-Syafi‘i RA dalam qaul qadīm-nya berkata: “Ia membaca tasmiyah ketika ia ingat, baik di permulaan ṭahārah atau di akhirnya.”
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يُفْرِغُ الْمَاءَ مِنْ إِنَائِهِ عَلَى يَدَيْهِ فيغسلهما ثلاثا “.
Masalah
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Kemudian ia menuangkan air dari bejananya ke atas kedua tangannya, lalu membasuh keduanya tiga kali.”
قال الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ غَسْلُ الْكَفَّيْنِ ثَلَاثًا قَبْلَ إِدْخَالِهِمَا الْإِنَاءَ سُنَّةٌ عَلَى كُلِّ مُتَوَضِّئٍ أَوْ مُغْتَسِلٍ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ أَبِي الْحَسَنِ الْبَصْرِيُّ: غَسْلُ الْكَفَّيْنِ قَبْلَ إِدْخَالِهِمَا الْإِنَاءَ وَاجِبٌ عَلَى مَنْ قَامَ مِنَ النَّوْمِ فَإِنْ غَمَسَهُمَا فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ غَسْلِهِمَا نَجَّسَ الْمَاءَ سَوَاءٌ تَيَقَّنَ نَجَاسَةَ كَفَّيْهِ أَمْ لَا، وَقَالَ دَاوُدُ: غَسْلُهُمَا وَاجِبٌ لَكِنْ لَا يُنَجِّسُ الْمَاءَ بِتَرْكِ الْغَسْلِ إِلَّا أَنْ يَعْلَمَ نَجَاسَةَ كَفَّيْهِ.
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan — membasuh kedua telapak tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana adalah sunnah bagi setiap orang yang berwudu atau mandi, dan bukan wājib — dan ini adalah pendapat jumhur.
Al-Ḥasan bin Abī al-Ḥasan al-Baṣrī berpendapat: Membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana adalah wājib bagi orang yang bangun dari tidur. Jika ia mencelupkan keduanya ke dalam bejana sebelum membasuhnya, maka ia menajiskan airnya — baik ia yakin akan adanya najis di tangannya maupun tidak.
Dāwūd berkata: Membasuh kedua tangan adalah wājib, tetapi tidak menajiskan air jika tidak dibasuh, kecuali bila diketahui bahwa kedua tangannya najis.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: غَسْلُهُمَا وَاجِبٌ عَلَى مَنْ قَامَ مِنْ نَوْمِ اللَّيْلِ دُونَ النَّهَارِ وَلَا يُنَجِّسُ الْمَاءَ بِتَرْكِ الْغَسْلِ مَا لَمْ يَتَيَقَّنِ النَّجَاسَةَ.
وَاسْتَدَلُّوا جَمِيعًا بِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ “، فَحَمْلَهُ الْحَسَنُ وَدَاوُدُ عَلَى كُلِّ قَائِمٍ مِنَ النَّوْمِ لِعُمُومِ اللَّفْظِ، وَحَمَلَهُ أَحْمَدُ عَلَى نَوْمِ اللَّيْلِ لِقَوْلِهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ وَالْبَيَاتُ يَكُونُ فِي اللَّيْلِ دُونَ النَّهَارِ.
Dan Aḥmad bin Ḥanbal berkata: “Membasuh kedua tangan wajib bagi orang yang bangun dari tidur malam, bukan tidur siang. Dan air tidak menjadi najis hanya karena tidak membasuh tangan, selama tidak ada keyakinan bahwa tangan itu najis.”
Mereka semuanya berdalil dengan hadis Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum membasuhnya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.”
Al-Ḥasan dan Dāwūd memaknainya berlaku untuk setiap orang yang bangun dari tidur karena keumuman lafaznya, sedangkan Aḥmad memaknainya khusus untuk tidur malam karena sabdanya: “karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”, dan al-bayāt (bermalam) itu terjadi di malam hari, bukan siang.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [المائدة: 6] ، وَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – للأعرابي: ” تَوَضَأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ اغْسِلْ وَجْهَكَ وَذِرَاعَيْكَ “، فَلَمْ يُقَدَّمْ فِي الْآيَةِ، وَالْخَبَرِ عَلَى الْوَجْهِ فَرْضًا وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَلْزَمْ غَسْلُهُ فِي وُضُوئِهِ مِنْ غَيْرِ النَّوْمِ لَا يَلْزَمُ غَسْلُهُ فِي وُضُوئِهِ مِنَ النَّوْمِ أَصْلُهُ سَائِرُ الْجَسَدِ.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Apabila kalian hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajah kalian} [al-Māidah: 6], dan sabda Nabi SAW kepada seorang A‘rabi: “Berwudulah sebagaimana Allah memerintahkan kepadamu: basuhlah wajahmu dan kedua lenganmu.” Maka tidak didahulukan dalam ayat maupun hadis tersebut (anggota lain) atas wajah sebagai kewajiban.
Dan karena sesuatu yang tidak wajib dibasuh dalam wudunya ketika tidak tidur, maka tidak wajib pula dibasuh dalam wudunya setelah tidur. Dasarnya adalah seluruh bagian tubuh selain anggota wudu.
وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ عَنْ حَدَثٍ فَوَجَبَ أَلَّا تَلْزَمَ تَكْرَارَ بَعْضِ الْأَعْضَاءِ فِيهَا كَالتَّيَمُّمِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّ مَا ذُكِرَ فِيهِ مِنَ التَّعْلِيلِ دَلِيلُنَا عَلَى حَمْلِهِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ دُونَ الْإِيجَابِ لِأَنَّهُ أَمَرَ بِغَسْلِ الْيَدِ خَوْفَ النَّجَاسَةِ وَهُوَ قَوْلُهُ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ لِأَنَّ الْقَوْمَ كَانُوا يَسْتَعْمِلُونَ الْأَحْجَارَ وينامون فيعرقون وربما حصلت أيديهم موضع النجاسة فنجست وهذا متوهم وتنجسيها شَكٌّ وَمَا وَقَعَ الشَّكُّ فِي تَنْجِيسِهِ لَمْ يَجِبْ غَسْلُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَحَبُّ.
Dan karena ia merupakan ṭahārah dari ḥadats, maka wajiblah untuk tidak mewajibkan pengulangan sebagian anggota di dalamnya, sebagaimana tayammum.
Adapun jawaban atas khabar (riwayat) itu adalah bahwa alasan yang disebutkan di dalamnya merupakan dalil bagi kami untuk memahaminya sebagai anjuran (sunnah) dan bukan kewajiban, karena ia memerintahkan membasuh tangan karena kekhawatiran najis, yaitu ucapannya: “Sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” Hal itu karena mereka (para sahabat) biasa menggunakan batu (untuk istinja’), lalu tidur dan berkeringat, dan bisa jadi tangan mereka menyentuh tempat najis, sehingga menjadi najis — namun hal ini hanya sebatas dugaan, dan najisnya tangan itu bersifat syakk (meragukan), dan sesuatu yang terjadi padanya keraguan dalam kenajisannya maka tidak wajib dibasuh, hanya disunnahkan saja.
وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ قَيْسًا الْأَشْجَعِيَّ قَالَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: فَكَيْفَ بِنَا إِذَا أَتَيْنَا مِهْرَاسَكُمْ هَذَا، فَقَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّكَ يَا قَيْسُ.
وَلَوْ كَانَ غَسْلُ الْيَدَيْنِ وَاجِبًا عَلَى مَنْ أَرَادَ إِدْخَالَهُمَا فِي الْإِنَاءِ لَوَجَبَ عَلَى مَنْ لَمْ يُدْخِلْهُمَا فِي الْإِنَاءِ.
Dan telah diriwayatkan bahwa Qais al-Asyjaʿī berkata kepada Abū Hurairah: “Bagaimana dengan kami jika kami mendatangi mihrās kalian ini?” Maka beliau menjawab: “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu, wahai Qais.”
Seandainya membasuh kedua tangan itu wajib bagi orang yang hendak memasukkannya ke dalam bejana, niscaya wajib pula atas orang yang tidak memasukkannya ke dalam bejana.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ غَسْلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا سُنَّةٌ فَهُوَ سُنَّةٌ عَلَى كُلِّ مُتَوَضِّئٍ سَوَاءٌ قَامَ مَنْ نَوْمٍ أَوْ لَمْ يَقُمْ لَكِنَّهُ إِذَا قَامَ مِنْ نَوْمٍ فَالسُّنَّةُ أَنْ يَغْسِلَهُمَا ثَلَاثًا قَبْلَ إِدْخَالِهِمَا فِي الْإِنَاءِ فَإِنْ لَمْ يَقُمْ مِنْ نَوْمٍ فَقَدْ قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ إِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُمَا فِي الْإِنَاءِ (قَبْلَ غَسْلِهِمَا وَإِنْ شَاءَ غَسَلَهُمَا قبل إدخالهما) .
PASAL
Apabila telah tetap bahwa membasuh kedua telapak tangan tiga kali adalah sunnah, maka itu merupakan sunnah bagi setiap orang yang berwudu, baik ia bangun dari tidur maupun tidak. Namun, jika ia bangun dari tidur, maka sunnahnya adalah membasuh kedua tangannya tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana. Jika ia tidak bangun dari tidur, maka Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī raḥimahullāh berkata: jika ia menghendaki, ia boleh memasukkan kedua tangannya ke dalam bejana sebelum membasuhnya, dan jika ia menghendaki, ia boleh membasuhnya terlebih dahulu sebelum memasukkannya.
قال لِأَنَّ الْقَائِمَ مِنَ النَّوْمِ شَاكٌّ فِي نَجَاسَتِهِمَا وَغَيْرَ الْقَائِمِ مِنْ نَوْمٍ مُتَيَقِّنٌ لِطَهَارَتِهِمَا وَالصَّحِيحُ مِنَ الْمَذْهَبِ وَعَلَيْهِ الْجُمْهُورُ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّهُمَا سَوَاءٌ فِيمَنْ قَامَ مِنَ النَّوْمِ أَوْ لَمْ يَقُمْ فَلَا يَغْمِسُ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى (يغسلهما لِأَنَّهُ) لَمَّا اسْتَوَيَا فِي سُنَّةِ الْغَسْلِ وَإِنْ وَرْدَ النَّصُّ فِي الْقَائِمِ مِنَ النَّوْمِ فَاسْتَوَيَا فِي تَقْدِيمِ الْغَسْلِ عَلَى الْغَمْسِ. فَعَلَى هَذَا لَوْ غَمَسَ الْمُتَوَضِّئُ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ غَسْلِهِمَا فَإِنْ تَيَقَّنَ طَهَارَتَهُمَا أَوْ شَكَّ فِيهِ فَالْمَاءُ طَاهِرٌ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهِ الطَّهَارَةُ وَإِنْ تَيَقَّنَ نَجَاسَةَ يَدِهِ فَهِيَ نَجَاسَةٌ وَرَدَتْ عَلَى مَاءٍ قَلِيلٍ فَيَكُونُ نجسا.
Ia berkata: karena orang yang bangun dari tidur berada dalam keadaan syakk (ragu) terhadap kenajisan kedua tangannya, sedangkan orang yang tidak bangun dari tidur berada dalam keadaan yakin atas kesucian keduanya.
Pendapat yang ṣaḥīḥ dalam mazhab, dan inilah pendapat jumhur dari kalangan sahabat kami, bahwa keduanya sama saja — baik yang bangun dari tidur maupun tidak — maka jangan mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum membasuhnya. Karena ketika keduanya sama dalam kesunnahan membasuh, meskipun teks datang mengenai orang yang bangun dari tidur, maka keduanya disamakan dalam hal mendahulukan membasuh daripada mencelupkan.
Berdasarkan hal ini, jika orang yang berwudu mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum membasuhnya, maka jika ia yakin tangannya suci atau ragu tentangnya, maka air tetap suci, karena hukum asalnya adalah suci. Namun, jika ia yakin bahwa tangannya najis, maka itu adalah najis yang mengenai air yang sedikit, maka air itu menjadi najis.
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثَمَّ يُدْخِلُ يَدَهُ الْيُمْنَى فِي الِإنَاءِ فَيَغْرِفُ غَرْفَةً لِفِيهِ وَأَنْفِهِ وَيَتَمَضْمَضُ وَيَسْتَنْشِقُ ثَلَاثًا وَيُبْلِغُ خَيَاشِيمَهُ الْمَاءَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَائِمًا فَيَرْفَقُ “.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْكَلَامَ فِي الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ فِيِ فَصْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: فِي أَصْلِ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ سُنَّةٌ.
Masalah
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu mengambil satu cidukan air untuk mulut dan hidungnya, lalu ia berkumur dan menghirup air ke hidung sebanyak tiga kali, serta memasukkan air ke rongga hidungnya hingga ke bagian dalam, kecuali jika ia sedang berpuasa maka ia bersikap lembut (tidak berlebihan).”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa pembahasan mengenai maḍmaḍah (berkumur) dan istinśāq (menghirup air ke hidung) terbagi ke dalam dua pasal:
Pertama, tentang hukum asal maḍmaḍah dan istinśāq, apakah wajib atau sunnah.
وَالثَّانِي: فِي صِفَتِهِ وَكَيْفِيَّتِهِ.
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ: فِي أَصْلِ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ: فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهِ عَلَى أربعة مذاهب.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمَالِكٌ أَنَّهُمَا سُنَّتَانِ فِي الطَّهَارَةِ الصُّغْرَى الَّتِي هِيَ الْوُضُوءُ، وَفِي الطَّهَارَةِ الْكُبْرَى الَّتِي هِيَ الْغُسْلُ.
Dan yang kedua: mengenai sifat dan caranya.
Adapun pasal pertama, yaitu tentang hukum asal maḍmaḍah dan istinśāq, maka para ulama berbeda pendapat mengenainya menjadi empat mazhab:
Pertama: yaitu mazhab al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu dan Mālik, bahwa keduanya adalah sunnah dalam ṭahārah ṣughrā yaitu wuḍū’, dan dalam ṭahārah kubrā yaitu ghusl.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ عَطَاءٍ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى وَإِسْحَاقَ أَنَّهُمَا وَاجِبَتَانِ فِي الطَّهَارَةِ الْكُبْرَى والصغرى معا.
والمذهب الثالث: وهو قول أحمد وداود وأبو ثَوْرٍ أَنَّ الِاسْتِنْشَاقَ وَاجِبٌ فِي الطَّهَارَتَيْنِ الصُّغْرَى وَالْكُبْرَى وَالْمَضْمَضَةُ سُنَّةٌ فِيهِمَا.
Dan mazhab kedua: yaitu mazhab ‘Aṭā’, Ibn Abī Laylā, dan Isḥāq, bahwa keduanya (maḍmaḍah dan istinśāq) adalah wajib dalam ṭahārah kubrā dan ṣughrā sekaligus.
Mazhab ketiga: yaitu pendapat Aḥmad, Dāwūd, dan Abū Ṯawr, bahwa istinśāq wajib dalam kedua ṭahārah — kecil dan besar — sedangkan maḍmaḍah adalah sunnah dalam keduanya.
وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَصَاحِبَيْهِ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ أَنَّهُمَا وَاجِبَتَانِ فِي الطَّهَارَةِ الْكُبْرَى مَسْنُونَتَانِ فِي الطَّهَارَةِ الصُّغْرَى وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَوْجَبَهُمَا فِي الطَّهَارَتَيْنِ بِغُسْلِ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَهُمَا وَفِعْلُهُ بَيَانٌ وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَوْجَبَ الِاسْتِنْشَاقَ فِيهِمَا دُونَ الْمَضْمَضَةِ بِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَنْثُرْهُ ” وَبِحَدِيثِ عَاصِمِ بْنِ لَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أخبرني عن الوضوء قال: أسبغ الوضوء وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا “.
Mazhab keempat: yaitu pendapat Abū Ḥanīfah, kedua sahabatnya, dan Sufyān al-Tsaurī, bahwa keduanya (maḍmaḍah dan istinśāq) wajib dalam ṭahārah kubrā dan sunnah dalam ṭahārah ṣughrā.
Orang-orang yang mewajibkan keduanya dalam dua jenis ṭahārah berdalil dengan perbuatan Rasulullah SAW yang melakukannya, dan perbuatan beliau merupakan penjelasan (atas perintah Allah).
Adapun yang mewajibkan istinśāq dalam keduanya namun tidak maḍmaḍah, berdalil dengan hadis Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berwudu, hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidungnya, lalu mengeluarkannya.”
Dan dengan hadis ‘Āṣim bin Laqīṭ bin Ṣabirah dari ayahnya, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang wudu.” Beliau bersabda: “Sempurnakanlah wudu, selai jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam istinśāq kecuali jika engkau sedang berpuasa.”
وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة عَلَى إِيجَابِهَا فَيَ الطَّهَارَةِ الْكُبْرَى بِرِوَايَةِ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةٌ فَبِلُّوا الشَّعْرَ وَأَنْقُوا الْبَشَرَةَ ” قَالَ: وَفِي الْأَنْفِ شَعْرٌ وَفِي الْفَمِ بَشَرَةٌ.
وَبِمَا رَوَاهُ يُوسُفُ بْنُ أسباط عن سفيان عن سَعِيدٍ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ لِلْجُنُبِ ثَلَاثًا فَرِيضَةً، قَالَ وَلِأَنَّهُ عُضْوٌ سُنَّ غَسْلُهُ فِي الطَّهَارَةِ الصُّغْرَى فَاقْتَضَى أَنْ يَجِبَ غَسْلُهُ فِي الطَّهَارَةِ الْكُبْرَى كَالْأُذُنَيْنِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَحَلٍّ مِنَ الْبَدَنِ وَجَبَ تَطْهِيرُهُ مِنَ النَّجَاسَةِ وَجَبَ تَطْهِيرُهُ مِنَ الْجَنَابَةِ كَالْبَشَرَةِ الَّتِي تَحْتَ شَعْرِ الْوَجْهِ، قَالَ وَلِأَنَّ الْفَمَ وَالْأَنْفَ فِي مَعْنَى ظَاهِرِ الْبَدَنِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِيصَالَ الْمَاءِ إِلَيْهِمَا لَا يَشُقُّ.
Dan Abū Ḥanīfah berdalil atas wajibnya maḍmaḍah dan istinśāq dalam ṭahārah kubrā dengan riwayat Mālik bin Dīnār dari Ibn Sīrīn dari Abū Hurairah dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: “Di bawah setiap helai rambut ada janabah, maka basahilah rambut dan bersihkan kulit.” Ia berkata: “Di dalam hidung terdapat rambut, dan di dalam mulut terdapat kulit.”
Dan dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Yūsuf bin Asbaṭ dari Sufyān dari Sa‘īd dari Khālid al-Ḥaddā’ dari Ibn Sīrīn dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW menjadikan maḍmaḍah dan istinśāq bagi orang junub sebanyak tiga kali sebagai kewajiban.
Ia berkata: karena keduanya adalah anggota yang disunnahkan untuk dibasuh dalam ṭahārah ṣughrā, maka mengharuskan kewajiban membasuhnya dalam ṭahārah kubrā, sebagaimana kedua telinga. Dan karena setiap bagian tubuh yang wajib disucikan dari najis, maka wajib pula disucikan dari janabah, seperti kulit yang berada di bawah rambut wajah.
Ia berkata: dan karena mulut dan hidung secara makna termasuk bagian lahir tubuh dari dua sisi:
Pertama, bahwa menyampaikan air ke dalam keduanya tidaklah menyulitkan.
وَالثَّانِي: أَنَّ حُصُولَ الطَّعَامِ فِيهِمَا لَا يُفْطِرُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَا فِي إِيصَالِ الْمَاءِ إِلَيْهِمَا وَاجِبًا كَظَاهِرِ الْبَدَنِ.
قَالَ وَلِأَنَّ اللِّسَانَ يَلْحَقُهُ حُكْمُ الْجَنَابَةِ فِي الْمَنْعِ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْحَقَهُ حُكْمُ الْجَنَابَةِ فِي التَّطْهِيرِ بِالْمَاءِ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ وهو دليل الْجَنَابَةِ قَوْله تَعَالَى: {وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا} [النساء: 43] . فَكَانَ الْغُسْلُ وَحْدَهُ غاية الحكم.
Kedua, bahwa masuknya makanan ke dalam keduanya (mulut dan hidung) tidak membatalkan puasa, maka wajib pula menyampaikan air ke dalam keduanya sebagaimana anggota badan lahir lainnya.
Ia berkata: dan karena lisan terkena hukum janabah dalam larangan membaca al-Qur’an, maka wajib pula dikenai hukum janabah dalam penyucian dengan air.
Adapun dalil bahwa hal tersebut adalah sunnah — dan sekaligus dalil tentang hukum janabah — adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan jangan pula (mendekati masjid) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi} [an-Nisā’: 43]. Maka mandi (ghusl) semata menjadi batas akhir dari hukum tersebut.
وَرُوِيَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِلْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ فَقَالَ: لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ ثُمَّ تُفِيضِي عَلَيْكِ الْمَاءَ فَإِذَا أَنْتِ قَدْ طَهُرْتِ “. فَكَانَ مِنْهُ دَلِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى الِاكْتِفَاءِ بِالْإِفَاضَةِ.
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَإِذَا أَنْتِ قَدْ طَهُرْتِ.
Dan telah diriwayatkan dari Umm Salamah bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang mengikat rambut kepalaku dengan kuat, apakah aku harus membukanya ketika mandi dari janabah?” Maka beliau bersabda: “Tidak. Cukuplah bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga kali curahan, lalu engkau siram seluruh tubuhmu dengan air, maka saat itu engkau telah suci.”
Maka dari hadis ini terdapat dua dalil:
Pertama, bahwa cukup dengan menyiramkan (air) saja.
Kedua, sabda beliau setelah itu: “maka saat itu engkau telah suci.”
وَرَوَى جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ قَالَ تَذَاكَرْنَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غُسْلَ الْجَنَابَةِ فَقَالَ: ” أَمَّا أَنَا فَأَحْثِي عَلَى رَأْسِي ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ فَإِذَا أَنَا قَدْ طَهُرْتُ “.
وَمِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى أَنَّهَا طَهَارَةٌ عن حدث فوجب ألا يستحق فيها المضمضة والاستنشاق كغسل الميت ولأن مالا يَجِبُ غَسْلُهُ مِنَ الْمَيِّتِ لَمْ يَجِبْ غَسْلُهُ مِنَ الْجُنُبِ كَالْعَيْنَيْنِ.
Dan telah meriwayatkan Jubayr bin Muṭ‘im, ia berkata: Kami pernah membicarakan mandi janabah di hadapan Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: “Adapun aku, aku menuangkan tiga kali curahan air ke kepalaku, maka saat itu aku telah suci.”
Dan dari sisi makna, sesungguhnya itu adalah ṭahārah dari ḥadats, maka tidak wajib di dalamnya maḍmaḍah dan istinśāq, sebagaimana mandi jenazah. Dan karena sesuatu yang tidak wajib dibasuh dari mayit, maka tidak wajib pula dibasuh dari orang junub, seperti kedua mata.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِقَوْلِهِ تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةٌ فَهُوَ أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ ضَعِيفٌ لِأَنَّ رَاوِيَهُ الْحَارِثُ بْنُ وَجِيهٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ وَكَانَ الْحَارِثُ ضَعِيفًا وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى مَا ظَهَرَ مِنَ الشَّعْرِ وَالْبَشَرِ بِدَلِيلِ أَنَّ شَعْرَ الْعَيْنِ لَا يَجِبُ غَسْلُهُ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ راويه أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَعَلَ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ لِلْجُنُبِ ثَلَاثًا فَرِيضَةً، أَنَّهُ رَوَاهُ بَرَكَةُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْحَلَبِيُّ عَنْ يُوسُفَ بْنِ أَسْبَاطٍ وَكَانَ بَرَكَةُ مَشْهُورًا بِوَضْعِ الْحَدِيثِ عَلَى أَنَّهُ يَحْمِلُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَيَكُونُ قَوْلُهُ فَرِيضَةً يَعْنِي تَقْدِيرًا أَلَا تَرَاهُ جَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا وَالثَّلَاثُ اسْتِحْبَابٌ وَلَيْسَ بِفَرْضٍ.
Adapun jawaban atas dalil yang mereka gunakan dari sabda Nabi: “Di bawah setiap helai rambut ada janabah”, maka hadis ini ḍa‘īf, karena perawinya adalah al-Ḥārits bin Wajīh dari Mālik bin Dīnār, dan al-Ḥārits adalah perawi yang ḍa‘īf. Dan seandainya pun sahih, maka hadis itu harus dipahami sebagai anjuran menyiram apa yang tampak dari rambut dan kulit, dengan dalil bahwa rambut pada mata tidak wajib dibasuh.
Adapun jawaban atas riwayat dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW menjadikan maḍmaḍah dan istinśāq bagi orang junub tiga kali sebagai kewajiban, maka hadis itu diriwayatkan oleh Barakah bin Muḥammad al-Ḥalabī dari Yūsuf bin Asbaṭ, dan Barakah dikenal sebagai pendusta yang memalsukan hadis.
Lagipula, seandainya pun sahih, maka dapat dipahami sebagai anjuran (istiḥbāb), dan lafaz “farīḍah” di sini dimaksudkan dalam pengertian taksiran, bukan kewajiban. Tidakkah engkau lihat bahwa beliau menjadikannya tiga kali, sedangkan tiga kali itu hukumnya sunnah, bukan wajib.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عن قولهم إن كَانَ مَسْنُونًا فِي الطَّهَارَةِ الصُّغْرَى كَانَ مَفْرُوضًا في الطهارة الكبرى منتقض بِالْمُبَالَغَةِ فِي الِاسْتِنْشَاقِ وَالتَّكْرَارِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ كُلَّ مَحَلٍّ وَجَبَ تَطْهِيرُهُ مِنَ النَّجَاسَةِ وَجَبَ تَطْهِيرُهُ مِنَ الْجَنَابَةِ فَهُوَ أَنَّهُ مُنْتَقَضٌ بِدَاخِلِ الْعَيْنَيْنِ لِأَنَّ غَسْلَهُ مِنَ النَّجَاسَةِ وَاجِبٌ وَمِنَ الْجَنَابَةِ غَيْرُ وَاجِبٍ.
Adapun jawaban atas ucapan mereka: “Jika sesuatu itu disunnahkan dalam ṭahārah ṣughrā, maka wajib dalam ṭahārah kubrā,” maka itu terbantahkan dengan mubālaghah (bersungguh-sungguh) dalam istinśāq dan pengulangan (basuhan), karena keduanya disunnahkan dalam ṭahārah ṣughrā namun tidak wajib dalam ṭahārah kubrā.
Dan jawaban atas ucapan mereka: “Setiap bagian yang wajib disucikan dari najis, maka wajib pula disucikan dari janabah,” adalah bahwa itu terbantahkan dengan bagian dalam kedua mata, karena membasuhnya dari najis adalah wajib, sedangkan dari janabah tidaklah wajib.
فَإِنْ قَالُوا داخل العينين لا يجب غسله من وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ صَقِيلٌ لَا يَقْبَلُ النَّجَاسَةَ فَهَذِهِ دَعْوَى غَيْرُ مُسَلَّمَةٍ عَلَى أَنَّ بُطُونَ الْجُفُونِ غَيْرُ صَقِيلَةٍ تَقْبَلُ النَّجَاسَةَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَقَلُّ مِنَ الدِّرْهَمِ فَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْجُفُونَ الْأَرْبَعَةَ أَكْثَرُ مِنَ الدِّرْهَمِ.
Jika mereka berkata: “Bagian dalam kedua mata tidak wajib dibasuh karena dua alasan:
Pertama, karena ia licin dan tidak menerima najis” — maka ini adalah klaim yang tidak bisa diterima, karena bagian dalam kelopak mata tidak licin dan bisa menerima najis.
Kedua, karena najis di situ kurang dari satu dirham” — maka ini rusak (tidak sah), sebab keempat kelopak mata itu jika dihitung bersama, lebih besar dari ukuran satu dirham.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ الْفَمَ وَالْأَنْفَ فِي مَعْنَى ظَاهِرِ الْبَدَنِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِيصَالَ الْمَاءِ إِلَيْهِمَا لَا يَشُقُّ فَهَذَا يُفْسَدُ بِالْحُلْقُومِ لِأَنَّ إِيصَالَ الْمَاءِ إِلَيْهِ بِالشُّرْبِ لَا يَشُقُّ. وَالثَّانِي: أَنَّ حُصُولَ الطَّعَامِ فِيهِ لَا يُفْطِرُ وَهَذَا يُفْسَدُ بِدَاخِلِ الْعَيْنَيْنِ.
Adapun jawaban atas ucapan mereka bahwa mulut dan hidung termasuk makna lahiriah tubuh dari dua sisi:
Pertama, bahwa menyampaikan air ke dalam keduanya tidaklah sulit — maka ini rusak dengan (perumpamaan) tenggorokan, karena menyampaikan air ke dalamnya melalui minum juga tidak sulit.
Kedua, bahwa masuknya makanan ke dalam keduanya tidak membatalkan puasa — maka ini rusak dengan bagian dalam kedua mata.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهُ يَتَعَلَّقُ بِاللِّسَانِ حُكْمُ الْجَنَابَةِ لِمَنْعِهِ مِنَ الْقِرَاءَةِ فَهُوَ أَنَّهُ لَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَتَعَلَّقَ حُكْمُ الْحَدَثِ بِعُضْوٍ ثُمَّ يَرْتَفِعُ بِغَسْلِ غَيْرِهِ كَالْمُحْدِثِ هُوَ مَمْنُوعٌ مِنْ حَمْلِ الْمُصْحَفِ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ وَإِذَا غَسَلَ أَعْضَاءَهُ الْأَرْبَعَةَ لَمْ يُمْنَعْ فَهَذَا جَوَابُ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ أبو حنيفة.
Adapun jawaban atas ucapan mereka bahwa lisan terkena hukum janabah karena adanya larangan membaca (al-Qur’an) — maka tidak mustahil bahwa suatu hukum ḥadats itu berkaitan dengan suatu anggota tubuh, lalu hukum tersebut hilang dengan membasuh anggota yang lain.
Contohnya: orang yang berhadats dilarang membawa mushaf dengan bagian manapun dari tubuhnya, tetapi ketika ia telah membasuh empat anggota wudunya, maka ia tidak lagi dilarang. Maka inilah jawaban terhadap dalil yang digunakan oleh Abū Ḥanīfah.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُ مَنْ أَوْجَبَهُمَا فِي الطَّهَارَتَيْنِ بِفِعْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لهما فالجواب عنه أنه ليس له فعل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَحْمُولًا عَلَى الْإِيجَابِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بَيَانًا المجمل فِي الْكِتَابِ وَالطَّهَارَةُ مَعْقُولَةٌ غَيْرُ مُجْمَلَةٍ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ مَنْ أَوْجَبَ الِاسْتِنْشَاقَ وَحْدَهُ بِقَوْلِهِ مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَنْثُرَ، فَهُوَ أَنَّ ظَاهِرَهُ وَإِنْ كَانَ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ فَمَعْدُولٌ عَنْهُ بِمَا ذَكَرْنَا إِلَى الِاسْتِحْبَابِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ لَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ فَهُوَ أَنَّهُ أَمْرٌ بِالْمُبَالَغَةِ وَتِلْكَ غير واجبة فلم يكن منه دليل.
Adapun istidlāl (dalil) dari orang yang mewajibkan maḍmaḍah dan istinśāq dalam kedua ṭahārah (ṣughrā dan kubrā) dengan perbuatan Nabi SAW terhadap keduanya, maka jawabannya adalah: perbuatan Nabi SAW tidak bisa dibawa kepada hukum wajib kecuali jika ia merupakan penjelasan terhadap ayat yang mujmal dalam al-Kitab. Sementara ṭahārah itu maknanya dapat dipahami dan bukan termasuk yang mujmal.
Adapun jawaban terhadap orang yang berdalil tentang wajibnya istinśāq saja dengan sabda Nabi SAW: “Barang siapa berwudu, hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidungnya lalu mengeluarkannya,” maka walaupun zahirnya mengandung tuntutan wajib, namun telah dialihkan dari kewajiban kepada anjuran (istiḥbāb) dengan dalil-dalil yang telah kami sebutkan.
Adapun jawaban atas hadis Laqīṭ bin Ṣabirah, maka itu adalah perintah untuk mubālaghah (bersungguh-sungguh) — dan mubālaghah itu tidak wajib — maka tidak ada dalil kewajiban darinya.
فصل
وأما الفصل الثاني: في صِفَةِ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ وَكَيْفِيَّتِهِمَا: أَمَّا الْمَضْمَضَةُ فَهِيَ إِدْخَالُ الْمَاءِ إِلَى مُقَدَّمِ الْفَمِ، وَالْمُبَالَغَةُ فِيهَا إِدَارَتُهُ فِي جَمِيعِ الْفَمِ، وَالِاسْتِنْشَاقُ فَهُوَ إِدْخَالُ الْمَاءِ مُقَدَّمَ الْأَنْفِ، وَالْمُبَالَغَةُ فِيهِ إِيصَالُهُ إِلَى خَيْشُومِ الْأَنْفِ، وَالْمُبَالَغَةُ فِيهِمَا سُنَّةٌ زَائِدَةٌ عَلَيْهِمَا إلا أن يكون صائما فيبالغ في المضمضمة وَلَا يُبَالِغُ فِي الِاسْتِنْشَاقِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ: ” أَسْبِغِ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الأصابع وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صَائِمًا “. وَالْفَرْقُ فِي الصَّائِمِ بَيْنَ أَنْ يُبَالِغَ فِي الْمَضْمَضَةِ وَلَا يُبَالِغَ فِي الِاسْتِنْشَاقِ لِأَنَّهُ يُمْكِنُهُ بِإِطْبَاقِ حَلْقِهِ رَدُّ الْمَاءِ عَنْ وُصُولِهِ إِلَى جَوْفِهِ وَلَا يُمْكِنُهُ رَدُّ الْمَاءِ بِخَيْشُومِهِ عن الوصول إلى رأسه. فإذا ما تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ فَالسُّنَّةُ فِيهِمَا ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَفِي كَيْفِيَّتِهِمَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ وَالرَّبِيعُ أَنَّهُ يَتَمَضْمَضُ وَيَسْتَنْشِقُ ثَلَاثًا بِغَرْفَةٍ وَاحِدَةٍ فَيَغْرِفُ الْمَاءَ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى فَيَأْخُذُ مِنْهُ بِفَمِهِ فَيَتَمَضْمَضُ ثُمَّ يَأْخُذُ مِنْهُ بِأَنْفِهِ فَيَسْتَنْشِقُ ثُمَّ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَانِيَةً ثُمَّ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَالِثَةً كُلُّ ذَلِكَ مِنْ غَرْفَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَا يُقَدِّمُ الْمَضْمَضَةَ ثَلَاثًا عَلَى الِاسْتِنْشَاقِ وَدَلِيلُ ذَلِكَ رِوَايَةُ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثلاثا.
PASAL
Adapun pasal kedua: tentang sifat maḍmaḍah dan istinśāq serta tata caranya:
Maḍmaḍah adalah memasukkan air ke bagian depan mulut, dan mubālaghah (bersungguh-sungguh) dalam melakukannya adalah dengan memutar air ke seluruh bagian mulut.
Istinśāq adalah memasukkan air ke bagian depan hidung, dan mubālaghah dalam melakukannya adalah menyampaikan air ke rongga atas hidung (khaisyūm).
Mubālaghah dalam keduanya adalah sunnah yang tambahan atas asal maḍmaḍah dan istinśāq, kecuali bagi orang yang sedang berpuasa, maka ia boleh mubālaghah dalam maḍmaḍah namun tidak dalam istinśāq, berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Laqīṭ bin Ṣabirah:
“Sempurnakanlah wudu, selai jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam istinśāq, kecuali jika engkau sedang berpuasa.”
Perbedaan bagi orang yang berpuasa antara boleh mubālaghah dalam maḍmaḍah dan tidak boleh dalam istinśāq adalah karena ia dapat menahan air agar tidak masuk ke dalam perut dengan menutup tenggorokannya, tetapi tidak dapat menahan air dari khaisyūm-nya agar tidak mencapai ke dalam kepalanya.
Jika telah dipastikan sebagaimana kami jelaskan tentang maḍmaḍah dan istinśāq, maka sunnahnya adalah dilakukan tiga kali tiga kali. Dan tentang tata caranya terdapat dua pendapat:
Pertama, yaitu yang diriwayatkan oleh al-Muzanī dan al-Rabī‘, bahwa seseorang melakukan maḍmaḍah dan istinśāq tiga kali dengan satu cidukan air. Maka ia mengambil air dengan telapak tangan kanannya, lalu memasukkan sebagian ke mulutnya dan melakukan maḍmaḍah, lalu mengambil sisanya dengan hidungnya dan melakukan istinśāq. Kemudian ia mengulangi hal itu kedua kali, lalu ketiga kali — semuanya dari satu cidukan, dan ia tidak mendahulukan maḍmaḍah tiga kali atas istinśāq.
Dalil dari pendapat ini adalah riwayat ‘Amr bin Yaḥyā al-Māzinī dari ayahnya dari kakeknya, ‘Abdullāh bin Zayd bin ‘Āṣim, bahwa Rasulullah SAW melakukan maḍmaḍah dan istinśāq dari satu telapak tangan, dan beliau melakukannya sebanyak tiga kali.
والقول الثاني: راويه الْبُوَيْطِيِّ أَنَّهُ يَتَمَضْمَضُ وَيَسْتَنْشِقُ بِغَرْفَتَيْنِ فَيَغْرِفُ غَرْفَةً فَيَتَمَضْمَضُ بِهَا ثَلَاثًا وَيُقَدِّمُهَا عَلَى الِاسْتِنْشَاقِ ثُمَّ يَغْرِفُ غَرْفَةً ثَانِيَةً وَيَسْتَنْشِقُ بِهَا ثَلَاثًا.
وَدَلِيلُهُ رِوَايَةُ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ فَأَتَى بِالْمِيضَأَةِ إِلَى أَنْ قَالَ فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا الْحَدِيثَ. وَقَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يتوضأ.
Pendapat kedua: diriwayatkan oleh al-Buwayṭī, bahwa seseorang melakukan maḍmaḍah dan istinśāq dengan dua cidukan air. Ia menciduk sekali lalu menggunakan air itu untuk maḍmaḍah sebanyak tiga kali dan mendahulukannya atas istinśāq, kemudian menciduk lagi yang kedua, dan menggunakan air itu untuk istinśāq sebanyak tiga kali.
Dalilnya adalah riwayat Ibn Abī Mulaykah, ia berkata: “Aku melihat ‘Utsmān bin ‘Affān ditanya tentang wudu, maka beliau meminta dibawakan tempat air wudu, hingga beliau maḍmaḍah dan istinśāq tiga kali.” Lalu beliau berkata: “Beginilah aku melihat Rasulullah SAW berwudu.”
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يَغْرِفُ الْمَاءَ بِيَدَيْهِ فَيَغْسِلُ وَجْهَهُ ثَلَاثًا مِنْ مَنَابِتِ شَعْرِ رَأْسِهِ إِلَى أُصُولِ أُذُنَيْهِ وَمُنْتَهَى اللِّحْيَةِ إِلَى مَا أَقْبَلَ مِنْ وَجْهِهِ وذقنه “.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ غَسْلُ الْوَجْهِ أَوَّلُ الْأَعْضَاءِ الْوَاجِبَةِ فِي الْوُضُوءِ وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِهِ قَوْله تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [المائدة: 6] .
Masalah
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Kemudian ia menciduk air dengan kedua tangannya, lalu membasuh wajahnya tiga kali — dari tempat tumbuhnya rambut kepala hingga ke pangkal kedua telinga, dan dari ujung janggut hingga bagian depan wajah dan dagunya.”
Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa membasuh wajah adalah anggota pertama yang wajib dalam wudu. Dalil atas kewajibannya adalah firman Allah Ta‘ālā: {Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menunaikan shalat maka basuhlah wajah kalian} [al-Māidah: 6].
وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلْأَعْرَابِيِّ تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ تَعَالَى اغْسِلْ وَجْهَكَ وَذِرَاعَيْكَ وَامْسَحْ بِرَأْسِكَ وَاغْسِلْ رِجْلَيْكَ، وَتَوَضَّأَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ، وقال: ” هذا وضوء لا يقبل الله الصلاة إِلَّا بِهِ “.
Dan Nabi SAW berkata kepada seorang A‘rabi: “Berwudulah sebagaimana Allah Ta‘ālā memerintahkan kepadamu: basuhlah wajahmu dan kedua lenganmu, usaplah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu.”
Rasulullah SAW pun berwudu, lalu membasuh wajahnya, kedua lengannya, mengusap kepalanya, dan membasuh kedua kakinya, kemudian bersabda: “Inilah wudu yang Allah tidak menerima shalat kecuali dengannya.”
وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى وُجُوبِ غَسْلِهِ فَإِذَا ثَبَتَ ذَلِكَ فَحَدُّ الْوَجْهِ مُخْتَلِفٌ فِي الْعِبَارَةِ عَنْهُ فَحَدَّهُ الْمُزَنِيُّ هَكَذَا فَقَالَ مِنْ مَنَابِتِ شَعْرِ رَأْسِهِ إِلَى أُصُولِ أُذُنَيْهِ وَمُنْتَهَى اللِّحْيَةِ إِلَى مَا أَقْبَلَ مِنْ وَجْهِهِ وَذَقْنِهِ.
وَحَكَى الرَّبِيعُ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ أَنَّ حَدَّ الْوَجْهِ أَوْجَزُ مِنْ هَذَا اللَّفْظِ وَأَوْضَحُ مِنْ هَذَا الْحَدِّ فَقَالَ: (حَدُّ الْوَجْهِ مِنْ قِصَاصِ الشَّعْرِ وَأُصُولِ الْأُذُنَيْنِ إِلَى مَا أَقْبَلَ مِنَ الذَّقَنِ وَاللَّحْيَيْنِ، وَقَدْ حَدَّهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا بِغَيْرِ هَذَيْنِ فَقَالَ حَدُّهُ طُولًا مِنْ قِصَاصِ الشَّعْرِ إِلَى الذَّقْنِ وَعَرْضًا مِنَ الْأُذُنِ إلى الأذن.
Dan kaum muslimin telah sepakat atas wajibnya membasuh wajah. Maka apabila hal itu telah tetap, batas wajah terdapat perbedaan dalam ungkapan para ulama mengenai definisinya.
Al-Muzanī menyebutkan batas wajah sebagai berikut: “Dari tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke pangkal kedua telinga, dan dari ujung janggut hingga bagian depan wajah dan dagu.”
Dan al-Rabī‘ meriwayatkan dari al-Syāfi‘ī dalam al-Umm bahwa batas wajah itu lebih ringkas dan lebih jelas dari ungkapan tersebut, yaitu:
“Batas wajah adalah dari garis rambut kepala dan pangkal kedua telinga hingga bagian depan dagu dan kedua tulang rahang.”
Sebagian sahabat kami mendefinisikannya dengan cara lain, yaitu: “Batasnya secara vertikal adalah dari garis rambut kepala hingga dagu, dan secara horizontal dari telinga ke telinga.”
فَأَمَّا حَدُّ الْمُزَنِيِّ فَفَاسِدٌ لِأَنَّهُ حَدَّ الْوَجْهَ بِالْوَجْهِ وَإِذَا كَانَ الْوَجْهُ مَحْدُودًا بِمَا وَصَفْنَا فَالِاعْتِبَارُ بِالْغَالِبِ مِنْ أَحْوَالِ النَّاسِ. فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا اسْتَعْلَى شَعْرُ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ مِنْ مُقَدَّمِهِ كَالْأَجْلَحِ كَانَ ذَلِكَ مِنْ رَأْسِهِ، وَلَوِ انْحَدَرَ شَعْرُ رَأْسِهِ حَتَّى دَخَلَ فِي جَبْهَتِهِ كَالْأَغَمِّ كَانَ مِنْ وَجْهِهِ وَأَنْشَدَ الشَّافِعِيُّ قَوْلَ هدبة بن خشرم:
(فلا تنكحي إن فرق الدهر بيننا … أغم القفا والوجه ليس بأنزعا)
فسما مَوْضِعَ الْغَمَمِ وَجْهًا وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ شَعْرٌ.
Adapun batas yang disebutkan oleh al-Muzanī, maka itu rusak (tidak sah), karena ia membatasi wajah dengan wajah itu sendiri. Dan apabila wajah telah ditetapkan batasnya sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka yang dijadikan ukuran adalah kebiasaan mayoritas keadaan manusia.
Seandainya seseorang bagian depan kepalanya botak sehingga rambutnya surut ke belakang seperti orang yang ajlaḥ (botak depan), maka bagian itu termasuk dari kepala. Dan jika rambut kepalanya turun hingga masuk ke dahinya seperti orang yang agham (rambut turun menutupi dahi), maka bagian itu termasuk dari wajah.
Dan al-Syāfi‘ī membacakan syair Hudbah bin Khusyarm:
Falā tankiḥī in faraqad-dahru baynanā … aghamma al-qafā wal-wajhu laysa bi-anzā‘a
(“Maka janganlah engkau menikah jika takdir memisahkan kita… dengan laki-laki yang tengkuknya berbulu lebat dan wajahnya bukan botak depan”)
Maka beliau menyebut bagian yang tertutup rambut itu sebagai wajah, meskipun ada rambut di atasnya.
فَصْلٌ
فَإِنْ صَحَّ مَا ذَكَرْنَا فَالْجَبْهَةُ كُلُّهَا مِنَ الْوَجْهِ وَكَذَلِكَ الْجَبِينَانِ مِنَ الْوَجْهِ أَيْضًا وَالنَّزْعَتَانِ مِنَ الرَّأْسِ، فَأَمَّا التَّحَاذِيفُ وَهُوَ الشَّعْرُ النَّابِتُ فِي أَعَالِي الْجَبْهَةِ مَا بَيْنَ بَسِيطِ الرَّأْسِ وَمُنْحَدَرِ الْوَجْهِ تُوجَدُ الْحِفَافُ وَالتَّحْذِيفُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ هُوَ مِنَ الرَّأْسِ أَوْ مِنَ الْجَبْهَةِ؟
PASAL
Jika benar apa yang telah kami sebutkan, maka seluruh jabhah termasuk dari wajah, demikian pula kedua jabin juga termasuk dari wajah, sedangkan kedua naz‘ah termasuk dari kepala. Adapun taḥāżīf, yaitu rambut yang tumbuh di bagian atas jabhah antara dataran kepala dan lereng wajah, yang di situ terdapat ḥifāf dan taḥżīf, maka para sahabat kami berselisih pendapat apakah itu termasuk dari kepala atau dari jabhah.
فَذَهَبَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِلَى أَنَّهُ مِنَ الْوَجْهِ لِحُصُولِ الْمُوَاجَهَةِ بِهِ مِنْ مُنْحَدَرِ الْوَجْهِ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتِ النَّزْعَتَانِ مِنَ الرَّأْسِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِمَا شَعْرٌ لِأَنَّهُمَا لَيْسَتَا فِي مُنْحَدَرِ الْوَجْهِ وَتَسْطِيحِهِ، وَمَنْ قَالَ بِهَذَا حَدَّ الْوَجْهَ مِنْ قَصَاصِ الشَّعْرِ لِيَدْخُلَ فِيهِ مَوْضِعُ التَّحَاذِيفِ وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: هُوَ مِنَ الرَّأْسِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَّقَ بَيْنَ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ بِنَبَاتِ الشَّعْرِ فِي الرَّأْسِ وَعَدَمِ نَبَاتِهِ فِي الْوَجْهِ، فَلَمَّا كَانَ شَعْرُ التَّحَاذِيفِ يَتَّصِلُ نَبَاتُهُ بِشَعْرِ الرَّأْسِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنَ الرَّأْسِ دُونَ الْوَجْهِ.
Maka Abu al-‘Abbas bin Surayj dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berpendapat bahwa itu termasuk dari wajah karena adanya pertemuan langsung dengannya dari lereng wajah. Sebab ketika kedua naz‘ah termasuk dari kepala meskipun tidak ada rambut di atasnya, hal itu karena keduanya tidak berada pada lereng dan dataran wajah. Orang yang berpendapat demikian membatasi wajah mulai dari qaṣāṣ rambut agar masuk ke dalamnya tempat taḥāżīf.
Sedangkan Abu Ishaq al-Marwazi berkata: itu termasuk dari kepala, karena Allah Ta‘ala telah membedakan antara kepala dan wajah dengan adanya pertumbuhan rambut di kepala dan tidak adanya pertumbuhan rambut di wajah. Maka ketika rambut taḥāżīf sambung tumbuhnya dengan rambut kepala, wajiblah ia termasuk dari kepala, bukan dari wajah.
وَلِأَنَّ التَّحَاذِيفَ وَالْحِفَافَ مِنْ فِعْلِ الْآدَمِيِّينَ وَقَدْ يَخْتَلِفُونَ فِيهِ عَلَى عَادَاتِهِمُ الْمُخْتَلِفَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ حَدًّا لِأَنَّهُ قَدْ يَصِيرُ الْمَوْضِعُ تَارَةً مِنَ الْوَجْهِ إِنْ حُفَّ وَتَارَةً مِنَ الرَّأْسِ إِنْ لَمْ يُحَفَّ وَمَنْ قَالَ بِهَذَا حَدَّ الْوَجْهَ مِنْ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ لِيَخْرُجَ مِنْهُ مَوْضِعُ التَّحَاذِيفِ. وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ عِنْدِي لِأَنَّ اسْمَ الْوَجْهِ يَنْطَلِقُ عَلَى مَا حَصَلَتْ بِهِ الْمُوَاجَهَةُ.
Dan karena taḥāżīf dan ḥifāf merupakan perbuatan manusia, yang bisa berbeda-beda sesuai kebiasaan mereka yang beragam, maka tidak boleh dijadikan batas, sebab suatu tempat terkadang menjadi bagian dari wajah jika dicukur, dan terkadang menjadi bagian dari kepala jika tidak dicukur. Orang yang berpendapat demikian membatasi wajah dari tempat tumbuhnya rambut kepala agar keluar darinya bagian taḥāżīf.
Pendapat pertama lebih sahih menurutku, karena nama wajah mencakup apa saja yang terjadi padanya pertemuan langsung (muwājahah).
فَصْلٌ
فَأَمَّا الصُّدْغَانِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِمَا هَلْ هُمَا مِنَ الرَّأْسِ أَوْ مِنَ الْوَجْهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ هُمَا مِنَ الْوَجْهِ لِحُصُولِ الْمُوَاجَهَةِ بِهِمَا كَالْجَبِينِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ هُمَا مِنَ الرَّأْسِ لِاتِّصَالِ شَعْرِهِمَا بِشَعْرِ الرَّأْسِ.
PASAL
Adapun kedua ṣudgh, para sahabat kami berselisih pendapat apakah keduanya termasuk dari kepala atau dari wajah dalam tiga mazhab:
Pertama, yaitu qiyas dari pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, keduanya termasuk dari wajah karena adanya pertemuan langsung dengannya seperti jabin.
Kedua, yaitu qiyas dari pendapat Abu Ishaq, keduanya termasuk dari kepala karena rambutnya bersambung dengan rambut kepala.
وَالثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَجُمْهُورِ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّ مَا اسْتَعْلَى مِنَ الصُّدْغَيْنِ عَنِ الْأُذُنَيْنِ مِنَ الرَّأْسِ وَمَا انْحَدَرَ عَنِ الْأُذُنَيْنِ مِنَ الْوَجْهِ لِأَنَّ الْوَجْهَ مَحْدُودٌ بِالْأُذُنَيْنِ فَمَا عَلَا مِنْهُمَا لَا يَدْخُلُ فِي حَدِّهِ.
ketiga: yaitu pendapat Abu al-‘Abbas dan jumhur ulama Bashrah, bahwa bagian ṣudghayn yang berada di atas telinga termasuk kepala, dan yang menurun dari telinga termasuk wajah, karena wajah dibatasi dengan telinga, maka bagian yang di atasnya tidak termasuk dalam batasannya.
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا كَانَ أَمْرَدَ غَسَلَ بَشَرَةَ وَجْهِهِ كُلَّهَا وَإِنْ نَبَتَتْ لِحْيَتُهُ وَعَارِضَاهُ أَفَاضَ الْمَاءَ عَلَى لِحْيَتِهِ وَعَارِضَيْهِ وَإِنْ لَمَ يَصِلِ الْمَاءُ إِلَى بَشَرَةِ وَجْهِهِ الَّتِي تَحْتَ الشَّعْرِ أَجْزَأَهُ إِذَا كان شعره كثيفا “.
MASALAH
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apabila ia tidak mempunyai jenggot, maka ia membasuh seluruh kulit wajahnya, dan apabila telah tumbuh jenggot dan kedua ‘āriḍ-nya, maka ia mengalirkan air pada jenggot dan kedua ‘āriḍ-nya, dan jika air tidak sampai ke kulit wajah yang berada di bawah rambut, maka itu sudah mencukupi jika rambutnya tebal.”
قال الماوردي: وهذا صحيح، وجملته أن وجه الْمُتَوَضِّئِ لَا يَخْلُو مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ أَمْرَدًا لَا شَعْرَ عَلَيْهِ فَيَلْزَمُهُ أَنْ يُوصِلَ الْمَاءَ إِلَى جَمِيعِ الْبَشَرَةِ فَإِنْ أَخَلَّ بِشَيْءٍ مِنْهُ وَإِنْ قَلَّ لَمْ يُجْزِهِ حتى يستوعب جميعه.
Al-Māwardī berkata: “Ini benar, dan keseluruhannya adalah bahwa wajah orang yang berwudu tidak lepas dari empat keadaan:
Pertama: tidak mempunyai rambut (amrad) dan tidak ada rambut di wajahnya, maka ia wajib menyampaikan air ke seluruh kulit. Jika ia mengabaikan sedikit saja dari bagian itu, maka tidak sah wudunya sampai ia meratakan air ke seluruhnya.”
والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ ذَا لِحْيَةٍ كَثِيفَةٍ قَدْ سَتَرَتِ الْبَشَرَةَ فَيَلْزَمُهُ غَسْلُ مَا ظَهَرَ مِنَ الْبَشَرَةِ وَإِمْرَارُ الْمَاءِ عَلَى الشَّعْرِ السَّاتِرِ لِلْبَشَرَةِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى الْبَشَرَةِ الَّتِي تَحْتَ الشَّعْرِ. وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ وَأَشَارَ إِلَيْهِ الْمُزَنِيُّ فِي مَسَائِلِهِ الْمَنْثُورَةِ إِنَّ عَلَيْهِ إِيصَالَ الْمَاءِ إِلَى الْبَشَرَةِ الَّتِي تَحْتَ الشَّعْرِ كَالْجَنَابَةِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ غَسْلَ الْوَجْهِ مُسْتَحَقٌّ فِي الْوُضُوءِ كَاسْتِحْقَاقِهِ فِي الْجَنَابَةِ،، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى الْبَشَرَةِ فِي الْوُضُوءِ كَمَا يَلْزَمُهُ فِي الْجَنَابَةِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا لَزِمَ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى مَا تَحْتَ الْحَاجِبَيْنِ وَالشَّارِبِ لَزِمَهُ إِيصَالُهُ إِلَى مَا تَحْتَ اللِّحْيَةِ لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مِنْ بَشَرَةِ الْوَجْهِ.
Keadaan kedua: memiliki jenggot yang tebal yang menutupi kulit, maka ia wajib membasuh bagian kulit yang tampak dan mengalirkan air pada rambut yang menutupi kulit, dan tidak wajib menyampaikan air ke kulit yang berada di bawah rambut.
Abu Ṯaur berkata, dan al-Muzanī mengisyaratkannya dalam Masā’il beliau yang berserakan, bahwa ia wajib menyampaikan air ke kulit yang berada di bawah rambut sebagaimana mandi janabah, karena dua alasan:
Pertama: membasuh wajah adalah kewajiban dalam wudu sebagaimana kewajibannya dalam mandi janabah, maka wajib baginya menyampaikan air ke kulit dalam wudu sebagaimana wajib baginya dalam mandi janabah.
Kedua: ketika wajib menyampaikan air ke bawah alis dan kumis, maka wajib pula menyampaikannya ke bawah jenggot, karena semuanya termasuk kulit wajah.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [المائدة: 6] . وَاسْمُ الْوَجْهِ يَتَنَاوَلُ مَا يَقَعُ بِهِ الْمُوَاجَهَةُ، وَمَا تَحْتَ الشَّعْرِ الْكَثِيفِ لَا تَقَعُ بِهِ الْمُوَاجَهَةُ فَلَمْ يَتَنَاوَلْهُ الِاسْمُ وَإِذَا لَمْ يَتَنَاوَلْهُ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ الْحُكْمُ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ كَثِيفَ اللِّحْيَةِ وَغَسَلَ وَجْهَهُ مَرَّةً، وَالْمَرَّةُ الْوَاحِدَةُ لَا يَصِلُ فِيهَا الْمَاءُ إِلَى مَا تَحْتَ الشَّعْرِ وَالْبَشَرَةِ وَلِأَنَّهُ شَعْرٌ يَسْتُرُ مَا تَحْتَهُ فِي الْعَادَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَقِلَ الْفَرْضُ إِلَيْهِ قِيَاسًا عَلَى شَعْرِ الرَّأْسِ، وَبِالْعَادَةِ فَرَّقْنَا بَيْنَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ وَبَيْنَ شَعْرِ الْحَاجِبَيْنِ وَالذِّرَاعَيْنِ لِأَنَّ شَعْرَ اللِّحْيَةِ يَسْتُرُ مَا تَحْتَهُ فِي الْعَادَةِ فَلَمْ يَلْزَمْ غَسْلُ مَا تَحْتَهُ وَشَعْرُ الذِّرَاعَيْنِ وَالْحَاجِبَيْنِ لَا يَسْتُرُ مَا تَحْتَهُ فِي الْعَادَةِ فَلَزِمَ إِذَا صَارَ كَثِيفًا فِي النَّادِرِ أَنْ يُغْسَلَ مَا تَحْتَهُ، وَأَمَّا الْغَسْلُ مِنَ الْجَنَابَةِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْوُضُوءِ أَنَّ إِيصَالَ الْمَاءِ إِلَى جَمِيعِ الشَّعْرِ وَالْبَشَرَةِ مُسْتَحَقٌّ فِي الجنابة لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَإِنَّ تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةً “، وَفِي الْوُضُوءِ إنما يلزمه غسل ما ظهر لقوله: {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [المائدة: 6] . فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ مَا تَحْتَ الْبَشَرَةِ لَا يَلْزَمُ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَيْهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُمِرَّ الْمَاءَ عَلَى جَمِيعِ الشَّعْرِ الظَّاهِرِ، وَإِنْ تَرَكَ مِنْهُ شَيْئًا وَإِنْ قَلَّ لَمْ يُجِزْهُ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “Maka basuhlah wajah-wajah kalian” (al-Mā’idah: 6). Nama wajah mencakup apa yang tampak saat berhadapan, sedangkan bagian yang berada di bawah rambut yang tebal tidak tampak saat berhadapan, maka tidak termasuk dalam nama tersebut. Jika tidak termasuk, maka hukum tidak berlaku padanya.
Selain itu, Nabi SAW memiliki jenggot yang tebal dan beliau membasuh wajahnya satu kali, dan satu kali basuhan tidak mungkin membuat air sampai ke bawah rambut dan kulit. Rambut yang menutupi bagian di bawahnya secara kebiasaan, wajib berpindah kewajiban kepadanya dengan qiyas pada rambut kepala. Berdasarkan kebiasaan pula dibedakan antara rambut jenggot dengan rambut alis dan lengan, karena rambut jenggot secara kebiasaan menutupi bagian di bawahnya sehingga tidak wajib membasuh bagian bawahnya. Sedangkan rambut lengan dan alis tidak menutupi bagian di bawahnya secara kebiasaan, maka jika menjadi tebal secara jarang, wajib membasuh bagian bawahnya.
Adapun mandi janabah, perbedaannya dengan wudu adalah bahwa dalam janabah wajib menyampaikan air ke seluruh rambut dan kulit, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya di bawah setiap helai rambut ada janabah”. Sedangkan dalam wudu hanya wajib membasuh yang tampak saja, berdasarkan firman-Nya: “Maka basuhlah wajah-wajah kalian” (al-Mā’idah: 6).
Maka, jika telah tetap bahwa bagian di bawah kulit tidak wajib disampaikan air kepadanya, wajib mengalirkan air pada seluruh rambut yang tampak. Jika meninggalkan sedikit saja darinya, maka tidak sah wudunya.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَلْزَمُهُ أَنْ يَغْسِلَ الرُّبْعَ مِنْ شَعْرِ اللِّحْيَةِ فِي أَشْهَرِ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ وَالْخُفَّيْنِ وَلَا يَلْزَمُهُ فِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ أَنْ يَغْسِلَ شَيْئًا مِنْهُمَا وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} [المائدة: 6] . وَلِأَنَّهُ شَعْرٌ نَابِتٌ عَلَى بَشَرَةِ الْوَجْهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ غَسْلُهُ كَالْحَاجِبَيْنِ فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ اسْتِيعَابَ غَسْلِهِ وَاجِبٌ فَفَرْضُ الْغَسْلِ يَنْتَقِلُ عَنِ الْبَشَرَةِ إِلَى الشَّعْرِ عَلَى سَبِيلِ الْأَصْلِ لَا عَلَى سَبِيلِ الْبَدَلِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ غَسَلَ الشَّعْرَ ثُمَّ ذَهَبَ شَعْرُهُ، فَظَهَرَتِ الْبَشَرَةُ لَمْ يَجِبْ غَسْلُهَا. وَقَالَ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ: فَرْضُ الْغَسْلِ يَنْتَقِلُ إِلَى الشَّعْرِ عَلَى سَبِيلِ البدل، فإن ظهرت الْبَشَرَةُ بَعْدَ زَوَالِ الشَّعْرِ لَزِمَهُ غَسْلُهَا كَظُهُورِ الْقَدَمَيْنِ بَعْدَ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ فَرْضَ الْغَسْلِ يَتَعَلَّقُ بِالشَّعْرِ دُونَ الْبَشَرَةِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ غَسَلَ الْبَشَرَةَ دُونَ الشَّعْرِ لَمْ يُجِزْهُ، وَخَالَفَ مَسْحَ الْخُفَّيْنِ لِأَنَّهُ لَوْ غَسَلَ الرِّجْلَيْنِ وَلَمْ يَمْسَحْ عَلَى الْخُفَّيْنِ أَجْزَأَهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْفَرْضَ يَنْتَقِلُ إِلَى الْخُفَّيْنِ عَلَى سَبِيلِ الْبَدَلِ وَإِلَى شَعْرِ اللِّحْيَةِ عَلَى سَبِيلِ الْأَصْلِ.
Abu Ḥanīfah berkata: wajib membasuh seperempat dari rambut jenggot menurut riwayat yang paling masyhur darinya, berdasarkan pendapat asalnya dalam mengusap kepala dan kedua khuff. Dalam riwayat kedua darinya, tidak wajib membasuh sedikit pun darinya. Ini adalah keliru, karena firman Allah Ta‘ālā: “Maka basuhlah wajah-wajah kalian” (al-Mā’idah: 6), dan karena ia adalah rambut yang tumbuh di atas kulit wajah, maka wajib membasuhnya seperti alis.
Apabila telah tetap bahwa membasuh seluruhnya adalah wajib, maka kewajiban membasuh berpindah dari kulit kepada rambut sebagai hukum asal, bukan sebagai pengganti. Berdasarkan hal ini, jika ia membasuh rambut kemudian rambut itu hilang sehingga tampak kulitnya, maka tidak wajib membasuh kulit tersebut.
Abū Ja‘far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī berkata: kewajiban membasuh berpindah kepada rambut sebagai pengganti, maka jika kulit tampak setelah rambut hilang, wajib membasuhnya, seperti tampaknya kedua kaki setelah mengusap khuff. Ini adalah keliru, karena kewajiban membasuh berkaitan dengan rambut, bukan kulit. Buktinya, jika ia membasuh kulit tanpa membasuh rambut, maka tidak sah wudunya. Hal ini berbeda dengan mengusap khuff, karena jika ia membasuh kedua kakinya tanpa mengusap khuff, maka sah wudunya. Ini menunjukkan bahwa kewajiban berpindah ke khuff sebagai pengganti, sedangkan pada rambut jenggot sebagai hukum asal.
فَأَمَّا الْبَيَاضُ الَّذِي بَيْنَ الْوَجْهِ وَالْعِذَارِ فَهُوَ مِنَ الْوَجْهِ يَجِبُ غَسْلُهُ مِنَ الْمُلْتَحِي وَغَيْرِهِ، وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَلْزَمُهُ غَسْلُهُ مِنَ الْمُلْتَحِي لِأَنَّ شَعْرَ الْعِذَارِ حَائِلٌ بَيْنَهُ وبين الوجه وهذا خطأ، لأن عليا بْنَ أَبِي طَالِبٍ حِينَ وَصَفَ وُضُوءَ رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَضَعَ إِبْهَامَيْهِ فِي أُصُولِ أُذُنَيْهِ لِأَنَّهُ مَحَلٌّ مِنَ الْوَجْهِ لَمْ يَسْتُرْهُ شَعْرُ اللِّحْيَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَبْقَى فَرْضُ غَسْلِهِ كَالْوَجْنَةِ وَالْجَبْهَةِ.
Adapun bagian putih yang berada antara wajah dan ‘iḏār, maka ia termasuk wajah yang wajib dibasuh, baik bagi orang yang berjenggot maupun yang tidak.
Mālik berkata: tidak wajib membasuhnya bagi orang yang berjenggot, karena rambut ‘iḏār menjadi penghalang antara bagian itu dengan wajah. Ini adalah keliru, karena ‘Alī bin Abī Ṭālib ketika menggambarkan wudu Rasulullah SAW, beliau meletakkan kedua ibu jarinya pada pangkal kedua telinganya, karena itu adalah bagian dari wajah yang tidak tertutupi rambut jenggot, maka wajib tetap membasuhnya seperti pipi dan dahi.
فَصْلٌ: وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ
مِنْ أَحْوَالِ الْمُتَوَضِّئِ أَنْ يَكُونَ خَفِيفَ اللِّحْيَةِ لَا يَسْتُرُهُ شَعْرُ الْبَشَرَةِ فَهَذَا يَلْزَمُهُ غَسْلُ الشَّعْرِ وَالْبَشَرَةِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى غَسْلِ أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ لِأَنَّهُ مُوَاجِهٌ بِهِمَا جَمِيعًا فَلَوْ غَسَلَ الشَّعْرَ دُونَ الْبَشَرَةِ، أَوِ الْبَشَرَةِ دُونَ الشَّعْرِ لَمْ يُجِزْهُ الِاقْتِصَارُ عَلَى غَسْلِ بَعْضِ الْوَجْهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ عَلَيْهِ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى الْبَشَرَةِ وَإِنْ كَانَ الشَّعْرُ خَفِيفًا لِأَنَّ الْبَشَرَةَ بَاطِنَةٌ كَمَا لَوْ كَانَ الشَّعْرُ كَثِيفًا وَهَذَا خَطَأٌ لِرِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ: ” هَكَذَا أَمَرَنِي رَبِّي ” وَلِأَنَّهَا بَشَرَةٌ ظَاهِرَةٌ مِنْ وَجْهِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَيْهَا كَالَّتِي لَا شَعْرَ عَلَيْهَا وَلِأَنَّهُ حَائِلٌ لَهُ يَسْتُرُ جَمِيعَ الْمَحَلِّ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِهِ فَرْضُ الْمَحَلِّ قِيَاسًا على لبس خف مخرق.
PASAL: Keadaan ketiga dari keadaan orang yang berwudu adalah memiliki jenggot tipis yang tidak menutupi kulit. Maka ia wajib membasuh rambut dan kulitnya sekaligus, dan tidak boleh hanya membasuh salah satunya tanpa yang lain, karena ia berhadapan dengan keduanya sekaligus. Jika ia membasuh rambut tanpa kulit, atau kulit tanpa rambut, maka tidak sah, karena itu berarti hanya membasuh sebagian wajah.
Abu Ḥanīfah berkata: tidak wajib menyampaikan air ke kulit meskipun rambutnya tipis, karena kulit dianggap bagian dalam sebagaimana jika rambutnya tebal. Ini keliru, berdasarkan riwayat dari Anas bin Mālik bahwa Nabi SAW mengambil satu genggam air, lalu memasukkannya ke bawah dagunya dan menyela-nyelai jenggotnya seraya bersabda: “Beginilah Tuhanku memerintahkanku.”
Selain itu, kulit tersebut adalah bagian luar dari wajah, maka wajib menyampaikan air kepadanya sebagaimana kulit yang tidak berambut. Dan karena rambut itu menjadi penghalang yang menutupi seluruh bagian tersebut, maka gugurlah kewajiban membasuh bagian itu dengan qiyas pada memakai khuff yang sobek.
فصل: والحالة الرَّابِعَةُ
أَنْ يَكُونَ بَعْضُ شَعْرِهِ خَفِيفًا لَا يَسْتُرُ الْبَشَرَةَ وَبَعْضُهُ كَثِيفًا يَسْتُرُ الْبَشَرَةَ وَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْكَثِيفُ مُتَفَرِّقًا بَيْنَ أَثْنَاءِ الْخَفِيفِ لَا يَمْتَازُ مِنْهُ وَلَا يَنْفَرِدُ عَنْهُ فَهَذَا يَلْزَمُهُ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى جَمِيعِ الشَّعْرِ وَالْبَشَرَةِ مَعًا لِأَنَّ إِفْرَادَ الْكَثِيفِ بالغسل يشق وإمراره على الخفيف لا يجزي.
PASAL: Keadaan keempat, yaitu sebagian rambutnya tipis yang tidak menutupi kulit, dan sebagian lainnya tebal yang menutupi kulit. Keadaan ini terbagi menjadi dua:
Pertama: rambut tebal itu tersebar di sela-sela rambut tipis, tidak terpisah dan tidak berdiri sendiri. Maka dalam keadaan ini ia wajib menyampaikan air ke seluruh rambut dan kulit sekaligus, karena membasuh rambut tebal saja akan memberatkan, dan mengalirkan air hanya pada rambut tipis tidak mencukupi.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْخَفِيفُ مُتَمَيِّزًا مُنْفَرِدًا عَنِ الْكَثِيفِ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَغْسِلَ مَا تَحْتَ الْخَفِيفِ دُونَ الْكَثِيفِ اعْتِبَارًا بِمَا تَقَعُ بِهِ الْمُوَاجَهَةُ وَلَوْ غَسَلَ بَشَرَةَ جَمِيعِهِ كَانَ أَوْلَى.
فَأَمَّا شَعْرُ الْحَاجِبَيْنِ وَأَهْدَابُ الْعَيْنَيْنِ وَالشَّارِبِ وَالْعَنْفَقَةِ فَهَذِهِ الْمَوَاضِعُ الْأَرْبَعَةُ يَلْزَمُهُ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى مَا تَحْتَهَا مِنَ الْبَشَرَةِ سَوَاءٌ كَانَ شَعْرُهَا خَفِيفًا أَوْ كَثِيفًا.
Jenis kedua: rambut tipis itu terpisah dan berdiri sendiri dari rambut tebal. Maka wajib baginya membasuh bagian kulit di bawah rambut tipis, bukan di bawah rambut tebal, dengan pertimbangan bagian yang tampak saat berhadapan. Namun jika ia membasuh seluruh kulit di bawah keduanya, itu lebih utama.
Adapun rambut alis, bulu mata, kumis, dan ‘anfaqah, maka pada empat bagian ini wajib menyampaikan air ke kulit yang ada di bawahnya, baik rambutnya tipis maupun tebal.
لِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْقُوفًا وَبَعْضُهُمْ يصله بالنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تَنْسُوا الْمَغْفَلَةَ وَالْمَنْشَلَةَ “، فَالْمَغْفَلَةُ: الْعَنْفَقَةُ وَالْمَنْشَلَةُ مَا تَحْتَ الْخَاتَمِ، وَلِأَنَّ هَذِهِ مَوَاضِعُ يَخِفُّ شَعْرُهَا فِي الْغَالِبِ فَإِنْ كَثُفَتْ كَانَ نَادِرًا فَلَمْ يَسْقُطْ فَرْضُ الْغَسْلِ عَنِ الْبَشَرَةِ كَشَعْرِ الذِّرَاعَيْنِ وَلِأَنَّهُ شَعْرٌ بَيْنَ مَغْسُولَيْنِ فاعتبر حكمه بما بينهما.
Karena diriwayatkan dari Abū Bakr RA secara mauqūf —dan sebagian meriwayatkannya sampai kepada Nabi SAW— bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian lupa al-magfalah dan al-mansyalah.” Al-magfalah adalah ‘anfaqah, dan al-mansyalah adalah bagian di bawah cincin.
Selain itu, bagian-bagian ini pada umumnya berambut tipis, dan jika menjadi tebal maka itu jarang terjadi, sehingga kewajiban membasuh kulitnya tidak gugur, sebagaimana rambut pada lengan. Dan karena rambut ini berada di antara dua bagian yang wajib dibasuh, maka hukumnya disamakan dengan apa yang berada di antara keduanya.
فَصْلٌ: فَأَمَّا صِفَةُ الْغَسْلِ
: فَهُوَ أَنْ يَأْخُذَ الْمَاءَ بِيَدَيْهِ جَمِيعًا بِخِلَافِ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هَكَذَا فَعَلَ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَمْكَنُ لَهُ، وَلِأَنَّهُ أَسْبَغُ لِغَسْلِ وَجْهِهِ فَيَبْدَأُ بِأَعْلَى وَجْهِهِ ثُمَّ يَنْحَدِرُ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هَكَذَا كَانَ يَفْعَلُ، وَلِأَنَّهُ أَمْكَنُ لَهُ فَيَجْرِي الْمَاءُ بِطَبْعِهِ.
PASAL: Adapun tata cara membasuh, yaitu mengambil air dengan kedua tangannya sekaligus, berbeda dengan berkumur dan ber-istinsyāq, karena Rasulullah SAW melakukannya demikian. Hal itu juga lebih memungkinkannya dan lebih sempurna dalam membasuh wajah. Maka ia memulai dari bagian atas wajahnya kemudian menurun ke bawah, karena Rasulullah SAW melakukannya demikian, dan hal itu lebih memudahkannya sehingga air mengalir secara alami.
وَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ مَسَّ الْمَاءَ عَلَى وَجْهِهِ وَلَا يَسِنُهُ وَالسَّنُّ بِغَيْرِ إِعْجَامٍ صَبُّ الْمَاءِ وَبِالشِّينِ تَفْرِيقُ الْمَاءِ ثُمَّ يَمُرُّ بِيَدَيْهِ بِالْمَاءِ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى يَسْتَوْعِبَ الْمَاءُ جَمِيعَ مَا يَجِبُ إِيصَالُهُ إِلَيْهِ. فَإِنْ خَالَفَ مَا وَصَفْنَا فِي الِاخْتِيَارِ وَأَوْصَلَ الْمَاءَ إِلَى جَمِيعِ وَجْهِهِ أَجْزَأَهُ فَأَمَّا إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى الْعَيْنَيْنِ فَلَيْسَ بِوَاجِبٍ وَلَا سُنَّةٍ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُسْتَحَبُّ لَهُ ذَلِكَ أَمْ لَا فَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ يُسْتَحَبُّ لَهُ ذَلِكَ وَحَكَاهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ لِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ كان يفضله.
Dan telah diriwayatkan dari Ibn ‘Umar bahwa beliau menyentuhkan air pada wajahnya tanpa yasinnuhu, dan as-sannu tanpa titik berarti menuangkan air, sedangkan dengan huruf syin berarti meratakan air. Kemudian ia menjalankan kedua tangannya yang basah di atas wajahnya hingga air membasahi seluruh bagian yang wajib disampaikan air kepadanya.
Jika ia menyelisihi cara yang kami sebutkan sebagai yang utama, namun tetap menyampaikan air ke seluruh wajahnya, maka itu sudah mencukupi.
Adapun menyampaikan air ke dalam kedua mata, maka itu tidak wajib dan tidak sunnah. Para ulama kami berbeda pendapat apakah hal itu disunnahkan atau tidak. Abū Ḥāmid al-Isfarā’īnī raḥimahullāh berkata: disunnahkan baginya melakukan itu, dan beliau menukilkannya dari al-Syāfi‘ī dalam kitab al-Umm, karena Ibn ‘Umar menyukai hal tersebut.
وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ لِمَا يَلْحَقُهُ مِنَ الْمَشَقَّةِ فِيهِ وَيَنَالُهُ فَقَدْ رَوَى أَبُو أُمَامَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان إذا تؤضأ مَسَحَ بِأُصْبُعَيْهِ آمَاقَ عَيْنَيْهِ.
فَلَوْ كَانَ غَسْلُ الْعَيْنَيْنِ مَسْنُونًا أَوْ مُسْتَحَبًّا لَفَعَلَهُ احْتِيَاطًا لِنَفْسِهِ أَوْ بَيَانًا لِغَيْرِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan seluruh ulama kami yang lain berpendapat bahwa hal itu tidak disunnahkan, karena adanya kesulitan di dalamnya dan kemungkinan bahaya yang menimpanya. Telah meriwayatkan Abū Umāmah bahwa Nabi SAW ketika berwudu mengusap pelipis kedua matanya dengan kedua jarinya.
Seandainya membasuh kedua mata itu sunnah atau mustahabb, tentu beliau akan melakukannya sebagai bentuk kehati-hatian untuk dirinya atau penjelasan bagi orang lain. Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ثُمَّ يَغْسِلُ ذِرَاعَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ وَيُدْخِلُ الْمِرْفَقَيْنِ فِي الْوُضُوءِ فِي الْغَسْلِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَإِنْ كَانَ أَقْطَعَ الْيَدَيْنِ غَسَلَ مَا بَقِيَ مِنْهُمَا إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ وإن كَانَ أَقْطَعَهُمَا مِنَ الْمِرْفَقَيْنِ فَلَا فَرْضَ عَلَيْهِ فيهما. وأحب أن لو أمس موضهما الماء “.
MASALAH
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Kemudian ia membasuh lengan kanannya hingga siku, lalu lengan kirinya seperti itu, dan memasukkan kedua siku dalam wudu dalam basuhan, masing-masing tiga kali. Jika kedua tangannya terputus, maka ia membasuh sisa bagian dari keduanya hingga siku. Jika terputus dari siku, maka tidak ada kewajiban padanya pada bagian itu. Namun aku menyukai bila ia menyentuhkan air pada bekas potongannya.”
قال الْمَاوَرْدِيُّ: غَسْلُ الذِّرَاعَيْنِ وَاجِبٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ فَإِذَا غَسَلَهُمَا لَزِمَهُ غَسْلُ الْمِرْفَقَيْنِ مَعَهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْكَافَّةِ إِلَّا زفر بن الهذيل، فَإِنَّهُ قَالَ: غَسْلُ الْمِرْفَقَيْنِ غَيْرُ وَاجِبٍ لِأَنَّ اللَّهَ تعالى جعلهما ما حَدًّا فَقَالَ: {وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6] . وَالْحَدُّ لَا يَدْخُلُ فِي الْمَحْدُودِ. كَمَا قَالَ تَعَالَى: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ} [البقرة: 187] . فَجَعَلَ اللَّيْلَ حَدًّا فَلَمْ يَكُنْ دَاخِلًا فِيمَا لَزِمَ إِتْمَامُهُ مِنَ الصِّيَامِ وَكَمَا قَالَ بِعْتُكَ الدَّارَ وَحْدَهَا إِلَى الدُّكَّانِ لَمْ يَكُنِ الدُّكَّانُ دَاخِلًا فِي الْبَيْعِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6] . فَكَانَ الدَّلِيلُ فِي الْآيَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِلَى فِي هَذَا الْمَوْضِعِ بِمَعْنَى مَعَ وَلَيْسَتْ غَايَةً لِلْمَحْدُودِ فَتَصِيرُ حَدًّا وَتَقْدِيرُهُ مَعَ الْمَرَافِقِ.
Al-Māwardī berkata: Membasuh kedua lengan adalah wajib berdasarkan al-Qur’an, sunnah, dan ijma‘. Apabila ia membasuh keduanya, maka wajib membasuh kedua siku bersamanya, dan ini adalah pendapat seluruh ulama kecuali Zufar bin al-Huḏayl. Ia berkata: membasuh kedua siku tidak wajib, karena Allah Ta‘ālā menjadikannya sebagai batas, sebagaimana firman-Nya: {dan tangan-tangan kalian hingga siku} (al-Mā’idah: 6). Dan batas tidak termasuk dalam yang dibatasi, sebagaimana firman-Nya: {kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam} (al-Baqarah: 187), maka malam dijadikan batas dan tidak termasuk dalam apa yang wajib disempurnakan dari puasa. Dan seperti ucapan seseorang: “Aku menjual rumah ini kepadamu hingga toko,” maka toko tidak termasuk dalam penjualan.
Dalil yang menunjukkan bahwa kedua siku termasuk, ada dalam ayat dari dua sisi:
Pertama: kata ilā pada ayat ini bermakna “beserta” dan bukan bermakna sebagai batas akhir yang tidak termasuk, sehingga maknanya menjadi “beserta kedua siku.”
كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ} [البقرة: 14] . أَيْ مَعَ شَيَاطِينِهِمْ، وَكَقَوْلِهِ: {مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ} [الصف؛ 14] . أَيْ مَعَ اللَّهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ إِلَى وَإِنْ كَانَتْ حَدًّا وَغَايَةً فَقَدْ قَالَ الْمُبَرِّدُ: إِنَّ الْحَدَّ إِذَا كَانَ مِنْ جِنْسِ الْمَحْدُودِ دَخَلَ فِي جُمْلَتِهِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ لَمْ يَدْخُلْ، أَلَا تَرَاهُمْ يَقُولُونَ بِعْتُكَ الثَّوْبَ مِنَ الطَّرَفِ إِلَى الطَّرَفِ فَيَدْخُلُ الطَّرَفَانِ فِي الْبَيْعِ لِأَنَّهُمَا مِنْ جِنْسِهِ وَكَذَلِكَ لَمْ يَدْخُلْ إِمْسَاكُ اللَّيْلِ فِي جُمْلَةِ الصِّيَامِ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ جِنْسِ النَّهَارِ ثُمَّ الدَّلِيلُ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ أَدَارَ يَدَيْهِ عَلَى مِرْفَقَيْهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِيجَابَ غَسْلِهِمَا مَا لَا يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ قَبْلَ زفر فَكَانَ زفر محجوبا بإجماع من تقدمه.
Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {dan apabila mereka menyendiri bersama setan-setan mereka} (al-Baqarah: 14), maksudnya “beserta setan-setan mereka.” Dan firman-Nya: {Siapakah penolongku menuju Allah} (al-Ṣaff: 14), maksudnya “beserta Allah.”
Kedua: meskipun ilā bermakna batas dan tujuan akhir, al-Mubarrid berkata: sesungguhnya batas, jika ia berasal dari jenis yang sama dengan yang dibatasi, maka ia termasuk ke dalamnya. Jika dari selain jenisnya, maka ia tidak termasuk. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka berkata: “Aku menjual kain ini kepadamu dari ujung ke ujung,” maka kedua ujungnya termasuk dalam penjualan karena ia sejenis. Demikian pula, waktu malam tidak termasuk dalam puasa karena bukan dari jenis siang.
Dalil dari sunnah adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau ketika membasuh kedua lengannya, beliau memutar kedua tangannya pada kedua sikunya. Ini menunjukkan wajibnya membasuh kedua siku, dan tidak dikenal adanya perbedaan pendapat tentang hal ini sebelum Zufar. Maka Zufar terhalangi oleh ijma‘ orang-orang sebelum dia.
فَصْلٌ
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ غَسْلَ الذِّرَاعَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ وَاجِبٌ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُتَوَضِّئِ مِنْ أحد أمرين:
الأول: إما أن تكون يده سليمة أو قطعا، فَإِنْ كَانَ سَلِيمَ الْيَدِ بَدَأَ بِغَسْلِ ذِرَاعِهِ الْيُمْنَى فَأَجْرَى الْمَاءَ عَلَيْهِ وَأَدَارَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ هُوَ الَّذِي يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى نَفْسِهِ بَدَأَ مِنْ أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ إِلَى مِرْفَقِهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرُهُ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَيْهِ بَدَأَ مِنْ مِرْفَقِهِ إِلَى أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ وَوَقَفَ مَنْ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى يَسَارِهِ يَفْعَلُ كَذَلِكَ ثَلَاثًا ثُمَّ يَغْسِلُ ذِرَاعَهُ الْيُسْرَى كَذَلِكَ ثَلَاثًا فَإِنْ كَانَ أَقْطَعَ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
PASAL
Apabila telah tetap bahwa membasuh kedua lengan beserta kedua siku adalah wajib, maka keadaan orang yang berwudu tidak lepas dari dua hal:
Pertama: tangannya utuh atau terpotong. Jika tangannya utuh, ia memulai dengan membasuh lengan kanannya, mengalirkan air padanya, dan memutar telapak tangan kirinya di atasnya. Jika ia sendiri yang menuangkan air untuk dirinya, ia memulai dari ujung jari-jarinya hingga ke sikunya. Jika orang lain yang menuangkan air untuknya, ia memulai dari sikunya hingga ke ujung jarinya, dan orang yang menuangkan air berdiri di sebelah kirinya. Ia melakukan hal tersebut tiga kali, kemudian membasuh lengan kirinya dengan cara yang sama tiga kali.
Jika tangannya terpotong, maka ada tiga keadaan:
إِحْدَاهَا: أَنْ يَكُونَ أَقْطَعَ الْكَفِّ بَاقِيَ الذِّرَاعِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَغْسِلَ الذِّرَاعَ مَعَ الْمِرْفَقِ وَفَرْضُ الْكَفِّ قد سقط بزواله إلى غير بدل.
والحالة الثانية: أن يكون أقطع الذراع يأتي الْمِرْفَقِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَغْسِلَ الْمَرْفِقَ لِبَقَائِهِ مِنْ جملة المفروض في الغسل.
والحالة الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ أَقْطَعَ الذِّرَاعِ وَالْمِرْفَقِ فَلَا فَرْضَ عَلَيْهِ فِيهِ لِزَوَالٍ مَا فُرِضَ غَسْلُهُ لَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَمَسَّ مَوْضِعَهُ الْمَاءَ اخْتِيَارًا لَا وَاجِبًا.
وَأَنْكَرَ ابْنُ دَاوُدَ ذَلِكَ عَلَى الشَّافِعِيِّ إِنْكَارَ عِنَادٍ وَعَنَتٍ وَالْوَجْهُ فِي اسْتِحْبَابِهِ ذَلِكَ أُمُورٌ مِنْهَا الْأَثَرُ الْمَرْوِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ اسْتَحَبَّ غَسْلَهُ.
Pertama: terpotong telapak tangan sementara lengan masih tersisa, maka wajib membasuh lengan beserta siku, dan kewajiban membasuh telapak tangan gugur dengan hilangnya tanpa ada pengganti.
Kedua: terpotong lengan hingga mencapai siku, maka wajib membasuh siku karena ia masih termasuk bagian dari yang diwajibkan untuk dibasuh.
Ketiga: terpotong lengan dan siku, maka tidak ada kewajiban membasuhnya karena telah hilang bagian yang diwajibkan untuk dibasuh. Namun disunnahkan menyentuhkan air pada bekasnya sebagai pilihan, bukan kewajiban.
Ibn Dāwūd mengingkari hal itu dari al-Syāfi‘ī dengan pengingkaran yang keras dan mempersulit. Dasar dianjurkannya hal itu di antaranya adalah atsar yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa beliau menganjurkan untuk membasuhnya.
وَمِنْهَا أَنْ يَكُونَ خَلَفًا فِيمَا فَاتَ، وَمِنْهَا أَنَّهُ مَوْضِعٌ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهِ الْمَاءُ فِي إِسْبَاغِ الْوُضُوءِ فَلَمْ يقدم ذلك لزوال الْعُضْوِ.
وَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ قَالَ: وَلَوْ كَانَ أَقْطَعَهُمَا مِنَ الْمِرْفَقَيْنِ فَلَا فَرْضَ عَلَيْهِ فِيهِمَا، فَنَقَلَ جَوَابَ الْقِسْمِ الثَّالِثِ إِلَى الْقِسْمِ الثَّانِي، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَقُولُ هَذَا غَلَطٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ أَوْ سَهْوٌ فِي النَّقْلِ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ أَقْطَعَ الذِّرَاعَيْنِ مِنَ الْمِرْفَقَيْنِ لَزِمَهُ غَسْلُ الْمِرْفَقَيْنِ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْفَرْضُ فِيهِمَا. وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ جَوَابُ الْمُزَنِيِّ صَوَابٌ وَنَقْلُهُ صَحِيحٌ وَإِنَّمَا غَلِطَ عَلَيْهِ فِي التَّأْوِيلِ وَمُرَادُهُ بِقَوْلِهِ مِنَ الْمِرْفَقَيْنِ أَيْ مِنْ فَوْقِ الْمِرْفَقَيْنِ فَحُذِفَ ذَلِكَ اخْتِصَارًا وَاكْتَفَى بِفَهْمِ السَّامِعِ.
Dan di antaranya adalah sebagai pengganti dari bagian yang telah hilang, dan di antaranya lagi karena ia adalah tempat yang terkadang terkena air saat menyempurnakan wudu, sehingga tidak sepantasnya meninggalkannya hanya karena hilangnya anggota tersebut.
Adapun al-Muzanī, beliau berkata: “Jika kedua tangan terputus dari siku, maka tidak ada kewajiban padanya pada kedua bagian itu.” Maka beliau memindahkan jawaban untuk bagian ketiga ke bagian kedua.
Para ulama kami pun berbeda pendapat. Abū Isḥāq al-Marwazī berkata: “Ini adalah kekeliruan dari al-Muzanī atau kelalaian dalam periwayatan, karena jika kedua lengannya terpotong dari siku, maka wajib membasuh kedua siku dan kewajiban itu tidak gugur darinya.”
Sedangkan Abū ‘Alī bin Abī Hurairah berkata: “Jawaban al-Muzanī benar dan periwayatannya sahih. Kekeliruan hanya terjadi pada penakwilannya. Maksud beliau dengan perkataan ‘dari siku’ adalah ‘dari atas siku,’ dan kata tersebut dihilangkan untuk meringkas dengan mengandalkan pemahaman pendengar.”
فَصْلٌ
إِذَا خُلِقَتْ لِرَجُلٍ يَدٌ زَائِدَةٌ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِمَّا أَنْ يَكُونَ أَصْلُهَا خَارِجًا مِنْ دُونِ الْمِرْفَقِ أَوْ مِنْ فَوْقِهِ. فَإِنْ كَانَتْ مِنْ دُونِ الْمِرْفَقِ فَغَسْلُهُمَا وَاجِبٌ عَلَيْهِ مَعَ ذِرَاعَيْهِ كَمَا لَوْ كَانَ فِي كَفِّهِ أُصْبُعٌ زَائِدَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ فَوْقِ الْمِرْفَقِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ غَسْلُ مَا فَوْقَ الْمِرْفَقِ مِنَ الْيَدِ الزَّائِدَةِ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ عَلَيْهِ غَسْلُ مَا قَبْلَ الْمِرْفَقِ مِنَ الْيَدِ الزَّائِدَةِ إِلَى مَا انْحَدَرَ مِنْهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجِبُ عَلَيْهِ لِخُرُوجِ أَصْلِهِ عَنْ مَحَلِّ الْفَرْضِ.
PASAL
Jika seorang laki-laki diciptakan dengan tangan tambahan, maka tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: asalnya keluar dari bawah siku atau dari atasnya. Jika dari bawah siku, maka membasuh keduanya wajib baginya bersama kedua lengannya, sebagaimana jika di telapak tangannya ada jari tambahan. Jika dari atas siku, maka tidak wajib membasuh bagian yang berada di atas siku dari tangan tambahan tersebut.
Ulama kami berbeda pendapat apakah wajib membasuh bagian sebelum siku dari tangan tambahan itu hingga bagian yang menurun darinya, dengan dua pendapat:
Pertama: tidak wajib membasuhnya karena asalnya keluar dari tempat yang bukan bagian wajib.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجِبُ عَلَيْهِ غَسْلُهُ لِمُشَارَكَتِهِ فِي اسْمِ الْيَدِ وَمُقَابَلَتِهِ مَحَلَّ الْفَرْضِ، فَلَوِ اسْتَرْسَلَتْ جِلْدَةٌ مِنْ عَضُدِهِ، فَإِنْ لم تلتصق بالذراع لم يلزمه غسلها، لأنها غير متصلة بمحل الفرض ولا ينطلق عليها اسم اليد.
وإن التصقت بالذراع إلى المرفق وَجَبَ غَسْلُهَا لِأَنَّهَا مُتَّصِلَةٌ بِمَحَلِّ الْفَرْضِ لِأَنَّهَا صَارَتْ بِالِالْتِصَاقِ فِي حُكْمِ الذِّرَاعِ.
فَأَمَّا إِنِ اسْتَرْسَلَتْ جِلْدَةٌ مِنَ الذِّرَاعِ وَجَبَ غَسْلُ جَمِيعِهَا سَوَاءٌ الْتَصَقَتْ بِالْعَضُدِ أَمْ لَا لِأَنَّهَا مِنَ الذراع. والله أعلم.
Pendapat kedua: wajib membasuhnya karena termasuk dalam nama “tangan” dan posisinya berhadapan dengan tempat yang wajib dibasuh.
Jika ada kulit yang terjulur dari lengan atasnya, maka jika tidak menempel pada lengan bawah, tidak wajib membasuhnya karena tidak terhubung dengan tempat yang wajib dibasuh dan tidak termasuk dalam sebutan “tangan.”
Jika menempel pada lengan bawah hingga siku, maka wajib membasuhnya karena terhubung dengan tempat yang wajib dibasuh, sebab dengan menempel ia dihukumi sebagai bagian dari lengan bawah.
Adapun jika kulit terjulur dari lengan bawah, maka wajib membasuh seluruhnya, baik menempel pada lengan atas maupun tidak, karena ia bagian dari lengan bawah. Wallāhu a‘lam.
مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: ثُمَّ يَمْسَحُ رَأْسَهُ ثَلَاثًا وَأُحِبُّ أَنْ يَتَحَرَّى جَمِيعَ رَأْسِهِ وَصُدْغَيْهِ يَبْدَأُ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ يَذْهَبُ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ يَرُدُّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَسْحُ الرَّأْسِ وَاجِبٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ، وَاخْتَلَفُوا فِي قَدْرِ مَا يَجِبُ مَسْحُهُ منه على ثلاث مَذَاهِبَ شَتَّى.
MASALAH
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Kemudian ia mengusap kepalanya tiga kali, dan aku menyukai agar ia berusaha mengusap seluruh kepalanya dan kedua ṣudgh-nya. Ia memulai dari bagian depan kepalanya, lalu menggerakkan kedua tangannya ke belakang kepalanya, kemudian mengembalikannya ke tempat awal ia memulai.”
Al-Māwardī berkata: Sebagaimana yang beliau katakan, mengusap kepala adalah wajib berdasarkan al-Qur’an, sunnah, dan ijma‘. Para ulama berbeda pendapat tentang kadar minimal yang wajib diusap dari kepala, menjadi tiga mazhab yang berbeda.
فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَاجِبَ مِنْهُ ما ينطلق اسم المسح عليه ثَلَاثِ شَعَرَاتٍ فَصَاعِدًا.
وَقَالَ مَالَكٌ الْوَاجِبُ مَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ فَإِنْ تَرَكَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِ شَعَرَاتٍ عَامِدًا لَمْ يُجِزْهُ وَإِنْ تَرَكَ أَقَلَّ مِنَ الثَّلَاثِ نَاسِيًا أَجْزَأَهُ. . وَذَهَبَ الْمُزَنِيُّ إِلَى مَسْحِ جَمِيعِهِ مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ. وَعَنْ أبي حنيفة روايتان:
أحدهما: أَنَّ الْوَاجِبَ مَسْحُ النَّاصِيَةِ وَهُوَ مَا بَيْنَ النَّزْعَتَيْنِ.
Mazhab al-Syafi‘i berpendapat bahwa yang wajib diusap dari kepala adalah bagian yang sudah dapat disebut mengusap, yaitu tiga helai rambut atau lebih.
Mālik berpendapat bahwa yang wajib adalah mengusap seluruh kepala. Jika sengaja meninggalkan lebih dari tiga helai rambut, maka tidak sah wudunya, tetapi jika yang ditinggalkan kurang dari tiga helai karena lupa, maka sah.
Al-Muzanī berpendapat wajib mengusap seluruh kepala tanpa perincian.
Dari Abū Ḥanīfah terdapat dua riwayat:
Pertama: yang wajib adalah mengusap nāṣiyah, yaitu bagian antara kedua pelipis atas (al-naz‘atayn).
وَالثَّانِيَةُ: وَهِيَ الْمَشْهُورَةُ عَنْهُ وَبِهَا قَالَ أبو يوسف: إن الواجب مسح ربعه بثلاثة أَصَابِعَ فَإِنْ مَسَحَ الرُّبُعَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثِ أَصَابِعَ أَوْ مَسَحَ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ أَقَلَّ مِنَ الرُّبُعِ لَمْ يُجِزْهُ، فَحَدُّ الْمَمْسُوحِ وَالْمَمْسُوحِ بِهِ.
Riwayat kedua —dan ini yang masyhur darinya, serta menjadi pendapat Abū Yūsuf— bahwa yang wajib adalah mengusap seperempat kepala dengan tiga jari. Jika ia mengusap seperempat kepala dengan kurang dari tiga jari, atau mengusap dengan tiga jari tetapi kurang dari seperempat kepala, maka tidak sah. Maka ada batasan untuk bagian kepala yang diusap dan juga batasan untuk anggota yang digunakan untuk mengusap.
فأما مالك فاستدل بقوله تعالى: ِ {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ} [المائدة: 6] ، فَاقْتَضَى الظَّاهِرُ أَنْ يَمْسَحَ جميع ما انطلق عليه اسم الرأس، وَبِحَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بمقدم رأسه ثم ذهب بهما إلى ما قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الذي بدأ منه، وبحديث الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ يَكْرِبَ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ فَلَمَّا بَلَغَ مَسْحَ رَأْسِهِ وَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى مُقَدَّمِ رَأْسِهِ فَأَمَرَّهُمَا حَتَّى بَلَغَ الْقَفَا ثم ردهما إلى المكان الذي بدأ منه.
Adapun Mālik berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {Dan usaplah kepala-kepala kalian} (al-Mā’idah: 6), yang secara lahiriah menuntut untuk mengusap seluruh bagian yang masuk dalam sebutan kepala.
Juga dengan hadis ‘Abdullāh bin Zayd bahwa Rasulullah SAW mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, lalu menggerakkannya ke depan dan ke belakang; beliau memulai dari bagian depan kepalanya, lalu menggerakkannya ke tengkuk, kemudian mengembalikannya hingga kembali ke tempat awal beliau memulai.
Serta hadis al-Miqdām bin Ma‘dī Karib yang berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW berwudu, lalu ketika sampai pada mengusap kepalanya, beliau meletakkan kedua telapak tangannya pada bagian depan kepalanya, kemudian menggerakkannya hingga sampai ke tengkuk, lalu mengembalikannya ke tempat awal beliau memulai.”
ولأنه أحد الأعضاء الظاهرة فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ اسْتِيعَابُهُ بِالتَّطْهِيرِ وَاجِبًا كَالْوَجْهِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ كَانَ مَحَلًّا لِفَرْضِ الْمَسْحِ تَعَلَّقَ بِهِ فَرْضُ الْمَسْحِ أَصْلُهُ الْبَعْضُ الْمُتَّفَقُ عَلَيْهِ.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ} [المائدة: 6] ، وَمِنْهُ دَلِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَرَبَ لَا تُدْخِلُ فِي الْكَلَامِ حَرْفًا زَائِدًا إِلَّا بِفَائِدَةٍ، وَالْبَاءُ الزَّائِدَةُ، قَدْ تَدْخُلُ فِي كَلَامِهِمْ لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا لِلْإِلْصَاقِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي لَا يَصِحُّ الكلام بحذفها، ولا يتعدى الفعل إلى مفعوله إِلَّا بِهَا كَقَوْلِهِمْ مَرَرْتُ بِزَيْدٍ، وَكَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ} [الحج: 29] . لِمَا لَمْ يَصِحَّ أَنْ يَقُولُوا مَرَرْتُ زَيْدًا، وَلْيَطَّوَّفُوا الْبَيْتَ كَانَ دُخُولُ الْبَاءِ لِلْإِلْصَاقِ، وَلِتَعَدِّي الْفِعْلِ إِلَى مَفْعُولِهِ. وَإِمَّا لِلتَّبْعِيضِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَصِحُّ الْكَلَامُ بِحَذْفِهَا، وَبِتَعَدِّي الْفِعْلِ إِلَى مَفْعُولِهِ بَعْدَهَا لِيَكُونَ لِزِيَادَتِهَا فَائِدَةٌ.
Dan karena ia termasuk salah satu anggota tubuh yang tampak, maka wajib menyempurnakan penyuciannya sebagaimana wajah. Dan karena setiap tempat yang menjadi lokasi kewajiban mengusap, terkait padanya kewajiban mengusap, asalnya adalah sebagian yang telah disepakati.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan usaplah kepala kalian” (QS. al-Māidah: 6). Dari ayat ini terdapat dua dalil:
Pertama, bahwa orang Arab tidak memasukkan huruf tambahan ke dalam ucapan kecuali dengan adanya faidah. Huruf bā’ yang tambahan dapat masuk dalam ucapan mereka karena salah satu dari dua hal:
- Pertama, untuk ilṣāq (melekatkan) pada tempat yang tidak sah ucapan tanpa huruf tersebut dan fi‘il tidak bisa sampai kepada maf‘ulnya kecuali dengannya, seperti ucapan mereka marartu bi-Zaid (aku melewati Zaid), dan seperti firman-Nya Ta‘ala: “Dan hendaklah mereka melakukan ṭawaf di Baitul ‘Atiq” (QS. al-Ḥajj: 29). Karena tidak sah jika mereka mengatakan marartu Zaidan atau wal-yaṭṭawwafū al-bayta, maka masuknya huruf bā’ adalah untuk ilṣāq dan untuk menyampaikan fi‘il kepada maf‘ulnya.
- Kedua, untuk tab‘īḍ (menunjukkan sebagian) pada tempat yang sah ucapan dengan menghapusnya, dan fi‘il tetap sampai kepada maf‘ulnya setelahnya, sehingga tambahan huruf tersebut memiliki faidah.
فَلَمَّا حَسُنَ حَذْفُهَا مِنْ قَوْله تَعَالَى: {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ} [المائدة: 6] ، لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ: {وامسحوا رءوسكم} [المائدة: 6] ، صَلَحَ دَلَّ عَلَى دُخُولِهَا لِلتَّبْعِيضِ.
Maka ketika baik dihapusnya huruf tersebut dari firman Allah Ta‘ala: “Dan usaplah kepala kalian” (QS. al-Māidah: 6), karena jika Dia berfirman: “Dan usaplah kepala kalian” tanpa huruf bā’, itu tetap sah, menunjukkan bahwa masuknya huruf tersebut adalah untuk tab‘īḍ (menunjukkan sebagian).
وَالثَّانِي: أَنَّ مِنْ عَادَةِ الْعَرَبِ فِي الْإِيجَازِ وَالِاخْتِصَارِ إِذَا أَرَادُوا ذِكْرَ كَلِمَةٍ اقْتَصَرُوا عَلَى أَوَّلِ حَرْفٍ مِنْهَا اكْتِفَاءً بِهِ، عَنْ جَمِيعِ الْكَلِمَةِ كَمَا قيل في قوله تعالى: {كهيعص} أَنَّ الْكَافَ مِنْ كَافِي، وَالْهَاءَ مِنْ هَادِي، وَكَمَا قَالَ الشَّاعِرُ: قُلْتُ لَهَا قِفِي فَقَالَتْ قَافِ. أَيْ وَقَفْتُ، وَكَمَا قَالَ الْآخَرُ: نَادَوْهُمْ أَنْ أَلْجِمُوا أَلَا تَا فَقَالُوا جَمِيعًا كُلُّهُمْ أَلَا فَا، وَمَعْنَاهُ نَادَوْهُمْ أَنْ أَلْجِمُوا أَلَا تركبون قالوا جميعا ألا فاركبوا.
Dan kedua: bahwa di antara kebiasaan orang Arab dalam ījāz dan ikhtiṣār, apabila mereka ingin menyebut suatu kata, mereka cukup menyebut huruf pertamanya saja sebagai pengganti seluruh kata. Seperti dikatakan dalam firman Allah Ta‘ālā: {كهيعص}, bahwa huruf kāf dari kata kāfī, dan huruf hā’ dari kata hādī. Dan sebagaimana perkataan penyair: “Aku berkata kepadanya: qifī, maka ia berkata: qāf”, maksudnya: “Aku berhenti.” Dan sebagaimana perkataan penyair lain: “Mereka menyeru mereka: ‘Kekanglah, ألا تَا’, maka mereka semua berkata: ألا فَا,” yang maksudnya: mereka menyeru mereka: “Kekanglah, ألا tarkabūn (tidakkah kalian naik)?” Mereka semua berkata: “Ala farkabū (baiklah, naiklah).”
(1/115)
وَإِذَا كَانَ هَذَا مِنْ كَلَامِهِمْ كَانَتِ الْبَاءُ الَّتِي فِي قَوْلِهِ: {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ} (المائدة: 6) ، مُرَادًا بها بعض رؤوسكم لِأَنَّهَا أَوَّلُ حَرْفٍ مِنْ بَعْضٍ.
Dan apabila hal ini termasuk dari kebiasaan ucapan mereka, maka huruf bā’ pada firman-Nya: {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ} (al-Māidah: 6) dimaksudkan untuk menunjukkan sebagian kepala kalian, karena ia adalah huruf pertama dari kata ba‘ḍ (sebagian).
وَالدَّلِيلُ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ رِوَايَةُ ابْنِ سِيرِينَ عَنِ الْمُغِيرَةِ بن شعبة أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ أَوْ قَالَ مُقَدَّمِ رَأْسِهِ وَرَوَى أَبُو مَعْقِلٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يتوضأ عليه عمامةٌ فطرية، فأدخل يده من تحت العمامة فمسح مقدم رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضِ الْعِمَامَةَ. وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَوْ تَرَكَهُ نَاسِيًا فِي الطَّهَارَةِ فَلَمْ يَمْنَعْ مِنْ صِحَّةِ الطَّهَارَةِ لَمْ يَكُنْ مِنْ فُرُوضِ الطَّهَارَةِ كَمَسْحِ الْأُذُنَيْنِ. فَأَمَّا الْآيَةُ فَقَدْ ذَكَرْنَا وَجْهَيْ دَلِيلِنَا مِنْهَا، فَأَمَّا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بن زيد والمقدام بن معد يكرب فَمَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ بِدَلِيلِ مَا رَوَيْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ الْمُغِيرَةِ وَأَنَسٍ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ فَمُنْتَقَضٌ بِمَسْحِ الْخُفَّيْنِ لِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ مِنْهُ مَحَلٌّ لِفَرْضِ المسح وليس مسح جميعه واجب
Dan dalil dari sunnah adalah riwayat Ibn Sīrīn dari al-Mughīrah bin Syu‘bah bahwa Nabi SAW mengusap nāṣiyah-nya, atau beliau berkata: bagian depan kepalanya. Dan Abū Ma‘qil meriwayatkan dari Anas bin Mālik bahwa ia berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW berwudu, di atas kepalanya terdapat sorban faṭriyyah, lalu beliau memasukkan tangannya dari bawah sorban itu, mengusap bagian depan kepalanya, dan tidak melepas sorbannya.”
Dan karena setiap sesuatu yang apabila ditinggalkan karena lupa dalam ṭahārah tidak menghalangi sahnya ṭahārah, maka hal itu bukan termasuk fardhu ṭahārah, seperti mengusap kedua telinga.
Adapun ayat, maka telah kami sebutkan dua sisi dalil kami darinya. Adapun hadis Abdullah bin Zaid dan al-Miqdām bin Ma‘dī Karib, maka ditakwilkan kepada hukum istihbāb, berdasarkan dalil dari apa yang kami riwayatkan dari hadis al-Mughīrah dan Anas.
Adapun qiyās mereka, maka rusak dengan adanya mengusap kedua khuff, karena setiap bagian darinya adalah tempat yang sah untuk fardhu mengusap, tetapi tidak wajib mengusap seluruhnya.
(فصل: استدلال أبي حنيفة)
وَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ مَسْحِ رُبُعِهِ بِحَدِيثِ الْمُغِيرَةِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، قَالَ وَالنَّاصِيَةُ رُبُعُ الرَّأْسِ، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ فَلَمْ يَجُزْ فِيهِ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْأَعْضَاءِ. وَدَلِيلُنَا مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِالْآيَةِ الْمُوجِبَةِ لِمَسْحِ الْبَعْضِ مِنْ غَيْرِ تَحْدِيدٍ بِرُبُعٍ وَلَا ثُلُثٍ ثُمَّ حَدِيثُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مسح مقدم رأسه وذلك أَقَلُّ الرُّبُعِ، لِأَنَّهُ مَسَحَ بِالْمَاءِ فَوَجَبَ أَنْ يُجْزِئَ مِنْهُ مَا انْطَلَقَ اسْمُ الْمَسْحِ عَلَيْهِ قياساُ عَلَى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلِأَنَّهُ مَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ يُجْزِئَهُ قِيَاسًا عَلَى الرُّبُعِ، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ، فَلَمْ يَتَقَدَّرْ فَرْضُهُ بِالرُّبُعِ قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْأَعْضَاءِ، ولأن التقدير لا يثبت قياساً ولا سيما أبي حنيفة، وَلِأَنَّ تَقْدِيرَهُ بِالرُّبُعِ مِنْ غَيْرِ نَصٍّ لَيْسَ بِأَوْلَى مِنْ قَدْرِهِ بِأَقَلَّ مِنْهُ أَوْ بِأَكْثَرَ فَكَانَ مُطَّرِحًا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL: Istidlāl Abū Ḥanīfah
Adapun Abū Ḥanīfah, ia berdalil atas kewajiban mengusap seperempat kepala dengan hadis al-Mughīrah bahwa Nabi SAW mengusap nāṣiyah-nya. Ia berkata: nāṣiyah adalah seperempat kepala. Dan karena ia merupakan salah satu anggota ṭahārah, maka tidak boleh di dalamnya hanya cukup dengan sesuatu yang sekadar terkena nama (anggota tersebut), dengan qiyās kepada seluruh anggota lainnya.
Dalil kami adalah apa yang telah kami sebutkan dari istidlāl dengan ayat yang mewajibkan mengusap sebagian kepala tanpa pembatasan seperempat atau sepertiga. Kemudian hadis Anas bin Mālik bahwa Nabi SAW mengusap bagian depan kepalanya, dan itu kurang dari seperempat, karena beliau mengusap dengan air. Maka wajib hukumnya mencukupi dari bagian yang sudah disebut masḥ, dengan qiyās kepada mengusap kedua khuff.
Dan karena beliau mengusap sebagian kepalanya, maka wajib mencukupi dengan qiyās kepada seperempat. Dan karena ia salah satu anggota ṭahārah, maka tidak ditetapkan ukurannya dengan seperempat, dengan qiyās kepada seluruh anggota lainnya. Dan karena penentuan ukuran tidak ditetapkan dengan qiyās, apalagi bagi Abū Ḥanīfah. Dan karena menentukan ukurannya dengan seperempat tanpa nash, tidak lebih utama daripada menentukannya dengan kurang atau lebih darinya, maka hal itu tertolak. Wallāhu a‘lam.
(فَصْلٌ: استحباب مسح جميع الرأس)
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْفَرْضَ فِي الرَّأْسِ مَسْحُ بَعْضِهِ وَإِنْ قَلَّ فَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يَمْسَحَ جَمِيعَهُ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: رِوَايَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ والمقدام بن معد يكرب أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ بَجَمِيعِ رَأْسِهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَصِيرَ بِاسْتِيعَابِ مَسْحِ رَأْسِهِ مُؤَدِّيًا بِالْإِجْمَاعِ فَرْضَ مَا مَسَحَهُ، فَإِذَا أَرَادَ مَسْحَ رَأْسِهِ كُلِّهِ مَسَحَ بِيَدَيْهِ عَلَى مَا وَصَفَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ فَيَغْمِسُ يَدَهُ فِي الْمَاءِ وَيَبْدَأُ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ وَيُمِرُّهُمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ يَرُدُّهُمَا إِلَى مُقَدَّمِهِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَيَمْسَحُ جَمِيعَ رَأْسِهِ وَصُدْغَيْهِ. فَمَنْ جَعَلَ مِنْ أَصْحَابِنَا الصُّدْغَيْنِ مِنَ الرَّأْسِ قَالَ إِنَّمَا أَمَرَ بِذَلِكَ لِاسْتِيعَابِ مَسْحِ الرَّأْسِ.
PASAL: Disunnahkan Mengusap Seluruh Kepala
Apabila telah tetap bahwa fardhu pada kepala adalah mengusap sebagian darinya meskipun sedikit, maka yang disunnahkan adalah mengusap seluruhnya karena dua alasan:
Pertama: Riwayat Abdullah bin Zaid dan al-Miqdām bin Ma‘dī Karib bahwa Nabi SAW mengusap seluruh kepalanya.
Kedua: Dengan menyempurnakan usapan pada seluruh kepala, ia berarti telah menunaikan secara ijma‘ fardhu dari bagian yang diusapnya.
Apabila ingin mengusap seluruh kepalanya, hendaklah ia mengusap dengan kedua tangannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdullah bin Zaid: ia mencelupkan tangannya ke dalam air, memulai dari bagian depan kepalanya, lalu mengusapkannya hingga ke tengkuk, kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan.
Imam al-Syafi‘i berkata: Maka hendaklah ia mengusap seluruh kepalanya dan kedua ṣudgh-nya. Barang siapa di antara sahabat kami yang menganggap kedua ṣudgh termasuk kepala, maka ia berkata: perintah tersebut dimaksudkan untuk menyempurnakan usapan pada seluruh kepala.
وَمَنْ لَمْ يَجْعَلْهُمَا مِنَ الرَّأْسِ قَالَ إِنَّمَا أَمَرَ بِمَسْحِهِمَا وَإِنْ لَمْ يَكُونَا مِنْهُ لِيَصِيرَ بِالْمُجَاوَرَةِ إِلَيْهِمَا مُسْتَوْفِيًا لِجَمِيعِ الرَّأْسِ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَوْعَبَ مَسْحَ رَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا. وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ: السُّنَّةُ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ مَرَّةً وَاحِدَةً، وَمَا زَادَ عَنِ الْمَرَّةِ مَكْرُوهٌ استدلالاُ بِرِوَايَةِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مسح رأسه مَرَّةً وَاحِدَةً وَلِأَنَّهُ مَمْسُوحٌ فِي الطَّهَارَةِ فَوَجَبَ أَلَّا يَكُونَ التَّكْرَارُ فِيهِ مَسْنُونًا كَالتَّيَمُّمِ وَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلِأَنَّ فَرْضَ الْمَسْحِ مَقْصُورٌ عَلَى بَعْضِ الرَّأْسِ وَاسْتِيعَابَهُ سُنَّةٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ تَكْرَارُ مَسْحِهِ سُنَّةً ثَانِيَةً لِأَنَّ الْعُضْوَ الْوَاحِدَ لَا يَجْتَمِعُ فِيهِ سُنَّتَانِ.
Dan barang siapa yang tidak menganggap keduanya (ṣudgh) termasuk kepala, ia berkata: Sesungguhnya perintah untuk mengusap keduanya—meskipun bukan bagian dari kepala—dimaksudkan agar dengan kedekatannya kepada kepala, usapan terhadap keduanya menjadikan seluruh kepala terusap sempurna.
Apabila ia melakukan hal tersebut, berarti ia telah menyempurnakan usapan seluruh kepalanya satu kali. Disunnahkan melakukannya tiga kali.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: Sunnah dalam mengusap kepala adalah satu kali saja, dan tambahan dari satu kali hukumnya makruh. Mereka berdalil dengan riwayat ‘Alī bin Abī Ṭālib, Abdullah bin ‘Abbās, dan Abdullah bin Zaid bahwa Nabi SAW mengusap kepalanya satu kali saja.
Dan karena kepala termasuk anggota yang diusap dalam ṭahārah, maka tidak disunnahkan pengulangan padanya, sebagaimana tayammum dan mengusap kedua khuff. Selain itu, fardhu mengusap hanya terbatas pada sebagian kepala, sedangkan menyempurnakan seluruh kepala hukumnya sunnah. Maka tidak boleh menjadikan pengulangan usapan sebagai sunnah kedua, karena pada satu anggota tidak bisa terkumpul dua kesunnahan.
وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ عُضْوٌ فِي الطَّهَارَةِ فَلَمْ يَجْتَمِعْ فِيهِ سُنَّتَانِ قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْأَعْضَاءِ وَلِأَنَّ الْمَسْنُونَ فِي الرَّأْسِ الْمَسْحُ وَفِي تَكْرَارِهِ خُرُوجٌ عَنْ حَدِّ المسح إلى الغسل والغسل غير مسنون فكذلك مَا أَدَّى إِلَيْهِ مِنْ تَكْرَارِ الْمَسْحِ غَيْرُ مَسْنُونٍ وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ حُمْرَانَ وَشَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ عُثْمَانَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثَلَاثًا) . وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أَوْفَى وَأَبُو رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثَلَاثًا. وَرَوَتِ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّتَيْنِ، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ التَّكْرَارُ فِي إِيصَالِ الْمَاءِ إِلَيْهِ مَسْنُونًا قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْأَعْضَاءِ، وَلِأَنَّ الْمَسْحَ أَحَدُ نَوْعَيِ الْوُضُوءِ فَكَانَ التَّكْرَارُ مَسْنُونًا فِيهِ كَالْغَسْلِ.
Penjelasannya: Kepala adalah salah satu anggota ṭahārah, sehingga tidak mungkin terkumpul padanya dua kesunnahan, dengan qiyās kepada seluruh anggota lainnya. Dan karena yang disunnahkan pada kepala adalah mengusap, sedangkan mengulanginya akan keluar dari batas masḥ menuju ghusl, dan ghusl tidak disunnahkan, maka sesuatu yang mengantarkan kepadanya—yaitu pengulangan masḥ—juga tidak disunnahkan.
Dalil kami adalah riwayat Ḥumrān dan Syaqīq bin Salamah dari ‘Utsmān bahwa Nabi SAW mengusap kepalanya tiga kali. Dan riwayat Abdullah bin Abī Awfā dan Abū Rāfi‘ bahwa Nabi SAW mengusap kepalanya tiga kali. Dan riwayat al-Rubayyi‘ binti Mu‘awwidz bin ‘Afrā’ bahwa Nabi SAW mengusap kepalanya dua kali.
Selain itu, karena kepala adalah salah satu anggota ṭahārah, maka pengulangan dalam menyampaikan air kepadanya adalah sunnah, dengan qiyās kepada seluruh anggota lainnya. Dan karena masḥ adalah salah satu dari dua jenis perbuatan dalam wudu, maka pengulangan padanya juga disunnahkan seperti halnya ghusl.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ رِوَايَتِهِمْ بِأَنَّهُ مَسَحَ مَرَّةً فَهُوَ أَنَّهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى الْجَوَازِ، وأحاديثنا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ. وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى التَّيَمُّمِ وَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَالْمَعْنَى فِيهِمَا أَنَّهَا طَهَارَةٌ أُسْقِطَ فِيهَا الْمَسْنُونُ وَاقْتُصِرَ عَلَى بَعْضِ الْفَرْضِ، فَكَأَنَّ التَّكْرَارَ أُسْقِطَ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَسْحُ الرَّأْسِ لِأَنَّ الْمَسْنُونَ مُعْتَبَرٌ فِيهِ كَسَائِرِ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ.
Adapun jawaban terhadap riwayat mereka bahwa beliau mengusap satu kali, maka hal itu ditakwilkan kepada kebolehan, sedangkan hadis-hadis kami menunjukkan kesunnahan.
Adapun qiyās mereka kepada tayammum dan mengusap kedua khuff, maka illat pada keduanya adalah bahwa ia merupakan ṭahārah yang di dalamnya gugur kesunnahan dan cukup dengan sebagian fardhu, sehingga seakan-akan pengulangan dihapuskan. Tidak demikian halnya dengan mengusap kepala, karena kesunnahan tetap diperhitungkan padanya sebagaimana pada seluruh anggota wudu lainnya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ الْعُضْوَ الْوَاحِدَ لَا يَدْخُلُهُ الْمَسْنُونُ مِنْ وَجْهَيْنِ فَغَلَطٌ، وَلَا يَمْتَنِعُ ذَلِكَ فِي الْوُضُوءِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْوَجْهَ فِيهِ سُنَّتَانِ: الْمَضْمَضَةُ وَالِاسْتِنْشَاقُ وَالتَّكْرَارُ ثَلَاثًا فَكَذَا الرَّأْسُ وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ يَصِيرُ بِتَكْرَارِ الْمَسْحِ مَغْسُولًا فَفِيهِ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَكْرُوهَ هُوَ أَنْ يَبْتَدِئَ بِغَسْلِهِ وَهَذَا لَمْ يُبْتَدَأْ بِهِ، وَإِنَّمَا أَفْضَى إِلَيْهِ.
وَالثَّانِي: لَا يَصِيرُ مَغْسُولًا لِأَنَّ حَدَّ الْغَسْلِ أَنْ يَجْرِيَ الْمَاءُ بِطَبْعِهِ وَذَلِكَ لَا يَكُونُ بِتَكْرَارِ مَسْحِهِ.
Adapun jawaban terhadap perkataan mereka bahwa satu anggota tidak mungkin dimasuki sunnah dari dua sisi adalah keliru. Hal itu tidak mustahil terjadi dalam wudhu. Tidakkah engkau melihat bahwa pada wajah terdapat dua sunnah: berkumur dan menghirup air ke hidung, serta mengulanginya tiga kali, demikian pula kepala.
Adapun perkataan mereka bahwa dengan mengulang usapan kepala maka ia menjadi basuhan, maka ada dua jawaban:
Pertama: yang makruh adalah memulai dengan membasuhnya, sedangkan ini tidak dimulai dengan membasuh, tetapi hanya berujung kepadanya.
Kedua: ia tidak menjadi basuhan, karena batasan basuhan adalah air mengalir dengan sendirinya, dan hal itu tidak terjadi dengan mengulang usapan.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَفِي مَسْحِ الرَّأْسِ أَرْبَعَةُ أَحْكَامٍ فَرْضٌ وَسُنَّتَانِ وَهَيْئَةٌ، فَأَمَّا الْفَرْضُ فَمَسْحُ بعضه وإن قيل، وَأَمَّا السُّنَّتَانِ فَإِحْدَاهُمَا، اسْتِيعَابُ جَمِيعِهِ.
وَالثَّانِيَةُ: تَكْرَارُهُ ثَلَاثًا، وَأَمَّا الْهَيْئَةُ فَالْبِدَايَةُ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ إِذْهَابُ يَدَيْهِ إِلَى مُؤَخَّرِهِ ثُمَّ رَدُّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ، فَلَوِ اقْتَصَرَ عَلَى الْفَرْضِ فَمَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ أَجْزَأَهُ إِذَا مَسَحَ ثَلَاثَ شَعَرَاتٍ فَصَاعِدًا، وَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى مَسْحِ شَعْرَةٍ وَاحِدَةٍ فَفِي إِجْزَائِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَغْدَادِيِّينَ مِنْ أَصْحَابِنَا وَبِهِ قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ يُجْزِئُهُ لِأَنَّهُ مَسَحَ جُزْءًا مِنْ رَأْسِهِ.
PASAL
Apabila telah tetap sebagaimana yang kami sebutkan, maka dalam mengusap kepala terdapat empat hukum: fardhu, dua sunnah, dan satu hai’ah.
Adapun yang fardhu adalah mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit.
Adapun dua sunnah: pertama, mengusap seluruh kepala; kedua, mengulanginya tiga kali.
Adapun hai’ah adalah memulai dari bagian depan kepala, kemudian menggerakkan kedua tangan ke bagian belakangnya, lalu mengembalikannya ke tempat semula.
Jika ia mencukupkan diri dengan yang fardhu, lalu mengusap sebagian kepala, maka hal itu mencukupi apabila ia mengusap tiga helai rambut atau lebih. Jika hanya mengusap satu helai rambut, maka dalam hal mencukupinya terdapat dua pendapat:
Pertama, yaitu mazhab para ulama Baghdad dari kalangan ashḥāb kami, dan ini juga pendapat Sufyān al-Thawrī, bahwa itu mencukupi karena ia telah mengusap sebagian dari kepalanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ لِتَعَذُّرِ ذَلِكَ فِي الْإِمْكَانِ إِلَّا بِمَشَقَّةٍ، وَلِأَنَّ الْحُكْمَ الْمُتَعَلِّقَ بِالرَّأْسِ لَا يَكْمُلُ إِلَّا بِثَلَاثِ شَعَرَاتٍ كَالْفِدْيَةِ عَلَى الْمُحَرَّمِ.
قَالَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَالَّذِي أَرَاهُ أَوْلَى بِالْحَقِّ عِنْدِي أَنَّهُ لَا يَتَقَدَّرُ أَقَلُّهُ بِهَذَا الْعَدَدِ مِنْ ثَلَاثِ شَعَرَاتٍ وَمَا دُونَهَا بَلْ يَكُونُ مَسْحُ أَقَلِّهِ مُعْتَبَرًا بِأَنْ يَمْسَحَ بِأَقَلِّ شَيْءٍ مِنْ إِصْبَعِهِ عَلَى أَقَلِّ شَيْءٍ مِنْ رَأْسِهِ، فَيَكُونُ هُوَ الْأَقَلُّ الَّذِي لَا يُجْزِئُ دُونَهُ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مَا يُقْتَصَرُ عَلَيْهِ فِي العرف وما دُونَهُ خَارِجٌ عَنِ الْعُرْفِ، فَامْتَنَعَ مَا خَرَجَ عَنِ الْعُرْفِ أَنْ يَكُونَ حَدًّا، وَكَانَ مَا وَافَقَ الْعُرْفَ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ حَدًّا.
Pendapat kedua, yaitu pendapat ulama Basrah dari kalangan ashḥāb kami, bahwa hal itu tidak mencukupi karena sulit terealisasi kecuali dengan kesulitan, dan karena hukum yang terkait dengan kepala tidak sempurna kecuali dengan tiga helai rambut, sebagaimana fidyah bagi orang yang sedang ihram.
Beliau RA berkata: Menurutku, yang lebih layak untuk dianggap benar adalah bahwa batas minimalnya tidak ditentukan dengan jumlah tiga helai rambut atau kurang darinya, tetapi batas minimal yang dianggap sah adalah mengusap dengan bagian terkecil dari jarinya pada bagian terkecil dari kepalanya. Itulah batas minimal yang tidak sah jika kurang darinya, karena itu merupakan kadar paling sedikit yang secara ʿurf dianggap masih mengusap, sedangkan yang kurang dari itu keluar dari ʿurf. Maka, sesuatu yang keluar dari ʿurf tidak dapat dijadikan batasan, dan yang sesuai dengan ʿurf lebih layak dijadikan batasan.
(فَصْلٌ: القول في المسح على العمائم)
وإذا مسح بعض رأسه فيحتار أَنْ يُكْمِلَ ذَاكَ بِمَسْحِ الْعِمَامَةِ. نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ لِرِوَايَةِ وَهْبٍ الثَّقَفِيِّ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شعبة أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى عِمَامَتِهِ.
PASAL: Perkataan tentang mengusap di atas sorban
Apabila seseorang mengusap sebagian kepalanya, maka disunnahkan untuk menyempurnakannya dengan mengusap sorban. Hal ini dinyatakan oleh al-Syafi‘i, berdasarkan riwayat Wahb al-Tsaqafī dari al-Mughīrah bin Syu‘bah bahwa Nabi SAW berwudhu, lalu mengusap ubun-ubunnya dan sorbannya.
فَأَمَّا إِنِ اقْتَصَرَ عَلَى مَسْحِ الْعِمَامَةِ وَحْدَهَا دُونَ الرَّأْسِ لم يجزيه فِي قَوْلِ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ. وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حنبل وسفيان الثوري يجزيه اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَرِيَّةً فَأَصَابَهُمُ الْبَرْدُ فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمرهم أن يمسحوا على العصائب والنساخين، يعني بالعصائب العمائم، والنساخين يَعْنِي بِهِ الْخِفَافَ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ عُضْوٌ يَسْقُطُ فِي التَّيَمُّمِ فَجَازَ الِاقْتِصَارُ بِالْمَسْحِ عَلَى حَائِلٍ دُونَهُ كَالرِّجْلَيْنِ.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ} ، فَأَوْجَبَ الظَّاهِرُ تَعَلُّقَ الْفَرْضِ بِالرَّأْسِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ قَالَ: ” هَذَا وضوءٌ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ ” وَلِأَنَّهُ عُضْوٌ لَا يَلْحَقُهُ الْمَشَقَّةُ فِي إِيصَالِ الْمَاءِ إِلَيْهِ فَلَمْ يَجُزِ الِاقْتِصَارُ عَلَى حَائِلٍ دُونَهُ كَالْوَجْهِ.
Adapun jika ia mencukupkan diri dengan mengusap sorban saja tanpa kepala, maka menurut jumhur fuqaha hal itu tidak mencukupi.
Ahmad bin Hanbal dan Sufyān al-Thawrī berpendapat hal itu mencukupi, berdalil dengan riwayat Rāsyid bin Sa‘d dari Tsaubān, ia berkata: Rasulullah SAW mengutus suatu pasukan, lalu mereka terkena cuaca dingin. Ketika mereka datang kepada Rasulullah SAW, beliau memerintahkan mereka untuk mengusap al-ʿaṣāʾib dan al-nasākhīn. Yang dimaksud dengan al-ʿaṣāʾib adalah sorban, dan yang dimaksud dengan al-nasākhīn adalah khuf. Mereka juga berdalil bahwa kepala adalah anggota yang gugur dalam tayammum, maka boleh mencukupkan dengan mengusap penghalang di atasnya sebagaimana kedua kaki.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ} yang secara zahir mewajibkan terkaitnya fardhu dengan kepala tanpa penghalang. Dan karena Nabi SAW ketika mengusap kepalanya bersabda: “Inilah wudhu, Allah tidak menerima salat kecuali dengannya.” Selain itu, kepala adalah anggota yang tidak sulit untuk menyampaikan air kepadanya, maka tidak boleh mencukupkan diri dengan mengusap penghalang di atasnya, sebagaimana wajah.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ أَنَّهُ أَمَرَهُمْ أَنْ يمسحوا على العمائم والنساخين، فَقَدْ كَانَتْ عَمَائِمُ الْعَرَبِ إِذْ ذَاكَ صِغَارًا وَلِذَلِكَ سُمِّيَتْ عَصَائِبَ لِصِغَرِهَا وَلَمْ تَكُنْ تَعُمُّ جَمِيعَ الرَّأْسِ وَلَا تَمْنَعُ مِنْ وُصُولِ الْمَسْحِ إِلَيْهِ، إِمَّا مُبَاشَرَةً أَوْ بَلَلًا وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ على الخفين، فالمعنى فيه لحوق المشقة بنزعهما وَأَنَّ فَرْضَ الرِّجْلَيْنِ اسْتِيعَابُ غَسْلِهِمَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي الرَّأْسِ لِأَنَّ الْفَرْضَ مَسْحُ بَعْضِهِ وَلَا يَشُقُّ ذَلِكَ عَلَيْهِ مَعَ سَتْرِ رَأْسِهِ.
Adapun jawaban terhadap hadis bahwa beliau memerintahkan mereka untuk mengusap sorban dan nasākhīn, maka sorban orang Arab pada masa itu berukuran kecil, karena itu disebut ʿaṣāʾib disebabkan kecilnya, dan tidak menutupi seluruh kepala serta tidak menghalangi sampainya usapan kepadanya, baik secara langsung maupun melalui basahan.
Adapun qiyas mereka dengan khuf, maka illatnya adalah adanya kesulitan dalam melepasnya, sedangkan fardhu pada kedua kaki adalah membasuh seluruhnya. Hal ini berbeda dengan kepala, karena fardhunya adalah mengusap sebagian darinya, dan hal itu tidak memberatkan meskipun kepala tertutup.
(فَصْلٌ)
: فإذا ثبت أن الفرض مباشرة الرأسة بِهِ فَسَوَاءٌ كَانَ مَحْلُوقَ الشَّعْرِ فَمَسَحَ بَشَرَةَ الرَّأْسِ أَوْ كَانَ نَابِتَ الشَّعْرِ فَمَسَحَ عَلَى الشَّعْرِ دُونَ الْبَشَرَةِ أَجْزَأَهُ لِأَنَّ اسْمَ الرَّأْسِ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِمَا فَلَوْ كَانَ بَعْضُ رَأْسِهِ مَحْلُوقًا وَبَعْضُهُ شَعْرًا نَابِتًا كَانَ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ مَسَحَ عَلَى الْمَوْضِعِ الْمَحْلُوقِ مِنْهُ أَوْ مَسَحَ عَلَى الشَّعْرِ النَّابِتِ فَلَوْ مَسَحَ عَلَى شَعْرِ رَأْسِهِ ثُمَّ حَلَقَهُ أَجْزَأَهُ الْمَسْحُ لِأَنَّ فَرْضَ الْمَسْحِ قَدْ كَانَ وَاقِعًا فِي مَحَلِّهِ فَصَارَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ كَشَطَ جِلْدَةً مِنْهُ أَجْزَأَهُ غَسْلُهُ وَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يُعِيدَ غَسْلَ مَا ظَهَرَ مِنَ الْبَشَرَةِ تَحْتَ الْجِلْدِ الْمَكْشُوطِ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa fardhu adalah menyentuhkan usapan langsung pada kepala, maka sama saja apakah kepalanya gundul lalu ia mengusap kulit kepala, atau tumbuh rambut lalu ia mengusap rambut tanpa kulitnya, maka itu mencukupi, karena nama kepala mencakup keduanya.
Jika sebagian kepalanya gundul dan sebagian lagi ditumbuhi rambut, maka ia berhak memilih: jika mau ia mengusap pada bagian yang gundul, atau ia mengusap pada bagian yang ditumbuhi rambut.
Jika ia mengusap rambut kepalanya kemudian mencukurnya, maka usapannya tetap sah, karena fardhu usapan telah dilakukan pada tempatnya. Hal ini seperti orang yang membasuh wajahnya, lalu ia mengelupas sebagian kulitnya, maka basuhan itu tetap sah dan ia tidak wajib mengulang membasuh bagian kulit yang tampak setelah kulit terkelupas tersebut.
فَأَمَّا إِذَا كَانَ ذَا جُمَّةٍ عَلَى رأسه فَلَهُ فِي مَسْحِهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَمْسَحَ أَصْلَ الْجُمَّةِ النَّابِتَةِ عَلَى الرأس فيجزيه سَوَاءٌ وَصَلَ بَلَلُ الْمَسْحِ إِلَى الْبَشَرَةِ أَمْ لَا كَمَا لَوْ لَمْ يَكُنْ ذَا جُمَّةٍ فمسح طرف شعره النابت أجزأه.
Adapun jika ia memiliki jummāh di kepalanya, maka dalam mengusapnya terdapat tiga keadaan:
Pertama: ia mengusap pangkal jummāh yang tumbuh di kepala, maka hal itu mencukupi, baik basahan usapan tersebut sampai ke kulit kepala maupun tidak. Sebagaimana jika ia tidak memiliki jummāh lalu mengusap ujung rambut yang tumbuh di kepala, maka itu pun mencukupi.
والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يَمْسَحَ عَلَى أَطْرَافِ الْجُمَّةِ وَأَهْدَابِ الشعر الخارج عن حد الرأس فلا يجزيه لِأَنَّ الرَّأْسَ اسْمٌ لِمَا عَلَا فَكَانَ الْمُسْتَرْسِلُ مِنْهُ لَا يُسَمَّى رَأْسًا فَلَمْ يُجْزِئْهُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ وَهَكَذَا لَوْ عَقَصَ أَطْرَافَ شَعْرِهِ الْمُسْتَرْسِلِ وَشَدَّهُ فِي وَسَطِ رَأْسِهِ وَمَسَحَ عَلَيْهِ لَمْ يُجْزِهِ لِأَنَّهُ يَصِيرُ حَائِلًا دُونَ الرَّأْسِ كَالْمَسْحِ على العمامة.
Keadaan kedua: ia mengusap ujung jummāh dan helaian rambut yang keluar dari batas kepala, maka hal itu tidak mencukupi, karena kepala adalah sebutan untuk bagian yang berada di atas, sedangkan rambut yang terurai keluar darinya tidak disebut kepala, sehingga usapan padanya tidak mencukupi.
Demikian pula jika ia menggulung ujung rambutnya yang terurai lalu mengikatnya di tengah kepalanya, kemudian mengusapnya, maka hal itu tidak mencukupi, karena rambut yang digulung tersebut menjadi penghalang dari kepala, sebagaimana mengusap di atas sorban.
والحالة الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمْسَحَ مِنْ شَعْرِ جُمَّتِهِ مَوْضِعًا لَا يَخْرُجُ عَنْ مَنَابِتِ رَأْسِهِ وَلَا يَتَجَاوَزُ حده ففي إجزائه وجهان:
أحدها: لَا يَجُوزُ لِاسْتِرْسَالِهِ كَمَا لَوْ مَسَحَ الْمُسْتَرْسِلَ الْخَارِجَ عَنْ حَدِّ الرَّأْسِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أصح أن يجزيه لِأَنَّهُ مَسَحَ شَعْرًا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ حَدِّ الرَّأْسِ فَصَارَ كَمَسْحِهِ أُصُولَ شَعْرِ الرَّأْسِ وَاللَّهُ أعلم.
رKeadaan ketiga: ia mengusap bagian dari rambut jummāh-nya yang tidak keluar dari tempat tumbuhnya di kepala dan tidak melewati batas kepala. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak sah, karena rambut tersebut terurai, sebagaimana jika ia mengusap rambut terurai yang keluar dari batas kepala.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: sah, karena ia mengusap rambut yang tidak keluar dari batas kepala, sehingga sama hukumnya dengan mengusap pangkal rambut kepala. Wallāhu a‘lam.
(مسألة: القول في مسح الأذنين)
قال الشافعي رضي الله عنه: وَيَمْسَحُ أُذُنَيْهِ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا بماءٍ جديدٍ وَيُدْخِلُ أُصْبَعَيْهِ فِي صِمَاخَيْ أُذُنَيْهِ.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. مَسْحُ الْأُذُنَيْنِ سُنَّةٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهْوَيْهِ: مَسْحُ الْأُذُنَيْنِ وَاجِبٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ أُذُنَيْهِ حِينَ تَوَضَّأَ، وَعِنْدَهُ أَنَّ أَفْعَالَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى الْوُجُوبِ مَا لَمْ يَصِرْ فِيهَا دَلِيلٌ.
(Masalah: Perkataan tentang mengusap kedua telinga)
Al-Syafi‘i RA berkata: Mengusap kedua telinga, bagian luar dan dalamnya, dengan air yang baru, serta memasukkan kedua jarinya ke dalam lubang telinga.
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Mengusap kedua telinga adalah sunnah dan bukan wajib. Ini adalah pendapat jumhur fuqaha.
Ishāq bin Rāhuyah berkata: Mengusap kedua telinga adalah wajib, karena Nabi SAW mengusap kedua telinganya ketika berwudhu, dan menurutnya perbuatan Nabi SAW menunjukkan hukum wajib selama tidak ada dalil yang memalingkannya.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ امْرِئٍ حَتَّى يَضَعَ الْوُضُوءَ مَوَاضِعَهُ، فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ، وَيَمْسَحَ بِرَأْسِهِ وَيَغْسِلَ رِجْلَيْهِ ” فَلَمَّا اقْتَصَرَ بِمَوَاضِعِ الْوُضُوءِ عَلَى الْأَعْضَاءِ الْأَرْبَعَةِ انْتَفَى وُجُوبُ مَا عَدَاهَا وَهَذَا مُخَصَّصٌ لِفِعْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، لَوْ كَانَتْ أَفْعَالُهُ دَلِيلًا عَلَى الْإِيجَابِ فَكَيْفَ وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا.
Dalil kami adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Allah tidak menerima salat seseorang hingga ia meletakkan wudhu pada tempat-tempatnya: membasuh wajahnya dan kedua lengannya, mengusap kepalanya, dan membasuh kedua kakinya.”
Ketika beliau membatasi anggota wudhu hanya pada empat anggota tersebut, maka gugurlah kewajiban selainnya. Hadis ini menjadi pengkhusus bagi perbuatan Nabi SAW bahwa hukumnya adalah sunnah.
Seandainya perbuatan beliau selalu menjadi dalil kewajiban, bagaimana mungkin para ashḥāb kami sendiri berbeda pendapat dalam masalah ini.
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ مَسْحَ الْأُذُنَيْنِ سُنَّةٌ قَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِمَا هَلْ هُمَا مِنَ الرَّأْسِ أَوْ مِنَ الْوَجْهِ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ: أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُمَا لَيْسَا مِنَ الرَّأْسِ وَلَا مِنَ الْوَجْهِ، بَلْ هَمَّا سُنَّةٌ على حيالهما فيمسحان بِمَاءٍ جَدِيدٍ.
Apabila telah tetap bahwa mengusap kedua telinga adalah sunnah, para fuqaha berbeda pendapat tentang status keduanya: apakah termasuk bagian dari kepala atau dari wajah. Dalam hal ini terdapat empat mazhab:
Pertama, yaitu mazhab al-Syafi‘i, bahwa keduanya bukan bagian dari kepala dan bukan pula dari wajah, melainkan sunnah tersendiri yang berdiri sendiri, sehingga keduanya diusap dengan air yang baru.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة ومالك أنهما من الرأس لكن قال أبو حنيفة يُمْسَحَانِ مَعَ الرَّأْسِ، وَقَالَ مَالِكٌ يَمْسَحُهُمَا بِمَاءٍ جَدِيدٍ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سِيرِينَ وَالزُّهْرِيِّ أَنَّهُمَا مِنَ الْوَجْهِ يُغْسَلَانِ مَعَهُ وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: وَهُوَ قَوْلُ الشَّعْبِيِّ أَنَّ مَا أَقْبَلَ مِنْهُمَا مِنَ الْوَجْهِ يُغْسَلُ مَعَهُ، وَمَا أَدْبَرَ مِنْهُمَا مِنَ الرَّأْسِ يُمْسَحُ مَعَهُ.
Mazhab kedua, yaitu pendapat Abū Ḥanīfah dan Mālik, bahwa keduanya termasuk bagian dari kepala. Namun Abū Ḥanīfah berpendapat keduanya diusap bersama kepala, sedangkan Mālik berpendapat keduanya diusap dengan air yang baru.
Mazhab ketiga, yaitu pendapat Ibn Sīrīn dan al-Zuhrī, bahwa keduanya termasuk bagian dari wajah dan dibasuh bersamanya.
Mazhab keempat, yaitu pendapat al-Sya‘bī, bahwa bagian telinga yang menghadap ke wajah dibasuh bersamanya, sedangkan bagian yang menghadap ke kepala diusap bersamanya.
وَاسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ إِنَّهُمَا مِنَ الرَّأْسِ بِرِوَايَةِ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ “.
وَقَدْ قِيلَ فِي تَأْوِيلِ قَوْله تَعَالَى: {وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ) {الأعراف: 150) . أَيْ بِأُذُنِهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْأُذُنُ رَأْسًا، قَالَ وَلِأَنَّهُ مَمْسُوحٌ مُتَّصِلٌ بِالرَّأْسِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ حُكْمًا قِيَاسِيًّا عَلَى جَوَانِبِ الرَّأْسِ.
Orang yang berpendapat bahwa kedua telinga termasuk bagian dari kepala berdalil dengan riwayat Abū Umāmah bahwa Nabi SAW bersabda: “Kedua telinga adalah bagian dari kepala.”
Ada pula yang menafsirkan firman Allah Ta‘ālā: {وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ} (QS. al-A‘rāf: 150) dengan maksud “memegang telinganya,” sehingga menunjukkan bahwa telinga adalah bagian dari kepala.
Mereka juga beralasan bahwa telinga adalah bagian yang diusap dan tersambung dengan kepala, maka secara hukum wajib dianggap bagian darinya, dengan qiyas kepada sisi-sisi kepala.
وَأَمَّا مَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُمَا مِنَ الْوَجْهِ فَاسْتَدَلَّ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ: ” سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ “، فَأَضَافَ السَّمْعَ إِلَى الْوَجْهِ وَأَمَّا مَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّ مَا أَقْبَلَ مِنَ الْوَجْهِ وَمَا أَدْبَرَ مِنَ الرَّأْسِ اسْتَدَلَّ بِأَنَّ الْوَجْهَ مَا حَصَلَتْ بِهِ الْمُوَاجَهَةُ، وَالْمُوَاجَهَةُ حَاصِلَةٌ بِمَا أَقْبَلَ مِنْهُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مِنَ الْوَجْهِ.
وَدَلِيلُنَا مَا ذَكَرَهُ أَبُو إِسْحَاقَ فِي شَرْحِهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَخَذَ لَهُمَا مَاءً جَدِيدًا ” وَهَذَا نَصٌّ، وَلِأَنَّ كُلَّ عُضْوٍ لَمْ يَكُنْ مَحَلًّا لِفَرْضِ مَسْحِ الرَّأْسِ لَمْ يَكُنْ مِنَ الرَّأْسِ، أَصْلُهُ الْيَدَانِ طَرْدًا
وَآخِرُ الرَّأْسِ عَكْسًا.
Adapun orang yang berpendapat bahwa keduanya termasuk wajah, berdalil dengan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau dalam sujudnya berkata: “Wajahku bersujud kepada Dzat yang telah menciptakannya, membelah pendengarannya dan penglihatannya.” Maka beliau menisbatkan pendengaran kepada wajah.
Adapun orang yang berpendapat bahwa bagian yang menghadap termasuk wajah, sedangkan bagian yang membelakangi termasuk kepala, berdalil bahwa wajah adalah bagian yang terjadi padanya muwājahah (saling berhadapan), dan muwājahah itu terjadi pada bagian yang menghadap, maka itu mengharuskan bagian tersebut termasuk wajah.
Dalil kami adalah sebagaimana disebutkan oleh Abū Isḥāq dalam syarahnya, bahwa Nabi SAW “mengambil untuk keduanya air yang baru,” dan ini adalah nash. Dan karena setiap anggota yang bukan merupakan tempat wajibnya mengusap kepala, maka ia bukan termasuk kepala; asalnya adalah kedua tangan secara ṭard dan ujung kepala secara ʿaks.
وَلِأَنَّ الْمَسْحَ أَحَدُ نوعي الوضوء فوجب أن يتنوع أعضائه نَوْعَيْنِ فَرْضًا وَسُنَّةً كَغَسْلِ بَعْضِ أَعْضَائِهِ سُنَّةً مُفْرَدَةً وَهُوَ الْمَضْمَضَةُ وَالِاسْتِنْشَاقُ، وَبَعْضُهُ فَرْضٌ وَهُوَ بَاقِي الْأَعْضَاءِ.
وَلِأَنَّ كُلَّ مَحَلٍّ لَا يُجْزِئُ حَلْقُ شَعْرِهِ عَنْ نُسُكِ الْمُحْرِمِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مِنَ الرَّأْسِ كَالْوَجْهِ وَلِأَنَّ لِلرَّأْسِ أَحْكَامًا ثَلَاثَةً مِنْهَا فَرْضُ الْمَسْحِ، وَمِنْهَا إِحْلَالُ الْمُحْرِمِ بِحَلْقِهِ أَوْ تَقْصِيرِهِ وَمِنْهَا وُجُوبُ الْفِدْيَةِ عَلَيْهِ بِتَغْطِيَتِهِ، فَلَمَّا لَمْ يَتَعَلَّقْ بِالْأُذُنَيْنِ مِنْ أَحْكَامِ الرَّأْسِ مَا سِوَى الْمَسْحِ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا حُكْمُ الْمَسْحِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنِ الْبَيَاضُ الْمُحِيطُ بِالْأُذُنِ مِنَ الرَّأْسِ مَعَ قُرْبِهِ فَلِأَنْ لَا تَكُونَ الْأُذُنُ مِنَ الرَّأْسِ مَعَ بُعْدِهَا أَوْلَى.
Dan karena mengusap adalah salah satu dari dua jenis wudhu, maka wajib anggota-anggota yang diusap itu terbagi menjadi dua jenis: fardhu dan sunnah, sebagaimana membasuh sebagian anggotanya ada yang sunnah secara tersendiri, yaitu berkumur (maḍmaḍah) dan menghirup air ke hidung (istinshāq), dan sebagian lainnya fardhu, yaitu anggota-anggota sisanya.
Dan karena setiap tempat yang mencukur rambutnya tidak mencukupi sebagai pelaksanaan nusuk bagi orang yang berihram, maka tidak boleh dihukumi sebagai bagian dari kepala, seperti wajah. Dan karena kepala memiliki tiga hukum: di antaranya fardhu mengusapnya, di antaranya membolehkan orang yang berihram bertahallul dengan mencukur atau memendekkan rambutnya, dan di antaranya wajib fidyah karena menutupinya, maka ketika pada kedua telinga tidak ada hukum kepala kecuali mengusap, tidak berlaku padanya hukum mengusap. Dan karena ketika bagian putih yang mengelilingi telinga bukan termasuk kepala padahal dekat dengannya, maka lebih utama lagi telinga tidak termasuk kepala karena letaknya yang lebih jauh.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِحَدِيثِ أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ “. فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ رَاوِيَهُ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ، وَشَهْرٌ ضَعِيفٌ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ لِأَنَّهُ خَرَفَ فِي آخِرِ أَيَّامِهِ فَخَلَطَ فِي حَدِيثِهِ، وَقَدْ حُكِيَ عَنْهُ فِي حَالِ الْخَرِيطَةِ مَا أُنْشِدَ فِيهِ مِنَ الشِّعْرِ مَا أَرْغَبُ بِنَفْسِي عَنْ ذِكْرِهِ.
Adapun jawaban terhadap istidlal mereka dengan hadis Ummāmah bahwa Nabi SAW bersabda: “Kedua telinga termasuk kepala,” maka dari tiga sisi:
Pertama: bahwa perawi hadis tersebut dari Abū Ummāmah adalah Syahr bin Ḥawsyab, dan Syahr itu dinilai lemah oleh para ahli hadis, karena ia mengalami pikun di akhir hidupnya sehingga bercampur dalam hadisnya. Bahkan telah dikisahkan darinya pada masa pikunnya sesuatu yang ia ucapkan dalam bait syair yang aku enggan menyebutkannya.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنَّ حَمَّادَ بْنَ زَيْدٍ وَهُوَ رَاوِي الْحَدِيثِ قَالَ: لَا أَدْرِي هُوَ مِنْ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْ أَبِي أُمَامَةَ، وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ أَنَّهُ إِنْ صَحَّ فَمَعْنَاهُ أَنَّهُ يُمْسَحَانِ كَمَسْحِ الرَّأْسِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِتَأْوِيلِ قَوْله تَعَالَى: {وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ) {الأعراف: 150) . أَيْ بِأُذُنِهِ فَهُوَ تَأْوِيلٌ يَدْفَعُونَ عَنْهُ بِالظَّاهِرِ مِنَ اسْمِ الرَّأْسِ.
Jawaban kedua: bahwa Ḥammād bin Zayd, perawi hadis tersebut, berkata: “Aku tidak tahu apakah ini ucapan Nabi SAW atau ucapan Abū Ummāmah.”
Jawaban ketiga: jika hadis itu sahih, maka maknanya adalah bahwa kedua telinga diusap sebagaimana mengusap kepala.
Adapun istidlal mereka dengan takwil firman Allah Ta‘ālā: “Dan dia memegang kepala saudaranya sambil menariknya kepadanya” (QS. al-A‘rāf: 150), yakni dengan telinganya, maka itu adalah takwil yang dapat dibantah dengan makna lahir dari kata kepala.
وَأَمَّا قياسهم على إجزاء الرأس فالمعنى فيه أنه محل لفرض الْمَسْحُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْأُذُنَانِ. وَأَمَّا اسْتِدْلَالُ مَنْ ذَهَبَ بِأَنَّهُمَا مِنَ الْوَجْهِ بِقَوْلِهِ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، فَالْوَجْهُ إِنَّمَا هُوَ عِبَارَةٌ عَنِ الْجُمْلَةِ وَالذَّاتِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ} (الرحمن: 27) . وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ الْأُذُنَيْنِ لَيْسَتَا مِنَ الْوَجْهِ مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنِ الْكَيِّ فِي الْوَجْهِ وَأَبَاحَ الْكَيَّ فِي الْأُذُنِ.
Adapun qiyas mereka terhadap sahnya kepala, maka maknanya adalah bahwa kepala merupakan tempat fardhu mengusap, sedangkan kedua telinga tidak demikian.
Adapun istidlal orang yang berpendapat bahwa keduanya termasuk wajah dengan sabda beliau: “Wajahku bersujud kepada Dzat yang menciptakannya, membelah pendengaran dan penglihatannya,” maka wajah di sini hanyalah ungkapan untuk keseluruhan jasad dan diri, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu” (QS. ar-Raḥmān: 27).
Dan di antara dalil bahwa kedua telinga bukan bagian dari wajah adalah riwayat bahwa Nabi SAW melarang kay (pengobatan dengan besi panas) di wajah, namun membolehkan kay pada telinga.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْأُذُنَيْنِ سُنَّةٌ عَلَى حِيَالِهِمَا مُفْرَدَةٌ بِمَاءٍ جَدِيدٍ فَالسُّنَّةُ أَنْ يَمْسَحَهُمَا مَعًا بِيَدَيْهِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ لَا يُقَدِّمُ يُمْنَى عَلَى يُسْرَى وَلَيْسَ فِي أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ عُضْوَانِ لَا تُقَدَّمُ الْيُمْنَى مِنْهُمَا عَلَى الْيُسْرَى غَيْرَ الْأُذُنَيْنِ ثُمَّ يُدْخِلُ أُصْبُعَيْهِ فِي صِمَاخَيْ أُذُنَيْهِ لِرِوَايَةِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ يَكْرِبَ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ وَمَسَحَ بِأُذُنَيْهِ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا وَأَدْخَلَ أُصْبُعَيْهِ فِي صِمَاخَيْ أُذُنَيْهِ بماءٍ جَدِيدٍ “.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa kedua telinga adalah sunnah tersendiri dengan air yang baru, maka sunnahnya adalah mengusap keduanya sekaligus dengan kedua tangan, bagian luar dan bagian dalamnya, dalam satu keadaan tanpa mendahulukan kanan atas kiri. Tidak ada pada anggota-anggota ṭahārah dua anggota yang kanan tidak didahulukan dari kirinya selain kedua telinga.
Kemudian memasukkan kedua jarinya ke dalam rongga telinganya, berdasarkan riwayat al-Miqdām bin Ma‘dīkarib, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW berwudhu, lalu mengusap kedua telinganya, bagian luar dan bagian dalamnya, dan memasukkan kedua jarinya ke dalam rongga telinganya dengan air yang baru.”
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُدْخِلُ أُصْبُعَيْهِ فِي صِمَاخَيْ أُذُنَيْهِ بِمَاءٍ جَدِيدٍ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَصْرِيِّينَ وَحَكَاهُ الْبُوَيْطِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ يُدْخِلُ أُصْبُعَيْهِ فِي صِمَاخَيْهِ بِمَاءٍ جَدِيدٍ غَيْرِ مَاءِ أُذُنَيْهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ إِدْخَالُ الْأُصْبُعَيْنِ فِي الصِّمَاخَيْنِ سُنَّةً زَائِدَةً عَلَى مَسْحِ الْأُذُنَيْنِ.
Para ulama kami berbeda pendapat apakah memasukkan kedua jarinya ke dalam rongga telinganya dengan air yang baru atau tidak, menjadi dua pendapat:
Pertama, yaitu mazhab ulama Baṣrah dan dinukil al-Buwayṭī dari al-Syāfi‘ī, bahwa ia memasukkan kedua jarinya ke dalam rongga telinganya dengan air yang baru, berbeda dari air untuk mengusap telinga. Maka menurut pendapat ini, memasukkan kedua jari ke dalam rongga telinga adalah sunnah tambahan di atas mengusap telinga.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَغْدَادِيِّينَ أنه يدخل إصبعيه في صماخيه بماء أذنيه فَعَلَى هَذَا يَكُونُ ذَلِكَ مِنْ جُمْلَةِ مَسْحِ الْأُذُنَيْنِ وَلَا يَكُونُ سُنَّةً زَائِدَةً عَلَى مَسْحِ الأذنين، وقد حكى عن أبي العباس ابن سُرَيْجٍ فِي مَسْحِ أُذُنَيْهِ أَنَّهُ كَانَ يَغْسِلُهُمَا ثَلَاثًا مِعِ وَجْهِهِ كَمَا قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَالزُّهْرِيُّ، وَيَمْسَحُهُمَا مَعَ رَأْسِهِ كَمَا قَالَ أبو حنيفة وَيَمْسَحُهُمَا ثَلَاثًا مُفْرَدَةً كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَلَمْ يَكُنْ أَبُو الْعَبَّاسِ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَاجِبًا وَإِنَّمَا كَانَ يَفْعَلُهُ احْتِيَاطًا وَاسْتِحْبَابًا لِيَكُونَ مِنَ الخلاف خارجاً.
Pendapat kedua, yaitu mazhab ulama Baghdād, bahwa ia memasukkan kedua jarinya ke dalam rongga telinganya dengan air untuk telinga. Maka menurut pendapat ini, hal tersebut termasuk bagian dari mengusap telinga dan bukan sunnah tambahan di atas mengusap telinga.
Diriwayatkan dari Abū al-‘Abbās Ibn Surayj tentang mengusap kedua telinga, bahwa ia membasuh keduanya tiga kali bersama wajahnya sebagaimana pendapat Ibn Sīrīn dan al-Zuhrī; ia juga mengusapnya bersama kepalanya sebagaimana pendapat Abū Ḥanīfah; dan ia mengusapnya tiga kali secara terpisah sebagaimana pendapat al-Syāfi‘ī. Abū al-‘Abbās tidak melakukannya sebagai kewajiban, tetapi melakukannya sebagai bentuk kehati-hatian dan kesunnahan, agar keluar dari perbedaan pendapat.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ثم يغسل رجليه ثلاثاً ثلاثاً إلى الكعبين.
Masalah
Al-Syāfi‘ī ra. berkata: Kemudian membasuh kedua kakinya tiga kali-tiga kali hingga kedua mata kaki.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ فِي الْوُضُوءِ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ بِنَصِّ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ. وَفَرْضُهُمَا عِنْدَ كَافَّةِ الْفُقَهَاءِ الْغَسْلُ دُونَ الْمَسْحِ، وَذَهَبَتِ الشِّيعَةُ إِلَى أَنَّ الْفَرْضَ فِيهِمَا الْمَسْحُ دُونَ الْغَسْلِ، وَجَمَعَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ فَأَوْجَبَ غَسْلَهُمَا وَمَسْحَهُمَا. وَاسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ بِجَوَازِ الْمَسْحِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الكَعْبَيْنِ} (المائدة: 6) . بِخَفْضِ الْأَرْجُلِ وَكَسْرِ اللَّامِ عَطْفًا عَلَى الرَّأْسِ. قَرَأَ بِذَلِكَ أَبُو عَمْرٍو وَابْنُ كثير وحمزة وأحد الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ عَاصِمٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فَرْضُ الرِّجْلَيْنِ الْمَسْحَ لِعَطْفِهِمَا عَلَى الرَّأْسِ الْمَمْسُوحِ.
Al-Māwardī berkata: Sebagaimana yang beliau (al-Syāfi‘ī) katakan, membasuh kedua kaki dalam wudhu telah menjadi ijmak berdasarkan nash al-Kitab dan al-Sunnah. Kewajiban pada keduanya menurut seluruh fuqaha adalah membasuh, bukan mengusap. Adapun Syiah berpendapat bahwa kewajiban pada keduanya adalah mengusap, bukan membasuh. Ibn Jarīr al-Ṭabarī menggabungkan keduanya, sehingga mewajibkan membasuh sekaligus mengusapnya.
Orang yang membolehkan mengusap berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: “… dan usaplah kepalamu dan kakimu sampai kedua mata kaki” (QS. al-Mā’idah: 6), dengan membaca arjulikum dalam keadaan majrūr dan kasrah pada huruf lām-nya, sebagai ‘aṭf kepada kata kepala. Bacaan ini diriwayatkan dari Abū ‘Amr, Ibn Kathīr, Ḥamzah, dan salah satu riwayat dari ‘Āṣim. Maka wajiblah menurut mereka bahwa fardhu pada kedua kaki adalah mengusap, karena di-‘aṭf-kan kepada kepala yang diusap.
قَالَ: ويؤيد ذلك أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ سَمِعَ الْحَجَّاجَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ: أَمَرَ اللَّهُ بِغَسْلِ الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ وَمَسْحِ الرَّأْسِ وَغَسْلِ الرِّجْلَيْنِ فَقَالَ: صَدَقَ اللَّهُ وَكَذَبَ الْحَجَّاجُ، إِنَّمَا أَمَرَ اللَّهُ بِمَسْحِ الرِّجْلَيْنِ، فَقَالَ وَأَرْجُلِكُمْ بِالْخَفْضِ، وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: كِتَابُ اللَّهِ الْمَسْحُ، وَيَأْبَى النَّاسُ إِلَّا الْغَسْلَ، وَقَالَ: غَسْلَتَانِ وَمَسْحَتَانِ.
فَدَلَّ مَا ذَكَرْنَا أَنَّ الْآيَةَ تُوجِبُ الْمَسْحَ.
Ia berkata: Hal itu dikuatkan oleh riwayat bahwa Anas bin Mālik mendengar al-Ḥajjāj berkata dalam khutbahnya: “Allah memerintahkan membasuh wajah dan kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki.” Maka Anas berkata: “Allah benar dan al-Ḥajjāj dusta, sesungguhnya Allah hanya memerintahkan mengusap kedua kaki, Dia berfirman: wa arjulikum dengan bacaan majrūr.”
Diriwayatkan pula dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata: “Kitab Allah menetapkan mengusap, namun manusia menolak kecuali membasuh,” dan ia berkata: “Dua kali basuhan dan dua kali usapan.”
Maka apa yang telah kami sebutkan menunjukkan bahwa ayat tersebut mewajibkan mengusap.
وَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَخَذَ حَفْنَةً مِنْ ماءٍ فَضَرَبَ بِهَا عَلَى رِجْلِهِ وَفِيهَا النَّعْلُ فَغَسَلَهَا بِهَا ثُمَّ فَعَلَ بِالْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ: قُلْتُ وَفِي النَّعْلَيْنِ، قَالَ: وَفِي النَّعْلَيْنِ.
وَرَوَى حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَتَى كَظَامَةَ قومٍ. وَرُوِيَ سُبَاطَةَ قومٍ فَبَالَ قَائِمًا وَمَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ، قَالُوا وَمِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى أَنَّهُ عُضْوٌ يَسْقُطُ فِي التَّيَمُّمِ مِثْلُهُ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فَرْضُهُ الْمَسْحَ كَالرَّأْسِ، قَالُوا وَلِأَنَّ الْخُفَّ بَدَلٌ عَنِ الرِّجْلِ فَلَمَّا كَانَ الْبَدَلُ مَمْسُوحًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمُبْدَلُ مَمْسُوحًا.
Adapun sunnah, adalah sebagaimana diriwayatkan Ibn ‘Abbās dari ‘Alī bin Abī Ṭālib ra., bahwa Rasulullah SAW mengambil satu genggam air lalu memukulkannya pada kakinya yang memakai sandal, lalu membasuhnya dengannya. Kemudian beliau melakukan hal yang sama pada kaki yang lain. Ia (‘Alī) berkata: “Aku bertanya: ‘Dan dengan kedua sandal?’ Beliau menjawab: ‘Dan dengan kedua sandal.’”
Diriwayatkan pula dari Ḥudhayfah bin al-Yamān bahwa Nabi SAW mendatangi kaẓāmah suatu kaum — dan diriwayatkan pula: subāṭah suatu kaum — lalu beliau kencing sambil berdiri dan mengusap kedua sandalnya.
Mereka berkata: Dari sisi makna, kaki adalah anggota tubuh yang gugur kewajibannya dalam tayammum, sehingga wajib fardhunya adalah diusap seperti kepala. Mereka juga berkata: Karena khuff adalah pengganti dari kaki, maka ketika penggantinya diusap, wajiblah bagian yang diganti juga diusap.
وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ) {المائدة: 6) . إِلَى قَوْلِهِ: وَأَرْجُلَكُمْ بِنَصْبِ الْأَرْجُلِ وَفَتْحِ اللَّامِ مِنْهَا عَطْفًا عَلَى الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ، قَرَأَ بِذَلِكَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ.
Dalil atas benarnya pendapat kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “Maka basuhlah wajah-wajah kalian…” (QS. al-Mā’idah: 6) hingga firman-Nya: “… dan kaki-kaki kalian” dengan membaca arjulakum dalam keadaan naṣab dan fathah pada huruf lām-nya, sebagai ‘aṭf kepada wajah dan kedua tangan. Bacaan ini dibaca oleh dari kalangan sahabat: ‘Alī dan Ibn Mas‘ūd.
وَمِنَ الْقُرَّاءِ ابْنُ عَامِرٍ وَنَافِعٌ وَالْكِسَائِيُّ وَإِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ عَاصِمٍ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ فَرْضُ الرِّجْلَيْنِ الْغَسْلَ لِعَطْفِهِمَا بِالنَّصْبِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَغْسُولِ، فَإِنْ قِيلَ إِنْ كَانَتْ هَذِهِ الْقِرَاءَاتُ الْمَنْصُوبَةُ تَدُلُّ عَلَى الْغَسْلِ فَالْقِرَاءَةُ الْمَخْفُوضَةُ تَدُلُّ عَلَى الْمَسْحِ، قِيلَ الْقِرَاءَةُ الْمَنْصُوبَةُ لَا تَدُلُّ إِلَّا عَلَى الْغَسْلِ وَالْقِرَاءَةُ الْمَخْفُوضَةُ يُمْكِنُ حَمْلُهَا عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَى مَسْحِ الْخُفَّيْنِ فَيَكُونُ اخْتِلَافُ الْقِرَاءَتَيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ الْمَعْنَيَيْنِ.
Dan dari para qārī, yaitu Ibn ‘Āmir, Nāfi‘, al-Kisā’ī, dan salah satu riwayat dari ‘Āṣim, mereka membaca dengan naṣab, sehingga mengharuskan bahwa fardhu pada kedua kaki adalah membasuh, karena di-‘aṭf-kan dalam keadaan naṣab kepada wajah yang dibasuh.
Jika dikatakan: “Kalau qirā’ah dengan naṣab menunjukkan kewajiban membasuh, maka qirā’ah dengan majrūr menunjukkan kewajiban mengusap,” dijawab: qirā’ah dengan naṣab memang tidak menunjukkan kecuali membasuh, sedangkan qirā’ah dengan majrūr masih bisa ditakwilkan kepada salah satu dari dua makna:
Pertama, kepada makna mengusap khuffain, sehingga perbedaan kedua qirā’ah itu berarti perbedaan makna.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى عَطْفِ الْمُجَاوَرَةِ دُونَ الْحُكْمِ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ مَعْطُوفًا عَلَى الرَّأْسِ، وَكَانَ الرَّأْسُ مَخْفُوضًا عَلَى إِعْرَابِ مَا جَاوَرَهُ، وَهَذَا لِسَانُ الْعَرَبِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ) {إبراهيم: 14) .
فَخُصَّ الْعَاصِفُ وَإِنْ كَانَ مَرْفُوعًا لِأَنَّهُ مِنْ صِفَةِ الرِّيحِ لَا مِنْ صِفَةِ الْيَوْمِ، وَالرِّيحُ مَرْفُوعَةٌ، وَالْيَوْمُ مَخْفُوضٌ لَكِنْ لَمَّا كَانَ مُجَاوِرًا لِلْيَوْمِ أَعْطَاهُ إِعْرَابَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ صِفَةً لَهُ، وَكَقَوْلِهِمْ: جُحْرُ ضبٍّ خربٍ، وَإِنَّمَا هُوَ خربٌ لِأَنَّهُ صِفَةٌ لِلْجُحْرِ الْمَرْفُوعِ لَا لِلضَّبِّ الْمَخْفُوضِ لَكِنَّهُ لَمَّا كَانَ مَعْطُوفًا عَلَى الضَّبِّ أُعْطِيَ إِعْرَابَهُ، وَكَمَا قَالَ الْأَعْشَى:
(لَقَدْ كَانَ فِي حولٍ ثواءٍ ثَوَيْتِهِ … تَقَضِّي لباناتٌ ويسأم سائم)
Kedua, bahwa hal itu dibawa kepada ‘aṭf al-mujāwarah tanpa mengikuti hukumnya. Sebab, ketika kata tersebut di-‘aṭf-kan kepada kepala, sedangkan kepala itu dibaca majrūr karena mengikuti i‘rab kata yang berdekatan dengannya, inilah kebiasaan bahasa Arab.
Allah Ta‘ālā berfirman: “Bagaikan abu yang disapu angin kencang pada hari yang berangin kencang” (QS. Ibrāhīm: 14). Kata ‘āṣif itu khusus untuk angin, meskipun dibaca marfū‘, karena ia merupakan sifat bagi angin, bukan sifat bagi hari. Angin itu marfū‘, sedangkan hari majrūr, tetapi karena berdekatan dengan hari maka ia mengikuti i‘rabnya, meskipun bukan sifatnya.
Demikian pula dalam ungkapan mereka: “Juhru ḍabbin kharibin” (lubang biawak yang rusak), padahal yang rusak itu lubangnya, yang marfū‘, bukan biawaknya yang majrūr. Tetapi karena di-‘aṭf-kan pada biawak, ia diberi i‘rabnya.
Sebagaimana pula ucapan al-A‘syā:
“Laqad kāna fī ḥawlin thawā’in thawaytahu … taqaḍḍī lubānātun wa yas’amu sā’im”
فخض الثَّوَاءَ لِمُجَاوَرَتِهِ الْحَوْلَ وَإِنْ كَانَ مَرْفُوعًا.
ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ أَنَّ النَّاقِلِينَ لِوُضُوءِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هُمْ عُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ وَالْمِقْدَامُ بْنُ مَعْدِ يَكْرِبَ وَالرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذٍ فَنَقَلُوا جَمِيعًا حِينَ وَصَفُوا وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ غَسَلَ رِجْلَيْهِ، وَكَانَ مَا نَقَلُوهُ مِنْ فِعْلِهِ بَيَانًا لِمَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ فِي الْوُضُوءِ من فرضه.
Maka ia membacakan al-thawā’a dengan majrūr karena berdekatan dengan al-ḥawl, meskipun sebenarnya marfū‘.
Kemudian, yang menunjukkan apa yang telah kami sebutkan dari sisi sunnah adalah bahwa para perawi wudhu Rasulullah SAW — yaitu ‘Utsmān, ‘Alī, ‘Abdullāh bin Zayd, al-Miqdām bin Ma‘dīkarib, dan al-Rubayyi‘ bint Mu‘awwidz — seluruhnya menukil bahwa ketika mereka menggambarkan wudhu Rasulullah SAW, beliau membasuh kedua kakinya. Apa yang mereka nukil dari perbuatan beliau itu adalah penjelasan terhadap apa yang termasuk fardhu dalam wudhu.
وَرَوَى عُمَارَةُ بْنُ أَبِي حَفْصَةَ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَأَى رَجُلًا يَتَوَضَّأُ وَهُوَ يَغْسِلُ رِجْلَيْهِ فَقَالَ: ” بِهَذَا أُمِرْتُ “.
وَرَوَى مُجَاهِدٌ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: اطَّلَعَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ بَيْتِهِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ فَقَالَ: ” ويلٌ لِلْعَرَاقِيبِ مِنَ النَّارِ ” فَجَعَلْنَا نُدَلِّكُ أَقْدَامَنَا وَنَغْسِلُهَا غَسْلًا.
‘Umārah bin Abī Ḥafṣah meriwayatkan dari al-Mughīrah bin Jubayr bahwa Nabi SAW melihat seorang lelaki berwudhu dan ia membasuh kedua kakinya, maka beliau bersabda: “Dengan inilah aku diperintahkan.”
Mujāhid meriwayatkan dari Abū Dharr, ia berkata: Rasulullah SAW melihat kami dari rumahnya ketika kami sedang berwudhu, lalu beliau bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka.” Maka kami pun segera menggosok kaki kami dan membasuhnya dengan sempurna.
وَرَوَى الْقَاسِمُ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ويلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ، ويلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ، ويلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ “، فَمَا بَقِيَ أحدٌ فِي الْمَسْجِدِ شريفٌ وَلَا وضيعٌ إِلَّا نَظَرْتُ إِلَيْهِ يُقَلِّبُ عُرْقُوبَيْهِ يَنْظُرُ إِلَيْهِمَا “.
وَرَوَى أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا تَوَضَّأَ يُدَلِّكُ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ، وَكُلُّ هَذِهِ الْأَخْبَارِ دَالَّةٌ عَلَى الْغَسْلِ دُونَ الْمَسْحِ لِأَنَّ الْمَسْحَ لَا يَحْتَاجُ إِلَى كُلِّ هَذَا.
Al-Qāsim meriwayatkan dari Abū Umāmah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka, celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka, celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka.” Maka tidak ada seorang pun di masjid, baik yang terpandang maupun yang biasa-biasa saja, kecuali aku melihatnya membalik kedua tumitnya untuk melihatnya.
Abū ‘Abd al-Raḥmān meriwayatkan dari al-Mustawrid bin Syaddād, ia berkata: “Aku melihat Nabi SAW ketika berwudhu, beliau menggosok jari-jemari kakinya dengan jari kelingkingnya.”
Seluruh berita ini menunjukkan kewajiban membasuh, bukan mengusap, karena mengusap tidak memerlukan semua ini.
وَرَوَى الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قِيلَ يَا رَسُولَ الله كيفيُعْرَفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لرجلٍ خيلٌ غرٌ محجلةٌ في خيلٍ بهمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ، قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنَ الْوُضُوءِ.
Al-‘Alā’ bin ‘Abd al-Raḥmān meriwayatkan dari ayahnya, dari Abū Hurairah, bahwa ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana engkau mengenali orang yang belum datang dari umatmu?” Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian jika seseorang memiliki kuda yang putih wajah dan kakinya di tengah-tengah kuda yang hitam legam, tidakkah ia akan mengenali kudanya itu?” Mereka menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Maka sesungguhnya mereka akan datang pada hari kiamat dalam keadaan wajah dan kaki mereka bercahaya karena wudhu.”
فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى اسْتِحْقَاقِ الْغَسْلِ لِأَنَّ آثَارَ التَّحْجِيلِ يَكُونُ مِنَ الْغَسْلِ لَا مِنَ الْمَسْحِ فَأَمَّا الْمَعْنَى فَإِنَّهُ عُضْوٌ مَفْرُوضٌ فِي أَحَدِ طَرَفَيِ الطَّهَارَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَغْسُولًا كَالْوَجْهِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْآيَةِ فَهُوَ مَا قَدَّمْنَاهُ دَلِيلًا، وَاسْتِعْمَالًا.
Maka hadis ini menunjukkan kewajiban membasuh, karena bekas taḥjīl itu berasal dari basuhan, bukan dari usapan.
Adapun dari segi makna, kaki adalah anggota yang difardhukan pada salah satu ujung ṭahārah, maka wajiblah ia dibasuh seperti halnya wajah.
Adapun jawaban terhadap istidlal mereka dengan ayat, adalah sebagaimana dalil dan penjelasan penggunaan yang telah kami kemukakan sebelumnya.
وَأَمَّا حَدِيثُ أَنَسٍ فَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ كِتَابُ اللَّهِ الْمَسْحُ وَبَيَّنَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ الْغَسْلُ فَكَانَ إِنْكَارُهُ عَلَى الْحَجَّاجِ أَنَّ الْكِتَابَ لَمْ يَدُلَّ عَلَى الْغَسْلِ وَإِنَّمَا السُّنَّةُ دَالَّةٌ عَلَيْهِ فَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَدْ رُوِّينَاهُ عَنْهُ بِخِلَافِهِ وَأَنَّهُ قَرَأَ بِالنَّصْبِ، وَيُحْتَمَلُ قَوْلُهُ غَسْلَتَانِ وَمَسْحَتَانِ يَعْنِي الْوَجْهَ وَالذِّرَاعَيْنِ يُغْسَلَانِ فِي الْوُضُوءِ وَيُمْسَحَانِ فِي التَّيَمُّمِ.
Adapun hadis Anas, telah diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Kitab Allah menetapkan mengusap, dan Rasulullah SAW menjelaskan bahwa itu adalah membasuh.” Maka pengingkarannya terhadap al-Ḥajjāj adalah karena Kitab (al-Qur’an) tidak menunjukkan membasuh, melainkan sunnah yang menunjukkan hal itu.
Adapun hadis Ibn ‘Abbās, maka kami meriwayatkannya darinya dengan lafaz yang berbeda, yaitu bahwa ia membaca dengan naṣab. Dan kemungkinan maksud ucapannya “dua kali basuhan dan dua kali usapan” adalah wajah dan kedua lengan dibasuh dalam wudhu, dan diusap dalam tayammum.
وَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيٍّ فَمَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ غَسَلَهُمَا فِي نَعْلَيْهِ، أَلَا تَرَى إِلَى مَا رُوِيَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ أَنَّهُ أَقْرَأَ الْحَسْنَ وَالْحُسَيْنَ بِالْخَفْضِ قَالَ فَنَادَانِي عَلِيٌّ مِنَ الْحُجْرَةِ بِالْفَتْحَةِ بِالْفَتْحَةِ، وَأَمَّا حَدِيثُ حُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أتى كطامة قومٍ وَرُوِيَ سُبَاطَةَ قومٍ فَالْكِظَامَةُ الْمَطْهَرَةُ وَالسُّبَاطَةُ الْفِنَاءُ فَبَالَ قَائِمًا وَمَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ فَقَدْ أَنْكَرَتْ عَائِشَةُ هَذَا الْحَدِيثَ وَمَنَعَتْ أَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَالَ قَائِمًا.
Adapun hadis ‘Alī, maka ditakwilkan bahwa beliau membasuh kedua kakinya dalam keadaan memakai sandalnya. Tidakkah engkau melihat riwayat dari Abū ‘Abd al-Raḥmān al-Sulamī bahwa ia membacakan kepada al-Ḥasan dan al-Ḥusayn dengan bacaan majrūr, lalu ‘Alī memanggilku dari kamar: “Dengan fathah! dengan fathah!”
Adapun hadis Ḥudhayfah bahwa Nabi SAW mendatangi kaẓāmah suatu kaum — dan diriwayatkan juga: subāṭah suatu kaum — maka kaẓāmah adalah tempat wudhu, sedangkan subāṭah adalah pelataran rumah; lalu beliau kencing sambil berdiri dan mengusap kedua sandalnya, hadis ini telah diingkari oleh ‘Āisyah dan beliau menolak bahwa Nabi SAW pernah kencing sambil berdiri.
وَقِيلَ بَلْ فَعَلَ ذَلِكَ لِجُرْحٍ كان في مابضه، وَالْمَأْبِضُ: هُوَ عِرْقٌ فِي بَاطِنِ السَّاقِ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ مِنْ نَجَاسَةٍ وَقَعَتْ عَلَيْهِمَا، لِأَنَّ مَسْحَ النَّعْلَيْنِ لَا يُجْزِئُ عن مسحالرِّجْلَيْنِ بِالْإِجْمَاعِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى التَّيَمُّمِ فَبَاطِلٌ بِالْجُنُبِ لِأَنَّ الْفَرْضَ فِي بَدَلِهِ الْغَسْلُ وَإِنْ كَانَ سَاقِطًا فِي التَّيَمُّمِ، فَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ مَا كَانَ بَدَلُهُ مَمْسُوحًا كَانَ مُبْدَلُهُ مَمْسُوحًا فباطل بالوجه وهو التَّيَمُّمِ مَمْسُوحٌ وَالتَّيَمُّمُ بَدَلٌ وَفِي الْوُضُوءِ مَغْسُولٌ والوضوء مبدل والله أعلم.
Dikatakan pula, bahkan beliau melakukan itu karena ada luka pada ma’biḍ-nya, yaitu urat di bagian dalam betis. Maka boleh jadi beliau mengusap kedua sandalnya karena ada najis yang mengenainya, sebab mengusap sandal tidak mencukupi dari mengusap kedua kaki menurut ijmak.
Adapun qiyas mereka kepada tayammum, maka batal dengan (kasus) orang junub, karena kewajiban pada penggantinya adalah membasuh, meskipun kewajiban itu gugur dalam tayammum.
Adapun ucapan mereka bahwa setiap yang penggantinya diusap maka yang digantikan pun diusap, maka batal dari satu sisi, yaitu tayammum itu diusap, padahal tayammum adalah pengganti, dan dalam wudhu anggota yang digantikannya adalah dibasuh. Wallāhu a‘lam.
مسألة
: قال الشافعي رضي الله عنه: والكعبان هما العظمتان النَّاتِئَانِ وَهُمَا مُجْتَمَعُ مَفْصِلِ السَّاقِ وَالْقَدَمِ وَعَلَيْهِمَا الغسل كالمرفقين.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، الْكَعْبَانِ هُمَا النَّاتِئَانِ بَيْنَ السَّاقِ وَالْقَدَمِ.
Masalah
Al-Syāfi‘ī ra. berkata: Kedua mata kaki adalah dua tulang yang menonjol, yaitu tempat bertemunya persendian betis dan kaki, dan keduanya wajib dibasuh sebagaimana kedua siku.
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, kedua mata kaki adalah dua tonjolan tulang di antara betis dan kaki.
وَحُكِيَ عَنْ محمد بن الحسن أَنَّ الْكَعْبَ مَوْضِعُ الشِّرَاكِ عَلَى ظَهْرِ الْقَدَمِ وَهُوَ النَّاتِئُ مِنْهُ. اسْتِشْهَادًا بِأَنَّ ذَاكَ لُغَةُ أَهْلِ الْيَمَنِ وَيُحْكَى عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيِّ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْكَعْبَ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ مَا قَالَهُ محمد وَإِنَّمَا عَدَلَ عَنْهُ الشافعي بالشرع وأنكر أصحابنا ذلك فقالوا: بَلِ الْكَعْبُ مَا وَصَفَهُ الشَّافِعِيُّ لُغَةً وَشَرْعًا أما اللغة فمن وجهين: نقل واشتقاق. فأما النَّقْلُ فَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ قُرَيْشٍ، وَنِزَارٍ، كُلِّهَا مُضَرَ وَرَبِيعَةَ، لَا يَخْتَلِفُ لِسَانُ جَمِيعِهِمْ أَنَّ الْكَعْبَ اسْمٌ لِلنَّاتِئِ بَيْنَ السَّاقِ وَالْقَدَمِ وَهُمْ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ لِسَانُهُمْ مُعْتَبَرًا فِي الْأَحْكَامِ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، وَلِأَنَّ الْقُرْآنَ بِلِسَانِهِمْ نَزَلَ.
Diriwayatkan dari Muḥammad bin al-Ḥasan bahwa ka‘b adalah tempat tali sandal di punggung kaki, yaitu bagian yang menonjol darinya. Ia berdalil bahwa itu adalah bahasa penduduk Yaman.
Diriwayatkan pula dari Abū ‘Abdillāh al-Zubayrī dari kalangan sahabat kami, bahwa ka‘b dalam bahasa Arab adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Muḥammad. Hanya saja al-Syāfi‘ī meninggalkan pendapat itu karena pertimbangan syar‘i. Namun para sahabat kami mengingkarinya dan berkata: Bahkan ka‘b adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Syāfi‘ī, baik secara bahasa maupun secara syara‘.
Adapun secara bahasa, dari dua sisi: riwayat dan isytiqāq.
Riwayatnya adalah sebagaimana dikisahkan dari Quraisy, Nizār, seluruhnya dari Muḍar dan Rabī‘ah, bahwa tidak ada perbedaan dalam bahasa mereka bahwa ka‘b adalah nama bagi tonjolan di antara betis dan kaki. Mereka lebih berhak dijadikan rujukan bahasanya dalam hukum daripada penduduk Yaman, karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka.
وَأَمَّا الِاشْتِقَاقُ فَهُوَ أَنَّ الْكَعْبَ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ كُلِّهَا اسْمٌ لِمَا اسْتَدَارَ وَعَلَا وَلِذَلِكَ قَالُوا قَدْ كَعَّبَ ثَدْيُ الْجَارِيَةِ إِذَا عَلَا وَاسْتَدَارَ وَجَارِيَةٌ كُعُوبٌ.
Adapun dari sisi isytiqāq, ka‘b dalam bahasa seluruh orang Arab adalah nama bagi sesuatu yang bulat dan menonjol. Karena itu mereka berkata: qad ka‘aba thadyu al-jāriyah apabila payudara seorang gadis itu menonjol dan membulat, dan gadis itu disebut ku‘ūb.
وَسُمِّيَتِ الْكَعْبَةُ كَعْبَةً لِاسْتِدَارَاتِهَا وَعُلُوِّهَا وَلَيْسَ يَتَّصِلُ بِالْقَدَمِ مَا يَسْتَحِقُّ هَذَا الِاسْمَ إِلَّا مَا وَصَفَهُ الشَّافِعِيُّ لِعُلُوِّهِ وَاسْتِدَارَتِهِ، فَهَذَا مَا تَقْتَضِيهِ اللُّغَةُ نَقْلًا وَاشْتِقَاقًا، وَأَمَّا الشَّرْعُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ نَصٌّ وَاسْتِدْلَالٌ:
أَمَّا النَّصُّ فَحَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ: أَنَّ النَبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلَا حَرَجَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ وَمَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ ” وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِجَابِرِ بْنِ سُلَيْمٍ: ” ارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ “.
Dan dinamakan Ka‘bah sebagai Ka‘bah karena bentuknya yang bundar dan tinggi. Tidak ada bagian yang menyambung dengan kaki yang berhak mendapatkan nama ini kecuali sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Syāfi‘ī, karena bagian itu tinggi dan bundar. Maka inilah yang ditunjukkan oleh bahasa, baik dari sisi riwayat maupun isytiqāq.
Adapun dari sisi syara‘, maka dari dua sisi: nash dan istidlal.
Adapun nash, yaitu hadis Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Nabi SAW bersabda: “Pakaian seorang Muslim hingga pertengahan betis, dan tidak mengapa antara itu sampai kedua mata kaki, dan apa yang berada di bawah kedua mata kaki maka tempatnya di neraka.”
Dan sabda Nabi SAW kepada Jābir bin Sulaym: “Angkatlah sarungmu hingga pertengahan betis, jika enggan maka hingga kedua mata kaki.”
فَدَلَّنَصُّ هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ عَلَى أَنَّ الْكَعْبَيْنِ أَسْفَلُ السَّاقِ لَا مَا قَالُوهُ مِنْ ظَاهِرِ الْقَدَمِ، وأما الاستدلال بقوله تعالى: {أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ) {المائدة: 6) . فَلَمَّا ذَكَرَ الْأَرْجُلَ بِلَفْظِ الْجَمْعِ وَذَكَرَ الْكَعْبَيْنِ بِلَفْظِ التَّثْنِيَةِ وَلَمْ يَذْكُرْهُ بِلَفْظِ الْجَمْعِ كَمَا ذَكَرَ فِي الْمَرَافِقِ اقْتَضَى أَنْ تَكُونَ التَّثْنِيَةُ رَاجِعَةً إِلَى كُلِّ رِجْلٍ فَيَكُونُ فِي كُلِّ رِجْلٍ كَعْبَانِ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ إِلَّا فِيمَا وَصَفَهُ الشَّافِعِيُّ مِنَ الْمُسْتَدِيرِ بَيْنَ السَّاقِ وَالْقَدَمِ وَعَلَى مَا قَالُوهُ يَكُونُ فِي كُلِّ رِجْلٍ كَعْبٌ وَاحِدٌ.
Maka nash kedua hadis ini menunjukkan bahwa kedua mata kaki adalah bagian bawah betis, bukan seperti yang mereka katakan yaitu bagian atas kaki.
Adapun istidlal dengan firman Allah Ta‘ālā: “Kakimu sampai kedua mata kaki” (QS. al-Mā’idah: 6), ketika Allah menyebut kaki dengan lafaz jamak dan menyebut kedua mata kaki dengan lafaz tuknis (mudzakkar tsani), tanpa menyebutnya dengan lafaz jamak seperti pada siku, maka hal ini mengharuskan bahwa tuknis tersebut kembali kepada setiap kaki secara terpisah, sehingga pada setiap kaki terdapat dua mata kaki.
Dan hal itu hanya mungkin terjadi pada bagian yang dijelaskan oleh al-Syāfi‘ī, yaitu bagian yang bulat di antara betis dan kaki. Sedangkan menurut pendapat mereka, pada setiap kaki hanya ada satu mata kaki.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْكَعْبَ مَا وَصَفْنَا وَجَبَ غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ، وَخَالَفَ زفر كَخِلَافِهِ فِي الْمِرْفَقَيْنِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ فَإِذَا أَرَادَ غَسْلَ رِجْلَيْهِ بَدَأَ بِالْيُمْنَى مِنْهُمَا فَغَسَلَهَا مِنْ أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ إِلَى كَعْبَيْهِ إِنْ كَانَ هُوَ الَّذِي يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى نَفْسِهِ وَإِنْ كَانَ غيره يصب الماء عليه غسلها مِنْ كَعْبَيْهِ إِلَى أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثًا ثُمَّ يَغْسِلُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى كَذَلِكَ ثَلَاثًا.
PASAL
Apabila telah dipastikan bahwa ka‘b adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka wajib membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki.
Zafar berbeda pendapat dalam hal ini, sebagaimana perbedaannya pada kedua siku, yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Apabila seseorang hendak membasuh kedua kakinya, maka ia memulai dari kaki kanan dengan membasuhnya dari ujung-ujung jari hingga kedua mata kaki, apabila ia sendiri yang menuangkan air ke tubuhnya.
Adapun jika orang lain yang menuangkan air ke tubuhnya, maka ia membasuh kaki kanan dari kedua mata kaki menuju ujung-ujung jari.
Ia melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kaki kiri dengan cara yang sama sebanyak tiga kali.
(مسألة: القول في تخليل الأصابع)
قال الشافعي رضي الله عنه: وَيُخَلِّلُ بَيْنَ أَصَابِعِهِ لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَقِيطَ بْنَ صَبِرَةَ بِذَلِكَ، وَذَلِكَ أَكْمَلُ الْوُضُوءِ إن شاء الله.
Masalah: Pendapat tentang menguraikan jari-jari
Al-Syāfi‘ī ra. berkata: Ia menguraikan (menghulul) di antara jari-jarinya karena perintah Rasulullah SAW kepada Laqīṭ bin Ṣabirah dalam hal itu, dan itu adalah kesempurnaan wudhu insyā Allāh.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا تَخْلِيلُ الْأَصَابِعِ فَمَأْمُورٌ بِهِ لِرِوَايَةِ عَاصِمِ بْنِ لَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أخبرني عن الْوُضُوءِ قَالَ: أَسْبِغِ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ، وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائما، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ كَانَتْ أَصَابِعُهُ مُتَضَايِقَةً أَوْ مُتَرَاكِبَةً لَا يَصِلُ الْمَاءُ إِلَى مَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالتَّخْلِيلِ فَالتَّخْلِيلُ وَاجِبٌ، وَإِنْ كَانَتْ مُتَفَرِّقَةً يَصِلُ الْمَاءُ إِلَى مَا بَيْنَهَا بِغَيْرِ تَخْلِيلٍ فَالتَّخْلِيلُ سُنَّةٌ فَيَبْدَأُ فِي تَخْلِيلِ أَصَابِعِهِ الْيُمْنَى مِنْ خِنْصَرِهِ إِلَى إِبْهَامِهِ ثُمَّ بِالْيُسْرَى مِنْ إِبْهَامِهِ إِلَى خِنْصَرِهِ لِيَكُونَ تَخْلِيلُهَا نَسَقًا عَلَى الْوَلَاءِ وَكَيْفَمَا خَلَّلَهُمَا وَأَوْصَلَ الْمَاءَ إِلَيْهِمَا أَجْزَأَهُ.
Al-Māwardī berkata: Adapun menguraikan jari-jari adalah diperintahkan berdasarkan riwayat ‘Āṣim bin Laqīṭ bin Ṣabirah dari ayahnya, ia berkata: “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah aku tentang wudhu.’ Beliau bersabda: ‘Sempurnakanlah wudhumu dan urailah (khallil) di antara jari-jari, dan perbanyaklah istinshāq kecuali jika engkau sedang berpuasa.’”
Jika jari-jari saling rapat atau bertumpuk sehingga air tidak sampai ke antara jari kecuali dengan menguraikannya, maka menguraikan adalah wajib.
Namun jika jari-jari terbuka sehingga air sampai ke sela-sela tanpa harus menguraikannya, maka menguraikan adalah sunnah.
Ia memulai menguraikan jari kanan dari kelingking hingga ibu jari, kemudian menguraikan jari kiri dari ibu jari hingga kelingking, agar urutan menguraikan menjadi berurutan mengikuti arah persendian.
Bagaimanapun ia menguraikan jari-jarinya dan membiarkan air sampai ke sela-sela, maka sudah cukup.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” وَذَلِكَ أَكْمَلُ الْوُضُوءِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى ” فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَالَ ذَلِكَ لِأَنَّ فِي النَّاسِ مَنْ خَالَفَهُ فِي الْأَكْمَلِ فَأَضَافَ بَعْضُهُمْ إِلَى كَمَالِ الْوُضُوءِ إِدْخَالَ الْمَاءِ فِي الْعَيْنَيْنِ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ، وَزَادَ عَطَاءٌ فِيهِ تَخْلِيلَ اللِّحْيَةِ، وَزَادَ فِيهِ غَيْرُهُ مَسْحَ الْحَلْقِ بِالْمَاءِ فَلِأَجْلِ هَذَا الْخِلَافِ لَمْ يَقْطَعْ بِأَنَّ مَا ذَكَرَهُ أَكْمَلُ الْوُضُوءِ فَقَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَيْسَ يَعُودُ إِلَى الْكَمَالِ وَلَكِنْ يَعُودُ إِلَى مَا نَدَبَ إِلَى فِعْلِهِ فِي الْمُسْتَقْبَلِ وَتَقْدِيرُهُ، ” فيوض كَذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “.
PASAL
Adapun perkataan al-Syāfi‘ī: “Dan itu adalah kesempurnaan wudhu insyā Allāh Ta‘ālā”, maka terdapat dua penafsiran:
Pertama, bahwa beliau berkata demikian karena di kalangan manusia ada yang berbeda pendapat tentang kesempurnaan wudhu, sebagian menambahkan kesempurnaan wudhu dengan memasukkan air ke dalam kedua mata, dan Ibn ‘Umar mengamalkannya. Ada pula ‘Aṭā’ yang menambahkan menguraikan janggut, dan ada pula yang menambahkan mengusap tengkuk dengan air. Karena adanya perbedaan ini, beliau tidak memutuskan secara tegas bahwa apa yang disebutnya adalah kesempurnaan wudhu, maka beliau berkata “insyā Allāh.”
Penafsiran kedua, bahwa perkataan “insyā Allāh” tidak kembali kepada kesempurnaan, tetapi kepada apa yang dianjurkan untuk dilakukan di masa datang, dan pengiraannya demikian, maka beliau berkata “fiwaḍu kaḏālika insyā Allāh.”
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا أَذْكَارُ الْوُضُوءِ فَالْمَسْنُونُ مِنْهَا هُوَ التَّسْمِيَةُ أَمَّا الْوُضُوءُ وَقَدْ ثَبَتَتِ الرِّوَايَةُ بِذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَمَّا مَا سِوَى التَّسْمِيَةِ مِنَ الْأَذْكَارِ عِنْدَ غَسْلِ الْأَعْضَاءِ فَقَدْ جَاءَتْ بِهَا آثَارٌمَنْقُولَةٌ يَخْتَارُ الْعَمَلَ بِهَا وَإِنْ كَانَتِ التَّسْمِيَةُ أَوْكَدَ مِنْهَا، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ الْمَضْمَضَةِ: اللَّهُمَّ اسْقِنِي مِنْ حَوْضِ نَبِيِّكَ كَأْسًا لَا ظمأ بَعْدَهُ، وَيَقُولُ عِنْدَ الِاسْتِنْشَاقِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنِي رَائِحَةَ جِنَانِكَ وَنَعِيمَكَ، وَيَقُولُ عِنْدَ غَسْلِ وَجْهِهِ اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِي يَوْمَ تَبْيَضُّ فِيهِ وُجُوهٌ وتسود فيه وُجُوهٌ، وَيَقُولُ عِنْدَ غَسْلِ ذِرَاعَيْهِ اللَّهُمَّ أَعْطِنِي كِتَابِي بِيَمِينِي وَحَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا، وَلَا تُعْطِنِي كِتَابِي بِشِمَالِي فَأَهْلِكَ، وَيَقُولُ عِنْدَ مَسْحِ رَأْسِهِ اللهم اظللني تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِكَ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّكَ، وَيَقُولُ عِنْدَ مَسْحِ أُذُنَيْهِ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ وَيَقُولُ عِنْدَ غَسْلِ رِجْلَيْهِ اللَّهُمَّ أَجِزْنِي عَلَى الصِّرَاطِ وَلَا تَجْعَلْنِي مِمَّنْ يَتَرَدَّى فِي النَّارِ فَهَذَا كُلُّهُ مَأْثُورٌ عَنِ الْفُضَلَاءِ الصَّالِحِينَ مِنَ الصَّحَابَةِ والتابعين.
PASAL
Adapun dzikir-dzikir wudhu, yang disunnahkan darinya adalah tasmiyah ketika berwudhu, dan telah tetap riwayat tentang hal itu dari Rasulullah SAW. Adapun selain tasmiyah dari dzikir-dzikir ketika membasuh anggota-anggota, maka telah datang atsar-atsar yang dinukil, yang dianjurkan untuk diamalkan, meskipun tasmiyah lebih ditekankan darinya.
Yaitu membaca ketika madmadah: “Ya Allah, berilah aku minum dari telaga nabi-Mu sebuah cawan yang tidak akan membuatku dahaga setelahnya.”
Membaca ketika istinśāq: “Ya Allah, jangan Engkau haramkan aku dari mencium bau surga-Mu dan kenikmatan-Mu.”
Membaca ketika membasuh wajah: “Ya Allah, putihkanlah wajahku pada hari di mana wajah-wajah menjadi putih dan wajah-wajah menjadi hitam.”
Membaca ketika membasuh kedua lengan: “Ya Allah, berilah aku kitab catatan amal dengan tangan kananku, dan hisablah aku dengan hisab yang mudah, dan jangan Engkau berikan kitab catatan amal dengan tangan kiriku hingga aku celaka.”
Membaca ketika mengusap kepala: “Ya Allah, naungilah aku di bawah naungan ‘Arsy-Mu pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Mu.”
Membaca ketika mengusap kedua telinga: “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya.”
Membaca ketika membasuh kedua kaki: “Ya Allah, selamatkanlah aku di atas ṣirāṭ dan jangan Engkau jadikan aku termasuk orang-orang yang terjatuh ke dalam neraka.”
Semua ini diriwayatkan dari para sahabat dan tābi‘īn yang mulia dan saleh.
(فَصْلٌ)
: وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَنَّهُ كَانَ يَمْسَحُ عَلَى الْمَأْقَيْنِ ” وَهِيَ تَثْنِيَةُ مَأْقٍ وَهُوَ طَرَفُ الْعَيْنِ الَّذِي يَلِي الْأَنْفَ وَهُوَ مَخْرَجُ الدَّمْعِ، فَأَمَّا الطَّرَفُ الْآخَرُ فَهُوَ اللِّحَاظُ وَمَسْحُ الْمَأْقَيْنِ مُعْتَبَرٌ بِحَالِهِمَا فَإِنْ كَانَ فِيهِمَا رَمْصٌ ظَاهِرٌ يَمْنَعُ مِنْ وُصُولِ الْمَاءِ إِلَى مَحَلِّهِ كَانَ مَسْحُهُمَا وَاجِبًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِمَا رَمْصٌ كَانَ مَسْحُهُمَا مُسْتَحَبًّا كَالتَّخْلِيلِ.
PASAL
Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau mengusap al-ma’qayn. Kata al-ma’qayn adalah bentuk tatsniyah dari ma’q, yaitu ujung mata yang berada di sisi hidung dan merupakan tempat keluarnya air mata. Adapun ujung mata yang lain disebut al-liḥāẓ. Mengusap al-ma’qayn bergantung pada keadaannya; jika terdapat kotoran mata yang jelas yang menghalangi sampainya air ke tempatnya, maka mengusapnya menjadi wajib. Namun jika tidak ada kotoran mata, maka mengusapnya disunnahkan seperti halnya takhlīl.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: وَأُحِبُّ أَنْ يُمِرَّ الْمَاءَ عَلَى مَا سَقَطَ مِنَ اللِّحْيَةِ عَنِ الْوَجْهِ وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَفِيهَا قَوْلَانِ قَالَ يُجْزِيهِ فِي أَحَدِهِمَا وَلَا يُجْزِيهِ فِي الْآخَرِ، قَالَ الْمُزَنِيُّ: يُجْزِيهِ أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ لِأَنَّهُ يَجْعَلُ مَا سَقَطَ مِنْ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ مِنَ الرَّأْسِ فَكَذَلِكَ يَلْزَمُهُ أَلَّا يَجْعَلَ مَا سَقَطَ مِنْ مَنَابِتِ شَعْرِ الْوَجْهِ مِنَ الْوَجْهِ.
وَقَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ أَوَّلُ مَسْأَلَةٍ نَقَلَهَا الْمُزَنِيُّ فِي مُخْتَصَرِهِ هَذَا عَلَى قَوْلَيْنِ.
Masalah
Al-Syafi‘i RA berkata: “Aku menyukai untuk mengalirkan air pada bagian jenggot yang telah gugur dari wajah. Jika tidak dilakukan, maka ada dua pendapat. Dalam salah satunya dikatakan: itu sudah mencukupi, dan dalam yang lain dikatakan: itu tidak mencukupi.”
Al-Muzani berkata: “Pendapat yang mencukupi lebih mendekati perkataannya, karena ia menjadikan rambut yang gugur dari tempat tumbuh rambut kepala sebagai bagian dari kepala, maka demikian pula semestinya ia tidak menjadikan rambut yang gugur dari tempat tumbuh rambut wajah sebagai bagian dari wajah.”
Al-Māwardī berkata: “Inilah masalah pertama yang dinukil oleh al-Muzani dalam Mukhtaṣar-nya ini dengan dua pendapat.”
وَجُمْلَةُ شَعْرِ اللِّحْيَةِ أَنَّهُ مَتَى لَمْ يَتَجَاوَزِ الْأُذُنَ عَرْضًا، وَلَمْ يَسْتَرْسِلْ عَنِ الذَّقَنِ طُولًا فَإِمْرَارُ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَاجِبٌ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ، وَإِنْ تَجَاوَزَ الْأُذُنَيْنِ عَرْضًا وَاسْتَرْسَلَ عَنِ الذَّقْنِ طُولًا لَزِمَهُ غَسْلُ مَا قَابَلَ الْبَشَرَةَ وَهُوَ مَأْمُورٌ بِغَسْلِ مَا انْتَشَرَ عَنْهَا عَرْضًا وَمَا اسْتَرْسَلَ مِنْهَا طُولًا، وَفِي وُجُوبِهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ وَمَذْهَبُ أبي حنيفة أَنَّ إِمْرَارَ الْمَاءِ عَلَيْهِ غَيْرُ وَاجِبٍ وَتَرْكَهُ مُجْزِئٌ، وَوَجْهُهُ أَنَّهُ أَحَدُ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ فَلَمْ يكن ما استرسل من شعره داخل فَيَ حُكْمِهِ كَالرَّأْسِ. وَلِأَنَّ انْتِقَالَ الْفَرْضِ فِي الْبَشَرَةِ إِلَى مَا يُوَازِيهَا يُوجِبُ أَنْ يَكُونَ مَقْصُورًا عَلَى مَا يُحَاذِيهَا كَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
Seluruh rambut jenggot, apabila tidak melewati telinga secara lebar dan tidak menjulur dari dagu secara panjang, maka mengalirkan air di atasnya adalah wajib, dan telah berlalu pembicaraan tentang hal ini. Apabila ia melewati kedua telinga secara lebar dan menjulur dari dagu secara panjang, maka wajib membasuh bagian yang berhadapan langsung dengan kulit, dan ia diperintahkan untuk membasuh apa yang melebar darinya secara lebar dan apa yang menjulur darinya secara panjang.
Tentang kewajibannya terdapat dua pendapat:
Pertama, yaitu pilihan al-Muzani dan mazhab Abu Ḥanīfah, bahwa mengalirkan air di atasnya tidak wajib dan meninggalkannya sudah mencukupi. Alasannya, karena ia adalah salah satu anggota wudhu, maka bagian rambut yang menjulur tidak termasuk dalam hukumnya, sebagaimana kepala. Dan karena berpindahnya kewajiban dari kulit kepada yang sejajar dengannya mengharuskan pembatasan hanya pada yang sejajar dengannya, seperti mengusap khuff.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ إِمْرَارَ الْمَاءِ واجب عليه وتركه غير مجزى، وَوَجْهُهُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِغَسْلِ الْوَجْهِ وَاللِّحْيَةُ يَتَنَاوَلُهَا اسْمُ الْوَجْهِ لُغَةً وَشَرْعًا:
أَمَّا اللُّغَةُ فَلِأَنَّ الْوَجْهَ سُمِّيَ وَجْهًا لِحُصُولِ الْمُوَاجَهَةِ لَهُ وَاللِّحْيَةُ مِمَّا يَحْصُلُ بِهَا الْمُوَاجَهَةُ فَكَانَتْ دَاخِلَةً فِي اسْمِ الْوَجْهِ وَكَذَلِكَ قَالُوا قَدْ بَقَلَ وَجْهُهُ وَنَبَتَ وَجْهُهُ إِذَا خَرَجَتْ لِحْيَتُهُ.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih ṣaḥīḥ, bahwa mengalirkan air di atasnya adalah wajib dan meninggalkannya tidak mencukupi. Alasannya, karena Allah Ta‘ālā memerintahkan untuk membasuh wajah, sedangkan jenggot termasuk dalam cakupan nama wajah baik secara bahasa maupun syara‘.
Secara bahasa, karena wajah dinamakan wajh disebabkan adanya pertemuan (muwājahah) dengannya, dan jenggot termasuk bagian yang menjadi tempat terjadinya pertemuan itu, maka ia masuk dalam nama wajah. Demikian pula mereka berkata: “Baqala wajhuh” dan “nabata wajhuh” apabila jenggotnya telah tumbuh.
وَأَمَّا الشَّرْعُ فَمَا رَوَاهُ عَطَاءُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تُغَطُّوا اللِّحْيَةَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا مِنَ الْوَجْهِ ” فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ اللِّحْيَةَ مِنَ الْوَجْهِ لُغَةً وَشَرْعًا وَجَبَ غَسْلُهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ) {المائدة: 6) .
وَلِأَنَّهُ شَعْرٌ ظَاهِرٌ نَبَتَ عَلَى مَحَلٍّ مَغْسُولٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَيْهِ وَاجِبًا قِيَاسًا عَلَى مَا لَمْ يَسْتَرْسِلْ مِنْ شَعْرِ الْوَجْهِ وَلِأَنَّ كُلَّ شَعْرٍ وَاجِبٌ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَطُولَ وَجَبَ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ طَالَ قِيَاسًا عَلَى الشَّارِبِ وَالْحَاجِبِ وَشَعْرِ الذِّرَاعِ. فَأَمَّا الْجَمْعُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ شَعْرِ الرَّأْسِ فَمُمْتَنِعٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الرَّأْسَ اسْمٌ لِمَا تَرَأَّسَ وَعَلَا وَلِذَلِكَ قِيلَ فُلَانٌ رَئِيسُ قَوْمِهِ إِذَا عَلَاهُمْ بِأَمْرِهِ فَلَمْ يَدْخُلْ مَا اسْتَرْسَلَ مِنْ شَعْرِ الرَّأْسِ فِي اسْمِهِ، وَالْوَجْهُ: اسْمٌ لِمَا وَقَعَتْ بِهِ الْمُوَاجَهَةُ فَدَخَلَ مَا اسْتَرْسَلَ مِنَ اللِّحْيَةِ فِي اسْمِهِ.
Adapun secara syara‘, berdasarkan riwayat ‘Aṭā’ bin Khālid dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian menutupi jenggot dalam shalat, karena ia termasuk bagian dari wajah.”
Maka apabila telah tetap bahwa jenggot adalah bagian dari wajah secara bahasa dan syara‘, wajib membasuhnya berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Maka basuhlah wajah-wajah kalian” (QS. al-Mā’idah: 6).
Selain itu, karena jenggot adalah rambut yang tampak dan tumbuh pada bagian yang wajib dibasuh, maka mengalirkan air padanya menjadi wajib, diqiyaskan pada rambut wajah yang tidak menjulur. Dan setiap rambut yang wajib dialiri air sebelum panjang, maka wajib pula dialiri air setelah panjang, diqiyaskan pada kumis, alis, dan rambut lengan.
Adapun menyamakannya dengan rambut kepala, hal itu tidak dapat dilakukan dari dua sisi:
Pertama, kepala adalah nama bagi bagian yang berada di atas dan memimpin, karenanya dikatakan “fulan adalah kepala kaumnya” jika ia berada di atas mereka dalam urusan, sehingga rambut kepala yang menjulur tidak termasuk dalam namanya. Sedangkan wajah adalah nama bagi bagian yang menjadi tempat pertemuan (muwājahah), maka rambut jenggot yang menjulur tetap masuk dalam namanya.
وَالثَّانِي: أَنَّ الِاحْتِيَاطَ أَنْ يَغْسِلَ شَعْرَ الْوَجْهِ مَعَ الْوَجْهِ فَأَوْجَبْنَاهُ، وَالِاحْتِيَاطُ ألا يسمح عَلَى الْمُسْتَرْسِلِ مِنْ شَعْرِ الرَّأْسِ فَأَسْقَطْنَاهُ فَكَانَ الِاحْتِيَاطُ فِيهِمَا فَرْقًا مَانِعًا مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَمُنْتَقَضٌ بِالشَّارِبِ وَالْحَاجِبِ وَالْعَنْفَقَةِ. ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْخُفَّيْنِ أَنَّ الْفَرْضَ انْتَقَلَ إِلَيْهِمَا عَلَى طَرِيقِ الْبَدَلِ وَلِذَلِكَ بَطَلَ الْمَسْحُ بِظُهُورِ الْقَدَمَيْنِ فَلِذَلِكَ كَانَ الْفَرْضُ مَقْصُورًا عَلَى مَحَلِّ الْقَدَمَيْنِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ شَعْرُ الْوَجْهِ لِأَنَّ الْفَرْضَ لَمْ يَنْتَقِلْ إِلَيْهِ عَلَى طَرِيقِ الْبَدَلِ وَكَذَلِكَ لَمْ يَبْطُلْ غَسْلُ الْوَجْهِ بِظُهُورِ الْبَشَرَةِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنِ الْفَرْضُ مَقْصُورًا عَلَى مَسْحِ الْبَشَرَةِ وَكَانَ مُسْتَوْعِبًا لِجَمِيعِ مَا انْتَقَلَ الفرض إليه.
Kedua, kehati-hatian adalah dengan membasuh rambut wajah bersama wajah, maka kami mewajibkannya. Sedangkan kehati-hatian pada rambut kepala yang menjulur adalah tidak mengusapnya, maka kami gugurkan kewajibannya. Maka perbedaan kehati-hatian pada keduanya menjadi pembeda yang menghalangi untuk menyamakannya.
Adapun qiyās mereka dengan khuffain tertolak oleh kumis, alis, dan ‘anfaqah. Adapun makna pada khuffain adalah bahwa kewajiban berpindah kepadanya sebagai bentuk pengganti (badal), karena itu mengusap khuff batal dengan tampaknya kedua telapak kaki. Oleh sebab itu, kewajiban dibatasi pada bagian telapak kaki saja. Hal ini berbeda dengan rambut wajah, karena kewajiban tidak berpindah kepadanya sebagai badal, dan juga tidak batalnya kewajiban membasuh wajah dengan tampaknya kulit. Oleh karena itu, kewajiban tidak terbatas pada mengusap kulit saja, tetapi mencakup seluruh bagian yang kewajiban telah berpindah kepadanya.
(مسألة)
: قال الشافعي وَلَوْ غَسَلَ وَجْهَهُ مَرَّةً وَلَمْ يَغْسِلْ يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهُمَا فِي الْإِنَاءِ وَلَمْ يَكُنْ فِيهِمَا قذرٌ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ مَرَّةً مَرَّةً وَمَسَحَ بعض رأسه بيده أو ببعضهما مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ مَنَابِتِ شَعْرِ رَأْسِهِ أجزأه. وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مسح بناصيته وعلىعمامته. (قال الشافعي) والنزعتان من الرأس وغسل رجليه مرةً مرةً وعم بكل مرةٍ ما غسل أجزأه وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً ثُمَّ قَالَ: ” هَذَا وضوءٌ لا يقبل الله تبارك وتعالى صلاة إِلَّا بِهِ ” ثمَ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قَالَ: ” مَنْ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ آتَاهُ اللَّهُ أَجْرَهُ مَرَّتَيْنِ ” ثَمَّ تَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ: ” هَذَا وُضُوئِي وَوُضُوءُ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي وَوُضُوءُ خليلي إبراهيم صلى الله عليه وسلم ” (قال) وفي تركه أن يتمضمض ويستنشق ويمسح أذنيه ترك للسنة وليست الأذنان من الوجه فيغسلا ولا من الرأس فيجزي مسحه عليهما فهما سنةٌ على حيالهما واحتج بأنه لما لم يكن على ما فوق الأذنين مما يليهما من الرأس ولا على ما وراءهما مما يلي منابت شعر الرأس إليهما ولا على ما يليهما إلى العنق مسحٌ وهو إلى الرأس أقرب كانت الأذنان من الرأس أبعد.
Masalah
Al-Syafi‘i berkata: “Seandainya seseorang membasuh wajahnya satu kali, dan tidak membasuh kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana, sementara pada keduanya tidak ada kotoran, lalu membasuh kedua lengannya satu kali-satu kali, dan mengusap sebagian kepalanya dengan satu atau kedua tangannya selama tidak keluar dari batas tumbuhnya rambut kepala, maka hal itu sudah mencukupi.”
Ia berdalil bahwa Nabi SAW mengusap sebagian depan kepalanya (nāṣiyah) dan di atas sorbannya. Al-Syafi‘i berkata: “Dan jika mencabut dua helai rambut dari kepala, lalu membasuh kedua kakinya satu kali-satu kali, serta meratakan setiap basuhan pada bagian yang dibasuhnya, maka hal itu mencukupi.”
Ia berdalil bahwa Nabi SAW berwudhu satu kali-satu kali, lalu bersabda: “Inilah wudhu yang Allah Tabāraka wa Ta‘ālā tidak menerima shalat kecuali dengannya.” Kemudian beliau berwudhu dua kali-dua kali, lalu bersabda: “Barang siapa berwudhu dua kali-dua kali, Allah memberinya pahala dua kali lipat.” Lalu beliau berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu bersabda: “Inilah wudhuku, wudhu para nabi sebelumku, dan wudhu kekasihku Ibrāhīm AS.”
Al-Syafi‘i berkata: “Adapun meninggalkan madmadah dan istinśāq, serta meninggalkan mengusap kedua telinga, berarti meninggalkan sunnah. Kedua telinga bukan bagian dari wajah sehingga wajib dibasuh, dan bukan bagian dari kepala sehingga cukup dengan diusap, maka keduanya adalah sunnah tersendiri. Ia berdalil bahwa ketika bagian di atas telinga yang berada di sisi kepalanya, bagian di belakang telinga yang berada di antara batas tumbuh rambut kepala dan telinga, dan bagian di sampingnya hingga ke leher — tidak ada kewajiban mengusap padanya, padahal ia lebih dekat ke kepala — maka telinga lebih jauh dari kepala.”
(قال المزني) لو كانتا من الرأس أجزأ من حج حلقهما عن تقصير الرأس فصح أنهما سنةٌ على حيالهما.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: الْوُضُوءُ يَشْتَمِلُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ فَقِسْمٌ فَرِيضَةٌ، وَقِسْمٌ سُنَّةٌ، وَقِسْمٌ هَيْئَةٌ، وَقِسْمٌ فَضِيلَةٌ: فَأَمَّا الْفَرِيضَةُ فَسِتٌّ لَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ فِيهَا وَسَابِعٌ اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهِ:
أَحَدُّهَا: النِّيَّةُ.
وَالثَّانِي: غَسْلُ جَمِيعِ الْوَجْهِ.
وَالثَّالِثُ: غَسْلُ الذِّرَاعَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ.
وَالرَّابِعُ: مَسْحُ بَعْضِ الرَّأْسِ وَإِنْ قَلَّ.
وَالْخَامِسُ: غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ.
وَالسَّادِسُ: التَّرْتِيبُ.
Al-Muzani berkata: “Seandainya kedua telinga termasuk bagian dari kepala, niscaya cukur habis keduanya dalam ibadah haji sudah mencukupi dari menggundul kepala, maka jelaslah bahwa keduanya adalah sunnah tersendiri.”
Al-Māwardī berkata: “Wudhu mencakup empat bagian: bagian yang fardhu, bagian yang sunnah, bagian yang merupakan tata cara (hay’ah), dan bagian yang merupakan keutamaan (faḍīlah).
Adapun yang fardhu ada enam perkara yang tidak diperselisihkan dalam mazhab, dan satu perkara lagi yang diperselisihkan:
Pertama: niat.
Kedua: membasuh seluruh wajah.
Ketiga: membasuh kedua lengan beserta siku.
Keempat: mengusap sebagian kepala walaupun sedikit.
Kelima: membasuh kedua kaki beserta mata kaki.
Keenam: tertib.
وَالسَّابِعُ: الْمُخْتَلَفُ فِيهِ الْمُوَالَاةُ، فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، هُوَ فَرْضٌ فَإِنْ فَرَّقَ وُضُوءَهُ لَمْ يُجْزِهِ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ لَيْسَ بِفَرْضٍ وَإِنْ فَرَّقَ وُضُوءَهُ أَجْزَأَهُ، فَأَمَّا الْمَاءُ الطَّاهِرُ فَلَيْسَ مِنْ أَفْعَالِ الْوُضُوءِ فَلَمْ يَدْخُلْ فِي عَدَدِ فُرُوضِهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ كَانَ يَعُدُّهُ فَرْضًا ثَامِنًا.
Ketujuh: yang diperselisihkan adalah muwālah (berturut-turut dalam wudhu). Menurut pendapatnya dalam qawl qadīm, ia adalah fardhu; maka jika memisah-misahkan wudhunya, tidak sah wudhunya. Menurut pendapatnya dalam qawl jadīd, ia bukan fardhu; maka jika memisah-misahkan wudhunya, tetap sah wudhunya.
Adapun air yang suci, ia bukan termasuk perbuatan wudhu, maka tidak masuk dalam jumlah fardhunya. Namun sebagian ulama mazhab kami ada yang menghitungnya sebagai fardhu kedelapan.
وَأَمَّا السُّنَّةُ فَعَشْرٌ: خَمْسٌ قَبْلَ الْوَجْهِ وَخَمْسٌ بَعْدَهُ، فَأَمَّا الْخَمْسُ الَّتِي قَبْلَ الْوَجْهِ:
أَحَدُهَا: التَّسْمِيَةُ.
وَالثَّانِي: غَسْلُ الْكَفَّيْنِ ثَلَاثًا.
وَالثَّالِثُ: الْمَضْمَضَةُ.
وَالرَّابِعُ: الِاسْتِنْشَاقُ.
وَالْخَامِسُ: الْمُبَالَغَةُ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَائِمًا فَيَرْفُقَ. وَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يَضُمُّ إِلَيْهَا سَادِسًا وَهُوَ السِّوَاكُ.
Adapun sunnah ada sepuluh: lima sebelum wajah dan lima setelahnya.
Lima yang sebelum wajah:
Pertama: tasmiyah.
Kedua: membasuh kedua telapak tangan tiga kali.
Ketiga: madmadah.
Keempat: istinśāq.
Kelima: mubālaghah dalam istinśāq kecuali jika sedang berpuasa maka dilakukan dengan lembut. Abu al-‘Abbās bin Suraij menambahkan padanya sunnah keenam, yaitu siwāk.
وَأَمَّا الْخَمْسُ الَّتِي بَعْدَ الْوَجْهِ:
أَحَدُهَا: التَّبْدِئَةُ بِالْمَيَامِنِ.
وَالثَّانِي: اسْتِيعَابُ جَمِيعِ الرَّأْسِ.
وَالثَّالِثُ: مَسْحُ الْأُذُنَيْنِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا بِمَاءٍ جَدِيدٍ.
وَالرَّابِعُ: إِدْخَالُ السَّبَّابَتَيْنِ فِي صِمَاخَيِ الْأُذُنَيْنِ.
وَالْخَامِسُ: تَخْلِيلُ أَصَابِعِ الرِّجْلَيْنِ.
وكان ابن العاص يَضُمُّ إِلَيْهِمَا سَادِسًا وَهُوَ مَسْحُ الْعُنُقِ بِالْمَاءِ.
وَأَمَّا الْهَيْئَةُ فَهِيَ التَّبْدِيَةُ فِي الْوَجْهِ بِأَعْلَاهُ وَفِي الْيَدَيْنِ بِالْكَفَّيْنِ وَفِي الرَّأْسِ بِمُقَدَّمِهِ وَفِي الرِّجْلَيْنِ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ عَلَى مَا مَضَى مِنْ صِفَةِ ذَلِكَ وَهَيْئَتِهِ.
Adapun lima yang setelah wajah:
Pertama: memulai dengan anggota kanan.
Kedua: meratakan usapan ke seluruh kepala.
Ketiga: mengusap kedua telinga, bagian luar dan dalamnya, dengan air yang baru.
Keempat: memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam lubang telinga.
Kelima: takhlīl jari-jari kaki.
Ibnu al-‘Āṣ menambahkan sunnah keenam, yaitu mengusap leher dengan air.
Adapun hay’ah adalah memulai pada wajah dari bagian atasnya, pada kedua tangan dari telapak, pada kepala dari bagian depan, dan pada kedua kaki dari ujung jari-jarinya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya sifat dan tata caranya.
وَأَمَّا الْفَضِيلَةُ فَهُوَ التَّكْرَارُ ثَلَاثًا فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى الْمَرَّةِ الْوَاحِدَةِ أَجْزَأَهُ وَهُوَ الْغَرَضُ وَإِنْ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ كَانَ أَفْضَلَ مِنْهُمَا.
وَقَالَ مَالِكٌ: الْفَضِيلَةُ فِي الثَّلَاثِ وَالْمَرَّةُ أَفْضَلُ مِنَ الْمَرَّتَيْنِ وَهَذَا مَدْفُوعٌ بِالسُّنَّةِ وَالْعِبْرَةِ. وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً ثُمَّ قَالَ: ” هَذَا وضوءٌ لا يقبل الله تبارك وتعالى صلاةً إِلَّا بِهِ ” ثمَ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قَالَ: ” مَنْ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ آتَاهُ اللَّهُ أَجْرَهُ مَرَّتَيْنِ ” ثَمَّ تَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ: ” هَذَا وُضُوئِي وَوُضُوءُ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي وَوُضُوءُ خَلِيلِي إِبْرَاهِيمَ ” وَلِأَنَّ الْمَرَّتَيْنِ أَكْثَرُ عَمَلًا وَأَقْرَبُ إِلَى الثَّلَاثِ مِنَ الْمَرَّةِ فَكَانَ أَكْثَرَ فَضْلًا.
Adapun faḍīlah adalah mengulang tiga kali. Jika hanya cukup satu kali, maka sudah mencukupi dan itu adalah tujuan pokok. Jika berwudhu dua kali, maka itu lebih utama daripada satu kali.
Mālik berkata: “Keutamaan itu pada tiga kali, dan satu kali lebih utama daripada dua kali.” Pendapat ini tertolak dengan dalil sunnah dan pertimbangan (‘ibrah).
Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Nabi SAW berwudhu satu kali-satu kali, lalu bersabda: “Inilah wudhu yang Allah Tabāraka wa Ta‘ālā tidak menerima shalat kecuali dengannya.” Kemudian beliau berwudhu dua kali-dua kali, lalu bersabda: “Barang siapa berwudhu dua kali-dua kali, Allah memberinya pahala dua kali lipat.” Lalu beliau berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu bersabda: “Inilah wudhuku, wudhu para nabi sebelumku, dan wudhu kekasihku Ibrāhīm.”
Selain itu, dua kali lebih banyak amalnya dan lebih dekat kepada tiga kali dibandingkan satu kali, sehingga lebih utama pahalanya.
فَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى الثَّلَاثِ فَغَيْرُ مَسْنُونَةٍ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَرَاهَتِهَا فَذَهَبَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ إِلَى أَنَّهَا غَيْرُ مَكْرُوهَةٍ لِأَنَّهَا زِيَادَةُ عَمَلٍ وَبِرٍّ.
وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى الثَّلَاثِ مَكْرُوهَةٌ وَهَذَا أَصَحُّ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” حِينَ تَتَوَضَّأُ ثَلَاثًا فَمَنْ زَادَ فَقَدْ أَسَاءَ وَظَلَمَ ” وَلِأَنَّ فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الثَّلَاثِ إِسْرَافًا فِي اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ وَقَدْ رُوِيَ عن عبد الله بن عمران أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مر بسعيد وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ: ” مَا هَذَا السَّرَفُ ” فَقَالَ: فِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ قَالَ: ” نَعَمْ وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نهرٍ جارٍ.
Adapun menambah lebih dari tiga kali, maka tidak disunnahkan. Ulama mazhab kami berbeda pendapat tentang hukumnya. Abu Ḥāmid al-Isfarāyinī berpendapat bahwa hal itu tidak makruh, karena merupakan tambahan amal dan kebajikan.
Namun mayoritas ulama mazhab kami berpendapat bahwa menambah lebih dari tiga kali adalah makruh, dan ini yang lebih ṣaḥīḥ. Alasannya, berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Apabila engkau berwudhu tiga kali, maka barang siapa menambah, sungguh ia telah berbuat buruk dan zhalim.”
Selain itu, menambah lebih dari tiga kali termasuk isrāf dalam penggunaan air. Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bahwa Nabi SAW melewati Sa‘d yang sedang berwudhu, lalu bersabda: “Apa ini pemborosan?” Ia bertanya: “Apakah dalam wudhu ada pemborosan?” Beliau menjawab: “Ya, sekalipun engkau berada di sungai yang mengalir.”
وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُغَفَّلٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” يَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قومٌ يَتَعَبَّدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ “.
Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Mughaffal, ia berkata: “Aku mendengar Nabi SAW bersabda: Akan ada pada umat ini suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdoa.”
(فَصْلٌ: جَوَازُ الِاسْتِعَانَةِ بِمَنْ يصب الماء على المتوضئ)
فَأَمَّا الِاسْتِعَانَةُ فِي الْوُضُوءِ بِمَنْ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَيْهِ فَلَا نَسْتَحِبُّهُ لِمَا رُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصَّدِيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَمَّ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى يَدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا أُحِبُّ أَنْ يُشَارِكَنِي فِي وُضُوئِي أحدٌ ” فَإِنِ اسْتَعَانَ بِغَيْرِهِ جَازَ فَقَدْ صَبَّ الْمُغِيرَةُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وُضُوءَهُ فِي غَزْوَةِ تبوكٍ.
PASAL: Bolehnya meminta bantuan orang lain untuk menuangkan air kepada orang yang berwudhu
Adapun meminta bantuan dalam wudhu kepada orang yang menuangkan air, maka kami tidak menyunnahkannya, berdasarkan riwayat bahwa Abu Bakar al-Ṣiddīq RA pernah bermaksud menuangkan air ke tangan Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: “Aku tidak suka ada seseorang yang ikut serta dalam wudhuku.”
Namun jika ia meminta bantuan orang lain, maka hal itu boleh. Sungguh al-Mughīrah pernah menuangkan air untuk wudhu Rasulullah SAW dalam Perang Tabuk.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأُحِبُّ أَنْ يَقِفَ الصَّابُّ لِلْمَاءِ عَلَى يَسَارِهِ فَإِنَّهُ أمكن وأحسن في الأدب:
القول في التنشيف بعد الوضوء: فأما مسح بلل من وضوءه وَتَنْشِيفُهُ بِثَوْبٍ فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ نَاوَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثَوْبًا لِيُنَشِّفَ بِهِ وُضُوءَهُ فَأَبَى وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنِّي أُحِبُّ أَنْ يَبْقَى عَلَيَّ مِنْ وُضُوئِي ” فَإِنْ نَشَّفَ بِثَوْبٍ جَازَ فَقَدْ رَوَى مُعَاذُ بن جبل قال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا تَوَضَّأَ مَسَحَ بِطَرَفِ ثَوْبِهِ وَيَخْتَارُ أَنْ يَكُونَ وُقُوفُ صَاحِبِ الثَّوْبِ عَنْ يَمِينِهِ وَيَكْرَهُ إِذَا تَوَضَّأَ أَنْ يَنْثُرَ يَدَهُ وَأَطْرَافَهُ مِنَ الْمَاءِ. فَقَدْ نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ: ” إِنَّهَا مَرَاوِحُ الشَّيَاطِينِ “.
Al-Syafi‘i berkata: “Aku menyukai agar orang yang menuangkan air berdiri di sebelah kirinya, karena itu lebih memungkinkan dan lebih baik dalam adab.”
Pembahasan tentang mengeringkan anggota wudhu: Adapun mengusap basah dari wudhunya dan mengeringkannya dengan kain, telah diriwayatkan bahwa Ummu Salamah memberikan kain kepada Rasulullah SAW untuk mengeringkan wudhunya, namun beliau menolak dan bersabda: “Aku suka bekas wudhuku tetap ada padaku.”
Namun jika mengeringkan dengan kain, maka hal itu boleh. Telah diriwayatkan dari Mu‘ādz bin Jabal bahwa Nabi SAW ketika berwudhu mengusap dengan ujung kainnya. Disukai agar orang yang memegang kain berdiri di sebelah kanannya.
Dimakruhkan bagi orang yang berwudhu untuk mengibaskan tangannya dan ujung-ujungnya dari air. Nabi SAW telah melarang hal itu dan bersabda: “Sesungguhnya itu adalah kipasan setan.”
(مسألة: النزعتان من الرأس)
قال الشافعي رضي الله عنه: والنزعتان من الرأس. أَمَّا النَّزْعَتَانِ فَهُمَا الْبَيَاضُ الَّذِي يَسْتَعْلِي فِي مُقَدَّمِ الرَّأْسِ مِنْ جَانِبَيْهِ وَهُمَا مِنَ الرَّأْسِ وقد ذهب قوم إلى أنهما من وجه لِذَهَابِ الشَّعْرِ عَنْهُمَا وَاتِّصَالِ بَشَرَةِ الْوَجْهِ بِهِمَا وَاسْتَشْهَدُوا بِقَوْلِ الشَّاعِرِ وَهُوَ هُدْبَةُ بْنُ خَشْرَمٍ:
(ولا تنكحي إن فرق الدهر بيننا … أغم القفا وَالْوَجْهِ لَيْسَ بِأَنْزَعَا)
فَأَضَافَ النَّزْعَةَ إِلَى الْوَجْهِ فَعَلِمَ أَنَّهَا مِنْهُ وَهَذَا خَطَأٌ.
Masalah: al-Naz‘atān dari kepala
Al-Syafi‘i RA berkata: “al-Naz‘atān termasuk dari kepala. Adapun al-naz‘atān adalah bagian putih yang meninggi di depan kepala pada kedua sisinya. Keduanya termasuk dari kepala.
Ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa keduanya termasuk dari wajah, karena hilangnya rambut pada keduanya dan bersambungnya kulit wajah dengannya. Mereka berdalil dengan perkataan penyair Hudbah bin Khashram:
Wa lā tankihī in faraqa al-dahru baynanā … aghma al-qafā wa al-wajha laysa bi-anzā‘ā
(Janganlah engkau menikah — jika masa memisahkan kita — dengan lelaki yang tengkuknya tebal dan wajahnya tidak memiliki naz‘ah).
Penyair itu menyandarkan kata naz‘ah kepada wajah, sehingga dipahami bahwa ia termasuk dari wajah. Namun ini adalah kekeliruan.”
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ النَّزْعَتَيْنِ مِنَ الرَّأْسِ دُخُولُهُمَا فِي حَدِّ الرَّأْسِ وَلَيْسَ ذَهَابُ الشَّعْرِ عَنْهُمَا بِمُخْرِجٍ لَهُمَا مِنْ حُكْمِ الرَّأْسِ.
كَمَا أَنَّ الْأَجْلَحَ وَالْأَجْلَهَ الَّذِي قَدْ ذَهَبَ الشَّعْرُ مِنْ مُقَدَّمِ رَأْسِهِ كُلِّهِ، وَالْأَجْلَحُ الَّذِي قَدْ ذَهَبَ شَعْرُ نَاصِيَتِهِ كُلِّهِ لَا يَخْرُجُ ذَلِكَ عَنْ حُكْمِ الرَّأْسِ وَإِنْ ذَهَبَ شَعْرُهُ كَذَلِكَ الْأَنْزَعُ فَلِهَذَا دَلِيلٌ وَلِأَنَّ الْأَغَمَّ هُوَ الَّذِي قَدِ انْحَدَرَ شَعْرُ رَأْسِهِ فِي جَبْهَتِهِ وَكَذَلِكَ الْأَنْزَعُ ثُمَّ لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا انْحَدَرَ فِي الْجَبْهَةِ مِنْ شَعْرِ الْأَغَمِّ وَالْأَنْزَعِ مِنْ شَعْرِ الرَّأْسِ كَذَلِكَ لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا اسْتَعْلَى فِي الرَّأْسِ مِنْ بَيَاضِ الْأَنْزَعِ مِنَ الْوَجْهِ فَهَذَا دَلِيلٌ، وَلِأَنَّ الْعَرَبَ مُجْمِعَةٌ عَلَى أَنَّ النزعة من الرأس وذلك ظَاهِرٌ فِي شِعْرِهِمْ قَالَ الشَّاعِرُ:
(لَيَالِيَ لَوْنِي واضحٌ وَذُؤَابَتِي … غَرَابِيبُ فِي رَأْسِ امْرِئٍ غَيْرِ أَنْزَعَا)
Dalil bahwa al-naz‘atān termasuk dari kepala adalah masuknya keduanya ke dalam batas kepala, dan hilangnya rambut pada keduanya tidak mengeluarkannya dari hukum kepala.
Sebagaimana orang ajlaḥ dan ajlah yang telah hilang rambut dari seluruh bagian depan kepalanya, dan ajlaḥ yang telah hilang rambut dari seluruh bagian nāṣiyah-nya, tidak keluar dari hukum kepala meskipun rambutnya hilang. Begitu juga al-anza‘. Ini menjadi dalil.
Demikian pula, al-agham adalah orang yang rambut kepalanya turun ke dahinya, dan begitu juga al-anza‘. Lalu tidaklah hal itu menunjukkan bahwa rambut yang turun ke dahi dari al-agham dan al-anza‘ termasuk rambut kepala, maka begitu pula tidak menunjukkan bahwa bagian putih al-anza‘ yang naik di kepala termasuk dari wajah. Ini adalah dalil.
Selain itu, orang-orang Arab sepakat bahwa al-naz‘ah termasuk dari kepala, dan hal itu tampak jelas dalam syair mereka. Penyair berkata:
Layāliya lawnī wāḍiḥun wa ḏuʾābatī … ghirābību fī raʾsi imriʾin ghayri anzaʿā
(Masa mudaku jelas warnanya, dan jambulku hitam pekat di kepala seorang lelaki yang tidak memiliki naz‘ah).
وَشِعْرُ هُدْبَةَ بْنِ خَشْرَمٍ دَالٌّ عَلَيْهِ أيضاً لأنه قال:
(ولا تنكحي إن فرق الدهر بيننا … أغم القفا وَالْوَجْهِ لَيْسَ بِأَنْزَعَا)
Dan syair Hudbah bin Khashram juga menunjukkan hal itu, karena ia berkata:
Wa lā tankihī in faraqa al-dahru baynanā … aghma al-qafā wa al-wajha laysa bi-anzaʿā
(Janganlah engkau menikah — jika masa memisahkan kita — dengan lelaki yang tengkuknya tebal dan wajahnya tidak memiliki naz‘ah).
وَالْوَجْهُ بِالْخَفْضِ عَطْفٌ عَلَى الْقَفَا فَكَأَنَّهُ قَالَ أَغَمَّ الْقَفَا وَأَغَمَّ الْوَجْهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْغَمَمَ مِنَ الْوَجْهِ ثُمَّ قَالَ لَيْسَ بِأَنْزَعَا عَلَى مَعْنَى الِابْتِدَاءِ، فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا أَنَّ النَّزْعَتَيْنِ مِنَ الرَّأْسِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا أَوْ عَلَى أَحَدِهِمَا أَجْزَأَهُ وَاللَّهُ أعلم بالصواب.
Kata al-wajh yang dibaca jar (khafḍ) adalah ‘athaf kepada al-qafā, seakan-akan ia berkata: “Aghamma al-qafā dan aghamma al-wajh,” maka hal itu menunjukkan bahwa al-ghamam termasuk dari wajah. Kemudian ia berkata laysa bi-anzaʿā dengan makna ibtidā’,
Maka apabila telah tetap sebagaimana yang kami sebutkan bahwa al-naz‘atān termasuk dari kepala, maka mengusap keduanya atau salah satunya sudah mencukupi. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
(مسألة)
قال الشافعي رضي الله عنه: وَالْفَرْقُ بَيْنَ مَا يُجْزِئُ مِنْ مَسْحِ بَعْضِ الرأس ولا يجزئ إلا مسح الْوَجْهِ فِي التَّيَمُّمِ إِنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بدلٌ مِنَ الْغَسْلِ يَقُومُ مَقَامَهُ وَمَسْحُ بَعْضِ الرَّأْسِ بدلٌ مِنْ غَيْرِهِ.
Masalah
Al-Syafi‘i RA berkata: “Perbedaan antara apa yang mencukupi dari mengusap sebagian kepala dan tidak mencukupi kecuali mengusap seluruh wajah dalam tayammum adalah bahwa mengusap wajah merupakan pengganti dari membasuhnya, yang menempati posisinya. Sedangkan mengusap sebagian kepala adalah pengganti dari selainnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْوَاجِبَ مِنَ الرَّأْسِ مَسْحُ بَعْضِهِ، فَأَمَّا الْوَجْهُ فِي التَّيَمُّمِ فَالْوَاجِبُ مَسْحُ جَمِيعِهِ فَإِنْ قِيلَ وَهُوَ سُؤَالٌ لِمَنْ أَوْجَبَ مَسْحَ جَمِيعِ الرَّأْسِ مِنْ مَالِكٍ وَمَنْ تَابَعَهُ لِمَ أَجَزْتُمْ مَسْحَ بَعْضِ الرَّأْسِ فِي الْوُضُوءِ وَمَنَعْتُمْ مِنْ مَسْحِ بَعْضِ الْوَجْهِ فِي التَّيَمُّمِ وَقَدْ أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِمَسْحِ الْوَجْهِ فِي التَّيَمُّمِ بِحَرْفِ الْبَاءِ فَقَالَ: {فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ مِنْهُ) {المائدة: 6) .
Al-Māwardī berkata: “Dan ini benar. Telah kami sebutkan bahwa yang wajib dari kepala adalah mengusap sebagian darinya. Adapun wajah dalam tayammum, yang wajib adalah mengusap seluruhnya.
Jika dikatakan — dan ini merupakan pertanyaan bagi orang yang mewajibkan mengusap seluruh kepala seperti Mālik dan para pengikutnya — mengapa kalian membolehkan mengusap sebagian kepala dalam wudhu, namun melarang mengusap sebagian wajah dalam tayammum, padahal Allah Ta‘ālā memerintahkan mengusap wajah dalam tayammum dengan huruf bā’, sebagaimana firman-Nya: “Maka usaplah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengannya” (QS. al-Mā’idah: 6).
كَمَا أَمَرَ بِمَسْحِ الرأس في الوضوء بحرف الباء، فقال: فامسحوا برؤوسكم وأرجلكم، فَإِنْ كَانَتِ الْبَاءُ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ تُوجِبُ التَّبْعِيضَ فَهَلَّا كَانَتْ فِي مَسْحِ الْوَجْهِ وَجَبَ التَّبْعِيضُ، فَإِنْ لَمْ تُوجِبِ التَّبْعِيضَ فِي مَسْحِ الْوَجْهِ فَهَلَّا كَانَتْ غَيْرَ مُوجِبَةٍ لِلتَّبْعِيضِ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ وَهَذَا سُؤَالُ إِلْزَامٍ وَكَسْرٍ وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنْ يُقَالَ إِنَّ الْبَاءَ تُوجِبُ التَّبْعِيضَ فِي اللُّغَةِ مَا لَمْ يَصْرِفْهَا عَنْهُ دَلِيلٌ وَقَدْ صَرَفَهَا عَنِ التَّبْعِيضِ فِي التَّيَمُّمِ دَلِيلٌ وَعَاضَدَهَا عَلَى التَّبْعِيضِ فِي الْوُضُوءِ دَلِيلٌ فَافْتَرَقَا، ثُمَّ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي الْمَعْنَى وَالْحُكْمِ مَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ هُوَ أَنَّ مَسْحَ الرَّأْسِ أَصْلٌ فِي نَفْسِهِ فَاعْتُبِرَ فِيهِ حُكْمُ لَفْظِهِ وَالتَّيَمُّمُ بَدَلٌ عَنْ غَيْرِهِ فَاعْتُبِرَ فِيهِ حُكْمُ مُبْدَلِهِ، فَإِنْ قِيلَ هَذَا الْفَرْقُ فَاسِدٌ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَهَذَا بَدَلٌ مِنْ غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ، وَلَا يَلْزَمُ اسْتِيعَابُ مَسْحِ الْخُفَّيْنِ كَمَا يَلْزَمُ اسْتِيعَابُ غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ قُلْ قَدْ كَانَ هَذَا التَّعْلِيلُ يَقْتَضِي اسْتِيعَابَ مَسْحِ الْخُفَّيْنِ لَكِنْ لَمَّا كَانَ الْمَقْصُودُ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ الرِّفْقَ وَالتَّخْفِيفَ لِجَوَازِهِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ لَمْ يَجِبِ اسْتِيعَابُهُمَا بِالْمَسْحِ لِمَا فِيهِ مِنَ الْمَشَقَّةِ الْمُبَايِنَةِ لِلتَّخْفِيفِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ التَّيَمُّمُ لِأَنَّهُ مُغْلِظٌ بِالضَّرُورَةِ عِنْدَ الْعَجْزِ عَنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فَغَلِطَ بِالِاسْتِيعَابِ وَفَرْقٌ ثَانٍ وَهُوَ أَنَّ التَّيَمُّمَ لَمَّا تَخَفَّفَ بِسُقُوطِ بَعْضِ الْأَعْضَاءِ لَمْ يَتَخَفَّفْ بِالتَّبْعِيضِ وَالْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ لَا يَخْتَصُّ إِلَّا بِالتَّبْعِيضِ فَافْتَرَقَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Sebagaimana Allah memerintahkan mengusap kepala dalam wudhu dengan huruf bā’ pada firman-Nya: “Famsaḥū biru’ūsikum wa arjulakum”, maka jika huruf bā’ pada mengusap kepala menunjukkan makna sebagian (tab‘īḍ), mengapa pada mengusap wajah dalam tayammum tidak juga diwajibkan sebagian? Dan jika ia tidak menunjukkan makna sebagian pada mengusap wajah, mengapa pada mengusap kepala ia menunjukkan makna sebagian?
Ini adalah bentuk pertanyaan ilzām dan kasr. Jawabannya: Huruf bā’ dalam bahasa memang menunjukkan makna tab‘īḍ selama tidak ada dalil yang memalingkannya. Pada tayammum, ada dalil yang memalingkannya dari makna tab‘īḍ, sedangkan pada wudhu ada dalil yang menguatkan makna tab‘īḍ, maka keduanya berbeda.
Kemudian perbedaan dari segi makna dan hukum sebagaimana yang disebutkan al-Syafi‘i adalah bahwa mengusap kepala merupakan ibadah pokok pada dirinya, sehingga yang diperhatikan adalah hukum lafazhnya. Sedangkan tayammum adalah pengganti dari selainnya, sehingga yang diperhatikan adalah hukum yang digantikannya.
Jika dikatakan: Perbedaan ini rusak dengan adanya mengusap khuff, karena ini adalah pengganti dari membasuh kedua kaki, namun tidak disyaratkan mengusap seluruh khuff sebagaimana disyaratkan membasuh seluruh kaki — maka jawabnya: Seharusnya memang qiyas ini menuntut mengusap seluruh khuff, tetapi karena tujuan mengusap khuff adalah memberi keringanan dan kemudahan, serta bolehnya dilakukan meskipun mampu membasuh kaki, maka tidak diwajibkan mengusap seluruhnya, karena di dalamnya ada unsur kesulitan yang bertentangan dengan maksud keringanan.
Berbeda dengan tayammum, karena ia merupakan ibadah pengganti yang bersifat berat (mughallaẓ) akibat darurat tidak mampu menggunakan air, maka dipersyaratkan pengusapannya secara menyeluruh.
Perbedaan kedua: Tayammum telah mendapat keringanan dengan gugurnya sebagian anggota yang dibersihkan, sehingga tidak diberi keringanan lagi dengan pengurangan (sebagian). Adapun mengusap khuff hanya berlaku dengan pengurangan (sebagian), maka keduanya pun berbeda.
Wallāhu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ: الْقَوْلُ فِي تَفْرِيقِ الْوُضُوءِ)
قال الشافعي رضي الله عنه: وَإِنْ فَرَّقَ وُضُوءَهُ، وَغُسْلَهُ أَجْزَأَهُ، وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِابْنِ عُمَرَ.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمُوَالَاةَ فِي الْوُضُوءِ أَفْضَلُ وَمُتَابَعَةُ الْأَعْضَاءِ أَكْمَلُ انْقِيَادًا لِمَا يَقْتَضِيهِ الْأَمْرُ مِنَ التَّعْجِيلِ وَاتِّبَاعًا لقول الرسول – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. فَإِنْ فَرَّقَ فَالتَّفْرِيقُ ضَرْبَانِ قَرِيبٌ وَبَعِيدٌ:
فَالْقَرِيبُ مَعْفُوٌّ عَنْهُ لَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي الْوُضُوءِ وَحْدَهُ مَا لَمْ تَجِفَّ الْأَعْضَاءُ مَعَ اعْتِدَالِ الْهَوَاءِ فِي غَيْرِ بَرْدٍ وَلَا حَرٍّ مُشْتَدٍّ وَلَيْسَ الْجَفَافُ مُعْتَبَرًا، وَإِنَّمَا زَمَانُهُ هُوَ التَّعْبِيرُ.
(PASAL: Pendapat tentang memisah-misahkan wudhu)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika ia memisah-misahkan wudhu-nya dan mandinya, maka itu sudah mencukupi,” dan beliau berdalil dalam hal itu dengan (amal) Ibn ‘Umar.
Al-Mawardi berkata: “Ketahuilah bahwa muwālah dalam wudhu adalah lebih utama, dan mengikuti (urutan) anggota (secara langsung) adalah lebih sempurna dalam kepatuhan terhadap apa yang dituntut oleh perintah untuk menyegerakan, dan dalam mengikuti sabda Rasul SAW. Jika ia memisah-misahkan, maka pemisahan itu ada dua macam: dekat dan jauh.
Maka yang dekat dimaafkan, tidak berpengaruh pada wudhu selama anggota belum kering dengan keadaan udara yang normal, tidak dalam keadaan dingin atau panas yang sangat. Dan kekeringan tidaklah menjadi ukuran, sesungguhnya yang menjadi ukuran adalah masanya (waktunya).
وَأَمَّا الْبَعِيدُ فَهُوَ أَنْ يَمْضِيَ زَمَانُ الْجَفَافِ فِي اعْتِدَالِ الْهَوَاءِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهُ غَيْرُ جَائِزٍ وَالْوُضُوءُ مَعَهُ غَيْرُ صَحِيحٍ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ.
Adapun yang jauh adalah berlalu masa kering (anggota wudhu) dalam keadaan udara yang normal, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa hal itu tidak boleh dan wudhu bersamanya tidak sah. Pendapat ini juga dikatakan oleh dari kalangan sahabat, ‘Umar bin al-Khaththab, dan dari kalangan fuqahā’, al-Awzā‘ī dan Ahmad.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ جَائِزٌ وَالْوُضُوءُ مَعَهُ صَحِيحٌ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَمِنَ التَّابِعِينَ الحسن وسعد بْنُ الْمُسَيَّبِ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الثَّوْرِيُّ وأبوحنيفة. وَقَالَ مَالِكٌ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ: إِنْ فَرَّقَهُ لِعُذْرٍ جَازَ، وَإِنْ فَرَّقَهُ لِغَيْرِ عُذْرٍ لَمْ يَجُزْ. وَوَجْهُ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ بِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنَّ مُطْلَقَ أَمْرِ اللَّهِ تَعَالَى بِالْوُضُوءِ لِقَوْلِهِ: {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ) {المائدة: 6) . يَقْتَضِي الْفَوْرَ وَالتَّعْجِيلَ وَذَلِكَ يَمْنَعُ مِنَ التَّأْجِيلِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ عَلَى الْوَلَاءِ ثُمَّ قَالَ: ” هَذَا وضوءٌ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ ” يَعْنِي إِلَّا بِمِثْلِهِ فِي الْمُوَالَاةِ، وَرَوَى قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَدْ تَوَضَّأَ وَتَرَكَ عَلَى قَدَمَيْهِ مِثْلَ مَوْضِعِ الظُّفُرِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ” وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَرْجِعُ فِي حَالِ الْعُذْرِ إِلَى شَطْرِهَا فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْمُوَالَاةُ مِنْ شَرْطِهَا كَالصَّلَاةِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadīd, bahwa hal itu boleh dan wudhu-nya sah. Pendapat ini juga dikatakan oleh dari kalangan sahabat, ‘Abdullāh bin ‘Umar, dan dari kalangan tābi‘īn, al-Ḥasan dan Sa‘īd bin al-Musayyab, serta dari kalangan fuqahā’, al-Thawrī dan Abū Ḥanīfah.
Mālik dan al-Layth bin Sa‘d berkata: Jika ia memisahkannya karena uzur maka boleh, namun jika memisahkannya tanpa uzur maka tidak boleh.
Dasar pendapat pertama yang melarang adalah bahwa perintah Allah Ta‘ālā yang mutlak tentang wudhu, berdasarkan firman-Nya: “Maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian” (QS. al-Mā’idah: 6), mengandung tuntutan segera dan penyegeraan, dan itu mencegah dari penundaan.
Juga karena Nabi SAW ber-wudhu secara berurutan, lalu bersabda: “Inilah wudhu yang Allah tidak menerima shalat kecuali dengannya”, maksudnya kecuali yang semisal dengannya dalam muwālah.
Dan Qatādah meriwayatkan dari Anas, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dalam keadaan telah ber-wudhu namun meninggalkan bagian pada kedua kakinya sebesar bekas kuku, maka Nabi SAW bersabda kepadanya: “Kembalilah dan sempurnakan wudhu-mu”.
Selain itu, ia adalah ibadah yang pada keadaan uzur kembali kepada sebagian dari (rukun)-nya, maka wajiblah muwālah menjadi salah satu syaratnya sebagaimana shalat.
وَوَجْهُ قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ بِأَنَّهُ يَجُوزُ هُوَ أَنَّ التَّفْرِيقَ لَا يَمْنَعُ مِنَ امْتِثَالِ الْأَمْرِ فِي قَوْله تَعَالَى {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} . فَوَجَبَ أَلَّا يَمْنَعَ مِنَ الْإِجْزَاءِ، فَإِنْ قِيلَ فَالْأَوَامِرُ تَقْتَضِي الْفَوْرَ قِيلَ فِيهِ بَيْنَ أَصْحَابِنَا خِلَافٌ، وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فِي مَنْزِلِهِ وَفِي رِجْلَيْهِ خُفَّانِ فَلَمْ يَمْسَحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَحَضَرَتْ جنازة فدعى بِمَاءٍ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ وَذَلِكَ بِالْمَدِينَةِ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ أَحَدٌ، وَلِأَنَّهُ تَفْرِيقٌ فِي تَطْهِيرٍ فَجَازَ كَالتَّفْرِيقِ الْيَسِيرِ وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ جَازَ فِيهَا التَّفْرِيقُ الْيَسِيرُ جَازَ فِيهَا التَّفْرِيقُ الْكَثِيرُ كَالْحَجِّ طَرْدًا، وَالصَّلَاةِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ جَازِ تَفْرِيقُ النِّيَّةِ عَلَى أَبْعَاضِهَا جَازَ تَفْرِيقُ أَبْعَاضِهَا كَالزَّكَاةِ وَبَيَانُ ذَلِكَ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ تَفْرِيقُ نِيَّةِ الزَّكَاةِ عَلَى مَا يُؤَدِّيهِ حَالًا بَعْدَ حَالٍ، جَازَ تَفْرِيقُ مَا يُؤَدِّيهِ فِي زَمَانٍ بَعْدَ زَمَانٍ كَذَا الْوُضُوءُ لَمَّا جَازَ تَفْرِيقُ النِّيَّةِ عَلَى أَعْضَائِهِ جَازَ تَفْرِيقُ النية على أَعْضَائِهِ.
Dan alasan pendapatnya dalam qaul jadid bahwa hal itu boleh adalah karena pemisahan tidak menghalangi pelaksanaan perintah dalam firman Allah Ta‘ala: {Maka basuhlah wajah-wajah kalian}. Maka wajiblah bahwa pemisahan itu tidak menghalangi keabsahan. Jika dikatakan: “Perintah itu menuntut segera (dilaksanakan),” dijawab bahwa di kalangan sahabat-sahabat kami ada perbedaan pendapat. Dan telah meriwayatkan Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa ia berwudhu di rumahnya, sedangkan pada kedua kakinya ada khuff, lalu ia tidak mengusap keduanya hingga keluar menuju masjid, kemudian ada jenazah yang dihadiri, maka ia meminta air dan mengusap kedua khuff-nya, dan itu terjadi di Madinah, lalu tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Karena itu adalah pemisahan dalam penyucian, maka boleh seperti pemisahan yang sedikit. Dan setiap ibadah yang boleh padanya pemisahan sedikit, boleh pula padanya pemisahan yang banyak, seperti haji secara ṭardan dan shalat secara kebalikannya (ʿaksan). Dan setiap ibadah yang boleh memisahkan niat pada sebagian-bagiannya, boleh pula memisahkan bagian-bagiannya, seperti zakat. Penjelasannya adalah bahwa ketika boleh memisahkan niat zakat pada apa yang ditunaikan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, maka boleh pula memisahkan apa yang ditunaikan pada suatu waktu lalu di waktu yang lain. Begitu pula wudhu, ketika boleh memisahkan niat pada anggota-anggotanya, maka boleh pula memisahkan anggota-anggotanya.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَوْجِيهِ الْقَوْلَيْنِ فَالْحُكْمُ فِي الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ سَوَاءٌ وَتَفْرِيقُهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
فَأَمَّا تَفْرِيقُ التَّيَمُّمِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَكَانَ أَبُو الْحَسَنِ بْنُ الْقَطَّانِ وَطَائِفَةٌ يُخَرِّجُونَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ كَتَفْرِيقِ الْوُضُوءِ سَوَاءٌ، وَكَانَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا يَمْنَعُونَ مِنْ تَخْرِيجِ الْقَوْلَيْنِ فِيهِ وَيُبْطِلُونَهُ بِالتَّفْرِيقِ قَوْلًا وَاحِدًا وَيُفَرِّقُونَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ تَعْجِيلَ التَّيَمُّمِ لِلصَّلَاةِ مُسْتَحَقٌّ وَتَعْجِيلَ الْوُضُوءِ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan dari penjelasan dua pendapat, maka hukum dalam wudhu dan mandi adalah sama, dan pemisahan keduanya memiliki dua pendapat.
Adapun pemisahan tayammum, para sahabat kami berbeda pendapat di dalamnya. Abul Hasan bin al-Qaṭṭān dan sekelompok ulama mengeluarkan hukumnya berdasarkan dua pendapat, sama seperti pemisahan wudhu. Sedangkan jumhur sahabat kami melarang mengeluarkan dua pendapat di dalamnya, dan mereka menyatakan batalnya tayammum dengan pemisahan secara satu pendapat, serta membedakan keduanya dengan alasan bahwa penyegeraan tayammum untuk shalat adalah sesuatu yang mesti dilakukan, sedangkan penyegeraan wudhu tidak mesti dilakukan. Wallāhu a‘lam.
(مسألة: القول في ترتيب أعضاء الوضوء)
قال الشافعي رضي الله عنه: وَإِنْ بَدَأَ بِذِرَاعَيْهِ قَبْلَ وَجْهِهِ رَجَعَ إِلَى ذِرَاعَيْهِ فَغَسَلَهُمَا حَتَى يَكُونَا بَعْدَ وَجْهِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِالْوُضُوءِ وَلَاءً كَمَا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى: {فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ) {المائدة: 6) . (هكذا قرأه المزني إلى الكعبين) فإن صلى بالوضوء على غير ولاءٍ رجع فبنى على الولاء من وضوئه وأعاد الصلاة واحتج بقول الله عز وجل وعز {إنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ} (البقرة: 158) . فبدأ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بالصفا وقال: ” نبدأ بما بدأ الله به “.
(MASALAH: pendapat tentang tertib anggota wudhu)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika ia memulai dengan membasuh kedua żirā‘-nya sebelum wajahnya, maka ia kembali kepada kedua żirā‘ tersebut lalu membasuhnya sehingga keduanya berada setelah wajahnya, agar ia mendatangkan wudhu secara berurutan sebagaimana Allah Ta‘ala berfirman: {Maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku, dan sapulah kepala-kepala kalian, dan (basuhlah) kaki-kaki kalian sampai mata kaki} (al-Mā’idah: 6) — (demikianlah al-Muzani membacanya: ilā al-ka‘bayn). Jika ia shalat dengan wudhu yang tidak berurutan, maka ia kembali lalu membangun (melanjutkan) urutan wudhu dari bagian yang tersisa dan mengulang shalatnya. Ia berdalil dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {Sesungguhnya Ṣafā dan Marwah adalah sebagian dari syi‘ar Allah} (al-Baqarah: 158), maka Rasulullah SAW memulai dari Ṣafā dan bersabda: “Kita memulai dengan apa yang Allah dahulukan.”
قال الماوردي: الفصل، وَهُوَ كَمَا قَالَ التَّرْتِيبُ فِي الْوُضُوءِ وَالتَّيَمُّمِ وَاجِبٌ وَبِهِ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَّامٍ وَأَحْمَدُ، وَأَبُو إِسْحَاقَ، وَأَبُو ثَوْرٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة ومالك: التَّرْتِيبُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ) {المائدة: 6) . وَلَهُمْ فِيهَا دَلِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدَّمَ فِيهَا بَعْضَ الْأَعْضَاءِ كَمَا قَدَّمَ مَحَلَّ بَعْضِ الْأَعْضَاءِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ بَدَأَ مِنَ الْمِرْفَقِ إِلَى الْبَنَانِ أَجْزَأَهُ فَكَذَا لَوْ بَدَأَ بِالْيَدَيْنِ قَبْلَ الْوَجْهِ أجزأه.
Al-Māwardī berkata: PASAL — sebagaimana yang beliau katakan — tertib dalam wudhu dan tayammum adalah wajib. Hal ini juga merupakan pendapat Abū ‘Ubaid al-Qāsim bin Sallām, Aḥmad, Abū Isḥāq, dan Abū Thawr.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: tertib tidak wajib, dengan berdalil pada firman-Nya Ta‘ālā: {Apabila kalian berdiri untuk shalat, maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku} (al-Mā’idah: 6). Mereka memiliki dua dalil dalam hal ini:
Pertama: bahwa pada ayat tersebut didahulukan sebagian anggota sebagaimana didahulukan bagian dari sebagian anggota, dan telah tetap bahwa jika seseorang memulai membasuh dari siku hingga ujung jari, maka itu sah. Demikian pula jika ia memulai dengan kedua tangan sebelum wajah, itu pun sah.
والثاني: أنه لو عَطَفَ الْيَدَيْنِ عَلَى الْوَجْهِ بِحَرْفِ الْوَاوِ الْمُوجِبَةِ لِلِاشْتِرَاكِ وَالْجَمْعِ دُونَ التَّرْتِيبِ لُغَةً، وَشَرْعًا.
أَمَّا اللُّغَةُ فَهُوَ مَا حَكَاهُ سِيبَوَيْهِ أَنَّهَا فِي لِسَانِهِمْ أَنَّهَا مُوجِبَةٌ لِلِاشْتِرَاكِ دُونَ التَّرْتِيبِ اسْتِشْهَادًا بِأَنَّ رَجُلًا لَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ الْقَ زَيْدًا وَعَمْرًا لَمْ يَلْزَمْ تَقْدِيمُ لِقَاءِ زَيْدٍ عَلَى عَمْرٍو بَلْ كَانَ مُخَيَّرًا فِي الْبِدَايَةِ بِلِقَاءِ مَنْ شَاءَ مِنْهُمَا، وَأَمَّا الشَّرْعُ فَالْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ.
أَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكَ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي) {آل عمران: 43) . فَقَدَّمَ ذِكْرَ السُّجُودِ وَهُوَ مُؤَخَّرٌ فِي الْحُكْمِ، وَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتُ فَقَالَ: ” سَيَّانِ أَنْتُمَا قُلْ مَا شَاءَ اللَّهُ ثم شئت “.
Dan yang kedua: bahwa seandainya tangan di-‘aṭaf-kan kepada wajah dengan huruf wāw yang secara bahasa dan syara‘ menunjukkan kebersamaan dan penggabungan tanpa mengharuskan tertib.
Adapun secara bahasa, sebagaimana dinukil oleh Sībawaih, dalam bahasa mereka huruf tersebut menunjukkan kebersamaan tanpa tertib. Buktinya, jika seorang laki-laki berkata kepada hambanya: “Temuilah Zaid dan ‘Amr,” maka tidak wajib mendahulukan pertemuan dengan Zaid atas ‘Amr, bahkan ia boleh memilih memulai dengan siapa saja di antara keduanya.
Adapun secara syara‘, maka dalilnya adalah al-Kitab dan al-Sunnah.
Dalil dari al-Kitab adalah firman-Nya Ta‘ālā: {Wahai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujudlah, dan rukuklah} (Āli ‘Imrān: 43), di mana disebutkan sujud lebih dahulu padahal hukumnya dilakukan setelah rukuk.
Dalil dari al-Sunnah adalah riwayat bahwa Nabi SAW mendengar seorang laki-laki berkata: “Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki.” Maka beliau bersabda: “Kalian berdua sama saja, katakanlah: ‘Apa yang Allah kehendaki kemudian apa yang engkau kehendaki.’”
فلو كان الْوَاوُ تَقْتَضِي التَّرْتِيبَ لَمْ يَكُنْ بَيْنَ مَا نَقَلَهُ عَنْهُ وَبَيْنَ مَا نَقَلَهُ إِلَيْهِ فَرْقٌ وَلَا فَائِدَةٌ، وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ وَنَسِيَ مَسْحَ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَكَرَهُ بَعْدَ غَسْلِ رِجْلَيْهِ فَأَخَذَ مِنْبَلَلِ لِحْيَتِهِ فَمَسَحَ بِهِ رَأْسَهُ “. فَدَلَّ عَلَى أَنَّ التَّرْتِيبَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، قَالُوا وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: ” مَا أُبَالِي بِأَيِّ أَعْضَائِي بَدَأْتُ “.
Maka seandainya wāw itu menuntut adanya tertib, tentu tidak akan ada perbedaan dan faedah antara apa yang ia ucapkan dan apa yang diarahkan kepadanya.
Juga berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW berwudhu lalu lupa mengusap kepalanya, kemudian beliau mengingatnya setelah membasuh kedua kakinya, maka beliau mengambil air dari basahan jenggotnya lalu mengusap kepalanya. Hal ini menunjukkan bahwa tertib bukanlah wajib.
Mereka juga berkata: hal itu merupakan ijmak para sahabat. Diriwayatkan dari ‘Alī bin Abī Ṭālib RA bahwa beliau berkata: “Aku tidak peduli dengan anggota tubuh mana aku memulai.”
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ: لَا بَأْسَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ قَبْلَ يَدَيْكَ، وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، قالوا ولأنها طهارة لا يستحق فيهما التَّرْتِيبُ بَيْنَ الْعُضْوَيْنِ الْمُتَجَانِسَيْنِ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ التَّرْتِيبُ فِيهَا بَيْنَ الْعُضْوَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ كَالْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَلِأَنَّهُ تَرْتِيبٌ شُرِعَ فِي طَهَارَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَسْنُونًا كَتَقْدِيمِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، وَلِأَنَّ الْمُحْدِثَ لَوِ اغْتَسَلَ بَدَلًا مِنَ الْوُضُوءِ أَجْزَأَهُ وَإِنْ لَمْ يُرَتِّبْ، وَلَوْ كَانَ التَّرْتِيبُ مُسْتَحَقًّا لَمْ يُجْزِهِ.
Dan diriwayatkan dari Ibn Mas‘ūd bahwa ia berkata: “Tidak mengapa memulai dengan kakimu sebelum tanganmu,” dan tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi hal ini.
Mereka berkata pula: karena ia adalah thaharah yang tidak disyaratkan tertib antara dua anggota yang sejenis, maka tidak pantas pula disyaratkan tertib antara dua anggota yang berbeda, sebagaimana mandi janabah.
Selain itu, tertib tersebut disyariatkan dalam thaharah sehingga hukumnya menjadi sunnah, seperti mendahulukan anggota kanan atas anggota kiri.
Dan karena seorang yang berhadats jika ia mandi sebagai pengganti wudhu, maka itu mencukupi meskipun tanpa tertib, dan seandainya tertib itu wajib, niscaya mandi tanpa tertib tidak mencukupi.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} (المائدة: 6) . والدلالة فيها من أربعة أوجه:
أحدهما: أَنَّهُ أَمَرَ بِغَسْلِ الْوَجْهِ بِحَرْفِ الْفَاءِ الْمُوجِبَةِ لِلتَّعْقِيبِ وَالتَّرْتِيبِ إِجْمَاعًا، فَإِذَا ثَبَتَ تَقْدِيمُ الْوَجْهِ ثَبَتَ اسْتِحْقَاقُ التَّرْتِيبِ، فَإِنْ قِيلَ الْفَاءُ الْمُوجِبَةُ لِلتَّعْقِيبِ أَنْ تَكُونَ فِي الْأَمْرِ وَالْخَبَرِ فَأَمَّا فِي الشَّرْطِ وَالْجَزَاءِ فَلَا.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “Apabila kalian berdiri untuk salat maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai siku” (QS al-Mā’idah: 6). Dan petunjuk darinya ada empat sisi:
Pertama: Bahwasanya Dia memerintahkan membasuh wajah dengan huruf fa’ yang secara ijmak mewajibkan ta‘qīb (urutan segera) dan tartīb (penertiban). Maka apabila telah tetap bahwa wajah didahulukan, tetap pula hak penertiban. Jika dikatakan: fa’ yang mewajibkan ta‘qīb itu berlaku dalam perintah dan khabar, adapun dalam syarat dan jawabnya maka tidak.
قِيلَ هِيَ مُوجِبَةٌ لِلتَّعْقِيبِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ وَلَيْسَ إِذَا أَفَادَتِ الْجَزَاءَ بَعْدَ الشَّرْطِ مَا يَنْبَغِي أَنْ يَسْقُطَ حُكْمُهَا فِي التَّعْقِيبِ عَلَى أَنَّ الْجَزَاءَ لَا يُسْتَحَقُّ إِلَّا بَعْدَ تَقَدُّمِ الشَّرْطِ فَكَذَلِكَ مَا اسْتُعْمِلَ فِيهِ لَفْظُ التَّعْقِيبِ دُونَ الْجَمْعِ.
Dikatakan: Ia mewajibkan ta‘qīb pada kedua tempat, dan bukanlah ketika ia memberikan faedah jazā’ setelah syarṭ lalu seharusnya gugur hukumnya dalam ta‘qīb. Sebab sesungguhnya jazā’ itu tidak berhak kecuali setelah adanya syarṭ terlebih dahulu, demikian pula segala yang digunakan di dalamnya lafaz ta‘qīb tanpa lafaz penggabungan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِهَا أَنَّهُ عَطْفٌ بِالْأَعْضَاءِ بِحَرْفِ الْوَاوِ وَذَلِكَ مُوجِبٌ لِلتَّعْقِيبِ وَالتَّرْتِيبِ لُغَةً وَشَرْعًا، أَمَّا اللُّغَةُ فَهُوَ قَوْلُ الْفَرَّاءِ وَثَعْلَبٍ وَهُمَا إِمَامَانِ فِي اللُّغَةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْأَكْثَرِ مِنْ أصحاب الشافعي وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعَ عَبْدَ بَنِي الْحِسْحَاسِ يُنْشِدُ قَوْلَهُ:
(عُمَيْرَةَ وَدِّعْ إِنْ تَجَهَّزْتَ غَادِيًا … كَفَى الشَيْبُ وَالْإِسْلَامُ لِلْمَرْءِ نَاهِيًا)
فَقَالَ عُمْرُ: وَلَوْ قَدَّمْتَ الْإِسْلَامَ عَلَى الشَّيْبِ لَأَجَزْتُكَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْوَاوَ تَقْتَضِي التَّرْتِيبَ فِي اللُّغَةِ، وَأَمَّا الشَّرْعُ فَالْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ.
Wajah yang kedua dari pendalilan dengannya adalah bahwa ia merupakan ‘athaf dengan anggota-anggota tubuh menggunakan huruf wawu, dan hal itu mewajibkan ta‘qīb dan tartīb secara bahasa dan syara‘.
Adapun dari sisi bahasa, maka itu adalah pendapat al-Farrā’ dan Ṯa‘lab, dan keduanya adalah dua imam dalam bidang bahasa. Dan itu adalah mazhab mayoritas dari aṣḥāb al-Syāfi‘ī.
Telah diriwayatkan bahwa Ibn ‘Umar RA mendengar ‘Abd Banī al-Ḥisḥās melantunkan syairnya:
‘Umairah, berpamitanlah jika engkau bersiap pergi di pagi hari … Cukuplah uban dan Islam menjadi pencegah bagi seseorang.
Maka ‘Umar berkata: “Seandainya engkau dahulukan Islam atas uban, niscaya aku akan memberimu hadiah.” Hal ini menunjukkan bahwa wawu menuntut adanya tartīb dalam bahasa.
Adapun dari sisi syara‘, maka (bukti terdapat pada) al-Kitāb dan al-Sunnah.
أَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {إنَّ الصَفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ) {البقرة: 158) . فَبَدَأَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالصَّفَا وَقَالَ: ” ابْدَءُوا بِمَا بَدَأَ اللَهُ بِهِ “. وَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ مَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ رَشَدَ وَمَنْ يَعْصِهِمَا فَقَدْ غَوَى فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” بِئْسَ الْخَطِيبُ أَنْتَ قُلْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ غَوَى “. فَلَوْلَا أَنَّ الْوَاوَ تُوجِبُ التَّعْقِيبَ وَالتَّرْتِيبَ لَمْ يَكُنْ لَهَا فَائِدَةٌ.
Adapun kitab maka firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya Ṣafā dan Marwah termasuk syi‘ar-syi‘ar Allah} (al-Baqarah: 158). Maka Nabi SAW memulai dari Ṣafā dan bersabda: “Mulailah dengan apa yang Allah mulai dengannya.”
Adapun sunnah adalah sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi SAW mendengar seorang lelaki berkata: “Barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah mendapat petunjuk, dan barang siapa mendurhakai keduanya maka sungguh ia telah sesat.” Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: “Sebaik-baik khatib engkau, katakanlah: ‘Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat.’”
Maka seandainya tidak karena wawu mewajibkan ta‘qīb (pengurutan) dan tartīb (tatanan), niscaya ia tidak memiliki faedah.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ مَمْسُوحًا بَيْنَ مَغْسُولَيْنِ، وَمِنْ عَادَةِ الْعَرَبِ الْجَمْعُ بَيْنَ الْمُتَجَانِسَيْنِ إِلَّا لِفَائِدَةٍ فِي إِدْخَالِ غَيْرِ جِنْسِهِ فِيمَا بَيْنَ جِنْسِهِ فَلَوْلَا أَنَّ التَّرْتِيبَ مُسْتَحَقٌّ فِي ذِكْرِ الْمَمْسُوحِ بَيْنَ الْمَغْسُولَيْنِ لَجَمَعَ بَيْنَ الْأَعْضَاءِ الْمَغْسُولَةِ الْمُتَجَانِسَةِ وَأَفْرَدَ الْمَمْسُوحَ عَنْهَا.
Wajah yang ketiga: Bahwa Allah Ta‘ala menyebutkan anggota yang diusap di antara dua anggota yang dibasuh. Dan sudah menjadi kebiasaan orang Arab untuk menggabungkan antara dua hal yang sejenis, kecuali jika ada faedah pada memasukkan sesuatu yang tidak sejenis di antara yang sejenis. Maka, kalau bukan karena tartīb itu wajib dalam penyebutan anggota yang diusap di antara anggota yang dibasuh, niscaya Ia akan menggabungkan antara anggota-anggota yang dibasuh yang sejenis dan memisahkan yang diusap darinya.
وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: أَنَّ فِي مَذْهَبِ الْعَرَبِ الْبِدَايَةَ بِالْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ إِلَّا لِغَرَضٍ وَالرَّأْسُ أَقْرَبُ إِلَى الْوَجْهِ مِنَ الْيَدَيْنِ فَلَوْلَا أَنَّ التَّرْتِيبَ مُسْتَحَقٌّ لَقَدَّمَ الرَّأْسَ عَلَى الْيَدَيْنِ، وَمِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَى خَلَّادُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ امرئٍ حَتَّى يَضَعَ الْوُضُوءَ مَوَاضِعَهُ فَيَغْسِلُ وَجْهَهُ ثُمَّ ذِرَاعَيْهِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِرَأْسِهِ ثُمَّ يَغْسِلُ رِجْلَيْهِ “.
Wajah yang keempat: Bahwa dalam kebiasaan orang Arab adalah memulai dari yang paling dekat kemudian yang lebih jauh, kecuali karena suatu tujuan. Kepala lebih dekat kepada wajah daripada kedua tangan. Maka kalau bukan karena tartīb itu wajib, niscaya kepala akan didahulukan atas kedua tangan.
Dan dari sunnah adalah sebagaimana diriwayatkan dari Khallād bin Sā’ib dari ayahnya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Allah tidak menerima salat seseorang sampai ia meletakkan wudu pada tempat-tempatnya: membasuh wajahnya, kemudian kedua lengannya, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh kedua kakinya.”
وَهَذَا إِنْ ثَبَتَ نَصٌّ لَا يُسَوِّغُ خِلَافَهُ، وَرَوَى عمرو بن عنبسة قال قلت يا رسول الله أخبرني عن الْوُضُوءِ فَقَالَ: ” مَا مِنْكُمْ مِنْ أحدٍ يَقْرَبُ وضوءه ثم يتمضمض ويستنشق إِلَّا جَرَتْ خَطَايَا فِيهِ وَأَنْفِهِ مَعَ الْمَاءِ ثُمَّ يَغْسِلُ وَجْهَهُ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ إِلَّا جَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ مِنْ أَطْرَافِ لِحْيَتِهِ مَعَ الْمَاءِ ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلَى مِرْفَقَيْهِ إِلَّا جَرَتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَطْرَافِ أَنَامِلِهِ مَعَ الْمَاءِ ثَمَّ يُمْسَحُ بِرَأْسِهِ إِلَّا جَرَتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ شَعْرِهِ مَعَ الْمَاءِ ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ إِلَّا جَرَتْ خَطَايَا رِجْلَيْهِ مِنْ أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ مَعَ الْمَاءِ “.
Dan ini, jika telah tetap nash yang tidak membolehkan untuk menyelisihinya.
Diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Anbasah, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang wudu.” Beliau bersabda: “Tidaklah seorang di antara kalian mendekatkan wudunya, lalu ia berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, kecuali keluarlah dosa-dosa mulut dan hidungnya bersama air. Kemudian ia membasuh wajahnya sebagaimana yang Allah perintahkan, kecuali keluarlah dosa-dosa wajahnya dari ujung-ujung janggutnya bersama air. Kemudian ia membasuh kedua tangannya hingga siku, kecuali keluarlah dosa-dosa kedua tangannya dari ujung-ujung jarinya bersama air. Kemudian ia mengusap kepalanya, kecuali keluarlah dosa-dosa kepalanya dari ujung-ujung rambutnya bersama air. Kemudian ia membasuh kedua kakinya beserta kedua mata kakinya sebagaimana yang Allah perintahkan, kecuali keluarlah dosa-dosa kedua kakinya dari ujung-ujung jarinya bersama air.”
وَهَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ ذَكَرَهُ مُسْلِمُ ابن حجاج ……. وَدَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ التَّرْتِيبِ.
وَرَوَى أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً ثُمَّ قَالَ: ” هَذَا وضوءٌ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ “.
Dan ini adalah hadis sahih yang disebutkan oleh Muslim bin Ḥajjāj … dan merupakan dalil atas wajibnya tartīb.
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka‘b bahwa Nabi SAW berwudu sekali-sekali, kemudian bersabda: “Inilah wudu yang Allah tidak menerima salat kecuali dengannya.”
وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ تَوَضَّأَ مُنَكِّسًا لِأَنَّهُ يُقْبِلُ مُرَتِّبًا، ثَبَتَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ مُرَتَّبًا، وَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ مُنَكِّسًا، وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَهُوَ أَنَّهَا عِبَادَةٌ تَرْجِعُ فِي حَالِ الْعُذْرِ إِلَى شَطْرِهَا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ التَّرْتِيبُ مِنْ شَرْطِهَا كَالصَّلَاةِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَبْطُلُ بِالْحَدَثِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ فَرْضُهَا بِالتَّنْكِيسِ كَالطَّوَافِ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَى ذَلِكَ الْغُسْلُ مِنَ الْجَنَابَةِ لِأَنَّ التَّنْكِيسَ فِيهِ لَا يُتَصَوَّرُ، وَهَذَا الْقِيَاسُ حُجَّةٌ عَلَى مَالِكٍ دُونَ أبي حنيفة لِأَنَّ أبا حنيفة يُجِيزُ الطَّوَافَ مُنَكَّسًا، وَلَا يُجِيزُهُ مَالِكٌ.
Dan tidak boleh bahwa beliau berwudu dengan membalik urutan, karena beliau melakukannya secara berurutan. Telah tetap bahwa beliau berwudu secara berurutan, dan ini menunjukkan bahwa tidak boleh melakukannya dengan membalik urutan.
Adapun qiyās adalah bahwa wudu merupakan ibadah yang pada keadaan uzur kembali kepada separuhnya, maka wajib tartīb menjadi syaratnya seperti salat. Dan karena ia adalah ibadah yang batal dengan hadas, maka wajib gugur fardunya dengan membalik urutan, seperti ṭawaf.
Tidak termasuk di dalamnya mandi janabah, karena membalik urutan di dalamnya tidak mungkin dilakukan. Dan qiyās ini menjadi hujjah atas Mālik, bukan atas Abū Ḥanīfah, karena Abū Ḥanīfah membolehkan ṭawaf dengan membalik urutan, sedangkan Mālik tidak membolehkannya.
وَلِأَنَّ كُلَّ مَعْنًى شُرِعَ فِي الطَّهَارَةِ وَجَبَ أَنْ يَتَنَوَّعَ فَرْضًا وَسُنَّةً كَالْغُسْلِ وَالْمَسْحِ فَفَرْضُ الْغَسْلِ الْأَعْضَاءُ الْأَرْبَعَةُ وَسُنَّتُهُ الْكَفَّانِ وَالْمَضْمَضَةُ، وَفَرْضُ الْمَسْحِ الرَّأْسُ وَسُنَّتُهُ الْأُذُنَانِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ التَّرْتِيبُ فَرْضًا وَسُنَّةً فَفَرْضُهُ الْأَعْضَاءُ الْأَرْبَعَةُ وَسُنَّتُهُ الْيُمْنَى قَبْلَ اليسرى فأما الجواب عن استشهادهم بقوله تعالى: {اسْجُدِي وَارْكَعِي} ، فَهُوَ أَنَّ الْوَاوَ وَإِنْ لَمْ تُوجِبِ التَّرْتِيبَ فَهِيَ لَا تُوجِبُ التَّنْكِيسَ وَإِنَّمَا تُحْمَلُ عَلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Dan karena setiap makna yang disyariatkan dalam ṭahārah wajib ada yang berbentuk fardu dan sunah, seperti basuhan dan usapan: fardu basuhan adalah empat anggota, dan sunahnya adalah kedua telapak tangan dan berkumur; fardu usapan adalah kepala, dan sunahnya adalah kedua telinga; maka wajib pula tartīb itu ada yang fardu dan sunah: fardunya pada empat anggota, dan sunahnya mendahulukan yang kanan atas yang kiri.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan firman Allah Ta‘ala: {Sujudlah dan rukuklah}, maka wawu meskipun tidak mewajibkan tartīb, ia juga tidak mewajibkan membalik urutan. Ia hanya dapat dipahami pada salah satu dari dua perkara:
إِمَّا عَلَى تَقْدِيمِ اللَّفْظِ أَوْ تَأْخِيرِهِ، وَإِمَّا عَلَى أَنَّهُ كَانَ فِي شَرِيعَتِهِمْ مُقَدَّمًا عَلَى الرُّكُوعِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِشْهَادِهِمْ بِقَوْلِهِ: قُلْ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتُ فَهُوَ أَنَّهُ نَهَاهُ عَنِ الْوَاوِ وَإِنْ كَانَتْ مُوجِبَةً لِلتَّعْقِيبِ لِأَنَّهَا لَا مُهْلَةَ فِيهَا وَلَا تَرَاخِيَ وَلَفْظَةُ ثُمَّ تُوجِبُ التَّعْقِيبَ وَالتَّرَاخِيَ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ رِوَايَتِهِمْ أَنَّهُ مَسَحَ رَأْسَهُ بِبَلَلِ لِحْيَتِهِ بَعْدَ غَسْلِ رِجْلَيْهِ مَعَ ضَعْفِهِ وَأَنَّ الْمَاءَ الْمُسْتَعْمَلَ عِنْدَنَا وَعِنْدَ أبي حنيفة تَجُوزُ الطَّهَارَةُ بِهِ فَهُوَ نَقْلُ وَاقِعَةِ حَالٍ لَا يَجُوزُ التَّعْوِيلُ عَلَى عُمُومِهَا وَلَا يَصِحُّ الِاسْتِدْلَالُ بِظَاهِرِهَا لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ غَسَلَ رِجْلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ أَوْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ نَسِيَ اسْتِيعَابَ رَأْسِهِ بَعْدَ مَسْحِ بَعْضِهِ أَوْ نَسِيَ المرة الثانية والثالثة بعد الأولة فَيُحْمَلُ عَلَى ذَلِكَ مَا لَمْ يَمْنَعْ مِنْهُ نقل.
Baik dengan memaknai adanya pendahuluan atau pengakhiran lafaz, atau bahwa dalam syariat mereka sujud itu didahulukan atas rukuk.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan sabda beliau: “Katakanlah: ‘Apa yang Allah kehendaki kemudian engkau kehendaki’,” adalah bahwa beliau melarang penggunaan wawu meskipun ia mewajibkan ta‘qīb, karena wawu tidak mengandung jeda atau jarak waktu, sedangkan kata ṡumma mewajibkan ta‘qīb sekaligus jarak waktu (tarākhī).
Adapun jawaban terhadap riwayat mereka bahwa beliau mengusap kepalanya dengan basahan dari jenggotnya setelah membasuh kedua kakinya, maka selain sanadnya lemah, air musta‘mal menurut kami dan menurut Abū Ḥanīfah boleh digunakan untuk bersuci. Riwayat itu hanyalah laporan sebuah peristiwa yang tidak dapat dijadikan patokan umum dan tidak sah dijadikan dalil berdasarkan lahiriahnya, karena mungkin saja beliau membasuh kedua kakinya setelah itu, atau mungkin beliau lupa mengusap seluruh kepalanya setelah mengusap sebagian darinya, atau lupa mengulang yang kedua dan ketiga setelah yang pertama, sehingga riwayat itu ditakwilkan demikian selama tidak ada larangan dari riwayat yang sahih.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْإِجْمَاعِ فَقَدْ رَوَيْنَا عَنْ عَلِيٍّ رضوان الله عليه أنه سئل عن تقديم الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى فَقَالَ: مَا أُبَالِي بِأَيِّ أَعْضَائِي بَدَأْتُ، وَرَوَى جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِمْ السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ: ابْدَءُوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ، عَلَى أَنَّ عُثْمَانَ مُخَالِفٌ وَمَعَ الْخِلَافِ يَسْقُطُ الْإِجْمَاعُ.
Adapun dalil mereka dengan ijmak, maka sungguh kami meriwayatkan dari ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu bahwa beliau ditanya tentang mendahulukan yang kiri atas yang kanan, maka beliau berkata: “Aku tidak peduli dengan anggota mana aku memulai.”
Dan diriwayatkan oleh Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Alī ‘alaihimussalām bahwa beliau berkata: “Mulailah dengan apa yang Allah memulai dengannya.”
Selain itu, ‘Utsmān berbeda pendapat, dan dengan adanya khilaf maka gugurlah ijmak.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ فَهُوَ أَنَّ جَمِيعَ الْبَدَنِ فِي الْجَنَابَةِ بِمَنْزِلَةِ الْعُضْوِ الْوَاحِدِ فِي الْوُضُوءِ وَلَيْسَ فِي الْعُضْوِ الْوَاحِدِ تَرْتِيبٌ فَكَذَلِكَ فِي بَدَنِ الْجُنُبِ وَإِنَّمَا التَّرْتِيبُ فِي الْأَشْيَاءِ الْمُتَغَايِرَةِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْيُمْنَى وَالْيُسْرَى فَهُوَ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْيُمْنَى وَالْيُسْرَى أَنَّهُمَا كَالْعُضْوِ الْوَاحِدِ لِانْطِلَاقِ اسْمِ الْيَدِ عَلَيْهِمَا، وَأَنَّ تَخْرِيقَ أحد الخفين جاز في المنع من المسح مجزى تَخْرِيقِهِمَا فَلَمَّا سَقَطَ التَّرْتِيبُ فِي الْعُضْوِ الْوَاحِدِ سَقَطَ فِي الْيُمْنَى وَالْيُسْرَى وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْأَعْضَاءُ الْمُتَغَايِرَةُ.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan mandi janabah adalah bahwa seluruh badan dalam keadaan janabah itu seperti satu anggota dalam wudu, dan pada satu anggota tidak ada tartīb, maka demikian pula pada badan orang yang junub. Sesungguhnya tartīb itu hanya berlaku pada hal-hal yang berbeda jenis.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan (mendahulukan) kanan dan kiri adalah bahwa maknanya, keduanya seperti satu anggota karena nama “tangan” mencakup keduanya, dan bahwa sobeknya salah satu khuf sah dalam mencegah bolehnya mengusap, sebagaimana sobeknya kedua khuf sekaligus. Maka ketika tartīb gugur pada satu anggota, gugur pula pada kanan dan kiri, dan hal itu tidak sama dengan anggota-anggota yang berbeda jenis.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْمُحْدِثِ إِذَا اغْتَسَلَ فَهُوَ أَنَّ أَصْحَابَنَا قَدِ اخْتَلَفُوا فِي سُقُوطِ التَّرْتِيبِ عَنْهُ إِذَا اغْتَسَلَ فَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى أَنَّ التَّرْتِيبَ فِي أَعْضَاءِ طَهَارَتِهِ مُسْتَحَقٌّ عَلَيْهِ فِي غُسْلِهِ فَعَلَى هَذَا سَقَطَ السُّؤَالُ، وَقَالَ جُمْهُورُهُمْ: وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ أَنَّ التَّرْتِيبَ يَسْقُطُ إِذَا اغْتَسَلَ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْوُضُوءَ وَالْغُسْلَ طَهَارَتَانِ مِنْ جِنْسٍ. فَإِحْدَاهُمَا كُبْرَى وَهِيَ الْغُسْلُ وَالتَّرْتِيبُ فِيهَا غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ وَالْأُخْرَى صُغْرَى وَهِيَ الْوُضُوءُ وَالتَّرْتِيبُ فِيهَا مُسْتَحَقٌّ، ثُمَّ جَعَلَ لَهُ رَفْعَ حَدَثِهِ بِأَيِّهِمَا شَاءَ وَلَا يَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى سُقُوطِ التَّرْتِيبِ فِيهِمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun jawaban terhadap istidlāl mereka dengan orang yang berhadas apabila ia mandi adalah bahwa para sahabat kami telah berbeda pendapat tentang gugurnya tartīb darinya ketika mandi. Sebagian mereka berpendapat bahwa tartīb pada anggota-anggota ṭahārah-nya tetap wajib baginya ketika mandi, maka berdasarkan pendapat ini gugurlah pertanyaan tersebut.
Sedangkan jumhur mereka—dan ini adalah pendapat yang tampak dalam mazhab—berpendapat bahwa tartīb gugur apabila ia mandi. Maka berdasarkan pendapat ini jawabannya adalah bahwa wudu dan mandi adalah dua ṭahārah dari satu jenis: yang satu lebih besar, yaitu mandi, dan tartīb di dalamnya tidak wajib; yang lainnya lebih kecil, yaitu wudu, dan tartīb di dalamnya wajib. Kemudian, Allah menjadikan baginya kebolehan mengangkat hadas dengan yang mana saja di antara keduanya yang ia kehendaki, dan itu tidak menunjukkan gugurnya tartīb pada keduanya. Wallāhu a‘lam.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّرْتِيبَ مُسْتَحَقٌّ فَخَالَفَ وَنَكَّسَ وُضُوءَهُ أَجْزَأَهُ مِنْهُ غَسْلُ وَجْهِهِ وَحْدَهُ وَعَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ غَسْلَ مَا بَعْدَهُ، فَلَوْ نَكَّسَ وُضُوءَهُ أَرْبَعَ مِرَارٍ صَحَّ لَهُ مِنْهَا وُضُوءٌ كَامِلٌ، لِأَنَّهُ يُعِيدُ بِالْمَرَّةِ الْأَوْلَى بِالْوَجْهِ.
وَفِي الثَّانِيَةِ: بِالذِّرَاعَيْنِ.
(PASAL)
Apabila telah tetap bahwa tartīb itu wajib, lalu seseorang menyelisihinya dan membalik urutan wudunya, maka yang sah dari wudunya hanyalah basuhan wajah saja, dan ia wajib mengulang basuhan anggota setelahnya.
Maka jika ia membalik urutan wudunya sebanyak empat kali, sah baginya dari itu satu wudu yang sempurna, karena pada kali pertama ia mengulang dengan wajah, dan pada kali kedua dengan kedua lengan.
وَفِي الثَّالِثَةِ: بِالرَّأْسِ.
وَفِي الرَّابِعَةِ: بِالرِّجْلَيْنِ، فَلَوْ رَتَّبَ الْوَجْهَ وَالذِّرَاعَيْنِ وَقَدَّمَ الرِّجْلَيْنِ عَلَى الرَّأْسِ أَعَادَ غَسْلَ الرِّجْلَيْنِ لِيَكُونَ غَسْلُهُمَا بَعْدَ الرَّأْسِ، وَلَوْ نَسِيَ أَحَدَ أَعْضَاءِ وُضُوئِهِ فَلَمْ يَعْرِفْهُ اسْتَأْنَفَ وُضُوءَهُ كُلَّهُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْمَتْرُوكُ غَسْلَ وَجْهِهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَهِدَ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَهِدَ فِي عَدَدِ مَا صَلَّى إِذَا شَكَّ، فَلَوْ تَرَكَ الْمُتَوَضِّئُ مَوْضِعًا مِنْ وَجْهِهِ غَسَلَهُ مِنْ وَجْهِهِ وَأَعَادَ غَسْلَمَا بَعْدَ الْوَجْهِ لِيَكُونَ بَعْدَ كَمَالِ غَسْلِ الْوَجْهِ مُتَوَضِّئًا عَلَى التَّرْتِيبِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ ذَلِكَ الْمَوْضِعَ مَنْ وَجْهِهِ اسْتَأْنَفَ جَمِيعَ وُضُوئِهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan pada yang ketiga: dengan kepala.
Dan pada yang keempat: dengan kedua kaki. Maka jika ia menyusun urutan membasuh wajah dan kedua tangan, lalu mendahulukan kedua kaki atas kepala, ia mengulang membasuh kedua kaki agar basuhan keduanya setelah kepala. Dan jika ia lupa salah satu anggota wudhunya lalu tidak mengetahuinya, ia memulai kembali seluruh wudhunya, karena boleh jadi yang ditinggalkan adalah membasuh wajahnya. Dan tidak boleh ia berijtihad, sebagaimana tidak boleh berijtihad dalam menghitung jumlah rakaat shalat ketika ragu. Maka jika orang yang berwudhu meninggalkan suatu bagian dari wajahnya, ia membasuh bagian itu dari wajahnya dan mengulang membasuh apa yang setelah wajah agar berada setelah sempurnanya membasuh wajah, sehingga wudhunya sesuai urutan. Jika ia tidak mengetahui bagian dari wajahnya itu, maka ia memulai kembali seluruh wudhunya. Dan Allah Maha Mengetahui.
(مَسْأَلَةٌ: جَوَازُ تَقْدِيمِ الْيُسْرَى عَلَى اليمنى في الوضوء) .
قال الشافعي رضي الله عنه: وإن قدم يسرى على يمنى أجزأه.
(MASALAH: Bolehnya mendahulukan yang kiri atas yang kanan dalam wudhu).
Imam al-Syafi‘i RA berkata: Dan jika ia mendahulukan yang kiri atas yang kanan, maka itu sah.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا تَقْدِيمُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فَسُنَّةٌ فِي الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدَّمَ ذَلِكَ فِي وُضُوئِهِ، وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” إذا توضأتم وإذا لبستم فابدأوا بِمَيَامِنِكُمْ، وَبِأَيْمَانِكُمْ “، فَإِنْ خَالَفَ السُّنَّةَ فِيهِمَا وَقَدَّمَ الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى أَجْزَأَهُ لِلْأَثَرِ الْمَرْوِيِّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَدَّمَ الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى وَقَالَ: لَا أُبَالِي بِأَيِّ أَعْضَائِي بَدَأْتُ وَلِأَنَّ الِاسْمَ يَتَنَاوَلُهُمَا عَلَى سَوَاءٍ فَكَانَ التَّرْتِيبُ فِيهِمَا مُسْتَحَبًّا لَا وَاجِبًا، فَأَمَّا التَّرْتِيبُ فِي الْأَعْضَاءِ الْمَسْنُونَةِ فِي الْوُضُوءِ وَهِيَ غَسْلُ الْكَفَّيْنِ ” وَ ” الْمَضْمَضَةُ ثُمَّ الِاسْتِنْشَاقُ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَسْنُونٌ وَأَنَّ مُخَالَفَتَهُ فِي تَقْدِيمِ الِاسْتِنْشَاقِ عَلَى الْمَضْمَضَةِ وَتَقْدِيمِ الْمَضْمَضَةِ عَلَى الْكَفَّيْنِ لَا يَمْنَعُ مِنْ حُصُولِهِ وَأَجْزَائِهِ بِخِلَافِ الْأَعْضَاءِ، لِأَنَّهَا لَمَّا كَانَتْ وَاجِبَةً كَانَ التَّرْتِيبُ فِيهَا وَاجِبًا، وَلَمَّا كَانَتْ هَذِهِ سُنَّةً كَانَ التَّرْتِيبُ فِيهَا مَسْنُونًا.
Al-Māwardī berkata: Adapun mendahulukan yang kanan atas yang kiri adalah sunnah pada kedua tangan dan kedua kaki, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW mendahulukannya dalam wudhunya, dan diriwayatkan darinya SAW bahwa beliau bersabda: “Apabila kalian berwudhu dan apabila kalian berpakaian maka mulailah dengan yang kanan kalian dan dengan tangan kanan kalian.” Maka jika ia menyelisihi sunnah dalam keduanya dan mendahulukan yang kiri atas yang kanan, itu sah, berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari ‘Ali RA bahwa ia mendahulukan yang kiri atas yang kanan, dan ia berkata: “Aku tidak peduli dari anggota tubuhku yang mana aku mulai.” Dan karena nama (tangan dan kaki) mencakup keduanya secara sama, maka urutan di antara keduanya adalah mustahabb, bukan wajib.
Adapun urutan pada anggota-anggota yang disunnahkan dalam wudhu, yaitu membasuh kedua telapak tangan, madmadah kemudian istinshāq, maka di kalangan sahabat kami ada dua wajah:
Pertama: Bahwa itu disunnahkan, dan menyelisihinya — seperti mendahulukan istinshāq atas madmadah atau mendahulukan madmadah atas membasuh kedua telapak tangan — tidak menghalangi terwujudnya sunnah dan tetap sah, berbeda dengan anggota wudhu (yang wajib), karena ketika ia wajib maka urutan di dalamnya juga wajib, dan ketika ini sunnah maka urutan di dalamnya juga sunnah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ تَرْتِيبَهَا وَاجِبٌ وَإِنْ كَانَتْ مَسْنُونَةً وَإِنْ نَكَّسَ وَخَالَفَ التَّرْتِيبَ لَمْ يُعْتَدَّ بِمَا لَمْ يُقَدِّمْهُ لِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّ التَّرْتِيبَ فِي فَرْضِهِ اسْتَحَقَّ التَّرْتِيبَ فِي مَسْنُونِهِ قِيَاسًا عَلَى أَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَأَنَّهُ لَوْ جَدَّدَ وُضُوءَهُ لَكَانَ التَّرْتِيبُ فِيهِ وَاجِبًا، وَإِنْ كَانَ التَّجْدِيدُ فِيهِ مَسْنُونًا.
Wajah yang kedua: bahwa mengurutkannya adalah wajib meskipun ia sunnah. Jika ia membalik dan menyelisihi urutan, maka tidak dianggap apa yang tidak ia dahulukan, karena sesuatu yang berhak mendapat urutan pada perkara wajibnya, juga berhak mendapat urutan pada perkara sunnahnya, dengan qiyas kepada rukun-rukun shalat. Dan bahwa jika ia memperbarui wudhunya, maka urutan di dalamnya wajib, meskipun pembaruan itu sendiri adalah sunnah.
فَحَصَلَ مِنْ هَذَا أَنَّ أَعْضَاءَ الْوُضُوءِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:
قِسْمٌ يَكُونُ التَّرْتِيبُ فِيهِ وَاجِبًا، وَهُوَ الْأَعْضَاءُ الْأَرْبَعَةُ.
وَقِسْمٌ يَكُونُ التَّرْتِيبُ فِيهِ مَسْنُونًا، وَهُوَ تَقْدِيمُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى.
وَقِسْمٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ وَهُوَ الْأَعْضَاءُ الْمَسْنُونَةُ فِي وُجُوبِ التَّرْتِيبِ فِيهَا وَجْهَانِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Maka hasil dari ini bahwa anggota wudhu terbagi menjadi tiga bagian:
Bagian yang urutannya wajib, yaitu empat anggota.
Bagian yang urutannya sunnah, yaitu mendahulukan yang kanan atas yang kiri.
Bagian yang diperselisihkan, yaitu anggota-anggota yang disunnahkan, dalam wajibnya urutan di dalamnya ada dua wajah. Dan Allah Maha Mengetahui.
(مَسْأَلَةٌ: وُجُوبُ الطَّهَارَةِ لِحَمْلِ المصحف ومسه)
قال الشافعي رضي الله عنه: ولا يحمل المصحف ولا يسمه إلا طاهراً.
(MASALAH: Wajibnya suci untuk membawa mushaf dan menyentuhnya)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: Dan tidak boleh membawa mushaf dan tidak menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الطَّهَارَةُ وَاجِبَةٌ لِحَمْلِ الْمُصْحَفِ وَمَسِّهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَحْمِلَهُ مَنْ لَيْسَ بِطَاهِرٍ وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: يَجُوزُ حَمْلُهُ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ، وَبِهِ قَالَ حَمَّادُ بْنُ أَبِيسُلَيْمَانَ وَالْحَكَمُ بْنُ عُيَيْنَةَ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَتَبَ إِلَى قَيْصَرَ {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ) {آل عمران: 64) . وَقَدْ عَلِمَ مِنْ حَالِهِمْ أَنَّهُمْ يَمَسُّونَهُ وَيَتَدَاوَلُونَهُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الطَّهَارَةَ لَمَّا لَمْ تَجِبْ لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فَأَوْلَى أَلَّا تَجِبَ بِحَمْلِ مَا كُتِبَ فِيهِ الْقُرْآنُ، قَالُوا: وَلِأَنَّ كُلَّمَا لَمْ يَكُنْ سَتْرُ الْعَوْرَةِ مُسْتَحَقًّا فِيهِ لَمْ تَكُنِ الطَّهَارَةُ مُسْتَحَقَّةً فِيهِ كَأَحَادِيثِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَكُتُبِ الْفِقْهِ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa thaharah itu wajib untuk membawa mushaf dan menyentuhnya, dan tidak boleh membawanya bagi orang yang tidak suci.
Dāwūd bin ‘Alī berkata: Boleh membawanya tanpa thaharah, dan ini juga pendapat Ḥammād bin Abī Sulaimān dan al-Ḥakam bin ‘Uyainah, dengan berdalil pada riwayat bahwa Nabi SAW menulis surat kepada Kaisar: Bismillāh al-Raḥmān al-Raḥīm. Qul yā ahl al-kitāb ta‘ālaw ilā kalimatin sawā’in bainanā wa bainakum (QS. Āli ‘Imrān: 64), dan telah diketahui keadaan mereka bahwa mereka menyentuh dan memperedarkannya dalam keadaan tidak suci.
Mereka berkata: Dan karena thaharah, ketika tidak wajib untuk membaca al-Qur’an, maka lebih utama lagi tidak wajib untuk membawa sesuatu yang di dalamnya tertulis al-Qur’an. Mereka juga berkata: Dan setiap perkara yang tidak disyaratkan menutup aurat di dalamnya, maka tidak disyaratkan pula thaharah di dalamnya, seperti hadis-hadis Nabi SAW dan kitab-kitab fikih.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ لاَّ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ} (الواقعة: 79) . وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْقُرْآنَ لَا يَصِحُّ مَسُّهُ فَعَلِمَ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْكِتَابُ الَّذِي هُوَ أَقْرَبُ الْمَذْكُورِينَ إِلَيْهِ وَلَا يَتَوَجَّهُ النَّهْيُ إِلَى اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُنَزَّلٍ وَمَسُّهُ غَيْرُ مُمْكِنٍ، وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَتَبَ إِلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى نَجْرَانَ: ” أَلَّا تَمَسَّ الْمُصْحَفَ إِلَّا وَأَنْتَ طاهرٌ “، وَرَوَى حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تَمَسَّ الْمُصْحَفَ إِلَّا طَاهِرًا “، فَإِنْ قِيلَ أَرَادَ بِقَوْلِهِ إِلَّا طَاهِرًا يَعْنِي: إِلَّا مُسْلِمًا.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “Sesungguhnya ia adalah al-Qur’an yang mulia, dalam kitab yang terpelihara, tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. al-Wāqi‘ah: 79). Dan telah diketahui bahwa al-Qur’an tidak mungkin dimaksudkan menyentuh dirinya (secara fisik), maka diketahui bahwa yang dimaksud adalah kitab yang paling dekat disebutkan kepadanya, dan larangan itu tidak mungkin ditujukan kepada al-Lauh al-Mahfūzh, karena ia tidak diturunkan dan menyentuhnya tidak mungkin dilakukan.
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr bahwa Nabi SAW menulis kepada ‘Amr bin Ḥazm ketika beliau mengutusnya ke Najrān: “Janganlah engkau menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci.”
Dan Ḥakīm bin Ḥizām meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Jangan menyentuh mushaf kecuali orang yang suci.”
Jika dikatakan: Yang dimaksud dengan perkataannya “kecuali orang yang suci” adalah kecuali seorang Muslim.
قِيلَ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَهُ: ” لَا تَمَسَّ الْمُصْحَفَ إِلَّا وَأَنْتَ طاهرٌ “، فَبَطَلَ هَذَا التَّأْوِيلُ، وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَوَى ذَلِكَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ التَّطْهِيرُ مِنَ النَّجَاسَةِ مُسْتَحَقًّا كَانَ التَّطْهِيرُ مِنَ الْحَدَثِ مُسْتَحَقًّا فِيهِ كَالصَّلَاةِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ كِتَابِهِ إِلَى قَيْصَرَ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَيْصَرَ كَانَ مُشْرِكًا وَالْمُشْرِكُ مَمْنُوعٌ مِنْ مَسِّهِ بِالِاتِّفَاقِ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ.
Dikatakan: Sungguh telah diriwayatkan dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW berkata kepadanya: “Jangan menyentuh mushaf kecuali engkau dalam keadaan suci,” maka batallah takwil ini. Dan karena ini adalah ijmak para sahabat, yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abī Ṭālib, Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, dan ‘Abdullāh bin ‘Umar, dan tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi mereka. Dan karena ketika pensucian dari najis itu disyaratkan, maka pensucian dari hadas juga disyaratkan di dalamnya, sebagaimana dalam shalat.
Adapun jawaban terhadap (dalil) dari surat beliau kepada Kaisar adalah dari dua sisi:
Pertama: Bahwa Kaisar adalah seorang musyrik, dan orang musyrik terlarang menyentuh mushaf berdasarkan kesepakatan, maka hal itu tidak menjadi dalil.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ كِتَابًا قَدْ تَضَمَّنَ مَعَ الْقُرْآنِ دُعَاءً إِلَى الْإِسْلَامِ، فَلَمْ يَكُنِ الْقُرْآنُ بنفسه مَقْصُودًا فَجَازَ تَغْلِيبًا لِلْمَقْصُودِ فِيهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ تِلَاوَةَ الْقُرْآنِ أَغْلَظُ حُكْمًا فهوأَنَّهُ غَيْرُ مُسَلَّمٍ أَلَا تَرَى أَنَّ الْكَافِرَ لَا يَمْنَعُ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَيَمْنَعُ مِنْ مَسِّ الْمُصْحَفِ فَكَذَلِكَ الْمُحْدِثُ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ سَتْرِ الْعَوْرَةِ فَلِأَنَّ الْعُضْوَ الَّذِي يَمَسُّهُ بِهِ مِنْ جَسَدِهِ لَا يَتَعَدَّى كَشْفَ الْعَوْرَةِ إِلَيْهِ وَيَتَعَدَّى حُكْمَ الْحَدَثِ إِلَيْهِ فَافْتَرَقَا.
Dan yang kedua: bahwa surat itu adalah sebuah tulisan yang berisi, selain al-Qur’an, juga ajakan kepada Islam, sehingga al-Qur’an di dalamnya bukanlah yang dimaksudkan secara mandiri, maka hal itu boleh karena mengikuti maksud utamanya.
Adapun jawaban terhadap perkataan mereka bahwa tilawah al-Qur’an lebih berat hukumnya, maka hal itu tidak diterima. Tidakkah engkau melihat bahwa orang kafir tidak dilarang dari membaca al-Qur’an, namun dilarang dari menyentuh mushaf? Demikian pula orang yang berhadas.
Adapun jawaban terhadap perumpamaan dengan menutup aurat, maka anggota tubuh yang ia gunakan untuk menyentuh mushaf tidaklah berkaitan dengan terbukanya aurat, sedangkan hukum hadas berlaku padanya. Maka keduanya berbeda.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الطَّهَارَةَ مُسْتَحَقَّةٌ فِي حَمْلِ الْمُصْحَفِ فَلَا يَجُوزُ لِلْجُنُبِ وَالْمُحْدِثِ وَالْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ حَمْلُهُ، فَأَمَّا الَّذِي عَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَحْمِلَهُ أَوْ يَمَسَّهُ بِالْعُضْوِ النَّجِسِ مِنْ بَدَنِهِ فَأَمَّا بِأَعْضَائِهِ الَّتِي لَا نَجَاسَةَ عَلَيْهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ الصَّلَاةِ كَالْمُحْدِثِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إسحاق يجوز والفرق بين المحدث وَالنَّجَاسَةِ أَنَّ الْحَدَثَ يَتَعَدَّى إِلَى سَائِرِ الْأَعْضَاءِ وَالنَّجَاسَةُ لَا تَتَعَدَّى إِلَى غَيْرِ مَا هَيَ عَلَيْهِ مِنَ الْأَعْضَاءِ.
(PASAL)
Jika telah tetap bahwa thaharah disyaratkan dalam membawa mushaf, maka tidak boleh bagi orang junub, orang berhadas, wanita haid, dan wanita nifas untuk membawanya.
Adapun orang yang pada badannya terdapat najis, maka tidak boleh ia membawanya atau menyentuhnya dengan anggota badan yang najis. Adapun dengan anggota badannya yang tidak terkena najis, maka dalam hal ini ada dua wajah:
Pertama: Tidak boleh, karena ia terhalang dari shalat seperti orang berhadas.
Kedua: Dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, boleh. Perbedaan antara hadas dan najis adalah bahwa hadas berpengaruh (menyebar) kepada seluruh anggota badan, sedangkan najis tidak berpengaruh kecuali pada anggota yang terkena saja.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَكُلُّ هَؤُلَاءِ لَا يَجُوزُ لَهُمْ حَمْلُ المصحف ولا سبع منه، ولا جزؤ وَإِنْ قَلَّ، وَسَوَاءٌ حَمَلُوهُ مُبَاشِرِينَ لَهُ بِأَيْدِيهِمْ أَوْ وَضَعُوهُ فِي أَكْمَامِهِمْ أَوْ أَخَذُوهُ بِعِلَاقَةٍ كُلُّ ذَلِكَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ، وَقَالَ أبو حنيفة التَّحْرِيمُ مَقْصُورٌ عَلَى مَسِّهِ دُونَ حَمْلِهِ كَمَا يَحْرُمُ عَلَى الْمُحْرِمِ مَسُّ الطِّيبِ وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ حَمْلُهُ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ حَمْلَ الْمُصْحَفِ أَبْلَغُ فِي الِاسْتِيلَاءِ عَلَيْهِ مِنْ مَسِّهِ فَلَمَّا حَرُمَ الْأَدْنَى مِنَ الْمَسِّ كَانَ تَحْرِيمُ الْأَغْلَظِ مِنَ الْحَمْلِ أَوْلَى فَأَمَّا الطِّيبُ فِي الْمُحْرِمِ فَالتَّحْرِيمُ فِيهِ مَقْصُورٌ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهِ وَلَيْسَ فِي حَمْلِهِ اسْتِمْتَاعٌ بِهِ وَفِي حَمْلِهِ إِنْ كَانَ رَطْبًا اسْتِمْتَاعٌ بِهِ يَمْنَعُ مِنْهُ وَلَيْسَ فِيهِ إِنْ كَانَ يَابِسًا اسْتِمْتَاعٌ بِهِ فَلَمْ يَحْرُمْ وَتَحْرِيمٌ الْمُصْحَفِ لِحُرْمَتِهِ فَاسْتَوَى فِيهِ مَسُّهُ وَحَمْلُهُ.
PASAL: Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan, maka semua mereka ini tidak boleh membawa mushaf, tidak pula satu sab‘ darinya, dan tidak pula sebagian darinya meskipun sedikit. Sama saja apakah mereka membawanya dengan langsung menyentuhnya dengan tangan mereka, atau meletakkannya di dalam kantongnya, atau membawanya dengan tali gantungan, semua itu dilarang.
Abu Hanifah berkata: Pengharaman itu terbatas pada menyentuhnya saja, bukan membawanya, sebagaimana haram bagi orang yang sedang ihram menyentuh wewangian tetapi tidak haram membawanya.
Pendapat ini tidak benar, karena membawa mushaf itu lebih besar maknanya dalam penguasaan terhadapnya daripada sekadar menyentuhnya. Maka ketika yang lebih ringan berupa menyentuh saja diharamkan, pengharaman yang lebih berat berupa membawanya lebih utama.
Adapun wewangian bagi orang yang sedang ihram, pengharamannya terbatas pada menikmati aromanya, dan tidak ada kenikmatan padanya dalam membawa. Jika membawanya dalam keadaan basah, ada kenikmatan yang menghalangi darinya, sedangkan jika kering tidak ada kenikmatan padanya maka tidak diharamkan. Adapun pengharaman mushaf adalah karena kehormatannya, maka sama saja antara menyentuhnya dan membawanya.
(فَصْلٌ)
: وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ لَهُمْ مَسُّهُ وَلَا مَسُّ مَا لَا كِتَابَةَ فِيهِ مِنْ جِلْدِهِ وَوَرَقِهِ، وَأَجَازَ أبو حنيفة لِلْمُحْدِثِ دُونَ الْجُنُبِ أَنْ يَمَسَّ مِنَ الْمُصْحَفِ مَا لا كتابة فيه من جلد وورق، ولم يَحْمِلَهُ بِعَلَاقَتِهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْحُرْمَةَ إِنَّمَا تَخْتَصُّ بِالْكِتَابَةِ الْمَتْلُوَّةِ دُونَ الْجِلْدِ وَالْوَرَقِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْجِلْدَ وَالْوَرَقَ الَّذِي لَا كِتَابَةَ فِيهِ مِنْ جُمْلَةِ الْمُصْحَفِ بِدَلِيلِ أَنَّ مَنْ حَلَفَ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ حَنِثَ بِمَسِّ جِلْدِهِ وَبَيَاضِهِ كَمَا يَحْنَثُ بِمَسِّ كِتَابَتِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَحْرُمَ عَلَيْهِ مَسُّ جِلْدِهِ كَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مَسُّ كِتَابَتِهِ كَالْجُنُبِ وَقَدْ تَحَرَّرَ مِنْ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا حَرُمَ أَنْ يَمَسَّهُ الْجُنُبُ حَرُمَ أَنْ يَمَسَّهُ الْمُحْدِثُ كَالْكِتَابَةِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَنْ حَرُمَ عَلَيْهِ مِنَ الْمُصْحَفِ مَسُّ مَا فِيهِ مِنَ الْكِتَابَةِ حَرُمَ عَلَيْهِ أَنْ يَمَسَّ مَا لَيْسَ فِيهِ كِتَابَةٌ كَالْجُنُبِ.
PASAL: Demikian pula tidak boleh bagi mereka menyentuh mushaf dan tidak pula menyentuh bagian yang tidak ada tulisannya dari kulit maupun kertasnya.
Abu Hanifah membolehkan bagi orang yang berhadats —selain junub— untuk menyentuh bagian mushaf yang tidak ada tulisannya dari kulit atau kertas, dan membawanya dengan gantungannya, dengan alasan bahwa keharaman itu khusus pada tulisan yang dibaca, bukan pada kulit dan kertas.
Ini adalah keliru, karena kulit dan kertas yang tidak ada tulisannya termasuk bagian dari mushaf. Buktinya, orang yang bersumpah tidak akan menyentuh mushaf, lalu ia menyentuh kulitnya atau bagian putihnya, maka ia melanggar sumpahnya sebagaimana jika ia menyentuh tulisannya. Maka wajib hukumnya ia dilarang menyentuh kulitnya sebagaimana ia dilarang menyentuh tulisannya, sebagaimana larangan bagi orang junub.
Dari istidlal ini terhimpun dua qiyas:
Pertama: Sesuatu yang haram disentuh oleh orang junub, haram pula disentuh oleh orang berhadats, seperti tulisan.
Kedua: Orang yang diharamkan menyentuh bagian mushaf yang ada tulisannya, diharamkan pula menyentuh bagian yang tidak ada tulisannya, sebagaimana orang junub.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا حَمْلُ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ الَّتِي عَلَيْهَا الْقُرْآنُ فَهِيَ ضَرْبَانِ؛
أَحَدُهُمَا: مَا لَا يَتَدَاوَلُهُ النَّاسُ كَثِيرًا وَلَا يَتَعَامَلُونَ بِهِ غَالِبًا كَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ الَّتِي عَلَيْهَا سُورَةُ الْإِخْلَاصِ فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ حَمْلُهَا لِأَنَّ الْحُرْمَةَ لِلْمَكْتُوبِ مِنَ الْقُرْآنِ لَا لِلْمَكْتُوبِ فِيهِ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْقُرْآنُ مَكْتُوبًا عَلَى وَرَقٍ أَوْ عَلَى فِضَّةٍ وذهب.
PASAL: Adapun membawa dirham dan dinar yang terdapat tulisan al-Qur’an padanya, maka hal itu ada dua macam:
Pertama: Yang tidak banyak beredar di tengah masyarakat dan tidak umum digunakan dalam transaksi, seperti dirham dan dinar yang padanya tertulis surat al-Ikhlash. Maka tidak boleh bagi mereka membawanya, karena keharaman itu berlaku pada tulisan al-Qur’an, bukan pada media yang ditulisi. Maka tidak ada perbedaan antara al-Qur’an yang ditulis di atas kertas atau di atas perak dan emas.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا يَتَدَاوَلُهُ النَّاسُ كَثِيرًا وَيَتَعَامَلُونَ بِهِ غَالِبًا فَفِي جَوَازِ حَمْلِهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لِلْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَاهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِمَا يَلْحَقُ بِهِ مِنَ الْمَشَقَّةِ الْغَالِبَةِ مِنَ التَّحَرُّزِ مِنْهَا.
Dan macam yang kedua: Yang banyak beredar di tengah masyarakat dan umum digunakan dalam transaksi. Dalam hal boleh tidaknya membawanya terdapat dua pendapat:
Pertama: Tidak boleh, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, karena alasan yang telah kami sebutkan.
Kedua: Boleh, karena adanya kesulitan yang umumnya terjadi dalam menghindarinya.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا أَحَادِيثُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَكُتُبُ الْفِقْهِ الَّتِي لَا قُرْآنَ فِيهَا فَيَجُوزُ لَهُمْ حَمْلُهَا وَكَذَلِكَ الْأَدْعِيَةُ لِأَنَّ الْحُرْمَةَ مُخْتَصَّةٌ بِكَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى الْمُنَزَّلِ، فَأَمَّا مَا كَانَ مِنْ كُتُبِ الْفِقْهِ فِيهِ آيٌ مِنَ الْقُرْآنِ مِثْلُ كِتَابِ الْمُزَنِيِّ وَغَيْرِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لَهُمْ حَمْلُهَا تَغْلِيبًا لِحُرْمَةِ الْقُرْآنِ وَالثَّانِي: يَجُوزُ لَهُمْ حَمْلُهَا اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ فِيهَا. فَأَمَّا تَفْسِيرُ الْقُرْآنِ فَإِنْ كَانَ مَا فِيهِ مِنَ الْقُرْآنِ الْمَتْلُوِّ أَكْثَرَ مِنْ تَفْسِيرِهِ لَمْ يَجُزْ لَهُمْ حَمْلُهُ لِأَنَّنَا إِنْ غَلَّبْنَا حُرْمَةَ الْقُرْآنِ لَمْ يَجُزْ، وَإِنِ اعْتَبَرْنَا الْأَغْلَبَ فَالْقُرْآنُ هُوَ الْأَغْلَبُ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ التَّفْسِيرُ فِيهِ أَكْثَرَ فَعَلَى وَجْهَيْنِ إِنْ غَلَّبْنَا حُرْمَةَ الْقُرْآنِ لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ غَلَّبْنَا الْأَغْلَبَ مِنَ الْمَكْتُوبِ جَازَ، فَأَمَّا الثِّيَابُ الَّتِي قَدْ كُتِبَ عَلَى طَرَزِهَا آيٌ مِنَ الْقُرْآنِ فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ لُبْسُهَا وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّ الْكِتَابَةَ كُلَّهَا قُرْآنٌ وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِلُبْسِهَا التَّبَرُّكُ بِمَا عَلَيْهَا مِنَ الْقُرْآنِ.
PASAL
Adapun hadis-hadis Nabi SAW dan kitab-kitab fikih yang tidak terdapat di dalamnya al-Qur’an, maka boleh bagi mereka membawanya. Demikian pula doa-doa, karena keharaman itu khusus berlaku pada kalam Allah Ta‘ala yang diturunkan. Adapun kitab-kitab fikih yang di dalamnya terdapat ayat-ayat al-Qur’an seperti Kitāb al-Muzanī dan selainnya, maka ada dua wajah:
Pertama: tidak boleh bagi mereka membawanya dengan mempertimbangkan keharaman al-Qur’an.
Kedua: boleh bagi mereka membawanya dengan mempertimbangkan yang lebih dominan di dalamnya.
Adapun tafsir al-Qur’an, jika kandungan al-Qur’an yang dibaca di dalamnya lebih banyak daripada tafsirnya, maka tidak boleh bagi mereka membawanya. Sebab, jika kita mengedepankan keharaman al-Qur’an, maka tidak boleh, dan jika kita mempertimbangkan yang lebih dominan, maka al-Qur’anlah yang lebih dominan.
Namun, jika tafsirnya lebih banyak, maka ada dua wajah: jika kita mengedepankan keharaman al-Qur’an, maka tidak boleh; dan jika kita mengedepankan yang lebih dominan dari tulisan, maka boleh.
Adapun pakaian yang pada hiasan pinggirnya tertulis ayat-ayat al-Qur’an, maka tidak boleh bagi mereka memakainya menurut satu wajah, karena seluruh tulisan itu adalah al-Qur’an, dan karena tujuan dari memakainya adalah untuk bertabarruk dengan apa yang tertulis dari al-Qur’an tersebut.
فَصْلٌ:
فَأَمَّا التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ فَقَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَذْهَبُ إِلَى أَنَّ الْمُحْدِثَ مَمْنُوعٌ مَنْ حَمْلِهَا لِأَنَّهَا كُتُبُ اللَّهِ تَعَالَى مُنَزَّلَةٌ كَالْقُرْآنِ، وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ لَا يُمْنَعُ مَنْ حَمَلَهَا لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مَنْسُوخَةٌ فقصرت حرمتها عَنْ حُرْمَةِ الْقُرْآنِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا مُبْدَلَةٌ لِمَا أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُمْ يَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ يُبْدُونَهَا وَيُخْفُونَ كَثِيرًا وَالْمُبْدَلُ لَا حُرْمَةَ لَهُ.
PASAL
Adapun Taurat dan Injil, sebagian ulama dari kalangan sahabat kami berpendapat bahwa orang yang berhadats dilarang membawanya karena keduanya adalah kitab-kitab Allah Ta‘ala yang diturunkan, seperti al-Qur’an. Namun, mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa ia tidak dilarang membawanya karena dua alasan:
Pertama: keduanya telah mansukh sehingga kehormatannya lebih rendah daripada kehormatan al-Qur’an.
Kedua: keduanya telah mengalami perubahan, sebagaimana diberitakan oleh Allah Ta‘ala bahwa mereka menjadikannya lembaran-lembaran, menampakkan sebagian dan menyembunyikan banyak yang lain. Kitab yang telah diubah tidak memiliki kehormatan.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا حَمْلُ الْمُصْحَفِ مَعَ قُمَاشٍ هُوَ فِي جُمْلَتِهِ، فَإِنْ كَانَ الْمَقْصُودُ مِنْهُ الْقُرْآنَ لَمْ يَجُزْ لَهُمْ حَمْلُهُ وَإِنْ كَانَ جُمْلَةُ الْقُمَاشِ مَقْصُودًا فَفِي جَوَازِ حَمْلِهِمْ لَهُ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لَهُ تَغْلِيبًا لِحُرْمَةِ الْقُرْآنِ.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ، وَقَدْ حَكَاهُ حَرْمَلَةُ عَنِ الشَّافِعِيِّ.
PASAL
Adapun membawa mushaf bersama kain yang merupakan satu kesatuan, jika yang dimaksudkan darinya adalah al-Qur’an, maka tidak boleh bagi mereka membawanya. Namun, jika keseluruhan kain itu yang dimaksudkan, maka dalam kebolehan mereka membawanya terdapat dua wajah:
Pertama: tidak boleh, dengan mengedepankan kehormatan al-Qur’an.
Kedua: boleh, dengan mempertimbangkan yang lebih dominan, dan ini telah dinukilkan oleh Harmalah dari al-Syafi‘i.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الصِّبْيَانُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُمْنَعُونَ مِنْ حَمْلِ الْمُصْحَفِ وَالْأَلْوَاحِ الَّتِي فِيهَا الْقُرْآنُ إِذَا كَانُوا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ على وجهين: أَحَدُهُمَا: يُمْنَعُونَ مِنْهُ كَالْبَالِغِينَ لِأَنَّ مَا لَزِمَتِ الطَّهَارَةُ لَهُ فِي حَقِّ الْبَالِغِينَ لَزِمَتْهُ الطَّهَارَةُ لَهُ فِي حَقِّ غَيْرِ الْبَالِغِ كَالصَّلَاةِ وَالطَّوَافِ.
PASAL
Adapun anak-anak, para sahabat kami berbeda pendapat apakah mereka dilarang membawa mushaf dan papan tulis yang di dalamnya terdapat al-Qur’an apabila mereka dalam keadaan tidak suci, dengan dua wajah:
Pertama: mereka dilarang membawanya sebagaimana orang dewasa, karena sesuatu yang mensyaratkan thaharah bagi orang dewasa juga mensyaratkan thaharah bagi anak-anak, seperti shalat dan thawaf.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا إِنَّهُمْ لَا يُمْنَعُونَ مِنْهُ وَيَجُوزُ لَهُمْ حَمْلُهُ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ طَهَارَتَهُمْ غَيْرُ كَامِلَةٍ بِخِلَافِ الْبَالِغِ فَلَمْ يَلْزَمْهُمْ فِي حَمْلِهِ مَا لَيْسَ بِكَامِلٍ مِنَ التَّطْهِيرِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِي مَنْعِهِمْ مِنْهُ مَعَ مَا يَلْحَقُهُمْ مِنَ الْمَشَقَّةِ لِتَجْدِيدِ الْوُضُوءِ فِي حَمْلِهِ مَعَ مُدَاوَمَةِ الْحَدَثِ مِنْهُمْ ذَرِيعَةٌ إِلَى تَرْكِ تَعْلِيمِهِ فَيُرَخَّصُ لَهُمْ حَمْلُهُ لِأَجْلِ ذَلِكَ.
Wajah kedua, dan inilah yang tampak sebagai pendapat mazhab serta dipegang oleh mayoritas sahabat kami, bahwa mereka tidak dilarang membawanya dan boleh bagi mereka membawanya karena dua alasan:
Pertama: thaharah mereka tidak sempurna, berbeda dengan orang dewasa, sehingga tidak diwajibkan bagi mereka dalam membawanya sesuatu yang bukan penyucian sempurna.
Kedua: melarang mereka darinya, sementara mereka akan mengalami kesulitan untuk memperbarui wudhu ketika membawanya disertai seringnya berhadats, menjadi penghalang untuk mengajarkan mereka. Maka diberi keringanan bagi mereka untuk membawanya karena alasan tersebut.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْمُحْدِثُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَصَفَّحَ أَوْرَاقَ الْمُصْحَفِ بِيَدِهِ لَمْ يَجُزْ، وَلَوْ تَصَفَّحَهَا بِعُودٍ فِي يَدِهِ جاز، ولو تصحفها بِكُمِّهِ الْمَلْفُوفِ عَلَى يَدِهِ لَمْ يَجُزْ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ كُمِّهِ وَالْعُودِ أَنَّهُ لَابِسٌ لِكُمِّهِ وَاضِعٌ ليده عليه فجرى مجرى المباشرة، والعود باين منه وهو غير منسوب إلى مباشرته.
PASAL
Adapun orang yang berhadats, apabila ia ingin membalik lembaran mushaf dengan tangannya, maka tidak boleh. Namun, jika ia membaliknya dengan tongkat yang ada di tangannya, maka boleh. Dan jika ia membaliknya dengan lengan bajunya yang dililitkan pada tangannya, maka tidak boleh. Perbedaan antara lengan baju dan tongkat adalah bahwa ia mengenakan lengan baju dan meletakkan tangannya di atasnya sehingga hukumnya seperti menyentuh langsung, sedangkan tongkat terpisah darinya dan tidak dianggap sebagai sentuhan langsung.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا إِنْ كَتَبَ مُصْحَفًا فَإِنْ كَانَ حَامِلًا لِمَا يُكْتَبُ مِنْهُ لَمْ يَجُزْ مُحْدِثًا كَانَ أَوْ جُنُبًا وَإِنْ كَانَ غَيْرَ حَامِلٍ لَهُ فَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا جَازَ لِأَنَّهُ لَيْسَ كِتَابَتُهُ بِأَكْثَرَ مِنْ تِلَاوَتِهِ وَلِلْمُحْدِثِ أَنْ يَتْلُوَ الْقُرْآنَ، وَإِنْ كَانَ جُنُبًا فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ بِمَثَابَةِ التَّالِي لَهُ، وَلَا يَجُوزُ لِلْجُنُبِ أَنْ يَتْلُوَ الْقُرْآنَ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّ التِّلَاوَةَ أَغْلَظُ حَالًا مِنَ الْكِتَابَةِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُصَلِّيَ لَوْ كَتَبَ الْفَاتِحَةَ لَمْ يُجْزِهِ عَنْ تِلَاوَتِهَا، فَجَازَ لِلْجُنُبِ أَنْ يَكْتُبَ الْقُرْآنَ، وَإِنْ لَمْ يَتْلُهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Adapun jika seseorang menulis mushaf, maka jika ia membawa mushaf yang darinya ia menyalin, tidak boleh baginya — baik ia dalam keadaan berhadats maupun junub. Namun, jika ia tidak membawanya, maka:
Jika ia dalam keadaan berhadats, boleh, karena menulis tidak lebih dari sekadar membaca, dan orang yang berhadats boleh membaca al-Qur’an.
Jika ia dalam keadaan junub, maka ada dua wajah:
Pertama: tidak boleh, karena ia seperti orang yang membacanya, sedangkan orang junub tidak boleh membaca al-Qur’an.
Kedua: boleh, karena membaca lebih berat hukumnya dibanding menulis. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang shalat jika menulis al-Fatihah tidak dianggap telah membacanya? Maka boleh bagi orang junub untuk menulis al-Qur’an meskipun tidak membacanya. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.
(مسألة: حكم قراءة الجنب وغيره القرآن)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُمْنَعُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ إِلَّا جُنُبٌ، قال أبو إبراهيم: إن قدم الوضوء وأخر يعيد الوضوء والصلاة “.
(Masalah: Hukum membaca al-Qur’an bagi orang junub dan selainnya)
Al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Tidak ada yang dilarang membaca al-Qur’an kecuali orang junub.”
Abu Ibrahim berkata: “Jika ia mendahulukan wudhu dan mengakhirkan (shalat), maka ia mengulangi wudhu dan shalat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا يَجُوزُ لِلْجُنُبِ وَالْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ أَنْ يَقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا شَيْئًا مِنْهُ، وَجَوَّزَ لَهُمْ دَاوُدُ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ، وَقَالَ مَالِكٌ: يَجُوزُ لِلْحَائِضِ أَنْ تَقْرَأَ دُونَ الْجُنُبِ، وَاسْتَدَلَّ دَاوُدُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ) {المزمل: 20).
Al-Māwardī berkata: “Sebagaimana yang dikatakan, tidak boleh bagi orang junub, perempuan haid, dan perempuan nifas untuk membaca al-Qur’an, bahkan sedikit pun darinya. Dawud membolehkan mereka membaca al-Qur’an. Malik berkata: boleh bagi perempuan haid untuk membaca, tetapi tidak bagi orang junub. Dawud berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: ‘Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) darinya’ (al-Muzzammil: 20).”
فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ، وَرِوَايَةُ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان يذكر الله على كل أحيائه، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا حَسَدَ إِلَا فِي اثْنَتَيْنِ، رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ورجلٍ آتَاهُ اللَهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ ” وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِسَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جُنُبًا. وَرَوَى مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ، وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تَأْكُلُ وَتَشْرَبُ وَأَنْتَ جنبٌ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنِّي آكُلُ وَأَشْرَبُ وَأَنَا جُنُبٌ وَلَا أَقْرَأُ وَأَنَا جُنُبٌ ” وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الْقِرَاءَةِ عَلَى الْجُنُبِ قَدْ كَانَ مَشْهُورًا فِي الصَّحَابَةِ مُنْتَشِرًا عِنْدَ الْكَافَّةِ حَتَّى لَا يَخْفَى عَلَى رِجَالِهِمْ وَنِسَائِهِمْ، حَتَّى حُكِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ: وَطِئَ أَمَتَهُ فَقَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ وَطِئْتَ الْمَمْلُوكَةَ فَأَنْكَرَ فَقَالَتْ لَهُ إِنْ كُنْتَ لَمْ تَطَأْ فَاقْرَأْ فَقَالَ:
Maka ayat itu berlaku umum. Dan riwayat dari ‘Aisyah bahwa Nabi SAW senantiasa berdzikir kepada Allah dalam seluruh keadaan beliau. Juga riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak ada hasad kecuali pada dua perkara: seseorang yang Allah beri harta lalu ia menginfakkannya di jalan Allah, dan seseorang yang Allah beri al-Qur’an lalu ia membacanya pada waktu-waktu malam dan siang.”
Dalil kami adalah riwayat ‘Abdullah bin Salamah dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi SAW tidak ada yang menghalangi beliau dari membaca al-Qur’an kecuali jika beliau dalam keadaan junub. Dan riwayat Musa bin ‘Uqbah dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Orang junub dan perempuan haid tidak boleh membaca sedikit pun dari al-Qur’an.”
Diriwayatkan pula dari ‘Umar bin al-Khaththab bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, engkau makan dan minum dalam keadaan junub.” Maka Nabi SAW bersabda: “Aku makan dan minum dalam keadaan junub, tetapi aku tidak membaca (al-Qur’an) dalam keadaan junub.”
Keharaman membaca al-Qur’an bagi orang junub telah masyhur di kalangan para sahabat, tersebar di tengah semua orang sehingga tidak tersembunyi dari laki-laki maupun perempuan mereka, sampai-sampai diceritakan bahwa ‘Abdullah bin Rawahah pernah menggauli budaknya.
Istrinya berkata kepadanya: “Engkau telah menggauli budak itu.” Ia pun mengingkarinya. Maka istrinya berkata kepadanya: “Jika engkau tidak menggaulinya, bacalah (al-Qur’an).” Lalu ia berkata:
(شَهدت بِأَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حقٌّ … وَأَنَّ الْنَارَ مَثْوَى الْكَافِرِينَا)
(وَأَنَّ الْعَرْشَ فَوْقَ الماء طافٍ … وفوق العرش رب العالمين)
(وتحمله ملائكةٌ شدادٌ … ملائكة الإله مسومين)
“Aku bersaksi bahwa janji Allah itu benar,
dan bahwa neraka adalah tempat tinggal orang-orang kafir,
Dan bahwa ‘Arsy berada di atas air, terapung,
dan di atas ‘Arsy ada Rabb semesta alam,
Dan bahwa ‘Arsy itu dipikul oleh para malaikat yang kuat,
para malaikat Allah yang diberi tanda.”
فَتَشَبَّهَ عَلَيْهَا ذَلِكَ وَظَنَّتْهُ قُرْآنًا فَقَالَتْ صَدَّقْتُ رَبِّي وَكَذَّبْتُ بَصَرِي، ثُمَّ إِنَّ عبد الله أخبر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِذَلِكَ فَتَبَسَّمَ وَقَالَ: ” امْرَأَتُكَ أَفْقَهُ مِنْكَ “، فَثَبَتَ أَنَّ ذَلِكَ إِجْمَاعٌ.
Maka hal itu membuat istrinya keliru dan ia mengira bahwa yang dibaca adalah al-Qur’an. Lalu ia berkata: “Aku membenarkan Tuhanku dan mendustakan penglihatanku.” Kemudian ‘Abdullah memberitahu Nabi SAW tentang kejadian itu, maka beliau tersenyum dan bersabda: “Istrimu lebih faqih darimu.” Dengan demikian, tetaplah ketetapan bahwa hal itu merupakan ijmak.
فَأَمَّا مالك فَإِنَّهُ قَالَ إِنَّ الْحَائِضَ إِنْ لَمْ تَقْرَأْ نَسِيَتْ لِتَطَاوُلِ الْحَيْضِ بِهَا وَأَنَّهُ قَدْ رُبَّمَا اسْتَوْعَبَ شَطْرَ زَمَانِهَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْجُنُبُ وَهَذَا خَطَأٌ لِوُرُودِ النَّصِّ بِنَهْيِ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ، وَلِأَنَّ حَدَثَ الْحَيْضِ أَغْلَظُ مِنْ حَدَثِ الْجَنَابَةِ، لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنَ الصِّيَامِ وَالْوَطْءِ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُمَا الْجَنَابَةُ، فَلَمَّا كَانَ الْجُنُبُ مَمْنُوعًا فَأَوْلَى أَنْ تَكُونَ الْحَائِضُ مَمْنُوعَةً ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَيْهِمَا أَنَّ حُرْمَةَ الْقُرْآنِ أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَسْجِدِ فَلَمَّا كَانَ الْمَسْجِدُ مَمْنُوعًا مِنَ الْحَائِضِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَا مَمْنُوعَيْنِ مِنَ الْقُرْآنِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun Malik, ia berpendapat bahwa jika perempuan haid tidak membaca (al-Qur’an), maka ia akan lupa karena lamanya masa haid, dan bahwa masa haid bisa jadi mencakup separuh dari waktunya, sedangkan orang junub tidak demikian. Pendapat ini keliru karena adanya nash yang melarang orang junub dan perempuan haid (membaca al-Qur’an).
Selain itu, hadats haid lebih berat daripada hadats janabah, karena haid menghalangi dari puasa dan hubungan badan, sedangkan janabah tidak menghalangi keduanya. Maka ketika orang junub saja dilarang, lebih layak lagi perempuan haid dilarang.
Termasuk dalil untuk keduanya adalah bahwa kehormatan al-Qur’an lebih agung daripada kehormatan masjid. Maka ketika perempuan haid dilarang memasuki masjid, lebih layak lagi keduanya dilarang dari (membaca) al-Qur’an.
Adapun jawaban terhadap ayat (yang dijadikan dalil) ada dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُرَادَ بِهَا فَصَلُّوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الصَّلَاةِ فَعَبَّرَ عَنِ الصَّلَاةِ بِالْقُرْآنِ لِمَا يَتَضَمَّنُهَا مِنْهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَامٌّ خَصَّ مِنْهُ الْجُنُبَ وَالْحَائِضَ بِدَلِيلٍ.
وَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ أَنَّهُ كَانَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ حَالٍ فَمَحْمُولٌ عَلَى الْأَذْكَارِ الَّتِي لَيْسَتْ قُرْآنًا، وَالْحَدِيثُ الْآخَرُ مَخْصُوصٌ.
Pertama: yang dimaksud dengan ayat itu adalah maka shalatlah apa yang mudah dari shalat, dan al-Qur’an disebutkan sebagai ungkapan untuk shalat karena shalat mengandung bacaan al-Qur’an.
Kedua: ayat tersebut bersifat umum, namun dikhususkan darinya orang junub dan perempuan haid dengan adanya dalil.
Adapun hadis ‘Aisyah bahwa beliau (Nabi SAW) berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan, maka maksudnya adalah dzikir-dzikir yang bukan al-Qur’an. Sedangkan hadis yang lain itu bersifat khusus.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْجُنُبَ وَالْحَائِضَ وَالنُّفَسَاءَ مَمْنُوعُونَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَقْرَءُوا مِنْهُ آيَةً وَلَا حَرْفًا، وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَالْأَوْزَاعِيُّ يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَقْرَءُوا الْآيَةَ وَالْآيَتَيْنِ تَعَوُّذًا وَتَبَرُّكًا.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ أَنْ يَقْرَءُوا صَدْرَ الْآيَةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْرَءُوا بَاقِيَهَا وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ خَطَأٌ لِأَنَّ حُرْمَةً يَسِيرَةً كَحُرْمَةٍ كَثِيرَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْحَظْرِ، وَلِأَنَّ مَا مَنَعَتِ الْجَنَابَةُ مِنْ كَثِيرِهِ مَنَعَتْ مِنْ يَسِيرِهِ كَالصَّلَاةِ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa orang junub, perempuan haid, dan perempuan nifas dilarang membaca al-Qur’an, maka tidak boleh bagi mereka membaca darinya walau satu ayat atau satu huruf.
Malik, Ahmad, dan al-Auza‘i berpendapat: boleh bagi mereka membaca satu atau dua ayat sebagai permohonan perlindungan atau tabarruk.
Abu Hanifah berpendapat: boleh membaca permulaan ayat, namun tidak boleh membaca sisanya.
Kedua mazhab ini keliru, karena kehormatan yang sedikit sama seperti kehormatan yang banyak, sehingga keduanya sama dalam larangan. Dan karena sesuatu yang dilarang oleh janabah dalam jumlah banyak, maka dilarang pula dalam jumlah sedikit, sebagaimana shalat.
(فَصْلٌ)
: وَيَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ أَنْ يَقْرَأَ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جُنُبًا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْحَدَثَ لَمْ يَمْنَعْهُ وَكَذَلِكَ الْمُسْتَحَاضَةُ يَجُوزُ أَنْ تَقْرَأَ لِأَنَّهَا كَالْمُحْدِثِ، فَلَوْ أَرَادَ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ أَنْ يَقْرَءَا بِقُلُوبِهِمَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَلَفَّظَا بِهِ بِلِسَانِهِمَا جَازَ وَهَكَذَا لَوْ نَظَرَا فِي الْمُصْحَفِ أَوْ قُرِئَ عَلَيْهِمَا الْقُرْآنُ كَانَ جَائِزًا لَهُمَا لِأَنَّهُمَا يُنْسَبَانِ إِلَى الْقِرَاءَةِ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ، فَأَمَّا الْقِرَاءَةُ سِرًّا بِاللِّسَانِ فَلَا يَجُوزُ لِأَنَّ الْإِسْرَارَ بِالْقُرْآنِ كَالْجَهْرِ فِي صِحَّةِ الصَّلَاةِ وَاللَّهُ أعلم.
PASAL
Boleh bagi orang yang berhadats untuk membaca (al-Qur’an), karena Nabi SAW tidak ada yang menghalangi beliau dari membaca al-Qur’an kecuali jika beliau dalam keadaan junub. Hal ini menunjukkan bahwa hadats tidak menghalanginya. Demikian pula perempuan istihadhah boleh membaca, karena kedudukannya seperti orang berhadats.
Jika orang junub dan perempuan haid ingin membaca dalam hati tanpa melafalkannya dengan lisan, maka itu boleh. Demikian pula jika mereka melihat mushaf atau dibacakan al-Qur’an kepada mereka, maka hal itu boleh bagi keduanya, karena dalam keadaan tersebut mereka tidak termasuk orang yang membaca.
Adapun membaca dengan lisan secara pelan, maka tidak boleh, karena membaca pelan dengan lisan sama kedudukannya dengan membaca keras dalam keabsahan shalat. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.
قال الشافعي: أخبرنا سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ محمدٍ بْنِ عَجْلَانَ عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ فَإِذَا ذهب أحدكم إلى الغائط فلا يستقبل القبلة وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا بغائطٍ وَلَا ببولٍ وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ وَنَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ “، قَالَ الشَّافِعِيُّ وَذَلِكَ فِي الصَّحَارِي لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ جَلَسَ عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فدل على أن البناء مخالفٌ للصحاري.
BAB ISTITHĀBAH
Imam al-Syāfi‘ī berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyān bin ‘Uyainah dari Muhammad bin ‘Ajlān dari al-Qa‘qā‘ bin Hakīm dari Abū Ṣāliḥ dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya aku bagi kalian seperti seorang ayah, maka apabila salah seorang dari kalian pergi ke tempat buang air, janganlah ia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya ketika buang air besar maupun buang air kecil, dan hendaklah ia beristinja dengan tiga batu, serta beliau melarang (istinja) dengan kotoran hewan dan tulang.”
Al-Syāfi‘ī berkata: Dan hal itu (larangan menghadap kiblat) berlaku di tanah lapang, karena Nabi SAW pernah duduk di atas dua bata menghadap ke arah Baitul Maqdis, maka hal itu menunjukkan bahwa bangunan berbeda hukumnya dengan tanah lapang.
قال الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْبَابَ إِنَّمَا سُمِّيَ بَابَ الِاسْتِطَابَةِ، لِأَنَّ الْمُسْتَنْجِيَ يُطَيِّبُ بِهِ نَفْسَهُ.
قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ: اسْتَطَابَ وَأَطَابَ إِذَا اسْتَنْجَى وَمِنْهُ قَوْلُ الْأَعْشَى:
(يَا رَخَمًا قَاظَ عَلَى مطلوب … يعجل كيف الخارئ المتطيب)
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa bab ini dinamakan bāb al-istithābah karena orang yang beristinja menyucikan dan memperbaiki dirinya dengannya.
Ahli bahasa berkata: Istathāba dan aṭāba artinya beristinja. Di antaranya adalah perkataan al-A‘syā:
“Wahai burung bangkai yang bertengger di atas sesuatu yang dicari … ia bersegera sebagaimana orang buang hajat yang membersihkan diri.”
يَعْنِي الْمُسْتَنْجِيَ وَسُمِّيَ اسْتِنْجَاءً لِأَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَرَادُوا قَضَاءَ الْحَاجَةِ اسْتَتَرُوا بِنَجْوَةٍ مِنَ الْأَرْضِ وَهُوَ الْمَوْضِعُ الْمُرْتَفِعُ مِنْهَا، وَقِيلَ فِي تَأْوِيلِ قَوْله تَعَالَى: {فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ} (يونس: 92) . أَيْ: نُلْقِيكَ عَلَى نَجْوَةٍ مِنَ الْأَرْضِ.
وَأَمَّا الْغَائِطُ فَهُوَ الْمَكَانُ الْمُسْتَقِلُّ بَيْنَ عَالِيَيْنِ فَكَنَّى بِهِ عَنِ الْخَارِجِ لِأَنَّهُ يُقْصَدُ لَهُ.
Artinya adalah orang yang beristinja. Dinamakan istinjā’ karena mereka, ketika hendak buang hajat, berlindung di najwah dari bumi, yaitu tempat yang lebih tinggi darinya.
Dikatakan dalam penafsiran firman Allah Ta‘ālā: {Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu} (Yūnus: 92), yakni Kami meletakkanmu di atas najwah dari bumi.
Adapun ghā’iṭ adalah tempat yang terletak di antara dua bagian tanah yang tinggi, lalu digunakan sebagai kiasan bagi kotoran yang keluar karena tempat itu memang didatangi untuk maksud tersebut.
قال الشاعر:
(أما أتاك عن الْحَدِيثُ)
(إِذْ أَنَا بِالْغَائِطِ أَسْتَغِيثُ … وَصِحْتُ فِي الْغَائِطِ يَا خَبِيثُ)
Seorang penyair berkata:
“Tidakkah sampai kepadamu kabar
ketika aku di ghā’iṭ meminta tolong …
dan aku berteriak di ghā’iṭ: wahai orang jahat!”
وَعَقْدُ هَذَا الْبَابِ وَمَدَارُهُ عَلَى حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الْمُقَدَّمِ ذِكْرُهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ ” يَقْصِدُ بِذَلِكَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ ثَلَاثَةَ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ جَعَلَهَا مُقَدِّمَةً يَأْنَسُ بِهَا السَّامِعُ لِأَنَّ فِي الِابْتِدَاءِ بِذِكْرِ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ وَحْشَةً عَلَى السَّامِعِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ حَثَّهُمْ عَلَى سُؤَالِهِ فِيمَا احْتَشَمَ ذِكْرُهُ مِنْ أَمْرِ دِينِهِمْ وَأَدَبِهِمْ كَمَا يَسْأَلُ وَالِدَهُ فِيمَا احْتَشَمَ غَيْرُهُ مِنْ سُؤَالِهِ.
Dan pembahasan bab ini serta porosnya berdasar pada hadis Abū Hurairah yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku bagi kalian seperti seorang ayah.” Beliau –wallāhu a‘lam– bermaksud dengan hal itu tiga perkara:
Pertama: Menjadikannya sebagai pembuka yang membuat pendengar merasa akrab, karena memulai pembicaraan dengan menyebut buang air besar dan buang air kecil akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pendengar.
Kedua: Mendorong mereka untuk bertanya kepada beliau tentang perkara agama dan adab mereka yang malu untuk disebutkan, sebagaimana seseorang bertanya kepada ayahnya tentang hal-hal yang ia malu untuk menanyakannya kepada selain ayah.
وَالثَّالِثُ: التَّنْبِيهُ عَلَى أَنَّ الْوَالِدَ يَلْزَمُهُ تَعْلِيمُ وَلَدِهِ مَا احْتَاجَ إِلَيْهِ مِنْ دِينِهِ وَأَدَبِهِ مَعَ مَا فِيهِ مِنَ التَّنْبِيهِ عَلَى الْقِيَاسِ، ثُمَّ أَخَذَ فِي بَيَانِ الْأَدَبِ الشَّرْعِيِّ فَقَالَ: ” فَإِذَا ذهب أحدكم إلى الغائط فلا يستقبل القبلة وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا لِغَائِطٍ وَلَا بولٍ “، فَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَاسْتِدْبَارِهَا لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ اسْتِقْبَالُهَا ولا استدبارها فِي الْبُنْيَانِ وَلَا فِي الصَّحَارِي وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة وَصَاحِبَيْهِ وَالثَّوْرِيِّ وَالنَّخَعِيِّ وَأَحْمَدَ وَأَبِي ثَوْرٍ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أَبُو أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيُّ.
Ketiga: Memberi peringatan bahwa seorang ayah wajib mengajarkan kepada anaknya apa yang ia butuhkan dari agama dan adabnya, sekaligus di dalamnya terdapat isyarat kepada penggunaan qiyās.
Kemudian beliau mulai menjelaskan adab syar‘i, lalu bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian pergi ke tempat buang air, maka janganlah ia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya untuk buang air besar maupun buang air kecil.”
Manusia berbeda pendapat tentang hukum menghadap kiblat dan membelakanginya saat buang air besar dan buang air kecil menjadi empat mazhab:
Pertama: Tidak boleh menghadap ataupun membelakanginya, baik di dalam bangunan maupun di tanah lapang. Ini adalah mazhab Abū Ḥanīfah beserta dua sahabatnya, al-Thawrī, al-Nakha‘ī, Aḥmad, dan Abū Thawr. Dari kalangan sahabat, pendapat ini dipegang oleh Abū Ayyūb al-Anṣārī.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ اسْتِقْبَالُهَا وَاسْتِدْبَارُهَا فِي الْبُنْيَانِ وَالصَّحَارِي وَهُوَ مَذْهَبُ دَاوُدَ وَبِهِ قَالَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ وَرَبِيعَةُ بْنُ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ اسْتِقْبَالُهَا وَلَا اسْتِدْبَارُهَا فِي الصَّحَارِي وَيَجُوزُ اسْتِقْبَالُهَا وَاسْتِدْبَارُهَا فِي الْبُنْيَانِ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، وَمِنَ التَّابِعِينَ الشَّعْبِيُّ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَإِسْحَاقُ.
Kedua: Boleh menghadap maupun membelakanginya, baik di dalam bangunan maupun di tanah lapang. Ini adalah mazhab Dāwud, dan pendapat ini juga dikatakan oleh ‘Urwah bin al-Zubair dan Rabī‘ah bin Abī ‘Abd al-Raḥmān.
Ketiga: Tidak boleh menghadap ataupun membelakanginya di tanah lapang, namun boleh menghadap dan membelakanginya di dalam bangunan. Ini adalah mazhab al-Syāfi‘ī, dan dari kalangan sahabat dipegang oleh ‘Abdullāh bin ‘Umar, dari kalangan tābi‘īn oleh al-Sya‘bī, dan dari kalangan fuqahā’ oleh Mālik dan Isḥāq.
وَالرَّابِعُ: مَا رَوَاهُ محمد بن الحسن مَذْهَبًا ثَانِيًا أَنَّهُ أَجَازَ اسْتِدْبَارَهَا فِي الْمَوْضِعَيْنِ، وَمَنَعَ مِنِ اسْتِقْبَالِهَا فِي الْمَوْضِعَيْنِ غَيْرَ أَنَّ الْمَذْهَبَ الْأَوَّلَ هُوَ الَّذِي يُعَوِّلُ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ.
Keempat: Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muḥammad bin al-Ḥasan sebagai mazhab kedua darinya, yaitu membolehkan membelakanginya di kedua tempat (bangunan dan tanah lapang) namun melarang menghadapnya di kedua tempat tersebut. Hanya saja, mazhab pertama adalah yang dijadikan pegangan oleh para pengikutnya.
وَاسْتَدَلَّ مَنْ مَنَعَ مِنِ اسْتِقْبَالِهَا وَاسْتِدْبَارِهَا فِي الْمَوْضِعَيْنِ بِحَدِيثَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ الْمُقَدَّمُ ذِكْرُهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” فإذا ذهب أحدكم الغائط فلا يستقبل القبلة ولا يستدبرها لغائطٍ وَلَا بولٍ “، فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ.
وَالثَّانِي: مَا رَوَاهُ عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ اللَّيْثِيُّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لغائطٍ أَوْ بولٍ وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا، قَالَ فَقَدِمْنَا الشَامَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ قَدْ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ فَكُنَّا نَنْحَرِفُ عَنْهَا وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى.
Orang yang melarang menghadap dan membelakangi kiblat di kedua tempat (bangunan maupun tanah lapang) berdalil dengan dua hadis:
Pertama: Hadis Abū Hurairah yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian pergi ke tempat buang air, maka janganlah ia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya untuk buang air besar maupun buang air kecil.” Maka larangan ini berlaku secara umum.
Kedua: Riwayat ‘Aṭā’ bin Yazīd al-Laythī dari Abū Ayyūb al-Anṣārī, bahwa Nabi SAW melarang kami menghadap kiblat untuk buang air besar atau buang air kecil, tetapi beliau bersabda: “Menghadaplah ke timur atau ke barat.” Abū Ayyūb berkata: Lalu kami datang ke Syam dan mendapati tempat-tempat buang air telah dibangun menghadap kiblat, maka kami pun memalingkan diri darinya dan memohon ampun kepada Allah Ta‘ālā.
وَأَمَّا الْمَعْنَى فَهُوَ إِنْ قَالُوا كُلُّ حُكْمٍ تَعَلَّقَ فِيهِ الْقِبْلَةَ اسْتَوَى فِيهِ الْبُنْيَانُ وَالصَّحَارِي كَالصَّلَاةِ، قَالُوا وَلِأَنَّهُ مُسْتَقْبِلٌ بِفَرْجِهِ إِلَى الْقِبْلَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَمْنُوعًا مِنْهُ كَالصَّحَارِي قَالُوا وَلِأَنَّهُ إِنَّمَا مَنَعَ مِنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ فِي الصَّحْرَاءِ تَعْظِيمًا لِحُرْمَتِهَا وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي الْبُنْيَانِ كَوُجُودِهِ فِي الصَّحَارِي فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ الْمَنْعُ فِيهِمَا.
قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْبُنْيَانِ أَكْثَرُ مِنْ أَنَّهَا حَائِلٌ وَالْحَائِلُ عَنِ الْقِبْلَةِ لَا يَمْنَعُ حُكْمًا تَعَلَّقَ بِهَا دَلِيلُهُ الْجِبَالُ فِي الصَّحَارِي لِذِي الْحَاجَةِ، وَالْبُنْيَانُ لِلصَّلَاةِ.
Adapun alasan mereka adalah: Jika setiap hukum yang berkaitan dengan kiblat berlaku sama di bangunan maupun di tanah lapang —seperti dalam shalat— maka hukumnya sama.
Mereka berkata: Karena seseorang yang buang hajat berarti sedang menghadap dengan kemaluannya ke arah kiblat, maka wajib hukumnya dilarang sebagaimana larangan di tanah lapang.
Mereka juga berkata: Sesungguhnya larangan menghadap kiblat di tanah lapang adalah karena memuliakan kehormatannya, dan makna ini ada pula di bangunan sebagaimana ada di tanah lapang, maka larangan harus sama pada keduanya.
Mereka berkata lagi: Tidak ada perbedaan di bangunan selain hanya adanya penghalang, sedangkan penghalang dari kiblat tidak menggugurkan hukum yang berkaitan dengannya. Dalilnya adalah gunung di tanah lapang bagi orang yang buang hajat, dan bangunan bagi orang yang shalat.
وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَبَاحَ ذَلِكَ فِي الْمَوْضِعَيْنِ بِحَدِيثَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: رَوَاهُ مُجَاهِدٌ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَاسْتِدْبَارِهَا، ثُمَّ إِنِّي رَأَيْتُهُ قَبْلَ مَوْتِهِ بسنةٍ وَقَدْ قَعَدَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِقَضَاءِ حَاجَتِهِ.
وَالثَّانِي: مَا رَوَاهُ وَاسِعُ بن حيان عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ نَاسًا يَقُولُونَ إِذَا قَعَدْتَ عَلَى حَاجَتِكَ فَلَا تَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا بَيْتَ الْمَقْدِسِ لَقَدِ ارْتَقَيْتُ عَلَى ظَهْرِ بيتٍ لَنَا فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ.
Orang yang membolehkan hal itu di kedua tempat (bangunan maupun tanah lapang) berdalil dengan dua hadis:
Pertama: Riwayat Mujāhid dari Jābir, bahwa Nabi SAW melarang menghadap kiblat dan membelakanginya. Kemudian, sebelum wafatnya, setahun sebelumnya, aku melihat beliau duduk menghadap kiblat untuk buang hajat.
Kedua: Riwayat Wāsi‘ bin Ḥayyān dari Ibn ‘Umar, bahwa ia berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengatakan: Apabila engkau duduk untuk buang hajat, maka jangan menghadap kiblat dan jangan pula menghadap Baitul Maqdis. Sungguh, aku pernah naik ke atap rumah kami, lalu aku melihat Rasulullah SAW berada di atas dua bata, menghadap ke arah Baitul Maqdis.”
وَأَمَّا الْمَعْنَى فَهُوَ أَنَّ كَشْفَ الْعَوْرَةِ إِذَا كَانَ مُبَاحًا إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ كَانَ مُبَاحًا إِلَى الْقِبْلَةِ قِيَاسًا عَلَى كَشْفِهَا لِلْمُبَاشَرَةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ جِهَةٍ لَا يَحْرُمُ كَشْفُ الْعَوْرَةِ إِلَيْهَا فِي الْمُبَاشَرَةِ لَمْ يَحْرُمْ كَشْفُ الْعَوْرَةِ إِلَيْهَا عِنْدَ الْحَاجَةِ قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ.
Adapun maknanya adalah bahwa apabila menyingkap aurat itu boleh dilakukan ke arah selain kiblat, maka boleh pula ke arah kiblat dengan qiyās kepada menyingkapnya untuk bersetubuh. Dan karena setiap arah yang tidak diharamkan menyingkap aurat ke arahnya ketika bersetubuh, maka tidak diharamkan pula menyingkap aurat ke arahnya ketika ada kebutuhan, dengan qiyās kepada selain kiblat.
(فَصْلٌ)
: وَاسْتَدَلَّ مَنْ مَنَعَ مِنِ اسْتِقْبَالِهَا فِي الْمَوْضِعَيْنِ وَأَبَاحَ اسْتِدْبَارَهَا فِي الْمَوْضِعَيْنِ بِحَدِيثَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: رَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: لَقَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ عَلَيْهِ السَّلَامُ كُلَّ شيءٍ حتى الخرأة، قَالَ: أَجَلٌ لَقَدْ نَهَانَا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بغائطٍ وبولٍ وَأَلَّا نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، وَأَلَّا يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أحجارٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ برجيعٍ أَوْ عظمٍ) .
وَالثَّانِي: مَا رَوَاهُ أَبُو زَيْدٍ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ أَبِي مَعْقِلٍ الْأَسَدِيِّ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَتَيْنِ ببولٍ أَوْ غائطٍ) .
PASAL
Dan berdalil orang yang melarang menghadap kepadanya di dua tempat tersebut dan membolehkan membelakanginya di dua tempat tersebut dengan dua hadis:
Pertama: Diriwayatkan oleh ‘Abd al-Raḥmān bin Yazīd dari Salman, ia berkata: “Sungguh Nabi kalian SAW telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu, hingga masalah buang hajat.” Ia berkata: “Benar, sungguh beliau SAW telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar dan buang air kecil, melarang beristinja’ dengan tangan kanan, melarang salah seorang dari kami beristinja’ dengan kurang dari tiga batu, dan melarang beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang.”
Kedua: Riwayat Abū Zayd dari Ma‘qil bin Abī Ma‘qil al-Asadī, ia berkata: “Rasulullah SAW melarang menghadap dua kiblat ketika buang air kecil atau buang air besar.”
فَلَمَّا نَصَّ فِي هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ عَلَى الِاسْتِقْبَالِ عُلِمَ إِبَاحَةُ الِاسْتِدْبَارِ، وَلِأَنَّ كُلَّ حُكْمٍ تَعَلَّقَ بِالْقِبْلَةِ اخْتَصَّ بِاسْتِقْبَالِهَا دُونَ اسْتِدْبَارِهَا كَالصَّلَاةِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ (مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ) مِنْ تَحْرِيمِ الِاسْتِقْبَالِ وَالِاسْتِدْبَارِ فِي الصَّحَارِي مَا اسْتَدَلَّ بِهِ الْأَوَّلُونَ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي أَيُّوبَ، وَعَلَى إِبَاحَةِ ذَلِكَ فِي الْبُنْيَانِ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ الْآخَرُونَ مِنْ حَدِيثَيْ جَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ، ثُمَّ الدَّلِيلُ عَلَيْهِمَا حَدِيثَانِ آخَرَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا رَوَاهُ الْحَسَنُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ مَرْوَانَ الْأَصْفَرِ: قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ثُمَّ جَلَسَ يَبُولُ إِلَيْهَا فَقُلْتُ: أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَلَيْسَ قَدْ نُهِيَ عَنْ هَذَا قَالَ: بَلَى إِنَّمَا نُهِيَ عَنْ ذَلِكَ فِي الْفَضَاءِ فَأَمَّا إِذَا كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ شيءٌ يَسْتُرُكَ فَلَا بأسٍ.
Maka ketika disebutkan secara tegas dalam dua hadis ini larangan menghadap, diketahui kebolehan membelakangi. Dan karena setiap hukum yang berkaitan dengan kiblat itu khusus pada menghadap kepadanya, bukan membelakanginya, seperti shalat. Dan dalil atas benarnya pendapat al-Syāfi‘ī tentang haramnya menghadap dan membelakangi di padang terbuka adalah apa yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama dari hadis Abū Hurairah dan Abū Ayyūb, dan atas kebolehan hal itu di dalam bangunan adalah apa yang dijadikan dalil oleh pendapat kedua dari hadis Jābir dan Ibnu ‘Umar.
Kemudian dalil bagi keduanya adalah dua hadis lain:
Pertama: Riwayat al-Ḥasan bin Dhakwān dari Marwān al-Aṣfar, ia berkata: “Aku melihat Ibnu ‘Umar memberhentikan tunggangannya menghadap kiblat, lalu duduk kencing ke arahnya. Maka aku berkata: ‘Wahai Abā ‘Abd al-Raḥmān, bukankah telah dilarang dari hal ini?’ Ia menjawab: ‘Benar, sesungguhnya yang dilarang adalah di tempat terbuka. Adapun jika ada sesuatu di antara engkau dan kiblat yang menutupimu, maka tidak mengapa.’”
وَالثَّانِي: مَا رَوَاهُ خَالِدُ بْنُ أَبِي الصَّلْتِ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَذَكَرْنَا اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ بِالْفُرُوجِ فَقَالَ عِرَاكُ بْنُ مَالِكٍ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ: ذُكِرَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّ نَاسًا يَكْرَهُونَ أَنْ يَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِفُرُوجِهِمْ فَقَالَ رَسُولُاللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَوَقَدْ فَعَلُوا حَوِّلُوا بِمَقْعَدَتِي إِلَى الْقِبْلَةِ “.
Kedua: Riwayat Khālid bin Abī al-Ṣalt, ia berkata: “Kami berada di sisi ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, lalu kami membicarakan tentang menghadap kiblat dengan kemaluan. Maka ‘Irāk bin Mālik berkata: ‘Aku mendengar ‘Ā’isyah berkata: Disebutkan di hadapan Rasulullah SAW bahwa ada sebagian orang yang tidak menyukai menghadap kiblat dengan kemaluan mereka. Maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Apakah mereka telah melakukannya? Hadapkanlah tempat dudukku ke arah kiblat.’”
وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ فَهُوَ وَأَنَّ الصَّحَارِيَ لَا تَخْلُو غَالِبًا مِنْ مُصَلًّى فِيهَا فَيَتَأَذَّى بِكَشْفِ عَوْرَتِهِ إِلَيْهَا لِأَنَّهُ إِنِ اسْتَقْبَلَهَا أَبْدَا إِلَيْهِ دُبُرَهُ وَإِنِ اسْتَدْبَرَهَا أَبْدَا إِلَيْهِ قُبُلَهُ فَمُنِعَ مِنِ اسْتِقْبَالِهَا واستدبارها لأن لا يقطع المصلين إِلَيْهَا وَهَذَا الْمَعْنَى مَعْدُومٌ فِي الْبُنْيَانِ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ فِيهَا مُسْتَتِرٌ بِالْجِدَارِ مَعَ أَنَّ تَجَنُّبَ الِاسْتِقْبَالِ وَالِاسْتِدْبَارِ فِي الْمَنَازِلِ مَعَ ضِيقِهَا شَاقٌّ فَوَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْمَوْضِعَيْنِ، وَأَمَّا الْقِيَاسُ عَلَى مَنْ أَجَازَ الِاسْتِدْبَارَ فِي الصَّحْرَاءِ هُوَ أَنَّهُ أَحَدُ الْفَرْجَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ يَحْرُمَ مُوَاجَهَةُ الْقِبْلَةِ عِنْدَ الْحَاجَةِ كَالْقُبُلِ وَعَلَى مَنْ حَرَّمَ الِاسْتِقْبَالَ فِي الْمَنَازِلِ أَنَّهُ أَحَدُ الْفَرْجَيْنِ فَلَمْ يَحْرُمْ فِي الْبُنْيَانِ مُوَاجَهَةُ الْقِبْلَةِ كَالدُّبُرِ.
Adapun istidlāl adalah bahwa padang terbuka pada umumnya tidak lepas dari adanya orang yang shalat di dalamnya, sehingga ia akan merasa terganggu dengan terbukanya aurat menghadap ke arahnya. Karena jika ia menghadap kiblat, berarti ia menampakkan belakangnya, dan jika ia membelakangi kiblat, berarti ia menampakkan kemaluannya. Maka dilaranglah menghadap dan membelakangi kiblat agar tidak memutus kekhusyukan orang-orang yang shalat ke arahnya. Makna ini tidak ada di dalam bangunan, karena seseorang di dalamnya tertutup oleh dinding, di samping menghindari menghadap dan membelakangi kiblat di rumah-rumah yang sempit itu menyulitkan. Maka terjadilah perbedaan hukum antara dua tempat tersebut.
Adapun qiyās atas orang yang membolehkan membelakangi kiblat di padang terbuka adalah bahwa ia merupakan salah satu dari dua kemaluan, sehingga wajib diharamkan menghadap kiblat ketika buang hajat sebagaimana kemaluan depan. Dan bagi orang yang mengharamkan menghadap kiblat di rumah-rumah, bahwa ia adalah salah satu dari dua kemaluan, maka tidak diharamkan di dalam bangunan menghadap kiblat sebagaimana kemaluan belakang.
فَأَمَّا الْجَوَابُ لِمَنْ ذَهَبَ إِلَى عُمُومِ تَحْرِيمِهِ بِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ فَهُوَ أَنَّ حَدِيثَ أَبِي هُرَيْرَةَ دَالٌّ عَلَى تَحْرِيمِهِ فِي الصَّحَارِي دُونَ الْبُنْيَانِ، لِأَنَّهُ قَالَ: ” فَإِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ وَالذَّهَابُ إِنَّمَا يُطْلَقُ عَلَى التَّوَجُّهِ إِلَى الصَّحَارِي، دُونَ المنازل فيقال دخل وَلِأَنَّهُ قَالَ ” الْغَائِطَ ” وَذَلِكَ يَكُونُ فِي الصَّحَارِي دُونَ الْمَنَازِلِ؛ لِأَنَّهُ الْمَوْضِعُ الْمُسْتَقِلُّ بَيْنَ عَالِيَيْنِ.
Adapun jawaban bagi yang berpendapat umum dalam pengharamannya dengan berdalil hadis Abū Hurairah adalah bahwa hadis Abū Hurairah menunjukkan pengharamannya di padang terbuka, bukan di dalam bangunan. Karena beliau berkata: “Apabila salah seorang dari kalian pergi ke tempat buang hajat,” sedangkan kata “pergi” (al-dzahāb) hanya digunakan untuk menuju padang terbuka, bukan untuk rumah, sebab untuk rumah digunakan kata “masuk”. Dan karena beliau mengatakan “al-ghā’iṭ”, yaitu tempat yang berada di padang terbuka, bukan di rumah, karena ia adalah tempat yang rendah di antara dua tempat yang tinggi.
وَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ فَإِنْ كَانَ الِاسْتِدْلَالُ بِمَتْنِهِ فَهُوَ وَإِنْ كَانَ مُطْلَقًا يَقْتَضِي الْعُمُومَ فَمَحْمُولٌ عَلَى مَا وَرَدَ فِي غَيْرِهِ مِنَ التَّخْصِيصِ، وَإِنْ كَانَ الِاسْتِدْلَالُ بِفِعْلِ أَبِي أَيُّوبَ فَذَلِكَ اجْتِهَادٌ مِنْهُ فَلَمْ يَلْزَمْ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْمَعَانِي فَفِيمَا ذَكَرْنَاهُ جَوَابٌ عَنْهَا وَانْفِصَالٌ مِنْهَا.
Adapun hadis Abū Ayyūb, jika pendalilannya dengan matannya, maka meskipun ia bersifat mutlak yang mengandung makna umum, ia dibawa kepada makna yang telah disebutkan dalam riwayat lain yang bersifat mengkhususkan. Dan jika pendalilannya dengan perbuatan Abū Ayyūb, maka itu adalah ijtihad darinya sehingga tidak wajib diikuti. Adapun jawaban terhadap alasan-alasan maknawi, maka pada apa yang telah kami sebutkan terdapat jawaban untuknya dan pemisahan darinya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ الْآخَرُونَ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى الْمَنَازِلِ، وَالْبُنْيَانِ لِمَا فِيهِمَا مِنَ الْمُشَاهَدَةِ لَهُ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ الْآخَرِينَ بِحَدِيثَيْ سَلْمَانَ وَمَعْقِلٍ أَنَّ مَنْصُوصَهُمَا الِاسْتِقْبَالُ فَصَحِيحٌ لَكِنْ أَرَادَ بِالْفَرْجَيْنِ مَعًا قُبُلًا وَدُبُرًا.
Adapun jawaban terhadap pendalilan pihak lain dengan hadis Jābir dan Ibnu ‘Umar adalah bahwa keduanya dibawa maknanya kepada rumah dan bangunan, karena di dalamnya terdapat kesaksian langsung terhadap hal tersebut.
Adapun jawaban terhadap pendalilan pihak lain dengan dua hadis Salman dan Ma‘qil adalah bahwa teks keduanya memang menyebutkan larangan menghadap, itu benar, namun yang dimaksud dengan al-farjayn adalah keduanya sekaligus, yaitu kemaluan depan dan belakang.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ تَحْرِيمِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَاسْتِدْبَارِهَا فِي الصَّحَارِي دُونَ الْمَنَازِلِ فَجَلَسَ فِي الصَّحْرَاءِ إِلَى مَا يَسْتُرُهُ مِنْ جَبَلٍ أَوْ جِدَارٍ أَوْ دَابَّةٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَاهَلْ يُغَلَّبُ حُكْمُ الصَّحْرَاءِ فِي الْمَنْعِ مِنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَاسْتِدْبَارِهَا أَوْ يُغَلَّبُ حُكْمُ السُّتْرَةِ فِي جَوَازِ الِاسْتِقْبَالِ وَالِاسْتِدْبَارِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ التَّغْلِيبَ لِلسُّتْرَةِ لِوُجُودِ الِاسْتِتَارِ بِهَا وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ الِاسْتِقْبَالُ وَالِاسْتِدْبَارُ وَهُوَ مَذْهَبُ ابْنِ عُمَرَ.
PASAL
Apabila telah tetap apa yang kami jelaskan tentang haramnya menghadap kiblat dan membelakanginya di padang terbuka, bukan di rumah, lalu seseorang duduk di padang terbuka menghadap sesuatu yang menutupinya seperti gunung, dinding, atau hewan tunggangan, maka para sahabat kami berbeda pendapat: Apakah diberlakukan hukum padang terbuka sehingga tetap dilarang menghadap dan membelakangi kiblat, ataukah diberlakukan hukum sutrah sehingga boleh menghadap dan membelakanginya? Ada dua pendapat:
Pertama: Bahwa yang diunggulkan adalah hukum sutrah, karena adanya penutupan dengannya, sehingga tidak haram baginya menghadap maupun membelakangi kiblat. Dan ini adalah mazhab Ibnu ‘Umar.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ التَّغْلِيبَ لِلْمَكَانِ فَيَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الصَّحْرَاءِ فِي تَحْرِيمِ الِاسْتِقْبَالِ وَالِاسْتِدْبَارِ لأن القضاء فِيهَا أَغْلَبُ وَبَنَى عَنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ إِذَا كَانَ فِي مِصْرَ بَيْنَ خَرَابٍ قَدْ صَارَ فَضَاءً كَالصَّحْرَاءِ.
فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: يَحْرُمُ عَلَيْهِ الِاسْتِقْبَالُ وَالِاسْتِدْبَارُ اعْتِبَارًا بِصِفَةِ الْمَكَانِ.
Pendapat kedua: Bahwa yang diunggulkan adalah hukum tempat, sehingga berlaku padanya hukum padang terbuka dalam pengharaman menghadap dan membelakangi kiblat, karena buang hajat di tempat tersebut lebih dominan. Dan dibangun atas dua pendapat ini, apabila berada di sebuah kota namun di antara reruntuhan yang telah menjadi tanah lapang seperti padang terbuka,
Salah satu dari dua pendapat: Haram baginya menghadap dan membelakangi kiblat dengan mempertimbangkan sifat tempatnya.
وَالثَّانِي: لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الْمَكَانِ وَهَذَا التَّحْرِيمُ يَخْتَصُّ بِالْقِبْلَةِ، فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رَوَى مَعْقِلُ بْنُ أَبِي مَعْقِلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ تُسْتَقْبَلَ الْقِبْلَتَيْنِ قِيلَ لِأَصْحَابِنَا فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ نَهَى عَنِ اسْتِقْبَالِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ حِينَ كَانَتْ قِبْلَةً، وَنَهَى فِي زَمَانٍ آخَرَ عَنِ اسْتِقْبَالِ الْكَعْبَةِ حِينَ صَارَتْ قِبْلَةً فَجَمَعَ الراوي بنيهما فِي رِوَايَتِهِ كَمَا رُوِيَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَأَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَكَانَ نَهْيُهُ عَنِ الْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ قَبْلَ ذَلِكَ عَامَ خَيْبَرَ، وَهَذَا تَأْوِيلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.
Dan pendapat kedua: Tidak haram baginya, dengan mempertimbangkan hukum tempat. Dan pengharaman ini khusus pada kiblat.
Jika dikatakan: Bukankah telah diriwayatkan oleh Ma‘qil bin Abī Ma‘qil bahwa Rasulullah SAW melarang menghadap dua kiblat? Maka para sahabat kami memiliki dua takwil terhadapnya:
Pertama: Bahwa beliau melarang menghadap Baitul Maqdis ketika ia masih menjadi kiblat, dan melarang pada masa lain menghadap Ka‘bah ketika ia telah menjadi kiblat. Maka perawi menggabungkan keduanya dalam riwayatnya, sebagaimana diriwayatkan bahwa beliau melarang nikah mut‘ah dan memakan daging keledai jinak, sedangkan larangannya terhadap nikah mut‘ah terjadi pada tahun Fathu Makkah, dan larangannya terhadap memakan daging keledai jinak terjadi sebelumnya, yaitu pada tahun Khaibar. Inilah takwil Abū Isḥāq al-Marwazī dan Ibnu Abī Hurairah.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّ النَّهْيَ وَرَدَ عَنْهُمَا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ وَقَصَدَ بِهِ أَهْلَ الْمَدِينَةِ لِأَنَّ مَنِ اسْتَقْبَلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ بِالْمَدِينَةِ اسْتَدْبَرَ الْكَعْبَةَ وَمَنِ اسْتَقْبَلَ الْكَعْبَةَ اسْتَدْبَرَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَصَارَ نَهْيُهُ عَنِ اسْتِقْبَالِهَا نَهْيًا عَنِ اسْتِقْبَالِ الْكَعْبَةِ واستدبارها وهذا تأويل بعض أصحابنا من المتقدمين.
Takwil kedua: Bahwa larangan itu datang terhadap keduanya dalam satu keadaan, dan yang dimaksud adalah penduduk Madinah. Karena siapa yang menghadap Baitul Maqdis di Madinah berarti ia membelakangi Ka‘bah, dan siapa yang menghadap Ka‘bah berarti ia membelakangi Baitul Maqdis. Maka larangan beliau menghadap Baitul Maqdis berarti larangan menghadap dan membelakangi Ka‘bah. Dan ini adalah takwil sebagian sahabat kami dari kalangan ulama terdahulu.
(فصل)
: وأعلم أن الاستنجاء فِي الصَّحَارِي بَعْدَ تَحْرِيمِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَاسْتِدْبَارِهَا آدَابًا مُسْتَحَبَّةً وَرَدَتِ السُّنَّةُ بِهَا وَعَمِلَ السَّلَفُ عَلَيْهَا وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ أَدَبًا تَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ فقسم منها مختص بِمَكَانِ الِاسْتِنْجَاءِ وَهُوَ ثَمَانِيَةُ آدَابٍ، وَقِسْمٌ مِنْهَا يَخْتَصُّ بِالْمُسْتَنْجِي فِي نَفْسِهِ وَهِيَ ثَمَانِيَةٌ. فَأَمَّا الثمانية التي تختص بمكان الاستنجاء.
PASAL
Ketahuilah bahwa istinja’ di padang terbuka, setelah pengharaman menghadap kiblat dan membelakanginya, memiliki adab-adab yang disunnahkan, yang telah datang dalam sunnah dan diamalkan oleh para salaf. Adab-adab tersebut berjumlah enam belas, terbagi menjadi dua bagian:
Satu bagian khusus berkaitan dengan tempat istinja’, yaitu delapan adab.
Bagian lainnya khusus berkaitan dengan orang yang melakukan istinja’ itu sendiri, yaitu delapan adab.
Adapun delapan adab yang khusus berkaitan dengan tempat istinja’…
أحدهما: الْإِبْعَادُ عَنْ أَبْصَارِ النَّاسِ لِمَا فِيهِ مِنَ الصيانة وإكمال الْعِشْرَةِ، وَقَدْ رَوَى أَبُو سَلَمَةَ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا ذَهَبَ بَعُدَ، وَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا أَرَادَ الْبُرَازَ انْطَلَقَ حَتَى لَا يراه أحدٌ.
Pertama: Menjauh dari pandangan manusia, karena di dalamnya terdapat penjagaan kehormatan dan penyempurnaan pergaulan. Telah meriwayatkan Abū Salamah dari al-Mughīrah bin Syu‘bah, dari Nabi SAW, bahwa apabila beliau pergi (buang hajat) beliau menjauh. Dan telah meriwayatkan Abū al-Zubair dari Jābir, bahwa Nabi SAW apabila hendak buang hajat, beliau berjalan hingga tidak ada seorang pun yang melihatnya.
والثاني: أن يستتر بسترة لأن لا يَرَاهُ مَارٌّ فَقَدْ رَوَى أَبُو سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ أَتَى الْغَائِطَ فَلْيَسْتَتِرْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا أَنْ يَجْمَعَ كَثِيبًا مِنْ رملٍ فَلْيَسْتَدْبِرْهُ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَلْعَبُ بِمَقَاعِدِ بَنِي آدَمَ فَمَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لَا فَلَا حرجٍ “، وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تُحْدِثُوا فِي الْقَزَعِ فَإِنَّهُ مَأْوَى الْخَافِينَ “، الْقَزَعُ هُوَ الْوَضْعُ الَّذِي لَا نَبَاتَ فِيهِ يَسْتُرُهُ مَأْخُوذٌ مِنْ قَزَعِ الرَّأْسِ الَّذِي لَا شَعْرَ فِيهِ، وَمَأْوَى الْخَافِينَ هُوَ مَأْوَى الْجِنِّ سُمُّوا الْخَافِينَ لِاسْتِخْفَائِهِمْ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يتوقى مهاب الرياح لأن لا يَرُدَّ الرِّيحُ عَلَيْهِ النَّجَاسَةَ، وَقَدْ رَوَى الْأَعْرَجُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ لِلْغَائِطِ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الرِّيحَ “.
Kedua: Hendaknya ia bersembunyi dengan suatu penutup agar tidak terlihat oleh orang yang lewat. Telah meriwayatkan Abū Sa‘īd dari Abū Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa mendatangi tempat buang hajat, maka hendaklah ia bersembunyi. Jika tidak menemukan kecuali hanya bisa mengumpulkan gundukan pasir, maka hendaklah ia membelakanginya. Sesungguhnya setan bermain-main pada tempat duduk anak Adam. Maka siapa yang melakukannya berarti ia telah berbuat baik, dan siapa yang tidak melakukannya maka tidak berdosa.”
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Janganlah buang hajat di al-qaza‘, karena itu adalah tempat tinggal al-khāfīn.” Al-qaza‘ adalah tanah yang tidak ada tumbuhan yang menutupinya, diambil dari istilah qaza‘ pada kepala, yaitu bagian kepala yang tidak tumbuh rambut. Adapun ma’wā al-khāfīn adalah tempat tinggal jin, mereka disebut al-khāfīn karena bersembunyi.
Ketiga: Hendaknya ia menghindari arah datangnya angin agar angin tidak mengembalikan najis kepadanya. Telah meriwayatkan al-A‘raj dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang keluar untuk buang hajat, maka janganlah ia menghadap arah angin.”
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَرْتَادَ لِبَوْلِهِ أرضاَ لَيِّنَةً حَتَّى لَا يَرْتَفِعَ لِبَوْلِهِ رَشِيشٌ يُؤْذِيهِ فَقَدْ رَوَى أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَاتَ يومٍ فَأَرَادَ أَنْ يَبُولَ فَأَتَى دَمِثًا فِي أَصْلِ جدارٍ فَبَالَ ثُمَّ قَالَ: ” إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَبُولَ فَلْيَرْتَدْ لِبَوْلِهِ “.
وَالْخَامِسُ: أَنْ يَتَوَقَّى الْبَوْلَ فِي ثُقْبٍ أَوْ سِرَبٍ لِئَلَّا يَخْرُجَ عَلَيْهِ مِنْ حَشَرَاتِ الْأَرْضِ مَا يُؤْذِيهِ أَوْ لِئَلَّا يُؤْذِيَ حَيَوَانًا فِيهِ، وَقَدْ رَوَى قَتَادَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَرْجِسَ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يُبَالَ فِي الْجُحْرِ فَقِيلَ لِقَتَادَةَ: وَلِمَ يُكْرَهُ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنَّهُ مَسَاكِنُ الْجِنِّ.
Keempat: Memilih tanah yang lunak untuk buang air kecil agar percikan kencing tidak memantul mengenainya. Telah meriwayatkan Abū Mūsā al-Asy‘arī, ia berkata: “Aku bersama Rasulullah SAW pada suatu hari, lalu beliau hendak buang air kecil. Maka beliau mendatangi tanah yang lembut di pangkal sebuah dinding, lalu beliau buang air kecil. Setelah itu beliau bersabda: ‘Apabila salah seorang dari kalian hendak buang air kecil, maka hendaklah ia memilih tempat untuk kencingnya.’”
Kelima: Menghindari buang air kecil di lubang atau liang tanah, agar tidak keluar darinya serangga tanah yang dapat mengganggunya, atau agar tidak mengganggu hewan yang ada di dalamnya. Telah meriwayatkan Qatādah dari ‘Abdullāh bin Sarjis, ia berkata: “Rasulullah SAW melarang buang air kecil di lubang.” Lalu Qatādah ditanya: “Mengapa hal itu dimakruhkan?” Ia menjawab: “Karena itu adalah tempat tinggal jin.”
وَالسَّادِسُ: أن يتوقى في الجواد، وَقَوَارِعَ الطُّرُقِ وَالْمَوَاضِعِ الَّتِي يَجْلِسُ فِيهَا النَّاسُ أَوْ يَنْزِلُهَا السَّيَّارَةُ لِئَلَّا يَتَأَذَّوْا بِهَا.
فَقَدْ رَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْحِمْيَرِيُّ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اتقواالْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ، الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ “. وَالْمَوَارِدُ: هِيَ الطُّرُقُ إِلَى الْمَاءِ، وَمِنْهُ قَوْلُ جَرِيرٍ:
(أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى صراطٍ … إِذَا اعْوَجَّ الْمَوَارِدُ مستقيمٍ) .
Keenam: Menghindari buang hajat di jalan-jalan umum, persimpangan jalan, dan tempat-tempat yang biasa diduduki orang atau disinggahi para musafir, agar mereka tidak terganggu karenanya.
Telah meriwayatkan Abū Sa‘īd al-Ḥimyarī dari Mu‘āż bin Jabal, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah tiga hal yang mendatangkan laknat: buang hajat di tempat sumber air, di tengah jalan, dan di tempat teduh.”
Adapun al-mawārid adalah jalan-jalan menuju sumber air. Di antaranya perkataan Jarīr:
“Amīr al-Mu’minīn berada di jalan yang lurus… ketika jalan-jalan menuju sumber air menjadi bengkok, ia tetap lurus.”
وَالسَّابِعُ: أَنْ يَتَوَقَّى الْقُبُورَ أَنْ يُحْدِثَ عَلَيْهَا أَوْ قَرِيبًا مِنْهَا صِيَانَةً لَهَا وَحِفَاظًا لِحُرْمَةِ أَهْلِهَا فَقَدْ رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ جَلَسَ عَلَى قبرٍ يَبُولُ عَلَيْهِ أَوْ يَتَغَوَّطُ عَلَيْهِ فَكَأَنَّمَا جَلَسَ عَلَى جمرةٍ “.
وَالثَّامِنُ: أَلَّا يَتَغَوَّطَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ الْمُثْمِرَةِ وَلَا يَبُولَ فِي الْمَاءِ الْقَلِيلِ لِأَنَّهُ يُفْسِدُ بِهَذَا مَأْكُولًا وَبِهَذَا طَهُورًا وَمَشْرُوبًا فَقَدْ رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ تَغَوَّطَ عَلَى نهرٍ يُتَوَضَّأُ مِنْهُ وَيُشْرَبُ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ” فَهَذِهِ ثَمَانِيَةُ آدَابٍ تُخْتَصُّ بِمَكَانِ الْمُسْتَنْجِي.
Ketujuh: Menghindari kuburan, yakni tidak buang hajat di atasnya atau di dekatnya, sebagai bentuk penjagaan dan pemeliharaan kehormatan para penghuninya. Telah meriwayatkan Muḥammad bin Ka‘b dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa duduk di atas kubur lalu kencing di atasnya atau buang air besar di atasnya, maka seakan-akan ia duduk di atas bara api.”
Kedelapan: Tidak buang air besar di bawah pohon yang berbuah dan tidak buang air kecil di air yang sedikit, karena yang pertama merusak makanan, dan yang kedua merusak air yang digunakan untuk bersuci dan minum. Telah meriwayatkan Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa buang air besar di sungai yang digunakan untuk berwudhu dan diminum, maka atasnya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.”
Maka inilah delapan adab yang khusus berkaitan dengan tempat orang yang istinja’.
وَأَمَّا الثَّمَانِيَةُ الَّتِي تَخْتَصُّ بِهِ فِي نَفْسِهِ:
أَحَدُهَا: أَلَّا يَكْشِفَ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُوَ مِنَ الْأَرْضِ لِأَنَّهُ أَسْتَرُ لَهُ وَأَصْوَنُ، فَقَدْ رَوَى الْأَعْمَشُ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لَمْ يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يدنوا مِنَ الْأَرْضِ) .
وَالثَّانِي: أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى فَإِنَّهُ أَنْجَحُ لَهُ، وَقَدْ رَوَى سُرَاقَةُ بْنُ مَالِكِ بْنِ جُعْشُمٍ قَالَ: لَقَدْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ نَتَوَكَّأَ عَلَى الْيُسْرَى وَأَنْ نَنْصِبَ الْيُمْنَى.
Adapun delapan adab yang khusus berkaitan dengan dirinya sendiri:
Pertama: Tidak menyingkap pakaiannya hingga ia mendekat ke tanah, karena itu lebih menutupinya dan lebih menjaga kehormatannya. Telah meriwayatkan al-A‘mash dari Anas, ia berkata: “Nabi SAW apabila hendak buang hajat, beliau tidak mengangkat pakaiannya hingga mendekat ke tanah.”
Kedua: Bersandar pada kaki kirinya, karena itu lebih memudahkannya. Telah meriwayatkan Suraqah bin Mālik bin Ju‘syum, ia berkata: “Sungguh Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk bertumpu pada kaki kiri dan menegakkan kaki kanan.”
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَغُضَّ طَرْفَهُ وَبَصَرَهُ، وَلَا يُكَلِّمَ أَحَدًا، فَقَدْ رَوَى أَبُو عِيَاضٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمُتَغَوِّطَيْنَ أَنْ يَتَحَدَّثَا فَإِنَّ اللَّهَ يَمْقُتُ عَلَى ذَلِكَ.
وَالرَّابِعُ: أَلَّا يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ لِأَنَّ يَمِينَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَتْ لِمَا عَلَاهُ وَيُسْرَاهُ لِمَا سَفَلَ، وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى أن يمس ذكره بيمينه “.
Ketiga: Menundukkan pandangan dan tidak memandang ke sekitar, serta tidak berbicara dengan siapa pun. Telah meriwayatkan Abū ‘Iyāḍ dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, ia berkata: “Rasulullah SAW melarang dua orang yang buang hajat untuk saling berbicara, karena Allah membenci hal itu.”
Keempat: Tidak memegang kemaluannya dengan tangan kanan, karena tangan kanan Rasulullah SAW digunakan untuk urusan yang mulia, sedangkan tangan kirinya untuk urusan yang rendah. Telah meriwayatkan ‘Abdullāh bin Abī Qatādah dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW melarang memegang kemaluan dengan tangan kanan.
والخامس: أَنْ يَقُولَ عِنْدَ جُلُوسِهِ مَا رَوَاهُ النَّضْرُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ محتضرةٌ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْخَلَاءَ فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ “.
وَالسَّادِسُ: إِنْ كَانَ فِي يَدِهِ خَاتَمٌ عَلَيْهِ اسْمُ اللَّهِ تَعَالَى خَلَعَهُ قَبْلَ دُخُولِهِ أَوْ جُلُوسِهِ فَقَدْ رَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ “.
Kelima: Mengucapkan doa ketika duduk (untuk buang hajat), sebagaimana diriwayatkan oleh al-Naḍr bin Anas dari Zayd bin Arqam, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat itu dihuni (oleh setan), maka apabila salah seorang dari kalian mendatangi tempat buang hajat, hendaklah ia mengucapkan: A‘ūdzu billāhi mina al-khubutsi wa al-khabā’its.”
Keenam: Jika di tangannya terdapat cincin yang bertuliskan nama Allah Ta‘ālā, hendaknya ia melepaskannya sebelum masuk atau duduk (untuk buang hajat). Telah meriwayatkan al-Zuhrī dari Anas, ia berkata: “Apabila Nabi SAW masuk ke tempat buang hajat, beliau meletakkan cincinnya.”
وَالسَّابِعُ: أَنْ يَنْثُرَ ذَكَرَهُ ثَلَاثًا قَبْلَ مَقَامِهِ بَعْدَ أَنْ يَتَنَحْنَحَ لِتَخْرُجَ بَقَايَا بَوْلِهِ مِنْ ذَكَرِهِ فَقَدْ رَوَى عِيسَى بْنُ يَزْدَادُ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلْيَنْثُرْ ذَكَرَهُ ثَلَاثًا “.
وَالثَّامِنُ: أَنْ يَقُولَ بَعْدَ قَضَاءِ حَاجَتِهِ مَا رَوَاهُ سَلَمَةُ بْنُ وَهْرَامَ عَنْ طَاوُسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا خَرَجَ أَحَدُكُمْ مِنَ الْخَلَاءِ فَلْيَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي مَا يُؤْذِينِي وَأَمْسَكَ عَلَيَّ مَا يَنْفَعُنِي ” فَهَذِهِ ثَمَانِيَةُ آدَابٍ تَخْتَصُّ بِالْمُسْتَنْجِي فِي نَفْسِهِ وَهِيَ تَمَامُ سِتَّةَ عَشَرَ، وبالله التوفيق.
Ketujuh: Mengibaskan kemaluannya tiga kali sebelum berdiri, setelah berdehem agar sisa-sisa air kencing keluar dari kemaluannya. Telah meriwayatkan ‘Īsā bin Yazdād dari ayahnya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian kencing, hendaklah ia mengibaskan kemaluannya tiga kali.”
Kedelapan: Mengucapkan doa setelah selesai buang hajat, sebagaimana diriwayatkan oleh Salamah bin Wuḥrām dari Ṭāwūs, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian keluar dari tempat buang hajat, hendaklah ia mengucapkan: Al-ḥamdu lillāh alladzī adhhaba ‘annī mā yu’dhīnī wa amsaka ‘alayya mā yanfa‘unī.”
Inilah delapan adab yang khusus bagi orang yang istinja’ pada dirinya sendiri, yang menyempurnakan jumlah enam belas adab. Dan kepada Allah-lah pertolongan.
(مسألة: وجوب الاستنجاء)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن جَاءَ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ خَرَجَ مِنْ ذَكَرِهِ أَوْ مِنْ دُبُرِهِ شيءٌ فَلْيَسْتَنْجِ بماءٍ أَوْ يَسْتَطِيبَ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ لَيْسَ فِيهَا رجيعٌ وَلَا عظمٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الِاسْتِنْجَاءُ وَاجِبٌ.
(Masalah: Wajibnya istinja)
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Apabila datang dari ghā’ith atau keluar dari zakarnya atau dari duburnya sesuatu, maka hendaklah ia ber-istinja dengan air atau ber-istithābah dengan tiga batu yang tidak terdapat padanya kotoran dan tidak pula tulang.”
Al-Māwardī berkata: “Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa istinja itu wajib.”
وَقَالَ أبو حنيفة: الِاسْتِنْجَاءُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَالصَّلَاةُ بِتَرْكِهِ مُجْزِيَةٌ، وَجَعَلَ مَحَلَّ الِاسْتِنْجَاءِ مِقْدَارًا يَعْتَبِرُ بِهِ سَائِرَ النَّجَاسَاتِ وَحَدُّهُ بِالدِّرْهَمِ الْبَغْلِيِّ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنِ اكْتَحَلَ فَلْيُوتِرْ وَمَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ وَمَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ وَمَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ “، فَلَمَّا قَرَنَهُ بِالِاكْتِحَالِ وَوَضَعَ الْحَرَجَ عَنْ تَارِكِهِ دَلَّ عَلَى عَدَمِ إِيجَابِهِ، وَلِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ لَا يَلْزَمُهُ إِزَالَةُ أَثَرِهَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ إِزَالَةُ عَيْنِهَا كَدَمِ الْبَرَاغِيثِ.
Dan Abu Hanifah berkata: “Istinja tidak wajib dan shalat dengan meninggalkannya tetap sah.”
Ia menetapkan ukuran istinja dengan kadar yang dijadikan patokan pada seluruh najis, dan membatasinya dengan dirham baghlī, berdalil dengan riwayat Abu Sa‘īd dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa bercelak maka hendaklah ia mengganjilkan, dan barang siapa melakukannya maka ia telah berbuat baik, dan barang siapa tidak melakukannya maka tidak mengapa. Dan barang siapa ber-istijmār maka hendaklah ia mengganjilkan, dan barang siapa melakukannya maka ia telah berbuat baik, dan barang siapa tidak melakukannya maka tidak mengapa.”
Maka ketika beliau menyandingkannya dengan bercelak dan menggugurkan dosa dari orang yang meninggalkannya, itu menunjukkan bahwa istinja tidak wajib. Dan karena ia adalah najis yang tidak wajib menghilangkan bekasnya, maka tidak wajib pula menghilangkan ‘ain-nya seperti darah kutu.
وَلِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ لَا تَجِبُ إِزَالَتُهَا بِالْمَاءِ فَلَمْ تَجِبْ إِزَالَتُهَا بِغَيْرِ الْمَاءِ قِيَاسًا عَلَى الْأَثَرِ. وَدَلِيلُنَا عموم قوله تعالى: {وَالرِّجْزَ فَاهْجُرْ) {المدثر: 5) ، ولم يفرق وَرِوَايَةُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ إِلَى قَوْلِهِ فَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ “. وَهَذَا أَمْرٌ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ وَرَوَى عُرْوَةُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ “، فَلَمَّا أَمَرَ بِالْأَحْجَارِ وَعَلَّقَ الْإِجْزَاءَ بِهَا دَلَّ عَلَى وُجُوبِهَا وَعَدَمِ الْإِجْزَاءِ بِفَقْدِهَا، وَلِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ يَقْدِرُ فِي الْغَالِبِ عَلَى إِزَالَتِهَا مِنْ غَيْرِ مَشَقَّةٍ فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ إِزَالَتُهَا وَاجِبَةً قِيَاسًا عَلَى مَا زَادَ عَلَى قَدْرِ الدِّرْهَمِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا مَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ إِذَا زَادَ عَلَى قَدْرِ الدِّرْهَمِ مَنَعَ مِنْهَا وَإِنْ نَقَصَ عَنِ الدِّرْهَمِ قِيَاسًا عَلَى مَا لَمْ يُصِبْهُ الْمَاءُ مِنْ أَعْضَاءِ الْحَدَثِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ بِمَائِعٍ أُقِيمَ فِيهَا الْجَامِدُ مَقَامَهُ فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ وَاجِبَةً كَالتَّيَمُّمِ.
Dan karena ia adalah najis yang tidak wajib dihilangkan dengan air, maka tidak wajib pula dihilangkan dengan selain air, qiyas kepada bekasnya.
Dalil kami adalah umum firman Allah Ta‘ala: {وَالرِّجْزَ فَاهْجُرْ} (al-Muddatstsir: 5), dan tidak membedakan. Dan riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku bagi kalian seperti seorang ayah… hingga sabdanya: maka hendaklah ia ber-istinja dengan tiga batu.” Dan ini adalah perintah yang mengandung kewajiban.
Dan ‘Urwah meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian pergi ke tempat buang hajat maka hendaklah ia membawa tiga batu untuk ber-istithābah dengannya, karena itu mencukupinya.” Maka ketika beliau memerintahkan dengan batu dan menggantungkan keabsahan dengan itu, menunjukkan kepada wajibnya dan tidak sah bila tidak ada.
Dan karena ia adalah najis yang umumnya mampu dihilangkan tanpa kesulitan, maka penghapusannya wajib, qiyas kepada apa yang melebihi kadar dirham. Dan setiap sesuatu yang mencegah shalat jika melebihi kadar dirham, maka ia pun mencegah shalat meskipun kurang dari dirham, qiyas kepada anggota wudhu yang tidak terkena air. Dan karena ia adalah thaharah dengan cairan yang padanya benda padat ditempatkan menggantikannya, maka itu menunjukkan wajibnya sebagaimana tayammum.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ وَمَنْ لَا فَلَا حَرَجَ من وجهين:
أحدها: أَنَّ قَوْلَهُ وَمَنْ لَا عَائِدٌ إِلَى الْإِيتَارِ فَإِذَا تَرَكَهُ إِلَى الشَّفْعِ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَائِدٌ إِلَى تَرْكِ الْأَحْجَارِ إِلَى الْمَاءِ فَلَا حَرَجَ فِيهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى دَمِ الْبَرَاغِيثِ فَمُنْتَقِضٌ عَلَى أَصْلِهِمْ بِالْمَنِيِّ يَجِبُ عِنْدَهُمْ إِزَالَةُ عَيْنِهِ دُونَ أَصْلِهِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي دَمِ الْبَرَاغِيثِ لُحُوقُ الْمَشَقَّةِ فِي إِزَالَتِهِ وَكَذَلِكَ قِيَاسُهُمْ عَلَى الْأَثَرِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ يَشُقُّ إِزَالَتُهُ بِالْحَجَرِ.
Adapun jawaban terhadap ucapannya: “Barang siapa ber-istijmār maka hendaklah ia mengganjilkan, dan barang siapa tidak, maka tidak mengapa” adalah dari dua sisi:
Pertama: Bahwa ucapannya “dan barang siapa tidak” kembali kepada pengganjilan, maka jika ia meninggalkannya menuju genap, tidak mengapa baginya.
Kedua: Bahwa ia kembali kepada meninggalkan batu menuju air, maka tidak mengapa dalam hal itu.
Adapun qiyās mereka kepada darah kutu, maka itu rusak menurut dasar mereka dengan manī, yang wajib menurut mereka menghilangkan ‘ain-nya tanpa asalnya. Kemudian, makna dalam darah kutu adalah adanya kesulitan dalam menghilangkannya. Demikian pula qiyās mereka kepada bekas, maka maknanya adalah sulit dihilangkan dengan batu.
(فَصْلٌ)
فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ وُجُوبِ الِاسْتِنْجَاءِ فَاعْلَمْ أَنَّ الْخَارِجَ مِنَ السَّبِيلَيْنِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:
قِسْمٌ يُوجِبُ الِاسْتِنْجَاءَ وَهُوَ الْغَائِطُ وَالْبَوْلُ وَكُلُّ ذِي بَلَلٍ خرج من السبيلين.
وقسم لا يجوب الِاسْتِنْجَاءَ وَهُوَ الصَّوْتُ وَالرِّيحُ لِأَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ مَوْضُوعٌ لِإِزَالَةِ النَّجَسِ، وَالصَّوْتُ وَالرِّيحُ لَا يُنَجِّسُ مَا لَاقَاهُ فَلَمْ يَجِبِ الِاسْتِنْجَاءُ مِنْهُ، كَمَا أَنَّهُ لَمْ يُنَجِّسِ الثَّوْبَ فَلَمْ يَجِبْ غَسْلُهُ مِنْهُ.
(PASAL)
Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan tentang wajibnya istinjā’, maka ketahuilah bahwa sesuatu yang keluar dari dua jalan terbagi menjadi tiga bagian:
Bagian yang mewajibkan istinjā’ yaitu kotoran, air kencing, dan setiap benda yang memiliki kelembapan yang keluar dari dua jalan.
Dan bagian yang tidak mewajibkan istinjā’ yaitu suara dan angin, karena istinjā’ itu ditetapkan untuk menghilangkan najis, sedangkan suara dan angin tidak menajiskan sesuatu yang mengenainya, maka tidak wajib istinjā’ darinya, sebagaimana ia tidak menajiskan pakaian sehingga tidak wajib mencucinya karenanya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي وُجُوبِ الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ وَهُوَ مَا خَرَجَ مِنَ السَّبِيلَيْنِ مِنَ الْأَعْيَانِ الَّتِي لَا بَلَلَ مَعَهَا كَالدُّودِ وَالْحَصَى إِذَا خَرَجَا يَابِسَيْنِ، فَفِي وُجُوبِ الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجِبُ لِعَدَمِ الْبَلَلِ كَالصَّوْتِ وَالرِّيحِ.
وَالثَّانِي: يَجِبُ لِوُجُودِ الْعَيْنِ كَالْغَائِطِ والبول.
Dan bagian ketiga: sesuatu yang diperselisihkan pendapat tentang wajibnya istinjā’ darinya, yaitu sesuatu yang keluar dari dua jalan berupa benda padat yang tidak disertai kelembapan, seperti cacing dan kerikil apabila keluar dalam keadaan kering.
Maka dalam wajibnya istinjā’ darinya terdapat dua pendapat:
Pertama: Tidak wajib karena tidak adanya kelembapan, seperti suara dan angin.
Kedua: Wajib karena adanya benda (‘ain), seperti kotoran dan air kencing.
(فَصْلٌ)
: وَمَا أَوْجَبَ الِاسْتِنْجَاءَ عَلَى ضَرْبَيْنِ نَادِرٌ وَمُعْتَادٌ، فَالْمُعْتَادُ كَالْغَائِطِ وَالْبَوْلِ فَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ بَيْنَ الْأَحْجَارِ وَالْمَاءِ، وَالنَّادِرُ كَالْمَذْيِ وَالْوَدْيِ وَدَمِ النَّاصُورِ، وَالْقَيْحِ. فَفِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِ الْأَحْجَارِ فِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ قِيَاسًا عَلَى الْمُعْتَادِ.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ فِيهِ إِلَّا الْمَاءُ لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ بِنَضْحِ الْمَاءِ عَلَى الْمَذْيِ، وَلِأَنَّهُ نَادِرٌ مِمَّا لَا يَتَكَرَّرُ غَالِبًا فِي مَحَلِّهِ فَأَشْبَهَ نَجَاسَةَ الْبَدَنِ، فَأَمَّا دَمُ الْحَيْضِ فَمُعْتَادٌ وَدَمُ الِاسْتِحَاضَةِ فَنَادِرٌ.
(PASAL)
Sesuatu yang mewajibkan istinjā’ ada dua macam: yang jarang dan yang biasa.
Yang biasa seperti kotoran dan air kencing, maka ia boleh memilih dalam istinjā’ darinya antara batu dan air.
Yang jarang seperti madzi, wadi, darah nāṣūr, dan nanah. Dalam kebolehan menggunakan batu untuknya terdapat dua pendapat:
Pertama: Boleh, qiyās kepada yang biasa.
Kedua: Tidak boleh kecuali dengan air, karena Nabi SAW memerintahkan untuk memercikkan air pada madzi, dan karena ia jarang keluar dan umumnya tidak berulang di tempatnya, maka ia menyerupai najis pada badan.
Adapun darah haid adalah yang biasa, sedangkan darah istihadhah adalah yang jarang.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْأَحْجَارِ وَالْمَاءِ فَإِنِ اسْتَعْمَلَ الْمَاءَ وَحْدَهُ أَجْزَأَهُ، رَوَى عَطَاءُ بْنُ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَ حَائِطًا فَقَضَى حَاجَتَهُ وَخَرَجَ عَلَيْنَاوَقَدِ اسْتَنْجَى بِالْمَاءِ وَإِنِ اسْتَعْمَلَ الْأَحْجَارَ وَحْدَهَا وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا أَجْزَأَهُ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ كَقَدْرِ الدِّرْهَمِ لَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِعْمَالُ الْأَحْجَارِ وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنَ الدِّرْهَمِ لَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ وَلَمْ يَجْزِهِ الْأَحْجَارُ فَلَمْ يَجْعَلْ فِي الِاسْتِنْجَاءِ مَوْضِعًا يَلْزَمُ اسْتِعْمَالُ الْأَحْجَارِ فِيهِ، وَفِيمَا مَضَى دَلِيلٌ عَلَيْهِ كَافٍ، وَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ وَمَنَعَ مِنْهُ إِلَّا فِي حَالِ صروره وَقَالَ: قَدْ كَانَ الْقَوْمُ يَبْعَرُونَ بَعْرًا وَأَنْتُمْ تَثْلِطُونَ ثَلْطًا فَأَتْبِعُوا الْحِجَارَةَ الْمَاءَ وَلَعَلَّهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَنَعَ مِنِ اسْتِعْمَالِهِ فِيمَا انْتَشَرَ عَنِ السَّبِيلَيْنِ.
(PASAL)
Apabila telah tetap bahwa ia boleh memilih antara batu dan air, maka jika ia menggunakan air saja, itu sudah mencukupi. Diriwayatkan oleh ‘Athā’ bin Abī Maimūnah dari Anas bin Mālik bahwa Nabi SAW masuk ke sebuah kebun, kemudian buang hajat, lalu keluar menemui kami dalam keadaan telah ber-istinjā’ dengan air.
Dan jika ia menggunakan batu saja dan mencukupkan dengannya, maka itu pun mencukupi.
Abu Hanifah berkata: Jika najisnya seukuran dirham, maka tidak wajib baginya menggunakan batu. Jika lebih banyak dari dirham, maka wajib baginya menggunakan air dan tidak cukup dengan batu. Maka ia tidak menetapkan dalam istinjā’ suatu keadaan yang mengharuskan penggunaan batu. Dan pada pembahasan yang telah lalu terdapat dalil yang cukup atas hal ini.
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abī Thālib RA bahwa ia membenci hal tersebut dan melarangnya kecuali dalam keadaan ṣurūrah, dan ia berkata: Dahulu kaum itu buang hajatnya keras, sedangkan kalian buang hajatnya lembek, maka ikutilah batu dengan air. Barangkali RA ia melarang penggunaannya pada sesuatu yang menyebar keluar dari dua jalan.
وَإِذَا كَانَ الْأَمْرُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَلَا فَرْقَ فِي اسْتِعْمَالِ الْأَحْجَارِ بَيْنَ الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ مَعَ وُجُودِ الْمَاءِ وَعَدَمِهِ، وَالْعَدَدُ مُعْتَبَرٌ فِي اسْتِعْمَالِهَا وَهُوَ ثَلَاثٌ لَا يُجْزِئُهُ أَقَلُّ مِنْهَا.
وَقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدَ: الْعَدَدُ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ وَإِنَّمَا الْإِنْقَاءُ هُوَ الْمُعْتَبَرُ فَإِذَا أَنْقَى بِحَجَرٍ وَاحِدٍ أَجْزَأَهُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ “. وَاسْمُ الْوَتْرِ يَقَعُ عَلَى الْمَرَّةِ وَلِأَنَّهُ لَمْ يَكُنِ الْعَدَدُ مُعْتَبَرًا فِي الْمَاءِ الَّذِي هُوَ أَصْلٌ فَأَوْلَى أَلَّا يَكُونَ مُعْتَبَرًا فِي الْأَحْجَارِ الَّتِي هِيَ فَرْعٌ، وَلِأَنَّهُ قَدْ وُجِدَ الْإِنْقَاءُ فَوَجَبَ أَنْ يُجْزِئَهُ كَالثَّلَاثِ.
Dan apabila perkara itu sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka tidak ada perbedaan dalam penggunaan batu antara ketika di tempat tinggal maupun ketika safar, baik ada air maupun tidak ada air. Jumlah batu diperhitungkan dalam penggunaannya, yaitu tiga, dan tidak sah kurang dari itu.
Mālik dan Dāwud berkata: Jumlah tidak diperhitungkan, yang diperhitungkan hanyalah bersihnya tempat (inqā’). Maka jika sudah bersih dengan satu batu, itu mencukupi, berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Barang siapa ber-istijmār, maka hendaklah ia mengganjilkan.” Nama witr mencakup satu kali, dan karena jumlah tidak diperhitungkan pada air yang merupakan pokok, maka lebih utama lagi untuk tidak diperhitungkan pada batu yang merupakan cabang. Dan karena kebersihan (inqā’) telah terwujud, maka wajib mencukupi sebagaimana tiga batu.
ودليلنا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ “، وَهَذَا أَمْرٌ، وَحَدِيثُ سَلْمَانَ: لَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أحجارٍ، وَرَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا اسْتَنْجَى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلَاثًا “، وَحَدِيثُ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الِاسْتِنْجَاءِ فَقَالَ: ” بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ لَيْسَ فِيهَا رَجِيعٌ وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُوتِرْ ثَلَاثًا ” وَرَوَى أَبُو رَزِينٍ الْبَاهِلِيُّ عَنْ مَالِكِ بْنِ يُخَامِرَ الْبَاهِلِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” الِاسْتِجْمَارُ تَوٌّ فَإِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ بتوٍّ ” وَالتَّوُّ: الْوِتْرُ يُرِيدُ بِهِ ثَلَاثًا.
Dalil kami adalah sabda Nabi SAW: “Hendaklah ia ber-istinjā’ dengan tiga batu.” Dan ini adalah perintah.
Dan hadis Salman: “Sungguh Rasulullah SAW telah melarang salah seorang dari kami ber-istinjā’ dengan kurang dari tiga batu.”
Dan riwayat Jabir bin ‘Abdillah dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian ber-istinjā’, maka hendaklah ia ber-istijmār tiga kali.”
Dan hadis Khuzaimah bin Tsabit, ia berkata: Nabi SAW ditanya tentang istinjā’, maka beliau bersabda: “Dengan tiga batu yang tidak terdapat kotoran padanya.”
Dan riwayat Ibnu ‘Umar dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian ber-istijmār, maka hendaklah ia mengganjilkan tiga kali.”
Dan riwayat Abu Razin al-Bahili dari Malik bin Yukhamir al-Bahili bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Istijmār itu ganjil, maka apabila salah seorang dari kalian ber-istijmār, hendaklah ia ber-istijmār dengan ganjil.” Dan at-taww adalah al-witr, yang beliau maksud adalah tiga kali.
وَلِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ شُرِعَ إِزَالَتُهَا بِعَدَدٍ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ مِنْهَا ذَلِكَ الْعَدَدَ كَالْوُلُوغِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ ” فَهُوَ أَنَّ عُمُومَهُ مَخْصُوصٌ بِقَوْلِهِ وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍوأما الجواب عن استدلالهم اسْتِدْلَالِهِ بِالْمَاءِ فَهُوَ أَنَّهُ لَيْسَ بِأَصْلٍ لِلْأَحْجَارِ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ لَمَّا اعْتُبِرَتْ فِيهِ إِزَالَةُ الْأَثَرِ لَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى الْعَدَدِ، وَالْأَحْجَارُ لَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ فِيهَا إِزَالَةُ الْأَثَرِ افْتَقَرَتْ إِلَى الْعَدَدِ.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْإِنْقَاءِ فَمَعَ الْإِنْقَاءِ تَعَبُّدٌ يُعْتَبَرُ فِيهِ الْعَدَدُ كَالْوُلُوغِ وَعَدَدِ الْإِقْرَاءِ.
Dan karena ia adalah najis yang disyariatkan penghapusannya dengan jumlah tertentu, maka wajib untuk memenuhi jumlah tersebut sebagaimana pada kasus jilatan anjing.
Adapun jawaban terhadap ucapan mereka: “Barang siapa ber-istijmār, maka hendaklah ia mengganjilkan,” adalah bahwa keumumannya dikhususkan oleh sabda beliau: “Hendaklah ia ber-istinjā’ dengan tiga batu.”
Adapun jawaban terhadap istidlal mereka dengan air, maka air bukanlah asal bagi batu. Lagi pula, karena pada air yang diperhitungkan adalah hilangnya bekas najis, maka tidak membutuhkan jumlah tertentu. Sedangkan batu, karena tidak diperhitungkan padanya hilangnya bekas, maka membutuhkan jumlah tertentu.
Adapun istidlal mereka dengan inqā’, maka bersama inqā’ terdapat bentuk ta‘abbud yang diperhitungkan padanya jumlah, seperti pada jilatan anjing dan bilangan masa qurū’.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ لَيْسَ فِيهَا رَجِيعٌ وَلَا عَظْمٌ، فَفِي الرَّجِيعِ لِأَصْحَابِنَا تَأْوِيلَانِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ النَّجْوُ الَّذِي قَدْ رَجَعَ عَنِ الطَّعَامِ فَصَارَ نَجِسًا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ اسْتِثْنَاءً مِنْ مُضْمَرٍ دَلَّ عَلَيْهِ مُظْهَرٌ وَتَقْدِيرُهُ وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَمَا قَامَ مَقَامَهَا لَيْسَ فِيهَا رَجِيعٌ وَلَا عَظْمٌ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّجِيعَ هُوَ الْحَجَرُ الَّذِي قَدِ اسْتُعْمِلَ مَرَّةً فَصَارَ رَاجِعًا عَنِ الْمَوْضِعِ النَّجِسِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ تَقْدِيرُ الْكَلَامِ يَسْتَنْجِي بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ لَيْسَ فِيهَا رَجِيعٌ ولا عظم. والله أعلم.
(PASAL)
Adapun ucapan al-Syafi‘i: “Dengan tiga batu yang tidak terdapat rajī‘ dan tidak pula tulang,” maka tentang rajī‘ ada dua penafsiran dari para sahabat kami.
Pertama: Bahwa rajī‘ adalah kotoran yang telah kembali dari makanan sehingga menjadi najis. Maka berdasarkan ini, ia merupakan pengecualian dari yang tersirat yang ditunjukkan oleh yang tersurat, dan takdir ucapannya adalah: “Hendaklah ia ber-istinjā’ dengan tiga batu dan yang menggantikannya yang tidak terdapat rajī‘ dan tidak pula tulang.”
Kedua: Bahwa rajī‘ adalah batu yang telah digunakan sekali sehingga kembali dari tempat najis. Maka berdasarkan ini, takdir ucapannya adalah: “Ber-istinjā’-lah dengan tiga batu yang tidak terdapat rajī‘ dan tidak pula tulang.”
Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يمسح بحجرٍ قد مسح به مرة إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ طَهَّرَهُ بِالْمَاءِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لِأَنَّهُ إِذَا اسْتَعْمَلَهُ فَقَدْ صَارَ نَجِسًا وَالِاسْتِنْجَاءُ بِالشَّيْءِ النَّجِسِ لَا يَجُوزُ لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الِاسْتِنْجَاءِ بِالرَّوْثِ لِنَجَاسَتِهِ وَلِأَنَّ النَّجَاسَةَ لَا تُزِيلُ النَّجَاسَةَ عَنْ مَحَلٍّ طَاهِرٍ كَمَا لَا تَزُولُ نَجَاسَةُ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ بِالْمَاءِ النَّجِسِ فَإِنْ قِيلَ قَدْ جَوَّزْتُمُ الدِّبَاغَةَ بِالشَّيْءِ النَّجِسِ فَلِمَ مَنَعْتُمْ مِنَ الِاسْتِنْجَاءِ بِالشَّيْءِ النَّجِسِ؟ قِيلَ: إِنَّمَا جَوَّزْنَا الدِّبَاغَةَ بِالشَّيْءِ النَّجِسِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، لأنها تخلف الزكاة والزكاة يَجُوزُ بِالسِّكِّينِ النَّجِسِ، فَكَذَلِكَ الدِّبَاغَةُ وَالِاسْتِنْجَاءُ بِالْأَحْجَارِ يَخْلُفُ الْمَاءَ وَلَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ النَّجِسِ فَكَذَلِكَ الْأَحْجَارُ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ بَعْدَ نَجَاسَتِهِ فَإِنْ غَسَلَهُ بِالْمَاءِ حَتَّى طَهُرَ جَازَ اسْتِعْمَالُهُ ثَانِيَةً، وَإِنْ غَسَلَهُ بَعْدَ اسْتِعْمَالِهِ ثَانِيَةً جَازَ اسْتِعْمَالُهُ ثَالِثَةً لِأَنَّهُ بِالْغَسْلِ قَدْ صَارَ طَاهِرًا، فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ مَنَعْتُمْ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ ثَانِيَةً فَلِمَ جَوَّزْتُمُ اسْتِعْمَالَ الْحَجَرِ الْمُسْتَعْمَلِ ثَانِيَةً؟ قُلْنَا هُمَا سَوَاءٌ وَإِنَّمَا جَوَّزْنَا إِعَادَةَ الْحَجَرِ الْمُسْتَعْمَلِ ثَانِيَةً لِأَنَّ الْغَسْلَ قَدْ عَادَ إِلَى أَصْلِهِ قَبْلَ الِاسْتِعْمَالِ وَهُوَ الطَّهَارَةُ، وَكَذَلِكَ الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ لَوْ عَادَ إِلَى أَصْلِهِ قَبْلَ الِاسْتِعْمَالِ فِي مُخَالَطَةِ الْمَاءِ الْكَثِيرِ الطَّاهِرِ جَوَّزْنَا اسْتِعْمَالَهُ ثَانِيَةً.
(MASALAH)
Al-Syafi‘i RA berkata: “Dan tidak boleh mengusap dengan batu yang telah digunakan sekali, kecuali jika ia telah menyucikannya dengan air.”
Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan, karena apabila telah digunakan maka ia menjadi najis, dan istinjā’ dengan sesuatu yang najis tidak boleh, karena Nabi SAW melarang istinjā’ dengan kotoran hewan (rawts) sebab kenajisannya. Dan karena najis tidak dapat menghilangkan najis pada tempat yang suci, sebagaimana najis pada pakaian dan badan tidak hilang dengan air najis.
Jika dikatakan: Kalian membolehkan penyamakan kulit dengan sesuatu yang najis, maka mengapa kalian melarang istinjā’ dengan sesuatu yang najis?
Dijawab: Sesungguhnya kami membolehkan penyamakan kulit dengan sesuatu yang najis dalam salah satu dari dua pendapat, karena ia menggantikan penyembelihan (dzakāh), sedangkan penyembelihan boleh dilakukan dengan pisau yang najis, begitu pula penyamakan. Adapun istinjā’ dengan batu adalah pengganti air, dan tidak boleh menggunakan air najis, maka demikian pula batu.
Apabila telah tetap bahwa tidak boleh menggunakannya setelah najis, maka jika ia mencucinya dengan air hingga suci, boleh digunakan kembali. Jika ia mencucinya setelah digunakan kedua kalinya, boleh digunakan ketiga kalinya, karena dengan pencucian itu ia kembali menjadi suci.
Jika dikatakan: Kalian melarang penggunaan kembali air musta‘mal untuk kedua kalinya, maka mengapa kalian membolehkan penggunaan kembali batu yang telah digunakan untuk kedua kalinya?
Kami jawab: Keduanya sama. Kami hanya membolehkan penggunaan kembali batu yang telah digunakan karena pencucian itu telah mengembalikannya kepada asalnya sebelum digunakan, yaitu suci. Demikian pula air musta‘mal, jika ia kembali kepada asalnya sebelum digunakan dengan bercampur air banyak yang suci, maka kami membolehkan penggunaannya kembali.
(فَصْلٌ)
: فَإِنْ ثَبَتَ جَوَازُ اسْتِعْمَالِهِ بَعْدَ الْغَسْلِ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الْغَسْلِ يَابِسًا فَاسْتِعْمَالُهُ جَائِزٌ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ رَطْبًا وَالْمَاءُ عَلَيْهِ قَائِمًا فَاسْتِعْمَالُهُ لَا يَجُوزُ حَتَّى يَزُولَ الْمَاءُ عَنْهُ لِأَنَّهُ مَعَ بَقَاءِ الْمَاءِ عَلَيْهِ يَزِيدُ الْمَحَلَّ تَنْجِيسًا وَلَا يُزِيلُ شَيْئًا.
(PASAL)
Jika telah tetap bolehnya penggunaan kembali setelah dicuci, maka ada tiga keadaan baginya:
Pertama: Setelah dicuci dalam keadaan kering, maka penggunaannya boleh.
Kedua: Dalam keadaan basah dan air masih menempel padanya, maka penggunaannya tidak boleh hingga air itu hilang darinya, karena dengan tetapnya air di atasnya, ia justru menambah kenajisan pada tempat tersebut dan tidak menghilangkan sesuatu.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ نَدِيًّا قَدْ زَالَتْ رُطُوبَةُ الْمَاءِ عَنْهُ، وَلَمْ يَجِفَّ بَعْدُ فَفِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ كَالرَّطْبِ لِبَقَاءِ النَّدَاوَةِ فِيهِ.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ كَالْجَافِّ لِذَهَابِ الرُّطُوبَةِ عَنْهُ.
فَأَمَّا وَرَقُ الشَّجَرِ فَإِنْ جَفَّ ظَاهِرُهُ وَبَاطِنُهُ أَوْ جَفَّ ظَاهِرُهُ دُونَ بَاطِنِهِ جَازَ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ إِذَا كَانَ مُزِيلًا، وَإِنْ كَانَ نَدِيَّ الظَّاهِرِ فَفِي جَوَازِ الِاسْتِعْمَالِ وَجْهَانِ كالحجر الندي.
Dan ketiga: Dalam keadaan lembap, di mana kelembapan air telah hilang darinya namun belum kering sepenuhnya, maka dalam kebolehan penggunaannya ada dua pendapat:
Pertama: Tidak boleh, seperti halnya yang basah, karena masih adanya kelembapan padanya.
Kedua: Boleh digunakan seperti yang kering, karena kelembapan air telah hilang darinya.
Adapun daun pohon, jika bagian luar dan dalamnya kering, atau bagian luarnya kering sedangkan dalamnya tidak, maka boleh digunakan untuk istinjā’ jika dapat menghilangkan najis. Dan jika bagian luarnya lembap, maka dalam kebolehannya ada dua pendapat seperti pada batu yang lembap.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالِاسْتِنْجَاءُ مِنَ الْبَوْلِ كَالِاسْتِنْجَاءِ مِنَ الْخَلَاءِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فلا تستقبل الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرْهَا لِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَكَانَ ذَلِكَ عَائِدًا إِلَى مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ فَصَارَ حُكْمُهُمَا واحد، لأن الْبَوْلَ مُسَاوٍ لِلْخَلَاءِ فِي تَنْجِيسِ السَّبِيلِ فَوَجَبَ أَنْ يُسَاوِيَهُ فِي الِاسْتِنْجَاءِ فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُمَا فَالِاسْتِنْجَاءُ مِنَ الْخَلَاءِ يَجُوزُ بِالْأَحْجَارِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُسْتَنْجِي رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً أَوْ خُنْثَى، وَأَمَّا الْمُسْتَنْجِي مِنَ الْبَوْلِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ رَجُلًا فَيَجُوزُ أَنْ يَسْتَنْجِيَ بِالْأَحْجَارِ فِي ذَكَرِهِ فَيَمْسَحُهُ ثَلَاثًا وَلَا يَجْزِيهِ أَقَلُّ مِنْهَا فَإِنْ مَسَحَهُ بِحَجَرَيْنِ ثُمَّ خَرَجَتْ مِنْهُ دَمْعَةٌ مِنْ بَوْلٍ اسْتَأْنَفَ مَسْحَهُ ثَلَاثًا وَبَطَلَ حُكْمُ الْحَجَرَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ.
(MASALAH)
Al-Syafi‘i RA berkata: “Istinjā’ dari kencing sama seperti istinjā’ dari buang hajat.”
Al-Māwardī berkata: Hal ini benar, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya ketika buang hajat atau kencing, dan hendaklah ia ber-istinjā’ dengan tiga batu.” Maka hal itu kembali kepada yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu buang hajat dan kencing, sehingga hukumnya menjadi sama, karena kencing sama dengan buang hajat dalam menajiskan jalan keluarnya, sehingga wajib disamakan dalam istinjā’.
Apabila telah tetap wajibnya istinjā’ dari keduanya, maka istinjā’ dari buang hajat boleh dilakukan dengan batu, baik orang yang ber-istinjā’ itu laki-laki, perempuan, maupun khuntsā.
Adapun orang yang istinjā’ dari kencing, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:
Pertama: Jika ia laki-laki, maka boleh ber-istinjā’ dengan batu pada kemaluannya dengan mengusapnya tiga kali, dan tidak cukup kurang dari itu. Jika ia mengusapnya dengan dua batu, lalu keluar setetes kencing, maka ia harus memulai kembali mengusapnya tiga kali, dan batal hukum dua batu pertama.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً فَلَا تَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا فَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا جَازَ أَنْ تَسْتَنْجِيَ بِالْأَحْجَارِ لِفَرْجِهَا قِيَاسًا عَلَى ذَكَرِ الرَّجُلِ، فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا لَمْ يَجُزْ أَنْ تَسْتَنْجِيَ فَرْجَهَا بِالْأَحْجَارِ لِمَا يَلْزَمُهَا مِنْ تَطْهِيرِ دَاخِلِ الْفَرْجِ، وَلَا يُمْكِنُ ذَلِكَ بِالْأَحْجَارِ فَلَزِمَهَا اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ لَا غير.
والقسم الثالث: أن يكون خنثاً مُشْكِلًا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَنْجِيَ بِالْأَحْجَارِ مِنْ بَوْلِهِ لَا فِي فَرْجِهِ وَلَا فِي ذَكَرِهِ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عُضْوًا زَائِدًا فَلَا يُطَهَّرُ إِلَّا بِالْمَاءِ كَسَائِرِ الْجَسَدِ.
Dan bagian kedua: Jika ia perempuan, maka tidak lepas dari kemungkinan ia perawan atau janda. Jika ia perawan, boleh baginya istinjā’ dengan batu pada kemaluannya, qiyās kepada kemaluan laki-laki. Jika ia janda, tidak boleh baginya istinjā’ pada kemaluannya dengan batu karena ia wajib menyucikan bagian dalam kemaluannya, dan hal itu tidak mungkin dilakukan dengan batu, sehingga wajib baginya menggunakan air saja.
Dan bagian ketiga: Jika ia khuntsā musykil, maka tidak boleh baginya istinjā’ dengan batu, baik pada kemaluannya maupun pada zakarnya, karena masing-masing dari keduanya mungkin merupakan anggota tambahan yang tidak disucikan kecuali dengan air seperti anggota badan lainnya.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا مَنِ انْسَدَّ سَبِيلَاهُ وَانْفَتَحَ لَهُ سَبِيلُ حَدَثٍ غَيْرُهُمَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ الِاسْتِنْجَاءِ فِيهِ بِالْأَحْجَارِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِأَنَّهُ سَبِيلٌ لِلْحَدَثِ فَصَارَ فِي اسْتِعْمَالِ الْأَحْجَارِ كَالسَّبِيلِ الْمُعْتَادِ.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ نَادِرٌ فَلَحِقَ بِسَائِرِ الْأَنْجَاسِ وَفَارَقَ حُكْمَ السبيل المعتاد.
PASAL
Adapun orang yang tertutup kedua jalan keluarnya lalu terbuka baginya satu jalan keluarnya hadats selain keduanya, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang bolehnya istinja’ di dalamnya dengan batu menjadi dua wajah:
Pertama: boleh, karena ia merupakan jalan keluarnya hadats sehingga dalam penggunaan batu sama seperti jalan yang biasa.
Kedua: tidak boleh, karena ia jarang terjadi sehingga disamakan dengan najis-najis yang lain dan berbeda hukumnya dengan jalan yang biasa.
القول في مسألة الاستنجاء باليمين
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَسْتَنْجِي بِشِمَالِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَسْتَنْجِيَ بِشِمَالِهِ دُونَ يُمْنَاهُ لِرِوَايَةِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْيُمْنَى لِطَهُورِهِ وَطَعَامِهِ وَكَانَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى لِخَلَائِهِ وَمَا كَانَ مِنْ أَذًى، وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ نبي الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَإِذَا أَتَى الْخَلَاءَ فَلَا يَمْسَحُ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلَا يَشْرَبْ نَفَسًا وَاحِدًا “.
وَإِذَا وَضَحَ بِمَا ذَكَرْنَا أَنَّ مِنَ السُّنَّةِ الِاسْتِنْجَاءَ بِالشَّمَالِ تَعَلَّقَ بِذَلِكَ صِفَةُ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْمَاءِ وَالْأَحْجَارِ فِي الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ.
Perkataan dalam masalah istinja’ dengan tangan kanan
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Dan hendaknya ia ber-istinja’ dengan tangan kirinya.”
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa dari sunnah adalah ber-istinja’ dengan tangan kiri, bukan tangan kanan. Karena adanya riwayat dari Ibrahim dari ‘Aisyah RA, ia berkata: “Tangan kanan Rasulullah SAW digunakan untuk bersuci dan makanannya, sedangkan tangan kirinya untuk buang hajat dan perkara yang mengandung kotoran.”
Dan diriwayatkan oleh Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya, ia berkata: Nabi Allah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian kencing, maka janganlah memegang kemaluannya dengan tangan kanannya, dan apabila ia masuk ke tempat buang hajat maka janganlah mengusap dengan tangan kanannya, dan apabila ia minum maka janganlah minum dengan satu tarikan napas.”
Dan apabila telah jelas dengan apa yang kami sebutkan bahwa dari sunnah adalah istinja’ dengan tangan kiri, maka terkaitlah dengan itu sifat istinja’ dengan air dan batu, baik pada qubul maupun dubur.
اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الْمُسْتَنْجِي مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُرِيدَ إنجاء قبله أو إنجاء دبره فإن أراد إنجاء قبله فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُرِيدَ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ أَوِ اسْتِعْمَالَ الْأَحْجَارِ فَإِنْ أَرَادَ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ فَإِنْ كَانَ رَجُلًا غَسَلَ مِنْ ظَاهِرِ ذَكَرِهِ مَا أَصَابَهُ الْبَوْلُ وَيُسْتَحَبُّ لَوْ تَنَحْنَحَ وَقَامَ عَنْ مَكَانِ بَوْلِهِ وَسَلَتْ ذَكَرَهُ لِيَخْرُجَ بَقَايَا الْبَوْلِ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَتِ امْرَأَةً لَزِمَهَا إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى دَاخِلِ الْفَرْجِ إِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا وَلَمْ يَلْزَمْهَا ذَلِكَ إِنْ كَانَتْ بِكْرًا، فَأَمَّا إِنْ أَرَادَ الْمُسْتَنْجِي استعمال الأحجار قبله فللا يخلو خاله مِنْ أَنْ يَكُونَ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً، فَإِنْ كَانَتِ امْرَأَةً لَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُ الْأَحْجَارِ فِي الْقُبُلِ إِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا، وَجَازَ أَنْ تَسْتَعْمِلَهَا إِنْ كَانَتْ بِكْرًا عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي نَذْكُرُهَا فِي إِنْجَاءِ الدُّبُرِ، وَإِنْ كَانَ رَجُلًا فَإِنْ أَمْكَنَهُ وَضْعُ الْحَجَرِ بَيْنَ رِجْلَيْهِ وَأَخْذُ ذَكَرِهِ بِيُسْرَاهُ فَعَلَ وَمَسَحَ ذَكَرَهُ عَلَى الْحَجَرِ ثَلَاثًا عَلَى ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ مِنْهُ أَوْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَإِنْ صَغُرَ الْحَجَرُ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى مَسْحِ ذَكَرِهِ عَلَيْهِ إِلَّا بِأَنْ يَأْخُذَهُ بِإِحْدَى يَدَيْهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلِ الْأَوْلَى أَنْ تَكُونَ يُسْرَاهُ لِأَخْذِ الْحَجَرِ أَوْ لِأَخْذِ الذَّكَرِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَوْلَى أَنْ يَأْخُذَ بِيُسْرَاهُ الْحَجَرَ لِأَنَّهُ الْمَقْصُودُ بِالِاسْتِنْجَاءِ وَيَكُونُ ذَكَرُهُ بِيُمْنَاهُ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يَنْبَغِي أَنْ يَمْسَحَ الْحَجَرَ عَلَى ذَكَرِهِ.
Ketahuilah bahwa keadaan orang yang ber-istinja’ tidak lepas dari salah satu dari dua perkara:
Pertama, ia ingin membersihkan qubul-nya; atau kedua, ia ingin membersihkan dubur-nya.
Jika ia ingin membersihkan qubul-nya, maka keadaannya tidak lepas dari salah satu dari dua perkara:
Pertama, ia ingin menggunakan air; atau kedua, ia ingin menggunakan batu.
Jika ia ingin menggunakan air, maka:
– Jika ia laki-laki, ia membasuh dari bagian luar zakarnya apa yang terkena air kencing. Disunnahkan baginya untuk berdehem, bangkit dari tempat ia kencing, dan mengurut zakarnya agar sisa-sisa air kencing keluar.
– Jika ia perempuan, maka wajib baginya mengalirkan air ke dalam farjinya jika ia seorang tsayyib, dan tidak wajib baginya hal itu jika ia seorang bikr.
Adapun jika orang yang ber-istinja’ itu ingin menggunakan batu untuk qubul-nya, maka keadaannya tidak lepas dari apakah ia laki-laki atau perempuan:
– Jika ia perempuan, maka tidak boleh menggunakan batu pada qubul jika ia tsayyib, dan boleh menggunakannya jika ia bikr, dengan tata cara yang akan kami sebutkan pada pembahasan dubur.
– Jika ia laki-laki, maka jika memungkinkan baginya meletakkan batu di antara kedua kakinya lalu memegang zakarnya dengan tangan kirinya, maka ia melakukannya, kemudian mengusapkan zakarnya pada batu tersebut sebanyak tiga kali pada tiga bagian dari batu, atau pada tiga batu.
Jika batunya kecil sehingga ia tidak mampu mengusap zakarnya padanya kecuali dengan memegangnya dengan salah satu dari kedua tangannya, maka para sahabat kami berbeda pendapat apakah yang lebih utama adalah tangan kirinya untuk memegang batu atau untuk memegang zakar, menjadi dua wajah:
Pertama, yang lebih utama adalah memegang batu dengan tangan kirinya karena batu itulah yang menjadi maksud istinja’, sedangkan zakarnya dipegang dengan tangan kanannya. Maka menurut wajah pertama ini, hendaknya ia mengusap batu pada zakarnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَأْخُذَ بِيُسْرَاهُ الذَّكَرَ وَبِيُمْنَاهُ الْحَجَرَ لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ مَسِّ الذَّكَرِ بِيَمِينِهِ فَعَلَى هَذَا يَمْسَحُ الذَّكَرُ عَلَى الْحَجَرِ لِيَكُونَ عَلَى الْوَجْهَيْنِ مَعًا ماسحاً باليسرى دون اليمنى.
Wajah yang kedua: memegang zakar dengan tangan kirinya dan memegang batu dengan tangan kanannya, karena larangan Nabi SAW untuk memegang zakar dengan tangan kanannya. Maka, berdasarkan wajah ini, zakar diusap pada batu sehingga pada kedua wajah itu sama-sama mengusap dengan tangan kiri, bukan dengan tangan kanan.
(فصل)
: وإن أَرَادَ اسْتِنْجَاءَ دُبُرِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يُرِيدَ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ أَوِ اسْتِعْمَالَ الْأَحْجَارِ، فَإِنْ أَرَادَ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ اعْتَمَدَ عَلَى الْوُسْطَى مِنْ أَصَابِعِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَاسْتَعْمَلَ مِنَ الْمَاءِ مَا يَقَعُ لَهُ الْعِلْمُ بِزَوَالِ النَّجَاسَةِ عَيْنَا وَأَثَرًا، فَإِنْ شَمَّ مِنْ أَصَابِعِهِ الْوُسْطَى الَّتِي بَاشَرَ بِهَا الِاسْتِنْجَاءَ رَائِحَةَ النَّجَاسَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ ذَلِكَ دَلِيلًا عَلَى بَقَاءِ النَّجَاسَةِ أَوْ لَا عَلَى وجهين:
أحدهما: أنه يكون ذلك دليلاً عَلَى نَجَاسَةِ الْمَحَلِّ، وَأَنَّ فَرْضَ الِاسْتِنْجَاءِ لَمْ يَسْقُطْ لِأَنَّ بَقَاءَ الرَّائِحَةِ فِي الْأُصْبُعِ لِتَعَدِّيهَا مِنْ مَحَلِّ الِاسْتِنْجَاءِ فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ يَكُونُ الْمُسْتَنْجِي مَنْدُوبًا إِلَى شَمِّ أُصْبُعِهِ وَهَذَا مِمَّا تَعَافُهُ النُّفُوسُ وَإِنْ كَانَ مَنْقُولًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ بَقَاءَ الرَّائِحَةِ فِي أُصْبُعِهِ لَا تَدُلُّ عَلَى نَجَاسَةِ مَحَلِّ الِاسْتِنْجَاءِ، وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى بَقَاءِ النَّجَاسَةِ فِي الْأُصْبُعِ لِأَنَّ بَقَاءَ النَّجَاسَةِ فِي عُضْوٍ لَا يَدُلُّ عَلَى بَقَائِهَا فِي غَيْرِهِ فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ لَا يَكُونُ الْمُسْتَنْجِي مَنْدُوبًا إِلَى شَمِّ أُصْبُعِهِ لِأَجْلِ الِاسْتِنْجَاءِ.
فَإِنْ أَرَادَ اسْتِعْمَالَ الْأَحْجَارِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَيْفِيَّةِ اسْتِعْمَالِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ يَمْسَحُ بِالْحَجَرِ الْأَوَّلِ الصَّفْحَةَ الْيُمْنَى مِنْ مُقَدَّمِهَا إِلَى مُؤَخَّرِهَا، وَيَمْسَحُ بِالْحَجَرِ الثَّانِي الصَّفْحَةَ الْيُسْرَى مِنْ مُؤَخَّرِهَا إِلَى مُقَدَّمِهَا، ثُمَّ يَمْسَحُ بِالْحَجَرِ الثَّالِثِ جَمِيعَ الْمَحَلِّ وَهُوَ الْمَسْرُبَةُ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ يُقْبِلُ بحجرٍ وَيُدْبِرُ بِالثَّانِي وَيُحَلِّقُ بِالثَّالِثِ “.
PASAL
Apabila ia ingin ber-istinja’ dari dubur-nya, maka keadaannya tidak lepas dari salah satu dari dua perkara:
Pertama, ia ingin menggunakan air; atau kedua, ia ingin menggunakan batu.
Jika ia ingin menggunakan air, ia bertumpu pada jari tengah dari telapak tangan kirinya, dan menggunakan air secukupnya sehingga ia mengetahui hilangnya najis baik secara zat maupun bekasnya. Jika ia mencium dari jari tengahnya yang ia gunakan untuk istinja’ itu bau najis, maka para sahabat kami berbeda pendapat apakah hal itu menjadi tanda adanya najis yang masih tersisa atau tidak, menjadi dua wajah:
– Wajah pertama: bau tersebut menjadi tanda bahwa tempat istinja’ masih najis, dan kewajiban istinja’ belum gugur, karena sisa bau pada jari itu berpindah dari tempat istinja’. Berdasarkan wajah ini, orang yang ber-istinja’ disunnahkan mencium jarinya, meskipun hal ini menjijikkan bagi tabiat manusia sekalipun ada riwayatnya.
– Wajah kedua: sisa bau pada jarinya tidak menunjukkan najisnya tempat istinja’, tetapi hanya menunjukkan bahwa najis masih ada pada jarinya, karena tetapnya najis pada satu anggota tidak menunjukkan tetapnya najis pada anggota lainnya. Berdasarkan wajah ini, orang yang ber-istinja’ tidak disunnahkan mencium jarinya untuk tujuan istinja’.
Jika ia ingin menggunakan batu, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang tata cara penggunaannya menjadi dua wajah:
– Wajah pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: ia mengusap dengan batu pertama bagian kanan dari depannya hingga belakangnya, lalu mengusap dengan batu kedua bagian kiri dari belakangnya hingga depannya, kemudian mengusap dengan batu ketiga seluruh tempat (yaitu bagian tengahnya/masrubah), berdasarkan riwayat dari Nabi SAW: “Hendaklah ia ber-istinja’ dengan tiga batu: menghadap dengan satu batu, membelakangi dengan batu kedua, dan memutar dengan batu ketiga.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: هُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ يَمْسَحُ بِالْحَجَرِ الْأَوَّلِ مِنْ مُقَدَّمِ الصَّفْحَةِ الْيُمْنَى إِلَى مُؤَخَّرِهَا ثُمَّ يُدِيرُهُ إِلَى الصَّفْحَةِ الْيُسْرَى مِنْ مُؤَخَّرِهَا إِلَى مُقَدَّمِهَا ثُمَّ يَمْسَحُ بِالْحَجَرِ الثَّانِي مِنْ مُقَدَّمِ الصَّفْحَةِ الْيُسْرَى إِلَى مُؤَخَّرِهَا ثُمَّ يُدِيرُهُ عَلَى الصَّفْحَةِ الْيُمْنَى مِنْ مُؤَخَّرِهَا إِلَى مُقَدَّمِهَا ثُمَّ يَمْسَحُ بِالْحَجَرِ الثَّالِثِ جَمِيعَ الْمَحَلِّ وَهُوَ الْمَسْرُبَةُ لِرِوَايَةِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَوَلَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ ثَلَاثَةَ أحجارٍ حَجَرَيْنِ لِلصَّفْحَتَيْنِ وحجرٍ لِلْمُسْرُبَةِ “. وَالْمَسْرُبَةُ: مَخْرَجُ الْغَائِطِ مَأْخُوذٌ مِنْ سَرَبَ الْمَاءُ.
Wajah yang kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: ia mengusap dengan batu pertama dari bagian depan sisi kanan hingga belakangnya, kemudian memutarnya ke sisi kiri dari belakang hingga depannya. Lalu mengusap dengan batu kedua dari bagian depan sisi kiri hingga belakangnya, kemudian memutarnya ke sisi kanan dari belakang hingga depannya. Setelah itu, mengusap dengan batu ketiga seluruh tempat (masrubah), yaitu saluran keluarnya kotoran, berdasarkan riwayat Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidakkah salah seorang dari kalian mendapatkan tiga batu: dua batu untuk kedua sisi, dan satu batu untuk masrubah.”
Masrubah adalah tempat keluarnya kotoran, diambil dari kata saraba al-mā’.
(مسألة: الاستطابة بغير الحجر)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنِ اسْتَطَابَ بِمَا يَقُومُ مَقَامَ الْحِجَارَةِ مِنَ الْخَزَفِ وَالْآجُرِّ وَقِطَعِ الْخَشَبِ وَمَا أَشْبَهَهُ فَأَنْقَى مَا هُنَالِكَ أَجْزَأَهُ مَا لَمْ يَعْدُ الْمَخْرَجَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الِاسْتِنْجَاءُ يَجُوزُ بِالْأَحْجَارِ وَمَا يَقُومُ مَقَامَهَا مِنْ طَاهِرٍ مُزِيلٍ غَيْرِ مَطْعُومٍ، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: لَا يَجُوزُ إِلَّا بِالْأَحْجَارِ وَهِيَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ استدلالاً بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ “، فَنَصَّ عَلَى عَدَدٍ وَجِنْسٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَدَدُ شَرْطًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الجنس شرطاً، قال ولأن كلما نَصَّ عَلَيْهِ فِي التَّطْهِيرِ لَمْ يَقُمْ غَيْرُهُ مَقَامَهُ كَالتُّرَابِ فِي التَّيَمُّمِ وَالْمَاءِ فِي الْوُضُوءِ، قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ نَصَّ فِيهَا عَلَى الْأَحْجَارِ لَمْ يَسْقُطْ فَرْضُهَا بِغَيْرِ الْأَحْجَارِ قِيَاسًا عَلَى رَمْيِ الْجِمَارِ.
(Masalah: Istithābah dengan selain batu)
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Jika seseorang ber-istithābah dengan sesuatu yang sebanding kedudukannya dengan batu, seperti pecahan tembikar, bata, potongan kayu, dan semisalnya, lalu ia membersihkan apa yang ada di sana, maka hal itu mencukupi selama tidak melampaui tempat keluarnya kotoran.”
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa istinja’ boleh dengan batu dan segala sesuatu yang setara dengannya, yaitu yang suci, dapat menghilangkan najis, dan bukan barang yang dimakan.
Dawud bin ‘Ali berkata: Tidak boleh kecuali dengan batu, dan ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “Hendaklah ia ber-istinja’ dengan tiga batu.” Maka beliau menyebutkan secara tegas jumlah dan jenisnya; ketika jumlahnya menjadi syarat, maka jenisnya pun wajib menjadi syarat.
Ia berkata: Dan setiap hal yang dinaskan dalam bab penyucian, tidak dapat diganti dengan selainnya, seperti tanah dalam tayammum dan air dalam wudhu. Ia juga berkata: Karena setiap ibadah yang disebutkan batu di dalamnya, kewajibannya tidak gugur dengan selain batu, qiyasnya seperti melempar jumrah.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ “، وَنَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ، فَلَمَّا اسْتَثْنَى الرَّوْثَ وَالرِّمَّةَ وَهِيَ الْعَظْمُ الْبَالِي وَلَيْسَا مِنْ جِنْسِ الْأَحْجَارِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْأَحْجَارَ يَلْحَقُ بِهَا مَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا لِاسْتِثْنَاءِ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ مِنْهَا فَيَصِيرُ تَقْدِيرُ الْكَلَامِ وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَمَا فِي مَعْنَاهَا إِلَّا الرَّوْثَ وَالرِّمَّةَ، وَإِلَّا فَلَيْسَ لِتَخْصِيصِ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ بِالذَّكَرِ مَعْنًى. وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ لِحَاجَتِهِ وَقَالَ لِابْنِ مَسْعُودٍ: ” ائْتِنِي بِثَلَاثَةِ أحجارٍ فَأَتَاهُ بِحَجَرَيْنِ وروثةٍ، فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَرَمَى بِالرَّوْثَةِ وَقَالَ: إِنَّهَا رجسٌ “. فَعَلَّلَ الْمَنْعَ مِنْهَا بالنجاسة بأنها ليس بِحَجَرٍ كَمَا قَالَ دَاوُدُ، رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَالَ وَامْتَسَحَ بِالْحَائِطِ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الِاسْتِنْجَاءِ بِغَيْرِ الْحَجَرِ لِأَنَّ مَا كَانَ طَاهِرًا مُزِيلًا غَيْرَ مَطْعُومٍ جَازَ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ قِيَاسًا عَلَى الْأَحْجَارِ.
Dalil kami adalah riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Hendaklah ia ber-istinja’ dengan tiga batu,” dan beliau melarang rawts (kotoran binatang) dan rimmah (tulang yang sudah lapuk). Ketika beliau mengecualikan rawts dan rimmah —yang keduanya bukan dari jenis batu— hal itu menunjukkan bahwa batu diikuti oleh segala sesuatu yang sepadan maknanya, karena pengecualian rawts dan rimmah darinya. Maka, takdir ucapan tersebut adalah: “Hendaklah ia ber-istinja’ dengan tiga batu dan apa saja yang sepadan maknanya, kecuali rawts dan rimmah.” Jika tidak demikian, maka tidak ada makna untuk mengkhususkan rawts dan rimmah dengan penyebutan.
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW pergi untuk buang hajat lalu berkata kepada Ibnu Mas’ud: “Bawakan aku tiga batu.” Lalu ia datang membawa dua batu dan satu rawts, maka beliau mengambil kedua batu itu dan membuang rawts tersebut seraya bersabda: “Sesungguhnya ia najis.” Maka larangan menggunakannya dikarenakan najisnya, bukan karena ia bukan batu sebagaimana yang dikatakan oleh Dawud.
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW kencing lalu mengusap dengan dinding, maka hal itu menunjukkan bolehnya istinja’ dengan selain batu. Sebab, segala sesuatu yang suci, dapat menghilangkan najis, dan bukan makanan, boleh digunakan untuk istinja’, dengan qiyas kepada batu.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ وَأَنَّهُ نَصَّ عَلَى عَدَدٍ وَجِنْسٍ فَكَفَى بِالْخَبَرِ دَلِيلًا لِأَنَّ الْعَدَدَ لَمَّا جَازَ الْمُجَاوَزَةُ عَلَيْهِ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْإِنْقَاءِ فَكَذَلِكَ جَازَ الْعُدُولُ عَنِ الْأَحْجَارِ إِلَى كُلِّ مَا وُجِدَ فِيهِ الْإِنْقَاءُ عَلَى أَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى حَجَرٍ وَاحِدٍ عِنْدَنَا إِذَا كَانَ لَهُ ثَلَاثَةُ أَحْرُفٍ وَعِنْدَ دَاوُدَ إِذَا أَنْقَى.
Adapun jawaban terhadap dalil hadis yang menyebutkan jumlah dan jenis, maka cukup bagi hadis itu menjadi dalil bahwa sebagaimana jumlah boleh dilampaui ketika tidak dapat bersih dengan jumlah tersebut, demikian pula boleh beralih dari batu kepada segala sesuatu yang dapat membersihkan.
Selain itu, menurut kami boleh mencukupkan dengan satu batu saja apabila batu itu memiliki tiga sisi, dan menurut Dawud boleh jika sudah bersih.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى التُّرَابِ فِي التَّيَمُّمِ فَهُوَ أَنَّ مَعْنَى التُّرَابِ لَا يُوجَدُ فِي غَيْرِهِ لِأَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ وَلِفَقْدِ مَعْنَاهُ فِي غَيْرِهِ لَمْ يُقَسْ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْحَجَرُ لِأَنَّ مَعْنَاهُ الْإِنْقَاءُ وَهُوَ مَوْجُودٌ فِي غَيْرِهِ فَقِسْنَاهُ عَلَيْهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى رَمْيِ الْجِمَارِ فَمُنْتَقِضٌ بِالْأَحْجَارِ فِي رَجْمِ الزَّانِي، هَذَا لَوْ كَانَ الْأَصْلُ صَحِيحًا عَلَى مَذْهَبِهِ، وَمَذْهَبُ دَاوُدَ أَنَّ غَيْرَ الْأَحْجَارِ يَجُوزُ فِي رَمْيِ الْجِمَارِ فَلَمْ يَصِحَّ الْقِيَاسُ ثُمَّ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا (أَنَّ الأمر بالأحجار) فِي رَمْيِ الْجِمَارِ غَيْرُ مَعْقُولٍ فَلَمْ يُقَسْ عَلَيْهِ غَيْرُهُ وَالْأَحْجَارُ فِي الِاسْتِنْجَاءِ مَعْقُولَةُ الْمَعْنَى وَهُوَ الْإِزَالَةُ وَالْإِنْقَاءُ فَقِسْنَا عَلَيْهِ غَيْرَهُ.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan turab dalam tayammum adalah bahwa makna turab tidak terdapat pada selainnya, karena maknanya adalah suci lagi menyucikan. Karena makna itu tidak ada pada selainnya, maka tidak diqiyaskan kepadanya. Tidak demikian halnya dengan batu, karena maknanya adalah membersihkan, dan itu terdapat pada selainnya, maka kami qiyaskan selainnya kepadanya.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan melempar jumrah adalah gugur dengan (contoh) batu dalam rajam pezina, ini kalau asalnya sahih menurut mazhab mereka. Sedangkan mazhab Dāwud adalah bahwa selain batu boleh digunakan untuk melempar jumrah, maka qiyasnya tidak sah. Kemudian perbedaan antara keduanya adalah bahwa perintah dengan batu dalam melempar jumrah tidak dapat dimaknai, sehingga tidak diqiyaskan selainnya kepadanya, sedangkan batu dalam istinja dapat dimaknai, yaitu menghilangkan dan membersihkan, maka kami qiyaskan selainnya kepadanya.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ غَيْرَ الْأَحْجَارِ يَقُومُ مَقَامَ الْأَحْجَارِ فَكُلُّ شَيْءٍ اجْتَمَعَتْ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْصَافٍ جَازَ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا مُزِيلًا غَيْرَ مَطْعُومٍ وَكَانَ أَبُو سَهْلٍ الصُّعْلُوكِيُّ يَقُولُ فِي حَدِّهِ: إِنَّهُ كُلُّ نَقِيٍّ مُنَقَّى وَلَا يَتْبَعُهُ نَفْسُ الْمُلْقِي، وَهَذَا وَإِنْ كَانَ مَعْنَى مَا ذَكَرْنَاهُ غَيْرَ أَنَّهُ تَكَلُّفٌ فِي الْعِبَارَةِ يَرْغَبُ عَنْهُ الْعُلَمَاءُ، فَإِذَا كَانَ الْأَمْرُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ. فَهَذِهِ الْأَوْصَافُ الثَّلَاثَةُ تَجْتَمِعُ فِي الْآجُرِّ وَالْخَزَفِ وَالْخِرَقِ وَالْخَشَبِ وَمَا خَشُنَ مِنْ أَوْرَاقِ الشَّجَرِ وَالْمَدَرِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْجَامِدَاتِ الَّتِي لَا حُرْمَةَ لَهَا فَأَمَّا إِذَا كَانَ ذَا حُرْمَةٍ كَالْمُصْحَفِ وَالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ الْمَطْبُوعِ وَحِجَارَةِ الْحَرَمِ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنْ الِاسْتِنْجَاءِ بِهِ لِحُرْمَتِهِ، فَإِنِ اسْتَنْجَى بِهِ كَانَ مُسِيئًا وَأَجْزَأَهُ عَلَى ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ.
PASAL:
Apabila telah tetap bahwa selain batu dapat menggantikan kedudukan batu, maka setiap benda yang terkumpul padanya tiga sifat boleh digunakan untuk istinja, yaitu: suci, menghilangkan, dan bukan makanan. Abu Sahl al-Ṣu‘lukī berkata dalam batasannya: yaitu setiap benda yang bersih lagi membersihkan dan tidak diikuti oleh nafsu pembuangnya. Meskipun ini bermakna seperti yang telah kami sebutkan, namun itu adalah bentuk berlebihan dalam ungkapan yang ditinggalkan oleh para ulama.
Apabila perkara ini sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka tiga sifat tersebut terdapat pada batu bata, tembikar, kain, kayu, daun-daun pohon yang kasar, tanah liat, dan selain itu dari benda-benda padat yang tidak memiliki kehormatan. Adapun jika memiliki kehormatan seperti mushaf, perak, emas cetakan, dan batu-batu Haram, maka dilarang digunakan untuk istinja karena kehormatannya. Jika seseorang ber-istinja dengannya, maka ia berdosa, tetapi mencukupi menurut lahir mazhab.
وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ حُرْمَتُهُ تَمْنَعُ مِنَ الْإِجْزَاءِ بِهِ كَالْمَأْكُولِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ لِمَاءِ زَمْزَمَ حُرْمَةً تَمْنَعُ مِنْ الِاسْتِنْجَاءِ بِهِ لِقَوْلِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: هُوَ لشارب مخل وَبِلٌّ، فَأَمَّا الْمُغْتَسِلُ فَلَا أُحِلُّهُ وَلَا أُبِلُّهُ ثُمَّ وَلَوِ اسْتَنْجَى بِهِ مَعَ حُرْمَتِهِ أَجْزَأَهُ إِجْمَاعًا، فَأَمَّا مَا عُدِمَ فِيهِ أَحَدُ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ فَإِنْ عُدِمَ الْوَصْفُ الْأَوَّلُ وَهُوَ الطَّهَارَةُ وَكَانَ نَجِسًا إِمَّا نَجَاسَةَ عَيْنٍ كَالرَّوْثِ أَوْ نَجَاسَةَ مُجَاوَرَةٍ كَالْمَمْسُوسِ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ خَمْرٍ أَوْ غَيْرِهِ لَمْ يَجْزِهِ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ وَقَالَ أبو حنيفة: الِاسْتِنْجَاءُ بِالرَّوْثِ جَائِزٌ وَإِنْ كَانَ نَجِسًا وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِابْنِ مَسْعُودٍ حِينَ أَعْطَاهُ الرَّوْثَةَ فَأَلْقَاهَا وَقَالَ إِنَّهَا رجسٌ وَكَذَا كُلُّ رِجْسٍ وَرَوَى خُزَيْمَةُ بْنُ ثَابِتٍ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الِاسْتِنْجَاءِ فَقَالَ: بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ لَيْسَ فِيهَا، رجيعٌ، وَالرَّجِيعُ هُوَ الْغَائِطُ لِأَنَّهُ كَانَ طَعَامًا فَرْجَعَ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَزُلْ بِالْمَائِعِ النَّجِسِ لَمْ يَجُزْ بِالْجَامِدِ النَّجِسِ، وَإِنْ عُدِمَ الْوَصْفُ الثَّانِي فَكَانَ غَيْرَ مُزِيلٍ لَمْ يَجُزِ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالِاسْتِنْجَاءِ هُوَ الْإِزَالَةُ، وَمَا لَا يُزِيلُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا: مَا لَا يُزِيلُ لِنُعُومَتِهِ كَالْخَزِّ وَالْحَرِيرِ وَالْقُطْنِ.
Dan di antara sahabat-sahabat kami ada yang berpendapat bahwa kehormatannya mencegah sahnya istinja dengannya seperti halnya makanan, namun ini tidak benar. Sebab air zamzam memiliki kehormatan yang mencegah dari istinja dengannya berdasarkan perkataan al-‘Abbās bin ‘Abd al-Muṭṭalib RA: “Air ini adalah untuk diminum bagi yang menyegarkan dan menghilangkan dahaga, adapun bagi orang yang mandi, aku tidak menghalalkannya dan tidak memberikannya untuk itu.” Namun, seandainya digunakan untuk istinja, meski terlarang, hukumnya mencukupi secara ijma’.
Adapun sesuatu yang tidak memiliki salah satu dari tiga sifat tersebut: jika yang hilang adalah sifat pertama, yaitu kesucian, dan ia najis, baik najis ‘ain seperti kotoran hewan, atau najis karena bersentuhan seperti yang terkena kotoran manusia, air kencing, khamar, atau selainnya, maka tidak sah digunakan untuk istinja.
Abu Ḥanīfah berpendapat bahwa istinja dengan kotoran hewan (rawth) boleh meskipun najis, dan ini keliru berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Ibn Mas‘ūd ketika beliau memberikan kotoran hewan kepadanya lalu beliau melemparkannya seraya berkata: “Itu adalah rijs (kotor).” Demikian pula setiap yang rijs.
Diriwayatkan dari Khuzaymah bin Thābit, ia berkata: “Rasulullah SAW ditanya tentang istinja, maka beliau bersabda: ‘Dengan tiga batu yang tidak mengandung rajī‘.’” Rajī‘ adalah kotoran manusia karena dulunya merupakan makanan kemudian kembali (menjadi kotoran).
Selain itu, karena najis cair tidak dapat menghilangkan (najis), maka najis padat juga tidak boleh digunakan untuk menghilangkan (najis).
Jika yang hilang adalah sifat kedua, yaitu menghilangkan, maka tidak boleh digunakan untuk istinja karena tujuan istinja adalah pembersihan. Adapun yang tidak dapat menghilangkan itu ada empat jenis:
Pertama: Yang tidak menghilangkan karena terlalu lembut, seperti kain khazz, sutra, dan kapas.
وَالثَّانِي: مَا لَا يُزِيلُ لِصَقَالَتِهِ كَالزُّجَاجِ وَمَا تَمَلَّسَ مِنَ الصُّفْرِ وَالرَّصَاصِ وَالْحَدِيدِ وَالْحَجَرِ.
وَالثَّالِثُ: مَا لَا يُزِيلُ لِلِينِهِ كَالطِّينِ وَالشَّمْعِ.
وَالرَّابِعُ: مَا لا يزيل لضعفه ورخاوته كالفحم والحمم فكلما يَزِلُّ مِنْ هَذِهِ الْأَوْصَافِ لَمْ يَجُزِ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ، فَأَمَّا الْكَاغِدُ فَإِنْ كَانَ عَلَى صَقَالَتِهِ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ كَانَ قَدْ تَكَسَّرَ وَخَشُنَ جَازَ وَكَذَا أَوْرَاقُ الشَّجَرِ وَالْحَشِيشِ مَا كَانَ مِنْهُمَا خَشِنًا مُزِيلًا جَازَ، وَمَا كَانَ مِنْهَا أَمْلَسَ لَمْ يَجُزْ، فَأَمَّا التُّرَابُ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ إِذَا كَانَ ثَخِينًا مُتَكَاثِفًا يُمْكِنُ الْإِزَالَةُ بِهِ فَأَمَّا إِذَا كَانَ مَذْرُورًا لَا يُمْكِنُ الْإِزَالَةُ بِهِ فَلَا.
Kedua: Yang tidak menghilangkan karena licinnya, seperti kaca, dan benda yang sangat halus dari kuningan, timah, besi, dan batu.
Ketiga: Yang tidak menghilangkan karena lunaknya, seperti tanah liat dan lilin.
Keempat: Yang tidak menghilangkan karena lemahnya dan rapuhnya, seperti arang dan abu panas. Maka setiap benda yang memiliki salah satu dari sifat-sifat ini, tidak boleh digunakan untuk istinja.
Adapun kertas, jika masih dalam keadaan licin maka tidak boleh, namun jika sudah rusak dan menjadi kasar maka boleh. Demikian juga daun-daun pohon dan rerumputan, jika kasar dan dapat menghilangkan (najis) maka boleh, dan jika licin maka tidak boleh.
Adapun tanah, Imam al-Syafi‘i berkata: boleh ber-istinja dengannya jika tebal dan padat sehingga memungkinkan pembersihan dengannya, adapun jika dalam keadaan beterbangan (berdebu) sehingga tidak mungkin menghilangkan (najis) dengannya maka tidak boleh.
(فَصْلٌ)
: وَإِنْ عُدِمَ الْوَصْفُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مَأْكُولًا مَطْعُومًا لَمْ يَجُزِ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ، وَقَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة: يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِالْمَأْكُولِ استدلالاً بأمرين:
أحدهما: أنه كما كَانَ طَاهِرًا مُزِيلًا كَانَ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ كَغَيْرِ الْمَأْكُولِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ الِاسْتِنْجَاءُ بِالْمَشْرُوبِ وَلَمْ تَكُنْ حُرْمَتُهُ مَانِعَةً مِنْهُ كَذَلِكَ بِالْمَأْكُولِ وَلَا تَكُونُ حُرْمَتُهُ مَانِعَةً مِنْهُ، وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ مَحَلٌّ نَجِسٌ فَوَجَبَ أَلَّا يَسْقُطَ حُكْمُ نَجَاسَتِهِ بِالْمَأْكُولِ كَسَائِرِ الْأَنْجَاسِ وَلِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ سَبَبُهَا الْمَأْكُولُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَزُولَ بِالْمَأْكُولِ لِأَنَّ مَا أَوْجَبَ إِيجَابَ حُكْمٍ لَمْ يُوجِبْ رَفْعَهُ، وَلَيْسَ كَالْمَاءِ لِأَنَّ الْمَاءَ يَرْفَعُ النَّجَاسَةَ عَنْ نَفْسِهِ، وَفِيمَا ذَكَرْنَاهُ اسْتِدْلَالًا وَانْفِصَالًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
PASAL
Dan jika tidak ada sifat ketiga, yaitu berupa sesuatu yang dimakan dan disantap, maka tidak boleh beristinjak dengannya. Malik dan Abu Hanifah berkata: Boleh beristinjak dengan sesuatu yang dimakan dengan berdalil pada dua hal:
Pertama: Karena sebagaimana ia suci dan dapat menghilangkan (najis), maka beristinjak dengannya sama seperti selain yang dimakan. Dan karena ketika dibolehkan beristinjak dengan sesuatu yang diminum, dan kehormatannya tidak menghalangi darinya, maka begitu pula dengan yang dimakan, kehormatannya tidak menghalangi darinya.
Dan dalil kami adalah bahwa ia merupakan tempat yang najis, maka wajib hukum kenajisannya tidak gugur karena sesuatu yang dimakan, sebagaimana seluruh najis lainnya. Dan karena ia adalah najis yang sebabnya berasal dari sesuatu yang dimakan, maka tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang dimakan. Sebab, sesuatu yang menyebabkan wajibnya suatu hukum tidak menyebabkan terangkatnya hukum tersebut. Hal ini tidak sama dengan air, karena air mengangkat kenajisan dari dirinya sendiri. Dan pada apa yang telah kami sebutkan ini terdapat dalil dan jawaban, dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْمَأْكُولَ لَا يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَا هُوَ مَأْكُولٌ فِي الْحَالِ كَالْخُبْزِ وَالْفَوَاكِهِ وَبَيْنَ مَا يُؤْكَلُ فِي ثَانِي حَالٍ بَعْدَ عَمَلٍ كَاللَّحْمِ الَّتِي فِي تَحْرِيمِ الِاسْتِنْجَاءِ بِهِمَا، فَأَمَّا الْحَيَوَانُ فَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُجْرِيهِ مَجْرَى اللَّحْمِ فَمَنَعَ الِاسْتِنْجَاءَ بِهِ لِأَنَّهُ قَدْ يُؤْكَلُ بَعْدَ ذَبْحِهِ فَصَارَ كَاللَّحْمِ الَّذِي يُؤْكَلُ بَعْدَ طَبْخِهِ، وَذَهَبَ بَعْضُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الصَّحِيحُ إِلَى أَنَّ الْحَيَوَانَ الْحَيَّ لَا يُقَالُ لَهُ مَأْكُولٌ فِي حَالِ الْحَيَاةِ وَلَيْسَ كَاللَّحْمِ النِّيءِ، لِأَنَّهُ مَأْكُولٌ قبل الطبخ وإنما يطبخ ليستطاب ويستمرئ، أَلَا تَرَى أَنَّ أَكْلَ اللَّحْمِ النِّيءِ حَلَالٌ وأكل الحيوان حَرَامٌ. وَإِذَا صَحَّ أَنَّ الْحَيَوَانَ الْحَيَّ غَيْرُ مَأْكُولٍ فَإِنْ كَانَ طَاهِرًا وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ مِنَ النُّعُومَةِ وَاللِّينِ مَا يَمْنَعُ مِنَ الْإِزَالَةِ صَحَّ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ، وَإِنْ كَانَ لِنُعُومَتِهِ وَلِينِهِ يَمْنَعُ مِنَ الْإِزَالَةِ لَمْ يَجُزِ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ، فَلَوِ اسْتَنْجَى بِكَفِّ آدَمِيٍّ جَازَ وَلَوِ اسْتَنْجَى بِكَفِّ نَفْسِهِ لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ يُجِيزُهُ بِكَفِّ نَفْسِهِ كَمَا يَجُوزُ بِكَفِّ غَيْرِهِ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ حَيْثُ إِنَّ الْفَرْقَ وَقَعَ بَيْنَهُمَا فِي السُّجُودِ فَجَازَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى كَفِّ غَيْرِهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى كَفِّ نَفْسِهِ وَقَعَ بَيْنَهُمَا فِي الِاسْتِنْجَاءِ فَجَازَ أَنْ يَسْتَنْجِيَ بِكَفِّ غَيْرِهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَنْجِيَ بِكَفِّ نَفْسِهِ، وَأَمَّا الْفَوَاكِهُ وَالثِّمَارُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مَا يُؤْكَلُ رَطْبًا وَلَا يَكُونُ يَابِسًا كَالْيَقْطِينِ فَلَا يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ رَطْبًا لِأَنَّهُ مَأْكُولٌ وَيَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ يَابِسًا إِذَا كَانَ مُزِيلًا لِأَنَّهُ غَيْرُ مَأْكُولٍ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa sesuatu yang dimakan tidak boleh digunakan untuk istinja, maka tidak ada perbedaan antara yang dimakan dalam keadaan sekarang seperti roti dan buah-buahan, dan antara yang dimakan pada keadaan kedua setelah diolah seperti daging, dalam hal haramnya istinja dengan keduanya.
Adapun hewan, sebagian ulama kami memperlakukannya seperti daging, sehingga melarang istinja dengannya karena ia bisa dimakan setelah disembelih, maka keadaannya seperti daging yang dimakan setelah dimasak. Sebagian besar ulama kami, dan ini yang shahih, berpendapat bahwa hewan hidup tidak disebut ma’kūl pada saat hidup, dan tidak seperti daging mentah, karena daging mentah adalah sesuatu yang dimakan sebelum dimasak, sedangkan dimasak hanya untuk menambah kenikmatan dan memudahkan pencernaan. Tidakkah engkau melihat bahwa makan daging mentah itu halal, sedangkan makan hewan hidup itu haram.
Jika telah sah bahwa hewan hidup itu bukan ma’kūl, maka jika ia suci dan tidak ada padanya kelembutan dan kelunakan yang menghalangi penghilangan (najis), maka sah istinja dengannya. Tetapi jika karena kelembutan dan kelunakannya menghalangi penghilangan, maka tidak boleh istinja dengannya.
Seandainya seseorang beristinja dengan telapak tangan manusia lain, maka boleh, namun jika beristinja dengan telapak tangannya sendiri, maka tidak boleh. Abu ‘Ali bin Khayran membolehkannya dengan telapak tangannya sendiri sebagaimana boleh dengan telapak tangan orang lain, dan ini adalah kesalahan, karena telah terjadi perbedaan antara keduanya dalam masalah sujud, yaitu boleh sujud di atas telapak tangan orang lain dan tidak boleh sujud di atas telapak tangan sendiri; demikian pula terjadi perbedaan antara keduanya dalam masalah istinja, yaitu boleh istinja dengan telapak tangan orang lain dan tidak boleh dengan telapak tangan sendiri.
Adapun buah-buahan dan tanaman ada dua macam:
Pertama: Yang dimakan ketika masih basah dan tidak ada bentuk keringnya seperti yaqṭīn (labu), maka tidak boleh istinja dengannya ketika basah karena ia adalah ma’kūl. Namun boleh istinja dengannya ketika kering jika dapat menghilangkan (najis), karena pada saat itu ia bukan ma’kūl.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا يُؤْكَلُ رَطْبًا وَيَابِسًا فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مَأْكُولًا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا كَالتِّينِ وَالسَّفَرْجَلِ وَالتُّفَّاحِ وَإِنْ كَانَ فيهما حب يرمى به فَلَا يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِحَالٍ لَا بداخله ولا بخارجه ولا رَطْبًا وَلَا يَابِسًا.
Dan macam yang kedua: Sesuatu yang dimakan baik dalam keadaan basah maupun kering, maka ini ada tiga macam:
Pertama: Sesuatu yang dimakan bagian luar dan dalamnya, seperti buah tin, as-safarjal (quince), dan apel, meskipun di dalamnya ada biji yang dibuang, maka tidak boleh beristinja dengan bagian manapun darinya, baik bagian dalam maupun bagian luar, baik dalam keadaan basah maupun kering.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا كَانَ مَأْكُولُهُ ظَاهِرًا وَدَاخِلُهُ غَيْرُ مَأْكُولٍ كَالْخَوْخِ وَالْمِشْمِشِ وَكُلِّ ذِي نَوَى مِنَ الْفَوَاكِهِ فَلَا يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِخَارِجِهِ الْمَأْكُولِ وَيَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِنَوَاهُ إِذَا أَزَالَ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَأْكُولٍ.
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: مَا كَانَ ذَا قِشْرٍ مَأْكُولُهُ فِي جَوْفِهِ فَلَا يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِلُبِّهِ الْمَأْكُولِ، فَأَمَّا قِشْرُهُ فَلَهُ ثلاثة أحوال:
حال لا يؤكل لا رَطْبًا وَلَا يَابِسًا.
وَحَالٌ يُؤْكَلُ رَطْبًا وَيَابِسًا.
Macam yang kedua: Sesuatu yang bagian luarnya dimakan dan bagian dalamnya tidak dimakan, seperti buah persik (al-khawkh), aprikot (al-mishmish), dan semua buah yang berbiji, maka tidak boleh istinja dengan bagian luar yang dimakan, namun boleh istinja dengan bijinya jika dapat menghilangkan (najis), karena bijinya bukan sesuatu yang dimakan.
Macam yang ketiga: Sesuatu yang memiliki kulit dan bagian dalamnya yang dimakan, maka tidak boleh istinja dengan daging buahnya yang dimakan. Adapun kulitnya, maka ada tiga keadaan:
Keadaan pertama: Tidak dimakan baik dalam keadaan basah maupun kering.
Keadaan kedua: Dimakan baik dalam keadaan basah maupun kering.
وَحَالٌ يُؤْكَلُ رَطْبًا وَلَا يُؤْكَلُ يَابِسًا، فَإِنْ كَانَ قِشْرُهُ لَا يُؤْكَلُ بِحَالٍ لَا رَطْبًا وَلَا يَابِسًا كَالرُّمَّانِ جَازَ الِاسْتِنْجَاءُ بِقِشْرِهِ وَهَكَذَا لَوِ اسْتَنْجَى بِرُمَّانَةٍ حَبُّهَا فِيهَا جَازَ لِأَنَّ الْمُبَاشَرَةَ فِي الِاسْتِنْجَاءِ كَانَتْ بِقِشْرِهَا وَهُوَ غَيْرُ مَأْكُولٍ وَإِنْ كَانَ قِشْرُهُ قَدْ يُؤْكَلُ رَطْبًا وَيَابِسًا كَالْبِطِّيخِ لَمْ يَجُزِ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ رَطْبًا وَلَا يَابِسًا لِأَنَّهُ مَأْكُولٌ، وَإِنْ كَانَ قِشْرُهُ يُؤْكَلُ رَطْبًا وَلَا يُؤْكَلُ يَابِسًا كَاللَّوْزِ وَالْبَاقِلِي لَمْ يَجُزِ الِاسْتِنْجَاءُ بِقِشْرِهِ رَطْبًا لِأَنَّهُ مَأْكُولٌ وَجَازَ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ يَابِسًا لِأَنَّهُ غَيْرُ مَأْكُولٍ، فَأَمَّا مَا يَأْكُلُهُ الْآدَمِيُّونَ وَالْبَهَائِمُ فَإِنْ كَانَ أَكْلُ الْآدَمِيِّينَ لَهُ أَكْثَرَ لَمْ يَجُزِ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ وَإِنْ كَانَ أَكْلُ الْبَهَائِمِ لَهُ أَكْثَرَ جَازَ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ وَإِنِ اسْتَوَيَا فَفِيهِ وَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي ثُبُوتِ الرِّبَا فِيهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan keadaan ketiga: Dimakan ketika basah dan tidak dimakan ketika kering.
Jika kulitnya tidak dimakan sama sekali, baik basah maupun kering, seperti kulit delima, maka boleh istinja dengannya. Demikian pula jika beristinja dengan buah delima yang masih ada bijinya di dalam, maka boleh, karena sentuhan dalam istinja terjadi pada kulitnya, dan kulitnya bukan sesuatu yang dimakan.
Jika kulitnya dimakan baik basah maupun kering, seperti kulit semangka, maka tidak boleh istinja dengannya baik dalam keadaan basah maupun kering, karena ia termasuk sesuatu yang dimakan.
Jika kulitnya dimakan ketika basah dan tidak dimakan ketika kering, seperti kulit kacang almond (al-lauz) dan kulit kacang fava (al-baqīlī), maka tidak boleh istinja dengannya dalam keadaan basah karena ia termasuk sesuatu yang dimakan, dan boleh istinja dengannya dalam keadaan kering karena ia bukan sesuatu yang dimakan.
Adapun sesuatu yang dimakan oleh manusia dan hewan, jika yang memakannya lebih banyak adalah manusia, maka tidak boleh istinja dengannya. Jika yang memakannya lebih banyak adalah hewan, maka boleh istinja dengannya. Dan jika keduanya sama banyak, maka ada dua pendapat ulama kami, mengikuti perbedaan mereka dalam penetapan riba pada hal tersebut. Dan Allah lebih mengetahui.
(مَسْأَلَةٌ: شُرُوطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ فِي الاستنجاء) .
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ عَدَا الْمَخْرَجَ فَلَا يُجْزِئُ فِيهِ إِلَّا الْمَاءُ، وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ يَسْتَطِيبُ بِالْأَحْجَارِ إِذَا لم ينتشر منه مَا يَنْتَشِرُ مِنَ الْعَامَّةِ فِي ذَلِكَ الْمَوْضِعِ وَحَوْلِهِ “.
(MASALAH: Syarat-syarat sahnya batu untuk istinja)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika (najis) melewati tempat keluarnya, maka tidak mencukupi kecuali dengan air.” Dan beliau berkata dalam qaul qadīm: “Boleh bersuci dengan batu jika tidak menyebar darinya (najis) sesuatu yang biasa menyebar dari kebanyakan orang di tempat itu dan sekitarnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَا خَرَجَ مِنْ سَبِيلِ الدُّبُرِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَلَّا يَتَعَدَّى الْمَخْرَجَ وَلَا يَتَجَاوَزَ الْحَلْقَةَ فَلَهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ الْأَحْجَارَ إِنْ شَاءَ لِأَنَّ الرُّخْصَةَ فِيهِ أَتَتْ فَإِنْ عَدَلَ إِلَى الْمَاءِ جَازَ وَإِنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا كَانَ أَوْلَى فَيَبْدَأُ بِالْأَحْجَارِ الثَّلَاثِ حَتَّى يَزُولَ بِهَا الْعَيْنُ ثُمَّ يُعْقِبُهَا بِالْمَاءِ حَتَّى يَزُولَ بِهَا الْأَثَرُ لِيَكُونَ جَامِعًا بَيْنَ الطَّهَارَتَيْنِ فَإِنْ قَدَّمَ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ لَمْ يَسْتَعْمِلِ الْأَحْجَارَ بَعْدَهَا لِأَنَّ الْمَاءَ قَدْ أَزَالَ الْعَيْنَ وَالْأَثَرَ فَلَمْ يَبْقَ لِلْأَحْجَارِ أَثَرٌ فَلَوْ أَرَادَ الِاقْتِصَارَ عَلَى أَحَدِهِمَا مَا كَانَ بِالْمَاءِ إِلَيْنَا أَحَبَّ مِنَ الْأَحْجَارِ، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَرِهَ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ وَحْدَهُ لِوُرُودِ السُّنَّةِ بِالْأَحْجَارِ وَهَذَا لَعَلَّهُ قَالَهُ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْمَاءِ وَقِلَّتِهِ فِي السَّفَرِ وَإِلَّا فَالْمَاءُ أَبْلَغُ فِي التَّطْهِيرِ مِنَ الْحَجَرِ.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa apa yang keluar dari jalan dubur terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: Tidak melewati tempat keluarnya dan tidak melampaui lingkarannya, maka ia boleh menggunakan batu jika mau, karena adanya rukhsah dalam hal itu. Jika ia memilih beralih kepada air, maka boleh. Jika ia menggabungkan keduanya, maka itu lebih utama, yaitu ia memulai dengan tiga batu hingga hilang ‘ain (najisnya) dengannya, kemudian diikuti dengan air hingga hilang bekasnya, sehingga ia menggabungkan dua bentuk thaharah.
Jika ia mendahulukan penggunaan air, maka ia tidak menggunakan batu setelahnya, karena air telah menghilangkan ‘ain dan bekasnya, sehingga batu tidak lagi memiliki manfaat. Jika ia ingin mencukupkan dengan salah satunya saja, maka menurut kami air lebih kami sukai dibanding batu.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia membenci menggunakan air saja karena sunnah datang dengan batu. Hal ini barangkali beliau katakan ketika air sulit didapat atau sedikit di waktu safar. Adapun jika tidak demikian, maka air lebih sempurna dalam menyucikan dibanding batu.
وَقَدْ رَوَى أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي أَهْلِ قباءٍ: {رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ المُطَهِّرِينَ) {التوبة: 108) قَالَ: كَانُوا يَسْتَنْجُونَ بِالْمَاءِ فَنَزَلَتْ فِيهِمْ هَذِهِ الْآيَةُ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَعَدَّى الْمَخْرَجَ إِلَى ظَاهِرِ الْأَلْيَةِ وَأُصُولِ الْفَخِذَيْنِ فَلَا يُجْزِئُ فِيهِ إِلَّا الْمَاءُ وَلَا يَجُوزُ لَهُ اسْتِعْمَالُ الْأَحْجَارِ فِيهِ لِأَنَّ الْأَحْجَارَ رُخْصَةٌ فِي الِاسْتِنْجَاءِ وَهَذِهِ نَجَاسَةٌ ظَاهِرَةٌ خَرَجَتْ عَنْ حُكْمِ الِاسْتِنْجَاءِ فَلَوْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَعْمِلَ الْأَحْجَارَ فِيمَا بَطَنَ وَالْمَاءَ فِيمَا ظَهَرَ فَقَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُجَوِّزُ لَهُ ذَلِكَ اعْتِبَارًا بِمَحَلِّ كُلٍّ واحد منهما لَوِ انْفَصَلَ وَهَذَا خَطَأٌ.
Dan telah meriwayatkan Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: “Ayat ini turun berkenaan dengan penduduk Quba’: {Laki-laki yang suka membersihkan diri, dan Allah menyukai orang-orang yang bersih} (at-Taubah: 108).” Ia berkata: Mereka dahulu beristinja dengan air, maka turunlah ayat ini berkenaan dengan mereka.
Adapun bagian kedua: yaitu najis yang melampaui tempat keluar sampai ke bagian luar pantat dan pangkal kedua paha, maka tidak mencukupi di dalamnya kecuali dengan air, dan tidak boleh baginya menggunakan batu untuk membersihkannya, karena batu itu adalah rukhshah dalam istinja, sedangkan ini adalah najis zhahir yang keluar dari hukum istinja. Maka seandainya ia ingin menggunakan batu pada bagian yang tersembunyi dan air pada bagian yang tampak, sebagian sahabat kami membolehkannya dengan mempertimbangkan hukum masing-masing tempat itu seandainya terpisah, dan ini adalah kesalahan.
وَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يُجْزِيهِ ذَلِكَ لِأَنَّ النَّجَاسَةَ الْمُتَّصِلَةَ حُكْمُهَا وَاحِدٌ فَلَمَّا لَمْ يُجْزِ الْأَحْجَارُ فِي بَعْضِهَا وَهُوَ الظَّاهِرُ لَمْ يُجْزِ فِي الْبَعْضِ وَهُوَ الْبَاطِنُ وَيَلْزَمُهُ أَنْ يُسْتَعْمَلَ الْمَاءُ فِي الْجَمِيعِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَعَدَّى الْمَخْرَجَ وَيُفَارِقَ الْحَلْقَةَ يَسِيرًا إِلَى بَاطِنِ الْأَلْيَةِ دُونَ ظَاهِرِهَا فَفِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِ الْأَحْجَارِ فِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا وَأَشَارَ إِلَيْهِ فِي الْبُوَيْطِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ فِيهِ الْأَحْجَارُ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي النَّجَاسَاتِ أَنَّهَا لَا تُزَالُ إِلَّا بِالْمَاءِ وَإِنَّمَا جُوِّزَ فِي إِزَالَتِهَا بِالْأَحْجَارِ فِي مَوْضِعٍ مَخْصُوصٍ وَهُوَ مَا لَمْ يَعْدُ مَخْرَجَهُ.
Dan pendapat yang dipegang oleh jumhur sahabat kami adalah bahwa hal itu tidak mencukupi, karena najis yang bersambung hukumnya satu. Maka ketika batu tidak mencukupi pada sebagian bagiannya yang tampak, maka tidak mencukupi pula pada sebagian lainnya yang tersembunyi, dan ia wajib menggunakan air pada seluruhnya.
Adapun bagian ketiga: yaitu najis yang melampaui tempat keluar dan sedikit keluar dari lingkaran dubur ke bagian dalam pantat tanpa sampai ke bagian luarnya, maka dalam kebolehan menggunakan batu padanya terdapat dua pendapat:
Pertama: yaitu yang dinukil oleh al-Muzani di sini dan beliau isyaratkan dalam al-Buwaiti, bahwa tidak boleh menggunakan batu padanya, karena asal pada najis adalah tidak dihilangkan kecuali dengan air, dan kebolehan menghilangkannya dengan batu hanya khusus pada tempat tertentu, yaitu yang tidak melampaui tempat keluarnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَحَكَاهُ الرَّبِيعُ، أَنَّهُ يَجُوزُ لِأَنَّهُ الْغَالِبُ مِنْ أَحْوَالِ النَّاسِ، وَفِي الْمَنْعِ مِنْ ذَلِكَ تَرْكٌ لِاسْتِعْمَالِهَا.
فَأَمَّا الْبَوْلُ إِذَا تَجَاوَزَ مَخْرَجَهُ فَلَا يُجْزِئُ فِيهِ إِلَّا الْمَاءُ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ مَا تَجَاوَزَ الْمَخْرَجَ ظَاهِرٌ وَلَيْسَ كَبَاطِنِ الإلية والنجاسة في ظاهر الجسد لا يجزأ فيه إلا الماء.
Pendapat kedua: telah dinashkan oleh Imam asy-Syafi‘i dalam qaul qadim dan diriwayatkan oleh ar-Rabi‘, bahwa hal itu boleh, karena demikianlah yang umum terjadi pada kebiasaan manusia, dan jika dilarang berarti meninggalkan penggunaan batu.
Adapun air kencing apabila melampaui tempat keluarnya, maka tidak mencukupi kecuali dengan air menurut satu pendapat, karena apa yang melampaui tempat keluar itu termasuk bagian yang tampak dan tidak seperti bagian dalam pantat, sedangkan najis pada bagian luar tubuh tidak mencukupi dihilangkan kecuali dengan air.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَسْتَطِيبَ بِيَمِينِهِ فَيُجْزِئُ وَبِالْعَظْمِ فَلَا يُجْزِئُ أَنَّ الْيَمِينَ أداةٌ وَالنَهْيُ عَنْهَا أدبٌ وَالِاسْتِطَابَةَ طهارةٌ وَالْعَظْمُ لَيْسَ بطاهرٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالْمَقْصُودُ بِهِ بَيَانُ الْفَرْقِ بَيْنَ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْيَمِينِ وَبِالْعَظْمِ حَيْثُ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْهُمَا ثُمَّ جَازَ بِالْيَمِينِ مَعَ وُرُودِ النَّهْيِ وَلَمْ يَجُزْ بِالْعَظْمِ لِأَجْلِ النَّهْيِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ يَدْخُلُ فَرْقُ الشَّافِعِيِّ فِيهِمَا:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّهْيَ عَنِ الْيَمِينِ لِمَعْنًى فِي الْفَاعِلِ فَلَمْ يَقْتَضِ النَّهْيُ فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ كَنَهْيِهِ عَنِ الصَّلَاةِ فِي دَارٍ مَغْصُوبَةٍ وَأَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَالنَّهْيُ عَنِ الْعَظْمِ لِمَعْنًى فِي الْفِعْلِ فَاقْتَضَى النَّهْيُ فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ كَنَهْيِهِ عَنِ الصَّلَاةِ بِالنَّجَاسَةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ.
(Masalah)
Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Perbedaan antara beristithābah dengan tangan kanan sehingga mencukupi dan beristithābah dengan tulang sehingga tidak mencukupi adalah bahwa tangan kanan itu merupakan alat, dan larangan menggunakannya adalah adab, sedangkan istithābah adalah thaharah; adapun tulang bukanlah sesuatu yang suci.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar, dan yang dimaksud adalah menjelaskan perbedaan antara istinja dengan tangan kanan dan dengan tulang, di mana keduanya terdapat larangan, namun diperbolehkan dengan tangan kanan meskipun ada larangan, sedangkan tidak diperbolehkan dengan tulang karena larangan tersebut. Perbedaan antara keduanya dari dua segi yang di dalamnya masuk perbedaan yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i:
Pertama: bahwa larangan dari tangan kanan adalah karena suatu makna pada pelaku, maka larangan itu tidak menuntut rusaknya perbuatan yang dilarang, seperti larangannya shalat di rumah yang dirampas dan larangan seorang penduduk kota menjualkan barang bagi penduduk desa. Sedangkan larangan dari tulang adalah karena suatu makna pada perbuatan, maka larangan itu menuntut rusaknya perbuatan yang dilarang, seperti larangan shalat dengan membawa najis dan larangan jual beli gharar.
وَالْفَرْقُ الثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ وَإِنْ جَاءَ النَّهْيُ عَنِ الِاسْتِنْجَاءِ بِهَا فَإِنَّ الْإِزَالَةَ تَكُونُ بِغَيْرِهَا فَلَمْ تَكُنْ مُخَالَفَتُهُ مُؤَثِّرَةً فِي الْحُكْمِ، وَالْعَظْمُ يَقَعُ بِهِ الْإِزَالَةُ فَاخْتَصَّ النَّهْيُ عَنْهُ بِإِبْطَالِ الْحُكْمِ الْمُعَلَّقِ بِهِ فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي تَعْلِيلِ الْمَنْعِ مِنَ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْعَظْمِ وَ ” الْعَظْمُ لَيْسَ بِطَاهِرٍ “.
Perbedaan kedua: bahwa tangan kanan, meskipun datang larangan untuk beristinja dengannya, namun penghilangan (najis) dilakukan dengan selainnya, sehingga pelanggarannya tidak berpengaruh pada hukum. Adapun tulang, penghilangan (najis) terjadi dengannya, maka larangan terhadapnya khusus membatalkan hukum yang bergantung padanya.
Jika dikatakan: “Mengapa asy-Syafi‘i dalam alasan larangan istinja dengan tulang berkata: ‘Tulang itu bukan sesuatu yang suci’?”
وَلَيْسَتِ الْعِلَّةُ فِي الْمَنْعِ كَوْنُهُ غَيْرَ طَاهِرٍ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ طَاهِرًا لَا يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ، قِيلَ عَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ هَذِهِ كَلِمَةً ذَكَرَهَا الْمُزَنِيُّ وَالَّذِي قَالَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ ” وَالْعَظْمُ لَيْسَ بِنَظِيفٍ ” أَيْ فِيهِ سَهُوكَةٌ وَلُزُوجَةٌ تَمْنَعُ مِنَ التَّنْظِيفِ وَهَذَا جَوَابُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.
Dan bukanlah illat larangan itu karena ia tidak suci, karena sekalipun ia suci tetap tidak boleh beristinja dengannya. Dikatakan darinya ada tiga jawaban:
Pertama: bahwa kalimat ini adalah ucapan yang disebutkan oleh al-Muzani, sedangkan yang diucapkan oleh asy-Syafi‘i dalam al-Umm adalah: “Tulang itu tidak bersih,” yakni padanya terdapat kelembekan dan kelengketan yang menghalangi pembersihan. Dan ini adalah jawaban Abu Ishaq al-Marwazi.
وَالثَّانِي: أَنَّ النَّقْلَ صَحِيحٌ وَأَنَّ قَوْلَهُ لَيْسَ بِطَاهِرٍ أَيْ لَيْسَ بِمُطَهِّرٍ وَهُوَ جَوَابٌ ذَكَرَهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ ذَكَرَ إِحْدَى الْعِلَّتَيْنِ فِي الْعَظْمِ النَّجِسِ وَهُوَ كَوْنُهُ نَجِسًا وَكَوْنُهُ مَطْعُومًا وَلِلْعَظْمِ الطَّاهِرِ عِلَّةٌ وَاحِدَةٌ وَهُوَ كَوْنُهُ مَطْعُومًا فَذَكَرَ إِحْدَى عِلَّتَيِ الْعَظْمِ النَّجِسِ دُونَ الطَّاهِرِ وَهَذَا جَوَابٌ ذَكَرُهُ أَبُو حَامِدٍ.
(مَسْأَلَةٌ: وُجُوبُ إِنْقَاءِ مَحَلِّ الِاسْتِنْجَاءِ) .
Kedua: bahwa riwayat tersebut sahih, dan maksud ucapannya “tidak suci” adalah “tidak menyucikan”, dan ini adalah jawaban yang disebutkan oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah.
Ketiga: bahwa ia menyebutkan salah satu dari dua ‘illat pada tulang yang najis, yaitu sifatnya yang najis dan sifatnya sebagai makanan. Adapun tulang yang suci memiliki satu ‘illat saja, yaitu sifatnya sebagai makanan. Maka ia menyebutkan salah satu dari dua ‘illat pada tulang yang najis, bukan pada yang suci. Dan ini adalah jawaban yang disebutkan oleh Abu Hamid.
(Masalah: Wajibnya membersihkan tempat istinja).
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ مَسَحَ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ فَلَمْ يَنْقَ أَعَادَ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّهُ لَمْ يَبْقَ أَثَرٌ إِلَّا أَثَرًا لَاصِقًا لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الْمَاءُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ عَلَى الْمُسْتَنْجِي بِالْمَاءِ إِزَالَةَ الْعَيْنِ وَالْأَثَرِ مِنْ غَيْرِ تَحْدِيدٍ وَلَا عَدَدٍ فَأَمَّا الْمُسْتَنْجِي بِالْأَحْجَارِ فَلَا يَلْزَمُهُ إِزَالَةُ الْأَثَرِ وَعَلَيْهِ عِبَادَتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: الْإِنْقَاءُ بِإِزَالَةِ الْعَيْنِ.
Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menyapu dengan tiga batu lalu belum bersih, maka ia mengulanginya hingga ia mengetahui bahwa tidak tersisa bekas kecuali bekas yang melekat yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa bagi orang yang beristinja dengan air, wajib menghilangkan ‘ain (zat najis) dan bekasnya tanpa batasan ukuran dan tanpa jumlah tertentu. Adapun orang yang beristinja dengan batu, maka tidak wajib baginya menghilangkan bekas, dan ia memiliki dua kewajiban:
Pertama: al-inqā’, yaitu menghilangkan ‘ain (zat najis).
وَالثَّانِيَةُ: اسْتِيفَاءُ الْعَدَدِ بِاسْتِكْمَالِ الثَّلَاثِ كَالْمُعْتَدَّةِ يَلْزَمُهَا عِبَادَتَانِ الِاسْتِبْرَاءُ وَاسْتِيفَاءُ الْأَقْرَاءِ فَإِذَا أَنْقَى الْمُسْتَنْجِي بِدُونِ الثَّلَاثِ لَزِمَهُ اسْتِيفَاءُ الثَّلَاثِ لِاسْتِيفَاءِ الْعَدَدِ وَإِنِ اسْتَوْفَى ثَلَاثًا وَلَمْ يُنْقِ اسْتَعْمَلَ رَابِعًا وَخَامِسًا حَتَّى يُنَقِّيَ فَلَا يُبْقِي إِلَّا أَثَرًا لَاصِقًا لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الْمَاءُ فَيُعْفَى عَنْهُ فَلَوْ بَقِيَ مَا لَا يَزُولُ بِالْحَجَرِ لَكِنْ يَزُولُ الخرق وَصِغَارِ الْخَزَفِ فَظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَلَيْهِ إِزَالَتُهُ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَصْحَابِهِ لِإِمْكَانِ إِزَالَتِهِ بِغَيْرِ الْمَاءِ وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ لِبَعْضِ الْمُتَقَدِّمِينَ مِنْهُمْ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ إِزَالَتُهُ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ فَرْضُهُ يَسْقُطُ بِالْأَحْجَارِ لَزِمَهُ إِنْقَاءُ مَا يَزُولُ بالأحجار.
Dan yang kedua: menyempurnakan bilangan dengan mencukupkan tiga, seperti mu‘taddah yang diwajibkan kepadanya dua ibadah: istibrā’ dan menyempurnakan al-aqrā’. Maka apabila orang yang beristinja telah bersih sebelum tiga kali, wajib baginya mencukupkan tiga kali demi menyempurnakan bilangan. Dan jika telah mencukupkan tiga kali namun belum bersih, maka ia menggunakan yang keempat dan kelima hingga bersih, sehingga tidak tersisa kecuali bekas yang melekat yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air, maka hal itu dimaafkan. Jika masih tersisa sesuatu yang tidak hilang dengan batu tetapi dapat hilang dengan kain atau pecahan kecil tembikar, maka menurut pendapat yang zhahir dari mazhab al-Syafi‘i, ia wajib menghilangkannya, dan ini adalah pendapat mayoritas sahabatnya karena memungkinkan dihilangkan tanpa air. Dan ada satu wajah lain dari sebagian ulama terdahulu di kalangan mereka yang berpendapat bahwa ia tidak wajib menghilangkannya, karena ketika kewajiban itu gugur dengan batu, maka yang wajib dihilangkan hanyalah apa yang dapat dihilangkan dengan batu.
(مسألة: جواز الاستنجاء بالجلد المدبوغ)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ بِالْجِلْدِ الْمَدْبُوغِ أَنْ يُسْتَطَابَ بِهِ “.
(Masalah: Bolehnya istinja dengan kulit yang disamak)
Al-Syafi‘i ra berkata: “Tidak mengapa menggunakan kulit yang disamak untuk istithābah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْجُلُودَ ضَرْبَانِ مَدْبُوغَةٌ وَغَيْرُ مَدْبُوغَةٍ فَأَمَّا مَا كَانَ مِنْهَا مَدْبُوغًا فَضَرْبَانِ مُذَكَّى وَغَيْرُ مُذَكَّى، فَأَمَّا الْمَدْبُوغُ الْمُذَكَّى فَالِاسْتِنْجَاءُ بِهِ جَائِزٌ، لَا تَخْتَلِفُ لِأَنَّهُ طَاهِرٌ مُزِيلٌ غَيْرُ مَطْعُومٍ، فَأَمَّا الْمَدْبُوغُ مِنْ غَيْرِ ذَكَاةٍ وَهُوَ أَحَدُ جِلْدَيْنِ، أَمَّا جِلْدُ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ أَوْ جِلْدُ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ إِذَا مَاتَ فَقَدْ ذَكَرْنَا اخْتِلَافَ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي جَوَازِ بَيْعِهِ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الجديد يجوز بيعه فعلى هذا جَوَازِ الِاسْتِنْجَاءِ بِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّ الِاسْتِنْجَاءَ بِهِ جَائِزٌ لِأَنَّهُ طَاهِرٌ مُزِيلٌ غَيْرُ مَطْعُومٍ فَأَشْبَهَ الْمُذَكَّى الْمَدْبُوغَ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّ الِاسْتِنْجَاءَ بِهِ غَيْرُ جَائِزٍ لِأَنَّهُ لَمَّا أَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَ الْمَيْتَةِ فِي تَحْرِيمِ بَيْعِهِ أَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَهَا فِي تحريم الاستنجاء له.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa kulit ada dua macam, yang disamak dan yang tidak disamak. Adapun yang disamak, ada dua macam: yang disamak dari hewan yang disembelih secara tadzkiyah dan yang disamak dari hewan yang tidak disembelih secara tadzkiyah. Adapun kulit yang disamak dari hewan yang disembelih secara tadzkiyah, maka istinja’ dengannya boleh tanpa ada perbedaan, karena ia suci, menghilangkan najis, dan bukan makanan.
Adapun kulit yang disamak dari hewan yang tidak disembelih secara tadzkiyah, yaitu salah satu dari dua jenis kulit: kulit hewan yang dagingnya tidak dimakan atau kulit hewan yang dagingnya dimakan tetapi ia mati tanpa disembelih, maka telah kami sebutkan perbedaan pendapat al-Syāfi‘ī tentang bolehnya menjualnya. Maka, menurut pendapat beliau dalam qaul jadīd yang membolehkan menjualnya, atas dasar itu ada dua pendapat tentang bolehnya istinja’ dengannya:
Pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa istinja’ dengannya boleh, karena ia suci, menghilangkan najis, dan bukan makanan, sehingga serupa dengan kulit hewan yang disembelih secara tadzkiyah dan disamak.
Kedua, yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa istinja’ dengannya tidak boleh, karena ketika diberlakukan hukum bangkai padanya dalam pengharaman jual belinya, maka diberlakukan pula hukum bangkai padanya dalam pengharaman istinja’.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا الْجِلْدُ الَّذِي لَمْ يُدْبَغْ فَضَرْبَانِ مُذَكَّى وَغَيْرُ مُذَكَّى.
فَأَمَّا غَيْرُ الْمُذَكَّى إِمَّا لِأَنَّهُ مَيْتَةٌ أَوْ غَيْرُ مَأْكُولٍ فَلَا يَجُوزُ الاستنجاء له لِنَجَاسَتِهِ.
وَأَمَّا الْمُذَكَّى فَالْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي نَقْلِ الرَّبِيعِ وَالْمُزَنِيِّ، وَمَا يَقْتَضِيهِ الْمَذْهَبُ، وَتَوْجِيهُ التَّعْلِيلِ أَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ بِهِ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مَطْعُومٌ كَالْعَظْمِ وَرَوَى الْبُوَيْطِيُّ جَوَازَ الِاسْتِنْجَاءِ بِهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو حَامِدٍ وَطَائِفَةٌ يُخَرِّجُونَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ لِاخْتِلَافِ الرِّوَايَتَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِمَا ذَكَرْنَا.
(PASAL)
Adapun kulit yang belum disamak, maka ada dua macam: yang berasal dari hewan yang disembelih secara tadzkiyah dan yang tidak disembelih secara tadzkiyah.
Adapun yang tidak disembelih secara tadzkiyah, baik karena ia bangkai ataupun karena berasal dari hewan yang dagingnya tidak dimakan, maka tidak boleh digunakan untuk istinja’ karena najisnya.
Adapun yang disembelih secara tadzkiyah, maka nash yang diriwayatkan dari al-Rabī‘ dan al-Muzanī, serta yang dituntut oleh mazhab dan sesuai arah pendalilannya, adalah bahwa istinja’ dengannya tidak boleh karena ia termasuk makanan, sebagaimana tulang. Dan al-Buwayṭī meriwayatkan bolehnya istinja’ dengannya. Maka para sahabat kami berbeda pendapat; Abū Ḥāmid dan sekelompok ulama menyimpulkan masalah ini sebagai dua pendapat karena perbedaan dua riwayat:
Pertama, tidak boleh, sebagaimana yang telah kami sebutkan.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّهُ قَدْ خَرَجَ بِفِرَاقِ اللَّحْمِ عَنْ حَدِّ الْمَأْكُولِ: فَصَارَ كَالْمَدْبُوغِ وَكَانَ أَبُو الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيُّ يَحْمِلُ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَيَحْمِلُ رِوَايَةَ الرَّبِيعِ أَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ بِهِ لَا يَجُوزُ إِذَا كَانَ طَرِيًّا لَيِّنًا، وَرِوَايَةَ الْبُوَيْطِيِّ أَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ بِهِ يَجُوزُ إِذَا كَانَ قَدِيمًا يَابِسًا، وَوَجَدْتُ لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا الْخُرَاسَانِيَّةِ أَنَّهُ يَحْمِلُ رِوَايَةَ الرَّبِيعِ فِي الْمَنْعِ مِنَ الِاسْتِنْجَاءِ عَلَى بَاطِنِ الْجِلْدِ وَدَاخِلِهِ لِأَنَّهُ بِاللَّحْمِ أَشْبَهُ، وَيَحْمِلُ رِوَايَةَ الْبُوَيْطِيِّ فِي جَوَازِ الِاسْتِنْجَاءِ بِهِ عَلَى ظَاهِرِ الْجِلْدِ وَخَارِجِهِ لِأَنَّهُ خَارِجٌ عَنْ حَالِ اللَّحْمِ لِخُشُونَتِهِ وَغِلَظِهِ وَهَذَا قَوْلٌ مَرْدُودٌ وَتَبْعِيضٌ مُطَّرَحٌ وَإِنَّمَا حَكَيَاهُ تَعَجُّبًا.
Dan yang kedua: boleh, karena telah keluar dengan berpisahnya dari daging dari batas yang dapat dimakan, sehingga menjadi seperti yang disamak. Abu al-Qasim al-Shaymari menakwil hal itu kepada perbedaan dua keadaan, maka ia menakwil riwayat al-Rabi‘ bahwa istinja’ dengannya tidak boleh jika masih basah dan lembek, dan riwayat al-Buwayṭi bahwa istinja’ dengannya boleh jika sudah lama dan kering. Dan aku dapati sebagian sahabat kami dari kalangan ulama Khurasan menakwil riwayat al-Rabi‘ dalam larangan istinja’ kepada bagian dalam kulit dan sebelah dalamnya karena lebih menyerupai daging, dan menakwil riwayat al-Buwayṭi dalam bolehnya istinja’ dengannya kepada bagian luar kulit dan luarnya karena telah keluar dari keadaan daging sebab kekasaran dan ketebalannya. Dan ini adalah pendapat yang tertolak dan pembagian yang terbuang, dan sesungguhnya mereka hanya meriwayatkannya sebagai bentuk keheranan.
(مسألة: جواز الاستنجاء بحجر له ثلاثة أحرف)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنِ اسْتَطَابَ بحجرٍ لَهُ ثَلَاثَةُ أحرفٍ كَانَ كَثَلَاثَةِ أحجارٍ إِذَا أَنْقَى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْحَجَرُ الَّذِي لَهُ ثَلَاثَةُ أَحْرُفٍ يَقُومُ كُلُّ حَرْفٍ مِنْهَا مَقَامَ حَجَرٍ فَيَصِيرُ كَالْمُسْتَنْجِي بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَيُجْزِيهِ، وَذَهَبَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِيهِ إِلَّا ثَلَاثَةُ أَحْجَارٍ، (لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أحجارٍ “) وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَكْتَفِي أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلَاثِ مسحاتٍ “، فَكَانَ الْمُعْتَبَرُ أَعْدَادَ الْمَسْحِ لَا أَعْدَادَ الْحَجَرِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَالَ فَمَسَحَ ذَكَرَهُ عَلَى الْحَائِطِ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْحَائِطَ كَالْحَجَرِ الْوَاحِدِ لِاتِّصَالِهِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَسَرَ الحجر ثلاث قطع واستعملها يجزيه فكذا يجزيه وإن كان مجتمعاً لأنه ليس لانفصالها معنى يؤثر يَزِيدُ فِي التَّطْهِيرِ.
(Masalah: Bolehnya istinja’ dengan batu yang memiliki tiga sisi)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika beristithabah dengan batu yang memiliki tiga sisi, maka itu seperti tiga batu apabila sudah membersihkan.”
Al-Māwardī berkata: Sebagaimana yang beliau katakan, batu yang memiliki tiga sisi, setiap sisi di antaranya menempati kedudukan satu batu, sehingga seperti orang yang beristinja’ dengan tiga batu, maka itu mencukupi. Sebagian ulama berpendapat bahwa itu tidak mencukupi kecuali dengan tiga batu (karena sabda Nabi SAW: “Hendaklah ia beristinja’ dengan tiga batu”), dan ini adalah keliru karena diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian mencukupkan diri dengan kurang dari tiga kali usapan.” Maka yang menjadi patokan adalah jumlah usapan, bukan jumlah batu. Dan karena Nabi SAW pernah kencing lalu mengusap dzakarnya pada dinding, dan sudah diketahui bahwa dinding itu seperti satu batu karena menyatu. Dan karena jika ia memecah batu menjadi tiga potongan lalu menggunakannya, maka itu mencukupi, begitu pula jika tetap menyatu karena terpisahnya tidak memberi pengaruh yang menambah pada penyucian.
(مَسْأَلَةٌ: عَدَمُ جَوَازِ الِاسْتِنْجَاءِ بالعظم والنجس)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُجْزِئُ أَنْ يَسْتَطِيبَ بعظمٍ وَلَا نَجِسٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ بِالْعَظْمِ لَا يَجُوزُ وَذَهَبَ أبو حنيفة إِلَى جَوَازِهِ لِكَوْنِهِ طَاهِرًا مُزِيلًا كَالْحَجَرِ، وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ شَيْبَانَ عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِي فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّ مَنِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دابةٍ أَوْ عظمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْهُ بريءٍ “. وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَدِمَ وَفْدُ الْجِنِّ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالُوا يَا مُحَمَّدُ انْهَ أُمَّتَكَ أَنْ يَسْتَنْجُوا بعظمٍ أَوْ روثةٍ أَوْ حممةٍ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لَنَا فِيهَا رِزْقًا. قَالَ: فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن ذلك.
وروى صالح مولى التوأمة عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا يستطيبن فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُذَكًّى فَهُوَ نَجِسٌ وَالِاسْتِنْجَاءُ بِالنَّجِسِ لَا يَجُوزُ.
(Masalah: Tidak bolehnya istinja’ dengan tulang dan benda najis)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Tidak sah beristithabah dengan tulang dan tidak pula dengan yang najis.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Telah kami sebutkan bahwa istinja’ dengan tulang tidak boleh. Abu Ḥanīfah berpendapat boleh karena tulang itu suci dan menghilangkan (najis) seperti batu. Dalil kami adalah riwayat Syaiban dari Ruwaifi‘ bin Ṯābit, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku: “Wahai Ruwaifi‘, barangkali hidupmu akan panjang setelahku, maka beritahukanlah kepada manusia bahwa siapa yang beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang, maka Muhammad SAW berlepas diri darinya.”
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah ad-Daylamī dari ‘Abdullah bin Mas‘ud, ia berkata: Utusan jin datang kepada Nabi SAW, lalu mereka berkata: “Wahai Muhammad, laranglah umatmu dari beristinja’ dengan tulang, kotoran hewan, atau arang, karena Allah Ta‘ala telah menjadikan itu sebagai rezeki bagi kami.” Maka Rasulullah SAW melarang hal itu.
Dan diriwayatkan Ṣāliḥ maulā at-Tu‘amah dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian beristithabah dengan tulang …” Jika itu dari hewan yang tidak disembelih secara syar‘i, maka ia najis, dan istinja’ dengan yang najis tidak boleh.
وَإِنْ كَانَ مُذَكًّى فَهُوَ مَطْعُومٌ وَالِاسْتِنْجَاءُ بِالْمَطْعُومِ لَا يَجُوزُ لِمَا دللنا عليه ولأن في العظم سهوكة لزوجته تَمْنَعُ مِنَ الْإِزَالَةِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ بِهِ غَيْرُ جَائِزٍ، سَوَاءً كَانَ الْعَظْمُ الَّذِي يَسْتَنْجِي بِهِ رَخْوًا رَطْبًا أَوْ كَانَ قَوِيًّا مُشْتَدًّا، قَدِيمًا كَانَ أَوْ حَدِيثًا، مَيِّتًا كَانَ أَوْ ذَكِيًّا، فَإِنْ أُحْرِقَ بِالنَّارِ حَتَّى ذَهَبَتْ سهوكته لزوجته وخرج عَنْ حَالِ الْعَظْمِ فَإِنْ كَانَ عَظْمَ مَيِّتٍ لَمْ يَجُزْ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ لِأَنَّهُ نَجِسٌ عِنْدَنَا وَالنَّارُ لَا تُطَهِّرُ النَّجَاسَةَ، وَإِنْ كَانَ مُذَكًّى فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ بَعْدَ إِحْرَاقِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يُسْتَعْمَلَ لِأَنَّ النَّارَ قَدْ أَحَالَتْهُ عَنْ حَالِهِ فَصَارَتْ كَالدِّبَاغَةِ تُحِيلُ الْجِلْدَ الْمُذَكَّى عَمَّا كَانَ عَلَيْهِ إِلَى حَالٍ يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ.
Dan jika ia dari hewan yang disembelih secara syar‘i, maka ia termasuk makanan, dan istinja’ dengan sesuatu yang termasuk makanan tidak boleh, sebagaimana yang telah kami jelaskan, dan karena pada tulang terdapat sahwakah (kelembekan) dan kelicinan yang menghalangi penghilangan (najis). Maka apabila telah tetap bahwa istinja’ dengannya tidak boleh, baik tulang yang digunakan itu lembek basah atau keras kuat, lama atau baru, dari bangkai atau dari hewan yang disembelih, jika dibakar dengan api hingga hilang kelembekan dan kelicinannya serta keluar dari sifat tulang, maka jika itu tulang bangkai tidak boleh istinja’ dengannya karena menurut kami ia najis, dan api tidak menyucikan najis. Adapun jika ia dari hewan yang disembelih secara syar‘i, maka ulama kami berbeda pendapat tentang bolehnya menggunakannya setelah dibakar menjadi dua pendapat:
Pertama: Boleh digunakan, karena api telah mengubahnya dari sifat asalnya, sehingga seperti penyamakan yang mengubah kulit hewan yang disembelih dari sifat asalnya kepada keadaan yang boleh digunakan untuk istinja’.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِهِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ الرِّمَّةَ هِيَ الْعَظْمُ الْبَالِي فَلَا فَرْقَ أَنْ يَصِيرَ بَالِيًا بِمُرُورِ الزَّمَانِ، وَبَيْنَ أَنْ يَصِيرَ بَالِيًا بِالنَّارِ، وَالشَّاهِدُ عَلَى أَنَّ الرِّمَّةَ هِيَ الْعَظْمُ الْبَالِي قَوْلُ جَرِيرٍ لِابْنِهِ فِي شِعْرِهِ.
Pendapat yang kedua: Tidak boleh istinja’ dengannya, karena Nabi SAW melarang kotoran hewan (rawṯ) dan rimmah, dan diketahui bahwa rimmah adalah tulang yang telah lapuk, maka tidak ada perbedaan antara menjadi lapuk karena berlalu waktu dengan menjadi lapuk karena api. Dan yang menjadi bukti bahwa rimmah adalah tulang yang lapuk adalah perkataan Jarīr kepada anaknya dalam syairnya.
(فَارَقْتَنِي حين عن الدَهْرُ مِنْ بَصَرِي … وَحِينَ صِرْتُ كَعَظْمِ الرُّمَّةِ الْبَالِي)
وَالْفَرْقُ بَيْنَ النَّارِ فِي الْعَظْمِ وَبَيْنَ الدِّبَاغَةِ فِي الْجِلْدِ أَنَّ الدِّبَاغَةَ تَنْقُلُ الْجِلْدَ إِلَى حَالٍ زَائِدَةٍ فَأَفَادَتْهُ حُكْمًا زَائِدًا، وَالنَّارُ تَنْقُلُ الْعَظْمَ إِلَى حَالٍ نَاقِصَةٍ، فَكَانَ أَوْلَى أن يصير حكمه ناقصاً.
(Engkau meninggalkanku ketika masa telah mengambil penglihatanku … dan ketika aku telah menjadi seperti tulang rimmah yang lapuk)
Perbedaan antara api pada tulang dan penyamakan pada kulit adalah bahwa penyamakan memindahkan kulit kepada keadaan yang lebih baik sehingga memberinya hukum tambahan, sedangkan api memindahkan tulang kepada keadaan yang lebih buruk, maka lebih pantas jika hukumnya menjadi berkurang.
(فصل)
: فأما قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَطِيبَ بِعَظْمٍ وَلَا نَجِسٍ، فَقَدْ رُوِيَ نَجِسٌ بِكَسْرِ الْجِيمِ وَرُوِيَ نجسٌ بِفَتْحِ الْجِيمِ فَمَنْ رَوَى بِالْكَسْرِ جَعَلَهُ صِفَةً لِلْعَظْمِ فَصَارَ مَعْنَاهُ، وَلَا يُجْزِئُ أَنْ يَسْتَطِيبَ بِعَظْمٍ لَا طَاهِرٍ وَلَا نَجِسٍ، وَمَنْ رَوَى بِالْفَتْحِ جَعَلَهُ ابْتِدَاءً، وَنَهَى عَنِ الِاسْتِنْجَاءِ بِالنَّجَاسَاتِ كُلِّهَا، وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَى أَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ بِالنَّجَاسَاتِ لَا يَجُوزُ فَإِنِ اسْتَنْجَى بِهَا لَمْ يَجْزِهِ وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا بَعْدَ الِاسْتِنْجَاءِ بِهَا هَلْ يَسْتَعْمِلُ الْأَحْجَارَ بَعْدَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِنَجَاسَةِ الْمَحَلِّ بِغَيْرِ مَا خَرَجَ مِنَ السَّبِيلِ.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّ مَا حَدَثَ مِنَ النَّجَاسَةِ يَصِيرُ تَبَعًا لِنَجَاسَةِ الْمَحَلِّ.
(PASAL)
Adapun perkataan al-Syafi‘i: “Dan tidak boleh beristithabah dengan tulang dan tidak dengan najis,” telah diriwayatkan lafaz najis dengan kasrah pada huruf jim dan juga dengan fathah pada huruf jim. Maka, siapa yang meriwayatkannya dengan kasrah menjadikannya sebagai sifat bagi tulang, sehingga maknanya menjadi: “Tidak sah beristithabah dengan tulang yang tidak suci dan tidak (dengan) yang najis.” Dan siapa yang meriwayatkannya dengan fathah menjadikannya sebagai permulaan, yaitu larangan dari istinja’ dengan semua najis.
Dan telah kami jelaskan bahwa istinja’ dengan najis tidak boleh. Jika ia beristinja’ dengannya, maka tidak mencukupi. Ulama kami berbeda pendapat setelah istinja’ dengan najis, apakah boleh menggunakan batu setelahnya atau tidak, menjadi dua pendapat:
Pertama: Tidak boleh, karena najisnya tempat itu berasal dari selain yang keluar dari qubul dan dubur.
Kedua: Boleh, karena najis yang timbul menjadi ikutannya najis yang ada pada tempat itu.
(فَصْلٌ: تَقْدِيمُ الْوُضُوءِ عَلَى الِاسْتِنْجَاءِ)
فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنَ الِاسْتِنْجَاءِ وَأَحْكَامِهِ فَيَنْبَغِي لِلْمُحْدِثِ أَنْ يُقَدِّمَ الِاسْتِنْجَاءَ عَلَىطَهَارَتِهِ فَإِنْ تَوَضَّأَ قَبْلَ الِاسْتِنْجَاءِ أَجْزَأَهُ وَلَوْ تَيَمَّمَ قَبْلَ الِاسْتِنْجَاءِ لَمْ يُجْزِهِ، وَقَالَ الرَّبِيعُ: وَفِي التَّيَمُّمِ قَوْلٌ آخَرُ إِنَّهُ يُجْزِيهِ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَثْبَتَ رِوَايَةَ الرَّبِيعِ وَخَرَّجَ التَّيَمُّمَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ أَنْكَرَهَا وَأَضَافَ ذَلِكَ إِلَى رِوَايَتِهِ وَمَذْهَبِهِ فَأَبْطَلَ التَّيَمُّمَ قَبْلَ الِاسْتِنْجَاءِ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ صَحَّ الْوُضُوءُ قَبْلَهُ.
(PASAL: Mendahulukan wudhu atas istinja’)
Apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan tentang istinja’ dan hukum-hukumnya, maka sebaiknya bagi orang yang berhadats untuk mendahulukan istinja’ sebelum bersuci. Jika ia berwudhu sebelum istinja’, maka wudhunya sah. Namun jika ia bertayammum sebelum istinja’, maka tidak sah.
Al-Rabi‘ berkata: Dalam tayammum ada pendapat lain bahwa hal itu sah. Di antara sahabat kami ada yang menetapkan riwayat al-Rabi‘ dan menjadikan tayammum itu pada dua pendapat. Dan di antara mereka ada yang mengingkarinya dan menisbatkan hal itu kepada riwayat dan mazhabnya, lalu membatalkan tayammum sebelum istinja’ sebagai satu pendapat, meskipun wudhu sebelum istinja’ adalah sah.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْوُضُوءِ وَالتَّيَمُّمِ أَنَّ الْوُضُوءَ مَوْضُوعٌ لِرَفْعِ الْحَدَثِ لَا لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ فَجَازَ أَنْ يَرْتَفِعَ حَدَثُهُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَبِحِ الصَّلَاةَ وَالتَّيَمُّمَ مَوْضُوعٌ لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ لَا لِرَفْعِ الْحَدَثِ فَلَمْ يَصِحَّ اسْتِبَاحَتُهَا مَعَ بَقَاءِ الِاسْتِنْجَاءِ الْمَانِعِ مَعَ اسْتِبَاحَتِهَا. فَإِنْ قِيلَ: فَيَلْزَمُ عَلَى هَذَا الِاعْتِلَالِ إِنْ كَانَتْ عَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ أَلَّا يَصِحَّ تَيَمُّمُهُ قَبْلَ إِزَالَتِهَا لِأَنَّهُ لَا يَسْتَبِيحُ الصَّلَاةَ مَعَهَا. قِيلَ: قَدْ حَكَى شَيْخُنَا أَبُو حَامِدٍ أَنَّهُ سَأَلَ أَبَا الْقَاسِمِ الدَّارَكِيَّ عَنْ ذَلِكَ سُؤَالَ إِلْزَامٍ عَلَى هَذَا الِاعْتِلَالِ فَقَالَ فِيهِ وَجْهَانِ:
أحدها: لَا يَصِحُّ تَيَمُّمُهُ قَبْلَ إِزَالَتِهَا، كَمَا لَا يَصِحُّ تَيَمُّمُهُ قَبْلَ الِاسْتِنْجَاءِ.
Perbedaan antara wudhū’ dan tayammum adalah bahwa wudhū’ disyariatkan untuk mengangkat ḥadats, bukan untuk membolehkan shalat, sehingga sah jika ḥadats-nya terangkat meskipun belum boleh shalat. Adapun tayammum disyariatkan untuk membolehkan shalat, bukan untuk mengangkat ḥadats, sehingga tidak sah kebolehannya bila masih ada istinjā’ yang menjadi penghalang beserta kebolehannya.
Jika dikatakan: “Maka berdasarkan alasan ini, apabila ada najis pada badannya, berarti tidak sah tayammum-nya sebelum menghilangkannya, karena ia tidak boleh shalat dengannya.” Maka dijawab: Telah meriwayatkan guru kami, Abū Ḥāmid, bahwa ia pernah bertanya kepada Abū al-Qāsim al-Dārakī tentang hal itu sebagai pertanyaan ilzām (konsekuensi) atas alasan ini, lalu ia berkata: Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Pertama: Tidak sah tayammum-nya sebelum menghilangkannya, sebagaimana tidak sah tayammum-nya sebelum istinjā’.
الْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَصِحُّ، وَالْفَرْقُ مَعَ بَقَاءِ الِاسْتِنْجَاءِ، وَبَقَاءِ غَيْرِهِ مِنْ نَجَاسَاتِ الْبَدَنِ أَنَّ نَجَاسَةَ الِاسْتِنْجَاءِ هِيَ الَّتِي أَوْجَبَتِ التَّيَمُّمَ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ بَقَاؤُهَا مَانِعًا مِنْ صِحَّتِهِ وَنَجَاسَةَ غَيْرِ الِاسْتِنْجَاءِ لَمْ تُوجِبِ التَّيَمُّمَ فَجَازَ أَلَّا يَكُونَ بَقَاؤُهَا مَانِعًا مِنْ صِحَّتِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pendapat kedua: Bahwa tayammum-nya sah. Perbedaannya, ketika masih ada najis istinjā’ dan selainnya dari najis pada badan, adalah bahwa najis istinjā’ itulah yang menyebabkan disyariatkannya tayammum, maka boleh jadi keberadaannya menjadi penghalang dari sahnya tayammum. Sedangkan najis selain istinjā’ tidak menyebabkan disyariatkannya tayammum, maka boleh jadi keberadaannya tidak menjadi penghalang dari sahnya tayammum. Dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالَّذِي يُوجِبُ الْوُضُوءَ الْغَائِطُ وَالْبَوْلُ “.
Bab al-ḥadats
(Masalah): Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Yang mewajibkan wudhū’ adalah ghā’iṭ dan bawl.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ هَذَا الَّذِي يُوجِبُ الْوُضُوءَ أَحَدُ خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: فَأَوَّلُهَا مَا خَرَجَ مِنَ السَّبِيلَيْنِ وَهُمَا الْقُبُلُ وَالدُّبُرُ، وَالْخَارِجُ مِنْهُمَا ضَرْبَانِ: مُعْتَادٌ وَنَادِرٌ: فَالْمُعْتَادُ الْغَائِطُ وَالْبَوْلُ وَالصَّوْتُ وَالرِّيحُ وَدَمُ الْحَيْضِ. وَفِيهَا الْوُضُوءُ. وِفَاقًا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ) {المائدة: 6) . وَالنَّادِرُ الْمَذْيُ وَالْوَدْيُ، وَالدُّودُ وَالْحَصَى وَسَلَسُ الْبَوْلِ، وَدَمُ الْمُسْتَحَاضَةِ وَقَدِ اخْتَلَفُوا فِي وُجُوبِ الْوُضُوءِ منه فمذهبه الشَّافِعِيِّ وأبي حنيفة وُجُوبُ الْوُضُوءِ مِنْهُ كَالْمُعْتَادِ.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa perkara yang mewajibkan wudhū’ itu ada lima bagian. Pertama, sesuatu yang keluar dari dua jalan, yaitu qubul dan dubur. Yang keluar dari keduanya ada dua macam: yang biasa dan yang jarang.
Yang biasa adalah tinja, air kencing, suara, angin, dan darah haid. Dalam hal ini wajib wudhū’, sesuai dengan firman Allah Ta‘ālā: “atau salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air” (QS al-Mā’idah: 6).
Yang jarang adalah madzi, wadzi, cacing, batu kecil, penyakit beser (salsul-bawl), dan darah istihādah. Para ulama berbeda pendapat tentang wajibnya wudhū’ karena darah istihādah. Menurut mazhab al-Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah, wajib wudhū’ karenanya sebagaimana pada yang biasa.
وَقَالَ مَالِكٌ لَا وُضُوءَ مِنْهُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا وُضُوءَ إِلَّا مِنْ صوتٍ أَوْ ريحٍ ” يَعْنِي الْمُعْتَادَ كَالصَّوْتِ وَالرِّيحِ فَدَلَّ عَلَى انْتِفَائِهِ مِنَ النَّادِرِ، وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلْمُسْتَحَاضَةِ: ” صَلِّي وَلَوْ قَطَرَ الدَمُ عَلَى الْحَصِيرِ قَطْرًا “. فَلَمْ يَنْقُضْ وُضُوءَهَا بِدَمِ الِاسْتِحَاضَةِ لِكَوْنِهِ نَادِرًا، قَالَ وَلِأَنَّ الْخَارِجَ الْمُعْتَادَ إِذَا خَرَجَ مِنْ غَيْرِ مَخْرَجِ الْحَدَثِ الْمُعْتَادِ لَمْ يَجِبِ الْوُضُوءُ لِكَوْنِهِ نَادِرًا وَجَبَ إِذَا خَرَجَ غَيْرُ الْمُعْتَادِ مِنْ مَخْرَجٍ مُعْتَادٍ أَلَّا يُوجِبَ الْوُضُوءَ لِكَوْنِهِ نَادِرًا. وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ} ، وَهُوَ مَقْصُودٌ لِلنَّادِرِ وَالْمُعْتَادِ، وَرَوَى عَابِسُ بْنُ أَنَسٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا بِالْكُوفَةِ يَقُولُ قُلْتُ لِعَمَّارٍ سَلْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْمَذْيِ يُصِيبُ أَحَدَنَا إِذَا دَنَا مِنْ أَهْلِهِ فَإِنَّ ابْنَتَهُ تَحْتِي وَأَنَا أَسْتَحِي مِنْهُ فَسَأَلَهُ عَمَّارٌ.
Mālik berkata: Tidak wajib wudhū’ karena hal itu, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “Tidak ada wudhū’ kecuali karena suara atau angin,” yakni yang biasa seperti suara dan angin, sehingga menunjukkan bahwa hal itu tidak berlaku pada yang jarang. Dan Nabi SAW berkata kepada wanita mustahāḍah: “Shalatlah, sekalipun darah menetes di atas tikar menetes,” maka beliau tidak membatalkan wudhū’-nya karena darah istihādah, sebab hal itu jarang.
Ia berkata: Karena sesuatu yang keluar yang biasa, jika keluar dari selain tempat keluarnya hadats yang biasa, tidak mewajibkan wudhū’ karena jarang, maka sudah seharusnya jika yang keluar itu tidak biasa, tetapi keluar dari tempat keluarnya yang biasa, tidak mewajibkan wudhū’ karena jarang.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “atau salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air” (QS al-Mā’idah: 6), yang dimaksud adalah yang jarang maupun yang biasa.
Dan telah meriwayatkan ‘Ābis bin Anas, ia berkata: Aku mendengar ‘Alī di Kufah berkata: Aku berkata kepada ‘Ammār: “Tanyakanlah kepada Rasulullah SAW tentang madzi yang mengenai salah seorang dari kami ketika mendekati istrinya, karena putrinya ada di bawah tanggunganku dan aku malu kepadanya.” Maka ‘Ammār pun bertanya kepadanya.
فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: يَكْفِي مِنْهُ الْوُضُوءُ، فَإِنَّمَا أَوْجَبَ هَذَا الْحَدِيثُ الْوُضُوءَ مِنَ الْمَذْيِ وَهُوَ نَادِرٌ فَكَذَلِكَ مِنْ كُلِّ نَادِرٍ وَلِأَنَّهُ خَارِجٌ مِنْ مَخْرَجِ الْحَدَثِ الْمُعْتَادِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْقُضَ الْوُضُوءَ كَالْخَارِجِ الْمُعْتَادِ فَأَمَّا قَوْلُهُ لَا وُضُوءَ إِلَّا مِنْ صَوْتٍ أَوْ رِيحٍ فَهُوَ أَنَّهُ لَا ظَاهِرَ لَهُ يَتَعَلَّقُ الْحُكْمُ بِهِ ثُمَّ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ الْوُضُوءِ مِنَ الصَّوْتِ وَالرِّيحِ وَإِنْ كَانَ نَادِرًا كَمَا يُوجِبُهُ، وَإِنْ كَانَ مُعْتَادًا، وَأَمَّا خَبَرُ الْمُسْتَحَاضَةِ فَلَا دَلِيلَ فِيهِ لِأَنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ مُحْدِثَةٌ وَإِنَّمَا أَجْزَأَتْهَا الصَّلَاةُ لِلضَّرُورَةِ، وَأَمَّا الْمُعْتَادُ إِذَا خَرَجَ مِنْ غَيْرِ الْمَخْرَجِ الْمُعْتَادِ فَلَيْسَ الْمَعْنَى فِي سُقُوطِ الْوُضُوءِ مِنْهُ أَنَّهُ نَادِرٌ وَلَكِنَّ الْمَعْنَى فِيهِ أنه خارج من غير مخرج معتاد.
Maka Nabi SAW bersabda: “Cukuplah darinya wudhū’.” Hadis ini mewajibkan wudhū’ karena madzi padahal ia jarang, maka demikian pula pada setiap yang jarang. Dan karena ia keluar dari tempat keluarnya hadats yang biasa, maka wajib membatalkan wudhū’ sebagaimana yang keluar yang biasa.
Adapun sabdanya: “Tidak ada wudhū’ kecuali karena suara atau angin,” maka maksudnya adalah bahwa tidak ada sesuatu yang nyata darinya yang menjadi sandaran hukum, kemudian di dalamnya terdapat dalil wajibnya wudhū’ karena suara dan angin, baik ia jarang maupun biasa.
Adapun hadis mustahāḍah maka tidak ada dalil di dalamnya, karena wanita mustahāḍah itu berstatus berhadats, dan shalatnya dianggap sah hanya karena darurat.
Adapun yang biasa jika keluar dari selain tempat keluarnya yang biasa, maka sebab gugurnya kewajiban wudhū’ darinya bukanlah karena ia jarang, tetapi karena ia keluar dari selain tempat keluarnya yang biasa.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ مَا خَرَجَ مِنْ سَبِيلَيِ الْمُحْدِثِ مُوجِبٌ لِلْوُضُوءِ مِنْ مُعْتَادٍ وَنَادِرٍ، فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا أَدْخَلَ مِيلًا فِي ذَكَرِهِ وَأَخْرَجَهُ بَطَلَ وُضُوءُهُ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ صَائِمًا بَطَلَ صَوْمُهُ بِالْوُلُوجِ وَيَنْتَقِضُ وُضُوءُهُ بِالْخُرُوجِ، فَلَوْ أَطْلَعَتْ دُودَةٌ رَأْسَهَا مِنْ أَحَدِ سَبِيلَيْهِ وَلَمْ تتفصل حَتَّى رَجَعَتْ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الْوُضُوءِ مِنْهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوُضُوءَ مِنْهُ وَاجِبٌ لِأَنَّ مَا طَلَعَ مِنْهَا قَدْ صار خارجاً.
والثاني: لَا يَنْتَقِضُ وُضُوءُهُ لِأَنَّ الْخَارِجَ مَا انْفَصَلَ.
PASAL:
Apabila telah tetap bahwa apa yang keluar dari dua jalan orang yang berhadas mewajibkan wudhū’, baik yang biasa maupun yang jarang terjadi, maka jika seorang laki-laki memasukkan mīl ke dalam zakarnya lalu mengeluarkannya, batal wudhū’-nya. Demikian pula jika ia sedang berpuasa, batal puasanya dengan masuknya (mīl tersebut) dan wudhū’-nya batal dengan keluarnya. Maka jika seekor ulat mengeluarkan kepalanya dari salah satu dari dua jalan tersebut dan tidak terpisah hingga kembali masuk, para sahabat kami berbeda pendapat tentang wajibnya wudhū’ darinya dengan dua pendapat:
Pertama: Wudhū’ darinya wajib karena bagian yang keluar darinya telah menjadi sesuatu yang keluar.
Kedua: Tidak batal wudhū’-nya karena yang dianggap keluar adalah yang terpisah.
(فَصْلٌ)
فَأَمَّا إِذَا انْفَتَحَ لَهُ سَبِيلَانِ غَيْرُ سَبِيلَيِ الْخِلْقَةِ لَمْ يَخْلُ حَالُ سَبِيلَيِ الْخِلْقَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَا مَسْدُودَيْنِ أَوْ جَارِيَيْنِ،: فَإِنْ كَانَا مَسْدُودَيْنِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ خِلْقَةً.
PASAL:
Adapun jika terbuka baginya dua jalan selain dua jalan asal penciptaan, maka keadaan dua jalan asal penciptaan tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan:
Pertama, keduanya tertutup; atau kedua, keduanya mengalir.
Jika keduanya tertutup, maka ada dua bentuk:
Pertama: tertutupnya itu merupakan bawaan sejak lahir.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا مِنْ عِلَّةٍ بِهِ، فَإِنْ كَانَ انْسِدَادُهُمَا مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةَ فَسَبِيلُ الْحَدَثِ هُوَ الْمُنْفَتِحُ وَالْخَارِجُ مِنْهُ نَاقِضٌ لِلْوُضُوءِ سَوَاءٌ كَانَ دُونَ الْمَعِدَةِ أَوْ فَوْقَهَا، وَالْمَسْدُودُ كَالْعُضْوِ الزَّائِدِ مِنَ الْخُنْثَى لَا يَجِبُ مِنْ مَسِّهِ وُضُوءٌ وَلَا مِنْ إِيلَاجِهِ غُسْلٌ، وَإِنْ كَانَ انْسِدَادُهُمَا حَادِثًا مِنْ عِلَّةٍ فَحُكْمُ السَّبِيلَيْنِ جَارٍ عَلَيْهِمَا فِي وُجُوبِ الْوُضُوءِ مِنْ مَسِّهِ، وَالْغُسْلِ مِنْ إِيلَاجِهِ، ثُمَّ إِنْ كَانَ السَّبِيلَانِ اللَّذَانِ قَدِ انْفَتَحَا دُونَ الْمَعِدَةِ كَانَ الْخَارِجُ مِنْهُمَا نَاقِضًا لِلْوُضُوءِ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ لِلْحَيِّ مِنْ سَبِيلٍ لِحَدَثِهِ فَأَشْبَهَ سَبِيلَ الْخِلْقَةِ وَإِنْ كَانَ فَوْقَ الْمَعِدَةِ. فَفِي وُجُوبِ الْوُضُوءِ بِمَا خَرَجَ مِنْهُمَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: فِيهِ الْوُضُوءُ كَمَا لَوْ كَانَ تَحْتَ الْمَعِدَةِ اعْتِبَارًا بِالتَّعْلِيلِ الْمُتَقَدِّمِ.
Dan yang kedua: terjadi karena suatu penyakit pada dirinya. Jika keduanya tertutup sejak asal penciptaan, maka saluran ḥadats adalah yang terbuka, dan apa yang keluar darinya membatalkan wudhu, baik berada di bawah lambung maupun di atasnya. Adapun yang tertutup, hukumnya seperti anggota tambahan dari khuntsā, tidak wajib wudhu karena menyentuhnya dan tidak wajib mandi karena memasukkannya. Jika keduanya tertutup karena suatu penyakit, maka hukum dua saluran itu berlaku atasnya, yaitu wajib wudhu karena menyentuhnya dan wajib mandi karena memasukkannya. Kemudian, jika dua saluran yang terbuka berada di bawah lambung, maka apa yang keluar darinya membatalkan wudhu, karena setiap orang hidup pasti memiliki saluran untuk ḥadats-nya, sehingga menyerupai saluran asal penciptaan. Dan jika berada di atas lambung, maka dalam wajibnya wudhu karena sesuatu yang keluar darinya terdapat dua pendapat: salah satunya, wajib wudhu sebagaimana jika berada di bawah lambung, berdasarkan pertimbangan alasan yang telah disebutkan sebelumnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا وُضُوءَ فِيهِ لِأَنَّ الْخَارِجَ مِنْ فَوْقِ الْمَعِدَةِ مُلْحَقٌ بِالْقَيْءِ وَالْقَيْءُ لَا وُضُوءَ فِيهِ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ سَبِيلَا الْخِلْقَةِ جَارِيَيْنِ فَإِنْ كَانَ مَا انْفَتَحَ مِنَ السَّبِيلِ الْحَادِثِ فَوْقَ الْمَعِدَةِ لَمْ يَجِبْ فِي الْخَارِجِ مِنْهُ وُضُوءٌ وَإِنْ كَانَ دُونَ الْمَعِدَةِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ، وَكَانَ أَبُو علي بنأَبِي هُرَيْرَةَ يَنْقُلُ هَذَا الْجَوَابَ إِلَى الْمَسْأَلَةِ الَّتِي قَبْلَهَا فِي سَدِّ السَّبِيلَيْنِ فَيَقُولُ: إِنْ كَانَ فَوْقَ الْمَعِدَةِ لَمْ يَنْقُضْ، وَإِنْ كَانَ دُونَهَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ، وَأَنْكَرَ أَصْحَابُنَا عَلَيْهِ وَنَسَبُوهُ إِلَى الْغَفْلَةِ فِيهِ. فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا وَجَعَلْنَا مَا انْفَتَحَ مِنَ السَّبِيلِ الْحَادِثِ مَخْرَجًا لِلْحَدَثِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ السَّبِيلَيْنِ فِي وُجُوبِ الْوُضُوءِ مِنْ مَسِّهِ وَالْغُسْلِ مِنَ الْإِيلَاجِ فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ كَمَا ذَكَرْنَا فِي اسْتِعْمَالِ الْأَحْجَارِ فِي الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ، وَهَكَذَا اخْتَلَفُوا إِذَا نَامَ عَلَيْهِ مُلْصِقًا لَهُ بِالْأَرْضِ هَلْ يَكُونُ كَالنَّائِمِ قَاعِدًا فِي سُقُوطِ الوضوء عنه على وجهين.
Pendapat yang kedua: tidak wajib wudhu, karena sesuatu yang keluar dari atas lambung disamakan dengan muntah, dan muntah tidak mewajibkan wudhu. Adapun jika dua saluran asal penciptaan tetap mengalir, lalu yang terbuka dari saluran yang terjadi kemudian berada di atas lambung, maka tidak wajib wudhu karena sesuatu yang keluar darinya. Dan jika berada di bawah lambung, maka hukumnya ada dua pendapat. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah memindahkan jawaban ini ke masalah sebelumnya tentang tertutupnya dua saluran, lalu berkata: jika berada di atas lambung maka tidak membatalkan, dan jika berada di bawahnya maka ada dua pendapat. Namun para sahabat kami mengingkari hal ini dan menisbatkannya kepada kelalaian dalam masalah ini. Maka apabila telah tetap sebagaimana yang kami sebutkan, dan kami menetapkan bahwa saluran yang terbuka dari saluran yang terjadi kemudian itu menjadi jalan keluarnya ḥadats, para sahabat kami berbeda pendapat: apakah berlaku atasnya hukum dua saluran dalam wajibnya wudhu karena menyentuhnya dan wajibnya mandi karena memasukkannya — ada dua pendapat, sebagaimana yang telah kami sebutkan pada penggunaan batu untuk istinjak darinya. Demikian pula mereka berbeda pendapat jika seseorang tidur di atasnya dalam keadaan menempelkannya ke tanah, apakah hukumnya seperti orang yang tidur duduk sehingga wudhu tidak batal — ada dua pendapat.
(مسألة) : قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالنَّوْمُ مُضْطَجِعًا وَقَائِمًا وَرَاكِعًا، وَسَاجِدًا، وَزَائِلًا عَنْ مُسْتَوَى الْجُلُوسِ قَلِيلًا كَانَ النَوْمُ أَوْ كَثِيرًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالنَّوْمُ هُوَ الثَّانِي مِنْ أَقْسَامِ مَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ وَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:
قِسْمٌ يُوجِبُ الْوُضُوءَ.
وَقِسْمٌ لَا يُوجِبُهُ.
وَقِسْمٌ اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهِ.
(Masalah): Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Tidur dalam keadaan berbaring, berdiri, rukuk, sujud, dan bergeser dari posisi duduk yang sempurna, baik tidurnya sedikit maupun banyak.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar, dan tidur adalah yang kedua dari jenis-jenis yang mewajibkan wudhu, dan terbagi menjadi tiga bagian:
Bagian yang mewajibkan wudhu.
Bagian yang tidak mewajibkannya.
Bagian yang terdapat perbedaan pendapat di dalamnya.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْمُوجِبُ للوضوء فهو النوم زائلاً عن مستوء الْجُلُوسِ مُضْطَجِعًا أَوْ غَيْرَ مُضْطَجِعٍ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي صَلَاةٍ. وَحُكِيَ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، وَأَبِي مِجْلَزٍ وَعَمْرِو بْنِ دِينَارٍ وَحُمَيْدٍ الْأَعْرَجِ أَنَّ النَّوْمَ لَا يُوجِبُ بِحَالٍ حَتَّى حُكِيَ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ أَنَّهُ كَانَ إِذَا نَامَ وَكَّلَ بِنَفْسِهِ رَجُلًا يُرَاعِيهِ فَإِذَا اسْتَيْقَظَ قَالَ لَهُ هَلْ سَمِعْتَ صَوْتًا أَوْ وَجَدْتَ رِيحًا، فَإِنْ قَالَ: لَا، قَامَ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ، وَفِيمَا نَذْكُرُهُ مِنَ الْأَخْبَارِ مَا يُوَضِّحُ فَسَادَ هَذَا الْمَذْهَبِ وَيُغْنِي عَنِ الْإِطَالَةِ بِإِفْرَادِهِ بِالدَّلَالَةِ، وَقَالَ أبو حنيفة: النَّوْمُ إِنَّمَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ إِذَا كَانَ مُضْطَجِعًا أَوْ مُتَّكِئًا وَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ إِذَا نَامَ قَائِمًا أَوْ مَاشِيًا.
Adapun bagian yang mewajibkan wudhu adalah tidur yang tidak dalam keadaan duduk, baik berbaring maupun tidak berbaring, jika tidak sedang dalam shalat. Dan telah diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, Abu Majlaz, ‘Amr bin Dinar, dan Humayd al-A’raj bahwa tidur sama sekali tidak mewajibkan wudhu. Hingga disebutkan dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa jika beliau tidur, beliau mewakilkan kepada seseorang untuk mengawasinya. Ketika beliau bangun, beliau berkata kepadanya: “Apakah engkau mendengar suara atau mencium bau?” Jika orang itu berkata: “Tidak,” maka beliau berdiri dan shalat tanpa berwudhu. Dalam berita-berita yang akan kami sebutkan terdapat penjelasan yang membatalkan mazhab ini dan tidak perlu memperpanjang pembahasan dengan mengkhususkannya pada dalil. Dan Abu Hanifah berkata: tidur hanya mewajibkan wudhu jika dalam keadaan berbaring atau bersandar, dan tidak wajib wudhu baginya jika tidur sambil berdiri atau berjalan.
اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَبِي خَالِدٍ الدَّالَانِيِّ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّالنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (كَانَ يَسْجُدُ وَيَنَامُ وَيَنْفُخُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَأُ. فَقُلْتُ لَهُ: صَلَّيْتَ وَلَمْ تَتَوَضَّأْ وَقَدْ نِمْتَ فَقَالَ: إِنَّمَا الْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا فَإِنَهُ إِذَا اضْطَجَعَ اسْتَرْخَتْ مَفَاصِلُهُ، وَهَذَا نَصٌّ، وَرَوَى حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ قَالَ: كُنْتُ نَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى مَنْكِبِي فَانْتَبَهْتُ فَقُلْتُ أَمِنْ هَذَا وضوءٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: (لَا، أَوْ تَضَعُ جَنْبَكَ عَلَى الْأَرْضِ) فَنَفَى عَنْهُ وُجُوبَ الْوُضُوءِ إِلَّا أَنْ يَضَعَ جَنْبَهُ.
Berdalil dengan riwayat Abu Khalid ad-Dalani dari Qatadah dari Abu al-‘Aliyah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi SAW “pernah sujud, lalu tidur, dan mengeluarkan napas, kemudian bangkit dan shalat tanpa berwudhu. Aku berkata kepadanya: ‘Engkau shalat tanpa berwudhu padahal engkau telah tidur.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya wudhu itu hanya diwajibkan bagi orang yang tidur berbaring, karena jika ia berbaring akan mengendur persendiannya.’” Ini adalah nash. Dan telah meriwayatkan Hudzaifah bin al-Yaman, ia berkata: “Aku sedang tidur di masjid, lalu Rasulullah SAW masuk dan meletakkan tangannya di bahuku hingga aku terbangun. Aku berkata: ‘Apakah karena ini aku harus berwudhu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau meletakkan sisi tubuhmu di tanah.’” Maka beliau menafikan kewajiban wudhu kecuali jika seseorang meletakkan sisi tubuhnya.
قَالُوا: وَلِأَنَّ كُلَّ حَالَةٍ هِيَ مِنْ أَحْوَالِ الصَّلَاةِ في الاختبار لَمْ يَكُنِ النَّوْمُ عَلَيْهَا مُوجِبًا لِلْوُضُوءِ كَالْجُلُوسِ، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} (المائدة: 6) ، فَكَانَ الدَّلِيلُ فِيهَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عُمُومُهَا عَلَى كُلِّ قَائِمٍ إِلَى الصَّلَاةِ.
وَالثَّانِي: مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّهُ قَالَ فِي الْآيَةِ: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ} مِنْ نومٍ، وَرَوَى مَحْفُوظُ بْنُ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَائِذٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ “، وَفِيهِ دَلِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَعَلَ الْعَيْنَيْنِ وِكَاءَ السَّهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ نَوْمُ الْعَيْنَيْنِ مُزِيلًا لِلْوِكَاءِ عَلَى الْعُمُومِ إِلَّا مَا خَصَّهُ دَلِيلُ الْجُلُوسِ.
Mereka berkata: “Karena setiap keadaan yang termasuk dari keadaan shalat dalam ujian, tidur di dalamnya tidak mewajibkan wudhu, seperti duduk.”
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Apabila kalian berdiri untuk shalat, maka basuhlah wajah-wajah kalian} (al-Mā’idah: 6). Dalil dari ayat ini ada dari dua sisi:
Pertama: Keumumannya mencakup setiap orang yang berdiri untuk shalat.
Kedua: Riwayat asy-Syafi‘i dari Zaid bin Aslam bahwa ia berkata tentang ayat {Apabila kalian berdiri untuk shalat} yaitu dari tidur. Dan riwayat Mahfuzh bin ‘Alqamah dari ‘Abdurrahman bin ‘Āidz dari ‘Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Pengikat dubur adalah kedua mata, maka barangsiapa tidur hendaklah ia berwudhu.”
Dan di dalamnya terdapat dua dalil:
Pertama: Bahwa beliau menjadikan kedua mata sebagai pengikat dubur, maka hal itu menunjukkan bahwa tidur kedua mata menghilangkan pengikat secara umum, kecuali yang dikhususkan oleh dalil duduk.
وَالثَّانِي: عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ “.
وَرَوَى زِرُّ بْنُ حُبَيْشٍ عن صفوان بن عسال المراوي قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَوْ سَفْرَى أَلَّا ننزع خفافنا ثلاثة أيامٍ ولياليهن إلا من جَنَابَةٍ لَكِنْ مِنْغَائِطٍ وبولٍ ونومٍ فَأَطْلَقَ النَّوْمَ وَلَمْ يُفَرِّقْ، وَلِأَنَّ النَّوْمَ إِذَا صَادَفَ حَالًا مُؤَثِّرًا فِي خُرُوجِ الرِّيحِ كَانَ نَاقِضًا لِلْوُضُوءِ كَالِاضْطِجَاعِ طَرْدًا أَوِ الْقُعُودِ عَكْسًا.
Kedua: umum sabda beliau SAW: “Siapa yang tidur maka berwudhulah.”
Dan telah meriwayatkan Zirr bin Hubaisy dari Shafwān bin ‘Assāl al-Murādī, ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kami apabila sedang bepergian atau dalam perjalanan jauh agar tidak melepas khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, namun (boleh dilepas) karena buang hajat, kencing, dan tidur. Maka beliau menyebutkan tidur secara mutlak tanpa membedakan. Dan karena tidur apabila bertepatan dengan keadaan yang mempengaruhi keluarnya angin, maka ia menjadi pembatal wudhu seperti berbaring secara langsung atau duduk secara terbalik.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْحَدِيثِ المروي عن ابن عباس فهو أن مَعْلُولٌ أَنْكَرَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِي حَدِيثِهِ فَقَالَ أَحْمَدُ: أَبُو خَالِدٍ الدَّالَانِيُّ لَمْ يَلْقَ قَتَادَةَ. وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ: لَمْ يَرْوِ قَتَادَةُ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ إِلَّا أَرْبَعَةَ أَحَادِيثَ لَيْسَ هَذَا مِنْهَا، وَإِذَا كَانَ هَذَا الْحَدِيثُ عِنْدَ أَئِمَّةِ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ بِهَذِهِ الْمَثَابَةِ كَانَ مُطَّرَحًا، وَأَمَّا حَدِيثُ حُذَيْفَةَ فَهُوَ أَنْكَرُ عِنْدَهُمْ مِنَ الْحَدِيثِ الْمَرْوِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، ثُمَّ لَوْ سَلَّمْنَا لَكَانَ التَّعْلِيلُ فِيهِ بِاسْتِرْخَاءِ الْمَفَاصِلِ يَقْتَضِي حَمْلَهُ عَلَى مَا لَمْ يُرْخِهَا مِنَ النُّعَاسِ دُونَ النَّوْمِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْجُلُوسِ فَالْمَعْنَى فِي الْجُلُوسِ أَنَّهُ يخلف العينين فِي حِفْظِ السَّبِيلِ عَنْ خُرُوجِ الصَّوْتِ وَالرِّيحِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا سِوَاهُ.
Adapun jawaban terhadap hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās adalah bahwa hadis tersebut cacat, yang diingkari oleh Abu Dāwud dalam Sunan-nya dan Ahmad bin Hanbal dalam hadisnya. Ahmad berkata: Abu Khālid ad-Dalānī tidak pernah bertemu Qatādah. Abu Dāwud berkata: Qatādah tidak meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah kecuali empat hadis, dan hadis ini bukan termasuk di antaranya. Apabila hadis ini di sisi para imam ahli hadis berada pada tingkatan seperti ini, maka ia tertolak. Adapun hadis Ḥudhayfah, maka hadis itu lebih diingkari oleh mereka daripada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās. Kemudian, sekalipun kita menerima, maka illat di dalamnya berupa “istirkhā’ al-mafāṣil” (longgarnya persendian) menghendaki pembawaannya pada keadaan yang tidak melonggarkan persendian, yaitu nu‘ās (kantuk) tanpa tidur. Adapun qiyas mereka terhadap duduk, maka makna dalam duduk adalah bahwa ia menggantikan fungsi kedua mata dalam menjaga kedua jalan dari keluarnya suara dan angin, dan tidak demikian halnya pada selain duduk.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْقِسْمُ الَّذِي لَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ مِنْ أَقْسَامِ النَّوْمِ فَهُوَ النَّوْمُ قَاعِدًا لَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ قَلِيلًا كَانَ النَّوْمُ أَوْ كَثِيرًا، وَقَالَ الْمُزَنِيُّ نَوْمُ الْقَاعِدِ يُوجِبُ الْوُضُوءَ كَنَوْمِ الْمُضْطَجِعِ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا، وَقَالَ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ إِنْ كَانَ نَوْمُ الْقَاعِدِ كَثِيرًا أَوْجَبَ الْوُضُوءَ، وَإِنْ كَانَ قَلِيلًا لَمْ يُوجِبْهُ وَاسْتَدَلَّ الْمُزَنِيُّ بِحَدِيثِ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ الْمُرَادِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَوْ سَفْرَى أَلَّا ننزع خفافنا ثلاثة أيامٍ ولياليهن إلا من جنابةٍ لَكِنْ مِنْ غائطٍ وبولٍ ونومٍ، فَكَانَ النَّوْمُ عَلَى عُمُومِ الْأَحْوَالِ مُوجِبًا لِلطَّهَارَةِ كَمَا كَانَ الْغَائِطُ وَالْبَوْلُ مُوجِبًا عَلَى عُمُومِ الْأَحْوَالِ، قال ولأن مَا كَانَ حَدَثًا فِي غَيْرِ حَالِ الْقُعُودِ كَانَ حَدَثًا فِي حَالِ الْقُعُودِ كَسَائِرِ الْأَحْدَاثِ، وَأَمَّا مَالِكٌ وَمَنْ تَابَعَهُ فَإِنَّهُمُ اسْتَدَلُّوا بِأَنَّ قَلِيلَ النَّوْمِ فِي الْقُعُودِ لَا يُرْخِي الْمَفَاصِلَ فَكَانَ السَّبِيلُ مَحْفُوظًا، وَإِذَا كَثُرَ وَطَالَ اسْتَرْخَتِ الْمَفَاصِلُ فَصَارَ السَّبِيلُ مُسْتَطْلَقًا، وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ نَامَ قَاعِدًا فَلَمَّا أنبهه النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنْ هَذَا وضوءٌ فَقَالَ: لَا، وَرَوَى مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: الْعَيْنَانِ وِكَاءُ السَّهِ فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنَانِ اسْتَطْلَقَ الْوِكَاءُ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْعَيْنَيْنِ وِكَاءَ السَّهِ فِي حِفْظِ السَّبِيلِ فَكَذَلِكَ الْأَرْضُ تَخْلُفُ الْعَيْنَيْنِ فِي حِفْظِ السَّبِيلِ.
PASAL: Adapun bagian dari macam-macam tidur yang tidak mewajibkan wudhu adalah tidur sambil duduk, tidak mewajibkan wudhu baik tidurnya sedikit ataupun banyak. Al-Muzani berkata: tidur sambil duduk mewajibkan wudhu seperti tidur sambil berbaring, baik sedikit maupun banyak. Malik, al-Auza’i, dan Ahmad bin Hanbal berkata: jika tidur sambil duduk itu banyak maka mewajibkan wudhu, dan jika sedikit maka tidak mewajibkannya.
Al-Muzani berdalil dengan hadis Shafwan bin ‘Assal al-Muradi ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kami ketika sedang bepergian agar tidak melepas khuff kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, tetapi karena buang hajat besar, buang hajat kecil, dan tidur. Maka tidur dalam segala keadaan mewajibkan thaharah sebagaimana buang hajat besar dan kecil mewajibkan dalam segala keadaan. Ia berkata: karena sesuatu yang termasuk hadats ketika tidak dalam keadaan duduk, maka termasuk hadats juga ketika dalam keadaan duduk seperti hadats-hadats lainnya.
Adapun Malik dan orang-orang yang mengikutinya berdalil bahwa sedikit tidur dalam keadaan duduk tidak membuat sendi-sendi rileks sehingga jalan keluarnya (angin atau hadats) tetap terjaga. Jika tidurnya lama dan banyak maka sendi-sendi menjadi rileks sehingga jalan keluarnya terbuka.
Dalil kami adalah hadis Hudzaifah RA bahwa ia tidur sambil duduk, lalu ketika Nabi SAW membangunkannya ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah dari ini aku wajib berwudhu?” Nabi SAW menjawab: “Tidak.” Dan riwayat Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahwa Nabi SAW bersabda: “Kedua mata adalah pengikat dubur, maka jika kedua mata telah tidur lepaslah pengikatnya.” Maka Nabi SAW menjadikan kedua mata sebagai pengikat dubur dalam menjaga jalan keluar, begitu pula tanah menggantikan kedua mata dalam menjaga jalan keluar.
ثُمَّ بَيَّنَ بِالتَّعْلِيلِ أَنَّ النَّوْمَ لَيْسَ بِحَدَثٍ وَإِنَّمَا هُوَ سَبِيلٌ إِلَى الْحَدَثِ فَإِذَا وُجِدَ عَلَى صفة لَا تَكُونُ سَبِيلًا إِلَيْهِ انْتَفَى الْحُكْمُ عَنْهُ، وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ نَامَ جَالِسًا فَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ وَمَنْ وَضَعَ جَنْبَهُ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ ” وَرَوَى قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ينتظرون العشاء الآخرة حتى تخفق رؤسهم ثم يصلون ولا يتوضؤن. وَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى الْإِجْمَاعِ مِنْهُمْ، ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى مَالِكٍ وَمَنْ تَابَعَهُ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ قَلِيلُهُ حَدَثًا لَمْ يَكُنْ كَثِيرُهُ حَدَثًا كَالْكَلَامِ طَرْدًا وَالصَّوْتِ وَالرِّيحِ عَكْسًا، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ الْمُزَنِيِّ بِحَدِيثِ صَفْوَانَ فَهُوَ أنه لَمَّا جَمَعَ فِي حَدِيثِهِ بَيْنَ الْبَوْلِ وَالنَّوْمِ وَكَانَ الْبَوْلُ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ فِي حَالٍ دُونَ حَالٍ وَهِيَ حَالُ السَّلَامَةِ دُونَ سَلَسِ الْبَوْلِ لَمْ يُمْنَعْ أَنْ يَكُونَ النَّوْمُ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ فِي حَالٍ دُونَ حَالٍ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِسَائِرِ الْأَحْدَاثِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ النَّوْمَ لَيْسَ بِحَدَثٍ فِي نَفْسِهِ وَإِنَّمَا هُوَ طَرِيقٌ إِلَيْهِ، وَمَا سِوَى النَّوْمِ حَدَثٌ فِي نَفْسِهِ وَلَوْ كَانَ حَدَثًا لَكَانَ الْقِيَاسُ يَقْتَضِي مَا قَالَهُ الْمُزَنِيُّ مِنْ تَسْوِيَةِ النَّوْمِ فِي الْأَحْوَالِ كَسَائِرِ الْأَحْدَاثِ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ (وَلَوْ صِرْنَا إِلَى النَّظَرِ لَكَانَ إِذَا غَلَبَ عَلَيْهِ النَّوْمُ تَوَضَّأَ بِأَيِّ حَالَاتِهِ كَانَ) يَعْنِي أَنَّ الْقِيَاسَ كَانَ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ حَدَثًا لِتَعَلُّقِ الْوُضُوءِ بِهِ كَسَائِرِ الْأَحْدَاثِ.
Kemudian ia menjelaskan dengan alasan bahwa tidur itu bukan hadats, tetapi hanya jalan menuju hadats. Maka apabila ditemukan dalam suatu keadaan yang tidak menjadi jalan menuju hadats, gugurlah hukum wudhu darinya.
Diriwayatkan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Siapa yang tidur sambil duduk maka tidak wajib wudhu, dan siapa yang meletakkan lambungnya maka wajib wudhu.”
Dan Qatadah meriwayatkan dari Anas ia berkata: Para sahabat Rasulullah SAW menunggu shalat ‘Isya hingga kepala mereka terangguk-angguk, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu. Ini adalah dalil atas adanya ijma’ dari mereka.
Kemudian, di antara dalil terhadap Malik dan orang-orang yang mengikutinya adalah bahwa ketika tidur sedikit tidak dianggap hadats, maka tidur banyak pun tidak dianggap hadats, sebagaimana berbicara (tidak membatalkan) secara mutlak, dan mengeluarkan suara atau angin (membatalkan) secara mutlak.
Adapun jawaban atas istidlal al-Muzani dengan hadis Shafwan adalah bahwa ketika dalam hadis tersebut digabungkan antara buang hajat kecil dan tidur, sedangkan buang hajat kecil membatalkan wudhu dalam satu keadaan saja yaitu ketika sehat, tidak pada keadaan salas al-baul (inkontinensia urin), maka tidak tertutup kemungkinan bahwa tidur juga membatalkan wudhu pada satu keadaan saja, tidak pada semua keadaan.
Adapun istidlalnya dengan selain tidur dari berbagai hadats, maka perbedaan keduanya adalah bahwa tidur bukan hadats itu sendiri, tetapi hanya jalan menuju hadats. Sedangkan selain tidur adalah hadats itu sendiri. Seandainya tidur itu hadats, tentu qiyas mengharuskan seperti yang dikatakan al-Muzani, yaitu menyamakan tidur pada semua keadaan seperti halnya berbagai hadats lainnya. Dan ini adalah maksud perkataan al-Syafi’i: “Seandainya kita berpegang pada pandangan akal, maka ketika tidur telah menguasainya (sampai terlelap) ia wajib berwudhu dalam keadaan apa pun ia berada,” maksudnya qiyas mengharuskan bahwa tidur itu hadats karena keterkaitan wudhu dengannya sebagaimana keterkaitan wudhu dengan hadats-hadats lainnya.
وَلَكِنِ انْصَرَفَ تَعْلِيلُ النَّصِّ عَنْ أَنْ يَكُونَ حَدَثًا لِتَعَلُّقِ الْوُضُوءِ إِلَيْهِ فَجَازَ أَنْ يَخْتَصَّ بِالْحَالِ الَّذِي يَكُونُ سَبِيلًا إِلَيْهِ دُونَ الْحَالِ الَّذِي لَا يَكُونُ سَبِيلًا إِلَيْهِ.
قَالَ الْمُزَنِيُّ: وَقَدْ جَعَلَهُ الشَّافِعِيُّ فِي النَّظَرِ فِي مَعْنَى مَنْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ كَيْفَ كَانَ يَتَوَضَّأُ فَكَذَلِكَ النَّائِمُ عَلَى مَعْنَاهُ كَيْفَ كَانَ توضأ. الجواب عَنْ هَذَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ الْإِغْمَاءُ حَدَثًا بِعَيْنِهِ فَاسْتَوَى حُكْمُهُ فِي الْأَحْوَالِ وَالنَّوْمُ سَبَبٌ إِلَيْهِ فَاخْتَلَفَ حُكْمُهُ لِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ النَّوْمَ أَخَفُّ حالاً من الإغماء لأنه قد يتنبه بِمَا يَنْتَقِلُ إِلَيْهِ مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ فَاخْتَلَفَ حُكْمُهُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَالْإِغْمَاءُ أَغْلَظُ حَالًا لِأَنَّهُ لَا يَنْتَبِهُ بِمَا يَنْتَقِلُ إِلَيْهِ فَاسْتَوَى حُكْمُهُ فِي الْأَحْوَالِ.
Namun, alasan yang terdapat dalam nash berpaling dari menjadikan tidur sebagai hadats, karena wudhu hanya terkait dengannya. Maka boleh saja ia dikhususkan pada keadaan yang menjadi jalan menuju hadats, tidak pada keadaan yang bukan menjadi jalan menuju hadats.
Al-Muzani berkata: “Dan sungguh al-Syafi’i dalam pandangan akal menjadikannya seperti orang yang pingsan, bagaimana pun keadaannya ia wajib berwudhu. Maka demikian pula orang yang tidur, menurut maknanya, bagaimana pun keadaannya wajib berwudhu.”
Jawaban dari hal ini ada dua:
Pertama, tidak mustahil bahwa pingsan itu adalah hadats itu sendiri sehingga hukumnya sama pada semua keadaan, sedangkan tidur hanyalah sebab menuju hadats, maka hukumnya berbeda sesuai perbedaan keadaan.
Kedua, tidur keadaannya lebih ringan daripada pingsan, karena terkadang ia bisa terbangun dengan berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain, maka hukumnya berbeda sesuai perbedaan keadaan. Sedangkan pingsan keadaannya lebih berat, karena tidak bisa terbangun dengan berpindah keadaan, maka hukumnya sama pada semua keadaan.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُ النَّائِمِ قَاعِدًا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَرَبِّعًا أَوْ مُحْتَبِيًا فَإِنْ جَلَسَ مُتَرَبِّعًا فَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ حِفْظِ الْأَرْضِ لِسَبِيلِهِ وَإِنْ جَلَسَ عَلَى أَلْيَتَيْهِ رَافِعًا لِرُكْبَتَيْهِ مُحْتَبِيًا عَلَيْهَا بِبَدَنِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَالْمُتَرَبِّعِ فِي سُقُوطِ الْوُضُوءِ عَنْهُ لِالْتِصَاقِ أَلْيَتِهِ بِالْأَرْضِ.
PASAL: Apabila telah tetap sebagaimana yang kami sebutkan, maka keadaan orang yang tidur sambil duduk tidak lepas dari dua hal: duduk bersila (mutarabbitan) atau duduk dengan posisi muḥtabiyan.
Jika ia duduk bersila, maka tidak wajib wudhu baginya karena sebagaimana telah kami sebutkan bahwa tanah menjaga jalan keluarnya.
Dan jika ia duduk di atas kedua pantatnya dengan mengangkat kedua lututnya, memeluknya dengan badannya (muḥtabiyan), maka para sahabat kami berbeda pendapat tentangnya menjadi dua pendapat:
Pertama, ia seperti orang yang duduk bersila dalam gugurnya kewajiban wudhu darinya karena kedua pantatnya menempel dengan tanah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ كَالْمُسْتَنِدِ وَالْمُضْطَجِعِ فِي وُجُوبِ الْوُضُوءِ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا جِلْسَةٌ لَا تَحْفَظُ الْأَرْضُ سَبِيلَهُ مِنْهَا، وَلَعَلَّ مَا أَخْرَجَهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ هُوَ قَوْلٌ ثَانٍ فِي نَوْمِ الْقَاعِدِ مَحْمُولٌ عَلَى هَذَا وَكَانَ أَبُو الْفَيَّاضِ الْبَصْرِيُّ يُفَصِّلُ ذَلِكَ فَيَقُولُ:
إِنْ كَانَ النَّائِمُ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ نَحِيفَ الْبَدَنِ مَعْرُوقَ الْأَلْيَةِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ لِأَنَّ السَّبِيلَ لَا يَكُونُ مَحْفُوظًا، وَإِنْ كَانَ لَحِيمَ الْبَدَنِ تَنْطَبِقُ أَلْيَتَاهُ عَلَى الْأَرْضِ فِي هَذَا الْحَالِ لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ لِأَنَّ السَّبِيلَ يَصِيرُ مَحْفُوظًا فَلَوْ نَامَ مُتَرَبِّعًا فَغَلَبَهُ النَّوْمُ حَتَّى مَالَ عَنْ جُلُوسِهِ فَإِنِ ارْتَفَعَتْ أَلْيَتَاهُ عَنِ الْأَرْضِ فِي مَيْلِهِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ، وَإِنْ لَمْ تَرْتَفِعْ فَهُوَ عَلَى وُضُوئِهِ كَمَا لو لم يميل.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الَّذِي اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي وُجُوبِ الْوُضُوءِ مِنْهُ مِنْ أَقْسَامِ النَّوْمِ فَهُوَ النَّوْمُ فِي الصَّلَاةِ فَإِنْ نَامَ فِي مَوْضِعِ الْجُلُوسِ كانت صلاته جائزة ووضوءه جائز.
Pendapat kedua: ia seperti orang yang bersandar atau berbaring, sehingga wajib wudhu baginya karena duduk seperti ini tidak membuat tanah menjaga jalan keluarnya. Kemungkinan, pendapat yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi adalah pendapat kedua dalam masalah tidur sambil duduk, yang dimaksudkan untuk keadaan ini.
Abu al-Fayyadh al-Bashri merinci hal tersebut dengan berkata:
Jika orang yang tidur dalam keadaan ini bertubuh kurus dan pantatnya tipis, maka batal wudhunya karena jalan keluar tidak terjaga. Tetapi jika ia bertubuh gemuk sehingga kedua pantatnya menutup rapat di atas tanah dalam keadaan ini, maka wudhunya tidak batal karena jalan keluar menjadi terjaga.
Jika ia tidur bersila lalu tertidur hingga miring dari posisi duduknya, maka apabila kedua pantatnya terangkat dari tanah saat miring, batal wudhunya. Namun jika tidak terangkat, maka ia tetap dalam keadaan wudhu, sebagaimana jika ia tidak miring.
Adapun bagian dari macam tidur yang berbeda pendapat tentang wajibnya wudhu darinya adalah tidur di dalam shalat. Jika ia tidur dalam posisi duduk, maka shalatnya sah dan wudhunya sah.
وَإِنْ نَامَ فِي غَيْرِ الْجُلُوسِ إِمَّا فِي قِيَامِهِ أَوْ فِي رُكُوعِهِ أَوْ سُجُودِهِ فَفِي بُطْلَانِ وُضُوئِهِ وَصَلَاتِهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ وُضُوءَهُ صَحِيحٌ وَبِهِ قَالَ ثَمَانِيَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً) {الفرقان: 64) ، فَأَخْرَجَهُ مَخْرَجَ الْمَدْحِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْمَدْحُ انْتَفَى عَنْهُ إِبْطَالُ الْعِبَادَةِ، وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا نَامَ الْعَبْدُ فِي سُجُودِهِ بَاهَى اللَّهُ بِهِ الْمَلَائِكَةَ فَيَقُولُ: عَبْدِي رُوحُهُ عِنْدِي وَبَدَنُهُ ساجدٌ بَيْنَ يَدَيَّ ” فَأَوْجَبَ هَذَا نَفْيَ الْحَدَثِ عَنْهُ.
Dan jika ia tidur tidak dalam keadaan duduk, baik dalam berdiri, atau rukuk, atau sujud, maka tentang batalnya wudhu dan shalatnya ada dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim bahwa wudhunya sah. Pendapat ini juga dikatakan oleh delapan orang dari kalangan tabi‘in, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang bermalam untuk Rabb mereka dalam keadaan sujud dan berdiri” (al-Furqān: 64). Ayat ini disampaikan dalam bentuk pujian, dan sesuatu yang berkaitan dengan pujian berarti tidak berlaku padanya pembatalan ibadah.
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Apabila seorang hamba tidur dalam sujudnya, Allah membanggakannya di hadapan para malaikat, lalu berfirman: ‘Ruh hamba-Ku berada di sisi-Ku dan badannya bersujud di hadapan-Ku.’” Maka hal ini mewajibkan peniadaan hadats darinya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّ وُضُوءَهُ قَدِ انْتَقَضَ وَصَلَاتَهُ قَدْ بَطَلَتْ لِمَا رُوِيَ أَنَّهُ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: إِنَّكَ تَنَامُ فِي صَلَاتِكَ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” تَنَامُ عَيْنَايَ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ نَوْمَ الْقَلْبِ نَاقِضٌ لِلْوُضُوءِ، وَلِأَنَّ مَا كَانَ حَدَثًا فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ كَانَ حَدَثًا فِي الصَّلَاةِ كَسَائِرِ الْأَحْدَاثِ، فَلَوْ تَيَقَّنَ الْمُتَوَضِّئُ النَّوْمَ ثُمَّ شَكَّ فِيهِ هَلْ كَانَ جَالِسًا أَوْ مُضْطَجِعًا فَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْوُضُوءَ لا يجب بالشك.
Pendapat kedua: dikatakan beliau dalam qaul jadid bahwa wudhunya telah batal dan shalatnya telah batal. Karena diriwayatkan bahwa pernah dikatakan kepada Rasulullah SAW: “Sesungguhnya engkau tidur dalam shalatmu.” Maka beliau SAW bersabda: “Kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur.” Ini menunjukkan bahwa tidurnya hati membatalkan wudhu.
Dan karena sesuatu yang merupakan hadats di luar shalat, maka ia juga merupakan hadats di dalam shalat, sebagaimana hadats-hadats yang lain. Maka jika orang yang berwudhu meyakini bahwa ia tidur, lalu ia ragu apakah tidurnya itu dalam keadaan duduk atau berbaring, maka tidak ada wudhu atasnya, karena wudhu tidak wajib dengan sebab keraguan.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْغَلَبَةُ عَلَى الْعَقْلِ بجنونٍ أَوْ مرضٍ مُضْطَجِعًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُضْطَجِعٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالْغَلَبَةُ عَلَى الْعَقْلِ هُوَ الْقِسْمُ الثَّالِثُ مِنْ أَقْسَامِ مَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ، وَإِنَّمَا وَجَبَ مِنْهُ الْوُضُوءُ لِأَنَّ زَوَالَ الْعَقْلِ أَغْلَظُ حَالًا مِنَ النَّوْمِ فَلَمَّا كَانَ النَّوْمُمُوجِبًا لِلْوُضُوءِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ زَوَالُ الْعَقْلِ مُوجِبًا لَهُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ زَوَالُ عَقْلِهِ بِجُنُونٍ أَوْ مَرَضٍ أَوْ سَكَرٍ أَوْ فَزَعٍ أَوْ رَهْبَةٍ.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Dan hilangnya akal karena gila atau sakit, baik dalam keadaan berbaring maupun tidak berbaring.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Hilangnya akal adalah bagian ketiga dari jenis-jenis yang mewajibkan wudhu. Wudhu wajib karenanya karena hilangnya akal lebih berat keadaannya daripada tidur. Maka ketika tidur saja mewajibkan wudhu, lebih utama lagi bila hilangnya akal mewajibkan wudhu. Dan jika demikian, tidak ada perbedaan apakah hilangnya akalnya karena gila, sakit, mabuk, terkejut, atau takut.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَقَدْ قِيلَ إِنْ كَانَ مَنْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ أَنْزَلَ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ اغْتَسَلَ، قَالَ أَصْحَابُنَا: إِنْ كَانَ الْإِغْمَاءُ لَا يَنْفَكُّ من الْإِنْزَالِ فَعَلَى الْمُغْمَى عَلَيْهِ الْغُسْلُ إِذَا أَفَاقَ لِأَجْلِ الْإِنْزَالِ لَا لِلْإِغْمَاءِ وَإِنْ كَانَ قَدْ يَنْفَكُّ مِنْهُ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ، وَلَوْ فَعَلَهُ اسْتِحْبَابًا كَانَ أَفْضَلَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: حِينَ اغْتَسَلَ لَمَّا أَفَاقَ مِنْ مَرَضِهِ. وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْمُغْمَى عَلَيْهِ فِي حَالِ إِغْمَائِهِ جَالِسًا أَوْ مُضْطَجِعًا بِخِلَافِ النَّائِمِ لِأَنَّهُ لَا يُحِسُّ بِمَا يَكُونُ عِنْدَ الْإِغْمَاءِ لَا فِي حَالِ الْجُلُوسِ وَلَا فِي غَيْرِهِ فلو أن متوضئاً شرب نبيذ فَسَكِرَ لَزِمَهُ غَسْلُ النَّبِيذِ مِنْ فَمِهِ وَمَا أَصَابَ مِنْ جَسَدِهِ وَأَنْ يَتَوَضَّأَ لِزَوَالِ عَقْلِهِ وَلَوْ لَمْ يَسْكَرْ غَسَلَ النَّبِيذَ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِقَاءُ مَا شَرِبَ مِنَ النَّبِيذِ، ولو فعل كان أفضل.
Al-Syafi’i berkata: Telah ada yang mengatakan, jika orang yang pingsan mengeluarkan mani, maka apabila hal itu terjadi ia wajib mandi. Para sahabat kami berkata: Jika pingsan itu tidak terpisah dari keluarnya mani, maka orang yang pingsan wajib mandi ketika sadar karena sebab keluarnya mani, bukan karena sebab pingsannya. Namun jika hal itu bisa terpisah darinya, maka ia tidak wajib mandi. Dan jika ia melakukannya sebagai sunnah, maka itu lebih utama, meneladani Nabi SAW ketika beliau mandi setelah sadar dari sakitnya. Tidak ada perbedaan apakah orang yang pingsan itu dalam keadaan pingsannya duduk atau berbaring, berbeda dengan orang yang tidur, karena ia tidak merasakan apa yang terjadi ketika pingsan baik dalam keadaan duduk maupun selainnya.
Seandainya seseorang yang berwudhu meminum nabidz lalu mabuk, maka ia wajib mencuci nabidz dari mulutnya dan dari bagian tubuhnya yang terkena, serta berwudhu karena hilangnya akal. Jika tidak sampai mabuk, maka ia mencuci nabidz-nya dan tidak berwudhu, dan tidak wajib baginya untuk memuntahkan nabidz yang diminumnya, namun jika ia melakukannya maka itu lebih utama.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمُلَامَسَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ، وَالْمُلَامَسَةُ أَنْ يُفْضِيَ بِشَيْءٍ منه إلى جسدها، أو تفضي إليه لا حَائِلَ بَيْنَهُمَا أَوْ يُقَبِّلَهَا “.
(Masalah)
Al-Syafi’i ra berkata: “Dan menyentuhnya seorang laki-laki kepada perempuan, dan mulāmasah itu adalah menyentuhkan sebagian anggota tubuhnya kepada tubuh perempuan tersebut, atau perempuan itu menyentuhnya, tanpa penghalang di antara keduanya, atau menciumnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالْمُلَامَسَةُ هِيَ الْقِسْمُ الرَّابِعُ مِنْ أَقْسَامِ مَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ فَإِذَا لَمَسَ الرَّجُلُ بَدَنَ الْمَرْأَةِ أَوِ الْمَرْأَةُ بَدَنَ الرَّجُلِ، فَالْوُضُوءُ عَلَى اللَّامِسِ مِنْهُمَا وَاجِبٌ سَوَاءٌ لَمَسَ بِشَهْوَةٍ أَوْ غَيْرِهَا، هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عُمَرَ، وَمِنَ التَّابِعِينَ مَكْحُولٌ وَالشَّعْبِيُّ وَالزُّهْرِيُّ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ النَّخَعِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, dan mulāmasah adalah bagian keempat dari bagian-bagian yang mewajibkan wudhu. Maka apabila seorang laki-laki menyentuh tubuh perempuan atau perempuan menyentuh tubuh laki-laki, maka wudhu atas orang yang menyentuh dari keduanya adalah wajib, baik menyentuh dengan syahwat maupun tanpa syahwat. Ini adalah mazhab al-Syafi’i, dan dengan pendapat ini pula berkata dari kalangan sahabat: ‘Umar, Ibn Mas‘ūd, dan Ibn ‘Umar; dari kalangan tabi‘in: Makḥūl, al-Sya‘bī, dan al-Zuhrī; dan dari kalangan fuqaha: al-Nakha‘ī, al-Awzā‘ī, Aḥmad, dan Isḥāq.
وَقَالَ مَالِكٌ وَالثَّوْرِيُّ: إِنْ قَبَّلَهَا بِشَهْوَةٍ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ لَمْ يَنْتَقِضْ.
وَقَالَ أبو حنيفة وأبو يوسف: وَإِنِ انْتَشَرَ ذَكَرُهُ بِالْمُلَامَسَةِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ، وَإِنْ لَمْ يَنْتَشِرْ لَمْ يَنْتَقِضْ وَقَالَ عَطَاءٌ إِنْ مَسَّ مَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ، وَإِنْ مَسَّ مَنْ تَحِلُّ لَهُ لَمْ يَنْتَقِضْ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، ومحمد بن الحسن: لَا وُضُوءَ فِي الْمُلَامَسَةِ بِحَالٍ وَاسْتَدَلُّوا جَمِيعًا عَلَى سُقُوطِ الْوُضُوءِ مِنْهَا عَلَى اخْتِلَافِهِمْ فِيهَا بِرِوَايَةِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّعَنْ عَائِشَةَ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “.
Mālik dan al-Tsaurī berkata: Jika ia menciumnya dengan syahwat maka batal wudhunya, dan jika tanpa syahwat maka tidak batal.
Abu Ḥanīfah dan Abu Yūsuf berkata: Jika dengan mulāmasah zakarnya menegang maka batal wudhunya, dan jika tidak menegang maka tidak batal.
‘Aṭā’ berkata: Jika ia menyentuh perempuan yang haram dinikahinya maka batal wudhunya, dan jika ia menyentuh perempuan yang halal baginya maka tidak batal.
Ibn ‘Abbās, al-Ḥasan al-Baṣrī, dan Muḥammad bin al-Ḥasan berkata: Tidak ada wudhu dalam mulāmasah dalam keadaan apapun. Mereka semua berdalil atas gugurnya wudhu karena mulāmasah, meskipun berbeda pendapat dalam perinciannya, dengan riwayat dari Ibrāhīm al-Taymī dari ‘Āisyah: “Bahwa Nabi SAW menciumnya dan tidak berwudhu.”
وَبِرِوَايَةِ الْأَعْمَشِ عَنِ حَبِيبٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ، فَقَالَ عُرْوَةُ فَقُلْتُ لَهَا مَنْ هِيَ إِلَّا أَنْتِ فَضَحِكَتْ، وَبِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ افْتَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَاتَ ليلةٍ فَقُمْتُ أَلْتَمِسُهُ بِيَدِي فَوَقَعَتْ يَدِي على أخمس قَدَمَيْهِ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: ” اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعَفْوِكَ مِنْ عِقَابِكَ “، فَلَوْ كَانَ وُضُوءُهُ انْتَقَضَ لَمْ يَمْضِ فِي سُجُودِهِ قَالَ: وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَحْمِلُ أُمَامَةَ بِنْتَ أَبِي الْعَاصِ فِي صَلَاتِهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ لَمْسَ الْإِنَاثِ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ قَالَ: وَلِأَنَّهَا مُلَامَسَةٌ مِنْ جِسْمَيْنِ فَوَجَبَ أَلَّا يَنْتَقِضَ بِهَا الْوُضُوءُ كَمَا لَوْ كَانَ ذَلِكَ بَيْنَ رَجُلَيْنِ أَوِ امْرَأَتَيْنِ، وَلِأَنَّهُ لَمْسٌ بَيْنَ ذَكَرٍ وَأُنْثَى فَوَجَبَ أَلَّا يَنْتَقِضَ الْوُضُوءُ قِيَاسًا عَلَى لَمْسِ ذَوَاتِ الْمَحْرَمِ وَلِأَنَّهُ لَمْسُ جُزْءٍ مِنِ امْرَأَتِهِ فَوَجَبَ أَلَّا يَنْتَقِضَ الْوُضُوءُ كَلَمْسِ الشَّعْرِ.
Dan dengan riwayat al-A‘mash dari Ḥabīb dari ‘Urwah dari ‘Āisyah bahwa Nabi SAW mencium salah seorang dari istri-istrinya kemudian keluar menuju salat dan tidak berwudhu. Maka ‘Urwah berkata: Aku berkata kepadanya, “Siapa lagi kalau bukan engkau?” lalu ia tertawa.
Dan dengan apa yang diriwayatkan dari ‘Āisyah ra bahwa ia berkata: “Aku kehilangan Rasulullah SAW pada suatu malam, maka aku berdiri mencarinya dengan tanganku, lalu tanganku menyentuh telapak kakinya, dan aku mendengarnya berkata: ‘Ya Allah, aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu’.” Maka seandainya wudhunya batal, tentu beliau tidak akan melanjutkan sujudnya.
Ia berkata: Dan karena Nabi SAW pernah menggendong Umāmah binti Abī al-‘Āṣ dalam salatnya, maka hal itu menunjukkan bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu.
Ia berkata: Dan karena itu adalah mulāmasah antara dua tubuh, maka seharusnya tidak membatalkan wudhu sebagaimana jika hal itu terjadi antara dua laki-laki atau dua perempuan. Dan karena itu adalah sentuhan antara laki-laki dan perempuan, maka seharusnya tidak membatalkan wudhu dengan qiyās pada menyentuh perempuan yang merupakan maḥram. Dan karena itu adalah sentuhan pada bagian tubuh dari istrinya, maka seharusnya tidak membatalkan wudhu seperti menyentuh rambutnya.
وَدَلِيلُنَا: قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ} إِلَى قَوْلِهِ: {أَوْ لاَمَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} .
فَكَانَ الدَّلِيلُ فِي الْآيَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَقِيقَةَ الْمُلَامَسَةِ اسْمٌ لِالْتِقَاءِ الْبَشَرَتَيْنِ لُغَةً وَشَرْعًا.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Apabila kalian berdiri untuk salat} hingga firman-Nya: {atau kalian menyentuh perempuan, lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah}.
Maka dalil dari ayat ini ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Sesungguhnya hakikat mulāmasah adalah nama bagi bertemunya dua kulit, baik secara bahasa maupun syara’.
أَمَّا اللُّغَةُ قَوْلُ الْأَعْمَشِ:
(وَلَا تَلْمِسِ الْأَفْعَى يَدُكَ تَضُرُّهَا … وَدَعْهَا إِذَا مَا عَيَّنْتَهَا سبابها) وَأَنْشَدَ الشَّافِعِيُّ:
(فَلَا أَنَا مِنْهُ مَا أَفَادَ ذَوُو الْغِنَى أَفَدْتُ … وَأَغْنَانِي فَضَيَّعْتُ مَا عِنْدِي)
(وَأَلْمَسْتُ كَفِّي كَفَّهُ طَلَبَ الْغِنَى … وَلَمْ أَدْرِ أَنَّ الْجُودَ مِنْ كَفِّهِ يُعْدِي)
وَأَمَّا الشَّرْعُ فقوله تعالى: {فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ) {الأنعام: 7) ، وقوله: {إِنَا لَمَسْنَا السَّمَاءَ) {الجن: 8) ، وَنَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ بَيْعِ الْمُلَامَسَةِ.
Adapun secara bahasa, adalah perkataan al-A‘mash:
(Wa lā talmasi al-af‘ā yaduka taḍurruhā … wa da‘hā idzā mā ‘ayyanthahā sababahā)
Dan al-Syafi’i menukil bait syair:
(Fa-lā anā minhu mā afāda dhawū al-ghinā afadtu … wa aghnānī faḍayya‘tu mā ‘indī)
(Wa al-mastu kaffī kaffahu ṭalaba al-ghinā … wa lam adri anna al-jūda min kaffihi yu‘dī)
Adapun secara syara’, adalah firman Allah Ta‘ālā: {Lalu mereka menyentuhnya dengan tangan mereka} (QS. al-An‘ām: 7), dan firman-Nya: {Sesungguhnya kami telah menyentuh langit} (QS. al-Jinn: 8), dan Nabi SAW melarang jual beli mulāmasah.
وَالثَّانِي: أَنَّ اسْمَ الْمُلَامَسَةِ اسْمٌ لَهُ حَقِيقَةٌ وَمَجَازٌ، وَقَدْ يُسْتَعْمَلُ فِي الْجِمَاعِ وَالْمَسِيسِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ حَقِيقَةً فِيهِمَا، وَلَا أَنْ يَكُونَ حَقِيقَةً فِي الْجِمَاعِ لِأَنَّهُ بِالْمَسِيسِ أَخَصُّ وَأَشْهَرُ فَصَارَ مَجَازًا فِي الْجِمَاعِ حَقِيقَةً فِي الْمَسِيسِ، وَالْحُكْمُ الْمُعَلَّقِ بِالِاسْمِ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ إِطْلَاقُهُ مَحْمُولًا عَلَى حَقِيقَتِهِ دُونَ مَجَازِهِ. فَإِنْ قِيلَ: بَلْ هِيَ حَقِيقَةٌ فِي الْجِمَاعِ لِأَمْرَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلِيًّا وَابْنَ عباس حملاه على الجماع وهو بِالْمُرَادِ بِهِ أَعْرَفُ.
Kedua: Bahwa nama mulāmasah adalah suatu istilah yang memiliki makna hakiki dan majazi, dan terkadang digunakan untuk makna jima‘ dan masīs. Maka tidak boleh ia dianggap sebagai makna hakiki bagi keduanya sekaligus, dan tidak pula dianggap hakiki pada jima‘ karena jima‘ itu lebih khusus dan lebih masyhur dengan istilah masīs. Maka jadilah ia majaz dalam makna jima‘ dan hakikat dalam makna masīs. Dan hukum yang digantungkan pada suatu istilah wajib dipahami pada makna hakikinya, bukan majaznya.
Jika dikatakan: Bahkan ia adalah makna hakiki bagi jima‘ karena dua alasan:
Pertama: Bahwa ‘Alī dan Ibn ‘Abbās memahaminya sebagai jima‘, dan mereka lebih mengetahui maksudnya.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا مُفَاعَلَةٌ لَا تَكُونُ إِلَّا مِنْ فَاعِلَيْنِ وَذَلِكَ هُوَ الْجِمَاعُ دون المسيس، قيل أما تأويلا عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ فَقَدْ خَالَفَهُمَا ابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عُمَرَ، وَكَذَلِكَ عُمَرُ وَعَمَّارٌ، وَأَمَّا الْمُفَاعَلَةُ لَا تَكُونُ إِلَّا مِنْ فَاعِلَيْنِ فَكَذَلِكَ صُورَةُ المسيس باليد على أن حمزة الكسائي قَدْ قَرَآ: {أَوْ لَمَسْتُمْ} وَذَلِكَ لَا يَتَنَاوَلُ إِلَّا الْمَسِيسَ بِالْيَدِ فَإِنْ حُمِلَتْ قِرَاءَةُ مَنْ قرأ أو لامستم عَلَى الْجِمَاعِ كَانَتْ قِرَاءَةُ مَنْ قَرَأَ أَوْ لَمَسْتُمْ مَحْمُولَةً عَلَى الْمَسِيسِ بِالْيَدِ، فَيَكُونُ اخْتِلَافُ الْقِرَاءَتَيْنِ مَحْمُولًا عَلَى اخْتِلَافِ حُكْمَيْنِ عَلَى أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَسْلَمَ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِتَفْسِيرِ الْقُرْآنِ قَالَ: إِنَّ فِي الْآيَةِ تَقْدِيمًا وَتَأْخِيرًا وَرَتَّبَ الْآيَةَ تَرْتِيبًا حَسَنًا يَسْقُطُ مَعَهُ هَذَا التَّأْوِيلُ فَقَالَ: ظَاهِرُ قَوْلِهِ: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمْ النِّسَاءَ} (النساء: 43) .
Dan kedua: bahwa lafadz mufā‘alah tidak terjadi kecuali dari dua pelaku, dan itu adalah jimā‘ bukan masīs. Dikatakan: adapun takwil ‘Alī dan Ibnu ‘Abbās, maka keduanya telah diselisihi oleh Ibnu Mas‘ūd dan Ibnu ‘Umar, begitu juga ‘Umar dan ‘Ammār. Adapun mufā‘alah tidak terjadi kecuali dari dua pelaku, maka demikian pula gambaran masīs dengan tangan, berdasarkan bahwa Ḥamzah dan al-Kisā’ī telah membaca: {أَوْ لَمَسْتُمْ} yang itu tidak mencakup kecuali masīs dengan tangan. Jika dibawa bacaan orang yang membaca aw lāmastum atas makna jimā‘, maka bacaan orang yang membaca aw lamastum dibawa atas makna masīs dengan tangan, sehingga perbedaan kedua bacaan itu dibawa kepada perbedaan dua hukum. Berdasarkan bahwa Zaid bin Aslam, yang termasuk ahli dalam tafsir al-Qur’ān, berkata: sesungguhnya dalam ayat tersebut terdapat taqdīm dan ta’khīr, lalu ia menyusun ayat tersebut dengan susunan yang baik yang dengannya gugurlah takwil ini, lalu ia berkata: zhahir firman-Nya: {wa in kuntum marḍā aw ‘alā safarin aw jā’a aḥadun minkum mina al-ghā’iṭ aw lāmastum al-nisā’} (QS. al-Nisā’: 43).
فَيَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ السَّفَرُ وَالْمَرَضُ حَدَثًا وَبِالْإِجْمَاعِ لَيْسَا بِحَدَثٍ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ فِي الْآيَةِ تَقْدِيمًا وَتَأْخِيرًا، وَأَنَّ تَرْتِيبَ الْكَلَامِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ مِنْ نَوْمٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى المرافق، وامسحوا برؤوسكم وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ إِنْ وَجَدْتُمُ الْمَاءَ، وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ وَجَاءَكُمْ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْحَدَثِ أَوِ الْجَنَابَةِ فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا، وَهَذَا تَفْسِيرٌ يَقْتَضِيهِ ظَاهِرُ الْآيَةِ وَيَسْقُطُ مَعَهُ هَذَا التَّأْوِيلُ، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ فِي الْكِتَابِ وَاللُّغَةِ التَّقْدِيمُ وَالتَّأْخِيرُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {الحَمْدُ للهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجاً قَيِّماً) {الكهف: 1) . تَقْدِيرُهُ الْكِتَابَ قَيِّمًا وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا، وَقَالَ: {فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ) {هود: 71) .
Maka itu menuntut bahwa safar dan sakit adalah ḥadats, padahal berdasarkan ijma’ keduanya bukan ḥadats. Hal itu menunjukkan bahwa dalam ayat terdapat taqdīm dan ta’khīr, dan bahwa susunan kalimatnya adalah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berdiri untuk shalat dari tidur atau datang salah seorang dari kalian dari ghā’iṭ atau kalian menyentuh perempuan, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuhlah) kaki kalian sampai mata kaki jika kalian mendapatkan air. Dan jika kalian dalam keadaan junub maka bersucilah. Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan lalu kalian mendapatkan salah satu dari ḥadats yang telah disebutkan atau janābah, maka bertayammumlah dengan tanah yang suci.”
Dan ini adalah tafsir yang dituntut oleh zhahir ayat, dan dengannya gugurlah takwil ini. Tidaklah terlarang dalam al-Kitab dan bahasa adanya taqdīm dan ta’khīr. Allah Ta‘ālā berfirman: {Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab dan Dia tidak menjadikannya bengkok; (Kitab itu) lurus} (QS. al-Kahf: 1), takdirnya adalah “al-Kitab (itu) lurus dan Dia tidak menjadikannya bengkok.” Dan firman-Nya: {Maka ia tertawa, lalu Kami memberinya kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq} (QS. Hūd: 71).
أَيْ بَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ فَضَحِكَتْ، وَقَالَ الشَّاعِرُ:
(لَقَدْ كَانَ فِي حَوْلٍ ثَوَاءٍ ثَوَيْتِهِ … تَقَضِّي لُبَانَاتٍ وَيَسْأَمُ سَائِمُ)
يَعْنِي لَقَدْ كَانَ فِي ثَوَاءٍ حول ثوأتيه، ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ مَارُوِيَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا أَتَاهُ رجلٌ فَسَأَلَهُ عَنْ رجلٍ يُصِيبُ من امرأته ما يَحِلُّ لَهُ مَا يُصِبْهُ مِنِ امْرَأَتِهِ إِلَّا الْجِمَاعَ.
Yaitu Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) Ishaq lalu ia tertawa. Dan penyair berkata:
“Sungguh telah ada dalam setahun menetap yang engkau menetapinya… terpenuhi keinginan-keinginan dan binatang ternak pun bosan.”
Maksudnya: sungguh telah ada dalam menetap setahun di sekitar tempat menetapnya.
Kemudian, di antara dalil atas apa yang telah kami sebutkan dari jalur sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Laylā dari Mu‘āż bin Jabal, ia berkata: Aku pernah berada di sisi Nabi SAW ketika datang seorang laki-laki kepadanya lalu bertanya kepadanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dari istrinya apa yang halal baginya untuk didapatkan dari istrinya kecuali jima‘.
فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَتَوَضَّأُ وُضُوءًا حَسَنًا ” وَهَذَا أَمْرٌ لِسَائِلٍ مُسْتَرْشِدٍ يَقْتَضِي وُجُوبَ مَا تَضَمَّنَهُ، ثُمَّ الدَّلِيلُ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ أَنَّهَا مُمَاسَّةٌ تُوجِبُ الْفِدْيَةَ عَلَى الْمُحْرِمِ فَوَجَبَ أَنْ تَنْقُضَ الْوُضُوءَ كَالْجِمَاعِ، وَلِأَنَّهُ مَعْنًى مِنْ جِنْسِهِ لَمْ يُوجِبِ الطَّهَارَةَ الْكُبْرَى، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ نَوْعِهِ، لَمْ يُوجِبِ الطَّهَارَةَ الصُّغْرَى كَالْمَنِيِّ وَالْمَذْيِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مُلَامَسَةٍ لَوْ قَارَنَهَا انْتِشَارٌ وَجَبَ فِيهَا الطَّهَارَةُ فَإِذَا خَلَتْ عَنِ الِانْتِشَارِ وَجَبَتْ فِيهَا تِلْكَ الطَّهَارَةُ كَالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ حُكْمِيَّةٌ فَجَازَ أَنْ يَنْقَسِمَ مُوجِبُهَا إِلَى خَارِجٍ وَمُلَاقَاةٍ كَالْغُسْلِ، لِأَنَّهُ مَعْنًى يَقْضِي إِلَى نَقْضِ الطُّهْرِ فِي الْغَالِبِ فَجَازَ أَنْ يَتَعَلَّقَ نَقْضُ الطُّهْرِ بِعَيْنِهِ كَالنَّوْمِ.
Maka Nabi SAW bersabda: “Berwudhulah dengan wudhu yang baik.”
Ini adalah perintah kepada seorang penanya yang meminta petunjuk, yang mengharuskan kewajiban atas apa yang dikandungnya.
Kemudian, dalil dari jalur qiyās adalah bahwa itu merupakan persentuhan yang mewajibkan fidyah atas orang yang berihram, maka wajiblah ia membatalkan wudhu seperti jima‘. Dan karena ia adalah suatu makna dari jenisnya yang tidak mewajibkan ṭahārah kubrā, maka wajiblah ia menjadi dari jenis yang tidak mewajibkan ṭahārah ṣughrā, seperti mani dan mażī.
Dan karena setiap persentuhan yang apabila disertai intisyār (bangkitnya syahwat) mewajibkan padanya ṭahārah, maka ketika ia terlepas dari intisyār pun tetap wajib padanya ṭahārah tersebut seperti pertemuan dua khitan.
Dan karena ia adalah ṭahārah ḥukmiyyah, maka boleh sebab yang mewajibkannya terbagi menjadi sesuatu yang keluar dan sesuatu yang berupa persentuhan, seperti mandi wajib (ghusl), karena ia adalah suatu makna yang biasanya menyebabkan batalnya kesucian, maka boleh dikaitkan batalnya kesucian itu pada zatnya seperti tidur.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ خَبَرَيْ عَائِشَةَ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أوجه.
أحدها: ضعفها وَطَعْنُ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ فِيهِمَا، قَالَ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ: أَمَّا حَدِيثُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَائِشَةَ فَمُرْسَلٌ لِأَنَّ إِبْرَاهِيمَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عَائِشَةَ. وَأَمَّا حَدِيثُ حَبِيبِ بْنِ عُرْوَةَ فَقَالَ الْأَعْمَشُ هُوَ عُرْوَةُ الْمُزَنِيُّ وَلَيْسَ بِعُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ.
وَحُكِيَ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْقَطَّانِ أَنَّهُ قَالَ لِرَجُلٍ احْكِ عَنِّي أَنَّ هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ شِبْهُ لَا شَيْءَ.
Adapun jawaban terhadap dua hadis dari ‘Aisyah maka ada tiga sisi:
Pertama: Keduanya lemah dan para ahli hadis mencela keduanya.
Abu Dawud dalam Sunan-nya berkata: Adapun hadis Ibrāhīm dari ‘Aisyah adalah mursal, karena Ibrāhīm tidak mendengar dari ‘Aisyah.
Adapun hadis Ḥabīb bin ‘Urwah, maka al-A‘masy berkata: Dia adalah ‘Urwah al-Muzanī dan bukan ‘Urwah bin al-Zubair.
Dan diriwayatkan dari Yaḥyā bin Sa‘īd al-Qaṭṭān bahwa ia berkata kepada seorang laki-laki: “Sampaikan dariku bahwa kedua hadis ini hampir tidak ada nilainya.”
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: مَا قَالَهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَأَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ أَنَّ حَبِيبَ بْنَ أَبِي ثَابِتٍ غَلِطَ فِيهِ مِنَ الصِّيَامِ إِلَى الْوُضُوءِ.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَحَمْلُهُ عَلَى الْقُبْلَةِ مِنْ وَرَاءِ ثَوْبٍ وَبِهَا يَبْطُلُ قَوْلُ مَنْ ذَهَبَ إِلَى وُجُوبِ الْوُضُوءِ بِاللَّمْسِ مِنْ وَرَاءِ ثَوْبٍ، وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَنْطَلِقَ اسْمُ الْقُبْلَةِ عَلَى ذَلِكَ، قَالَ الشَّاعِرُ:
(وَكَمْ مِنْ دمعةٍ فِي الْخَدِّ تَجْرِي … وَكَمْ مِنْ قبلةٍ فَوْقَ النِّقَابِ)
Jawaban kedua: sebagaimana yang dikatakan oleh Aḥmad bin Ḥanbal dan Abū Bakr al-Naisābūrī, bahwa Ḥabīb bin Abī Ṯābit keliru di dalamnya, memindahkannya dari (pembahasan) puasa kepada (pembahasan) wudhu.
Jawaban ketiga: apabila hadis itu sahih, maka dibawa pada makna ciuman dari balik kain, dan dengan itu batal perkataan orang yang berpendapat wajibnya wudhu karena menyentuh dari balik kain. Dan tidak mustahil nama “ciuman” digunakan untuk hal tersebut. Penyair berkata:
“Betapa banyak tetesan air mata yang mengalir di pipi… dan betapa banyak ciuman di atas niqāb.”
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ أَنَّ يَدَهَا وَقَعَتْ عَلَى أَخْمَصِ قَدَمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ أَحَدُهَا: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ مَلْمُوسًا وَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ دَاعِيًا فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ، وَذَلِكَ يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ وَلَيْسَ مِنْ شَرْطِ الدُّعَاءِ أَلَّا يَكُونَ إِلَّا فِي الصَّلَاةِ.
Adapun jawaban terhadap hadis ‘Aisyah bahwa tangannya menyentuh telapak kaki Rasulullah SAW, maka ada tiga sisi:
Pertama: Nabi SAW adalah pihak yang disentuh, dan tidak ada wudhu atasnya menurut salah satu dari dua pendapat.
Kedua: Beliau saat itu sedang berdoa di luar salat, dan itu dibolehkan bagi orang yang berhadats, serta bukan merupakan syarat doa bahwa ia hanya boleh dilakukan di dalam salat.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَمْلِهِ أُمَامَةَ بِنْتَ أَبِي الْعَاصِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَمْلَهَا لَا يَقَتَضِي مُبَاشَرَةَ بَدَنِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا مِنْ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ لِأَنَّهَا بِنْتُ بِنْتِهِ زَيْنَبَ، وَلَا وُضُوءَ فِي لَمْسِ الْمَحَارِمِ عِنْدَنَا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً فَلَا يَبْطُلُ وُضُوءُهُ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى لمس ذوات المحارم فهو أن لها فِيهَا قَوْلَيْنِ فَلَا نُسَلِّمُ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.
Ketiga: bahwa boleh dari balik penghalang.
Adapun jawaban tentang menggendong Umāmah binti Abī al-‘Āṣ adalah dari dua sisi:
Pertama: bahwa menggendongnya tidak mengharuskan bersentuhan langsung dengan badannya.
Kedua: bahwa dia termasuk maḥram, karena dia adalah putri dari putrinya, Zainab. Dan tidak ada kewajiban wudhu karena menyentuh maḥram menurut kami pada salah satu dari dua pendapat, dan meskipun ia masih kecil maka tidak batal wudhunya menurut salah satu dari dua pendapat.
Adapun jawaban tentang qiyas mereka terhadap menyentuh maḥram adalah bahwa di dalamnya ada dua pendapat, maka kami tidak menetapkannya menurut salah satu dari dua pendapat.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُوجِبُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الأجانب وبينهن أنهن جنس لا يستباح للاستمتاع بِهِنَّ كَالذُّكُورِ بِخِلَافِ الْأَجَانِبِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى لَمْسِ الشَّعْرِ فَقَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ مِنْ لَمْسِهِ فَعَلَى هَذَا لَا نُسَلِّمُ، وَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ لَا وُضُوءَ مِنْ لَمْسِهِ، وَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمْسٌ لَا يُقْصَدُ بِهِ اللَّذَّةُ فِي الْغَالِبِ وَكَذَا الظُّفُرُ وَالسِّنُّ وَلَيْسَ كَذَلِكَ لَمْسُ الْجِسْمِ لِأَنَّهُ مَقْصُودٌ لِلَّذَّةٍ فِي الْغَالِبِ.
Pendapat kedua: bahwa hal itu tidak mewajibkan (wudhu).
Perbedaan antara perempuan ajnabiyyah dan mereka (maḥram) adalah bahwa mereka termasuk jenis yang tidak dihalalkan untuk dinikmati seperti halnya laki-laki, berbeda dengan perempuan ajnabiyyah.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan menyentuh rambut adalah bahwa sebagian sahabat kami mewajibkan wudhu karena menyentuhnya, maka berdasarkan ini kami tidak menerimanya. Adapun zahir mazhab adalah bahwa tidak ada wudhu karena menyentuhnya.
Alasannya adalah bahwa itu merupakan sentuhan yang tidak dimaksudkan untuk kenikmatan pada umumnya, demikian pula kuku dan gigi, dan tidak demikian halnya dengan menyentuh badan karena ia dimaksudkan untuk kenikmatan pada umumnya.
(فَصْلٌ: اللَّمْسُ فَوْقَ الْحَائِلِ لا ينقض الوضوء)
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنِ انْتِقَاضِ الْوُضُوءِ بِالْمُلَامَسَةِ وَإِنَّمَا يَنْتَقِضُ بِهَا عِنْدَ الْتِقَاءِ الْبَشَرَتَيْنِ، فَأَمَّا مِنْ وَرَاءِ ثَوْبٍ أَوْ حَائِلٍ فَلَا يَنْتَقِضُ بِهَا وَقَالَ رَبِيعَةُ يَنْتَقِضُ وُضُوءُهُ سَوَاءٌ كَانَ الْحَائِلُ خَفِيفًا أَوْ صَفِيقًا، وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ كَانَ الْحَائِلُ خَفِيفًا نَقَضَ وَإِنْ كَانَ صَفِيقًا لَمْ يَنْقُضْ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أَوْ لاَمَسْتُمْ النِّسَاءَ) {المائدة: 6) . وَحَقِيقَةُ الْمُلَامَسَةِ مُلَاقَاةُ الْبَشَرَةِ وَإِلَّا كَانَ لَامِسًا ثَوْبًا وَلَمْ يَكُنْ لابساً جِسْمًا، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ حَلَفَ لَا يَلْمِسُ امْرَأَةً فَلَوْ لَمَسَ ثَوْبَهَا لَمْ يَحْنَثْ، فَإِذَا انْتَفَى اسْمُ الْمَسِّ عَنْهُ لَمْ يَتَعَلَّقِ الْحُكْمُ بِهِ، وَلِأَنَّهُ لَمَسَ دُونَ حَائِلٍ فَوَجَبَ ألا ينتقض الضوء كَلَمْسِ الْخُفِّ.
(PASAL: Menyentuh di atas penghalang tidak membatalkan wudhu)
PASAL: menyentuh di atas penghalang tidak membatalkan wudhū’
Apabila telah tetap sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa wudhū’ batal dengan mulāmasah, dan ia hanya membatalkan ketika terjadi pertemuan dua kulit, maka adapun dari balik kain atau penghalang, tidaklah membatalkan. Rabi‘ah berkata: wudhū’-nya batal, baik penghalangnya tipis maupun tebal. Mālik berkata: jika penghalangnya tipis maka batal, dan jika tebal maka tidak batal. Ini adalah kesalahan, karena firman Allah Ta‘ālā: {atau kalian menyentuh perempuan} (al-Mā’idah: 6). Hakikat mulāmasah adalah pertemuan kulit, jika tidak maka berarti menyentuh kain dan bukan menyentuh tubuh. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang bersumpah tidak menyentuh perempuan, lalu ia menyentuh kainnya, maka ia tidak melanggar sumpah. Maka ketika nama mās (sentuh) itu tidak berlaku padanya, tidaklah terkait hukum padanya. Dan karena ia menyentuh tanpa penghalang maka wajiblah tidak batal wudhū’-nya, sebagaimana menyentuh khuff.
(فَصْلٌ)
: وَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْمُلَامَسَةَ بِالْتِقَاءِ الْبَشَرَتَيْنِ تَنْقُضُ الْوُضُوءَ فَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَى بِهِ مِنْ جِسْمِهِ إِلَى أَيِّ شَيْءٍ أَفْضَى بِهِ مِنْ جِسْمِهَا انْتَقَضَ وُضُوءُهُ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: الْمُلَامَسَةُ لَا تَنْقُضُ الْوُضُوءَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بِأَحَدِ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ وَهَذَا خَطَأٌ لِعُمُومِ قَوْله تعالى: أو لامستم النساء، وَلَمْ يُفَرِّقْ وَلِأَنَّهَا مُلَامَسَةٌ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَقِضَ بِهَا الْوُضُوءُ كَمَا لَوْ كانت بأحد الأعضاء الْوُضُوءِ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa mulāmasah dengan bertemunya dua kulit membatalkan wudhū’, maka bagian tubuh mana pun yang bersentuhan dari tubuhnya dengan bagian tubuh mana pun dari tubuhnya (perempuan), maka batal wudhū’-nya. Al-Auzā‘ī berkata: mulāmasah tidak membatalkan wudhū’ kecuali jika dengan salah satu anggota wudhū’. Ini adalah kesalahan karena keumuman firman Allah Ta‘ālā: “atau kalian menyentuh perempuan” dan Dia tidak membedakan, dan karena itu adalah mulāmasah antara laki-laki dan perempuan, maka wajiblah wudhū’ batal dengannya sebagaimana jika terjadi dengan salah satu anggota wudhū’.
(فَصْلٌ: حُكْمُ لَمْسِ الشَّعْرِ وَالظُّفُرِ وَالسِّنِّ)
فَأَمَّا لَمْسُ مَا اتَّصَلَ بِالْجِسْمِ مِنْ شَعْرٍ وَظُفُرٍ وَسِنٍّ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ وَهَكَذَا لَوْ لَمَسَ جِسْمًا بِشَعْرِهِ مِنْ جَسَدِهِ أَوْ بِظُفُرِهِ أَوْ سِنٍّ لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَ لَمْسَ الشَّعْرِ وَالظُّفُرِ وَالسِّنِّ كَلَمْسِ الْجِسْمِ فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ، وَكَذَلِكَ اللَّمْسُ بِالشَّعْرِ وَالظُّفُرِ وَالسِّنِّ لِاتِّصَالِ ذَلِكَ بِالْجِسْمِ فَأُلْحِقَ بِحُكْمِهِ كَمَا أُلْحِقَ بِهِ فِي الطَّلَاقِ إِذَا قَالَ شَعْرُكِ طَالِقٌ، لِأَنَّهُ قَدْ يُسْتَحْسَنُ مِنَ الْمَرْأَةِ كَمَا يُسْتَحْسَنُ جِسْمُهَا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ مَا يَحْدُثُ بَعْدَ كَمَالِ الْخِلْقَةِ فَهُوَ بِاللِّبَاسِ أَشْبَهُ، وَلِأَنَّ هَذَا وَإِنْ كَانَ مُسْتَحْسَنًا فَإِنَّمَا يُسْتَحْسَنُ نَظَرُهُ وَلَا يَلْتَذُّ بِمَسِّهِ، وَالْجِسْمُ مَعَ اسْتِحْسَانِ نَظَرِهِ مُلْتَذُّ اللَّمْسِ فَافْتَرَقَا.
PASAL: hukum menyentuh rambut, kuku, dan gigi
Adapun menyentuh sesuatu yang menyatu dengan tubuh berupa rambut, kuku, dan gigi, maka mazhab al-Syafi‘i adalah bahwa hal itu tidak membatalkan wudhū’. Demikian pula jika ia menyentuh tubuh (perempuan) dengan rambut dari tubuhnya, atau dengan kukunya, atau dengan gigi, maka wudhū’-nya tidak batal. Sebagian dari ulama kami berpendapat bahwa menyentuh rambut, kuku, dan gigi itu sama hukumnya dengan menyentuh tubuh dalam membatalkan wudhū’, demikian pula menyentuh dengan rambut, kuku, dan gigi karena bersambung dengan tubuh, maka disamakan hukumnya sebagaimana disamakan dalam masalah ṭalāq jika seseorang berkata: “Rambutmu ṭāliq”, karena ia dapat dianggap indah dari perempuan sebagaimana keindahan tubuhnya. Ini adalah kesalahan, karena sesuatu yang tumbuh setelah sempurnanya penciptaan itu lebih menyerupai pakaian, dan karena meskipun ia indah, keindahannya adalah pada pandangan, tidak pada sentuhan. Adapun tubuh, keindahan pandangannya disertai kenikmatan sentuhan, maka keduanya berbeda.
(فَصْلٌ: لَمْسُ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ)
فَأَمَّا لَمْسُ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ كَالْأُمِّ وَالْبِنْتِ وَالْخَالَةِ وَالْعَمَّةِ فَفِي انْتِقَاضِ الْوُضُوءِ بِهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَنْقُضُهُ اعْتِبَارًا بِالِاسْمِ فِي عُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {أَوْ لاَمَسْتُمْ النِّسَاءَ} (المائدة: 6) ، وَلِأَنَّ مَا نَقَضَ الطُّهْرَ مِنَ الْأَجَانِبِ نَقَضَهُ مِنْ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ كَلَمْسِ الْفَرْجِ وَالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ.
PASAL: menyentuh żawāt al-maḥārim tidak membatalkan wudhū’
Adapun menyentuh żawāt al-maḥārim seperti ibu, anak perempuan, bibi dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ayah, maka dalam batalnya wudhū’ karena itu terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: membatalkan, dengan pertimbangan nama dalam keumuman firman Allah Ta‘ālā: {atau kalian menyentuh perempuan} (al-Mā’idah: 6), dan karena sesuatu yang membatalkan ṭahārah dari selain mahram, maka membatalkannya pula dari żawāt al-maḥārim, seperti menyentuh kemaluan dan bertemunya dua khitan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ وَالْقَدِيمِ: أَنَّهُ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ اعْتِبَارًا بِالْمَعْنَى (الْمَقْصُودِ فِي اللَّمْسِ) وَأَنَّهُ لِلشَّهْوَةِ غَالِبًا لِلْمَلْمُوسِ وَهَذَا مَفْقُودٌ فِي ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ كَانَ يَحْمِلُ أُمَامَةَ بِنْتَ أَبِي الْعَاصِ فِي صَلَاتِهِ، وَلَا يَنْفَكُّ غَالِبًا مِنْ لَمْسِ بَدَنِهَا فِي حَمْلِهِ. وَيَخْرُجُ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ لمس مَا لَا يُشْتَهَى مِنَ الْعَجَائِزِ وَالْأَطْفَالِ فَيَكُونُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَنْقُضُ الْوُضُوءَ اعْتِبَارًا بِالِاسْمِ الْعَامِّ.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih ṣaḥīḥ serta dikatakan olehnya dalam qaul jadīd dan qadīm, bahwa hal itu tidak membatalkan wudhū’ dengan pertimbangan makna (tujuan dari lams) yaitu untuk syahwat pada umumnya bagi yang disentuh, dan hal ini tidak terdapat pada żawāt al-maḥārim. Dan karena Nabi SAW pernah menggendong Umāmah binti Abī al-‘Āṣ dalam shalatnya, dan biasanya tidak terlepas dari menyentuh badannya ketika menggendongnya. Dan keluar atas dua pendapat ini, hukum menyentuh yang tidak diinginkan syahwat dari perempuan tua renta dan anak-anak, maka hukumnya ada dua wajah:
Pertama: membatalkan wudhū’ dengan pertimbangan nama yang umum.
وَالثَّانِي: لَا يَنْقُضُهُ اعْتِبَارًا بِمَعْنَى الْحُكْمِ وَهَكَذَا لَوْ أَنَّ شَيْخًا قَدْ عُدِمَ الشَّهْوَةَ وَفَقَدَ اللَّذَّةَ لَمَسَ بَدَنَ امْرَأَةٍ شَابَّةٍ كَانَ فِي انْتِقَاضِ وُضُوئِهِ وَجْهَانِ:
فَأَمَّا لَمْسُ الْمَيِّتَةِ فَنَاقِضٌ لِوُضُوئِهِ فِي أَظْهَرِ الْوَجْهَيْنِ وَلَا يَنْقُضُهُ فِي الْوَجْهِ الثَّانِي كَالْعَجَائِزِ وَالْأَطْفَالِ لِأَنَّ الْمَيِّتَةَ لَا تُشْتَهَى غَالِبًا لِنُفُورِ النَّفْسِ مِنْهَا.
Dan yang kedua: tidak membatalkannya dengan pertimbangan makna hukum. Demikian pula jika seorang lelaki tua yang sudah hilang syahwat dan tidak merasakan kenikmatan menyentuh tubuh seorang perempuan muda, maka dalam batalnya wudhū’-nya ada dua wajah.
Adapun menyentuh mayit, maka membatalkan wudhū’ dalam wajah yang lebih ẓāhir, dan tidak membatalkannya dalam wajah yang kedua, sebagaimana (hukum) perempuan tua renta dan anak-anak, karena mayit umumnya tidak diinginkan syahwat sebab adanya rasa jijik dari jiwa terhadapnya.
(فَصْلٌ: حكم الملامسة بين الذكرين، والخنثى المشكل)
فَأَمَّا الْمُلَامَسَةُ بَيْنَ ذَكَرَيْنِ فَإِنْ كَانَ الْمَلْمُوسُ كَبِيرًا لَا يُشْتَهَى كَرَجُلٍ لَمَسَ رَجُلًا فَلَا يَنْتَقِضُ بِهِ الْوُضُوءُ لِفَقْدِ اللَّذَّةِ غَالِبًا فِي لَمْسِهِ، وَإِنْ كَانَ صَغِيرًا مُسْتَحْسَنًا كَرَجُلٍ لَمَسَ صَبِيًّا أَمْرَدَ فَقَدْ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يَنْتَقِضُ الْوُضُوءُ بِلَمْسِهِ كَالْمَرْأَةِ لِمَا تَمِيلُ إِلَيْهِ شَهَوَاتُ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ، وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا يَنْتَقِضُ الْوُضُوءُ بِلَمْسِهِ لِأَنَّهُ مِنْ جِنْسٍ لَا يَنْتَقِضُ الْوُضُوءُ بِلَمْسِهِ فَكَانَ مَا شَذَّ مِنْهُ مُلْحَقًا بِعُمُومِ الْجِنْسِ وَلَوْ سَاغَ هَذَا لَسَاغَ مَا قَالَهُ مَالِكٌ فِي انْتِقَاضِ الْوُضُوءِ بِلَمْسِ الْبَهِيمَةِ لِلشَّهْوَةِ، وَهَذَا قَوْلٌ مُطَّرَحٌ بِانْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ ومقتضى الحجاج فعلى هذا (لو لمس رجل) بَدَنَ خُنْثَى مُشْكِلٍ فَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْخُنْثَى رَجُلًا وَالْوُضُوءُ لَا يَلْزَمُهُ بِالشَّكِّ وَهَكَذَا لَوْ لَمَسَ خُنْثَى مُشْكِلٌ بَدَنَ امْرَأَةٍ لَمْ يَلْزَمْهُ الْوُضُوءُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ امْرَأَةً، وَهَكَذَا لَوْ لَمَسَ خُنْثَى مُشْكِلٌ بَدَنَ خُنْثَى مُشْكِلٍ لَمْ يَلْزَمْهُ الْوُضُوءُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَا امْرَأَتَيْنِ أَوْ رَجُلَيْنِ.
PASAL: Hukum bersentuhan antara dua laki-laki, dan khuntsā musykil
Adapun bersentuhan antara dua laki-laki, jika yang disentuh adalah orang dewasa yang tidak menimbulkan syahwat seperti seorang laki-laki menyentuh laki-laki, maka wudhunya tidak batal karena umumnya tidak ada kenikmatan dalam sentuhan itu. Jika yang disentuh adalah anak kecil yang tampan seperti seorang laki-laki menyentuh anak laki-laki belum tumbuh jenggot (amrad), maka Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: batal wudhu karena menyentuhnya seperti menyentuh perempuan, sebab syahwat banyak orang condong kepadanya. Sedangkan seluruh ashḥāb kami berkata: tidak batal wudhu karena ia termasuk jenis yang sentuhannya tidak membatalkan wudhu, maka yang menyimpang darinya disamakan dengan hukum umum jenis tersebut. Seandainya ini dibenarkan, niscaya dibenarkan pula pendapat Mālik bahwa wudhu batal karena menyentuh binatang dengan syahwat. Pendapat ini tertolak karena telah adanya ijmā‘ dan tuntutan argumentasi.
Atas dasar ini, jika seorang laki-laki menyentuh badan khuntsā musykil, maka wudhu tidak wajib baginya karena boleh jadi khuntsā itu laki-laki, dan wudhu tidak wajib dengan sebab keraguan. Demikian pula jika khuntsā musykil menyentuh badan perempuan, wudhu tidak wajib baginya karena boleh jadi ia perempuan. Demikian juga jika khuntsā musykil menyentuh badan khuntsā musykil lainnya, maka wudhu tidak wajib karena boleh jadi keduanya adalah dua perempuan atau dua laki-laki.
(فَصْلٌ)
: حُكْمُ وُضُوءِ الملموس
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنِ انْتِقَاضِ الْوُضُوءِ بِلَمْسِ مَنْ ذَكَرْنَا مِنَ النِّسَاءِ فَفِي انْتِقَاضِ وُضُوءِ الْمَرْأَةِ الْمَلْمُوسَةِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: نَقَلَهُ الْبُوَيْطِيُّ أَنَّ الْمَلْمُوسَ لَا يَنْتَقِضُ وُضُوءُهُ لِأَنَّ عَائِشَةَ لَمَسَتْ قَدَمَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَمَا أَنْكَرَهُ، وَلِأَنَّ الْمَسَّ الْمُوجِبَ لِلْوُضُوءِ يَخْتَصُّ بِاللَّامِسِ دُونَ الْمَلْمُوسِ كَلَمْسِ الذَّكَرِ.
PASAL: Hukum wudhu orang yang disentuh
Apabila telah ditetapkan sebagaimana yang kami sebutkan tentang batalnya wudhu karena menyentuh perempuan yang telah disebutkan, maka mengenai batalnya wudhu perempuan yang disentuh terdapat dua pendapat:
Pertama: Diriwayatkan oleh al-Buwaithī bahwa orang yang disentuh tidak batal wudhunya, karena ‘Āisyah pernah menyentuh kaki Rasulullah SAW dan beliau tidak mengingkarinya. Sebab sentuhan yang membatalkan wudhu itu khusus bagi orang yang menyentuh, bukan bagi yang disentuh, seperti halnya menyentuh dzakar.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ الْمَلْمُوسَ قَدِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ كَاللَّامِسِ لِأَنَّهُمَا قَدِ اشْتَرَكَا فِي الِالْتِذَاذِ بِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي انْتِقَاضِ الْوُضُوءِ بِهِ كَالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ تَخْرِيجُ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ الْقِرَاءَةِ فِي الْآيَةِ فَمَنْ قَرَأَ: {أَوْ لَمَسْتُمْ} أَوْجَبَهُ عَلَى اللَّامِسِ دُونَ الْمَلْمُوسِ، وَمَنْ قَرَأَ: {أَوْ لاَمَسْتُمْ النِّسَاءَ} أَوْجَبَهُ عَلَى اللَّامِسِ وَالْمَلْمُوسِ لِاشْتِقَاقِهِ مِنَ الْمُفَاعَلَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ ,
Pendapat kedua: dinyatakan secara tegas dalam qaul qadīm dan qaul jadīd, dan inilah yang ṣaḥīḥ, bahwa orang yang disentuh (malmūs) batal wudhunya sebagaimana orang yang menyentuh (lāmis), karena keduanya sama-sama merasakan kenikmatan dengannya, maka wajiblah keduanya sama-sama batal wudhunya karenanya, seperti bertemunya dua khitan. Dan tampaknya, pengeluaran dua pendapat ini berasal dari perbedaan qirā’ah dalam ayat. Maka siapa yang membaca: {أَوْ لَمَسْتُمْ} mewajibkannya atas orang yang menyentuh saja tanpa orang yang disentuh. Dan siapa yang membaca: {أَوْ لاَمَسْتُمْ النِّسَاءَ} mewajibkannya atas orang yang menyentuh dan orang yang disentuh, karena kata tersebut diambil dari bentuk mufā‘alah. Dan Allah lebih mengetahui.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْمَرْأَةُ إِذَا لَمَسَتْ بَدَنَ الرَّجُلِ فَعَلَيْهَا الْوُضُوءُ كَمَا قُلْنَا فِي لَمْسِ الرَّجُلِ بَدَنَ الْمَرْأَةِ قِيَاسًا عَلَى النَّصِّ، لأن كلما نَقَضَ طُهْرَ الرَّجُلِ نَقَضَ طُهْرَ الْمَرْأَةِ كَسَائِرِ الْأَحْدَاثِ، وَفِي انْتِقَاضِ وُضُوءِ الرَّجُلِ الْمَلْمُوسِ أَيْضًا قولان:
PASAL: Adapun perempuan, jika menyentuh badan laki-laki maka wajib atasnya berwudhu sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang laki-laki yang menyentuh badan perempuan, dengan qiyās kepada nash. Karena setiap sesuatu yang membatalkan kesucian laki-laki juga membatalkan kesucian perempuan, sebagaimana seluruh hadats. Dan tentang batalnya wudhu laki-laki yang disentuh, terdapat juga dua pendapat.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ومس الفرج بِبَطْنِ الْكَفِّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَمَسُّ الْفَرْجِ هُوَ الْقِسْمُ الْخَامِسُ مِنْ أَقْسَامِ ما يوجب الوضوء وبه قال في الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَابْنُ عمر وابن عباس وأبو هريرة، وفي التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، وسليمان بن يسار والزهري، وفي الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.”
Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang beliau katakan, dan menyentuh kemaluan adalah bagian kelima dari pembagian hal-hal yang mewajibkan wudhu. Dalam hal ini, sependapat dengan beliau dari kalangan sahabat adalah ‘Umar, Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbās, dan Abū Hurairah. Dari kalangan tābi‘īn: Sa‘īd bin al-Musayyab, ‘Urwah bin al-Zubair, Sulaimān bin Yasār, dan al-Zuhrī. Dari kalangan fuqahā’: al-Awzā‘ī, Ahmad, Ishāq, dan Abū Tsaur.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ بِهِ، قَالَ في الصَّحَابَةِ عَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَعَمَّارٌ وَحُذَيْفَةُ وَأَبُو الدرداء وفي التابعين الحسن البصري وفي الْفُقَهَاءِ الثَّوْرِيُّ إِلَّا أَنَّ أبا حنيفة قَالَ:
” إِذَا انْتَشَرَ ذَكَرُهُ بِالْمَسِّ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ لِلِانْتِشَارِ “. وَقَالَ مَالِكٌ: ” إِنْ مَسَّهُ نَاسِيًا أَوْ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ ” وَاسْتَدَلُّوا بِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: ” قَدِمْنَا عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَجَاءَ رجلٌ كَأَنَّهُ بدويٌّ فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ مَا تَرَى فِي مَسِّ الرَّجُلِ ذَكَرَهُ بَعْدَمَا يَتَوَضَّأُ فَقَالَ: وَهَلْ هُوَ إِلَّا بضعةٌ مِنْكَ أَوْ قَالَ بضعةٌ مِنْهُ. وَهَذَا نَصٌّ، قَالُوا وَلِأَنَّهُ مَسَّ ذَكَرَهُ بِعُضْوٍ مِنْ جَسَدِهِ فَوَجَبَ أَلَّا يَنْتَقِضَ وُضُوءُهُ قِيَاسًا عَلَى مَسِّهِ بِرِجْلِهِ وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ بِضْعَةَ عَشَرَ صَحَابِيًّا عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ أَوْجَبَ الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّهِ. وَرَوَى الشَّافِعِيُّ ذلك عن خمسة منهم.
Abū Ḥanīfah berkata: Tidak mewajibkan wudhu dengannya. Dari kalangan sahabat, pendapat ini dipegang oleh ‘Alī, Ibn Mas‘ūd, ‘Ammār, Ḥudzaifah, dan Abū al-Dardā’. Dari kalangan tābi‘īn: al-Ḥasan al-Baṣrī. Dari kalangan fuqahā’: al-Tsaurī. Hanya saja Abū Ḥanīfah berkata: “Jika kemaluannya menegang karena sentuhan, maka batal wudhunya karena tegangnya itu.”
Mālik berkata: “Jika ia menyentuhnya dalam keadaan lupa atau tanpa syahwat, maka tidak batal wudhunya.” Mereka berdalil dengan riwayat ‘Abdullāh bin Badr dari Qais bin Ṭalq dari ayahnya, ia berkata: “Kami datang kepada Nabi SAW, lalu datang seorang laki-laki seakan-akan seorang badui, lalu berkata: Wahai Nabi Allah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya setelah berwudhu? Beliau bersabda: ‘Bukankah itu hanyalah bagian dari tubuhmu,’ atau beliau berkata: ‘Bagian darinya.’” Dan ini adalah nash.
Mereka berkata: Karena ia menyentuh kemaluannya dengan anggota tubuhnya, maka seharusnya tidak membatalkan wudhu, diqiyaskan dengan menyentuhnya menggunakan kakinya.
Dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh belasan sahabat dari Nabi SAW bahwa beliau mewajibkan wudhu karena menyentuhnya. Imam al-Syafi‘i meriwayatkannya dari lima orang di antara mereka.
أحدهما: رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ: دَخَلْتُ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَتَذَاكَرْنَا مَا يَكُونُ مِنْهُ الْوُضُوءُ فَقَالَ مَرْوَانُ وَمِنْ مَسِّ الذَّكَرِ الْوُضُوءُ فَقَالَ عُرْوَةُ مَا عَلِمْتُ ذَلِكَ، فَقَالَ مَرْوَانُ أَخْبَرَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ “.
وَالثَّانِي: رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ عُقْبَةَ عَنْمُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إذا أفضى أحدكم بيده إلى ذكره فليتوضأ “.
Pertama: Diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr, bahwa ia mendengar ‘Urwah bin al-Zubair berkata: Aku masuk menemui Marwān bin al-Ḥakam, lalu kami membicarakan hal-hal yang membatalkan wudhu. Marwān berkata: “Menyentuh kemaluan termasuk yang membatalkan wudhu.” Maka ‘Urwah berkata: “Aku tidak mengetahui hal itu.” Marwān berkata: “Busrā binti Ṣafwān telah memberitahuku bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Apabila salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.’”
Kedua: Diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari ‘Abdullāh bin Nāfi‘, dari Ibn Abī Dhi’b, dari ‘Uqbah, dari Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Thawbān, dari Jābir, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya kepada kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.”
وَالثَّالِثُ: رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ خَالِدٍ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ “.
وَالرَّابِعُ: رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى ذَكَرِهِ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ “.
وَالْخَامِسُ: رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ خَالِدٍ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ قَيْسٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ “.
Ketiga: Diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari Muslim bin Khālid, dari Ibn Jurayj, dari Yaḥyā bin Abī Katsīr, dari seorang laki-laki Anṣār, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.”
Keempat: Diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari ‘Abdullāh bin Nāfi‘, dari Yazīd bin ‘Abd al-Malik, dari Abū Mūsā, dari Sa‘īd bin Abī Sa‘īd, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya kepada kemaluannya, maka wajib atasnya berwudhu.”
Kelima: Diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari Muslim bin Khālid, dari Ibn Jurayj, dari ‘Abd al-Wāḥid bin Qays, dari Ibn ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.”
اعْتَرَضُوا عَلَى هَذِهِ الْأَخْبَارِ بِثَلَاثَةِ أَسْئِلَةٍ أَحَدُهَا أَنْ قَالُوا: وُجُوبُ الْوُضُوءِ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ مِمَّا يَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى، وَمَا عُمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى لَا يُقْبَلُ فِيهِ أَخْبَارُ الْآحَادِ حَتَّى يَكُونَ نَقْلُهُ مُتَوَاتِرًا مُسْتَفِيضًا وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ هَذَا أَصْلٌ بِخِلَافِكُمْ فِيهِ وَلَيْسَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ بَيَانُ مَا (يَعُمُّ) بِهِ الْبَلْوَى عَامًّا بَلْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ خَاصًّا وَآحَادًا عَلَى حَسَبِ مَا يَرَاهُ صَاحِبُ الشَّرْعِ مِنَ الْمَصْلَحَةِ فِي الْعُمُومِ وَالْخُصُوصِ، عَلَى أَنَّ الْبَيَانَ وَإِنْ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُمْ عَامًّا فَلَيْسَ يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ نَقْلُهُ مُتَوَاتِرًا عَامًّا، ثُمَّ قَدْ خَالَفُوا هَذَا الْأَصْلَ فِي بَيَانِ الْوَتْرِ وَنَقْضِ الْوُضُوءِ بِالْقَيْءِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.
Mereka membantah hadis-hadis ini dengan tiga pertanyaan.
Pertama, mereka berkata: Wajibnya wudhu karena menyentuh kemaluan termasuk perkara yang umum terjadi (‘ummat bihi al-balwa), dan perkara yang umum terjadi tidak diterima padanya berita āḥād sampai penyampaiannya bersifat mutawātir dan mustafīḍ.
Jawabannya: Ini adalah kaidah yang kalian sendiri perselisihkan, dan tidak wajib bahwa penjelasan terhadap perkara yang umum terjadi harus bersifat umum, bahkan boleh saja bersifat khusus dan disampaikan secara āḥād sesuai dengan apa yang dilihat oleh pembuat syariat dari sisi kemaslahatan dalam pengumuman dan pengkhususan. Lagi pula, meskipun penjelasan itu menurut kalian wajib bersifat umum, tidak berarti bahwa penyampaiannya harus mutawātir dan umum. Kemudian, kalian sendiri telah menyelisihi kaidah ini dalam penjelasan tentang witir, batalnya wudhu karena muntah, dan selainnya.
وَالسُّؤَالُ الثَّانِي: أَنْ قَالُوا: الْمُعَوَّلُ مِنْ هَذِهِ الْأَخْبَارِ عَلَى حَدِيثِ بُسْرَةَ وَهُوَ ضَعِيفٌ، قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: ثَلَاثَةُ أَخْبَارٍ لَا تَصِحُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -:
أَحَدُهَا: حَدِيثُ بُسْرَةَ فِي مَسِّ الذَّكَرِ.
وَالثَّانِي: خَبَرُ الْحِجَامَةِ.
Pertanyaan kedua: Mereka berkata, bahwa yang menjadi sandaran dari hadis-hadis ini adalah hadis Busrā, dan hadis itu lemah. Yahyā bin Ma‘īn berkata: “Ada tiga hadis yang tidak sah dari Rasulullah SAW:
Pertama: Hadis Busrā tentang menyentuh kemaluan.
Kedua: Hadis tentang berbekam.”
وَالثَّالِثُ: كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، قِيلَ الْمَحْكِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ مَعِينٍ فِي حَدِيثِ بسرة غير هذا، قال رجاء بن المرجا الْحَافِظُ: كُنْتُ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ بِمِنًى مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، وَعَلِيِّ بْنِ الْمَدِينِيِّ وَيَحْيَى ين معين فاجتمعوا على صحة حديث بسر. فَإِنْ قِيلَ فَلَمَّا رَوَاهُ مَرْوَانُ لِعُرْوَةَ قَالَ لَهُ عُرْوَةُ: إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ تُرْسِلَ إِلَيْهَا وَأَنَا شَاهِدٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا حَرَسِيًّا فَأَتَى مِنْ عِنْدِهَا فَقَالَ قَالَتْ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ “، وَالْحَرَسِيُّ شُرْطِيٌّ لَا يُقْبَلُ لَهُ حَدِيثٌ وَلَا يُحْتَجُّ عَنْهُ بِرِوَايَةٍ لِشُهْرَةِ فِسْقِهِ، قِيلَ قَدْ كَانَ أَهْلُ الْحَرَسِ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ أَهْلَ عَدَالَةٍ وَأَمَانَةٍ. وَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ بِهَذِهِ الْحَالِ لَمْ يَقْنَعْ عُرْوَةَ بِخَبَرِهِ، وَيَسْتَظْهِرْ بِهِ عَلَى مَرْوَانَ، عَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ أَنَّ عُرْوَةَ لَقِيَ بُسْرَةَ وَسَأَلَهَا فَأَخْبَرَتْهُ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُمْ وَلِمَ إِذَا وَرَدَتْ أَخْبَارٌ فِي حُكْمٍ يَعْتَمِدُونَ عَلَى أَحَدِهَا بِالْقَدْحِ وَلَوِ اقْتَصَرَ عَلَى مَا سِوَاهُ لَأَقْنَعَ.
Dan yang ketiga: setiap yang memabukkan adalah haram. Dikatakan, riwayat yang dinukil dari Yahya bin Ma‘in tentang hadis Busrah bukan ini. Raja’ bin al-Murja al-Hafizh berkata: Aku berada di Masjid al-Khaif di Mina bersama Ahmad bin Hanbal, ‘Ali bin al-Madini, dan Yahya bin Ma‘in, lalu mereka sepakat akan sahnya hadis Busrah.
Jika dikatakan: ketika Marwan meriwayatkannya kepada ‘Urwah, ‘Urwah berkata kepadanya: “Aku ingin engkau mengutus seseorang kepadanya sedangkan aku hadir.” Maka ia mengutus seorang harasiyy (petugas keamanan) lalu datang dari sisinya dan berkata: “Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.’”
Adapun harasiyy adalah polisi yang tidak diterima hadisnya dan tidak dijadikan hujjah riwayatnya karena terkenal kefasikannya. Maka dijawab: para petugas keamanan pada masa itu adalah orang-orang yang adil dan terpercaya. Kalau bukan dalam keadaan demikian, tentu ‘Urwah tidak akan puas dengan beritanya dan tidak akan menguatkannya untuk menghadapi Marwan. Bahkan telah diriwayatkan bahwa ‘Urwah bertemu langsung dengan Busrah dan menanyainya, lalu ia mengabarkannya.
Kemudian dikatakan kepada mereka: mengapa jika datang berita-berita dalam suatu hukum, mereka bersandar pada salah satunya dengan mencela yang lain, padahal seandainya ia mencukupkan diri dengan yang selainnya pun sudah memadai.
السُّؤَالُ الثَّالِثُ: أَنْ قَالُوا نَسْتَعْمِلُهَا لِأَجْلِ حَدِيثِ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْوُضُوءِ وَعَلَى غَسْلِ الْيَدَيْنِ.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ حَمْلُهُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِهِ يَقْتَضِي الْإِيجَابَ، وَلَا عَلَى غَسْلِ الْيَدِ لِأَنَّ أَحَدًا لَمْ يَقُلْ بِهِ ثُمَّ كَيْفَ يَجُوزُ مَعَ كَثْرَةِ أَخْبَارِنَا وَانْتِشَارِهَا وَصِحَّةِ طُرُقِهَا وَإِسْنَادِهَا يُعَارِضُونَهَا بِحَدِيثِ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ وَهُوَ ضَعِيفٌ، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: سَأَلْنَا عَنْ قَيْسٍ فَلَمْ نَجِدْ مَنْ يَعْرِفُهُ بِمَا يَجُوزُ لَهُ قبول خبره وقد عارضه من وصفناه ثقة، وَرَجَاحَتَهُ فِي الْحَدِيثِ، ثُمَّ يَكُونُ الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ قَيْسٍ إِذَا سَلَّمْنَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Pertanyaan ketiga: bahwa mereka berkata, “Kami mengamalkannya karena hadis Qais bin Thalq, untuk istihbab wudhu dan mencuci kedua tangan.”
Jawabannya: tidak sah memahaminya untuk istihbab, karena perintah itu mengandung kewajiban. Dan tidak pula untuk mencuci tangan, karena tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian. Lalu bagaimana mungkin, dengan banyaknya hadis kami, tersebar luasnya, dan sahnya jalur-jalurnya serta sanadnya, mereka menentangnya dengan hadis Qais bin Thalq yang lemah.
Al-Syafi‘i RA berkata: “Kami telah menanyakan tentang Qais, namun tidak kami dapati seorang pun yang mengenalnya dengan kriteria yang membolehkan menerima beritanya. Padahal ia telah ditentang oleh orang yang kami sebutkan sifatnya tsiqah dan unggul dalam periwayatan hadis.”
Kemudian, jawaban terhadap hadis Qais jika kami terima adalah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَنْسُوخٌ بِتَقَدُّمِهِ وَتَأْخِيرِ أَخْبَارِنَا لِأَنَّ قَيْسًا يَرْوِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ: أَتَيْتُ مَسْجِدَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهم يرسمون مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ، وَيَنْقُلُونَ إِلَيْهِ الْحِجَارَةَ فَقُلْتُ: ” يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَلَا نَنْقُلُ كَمَا يَنْقُلُونَ ” قَالَ: ” لَا وَلَكِنِ اخْلِطْ لَهُمُ الطِّينَ يَا أَخَا الْيَمَامَةِ فَأَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ “، فَجَعَلْتُ أَخْلِطُ الطِّينَ وَيَنْقُلُونَهُ، وَقَدْ رَوَى وُجُوبَ الْوُضُوءِ مِنْ مَسِّهِ أَبُو هُرَيْرَةَ، وَهُوَ مُتَأَخِّرُ الْإِسْلَامِ أَسْلَمَ سَنَةَ سَبْعٍ، وَأُمُّ حَبِيبَةَ قِيلَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَزَوَّجَهَا فِي آخِرِ أَيَّامِهِ وَالثَّانِي أَنَّ قَوْلَهُ: ” هل هو إلا بضعةً منك ” لا بنفي وجوب الوضوء عنه، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى نَفْيِ النَّجَاسَةِ عَنْهُ ثُمَّ الدَّلِيلُ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ أَنَّهَا مَعْنًى يَسْتَجْلِبُ بِهِ الْإِنْزَالَ فَوَجَبَ أَنْ يَنْقُضَ الطُّهْرَ كَالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ، وَلِأَنَّهَا مُلَاقَاةُ فَرْجٍ لَوْ قَارَنَهَا انْتِشَارٌ تَعَلَّقَتْ بِهَا طَهَارَةٌ فَوَجَبَ إِذَا فَقَدَتِ الِانْتِشَارَ أَنْ تَتَعَلَّقَ بِهَا تِلْكَ الطَّهَارَةُ كَالْغُسْلِ فِي الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ وَلِأَنَّ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْوُضُوءُ إِذَا قَارَنَهُ انْتِشَارٌ تَعَلَّقَ بِهِ الوضوء وإن خلا عن انتشار البول، وَلِأَنَّهَا إِحْدَى الطَّهَارَتَيْنِ فَجَازَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِنَوْعٍ مِنَ الْمُلَاقَاةِ كَالْغُسْلِ، وَلِأَنَّهُ لَمْسٌ (يَتَعَلَّقُ بِهِ) فِي الْغَالِبِ خُرُوجُ خَارِجٍ فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَقِضَ الْوُضُوءُ كَاللَّمْسِ مَعَ الِانْتِشَارِ، وَلِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِالْفَرْجِ إِذَا أَوْجَبَ الطَّهَارَةَ الْكُبْرَى كَانَ مِنْ جِنْسِهِ مَا يُوجِبُ الطَّهَارَةَ الصُّغْرَى كَالْمَنِيِّ وَالْمَذْيِ وَدَمِ الْحَيْضِ وَالِاسْتِحَاضَةِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ قَيْسٍ فَقَدْ مَضَى، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى مَسِّ غَيْرِهِ مِنْ أَعْضَاءِ جَسَدِهِ فَالْمَعْنَى فِيهِ، وَفِي قِيَاسِهِمْ عَلَى مَسِّ ذَكَرِهِ بِغَيْرِ كَفِّهِ أَنَّهُ لَمْسٌ لَا يَسْتَجْلِبُ بِهِ الْإِنْزَالَ، ولا يقضي فِي الْغَالِبِ إِلَى نَقْضِ الطُّهْرِ.
Salah satunya: bahwa hadis tersebut mansūkh dengan adanya yang terdahulu dan yang kemudian dari berita-berita kami, karena Qais meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: “Aku mendatangi masjid Rasulullah SAW ketika mereka menggambar Masjid Madinah dan memindahkan batu-batu ke sana. Lalu aku berkata: ‘Wahai Rasulullah SAW, tidakkah kami memindahkan sebagaimana mereka memindahkan?’ Beliau bersabda: ‘Tidak, tetapi campurlah tanah untuk mereka, wahai saudara dari Yamamah, karena engkau lebih mengetahui tentangnya.’ Maka aku mencampurkan tanah dan mereka yang memindahkannya.”
Dan sungguh Abu Hurairah—yang masuk Islam pada tahun tujuh—meriwayatkan wajibnya wudhu karena menyentuhnya, dan Ummu Ḥabībah—dikatakan bahwa Rasulullah SAW menikahinya pada akhir hayatnya.
Yang kedua, bahwa sabdanya: “Bukankah ia hanya bagian darimu?” bukan untuk menafikan wajibnya wudhu karenanya, dan boleh jadi maksudnya adalah menafikan kenajisannya.
Kemudian dalil dari jalan qiyās: sesungguhnya ia adalah suatu sebab yang dapat mendatangkan keluarnya mani (inzāl), maka wajiblah membatalkan ṭahārah seperti pertemuan dua khitan; dan karena ia adalah pertemuan dengan farji yang jika disertai syahwat (intisyār) maka terkait dengannya ṭahārah, maka jika hilang syahwat tetap terkait dengannya ṭahārah tersebut, seperti mandi janabah pada pertemuan dua khitan; dan karena sesuatu yang terkait dengan wudhu apabila disertai syahwat maka terkait pula dengan wudhu meski tanpa syahwatnya kencing; dan karena ia adalah salah satu dari dua ṭahārah, maka boleh terkait dengan suatu bentuk pertemuan sebagaimana mandi; dan karena ia adalah sentuhan yang pada umumnya diiringi keluarnya sesuatu, maka wajib membatalkan wudhu sebagaimana sentuhan dengan syahwat; dan karena sesuatu yang terkait dengan farji apabila mewajibkan ṭahārah besar, maka sejenisnya mewajibkan ṭahārah kecil, seperti mani, mażī, darah haid, dan istihāḍah.
Adapun jawaban dari hadis Qais telah lewat. Sedangkan jawaban dari qiyās mereka terhadap menyentuh selainnya dari anggota badan, maka maknanya berbeda. Dan pada qiyās mereka terhadap menyentuh dzakarnya tanpa telapak tangan adalah bahwa itu adalah sentuhan yang tidak mendatangkan keluarnya mani dan pada umumnya tidak menyebabkan batalnya ṭahārah.
(مَسْأَلَةٌ: الْقَوْلُ في مس الغير) .
قال الشافعي: ” من نفسه ومن غَيْرِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا مَسَّ فَرْجَ غَيْرِهِ كَانَ فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ كَمَا لَوْ مَسَّ فَرْجَ نَفْسِهِ لِرِوَايَةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” من مس الفرج الوضوء ” فَهُوَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّ مَسَّ فَرْجِ الْغَيْرِ أَغْلَظُ مِنْ مَسِّ فَرْجِهِ لِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ هَتْكِ حُرْمَةِ الْغَيْرِ فَكَانَ بِنَقْضِ الْوُضُوءِ أَحَقَّ، فَأَمَّا الْمَمْسُوسُ فَرْجُهُ فَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ، فَإِنْ قِيلَ مَا الْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَلْمُوسِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ اسْمَ الْمُلَامَسَةِ تَنْطَلِقُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فانتقض وضوءهما لإطلاق اسم الملامسة عليهما، ومس الْفَرْجِ لَا يَنْطَلِقُ إِلَّا عَلَى الْمَاسِّ دُونَ الْمَمْسُوسِ، فَانْتَقَضَ وُضُوءُ الْمَاسِّ لِانْطِلَاقِ الِاسْمِ عَلَيْهِ، وَلَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُ الْمَمْسُوسِ لِأَنَّ الِاسْمَ لَمْ ينطلق عليه.
(Masalah: Pendapat tentang menyentuh kemaluan orang lain)
Imam al-Syafi‘i berkata: “Baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.”
Al-Māwardī berkata: Apabila seseorang menyentuh farji orang lain, maka hukum batal wudhunya sama seperti jika ia menyentuh farjinya sendiri, berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa yang menyentuh farji, maka (wajib) berwudhu.” Hadis ini berlaku umum.
Dan karena menyentuh farji orang lain lebih berat dosanya daripada menyentuh farjinya sendiri, karena terkait dengan pelanggaran kehormatan orang lain, maka lebih pantas mewajibkan batal wudhu.
Adapun orang yang kemaluannya disentuh, maka tidak batal wudhunya.
Jika dikatakan: “Apa perbedaan antara dia dengan orang yang disentuh kulitnya dalam salah satu dari dua pendapat?”
Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa istilah mulāmasah berlaku pada keduanya, maka batal wudhu keduanya karena adanya istilah mulāmasah yang berlaku pada keduanya.
Sedangkan istilah menyentuh farji hanya berlaku pada orang yang menyentuh, bukan pada yang disentuh, maka batal wudhu orang yang menyentuh karena istilah tersebut berlaku padanya, sedangkan wudhu orang yang disentuh tidak batal karena istilah tersebut tidak berlaku padanya.
(مسألة: حكم مس فرج الصغير)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” مِنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا فَرْقَ بين أن يمس الْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ بِهِ، قَالَ مَالِكٌ وَالزُّهْرِيُّ لَا يَنْتَقِضُ الْوُضُوءُ بِمَسِّ فَرْجِ الصَّغِيرِ تَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَّ ذَبِيبَةَ الْحَسَنِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ النَّظَرُ إِلَيْهِ لَمْ يَنْتَقِضْ بِمَسِّهِ الْوُضُوءُ كَسَائِرِ الْبَدَنِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَنْتَقِضِ الْوُضُوءُ بِلَمْسِ الصَّغِيرَةِ فَلَمْ يَنْتَقِضِ الْوُضُوءُ بِمَسِّ فَرْجِ الصَّغِيرِ، وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” من مس الفرج الوضوء “، وَلَمْ يُفَرِّقْ وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ كَانَ الْخَارِجُ مِنْهُ نَاقِضًا لِلْوُضُوءِ وَكَانَ مَسُّهُ نَاقِضًا لِلْوُضُوءِ قِيَاسًا عَلَى فَرْجِ الْكَبِيرِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَسٍّ لَوْ كَانَ مَعَ الْكَبِيرِ نَقَضَ الْوُضُوءَ، وَجَبَ إِذَا كَانَ مَعَ الصَّغِيرِ أَنْ يَنْتَقِضَ الْوُضُوءَ كَالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ خَبَرِهِمْ فَهُوَ أَنْ لَا دَلِيلَ فِيهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ مَسَّهُ وَصَلَّى قَبْلَ وُضُوئِهِ فَيُحْمَلْ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَتَوَضَّأْ فِي الْحَالِ حَتَّى قَامَ عَنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ تَوَضَّأَ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ النَّظَرَ إِلَيْهِ غَيْرَ مُحَرَّمٍ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِهِ نَقْضُ الْوُضُوءِ اسْتَوَى فِيهِ ما يحل ويحرم، ألا ترى الملامسة، فلا فَرْقَ فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ بِهَا بَيْنَ الزَّوْجَةِ وَالْأَجْنَبِيَّةِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ لَمْسَ الصَّغِيرِ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ قُلْنَا فِيهِ مَذْهَبَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَنْقُضُ.
وَالثَّانِي: لَا يَنْقَضُ.
(Masalah: Hukum menyentuh kemaluan anak kecil)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Baik dari anak kecil maupun dewasa.”
Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang beliau katakan, tidak ada perbedaan antara menyentuh kemaluan orang dewasa dan anak kecil dalam membatalkan wudhu.
Mālik dan al-Zuhrī berpendapat bahwa wudhu tidak batal dengan menyentuh kemaluan anak kecil, berpegang pada riwayat bahwa Nabi SAW pernah menyentuh dzubībah al-Ḥasan dan tidak berwudhu; dan karena diperbolehkan melihatnya, maka tidak membatalkan wudhu dengan menyentuhnya sebagaimana anggota badan lainnya; dan karena wudhu tidak batal dengan menyentuh anak perempuan kecil, maka tidak batal pula dengan menyentuh kemaluan anak kecil.
Dalil kami adalah hadis ‘Āisyah bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa yang menyentuh kemaluan, maka (wajib) berwudhu,” tanpa membedakan; dan karena setiap tempat yang keluar darinya sesuatu yang membatalkan wudhu, maka menyentuhnya pun membatalkan wudhu, diqiyaskan dengan kemaluan orang dewasa; dan karena setiap sentuhan yang jika dilakukan pada orang dewasa membatalkan wudhu, maka jika dilakukan pada anak kecil juga membatalkan wudhu seperti pertemuan dua khitan.
Adapun jawaban terhadap riwayat mereka adalah bahwa tidak ada dalil di dalamnya, karena tidak diriwayatkan bahwa beliau menyentuhnya lalu shalat sebelum berwudhu. Maka hal itu dibawa pada pengertian bahwa beliau tidak langsung berwudhu saat itu hingga beliau beranjak dari majelisnya, kemudian berwudhu.
Adapun perkataan mereka bahwa melihatnya tidak haram, maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang menjadi sebab batalnya wudhu sama hukumnya baik yang halal maupun yang haram. Tidakkah engkau lihat bahwa mulāmasah tidak ada perbedaan dalam membatalkan wudhu antara istri dan perempuan ajnabiyah?
Adapun istidlal mereka bahwa menyentuh anak kecil tidak membatalkan wudhu, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: membatalkan.
Kedua: tidak membatalkan.
فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا هُوَ أَنَّ مَسَّ الْفَرْجِ أَغْلَظُ حُكْمًا مِنَ الْمُلَامَسَةِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَخْتَصُّ بِاخْتِلَافِ الْجِنْسَيْنِ فَيَكُونُ مِنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَلَا يَكُونُ مِنَ الذكرين ولا بين الأنثين فَجَازَ أَنْ يُخْتَصَّ بِالْكِبَارِ دُونَ الصِّغَارِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَسُّ الْفَرْجِ لِاسْتِوَاءِ الْحُكْمِ فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ بِهِ بَيْنَ الذَّكَرَيْنِ وَالْأُنْثَيَيْنِ، فَاسْتَوَى بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ فَعَلَى هَذَا لَوْ مَسَّ مِنْ ذَكَرِ الصَّغِيرِ الْأَغْلَفِ مَا يُقْطَعُ فِي الْخِتَانِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الذَّكَرِ مَا لَمْ يُقْطَعْ، وَلَوْ مَسَّهُ بَعْدَ قَطْعِهِ لَمْ ينتقض وضوءه لأنه باين من الذَّكَرِ فَلَمْ يَنْطَلِقِ اسْمُ الذَّكَرِ عَلَيْهِ.
Maka berdasarkan hal ini, perbedaan antara keduanya adalah bahwa menyentuh farji lebih berat hukumnya daripada mulāmasah. Tidakkah engkau lihat bahwa mulāmasah itu khusus dengan perbedaan jenis kelamin, yaitu antara laki-laki dan perempuan, dan tidak terjadi antara sesama laki-laki atau sesama perempuan, sehingga boleh jadi ia khusus berlaku pada orang dewasa tanpa mencakup anak-anak.
Adapun menyentuh farji, hukumnya sama dalam membatalkan wudhu baik antara dua laki-laki maupun antara dua perempuan, maka sama hukumnya antara anak-anak dan orang dewasa.
Berdasarkan hal ini, jika seseorang menyentuh bagian dari dzakar anak kecil yang belum disunat, yaitu bagian yang dipotong saat khitan, maka batal wudhunya karena bagian itu termasuk dari dzakar selama belum dipotong.
Namun jika ia menyentuhnya setelah bagian itu dipotong, maka wudhunya tidak batal, karena bagian itu telah terpisah dari dzakar sehingga tidak lagi disebut dzakar.
(مَسْأَلَةٌ: حكم مس فرج الميت)
قال الشافعي رضي الله عَنْهُ: ” الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَالْوُضُوءُ ينقض بِمَسِّ فَرْجِ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِعُمُومِ الْخَبَرِ فِي الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ، وَلِأَنَّ حُرْمَةَ الْمَيِّتِ فِي تَحْرِيمِ النَّظَرِ إِلَى عَوْرَتِهِ وَمُبَاشَرَةِ مَسِّ فَرْجِهِ كَتَحْرِيمِ ذَلِكَ مِنَ الْحَيِّ فِي حُرْمَتِهِ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” كسر عظم الميت ككسر الْحَيِّ ” وَلِأَنَّهُ لَوْ أَوْلَجَ فِي فَرْجِ مَيِّتَةٍ لَزِمَهُ الْغُسْلُ لِانْتِهَاكِ حُرْمَتِهَا وَإِنَّ حُكْمَ الْحَيَاةِ فِي ذَلِكَ جَارٍ عَلَيْهَا فَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِي مَسِّ فَرْجِهَا، فَأَمَّا إِذَا مَسَّ ذَكَرًا مَقْطُوعًا فَفِي نَقْضِ الْوُضُوءِ بِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَنْتَقِضُ اعْتِبَارًا بِالِاسْمِ.
(Masalah: hukum menyentuh kemaluan mayit)
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “(Hukum) yang hidup dan yang mati (sama).”
Al-Mawardi berkata: Ini adalah pendapat yang benar, dan wudhu batal dengan menyentuh kemaluan orang hidup maupun orang mati. Hal itu demikian karena umumnya khabar mencakup yang hidup dan yang mati, dan karena kehormatan mayit dalam pengharaman melihat auratnya dan menyentuh kemaluannya sama seperti pengharaman itu pada orang hidup dalam kehormatannya. Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkan tulang orang hidup.” Dan karena jika seseorang memasukkan (kemaluannya) ke dalam kemaluan mayit perempuan, maka wajib baginya mandi junub karena pelanggaran kehormatannya, dan hukum kehidupan dalam hal itu berlaku atasnya, maka demikian pula hukum menyentuh kemaluannya.
Adapun jika menyentuh kemaluan laki-laki yang sudah terpotong, maka dalam batalnya wudhu dengan hal itu terdapat dua pendapat:
Pertama: batal, dengan mempertimbangkan (penyebutan) nama.
وَالثَّانِي: لَا يَنْتَقِضُ لِفَقْدِ الْمَعْنَى وَهُوَ وُجُودُ اللَّذَّةِ غَالِبًا، وَخَالَفَ ذَكَرَ الْمَيِّتِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْحُرْمَةِ.
وَهَكَذَا لَوْ لَمَسَ ذَكَرَ حَيٍّ بِيَدٍ شَلَّاءَ كَانَ نَقْضُ الْوُضُوءِ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، وَيَجْرِي عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ حُكْمُ مَنْ مَسَّ ذَكَرًا أَشَلَّ بِيَدٍ صَحِيحَةٍ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ ذَكَرُ الْحَيِّ الْأَشَلُّ بِأَخَفَّ مِنْ ذَكَرِ الْمَيِّتِ، وَقَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُخَرِّجُ مِنْ مُقْتَضَى هَذَا التَّعْلِيلِ فِي ذَكَرِ الْمَيِّتِ وجهاً آخر أنه لا ينقض الوضوء.
Kedua: tidak batal karena hilangnya ma‘na, yaitu adanya kenikmatan secara dominan, dan kemaluan mayit laki-laki berbeda hukumnya dengan yang hidup karena perbedaan keduanya dalam kehormatan.
Demikian pula jika menyentuh kemaluan orang hidup dengan tangan lumpuh, maka hukum batalnya wudhu ada pada dua pendapat ini. Dan berlaku pula pada dua pendapat ini hukum bagi orang yang menyentuh kemaluan yang lumpuh dengan tangan yang sehat, karena kemaluan orang hidup yang lumpuh tidak lebih ringan hukumnya daripada kemaluan orang mati. Sebagian ulama kami mengeluarkan dari konsekuensi alasan ini pendapat lain bahwa menyentuh kemaluan mayit tidak membatalkan wudhu.
(مسألة: حكم مس المرأة لفرجها)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَسُّ فَرْجِ الْمَرْأَةِ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ كَمَسِّ ذَكَرِ الرَّجُلِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ مَا رَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” ويلٌ لِلَّذِينَ يَمَسُّونَ ذُكُورَهُمْ وَيُصَلُّونَ وَلَا يتوضؤون، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَهَذَا لِلرِّجَالِ، فَمَا بَالُ النِّسَاءِ، قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: إِذَا مَسَّتْ إِحْدَاكُنَّ فَرْجَهَا تَوَضَّأَتْ “.
وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ الْوَلِيدِ الزُّبَيْرِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا امرأةٍ مَسَّتْ فرجها فلتتوضأ “.
(Masalah: hukum perempuan menyentuh kemaluannya)
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Baik laki-laki maupun perempuan.”
Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan, menyentuh kemaluan perempuan membatalkan wudhu seperti menyentuh kemaluan laki-laki. Dalilnya adalah riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah ra, bahwa Nabi SAW bersabda: “Celakalah orang-orang yang menyentuh kemaluannya lalu shalat tanpa berwudhu.” ‘Aisyah berkata: “Ini untuk laki-laki, lalu bagaimana dengan perempuan?” Beliau SAW bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu.”
Dan diriwayatkan oleh Muhammad bin al-Walid al-Zubairi dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu, dan perempuan mana saja yang menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu.”
(فصل: أحكام الخنثى في النقض بالمس)
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ فَرْجَ الْمَرْأَةِ كَذَكَرِ الرَّجُلِ فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ تَفَرَّعَ عَلَيْهِ مَسَائِلُ الْخُنْثَى وَمَسَائِلُهُ تُبْنَى عَلَى تَنْزِيلَيْنِ يَنْزِلُ فِي أَحَدِهِمَا رجلاً، وينزل في الآخر امرأة، فإذا انْتَقَضَ وُضُوءُهُ فِي التَّنْزِيلَيْنِ مَعًا لَزِمَ، وَإِنِ انْتَقَضَ فِي أَحَدِهِمَا لَمْ يَلْزَمْ لِأَنَّ الْوُضُوءَ لَا يَنْتَقِضُ إِلَّا بِالْيَقِينِ دُونَ الشَّكِّ، فَعَلَى هَذَا إِذَا مَسَّ رَجُلٌ ذَكَرَ خُنْثَى انْتَقَضَ وُضُوءُهُ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ الْخُنْثَى رَجُلًا فَقَدْ مَسَّ ذَكَرَهُ، وَإِنْ كَانَ أُنْثَى فَقَدْ لَمَسَ بَدَنَهَا، وَلَوْ مَسَّ رَجُلٌ فَرْجَ خُنْثَى لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْخُنْثَى رَجُلًا فَيَكُونُ الْفَرْجُ عُضْوًا زَائِدًا فِيهِ فَلَوْ مَسَّتِ امْرَأَةٌ فَرْجَ خُنْثَى انْتَقَضَ وُضُوءُهَا لِأَنَّهُ إِنْ كَانَتِ الْخُنْثَى امْرَأَةً فَقَدْ مَسَّتْ فَرْجَهَا، وَإِنْ كَانَ رَجُلًا فَقَدْ لَمَسَتْ بَدَنَهُ، وَلَوْ مَسَّتِ امْرَأَةٌ ذَكَرَ خُنْثَى لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْخُنْثَى امْرَأَةً فَيَكُونُ الذَّكَرُ عُضْوًا زَائِدًا، وَلَوْ أَنَّ خُنْثَى مَسَّ ذَكَرَ نَفْسِهِ لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْخُنْثَى رَجُلًا، وَلَوْ مَسَّهُمَا مَعًا انْتَقَضَ وُضُوءُهُ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ رَجُلًا فَقَدْ مَسَّ ذَكَرَهُ، وَإِنْ كَانَتِ امْرَأَةً فَقَدْ مَسَّتْ فَرْجَهَا، وَهَكَذَا لَوْ أَنَّ خُنْثَى مَسَّ ذَكَرَ خُنْثَى لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَا امْرَأَتَيْنِ، وَلَوْ مَسَّ فَرْجَهُ لَمْ يَنْتَقِضْ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ، وَلَوْ مَسَّ ذَكَرَهَ وَفَرْجَهُ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ.
PASAL: Hukum khuntsā dalam membatalkan wudhu dengan sentuhan
Apabila telah tetap bahwa farji perempuan seperti dzakar laki-laki dalam membatalkan wudhu, maka bercabang darinya masalah-masalah khuntsā. Masalah-masalahnya dibangun di atas dua kemungkinan: dalam salah satunya dianggap sebagai laki-laki, dan dalam yang lain dianggap sebagai perempuan. Apabila wudhunya batal dalam kedua kemungkinan sekaligus maka wajib (berwudhu), dan jika batal pada salah satunya saja maka tidak wajib, karena wudhu tidak batal kecuali dengan keyakinan, bukan dengan keraguan.
Atas dasar ini, jika seorang laki-laki menyentuh dzakar khuntsā, batal wudhunya, karena jika khuntsā itu laki-laki maka ia telah menyentuh dzakarnya, dan jika perempuan maka ia telah menyentuh badannya.
Jika seorang laki-laki menyentuh farji khuntsā, tidak batal wudhunya, karena boleh jadi khuntsā itu laki-laki sehingga farjinya adalah anggota tambahan.
Jika seorang perempuan menyentuh farji khuntsā, batal wudhunya, karena jika khuntsā itu perempuan maka ia telah menyentuh farjinya, dan jika laki-laki maka ia telah menyentuh badannya.
Jika seorang perempuan menyentuh dzakar khuntsā, tidak batal wudhunya, karena boleh jadi khuntsā itu perempuan sehingga dzakarnya adalah anggota tambahan.
Jika khuntsā menyentuh dzakar dirinya sendiri, tidak batal wudhunya, karena boleh jadi khuntsā itu laki-laki.
Jika ia menyentuh keduanya sekaligus, batal wudhunya, karena jika ia laki-laki maka ia telah menyentuh dzakarnya, dan jika perempuan maka ia telah menyentuh farjinya.
Demikian pula, jika khuntsā menyentuh dzakar khuntsā lain, tidak batal wudhunya, karena boleh jadi keduanya adalah dua perempuan. Jika ia menyentuh farjinya, tidak batal karena boleh jadi keduanya adalah dua laki-laki.
Jika ia menyentuh dzakar dan farji sekaligus, batal wudhunya.
وَلَوْ لَمَسَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ذَكَرَ صَاحِبِهِ لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَا امْرَأَتَيْنِ، وَكَذَا لَوْ مَسَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَرْجَ صَاحِبِهِ لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ، وَلَوْ مَسَّ أَحَدُهُمَا ذَكَرَ صَاحِبِهِ وَمَسَّ الْآخَرُ فَرْجَ صَاحِبِهِ فَمَعْلُومٌ أَنَّ طُهْرَ أَحَدِهِمَا قَدِ انْتَقَضَ لَكِنْ لَمَّا لَمْ يُتَيَقَّنْ مَنِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ مِنْهُمَا لَمْ يَلْزَمْ وَاحِدًا مِنْهُمَا وُضُوءٌ لِأَنَّهُ كَمَا لَوْ سُمِعَ صَوْتٌ مِنْ أَحَدِ رَجُلَيْنِ كَانَ مُوجِبًا لنقض الوضوء أَحَدِهِمَا وَلَا يَلْزَمُ وَاحِدًا مِنْهُمَا وُضُوءٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَعَيَّنْ مِنَ الصَّوْتِ مِنْهُ، وَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْلَمَ حَالَ الْخُنْثَيَيْنِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فنزلهما (ها هنا) أَرْبَعَ تَنْزِيلَاتٍ لِيَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ التَّنْزِيلَاتِ الْأَرْبَعَةِ أَنْ يَكُونَ وُضُوءُ أَحَدِهِمَا مُنْتَقَضًا فَأَمَّا إِذَا كَانَ لِرَجُلٍ ذَكَرَانِ يَبُولُ مِنْهُمَا فَمَسَّ أَحَدَ ذَكَرَيْهِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ لِأَنَّهُ ذَكَرُ رَجُلٍ بِخِلَافِ الْخُنْثَى، وَهَكَذَا لَوْ أَوْلَجَهُ فِي فَرْجٍ لَزِمَ الْغُسْلُ، وَلَوْ خَرَجَ مِنْ أَحَدِهِمَا بَلَلٌ لَزِمَهُ الْوُضُوءُ لِأَنَّهُ سَبِيلٌ لِلْحَدَثِ، وَلَوْ كَانَ يَبُولُ مِنْ أَحَدِهِمَا فَحُكْمُ الذَّكَرِ جَارٍ عَلَى الَّذِي يَبُولُ مِنْهُ، وَالْآخَرُ زَائِدٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ فِي نَقْضِ الطُّهْرِ حُكْمًا، فَأَمَّا الْخُنْثَى الْمُشْكِلُ إِذَا خَرَجَ مِنْ إِحْدَى فَرْجَيْهِ بَلَلٌ فَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ هُوَ الزَّائِدَ، وَلَوْ خَرَجَ مِنْهُمَا تَوَضَّأَ.
Dan seandainya masing-masing dari keduanya menyentuh dzakar temannya, tidak batal wudhu salah satu dari keduanya, karena boleh jadi keduanya adalah dua perempuan. Demikian pula jika masing-masing dari keduanya menyentuh farji temannya, tidak batal wudhu salah satu dari keduanya, karena boleh jadi keduanya adalah dua laki-laki.
Jika salah satu dari keduanya menyentuh dzakar temannya dan yang lain menyentuh farji temannya, maka sudah pasti bahwa wudhu salah satunya batal. Akan tetapi, karena tidak dapat dipastikan siapa yang batal wudhunya di antara keduanya, maka tidak wajib bagi salah satu dari mereka berwudhu, karena hal itu seperti jika terdengar suara dari salah satu dari dua orang laki-laki yang mengharuskan batalnya wudhu salah satunya, namun tidak wajib bagi salah satu dari keduanya berwudhu karena tidak dapat ditentukan dari siapa suara itu berasal.
Jika engkau ingin mengetahui keadaan dua khuntsā dalam masalah ini, maka anggaplah keduanya di sini dalam empat kemungkinan, agar diketahui bahwa dalam setiap kemungkinan dari empat itu, pasti wudhu salah satunya batal.
Adapun jika seorang laki-laki memiliki dua dzakar yang ia kencing dari keduanya, lalu ia menyentuh salah satu dari dua dzakarnya, batal wudhunya, karena itu adalah dzakar laki-laki, berbeda dengan khuntsā. Demikian pula jika ia memasukkannya ke dalam farji, maka wajib mandi.
Jika keluar cairan dari salah satunya, wajib wudhu karena itu adalah jalan keluarnya hadats. Dan jika ia hanya kencing dari salah satunya, maka hukum dzakar berlaku pada yang keluar air kencing darinya, sedangkan yang lain adalah anggota tambahan yang tidak berpengaruh dalam hukum batalnya thaharah.
Adapun khuntsā musykil, jika keluar cairan dari salah satu dari dua farjinya, maka tidak wajib wudhu karena boleh jadi yang keluar itu dari anggota tambahan. Namun jika keluar dari keduanya, maka ia wajib berwudhu.
(مَسْأَلَةٌ: حُكْمُ مَسِّ الدُّبُرِ وَآرَاءُ الفقهاء فيه) .
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وسواء كان الْفَرْجَ قُبُلًا أَوْ دُبُرًا، أَوْ مَسَّ الْحَلْقَةَ نَفْسَهَا مِنَ الدُّبُرِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَسُّ الدُّبُرِ كَمَسِّ الْقُبُلِ فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ. وَقَالَ مَالِكٌوَدَاوُدُ لَا يَنْتَقِضُ الْوُضُوءُ بِمَسِّ الدُّبُرِ اسْتِدْلَالًا بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ، فَخَصَّ الذَّكَرَ بِالْحُكْمِ.
(Masalah: Hukum menyentuh dubur dan pendapat para fuqaha di dalamnya)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Sama saja apakah farj itu qubul atau dubur, atau menyentuh lingkaran itu sendiri dari dubur.”
Al-Māwardī berkata: “Ini sebagaimana yang beliau katakan, menyentuh dubur sama seperti menyentuh qubul dalam membatalkan wudhu.”
Imam Mālik dan Dāwud berkata: “Wudhu tidak batal dengan menyentuh dubur,” dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya maka hendaklah ia berwudhu,” di mana beliau mengkhususkan dzakar dengan hukum tersebut.
وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مِنْ مَسِّ الْفَرْجِ الْوُضُوءُ “، وَاسْمُ الْفَرْجِ يُطْلَقُ عَلَى الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ جَمِيعًا، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ سَبِيلَيِ الْحَدَثِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَسُّهُ حَدَثًا كَالْقُبُلِ، فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْوُضُوءِ مِنْ مَسِّ الدُّبُرِ فَإِنَّمَا يَتَعَلَّقُ بِمَسِّ الْحَلْقَةِ دُونَ مَا قَارَبَهَا وَاتَّصَلَ بِهَا، وَهَكَذَا الْوُضُوءُ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ يَتَعَلَّقُ بِهِ دُونَ مَا قَارَبَهُ مِنَ الْعَانَةِ أَوِ الْأُنْثَيَيْنِ أَوْ مَا بَيْنَ السَّبِيلَيْنِ، وَقَالَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ: مَسُّ الْخُصْيَةِ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ كَالذَّكَرِ تَعَلُّقًا بِمَا رَوَاهُ عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ أَوْ أُنْثَيَيْهِ فَلْيَتَوَضَّأْ “. هَذَا الَّذِي قَالَهُ مَرْفُوعٌ بِالْإِجْمَاعِ لِأَنَّ الصَّحَابَةَ اخْتَلَفَتْ فِي مَسِّ الْفَرْجِ عَلَى قَوْلَيْنِ مَعَ عَدَمِ اخْتِلَافِهِمْ فِيمَا سِوَاهُ، وَالْخَبَرُ مَوْقُوفٌ عَلَى عُرْوَةَ وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ.
Dalil kami adalah hadis dari ‘Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda: “Dari menyentuh farj itu (wajib) wudhu.” Nama farj mencakup qubul dan dubur sekaligus. Dan karena ia adalah salah satu dari dua jalan keluarnya hadats, maka wajib hukumnya menyentuhnya termasuk hadats, sebagaimana qubul.
Apabila telah tetap wajibnya wudhu karena menyentuh dubur, maka hal itu hanya berlaku pada sentuhan lingkarannya (al-ḥalqah), bukan pada bagian yang dekat dan bersambung dengannya. Demikian pula wudhu karena menyentuh dzakar hanya berlaku pada dzakar itu sendiri, bukan pada bagian dekatnya seperti rambut kemaluan, kedua buah zakar, atau bagian antara dua jalan (mā baina as-sabīlain).
‘Urwah bin al-Zubair berkata: “Menyentuh buah zakar membatalkan wudhu seperti dzakar,” berdalil dengan riwayat dari Busrah binti Shafwan dari Nabi SAW: “Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya atau kedua buah zakarnya, maka hendaklah ia berwudhu.”
Apa yang ia katakan ini disandarkan (marfū‘) secara ijma‘, karena para sahabat berbeda pendapat tentang hukum menyentuh farj dalam dua pendapat, sementara mereka tidak berbeda pendapat dalam selainnya. Namun, kabar tersebut berhenti pada ‘Urwah (mauqūf), dan kalaupun sahih, maka dibawa pada hukum mustahabb.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَنَّ مَسَّ الْفَرْجَيْنِ قُبُلًا وَدُبُرًا نَاقِضٌ لِلْوُضُوءِ فَإِنَّمَا يَتَعَلَّقُ نَقْضُ الْوُضُوءِ بِمَسِّهِ بِبَاطِنِ الْكَفِّ دُونَ ظَاهِرِهَا، وَقَالَ عَطَاءٌ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ إِذَا مَسَّهُ بِظَاهِرِ كَفِّهِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ كَمَا لَوْ مَسَّهُ بِبَاطِنِ كَفِّهِ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: ” إِذَا مَسَّهُ بِأَحَدِ أَعْضَاءِ وُضُوئِهِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ ” وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ وأحمد بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إذا أفضى أحدكم بيده إلى ذكره فليتوضأ ” وَظَاهِرُ الْيَدِ مِنَ الْيَدِ، وَلِأَنَّهُ مَسَّ فَرْجَهُ بِيَدِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْقُضَ وُضُوءَهُ كَمَا لَوْ مَسَّ رَاحَتَهُ، وَجَعَلَ الْأَوْزَاعِيُّ أَعْضَاءَ الْوُضُوءِ قِيَاسًا عَلَى الْيَدِ.
PASAL
Apabila telah ditetapkan apa yang telah kami sebutkan bahwa menyentuh dua kemaluan, qubul dan dubur, membatalkan wudhu, maka pembatalan wudhu itu terkait dengan menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan, bukan bagian luarnya. ‘Athā’, Mālik, dan Ahmad berkata: “Apabila ia menyentuhnya dengan bagian luar telapak tangannya, batal wudhunya sebagaimana jika ia menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangannya.” Al-Awzā‘ī berkata: “Apabila ia menyentuhnya dengan salah satu anggota wudhunya, batal wudhunya.”
Mālik dan Ahmad berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Apabila salah seorang dari kalian mengulurkan tangannya kepada kemaluannya, maka berwudhulah.” Bagian luar tangan termasuk dari tangan, dan karena ia menyentuh kemaluannya dengan tangannya, maka wajib membatalkan wudhunya sebagaimana jika ia menyentuhnya dengan telapak tangannya. Al-Awzā‘ī mengqiyaskan anggota-anggota wudhu kepada tangan.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إذا أفضى أحدكم بيده إلى ذكره فليتوضأ “.
قال الشافعي رضي الله عنه: وَالْإِفْضَاءُ لَا يَكُونُ إِلَّا بِبَاطِنِ الْكَفِّ.
وَلِأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي اخْتَصَّتْ بِهِ الْيَدُ فِي مَسِّهِ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ دُونَ سَائِرِ الْجَسَدِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ لِحُصُولِ اللَّذَّةِ الْمُقْتَضِي إِلَى نَقْضِ الطُّهْرِ وإما لأن الْيَدُ آلَةُ الطَّعَامِ فَخِيفَ تَنَجُّسُهَا بِآثَارِ الِاسْتِنْجَاءِ، وَكِلَا الْمَعْنَيَيْنِ مُخْتَصٌّ بِبَاطِنِ الْكَفِّ دُونَ ظَاهِرِهَا كَمَا كَانَ مُخْتَصًّا بِالْيَدِ دُونَ غَيْرِهَا، وَفِيهِ مَعَ الِاسْتِدْلَالِ انْفِصَالٌ، فَإِذَا ثَبَتَ اخْتِصَاصُ نَقْضِ الْوُضُوءِ فِي مَسِّ الْفَرْجِ بِبَاطِنِ الْكَفِّ دُونَ ظَاهِرِهِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ بُطُونِ الرَّاحَةِ أَوْ بُطُونِ الْأَصَابِعِ لِاسْتِوَاءِ ذَلِكَ كُلِّهِ مِنَ الِالْتِذَاذِ بِمَسِّهِ، فَأَمَّا مَسُّهُ بِمَا بَيْنَ الْأَصَابِعِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجْرِي مَجْرَى ظَاهِرِ الْكَفِّ أَوْ بَاطِنِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dalil kami adalah sabda Nabi SAW: “Apabila salah seorang dari kalian mengulurkan tangannya kepada kemaluannya, maka berwudhulah.”
Imam al-Syafi‘i RA berkata: Al-ifdhā’ itu tidak terjadi kecuali dengan bagian dalam telapak tangan.
Dan karena makna yang dikhususkan pada tangan dalam menyentuhnya membatalkan wudhu, tidak berlaku pada selain anggota badan, baik karena timbulnya lazzah yang mengharuskan batalnya thaharah, atau karena tangan adalah alat untuk makan sehingga dikhawatirkan terkena najis akibat bekas istinjak. Kedua makna ini khusus berlaku pada bagian dalam telapak tangan, bukan bagian luarnya, sebagaimana ia khusus berlaku pada tangan dan tidak pada selainnya.
Dalam hal ini, beserta istidlal, terdapat pemisahan. Maka apabila telah tetap bahwa batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan khusus berlaku pada bagian dalam telapak tangan, bukan bagian luarnya, maka tidak ada perbedaan antara bagian dalam telapak tangan atau bagian dalam jari, karena sama-sama menimbulkan lazzah saat menyentuhnya.
Adapun menyentuhnya dengan bagian sela-sela jari, para ashhab kami berbeda pendapat: apakah hukumnya seperti bagian luar telapak tangan atau bagian dalamnya — ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى بَاطِنِ الْكَفِّ وَأَنَّ الْوُضُوءَ يَنْتَقِضُ بِمَسِّ الْفَرْجِ بِهَا لِأَنَّهَا بِبَاطِنِ الْكَفِّ أَشْبَهُ مِنْهَا بِظَاهِرِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَحَكَاهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ نَصًّا أَنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى ظَاهِرِ الْكَفِّ وَأَنَّهُ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ فِي الْمَسِّ بِهَا لِفَقْدِهَا اللَّذَّةِ مِنْهَا، وَكَانَ أَبُو الْفَيَّاضِ يَقُولُ إِنْ مَسَّ ذَكَرَهُ بِمَا بَيْنَ أُصْبُعَيْهِ مُسْتَقْبِلًا لِعَانَتِهِ بِبَاطِنِ كَفِّهِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ، وَإِنْ كَانَمُسْتَقْبِلًا بِظَاهِرِ كَفِّهِ لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ مُرَاعَاةً لِلْأَغْلَبِ فِي مُقَارَنَةِ الْبَاطِنِ وَهَذَا لَا وَجْهَ له لاستواء المعنى في الحالتين.
Salah satunya: bahwasanya ia dihukumi seperti bagian dalam telapak tangan, dan wudhu batal dengan menyentuh kemaluan dengannya, karena ia lebih mirip dengan bagian dalam telapak tangan daripada bagian luarnya.
Wajah yang kedua: yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, dan ia menukilkannya dari al-Syafi‘i sebagai nash, bahwa ia dihukumi seperti bagian luar telapak tangan, dan wudhu tidak batal dengan menyentuh dengannya, karena tidak adanya lazzah darinya.
Abū al-Fayyādh berkata: “Apabila ia menyentuh kemaluannya dengan sela-sela jarinya, sedangkan ia menghadap kemaluannya dengan bagian dalam telapak tangannya, maka batal wudhunya. Namun jika ia menghadapinya dengan bagian luar telapak tangannya, maka tidak batal wudhunya, dengan mempertimbangkan yang lebih dominan dalam keterhubungan dengan bagian dalam.”
Ini tidak memiliki dasar, karena maknanya sama pada kedua keadaan tersebut.
فَأَمَّا إِنْ مَسَّهُ بِبَاطِنِ أُصْبُعٍ زَائِدَةٍ فِي كَفِّهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ لِأَنَّ الزَّائِدَ نَادِرٌ فَلَمْ يُسَاوِ حُكْمَ الْمُعْتَادِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَنْقُضُ الْوُضُوءَ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الْيَدِ فَأُلْحِقَ حُكْمُهُ بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun jika ia menyentuhnya dengan bagian dalam jari tambahan pada telapak tangannya, para ashhab kami berbeda pendapat menjadi dua wajah:
Pertama: tidak membatalkan wudhu, karena jari tambahan itu jarang ada, sehingga tidak disamakan hukumnya dengan yang umum.
Kedua: membatalkan wudhu, karena ia termasuk bagian dari tangan, maka hukumnya disamakan dengannya. Wallāhu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ: مَسُّ فَرْجِ الْبَهِيمَةِ لا ينقض الوضوء)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا وُضُوءَ عَلَى مَنْ مَسَّ ذَلِكَ مِنْ بهيمةٍ؛ لِأَنَّهُ لَا حُرْمَةَ لَهَا وَلَا تَعَبُّدَ، وكل ما خرج من دبرٍ أو قبلٍ من دودٍ أو دمٍ أو مذيٍ أو وديٍ أو بللٍ أو غيره فذلك كله يوجب الوضوء كما وصفت “.
(MASALAH: Menyentuh kemaluan hewan tidak membatalkan wudhu)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Tidak ada kewajiban wudhu bagi orang yang menyentuh kemaluan hewan, karena hewan tidak memiliki kehormatan dan tidak ada tuntutan ibadah. Segala sesuatu yang keluar dari dubur atau qubul, baik berupa cacing, darah, madzi, wadi, cairan, atau selainnya, semuanya itu mewajibkan wudhu sebagaimana telah aku sebutkan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي كُتُبِهِ كُلِّهَا أَنَّ مَسَّ فَرْجِ الْبَهِيمَةِ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ، وَقَالَ اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ: مَسُّ فَرْجِ الْبَهِيمَةِ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ كَمَسِّ فَرْجِ الْآدَمِيِّ وَقَدْ حَكَاهُ ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ وَهَذَا صَحِيحٌ فِي تَرْجَمَتِهِ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَلَيْسَ هَذَا الْمَذْهَبُ لَهُ، وَإِنْ صَحَّتِ الرِّوَايَةُ فَلَعَلَّهُ قَالَهُ حِكَايَةً عَنْ مَذْهَبِ اللَّيْثِ، وَقَالَ عَطَاءٌ: مَنْ مَسَّ فَرْجَ بَهِيمَةٍ مَأْكُولَةِ اللَّحْمِ انْتَقَضَ وُضُوءُهُ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَأْكُولَةِ اللَّحْمِ لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ، وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ خَطَأٌ لِمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ مِنَ التَّعْلِيلِ وَهُوَ أَنَّهُ قَالَ: لَا حُرْمَةَ لَهَا وَلَا تَعَبُّدَ عَلَيْهَا يَعْنِي بِقَوْلِهِ لَا حُرْمَةَ لَهَا فِي وُجُوبِ سَتْرِهِ، وَتَحْرِيمِ النَّظَرِ إِلَيْهِ، وَقَوْلِهِ لَا تَعَبُّدَ عَلَيْهَا أَنَّ الْخَارِجَ مِنْهُ لَا يَنْقُضُ طُهْرًا وَلَا يُوجِبُ وُضُوءًا.
Al-Māwardī berkata: “Ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu mazhab al-Syafi‘i, dan inilah yang beliau tegaskan dalam seluruh kitabnya, bahwa menyentuh kemaluan hewan tidak membatalkan wudhu.”
Al-Laits bin Sa‘d berkata: “Menyentuh kemaluan hewan membatalkan wudhu sebagaimana menyentuh kemaluan manusia.” Pendapat ini dinukil oleh Ibn ‘Abd al-Hakam, dan ini benar dalam terjemahan pendapat dari al-Syafi‘i, namun bukan mazhab beliau. Jika pun riwayat ini sahih, mungkin beliau mengatakannya dalam rangka menukil mazhab al-Laits.
‘Athā’ berkata: “Barang siapa menyentuh kemaluan hewan yang halal dimakan dagingnya, batal wudhunya. Dan jika hewan itu tidak halal dimakan dagingnya, tidak batal wudhunya.”
Kedua mazhab ini salah, karena alasan yang disebutkan oleh al-Syafi‘i, yaitu bahwa ia berkata: “Tidak ada kehormatan padanya dan tidak ada kewajiban ibadah atasnya.” Maksud perkataan beliau “tidak ada kehormatan padanya” adalah tidak wajib menutupinya dan tidak haram melihatnya. Dan maksud perkataan beliau “tidak ada kewajiban ibadah atasnya” adalah bahwa sesuatu yang keluar darinya tidak membatalkan thaharah dan tidak mewajibkan wudhu.
عَدَمُ وُجُوبِ الِاسْتِنْجَاءِ فِي أحوال
Tidak wajibnya istinjak dalam beberapa keadaan
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا اسْتِنْجَاءَ عَلَى مَنْ نَامَ أَوْ خَرَجَ منه ريحٌ. (قال) ونحب للنائم قاعداً أن يتوضأ ولا يبين أن أوجبه عليه لما روى أنس بن مالك أن أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كانوا ينتظرون العشاء فينامون أحسبه قال قعوداً وعن ابن عمر رضي الله عنهما أنه كان ينام قاعداً ويصلي فلا يتوضأ (قال المزني) قد قال الشافعي لو صرنا إلى النظر كان إِذَا غَلَبَ عَلَيْهِ النَّوْمُ تَوَضَّأَ بِأَيِّ حَالَاتِهِ كان (قال المزني) قلت أنا وروي عنصفوان بن عسال أنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَوْ سَفَرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أيامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلَّا من جنابةٍ لكن من بولٍ وغائطٍ ونومٍ (قال المزني) فلما جعلهن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، بأمي هو وأمي، في معنى الحدث واحداً استوى الحدث في جميعهن مضطجعاً كان أو قاعداً ولو اختلف حدث النوم لاختلاف حال النائم لاختلف كذلك حدث الغائط والبول ولأبانه عليه السلام كما أبان أن الأكل في الصوم عامداً مفطراً أو ناسياً غير مفطرٍ وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قَالَ ” الْعَيْنَانِ وِكَاءُ السَّهِ فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنَانِ استطلق الوكاء ” مع ما روي عن عائشة من استجمع نوماً مضطجعاً أو قاعداً وعن أبي هريرة من استجمع نوماً فعليه الوضوء وعن الحسن إذا نام قاعداً أو قائماً توضأ (قال المزني) فهذا اختلاف يوجب النظر وَقَدْ جَعَلَهُ الشَّافِعِيُّ فِي النَّظَرِ فِي مَعْنَى من أغمي عليه كيف كان توضأ فكذلك النائم في معناه كيف كان توضأ واحتج في الملامسة بقول الله جل وعز {أَوْ لاَمَسْتُمْ النِّسَاءَ} وبقول ابن عمر قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة وعن ابن مسعود قريبٌ من معنى قول ابن عمر واحتج في مس الذكر بحديث بسرة عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إذا مس أحدكم ذكره فليتوضأ ” وقاس الدبر بالفرج مع ما روي عن عائشة أنها قالت إذا مست المرأة فرجها توضأت وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ قومٍ عليه ” لكانت الأمة في معنى العبد فكذلك الدبر في معنى الذكر “.
(MASALAH)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Tidak ada kewajiban istinjak bagi orang yang tidur atau keluar darinya angin.”
Beliau berkata: “Kami menyukai bagi orang yang tidur dalam keadaan duduk untuk berwudhu, namun tidak menjelaskan bahwa itu wajib baginya, karena riwayat dari Anas bin Mālik bahwa para sahabat Rasulullah SAW dahulu menunggu salat Isya, lalu mereka tertidur — saya kira ia berkata: dalam keadaan duduk. Dan dari Ibn ‘Umar RA bahwa ia tidur dalam keadaan duduk lalu salat tanpa berwudhu.”
Al-Muzani berkata: “Imam al-Syafi‘i pernah berkata: ‘Jika kita merujuk pada penalaran, maka ketika seseorang telah dikuasai oleh tidur, hendaklah ia berwudhu dalam keadaan apa pun ia berada.’”
Al-Muzani berkata: “Saya katakan, telah diriwayatkan dari Shafwān bin ‘Assāl bahwa ia berkata: Nabi SAW memerintahkan kami ketika dalam safar agar tidak melepas khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena junub, tetapi (melepasnya) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur.”
Al-Muzani berkata: “Ketika Nabi SAW — semoga ayah dan ibuku menjadi tebusannya — menjadikan ketiganya (buang air besar, buang air kecil, dan tidur) dalam satu makna hadats, maka sama hukumnya hadats pada semuanya, baik dalam keadaan berbaring atau duduk. Seandainya hadats karena tidur berbeda menurut perbedaan keadaan tidur, tentu berbeda pula hadats karena buang air besar dan buang air kecil, dan tentu beliau akan menjelaskannya sebagaimana beliau menjelaskan bahwa makan dengan sengaja ketika puasa membatalkan, sedangkan makan karena lupa tidak membatalkan.”
Juga diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Dua mata adalah pengikat dubur, maka jika kedua mata tertidur, lepaslah pengikat itu.” Disertai riwayat dari ‘Āisyah: “Apabila seseorang tidur nyenyak dalam keadaan berbaring atau duduk, maka ia harus berwudhu.” Dan dari Abū Hurairah: “Barang siapa tidur nyenyak, maka ia wajib berwudhu.” Dan dari al-Hasan: “Apabila ia tidur dalam keadaan duduk atau berdiri, maka ia berwudhu.”
Al-Muzani berkata: “Maka ini adalah perbedaan pendapat yang memerlukan kajian. Dan Imam al-Syafi‘i telah menjadikan dalam penalarannya hukum tidur sama dengan orang yang pingsan, yaitu dalam keadaan apa pun ia berada, maka ia berwudhu. Beliau berdalil dalam masalah mulāmasah dengan firman Allah {أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ}, dan dengan perkataan Ibn ‘Umar: ‘Ciuman seorang lelaki terhadap istrinya dan menyentuhnya dengan tangannya termasuk mulāmasah.’ Dan dari Ibn Mas‘ūd riwayat yang maknanya mendekati perkataan Ibn ‘Umar.
Beliau juga berdalil dalam masalah menyentuh kemaluan dengan hadis Busrah dari Rasulullah SAW: ‘Apabila salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.’ Dan beliau mengqiyaskan dubur dengan kemaluan, disertai riwayat dari ‘Āisyah bahwa ia berkata: ‘Apabila seorang wanita menyentuh kemaluannya, maka ia berwudhu.’
Beliau berdalil pula dengan sabda Nabi SAW: ‘Barang siapa memerdekakan bagian kepemilikannya pada seorang budak, maka harganya ditaksir atasnya.’ Seandainya amah (budak perempuan) masuk dalam makna budak laki-laki, maka demikian pula dubur masuk dalam makna kemaluan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَقَدْ ذَكَرْنَا ذَلِكَ مِنْ قَبْلُ وَدَلِيلُهُ الْإِجْمَاعُ وَهُوَ مَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَمِعَ فِي الصَّلَاةِ مِنْ خَلْفِهِ صَوْتًا فَلَمَّا سَلَّمَ مِنَ الصَّلَاةِ قَالَ عَزَمْتُ عَلَى مَنْ كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ إِلَّا قَامَ فَتَوَضَّأَ وَأَعَادَ الصَّلَاةَ فَلَمْ يَقُمْ أحدٌ، فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: لَوْ عَزَمْتَ عَلَى جَمَاعَتِنَا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ عُمَرُ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنَا مَعَكُمْ ثُمَّ قام فتوضأ وتوضؤوا وَأَعَادُوا الصَّلَاةَ جَمِيعًا وَلَمْ يَسْتَنْجُوا فَكَانَ ذَلِكَ إِجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى سُقُوطِ الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ مَنْ ذَهَبَ مِنَ الْخَوَارِجِ إِلَى وُجُوبِ الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ.
Al-Māwardī berkata: “Dan ini adalah pendapat yang benar, dan kami telah menyebutkannya sebelumnya. Dalilnya adalah ijma‘, yaitu sebagaimana diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththāb mendengar suara dari belakangnya dalam salat. Setelah beliau salam, beliau berkata: ‘Aku mewajibkan orang yang mengeluarkan suara itu untuk berdiri, berwudhu, dan mengulang salat.’ Namun tidak ada seorang pun yang berdiri.
Lalu al-‘Abbās bin ‘Abd al-Muththalib RA berkata: ‘Seandainya engkau mewajibkan hal itu kepada seluruh jamaah kita, wahai Amīrul Mu’minīn.’ Maka ‘Umar berkata: ‘Aku mewajibkan kalian, dan aku bersama kalian.’ Lalu beliau berdiri, berwudhu, dan mereka semua berwudhu dan mengulang salat bersama-sama, namun mereka tidak istinjak.
Maka itu menjadi ijma‘ mereka atas gugurnya kewajiban istinjak dalam hal tersebut, dan batallah dengannya pendapat orang-orang Khawārij yang mewajibkan istinjak karenanya.”
(مَسْأَلَةٌ: الْخَارِجُ مِنْ غَيْرِ مخرج الحدث لا ينقض الوضوء)
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَمَا كَانَ سِوَى ذَلِكَ مِنْ قيءٍ أَوْ رعافٍ أَوْ دمٍ خَرَجَ مِنْ غَيْرِ مَخْرَجِ الْحَدَثِ فَلَا وُضُوءَ فِيِ ذَلِكَ كَمَا أَنَّهُ لَا وُضُوءَ فِي الْجَشَأِ الْمُتَغَيِّرِ وَلَا الْبُصَاقِ لِخُرُوجِهِمَا مِنْ غَيْرِ مَخْرَجِ الْحَدَثِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَغْسِلَ فَاهُ وَمَا أَصَابَ الْقَيْءُ مِنْ جَسَدِهِ بوجهه فخرج منها دم فدلكه بين إصبعيه ثم قام إلى الصلاة ولم يغسل يده وعن ابن عباس اغسل أثر المحاجم عنك وحسبك وعن ابن المسيب أنه رعف فمسح أنفه بصوفةٍ ثم صلى وعن القاسم ليس على المحتجم وضوء “.
(MASALAH: Sesuatu yang keluar dari selain saluran hadats tidak membatalkan wudhu)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Segala sesuatu selain itu, seperti muntah, mimisan, atau darah yang keluar dari selain saluran hadats, maka tidak ada kewajiban wudhu karenanya, sebagaimana tidak ada kewajiban wudhu karena sendawa yang berubah (baunya) maupun ludah, karena keduanya keluar dari selain saluran hadats. Hanya saja ia wajib membasuh mulutnya dan membersihkan bagian tubuhnya yang terkena muntah.”
Diriwayatkan bahwa seseorang terluka di wajahnya hingga keluar darah, lalu ia memijitnya di antara dua jarinya, kemudian berdiri untuk salat tanpa membasuh tangannya. Dan dari Ibn ‘Abbās: “Basuhlah bekas bekam dari tubuhmu, dan itu sudah cukup bagimu.” Dan dari Ibn al-Musayyib: ia pernah mimisan, lalu mengusap hidungnya dengan sepotong wol, kemudian salat. Dan dari al-Qāsim: “Tidak ada kewajiban wudhu bagi orang yang berbekam.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَا خَرَجَ مِنَ الْبَدَنِ مِنْ غَيْرِ السَّبِيلَيْنِ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ سَوَاءٌ كَانَ طَاهِرًا كَالدُّمُوعِ وَالْبُصَاقِ أَوْ كَانَ نَجِسًا كَالْقَيْءِ وَدَمِ الْحِجَامَةِ وَالْفِصَادِ وَالرُّعَافِ وَإِنَّمَا عَلَيْهِ غَسْلُ مَا ظَهَرَ مِنَ النَّجَاسَةِ عَلَى بَدَنِهِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَمِنَ التَّابِعِينَ ابْنُ الْمُسَيَّبِ وَالْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَرَبِيعَةُ وَأَبُو ثَوْرٍ.
Al-Māwardī berkata: “Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa segala sesuatu yang keluar dari badan selain dari dua saluran (qubul dan dubur) tidak membatalkan wudhu, baik itu suci seperti air mata dan ludah, maupun najis seperti muntah, darah bekam, darah sayatan, dan mimisan. Yang wajib hanyalah membasuh najis yang tampak pada badannya.
Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat seperti ‘Abdullāh bin ‘Umar dan Ibn ‘Abbās, dari kalangan tābi‘īn seperti Ibn al-Musayyib dan al-Qāsim bin Muhammad, dan dari kalangan fuqahā’ seperti Mālik, Rabi‘ah, dan Abū Tsaur.”
وَقَالَ أبو حنيفة: النَّجَاسَةُ الْخَارِجَةُ مِنْ غَيْرِ السَّبِيلَيْنِ إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَاطِنِ الْبَدَنِ إِلَى ظَاهِرِهِ انْتَقَضَ بِهَا الْوُضُوءُ إِلَّا الْقَيْءُ حَتَّى يَمْلَأَ الْفَمَ، وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى يَنْتَقِضُ الْوُضُوءُ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَعَلِيٌّ، وَمِنَ التَّابِعِينَ ابْنُ سِيرِينَ وَعَطَاءٌ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ زفر بن الهذيل، واستدلوا بما روى ابن جريح عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ قَاءَ أَوْ قَلَسَ فَلْيَنْصَرِفْ وَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ مَا لَمْ يَتَكَلَّمْ ” وَبِمَا رَوَى يَزِيدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْوُضُوءُ مِنْ كُلِ دمٍ سائلٍ ثَلَاثًا وَبِمَا رَوَى عُمَرُ بْنُ رَبَاحٍ عَنْ عَبْدِ الله بن طاووس عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا رَعَفَ فِي صَلَاتِهِ تَوَضَّأَ ثُمَّ بَنَى عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ صَلَاتِهِ.
Abū Ḥanīfah berkata: “Najis yang keluar dari selain dua saluran, apabila keluar dari dalam tubuh ke bagian luarnya, maka wudhu batal karenanya, kecuali muntah, hingga memenuhi mulut.”
Ibn Abī Lailā berkata: “Wudhu batal karena sedikit maupun banyak (dari najis itu).” Pendapat ini juga dikatakan dari kalangan sahabat oleh ‘Umar dan ‘Alī, dari kalangan tābi‘īn oleh Ibn Sīrīn dan ‘Aṭā’, dan dari kalangan fuqahā’ oleh Zufar bin al-Hudzail.
Mereka berdalil dengan riwayat Ibn Jurayj dari ‘Abdullāh bin Abī Mulaykah dari ‘Āisyah RA, bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa muntah atau keluar sesuatu dari tenggorokannya (qalas), hendaklah ia memutus salatnya, berwudhu, lalu melanjutkan salatnya selama ia belum berbicara.”
Juga dengan riwayat Yazīd bin Khālid dari Yazīd bin Muḥammad dari ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz dari Tamīm al-Dārī dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Wudhu karena setiap darah yang mengalir adalah tiga kali.”
Dan dengan riwayat ‘Umar bin Rabāḥ dari ‘Abdullāh bin Ṭāwūs dari ayahnya dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: “Rasulullah SAW apabila mimisan dalam salatnya, beliau berwudhu lalu melanjutkan salatnya dari bagian yang tersisa.”
وَبِمَا رَوَى مَعْدَانُ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَاءَ فَأَفْطَرَ قَالَ فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوءَهُ. وَرُوِيَ أَنَّسَلْمَانَ رَعَفَ فِي حَضْرَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ يَا سَلْمَانُ أَحْدِثْ وُضُوءًا وَهَذَا أَمْرٌ، قَالُوا وَلِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ خَرَجَتْ إِلَى مَحَلٍّ يَلْزَمُهُ حُكْمُ التَّطْهِيرِ فَوَجَبَ أَنْ تَنْقُضَ الْوُضُوءَ كَالْخَارِجِ مِنْ غَيْرِ السَّبِيلَيْنِ، وَلِأَنَّ مَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ إِنَّمَا هُوَ خَارِجٌ مِنَ الْبَدَنِ كَمَا أَنَّ مَا يُبْطِلُ الصَّوْمَ يَكُونُ بِدَاخِلٍ إِلَى الْبَدَنِ فَلَمَّا لَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ فِيمَا يَكُونُ بِهِ الْفِطْرُ بَيْنَ وُصُولِهِ مِنْ سَبِيلٍ مُعْتَادٍ وَغَيْرِ مُعْتَادٍ وَجَبَ أَلَّا يَقَعَ الْفَرْقُ فِيمَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ مِنْ خُرُوجِهِ مِنْ سَبِيلٍ مُعْتَادٍ وَغَيْرِ مُعْتَادٍ.
Dan dengan riwayat dari Ma‘dān bin Abī Ṭalḥah dari Abū al-Dardā’ bahwa Nabi SAW pernah muntah lalu beliau berbuka. Ma‘dān berkata: “Aku bertemu dengan Tsaubān di masjid Damaskus, lalu aku menyebutkan hal itu kepadanya.” Tsaubān berkata: “Akulah yang menuangkan air wudhunya.”
Juga diriwayatkan bahwa Salmān pernah mimisan di hadapan Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: “Wahai Salmān, perbaruilah wudhu.” Dan ini adalah perintah.
Mereka (ulama yang berpendapat demikian) berkata: “Karena ia adalah najis yang keluar menuju tempat yang wajib disucikan, maka wajib membatalkan wudhu seperti halnya sesuatu yang keluar dari selain dua saluran. Dan karena sesuatu yang membatalkan wudhu adalah setiap yang keluar dari badan, sebagaimana sesuatu yang membatalkan puasa adalah setiap yang masuk ke dalam badan. Maka ketika tidak ada perbedaan pada hal yang membatalkan puasa antara yang masuk melalui jalan yang biasa maupun tidak biasa, demikian pula tidak seharusnya ada perbedaan pada hal yang membatalkan wudhu antara yang keluar melalui jalan yang biasa maupun tidak biasa.”
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا وُضُوءَ إِلَّا مِنْ حدثٍ، وَالْحَدَثُ أن يفسوا أَوْ يَضْرِطَ ” فَاقْتَضَى ظَاهِرُهُ انْتِفَاءَ الْوُضُوءِ عَمَّا سِوَاهُ إِلَّا بِدَلِيلٍ، وَرَوَى حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: ” احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَلَمْ يَزِدْ عَلَى غَسْلِ مَحَاجِمِهِ وَهَذَا نَصٌّ.
Dalil kami adalah riwayat dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada wudhu kecuali karena hadats, dan hadats itu adalah kentut tanpa suara (yafsū) atau dengan suara (yadraṭ).” Maka zhahir hadis ini menunjukkan tidak adanya kewajiban wudhu selain dari itu kecuali dengan dalil lain.
Dan diriwayatkan oleh Ḥumayd al-Ṭawīl dari Anas, ia berkata: “Rasulullah SAW berbekam lalu salat tanpa berwudhu, dan beliau tidak menambah selain membasuh bekas tempat bekamnya.” Dan ini adalah nash.
وَرَوَى ثَوْبَانُ قَالَ قَاءَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَكَبْتُ عَلَيْهِ وَضُوءًا وَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنْ هَذَا وضوءٌ، قَالَ: ” لَوْ كَانَ مِنْهُ وضوءٌ لَوَجَدْتَهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى “. وَرَوَى عقيل بن جابر عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَنِي فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ بِكَلَانِيَةٍ فِي اللَّيْلِ فَقَامَ رجلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ بِفَمِ الشِّعْبِ فَصَلَّى فَرُمِيَ بسهمٍ فَنَزَعَهُ، وَرُمِيَ بسهمٍ آخَرَ حَتَّى رُمِيَ بِثَلَاثَةِ أسهمٍ ثُمَّ رَكَعَ وَسَجَدَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَ أَنْ عَلِمَ بِحَالِهِ بِالْوُضُوءِ وَإِعَادَةِ الصَّلَاةِ فَإِنْ قِيلَ لَا دَلِيلَ فِيهِ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَأْمُرْهُ بِغَسْلِ الدَّمِ وَهُوَ عِنْدَكُمْ وَاجِبٌ وَالصَّلَاةُ مَعَهُ فَاسِدَةٌ وَكَذَلِكَ حَالُ الْوُضُوءِ قِيلَ عَنْهُ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ الدَّمَ مَعْفُوٌّ عَنْهُ لِأَنَّهُ مِنْ دَمِهِ وَيَسِيرٌ لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ الْكَثْرَةِ.
Diriwayatkan dari Tsaubān, ia berkata: “Rasulullah SAW pernah muntah, lalu aku menuangkan air wudhu untuk beliau. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah dari ini wajib wudhu?’ Beliau bersabda: ‘Seandainya dari ini wajib wudhu, tentu engkau akan mendapatkannya di dalam Kitab Allah Ta‘ala.’”
Diriwayatkan dari ‘Uqayl bin Jābir dari Jābir bahwa Nabi SAW memerintahkanku dalam perang Dzāt al-Riqā‘ untuk berjaga di malam hari. Maka seorang laki-laki dari Anshar berdiri di mulut lembah lalu salat. Ia dipanah, lalu mencabutnya. Kemudian dipanah lagi, lalu dipanah yang ketiga. Setelah itu ia rukuk dan sujud, dan Nabi SAW ketika mengetahui keadaannya, tidak memerintahkannya berwudhu dan mengulang salat.
Jika dikatakan: “Tidak ada dalil di dalamnya, karena Nabi SAW tidak memerintahkannya membasuh darah, padahal menurut kalian itu wajib, dan salat dengan darah adalah batal, demikian pula halnya wudhu,” maka dijawab dengan dua jawaban:
Pertama: darah itu dimaafkan karena berasal dari darahnya sendiri dan sedikit, belum mencapai batas banyak.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَصِيرُ كَدَمِ الْمُسْتَحَاضَةِ وَسَلَسِ الْبَوْلِ الَّذِي لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الصَّلَاةِ وَلَا يَجِبُ غَسْلُهُ مِنْهَا، وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَهُوَ أَنَّهُ خَارِجٌ مِنْ غَيْرِ مَخْرَجِ الْحَدَثِ الْمُعْتَادِ فَوَجَبَ أَلَّا يَنْقُضَ الْوُضُوءَ قِيَاسًا عَلَى الدُّودِ الْخَارِجِ مِنَ الْمَخْرَجِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَنْقُضِ الْوُضُوءَ بِقَلِيلِهِ لَمْ يَنْتَقِضْ بِكَثِيرِهِ كَالدُّمُوعِ وَالْعَرَقِ، وَلِأَنَّ كُلَّ حُكْمٍ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِقَلِيلِ الْقَيْءِ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِكَثِيرِهِ كَإِفْسَادِ الصَّوْمِ بِالْقَيْءِ إِذَا ذَرَعَهُ طَرْدًا، وَإِذَا اسْتَدْعَاهُ عَكْسًا، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ حُكْمِيَّةٌ تَتَعَلَّقُ بِالْخَارِجِ من مخرج الحديث فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنِ الْخَارِجِ مِنْ غَيْرِ مَخْرَجِ الْحَدَثِ كَالْغُسْلِ.
Kedua: darah itu dihukumi seperti darah mustahādhah dan salas al-bawl (anyang-anyangan) yang tidak menghalangi sahnya salat dan tidak wajib dibasuh darinya.
Adapun qiyasnya adalah bahwa ia merupakan sesuatu yang keluar dari selain saluran hadats yang biasa, maka wajib untuk tidak membatalkan wudhu, diqiyaskan dengan cacing yang keluar dari saluran hadats.
Dan karena setiap sesuatu yang sedikitnya tidak membatalkan wudhu, maka banyaknya pun tidak membatalkan, seperti air mata dan keringat.
Dan karena setiap hukum yang tidak berlaku pada sedikit muntah, maka tidak berlaku pula pada banyaknya, seperti membatalkan puasa dengan muntah jika tanpa disengaja (tardān), sedangkan jika disengaja (‘aksan) maka berbeda.
Dan karena wudhu adalah thaharah hukmiyyah yang berkaitan dengan sesuatu yang keluar dari saluran hadats, maka wajib untuk tidak berlaku pada sesuatu yang keluar dari selain saluran hadats, sebagaimana mandi wajib.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ مَنْ قَاءَ أَوْ قَلَسَ فَلْيَتَوَضَّأْ، فَهُوَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي حَاتِمٍ قَالَ: هُوَ مُرْسَلٌ لِأَنَّ ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَرْوِيهِ عَنِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَالْمُرْسَلُ عِنْدَنَا لَا حُجَّةَ فِيهِ، عَلَى أَنَّا نَحْمِلُهُ عَلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا عَلَى الْوُضُوءِ اسْتِحْبَابًا.
وَإِمَّا عَلَى غَسْلِ مَا أَصَابَ الْفَمَ مِنْ ذَلِكَ لِأَنَّ الْقَلَسَ وَهُوَ الرِّيقُ الْحَامِضُ يَخْرُجُ مِنَ الْحَلْقِ وَلَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ وِفَاقًا.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: الْوُضُوءُ مِنْ كُلِّ دَمٍ سَائِلٍ، فَالرَّاوِي يَزِيدُ بْنُ خَالِدٍ وَهُوَ مَجْهُولٌ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ لَمْ يَلْقَ تَمِيمًا الدَّارِيَّ فَصَارَ مُنْقَطِعًا يَحْمِلُ عَلَى غَسْلِ الْمَوْضِعِ.
Adapun jawaban terhadap hadis “Barang siapa muntah atau qalas maka hendaklah ia berwudhu,” adalah bahwa ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Ḥātim berkata: “Hadis ini mursal, karena Ibn Abī Mulaykah meriwayatkannya dari Nabi SAW secara langsung.” Sedangkan hadis mursal menurut kami tidak menjadi hujjah.
Selain itu, kami menakwilkannya pada salah satu dari dua makna:
Pertama, wudhu di sini dimaksudkan sebagai anjuran (istihbāb).
Kedua, maksudnya adalah membasuh bagian mulut yang terkena muntah itu, karena qalas — yaitu air liur asam yang keluar dari tenggorokan — tidak mewajibkan wudhu menurut kesepakatan.
Adapun jawaban terhadap hadis “Wudhu dari setiap darah yang mengalir,” perawinya adalah Yazīd bin Khālid yang tidak dikenal, dan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz tidak pernah bertemu dengan Tamīm al-Dārī, sehingga hadis ini menjadi munqathi‘. Maka ia dibawa kepada makna membasuh bagian yang terkena darah.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ فَرَاوِيهِ عُمَرُ بْنُ رَبَاحٍ، وَهُوَ مَتْرُوكُ الْحَدِيثِ، وَالثَّابِتُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: اغْسِلْ أَثَرَ الْمَحَاجِمِ عَنْكَ وَحَسْبُكَ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ فَهُوَ أَنَّ وَجْهَ الدَّلِيلِ فِيهِ سَاقِطٌ لِأَنَّ ثَوْبَانِ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ صَبَّ عَلَيْهِ وَضُوءًا لِغَسْلِ فَمِهِ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ لِحَدَثٍ كَانَ بِهِ أَوْ لِاسْتِحْبَابِهِ، عَلَى أَنَّنَا قَدْ رَوَيْنَا عَنْ ثَوْبَانَ نَصًّا خِلَافَهُ، وحديث سَلْمَانَ فَمَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ صَحَّ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ.
Adapun jawaban terhadap hadis Ibn ‘Abbās, perawinya adalah ‘Umar bin Rabāḥ yang matrūk dalam hadis. Riwayat yang sahih dari Ibn ‘Abbās adalah bahwa ia berkata: “Basuhlah bekas bekam dari tubuhmu, dan itu sudah cukup bagimu.”
Adapun jawaban terhadap hadis Abū al-Dardā’, sisi pendalilannya gugur karena Tsaubān mungkin saja menuangkan air wudhu untuk beliau guna membasuh mulutnya, atau karena ada hadats lain yang menimpanya, atau sekadar untuk keutamaan (istihbāb). Bahkan kami telah meriwayatkan dari Tsaubān secara nash yang bertentangan dengan itu.
Sedangkan hadis Salmān dibawa kepada makna bahwa ia sahih dalam konteks anjuran (istihbāb).
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى مَا خَرَجَ مِنَ السَّبِيلَيْنِ مُنْتَقِضٌ بِالْقَيْءِ إِذَا لَمْ يَمْلَأِ الْفَمَ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي السَّبِيلَيْنِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الصَّوْتُ وَالرِّيحُ الْخَارِجُ مِنْهُمَا نَاقِضًا لِلْوُضُوءِ كَانَ غَيْرُهُ كَذَلِكَ، وَلَمَّا كَانَ الصَّوْتُ وَالرِّيحُ مِنْ غَيْرِ السَّبِيلَيْنِ لَا يَنْقُضَانِ الْوُضُوءَ كَانَ غَيْرُهُمَا كَذَلِكَ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْفِطْرِ فِي الصَّوْمِ بِالدَّاخِلِ مِنْ مُعْتَادٍ وَغَيْرِ مُعْتَادٍ، فَهُوَ اسْتِدْلَالٌ بِالْعَكْسِ وَلَا نَقُولُ بِهِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمَّا أَفْطَرَ بِقَلِيلِهِ أَفْطَرَ بِكَثِيرِهِ، وَلَمَّا لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ بِقَلِيلِهِ لَمْ ينتقض بكثيره.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan sesuatu yang keluar dari dua saluran, maka qiyas itu batal dengan muntah apabila tidak memenuhi mulut.
Kemudian, makna pada dua saluran adalah bahwa ketika suara dan angin yang keluar darinya membatalkan wudhu, maka selain keduanya pun demikian. Dan ketika suara dan angin yang keluar dari selain dua saluran tidak membatalkan wudhu, maka selain keduanya pun demikian.
Adapun jawaban terhadap istidlal mereka dengan membatalkan puasa karena sesuatu yang masuk, baik melalui saluran yang biasa maupun yang tidak biasa, maka itu adalah istidlal dengan cara terbalik (bil-‘aks), dan kami tidak berpendapat demikian.
Selain itu, maknanya adalah bahwa ketika puasa batal dengan sedikit maupun banyaknya (sesuatu yang masuk), maka wudhu pun demikian: ketika ia tidak batal dengan sedikitnya (sesuatu yang keluar), maka ia juga tidak batal dengan banyaknya.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ فِي قَهْقَهَةِ مُصَلٍّ وَلَا فِيمَا مَسَّتِ النار وضوءٌ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه أكل كتف شاةٍ فصلى ولم يتوضأ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُمَا مَسْأَلَتَانِ:
أَحَدُهُمَا: فِي الْقَهْقَهَةِ.
(MASALAH)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Tidak ada (kewajiban) wudhu karena tertawa terbahak-bahak dalam salat dan tidak pula karena sesuatu yang tersentuh api, karena diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau memakan daging pundak kambing, lalu salat dan tidak berwudhu.”
Al-Māwardī berkata: “Keduanya adalah dua masalah:
Pertama, tentang tertawa terbahak-bahak.”
وَالثَّانِيَةُ: فِي أَكْلِ مَا مَسَّتِ النَّارُ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا وَعَطَفَ بِالْجَوَابِ عَلَيْهِمَا وَنَحْنُ نُفْرِدُهُمَا لِاخْتِلَافِ الْكَلَامِ فِيهِمَا:
أَمَّا الْقَهْقَهَةُ وَالضَّحِكُ فَقَدْ يَتَنَوَّعُ الضَّحِكُ نَوْعَيْنِ: تَبَسُّمٌ وَقَهْقَهَةٌ، فَأَمَّا التَّبَسُّمُ فَلَا يُؤَثِّرُ فِي الصَّلَاةِ وَلَا فِي الْوُضُوءِ إِجْمَاعًا، وَأَمَّا الْقَهْقَهَةُ فَإِنْ كَانَتْ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ لَمْ يَنْتَقِضِ الْوُضُوءُ إِجْمَاعًا وَإِنْ كَانَتْ فِي الصَّلَاةِ بَطَلَتِ الصَّلَاةُ وَاخْتَلَفُوا فِي انْتِقَاضِ الْوُضُوءِ بِهَا. فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهَا لَا تَنْقُضُ الْوُضُوءَ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ، وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ وَالزُّهْرِيُّ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ، وَقَالَ أبو حنيفة: الْقَهْقَهَةُ فِي الصَّلَاةِ تَنْقُضُ الْوُضُوءَ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: بَيْنَا نَحْنُ نُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذْ أَقْبَلَ رجلٌ ضريرٌ فَوَقَعَ فِي حُفْرَةٍ فَضَحِكْنَا مِنْهُ فَأَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْوُضُوءِ وَإِعَادَةِ الصَّلَاةِ مِنْ أَوَّلِهَا.
Dan yang kedua, tentang makan sesuatu yang tersentuh api. Beliau (al-Māwardī) menggabungkan keduanya dan mengaitkan jawaban untuk keduanya, namun kami memisahkannya karena perbedaan pembahasan di antara keduanya.
Adapun tertawa dan senyum, maka tertawa terbagi menjadi dua: tabassum (senyum) dan qahqahah (tertawa terbahak-bahak). Adapun tabassum, maka tidak berpengaruh pada salat maupun wudhu secara ijma‘. Adapun qahqahah, jika terjadi di luar salat maka tidak membatalkan wudhu secara ijma‘, namun jika terjadi di dalam salat, maka salat batal, dan para ulama berbeda pendapat tentang batalnya wudhu karenanya.
Imam al-Syafi‘i berpendapat bahwa ia tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat seperti ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, Jābir bin ‘Abdillāh, dan Abū Mūsā al-Asy‘arī; dari kalangan tābi‘īn seperti ‘Aṭā’, al-Zuhrī, dan ‘Urwah bin al-Zubayr; dan dari kalangan fuqahā’ seperti Mālik, Aḥmad, dan Isḥāq.
Abū Ḥanīfah berkata: Qahqahah di dalam salat membatalkan wudhu, dengan berdalil pada riwayat al-Ḥasan al-Baṣrī dari Abū al-Malīḥ bin Usāmah dari ayahnya, ia berkata: “Ketika kami salat di belakang Rasulullah SAW, datang seorang laki-laki buta lalu terjatuh ke dalam lubang, maka kami pun tertawa karenanya. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk berwudhu dan mengulang salat dari awalnya.”
وَرَوَاهُ أبو حنيفة عن منصور بن زاذان عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ، وَبِمَا رَوَى الْحَسَنُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: مَنْ ضَحِكَ فِي الصَّلَاةِ قَهْقَهَةً فَلْيُعِدِ الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ وَرَوَاهُ الْحَسَنُ عَنْ أَنَسٍ عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ فِعْلٍ يَقَعُ تَارَةً بِاخْتِيَارِهِ وَتَارَةً بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ كَانَ حَدَثًا كَالْبَوْلِ وَالرِّيحِ. قَالُوا: وَلِأَنَّ الطَّهَارَةَ عِبَادَةٌ وَرَدَتْ مِنَ الْأَكْثَرِ إِلَى الْأَقَلِّ فِي حَالِ الْعُذْرِ فَجَازَ أَنْ تُبْطِلَهَا الْقَهْقَهَةُ كَالصَّلَاةِ، وَدَلِيلُنَا مَا رَوَى الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْقَهْقَهَةُ فِي الصَّلَاةِ يُعِيدُ الصَّلَاةَ وَلَا يُعِيدُ الْوُضُوءَ. وَرَوَى سَهْلُ بْنُ مُعَاذٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الضَّاحِكُ فِي صَلَاتِهِ وَالْمُتَكَلِّمُ سَوَاءٌ ” وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْكَلَامَ يُبْطِلُ الصَّلَاةَ وَلَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ فَكَذَلِكَ الضَّحِكُ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَكُنْ حَدَثًا فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ لَمْ يَكُنْ حَدَثًا فِي الصَّلَاةِ كَالْكَلَامِ طَرْدًا وَسَائِرِ الْأَحْدَاثِ عَكْسًا وَلِأَنَّ كُلَّ مَعْنَى لَمْ يَنْتَقِضِ الْوُضُوءُ بِقَلِيلِهِ لَمْ يَنْتَقِضِ الْوُضُوءُ بِكَثِيرِهِ كَالْمَشْيِ.
Dan Abū Ḥanīfah meriwayatkannya dari Manṣūr bin Zādzān dari Ma‘bad al-Juhanī, serta dengan riwayat al-Ḥasan dari ‘Imrān bin Ḥuṣain dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barang siapa tertawa terbahak-bahak dalam salat, maka hendaklah ia mengulang wudhu dan salat.”
Juga diriwayatkan oleh al-Ḥasan dari Anas dari Nabi SAW. Mereka (Hanafiyah) berkata: “Karena setiap perbuatan yang terjadi terkadang dengan sengaja dan terkadang tanpa sengaja dihukumi hadats, seperti buang air kecil dan kentut. Dan karena thaharah adalah ibadah yang berpindah dari tingkatan lebih sempurna kepada yang lebih ringan saat ada uzur, maka sah saja jika qahqahah membatalkannya seperti halnya salat.”
Dalil kami adalah riwayat al-A‘mash dari Abū Sufyān dari Jābir, bahwa Nabi SAW bersabda: “Qahqahah dalam salat mengulang salatnya tetapi tidak mengulang wudhunya.”
Diriwayatkan pula oleh Sahl bin Mu‘ādz dari ayahnya dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Orang yang tertawa dalam salatnya dan orang yang berbicara adalah sama.” Dan sudah maklum bahwa berbicara membatalkan salat tetapi tidak membatalkan wudhu, maka demikian pula tertawa.
Dan karena segala sesuatu yang bukan hadats di luar salat, maka ia bukan hadats pula di dalam salat — sebagaimana berbicara — dan sebaliknya, segala hadats di luar salat adalah hadats di dalam salat.
Juga karena setiap perkara yang sedikitnya tidak membatalkan wudhu, maka banyaknya pun tidak membatalkan wudhu, seperti berjalan.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ فَهُوَ أَنَّ رِوَايَةَ الْحَسَنِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ الْحَسَنِ، وَكَانَ الْحَسَنُ بْنُ دِينَارٍ ضَعِيفًا، وَمَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ الَّذِي أَسْنَدَهُ أبو حنيفة عَنْهُ تَابِعِيٌّ وَلَا صُحْبَةَ لَهُ، وَكَانَ حَدِيثُهُ مُرْسَلًا، ثُمَّ يُحْمَلُ إِمَّا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ زَجْرًا وَتَغْلِيظًا وَإِمَّا عَلَى أَنَّهُ سَمِعَ مِنْهُمْ صَوْتًا.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ وَأَنَسٍ فَهُوَ أَنَّ حَدِيثَ عِمْرَانَ رَوَاهُ عُمَرُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ عُبَيْدٍ عَنِ الْحَسَنِ، وَكَانَ عُمَرُ بْنُ قَيْسٍ ضَعِيفًا مَتْرُوكَ الْحَدِيثِ.
Adapun jawaban terhadap hadis al-Ḥasan dari Abū al-Malīḥ adalah bahwa riwayat itu melalui al-Ḥasan bin Dīnār dari al-Ḥasan, sedangkan al-Ḥasan bin Dīnār adalah perawi yang lemah. Adapun Ma‘bad al-Juhanī, yang Abū Ḥanīfah meriwayatkan darinya, adalah seorang tābi‘ī dan tidak memiliki pertemuan dengan Nabi SAW, sehingga hadisnya berstatus mursal. Kemudian hadis itu dibawa kepada makna anjuran (istihbāb) sebagai bentuk larangan dan penekanan, atau ditakwilkan bahwa beliau mendengar dari mereka suara.
Adapun jawaban terhadap hadis al-Ḥasan dari ‘Imrān dan Anas, maka hadis ‘Imrān diriwayatkan oleh ‘Umar bin Qays dari ‘Amr bin ‘Ubayd dari al-Ḥasan, sedangkan ‘Umar bin Qays adalah perawi yang lemah dan matrūk dalam hadis.
وَأَمَّا حَدِيثُ أَنَسٍ فَلَمْ يَرِدْ إِلَّا مِنْ طَرِيقِ سُفْيَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْفَزَارِيِّ وَكَانَ ضَعِيفًا مُنْكَرَ الْحَدِيثِ عَلَى أَنَّ أَحَادِيثَ الْحَسَنِ ضَعِيفَةٌ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ وَإِنْ كَانَ بِمَكَانَةٍ مِنَ الثِّقَةِ وَالدِّينِ لِأَنَّهُ كَانَ يَرْوِي بِالْبَلَاغَاتِ وَالْمُرَاسَلَاتِ، وَيَرَى ذَلِكَ مَذْهَبًا وَلِذَلِكَ قَالَ فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ أَخْبَرَنِي بِهِ سَبْعُونَ بَدْرِيًّا، وَلَمْ يَلْقَ بَدْرِيًّا غَيْرَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَسَمِعَ مِنْهُ حديثاً واحداً في الوضوء وهو صغير، وكان تأويل ذلك منه أنه بَلَغَنِي عَنْ سَبْعِينَ بَدْرِيًّا وَقَدْ قِيلَ إِنَّ رِوَايَتَهُ خَبَرَ الْقَهْقَهَةِ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ الرِّيَاحِيِّ فقد قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ: أَخْبَارُ الرِّيَاحِيِّ رِيَاحٌ كُلُّهَا، وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ: حَدِّثُونِي عَمَّنْ شِئْتُمْ إِلَّا عَنِ الْحَسَنِ وَأَبِي الْعَالِيَةِفَإِنَّهُمَا لَا يُبَالِيَانِ عَمَّنْ أَخَذَا، ثُمَّ وَلَوْ سَلِمَ الْحَدِيثُ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى الْإِرْشَادِ وَالنَّدْبِ، كَمَا رُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” من غضب فليتوضأ ” وروى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ حَلَفَ بِاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ ” وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ أَنَّهُ يَقَعُ تَارَةً بِاخْتِيَارٍ وَتَارَةً بِغَيْرِ اخْتِيَارٍ فَمُنْتَقَضٌ بِالْبُكَاءِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ أَنَّهُ خَارِجٌ مِنَ السَّبِيلَيْنِ، أَوْ أَنَّ قَلِيلَهُ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الصَّلَاةِ، فَالْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ أَنَّهَا تَبْطُلُ بِالْكَلَامِ، فَبَطَلَتْ بِالْقَهْقَهَةِ وَلَيْسَ كذلك الوضوء.
Adapun hadis Anas, tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur Sufyān bin Muḥammad al-Fazārī, dan ia seorang yang lemah serta munkar hadisnya. Adapun hadis-hadis al-Ḥasan dianggap lemah di sisi ahli hadis, meskipun ia berada pada kedudukan terpercaya dan beragama, karena ia meriwayatkan dengan balāghāt dan mursalāt, serta menganggap hal itu sebagai mazhab. Oleh sebab itu ia berkata tentang masḥ di atas dua khuff: “Telah mengabarkan kepadaku tujuh puluh orang Badri,” padahal ia tidak pernah bertemu seorang pun Badri selain ‘Alī bin Abī Ṭālib dan hanya mendengar darinya satu hadis tentang wudhu saat ia masih kecil. Penakwilan dari perkataannya itu adalah bahwa maksudnya: “Telah sampai kepadaku dari tujuh puluh orang Badri.”
Dan telah dikatakan bahwa riwayatnya tentang berita al-qahqahah dari Abū al-‘Āliyah al-Riyāḥī, sebagian ahli hadis berkata: “Berita-berita al-Riyāḥī semuanya bagaikan angin.” Muḥammad bin Sīrīn berkata: “Ceritakan kepadaku dari siapa saja yang kalian mau kecuali dari al-Ḥasan dan Abū al-‘Āliyah, karena keduanya tidak peduli dari siapa mereka mengambil (riwayat).”
Kemudian, seandainya pun hadis itu selamat (dari kelemahan), maka ia dibawa kepada makna pengarahan (irsyād) dan anjuran (nadb), sebagaimana diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Barang siapa marah hendaklah ia berwudhu.” Dan beliau SAW meriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Barang siapa bersumpah dengan al-Lāt dan al-‘Uzzā, maka wajib atasnya berwudhu.”
Adapun jawaban dari qiyas mereka bahwa ia terjadi terkadang dengan pilihan dan terkadang tanpa pilihan, maka ini tertolak dengan (perumpamaan) menangis. Kemudian, makna pada asalnya adalah bahwa ia keluar dari dua jalan (al-sabīlain), atau bahwa sedikitnya sudah membatalkan wudhu.
Adapun jawaban dari qiyas mereka atas shalat, maka makna dalam shalat adalah bahwa shalat batal dengan berbicara, maka ia batal pula dengan al-qahqahah, sedangkan wudhu tidaklah demikian.
(فصل)
: فأما الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: فِي أَكْلِ مَا مَسَّتِ النَّارُ فلا ينقض الوضوء بحال، وبه قال في الصَّحَابَةِ الْخُلَفَاءُ الْأَرْبَعَةُ، وَابْنُ مَسْعُودٍ وَكَافَّةُ التَّابِعِينَ، وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ بِوُجُوبِ الْوُضُوءِ بِهِ مِنْ أَكْلِ لَحْمِ الْجَزُورِ دُونَ غَيْرِهِ وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهْوَيْهِ بِوُجُوبِ الْوُضُوءِ من أكل كل ما سمته النار، وبه قال الجماعة مِنَ الصَّحَابَةِ مِنْهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَأَنَسٌ وَأَبُو طَلْحَةَ وَعَائِشَةُ اسْتِدْلَالًا بِمَا رَوَاهُ أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” توضؤوا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ وَلَوْ عَلَى ثورٍ مِنْ أقطٍ ” وَالثَّوْرُ هُوَ الْقِطْعَةُ مِنَ الْأَقِطِ هَكَذَا قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ، وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَكَلَ كَتِفَ شاةٍ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ، وَرَوَى عُبَيْدُ بْنُ ثُمَامَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن الحرث بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: لَقَدْ رَأَيْتُنِي سَابِعَ سبعةٍ أَوْ سَادِسَ ستةٍ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -في دار رجلٍ فناداه بالصلاة، فخرجنا فمرننا برجلٍ وَبُرْمَتُهُ عَلَى النَّارِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَطَابَتْ بُرْمَتُكَ فَقَالَ: نَعَمْ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي فَتَنَاوَلَ مِنْهَا بَضْعَةً، فَلَمْ يَزَلْ يَعْلُكُهَا حَتَّى أَحْرَمَ بِالصَّلَاةِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَيْهِ. وَرَوَى دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ الْهَاشِمِيِّ عَنْ أُمِّ حَكِيمِ بِنْتِ الزُّبَيْرِ قَالَتْ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بكتفٍ، فجعلت أسحلها له فأكلها ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَمَعْنَى أَسْحَلُهَا أَيْ أَكْشِطُ مَا عَلَيْهَا، وَمِنْ هَذَا سَاحِلُ الْبَحْرِ لِأَنَّ الْمَاءَ قَدْ سَحَلَهُ، وَرَوَى شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كان آخر الأمرين من رسول الله (ترك الوضوء وما غَيَّرَتِ النَّارُ) فَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ فَمَنْسُوخٌ وَقَدْ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ فَإِنَّا نَتَوَضَّأُ بِالْحَمِيمِ وَقَدْ أُغْلِيَ بِالنَّارِ وَإِنَّا لَنَدَّهِنُ بِالدُّهْنِ وَقَدْ طُبِخَ عَلَى النَّارِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَا ابْنَ أَخِي إِذَا سَمِعْتَ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ، فَأَمَّا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِي تَخْصِيصِهِ لَحْمَ الْجَزُورِ فِي وُجُوبِ الْوُضُوءِ عَلَى مَنْ أَكَلَهُ فَمُسْتَدِلٌّ بِحَدِيثِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن الوضوء من لحم الإبل فقال: توضؤوا منها، وسئل عن لحم الغنم فقال: تتوضؤوا مِنْهَا، وَسُئِلَ عَنِ الصَّلَاةِ فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ فَقَالَ: لَا تُصَلُّوا فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ فَإِنَّهَا مِنَ الشَّيَاطِينِ، وَسُئِلَ عَنِ الصَّلَاةِ فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ فَقَالَ: صَلُّوا فِيهَا فِإِنَّهَا بركةٌ. وَهَذَا الْحَدِيثُ مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَالْإِرْشَادِ وَفَرْقٌ بَيْنَ لُحُومِ الْغَنَمِ وَلُحُومِ الْإِبِلِ لِمَا فِي لُحُومِ الْإِبِلِ مِنْ شِدَّةِ السَّهُوكَةِ وَفَرْقٌ بَيْنَ مَبَارِكِ الْإِبِلِ وَمَرَابِضِ الْغَنَمِ فِي الصَّلَاةِ لِمَا فِي الإبل من النفور، والله أعلم.
(PASAL)
Adapun masalah kedua: tentang makan sesuatu yang tersentuh api, maka tidak membatalkan wudhu dalam keadaan apa pun. Demikian pula pendapat para sahabat, yaitu al-khulafā’ al-rāsyidūn, Ibn Mas‘ūd, seluruh tābi‘īn, dan jumhur fuqahā’. Ahmad bin Hanbal berpendapat wajib wudhu karena memakan daging unta, bukan selainnya. Ishāq bin Rāhawayh berpendapat wajib wudhu karena memakan semua yang tersentuh api, dan ini juga merupakan pendapat sekelompok sahabat, di antaranya Zaid bin Tsābit, Abdullah bin ‘Umar, Abu Mūsā al-Asy‘arī, Abu Hurairah, Anas, Abu Thalhah, dan ‘Āisyah, berdasarkan istidlāl dari riwayat Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Berwudhulah karena sesuatu yang tersentuh api, walau pada sepotong aqith.” Dan tsaur adalah potongan aqith, demikian penjelasan Abu ‘Ubaid.
Dalil kami adalah riwayat ‘Athā’ bin Yasār dari Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW memakan pundak kambing lalu shalat tanpa berwudhu. Diriwayatkan pula oleh ‘Ubaid bin Tsamāmah dari Abdullah bin al-Hārīts bin Jubair, ia berkata: “Aku adalah orang ketujuh dari tujuh atau keenam dari enam bersama Rasulullah SAW di rumah seorang laki-laki. Lalu pemilik rumah itu memanggil beliau untuk shalat. Kami keluar, lalu melewati seorang laki-laki yang burmah-nya di atas api. Rasulullah SAW bersabda kepadanya: ‘Apakah masakanmu sudah matang?’ Ia menjawab: ‘Ya, demi ayah dan ibuku.’ Lalu beliau mengambil sepotong darinya dan terus mengunyahnya sampai beliau bertakbir untuk shalat, sedangkan aku melihatnya.”
Diriwayatkan pula oleh Dāwud bin Abī Hind dari Ishāq bin Abdullah bin al-Hārīts al-Hāsyimī dari Ummu Hakīm binti az-Zubair, ia berkata: “Aku datang kepada Nabi SAW dengan membawa pundak kambing. Lalu aku mengupaskannya untuk beliau, kemudian beliau memakannya lalu shalat tanpa berwudhu.” Makna asḥaluha adalah aku mengupas kulit yang menempel padanya, dan dari makna ini pula istilah sāḥil al-baḥr (pantai laut) karena air telah mengupasnya.
Diriwayatkan pula oleh Syu‘aib bin Abī Ḥamzah dari Muhammad bin al-Munkadir dari Jābir, ia berkata: “Perkara terakhir dari Rasulullah SAW adalah meninggalkan wudhu karena sesuatu yang diubah oleh api.”
Adapun hadis Abu Hurairah adalah mansūkh. Ibn ‘Abbās berkata: “Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya kami berwudhu dengan air panas yang dididihkan dengan api, dan kami juga memakai minyak yang dimasak di atas api.” Abu Hurairah berkata: “Wahai anak saudaraku, apabila engkau mendengar hadis dari Rasulullah SAW maka jangan membuat permisalan untuknya.”
Adapun Ahmad bin Hanbal dalam mengkhususkan daging unta sebagai sesuatu yang mewajibkan wudhu bagi orang yang memakannya, beliau berdalil dengan hadis Abdurrahman bin Abī Lailā dari al-Barā’ bin ‘Āzib, ia berkata: “Rasulullah SAW ditanya tentang wudhu karena makan daging unta, maka beliau bersabda: ‘Berwudhulah karenanya.’ Dan ditanya tentang daging kambing, beliau bersabda: ‘Tidak perlu berwudhu karenanya.’ Dan ditanya tentang shalat di kandang unta, beliau bersabda: ‘Jangan shalat di kandang unta karena ia dari setan.’ Dan ditanya tentang shalat di kandang kambing, beliau bersabda: ‘Shalatlah di sana karena ia adalah berkah.’”
Hadis ini dibawa kepada makna istihbāb (anjuran) dan bimbingan. Perbedaan antara daging kambing dan daging unta adalah karena pada daging unta terdapat sifat syiddah al-sahūkah, dan perbedaan antara kandang unta dan kandang kambing dalam shalat adalah karena pada unta terdapat sifat liar. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي: فكلما أوجب الوضوء فهو بالعهد والسهو سواءٌ “.
وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا فَرْقَ فِي الْأَحْدَاثِ الْمُوجِبَةِ لِلْوُضُوءِ بَيْنَ عَمْدِهَا وَسَهْوِهَا وَالْقَصْدِ وَالْخَطَأِ فِيهَا لِأَنَّ النَّوْمَ مُوجِبُ الْوُضُوءِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَقْصُودًا وَالِاحْتِلَامُ يُوجِبُ الْغُسْلَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ عَامِدًا وَقَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْوُضُوءِ مِنَ الْمَذْيِ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ، وَبِالِانْصِرَافِ مِنَ الصَّلَاةِ عِنْدَ سَمَاعِ الصَّوْتِ وَالرِّيحِ وَهُوَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ فَدَلَّ عَلَى اسْتِوَاءِ الْحُكْمِ فِي الْعَمْدِ وَالسَّهْوِ.
(Masalah)
Berkata al-Syāfi‘ī: “Maka setiap hal yang mewajibkan wudhu, hukumnya sama antara sengaja dan lupa.”
Dan sebagaimana yang beliau katakan, tidak ada perbedaan dalam aḥdāts yang mewajibkan wudhu antara yang disengaja dan yang lupa, baik dengan maksud maupun karena keliru. Sebab tidur mewajibkan wudhu meskipun tidak disengaja, mimpi basah mewajibkan mandi janabah meskipun tidak ada unsur kesengajaan, dan Rasulullah SAW memerintahkan berwudhu karena madzi meskipun keluar tanpa kehendak, serta memerintahkan keluar dari shalat ketika mendengar suara atau bau angin meskipun tanpa pilihan. Maka hal ini menunjukkan persamaan hukum antara yang sengaja dan yang lupa.
(مَسْأَلَةٌ: الْيَقِينُ يَزُولُ بِالشَّكِّ)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنِ اسْتَيْقَنَ الطَّهَارَةَ ثُمَّ شَكَّ فِي الْحَدَثِ أَوِ اسْتَيْقَنَ الْحَدَثَ ثُمَّ شَكَّ فِي الطَّهَارَةِ فَلَا يَزُولُ الْيَقِينُ بِالشَكِّ “.
(Masalah: keyakinan hilang karena ragu)
Berkata al-Syāfi‘ī RA: “Barang siapa yang meyakini dirinya dalam keadaan suci kemudian ragu tentang hadats, atau meyakini dirinya berhadats kemudian ragu tentang kesucian, maka keyakinan tidak hilang karena keraguan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صحيح، أما إِذَا تَيَقَّنَ الْحَدَثَ وَشَكَّ بَعْدَهُ فِي الْوُضُوءِ فَإِنَّهُ يَبْنِي عَلَى الْيَقِينِ وَيَتَوَضَّأُ وَلَا يَأْخُذُ بِالشَّكِّ إِجْمَاعًا، فَأَمَّا إِذَا تَيَقَّنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ شَكَّ هَلْ أَحْدَثَ بَعْدَهُ أَمْ لَا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وأبي حنيفة وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَبْنِي عَلَى الْيَقِينِ وَلَا يَلْزَمُهُ الْوُضُوءُ، وَقَالَ مَالِكٌ يَبْنِي عَلَى الشَّكِّ وَيَلْزَمُهُ الْوُضُوءُ مَا لَمْ يكثر ذلك عليه.
Berkata al-Māwardī: “Dan ini benar. Adapun jika ia yakin berhadats lalu ragu setelahnya tentang wudhu, maka ia membangun hukum di atas keyakinan (hadats) dan berwudhu, serta tidak mengambil hukum dari keraguan — ini disepakati ijma‘.
Adapun jika ia yakin berwudhu lalu ragu apakah ia berhadats setelahnya atau tidak, maka menurut mazhab al-Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah, dan jumhur fuqahā’, ia membangun hukum di atas keyakinan (suci) dan tidak wajib wudhu. Sedangkan Mālik berkata: ia membangun hukum di atas keraguan dan wajib wudhu selama hal itu tidak sering terjadi padanya.”
وقال الحسن البصري: وإذا طَرَأَ الشَّكُّ عَلَيْهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ بَنَى عَلَى الْيَقِينِ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ بَنَى عَلَى الشَّكِّ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ فَرْضَ الصَّلَاةِ لَا يَسْقُطُ إِلَّا بِطُهْرٍ لَا شَكَّ فِيهِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ شَكَّ فِي بَعْضِ زَمَانِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الشَّكِّ لِتَكُونَ الطَّهَارَةُ مُؤَدَّاةً بِيَقِينٍ كَذَلِكَ إِذَا شَكَّ فِي الْحَدَثِ وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: شُكِيَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ الشَّيْءُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ: لَا يَنْتَقِلُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا وَرَوَى الضَّحَّاكُ عَنْ عُثْمَانَ عَنْ سَعْدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ جَاءَ الشيطان فأنشر كما ينشر الرجال بِدَابَّتِهِ فَإِذَا سَكَنَ لَهُ جَاءَ الشَّيْطَانُ فَأَضْرَطَ بَيْنَ أَلْيَتَيْهِ يِفْتِنُهُ عَنْ صَلَاتِهِ فَإِذَا وَجَدَ أَحَدَكُمْ مِثْلَ ذَلِكَ فَلَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صوتاً أو يجد ريحاً ولأن طرؤ الشك على اليقين يوجب البقاء عَلَى الْيَقِينِ كَمَا لَوْ طَرَأَ شَكُّ الطُّهْرِ عَلَى الْحَدَثِ بِيَقِينٍ.
Berkata al-Ḥasan al-Baṣrī: Apabila datang keraguan kepadanya sedangkan ia berada dalam salat, maka ia membangun (hukum) di atas keyakinan. Dan apabila ia berada di luar salat, maka ia membangun di atas keraguan, dengan dalil bahwa kewajiban salat tidak gugur kecuali dengan ṭahārah yang tidak ada keraguan padanya. Tidakkah engkau melihat bahwa seandainya ia ragu pada sebagian waktu mengusap khuff, maka tidak boleh baginya mengusap keduanya dengan menguatkan hukum keraguan, agar ṭahārah itu terlaksana dengan keyakinan. Demikian pula apabila ia ragu dalam ḥadats.
Dan dalil atas kebenaran pendapat kami adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Syāfi‘ī dari Sufyān, dari al-Zuhrī, dari ‘Abdullāh bin Zayd, ia berkata: Telah diadukan kepada Rasulullah SAW tentang seorang laki-laki yang terlintas padanya sesuatu dalam salat, lalu beliau bersabda: “Janganlah ia berpindah hingga ia mendengar suara atau mencium bau.”
Dan diriwayatkan oleh al-Ḍaḥḥāk dari ‘Utsmān, dari Sa‘d, dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya salah seorang dari kalian apabila masuk ke dalam salat, datanglah setan lalu membentangkan sebagaimana seorang laki-laki membentangkan tunggangannya. Apabila ia telah tenang untuknya, datanglah setan lalu membuatnya kentut di antara kedua pantatnya untuk menggodanya dari salatnya. Maka apabila salah seorang dari kalian mendapati hal tersebut, janganlah ia keluar hingga ia mendengar suara atau mencium bau.”
Dan karena datangnya keraguan pada keyakinan mengharuskan tetapnya pada keyakinan, sebagaimana jika datang keraguan ṭahārah pada ḥadats yang diyakini.
فَأَمَّا اسْتِشْهَادُهُمْ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِي تَغْلِيبِ الشَّكِّ لِيَقْضِيَ زَمَانَ الْمَسْحِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمْ يُغَلَّبِ الشَّكُّ فِيهِ وَإِنَّمَا غُلِّبَ حُكْمُ الظَّاهِرِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ يَقْتَضِي الْمَنْعَ مِنَ الْمَسْحِ إِلَّا عَلَى صِفَةٍ فَمَا لَمْ يَنْقُضِ الصِّفَةَ وَهُوَ بَقَاءُ الزَّمَانِ كَانَ الظَّاهِرُ مَانِعًا مِنْ زَوَالِ الْمَسْحِ، وَلَيْسَ يَمْنَعُ أَنْ نُغَلِّبَ حُكْمَ الظَّاهِرِ، وَإِنَّمَا الْمُمْتَنَعُ أَنْ نُغَلِّبَ حُكْمَ الشَّكِّ، وَكَذَلِكَ كَانَ الشَّكُّ فِي الصلاة وفي الطلاق ملغى وفي اليقين معتبر – والله أعلم -.
Adapun istidlal mereka dengan masalah mengusap khuff dalam menguatkan keraguan untuk menyempurnakan waktu mengusap, maka jawabannya adalah bahwa keraguan di situ tidaklah diunggulkan, tetapi yang diunggulkan adalah hukum ẓāhir. Karena ẓāhir menuntut larangan mengusap kecuali dengan suatu sifat tertentu. Selama sifat itu belum batal — yaitu masihnya waktu — maka ẓāhir tetap mencegah hilangnya hukum mengusap. Dan tidak terlarang bagi kita untuk menguatkan hukum ẓāhir, yang terlarang hanyalah menguatkan hukum keraguan. Demikian pula keraguan dalam salat dan dalam talak itu diabaikan, sedangkan dalam keyakinan tetap dianggap — wallāhu a‘lam —.
قال الشافعي: ” أخبرنا الثقة هو الوليد بن مسلم عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: ” إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ ” فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاغْتَسَلْنَا. وَرَوَاهُ مِنْ جِهَةٍ أُخْرَى عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إذا التقى الختانان وجب الغسل “. (قال) حدثنا إبراهيم قال حدثنا موسى بن عامرٍ الدمشقي وغيره قالوا حدثنا الوليد بن مسلم عن الأوزاعي في هذا الحديث مثله.
Bāb tentang hal-hal yang mewajibkan mandi besar (ghusl)
Berkata al-Syāfi‘ī: “Telah mengabarkan kepada kami seorang yang terpercaya — yaitu al-Walīd bin Muslim — dari al-Awzā‘ī, dari ‘Abd al-Raḥmān bin al-Qāsim, dari ayahnya, dari ‘Āisyah, bahwa ia berkata: ‘Apabila telah bertemu dua khitan, maka wajib mandi besar.’ Hal itu pernah aku lakukan bersama Rasulullah SAW, lalu kami mandi.
Dan diriwayatkan pula dari jalur lain dari ‘Āisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Apabila telah bertemu dua khitan, wajib mandi besar.’”
(Berkata al-Syāfi‘ī) Telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Mūsā bin ‘Āmir al-Dimasyqī dan selainnya, mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami al-Walīd bin Muslim dari al-Awzā‘ī dalam hadis ini semisalnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَمَّا فَرَغَ الشَّافِعِيُّ مِنْ ذِكْرِ مَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ عَقَّبَهُ بِذِكْرِ مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ، وَالَّذِي يُوجِبُ الْغُسْلَ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ:
شَيْئَانِ مِنْهُمَا يَشْتَرِكُ فِيهِمَا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، وَشَيْئَانِ مِنْهُمَا يَخْتَصُّ بِهِمَا النِّسَاءُ، دُونَ الرِّجَالِ، فَأَمَّا الشَّيْئَانِ اللَّذَانِ يَشْتَرِكُ فِيهِمَا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ:
فَأَحَدُهُمَا: الْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ.
وَالثَّانِي: إِنْزَالُ الْمَنِيِّ، فَأَمَّا الْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ فَمُوجِبٌ لِلْغُسْلِ سَوَاءٌ كَانَ مَعَهُ إِنْزَالٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ وَهُوَ قَوْلُ الأكثر من الصحابة والجمهور والتابعين وَالْفُقَهَاءِ.
Berkata al-Māwardī: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, ketika al-Syāfi‘ī selesai menyebutkan hal-hal yang mewajibkan wuḍū’, beliau menyambungkannya dengan menyebutkan hal-hal yang mewajibkan ghusl.
Adapun yang mewajibkan ghusl ada empat perkara: dua perkara di antaranya sama-sama berlaku bagi laki-laki dan perempuan, dan dua perkara di antaranya khusus bagi perempuan saja, tidak bagi laki-laki.
Adapun dua perkara yang sama-sama berlaku bagi laki-laki dan perempuan:
Pertama: bertemunya dua khitan.
Kedua: keluarnya manī.
Adapun bertemunya dua khitan, maka itu mewajibkan ghusl baik disertai keluarnya manī ataupun tidak. Dan ini adalah pendapat mayoritas para sahabat, jumhur tābi‘īn, dan para fuqahā’.
وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: لَا غُسْلَ فِيهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِنْزَالٌ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ ” يَعْنِي الِاغْتِسَالَ مِنَ الْإِنْزَالِ فَدَلَّ عَلَى انْتِفَائِهِ مِنْ غَيْرِ الْإِنْزَالِ.
Dan berkata Dāwūd bin ‘Alī: Tidak wajib ghusl dalam hal itu apabila tidak disertai keluarnya manī. Pendapat ini juga dikatakan oleh sebagian sahabat, yaitu Ubay bin Ka‘b, Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, dan Abū Sa‘īd al-Khudrī, dengan berdalil pada riwayat al-Zuhrī dari Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Nabi SAW bersabda: “Al-mā’ min al-mā’” — maksudnya mandi (ghusl) itu karena keluarnya manī, maka hal itu menunjukkan tidak wajibnya ghusl apabila tidak ada keluarnya manī.
وَبِمَا رَوَاهُ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: سَأَلْتُ الْنَبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ، فَقَالَ: يَتَوَضَّأُ وَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ. وَمَعْنَى يُكْسِلُ: يَقْطَعُ جِمَاعَهُ.
وَبِمَا رَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا كَسِلَ أَحَدُكُمْ أَوْ أَقْحَطَ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ ” قَوْلُهُ أَقْحَطَ أَيْ لَمْ يُنْزِلْ.
Dan dengan apa yang diriwayatkan oleh Hishām bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Abū Ayyūb al-Anṣārī, dari Ubay bin Ka‘b, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang menggauli istrinya kemudian yuksil, maka beliau bersabda: “Hendaklah ia berwudhu dan tidak wajib mandi besar (ghusl).” Makna yuksil adalah memutus jima‘nya.
Dan dengan apa yang diriwayatkan oleh Abū Sa‘īd al-Khudrī dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian kasila atau aqḥaṭa, maka tidak wajib ghusl atasnya.” Ucapan beliau aqḥaṭa artinya tidak mengeluarkan manī.
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ سَأَلَ عَائِشَةَ عَنِ الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ الْغُسْلُ “. وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عن إسماعيل بن عُلَيَّةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنِ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا قَعَدَ بَيْنَ الْشُعَبِ الْأَرْبَعِ ثُمَّ أَلْزَقَ الْخِتَانَ بِالْخِتَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ “.
Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Syāfi‘ī dari Sufyān, dari ‘Alī bin Zayd bin Jud‘ān, dari Sa‘īd bin al-Musayyab, bahwa Abū Mūsā al-Asy‘arī bertanya kepada ‘Āisyah tentang bertemunya dua khitan. Maka ‘Āisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila telah bertemu dua khitan, maka wajib mandi besar (ghusl).”
Dan al-Syāfi‘ī meriwayatkan dari Ismā‘īl bin ‘Ulayyah, dari ‘Alī bin Zayd, dari Sa‘īd bin al-Musayyab, dari ‘Āisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila ia telah duduk di antara empat cabang (anggota) kemudian menempelkan khitan dengan khitan, maka wajib mandi besar (ghusl).”
وَرُوِيَ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ مُيَسَّرٍ الْحَلَبِيِّ عَنْ أَبِي غَسَّانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ أَنَّ الْفُتْيَا الَّتِي كَانُوا يُفْتُونَ أَنَّ الْمَاءَ مِنَ الْمَاءِ كَانَتْ رُخْصَةً، رَخَّصَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في بدو الْإِسْلَامِ ثُمَّ أَمَرَ بِالِاغْتِسَالِ مِنْ بَعْدُ.
وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي رافع عن أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قَالَ: ” إِذَا قَعَدَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَأَلْزَقَ الْخِتَانَ بِالْخِتَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ “.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ أَخْبَارِهِمْ فَهُوَ أَنَّهَا مَنْسُوخَةٌ بِمَا رُوِّينَا عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ.
Dan diriwayatkan dari Abū Dāwud, dari Muḥammad bin Mihrān, dari Muyassar al-Ḥalabī, dari Abū Ghassān, dari Abū Ḥāzim, dari Sahl bin Sa‘d, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Ubay bin Ka‘b bahwa fatwa yang dahulu mereka berikan bahwa al-mā’ min al-mā’ adalah sebuah rukhsah yang diberikan oleh Rasulullah SAW pada awal Islam, kemudian setelah itu beliau memerintahkan untuk mandi besar (ghusl).
Dan Abū Dāwud meriwayatkan dari Muslim bin Ibrāhīm, dari Syu‘bah, dari Qatādah, dari al-Ḥasan bin Abī Rāfi‘, dari Abū Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila ia telah duduk di antara empat cabangnya lalu menempelkan khitan dengan khitan, maka wajib mandi besar (ghusl).”
Adapun jawaban terhadap berita-berita mereka adalah bahwa hal itu telah di-nasakh dengan apa yang kami riwayatkan dari Ubay bin Ka‘b.
وَرُوِيَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ سَأَلْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ عَمَّنْ أَوْلَجَ وَلَمْ يُنْزِلْ فَقَالَ: يَغْتَسِلُ فَقُلْتُ: إِنَّ أُبَيًّا كَانَ يَقُولُ لَا يَغْتَسِلُ فَقَالَ: إِنَّ أُبَيًّا كَانَ نَزَعَ عَنْهُ قَبْلَ أَنْ مَاتَ أَيْ: رَجَعَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوخٌ إِذْ لَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ الصَّحَابِيُّ عَنْ نَصٍّ إِلَّا بَعْدَ عِلْمِهِ بِالنَّسْخِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ كَانَ يَمْتَنِعُ مِنْ حَمْلِهَا عَلَى النَّسْخِ، وَيَتَأَوَّلُهَا فِيمَنْ هَمَّ بِالْجِمَاعِ فَأَكْسَلَ عَنِ الْإِيلَاجِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ دُونَ الْغُسْلِ، وَهَذَا التَّأْوِيلُ مَعَ انْتِشَارِ اخْتِلَافِ الصَّحَابَةِ ثُمَّ رُجُوعِ مَنْ خَالَفَ مَعَ ظُهُورِ الْحُجَّةِ فَاسِدٌ، وَإِنْ كان لولا ذلك محتملاً.
Dan diriwayatkan dari Maḥmūd bin Labīd, ia berkata: Aku bertanya kepada Zayd bin Thābit tentang orang yang telah memasukkan (kemaluannya) namun tidak mengeluarkan manī, maka ia berkata: “Ia wajib mandi besar (ghusl).” Lalu aku berkata: “Sesungguhnya Ubay dahulu mengatakan tidak wajib mandi.” Maka ia berkata: “Sesungguhnya Ubay telah meninggalkan pendapat itu sebelum ia wafat,” yakni ia telah rujuk darinya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh, karena tidak mungkin seorang sahabat rujuk dari suatu nash kecuali setelah ia mengetahui adanya nasakh.
Dan sebagian dari sahabat kami ada yang enggan membawanya kepada nasakh, lalu menakwilkannya pada orang yang berniat melakukan jima‘ kemudian berhenti sebelum melakukan ilāj, maka atasnya hanya wajib wuḍū’ dan tidak wajib ghusl. Akan tetapi, takwil ini — dengan adanya tersebarnya perbedaan di kalangan sahabat kemudian rujuknya orang yang menyelisihi dengan jelasnya hujjah — adalah takwil yang rusak, meskipun seandainya bukan karena hal itu, ia masih mungkin untuk ditolerir.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وإذا التقى الختانان وَالْتِقَاؤُهُمَا أَنْ تَغِيبَ الْحَشَفَةُ فِي الْفَرْجِ فَيَكُونُ خِتَانُهُ حِذَاءَ خِتَانِهَا فَذَاكَ الْتِقَاؤُهُمَا كَمَا يُقَالُ الْتَقَى الْفَارِسَانِ إِذَا تَحَاذَيَا وَإِنْ لَمْ يَتَضَامَّا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ عَلَيْهِمَا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) : الْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ أَنْ يُحَاذِيَ خِتَانُ الرَّجُلِ خِتَانَ الْمَرْأَةِ لَا أَنْ يُصِيبَ خِتَانُهُ خِتَانَهَا وَذَلِكَ أَنَّ خِتَانَ الْمَرْأَةِ مستعلٍ وَيَدْخُلُ الذَّكَرُ أَسْفَلَ مِنْ ختان المرأة. (قال المزني) : وسمعت الشافعي يقول: العرب تقول إذا حاذى الفارس الفارس التقى الفارسان “.
(Masalah)
Berkata al-Syafi‘i: “Apabila bertemu dua khitān, dan yang dimaksud dengan pertemuan keduanya adalah tenggelamnya ḥasyafah ke dalam farji sehingga khitān-nya sejajar dengan khitān-nya, maka itulah pertemuan keduanya, sebagaimana dikatakan ‘dua penunggang kuda bertemu’ apabila keduanya sejajar, sekalipun tidak saling menempel, maka wajib ghusl bagi keduanya.”
(Berkata al-Muzanī): “Pertemuan dua khitān adalah khitān laki-laki sejajar dengan khitān perempuan, bukan khitān-nya mengenai khitān-nya. Hal itu karena khitān perempuan berada di atas, sedangkan zakar masuk dari bawah khitān perempuan.”
(Berkata al-Muzanī): “Aku mendengar al-Syafi‘i berkata: ‘Orang Arab mengatakan, apabila penunggang kuda sejajar dengan penunggang kuda, maka dikatakan keduanya bertemu.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الَّذِي وَصَفَهُ مِنَ الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ صَحِيحٌ، وَذَلِكَ أَنَّ خِتَانَ الرَّجُلِ هُوَ مَا بَعْدَ بَشَرَةِ الذَّكَرِ مِنَ الْمَوْضِعِ الْمَقْطُوعِ في الختانة، وَالْحَشَفَةُ، هِيَ الْجِلْدَةُ الْمَقْطُوعَةُ فِي الْخِتَانِ، وَأَصْلُهَا عِنْدَ مَوْضِعِ الْقَطْعِ مِنْ خِتَانِ الرَّجُلِ، وَأَمَّا خِتَانُ الْمَرْأَةِ فَهُوَ جِلْدَةٌ مُسْتَعْلِيَةٌ فَوْقَ مَخْرَجِ الْبَوْلِ تُقْطَعُ فِي الْخِتَانَةِ، لِأَنَّ مَدْخَلَ الذَّكَرِ مِنْهَا أَسْفَلَ الْفَرْجِ وَهُوَ مَخْرَجُ الْمَنِيِّ، وَالْحَيْضِ وَفَوْقَهُ ثُقْبَةٌ هِيَ مَخْرَجُ الْبَوْلِ وَعَلَيْهِ جِلْدَةٌ تنطبق عليها، وهي خِتَانِ الْمَرْأَةِ وَتِلْكَ الْجِلْدَةُ تَقْطَعُهَا الْخَافِضَةُ فِي الْخِتَانَةِ وَقَدْ شَبَّهَ الْعُلَمَاءُ، الْفَرْجَ بِعَقْدِ الْأَصَابِعِ خَمْسَةً وَثَلَاثِينَ فَعَقْدُ الثَّلَاثِينَ هِيَ صُورَةُ الْفَرْجِ وَعَقْدُ الْخَمْسَةِ بَعْدَهَا فِي أَسْفَلِهَا هِيَ مَدْخَلُ الذَّكَرِ، وَمَخْرَجُ الْحَيْضِ وَالْخِتَانُ خَارِجٌ مِنْهُ فِي أَعْلَى الْفَرْجِ فِي الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ هُوَ أَنْ تَغِيبَ بَشَرَةُ الذَّكَرِ فِي مَدْخَلِهِ مِنَ الْفَرْجِ حَتَّى يَصِيرَ خِتَانُ الرَّجُلِ مُحَاذِيًا لِخِتَانِ الْمَرْأَةِ، فَذَلِكَ الْتِقَاؤُهُمَا وَإِنْ لَمْ يَتَضَامَّا فَإِذَا انْتَهَى وُلُوجُ الذَّكَرِ فِي الْفَرْجِ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ عَلَيْهِمَا وَإِنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِمَا إِلَّا أَنْ يُنْزِلَا، فَإِنْ كَانَ مَقْطُوعَ الذَّكَرِ مِنْ حَدِّ الْخِتَانِ فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ إنه لا غسل عليها إِلَّا بِإِيلَاجِ مَا بَقِيَ مِنَ الذَّكَرِ كُلِّهِ فَيَصِيرُ حِينَئِذٍ فِي حُكْمِ الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ.
Berkata al-Māwardī: “Penjelasan tentang pertemuan dua khitān ini adalah benar. Yaitu bahwa khitān laki-laki adalah bagian setelah kulit zakar pada tempat yang dipotong ketika khitān, dan ḥasyafah adalah kulit yang dipotong dalam khitān, pangkalnya berada di tempat potongan khitān laki-laki.
Adapun khitān perempuan adalah kulit yang berada di atas saluran keluar air kencing, yang dipotong dalam khitān, karena tempat masuknya zakar berada di bawah bagian farji, yaitu tempat keluarnya mani dan haid, dan di atasnya ada lubang yang merupakan tempat keluarnya air kencing, di atasnya terdapat kulit yang menutupinya, dan itulah khitān perempuan. Kulit itu dipotong oleh khāfiḍah saat khitān.
Para ulama menganalogikan bentuk farji seperti lipatan jari pada bilangan tiga puluh lima; lipatan tiga puluh adalah gambaran farji, dan lipatan lima setelahnya di bagian bawahnya adalah tempat masuknya zakar, tempat keluarnya haid, sedangkan khitān berada di atasnya di bagian atas farji.
Pertemuan dua khitān adalah tenggelamnya kulit zakar pada tempat masuknya di farji sehingga khitān laki-laki sejajar dengan khitān perempuan. Itulah pertemuan keduanya, meskipun tidak saling menempel. Maka apabila penetrasi zakar ke dalam farji mencapai batas ini, wajib ghusl bagi keduanya. Namun jika kurang dari itu, tidak wajib ghusl atas keduanya kecuali bila keduanya mengeluarkan mani.
Jika zakar terpotong sampai batas khitān, maka yang dinyatakan oleh al-Syafi‘i dalam Kitāb al-Imlā’ adalah tidak wajib ghusl kecuali dengan memasukkan seluruh sisa zakar hingga pada saat itu dihukumi sebagai pertemuan dua khitān.”
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إِنَّهُ مَتَى أَوْلَجَ مِنْ بَقِيَّتِهِ بِقَدْرِ الْحَشَفَةِ الَّتِي كَانَ يَلْتَقِي مَعَ سَلَامَتِهَا وَجَبَ الْغُسْلُ عَلَيْهِمَا، وَصَارَ فِي حُكْمِ الْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ وَلِهَذَا الْقَوْلِ وَجْهٌ وَالْمَحْكِيُّ مِنَ الْمَنْصُوصِ مَا وَصَفْنَا فَأَمَّا إِذَا كَانَتْ حَشَفَةُ الرَّجُلِ بَاقِيَةً لَمْ تُقْطَعْ فِي الْخِتَانِ فَأَوْلَجَهَا إِلَى الْحَدِّ الَّذِي يَصِيرُ خِتَانُهُ حِذَاءَ خِتَانِهَا وَجَبَ الْغُسْلُ عَلَيْهِمَا وَلَا يَكُونُ بَقَاءُ الْحَشَفَةِ مَانِعًا منوُجُوبُ الْغُسْلِ وَلَكِنْ لَوْ لَفَّ عَلَى ذَكَرِهِ خِرْقَةً وَأَوْلَجَهُ إِلَى حَدِّ الْخِتَانِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الْغُسْلِ مِنْهُ إِذَا لَمْ يَتَعَقَّبْهُ إِنْزَالٌ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُوجِبُ الْغُسْلَ عَلَيْهِمَا كَمَا لَوْ كَانَ الذَّكَرُ مَسْتُورًا بِالْحَشَفَةِ وَأَنَّهُ يُولِجُ الذَّكَرَ وَالْخِرْقَةَ مَعَهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا غُسْلَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ مُولِجًا فِي خِرْقَةٍ وَلِأَنَّ ذَلِكَ مَانِعٌ مِنْ وُصُولِ اللَّذَّةِ وَخَالَفَ الْحَشَفَةَ لِأَنَّهَا مِنَ الذَّكَرِ، وَلَا يَمْنَعُ اللَّذَّةَ وَكَانَ أَبُو الْفَيَّاضِ يُفَصِّلُ حَالَ الْخِرْقَةِ فَيَقُولُ: ” إِنْ كَانَتِ الْخِرْقَةُ كَثِيفَةً تَمْنَعُ مِنَ اللَّذَّةِ فَلَا غُسْلَ وَإِنْ كَانَتْ خَفِيفَةً لَا تَمْنَعُ مِنَ اللَّذَّةِ وَجَبَ الْغُسْلُ “.
Dan sebagian sahabat kami berkata: “Apabila ia memasukkan sisa zakarnya seukuran ḥasyafah yang dahulu bertemu jika zakarnya masih utuh, maka wajib ghusl bagi keduanya, dan hal itu dihukumi sebagai pertemuan dua khitān. Pendapat ini memiliki sisi (kebenaran), namun yang dinukil dari nash adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Adapun jika ḥasyafah laki-laki masih ada dan tidak terpotong ketika khitān, lalu ia memasukkannya hingga batas yang membuat khitān-nya sejajar dengan khitān perempuan, maka wajib ghusl bagi keduanya, dan keberadaan ḥasyafah tidak menjadi penghalang kewajiban ghusl.
Akan tetapi, jika ia membungkus zakarnya dengan kain, lalu memasukkannya hingga batas khitān, para sahabat kami berbeda pendapat tentang kewajiban ghusl darinya apabila tidak diiringi keluarnya mani, menjadi dua wajah:
Pertama: Wajib ghusl bagi keduanya, sebagaimana jika zakar tertutup oleh ḥasyafah, karena ia memasukkan zakar beserta kainnya.
Kedua: Tidak wajib ghusl, karena itu berarti ia memasukkan ke dalam kain, dan kain tersebut menghalangi sampainya kenikmatan, berbeda dengan ḥasyafah karena ia bagian dari zakar dan tidak menghalangi kenikmatan.
Abu al-Fayyāḍ merinci keadaan kain, ia berkata: “Jika kain itu tebal sehingga menghalangi kenikmatan, maka tidak wajib ghusl. Namun jika kain itu tipis dan tidak menghalangi kenikmatan, maka wajib ghusl.”
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يُولِجَ فِي قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ أو يتلوط في وجوب الغسل عليهما الولوج الذَّكَرِ عَلَى مَا بَيَّنَّا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِنْزَالٌ وَهَكَذَا لَوْ أَوْلَجَ فِي فَرْجِ بَهِيمَةٍ وَجَبَ عَلَيْهِ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ، لِأَنَّهُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا مُولِجٌ فِي فَرْجِ مَاشِيَةٍ فَأَشْبَهَ قُبُلَ الْمَرْأَةِ، وَلَا وَجْهَ لِمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أبو حنيفة مِنِ اخْتِصَاصِ ذَلِكَ بِقُبُلِ الْمَرْأَةِ، فَلَوْ أَوْلَجَ فِي فَرْجِ خُنْثَى مُشْكِلٍ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِمَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْخُنْثَى رَجُلًا فَيَكُونُ الْفَرْجُ عُضْوًا زَائِدًا فَلَمْ يَلْزَمْ بِالْإِيلَاجِ فِيهِ الْغُسْلُ كَمَا لَوْ أَوْلَجَ فِي فَرْجٍ مُنْدَمِلٍ وَهَكَذَا لَوْ أَنَّ خُنْثَى مُشْكِلٍ أَوْلَجَ ذَكَرَهُ فِي فَرْجِ امْرَأَةٍ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِمَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْخُنْثَى امْرَأَةً فَيَكُونُ الذَّكَرُ عُضْوًا زَائِدًا، وَلَوْ أَنَّ خُنْثَى أَوْلَجَ ذَكَرَهُ فِي فَرْجِ امْرَأَةٍ وَأَوْلَجَ فِي فَرْجِهِ ذَكَرَ رَجُلٍ وَجَبَ الْغُسْلُ يَقِينًا، فَلَوْ أَوْلَجَ فِي فَرْجِ مَيِّتَةٍ وَجَبَ الْغُسْلُ وَلَمْ يَجِبِ الْمَهْرُ، وَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ وَجْهَانِ، وَإِذَا أَوْلَجَ مِنْ ذَكَرِهِ مَا لَا يَلْتَقِي مَعَهُ الْخِتَانَانِ فَعَلَيْهِمَا الْوُضُوءُ دُونَ الْغُسْلِ لِحُصُولِ الْمُلَامَسَةِ، وَهَلْ يَلْزَمُهُ غَسْلُ مَا حَصَلَ عَلَى الذَّكَرِ مِنْ بَلَلِ الْفَرْجِ عَلَى وَجْهَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِهِمْ هَلْ هُوَ طَاهِرٌ أَوْ نَجِسٌ؟
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ نَجِسٌ يَجِبُ غَسْلُهُ كَالْبَوْلِ.
(PASAL)
Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan, maka tidak ada perbedaan antara memasukkan (zakar) ke dalam qubul, dubur, atau melakukan liwāṭ dalam kewajiban ghusl bagi keduanya karena adanya penetrasi zakar sebagaimana telah kami jelaskan, meskipun tanpa disertai keluarnya mani. Demikian pula apabila ia memasukkan (zakar) ke dalam farji hewan, wajib atasnya ghusl walaupun tidak mengeluarkan mani, karena dalam semua keadaan ini ia melakukan penetrasi ke dalam farji makhluk hidup, sehingga menyerupai qubul perempuan. Tidak ada dasar bagi pendapat Abu Ḥanīfah yang mengkhususkan hal itu pada qubul perempuan saja.
Jika memasukkan (zakar) ke dalam farji khuntsā musykil, maka tidak wajib ghusl bagi keduanya, karena mungkin saja khuntsā itu laki-laki sehingga farjinya merupakan anggota tambahan, maka tidak wajib ghusl dengan penetrasi padanya, sebagaimana jika memasukkan (zakar) ke dalam farji yang telah tertutup daging. Demikian pula jika khuntsā musykil memasukkan zakarnya ke dalam farji perempuan, maka tidak wajib ghusl bagi keduanya, karena mungkin saja khuntsā itu perempuan sehingga zakarnya merupakan anggota tambahan.
Namun jika khuntsā memasukkan zakarnya ke dalam farji perempuan dan pada farjinya dimasukkan zakar seorang laki-laki, maka wajib ghusl secara yakin. Jika memasukkan (zakar) ke dalam farji perempuan yang telah mati, maka wajib ghusl namun tidak wajib mahar. Tentang kewajiban ḥadd, ada dua wajah (pendapat).
Apabila yang dimasukkan dari zakarnya tidak sampai pada batas pertemuan dua khitān, maka atas keduanya wajib wudhu tanpa ghusl, karena terjadinya mulāmasah. Adapun apakah wajib membasuh zakar dari basahnya farji, terdapat dua wajah, bergantung pada perbedaan pendapat apakah basah itu suci atau najis.
Pertama: Menurut Abū al-‘Abbās bin Surayj, ia najis, wajib dibasuh seperti air kencing.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَقَدْ حُكِيَ نَصًّا عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ أَنَّهُ طَاهِرٌ لَا يَجِبُ غَسْلُهُ كَالْمَنِيِّ. قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَنْزَلَ الْمَاءَ الدَّافِقَ مُتَعَمِّدًا أَوْ نَائِمًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَرْأَةِ، فَقَدْ وَجَبَ الغسل عليهما، وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِنْزَالُ الْمَنِيِّ هُوَ الثَّانِي مِمَّا يُوجِبُ الْغُسْلَ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فَأَيُّهُمَا أَنْزَلَهُ مِنْ جِمَاعٍ أَوِ احْتِلَامٍ بِشَهْوَةٍ أَوْ غَيْرِ شَهْوَةٍ فِي نَوْمٍ أَوْ يَقَظَةٍ فَالْغُسْلُ مِنْهُ وَاجِبٌ لِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ ” يَعْنِي: أَنَّ إِنْزَالَ الْمَنِيِّ يُوجِبُ الْغُسْلَ بِالْمَاءِ، وَرَوَتْ عَائِشَةُ وَأُمُّ سلمة أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لَا مِنِ احْتِلَامٍ، وَمِنِ احْتِلَامٍ لَا مِنْ جماعٍ، فَيَغْتَسِلُ وَيُتَمِّمُ صَوْمَهُ. وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَجِبُ الْغُسْلُ مِنَ الْمَنِيِّ حَتَّى يَخْرُجَ دَافِقًا لِلشَّهْوَةِ وَلَا يَجِبُ إِنْ كَانَ يَسِيرًا أَوْ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ إِلْحَاقًا بِالْمَذْيِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ عُمُومِ الْخَبَرَيْنِ، وَلِأَنَّ مَا أَوْجَبَ الِاغْتِسَالَ إِذَا كَانَ لِشَهْوَةٍ، أَوْجَبَهُ إِذَا كَانَ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ، كَالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ، وَلِأَنَّهُ إِنْزَالُ مَنِيٍّ فَأَوْجَبَ الِاغْتِسَالَ كَالِاحْتِلَامِ.
Wajah kedua: telah dinukil sebagai nash dari al-Syafi‘i dalam sebagian kitabnya bahwa basah tersebut suci dan tidak wajib dibasuh, sebagaimana mani.
Berkata al-Syafi‘i RA: “Apabila keluar air mani yang memancar, baik dengan sengaja atau saat tidur, atau hal itu keluar dari perempuan, maka wajib ghusl atas keduanya. Ini benar, dan keluarnya mani adalah hal kedua yang mewajibkan ghusl atas laki-laki dan perempuan. Siapa saja di antara keduanya yang mengeluarkannya, baik karena jima‘ atau ihtilām, dengan syahwat atau tanpa syahwat, dalam keadaan tidur atau terjaga, maka ghusl darinya wajib. Hal ini berdasarkan riwayat al-Zuhrī dari Abū Salamah dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, bahwa Nabi SAW bersabda: “Al-mā’ min al-mā’” — maksudnya keluarnya mani mewajibkan ghusl dengan air.
Aisyah dan Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah berada di pagi hari dalam keadaan junub karena jima‘ tanpa ihtilām, dan karena ihtilām tanpa jima‘, lalu beliau mandi dan menyempurnakan puasanya.
Abu Ḥanīfah berkata: Tidak wajib ghusl karena mani kecuali jika keluar memancar karena syahwat, dan tidak wajib jika sedikit atau tanpa syahwat, dianalogikan dengan madzi. Ini keliru, karena sebagaimana yang telah kami sebutkan dari keumuman dua hadis, dan karena sesuatu yang mewajibkan mandi jika disebabkan syahwat, maka mewajibkannya pula jika tanpa syahwat, seperti pertemuan dua khitān. Dan karena itu adalah keluarnya mani, maka mewajibkan mandi sebagaimana ihtilām.”
وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَقَدْ رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ زَيْنَبَ ابْنَةِ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ قَالَتْ: ” يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غسلٌ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ “؟ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” نعم إذا رأت الماء “.
Adapun perempuan, al-Syafi‘i meriwayatkan dari Mālik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Abī Salamah, bahwa Ummu Sulaim berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, apakah wajib atas perempuan mandi jika ia mengalami ihtilām?” Maka Nabi SAW bersabda: “Ya, jika ia melihat air (mani).”
(فصل: إيجاب الغسل بظهور المني)
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْغُسْلِ مِنْ إِنْزَالِ الْمَنِيِّ فَإِنَّهُ يُوجِبُ الْغُسْلَ إِذَا أَنْزَلَهُ الرَّجُلُ مِنْ ذَكَرِهِ وَظَهَرَ، أَوْ خَرَجَ مِنْ فَرْجِ الْمَرْأَةِ فإذا انْحَدَرَ مِنَ الصُّلْبِ إِلَى إِحْلِيلِ الذَّكَرِ وَلَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ فَلَا غُسْلَ، وَلَوْ أَنْزَلَتِ الْمَرْأَةُ المني إلى فرجها ولم يخرج منه نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا لَا يَلْزَمُهَا تَطْهِيرُ داخل فرجها لَمْ يَلْزَمْهَا الْغُسْلُ حَتَّى يَنْزِلَ الْمَنِيُّ مِنْ فَرْجِهَا، لِأَنَّ دَاخِلَ فَرْجِهَا فِي حُكْمِ الْبَاطِنِ فجرى مجرى داخل الذكر، فإن كَانَتْ ثَيِّبًا وَجَبَ الْغُسْلُ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ يَلْزَمُهَا تَطْهِيرُ دَاخِلِهِ فِي الِاسْتِنْجَاءِ فَجَرَى مَجْرَى الْعُضْوِ الظَّاهِرِ.
(PASAL: Wajibnya mandi karena tampaknya mani)
Maka apabila telah tetap kewajiban mandi karena keluarnya mani, maka ia mewajibkan mandi apabila seorang laki-laki mengeluarkannya dari zakarnya dan tampak, atau keluar dari farji perempuan. Maka apabila ia mengalir dari tulang sulbi ke iḥlīl zakar dan tidak keluar darinya, maka tidak wajib mandi. Dan jika perempuan mengeluarkan mani ke dalam farjinya namun tidak keluar darinya, maka dilihat: jika ia masih perawan, tidak wajib baginya membersihkan bagian dalam farjinya, maka tidak wajib mandi hingga mani itu keluar dari farjinya, karena bagian dalam farjinya dihukumi sebagai bagian dalam (tubuh), maka hukumnya sama seperti bagian dalam zakar. Jika ia adalah seorang janda, maka wajib mandi atasnya; karena ia wajib membersihkan bagian dalamnya dalam istinjak, maka hukumnya sama seperti anggota tubuh yang tampak.
(فَصْلٌ)
: فَلَوِ انْكَسَرَ صُلْبُ رَجُلٍ فَخَرَجَ منه المني، فلم يَنْزِلْ مِنَ الذَّكَرِ، فَفِي وُجُوبِ الْغُسْلِ مِنْهُ وَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلِهِ ” فِي وُجُوبِ الْوُضُوءِ ” فِيمَا خَرَجَ مِنْ سَبِيلٍ مُسْتَحْدَثٍ غَيْرِ السَّبِيلَيْنِ لَكِنْ لَوْ كَانَ الْخَارِجُ لَمْ يَصِرْ مَنِيًّا مُسْتَحْكِمًا فَلَا غُسْلَ، فِيهِ وَجْهًا وَاحِدًا، فَأَمَّا إِذَا اسْتَيْقَظَ النَّائِمُ فَرَأَى إِنْزَالَ الْمَنِيِّ عَنْ غَيْرِ أَنْ يُحِسَّ بِهِ فِي نَوْمِهِ، فَالْغُسْلُ مِنْهُ وَاجِبٌ، وَلَوْ أَحَسَّ فِي النَّوْمِ بِالْإِنْزَالِ وَلَمْ يَرَ بَعْدَ اسْتِيقَاظِهِ شَيْئًا، فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ، وَذَاكَ مِنْ حَدِيثِ النَّفْسِ، فَقَدْ رَوَى عُبَيْدُ اللَّهِ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: ” سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ الِاحْتِلَامَ فَقَالَ: ” يَغْتَسِلُ “. وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنْ قَدِ احْتَلَمَ وَلَا يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ: ” لَا غُسْلَ عَلَيْهِ “. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ الْمَرْأَةُ تَرَى ذَلِكَ قَالَ: ” نَعَمِ النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ ” ذَكَرَهُ أَبُو دَاوُدَ.
(PASAL)
Maka seandainya tulang sulbi seorang laki-laki patah lalu keluar darinya mani namun tidak turun dari zakarnya, maka dalam kewajiban mandi karena itu ada dua wajah yang bersumber dari perbedaan pendapatnya tentang kewajiban wudhu pada sesuatu yang keluar dari saluran yang baru dibuat selain dua jalan (qubul dan dubur). Namun jika yang keluar itu belum menjadi mani yang sempurna, maka tidak wajib mandi, dan dalam hal ini hanya ada satu wajah.
Adapun jika orang yang tidur bangun lalu melihat adanya keluarnya mani tanpa ia merasakannya dalam tidurnya, maka mandi wajib baginya. Dan jika ia merasakan keluarnya dalam tidur namun setelah bangun tidak melihat apa pun, maka tidak wajib mandi baginya; dan itu termasuk dari bisikan jiwa (ḥadīts an-nafs).
Telah meriwayatkan ‘Ubaidullah dari al-Qasim dari ‘Aisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapati adanya basah namun tidak ingat mimpi basah, maka beliau bersabda: ‘Hendaklah ia mandi.’ Dan tentang seorang laki-laki yang merasa telah mimpi basah namun tidak mendapati basah, beliau bersabda: ‘Tidak wajib mandi atasnya.’” Ummu Salamah berkata: “Bagaimana jika perempuan yang melihat itu?” Beliau bersabda: “Ya, perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
فَلَوْ رَأَى الرَّجُلُ الْمَنِيَّ فِي ثَوْبٍ هُوَ لَابِسُهُ وَلَمْ يُحِسَّ مِنْ نَفْسِهِ الْإِنْزَالَ فِيهِ، فَلَا يَخْلُوحَالُ ذَلِكَ الثَّوْبِ مِنْ أَنْ يَلْبَسَهُ غَيْرُهُ أَمْ لَا، فَإِنْ لَبِسَهُ غَيْرُهُ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ غَيْرُهُ، وَلَا عَلَى ذَلِكَ الْغَيْرِ غُسْلٌ لِجَوَازِ أَنْ لَا يَكُونَ ذَلِكَ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ الثَّوْبُ لَا يَلْبَسُهُ غَيْرُهُ أَوْ لَمْ يَلْبَسْهُ غَيْرُهُ مُنْذُ غَسَلَهُ، وَقَدْ كَانَ يَلْبَسُهُ غَيْرُهُ قَبْلَ الْغَسْلِ، نُظِرَ فِيهِ، فَإِنْ كَانَ الْمَنِيُّ مِنْ ظَاهِرِهِ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدْ لَاقَى مَنِيًّا عَلَى ثَوْبِ غَيْرِهِ فَتَعَدَّى عَلَيْهِ، أَوْ قَدْ حَاكَّهُ رَجُلٌ أَنْزَلَ فَوَقَعَ مَنِيُّهُ عَلَى ثَوْبِهِ، فَإِنْ كَانَ الْمَنِيُّ مِنْ دَاخِلِ الثَّوْبِ فَالْغُسْلُ عَلَيْهِ وَاجِبٌ لِعِلْمِنَا أَنَّهُ مِنْهُ، وَامْتِنَاعِ كَوْنِهِ مِنْ غَيْرِهِ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَعَادَ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا مِنْ أَقْرَبِ نَوْمَةٍ نَامَهَا فِيهِ، لِأَنَّهُ الظَّاهِرُ مِنْ حَالِ إِنْزَالِهِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ نَامَ فِيهِ لَا يَلْزَمُهُ إِعَادَةُ شَيْءٍ مِمَّا صَلَّى لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ آخِرِ صَلَاةٍ، وَلَيْسَ هُنَاكَ ظَاهِرٌ يُغَلَّبُ فَيُحْمَلُ عَلَى الْيَقِينِ.
Maka seandainya seorang laki-laki melihat mani pada pakaian yang ia kenakan, namun tidak merasakan dari dirinya keluarnya mani itu, maka keadaan pakaian tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan: dipakai orang lain atau tidak.
Jika pakaian itu dipakai orang lain, maka tidak wajib mandi atasnya karena memungkinkan mani itu milik orang lain; dan tidak pula wajib mandi atas orang lain tersebut karena memungkinkan mani itu bukan darinya.
Jika pakaian itu tidak dipakai orang lain, atau tidak dipakai orang lain sejak dicuci — meskipun sebelum dicuci pernah dipakai orang lain — maka diperinci: jika mani itu berada di bagian luar pakaian, maka tidak wajib mandi atasnya, karena memungkinkan mani itu mengenai pakaian orang lain lalu menempel padanya, atau memungkinkan ada orang yang menggesekkan maninya hingga mengenai pakaiannya.
Namun jika mani itu berada di bagian dalam pakaian, maka wajib mandi atasnya karena kita tahu itu darinya, dan mustahil dari orang lain.
Setelah mandi, ia wajib mengulang semua salat yang dikerjakannya sejak tidur terakhir yang ia lakukan dengan mengenakan pakaian itu, karena itulah yang tampak dari keadaan keluarnya mani. Kecuali jika ia mengenakannya saat tidur namun tidak ada kewajiban mengulang salat apa pun, karena memungkinkan mani itu keluar setelah salat terakhir, dan tidak ada tanda yang lebih kuat, sehingga dikembalikan kepada keyakinan.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا إِذَا بُوشِرَتِ الْمَرْأَةُ دُونَ الْفَرْجِ فَاسْتَدْخَلَتْ مَنِيَّ الرَّجُلِ إِلَى فَرْجِهَا فَلَا غُسْلَ عَلَيْهَا فَكَذَلِكَ لَوْ أَلْقَتْهُ مِنْ فَرْجِهَا بَعْدَ اسْتِدْخَالِهِ.
وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِذَا أَلْقَتْهُ بَعْدَ اسْتِدْخَالِهِ لَزِمَهَا الْغُسْلُ قِيَاسًا عَلَى إِنْزَالِ مَاءِ نَفْسِهَا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ مَائِهَا لَمْ يَتَعَلَّقْ بِإِلْقَائِهِ وُجُوبُ الْغُسْلِ كَمَا لَوِ اسْتَدْخَلَتْ دَوَاءً، فَأَلْقَتْهُ أَوْ لَمْ تُلْقِهِ.
(PASAL)
Adapun jika seorang perempuan digauli selain pada farjinya, lalu ia memasukkan mani laki-laki ke dalam farjinya, maka tidak wajib mandi atasnya. Demikian pula jika ia mengeluarkannya dari farjinya setelah memasukkannya.
Al-Ḥasan al-Baṣrī berkata: “Jika ia mengeluarkannya setelah memasukkannya, maka wajib mandi atasnya, qiyas kepada keluarnya air maninya sendiri.” Ini adalah kesalahan, karena selama bukan dari airnya sendiri, maka tidak terkait kewajiban mandi dengan mengeluarkannya, sebagaimana jika ia memasukkan obat lalu mengeluarkannya atau tidak mengeluarkannya.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” أَنْزَلَ الْمَاءَ الدَّافِقَ مُتَعَمِّدًا أَوْ نَائِمًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الْمَرْأَةِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ عليهما وماء الرجل الذي يوجب الغسل هو المني الأبيض الثخين الذي يشبه رائحة الطلع فمتى خرج المني من ذكر الرجل أو رأت المرأة الماء الدافق فقد وجب الغسل “.
(MASALAH)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Barang siapa mengeluarkan air yang memancar, baik dengan sengaja maupun dalam keadaan tidur, atau hal itu terjadi dari pihak perempuan, maka wajib mandi atas keduanya. Air laki-laki yang mewajibkan mandi adalah mani yang berwarna putih, kental, dan menyerupai bau mayang kurma. Maka kapan pun mani keluar dari zakar laki-laki atau perempuan melihat air yang memancar, maka wajib mandi.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَنِيَّ الرَّجُلِ مُخَالِفٌ لِمَنِيِّ الْمَرْأَةِ فِي صِفَتِهِ، فَمَنِيُّ الرَّجُلِ هُوَ ثَخِينٌ أَبْيَضُ تُشْبِهُ رَائِحَتُهُ رَائِحَةَ الطَّلْعِ، وَهَذِهِ صِفَةٌ فِي حَالِ السَّلَامَةِ وَالصِّحَّةِ، وَقَدْ يَتَغَيَّرُ بِالْأَمْرَاضِ وَالْأَغْذِيَةِ وَكَثْرَةِ الْجِمَاعِ، وَمَنِيُّ الْمَرْأَةِ هُوَ أَصْفَرُ رَقِيقٌ لَيْسَ لَهُ تِلْكَ الرَّائِحَةُ، وَإِنَّمَا وَصَفَهُمَا الشَّافِعِيُّ بِهَذِهِ الصِّفَةِ لِتَجْرِبَتِهِمَا عِنْدَ الْمُشَاهَدَةِ.
وَقَدْ جَاءَتِ السُّنَّةُ بِمَا يُؤَيِّدُ هَذَا.
(MASALAH)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Barang siapa mengeluarkan air yang memancar, baik dengan sengaja maupun dalam keadaan tidur, atau hal itu terjadi dari pihak perempuan, maka wajib mandi atas keduanya. Air laki-laki yang mewajibkan mandi adalah mani yang berwarna putih, kental, dan menyerupai bau mayang kurma. Maka kapan pun mani keluar dari zakar laki-laki atau perempuan melihat air yang memancar, maka wajib mandi.”
رُوِيَ عَنْ أَبِي عُرْوَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ سَأَلَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا رَأَتْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَتْ فَعَلَيْهَا الْغُسْلُ “، فَقَالَتْ أَمُّ سُلَيْمٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَ يَكُونُ هَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ، مَاءُ الرَّجُلِ غَلِيظٌ أَبْيَضُ، وماء المرأة أصفر رقيق فَأَيُّهُمَا سَبَقَ أَوْ عَلَا أَشْبَهَهُ الْوَلَدُ، وَأَمَّا إِنْ تَغَيَّرَ الْمَنِيُّ بِحُدُوثِ مَرَضٍ أَوِ اخْتِلَافِ غِذَاءٍ أَوْ كَثْرَةِ جِمَاعٍ فَصَارَ رَقِيقَ الْقَوَامِ مُتَغَيِّرَ اللَّوْنِ إِلَى صُفْرَةٍ أَوْ حُمْرَةٍ لَمْ يُمْكِنْ أَنْ يُوصَفَ بِصِفَتِهِ وَقَلَّ مَا يَخْفَى عَلَى مُنْزِلِهِ، فَإِذَا عَلِمَ أَنَّهُ قَدْ أَنْزَلَ الْمَنِيَّ لَزِمَهُ الْغُسْلُ بِأَيِّ صِفَةٍ كَانَ، وَإِنْ شَكَّ فِيهِ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ، وَلَوِ احْتَاطَ كَانَ أَوْلَى.
Diriwayatkan dari Abū ‘Urwah dari Qatādah dari Anas, bahwa Ummu Sulaim bertanya kepada Nabi SAW tentang perempuan yang melihat dalam tidurnya seperti yang dilihat laki-laki. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika ia melihat hal itu lalu mengeluarkan mani, maka wajib mandi atasnya.” Ummu Sulaim berkata: “Wahai Rasulullah, apakah ini mungkin terjadi?” Beliau bersabda: “Ya, air laki-laki kental berwarna putih, dan air perempuan berwarna kuning dan encer; maka siapa yang lebih dahulu atau lebih dominan, anak akan menyerupainya.”
Adapun jika mani berubah karena timbulnya penyakit, atau perbedaan makanan, atau banyaknya jima‘, sehingga menjadi encer dan berubah warna menjadi kekuningan atau kemerahan, maka tidak mungkin lagi digambarkan dengan sifat aslinya, dan jarang sekali tidak dikenali oleh orang yang mengeluarkannya. Maka jika ia mengetahui bahwa ia telah mengeluarkan mani, wajib atasnya mandi dengan sifat apa pun adanya. Dan jika ia ragu, maka tidak wajib mandi atasnya; namun jika ia berhati-hati, itu lebih utama.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْمَذْيُ فَهُوَ أَبْيَضُ رَقِيقٌ لَا يَنْدَفِقُ جَارِيًا كَالْمَنِيِّ، وَلَكِنْ يَخْرُجُ قَطْرَةً بَعْدَ قَطْرَةٍ عِنْدَ حُدُوثِ الشَّهْوَةِ، وَهُوَ نَجِسٌ يُوجِبُ الْوُضُوءَ دُونَ الْغُسْلِ.
رَوَى حُصَيْنُ بْنُ قَبِيصَةَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَجَعَلْتُ أَغْتَسِلُ حَتَّى تَشَقَّقَ ظَهْرِي قَالَ: فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْ ذُكِرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: لَا تَفْعَلْ إِذَا رَأَيْتَ الْمَذْيَ فَاغْسِلْ ذَكَرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ فَإِذَا نَضَحْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ.
(PASAL)
Adapun mażī adalah cairan putih, encer, tidak memancar mengalir seperti mani, tetapi keluar setetes demi setetes ketika timbul syahwat. Ia najis, mewajibkan wudhu namun tidak mewajibkan mandi.
Diriwayatkan oleh Ḥuṣain bin Qabiṣah dari ‘Alī RA, ia berkata: “Aku adalah seorang yang sering keluar mażī, maka aku mandi hingga punggungku pecah-pecah kulitnya.” Ia berkata: “Lalu aku ceritakan hal itu kepada Nabi SAW — atau hal itu diceritakan kepada beliau — maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Jangan engkau lakukan itu. Jika engkau melihat mażī, maka basuhlah zakarmu dan berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk salat. Jika engkau memancarkan air (mani), maka mandilah.’”
وروى الحارث بن العلاء بن الحارث عن حرام بْنِ حَكِيمٍ عَنْ عَمِّهِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَمَّا يُوجِبُ الْغُسْلَ وَعَنِ الْمَاءِ يَكُونُ بَعْدَ الْمَاءِ. فَقَالَ: ذَاكَ الْمَذْيُ وَكُلُّ فحلٍ يُمْذِي فَتَغْسِلُ مِنْ ذَلِكَ فَرْجَكَ وَأُنْثَيَيْكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ذَكَرَهُمَا أَبُو دَاوُدَ. وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ فِي السُّوَعَاءِ الْوُضُوءُ يَعْنِي: الْمَذْيَ ذَكَرَهُ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ فِي ” غَرِيبِ الْحَدِيثِ “. فأما الْوَدْيُ فَهُوَ كَدِرٌ يَخْرُجُ بَعْدَ الْبَوْلِ قَطْرَةً أَوْ قَطْرَتَيْنِ وَهُوَ نَجِسٌ يُوجِبُ الْوُضُوءَ دُونَ الْغُسْلِ كَالْمَذْيِ فَصَارَتِ الْمَائِعَاتُ الْخَارِجَةُ مِنَ الذَّكَرِ غَيْرُ الْبَوْلِ الْمُعْتَادِ ثَلَاثَةً، الْمَنِيُّ وَهُوَ طَاهِرٌ يُوجِبُ الْغُسْلَ، وَالْمَذْيُ وَهُوَ نَجِسٌ يُوجِبُ الْوُضُوءَ، وَالْوَدْيُ وَهُوَ نَجِسٌ يُوجِبُ الْوُضُوءَ، فَلَوْ شَكَّ فِيمَا أَنْزَلَهُ هَلْ هُوَ مَنِيٌّ أَوْ وَدْيٌ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ لِلشَّكِّ فِيهِ، وَيَتَوَضَّأُ وَلَا يَلْزَمُهُ غَسْلُهُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مَنِيًّا طَاهِرًا وَإِنِ احْتَاطَ فِي الْأَمْرَيْنِ فَغَسَلَهُ وَاغْتَسَلَ كان أولى وأفضل.
Diriwayatkan oleh al-Ḥārith bin al-‘Alā’ bin al-Ḥārith dari Ḥarām bin Ḥakīm dari pamannya ‘Ubaydullāh bin Sa‘d al-Anṣārī, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang apa yang mewajibkan mandi dan tentang air yang keluar setelah air.” Beliau bersabda: “Itu adalah mażī, dan setiap laki-laki pasti mengeluarkan mażī, maka basuhlah kemaluanmu dan kedua buah zakarmu karena itu, dan berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk salat.” Keduanya disebutkan oleh Abū Dāwud.
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda tentang as-sū‘a’: “(Itu mewajibkan) wudhu,” yakni mażī. Disebutkan oleh Abū Sulaimān al-Khaṭṭābī dalam Gharīb al-Ḥadīṡ.
Adapun wadī adalah cairan keruh yang keluar setelah kencing, setetes atau dua tetes. Ia najis dan mewajibkan wudhu, tidak mandi, sebagaimana mażī.
Maka cairan-cairan yang keluar dari zakar selain air kencing yang biasa ada tiga:
- Mani, suci, mewajibkan mandi.
- Mażī, najis, mewajibkan wudhu.
- Wadī, najis, mewajibkan wudhu.
Jika ia ragu pada cairan yang keluar, apakah mani atau wadī, maka tidak wajib mandi karena adanya keraguan, namun ia tetap berwudhu dan tidak wajib mencuci cairan itu karena memungkinkan ia mani yang suci. Namun jika ia berhati-hati dengan menggabungkan keduanya, yakni mencuci dan mandi, maka itu lebih utama dan lebih baik.
(مسألة)
: قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وقبل البول وبعده سوادٌ “.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh ta‘ālā berkata: “Sebelum kencing dan sesudahnya ada suwād.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَنْزَلَ فاغتسل ثم أنزل ثانية اغتسل غسلاً ثانياً، سَوَاءٌ كَانَ الْإِنْزَالُ الثَّانِي قَبْلَ الْبَوْلِ أَوْ بعده وقال مالك: الغسل الأول يجزيه وَلَا يَلْزَمُهُ إِعَادَةُ الْغُسْلِ بَعْدَ الْإِنْزَالِ الثَّانِي سواء كان الإنزال قَبْلَ الْبَوْلِ أَوْ بَعْدَهُ، لِأَنَّهُ بَقِيَّةُ الْمَنِيِّ الْأَوَّلِ الَّذِي قَدِ اغْتَسَلَ لَهُ إِذَا كَانَ سببهما واحداً وقال الأوزاعي: إن أَنْزَلَ ثَانِيَةً قَبْلَ الْبَوْلِ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ وإن أَنْزَلَ بَعْدَ الْبَوْلِ فَعَلَيْهِ الْغُسْلُ لِأَنَّ مَا قَبْلَ الْبَوْلِ هُوَ مِنَ الْمَنِيِّ الْأَوَّلِ وَكَفَاهُ الْغُسْلُ الْأَوَّلُ، وَمَا بَعْدَ الْبَوْلِ هُوَ مَنِيٌّ ثَانٍ فَلَزِمَهُ غُسْلٌ ثَانٍ، وَقَالَ أبو حنيفة إن أنزل ثَانِيَةً قَبْلَ الْبَوْلِ اغْتَسَلَ لَهُ غُسْلًا ثَانِيًا لِأَنَّهُ مِنْ إِنْزَالٍ عَنْ شَهْوَةٍ وَإِنْ أَنْزَلَ بَعْدَ الْبَوْلِ لَمْ يَغْتَسِلْ لِأَنَّهُ إِنْزَالٌ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ وَكُلُّ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ فَاسِدَةٌ لِعُمُومِ قوله ” الماء من الماء ” ولأنه إنزال فاقتضى أن يجب به الاغتسال كالإنزال الأول، ولأن ما أوجب الغسل في الأولة أَوْجَبَهُ فِي الثَّانِيَةِ كَالْجِمَاعِ، وَلِأَنَّ مَا يُوجِبُ الوضوء مُوجِبُهُ كَذَلِكَ مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ.
Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana ia berkata: Jika seseorang mengeluarkan mani lalu mandi, kemudian mengeluarkan lagi untuk kedua kalinya, maka ia mandi lagi mandi yang kedua, baik keluarnya yang kedua sebelum kencing atau sesudahnya.
Mālik berkata: Mandi yang pertama sudah mencukupinya, dan tidak wajib mengulangi mandi setelah keluarnya yang kedua, baik keluarnya sebelum kencing atau sesudahnya, karena itu adalah sisa mani yang pertama yang sudah ia mandikan, jika penyebab keduanya sama.
Al-Awzā‘ī berkata: Jika mengeluarkan yang kedua sebelum kencing maka tidak ada mandi atasnya, dan jika mengeluarkan setelah kencing maka wajib atasnya mandi, karena yang sebelum kencing itu berasal dari mani yang pertama dan cukup baginya mandi yang pertama, sedangkan yang setelah kencing itu adalah mani yang kedua, maka wajib baginya mandi yang kedua.
Abū Ḥanīfah berkata: Jika mengeluarkan yang kedua sebelum kencing, maka ia mandi untuknya mandi yang kedua karena itu keluar dengan syahwat, dan jika mengeluarkan setelah kencing maka ia tidak mandi karena itu keluarnya tanpa syahwat.
Semua mazhab ini rusak karena keumuman sabda Nabi SAW: “Air (mandi) itu karena air (mani)”, dan karena itu adalah pengeluaran mani, maka menuntut wajib mandi karenanya sebagaimana keluarnya yang pertama. Dan karena sesuatu yang mewajibkan mandi pada yang pertama juga mewajibkan pada yang kedua sebagaimana jima‘, dan karena sesuatu yang mewajibkan wudhu, maka yang mewajibkan mandi pun demikian.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَتَغْتَسِلُ الْحَائِضُ إِذَا طَهُرَتْ وَالنَّفْسَاءُ إِذَا ارْتَفَعَ دَمُهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَا يُوجِبُ الْغُسْلَ مِمَّا يَشْتَرِكُ فِيهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، فَأَمَّا الْآخَرَانِ اللَّذَانِ يُوجِبَانِ الْغُسْلَ عَلَى النِّسَاءِ دُونَ الرِّجَالِ.
فَأَحَدُهُمَا: انْقِطَاعُ دَمِ الْحَيْضِ.
وَالثَّانِي: انْقِطَاعُ دَمِ النِّفَاسِ.
(Masalah)
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Dan wanita ḥāiḍ mandi jika telah suci, dan wanita nifās mandi jika darahnya telah berhenti.”
Al-Māwardī berkata: Telah berlalu pembahasan tentang hal-hal yang mewajibkan mandi yang sama-sama berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Adapun dua hal lainnya yang mewajibkan mandi bagi perempuan saja dan tidak bagi laki-laki:
Pertama: berhentinya darah ḥaiḍ.
Kedua: berhentinya darah nifās.
فَأَمَّا وُجُوبُ الْغُسْلِ مِنِ انْقِطَاعِ دَمِ الْحَيْضِ فَبِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَآتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهَ) {البقرة: 222) . يَعْنِي بقوله: ” فإذا تطهرن “: يَعْنِي: ” اغْتَسَلْنَ ” وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ: فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي، فَأَمَّا دم النفاس فلما كان حُكْمِ دَمِ الْحَيْضِ فِي الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَسَائِرِ الْأَحْكَامِ كَانَ كَدَمِ الْحَيْضِ، فِي وُجُوبِ الْغُسْلِ عَلَى أَنَّ وُجُوبَ الْغُسْلِ مِنْهُ إِجْمَاعٌ فَلَوْ وَلَدَتِ الْحَامِلُ وَلَدًا لَمْ تَرَ مَعَهُ دَمًا فَفِي وُجُوبِ الْغُسْلِ عَلَيْهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا غُسْلَ عَلَيْهَا لِعَدَمِ مُوجِبِهِ مِنَ الدَّمِ.
Adapun wajib ghusl karena berhentinya darah haid maka berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan janganlah kalian mendekati mereka hingga mereka suci. Apabila mereka telah ṭahur, maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian} (QS. al-Baqarah: 222).
Yang dimaksud dengan firman-Nya: “Apabila mereka telah ṭahur” adalah “telah mandi.”
Dan Nabi SAW bersabda kepada Fāṭimah binti Abī Ḥubaisy: “Apabila datang ḥaiḍ, tinggalkanlah shalat, dan apabila telah pergi maka mandilah dan shalatlah.”
Adapun darah nifās, karena hukumnya sama dengan darah haid dalam hal shalat, puasa, dan seluruh hukum lainnya, maka ia sama seperti darah haid dalam kewajiban ghusl. Bahkan kewajiban ghusl darinya adalah ijmā‘.
Seandainya wanita hamil melahirkan anak tanpa melihat darah bersamanya, maka dalam kewajiban ghusl atasnya ada dua pendapat:
Pertama: tidak wajib ghusl atasnya karena tidak adanya penyebabnya berupa darah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهَا الْغُسْلُ، لِأَنَّ الْوَلَدَ مَخْلُوقٌ مِنْ مَائِهَا، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَلْيَنْظُرِ الإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ) {الطارق: 5، 6، 7) . يَعْنِي: أصلاب الرجال وترائب النِّسَاءِ، وَقَالَ: {مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ} (الإنسان: 2) . يَعْنِي: اخْتِلَاطًا، فَإِذَا وَلَدَتْ وَالْوَلَدُ مَخْلُوقٌ مِنْ مَائِهَا فَقَدْ أَنْزَلَتْ وَالْإِنْزَالُ مُوجِبٌ لِلْغُسْلِ، فَكَذَلِكَ وِلَادَتُهَا مُوجِبَةٌ لِلْغُسْلِ.
Pendapat kedua: wajib atasnya ghusl, karena anak itu diciptakan dari airnya. Allah Ta‘ālā berfirman: {Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang punggung dan tulang dada} (QS. al-Ṭāriq: 5–7), yaitu tulang punggung laki-laki dan tulang dada perempuan.
Dan firman-Nya: {Dari nuthfah yang bercampur yang Kami uji} (QS. al-Insān: 2), yakni bercampur.
Maka apabila ia melahirkan, dan anak itu diciptakan dari airnya, berarti ia telah mengeluarkan mani, sedangkan keluarnya mani mewajibkan ghusl. Demikian pula kelahirannya mewajibkan ghusl.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا إِسْلَامُ الْمُشْرِكِ فَلَا يُوجِبُ الْغُسْلَ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا، وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ: إِسْلَامُ الْمُشْرِكِ مُوجِبٌ لِلْغُسْلِ، لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ ثُمَامَةَ بْنَ أُثَالٍ بِالْغُسْلِ حِينَ أَسْلَمَ ” وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَأْمُرْ أَحَدًا مِمَّنْ أَسْلَمَ بِالْغُسْلِ غَيْرَ ثُمَامَةَ بْنِ أُثَالٍ، وَلَوْ كَانَ وَاجِبًا لَأَمَرَ بِهِ كُلَّ مَنْ أَسْلَمَ، وَلِأَنَّ الِاعْتِقَادَاتِ لَا تُؤَثِّرُ فِي الطَّهَارَةِ، فَأَمَّا إِذَا كَانَ جُنُبًا قَبْلَ إِسْلَامِهِ.
(PASAL)
Adapun masuk Islamnya orang musyrik, maka tidak mewajibkan ghusl selama ia tidak dalam keadaan junub. Mālik dan Aḥmad berkata: masuk Islamnya orang musyrik mewajibkan ghusl, karena Nabi SAW memerintahkan Thumāmah bin Uthāl untuk mandi ketika ia masuk Islam.
Pendapat ini keliru, karena Nabi SAW tidak pernah memerintahkan seorang pun yang masuk Islam untuk mandi selain Thumāmah bin Uthāl. Seandainya itu wajib, tentu beliau memerintahkan setiap orang yang masuk Islam untuk melakukannya. Lagi pula, keyakinan tidak berpengaruh terhadap kesucian.
Adapun jika ia dalam keadaan junub sebelum masuk Islam…
فَقَدْ كَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يقول: لا حكم لجنابة، وما مضى عليه من الشرك مغفور عَنْهُ فَلَا غُسْلَ عَلَيْهِ، وَقَالَ ابْنُ شُرَيْحٍ وجمهور أصحابنا جَنَابَتِهِ ثَابِتَةٌ وَالْغُسْلُ عَلَيْهِ وَاجِبٌ، فَلَوْ كَانَ قَدِ اغْتَسَلَ قَبْلَ إِسْلَامِهِ فَفِي صِحَّةِ غُسْلِهِ وَجْهَانِ مَضَيَا. وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقِ.
Maka Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: tidak ada hukum janabah, dan apa yang telah berlalu atasnya dari kemusyrikan diampuni darinya, sehingga tidak wajib ghusl atasnya.
Ibnu Syuraiḥ dan jumhur aṣḥāb-kami berkata: janabahnya tetap ada dan ghusl atasnya wajib.
Seandainya ia telah mandi sebelum masuk Islam, maka dalam sahnya mandi tersebut terdapat dua pendapat yang telah disebutkan.
Dan dengan Allah-lah taufik.
(قال الشافعي) : يَبْدَأُ الْجُنُبُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثَلَاثًا قَبْلَ إِدْخَالِهِمَا الْإِنَاءَ ثُمَّ يَغْسِلُ مَا بِهِ مِنَ الْأَذَى ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ العشر في الإناء يُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعْرِهِ ثُمَّ يَحْثِي عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حثياتٍ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ حَتَى يَعُمَّ جَمِيعَ جَسَدِهِ وَشَعْرِهِ وَيُمِرُّ يَدَيْهِ عَلَى مَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْ جَسَدِهِ. وروي نحو هذا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (قال) : فإن ترك إمرار يديه على جسده فلا يضره وفي إفاضة النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الماء على جلده دليلٌ أنه إن لم يدلكه أجزأه وبقوله: ” إذا وجدت الماء فأمسسه جلدك ” (قال) : وفي أمره الجنب المتيمم إذا وجد الماء اغتسل ولم يأمره بوضوءٍ دليلٌ على أن الوضوء ليس بفرضٍ. (قال) : وإن ترك الوضوء للجنابة والمضمضة والاستنشاق فقد أساء ويجزئه ويستأنف المضمضة والاستنشاق وقد فرض الله تبارك وتعالى غسل الوجه من الحدث كما فرض غسله مع سائر البدن من الجنابة فكيف يجزئه ترك المضمضة والاستنشاق من أحدهما ولا يجزئه من الآخر “.
PASAL mandi janabah
(berkata al-Syafi‘i): Orang junub memulai dengan membasuh kedua tangannya tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana, kemudian membasuh kotoran yang ada padanya, lalu berwudhu sebagaimana wudhunya untuk shalat, lalu memasukkan sepuluh jarinya ke dalam bejana, menyela-nyelai pangkal rambutnya, kemudian menyiramkan pada kepalanya tiga siraman, lalu mengalirkan air ke seluruh tubuhnya hingga merata ke seluruh badan dan rambutnya, dan mengusap kedua tangannya pada bagian tubuh yang mampu dijangkaunya. Dan diriwayatkan semisal ini dari Rasulullah SAW.
(Beliau berkata): Jika ia meninggalkan mengusap kedua tangannya pada tubuhnya maka tidaklah mengapa. Dan pada perbuatan Nabi SAW yang mengalirkan air pada kulitnya terdapat dalil bahwa jika ia tidak menggosoknya maka itu sudah mencukupi. Dan dengan sabdanya: “Jika engkau mendapatkan air maka sentuhkanlah ia ke kulitmu.”
(Beliau berkata): Dan pada perintah beliau kepada orang junub yang bertayammum, apabila ia mendapatkan air maka hendaklah ia mandi, dan beliau tidak memerintahkannya untuk berwudhu, terdapat dalil bahwa wudhu bukanlah fardhu.
(Beliau berkata): Jika ia meninggalkan wudhu karena junub serta meninggalkan berkumur (madmadlah) dan menghirup air ke hidung (istin syāq), maka ia telah berbuat buruk, tetapi itu mencukupi, dan hendaknya ia mengulang berkumur dan menghirup air. Dan sungguh Allah Tabaraka wa Ta‘ala telah mewajibkan membasuh wajah dari hadats sebagaimana Dia mewajibkan membasuhnya bersama seluruh badan dari janabah, maka bagaimana mungkin mencukupi meninggalkan berkumur dan menghirup air pada salah satunya tetapi tidak mencukupi pada yang lainnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا غُسْلُ الْجَنَابَةِ فَيَنْطَلِقُ عَلَى وُجُوبِ الْغُسْلِ مِنْ شَيْئَيْنِ: إِنْزَالُ الْمَنِيِّ وَالْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ، وَسُمِّيَ جُنُبًا لِأَنَّهُ يَتَجَنَّبُ الصَّلَاةَ وَقِرَاءَةَ الْقُرْآنِ وَالْمَسْجِدَ، أَيْ: لِيَبْعُدَ مِنْهُ وَيَعْتَزِلَهُ حَتَّى يَغْتَسِلَ، وَالْجُنُبُ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ الْبَعِيدُ. وَقَدْ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٌ فِي تَأْوِيلِ قَوْله تعالى: {وَالْجَارِ الْجُنُبِ) {النِّسَاءِ: 36) . أَيِ: الْجَارُ الْبَعِيدُ، وَقَالَ غَيْرُهُمَا، هُوَ الْجَارُ الْمُشْرِكُ: سُمِّيَ جُنُبًا لِبُعْدِ دِينِهِ مِنْ دِينِكَ وَقَالَ أَعْشَى قَيْسِ بْنِ ثَعْلَبَةَ:
Al-Māwardī berkata: Adapun mandi janabah maka berlaku pada wajibnya mandi karena dua hal: keluarnya mani dan bertemunya dua khitan. Disebut junub karena ia menjauhi shalat, membaca Al-Qur’an, dan masjid, yakni untuk menjauh dan mengasingkan diri darinya hingga mandi. Junub dalam perkataan orang Arab berarti “yang jauh”.
Dan sungguh Ibnu ‘Abbās dan Mujāhid berkata dalam menafsirkan firman Allah Ta‘ala: {وَالْجَارِ الْجُنُبِ} (QS. al-Nisā’: 36) yaitu tetangga yang jauh. Dan selain keduanya berkata: ia adalah tetangga musyrik, disebut junub karena jauhnya agamanya dari agamamu.
Dan berkata A‘syā Qays bin Tsa‘labah:
(أَتَيْتُ حُرَيْثًا زَائِرًا عَنْ جنابةٍ … فَكَانَ حُرَيْثٌ فِي عَطَائِيَ جَامِدَا)
يَعْنِي بِقَوْلِهِ عَنْ جَنَابَةٍ عَنْ بُعْدٍ وَغُرْبَةٍ أَلَا تَرَى إِلَى قَوْلِهِ الْآخَرِ؛
(وَلَمْ أَرَ مِثْلَيْنَا خَلِيلَيْ جنابةٍ … إِسْدًا عَلَى رَغْمِ الْعَدُوِّ وَتَصَافَيَا)
(Aku mendatangi Ḥurayts sebagai seorang yang datang dari kejauhan … maka Ḥurayts bersikap dingin dalam pemberiannya kepadaku)
Maksudnya dengan ucapannya ‘an janābah adalah dari kejauhan dan keterasingan. Tidakkah engkau melihat kepada ucapannya yang lain:
(Dan aku tidak melihat dua sahabat seperti kami, dua sahabat yang berjauhan … bagaikan dua singa yang, meski terhadap musuh, tetap saling bersih hati).
وَقَدْ تَقَدَمَ الدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ فِي تَفْصِيلِ مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ فِي الْجُمْلَةِ قَوْله تَعَالَى: {وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِري سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا) {النِّسَاءِ: 43) . وَرَوَى خُلَيْدٌ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي قوله تعالى: {يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ) {الطَّارِقِ: 9) . قَالَ: الِاغْتِسَالُ مِنَ الْجَنَابَةِ.
وَرَوَى طَلْحَةُ بْنُ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَأَدَاءُ الأمانة كفارةٌ ما بينها ” فَقُلْتُ: وَمَا أَدَاءُ الْأَمَانَةِ ” فَقَالَ: ” غُسْلُ الْجَنَابَةِ فَإِنَّ تَحْتَ كُلِّ شعرةٍ جَنَابَةٌ “.
Dan telah disebutkan dalil tentang wajibnya ghusl dari janabah pada penjelasan rincian perkara yang mewajibkan ghusl, dan dalil atasnya secara umum adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan jangan (mendekati masjid) sedang kalian dalam keadaan junub kecuali sekadar berlalu saja hingga kalian mandi” (QS. al-Nisā’: 43).
Dan telah meriwayatkan Khulaid dari Abū al-Dardā’ tentang firman Allah Ta‘ala: “Pada hari ditampakkan segala rahasia” (QS. al-Ṭāriq: 9), ia berkata: mandi dari janabah.
Dan telah meriwayatkan Ṭalḥah bin Abī Rāfi‘ dari Ayyūb al-Anṣārī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Shalat lima waktu, Jum‘at ke Jum‘at, dan menunaikan amanah adalah kaffārah di antara keduanya.” Maka aku berkata: “Apa yang dimaksud menunaikan amanah?” Beliau bersabda: “Ghusl janabah, karena di bawah setiap helai rambut ada janabah.”
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ، فَكَمَالُ الْغُسْلِ مِنْهَا فَرْضًا وَسُنَّةً أَنْ يَفْعَلَ عَشَرَةَ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: التَّسْمِيَةُ لِرِوَايَةِ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَغْسِلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا قَبْلَ إِدْخَالِهِمَا الْإِنَاءَ لِرِوَايَةِ النَّخَعِيِّ عَنِ الْأُسُودِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ بِكَفَّيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ مَرَافِقَهُ فَأَفَاضَ الْمَاءَ عَلَيْهِ.
(PASAL)
Maka apabila telah tetap wajibnya ghusl dari janabah, maka kesempurnaan ghusl darinya secara fardhu dan sunnah adalah dengan melakukan sepuluh hal:
Pertama: membaca basmalah, berdasarkan riwayat ‘Urwah dari ‘Āisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW senantiasa menyebut nama Allah pada setiap keadaannya.”
Kedua: membasuh kedua telapak tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana, berdasarkan riwayat al-Nakha‘ī dari al-Aswad dari ‘Āisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW apabila hendak mandi dari janabah, beliau memulai dengan kedua telapak tangannya lalu membasuh keduanya tiga kali, kemudian membasuh kedua sikunya, lalu menuangkan air atasnya.”
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَغْسِلَ مَا بِهِ مِنْ نَجَاسَةٍ وَأَذَى يَعْنِي بِالنَّجَاسَةِ الْمَذْيَ وَبِالْأَذَى الْمَنِيَّ، لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ خَالَتِهِ مَيْمُونَةَ أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَضَعَتْ لَهُ غُسْلًا يَغْتَسِلُ بِهِ مِنَ الْجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ الْإِنَاءَ عَلَى يَدِهِ الْيُمْنَى فَغَسَلَهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ صَبَّ عَلَى فَرْجِهِ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى الْأَرْضِ فَغَسَلَهَا.
Ketiga: membasuh apa yang ada padanya berupa najis dan kotoran — yang dimaksud dengan najis adalah madzi dan yang dimaksud dengan kotoran adalah mani — berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbās dari bibinya, Maimūnah, bahwa Nabi SAW disediakan untuk beliau air untuk mandi janabah, maka beliau menuangkan air dari bejana ke tangan kanannya lalu membasuhnya dua atau tiga kali, kemudian menuangkan air ke kemaluannya dengan tangan kirinya, lalu menepukkan tangannya ke tanah dan membasuhnya.
الرَّابِعُ: أَنْ يَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ كَامِلًا لِرِوَايَةِ جُمَيْعِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى رأسه ثلاث مراتٍ ونحن نفيض على رؤوسنا خَمْسًا مِنْ أَجْلِ الضُّفُرِ.
Keempat: berwudhu sebagaimana wudhunya untuk shalat secara sempurna, berdasarkan riwayat Jumay‘ bin ‘Umair dari ‘Āisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW berwudhu sebagaimana wudhunya untuk shalat, kemudian menuangkan air ke kepalanya tiga kali, sedangkan kami menuangkan ke kepala kami lima kali karena adanya rambut yang dikepang.”
وَالْخَامِسُ: أَنْ يُدْخِلَ يَدَيْهِ فِي الْإِنَاءِ فَيُخَلِّلُ بِبَلَلِ أَصَابِعِهِ أُصُولَ شَعْرِهِ وَلِحْيَتِهِ لِرِوَايَةِ هِشَامِ بن عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُدْخِلُ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ فَيُخَلِّلُ شَعَرَهُ حَتَى إِذَا رَأَى أَنَّهُ قَدْ أَصَابَ الْبَشَرَةَ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثًا.
Kelima: memasukkan kedua tangannya ke dalam bejana, lalu dengan basah jari-jarinya menyela-nyela pangkal rambut kepala dan jenggotnya, berdasarkan riwayat Hisyām bin ‘Urwah dari ‘Āisyah RA bahwa Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu menyela-nyela rambutnya hingga ketika beliau melihat bahwa air telah mengenai kulit kepala, beliau menuangkan air ke kepalanya tiga kali.
وَالسَّادِسُ: أَنْ يَحْثِيَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ لِهَذَا الْحَدِيثِ الْمُقَدَّمِ.
وَالسَّابِعُ: أَنْ يَبْدَأَ بِإِفَاضَةِ الْمَاءِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ، لِرِوَايَةِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ أَخَذَ بِكَفَّيْهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ أَخَذَ بِكَفِّهِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ.
Keenam: menuangkan tiga cidukan air ke atas kepalanya, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang telah lalu.
Ketujuh: memulai dengan menuangkan air pada sisi kanan tubuhnya, berdasarkan riwayat al-Qāsim dari ‘Āisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW apabila mandi janabah, beliau mengambil air dengan kedua telapak tangannya, lalu memulai dengan sisi kanan kepalanya, kemudian sisi kirinya, lalu mengambil air dengan kedua telapak tangannya dan menuangkannya ke kepalanya.”
وَالثَّامِنُ: أَنْ يمر بيديه عَلَى مَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْ جَسَدِهِ لِرِوَايَةِ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: إِنَّ تَحْتَ كُلِّ شعرةٍ جنابةٍ فَاغْسِلُوا الشَّعَرَ وَأَنْقُوا الْبَشَرَةَ “. وَمَعْلُومٌ أَنَّ إِنْقَاءَ الْبَشَرَةِ إِنَّمَا يكون بالدلك والإمراد.
والتاسع: إيصال الماء إلى جميع شعره وبشره لقوله عليه السلام: بلوا الشعر وانقوا البشرة.
وَالْعَاشِرُ: نِيَّةُ الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الدَّلِيلِ وَالْأَخْبَارِ أَنْ يَبْتَدِئَ بِالنِّيَّةِ مَعَ التَّسْمِيَةِ وَيَسْتَدِيمَهَا إِلَى إِفَاضَةِ الْمَاءِ عَلَى جَسَدِهِ، وَالْأُخْرَى أَنْ يَنْوِيَ مَعَ ابْتِدَاءِ إِفَاضَةِ الْمَاءِ عَلَى جَسَدِهِ، وَلَكِنْ هَلْ يُعِيدُ بِهَا فِعْلَهُ قَبْلَ نِيَّتِهِ مِنْ سُنَّةِ غُسْلِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فِي الْوُضُوءِ.
Kedelapan: mengusapkan kedua tangannya pada bagian tubuhnya yang mampu dijangkau, berdasarkan riwayat Ibnu Sīrīn dari Abū Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di bawah setiap helai rambut terdapat janabah, maka basuhlah rambut dan sucikan kulit.” Dan diketahui bahwa menyucikan kulit itu hanya dapat dilakukan dengan menggosok dan meratakan.
Kesembilan: menyampaikan air ke seluruh rambut dan kulitnya, berdasarkan sabda beliau SAW: “Basahilah rambut dan sucikan kulit.”
Kesepuluh: berniat mandi janabah, sebagaimana telah kami sebutkan dalil dan khabarnya, yaitu memulai dengan niat bersamaan dengan basmalah dan melanjutkannya hingga menuangkan air ke seluruh tubuhnya. Cara lainnya adalah berniat bersamaan dengan permulaan menuangkan air ke tubuhnya. Namun, apakah ia mengulang perbuatan sebelum niatnya dari sunnah mandi atau tidak? Hal ini memiliki dua pendapat yang telah disebutkan dalam masalah wudhu.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْمَفْرُوضُ فِي هَذِهِ الْعَشَرَةِ، فَقَدْ تَنْقَسِمُ هَذِهِ الْعَشْرَةُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ يَكُونُ فَرْضًا، وَقِسْمٌ يَكُونُ سُنَّةً، وَقِسْمٌ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْحَالِ، فَأَمَّا الْفَرْضُ الَّذِي لَا يَنْفَكُّ الْغُسْلُ مِنْهُ بِحَالٍ فَشَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: النِّيَّةُ.
(PASAL)
Adapun yang fardhu dari sepuluh hal tersebut, maka sepuluh perkara ini terbagi menjadi tiga bagian: bagian yang fardhu, bagian yang sunnah, dan bagian yang berbeda hukumnya sesuai keadaan.
Adapun fardhu yang tidak pernah lepas dari ghusl dalam keadaan apa pun ada dua:
Pertama: niat.
وَالثَّانِي: إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى جَمِيعِ الْبَشَرَةِ وَالشَّعَرِ، وَأَمَّا السُّنَّةُ الَّتِي لَا تَجِبُ فِي الْغُسْلِ بِحَالٍ فَسِتَّةُ أَشْيَاءَ وَهِيَ التَّسْمِيَةُ وَغَسْلُ الْكَفَّيْنِ ثَلَاثًا وَتَخْلِيلُ الشَّعْرِ وَالْإِفَاضَةُ عَلَى الرَّأْسِ ثَلَاثًا وَالْبِدَايَةُ بِالْمَيَامِنِ وَإِمْرَارُ الْيَدَيْنِ عَلَى الْجَسَدِ، وَقَالَ مَالِكٌ: إِمْرَارُ الْيَدَيْنِ عَلَى مَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنَ الْجَسَدِ فَرْضٌ، كَمَا أَنَّ إِمْرَارَ الْيَدَيْنِ فِي التَّيَمُّمِ فَرْضٌ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لأبي ذر: ” إذا وجدت الماء فأمسه جِلْدَكَ ” وَلِأَنَّ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ فِي الْحَدَثِ لَا يَلْزَمُ فِيهِ إِمْرَارُ الْيَدِ عَلَى الْجَسَدِ كَالْوُضُوءِ، لِأَنَّ مَا وَصَلَ إِلَيْهِ الْمَاءُ سَقَطَ فَرْضُ الْجَنَابَةِ عَنْهُ قِيَاسًا عَلَى مَا لَمْ تَصِلْ إليه اليد، وليس يسقط عنه ذاك لعجزه لأن مالكاً يوجب على الأقطع استئجار مَنْ يُمِرُّ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ، وَإِنْ كَانَ عَاجِزًا، وَأَمَّا التَّيَمُّمُ فَهُوَ مَذْرُورٌ لَا يَصِلُ إِلَى جَمِيعِ الْعُضْوِ إِلَّا بِإِمْرَارٍ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَاءُ لِوُصُولِهِ إِلَيْهِ بِجَرَيَانِهِ، وَأَمَّا الَّذِي يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْحَالِ فَشَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: غَسْلُ النَّجَاسَةِ فَإِنْ كَانَتْ عَلَى جَسَدِهِ كَانَ غَسْلُهَا فَرْضًا، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ عَلَى جَسَدِهِ سَقَطَ فَرْضُهَا.
Kedua: menyampaikan air ke seluruh kulit dan rambut.
Adapun sunnah yang tidak wajib dalam ghusl dalam keadaan apa pun ada enam perkara, yaitu: membaca basmalah, membasuh kedua telapak tangan tiga kali, menyela-nyela rambut, menuangkan air ke kepala tiga kali, memulai dari sisi kanan, dan mengusapkan kedua tangan pada tubuh.
Mālik berpendapat bahwa mengusapkan kedua tangan pada bagian tubuh yang mampu dijangkau adalah fardhu, sebagaimana mengusapkan kedua tangan dalam tayammum adalah fardhu. Ini adalah kesalahan, karena sabda Nabi SAW kepada Abū Dzarr: “Apabila engkau mendapatkan air maka sentuhkanlah ia ke kulitmu.” Dan karena penggunaan air dalam hadats tidak mengharuskan mengusapkan tangan ke tubuh, sebagaimana dalam wudhu, sebab bagian tubuh yang telah terkena air gugur darinya kewajiban ghusl janabah, sebagaimana bagian yang tidak tersentuh tangan, dan itu bukan gugur karena ketidakmampuan. Hal ini karena Mālik mewajibkan bagi orang yang terputus tangannya untuk menyewa orang yang mengusapkan air ke tubuhnya meskipun ia tidak mampu.
Adapun tayammum adalah debu yang ditaburkan, yang tidak dapat mengenai seluruh anggota tubuh kecuali dengan mengusap, sedangkan air dapat sampai kepadanya dengan mengalir.
Adapun yang hukumnya berbeda sesuai keadaan ada dua perkara:
Pertama: membasuh najis. Jika ada di tubuhnya, maka membasuhnya adalah fardhu, dan jika tidak ada di tubuhnya, gugur kewajibannya.
وَالثَّانِي: وضوءه لِلصَّلَاةِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَحْدَثَ مَعَ الْجَنَابَةِ أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ أَحْدَثَ لَزِمَهُ الْغُسْلُ، وَسَقَطَ عَنْهُ فَرْضُ الْوُضُوءِ وَكَانَ مَسْنُونًا فِي غُسْلِهِ لَا فَرْضًا، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَحْدَثَ فَلَا يَخْلُو حَالُ حَدَثِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ جَنَابَةٍ أَوْ بَعْدَهَا، فَإِنْ كَانَ حَدَثُهُ بَعْدَ جَنَابَةٍ سَقَطَ حُكْمُهُ لِدُخُولِهِ فِيمَا هُوَ أَغْلَظُ مِنْهُ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا دَخَلَ الْجُنُبُ فِي الْحَدَثِ كَانَ دُخُولُ الْحَدَثِ فِي الْجَنَابَةِ أَوْلَى، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْوُضُوءُ فِي غُسْلِهِ مَسْنُونًا لَا فَرْضًا، وَإِنْ كَانَ الْحَدَثُ قَبْلَ الْجَنَابَةِ وَهُوَ الْغَالِبُ مِنْ أَحْوَالِ الْجُنُبِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَلْزَمُهُ الْوُضُوءُ بِحَدَثِهِ الْمُتَقَدِّمِ وَالْغُسْلُ لِجَنَابَتِهِ الْحَادِثَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ حَكَاهَا ابْنُ سُرَيْجٍ.
Kedua: wudhunya untuk shalat. Keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia berhadats bersama janabah atau tidak.
Jika ia tidak berhadats, maka wajib baginya ghusl dan gugur darinya fardhu wudhu, sehingga wudhu dalam ghusl-nya menjadi sunnah, bukan fardhu.
Jika ia berhadats, maka keadaan hadatsnya tidak lepas dari dua kemungkinan: sebelum janabah atau sesudahnya.
Jika hadatsnya sesudah janabah, maka gugur hukumnya karena masuk ke dalam hadats yang lebih berat darinya, dan karena ketika orang junub masuk ke dalam hadats, maka masuknya hadats ke dalam janabah lebih utama. Dengan demikian, wudhu dalam ghusl-nya menjadi sunnah, bukan fardhu.
Jika hadats itu sebelum janabah — dan ini yang lebih banyak terjadi pada keadaan orang junub — maka para ulama kami berbeda pendapat apakah ia wajib wudhu karena hadatsnya yang terdahulu dan ghusl karena janabah-nya yang baru, atau tidak. Ada tiga pendapat dalam hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Surayj.
أَحَدُهَا: أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ وَلَا يُجْزِئُهُ الِاقْتِصَارُ عَلَى أَحَدِهِمَا، وَالْأَوْلَى أَنْ يُقَدِّمَ الْوُضُوءَ عَلَى الْغُسْلِ، فَإِنْ أَخَّرَهُ أَجْزَأَهُ فَيَصِيرُ غَاسِلًا لِأَعْضَاءِ الْوُضُوءِ مَرَّتَيْنِ: مَرَّةً عَنْ حَدَثِهِ فَيُرَتِّبُهَا، وَمَرَّةً عَنْ جَنَابَتِهِ فَلَا يُرَتِّبُهَا، وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهُمَا حُكْمَانِ مُخْتَلِفَانِ وَجَّبَا سَبَبَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ فَوَجَبَا أَنْ لَا يَتَدَاخَلَا، وَإِنْ كَانَ حُكْمُ أَحَدِهِمَا أَعْظَمَ كَالْقَتْلِ وَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَسْقُطُ حُكْمُ التَّكْرَارِ وَيَبْقَى حُكْمُ التَّرْتِيبِ الْمُسْتَحَقِّ فِي الْوُضُوءِ فَيَغْتَسِلُ غُسْلًا وَاحِدًا يُرَتِّبُ فِيهِ أَعْضَاءَ وُضُوئِهِ وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّ الْأَفْعَالَ إِذَا اتَّفَقَتْ تَدَاخَلَتْ وَإِذَا اخْتَلَفَتْ لَمْ تَتَدَاخَلْ فَلَمَّا كَانَ غَسْلُ الْأَعْضَاءِ فِي الْحَدَثِ مُوَافِقًا لِغَسْلِهَا فِي الْجَنَابَةِ دخلأَحَدُهُمَا فِي الْآخَرِ فَسَقَطَ التَّكْرَارُ، وَلَمَّا كَانَ تَرْتِيبُ الْحَدَثِ مُخَالِفًا لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ ثَبَتَ التَّرْتِيبُ زَائِدًا عَلَى غُسْلِ الْجَنَابَةِ.
Pertama: wajib baginya menggabungkan antara wudhu dan ghusl, dan tidak cukup dengan salah satunya saja. Yang lebih utama adalah mendahulukan wudhu atas ghusl. Jika ia mengakhirkan wudhu, maka tetap sah, sehingga ia membasuh anggota wudhu dua kali: sekali untuk hadatsnya dengan tertib, dan sekali untuk janabah-nya tanpa tertib. Alasannya adalah karena keduanya merupakan dua hukum yang berbeda yang diwajibkan oleh dua sebab yang berbeda, maka wajib untuk tidak saling memasukkan, sekalipun hukum salah satunya lebih besar, seperti hukuman bunuh dan potong tangan pada pencurian.
Pendapat kedua: gugur hukum pengulangan, namun tetap berlaku hukum tertib yang disyariatkan dalam wudhu. Maka ia mandi ghusl sekali dengan menertibkan anggota wudhunya. Alasannya adalah karena apabila perbuatan itu sama, maka saling memasukkan; dan apabila berbeda, maka tidak saling memasukkan. Karena membasuh anggota pada hadats sama dengan membasuhnya pada janabah, maka salah satunya masuk ke dalam yang lain sehingga gugur pengulangan. Namun karena tertib pada hadats berbeda dengan ghusl janabah, maka tetaplah tertib itu berlaku di samping ghusl janabah.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّهُ يَسْقُطُ حُكْمُ التَّكْرَارِ وَالتَّرْتِيبِ، وَيَدْخُلُ الْحَدَثُ فِي الْجَنَابَةِ وَيَلْزَمُهُ الْغُسْلُ وَحْدَهُ دُونَ الْوُضُوءِ بِأَيِّ مَوْضِعٍ بَدَأَ مِنْ بَدَنِهِ أَجْزَأَهُ وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّ الْحَدَثَ مَعَ الْجَنَابَةِ هُوَ أَصْغَرُ نَوْعَيِ الْجِنْسِ. فَإِذَا اجْتَمَعَا دَخَلَ الْأَصْغَرُ فِي الْأَكْبَرِ كَمَا تَدْخُلُ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ إِذَا قَرَنَ وَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يَجْعَلُ الْحَدَثَ الطَّارِئَ عَلَى الْجَنَابَةِ كَالْحَدَثِ الْمُتَقَدِّمِ عَلَى الْجَنَابَةِ فِي تَخْرِيجِ الْوُضُوءِ عَلَى الأوجه الثلاثة، وأنكر سائراً أَصْحَابِنَا ذَلِكَ، وَفَرَّقُوا بَيْنَ الْحَدَثِ الْمُتَقَدِّمِ وَبَيْنَ الْحَدَثِ الْمُتَأَخِّرِ أَنَّ الْمُتَقَدِّمَ لَمَّا طَرَأَ عَلَى أَعْضَاءٍ ظَاهِرَةٍ ثَبَتَ حُكْمُهُ وَالْمُتَأَخِّرُ لَمَّا طَرَأَ عَلَى أَعْضَاءٍ غَيْرِ ظَاهِرَةٍ سَقَطَ حُكْمُهُ.
Pendapat ketiga — dan ini adalah yang tampak dari mazhab al-Syafi‘i, sebagaimana beliau tegaskan dalam al-Imlā’ — bahwa gugur hukum pengulangan dan tertib, serta hadats masuk ke dalam janabah. Maka cukup baginya mandi ghusl saja tanpa wudhu, dan dari bagian tubuh mana pun ia memulai, itu sudah mencukupi. Alasannya adalah karena hadats bersama janabah adalah jenis yang lebih kecil, sehingga ketika keduanya berkumpul, yang kecil masuk ke dalam yang besar, sebagaimana umrah masuk ke dalam haji jika digabungkan (qirān).
Abū al-‘Abbās Ibnu Surayj menyamakan hadats yang datang setelah janabah dengan hadats yang mendahuluinya dalam penerapan tiga pendapat mengenai wudhu. Namun kebanyakan ulama kami mengingkari hal itu, dan membedakan antara hadats yang mendahului dan hadats yang datang setelahnya, karena hadats yang mendahului mengenai anggota tubuh yang tampak sehingga tetap berlaku hukumnya, sedangkan hadats yang datang kemudian mengenai anggota tubuh yang tidak tampak sehingga gugur hukumnya.
(فَصْلٌ)
: وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَا الْأَصْلِ وَاخْتِلَافِ الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ فِيهِ فُرُوعٌ خَمْسَةٌ:
فَالْفَرْعُ الْأَوَّلُ مِنْهَا: صُورَتُهُ فِي جُنُبٍ غَسَلَ بَعْضَ بَدَنِهِ لِلْجَنَابَةِ ثُمَّ أَحْدَثَ قَبْلَ تَمَامِ الْغُسْلِ فَلَا يَخْلُو أَعْضَاءُ الْوُضُوءِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ أَعْضَاءُ وُضُوئِهِ مِنْ جُمْلَةِ الْبَاقِي مِنْ بَدَنِهِ الَّذِي لَمْ يَغْسِلْهُ مِنْ جَنَابَتِهِ، فَهَذَا يُتَمِّمُ غسل الباقي من بدنه، ويجريه عَنْ جَنَابَتِهِ وَحَدَثِهِ، وَلَا يَلْزَمُهُ تَرْتِيبُ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ فِي بَاقِي غَسْلِهِ، لِأَنَّ الْحَدَثَ طَرَأَ عَلَيْهَا، وَحُكْمُ الْجَنَابَةِ لَمْ يَزَلْ عَنْهَا فَلَمْ يَكُنْ لِلْحَدَثِ تَأْثِيرٌ، وَلَمْ يُسْتَحَقَّ لِأَجْلِهِ تَرْتِيبٌ.
(PASAL)
Bertolak dari kaidah ini dan perbedaan tiga pendapat di dalamnya, bercabang darinya lima furū‘.
Furū‘ pertama: contohnya, orang junub yang telah membasuh sebagian tubuhnya karena janabah, kemudian berhadats sebelum menyempurnakan ghusl-nya. Maka anggota wudhunya tidak lepas dari tiga keadaan:
Pertama: anggota wudhunya termasuk bagian tubuh yang tersisa yang belum ia basuh dari janabah-nya. Dalam keadaan ini, ia menyempurnakan basuhan pada bagian tubuh yang tersisa tersebut, dan itu mencukupi dari janabah dan hadatsnya. Ia tidak wajib menertibkan anggota wudhu pada sisa basuhan ini, karena hadats datang menimpa anggota tersebut sementara hukum janabah belum hilang darinya, sehingga hadats tidak memberi pengaruh dan tidak menuntut tertib karenanya.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ أَعْضَاءُ وُضُوئِهِ قَدْ غَسَلَهَا قَبْلَ حَدَثِهِ فَهَذَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُتَمِّمَ بَاقِيَ غُسْلِهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مُرَتَّبًا مِنْ بَعْدِهِ، فَيَكُونُ غَسْلُ بَاقِي الْبَدَنِ لِتَمَامِ الْغُسْلِ مِنْ جَنَابَتِهِ، وَاسْتِئْنَافُ الْوُضُوءِ لِمَا طَرَأَ مِنْ حَدَثِهِ، وَبَيْنَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ غَسْلَ جَمِيعِ جَسَدِهِ فَيُجْزِئَهُ عَنْ جَنَابَتِهِ وَعَنْ حَدَثِهِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ فَعَلَ ذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَتَقَدَّمَ غَسْلُ بَعْضِ الْأَعْضَاءِ أَجْزَأَ فَإِذَا فَعَلَهُ بَعْدَ غَسْلِ بَعْضِهَا أَوْلَى، لَكِنْ هَلْ يَلْزَمُهُ إِذَا اسْتَأْنَفَ غَسْلَ جَمِيعِ جَسَدِهِ أَنْ يُرَتِّبَ أَعْضَاءَ وُضُوئِهِ فِي غُسْلِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مِنَ الْمُحْدِثِ إِذَا اغْتَسَلَ بَدَلًا مِنْ وُضُوئِهِ هَلْ يَسْقُطُ حُكْمُ التَّرْتِيبِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا.
Keadaan kedua: anggota wudhunya telah ia basuh sebelum hadatsnya. Dalam hal ini, ia memiliki pilihan antara:
Pertama, menyempurnakan sisa ghusl-nya, kemudian berwudhu secara tertib setelahnya. Dengan demikian, basuhan sisa tubuhnya menjadi penyempurna ghusl dari janabah-nya, dan wudhunya menjadi untuk hadats yang baru terjadi.
Kedua, memulai kembali membasuh seluruh tubuhnya, sehingga mencukupi dari janabah dan hadatsnya. Karena jika ia melakukannya sebelum mendahului basuhan sebagian anggota tubuh, itu sudah mencukupi, maka jika ia melakukannya setelah membasuh sebagian anggota tubuh, lebih utama lagi.
Namun, apakah wajib baginya — jika memulai kembali membasuh seluruh tubuhnya — untuk menertibkan anggota wudhunya di dalam ghusl-nya atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat dalam masalah orang yang berhadats apabila ia mandi sebagai ganti dari wudhunya: apakah gugur hukum tertib atau tidak? Dua pendapat ini telah disebutkan sebelumnya.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ غَسَلَ بَعْضَ أعضاء وضوئه وبقي بعضها كأن أَحْدَثَ بَعْدَ غَسْلِ وَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ وَبَقِيَ رَأْسُهُ وَرِجْلَاهُ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُتَمِّمَ غَسْلَهُ ثُمَّ يَغْسِلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ مُرَتَّبًا دُونَ رَأْسِهِ ورجليه، لأن طرؤ الْحَدَثِ كَانَ بَعْدَ بَقَاءِ حُكْمِ الْجَنَابَةِ فِي رأسهوَرِجْلَيْهِ، فَلَمْ يَكُنْ لِلْحَدَثِ تَأْثِيرٌ فِيهِمَا، وَأَثَّرَ فِي الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ لِزَوَالِ حُكْمِ الْجَنَابَةِ عَنْهُمَا قبل طرؤ الْحَدَثِ عَلَيْهِمَا، وَبَيْنَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْغُسْلَ مِنْ أَوَّلِهِ لَا يَلْزَمُهُ فِيهِ تَرْتِيبُ الرَّأْسِ وَالرِّجْلَيْنِ، لِبَقَاءِ حُكْمِ الْجَنَابَةِ فِيهِمَا، وَهَلْ يَلْزُمُهُ تَرْتِيبُ الوجه والذارعين أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ فَمَنِ اغْتَسَلَ بَدَلًا مِنَ الْوُضُوءِ لِأَنَّ الْوَجْهَ وَالذِّرَاعَيْنِ قَدْ نَزَلَ عَنْهُمَا حُكْمُ الْجَنَابَةِ فَلَحِقَهُمَا حُكْمُ الْحَدَثِ.
Keadaan ketiga: ia telah membasuh sebagian anggota wudhunya dan sebagian lainnya belum, misalnya ia berhadats setelah membasuh wajah dan kedua lengannya, sementara kepala dan kedua kakinya belum dibasuh.
Dalam keadaan ini, ia memiliki pilihan antara:
Pertama, menyempurnakan ghusl-nya, lalu membasuh wajah dan kedua lengannya secara tertib tanpa kepala dan kedua kakinya. Hal ini karena hadats terjadi setelah hukum janabah masih ada pada kepala dan kedua kakinya, sehingga hadats tidak berpengaruh pada keduanya, namun berpengaruh pada wajah dan kedua lengan karena hukum janabah telah hilang dari keduanya sebelum hadats terjadi pada keduanya.
Kedua, memulai kembali ghusl dari awal, dan dalam hal ini ia tidak wajib menertibkan kepala dan kedua kaki karena hukum janabah masih ada pada keduanya.
Adapun apakah wajib baginya menertibkan wajah dan kedua lengan atau tidak, terdapat dua pendapat, sebagaimana orang yang mandi sebagai pengganti wudhu. Sebab hukum janabah telah hilang dari wajah dan kedua lengan, sehingga keduanya terkena hukum hadats.
(فَصْلٌ)
: وَالْفَرْعُ الثَّانِي: صُورَتُهُ فِي مُحْدِثٍ عَدِمَ الْمَاءَ في سفره، فتيمم وصلى ثم اجتنب وَوَجَدَ مِنَ الْمَاءِ مَا يَكْفِي أَعْضَاءَ وُضُوئِهِ.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ حُكْمَ الْحَدَثِ باقٍ لَا يَدْخُلُ فِي الْجَنَابَةِ الطَّارِئَةِ عَلَيْهَا لَزِمَهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ الْمَاءَ فِي أَعْضَاءِ وُضُوئِهِ بَدَلًا مِنْ حَدَثِهِ ثُمَّ يَتَيَمَّمُ فِي وَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ بَدَلًا مِنْ جَنَابَتِهِ، وَيَجُوزُ أَنْ يُقَدِّمَ التَّيَمُّمَ عَلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ بَدَلٌ مِنَ الْجَنَابَةِ وَالْوُضُوءُ بَدَلٌ مِنَ الْحَدَثِ وَيَجُوزُ تَقْدِيمُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ حُكْمَ الْحَدَثِ قد سقط بطرؤ الْجَنَابَةِ عَلَيْهَا فَهَلْ يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُ مَا وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ فِيمَنْ وَجَدَ بَعْضَ مَا يَكْفِيهِ.
(PASAL)
Furū‘ kedua: contohnya, seorang yang berhadats tidak mendapatkan air dalam perjalanannya, lalu ia bertayamum dan shalat, kemudian ia berjunub, lalu menemukan air yang cukup untuk membasuh anggota wudhunya.
Jika dikatakan bahwa hukum hadats masih tetap dan tidak masuk ke dalam janabah yang terjadi setelahnya, maka ia wajib menggunakan air tersebut pada anggota wudhunya sebagai ganti dari hadatsnya, kemudian bertayamum pada wajah dan kedua lengannya sebagai ganti dari janabah-nya. Boleh mendahulukan tayamum daripada menggunakan air, karena tayamum adalah pengganti dari janabah, sedangkan wudhu adalah pengganti dari hadats, dan boleh mendahulukan salah satunya atas yang lain.
Namun jika dikatakan bahwa hukum hadats gugur dengan datangnya janabah atasnya, maka apakah wajib baginya menggunakan air yang ia temukan atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat dalam masalah orang yang menemukan sebagian dari air yang mencukupi kebutuhannya.
أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُهُ وَيَقْتَصِرُ عَلَى التَّيَمُّمِ وَحْدَهُ، وَيُجْزِئُهُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُهُ فِيمَا شَاءَ مِنْ بَدَنِهِ ثُمَّ يَتَيَمَّمُ بَعْدَهُ لِبَاقِي بَدَنِهِ، وَلَا يَجُوزُ أن يقدم التيمم ها هنا عَلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ؛ لِأَنَّهُ بَدَلٌ عَمَّا لَمْ يَصِلْ إِلَيْهِ الْمَاءُ.
Salah satunya: tidak wajib baginya menggunakan air tersebut, cukup dengan tayamum saja, dan itu sudah mencukupi.
Pendapat kedua: wajib baginya menggunakan air itu pada bagian tubuh yang ia kehendaki, kemudian bertayamum setelahnya untuk bagian tubuhnya yang tersisa. Dan tidak boleh mendahulukan tayamum di sini atas penggunaan air, karena tayamum adalah pengganti dari bagian tubuh yang tidak terkena air.
(فَصْلٌ)
: وَالْفَرْعُ الثَّالِثُ: صُورَتُهُ فِي مُسَافِرٍ جُنُبٍ وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ مَا غَسَلَ بِهِ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَرَأْسَهُ لَا غَيْرَ، وَيَتَيَمَّمُ لِبَاقِي بَدَنِهِ ثُمَّ أَحْدَثَ وَوَجَدَ الْمَاءَ فَإِنْ تَوَضَّأَ وَاغْتَسَلَ كَانَ أَوْلَى، وَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى الْغُسْلِ بِهِ فَبَدَأَ بِرِجْلَيْهِ ثُمَّ بِوَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ وَرَأْسِهِ مَاسِحًا بِرَأْسِهِ لَا غَاسِلًا أَجْزَأَهُ، لِأَنَّ الرِّجْلَيْنِ هُمَا فِي حَدَثِ الْجَنَابَةِ فَلَمْ يَلْحَقْهُمَا حُكْمُ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ فَجَازَ تَقْدِيمُ غَسْلِهِمَا، وَزَالَ حَدَثُ الْجَنَابَةِ عَنِ الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ وَالرَّأْسِ فَلَحِقَهُمَا حُكْمُ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ فَاسْتَحَقَّ فِيهَا التَّرْتِيبَ وَمَسْحَ الرَّأْسِ دُونَ الْغَسْلِ وَلَكِنْ لَوْ بَدَأَ بذراعيه قبل وجهه لم يجزه، لِارْتِفَاعِ حَدَثِ الْجَنَابَةِ وَلُحُوقِ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ الْمُوجِبِ لِلتَّرْتِيبِ، وَجُمْلَتُهُ أَنَّ التَّرْتِيبَ مُسْتَحَقٌّ مِمَّا غَسَلَهُ قَبْلَ حَدَثِهِ، فَإِنْ خَالَفَ التَّرْتِيبَ فِيهِ لَمْ يجزه لطرؤ الْحَدَثِ عَلَيْهِ بِارْتِفَاعِ الْجَنَابَةِ عَنْهُ وَالتَّرْتِيبُ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ فِيمَا غَسَلَهُ بَعْدَ حَدَثِهِ لِبَقَاءِ الْجَنَابَةِ وَامْتِنَاعِ لُحُوقِ الْحَدَثِ بِهِ، وَلَكِنْ لَوْ غَسَلَ رَأْسَهُ بَدَلًا مِنْ مَسْحِهِ صَارَ مُغْتَسِلًا بَدَلًا مِنْ وُضُوءٍ أَلْحَقَهُ حُكْمُ الْحَدَثِ، فَهَلْ يَسْقُطُ عَنْهُ حُكْمُ التَّرْتِيبِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ.
PASAL
Adapun far‘ yang ketiga: Contohnya pada seorang musafir yang junub, lalu ia mendapatkan air yang cukup untuk membasuh wajahnya, kedua lengannya, dan kepalanya saja, tidak lebih. Maka ia bertayammum untuk sisa badannya. Kemudian ia berhadats dan mendapatkan air. Jika ia berwudhu dan mandi, maka itu lebih utama. Dan jika ia mencukupkan dengan mandi menggunakan air tersebut, lalu memulai dengan membasuh kedua kakinya, kemudian wajahnya, kedua lengannya, dan kepalanya dengan mengusap kepala, bukan membasuhnya, maka hal itu mencukupi. Sebab kedua kaki termasuk dalam hadats janabah, sehingga tidak terkena hukum hadats kecil, maka boleh mendahulukan membasuhnya. Dan hilanglah hadats janabah dari wajah, kedua lengan, dan kepala, maka terkenalah hukum hadats kecil sehingga wajib padanya tertib dan mengusap kepala tanpa membasuhnya. Namun jika ia memulai dengan kedua lengannya sebelum wajahnya, maka tidak mencukupi, karena hadats janabah telah hilang dan terkena hadats kecil yang mewajibkan tertib.
Kesimpulannya, tertib wajib pada anggota yang telah dibasuh sebelum hadatsnya. Jika ia menyalahi tertib pada bagian itu, maka tidak mencukupi, sebab hadats telah terjadi padanya dengan hilangnya janabah. Adapun tertib tidak wajib pada anggota yang dibasuh setelah hadatsnya, karena masih ada janabah sehingga hadats kecil tidak bisa mengenainya. Namun, jika ia membasuh kepalanya sebagai ganti dari mengusapnya, maka ia menjadi mandi sebagai pengganti wudhu, dan terkenalah hukum hadats padanya. Maka apakah gugur kewajiban tertib atau tidak? Hal itu kembali pada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.
(فَصْلٌ)
: وَالْفَرْعُ الرَّابِعُ: صُورَتُهُ فِي جُنُبٍ وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ فِي سَفَرِهِ مَا يَكْفِيهِ إِلَّا مَوْضِعًا يَسِيرًا مِنْ بَدَنِهِ فَاغْتَسَلَ بِهِ إِلَّا كَقَدْرِ الدِّرْهَمِ مِنْ طُهْرِهِ، فَتَيَمَّمَ لَهُ وَصَلَّى فَرْضًا كَانَ أَوْ نَفْلًا، ثُمَّ أَحْدَثَ وَوَجَدَ من الماء ما يكفيه ما تَرَكَهُ مِنْ بَدَنِهِ لَزِمَهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي تَرَكَهُ مِنْ طُهْرِهِ فِي جَنَابَتِهِ وَلَا يَسْتَعْمِلُهُ فِي أَعْضَاءِ حَدَثِهِ؛ لِأَنَّهُ يَكْفِيهِ لِمَا بَقِيَ مِنْ جَنَابَتِهِ وَلَا يَكْفِيهِ لِحَدَثِهِ فَإِذَا اسْتَعْمَلَهُ فِيمَا بَقِيَ مِنْ طُهْرِهِ فَقَدْ أَكْمَلَ غُسْلَ جَنَابَتِهِ وَصَارَ مُحْدِثًا عَادِمًا لِلْمَاءِ فَيَتَيَمَّمُ وَيُصَلِّي مَا أَرَادَ مِنْ فَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ. فَإِنْ تَيَمَّمَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَعْمِلَ هَذَا الْقَدْرَ مِنَ الْمَاءِ فِيمَا بَقِيَ عَلَى طُهْرِهِ فِي الْجَنَابَةِ جَازَ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ لِلْحَدَثِ الطَّارِئِ وَاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ لِلْجَنَابَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَيَجُوزُ تَقْدِيمُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، فَلَوْ أَرَاقَ هَذَا الْقَدْرَ مِنَ الْمَاءِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِذَلِكَ التَّيَمُّمِ الَّذِي قَدَّمَهُ حَتَّى يُحْدِثَ تَيَمُّمًا ثَانِيًا بَعْدَ إِرَاقَةِ الْمَاءِ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ الْأَوَّلَ كَانَ مرة، وفرض ما بقي من الجناية اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِيهِ فَلَمَّا أَرَاقَهُ انْتَقَلَ فَرْضُهُ عَنِ الْمَاءِ إِلَى التَّيَمُّمِ، فَلَزِمَهُ فِعْلُهُ بَعْدَ فرضه.
PASAL
Adapun far‘ yang keempat: Contohnya pada orang junub yang di dalam safarnya mendapatkan air yang hanya cukup untuk membasuh sedikit saja dari tubuhnya, lalu ia mandi dengan air itu hingga tersisa dari tubuhnya yang belum terkena air seukuran dirham dari bagian yang wajib disucikan dari janabah. Maka ia bertayammum untuk bagian yang tersisa itu dan shalat, baik fardhu maupun sunnah.
Kemudian ia berhadats dan mendapatkan air yang cukup untuk membasuh bagian tubuh yang ia tinggalkan tadi, maka wajib baginya menggunakan air itu pada bagian tubuh yang belum ia sucikan dari janabah, dan tidak boleh ia gunakan pada anggota wudhunya yang terkena hadats kecil. Sebab air itu hanya cukup untuk menyempurnakan mandi janabahnya, tidak cukup untuk hadats kecilnya.
Apabila ia telah menggunakannya pada bagian tubuh yang tersisa tadi, maka sempurnalah mandi janabahnya, dan ia menjadi berhadats kecil serta tidak memiliki air, sehingga ia bertayammum dan shalat apa saja yang ia kehendaki, baik fardhu maupun sunnah.
Jika ia bertayammum sebelum menggunakan sisa air tersebut pada bagian tubuh yang belum terkena air dalam mandi janabah, maka hal itu boleh. Sebab tayammum itu untuk hadats kecil yang baru terjadi, sedangkan penggunaan air untuk janabah yang telah ada sebelumnya, dan boleh mendahulukan salah satunya dari yang lain.
Namun, jika ia menumpahkan air yang ada, maka ia tidak boleh shalat dengan tayammum yang pertama, hingga ia melakukan tayammum lagi setelah menumpahkan air itu. Sebab tayammum pertama dilakukan dalam keadaan ia masih memiliki kewajiban menggunakan air untuk menyempurnakan mandi janabahnya. Ketika ia menumpahkan air itu, kewajibannya berpindah dari air ke tayammum, maka ia wajib melakukannya setelah kewajiban itu berpindah.
(فصل)
: الفرع الخامس: صورته في جُنُبٌ عَدِمَ الْمَاءَ فِي سَفَرِهِ، فَتَيَمَّمَ لِصَلَاةِ الظُّهْرِ وَصَلَّى، ثُمَّ أَحْدَثَ قَبْلَ أَنْ يَنْتَقِلَ وَوَجَدَ مِنَ الْمَاءِ مَا يَكْفِيهِ لِأَعْضَاءِ حَدَثِهِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْجُنُبَ إِذَا وَجَدَ بَعْضَ مَا يَكْفِيهِ لِغُسْلِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِعْمَالُهُ، فَطُهْرُهُ مِنْ جَنَابَتِهِ تَامٌّ لِلنَّوَافِلِ بِالتَّيَمُّمِ الْمُتَقَدِّمِ، وَقَدْ أَحْدَثَ بَعْدَهُ وَهُوَ وَاجِدٌ لِمَاءِ حَدَثِهِ فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ هَذَا الْمَاءَ فِي أَعْضَاءِ وُضُوئِهِ وَقَدِ ارْتَفَعَ حَدَثُهُ فَيُصَلِّي مَا شَاءَ مِنَ النَّوَافِلِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْجُنُبَ يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُ مَا وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ فِيمَا شَاءَ مِنْ بَدَنِهِ وَتَيَمَّمَ لِمَا بَقِيَ مِنْهُ، وَيَكُونُ حُكْمُ الْحَدَثِ الطَّارِئِ سَاقِطًا لِعَوْدِ الْجَنَابَةِ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ ثُمَّ يَنْتَقِلُ بَعْدَ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ وَالتَّيَمُّمِ بِمَا شَاءَ مِنَ النَّوَافِلِ، فَأَمَّا إِذَا أَرَادُوا الْمَسْأَلَةَ عَلَى حَالِهَا أَنْ يُصَلِّيَ فَرِيضَةً ثَانِيَةً بَعْدَ الظُّهْرِ فَحَدَثُ جَنَابَتِهِ باقٍ، لِأَنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنْ تَيَمُّمِهِ كَانَ طُهْرًا لِصَلَاةِ الظُّهْرِ وَمَا يَتْبَعُهَا مِنَ النَّوَافِلِ وَلَا يَكُونُ لِفَرِيضَةٍ ثَانِيَةٍ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِحَدَثِهِ تَأْثِيرٌ لطرؤه عَلَى جَنَابَةٍ بَاقِيَةِ الْحُكْمِ، وَيَصِيرُ جُنُبًا وَجَدَ بَعْضَ مَا يَكْفِيهِ مِنَ الْمَاءِ، فَإِنْ قِيلَ لَا يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُهُ تَيَمَّمَ وَصَلَّى الْفَرِيضَةَ، وَمَا شَاءَ مِنَ النَّوَافِلِ بِهِ.
PASAL
Adapun far‘ yang kelima: Contohnya pada orang junub yang tidak mendapatkan air dalam safarnya, lalu ia bertayammum untuk shalat zuhur dan melaksanakannya. Kemudian ia berhadats sebelum beranjak dari tempatnya, dan ia mendapatkan air yang cukup untuk anggota wudhunya.
Jika dikatakan bahwa orang junub apabila mendapatkan sebagian air yang cukup untuk mandinya tidak wajib menggunakannya, maka kesuciannya dari janabah telah sempurna untuk shalat-shalat sunnah dengan tayammum sebelumnya. Karena ia telah berhadats setelah itu dalam keadaan memiliki air untuk hadats kecilnya, maka berdasarkan pendapat ini, ia wajib menggunakan air tersebut pada anggota wudhunya, sehingga hadats kecilnya hilang, lalu ia boleh shalat sunnah apa saja yang ia kehendaki.
Dan jika dikatakan bahwa orang junub wajib menggunakan air yang ia temukan pada bagian tubuhnya yang ia kehendaki, kemudian bertayammum untuk bagian sisanya, maka hukum hadats kecil yang baru itu gugur, karena janabah kembali berlaku dengan ditemukannya air. Setelah itu, ia menggunakan air dan tayammum, lalu ia boleh shalat sunnah apa saja yang ia kehendaki.
Adapun jika permasalahan ini dimaksudkan pada keadaannya untuk melaksanakan shalat fardhu kedua setelah zuhur, maka hadats janabahnya tetap ada. Sebab tayammum yang dilakukan sebelumnya hanya menjadi kesucian untuk shalat zuhur dan sunnah yang mengikutinya, tidak untuk fardhu kedua. Berdasarkan hal ini, hadats kecil yang baru berpengaruh karena terjadi di atas janabah yang masih berlaku hukumnya, sehingga ia menjadi orang junub yang menemukan sebagian air yang cukup untuknya.
Maka jika dikatakan tidak wajib baginya menggunakan air itu, ia cukup bertayammum dan melaksanakan shalat fardhu tersebut serta shalat sunnah apa saja yang ia kehendaki dengan tayammum itu.
وَإِنْ قِيلَ: يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُهُ فِيمَا شَاءَ مِنْ بَدَنِهِ وَتَيَمَّمَ بَعْدَهُ لِمَا بَقِيَ مِنْهُ وَصَلَّى الْفَرِيضَةَ وَمَا شَاءَ مِنَ النَّوَافِلِ فَصَارَ تَحْرِيرُ مَا ذَكَرْنَا شَرْحَهُ أَنَّهُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ الظُّهْرِ نَفْلًا لَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ، وَهَلْ يَلْزَمُهُ التَّيَمُّمُ؟ وهل يلزمه استعمال الماء؟ عَلَى قَوْلَيْنِ فَاعْتَبِرْ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الشَّرْحِ تَجِدْهُ صَرِيحًا وَعَلَى الْأُصُولِ مُطَّرِدًا “.
Dan jika dikatakan: Wajib baginya menggunakan air pada bagian tubuh yang ia kehendaki, lalu bertayammum setelahnya untuk bagian yang tersisa, kemudian ia shalat fardhu dan shalat sunnah apa saja yang ia kehendaki, maka perincian dari apa yang telah kami sebutkan penjelasannya adalah: Apabila ia ingin shalat sunnah setelah zuhur, maka wajib baginya menggunakan air.
Adapun apakah wajib baginya bertayammum dan apakah wajib baginya menggunakan air? Maka terdapat dua pendapat. Perhatikan penjelasan yang telah lalu, niscaya engkau akan mendapati penjelasan itu secara jelas dan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وكذلك غسل المرأة إلا أنها تحتاج في غَمْرِ ضَفَائِرِهَا حَتَّى يَبْلُغَ الْمَاءُ أُصُولَ الشَّعْرِ إلى أكثر مما يحتاج إليه الرجل. وروي أن أم سلمة سألت النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقالت: إني امرأةٌ أشد ضفر رَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِلْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: ” لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَيْهِ ثَلَاثَ حثياتٍ من ماءٍ ثم تفيضي عليك الماء (قال) وأحب أن يغلغل الماء في أصول الشعر وكما وصل الماء إلى شعرها وبشرها أجزأها “.
MASALAH
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Demikian pula mandi bagi perempuan, hanya saja ia memerlukan untuk merendam dhofoir-nya (kepangan rambutnya) hingga air mencapai akar rambut lebih banyak daripada yang diperlukan oleh laki-laki.
Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah pernah bertanya kepada Nabi SAW: ‘Sesungguhnya aku adalah seorang perempuan yang kuat mengikat rambut kepalaku, apakah aku harus membukanya untuk mandi janabah?’ Beliau menjawab: ‘Tidak, sesungguhnya cukup bagimu menuangkan tiga kali cidukan air di atasnya, kemudian engkau mengguyurkan air ke seluruh tubuhmu.’”
(Beliau berkata): “Aku lebih menyukai air disampaikan hingga meresap ke akar rambut, dan selama air telah sampai ke rambut dan kulitnya, maka itu sudah mencukupi.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: غُسْلُ الْمَرْأَةِ مِنْ جَنَابَتِهَا كَغُسْلِ الرَّجُلِ سَوَاءٌ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَرْضٌ وَسُنَّةٌ إِلَّا أَنَّهَا تَزِيدُ فِي تَفَقُّدِ بَدَنِهَا وَتَعَاهُدِ جَسَدِهَا لِمَا تَخْتَصُّ بِهِ غَالِبًا مِنَ الْعُكَنِ وَالْمَغَابِنِ الَّتِي يَعْدِلُ الْمَاءُ عَنْهَا فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَعَلَيْهَا إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى فَرْجِهَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِزَوَالِ الْبَكَارَةِ فِي حُكْمِ الْبَشَرَةِ الظَّاهِرَةِ، وَقَدْ شَبَّهَهُ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَا بَيْنَ الْأَصَابِعِ، وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَلَيْسَ عَلَيْهَا إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى فَرْجِهَا؛ لِأَنَّهُ بَشَرَةٌ ظَاهِرَةٌ، وَعَلَيْهَا إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى تَكَاسِيرِ عُكَنِهَا وَغُضُونِ وَجْهِهَا وَدَاخِلِ سُرَّتِهَا، وَكَذَا الرَّجُلُ إِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَمَّا شَعَرُ رَأْسِهَا، فَإِنْ كَانَ مَحْلُولًا أَوَصَلَتِ الْمَاءَ إِلَى جَمِيعِهِ مِنْ أُصُولِ مَنَابِتِهِ إِلَى مَا اسْتَرْسَلَ عنه لا يجزأه الِاقْتِصَارُ عَلَى أُصُولٍ ثَابِتَةٍ دُونَ الْمُسْتَرْسِلِ وَلَا عَلَى الْمُسْتَرْسِلِ دُونَ أُصُولِ الْمَنَابِتِ حَتَّى يَجْمَعَ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” بُلُّوا الشَعْرَ وَأَنْقُوا الْبَشَرَةَ ” وَإِنْ كَانَ شَعْرُهَا مضفوراً لمة أو عقصة فَإِنْ كَانَ فِيهِ طِيبٌ يَمْنَعُ مِنْ وُصُولِ الْمَاءِ إِلَيْهِ فَلَيْسَ عَلَيْهَا حَلٌّ بَلْ تُغَلْغِلُ الْمَاءَ فِي أُصُولِهِ حَتَّى يَصِلَ الْمَاءُ إِلَى مَنَابِتِهِ وَتَفِيضُ عَلَيْهِ حَتَّى يَصِلَ إِلَى مُسْتَرْسِلِهِ.
Al-Māwardī berkata: Demikianlah sebagaimana yang beliau (al-Syafi‘i) katakan, bahwa mandi perempuan dari janabahnya sama seperti mandi laki-laki, baik yang fardhu maupun yang sunnah, sebagaimana telah kami sebutkan, kecuali bahwa ia menambah dalam memeriksa dan merawat tubuhnya, karena umumnya perempuan memiliki lipatan kulit dan bagian-bagian tersembunyi yang air bisa melewatinya tanpa membasahi.
Jika ia seorang tsayyib, maka wajib baginya menyampaikan air ke farjinya, karena dengan hilangnya keperawanan ia menjadi dalam hukum kulit luar. Al-Syafi‘i RA menyerupakan hal ini dengan sela-sela jari. Jika ia seorang perawan, maka tidak wajib baginya menyampaikan air ke farjinya karena ia dianggap kulit batin, tetapi wajib baginya menyampaikan air ke lipatan-lipatan kulitnya, kerutan wajahnya, dan bagian dalam pusarnya. Begitu pula laki-laki apabila memiliki kondisi seperti itu.
Adapun rambut kepalanya, jika terurai maka wajib menyampaikan air ke seluruhnya, mulai dari pangkal tumbuhnya hingga rambut yang terurai, dan tidak mencukupi jika hanya membasahi pangkalnya tanpa yang terurai, atau yang terurai tanpa pangkalnya, hingga ia menggabungkan keduanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW: “Basahilah rambut dan bersihkan kulit.”
Jika rambutnya dikepang panjang atau diikat ‘uqshah, lalu terdapat minyak wangi atau sesuatu yang mencegah sampainya air, maka tidak wajib ia membukanya, tetapi cukup menyampaikan air hingga meresap ke pangkalnya, lalu mengguyur air hingga sampai pada rambut yang terurai.
وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَافِعٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: ” سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امرأةٌ أَشُدُّ ضفر رأسي أفأنقضه لغسل الجنابة؟ “، فقال: ” ألا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَيْهِ ثَلَاثَ حثياتٍ مِنْ ماءٍ، ثُمَّ تُفِيضِي عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِي “. أَوْ قَالَ: ” فَإِذَا أَنْتِ قَدْ طَهُرْتِ فَإِذَا اسْتَظْهَرَتْ لِنَفْسِهَا فِي حَلِّهِ كَانَ أَوْلَى وَأَحَقَّ قَدْ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَأْمُرُ النِّسَاءَ بِنَقْضِ شُعُورِهِنَّ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ فَبَلَغَ ذَلِكَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ: ” هَلَّا أَمَرَهُنَّ بِحَلْقِهِ ” فَأَنْكَرَتْ عَائِشَةُ وُجُوبَ حَلِّهِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ ابْنُ عُمَرَ أَمَرَ بِذَلِكَ احْتِيَاطًا لَا وَاجِبًا وَهَكَذَا الرَّجُلُ إِذَا كَانَ ذَا جُمَّةٍ.
Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Rāfi‘, dari Ummu Salamah, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang perempuan yang kuat mengikat rambut kepalaku, apakah aku harus membukanya untuk mandi janabah?’ Beliau menjawab: ‘Ketahuilah, sesungguhnya cukup bagimu menuangkan tiga kali cidukan air di atasnya, kemudian engkau mengguyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka engkau pun menjadi suci.’ Atau beliau bersabda: ‘Maka jika engkau telah suci.’
Namun, apabila ia melonggarkan ikatannya untuk dirinya sendiri, itu lebih utama dan lebih pantas. Dahulu Ibnu ‘Umar memerintahkan para perempuan untuk membuka ikatan rambut mereka ketika mandi janabah. Maka sampailah berita itu kepada ‘Āisyah RA, lalu ia berkata: “Mengapa tidak sekalian ia perintahkan mereka untuk mencukurnya?” Dengan ucapan ini, ‘Āisyah mengingkari kewajiban membuka ikatan rambut.
Kemungkinan Ibnu ‘Umar memerintahkan hal itu hanya sebagai langkah kehati-hatian, bukan kewajiban. Demikian pula halnya bagi seorang laki-laki jika ia memiliki jummāh (rambut panjang).
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ وُجُوبِ إِيصَالِ الْمَاءِ فِي الْجَنَابَةِ إِلَى جَمِيعِ الشَّعَرِ فَتَرَكَ الْجُنُبُ شَعَرَةً لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ لَمِ يُجْزِهِ وَحُكِيَ عن أبي حنيفة يجزئه غسله وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” تَحْتَ كُلِّ شعرةٍ جنابةٍ ” وَرَوَى عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ زَاذَانَ عَنْ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شعرةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهَا فُعِلَ بِهَا كَذَا وَكَذَا مِنَ النَّارِ “. قَالَ عَلِيٌّ فَمِنْ ثَمَّ عَادَيْتُ رَأْسِي وَكَانَ يَجُزُّ شَعْرَهُ فَلَوْ نَتَفَ الشَّعْرَ الَّتِي لم يغسلها فَإِنْ كَانَ قَدْ وَصَلَ الْمَاءُ إِلَى أَصْلِهَا أَجْزَأَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ وَصَلَ الْمَاءُ إِلَى أَصْلِهَا لَزِمَهُ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَيْهِ وَهَكَذَا لَوْ أَوْصَلَ الْمَاءَ إِلَى أُصُولِ شَعَرِهِ دُونَ مَا اسْتَرْسَلَ مِنْهُ ثُمَّ جَزَّهُ أَوْ حَلَقَهُ أَجْزَأَهُ وَلَوْ صَلَّى قَبْلَ جَزِّهِ أَوْ حَلْقِهِ أَعَادَ لِبَقَاءِ الْجَنَابَةِ فِي الْمُسْتَرْسِلِ.
PASAL
Apabila telah tetap sebagaimana yang kami sebutkan tentang wajibnya menyampaikan air ketika mandi janabah ke seluruh rambut, maka jika orang junub meninggalkan satu helai rambut yang tidak terkena air, maka mandinya tidak sah. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa hal itu tetap sah, namun pendapat ini keliru, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Di bawah setiap helai rambut ada janabah.”
Diriwayatkan oleh ‘Aṭā’ bin as-Sā’ib dari Zādzān, dari ‘Ali karramallāhu wajhah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang meninggalkan satu bagian seukuran sehelai rambut dari janabah lalu tidak membasuhnya, maka akan diperlakukan terhadapnya dengan begini dan begini dari api (neraka).” ‘Ali berkata: “Karena itu aku memusuhi kepalaku,” dan beliau biasa memendekkan rambutnya.
Jika ia mencabut rambut yang tidak ia basuh itu, maka bila air telah sampai ke pangkalnya, mandinya sah. Namun bila air belum sampai ke pangkalnya, maka ia wajib menyampaikan air ke pangkal tersebut. Demikian pula jika ia telah menyampaikan air ke pangkal rambutnya tetapi tidak pada bagian yang terurai, kemudian ia memendekkan atau mencukurnya, maka mandinya sah. Tetapi jika ia shalat sebelum memendekkan atau mencukurnya, maka ia wajib mengulang shalatnya karena janabah masih ada pada bagian rambut yang terurai tersebut.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَذَلِكَ غُسْلُهَا مِنَ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ وَلَمَّا أَمَرَهَا رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بالغسل من الحيض قال: ” خذي فرصةً – والفرصة القطعة مِنْ مِسْكٍ – فَتَطَهَّرِي بِهَا ” فَقَالَتْ عَائِشَةُ تَتَبَّعِي بِهَا أَثَرَ الدَّمِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) فَإِنْ لَمْ تجد فطيباً فإن لم تفعل فالماء كافٍ “.
MASALAH
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Demikian pula mandinya perempuan dari haid dan nifas. Ketika Rasulullah SAW memerintahkan seorang perempuan untuk mandi dari haid, beliau bersabda: ‘Ambillah furṣah — yaitu sepotong kain yang diberi minyak wangi misk — lalu bersucilah dengannya.’ Maka ‘Aisyah berkata: ‘Gunakanlah untuk mengikuti bekas darah.’”
(Imam al-Syafi‘i berkata): “Jika tidak mendapatkan ṭīb (wewangian), maka gunakan wewangian yang ada. Jika tidak melakukannya, maka air sudah mencukupi.”
قال المارودي: وَهَذَا كَمَا قَالَ: غُسْلُ الْمَرْأَةِ مِنْ حَيْضِهَا ونفاسها كغسلها من جنابتها فيما تؤمن بِهِ مِنْ فَرْضٍ وَسُنَّةٍ وَتُؤْمَرُ زِيَادَةً عَلَى غُسْلِ الْجَنَابَةِ بِاسْتِعْمَالِ شَيْءٍ مِنَ الْمِسْكِ فِي فَرْجِهَا لِرِوَايَةِ الشَّافِعِيِّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: ” جَاءَتِ امرأةٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَسْأَلُهُ عَنِ الْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ فَقَالَ: ” خُذِي فِرْصَةً مِنْ مسكٍ فَتَطَهَّرِي بِهَا، فَقَالَتْ: كَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا، فَقَالَ: تَطَهَّرِي بِهَا، فَقَالَتْ: كَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” سُبْحَانَ اللَّهِ وَاسْتَتَرَ بِثَوْبِهِ تَطَهَّرِي بِهَا، قَالَتْ فَاجْتَذَبْتُهَا وَعَرَفْتُ الَّذِي أَرَادَ فَقُلْتُ لَهَا تَتَبَّعِي بِهَا أَثَرَ الدَّمِ ” يَعْنِي الْفَرْجَ.
وَالْفِرْصَةُ قَالَ أَبُو عَمْرٍو: وَهِيَ مِنَ الْمِسْكِ الْمَعْجُونِ بِالْمِسْكِ يكون عِنْدَ نِسَاءِ الْمَدِينَةِ إِذَا كَانَ فِيهَا مِسْكٌ سُمِّيَتْ فِرْصَةً بِالْفَاءِ مَكْسُورَةٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا مِسْكٌ سُمِّيَتْ سَكْتَكَةَ.
Al-Māwardī berkata: Demikianlah sebagaimana yang beliau (al-Syafi‘i) katakan, bahwa mandi perempuan dari haid dan nifasnya sama seperti mandinya dari janabah, baik dalam perkara yang wajib maupun yang sunnah. Hanya saja, ia diperintahkan — sebagai tambahan dari mandi janabah — untuk menggunakan sesuatu dari minyak wangi misk pada farjinya.
Hal ini berdasarkan riwayat al-Syafi‘i dari Sufyān, dari Manṣūr bin ‘Abd al-Raḥmān, dari Ṣafiyyah binti Shaybah, dari ‘Āisyah, ia berkata: “Ada seorang perempuan datang kepada Nabi SAW bertanya tentang mandi dari haid. Beliau bersabda: ‘Ambillah furṣah dari misk, lalu bersucilah dengannya.’ Perempuan itu berkata: ‘Bagaimana aku bersuci dengannya?’ Beliau bersabda: ‘Bersucilah dengannya.’ Ia bertanya lagi: ‘Bagaimana aku bersuci dengannya?’ Maka Nabi SAW bersabda: ‘Subḥānallāh,’ lalu beliau menutupi wajahnya dengan kain sambil berkata: ‘Bersucilah dengannya.’
‘Āisyah berkata: Maka aku menarik perempuan itu dan aku mengetahui apa yang beliau maksud, lalu aku berkata kepadanya: ‘Gunakanlah untuk mengikuti bekas darah,’ yaitu pada farji.”
Adapun furṣah, Abu ‘Amr berkata: Ia adalah kain yang dicampur dengan misk dan biasa dimiliki oleh para perempuan Madinah. Jika mengandung misk maka disebut furṣah (dengan fa berharakat kasrah), dan jika tidak mengandung misk maka disebut saktakah.
وَقَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: وَإِنَّمَا هِيَ قُرْضَةٌ مِنْ مِسْكٍ بِالْقَافِ مَضْمُومَةٍ وَفَتْحِ الضَّادِ أَيْ قِطْعَةٌ مِنْ جِلْدٍ لِتَتَّقِيَ آثَارَ الدَّمِ، وَالرِّوَايَةُ الْمَشْهُورَةُ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْمِسْكِ الَّذِي هُوَ الطِّيبُ فَإِنْ كَانَ رِوَايَةُ أَبِي عُبَيْدٍ مَحْفُوظَةً لَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ فَيَكُونُ الْجِلْدُ لِتَتَبُّعِ الدَّمِ وَإِنْقَاءِ آثَارِهِ، وَأَمَّا الْمِسْكُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْمَقْصُودِ بِاسْتِعْمَالِهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمُ: الْمَقْصُودُ بِهِ أَنْ تزول رائحة الدم فيكون اسْتِمْتَاعُ الزَّوْجِ بِإِثَارَةِ الشَّهْوَةِ وَكَمَالِ اللَّذَّةِ، وَقَالَ آخَرُونَ لِأَنَّهُ يُسْرِعُ إِلَى عُلُوقِ الْوَلَدِ فَإِنْ أَعْوَزَهَا الْمِسْكُ فَمَنْ قَالَ الْمَقْصُودُ بِهِ كَمَالُ الِاسْتِمْتَاعِ بِطِيبِ الرَّائِحَةِ، قَالَ: تَسْتَعْمِلُ عِنْدَ إِعْوَازِهِ مَا كَانَ خَلَفًا مِنْهُ فِي طِيبِ الرَّائِحَةِ، وَمَنْ قَالَ الْمَقْصُودُ بِهِ إِسْرَاعُ الْعُلُوقِ قَالَ تَسْتَعْمِلُ عِنْدَ إِعْوَازِهِ مَا قَامَ مَقَامَهُ فِي إِسْرَاعِ الْعُلُوقِ مِنَ الْقِسْطِ وَالْأَظْفَارِ، ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي وَقْتِ اسْتِعْمَالِهِ، هَلْ هُوَ قَبْلَ الْغُسْلِ أَوْ بَعْدَهُ؟ فَمَنْ قَالَ: الْمَقْصُودُ بِهِ كَمَالُ الِاسْتِمْتَاعِ نَدَبَ إِلَى اسْتِعْمَالِهِ بَعْدَ الْغُسْلِ وَمَنْ قَالَ الْمَقْصُودُ بِهِ إِسْرَاعُ الْعُلُوقِ أَمَرَ بِاسْتِعْمَالِهِ قَبْلَ الْغُسْلِ، فَإِنْتَرَكَتِ اسْتِعْمَالَ الْمِسْكِ وَمَا قَامَ مَقَامَهُ، قَالَ الشَّافِعِيُّ فَالْمَاءُ كافٍ، لِأَنَّ رَفْعَ الْحَدَثِ مَقْصُودٌ على الماء دون غيره.
Abu ‘Ubaid berkata: Yang dimaksud furṣah itu adalah qurḍah dari misk — dengan qaf ḍammah dan ḍad fathah — yaitu sepotong kulit untuk membersihkan bekas darah. Adapun riwayat yang masyhur adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, yaitu misk yang merupakan wewangian. Jika riwayat Abu ‘Ubaid itu memang terjaga, tidak menutup kemungkinan untuk menggabungkan keduanya: kulit digunakan untuk mengikuti bekas darah dan membersihkannya, sedangkan misk dipakai sebagaimana tujuannya.
Tentang tujuan penggunaan misk, para ulama kami berbeda pendapat. Sebagian mengatakan: tujuannya agar hilang bau darah, sehingga suami dapat menikmati istri dengan timbulnya syahwat dan sempurnanya kenikmatan. Sebagian lain mengatakan: karena misk mempercepat terjadinya pembuahan.
Jika misk tidak ada, maka menurut yang mengatakan tujuannya adalah kesempurnaan kenikmatan dengan harum baunya, perempuan dapat menggantinya dengan bahan lain yang harum. Sedangkan menurut yang mengatakan tujuannya mempercepat pembuahan, maka ia dapat menggantinya dengan bahan yang berfungsi sama, seperti qusṭ dan aẓfār.
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang waktu penggunaannya: apakah sebelum mandi atau setelahnya. Menurut yang mengatakan tujuannya adalah kesempurnaan kenikmatan, disunnahkan memakainya setelah mandi. Menurut yang mengatakan tujuannya mempercepat pembuahan, diperintahkan memakainya sebelum mandi.
Jika ia meninggalkan penggunaan misk atau penggantinya, Imam al-Syafi‘i berkata: Maka air saja sudah mencukupi, karena menghilangkan hadats itu tujuannya dengan air, bukan dengan selainnya.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا بَدَأَ بِهِ الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ فِي الْغُسْلِ أَجْزَأَهُمَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَيْسَ فِي غُسْلِ الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ تَرْتِيبٌ مُسْتَحَقٌّ، وَإِنَّمَا هُوَ فِي الِاخْتِيَارِ مَنْدُوبٌ فِيهِ إِلَى مَا ذَكَرْنَا، فَكَيْفَ مَا اغْتَسَلَ حَتَّى وَصَلَ الْمَاءُ إِلَى جَمِيعِ الشَّعَرِ وَالْبَشَرَةِ أَجْزَأَهُ وَلَا وَجْهَ لِمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ مِنْ وُجُوبِ الْبِدَايَةِ بِأَعْلَى الْجَسَدِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَبِي ذَرٍّ: ” فَإِذَا وَجَدْتَ الْمَاءَ فَأَمْسِسْهُ جِلْدَكَ “.
MASALAH
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apa saja yang dimulai oleh laki-laki dan perempuan dalam mandi (janabah atau haid), maka itu mencukupi keduanya.”
Al-Māwardī berkata: Perkataan ini benar. Dalam mandi janabah maupun haid tidak ada tertib yang wajib, melainkan hanya dianjurkan secara pilihan sebagaimana yang telah kami sebutkan. Maka bagaimanapun cara ia mandi, selama air sampai ke seluruh rambut dan kulit, sudah mencukupi.
Tidak ada dasar bagi pendapat Ishāq bin Rāhawayh yang mewajibkan memulai dari bagian atas tubuh, dengan alasan sabda Nabi SAW kepada Abu Żar: “Apabila engkau mendapatkan air, maka sapukanlah ke kulitmu.”
(مسألة)
: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَإِنْ أَدْخَلَ الْجُنُبُ أَوِ الْحَائِضُ أَيْدِيَهُمَا فِي الِإِنَاءِ وَلَا نَجَاسَةَ فِيهِمَا لَمْ يَضُرُّهُ “.
MASALAH
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika orang junub atau perempuan haid memasukkan tangan mereka ke dalam bejana, dan pada tangan itu tidak ada najis, maka hal itu tidaklah membahayakan (tidak mempengaruhi kesucian air).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: بَدَنُ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ طَاهِرٌ فَإِنْ أَدْخَلَ أَحَدُهُمَا يَدَهُ وَشَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ فِي الْمَاءِ قَبْلَ الْغُسْلِ لَمْ يَضُرَّهُ، وَالْمَاءُ طَاهِرٌ، وَحُكِيَ عَنْ أبي حنيفة أَنَّ الْجُنُبَ إِذَا أَدْخَلَ رِجْلَهُ فِي مَاءٍ قَلِيلٍ نُجِّسَ، وَكَذَا لَوْ أَدْخَلَهَا فِي مَاءٍ ثانٍ، وَإِنْ أَدْخَلَهَا فِي ثَالِثٍ لَمْ يُنَجَّسْ، وَلَوْ أَدْخَلَ يَدَهُ لَمْ يُنَجِّسِ الْمَاءَ وَفَرَّقَ بَيْنَ يَدِهِ وَبَيْنَ غَيْرِهَا مِنْ جَسَدِهِ بِأَنَّهُ مُفْتَقِرٌ إِلَى إِدْخَالِ يَدِهِ فِي الْمَاءِ لِاسْتِعْمَالِهِ وَغَيْرُ مُفْتَقِرٍ إِلَى إِدْخَالِ مَا سِوَاهَا مِنْ جَسَدِهِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِرِوَايَةِ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُعْتَكِفًا فِي الْمَسْجِدِ فَأَخْرَجَ إليَّ رَأْسَهُ فَغَسَلْتُهُ وَأَنَا حائضٌ “.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana beliau berkata: badan junub dan ḥāiḍ itu suci. Maka jika salah satunya memasukkan tangannya atau sebagian dari badannya ke dalam air sebelum mandi, tidaklah membahayakan, dan air itu tetap suci. Diriwayatkan dari Abū Ḥanīfah bahwa junub apabila memasukkan kakinya ke dalam air sedikit, maka air itu menjadi najis, demikian pula jika ia memasukkannya ke dalam air yang kedua. Namun jika ia memasukkannya ke dalam air yang ketiga, maka tidak menjadi najis. Dan jika ia memasukkan tangannya, maka air tidak menjadi najis. Ia membedakan antara tangan dan selainnya dari anggota badan bahwa tangan itu dibutuhkan untuk dimasukkan ke air demi memakainya, sedangkan selainnya tidak dibutuhkan untuk dimasukkan. Ini adalah keliru; karena riwayat dari Hishām bin ʿUrwah dari ayahnya dari ʿĀisyah berkata: “Rasulullah SAW sedang beriʿtikāf di masjid lalu beliau mengeluarkan kepalanya kepadaku, maka aku membasuhnya sementara aku sedang ḥāiḍ.”
وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ قَالَ: قَالَتْ مَيْمُونَةُ: ” صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي مرطٍ كَانَ بَعْضُهُ عَلَيْهِ وَبَعْضُهُ عَلَيَّ وَأَنَا حائضٌ “.
وَرَوَتْ أُمُّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ يَعْنِي: الْبِسَاطَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْهِ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنِّي حائضٌ فَقَالَ هَاتِيهِ فَلَيْسَتِ الْحَيْضَةُ فِي يَدِكِ، وَلَا الْمُؤْمِنُ يَنْجُسُ “.
Diriwayatkan dari ʿAbdullāh bin Syaddād, ia berkata: Maimūnah berkata: “Rasulullah SAW shalat di atas mirṭ yang sebagian darinya berada pada beliau dan sebagian lagi berada padaku, sementara aku sedang ḥāiḍ.”
Dan diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku: “Berikan kepadaku khumrah—yaitu alas yang dipakai untuk shalat—, maka aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang ḥāiḍ. Beliau bersabda: ‘Berikanlah, karena ḥaiḍ itu tidak ada di tanganmu, dan seorang mukmin tidaklah najis.’”
وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ: لَقِيتُ رَسُولَ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي بَعْضِ أَزِقَّةِ الْمَدِينَةِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ وَمَدَّ يَدَهُ لِيُصَافِحَنِي فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي جنبٌ فَقَالَ: الْمُؤْمِنُ لَا يَجْنُبُ يَعْنِي: أَنَّهُ لَا يَنْجُسُ؛ وَلِأَنَّ غَسْلَ الْبَدَنِ قَدْ يَجِبُ مِنَ الْحَدَثِ كَوُجُوبِهِ مِنَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ لَوْ أَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ مُحْدِثًا لَمْ يَنْجُسْ فَكَذَا الْمَاءُ أَدْخَلَهُ جُنُبًا لَمْ يَنْجُسْ فَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا غَاصَ فِي الْمَاءِ نَاوِيًا وَالْمَاءُ كَثِيرٌ طَهُرَ مِنْ جَنَابَتِهِ، وَمِنْ نَجَاسَتِهِ إِنْ كَانَتْ عَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ وَالْمَاءُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَا لَمْ يَحْصُلْ لِلنَّجَاسَةِ فِيهِ أَثَرٌ، فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ قَلِيلًا وَلَمْ يَكُنْ عَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ طَهُرَ مِنْ جَنَابَتِهِ وَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَعْمَلًا، فَإِنْ كَانَ عَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ لَمْ يَطْهُرْ مِنْ جنابته ولا من نجاسته لأن الماء نجساً بورود النجاسة وصار نجساً، فَلَوِ اغْتَسَلَ هَذَا الْجُنُبُ بَعْدَ نَجَاسَةِ بَدَنِهِ غُسْلًا وَاحِدًا طَهُرَ مِنْ نَجَاسَتِهِ وَهَلْ يَطْهُرُ مِنْ جَنَابَتِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Diriwayatkan dari Abū Hurairah, ia berkata: Aku bertemu Rasulullah SAW di salah satu gang Madinah, lalu beliau memberi salam kepadaku dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, aku sedang junub.” Beliau bersabda: “Seorang mukmin tidak junub,” maksudnya ia tidak najis.
Dan karena mandi badan bisa diwajibkan karena ḥadats sebagaimana diwajibkan karena janabah, kemudian seandainya seseorang memasukkan kedua tangannya ke dalam air dalam keadaan berḥadats, maka air tidak menjadi najis; demikian pula jika ia memasukkannya dalam keadaan junub, air tidak menjadi najis.
Atas dasar ini, jika seorang junub atau ḥāiḍ menyelam ke dalam air dengan niat (bersuci) dan air itu banyak, maka ia suci dari janabah-nya, dan dari najisnya jika ada najis di tubuhnya, dan air itu suci lagi menyucikan selama tidak ada pengaruh najis di dalamnya.
Jika air itu sedikit dan tidak ada najis di tubuhnya, maka ia suci dari janabah-nya dan air menjadi mustaʿmal. Namun jika ada najis di tubuhnya, maka ia tidak suci dari janabah-nya dan tidak pula dari najisnya, karena air menjadi najis sebab terkena najis tersebut dan berubah menjadi najis.
Maka jika orang junub ini mandi sekali untuk menghilangkan najis di tubuhnya, ia suci dari najisnya. Adapun apakah ia suci juga dari janabah-nya atau tidak, maka ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَطْهُرُ مِنَ الْجَنَابَةِ حَتَّى يَغْتَسِلَ غُسْلًا ثَانِيًا، لِأَنَّ مَاءَ الْغُسْلِ الْأَوَّلِ صَارَ بِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ مُسْتَعْمَلًا فِيهَا، وَمَا اسْتُعْمِلَ فِي النَّجَاسَةِ لَمْ يَرْتَفِعْ بِهِ حَدَثُ الْجَنَابَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ طَهُرَ مِنْ جَنَابَتِهِ بِالْغُسْلِ الْأَوَّلِ كَمَا طَهُرَ مِنْ نَجَاسَتِهِ لِمُلَاقَاةِ الْمَاءِ لَهُمَا فِي حَالِهِ وَلَيْسَ ارْتِفَاعُ أَحَدِهِمَا أَوْلَى مِنَ الْآخَرِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ دَافِعًا لَهُمَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Salah satunya: Bahwa ia tidak suci dari janabah sampai ia mandi lagi untuk kedua kalinya, karena air pada mandi yang pertama telah menjadi mustaʿmal dalam menghilangkan najis, dan air yang digunakan untuk menghilangkan najis tidak dapat mengangkat ḥadats janabah.
Pendapat yang kedua: Bahwa ia telah suci dari janabah-nya dengan mandi yang pertama sebagaimana ia suci dari najisnya, karena air telah mengenai keduanya sekaligus dalam satu keadaan, dan tidak ada alasan bahwa salah satunya lebih berhak untuk dihilangkan daripada yang lainnya, sehingga hal itu menuntut bahwa air tersebut menghilangkan keduanya. Dan Allah-lah yang lebih mengetahui yang benar.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أنسٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُتِيَ بوضوءٍ فَوَضَعَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ وَأَمَرَ الناس أن
يتوضؤوا مِنْهُ فَرَأَيْتُ الْمَاءَ يَنْبُعُ مِنْ تَحْتِ أَصَابِعِهِ حتى توضأ الناس من عند آخرهم.
Bab Keutamaan Junub dan Selainnya
Al-Syāfi‘ī ra. berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Mālik bin Anas dari Isḥāq bin ʿAbdillāh bin Abī Ṭalḥah dari Anas bin Mālik, ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW didatangkan air wudhu, lalu beliau meletakkan tangannya ke dalam bejana dan memerintahkan orang-orang untuk berwudhu darinya. Maka aku melihat air memancar dari sela-sela jari-jarinya hingga seluruh orang selesai berwudhu.”
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: كَانَ الرِّجَالُ والنساء يتوضؤون فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في إناءٍ واحدٍ جميعاً وروي عن عائشة أنها قَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من إناءٍ واحدٍ تعني من الجنابة وأنها كانت تغسل رَأْسَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهي حائضٌ. (قال الشافعي) : ولا بأس أن يتوضأ ويغتسل بفضل الجنب والحائض لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إذا اغتسل وعائشة من إناءٍ واحدٍ فقد اغتسل كل واحدٍ منهما بفضل صاحبه (قال) وليست الحيضة في اليد ولا المؤمن بنجسٍ إنما تعبدٍ أن يماس الماء في بعض حالاته وكذلك ما روى ابن عمر أن كل واحدٍ منهما توضأ بفضل صاحبه.
Dari Ibn ʿUmar, bahwa ia berkata: Dahulu para laki-laki dan perempuan berwudhu pada masa Rasulullah SAW dari satu bejana bersama-sama.
Dan diriwayatkan dari ʿĀisyah bahwa ia berkata: Aku mandi bersama Rasulullah SAW dari satu bejana—maksudnya mandi dari janabah—dan bahwa ia pernah membasuh kepala Rasulullah SAW sementara ia sedang ḥāiḍ.
(Al-Syāfi‘ī berkata): Tidak mengapa berwudhu dan mandi dengan sisa air junub dan ḥāiḍ, karena ketika Nabi SAW mandi bersama ʿĀisyah dari satu bejana, berarti masing-masing dari keduanya mandi dengan sisa air yang digunakan oleh pasangannya.
(Beliau berkata): Ḥaiḍ itu tidak berada di tangan dan seorang mukmin tidak najis. Hanya saja ia diwajibkan untuk menyentuh air pada sebagian keadaannya. Demikian pula sebagaimana diriwayatkan dari Ibn ʿUmar bahwa masing-masing dari keduanya berwudhu dengan sisa air pasangannya.
(فصل)
: قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ فَضْلَ الطَّهُورِ ضَرْبَانِ:
ضَرْبٌ فَضُلَ عَنِ الْأَعْضَاءِ بَعْدَ اسْتِعْمَالِهِ فِيهَا فَهَذَا مُسْتَعْمَلٌ لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.
وَضَرْبٌ فَضُلَ فِي الْإِنَاءِ بَعْدَ اسْتِعْمَالِ بَعْضِهِ فَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِكَ الْجَمَاعَةُ فِي الطَّهَارَةِ مِنْ مَاءٍ وَاحِدٍ، وَاشْتِرَاكُ الْجَمَاعَةِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
(PASAL)
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa sisa air ṭahūr ada dua macam:
Pertama, sisa yang tersisa di anggota badan setelah digunakan padanya. Ini disebut mustaʿmal dan tidak boleh digunakan, sebagaimana akan kami sebutkan nanti.
Kedua, sisa yang tertinggal di dalam bejana setelah sebagian airnya digunakan. Hal ini tidak menghalangi bolehnya memanfaatkannya. Dan tidak mengapa sekelompok orang bersama-sama bersuci dari satu air.
Bersama-sama bersucinya sekelompok orang ada dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونُوا جِنْسًا وَاحِدًا كَاشْتِرَاكِ الرِّجَالِ أو كاشتراك النساء، فهذا جائز باتفاق، وَلِمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ بِإِسْنَادِهِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَحَانَتْ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَالْتَمَسَ النَّاسُ الْوَضُوءَ فَلَمْ يَجِدُوهُ فَأَتَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بوضوءٍ فَوَضَعَ فِي ذَلِكَ الْإِنَاءِ يَدَهُ وَأَمَرَ الناس أن يتوضؤوا فرأيت الماء نبع من تحت أصابعه فتوضأ الناس حتى توضؤوامِنْ عِنْدِ آخِرِهِمْ “. فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ مَعَ مَا فِيهِ مِنْ إِعْجَازِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِخُرُوجِ الْمَاءِ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ عَلَى جَوَازِ اشْتِرَاكِ الْجَمَاعَةِ فِي الطَّهَارَةِ مِنَ الْمَاءِ الْوَاحِدِ. فَإِنْ قِيلَ: فَمِثْلُ هَذِهِ الْمُعْجِزَةِ الظَّاهِرَةِ كَيْفَ جَاءَ بِهَا خَبَرٌ وَاحِدٌ وَلَمْ تُنْقَلْ نَقْلًا مُتَوَاتِرًا وَهِيَ أَبْلَغُ مِنْ مُعْجِزَةِ مُوسَى فِي خُرُوجِ الْمَاءِ مِنَ الْحَجَرِ؛ لِأَنَّ خُرُوجَهُ مِنَ الْحَجَرِ مُعْتَادٌ، وَمِنْ بَيْنِ الْأَصَابِعِ غَيْرُ مُعْتَادٍ؟ قِيلَ: هَذَا الْخَبَرُ وَإِنْ لَمْ يَنْقُلْهُ غَيْرُ أَنَسٍ فَهُوَ جارٍ مَجْرَى التَّوَاتُرِ، لِأَنَّ أَنَسًا أَضَافَ ذَلِكَ إِلَى غَزَاةٍ كَانَتِ الصَّحَابَةُ فِيهَا وَرَوَاهُ وَعَصْرُ الصَّحَابَةِ باقٍ وَأَكْثَرُهُمْ حَيٌّ فَنَقَلُوهُ وَلَمْ يُنْكِرُوهُ اعْتِرَافًا بِصِحَّتِهِ فَصَارَ كَالْإِجْمَاعِ مِنْهُمْ عَلَى نَقْلِهِ، وَلَوْلَا ذَاكَ لَرَدُّوهُ عَلَى أَنَسٍ وَأَنْكَرُوهُ.
Pertama: Mereka satu jenis, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan. Maka ini boleh menurut kesepakatan, berdasarkan riwayat al-Syāfi‘ī dengan sanadnya dari Anas bin Mālik, ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW, ketika telah masuk waktu shalat ‘Ashar orang-orang mencari air wudhu namun tidak mendapatkannya. Lalu Rasulullah SAW didatangkan air wudhu, beliau meletakkan tangannya di bejana itu dan memerintahkan orang-orang untuk berwudhu. Maka aku melihat air memancar dari sela-sela jarinya, lalu orang-orang berwudhu hingga yang terakhir dari mereka berwudhu.
Hadis ini, di samping mengandung mukjizat Nabi SAW berupa keluarnya air dari sela-sela jarinya, juga menunjukkan bolehnya sekelompok orang bersama-sama bersuci dari satu air.
Jika dikatakan: Bagaimana mungkin mukjizat yang begitu nyata seperti ini hanya diriwayatkan dengan khabar āḥād dan tidak disampaikan secara mutawātir, padahal ini lebih agung daripada mukjizat Mūsā berupa keluarnya air dari batu; karena keluarnya dari batu adalah hal yang biasa, sedangkan dari sela-sela jari adalah hal yang tidak biasa?
Maka dijawab: Hadis ini meskipun tidak diriwayatkan selain oleh Anas, namun hukumnya seperti mutawātir, karena Anas menyandarkannya pada suatu peperangan yang di dalamnya ada para sahabat, lalu ia meriwayatkannya pada masa sahabat masih hidup dan sebagian besar dari mereka masih ada. Mereka pun menyampaikannya dan tidak mengingkarinya sebagai bentuk pengakuan atas kebenarannya, sehingga hal itu menjadi seperti ijma‘ mereka atas penyampaiannya. Seandainya tidak demikian, niscaya mereka akan menolak dan mengingkari Anas.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِكَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ فِي الطَّهَارَةِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ إِمَّا مِنْ حَدَثٍ وَإِمَّا مِنْ جَنَابَةٍ، أَوْ مِنْ حَدَثٍ وَحَيْضٍ وَجَنَابَةٍ، فَكُلُّ ذَلِكَ جَائِزٌ أَيْضًا، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ وَمَنَعَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ مِنْ ذَلِكَ احْتِجَاجًا بِرِوَايَةِ دَاوُدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ حُمَيْدٍ الْحِمْيَرِيُّ قَالَ: لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ: ” نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ، أَوْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ “.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: ” كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يتوضؤون فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ أناءٍ واحدٍ جَمِيعًا ” وَرَوَتْ مُعَاذَةُ الْعَدَوِيَّةُ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: ” كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَتْ: فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ: أَبْقِ لِي أَبْقِ لِي “.
Dan macam yang kedua: Laki-laki dan perempuan bersama-sama bersuci dari satu bejana, baik untuk ḥadats, atau untuk janabah, atau untuk ḥadats dan ḥaiḍ serta janabah. Semua itu juga boleh, dan inilah pendapat Abū Ḥanīfah, Mālik, dan jumhur fuqahā.
Aḥmad bin Ḥanbal melarang hal itu dengan berdalil pada riwayat Dāwud bin ʿAbdillāh dari Ḥumaid al-Ḥimyarī, ia berkata: Aku bertemu seorang lelaki yang telah menyertai Nabi SAW selama empat tahun sebagaimana Abū Hurairah menyertainya. Ia berkata: “Rasulullah SAW melarang perempuan mandi dengan sisa air laki-laki, atau laki-laki mandi dengan sisa air perempuan.”
Dalil kami adalah riwayat Nāfiʿ dari Ibn ʿUmar, bahwa ia berkata: “Dahulu laki-laki dan perempuan berwudhu pada masa Rasulullah SAW dari satu bejana bersama-sama.”
Dan riwayat dari Muʿādzah al-ʿAdawiyyah dari ʿĀisyah, ia berkata: “Aku mandi bersama Rasulullah SAW.” Ia berkata: “Terkadang aku berkata kepada beliau: Sisakan untukku, sisakan untukku.”
وَرَوَى أَبُو الشَّعْثَاءِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُونَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تَغْتَسِلُ هِيَ وَرَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ إناءٍ وَاحِدٍ.
وَرَوَى وَكِيعٌ عَنْ أُسَامَةَ بن زيد عن خربوذ عن أم حبية الْجُهَنِيَّةِ قَالَتْ: ” اخْتَلَفَتْ يَدِي وَيَدُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْوُضُوءِ مِنْ إناءٍ واحدٍ ” وَلِأَنَّ مَا فضل عن الاستعمال فقد يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الِاسْتِعْمَالِ كَالرَّجُلَيْنِ وَالْمَرْأَتَيْنِ فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْخَبَرِ إِنْ كَانَ صَحِيحًا فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
– أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ محمول على الفضل المستعمل.
Diriwayatkan Abū al-Syaʿtsāʾ dari Ibn ʿAbbās dari Maimūnah bahwa ia mandi bersama Rasulullah SAW dari satu bejana.
Dan diriwayatkan Wakiʿ dari Usāmah bin Zaid dari Kharbūdz dari Ummu Ḥabībah al-Juhaniyyah, ia berkata: “Tanganku dan tangan Rasulullah SAW saling bersentuhan saat berwudhu dari satu bejana.”
Dan karena sisa air setelah digunakan terkadang dapat mencegah bolehnya dipakai lagi, sebagaimana pada dua laki-laki atau dua perempuan.
Adapun dalil mereka dengan hadis itu, jika sahih, maka jawabannya ada dua:
- Pertama: Ia dibawa pada makna anjuran (istihbāb).
- Kedua: Ia dibawa pada makna sisa air yang sudah digunakan (faḍl mustaʿmal).
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” كل ذلك دلالة أنه لا توقيت فيما يتطهر به المغتسل والمتوضئ إلا على ما أمره الله بِهِ وَقَدْ يُخْرَقُ بِالْكَثِيرِ فَلَا يَكْفِي وَيُرْفَقُ بالقليل فيكفي (قال) وَأُحِبُّ أَنْ لَا يَنْقُصَ عَمَّا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ تَوَضَّأَ بِالْمُدِّ وَاغْتَسَلَ بِالصَّاعِ “.
(Masalah)
Al-Syāfi‘ī ra. berkata: “Semua itu menunjukkan bahwa tidak ada batasan tertentu pada air yang digunakan oleh orang yang mandi (mughtasil) atau berwudhu (mutawaḍḍiʾ), kecuali sebagaimana yang diperintahkan Allah. Terkadang air yang banyak tidak mencukupi, dan terkadang air yang sedikit mencukupi.
(Beliau berkata): Dan aku menyukai agar tidak kurang dari yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau berwudhu dengan satu mudd dan mandi dengan satu ṣāʿ.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا حَدَّ لِلْمَاءِ الَّذِي يَتَوَضَّأُ بِهِ الْمُحْدِثُ وَيَغْتَسِلُ بِهِ الْجُنُبُ؛ لِأَنَّ اشْتِرَاكَ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَاءِ الْوَاحِدِ يَمْنَعُ مِنْ تَحْدِيدِ مَا يَسْتَعْمِلُهُ كُلُّ وَاحِدٍ، لَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَنْقُصَ الْمَاءُ لِمُغْتَسِلٍ فِي غُسْلِهِ مِنَ الصاع، والمتوضي فِي وُضُوئِهِ مِنَ الْمُدِّ، لِرِوَايَةِ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ عَنْ عَائِشَةَ وَسَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَغْتَسِلُ بَالصَّاعِ وَيَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, tidak ada batas tertentu untuk air yang digunakan muḥdits untuk berwudhu dan junub untuk mandi, karena kebersamaan sekelompok orang dalam satu air menghalangi pembatasan jumlah yang digunakan masing-masing. Namun, disunnahkan agar air bagi orang yang mandi tidak kurang dari satu ṣāʿ, dan bagi orang yang berwudhu tidak kurang dari satu mudd, berdasarkan riwayat Ṣafiyyah binti Syaibah dari ʿĀisyah dan Sālim bin Abī al-Jaʿd dari Jābir, bahwa Nabi SAW mandi dengan satu ṣāʿ dan berwudhu dengan satu mudd.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فيه هل هو صاع الزكاة ومدها، فقال بعضهم: هي صاع الزكاة خمسة أرطال وثلث، وقال آخرون: صاع الماء، غير الزكاة قدر ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ وَالْمُدُّ مِنْهُ رِطْلَانِ رَوَاهُ أَنَسٌ، فَإِنْ نَقَصَ الْمُغْتَسِلُ مِنَ الصَّاعِ وَعَمَّ جَمِيعَ شعره وبشره، ونقص المتوضي مِنَ الْمُدِّ وَأَسْبَغَ أَعْضَاءَ وُضُوئِهِ، كَانَ ذَلِكَ مُمْكِنًا وَأَجْزَأَهُ، وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يُمْكِنُ الْمُغْتَسِلَ أَنْ يَعُمَّ جَمِيعَ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ بِدُونِ الصاع، ولا المتوضي أَنْ يُسْبِغَ أَعْضَاءَ وُضُوئِهِ بِأَقَلَّ مِنْ مُدٍّ، وَهَذَا دَفْعُ الْعَيَانِ وَإِنْكَارُ السُّنَّةِ رَوَى عَبَّادُ بْنُ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: ” تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِثُلُثَيْ مُدٍّ وَجَعَلَ يُدَلِّكُ ذِرَاعَيْهِ؛ وَلِأَنَّهُ قَدْ يُمْكِنُ عَيَانًا إِسْبَاغُ الْبَدَنِ بِدُونِ الصَّاعِ لِمَنْ رَفِقَ وَلَا يُمْكِنُ بِالصَّاعِ لِمَنْ خَرِقَ لِاخْتِلَافِ الْخَلْقِ وَالْعَادَاتِ وَظُهُورِ ذَلِكَ فِي الْمُشَاهَدَاتِ – وَاللَّهُ أعلم بالصواب -.
Dan para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini, apakah yang dimaksud adalah ṣāʿ zakat dan mudd-nya. Sebagian mereka berkata: Itu adalah ṣāʿ zakat, yaitu lima rithl sepertiga. Sebagian yang lain berkata: Ṣāʿ air berbeda dengan ṣāʿ zakat, ukurannya delapan rithl, dan mudd-nya dua rithl. Ini diriwayatkan oleh Anas.
Maka jika orang yang mandi kurang dari satu ṣāʿ namun membasahi seluruh rambut dan kulitnya, dan orang yang berwudhu kurang dari satu mudd namun menyempurnakan basuhan semua anggota wudhunya, hal itu memungkinkan dan sah baginya.
Abū Ḥanīfah berkata: Tidak mungkin orang yang mandi membasahi seluruh rambut dan kulitnya tanpa satu ṣāʿ, dan tidak mungkin orang yang berwudhu menyempurnakan semua anggota wudhunya dengan kurang dari satu mudd.
Ini adalah penolakan terhadap kenyataan dan pengingkaran terhadap sunnah. Diriwayatkan ʿAbbād bin Tamīm dari ʿAbdullāh bin Zayd, ia berkata: “Rasulullah SAW berwudhu dengan dua pertiga mudd dan beliau mengusap kedua lengannya.”
Dan karena memungkinkan secara nyata menyempurnakan basuhan seluruh badan dengan kurang dari satu ṣāʿ bagi orang yang hemat, dan tidak memungkinkan dengan satu ṣāʿ bagi orang yang boros, karena perbedaan bentuk tubuh dan kebiasaan, sebagaimana terlihat dalam kenyataan yang disaksikan. —Dan Allah lebih mengetahui yang benar—.
(قال الشافعي) قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً) {النساء: 43) . وَرُوِيَ عَنِ النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ تَيَمَّمَ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ (قَالَ) ومعقولٌ إِذَا كَانَ بَدَلًا مِنَ الْوُضُوءِ عَلَى الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ أَنْ يُؤْتَى بِالتَّيَمُّمِ عَلَى مَا يُؤْتَى بالوضوء عليه وعن ابن عمر أنه قال: ” ضربةٌ للوجه وضربةٌ لليدين إلى المرفقين “.
(BAB TAYAMMUM)
(Al-Syāfi‘ī berkata) Allah Ta‘ālā berfirman: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, lalu kamu tidak menemukan air” (QS. al-Nisāʾ: 43).
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bertayamum lalu mengusap wajahnya dan kedua lengannya.
(Beliau berkata): Secara logis, jika tayamum itu sebagai pengganti wudhu pada wajah dan tangan, maka hendaknya dilakukan tayamum pada bagian yang sama dengan yang dilakukan dalam wudhu.
Dan dari Ibn ʿUmar bahwa ia berkata: “Satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan sampai siku.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْأَصْلُ فِي التَّيَمُّمِ وَبَيَانِ حُكْمِهِ بَعْدَ الْهِجْرَةِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا سَقَطَتْ قِلَادَتُهَا لَيْلَةَ الْأَبْوَاءِ فَأَرْسَلَ رَسُول اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجُلَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِي طَلَبِهَا فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا ماءٌ وَلَمْ يَدْرِيَا كَيْفَ يَصْنَعَانِ فنزلت آية التيمم؛ فقال أسيد بن حصين: جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا فَمَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ تَكْرَهِينَهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ مِنْهُ مَخْرَجًا وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا؛ فَهَذَا هُوَ السَّبَبُ فِي نُزُولِ فَرْضِ التَّيَمُّمِ، فَذَكَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِهِ فِي سُورَةِ النِّسَاءِ، وَسُورَةِ الْمَائِدَةِ، فَقَالَ: {فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ مِنْهُ}
وَالتَّيَمُّمُ فِي اللُّغَةِ هُوَ الْقَصْدُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ} (البقرة: 267) أَيْ: وَلَا تَقْصِدُوا وَقَالَ الشَّاعِرُ:
Al-Māwardī berkata: Pokok hukum tayamum dan penjelasan hukumnya setelah hijrah adalah sebagaimana yang diriwayatkan al-Syāfi‘ī dari Sufyān dari Hishām bin ʿUrwah dari ayahnya dari ʿĀisyah, bahwa kalungnya jatuh pada malam al-Abwā’, lalu Rasulullah SAW mengutus dua orang laki-laki dari kaum Muslimin untuk mencarinya. Kemudian waktu shalat pun tiba dan keduanya tidak membawa air, serta tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maka turunlah ayat tayamum.
Lalu Usayd bin Ḥuḍayr berkata: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Tidaklah menimpamu suatu perkara yang engkau tidak menyukainya, melainkan Allah menjadikan dari perkara itu jalan keluar dan kebaikan bagi kaum Muslimin.”
Maka inilah sebab turunnya kewajiban tayamum. Allah Taʿālā menyebutkannya dalam dua ayat di dalam kitab-Nya, pada surah al-Nisāʾ dan surah al-Māʾidah, dengan firman-Nya: {Bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik; usaplah wajah dan tangan kalian dengannya}.
Tayamum dalam bahasa adalah al-qaṣd (maksud atau tujuan). Allah Taʿālā berfirman: {Dan janganlah kalian bertayamum kepada yang buruk untuk kalian nafkahkan} (QS. al-Baqarah: 267), maksudnya: jangan kalian maksudkan. Dan penyair berkata: …
(تَيَمَّمْتُ قَيْسًا وَكَمْ دُونَهُ … مِنَ الْأَرْضِ مِنْ مهمةٍ ذِي شَزَنِ)
وَقَالَ آخَرُ:
(وَمَا أَدْرِي إِذَا يَمَّمْتُ أَرْضًا … أُرِيدُ الْخَيْرَ أَيُّهُمَا يَلِينِي)
(أَلْخَيْرُ الَّذِي أَنَا أَبْتَغِيهِ … أَمِ الشَّرُّ الَّذِي هُوَ يَبْتَغِينِي)
(Tayammamtu Qaysan wa kam dūnahu … mina al-arḍi min muh’mah ḏī syazan)
Dan yang lain berkata:
(Wa mā adrī iḏā yammamtu arḍan … urīdu al-khayra ayyuhumā yalīnī)
(Al-khayru alladhī anā abtaghīhi … ami al-syarru alladhī huwa yabtaghīnī)
فصار معنى قوله: ” فتيمموا ” أَيِ اقْصُدُوا، وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ يَقْرَأُ فَأَتُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَأَمَّا الصَّعِيدُ فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ اسْمٌ لِكُلِّ مَا تَصَاعَدَ مِنَ الْأَرْضِ، وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ اسْمٌ لِلتُّرَابِ وَحْدَهُ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، وَأَمَّا قَوْلُهُ ” طَيِّبًا ” فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَعْنِي حَلَالًا، وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ.
Maka makna firman-Nya: “Fatayammamū” adalah: maksudilah (tuju-lah). Dan ʿAbdullāh bin Masʿūd membacanya: “Fa’tū ṣaʿīdan ṭayyiban”.
Adapun ṣaʿīd, padanya ada dua tafsiran:
Pertama: Bahwa ia adalah nama untuk segala sesuatu yang meninggi dari permukaan bumi. Ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah.
Kedua: Bahwa ia adalah nama khusus untuk tanah saja. Ini adalah pendapat al-Syāfi‘ī.
Adapun firman-Nya “ṭayyiban”, padanya ada dua tafsiran:
Pertama: Maksudnya halal. Ini adalah pendapat Sufyān.
وَالثَّانِي: يَعْنِي طَاهِرًا، وَهُوَ أَشْبَهُ، ثُمَّ قَالَ: {فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأيْدِيكُمْ مِنْهُ} فَاقْتَصَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِالتَّيَمُّمِ عَلَى الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ، دُونَ الرَّأْسِ وَالرِّجْلَيْنِ، لِأَنَّ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ بالتراب مضاهاة لأرباب المصائب والرحلان لَا يَخْلُو التُّرَابُ مِنْهُمَا فِي السَّفَرِ غَالِبًا.
Dan yang kedua: Maksudnya suci, dan ini lebih tepat.
Kemudian firman-Nya: {Fa’msahū bi-wujūhikum wa aydīkum minhu} —maka Allah Taʿālā membatasi tayamum pada wajah dan tangan saja, tidak pada kepala dan kaki, karena mengusap kepala dengan debu menyerupai perbuatan orang-orang yang sedang tertimpa musibah, dan kaki biasanya tidak lepas dari terkena debu ketika dalam perjalanan.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ أَعْضَاءَ التَّيَمُّمِ الْوَجْهُ وَالْيَدَانِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَبْدَأَ بِوَجْهِهِ فَيَسْتَوْعِبَ مَسْحَ جَمِيعِهِ، فَإِنْ تَرَكَ مَوْضِعًا مِنْهُ كَانَ يَغْسِلُهُ بالماء في الوضوء ليمسحه بِالتُّرَابِ فِي التَّيَمُّمِ لَمْ يُجْزِهِ وَإِنْ قَلَّ.
(PASAL)
Apabila telah tetap bahwa anggota tayamum adalah wajah dan kedua tangan, maka ia harus memulai dengan wajahnya lalu meratakan usapan pada seluruhnya. Jika ia meninggalkan suatu bagian darinya yang jika dalam wudhu wajib dibasuh dengan air, maka dalam tayamum wajib diusap dengan debu, dan tidak sah tayamumnya meskipun bagian yang ditinggalkan itu sedikit.
(فَصْلٌ)
: ثُمَّ يَمْسَحُ يَدَيْهِ.
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي مَسْحِ الْيَدَيْنِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: مَا حُكِيَ عَنِ الزُّهْرِيِّ أَنْ يَمْسَحَهُمَا إِلَى الْمَنْكِبَيْنِ.
(PASAL)
Kemudian ia mengusap kedua tangannya.
Para fuqahā berbeda pendapat tentang batas mengusap kedua tangan dalam tiga mazhab:
Pertama: Sebagaimana diriwayatkan dari al-Zuhrī, yaitu mengusap keduanya sampai ke bahu.
وَالثَّانِي: مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ وَمَنْصُوصَاتُ الْقَدِيمِ أَنَّهُ يَمْسَحُ الذِّرَاعَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ عُمَرَ وَجَابِرٌ وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَالْحَسَنُ وَابْنُ سِيرِينَ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وأبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ.
Kedua: Pendapat al-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd dan yang dinukil dari qaul qadīm-nya, bahwa ia mengusap kedua lengan hingga siku. Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat seperti Ibn ʿUmar dan Jābir; dari kalangan tābiʿīn seperti Saʿīd bin al-Musayyab, Saʿīd bin Jubayr, al-Ḥasan, dan Ibn Sīrīn; dan dari kalangan fuqahā seperti al-Layth bin Saʿd, Sufyān al-Thawrī, Abū Ḥanīfah, dan kedua sahabatnya.
وَالثَّالِثُ: مَا قَالَهُ مَالِكٌ: أَنَّهُ يَمْسَحُ الْكَفَّيْنِ إِلَى الْكُوعَيْنِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَمِنَ التَّابِعِينَ عِكْرِمَةُ وَمَكْحُولٌ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَرَوَاهُ أَبُو ثَوْرٍ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ وَحَكَى الزَّعْفَرَانِيُّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ فِي الْقَدِيمِ كَانَ يَجْعَلُهُ مَوْقُوفًا عَلَى صِحَّةِ حَدِيثِ عَمَّارٍ وَمَنْصُوصُهُ فِي الْقَدِيمِ كُلِّهِ خِلَافُ هَذَا وَاسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ بِأَنَّ الْوَاجِبَ مَسْحُ الْكَفَّيْنِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيُكمْ مِنْهُ) {المائدة: 6) وَمُطْلَقُ اسْمِ الْيَدِ يَتَنَاوَلُ الْكَفَّ، بِدَلِيلِ الِاقْتِصَارِ فِي قَطْعِ يَدِ السَّارِقِ عَلَيْهَا، وَبِرِوَايَةِ الْحَكَمِ عَنْ ذَرٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ فِي الْإِبِلِ فَأَصَابَتْنِي جنابةٌ فَتَمَعَّكْتُ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: ” إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أن تضرب بيديك الأرض فتسمح بها وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ ” وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ مَسْحِهِمَا إِلَى المرفق قوله تعالى: {وَأَيْدِيَكُمْ مِنْهُ} وَإِطْلَاقُ اسْمِ الْيَدِ يَتَنَاوَلُ الْمَنْكِبَ فَدَخَلَ الذِّرَاعُ فِي عُمُومِ الِاسْمِ، ثُمَّ اقْتَصَرَ فِي التَّيَمُّمِ عَلَى تَقْيِيدِهِ فِي الْوُضُوءِ بِهِ، وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي الْحُوَيْرِثِ عَنْ أَبِي الْأَعْرَجِ عَنِ ابْنِ الصِّمَّةِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَيَمَّمَ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ.
Ketiga: Pendapat Mālik, yaitu mengusap kedua telapak tangan sampai pergelangan. Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat seperti Ibn Masʿūd dan Ibn ʿAbbās; dari kalangan tābiʿīn seperti ʿIkrimah dan Makḥūl; dan dari kalangan fuqahā seperti al-Awzāʿī, Aḥmad, dan Isḥāq.
Pendapat ini juga diriwayatkan Abū Thawr dari al-Syāfiʿī dalam qaul qadīm. Al-Zaʿfarānī menyebutkan bahwa al-Syāfiʿī dalam qaul qadīm menggantungkan (pendapat ini) pada keshahihan hadis ʿAmmār. Namun semua nash beliau dalam qaul qadīm berbeda dengan ini.
Adapun dalil yang berpendapat wajib mengusap kedua telapak tangan adalah firman Allah Taʿālā: {Fa’msahū bi-wujūhikum wa aydīkum minhu} (QS. al-Māʾidah: 6), dan lafaz umum al-yad mencakup telapak tangan, dibuktikan dengan pembatasan hukuman potong tangan pencuri pada telapak tangan.
Juga berdasarkan riwayat al-Ḥakam dari Ḏarr dari Saʿīd bin ʿAbd al-Raḥmān bin Abzā dari ayahnya dari ʿAmmār bin Yāsir, ia berkata: “Aku berada di antara unta-unta, lalu aku terkena janābah, maka aku berguling-guling di tanah. Lalu aku datang kepada Nabi SAW dan menceritakan hal itu kepada beliau. Maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya cukup bagimu memukul tanah dengan kedua tanganmu, lalu mengusap wajahmu dan kedua telapak tanganmu.’”
Adapun dalil wajib mengusap sampai siku adalah firman Allah Taʿālā: {Wa aydīkum minhu} dan lafaz umum al-yad mencakup bahu, sehingga lengan masuk dalam cakupan nama tersebut. Kemudian dalam tayamum, pembatasan diambil dari pembatasan dalam wudhu.
Dan al-Syāfiʿī meriwayatkan dari Ibrāhīm bin Muḥammad dari Abū al-Ḥuwairith dari Abū al-Aʿraj dari Ibn al-Ṣimmah, bahwa Rasulullah SAW bertayamum lalu mengusap wajah dan kedua lengannya.
وَرَوَى أَحْمَدُ بْنُ ثَابِتٍ الْعَبْدِيُّ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى الْحَائِطِ وَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ ضَرْبَةً أُخْرَى فَمَسَحَ ذِرَاعَيْهِ.
Diriwayatkan Aḥmad bin Thābit al-ʿAbdī dari Nāfiʿ dari Ibn ʿUmar, bahwa Rasulullah SAW menepukkan tangannya ke dinding lalu mengusap wajahnya dengannya, kemudian menepuk lagi untuk kedua kalinya lalu mengusap kedua lengannya.
وَرَوَى عُرْوَةُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” التيمم ضربةٌ للوجه وضربةٌ للذراعين إلى الْمِرْفَقَيْنِ ” وَرَوَى الرَّبِيعُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَسْلَعَ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في غزاة المريسيع فَأَصَابَتْنِي جنابةٌ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” قم فارحلبِي ” فَقُلْتُ: ” إِنِّي جنبٌ فَنَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ بِآيَةِ التَّيَمُّمِ فَأَرَانِي النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَيْفَ أَتَيَمَّمُ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَضَرَبَ أُخْرَى فَمَسَحَ ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَلِأَنَّهُ مَمْسُوحٌ فِي التَّيَمُّمِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَسْحُهُ كَغَسْلِهِ قِيَاسًا عَلَى الْوَجْهِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْآيَةِ فَهُوَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ وَجْهِ الِاسْتِدْلَالِ بِهَا، وَأَمَّا حَدِيثُ عَمَّارٍ فَقَدْ روى عمار مقدوري عَنْهُ خِلَافَهُ وَطَرِيقُهُ مُضْطَرِبٌ وَالِاخْتِلَافُ فِي نَقْلِهِ كثير فلميَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُعَارِضًا لِمَا رُوِّينَا مِنَ الْأَخْبَارِ الْمَشْهُورَةِ مِنَ الطُّرُقِ الصَّحِيحَةِ مَعَ زِيَادَتِهَا، وَأَنَّ الزِّيَادَةَ أَوْلَى أَنْ يُؤْخَذَ بِهَا وَاللَّهُ أعلم.
Diriwayatkan ʿUrwah dari Abū al-Zubayr dari Jābir, bahwa Nabi SAW bersabda: “Tayamum itu satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua lengan hingga siku.”
Dan diriwayatkan al-Rabīʿ bin Zayd dari ayahnya dari kakeknya dari Aslaʿ, ia berkata: Aku bersama Rasulullah SAW dalam perang al-Muraysīʿ, lalu aku terkena janābah. Rasulullah SAW bersabda kepadaku: “Bangunlah dan bersiap untukku.” Aku berkata: “Aku sedang junub.” Maka turunlah Jibrīl kepada beliau dengan ayat tayamum, lalu Nabi SAW memperlihatkan kepadaku bagaimana cara bertayamum. Beliau menepukkan kedua tangannya ke tanah, lalu mengusap wajahnya, kemudian menepuk lagi untuk kedua kalinya lalu mengusap kedua lengannya hingga siku.
Dan karena anggota ini diusap dalam tayamum, maka wajib mengusapnya sebagaimana membasuhnya, diqiyaskan pada wajah.
Adapun jawaban atas istidlāl mereka dengan ayat, adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan dari sisi istidlāl dengannya. Adapun hadis ʿAmmār, maka ʿAmmār sendiri meriwayatkan yang bertentangan dengannya, dan jalurnya pun mudhṭarib, serta terdapat banyak perbedaan dalam periwayatannya. Maka tidak boleh menjadikannya sebagai lawan bagi berita-berita masyhur yang kami riwayatkan melalui jalur-jalur yang sahih, terlebih lagi berita-berita itu mengandung tambahan riwayat, dan tambahan itu lebih utama untuk diambil. Wallāhu aʿlam.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وَالتَّيَمُّمُ أَنْ يَضْرِبَ بِيَدَيْهِ عَلَى الصَّعِيدِ وَهُوَ التُّرَابُ مِنْ كُلِّ أرضٍ سَبْخِهَا وَمَدَرِهَا وَبَطْحَائِهَا وغيره مما يعلق باليد منه غبارٌ مَا لَمْ تُخَالِطْهُ نجاسةٌ “.
(Masalah)
Al-Syāfi‘ī berkata: “Tayamum itu ialah menepukkan kedua tangannya pada ṣaʿīd, yaitu tanah, baik dari setiap permukaan bumi yang asin (sabkhu), liat (madar), berbatu kerikil (baṭḥāʾ), maupun selainnya, selama masih ada debu yang menempel di tangan darinya, selama tidak bercampur dengan najis.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ التَّيَمُّمُ مُخْتَصٌّ بِالتُّرَابِ ذِي الْغُبَارِ، وَلَا يَجُوزُ بِمَا سِوَاهُ مِنْ نُورَةٍ أَوْ كُحْلٍ وَقَالَ أبو حنيفة يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِكُلِّ مَا يَصْعَدُ مِنَ الْأَرْضِ مِنْ زِرْنِيخٍ أَوْ نُورَةٍ أَوْ كُحْلٍ إِذَا لَمْ تَدْخُلْهُ صَنْعَةُ آدَمِيٍّ مِثْلِ مَسْحُوقِ الْآجُرِّ وَغَيْرِهِ، وَقَالَ مَالِكٌ يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِكُلِّ مَا اتَّصَلَ بِالْأَرْضِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْهَا كَالْأَشْجَارِ وَالنَّبَاتِ اسْتِدْلَالًا بقوله تعالى: {فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً} وَالصَّعِيدُ هُوَ مَا تَصَاعَدَ مِنَ الْأَرْضِ، وَبِرِوَايَةِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا وَطَهُورًا ” فَلَمَّا كَانَ غَيْرُ التُّرَابِ مِنَ الْأَرْضِ مُسَاوِيًا لِلتُّرَابِ فِي كَوْنِهِ مَسْجِدًا اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ غَيْرُ التُّرَابِ مُسَاوِيًا لِلتُّرَابِ فِي كَوْنِهِ طَهُورًا، قَالُوا وَلِأَنَّهُ جِنْسٌ مِنَ الْأَرْضِ فَجَازَ التَّيَمُّمُ بِهِ قِيَاسًا عَلَى التُّرَابِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الطَّهَارَةَ إِذَا وَقَعَتْ بِالْجَامِدِ مَسْحًا لَمْ يَخْتَصَّ بِذَلِكَ الْجِنْسِ نَوْعًا كَالِاسْتِنْجَاءِ وَالدِّبَاغِ.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً) {المائدة: 6) .
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau (al-Syāfi‘ī) katakan, bahwa tayamum itu khusus dengan tanah yang berdebu, dan tidak sah dengan selainnya seperti kapur (nūrah) atau celak (kuḥl).
Abū Ḥanīfah berkata: Boleh tayamum dengan segala sesuatu yang naik dari bumi, seperti arsenik (zarnīkh), kapur (nūrah), atau celak (kuḥl), selama tidak dimasuki oleh proses buatan manusia seperti serbuk batu bata dan sejenisnya.
Mālik berkata: Boleh tayamum dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan bumi meskipun bukan bagian darinya, seperti pepohonan dan tanaman. Dalilnya adalah firman Allah Taʿālā: {Fatayammamū ṣaʿīdan ṭayyiban}, dan ṣaʿīd adalah segala yang meninggi dari bumi.
Juga berdalil dengan riwayat Saʿīd bin al-Musayyab dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Dijadikan untukku bumi seluruhnya sebagai masjid dan alat bersuci.”
Mereka berkata: Ketika selain tanah dari bumi itu sama dengan tanah dalam statusnya sebagai masjid, maka hal itu menuntut bahwa selain tanah juga sama dengan tanah dalam statusnya sebagai alat bersuci. Mereka berkata lagi: Karena ia merupakan jenis dari bumi, maka boleh tayamum dengannya dengan qiyās kepada tanah. Dan karena bersuci jika dilakukan dengan benda padat secara usapan tidak dikhususkan pada jenis tertentu, sebagaimana istinja’ dan penyamakan kulit (dibāgh).
Dalil kami adalah firman Allah Taʿālā: {Fatayammamū ṣaʿīdan ṭayyiban} (QS. al-Māʾidah: 6).
وَالصَّعِيدُ اسْمٌ لِلتُّرَابِ فِي اللُّغَةِ، وَقَدْ حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْهُمْ، وَهُوَ قُدْوَةٌ فِيهِمْ، وَقَدْ سُئِلَ عَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ عَنِ الصَّعِيدِ فَقَالَا: هُوَ التُّرَابُ الَّذِي يُغَبِّرُ يَدَيْكَ، وَيَشْهَدُ لِمَا فَسَّرَهُ الشَّافِعِيُّ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيداً جُرُزاً) {الكهف: 8) يَعْنِي أَرْضًا لَا نَبَاتَ عَلَيْهَا وَلَا زَرْعَ، فَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ اسْمًا لِكُلِّ مَا يَصْعَدُ مِنَ الْأَرْضِ. فَإِنْ قِيلَ: فَالصَّعِيدُ مُشْتَقٌّ مِمَّا تَصَعَّدَ مِنَ الْأَرْضِ فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى اشْتِقَاقِهِ أولى.
Dan ṣaʿīd adalah nama bagi tanah (turāb) dalam bahasa, sebagaimana dinukil oleh al-Syāfi‘ī dari mereka, dan beliau adalah panutan dalam hal itu.
ʿAlī dan Ibn Masʿūd pernah ditanya tentang ṣaʿīd, maka keduanya menjawab: “Ia adalah tanah yang membuat kedua tanganmu berdebu.”
Hal ini diperkuat oleh tafsiran al-Syāfi‘ī terhadap firman Allah Taʿālā: {Wa innā lajāʿilūna mā ʿalayhā ṣaʿīdan juruzā} (QS. al-Kahf: 8), yang artinya: bumi yang tidak ada tanaman dan tumbuh-tumbuhan di atasnya.
Maka batallah pendapat bahwa ṣaʿīd adalah nama bagi setiap yang meninggi dari bumi.
Jika dikatakan: ṣaʿīd itu diambil dari makna “sesuatu yang meninggi dari bumi”, maka semestinya membawanya pada makna asal katanya lebih utama.
قِيلَ: وَإِنْ كَانَ اشْتِقَاقُهُ مِنْ هَذَا فَإِطْلَاقُهُ يَتَنَاوَلُ التُّرَابَ لِأَنَّ الْكُحْلَ وَالزِّرْنِيخَ لَا يُسَمَّى صَعِيدًا، وَإِذَا كَانَ لِلِاسْمِ إِطْلَاقٌ وَاشْتِقَاقٌ كَانَ حَمْلُهُ عَلَى إِطْلَاقِهِ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى اشْتِقَاقِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ حَلَفَ لَا يَرْكَبُ دَابَّةً، حَنِثَ بِرُكُوبِ الْخَيْلِ، وَلَمْ يَحْنَثْ بِرُكُوبِ النَّعَمِ، وَإِنْ كَانَ اسْمُ الدَّابَّةِ مُشْتَقًّا مِمَّا يَدِبُّ.
Dikatakan: Meskipun ṣaʿīd itu diambil dari makna “sesuatu yang meninggi dari bumi”, namun penggunaannya dalam bahasa hanya mencakup tanah, karena celak (kuḥl) dan arsenik (zarnīkh) tidak disebut ṣaʿīd.
Dan apabila suatu nama memiliki penggunaan (iṭlāq) dan asal-usul kata (isytīqāq), maka membawanya pada makna penggunaannya lebih utama daripada membawanya pada makna asal-usul katanya.
Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang bersumpah tidak akan menaiki dābbah, maka ia dianggap melanggar sumpah jika menaiki kuda, tetapi tidak dianggap melanggar jika menaiki unta, meskipun kata dābbah secara asal diambil dari makna “yang berjalan di muka bumi” (mā yadibbu).
ثُمَّ الدَّلِيلُ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ يَقُولُ: ” سَمِعْتُ عَلِيًّا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُعْطِيتُ مَا لَا يُعْطَى نبيٌ مِنْ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُعْطِيتُ مَفَاتِيحَ الْأَرْضِ، وَسُمِّيتُ أَحْمَدَ، وَجُعِلَ لِيَ التُّرَابُ طَهُورًا، وَجُعِلَتْ أُمَّتِي خَيْرَ الْأُمَمِ “. فَمَوْضِعُ الدَّلِيلِ مِنْهُ أَنَّهُ لَوْ كَانَ غَيْرُ التُّرَابِ طَهُورًا لَهُ لَذَكَرَهُ فِيمَا مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَرَوَى ابْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: ” قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُصِيبُ أَهْلِي وَإِنْ لَمْ أَقْدِرْ عَلَى الْمَاءِ قَالَ: ” أَصِبْ أَهْلَكَ وَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ عَلَى الْمَاءِ عَشْرَ سِنِينَ فَإِنَّ التُّرَابَ كَافِيكَ ” فَلَمَّا جَعَلَ اكْتِفَاءَ أَبِي ذَرٍّ فِي التَّيَمُّمِ بِالتُّرَابِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَكْتَفِي بِغَيْرِ التُّرَابِ، وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ أَنَّهَا طَهَارَةٌ حُكْمِيَّةٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ التَّخْيِيرُ فِيمَا يَتَطَهَّرُ بِهِ كَالْوُضُوءِ، وَإِنْ شِئْتَ قُلْتَ: لِأَنَّهَا إِحْدَى الطَّهَارَتَيْنِ فَلَمْ يَتَخَيَّرْ فِيهَا بَيْنَ جِنْسَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ كَالْوُضُوءِ، وَلِأَنَّهُ جَوْهَرٌ مُسْتَوْدَعٌ فِي الْأَرْضِ فَلَمْ يُجْزِ التَّيَمُّمُ بِهِ كَالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ، وَلِأَنَّ الطَّهَارَةَ تَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ جَامِدًا وَمَائِعًا، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهَا فِي الْمَائِعِ تَخْتَصُّ بِأَعَمِّ الْمَائِعَاتِ وُجُودًا وَهُوَ الْمَاءُ، فَكَذَلِكَ فِي الْجَامِدِ يَجِبُ أَنْ تَخْتَصَّ بِأَعَمِّ الْجَامِدَاتِ وُجُودًا وَهُوَ التُّرَابُ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِنَّمَا نَقَلَنَا مِنَ الْمَاءِ عِنْدَ عَدَمِهِ وَتَعَذُّرِهِ إِلَى مَا هُوَ أَيْسَرُ وُجُودًا وَأَهْوَنُ فَقْدًا، وَالْكُحْلُ وَالزِّرْنِيخُ أَعَزُّ فِي أَكْثَرِ الْأَحْوَالِ وُجُودًا مِنَ الْمَاءِ، فَلَمْ يُجِزْ أَنْ نَنْتَقِلَ عَنِ الأهون إلىالْأَعَزِّ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ إِلَيْهَا، فَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَقَوْلُهُ: ” وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا وَطَهُورًا ” فَالْأَرْضُ اسْمٌ يَنْطَلِقُ عَلَى الطِّينِ دُونَ الزِّرْنِيخِ وَالْكُحْلِ فَلَمْ يَكُنْ فِي الِاسْمِ عُمُومٌ، وَلَا فِي الظَّاهِرِ دَلِيلٌ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى التُّرَابِ فَمُنْتَقَضٌ بِالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي التُّرَابِ أَنَّهُ أَعَمُّ الْجَامِدَاتِ وُجُودًا كَمَا أَنَّ الْمَاءَ أَعَمُّ الْمَائِعَاتِ وُجُودًا، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الِاسْتِنْجَاءِ وَالدِّبَاغِ فَلَا يَصِحُّ الِاسْتِنْجَاءُ عِنْدَهُمْ لَيْسَ بِوَاجِبٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ أَصْلًا لِوَاجِبٍ، وَعِنْدَنَا إِنَّهُ وَاجِبٌ وَلَيْسَتِ الْأَحْجَارُ مُزِيلَةً لِنَجَاسَتِهِ فَاسْتَوَى فِي تَحْقِيقِهَا سَائِرُ الْجَامِدَاتِ، وَأَمَّا الدِّبَاغُ فَلَيْسَتْ عِبَادَةً فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ أَصْلًا لِعِبَادَةٍ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الدِّبَاغِ تَنْشِيفُ الْفُضُولِ وَتَطْيِيبُ الرَّائِحَةِ فَاسْتَوَى حُكْمُ مَا أَثَّرَ ذَلِكَ فِيهَا، وَالتَّيَمُّمُ طَهَارَةٌ حُكْمِيَّةٌ فَأُلْحِقَتْ بِجِنْسِهَا مِنَ الْأَحْدَاثِ كُلِّهَا.
Kemudian dalil dari sunnah adalah sebagaimana yang diriwayatkan al-Syafi‘i dari Ibrahim bin Muhammad dan Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil bahwa ia mendengar Muhammad bin ‘Ali berkata: “Aku mendengar ‘Ali berkata, Rasulullah SAW bersabda: Aku diberi sesuatu yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun dari nabi-nabi Allah: aku ditolong dengan rasa takut (yang ditanamkan kepada musuh), aku diberi kunci-kunci bumi, aku dinamakan Ahmad, dijadikan tanah bagiku sebagai alat bersuci (ṭahūr), dan dijadikan umatku sebagai sebaik-baik umat.”
Tempat pengambilan dalil darinya adalah bahwa jika selain tanah juga menjadi alat bersuci baginya, tentu beliau akan menyebutkannya dalam hal-hal yang Allah anugerahkan kepadanya. Dan diriwayatkan dari Ibn Syuaib dari Abu Dzar, ia berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, aku mendatangi keluargaku dan jika aku tidak mendapatkan air?” Beliau bersabda: “Datangilah keluargamu, dan jika engkau tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun, maka sesungguhnya tanah itu mencukupimu.”
Ketika Nabi SAW menjadikan kecukupan Abu Dzar dalam tayammum dengan tanah, itu menunjukkan bahwa ia tidak mencukupi dengan selain tanah.
Dari segi qiyas, tayammum adalah ṭahārah hukumiyah, maka wajib tidak ada pilihan dalam hal yang digunakan untuk bersuci, sebagaimana wudhu. Atau engkau bisa berkata: karena ia adalah salah satu dari dua ṭahārah, maka tidak diberi pilihan di dalamnya antara dua jenis yang berbeda, sebagaimana wudhu. Dan karena ia adalah jawhar yang tersimpan di bumi, maka tidak sah tayammum dengannya seperti perak dan emas.
Dan karena ṭahārah itu terbagi menjadi dua: benda padat dan cair, lalu telah tetap bahwa pada yang cair, ia khusus dengan cairan yang paling umum keberadaannya, yaitu air, maka demikian pula pada benda padat harus khusus dengan benda padat yang paling umum keberadaannya, yaitu tanah. Dan karena Allah Ta‘ala memindahkan kita dari air saat tidak ada dan sulit didapat kepada sesuatu yang lebih mudah ada dan lebih jarang hilang, sedangkan kuḥl dan zarnīkh lebih jarang didapat dalam kebanyakan keadaan dibanding air, maka tidak boleh berpindah dari yang lebih mudah kepada yang lebih jarang.
Adapun jawaban terhadap ayat adalah sebagaimana istidlal yang telah disebutkan sebelumnya. Adapun hadis Abu Hurairah dan sabdanya: “Dijadikan bagiku seluruh bumi sebagai masjid dan alat bersuci”, maka al-arḍ adalah nama yang digunakan untuk tanah (ṭīn) dan tidak mencakup zarnīkh dan kuḥl, maka tidak ada keumuman dalam lafaz tersebut, dan tidak ada pula dalil dalam zhahirnya.
Adapun qiyas mereka kepada tanah, maka itu tertolak dengan perak dan emas. Lalu makna pada tanah adalah karena ia adalah benda padat yang paling umum keberadaannya, sebagaimana air adalah cairan yang paling umum keberadaannya.
Adapun qiyas mereka kepada istinja dan dibagh, maka tidak sah, karena istinja menurut mereka tidak wajib, maka tidak boleh dijadikan sebagai asal bagi sesuatu yang wajib. Menurut kami, ia wajib, dan batu tidak menghilangkan najisnya, sehingga semua benda padat sama dalam mewujudkan kebolehannya.
Adapun dibagh, ia bukanlah ibadah, maka tidak boleh dijadikan asal bagi ibadah. Kemudian makna dibagh adalah mengeringkan sisa-sisa kotoran dan mengharumkan bau, sehingga semua yang memberi pengaruh seperti itu sama hukumnya. Sedangkan tayammum adalah ṭahārah hukumiyah, maka dihubungkan kepada jenisnya dari semua hadats.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّيَمُّمَ مُخْتَصٌّ بِالتُّرَابِ دُونَ غَيْرِهِ مِنْ سَائِرِ الْمَذْرُورَاتِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ مِنْ كُلِّ أَرْضٍ سَبْخِهَا وَمَدَرِهَا وَبَطْحَائِهَا، فَالسَّبَخَةُ: هِيَ الْأَرْضُ الْمَالِحَةُ الَّتِي لَا تُنْبِتُ، وَالْمَدَرُ: هِيَ الْأَرْضُ ذَاتُ التِّلَالِ وَالْجِبَالِ، وَالْبَطْحَاءُ: فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا الْأَرْضُ الْقَاعُ الْفَسِيحَةُ.
(PASAL)
Maka apabila telah tetap bahwa tayammum itu khusus dengan tanah (turāb) dan tidak dengan selainnya dari seluruh benda tabur, maka al-Syafi‘i berkata: “Dari setiap jenis tanah; tanah sabkhnya, madarnya, dan bathā’-nya.”
Sabkhah adalah tanah yang asin yang tidak menumbuhkan tanaman.
Madarnya adalah tanah yang memiliki gundukan (tilāl) dan gunung-gunung.
Adapun bathā’, maka padanya ada dua penafsiran:
Pertama: ia adalah tanah datar yang luas (al-qā‘ al-fasīḥah).
وَالثَّانِي: أَنَّهَا الْأَرْضُ الصُّلْبَةُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا فَرْقَ فِي التُّرَابِ بَيْنَ عَذْبِهِ وَمَالِحِهِ، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ إِلَّا بِالتُّرَابِ الْعَذْبِ تراب الحرث، وبه قال إسحاق بن رَاهْوَيْهِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً} وَالطَّيِّبُ إِنَّمَا يُسْتَعْمَلُ فِي الطَّعْمِ دُونَ غَيْرِهِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَيَمَّمَ مِنْ أَرْضِ الْمَدِينَةِ وَهِيَ أرضٌ سبخةٌ وَكَذَلِكَ مَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أريتُ أَرْضًا سَبْخَةً ” يَعْنِي: الْمَدِينَةَ وَلِأَنَّ الطَّهَارَةَ بِالْمَاءِ أَغْلَظُ حُكْمًا فِيهَا بِالتُّرَابِ فَلَمَّا لَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ فِي الْمَاءِ بَيْنَ عَذْبِهِ وَمَالِحِهِ وَجَبَ أَلَّا يَقَعَ الْفَرْقُ فِي التراب بين عذبه ومالح، فَأَمَّا تَأْوِيلُهُ لِلْآيَةِ فَقَدْ ذَهَبَ غَيْرُهُ مِنْ أَهْلِ التَّأْوِيلِ إِلَى خِلَافِهِ، وَأَنْ بَعْضَهُمْ تَأَوَّلَ قَوْلَهُ: ” طَيِّبًا ” أَيْ حَلَالًا، وَبَعْضُهُمْ تَأَوَّلَهُ: طَاهِرًا وَهُوَ الْأَشْبَهُ.
Dan yang kedua: ia adalah tanah yang keras (al-arḍ al-ṣulbah). Jika demikian, maka tidak ada perbedaan pada tanah antara yang tawar dan yang asin.
Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata: “Tidak sah tayammum kecuali dengan tanah yang tawar, yaitu tanah pertanian,” dan ini juga pendapat Ishāq bin Rāhuyah, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {fa-tayammamū ṣa‘īdan ṭayyiban}, dan kata ṭayyib hanya digunakan pada makna rasa (makanan), bukan selainnya.
Pendapat ini tidak benar, karena Nabi SAW pernah bertayammum dari tanah Madinah, sedangkan tanahnya adalah tanah asin (sabkhah). Demikian pula sebagaimana datang dalam hadis dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Aku diperlihatkan tanah yang asin” — maksudnya Madinah.
Dan karena ṭahārah dengan air lebih berat hukumnya dibanding dengan tanah, maka ketika tidak ada perbedaan pada air antara yang tawar dan yang asin, wajib pula tidak ada perbedaan pada tanah antara yang tawar dan yang asin.
Adapun penafsiran mereka terhadap ayat tersebut, para ahli tafsir lainnya berbeda dengan mereka. Sebagian menafsirkan kata ṭayyiban dengan makna halal, dan sebagian menafsirkannya dengan makna suci, dan inilah yang lebih mendekati kebenaran.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ لَا فَرْقَ فِي التُّرَابِ بَيْنَ عَذْبِهِ وَمَالِحِهِ، فَكَذَا لَا فَرْقَ بَيْنَ أَبْيَضِهِ وَأَحْمَرِهِ وَسَائِرِ أَلْوَانِهِ كَالْمَاءِ لَا يَكُونُ اخْتِلَافُ أَلْوَانِهِ فِي أَصْلِ خِلْقَتِهِ مُغَيِّرًا لِحُكْمِ اسْتِعْمَالِهِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ بِالطِّينِ الْمَأْكُولِ مِنَ الْخُرَاسَانِيِّ وَالْبَحْرِيِّ، لِأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْأَرْضِ وَإِنِاخْتَلَفَ طَعْمُهُ، وَكَذَلِكَ يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِالطِّينِ الْمَخْتُومِ وَبِالطِّينِ الْأَرْمَنِيِّ، وَلَا يَكُونُ تَغَيُّرُ لَوْنِهِ بِمَا يَقَعُ مِنْ جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعْدِنًا فِي الْأَرْضِ وَلَيْسَ مِنْهَا فَلَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ كَالْكُحْلِ فَأَمَّا الْحَمْأَةُ الْمُتَغَيِّرَةُ الرَّائِحَةِ إِذَا جَفَّتْ وَسُحِقَتْ جَازَ التَّيَمُّمُ بِهَا؛ لِأَنَّهَا طِينٌ خُلِقَتْ فَصَارَ كَالْمَاءِ إِذَا خُلِقَ مُنْتِنًا، فَأَمَّا الطِّينُ الرَّطْبُ فَلَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِهِ لِعَدَمِ غُبَارِهِ، وَحَكَى ابْنُ وَهْبٍ عَنْ مَالِكٍ جَوَازَ التَّيَمُّمِ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِمَا فِي أَنَّ اسْتِعْمَالَ التُّرَابِ فِي الْأَعْضَاءِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ.
(PASAL)
Maka apabila telah tetap bahwa tidak ada perbedaan pada tanah antara yang tawar dan yang asin, demikian pula tidak ada perbedaan antara yang putih, merah, dan seluruh warnanya; sebagaimana air, perbedaan warnanya dalam asal penciptaannya tidak mengubah hukum penggunaannya.
Boleh bertayammum dengan tanah liat yang dimakan, baik Khurasani maupun bahri, karena ia termasuk jenis tanah walaupun berbeda rasanya. Demikian pula boleh tayammum dengan tanah liat yang dimasukkan dalam wadah (al-makhtūm) dan tanah liat Armenia (al-arminī), dan perubahan warnanya tidak menghalangi kebolehan penggunaannya, kecuali jika ia merupakan bahan tambang di dalam bumi dan bukan bagian darinya, maka tidak boleh tayammum dengannya seperti kuḥl.
Adapun lumpur (ḥam’ah) yang berubah baunya, apabila telah kering dan ditumbuk, boleh bertayammum dengannya, karena ia adalah tanah liat yang tercipta, sehingga sama seperti air yang tercipta dalam keadaan bau.
Adapun tanah liat basah, maka tidak boleh tayammum dengannya karena tidak memiliki debu. Ibn Wahb meriwayatkan dari Mālik tentang kebolehannya, dan itu adalah mazhab Abū Ḥanīfah, berdasarkan pendapat keduanya bahwa penggunaan debu pada anggota tubuh dalam tayammum tidak wajib.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الرَّمْلُ فَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ عَلَى جَوَازِ التَّيَمُّمِ بِهِ وَنَصَّ فِي الْجَدِيدِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِهِ وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا غَلِطَ فِيهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، وَإِنَّمَا الرَّمْلُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
ضَرْبٌ مِنْهُ يَكُونُ لَهُ غُبَارٌ يَعْلِقُ بِالْيَدِ، فَالتَّيَمُّمُ بِهِ جَائِزٌ؛ لِأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْأَرْضِ وَطَبَقَاتِ الْأَرْضِ، وَضَرْبٌ مِنْهُ لَا غُبَارَ لَهُ، فَلَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِهِ؛ لِعَدَمِ غُبَارِهِ الَّذِي يَقَعُ التَّيَمُّمُ بِهِ، لَا لِخُرُوجِهِ مِنْ جِنْسِ التُّرَابِ.
(PASAL)
Adapun pasir (raml), maka al-Syafi‘i dalam qaul qadim menegaskan bolehnya tayammum dengannya, dan dalam qaul jadid menegaskan bahwa tidak boleh tayammum dengannya. Hal ini bukan termasuk dua qaul (yang saling berlawanan) sebagaimana disangka keliru oleh sebagian sahabat kami.
Sesungguhnya pasir itu ada dua macam:
Pertama, yang memiliki debu yang menempel di tangan, maka tayammum dengannya boleh, karena ia termasuk jenis tanah dan lapisan bumi.
Kedua, yang tidak memiliki debu, maka tidak boleh tayammum dengannya, karena ketiadaan debu yang menjadi media tayammum, bukan karena ia keluar dari jenis tanah.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا الْجِصُّ فَإِنْ كان محرقاً لَمْ يَجُزِ التَّيَمُّمُ بِهِ، لِأَنَّ النَّارَ قَدْ غَيَّرَتْهُ، وَكَذَا مَسْحُوقُ الْآجُرِّ وَالْخَزَفِ، وَإِنْ كَانَ الْجِصُّ غَيْرَ مُحَرَّقٍ جَازَ التَّيَمُّمُ، وَكَذَلِكَ الْإِسْفِيدَاجُ إِذَا كَانَ لَهُ غُبَارٌ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مَعْدِنًا فِي الْأَرْضِ وَلَيْسَ مِنْهَا فَلَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِهِ وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِالرُّخَامِ وَالْبِرَامِ؛ لِأَنَّهُمَا مَعْدِنٌ، وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِمَسْحُوقِ الْحِجَارَةِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ أيضاً بالمسلح؛ لأنه إن كان ملح جَمُدَ فَلَيْسَ بِتُرَابٍ، وَإِنْ كَانَ مِلْحَ مَعْدِنٍ فَهُوَ كَالْكُحْلِ.
(PASAL)
Adapun kapur (jish), jika dibakar maka tidak boleh tayammum dengannya, karena api telah mengubahnya. Demikian pula bubuk batu bata (ājurr) dan tembikar (khazaf).
Jika kapur tersebut tidak dibakar, maka boleh tayammum dengannya. Demikian pula bedak putih (isfīdāj) jika memiliki debu, kecuali jika ia merupakan bahan tambang di dalam bumi dan bukan bagian dari tanah, maka tidak boleh tayammum dengannya.
Demikian pula tidak boleh tayammum dengan marmer (rukhām) dan tembikar berglasir (birām), karena keduanya adalah bahan tambang. Tidak boleh pula tayammum dengan bubuk batu, dan tidak boleh juga tayammum dengan garam padat (musallaḥ); karena jika garam itu membeku, maka ia bukan tanah, dan jika garam tersebut berasal dari tambang, maka hukumnya seperti kuḥl.
فَأَمَّا التُّرَابُ إِذَا خَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ مَائِعَةٌ، أَوْ جَامِدَةٌ نُجِّسَ بِهَا، وَلَمْ يَجُزِ التَّيَمُّمُ بِهِ سَوَاءٌ تَغَيَّرَ، أَوْ لَمْ يَتَغَيَّرْ، بِخِلَافِ الْمَاءِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ يُزِيلُ نَجَاسَةَ غَيْرِهِ فَجَازَ إِذَا كَثُرَ أَنْ يَرْفَعَ النَّجَاسَةَ عَنْ نَفْسِهِ وَأَمَّا التُّرَابُ فَلَا يُزِيلُ نَجَاسَةَ غَيْرِهِ، فَلَمْ يَدْفَعِ النَّجَاسَةَ عَنْ نَفْسِهِ.
Adapun tanah apabila bercampur dengan najis, baik najis tersebut berupa cairan maupun padatan, maka tanah itu menjadi najis karenanya dan tidak boleh tayammum dengannya, baik tanah itu berubah sifatnya maupun tidak.
Berbeda dengan air, karena air dapat menghilangkan najis pada selainnya, sehingga jika jumlahnya banyak, ia dapat menghilangkan najis dari dirinya sendiri. Adapun tanah, ia tidak dapat menghilangkan najis pada selainnya, maka ia pun tidak dapat menolak najis dari dirinya sendiri.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا التُّرَابُ إِذَا خَالَطَهُ طِيبٌ، أَوْ زَعْفَرَانُ فَإِنْ تَغَيَّرَ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطِّيبِ لَمْ يَجُزِ التَّيَمُّمُ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ فَلَا يَخْلُو حَالُ مَا أُخْلِطَ بِهِ فِي الطِّيبِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَائِعًا كَمَاءِ الْوَرْدِ أَوْ مَذْرُورًا كَالزَّعْفَرَانِ، فَإِنْ كَانَ مَائِعًا جَازَ التَّيَمُّمُ بِهِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَغْلِبْ عَلَيْهِ وَجَفَّ صَارَ مُسْتَهْلَكًا، وَكَذَا سَائِرُ الْمَائِعَاتِ كَالْخَلِّ وَاللَّبَنِ إِذَا خَالَطَتِ التُّرَابَ، وَإِذَا كَانَ مَذْرُورًا فِي جَوَازِ التَّيَمُّمِ بِذَلِكَ التُّرَابِ وَجْهَانِ: وَكَذَا مَا خَالَطَهُ مِنْ سَائِرِ الْمَذْرُورَاتِ الطَّاهِرَاتِ إِذَا لَمْ يَغْلِبْ عَلَيْهَا كَالدَّقِيقِ وَالرَّمَادِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ: يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِذَلِكَ التُّرَابِ، وَلَا يمنع من استعماله مخالطة لما لَمْ يَغْلِبْ عَلَيْهِ وَيُؤَثِّرْ فِيهِ كَالْمَاءِ، وَهَذَا مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.
(PASAL)
Adapun tanah yang bercampur dengan wewangian atau za‘faran, maka jika berubah karena campuran wewangian tersebut, tidak boleh tayammum dengannya. Jika tidak berubah, maka keadaan campurannya dengan wewangian tidak lepas dari dua kemungkinan:
Pertama, jika campurannya berupa cairan seperti air mawar, maka boleh tayammum dengannya, karena apabila tidak menguasai (dominan) dan telah kering, ia menjadi hilang pengaruhnya. Demikian pula semua cairan lainnya seperti cuka dan susu apabila bercampur dengan tanah.
Kedua, jika campurannya berupa serbuk tabur seperti za‘faran, maka dalam kebolehan tayammum dengan tanah tersebut terdapat dua pendapat. Demikian pula halnya tanah yang bercampur dengan seluruh serbuk tabur yang suci lainnya apabila tidak menguasai (dominan) atas tanah, seperti tepung dan abu, menurut salah satu dari dua pendapat: boleh tayammum dengan tanah tersebut, dan tidak terlarang penggunaannya karena bercampur dengan sesuatu yang tidak menguasai dan berpengaruh padanya, sebagaimana air. Pendapat ini diriwayatkan dari Abū Isḥāq al-Marwazī.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِهِ بِخِلَافِ الْمَاءِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مَائِعٌ فَلَمْ يَمْنَعْ مُخَالَطَةُ الْمَذْرُورِ بِهِ مِنْ وُصُولِ بَلَلِهِ إِلَى أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ، وَالتُّرَابُ جَامِدٌ وَرُبَّمَا سَبَقَ حُصُولُ الْمَذْرُورِ عَلَى الْعُضْوِ فَمَنَعَ مِنْ وُصُولِ التُّرَابِ إِلَيْهِ وَهَذَا مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.
Pendapat yang kedua: tidak boleh tayammum dengan tanah tersebut, berbeda dengan air; karena air adalah cairan, sehingga bercampurnya serbuk tabur tidak menghalangi sampainya basahnya air ke anggota ṭahārah.
Sedangkan tanah adalah benda padat, dan terkadang serbuk tabur tersebut lebih dahulu sampai ke anggota tubuh lalu menghalangi sampainya tanah kepadanya. Pendapat ini diriwayatkan dari Abū ‘Alī bin Abī Hurairah.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا التُّرَابُ الْمُسْتَعْمَلُ فَهُوَ أَنْ يَنْقُلَ مِنْ وَجْهِهِ مَا تَيَمَّمَ بِهِ مِنَ التُّرَابِ فَيَسْتَعْمِلَهُ فِي ذِرَاعَيْهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ، كَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ، قَالَ: بَلْ هُوَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ إِنَّ اسْتِعْمَالَهُ جَائِزٌ بِخِلَافِ الْمَاءِ؛ لِأَنَّهُ يَرْفَعُ الْحَدَثَ فَصَارَ مُسْتَعْمَلًا بِرَفْعِهِ، وَالتَّيَمُّمُ لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ فَلَمْ يَصِرِ التُّرَابُ مستعملاًَ به، وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ الْجَمَاعَةُ مِنْ مَكَانٍ واحد كما يتوضؤون مِنْ مَكَانٍ وَاحِدٍ، وَيَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَنْقُلَ مَا حَصَلَ عَلَى قَدَمِهِ وَيَدَيْهِ مِنْ غُبَارِ التُّرَابِ فَيَتَيَمَّمُ بِهِ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مُسْتَعْمَلًا فِي عِبَادَةٍ.
(PASAL)
Adapun tanah yang digunakan (al-turāb al-musta‘mal) adalah memindahkan tanah dari wajahnya yang telah dipakai untuk tayammum, lalu menggunakannya pada kedua lengannya. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī dan Ibn Abī Hurairah: tidak boleh menggunakannya, sebagaimana air yang telah digunakan (al-mā’ al-musta‘mal). Bahkan, kata mereka, keadaannya lebih buruk daripada air musta‘mal.
Kedua, dan ini yang lebih ṣaḥīḥ, bahwa penggunaannya boleh, berbeda dengan air; karena air mengangkat ḥadats sehingga menjadi musta‘mal dengan sebab itu, sedangkan tayammum tidak mengangkat ḥadats, maka tanah tidak menjadi musta‘mal dengannya.
Namun boleh sekelompok orang bertayammum dari satu tempat tanah, sebagaimana mereka berwudhu dari satu tempat air. Dan boleh bagi seseorang memindahkan debu tanah yang ada di kakinya dan tangannya lalu bertayammum dengannya pada wajah saja, karena debu itu belum digunakan dalam suatu ibadah.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا اسْتَقْبَلَ الْمُتَيَمِّمُ الرِّيحَ حَتَّى سَفَّتِ التُّرَابَ عَلَى وَجْهِهِ فتيمم به الشَّافِعِيُّ لَمْ يُجِزْهُ، وَقَالَ: فِي الْجُنُبِ إِذَا وَقَفَ تَحْتَ مِيزَابٍ حَتَّى عَمَّ الْمَاءُ جَمِيعَ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ أَجْزَأَهُ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِاخْتِلَافِ نَصِّهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مُرَادَ الشَّافِعِيِّ فِي الْمَوْضِعَيْنِ إِذَا لَمْ يُمِرَّ يَدَهُ عَلَى الْعُضْوِ فَيُجْزِئُهُ فِي الْغُسْلِ وَلَا يُجْزِئُهُ فِي التَّيَمُّمِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ يَجْرِي بِطَبْعِهِ فَيَصِلُ إِلَى الْبَدَنِ كُلِّهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ التُّرَابُ، وَلِأَنَّهُ مَذْرُورٌ لَا يَصِلُ إِلَى جَمِيعِ الْعُضْوِ إِلَّا بِالْإِمْرَارِ، وَلَوْ كَانَ أَمَرَّهُ لَأَجْزَأَهُ التَّيَمُّمُ كَمَا يُجْزِئُهُ الْغُسْلُ.
(PASAL)
Apabila orang yang bertayammum menghadap angin sehingga debu tanah tertiup dan menempel di wajahnya lalu ia bertayammum dengannya, maka menurut al-Syafi‘i, hal itu tidak mencukupi.
Beliau berkata: “Adapun orang junub, jika berdiri di bawah talang air hingga air membasahi seluruh rambut dan kulitnya, maka itu mencukupi.”
Para sahabat kami berbeda pendapat karena perbedaan nash beliau menjadi dua pendapat:
Pertama, maksud al-Syafi‘i dalam kedua kasus itu adalah apabila ia tidak mengusapkan tangannya ke anggota tubuh. Maka mencukupi dalam mandi wajib (ghusl), tetapi tidak mencukupi dalam tayammum; karena air mengalir dengan sendirinya sehingga sampai ke seluruh badan, sedangkan tanah tidak demikian, karena ia adalah serbuk tabur yang tidak sampai ke seluruh anggota kecuali dengan pengusapan.
Seandainya ia mengusapkannya, maka tayammumnya mencukupi sebagaimana mandi wajibnya mencukupi.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ آخَرِينَ إِنَّ ذَلِكَ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَقَوْلُهُ فِي التَّيَمُّمِ: إِنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ: يُرِيدُ بِهِ إِذَا حَصَلَ التُّرَابُ عَلَى وَجْهِهِ قَبْلَ تَقَدُّمِ النِّيَّةِ، وَإِنْ أَحْضَرَ النِّيَّةَ عِنْدَ حُصُولِ التُّرَابِ أَجْزَأَهُ، وَقَوْلُهُ في الغسل: إنه يجزئه، ويريد بِهِ إِذَا أَحْضَرَ النِّيَّةَ عِنْدَ إِصَابَةِ الْمَاءِ لِجَسَدِهِ، وَلَوْ تَأَخَّرَتِ النِّيَّةُ لَمْ يُجْزِهِ.
Pendapat yang kedua, yaitu pendapat sebagian ulama lainnya, bahwa hal itu dibawa kepada perbedaan dua keadaan.
Perkataan beliau dalam tayammum bahwa hal itu tidak mencukupi, maksudnya apabila debu tanah mengenai wajahnya sebelum adanya niat. Namun jika ia menghadirkan niat pada saat debu itu mengenai wajahnya, maka tayammumnya mencukupi.
Adapun perkataan beliau dalam mandi wajib bahwa hal itu mencukupi, maksudnya apabila ia menghadirkan niat pada saat air mengenai tubuhnya. Jika niat itu datang belakangan, maka tidak mencukupi.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حَالِ التُّرَابَ فِي جَوَازِ التَّيَمُّمِ بِهِ فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مُسْتَعْمِلًا لِلتُّرَابِ فِي أَعْضَاءِ التَّيَمُّمِ ثُمَّ يعلق بيده من غباره فَإِنْ لَمْ يَعْلَقْ بِيَدِهِ غُبَارٌ لَمْ يُجْزِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ يُجْزِئُهُ، وَإِنْ لَمْ يَعْلَقْ بِيَدِهِ شَيْءٌ مِنْهُ حَتَّى لَوْ أَمَرَّ يَدَهُ عَلَى طِينٍ يَابِسٍ، أَوْ صَخْرَةٍ مَلْسَاءَ ومسح به وَجْهَهُ أَجْزَأَهُ، اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الْأَعْرَجِ عَنِ ابْنِ الصِّمَّةِ قَالَ: مَرَرْتُ بِالنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ يَبُولُ فَتَمَسَّحَ بِجِدَارٍ ثُمَّ تَيَمَّمَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ.
(PASAL)
Apabila telah tetap sebagaimana yang kami sebutkan tentang keadaan tanah dalam kebolehan bertayammum dengannya, maka wajib menggunakan tanah pada anggota tayammum hingga melekat di tangannya debu dari tanah tersebut. Jika tidak melekat di tangannya debu, maka tayammumnya tidak sah.
Abu Ḥanīfah dan Mālik berpendapat: tayammum tetap sah meskipun tidak melekat di tangannya sedikit pun debu, bahkan seandainya ia mengusapkan tangannya pada tanah liat kering atau batu licin lalu mengusapkannya ke wajahnya, maka sah tayammumnya.
Mereka berdalil dengan riwayat al-A‘raj dari Ibn al-Ṣimmah, ia berkata: “Aku melewati Nabi SAW saat beliau sedang buang air, lalu beliau mengusap pada dinding, kemudian bertayammum pada wajah dan kedua lengannya.”
قَالُوا: ” وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْجِدَارَ أَمْلَسُ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ، وَرَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبْزَى عنعَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ نَفَخَ وَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ” قَالُوا: وَبِالنَّفْخِ يَزُولُ مَا عَلَقَ بِالْيَدِ مِنْ تُرَابٍ أَوْ غُبَارٍ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ قَدْ بَاشَرَ بِيَدِهِ مَا يَتَيَمَّمُ بِهِ فَوَجَبَ أَنْ يُجْزِئَهُ قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا عَلِقَ بِيَدِهِ شَيْءٌ مِنْهُ، وَلِأَنَّهُ مَسْحٌ أُقِيمَ مَقَامَ الْغَسْلِ فَلَمْ يَكُنْ مِنْ شَرْطِهِ إِيصَالُ الطَّهُورِ إِلَى الْعُضْوِ، قِيَاسًا عَلَى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
Mereka berkata: “Telah diketahui bahwa dinding itu licin dan tidak memiliki debu. Dan diriwayatkan oleh ‘Abd al-Raḥmān bin Abzā dari ‘Ammār bin Yāsir bahwa Nabi SAW menepukkan tangannya ke tanah, lalu meniupnya, kemudian mengusap wajah dan kedua lengannya dengannya.”
Mereka berkata: “Dengan tiupan itu hilanglah apa yang menempel di tangan berupa tanah atau debu. Dan karena ia telah menyentuh dengan tangannya sesuatu yang dipakai untuk tayammum, maka wajib hukumnya sah, diqiyaskan dengan bila ada yang menempel di tangannya sedikit darinya.
Dan karena tayammum adalah usapan yang menggantikan posisi basuhan, maka tidak menjadi syarat harus menyampaikan alat ṭahūr itu sampai ke anggota tubuh, sebagaimana qiyas pada mengusap di atas kedua khuf.”
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ مِنْهُ) {المائدة: 5) فَأَوْجَبَ الظَّاهِرُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الصَّعِيدِ مَمْسُوحًا بِهِ فِي الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ، فَإِذَا لَمْ يَعْلَقْ بِالْيَدِ شَيْءٌ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ مَمْسُوحًا بِهِ فَلَمْ يَجُزْ، وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَجُعِلَ لِي التُّرَابُ طَهُورًا ” وَمَا لَا يُلَاقِي مَحَلَّ الطَّهَارَةِ لَا يَكُونُ طَهُورًا، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ عَنْ حَدَثٍ فَوَجَبَ أَنْ تَفْتَقِرَ إِلَى اسْتِعْمَالِ مَا يَكُونُ طَهُورًا فِيهَا كَالْوُضُوءِ، وَلِأَنَّهُ مَمْسُوحٌ أُبْدِلَ مِنْ غَسْلٍ فَوَجَبَ إِيصَالُ الْمَمْسُوحِ بِهِ إِلَى مَحَلِّهِ، قِيَاسًا عَلَى مَسْحِ الْجَبَائِرِ وَالْخُفَّيْنِ فِي الطَّهَارَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَفْتَقِرَ إِلَى مَمْسُوحٍ بِهِ قِيَاسًا عَلَى مَسْحِ الرَّأْسِ فِي الْوُضُوءِ.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā:
{fa-msaḥū bi-wujūhikum wa-aydīkum minhu} (QS. al-Mā’idah: 5)
Maka zhahir ayat mewajibkan bahwa harus ada dari ṣa‘īd yang diusap dengannya pada wajah dan kedua tangan. Jika tidak ada yang menempel di tangan sedikit pun darinya, maka berarti tidak ada yang diusap dengannya, sehingga tidak sah.
Dan Nabi SAW bersabda: “Dijadikan bagiku tanah sebagai alat bersuci (ṭahūr).” Sesuatu yang tidak mengenai anggota ṭahārah tidak bisa disebut ṭahūr.
Karena tayammum adalah ṭahārah dari ḥadats, maka wajib membutuhkan penggunaan sesuatu yang memang ṭahūr padanya, sebagaimana wudhu.
Dan karena ia adalah usapan yang menjadi pengganti dari basuhan, maka wajib menyampaikan sesuatu yang diusap dengannya sampai ke tempatnya, diqiyaskan dengan mengusap pada perban (jabā’ir) dan khuf dalam ṭahārah. Maka wajib membutuhkan sesuatu yang diusap dengannya, diqiyaskan dengan mengusap kepala dalam wudhu.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ بِالْجِدَارِ، فَهُوَ أَنَّ الْجِدَارَ لَا يَنْفَكُّ مِنَ الْغُبَارِ، وَأَنَّ الْمَاسِحَ بِيَدِهِ لَا يَخْلُو مِنْ حُصُولِ ذَلِكَ فِيهَا، وَذَلِكَ مُدْرَكٌ بِالْمُشَاهَدَةِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَمَّارٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَفَخَ فِي يَدِهِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ نَفَخَ مَا يَعْلَقُ بِهَا مِنْ كَثِيرِ التُّرَابِ؛ لِأَنَّ النَّفْخَ لَا يُذْهِبُ جَمِيعَ مَا عَلِقَ بها من الغبار.
Adapun jawaban dari hadis bahwa Nabi SAW mengusap dengan dinding, maka dinding itu tidak lepas dari adanya debu, dan orang yang mengusap dengan tangannya tidak akan terlepas dari mendapatkan debu tersebut di tangannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengamatan langsung.
Adapun jawaban dari hadis ‘Ammār bahwa Nabi SAW meniup ke tangannya, maka ada dua sisi:
Pertama, beliau meniup untuk menghilangkan debu yang terlalu banyak menempel di tangannya, karena tiupan itu tidak menghilangkan seluruh debu yang menempel padanya.
والثاني: أنه إنما ينفخ فِكْرَةَ حُصُولِ الْغُبَارِ عَلَى وَجْهِهِ لِأَنَّهُ قَصَدَ بِالتَّيَمُّمِ التَّعْلِيمَ لِعَمَّارٍ؛ لِأَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِنَفْسِهِ، وَفِي الْقَدْرِ الَّذِي فَعَلَهُ كِفَايَةٌ فِي التَّعْلِيمِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَيْهِ إِذَا عَلِقَ بِيَدِهِ غُبَارٌ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ جُعِلَ مُسْتَعْمَلًا لِمَا يَتَطَهَّرُ بِهِ فِي أَعْضَائِهِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، فَيُقْلَبُ عَلَيْهِمْ، فيقال: فوجب أن يكون من شَرْطُهُ إِيصَالَ الطَّهُورِ إِلَى مَحَلِّ التَّطْهِيرِ كَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ أَنَّهُ قَدْ أُقِيمَ مَقَامَ غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ فَلَمْ يَلْزَمْ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى الرِّجْلَيْنِ، وَلَيْسَ كذلك أعضاء التيمم؛ لأنه لم يستدل بها غيرها فيجزي تطهيرها والله أعلم.
Dan yang kedua: bahwa beliau meniup untuk mencegah kemungkinan debu menempel di wajahnya, karena beliau bertayammum dengan tujuan mengajarkan kepada ‘Ammār; sebab beliau ingin bertayammum untuk dirinya, dan kadar yang beliau lakukan sudah mencukupi untuk tujuan pengajaran.
Adapun qiyas mereka bahwa jika ada debu yang menempel di tangan maka sah, maka maknanya adalah bahwa hal itu dianggap telah digunakan untuk bersuci pada anggota-anggota tayammum.
Sedangkan jawaban terhadap qiyas mereka dengan mengusap di atas khuf adalah qiyas itu dibalik kepada mereka, yakni dikatakan: seharusnya menjadi syarat menyampaikan alat ṭahūr ke tempat yang disucikan, sebagaimana mengusap di atas khuf.
Kemudian, makna pada mengusap di atas khuf adalah bahwa ia menjadi pengganti dari membasuh kedua kaki, sehingga tidak wajib menyampaikan air ke kaki. Adapun anggota tayammum tidaklah diganti dengan selainnya, maka wajib mensucikannya secara langsung. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وينوي بالتيمم الفريضة، وَهَذَا صَحِيحٌ النِّيَّةُ فِي التَّيَمُّمِ وَاجِبَةٌ، وَقَدْ وَافَقَ عَلَى وُجُوبِهَا مَالِكٌ وأبو حنيفة، وَإِنْ خَالَفَا فِي الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالتَّيَمُّمُ مَعَ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى وُجُوبِ النِّيَّةِ فِيهِ لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ، وَإِنَّمَا يُبِيحُ فِعْلَالصَّلَاةِ فَيَكُونُ مُوَافِقًا لِلْوُضُوءِ فِي اسْتِبَاحَتِهِ الصَّلَاةَ، وَمُخَالِفًا لَهُ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ، وَقَالَ أبو حنيفة: التَّيَمُّمُ يَرْفَعُ الْحَدَثَ كَالْوُضُوءِ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أيوب عن أبي قلابة عن رجل من بَنِي عَامِرٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طهورٌ ” فَجَعَلَهُ مُطَهِّرًا، قَالَ: وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ عَنْ حَدَثٍ فَوَجَبَ إِذَا اسْتَبَاحَ بِهَا فِعْلَ الصَّلَاةِ أَنْ يُسْتَفَادَ بِهَا رَفْعُ الْحَدَثِ قِيَاسًا عَلَى الْوُضُوءِ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيْ مَا يُتَطَهَّرُ بِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَرْفَعَ الْحَدَثَ كَالْمَاءِ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنِ التَّيَمُّمُ رَافِعًا لِلْحَدَثِ لَمَا أَثَّرَ فِي إبطاله طرؤ الْحَدَثِ، فَلَمَّا بَطَلَ بِالْحَدَثِ الطَّارِئِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ رَافِعًا لِلْحَدَثِ الْأَوَّلِ.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Hendaklah ia berniat dengan tayammum untuk (menunaikan) fardu. Ini adalah benar, bahwa niat dalam tayammum itu wajib. Malik dan Abu Hanifah sepakat atas kewajibannya, meskipun keduanya berbeda pendapat dalam wudhu dan ghusl. Apabila demikian, maka tayammum dengan ijma‘ mereka atas kewajiban niat di dalamnya tidak mengangkat ḥadats, tetapi hanya membolehkan pelaksanaan shalat. Dengan demikian ia serupa dengan wudhu dalam hal membolehkan shalat, namun berbeda dengannya dalam hal mengangkat ḥadats.
Abu Hanifah berkata: Tayammum mengangkat ḥadats sebagaimana wudhu, berdalil dengan riwayat Ayyub dari Abu Qilabah dari seorang laki-laki dari Bani ‘Amir dari Abu Dzar bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya ṣa‘īd yang baik adalah ṭahur (penyuci).” Maka beliau menjadikannya sebagai penyuci. Ia berkata: karena tayammum adalah ṭaharah dari ḥadats, maka wajib jika dengannya boleh melaksanakan shalat, ia juga mengangkat ḥadats sebagaimana wudhu. Ia berkata: karena ia adalah salah satu dari dua jenis yang digunakan untuk bersuci, maka wajib mengangkat ḥadats seperti air. Ia berkata: karena jika tayammum tidak mengangkat ḥadats, niscaya tidak akan berpengaruh pada pembatalannya oleh terjadinya ḥadats baru. Maka ketika tayammum batal dengan ḥadats yang datang kemudian, itu menunjukkan bahwa ia telah mengangkat ḥadats yang pertama.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ فَلَمْ يَرْفَعِ الْحَدَثَ، كَطَهَارَةِ الْمُسْتَحَاضَةِ، وَلِأَنَّهُ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ عِنْدَ رُؤْيَتِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُحْدِثًا كَالْمُصَلِّي مَعَ فَقْدِ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ مَعًا، وَلِأَنَّهُ أَحْدَثَ طَهَارَةً لَا يَسْقُطُ عَنْهُ فَرْضُ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ إِذَا قَدَرَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرْتَفِعْ حَدَثُهُ كَالْمُتَوَضِّئِ بِالْمَاءِ النَّجِسِ، وَلِأَنَّ التَّيَمُّمَ إِذَا ارْتَفَعَ حَدَثُهُ كَالْمُتَوَضِّئِ لَمْ يَلْزَمْهُ الْوُضُوءُ لِصَلَاةٍ مُسْتَقْبَلَةٍ كَالْمُتَوَضِّئِ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَرْفَعِ الْحَدَثَ فِي الْحَضَرِ لَا يَرْفَعُهُ فِي السَّفَرِ قِيَاسًا عَلَى الْمَاءِ إِذَا لَمْ يَكْفِ جَمِيعَ الْبَدَنِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ إِنَّهُ مُنْقَطِعٌ؛ لِأَنَّ فِي إِسْنَادِهِ رجلاً من بني عامر مجهول فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ حُجَّةٌ، ثُمَّ لَوْ صَحَّ لَكَانَ قَوْلُهُ ” طَهُورٌ ” مَحْمُولًا عَلَى سُقُوطِ الْفَرْضِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْوُضُوءِ فَمُنْتَقَضٌ بِطَهَارَةِ الْمُسْتَحَاضَةِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْوُضُوءِ أَنَّهُ لَمَّا يَلْزَمْ مَعَهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ عِنْدَ رُؤْيَتِهِ دَلَّ عَلَى ارْتِفَاعِ الْحَدَثِ بِهِ، وَلَمَّا لَزِمَ الْمُتَيَمِّمَ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ عِنْدَ رُؤْيَتِهِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْحَدَثَ لَمْ يَرْتَفِعْ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْمَاءِ فَالْمَعْنَى فيالْمَاءِ أَنَّهُ مُسْتَعْمَلٌ فِي غَيْرِ الضَّرُورَةِ، فَكَانَتِ الطَّهَارَةُ بِهِ عَامَّةً فِي سُقُوطِ الْفَرْضِ دُونَ رَفْعِ الْحَدَثِ.
Dan dalil kami adalah bahwa tayammum adalah ṭaharah karena darurat, maka tidak mengangkat ḥadats, seperti ṭaharah bagi perempuan mustahāḍah. Dan karena ia termasuk orang yang wajib menggunakan air ketika melihatnya, maka wajib dihukumi tetap berstatus muḥdits, seperti orang yang shalat dalam keadaan tidak memiliki air dan tanah sekaligus. Dan karena ia melakukan ṭaharah yang tidak menggugurkan kewajiban menggunakan air ketika mampu, maka tidak hilang ḥadats-nya, seperti orang yang ber-wudhu dengan air najis.
Dan karena jika tayammum mengangkat ḥadats seperti orang yang ber-wudhu, niscaya ia tidak wajib ber-wudhu untuk shalat yang akan datang, sebagaimana orang yang ber-wudhu. Dan karena sesuatu yang tidak mengangkat ḥadats di waktu hadar (tidak safar) tidak mengangkatnya pula di waktu safar, qiyasnya sebagaimana air yang tidak mencukupi seluruh tubuh.
Adapun jawab terhadap hadis adalah bahwa hadis tersebut munqaṭi‘, karena di sanadnya terdapat seorang laki-laki dari Bani ‘Amir yang majhul, maka tidak dapat dijadikan hujjah. Kemudian, seandainya sahih, maka sabdanya “ṭahūr” ditakwilkan sebagai gugurnya kewajiban (menggunakan air). Adapun qiyasnya dengan wudhu terbantahkan oleh ṭaharah perempuan mustahāḍah. Kemudian, ‘illat pada wudhu adalah bahwa ketika tidak wajib lagi menggunakan air setelah melihatnya, itu menunjukkan bahwa ḥadats telah hilang dengannya. Dan ketika mutayammim tetap wajib menggunakan air ketika melihatnya, itu menunjukkan bahwa ḥadats-nya belum hilang.
Adapun qiyasnya dengan air, maka ‘illat pada air adalah bahwa ia digunakan bukan karena darurat, maka ṭaharah dengannya bersifat umum dalam menggugurkan kewajiban dan juga mengangkat ḥadats, berbeda dengan tayammum yang hanya menggugurkan kewajiban.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: إِنَّهُ لَمَّا بَطَلَ التَّيَمُّمُ بِالْحَدَثِ الطَّارِئِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ قَبْلِهِ مُحْدِثًا، فَهُوَ أَنَّهُ يُسْتَنْبَطُ مِنْهُ دَلِيلٌ عَلَيْهِمْ فَيُقَالُ: لَوْ أَنَّ جُنُبًا تَيَمَّمَ لِجَنَابَتِهِ ثُمَّ أَحْدَثَ بَعْدَ تَيَمُّمِهِ وَوَجَدَ الْمَاءَ لَزِمَهُ أَنْ يَغْتَسِلَ بِهِ، فَلَوْ كَانَ التَّيَمُّمُ رَافِعًا لِحَدَثِهِ لَكَانَ حُكْمُ الْجَنَابَةِ سَاقِطًا وَلَزِمَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ؛ لِمَا طَرَأَ مِنْ حَدَثِهِ، وَفِي ذَلِكَ أَقْوَى دَلِيلٍ عَلَى بَقَاءِ الْحَدَثِ الْأَوَّلِ بَعْدَ تَيَمُّمِهِ، ثُمَّ يُقَالُ إِنَّمَا بَطَلَ تَيَمُّمُهُ بِالْحَدَثِ الطَّارِئِ وَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا لِأَنَّ التَّيَمُّمَ تُبَاحُ بِهِ الصَّلَاةُ بِالْحَدَثِ الْأَوَّلِ لَا بِالْحَدَثِ الطَّارِئِ.
Adapun jawaban terhadap ucapannya: bahwa ketika tayammum batal dengan ḥadats yang datang kemudian, itu menunjukkan bahwa sebelumnya ia tidak berstatus muḥdits, maka dapat diambil darinya dalil yang berbalik kepada mereka. Dikatakan: Seandainya seorang junub bertayammum karena janabah-nya, kemudian ia ber-ḥadats setelah tayammum-nya dan mendapatkan air, maka wajib baginya mandi dengan air tersebut. Seandainya tayammum itu mengangkat ḥadats-nya, niscaya hukum janabah telah gugur, dan ia hanya wajib ber-wudhu karena ḥadats yang baru. Dan ini adalah dalil terkuat bahwa ḥadats yang pertama tetap ada setelah tayammum-nya.
Kemudian dikatakan: sesungguhnya tayammum-nya batal dengan ḥadats yang baru meskipun ia berstatus muḥdits, karena tayammum itu membolehkan shalat hanya disebabkan ḥadats yang pertama, bukan karena ḥadats yang baru.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ، وَأَنَّ النِّيَّةَ فِيهِ وَاجِبَةٌ فَلَهُ فِي نِيَّتِهِ سِتَّةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَنْوِيَ رَفْعَ الْحَدَثِ فَتَيَمُّمُهُ بَاطِلٌ به؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ إِذَا كَانَ لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ فَهَذِهِ النِّيَّةُ مُخَالِفَةٌ لِحُكْمِهِ فَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمُ بِهَا وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يُجْزِئُهُ تَيَمُّمُهُ؛ لِأَنَّ الْمَعْنَى الْمَقْصُودَ بِرَفْعِ الْحَدَثِ إِنَّمَا هُوَ اسْتِبَاحَةُ الصَّلَاةِ.
وَالتَّيَمُّمُ مُبِيحٌ لِلصَّلَاةِ، وَإِنْ لَمْ يَرْتَفِعِ الْحَدَثُ.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: يَنْوِي اسْتِبَاحَةَ الصَّلَاةَ.
(PASAL)
Apabila telah tetap bahwa tayammum tidak mengangkat ḥadats dan bahwa niat di dalamnya adalah wajib, maka ada enam keadaan dalam niatnya:
Pertama: Berniat mengangkat ḥadats, maka tayammum-nya batal dengan niat tersebut, karena tayammum jika tidak mengangkat ḥadats, maka niat seperti ini bertentangan dengan hukumnya sehingga tidak sah tayammum dengannya. Dan sebagian dari ashḥāb kami berkata: tayammum-nya tetap mencukupi, karena maksud yang dikehendaki dari mengangkat ḥadats hanyalah untuk membolehkan shalat, dan tayammum membolehkan shalat meskipun ḥadats tidak hilang.
Kedua: Berniat membolehkan shalat.
فَيَصِحُّ التَّيَمُّمُ لِلنَّوَافِلِ وَلَا يَصِحُّ لِلْفَرَائِضِ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ تُسْتَبَاحُ بِهِ النَّوَافِلُ مِنْ غَيْرِ تَعْيِينٍ، وَلَا يُسْتَبَاحُ بِهِ الْفَرْضُ إِلَّا بِتَعْيِينٍ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَطُوفَ بِهِ لِأَنَّ الطَّوَافَ لَيْسَ بِصَلَاةٍ، فَلَمْ يَدْخُلْ فِيمَا نَوَى مِنِ اسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ، وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ ” فِي رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ هَلْ هِيَ وَاجِبَةٌ أَوْ سُنَّةٌ ” فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا وَاجِبَةٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَلِّيَهَا بِهَذَا التَّيَمُّمِ.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا سُنَّةٌ، جَازَ، وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يَحْمِلَ بِهِ الْمُصْحَفَ، وَيَقْرَأَ بِهِ الْقَرْآنَ إِنْ كَانَ جُنُبًا، بِخِلَافِ الطَّوَافِ؛ لِأَنَّ الطَّوَافَ عِبَادَةٌ مَقْصُودَةٌ.
Maka sah tayammum untuk shalat nawafil dan tidak sah untuk shalat faraidh, karena tayammum membolehkan nawafil tanpa ta‘yīn, sedangkan fardhu tidak boleh kecuali dengan ta‘yīn. Dan tidak boleh ia melakukan ṭawaf dengannya, karena ṭawaf bukan shalat, sehingga tidak termasuk dalam yang diniatkannya dari membolehkan shalat.
Adapun apakah boleh ia shalat dua rakaat ṭawaf dengan tayammum ini atau tidak, ada dua wajah yang diturunkan dari perbedaan dua qaul tentang hukum dua rakaat ṭawaf, apakah wajib atau sunnah. Jika dikatakan hukumnya wajib, maka tidak boleh ia melakukannya dengan tayammum ini. Jika dikatakan hukumnya sunnah, maka boleh.
Namun boleh ia membawa mushaf dengannya, dan membaca Al-Qur’an jika ia dalam keadaan junub, berbeda dengan ṭawaf, karena ṭawaf adalah ibadah yang dimaksudkan secara tersendiri.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَنْوِيَ صَلَاةَ النَّافِلَةِ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ مِنَ النَّوَافِلِ مَا شَاءَ مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مَحْصُورٍ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّي بِهِ الْفَرِيضَةَ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا تَيَمَّمَ لِلنَّافِلَةِ جَازَ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ الْفَرِيضَةَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ كُلَّ طَهَارَةٍ صَحَّ اسْتِبَاحَةُ النَّفْلِ بِهَا صَحَّ اسْتِبَاحَةُ الْفَرْضِ بِهَا كَالْوُضُوءِ؛ لِأَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ صَحَّ فِعْلُهَا مِنَ الْمُتَوَضِّئِ صَحَّ فِعْلُهَا مِنَ الْمُتَيَمِّمِ كَالنَّفْلِ.
Keadaan ketiga: Berniat untuk shalat nawafil, maka boleh baginya shalat nawafil sebanyak yang ia kehendaki tanpa batasan jumlah, dan tidak boleh ia shalat fardhu dengannya.
Abu Hanifah berkata: Jika bertayammum untuk nawafil, boleh ia shalat fardhu dengannya, berdalil bahwa setiap ṭaharah yang sah untuk membolehkan nawafil, maka sah pula untuk membolehkan fardhu, sebagaimana wudhu, karena setiap shalat yang sah dilakukan oleh orang yang ber-wudhu, sah pula dilakukan oleh orang yang bertayammum, seperti nawafil.
وَدَلِيلُنَا هُوَ تَيَمُّمٌ لَمْ يَنْوِ بِهِ الْفَرْضَ لم يَجُزْ أَنْ يُؤَدِّيَ بِهِ الْفَرْضَ قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا تَيَمَّمَ وَلَمْ يَنْوِ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ الْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَنْبَنِي عَلَى أَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ، وَإِذَا لَمْ يَرْفَعْهُ تَعَيَّنَتِ النِّيَّةُ لِمَا يُسْتَبَاحُ بِهِ لِتَكَونَ النِّيَّةُ مُخْتَصَّةً بِعِبَادَةٍ، وَإِذَا لَزِمَ تَعْيِينُ النِّيَّةِ بِالْعِبَادَةِ الْمُسْتَبَاحَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤَدِّيَ الْفَرِيضَةَ بِنِيَّةِ النَّفْلِ لِأَنَّ الْفَرْضَ مُتَنَوِّعٌ، وَهَذَا أَغْلَظُ حُكْمًا، وَالنَّفْلُ تَبَعٌ، وَهُوَ أَخَفُّ حُكْمًا.
Dan dalil kami adalah bahwa tayammum yang tidak diniatkan untuk fardhu tidak boleh digunakan untuk menunaikan fardhu, diqiyaskan dengan orang yang bertayammum tanpa berniat sama sekali.
Kemudian dikatakan kepadanya: pembahasan dalam masalah ini dibangun di atas dua asas:
Pertama: Bahwa tayammum tidak mengangkat ḥadats, dan pembahasannya telah lewat. Jika ia tidak mengangkat ḥadats, maka wajib ta‘yīn niat untuk ibadah yang dibolehkan dengannya, agar niat itu khusus untuk suatu ibadah tertentu.
Kedua: Jika wajib ta‘yīn niat pada ibadah yang dibolehkan, maka tidak boleh menunaikan fardhu dengan niat nawafil, karena fardhu itu beragam jenisnya dan lebih berat hukumnya, sedangkan nawafil adalah pengikut (tabi‘) dan lebih ringan hukumnya.
وَالْأَصْلُ الثَّانِي: أَنَّ التَّيَمُّمَ الْوَاحِدَ لَا يُسْتَبَاحُ بِهِ أَدَاءُ فَرْضَيْنِ، وَالْكَلَامُ فِيهِ يَأْتِي وَمَعْنَاهُ الْمَانِعُ مِنْهُ أَنَّ الصَّلَاةَ الثَّانِيَةَ لَيْسَتْ تَبَعًا لِلْأُولَى وَكَذَا الْفَرِيضَةَ لَيْسَتْ تَبَعًا لِلنَّافِلَةِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ على الوضوء فالمعنى يفيه: أَنَّهَا طَهَارَةُ رَفَاهَةٍ فَكَانَ حُكْمُهَا أَقْوَى فِي أداء الفرض بتيمم النفل، والتيمم طهارة ضرورة فَضَعُفَ حُكْمُهَا عَنْ أَدَاءِ الْفَرْضِ بِتَيَمُّمِ النَّفْلِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى النَّفْلِ فَنَحْنُ لَا نَمْنَعُ مِنْ أَدَاءِ الْفَرْضِ بِالتَّيَمُّمِ إِذَا نَوَى بِهِ الْفَرْضَ فَصِرْنَا قَائِلِينَ بِمُوجِبِهِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي النَّفْلِ أَنَّهُ كَانَ أَخَفَّ حُكْمًا جَازَ أَنْ يُسْتَبَاحَ بِتَيَمُّمٍ لَمْ يُقْصَدْ لَهُ وَالْفَرْضُ أَغْلَظُ حُكْمًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَبَاحَ بِتَيَمُّمٍ لَمْ يُقْصَدْ لَهُ.
Asas kedua: Satu tayammum tidak boleh digunakan untuk menunaikan dua fardhu, dan pembahasannya akan datang. Maknanya yang menjadi penghalang adalah bahwa shalat kedua tidak menjadi tabi‘ bagi shalat pertama, demikian pula fardhu tidak menjadi tabi‘ bagi nawafil.
Adapun jawaban terhadap qiyasnya dengan wudhu, maka maknanya adalah: wudhu adalah ṭaharah kemudahan (rafāhah), sehingga hukumnya lebih kuat dalam membolehkan pelaksanaan fardhu dengan tayammum untuk nawafil. Sedangkan tayammum adalah ṭaharah darurat, maka hukumnya lebih lemah untuk membolehkan pelaksanaan fardhu dengan tayammum untuk nawafil.
Adapun jawaban terhadap qiyasnya dengan nawafil, maka kami tidak melarang pelaksanaan fardhu dengan tayammum jika ia meniatkannya untuk fardhu, sehingga kami menjadi pihak yang berkata sesuai dengan konsekuensinya. Kemudian, makna dalam nawafil adalah bahwa karena hukumnya lebih ringan, maka boleh dibolehkan dengan tayammum yang tidak diniatkan untuknya. Sedangkan fardhu hukumnya lebih berat, maka tidak boleh dibolehkan dengan tayammum yang tidak diniatkan untuknya.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ ينوي تيمم صَلَاةَ الْفَرْضِ فَيُجْزِئُهُ لِلْفَرِيضَةِ وَالنَّوَافِلِ، لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَلْزَمُهُ تَعْيِينُ الْفَرْضِ الَّذِي يُرِيدُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهُ فَإِذَا نَوَى تَيَمُّمَ صَلَاةِ الْفَرْضِ جَازَ أَنْ يُؤَدِّيَ بِهِ أَيَّ فَرْضٍ شَاءَ مِنْ ظُهْرٍ أَوْ عَصْرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، فَإِذَا أَدَّى بِهِ فَرْضًا وَاجِبًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤَدِّيَ بِهِ فَرْضًا فَائِتًا، وَيُصَلِّي بِهِ مَا شَاءَ مِنَ النَّوَافِلِ، وَعَلَى هَذَا لَوْ نَوَى بِتَيَمُّمِهِ صَلَاةَ الظُّهْرِ فَلَمْ يُصَلِّهَا وَأَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ فَرْضًا غَيْرَهَا مِنْ فائتة أو غير فائتة جاز؛ لأن تَيَمُّمٌ كَامِلٌ لِفَرْضٍ لَمْ يُؤَدِّهِ.
Keadaan keempat: Berniat tayammum untuk shalat fardhu, maka mencukupi untuk fardhu dan nawafil. Namun, ashḥāb kami berbeda pendapat apakah wajib ta‘yīn fardhu yang ingin ia lakukan tayammum untuknya atau tidak, dengan dua wajah:
Pertama: Tidak wajib ta‘yīn. Maka jika ia berniat tayammum untuk shalat fardhu, boleh ia menunaikan shalat fardhu apa saja yang ia kehendaki, baik ẓuhr, ‘aṣr, atau selainnya. Jika ia telah menunaikan satu fardhu yang wajib, tidak boleh lagi ia melaksanakan fardhu yang fā’it dengannya, namun ia boleh shalat nawafil sebanyak yang ia kehendaki.
Atas pendapat ini, jika ia berniat dengan tayammum-nya untuk shalat ẓuhr, lalu ia tidak menunaikannya, dan ingin melaksanakan fardhu lain, baik yang fā’it maupun bukan, maka boleh; karena itu adalah tayammum sempurna untuk fardhu yang belum ia laksanakan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ تَعْيِينَ نِيَّةِ الْفَرْضِ فِي تَيَمُّمِهِ وَاجِبَةٌ وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْ فِي نِيَّةِ الْفَرْضِ الَّذِي يُرِيدُ أَنْ يُؤَدِّيَهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ فَرْضًا، وَجَازَ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ النَّوَافِلَ؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ أَضْعَفُ مِنَ الْوُضُوءِ فَلَزِمَهُ تَعْيِينُ الصَّلَاةِ الَّتِي تُؤَدَّى فِي نِيَّتِهِ فَعَلَى هَذَا لَوْ تَيَمَّمَ لِصَلَاةِ الظُّهْرِ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ بِتَيَمُّمِهِ عِنْدَ الظُّهْرِ فَرْضًا فَائِتًا لَمْ يَجُزْ.
Wajah kedua: Bahwa ta‘yīn niat fardhu dalam tayammum itu wajib. Jika ia tidak menentukan fardhu yang ingin ia laksanakan, maka tidak boleh ia menunaikan fardhu dengannya, namun boleh ia melaksanakan nawafil. Sebab, tayammum itu lebih lemah daripada wudhu, maka wajib baginya ta‘yīn shalat yang akan ditunaikan dalam niatnya.
Atas pendapat ini, jika ia bertayammum untuk shalat ẓuhr, kemudian pada waktu ẓuhr ia ingin melaksanakan fardhu yang fā’it, maka tidak boleh.
وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ: أَنْ يَنْوِيَ بِتَيَمُّمِهِ مَا لَا يَجُوزُ فِعْلُهُ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ، مِثْلَ أَنْ يَنْوِيَ الْمُحْدِثُ بِتَيَمُّمِهِ حَمْلَ الْمُصْحَفِ أَوْ يَنْوِيَ الْجُنُبُ بِتَيَمُّمِهِ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ أَوْ تَنْوِيَ الْحَائِضُ بتيممها وطأ الزَّوْجِ، فَيَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَ بِهِ مَا نَوَى، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ فَرْضًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْهُ، وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ النَّفْلَ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Keadaan kelima: Berniat dengan tayammum-nya untuk sesuatu yang tidak boleh dilakukan tanpa ṭaharah, seperti orang muḥdits berniat dengan tayammum-nya untuk membawa mushaf, atau orang junub berniat dengan tayammum-nya untuk membaca Al-Qur’an, atau perempuan ḥā’iḍ berniat dengan tayammum-nya untuk digauli suaminya.
Maka boleh ia melakukan apa yang ia niatkan, namun tidak boleh ia melaksanakan shalat fardhu dengannya karena tidak meniatkannya. Adapun apakah boleh ia shalat nawafil dengannya atau tidak, terdapat dua wajah.
أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُهُ لِأَنَّ النَّفْلَ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى تَعْيِينِ النِّيَّةِ لَهُ بِخِلَافِ الْفَرْضِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ لِأَنَّ نَفْلَ الصَّلَاةِ أَوْكَدُ مِمَّا يَتَيَمَّمُ لَهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَبِيحَهُ بِتَيَمُّمِ مَا هُوَ أَخَفُّ مِنْهُ كَمَا أَنَّ الْفَرْضَ لَمَّا كَانَ أَوْكَدَ مِنَ النَّفْلِ لَمْ يُسْتَبَحْ بِتَيَمُّمِ النَّفْلِ.
الْحَالُ السَّادِسَةُ: أَنْ يَنْوِيَ التَّيَمُّمَ وَحْدَهُ أَوْ يَنْوِيَ الطَّهَارَةَ وَحْدَهَا فَيَكُونُ تَيَمُّمًا بَاطِلًا لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَبِيحَ بِهِ فَرْضًا وَلَا نَفْلًا وَلَا مَا كَانَ عَلَى الْمُحْدِثِ مَحْظُورًا؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ إِنَّمَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ عِنْدَ حُضُورِ فِعْلٍ لَا يَجُوزُ إِلَّا بِهِ، فَضَعُفَ حُكْمُهُ عَنْ أَنْ يَصِحَّ إِلَّا بِمُجَرَّدِ نِيَّتِهِ والله أعلم.
Salah satunya: Mencukupi, karena nawafil tidak memerlukan ta‘yīn niat secara khusus baginya, berbeda dengan fardhu.
Wajah kedua: Tidak mencukupi, karena shalat nawafil lebih kuat daripada perkara yang ia niatkan tayammum untuknya, sehingga tidak boleh membolehkannya dengan tayammum untuk sesuatu yang kedudukannya lebih ringan. Sebagaimana fardhu, ketika kedudukannya lebih kuat daripada nawafil, tidak boleh dibolehkan dengan tayammum untuk nawafil.
Keadaan keenam: Berniat tayammum saja atau berniat ṭaharah saja, maka tayammum-nya batal dan tidak boleh digunakan untuk membolehkan fardhu, nawafil, maupun perkara yang terlarang bagi muḥdits, karena tayammum hanya dibolehkan karena darurat ketika hendak melakukan suatu amalan yang tidak boleh dilakukan kecuali dengannya. Maka hukumnya lebih lemah sehingga tidak sah kecuali dengan niat khusus untuk itu. والله أعلم
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فيضرب عَلَى التُّرَابِ ضَرْبَةً وَيُفَرِّقُ أَصَابِعَهُ حَتَّى يُثِيرَ التُّرَابَ ثُمَّ يَمْسَحُ بِيَدِهِ وَجْهَهُ كَمَا وَصَفْتُ فِي الْوُضُوءِ ثُمَّ يَضْرِبُ ضَرْبَةً أُخْرَى كَذَلِكَ ثم يمسح ذراعه اليمنى فيضع كفه اليسرى على ظهر كفه اليمنى وأصابعها ثم يمرها على ظهر الذراع إلى مرفقه ثم يدير كفه إلى بطن الذراع ثم يقبل بها إلى كوعه ثم يمرها على ظهر إبهامه ويكون بطن كفه اليمنى لم يمسها شيءٌ من يده فيمسح بها اليسرى كما وصفت في اليمنى “.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Hendaklah ia menepukkan tangannya ke tanah satu tepukan, lalu merenggangkan jari-jarinya hingga debu terangkat, kemudian mengusap wajahnya dengan tangannya sebagaimana telah aku jelaskan dalam wudhu. Lalu ia menepukkan lagi satu tepukan seperti itu, kemudian mengusap lengan kanannya. Ia meletakkan telapak tangan kirinya di punggung telapak tangan kanannya dan jari-jarinya, lalu menggerakkannya di punggung lengan hingga ke siku. Kemudian ia memutar telapak tangannya ke bagian dalam lengan lalu membawanya kembali ke pergelangan, kemudian mengusapkannya pada punggung ibu jarinya. Bagian telapak tangan kanannya yang tidak tersentuh oleh apa pun dari tangannya, digunakan untuk mengusap tangan kiri sebagaimana cara mengusap tangan kanan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ التَّيَمُّمَ هُوَ مَسْحُ الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ دُونَ الرَّأْسِ وَالرِّجْلَيْنِ، وَهَذَا صَرِيحُ الْكِتَابِ وَنَصُّ السُّنَّةِ. وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي أَقَلِّ مَا يُمْكِنُ مَسْحُ وَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ فَرُوِيَ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثِ ضَرَبَاتٍ ضَرْبَةٍ لِوَجْهِهِ وَضَرْبَةٍ لِكَفَّيْهِ وَضَرْبَةٍ لِذِرَاعَيْهِ، وَحُكِيَ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ رَاهْوَيْهِ أَنَّهُ يُجْزِئُهُ ضَرْبَةٌ وَاحِدَةٌ لِوَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ إِنْ تَيَمَّمَ بِأَقَلَّ مِنْ ضَرْبَتَيْنِ ضَرْبَةٍ لِوَجْهِهِ وَضَرْبَةٍ لِذِرَاعَيْهِ لِرِوَايَةِ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” في التيمم ضربتين ضربة للوجه وضربة للذراعين إلى المرفقين ” وروى عُرْوَةُ بْنُ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: التَيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلذِّرَاعَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ.
Al-Māwardī berkata: “Ini benar. Telah kami sebutkan bahwa tayammum adalah mengusap wajah dan kedua lengan tanpa kepala dan kedua kaki, dan ini adalah ketegasan Al-Qur’an serta nash sunnah.
Manusia berbeda pendapat tentang paling sedikitnya usapan yang mencukupi untuk wajah dan kedua lengannya. Diriwayatkan dari Ibn Sīrīn bahwa tidak mencukupi kurang dari tiga tepukan: satu tepukan untuk wajah, satu tepukan untuk kedua telapak tangan, dan satu tepukan untuk kedua lengan.
Diriwayatkan dari Isḥāq bin Rāhuwaih bahwa mencukupi satu tepukan untuk wajah dan kedua lengannya.
Mazhab al-Syafi‘i adalah bahwa tidak mencukupi jika tayammum dengan kurang dari dua tepukan: satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua lengannya, berdasarkan riwayat Sālim dari Ibn ‘Umar dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Dalam tayammum ada dua tepukan: tepukan untuk wajah dan tepukan untuk kedua lengan hingga siku.”
Dan diriwayatkan oleh ‘Urwah bin Tsābit dari Abū al-Zubair dari Jābir dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tayammum adalah satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua lengan hingga siku.”
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَكْتَفِي بِضَرْبَتَيْنِ لَا يُجْزِئُهُ أَقَلُّ مِنْهُمَا فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ضَرَبَ بِيَدَيْهِ عَلَى التُّرَابِ وَفَرَّقَ أَصَابِعَهُ حَتَّى يُثِيرَ التُّرَابَ، وَلَيْسَ ضَرْبُ يَدَيْهِ عَلَى التُّرَابِ شَرْطًا بَلِ الْوَاجِبُ أَنْ يَعْلَقَ الْغُبَارُ بِيَدِهِ، فَإِنْ كَانَ الْغُبَارُ يَعْلَقُ بِيَدَيْهِ إِذَا أَبْسَطَهُمَا عَلَى التُّرَابِ جَازَ أَنْ يَبْسُطَهُمَا عَلَى التُّرَابِ، وَإِنْ كَانَ الْغُبَارُ لَا يَعْلَقُ بِيَدَيْهِ لَزِمَهُ أَنْ يَضْرِبَ بِهِمَا عَلَى التُّرَابِ حَتَّى يَعْلَقَ الْغُبَارُ بِهِمَا، فَأَمَّا تَفْرِيقُ أَصَابِعِهِ فَلِيَصِلَ غُبَارُ التُّرَابِ إِلَى مَا بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَإِيصَالُ الْغُبَارِ إِلَى ذَلِكَ وَاجِبٌ فَإِذَا ضَرَبَ بِيَدَيْهِ عَلَى التُّرَابِ، وَعَلِقَ بِهِمَا الغبار فقد حَكَى الزَّعْفَرَانِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ قَالَ: أَسْتَحِبُّ لَهُ أَنْ يَنْفُخَ فِي يَدَيْهِ وَلَمْ يَسْتَحِبَّهُ فِي الْجَدِيدِ، فَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُخَرِّجُ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِ نَصِّهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ.
(PASAL)
Apabila telah tetap bahwa mencukupi dengan dua tepukan dan tidak mencukupi kurang dari itu, maka Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Menepukkan kedua tangannya ke tanah dan merenggangkan jari-jarinya hingga debu terangkat. Menepukkan kedua tangan ke tanah bukanlah syarat, tetapi yang wajib adalah melekatnya debu pada kedua tangannya.
Jika debu dapat melekat pada kedua tangannya dengan cara meletakkannya di atas tanah, maka boleh ia meletakkannya saja. Namun jika debu tidak melekat pada kedua tangannya, maka wajib menepukkannya ke tanah hingga debu melekat pada keduanya.
Adapun merenggangkan jari-jari bertujuan agar debu sampai ke sela-sela jari, dan menyampaikan debu ke bagian tersebut adalah wajib.
Apabila ia menepukkan kedua tangannya ke tanah dan debu telah melekat pada keduanya, maka al-Za‘farānī meriwayatkan dari al-Syafi‘i dalam qaul qadīm bahwa beliau berkata: ‘Aku menyukai ia meniup kedua tangannya.’ Namun beliau tidak menyukainya dalam qaul jadīd. Maka sebagian ashḥāb kami mengeluarkan masalah ini menjadi dua pendapat sesuai perbedaan nash beliau di dua tempat tersebut.”
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ نَفْخَ الْيَدَيْنِ سُنَّةٌ؛ لِأَنَّ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ رَوَى عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ لَيْسَ بِسُنَّةٍ، وَرَوَاهُ جَابِرٌ وَابْنُ عُمَرَ، وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَنَصُّهُ فِي الْقَدِيمِ عَلَى اسْتِحْبَابِ نَفْخِهِمَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّ مَا عَلِقَ بِيَدِهِ مِنَ التُّرَابِ كَثِيرٌ، فَكَانَتِ السُّنَّةُ فِي نَفْخِهِمَا لِيَقِلَّ مَا يَسْتَعْمِلُهُ فِي وَجْهِهِ مِنَ الْغُبَارِ فَلَا يَصِحُّ وَنَصُّهُ فِي الجديد على استحباب عَلَى تَرْكِ الِاسْتِحْبَابِ لِنَفْخِهِمَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّ مَا عَلِقَ بِيَدِهِ مِنَ التُّرَابِ غُبَارٌ قَلِيلٌ إِنْ نَفَخَهُمَا لَمْ يُبْقِ فِيهِمَا شَيْئًا يَسْتَعْمِلُهُ.
Salah satunya, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm: bahwa meniup kedua tangan adalah sunnah, karena ‘Ammār bin Yāsir meriwayatkan dari Nabi SAW.
Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadīd: bahwa meniup kedua tangan tidak sunnah, dan ini diriwayatkan oleh Jābir dan Ibn ‘Umar.
Sebagian ashḥāb kami berkata: Hal ini bukan pada dua pendapat, melainkan pada perbedaan dua keadaan. Nash beliau dalam qaul qadīm tentang disunnahkannya meniup kedua tangan dibawa kepada kondisi ketika debu yang melekat di tangan cukup banyak, maka sunnah meniupnya agar debu yang digunakan pada wajah menjadi lebih sedikit sehingga tidak terlalu menutupi.
Sedangkan nash beliau dalam qaul jadīd tentang tidak disunnahkannya meniup kedua tangan dibawa kepada kondisi ketika debu yang melekat hanya sedikit, yang jika ditiup tidak akan tersisa debu untuk digunakan.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ عَدَدِ ضَرَبَاتِ التُّرَابِ وَصِفَتِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَمْسَحَ بِالضَّرْبَةِ الْأُولَى وَجْهَهُ بِكَفَّيْهِ مَعًا، ثُمَّ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنْ يَبْدَأَ بِأَعْلَى وَجْهِهِ كَالْوُضُوءِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَبْدَأُ بِأَسْفَلِ وَجْهِهِ، ثُمَّ يَسْتَعْلِي لِأَنَّ الْمَاءَ فِي الْعُضْوِ إِذَا اسْتَعْلَى بِهِ انْحَدَرَ بِطَبْعِهِ فَعَمَّ جَمِيعَ وَجْهِهِ، وَالتُّرَابُ لَا يَجْرِي عَلَى الْوَجْهِ إِلَّا بِإِمْرَارِهِ بِالْيَدِ فَيَبْدَأُ بِأَسْفَلِ وَجْهِهِ لِيَقِلَّ مَا يَحْصُلُ فِي أَعْلَاهُ مِنَ الْغُبَارِ لِيَكُونَ أَجْمَلَ وَأَسْلَمَ لِعَيْنِهِ، ثُمَّ يَضْرِبُ الضَّرْبَةَ الثَّانِيَةَ لِذِرَاعَيْهِ عَلَى مَا وَصَفْنَا فَيَمْسَحُ ذِرَاعَهُ الْيُمْنَى بِكَفِّهِ الْيُسْرَى فَيَبْدَأُ مِنْ أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ لَا يَخْتَلِفُ جَمِيعُ أَصْحَابِنَا فِيهِ فَيَضَعُ ظَاهِرَ كَفِّهِ الْيُمْنَى عَلَى بُطُونِ أَصَابِعِ كَفِّهِ الْيُسْرَى، ثُمَّ يُمِرُّ بُطُونَ أَصَابِعِ كَفِّهِ الْيُسْرَى عَلَى ظَاهِرِ كَفِّهِ الْيُمْنَى وَظَاهِرِ ذِرَاعِهِ إِلَى مِرْفَقِهِ ثُمَّ يُدِيرُ بَاطِنَ رَاحَتِهِ عَلَى بَاطِنِ ذِرَاعَيْهِ، وَيُمِرُّهَا إِلَى كُوعِهِ ثُمَّ بَاطِنِ إِبْهَامِهِ الْيُسْرَى عَلَى ظَاهِرِ إِبْهَامِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَمْسَحُ ذِرَاعَهُ الْيُسْرَى بِكَفِّهِ الْيُمْنَى عَلَى مَا وَصَفْنَا فَهَذِهِ رِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ وَرَوَى الرَّبِيعُ عَنِ الشَّافِعِيِّ، وَحَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ يَمْسَحُ ظَاهِرَ ذِرَاعِهِ بِجَمِيعِ كَفِّهِ إِلَّا بَاطِنَ إِبْهَامِهِ ثُمَّ يُدِيرُ بَاطِنَ إِبْهَامِهِ عَلَى بَاطِنِ ذِرَاعِهِ، وَرِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ أَشْهَرُ وَأَصَحُّ تَعْدِيلًا بَيْنَ ظَاهِرِ الذراع وباطنها.
(PASAL)
Apabila telah tetap sebagaimana kami jelaskan tentang jumlah tepukan tanah dan sifatnya, maka hendaknya ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan sekaligus pada tepukan pertama.
Mazhab al-Syafi‘i adalah memulai dari bagian atas wajah sebagaimana dalam wudhu. Sebagian ashḥāb kami berkata: memulai dari bagian bawah wajah lalu naik ke atas, karena air pada anggota wudhu bila digunakan dari atas akan mengalir ke bawah dengan sendirinya sehingga membasahi seluruh wajah, sedangkan debu tidak dapat mengalir di wajah kecuali dengan digosokkan menggunakan tangan. Maka memulai dari bawah wajah lebih sedikit menghasilkan debu di bagian atas wajah sehingga lebih indah dan lebih aman bagi mata.
Kemudian ia menepukkan tepukan kedua untuk kedua lengannya sebagaimana telah kami jelaskan. Ia mengusap lengan kanannya dengan telapak tangan kirinya, dimulai dari ujung jari-jarinya — dan semua ashḥāb kami sepakat dalam hal ini. Ia meletakkan punggung telapak tangan kanannya di atas telapak jari-jari tangan kirinya, lalu menggerakkan telapak jari-jari tangan kirinya di punggung telapak tangan kanannya dan punggung lengannya hingga ke siku, kemudian memutar telapak tangannya ke bagian dalam lengannya dan menggerakkannya ke pergelangan tangan, lalu bagian dalam ibu jari kirinya digerakkan di atas punggung ibu jari kanannya.
Setelah itu ia mengusap lengan kirinya dengan telapak tangan kanannya sebagaimana telah dijelaskan.
Inilah riwayat al-Muzanī. Adapun al-Rabī‘ meriwayatkan dari al-Syafi‘i, dan Ibn Abī Hurairah menukilkan bahwa ia mengusap punggung lengannya dengan seluruh telapak tangannya kecuali bagian dalam ibu jarinya, lalu memutar bagian dalam ibu jarinya ke bagian dalam lengannya. Riwayat al-Muzanī lebih masyhur dan lebih sahih karena lebih seimbang antara mengusap punggung lengan dan bagian dalamnya.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وَيَمْسَحُ إِحْدَى الرَّاحَتَيْنِ بِالْأُخْرَى، وَيُخَلِّلُ بَيْنَ أَصَابِعِهِمَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا مَسْحُ إِحْدَى الرَّاحَتَيْنِ بِالْأُخْرَى فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ مُسْتَحَبٌّ؛ لِأَنَّ الْغُبَارَ قَدْ وَصَلَ إِلَى جَمِيعِهَا، فَلَمْ يَلْزَمْ مَسْحُهَا كَالْمَاءِ.
(Masalah)
Al-Syafi‘i berkata: “Mengusap salah satu telapak tangan dengan telapak tangan yang lain, dan menyela-nyela di antara jari-jarinya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun mengusap salah satu telapak tangan dengan telapak tangan yang lain, terdapat dua wajah:
Pertama: Disunnahkan, karena debu telah sampai ke seluruh bagian telapak tangan, sehingga tidak wajib mengusapnya sebagaimana halnya air.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ ذَلِكَ وَاجِبٌ بِخِلَافِ الْمَاءِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ جارٍ بِطَبْعِهِ فَيَصِلُ إِذَا جرى إِلَى جَمِيعِ الْعُضْوِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ التُّرَابُ؛ لِأَنَّهُ جَامِدٌ لَا يَكَادُ يَصِلُ إِلَى تَكَاسِيرِ الْعُضْوِ إِلَّا بِإِمْرَارِهِ وَمُبَاشَرَتِهِ، فَأَمَّا تَخْلِيلُ الْأَصَابِعِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ وَصَلَ غُبَارُ التُّرَابِ إِلَى مَا بَيْنَ الْأَصَابِعِ كَانَ تَخْلِيلُهَا وَاجِبًا، وَإِنْ كان قد وصل إليها ففي وجوب تحليلها وَجْهَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا.
Wajah kedua: Bahwa hal itu wajib, berbeda dengan air. Sebab, air mengalir dengan sendirinya sehingga apabila mengalir akan sampai ke seluruh anggota, sedangkan debu adalah benda padat yang hampir tidak bisa sampai ke lekukan-lekukan anggota kecuali dengan digosokkan dan disentuhkan secara langsung.
Adapun menyela-nyela jari, jika debu belum sampai ke sela-sela jari, maka menyelanya wajib. Namun jika debu sudah sampai ke sela-sela jari, maka dalam kewajiban menyelanya terdapat dua wajah sebagaimana yang telah kami sebutkan.
فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ ضَيَّقَ الشَّافِعِيُّ صِفَةَ التَّيَمُّمِ بِهَاتَيْنِ الضَّرْبَتَيْنِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي ذَكَرَهُ؟ فَفِيهِ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ اتَّبَعَ فِيهِ الرِّوَايَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
والثاني: أنه خرج عن سُؤَالِ سَائِلٍ زَعَمَ أَنَّ مَسْحَ الذِّرَاعَيْنِ بِضَرْبَةٍ وَاحِدَةٍ مُسْتَحِيلٌ فَبَيَّنَ وَجْهَ صِحَّتِهِ، وَبُطَلَانَ اسْتِحَالَتِهِ، فَلَوْ لَمْ يَكْتَفِ بِضَرْبَتَيْنِ اسْتَعْمَلَ ضَرْبَةً ثَالِثَةً وَرَابِعَةً حَتَّى يَعُمَّ جَمِيعَ وَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ.
Maka jika dikatakan: “Mengapa al-Syafi‘i membatasi sifat tayammum dengan dua kali tepukan sebagaimana yang ia sebutkan?” Maka ada dua jawaban:
Pertama: karena ia mengikuti riwayat dari Nabi SAW.
Kedua: karena ia menjawab pertanyaan seorang penanya yang mengira bahwa mengusap kedua dzira‘ dengan satu kali tepukan itu mustahil, lalu ia menjelaskan sisi kebenarannya dan batalnya kemustahilan tersebut. Maka seandainya tidak cukup dengan dua kali tepukan, niscaya ia menggunakan tepukan ketiga dan keempat hingga merata pada seluruh wajah dan kedua dzira‘-nya.
(مَسْأَلَةٌ)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ أَبْقَى شَيْئًا مِمَّا كَانَ يَمُرُّ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ حَتَّى صَلَّى أَعَادَ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنَ التَّيَمُّمِ ثُمَّ يُصَلِّي “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ اسْتِيعَابُ جَمِيعِ الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ فِي التيمم واجب كالوضوء، فكل مَوْضِعٍ مِنْهُمَا لَزِمَ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَيْهِ فِي الْوُضُوءِ لَزِمَ إِيصَالُ الْغُبَارِ إِلَيْهِ فِي التَّيَمُّمِ، فَإِنْ تَرَكَ مِنْ وَجْهِهِ أَوْ مِنْ ذِرَاعَيْهِ شَيْئًا لَمْ يَصِلِ الْغُبَارُ إِلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ لَمْ يُجْزِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ تَرَكَ أَقَلَّ مِنْ قَدْرِ الدِّرْهَمِ أَجْزَأَهُ وَكَانَ مَعْفُوًّا عَنْهُ وَإِنْ تَرَكَ قَدْرَ الدِّرْهَمِ فَصَاعِدًا لَمْ يُجْزِهِ، وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ قَدْرَ الدِّرْهَمِ حَدٌّ لِلْمَعْفُوِّ عَنْهُ فِي النَّجَاسَةِ، فَصَارَ أَصْلًا لِلْمَعْفُوِّ عَنْهُ فِي التَّيَمُّمِ، ثُمَّ اسْتَدَلَّ بِأَنَّ الْغَسْلَ إِذَا تَبَدَّلَ بِالْمَسْحِ جَازَ أَنْ لَا يَقَعَ فِيهِ الِاسْتِيعَابُ كَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ مِنْهُ} (المائدة: 6) .
(Masalah)
Al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika menyisakan sesuatu yang seharusnya dilewati wudhu hingga ia shalat, maka ia mengulang bagian yang tersisa tersebut dari tayammum, lalu ia shalat.”
Al-Māwardī berkata: “Ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa mencakup seluruh wajah dan kedua dzira‘ dalam tayammum itu wajib seperti dalam wudhu. Maka setiap bagian dari keduanya yang wajib sampai air padanya dalam wudhu, wajib pula sampai debu padanya dalam tayammum. Jika ia meninggalkan sebagian dari wajahnya atau kedua dzira‘-nya yang tidak terkena debu, meskipun sedikit, maka tidak sah baginya.
Abu Hanifah berkata: Jika meninggalkan bagian kurang dari kadar satu dirham, maka sah dan dimaafkan, namun jika meninggalkan kadar satu dirham atau lebih, maka tidak sah. Ia membangun hal itu di atas pendapatnya bahwa kadar satu dirham adalah batasan untuk yang dimaafkan dalam najis, sehingga menjadi batasan pula untuk yang dimaafkan dalam tayammum.
Kemudian ia berdalil bahwa jika basuhan diganti dengan usapan, boleh tidak dilakukan secara menyeluruh, seperti mengusap di atas khuff.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ مِنْهُ} (al-Māidah: 6).
وَقَدْ ثَبَتَ اتِّفَاقُنَا وَإِيَّاهُ أَنَّ الْبَاءَ لَمْ تَدْخُلْ هَا هُنَا لِلتَّبْعِيضِ فَصَارَتِ الْآيَةُ مُوجِبَةً لِلتَّيَمُّمِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ لَمْ يُسَامَحْ فِيهَا بِالدِّرْهَمِ فَلَمْ يُسَامَحْ فِيهَا بِأَقَلَّ مِنَ الدِّرْهَمِ كَالْوُضُوءِ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَجُزْ تَرْكُهُ مِنْ مَحَلِّ وُضُوئِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُهُ مِنْ مَحَلِّ تَيَمُّمِهِ كَالدِّرْهَمِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا ذَكَرَهُ مِنْ بِنَائِهِ عَلَى أَصْلِهِ فِي النَّجَاسَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Dan sungguh telah tetap kesepakatan kami dan dia bahwa huruf bā’ di sini tidak masuk untuk tab‘īḍ, maka ayat ini mewajibkan istīmāl seluruh anggota tayammum. Dan karena ia adalah ṭahārah yang tidak diberi keringanan pada ukuran dirham, maka tidak diberi keringanan pula pada yang kurang dari dirham, sebagaimana wudhu. Dan karena sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan dari anggota wudhu, tidak boleh pula ditinggalkan dari anggota tayammum, seperti ukuran dirham.
Adapun jawaban terhadap apa yang ia sebutkan, bahwa ia membangunnya di atas asalnya dalam masalah najis, maka dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ بَنَى خِلَافًا يُنَازَعُ فِيهِ عَلَى أَصْلٍ لَا يُسَلَّمُ لَهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَمْعٌ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ الدِّرْهَمَ فِي النَّجَاسَةِ مُلْحَقًا بِمَا دُونَهُ فِي الْقِلَّةِ فَكَانَ الدِّرْهَمُ فِي النَّجَاسَةِ قَلِيلًا، وَجَعَلَ الدِّرْهَمَ فِي التَّيَمُّمِ مُلْحَقًا بِمَا فَوْقَهُ فِي الْكَثْرَةِ فَكَانَ الدِّرْهَمُ فِي التَّيَمُّمِ كَثِيرًا فَلَمْ يُسَلَّمْ لَهُ بِنَاءُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَمُنْتَقَضٌ بِالْمَسْحِ عَلَى اللُّصُوقِ وَالْجَبَائِرِ هُوَ بَدَلٌ مِنَ الْغَسْلِ، وَيَلْزَمُ فِيهِ الِاسْتِيعَابُ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْخُفَّيْنِ أَنَّهُ بَدَلُ رُخْصَةٍ يَجُوزُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْغَسْلِ، فَجَازَ الِاقْتِصَارُ على البعض ترفهاً، وَالتَّيَمُّمُ بَدَلُ ضَرُورَةٍ لَا يَجُوزُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْمَاءِ فَلَزِمَ الِاسْتِيعَابُ فِيهِ تَغْلِيظًا.
Pertama: bahwa ia membangun perbedaan pendapat yang masih diperselisihkan di atas suatu dasar yang tidak diakui kebenarannya.
Kedua: bahwa itu merupakan jam‘ yang rusak, karena ia menjadikan ukuran dirham pada najis disamakan dengan yang di bawahnya dalam hal sedikit, sehingga ukuran dirham pada najis dianggap sedikit; lalu ia menjadikan ukuran dirham pada tayammum disamakan dengan yang di atasnya dalam hal banyak, sehingga ukuran dirham pada tayammum dianggap banyak. Maka tidak diterima darinya membangun salah satunya di atas yang lain.
Adapun qiyāsnya dengan mengusap di atas khuff maka terbantahkan dengan mengusap di atas perban dan jabā’ir yang merupakan pengganti dari basuhan, dan padanya wajib istī‘āb (mencakup seluruhnya). Kemudian, makna pada khuffayn adalah ia pengganti yang bersifat rukhṣah yang boleh dilakukan meskipun mampu membasuh, maka boleh terbatas pada sebagian anggota sebagai keringanan. Sedangkan tayammum adalah pengganti karena ḍarūrah yang tidak boleh dilakukan jika mampu menggunakan air, maka wajib mencakup seluruh anggota padanya sebagai bentuk pengetatan.
(فصل)
: فإذا أثبت أنه تَرَكَ فِي تَيَمُّمِهِ شَيْئًا مِنْ وَجْهِهِ أَوْ مِنْ ذِرَاعَيْهِ لَمْ يُجْزِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُتَمِّمَ مَسْحَ مَا تَرَكَ، فَإِنْ كَانَ الزَّمَانُ قَرِيبًا بُنِيَ عَلَى الْمَسْحِ الْأَوَّلِ وَأَجْزَأَهُ فَإِنْ كَانَ قَدْ صَلَّى قَبْلَ إِتْمَامِ الْمَسْحِ أَعَادَهَا بَعْدَ إِتْمَامِهِ، وَإِنْ كَانَ الزَّمَانُ بَعِيدًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ يُخَرِّجُ جَوَازَ الْبِنَاءِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الْوُضُوءِ.
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ إِذَا قُلْنَا إِنَّ تَفْرِيقَ الْوُضُوءِ يَجُوزُ.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ إِذَا قُلْنَا إِنَّ تَفْرِيقَ الْوُضُوءِ لَا يَجُوزُ، وَقَالَ غَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا: بَلْ لَا يَجُوزُ لَهُ الْبِنَاءُ هَا هُنَا وَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ التَّيَمُّمَ عِنْدَ تَطَاوُلِ الزَّمَانِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ مِنْ شَرْطِ صِحَّةِ التَّيَمُّمِ أَنْ يَقْتَرِنَ بِالصَّلَاةِ الَّتِي تَيَمَّمَ لَهَا، فَإِذَا تَطَاوَلَ الزمان والوضوء بخلافه والله أعلم.
(PASAL)
Apabila telah dipastikan bahwa ia meninggalkan sesuatu dari wajahnya atau lengannya dalam tayammum, maka tidak sah, dan ia wajib menyempurnakan usapan pada bagian yang ia tinggalkan. Jika waktunya masih dekat, maka ia boleh membangun di atas usapan pertama dan itu mencukupi. Jika ia sudah shalat sebelum menyempurnakan usapan, maka ia wajib mengulang shalat setelah menyempurnakan tayammum.
Jika waktunya sudah lama, para sahabat kami berbeda pendapat. Abu Ishaq mengeluarkan kebolehan membangun di atasnya menurut dua pendapat yang diambil dari masalah memisah-misah wudhu:
Pertama: boleh, jika kita mengatakan bahwa memisah-misah wudhu itu boleh.
Kedua: tidak boleh, jika kita mengatakan bahwa memisah-misah wudhu itu tidak boleh.
Sebagian sahabat kami yang lain berkata: bahkan tidak boleh membangun di sini, dan ia wajib memulai tayammum dari awal jika waktu sudah lama, menurut satu pendapat, karena di antara syarat sahnya tayammum adalah harus bersambung dengan shalat yang ditayammumi untuknya. Jika waktunya lama maka tidak sah, berbeda dengan wudhu. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ بَدَأَ بِيَدَيْهِ قَبْلَ وَجْهِهِ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَعُودَ وَيَمْسَحَ يَدَيْهِ حَتَّى يَكُونَا بَعْدَ وجهه مثل الوضوء سواءً وإن قدم يسرى يديه على اليمنى أجزأه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: التَّرْتِيبُ فِي التَّيَمُّمِ وَاجِبٌ كَوُجُوبِهِ فِي الْوُضُوءِ، وَخَالَفَنَا فِيهِ أبو حنيفة كَمَا خَالَفَ فِي الْوُضُوءِ، وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ وَاحِدٌ، وَقَدْ مَضَى، فَإِذَا تَقَرَّرَ وُجُوبُ ذَلِكَ فِي التَّيَمُّمِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الدَّلِيلِ فِي الْوُضُوءِ فَالتَّيَمُّمُ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ مِنْ فَرْضٍ وَسُنَّةٍ وَهَيْئَةٍ، فَأَمَّا الْفَرْضُ فَخَمْسَةٌ وَهِيَ التُّرَابُ الطَّاهِرُ وَالنِّيَّةُ وَمَسْحُ جَمِيعِ الْوَجْهِ وَمَسْحُ الذِّرَاعَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ وَتَرْتِيبُ الْوَجْهِ عَلَى الذِّرَاعَيْنِ، وَأَمَّا السُّنَّةُ فَشَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: التَّسْمِيَةُ حِينَ يَضْرِبُ بِيَدَيْهِ عَلَى التُّرَابِ.
(MASALAH)
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Jika ia memulai dengan kedua tangannya sebelum wajahnya, maka wajib baginya kembali dan mengusap kedua tangannya sehingga keduanya berada setelah wajahnya, sama seperti wudhu. Dan jika ia mendahulukan tangan kirinya atas tangan kanannya, maka sah.”
Al-Māwardī berkata: “Ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa tertib dalam tayammum adalah wajib sebagaimana wajibnya dalam wudhu. Abu Ḥanīfah berbeda pendapat dengan kami dalam hal ini, sebagaimana ia berbeda pendapat dalam wudhu. Dalilnya pada kedua tempat itu sama, dan telah dijelaskan sebelumnya.
Jika telah tetap wajibnya hal tersebut dalam tayammum berdasarkan dalil yang telah kami kemukakan pada wudhu, maka tayammum mencakup tiga perkara: fardhu, sunnah, dan tata cara.
Adapun fardhunya ada lima: tanah yang suci, niat, mengusap seluruh wajah, mengusap kedua lengan beserta siku, dan mendahulukan wajah atas lengan.
Adapun sunnahnya ada dua:
Pertama: membaca basmalah ketika menepukkan kedua tangan ke tanah.
وَالثَّانِي: تَقْدِيمُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَأَمَّا تَكْرَارُ الْمَسْحِ فَلَا يُسَنُّ فِي التَّيَمُّمِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَقْبِيحِ الْوَجْهِ بِالْغُبَارِ، فَلَوْ أَنَّ مُتَيَمِّمًا نَوَى وَأَمَرَ غَيْرَهُ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ جَازَ كَمَا لَوْ أَمَرَهُ فَوَضَّأَهُ أَوْ غَسَّلَهُ، وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ الْقَاصِّ لَا يُجْزِيهِ بِخِلَافِ الْوُضُوءِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً) {المائدة: 6) ، أَيْ فَاقْصِدُوا، وَهَذَا الْآمِرُ لِغَيْرِهِ لَمْ يَقْصِدْ صعيداً، وإنما غيره القاصد له.
Dan yang kedua: mendahulukan yang kanan atas yang kiri.
Adapun mengulang usapan, maka tidak disunnahkan dalam tayammum karena hal itu akan memperburuk wajah dengan debu.
Seandainya seorang yang bertayammum berniat lalu memerintahkan orang lain untuk mengusap wajah dan kedua lengannya, maka sah, sebagaimana jika ia memerintahkannya untuk berwudhu atau mandi.
Abu al-‘Abbās bin al-Qāṣṣ berkata: tidak sah, berbeda dengan wudhu, karena Allah Ta‘ālā berfirman: {فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا} (al-Māidah: 6), yakni: maka hadapkanlah tujuan kepada ṣa‘īd, sedangkan orang yang memerintahkan orang lain ini tidaklah menghadap (qaṣd) kepada ṣa‘īd, melainkan orang lain yang menghadap kepadanya.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ نَسِيَ الْجَنَابَةَ فَتَيَمَّمَ لِلْحَدَثِ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ ذَكَرَ الْجَنَابَةَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنَ الْتَيَمُّمِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْجُنُبُ إِذَا عَدِمَ الْمَاءَ فِي سَفَرِهِ جَازَ أَنْ يَتَيَمَّمَ فِي وَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ لَا غَيْرَ كَالْوُضُوءِ سَوَاءٍ، وَيُصَلِّي الْفَرْضَ وَالنَّفْلَ، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الصَّحَابَةِ وكافة الفقهاء، وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ الْجُنُبَ لَا يَتَيَمَّمُ وَيُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِدَ الْمَاءَ فَيَغْتَسِلَ وَيَقْضِي مَا تَرَكَ مِنَ الصَّلَاةِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِهِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عِبَادِ بْنِ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي رَجَاءٍ الْعَطَارِدِيِّ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ جُنُبًا أَنْ يَتَيَمَّمَ ثُمَّ يُصَلِّي فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ اغْتَسَلَ، وَرَوَى سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ أَبِي مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى قَالَ: ” كُنْتُ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَهُ رجلٌ فَقَالَ: إِنَّا نَكُونُ بِالْمَكَانِ الشَهْرَ أَوِ الشَّهْرَيْنِ فَقَالَ عُمَرُ: أَمَّا أَنَا فَلَمْ أَكُنْ أُصَلِّي حَتَّى أَجِدَ الْمَاءَ؛ قَالَ: فَقَالَ عَمَّارُ أَمَا تَذْكُرُ إِذْ كُنْتُ أَنَا وَأَنْتَ فِي الْإِبِلِ فَأَصَابَتْنَا جنابةٌ، فَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ، فَأَتَيْنَا النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ هَكَذَا وَضَرَبَ بِيَدِهِ الْأَرْضَ ثُمَّ نَفَخَهُمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، فَقَالَ عُمَرُ: يَا عَمَّارُ اتَّقِ اللَّهَ، فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنْ شِئْتَ وَاللَّهِ لَمْ أَذْكُرْهُ أَبَدًا فَقَالَ عُمَرُ: كَلَّا، وَاللَّهِ لَنُوَلِّيَنَّكَ مِنْ ذَلِكَ مَا تَوَلَّيْتَ “.
(MASALAH)
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Jika seseorang lupa junub lalu bertayammum untuk hadats kecil, maka sah, karena seandainya ia ingat junubnya, tidak ada kewajiban atasnya selain tayammum.”
Al-Māwardī berkata: Adapun orang junub yang tidak mendapatkan air dalam safarnya, maka boleh baginya bertayammum pada wajah dan kedua lengannya saja, sama seperti wudhu, lalu ia boleh shalat fardhu dan sunnah. Ini adalah pendapat jumhur sahabat dan seluruh fuqaha.
Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb dan ‘Abdullah bin Mas‘ūd ra bahwa orang junub tidak bertayammum, tetapi menunda shalat hingga mendapatkan air, lalu mandi dan mengqadha shalat yang ia tinggalkan.
Dalil atas bolehnya adalah riwayat al-Syafi‘i dari Ibrahim bin Muhammad, dari ‘Abbād bin Manṣūr, dari Abī Rajā’ al-‘Aṭṭāridī, dari ‘Imrān bin Ḥuṣain bahwa Nabi SAW memerintahkan orang junub untuk bertayammum, kemudian shalat, lalu apabila ia mendapatkan air, ia mandi.
Juga riwayat Sufyān dari Salamah bin Kuhail, dari Abī Mālik, dari ‘Abd al-Raḥmān bin Abzā, ia berkata: “Aku berada di sisi ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, lalu datang seorang lelaki berkata: ‘Kami berada di suatu tempat sebulan atau dua bulan.’ Maka ‘Umar berkata: ‘Adapun aku, aku tidak shalat hingga mendapatkan air.’ Lalu ‘Ammār berkata: ‘Tidakkah engkau ingat ketika aku dan engkau berada di unta, lalu kami terkena junub? Adapun aku, maka aku berguling-guling (di tanah), lalu kami mendatangi Nabi SAW dan aku menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya cukup bagimu engkau melakukan seperti ini,’ lalu beliau menepukkan tangannya ke tanah, meniupnya, kemudian mengusap wajah dan kedua tangannya.”
‘Umar berkata: “Wahai ‘Ammār, bertakwalah kepada Allah.”
‘Ammār menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau mau, demi Allah, aku tidak akan menyebutnya lagi selamanya.”
‘Umar berkata: “Tidak, demi Allah, kami akan menyerahkan urusan itu kepadamu sesuai yang engkau lakukan.”
وَرَوَى حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عن أبي قلابة عن رجل من بني عَامِرٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: ” كُنْتُ أَعْزَبُ عَنِ الْمَاءِ وَمَعِي أَهْلِي فَتُصِيبُنِي الْجَنَابَةُ فَأُصَلِّي بِغَيْرِ طَهُورٍ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقُلْتُ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ قُلْتُ: كُنْتُ أَعْزَبُ عَنِ الْمَاءِ وَمَعِي أَهْلِي فَتُصِيبُنِي الْجَنَابَةُ، فَأُصَلِّي بِغَيْرِ طَهُورٍ فَأَمَرَنِي رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بماءٍ فَاغْتَسَلْتُ، ثُمَّ جِئْتُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّ الصَّعِيدَ طهورٌ وَإِنْ لَمْ تَجِدِ الْمَاءَ إِلَى عَشْرِ سنينٍ فَإِذَا وَجَدْتَ الْمَاءَ فَأَمْسِسْهُ جِلْدَكَ
فَدَلَّتْ هَذِهِ الْأَخْبَارُ الثَّلَاثَةُ مَعَ اخْتِلَافِ طُرُقِهَا عَلَى جَوَازِ التَّيَمُّمِ لِلْجُنُبِ.
Dan telah meriwayatkan Ḥammād dari Ayyūb, dari Abī Qilābah, dari seorang lelaki dari Banī ‘Āmir, dari Abū Ḏar, ia berkata:
“Aku berada jauh dari air bersama keluargaku, lalu aku terkena janabah, maka aku shalat tanpa ṭahūr. Aku mendatangi Nabi SAW dan berkata: ‘Aku binasa, wahai Rasulullah.’ Beliau bertanya: ‘Apa yang membinasakanmu?’ Aku menjawab: ‘Aku berada jauh dari air bersama keluargaku, lalu aku terkena janabah, maka aku shalat tanpa ṭahūr.’ Maka Rasulullah SAW memerintahkanku untuk (menggunakan) air, lalu aku mandi. Kemudian aku datang lagi, lalu Rasulullah SAW bersabda: ‘Wahai Abū Ḏar, sesungguhnya ṣa‘īd itu suci, walaupun engkau tidak mendapatkan air sampai sepuluh tahun, maka apabila engkau mendapatkan air, usapkanlah ia ke kulitmu.’”
Maka ketiga hadis ini, dengan perbedaan jalurnya, menunjukkan bolehnya tayammum bagi orang junub.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ ذَلِكَ فَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ تَيَمَّمَ يَنْوِي اسْتِبَاحَةَ الصَّلَاةِ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ مُحْدِثٌ وَصَلَّى بَعْدَ تَيَمُّمِهِ ثُمَّ ذَكَرَ أَنَّهُ كَانَ جُنُبًا فَتَيَمُّمُهُ جَائِزٌ وَصَلَاتُهُ مَاضِيَةٌ، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُجْزِئُهُ التَّيَمُّمُ وَالصَّلَاةُ وَعَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَهَا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ اتِّفَاقَ مُوجِبِهَا مَعَ اخْتِلَافِ حُكْمِهَا لَا يُوجِبُ نِيَابَةَ أَحَدِهِمَا عَنِ الْآخَرِ، كَمَنْ ظَنَّ أَنَّ عَلَيْهِ عَصْرًافَصَلَّاهَا ثُمَّ بَانَتْ ظُهْرًا، وَلِأَنَّهُ تَطَهَّرَ عَنْ حَدَثٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ عَنْ طَهَارَةِ الْجَنَابَةِ كَالْوَاجِدِ لِلْمَاءِ، وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُمَا طَهَارَتَانِ مُتَّفِقَتَانِ فِي الصُّورَةِ وَالنِّيَّةِ، فَلَمْ يَكُنِ الْخَطَأُ فِيهِمَا مَانِعًا مِنْ إِجْزَائِهِمَا قِيَاسًا عَلَى الْمَرْأَةِ إِذَا اغْتَسَلَتْ مِنْ جَنَابَةٍ فَكَانَ حَيْضًا، أَوِ الْمُحْدِثِ يَتَوَضَّأُ عَنْ صَوْتٍ وَكَانَ نُوَّمًا، وَلِأَنَّهُ تَيَمَّمَ عَنْ أَحَدِ الْحَدَثَيْنِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْخَطَأُ فِيهِ غَيْرَ مَانِعٍ مِنَ الْإِجْزَاءِ، قِيَاسًا عَلَى مَا إِذَا تَيَمَّمَ عَنْ جَنَابَةٍ فَكَانَ مُحْدِثًا، فَكَذَا إِذَا تَيَمَّمَ عَنْ حَدَثٍ فَكَانَ جُنُبًا، فَالْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَا، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِشْهَادِهِمْ بِالصَّلَاةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
(PASAL)
Apabila telah tetap hal tersebut, maka gambaran masalah ini adalah pada seorang laki-laki yang bertayammum dengan niat boleh melakukan shalat karena ia meyakini dirinya berhadats kecil, lalu ia shalat setelah tayammumnya, kemudian ia teringat bahwa dirinya sebenarnya junub. Maka tayammumnya sah dan shalatnya tetap berlaku, serta ia tidak wajib mengulanginya. Demikian pula pendapat Abū Ḥanīfah.
Mālik berkata: Tayammum dan shalatnya tidak sah, dan ia wajib mengulanginya, dengan alasan bahwa kesamaan penyebab kewajiban disertai perbedaan hukum tidak menyebabkan salah satunya dapat menggantikan yang lain, seperti orang yang menyangka bahwa kewajiban atasnya adalah shalat ‘Ashar lalu ia mengerjakannya, kemudian ternyata itu adalah shalat Ẓuhr. Dan karena ia bertaharah dari hadats kecil, maka wajib tidak mencukupi untuk taharah janabah, seperti orang yang mendapatkan air.
Dalil kami adalah bahwa keduanya adalah dua bentuk taharah yang sama dalam rupa dan niat, maka kesalahan di dalamnya tidak menghalangi kesahannya, qiyās pada wanita yang mandi karena junub lalu ternyata ia sedang haid, atau orang berhadats yang berwudhu karena mendengar suara lalu ternyata ia tertidur. Dan karena ia bertayammum dari salah satu dari dua hadats, maka kesalahan dalam penentuan tidak menghalangi kesahannya, qiyās pada orang yang bertayammum karena junub lalu ternyata ia hanya berhadats kecil. Maka demikian pula jika ia bertayammum karena hadats kecil lalu ternyata ia junub, hukumnya sama sebagaimana makna yang kami sebutkan.
Adapun jawaban terhadap istidlal mereka dengan qiyas shalat adalah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَعْيِينَ النِّيَّةِ فِي الصَّلَاةِ وَاجِبٌ، وَتَعْيِينُهَا فِي الْحَدَثِ غَيْرُ وَاجِبٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْأَحْدَاثَ إِذَا اجْتَمَعَتْ تداخلت، والصلاوات إِذَا تَرَادَفَتْ لَمْ تَتَدَاخَلْ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْمَاءِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّ طَهَارَةَ الْجُنُبِ بِالْمَاءِ أَعَمُّ مِنْ طَهَارَةِ الْمُحْدِثِ فَلَمْ يُجْزِهِ وَطَهَارَةُ الْجُنُبِ بِالتُّرَابِ كَطَهَارَةِ الْمُحْدِثِ فَأَجْزَأَهُ.
Pertama: bahwa penentuan niat dalam shalat adalah wajib, sedangkan penentuannya dalam hadats tidak wajib.
Kedua: bahwa hadats-hadats apabila berkumpul maka saling masuk (tercakup), sedangkan shalat-shalat apabila berurutan maka tidak saling masuk.
Adapun qiyās mereka dengan air, maka maknanya adalah: bahwa taharah orang junub dengan air lebih umum daripada taharah orang berhadats kecil, sehingga tidak mencukupinya. Sedangkan taharah orang junub dengan debu sama seperti taharah orang berhadats kecil, sehingga mencukupinya.
(فَصْلٌ)
: (قَالَ الْمُزَنِيُّ) : لَيْسَ عَلَى الْمُحْدِثِ عِنْدِي مَعْرِفَةُ أَيِّ الْأَحْدَاثِ كَانَ مِنْهُ وَإِنَّمَا عَلَيْهِ أَنْ يَتَطَهَّرَ للحدث ولو كان عليه معرفة أي الأحداث كان منه كما عليه معرفة أي الصلوات عليه لوجب لو توضأ من ريحٍ ثم علم أن حدثه بولٌ أو اغتسلت امرأةٌ تنوي الحيض وإنما كانت جنباً أو من حيضٍ وإنما كانت نفساء لم يجزئ أحداً منهم حتى يعلم الحدث الذي تطهر منه ولا يقول بهذا أحدٌ نعلمه ولو كان الوضوء يحتاج إلى النية لما يتوضأ له لما جاز لمن يتوضأ لقراءة مصحف أو لصلاةٍ على جنازةٍ أو تطوع أن يصلي به الفرض فلما صلى به الفرض ولم يتوضأ للفرض أجزأه أن لا ينوي لأي الفروض ولا لأي الأحداث توضأ ولا لأي الأحداث اغتسل “.
(PASAL)
(Al-Muzanī berkata): “Menurutku, orang yang berhadats tidak wajib mengetahui hadats apa yang menimpanya, yang wajib baginya hanyalah bertaharah dari hadats itu. Seandainya ia wajib mengetahui hadats apa yang menimpanya sebagaimana ia wajib mengetahui shalat apa yang menjadi tanggungannya, maka akan berlaku: jika ia berwudhu karena kentut, lalu ternyata hadatsnya adalah kencing, atau seorang wanita mandi dengan niat mandi haid, padahal ia junub, atau dengan niat mandi haid padahal ia nifas, maka tidak sah bagi salah satu dari mereka sampai ia mengetahui hadats yang ia bersuci darinya — dan tidak ada seorang pun yang kami ketahui berpendapat demikian.
Seandainya wudhu membutuhkan niat untuk tujuan tertentu, maka tidak sah bagi orang yang berwudhu untuk membaca mushaf, atau untuk shalat jenazah, atau untuk shalat sunnah, lalu ia menggunakan wudhu itu untuk shalat fardhu. Namun ketika ia shalat fardhu dengan wudhu tersebut padahal ia tidak berwudhu untuk fardhu, maka itu sah. Maka tidak wajib baginya meniatkan untuk fardhu tertentu, atau untuk hadats tertentu dalam wudhu, atau untuk hadats tertentu dalam mandi.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا أَوَّلُ كَلَامِهِ فَصَحِيحٌ، وَهُوَ أَوَّلُ قَوْلِهِ لَيْسَ عَلَيْهِ عِنْدِي مَعْرِفَةُ أَيِّ الْأَحْدَاثِ كَانَ مِنْهُ لِأَنَّ تَعْيِينَ النِّيَّةِ لَيْسَ لَهُ بِلَازِمٍ، وَأَمَّا قَوْلُهُ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِنَّمَا عَلَيْهِ أَنْ يَتَطَهَّرَ لِلْحَدَثِ فَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَرَادَ التَّيَمُّمَ بِرَفْعِ الْحَدَثِ كَالْوُضُوءِ، فَإِنْ أَرَادَ هَذَا وَذَهَبَ إِلَيْهِ وَقَدْ حَكَاهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنْهُ خَالَفْنَاهُ، فِيهِ وَقُلْنَا إِنَّهُ لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ، وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ أَرَادَ بِهِ رَفْعَ الْحَدَثِ بِالتَّيَمُّمِ، فَلَا يَكُونُ مُخَالِفًا، وَلَا يَخْلُو قَوْلُهُ: وَإِنَّمَا عَلَيْهِ أَنْ يَتَطَهَّرَ لِلْحَدَثِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا فِي الوضوء أو في التيمم، فإن ط أَرَادَ بِهِ فِي الْوُضُوءِ فَهُوَ مُصِيبٌ فِي الْجَوَابِ مُخْطِئٌ فِي الِاسْتِدْلَالِ، وَإِنْ أَرَادَ بِهِ فِي التَّيَمُّمِ فَهُوَ مُخْطِئٌ فِي الْجَوَابِ وَالِاسْتِدْلَالِ؛ لِأَنَّهُ فِي التَّيَمُّمِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْوِيَ رفع الحدث والله أعلم.
Al-Māwardī berkata: Adapun permulaan ucapannya adalah benar, yaitu permulaan perkataannya: “Menurutku tidak wajib mengetahui jenis ḥadats yang keluar darinya,” karena menentukan niat secara rinci tidaklah wajib.
Adapun perkataannya setelah itu: “Sesungguhnya yang wajib baginya adalah bersuci dari ḥadats,” maka mungkin yang dimaksudnya adalah tayammum untuk mengangkat ḥadats sebagaimana wuḍuʼ. Jika ia memang bermaksud demikian dan berpendapat seperti itu, sebagaimana yang dinukil sebagian sahabat kami darinya, maka kami menyelisihinya dalam hal ini dan mengatakan bahwa tayammum tidak mengangkat ḥadats, dan telah dijelaskan sebelumnya dalam perbincangan dengan Abū Ḥanīfah.
Namun mungkin juga ia tidak bermaksud mengangkat ḥadats dengan tayammum, sehingga tidak bertentangan. Ucapannya: “Sesungguhnya yang wajib baginya adalah bersuci dari ḥadats,” tidak lepas dari dua kemungkinan:
pertama, dalam wuḍuʼ;
kedua, dalam tayammum.
Jika yang dimaksud adalah wuḍuʼ, maka ia benar dalam jawaban tetapi keliru dalam dalilnya. Jika yang dimaksud adalah tayammum, maka ia keliru dalam jawaban dan dalam dalilnya, karena dalam tayammum tidak boleh berniat mengangkat ḥadats. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وَإِذَا وَجَدَ الْجُنُبُ الْمَاءَ بَعْدَ التَّيَمُّمِ اغْتَسَلَ وإذا وجده الذي ليس بجنبٍ توضأ “.
(Masalah)
Al-Syafi‘i berkata: “Apabila orang junub mendapatkan air setelah tayammum, maka ia mandi. Dan apabila orang yang bukan junub mendapatkannya, maka ia berwudhu.”
قال الماوردي: المحدث لعدم الماء، ثم وجده قبل دخوله فِي الصَّلَاةِ، بَطَلَ تَيَمُّمُهُ، وَلَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ مُغْتَسِلًا بِهِ إِنْ كَانَ جُنُبًا، وَمُتَوَضِّئًا بِهِ إِنْ كَانَ مُحْدِثًا وَبِهِ قَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ، وحكي عن أبي سلمة ابن عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَالشَّعْبِيِّ أَنَّ تَيَمُّمَهُ صَحِيحٌ، لَا يَبْطُلُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ، وَيَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ وُجُودَ الْمُبْدَلِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الْبَدَلِ لَا يَقْتَضِي الِانْتِقَالَ إِلَيْهِ كَالْمُكَفِّرِ إِذَا وَجَدَ الرَّقَبَةَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الصِّيَامِ، وَدَلِيلُنَا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَبِي ذَرٍّ: ” الصَّعِيدُ الطَّيِّبُ طهورٌ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ وَهَذَا وَاجِدٌ لَهُ، وَلِأَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يُرَادُ لِنَفْسِهِ وَإِنَّمَا يُقْصَدُ بِهِ غَيْرُهُ وَهُوَ اسْتِبَاحَةُ الصَّلَاةِ بِهِ، فَإِذَا قَدَرَ عَلَى الْأَصْلِ قَبْلَ شُرُوعِهِ فِي الْمَقْصُودِ لَزِمَهُ الرُّجُوعُ إِلَيْهِ، كَالْحَاكِمِ إِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ بَانَ لَهُ النص قبل تنفيذ الحكم، وهذا الْمَعْنَى فَارَقَ مَا اسْتَشْهَدُوا بِهِ مِنَ الصِّيَامِ فِي الْكَفَّارَةِ؛ لِأَنَّ الصِّيَامَ لَهَا هُوَ الْمَقْصُودُ وَالتَّيَمُّمُ إِنَّمَا هُوَ شَرْطٌ يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى أداء المقصود.
Al-Māwardī berkata: Orang yang muḥdits karena tidak ada air, lalu mendapatkannya sebelum masuk dalam shalat, maka tayammum-nya batal, dan ia wajib menggunakan air, mandi dengannya jika ia junub, dan berwudhu dengannya jika ia muḥdits. Demikian pendapat jumhur ulama.
Diriwayatkan dari Abū Salamah bin ‘Abd al-Raḥmān dan al-Sya‘bī bahwa tayammum-nya sah, tidak batal dengan melihat air, dan boleh shalat dengannya. Mereka berdalil bahwa keberadaan pengganti (mubdal) setelah selesai dari pelaksanaannya tidak mengharuskan berpindah kepadanya, seperti orang yang membayar kafarat dengan puasa kemudian menemukan budak setelah selesai dari puasanya.
Dalil kami adalah sabda Nabi SAW kepada Abū Dzar: “Ṣa‘īd yang suci adalah penyuci bagi orang yang tidak mendapatkan air,” dan ini (orang yang menemukan air sebelum shalat) adalah orang yang mendapatkannya. Karena tayammum tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk yang lain, yaitu memperbolehkan shalat dengannya. Maka jika ia mampu pada yang asli sebelum memulai maksudnya, wajib baginya kembali kepadanya, seperti seorang hakim yang berijtihad lalu tampak baginya adanya naṣṣ sebelum melaksanakan putusan.
Makna ini berbeda dengan yang mereka jadikan dalil dari puasa kafarat, karena puasa itu sendiri adalah maksud, sedangkan tayammum hanyalah syarat untuk sampai pada pelaksanaan maksud.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ بَعْدَ دُخُولِهِ بَنَى عَلَى صَلَاتِهِ وَأَجْزَأَتْهُ صَلَاتُهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا دَخَلَ الْمُتَيَمِّمُ فِي الصَّلَاةِ ثُمَّ وَجَدَ الْمَاءَ فِي تَضَاعِيفِهَا، وَقَبْلَ خُرُوجِهِ مِنْهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ هَلْ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ أَمْ لَا؟ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ صَلَاتَهُ لَا تَبْطُلُ بِرُؤْيَتِهِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ.
(Masalah)
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Apabila ia telah masuk ke dalam shalat lalu melihat air setelah masuknya, maka ia meneruskan shalatnya dan shalatnya sah.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu apabila orang yang mutayammim telah masuk dalam shalat, lalu mendapatkan air di tengah-tengah shalatnya sebelum ia selesai darinya, maka para fuqahā’ berbeda pendapat apakah shalatnya batal dengan melihat air atau tidak. Al-Syafi‘i berpendapat bahwa shalatnya tidak batal dengan melihat air, dan demikian pula pendapat Mālik.
وَقَالَ أبو حنيفة: قَدْ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ بِرُؤْيَتِهِ، وَبِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ، قال العباس ابن سُرَيْجٍ، وَمَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ أَحَبُّ إِلَيْنَا، وَالْمُزَنِيُّ سَوَّى بَيْنَ صَلَاةِ الْفَرْضِ وَالْعِيدَيْنِ فِي بُطْلَانِهَا بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ، وأبو حنيفة فَرَّقَ بَيْنَهُمَا فَأَبْطَلَ بِرُؤْيَةٍ صَلَاةَ الْفَرْضِ دُونَ صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ وَالنَّفْلِ، وَفَرَّقَ أبو حنيفة أَيْضًا بَيْنَ رُؤْيَةِ الْمَاءِ الْمُطْلَقِ، وَبَيْنَ سُؤْرِ الْحِمَارِ، وَاسْتَدَلُّوا عَلَى بُطْلَانِ الصَّلَاةِ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ، وَأَنَّهُ كَالْحَدَثِ فِيهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا) {المائدة: 6) . فَلَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ تَعَالَى لِلتَّيَمُّمِ حُكْمًا مَعَ وُجُودِ الْمَاءِ وبقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَبِي ذَرٍّ فَإِذَا وَجَدْتَ الْمَاءَ فَأَمْسِسْهُ جِلْدَكَ. وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ حَالِ الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا، قَالُوا: ولأن كلما أَبْطَلَ التَّيَمُّمَ قَبْلَ الصَّلَاةِ أَبْطَلَهُ فِي الصَّلَاةِ كَالْحَدَثِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ ضَرُورَةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَرْتَفِعَ حُكْمُهَا بِزَوَالِ الضَّرُورَةِ كَالْمُسْتَحَاضَةِ إِذَا ارْتَفَعَتِ اسْتِحَاضَتُهَا، وَلِأَنَّهُ مَسْحٌ قَامَ مَقَامَ غَيْرِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ بِظُهُورِ أَصْلِهِ، كَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ يَبْطُلُ بِظُهُورِ الْقَدَمَيْنِ، وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ إِذَا جَازَ أَدَاؤُهَا بالعذر علىصِفَةٍ كَانَ زَوَالُ ذَلِكَ الْعُذْرِ مَانِعًا مِنْ إِجْزِائِهَا عَلَى تِلْكَ الصِّفَةِ، كَالْمَرِيضِ إِذَا صَحَّ، وَالْأُمِّيِّ إِذَا تَعَلَّمَ الْفَاتِحَةَ، وَالْعُرْيَانِ إِذَا وَجَدَ ثَوْبًا، وَاسْتَدَلَّ الْمُزَنِيُّ بِدَلِيلَيْنِ:
Abū Ḥanīfah berkata: Shalatnya batal dengan melihat air. Demikian pula pendapat al-Muzanī. Al-‘Abbās bin Surayj berkata: Madzhab al-Muzanī lebih kami sukai. Al-Muzanī menyamakan antara shalat fardu dan shalat ‘Īdain dalam hal batalnya dengan melihat air. Sedangkan Abū Ḥanīfah membedakan antara keduanya: ia membatalkan shalat fardu karena melihat air, tetapi tidak membatalkan shalat ‘Īdain dan shalat nafl. Abū Ḥanīfah juga membedakan antara melihat air mutlak dan melihat sisa minum keledai.
Mereka berdalil atas batalnya shalat dengan melihat air, dan bahwa hal itu seperti ḥadats di dalamnya, dengan firman Allah Ta‘ālā: {fa-lam tajidū māʼan fa-tayammamū} (al-Māʼidah: 6), bahwa Allah Ta‘ālā tidak menjadikan tayammum memiliki hukum bersama dengan adanya air. Dan dengan sabda Nabi SAW kepada Abū Dzar: “Apabila engkau mendapatkan air, maka sentuhkanlah ke kulitmu.” Beliau tidak membedakan antara dalam keadaan shalat maupun di luar shalat.
Mereka berkata: Karena setiap hal yang membatalkan tayammum sebelum shalat juga membatalkannya di dalam shalat, seperti ḥadats. Dan karena tayammum adalah thaharah darurat, maka wajib gugur hukumnya dengan hilangnya darurat, seperti wanita mustahāḍah jika telah berhenti istihadhahnya. Dan karena ia adalah masḥ yang menggantikan selainnya, maka wajib batal dengan munculnya asalnya, seperti masḥ di atas khuf yang batal dengan tampaknya kaki. Dan karena shalat yang boleh dilakukan dengan uzur pada suatu keadaan, maka hilangnya uzur itu menghalangi sahnya shalat pada keadaan tersebut, seperti orang sakit yang sembuh, orang ummī yang telah belajar al-Fātiḥah, dan orang telanjang yang mendapatkan pakaian.
Al-Muzanī berdalil dengan dua dalil:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ التَّيَمُّمَ فِي الطَّهَارَةِ بَدَلٌ مِنَ الْمَاءِ عِنْدَ فَقْدِهِ كَمَا أَنَّ الشُّهُورَ فِي الْعِدَّةِ بَدَلٌ مِنَ الْأَقْرَاءِ عِنْدَ فَقْدِ الْحَيْضِ، فَلَمَّا كَانَتِ الْمُعْتَدَّةُ بِالْأَشْهُرِ إِذَا رَأَتِ الْحَيْضَ لَزِمَهَا الِانْتِقَالُ إِلَى الْأَقْرَاءِ، وَجَبَ إِذَا رَأَى الْمُتَيَمِّمُ الْمَاءَ فِي صَلَاتِهِ أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ رُؤْيَةَ الْمَاءِ حَدَثٌ اسْتِشْهَادًا بِأَنَّ رَجُلَيْنِ لَوْ تَيَمَّمَ أَحَدُهُمَا، وَتَوَضَّأَ الْآخَرُ ثُمَّ أَحْدَثَ المتوضي وَوَجَدَ الْمُتَيَمِّمُ الْمَاءَ كَانَ طُهْرُهُمَا مُنْتَقَضًا، وَاسْتِعْمَالُ الْمَاءِ لَهُمَا لَازِمًا، وَإِذَا كَانَ بِمَا دَلَّ الشَّاهِدُ عَلَيْهِ حَدَثًا، كَانَ حُكْمُهُ فِي الصَّلَاةِ وَقَبْلَهَا سَوَاءً.
Pertama: Bahwa tayammum dalam ṭahārah adalah pengganti dari air ketika tidak ada, sebagaimana bulan-bulan dalam masa ‘iddah adalah pengganti dari aqrāʼ ketika tidak ada ḥaiḍ. Maka ketika perempuan yang menjalani ‘iddah dengan bulan-bulan melihat ḥaiḍ, wajib baginya berpindah kepada aqrāʼ. Demikian pula, ketika orang yang mutayammim melihat air di tengah shalatnya, wajib baginya berpindah kepada penggunaan air.
Kedua: Bahwa melihat air adalah ḥadats, dengan dalil perumpamaan: jika ada dua orang, salah satunya tayammum dan yang lainnya berwudhu, kemudian orang yang berwudhu itu berḥadats dan orang yang mutayammim itu menemukan air, maka ṭahārah keduanya batal, dan wajib bagi keduanya menggunakan air. Jika sesuatu yang ditunjukkan dalil itu merupakan ḥadats, maka hukumnya di dalam shalat dan sebelum shalat adalah sama.
(فَصْلٌ)
: وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ) {المائدة: 6) . إِلَى قَوْلِهِ: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} . فَمَوْضِعُ الدَّلِيلِ مِنْهَا هُوَ أَنَّهُ أَمَرَ بِاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِي الْحَالِ الَّتِي لَوْ لَمْ يَجِدْ فِيهَا الْمَاءَ لَتَيَمَّمَ فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْأَمْرِ بِالتَّيَمُّمِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ وَقْتُ الْأَمْرِ بِاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ قَبْلَ الصَّلَاةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ لَوْ رَأَى فِيهَا سُؤْرَ الْحِمَارِ لَمْ تَبْطُلْ وَجَبَ إِذَا رَأَى فِيهَا الْمَاءَ الْمُطْلَقَ أَنْ لَا تَبْطُلَ كَصَلَاةِ الْعِيدَيْنِ طَرْدًا وَمَنْ عَلَى بَدَنِهِ النَّجَاسَةُ عَكْسًا، وَلِأَنَّهُ مَاءٌ لَوْ وَجَدَهُ فِي صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ لَمْ تَبْطُلْ فَإِذَا وَجَدَهَا فِي غَيْرِهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ لَمْ تَبْطُلْ، كَسُؤْرِ الْحِمَارِ، وَلِأَنَّهُ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ بِطُهُورٍ فَوَجَبَ أن لا يبطل برؤية الطهور، كالمتوضي إِذَا رَأَى الْمَاءَ أَوِ التُّرَابَ، وَالْمُتَيَمِّمُ إِذَا رَأَى التُّرَابَ، وَلِأَنَّهُ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ بِالتَّيَمُّمِ لِعَجْزِهِ عَنِ الْمَاءِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَبْطُلَ تَيَمُّمُهُ بِالْقُدْرَةِ عَلَى الْمَاءِ، كَالْمَرِيضِ إِذَا صَحَّ فِي تَضَاعِيفِ الصَّلَاةِ، وَلِأَنَّ الْوُضُوءَ شَرْطٌ لَوِ اتَّصَلَ عَدَمُهُ إِلَى الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَاةِ لَخَلَتِ الذِّمَّةُ عَنْ وُجُوبِهَا بِأَدَائِهَا، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَبْطُلَ الصَّلَاةُ بِالْقُدْرَةِ عَلَيْهَا فِي تَضَاعِيفِهَا كَالْعُرْيَانِ إِذَا وَجَدَ ثُوبًا، وَلِأَنَّ كُلَّ بَدَلٍ وَمُبْدَلٍ وُصِفَا فِي الشَّرْعِ لِاسْتِبَاحَةِ غَيْرِهِمَا فَإِنَّهُ مَتَى قَدَرَ عَلَى الْمُبْدَلِ بَعْدَ اسْتِبَاحَةِ الْمَقْصُودِ بِالْبَدَلِ سَقَطَ حُكْمُهُ كَالْمُعْتَدَّةِ بِالشُّهُورِ إِذَا رَأَتِ الدَّمَ وَقَدْ تَزَوَّجَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَكَذَا الْمُتَيَمِّمُ إِذَا رَأَى الْمَاءَ فِي الصَّلَاةِ وَلِأَنَّهُ قَدْ يَتَوَصَّلُ إِلَى الْوُضُوءِ بِثَمَنِ الْمَاءِ، كَمَا يَتَوَصَّلُ إِلَيْهِ بِالْمَاءِ، فَلَمَّا لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ بِوُجُودِ الثَّمَنِ بَعْدَ عَدَمِهِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ بِوُجُودِ الْمَاءِ بَعْدَ عَدَمِهِ وَتَحْرِيرُهُ، قِيَاسًا عَلَى أَنَّ مَا يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى الْوُضُوءِ إِذَا قَدَرَ عَلَيْهِ بَعْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ لَمْ يُؤَثِّرْ وُجُودُهُ فِي الصَّلَاةِ، كَالثَّمَنِ، وَلِأَنَّ كُلَّ حَالَةٍ لَا يَلْزَمُهُ التَّوَصُّلُ إِلَى الْأَصْلِ لِوُجُودِ ثَمَنِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ الرُّجُوعُ إِلَى الْأَصْلِ بِوُجُودِ عَيْنِهِ، كَالْمُكَفِّرِ إِذَا أَيْسَرَ بَعْدَ صَوْمِهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ حَالٍ لَا يَلْزَمُهُ فِيهَا طَلَبُ الْمَاءِ لَا يَلْزَمُهُ فِيهَا اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ، قِيَاسًا عَلَى مَا بَعْدَالصَّلَاةِ، وَلِأَنَّ التَّيَمُّمَ يَصِحُّ بِشَرْطَيْنِ: السَّفَرُ وَعَدَمُ الْمَاءِ، ثُمَّ لَوْ نَقَضَ السَّفَرَ بِالْإِقَامَةِ فِي تَضَاعِيفِ الصَّلَاةِ لَمْ يَبْطُلْ بِهِ التَّيَمُّمُ، وَإِنْ كَانَ يَبْطُلُ بِهِ قَبْلَ الصَّلَاةِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah wajah-wajah kalian} (al-Māʼidah: 6) hingga firman-Nya: {Jika kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah}. Tempat pengambilan dalilnya adalah bahwa Allah memerintahkan menggunakan air pada keadaan yang jika tidak didapati air, maka diperintahkan tayammum. Maka ketika waktu perintah tayammum itu sebelum shalat, wajib pula waktu perintah menggunakan air sebelum shalat.
Dan setiap shalat yang jika di dalamnya ia melihat sisa minum keledai tidak batal, maka ketika ia melihat air mutlak di dalamnya tidak batal pula, seperti shalat ‘Īdain secara ṭard (menguatkan kesamaan hukum), dan seperti orang yang pada tubuhnya terdapat najis secara ‘aks (kebalikannya). Dan karena air itu apabila ia mendapatkannya di shalat ‘Īdain tidak membatalkan, maka jika ia mendapatkannya di selain shalat tersebut, tidak batal pula, seperti sisa minum keledai.
Dan karena ia telah membuka shalat dengan ṭahūr, maka wajib tidak batal dengan melihat ṭahūr, seperti orang yang berwudhu lalu melihat air atau tanah, dan seperti orang mutayammim yang melihat tanah. Dan karena ia membuka shalat dengan tayammum karena tidak mampu mendapatkan air, maka wajib tidak batal tayammum-nya dengan mampu mendapatkan air, seperti orang sakit yang sembuh di tengah shalatnya.
Dan karena wuḍuʼ adalah syarat yang apabila ketiadaannya bersambung hingga selesai shalat, maka gugurlah kewajibannya dengan pelaksanaannya, sehingga tidak wajib batal shalat dengan kemampuan melakukannya di tengah-tengahnya, seperti orang telanjang yang mendapatkan pakaian di tengah shalatnya.
Dan setiap badal dan mubdal yang ditetapkan dalam syariat untuk memperbolehkan sesuatu selainnya, apabila mampu mendapatkan mubdal setelah diperbolehkan maksud dengan badal, maka gugurlah hukumnya, seperti perempuan yang menjalani ‘iddah dengan bulan-bulan lalu melihat darah setelah selesai ‘iddah dan ia telah menikah. Demikian pula orang mutayammim jika melihat air di dalam shalat.
Dan karena terkadang seseorang dapat sampai pada wuḍuʼ dengan harga air sebagaimana dengan air itu sendiri, maka ketika shalatnya tidak batal dengan adanya harga air setelah sebelumnya tidak ada, shalatnya juga tidak batal dengan adanya air setelah sebelumnya tidak ada. Penjelasannya, ini diqiyaskan pada sesuatu yang menjadi perantara kepada wuḍuʼ, apabila mampu mendapatkannya setelah membuka shalat, maka tidak berpengaruh keberadaannya di tengah shalat, seperti harga air.
Dan setiap keadaan yang tidak wajib baginya sampai kepada asal karena adanya harga air, maka tidak wajib baginya kembali kepada asal karena adanya wujudnya secara langsung, seperti orang yang berkewajiban kafarat lalu mampu membayar setelah ia berpuasa.
Dan setiap keadaan yang tidak wajib baginya mencari air, tidak wajib pula baginya menggunakan air, seperti setelah shalat. Dan tayammum itu sah dengan dua syarat: safar dan tidak ada air. Lalu jika ia membatalkan safar dengan mukim di tengah shalatnya, tidaklah batal karenanya tayammum-nya, meskipun batal dengannya sebelum shalat.
فَكَذَا إِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فِي تَضَاعِيفِ الصَّلَاةِ لَمْ يَبْطُلْ بِهِ التَّيَمُّمُ، وَإِنْ كَانَ يَبْطُلُ بِهِ قَبْلَ الصَّلَاةِ، وَكَذَا إِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فِي تَضَاعِيفِ الصَّلَاةِ لَمْ يَبْطُلْ بِهِ التَّيَمُّمُ، وَإِنْ كَانَ يَبْطُلُ بِهِ قَبْلَ الصَّلَاةِ.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ شَرْطَيِ التَّيَمُّمِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُؤَثِّرَ فِي التَّيَمُّمِ بَعْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ مَا كَانَ مُؤَثِّرًا فِيهِ قَبْلَ الصَّلَاةِ كَالْإِقَامَةِ.
Maka demikian pula jika ia mendapatkan air di tengah-tengah shalat, tayammum-nya tidak batal karenanya, meskipun batal dengannya sebelum shalat. Demikian juga apabila ia mendapatkan air di tengah-tengah shalat, tayammum-nya tidak batal karenanya, meskipun batal dengannya sebelum shalat.
Penjelasannya dengan qiyās adalah bahwa ia merupakan salah satu dari dua syarat tayammum, maka wajib bahwa sesuatu yang berpengaruh terhadap tayammum sebelum shalat tidak berpengaruh terhadapnya setelah membuka shalat, sebagaimana halnya iqāmah (mukim).
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ طريق الاستدلال بها وهو أنها تقتضي قبل التَّيَمُّمِ وَصِحَّتِهِ عِنْدَ عَدَمِ الْمَاءِ، وَقَدْ تَيَمَّمَ بِظَاهِرِ الْآيَةِ تَيَمُّمًا صَحِيحًا، وَهُمْ يَمْنَعُونَهُ مِنِ اسْتِصْحَابِ حُكْمِهِ بَعْدَ تَقَدُّمِ صِحَّتِهِ فَكَانَ ظَاهِرُهَا دَالًّا عَلَيْهِ.
(PASAL)
Adapun jawaban terhadap ayat tersebut adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan dari sisi pengambilan dalil darinya, yaitu bahwa ayat itu menunjukkan sebelum tayammum dan sahnya ketika tidak ada air. Dan ia telah tayammum berdasarkan lahiriah ayat dengan tayammum yang sah, sedangkan mereka melarangnya untuk tetap membawa hukum itu setelah sebelumnya sah, maka lahiriah ayat menunjukkan kebolehannya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُ ” فَإِذَا وَجَدْتَ الْمَاءَ فَأَمْسِسْهُ جِلْدَكَ ” مَحْمُولٌ عَلَى وُجُوبِ اسْتِعْمَالِهِ بِالْمَاءِ يستقبل من الصلاة.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْأَمْرَ بِاسْتِعْمَالِهِ مُتَوَجِّهٌ إِلَى حَالَةِ الطَّلَبِ لِلْمَاءِ، وَذَلِكَ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَكَذَا وُجُوبُ الِاسْتِعْمَالِ قَبْلَ الصَّلَاةِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَلَى قِيَاسِهِمْ عَلَى الْحَدَثِ فَمُنْتَقِضٌ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْإِقَامَةِ فِي دَلَائِلِنَا يَبْطُلُ بِهَا التَّيَمُّمُ قَبْلَ الصَّلَاةِ، وَلَا يَبْطُلُ بِهَا التَّيَمُّمُ فِي الصَّلَاةِ، وَيَنْتَقِضُ بِوُجُودِ الثَّمَنِ أَيْضًا، وَقَدْ جَعَلْنَاهُ دَلِيلًا ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْحَدَثِ أَنَّهُ يُبْطِلُ التَّيَمُّمَ فِي صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ، فَأَبْطَلَهُ فِي صَلَاةِ الْفَرْضِ، وَرُؤْيَةُ الْمَاءِ لَا تُبْطِلُ التَّيَمُّمَ فِي صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ فَلَمْ تُبْطِلْهُ فِي صَلَاةِ الْفَرْضِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمُسْتَحَاضَةِ فَلِأَصْحَابِنَا فِي بُطْلَانِ صَلَاتِهَا بِارْتِفَاعِ الِاسْتِحَاضَةِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ، أَنَّ صَلَاتَهَا لَا تَبْطُلُ كَالْمُتَيَمِّمِ فَسَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ.
Adapun jawaban terhadap hadis adalah dari dua sisi:
Pertama: Sabda beliau, “Apabila engkau mendapatkan air, maka sentuhkanlah ke kulitmu,” dimaknai sebagai kewajiban menggunakannya dengan air untuk memulai shalat dari awal.
Kedua: Perintah untuk menggunakannya diarahkan kepada keadaan mencari air, yaitu sebelum shalat, demikian pula kewajiban menggunakannya adalah sebelum shalat.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan ḥadats, maka tertolak dengan apa yang telah kami sebutkan dari iqāmah dalam dalil kami, bahwa tayammum batal dengannya sebelum shalat dan tidak batal dengannya di dalam shalat, serta tertolak pula dengan adanya harga air, dan kami telah menjadikannya sebagai dalil.
Lalu makna pada ḥadats adalah bahwa ia membatalkan tayammum di shalat ‘Īdain, maka dibatalkan pula pada shalat fardu. Sedangkan melihat air tidak membatalkan tayammum di shalat ‘Īdain, maka tidak membatalkannya pula di shalat fardu.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan wanita mustahāḍah, maka menurut sahabat-sahabat kami dalam batalnya shalatnya karena berhentinya istihadhah ada dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa shalatnya tidak batal, seperti orang yang mutayammim, maka gugurlah istidlal tersebut.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا بَاطِلَةٌ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ حَامِلَةٌ لِلنَّجَاسَةِ فَلَزِمَهَا اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ لِإِزَالَتِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُتَيَمِّمُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ لَيْسَتْ فِي طَهَارَةٍ مِنْ وُضُوءٍ وَلَا فِي بَدَلٍ من التيمم، وهذا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي وُضُوءٍ فَهُوَ فِي تَيَمُّمٍ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، فَهُوَ أَنَّ الْمَعْنَى فِي ظُهُورِ الْقَدَمَيْنِ أَنْ يُبْطِلَ صَلَاةَ الْعِيدَيْنِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ رُؤْيَةُ الْمَاءِ.
Dan yang kedua: bahwa shalatnya batal. Atas dasar ini, jawabannya dari dua sisi:
Pertama: Wanita mustahāḍah membawa najis, sehingga wajib baginya menggunakan air untuk menghilangkannya, sedangkan orang yang mutayammim tidak demikian.
Kedua: Wanita mustahāḍah tidak berada dalam keadaan suci dengan wuḍuʼ dan tidak pula dalam pengganti tayammum. Adapun orang yang mutayammim, meskipun tidak berada dalam wuḍuʼ, ia berada dalam tayammum.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan masḥ di atas khuff, maka maknanya pada tampaknya kedua kaki adalah membatalkan shalat ‘Īdain, sedangkan melihat air tidak demikian.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْعُرْيَانِ إِذَا وَجَدَ ثَوْبًا وَالْمَرِيضِ إِذَا صَحَّ فَهُوَ أَنَّنَا قَدْ جَعَلْنَا الْعُرْيَانَ أَصْلًا وَاسْتَخْرَجْنَا مِنْهُ دَلِيلًا، ثُمَّ هَذِهِ الْأَحْوَالُ لَا تُبْطِلُ الصلاة وإنما تغير صفة إتمامها ثم منتقض عَلَيْهِ بِسُؤْرِ الْحِمَارِ، وَوُجُودِ الثَّمَنِ وَحُدُوثِ الْإِقَامَةِ ثُمَّ تُغَلَّبُ عَلَيْهِمْ. فَيُقَالُ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَبْطُلَ الصَّلَاةُ كَالصِّحَّةِ وَوُجُودِ الثَّوْبِ.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan orang telanjang yang mendapatkan pakaian dan orang sakit yang sembuh adalah bahwa kami telah menjadikan orang telanjang sebagai asal dan mengeluarkan darinya dalil. Kemudian keadaan-keadaan ini tidak membatalkan shalat, tetapi hanya mengubah sifat penyelesaiannya.
Lalu qiyās mereka ini tertolak dengan sisa minum keledai, adanya harga air, dan terjadinya iqāmah, kemudian hal-hal ini lebih diunggulkan atas mereka. Maka dikatakan: Wajiblah bahwa shalat tidak batal, seperti keadaan sembuhnya orang sakit dan adanya pakaian bagi orang telanjang.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ الْمُزَنِيُّ مِنَ الْعِدَّةِ فَهُوَ أَنَّ الِانْتِقَالَ مِنَ الشُّهُورِ إِلَى الْأَقْرَاءِ وَإِنْ كَانَ لَازِمًا لَهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْمَاضِي مِنْ شُهُورِهَا قَبْلَ رُؤْيَةِ الدَّمِ هَلْ يَكُونُ قُرْءًا يُعْتَدُّ بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قرءٌ مُعْتَدٌّ بِهِ
وَالثَّانِي: لَيْسَ بِقُرْءٍ، وَلَا يَقَعُ الِاعْتِدَادُ بِهِ فَإِنْ جَعَلْنَا مَا مَضَى قُرْءًا لَمْ تَبْطُلِ الشُّهُورُ بِرُؤْيَةِ الدَّمِ فَيَلْزَمُ عَلَى هَذَا أَنْ لَا تَبْطُلَ الصَّلَاةُ وَالتَّيَمُّمُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ، وَيَكُونُ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ مُنْعَكِسًا عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يُجْعَلِ الْمَاضِي قُرْءًا وَأَبْطَلْنَا الشُّهُورَ بِرُؤْيَةِ الدَّمِ، كَانَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْمُتَيَمِّمِ وَبَيْنَ الْمُعْتَدَّةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْمُعْتَدَّةَ لَمَّا جَازَ أَنْ تَعْتَدَّ بِزَمَنٍ لَا تُحْتَسَبُ بِهِ وَهُوَ الْحَيْضُ جَازَ أَنْ يَكُونَ الْمَاضِي قَبْلَ دَمِهَا عَفْوًا.
Adapun jawaban terhadap dalil yang digunakan al-Muzanī dari masalah ‘iddah adalah bahwa perpindahan dari bulan-bulan kepada aqrāʼ meskipun wajib baginya, para sahabat kami telah berbeda pendapat mengenai masa bulan-bulan yang telah berlalu sebelum melihat darah: apakah ia dihitung sebagai satu qurʼ yang diperhitungkan atau tidak, dengan dua pendapat:
Pertama: bahwa ia adalah qurʼ yang diperhitungkan.
Kedua: bahwa ia bukan qurʼ dan tidak dihitung.
Jika kita menjadikan masa yang telah berlalu sebagai qurʼ, maka bulan-bulan tidak batal dengan melihat darah, dan berdasarkan ini, wajib pula bahwa shalat dan tayammum tidak batal dengan melihat air, sehingga istidlal itu berbalik menjadi hujjah terhadapnya.
Jika kita tidak menjadikan masa yang telah berlalu sebagai qurʼ dan kita batalkan bulan-bulan itu dengan melihat darah, maka perbedaan antara orang yang mutayammim dan wanita yang menjalani ‘iddah ada tiga hal:
Pertama: bahwa wanita yang menjalani ‘iddah ketika boleh menghitung masa yang tidak dihitung di dalamnya — yaitu masa ḥaiḍ — maka boleh pula masa yang telah berlalu sebelum darahnya dianggap sebagai masa yang dimaafkan.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُعْتَدَّةَ بِالشُّهُورِ دَخَلَتْ فِيهَا بِالشَّكِّ وَغَلَبَةِ الظَّنِّ فِي تَأْخِيرِ الْحَيْضِ، فَإِذَا رَأَتِ الدَّمَ انْتَقَلَتْ إِلَيْهِ كَالْحَاكِمِ إِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ عَلِمَ مُخَالَفَةَ النَّصِّ وَالْمُتَيَمِّمُ مُتَيَقِّنٌ لِعَدَمِ الْمَاءِ فَصَارَ كَالْحَاكِمِ إِذَا حَدَثَ بَعْدَ حُكْمِهِ بِالِاجْتِهَادِ نَصٌّ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الِاعْتِبَارَ فِي الْعِدَّةِ بِانْتِهَائِهَا، وَكَذَلِكَ إِنْ جَازَ أَنْ تَنْتَقِلَ مِنَ الْحَيْضِ إِلَى غَيْرِهِ، وَهُوَ الْحَمْلُ اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ، وَالصَّلَاةُ فِي الطَّهَارَةِ مُعْتَبَرَةٌ بِابْتِدَائِهَا وَلِذَلِكَ لَمْ يُنْتَقَلْ عَنِ الْمَاءِ إِلَى التُّرَابِ عَلَى أَنَّنَا قَدْ جَعَلْنَا الْعِدَّةَ لَنَا دَلِيلًا فَكَانَ وَجْهُ الِاسْتِدْلَالِ بِهَا فِي الْجَوَابِ كَافِيًا، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ بِأَنَّ رُؤْيَةَ الْمَاءِ حَدَثٌ فَهُوَ أَنَّهُ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الْمُتَيَمِّمَ مُحْدِثٌ وَالْحَدَثُ لَا يَكُونُ لَهُ حُكْمٌ إِذَا طَرَأَ عَلَى الْحَدَثِ، وَالْمَانِعُ مِنْ رُؤْيَةِ الْمَاءِ أَنْ يَكُونَ حَدَثًا إِنَّ مُتَيَمِّمَيْنِ لَوْ تَيَمَّمَ أَحَدُهُمَا عَنْ حَدَثٍ، وَالْآخَرُ عَنْ جَنَابَةٍ، ثُمَّ وَجَدَ الْمَاءَ لَزِمَ الْجُنُبَ أَنْ يَغْتَسِلَ، وَالْمُحْدِثَ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَلَوْ كَانَ رُؤْيَتُهُ حَدَثًا لَاسْتَوَى حُكْمُهُمَا، فِيمَا يَلْزَمُهُمَا مِنْ وُضُوءٍ وَغَسْلٍ؛ لِأَنَّ الْحَدَثَ الْوَاحِدَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُوجِبَ حُكْمَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ.
Kedua: bahwa wanita yang menjalani ‘iddah dengan bulan-bulan memasukinya dengan dasar keraguan dan dominasi dugaan dalam hal keterlambatan ḥaiḍ, maka ketika ia melihat darah, ia berpindah kepadanya, seperti seorang hakim yang berijtihad lalu mengetahui adanya naṣṣ yang menyelisihinya. Sedangkan orang yang mutayammim meyakini tidak adanya air, sehingga ia seperti hakim yang setelah memutuskan dengan ijtihad, kemudian datang naṣṣ setelahnya.
Ketiga: bahwa yang menjadi tolok ukur dalam ‘iddah adalah pada penyelesaiannya. Demikian pula jika boleh berpindah dari ḥaiḍ kepada selainnya, yaitu hamil, maka itu dinilai dari sisi penyelesaiannya. Sedangkan shalat dalam ṭahārah dinilai dari sisi permulaannya, dan karena itu tidak berpindah dari air kepada tanah. Lagi pula kami telah menjadikan ‘iddah sebagai dalil bagi pihak kami, sehingga sisi istidlal dengannya dalam jawaban sudah mencukupi.
Adapun jawaban terhadap perkataannya bahwa melihat air adalah ḥadats, maka itu rusak, karena orang yang mutayammim memang dalam keadaan muḥdits, dan ḥadats tidak memiliki pengaruh apabila datang pada keadaan sudah ḥadats. Yang menghalangi melihat air disebut sebagai ḥadats adalah, bahwa jika ada dua orang mutayammim, salah satunya bertayammum karena ḥadats, dan yang lainnya karena janābah, lalu keduanya mendapatkan air, maka wajib bagi yang junub untuk mandi, dan bagi yang muḥdits untuk berwudhu. Seandainya melihat air itu ḥadats, tentu hukum keduanya sama dalam kewajiban wudhu atau mandi, karena satu ḥadats tidak boleh mewajibkan dua hukum yang berbeda.
فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ لَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ بِرُؤْيَتِهِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَلَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِعْمَالُهُ بِرُؤْيَتِهِ فِي الصَّلَاةِ؟
قِيلَ: لِأَنَّهُ بَعْدَ الْإِحْرَامِ بِالصَّلَاةِ فِي عِبَادَةٍ مَنَعَتْ حُرْمَتُهَا مِنَ الِانْتِقَالِ عَنْهَا وَهُوَ قَبْلَ الصَّلَاةِ بِخِلَافِهَا.
Jika dikatakan: Mengapa ia wajib menggunakan air ketika melihatnya sebelum shalat, namun tidak wajib menggunakannya ketika melihatnya di dalam shalat?
Dijawab: Karena setelah iḥrām shalat, ia berada dalam ibadah yang kehormatannya mencegah untuk berpindah darinya, berbeda halnya sebelum shalat.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ صَلَاتَهُ لَا تَبْطُلُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: بَيْنَ أَنْ يَقْطَعَ صَلَاتَهُ وَيَسْتَعْمِلَ الْمَاءَ وَيَسْتَأْنِفَ الصَّلَاةَ، وَهُوَ عَلَى قَوْلِ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِنَا أَفْضَلُ لِيَكُونَ خَارِجًا مِنَ الْخِلَافِ، وَبَيْنَ أَنْ يَمْضِيَ فِي صَلَاتِهِ حَتَّى يُكْمِلَهَا، وَهُوَ عَلَى قَوْلِ بَعْضِ أَصْحَابِنَا أَفْضَلُ لِئَلَّا تَبْطُلَ عِبَادَةٌ هُوَ فِيهَا فَإِذَا أَتَمَّهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْتَقِلَ بَعْدَهَا؛ لِأَنَّ تَيَمُّمَهُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ كَانَ قَدْ أُبْطِلَ لِغَيْرِ تِلْكَ الصَّلَاةِ الَّتِي هُوَ فِيهَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ سَلَّمَ مِنْ تِلْكَ الصَّلَاةِ الَّتِي رَأَى الْمَاءَ فِيهَا فَقَدَّمَ الْمَاءَ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ بَعْدَ الْخُرُوجِ مِنْهَا لَزِمَهُ اسْتِئْنَافُ التَّيَمُّمِ لِمَا يَنْتَقِلُ إِلَيْهِ بَعْدَ إِحْدَاثِ الطَّلَبِ، فَلَوْ كَانَ قَدْ رَأَى الْمَاءَ وَهُوَ فِي صَلَاةِ نَافِلَةٍ كَانَ لَهُ أَنْ يُتَمِّمَ مَا نَوَى مِنْ عَدَدِهَا فَإِنْ كَانَ قَدْ نَوَى أَرْبَعًا بِسَلَامٍ كَانَ لَهُ أَنْ يُكْمِلَهَا أَرْبَعًا، وَإِنْ كَانَ قَدْ نَوَى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَعَ الْإِحْرَامِ نِيَّةٌ مِنَ الْعَدَدِ اقْتَصَرَ عَلَى رَكْعَتَيْنِ؛ لِأَنَّ الشَّرْعَ قَرَّرَ لَهُ اخْتِلَافَ النَّوَافِلِ أَنْ تَكُونَ مَثْنَى مَثْنَى، فَلَوْ أَنَّ مُتَيَمِّمًا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ يَنْوِي الْقَصْرَ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ، ثُمَّ نَوَى بَعْدَ رُؤْيَةِ الْمَاءِ إِتْمَامَ الصَّلَاةِ أَوِ الْمُقَامَ بِمَكَانِهِ أَرْبَعًا. قَالَ ابْنُ الْقَاصِّ: قَدْ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ؛ لِأَنَّ تَيَمُّمَهُ صَحَّ لِرَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، وَقَدْ لَزِمَهُ الْإِتْمَامُ أَرْبَعًا؛ فَكَانَتْ رُؤْيَةُ الْمَاءِ مُبْطِلَةً لِصَلَاتِهِ، وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا يُتَمِّمُ صَلَاتَهُ، وَلَا تبطل؛ لأن تيممه صح لأدائها تامة ومقصورة والله أعلم.
(PASAL)
Apabila telah tetap bahwa shalatnya tidak batal dengan melihat air, maka ia diberi pilihan antara dua hal:
Pertama, memutuskan shalatnya, menggunakan air, lalu memulai shalat dari awal. Ini menurut pendapat sekelompok sahabat kami lebih utama, agar keluar dari khilaf.
Kedua, melanjutkan shalatnya hingga selesai. Ini menurut pendapat sebagian sahabat kami lebih utama, agar tidak membatalkan ibadah yang sedang dikerjakan.
Apabila ia telah menyempurnakannya, maka tidak boleh baginya untuk berpindah setelahnya, karena tayammum-nya dengan melihat air telah batal untuk selain shalat yang sedang ia kerjakan. Berdasarkan ini, jika ia telah salam dari shalat di mana ia melihat air, kemudian ia mendahulukan penggunaan air, namun setelah keluar darinya ia tidak mampu mendapatkannya lagi, maka wajib baginya memperbarui tayammum untuk shalat berikutnya setelah mengulang usaha pencarian air.
Jika ia melihat air ketika dalam shalat nāfilah, maka ia boleh menyempurnakan jumlah rakaat yang telah ia niatkan. Jika ia berniat empat rakaat dengan satu salam, maka ia boleh menyempurnakannya empat rakaat. Jika ia berniat dua rakaat, maka ia tidak boleh menambah atasnya. Jika ia tidak memiliki niat jumlah rakaat saat iḥrām, maka ia cukup dengan dua rakaat, karena syariat telah menetapkan perbedaan nawāfil agar dilakukan dua rakaat-dua rakaat.
Jika seorang mutayammim masuk ke shalat dengan niat qaṣr, lalu ia melihat air, kemudian setelah melihat air ia berniat menyempurnakan shalatnya atau bermukim di tempat itu menjadi empat rakaat, Ibn al-Qāṣ berkata: Shalatnya batal, karena tayammum-nya sah untuk dua rakaat tanpa tambahan, sedangkan ia telah diwajibkan menyempurnakan empat rakaat, maka melihat air menjadi pembatal shalatnya. Namun, seluruh sahabat kami yang lain berkata: Ia menyempurnakan shalatnya dan tidak batal, karena tayammum-nya sah untuk melaksanakannya baik secara sempurna maupun maqṣūrah. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا تَيَمَّمَ فَفَرَغَ مِنْ تَيَمُّمِهِ بَعْدَ طَلَبِ الْمَاءِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَعُودَ إلى الماء، وإن دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ بَعْدَ دخوله بنى على صلاته وأجزأته الصلاة (وقال المزني) وجود الماء عندي ينقض طهر التيمم في الصلاة وغيرها سواء كما أن ما نقض الطهر في الصلاة وغيرها سواء ولو كان الذي منع نقض طهره الصلاة لما ضره الحدث في الصلاة وقد أجمعوا والشافعي معهم أن رجلين لو توضأ أحدهما وتيمم الآخر في سفر لعدم الماء أنهما طاهران وأنهما قد أديا فرض الطهر فإن أحدث المتوضئ ووجد المتيمم الماء أنهما في نقض الطهر قبل الصلاة سواءٌ فلم لا كانا في نقض الطهر بعد الدخول فيها سواء؟ وما الفرق وقد قال في جماعة العلماء أن عدة من لم تحض الشهور فإن اعتدت بها إلا يوماً ثم حاضت أن الشهور تنتقض لوجود الحيض في بعض الطهر فكذلكالتيمم ينتقض وإن كان في الصلاة وجود الماء كما ينتقض طهر المتوضئ وإن كان في الصلاة إذا كان الحدث وهذا عندي بقوله أولى “.
(Masalah)
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Apabila seseorang bertayammum, lalu selesai dari tayammum-nya setelah mencari air, kemudian ia melihat air, maka wajib baginya kembali kepada air. Namun jika ia telah masuk ke dalam shalat, lalu melihat air setelah masuknya, maka ia meneruskan shalatnya dan shalatnya sah.”
(Al-Muzanī berkata:) “Menurutku, adanya air membatalkan kesucian tayammum baik di dalam shalat maupun di luar shalat, sebagaimana setiap yang membatalkan ṭahārah berlaku sama di dalam shalat maupun di luarnya. Seandainya yang mencegah batalnya ṭahārah adalah shalat itu sendiri, tentu ḥadats tidak akan merusaknya di dalam shalat. Padahal telah ada ijma‘ — dan Al-Syafi‘i termasuk bersama mereka — bahwa jika dua orang, salah satunya berwudhu dan yang lainnya bertayammum dalam safar karena tidak ada air, maka keduanya suci dan telah melaksanakan kewajiban ṭahārah. Jika orang yang berwudhu itu berḥadats dan orang yang bertayammum itu mendapatkan air, maka keduanya sama-sama batal kesuciannya sebelum shalat. Lalu mengapa tidak sama pula keduanya dalam batalnya kesucian setelah masuk shalat? Apa bedanya?
Dan ia berkata bersama para ulama bahwa masa ‘iddah wanita yang tidak ḥaiḍ adalah bulan-bulan. Jika ia menjalani ‘iddah dengan bulan-bulan kecuali satu hari saja, lalu ḥaiḍ, maka bulan-bulan itu batal karena adanya ḥaiḍ di sebagian masa suci. Maka demikian pula tayammum batal meskipun di dalam shalat karena adanya air, sebagaimana ṭahārah orang yang berwudhu batal meskipun di dalam shalat jika terkena ḥadats. Dan ini menurutku lebih utama.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا صَلَّى بِالتَّيَمُّمِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الصَّلَاةِ فَمَا مَضَى مِنْ صَلَاتِهِ بِالتَّيَمُّمِ مُجْزِئٌ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ فِيهِ وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ وابن سيرين وعطاء وطاووس وَمَالِكٍ أَنَّ عَلَيْهِ الْإِعَادَةَ فِيمَا كَانَ وَقْتُهُ بَاقِيًا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ وُجُودَ الْمَاءِ كَالنَّصِّ الَّذِي يَبْطُلُ حُكْمُ الِاجْتِهَادِ مَعَهُ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang ia katakan, apabila seseorang shalat dengan tayammum kemudian melihat air setelah selesai shalat, maka shalatnya dengan tayammum yang telah lalu sah dan tidak wajib mengulanginya. Dan dinukil dari al-Ḥasan, Ibn Sīrīn, ‘Aṭā’, Ṭāwūs, dan Mālik bahwa ia wajib mengulanginya selama waktunya masih ada, dengan dalil bahwa adanya air seperti nash yang membatalkan hukum ijtihād bersamanya.
فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ لَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ بِرُؤْيَتِهِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَلَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِعْمَالُهُ بِرُؤْيَتِهِ فِي الصَّلَاةِ؟
قِيلَ: لِأَنَّهُ بَعْدَ الْإِحْرَامِ بِالصَّلَاةِ فِي عِبَادَةٍ مَنَعَتْ حُرْمَتُهَا مِنَ الِانْتِقَالِ عَنْهَا وَهُوَ قَبْلَ الصَّلَاةِ بِخِلَافِهَا.
Jika dikatakan: Mengapa wajib baginya menggunakan air ketika melihatnya sebelum shalat, tetapi tidak wajib menggunakannya ketika melihatnya di dalam shalat?
Dijawab: Karena setelah ihrām shalat, ia berada dalam suatu ibadah yang kehormatannya mencegah untuk berpindah darinya, berbeda halnya ketika sebelum shalat.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ صَلَاتَهُ لَا تَبْطُلُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: بَيْنَ أَنْ يَقْطَعَ صَلَاتَهُ وَيَسْتَعْمِلَ الْمَاءَ وَيَسْتَأْنِفَ الصَّلَاةَ، وَهُوَ عَلَى قَوْلِ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِنَا أَفْضَلُ لِيَكُونَ خَارِجًا مِنَ الْخِلَافِ، وَبَيْنَ أَنْ يَمْضِيَ فِي صَلَاتِهِ حَتَّى يُكْمِلَهَا، وَهُوَ عَلَى قَوْلِ بَعْضِ أَصْحَابِنَا أَفْضَلُ لِئَلَّا تَبْطُلَ عِبَادَةٌ هُوَ فِيهَا فَإِذَا أَتَمَّهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْتَقِلَ بَعْدَهَا؛ لِأَنَّ تَيَمُّمَهُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ كَانَ قَدْ أُبْطِلَ لِغَيْرِ تِلْكَ الصَّلَاةِ الَّتِي هُوَ فِيهَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ سَلَّمَ مِنْ تِلْكَ الصَّلَاةِ الَّتِي رَأَى الْمَاءَ فِيهَا فَقَدَّمَ الْمَاءَ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ بَعْدَ الْخُرُوجِ مِنْهَا لَزِمَهُ اسْتِئْنَافُ التَّيَمُّمِ لِمَا يَنْتَقِلُ إِلَيْهِ بَعْدَ إِحْدَاثِ الطَّلَبِ، فَلَوْ كَانَ قَدْ رَأَى الْمَاءَ وَهُوَ فِي صَلَاةِ نَافِلَةٍ كَانَ لَهُ أَنْ يُتَمِّمَ مَا نَوَى مِنْ عَدَدِهَا فَإِنْ كَانَ قَدْ نَوَى أَرْبَعًا بِسَلَامٍ كَانَ لَهُ أَنْ يُكْمِلَهَا أَرْبَعًا، وَإِنْ كَانَ قَدْ نَوَى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَعَ الْإِحْرَامِ نِيَّةٌ مِنَ الْعَدَدِ اقْتَصَرَ عَلَى رَكْعَتَيْنِ؛ لِأَنَّ الشَّرْعَ قَرَّرَ لَهُ اخْتِلَافَ النَّوَافِلِ أَنْ تَكُونَ مَثْنَى مَثْنَى، فَلَوْ أَنَّ مُتَيَمِّمًا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ يَنْوِي الْقَصْرَ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ، ثُمَّ نَوَى بَعْدَ رُؤْيَةِ الْمَاءِ إِتْمَامَ الصَّلَاةِ أَوِ الْمُقَامَ بِمَكَانِهِ أَرْبَعًا. قَالَ ابْنُ الْقَاصِّ: قَدْ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ؛ لِأَنَّ تَيَمُّمَهُ صَحَّ لِرَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، وَقَدْ لَزِمَهُ الْإِتْمَامُ أَرْبَعًا؛ فَكَانَتْ رُؤْيَةُ الْمَاءِ مُبْطِلَةً لِصَلَاتِهِ، وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا يُتَمِّمُ صَلَاتَهُ، وَلَا تبطل؛ لأن تيممه صح لأدائها تامة ومقصورة والله أعلم.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa shalatnya tidak batal dengan melihat air, maka ia diberi pilihan antara dua perkara: antara memutus shalatnya lalu menggunakan air dan memulai kembali shalat, dan ini menurut pendapat sekelompok ashhab kami lebih utama agar keluar dari khilaf; atau melanjutkan shalatnya hingga menyempurnakannya, dan ini menurut pendapat sebagian ashhab kami lebih utama agar tidak membatalkan ibadah yang sedang ia lakukan. Apabila ia telah menyempurnakannya, maka tidak boleh baginya berpindah setelahnya; karena tayammum-nya dengan melihat air telah batal untuk selain shalat yang sedang ia kerjakan. Atas dasar ini, jika ia salam dari shalat yang ia lihat air di dalamnya, kemudian ia mendahulukan air, namun tidak mampu menggunakannya setelah keluar darinya, maka wajib baginya mengulangi tayammum untuk ibadah yang akan ia lakukan setelah memulai pencarian baru.
Jika ia melihat air sedang ia dalam shalat nafilah, maka boleh baginya menyempurnakan jumlah rakaat yang ia niatkan. Jika ia telah meniatkan empat rakaat dengan satu salam, maka boleh baginya menyempurnakannya menjadi empat. Jika ia meniatkan dua rakaat, maka tidak boleh menambah darinya. Jika ia tidak meniatkan jumlah rakaat saat takbiratul ihram, maka cukup dua rakaat; karena syariat telah menetapkan perbedaan shalat nawafil itu adalah masna masna (dua rakaat-dua rakaat).
Seandainya seorang yang mutayammim masuk shalat dengan niat qashar, lalu melihat air, kemudian setelah melihat air ia berniat menyempurnakan shalat atau menetap di tempatnya menjadi empat rakaat. Ibnu al-Qash berkata: “Shalatnya batal; karena tayammum-nya sah untuk dua rakaat tanpa tambahan, sementara ia wajib menyempurnakan menjadi empat; maka melihat air membatalkan shalatnya.” Sedangkan seluruh ashhab kami yang lain berkata: “Ia menyempurnakan shalatnya dan tidak batal; karena tayammum-nya sah untuk menunaikannya baik secara sempurna maupun maqshurah. Wallahu a‘lam.”
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا تَيَمَّمَ فَفَرَغَ مِنْ تَيَمُّمِهِ بَعْدَ طَلَبِ الْمَاءِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَعُودَ إلى الماء، وإن دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ بَعْدَ دخوله بنى على صلاته وأجزأته الصلاة (وقال المزني) وجود الماء عندي ينقض طهر التيمم في الصلاة وغيرها سواء كما أن ما نقض الطهر في الصلاة وغيرها سواء ولو كان الذي منع نقض طهره الصلاة لما ضره الحدث في الصلاة وقد أجمعوا والشافعي معهم أن رجلين لو توضأ أحدهما وتيمم الآخر في سفر لعدم الماء أنهما طاهران وأنهما قد أديا فرض الطهر فإن أحدث المتوضئ ووجد المتيمم الماء أنهما في نقض الطهر قبل الصلاة سواءٌ فلم لا كانا في نقض الطهر بعد الدخول فيها سواء؟ وما الفرق وقد قال في جماعة العلماء أن عدة من لم تحض الشهور فإن اعتدت بها إلا يوماً ثم حاضت أن الشهور تنتقض لوجود الحيض في بعض الطهر فكذلكالتيمم ينتقض وإن كان في الصلاة وجود الماء كما ينتقض طهر المتوضئ وإن كان في الصلاة إذا كان الحدث وهذا عندي بقوله أولى “.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apabila ia bertayammum lalu selesai dari tayammum-nya setelah mencari air, kemudian ia melihat air, maka wajib baginya kembali kepada air. Dan jika ia telah masuk shalat kemudian melihat air setelah masuknya, maka ia melanjutkan shalatnya dan shalatnya mencukupi.”
Al-Muzani berkata: “Menurutku, adanya air membatalkan suci tayammum baik di dalam shalat maupun di luar shalat, sebagaimana sesuatu yang membatalkan suci berlaku sama di dalam shalat maupun di luar shalat. Seandainya yang mencegah batalnya suci adalah shalat, niscaya hadats di dalam shalat tidak akan merusaknya. Padahal para ulama telah bersepakat—dan al-Syafi‘i bersama mereka—bahwa dua orang, salah satunya berwudhu dan yang lainnya bertayammum dalam safar karena tidak ada air, maka keduanya dalam keadaan suci dan telah menunaikan fardhu thaharah. Jika yang berwudhu berhadats dan yang bertayammum menemukan air, maka keduanya dalam hal batalnya suci sebelum shalat adalah sama. Mengapa keduanya tidak sama pula dalam batalnya suci setelah masuk shalat? Apa bedanya? Dan para ulama juga berkata bahwa bila seorang wanita yang belum haid beriddah dengan bulan, kemudian ia haid di sebagian masa suci tersebut, maka iddah bulan-bulannya batal karena adanya haid di sebagian masa suci. Demikian pula tayammum batal meskipun di dalam shalat dengan adanya air, sebagaimana wudhu batal meskipun di dalam shalat dengan adanya hadats. Menurutku, ini lebih utama dengan perkataannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا صَلَّى بِالتَّيَمُّمِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الصَّلَاةِ فَمَا مَضَى مِنْ صَلَاتِهِ بِالتَّيَمُّمِ مُجْزِئٌ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ فِيهِ وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ وابن سيرين وعطاء وطاووس وَمَالِكٍ أَنَّ عَلَيْهِ الْإِعَادَةَ فِيمَا كَانَ وَقْتُهُ بَاقِيًا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ وُجُودَ الْمَاءِ كَالنَّصِّ الَّذِي يَبْطُلُ حُكْمُ الِاجْتِهَادِ مَعَهُ.فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ لَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ بِرُؤْيَتِهِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَلَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِعْمَالُهُ بِرُؤْيَتِهِ فِي الصَّلَاةِ؟
قِيلَ: لِأَنَّهُ بَعْدَ الْإِحْرَامِ بِالصَّلَاةِ فِي عِبَادَةٍ مَنَعَتْ حُرْمَتُهَا مِنَ الِانْتِقَالِ عَنْهَا وَهُوَ قَبْلَ الصَّلَاةِ بِخِلَافِهَا.
Al-Mawardi berkata: “Demikian seperti yang beliau katakan, apabila ia shalat dengan tayammum lalu melihat air setelah selesai dari shalat, maka apa yang telah berlalu dari shalatnya dengan tayammum itu sah dan tidak ada kewajiban mengulanginya. Diriwayatkan dari al-Hasan, Ibnu Sirin, ‘Atha’, Thawus, dan Malik bahwa ia wajib mengulanginya selama waktunya masih ada, dengan alasan bahwa adanya air itu seperti nash yang membatalkan hukum ijtihad bersamanya.
Jika dikatakan: Mengapa ia wajib menggunakan air ketika melihatnya sebelum shalat, tetapi tidak wajib menggunakannya ketika melihatnya di dalam shalat?
Dijawab: Karena setelah ihram shalat, ia berada dalam ibadah yang kehormatannya mencegah untuk berpindah darinya, berbeda halnya dengan sebelum shalat.”
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ صَلَاتَهُ لَا تَبْطُلُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: بَيْنَ أَنْ يَقْطَعَ صَلَاتَهُ وَيَسْتَعْمِلَ الْمَاءَ وَيَسْتَأْنِفَ الصَّلَاةَ، وَهُوَ عَلَى قَوْلِ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِنَا أَفْضَلُ لِيَكُونَ خَارِجًا مِنَ الْخِلَافِ، وَبَيْنَ أَنْ يَمْضِيَ فِي صَلَاتِهِ حَتَّى يُكْمِلَهَا، وَهُوَ عَلَى قَوْلِ بَعْضِ أَصْحَابِنَا أَفْضَلُ لِئَلَّا تَبْطُلَ عِبَادَةٌ هُوَ فِيهَا فَإِذَا أَتَمَّهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْتَقِلَ بَعْدَهَا؛ لِأَنَّ تَيَمُّمَهُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ كَانَ قَدْ أُبْطِلَ لِغَيْرِ تِلْكَ الصَّلَاةِ الَّتِي هُوَ فِيهَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ سَلَّمَ مِنْ تِلْكَ الصَّلَاةِ الَّتِي رَأَى الْمَاءَ فِيهَا فَقَدَّمَ الْمَاءَ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ بَعْدَ الْخُرُوجِ مِنْهَا لَزِمَهُ اسْتِئْنَافُ التَّيَمُّمِ لِمَا يَنْتَقِلُ إِلَيْهِ بَعْدَ إِحْدَاثِ الطَّلَبِ، فَلَوْ كَانَ قَدْ رَأَى الْمَاءَ وَهُوَ فِي صَلَاةِ نَافِلَةٍ كَانَ لَهُ أَنْ يُتَمِّمَ مَا نَوَى مِنْ عَدَدِهَا فَإِنْ كَانَ قَدْ نَوَى أَرْبَعًا بِسَلَامٍ كَانَ لَهُ أَنْ يُكْمِلَهَا أَرْبَعًا، وَإِنْ كَانَ قَدْ نَوَى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَعَ الْإِحْرَامِ نِيَّةٌ مِنَ الْعَدَدِ اقْتَصَرَ عَلَى رَكْعَتَيْنِ؛ لِأَنَّ الشَّرْعَ قَرَّرَ لَهُ اخْتِلَافَ النَّوَافِلِ أَنْ تَكُونَ مَثْنَى مَثْنَى، فَلَوْ أَنَّ مُتَيَمِّمًا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ يَنْوِي الْقَصْرَ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ، ثُمَّ نَوَى بَعْدَ رُؤْيَةِ الْمَاءِ إِتْمَامَ الصَّلَاةِ أَوِ الْمُقَامَ بِمَكَانِهِ أَرْبَعًا. قَالَ ابْنُ الْقَاصِّ: قَدْ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ؛ لِأَنَّ تَيَمُّمَهُ صَحَّ لِرَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، وَقَدْ لَزِمَهُ الْإِتْمَامُ أَرْبَعًا؛ فَكَانَتْ رُؤْيَةُ الْمَاءِ مُبْطِلَةً لِصَلَاتِهِ، وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا يُتَمِّمُ صَلَاتَهُ، وَلَا تبطل؛ لأن تيممه صح لأدائها تامة ومقصورة والله أعلم.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa shalatnya tidak batal dengan melihat air, maka ia diberi pilihan antara dua perkara: antara memutus shalatnya lalu menggunakan air dan memulai kembali shalat, dan ini menurut pendapat sekelompok ashhab kami lebih utama agar keluar dari khilaf; atau melanjutkan shalatnya hingga menyempurnakannya, dan ini menurut pendapat sebagian ashhab kami lebih utama agar tidak membatalkan ibadah yang sedang ia lakukan.
Apabila ia telah menyempurnakannya, maka tidak boleh baginya berpindah setelahnya; karena tayammum-nya dengan melihat air telah batal untuk selain shalat yang sedang ia kerjakan. Atas dasar ini, jika ia salam dari shalat yang ia lihat air di dalamnya, kemudian ia mendahulukan air, namun tidak mampu menggunakannya setelah keluar darinya, maka wajib baginya mengulangi tayammum untuk ibadah yang akan ia lakukan setelah memulai pencarian baru.
Jika ia melihat air sedang ia dalam shalat nafilah, maka boleh baginya menyempurnakan jumlah rakaat yang ia niatkan. Jika ia telah meniatkan empat rakaat dengan satu salam, maka boleh baginya menyempurnakannya menjadi empat. Jika ia meniatkan dua rakaat, maka tidak boleh menambah darinya. Jika ia tidak meniatkan jumlah rakaat saat ihram, maka cukup dua rakaat; karena syariat telah menetapkan perbedaan shalat nawafil itu adalah masna masna (dua rakaat-dua rakaat).
Seandainya seorang yang mutayammim masuk shalat dengan niat qashar, lalu melihat air, kemudian setelah melihat air ia berniat menyempurnakan shalat atau menetap di tempatnya menjadi empat rakaat. Ibnu al-Qash berkata: “Shalatnya batal; karena tayammum-nya sah untuk dua rakaat tanpa tambahan, sementara ia wajib menyempurnakan menjadi empat; maka melihat air membatalkan shalatnya.” Sedangkan seluruh ashhab kami yang lain berkata: “Ia menyempurnakan shalatnya dan tidak batal; karena tayammum-nya sah untuk menunaikannya baik secara sempurna maupun maqshurah. Wallahu a‘lam.”
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا تَيَمَّمَ فَفَرَغَ مِنْ تَيَمُّمِهِ بَعْدَ طَلَبِ الْمَاءِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَعُودَ إلى الماء، وإن دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ بَعْدَ دخوله بنى على صلاته وأجزأته الصلاة (وقال المزني) وجود الماء عندي ينقض طهر التيمم في الصلاة وغيرها سواء كما أن ما نقض الطهر في الصلاة وغيرها سواء ولو كان الذي منع نقض طهره الصلاة لما ضره الحدث في الصلاة وقد أجمعوا والشافعي معهم أن رجلين لو توضأ أحدهما وتيمم الآخر في سفر لعدم الماء أنهما طاهران وأنهما قد أديا فرض الطهر فإن أحدث المتوضئ ووجد المتيمم الماء أنهما في نقض الطهر قبل الصلاة سواءٌ فلم لا كانا في نقض الطهر بعد الدخول فيها سواء؟ وما الفرق وقد قال في جماعة العلماء أن عدة من لم تحض الشهور فإن اعتدت بها إلا يوماً ثم حاضت أن الشهور تنتقض لوجود الحيض في بعض الطهر فكذلكالتيمم ينتقض وإن كان في الصلاة وجود الماء كما ينتقض طهر المتوضئ وإن كان في الصلاة إذا كان الحدث وهذا عندي بقوله أولى “.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apabila ia bertayammum lalu selesai dari tayammum-nya setelah mencari air, kemudian ia melihat air, maka wajib baginya kembali kepada air. Dan jika ia telah masuk shalat kemudian melihat air setelah masuknya, maka ia melanjutkan shalatnya dan shalatnya sah.”
Al-Muzani berkata: “Menurutku, adanya air membatalkan suci tayammum baik di dalam shalat maupun di luar shalat, sebagaimana sesuatu yang membatalkan suci berlaku sama di dalam shalat maupun di luar shalat. Seandainya yang mencegah batalnya suci adalah shalat, tentu hadats di dalam shalat tidak akan merusaknya. Padahal para ulama telah bersepakat—dan al-Syafi‘i bersama mereka—bahwa dua orang, salah satunya berwudhu dan yang lainnya bertayammum dalam safar karena tidak ada air, maka keduanya suci dan telah menunaikan fardhu thaharah. Jika yang berwudhu berhadats dan yang bertayammum menemukan air, maka keduanya sama dalam batalnya suci sebelum shalat. Mengapa keduanya tidak sama pula dalam batalnya suci setelah masuk shalat? Apa bedanya?
Para ulama juga berkata bahwa jika seorang wanita yang belum haid beriddah dengan bulan, kemudian ia haid pada sebagian masa suci tersebut, maka iddah bulan-bulannya batal karena adanya haid di sebagian masa suci. Demikian pula tayammum batal meskipun di dalam shalat dengan adanya air, sebagaimana wudhu batal meskipun di dalam shalat dengan adanya hadats. Menurutku, ini lebih utama sesuai perkataannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا صَلَّى بِالتَّيَمُّمِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الصَّلَاةِ فَمَا مَضَى مِنْ صَلَاتِهِ بِالتَّيَمُّمِ مُجْزِئٌ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ فِيهِ وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ وابن سيرين وعطاء وطاووس وَمَالِكٍ أَنَّ عَلَيْهِ الْإِعَادَةَ فِيمَا كَانَ وَقْتُهُ بَاقِيًا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ وُجُودَ الْمَاءِ كَالنَّصِّ الَّذِي يَبْطُلُ حُكْمُ الِاجْتِهَادِ مَعَهُ.
Al-Mawardi berkata: “Demikian seperti yang beliau katakan, apabila ia shalat dengan tayammum lalu melihat air setelah selesai dari shalat, maka apa yang telah berlalu dari shalatnya dengan tayammum itu sah dan tidak ada kewajiban mengulanginya.
Diriwayatkan dari al-Hasan, Ibnu Sirin, ‘Atha’, Thawus, dan Malik bahwa ia wajib mengulanginya selama waktunya masih ada, dengan alasan bahwa adanya air itu seperti nash yang membatalkan hukum ijtihad bersamanya.”
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سفرٍ وَحَضَرَتْهُمَا الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا ماءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ بَعْدُ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ بوضوءٍ، وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ، وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ. وَهَذَا نَصٌّ، وَلِأَنَّ التَّيَمُّمَ فِي السَّفَرِ بِعَدَمِ الْمَاءِ عُذْرٌ مُعْتَادٌ فَإِذَا صَلَّى مَعَ وُجُودِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ الْإِعَادَةُ بَعْدَ زَوَالِهِ لَهُ كَالْمَرَضِ وَالسَّفَرِ.
Dalil kami adalah riwayat ‘Aṭā’ bin Yasār dari Abu Sa‘id al-Khudri, ia berkata:
“Ada dua orang keluar dalam safar, lalu waktu shalat pun tiba dan keduanya tidak memiliki air. Maka keduanya bertayammum dengan sha‘id yang baik, kemudian setelah itu mereka menemukan air masih dalam waktu shalat. Salah satunya mengulang shalat dengan berwudhu, dan yang lainnya tidak mengulang. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Beliau berkata kepada yang tidak mengulang: ‘Engkau benar dan shalatmu telah mencukupi.’ Dan kepada yang berwudhu dan mengulang beliau berkata: ‘Bagimu pahala dua kali.’”
Ini adalah nash. Dan karena tayammum dalam safar disebabkan tidak adanya air adalah uzur yang biasa terjadi, maka apabila ia telah shalat dengan adanya uzur itu, tidak wajib baginya mengulang setelah hilangnya uzur tersebut, sebagaimana dalam keadaan sakit dan safar.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا ذَكَرُوهُ مِنْ وُجُودِ النَّصِّ بَعْدَ الِاجْتِهَادِ، فَهُوَ أَنَّنَا نَلْتَزِمُ مِنَ الْقَوْلِ بِمُوجِبِهِ، وَذَلِكَ أَنَّهُ مَتَى كَانَ النَّصُّ الْمُخَالِفُ مَوْجُودًا قَبْلَ الِاجْتِهَادِ كَانَ الِاجْتِهَادُ بَاطِلًا، وَالْحُكْمُ بِهِ مَنْقُوضًا، وَمِثَالُهُ فِي التَّيَمُّمِ: أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ فِي رَحْلِهِ وَقْتَ التَّيَمُّمِ مَوْجُودًا، وَفِي هَذَا الْمَوْضِعِ يَلْزَمُهُ الْإِعَادَةُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ وَإِنْ كَانَ النَّصُّ حَادِثًا بَعْدَ الِاجْتِهَادِ، فَهَذَا يُتَصَوَّرُ فِي عَصْرِ الرَّسُولِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَالْحُكْمُ بِالِاجْتِهَادِ الْمُتَقَدِّمِ عَلَيْهِ نَافِذٌ لَا يُعْتَرَضُ عَلَيْهِ بِفَسْخٍ، وَهُوَ مِثَالُ مَسْأَلَتِنَا فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ صَلَاتُهُ الْمَاضِيَةُ قَبْلَ رُؤْيَةِ الْمَاءِ نَافِذَةً.
Adapun jawaban terhadap apa yang mereka sebutkan tentang adanya nash setelah ijtihad, maka kami menerima konsekuensi dari pendapat tersebut. Yaitu, apabila nash yang bertentangan sudah ada sebelum ijtihad, maka ijtihad itu batal dan hukum yang dihasilkannya gugur.
Contohnya dalam tayammum adalah apabila air ada di perbekalannya saat ia bertayammum, maka dalam keadaan ini ia wajib mengulang shalatnya, sebagaimana akan kami sebutkan nanti.
Namun jika nash itu muncul setelah ijtihad, hal ini dapat terjadi pada masa Rasulullah SAW, maka hukum yang dihasilkan dari ijtihad sebelumnya tetap berlaku dan tidak dibatalkan. Inilah contoh pada masalah kita, sehingga shalatnya yang telah dilakukan sebelum melihat air tetap sah.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يجمع بالتيمم صلاتي فرضٍ بل يجدد لِكُلِّ فريضةٍ طَلَبًا لِلْمَاءِ وَتَيَمُّمًا بَعْدَ الطَّلَبِ الأول لقوله جل وعز: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ} وقول ابن عباسٍ: ” لا تصلى المكتوبة إلا بتيممٍ “.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Tidak boleh menggabungkan dengan tayammum dua shalat fardhu, tetapi wajib memperbarui untuk setiap fardhu pencarian air dan tayammum setelah pencarian pertama, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {Apabila kalian berdiri untuk shalat} dan perkataan Ibnu ‘Abbas: ‘Tidak boleh shalat fardhu kecuali dengan tayammum.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ فَرْضَيْنِ بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ بِالتَّيَمُّمِ الْوَاحِدِ مَا شَاءَ مِنْ فَرْضٍ وَنَفْلٍ مَا لَمْ يُحْدِثْ كالوضوء، وقال أَبُو ثَوْرٍ يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ بِهِ بَيْنَ الْفَوَائِتِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْمُؤَقَّتَاتِ واستدلوا بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَبِي ذَرٍّ: ” الصَّعِيدُ الطَّيِّبُ طَهُورُ مَنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ إِلَى عَشْرِ سنينٍ ” فَجَعَلَهُ طَهُورًا مُسْتَدَامًا، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ يَجُوزُ أَنْ يُؤَدَّى بِهَا النَّفْلُ، فَجَازَ أَنْ يُؤَدَّى بِهَا الْفَرْضُ كَالْوُضُوءِ، وَلِأَنَّ مَا جَازَ أَنْ يُؤَدَّى بِالْوُضُوءِ جَازَ أَنْ يُؤَدَّى بِالتَّيَمُّمِ كَالنَّوَافِلِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ فَلَمْ تَخْتَصَّ بِفَرْضٍ وَاحِدٍ كَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَلِأَنَّهُ لَوْ أَعَادَ التَّيَمُّمَ لِكُلِّ فَرْضٍ لَلَزِمَهُ أَنْ يَتَطَهَّرَ لِلْحَدَثِ الْوَاحِدِ مِرَارًا، وَذَلِكَ خِلَافُ الْأُصُولِ فِي الطَّهَارَاتِ.
Al-Mawardi berkata: “Demikian seperti yang beliau katakan, tidak boleh shalat dua fardhu dengan satu tayammum.
Abu Hanifah berkata: Boleh shalat dengan satu tayammum sebanyak yang ia mau dari fardhu dan sunnah selama belum berhadats, sebagaimana wudhu. Abu Tsaur berkata: Boleh menggabungkannya untuk shalat-shalat yang fawā’it, tetapi tidak boleh menggabungkannya untuk shalat-shalat yang memiliki waktu tertentu.
Mereka berdalil dengan sabda Nabi SAW kepada Abu Dzar: ‘Sha‘id yang baik adalah penyuci bagi orang yang tidak mendapatkan air hingga sepuluh tahun.’ Maka beliau menjadikannya sebagai penyuci yang berkesinambungan.
Dan karena ia adalah thaharah yang boleh digunakan untuk menunaikan shalat sunnah, maka boleh pula digunakan untuk menunaikan shalat fardhu, sebagaimana wudhu.
Dan karena sesuatu yang boleh digunakan untuk menunaikan shalat dengan wudhu, boleh pula digunakan untuk menunaikannya dengan tayammum, seperti shalat sunnah.
Dan karena ia adalah thaharah darurat, maka tidak dikhususkan untuk satu fardhu saja, seperti mengusap khuf.
Dan seandainya ia mengulangi tayammum untuk setiap fardhu, berarti ia harus bersuci dari satu hadats berkali-kali, dan itu bertentangan dengan kaidah pokok dalam masalah thaharah.”
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إَلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ) {المائدة: 6) ، إِلَى قَوْلِهِ: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيَّباً) {المائدة: 6) فَكَانَ الظَّاهِرُ مُوجِبًا أَنْ يَتَوَضَّأَ لِكُلِّ صَلَاةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ تَيَمَّمَ لَهَا، فَلَمَّا جَاءَ النَّصُّ بِالْوُضُوءِ بِجَوَازِ الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَوَاتِ نَفَى حُكْمَ التَّيَمُّمِ عَلَى مُوجِبِ الظَّاهِرِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ فَلَمْ تَتَّسِعْ لِأَدَاءِ فَرْضَيْنِ كَالْمُسْتَحَاضَةِ فِي وَقْتَيْنِ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ الْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ، لِأَنَّهَا طَهَارَةُ رُخْصَةٍ وَلِأَنَّهَا صَلَاةُ فَرِيضَةٍ لَمْ يُحْدِثْ لَهَا وُضُوءًا، فَوَجَبَ أَنْ يُحْدِثَ لَهَا بَعْدَ الطَّلَبِ تَيَمُّمًا كَالْفَرْضِ الْأَوَّلِ، وَلِأَنَّهُ شَرْطٌ مِنْ شَرَائِطِ الصَّلَاةِ فِي حَالِ الضَّرُورَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَ إِعَادَتُهُ فِي كُلِّ فَرِيضَةٍ كَالْمُجْتَهِدِ فِي الْقِبْلَةِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةُ بَدَلٍ قَصُرَتْ عَنْ أَصْلِهَا فِعْلًا، فَوَجَبَ أَنْ يُقْصَرَ عَنْهُ وَقْتًا، كَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلِأَنَّ الطَّهَارَاتِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ: طَهَارَةٌ تَرْفَعُ الْحَدَثَ مِنْ جَمِيعِ الْأَعْضَاءِ، وَهُوَ الْوُضُوءُ الْكَامِلُ، فَيُؤَدِّي بِهِ مَا شَاءَ مِنَ الْفَرَائِضِ وَالنَّوَافِلِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Apabila kalian berdiri untuk shalat, maka basuhlah wajah-wajah kalian} (QS. al-Mā’idah: 6) hingga firman-Nya: {Jika kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan sha‘id yang baik} (QS. al-Mā’idah: 6). Maka zhahir ayat mewajibkan berwudhu untuk setiap shalat; jika tidak mendapatkan air, maka bertayammum untuk shalat tersebut.
Ketika datang nash tentang wudhu yang membolehkan menggabungkan beberapa shalat, hal itu meniadakan hukum tayammum dari kewajiban zhahir ayat.
Dan karena tayammum adalah thaharah darurat, maka tidak mencakup untuk menunaikan dua fardhu, seperti wanita mustahadhah dalam dua waktu.
Tidak masuk di dalamnya qiyas dengan mengusap khuf, karena mengusap khuf adalah thaharah rukhshah.
Dan karena ia adalah shalat fardhu yang belum dibuatkan wudhu untuknya, maka wajib dibuatkan tayammum setelah mencari air, sebagaimana fardhu pertama.
Dan karena tayammum adalah syarat dari syarat-syarat shalat pada keadaan darurat, maka wajib mengulanginya di setiap fardhu, seperti orang yang berijtihad dalam menentukan arah kiblat.
Dan karena tayammum adalah thaharah pengganti yang lebih pendek daripada asalnya dalam hal perbuatan, maka wajib pula dipendekkan dari asalnya dalam hal waktu, seperti mengusap khuf.
Dan karena thaharah itu ada tiga macam:
- Thaharah yang mengangkat hadats dari seluruh anggota wudhu, yaitu wudhu sempurna, sehingga boleh digunakan untuk menunaikan fardhu maupun sunnah sebanyak yang diinginkan.
وَطَهَارَةٌ تَرْفَعُ الْحَدَثَ عَنْ بَعْضِ الْأَعْضَاءِ، وَهُوَ الْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ، فَيَقْصُرُ بِتَجْدِيدِ الْوَقْتِ عَنِ الْوُضُوءِ الْكَامِلِ.
وَطَهَارَةٌ لَا تَرْفَعُ الْحَدَثَ عَنْ شَيْءٍ مِنَ الْأَعْضَاءِ وَهُوَ التَّيَمُّمُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَخَصَّ مِنْهَا حُكْمًا، وَأَنْ لَا يُؤَدَّى بِهَا إِلَّا فَرْضًا.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّ تَرْكَ الْأَخْذِ بِظَاهِرِهِ يُوجِبُ حَمْلَهُ عَلَى ابْتِدَاءِ التَّيَمُّمِ دُونَ اسْتِدَامَتِهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْوُضُوءِ فَهُوَ أَنَّ الْوُضُوءَ لَمَّا كَانَ طَهَارَةَ رَفَاهِيَةٍ تَرْفَعُ الْحَدَثَ كَانَ حُكْمُهَا عَامًّا، والتيمم لما كان طهارة ضرورية لَا تَرْفَعُ الْحَدَثَ كَانَ حُكْمُهَا خَاصًّا، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى النَّوَافِلِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Dan thaharah yang mengangkat hadats dari sebagian anggota tubuh adalah mengusap khuf, maka ia lebih pendek waktunya daripada wudhu sempurna.
Dan thaharah yang tidak mengangkat hadats dari satu pun anggota tubuh adalah tayammum, maka wajib hukumnya lebih khusus darinya, yaitu tidak digunakan kecuali untuk satu fardhu saja.
Adapun jawaban terhadap dalil hadis mereka adalah bahwa meninggalkan pengambilan zhahirnya mengharuskan membawanya pada permulaan tayammum saja, bukan pada keberlanjutannya.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan wudhu adalah bahwa wudhu, karena merupakan thaharah kemudahan yang mengangkat hadats, maka hukumnya bersifat umum; sedangkan tayammum, karena merupakan thaharah darurat yang tidak mengangkat hadats, maka hukumnya bersifat khusus.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan shalat-shalat nawafil adalah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّوَافِلَ لَمَّا كَانَتْ تَبَعًا لِلْفَرَائِضِ جَازَ أَنْ تُؤَدَّى بِتَيَمُّمِ الْفَرْضِ، وَلَمَّا لَمْ يكن الفرض تبعاً لفرض غيره لم يجزه أَنْ يُؤَدَّى فَرْضٌ بِتَيَمُّمِ فَرْضٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّ النَّوَافِلَ لَمَّا كَثُرَتْ وَتَرَادَفَتْ، وَكَانَتِ الْمَشَقَّةُ لَاحِقَةً فِي إِعَادَةِ التَّيَمُّمِ لِكُلِّ صَلَاةٍ مِنْهَا سَقَطَ اعتباره سقوط إِعَادَةَ قَضَاءِ الصَّلَوَاتِ عَنِ الْحَائِضِ، وَالْمَفْرُوضَاتُ لَمَّا انْحَصَرَتْ وَلَمْ تَشُقَّ إِعَادَةُ التَّيَمُّمِ لِكُلِّ فَرْضٍ مِنْهَا وَجَبَ اعْتِبَارُهُ، كَوُجُوبِ قَضَاءِ الصِّيَامِ عَلَى الْحَائِضِ.
Pertama: Karena shalat nawafil merupakan pengikut bagi shalat fardhu, maka boleh ditunaikan dengan tayammum untuk fardhu. Sedangkan fardhu, karena tidak menjadi pengikut bagi fardhu lainnya, maka tidak boleh menunaikan suatu fardhu dengan tayammum fardhu yang lain.
Kedua: Karena nawafil jumlahnya banyak dan berurutan, serta terdapat kesulitan apabila mengulangi tayammum untuk setiap shalat darinya, maka gugurlah pertimbangannya—sebagaimana gugurnya kewajiban mengqadha shalat bagi wanita haid. Adapun shalat fardhu, karena jumlahnya terbatas dan tidak memberatkan untuk mengulangi tayammum setiap fardhu, maka wajib mempertimbangkannya, seperti wajibnya qadha puasa bagi wanita haid.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الْحَدَثَ الْوَاحِدَ لَا يُتَطَهَّرُ لَهُ مِرَارًا فَهُوَ أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ ذَلِكَ فِي الْأُصُولِ كَالْحَدَثِ فِي آخِرِ زَمَانِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ يَلْزَمُ إِعَادَةُ الطَّهَارَةِ لَهُ بَعْدَ تَقَضِّي زَمَانِ الْمَسْحِ وَوَاجِدُ الْمَاءِ فِي تَضَاعِيفِ الصَّلَاةِ إِذَا عَدِمَهُ عِنْدَ الْخُرُوجِ مِنْهَا أَعَادَ التَّيَمُّمَ ثَانِيَةً لِحَدَثِهِ الْأَوَّلِ، عَلَى أَنَّ التَّيَمُّمَ لَمْ يَكُنْ طُهْرًا لِلْحَدَثِ فَيَمْتَنِعُ مِنْ إِحْدَاثِ طُهْرٍ ثانٍ، وَإِنَّمَا كَانَ لِأَدَاءِ الْفَرْضِ فَلَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِفَرْضٍ ثانٍ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَقَدْ جَعَلْنَا الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ لَنَا دَلِيلًا ثُمَّ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ تَقْسِيمِ الطهارات لنا كافٍ.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa satu hadats tidak perlu disucikan berkali-kali adalah bahwa hal itu tidak mustahil dalam kaidah, seperti hadats yang terjadi di akhir masa mengusap khuf, maka wajib mengulangi thaharah setelah habis masa mengusap.
Begitu pula orang yang mendapatkan air di tengah-tengah shalat, jika ia tidak mendapatkannya ketika keluar dari shalat, maka ia mengulangi tayammum kedua kalinya untuk hadatsnya yang pertama.
Lagipula, tayammum itu bukanlah thaharah yang mengangkat hadats sehingga terlarang membuat thaharah kedua untuk hadats yang sama, melainkan tayammum itu hanya untuk menunaikan fardhu tertentu. Maka tidak terlarang bertayammum untuk fardhu yang lain.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan mengusap khuf, maka kami telah menjadikan mengusap khuf itu sebagai dalil bagi kami, dan pembagian thaharah yang telah kami sebutkan sudah cukup menjadi hujjah bagi kami.
(فصل)
: فإذا ثبت أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ بِالتَّيَمُّمِ بَيْنَ فَرْضَيْنِ فَسَوَاءٌ كَانَ الْفَرْضَانِ فِي وَقْتٍ، أَوْ وَقْتَيْنِ وَهَكَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ طَوَافَيْنِ وَاجِبَيْنِ، وَلَا بَيْنَ طَوَافٍ وَصَلَاةِ فَرْضٍ، فَلَوْ كَانَتْ عَلَيْهِ صَلَاةٌ مِنْ خَمْسِ صَلَوَاتٍ لَا يَعْرِفُهَا لَزِمَهُ فِعْلُ الْخَمْسِ كُلِّهِنَّ يَنْوِي لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ الْفَائِتَةَ، وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيهِنَّ بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ، لِأَنَّ الْفَرْضَ مِنْ جُمْلَتِهِنَّ وَاحِدٌ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa tidak boleh menggabungkan dengan tayammum dua fardhu, maka sama hukumnya baik kedua fardhu itu berada dalam satu waktu maupun di dua waktu yang berbeda.
Demikian pula tidak boleh menggabungkan antara dua thawaf wajib, atau antara thawaf dan shalat fardhu.
Jika seseorang memiliki tanggungan shalat dari lima shalat fardhu yang ia tidak tahu mana saja, maka wajib baginya mengerjakan kelimanya, dengan meniatkan pada masing-masingnya shalat yang tertinggal.
Apakah boleh ia mengerjakannya dengan satu tayammum atau tidak? Ada dua pendapat:
Pertama: Boleh, karena fardhu di antara semuanya itu pada hakikatnya satu, dan ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ لَا يَجُوزُ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ؛ لِأَنَّ فِعْلَهَا وَاجِبٌ عَلَيْهِ، وَلَكِنْ لَوْ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْخَمْسِ صَلَاتَانِ لَا يَعْرِفُهُمَا صَلَّى الْخَمْسَ كُلَّهُنَّ يَنْوِي الْفَائِتَةَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَيَتَيَمَّمُ لِلْخَمْسِ كُلِّهِنَّ وَجْهًا وَاحِدًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى تَيَمُّمٍ وَاحِدٍ لِبَقَاءِ الْفَرْضِ الثَّانِي مَعَ جَهَالَةِ عَيْنِهِ بَعْدَ أَدَاءِ الْأَوَّلِ الْمَجْهُولِ قُرْبًا وَبُعْدًا، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَيَمَّمَ ثَانِيَةً لِلْفَرِيضَةِ الثَّانِيَةِ فَعَلَيْهِ إِعَادَةُ الطَّلَبِ ثَانِيَةً، وَهَكَذَا فِي كُلِّ تَيَمُّمٍ يَلْزَمُهُ فَإِذَا أَعَادَ الطَّلَبَ لَزِمَهُ إِعَادَتُهُ فِي غَيْرِ رَحْلِهِ فَأَمَّا الطَّلَبُ فِي رَحْلِهِ فَلَا يَلْزَمُهُ إِعَادَتُهُ ثَانِيَةً؛ لِأَنَّهُ عَلَى إِحَاطَةٍ مِنْ رَحْلِهِ، وَلَيْسَ عَلَى إِحَاطَتِهِ من في رحل غيره.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij, mengatakan: Tidak boleh, dan ia wajib bertayammum untuk masing-masing dari shalat-shalat tersebut, karena pelaksanaannya wajib atasnya.
Namun, jika ia memiliki tanggungan dua shalat dari lima shalat fardhu dan ia tidak mengetahui keduanya, maka ia shalat kelima-limanya dengan meniatkan shalat yang tertinggal pada masing-masingnya, dan ia bertayammum untuk kelima-limanya secara terpisah, tidak boleh mencukupkan dengan satu tayammum, karena fardhu yang kedua masih tersisa dengan ketidaktahuan akan jenisnya setelah menunaikan yang pertama yang tidak diketahui, baik dekat maupun jauh.
Apabila ia ingin bertayammum kedua kali untuk fardhu yang kedua, maka ia wajib mengulangi pencarian air kedua kalinya. Demikian pula dalam setiap tayammum yang wajib ia lakukan.
Jika ia mengulangi pencarian air, maka wajib ia mengulanginya di luar perbekalannya (rahil). Adapun pencarian di dalam perbekalannya, maka tidak wajib mengulanginya kedua kalinya, karena ia telah mengetahui isinya secara pasti, berbeda halnya dengan perbekalan orang lain yang ia tidak mengetahui isinya.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُصَلِّي بَعْدَ الْفَرِيضَةِ النَّوَافِلَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ بِتَيَمُّمِ الْفَرْضِ مَا شَاءَ مِنَ النَّوَافِلِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْمَعْنَيَيْنِ.
وَالثَّالِثُ: وَهُوَ أَنَّهُ يَجُوزُ جَمْعُهَا بِسَلَامٍ وَاحِدٍ، فَجَازَ أَدَاءُ جَمِيعِهَا بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ، وَالْفَرَائِضُ لَا يَجُوزُ جَمْعُهَا بِسَلَامٍ وَاحِدٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَدَاؤُهَا بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ، فَإِذَا صَحَّ أَنَّ النَّوَافِلَ وَإِنْ كَثُرَتْ جَازَ أَنْ تُؤَدَّى بِتَيَمُّمِ الفرض جاز لَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا بَعْدَ الْفَرِيضَةِ؛ لِأَنَّهَا تَبَعٌ فَأُخِّرَتْ فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَنَفَّلَ قَبْلَ الْفَرِيضَةِ فَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ عَلَى جَوَازِهِ كَمَا يَجُوزُ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ؛ لِأَنَّ مَا جَازَ أَدَاؤُهُ مِنَ الصَّلَوَاتِ بِالطَّهَارَةِ الْوَاحِدَةِ لَمْ يَلْزَمْهُ تَرْتِيبُهُ، لِأَجْلِ الطَّهَارَةِ.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Boleh shalat nawafil setelah shalat fardhu.”
Al-Mawardi berkata: “Ini benar. Boleh menunaikan shalat nawafil sebanyak yang diinginkan dengan tayammum shalat fardhu, karena dua alasan yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Ketiga, bahwa nawafil boleh digabungkan dengan satu salam, maka boleh pula menunaikan semuanya dengan satu tayammum. Sedangkan shalat fardhu tidak boleh digabungkan dengan satu salam, maka tidak boleh pula ditunaikan dengan satu tayammum.
Jika telah sah bahwa nawafil meskipun banyak boleh ditunaikan dengan tayammum shalat fardhu, maka boleh baginya menunaikannya setelah shalat fardhu, karena nawafil itu adalah pengikut sehingga boleh diakhirkan.
Adapun jika ia ingin menunaikan shalat sunnah sebelum shalat fardhu, maka Imam al-Syafi‘i telah menegaskan dalam al-Umm tentang kebolehannya sebagaimana kebolehannya setelah shalat fardhu, karena shalat yang boleh ditunaikan dengan satu thaharah tidak wajib diurutkan karena thaharahnya.”
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَنَفَّلَ قَبْلَ الْفَرِيضَةِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَتَنَفَّلَ بَعْدَهَا، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ مِنْ شَرْطِ التَّيَمُّمِ أَنْ يَكُونَ مُقْتَرِنًا بِالْفَرْضِ مِنْ غَيْرِ مَفْصَلٍ، وَتَقْدِيمُ النَّافِلَةِ فَصْلٌ قَاطِعٌ.
وَالثَّانِي: أَنَّ النَّافِلَةَ تَبَعٌ لِلْفَرِيضَةِ، وَمِنْ حُكْمِ التَّبَعِ أَنْ يَكُونَ مُتَأَخِّرًا، وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ مِنِ اعْتِلَالِهِ مَدْخُولٌ، أَمَّا الْأَوَّلُ فِي كَوْنِهِ فَصْلًا فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُ مُقَدَّمٌ مَسْنُونُ تِلْكَ الصَّلَاةِ فَكَانَ فِعْلُهُ بَعْدَ التَّيَمُّمِ جَائِزًا كَالْأَذَانِ وَإِنَّمَا يَكُونُ قَطْعًا إِذَا طَالَ التَّنَفُّلُ بَعْدَ مَسْنُونَاتِهَا مَعَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِيهِ، وَأَمَّا الثَّانِي: بِأَنَّهَا تَبَعٌ فَلَيْسَ يَمْتَنِعُ بِأَنْ يَكُونَ مَا تَقَدَّمَ مِنَ النَّوَافِلِ تَبَعًا لِلْفَرْضِ الْمُتَأَخِّرِ كَرَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فِي تَقْدِيمِهِمَا عَلَى الصُّبْحِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Abu Sa‘id al-Ishthakhri dari kalangan ashhab kami berkata: “Tidak boleh melakukan shalat sunnah sebelum shalat fardhu, meskipun boleh melakukan shalat sunnah setelahnya.” Hal ini juga dikatakan oleh Malik dengan dua alasan:
Pertama, bahwa di antara syarat tayammum adalah ia harus bersamaan dengan shalat fardhu tanpa adanya pemisah, sedangkan mendahulukan shalat sunnah merupakan pemisah yang memutuskan.
Kedua, bahwa shalat sunnah adalah pengikut dari shalat fardhu, dan di antara hukum pengikut adalah ia berada setelahnya.
Kedua alasan ini memiliki kelemahan. Adapun yang pertama, yaitu anggapan bahwa shalat sunnah menjadi pemisah, maka tidak benar; karena shalat sunnah tersebut adalah kesunnahan yang terkait dengan shalat fardhu itu sendiri, maka pelaksanaannya setelah tayammum boleh dilakukan seperti adzan. Ia baru dianggap memutus jika shalat sunnah tersebut dilakukan dalam waktu yang lama setelah kesunnahan-kesunnahannya, dan itu pun masih diperselisihkan oleh para ashhab kami.
Adapun yang kedua, yaitu alasan bahwa shalat sunnah adalah pengikut, maka tidaklah terlarang bila shalat sunnah yang didahulukan itu menjadi pengikut dari shalat fardhu yang datang kemudian, sebagaimana dua rakaat sunnah Fajar yang didahulukan dari shalat Subuh. Wallahu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وعلى الجنائز وَيَقْرَأُ فِي الْمُصْحَفِ وَيَسْجُدُ سُجُودَ الْقُرْآنِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى الْجِنَازَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ بِتَيَمُّمِ الْفَرِيضَةِ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أنه يَتَعَيَّنَ عَلَيْهِ فَرْضُهَا أَوْ لَا يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ، فَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ عَلَيْهِ فَرْضُهَا لِوُجُودِ غَيْرِهِ مِمَّنْ يُصَلِّي عَلَيْهَا جَازَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهَا بِتَيَمُّمِ الْفَرِيضَةِ؛ لِأَنَّهَا سُنَّةٌ لَهَا كَالنَّوَافِلِ، وَإِنْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ فَرْضُهَا لِعَدَمِ غَيْرِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَهَا بِتَيَمُّمِ الْفَرِيضَةِ حَتَّى يَسْتَأْنِفَ لَهَا تَيَمُّمًا لِكَوْنِهَا فَرْضًا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “(Boleh) shalat atas jenazah, membaca di mushaf, dan sujud tilawah Al-Qur’an.”
Al-Mawardi berkata: “Demikian seperti yang beliau katakan. Apabila ia ingin shalat atas jenazah setelah shalat fardhu dengan tayammum shalat fardhu, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
Pertama, kewajiban shalat jenazah itu tidak tertuju khusus kepadanya, karena ada orang lain yang akan menshalatkannya. Maka boleh ia menshalatkannya dengan tayammum shalat fardhu, karena hukumnya sunnah baginya seperti shalat-shalat nawafil.
Kedua, kewajiban shalat jenazah itu tertuju khusus kepadanya karena tidak ada orang lain yang akan menshalatkannya. Maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh ia melaksanakannya dengan tayammum shalat fardhu hingga ia memperbarui tayammum untuk shalat jenazah tersebut, karena ia termasuk fardhu. Ini adalah pendapat Abu Sa‘id dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ حَالِهَا أَنَّ فَرْضَهَا غَيْرُ مُتَعَيِّنٍ فَكَانَ حُكْمُ النَّادِرِ مُلْحَقًا بِالْأَغْلَبِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ، وَأَبِي إِسْحَاقَ فَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَوْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ الْفَرْضُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى جِنَازَتَيْنِ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يَتَيَمَّمُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي يُصَلِّي عَلَيْهِمَا بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ، فَأَمَّا سُجُودُ الشُّكْرِ وَالسَّهْوِ وَالْقُرْآنِ وَحَمْلُ الْمُصْحَفِ فَكُلُّ ذَلِكَ يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ بِتَيَمُّمِ الْفَرِيضَةِ إِذْ ليس بشيء مِنْهُ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ فَرْضُهُ فَإِذَا كَانَتْ عَلَيْهِ صَلَاةُ نَذْرٍ فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَهَا بِتَيَمُّمِ الْفَرِيضَةِ حَتَّى يَسْتَأْنِفَ لَهَا تَيَمُّمًا، لأنها فرضعَلَيْهِ مُعَيَّنٌ فِي الِابْتِدَاءِ، وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَهَا بِتَيَمُّمِ الْفَرِيضَةِ؛ لِأَنَّ فَرْضَهَا الْخَتْمُ عَلَيْهِ بِاخْتِيَارِهِ، وَأَنَّهَا قَدْ تَكْثُرُ وَلَيْسَتْ كَالْفَرَائِضِ الْمَحْصُورَةِ، وَأَمَّا رَكْعَتَا الطَّوَافِ فَيَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَهُمَا بِتَيَمُّمِ الطَّوَافِ سَوَاءٌ قُلْنَا بِوُجُوبِهَا أَمْ لَا؛ لِأَنَّهَا تَبَعٌ لِلطَّوَافِ وَجَبَتْ أَوِ اسْتُحِبَّتْ وَلَكِنْ لَوْ أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَهَا بِتَيَمُّمِ فريضة صلاتها، فَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا سُنَّةٌ جَازَ كَسَائِرِ النَّوَافِلِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا وَاجِبَةٌ لَمْ يَجُزْ بِخِلَافِ النذر؛ لأن وجوبها راتب بأصل الشرع.
Wajah kedua: boleh, karena keadaan yang umum darinya adalah bahwa fardunya tidak tertentu, maka hukum yang jarang disamakan dengan yang lebih umum, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas dan Abu Ishaq. Maka berdasarkan dua wajah ini, jika fardu menjadi tertentu baginya dalam shalat atas dua jenazah, maka menurut wajah pertama ia bertayammum untuk masing-masing dari keduanya, dan menurut wajah kedua ia shalat atas keduanya dengan satu tayammum.
Adapun sujud syukur, sujud sahwi, sujud tilawah, dan membawa mushhaf, semuanya boleh dilakukan dengan tayammum fardu, karena tidak ada satu pun dari itu yang fardunya tertentu atasnya.
Jika atasnya ada shalat nadzar, maka pendapat yang sahih adalah bahwa tidak boleh ia shalat nadzar itu dengan tayammum fardu, hingga ia memulai tayammum khusus untuknya, karena ia adalah fardu yang tertentu atasnya sejak awal.
Ada pendapat lain: boleh ia shalat nadzar itu dengan tayammum fardu, karena fardunya bergantung pada penutupannya yang ia pilih, dan karena shalat nadzar itu bisa banyak, tidak seperti fardu-fardu yang terbatas.
Adapun dua rakaat thawaf, maka boleh ia shalat keduanya dengan tayammum thawaf baik kita katakan wajib atau tidak, karena ia mengikuti thawaf baik wajib maupun sunnah. Namun jika ia ingin shalat keduanya dengan tayammum fardu shalatnya, maka jika dikatakan keduanya sunnah, boleh seperti shalat sunnah lainnya, dan jika dikatakan keduanya wajib, tidak boleh, berbeda dengan nadzar, karena kewajibannya tetap berdasarkan asal syariat.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن تيمم بزرنيخٍ أو نورةٍ أو ذراوةٍ ونحوه لم يجزه “.
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يَجُوزُ بِغَيْرِ التُّرَابِ وَذَكَرْنَا خِلَافَ أبي حنيفة وَاسْتَوْفَيْنَا الْحِجَاجَ لَهُ وَعَلَيْهِ، فَإِنْ تَيَمَّمَ بِمَا لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ التُّرَابِ مِنْ نُورَةٍ أَوْ كُحْلٍ أَوْ زِرْنِيخٍ أَوْ مِلْحٍ أَوْ رَمَادٍ أَوْ دَقِيقٍ لَمْ يُجْزِهِ، وَكَانَ تَيَمُّمُهُ بَاطِلًا، فَإِنْ صَلَّى أَعَادَ التَّيَمُّمَ وَالصَّلَاةَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
(masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika bertayammum dengan zarnīkh atau nūrah atau dzirāwah dan semisalnya, maka tidak sah baginya.”
Sungguh telah kami sebutkan bahwa tayammum tidak boleh dengan selain tanah, dan telah kami sebutkan perbedaan pendapat dengan Abu Hanifah serta kami telah sempurnakan hujjah untuknya dan atasnya.
Maka jika bertayammum dengan sesuatu yang tidak masuk dalam nama tanah, seperti nūrah, kuḥl, zarnīkh, garam, abu, atau tepung, maka tidak sah baginya, dan tayammumnya batal. Jika ia shalat, maka ia wajib mengulang tayammum dan shalatnya. والله أعلم
(قال الشافعي) : ” وَلَيْسَ لِلْمُسَافِرِ أَنْ يَتَيَمَّمَ إِلَّا بَعْدَ دُخُولِ وقت الصلاة وإعواز الماء بعد طلبه وللمسافر أن يتيمم “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَذَا الْبَابِ بَيَانُ شُرُوطِ التَّيَمُّمِ الَّتِي لَا يَجُوزُ إِلَّا مَعَهَا فَالْبَابُ الْأَوَّلُ بَيَانُ فَرْضِ التَّيَمُّمِ الَّتِي لَا يَصِحُّ إِلَّا بِهَا. فَأَمَّا شُرُوطُ التَّيَمُّمِ فَقَدْ أَبَاحَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي حَالَيْنِ هُمَا: السَّفَرُ وَالْمَرَضُ، قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ) {المائدة: 6) إِلَى قَوْلِهِ: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً} فَأَمَّا السَّفَرُ فَلِصِحَّةِ التَّيَمُّمِ فِيهِ شَرْطَانِ:
أَحَدُهُمَا: دُخُولُ وَقْتِ الصَّلَاةِ الَّتِي يُرِيدُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لَهَا.
وَالثَّانِي: عَدَمُ الْمَاءِ بَعْدَ طَلَبِهِ.
(PASAL: Bab jami‘ tayammum dan udzur di dalamnya)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Seorang musafir tidak boleh bertayammum kecuali setelah masuk waktu shalat dan tidak adanya air setelah mencarinya. Dan bagi musafir boleh bertayammum.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa maksud dari pasal ini adalah penjelasan syarat-syarat tayammum yang tidak boleh dilakukan kecuali dengannya. Maka pasal pertama adalah penjelasan fardu tayammum yang tidak sah kecuali dengannya.
Adapun syarat-syarat tayammum, Allah Ta‘ālā telah membolehkannya dalam dua keadaan, yaitu: safar dan sakit. Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan} (al-Mā’idah: 6) sampai firman-Nya: {lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik}.
Adapun safar, maka untuk sahnya tayammum di dalamnya terdapat dua syarat:
Pertama: Masuknya waktu shalat yang ia ingin bertayammum untuknya.
Kedua: Tidak adanya air setelah mencarinya.
فَأَمَّا دُخُولُ الْوَقْتِ فَهُوَ شَرْطٌ فِي التَّيَمُّمِ لِصَلَاةِ الْوَقْتِ، فَأَمَّا الصَّلَاةُ الْفَائِتَةُ وَالنَّافِلَةُ فَلَيْسَ الْوَقْتُ شَرْطًا فِي التَّيَمُّمِ لَهَا، وَإِنَّمَا إِرَادَةُ فِعْلِهَا شَرْطٌ فِي التَّيَمُّمِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَيَمَّمَ لفرض مؤقت يؤديه لم يجز أن يتيمم في وقته قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ فَإِنْ تَيَمَّمَ أَعَادَ، وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِلصَّلَاةِ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِهَا اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} (المائدة: 6) فَأَمَرَ بِالتَّيَمُّمِ قَبْلَ الْوَقْتِ الذي هو مأمور باستعمال الماء فيه، فما كَانَ مُسْتَعْمَلًا قَبْلَ الْوَقْتِ جَازَ أَنْ يَتَيَمَّمَ قَبْلَ الْوَقْتِ وَرُبَّمَا حَرَّرُوا هَذَا الِاسْتِدْلَالَ مِنَ الْآيَةِ قِيَاسًا فَقَالُوا: كُلُّ وَقْتٍ جَازَ فِيهِ الْوُضُوءُ جَازَ فِيهِ التَّيَمُّمَ قِيَاسًا عَلَى دُخُولِ الْوَقْتِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ يَجُوزُ فِعْلُهَا بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ فَجَازَ فِعْلُهَا قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ كَالْوُضُوءِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ مَا صَحَّ مِنَ التَّيَمُّمِ بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ صَحَّ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ كالمتيمم لفائتة وَالنَّفْلِ. وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ) {المائدة: 6) إِلَى قَوْلِهِ: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} فَاقْتَضَى الظَّاهِرُ الْمَنْعَ مِنَ الْوُضُوءِ وَالتَّيَمُّمِ إِلَّا عند القيام إِلَى الصَّلَاةِ، وَالْقِيَامُ إِلَيْهَا بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ فَلَمَّا خَرَجَ بِالدَّلِيلِ جَوَازُ الْوُضُوءِ، قَبْلَ الْوَقْتِ بَقِيَ التَّيَمُّمُ عَلَى ظَاهِرِهِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ فَلَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُهَا لِلْفَرِيضَةِ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِ الْفَرِيضَةِ قِيَاسًا عَلَى طَهَارَةِ الْمُسْتَحَاضَةِ، وَلِأَنَّهُ تَيَمَّمَ فِي حَالِ اسْتِغْنَائِهِ عَنِ التَّيَمُّمِ، فَلَمْ يَجُزْ كالتيمم مع وجود الماء ثم انقلب، وَلِأَنَّ كُلَّ بَدَلٍ لَمْ يَصِحَّ الْإِتْيَانُ بِهِ مَعَ وُجُودِ الْأَصْلِ لَمْ يَصِحَّ الْإِتْيَانُ بِهِ قَبْلَ لُزُومِ الْأَصْلِ قِيَاسًا عَلَى التَّكْفِيرِ بِالصِّيَامِ قَبْلَ الْقَتْلِ وَالظِّهَارِ، وَلِأَنَّ التَّيَمُّمَ يَجُوزُ فِي حَالَيْنِ فِي الْمَرَضِ وَالْعُذْرِ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُ التَّيَمُّمِ قَبْلَ زَمَانِ الْمَرَضِ لَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ زَمَانِ الْعُذْرِ، وَتَحْرِيرُهُ عَلَيْهِ أَنَّهُ قَدَّمَ التَّيَمُّمَ عَلَى الْحَاجَةِ إِلَيْهِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ مَا مَضَى مِنْ وَجْهِ الِاسْتِدْلَالِ بِهَا، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى مَا بَعْدَ الوقت فالمعنى فيه أنه تيمم عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْوُضُوءِ فَالْمَعْنَى فِيهِ جَوَازُهُ مَعَ الِاسْتِغْنَاءِ عَنْهُ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى النَّوَافِلِ فَالْمَعْنَى فِيهِ جَوَازُ فِعْلِهَا عَقِيبَ التَّيَمُّمِ لَهَا.
Adapun masuknya waktu adalah syarat dalam tayammum untuk shalat fardu pada waktunya. Adapun shalat yang tertinggal dan shalat sunnah, maka waktu bukanlah syarat dalam tayammum untuknya, tetapi yang menjadi syarat adalah keinginan untuk melakukannya.
Maka jika ia ingin bertayammum untuk fardu mu’aqqat yang akan ia kerjakan, tidak boleh baginya bertayammum sebelum masuk waktunya. Jika ia bertayammum, maka ia harus mengulang.
Abu Hanifah berkata: Boleh bertayammum untuk shalat sebelum masuk waktunya, berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {Lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah} (al-Mā’idah: 6). Maka Allah memerintahkan tayammum sebelum waktu yang ia diperintahkan menggunakan air di dalamnya. Maka apa yang boleh digunakan sebelum waktu, boleh pula bertayammum sebelum waktu.
Kadang mereka memperjelas dalil ini dari ayat secara qiyās, mereka berkata: Setiap waktu yang boleh berwudhu di dalamnya, boleh bertayammum di dalamnya, qiyās atas masuknya waktu. Mereka berkata: Karena tayammum adalah thaharah yang boleh dilakukan setelah masuk waktu, maka boleh dilakukan sebelum masuk waktu seperti wudhu. Mereka berkata: Karena setiap tayammum yang sah setelah masuk waktu, maka sah pula sebelum masuk waktu, seperti orang yang bertayammum untuk qadha shalat atau shalat sunnah.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Apabila kalian berdiri untuk shalat maka basuhlah wajah kalian} (al-Mā’idah: 6) sampai firman-Nya: {Lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah}. Maka zhahir ayat menunjukkan larangan berwudhu dan bertayammum kecuali ketika berdiri untuk shalat, dan berdiri untuk shalat itu setelah masuk waktu. Maka ketika ada dalil bolehnya wudhu sebelum waktu, tayammum tetap pada zhahirnya (tidak boleh sebelum waktu).
Karena tayammum adalah thaharah darurat, maka tidak boleh mendahulukannya untuk fardu sebelum masuk waktu fardu, qiyās pada thaharah mustahādah. Dan karena ia bertayammum dalam keadaan tidak membutuhkan tayammum, maka tidak boleh seperti tayammum ketika masih ada air lalu air itu hilang.
Dan karena setiap badal yang tidak sah dilakukan ketika masih ada asalnya, maka tidak sah pula dilakukan sebelum asalnya wajib, qiyās pada kaffarat dengan puasa sebelum terjadinya pembunuhan atau ẓihār.
Dan karena tayammum boleh dilakukan dalam dua keadaan: sakit dan udzur, maka ketika tidak boleh mendahulukan tayammum sebelum waktu sakit, maka tidak boleh pula mendahulukannya sebelum waktu udzur.
Penegasannya: Ia mendahulukan tayammum sebelum membutuhkannya.
Adapun jawaban atas ayat adalah seperti yang telah lewat dari sisi istidlalnya. Adapun qiyās pada setelah waktu, maka maknanya adalah ia bertayammum ketika membutuhkannya. Adapun qiyās pada wudhu, maka maknanya adalah bolehnya dilakukan meski dalam keadaan tidak butuh kepadanya. Adapun qiyās pada nawafil, maka maknanya adalah bolehnya melakukannya setelah tayammum untuknya.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي: وَهُوَ طَلَبُ الْمَاءِ فَهُوَ لَازِمٌ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: الطَّلَبُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، فَإِذَا فَقَدَ الْمَاءَ جَازَ التَّيَمُّمُ مِنْ غَيْرِ طَلَبٍ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ تَعَلَّقَ وُجُوبُهَا بِوُجُودِ شَرْطٍ لَمْ يَلْزَمْ طَلَبُ ذَلِكَ الشَّرْطِ كَالْمَالِ لَا يَلْزَمُهُ طَلَبُهُ لِوُجُوبِ الْحَجِّ وَالزَّكَاةِ، فَكَذَلِكَ الْمَاءُ لَا يَلْزَمُهُ طَلَبُهُ لِوُجُوبِ التَّيَمُّمِ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ تَيَمَّمَ عَنْ عَدَمٍ فَصَحَّ تَيَمُّمُهُ كَالْعَادِمِ بَعْدَ الطَّلَبِ. وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا) {المائدة: 6) فَأَبَاحَ التَّيَمُّمَ بَعْدَ الْوُجُودِ، وَالْوُجُودُ هُوَ الطَّلَبُ؛ لِأَنَّ اللِّسَانَ يَقْتَضِيهِ وَعُرْفُ الْخِطَابِ يُوجِبُهُ أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِهِ اشْتَرِ لَحْمًا فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَشَحْمًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِيَ الشَّحْمَ قَبْلَ طَلَبِ اللَّحْمِ.
(PASAL)
Adapun syarat kedua, yaitu mencari air, maka itu adalah keharusan yang tidak sah tayammum kecuali dengannya.
Abu Hanifah berkata: Mencari air tidak wajib. Maka jika seseorang tidak mendapati air, boleh baginya bertayammum tanpa mencari, dengan alasan bahwa setiap ibadah yang kewajibannya bergantung pada adanya suatu syarat, tidak wajib baginya mencari syarat itu. Seperti harta, tidak wajib mencarinya untuk kewajiban haji dan zakat. Demikian pula air, tidak wajib mencarinya untuk kewajiban tayammum. Ia juga berkata: Karena ia bertayammum dari sesuatu yang tidak ada, maka sah tayammumnya sebagaimana orang yang tidak mendapatinya setelah mencari.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah} (al-Mā’idah: 6), maka Allah membolehkan tayammum setelah tidak menemukan, dan yang dimaksud “tidak menemukan” adalah setelah mencari, karena bahasa menuntut demikian dan kebiasaan tutur mengharuskannya. Tidakkah engkau melihat, seandainya seorang berkata kepada hambanya: “Belilah daging, jika tidak mendapatkan maka belilah lemak,” tidak boleh ia membeli lemak sebelum mencari daging.
فَإِنْ قِيلَ: قَدْ يَكُونُ الْوُجُودُ بِطَلَبٍ، وَغَيْرِ طَلَبٍ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِراً) {الكهف: 49) . وَمَعْلُومٌ أَنَّهُمْ لَمْ يَطْلُبُوا سَيِّئَاتِ أَعْمَالِهِمْ قَبْلَ الْوُجُودِ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى طَلَبٍ، وَمَسْأَلَةُ التَّيَمُّمِ إِنَّمَا هِيَ فِي عَدَمِ الْوُجُودِ، لَا فِي الْوُجُودِ، وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: ” أَنْفَذَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي طَلَبِ الْمَاءِ ثُمَّ تَيَمَّمَ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الطَّلَبَ شَرْطٌفِي التَّيَمُّمِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ لَوْ تَيَقَّنَ وُجُودَ الْمَاءِ فِيهِ، مَنْعُ التَّيَمُّمِ وَجَبَ إِذَا جَوَّزَ وُجُودَ الْمَاءِ فِيهِ أَنْ لَا يَجُوزَ لَهُ التَّيَمُّمُ قِيَاسًا عَلَى رَحْلِهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ بَدَلٍ لَا يَصِحُّ الْإِتْيَانُ بِهِ إِلَّا بَعْدَ طَلَبِ الْعَجْزِ عَنْ مُبْدَلِهِ لَمْ يَصِحَّ الْإِتْيَانُ بِهِ إِلَّا بَعْدَ طَلَبِ مُبْدَلِهِ كَالصَّوْمِ فِي الْكَفَّارَةِ لَا يَجُوزُ إِلَّا بَعْدَ طَلَبِ الرَّقَبَةِ، وَلِأَنَّهُ تَيَمَّمَ مَعَ وُجُودِ الْقُدْرَةِ عَلَى الْمَاءِ فوجب أن لا يصح تيممه.
Jika dikatakan: Bisa saja “menemukan” itu dengan mencari atau tanpa mencari, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan itu ada (tersegera)} (al-Kahf: 49), dan telah diketahui bahwa mereka tidak mencari keburukan amal mereka sebelum menemukannya — maka menemukan tidak mesti dengan mencari.
Jawabannya: Masalah tayammum adalah dalam keadaan tidak menemukan, bukan dalam keadaan menemukan.
Dan diriwayatkan dari ‘Ali RA bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW mengutusku untuk mencari air, lalu beliau bertayammum.” Ini menunjukkan bahwa mencari air adalah syarat dalam tayammum.
Dan karena setiap tempat yang apabila diyakini ada air di dalamnya, maka terlarang tayammum, maka ketika ada kemungkinan adanya air di dalamnya, tidak boleh baginya bertayammum, qiyās pada barang bawaannya (raḥl).
Dan karena setiap badal yang tidak sah dilakukan kecuali setelah mencari ketidakmampuan atas yang digantikannya, maka tidak sah pula dilakukan kecuali setelah mencari yang digantikannya, seperti puasa dalam kaffarah yang tidak boleh kecuali setelah mencari budak.
Dan karena ia bertayammum dalam keadaan mampu mendapatkan air, maka wajiblah bahwa tayammumnya tidak sah.
أصله: إِذَا عَلِمَ أَنَّ بِئْرًا بِقَرْيَةٍ وَشَكَّ هَلْ يَقْدِرُ عَلَى مَائِهَا بِرِشَائِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَيَمَّمَ إِلَّا بَعْدَ إِرْسَالِ رِشَائِهِ، وَلِأَنَّ الْوُضُوءَ من شرائط الصلاة فلم تجز مُفَارَقَتُهُ إِلَّا بَعْدَ طَلَبِهِ بِحَسَبِ الْعَادَةِ فِي مِثْلِهِ، أَصْلُهُ جِهَةُ الْقِبْلَةِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّ الشُّرُوطَ الَّتِي يَتَعَلَّقُ بِهَا وُجُوبُ العادات لَا يَلْزَمُ طَلَبُهَا فَهُوَ إِنَّ مَا كَانَ شَرْطًا فِي وُجُوبِ الْعِبَادَةِ لَمْ يَلْزَمْ طَلَبُهُ كَالْمَالِ فِي الْحَجِّ، وَمَا كَانَ شَرْطًا فِيالِانْتِقَالِ عَنِ الْعِبَادَةِ لَزِمَ طَلَبُهُ كَالرَّقَبَةِ وَعَدَمُ الْمَاءِ شَرْطٌ فِي جَوَازِ الِانْتِقَالِ، فَلَزِمَ فِيهِ الطَّلَبُ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْعِبَادَةِ بَعْدَ الطَّلَبِ، فَمَمْنُوعٌ مِنْهُ لِافْتِرَاقِ حَالِ مَنْ تَيَقَّنَ الْعَجْزَ وَمَنْ لَمْ يَتَيَقَّنْهُ كَمَا لَا يَسْتَوِي حَالُ مَنْ جَهِلَ الْقِبْلَةَ مِنْ غَيْرِ طَلَبٍ وَبَيْنَ مَنْ عَجَزَ عَنْهَا بَعْدَ الطَّلَبِ.
Asalnya: Jika seseorang mengetahui ada sumur di sebuah kampung dan ragu apakah ia mampu mendapatkan airnya dengan timbanya, maka tidak boleh bertayammum kecuali setelah mengulurkan timbanya.
Dan karena wudhu adalah salah satu syarat shalat, maka tidak boleh meninggalkannya kecuali setelah mencarinya sesuai kebiasaan pada keadaan seperti itu. Asalnya adalah arah kiblat.
Adapun jawaban terhadap perkataan mereka bahwa syarat-syarat yang terkait dengan kewajiban adat tidak wajib mencarinya, maka benar: apa yang menjadi syarat dalam wajibnya ibadah, tidak wajib mencarinya, seperti harta dalam ibadah haji. Tetapi apa yang menjadi syarat untuk berpindah dari suatu ibadah, maka wajib mencarinya, seperti budak dalam kaffarah, dan tidak adanya air adalah syarat untuk bolehnya berpindah (dari wudhu ke tayammum), maka wajib mencarinya.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka atas ibadah setelah mencari, maka tertolak, karena berbeda keadaannya antara orang yang telah yakin tidak mampu dan orang yang belum yakin, sebagaimana tidak sama keadaan orang yang tidak mengetahui arah kiblat tanpa mencari dengan orang yang tidak mampu menemukannya setelah mencari.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الطَّلَبِ، فَالطَّلَبُ طَلَبَانِ: طَلَبُ إِحَاطَةٍ، وَطَلَبُ اسْتِخْبَارٍ، فَأَمَّا طَلَبُ الْإِحَاطَةِ فَمُسْتَحَقٌّ فِي رَحْلِهِ وَمِمَّا تَحْتَ يَدِهِ فَيَلْتَمِسُ فِيهِ الْمَاءَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، إِمَّا بِنَفْسِهِ، أَوْ بِمَنْ يَثِقُ بِصِدْقِهِ، وَأَمَّا طَلَبُ الِاسْتِخْبَارِ فَمُعْتَبَرٌ فِي الْمَنْزِلِ الَّذِي حَصَلَ فِيهِ مِنْ مَنَازِلِ سَفَرِهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ طَلَبُهُ فِي غَيْرِ الْمَنْزِلِ الَّذِي هُوَ مَنْسُوبٌ إِلَى نُزُولِهِ فَيَسْتَخْبِرُ مَنْ فِيهِ مِنْ أَهْلِهِ وَغَيْرِ أَهْلِهِ بِنَفْسِهِ، أَوْ بِمَنْ يَثِقُ بِصِدْقِهِ عَنِ الْمَاءِ مَعَهُمْ، أَوْ فِي مَنْزِلِهِمْ فَمَنِ اسْتَخْبَرَ عَنِ الْمَاءِ الَّذِي فِي الْمَنْزِلِ لَمْ يَعْمَلْ عَلَى خَبَرِهِ إِلَّا أَنْ يَثِقَ بِصِدْقِهِ، وَمَنِ اسْتَخْبَرَهُ عَنِ الْمَاءِ الَّذِي بِيَدِهِ عَمِلَ عَلَى خَبَرِهِ صَادِقًا كَانَ أَوْ كَاذِبًا، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ كَاذِبًا فَهُوَ كَالْمَانِعِ مِنْهُ، فَإِنْ وَهَبَ لَهُ الْمَطْلُوبُ مِنْهُ الْمَاءَ لَزِمَهُ قَبُولُهُ، لِأَنَّ وُجُوبَ الطَّلَبِ لِاسْتِحْقَاقِ الْقَبُولِ، وَكَذَلِكَ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ طَلَبُ الْمَالِ لزمه فِي الْحَجِّ؛ لِأَنَّهُ لَوْ وَهَبَ لَهُ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَبُولُ، فَإِنْ بَقِيَ فِي الْمَنْزِلِ نَاحِيَةٌ يَرْجُو الْمَاءَ فِيهَا بِنَفْسِهِ رَاعَاهَا بِنَفْسِهِ أَوْ بِمَنْ يَثِقُ بِصِدْقِهِ ظَاهِرًا لَا بَاطِنًا بِخِلَافِ رَحْلِهِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ طَلَبُ الْمَالِ فِي غَيْرِ مَنْزِلِهِ الَّذِي هُوَ مَنْسُوبٌ إِلَى النُّزُولِ فِيهِ فَإِذَا تَحَقَّقَ عَدَمَ الْمَاءِ إِحَاطَةً وَاسْتِخْبَارًا تَيَمَّمَ، فَلَوْ رَأَى بَعْدَ طَلَبِهِ وَتَيَمُّمِهِ سَوَادًا أَوْ رَاكِبًا لَزِمَهُ طَلَبُ الْمَاءِ مِنْهُ، فَإِنْ وَجَدَهُ اسْتَعْمَلَهُ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْهُ أَعَادَ التَّيَمُّمَ؛ لِأَنَّهُ بَعْدَ رُؤْيَةِ الرَّاكِبِ صَارَ مُتَيَمِّمًا قَبْلَ كَمَالِ الطَّلَبِ، ثُمَّ عَلَيْهِ فِي كُلِّ تَيَمُّمٍ أَنْ يُعِيدَ طَلَبَ الْمَاءِ فِي غَيْرِ رَحْلِهِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِعَادَةُ طَلَبِهِ فِي رَحْلِهِ؛ لِأَنَّ عَدَمَ الْمَاءِ فِي رَحْلِهِ يَقِينٌ وَوُجُودُهُ فِي غَيْرِ رَحْلِهِ مُجَوَّزٌ.
(PASAL)
Apabila telah tetap kewajiban mencari air, maka pencarian itu ada dua macam:
- Pencarian secara menyeluruh (ṭalab iḥāṭah)
Yaitu pencarian di dalam barang bawaannya (raḥl) dan segala yang ada di bawah kekuasaannya. Ia harus mencari air di situ, baik pada bagian luar maupun bagian dalam, baik dengan dirinya sendiri ataupun dengan orang yang ia percaya kejujurannya. - Pencarian dengan bertanya (ṭalab istiqhbār)
Yaitu pencarian di tempat singgahnya pada salah satu pemberhentian perjalanannya. Ia tidak wajib mencarinya di selain tempat singgah yang dinisbatkan sebagai tempat ia bermalam. Ia bertanya kepada penduduk atau orang lain yang ada di tempat itu, baik dengan dirinya sendiri atau dengan orang yang ia percaya kejujurannya, tentang air yang ada pada mereka atau di tempat mereka.
Siapa yang bertanya tentang air yang ada di tempat singgah, maka ia tidak boleh berpegang pada jawabannya kecuali jika ia percaya kepada kejujurannya. Namun jika ia bertanya tentang air yang ada di tangan orang tersebut, maka ia boleh berpegang pada jawabannya, baik ia jujur maupun dusta, karena jika ia berdusta maka kedudukannya seperti orang yang menghalangi pemberian air tersebut.
Jika orang yang ditanya kemudian menghadiahkan air kepadanya, maka ia wajib menerimanya, karena kewajiban mencari itu bertujuan agar ia berhak menerima. Berbeda dengan harta dalam haji, karena jika dihadiahkan kepadanya tidak wajib ia menerimanya.
Jika di tempat singgah itu masih ada bagian yang ia harapkan terdapat air di situ, maka ia harus mencarinya sendiri atau dengan orang yang ia percaya kejujurannya, pada bagian luar saja, tidak pada bagian dalam — berbeda dengan pencarian di barang bawaannya yang wajib meliputi luar dan dalam.
Ia tidak wajib mencari air di luar tempat singgahnya yang menjadi lokasi ia bermalam.
Apabila ia telah memastikan tidak adanya air, baik dengan pencarian menyeluruh maupun dengan bertanya, maka ia boleh bertayammum.
Namun jika setelah mencari dan bertayammum ia melihat suatu tanda hitam dari kejauhan atau melihat seorang pengendara, maka ia wajib meminta air darinya. Jika mendapatkannya, ia harus menggunakannya. Jika tidak mendapatkannya, maka ia mengulang tayammum, karena setelah melihat pengendara itu ia menjadi orang yang bertayammum sebelum sempurna pencariannya.
Kemudian, pada setiap tayammum yang dilakukan, ia wajib mengulangi pencarian air di luar barang bawaannya, namun tidak wajib mengulang pencarian di dalam barang bawaannya, karena ketiadaan air di dalam barang bawaannya sudah pasti, sedangkan keberadaan air di luar barang bawaannya hanya bersifat kemungkinan.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حَالِ الطَّلَبِ فَلَا يَجُوزُ إِلَّا بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ؛ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مِنْ شُرُوطِ التَّيَمُّمِ، فَإِنْ طَلَبَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ وَتَيَمَّمَ بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ لَمْ يُجْزِهِ، وَهَكَذَا لَوْ تَيَمَّمَ أَوْ طَلَبَ وَهُوَ شَاكٌّ فِي دُخُولِ الْوَقْتِ لَمْ يُجْزِهِ، فَلَوْ أَنَّهُ تَيَقَّنَ بَعْدَ شَكِّهِ أَنَّ طَلَبَهُ وَتَيَمُّمَهُ صَادَفَ بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ لَمْ يُجْزِهِ؛ لِأَنَّهُ حِينَ تَيَمَّمَ كَانَ شَاكًّا فِي جَوَازِ تَيَمُّمِهِ، فَإِذَا دَخَلَ الْوَقْتُ فَطَلَبَ وَتَيَمَّمَ فَهَلْ يَلْزَمُهُ تَعْجِيلُ الصَّلَاةِ عَقِيبَ تَيَمُّمِهِ أَوْ يَجُوزُ لَهُ تَأْخِيرُهَا مَا لَمْ يَفُتِ الْوَقْتُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ يلزمه تعجيل الصَّلَاةِ عَلَى الْفَوْرِ مِنْ غَيْرِ تَأْخِيرٍ إِلَّا بِقَدْرِ أَذَانِهِ وَإِقَامَتِهِ وَالتَّنَفُّلِ بِمَا هُوَ مِنْ مَسْنُونَاتِ فَرِيضَتِهِ، فَإِنْ أَخَّرَهَا عَنْ ذَلِكَ مَتَى تَرَاخَى بِهِ الزَّمَانُ بَطَلَ تَيَمُّمُهُ وَإِنَّمَا اسْتَحَقَّ تَعْجِيلَ الصَّلَاةِ بَعْدَ تَيَمُّمِهِ؛ لِأَنَّهَا طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ فَكَانَتْ كَطَهَارَةِ الْمُسْتَحَاضَةِ يَلْزَمُهَا تَعْجِيلُ الصَّلَاةِ عَقِيبَ طَهَارَتِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ أَنَّهُ يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا وَلَا يَلْزَمُ تَعْجِيلُهَا بِخِلَافِ طهارته الْمُسْتَحَاضَةِ؛ لِأَنَّ حَدَثَ الْمُسْتَحَاضَةِ يَتَوَالَى عَقِيبَ الطَّهَارَةِ فَبَطَلَتْ طَهَارَتُهَا بِالتَّأْخِيرِ، وَلَيْسَ بَعْدَ التَّيَمُّمِ حَدَثٌ فَمُنِعَ مِنَ التَّأْخِيرِ.
(PASAL)
Apabila telah tetap seperti yang kami sebutkan tentang keadaan pencarian air, maka pencarian itu tidak boleh dilakukan kecuali setelah masuk waktu, karena ia adalah salah satu syarat tayammum.
Jika mencari air sebelum masuk waktu lalu bertayammum setelah masuk waktu, maka tidak sah. Begitu pula jika ia bertayammum atau mencari air dalam keadaan ragu tentang masuknya waktu, maka tidak sah.
Seandainya setelah ragu ia yakin bahwa pencariannya dan tayammumnya terjadi setelah masuk waktu, maka tidak sah, karena ketika bertayammum ia dalam keadaan ragu tentang bolehnya tayammum.
Jika waktu telah masuk, lalu ia mencari air dan bertayammum, maka apakah ia wajib segera melaksanakan shalat setelah tayammumnya atau boleh menundanya selama waktu shalat belum habis? Dalam hal ini ada dua wajah:
Pertama: Pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj dan Abu Sa‘id al-Istakhri — ia wajib segera melaksanakan shalat tanpa menunda, kecuali sekadar waktu adzan, iqamah, dan shalat sunnah yang disyariatkan terkait dengan fardunya. Jika ia menundanya hingga berlalu waktu tersebut, maka batal tayammumnya. Ia wajib segera shalat setelah tayammum karena tayammum adalah thaharah darurat, sehingga hukumnya seperti thaharah mustahādah yang wajib segera shalat setelah bersuci.
Kedua: Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab al-Syafi‘i, dan beliau telah menegaskannya dalam sebagian kitabnya, bahwa boleh menunda shalat dan tidak wajib segera, berbeda dengan thaharah mustahādah, karena hadas mustahādah terus berlanjut setelah bersuci, sehingga thaharahnya batal jika ditunda. Adapun setelah tayammum tidak ada hadas yang langsung membatalkannya, maka boleh menunda shalat.
(فَصْلٌ)
: وَلَا يَجُوزُ لِلْمُتَيَمِّمِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؛ لِأَنَّ الصَّلَاةَ الثَّانِيَةَ تَفْتَقِرُ إِلَى تَيَمُّمٍ ثانٍ، وَالتَّيَمُّمُ الثَّانِي يَفْتَقِرُ إِلَى طلبٍ ثانٍ، وَالطَّلَبُ يَقْطَعُ الْجَمْعَ؛ لِأَنَّ من شرطه الموالاة والله أعلم.
(PASAL)
Tidak boleh bagi orang yang bertayammum untuk menggabungkan dua shalat, karena shalat yang kedua membutuhkan tayammum yang lain, dan tayammum yang kedua membutuhkan pencarian air yang lain, sedangkan pencarian itu memutuskan jamak karena salah satu syaratnya adalah berkesinambungan. والله أعلم
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَقَلُّ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ سفرٍ طَالَ أو قصر واحتج في ذلك بظاهر القرآن وبأثر ابن عمر “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يَخْلُو حَالُ مَنْ عَدِمَ الْمَاءَ مِنْ حَالَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَفَرٍ أَوْ حَضَرٍ، فَإِنْ كَانَ فِي سَفَرٍ فَفَرْضُهُ التَّيَمُّمُ، وَصَلَاتُهُ بِهِ مُجْزِئَةٌ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ فِيهَا، وَسَوَاءٌ كَانَ سَفَرُهُ طَوِيلًا أَوْ قَصِيرًا.
(masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Batas minimal yang disebut safar, baik panjang maupun pendek.” Beliau berdalil dengan zhahir Al-Qur’an dan dengan atsar dari Ibnu ‘Umar.
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Keadaan orang yang tidak mendapatkan air tidak lepas dari dua keadaan: berada dalam safar atau dalam hadhar. Jika dalam safar, maka kewajibannya adalah tayammum, dan shalatnya dengan tayammum itu sah serta tidak ada kewajiban mengulanginya, baik safarnya itu panjang maupun pendek.
وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ: لَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ إِلَّا فِي سَفَرٍ مَحْدُودٍ، وَيَجُوزُ فِيهِ الْقَصْرُ، وَقَدْ حَكَاهُ الْبُوَيْطِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ، وَلَيْسَ ذَلِكَ مَذْهَبًا لَهُ بَلْ هُوَ مَنْصُوصٌ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ، وَرَوَاهُ عَنْهُ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ التَّيَمُّمَ يَجُوزُ فِي طَوِيلِ السَّفَرِ وَقَصِيرِهِ، وَلَعَلَّ حِكَايَةَ الْبُوَيْطِيِّ إِنْ صَحَّتْ مَحْمُولَةٌ عَلَى أَنَّ الشَّافِعِيَّ حَكَاهُ عَنْ غَيْرِهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِهِ فِي كُلِّ سَفَرٍ طَوِيلٍ أَوْ قَصِيرٍ عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {وَإنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ) {المائدة: 6) وَرَوَى عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَتَيَمَّمُ بموضعٍ يُقَالُ لَهُ مَرْبِضُ النَّعَمِ، وَهُوَ يَرَى بُيُوتَ الْمَدِينَةِ، وَلِأَنَّ عَدَمَ الْمَاءِ قَدْ يُوجَدُ فِي قَصِيرِ السَّفَرِ كَمَا يُوجَدُ فِي طَوِيلِهِ، فَاقْتَضَى جَوَازَ التَّيَمُّمِ لِأَجْلِهِ فِي الْحَالَيْنِ.
Sebagian fuqaha berkata: Tidak boleh tayammum kecuali dalam safar yang memiliki batas tertentu, yang di dalamnya boleh mengqashar shalat. Pendapat ini dinukil al-Buwaiti dari al-Syafi‘i, namun itu bukan mazhab beliau, bahkan yang tertulis dalam seluruh kitabnya dan diriwayatkan dari beliau oleh jumhur sahabat kami adalah bahwa tayammum boleh dilakukan dalam safar yang panjang maupun pendek.
Mungkin riwayat al-Buwaiti itu — jika sah — dimaksudkan bahwa al-Syafi‘i menukilnya dari selainnya.
Dalil bolehnya tayammum dalam semua safar, baik panjang maupun pendek, adalah keumuman firman Allah Ta‘ālā: {Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan} (al-Mā’idah: 6).
Juga riwayat dari ‘Ubaidullah dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW pernah bertayammum di suatu tempat bernama Marbiḍ al-Na‘am, padahal beliau melihat rumah-rumah Madinah.
Dan karena ketiadaan air bisa terjadi pada safar pendek sebagaimana terjadi pada safar panjang, maka hal itu menuntut bolehnya tayammum karena sebab tersebut pada kedua keadaan tersebut.
وَجُمْلَةُ الرُّخَصِ الْمُخْتَصَّةِ بِالسَّفَرِ سِتَّةٌ تَنْقَسِمُ على ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:
قِسْمٌ مِنْهَا لَا يَجُوزُ إِلَّا فِي سَفَرٍ مَحْدُودٍ قَدْرَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ الْقَصْرُ، وَالْفِطْرُ، وَالْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ ثَلَاثًا.
وَقِسْمٌ يَجُوزُ فِي طَوِيلِ السَّفَرِ وَقَصِيرِهِ وَهُوَ شَيْئَانِ التَّيَمُّمُ وَالتَّنَفُّلُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَيْنَمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ.
وَقِسْمٌ اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهِ وَهُوَ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِلَّا في سفر كَالْفِطْرِ، وَالثَّانِي أَنَّهُ يَجُوزُ فِي طَوِيلِ السَّفَرِ وقصيره كالنافلة على الراحلة.
Jumlah rukhsah yang khusus untuk safar ada enam, terbagi menjadi tiga bagian:
Bagian yang tidak boleh dilakukan kecuali dalam safar terbatas sejauh enam belas farsakh, yaitu tiga perkara: qashar, berbuka, dan mengusap khuffain selama tiga hari.
Bagian yang boleh dilakukan dalam safar jauh maupun dekat, yaitu dua perkara: tayammum dan shalat sunnah di atas kendaraan ke arah mana pun ia menghadap.
Bagian yang diperselisihkan pendapat tentangnya, yaitu jam‘ antara dua shalat. Salah satu pendapat menyatakan bahwa hal itu tidak boleh kecuali dalam safar seperti berbuka, dan pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu boleh dilakukan dalam safar jauh maupun dekat seperti shalat sunnah di atas kendaraan.
(فصل)
: فإذا ثبت أَنْ لَا فَرْقَ فِي التَّيَمُّمِ بَيْنَ طَوِيلِ السَّفَرِ وَقَصِيرِهِ، فَالسَّفَرُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ: وَاجِبٌ، وَمُبَاحٌ، وَمَعْصِيَةٌ؛ فَأَمَّا الْوَاجِبُ فَكَسَفَرِ الْحَجِّ، وَأَمَّا المباح فكسفر التجارة، التيمم فهو جَائِزٌ، وَأَدَاءُ الصَّلَاةِ فِي الْحَالَيْنِ صَحِيحٌ، وَأَمَّا الْمَعْصِيَةُ فَكَسَفَرِ الْبُغَاةِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ فَإِذَا عُدِمَ فِيهِ الْمَاءُ تَيَمَّمَ وَصَلَّى، وَفِي وُجُوبِ الْإِعَادَةِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، لِأَنَّ الْعَاصِيَ لَا يُتَرَخَّصُ كَمَا لَا يَقْصُرُ، وَلَا يُفْطِرُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ فِي السَّفَرِ فَرْضٌ لَا يَجُوزُ تَرْكُهُ وَلَيْسَ كَالرُّخْصَةِ بِالْقَصْرِ وَالْفِطْرِ الَّذِي هُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ فِعْلِهِ وَتَرْكِهِ.
PASAL:
Apabila telah tetap bahwa tidak ada perbedaan dalam tayammum antara safar jauh dan safar dekat, maka safar ada tiga macam: wajib, mubah, dan maksiat.
Adapun safar wajib seperti safar haji.
Adapun safar mubah seperti safar perdagangan, maka tayammum di dalamnya boleh, dan pelaksanaan shalat pada kedua keadaan tersebut sah.
Adapun safar maksiat seperti safar bughāt dan perampok jalan, maka apabila tidak ada air di dalamnya ia bertayammum dan shalat. Dalam kewajiban mengulangi shalat terdapat dua pendapat:
Pertama: ia wajib mengulanginya, karena orang yang berbuat maksiat tidak diberi keringanan sebagaimana ia tidak boleh qashar dan tidak boleh berbuka.
Kedua: tidak wajib mengulanginya, karena tayammum dalam safar adalah fardhu yang tidak boleh ditinggalkan, dan tidak seperti rukhsah qashar dan berbuka yang merupakan pilihan antara melakukannya atau meninggalkannya.
وَالْعَاصِي يَصِحُّ مِنْهُ أَدَاءُ الْفَرْضِ مَعَ مَعْصِيَتِهِ، وَأَمَّا الْعَادِمُ لِلْمَاءِ فِي الْحَضَرِ كَالْقَرْيَةِ التي ماؤها من بئر تغور أو عين تغيض أَوْ نَهْرٍ يَنْقَطِعُ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيمَنْ عَدِمَ الْمَاءَ فِي الْحَضَرِ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْحَالِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيُصَلِّيَ ثُمَّ يُعِيدُ إِذَا وَجَدَ الْمَاءَ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُ يَتَيَمَّمُ وَيُصَلِّي وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ.
Orang yang berbuat maksiat sah melaksanakan shalat fardhu meskipun dengan kemaksiatannya.
Adapun orang yang tidak mendapatkan air di tempat menetap, seperti desa yang airnya berasal dari sumur yang kering, mata air yang surut, atau sungai yang terputus, maka para fuqaha berbeda pendapat tentang orang yang tidak mendapatkan air di tempat menetap dalam keadaan seperti ini menjadi tiga mazhab:
Pertama: yaitu mazhab al-Syafi‘i, bahwa ia wajib bertayammum dan shalat, kemudian mengulanginya apabila telah mendapatkan air.
Kedua: yaitu mazhab Malik, bahwa ia bertayammum dan shalat, dan tidak ada kewajiban mengulanginya.
وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة أَنَّهُ لَا يَتَيَمَّمُ وَلَا يُصَلِّي فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ اسْتَعْمَلَهُ وَصَلَّى، وَهَذِهِ رِوَايَةُ زُفَرَ عَنْهُ، وَقَدْ رَوَى الطَّحَاوِيُّ عَنْهُ مِثْلَ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فَأَمَّا مَالِكٌ فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ بِأَنَّ مَنْ لَزِمَهُ فَرْضُ الصَّلَاةِ بِالتَّيَمُّمِ سَقَطَ عَنْهُ فَرْضُهَا بِالتَّيَمُّمِ كَالْمُسَافِرِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةٌ إِذَا لَزِمَتْ فِي السَّفَرِ سَقَطَ بِهَا الْفَرْضُ فَوَجَبَ إِذَا لَزِمَتْ فِي الْحَضَرِ أَنْ يَسْقُطَ بِهَا الْفَرْضُ كَالْوُضُوءِ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ} فَجَعَلَ لِلتَّيَمُّمِ شَرْطَيْنِ: هُمَا السَّفَرُ وَالْمَرَضُ، فَلَمْ يُسْقِطِ الْفَرْضَ إِلَّا بِهِمَا لِيَكُونَ لِلشَّرْطِ فَائِدَةٌ، وَلِأَنَّ السَّفَرَ شَرْطٌ أُبِيحَ التَّيَمُّمُ لِأَجْلِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ الْفَرْضُ بِعَقْدِهِ كَالْمَرَضِ، وَلِأَنَّهُ مُقِيمٌ صَحِيحٌ، فَلَمْ يَسْقُطْ فَرْضُهُ بِالتَّيَمُّمِ كَالْوَاجِدِ لِلْمَاءِ، وَلِأَنَّ عَدَمَ الْمَاءِ فِي الْحَضَرِ عُذْرٌ نَادِرٌ؛ لِأَنَّ الْأَوْطَانَ لَا تُبْنَى عَلَى غَيْرِ مَاءٍ، وَعَدَمُهُ فِي السَّفَرِ عُذْرٌ عَامٌّ وَالْأَعْذَارُ الْعَامَّةُ إِذَا سَقَطَ الْفَرْضُ بِهَا لَمْ تُوجِبْ سُقُوطَ الْفَرْضِ بِالنَّادِرِ مِنْهَا كَالْعَادِمِ لِلْمَاءِ وَالتُّرَابِ.
Ketiga: yaitu mazhab Abu Hanifah, bahwa ia tidak bertayammum dan tidak shalat. Apabila ia mendapatkan air, ia menggunakannya dan shalat. Ini adalah riwayat Zufar darinya. Al-Ṭaḥāwī meriwayatkan darinya seperti mazhab al-Syafi‘i.
Adapun Malik, beliau berdalil bahwa siapa yang wajib melaksanakan shalat dengan tayammum, gugurlah kewajiban shalatnya dengan tayammum seperti musafir. Dan karena tayammum adalah thaharah, jika diwajibkan dalam safar maka gugur kewajiban shalat dengannya, maka wajib jika diwajibkan dalam keadaan menetap juga gugur kewajiban shalat dengannya seperti wudhu.
Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan”, maka Allah menjadikan tayammum memiliki dua syarat: safar dan sakit. Maka Dia tidak menggugurkan kewajiban shalat kecuali dengan keduanya agar syarat itu memiliki faedah.
Dan karena safar adalah syarat yang dibolehkan tayammum karenanya, maka wajib tidak gugur kewajiban shalat hanya dengan sebabnya seperti sakit. Dan karena ia adalah orang yang menetap lagi sehat, maka tidak gugur kewajiban shalatnya dengan tayammum seperti orang yang mendapatkan air.
Selain itu, tidak adanya air di tempat menetap adalah uzur yang jarang, karena negeri tidak dibangun tanpa air, sedangkan tidak adanya air dalam safar adalah uzur umum. Dan uzur yang umum, jika gugur kewajiban shalat dengannya, tidak berarti kewajiban itu gugur dengan sebab uzur yang jarang, seperti orang yang tidak mendapatkan air dan tanah.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْمُسَافِرِ فَالْمَعْنَى فِي السَّفَرِ أَنَّ عَدَمَ الْمَاءِ فِي عُذْرٍ عَامٌّ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْوُضُوءِ فَالْمَعْنَى فِيهِ ارْتِفَاعُ الضَّرُورَةِ عَنْهُ.
Adapun jawaban terhadap qiyasnya dengan musafir, maka maknanya dalam safar adalah bahwa tidak adanya air merupakan uzur umum.
Adapun qiyasnya dengan wudhu, maka maknanya adalah hilangnya keadaan darurat darinya.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ كُنْتُم مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ) {المائدة: 6) . وَهَذَا لَيْسَ بِمَرِيضٍ وَلَا مُسَافِرٍ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ تَيَمُّمٌ لَا يَسْقُطُ بِهِ الْفَرْضُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ كَالتَّيَمُّمِ بِالتُّرَابِ النَّجَسِ، وَلِأَنَّهُ مُقِيمٌ سَلِيمٌ فَلَمْ يَلْزَمْهُ التَّيَمُّمُ كَالْوَاجِدِ لِلْمَاءِ، وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ لَا تُؤَدَّى فَرْضًا، فَلَمْ يَلْزَمْ فِعْلُهَا كَصَلَاةِ الْحَائِضِ.
PASAL:
Adapun Abu Hanifah berdalil bahwa tayammum tidak wajib baginya berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan” (QS. al-Mā’idah: 6). Padahal orang itu tidak sakit dan tidak pula musafir.
Beliau berkata: Karena itu adalah tayammum yang tidak gugur kewajiban shalat dengannya, maka wajiblah bahwa ia tidak diwajibkan, seperti tayammum dengan tanah yang najis. Dan karena ia adalah orang yang menetap lagi sehat, maka tidak wajib baginya tayammum seperti orang yang mendapatkan air.
Selain itu, karena shalat tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagai fardhu, maka tidak wajib melakukannya seperti shalatnya perempuan haid.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا) {المائدة: 6) وَهَذَا غَيْرُ وَاجِدٍ لِلْمَاءِ، وَلِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ أَبَا ذَرٍّ أَنْ يَتَيَمَّمَ بِالرَّبَذَةِ إِذَا عَدِمَ الْمَاءَ وَكَانَتْ وَطَنًا، وَلِأَنَّهُ مُكَلَّفٌ إِدْرَاكَ الْوَقْتِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ التَّيَمُّمُ عِنْدَ عَدَمِ الْمَاءِ كَالْمُسَافِرِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَعْنًى لَوْ حَدَثَ فِي السَّفَرِ أَوْجَبَ التَّيَمُّمَ فَإِذَا حَدَثَ فِي الْحَضَرِ أَوْجَبَ التَّيَمُّمَ كَالْمَرَضِ، وَلِأَنَّ كُلَّ عَجْزٍ لَوْ حَصَلَ فِي شُرُوطِ الصَّلَاةِ لَمْ يَسْقُطْ فِعْلُهَا فِي السَّفَرِ فَإِنَّهُ لَا يَسْقُطُ فِعْلُهَا فِي الْحَضَرِ، كَالْعَجْزِ عَنِ الْقِيَامِ وَالثَّوْبِ، وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ عَجَزَ عَنْ فِعْلِهَا بِالْمَاءِ فَجَازَ لَهُ فِعْلُهَا بِالتُّرَابِ، كَصَلَاةِ الْجِنَازَةِ وَالْعِيدَيْنِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Maka jika kalian tidak mendapatkan air, bertayammumlah” (QS. al-Mā’idah: 6), dan orang ini tidak mendapatkan air.
Dan karena Nabi SAW memerintahkan Abu Dzar untuk bertayammum di al-Rabdzah ketika tidak mendapatkan air, padahal itu adalah negeri tempat tinggal.
Dan karena ia adalah orang yang mukallaf untuk mendapatkan waktu shalat, maka wajib baginya bertayammum ketika tidak ada air seperti halnya musafir.
Dan setiap sebab yang apabila terjadi dalam safar mewajibkan tayammum, maka apabila terjadi di tempat menetap juga mewajibkan tayammum, seperti sakit.
Dan setiap ketidakmampuan yang apabila terjadi pada syarat-syarat shalat tidak menggugurkan pelaksanaannya dalam safar, maka ia juga tidak menggugurkannya di tempat menetap, seperti ketidakmampuan berdiri dan pakaian.
Dan karena itu adalah shalat yang ia tidak mampu melaksanakannya dengan air, maka boleh baginya melaksanakannya dengan tanah, seperti shalat jenazah dan dua hari raya.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سفر ” فَإِنَّمَا جُعِلَ السَّفَرُ شَرْطًا فِي سُقُوطِ الْفَرْضِ لَا فِي جَوَازِ التَّيَمُّمِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى التُّرَابِ النَّجَسِ فَهُوَ أَنَّ الْمَعْنَى فِي التُّرَابِ النَّجَسِ أَنَّهُ لَمَّا يَلْزَمِ اسْتِعْمَالُهُ فِي السَّفَرِ لَهُ يَلْزَمُ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْحَضَرِ.
Adapun jawaban terhadap perkataannya: “Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan”, maka sesungguhnya safar dijadikan sebagai syarat dalam menggugurkan kewajiban, bukan dalam membolehkan tayammum.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan tanah najis, maka maknanya pada tanah najis adalah bahwa ketika tidak wajib menggunakannya dalam safar, maka tidak wajib pula menggunakannya di tempat menetap.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْوَاجِدِ لِلْمَاءِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ لَمَّا لَزِمَهُ أَعْلَى الطَّهَارَتَيْنِ سَقَطَ عَنْهُ أدناهما، وليس كذلك العادم.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْحَائِضِ فَهُوَ أَنَّ الْحَائِضَ لَمَّا لَمْ يَلْزَمْهَا فَرْضٌ لَمْ يَلْزَمْهَا النَّفْلُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْعَادِمُ، ثُمَّ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ الْإِتْيَانُ بِالْمَأْمُورِ دَلِيلًا عَلَى أَنَّهُ جَمِيعُ التَّكْلِيفِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ أَصْبَحَ لَا يَرَى أَنَّ يَوْمَهُ مِنْ رَمَضَانَ ثُمَّ عَلِمَ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ فَإِنَّهُ يَصُومُ وَيَقْضِي وَلَوْ أَفْسَدَ حَجَّهُ مَضَى فِيهِ وَقَضَاهُ.
Adapun qiyasnya dengan orang yang mendapatkan air, maka maknanya adalah bahwa ketika ia wajib melaksanakan thaharah yang lebih tinggi, gugurlah darinya thaharah yang lebih rendah, dan tidak demikian halnya bagi orang yang tidak mendapatkan air.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan perempuan haid adalah bahwa ketika perempuan haid tidak diwajibkan melaksanakan ibadah fardhu, maka ia juga tidak diwajibkan ibadah sunnah. Tidak demikian halnya dengan orang yang tidak mendapatkan air.
Kemudian, tidak mesti pelaksanaan suatu perkara yang diperintahkan menjadi dalil bahwa itu adalah seluruh taklif. Tidakkah engkau melihat bahwa seseorang yang di pagi hari tidak mengetahui bahwa harinya adalah dari Ramadhan, kemudian ia mengetahui bahwa itu adalah hari Ramadhan, maka ia tetap berpuasa dan mengqadha. Dan seandainya ia merusak hajinya, ia tetap melanjutkannya dan mengqadhanya.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْعَادِمُ لِلْمَاءِ وَالتُّرَابِ مَعًا فَوَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَيُعِيدَ إِذَا قَدَرَ عَلَى الْمَاءِ مُسَافِرًا كَانَ أَوْ حَاضِرًا، فَيَكُونُ فِعْلُهَا فِي الْحَالِ وَاجِبًا وَإِعَادَتُهَا وَاجِبَةً، وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ وَالْإِمْلَاءِ: يُصَلِّي فِي الْحَالِ اسْتِحْبَابًا وَيُعِيدُهَا وَاجِبًا، وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يلزمه أن يصلي ولا يُسْتَحَبَّ لَهُ حَتَّى يَقْدِرَ عَلَى الطَّهَارَةِ فَيَتَطَهَّرَ وَيُصَلِّيَ، اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الْوُضُوءُ ” فَاقْتَضَى أَنْ لَا يَجُوزَ افْتِتَاحُهَا بِغَيْرِ وُضُوءٍ قَالَ: وَلِأَنَّ عَدَمَ الطَّهَارَةِ أَصْلًا وَبَدَلًا يَمْنَعُ مِنِ انْعِقَادِ الصَّلَاةِ كَالْحَائِضِ: قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْفَرْضُ بِفِعْلِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ الْإِتْيَانُ بِهَا كَالْمُحْدِثِ مَعَ وُجُودِ الْمَاءِ.
PASAL:
Adapun orang yang tidak mendapatkan air dan tanah sekaligus, maka wajib baginya shalat demi menghormati waktu, lalu mengulanginya ketika mampu mendapatkan air, baik ia musafir maupun mukim. Maka pelaksanaannya pada saat itu wajib, dan mengulanginya juga wajib.
Dalam pendapat qadim dan al-Imlā’ disebutkan: ia shalat pada saat itu sebagai anjuran (istihbāb), dan mengulanginya secara wajib.
Abu Hanifah berkata: tidak wajib baginya shalat dan tidak pula disunnahkan sampai ia mampu melakukan thaharah, lalu ia bersuci dan shalat.
Ia berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Kunci shalat adalah wudhu” — yang menunjukkan bahwa tidak boleh memulai shalat tanpa wudhu.
Ia berkata: karena tidak adanya thaharah, baik secara asal maupun pengganti, mencegah terjadinya shalat seperti halnya perempuan haid.
Ia juga berkata: setiap shalat yang kewajiban fardhunya tidak gugur dengan melaksanakannya, maka tidak wajib baginya melakukannya, seperti orang yang berhadas dengan adanya air.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {أَقِمِ الصَّلاَةِ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ) {الإسراء: 78) وَلَمْ يُفَرِّقْ، وَلِأَنَّهُ مُكَلَّفٌ بِالصَّلَاةِ عَدِمَ شَرْطًا مِنْ شَرَائِطِهَا فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ فِعْلُهَا كَالْعُرْيَانِ، وَلِأَنَّهُ تَطْهِيرٌ لَوْ قَدَرَ عَلَيْهِ لَزِمَهُ فِعْلُهُ لِأَجْلِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا عَجَزَ عَنْهُ لَزِمَهُ فِعْلُ الصَّلَاةِ، أَصْلُهُ إِذَا كَانَ عَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ عَجَزَ عَنْ إِزَالَتِهَا بِالْمَاءِ، لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَعْجِزَ عَنْ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ لِفَقْدِ الْمَاءِ، وَبَيْنَ أَنْ يَعْجِزَ عَنْ تَطْهِيرِ الْحَدَثِ بِالتُّرَابِ وَالْمَاءِ، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَتَيْنِ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا شَرْطًا فِي أَدَاءِ الْأُخْرَى عِنْدَ التَّمَكُّنِ مِنْهَا لَمْ يَكُنِ الْعَجْزُ عَنِ الشَّرْطِ مُسْقِطًا فَرْضَ الْمَشْرُوطِ لَهَا كَالتَّوَجُّهِ وَالْقِرَاءَةِ وَسَتْرِ الْعَوْرَةِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dirikanlah shalat dari tergelincirnya matahari sampai gelapnya malam” (QS. al-Isrā’: 78), dan Allah tidak membedakan.
Dan karena ia adalah mukallaf dengan kewajiban shalat, meskipun kehilangan salah satu syaratnya, maka wajib baginya melaksanakannya seperti orang yang telanjang.
Dan karena itu adalah thaharah yang apabila ia mampu melakukannya wajib baginya untuk shalat, maka ketika ia tidak mampu melakukannya tetap wajib baginya melaksanakan shalat. Dasarnya adalah apabila pada badannya ada najis yang ia tidak mampu menghilangkannya dengan air, karena tidak ada perbedaan antara ketidakmampuan menghilangkan najis karena tidak ada air dengan ketidakmampuan menyucikan hadats dengan tanah dan air.
Dan karena setiap dua ibadah yang salah satunya menjadi syarat dalam pelaksanaan yang lain ketika mampu melakukannya, maka ketidakmampuan terhadap syarat itu tidak menggugurkan kewajiban ibadah yang disyaratkan, seperti menghadap kiblat, membaca, dan menutup aurat.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الْوُضُوءُ ” فَهُوَ أَنَّ لَفْظَهُ وَإِنْ جَرَى مَجْرَى الْخَبَرِ فَمَعْنَاهُ مَضَى الْأَمْرُ وَالْأَوَامِرُ تَتَوَجَّهُ إِلَى الْمُطِيقِ لَهَا، فَصَارَ مَا اخْتَلَفْنَا فِيهِ غَيْرَ دَاخِلٍ فِي الْمُرَادِ بِهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحَائِضِ، فَالْمَعْنَى فِيهَا: أَنَّهَا لَمَّا لَمْ يَلْزَمْهَا فَرْضٌ لَمْ يَلْزَمْهَا فِعْلُهَا، وَلَيْسَ هُوَ كَذَلِكَ الْمُحْدِثُ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْوَاجِدِ لِلْمَاءِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى أَدَائِهَا بِالطَّهَارَةِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَفْعَلَهَا بِغَيْرِ طَهَارَةٍ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْعَاجِزُ عَنْهَا.
Adapun jawaban terhadap perkataannya: “Kunci shalat adalah wudhu”, maka meskipun lafaznya berbentuk khabar, maknanya adalah perintah yang telah berlaku, dan perintah hanya ditujukan kepada orang yang mampu melaksanakannya. Maka perkara yang kita perselisihkan ini tidak termasuk dalam maksud hadis tersebut.
Adapun qiyas mereka dengan perempuan haid, maka maknanya adalah bahwa ketika ia tidak diwajibkan melaksanakan ibadah fardhu, maka ia juga tidak diwajibkan melaksanakannya. Hal ini tidak sama dengan orang yang berhadas.
Adapun qiyas mereka dengan orang yang mendapatkan air, maka maknanya adalah bahwa ia mampu melaksanakan shalat dengan thaharah, sehingga tidak boleh melaksanakannya tanpa thaharah. Hal ini tidak sama dengan orang yang tidak mampu melaksanakannya.
(فَصْلٌ)
: إِذَا نَوَى الْمُسَافِرُ فِي سَفَرِهِ مُقَامَ أَرْبَعٍ ثُمَّ عَدِمَ الْمَاءَ فِي مَقَامِهِ فَتَيَمَّمَ وَصَلَّى، نَظَرَ، فَإِنْ كَانَ وَقْتُ عَدَمِهِ فِي وطنٍ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ كَمَنْ عَدِمَ الْمَاءَ فِي مِصْرٍ؛ لِأَنَّ الْأَوْطَانَ لَا تُبْنَى إِلَّا عَلَى مَاءٍ وَإِنْ كَانَ وَقْتُ عَدَمِهِ فِي غَيْرِ وطن، فلا إعادة عليه والله أعلم.
PASAL:
Apabila seorang musafir berniat dalam perjalanannya untuk menetap selama empat hari, kemudian ia tidak mendapatkan air selama masa menetapnya lalu bertayammum dan shalat, maka diperinci:
Jika waktu ia tidak mendapatkan air itu berada di negeri, maka ia wajib mengulanginya seperti orang yang tidak mendapatkan air di kota, karena negeri tidak dibangun kecuali di atas sumber air.
Namun jika waktu ia tidak mendapatkan air itu berada di luar negeri, maka tidak ada kewajiban mengulanginya. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وَلَا يَتَيَمَّمُ مريضٌ فِي شِتَاءٍ وَلَا صيفٍ إلا من به قرحٌ له غوراً وبه ضنىً من مرض يخاف أن يمسه الْمَاءُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ التَّلَفُ، أَوْ يَكُونَ مِنْهُ الْمَرَضُ الْمُخَوِّفُ لَا لِشَيْنٍ وَلَا لِإِبْطَاءِ برءٍ، وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ: يَتَيَمَّمُ إِذَا خَافَ إِنْ مَسَّهُ الْمَاءُ شِدَّةَ الضَّنَا “.
(Masalah)
Al-Syafi‘i berkata: “Seorang yang sakit tidak boleh bertayammum pada musim dingin maupun musim panas kecuali orang yang memiliki luka yang dalam dan menderita sakit parah yang dikhawatirkan apabila terkena air akan menyebabkan kematian, atau menyebabkan sakit yang menakutkan, bukan karena cacat (bekas luka) dan bukan pula karena lambatnya kesembuhan.”
Dan beliau berkata dalam qadim: “Boleh bertayammum apabila khawatir jika terkena air akan bertambah parah sakitnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالْمَرَضُ هُوَ الْحَالُ الثَّانِيَةُ الَّتِي أَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى التَّيَمُّمَ فِيهَا، وَيَجُوزُ التَّيَمُّمُ فِي الْمَرَضِ مَعَ وُجُودِ الْمَاءِ، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصَرِيِّ وَعَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ فِي الْمَرَضِ إِلَّا مَعَ عَدَمِ الْمَاءِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ) {المائدة: 6) إِلَى قَوْلِهِ: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} فَلَمَّا كَانَ عَدَمُ الْمَاءِ فِي السَّفَرِ شَرْطًا فِي جَوَازِ التَّيَمُّمِ كَذَلِكَ فِي الْمَرَضِ.
Al-Māwardī berkata: “Ini adalah pendapat yang benar. Penyakit adalah keadaan kedua yang Allah Ta‘ala membolehkan tayammum di dalamnya. Boleh bertayammum dalam keadaan sakit meskipun ada air, dan ini adalah pendapat jumhur.
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Baṣrī dan ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ bahwa tayammum dalam keadaan sakit tidak boleh kecuali jika tidak ada air, karena Allah Ta‘ala berfirman: ‘Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan…’ (QS. al-Mā’idah: 6) hingga firman-Nya: ‘…lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah’.
Maka ketika ketiadaan air dalam safar menjadi syarat kebolehan tayammum, demikian pula dalam keadaan sakit.”
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ الشَّافِعِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ – وَاسْمُهُ أَسْعَدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ رَجُلًا فِي سريةٍ فَأَصَابَهُ كلمٌ وَأَصَابَتْهُ جنابةٌ فَصَلَّى وَلَمْ يَغْتَسِلْ وَخَافَ عَلَى نَفْسِهِ فَعَابَ عَلَيْهِ ذَلِكَ أَصْحَابُهُ فَلَمَّا قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذُكِرَ ذَلِكَ لَهُ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ فَجَاءَ فَأَخْبَرَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً} وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْفَرْضُ يَتَغَيَّرُ بِلُحُوقِ الْمَشَقَّةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفِ التَّلَفِ كَالْمُسَافِرِ، وَيُفْطِرُ لِأَجْلِ الْمَشَقَّةِ، وَالْمَرِيضِ يُفْطِرُ، وَتَرْكِ الْقِيَامِ فِي الصَّلَاةِ لِلُحُوقِ الْمَشَقَّةِ فَلَأَنْ يَتَغَيَّرَ الْفَرْضُ لِخَوْفِ التَّلَفِ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ أَوْلَى.
Dalil kami adalah riwayat al-Syafi‘i dari Ibrahim bin Muhammad dari Abu Bakar bin ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Umāmah dari Abū Umāmah — dan namanya adalah As‘ad bin Sahl bin Ḥunaif — bahwa Nabi SAW mengutus seorang laki-laki dalam suatu ekspedisi. Laki-laki itu terkena luka dan dalam keadaan junub, lalu ia shalat tanpa mandi janabah karena khawatir atas keselamatan dirinya. Para sahabatnya mencela perbuatannya itu.
Ketika ia datang kepada Nabi SAW dan hal itu disebutkan kepada beliau, Nabi SAW memanggilnya. Ia pun datang dan menceritakan perkaranya, lalu Allah menurunkan ayat: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian” (QS. al-Nisā’: 29).
Dan karena kewajiban itu berubah disebabkan adanya kesulitan tanpa rasa takut akan binasa, seperti musafir yang berbuka karena kesulitan, orang sakit yang berbuka, dan meninggalkan berdiri dalam shalat karena kesulitan, maka perubahan kewajiban karena takut binasa akibat penggunaan air lebih utama lagi dibolehkan.
(فَصْلٌ: أَقْسَامُ الْمَرَضِ)
فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ التَّيَمُّمِ فِي الْمَرَضِ مَعَ وجود الماء فالمرض على أربعة أقسام:
– القسم الأول – أن لا يكون يُسْتَضَرُّ بِاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِيهِ كَالْيَسِيرِ مِنَ الْحُمَّى. ووجع الضرس أو نفور الطِّحَالِ فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ، وَقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ: يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ) {المائدة: 6) لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ التَّيَمُّمَ فِي حَالَتَيْنِ مِنْ مَرَضٍ وَسَفَرٍ، فَلَمَّا جَازَ فِي قَلِيلِ السَّفَرِ وَكَثِيرِهِ، جَازَ فِي قَلِيلِ الْمَرَضِ وَكَثِيرِهِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِلُحُوقِ الْمَشَقَّةِ وَالْأَذَى وَخَوْفِ التَّلَفِ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فَإِذَا أَمِنَ مِنَ الْخَوْفِ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ ارْتَفَعَتِ الْإِبَاحَةُ، وَعَادَ إِلَى حُكْمِ الْأَصْلِ فِي وُجُوبِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ؛ وَلِأَنَّهُ وَاجِدٌ لِلْمَاءِ لَا يَسْتَضِرُّ مِنِ اسْتِعْمَالِهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَيَمَّمَ كَالصَّحِيحِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ إِطْلَاقِ الْآيَةِ فَهُوَ إِضْمَارُ الْفُرُوقِ فِيهَا، وَإِضْمَارُ الضَّرُورَةِ إِنَّمَا تَكُونُ عِنْدَ الِاسْتِضْرَارِ بِالْمَاءِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ السَّفَرِ فَهُوَ أَنَّ التَّيَمُّمَ يَجُوزُ فِي كِلَا الْمَوْضِعَيْنِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ إِلَّا أَنَّ الضَّرُورَةَ فِي السَّفَرِ عَدَمُ الْمَاءِ، فَاسْتَوَى حُكْمُ طَوِيلِ السَّفَرِ وَقَصِيرِهِ عِنْدَ عَدَمِ الْمَاءِ لِوُجُودِ الضَّرُورَةِ، وَالضَّرُورَةُ فِي الْمَرَضِ حُدُوثُ الْأَذَى وَالِاسْتِضْرَارِ بِالْمَاءِ فَافْتَرَقَ حُكْمُ قليله وكثيرة.
PASAL: Pembagian penyakit
Apabila telah tetap bolehnya tayammum dalam keadaan sakit meskipun ada air, maka penyakit terbagi menjadi empat bagian:
Bagian pertama – Yaitu sakit yang tidak menimbulkan mudarat dengan penggunaan air, seperti sedikit demam, sakit gigi, atau pembengkakan limpa. Maka tidak boleh baginya bertayammum dalam keadaan ini.
Malik dan Dawud berkata: boleh bertayammum karena keumuman firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan…” (QS. al-Mā’idah: 6). Karena Allah Ta‘ala membolehkan tayammum dalam dua keadaan: sakit dan safar. Maka sebagaimana dibolehkan dalam sedikit maupun banyak safar, dibolehkan pula dalam sedikit maupun banyak sakit.
Pendapat ini salah, karena Allah Ta‘ala membolehkan orang sakit bertayammum karena adanya kesulitan, bahaya, dan kekhawatiran binasa akibat menggunakan air. Jika tidak ada lagi kekhawatiran dari penggunaan air, maka kebolehan itu hilang dan kembali kepada hukum asal berupa kewajiban menggunakan air.
Dan karena ia mendapatkan air dan tidak mudarat dengan penggunaannya, maka tidak boleh baginya bertayammum seperti halnya orang sehat.
Adapun jawaban terhadap dalil keumuman ayat adalah bahwa di dalamnya tersimpan perbedaan rincian, dan kebutuhan darurat itu hanya ada ketika terdapat bahaya dari penggunaan air.
Adapun jawaban terhadap qiyas dengan safar adalah bahwa tayammum boleh dilakukan pada keduanya ketika ada kebutuhan darurat, hanya saja kebutuhan darurat dalam safar adalah tidak adanya air. Maka sama hukumnya safar jauh dan dekat ketika tidak ada air karena adanya kebutuhan darurat. Sedangkan kebutuhan darurat dalam sakit adalah timbulnya bahaya dan mudarat dari penggunaan air, sehingga berbeda hukumnya antara sakit yang ringan dan yang berat.
(فصل)
: [القسم الثاني] : وَالْقِسْمُ الثَّانِي مِنَ الْمَرَضِ أَنْ يَخَافَ التَّلَفَ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِيهِ، فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ سَوَاءً كَانَ قُرُوحًا أَوْ جِرَاحًا أَوْ كَانَ غَيْرَ قُرُوحٍ وَلَا جِرَاحٍ، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ إِلَّا مِنَ الْقُرُوحِ وَالْجِرَاحِ، وَأَمَّا مَا سِوَاهُ مِنْ شِدَّةِ الضَّنَا فَلَا، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى) {المائدة: 6) وَلِأَنَّهُ مَرِيضٌ يَخَافُ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ التَّلَفَ فَجَازَ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ كَالْمَجْرُوحِ وَالْمَقْرُوحِ، فَإِذَا تَيَمَّمَ وَصَلَّى فَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ إذا صح وبرأ كالعادم سواء.
PASAL: Bagian kedua dari penyakit adalah apabila seseorang khawatir binasa akibat penggunaan air, maka boleh baginya bertayammum, baik penyakitnya berupa luka atau sayatan, maupun bukan luka dan sayatan.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas bahwa tidak boleh bertayammum kecuali karena luka dan sayatan, adapun selain itu seperti sakit berat maka tidak boleh. Pendapat ini tidak benar karena keumuman firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kalian sakit…” (QS. al-Mā’idah: 6), dan karena ia adalah orang sakit yang khawatir binasa akibat menggunakan air, maka boleh baginya bertayammum sebagaimana orang yang terluka dan terkena sayatan.
Apabila ia telah bertayammum dan shalat, maka tidak ada kewajiban mengulanginya ketika ia sembuh, seperti halnya orang yang tidak mendapatkan air.
(فصل)
: [القسم الثالث] وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مِنَ الْمَرَضِ أَنْ يَخَافَ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِيهِ شِدَّةَ الْأَلَمِ وَتَطَاوُلَ الْبُرْءِ وَيَأْمَنَ التَّلَفَ، فَفِي جَوَازِ التَّيَمُّمِ فِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْبُوَيْطِيُّ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى) {المائدة 6) وَلِأَنَّهُ مَرِيضٌ يَسْتَضِرُّ بِاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فَجَازَ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ كَالَّذِي يَخَافُ التَّلَفَ، وَلِأَنَّ رُخَصَ الْمَرَضِ تُسْتَبَاحُ بِلُحُوقِ الْمَشَقَّةِ لَا لُحُوقِ التَّلَفِ، كَالْمَرِيضِ يُفْطِرُ وَيَتْرُكُ الْقِيَامَ فِي الصَّلَاةِ، فَكَذَلِكَ التيمم، ولأنه لما جاز للمسافر أَنْ يَتَيَمَّمَ إِذَا بُذِلَ لَهُ الْمَاءُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ لِمَا يُقَابِلُهُ مِنَ الضَّرَرِ فِي مَالِهِ، فَلَأَنْ يَجُوزَ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِمَا يَلْحَقُهُ مِنَ الضَّرَرِ فِي نَفْسِهِ أَوْلَى.
PASAL: Bagian ketiga dari penyakit adalah apabila seseorang khawatir dari penggunaan air akan merasakan sakit yang sangat atau lamanya masa sembuh, namun ia merasa aman dari kebinasaan.
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama — yang dinyatakan dalam qadim dan al-Buwaiṭī — membolehkan baginya bertayammum. Ini juga pendapat Abu Hanifah, karena keumuman firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kalian sakit…” (QS. al-Mā’idah: 6), dan karena ia adalah orang sakit yang mendapat mudarat dari penggunaan air, maka boleh baginya bertayammum sebagaimana orang yang khawatir binasa.
Selain itu, rukhsah sakit dibolehkan karena adanya kesulitan, bukan hanya karena takut binasa, sebagaimana orang sakit boleh berbuka puasa dan meninggalkan berdiri dalam shalat. Maka demikian pula halnya dengan tayammum.
Dan karena ketika musafir dibolehkan bertayammum apabila air ditawarkan dengan harga lebih mahal dari harga biasanya karena khawatiran akan mudarat pada hartanya, maka kebolehan bagi orang sakit untuk bertayammum karena mudarat pada dirinya tentu lebih utama.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ هَا هُنَا وَفِي الْأُمِّ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ، وَوَجْهُهُ: أَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى الْمَاءِ لَا يَخَافُ التَّلَفَ مِنِ اسْتِعْمَالِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَيَمَّمَ كَالَّذِي بِهِ صُدَاعٌ أَوْ حُمَّى، وَلِأَنَّ كُلَّ مَعْنَى أَنْ يُسْتَبَاحَ بِهِ التَّيَمُّمُ، فَهُوَ مَشْرُوطٌ لِخَوْفِ التَّلَفِ كَالْعَطَشِ وَالْمَرَضِ، سَوَاءً فَكَانَ أَصَحَّ، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا خَافَ الْعَطْشَانُ مِنِ اسْتِعْمَالِ مَا مَعَهُ مِنَ الْمَاءِ شِدَّةَ الضَّرَرِ جَازَ أَنْ يَتَيَمَّمَ كَمَا لَوْ خَافَ التَّلَفَ، وَالْأَوَّلُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ أَصَحُّ.
Pendapat kedua — yang dinyatakan di sini dan dalam al-Umm — adalah bahwa ia tidak boleh bertayammum. Alasannya: ia mampu menggunakan air dan tidak khawatir binasa dari penggunaannya, maka tidak boleh baginya bertayammum sebagaimana orang yang sakit kepala atau demam.
Dan setiap sebab yang membolehkan tayammum itu disyaratkan adanya kekhawatiran binasa, seperti haus dan sakit, keduanya sama hukumnya dan ini lebih benar. Sebab apabila orang yang kehausan khawatir dari penggunaan air yang ia miliki akan mendapat mudarat yang berat, maka boleh ia bertayammum sebagaimana jika ia khawatir binasa.
Namun, pendapat pertama dari kedua pendapat ini adalah yang lebih sahih.
(فصل)
: [القسم الرابع] وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مِنَ الْمَرَضِ أَنْ يَخَافَ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فَيَنْدُرُ الشَّيْنُ وَالشَّلَلُ وَيَأْمَنُ التَّلَفَ وَشِدَّةَ الْأَلَمِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ، وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ يُخَرِّجُ جَوَازَ التَّيَمُّمِ فِيهِ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْقِسْمِ الثَّالِثِ سَوَاءً، وَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَبُو سَعِيدٍ يَقُولَانِ يَتَيَمَّمُ قَوْلًا وَاحِدًا، بِخِلَافِ مَا مَضَى، لِأَنَّ ضَرَرَ هَذَا مُتَأَبِّدٌ وَضَرَرَ ذَلِكَ غَيْرُ مُتَأَبِّدٍ، وَكَانَ أَبُو الْفَيَّاضِ يَقُولُ يَتَيَمَّمُ فِي الشَّلَلِ وَلَا يَتَيَمَّمُ فِي الشَّيْنِ؛ لأن في الشلل إبطال للعضو، وفي الشين قبحه، فكان الشين ضرراً ولم يكن الشلل ضرراً.
PASAL: Bagian keempat dari penyakit adalah apabila seseorang khawatir dari penggunaan air akan terjadi cacat (syain) atau kelumpuhan (syalal), namun ia merasa aman dari kebinasaan dan dari rasa sakit yang berat.
Para ulama mazhab kami berbeda pendapat tentang hal ini:
Abu Ishaq mengeluarkan hukum bolehnya tayammum dalam keadaan ini berdasarkan dua pendapat, sama seperti pada pembahasan bagian ketiga.
Abu al-‘Abbas dan Abu Sa‘id berkata: boleh bertayammum secara qawl wāḥid, berbeda dengan bagian ketiga, karena mudarat pada bagian ini bersifat menetap, sedangkan mudarat pada bagian ketiga tidak bersifat menetap.
Abu al-Fayyāḍ berkata: boleh bertayammum pada kasus kelumpuhan (syalal), namun tidak boleh pada kasus cacat (syain), karena kelumpuhan menghilangkan fungsi anggota tubuh, sedangkan cacat hanya merusak penampilan. Maka cacat termasuk mudarat, tetapi kelumpuhan bukan mudarat.
(فصل: التيمم في شدة البرد)
فَأَمَّا إِذَا خَافَ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ التَّلَفَ لِشِدَّةِ الْبَرْدِ لَا لِلْمَرَضِ فَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى إِسْخَانِ الْمَاءِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَيَمَّمَ؛ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ بَعْدَ إِسْخَانِ الْمَاءِ أَنْ يَسْتَعْمِلَهُ، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى ذَلِكَ جَازَ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِحِرَاسَةِ نَفْسِهِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ) {الحج: 78) . وَلِمَا رَوَى عِمْرَانُ بْنُ أَبِي أَنَسٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: احْتَلَمْتُ فِي ليلةٍ باردةٍ وأنا في غزوة ذات السلاسل فأشفقت إذ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلَكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي الصُّبْحَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جنبٌ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي مَنَعَنِي مِنَ الِاغْتِسَالِ وَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ: {وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً) {النساء: 29) فَضَحِكَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَمْ يَقُلْ فِيَّ شَيْئًا.
PASAL: Tayammum karena cuaca sangat dingin
Apabila seseorang khawatir binasa akibat menggunakan air karena cuaca sangat dingin, bukan karena sakit, maka:
- Jika ia mampu memanaskan air, tidak boleh bertayammum, karena ia mampu menggunakan air setelah dipanaskan.
- Jika ia tidak mampu melakukannya, boleh bertayammum demi menjaga keselamatan dirinya, karena Allah Ta‘ala berfirman: “Dan Dia tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan” (QS. al-Ḥajj: 78).
Juga berdasarkan riwayat dari ‘Imrān bin Abī Anas dari ‘Abd al-Raḥmān bin Jubayr dari ‘Amr bin al-‘Āṣ, ia berkata:
“Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin ketika berada dalam Perang Dhat al-Salasil. Aku khawatir jika mandi aku akan binasa, maka aku bertayammum lalu shalat Subuh bersama para sahabatku. Mereka kemudian menyebutkan hal itu kepada Nabi SAW. Beliau bersabda: ‘Wahai ‘Amr, engkau shalat bersama para sahabatmu dalam keadaan junub?’ Aku pun memberitahukan kepadanya alasan yang menghalangiku untuk mandi dan aku berkata: Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian” (QS. al-Nisā’: 29).” Maka Rasulullah SAW tertawa dan tidak mengatakan apa pun kepadaku.”
فَإِذَا تَقَرَّرَ بِهَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ التَّيَمُّمِ فِي شِدَّةِ الْبَرْدِ إِذَا خَافَ التَّلَفَ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فَتَيَمَّمَ وَصَلَّى انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى وُجُوبِ الْإِعَادَةِ، وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ حَالِهِ فَإِنْ كَانَ فِي حَضَرٍ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ؛ لِأَنَّ تَعَذُّرَ إِسْخَانِ الْمَاءِ فِي الْحَضَرِ نَادِرٌ، وَإِنْ كَانَ فِي سَفَرٍ فَفِي وُجُوبِ الْإِعَادَةِ قَوْلَانِ، وَقَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ مُسَافِرًا كَانَ أَوْ مُقِيمًا، وَقَالَ أبو يوسف ومحمد: إِنْ كَانَ مُقِيمًا فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، وَإِنْ كَانَ مُسَافِرًا فَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، فَإِذَا قِيلَ: بِسُقُوطِ الْإِعَادَةِ وَهُوَ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي الْمُسَافِرِ وَمَذْهَبُ أبي حنيفة فِي الْمُسَافِرِ وَالْحَاضِرِ فَوَجْهُ مَا حَكَيْنَاهُ مِنْ قِصَّةِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، وَأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ وَلَوْ وَجَبَتْ لَأَبَانَهَا مَعَ حَاجَةِ عَمْرٍو إِلَى مَعْرِفَتِهَا، وَلِأَنَّ مَنْ سَقَطَ عَنْهُ فَرْضُ الْمَاءِ بِالتَّيَمُّمِ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْهُ بِالتَّيَمُّمِ كَالْمَرِيضِ الْعَاجِزِ، وَالْعَادِمِ الْمُسَافِرِ.
Maka apabila telah tetap dengan hadis ini bolehnya tayammum pada cuaca sangat dingin jika khawatir binasa akibat penggunaan air, lalu ia bertayammum dan shalat, maka pembahasan berpindah kepada kewajiban mengulang shalat.
Hal ini berbeda hukumnya sesuai dengan keadaannya:
- Jika ia berada di tempat menetap (hadhar), maka ia wajib mengulang, karena sulitnya memanaskan air di tempat menetap adalah hal yang jarang terjadi.
- Jika ia sedang safar, maka dalam kewajiban mengulang ada dua pendapat.
Malik dan Abu Hanifah berkata: tidak ada kewajiban mengulang baik bagi musafir maupun orang yang menetap.
Abu Yusuf dan Muhammad berkata: jika ia menetap maka wajib mengulang, jika ia musafir maka tidak wajib mengulang.
Apabila dikatakan gugurnya kewajiban mengulang — dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam mazhab tentang musafir, serta merupakan pendapat Abu Hanifah baik bagi musafir maupun orang yang menetap — maka alasannya adalah sebagaimana yang kami sebutkan dari kisah ‘Amr bin al-‘Āṣ, bahwa Nabi SAW tidak memerintahkannya untuk mengulang. Seandainya mengulang itu wajib, tentu Nabi SAW akan menjelaskannya, apalagi ‘Amr sangat membutuhkan penjelasan tersebut.
Juga karena siapa saja yang gugur kewajiban menggunakan air baginya dengan bertayammum, maka gugurlah kewajiban shalat dengan air darinya, sebagaimana orang sakit yang tidak mampu dan musafir yang tidak mendapatkan air.
فَإِذَا قِيلَ: بِوُجُوبِ الْإِعَادَةِ وَهُوَ الْمَذْهَبُ فِي الْحَاضِرِ، وَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي الْمُسَافِرِ فَوَجْهُهُ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ) {المائدة: 6) وَهَذَا لَيْسَ بِمَرِيضٍ وَلَا مُسَافِرٍ عَادِمٍ، وَلِأَنَّ الْأَعْذَارَ النَّادِرَةَ لَا تَسْقُطُ مَعَهَا الْإِعَادَةُ كَالْعَادِمِ لِلْمَاءِ وَالتُّرَابِ وَالْأَعْذَارُ الْعَامَّةُ يَسْقُطُ مَعَهَا الْإِعَادَةُ كَالْعَادِمِ لِلْمَاءِ فِي السَّفَرِ وَكَالْمَرِيضِ فِي الْحَضَرِ، وَتَعَذُّرُ إِسْخَانِ الْمَاءِ فِي الْبَرْدِ وَالْخَوْفِ مِنِ اسْتِعْمَالِهِ عن الْأَعْذَارِ النَّادِرَةِ، فَلَمْ يَسْقُطْ مَعَهُ الْإِعَادَةُ، فَأَمَّا حَدِيثُ عَمْرٍو فَإِنْكَارُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَهُ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ الْقَضَاءِ ثُمَّ وَكَّلَهُ فِي تَصْرِيحِ الْأَمْرِ بِهِ عَلَى مَا عَلِمَ من علمه، إذ قد استدل على مااستباحه مِنَ التَّيَمُّمِ فَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ مُوجِبُهُ وَالْمَرَضُ وَالسَّفَرُ مِنَ الْأَعْذَارِ الْعَامَّةِ.
Maka apabila dikatakan wajib mengulang — dan ini adalah mazhab dalam kasus orang yang menetap, serta salah satu dari dua pendapat dalam kasus musafir — alasannya adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan…” (QS. al-Mā’idah: 6), sedangkan orang ini bukanlah orang sakit dan bukan pula musafir yang tidak mendapatkan air.
Selain itu, uzur-uzur yang jarang terjadi tidak menggugurkan kewajiban mengulang, seperti orang yang tidak mendapatkan air dan tanah. Adapun uzur-uzur yang umum, maka gugurlah kewajiban mengulang bersamanya, seperti orang yang tidak mendapatkan air dalam safar dan orang sakit di tempat menetap.
Kesulitan memanaskan air saat cuaca dingin serta kekhawatiran menggunakannya termasuk uzur yang jarang, sehingga tidak menggugurkan kewajiban mengulang.
Adapun hadis ‘Amr bin al-‘Āṣ, maka pengingkaran Nabi SAW kepadanya adalah dalil wajibnya mengqadha. Kemudian beliau menyerahkan kepadanya penjelasan perintah mengulang berdasarkan pengetahuan beliau terhadap apa yang telah diketahui ‘Amr, karena ‘Amr telah berdalil atas kebolehannya bertayammum dengan alasan yang tidak memenuhi syarat kebolehannya. Sedangkan sakit dan safar termasuk uzur yang bersifat umum.
(مَسْأَلَةٌ: حُكْمُ تَيَمُّمِ من ببعض جسده قرح أو جرح)
قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَ فِي بَعْضِ جَسَدِهِ دُونَ بَعْضٍ غسل ما لَا ضَرَرَ عَلَيْهِ وَتَيَمَّمَ لَا يُجْزِئُهُ أَحَدُهُمَا دون الآخر “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ بَعْضُ جَسَدِهِ جَرِيحٌ أَوْ قَرِيحٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى إِيصَالِ الْمَاءِ إِلَيْهِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَغْسِلَ مَا صَحَّ مِنْ جَسَدِهِ وَيَتَيَمَّمُ فِي وَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ بَدَلًا مِنَ الْجَرِيحِ وَالْقَرِيحِ، هَذَا مِنْ مَنْصُوصِ الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وَقَالَ فِيمَنْ وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ مَا لَا يَكْفِيهِ لِجَمِيعِ جَسَدِهِ قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَاءِ وَالتَّيَمُّمِ.
(Masalah: Hukum tayammum bagi orang yang sebagian anggota tubuhnya terkena luka atau sayatan)
Al-Syafi‘i berkata: “Apabila pada sebagian tubuhnya terdapat luka, sedangkan sebagian lainnya tidak, maka ia membasuh bagian yang tidak berbahaya terkena air dan bertayammum, dan tidak cukup salah satunya saja tanpa yang lain.”
Al-Māwardī berkata: Bentuk kasusnya adalah pada seseorang yang sebagian tubuhnya terluka atau terkena sayatan sehingga ia tidak mampu menyampaikan air kepadanya. Maka ia wajib membasuh bagian tubuhnya yang sehat, dan bertayammum pada wajah dan kedua lengannya sebagai ganti bagian yang terluka atau terkena sayatan.
Ini termasuk dari nash al-Syafi‘i pada masalah ini.
Beliau juga berkata pada orang yang mendapatkan air yang tidak cukup untuk seluruh tubuhnya ada dua pendapat:
Pertama: ia menggabungkan antara penggunaan air dan tayammum.
وَالثَّانِي: يَقْتَصِرُ عَلَى التَّيَمُّمِ وَحْدَهُ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صَاحِبِ الْقُرُوحِ فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هريرة يخرجانها على قولين مضيا، كَالْوَاجِدِ لِبَعْضِ مَا يَكْفِيهِ تَسْوِيَةً بَيْنَ الْعَاجِزِ عَنْ بَعْضِ طَهَارَتِهِ لِعَدَمٍ وَبَيْنَ الْعَاجِزِ عَنْ طَهَارَتِهِ لِمَرَضٍ، وَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ صَاحِبَ الْقُرُوحِ يَلْزَمُهُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَاءِ وَالتَّيَمُّمِ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَ فِي الْوَاجِدِ لِبَعْضِ مَا يَكْفِيهِ قَوْلَانِ:
Dan kedua: terbatas pada tayammum saja. Para aṣḥāb kami berbeda pendapat tentang orang yang memiliki luka, maka Abū Isḥāq al-Marwazī dan Abū ‘Alī bin Abī Hurairah mengeluarkannya pada dua pendapat yang telah lalu, seperti orang yang mendapatkan sebagian yang mencukupinya, sebagai penyamaan antara orang yang tidak mampu melakukan sebagian ṭahārah-nya karena tidak ada (air) dan orang yang tidak mampu melakukan ṭahārah-nya karena sakit. Adapun pendapat jumhur aṣḥāb kami, bahwa orang yang memiliki luka wajib menggabungkan antara air dan tayammum menurut satu pendapat saja, meskipun pada kasus orang yang mendapatkan sebagian yang mencukupinya ada dua pendapat.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْعَجْزَ إِذَا كَانَ فِي بَعْضِ الْمُسْتَعْمَلِ سَقَطَ حُكْمُ الْمَوْجُودِ مِنْهُ كَالْوَاجِدِ بَعْضَ الرَّقَبَةِ لَا يَلْزَمُهُ عِتْقُهَا، وَكَذَلِكَ الْوَاجِدُ لِبَعْضِ مَا يَكْفِيهِ، وَالْعَجْزُ إِذَا كَانَ فِي بَعْضِ الْفَاعِلِ لَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ الْمَعْذُورِ مِنْهُ كَالْمُكَفِّرِ بِنِصْفِ الْحُرِّ إِذَا كَانَ مُوسِرًا بِالرَّقَبَةِ لَزِمَهُ عِتْقُهَا وَلَا يَكُونُ عَجْزُهُ بِنِصْفِهِ الْمَرْقُوقِ مُسْقِطًا لِحُكْمِ التَّكْفِيرِ بِالْعِتْقِ بِنِصْفِهِ الْحُرِّ، كَذَلِكَ الْعَاجِزُ عَنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِي بَعْضِ جَسَدِهِ لَا يَسْقُطُ اسْتِعْمَالُهُ فِيمَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْ جَسَدِهِ وَكَذَا الْمُحْدِثُ فِي أَعْضَاءِ وُضُوئِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ الْأَكْثَرُ مِنْ جَسَدِهِ أَوْ أَعْضَاءِ وُضُوئِهِ قَرِيحًا تَيَمَّمَ وَلَمْ يَغْتَسِلْ، وَإِنْ كَانَ الْأَكْثَرُ صَحِيحًا غَسَلَ الصَّحِيحَ، وَلَمْ يَتَيَمَّمْ وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْمَاءِ وَالتَّيَمُّمِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ أُصُولَ الشَّرْعِ مُقَرَّرَةٌ عَلَى أَنَّ الْأَغْلَبَ هُوَ الْمُعْتَبَرُ في الحكم وما ليس بغالب تبع، قَالَ: وَلِأَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَ الْبَدَلِ وَالْمُبْدَلِ مِنْهُ لَا يَجِبُ كَالصَّوْمِ وَالرَّقَبَةِ فِي الْكَفَّارَةِ.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa ketidakmampuan jika terjadi pada sebagian yang digunakan, maka gugur hukum yang ada padanya, seperti orang yang mendapatkan sebagian budak saja, tidak wajib baginya memerdekakannya. Begitu pula orang yang mendapatkan sebagian dari yang mencukupinya. Sedangkan ketidakmampuan jika terjadi pada sebagian pelaku, maka tidak gugur hukum bagi bagian yang ia mampu melakukannya, seperti orang yang wajib kaffārah dengan setengah budak merdeka, apabila ia mampu memiliki budak, maka wajib baginya memerdekakannya, dan ketidakmampuannya karena separuhnya masih berstatus budak tidak menggugurkan hukum takfīr dengan memerdekakan separuh yang merdeka. Demikian pula orang yang tidak mampu menggunakan air pada sebagian anggota badannya, tidak gugur penggunaan air pada anggota badan yang ia mampu, begitu pula orang yang muḥdits pada anggota wudhunya.
Abū Ḥanīfah berkata: Jika sebagian besar dari badannya atau anggota wudhunya terluka, maka ia bertayammum dan tidak mandi. Jika sebagian besarnya sehat, maka ia membasuh yang sehat, dan tidak bertayammum, serta tidak wajib menggabungkan antara air dan tayammum, dengan alasan bahwa kaidah pokok syariat menetapkan bahwa yang dominan itulah yang dianggap dalam hukum, sedangkan yang tidak dominan mengikuti. Ia berkata: Dan karena menggabungkan antara pengganti dan yang digantikan itu tidak wajib, seperti puasa dan memerdekakan budak dalam kaffārah.
وَدَلِيلُنَا عَلَى وُجُوبِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا رِوَايَةُ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: ” خَرَجْنَا فِي سفرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ؟ قَالُوا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ، فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذَا لَمْ يَعْلَمُوا فِإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهِ وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ “. وَهَذَا نَصٌّ صَرِيحٌ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ الْمَاءِ وَالتَّيَمُّمِ، وَلِأَنَّ الْعَجْزَ عَنْ إِيصَالِ الْمَاءِ إِلَى بَعْضِ أَعْضَائِهِ لَا يَقْتَضِي سُقُوطَ الْفَرْضِ عَنْ إِيصَالِهِ إِلَى مَا لَمْ يَعْجِزْ عَنْهُ، قِيَاسًا عَلَى مَا إِذَا كَانَ عَادِمًا لِبَعْضِ أَعْضَائِهِ، وَلِأَنَّ تَطْهِيرَ بَعْضِ أَعْضَائِهِ بِالْمَاءِ لَا يُسْقِطُ فَرْضَ الطُّهْرِ عَمَّا لَمْ يَصِلْ إِلَيْهِ الْمَاءُ قِيَاسًا عَلَى مَنْ كَانَ صَحِيحَ الْأَعْضَاءِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ فَلَمْ يُعْفَ فِيهَا إِلَّا عَنْ قَدْرِ مَا دَعَتْ إِلَيْهِ الضَّرُورَةُ كَطَهَارَةِ الْمُسْتَحَاضَةِ، وَلِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَصْلٌ، والكلام فيه مع أبو حنيفة أَوْضَحُ وَهُوَ الْوَاجِدُ لِبَعْضِ مَا يَكْفِيهِ مِنَ الْمَاءِ، وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ فِيهِ مَعَهُ.
Dalil kami atas wajibnya menggabungkan antara keduanya adalah riwayat ‘Aṭā’ dari Jābir, ia berkata:
“Kami keluar dalam safar, lalu seorang laki-laki dari kami terkena batu hingga melukai kepalanya, kemudian ia bermimpi (iḥtilām). Ia berkata: ‘Apakah kalian menemukan untukku rukhsah bertayammum?’ Mereka menjawab: ‘Kami tidak menemukan rukhsah untukmu, sedangkan engkau mampu menggunakan air.’ Maka ia mandi, lalu meninggal. Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan beliau diberitahu tentang hal itu, beliau bersabda: ‘Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya. Cukup baginya untuk bertayammum, membalut lukanya, kemudian mengusap di atasnya, dan membasuh seluruh tubuhnya yang lain.’”
Ini adalah nash yang jelas tentang menggabungkan antara air dan tayammum. Dan karena ketidakmampuan menyampaikan air ke sebagian anggota tubuhnya tidak mengharuskan gugurnya kewajiban menyampaikan air ke anggota yang tidak ia tidak mampu menjangkaunya, qiyās kepada orang yang kehilangan sebagian anggota tubuhnya. Dan karena mensucikan sebagian anggota tubuh dengan air tidak menggugurkan kewajiban ṭahārah pada bagian yang tidak terkena air, qiyās kepada orang yang seluruh anggotanya sehat. Dan karena ini adalah ṭahārah darurat, maka tidak dimaafkan di dalamnya kecuali sekadar yang diperlukan oleh darurat, seperti ṭahārah orang mustaḥāḍah.
Masalah ini memiliki asal, dan pembicaraan tentangnya bersama Abū Ḥanīfah lebih jelas, yaitu kasus orang yang mendapatkan sebagian dari yang mencukupinya dari air, dan akan datang pembicaraannya bersamanya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِالْأَغْلَبِ، فَهُوَ أَنَّهُ أَصْلٌ لا يعتبر في الطهارت، أَلَا تَرَى لَوْ غَسَلَ أَكْثَرَ جَسَدِهِ مِنْ جنابة أو أكثر أعضاء وضوءه مِنْ حَدَثِهِ لَمْ يُجْزِهِ تَغْلِيبًا لِلْأَكْثَرِ، فَكَذَا فِي مَسْأَلَتِنَا هَذِهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا ذَكَرَهُ مِنْ أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ الْبَدَلِ وَالْمُبْدَلِ، فَهُوَ أَنَّهُ غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ بَدَلُ مَا لَمْ يَصِلْ إِلَيْهِ الْمَاءُ فَلَمْ يَجُزْ جَمْعًا فِي مَحَلٍّ بَيْنَ بَدَلٍ وَمُبْدَلٍ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Adapun jawaban terhadap dalilnya dengan alasan yang dominan (al-aghlab), maka sesungguhnya itu adalah kaidah yang tidak dianggap dalam ṭahārah. Tidakkah engkau melihat, seandainya ia membasuh sebagian besar tubuhnya dari janābah atau sebagian besar anggota wudhunya dari ḥadats, niscaya tidak mencukupinya dengan alasan mendahulukan yang dominan. Demikian pula dalam masalah kita ini.
Adapun jawaban terhadap ucapannya bahwa hal ini berarti menggabungkan antara pengganti (badal) dan yang digantikan (mubdal), maka itu tidak benar; karena tayammum adalah pengganti bagi bagian yang tidak terkena air, sehingga tidak terjadi penggabungan pada satu tempat antara pengganti dan yang digantikan. —Allah Maha Mengetahui—.
(فَصْلٌ: كَيْفِيَّةُ تَيَمُّمِ مَنْ بِبَعْضِ جَسَدِهِ قُرْحٌ)
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَ الْمَاءِ وَالتَّيَمُّمِ، فَالْأَوْلَى أَنْ يَبْدَأَ بِاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ أَوَّلًا فِيمَا صَحَّ مِنْ بَدَنِهِ إِنْ كَانَ جُنُبًا أَوْ فِيمَا صَحَّ مِنْ أَعْضَاءِ وُضُوئِهِ إِنْ كَانَ مُحْدِثًا ثُمَّ يَتَيَمَّمُ فِي وَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ بَدَلًا مِنَ الْقَرِيحِ فِي أَعْضَاءِ تَيَمُّمِهِ، فَلَوْ كَانَ الْقَرِيحُ مِنْ أَعْضَاءِ تَيَمُّمِهِ وَكَانَ يَخَافُ أَنْ يُوصِلَ التُّرَابَ إِلَى أَفْوَاهِ قُرُوحِهِ أَمَرَّ التُّرَابَ عَلَى مَا لَا ضَرَرَ عَلَيْهِ مِنْ أَعْضَاءِ تَيَمُّمِهِ، فَلَوْ كَانَ مُحْدِثًا وَوَجْهُهُ وَذِرَاعَاهُ صَحِيحَانِ وَرَأْسُهُ وَرِجْلَاهُ قَرِيحَيْنِ غَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ بَدَلًا مِنْ رَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ لَا يَكُونُ إِلَّا فِي الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ فَلَوْ قَدَّمَ هَذَا الْقَرِيحُ التَّيَمُّمَ عَلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ جَازَ، وَكَانَ عَادِلًا عَنِ الْأَوْلَى بِخِلَافِ الْوَاجِدِ لِبَعْضِ مَا يَكْفِيهِ مِنَ الْمَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ قَبْلَ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ تَيَمُّمَ الْقَرِيحِ لِعَجْزِ الْمَرَضِ، وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ قَبْلَ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ وَتَيَمُّمَ الْوَاجِدِ لِبَعْضِ مَا يَكْفِيهِ، إِنَّمَا هُوَ لِعَدَمِ الْمَاءِ، وَهَذَا غَيْرُ مَوْجُودٍ قَبْلَ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فَإِذَا فَرَغَ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِي الصَّحِيحِ مِنْ أَعْضَائِهِ، وَالتَّيَمُّمِ بَدَلًا مِنْ قَرِيحِ أَعْضَائِهِ صَلَّى بِهَذِهِ الطَّهَارَةِ الْفَرِيضَةَ، وَمَا شَاءَ مِنَ النَّوَافِلِ ولا يصلي فرضة ثَانِيَةً؛ لِأَنَّ طَهَارَةَ الضَّرُورَةِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُجْمَعَ بِهَا بَيْنَ فَرْضَيْنِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَطَهَّرَ لِلْفَرِيضَةِ الثَّانِيَةِ أَعَادَ التَّيَمُّمَ وَحْدَهُ وَلَمْ يُعِدِ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ مَا لَمْ يُحْدِثْ؛ لِأَنَّ مَا اسْتَعْمَلَهُ مِنَ الْمَاءِ تَطْهِيرٌ لِجَمِيعِ الصَّلَوَاتِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يُعِيدَهُ عِنْدَ الصَّلَاةِ الثَّانِيَةِ وَالتَّيَمُّمُ تَطْهِيرٌ لِفَرْضٍ وَاحِدٍ فَلَزِمَهُ إِعَادَتُهُ عِنْدَ الصَّلَاةِ الثَّانِيَةِ فَإِنْ أَحْدَثَ أَعَادَ الطَّهَارَتَيْنِ مَعًا إِلَّا أَنْ يَكُونَ جُنُبًا وَالْمَاءُ مُسْتَعْمَلٌ فِي غَيْرِ أَعْضَاءِ حَدَثِهِ فَلَا يَلْزَمُهُ إِعَادَةُ غَسْلِهِ بِالْحَدَثِ الطَّارِئِ؛ لِأَنَّ طُهْرَ الْجَنَابَةِ لَا يَنْتَقِضُ بالحدث الأصغر.
PASAL: Tata cara tayammum bagi orang yang pada sebagian tubuhnya terdapat luka.
Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan tentang kewajiban menggabungkan antara air dan tayammum, maka yang utama adalah memulai dengan menggunakan air terlebih dahulu pada bagian tubuhnya yang sehat jika ia dalam keadaan junub, atau pada anggota wudhunya yang sehat jika ia dalam keadaan muḥdits, kemudian bertayammum pada wajah dan kedua lengannya sebagai pengganti bagian yang luka pada anggota tayammumnya. Jika lukanya berada pada anggota tayammumnya dan ia khawatir akan menyampaikan debu ke mulut lukanya, maka ia mengusapkan debu pada bagian anggota tayammumnya yang tidak berbahaya.
Jika ia muḥdits dan wajah serta kedua lengannya sehat, sedangkan kepala dan kedua kakinya luka, maka ia membasuh wajah dan kedua lengannya sebagai pengganti dari kepala dan kedua kakinya; karena tayammum itu hanya ada pada wajah dan kedua lengan. Jika orang yang luka ini mendahulukan tayammum sebelum menggunakan air, maka hal itu boleh dan ia hanya meninggalkan yang lebih utama, berbeda dengan orang yang mendapatkan sebagian air yang mencukupinya, maka ia tidak boleh bertayammum sebelum menggunakan air.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa tayammum orang yang luka itu karena ketidakmampuan akibat sakit, dan sebab ini sudah ada sebelum menggunakan air, sedangkan tayammum orang yang mendapatkan sebagian air yang mencukupinya itu karena tidak adanya air, dan sebab ini belum ada sebelum menggunakan air.
Jika ia telah selesai menggunakan air pada anggota tubuhnya yang sehat dan bertayammum sebagai pengganti anggota tubuhnya yang luka, maka ia shalat dengan ṭahārah ini untuk shalat fardhu dan shalat sunnah yang ia kehendaki, dan ia tidak boleh mengerjakan shalat fardhu kedua dengannya; karena ṭahārah darurat tidak boleh digunakan untuk menggabungkan dua shalat fardhu.
Jika ia ingin bersuci untuk shalat fardhu kedua, maka ia mengulang tayammum saja dan tidak mengulang penggunaan air selama ia belum berhadats; karena penggunaan air yang telah ia lakukan adalah penyucian untuk seluruh shalat, sehingga tidak wajib mengulanginya pada shalat kedua. Adapun tayammum adalah penyucian untuk satu fardhu saja, sehingga wajib mengulanginya pada shalat kedua.
Jika ia berhadats, maka ia mengulang kedua ṭahārah tersebut sekaligus, kecuali jika ia dalam keadaan junub dan penggunaan airnya pada selain anggota hadatsnya, maka tidak wajib mengulang basuhan airnya karena hadats yang baru; karena ṭahārah janābah tidak batal dengan hadats kecil.
(مَسْأَلَةٌ: حُكْمُ مَنْ كَانَ عَلَى قُرْحِهِ دَمٌ)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ عَلَى قُرْحِهِ دمٌ يَخَافُ إِنْ غَسَلَهُ، تَيَمَّمَ وَأَعَادَ إِذَا قَدَرَ عَلَى غَسْلِ الدم “.
وَهَذَا صَحِيحٌ، وَصُورَتُهَا مَا ذَكَرْنَا مِنْ صَاحِبِ الْقُرُوحِ إِذَا كَانَ بَعْضُ بَدَنِهِ قَرِيحًا، وَبَعْضُهُ صَحِيحًا فَاسْتَعْمَلَ الْمَاءَ فِي الصَّحِيحِ وَتَيَمَّمَ فِي الْقَرِيحِ، ثُمَّ صَلَّى فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي جُرْحِهِ دَمٌ، وَلَا نَجَسٌ فَصَلَاتُهُ مُجْزِئَةٌ، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى قُرْحِهِ دَمٌ أَوْ نَجَاسَةٌ مِنْ قَيْحٍ، وَمِدَّةٍ، فَإِنْ كَانَتْ يَسِيرَةً يُعْفَى عَنْ مِثْلِهَا فِي الصِّحَّةِ كَانَتْ صَلَاتُهُ مُجْزِئَةً، وَالَّذِي يُعْفَى عَنْهُ هُوَ يَسِيرُ مَاءِ الْقُرُوحِ، وَفِي يَسِيرِ الدَّمِ وَجْهَانِ، وَإِنْ كَانَ النَّجِسُ كَثِيرًا لَا يُعْفَى عَنْ مِثْلِهِ فِي الصِّحَّةِ فَعَلَيْهِ إِعَادَةُ مَا صَلَّى إِذَا صَحَّ، وَبَرَأَ وَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ يُخَرِّجُ وُجُوبَ الْإِعَادَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ فِي الْمَحْبُوسِ فِي حُشٍّ. وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: لَا إِعَادَةَ عَلَى جَمِيعِهِمْ، فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَسَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَهُ، وَأَمَّا ابْنُ خَيْرَانِ فِي تَخْرِيجِهِ الْإِعَادَةَ فَمُخَالِفٌ لِجَمِيعِ أَصْحَابِنَا، وَغَافِلٌ عَنْ وَجْهِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَهُوَ أَنَّ نَجَاسَةَ صَاحِبِ الْحُشِّ مُفَارِقَةٌ وَنَجَاسَةُ صَاحِبِ الْقُرُوحِ مُتَّصِلَةٌ، وَالنَّجَاسَةُ لَا تَسْتَغْنِي عَنْ طَهَارَةٍ، وَلَيْسَ مَا اسْتَعْمَلَهُ مِنَ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ تَطْهِيرًا لَهَا؛ لِأَنَّ الْمَاءَ تَطْهِيرٌ لِلصَّحِيحِ مِنْ بَدَنِهِ، وَالتُّرَابُ تَطْهِيرٌ لِقَرِيحِ بَدَنِهِ فَعَرِيَتِ النَّجَاسَةُ عَنْ طَهَارَةٍ، فَلَزِمَتْهُ الْإِعَادَةُ، وَفَارَقَ بِهِ حَالَ الْمُسْتَحَاضَةِ بِمَا سَنَذْكُرُهُ مَعَ الْمُزَنِيِّ مِنْ بَعْدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
(Masalah: Hukum orang yang pada lukanya terdapat darah)
Al-Syafi‘i ra berkata: “Jika pada lukanya terdapat darah dan ia khawatir bila membasuhnya, maka ia bertayammum, dan mengulang (shalat) apabila telah mampu membasuh darah tersebut.”
Ini adalah pendapat yang benar. Bentuk masalahnya sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang orang yang memiliki luka, apabila sebagian tubuhnya luka dan sebagian lainnya sehat, lalu ia menggunakan air pada bagian yang sehat dan bertayammum pada bagian yang luka, kemudian shalat. Jika pada lukanya tidak terdapat darah dan tidak ada najis, maka shalatnya sah dan tidak wajib mengulang.
Jika pada lukanya terdapat darah atau najis berupa nanah dan muddah, maka:
- Jika sedikit dan dimaafkan seperti dalam keadaan sehat, maka shalatnya sah. Najis yang dimaafkan adalah sedikit air luka, dan pada sedikit darah terdapat dua pendapat.
- Jika najisnya banyak dan tidak dimaafkan dalam keadaan sehat, maka ia wajib mengulang shalat yang telah ia kerjakan setelah sembuh.
Abū ‘Alī bin Khayrān mengeluarkan kewajiban mengulang ini berdasarkan dua pendapat pada orang yang terkurung di tempat pembuangan kotoran (ḥushsh).
Al-Muzanī berkata: Tidak ada kewajiban mengulang bagi semuanya. Adapun pembicaraan bersama al-Muzanī akan datang kemudian, insya Allah. Adapun Ibn Khayrān, dalam mengeluarkan kewajiban mengulang tersebut, menyelisihi seluruh aṣḥāb kami, dan lalai dari sebab perbedaan antara keduanya, yaitu bahwa najis orang yang berada di ḥushsh itu terpisah, sedangkan najis orang yang memiliki luka itu melekat. Najis tidak dapat lepas dari kebutuhan akan ṭahārah, dan penggunaan air serta debu tidak menjadi ṭahārah baginya, karena air itu adalah penyucian bagi bagian tubuhnya yang sehat, dan debu adalah penyucian bagi bagian tubuhnya yang luka, sehingga najis itu tidak terkena ṭahārah sama sekali, maka wajib baginya mengulang. Hal ini berbeda dengan keadaan mustaḥāḍah, sebagaimana akan kami jelaskan bersama al-Muzanī nanti, insya Allah.
(مَسْأَلَةٌ: صَلَاةُ مَنْ كَانَ فِي حش)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا كان في المصر في حشٍّ أو موضعٍ نجسٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا رَجُلٌ فِي حُشٍّ وَالْحُشُّ الْمَكَانُ النَّجِسُ فَإِذَا دَخَلَ وَقْتُ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَوَجَدَ فِي الْحُشِّ مَوْضِعًا طَاهِرًا أَوْ بِسَاطًا لَزِمَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ وَلَا إِعَادَةَ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَوْضِعًا طَاهِرًا وَلَا بِسَاطًا طَاهِرًا صَلَّى لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ، وَهَلْ يُصَلِّي وَاجِبًا أَوِ اسْتِحْبَابًا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
(Masalah: Shalat orang yang berada di ḥushsh)
Al-Syafi‘i ra berkata: “Dan apabila ia berada di sebuah kota, di dalam ḥushsh atau tempat yang najis.”
Al-Māwardī berkata: Bentuk masalahnya adalah seorang laki-laki berada di dalam ḥushsh, yaitu tempat yang najis. Jika telah masuk waktu shalat dan ia mendapati di dalam ḥushsh itu ada tempat yang suci atau alas yang suci, maka ia wajib shalat di atasnya dan tidak perlu mengulang.
Jika ia tidak mendapati tempat yang suci dan tidak pula alas yang suci, maka ia shalat demi menjaga kehormatan waktu. Apakah ia shalat dalam keadaan ini wajib atau sunnah? Dalam hal ini ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْإِمْلَاءِ يُصَلِّي اسْتِحْبَابًا لَا وَاجِبًا، وَوَجْهُهُ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ أبو حنيفة عَلَيْنَا فِيمَنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً وَلَا تُرَابًا.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَفِي الْأُمِّ أَنَّهُ يُصَلِّي وَاجِبًا وَوَجْهُهُ مَا استدللنا به على أبي حنيفة فيمن من لَمْ يَجِدْ مَاءً وَلَا تُرَابًا، فَإِذَا صَلَّى فِي الْوَقْتِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُومِئُ وَلَا يُبَاشِرُ النجاسة أن لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ أَنْ يَسْتَوْفِيَ السُّجُودَ مُبَاشِرًا بِأَعْضَاءِ سُجُودِهِ؛ لِأَنَّ طَهَارَةَ الْمَحَلِّ فرض.
وَاسْتِيفَاءُ السُّجُودِ فَرْضٌ، فَلَمْ يَكُنِ الْعَجْزُ عَنِ الطَّهَارَةِ مُسْقِطًا لِفَرْضِ السُّجُودِ كَالْعُرْيَانِ يَلْزَمُهُ أَنْ يُصَلِّيَ قَائِمًا وَإِنْ كَانَ تَظْهَرُ عَوْرَتُهُ، وَلَا يَكُونُ الْعَجْزُ عَنْ سَتْرِ الْعَوْرَةِ مُسْقِطًا لِفَرْضِ الْقِيَامِ.
Salah satunya: beliau sebutkan dalam qaul qadīm dan dalam al-Imlā’ bahwa ia shalat sunnah, bukan wajib. Alasannya adalah sebagaimana yang dijadikan dalil oleh Abū Ḥanīfah atas kami dalam masalah orang yang tidak mendapatkan air dan tidak pula tanah.
Pendapat kedua: beliau sebutkan dalam qaul jadīd dan menegaskannya di tempat ini serta dalam al-Umm, bahwa ia shalat wajib. Alasannya adalah sebagaimana yang kami jadikan dalil terhadap Abū Ḥanīfah dalam masalah orang yang tidak mendapatkan air dan tidak pula tanah.
Apabila ia shalat di waktu itu sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan dari dua pendapat ini, maka para aṣḥāb kami berbeda pendapat: apakah ia berisyarat saja dan tidak langsung menyentuh najis, atau tidak? Ada dua pendapat:
Salah satunya: ia wajib menyempurnakan sujud dengan menyentuhkan anggota sujudnya; karena kesucian tempat adalah fardhu, dan menyempurnakan sujud juga fardhu, sehingga ketidakmampuan untuk menyucikan tempat tidak menggugurkan kewajiban sujud, seperti orang yang telanjang tetap wajib shalat berdiri meskipun auratnya terlihat, dan ketidakmampuan menutup aurat tidak menggugurkan kewajiban berdiri.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّهُ يُومِئُ مُنْتَهِيًا فِي سُجُودِهِ أَقْصَى حَالٍ إِنْ زَادَ عَلَيْهَا أَصَابَ النَّجَاسَةَ لِأَنَّ الْإِيمَاءَ بَدَلٌ مِنَ السُّجُودِ، وَلَيْسَ لِلطَّهَارَةِ فِي النَّجَاسَةِ بَدَلٌ، فَكَانَ اجْتِنَابُ الْأَنْجَاسِ أَوْكَدُ مِنِ اسْتِيفَاءِ السُّجُودِ، وَخَالَفَ الْعُرْيَانَ؛ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَا تَكُونُ خَلَفًا مِنَ الثَّوْبِ فِي سَتْرِ الْعَوْرَةِ أَلَا تَرَى لَوْ أَفْضَى بِعَوْرَتِهِ إِلَى الْأَرْضِ سَاتِرًا لَهَا عَنْ أَبْصَارِ الْخَلْقِ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى الثَّوْبِ لَمْ يُجْزِهِ، وَلَوْ أَجْزَأَهُ هَذَا، وَكَانَ سَاتِرًا لِأَنَّهُ لَا يُرَى أَجْزَأَهُ إِذَا كَانَ يُصَلِّي عُرْيَانًا فِي بَيْتٍ مُسْتَتِرًا بِحِيطَانِهِ، لِأَنَّهُ لَا يُرَى وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْإِيمَاءُ؛ لِأَنَّهُ بَدَلٌ مِنَ السُّجُودِ فِي حَالِ الِاضْطِرَارِ، وَفِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ مَعَ الِاخْتِيَارِ.
Pendapat kedua, dan inilah yang ṣaḥīḥ, serta telah ditegaskan oleh al-Syafi‘i dalam al-Imlā’, yaitu bahwa ia berisyarat dengan menunduk dalam sujudnya sampai batas maksimal sebelum menyentuh najis. Jika melebihi batas itu ia akan terkena najis, karena isyarat (imā’) adalah pengganti dari sujud, sedangkan untuk kesucian dari najis tidak ada penggantinya. Maka menjauhi najis lebih ditekankan daripada menyempurnakan sujud.
Hal ini berbeda dengan orang yang telanjang, karena tanah tidak dapat menjadi pengganti kain dalam menutup aurat. Tidakkah engkau melihat, seandainya ia menempelkan auratnya ke tanah untuk menutupnya dari pandangan manusia, padahal ia mampu mendapatkan kain, maka hal itu tidak mencukupi? Dan seandainya cara itu mencukupi karena dapat menutup dari pandangan, tentu akan mencukupi pula bila ia shalat telanjang di dalam rumah yang tertutup dindingnya, karena ia tidak terlihat. Namun kenyataannya tidak demikian.
Sedangkan imā’ adalah pengganti dari sujud dalam keadaan darurat, dan dalam sebagian keadaan bisa dilakukan meskipun dalam keadaan memilih (ikhtiyār).
(فَصْلٌ: حُكْمُ إِعَادَةِ مَنْ صَلَّى فِي حُشٍّ)
فَإِذَا صَلَّى عَلَى مَا وَصَفْنَا انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى وُجُوبِ الْإِعَادَةِ.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مَا صَلَّاهُ كَانَ اسْتِحْبَابًا وَلَمْ يَكُنْ وَاجِبًا لَزِمَهُ الْإِعَادَةُ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مَا صَلَّاهُ فِي الْوَقْتِ كَانَ فَرْضًا وَاجِبًا، فَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا أَوْ كَانَ قَادِرًا عَلَى الْخُرُوجِ مِنْ مَوْضِعِ النَّجَاسَةِ بِأَدَاءِ حَقٍّ يَتَمَكَّنُ مِنْهُ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، لِأَنَّ الصَّلَاةَ مِنَ الْمُحْدِثِ لَا تَجُوزُ، وَالرُّخَصُ مِنَ الْعَاصِي لَا تَصِحُّ، فَإِنْ كَانَ مُتَوَضِّئًا وَبِالْحَبْسِ فِي الْحُشِّ مَظْلُومًا فَفِي وجوب الإعادة قولان نذكر موجبهما بَعْدَ اسْتِيفَاءِ جَمِيعِ مَسَائِلِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL: Hukum mengulang shalat bagi orang yang shalat di ḥushsh
Apabila ia telah shalat sebagaimana yang kami sebutkan, maka berpindah pembicaraan kepada kewajiban mengulangnya.
Jika kita mengatakan bahwa shalat yang ia lakukan tersebut hanya sunnah dan bukan wajib, maka ia wajib mengulangnya menurut satu pendapat.
Jika kita mengatakan bahwa shalat yang ia lakukan di waktu itu adalah fardhu yang wajib, maka:
- Jika ia dalam keadaan muḥdits atau mampu keluar dari tempat najis dengan melakukan suatu kewajiban yang ia mampu melakukannya, maka ia wajib mengulang; karena shalat dari orang yang muḥdits tidak sah, dan rukhsah bagi orang yang berbuat maksiat tidak sah.
- Jika ia dalam keadaan berwudhu dan terkurung di ḥushsh secara zalim, maka dalam kewajiban mengulangnya terdapat dua pendapat, yang akan kami sebutkan alasannya setelah menyempurnakan seluruh pembahasan masalah ini. —Allah Maha Mengetahui—.
(مَسْأَلَةٌ: صلاة من ربط على خشبة)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” أو مربوطاً على خشبةٍ صلى يومئ وَيُعِيدُ إِذَا قَدَرَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ رُبِطَ عَلَى خَشَبَةٍ، وَقَدْ دَخَلَ عَلَيْهِ وَقْتُ الصَّلَاةِ، وَلَا يَقْدِرُ مَعَ كَوْنِهِ مَرْبُوطًا عَلَى اسْتِيفَاءِ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، فَإِنَّهُ يُصَلِّي لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ حَسَبَ إِمْكَانِهِ مُومِيًا فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ بِمَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْ بَدَنِهِ وَهَلْ تَكُونُ صَلَاتُهُ فِي الْوَقْتِ اسْتِحْبَابًا أَوْ وَاجِبًا عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ، فَإِذَا صَلَّى ثُمَّ أَطْلَقَ مِنْ بَعْدُ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ صَلَاتَهُ فِي الْوَقْتِ اسْتِحْبَابًا فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ صَلَاتَهُ فِي الْوَقْتِ وَاجِبَةٌ فَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا، أَوْ عَاصِيًا لِامْتِنَاعِهِ مِنْ حَقٍّ مَعَ الْمُكْنَةِ أَوْ كَانَ مَرْبُوطًا إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ، لَزِمَهُ الْإِعَادَةُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الثَّلَاثِ، وَإِنْ كان متوضئاً ومظلوماً مستقبلاً للقبلة في وُجُوبِ الْإِعَادَةِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى.
(Masalah: Shalat orang yang diikat pada kayu)
Al-Syafi‘i ra berkata: “Atau seseorang yang diikat pada kayu, ia shalat dengan berisyarat, dan mengulang (shalat) apabila sudah mampu.”
Al-Māwardī berkata: Bentuk masalahnya adalah seorang laki-laki diikat pada kayu, lalu masuk waktu shalat, dan dalam keadaan terikat itu ia tidak mampu menyempurnakan ruku‘ dan sujud. Maka ia shalat demi menjaga kehormatan waktu sesuai kemampuannya, berisyarat dalam ruku‘ dan sujudnya dengan anggota badan yang ia mampu. Apakah shalatnya di waktu itu hukumnya sunnah atau wajib, kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Jika ia telah shalat kemudian dilepaskan setelah itu, maka:
- Jika kita mengatakan bahwa shalatnya di waktu itu adalah sunnah, maka ia wajib mengulang.
- Jika kita mengatakan bahwa shalatnya di waktu itu adalah wajib, maka apabila ia muḥdits, atau berbuat maksiat karena menahan diri dari melaksanakan kewajiban padahal mampu, atau diikat tidak menghadap kiblat, maka ia wajib mengulang dalam tiga keadaan ini.
Namun jika ia dalam keadaan berwudhu, teraniaya, dan menghadap kiblat, maka dalam kewajiban mengulangnya ada dua pendapat sebagaimana telah lalu.
(مَسْأَلَةٌ: حُكْمُ تَيَمُّمِ مَنْ أَلْصَقَ عَلَى مَوْضِعِ التيمم لصوقا)
ً
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَلْصَقَ عَلَى مَوْضِعِ التَيَمُّمِ لُصُوقًا، نَزَعَ اللصوق وأعاد “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صُورَةِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: صُورَتُهَا فِي رَجُلٍ كَانَ عَلَى أَعْضَاءِ تَيَمُّمِهِ قُرُوحٌ فَأَلْصَقَ عَلَيْهَا لُصُوقًا وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى نَزْعِهَا وَالتَّيَمُّمِ عَلَيْهَا وَلَا يَقْدِرُ عَلَى إِيصَالِ الْمَاءِ إِلَيْهَا، فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ فِيهَا بَدَلًا مِنْ غَسْلِهَا، وَيَغْسِلُ مَا لَا قُرُوحَ عَلَيْهِ مِنْ أَعْضَائِهِ، فَإِذَا فَعَلَ فَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ السَّلِيمَ قَدْ غَسَلَهُ بِالْمَاءِ، وَمَوْضِعُ اللُّصُوقِ تَيَمَّمَ مِنْهُ بِالتُّرَابِ، وَتَأَوَّلُوا قَوْلَ الشَّافِعِيِّ وَأَعَادَ يَعْنِي اللُّصُوقَ أَعَادَهَا بَعْدَ تَيَمُّمِهِ لَا أَنَّهُ عَنَى إِعَادَةَ الصَّلَاةِ.
(Masalah: Hukum tayammum bagi orang yang menempelkan plester pada tempat tayammum)
Al-Syafi‘i ra berkata: “Jika ia menempelkan plester pada tempat tayammum, maka ia mencopot plester tersebut dan mengulang.”
Al-Māwardī berkata: Para aṣḥāb kami berbeda pendapat tentang bentuk masalah ini. Sebagian mereka berkata: Bentuk masalahnya adalah seorang laki-laki yang pada anggota tayammumnya terdapat luka, lalu ia menempelkan plester di atasnya, dan ia mampu mencopotnya untuk bertayammum pada bagian tersebut namun tidak mampu menyampaikan air kepadanya. Maka wajib baginya bertayammum pada bagian itu sebagai pengganti membasuhnya, dan membasuh bagian tubuhnya yang tidak luka.
Jika ia melakukan demikian, maka tidak ada kewajiban mengulang shalat; karena bagian yang sehat telah ia basuh dengan air, dan bagian yang tertutup plester telah ia tayammumi dengan debu. Mereka menafsirkan ucapan al-Syafi‘i “dan mengulang” maksudnya adalah mengulang menempelkan plester setelah bertayammum, bukan mengulang shalat.
وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ صُورَتُهَا أَنْ يَقْدِرَ عَلَى نَزْعِ اللُّصُوقِ مِنْهَا، وَلَا يَقْدِرُ عَلَى التَّيَمُّمِ فِيهَا فَيُصَلِّيَ مُقْتَصِدًا عَلَى غَسْلِ السَّلِيمِ مِنْ أَعْضَائِهِ وَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ؛ لِأَنَّ مَوْضِعَ اللُّصُوقِ لَمْ يُطَهِّرْهُ بِالْمَاءِ وَلَا بِالتُّرَابِ، كَالْعَادِمِ لِلْمَاءِ وَالتُّرَابِ مَعًا، فَيَلْزَمُهُ الْإِعَادَةُ إِذَا صَلَّى لِإِخْلَالِهِ بِالطَّهَارَةِ مُبْدِلًا، وَتَأَوَّلُوا قَوْلَ الشَّافِعِيِّ وَأَعَادَ يَعْنِي الصَّلَاةَ، دُونَ اللُّصُوقِ، وَكَلَامُ الشَّافِعِيِّ يَبْعُدُ مِنْ تَصْوِيرِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ نَزَعَ اللُّصُوقَ، وَمَنْ لَا يَقْدِرُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ فِي فَرْضِهِ مَاءً، فَلَيْسَ عَلَيْهِ نَزْعُ اللُّصُوقِ عَنْهُ، وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ نَزْعُ اللُّصُوقِ إِذَا كَانَ قَادِرًا عَلَى إِحْدَى الطَّهَارَتَيْنِ فِي مَحَلِّهِ وَلَا عَلَى أَيِّ الصُّورَتَيْنِ كَانَتِ الْمَسْأَلَةٌ فَالْجَوَابُ فِيهَا عَلَى مَا وَصَفْتُ فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى نَزْعِ اللُّصُوقِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي حُكْمِ صَاحِبِ الْجَبَائِرِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فَصَارَ لِصَاحِبِ اللُّصُوقِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ ذَكَرْنَاهَا وَحَالٌ رَابِعَةٌ لَا تَدْخُلُ فِي جُمْلَةِ أَقْسَامِهِ فَأَحَدُ الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ أَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى نَزْعِهَا وَالتَّيَمُّمِ فِيهَا دُونَ الْغَسْلِ، فَيَتَيَمَّمُ فِيهَا وَلَا يُعِيدُ الصَّلَاةَ، وَحَالٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى التَّيَمُّمِ فِيهَا وَلَا الْغَسْلِ فَيُصَلِّي وَيُعِيدُ، وَحَالٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى نَزْعِهَا وَإِيصَالِ الْمَاءِ إِلَيْهَا فَيُصَلِّي وَلَا يُعِيدُ الصَّلَاةَ.
Dan yang lain berkata: Bahkan bentuk masalahnya adalah ia mampu mencopot plesternya, namun tidak mampu bertayammum pada bagian itu, lalu ia shalat hanya dengan membasuh bagian tubuhnya yang sehat, maka ia wajib mengulang; karena bagian yang tertutup plester itu tidak ia sucikan dengan air dan tidak pula dengan debu, sehingga hukumnya seperti orang yang tidak mendapatkan air dan tanah sekaligus, yang wajib mengulang shalatnya apabila shalat dalam keadaan tersebut karena telah mengabaikan ṭahārah pengganti. Mereka menafsirkan ucapan al-Syafi‘i “dan mengulang” maksudnya adalah shalat, bukan plester.
Akan tetapi, perkataan al-Syafi‘i sulit untuk dibawa pada gambaran masalah ini, karena beliau berkata “mencopot plester”, dan orang yang tidak mampu menggunakan air dalam kewajiban ṭahārah-nya tidak wajib mencopot plesternya. Ia hanya wajib mencopot plester jika mampu melakukan salah satu dari dua ṭahārah pada bagian tersebut.
Maka dalam masalah ini, pada kedua gambaran yang ada, jawabannya sebagaimana yang telah aku jelaskan.
Adapun jika ia tidak mampu mencopot plester, maka hukumnya sama seperti pemilik jabā’ir (balutan luka), sebagaimana akan kami sebutkan.
Dengan demikian, orang yang memakai plester memiliki tiga keadaan yang telah kami sebutkan, dan satu keadaan keempat yang tidak termasuk dalam pembagiannya:
- Ia mampu mencopot plester dan bertayammum pada bagian itu tanpa bisa membasuhnya, maka ia bertayammum pada bagian tersebut dan tidak mengulang shalat.
- Ia tidak mampu bertayammum pada bagian itu dan tidak pula membasuhnya, maka ia shalat dan mengulang.
- Ia tidak mampu mencopot plester dan tidak bisa menyampaikan air padanya, maka ia shalat dan tidak mengulang.
(مَسْأَلَةٌ: كَيْفِيَّةُ تيمم أصحاب الجبائر)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يعد وبالجبائر مَوْضِعَ الْكَسْرِ، وَلَا يَضَعُهَا إِلَّا عَلَى وضوءٍ كَالْخُفَّيْنِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالْجَبَائِرُ مَا كَانَتْ عَلَى كَسْرٍ، وَاللُّصُوقُ مَا كَانَتْ عَلَى قُرْحٍ، فَإِذَا انْكَسَرَ عُضْوٌ مِنْ بَدَنِهِ فَاحْتَاجَ إِلَى سَتْرِهِ بِالْجَبَائِرِ، فَإِنْ كَانَ يَقْدِرُ عِنْدَ الطَّهَارَةِ عَلَى حَلِّهَا، وَإِيصَالِ الْمَاءِ إِلَيْهَا شَدَّهَا كَيْفَ شَاءَ عَلَى طُهْرٍ أَوْ غَيْرِ طُهْرٍ، فَجَاوَزَ قَدْرَ الْحَاجَةِ وَغَيْرَ مُجَاوِزٍ، وَإِنْ كَانَ لَا يَقْدِرُ عِنْدَ الطَّهَارَةِ عَلَى حَلِّهَا خَوْفَ التَّلَفِ وَزِيَادَةِ الْمَرَضِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَيَحْتَاجُ عِنْدَ شَدِّ الْجَبَائِرِ إِلَى شَرْطَيْنِ لِيَصِحَّ لَهُ الْمَسْحُ عَلَيْهَا.
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَضَعَهَا إِلَّا عَلَى طُهْرٍ، فَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا لَمْ يُجْزِهِ الْمَسْحُ عَلَيْهَا كَالْخُفَّيْنِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا إِلَّا أَنْ يَلْبَسَهُمَا عَلَى طُهْرٍ.
(Masalah: Tata cara tayammum bagi pemilik jabā’ir)
Al-Syafi‘i ra berkata: “Dan tidak mengulang, dan pada jabā’ir tidak termasuk bagian yang patah, dan tidak meletakkannya kecuali di atas keadaan suci sebagaimana khuffain.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Jabā’ir adalah balutan yang digunakan pada bagian yang patah, sedangkan luṣūq adalah balutan yang digunakan pada bagian yang luka.
Apabila salah satu anggota tubuhnya patah dan ia perlu menutupnya dengan jabā’ir, maka:
- Jika ketika bersuci ia mampu melepaskannya dan menyampaikan air ke bagian yang tertutup, maka ia boleh membalutnya sesuka hati baik dalam keadaan suci maupun tidak suci, baik melebihi kebutuhan maupun tidak.
- Jika ketika bersuci ia tidak mampu melepaskannya karena khawatir rusak atau bertambah parah sakitnya, maka menurut salah satu dari dua pendapat, ia membutuhkan dua syarat ketika memasang jabā’ir agar sah baginya mengusap di atasnya:
Pertama: Tidak meletakkannya kecuali di atas keadaan suci. Jika ia dalam keadaan muḥdits, maka tidak sah baginya mengusap di atasnya, sebagaimana khuffain yang tidak boleh diusap kecuali setelah memakainya dalam keadaan suci.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَتَجَاوَزَ شَدُّ الْجَبَائِرِ مَوْضِعَ الْحَاجَةِ، وَهُوَ مَوْضِعُ الْكَسْرِ وَمَا لَا بُدَّ مِنْهُ مِنَ الصَّحِيحِ لِأَنَّ شَدَّ الْكَسْرِ وَحْدَهُ لَا يُغْنِي إِلَّا أَنْ يَشُدَّ مَعَهُ بَعْضَ مَا اتَّصَلَ بِهِ مِنَ الصَّحِيحِ، وَقَوْلُ الشافعي، ولا يعد وبالشد مَوْضِعَ الْكَسْرِ، إِنَّمَا أَرَادَ وَمَا قَارَبَهُ عَلَى مَا وَصَفْنَا، فَإِنْ تَجَاوَزَ بِالشَّدِّ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ لَمْ يُجْزِهِ الْمَسْحُ عَلَيْهَا.
Syarat kedua: Tidak boleh melebihi balutan jabā’ir dari kadar kebutuhan, yaitu hanya pada bagian yang patah dan bagian sehat yang memang diperlukan untuk dibalut. Sebab, membalut bagian yang patah saja tidak akan cukup kecuali dibalut bersamanya sebagian bagian sehat yang bersambung dengannya.
Perkataan al-Syafi‘i “dan tidak melebihi dengan balutan pada bagian yang patah” maksudnya adalah juga pada bagian yang berdekatan dengannya sebagaimana yang telah kami jelaskan. Maka jika balutannya melebihi kadar kebutuhan, tidak sah baginya mengusap di atasnya.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا أَتَى بِهَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ ثُمَّ أَحْدَثَ، أَوْ أَجْنَبَ، غَسَلَ مَا لَا جَبِيرَةَ عَلَيْهِ مِنْ بَدَنِهِ ثُمَّ مَسَحَ عَلَى الْجَبَائِرِ بِالْمَاءِ بَدَلًا مِنْ غَسْلِهَا تَحْتَهَا، كَمَا يَمْسَحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ، بَدَلًا مِنْ غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ، وَفِي قَدْرِ الْمَسْحِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا.
أَحَدُهُمَا: يَمْسَحُ جَمِيعَ الْجَبَائِرِ لِيَكُونَ خَلَفًا مِنْ عَمَلِ الْعُضْوِ الْكَسِيرِ وَنَائِبًا عَنْهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَمْسَحُ بَعْضَهَا وَإِنْ قَلَّ فِيمَا يَنْطَلِقُ اسْمُ الْمَسْحِ عَلَيْهِ كَالرَّأْسِ وَالْخُفَّيْنِ ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الْجَبَائِرِ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَلَى أَعْضَاءِ التَّيَمُّمِ أَمْ لَا، فَإِنْ كَانَ عَلَى أَعْضَاءِ التَّيَمُّمِ لَمْ يَحْتَجْ مَعَ مَسْحِ الْجَبَائِرِ بِالْمَاءِ إِلَى التَّيَمُّمِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى غَيْرِ أَعْضَاءِ التَّيَمُّمِ فَهَلْ يَلْزَمُ مَعَ مَسْحِ الْجَبَائِرِ بِالْمَاءِ التَّيَمُّمُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
PASAL:
Apabila ia telah memenuhi dua syarat tersebut, kemudian berhadats atau berjunub, maka ia membasuh bagian tubuhnya yang tidak tertutup jabā’ir, lalu mengusap jabā’ir dengan air sebagai pengganti membasuh bagian bawahnya, sebagaimana mengusap di atas khuffain sebagai pengganti membasuh kedua kaki.
Tentang kadar usapan, para aṣḥāb kami memiliki dua pendapat:
- Mengusap seluruh jabā’ir, agar menjadi pengganti penuh dari pekerjaan anggota tubuh yang patah dan menggantikannya secara sempurna.
- Mengusap sebagian jabā’ir meskipun sedikit, selama masih disebut usap, seperti pada kepala dan khuffain.
Kemudian, jabā’ir ini tidak lepas dari dua keadaan: berada pada anggota tayammum atau tidak.
- Jika berada pada anggota tayammum, maka tidak perlu melakukan tayammum setelah mengusap jabā’ir dengan air.
- Jika berada pada selain anggota tayammum, maka apakah wajib tayammum di samping mengusap jabā’ir dengan air atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: لَا يَتَيَمَّمُ وَيَقْتَصِرُ عَلَى الْمَاءِ وَحْدَهُ غَسْلًا لِمَا ظَهَرَ وَمَسْحًا عَلَى مَا اسْتَتَرَ؛ لِأَنَّ مَسْحَ الْجَبَائِرِ مُعْتَبَرٌ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلَيْسَ مَعَ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ تَيَمُّمٌ فَكَذَا الْمَسْحُ عَلَى الْجَبَائِرِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ عَلِيًّا بِالْمَسْحِ عَلَى الْجَبَائِرِ لَمْ يَأْمُرْهُ بَالتَّيَمُّمِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ بَدَلًا مِنْ تَطْهِيرِ مَا تَحْتَ الْجَبَائِرِ لِرِوَايَةِ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي صَاحِبِ الْجُرُوحِ: ” إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهِ، وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ يَحْتَاجُ إِلَى التَّيَمُّمِ صَلَّى بِغَسْلِهِ وَتَيَمُّمِهِ مَا شَاءَ مِنَ الْفَرَائِضِ وَالنَّوَافِلِ مَا لَمْ يُحْدِثْ كَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
Salah satunya: Tidak perlu bertayammum, cukup dengan air saja, yaitu membasuh bagian yang tampak dan mengusap bagian yang tertutup; karena mengusap jabā’ir dianalogikan dengan mengusap khuffain, dan pada mengusap khuffain tidak disertai tayammum, maka demikian pula mengusap jabā’ir. Selain itu, Nabi SAW memerintahkan ‘Alī untuk mengusap jabā’ir dan tidak memerintahkannya bertayammum.
Pendapat kedua: Wajib bertayammum sebagai pengganti dari penyucian bagian bawah jabā’ir, berdasarkan riwayat dari Jābir bahwa Nabi SAW bersabda tentang orang yang terluka:
“Cukup baginya untuk bertayammum, membalut lukanya, kemudian mengusap di atasnya, dan membasuh seluruh tubuhnya yang lain.”
Jika kita mengatakan bahwa ia perlu bertayammum, maka ia boleh shalat dengan gabungan basuhan dan tayammumnya untuk shalat fardhu dan sunnah sebanyak yang ia kehendaki selama belum berhadats, sebagaimana ketentuan mengusap khuffain.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ يَحْتَاجُ إِلَى التَّيَمُّمِ أَعَادَ التَّيَمُّمَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةِ فَرِيضَةٍ، وَلَمْ يُعِدِ الْغَسْلَ وَالْمَسْحَ فَإِذَا أَحْدَثَ اسْتَأْنَفَ ثَانِيَةً عَلَى مَا وَصَفْنَا كَذَلِكَ مَا كَانَ مُضْطَرًّا إِلَى الْجَبَائِرِ، وَإِنْ زَادَ عَلَى الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ بِخِلَافِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ الْمُقَدَّرِ بِيَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، لِأَنَّ الضَّرُورَةَ الَّتِي أَبَاحَتِ الْمَسْحَ عَلَى الْجَبَائِرِ قَدْ تَسْتَدِيمُ أَكْثَرَ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan jika kita mengatakan bahwa ia perlu bertayammum, maka ia mengulang tayammum pada setiap shalat fardhu, namun tidak mengulang basuhan dan usapan. Apabila ia berhadats, maka ia memulai kembali sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Demikian pula halnya bagi orang yang terpaksa memakai jabā’ir, meskipun penggunaannya lebih dari sehari semalam, berbeda dengan mengusap khuffain yang dibatasi sehari semalam; karena keadaan darurat yang membolehkan mengusap jabā’ir bisa saja berlangsung lebih dari sehari semalam. —Allah Maha Mengetahui—.
(مَسْأَلَةٌ: حُكْمُ إِعَادَةِ الصَّلَاةِ لأصحاب الجبائر)
قال الشافعي: ” فإن خاف الكسير غير متوضئ الْتَلَفَ إِذَا أُلْقِيَتِ الْجَبَائِرُ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: يَمْسَحُ عَلَيْهَا وَيُعِيدُ مَا صَلَّى إِذَا قَدَرَ عَلَى الْوُضُوءِ وَالْقَوْلُ الْآخَرُ لَا يُعِيدُ وَإِنْ صَحَّ حَدِيثُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ انْكَسَرَ إِحْدَى زَنْدَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَمْسَحَ عَلَى الْجَبَائِرِ قُلْتُ بِهِ وَهَذَا مِمَّا أَسْتَخِيرُ اللَّهَ فِيهِ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) أولى قوليه بالحق عندي أن يجزئه ولا يعيد وكذلك كل ما عجز عنه المصلي وفيما رخص له في تركه من طهرٍ وغيره وقد أجمعت العلماء والشافعي معهم أن لَا تُعِيدُ الْمُسْتَحَاضَةُ وَالْحَدَثُ فِي صَلَاتِهَا دائمٌ وَالنَّجَسُ قائمٌ وَلَا الْمَرِيضُ الْوَاجِدُ لِلْمَاءِ وَلَا الذي معه الماء يخاف العطش إذا صليا بالتيمم وَلَا الْعُرْيَانُ وَلَا الْمُسَايِفُ يُصَلِّي إِلَى غَيْرِ القبلة يومئ إيماء فقضى ذلك من إجماعهم على طرح ما عجز عنه المصلي ورفع الإعادة وقد قال الشافعي من كان معه ماءٌ يوضئه في سفره وخاف العطش فهو كمن لم يجد (قال المزني) وكذلك من على قروحه دم يخاف إن غسلها كمن ليس به نجسٌ “.
(Masalah: Hukum mengulang shalat bagi pemilik jabā’ir)
Al-Syafi‘i berkata: “Jika orang yang patah tulangnya dalam keadaan tidak berwudhu khawatir akan rusak atau binasa anggota tubuhnya jika jabā’ir dilepas, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: Ia mengusap di atasnya dan mengulang shalat yang telah ia kerjakan apabila sudah mampu berwudhu.
Kedua: Ia tidak mengulang. Dan jika sah hadis dari ‘Alī ra bahwa salah satu pergelangan tangannya patah, lalu Nabi SAW memerintahkannya untuk mengusap di atas jabā’ir, maka aku berpegang padanya. Dan ini termasuk perkara yang aku memohon petunjuk kepada Allah di dalamnya.”
Al-Muzanī berkata: “Pendapat beliau yang lebih utama menurutku adalah mencukupkan dan tidak mengulang. Demikian pula setiap perkara yang tidak mampu dilakukan oleh orang yang shalat dan telah diberi rukhsah untuk meninggalkannya, baik dari segi ṭahārah maupun selainnya.
Para ulama telah bersepakat, dan al-Syafi‘i bersama mereka, bahwa wanita mustaḥāḍah tidak mengulang shalatnya meskipun ḥadats-nya terus menerus dan najisnya tetap ada; begitu juga orang sakit yang mendapatkan air, atau orang yang membawa air tetapi khawatir kehausan, jika keduanya shalat dengan tayammum; juga orang telanjang; dan orang yang berperang (musāyif) yang shalat tidak menghadap kiblat lalu hanya berisyarat, semuanya tidak wajib mengulang.
Kesimpulan ijmak ini adalah bahwa setiap yang tidak mampu dilakukan oleh orang yang shalat maka gugur darinya, dan ia tidak mengulang. Al-Syafi‘i juga berkata: ‘Barang siapa yang membawa air untuk berwudhu dalam safar namun khawatir kehausan, maka hukumnya seperti orang yang tidak mendapatkan air.’”
Al-Muzanī berkata: “Demikian pula orang yang pada lukanya terdapat darah, dan ia khawatir rusak jika membasuhnya, maka hukumnya seperti orang yang tidak ada najis padanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ جُمْلَةٌ حَكَاهَا الْمُزَنِيُّ فَقَالَ: وَإِنْ خَافَ الْكَسِيرُ غَيْرُ الْمُتَوَضِّئِ التَّلَفَ وَحَكَاهُ الرَّبِيعُ فِي الْأُمِّ وَإِنْ خَافَ الْكَسِيرُ الْمُتَوَضِّئُ التَّلَفَ، وَلَيْسَ ذَلِكَ مُخْتَلِفًا كَمَا وَهَمَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، وَإِنَّمَا أَرَادَ الْمُزَنِيُّ غَيْرَ الْمُتَوَضِّئِ فِي حَالِ الْمَسْحِ عَلَى الْجَبَائِرِ وَمُرَادُ الرَّبِيعِ الْمُتَوَضِّئُ فِي حَالِ وَضْعِ الْجَبَائِرِ وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْمَاسِحَ عَلَى الْجَبَائِرِ إِذَا صَحَّ وَبَرَأَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ عِنْدَ وَضْعِ الْجَبَائِرِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ وَضَعَهَا عَلَى وُضُوءٍ أَمْ لَا؟ فَإِنْ كَانَ وَضَعَهَا عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ فَعَلَيْهِ إِعَادَةُ مَا صَلَّى قَالَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ، فَلَا وَجْهَ لِمَنْ وَهِمَ مِنْ أَصْحَابِنَا فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الْحَالَيْنِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ اعْتِبَارًا بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ عِنْدَ وَضْعِ الْجَبَائِرِ مُتَوَضِّئًا فَقَدْ رَوَى عُمَرُ بْنُ خَالِدٍ الْقُرَشِيُّ عَنْ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ آبَائِهِ أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ: ” أُصِيبَ إِحْدَى زَنْدَيَّ مع النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَمَرَ بِهِ فَجُبِرَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَصْنَعُ بِالْوُضُوءِ، فَقَالَ: امْسَحْ عَلَى الْجَبَائِرِ قَالَ الشَّافِعِيُّ إِنْ صَحَّ هَذَا الْحَدِيثُ قُلْتُ بِهِ، فَإِنْ كَانَ هَذَا الْحَدِيثُ صَحِيحًا فَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ مَسْحٌ جَاءَ الشَّرْعُ بِالْأَمْرِ بِهِ فَصَارَ كَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ هَذَا الْحَدِيثُ لِضَعْفِ الرِّوَايَةِ وَوَهْيِ الْإِسْنَادِ فَفِي وُجُوبِ الْإِعَادَةِ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا الْمُزَنِيُّ هَا هُنَا، وَحَكَاهُمَا الرَّبِيعُ فِي الْأُمِّ.
Al-Māwardī berkata: Ini adalah satu rangkaian yang diriwayatkan oleh al-Muzanī, ia berkata: “Jika orang yang patah tulangnya dalam keadaan tidak berwudhu khawatir akan rusak (anggota tubuhnya)…” Dan al-Rabī‘ meriwayatkannya dalam al-Umm dengan lafaz: “Jika orang yang patah tulangnya dalam keadaan berwudhu khawatir akan rusak…”
Keduanya tidaklah berbeda sebagaimana disangka oleh sebagian aṣḥāb kami, tetapi maksud al-Muzanī adalah orang yang tidak berwudhu ketika mengusap jabā’ir, sedangkan maksud al-Rabī‘ adalah orang yang berwudhu ketika memasang jabā’ir.
Kesimpulannya, orang yang mengusap jabā’ir apabila sudah sembuh dan pulih, keadaannya ketika memasang jabā’ir tidak lepas dari dua kemungkinan:
- Jika ia memasangnya dalam keadaan tidak berwudhu, maka ia wajib mengulang shalat yang telah ia kerjakan. Ini dinyatakan oleh al-Syafi‘i dalam al-Umm. Maka tidak ada alasan untuk menyamakan kedua keadaan ini sebagaimana keliru disangka oleh sebagian aṣḥāb kami, sebab ketentuannya diqiyaskan dengan mengusap khuffain.
- Jika ia memasangnya dalam keadaan berwudhu, maka telah diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khālid al-Qurasyī dari Zayd bin ‘Alī dari para leluhurnya bahwa ‘Alī AS berkata: “Salah satu pergelangan tanganku cedera ketika bersama Nabi SAW, lalu beliau memerintahkan agar dibalut. Aku berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana aku lakukan wudhu? Beliau bersabda: Usaplah di atas jabā’ir.”
Al-Syafi‘i berkata: “Jika hadis ini sahih, aku berpegang padanya.”
Maka jika hadis ini sahih, tidak ada kewajiban mengulang shalatnya menurut satu pendapat, karena ini adalah usapan yang diperintahkan oleh syariat, sehingga kedudukannya seperti mengusap khuffain.
Namun jika hadis ini tidak sahih karena lemahnya riwayat dan cacatnya sanad, maka dalam kewajiban mengulang shalat terdapat dua pendapat, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Muzanī di sini, dan diriwayatkan pula oleh al-Rabī‘ dalam al-Umm.
أَحَدُهُمَا: لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُمَا أَعْذَارٌ اعْتِبَارًا بِمَا ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْإِعَادَةَ وَاجِبَةٌ؛ لِأَنَّهَا أَعْذَارٌ نَادِرَةٌ، وَإِذَا حَدَثَتْ لَمْ تَدُمْ فَجَرَى مَجْرَى عَادِمِ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ يَلْزَمُهُ الْإِعَادَةُ، وَإِنْ كَانَ مَعْذُورًا؛ لِأَنَّ عَدَمَ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ نَادِرٌ، وَإِذَا حَدَثَ لَمْ يَدُمْ فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اخْتَارَ سُقُوطَ الْإِعَادَةِ فِي الْمَحْبُوسِ فِي حُشٍّ، وَالْمَرْبُوطِعَلَى خَشَبَةٍ، وَصَاحِبِ الْجَبَائِرِ، وَمَنْ عَلَى قُرْحِهِ دَمٌ، اسْتِشْهَادًا بِأَنَّهُمْ قَدْ أَدَّوْا مَا كُلِّفُوا كما لا تعيد الاستحاضة وَالْحَدَثُ فِي صَلَاتِهَا دَائِمٌ وَالنَّجَسُ قَائِمٌ، وَلَا الْمَرِيضُ الْوَاجِدُ لِلْمَاءِ وَلَا الَّذِي مَعَهُ الْمَاءُ يَخَافُ الْعَطَشَ، وَلَا الْعُرْيَانُ، وَلَا الْمُسَايِفُ يُصَلِّي إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ فَاسْتَشْهَدَ بِمَنْ ذَكَرَهُ مِنْ أَصْحَابِ الْأَعْذَارِ فِي سُقُوطِ الْفَرْضِ عَنْهُمْ فِيمَا عَجَزُوا عَنْهُ، فَكَذَلِكَ هَؤُلَاءِ.
Salah satunya: tidak wajib mengulang, karena keduanya termasuk udzur sebagaimana yang disebutkan oleh al-Muzani.
Pendapat kedua: bahwa pengulangan itu wajib, karena itu termasuk udzur yang jarang terjadi, dan apabila terjadi tidak berlangsung lama, maka hukumnya sama dengan orang yang tidak mendapatkan air dan tanah, yang wajib mengulang sekalipun ia berudzur, karena tidak adanya air dan tanah itu jarang terjadi, dan apabila terjadi tidak berlangsung lama.
Adapun al-Muzani memilih gugurnya kewajiban mengulang bagi orang yang terkurung di jamban, yang terikat di atas kayu, orang yang pada lukanya ada darah, dengan alasan bahwa mereka telah melaksanakan apa yang dibebankan kepada mereka, sebagaimana wanita istihādhah tidak mengulang dan hadas dalam shalatnya terus berlangsung dan najis tetap ada, begitu pula orang sakit yang mendapatkan air, atau orang yang membawa air tetapi khawatir kehausan, orang yang telanjang, dan orang yang sedang berperang yang shalat tidak menghadap kiblat. Maka ia berdalil dengan orang-orang yang disebutkan dari kalangan pemilik udzur bahwa gugurnya kewajiban dari mereka pada perkara yang mereka tidak mampu melakukannya, maka demikian pula halnya dengan mereka ini.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنْ يُقَالَ لَهُ اعْتِلَالُكَ بِالْعَجْزِ فِي سُقُوطِ الْفَرْضِ فاسدٌ؛ لِأَنَّ عَادِمَ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ عَاجِزٌ، وَفَرْضُ الْإِعَادَةِ عَنْهُ غَيْرُ سَاقِطٍ، وَمَنْ أُكْرِهَ عَلَى الْحَدَثِ فِي الصَّلَاةِ أَوْ عَلَى الْكَلَامِ وَإِنْشَادِ الشِّعْرِ هُوَ مَعْذُورٌ، وَفَرْضُ الْإِعَادَةِ لَا يَسْقُطُ عَنْهُ فَبَطَلَ الِاعْتِلَالُ بِالْعَجْزِ فِي سُقُوطِ الْفَرْضِ، وَأَمَّا سُقُوطُ الْإِعَادَةِ عَمَّنْ ذَكَرَهُ لِوُجُودِ الْعُذْرِ، فَيُقَالُ لَهُ: الْمَعْذُورُ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَسْقُطُ عَنْهُمُ الْإِعَادَةُ بِأَعْذَارِهِمْ وَهُمْ مَنْ ذَكَرَهُمْ، وَضَرْبٌ لَا يَسْقُطُ عَنْهُمُ الْإِعَادَةُ وَهُمْ مَنْ ذَكَرْنَا مِنَ الْمَعْذُورِينَ فِي سُقُوطِ الْإِعَادَةِ بِأَوْلَى مِنْ رَدِّنَا إِلَى مَنْ ذَكَرْنَا مِنَ الْمَعْذُورِينَ فِي وُجُوبِ الْإِعَادَةِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: الْفَرْقُ بَيْنَ أَصْحَابِ هَذِهِ الْمَسَائِلِ وَبَيْنَ مَنْ ذَكَرْتَهُمْ مِنَ الْمَعْذُورِينَ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Jawaban terhadapnya: Dikatakan kepadanya, dalihmu dengan alasan ‘ajz (ketidakmampuan) untuk menggugurkan fardhu adalah rusak; karena orang yang tidak mendapatkan air dan tanah adalah orang yang tidak mampu, namun kewajiban i‘ādah tidak gugur darinya. Dan orang yang dipaksa untuk berhadas dalam shalat atau dipaksa berbicara dan melantunkan syair, ia adalah ma‘dzūr, namun kewajiban i‘ādah tidak gugur darinya. Maka batalah dalih dengan ‘ajz untuk menggugurkan fardhu.
Adapun gugurnya i‘ādah dari orang yang ia sebutkan karena adanya ‘udzur, maka dikatakan kepadanya: orang-orang yang memiliki ‘udzur itu ada dua golongan: golongan yang gugur dari mereka kewajiban i‘ādah karena ‘udzurnya, yaitu mereka yang ia sebutkan; dan golongan yang tidak gugur dari mereka kewajiban i‘ādah, yaitu mereka yang kami sebutkan dari para ma‘dzūrīn yang lebih layak untuk dimasukkan kepada kelompok yang kami sebutkan dari para ma‘dzūrīn yang wajib i‘ādah atas mereka.
Kemudian dikatakan kepadanya: perbedaan antara para pelaku masalah-masalah ini dan antara orang-orang yang engkau sebutkan dari para ma‘dzūrīn ada pada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الطَّهَارَةَ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ مُمْكِنَةٌ وَإِنْ شَقَّتْ، وَإِزَالَةُ تِلْكَ الْأَعْذَارِ غَيْرُ مُمْكِنَةٍ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ الْفَرْقَيْنِ أَنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الْمَسَائِلِ أَعْذَارُهُمْ نَادِرَةٌ، وَإِذَا حَدَثَتْ لَمْ تَدُمْ، وَأَصْحَابُ الْأَعْذَارِ الَّذِينَ ذَكَرَهُمُ الْمُزَنِيُّ لَا يَنْفَكُّ مِنْ أَنْ تَكُونَ أَعْذَارُهُمْ عَامَّةً كالمتيمم من مرض أو سفر، أو نادر لَكِنْ قَدْ يَدُومُ كَالِاسْتِحَاضَةِ وَسَلَسِ الْبَوْلِ وَالْمَذْيِ.
فَإِنْ قِيلَ وَالْخَائِفُ مِنْ سَبُعٍ إِذَا صَلَّى مُومِيًا نَادِرُ الْعُذْرِ وَلَا يَدُومُ، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، قِيلَ: لِأَنَّهُ خَائِفٌ وَجِنْسُ الْخَوْفِ عَامٌّ.
Pertama: bahwa ṭahārah dalam masalah-masalah ini memungkinkan dilakukan meskipun berat, sedangkan menghilangkan ‘udzur-‘udzur tersebut tidaklah mungkin.
Kedua: dan ini adalah perbedaan yang lebih sahih, bahwa para pelaku masalah-masalah ini ‘udzurnya bersifat jarang, dan apabila terjadi tidaklah berlangsung lama; sedangkan para pemilik ‘udzur yang disebutkan oleh al-Muzanī tidak lepas dari salah satu keadaan: ‘udzurnya bersifat umum seperti orang yang bertayammum karena sakit atau safar, atau jarang tetapi dapat berlangsung lama seperti istiḥāḍah, salas al-bawl, dan al-madhy.
Jika dikatakan: orang yang takut dari binatang buas ketika shalat dengan isyarat adalah jarang ‘udzurnya dan tidak berlangsung lama, namun tidak ada i‘ādah atasnya, maka dijawab: karena ia dalam keadaan takut, dan jenis rasa takut itu bersifat umum.
(فَصْلٌ: الْخِلَافُ فِي أَيِّ الصَّلَاتَيْنِ تَكُونُ هِيَ الفرض)
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ أَصَحَّ الْقَوْلَيْنِ لِمَنْ ذَكَرْنَا مِنْ أَصْحَابِ الْأَعْذَارِ الْمَاضِيَةِ وُجُوبُ الْإِعَادَةِ عَلَيْهِمْ، فَأَعَادُوا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي أَيِّ الصَّلَاتَيْنِ تَكُونُ هِيَ الْفَرْضَ الْمُحْتَسَبَ بِهِ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ حَكَاهَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَذَكَرَهَا الْمُزَنِيُّ:
أحدها: أن الصلاة الأولى فرض، وَإِنَّمَا أَمَرَ بِالثَّانِيَةِ تَنَافِيًا لِمَا أَخَلَّ بِهِ من شروط الأولة.
والمذهب الثاني: أن الثانية فرض، وإنما أمر بالأولة لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ كِلَا الصَّلَاتَيْنِ فَرْضٌ؛ لِأَنَّ فِعْلَهُمَا وَاجِبٌ عَلَيْهِ.
(PASAL: Perbedaan pendapat tentang shalat yang mana menjadi fardhu)
Apabila telah tetap bahwa pendapat yang lebih sahih bagi mereka yang telah kami sebutkan dari para aṣḥāb al-a‘dzār terdahulu adalah wajibnya i‘ādah atas mereka, lalu mereka mengulanginya, maka para aṣḥābunā berselisih pendapat tentang shalat yang mana menjadi shalat fardhu yang dihitung, dengan empat mazhab yang diriwayatkan oleh Ibnu Abī Hurairah dan disebutkan oleh al-Muzanī:
Pertama: bahwa shalat pertama adalah fardhu, dan perintah mengerjakan shalat kedua hanyalah untuk menutupi kekurangan syarat pada shalat pertama.
Mazhab kedua: bahwa shalat kedua adalah fardhu, dan perintah mengerjakan shalat pertama hanyalah karena kehormatan waktu.
Mazhab ketiga: bahwa kedua shalat tersebut adalah fardhu, karena mengerjakan keduanya wajib atasnya.
وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: أَنَّ إِحْدَى الصَّلَاتَيْنِ فَرْضٌ؛ لِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: لا طهران فِي يَوْمٍ لَكِنَّ الْفَرْضَ مِنْهُمَا غَيْرُ مُتَعَيِّنٍ لَنَا، وَإِنَّمَا يَحْتَسِبُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِأَيِّهِمَا شَاءَ فَرْضًا، وَبِالْأُخْرَى نَفْلًا لِتَكَافُئِهِمَا، وَعَدَمِ التَّرْجِيحِ الدَّالِّ عَلَى الْفَرْضِ مِنْهُمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Mazhab keempat: bahwa salah satu dari kedua shalat itu adalah fardhu; karena Nabi SAW bersabda: “Tidak ada dua ṭahārah dalam satu hari.” Namun fardhu dari keduanya tidaklah tertentu bagi kita, dan Allah Ta‘ālā akan menghitung baginya salah satunya sebagai fardhu dan yang lainnya sebagai nafl, karena keduanya setara dan tidak ada tarjih yang menunjukkan mana di antara keduanya yang menjadi fardhu. Wallāhu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ)
: قال الشافعي: ” وَلَا يَتَيَمَّمُ صحيحٌ فِي مصرٍ لمكتوبةٍ وَلَا لجنازةٍ وَلَوْ جَازَ مَا قَالَ غَيْرِي يَتَيَمَّمُ لِلْجَنَازَةِ لِخَوْفِ الْفَوْتِ لَزِمَهُ ذَلِكَ لِفَوْتِ الْجُمُعَةِ وَالْمَكْتُوبَةِ فَإِذَا لَمْ يَجُزْ عِنْدَهُ لِفَوْتِ الْأَوْكَدِ كان من أن يجوز فيما دونه أبعد. وروي عن ابن عمر أنه كان لا يصلي على جنازةٍ إلا متوضئاً “.
(MASALAH)
Al-Syafi‘i berkata: “Dan tidak boleh bagi orang sehat di kota bertayammum untuk shalat maktūbah maupun untuk shalat jenazah. Seandainya pendapat selainku yang membolehkan tayammum untuk shalat jenazah karena khawatir luput itu sah, niscaya hal itu juga berlaku untuk luputnya shalat Jum‘at dan shalat maktūbah. Maka ketika tidak boleh menurutnya untuk luputnya yang lebih ditekankan, maka lebih jauh lagi untuk dibolehkan pada yang kedudukannya di bawahnya. Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia tidak shalat atas jenazah kecuali dalam keadaan berwudhu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الطَّهَارَةُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْجَنَازَةِ مُسْتَحَقَّةٌ كَمَا تُسْتَحَقُّ فِي سَائِرِ الصَّلَوَاتِ وَحُكِيَ عَنْ عَامِرِ بْنِ شَرَاحِيلَ الشعبي عن دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ الْأَصْبَهَانِيِّ، وَعَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ الطَّبَرِيِّ: أَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى الْمَيِّتِ دُعَاءٌ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى طَهَارَةٍ. وَقَالَ أبو حنيفة: الطَّهَارَةُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ وَاجِبَةٌ لَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لَهَا مَعَ وُجُودِ الْمَاءِ إِذَا خَافَ فَوَاتَهَا، وَكَذَلِكَ قَالَهُ فِي صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لَهَا إِذَا خَافَ فَوَاتَهَا مَعَ الْإِمَامِ اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ بِهِ رجلٌ فِي سكةٍ مِنَ السِّكَكِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى كَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَتَوَارَى فِي السِّكَّةِ فَتَيَمَّمَ ثُمَّ رَدَّ عَلَى الرَّجُلِ السَّلَامَ، وَقَالَ: إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرُدَّ إِلَّا أَنِّي لَمْ أَكُنْ عَلَى طُهْرٍ فَمِنْهُ دَلِيلَانِ:
Al-Māwardī berkata: “Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa ṭahārah dalam shalat atas jenazah adalah sesuatu yang dituntut sebagaimana dituntut dalam seluruh shalat lainnya.
Diriwayatkan dari ‘Āmir bin Syarāḥīl al-Sya‘bī, dari Dāwūd bin ‘Alī al-Aṣbahānī, dan dari Ibnu Jurayj al-Ṭabarī, bahwa shalat atas mayit adalah doa yang tidak memerlukan ṭahārah.
Abu Ḥanīfah berkata: ṭahārah dalam shalat atas mayit adalah wajib, tetapi boleh bertayammum untuknya meskipun ada air jika khawatir luput darinya, dan demikian pula ia berkata dalam shalat dua ‘Īd, bahwa boleh bertayammum untuknya jika khawatir luput bersama imam, dengan berdalil hadis Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW pernah melewati seorang laki-laki di salah satu gang lalu orang itu memberi salam kepadanya, maka beliau tidak membalasnya sampai hampir saja orang itu bersembunyi di gang tersebut, lalu beliau bertayammum kemudian membalas salam kepada orang itu, dan beliau berkata: “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk membalas salam kepadamu kecuali karena aku tidak dalam keadaan suci.”
Maka dari hadis tersebut ada dua dalil:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا تَيَمَّمَ بِالْمَدِينَةِ مَعَ وُجُودِ الْمَاءِ خَوْفًا مِنْ فَوَاتِ السَّلَامِ كَانَ تَيَمُّمُهُ خَوْفًا مِنْ فَوَاتِ الْجِنَازَةِ أَوْلَى.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَ التَّيَمُّمَ فِي تِلْكَ الْحَالَةِ طَهُورًا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ فِعْلُ الصَّلَاةِ بِهِ جَائِزًا، قَالُوا: وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى فِعْلِهَا إِلَّا بِالتَّيَمُّمِ، فَاقْتَضَى بِأَنْ يُجْزِئَهُ، كَالْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَلِأَنَّ الطَّهَارَةَ بِالْمَاءِ تَجِبُ لِأَجْلِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا لَمْ يَتَوَصَّلْ بِالْمَاءِ إِلَى تِلْكَ الصَّلَاةِ سَقَطَ عَنْهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ كَالْحَائِضِ.
Pertama: bahwa ketika beliau bertayammum di Madinah padahal ada air karena khawatir luput dari membalas salam, maka bertayammum karena khawatir luput dari shalat jenazah lebih utama.
Kedua: bahwa beliau menjadikan tayammum dalam keadaan tersebut sebagai ṭahūr, maka hal itu menunjukkan bolehnya melakukan shalat dengannya. Mereka berkata: karena shalat itu tidak dapat dilakukan kecuali dengan tayammum, maka hal itu menunjukkan mencukupinya, sebagaimana orang sakit dan musafir. Dan karena ṭahārah dengan air itu wajib demi shalat, maka ketika tidak dapat mencapai shalat tersebut dengan menggunakan air, gugurlah kewajiban menggunakan air darinya, sebagaimana halnya perempuan haid.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى الْمَيِّتِ صَلَاةٌ شرعية؛ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فُرِضَ عَلَى أُمَّتِي غَسْلُ مَوْتَاهَا وَالصَّلَاةُ عَلَيْهَا ” وإذا ثبت صَلَاةٌ لَزِمَتْهُ الطَّهَارَةُ، بِخِلَافِ قَوْلِ الشَّعْبِيِّ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً بَغَيْرِ طهورٍ “، وَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الطَّهَارَةِ لَهَا لَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِيهَا؛ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ) {المائدة: 6) . فَاقْتَضَى اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ عَلَى كُلِّ قَائِمٍ إِلَى الصَّلَاةِ، ثُمَّ قَالَ: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ} (المائدة: 6) ، إلى قوله: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} وَهَذَا غَيْرُ مَرِيضٍ وَلَا مُسَافِرٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَيَمَّمَ، وَلِأَنَّهَا حَالَةٌ لَا يَسْتَبِيحُ فِيهَا الْفَرَائِضَ بِالتَّيَمُّمِ، فَلَمْ يَسْتَبِحْ غَيْرَ الْفَرَائِضِ بِالتَّيَمُّمِ، أَصْلُهُ إِذَا كَانَ الْمَاءُ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنِ امْتَنَعَ عَلَيْهِ اسْتِبَاحَةُ الْجَنَائِزِ كَالْمُحْدِثِ، وَلِأَنَّ كُلَّ شَرْطٍلَمْ يَتَحَقَّقِ الْعَجْزُ عَنْهُ فِي صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ، لَمْ يَتَحَقَّقِ الْعَجْزُ عَنْهُ فِي صَلَاةِ الْجِنَازَةِ، أَصْلُهُ إِذَا كَانَ عُرْيَانًا، وَفِي بَيْتِهِ ثَوْبٌ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ شَرْطًا لِصَلَاةِ الْفَرَائِضِ، كَانَ شَرْطًا لِصَلَاةِ الْجَنَائِزِ كَإِزَالَةِ النَّجَاسَةِ، وَالتَّوَجُّهِ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ احْتِيجَ فِيهَا إِلَى الطَّهُورِ لَمْ يَجُزِ افْتِتَاحُهَا بِالتَّيَمُّمِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْمَاءِ كَسَائِرِ الصَّلَوَاتِ، وَلِمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَيَمَّمَ مَعَ وُجُودِ الْمَاءِ لِفَوَاتِ الْجُمُعَةِ الَّتِي أَوْكَدُ فَلِأَنْ لَا يُجْزِئَهُ لِمَا دُونَهَا مِنَ الْجِنَازَةِ بَعْدُ.
Dalil kami adalah bahwa shalat atas mayit adalah shalat syar‘i; berdasarkan sabda Nabi SAW: “Diwajibkan atas umatku memandikan mayit mereka dan shalat atasnya.” Dan apabila telah tetap bahwa itu adalah shalat, maka wajib baginya ṭahārah, berbeda dengan pendapat al-Sya‘bī, karena sabda Nabi SAW: “Allah tidak menerima shalat tanpa ṭahūr.”
Apabila telah tetap wajibnya ṭahārah untuknya, maka wajib baginya menggunakan air dalam hal itu; karena keumuman firman Allah Ta‘ālā: {Apabila kalian berdiri untuk shalat, maka basuhlah wajah-wajah kalian} (al-Mā’idah: 6). Maka ini mengharuskan penggunaan air bagi setiap orang yang berdiri untuk shalat. Lalu Dia berfirman: {Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan} hingga firman-Nya: {Lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah} — sedangkan ini bukan orang sakit dan bukan pula musafir, maka tidak boleh baginya bertayammum.
Dan karena ini adalah keadaan yang tidak membolehkan shalat fardhu dengan tayammum, maka tidak boleh pula membolehkan selain fardhu dengan tayammum. Asalnya adalah jika air berada di hadapannya.
Dan karena setiap orang yang terhalang untuk memperoleh kebolehan shalat jenazah adalah seperti orang yang berhadas. Dan karena setiap syarat yang tidak terbukti adanya ketidakmampuan untuk melaksanakannya pada shalat fardhu, maka tidak terbukti pula ketidakmampuannya pada shalat jenazah — asalnya jika ia dalam keadaan telanjang, sedangkan di rumahnya ada pakaian.
Dan karena segala sesuatu yang menjadi syarat untuk shalat fardhu, maka itu juga menjadi syarat untuk shalat jenazah, seperti menghilangkan najis dan menghadap kiblat.
Dan karena setiap shalat yang memerlukan ṭahūr, tidak boleh dibuka dengan tayammum ketika mampu menggunakan air, sebagaimana seluruh shalat lainnya.
Dan sebagaimana yang disebutkan oleh al-Syafi‘i RA, bahwa ketika tidak boleh bertayammum dengan adanya air untuk luputnya shalat Jum‘at yang lebih ditekankan, maka lebih layak lagi untuk tidak mencukupinya pada selainnya, yaitu shalat jenazah.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عن استدلالهم بالخبر أنه تَيَمَّمَ لِرَدِّ السَّلَامِ، فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ تَيَمَّمَ لِعَدَمِ الْمَاءِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَرُدَّ السَّلَامَ بِغَيْرِ طَهُورٍ جَازَ أَنْ يَتَيَمَّمَ لَهُ مَعَ وُجُودِ الْمَاءِ.
فَإِنْ قِيلَ: فَمَا الْفَائِدَةُ فِي تَيَمُّمِهِ قِيلَ تَعْلِيمُهُ التَّيَمُّمَ، لِأَنَّ الشَّرْعَ مَأْخُوذٌ مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَقْوَالِهِ.
وَالْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ التَّيَمُّمُ لِلْفَرِيضَةِ جَازَ لِلْجِنَازَةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ هَذَا وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ فِي الطَّهَارَةِ لَهَا فَوَاتًا لِفِعْلِهَا فَهُوَ أَنَّهُ مُنْتَقِضٌ بِالْجُمُعَةِ، يَفُوتُ فِعْلُهَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لَهَا.
فَإِنْ قِيلَ: فَالْجُمُعَةُ تَنْتَقِلُ عِنْدَ فَوَاتِهَا إِلَى الظُّهْرِ وَلَا تَنْتَقِلُ فِي الْجِنَازَةِ إِلَى بَدَلٍ.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan hadis bahwa beliau bertayammum untuk membalas salam, maka ada dua sisi:
Pertama: boleh jadi beliau bertayammum karena tidak ada air.
Kedua: bahwa ketika boleh membalas salam tanpa ṭahūr, maka boleh pula bertayammum untuknya meskipun ada air.
Jika dikatakan: apa faedah dari tayammum beliau? Maka dijawab: untuk mengajarkan tata cara tayammum, karena syariat diambil dari perbuatan dan ucapan beliau.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan orang sakit dan musafir, maka maknanya adalah: ketika boleh bertayammum untuk shalat fardhu, maka boleh pula untuk shalat jenazah. Adapun yang ini (orang sehat yang berada di kota) tidak demikian.
Dan jawaban terhadap ucapan mereka bahwa dalam ṭahārah untuknya terdapat risiko luput dari pelaksanaannya adalah bahwa hal itu tertolak dengan (kasus) shalat Jum‘at; pelaksanaannya bisa luput namun tidak boleh bertayammum untuknya.
Jika dikatakan: shalat Jum‘at, ketika luput berpindah kepada shalat ẓuhr, sedangkan shalat jenazah tidak berpindah kepada pengganti.
قِيلَ: لَيْسَ الظُّهْرُ جُمْعَةً لَا سِيَّمَا قَوْلُهُمْ مَنْ خَرَجَ عَنْهُ وَقْتُ الْجُمُعَةِ، وَهُوَ فِيهَا بَطَلَتْ وَلَمْ يُتِمَّهَا ظُهْرًا ثُمَّ نَقُولُ: إِنَّ صَلَاةَ الْجِنَازَةِ لَا تَفُوتُ؛ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى الصَّلَاةِ عَلَى الْقَبْرِ، فَإِنْ مَنَعُوا مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى الْقَبْرِ فَهُوَ بِنَاءُ خِلَافٍ عَلَى خِلَافٍ ثُمَّ نَدُلُّ عَلَيْهِ بِمَا رُوِيَ عَنِ النبِيِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ صَلَّى عَلَى قَبْرِ مسكينةٍ، وَصَلَّى عَلَى قبرٍ بَعْدَ شهرٍ فَجَعَلَهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ الشَّهْرَ حَدًّا فِي جَوَازِ الصَّلَاةِ عَلَى الْقَبْرِ؛ لِأَجْلِ هَذَا الْخَبَرِ، وَلَيْسَ الشَّهْرُ عِنْدَنَا حَدًّا.
فَإِنْ قِيلَ: لَوْ جَازَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْقَبْرِ لَجَازَتِ الْآنَ عَلَى قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
قِيلَ: عَنْ هَذَا أَجْوِبَةٌ:
أَحَدُهَا: أَنَّنَا نُجَوِّزُهَا عَلَى مِثْلِ مَا كَانَتْ تَجُوزُ قَبْلُ فِيهِ، وَهُوَ أَنْ يَدْعُوَ النَّاسُ أَفْوَاجًا وَيَنْصَرِفُونَ.
وَالثَّانِي: إنما يمنع من الصلاة على قبره، لأن لا يُتَّخَذَ مَسْجِدًا؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ “.
Dikatakan: ẓuhr itu bukan Jum‘at, terlebih lagi menurut pendapat mereka yang mengatakan bahwa siapa yang keluar waktu Jum‘at darinya, sedangkan ia sedang berada di dalamnya, maka batal (shalatnya) dan ia tidak menyempurnakannya sebagai ẓuhr.
Kemudian kami katakan: sesungguhnya shalat jenazah itu tidaklah luput; karena ia mampu shalat atas kubur. Jika mereka melarang shalat atas kubur, maka itu berarti membangun perbedaan pendapat di atas perbedaan pendapat.
Kemudian kami berdalil atas bolehnya dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau shalat atas kubur seorang perempuan miskin, dan beliau shalat atas kubur setelah sebulan. Ahmad bin Ḥanbal menjadikan sebulan itu sebagai batasan bolehnya shalat atas kubur berdasarkan hadis ini, sedangkan menurut kami sebulan itu bukanlah batasan.
Jika dikatakan: kalau shalat atas kubur itu boleh, tentu boleh sekarang atas kubur Rasulullah SAW.
Dijawab: ada beberapa jawaban untuk ini:
Pertama: bahwa kami membolehkannya sebagaimana bolehnya dahulu, yaitu orang-orang berdoa secara bergelombang kemudian pergi.
Kedua: sesungguhnya larangan shalat atas kuburnya adalah agar tidak dijadikan masjid; berdasarkan sabda beliau SAW: “Allah melaknat orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”
وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا تَجُوزُ الصَّلَاةُ عَلَى الْقَبْرِ، لِمَنْ دَخَلَ فِي فَرْضِ تِلْكَ الصَّلَاةِ، وَهُوَ يَتَنَاوَلُ أَهْلَ ذَلِكَ الْعَصْرِ، فَجَازَ لَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا عَلَيْهِ، وَلَمْ يَجُزْ لِمَنْ بَعْدُ، ثُمَّ يُقَالُ لأبي حنيفة: قَدْ جَوَّزْتَ الصَّلَاةَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإِمَامِ وَالْوَلِيِّ، فَلَوْ جَازَ التَّيَمُّمُ لَهَا خَوْفًا مِنْ فَوَاتِهَا لَاقْتَضَى أَنْ لَا يَجُوزَ لِلْإِمَامِ وَالْوَلِيِّ؛ لِأَنَّهَا لَا تَفُوتُهُمَا، وَقَدْ أَجَازَ ذَلِكَ لَهُمَا كَمَا أَجَازَهُ لِغَيْرِهِمَا، فَدَلَّ عَلَى فَسَادِ مَا اعْتَلَّ بِهِ مِنَ الْفَوَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Ketiga: bahwa bolehnya shalat atas kubur itu berlaku bagi siapa yang termasuk dalam kewajiban shalat tersebut, dan ini mencakup orang-orang pada masa itu, maka boleh bagi mereka shalat atasnya, namun tidak boleh bagi orang-orang setelahnya.
Kemudian dikatakan kepada Abū Ḥanīfah: engkau telah membolehkan shalat atas kubur bagi imam dan wali, maka jika tayammum untuknya karena khawatir luput itu dibolehkan, konsekuensinya adalah tidak boleh bagi imam dan wali; karena keduanya tidak akan luput darinya. Namun ia telah membolehkannya bagi keduanya sebagaimana ia membolehkannya bagi selain keduanya, maka ini menunjukkan rusaknya alasan yang ia kemukakan tentang luputnya (shalat jenazah), dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui.
(مَسْأَلَةٌ: غُسْلُ وَوُضُوءُ مَنْ لَدَيْهِ بَعْضُ مَاءٍ لا يكفيه) .
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ مَعَهُ فِي السَّفَرِ مِنَ الْمَاءِ مَا لَا يَغْسِلُهُ لِلْجَنَابَةِ غَسَلَ أَيَّ بَدَنِهِ شاء وتيمم وصلى وَقَالَ فِي موضعٍ آخَرَ يَتَيَمَّمُ وَلَا يَغْسِلُ مِنْ أَعْضَائِهِ شَيْئَا وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ لِأَنَّ الماء لا يطهر بدنه (قال المزني) قلت أنا هذا أشبه بالحق عندي لأن كل بدلٍ لعدمٍ فحكم ما وجد من بعض المعدوم حكم العدم كالقاتل خطأً يجد بعض رقبةٍ فحكم البعض كحكم العدم وليس عليه إلا البدل ولو لزمه غسل بعضه لوجود بعض الماء وكمال البدل لزمه عتق بعض رقبةٍ لوجود البعض وكمال البدل ولا يقول بهذا أحدٌ نعلمه وفي ذلك دليلٌ وبالله التوفيق “.
(MASALAH: Mandi dan wudhu bagi orang yang memiliki sebagian air yang tidak mencukupi)
Al-Syafi‘i RA berkata: “Jika ia dalam safar memiliki air yang tidak cukup untuk mandi janabah, maka ia membasuh bagian tubuhnya yang ia kehendaki, lalu bertayammum dan shalat.”
Dan beliau berkata di tempat lain: “Ia bertayammum dan tidak membasuh sedikit pun dari anggota tubuhnya.”
Dan beliau berkata dalam qaul qadīm: “Karena air tersebut tidak dapat menyucikan seluruh badannya.”
Al-Muzanī berkata: “Menurut saya, pendapat ini lebih dekat kepada kebenaran, karena setiap pengganti (badal) itu disyariatkan karena ketiadaan, maka hukum ditemukannya sebagian dari yang tidak ada itu sama dengan hukum ketidakadaan, sebagaimana orang yang membunuh karena tersalah lalu ia mendapatkan sebagian budak untuk dimerdekakan, maka hukum sebagian itu sama dengan hukum tidak ada, dan ia hanya wajib membayar pengganti.
Jika ia wajib membasuh sebagian tubuhnya karena adanya sebagian air dan menyempurnakan dengan pengganti, maka berarti ia juga wajib memerdekakan sebagian budak karena adanya sebagian (yang lain) dan menyempurnakan dengan pengganti, dan tidak ada seorang pun yang kami ketahui mengatakan hal itu. Dan dalam hal ini terdapat dalil. Dan kepada Allah-lah tempat memohon taufik.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْجُنُبَ إِذَا وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ مَا لَا يَكْفِيهِ لِجَمِيعِ بَدَنِهِ، أَوْ وَجَدَ الْمُحْدِثُ مَا لَا يَكْفِيهِ لِأَعْضَاءِ وُضُوئِهِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ فَرْضَهُ التَّيَمُّمُ، وَلَا يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُ مَا وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ وَالْمُزَنِيُّ، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَسْتَعْمِلَ الْمَاءَ وَيَتَيَمَّمَ، لَا يُجْزِئُهُ أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِهِ، فَاسْتَدَلَّ مَنْ أَسْقَطَ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ عَنْهُ اقْتِصَارًا عَلَى التَّيَمُّمِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ) {المائدة: 6) ثُمَّ قَالَ: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} إِشَارَةً إِلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذِكْرِهِ مِنَ الْمَاءِ الْمَشْرُوعِ فِي الِاسْتِعْمَالِ لِجَمِيعِ الْأَعْضَاءِ؛ وَلِأَنَّ في استعمال الماء والتيمم جميعاً بَيْنَ بَدَلٍ وَمُبْدَلٍ وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي الْأُصُولِ لَا يَلْزَمُ كَالْعِتْقِ وَالصَّوْمِ فِي الْكَفَّارَةِ، وَلِأَنَّ عدم بعض الكل كَعَدَمِ جَمِيعِهِ فِي جَوَازِ الِانْتِقَالِ إِلَى الْبَدَلِ قِيَاسًا عَلَى الْوَاجِدِ لِبَعْضِ الرَّقَبَةِ يَكُونُ كَالْعَادِمِ لِجَمِيعِهَا فِي جَوَازِ الِانْتِقَالِ إِلَى الصَّوْمِ، وَهُوَ اسْتِدْلَالُ الْمُزَنِيِّ.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا) {المائدة: 6) ، فَجَعَلَ التَّيَمُّمَ مَشْرُوطًا بِعَدَمِ مَا ذَكَرَهُ عَلَى وَجْهِ النَّكِرَةِ بِحَرْفِ النَّفْيِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِمَا يَنْطَلِقُ اسْمُ الْمَاءِ عَلَيْهِ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ، وَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَبِي ذَرٍّ: ” الصَّعِيدُ الطَّيِّبُ طَهُورُ مَنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَكُونُ طَهُورًا لِمَنْ وَجَدَ شَيْئًا مِنَ الْمَاءِ، وَلِأَنَّ الْعَجْزَ عَنْ إِيصَالِ الْمَاءِ إِلَى بَعْضِ أَعْضَائِهِ لَا يَقْتَضِي سُقُوطَ الْفَرْضِ عَنْ إِيصَالِهِ إِلَى مَا لَمْ يَعْجِزْ عَنْهُ، قِيَاسًا عَلَى الْعَادِمِ لِبَعْضِ أَعْضَائِهِ، وَلِأَنَّ أَعْضَاءَ الطَّهَارَةِ بِحَالٍ لَزِمَهُ تَطْهِيرُهَا فَلَمْ يَكُنْ فَقْدُ الطُّهُورِ فِي بَعْضِهَا مُوجِبًا لِسُقُوطِ تَطْهِيرِ بَاقِيهَا، قِيَاسًا عَلَى النَّجَاسَةِ إِذَا قَدَرَ عَلَى غَسْلِ بَعْضِهَا، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ شَرْطًا فِي الصَّلَاةِ لَمْ يَكُنِ الْعَجْزُ عَنْ بَعْضِهِ عَجْزًا عَنْ جَمِيعِهِ كَسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَالْقِرَاءَةِ، فَإِنَّهُ يَسْتُرُ مِنْ عَوْرَتِهِ مَا قَدَرَ وَيَقْرَأُ مَا أَحْسَنَ؛ وَلِأَنَّ سُقُوطَ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ إِذَا اخْتَصَّ بِبَعْضِ الْأَعْضَاءِ لَمْ يَسْقُطِ اسْتِعْمَالُهُ فِي بَاقِي الْأَعْضَاءِ، قِيَاسًا عَلَى صَاحِبِ الْقُرُوحِ، وَلِأَنَّ لِلْمَاءِ أَصْلًا يَنْتَقِلُ عَنْهُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ، فَلَمَّا كَانَ اسْتِعْمَالُهُ يَقَعُ مُبَعَّضًا كَانَ وُجُودُ بَعْضِهِ مُوجِبًا لِلْمَصِيرِ إِلَيْهِ، قِيَاسًا عَلَى الْمُضْطَرِّ إِذَا وَجَدَ مَا يَسُدُّ بِهِ رَمَقَهُ مِنَ الطَّعَامِ يَلْزَمُهُ أَكْلُ ذَلِكَ الْبَعْضِ، قَبْلَ أَكْلِ الْمَيْتَةِ.
Al-Māwardī berkata:
“Ketahuilah, orang junub yang mendapatkan air yang tidak mencukupi untuk seluruh badannya, atau orang berhadas yang mendapatkan air yang tidak mencukupi untuk seluruh anggota wudhunya, maka al-Syafi‘i dalam qaul qadīm-nya berpendapat: kewajibannya adalah tayammum, dan ia tidak wajib menggunakan sedikit air yang ada padanya. Pendapat ini juga dipegang oleh Abū Ḥanīfah, Mālik, dan al-Muzanī.
Namun al-Syafi‘i dalam qaul jadīd-nya berpendapat: wajib atasnya menggunakan air yang ada lalu bertayammum, dan tidak sah salah satunya saja tanpa yang lain. Inilah yang shahih dari mazhabnya.
Mereka yang menggugurkan kewajiban penggunaan air dan mencukupkan dengan tayammum berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {Apabila kalian berdiri untuk shalat maka basuhlah wajah-wajah kalian} (al-Mā’idah: 6), kemudian firman-Nya: {Lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah}, sebagai isyarat kepada apa yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu air yang disyariatkan untuk digunakan pada seluruh anggota.
Dan karena penggunaan air bersamaan dengan tayammum berarti menggabungkan antara badal dan yang digantikannya (mubdal), sedangkan penggabungan keduanya dalam ushul tidaklah wajib, seperti memerdekakan budak dan berpuasa dalam kafarat.
Dan karena tidak adanya sebagian dari keseluruhan sama seperti tidak adanya seluruhnya dalam kebolehan berpindah kepada badal, diqiyaskan kepada orang yang hanya mendapatkan sebagian budak, ia seperti orang yang tidak mendapatkan seluruhnya dalam kebolehan berpindah kepada puasa — dan ini adalah istidlal al-Muzanī.
Adapun dalil kami: firman Allah Ta‘ālā: {Lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah} (al-Mā’idah: 6), di mana tayammum dijadikan bersyarat dengan ketiadaan air yang disebutkan dalam bentuk nakirah dengan huruf nafi, sehingga mengharuskan ia dianggap berlaku pada segala yang disebut “air” baik sedikit maupun banyak.
Dan sabda Nabi SAW kepada Abū Dzarr: “Tanah yang baik adalah ṭahūr bagi orang yang tidak mendapatkan air.” Maka ini menunjukkan bahwa ia tidak menjadi ṭahūr bagi orang yang mendapatkan sebagian air.
Dan karena ketidakmampuan menyampaikan air kepada sebagian anggota tidak mengharuskan gugurnya kewajiban menyampaikan air kepada anggota lain yang ia mampu menyampaikannya, diqiyaskan kepada orang yang kehilangan sebagian anggota tubuhnya.
Dan karena anggota-anggota ṭahārah jika tetap ada, wajib disucikan, maka ketiadaan air pada sebagian anggota tidak menggugurkan kewajiban menyucikan sisanya, diqiyaskan kepada najis yang jika ia mampu membasuh sebagian, maka ia wajib membasuhnya.
Dan karena setiap syarat shalat, ketidakmampuan pada sebagian darinya tidak berarti ketidakmampuan pada seluruhnya, seperti menutup aurat dan membaca bacaan shalat, di mana ia menutup aurat sejauh yang ia mampu dan membaca sejauh yang ia kuasai.
Dan karena gugurnya penggunaan air jika khusus pada sebagian anggota, tidak menggugurkan penggunaannya pada anggota yang lain, diqiyaskan kepada orang yang memiliki luka.
Dan karena air adalah asal yang hanya berpindah darinya ketika darurat, maka ketika penggunaannya mungkin dilakukan secara sebagian, adanya sebagian air itu mewajibkan kembali kepadanya, diqiyaskan kepada orang yang dalam keadaan darurat makanan; jika ia menemukan sesuatu yang dapat menahan lapar, ia wajib memakannya sebelum memakan bangkai.”
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ مَا مَضَى مِنْ وَجْهِ الِاسْتِدْلَالِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّهُ جَمْعٌ بَيْنَ مُبْدَلٍ وَبَدَلٍ فَهُوَ أَنَّ التَّيَمُّمَ بَدَلٌ عَمَّا لَمْ يَصِلْ إِلَيْهِ الْمَاءُ فَلَمْ يَكُنْ جَمْعًا بَيْنَ مُبْدَلٍ وَبَدَلٍ أَلَا تَرَاهُ لَوِ اسْتَعْمَلَ الْمَاءَ فِي بَعْضِ بَدَنِهِ ثُمَّ أَرَاقَهُ قَبْلَ إِتْمَامِهِ لَزِمَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِمَا بَقِيَ إِجْمَاعًا، وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ جَمْعًا بَيْنَ مُبْدَلٍ وَبَدَلٍ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّ وُجُودَ بَعْضِ الْمُبْدَلِ كَعَدَمِهِ فِي الِانْتِقَالِ إِلَى بَدَلِهِ فَمُنْتَقَضٌ بِالْقَادِرِ عَلَى بَعْضِ الْقِرَاءَةِ يَلْزَمُهُ أَنْ يَقْرَأَ بِقَدْرِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ وَسَبَّحَ بَدَلًا عَنِ الْبَاقِي، وَمُنْتَقَضٌ بالواجد لما يستر به بعض عورته لا يَسْقُطُ عَنْهُ فَرْضُ الِاسْتِتَارِ بِهِ ثُمَّ الْفَرْقُ بَيْنَ بَعْضِ الرَّقَبَةِ وَبَعْضِ الْمَاءِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ أَنَّ الصَّوْمَ يَجِبُ عَنْ جَمِيعِ الرَّقَبَةِ وَلَا يَجِبُ عَنْ بَعْضِهَا، وَالتَّيَمُّمُ يَجِبُ عَنْ بَعْضِ الْأَعْضَاءِ كَمَا يَجِبُ عَنْ جَمِيعِهَا.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan ayat, maka adalah seperti yang telah lalu dari sisi istidlal.
Adapun jawaban terhadap ucapan mereka bahwa hal itu merupakan penggabungan antara mubdal dan badal, maka tayammum itu adalah badal dari bagian anggota yang tidak terkena air, sehingga tidak termasuk penggabungan antara mubdal dan badal. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia menggunakan air pada sebagian tubuhnya lalu menumpahkannya sebelum menyempurnakannya, maka wajib baginya bertayammum untuk bagian yang tersisa secara ijmak, dan itu tidak dianggap penggabungan antara mubdal dan badal.
Adapun jawaban terhadap ucapan mereka bahwa adanya sebagian dari mubdal itu sama seperti tidak adanya dalam berpindah kepada badal, maka ini tertolak dengan qiyas kepada orang yang mampu membaca sebagian bacaan shalat, ia wajib membaca sesuai yang ia mampu dan bertakbir-tasbih sebagai pengganti dari sisanya; dan tertolak pula dengan qiyas kepada orang yang mendapatkan sesuatu untuk menutup sebagian auratnya, maka tidak gugur kewajiban menutup dengan yang ia dapatkan itu.
Kemudian perbedaan antara sebagian budak (raqabah) dan sebagian air ada tiga sisi:
Pertama: sebagaimana yang ditunjukkan oleh Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa puasa (ṣawm) itu wajib sebagai ganti dari seluruh budak, dan tidak wajib sebagai ganti dari sebagian budak; sedangkan tayammum itu wajib sebagai ganti dari sebagian anggota sebagaimana ia wajib sebagai ganti dari seluruhnya.
وَالثَّانِي: قَالَهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّ التَّكْفِيرَ يَكُونُ لِيَمِينٍ مُتَقَدِّمَةٍ وَالطَّهَارَةَ تَكُونُ لِصَلَاةٍ مُسْتَقْبَلَةٍ، وَهُوَ لَا يَسْتَفِيدُ بِعِتْقِ بَعْضِ الرَّقَبَةِ إِذَا صَامَ شَهْرَيْنِ فَائِدَةً، فَسَقَطَ عِنْدَ عِتْقِ بَعْضِهَا لدعم الْفَائِدَةِ فِيهِ، وَيَسْتَفِيدُ بِاسْتِعْمَالِ بَعْضِ الْمَاءِ إِذَا تَيَمَّمَ فَائِدَةً، وَهُوَ أَنْ يُتِمَّ بَاقِيَ أَعْضَائِهِ، وَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَيَرْتَفِعُ حَدَثُهُ بِهِ، فَلَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ بَعْضِهِ لِوُجُودِ الْفَائِدَةِ فِيهِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْمَاءَ مُسْتَعْمَلٌ فِي الْوُضُوءِ عَلَى التَّبْعِيضِ وَالتَّجْزِئَةِ، لأنه يستعمله فِي عُضْوٍ دُونَ عُضْوٍ، فَجَازَ أَنْ يَتَبَعَّضَ فِي الْوُجُوبِ وَالْعِتْقُ لَمْ يُبْنَ عَلَى التَّبْعِيضِ وَالتَّجْزِئَةِ فَلَمْ يَتَبَعَّضْ فِي الْوُجُوبِ.
Kedua: sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abī Hurairah, bahwa kafarat itu berlaku untuk sumpah yang telah lampau, sedangkan ṭahārah berlaku untuk shalat yang akan datang. Ia tidak mendapatkan manfaat dari memerdekakan sebagian budak jika ia berpuasa dua bulan sebagai gantinya, maka gugurlah kewajiban memerdekakan sebagian budak karena tidak ada manfaatnya.
Sedangkan ia mendapatkan manfaat dari menggunakan sebagian air jika kemudian ia bertayammum, yaitu dapat menyempurnakan anggota tubuh lainnya, dan jika ia mendapatkan air maka hadasnya hilang dengan air itu. Maka wajib baginya menggunakan sebagian air tersebut karena adanya manfaat di dalamnya.
Ketiga: bahwa air digunakan dalam wudhu dengan cara tab‘īḍ (sebagian-sebagian) dan tajzī’ah (terpisah-pisah), karena ia menggunakannya pada satu anggota tanpa anggota lainnya, maka bolehlah kewajibannya berlaku secara sebagian. Sedangkan memerdekakan budak tidak dibangun di atas tab‘īḍ dan tajzī’ah, maka tidaklah berlaku kewajiban secara sebagian.
(فَصْلٌ: تَقْدِيمُ اسْتِعْمَالِ مَا وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ قَبْلَ التَّيَمُّمِ)
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ أَصَحَّ الْقَوْلَيْنِ وُجُوبُ اسْتِعْمَالِ مَا وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ وَالتَّيَمُّمُ لِمَا عَجَزَ عَنْهُ فَعَلَيْهِ أَنْ يُقَدِّمَ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ قَبْلَ التَّيَمُّمِ فَإِنْ قَدَّمَ التَّيَمُّمَ عَلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ لَمْ يَتَعَدَّ بِهِ،بِخِلَافِ الْقَرِيحِ الْجَرِيحِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنْ قَبْلُ، فَإِنْ كَانَ جُنُبًا اسْتَعْمَلَ مَا وَجَدَ مِنَ الْمَاءِ فِي أَيِّ بَدَنِهِ شاء وتيمم لِبَاقِيهِ، وَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا اسْتَعْمَلَهُ فِي وَجْهِهِ مُقَدِّمًا مَا يَلْزَمُهُ تَرْتِيبُهُ فِي وُضُوئِهِ، ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِبَاقِي أَعْضَائِهِ، فَلَوْ كَانَ مُحْدِثًا، وَعَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ، وَوَجَدَ مِنَ الْمَاءِ مَا يَكْفِي أَحَدَهُمَا لَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ قَبْلَ الْحَدَثِ؛ لِأَنَّ لِلْحَدَثِ بَدَلًا، وَلَيْسَ لِإِزَالَةِ النَّجَاسَةِ بَدَلٌ، وَهُوَ يَجُوزُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِحَدَثِهِ قَبْلَ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِي نَجَاسَتِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُمَا طَهَارَتَانِ مُخْتَلِفَتَانِ، فَلَمْ يَكُنْ تَقْدِيمُ هَذِهِ بِأَوْلَى مِنْ تَقْدِيمِ هَذِهِ.
(PASAL: Mendahulukan penggunaan air yang ada sebelum tayammum)
Apabila telah tetap bahwa pendapat yang lebih sahih adalah wajib menggunakan air yang ada dan bertayammum untuk bagian yang tidak mampu dibasuh, maka ia wajib mendahulukan penggunaan air sebelum tayammum. Jika ia mendahulukan tayammum daripada penggunaan air, maka tayammumnya tidak sah, berbeda dengan orang yang memiliki luka sebagaimana telah dijelaskan perbedaannya sebelumnya.
Jika ia dalam keadaan junub, maka ia menggunakan air yang ada pada bagian tubuh yang ia kehendaki, lalu bertayammum untuk sisanya. Jika ia berhadas, maka ia menggunakannya pada wajahnya, dengan mendahulukan bagian yang wajib diurutkan dalam wudhu, kemudian bertayammum untuk anggota lainnya.
Jika ia berhadas dan pada tubuhnya terdapat najis, sedangkan air yang ada hanya cukup untuk salah satunya, maka wajib menggunakan air untuk menghilangkan najis sebelum menghilangkan hadas; karena hadas memiliki pengganti, sedangkan menghilangkan najis tidak memiliki pengganti.
Namun ia boleh bertayammum untuk hadasnya sebelum menggunakan air untuk menghilangkan najisnya, dengan dua pendapat:
Pertama: boleh; karena keduanya adalah dua macam ṭahārah yang berbeda, maka tidak ada alasan untuk mendahulukan yang satu atas yang lain.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ التَّيَمُّمَ إِذَا لَمْ يُسْتَبَحْ مَعَهُ الصَّلَاةُ كَانَ بَاطِلًا، وَإِذَا تَقَدَّمَ مَعَ بَقَاءِ النَّجَاسَةِ لَمْ يُبِحِ الصَّلَاةَ، وَالْأَوَّلُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ أَصَحُّ؛ لِأَنَّ الْمَقْرُوحَ يَجُوزُ أَنْ يُقَدِّمَ التَّيَمُّمَ عَلَى الْمَاءِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَسْتَبِيحُ بِهِ الصَّلَاةَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua: tidak boleh; karena tayammum yang tidak dapat digunakan untuk menunaikan shalat adalah batal, dan jika dilakukan sebelum menghilangkan najis yang masih ada, maka tayammum tersebut tidak membolehkan shalat.
Pendapat pertama dari dua pendapat ini lebih sahih; karena orang yang memiliki luka diperbolehkan mendahulukan tayammum daripada penggunaan air, meskipun dengan tayammum itu ia belum dapat menunaikan shalat. Dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui.
(مَسْأَلَةٌ: هَلْ تعجيل التيمم أفضل أم تأخيره؟)
(قال الشافعي) : ” وَأُحِبُّ تَعْجِيلَ التَّيَمُّمِ لِاسْتِحْبَابِي تَعْجِيلَ الصَّلَاةِ وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ لَوْ أَخَّرَهُ إِلَى آخِرِ الْوَقْتِ رَجَاءَ أَنْ يَجِدَ الْمَاءَ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ (قال المزني) قلت أنا كأن التعجيل بقوله أولى لأن السنة أن يصلي ما بين أول الوقت وآخره فلما كان أعظم لأجره في أداء الصلاة بالوضوء فالتيمم مثله وبالله التوفيق “.
Pendapat kedua: tidak boleh; karena tayammum yang tidak dapat digunakan untuk menunaikan shalat adalah batal, dan jika dilakukan sebelum menghilangkan najis yang masih ada, maka tayammum tersebut tidak membolehkan shalat.
Pendapat pertama dari dua pendapat ini lebih sahih; karena orang yang memiliki luka diperbolehkan mendahulukan tayammum daripada penggunaan air, meskipun dengan tayammum itu ia belum dapat menunaikan shalat. Dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي مُسَافِرٍ دَخَلَ عَلَيْهِ وَقْتُ الصَّلَاةِ وَهُوَ عَادِمٌ لِلْمَاءِ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتَيَقَّنَ عَدَمَ الْمَاءِ إِلَى آخِرِ الْوَقْتِ. وَالثَّانِي: أَنْ يَتَيَقَّنَ وُجُودَ الْمَاءِ قَبْلَ خُرُوجِ الْوَقْتِ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ لَا يَتَيَقَّنَ وَاحِدًا مِنَ الْأَمْرَيْنِ. فَإِنْ تَيَقَّنَ عَدَمَ الْمَاءِ إِلَى آخِرِ الْوَقْتِ بِمَا قَدْ عَرَفَهُ مِنْ حَالِ طَرِيقِهِ وَإِعْوَازِ الْمَاءِ فِيهِ، فَالْأَفْضَلُ بِهِ تَعْجِيلُ الصَّلَاةِ بِالتَّيَمُّمِ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا، لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى حَالُ الطَّهَارَةِ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ وَآخِرِهِ صَارَ إِدْرَاكُ الْوَقْتِ فَضِيلَةً مُجَرَّدَةً وَإِنْ تَيَقَّنَ وُجُودَ الْمَاءِ قَبْلَ خُرُوجِ الْوَقْتِ بِمَا قَدْ عَرَفَهُ مِنْ حَالِ طَرِيقِهِ وَمَا فِيهِ مِنْ نهرٍ أَوْ وادٍ أَوْ بِئْرٍ كَانَ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ إِلَى آخِرِ الْوَقْتِ لِتُؤَدَّى بِالطَّهَارَةِ الْكَامِلَةِ أَحَقَّ؛ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ بِالْمَاءِ لَا يَجُوزُ الْعُدُولُ عَنْهَا مَعَ الْقُدْرَةِ، وَأَوَّلُ الْوَقْتِ يَجُوزُ تَرْكُهُ مَعَ الْقُدْرَةِ، فَصَارَ كَمَالُ الطَّهَارَةِ أَفْضَلَ مِنْ تَعْجِيلِ الْوَقْتِ، فَإِنْ كَانَ تَيَقُّنُهُ بِوُجُودِ الْمَاءِ فِي مَنْزِلِهِ الَّذِي هُوَ فِيهِ عِنْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ كَانَ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ إِلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ وَاجِبًا؛ لِأَنَّ الْمَنْزِلَ كُلَّهُ مَحَلٌّ لِلطَّلَبِ، وَإِنْ كَانَ تَيَقُّنُهُ لِلْمَاءِ فِي غَيْرِمَنْزِلِهِ، ذَلِكَ كَانَ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ، مُسْتَحَبًّا، وَتَعْلِيلُهُ مَا ذَكَرْنَا فَلَا وَجْهَ لِمَنْ أَطْلَقَ اسْتِحْبَابَ التَّأْخِيرِ مِنْ أَصْحَابِنَا وَمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ تَفْضِيلِ الْحَالِ فِيهِ هُوَ مُقْتَضَى التَّعْلِيلِ وَإِنْ لَمْ يَتَيَقَّنِ اسْتِدَامَةَ عَدَمِهِ، وَلَا حُدُوثَ وَجُودِهِ، فَلَمْ يَكُنْ أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ غَالِبًا، فَالتَّعْجِيلُ جَائِزٌ، وَالتَّأْخِيرُ جَائِزٌ، وَفِي الْأَفْضَلِ مِنْهُمَا قَوْلَانِ:
Al-Māwardī berkata:
Keadaannya: seorang musafir masuk waktu shalat sedangkan ia tidak memiliki air, maka ada tiga keadaan:
Pertama: ia yakin tidak ada air hingga akhir waktu shalat.
Kedua: ia yakin akan mendapatkan air sebelum waktu habis.
Ketiga: ia tidak yakin pada salah satu dari dua hal tersebut.
Jika ia yakin tidak ada air hingga akhir waktu, berdasarkan pengetahuannya tentang kondisi jalannya dan sedikitnya air di sana, maka yang lebih utama baginya adalah menyegerakan shalat dengan tayammum di awal waktu; karena ketika keadaan ṭahārah sama antara awal dan akhir waktu, maka pencapaian awal waktu hanya menjadi keutamaan murni.
Jika ia yakin akan mendapatkan air sebelum waktu habis, berdasarkan pengetahuannya tentang kondisi jalannya dan adanya sungai, lembah, atau sumur, maka menunda shalat hingga akhir waktu agar dilaksanakan dengan ṭahārah sempurna lebih utama; karena ṭahārah dengan air tidak boleh ditinggalkan ketika mampu, sedangkan awal waktu boleh ditinggalkan ketika mampu, sehingga kesempurnaan ṭahārah lebih utama daripada menyegerakan waktu.
Jika keyakinannya terhadap adanya air adalah di tempat tinggalnya pada saat masuk waktu, maka menunda shalat hingga menggunakan air adalah wajib; karena seluruh rumah adalah tempat pencarian air.
Jika keyakinannya terhadap air adalah di luar rumahnya, maka menunda shalat hukumnya mustahabb, dengan alasan yang telah disebutkan. Maka tidak tepat bagi yang mengatakan mutlaknya kesunnahan menunda shalat dari kalangan aṣḥābunā, karena yang kami sebutkan berupa perincian keadaan itulah yang sesuai dengan alasan hukumnya.
Jika ia tidak yakin apakah ketiadaan air akan terus berlanjut ataukah air akan muncul, sehingga tidak ada salah satu keadaan yang lebih dominan, maka menyegerakan boleh, menunda pun boleh, dan dalam hal mana yang lebih utama terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّ تَأْخِيرَهَا إِلَى آخِرِ وَقْتِهَا أَفْضَلُ رَجَاءَ أَنْ يُؤَدِّيَهَا بِطَهَارَةٍ كَامِلَةٍ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وأبي حنيفة وَوَجْهُهُ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ “، وقال: ” إذا حضر العشاء وأقيمت الصلاة فابدؤا بِالْعَشَاءِ ” فَجَعَلَ تَأْخِيرَهَا بِعَدَمِ الْحَرِّ وَالشَّهْوَةِ أَفْضَلَ. وَلَيْسَ هَذَا الْعُذْرُ قُرْبَةً كَانَ تَأْخِيرُهَا لِطَلَبِ الْمَاءِ فِي آخِرِ الْوَقْتِ أَوْلَى لِكَوْنِ الطَّلَبِ قُرْبَةً، وَلِأَنَّ كَمَالَ الطَّهَارَةِ أَفْضَلُ مِنَ الْجَمَاعَةِ فِي الصَّلَاةِ، فَلَمَّا كَانَ تَأْخِيرُهَا عَنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ لِطَلَبِ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلَ، فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ تَأْخِيرُهَا لِكَمَالِ الطَّهَارَةِ أَفْضَلَ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ تَعْجِيلَهَا بِالتَّيَمُّمِ أَوْلَى فِي الْوَقْتِ، وَأَفْضَلُ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ، وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَوَجْهُهُ حَدِيثُ أَمِّ فَرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ فَقَالَ الصَّلَاةُ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا ” وَلِأَنَّ فَضِيلَةَ أَوَّلِ الْوَقْتِ مُتَيَقَّنَةٌ وَالْقُدْرَةُ عَلَى كَمَالِ الطَّهَارَةِ فِي آخِرِ الْوَقْتِ فَضِيلَةٌ مُجَوَّزَةٌ، وَالْعَمَلُ بِمَا يَتَيَقَّنُهُ مِنَ الْفَضِيلَتَيْنِ أَوْلَى مِنَ الِاتِّكَالِ عَلَى مَا شَكَّ فِي وُجُودِهِ.
Salah satunya — dan ini yang disebutkan beliau dalam al-Imlā’ — adalah bahwa menundanya hingga akhir waktu lebih utama, dengan harapan dapat melaksanakannya dengan ṭahārah sempurna. Ini adalah mazhab Mālik dan Abū Ḥanīfah. Alasannya adalah sabda Nabi SAW: “Apabila panas terasa sangat terik, maka dinginkanlah (tunda) shalat,” dan sabdanya: “Apabila makan malam telah dihidangkan dan shalat telah ditegakkan, maka mulailah dengan makan malam.” Maka beliau menjadikan menunda shalat karena panas dan karena keinginan makan sebagai yang lebih utama. Padahal ini bukan alasan ibadah, maka menunda shalat untuk mencari air di akhir waktu lebih utama, karena mencari air adalah ibadah. Dan karena kesempurnaan ṭahārah lebih utama daripada berjamaah dalam shalat, maka ketika menunda shalat dari awal waktu untuk berjamaah itu lebih utama, maka menunda shalat untuk kesempurnaan ṭahārah lebih utama lagi.
Pendapat kedua — yang disebutkan beliau dalam al-Jadīd — adalah bahwa menyegerakannya dengan tayammum lebih utama dalam waktunya dan lebih afdhal. Pendapat ini dipilih oleh al-Muzanī, dan inilah yang shahih. Alasannya adalah hadis Ummu Farwah, bahwa Nabi SAW ditanya tentang amal yang paling utama, beliau menjawab: “Shalat di awal waktunya.” Dan karena keutamaan awal waktu itu pasti, sedangkan kemampuan mendapatkan ṭahārah sempurna di akhir waktu itu hanya kemungkinan, maka mengamalkan keutamaan yang sudah pasti lebih utama daripada bergantung pada sesuatu yang masih diragukan keberadaannya.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ ثُمَّ عَلِمَ أَنَّهُ كَانَ فِي رَحْلِهِ أَعَادَ “.
(masalah)
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika ia tidak mendapatkan air, kemudian ia mengetahui bahwa air itu ada di dalam raḥl-nya, maka ia mengulang.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِيمَنْ تَيَمَّمَ بَعْدَ طَلَبِ الْمَاءِ وَصَلَّى ثُمَّ وَجَدَ الْمَاءَ فِي رَحْلِهِ، فَرَوَى الْمُزَنِيُّ هَا هنا، وفي جامعه الكبير أنه عَلَيْهِ الْإِعَادَةَ وَرَوَى الرَّبِيعُ مِثَلَهُ فِي الْأُمِّ، وَحَكَى أَبُو ثَوْرٍ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يُخَرِّجُ الْإِعَادَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ لِاخْتِلَافِ الرِّوَايَتَيْنِ فَيَجْعَلُ ذَلِكَ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ فِيمَنْ نَسِيَ الْفَاتِحَةَ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى سَلَّمَ مِنْهَا قَالَ فِي الْقَدِيمِ لَا يُعِيدُ، فَكَذَا مَنْ نَسِيَ الْمَاءَ فِي رَحْلِهِ، وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ: يُعِيدُ، فَكَذَا مَنْ نَسِيَ الْمَاءَ فِي رَحْلِهِ، وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبُو الْفَيَّاضِ لَيْسَ اخْتِلَافُ الرِّوَايَةِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ ثُمَّ اخْتَلَفَا فِي اخْتِلَافِ الْحَالَيْنِ، فَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ رِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ فِي وُجُوبِ الإعادة محمولةعَلَى أَنَّ رَحْلَهُ صَغِيرٌ يُمْكِنُ الْإِحَاطَةُ بِهِ، وَرِوَايَةُ أَبِي ثَوْرٍ فِي سُقُوطِ الْإِعَادَةِ عَلَى أَنَّ رَحْلَهُ كَبِيرٌ لَا يُمْكِنُ الْإِحَاطَةُ بِهِ، وَقَالَ أَبُو الْفَيَّاضِ بَلْ رِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ كَانَ مَوْجُودًا فِي رَحْلِهِ قَبْلَ الطَّلَبِ، وَرِوَايَةُ أَبِي ثَوْرٍ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ وُضِعَ فِي رَحْلِهِ بَعْدَ الطَّلَبِ، فَهَذَا يَشْرَحُ الْمَذْهَبَ وَاخْتِلَافَ أَصْحَابِنَا فِيهِ، وَالصَّحِيحُ وُجُوبُ الْإِعَادَةِ وَبِهِ قَالَ أَبُو يُوسُفَ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ ومحمد: لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: “Gambaran masalah ini adalah pada orang yang bertayammum setelah mencari air lalu shalat, kemudian ia mendapatkan air di raḥl-nya. Al-Muzanī meriwayatkan di sini, dan di Jāmi‘-nya yang besar, bahwa ia wajib mengulang. Al-Rabī‘ meriwayatkan yang sama dalam al-Umm. Abu Tsaur menukil dari al-Syafi‘i bahwa beliau berkata tidak ada kewajiban mengulang.
Maka para sahabat kami berbeda pendapat. Abu Ishaq al-Marwazī mengeluarkan kewajiban mengulang atas dua pendapat karena perbedaan dua riwayat, sehingga menjadikannya dibangun atas perbedaan dua pendapat tentang orang yang lupa membaca al-Fātiḥah dalam shalat hingga salam darinya. Beliau berkata dalam qaul qadīm: tidak mengulang, begitu pula orang yang lupa air di raḥl-nya. Dan beliau berkata dalam qaul jadīd: mengulang, begitu pula orang yang lupa air di raḥl-nya.
Abu ‘Alī bin Abī Hurairah dan Abu al-Fayyāḍ berkata: perbedaan riwayat ini bukan karena perbedaan dua pendapat, tetapi karena perbedaan dua keadaan. Kemudian keduanya berbeda dalam menjelaskan perbedaan keadaan tersebut. Abu ‘Alī bin Abī Hurairah berkata: riwayat al-Muzanī tentang wajibnya mengulang dibawa pada keadaan raḥl-nya kecil sehingga memungkinkan untuk diinspeksi, sedangkan riwayat Abu Tsaur tentang gugurnya kewajiban mengulang dibawa pada keadaan raḥl-nya besar sehingga tidak memungkinkan untuk diinspeksi.
Abu al-Fayyāḍ berkata: bahkan riwayat al-Muzanī dibawa pada keadaan air sudah ada di raḥl-nya sebelum pencarian, sedangkan riwayat Abu Tsaur dibawa pada keadaan air diletakkan di raḥl-nya setelah pencarian. Inilah penjelasan mazhab dan perbedaan para sahabat kami di dalamnya. Pendapat yang ṣaḥīḥ adalah wajib mengulang, dan ini dikatakan oleh Abu Yūsuf. Abu Ḥanīfah, Mālik, dan Muhammad berkata: tidak ada kewajiban mengulang, dengan berdalil pada dua hal:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ مَشْرُوطٌ بِالْقُدْرَةِ عَلَيْهِ، وَالْقُدْرَةُ مَعَ النِّسْيَانِ مُمْتَنَعَةٌ، وَالتَّيَمُّمُ مَعَ عَدَمِ الْقُدْرَةِ جَائِزٌ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُمَا طَالِبَانِ فِي رَحْلِهِ وَغَيْرِ رَحْلِهِ، فَلَمَّا كَانَ نِسْيَانُ الْمَاءِ فِي غَيْرِ رَحْلِهِ لَا يُوجِبُ الْإِعَادَةَ كَانَ نِسْيَانُهُ فِي رَحْلِهِ لَا يُوجِبُ الْإِعَادَةَ.
Pertama: sesungguhnya penggunaan air itu disyaratkan dengan kemampuan atasnya, sedangkan kemampuan itu dengan adanya lupa adalah mustahil, dan tayammum dengan ketidakmampuan adalah boleh.
Kedua: sesungguhnya keduanya sama-sama mencari di raḥl-nya dan selain raḥl-nya. Maka ketika lupa air di selain raḥl-nya tidak mewajibkan pengulangan, demikian pula lupa air di raḥl-nya tidak mewajibkan pengulangan.
وَدَلِيلُنَا عَلَى وُجُوبِ الْإِعَادَةِ قَوْله تَعَالَى: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} وَالنِّسْيَانُ لَا يُخْرِجُهُ مِنَ الْوُجُودِ، وَإِنَّمَا يُخْرِجُهُ مِنَ الْعِلْمِ بِالْوُجُودِ، وَأَنَّ نِسْيَانَ الطَّهُورِ، لَا يَمْنَعُ مِنْ لُزُومِ الْقَضَاءِ كَنِسْيَانِ الْحَدَثِ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَكُنْ طَهُورًا فِي حَالِ الذِّكْرِ لَمْ يَكُنْ طَهُورًا فِي حَالِ النِّسْيَانِ، كَالْمَاءِ النَّجِسِ، وَلِأَنَّ شُرُوطَ الطَّهَارَةِ بِالذِّكْرِ لَا يَسْقُطُ فِعْلُهَا بِالنِّسْيَانِ، كَنَاسِي الثَّوْبِ لِيَسْتُرَ عَوْرَتَهُ، وَلِأَنَّ كُلَّ أَصْلٍ لَزِمَ الْمَسِيرُ إِلَيْهِ فِي حَالِ الذِّكْرِ لَمْ يَسْقُطْ بِالنِّسْيَانِ حُكْمُ ذَلِكَ الْأَصْلِ، كَالْمُكَفِّرِ بِالصَّوْمِ نَاسِيًا لِمَا لَهُ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ مَشْرُوطٌ بِالْقُدْرَةِ فَهُوَ أَنَّ النَّاسِيَ لَيْسَ بعاجزٍ، بَلْ حُكْمُ الْقُدْرَةِ أُجْرِيَ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ كَالْعَادِمِ الْمَوْصُوفِ بِالْعَجْزِ، ألا ترى أن ناسي عضواً مِنْ أَعْضَاءِ بَدَنِهِ غَيْرُ مَوْصُوفٍ بِالْعَجْزِ عَنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِيهِ وَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، وَلَيْسَ كَالَّذِي قُطِعَ عُضْوٌ مِنْهُ فِي الصِّفَةِ بِالْعَجْزِ حَيْثُ سَقَطَتِ الْإِعَادَةُ عَنْهُ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِنَاسِي الْمَاءِ فِي غَيْرِ رَحْلِهِ، فَهُوَ مَا نَذْكُرُهُ فِي شَرْحِ الْمَذْهَبِ فِيهِ، وَهُوَ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ نَسِيَهُ بَعْدَ أَنْ عَلِمَ بِهِ فَهَذَا حُكْمُهُ كَحُكْمِ نَاسِي الْمَاءِ فِي رَحْلِهِ وَالْإِعَادَةُ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ، وَيَكُونُ حُكْمُ النِّسْيَانِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ عَلَى سَوَاءٍ.
Dalil kami atas wajibnya mengulang adalah firman Allah Ta‘ala: {fa-lam tajidū mā’an fa-tayammamū} — “jika kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah” — dan lupa tidaklah mengeluarkannya dari keberadaan (air itu), tetapi hanya mengeluarkannya dari pengetahuan tentang keberadaannya. Dan sesungguhnya lupa terhadap ṭahūr tidak mencegah dari kewajiban qaḍā’, seperti halnya lupa terhadap ḥadaṡ. Dan karena sesuatu yang tidak menjadi ṭahūr dalam keadaan ingat, tidak menjadi ṭahūr pula dalam keadaan lupa, seperti air najis. Dan karena syarat-syarat ṭahārah dalam keadaan ingat tidak gugur pelaksanaannya karena lupa, seperti orang yang lupa membawa pakaian untuk menutup auratnya. Dan karena setiap hukum asal yang wajib ditempuh dalam keadaan ingat tidak gugur hukumnya karena lupa, seperti orang yang wajib membayar kafarat dengan puasa namun lupa akan hal itu.
Adapun jawaban terhadap istidlal mereka bahwa penggunaan air disyaratkan dengan kemampuan adalah bahwa orang yang lupa tidaklah dianggap tidak mampu, bahkan hukum mampu tetap berlaku padanya, dan tidak sama seperti orang yang tidak memiliki air yang disifati dengan ketidakmampuan. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang lupa membasuh salah satu anggota tubuhnya tidak disifati dengan ketidakmampuan untuk menggunakan air padanya, dan atasnya wajib mengulang, dan tidak sama seperti orang yang terpotong salah satu anggota tubuhnya yang dalam sifatnya adalah tidak mampu sehingga gugur kewajiban mengulang darinya.
Adapun jawaban terhadap istidlal mereka tentang orang yang lupa air di selain raḥl-nya, maka hal itu sebagaimana akan kami sebutkan dalam penjelasan mazhab padanya, yaitu bahwa keadaannya tidak lepas dari dua hal:
Jika ia lupa setelah mengetahui adanya air tersebut, maka hukumnya sama seperti orang yang lupa air di raḥl-nya, dan atasnya wajib mengulang, sehingga hukum lupa dalam dua tempat itu sama.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ عَلِمَ بِهِ، بَلْ كَانَ فِي مَنْزِلِهِ بِئْرُ مَاءٍ خَفِيَتْ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَعْلَمْ بِهَا حَتَّى تَيَمَّمَ وَصَلَّى، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَحُكِيَ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ أَنَّ الْإِعَادَةَ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ وَسَوَاءٌ بَيْنَ ظُهُورِ الْمَاءِ فِي رَحْلِهِ وَبَيْنَ ظُهُورِهِ فِي غَيْرِ رَحْلِهِ وَحُكِيَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ قَالَ: لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ وَفَرَّقَ بَيْنَ رَحْلِهِ وَغَيْرِ رَحْلِهِ، أَنَّ عَلَيْهِ الْإِحَاطَةَ فِي رَحْلِهِ، وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ وَأَبُو الْفَيَّاضِ وَجُمْهُورُ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ وَالْبَصْرِيِّينَ: إِنَّهُ يُعْتَبَرُ حَالُ الْبِئْرِ، فَإِنْ كَانَتْ ظَاهِرَةَ الْأَعْلَامِ، بَيِّنَةَ الْآثَارِ، فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، وَإِنْ كَانَتْ خَفِيَّةً غَيْرَ ظَاهِرَةٍ، فَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يَعْمَلُ عَلَى الطَّلَبِ فِي غَيْرِ رَحْلِهِ عَلَى الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ، بِخِلَافِ رحله فإذاكَانَتْ ظَاهِرَةً كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ تَقْصِيرًا فِي الطَّلَبِ فَتَلْزَمُهُ الْإِعَادَةُ، وَإِذَا كَانَتْ بَاطِنَةً لَمْ يَكُنْ مُقَصِّرًا فِي الطَّلَبِ فَسَقَطَتْ عَنْهُ الْإِعَادَةُ.
Keadaan yang kedua adalah ia belum mengetahuinya, tetapi di rumahnya terdapat sumur air yang tersembunyi darinya, sehingga ia tidak mengetahuinya sampai ia bertayammum dan shalat.
Para sahabat kami berbeda pendapat. Diriwayatkan dari Abu ‘Alī bin Khayrān bahwa ia wajib mengulang, dan disamakan antara munculnya air di raḥl-nya dengan munculnya di selain raḥl-nya. Diriwayatkan dari Abu al-‘Abbās bin Surayj bahwa ia berkata: tidak wajib mengulang, dan ia membedakan antara raḥl-nya dan selain raḥl-nya, bahwa di raḥl-nya ia wajib memeriksanya.
Abu Ḥāmid, Abu al-Fayyāḍ, dan jumhur sahabat kami dari ulama Bagdad dan Basrah berkata: yang menjadi pertimbangan adalah keadaan sumur itu. Jika tanda-tandanya jelas dan bekasnya nyata, maka ia wajib mengulang. Dan jika sumur itu tersembunyi dan tidak tampak, maka tidak wajib mengulang; karena dalam pencarian di luar raḥl-nya, ia bertindak berdasarkan yang lahir, bukan yang batin, berbeda dengan raḥl-nya. Jika sumur itu tampak, berarti itu adalah bentuk kelalaiannya dalam mencari sehingga ia wajib mengulang. Jika sumur itu tersembunyi, berarti ia tidak lalai dalam mencari sehingga gugur darinya kewajiban mengulang.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا إِذَا ضَلَّ الرَّجُلُ عَنْ رَحْلِهِ وَطَلَبِهِ فَلَمْ يَهْتَدِ إِلَيْهِ وَكَانَ فِيهِ مَاءٌ، فَخَافَ فَوَاتَ الْوَقْتِ فَتَيَمَّمَ وَصَلَّى، ثُمَّ وَجَدَ رَحْلَهُ وَعَرَفَهُ، فَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ تَيَمَّمَ وَهُوَ مَعَ الذِّكْرِ لِلْمَاءِ غَيْرُ قَادِرٍ عَلَى اسْتِعْمَالِهِ، فَصَارَ عَاجِزًا عَنْهُ، وَهَكَذَا لَوْ مُنِعَ مِنَ الْوُصُولِ إِلَى رَحْلِهِ بِالْإِحْصَارِ أَوْ غُصِبَ منه الرجل فَتَيَمَّمَ وَصَلَّى فَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ
(PASAL)
Adapun jika seseorang tersesat dari raḥl-nya dan mencarinya tetapi tidak menemukannya, padahal di dalamnya ada air, lalu ia khawatir waktu shalat akan habis, maka ia bertayammum dan shalat, kemudian ia menemukan raḥl-nya dan mengetahuinya, maka tidak ada kewajiban mengulang; karena ia bertayammum dalam keadaan ingat adanya air namun tidak mampu menggunakannya, sehingga ia menjadi orang yang tidak mampu atasnya. Demikian pula jika ia terhalang untuk sampai ke raḥl-nya karena iḥṣār atau dirampas orang darinya, lalu ia bertayammum dan shalat, maka tidak ada kewajiban mengulang, sebagaimana telah kami sebutkan.
(مسألة: شراء الماء للوضوء)
قال الشافعي: ” وَإِنْ وَجَدَهُ بِثَمَنٍ فِي مَوْضَعِهِ وَهُوَ واجدٌ لِلْثَمَنِ غَيْرُ خائفٍ إِنِ اشْتَرَاهُ الْجُوعَ فِي سَفَرِهِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ، وَإِنْ أُعْطِيَهُ بِأَكْثَرَ مِنَ الثَّمَنِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ وَيَتَيَمَّمُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا عَدِمَ الْمَاءَ فِي سَفَرِهِ ثُمَّ وَجَدَهُ يُبَاعُ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ وَاجِدًا لِثَمَنِهِ أَوْ غَيْرَ وَاجِدٍ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ وَاجِدٍ لِثَمَنِهِ صَارَ عَاجِزًا عَنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ، وَأَجْزَأَهُ التَّيَمُّمُ، فَلَوْ بُذِلَ لَهُ الْمَاءُ بِثَمَنٍ فِي الذِّمَّةِ يُؤَدِّيهِ إِذَا قَدَرَ عَلَيْهِ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ سَوَاءٌ كَانَ مَالِكًا لِقَدْرِ الثَّمَنِ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَمْ لَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَهْلِكَ الْمَالُ قَبْلَ وُصُولِهِ إِلَيْهِ، فَيَصِيرُ الدَّيْنُ مُتَعَلِّقًا بِذِمَّتِهِ فَعَلَى هَذَا يَتَيَمَّمُ وَيُصَلِّي وَيُجْزِئُهُ.
(Masalah: membeli air untuk wudhu)
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika ia mendapatkannya dengan harga di tempat itu, sedangkan ia memiliki harga tersebut dan tidak khawatir lapar jika membelinya dalam safarnya, maka tidak boleh baginya bertayammum. Dan jika air itu diberikan kepadanya dengan harga lebih mahal dari harga normal, maka tidak wajib baginya membelinya, dan ia boleh bertayammum.”
Al-Māwardī berkata: Demikian sebagaimana yang beliau katakan, yaitu jika seseorang tidak mendapatkan air dalam safarnya, kemudian menemukannya dijual, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal:
Pertama, ia memiliki harga air itu atau tidak. Jika ia tidak memiliki harga air, maka ia menjadi tidak mampu menggunakan air, dan tayammum mencukupinya. Jika air itu ditawarkan kepadanya dengan harga secara utang yang akan ia bayar ketika mampu, maka tidak wajib baginya membelinya, baik ia memiliki harta sejumlah harga itu di tempat lain atau tidak; karena boleh jadi harta tersebut rusak sebelum sampai kepadanya, sehingga utang itu menjadi beban di tanggungannya. Dalam keadaan ini ia bertayammum dan shalat, dan hal itu sudah mencukupi baginya.
فَإِنْ قِيلَ: لَوْ عَدِمَ ثَمَنَ الرَّقَبَةِ فِي الْكَفَّارَةِ بِمَكَانِهِ الَّذِي هُوَ فِيهِ، وَكَانَ مَالِكًا لِثَمَنِهِ بِمَكَانٍ آخَرَ أَجْزَأَهُ أَنْ يَصُومَ.
قُلْنَا: لَا يُجْزِئُهُ الصِّيَامُ، وَلَا يَلْزَمُهُ شِرَاءُ الرَّقَبَةِ فِي مَكَانِهِ بِالدَّيْنِ، وَيُؤَخِّرُهَا إِلَى أَنْ يَصِلَ إلى الماء، فَيَشْتَرِي وَيُعْتِقُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الصَّلَاةَ مُوَقَّتَةٌ لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْ وَقْتِهَا، فَإِذَا عَجَزَ عَنِ الطَّهَارَةِ بِالْمَاءِ عَدَلَ إِلَى الطَّهَارَةِ بِالتُّرَابِ، وَلَيْسَ وَقْتُ الْكَفَّارَةِ مُضَيَّقًا، وَيَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ، وَإِنْ كَانَ وَاجِدًا لِلثَّمَنِ، فَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَيْهِ فِي نَفَقَتِهِ وَزَادِهِ كَانَ فِي حُكْمِ الْعَادِمِ لَهُ، فَيَتَيَمَّمُ وَيُجْزِئُهُ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُحْتَاجٍ إِلَيْهِ، فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ مَبْذُولًا بِثَمَنِ مِثْلِهِ، أَوْ بِأَكْثَرَ، فَإِنْ بُذِلَ لَهُ الْمَاءُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ مِثْلِهِ بِمَكَانِهِ فِي غَالِبِ أَحْوَالِ السَّلَامَةِ، لَا فِي وَقْتِ الِانْقِطَاعِ وَالْقِلَّةِ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ، وَجَازَ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيُصَلِّيَ؛ لِأَنَّ الطَّلَبَ لِلْمَاءِ أَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ مِثْلِهِ فِي حُكْمِ الْمَانِعِ مِنْهُ، وَسَوَاءٌ كَانَتِ الزِّيَادَةُ الْمَطْلُوبَةُ عَنْ ثَمَنِ الْمِثْلِ كَثِيرَةً أَوْ قَلِيلَةً؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَزِمَ بَذْلُ الْيَسِيرِ لَلَزِمَهُ بَذْلُ الْكَثِيرِ، وَلَأَفْضَى الْأَمْرُ بِهِ إِلَى خُرُوجِهِ مِنْ جَمِيعِ مِلْكِهِ، وَهَذَا عُدُولٌ عَمَّا يَقْتَضِيهِ الشَّرْعُ، وَرَفْعُ الْخُرُوجِ فِي الْمُعْتَدِلِ.
فَإِنْ قِيلَ: لَوْ بُذِلَتْ لَهُ الرَّقَبَةُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ مِثْلِهَا.
Jika dikatakan: “Seandainya seseorang tidak mendapatkan harga budak untuk kafarat di tempatnya, namun ia memiliki harga itu di tempat lain, maka boleh baginya berpuasa.”
Kami jawab: tidak sah baginya berpuasa, dan tidak wajib baginya membeli budak di tempatnya dengan berutang, namun ia menundanya sampai ia sampai ke air, lalu ia membeli dan memerdekakannya. Perbedaannya adalah bahwa shalat itu memiliki waktu yang terbatas, tidak boleh diakhirkan dari waktunya. Maka jika ia tidak mampu bersuci dengan air, ia berpindah kepada bersuci dengan tanah. Sedangkan waktu kafarat tidaklah sempit, dan boleh diakhirkan dari suatu tempat ke tempat lain.
Jika ia memiliki harga air, lalu ia membutuhkannya untuk nafkah dan bekalnya, maka hukumnya seperti orang yang tidak memiliki harga tersebut, sehingga ia bertayammum dan itu mencukupinya. Namun jika ia tidak membutuhkannya, maka tidak lepas dari dua keadaan: air itu dijual dengan harga normalnya, atau dengan harga yang lebih mahal. Jika air itu ditawarkan kepadanya dengan harga lebih mahal dari harga normalnya di tempat tersebut pada umumnya dalam keadaan normal, bukan pada saat terputusnya pasokan atau kelangkaan, maka tidak wajib baginya membelinya, dan boleh baginya bertayammum dan shalat; karena mencari air dengan harga lebih mahal dari harga normalnya dihukumi sebagai penghalang dari air itu. Sama saja apakah tambahan harga dari harga normal itu banyak atau sedikit; karena jika wajib mengeluarkan tambahan yang sedikit, maka wajib pula mengeluarkan tambahan yang banyak, dan hal itu akan berakhir dengan keluarnya seluruh hartanya, dan ini berpaling dari ketentuan syara‘, serta menghapus pengeluaran dalam kadar yang wajar.
Jika dikatakan: “Seandainya budak untuk kafarat ditawarkan kepadanya dengan harga lebih mahal dari harga normalnya…”
قلنا: لا يلزمه أن يشريثها وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَصُومَ وَيَتَوَقَّفَ حَتَّى يَجِدَهَا بِثَمَنِ مِثْلِهَا لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَبَيْنَهَا، وَإِنْ بُذِلَ لَهُ الْمَاءُ بِثَمَنِ مِثْلِهِ فِي غَالِبِ أَحْوَالِ السَّلَامَةِ لَزِمَهُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ؛ لِأَنَّ الْقُدْرَةَ عَلَى الْبَدَلِ فِي حُكْمِ الْقُدْرَةِ عَلَى الْمُبْدَلِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْقَادِرَ عَلَى ثَمَنِ الرَّقَبَةِ فِي حُكْمِ الْقَادِرِ عَلَى الرَّقَبَةِ فِي الْكَفَّارَةِ، وَالْقَادِرُ عَلَى ثَمَنِ الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ فِي حُكْمِ الْقَادِرِ عَلَى الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ فِي الْحَجِّ، وَالْقَادِرُ عَلَى صَدَاقِ الْحُرَّةِ فِي حُكْمِ الْقَادِرِ عَلَى الْحُرَّةِ فِي تَحْرِيمِ نِكَاحِ الْأَمَةِ، وَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ صَارَ الْقَادِرُ عَلَى ثَمَنِ الْمَاءِ فِي حُكْمِ الْقَادِرِ عَلَى الْمَاءِ فَلَزِمَهُ شِرَاؤُهُ وَاسْتِعْمَالُهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَيَمَّمَ.
Kami jawab: tidak wajib baginya membeli budak tersebut, dan tidak boleh baginya berpuasa, tetapi ia menunggu sampai mendapatkannya dengan harga normalnya, karena perbedaan yang telah kami sebutkan antara shalat dan kafarat.
Jika air ditawarkan kepadanya dengan harga normalnya dalam kebanyakan keadaan normal, maka wajib baginya membelinya dan tidak boleh bertayammum; karena kemampuan atas pengganti dihukumi seperti kemampuan atas yang diganti. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang mampu membayar harga budak dihukumi seperti mampu atas budak itu sendiri dalam kafarat; dan orang yang mampu membayar biaya bekal dan kendaraan dihukumi seperti mampu atas bekal dan kendaraan itu sendiri dalam haji; dan orang yang mampu membayar mahar wanita merdeka dihukumi seperti mampu atas wanita merdeka itu sendiri dalam larangan menikahi budak perempuan.
Demikian pula, orang yang mampu membayar harga air dihukumi seperti mampu atas air itu sendiri, sehingga wajib baginya membeli dan menggunakannya, dan tidak boleh baginya bertayammum.
(فَصْلٌ: هل يلزمه قبوله إذا وهب له؟)
وَأَمَّا إِذَا وُهِبَ لَهُ الْمَاءُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَبُولُهُ؛ لِأَنَّ فَرْضَ الطَّهَارَةِ لَمْ يَتَعَيَّنْ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَبُولُهُ إِذَا كَانَ عَادِمًا؛ لِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ، وَلَيْسَ كَقَبُولِ الْمَالِ فِي الْحَجِّ وَالْكَفَّارَةِ الَّذِي لَا يَلْزَمُهُ؛ لِأَنَّ أَصْلَ الْمَاءِ مُبَاحٌ، وَلَيْسَ يَلْزَمُ فِي قَبُولِهِ مُكَافَأَةٌ وَالْمَالُ بِخِلَافِهِ لِمُشَاحَّةِ النَّاسِ فِيهِ، وَلُزُومِ الْمُكَافَأَةِ عَلَيْهِ، وَلِذَلِكَ اسْتَسْقَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ولم يستطعم الطعام.
(PASAL: Apakah wajib menerimanya jika dihibahkan?)
Adapun jika air dihibahkan kepadanya, maka jika itu sebelum masuk waktu shalat, tidak wajib baginya menerimanya; karena kewajiban bersuci belum ditetapkan atasnya.
Jika hibah itu setelah masuk waktu shalat, maka wajib baginya menerimanya jika ia tidak memiliki air; karena ia mampu menggunakan air tersebut. Hal ini berbeda dengan menerima harta untuk haji dan kafarat yang tidak wajib baginya; karena asal air adalah mubah dan tidak wajib adanya mukāfa’ah (balas jasa) dalam penerimaannya, sedangkan harta berbeda, karena manusia bersaing untuk mendapatkannya dan penerimanya berkewajiban membalasnya.
Karena itulah Rasulullah SAW meminta air minum (istasqā) namun tidak meminta makanan (istat‘ama).
فإن قيل: وَاسْتَعْمَلَهُ وَصَلَّى فَقَدْ أَدَّى فَرْضَهُ، وَإِنْ لَمْ يقبله تيمم وَصَلَّى، فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ الْمَوْهُوبُ لَهُ مَوْجُودًا فِي يَدِ وَاهِبِه حِينَ وَهَبَهُ تَيَمَّمَ وَصَلَّى فَالْإِعَادَةُ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ؛ لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ فِي الْمَاءِ بِالْقُدْرَةِ عَلَى اسْتِعْمَالِهِ لَا يَمْلِكُهُ أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَدَرَ عَلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ لَزِمَهُ، وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْهُ، وَإِنْ كَانَ الْمَاءُ مَعْدُومًا حِينَ تَيَمَّمَ وَصَلَّى فَفِي وُجُوبِ الْإِعَادَةِ وَجْهَانِ.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ قَادِرًا عَلَى اسْتِعْمَالِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ لِعَجْزِهِ عَنِ الْمَاءِ فِي حَالِ تَيَمُّمِهِ.
Jika dikatakan: “Ia telah menggunakannya dan shalat, maka sungguh ia telah menunaikan kewajibannya. Dan jika ia tidak menerimanya, ia bertayammum dan shalat. Jika air yang dihibahkan kepadanya ada di tangan pemberinya ketika ia memberikannya, lalu ia bertayammum dan shalat, maka wajib baginya mengulang shalat, karena yang menjadi pertimbangan pada air adalah kemampuan untuk menggunakannya, bukan memilikinya. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang hamba, jika mampu menggunakan air, ia wajib menggunakannya meskipun ia tidak memilikinya. Dan jika air itu tidak ada ketika ia bertayammum dan shalat, maka dalam kewajiban mengulang shalat ada dua wajah:
Pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī: ia wajib mengulang shalat, karena sebenarnya ia mampu menggunakannya.
Kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: tidak wajib baginya mengulang shalat karena ketidakmampuannya mendapatkan air pada saat bertayammum.”
(فَصْلٌ: حُكْمُ إِعَادَةِ مَنْ كان معه ماء فوهبه وتيمم وصلى)
فَأَمَّا إِذَا كَانَ مَعَهُ مَاءٌ فَوَهَبَهُ ثُمَّ تَيَمَّمَ وَصَلَّى فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ قَدْ وَهَبَ الْمَاءَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ أَوْ بَعْدَهُ فَإِنْ وَهَبَهُ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ فَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، فَإِنَّ فَرْضَ الطَّهَارَةِ لَمْ يَتَعَيَّنْ عَلَيْهِ، وَإِنْ وَهَبَهُ بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ، فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ مَوْجُودًا فِي يَدِ الْمَوْهُوبِ لَهُ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، وَإِنْ كَانَ مَعْدُومًا فَفِي الْإِعَادَةِ وَجْهَانِ.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ لَا إعادة عليه.
(PASAL: Hukum mengulang shalat bagi orang yang memiliki air lalu menghibahkannya, kemudian bertayammum dan shalat)
Adapun jika seseorang memiliki air lalu menghibahkannya, kemudian ia bertayammum dan shalat, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan: ia menghibahkan air sebelum masuk waktu shalat atau setelahnya. Jika ia menghibahkannya sebelum masuk waktu shalat, maka tidak wajib baginya mengulang shalat, karena kewajiban bersuci belum ditetapkan atasnya. Namun jika ia menghibahkannya setelah masuk waktu shalat, maka jika air itu masih ada di tangan orang yang diberi hibah, wajib baginya mengulang shalat. Dan jika air itu sudah tidak ada, maka dalam kewajiban mengulang shalat terdapat dua wajah:
Pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd: ia wajib mengulang shalat.
Kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq: tidak wajib mengulang shalat.
(فَصْلٌ: مَنْ كَانَ مَعَهُ مَاءٌ يَخَافُ الْعَطَشَ لو استعمله تيمم)
إِذَا كَانَ مَعَهُ مَا يَحْتَاجُ أَنْ يَشْرَبَهُ وَيَخَافُ الْعَطَشَ إِنِ اسْتَعْمَلَهُ فِي طَهَارَتِهِ، لَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِعْمَالُهُ لِحِرَاسَةِ نَفْسِهِ، وَأَجْزَأَهُ التَّيَمُّمُ، فَإِنِ احْتَاجَ إِلَيْهِ لِدَابَّتِهِ، وَخَافَ الْعَطَشَ عَلَيْهَا، لَا عَلَى نَفْسِهِ، أَجْزَأَهُ التَّيَمُّمُ أَيْضًا لِمَا فِي استعماله من تعذيب ذات كبد حرا، وَمَا يَعُودُ عَلَيْهِ مِنْ تَلَفٍ وَذَهَابِ مَرْكُوبِهِ، فلو كان معه إنا آن مِنْ مَاءٍ أَحَدُهُمَا: طَاهِرٌ، وَالْآخَرُ: نَجِسُّ، وَهُوَ خَائِفُ الْعَطَشِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ، وَلَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الطَّاهِرِ، فَإِنِ اشْتَدَّ بِهِ الْعَطَشُ بَعْدَ اسْتِعْمَالِ الطَّاهِرِ جَازَ أَنْ يَشْرَبَ النَّجِسَ، كَمَا يَجُوزُ لِلْمُضْطَرِّ أَكْلُ الْمَيْتَةِ، وَإِنِ اشْتَدَّ بِهِ الْعَطَشُ قَبْلَ اسْتِعْمَالِ الطَّاهِرِ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ شَرِبَ الطَّاهِرَ وَحُرِّمَ عَلَيْهِ شُرْبُ النَّجِسِ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ جَازَ شُرْبُ النَّجِسِ؛ لِأَنَّ الطَّاهِرَ قَدْ صَارَ مُسْتَحَقًّا لِلطَّهَارَةِ فَمُنِعَ مِنْ شُرْبِهِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الطَّهَارَةِ.
(PASAL: Orang yang memiliki air tetapi takut kehausan jika menggunakannya, maka ia bertayammum)
Jika seseorang memiliki air yang ia butuhkan untuk minum, dan ia khawatir akan kehausan jika menggunakannya untuk bersuci, maka ia tidak wajib menggunakannya demi menjaga keselamatan dirinya, dan tayammum sudah mencukupinya. Jika ia membutuhkannya untuk hewan tunggangannya dan khawatir kehausan pada hewan itu, bukan pada dirinya, maka tayammum juga mencukupinya karena menggunakan air dalam keadaan itu berarti menyiksa makhluk bernyawa yang terpelihara, serta dapat mengakibatkan kebinasaan dan hilangnya kendaraannya.
Jika ia memiliki dua bejana air, salah satunya suci dan yang lainnya najis, sedangkan ia takut kehausan, maka ia tidak boleh bertayammum dan wajib menggunakan air yang suci. Jika kemudian ia merasa sangat haus setelah menggunakan air suci itu, maka boleh baginya meminum air yang najis, sebagaimana boleh bagi orang yang terpaksa memakan bangkai. Namun jika rasa haus yang sangat itu terjadi sebelum menggunakan air suci, maka:
– Jika sebelum masuk waktu shalat, ia minum air suci dan haram baginya meminum air najis.
– Jika setelah masuk waktu shalat, maka boleh baginya meminum air najis, karena air suci sudah menjadi hak untuk bersuci sehingga ia dilarang meminumnya demi mengutamakan hukum bersuci.
(فَصْلٌ إِذَا حَالَ بَيْنَهُ وبين الماء شيء)
إِذَا عَلِمَ بِمَاءٍ حَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ سَبُعٌ أَوْ خَافَ مِنَ الذَّهَابِ إِلَيْهِ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ خَافَ عَلَى مَا يَخْلُفُهُ مِنْ رَحْلِهِ، أَوْ خَافَ فَوَاتَ وَقْتِهِ أَجْزَأَهُ التَّيَمُّمُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا وَكَانَ فِي حُكْمِ الْعَاجِزِ عَنِ الْمَاءِ، فَلَوْ وَجَدَ الْمَاءَ فِي بِئْرٍ لَا يَقْدِرُ عَلَى نُزُولِهَا إِلَّا بِمَشَقَّةٍ عَلَيْهِ، أَوْ تَغْرِيرٍ بِالنَّفْسِ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَنْزِلَهَا، وَأَجْزَأَهُ التَّيَمُّمُ، وَلَوْ قَدَرَ عَلَى نُزُولِهَا، بِغَيْرِ مَشَقَّةٍ لَزِمَهُ ذَاكَ، وَلَمْ يُجْزِهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ فَلَوْ كَانَ لَا يَقْدِرُ عَلَى مَائِهَا إِلَّا بِشِرَاءِ دَلْوٍ، أَوْ حَبْلٍ لَزِمَهُ ذَاكَ إِذَا وَجَدَهُ، وَقَدَرَ عَلَى ثَمَنِهِ، وَكَانَ بِقَدْرِ ثَمَنِ الْمَاءِ، وَلَا يَلْزَمُهُ إِنْ كَانَ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ، وَلَوْ وَجَدَ مَنْ يُعِيرُهُ دَلْوًا وَحَبْلًا لَزِمَهُ اسْتِعَارَتُهُ مِنْهُ إِنْ كَانَ ثمن بقدر الْمَاءِ، وَهَلْ يَلْزَمُهُ اسْتِعَارَتُهُ إِنْ كَانَ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
(PASAL: Jika ada penghalang antara dirinya dan air)
Jika seseorang mengetahui adanya air, namun terhalang darinya oleh binatang buas, atau ia khawatir bila pergi ke sana akan membahayakan dirinya atau hartanya, atau khawatir terhadap barang-barang yang ia tinggalkan, atau khawatir habis waktunya (shalat), maka dalam semua keadaan ini tayammum mencukupinya, dan ia dihukumi sebagai orang yang tidak mampu mendapatkan air.
Jika ia menemukan air di sumur, namun tidak mampu turun ke dalamnya kecuali dengan kesulitan yang berat atau dengan mempertaruhkan nyawanya, maka ia tidak wajib turun, dan tayammum mencukupinya. Tetapi jika ia mampu turun tanpa kesulitan, maka ia wajib melakukannya dan tidak sah baginya bertayammum.
Jika ia tidak bisa mendapatkan air kecuali dengan membeli timba atau tali, maka ia wajib membelinya jika ia mendapatkannya dan mampu membayarnya, selama harganya sebanding dengan harga air tersebut. Namun ia tidak wajib membelinya jika harganya lebih mahal dari harga air. Jika ia menemukan seseorang yang mau meminjamkan timba dan tali, maka ia wajib meminjamnya jika harganya sebanding dengan harga air. Adapun jika harganya lebih mahal dari harga air, apakah ia tetap wajib meminjamnya? Dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat).
أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهُ؛ لِأَنَّ الْعَارِيَةَ مَضْمُونَةٌ.
وَالثَّانِي: يَلْزَمُهُ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنَ الْحَالِ سَلَامَةُ الْعَارِيَةِ، وَإِمْكَانُ رَدِّهَا، فَلَوْ كَانَ لَا يَقْدِرُ عَلَى مَاءِ الْبِئْرِ إِلَّا بِبَلِّ ثَوْبٍ يُوكِسُ قِيمَتَهُ إِنْ بَلَّهُ فِيهِ، جَازَ، وَإِنْ نَقَصَ مِنْ ثَمَنِهِ بَعْدَ بَلِّهِ بِقَدْرِ ثَمَنِ الْمَاءِ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَبُلَّهُ فِيهِ، وَإِنْ نَقَصَ أَكْثَرَ لَمْ يَلْزَمْهُ، فَلَوْ عَلِمَ وَهُوَ عَادِمٌ لِلْمَاءِ أَنَّهُ إِنْ حَفَرَ مَوْضِعَهُ وَصَلَ إِلَى الْمَاءِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ يَصِلُ إِلَى الْمَاءِ بِحَفْرٍ قَرِيبٍ لَا يَلْحَقُ فِيهِ مَشَقَّةٌ لَزِمَهُ ذَاكَ، وَإِنْ لَمْ يُجْزِهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ كَمَا يَلْزَمُهُ تَنْقِيَةُ بِئْرٍ وَإِصْلَاحُ سَيْلٍ، وَإِنْ كَانَ لَا يَصِلُ إِلَّا بِحَفْرٍ بَعِيدٍ يَلْحَقُهُ فِيهِ مَشَقَّةٌ لَمْ يَلْزَمْهُ، وَأَجْزَأَهُ التيمم.
Salah satunya: tidak wajib baginya, karena ‘āriyah (barang pinjaman) itu tanggungannya jika rusak.
Yang kedua: wajib baginya, karena secara lahiriah ‘āriyah itu selamat dan memungkinkan untuk dikembalikan.
Jika ia tidak mampu mendapatkan air sumur kecuali dengan membasahi pakaiannya yang akan mengurangi nilainya jika dibasahi di situ, maka boleh baginya melakukannya. Jika setelah dibasahi, nilai pakaiannya berkurang sebanding dengan harga air, maka tidak wajib baginya membasahinya di situ. Jika berkurang lebih dari harga air, maka tidak wajib baginya.
Jika ia tahu, saat ia tidak memiliki air, bahwa jika ia menggali tempat tertentu ia akan sampai pada air, maka diperinci:
– Jika ia sampai ke air dengan galian yang dekat dan tidak menimbulkan kesulitan, maka wajib baginya melakukan itu dan tidak cukup tayammum, sebagaimana ia juga wajib membersihkan sumur atau memperbaiki saluran air.
– Jika ia hanya dapat sampai dengan galian yang jauh dan menimbulkan kesulitan, maka tidak wajib baginya, dan tayammum mencukupinya.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وَلَوْ كَانَ مَعَ رجلٍ ماءٌ فَأَجْنَبَ رجلٌ وَطَهُرَتِ امرأةٌ مِنْحيضٍ، وَمَاتَ رجلٌ وَلَمْ يَسَعْهُمُ الْمَاءُ كَانَ الْمَيِّتُ أَحَبَّهُمْ إِلَى أَنْ يَجُودُوا بِالْمَاءِ عَلَيْهِ ويتيمم الحيان؛ لأنهما قد يقدرا عَلَى الْمَاءِ، وَالْمَيِّتُ إِذَا دُفِنَ لَمْ يُقْدَرْ عَلَى غُسْلِهِ، فَإِنْ كَانَ مَعَ الْمَيِّتِ ماءٌ فَهُوَ أَحَقُّهُمْ بِهِ، فَإِنْ خَافُوا الْعَطَشَ شَرِبُوهُ وَيَمَّمُوهُ وَأَدَّوْا ثَمَنَهُ فِي مِيرَاثِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: فِي ثَلَاثَةٍ جَمَعَهُمُ السَّفَرُ، وَلَزِمَهُمُ الْغُسْلُ وَهُمْ جُنُبٌ وَحَائِضٌ وَمَيِّتٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Seandainya ada seseorang membawa air, lalu ada seorang laki-laki yang berjunub, seorang perempuan yang suci dari haid, dan seorang laki-laki yang meninggal, sementara air tersebut tidak cukup untuk mereka semua, maka yang paling berhak mendapatkan air adalah mayit, dan keduanya yang masih hidup bertayammum; karena keduanya masih mungkin mendapatkan air, sedangkan mayit jika sudah dikubur tidak mungkin lagi dimandikan. Jika air itu berada di sisi mayit, maka ia yang lebih berhak atasnya. Jika mereka khawatir kehausan, mereka boleh meminumnya, lalu mentayammumkan mayit, dan membayar harganya dari harta warisnya.”
Al-Māwardī berkata: Gambaran masalah ini adalah pada tiga orang yang sedang bersama dalam perjalanan, dan masing-masing terkena kewajiban mandi, yaitu seorang yang junub, seorang perempuan haid, dan seorang mayit. Keadaan mereka tidak lepas dari tiga kemungkinan.
أَحَدُهَا: أَنْ يَجِدُوا مِنَ الْمَاءِ مَا يَكْفِيهِمْ جَمِيعَهُمْ فَعَلَى الْحَيَّيْنِ أَنْ يُغَسِّلَا الْمَيِّتَ، فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ رَجُلًا كَانَ فَرْضُ غُسْلِهِ عَلَى الرَّجُلِ، وَإِنْ كَانَتِ امْرَأَةً كَانَ فَرْضُ غُسْلِهَا عَلَى الْمَرْأَةِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ الْحَيَّانِ بَعْدَ غُسْلِ الْمَيِّتِ، فَإِنْ قَدَّمَا غُسْلَ أَنْفُسِهِمَا جَازَ ثُمَّ يُصَلِّيَانِ عَلَى الميت ويدفناه.
Salah satunya: mereka mendapatkan air yang cukup untuk mereka semua, maka kedua orang yang masih hidup wajib memandikan mayit. Jika mayit itu laki-laki, maka kewajiban memandikannya berada pada laki-laki; dan jika mayit itu perempuan, maka kewajiban memandikannya berada pada perempuan. Setelah itu, kedua orang yang masih hidup mandi junub setelah memandikan mayit. Jika mereka mendahulukan mandi untuk diri mereka sendiri, hal itu dibolehkan, kemudian mereka menyalatkan mayit dan menguburkannya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَجِدُوا مِنَ الْمَاءِ شيئاً فعليهما أن يومما الْمَيِّتَ، وَيَتَيَمَّمَا لِأَنْفُسِهِمَا وَيُصَلِّيَا عَلَى الْمَيِّتِ، وَيَدْفِنَاهُ.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَجِدُوا مِنَ الْمَاءِ مَا يَكْفِي أَحَدَهُمْ لَا غَيْرَ، فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ عَنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ الْمَاءُ مِلْكًا لِأَحَدِهِمْ أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِلْكًا لِأَحَدِهِمْ بَلْ وَجَدُوهُ مُبَاحًا أَوْ دَفَعَهُ إِلَيْهِمْ إِنْسَانٌ وَقَالَ يَسْتَعْمِلُ هَذَا الْمَاءَ أَحَدُكُمْ، فَهَذِهِ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْمَيِّتُ أَوْلَاهُمْ بِهِ، وَأَحَبُّ إِلَيْنَا أَنْ يَجُودُوا بِالْمَاءِ عَلَيْهِ لِمَعْنَيَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ أَنَّ طَهَارَةَ الْمَيِّتِ هِيَ خَاتِمَةُ أَمْرِهِ، وَلَيْسَ يُقْدَرُ عَلَى غُسْلِهِ بَعْدَ دَفْنِهِ، وَلَيْسَ طَهَارَةُ الْحَيَّيْنِ خَاتِمَةَ أَمْرِهِمَا، وَهُمَا يَقْدِرَانِ عَلَى الْمَاءِ بَعْدَ تَيَمُّمِهِمَا.
Keadaan kedua: mereka tidak mendapatkan air sama sekali, maka keduanya wajib mentayammumkan mayit, lalu bertayammum untuk diri mereka sendiri, kemudian menyalatkan mayit dan menguburkannya.
Keadaan ketiga: mereka mendapatkan air yang hanya cukup untuk salah satu dari mereka saja. Hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan:
– Air itu milik salah satu dari mereka atau tidak. Jika tidak menjadi milik salah satu dari mereka, melainkan mereka mendapatkannya dalam keadaan mubah atau ada seseorang yang memberikannya kepada mereka dengan mengatakan, “Salah satu dari kalian menggunakan air ini,” maka inilah kasus yang disebutkan dalam kitab. Dalam keadaan seperti ini, mayit lebih berhak mendapatkannya, dan yang lebih utama bagi mereka adalah memberikan air itu untuk mayit karena dua alasan:
Pertama: sebagaimana disebutkan oleh al-Syāfi‘ī, bahwa bersucinya mayit adalah penutup urusannya, dan tidak mungkin dimandikan setelah dikubur; sedangkan bersucinya dua orang yang masih hidup bukanlah penutup urusan mereka, dan keduanya masih mungkin mendapatkan air setelah bertayammum.
وَالثَّانِي: بِأَنَّ طَهَارَةَ الْمَيِّتِ تطيباً لَا مَحَالَةَ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَطَهَارَةُ الْحَيِّ لِأَدَاءِ الصَّلَاةِ الَّتِي تُؤَدَّى بِالتَّيَمُّمِ كَأَدَائِهَا بِالْمَاءِ.
فَلَوْ كَانَ بِأَحَدِ الْحَيَّيْنِ نَجَاسَةٌ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلِ الْمَيِّتُ أَوْلَى بِهِ مِنْ صَاحِبِ النَّجَاسَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ ذَكَرَهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَيِّتَ أَوْلَى لِلتَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ فِي أَنَّهَا خَاتِمَةُ أَمْرِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ صَاحِبَ النَّجَاسَةِ أَوْلَى بِهِ عَلَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي؛ لِأَنَّ فَرْضَهُ مَعَ النَّجَاسَةِ لَا يُسْقِطُ تَيَمُّمَهُ، فَلَوْ أَنَّ الْوَاجِدَ لِلْمَاءِ جُنُبٌ وَحَائِضٌ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي أَيِّهِمَا أَوْلَى بِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ.
Kedua: karena bersucinya mayit adalah untuk penyucian yang sempurna saat bertemu Tuhannya, sedangkan bersucinya orang hidup adalah untuk menunaikan shalat, yang bisa dilaksanakan dengan tayammum sebagaimana dapat dilaksanakan dengan air.
Jika salah satu dari dua orang yang masih hidup terkena najis, maka ulama kami berbeda pendapat, apakah mayit lebih berhak atas air tersebut daripada orang yang terkena najis, dengan dua wajah yang disebutkan oleh Abū Isḥāq al-Marwazī:
– Pertama: mayit lebih berhak, berdasarkan alasan pertama bahwa bersucinya adalah penutup urusannya.
– Kedua: orang yang terkena najis lebih berhak, berdasarkan alasan kedua bahwa kewajiban shalat dengan najis tidak gugur dengan tayammum.
Jika orang yang mendapatkan air itu adalah seorang yang junub dan seorang perempuan haid, maka ulama kami berbeda pendapat, siapakah di antara keduanya yang lebih berhak atas air tersebut, dengan tiga wajah.
أَحَدُهَا: أَنَّ الْجُنُبَ أَوْلَى بِهِ؛ لِأَنَّ وُجُوبَ طهارته بالنص.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَائِضَ أَوْلَى بِهِ؛ لِأَنَّ حَدَثَهَا أَغْلَظُ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ؛ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ وُجُوبِ الْغُسْلِ. فَلَوْ أَنَّ الْوَاجِدَ لِلْمَاءِ جُنُبٌ وَمُحْدِثٌ؛ فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ يَكْفِي الْمُحْدِثَ، وَلَا يَكْفِي الْجُنُبَ فَالْمُحْدِثُ أَوْلَى؛ لِأَنَّ فِيهِ تَكْمِيلَ طَهَارَتِهِ، وَإِنْ كَانَ يَكْفِي الْجُنُبَ وَلَا يَفْضُلُ مِنَ الْحَدَثِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْجُنُبَ أَوْلَى بِهِ؛ لِأَنَّ حَدَثَهُ أَغْلَظُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَمْنُوعٌ مِنَ الصَّلَاةِ، وَإِنْ كَانَ يَكْفِي الْجُنُبَ وَيَفْضُلُ مِنَ الْمُحْدِثِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
Pertama: orang junub lebih berhak mendapatkannya, karena kewajiban bersucinya ditetapkan dengan nash.
Kedua: perempuan haid lebih berhak mendapatkannya, karena hadatsnya lebih berat.
Ketiga: keduanya sama, karena keduanya sama-sama wajib mandi.
Jika yang mendapatkan air adalah orang junub dan orang berhadats kecil, maka:
– Jika air itu cukup untuk orang berhadats kecil namun tidak cukup untuk orang junub, maka orang berhadats kecil lebih berhak, karena dapat menyempurnakan kesuciannya.
– Jika air itu cukup untuk orang junub dan tidak ada sisa untuk hadats kecil, maka ada dua wajah:
- Orang junub lebih berhak, karena hadatsnya lebih berat.
- Keduanya sama, karena masing-masing sama-sama terhalang untuk shalat.
Jika air itu cukup untuk orang junub dan masih tersisa untuk orang berhadats kecil, maka ada tiga wajah:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْجُنُبَ أَوْلَى لِغِلَظِ حَدَثِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُحْدِثَ أَوْلَى لِبَقَاءِ بَعْضِ الْمَاءِ بَعْدَ طَهَارَتِهِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ وَهَذَا الَّذِي وَصَفْنَا طَرِيقُهُ الْأَوْلَى، فَلَوْ تَغَلَّبَ أَحَدُ الْحَيَّيْنِ عَلَى الْمَاءِ فَاسْتَعْمَلَهُ دُونَ الْمَيِّتِ، أَوْ غَلَبَ مَنْ لَيْسَ بِأَوْلَى عَلَى مَنْ هُوَ أَوْلَى كَانَ مُسِيئًا وَطَهَارَتُهُ مُجْزِئَةٌ.
Pertama: orang junub lebih berhak karena hadatsnya lebih berat.
Kedua: orang berhadats kecil lebih berhak karena masih tersisa sebagian air setelah ia bersuci.
Ketiga: keduanya sama.
Apa yang telah kami sebutkan ini adalah cara yang lebih utama. Maka jika salah satu dari dua orang yang masih hidup menguasai air lalu menggunakannya tanpa memperhatikan hak mayit, atau orang yang tidak lebih berhak mengalahkan orang yang lebih berhak, maka ia telah berbuat buruk, namun kesuciannya tetap sah.
(فَصْلٌ: لَوْ كَانَ الْمَاءُ مِلْكًا لِأَحَدِهِمْ فمن أحق به؟)
فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمَاءُ مِلْكًا لِأَحَدِهِمْ، كَانَ مَالِكُ الْمَاءِ أَحَقَّهُمْ بِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجُودُوا بِهِ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ حَيٍّ وَلَا مَيِّتٍ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا اخْتُصَّ بِوُجُوبِ اسْتِعْمَالِهِ، فَإِنْ وَهَبَهُ لِغَيْرِهِ كَانَ عَلَى مَا مَضَى فِيمَنْ وَهَبَ مَا لَيْسَ مَعَهُ غَيْرُهُ، وَلَوْ كَانَ الْمَاءُ مِلْكًا لِلْمَيِّتِ وَجَبَ عَلَى أَحَدِ الْحَيَّيْنِ أَنْ يَغْسِلَهُ بِهِ، فَإِنِ احْتَاجَ الْحَيَّانِ إِلَى شُرْبِهِ وَخَافَا الْعَطَشَ كَانَ لَهُمَا أَنْ يَأْخُذَا مَاءَ الْمَيِّتِ فَيَشْرَبَاهُ وَيُؤَدِّيَا ثَمَنَهُ فِي مِيرَاثِهِ؛ لِأَنَّهُمَا لَمَّا كَانَ لَهُمَا مُغَالَبَةُ الْحَيِّ عَلَى مَائِهِ، عِنْدَ خَوْفِ الْعَطَشِ كَانَ لَهُمَا ذَلِكَ فِي الْمَيِّتِ لِحِرَاسَةِ أَنْفُسِهِمَا، وَعَلَيْهِمَا ثَمَنُ ذَلِكَ وَقْتَ أَخْذِهِ مِنَ الْمَيِّتِ، لَا فِي غَالِبِ أَحْوَالِ السَّلَامَةِ بِخِلَافِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ اعْتِبَارِ الثَّمَنِ فِي شِرَاءِ الْمَاءِ، لِأَنَّ الَّذِي يَلْزَمُهُمَا فِيهِ قِيمَتُهُ مُتْلَفٌ، فَاعْتُبِرَتِ الْقِيمَةُ بِوَقْتِ الْإِتْلَافِ فَلَوْ لَمْ يَحْتَاجَا إِلَى شُرْبِهِ وَغَسَّلَا بِهِ الْمَيِّتَ وَبَقِيَ مِنْهُ بَعْدَ غُسْلِهِ بَقِيَّةٌ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِ الْحَيَّيْنِ أَنْ يَسْتَعْمِلَهُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ مُغَالَبَةُ الْحَيِّ عَلَى فَضْلِ مَائِهِ؛ لِأَجْلِ الطَّهَارَةِ لَمْ يَجُزْ أَخْذُ مَا بَقِيَ مِنْ مَاءِ الْمَيِّتِ لِأَجْلِ الطَّهَارَةِ، فَلَوْ كَانَ مَاءُ الْمَيِّتِ لَا يَكْفِيهِ لِغَسْلِ جَمِيعِ بَدَنِهِ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ يَغْتَسِلُ بِهِ فِي بَعْضِ بَدَنِهِ ثُمَّ يُوَمَّمُ لِمَا بَقِيَ مِنْهُ.
وَالثَّانِي: يَقْتَصِرُ بِهِ عَلَى التَّيَمُّمِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ أَحَدَ الْحَيَّيْنِ غَسَّلَ بِهِ الْمَيِّتَ كَانَ ضَامِنًا لِقِيمَتِهِ، فِي تَرِكَتِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَهْلَكَ مِنْ مَالِهِ مَا لَا حَاجَةَ بِهِ إِلَيْهِ وَاللَّهُ أعلم.
(PASAL: Jika air adalah milik salah satu dari mereka, siapa yang lebih berhak atasnya?)
Apabila air itu milik salah satu dari mereka, maka pemilik air lebih berhak menggunakannya dan tidak boleh mereka memberikannya kepada orang lain, baik yang masih hidup maupun mayit, karena ketika kewajiban menggunakannya khusus bagi pemiliknya, maka ia berhak memakainya. Jika ia menghibahkannya kepada orang lain, hukumnya sama seperti yang telah dijelaskan pada orang yang menghibahkan air yang hanya dimilikinya sendiri.
Jika air itu milik mayit, maka wajib bagi salah satu dari dua orang yang masih hidup untuk memandikannya dengan air tersebut. Jika kedua orang yang masih hidup membutuhkan air itu untuk minum dan khawatir kehausan, maka boleh bagi keduanya mengambil air milik mayit untuk diminum, lalu membayar harganya ke dalam harta warisnya, karena sebagaimana mereka boleh mengalahkan orang hidup atas airnya saat khawatir kehausan, demikian pula terhadap mayit demi menjaga keselamatan diri mereka. Keduanya wajib membayar harganya pada saat mengambilnya dari mayit, bukan pada kebanyakan keadaan aman, berbeda dengan yang telah dijelaskan terkait kewajiban memperhitungkan harga dalam membeli air, karena yang wajib mereka ganti di sini adalah nilai harta yang mereka musnahkan, sehingga nilainya dihitung pada saat pemusnahan.
Jika mereka tidak membutuhkan untuk meminumnya dan mereka memandikan mayit dengan air itu, lalu tersisa sebagian air setelah memandikannya, maka tidak boleh bagi salah satu dari dua orang yang masih hidup menggunakannya, karena sebagaimana tidak boleh mengalahkan orang hidup atas sisa airnya untuk bersuci, maka tidak boleh pula mengambil sisa air mayit untuk bersuci.
Jika air mayit itu tidak cukup untuk membasuh seluruh tubuhnya, maka ada dua pendapat:
– Pertama: dimandikan sebagian tubuhnya dengan air, lalu ditayammumkan untuk sisanya.
– Kedua: cukup dengan tayammum saja.
Berdasarkan pendapat kedua ini, jika salah satu dari dua orang yang masih hidup memandikan mayit dengan air itu, maka ia wajib mengganti nilainya ke dalam harta warisan mayit, karena ia telah menggunakan hartanya pada sesuatu yang tidak dibutuhkan. Wallāhu a‘lam.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” إِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ نُقْطَةُ خمرٍ أَوْ بولٍ أَوْ دمٍ أَوْ أَيِّ نجاسةٍ كَانَتْ مِمَّا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ فَسَدَ الْمَاءُ، وَلَا تُجْزِئُ بِهِ الطَّهَارَةُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ النَّجَاسَةَ ضَرْبَانِ ضَرْبٌ يُعْفَى عَنْ يَسِيرِهِ، وَضَرْبٌ لَا يُعْفَى عَنْ يَسِيرِهِ، فَأَمَّا مَا لَا يُعْفَى عَنْ يَسِيرِهِ فَمِثْلُ الْبَوْلِ وَالْخَمْرِ وَالْغَائِطِ، فَتَوَقِّي يَسِيرِهِ وَكَثِيرِهِ وَاجِبٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ} وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُ ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
(BAB: Sesuatu yang merusak air)
Imam al-Syāfi‘ī RA berkata: “Jika jatuh ke dalam air setetes khamr, atau air kencing, atau darah, atau najis apa saja yang dapat dilihat oleh mata, maka air itu rusak dan tidak sah digunakan untuk bersuci.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa najis terbagi menjadi dua:
– Najis yang sedikitnya dimaafkan.
– Najis yang sedikitnya tidak dimaafkan.
Adapun najis yang sedikitnya tidak dimaafkan, seperti air kencing, khamr, dan kotoran, maka wajib menghindari yang sedikit maupun yang banyak, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan pakaianmu, maka sucikanlah, dan perbuatan dosa, maka jauhilah}.
Jika demikian, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ يدركه الطرف فإن كان مما يدركها الطَّرْفُ، فَقَدْ نَجُسَ مِمَّا حَصَلَتْ فِيهِ هَذِهِ النَّجَاسَةُ الْمُرِيبَةُ قَلَّتِ النَّجَاسَةُ أَوْ كَثُرَتْ وَسَوَاءٌ وَقَعَتْ عَلَى ثَوْبٍ أَوْ بَدَنٍ أَوْ حَصَلَتْ فِي مَاءٍ قَدْرُهُ أَقَلُّ مِنْ قُلَّتَيْنِ.
وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا لَا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ كَذُبَابٍ سَقَطَ عَلَى نَجَاسَةٍ فَاحْتَمَلَ بِأَرْجُلِهِ وَأَجْنِحَتِهِ فِيهَا مَا لَا يُرَى وَلَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ لِقِلَّتِهِ، ثُمَّ سَقَطَ فِي مَاءٍ أَوْ عَلَى ثَوْبٍ فَدَلِيلُ مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ هَا هُنَا أَنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجَّسُ بِهِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: أَوْ أَيِّ نَجَاسَةٍ كَانَتْ مِمَّا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ فَقَدْ فَسَدَ الْمَاءُ، فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِ أَنَّ مَا لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ لَا يُفْسِدُ الْمَاءَ مَفْهُومًا، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ: وَإِذَا أَصَابَ الثَّوْبَ غائطٌ أَوْ بولٌ أَوْ خمرٌ وَاسْتَيْقَنَهُ أَدْرَكَهُ الطَّرْفُ أَوْ لَمْ يُدْرِكْهُ فَعَلَيْهِ غَسْلُهُ، وَإِنْ أَشْكَلَ عَلَيْهِ مَوْضِعُ ذَلِكَ غَسَلَهُ كُلَّهُ، وَقَالَ في موضع آخر، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ مِنَ الْأُمِّ: وَإِذَا وَقَعَ الذباب على بول أو خلا رَقِيقٍ ثُمَّ وَقَعَ عَلَى ثَوْبٍ غُسِلَ مَوْضِعُهُ وَسَوَّى فِي تَنْجِيسِ الثَّوْبِ بِمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَيْنِ الْمَوْضِعَيْنِ بَيْنَ مَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ أَوْ لَا يُدْرِكُهُ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ، لِأَجْلِ اخْتِلَافِ هَذَا النَّقْلِ عَلَى أَرْبَعِ طُرُقٍ.
Yaitu, bisa jadi najis itu termasuk yang dapat dilihat mata. Jika termasuk yang dapat dilihat mata, maka sesuatu yang terkena najis tersebut menjadi najis, baik najis itu sedikit maupun banyak, dan sama saja apakah ia mengenai pakaian, badan, atau jatuh ke dalam air yang ukurannya kurang dari dua qullah.
Jika najis itu termasuk yang tidak dapat dilihat mata, seperti lalat yang hinggap pada najis lalu terbawa pada kaki dan sayapnya najis yang tidak terlihat karena sedikitnya, kemudian ia jatuh ke dalam air atau mengenai pakaian, maka dalil dari riwayat al-Muzanī di sini menunjukkan bahwa air tidak menjadi najis karenanya; sebab ia berkata: “Atau najis apa saja yang dapat dilihat mata, maka air itu rusak.” Ini menunjukkan secara mafhūm bahwa yang tidak dapat dilihat mata tidak merusak air.
Namun, al-Syāfi‘ī dalam al-Imlā’ berkata: “Apabila pakaian terkena kotoran, air kencing, atau khamr, dan ia meyakininya, baik dapat dilihat mata maupun tidak, maka wajib membasuhnya. Jika ia tidak tahu persis bagian yang terkena, maka wajib membasuh seluruhnya.”
Dan ia berkata pada tempat lain dalam al-Umm: “Jika lalat hinggap pada air kencing atau cuka encer, lalu hinggap pada pakaian, maka dibasuh bagian yang terkena.” Ia menyamakan hukum menajiskan pakaian pada kedua nash ini, baik yang dapat dilihat mata maupun yang tidak dapat dilihat mata.
Karena adanya perbedaan riwayat ini, para ulama kami berbeda pendapat mengenai najis yang tidak dapat dilihat mata menjadi empat pendapat.
إِحْدَاهُنَّ: وَهِيَ طَرِيقَةُ الْمُتَقَدِّمِينَ مِنْهُمْ إِنْ حَمَلُوا كَلَامَ الشَّافِعِيِّ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ فَقَالُوا إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجَّسُ بِمَا لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ، وَهُوَ دَلِيلُهُ مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فِي الْمَاءِ هَا هُنَا، وَأَنَّ الثَّوْبَ ينجس بما لا يدركه الطرف، كما ينص بما لا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ، وَهُوَ نَصُّ الشَّافِعِيِّ فِي الثَّوْبِ عَلَى مَا صَرَّحَ بِهِ فِي الْإِمْلَاءِ وَكِتَابِ الْأُمِّ، وَفَرَّقُوا بَيْنَهُمَا بِأَنْ قَالُوا: إِنَّ الْمَاءَ أَقْوَى حُكْمًا فِي رَفْعِ النَّجَاسَةِ عَنْ نَفْسِهِ مِنَ الثَّوْبِ لِأَمْرَيْنِ:
Salah satunya, yaitu pendapat para ulama terdahulu di antara mereka: jika mereka memahami ucapan al-Syāfi‘ī secara lahiriah pada kedua tempat tersebut, mereka berkata bahwa air tidak menjadi najis dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata, dan dalilnya adalah riwayat al-Muzanī di sini tentang air.
Adapun pakaian, menjadi najis dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata, sebagaimana nashnya tentang sesuatu yang tidak dapat dilihat mata, dan ini adalah nash al-Syāfi‘ī dalam masalah pakaian sebagaimana ditegaskan dalam al-Imlā’ dan Kitāb al-Umm.
Mereka membedakan antara keduanya dengan mengatakan: sesungguhnya air lebih kuat hukumnya dalam menghilangkan najis dari dirinya sendiri dibandingkan pakaian, karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُزِيلُ النَّجَاسَةَ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الثَّوْبُ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَدْفَعُ كَثِيرَ النَّجَاسَةِ عَنْ نَفْسِهِ إِذَا كَثُرَ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الثَّوْبُ.
فَكَذَلِكَ نَجُسَ الثَّوْبُ بِمَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ، أَوْ لَا يُدْرِكُهُ، وَلَمْ يُنَجَّسِ الْمَاءُ إِلَّا بِمَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ دُونَ مَا لَا يُدْرِكُهُ.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّ الْمَاءَ وَالثَّوْبَ جَمِيعًا يُنَجَّسَانِ بِمَا لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ وَيَكُونُ دَلِيلُ خِطَابِ الشَّافِعِيِّ فِي الْمَاءِ مَتْرُوكًا بِصَرِيحِ نَفْسِهِ فِي الثوِبِ، وَتَكُونُ فَائِدَةُ قَوْلِهِ فَكَانَتْ مِمَّا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ – يَعْنِي – إِذَا كَانَتْ مُتَيَقَّنَةً، وَلَمْ يَكُنْ مَشْكُوكًا فِيهِ فَعَبَّرَ بِإِدْرَاكِ الطَّرْفِ عَنِ الْيَقِينِ.
Pertama: karena air dapat menghilangkan najis, sedangkan pakaian tidak demikian.
Kedua: karena air dapat menolak banyaknya najis dari dirinya sendiri jika jumlahnya banyak, sedangkan pakaian tidak demikian.
Maka pakaian menjadi najis baik dengan sesuatu yang dapat dilihat mata maupun yang tidak dapat dilihat mata, sedangkan air tidak menjadi najis kecuali dengan sesuatu yang dapat dilihat mata, bukan yang tidak dapat dilihat mata.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās bin Surayj: bahwa air dan pakaian sama-sama menjadi najis dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata, dan dalālah khithāb (pemahaman mafhūm) dari ucapan al-Syāfi‘ī tentang air ditinggalkan karena nash tegas beliau tentang pakaian. Adapun manfaat dari ucapannya “maka termasuk yang dapat dilihat mata” adalah artinya jika najis itu diyakini, bukan yang masih diragukan; sehingga ungkapan “dapat dilihat mata” adalah kiasan untuk “yakin”.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ فِي تَنْجِيسِ الْمَاءِ وَالثَّوْبِ بِمَا لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ قَوْلَيْنِ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِ كَلَامِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّ الْمَاءَ وَالثَّوْبَ مَعًا يُنَجَّسَانِ بِمَا لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ مِنَ النَّجَاسَةِ؛ لِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ يُمْكِنُ التحرز عنها فَاقْتَضَى أَنْ يُنَجَّسَ بِهَا مَا لَاقَاهَا قِيَاسًا عَلَى مَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ، وَهَذَا صَرِيحُ نَصِّهِ في الثوب أَنَّ الْمَاءَ وَالثَّوْبَ طَاهِرَانِ مَعًا لَا يُنَجَّسَانِ بِمَا لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ لِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ يَشْعُرُ التَّحَرُّزَ مِنْهَا وَإِنْ أَمْكَنَ فَشَابَهَتْ دَمَ الْبَرَاغِيثِ الْمَعْفُوِّ عَنْهُ، وَهَذَا دَلِيلُ نَصِّهِ فِي الْمَاءِ.
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: bahwa dalam masalah menajiskan air dan pakaian dengan najis yang tidak dapat dilihat mata terdapat dua pendapat, sesuai dengan perbedaan ucapan al-Syāfi‘ī pada dua tempat tersebut.
Salah satu pendapat: bahwa air dan pakaian sama-sama menjadi najis dengan najis yang tidak dapat dilihat mata, karena itu adalah najis yang mungkin dihindari, sehingga semestinya menajiskan sesuatu yang mengenainya, diqiyaskan dengan najis yang dapat dilihat mata. Ini adalah nash tegas beliau dalam masalah pakaian.
Pendapat yang lain: bahwa air dan pakaian sama-sama suci dan tidak menjadi najis dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata, karena itu adalah najis yang sulit dihindari meskipun memungkinkan, sehingga menyerupai darah kutu yang dimaafkan. Ini adalah dalil dari nash beliau dalam masalah air.
وَالطَّرِيقَةُ الرَّابِعَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الْمَاءَ أَغْلَظُ حُكْمًا مِنَ الثَّوْبِ فَيَكُونُ الْمَاءُ نَجِسًا، وَهَلْ يُنَجَّسُ الثَّوْبُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَاءِ وَالثَّوْبِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الثَّوْبَ لَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْ حُلُولِ هَذِهِ النَّجَاسَةِ فِيهِ لِبُرُوزِهِ، وَالْمَاءُ لَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْ حُلُولِهَا فِيهِ بِتَخْمِيرِ إِنَائِهِ وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَدْ رَأَى إِنَاءً مُخَمَّرًا: مَنْ خَمَّرَهُ؟ فَقِيلَ ابْنُ عباسٍ فَقَالَ: ” اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ “.
Pendapat keempat, yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurayrah: bahwa air lebih berat hukumnya daripada pakaian, sehingga air menjadi najis (dengan najis yang tidak dapat dilihat mata). Adapun apakah pakaian juga menjadi najis atau tidak, terdapat dua pendapat.
Perbedaan antara air dan pakaian ini dilihat dari tiga sisi:
Pertama: pakaian tidak mungkin terhindar dari terkenanya najis jenis ini karena ia terbuka, sedangkan air dapat dihindarkan dari najis tersebut dengan menutup bejananya. Oleh sebab itu Nabi SAW ketika melihat sebuah bejana yang tertutup bertanya, “Siapa yang menutupnya?” Lalu dikatakan, “Ibnu ‘Abbās.” Maka beliau bersabda, “Ya Allah, fahamkanlah ia dalam agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.”
وَالثَّانِي: أَنَّ يَسِيرَ دَمِ الْبَرَاغِيثِ يُعْفَى عَنْهُ فِي الثَّوْبِ وَلَا يُعْفِي عَنْهُ فِي الْمَاءِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الثَّوْبِ أَخَفَّ مِنْ حُكْمِ الْمَاءِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الذُّبَابَ إِذَا طَارَ عَنِ النَّجَاسَةِ جَفَّتْ قَبْلَ سُقُوطِهِ عَلَى الثَّوْبِ فَصَارَ تَنْجِيسُهُ بِهَا شَكًّا، وَإِذَا سَقَطَ فِي الْمَاءِ انْحَلَّتْ فَصَارَ تَنْجِيسُهُ بِهَا يَقِينًا، وَأَصَحُّ هَذِهِ الطُّرُقِ هِيَ الطَّرِيقَةُ الْأُولَى الَّتِي ذَكَرَهَا الْمُتَقَدِّمُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا؛ لِأَنَّ النَّصَّ مِنَ الْمَذْهَبِ تَقْتَضِيهَا وَالْحِجَاجُ بِالْمَعْنَى الْمَذْكُورِ يُوجِبُهَا.
Kedua: darah kutu yang sedikit dimaafkan pada pakaian, tetapi tidak dimaafkan pada air, sehingga hukum pakaian lebih ringan daripada hukum air.
Ketiga: lalat apabila terbang dari najis, maka biasanya najis itu mengering sebelum jatuh pada pakaian, sehingga penajisannya bersifat dugaan (syakk). Namun apabila jatuh ke dalam air, maka najis itu larut sehingga penajisannya menjadi yakin.
Dan yang paling sahih dari semua pendapat ini adalah pendapat pertama yang dikemukakan oleh para ulama terdahulu dari kalangan sahabat kami, karena nash dalam mazhab mendukungnya, dan alasan yang telah disebutkan juga menguatkannya.
(فَصْلٌ: يَسِيرُ الدَّمِ وَكَثِيرُهُ المعفو عنه وضابطه)
وَأَمَّا الْمَعْفُوُّ عَنْ يَسِيرِهِ مِنَ النَّجَاسَاتِ فَدَمُ الْبَرَاغِيثِ لِإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَيْهِ، وَتَعَذُّرِ التَّحَرُّزِ مِنْهُ، وَأَمَّا غَيْرُهُ مِنْ سَائِرِ الدِّمَاءِ فَفِي الْعَفْوِ عَنْ يَسِيرِهِ قَوْلَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي الْجَدِيدِ.
أَحَدُهُمَا: يُعْفَى عَنْ يَسِيرِهَا قِيَاسًا عَلَى دَمِ الْبَرَاغِيثِ فَإِنَّ تَمْيِيزَ الدِّمَاءِ شَاقٌّ فَعَلَى هَذَا مَاءُ الْقُرُوحِ أَوْلَى بِالْعَفْوِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يُعْفَى عَنْ شَيْءٍ مِنْهَا قِيَاسًا عَلَى الْبَوْلِ، وَخَالَفَ دَمَ الْبَرَاغِيثِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
(PASAL: Darah yang sedikit dan banyak yang dimaafkan serta batasannya)
Adapun najis yang sedikitnya dimaafkan adalah darah kutu, berdasarkan ijma‘ para salaf, dan karena sulit untuk menghindarinya. Adapun selainnya dari seluruh jenis darah, maka dalam masalah pemaafan terhadap sedikitnya terdapat dua pendapat yang dinashkan dalam qaul jadid:
Pertama: sedikitnya dimaafkan dengan qiyās kepada darah kutu, karena membedakan darah itu sulit, dan berdasarkan pendapat ini, air dari luka lebih layak untuk dimaafkan.
Kedua: tidak dimaafkan sedikit pun darinya, dengan qiyās kepada air kencing, dan ia berbeda dengan darah kutu dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ دَمَ الْبَرَاغِيثِ عَامٌّ وَغَيْرُهُ مِنَ الدِّمَاءِ خَاصٌّ.
وَالثَّانِي: أَنَّ التَّحَرُّزَ مِنْ دَمِ الْبَرَاغِيثِ مُتَعَذِّرٌ وَمِنْ غَيْرِهِ مِنَ الدِّمَاءِ مُمْكِنٌ فَعَلَى هَذَا فِي الْعَفْوِ عَنْ مَاءِ الْقُرُوحِ وَجْهَانِ، بِحَسَبِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ دَمِ الْبَرَاغِيثِ وَغَيْرِهِ.
أَحَدُهُمَا: يُعْفَى عَنْهُ؛ لِأَنَّ التَّحَرُّزَ مِنْهُ مُتَعَذِّرٌ.
وَالثَّانِي: لَا يُعْفَى عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ نَادِرٌ، وقال أبو العباس ابن سُرَيْجٍ فِيمَا سِوَى دَمِ الْبَرَاغِيثِ مَذْهَبًا ثَالِثًا: وَهُوَ أَنَّ دَمَ نَفْسِهِ مَعْفُوٌّ عَنْ يَسِيرِهِ؛ لِأَنَّ التَّحَرُّزَ مِنْهُ مُتَعَذَّرٌ، وَدَمُ غَيْرِهِ غَيْرُ معفو عن يسيره؛ لأن التحرز منه متعذر فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حَالِ النَّجَاسَةِ الَّتِي يُعْفَى عَنْ يَسِيرِهَا انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى حَدِّ الْيَسِيرِ فِيهَا، أَمَّا دَمُ الْبَرَاغِيثِ فَيَسِيرُهُ مُعْتَبَرٌ بِالْعُرْفِ مِنْ غَيْرِ حدٍّ، وَلَا تَقْدِيرٍ فَمَا كَانَ فِي عُرْفِ النَّاسِ وَعَادَاتِهِمْ يَسِيرًا كَانَ مَعْفُوًّا عَنْهُ، وَمَا كَانَ فِي الْعُرْفِ يَسِيرًا فَاحِشًا لَمْ يُعْفَ عَنْهُ، أَمَّا غَيْرُهُ فِي الدِّمَاءِ وَمَاءِ الْقُرُوحِ فَفِي الْيَسِيرِ مِنْهَا قَوْلَانِ حُكِيَا عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ.
Pertama: darah kutu bersifat umum, sedangkan darah selainnya bersifat khusus.
Kedua: sulit menghindari darah kutu, sedangkan darah selainnya masih mungkin dihindari.
Berdasarkan hal ini, dalam masalah pemaafan terhadap air luka terdapat dua wajah, sesuai perbedaan dua wajah dalam membedakan antara darah kutu dan selainnya:
– Pertama: dimaafkan, karena sulit menghindarinya.
– Kedua: tidak dimaafkan, karena jarang terjadi.
Abū al-‘Abbās bin Surayj menyebutkan dalam masalah selain darah kutu pendapat ketiga, yaitu: darah diri sendiri dimaafkan sedikitnya, karena sulit menghindarinya; sedangkan darah orang lain tidak dimaafkan sedikitnya, karena mudah menghindarinya.
Apabila telah jelas apa yang kami sebutkan tentang najis yang dimaafkan sedikitnya, maka pembahasan berlanjut pada batasan “sedikit” dalam hal itu.
Adapun darah kutu, sedikitnya diukur dengan ‘urf (kebiasaan) tanpa ada batas pasti dan takaran tertentu. Apa yang menurut kebiasaan manusia dianggap sedikit, maka dimaafkan; dan apa yang dianggap banyak dan menjijikkan, maka tidak dimaafkan.
Adapun selainnya dari darah dan air luka, maka pada kadar sedikitnya terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari al-Syāfi‘ī dalam qaul qadim.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِعُرْفِ النَّاسِ أَيْضًا كَدَمِ الْبَرَاغِيثِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَحْدُودٌ بِقَدْرِ الْكَفِّ. فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ يَسِيرِ مَا يُعْفَى عَنْهُ وَبَيْنَ كَثِيرِهِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ مَعْفُوٌّ عَنْهُ إِذَا أَصَابَ الثَّوْبَ أَوِ الْبَدَنَ، فَأَمَّا إِنْ وَقَعَ فِي الْمَاءِ فَغَيْرُ مَعْفُوٍّ عَنْهُ بِحَالٍ؛ لِأَنَّ التَّحَرُّزَ مِنْهُ فِي الْمَاءِ مُمْكِنٌ، وَإِنَّمَا التَّحَرُّزُ مِنْهُ فِي الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ مُتَعَذَّرٌ.
Pertama: diukur dengan ‘urf (kebiasaan) manusia, sama seperti darah kutu.
Kedua: dibatasi dengan ukuran sebesar telapak tangan.
Jika telah tetap apa yang kami sebutkan tentang perbedaan antara sedikit yang dimaafkan dan banyaknya, maka ketahuilah bahwa ia dimaafkan apabila mengenai pakaian atau badan.
Adapun jika jatuh ke dalam air, maka tidak dimaafkan sama sekali, karena menghindarinya dalam air itu memungkinkan, sedangkan yang sulit dihindari adalah pada pakaian dan badan.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وإن توضأ رجلٌ ثم جمع وضوءه فِي إناءٍ نظيفٍ ثُمَّ تَوَضَّأَ بِهِ أَوْ غيره لم يجزه لأنه أدى به الوضوء الفرض مرةً وليس بنجسٍ لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – توضأ ولا شك أن من بلل الوضوء ما يصيب ثيابه ولا نعلمه غسله ولا أحداً من المسلمين فعله ولا يتوضأ به لأن على الناس تعبداً في أنفسهم بالطهارة من غير نجاسةٍ وليس على ثوبٍ ولا أرضٍ تعبد ولا أن يماسه ماءٌ من غير نجاسةٍ “.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Apabila seseorang berwudhu, lalu mengumpulkan air bekas wudhunya ke dalam bejana yang bersih, kemudian ia berwudhu kembali dengan air itu atau orang lain berwudhu dengannya, maka tidak sah wudhunya; karena air itu telah digunakan untuk menunaikan wudhu fardhu sekali. Namun, air itu tidak najis, karena Nabi SAW pernah berwudhu, dan tidak diragukan bahwa percikan air wudhu mengenai pakaian beliau, dan kami tidak mengetahui beliau mencucinya, begitu pula tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang melakukannya. Hanya saja, tidak boleh berwudhu dengannya, karena manusia diperintahkan secara ibadah untuk bersuci bagi diri mereka sendiri tanpa ada najis, sedangkan pada pakaian atau tanah tidak ada ibadah yang diwajibkan, dan tidak disyaratkan pula air yang mengenainya bebas dari najis jika memang tidak terkena najis.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمَاءَ الْمُسْتَعْمَلَ فِي الطَّهَارَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ: ضَرْبٍ مُسْتَعْمَلٍ فِي رَفْعِ حَدَثٍ وَضَرْبٍ مُسْتَعْمَلٍ فِي إِزَالَةِ نَجَسٍ، وَضَرْبٍ مُسْتَعْمَلٍ فِي أَمْرِ ندبٍ، فَأَمَّا الْمُسْتَعْمَلُ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ فَهُوَ مَا انْفَصَلَ مِنْ أَعْضَاءِ الْمُحْدِثِ فِي وُضُوئِهِ، أَوْ مِنْ بَدَنِ الْجُنُبِ فِي غُسْلِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ فِي كُتُبِهِ الْقَدِيمَةِ وَالْجَدِيدَةِ وَمَا نَقَلَهُ عَنْهُ جميع أصحابه سماعاً، وروايةً أنه طاهر مُطَهِّرٍ، وَحَكَى عِيسَى بْنُ أَبَانٍ فِيمَا جَمَعَ مِنَ الْخِلَافِ عَنِ الشَّافِعِيِّ جَوَازَ الطَّهَارَةِ بِهِ، وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنْهُ فَتَوَقَّفَ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِأَجْلِ هَذِهِ الْحِكَايَةِ، فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ يُخَرِّجَانِ الْمَاءَ الْمُسْتَعْمَلَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: “Ketahuilah bahwa air yang digunakan (al-mā’ al-musta‘mal) dalam thaharah ada tiga macam:
- Air yang digunakan untuk mengangkat hadats.
- Air yang digunakan untuk menghilangkan najis.
- Air yang digunakan dalam perkara sunnah.
Adapun air yang digunakan untuk mengangkat hadats adalah air yang terpisah dari anggota wudhu orang yang berhadats ketika ia berwudhu, atau dari badan orang junub ketika ia mandi. Maka mazhab al-Syāfi‘ī yang dinashkan dalam kitab-kitab beliau, baik qaul qadīm maupun qaul jadīd, serta yang dinukil dari beliau oleh seluruh sahabatnya baik secara langsung maupun melalui riwayat, adalah bahwa air tersebut suci lagi menyucikan (ṭāhir muṭahhir).
‘Īsā bin Abān meriwayatkan dalam kitab al-Khilāf dari al-Syāfi‘ī bahwa beliau membolehkan bersuci dengan air musta‘mal. Abū Thawr berkata: “Aku pernah bertanya kepada al-Syāfi‘ī tentang air musta‘mal, lalu beliau diam (tidak langsung menjawab).” Karena riwayat ini, para sahabat kami berbeda pendapat.
Abū Isḥāq al-Marwazī dan Abū Ḥāmid al-Marwazī mengeluarkan (meng-qiyaskan) masalah air musta‘mal ini pada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ، وَهُوَ مَا صَرَّحَ بِهِ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ، وَنَقَلَهُ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ، وَهُوَ مَا حَكَاهُ عِيسَى بْنُ أَبَانٍ، وَدَلَّتْ عَلَيْهِ رِوَايَةُ أَبِي ثَوْرٍ وَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَمْنَعَانِ مِنْ تَخْرِيجِ الْقَوْلَيْنِ وَيَعْدِلَانِ عَنْ رِوَايَةِ عِيسَى، لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ ثِقَةً فَهُوَ مُخَالِفٌ يَحْكِي مَا يَحْكِيهِ أَصْحَابُ الْخِلَافِ وَلَمْ يَلْقَ الشَّافِعِيَّ فَيَحْكِيَهُ سَمَاعًا مِنْ لَفْظِهِ وَلَا هُوَ مَنْصُوصُهُ فَيَأْخُذَ مِنْ كُتُبِهِ وَلَعَلَّهُ تَأَوَّلَ كَلَامَهُ فِي نُصْرَةِ طَهَارَتِهِ رَدًّا عَلَى أبي يوسف، فَحَمَلَهُ عَلَى جَوَازِ الطَّهَارَةِ، وَأَمَّا أَبُو ثَوْرٍ فَلَيْسَ فِي رِوَايَتِهِ دليلاً لِأَنَّ التَّوَقُّفَ لَا يَكُونُ مَذْهَبًا وَلَعَلَّ تَوَقُّفَهُ عَنِ الْجَوَازِ إِنَّمَا كَانَ اعَتِمَادًا عَلَى مَا صَرَّحَ بِهِ فِي كُتُبِهِ وَلَعَمْرِي إِنَّ هَذِهِ الطَّرِيقَةَ أَصَحُّ الطَّرِيقَتَيْنِ مِنْ تَخْرِيجِ ذَلِكَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ فَصَارَ الْمَذْهَبُ فِي الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ أَنَّهُ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ ومحمد بن الحسن، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَابْنُ شِهَابٍ الزُّهْرِيُّ وَدَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ وَمَالِكٌ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ: إِنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ، وَقَالَ أبو حنيفة وأبو يوسف هُوَ نَجِسٌ، وَأَمَّا مَنْ ذَهَبَ إِلَى جَوَازِ الطَّهَارَةِ بِهِ فَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءُ طَهُوراً} (الفرقان: 48) وَإِنَّمَا ثَبَتَ لَهُ هَذِهِ الصِّفَةَ إِذَا تَكَرَّرَ مِنْهُ التَّطْهِيرُ كَمَا ثَبَتَ لِلْقَاتِلِ اسْمُ الْمَقْتُولِ إِذَا تَكَرَّرَ مِنْهُ الْقَتْلُ، وَبِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اغْتَسَلَ فَبَقِيَ عَلَى مَنْكِبِهِ لمعةٌ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَعَصَرَ شَعْرَهُ وَأَمَرَّ الْمَاءَ عَلَيْهِ، وَرَوَتِ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ رَأْسَهُ بِفَضْلِ مَا كَانَ فِي يَدِهِ وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَخَذَ بَلَلَ لِحْيَتِهِ فَمَسَحَ بِهَا رَأْسَهُ.
Salah satunya: air musta‘mal itu suci tetapi tidak menyucikan, dan inilah yang ditegaskan dalam seluruh kitab al-Syāfi‘ī serta dinukil oleh jumhur sahabat beliau.
Yang kedua: air musta‘mal itu suci dan menyucikan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Īsā bin Abān, dan ditunjukkan oleh riwayat Abū Thawr.
Abū al-‘Abbās dan Ibn Abī Hurayrah melarang mengeluarkan masalah ini menjadi dua pendapat dan meninggalkan riwayat ‘Īsā, karena meskipun ia tsiqah, ia adalah pihak yang berbeda mazhab yang menukil sebagaimana yang dituturkan oleh para ahli khilaf, dan ia tidak pernah bertemu langsung dengan al-Syāfi‘ī sehingga bisa menukilnya secara langsung dari lisannya, dan bukan pula menukil dari nash kitab beliau, kemungkinan ia hanya menafsirkan ucapan al-Syāfi‘ī dalam konteks membela kesucian air itu sebagai bantahan terhadap Abū Yūsuf, lalu memahaminya sebagai kebolehan bersuci dengannya.
Adapun riwayat Abū Thawr, maka tidak menjadi dalil, karena sikap diam (tawaqquf) bukanlah mazhab, dan boleh jadi diamnya itu menunjukkan tidak setuju terhadap kebolehan, berpegang pada apa yang telah ditegaskan al-Syāfi‘ī dalam kitab-kitabnya.
Sungguh, cara ini (menetapkan bahwa air musta‘mal itu ṭāhir ghayr muṭahhir) adalah yang lebih sahih daripada menjadikannya dua pendapat. Maka mazhab dalam masalah air musta‘mal adalah: ia suci tetapi tidak menyucikan. Inilah juga pendapat dari para sahabat seperti ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, ‘Abdullāh bin ‘Abbās, dan dari para fuqahā’ seperti al-Awzā‘ī, al-Thawrī, dan Muḥammad bin al-Ḥasan.
Sedangkan al-Ḥasan al-Baṣrī, Ibn Syihāb al-Zuhrī, Dāwūd bin ‘Alī, dan Mālik dalam salah satu riwayat darinya berpendapat: ia suci dan menyucikan. Adapun Abū Ḥanīfah dan Abū Yūsuf berpendapat: ia najis.
Orang yang membolehkan bersuci dengannya berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {Dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi menyucikan} (al-Furqān: 48), dan sifat “menyucikan” itu tetap ada sekalipun digunakan berulang kali, sebagaimana sebutan “pembunuh” tetap berlaku bagi orang yang membunuh berulang kali.
Mereka juga berdalil dengan riwayat Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW mandi, lalu tersisa di pundak beliau bagian yang tidak terkena air, maka beliau memeras rambutnya dan mengalirkan air tersebut ke bagian itu.
Juga riwayat al-Rubayyi‘ binti Mu‘awwidz bahwa Nabi SAW mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada di tangannya, dan riwayat bahwa Nabi SAW mengambil kelembapan dari jenggotnya lalu mengusapkannya ke kepalanya.
وَهَذِهِ كُلُّهَا نُصُوصٌ فِي جَوَازِ الطَّهَارَةِ بِهِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الطَّهُورَ إِذَا لَاقَى طَاهِرًا لَا يَخْرُجُ عَنْ كَوْنِهِ مُطَهِّرًا قِيَاسًا عَلَى الْجَارِي عَلَى أَعْضَائِهِ تَبَرُّدًا، أَوْ تَنَظُّفًا، قَالُوا: وَلِأَنَّ لِلْمَاءِ صِفَتَيْنِ الطَّهَارَةُ وَالتَّطْهِيرُ، فَلَمَّا لَمْ يَسْلُبْهُ الِاسْتِعْمَالُ الطَّهَارَةَ لَمْ يَسْلُبْهُ التَّطْهِيرَ، وَتَحْرِيرُهُ إِنَّ كُلَّ صِفَةٍ كَانَتْ لِلْمَاءِ قَبْلَ مُلَاقَاةِ الْأَعْضَاءِ الطَّاهِرَةِ كَانَتْ لَهُ بَعْدَ مُلَاقَاةِ الْأَعْضَاءِ الطَّاهِرَةِ، قِيَاسًا عَلَى الطَّهَارَةِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الشُّرُوطَ الْمُعْتَبَرَةَ فِي أداء الطهارة لا يمنع استعمالها كرة مِنْ تَكْرَارِهَا فِي كُلِّ صَلَاةٍ كَالْأَرْضِ وَالثَّوْبِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ رَفْعَ الْحَدَثِ بِالْمَاءِ لَا يَمْنَعُ مِنْ رَفْعِهِ ثَانِيًا بِذَلِكَ الْمَاءِ، أَصْلُهُ: إِذَا جَرَى عَلَى الْبَدَنِ مِنْ عُضْوٍ إِلَى عُضْوٍ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّطَهُّرُ بِهِ قَوْله تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيكُمْ) {المائدة: 6) فَأَمَرَ بِغَسْلِ الْيَدِ بِمَا أَمَرَ بِهِ فِي غَسْلِ الْوَجْهِ فَلَمَّا كَانَ غَسْلُ الْوَجْهِ بِمَاءٍ غَيْرَ مُسْتَعْمَلٍ، فَكَذَلِكَ سَائِرُ الْأَعْضَاءِ بِمَاءٍ غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ، وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى أَنْ نَتَوَضَّأَ بِالْمَاءِ الَّذِي يَسْبِقُ إِلَيْهِ الْجُنُبُ، وَكَانَ ذَلِكَ مَحْمُولًا عَلَى مَا سَبَقَ الْجُنُبُ إِلَى اسْتِعْمَالِهِ، وَلِأَنَّ إِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ مُنْعَقِدٌ عَلَى الْمَنْعِ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ.
Semua riwayat ini adalah dalil tegas bolehnya bersuci dengan air musta‘mal. Mereka berkata: karena air yang suci dan menyucikan (ṭahūr) jika bersentuhan dengan sesuatu yang suci, maka tidak keluar dari sifat menyucikannya, diqiyaskan dengan air yang mengalir pada anggota tubuh untuk mendinginkan atau membersihkan diri.
Mereka juga berkata: air memiliki dua sifat, yaitu suci (ṭahārah) dan menyucikan (taṭhīr). Ketika penggunaan (untuk wudhu atau mandi) tidak menghilangkan sifat sucinya, maka tidak pula menghilangkan sifat menyucikannya.
Rinciannya: setiap sifat yang dimiliki air sebelum bersentuhan dengan anggota tubuh yang suci, tetap dimilikinya setelah bersentuhan dengan anggota tubuh yang suci, diqiyaskan pada sifat sucinya.
Mereka juga berkata: syarat-syarat yang berlaku dalam pelaksanaan thaharah tidak menghalangi pengulangannya pada setiap shalat, seperti tanah untuk tayammum dan pakaian untuk shalat.
Mereka berkata pula: mengangkat hadats dengan air tidak mencegah untuk mengangkat hadats lagi dengan air yang sama; asalnya adalah jika air itu mengalir dari satu anggota tubuh ke anggota tubuh lain.
Adapun dalil yang menunjukkan tidak bolehnya bersuci dengan air musta‘mal adalah firman Allah Ta‘ālā:
{Apabila kalian berdiri untuk shalat, maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian} (QS. al-Mā’idah: 6)
Allah memerintahkan membasuh tangan dengan cara yang sama seperti perintah membasuh wajah. Karena membasuh wajah dilakukan dengan air yang belum digunakan, maka demikian pula seluruh anggota wudhu dibasuh dengan air yang belum digunakan.
Diriwayatkan pula bahwa Nabi SAW melarang berwudhu dengan air yang telah didahului penggunaannya oleh orang junub, dan larangan ini dibawa pada pengertian air yang telah digunakan oleh orang junub.
Selain itu, telah ada ijma‘ sahabat yang menetapkan larangan menggunakan air musta‘mal untuk bersuci.
وَبَيَانُهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِجْمَاعُهُمْ عَلَى مَنْ قَلَّ مَعَهُ الْمَاءُ فِي سَفَرِهِ أَنَّهُ يَسْتَعْمِلُهُ اسْتِعْمَالَ إِرَاقَةٍ وَإِتْلَافٍ وَلَوْ جَازَ اسْتِعْمَالُهُ ثَانِيَةً لَمَنَعُوهُ من إراقته في الاستعمال ولا لزموه جمع ذلك لطهارة ثَانِيَةً.
وَالثَّانِي: أَنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِيمَنْ وَجَدَ بَعْضَ مَا يَكْفِيهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Penjelasannya dari dua sisi:
Pertama: ijma‘ mereka bahwa jika seseorang dalam safarnya memiliki air sedikit, maka ia menggunakannya dengan cara dipakai lalu dibuang (sehingga air itu habis). Seandainya boleh digunakan untuk bersuci kedua kalinya, tentu mereka tidak akan membiarkannya membuang air tersebut setelah dipakai, dan tentu mereka akan mewajibkan untuk mengumpulkannya guna bersuci yang kedua.
Kedua: mereka berbeda pendapat tentang orang yang mendapatkan sebagian air yang tidak mencukupi seluruh kebutuhannya, dengan dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَقْتَصِرُ على التيمم ولا يستعمله.
والثاني: أن يَسْتَعْمِلُهُ وَيَتَيَمَّمُ لِبَاقِي بَدَنِهِ، وَلَوْ جَازَ اسْتِعْمَالُ الْمُسْتَعْمَلِ لَاتَّفَقُوا عَلَى وُجُوبِ اسْتِعْمَالِهِ فِي بَعْضِ بَدَنِهِ ثُمَّ أَعَادَ اسْتِعْمَالَهُ فِي بَاقِي بَدَنِهِ فَيَكْمُلُ لَهُ الطَّهَارَةُ بِالْمَاءِ فَظَهَرَ مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَنَّ إِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ مُنْعَقِدٌ عَلَى الْمَنْعِ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمُسْتَعْمَلِ، وَأَمَّاالدَّلَالَةُ مِنْ حَيْثُ الْمَعْنَى فَهُوَ أَنَّ أَعْضَاءَ الْمُحْدِثِ طَاهِرَةٌ غَيْرُ مُطَهِّرَةٍ، وَالْمَاءُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ، فَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِي تَطْهِيرِ الْأَعْضَاءِ انْتَقَلَتْ صِفَةُ الْمَنْعِ إِلَى الْأَعْضَاءِ، لِأَنَّهُ لَمَّا تَعَدَّى عَنْهُ التَّطْهِيرُ زَالَ عَنْهُ التَّطْهِيرُ، كَمَا لَوْ تَعَدَّتْ عَنْهُ الطَّهَارَةُ جَازَ أَنْ تَزُولَ عَنْهُ الطَّهَارَةُ، وَلِأَنَّهُ مَاءٌ أَدَّى بِهِ فَرْضَ الطَّهَارَةِ فَلَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ فِي الطَّهَارَةِ كَالْمَاءِ الْمُزَالِ بِهِ النَّجَاسَةُ، وَلِأَنَّهُ إِتْلَافُ مَالٍ فِي إِسْقَاطِ فَرْضٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَادَ فِي إِسْقَاطِ مِثْلِ ذَلِكَ الْفَرْضِ، قِيَاسًا عَلَى الْعِتْقِ فِي الْكَفَّارَةِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَادَ ثَانِيَةً فِي كَفَّارَةٍ.
Salah satunya: ia cukup bertayammum dan tidak menggunakan air tersebut.
Yang kedua: ia menggunakannya untuk sebagian anggota tubuhnya, lalu bertayammum untuk sisanya.
Seandainya boleh menggunakan air musta‘mal, tentu mereka akan sepakat mewajibkan penggunaannya pada sebagian anggota tubuh, lalu menggunakannya kembali untuk anggota tubuh lainnya, sehingga sempurnalah thaharahnya dengan air.
Maka jelaslah dari dua sisi ini bahwa ijma‘ sahabat telah tetap atas larangan menggunakan air musta‘mal.
Adapun dalil dari segi makna adalah bahwa anggota tubuh orang yang berhadats itu suci tetapi tidak menyucikan, sedangkan air itu suci dan menyucikan. Apabila digunakan untuk menyucikan anggota tubuh, maka berpindahlah sifat “tidak menyucikan” itu kepadanya, karena ketika sifat menyucikannya telah berpindah dari air kepada anggota tubuh, maka hilanglah sifat menyucikan dari air tersebut, sebagaimana jika sifat sucinya hilang, maka sucinya pun hilang.
Juga, air tersebut adalah air yang telah digunakan untuk menunaikan kewajiban thaharah, sehingga tidak boleh digunakan lagi untuk thaharah, seperti air yang digunakan untuk menghilangkan najis.
Selain itu, penggunaannya merupakan “pemusnahan harta” dalam rangka menunaikan kewajiban, maka tidak boleh diulang untuk menunaikan kewajiban yang sama, diqiyaskan dengan pembebasan budak dalam kafarat yang tidak boleh diulang untuk kafarat yang sama.
فأما الجواب عن قوله: {لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ) {المائدة: 6) فَهُوَ أَنَّ هَذِهِ الصِّفَةَ مُسْتَحَقَّةٌ فِيهِ قَبْلَ وُجُودِ التَّطْهِيرِ، فَلَمْ يَلْزَمْ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِتَكْرَارِ التَّطْهِيرِ، بِخِلَافِ الْقَتْلِ. فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غَسَلَ لُمْعَةً فِي مَنْكِبِهِ بِمَا عَصَرَهُ مِنْ شَعْرِهِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُسْتَعْمَلَ مَا انْفَصَلَ عَنِ الْعُضْوِ، وَمَا عَلَيْهِ فَهُوَ غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ جَرَى إِلَى عُضْوٍ آخَرَ طَهَّرَهُ فَكَذَا إِذَا جَرَى مِنْ شَعْرِهِ عَلَى مَنْكِبِهِ طَهَّرَهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَسْلِهِ ثَانِيَةً وَمَاؤُهُمَا غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ، وَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ الرُّبَيِّعِ.
Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ālā: {…agar Dia mensucikan kalian dengannya} (QS. al-Mā’idah: 6) adalah bahwa sifat “mensucikan” itu memang sudah melekat pada air sebelum digunakan untuk menyucikan, sehingga tidak harus berkaitan dengan pengulangan penyucian, berbeda halnya dengan istilah “membunuh” yang baru berlaku setelah terjadi pembunuhan.
Adapun jawaban terhadap hadis Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW membasuh bagian di pundaknya dengan air yang beliau peras dari rambutnya, maka ada dua penjelasan:
Pertama: air musta‘mal adalah air yang telah terpisah dari anggota tubuh. Adapun air yang masih berada di atas anggota tubuh, maka ia tidak disebut musta‘mal. Bukankah jika air itu mengalir ke anggota tubuh lain, ia tetap dapat menyucikannya? Maka demikian pula jika mengalir dari rambut ke pundak, ia dapat menyucikannya.
Kedua: boleh jadi air itu berasal dari basuhan kedua, sedangkan air basuhan pertama dan kedua adalah air yang belum menjadi musta‘mal.
Demikian pula jawaban terhadap hadis al-Rubayyi‘.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ مَسْحِ رَأْسِهِ بِبَلَلِ لِحْيَتِهِ فَهُوَ مَا ذَكَرْنَا، وَزِيَادَةُ جَوَابٍ ثَالِثٍ وَهُوَ أَنَّ مَا اسْتَرْسَلَ مِنَ اللِّحْيَةِ لَا يَلْزَمُ إِمْرَارُ الْمَاءِ عَلَيْهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، فَكَانَ مَا حَصَلَ فِي غَسْلِهَا غَيْرَ مُسْتَعْمَلٍ فَجَازَ أَنْ يُسْتَعْمَلَ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمُسْتَعْمَلِ فِي تَبَرُّدٍ أَوْ تَنَظُّفٍ فَهُوَ أَنَّ الْمَعْنَى فِيهِ إِنْ لَمْ يَتَعَدَّ عَنِ التَّطْهِيرِ فَلَمْ يَسْلُبْهُ حُكْمَ التَّطْهِيرِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَنِ الطَّهَارَةِ فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ تَأْثِيرًا فِي الطَّهَارَةِ جَازَ أَنْ لَا يَزُولَ عَنْهُ صِفَةُ الطَّهَارَةِ وَلَمَّا كَانَ لَهُ تَأْثِيرٌ فِي التَّطْهِيرِ زَالَتْ عَنْهُ صِفَةُ التَّطْهِيرِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى التُّرَابِ وَالْأَرْضِ فَهُوَ أَنَّ الْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ ذَلِكَ غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ عَلَى وَجْهِ الْإِتْلَافِ، فَجَازَ أَنْ يُعَادَ كَالطَّعَامِ فِي الْكَفَّارَةِ وَالْمَاءُ يُسْتَعْمَلُ عَلَى وَجْهِ الْإِتْلَافِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَادَ كَالْعِتْقِ فِي الْكَفَّارَةِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى مَا انْحَدَرَ مِنْ عُضْوٍ إِلَى عُضْوٍ فَهُوَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْمُسْتَعْمَلَ مَا انْفَصَلَ مِنَ الْأَعْضَاءِ، وَلَيْسَ بِمُسْتَعْمَلٍ مَا لَمْ يَنْفَصِلْ عَنْهَا.
Adapun jawaban terhadap dalil mengusap kepala dengan kelembapan jenggot adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, dengan tambahan jawaban ketiga, yaitu bahwa bagian jenggot yang terurai (mustarsil) tidak wajib dialiri air menurut salah satu dari dua pendapat, sehingga air yang mengenainya dalam basuhan tidak termasuk musta‘mal, dan boleh digunakan kembali.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan air yang digunakan untuk mendinginkan tubuh atau membersihkan diri, adalah bahwa maksudnya jika air itu tidak berpindah dari fungsi penyucian, maka tidak hilang hukum menyucikannya.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan sifat suci (ṭahārah), adalah bahwa karena air musta‘mal tidak memengaruhi sifat sucinya, maka sifat itu tetap ada padanya; tetapi karena ia berpengaruh pada sifat menyucikannya (taṭhīr), maka sifat tersebut hilang darinya.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan tanah dan bumi (untuk tayammum), adalah bahwa tanah tersebut tidak digunakan dengan cara yang menghilangkan atau memusnahkannya, sehingga boleh diulang penggunaannya, seperti makanan dalam kafarat. Adapun air digunakan dengan cara yang memusnahkannya, sehingga tidak boleh diulang penggunaannya, seperti pembebasan budak dalam kafarat.
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan air yang mengalir dari satu anggota tubuh ke anggota tubuh lain, adalah sebagaimana telah kami sebutkan, bahwa air musta‘mal adalah air yang telah terpisah dari anggota tubuh, sedangkan air yang belum terpisah darinya tidak termasuk musta‘mal.
(فَصْلٌ: مَا اسْتَدَلَّ بِهِ مَنْ ذَهَبَ إِلَى نجاسة المستعمل)
وَأَمَّا مَنْ ذَهَبَ إِلَى نَجَاسَتِهِ فَاسْتَدَلَّ بِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لا يبولن أحدكم في الماء الدائم، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ وَلَا يَغْتَسِلْ مِنْهُ مِنْ جَنَابَتِهِ ” فَجَمَعَ بَيْنَ الْبَوْلِ فِي الْمَاءِ وَالِاغْتِسَالِ فِيهِ، ثُمَّ كَانَ الْبَوْلُ سَبَبًا لِتَنَجُّسِهِ فَكَذَا الِاغْتِسَالُ بِهِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ لِلْمَاءِ صِفَتَيْنِ الطَّهَارَةُ وَالتَّطْهِيرُ، فَلَمَّا زَالَ بِالِاسْتِعْمَالِ لَهُ فِي التَّطْهِيرِ، وَجَبَ أَنْ يَزُولَ بِهِ الطَّهَارَةُ، وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ أَحَدُ صِفَتَيِ الْمَاءِ فَوَجَبَ أَنْ يَزُولَ عَنْهُ بِالِاسْتِعْمَالِ كَالتَّطْهِيرِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ مَاءٌ مُسْتَعْمَلٌ فِي فَرْضِ طَهَارَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ نَجِسًا كَالْمُزَالِ بِهِ النَّجَاسَةُ.
(PASAL: Dalil yang digunakan oleh pihak yang berpendapat air musta‘mal itu najis)
Adapun orang yang berpendapat bahwa air musta‘mal itu najis, mereka berdalil dengan riwayat Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
“Janganlah salah seorang di antara kalian kencing di air yang tergenang, kemudian berwudhu darinya, dan jangan pula mandi janabah darinya.”
Mereka berkata: Nabi SAW menggabungkan antara larangan kencing di air dan mandi janabah di dalamnya. Karena kencing menjadi sebab najisnya air, maka mandi janabah pun demikian.
Mereka juga berkata: karena air memiliki dua sifat, yaitu suci (ṭahārah) dan menyucikan (taṭhīr). Ketika sifat menyucikannya hilang dengan digunakan untuk bersuci, maka semestinya sifat sucinya pun hilang.
Rinciannya: sifat tersebut adalah salah satu dari dua sifat air, maka wajib hilang darinya dengan penggunaan, sebagaimana hilang sifat menyucikannya.
Mereka juga berkata: air yang digunakan untuk menunaikan kewajiban thaharah semestinya menjadi najis, seperti halnya air yang digunakan untuk menghilangkan najis.
وَالدَّلِيلُ عَلَى طَهَارَتِهِ رِوَايَةُ شُعْبَةَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْهَاجِرَةِ فَدَعَا بماءٍ فَتَوَضَّأَ فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ فَصَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ ” وَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَنَهَاهُمْ عَنْهُ.
Dalil yang menunjukkan bahwa air musta‘mal itu suci adalah riwayat Syu‘bah dari al-Ḥakam dari Abī Juḥayfah, ia berkata:
Rasulullah SAW keluar pada waktu hajirah (tengah hari), lalu meminta dibawakan air. Beliau berwudhu, lalu orang-orang mengambil sisa air wudhunya dan mengusap diri mereka dengannya. Kemudian beliau shalat Zhuhur dua rakaat, dan shalat ‘Ashar dua rakaat.
Seandainya air tersebut najis, tentu beliau akan melarang mereka menggunakannya.
وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُ: اشْتَكَيْتُ فَأَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَعُودُنِي هُوَ وَأَبُو بَكْرٍ وَهُمَا مَاشِيَانِ وَجَاءَا وَقَدْ أُغمي عَلَيَّ فَتَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثُمَّ صَبَّ عَلَيَّ مِنْ وَضُوئِهِ فَأَفَقْتُ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أُوصِي فِي مَالِي كَيْفَ أَصْنَعُ فِي مَالِي فَلَمْ يُجِبْنِي رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَتَّى نَزَلَتْ آيَةُ الْمَوَارِيثِ “.
Diriwayatkan dari Muḥammad bin al-Munkadir, ia berkata: Aku mendengar Jābir berkata:
“Aku pernah sakit, lalu Rasulullah SAW datang menjengukku bersama Abū Bakr, dan keduanya berjalan kaki. Keduanya datang sementara aku dalam keadaan pingsan. Lalu Rasulullah SAW berwudhu, kemudian menuangkan sisa air wudhunya kepadaku, maka aku pun siuman. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana aku harus berwasiat dalam hartaku
فَلَوْ كَانَ الْمُسْتَعْمَلُ فِي الطَّهَارَةِ نَجِسًا لَمَا نَجَّسَ بِهِ جَابِرًا، وَمَا اعْتَمَدَ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَهُوَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – توضأ وأصحابه ولا شك إلا أَنَّهُ قَدْ أَصَابَ ثَوْبَهُ وَثِيَابَهُمْ مِنْ بَلَلِهِ وَلَمْ يُرْوَ عَنْهُ، وَلَا عَنْ أَحَدِهِمْ أَنَّهُ غَسَلَهُ وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ نَجِسًا لَغَسَلَهُ وَأَمَرَهُ بِغَسْلِهِ وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ اغْتَسَلَ حِينَ ذَكَرَ الْجَنَابَةَ فِي الصَّلَاةِ ثُمَّ عَادَ إِلَى الْمَسْجِدِ وَالْمَاءُ يَقْطُرُ مِنْ جُمَّتِهِ وَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَصَانَ الْمَسْجِدَ عَنْهُ وَلِأَنَّهُ طَاهِرٌ لَاقَاهُ طَاهِرٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا، كَمَا لَوْ جَرَى عَلَى أَعْضَائِهِ تَبَرُّدًا أَوْ تَنَظُّفًا، وَلِأَنَّ الطَّاهِرَ لَا يَصِيرُ نَجِسًا إِلَّا أَنْ يُلَاقِيَ نَجِسًا أَوْ يَنْتَقِلَ عَنْ صِفَةٍ فَيَصِيرُ نَجِسًا كَالْعَصِيرِ الَّذِي يَصِيرُ خَمْرًا، وَالْبَيْضِ الَّذِي يَصِيرُ مَذِرَةً، وَالْحَيَوَانُ يَمُوتُفَيَصِيرُ نَجِسًا، وَالْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ لَمْ يُلَاقِ نَجِسًا ولا يَتَغَيَّرْ عَنْ صِفَتِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِيرَ نَجِسًا، فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا جَازَ عِنْدَكُمْ أَنْ يَلْتَقِيَ النَّجِسَانِ فَيَطْهُرَا جَازَ أَنْ يَلْتَقِيَ الطَّاهِرَانِ فَيَنْجُسَا، قِيلَ: وَلِمَ صَارَا كَذَلِكَ؟ وَمَا الْعِلَّةُ الْمُوجِبَةُ لِذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْتِقَاءُ النَّجِسَيْنِ مُوجِبًا لِلطَّهَارَةِ، كَانَ الْتِقَاءُ الطَّاهِرَيْنِ أَوْلَى أَنْ يُوجِبَ الطَّهَارَةَ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ فَهُوَ أَنَّ قَوْلَهُ: ” وَلَا يَغْتَسِلْ فِيهِ مِنْ جَنَابَةٍ ” زِيَادَةٌ تَفَرَّدَ بِهَا بَعْضُ الرُّوَاةِ مِنْ طَرِيقٍ، وَلَيْسَ بِثَابِتٍ، وَلَوْ صَحَّتْ لَكَانَتْ مَحْمُولَةً عَلَى أَنَّهُ لَا يَتَوَضَّأُ مِنْهُ، وَلَا يَغْتَسِلُ مِنْهُ بَعْدَ التَّبَوُّلِ فِيهِ عَلَى أَنَّ الْمَنْعَ مِنْهُ لِأَنَّهُ بِالِاسْتِعْمَالِ قَدْ صَارَ مَسْلُوبَ التَّطْهِيرِ دُونَ الطَّهَارَةِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ لَمَّا سَلَبَهُ الِاسْتِعْمَالُ إِحْدَى صِفَتَيْهِ وَجَبَ أَنْ يَسْلُبَهُ الصِّفَةَ الْأُخْرَى وَهُوَ أَنَّهُ مُنْتَقِضٌ بِالْمَاءِ إِذَا خَالَطَهُ مَائِعٌ، فَإِنَّهُ يَسْلُبُهُ التَّطْهِيرَ، وَلَا يَسْلُبُهُ الطَّهَارَةَ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي التَّطْهِيرِ أَنَّهُ لَمَّا تَعَدَّى إِلَى غَيْرِهِ جاز أن تزول عنه الطهارة، لما لَمْ يَتَعَدَّ إِلَى غَيْرِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَزُولَ عَنْهُ.
Seandainya air musta‘mal dalam thaharah itu najis, tentu Nabi SAW tidak akan menyiramkan air tersebut kepada Jābir, dan tidak akan beliau biarkan mengenai tubuhnya.
Inilah yang dijadikan pegangan oleh al-Syāfi‘ī RA, yaitu bahwa Nabi SAW berwudhu bersama para sahabatnya, dan sudah pasti percikan air wudhu beliau mengenai pakaian beliau dan pakaian mereka, namun tidak ada riwayat sedikit pun bahwa beliau mencucinya atau memerintahkan untuk mencucinya. Seandainya air tersebut najis, tentu beliau akan mencucinya dan memerintahkan mereka untuk mencucinya.
Diriwayatkan pula bahwa Nabi SAW mandi ketika teringat janabah di tengah shalat, kemudian kembali ke masjid sementara air masih menetes dari rambutnya. Seandainya air itu najis, tentu beliau akan menjaga masjid dari terkena air tersebut.
Selain itu, air musta‘mal adalah air suci yang bersentuhan dengan sesuatu yang suci, maka hukumnya tetap suci, sebagaimana jika air mengalir pada anggota tubuh untuk mendinginkan diri atau membersihkan badan. Dan sesuatu yang suci tidak menjadi najis kecuali jika bersentuhan dengan najis, atau mengalami perubahan sifat sehingga menjadi najis — seperti sari buah yang berubah menjadi khamr, telur yang berubah menjadi busuk, atau hewan yang mati. Sedangkan air musta‘mal tidak bersentuhan dengan najis dan tidak berubah sifatnya, maka tidak boleh dihukumi najis.
Jika ada yang berkata: “Kalau menurut kalian dua benda najis bisa saling bertemu lalu menjadi suci, maka seharusnya dua benda suci yang bertemu bisa menjadi najis.” Maka jawabnya: Mengapa harus demikian? Apa sebab yang mewajibkannya? Bahkan jika pertemuan dua benda najis saja bisa menghasilkan kesucian, maka pertemuan dua benda suci lebih pantas menghasilkan kesucian.
Adapun jawaban atas dalil mereka dari hadis Abū Hurairah adalah bahwa lafaz “dan jangan mandi janabah di dalamnya” adalah tambahan yang hanya diriwayatkan oleh sebagian perawi dari satu jalur dan tidak tsabit. Seandainya pun shahih, maka maksudnya adalah larangan berwudhu atau mandi dari air yang telah dikencingi, dan larangan itu karena air tersebut dengan pemakaian itu telah hilang sifat menyucikannya (taṭhīr) bukan sifat sucinya (ṭahārah).
Sedangkan jawaban atas istidlāl mereka bahwa “ketika pemakaian menghilangkan salah satu sifatnya, maka seharusnya menghilangkan sifat yang lain” adalah bahwa ini dibantah oleh kenyataan air jika bercampur dengan cairan lain: campuran itu bisa menghilangkan sifat menyucikannya, tetapi tidak menghilangkan sifat sucinya. Makna dalam sifat menyucikan adalah bahwa ketika sifat itu berpindah kepada selainnya, maka boleh hilang; tetapi ketika sifat itu tidak berpindah kepada selainnya, maka tidak boleh hilang.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمُزَالِ بِهِ النَّجَاسَةُ قُلْنَا فِيهِ كَلَامٌ نَذْكُرُهُ وَعِنْدَنَا عَلَى الظَّاهِرِ مِنَ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ طَاهِرٌ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِيهِ لَوْ كَانَ نَجِسًا أَنَّهُ لَاقَى نَجِسًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan sesuatu yang digunakan untuk menghilangkan najis, kami katakan di situ ada pembicaraan yang akan kami sebutkan. Menurut pendapat yang zhahir dari mazhab kami, ia adalah ṭāhir. Kemudian maknanya, seandainya ia najis, berarti ia telah bersentuhan dengan sesuatu yang najis. Wallāhu a‘lam.
(فَصْلٌ: ضَابِطُ الْمَاءِ المستعمل)
فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا فِي حُكْمِ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ فَهُوَ مَا انْفَصَلَ عَنِ الْأَعْضَاءِ حَتَّى سَقَطَ فِي الْإِنَاءِ فَأَمَّا إِذَا جَرَى مِنْ عُضْوٍ إِلَى عُضْوٍ فَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا صَارَ بِانْتِقَالِهِ مِنْ أَحَدِ أَعْضَاءِ حَدَثِهِ مُسْتَعْمَلًا فَإِذَا انْتَقَلَ إِلَى عُضْوٍ آخَرَ لَمْ يُطَهِّرْهُ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ أَعْضَاءِ الْحَدَثِ قَدْ يَنْفَرِدُ بِحُكْمِهِ، وَإِنْ كَانَ جُنُبًا فَهَلْ يَصِيرُ بِانْتِقَالِهِ عَنِ الْعُضْوِ إِلَى غَيْرِهِ مُسْتَعْمَلًا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL: Batasan air musta‘mal
Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan dalam hukum air musta‘mal, maka ia adalah air yang terpisah dari anggota badan hingga jatuh ke dalam bejana. Adapun jika mengalir dari satu anggota ke anggota lain, maka jika ia sedang berhadas, air itu menjadi musta‘mal dengan berpindahnya dari salah satu anggota hadasnya. Maka ketika berpindah ke anggota lain, ia tidak dapat menyucikannya, karena masing-masing anggota hadas memiliki hukum tersendiri. Dan jika ia junub, maka apakah air itu menjadi musta‘mal dengan berpindah dari satu anggota ke anggota lain? Dalam hal ini ada dua wajah.
أحدهما: أنه صَارَ مُسْتَعْمَلًا فَلَا يَرْفَعُ جَنَابَةَ الْعُضْوِ الَّذِي انْتَقَلَ إِلَيْهِ كَالْمُحْدِثِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا بِانْتِقَالِهِ إِلَى الْعُضْوِ الثَّانِي حَتَّى يَنْفَصِلَ عَنْ جَمِيعِ الْجَسَدِ؛ لِأَنَّ بَدَنَ الْجُنُبِ كَالْعُضْوِ الْوَاحِدِ مِنْ أَعْضَاءِ الْمُحْدِثِ، وَلِذَلِكَ سَقَطَ التَّرْتِيبُ فِيهِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْعُضْوَ الْوَاحِدَ إِذَا انْتَقَلَ الْمَاءُ مِنْ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ حَتَّى عَمَّ جَمِيعَهُ لَمْ يَصِرْ مُسْتَعْمَلًا حَتَّى يَنْفَصِلَ عَنْهُ كَذَلِكَ فِي بَدَنِ الْجُنُبِ، فَلَوْ غَسَلَ الْمُحْدِثُ رَأْسَهُ كَانَ فِيمَا سَقَطَ عَنْ رَأْسِهِ مِنَ الْمَاءِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ؛ لِأَنَّ الْمُسْتَحَقَّ فِي الرَّأْسِ مَسْحُهُ بِالْبَلَلِ الْبَاقِي عليه فلم يصير الْفَاضِلُ مِنْ غَسْلِهِ مُسْتَعْمَلًا فِيهِ.
Salah satunya: air itu menjadi musta‘mal sehingga tidak mengangkat janabah anggota yang dialirinya, sebagaimana orang yang berhadas.
Wajah yang kedua, dan ini yang lebih ṣaḥīḥ, bahwa air itu tidak menjadi musta‘mal dengan berpindahnya ke anggota yang lain hingga terpisah dari seluruh badan; karena tubuh orang junub seperti satu anggota dari anggota-anggota orang berhadas, dan oleh sebab itu gugurlah tertib di dalamnya. Kemudian telah tetap bahwa satu anggota, apabila air berpindah dari sebagian anggotanya ke sebagian yang lain hingga merata ke seluruhnya, maka ia tidak menjadi musta‘mal hingga terpisah darinya. Demikian pula pada tubuh orang junub.
Maka jika orang berhadas membasuh kepalanya, maka pada air yang jatuh dari kepalanya terdapat dua wajah yang disebutkan oleh Ibn Abī Hurairah: salah satunya bahwa ia tidak menjadi musta‘mal, karena yang diwajibkan pada kepala hanyalah mengusapnya dengan sisa basahan yang ada padanya, maka air yang berlebih dari basuhan itu tidak menjadi musta‘mal padanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُسْتَعْمَلًا؛ لِأَنَّ الِاكْتِفَاءَ بِبَعْضِ الْمَاءِ إِذَا حَصَلَ مُتَعَدِّيًا بِالِاسْتِعْمَالِ إِلَى مَا هُوَ أَكْثَرُ مِنْهُ لَا يَمْنَعُ مِنْ كَوْنِهِ مُسْتَعْمَلًا أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ كَانَ يَكْفِيهِ مُدٌّلِوُضُوئِهِ لَوِ اسْتَعْمَلَ صَاعًا فَصَارَ الصَّاعُ مُسْتَعْمَلًا وَإِنْ كَانَ بِبَعْضِهِ مُكْتَفِيًا كَذَلِكَ فِي غَسْلِ الرَّأْسِ بَدَلًا مِنْ مَسْحِهِ.
Wajah yang kedua: bahwa air itu menjadi musta‘mal, karena mencukupkan diri dengan sebagian air apabila telah terjadi, maka penggunaan yang melampaui dari kadar yang mencukupi itu tidak menghalangi dari statusnya sebagai musta‘mal. Tidakkah engkau melihat bahwa seseorang yang cukup baginya satu mudd untuk wudhunya, jika ia menggunakan satu ṣā‘, maka ṣā‘ itu menjadi musta‘mal, sekalipun ia telah cukup dengan sebagiannya. Demikian pula dalam membasuh kepala sebagai ganti dari mengusapnya.
(فَصْلٌ: الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ إذا بلغ قلتين)
فَإِذَا بَلَغَ الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ قُلَّتَيْنِ، فَإِنْ كَانَ قُلَّتَيْنِ وَقْتَ اسْتِعْمَالِهِ كَجُنُبٍ اغْتَسَلَ فِي قُلَّتَيْنِ مِنْ مَاءٍ، فَالْمَاءُ طَاهِرٌ، وَخَارِجٌ عَنْ حُكْمِ الْمُسْتَعْمَلِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ رَفْعُ الْحَدَثِ بِهِ بِأَغْلَظَ مِنْ وُقُوعِ النَّجَاسَةِ فِيهِ إِذَا كَانَ قُلَّتَيْنِ لا يغير حكمه ما لم يَتَغَيَّرُ فَكَذَلِكَ الِاسْتِعْمَالُ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ وَقْتَ الِاسْتِعْمَالِ أَقَلَّ مِنْ قُلَّتَيْنِ ثُمَّ جُمِعَ بَعْدَ اسْتِعْمَالِهِ قُلَّتَيْنِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ هَلْ يصير مطهر أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ أَنَّهُ غَيْرُ مُطَهِّرٍ؛ لِأَنَّهُ حُكْمٌ ثَبَتَ لِقِلَّتِهِ مَعَ طَهَارَتِهِ، فَلَمْ يَنْتَفِ عَنْ كَثِيرِهِ كَسَائِرِ الْمَائِعَاتِ الطَّاهِرَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ يَصِيرُ مُطَهِّرًا؛ لِأَنَّ حُكْمَ النَّجَاسَةِ أَغْلَظُ فِي الِاسْتِعْمَالِ مِنَ الْحَدَثِ فَلَمَّا كَانَ جَمْعُ الْقَلِيلِ حَتَّى يَصِيرَ كَثِيرًا يَنْفِي عَنْهُ حُكْمَ النَّجَاسَةِ فَأَوْلَى أَنْ يَنْفِيَ عَنْهُ حُكْمَ الِاسْتِعْمَالِ.
PASAL: Air musta‘mal apabila mencapai dua qullah
Apabila air musta‘mal mencapai dua qullah, maka jika pada waktu penggunaannya sudah dua qullah, seperti orang junub yang mandi di dalam dua qullah air, maka air itu ṭāhir dan keluar dari hukum musta‘mal; karena mengangkat hadas dengan air itu tidak lebih berat hukumnya daripada jatuhnya najis ke dalamnya, selama dua qullah tidak berubah sifatnya, maka hukumnya tidak berubah. Demikian pula penggunaannya.
Adapun jika pada waktu penggunaannya kurang dari dua qullah, lalu setelah digunakan dikumpulkan menjadi dua qullah, maka para sahabat kami berbeda pendapat apakah ia menjadi suci menyucikan atau tidak. Ada dua wajah:
Pertama, pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa ia tidak menjadi penyuci; karena hukum itu telah tetap atasnya saat sedikit, bersama kesuciannya, maka tidak hilang dengan banyaknya, sebagaimana cairan-cairan ṭāhir yang lain.
Wajah kedua, pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa ia menjadi penyuci; karena hukum najis lebih berat dalam penggunaan daripada hadas, maka ketika pengumpulan air sedikit hingga menjadi banyak dapat menghilangkan hukum najis darinya, lebih pantas lagi ia dapat menghilangkan hukum musta‘mal.
(فَصْلٌ)
: ثُمَّ إِذَا صَارَ الْمَاءُ مُسْتَعْمَلًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يُزَالَ بِهِ الْإِنْجَاسُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ تُزَالَ بِهِ النَّجَاسَةُ؛ لِأَنَّ لِلْمَاءِ حُكْمَيْنِ فِي التَّطْهِيرِ.
أَحَدُهُمَا: فِي رَفْعِ الْحَدَثِ.
وَالثَّانِي: فِي إِزَالَةِ النَّجَسِ، فَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِي أَحَدِهِمَا وَهُوَ رَفْعُ الْحَدَثِ لَمْ يَسْقُطِ الْحُكْمُ الْآخَرُ فِي إِزَالَةِ النَّجَسِ، قِيلَ لَهُمْ: فَعَلَى هَذَا التَّعْلِيلِ يَلْزَمُكُمْ أَنْ تَقُولُوا إِذَا اسْتُعْمِلَ فِي إِزَالَةِ النَّجَسِ أَنَّهُ يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ فَاخْتَلَفُوا فَقَالَ بَعْضُهُمْ أَقُولُ بِذَلِكَ، وَالْتَزَمَ هَذَا السُّؤَالَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا أَقُولُ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّ إِزَالَةَ النَّجَسِ أَغْلَظُ مِنْ رَفْعِ الْحَدَثِ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الْأَغْلَظُ رَافِعًا لِحُكْمِ الْأَخَفِّ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْأَخَفُّ رَافِعًا لِحُكْمِ الْأَغْلَظِ.
PASAL
Kemudian apabila air menjadi musta‘mal, para sahabat kami berbeda pendapat apakah boleh digunakan untuk menghilangkan najis. Ada dua wajah:
Pertama, pendapat Abū al-Qāsim al-Anmāṭī dan Abū ‘Alī bin Khayrān, bahwa boleh menghilangkan najis dengannya; karena air memiliki dua hukum dalam penyucian:
Pertama, dalam mengangkat hadas.
Kedua, dalam menghilangkan najis.
Maka apabila digunakan untuk salah satunya, yaitu mengangkat hadas, tidak gugur hukum yang lain dalam menghilangkan najis.
Dikatakan kepada mereka: Berdasarkan alasan ini, kalian mesti mengatakan bahwa apabila air digunakan untuk menghilangkan najis, boleh digunakan untuk mengangkat hadas. Mereka pun berbeda pendapat: sebagian berkata, “Aku mengatakan demikian,” dan menerima konsekuensi pertanyaan ini. Sebagian lagi berkata, “Aku tidak mengatakan demikian; karena menghilangkan najis lebih berat daripada mengangkat hadas, sehingga boleh yang lebih berat menghapus hukum yang lebih ringan, tetapi tidak boleh yang lebih ringan menghapus hukum yang lebih berat.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ فِي إِزَالَةِ النَّجَسِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا صَارَ بِالِاسْتِعْمَالِ مَانِعًا مِنْ رَفْعِ الْحَدَثِ صَارَ كَسَائِرِ الْمَائِعَاتِ الَّتِي لَا تُزِيلُ النَّجَسَ، وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ التَّطْهِيرِ بَعْدَ الِاسْتِعْمَالِ مِنْ أَنْ يَكُونَ حُكْمُهُ بَاقِيًا أَوْ مُرْتَفِعًا، فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا صَحَّ فِي الطَّهَارَتَيْنِ، وَإِنْ كَانَ مُرْتَفِعًا زَالَ عَنِ الطهارتين.
Wajah yang kedua, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās bin Surayj, Abū Isḥāq al-Marwazī, Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, dan jumhur sahabat kami, bahwa tidak boleh digunakan untuk menghilangkan najis; karena ketika air, dengan penggunaannya, menjadi penghalang untuk mengangkat hadas, maka ia seperti cairan-cairan lainnya yang tidak dapat menghilangkan najis. Dan karena keadaan penyucian setelah pemakaian tidak lepas dari dua kemungkinan: hukumnya tetap atau hilang. Jika tetap, maka sah untuk kedua macam penyucian; dan jika hilang, maka hilang pula dari kedua macam penyucian itu.
(فصل: الماء المستعمل في إزالة النجس)
وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي مِنْ ضُرُوبِ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ وَهُوَ مَا كَانَ مُسْتَعْمَلًا فِي إِزَالَةِ نَجَسٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَغَيِّرًا بِالنَّجَاسَةِ، أَوْ غَيْرَ مُتَغَيِّرٍ فَإِنْ كَانَ مُتَغَيِّرًا بِالنَّجَاسَةِ، فَهُوَ نجس لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يُنَجِّسُهُ إِلَّا مَا غَيَّرَ لَوْنَهُ أَوْ طَعْمَهُ أَوْ رِيحَهُ ” وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُتَغَيِّرٍ فَلَا يَخْلُو حَالُ النَّجَاسَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً فِي مَحَلِّهَا أَوَ زَائِلَةً، فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً فَالْمَاءُ الْمُنْفَصِلُ عَنْهَا نَجِسٌ؛ لِأَنَّهُ مَاءٌ مُنْفَصِلٌ عَنْ مَحَلٍّ نَجِسٍ، وَإِنْ كَانَتْ قَدْ زَالَتْ عَنْ مَحَلِّهَا بِالْمَاءِ حتى صار المحل طاهراً فذهب الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْمَاءَ الْمُنْفَصِلَ عَنْهَا طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ كَالْمُسْتَعْمَلِ فِي الْحَدَثِ. وَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيِّ مِنْ أَصْحَابِنَا: هُوَ نَجِسٌ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ مَاءٌ خَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ نَجِسًا، كَمَا لَوْ وَرَدَتْ عَلَيْهِ نَجَاسَةٌ قَالُوا، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمُسْتَعْمَلُ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ يَسْلُبُهُ مَا خَالَفَهُ فِيهِ مِنَ التَّطْهِيرِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمُسْتَعْمَلُ فِي إِزَالَةِ النَّجَسِ يَسْلُبُهُ مَا خَالَفَهُ فِيهِ مِنَ الطَّهَارَةِ، وَالتَّطْهِيرِ وَدَلِيلُنَا عَلَى طَهَارَتِهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في بول الأعرابي: ” صبوا عليه ذنوبا من ماءٍ “. فَلَوْ لَمْ يَصِرِ الْمَاءُ بِوُرُودِهِ عَلَى النَّجَاسَةِ طَاهِرًا لَكَانَ أَمْرُهُ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَوْلِ الْأَعْرَابِيِّ عَبَثًا، وَلِأَنَّ الْمَاءَ إِذَا وَرَدَ عَلَى التُّرَابِ النَّجِسِ كَانَ طَاهِرًا قَبْلَ انْفِصَالِهِ، وِفَاقًا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا بَعْدَ انْفِصَالِهِ حِجَاجًا إِذْ لَيْسَ لَهُ بَعْدَ الِانْفِصَالِ حَالٌ لَمْ تَكُنْ قَبْلَ الِانْفِصَالِ، وَقَدْ يَتَحَرَّرُ مِنْ هَذَا الاعتدال قِيَاسَانِ:
PASAL: Air yang dipakai untuk menghilangkan najis
Adapun jenis kedua dari macam-macam air musta‘mal, yaitu air yang digunakan untuk menghilangkan najis, maka keadaannya setelah terpisah tidak lepas dari salah satu dari dua perkara:
Jika berubah karena najis, maka ia najis, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak menajiskannya kecuali apa yang mengubah warnanya, atau rasanya, atau baunya.”
Jika tidak berubah, maka keadaan najisnya tidak lepas dari salah satu dari dua perkara:
Jika najis itu masih tetap pada tempatnya, maka air yang terpisah darinya adalah najis, karena ia adalah air yang terpisah dari tempat najis.
Jika najis itu telah hilang dari tempatnya dengan air sehingga tempat itu menjadi suci, maka menurut al-Syafi‘i air yang terpisah darinya suci tetapi tidak mensucikan, seperti air yang digunakan untuk menghilangkan ḥadats.
Abu al-Qāsim al-Anmāṭī dari kalangan sahabat kami berkata: ia najis. Dan demikian pula pendapat Abu Ḥanīfah, dengan alasan bahwa ia adalah air yang bercampur dengan najis, maka wajib hukumnya menjadi najis, sebagaimana jika najis itu mendatanginya. Mereka berkata: karena ketika air musta‘mal untuk mengangkat ḥadats telah menghilangkan sifatnya yang berbeda dengannya berupa penyucian, maka wajib air musta‘mal untuk menghilangkan najis menghilangkan sifatnya yang berbeda dengannya berupa kesucian dan penyucian.
Dalil kami atas kesuciannya adalah sabda Nabi SAW tentang kencingnya orang Badui: “Siramilah di atasnya satu timba air.” Seandainya air yang mendatangi najis tidak menjadi suci, tentu perintah beliau untuk menyiramkan air pada kencing orang Badui itu sia-sia. Dan karena air apabila mengenai tanah najis adalah suci sebelum terpisah —menurut kesepakatan— maka itu mengharuskan bahwa ia tetap suci setelah terpisah, karena tidak ada baginya setelah terpisah keadaan yang tidak ada sebelumnya. Dari penjelasan ini dapat ditetapkan dua qiyas yang seimbang:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ طَاهِرٌ لَاقَى مَحَلًّا نَجِسًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا كَانَ مُتَّصِلًا.
وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ عَيْنٍ لَا يَنْجَسُ الْمَاءُ بِمُلَاقَاتِهَا لَمْ يَنْجَسْ بِمُفَارَقَتِهَا، كَالْأَعْيَانِ الطَّاهِرَةِ.
فَإِنْ قِيلَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ مَا انْفَصَلَ عَنِ النَّجَاسَةِ إِلَى مَا لَمْ يَنْفَصِلْ عَنْهَا كَمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ مَا انْفَصَلَ عَنِ الْأَعْضَاءِ إِلَى مَا لَمْ يَنْفَصِلْ عَنْهَا وَكَانَ الْفَرْقُ الْمَانِعُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي رَفْعِ الْحَدَثِ هُوَ الْفَرْقُ الْمَانِعُ بَيْنَهُمَا فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الِاسْتِعْمَالَ يَكُونُ بِالْفِعْلِ وَذَلِكَ لَا يَكُونُ إِلَّا بَعْدَ الِانْفِصَالِ، فَوَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْحَالَيْنِ وَالتَّنْجِيسُ أَنَّهُ لَوْ كَانَ فَبِالْمُلَاقَاةِ، وَذَلِكَ قَبْلَ الِانْفِصَالِ فَاسْتَوَى الْحُكْمُ فِي الْحَالَيْنِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ جَمْعِهِمْ بَيْنَ وُرُودِ النَّجَاسَةِ عَلَى الْمَاءِ وَبَيْنَ وُرُودِ الْمَاءِ عَلَى النَّجَاسَةِ فِي تَنْجِيسِهِ فِي الْحَالَيْنِ فَهُوَ أَنَّ الْفَرْقَ وَارِدٌ بَيْنَهُمَا من وجهين:
Pertama: bahwa ia adalah air suci yang mengenai tempat najis, maka wajib hukumnya tetap suci dengan qiyas atasnya ketika masih bersambung.
Kedua: bahwa setiap benda yang tidak menajiskan air ketika bersentuhan dengannya, maka tidak pula menajiskannya ketika berpisah darinya, seperti benda-benda suci.
Jika dikatakan: tidak boleh menggabungkan antara air yang terpisah dari najis dengan air yang tidak terpisah darinya, sebagaimana tidak boleh menggabungkan antara air yang terpisah dari anggota badan dengan air yang tidak terpisah darinya, dan perbedaan yang mencegah penggabungan itu ada. Maka perbedaan antara keduanya dalam menghilangkan ḥadats adalah perbedaan yang mencegah penggabungan keduanya dalam menghilangkan najis.
Jawabannya: bahwa penggunaan (isti‘māl) itu terjadi dengan perbuatan, dan itu tidak terjadi kecuali setelah terpisah, sehingga terjadilah perbedaan antara dua keadaan tersebut. Sedangkan penajisan, jika terjadi, maka ia terjadi karena persentuhan, dan itu sebelum terpisah, sehingga sama hukumnya pada kedua keadaan itu.
Adapun jawaban terhadap penggabungan mereka antara mendatangkan najis kepada air dan mendatangkan air kepada najis dalam hal menajiskannya pada kedua keadaan, maka perbedaan di antara keduanya ada dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: السُّنَّةُ الْوَارِدَةُ بِالْفَرْقِ بَيْنَهُمَا حَيْثُ أَمَرَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَوْلِ الْأَعْرَابِيِّ وَلَوْ صَارَ نَجِسًا لَمْ يَأْمُرْ بِهِ، وَحَيْثُ نَهَى مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ النَّوْمِ أَنْ يَغْمِسَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا، وَلَوْ كَانَ الْمَاءُ لَا يَنْجَسُ لَمْ يَنْهَ عَنْهُ، فَدَلَّتِ السُّنَّةُ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَأَنَّ وُرُودَ الْمَاءِ عَلَى النَّجَاسَةِ، لَا يُوجِبُ تَنْجِيسَهُ، لِحَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ، وَأَنَّ وُرُودَ النَّجَاسَةِ عَلَى الْمَاءِ يُوجِبُ تَنْجِيسَهُ لِحَدِيثِ الْمُسْتَيْقِظِ مِنَ النَّوْمِ.
وَالْفَرْقُ الثَّانِي: مِنِ طَرِيقِ الْمَعْنَى: أَنَّ الضَّرُورَةَ دَاعِيَةٌ إِلَى تَطْهِيرِ الْمَاءِ لِوُرُودِهِ عَلَى الْمَاءِ، لِأَنَّهُ لَوْ صَارَ نَجِسًا لَمَا أَمْكَنَ تَطْهِيرُ نَجَاسَتِهِ عَنِ الْمَحَلِّ لِأَنَّ الْمَاءَ نَجُسَ بِوُرُودِهِ عَلَى ذَلِكَ الْمَحَلِّ فَحُكِمَ بِطَهَارَتِهِ، وَلَيْسَتِ الضَّرُورَةُ دَاعِيَةً إِلَى تَطْهِيرِ الْمَاءِ بِوُرُودِ النَّجَاسَةِ عَلَيْهِ فَحُكِمَ بِتَنْجِيسِهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ النَّجَاسَةَ تَسْلُبُ الْمَاءَ بِمَا خَالَفَهَا مِنَ الطَّهَارَةِ، وَالتَّطْهِيرِ فَهُوَ أَنَّ التَّطْهِيرَ صفة متعدية فجاز أن تَزُولَ عَنِ الْمَاءِ، وَالطَّهَارَةُ صِفَةٌ لَازِمَةٌ فَجَازَ أَنْ لَا تَزُولَ عَنِ الْمَاءِ؛ لِأَنَّ الْمُتَعَدِّيَ مُفَارِقٌ وَاللَّازِمَ مُقِيمٌ.
Pertama: sunnah yang datang membedakan antara keduanya, yaitu ketika Nabi SAW memerintahkan untuk menyiramkan air pada kencing orang Badui, dan seandainya air itu menjadi najis, tentu beliau tidak akan memerintahkannya. Dan ketika beliau melarang orang yang bangun dari tidur untuk mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum membasuhnya, dan seandainya air tidak menjadi najis, tentu beliau tidak akan melarangnya. Maka sunnah menunjukkan adanya perbedaan antara dua perkara itu: bahwa mendatangkan air kepada najis tidak menyebabkan ia menjadi najis, berdasarkan hadis orang Badui, sedangkan mendatangkan najis kepada air menyebabkan ia menjadi najis, berdasarkan hadis orang yang bangun dari tidur.
Perbedaan kedua dari segi makna: bahwa adanya kebutuhan mendesak menuntut disucikannya air ketika ia didatangkan kepada najis, karena jika ia menjadi najis, tidak mungkin menghilangkan najis dari tempat tersebut, sebab air menjadi najis hanya karena mendatangi tempat itu. Maka ditetapkanlah kesuciannya. Sedangkan tidak ada kebutuhan mendesak untuk mensucikan air ketika najis mendatanginya, maka ditetapkanlah kenajisannya.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa najis menghilangkan dari air sifat yang berbeda dengannya berupa kesucian dan penyucian, adalah bahwa penyucian (taṭhīr) adalah sifat yang berpindah (muta‘addī), maka mungkin saja sifat itu hilang dari air. Sedangkan kesucian (ṭahārah) adalah sifat yang tetap (lāzim), maka mungkin saja ia tidak hilang dari air, karena sifat yang berpindah itu berpisah, sedangkan sifat yang tetap itu menetap.
(فَصْلٌ)
: فَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ ثَوْبًا نَجِسًا طُرِحَ فِي إِنَاءٍ ثُمَّ صُبَّ عَلَيْهِ مِنَ الْمَاءِ مَا أَزَالَ أَثَرَ النَّجَاسَةِ عَنْهُ كَانَ الثَّوْبُ وَمَا احْتَمَلَهُ مِنَ الْمَاءِ، وَمَا فَضَلَ فِي الْإِنَاءِ طَاهِرًا كُلَّهُ، فَلَوْ عَصَرَ الثَّوْبَ فِي الْإِنَاءِ كَانَ الْمَاءُ الْمُنْفَصِلُ قَبْلَ الْعَصْرِ طَاهِرًا مُسْتَعْمَلًا، وَلَوِ ابْتَدَأَ بِصَبِّ الْمَاءِ فِي الْإِنَاءِ، ثُمَّ أَلْقَى الثَّوْبَ النَّجِسَ فِيهِ صَارَ الثَّوْبُ وَالْمَاءُ وَالْإِنَاءُ نَجِسًا كُلُّهُ؛ لِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ وَرَدَتْ عَلَى مَاءٍ وَفِي الْأَوَّلِ مَاءٌ وَرَدَ عَلَى نَجَاسَةٍ، فَلَوْ بَسَطَ الثَّوْبَ عَلَى رَأْسِ الْإِنَاءِ ثُمَّ أَرَاقَ الْمَاءَ عَلَيْهِ فَوَقَعَ عَلَى الثَّوْبِ، ثُمَّ نَزَلَ فِي الْإِنَاءِ طَهُرَ الْمَاءُ وَالثَّوْبُ إِذَا لَمْ يَبْقَ لِلنَّجَاسَةِ أَثَرٌ
PASAL:
Berdasarkan ini, jika ada kain najis dimasukkan ke dalam sebuah bejana, lalu dituangkan air ke atasnya hingga hilang bekas najisnya, maka kain tersebut, air yang ada padanya, dan sisa air yang tertinggal di bejana semuanya suci. Jika kain itu diperas di dalam bejana, maka air yang terpisah sebelum diperas adalah suci namun musta‘mal.
Jika memulai dengan menuangkan air ke dalam bejana, lalu meletakkan kain najis ke dalamnya, maka kain, air, dan bejana semuanya menjadi najis, karena itu termasuk najis yang mendatangi air. Sedangkan pada keadaan pertama, itu adalah air yang mendatangi najis.
Jika kain dibentangkan di atas mulut bejana, lalu air dituangkan ke atasnya hingga mengenai kain, kemudian mengalir turun ke dalam bejana, maka air dan kain menjadi suci apabila tidak tersisa bekas najisnya.
(فَصْلٌ: الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ فِي أَمْرٍ مستحب)
وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّالِثُ مِنْ ضُرُوبِ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ، وَهُوَ مَا كَانَ مُسْتَعْمَلًا فِي أَمْرِ نَدِبٍ، كَالْمُسْتَعْمَلِ فِي تَجْدِيدِ الطَّهَارَةِ، وَغُسْلِ الْعِيدَيْنِ وَالْجُمُعَةِ؛ لِأَنَّ الْغُسْلَ فِي هَذَا مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَصِيرُ الْمَاءُ فِيهِ مُسْتَعْمَلًا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL: Air musta‘mal untuk perkara yang sunnah
Adapun jenis ketiga dari macam-macam air musta‘mal adalah air yang digunakan untuk perkara yang dianjurkan (mandūb), seperti air yang digunakan untuk memperbarui ṭahārah, mandi hari raya, dan mandi Jumat, karena mandi ini dianjurkan dan tidak wajib.
Para sahabat kami berbeda pendapat apakah air dalam hal ini menjadi musta‘mal atau tidak, dengan dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا؛ لِأَنَّهُ تَطْهِيرٌ شَرْعِيٌّ فَشَابَهَ رَفْعَ الْحَدَثِ وُضُوءًا وَغُسْلًا، وَهَذَا قَوْلُ أبي حنيفة.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ طَاهِرٌ غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ، وَأَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ؛ لِأَنَّهُ لَمْيُسْتَعْمَلْ فِي تَطْهِيرٍ فَيَسْلُبُهُ الِاسْتِعْمَالُ حُكْمَ التَّطْهِيرِ فتشابه مَا اسْتُعْمِلَ فِي غَسْلِ ثَوْبٍ أَوْ إِنَاءٍ، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَوَضَّأَ الْمُحْدِثُ مَرَّةً ثُمَّ جَمَعَ مَاءَ الْمَرَّةِ فِي إِنَاءٍ، ثُمَّ تَوَضَّأَ ثَانِيَةً وَجَمَعَ مَاءَ الثَّانِيَةِ فِي إِنَاءٍ، ثُمَّ تَوَضَّأْ ثَالِثَةً وَجَمَعَ مَاءَ الثَّالِثَةِ فِي إِنَاءٍ، ثُمَّ تَوَضَّأَ رَابِعَةً وَجَمَعَ مَاءَ الرَّابِعَةِ فِي الإناء، كان ماء الأولة مستعملاً؛ لأن ماء الأولة مستعملاً لارتفاع الحدث بها، وماء الرابعة مطهراً؛ لِأَنَّ الشَّرْعَ وَارِدٌ بِكَرَاهَتِهَا، وَفِي مَاءِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ وَجْهَانِ؛ لِأَنَّ تَكْرَارَ الْوُضُوءِ ثَلَاثًا ندبٌ فلو أراق ماء الأولة على ماء الرابعة، فإن كان ماء الأولة أَكْثَرَ صَارَ الْكُلُّ مُسْتَعْمَلًا، فَإِنْ كَانَ مَاءُ الرَّابِعَةِ أَكْثَرَ صَارَ الْكُلُّ مُطَهِّرًا، فَأَمَّا النَّجَاسَةُ إِذَا غَسَلَهَا مِرَارًا فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.
Pertama: menjadi musta‘mal, karena ia merupakan penyucian yang disyariatkan, sehingga menyerupai mengangkat ḥadats baik dengan wudhu maupun mandi. Ini adalah pendapat Abu Ḥanīfah.
Pendapat kedua, dan ini adalah yang tampak dalam mazhab, bahwa air tersebut suci dan tidak menjadi musta‘mal, bahkan suci lagi menyucikan; karena ia tidak digunakan dalam penyucian yang menghilangkan ḥadats sehingga penggunaan itu menghilangkan hukum penyuciannya, maka ia menyerupai air yang digunakan untuk mencuci pakaian atau bejana.
Berdasarkan ini, jika orang berstatus muḥdits berwudhu sekali lalu mengumpulkan air wudhunya ke dalam bejana, kemudian berwudhu kedua kalinya dan mengumpulkan airnya ke dalam bejana, lalu berwudhu ketiga kalinya dan mengumpulkan airnya ke dalam bejana, lalu berwudhu keempat kalinya dan mengumpulkan airnya ke dalam bejana, maka air wudhu pertama adalah musta‘mal karena ia digunakan untuk mengangkat ḥadats, sedangkan air wudhu keempat adalah menyucikan karena syariat datang dengan hukum makruhnya.
Adapun pada air wudhu kedua dan ketiga terdapat dua pendapat, karena mengulang wudhu tiga kali adalah sunnah.
Jika air wudhu pertama dituangkan ke dalam air wudhu keempat, maka jika air wudhu pertama lebih banyak, seluruhnya menjadi musta‘mal; tetapi jika air wudhu keempat lebih banyak, seluruhnya menjadi menyucikan.
Adapun najis yang dibasuh berulang kali, maka ini terbagi menjadi tiga keadaan.
أحدها: أن تزول النجاسة بالمرة الأولة فَيَكُونُ مَاءُ الْأُولَى مُسْتَعْمَلًا.
وَفِي الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ وَجْهَانِ: لِأَنَّهَا نَدْبٌ وَمَا زَادَ عَلَى الثَّلَاثِ مُطَهِّرٌ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَزُولَ النَّجَاسَةُ بِمَاءِ المرة الثانية فيكون ماء الأولة نَجِسًا، وَمَاءُ الثَّانِيَةِ مُسْتَعْمَلًا، وَفِي مَاءِ الثَّالِثَةِ وَجْهَانِ، وَمَا بَعْدَهَا مُطَهِّرٌ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا تَزُولَ النَّجَاسَةُ إِلَّا بِمَاءِ الْمَرَّةِ الثَّالِثَةِ فيكون ماء الأولة وَالثَّانِيَةِ نَجِسًا، وَمَاءُ الثَّالِثَةِ مُسْتَعْمَلًا، وَمَا بَعْدَهَا مُطَهِّرٌ فَأَمَّا الْجُنُبُ إِذَا اغْتَسَلَ مَرَّةً فِي مَاءٍ قَلِيلٍ، ثُمَّ اغْتَسَلَ ثَانِيَةً فِي مَاءٍ قَلِيلٍ كَانَ الْمَاءُ الْأَوَّلُ مُسْتَعْمَلًا، وَالثَّانِي مُطَهِّرًا؛ لِأَنَّ تَكْرَارَ الثَّلَاثِ مَأْثُورٌ فِي الْوُضُوءِ وَالنَّجَاسَةِ، وَغَيْرُ مَأْثُورٍ فِي غُسْلِ الْجَنَابَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pertama: najis hilang dengan siraman pertama, maka air siraman pertama menjadi musta‘mal. Pada siraman kedua dan ketiga terdapat dua pendapat, karena keduanya sunnah, sedangkan yang lebih dari tiga kali adalah menyucikan.
Kedua: najis hilang dengan air siraman kedua, maka air siraman pertama najis, air siraman kedua musta‘mal, dan pada air siraman ketiga terdapat dua pendapat, sedangkan yang setelahnya adalah menyucikan.
Ketiga: najis tidak hilang kecuali dengan air siraman ketiga, maka air siraman pertama dan kedua najis, air siraman ketiga musta‘mal, dan yang setelahnya adalah menyucikan.
Adapun orang junub yang mandi sekali dalam air sedikit, kemudian mandi kedua kalinya dalam air sedikit, maka air yang pertama musta‘mal dan air yang kedua menyucikan, karena pengulangan tiga kali itu ada riwayatnya pada wudhu dan menghilangkan najis, namun tidak ada riwayatnya pada mandi janabah. والله أعلم
(مسألة: الكلب إذا ولغ في إناء)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَقَدْ نَجِسَ الْمَاءُ وَعَلَيْهِ أَنْ يُهْرِقَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، الْكَلْبُ نَجِسٌ، فَإِذَا وَلَغَ فِي الْإِنَاءِ صَارَ وَمَا فِيهِ نَجِسًا، وَقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ: الْكَلْبُ طَاهِرٌ فَإِذَا وَلَغَ فِي الْإِنَاءِ كَانَ وَمَا فِيهِ طَاهِرًا، وَوَجَبَ غَسْلُهُ تَعَبُّدًا، وَبِهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ والْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ الِاصْطِيَادَ بِهِ فَقَالَ: {وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ) {المائدة: 4) وَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَأَفْسَدَ مَا صَادَهُ بِفَمِهِ، وَلَمَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِإِبَاحَتِهِ، وَبِرِوَايَةِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَنِ الْحِيَاضِ الَّتِي بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، وَقِيلَ إِنَّ الْكِلَابَ وَالسِّبَاعَ تَلِغُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَهَا مَا فِي بُطُونِهَا وَلَنَا مَا بَقِيَ شرابٌ وطهورٌ ” فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى طَهَارَةِ الْكَلْبِ مِنْ وَجْهَيْنِ.
(Masalah: Anjing menjilat di bejana)
Al-Syafi‘i ra. berkata: “Apabila anjing menjilat di bejana, maka airnya menjadi najis dan ia wajib menumpahkannya.”
Al-Māwardī berkata: Demikian seperti yang beliau katakan, anjing itu najis, maka jika ia menjilat di bejana, bejana dan apa yang ada di dalamnya menjadi najis.
Mālik dan Dāwud berkata: Anjing itu suci, maka jika menjilat di bejana, bejana dan isinya tetap suci, dan wajib membasuhnya sebagai bentuk ibadah (ta‘abbud). Demikian pula pendapat al-Zuhrī, al-Awzā‘ī, dan al-Thawrī, dengan alasan bahwa Allah Ta‘ālā membolehkan berburu dengannya, sebagaimana firman-Nya: {وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ} (al-Mā’idah: 4), dan seandainya ia najis, tentu ia merusak hewan buruan yang ditangkapnya dengan mulutnya, dan syariat tidak akan datang dengan membolehkannya.
Juga berdalil dengan riwayat ‘Aṭā’ dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang kolam-kolam di antara Makkah dan Madinah, dan dikatakan bahwa anjing-anjing dan binatang buas meminumnya, maka Rasulullah SAW bersabda: “Bagi mereka apa yang ada di perut mereka, dan bagi kita sisanya sebagai minuman dan alat bersuci.”
Hadis ini menunjukkan kesucian anjing dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السِّبَاعِ فَلَمَّا كَانَ السَّبُعُ طَاهِرًا كَانَ مَا جُمِعَ إِلَيْهِ فِي الْحُكْمِ طَاهِرًا.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ جَعَلَ مَا بَقِيَ مِنْ شُرْبِهِ طَهُورًا، وَقَدْ يَكُونُ الْبَاقِي قَلِيلًا، وَيَكُونُ الْبَاقِي كثيراً، قالوا: ولأنه حيوان يجوز الاصطياد به فوجب أن يكون طاهراً كالفهد، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمَوْتُ عَلَمًا عَلَى النَّجَاسَةِ كَانَتِ الْحَيَاةُ عَلَمًا عَلَى الطَّهَارَةِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى نَجَاسَتِهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ اللَهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْكَلْبَ وَحَرَّمَ ثَمَنَهُ وَحَرَّمَ الْخَمْرَ وَحَرَّمَ ثَمَنَهَا ” فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ التَّحْرِيمُ فِي جَمِيعِهِ عَامًّا، وَرَوَى مُطَرِّفٌ عَنِ ابْنِ الْمُغَفَّلِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ ثُمَّ قَالَ مَا لَهُمْ وَلَهَا فَرَخَّصَ فِي كَلْبِ الصَّيْدِ وَكَلْبِ الْغَنَمِ فَلَمَّا أَمَرَ بِقَتْلِهَا وَاجْتِنَابِهَا، وَرَخَّصَ فِي الِانْتِفَاعِ بِبَعْضِهَا كَانَ ذَلِكَ دَالًّا عَلَى نَجَاسَتِهَا، وَرَوَى ابْنُ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يُغْسَلَ سَبْعَ مراتٍ الْأُولَى بِالْتُرَابِ ” وَحُدُوثُ الطَّهَارَةِ فِي الشَّيْءِ إِنَّمَا تَكُونُ بَعْدَ تَقْدِيمِ نَجَاسَةٍ وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَدْخُلُ عَلَى قومٍ فَامْتَنَعَ مِنَ الدُّخُولِ عَلَيْهِمْ، فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ: فَقَالَ: لِأَنَّ عِنْدَهُمْ كَلْبًا قِيلَ: فَإِنَّكَ تَدْخُلُ عَلَى فلانٍ وَعِنْدَهُمْ هِرٌّ فَقَالَ: إِنَهَا لَيْسَتْ بنجسةٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافَيْنِ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ ” فَكَانَ تَعْلِيلُهُ لِلْهِرِّ أنها ليست بنجس دليل عَلَى أَنَّ الْكَلْبَ نَجِسٌ، وَيَدُلُّ عَلَى نَجَاسَةِ سُؤْرِهِ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى مَعَ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الْمُتَقَدِّمِ أَنَّهُ مَائِعٌ وَرَدَ الشَّرْعُ بِإِرَاقَتِهِ فوجب أن يكون نجساً كالخمر، لأنه غَسَلَ بِالْمَائِعَاتِ مَوْضِعَ الْإِصَابَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ غَسْلُ نَجَاسَتِهِ قِيَاسًا عَلَى مَا حَلَّتْهُ نَجَاسَةٌ؛ لِأَنَّ غُسْلَ التَّعَبُّدِ مُخْتَصٌّ بِالْأَبْدَانِ وَغَسْلَ الْأَوَانِي مُخْتَصٌّ بِالنَّجَاسَةِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ لِلتَّعَبُّدِ لَمَا أُمِرَ بِإِرَاقَةِ الْمَائِعِ مَا فِيهِ مِنْ إِضَاعَةِ الْمَالِ، وَقَدْ يَكُونُ مَكَانَ الْمَاءِ مَا هُوَ أَكْثَرُ ثَمَنًا مِنَ الْمَاءِ.
Pertama: karena ia disamakan dengan binatang buas, dan ketika binatang buas itu suci, maka sesuatu yang disamakan dengannya dalam hukum juga suci.
Kedua: karena Nabi SAW menjadikan sisa minumnya sebagai ṭahūr, padahal sisa itu kadang sedikit dan kadang banyak. Mereka juga berkata: karena ia adalah hewan yang boleh digunakan untuk berburu, maka wajib hukumnya ia suci, seperti macan tutul. Mereka berkata: sebagaimana kematian menjadi tanda kenajisan, maka kehidupan menjadi tanda kesucian.
Adapun dalil atas kenajisannya adalah hadis dari Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā mengharamkan anjing dan mengharamkan harganya, dan mengharamkan khamar dan mengharamkan harganya,” maka ini menunjukkan bahwa pengharaman itu bersifat umum pada seluruhnya.
Diriwayatkan oleh Muṭarrif dari Ibn al-Mughaffal bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing, kemudian bersabda: “Apa urusan mereka dengan anjing-anjing itu,” lalu memberi keringanan pada anjing pemburu dan anjing penjaga kambing. Maka ketika beliau memerintahkan untuk membunuh dan menghindarinya, serta memberi keringanan untuk memanfaatkan sebagian darinya, itu menjadi dalil atas kenajisannya.
Ibn Sīrīn meriwayatkan dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Penyucian bejana salah seorang dari kalian jika anjing menjilatnya adalah dengan dibasuh tujuh kali, yang pertama dengan tanah.” Dan terjadinya pensucian pada sesuatu hanya setelah sebelumnya ada kenajisan.
Diriwayatkan pula bahwa Nabi SAW pernah mendatangi suatu kaum lalu enggan masuk ke rumah mereka. Ketika ditanyakan alasannya, beliau bersabda: “Karena di rumah mereka ada anjing.” Lalu dikatakan: “Tetapi engkau masuk ke rumah Fulan, sedangkan di sana ada kucing.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya ia tidak najis, karena ia termasuk hewan yang biasa berkeliling di sekitarmu.” Maka penjelasan beliau tentang kucing bahwa ia tidak najis menjadi dalil bahwa anjing itu najis.
Yang menunjukkan kenajisan sisa jilatan anjing dari segi makna bersama hadis Abū Hurairah terdahulu adalah bahwa ia merupakan cairan yang syariat perintahkan untuk ditumpahkan, maka wajib dihukumi najis seperti khamar, karena syariat memerintahkan untuk membasuh dengan cairan tempat yang terkena najis, maka wajib pula membasuh najis ini berdasarkan qiyas pada sesuatu yang terkena najis.
Sebab basuhan yang bersifat ta‘abbud itu khusus pada badan, sedangkan basuhan bejana itu khusus untuk najis. Dan seandainya itu hanya untuk tujuan ta‘abbud, niscaya tidak akan diperintahkan untuk menumpahkan cairan yang ada di dalamnya, karena hal itu termasuk menyia-nyiakan harta. Bahkan bisa jadi cairan itu lebih mahal daripada air.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِإِبَاحَةِ الِاصْطِيَادِ بِهِ فَهُوَ أَنَّهُ لَا دَلِيلَ فِيهِ؛ لِأَنَّ النَّجَسَ قَدْ يَجُوزُ الِانْتِفَاعُ بِهِ فِي حَالٍ كَالْمَيْتَةِ، وَأَمَّا مَوْضِعُ فَمِهِ مِنَ الصَّيْدِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَذَهَبَ جُمْهُورُهُمْ إِلَى نَجَاسَتِهِ وَتَفَرَّدَ بَعْضُهُمْ بِطَهَارَتِهِ؛ لِأَنَّ الْآيَةَ وَرَدَتْ بِالْإِبَاحَةِ، فَلَوْ حُكِمَ بِتَنْجِيسِ مَا أَصَابَهُ بِفَمِهِ لَخَرَجَتْ عَنِ الْإِبَاحَةِ إِلَى الْحَظْرِ؛ لِأَنَّ لُعَابَهُ يَسْرِي فِيمَا عَضَّهُ مِنَ الصَّيْدِ، فَلَا يُمْكِنُ غَسْلُهُ فَصَارَ مَعْفُوًّا عَنْهُ، وَلَيْسَ يَنْكَرُ أَنْ يُعْفَى عَنْ شَيْءٍ مِنَ النَّجَاسَةِ لِلُحُوقِ الْمَشَقَّةِ فِي إِزَالَتِهِ كَدَمِ الْبَرَاغِيثِ وَأَثَرِ الِاسْتِنْجَاءِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّ الْحِيَاضَ كَثِيرَةُ الْمَاءِ فِي الْغَالِبِ وَتَنْجِيسُهَا بِالْوُلُوغِ لَا يَحْصُلُ ثُمَّ الْوُلُوغُ فِيهَا، وَلَوْ كَانَتْ قَلِيلَةَ الْمِيَاهِ شَكٌّ، وَالشَّكُّ لَا يُوجِبُ التَّنْجِيسَ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْفَهْدِ وَالنَّمِرِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُ غَسْلُ الْإِنَاءِ مِنْ وُلُوغِهِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ الْحَيَاةَ عِلَّةُ الطَّهَارَةِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي بَعْضِ الْأَمْوَاتِ طَاهِرًا جَازَ أَنْ يَكُونَ فِي بَعْضِ الْأَحْيَاءِ نَجِسًا.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan kebolehan berburu menggunakan anjing, maka hal itu tidak menjadi dalil, karena sesuatu yang najis terkadang boleh dimanfaatkan dalam keadaan tertentu, seperti bangkai.
Adapun bagian mulutnya yang mengenai hewan buruan, para sahabat kami berbeda pendapat tentang hukumnya: mayoritas berpendapat najis, sementara sebagian kecil berpendapat suci, karena ayat datang dengan hukum kebolehan. Seandainya dihukumi najis pada bagian yang terkena mulutnya, tentu kebolehannya berubah menjadi larangan, sebab liurnya meresap ke dalam bagian yang digigit dari hewan buruan dan tidak mungkin dicuci, sehingga menjadi hal yang dimaafkan. Tidaklah aneh jika sebagian najis dimaafkan karena sulit dihilangkan, seperti darah kutu atau bekas istinja’.
Adapun jawaban terhadap hadis adalah bahwa kolam-kolam itu umumnya banyak airnya, sehingga tidak menjadi najis dengan jilatan. Kalaupun airnya sedikit, itu masih dalam keraguan, sedangkan keraguan tidak menyebabkan kenajisan.
Adapun qiyas mereka kepada macan tutul dan harimau, maka perbedaannya adalah bahwa tidak wajib membasuh bejana dari jilatan keduanya.
Adapun istidlal mereka bahwa kehidupan adalah sebab kesucian, maka itu tidak benar, karena ketika sebagian bangkai ada yang suci, boleh jadi sebagian hewan hidup ada yang najis.
(فَصْلٌ: هَلْ نَجَاسَةُ الْكَلْبِ نَجَاسَةُ عَيْنٍ أم حكم؟)
فَإِذَا ثَبَتَ نَجَاسَةُ الْكَلْبِ، وَوُلُوغُهُ فَنَجَاسَتُهُ نَجَاسَةُ عَيْنٍ لَا نَجَاسَةُ حُكْمٍ، وَقَالَ أبو حنيفة نَجَاسَتُهُ نَجَاسَةُ حُكْمٍ، وَلَيْسَتْ عَيْنُهُ نَجِسَةٌ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ نَجَاسَةَ الْحُكْمِ هِيَ الَّتِي تُحَالُبِتَنْجِيسِ الْمَحَلِّ عَلَى مَا طَرَأَ عَلَيْهِ مِنْ نَجَسٍ، وَقَدْ تَزُولُ عَنِ الْمَحَلِّ بَعْدَ أَنْ نَجُسَ وَنَجَاسَةُ الْكَلْبِ لَيْسَتْ لِطُرُوِّ نَجَاسَةٍ وَلَا تَزُولُ عَنْهُ بِغَسْلِ النَّجَاسَةِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ عَيْنَهُ نَجِسَةٌ، فَإِذَا تَقَرَّرَ نَجَاسَةُ عَيْنِهِ وَنَجَاسَةُ وُلُوغِهِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُهْرِيقَهُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ إِرَاقَتُهُ وَاجِبَةٌ وَالِانْتِفَاعُ بِهِ مُحَرَّمٌ فَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ هَذَا الْكَلَامِ وَأَوْجَبَ إِرَاقَتَهُ وَحَرَّمَ الِانْتِفَاعَ بِهِ اسْتِدْلَالًا بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَأَرِيقُوهُ ” وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الِانْتِفَاعُ بِأَجْزَاءِ الْكَلْبِ كُلِّهَا مُحَرَّمًا كَانَ الِانْتِفَاعُ بِمَا تَعَدَّتْ إِلَيْهِ نَجَاسَةٌ مُحَرَّمًا، وَقَالَ جُمْهُورُهُمْ إِنَّ إِرَاقَتَهُ لَا تَجِبُ، وَإِنَّمَا تُسْتَحَبُّ وَالِانْتِفَاعُ بِهِ مِنْ وَجْهٍ مَخْصُوصٍ لَا يَحْرُمُ، لِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ طَرَأَتْ عَلَى عَيْنٍ طَاهِرَةٍ، فَلَمْ تَكُنِ الْمَنْفَعَةُ بِهَا مُحَرَّمَةٌ كَالْمَيْتَةِ، وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِهِ فَأَرِيقُوهُ لِيُتَوَصَّلَ بِالْإِرَاقَةِ إِلَى غَسْلِهِ لَا لِوُجُوبِ اسْتِهْلَاكِهِ وَهَذَا أَصَحُّ.
PASAL: Apakah kenajisan anjing itu najis ‘ain atau najis hukm?
Apabila telah tetap bahwa anjing itu najis dan jilatan anjing itu najis, maka kenajisannya adalah najis ‘ain, bukan najis hukm. Abu Ḥanīfah berpendapat bahwa kenajisannya adalah najis hukm dan zatnya tidak najis. Ini keliru, karena najis hukm adalah najis yang menyebabkan suatu tempat menjadi najis karena terkena najis yang datang kemudian, dan kenajisan itu bisa hilang dari tempat tersebut setelah dibasuh. Adapun kenajisan anjing bukan karena terkena najis dari luar dan tidak hilang darinya dengan membasuh najis, maka ini menunjukkan bahwa zatnya najis.
Apabila telah tetap bahwa zatnya najis dan jilatannya najis, maka al-Syafi‘i berkata bahwa ia harus menumpahkannya. Para sahabat kami berbeda pendapat apakah menumpahkannya wajib dan memanfaatkannya haram. Sebagian berpegang pada lahiriah ucapan ini, sehingga mewajibkan menumpahkannya dan mengharamkan memanfaatkannya, berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka tumpahkanlah isinya,” dan karena ketika pemanfaatan seluruh bagian tubuh anjing itu haram, maka pemanfaatan sesuatu yang terkena kenajisannya juga haram.
Mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa menumpahkannya tidak wajib, tetapi disunnahkan, dan pemanfaatannya dengan cara tertentu tidak haram, karena ini adalah najis yang datang pada benda yang asalnya suci, maka pemanfaatannya tidak haram seperti bangkai. Adapun makna sabda beliau “maka tumpahkanlah” adalah agar dengan menumpahkannya dapat dilakukan pembasuhan, bukan karena wajib membuang dan memusnahkannya. Dan ini adalah pendapat yang lebih sahih.
(مَسْأَلَةٌ: كَيْفِيَّةُ غَسْلِ الْإِنَاءِ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويغسل منه الإناء سبع مراتٍ أولاهن بترابٍ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا نُجِّسَ الْإِنَاءُ بِوُلُوغِ الْكَلْبِ وَجَبَ غَسْلُهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ فِيهِنَّ مَرَّةٌ بِالتُّرَابِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ. وَقَالَ أبو حنيفة يَغْسِلُ ثَلَاثًا بِغَيْرِ تُرَابٍ كَسَائِرِ الْأَنْجَاسِ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ الضَّحَّاكِ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي الْكَلْبِ يَلِغُ فِي الْإِنَاءِ يُغْسَلُ ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا. قَالَ: فَلَوْ كَانَ السَّبْعُ وَاجِبًا لَمْ يُخَيَّرْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الثَّلَاثِ، وَرَوَى عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إناءٍ فَأَهْرِقْهُ ثُمَّ اغْسِلْهُ ثَلَاثَ مراتٍ، قَالَ: وَلِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ يَجِبُ إِزَالَتُهَا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ غَيْرَ مُسْتَحَقٍّ فِيهَا كَسَائِرِ الْأَنْجَاسِ، قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ عَدَدٍ لَا مَدْخَلَ لَهُ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مُدْخَلًا فِي إِزَالَةِ النَّجَسِ قِيَاسًا عَلَى مَا زَادَ عَلَى السَّبْعِ، قَالَ: وَلَوْ كَانَ غَسْلُهُ سَبْعًا وَاجِبًا لَمَا صَارَ الْإِنَاءُ بِإِلْقَائِهِ فِي النَّهْرِ طَاهِرًا، وَقَدِ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ يُطَهِّرُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ السَّبْعَ لَا تَجِبُ.
(Masalah: Tata cara membasuh bejana jika anjing menjilatnya)
Al-Syafi‘i ra. berkata: “Bejana itu dibasuh tujuh kali, yang pertama dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.”
Al-Māwardī berkata: Demikian seperti yang beliau katakan, jika bejana terkena jilatan anjing, wajib dibasuh tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Pendapat ini juga dikatakan oleh Mālik dan Dāwud.
Abu Ḥanīfah berkata: dibasuh tiga kali tanpa tanah seperti najis-najis yang lain, dengan dalil riwayat ‘Abd al-Wahhāb ibn al-Ḍaḥḥāk dari Ismā‘īl ibn ‘Ayyāsy dari Hishām ibn ‘Urwah dari Abī al-Zinād dari al-A‘raj dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda tentang anjing yang menjilat di bejana: “Dibasuh tiga kali atau lima kali atau tujuh kali.” Ia berkata: Seandainya tujuh kali itu wajib, tentu tidak akan diberi pilihan antara tiga, lima, dan tujuh.
Dan riwayat ‘Abd al-Malik dari ‘Aṭā’ dari Abū Hurairah bahwa ia berkata: “Jika anjing menjilat bejana, maka tumpahkanlah, lalu basuhlah tiga kali.” Ia berkata: Karena ini adalah najis yang wajib dihilangkan, maka bilangan basuhan tidak menjadi ketentuan yang mengikat sebagaimana pada najis-najis lainnya.
Ia berkata: Karena setiap bilangan yang tidak berpengaruh pada mengangkat ḥadats, maka tidak pula berpengaruh pada menghilangkan najis, berdasarkan qiyas pada bilangan yang lebih dari tujuh. Ia berkata: Dan seandainya membasuhnya tujuh kali itu wajib, niscaya bejana yang dicelupkan ke sungai tidak menjadi suci, padahal mereka sepakat bahwa hal itu menyucikannya, maka ini menunjukkan bahwa tujuh kali tidak wajib.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ الشَّافِعِيِّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي تَمِيمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مراتٍ أُولَاهُنَّ أَوْ آخِرُهُنَّ بِالْتُرَابِ “. وَرَوَى مُطَرِّفٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغَفَّلِ أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَاغْسِلْهُ سَبْعَ مراتٍ وَعَفِّرُوا الثِّامِنَةَ بِالْتُرَابِ “.
وَرَوَى هُبَيْرَةُ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مراتٍ إِحْدَاهُنَّ بِالْبَطْحَاءِ “.
وَكُلُّ هَذِهِ نُصُوصٌ فَدَلَّ عَلَى مَا قُلْنَاهُ فَإِنْ قَالُوا يُحْمَلُ أَمْرُهُ بِالسَّبْعِ عَلَى مَنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ، أَنَّ نَجَاسَةَ الْوُلُوغِ لَا تَزُولُ بِأَقَلَّ مِنْ سَبْعٍ فَعَنْهُ جَوَابَانِ.
Dalil kami adalah riwayat al-Syafi‘i dari Sufyān dari Ayyūb dari Abī Tamīm dari Muḥammad ibn Sīrīn dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka basuhlah tujuh kali, yang pertama atau yang terakhir dengan tanah.”
Dan riwayat Muṭarrif dari ‘Abdullāh ibn al-Mughaffal bahwa Nabi SAW bersabda:
“Jika anjing menjilat bejana, maka basuhlah tujuh kali, dan pada yang kedelapan lumurilah dengan tanah.”
Dan riwayat Hubayrah dari ‘Alī bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka basuhlah tujuh kali, salah satunya dengan kerikil halus (al-baṭḥā’).”
Semua ini adalah nash yang menunjukkan apa yang kami katakan.
Jika mereka berkata: Perintah beliau membasuh tujuh kali itu dibawa kepada orang yang kuat dugaan bahwa najis jilatan tidak hilang dengan kurang dari tujuh kali, maka jawabannya ada dua:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ نَجَاسَةَ الْوُلُوغِ لَيْسَتْ عَيْنًا مُؤَثِّرَةً فَيُرْجَعُ فِي زَوَالِهَا إِلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ فِيهَا.
وَالثَّانِي: إِنَّ مَا كَانَ مُعْتَبَرًا بِغَلَبَةِ الظَّنِّ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَحْدُودًا بِالشَّرْعِ فَالشَّرْعُ كَالتَّقْوِيمِ فِي الْمُتْلَفَاتِ فَإِنْ قَالُوا: فَيُحْمَلُ السَّبْعُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، وَالثَّلَاثُ عَلَى الْإِيجَابِ؛ لِأَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ وَهُوَ رَاوِي الْحَدِيثِ قَدْ أَفْتَى بِالثَّلَاثِ، وَهُوَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُفْتِيَ بِخِلَافِ مَا رَوَى إِلَّا وَقَدْ عَقَلَ مَعْنَى الرِّوَايَةِ وَصَرَفَهَا عَنِ الْإِيجَابِ إِلَى الِاسْتِحْبَابِ، كَمَا حَمَلْتُمْ حَدِيثَ ابْنِ عُمَرَ عَلَى تَفْرِيقِ الْأَبْدَانِ؛ لِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ فَسَّرَهُ بِذَلِكَ. قُلْنَا: تَفْسِيرُ الرَّاوِي مَقْبُولٌ فِي أَحَدِ مُحْتَمِلَيِ الْخَبَرِ كَمَا يُقْبَلُ تَفْسِيرُ الرَّاوِي مِنَ الصَّحَابَةِ، فَأَمَّا أَنْ يُقْبَلَ فِي نَسْخٍ أَوْ تَخْصِيصٍ فَلَا كما لميُقْبَلْ تَخْصِيصُ ابْنِ عَبَّاسٍ لِقَوْلِهِ: ” مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ ” فِي إِخْرَاجِ النِّسَاءِ مِنَ الْجُمْلَةِ، وَحَدِيثُ الْوُلُوغِ مُفَسَّرٌ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى تَفْسِيرِ رَاوٍ وَلَا غَيْرِهِ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى ظَاهِرِهِ، وَأَمَّا الْمَعْنَى: وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْقِيَاسُ فِيهَا قَوِيًّا فَهُوَ أَنَّهُ تَطْهِيرٌ شَرْعِيٌّ فِي شَيْءٍ غَيْرِ مَرْئِيٍّ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ فِيهِ مُعْتَبَرًا كَالْأَعْضَاءِ الْأَرْبَعَةِ فِي الطَّهَارَةِ، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الطَّهَارَةِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ مُعْتَبَرًا فيه الحدث، وَلِأَنَّ كُلَّ عَدَدٍ وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ فِي الْوُلُوغِ كَانَ مُسْتَحِقًّا كَالثَّلَاثِ، وَلَا مَا اخْتَصَّ بِالْفَمِ مِنَ الْأَنْجَاسِ كَانَ مُغَلَّظًا مِنْ بَيْنِ سَائِرِ النَّجَاسَاتِ كَالْخَمْرِ فِي اخْتِصَاصِ شُرْبِهِ يُوجِبُ الْحَدَّ.
Pertama: bahwa najis jilatan anjing bukanlah benda yang berpengaruh secara fisik yang bisa diukur dengan dugaan kuat, sehingga hilangnya tidak dikembalikan kepada ghalabat al-ẓann (dugaan kuat) semata.
Kedua: bahwa sesuatu yang diukur dengan dugaan kuat tidak boleh ditetapkan batasnya oleh syariat; karena penetapan syariat itu seperti penaksiran nilai pada barang yang rusak.
Jika mereka berkata: “Tujuh kali dibawa pada makna sunnah, dan tiga kali pada makna wajib, karena Abū Hurairah—perawi hadis ini—telah berfatwa dengan tiga kali, dan tidak mungkin ia berfatwa menyelisihi riwayatnya kecuali ia memahami maknanya dan memalingkannya dari kewajiban kepada kesunnahan, sebagaimana kalian membawa hadis Ibn ‘Umar pada makna memisahkan badan karena Ibn ‘Umar menafsirkannya demikian.”
Kami jawab: Penafsiran perawi diterima jika masuk dalam salah satu dari dua kemungkinan makna hadis, sebagaimana diterima penafsiran perawi dari kalangan sahabat. Adapun jika dipakai untuk menasakh atau mengkhususkan, maka tidak diterima, sebagaimana tidak diterimanya pengkhususan Ibn ‘Abbās terhadap sabda Nabi SAW: “Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia” dengan mengeluarkan perempuan dari keumuman teks.
Hadis tentang jilatan anjing ini sudah jelas maknanya dan tidak memerlukan penafsiran dari perawi atau selainnya, maka wajib membawanya pada zahirnya.
Adapun dari segi makna—meskipun qiyasnya tidak begitu kuat—ialah bahwa ini adalah bentuk penyucian yang disyariatkan pada sesuatu yang tidak tampak, maka wajib bilangan di dalamnya seperti empat anggota wudhu dalam ṭahārah. Dan karena ia termasuk salah satu dari dua jenis ṭahārah, maka boleh saja bilangan menjadi syarat di dalamnya sebagaimana dalam ḥadats.
Selain itu, setiap bilangan yang datang dari syariat dalam masalah jilatan anjing adalah sesuatu yang memang ditentukan, sebagaimana bilangan tiga. Dan setiap najis yang khusus berasal dari mulut memiliki hukum yang lebih berat dibandingkan najis lainnya, sebagaimana khamar yang khusus diminum menyebabkan pelakunya terkena had.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” يَغْسِلُ ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا فَهُوَ أَنَّهُ ضَعِيفُ الْإِسْنَادِ؛ لِأَنَّ عَبْدَ الْوَهَّابِ بْنَ الضَّحَّاكِ مَتْرُوكُ الْحَدِيثِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنَ عَيَّاشٍ فَقَدْ رَوَى بِهَذَا الْإِسْنَادِ أَنَّهُ قَالَ: فَاغْسِلُوهُ سَبْعًا عَلَى أَنَّهُ لَوْ صَحَّ لَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ؛ لِأَنَّ الْأَمْرَ فِيهِ بِالسَّبْعِ كَالْأَمْرِ بِالثَّلَاثِ فَلَمْ يَكُنْ حَمْلُ الثَّلَاثِ عَلَى الْإِيجَابِ دُونَ السَّبْعِ بِأُولَى مِنْ حَمْلِ السَّبْعِ عَلَى الْإِيجَابِ دُونَ الثَّلَاثِ؛ لِأَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِدْلَالِ كَقَوْلِهِ: عَلَيَّ دِرْهَمٌ بَلْ ثَلَاثَةٌ، وَتَكُونُ أَوْ بِمَعْنَى الْوَاوِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى مَائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ} مَعْنَاهُ وَيَزِيدُونَ.
Adapun jawaban terhadap ucapannya: “Dibasuh tiga kali atau lima kali atau tujuh kali,” adalah bahwa sanadnya lemah, karena ‘Abd al-Wahhāb ibn al-Ḍaḥḥāk matrūk dalam hadis, dan Ismā‘īl ibn ‘Ayyāsy meriwayatkan dengan sanad ini bahwa beliau bersabda: “Maka basuhlah tujuh kali.”
Kalaupun hadis itu sahih, maka ia tidak menjadi dalil, karena perintah di dalamnya untuk membasuh tujuh kali sama seperti perintah untuk membasuh tiga kali. Maka tidak ada alasan untuk membawa tiga kali pada makna wajib tanpa tujuh kali, sebagaimana tidak ada alasan untuk membawa tujuh kali pada makna wajib tanpa tiga kali.
Ia juga dapat dibawa pada makna istidlāl seperti ucapan seseorang: “Atasku satu dirham, bahkan tiga dirham,” dan kata “atau” (aw) di sini bermakna “dan” (wāw), sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ} yang bermakna “dan mereka melebihi seratus ribu.”
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ فُتْيَا أَبِي هُرَيْرَةَ بِالثَّلَاثِ فَهُوَ أَنَّهَا مَتْرُوكَةٌ بِرِوَايَتِهِ؛ لِأَنَّ فُتْيَاهُ إِذَا تَعَذَّرَتْ فَلَيْسَتْ بِحُجَّةٍ وَرِوَايَتُهُ إِذَا تفردت حُجَّةٌ، أَوْ تَكُونُ مَحْمُولَةً عَلَى إِنَاءٍ غُسِلَ أَرْبَعًا، وَبَقِيَ مِنَ السَّبْعِ ثَلَاثٌ، فَأَفْتَى بِالثَّلَاثِ اسْتِكْمَالًا لِلسَّبْعِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى سَائِرِ الْأَنْجَاسِ فَهُوَ قِيَاسٌ يَرْفَعُ النَّصَّ، فَكَانَ مَرْدُودًا، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْوُلُوغِ أَنَّهُ غِلَظٌ مِنْ بَيْنِ جِنْسِهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَا زَادَ عَلَى السَّبْعِ، فَهُوَ قِيَاسٌ يَدْفَعُهُ النَّصُّ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْحَالَيْنِ ثُمَّ الْأَنْجَاسُ أَغْلَظُ مِنَ الْأَحْدَاثِ لِمَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مِنْ ذِكْرِ الْعَدَدِ فِيهَا، ثُمَّ هُمْ مُخْتَلِفُونَ فِي الْعَدَدِ الَّذِي اعْتَبَرُوهُ مِنَ الثَّلَاثِ، فَبَعْضُ أَصْحَابِهِمْ يَجْعَلُ الثَّلَاثَ اسْتِحْبَابًا، وَبَعْضُهُمْ يَجْعَلُهَا وَاجِبًا، فَكَذَلِكَ جَعَلْنَا الْعَدَدَ تَارَةً أَصْلًا عَلَى قَوْلِ مَنْ أَوْجَبَهُ، وَتَارَةً فَرْعاً عَلَى قَوْلِ مَنِ اسْتَحَبَّهُ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِإِلْقَاءِ الْإِنَاءِ فِي نَهْرٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي نَجَاسَةِ الْإِنَاءِ إِذَا أُلْقِيَ فِي نَهْرٍ أَوْ بَحْرٍ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun jawaban terhadap fatwa Abū Hurairah yang menetapkan tiga kali basuhan, maka fatwa itu ditinggalkan karena bertentangan dengan riwayatnya; sebab fatwanya, jika menyelisihi riwayat, bukanlah hujjah, sedangkan riwayatnya, jika ia sendiri yang meriwayatkan, adalah hujjah. Atau fatwa itu dibawa pada makna bejana yang sudah dibasuh empat kali, lalu tersisa tiga kali dari tujuh, maka ia berfatwa tiga kali untuk menyempurnakan tujuh.
Adapun qiyas mereka dengan najis-najis lainnya, maka itu adalah qiyas yang menentang nash, sehingga tertolak. Hikmahnya, najis jilatan anjing itu lebih berat dibanding jenisnya yang lain.
Sedangkan qiyas mereka dengan bilangan yang lebih dari tujuh, maka itu adalah qiyas yang dibatalkan oleh nash karena adanya perbedaan antara dua keadaan. Selain itu, najis lebih berat daripada ḥadats karena syariat telah menyebutkan bilangan tertentu di dalamnya.
Kemudian mereka sendiri berbeda pendapat tentang bilangan tiga yang mereka tetapkan: sebagian sahabat mereka menjadikannya sunnah, sebagian lainnya menjadikannya wajib. Maka kami pun menjadikan bilangan itu terkadang sebagai pokok (asli) menurut pendapat yang mewajibkannya, dan terkadang sebagai cabang menurut pendapat yang mensunnahkannya.
Adapun dalil mereka dengan melemparkan bejana ke sungai, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang status najis bejana jika dilemparkan ke sungai atau laut, dengan dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ لَا يُطَهِّرُ، وَيَقُومُ ذَلِكَ مَقَامَ غَسْلِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً، فَلَزِمَ غَسْلُهُ بَعْدَ ذَلِكَ سِتَّ مَرَّاتٍ مِنْهُنَّ وَاحِدَةٌ بِالتُّرَابِ، فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيَّ أَنَّهُ يُطَهِّرُ وَيَصِيرُ كَأَنَّ الْكَلْبَ وَلَغَ فِيهِ وَهُوَ كَثِيرُ الْمَاءِ لَا يَنْجَسُ بِالْوُلُوغِ، لِأَنَّ الْعَدَدَ وَالتُّرَابَ مُعْتَبَرٌ فِي الْمَاءِ الَّذِي يُلْقَى فِيهِ وَيَخْرُجُ مِنْهُ، فَإِذَا عَدَلَ إِلَى غَيْرِهِ صَارَ بِمَثَابَةِ الْعَادِلِ عَنِ الْوُضُوءِ إِلَى الْغُسْلِ فِي سُقُوطِ الترتيب عنه.
Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās ibn Surayj, bahwa hal itu tidak menyucikan, dan hanya dihitung seperti membasuhnya satu kali saja, sehingga masih wajib membasuhnya setelah itu enam kali lagi, salah satunya dengan tanah. Dengan demikian, gugurlah istidlal mereka.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa hal itu menyucikan dan dianggap seperti anjing menjilat bejana yang airnya banyak sehingga tidak menjadi najis dengan jilatan, karena bilangan basuhan dan penggunaan tanah itu berlaku pada air yang dituangkan ke dalamnya lalu keluar darinya. Apabila berpindah kepada cara lain, maka keadaannya seperti orang yang berpindah dari wudhu kepada mandi sehingga gugur tertib darinya.
(فَصْلٌ: مَوْضِعُ اسْتِحْقَاقِ التُّرَابِ مِنْ غَسَلَاتِ الْإِنَاءِ)
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ غَسْلِهِ سَبْعًا فَالتُّرَابُ لَهَا مُسْتَحَقٌّ فِي وَاحِدَةٍ مِنْ جُمْلَتِهَا وَلَا يَلْزَمُ إِفْرَادُهُ عَنْهَا وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: يَجِبُ إِفْرَادُ التُّرَابِ عَنِ السَّبْعِ بِثَامِنَةٍ لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغَفَّلِ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” وَعَفِّرُوا الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ “.
PASAL: Tempat penggunaan tanah dari basuhan bejana
Apabila telah tetap wajib membasuhnya tujuh kali, maka tanah digunakan pada salah satu dari basuhan tersebut, dan tidak wajib memisahkannya dari tujuh itu.
Al-Ḥasan al-Baṣrī dan Aḥmad ibn Ḥanbal berkata: Wajib memisahkan penggunaan tanah dari tujuh basuhan, sehingga menjadi basuhan kedelapan, berdasarkan riwayat ‘Abdullāh ibn al-Mughaffal bahwa Nabi SAW bersabda: “Dan lumurilah yang kedelapan dengan tanah.”
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ إِحْدَاهُنَّ بِالْبَطْحَاءِ “، وَرِوَايَةُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: ” فَاغْسِلُوهُ سَبْعًا أُولَاهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِالتُّرَابِ “.
فَأَمَّا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغَفَّلِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هُوَ حَدِيثٌ لَمْ يُقَفْ عَلَى صِحَّتِهِ، ثُمَّ لَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ جَعَلَهَا ثَامِنَةً؛ لِأَنَّ التُّرَابَ جِنْسٌ بِمَنْزِلَةِ الْمَاءِ فَجُعِلَ اجْتِمَاعُهُمَا فِي الْمَرَّةِ الْوَاحِدَةِ مَعْدُودَةً بِاثْنَيْنِ وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى مَنْ نَسِيَ اسْتِعْمَالَ التُّرَابِ فِي السَّبْعِ فَيَلْزَمُهُ أَنْ يُعَفِّرَهُ فِي ثَامِنِهِ، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التُّرَابَ فِي وَاحِدَةٍ مِنْ جُمْلَةِ السَّبْعِ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ، أَوْ مَا بَيْنَهُمَا مِنَ الْأَعْدَادِ، لِأَنَّهُ لَمَّا نَصَّ عَلَى الطَّرَفَيْنِ كَانَ حُكْمُ الْوَسَطِ مُلْحَقًا بِأَحَدِهِمَا، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قَدْرِ مَا يَلْزَمُهُ اسْتِعْمَالُهُ مِنَ التُّرَابِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dalil kami adalah riwayat dari ‘Alī bahwa Nabi SAW bersabda:
“Basuhlah bejana itu tujuh kali, salah satunya dengan kerikil halus (al-baṭḥā’),”
dan riwayat dari Abū Hurairah bahwa beliau bersabda:
“Basuhlah tujuh kali, yang pertama atau yang terakhir dengan tanah.”
Adapun hadis ‘Abdullāh ibn al-Mughaffal, al-Syafi‘i berkata: “Hadis itu tidak diketahui keshahihannya.” Kemudian, seandainya sahih, maka ia dibawa kepada salah satu dari dua makna:
Pertama, menjadikannya sebagai basuhan kedelapan karena tanah adalah jenis yang kedudukannya seperti air, sehingga berkumpulnya air dan tanah dalam satu basuhan dihitung dua kali.
Kedua, dibawa kepada orang yang lupa menggunakan tanah dalam tujuh basuhan, maka ia wajib melumuri dengan tanah pada basuhan kedelapan.
Jika telah tetap bahwa tanah digunakan pada salah satu dari tujuh basuhan, maka tidak ada perbedaan apakah itu di awal, di akhir, atau di tengah-tengah, karena ketika nash menyebutkan dua ujungnya (awal dan akhir), maka hukum pertengahannya diikutkan kepada salah satunya.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang kadar tanah yang wajib digunakan pada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ مِنْهُ مَا يَنْطَلِقُ اسْمُ التُّرَابِ عَلَيْهِ مِنْ قَلِيلٍ أَوْ كَثِيرٍ لِوُرُودِ الْخَبَرِ بِإِطْلَاقِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ مِنْهُ مَا يَسْتَوْعِبُ لِمَحَلِّ الْوُلُوغِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مَوْضِعٌ مِنْهُ بِاسْتِعْمَالِ التُّرَابِ فِيهِ بِأَخَصَّ مِنْ مَوْضِعٍ فَلَزِمَ اسْتِيعَابُ جَمِيعِهِ.
Pertama: digunakan darinya apa yang berlaku nama turab padanya, baik sedikit maupun banyak, karena adanya khabar yang datang secara mutlak.
Kedua: digunakan darinya apa yang mencakup seluruh tempat jilatan, karena tidak ada satu bagian pun darinya yang lebih khusus digunakan tanah daripada bagian yang lain, maka wajib mencakup seluruhnya.
(فَصْلٌ: الْمَاءُ الْمُتَبَقِّي مِنْ غَسَلَاتِ إِنَاءِ وُلُوغِ الكلب)
فَأَمَّا الْمُنْفَصِلُ مِنَ الْمَاءِ فِي الْغَسَلَاتِ السَّبْعِ إِذَا أُفْرِدَتْ كُلُّ غَسْلَةٍ مِنْهُنَّ وَمُيِّزَتْ فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ أَصْحَابُنَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيِّ أَنَّ جَمِيعَهُ نَجِسٌ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ مَا أَزَالَ النَّجَاسَةَ نَجِسٌ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي الْقَاسِمِ الدَّارَكِيِّ وَطَائِفَةٍ أَنَّ جَمِيعَهُ طَاهِرٌ؛ لِأَنَّهُ مَاءٌ مُسْتَعْمَلٌ، وَلِكُلِّ غَسْلٍ حَظٌّ مِنْ تَطْهِيرِ الْإِنَاءِ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّ مَاءَ الْغَسْلَةِ السَّابِعَةِ طَاهِرٌ؛ لِأَنَّ بِهَا طُهْرَ الْإِنَاءِ، وَمَا قَبْلَ السَّابِعَةِ، مِنَ الْأُولَى إِلَى السَّادِسَةِ نَجِسٌ لانفصالهعَنِ الْمَحَلِّ مَعَ بَقَاءِ نَجَاسَتِهِ، فَإِذَا قِيلَ بِنَجَاسَةِ ذَلِكَ وَجَبَ غَسْلُ مَا أَصَابَهُ ذَلِكَ الْمَاءُ مِنْ بَدَنٍ أَوْ ثَوْبٍ وَفِي قَدْرِ غَسْلِهِ وَجْهَانِ:
PASAL: Air yang tersisa dari basuhan-basuhan bejana jilatan anjing
Adapun air yang terpisah dari bejana pada basuhan-basuhan yang tujuh, apabila tiap basuhan dipisahkan sendiri-sendiri dan dibedakan, maka para ashhab kami berbeda pendapat menjadi tiga mazhab:
Pertama: yaitu mazhab Abu al-Qasim al-Anmathi, bahwa seluruhnya najis, berdasarkan pendapat asalnya bahwa sesuatu yang menghilangkan najis adalah najis.
Kedua: yaitu mazhab Abu al-Qasim al-Daraki dan sekelompok ulama, bahwa seluruhnya tahir, karena ia adalah air mustakmal, dan setiap basuhan memiliki bagian dalam menyucikan bejana.
Ketiga: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan jumhur ashhab kami, bahwa air basuhan ketujuh adalah tahir, karena dengannya bejana menjadi suci. Adapun yang sebelum basuhan ketujuh, dari pertama hingga keenam, adalah najis karena terpisah dari tempat najis sementara najisnya masih ada. Maka apabila dikatakan najis, wajib membasuh apa saja dari badan atau pakaian yang terkena air tersebut. Dan tentang kadar basuhannya ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: يَغْسِلُهُ مَرَّةً وَاحِدَةً؛ لِأَنَّهُ مَاءٌ نَجِسٌ، وَلِأَنَّهُ أَيْسَرُ مِنْ سَائِرِ الْأَنْجَاسِ لِتَأْثِيرِهِ فِي تَطْهِيرِ غَيْرِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَغْسِلَ بِعَدَدِ مَا بَقِيَ إِلَى السَّبْعِ مِنَ الْغَسْلَةِ الَّتِي أَصَابَتْهُ، فَإِنْ كَانَ مِنَ الْغَسْلَةِ الْأُولَى وَجَبَ أَنْ يَغْسِلَهُ سِتًّا؛ لِأَنَّ سُبْعَ الْوُلُوغِ قَدْ يُسْقَطُ بِالْغَسْلَةِ الْأُولَى وَهِيَ سِتَّةُ أَسْبَاعِهِ، وَإِنْ كَانَ مِنَ الْغَسْلَةِ الثَّانِيَةِ، وَجَبَ أَنْ يَغْسِلَهُ خَمْسًا وَإِنْ كَانَ مِنَ الثَّالِثَةِ غَسَلَهُ أَرْبَعًا وَإِنْ كَانَ مِنَ الرَّابِعَةِ غَسَلَهُ ثَلَاثًا، وَإِنْ كَانَ مِنَ الْخَامِسَةِ غَسَلَهُ مَرَّتَيْنِ وَإِنْ كَانَ مِنَ السَّادِسَةِ غَسَلَهُ مَرَّةً، وَلِأَنَّ الْبَاقِيَ سُبْعُ الْوُلُوغِ، وَإِنْ كَانَ مِنَ السَّابِعَةِ غَسَلَهُ مَرَّةً وَيَكُونُ حُكْمُ الْوُلُوغِ سَاقِطًا، وَحُكْمُ النَّجَاسَةِ بَاقِيًا، هَذَا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمُنْفَصِلَ نَجِسٌ، فَأَمَّا إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمُنْفَصِلَ عَنِ الْإِنَاءِ طَاهِرٌ، فَفِي وُجُوبِ غَسْلِ مَا أَصَابَ وَجْهَانِ:
Pertama: membasuhnya satu kali, karena ia adalah air najis, dan karena ia lebih ringan dari najis-najis lain sebab memiliki pengaruh dalam menyucikan selainnya.
Kedua: membasuhnya sebanyak sisa bilangan hingga tujuh dari basuhan yang mengenainya. Jika berasal dari basuhan pertama, wajib membasuhnya enam kali, karena tujuh bagian jilatan dapat hilang dengan basuhan pertama yang merupakan enam per tujuh darinya. Jika berasal dari basuhan kedua, wajib membasuhnya lima kali. Jika berasal dari basuhan ketiga, membasuhnya empat kali. Jika berasal dari basuhan keempat, membasuhnya tiga kali. Jika berasal dari basuhan kelima, membasuhnya dua kali. Jika berasal dari basuhan keenam, membasuhnya satu kali, karena sisanya adalah seper tujuh jilatan. Jika berasal dari basuhan ketujuh, membasuhnya satu kali, dan gugurlah hukum jilatan namun hukum najisnya tetap ada.
Ini jika dikatakan bahwa air yang terpisah adalah najis. Adapun jika dikatakan bahwa air yang terpisah dari bejana adalah tahir, maka dalam kewajiban membasuh apa yang terkena olehnya ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: لَا يَجِبُ؛ لِأَنَّ غَسْلَ الظَّاهِرِ لَا يَلْزَمُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجِبُ غَسْلُهُ لِمَا تَعَلَّقَ عَلَيْهِ مِنْ غَسْلِ الْوُلُوغِ الْمُسْتَحَقِّ الْغَسْلَ فَعَلَى هَذَا فِي قَدْرِ غَسْلِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا والثاني: بِعَدَدِ مَا بَقِيَ إِلَى السَّبْعِ مِنَ الْغَسْلَةِ الَّتِي أَصَابَتْ عَلَى مَا وَصَفْنَاهُ.
Pertama: tidak wajib, karena membasuh bagian luar tidaklah mesti dilakukan.
Kedua: wajib membasuhnya karena terkena basuhan jilatan yang memang wajib dibasuh. Maka berdasarkan pendapat ini, dalam kadar basuhannya ada dua pendapat:
pertama dan kedua: sebanyak sisa bilangan hingga tujuh dari basuhan yang mengenainya, sebagaimana telah kami jelaskan.
(فَصْلٌ: إِذَا وَلَغَ كَلْبٌ عِدَّةَ مَرَّاتٍ فَكَمْ يَغْسِلُ الْإِنَاءُ “)
فَأَمَّا الْإِنَاءُ الْمَوْلُوغُ فِيهِ مِرَارًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قَدْرِ مَا يَجِبُ أَنْ يَغْسِلَهُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ إِنَّهُ يَغْسِلُ لِكُلِّ وُلُوغٍ سَبْعًا سَوَاءٌ كَانَ كَلْبًا أَوْ كِلَابًا وَتَنْفَرِدُ كُلُّ مَرَّةٍ بِحُكْمِهَا لِاسْتِحْقَاقِ السَّبْعِ بِهَا، فَإِنْ وَلَغَ مَرَّتَيْنِ غُسِلَ أَرْبَعَ عَشْرَةَ مَرَّةً، وَإِنْ وَلَغَ عَشْرًا غُسِلَ سَبْعِينَ مَرَّةً.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَغْسِلُ مِنْ جَمِيعِ وُلُوغِهِ سَبْعًا، سَوَاءٌ وَلَغَ فِيهِ كَلْبٌ أَوْ كِلَابٌ حَتَّى لَوْ وَلَغَ فِيهِ مِائَةُ كَلْبٍ لَاكْتَفَى فِيهِ بِسَبْعٍ؛ لِأَنَّ الْأَحْدَاثَ لَمَّا تَدَاخَلَ بَعْضُهَا فِي بَعْضٍ كَانَ تَدَاخُلُ الْوُلُوغِ اعْتِبَارًا بِهِ، وَسَائِرُ الْأَنْجَاسِ أَوْلَى بِالتَّدَاخُلِ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ إِنَّهُ إِنْ كَانَ تَكْرَارُ الْوُلُوغِ مِنْ كَلْبٍ وَاحِدٍاكْتَفَى فِيهِ بِسَبْعٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ كِلَابٍ وَجَبَ أَنْ يُفْرِدَ وُلُوغَ كُلِّ كَلْبٍ بِسَبْعٍ وَلَا أَعْرِفُ بَيْنَهُمَا فَرْقًا، وَالْأَصَحُّ هُوَ الْوَجْهُ الثاني، والله أعلم.
PASAL: Jika anjing menjilat beberapa kali, berapa kali bejana dibasuh
Adapun bejana yang dijilat beberapa kali, para ashhab kami berbeda pendapat tentang kadar basuhan yang wajib dilakukan menjadi tiga pendapat:
Pertama: yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Isṭakhri, bahwa setiap jilatan dibasuh tujuh kali, baik itu satu anjing maupun beberapa anjing, dan setiap jilatan berdiri sendiri hukumnya karena masing-masing berhak atas tujuh basuhan. Maka jika menjilat dua kali, dibasuh empat belas kali, dan jika menjilat sepuluh kali, dibasuh tujuh puluh kali.
Kedua: yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, Abu Ishaq al-Marwazi, dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa seluruh jilatan cukup dibasuh tujuh kali, baik satu anjing maupun beberapa anjing, bahkan jika seratus anjing menjilatnya cukup dibasuh tujuh kali; karena sebagaimana hadats-hadats saling masuk satu sama lain, demikian pula jilatan dianggap saling masuk, dan najis-najis lain lebih utama untuk saling masuk.
Ketiga: yaitu pendapat sebagian ulama muta’akhkhirin, bahwa jika pengulangan jilatan berasal dari satu anjing, cukup dibasuh tujuh kali, namun jika dari beberapa anjing, wajib memisahkan jilatan setiap anjing dengan tujuh kali basuhan. Tidak aku ketahui adanya perbedaan di antara keduanya, dan pendapat yang ashah adalah pendapat kedua. والله أعلم.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” فَإِنْ كَانَ فِي بحرٍ لَا يَجِدُ فِيهِ تَرَابًا فَغَسَلَهُ بِمَا يَقُومُ مَقَامَ الْتُرَابِ فِي الْتَنْظِيفِ مِنْ أشنانٍ أَوْ نخالةٍ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ فَفِيهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَطْهُرَ إِلَّا بِأَنْ يَمَاسَّهُ التُّرَابُ وَالْآخَرُ يَطْهُرُ بِمَا يَكُونُ خَلْفًا مِنْ ترابٍ أَوْ أَنْظَفَ مِنْهُ كما وصفت كما نقول في الاستنجاء (قال المزني) قلت أنا هذا أشبه بقوله لأنه جعل الخزف في الاستنجاء كالحجارة لأنها تنقي إنقاءها فكذلك يلزمه أن يجعل الأشنان كالتراب لأنه ينقي إنقاءه أو أكثر وكما جعل ما عمل عَمَلَ القرظ والشث في الإهاب في معنى القرظ والشث فكذلك الأشنان في تطهير الإناء في معنى التراب (قال المزني) الشث شجرةٌ تكون بالحجاز “.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika berada di laut dan tidak mendapatkan tanah, lalu membasuhnya dengan sesuatu yang menggantikan tanah dalam pembersihan seperti usnān atau bekatul atau semisalnya, maka ada dua pendapat: pertama, tidak suci kecuali jika terkena tanah; kedua, suci dengan sesuatu yang menjadi pengganti tanah atau yang lebih bersih darinya sebagaimana yang telah aku sebutkan, sebagaimana kita katakan dalam istinja’.”
Al-Muzani berkata: “Aku berkata: ini lebih menyerupai perkataannya, karena ia menjadikan beling dalam istinja’ seperti batu karena membersihkan sebagaimana bersihnya batu. Maka demikian pula wajib baginya menjadikan usnān seperti tanah karena membersihkan sebagaimana tanah atau lebih bersih darinya. Dan sebagaimana ia menjadikan sesuatu yang bekerja seperti qarazh dan syats pada kulit (untuk penyamakan) sama hukumnya dengan qarazh dan syats, maka demikian pula usnān dalam menyucikan bejana sama hukumnya dengan tanah.”
Al-Muzani berkata: “Syats adalah pohon yang tumbuh di Hijaz.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ اسْتِعْمَالَ التُّرَابِ فِي الْوُلُوغِ مُسْتَحَقٌّ، فَأَمَّا غَيْرُ التُّرَابِ مِنَ الْمَذْرُورَاتِ إِذَا اسْتُعْمِلَ بَدَلَ التُّرَابِ فَضَرْبَانِ: ضَرْبٌ لَا يَقُومُ مَقَامَ التُّرَابِ لِنُعُومَتِهِ وَلُزُوجَتِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَعْمَلَ بَدَلًا مِنَ التُّرَابِ، وَضَرْبٌ: يَقُومُ مَقَامَ التُّرَابِ لِخُشُونَتِهِ وَإِزَالَتِهِ كَالْأُشْنَانِ وَمَسْحُوقِ الْآجُرِّ وَالْخَزَفِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَا هُنَا: إنه في استعماله عند عدم التراب قولين، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى ثَلَاث طُرُقٍ:
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa penggunaan tanah dalam (membersihkan bejana karena) jilatan adalah sesuatu yang wajib. Adapun selain tanah dari benda-benda tabur (madzrūrāt) yang digunakan sebagai pengganti tanah, terbagi menjadi dua macam:
Macam pertama: yang tidak dapat menggantikan kedudukan tanah karena kelembutannya dan sifatnya yang licin, maka tidak boleh digunakan sebagai pengganti tanah.
Macam kedua: yang dapat menggantikan kedudukan tanah karena sifat kasarnya dan kemampuannya menghilangkan kotoran, seperti usnān, bubuk batu bata (ājurr), dan beling (khazaf). Maka Imam al-Syafi‘i berkata di sini: dalam penggunaannya ketika tidak ada tanah terdapat dua pendapat.
Para ashhab kami berbeda menjadi tiga ṭuruq dalam masalah ini.
أَحَدُهَا: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ إِنَّهُ لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ مَعَ وُجُودِ التُّرَابِ فِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ مَعَ عَدَمِ التُّرَابِ قَوْلَانِ وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ.
وَالثَّانِي: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ وُجُودِ التُّرَابِ وَعَدَمِهِ فِي أَنَّ غَيْرَهُ هَلْ يَقُومُ مَقَامَهُ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَإِنَّمَا ذَكَرَهُ عِنْدَ عَدَمِ التُّرَابِ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَذْكُرَ الْقَوْلَيْنِ مَعَ وُجُودِهِ فَيَتَوَهَّمُ مُتَوَهِّمٌ أَنَّ اسْتِعْمَالَهُ مَعَ وُجُودِ التُّرَابِ لَا يَجُوزُ قَوْلًا وَاحِدًا.
وَالثَّالِثُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي الطِّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ أَنَّ فِيهِ ثَلَاثَةَ أَقَاوِيلَ:
Pertama: yaitu ṭarīqah Abu al-‘Abbas bin Surayj dan Abu ‘Ali bin Khayran, bahwa tidak boleh menggunakannya ketika ada tanah. Adapun kebolehan menggunakannya ketika tidak ada tanah, terdapat dua pendapat, dan ini adalah zahir dari nash-nya.
Kedua: yaitu ṭarīqah Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa tidak ada perbedaan antara ada atau tidak adanya tanah dalam hal apakah selain tanah dapat menggantikannya; ada dua pendapat. Hanya saja ia menyebutkannya pada saat tidak ada tanah karena khawatir jika menyebutkan dua pendapat tersebut ketika ada tanah, akan disangka oleh sebagian orang bahwa penggunaannya ketika ada tanah tidak boleh menurut satu pendapat.
Ketiga: yaitu ṭarīqah Abu al-Ṭayyib bin Salamah, bahwa di dalamnya terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا: إِنَّ غَيْرَ التُّرَابِ لَا يَقُومُ مَقَامَ التُّرَابِ لَا مَعَ وُجُودِهِ وَلَا مع عدمه ووجهه شيئان:
أحدهما: أنه قد نَصَّ فِي الْوُلُوغِ عَلَى الْمَاءِ وَالتُّرَابِ فَلَمَّا لَمْ يَقُمْ غَيْرُ الْمَاءِ مَقَامَ الْمَاءِ لَمْ يُقَمْ غَيْرُ التُّرَابِ مَقَامَ التُّرَابِ. وَالثَّانِي: إِنَّ النَّصَّ عَلَى التُّرَابِ فِي الْوُلُوغِ كَالنَّصِّ عَلَى التُّرَابِ فِي التَّيَمُّمِ فَلَمَّا لَمْ يَقُمْ غَيْرُ التُّرَابِ مَقَامَ التُّرَابِ فِي التَّيَمُّمِ لَمْ يَقُمْ غَيْرُ التُّرَابِ مَقَامَ التُّرَابِ فِي الْوُلُوغِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ غَيْرَ التُّرَابِ يَقُومُ مَقَامَ التُّرَابِ مَعَ وُجُودِهِ وَعَدِمِهِ وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ، وَوَجْهُهُ شيئان:
Pertama: bahwa selain tanah tidak bisa menggantikan kedudukan tanah, baik ketika ada maupun ketika tidak ada. Alasannya ada dua hal:
Pertama, sesungguhnya telah disebutkan secara tegas dalam al-wulūgh tentang air dan tanah. Maka ketika selain air tidak bisa menggantikan kedudukan air, selain tanah pun tidak bisa menggantikan kedudukan tanah.
Kedua, bahwa penegasan tentang tanah dalam al-wulūgh itu seperti penegasan tentang tanah dalam tayammum. Maka ketika selain tanah tidak bisa menggantikan kedudukan tanah dalam tayammum, selain tanah pun tidak bisa menggantikan kedudukan tanah dalam al-wulūgh.
Adapun pendapat kedua: bahwa selain tanah bisa menggantikan kedudukan tanah baik ketika ada maupun ketika tidak ada, dan ini adalah pilihan al-Muzani. Alasannya ada dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا نَصَّ عَلَيْهِ مِنَ الْجَامِدَاتِ فِي إِزَالَةِ الْأَنْجَاسِ، فَغَيْرُهُ مِنَ الْجَامِدَاتِ إِذَا سَاوَاهُ فِي عَمَلِهِ سَاوَاهُ فِي حُكْمِهِ قِيَاسًا عَلَى مَا قَامَ مَقَامَ الْأَحْجَارِ فِي الِاسْتِنْجَاءِ وَمَا قَامَ مَقَامَ الشَّثِّ وَالْقَرَظِ فِي الدِّبَاغِ.
وَالثَّانِي: إِنَّ التُّرَابَ فِي الْوُلُوغِ مَأْمُورٌ بِهِ عَلَى طَرِيقِ الْمُعَاوَنَةِ فِي الْإِنْقَاءِ وَإِنَّمَا الْمَنْصُوصُ وَهُوَ الْمَاءُ فَمَا كَانَ أَبْلَغَ مِنَ التُّرَابِ فِي الْإِنْقَاءِ كَانَ أَحَقَّ فِي الِاسْتِعْمَالِ.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: إِنَّ غَيْرَ التُّرَابِ يَقُومُ مَقَامَ التُّرَابِ عِنْدَ عَدَمِهِ، وَلَا يَقُومُ مَقَامَهُ عِنْدَ وُجُودِهِ؛ لِأَنَّ الضَّرُورَةَ عِنْدَ الْعَدَمِ دَاعِيَةٌ إِلَيْهِ، وَعِنْدَ وُجُودِهِ مُرْتَفِعَةٌ عَنْهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pertama: bahwa sesuatu yang disebutkan secara tegas dari benda-benda padat dalam menghilangkan najis, maka selainnya dari benda padat, jika sama dalam fungsinya, sama pula hukumnya, dengan qiyas pada sesuatu yang menggantikan kedudukan batu dalam istinjak dan sesuatu yang menggantikan kedudukan asy-syats dan al-qarazh dalam penyamakan kulit.
Kedua: bahwa tanah dalam al-wulūgh diperintahkan sebagai bentuk bantuan dalam pembersihan, sedangkan yang disebutkan secara tegas adalah air. Maka sesuatu yang lebih sempurna daripada tanah dalam pembersihan lebih berhak digunakan.
Pendapat ketiga: bahwa selain tanah bisa menggantikan kedudukan tanah ketika tanah tidak ada, dan tidak bisa menggantikannya ketika tanah ada, karena kebutuhan (darurat) ketika tidak ada tanah mendorong untuk menggunakannya, sedangkan ketika tanah ada, kebutuhan itu hilang. Wallāhu a‘lam.
(فَصْلٌ: هَلْ تقوم المذرورات مقام التراب؟)
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حُكْمِ الْمَذْرُورَاتِ فِي الْوُلُوغِ بَدَلًا مِنَ التُّرَابِ.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ سَائِرَ الْمَذْرُورَاتِ لَا تَقُومُ مَقَامَ التُّرَابِ فَالْمَاءُ أَوْلَى أَنْ لَا يَقُومَ مَقَامَهُ.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْمَذْرُورَاتِ تَقُومُ مَقَامَ التُّرَابِ فِي الْوُلُوغِ فَاسْتَبْدَلَ مِنَ الْمَذْرُورِ فِي غَسْلِهِ ثَامِنَةً لِيَقُومَ مَقَامَ التُّرَابِ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
(PASAL: Apakah al-madzrūrāt bisa menggantikan tanah?)
Apabila telah tetap sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang hukum al-madzrūrāt dalam al-wulūgh sebagai pengganti tanah:
Jika kita berkata bahwa seluruh al-madzrūrāt tidak bisa menggantikan tanah, maka air lebih utama untuk tidak bisa menggantikannya.
Dan jika kita berkata bahwa al-madzrūrāt bisa menggantikan tanah dalam al-wulūgh, lalu ia mengganti al-madzrūr dalam membasuh yang kedelapan agar bisa menggantikan tanah, maka dalam hal ini menurut para sahabat kami ada tiga pendapat:
أَحَدُهَا: إِنَّ الْمَاءَ يَقُومُ فِي الثَّالِثَةِ مَقَامَ التُّرَابِ الْمَذْرُورِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ أَبْلَغُ فِي التَّطْهِيرِ.
وَالثَّانِي: لَا يَقُومُ مَقَامَهُ بِحَالٍ، وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَقُمْ مَقَامَ الْمَائِعِ غَيْرُهُ لَمْ يَقُمْ مَقَامَ الْجَامِدِ غَيْرُهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ إِنْ كَانَ التُّرَابُ مَوْجُودًا لَمْ يَقُمِ الْمَاءُ مَقَامَهُ، وَإِنْ كَانَ التُّرَابُ مَعْدُومًا قَامَ الْمَاءُ مَقَامَهُ، وَالْأَصَحُّ مَا قَالَهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ مِنْ أَنَّ الْمَاءَ لَا يَقُومُ مَقَامَ التُّرَابِ، وَلَا يُقَامُ غَيْرُهُ مِنَ الْمَذْرُورَاتِ مَقَامَهُ.
Pertama: bahwa air bisa menggantikan tanah yang ditaburkan pada basuhan ketiga, karena air lebih sempurna dalam penyucian.
Kedua: tidak bisa menggantikannya sama sekali, dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, karena sebagaimana selain cairan tidak bisa menggantikan kedudukan cairan, maka selain benda padat tidak bisa menggantikan kedudukan benda padat.
Pendapat ketiga: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa jika tanah ada maka air tidak menggantikannya, dan jika tanah tidak ada maka air menggantikannya.
Pendapat yang paling benar adalah yang dikatakan oleh Ibn Abī Hurairah, yaitu air tidak bisa menggantikan tanah, dan tidak ada selainnya dari al-madzrūrāt yang bisa menggantikannya.
(مَسْأَلَةٌ: غَسْلُ الْإِنَاءِ مِنْ نجاسة ما سوى الكلب)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَغْسِلُ الْإِنَاءَ مِنَ الْنَجَاسَةِ سِوَى ذَلِكَ ثَلَاثًا أَحَبُّ إِلَيَّ فَإِنْ غَسَلَهُ وَاحِدَةً تَأَتَّى عَلَيْهِ طهراً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَا سِوَى وُلُوغِ الْكَلْبِ مِنْ سَائِرِ النَّجَاسَاتِ، فَالْوَاجِبُ غَسْلُهُ مَرَّةً وَاحِدَةً إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَا أَثَرٍ فَيَغْسِلُ حَتَّى يَزُولَ الْأَثَرُ وَقَالَ أبو حنيفة: سَائِرُ النَّجَاسَاتِ فِي حُكْمِ الْوُلُوغِ يَغْسِلُ ثَلَاثًا إِمَّا اسْتِحْبَابًا، وَإِمَّا وَاجِبًا عَلَى أَنَّ اخْتِلَافَ أَصْحَابِهِ فِي الثَّلَاثِ هَلْ هِيَ وَاجِبَةٌ فِي الْوُلُوغِ أَوْ مُسْتَحَبَّةٌ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: سائر النجاسات كالولوغ في وجوب غسلها ثمان مراتٍ. وَدَلِيلُنَا عَلَى جَوَازِ الِاقْتِصَارِ فِي غَسْلِهَا عَلَى مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بكرٍوَقَدْ سَأَلَتْهُ عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ ” حُتِّيهِ ثُمَّ اقْرُصِيهِ بِالْمَاءِ ” وَلَمْ يُوَقِّتْ لَهَا فِي ذَلِكَ ثَلَاثًا وَلَا سَبْعًا، وَقَالَ فِي بَوْلِ الْأَعْرَابِيِّ: ” صُبُّوا عَلَيْهِ ذَنُوبًا مِنْ ماءٍ “، وَلِأَنَّ التَّكْرَارَ لَمَّا لَمْ يَزَلْ فِي الْحَدَثِ مُسْتَحِقًّا فَأَحْرَى أَنْ لَا يَكُونَ فِي النَّجَاسَةِ مُسْتَحِقًّا، وَلِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ لَمْ يُرِدِ الشَّرْعُ بِأَنَّهُ يَجْمَعُ فِيهَا بَيْنَ الطُّهُورَيْنِ، فَلَمْ تَسْتَحِقَّ الْعَدَدَ، وَتَطْهِيرُهَا كَالْأَعْيَانِ، لِأَنَّ أبا حنيفة يَعْتَبِرُ الْعَدَدَ فِي النَّجَاسَةِ الَّتِي هِيَ أَثَرٌ، وَلَا يَعْتَبِرُهُ فِي النَّجَاسَةِ الَّتِي هِيَ عَيْنٌ، وَلِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ مُتَوَلِّدَةٌ عَنْ أَصْلٍ طَاهِرٍ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ فِيهَا الْعَدَدُ كَدَمِ الشَّاةِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْوَاجِبَ مَرَّةٌ، فَالْمُسْتَحَبُّ غَسْلُهُ ثَلَاثًا لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يده في الإناء حتى يغسلهما ثَلَاثًا ” فَلَمَّا أَمَرَ بِالثَّلَاثِ مَعَ الشَّكِّ فِي النَّجَاسَةِ، كَانَ الْأَمْرُ بِهَا مَعَ نَفْسِ النَّجَاسَةِ أولى.
(MASALAH: Membasuh bejana dari najis selain anjing)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Dan ia membasuh bejana dari najis selain itu sebanyak tiga kali, itu lebih aku sukai. Jika ia membasuhnya satu kali, maka sudah sah baginya suci.”
Al-Māwardī berkata: Sebagaimana yang beliau katakan, bahwa selain wulūgh anjing dari semua macam najis, kewajiban membasuhnya adalah satu kali saja, kecuali jika ada bekas (najis) maka dibasuh hingga hilang bekasnya.
Abū Ḥanīfah berkata: Semua najis hukumnya sama dengan wulūgh, dibasuh tiga kali, baik sebagai sunnah maupun wajib — karena ada perbedaan di antara sahabat beliau apakah tiga kali itu wajib dalam wulūgh atau hanya mustahabb.
Aḥmad bin Ḥanbal berkata: Semua najis sama dengan wulūgh dalam kewajiban membasuhnya sebanyak delapan kali.
Dalil kami tentang bolehnya membatasi membasuhnya satu kali adalah sabda Nabi SAW kepada Asmā’ binti Abī Bakr ketika beliau bertanya tentang darah haid yang mengenai pakaian:
“Keriklah, lalu gosoklah dengan air,” dan beliau tidak membatasi untuknya tiga kali atau tujuh kali.
Dan beliau berkata tentang kencing orang Badui:
“Siramlah atasnya satu ember air,”
Karena pengulangan (basuhan) ketika tidak dibutuhkan dalam ḥadats, maka dalam najis lebih utama untuk tidak diwajibkan.
Dan karena najis ini tidak ada dalil syariat bahwa ia harus dikumpulkan antara dua thahārah, maka tidak berhak untuk disyaratkan bilangan (basuhan).
Penyuciannya seperti pada benda najis yang kasat mata, karena Abū Ḥanīfah memperhitungkan bilangan hanya pada najis yang berupa bekas, dan tidak memperhitungkannya pada najis yang berupa benda.
Dan karena najis ini berasal dari asal yang suci, maka tidak berhak disyaratkan bilangan, seperti darah kambing.
Maka jika telah tetap bahwa yang wajib adalah satu kali, yang mustaḥabb adalah membasuhnya tiga kali, berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana hingga ia membasuh keduanya tiga kali.”
Ketika beliau memerintahkan tiga kali basuhan dalam kondisi ragu ada tidaknya najis, maka perintah tiga kali itu ketika benar-benar ada najis lebih utama.
(فصل: أقسام النجاسات)
فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا فِي النَّجَاسَةِ مِنْ وُجُوبِ غَسْلِهَا مَرَّةً وَاسْتِحْبَابِ غَسْلِهَا ثَلَاثًا، فَلَا يَخْلُو حَالُ النَّجَاسَاتِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا لَوْنٌ وَلَا رَائِحَةٌ كَالْمَاءِ الْقَلِيلِ إِذَا حَصَلَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ ثُمَّ أَصَابَ الْمَاءُ ثَوْبًا، فَالْوَاجِبُ غَسْلُهُ مَرَّةً يَغْمُرُهُ الْمَاءُ فِيهَا فَيَطْهُرَ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لَهَا لَوْنٌ وَرَائِحَةٌ كَالْخَمْرِ وَالْغَائِطِ فَالْوَاجِبُ غَسْلُهُ حَتَّى يَزُولَ لَوْنُهُ وَرَائِحَتُهُ، فَإِنْ لَمْ يَزُولَا بِالْمَرَّةِ غَسَلَهُ ثَانِيَةً، فَإِنْ لَمْ يَزُولَا غَسَلَهُ ثَالِثَةً وَرَابِعَةً، فَإِنْ زَالَ اللَّوْنُ دُونَ الرَّائِحَةِ أو زالت الرائحة اللَّوْنِ فَهُوَ عَلَى نَجَاسَتِهِ، حَتَّى تَزُولَ الصِّفَتَانِ اللَّوْنُ وَالرَّائِحَةُ.
(PASAL: Macam-macam najis)
Apabila telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan tentang najis, bahwa wajib membasuhnya satu kali dan mustaḥabb membasuhnya tiga kali, maka keadaan najis tidak lepas dari empat macam:
Pertama: yang tidak memiliki warna dan tidak memiliki bau, seperti air sedikit yang terkena najis kemudian air tersebut mengenai pakaian, maka wajib membasuhnya satu kali hingga air membasahi seluruh bagian yang terkena najis itu sehingga menjadi suci.
Kedua: yang memiliki warna dan bau, seperti khamar dan kotoran, maka wajib membasuhnya sampai hilang warna dan baunya. Jika belum hilang dengan sekali basuhan, maka dibasuh kedua kalinya. Jika belum hilang, dibasuh ketiga dan keempat kalinya. Jika hilang warnanya tetapi baunya belum, atau hilang baunya tetapi warnanya belum, maka ia tetap dihukumi najis sampai kedua sifat itu — warna dan bau — hilang.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ لَهَا رَائِحَةٌ وَلَيْسَ لَهَا لَوْنٌ كَالْبَوْلِ فَالْوَاجِبُ أَنْ يَغْسِلَ حَتَّى تَزُولَ رَائِحَتُهُ إِمَّا بِمَرَّةٍ أَوْ بِأَكْثَرَ اعْتِبَارًا بِحَالِ زَوَالِهَا، فَإِذَا زَالَتْ رَائِحَتُهُ طَهُرَتْ.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ لَهَا لَوْنٌ وَلَيْسَ لَهَا رَائِحَةٌ كَالدَّمِ فَالْوَاجِبُ أَنْ تُغْسَلَ حَتَّى يَزُولَ لَوْنُهَا بِمَرَّةٍ أَوْ مِرَارٍ فَإِنْ زَالَ اللَّوْنُ، وَبَقِيَ الْأَثَرُ فَإِنْ تَيَسَّرَ زَوَالُهُ مِنْ غَيْرِ مَشَقَّةٍ فَالنَّجَاسَةُ بَاقِيَةٌ حَتَّى يَزُولَ الْأَثَرُ، فَإِنْ تَعَذَّرَ زَوَالُهُ إِلَّا بِمَشَقَّةٍ خَالِيَةٍ مِنْ عِلَاجٍ أَوْ صَنْعَةٍ كَالْأَثَرِ كَانَ الْأَثَرُ مَعْفُوًّا عَنْهُ، وَحُكِمَ بِطَهَارَةِ الْمَحَلِّ، بِخِلَافِ مَا وَهِمَ فِيهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا حَيْثُ حَكَمَ بِبَقَاءِ نَجَاسَتِهِ لِبَقَاءِ أَثَرِهِ لِرِوَايَةِ يَزِيدَ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عِيسَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتَيَسَارٍ قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَفَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَخْرُجِ الْدَّمُ مِنَ الثَّوْبِ قَالَ: ” يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ “.
Macam ketiga: yang memiliki bau tetapi tidak memiliki warna, seperti air kencing. Wajib membasuhnya hingga baunya hilang, baik dengan sekali basuhan atau lebih, sesuai keadaan hilangnya bau tersebut. Jika baunya sudah hilang, maka ia menjadi suci.
Macam keempat: yang memiliki warna tetapi tidak memiliki bau, seperti darah. Wajib membasuhnya hingga warnanya hilang, baik dengan sekali basuhan atau beberapa kali. Jika warnanya hilang tetapi bekasnya masih ada, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya tanpa kesulitan, najisnya tetap ada sampai bekas itu hilang. Namun jika tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan kesulitan yang tidak wajar atau membutuhkan perlakuan khusus seperti pengobatan atau pengerjaan tertentu, maka bekas itu dimaafkan dan dihukumi sucinya tempat tersebut.
Hal ini berbeda dengan kekeliruan sebagian sahabat kami yang menghukumi najisnya tetap karena adanya bekas, berdasarkan riwayat Yazīd Abī Ḥabīb dari ‘Īsā bin Ṭalḥah dari Abū Hurairah, bahwa Khaulah binti Yasār berkata kepada Rasulullah SAW:
“Bagaimana jika darah tidak keluar dari pakaian?” Beliau menjawab: “Cukuplah bagimu air, dan bekasnya tidak membahayakanmu.”
(فَصْلٌ: إذا أصابت نجاسة شعره أو بدنه)
فَأَمَّا إِذَا بَلَّ خِضَابًا بِنَجَاسَةٍ مِنْ بَوْلٍ أَوْ خَمْرٍ وَخَضَّبَ بِهِ شَعْرَهُ أَوْ بَدَنَهُ ثُمَّ غَسَلَهُ وَبَقِيَ لَوْنُهُ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لَوْنُ النَّجَاسَةِ بَاقِيًا، فَالْمَحَلُّ الْمَخْضُوبُ نَجِسٌ، لَا يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ حَتَّى يَزُولَ اللَّوْنُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لَوْنُ الْخِضَابِ بَاقِيًا دُونَ النَّجَاسَةِ فَفِي نَجَاسَتِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: نَجِسٌ، لِأَنَّ الْخِضَابَ قَدْ صَارَ نَجِسًا فَدَلَّ بَقَاءُ لَوْنِهِ عَلَى بَقَاءِ النَّجَاسَةِ.
(PASAL: Jika najis mengenai rambut atau badan)
Apabila ia membasahi bahan pewarna dengan najis, seperti air kencing atau khamar, lalu mewarnai rambut atau badannya dengannya, kemudian ia membasuhnya dan masih tersisa warnanya, maka itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: yang tersisa adalah warna najisnya, maka bagian yang diwarnai itu tetap najis dan tidak menjadi suci dengan dibasuh sampai warna tersebut hilang.
Kedua: yang tersisa adalah warna bahan pewarnanya, bukan warna najisnya. Dalam hal najisnya ada dua pendapat:
Pertama: tetap najis, karena bahan pewarna tersebut telah menjadi najis, maka keberadaan warnanya menunjukkan adanya sisa najis.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ طَاهِرٌ؛ لِأَنَّ نَجَاسَةَ الْخِضَابِ نَجَاسَةٌ مُجَاوِرَةٌ لَا نَجَاسَةُ عَيْنٍ، وَهَذَا لَوْنُ الْخِضَابِ لَا لَوْنُ النَّجَاسَةِ، وَاللَّوْنُ عَرَضٌ لَا تَحُلُّهُ نَجَاسَةٌ، فَإِنْ قُلْنَا: بِطَهَارَتِهِ صَلَّى، وَلَمْ يُعِدْ وَإِنْ قُلْنَا: بِنَجَاسَتِهِ، فَإِنْ كَانَ الْخِضَابُ عَلَى شَعْرٍ كَشَعْرِ اللِّحْيَةِ لَمْ يَلْزَمْهُ حَلْقُهُ، وَمَكَثَ حَتَّى يُنْصَلَ لَوْنُهُ؛ لِأَنَّ لَوْنَ الشَّعْرِ الْمَخْضُوبِ يُنْصَلُ لَا مَحَالَةَ، وَالْمُسْتَحَقُّ فِي النَّجَاسَةِ تَطْهِيرُ الْمَحَلِّ مِنْهَا لِإِزَالَةِ الْمَحَلِّ بِهَا، فَإِذَا نُصِلَ الشَّعْرُ أَعَادَ مَا صَلَّاهُ، وَإِنْ كَانَ الْخِضَابُ عَلَى بَدَنٍ فإن كان ما يزول كالحناء إذا اختضت بِهِ مَكَثَ حَتَّى يَزُولَ فَيَطْهُرَ، ثُمَّ يُعِيدُ مَا صَلَّى، وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يَزُولُ، وَلَا يُنْصَلُ كَالْوَشْمِ بِالنِّيلِ فَيَصِيرُ خُضْرَةً مُؤَبَّدَةً، نُظِرَ فَإِذَا أَمِنَ التَّلَفَ فِي إِزَالَتِهِ وَكَشْطِهِ لَزِمَهُ أَنْ يُزِيلَهُ وَيَكْشِطَهُ، بِخِلَافِ الشَّعْرِ؛ لِأَنَّ تَرْكَ الشَّعْرِ مُفْضٍ إِلَى زَوَالِ النَّجَاسَةِ عَنْهُ، وَلَيْسَ ذَلِكَ مفضٍ إِلَى زَوَالِ النَّجَاسَةِ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ يَخَافُ التَّلَفَ مِنْ كَشْطِهِ، وَإِزَالَتِهِ، فَإِنْ كَانَ غَيْرُهُ الَّذِي أَكْرَهَهُ عَلَى الْخِضَابِ بِهِ، أَقَرَّ عَلَى حَالِهِ وَإِنْ كَانَ هُوَ المختصب بِهِ فَفِي وُجُوبِ إِزَالَتِهِ وَجْهَانِ مِنَ الْوَاصِلِ بعظم نجس، والله أعلم.
Pendapat kedua: ia suci, karena najisnya bahan pewarna adalah najis karena persentuhan, bukan najis ‘ain. Dan ini adalah warna bahan pewarna, bukan warna najis. Warna itu hanyalah sifat (’araḍ) yang tidak ditempati najis.
Jika kita mengatakan ia suci, maka ia boleh shalat dan tidak perlu mengulangnya.
Jika kita mengatakan ia najis, maka:
- Jika bahan pewarna itu ada pada rambut seperti rambut jenggot, ia tidak wajib mencukurnya, tetapi menunggu sampai warnanya hilang, karena warna rambut yang diwarnai akan hilang dengan sendirinya. Yang diwajibkan dalam najis adalah mensucikan bagian yang terkena najis dengan menghilangkan tempatnya. Jika rambut itu sudah rontok, ia mengulang shalat yang pernah ia lakukan.
- Jika bahan pewarna itu ada pada badan:
- Jika termasuk yang bisa hilang seperti ḥinnā’ ketika digunakan, maka ia menunggu sampai hilang dan menjadi suci, lalu mengulang shalat yang pernah ia lakukan.
- Jika termasuk yang tidak bisa hilang dan tidak memudar seperti tato dengan nīl sehingga menjadi warna hijau permanen, maka dilihat: jika ia aman dari bahaya saat menghilangkan dan mengeriknya, maka wajib menghilangkannya dan mengeriknya. Berbeda dengan rambut, karena membiarkan rambut akan menyebabkan hilangnya najis darinya, sedangkan ini tidak akan menyebabkan hilangnya najis.
- Jika termasuk yang bisa hilang seperti ḥinnā’ ketika digunakan, maka ia menunggu sampai hilang dan menjadi suci, lalu mengulang shalat yang pernah ia lakukan.
Jika ia khawatir akan bahaya dari mengerik dan menghilangkannya, maka:
- Jika yang memaksanya untuk memakai bahan pewarna itu adalah orang lain, ia dibiarkan dalam keadaannya.
- Jika ia sendiri yang menggunakannya, maka dalam kewajiban menghilangkannya terdapat dua pendapat, sebagaimana masalah menyambung dengan tulang yang najis.
Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا مَسَّ الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيرُ بِهِ الْمَاءَ مِنْ أَبْدَانِهِمَا نَجَّسَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِمَا قذرٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا وُلُوغُ الْكَلْبِ فَيَكُونُ بِإِدْخَالِ فَمِهِ فِي الْمَاءِ شَرِبَ مِنْهُ أَوْ لَمْ يَشْرَبْ، وَحُكْمُهُ مَا مَضَى فَأَمَّا إِنْ أَدْخَلَ الْكَلْبُ غَيْرَ فَمِهِ مِنْ أَعْضَائِهِ كَيَدِهِ أَوْ رِجْلِهِ أَوْ ذَنَبِهِ، فَهُوَ فِي حُكْمِ وُلُوغِهِ فِي نَجَاسَةِ الْإِنَاءِ بِهِ، وَوُجُوبِ غَسْلِهِ سَبْعًا. وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: غَسْلُ الْإِنَاءِمُخْتَصٌّ بِوُقُوعِهِ، فَإِنْ أَدْخَلَ غَيْرَهُ مِنْ أَعْضَائِهِ فِي الْمَاءِ لَمْ يَجِبْ غَسْلُهُ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَأَرِيقُوهُ وَاغْسِلُوهُ سَبْعًا ” فَعَلَّقَ الْحُكْمَ بِالْوُلُوغِ، وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apa saja yang disentuh oleh anjing dan babi dengan air dari tubuh keduanya, maka menjadi najis, meskipun pada keduanya tidak terdapat kotoran.”
Al-Māwardī berkata: Adapun wulūgh anjing adalah dengan memasukkan mulutnya ke dalam air, baik ia meminumnya ataupun tidak, dan hukumnya sebagaimana telah lalu. Adapun jika anjing itu memasukkan selain mulutnya dari anggota tubuhnya seperti tangannya, kakinya, atau ekornya, maka hukumnya sama dengan wulūgh-nya dalam menajiskan bejana tersebut dan wajib membasuhnya tujuh kali.
Dāwūd bin ‘Alī berkata: Membasuh bejana itu khusus jika terkena wulūgh-nya, maka jika ia memasukkan selain mulutnya dari anggota tubuhnya ke dalam air, tidak wajib membasuhnya. Hal ini berdalil pada sabda Nabi SAW:
“Apabila anjing wulūgh pada bejana salah seorang dari kalian, maka tumpahkanlah airnya dan basuhlah tujuh kali.”
Ia menggantungkan hukum pada wulūgh, dan ini adalah kesalahan dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ لَمَّا نَصَّ عَلَى الْوُلُوغِ وَهُوَ أَصْوَنُ أَعْضَاءِ الْكَلْبِ كَانَ وُجُوبُ الْغَسْلِ بِمَا لَيْسَ بِمَصُونٍ مِنْهَا أَوْلَى.
وَالثَّانِي: إِنَّ وُلُوغَهُ يَكْثُرُ وَإِدْخَالَ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَعْضَائِهِ يَقِلُّ فَلَمَّا عَلَّقَ وُجُوبَ الْغَسْلِ بِمَا يَكْثُرُ كَانَ وُجُوبُهُ مِمَّا يَقِلُّ أَوْلَى، لِأَنَّ النَّجَاسَةَ إِذَا عَمَّ وُجُودُهَا خَفَّ حُكْمُهَا، وَإِذَا قَلَّ وُجُودُهَا، يَتَغَلَّظُ حُكْمُهَا، فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنْ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْوُلُوغِ وَغَيْرِهِ، مِنْ أَعْضَاءِ الْكَلْبِ، فَهَكَذَا لَوْ مَاسَّ الْكَلْبُ ثَوْبًا رَطْبًا أَوْ مَاسَّ بِبَدَنِهِ الرَّطْبِ ثَوْبًا يَابِسًا أَوْ وَطِئَ بِرُطُوبَةِ رِجْلِهِ عَلَى أَرْضٍ أَوْ بِسَاطٍ كَانَ كَالْوُلُوغِ فِي وُجُوبِ غَسْلِهِ سَبْعًا فِيهِنَّ مَرَّةٌ بِالتُّرَابِ.
Pertama: karena ketika nash menyebut wulūgh — padahal itu adalah anggota anjing yang paling terjaga dari kotoran — maka mewajibkan basuhan pada anggota lain yang kurang terjaga darinya lebih utama.
Kedua: karena wulūgh-nya sering terjadi, sedangkan memasukkan anggota tubuh lainnya jarang terjadi. Maka ketika syariat menggantungkan kewajiban basuhan pada sesuatu yang sering terjadi, mewajibkannya pada sesuatu yang jarang terjadi lebih utama, sebab najis jika sering dijumpai, hukumannya menjadi ringan, sedangkan jika jarang dijumpai, hukumannya menjadi lebih berat.
Maka setelah jelas bahwa tidak ada perbedaan antara wulūgh dan selainnya dari anggota tubuh anjing, demikian pula jika anjing menyentuh pakaian yang basah, atau menyentuh dengan badannya yang basah pakaian yang kering, atau menginjak tanah atau permadani dengan kaki yang basah, maka hukumnya sama dengan wulūgh dalam kewajiban membasuhnya tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
(فَصْلٌ: إِذَا أَدْخَلَ الْكَلْبُ رَأْسَهُ في الإناء)
فَلَوْ أَدْخَلَ الْكَلْبُ رَأْسَهُ فِي الْإِنَاءِ وَلَمْ يَعْلَمْ هَلْ وَلَغَ فِيهِ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْلُو حَالُ فَمِهِ عِنْدَ إِخْرَاجِ رَأْسِهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ رَطْبًا أَوْ يَابِسًا، فَإِنْ كَانَ فَمُهُ يَابِسًا فَالْمَاءُ عَلَى طَهَارَتِهِ، وَإِنْ كَانَ رَطْبًا فَفِي نَجَاسَتِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ يُنَجِّسُ، لِأَنَّ رُطُوبَةَ فَمِهِ شَاهِدٌ عَلَى وُلُوغِهِ فَصَارَ كَنَجَاسَةٍ وَقَعَتْ فِي مَاءٍ كَثِيرٍ ثُمَّ وَجَدَتْ تَغَيُّرًا وَلَمْ يُعْلَمْ هَلْ تَغَيَّرَ بِالنَّجَاسَةِ أَوْ بِغَيْرِهَا حُكِمَ بِنَجَاسَةِ الْمَاءِ تَغْلِيبًا لِتَغْيِيرِهِ بِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ إِنَّ الْمَاءَ طَاهِرٌ؛ لِأَنَّ طَهَارَتَهُ يَقِينٌ، وَنَجَاسَتُهُ شَكٌّ، وَالْمَاءُ لَا يُنَجَّسُ بِالشَّكِّ، وَلَيْسَتْ رُطُوبَةُ فَمِهِ شَاهِدًا قَاطِعًا لِاحْتِمَالِهَا أَنْ تَكُونَ مِنْ لُعَابِهِ أَوْ مِنْ وُلُوغِهِ فِي غَيْرِهِ، وَلَيْسَتْ كَالنَّجَاسَةِ الْوَاقِعَةِ فِي الماء؛ لأنه لوقوع النجاسة تأثيراً في الماء.
(PASAL: Jika anjing memasukkan kepalanya ke dalam bejana)
Jika anjing memasukkan kepalanya ke dalam bejana dan tidak diketahui apakah ia telah wulūgh di dalamnya atau tidak, maka keadaan mulutnya ketika ia mengeluarkan kepalanya tidak lepas dari dua kemungkinan: basah atau kering.
Jika mulutnya kering, maka air tetap dalam keadaan suci.
Jika mulutnya basah, maka dalam status najisnya ada dua pendapat:
Pertama: bisa menajiskan, karena basahnya mulutnya menjadi tanda adanya wulūgh-nya, sehingga seperti najis yang jatuh ke dalam air banyak lalu ditemukan adanya perubahan, dan tidak diketahui apakah perubahan itu disebabkan oleh najis atau yang lain, maka dihukumi najis karena didahulukannya kemungkinan perubahan itu oleh najis.
Kedua: dan ini yang lebih sahih, bahwa air tersebut suci, karena kesuciannya adalah suatu hal yang yakin, sedangkan kenajisannya adalah hal yang masih meragukan, dan air tidak menjadi najis karena keraguan. Basahnya mulut anjing tidak menjadi tanda pasti, karena mungkin saja berasal dari air liurnya atau dari wulūgh-nya pada tempat lain, dan ini tidak sama dengan najis yang benar-benar jatuh ke dalam air, karena jatuhnya najis itu sendiri memberi pengaruh pada air.
(مسألة)
: قال المزني: ” وَاحْتَجَّ بِأَنَّ الْخِنْزِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْكَلْبِ فقاسه عليه. وقاس ما سوى ذلك من النجاسات على أمر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أسماء بنت أبي بكر في دم الحيضة يصيب الثوب أن تحته ثم تقرصه بالماء وتصلي فيه ولم يوقت في ذلك سبعاً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَالْخِنْزِيرُ نَجِسٌ، وقال مالك، وداود: هو ظاهر خلافهما فِي الْكَلْبِ تَعَلُّقًا بِالظَّوَاهِرِ الْمَاضِيَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ، وَالدَّلِيلُ عَلَى نَجَاسَتِهِ قَوْله تَعَالَى: {قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ) {الأنعام: 145) .
(Masalah)
Al-Muzani berkata: “Ia berdalil bahwa babi lebih buruk keadaannya daripada anjing, maka ia menganalogikannya dengan anjing. Dan ia menganalogikan selain itu dari najis-najis dengan perintah Nabi SAW kepada Asmā’ binti Abī Bakr tentang darah haid yang mengenai pakaian, yaitu agar ia mengeriknya lalu menggosoknya dengan air dan shalat dengannya, dan beliau tidak membatasi dalam hal itu tujuh kali.”
Al-Māwardī berkata: Benar seperti yang ia katakan, dan babi adalah najis. Imam Mālik dan Dāwūd berpendapat bahwa lahir dari pendapat keduanya berbeda dalam masalah anjing, dengan berpegang pada dalil-dalil lahiriah yang telah lalu, dan ini adalah kesalahan.
Dalil atas kenajisannya adalah firman Allah Ta‘ālā:
Qul lā ajidu fīmā ūḥiya ilayya muḥarraman ‘alā ṭā‘imin yaṭ‘amuhu illā an yakūna maytatan aw daman masfūḥan aw laḥma khinzīrin fa-innahū rijusun (QS al-An‘ām: 145).
وَالْمُرَادُ بِلَحْمِ الْخِنْزِيرِ هُوَ: جُمْلَةُ الْخِنْزِيرِ؛ لِأَنَّ لَحْمَهُ قَدْ دَخَلَ فِي عُمُومِ الْمَيْتَةِ، فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَائِدَةِ أَوْلَى عَلَى التَّكْرَارِ.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْكَلْبَ وَحَرَّمَ ثَمَنَهُ وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَحَرَّمَ ثَمَنَهُ وَحَرَّمَ الْخَمْرَ وَحَرَّمَ ثَمَنَهَا “.
وَلِأَنَّ الْخِنْزِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْكَلْبِ لِتَحْرِيمِ الِانْتِفَاعِ بِهِ فِي الْأَحْوَالِ وَجَوَازِ الِانْتِفَاعِ بِالْكَلْبِ فِي حَالٍ، ثُمَّ ثَبَتَ بِمَا دَلَّلْنَا نَجَاسَةُ الْكَلْبِ فَكَانَتْ نَجَاسَةُ الْخِنْزِيرِ أَوْلَى.
Dan yang dimaksud dengan “daging babi” adalah seluruh bagian babi, karena dagingnya sudah termasuk dalam keumuman bangkai. Maka memaknainya seperti yang kami sebutkan dari sisi faedah lebih utama daripada memaknainya sebagai pengulangan.
Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan anjing dan mengharamkan harganya, mengharamkan babi dan mengharamkan harganya, mengharamkan khamar dan mengharamkan harganya.”
Karena babi lebih buruk keadaannya daripada anjing, sebab diharamkan memanfaatkannya dalam semua keadaan, sedangkan anjing boleh dimanfaatkan dalam sebagian keadaan. Maka setelah tetap dengan dalil yang kami paparkan bahwa anjing itu najis, maka kenajisan babi lebih utama lagi.
(فصل: ولوغ الخنزير في الإناء)
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْخِنْزِيرَ نَجِسٌ فَوُلُوغُهُ كَوُلُوغِ الْكَلْبِ فِي وُجُوبِ غَسْلِهِ سَبْعًا إِحْدَاهُنَّ بِتُرَابٍ، وَرَوَى أَبُو ثَوْرٍ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ قَالَ يَغْسِلُ الْإِنَاءَ مِنْ وُلُوغِ الْخِنْزِيرِ فَوَهِمَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ الْقَاصِّ فِي إِطْلَاقِ الشَّافِعِيِّ ذِكْرَ الْعَدَدِ فِي الْقَدِيمِ، فَخَرَّجَ لَهُ فِي الْقَدِيمِ قَوْلًا ثَانِيًا أَنَّ وُلُوغَ الْخِنْزِيرِ يُغْسَلُ مَرَّةً وَاحِدَةً، وَهَذَا خَطَأٌ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ فِي الْقَدِيمِ نَصَّ عَلَى وُجُوبِ غَسْلِ الْإِنَاءِ مِنْ وُلُوغِهِ وَأَطْلَقَ ذِكْرَ الْعَدَدِ عَلَى مَا قَدْ عُرِفَ مِنْ مَذْهَبِهِ، وَصَرَّحَ بِهِ فِي سَائِرِ كُتُبِهِ فَيُغْسَلُ سَبْعَ مَرَّاتٍ إِحْدَاهُنَّ بِتُرَابٍ كَوُلُوغِ الْكَلْبِ سَوَاءً فَأَمَّا احْتِجَاجُ الشَّافِعِيِّ بِأَنَّ الْخِنْزِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْكَلْبِ فَلِأَمْرَيْنِ:
(PASAL: Wulūgh babi pada bejana)
Apabila telah tetap bahwa babi itu najis, maka wulūgh-nya sama seperti wulūgh anjing dalam kewajiban membasuhnya tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
Abū Ṯawr meriwayatkan dari al-Syafi‘i dalam qaul qadīm bahwa beliau berkata: “Ia membasuh bejana dari wulūgh babi.” Lalu Abū al-‘Abbās bin al-Qāṣ keliru dalam memahami penyebutan bilangan oleh al-Syafi‘i dalam qaul qadīm, sehingga ia mengeluarkan pendapat kedua dalam qaul qadīm bahwa wulūgh babi dibasuh satu kali saja. Ini adalah kesalahan darinya, karena dalam qaul qadīm al-Syafi‘i telah menegaskan kewajiban membasuh bejana dari wulūgh-nya dan menyebutkan bilangan secara mutlak sesuai yang telah dikenal dari mazhabnya, dan beliau telah menegaskannya dalam semua kitabnya, bahwa bejana itu dibasuh tujuh kali, salah satunya dengan tanah, sama persis seperti wulūgh anjing.
Adapun dalil al-Syafi‘i bahwa babi lebih buruk keadaannya daripada anjing adalah karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ نَجَاسَتَهُ بِالنَّصِّ وَنَجَاسَةَ الْكَلْبِ بِالِاسْتِدْلَالِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ تَحْرِيمَ الِانْتِفَاعِ بِالْخِنْزِيرِ عَامٌّ وَبِالْكَلْبِ خَاصٌّ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” فَقَاسَهُ عَلَيْهِ ” فَيَقْضِي فِي وُجُوبِ غَسْلِ الْإِنَاءِ مِنْهُ سَبْعًا لَا فِي نَجَاسَتِهِ، ثُمَّ هَكَذَا فِي الْحُكْمِ فِي كُلِّ حَيَوَانٍ نَجِسٍ فِي حَيَاتِهِ مِنَ الْمُتَوَلَّدِ بَيْنَ كَلْبٍ وَخِنْزِيرٍ أَوْ بَيْنَ أَحَدِهِمَا فَلَوْ رَأَى حَيَوَانًا قَدْ وَلَغَ فِي إِنَاءٍ ثُمَّ شَكَّ فِي الْحَيَوَانِ هَلْ هُوَ كَلْبٌ أَوْ غَيْرُهُ فَالْمَاءُ عَلَى أَصْلِ طَهَارَتِهِ حَتَّى يَتَيَقَّنَ أَنَّ الْوَالِغَ فيه كلب فلو كان له إناآن فَأَخْبَرَهُ مَنْ يَسْكُنُ إِلَى خَبَرِهِ أَنَّ كَلْبًا وَلَغَ فِي الْأَكْبَرِ مِنْهُ دُونَ الْأَصْغَرِ، وَأَخْبَرَهُ آخَرُ ثِقَةٌ أَنَّ كَلْبًا وَلَغَ فِي الْأَصْغَرِ دُونَ الْأَكْبَرِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: كَانَ وَالِغًا فِيهِمَا جَمِيعًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَرَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا غَفَلَ عَنْهُ الْآخَرُ، فَلَوْ أَخْبَرَهُ مَنْ يثق بخبره أن هَذَا الْكَلْبَ بِعَيْنِهِ وَلَغَ فِي إِنَائِهِ هَذَا فِي وَقْتِ كَذَا مِنْ يَوْمِ كَذَا وَشَهِدَ عِنْدَهُ عَدْلَانِ أَنَّ ذَاكَ الْكَلْبَ بِعَيْنِهِ كَانَ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ بِعَيْنِهِ فِي بَلَدٍ آخَرَ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي حُكْمِ الْإِنَاءِ عَلَى وجهين:
Pertama: bahwa kenajisannya ditetapkan dengan nash, sedangkan kenajisan anjing ditetapkan dengan istidlāl.
Kedua: bahwa pengharaman memanfaatkan babi bersifat umum, sedangkan pada anjing bersifat khusus.
Adapun perkataannya “maka ia menganalogikannya dengan anjing” itu berlaku dalam kewajiban membasuh bejana darinya tujuh kali, bukan dalam penetapan kenajisannya.
Demikian pula hukumnya pada setiap hewan yang najis ketika hidupnya, yang lahir dari persilangan antara anjing dan babi atau salah satunya.
Maka jika seseorang melihat seekor hewan yang wulūgh pada bejana lalu ia ragu apakah itu anjing atau bukan, maka air tetap pada hukum asal sucinya hingga yakin bahwa yang wulūgh di dalamnya adalah anjing.
Seandainya ia memiliki dua bejana, lalu ada orang yang dipercaya beritanya memberitahunya bahwa anjing wulūgh di bejana yang besar saja, tidak di yang kecil; kemudian orang tepercaya lain memberitahunya bahwa anjing wulūgh di bejana yang kecil saja, tidak di yang besar — Imam al-Syafi‘i berkata: dianggap anjing wulūgh pada keduanya, karena masing-masing dari keduanya mungkin melihat apa yang luput dari perhatian yang lain.
Namun jika orang yang ia percaya beritanya mengatakan bahwa anjing tertentu wulūgh pada bejana ini di waktu tertentu pada hari tertentu, lalu ada dua saksi adil bersaksi bahwa anjing yang sama di waktu tersebut berada di negeri lain, maka ulama sahabat kami berbeda pendapat dalam menghukumi bejana tersebut menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ طَاهِرٌ، لِأَنَّ الْخَبَرَيْنِ قَدْ تَعَارَضَا فَسَقَطَا وَوَجَبَ الرُّجُوعُ إِلَى حُكْمِ الْأَصْلِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَاءَ نَجِسٌ؛ لِأَنَّ الْخَبَرَ الْأَوَّلَ موجب لتنجيسه وَالشَّهَادَةَ الْمُعَارِضَةَ لَهُ مُحْتَمَلَةٌ، لِأَنَّ الْكِلَابَ قَدْ تَشْتَبِهُ، وَلِأَنَّ تَعْيِينَ الْكِلَابِ فِي الْوُلُوغِ لَا يلزم.
Pertama: bahwa ia ṭāhir, karena dua khabar saling bertentangan maka gugurlah keduanya, dan wajib kembali kepada hukum asal.
Wajah yang kedua: bahwa air itu najis; karena khabar pertama mewajibkan menajiskannya, sedangkan kesaksian yang menentangnya bersifat mungkin, karena anjing-anjing bisa serupa, dan karena penentuan anjing dalam wulūg tidaklah mesti.
(مسألة)
: قال المزني: ” وَاحْتَجَّ فِي جَوَازِ الْوُضُوءِ بِفَضْلِ مَا سِوَى الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ بِحَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ سُئِلَ أَنَتَوَضَّأُ بِمَا أَفْضَلَتِ الْحُمُرُ؟ قَالَ: ” نعم وبما أفضلت السباع كلها ” وبحديث أبي قتادة في الهرة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” إنها ليست بنجسٍ ” وبقوله عليه الصلاة والسلام: ” إذا سقط الذباب في الإناء فامقلوه ” فدل على أنه ليس في الأحياء نجاسةٌ إلا ما ذكرت من الكلب والخنزير “.
(Masalah)
Al-Muzani berkata: “Ia berdalil atas bolehnya berwudhu dengan sisa selain anjing dan babi dengan hadis Rasulullah SAW bahwa beliau ditanya: ‘Apakah kami berwudhu dengan air sisa minum keledai?’ Beliau menjawab: ‘Ya, dan dengan air sisa semua binatang buas.’ Dan dengan hadis Abu Qatadah tentang kucing, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya ia tidak najis.’ Serta dengan sabda beliau SAW: ‘Jika lalat jatuh ke dalam bejana, maka celupkanlah ia.’ Maka hal itu menunjukkan bahwa tidak ada pada makhluk hidup itu najis kecuali yang telah disebutkan dari anjing dan babi.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا سُؤْرُ الْحَيَوَانِ فَهُوَ مَا فَضَلَ فِي الْإِنَاءِ مِنْ شربةٍ وَالْبَاقِي مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُسَمَّى سُؤْرًا.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا أَكَلْتُمْ فَأَسْئِرُوا ” أَيْ: فَأَبْقُوا.
وَقَالَ الشَّاعِرُ:
(بَانَتْ وَقَدْ أَسْأَرَتْ فِي النَّفْسِ حاجتها … بتلاقٍ وَخَيْرُ الْقَوْلِ مَا نَفَعَا)
Al-Māwardī berkata: Adapun su’r hewan, maka ia adalah sisa yang tertinggal di bejana dari minumannya, dan sisa dari setiap sesuatu disebut su’r.
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika kalian makan maka sisakanlah (fa-as’irū),” yakni: maka tinggalkanlah sebagian.
Dan sang penyair berkata:
Bānat wa qad as’arat fī al-nafsi ḥājatahā … bitalāqin wa khayru al-qawli mā nafa‘ā
(“Ia telah berpisah sementara ia menyisakan dalam jiwa kebutuhannya … dengan pertemuan, dan sebaik-baik perkataan adalah yang bermanfaat.”)
يَعْنِي قَدْ أَبْقَتْ فِي النَّفْسِ حَاجَتَهَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْحَيَوَانُ ضَرْبَانِ: طَاهِرٌ وَنَجِسٌ، فَأَمَّا النَّجِسُ فَقَدْ مَضَى الكلام في ولوغه ونجاسته سُؤْرِهِ، وَأَمَّا الطَّاهِرُ فَهُوَ مَا سِوَى الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْمُتَوَلَّدُ مِنْ أَحَدِهِمَا وَسُؤْرُ جَمِيعِهِ طَاهِرٌ مَأْكُولًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مَأْكُولٍ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَعَلِيٌّ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ وَقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ. وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَسُؤْرُ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ نَجِسٌ، وَكَذَا لُعَابُهُ.
Yakni, ia telah menyisakan dalam jiwa kebutuhannya.
Jika demikian, maka hewan terbagi menjadi dua: ṭāhir dan najis.
Adapun yang najis, telah berlalu pembicaraan tentang wulūg-nya dan najisnya su’r-nya.
Adapun yang ṭāhir adalah selain anjing, babi, dan yang lahir dari salah satunya, dan su’r semuanya adalah ṭāhir, baik yang boleh dimakan maupun yang tidak boleh dimakan.
Pendapat ini dikatakan oleh para sahabat: ‘Umar, ‘Ali, dan Abu Hurairah; dan dari kalangan tabi‘in: ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ, Qāsim bin Muḥammad, dan al-Ḥasan al-Baṣrī.
Al-Awzā‘ī dan al-Thawrī berkata: su’r hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya adalah najis, demikian pula air liurnya.
وقال أبو حنيفة: سؤر السباع نجس لا يعفى عنه، وسؤر حيوان الطين نَجِسٌ، لَكِنْ يُعْفَى عَنْهُ وَسُؤْرُ الْهِرِّ وَحَشَرَاتِ الْأَرْضِ كُلِّهَا طَاهِرٌ، وَسُؤْرُ الْبَغْلِ وَالْحِمَارِ مَشْكُوكٌ فِيهِ يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ مَعَ عَدَمِ الْمَاءِ، وَلَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ مَعَ وُجُودِهِ، وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ فِي الْجُمْلَةِ بِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: ” سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْمَاءِ يَكُونُ بِأَرْضِ الْفَلَاةِ وَمَا يَنُوبُهُ منالسِّبَاعِ وَالدَّوَابِّ فَقَالَ: ” إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شيءٌ ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِوُرُودِ السِّبَاعِ تَأْثِيرًا فِي تَنْجِيسِ الْمَاءِ.
وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَسَارَ لَيْلًا فَمَرُّوا عَلَى رجلٍ جالسٍ عِنْدَ مقراةٍ لَهُ فَقَالَ عُمَرُ يَا صَاحِبَ الْمِقْرَاةِ أَوَقَعَتِ السِّبَاعُ اللَّيْلَةَ فِي مِقْرَاتِكَ؟ فَقَالَ لَهُ النَّبَيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَا صَاحِبَ الْمِقْرَاةِ لَا تُخْبِرْهُ هَذَا تكلفٌ لَهَا مَا حَمَلَتْ فِي بُطُونِهَا وَلَنَا مَا بَقِيَ شَرَابًا وَطَهُورًا “.
Abu Ḥanīfah berkata: Su’r binatang buas adalah najis dan tidak dimaafkan, dan su’r hewan tanah adalah najis, tetapi dimaafkan. Su’r kucing dan semua serangga darat adalah ṭāhir. Adapun su’r bagal dan keledai, hukumnya syubhat; boleh digunakan jika tidak ada air lain, dan tidak boleh digunakan jika ada air.
Mereka berdalil secara umum dengan riwayat ‘Abdullāh bin ‘Umar, ia berkata: “Rasulullah SAW ditanya tentang air yang berada di tanah lapang dan didatangi oleh binatang buas dan hewan tunggangan, maka beliau bersabda: ‘Jika air itu mencapai dua qullah, tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.’” Maka ini menunjukkan bahwa datangnya binatang buas punya pengaruh dalam menajiskan air.
Dan diriwayatkan oleh Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: “Rasulullah SAW keluar dalam sebagian perjalanannya, lalu berjalan pada malam hari, dan mereka melewati seorang lelaki yang sedang duduk di dekat miqrāh-nya. Lalu ‘Umar berkata: ‘Wahai pemilik miqrāh, apakah binatang buas tadi malam telah meminum dari miqrāh-mu?’ Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: ‘Wahai pemilik miqrāh, jangan engkau beritahu dia. Itu hanyalah membebani mereka dengan apa yang ada di dalam perut binatang-binatang itu, sedangkan bagi kita apa yang tersisa adalah minuman dan penyuci.’”
قَالُوا: فَلَوْلَا أَنَّ لِلْأَخْبَارِ بِوُرُودِهَا تَأْثِيرًا فِي الْمَنْعِ مِنْهُ لَمَا نَهَاهُ عَنْ إِخْبَارِهِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ كُلَّ حَيَوَانٍ كَانَ لَبَنُهُ نَجِسًا، كَانَ سُؤْرُهُ نَجِسًا، كَالْكَلْبِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ لِلْكَلْبِ حُكْمَيْنِ نَجَاسَةِ الْعَيْنِ وَتَحْرِيمِ الْأَكْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السِّبَاعُ مُسَاوِيَةً لِلْكَلْبِ فِي تَحْرِيمِ الْأَكْلِ اقْتَضَى أَنْ تَكُونَ مُسَاوِيَةً لَهُ فِي نَجَاسَةِ الْعَيْنِ، وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ تَحْرِيمٌ تَعَلَّقَ بِالْكَلْبِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِالسِّبَاعِ كَالْأَكْلِ.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ الشَّافِعِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ أَيُتَوَضَّأُ بِمَا أَفْضَلَتِ الْحُمُرُ؟ قَالَ نَعَمْ وَبِمَا أَفْضَلَتِ السِّبَاعُ كُلُّهَا، وَهَذَا نَصٌّ، وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ حُمَيْدَةَ بِنْتِ عُبَيْدَةَ عَنْ كَبْشَةَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ وَكَانَتْ تَحْتَ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ فَسَكَبَتْ لَهُ وَضَوْءًا فَجَاءَتْ هِرَّةٌ تَشْرَبُ فَأَصْغَى لَهَا الْإِنَاءُ حَتَّى شَرِبَتْ فَرَآنِي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ أَتَعْجَبِينَ يَا بِنْتَ أَخِي إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” إِنَّهَا لَيْسَتْ بنجسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ والطوافات “.
Mereka berkata: “Kalau saja kabar tentang datangnya binatang buas tidak berpengaruh dalam larangan meminumnya, tentu Nabi tidak akan melarangnya untuk memberitahukan hal itu. Mereka juga berkata: setiap hewan yang susunya najis, maka su’r-nya juga najis, seperti anjing. Mereka berkata: dan karena pada anjing terdapat dua hukum, yaitu najisnya ‘ain dan haramnya dimakan, maka ketika binatang buas sama dengan anjing dalam keharaman dimakan, hal itu menuntut agar ia sama dengannya dalam najisnya ‘ain. Penjelasannya: bahwa keharaman itu terkait dengan anjing, maka wajib pula terkait dengan binatang buas, sebagaimana dalam hal makan.”
Dalil kami adalah riwayat al-Syāfi‘ī dari Ibrāhīm bin Muḥammad, dari Dāwūd bin al-Ḥuṣain, dari ayahnya, dari Jābir, bahwa Nabi SAW ditanya: “Apakah boleh berwudhu dengan air sisa minum keledai?” Beliau menjawab: “Ya, dan dengan air sisa semua binatang buas.” Dan ini adalah naṣṣ.
Al-Syāfi‘ī meriwayatkan dari Mālik, dari Isḥāq bin ‘Abdillāh, dari Ḥumaidah binti ‘Ubaidah, dari Kabsyah binti Ka‘b bin Mālik, yang saat itu berada di bawah pernikahan Abū Qatādah, bahwa Abū Qatādah masuk, lalu ia menuangkan air wudhunya. Kemudian datang seekor kucing minum, lalu ia memiringkan bejana untuknya hingga ia minum. Kabsyah berkata: “Aku melihatnya, lalu ia berkata: ‘Apakah engkau heran, wahai anak saudaraku? Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya ia tidak najis, ia termasuk dari makhluk yang berkeliling di sekitarmu.’”
وروى داود بن صَالِحٌ عَنْ أُمِّهِ أَنَّهَا جَاءَتْ عَائِشَةَ بِصَحِيفَةِ هَرِيسٍ، وَهِيَ قائمةٌ تُصَلِّي، فَإِذَا سُؤْرٌ أَخَذَ مِنْهَا لُقْمَةً فَدَوَّرَتْهَا عَائِشَةُ ثُمَ أَكَلَتْ مِنْهَا مِنْ حَيْثُ أَكَلَتْ ثَمَّ قَالَتْ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال إِنَّهَا لَيْسَتْ بنجسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ، وَلَقَدْ رَأَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَتَوَضَّأُ بِفَضْلِهَا.
فَدَلَّ هَذَانِ الْحَدِيثَانِ عَلَى أَنَّ سُؤْرَ الْهِرِّ لَيْسَ بِنَجِسٍ، وَلَا مَكْرُوهٍ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَسْتَعْمِلُ نَجِسًا وَلَا مَكْرُوهًا، وَلِأَنَّ كُلَّ حَيَوَانٍ لَوْ أَصَابَ ثَوْبًا رَطْبًا لَمْ يُنَجِّسْهُ فَإِذَا أَصَابَ الْمَاءَ لَمْ يُنَجَّسْ كَالْهِرِّ طَرْدًا، وَالْكَلْبِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَنْجَسْ بِمُلَاقَاةِ الْهِرِّ لَمْ يَنْجَسْ بِمُلَاقَاةِ السَّبْعِ كَالثَّوْبِ الرَّطْبِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْخَبَرِ الْأَوَّلِ فَمِنْ وُجُوهٍ:
Diriwayatkan oleh Dāwud bin Ṣāliḥ dari ibunya, bahwa ia datang kepada ‘Āisyah dengan membawa piring harīs, sedangkan ‘Āisyah saat itu sedang berdiri shalat. Lalu seekor kucing memakan darinya satu suapan, maka ‘Āisyah memutarnya kemudian memakan dari bagian yang sama tempat kucing itu makan. Setelah itu ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya ia tidak najis, ia termasuk dari makhluk yang berkeliling di sekitarmu.’ Dan sungguh kami pernah melihat Rasulullah SAW berwudhu dengan air sisa minumnya.”
Maka kedua hadis ini menunjukkan bahwa su’r kucing tidak najis dan tidak makruh; karena Rasulullah SAW tidak akan menggunakan sesuatu yang najis ataupun makruh. Dan karena setiap hewan yang jika mengenai pakaian basah tidak menajiskannya, maka jika mengenai air juga tidak menajiskannya — seperti kucing secara ṭard (analogi searah), dan anjing secara kebalikan. Dan karena setiap sesuatu yang tidak menajis oleh pertemuan dengan kucing, maka tidak menajis pula oleh pertemuan dengan binatang buas — seperti pakaian basah.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan khabar pertama, maka dari beberapa sisi:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ اسْتِدْلَالٌ بِدَلِيلِ الْخِطَابِ، وَهُمْ لَا يَقُولُونَ بِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ نُطْقَهُ دَلِيلٌ عَلَى طَهَارَةِ الْقُلَّتَيْنِ، وَهُوَ عِنْدُهُمْ نَجِسٌ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى وُرُودِ الْكِلَابِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْكَلْبَ يُسَمَّى سَبْعًا، وَالثَّانِي أَنَّ مَا وَرَدَتْهُ السِّبَاعُ مَعَ تَوَحُّشِهَا، وَقِلَّتِهَا كَانَ وُرُودُ الْكِلَابِ لَهَا مَعَ أُنْسِهَا وَكَثْرَتِهَا أَكْثَرَ.
وَأَمَّا الْخَبَرُ الثَّانِي فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَيْهِمْ؛ لِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَمْنَعُ مِنَ الِاحْتِيَاطِ فِي الدِّينِ وَتَوَقِّي الْأَنْجَاسِ فِي الطَّهَارَةِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَا سَأَلَ عَنْهُ لَا يَقْتَضِي التَّنْجِيسَ، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَعَمْرَو بْنَ الْعَاصِ وَرَدَا عَلَى مَاءٍ فَسَأَلَ عَمْرُو صَاحِبَ الْمَاءِ هَلْ تَرِدُهُ السِّبَاعُ فَقَالَ عُمَرُ لَا تُخْبِرْهُ فَإِنَّا نَرِدُ عَلَى السِّبَاعِ، وَتَرِدُ السِّبَاعُ عَلَيْنَا.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْكَلْبِ بِعِلَّةِ أَنَّ لَبَنَهُ نَجِسٌ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي لَبَنِ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الطَّاهِرَةِ هَلْ هُوَ نَجِسٌ مَعَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى تَحْرِيمِ شُرْبِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pertama: bahwa itu adalah istidlāl dengan dalīl al-khiṭāb, sedangkan mereka tidak berpendapat dengannya.
Kedua: bahwa lafaz hadis tersebut adalah dalil atas sucinya air dua qullah, sedangkan menurut mereka itu najis.
Ketiga: bahwa hadis itu dibawa kepada makna datangnya anjing, karena dua hal:
Pertama: anjing disebut sab‘.
Kedua: bahwa apa yang didatangi oleh binatang buas — dengan sifat liar dan sedikit jumlahnya — maka didatanginya oleh anjing, dengan sifat jinak dan banyak jumlahnya, lebih sering.
Adapun khabar kedua, maka itu adalah dalil atas kami; karena Nabi SAW tidak akan melarang sikap berhati-hati dalam agama dan menghindari najis dalam masalah ṭahārah, maka ini menunjukkan bahwa apa yang ditanyakan itu tidak menuntut adanya penajisan.
Dan telah diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb dan ‘Amr bin al-‘Āṣ mendatangi suatu sumber air, lalu ‘Amr bertanya kepada pemilik air: “Apakah binatang buas mendatanginya?” Maka ‘Umar berkata: “Jangan engkau beritahu dia, karena kita mendatangi air yang juga didatangi oleh binatang buas, dan binatang buas mendatangi air yang kita datangi.”
Adapun qiyas mereka kepada anjing dengan ‘illat bahwa susunya najis, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang susu hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya dari jenis hewan yang ṭāhir, apakah ia najis atau tidak, dengan kesepakatan mereka atas keharaman meminumnya, dan ada dua wajah pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ طَاهِرٌ وَإِنْ كَانَ مُحَرَّمَ الشُّرْبِ كَاللُّعَابِ فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ التَّعْلِيلُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ نَجِسٌ كَاللَّحْمِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْقِيَاسُ مُنْتَقِضًا بِالْهِرِّ لَبَنُهَا نَجِسٌ، وَسُؤْرُهَا طَاهِرٌ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْكَلْبِ نَجَاسَةُ عَيْنِهِ، وَتَحْرِيمُ ثَمَنِهِ.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ عَلَى تَحْرِيمِ أَكْلِهِ الدَّالِّ عَلَى نَجَاسَةِ عَيْنِهِ فَمُنْتَقِضٌ بِبَنِي آدَمَ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَكْلِ أَنَّهُ قَدْ يَحْرُمُ فِيمَا لَا يَكُونُ نَجِسًا مِنْ سُمُومِ النَّبَاتِ.
Pertama: bahwa ia ṭāhir meskipun haram diminum, seperti air liurnya; maka berdasarkan ini batal ‘illat tersebut.
Kedua: bahwa ia najis seperti dagingnya; maka berdasarkan ini qiyas mereka rusak oleh kucing, karena susunya najis tetapi su’r-nya ṭāhir.
Kemudian, ‘illat pada anjing adalah najisnya ‘ain dan haramnya harga jualnya.
Adapun istidlāl mereka dengan haramnya memakan yang menunjukkan najisnya ‘ain, maka itu rusak dengan perumpamaan Banī Ādam.
Kemudian, ‘illat dalam hal makan adalah bahwa sesuatu bisa saja haram dimakan padahal tidak najis, seperti racun dari tumbuh-tumbuhan.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وَغَمْسُ الذُّبَابِ فِي الْإِنَاءِ لَيْسَ يَقْتُلُهُ وَالذُّبَابُ لَا يُؤْكَلُ فِإِنْ مَاتَ ذبابٌ أَوْ خنفساءٌ أو نحوهما فِي إناءٍ نَجَّسَهُ (وَقَالَ فِي موضعٍ آخَرَ) إن وقع في الماء الذي ينجسه مثله إِذَا كَانَ مِمَا لَهُ نفسٌ سائلةٌ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِ الْعُلَمَاءِ وَقَوْلِهِ مَعَهُمْ أَوْلَى بِهِ مِنِ انْفِرَادِهِ عَنْهُمْ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْحَيَوَانَ كُلَّهُ ضَرْبَانِ:
(Masalah)
Al-Syāfi‘ī berkata: “Mencelupkan lalat ke dalam bejana tidaklah membunuhnya, dan lalat tidak boleh dimakan. Jika ada lalat atau kumbang atau semisalnya mati di dalam bejana, maka itu menajiskannya.”
(Dan beliau berkata di tempat lain:) “Jika ia jatuh ke dalam air yang dapat dinajiskan oleh sejenisnya, apabila ia termasuk yang memiliki nafs sā’ilah (darah mengalir).”
Al-Muzanī berkata: “Pendapat ini lebih sesuai dengan perkataan para ulama, dan ucapannya yang sejalan dengan mereka lebih layak dipegang daripada pendapatnya yang menyendiri dari mereka.”
Al-Māwardī berkata: “Ketahuilah, bahwa hewan seluruhnya terbagi menjadi dua golongan: …”
ضَرْبٌ: لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ كَالدَّوَابِّ وَالْبَهَائِمِ وَالْعَصَافِيرِ وَسَائِرِ الطَّيْرِ وَسَيَلَانُ نَفْسِهِ هُوَ جَرَيَانُ دَمِهِ، فَإِذَا مَاتَ كَانَ نَجِسًا إِلَّا ابْنَ آدَمَ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، فَإِذَا مَاتَ فِي مَائِعٍ أَوْ مَاءٍ قَلِيلٍ صَارَ نَجِسًا.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ، وَهُوَ ضَرْبَانِ مَأْكُولٌ وَغَيْرُ مَأْكُولٍ، فَأَمَّا الْمَأْكُولُ كَالْحُوتِ وَالْجَرَادِ فَسَنَذْكُرُهُمَا وَنَذْكُرُ مَا مَاتَا فِيهِ، وَأَمَّا غَيْرُ الْمَأْكُولِ فَكَالذُّبَابِ وَالْخَنَافِسِ وَالزَّنَابِيرِ وَالدِّيدَانِ وَالْعَقَارِبِ وَالْحَيَّاتِ وَمَا شَاكَلَهُ مِمَّا لَا تَسِيلُ نَفْسُهُ، وَلَا يَجْرِي دَمُهُ فَكُلُّهُ إِذَا مَاتَ نَجُسَ، وَأَكْلُهُ حَرَامٌ سَوَاءٌ تَوَلَّدَ فِي طَعَامٍ أَوْ شَرَابٍ كَدُودِ النَّحْلِ وَالْفَاكِهَةِ أَمْ لَا، كَالزَّنَابِيرِ وَالْعَقَارِبِ. وَقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ كُلُّ ذَلِكَ طَاهِرٌ وَأَكْلُهُ حَلَالٌ، وَقَالَ أبو حنيفة: كُلُّهُ طَاهِرٌ وَأَكْلُهُ حَرَامٌ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا مِنْ فُقَهَاءِ خُرَاسَانَ مَا تَوَلَّدَ مِنْ طَعَامٍ أَوْ شَرَابٍ فَهُوَ طَاهِرٌ، وَأَكْلُهُ حَلَالٌ، وَمَا لَمْ يَتَوَلَّدْ مِنْهُ فَهُوَ نَجِسٌ وَأَكْلُهُ حَرَامٌ، وَاسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ بِطِهَارَتِهِ بِأَنَّ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ يَسْتَوِي حُكْمُ مَوْتِهِ وَحَيَاتِهِ كَالْحُوتِ وَالْجَرَادِ، قِيَاسًا مُطَّرِدًا، وَالدَّوَابِّ وَالْبَهَائِمِ.
Golongan pertama: yang memiliki nafs sā’ilah seperti hewan tunggangan, hewan ternak, burung pipit, dan seluruh jenis burung. Yang dimaksud sayalān nafsih adalah mengalirnya darahnya. Jika ia mati maka hukumnya najis, kecuali Bani Ādam sebagaimana akan kami sebutkan. Maka apabila ia mati dalam cairan atau air sedikit, cairan atau air itu menjadi najis.
Golongan kedua: yang tidak memiliki nafs sā’ilah, dan ini terbagi menjadi dua: yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan.
Adapun yang boleh dimakan seperti ikan dan belalang, maka akan kami sebutkan keduanya beserta hukum air atau cairan yang keduanya mati di dalamnya.
Adapun yang tidak boleh dimakan seperti lalat, kumbang, tawon, ulat, kalajengking, ular, dan yang semisalnya dari makhluk yang tidak mengalir darahnya, maka semuanya apabila mati hukumnya najis dan memakannya haram — baik ia berkembang biak dalam makanan atau minuman seperti ulat madu dan buah, atau tidak, seperti tawon dan kalajengking.
Mālik dan Dāwud berkata: semuanya ṭāhir dan memakannya halal.
Abu Ḥanīfah berkata: semuanya ṭāhir tetapi memakannya haram.
Sebagian sahabat kami dari fuqahā’ Khurasan berkata: yang berkembang biak dari makanan atau minuman maka ia ṭāhir dan memakannya halal, sedangkan yang tidak berkembang biak darinya maka ia najis dan memakannya haram.
Orang yang berpendapat sucinya berdalil bahwa apa yang tidak memiliki nafs sā’ilah hukumnya sama antara mati dan hidupnya seperti ikan dan belalang, sebagai qiyās yang konsisten, dan berbeda dengan hewan tunggangan dan hewan ternak.
قُلْنَا: مُنْعَكِسًا، وَلِأَنَّ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ أَحَدُ نَوْعَيِ الْحَيَوَانِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ مَأْكُولِهِ وَغَيْرُ مَأْكُولِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ قِيَاسًا عَلَى مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ.
ودليلنا قوله تعالى: {قُلْ لاَ أَجِدُ فِيماَ أُوْحِيَ إِلَيَّ) {الأنعام: 145) ، إِلَى قَوْلِهِ: {إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً} فكان قوله: إلا أن يكون ميتةً دليل على تحريمه، وقوله: فإنه رجسٌ دليل عَلَى تَنْجِيسِهِ، وَلِأَنَّ تَفْوِيتَ الرُّوحِ إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ جَوَازُ الْبَيْعِ مَعَ عَدَمِ الْحُرْمَةِ أَوْجَبَ التَّنْجِيسَ، وَتَحْرِيمَ الْأَكْلِ قِيَاسًا عَلَى مَوْتِ مَا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ تَحْرِيمٍ تَعَلَّقَ بِمَوْتِ مَا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ تَعَلَّقَ بِمَوْتِ نوِعِ مَا لَا نَفْسَ لَهُ قِيَاسًا عَلَى تَحْرِيمِ الْبَيْعِ، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الْحَيَوَانِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَنَوَّعَ مَأْكُولًا وَغَيْرَ مَأْكُولٍ، قِيَاسًا عَلَى مَا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ تَسْوِيَتِهِمْ بَيْنَ مَوْتِهِ وَحَيَاتِهِ كَالْجَرَادِ وَالْحُوتِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Kami berkata: itu terbalik. Dan karena yang tidak memiliki nafs sā’ilah adalah salah satu dari dua jenis hewan, maka wajib disamakan hukum yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan setelah mati, dengan qiyās pada yang tidak memiliki nafs sā’ilah.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Qul lā ajidu fīmā ūḥiya ilayya} [al-An‘ām: 145] sampai pada firman-Nya: {illā an yakūna maytatan}, maka firman-Nya illā an yakūna maytatan adalah dalil atas keharamannya, dan firman-Nya fa-innahu rijsun adalah dalil atas kenajisannya.
Dan karena pencabutan ruh, apabila tidak disertai kebolehan menjual dengan tanpa keharaman, mewajibkan kenajisan dan keharaman memakan, dengan qiyās pada matinya hewan yang memiliki nafs sā’ilah.
Dan karena setiap keharaman yang terkait dengan matinya hewan yang memiliki nafs sā’ilah juga terkait dengan matinya jenis hewan yang tidak memiliki nafs sā’ilah, dengan qiyās pada haramnya penjualan.
Dan karena ia adalah salah satu dari dua jenis hewan, maka wajib terbagi menjadi yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan, dengan qiyās pada hewan yang memiliki nafs sā’ilah.
Adapun jawaban terhadap penyamaan mereka antara matinya dan hidupnya seperti belalang dan ikan, maka dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّرْعَ مَانِعٌ مِنَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَ مَوْتِ الْحَيَوَانِ وَحَيَاتِهِ كَالَّذِي لَا نفس له سائلة.
والثاني: أن الشرع بتخصيص الْحُوتِ وَالْجَرَادِ بَعْدَ الْحَظْرِ مَانِعٌ مِنْ أَنْ يُقَاسَ عَلَيْهِ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ كما صح أَنْ تُقَاسَ عَلَيْهِ مَا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ تَسْوِيَتِهِمْ بَيْنَ مَوْتِ الْمَأْكُولِ وَغَيْرِ الْمَأْكُولِ، قِيَاسًا عَلَى مَا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ، فَهُوَ أَنَّ مَوْتَ مَا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ لَمَّا اسْتَوَى حُكْمُ جَمِيعِهِ فِي تَحْرِيمِ الْبَيْعِ اسْتَوَى، حُكْمُ جَمِيعِهِ فِي التَّنْجِيسِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَمَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ لَمَّا اخْتَلَفَ حُكْمُهُ فِي جَوَازِ الْبَيْعِ، اخْتَلَفَ حَالُهُ فِي التَّنْجِيسِ وَتَحْرِيمِ الْأَكْلِ.
Pertama: bahwa syariat melarang penyamaan antara matinya hewan dan hidupnya, seperti pada hewan yang tidak memiliki nafs sā’ilah.
Kedua: bahwa syariat, dengan mengkhususkan ikan dan belalang setelah adanya larangan, mencegah untuk diqiyaskan kepadanya hewan yang tidak memiliki nafs sā’ilah, sebagaimana sah untuk diqiyaskan kepadanya hewan yang memiliki nafs sā’ilah.
Adapun jawaban terhadap penyamaan mereka antara matinya hewan yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan, dengan qiyās pada hewan yang memiliki nafs sā’ilah, adalah: bahwa matinya hewan yang memiliki nafs sā’ilah ketika hukumnya sama seluruhnya dalam keharaman jual-beli, maka hukumnya juga sama seluruhnya dalam menajiskan setelah mati. Sedangkan hewan yang tidak memiliki nafs sā’ilah, ketika hukumnya berbeda dalam kebolehan jual-beli, maka berbeda pula keadaannya dalam kenajisan dan keharaman memakan.
(فَصْلٌ: حُكْمُ الْمَائِعِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سائلة)
فإذا تقرر ما وصفنا من حال نجاسته بِالْمَوْتِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى نَجَاسَةِ مَا مَاتَ فِيهِ مِنْ مَائِعٍ أَوْ مَاءٍ قَلِيلٍ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
ضَرْبٌ: تَوَلَّدَ مِنْ نَفْسِ مَا مَاتَ فِيهِ كَدُودِ الْخَلِّ وَاللَّبَنِ إِذَا مَاتَ فِي الْخَلِّ، وَاللَّبَنِ، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يُنَجِّسُ، لِأَنَّ الِاحْتِرَازَ مِنْ مَوْتِ مَا تَوَلَّدَ فِيهِ مِنْ دُودٍ غَيْرُ مُمْكِنٍ، فَكَانَ مَعْفُوًّا عَنْهُ كَدَمِ الْبَرَاغِيثِ، فَلَوْ نُقِلَ مِنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأُلْقِيَ فِي غَيْرِهِ مِنْ مَائِعٍ أَوْ مَاءٍ صَارَ مَا أُلْقِيَ فِيهِ نَجِسًا، لِإِمْكَانِ الِاحْتِرَازِ مِنْهُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَنْ مُتَوَلِّدٍ مِنْ طَعَامٍ أَوْ شَرَابٍ كَالذُّبَابِ وَالْخَنَافِسِ وَالْجِعْلَانِ، فَإِذَا مَاتَ فِي مَاءٍ أَوْ مَائِعٍ فَفِي تَنْجِيسِهِ بِهِ قَوْلَانِ:
(PASAL: Hukum cairan yang mati di dalamnya sesuatu yang tidak memiliki nafs sā’ilah)
Apabila telah tetap apa yang kami jelaskan tentang keadaannya yang najis karena mati, maka pembicaraan beralih kepada kenajisan sesuatu yang mati di dalamnya, baik berupa cairan atau air sedikit, dan hal itu terbagi menjadi dua:
Golongan pertama: yang berasal dari sesuatu yang mati di dalamnya, seperti ulat cuka dan susu apabila mati di dalam cuka atau susu. Maka hal itu tidak menajiskan, karena tidak mungkin menghindari matinya ulat yang berasal darinya, sehingga dimaafkan seperti darah kutu. Namun jika ia dipindahkan dari tempat asalnya setelah mati, lalu dilemparkan ke dalam cairan atau air yang lain, maka cairan atau air yang dimasuki itu menjadi najis, karena memungkinkan menghindarinya.
Golongan kedua: yang berasal dari makanan atau minuman, seperti lalat, kumbang, dan ji‘lān (sejenis kumbang besar). Apabila ia mati di dalam air atau cairan, maka dalam menajiskannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ؛ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ وَاخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ عَلَى طَهَارَتِهِ لَا يُنَجِّسُ لِمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنِ ابْنِ أَبِي فُدَيْكٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ خَالِدٍ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا سَقَطَ الذُّبَابُ فِي الطَّعَامِ فَامْقُلُوهُ، فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ سُمًّا وَفِي الْآخَرِ شفاءٌ وَإِنَهُ يُقَدِّمُ السُّمَّ وَيُؤَخِّرُ الْشِّفَاءَ ” فَلَوْ كَانَ يُنَجِّسُ بِمَوْتِهِ لَمَا أَمَرَ بِمَقْلِهِ وَمَقْلُهُ سَبَبٌ لِمَوْتِهِ، وَرَوَى نَبِيهٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ بِشْرِ بْنِ مَنْصُورٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَا سَلْمَانُ كُلُّ طعامٍ وشرابٍ وَقَعَتْ فِيهِ ذبابةٌ لَيْسَ لَهَا دمٌ فَمَاتَتْ فِيهِ فَهُوَ حلالٌ أَكْلُهُ وَشُرْبُهُ وَوُضُوءُهُ ” وَهَذَا إِنْ ثَبَتَ نَصٌّ لَا يَحْتَمِلُ خِلَافَهُ، وَلِأَنَّ فِي التَّحَرُّزِ مِنْهُ مَشَقَّةً فَعُفِيَ عَنْهُ.
Pertama: dan inilah yang dikatakan dalam pendapat qadīm, dan merupakan pendapat jumhur fuqahā’ serta pilihan al-Muzanī, bahwa ia tetap ṭāhir dan tidak menajiskan. Dalilnya adalah riwayat al-Syāfi‘ī dari Ibnu Abī Fudayk, dari Ibnu Abī Dhi’b, dari Sa‘īd bin Khālid, bahwa Abū Salamah bin ‘Abd al-Raḥmān mengabarkan kepadanya bahwa ia mendengar Abū Sa‘īd al-Khudrī berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Jika lalat jatuh ke dalam makanan, maka celupkanlah ia, karena pada salah satu sayapnya terdapat racun dan pada sayap lainnya terdapat obat penawar; dan ia mendahulukan racun serta mengakhirkan penawarnya.”
Seandainya matinya lalat menajiskan, tentu beliau tidak memerintahkan untuk mencelupkannya, sedangkan mencelupkannya adalah sebab kematiannya.
Dan diriwayatkan oleh Nabīh, dari Sa‘īd bin Abī Sa‘īd, dari Bishr bin Manṣūr, dari ‘Alī bin Zayd bin Jud‘ān, dari Sa‘īd bin al-Musayyab, dari Salmān, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai Salmān, setiap makanan dan minuman yang jatuh ke dalamnya lalat yang tidak memiliki darah, lalu ia mati di dalamnya, maka halal memakannya, meminumnya, dan menggunakannya untuk berwudhu.”
Jika hadis ini sahih, maka ia adalah naṣṣ yang tidak mengandung kemungkinan perbedaan. Dan karena menghindarinya mengandung kesulitan, maka dimaafkan darinya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ، وَبِهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ وَيَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ إِنَّهُ قَدْ يَنْجَسُ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّهَا نَجَاسَةٌ حَلَّتْ مَاءً قَلِيلًا قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْأَنْجَاسِ، وَلِأَنَّ الِاحْتِرَازَ مِنْهُ مُمْكِنٌ بِتَخْمِيرِ الْإِنَاءِ وَلِذَلِكَ جَاءَ الْخَبَرُ بِمَا رَوَاهُ سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: ” أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِتَغْطِيَةِ الْوَضُوءِ وَإِيكَاءِ السِّقَاءِ وَإِكْفَاءِ الْإِنَاءِ ” فَكَانَ أَمْرُهُ بِذَلِكَ حِفْظًا لِلْمَاءِ مِنْ وُقُوعِ مَا يُنَجِّسُ بِهِ، وَغَالِبُ مَا يَقَعُ فِيهَا هُوَ الذُّبَابُ وَالْحَشَرَاتُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ مُوجِبٌ لِتَنْجِيسٍ مَا مَاتَ فِيهِ، وَالْأَوَّلُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ أَصَحُّ، فَإِذَا قِيلَ بِتَنْجِيسِ مَا مَاتَ فِيهِ فَسَوَاءٌ غير الماء أو يفضل فيه أم لَا؟ قَدْ نُجِّسَ بِمَوْتِهِ فِي الْحَالِ، وَإِذَا قِيلَ بِطَهَارَةِ مَا مَاتَ فِيهِ فَهُوَ عَلَى الطَّهَارَةِ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ بِهِ وَيَفْضُلْ فِيهِ، فإن تغير به الماء ويفضل فِيهِ لِطُولِ الْمُكْثِ فَفِي نَجَاسَتِهِ حِينَئِذٍ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: dikatakan oleh al-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd, dan dipegang oleh Muḥammad bin al-Munkadir serta Yaḥyā bin Abī Kathīr, bahwa hal itu dapat menajiskan; karena ia adalah najis yang bercampur dengan air sedikit, dengan qiyās pada seluruh jenis najis lainnya. Dan karena menghindarinya memungkinkan dengan menutup bejana, sebagaimana datang dalam hadis yang diriwayatkan oleh Suhayl bin Abī Ṣāliḥ, dari ayahnya, dari Abū Hurairah, ia berkata:
“Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menutup air wudhu, mengikat mulut kantong air, dan menutup bejana.”
Maka perintah beliau tersebut bertujuan menjaga air dari jatuhnya sesuatu yang dapat menajiskannya, dan kebanyakan yang jatuh ke dalamnya adalah lalat dan serangga. Hal ini menunjukkan bahwa ia menyebabkan najisnya sesuatu yang mati di dalamnya.
Namun pendapat pertama dari dua pendapat tersebut adalah yang lebih ṣaḥīḥ.
Apabila dikatakan bahwa matinya menyebabkan najis, maka hukumnya sama, baik yang mati itu bukan di air maupun di dalamnya, dan baik masih tersisa atau tidak; ia menjadi najis seketika.
Dan jika dikatakan bahwa matinya tidak menajiskan, maka ia tetap ṭāhir selama tidak berubah karena bangkainya dan masih tersisa airnya. Namun jika air itu berubah dan tersisa karena lamanya waktu, maka dalam kenajisannya terdapat dua wajah pendapat di kalangan sahabat kami.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى طَهَارَتِهِ؛ لِأَنَّ مَا قَلَّ مَنَ الْمَاءِ إِذَا لَمْ يَنْجَسْ بِمُلَاقَاةِ الْعَيْنِ لَمْ يَنْجَسْ بِالتَّغْيِيرِ وَالتَّقْطِيعِ وَطُولِ الْمُكْثِ، كَالْأَشْيَاءِ الطَّاهِرَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ حِينَئِذٍ يَصِيرُ نَجِسًا؛ لِأَنَّ الِاحْتِرَازَ مِنْهُ وَقْتَ حُلُولِهِ مُتَعَذِّرٌ وَالِاحْتِرَازَ مِنْ طُولِ مُكْثِهِ مُمْكِنٌ وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: فِي ذَلِكَ مَا لَمْ يَفْضُلْ يَعْنِي يَنْقَطِعْ، فَأَمَّا الْحَيَّاتُ وَالْوَزَغُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ هِيَ ذَاتُ نَفْسٍ سَائِلَةٍ أَمْ لَا؟ فَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الدَّرَاكِيُّ، وَأَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِنِيُّ: هِيَ ذَاتُ نَفْسٍ سَائِلَةٍ، فَعَلَى هَذَا يَنْجَسُ مَا مَاتَا فِيهِ، وَقَالَ أَبُو الْفَيَّاضِ وَأَبُو القاسم الصميري لَيْسَتْ ذَاتَ نَفْسٍ سَائِلَةٍ، فَعَلَى هَذَا فِي تَنْجِيسِ مَا مَاتَا فِيهِ قَوْلَانِ.
Pertama: bahwa air itu tetap ṭāhir; karena air sedikit, apabila tidak menjadi najis dengan sekadar bersentuhan dengan ‘ain (benda najisnya), maka ia juga tidak menjadi najis hanya karena perubahan, hancur, atau lamanya berdiam, sebagaimana halnya benda-benda yang suci.
Wajah kedua: bahwa ketika itu air menjadi najis; karena menghindarinya pada saat ia jatuh memang sulit, namun menghindarinya karena lama berdiam adalah mungkin. Dan telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda tentang hal itu: “Mā lam yafḍul” (selama belum tersisa), yakni belum terputus.
Adapun ular (ḥayyāt) dan cicak besar (wazagh), para sahabat kami berbeda pendapat apakah keduanya termasuk hewan yang memiliki nafs sā’ilah atau tidak.
Abū al-Qāsim al-Daraqī dan Abū Ḥāmid al-Isfarāyinī berkata: keduanya memiliki nafs sā’ilah, maka berdasarkan ini, najislah air yang keduanya mati di dalamnya.
Sedangkan Abū al-Fayyāḍ dan Abū al-Qāsim al-Ṣamīrī berkata: keduanya tidak memiliki nafs sā’ilah, maka berdasarkan ini, dalam menajiskan air yang keduanya mati di dalamnya terdapat dua pendapat.
(مَسْأَلَةٌ: إِذَا وقعت في الماء جرادة أو حوت)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ وَقَعَتْ فِيهِ جرادةٌ ميتةٌ أَوْ حوتٌ لم تنجسه؛ لأنهما مأكولان ميتين “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أحِلَّتْ لَنَا ميْتَتَانِ وَدَمَانِ “. فَذَكَرَ فِي الْمَيِّتَيْنَ الْحُوتَ وَالْجَرَادَ، وَفِي الدَّمَيْنِ الْكَبِدَ وَالطِّحَالَ، فَأَمَّا الْجَرَادُ فَمِنْ صَيْدِ الْبَرِّ، فَهُوَ مَأْكُولٌ، وَمَوْتُهُ ذَكَاتُهُ، فَإِذَا مَاتَ فِي الْمَاءِ أو وقع فيه ميتاً فالماء طهار؛ لِأَنَّهُ بَعْدَ مَوْتِهِ مُحَلَّلٌ أَكْلُهُ كَاللَّحْمِ الذَّكِيِّ لا ينجس الماء بوقوعه فيه وأما الجواب عن صَيْدِ الْبَحْرِ وَصَيْدُ الْبَحْرِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ مُتَّفَقٌ عَلَى أَكْلِهِ، وَهُوَ الْحُوتُ، فَأَمَّا إِذَا مَاتَ فِي الْمَاءِ فَهُوَ
طَاهِرٌ وَأَكْلُهُ حَلَالٌ، سَوَاءٌ كَانَ مَوْتُهُ بِسَبَبٍ، أَوْ غَيْرِ سَبَبٍ وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ مَوْتُهُ بسببأَكْلٍ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ سَبَبٍ لَمْ يُؤْكَلْ، وَلِلْكَلَامِ مَعَهُ مَوْضِعٌ غَيْرُ هَذَا، فَأَمَّا دَمُ الْحُوتِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
(Masalah: Jika seekor belalang atau ikan jatuh ke dalam air)
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seekor belalang mati atau ikan jatuh ke dalam air, maka keduanya tidak menajiskannya; karena keduanya halal dimakan meskipun dalam keadaan mati.”
Al-Māwardī berkata: Asal masalah ini adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah.”
Beliau menyebutkan dalam dua bangkai itu: ikan dan belalang; dan dalam dua darah itu: hati dan limpa.
Adapun belalang, ia termasuk buruan darat, halal dimakan, dan kematiannya adalah penyembelihannya. Maka apabila ia mati di dalam air atau jatuh ke dalamnya dalam keadaan mati, air itu tetap suci; karena setelah matinya ia tetap halal dimakan seperti daging yang disembelih, sehingga tidak menajiskan air dengan jatuhnya ke dalamnya.
Adapun jawaban tentang buruan laut, buruan laut terbagi menjadi tiga bagian:
Bagian yang disepakati kehalalannya, yaitu ikan. Apabila ia mati di dalam air, maka ia ṭāhir dan halal dimakan, baik matinya karena sebab tertentu maupun tanpa sebab.
Abu Ḥanīfah berkata: Jika matinya karena suatu sebab, maka halal dimakan; namun jika matinya tanpa sebab, maka tidak dimakan. Untuk pembahasan ini ada tempatnya tersendiri selain di sini.
Adapun darah ikan, para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya menjadi dua wajah pendapat.
أَحَدُهُمَا: نَجِسٌ كَسَائِرِ الدِّمَاءِ، وَيُنَجِّسُ مَا وَقَعَ فِيهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ طَاهِرٌ، لَا يُنَجِّسُ مَا أَصَابَهُ؛ لِأَنَّ الْحُوتَ لَمَّا بَايَنَ سَائِرَ الْأَمْوَاتِ بَايَنَ دَمُهُ سَائِرَ الدِّمَاءِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مِنْ حَيَوَانِ الْبَحْرِ مَا اتُّفِقَ عَلَى تَحْرِيمِهِ وَهُوَ الضُّفْدَعُ لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْهُ، وَكَذَلِكَ سَائِرُ ذَوَاتِ السُّمُومِ كَحَيَّاتِ الْمَاءِ وَعَقَارِبِهِ، فَهَذِهِ كُلُّهَا مُحَرَّمَةُ الْأَكْلِ، وَهِيَ إِذَا مَاتَتْ نَجِسَةٌ، وَهَلْ يَنْجَسُ الْمَاءُ بِمَوْتِهِ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا مَضَى فِي الْقَوْلَيْنِ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنَّهَا طَاهِرَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مُحَرَّمَةً، وَلَا يَنْجَسُ الْمَاءُ بِمَوْتِهَا عَلَى أَصْلِهِ فِيمَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهِ.
Pertama: bahwa darah ikan adalah najis seperti seluruh darah lainnya, dan menajiskan sesuatu yang terkena olehnya.
Wajah kedua: bahwa darah ikan ṭāhir dan tidak menajiskan sesuatu yang terkena olehnya; karena ikan, ketika berbeda dari seluruh bangkai lainnya, maka darahnya pun berbeda dari seluruh darah lainnya.
Bagian kedua dari hewan laut adalah yang disepakati keharamannya, yaitu katak, karena larangan Nabi SAW terhadapnya, demikian pula seluruh hewan laut berbisa seperti ular laut dan kalajengking laut. Semua ini haram dimakan, dan apabila mati maka bangkainya najis.
Apakah air menjadi najis dengan matinya hewan-hewan ini di dalamnya atau tidak? Hukumnya sebagaimana dua pendapat yang telah lalu.
Abu Ḥanīfah berkata: Hewan-hewan ini ṭāhir meskipun haram dimakan, dan air tidak menjadi najis dengan matinya hewan-hewan tersebut, sesuai dengan pendapat asalnya dalam masalah hewan yang tidak memiliki nafs sā’ilah, dan telah berlalu pembicaraan dengannya dalam hal ini.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا اخْتُلِفَ فِي إِبَاحَتِهِ، وَهُوَ مَا سِوَى الْحُوتِ الْمُبَاحِ، وَذَوَاتِ السُّمُومِ الْمُحَرَّمَةِ مِنْ دَوَابِّ الْمَاءِ وَكِلَابِهِ وَخَنَازِيرِهِ وَسِبَاعِهِ فَقَدْ عَلَّقَ الشَّافِعِيُّ الْقَوْلَ فِيهِ مَا سَنَشْرَحُهُ فِي مَوْضِعِهِ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: أَنَّ جَمِيعَهُ حَرَامٌ مَا لَمْ يَكُنْ حُوتًا لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ ” فَذَكَرَ الْحُوتَ وَالْجَرَادَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَا سِوَى الْحُوتِ لَيْسَ بِحَلَالٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّ جَمِيعَهُ حَلَالٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْبَحْرِ: ” هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي جَمِيعِ مَيْتَتِهِ.
وَالثَّالِثُ: أم ما أشبه محرمات البر كالكلاب والخنازير والحمر وَالسِّبَاعِ كَانَ حَرَامًا، وَمَا أَشْبَهَ الْمَأْكُولَ مِنْهُ مِثْلُ دَوَابِّ الْمَاءِ وَبَقَرِهِ كَانَ حَلَالًا، فَعَلَى هَذَا إِذَا قُلْنَا: بِإِحْلَالِ ذَلِكَ، فَهُوَ طَاهِرٌ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَالْمَاءُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ طَاهِرٌ، وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّهُ حَرَامٌ، كَانَ نَجِسًا بَعْدَ مَوْتِهِ، وَهَلْ يُنَجِّسُ مَا مَاتَ فِيهِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ بِنَجِسٍ وَلَا يُنَجِّسُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Bagian ketiga: hewan laut yang diperselisihkan kebolehannya, yaitu selain ikan yang halal, dan selain hewan laut berbisa yang haram, seperti anjing laut, babi laut, dan binatang buas laut. Al-Syāfi‘ī menggantungkan pendapat tentangnya yang akan dijelaskan pada tempatnya. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai hal ini menjadi tiga mazhab:
Pertama: seluruhnya haram selama bukan ikan, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Dihalalkan bagi kita dua bangkai.” Beliau menyebutkan ikan dan belalang, maka ini menunjukkan bahwa selain ikan tidak halal.
Kedua: seluruhnya halal, berdasarkan sabda Nabi SAW tentang laut: “Airnya suci, bangkainya halal.” Maka hukumnya berlaku umum untuk seluruh bangkai hewan laut.
Ketiga: yang menyerupai hewan darat yang haram seperti anjing, babi, keledai, dan binatang buas, maka haram; sedangkan yang menyerupai hewan darat yang halal seperti hewan ternak laut dan sapi laut, maka halal.
Berdasarkan pendapat ini, jika kita mengatakan bahwa hewan tersebut halal, maka bangkainya ṭāhir dan air yang ia mati di dalamnya juga ṭāhir. Jika kita mengatakan bahwa ia haram, maka bangkainya najis, dan apakah ia menajiskan air yang ia mati di dalamnya? Ada dua pendapat.
Abu Ḥanīfah berkata: bangkainya tidak najis dan tidak menajiskan. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran yang tepat.
(مَسْأَلَةٌ: لُعَابُ الْحَيَوَانِ وعرقه)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلُعَابُ الدَوَابِّ وَعَرَقُهَا قِيَاسًا عَلَى بَنِي آدَمَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: كُلُّ حَيَوَانٍ طَاهِرٍ فَلُعَابُهُ وَعَرَقُهُ طَاهِرٌ، سَوَاءٌ كَانَ مَأْكُولًا أَوْ غَيْرَ مَأْكُولٍ.
وَقَدْ قَالَ أبو حنيفة: مَا كَانَ غَيْرَ مَأْكُولٍ فَلُعَابُهُ وَعَرَقُهُ نَجِسٌ، عَلَى تَرْتِيبِ مَا قَالَهُ فِي نَجَاسَةِ سُؤْرِهِ بناء عَلَى ذَلِكَ الْأَصْلِ، ثُمَّ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ بَلَلٌ مُنْفَصِلٌ مِنْ حَيَوَانٍ غَيْرِ مَأْكُولٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ نَجِسًا قِيَاسًا عَلَى لَبَنِهِ.
(Masalah: Air liur hewan dan keringatnya)
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Air liur hewan tunggangan dan keringatnya diqiyaskan pada Bani Ādam.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa setiap hewan yang ṭāhir, maka air liur dan keringatnya juga ṭāhir, baik hewan itu boleh dimakan maupun tidak boleh dimakan.
Abu Ḥanīfah berkata: Setiap hewan yang tidak boleh dimakan, maka air liur dan keringatnya najis, mengikuti urutan pendapatnya dalam menajiskan su’r-nya, berdasarkan asal tersebut. Lalu ia berdalil bahwa itu adalah kelembapan yang terpisah dari hewan yang tidak boleh dimakan, maka wajib hukumnya najis dengan qiyās pada susunya.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه أعر فرساً لأبي طلحة الأنصاري وأجرأه ثُمَّ قَالَ إِنَّنَا وَجَدْنَاهُ بَحْرًا ” وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْفَرَسَ إِذَا جَرَى عَرِقَ لَا سِيَّمَا فِي حَرِّ تِهَامَةَ، وَابْتَلَّتْ ثِيَابُهُ بِهِ إِذْ لَيْسَ دُونَهَا حَائِلٌ.
وَرُوِيَ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَكِبَ حِمَارًا بِلَا إكافٍ، وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ عَيْنُهُ طَاهِرَةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لُعَابُهُ وَعَرَقُهُ طَاهِرًا قِيَاسًا عَلَى بَنِي آدَمَ فَأَمَا قِيَاسُهُ عَلَى لَبَنِهِ فَقَدْ ذَكَرْنَا اخْتِلَافَ أَصْحَابِنَا فِيهِ، وَأَنَّ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ بِطَهَارَتِهِ كَلُعَابِهِ وَعَرَقِهِ، فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ الِاسْتِدْلَالُ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ بِنَجَاسَتِهِ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا إِذَا سَلِمَ الْقِيَاسُ مِنَ النَّقْضِ بِرِيقِ الْهِرَّةِ إِمْكَانَ التَّحَرُّزِ مِنْ لَبَنِهِ وتعذر الحرز مِنْ عَرَقِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dalil kami adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau memacu kuda milik Abū Ṭalḥah al-Anṣārī dan memberanikan kudanya, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya kami mendapatinya bagaikan lautan.”
Telah diketahui bahwa kuda apabila berlari akan berkeringat, terlebih di panasnya Tihāmah, dan pakaian beliau akan basah oleh keringatnya karena tidak ada penghalang di antara keduanya.
Diriwayatkan pula bahwa beliau SAW pernah menunggang keledai tanpa pelana. Dan karena ia adalah hewan yang ‘ain-nya ṭāhir, maka wajib hukumnya air liur dan keringatnya juga ṭāhir, dengan qiyās pada Bani Ādam.
Adapun qiyās mereka pada susunya, maka telah kami sebutkan perbedaan pendapat di kalangan sahabat kami tentangnya, dan bahwa di antara mereka ada yang berpendapat sucinya seperti air liur dan keringatnya, sehingga berdasarkan ini batal istidlāl tersebut. Dan di antara mereka ada yang berpendapat najisnya, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī. Berdasarkan ini, perbedaan antara susu dengan air liur dan keringat, apabila qiyās selamat dari pembatalan dengan air liur kucing, adalah bahwa susu memungkinkan dihindari, sedangkan keringat sulit dihindari.
Wallāhu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ: دَبْغُ الْإِهَابِ)
قال الشافعي رضي الله عنه: (قَالَ) وَأَيُّمَا إِهَابِ ميتةٍ دُبِغَ بِمَا يَدْبُغُ بِهِ الْعَرَبُ أَوْ نَحْوِهِ فَقَدْ طَهُرَ وَحَلَّ بَيْعُهُ وَتُوُضِئَ فِيهِ إِلَّا جِلْدَ كلبٍ أَوْ خنزيرٍ لِأَنَّهُمَا نَجِسَانِ وَهُمَا حَيَّانِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُسْتَوْفَاةً في باب الآنية.
(Masalah: Penyamakan ihāb)
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Setiap ihāb bangkai yang disamak dengan apa yang biasa digunakan oleh orang Arab untuk menyamak atau semisalnya, maka ia menjadi ṭāhir, halal dijual, dan boleh berwudhu dengannya, kecuali kulit anjing atau babi, karena keduanya najis dalam keadaan hidup.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, dan masalah ini telah dibahas secara lengkap dalam bab Āniyah.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَطْهُرُ بِالْدِّبَاغِ عظمٌ وَلَا صوفٌ وَلَا شعرٌ لِأَنَّهُ قَبْلَ الدِّبَاغِ وَبَعْدَهُ سواءٌ “.
قَالَ الماوردي: وقد مضت هذه المسالة أيضاً بما يغني عن الإعادة.
(Masalah)
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Tidak menjadi suci dengan penyamakan tulang, bulu, dan rambut, karena keadaannya sebelum dan sesudah disamak sama saja.”
Al-Māwardī berkata: Masalah ini juga telah berlalu pembahasannya sehingga tidak perlu diulang.
قال الشافعي: ” أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ كثيرٍ الْمَخْزُومِيِّ عَنْ محمدٍ بْنِ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنَهُ قَالَ: ” إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يحمل نجساً أو قال خبثاً ” عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نجساً ” أو قال خبثاً وهو صَحِيحٌ، وَلِلنَّجَاسَةِ إِذَا وَقَعَتْ فِي الْمَاءِ حَالَانِ.
حَالٌ تُغَيِّرُ أَحَدَ أَوْصَافِ الْمَاءِ مِنْ لَوْنٍ أَوْ طَعْمٍ أَوْ رَائِحَةٍ، فَيَصِيرُ الْمَاءُ بِهَا نَجِسًا، قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا وَهُوَ إِجْمَاعٌ.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا تُغَيِّرَ النَّجَاسَةُ شَيْئًا مِنْ أَوْصَافِ الْمَاءِ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي حُكْمِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
(Bab Air yang Menjadi Najis dan yang Tidak Menjadi Najis)
Al-Syāfi‘ī berkata: “Telah mengabarkan kepada kami perawi yang terpercaya dari al-Walīd bin Katsīr al-Makhzūmī dari Muḥammad bin ‘Abbād bin Ja‘far dari ‘Abdullāh bin ‘Abdillāh bin ‘Umar dari ayahnya, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: ‘Jika air itu dua qullah, ia tidak mengandung najis’ atau beliau berkata: ‘tidak mengandung kotoran’. Dari ayahnya bahwa Nabi SAW bersabda: ‘Jika air itu dua qullah, ia tidak mengandung najis’ atau beliau berkata: ‘tidak mengandung kotoran’, dan hadis ini ṣaḥīḥ.”
Untuk najis yang jatuh ke dalam air ada dua keadaan:
Keadaan pertama: najis itu mengubah salah satu sifat air, baik warna, rasa, atau baunya, maka air itu menjadi najis, baik sedikit maupun banyak, dan ini adalah ijma‘.
Keadaan kedua: najis itu tidak mengubah sedikit pun dari sifat-sifat air, maka manusia berbeda pendapat tentang hukumnya menjadi tiga mazhab:
أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّ الِاعْتِبَارَ فِي نَجَاسَتِهِ بِالتَّغْيِيرِ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ أَحَدُ أَوْصَافِهِ، فَهُوَ طَاهِرٌ، وَإِنْ قَلَّ وَبِهِ قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَدَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة أَنَّ اعْتِبَارَ نَجَاسَتِهِ بِالِاخْتِلَاطِ، وَاخْتِلَاطَ النَّجَاسَةِ بِالْمَاءِ مُعْتَبَرٌ بِأَنَّهُ مَتَى حُرِّكَ أَدْنَاهُ تَحَرَّكَ أَقْصَاهُ وَقِيلَ: مَا الْتَقَى طَرَفَاهُ فَيَصِيرُ الماء به نجساً وإن لم يتلق طَرَفَاهُ، وَلَا تَحَرَّكَ أَقْصَاهُ بِتَحْرِيكِ أَدْنَاهُ كَانَ مَا لَمْ يَتَحَرَّكْ مِنَ الْمَاءِ بِالنَّجَاسَةِ طَاهِرًا، وَاخْتَلَفَتْ عَنْهُ الرِّوَايَةُ فِيمَا تَحَرَّكَ فَرَوَى بَعْضُ أَصْحَابِهِ عَنْهُ أَنَّهُ نَجِسٌ، وَرَوَى بَعْضُهُمْ أَنَّهُ طَاهِرٌ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ اعْتِبَارَ نَجَاسَتِهِ بِالْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ فَإِنْ قَلَّ الْمَاءُ كَانَ نَجِسًا وَإِنْ كَثُرَ كَانَ طَاهِرًا، وَاخْتَلَفَ الْقَائِلُونَ بِهَذَا فِي حَدِّ الْقَلِيلِ مِنَ الْكَثِيرِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
Pertama: yaitu mazhab Mālik, bahwa ukuran kenajisannya dilihat dari perubahan (sifat air); selama salah satu sifatnya tidak berubah, maka air tetap ṭāhir, meskipun sedikit. Pendapat ini juga dikatakan oleh al-Ḥasan al-Baṣrī, Ibrāhīm al-Nakha‘ī, dan Dāwud bin ‘Alī.
Mazhab kedua: yaitu mazhab Abū Ḥanīfah, bahwa ukuran kenajisannya dilihat dari bercampurnya najis dengan air. Bercampurnya najis dengan air diukur jika ketika bagian yang dekat digerakkan, bagian yang jauh ikut bergerak; dan ada yang mengatakan: apabila kedua ujungnya bertemu. Maka air menjadi najis karenanya. Jika kedua ujungnya tidak bertemu dan bagian yang jauh tidak bergerak ketika bagian yang dekat digerakkan, maka air yang tidak bergerak karena najis adalah ṭāhir.
Tentang bagian yang bergerak, terdapat perbedaan riwayat dari Abū Ḥanīfah: sebagian sahabatnya meriwayatkan bahwa air tersebut najis, dan sebagian lagi meriwayatkan bahwa ia ṭāhir.
Mazhab ketiga: bahwa ukuran kenajisannya dilihat dari sedikit atau banyaknya air. Jika air sedikit, maka ia najis; jika banyak, maka ia ṭāhir. Para pengikut mazhab ini berbeda pendapat tentang batas antara sedikit dan banyak menjadi tiga mazhab:
أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ مَحْدُودٌ بَقُلَّتَيْنِ، فَإِنْ بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ فَهُوَ كَثِيرٌ، لَا يَنْجَسُ إِلَّا بِالتَّغْيِيرِ، وَإِنْ كَانَ دُونَ الْقُلَّتَيْنِ، فَهُوَ نَجِسٌ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَوَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَمُجَاهِدٌ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ ابْنُ جَرِيحٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ وَأَبُو عُبَيْدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَّامٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ وَأَبُو ثَوْرٍ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَحْدُودٌ بِأَرْبَعِينَ قُلَّةً، وَالْقُلَّةُ مِنْهَا كَالْجَرَّةِ، وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ مَحْدُودُ بِكَرٍّ، وَالْكَرُّ عِنْدَهُمْ أَرْبَعُونَ قَفِيزًا، وَالْقَفِيزُ عِنْدَهُمُ اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ رِطْلًا، وَكَانَ مِقْدَارُ ذَلِكَ أَلْفَ رِطْلٍ، وَمِائَتَيْ رِطْلٍ، وَثَمَانِينَ رِطْلًا وَهُوَ قَوْلُ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ وَمَسْرُوقِ بْنِ الْأَجْدَعِ وَوَكِيعِ بْنِ الْجِرَّاحِ فَهَذِهِ الْمَذَاهِبُ الْمَشْهُورَةُ فِيمَا يُنَجَّسُ مِنَ الْمَاءِ وَلَا يُنَجَّسُ.
Pertama: yaitu mazhab al-Syāfi‘ī, bahwa batasnya adalah dua qullah. Jika air mencapai dua qullah, maka ia dihukumi banyak dan tidak menjadi najis kecuali dengan perubahan sifat. Jika kurang dari dua qullah, maka ia najis. Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat: ‘Abdullāh bin ‘Umar, ‘Abdullāh bin ‘Abbās, dan Abū Hurairah; dari kalangan tābi‘īn: Sa‘īd bin Jubayr dan Mujāhid; dan dari kalangan fuqahā’: Ibnu Jurayj, Muḥammad bin Isḥāq, Abū ‘Ubayd al-Qāsim bin Sallām, ‘Abd al-Raḥmān bin Mahdī, Aḥmad bin Ḥanbal, Isḥāq bin Rāhawayh, dan Abū Thawr.
Mazhab kedua: bahwa batasnya adalah empat puluh qullah, dan satu qullah seperti sebuah kendi besar (jarrah). Ini adalah pendapat ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ dan Muḥammad bin al-Munkadir.
Mazhab ketiga: bahwa batasnya adalah satu karr, dan karr menurut mereka adalah empat puluh qafīz, sedangkan satu qafīz menurut mereka adalah tiga puluh dua riṭl. Jumlahnya adalah seribu dua ratus delapan puluh riṭl. Ini adalah pendapat Muḥammad bin Sīrīn, Masrūq bin al-Ajda‘, dan Wakī‘ bin al-Jarrāḥ.
Maka inilah mazhab-mazhab masyhur dalam pembahasan tentang air yang menjadi najis dan yang tidak menjadi najis.
(فَصْلٌ: اسْتِدْلَالُ مَالِكٍ عَلَى أَنَّ نَجَاسَةَ الماء بالتغيير) .
وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ وَمَنْ تَابَعَهُ عَلَى أَنَّ نَجَاسَةَ الْمَاءِ مُعْتَبَرَةٌ بِالتَّغْيِيرِ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” خَلَقَ اللَّهُ الْمَاءَ طَهُورًا لَا يُنَجِّسُهُ إِلَّا مَا غَيَّرَ لَوْنَهُ أَوْ طَعْمَهُ أَوْ رَائِحَتَهُ ” قَالُوا: وَلِأَنَّ مَا لَمْ تُغَيِّرْهُ النَّجَاسَةُ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا كَالْقُلَّتَيْنِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ حُصُولَ النَّجَاسَةِ فِي الْمَاءِ قَدْ تَكُونُ تارة بورودها على الماء، وتارة بورد الْمَاءِ عَلَيْهَا، فَلَمَّا كَانَ الْمَاءُ إِذَا وَرَدَ عَلَى النَّجَاسَةِ لَمْ يُنَجَّسْ إِلَّا بِالتَّغْيِيرِ وَجَبَ إِذَا وَرَدَتِ النَّجَاسَةُ عَلَى الْمَاءِ لَا يُنَجَّسُ إِلَّا بِالتَّغْيِيرِ.
(Pasal: Istidlāl Mālik bahwa najisnya air diukur dengan perubahan sifat)
Mālik dan para pengikutnya berdalil bahwa najisnya air diukur dengan adanya perubahan, dengan hadis dari Nabi SAW:
“Allah menciptakan air itu suci menyucikan, tidak menjadi najis kecuali jika mengubah warnanya, rasanya, atau baunya.”
Mereka berkata: Sesuatu yang tidak diubah oleh najis, maka wajib dihukumi ṭāhir sebagaimana air dua qullah.
Mereka juga berkata: Sampainya najis pada air kadang terjadi dengan masuknya najis ke dalam air, dan kadang dengan sampainya air ke najis. Maka ketika air yang sampai pada najis tidak menjadi najis kecuali karena perubahan, wajib pula bahwa jika najis yang masuk ke dalam air, air itu tidak menjadi najis kecuali karena perubahan.
(فَصْلٌ: اسْتِدْلَالُ أَبِي حَنِيفَةَ عَلَى أن نجاسة الماء معتبرة بالاختلاط)
وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة عَلَى أَنَّ نَجَاسَةَ الْمَاءِ مُعْتَبَرَةً بِالِاخْتِلَاطِ بِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لا يبولن أحدكم في الماء الدائم، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ ” فَمَنَعَ مِنْ ذَلِكَ لِأَجْلِ التَّنْجِيسِ بِالِاخْتِلَاطِ مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ قَذَرٍ فِيهِ، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ نَزَحَ بِئْرَ زَمْزَمَ مِنْ زنجيٍّ مَاتَ فِيهَا، وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَاءَهَا كَثِيرٌ، وَلَمْ يُنْقَلِ التَّغْيِيرُ، وَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْ عُلَمَاءِ الْعَصْرِ مَعَ ضَنِّهِمْ بِمَاءِ زَمْزَمَ أَنْ يُرَاقَ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَأَنْ يُسْتَعْمَلَ إِلَّا فِي قُرْبَةٍ، فَصَارَ إِجْمَاعُ الْعَصْرِ، قَالَ: وَلِأَنَّ مَا خَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ نَجِسًا قِيَاسًا عَلَى مَا دُونَ الْقُلَّتَيْنِ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ مَائِعٌ تَنَجَّسَ قَلِيلُهُ بِمُخَالَطَةِ النَّجَاسَةِ قِيَاسًاِ عَلَى سَائِرِ الْمَائِعَاتِ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْعَيْنَ الْوَاحِدَةَ إِذَا اجْتَمَعَ فِيهَا حَظْرٌ وَإِبَاحَةٌ فَغَلَبَ حُكْمُ الْحَظْرِ عَلَى الْإِبَاحَةِ عَلَى الْمُتَوَلِّدِ مِنْ بَيْنِمَأْكُولٍ وَغَيْرِ مَأْكُولٍ، وَكَالْوَلَدِ إِذَا كَانَ أَحَدُ أَبَوَيْهِ وَثَنِيًّا، وَالْآخَرُ كِتَابِيًّا فَاقْتَضَى شَاهِدُ هَذِهِ الْأُصُولِ فِي تَغْلِيبِ الْحَظْرِ أَنْ يَغْلِبَ حُكْمُ النَّجَاسَةِ عَلَى الطَّهَارَةِ.
(Pasal: Istidlāl Abū Ḥanīfah bahwa najisnya air diukur dengan percampuran)
Abū Ḥanīfah berdalil bahwa najisnya air diukur dengan percampuran (ikhtilāṭ), dengan riwayat dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang tergenang, kemudian mandi di dalamnya.”
Beliau melarang hal itu karena sebab penajisan melalui percampuran, tanpa mempertimbangkan ada atau tidaknya perubahan sifat di dalamnya.
Dan dengan riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia pernah menguras air sumur Zamzam karena ada seorang lelaki Habsyi yang mati di dalamnya. Padahal diketahui bahwa airnya banyak, dan tidak dinukil adanya perubahan sifat, dan tidak ada seorang pun dari ulama pada masa itu yang mengingkarinya, padahal mereka sangat menjaga air Zamzam agar tidak dibuang sia-sia dan agar tidak digunakan kecuali untuk tujuan mulia. Maka hal itu menjadi ijma‘ pada masa tersebut.
Ia berkata: Karena setiap yang bercampur dengan najis wajib dihukumi najis, dengan qiyās pada air yang kurang dari dua qullah.
Ia juga berkata: Karena ia adalah cairan, dan sedikitnya menjadi najis dengan bercampurnya najis, dengan qiyās pada seluruh cairan lainnya.
Dan ia berkata: Karena satu ‘ain (benda) apabila terkumpul di dalamnya antara hukum larangan dan kebolehan, maka hukum larangan didahulukan atas kebolehan — seperti hasil percampuran antara hewan yang halal dimakan dan yang haram dimakan, atau seperti anak yang salah satu orang tuanya musyrik dan yang lainnya ahli kitab — maka dalil-dalil ini menunjukkan bahwa dalam hal penggabungan, hukum najis harus didahulukan atas hukum suci.
(فَصْلٌ: دَفْعُ مَا اعْتَرَضَ به الخصم عن حديث ” القلتان “)
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا رِوَايَةُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ كَثِيرٍ الْمَخْزُومِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا ” فَدَلَّ تَحْدِيدُ الْقُلَّتَيْنِ عَلَى أَنَّ الْقَدْرَ مُعْتَبَرٌ، وَأَنْ لَا اعْتِبَارَ بِالِاخْتِلَاطِ فِيمَا زَادَ، ولا اعتبار بعدم المعتبر فيما نقص، اعترضوا عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ بِسَبْعَةِ أَسْئِلَةٍ ثَلَاثَةٍ فِي إسناده وأربعة في متنه:
(Pasal: Menolak bantahan lawan terhadap hadis “dua qullah”)
Dalil bagi keduanya adalah riwayat al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu dari al-Walīd bin Katsīr al-Makhzūmī dari ‘Abdullāh bin ‘Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika air itu dua qullah, maka ia tidak mengandung kotoran.”
Penentuan ukuran dua qullah ini menunjukkan bahwa kadar (banyak atau sedikitnya air) adalah ukuran yang dipertimbangkan, dan bahwa tidak ada pertimbangan pada percampuran bagi air yang lebih dari ukuran tersebut, dan tidak ada pula pertimbangan pada ketiadaan sifat yang dipertimbangkan bagi air yang kurang dari ukuran tersebut.
Mereka membantah hadis ini dengan tujuh pertanyaan: tiga terkait sanadnya, dan empat terkait matannya.
أحدهما: أَنْ قَالُوا إِنَّ الشَّافِعِيَّ رَوَاهُ عَنْ مَجْهُولٍ، لِأَنَّهُ قَالَ أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ، وَقَدْ يَكُونُ ثِقَةً عِنْدَهُ وَمَجْرُوحًا عِنْدَ غَيْرِهِ، وَجَهَالَةُ الرَّاوِي تَمْنَعُ مِنَ الْعَمَلِ بِرِوَايَتِهِ، وَعَنْ هَذَا جَوَابَانِ لِأَصْحَابِنَا:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَعْرُوفٌ وَإِنْ كُنِّيَ عَنِ اسْمِهِ فَقَالَ أَبُو يَعْقُوبَ الْبُوَيْطِيُّ هُوَ حَمَّادُ بْنُ أُسَامَةَ الْكُوفِيُّ.
وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ وَهُوَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَارِثِ الْمَخْزُومِيُّ، وَحُكِيَ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سُلَيْمَانَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا قَالَ الشَّافِعِيُّ أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنْ مَعْمَرٍ فَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ، وَإِذَا قَالَ أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ فَهُوَ ابْنُ أَبِي سَلَمَةَ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ الشَّافِعِيَّ وَضَعَ هَذَا التَّصْنِيفَ بِمِصْرَ، وَكَانَتْ كُتُبُهُ بِمَكَّةَ، فَكَانَ يُورِدُ الْحَدِيثَ وَيَعْلَمُ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَهُ بِهِ أَحَدُ الثِّقَاتِ عَنْ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ مِثْلَ أَنْ يُحَدِّثَهُ عَنِ الزُّهْرِيِّ مَالِكٌ تَارَةً، وَسُفْيَانُ تَارَةً، فَإِذَا تَيَقَّنَ رِوَايَةَ الزُّهْرِيِّ، وَشَكَّ فِي الَّذِي حَدَّثَهُ عَنْهُ هَلْ هُوَ مَالِكٌ أَوْ سُفْيَانُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنِ الزُّهْرِيِّ، وَهَذَا جائز.
Pertama: Mereka berkata bahwa al-Syāfi‘ī meriwayatkannya dari perawi yang majhūl, karena beliau berkata “akhbaranā al-thiqah”, dan bisa jadi orang yang beliau anggap thiqah adalah perawi yang jarḥ menurut orang lain, sementara ketidaktahuan tentang perawi menghalangi untuk beramal dengan riwayatnya.
Para sahabat kami memberikan dua jawaban:
Jawaban pertama: bahwa perawinya sebenarnya ma‘rūf meskipun namanya dikunyahkan. Abū Ya‘qūb al-Buwayṭī berkata: dia adalah Ḥammād bin Usāmah al-Kūfī. Abū Thawr berkata: dia adalah ‘Abdullāh bin al-Ḥārith al-Makhzūmī. Diriwayatkan dari al-Rabī‘ bin Sulaimān bahwa ia berkata: “Jika al-Syāfi‘ī berkata akhbaranā al-thiqah ‘an Ma‘mar, maka yang dimaksud adalah Ibnu ‘Ulayyah. Dan jika beliau berkata akhbaranā al-thiqah ‘an al-Awzā‘ī, maka yang dimaksud adalah Ibnu Abī Salamah.”
Jawaban kedua: bahwa al-Syāfi‘ī menulis kitab ini di Mesir, sementara kitab-kitabnya berada di Makkah. Maka beliau menyebutkan hadis yang beliau tahu diriwayatkan oleh salah satu perawi thiqah dari seorang tertentu, seperti misalnya meriwayatkan dari al-Zuhrī kadang melalui Mālik dan kadang melalui Sufyān. Jika beliau yakin bahwa hadis itu dari al-Zuhrī tetapi ragu apakah yang meriwayatkannya adalah Mālik atau Sufyān, maka beliau berkata: akhbaranā al-thiqah ‘an al-Zuhrī. Dan ini boleh.
وَالسُّؤَالُ الثَّانِي: إِنْ قَالُوا فِي إِسْنَادِهِ قَدْحٌ مِنْ وَجْهٍ ثانٍ وَهُوَ الْوَلِيدُ بْنُ كَثِيرٍ، رَوَاهُ تَارَةً عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ وَتَارَةً عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ الزُّبَيْرِ، وَهَذَا اضْطِرَابٌ يَقْدَحُ فِي الْحَدِيثِ، وَعَنْهُ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا حَكَاهُ أَبُو الْحَسَنِ الدَّارَقُطْنِيُّ أَنَّ الْوَلِيدَ بْنَ كَثِيرٍ سَمِعَ هَذَا الْحَدِيثَ مِنَ الرَّجُلَيْنِ جَمِيعًا، فَجَازَ أَنْ يَرْوِيَهُ عَنْ أَيِّهِمَا شَاءَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ كَانَ ذَلِكَ شَكًّا فِي أَحَدِهِمَا، وَهُمَا ثِقَتَانِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ صِحَّةِ الْحَدِيثِ؛ لِأَنَّهُ عَنْ أَيِّهِمَا أَسْنَدَهُ لَزِمَهُ الْأَخْذُ بِهِ.
وَالسُّؤَالُ الثَّالِثُ: إِنْ قَالُوا إن في إسناده قدح مِنْ وَجْهٍ ثَالِثٍ، وَهُوَ أَنَّهُ رَوَى تَارَةً عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، وَتَارَةً عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ.
Pertanyaan kedua: Mereka berkata bahwa dalam sanad hadis ini ada cacat dari sisi lain, yaitu al-Walīd bin Katsīr terkadang meriwayatkannya dari Muḥammad bin ‘Abbād bin Ja‘far, dan terkadang dari Muḥammad bin Ja‘far bin al-Zubayr. Ini adalah iḍṭirāb yang mencacati hadis.
Dua jawabannya adalah:
Pertama: seperti yang dinukil oleh Abū al-Ḥasan al-Dāraqutnī, bahwa al-Walīd bin Katsīr telah mendengar hadis ini dari kedua orang tersebut, sehingga boleh baginya meriwayatkannya dari siapa saja yang ia kehendaki.
Kedua: seandainya pun itu adalah keraguan apakah dari salah satunya, sementara keduanya thiqah, hal itu tidak menghalangi kesahihan hadis; karena dari siapa pun ia meriwayatkannya, tetap wajib diambil.
Pertanyaan ketiga: Mereka berkata bahwa dalam sanad hadis ini ada cacat dari sisi ketiga, yaitu bahwa ia terkadang meriwayatkannya dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, dan terkadang dari ‘Ubaydullāh bin ‘Abdillāh bin ‘Umar.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْوَاقِدِيَّ سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَعُبَيْدُ اللَّهِ أَخَوَانِ ابْنَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَهُمَا ثِقَتَانِ، وَقَدْ رَوَيَا جَمِيعًا هَذَا الْحَدِيثَ، وَلَقِيَهُمَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ جَعْفَرٍ، وَقَدْ رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَيْضًا.
وَالسُّؤَالُ الرَّابِعُ: فِي مَتْنِهِ: إِنْ قَالُوا وَالْقُلَّةُ اسْمٌ مُشْتَرَكٌ يَتَنَاوَلُ أَشْيَاءَ مُتَغَايِرَةً فَمِنْهَا الجرة التي تلقها الْيَدُ، وَمِنْهَا قُلَّةُ الْجَبَلِ، وَمِنْهَا قَامَةُ الرَّجُلِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَارَ إِلَيْهِ مَعَ اشْتِرَاكِهِ، وَعَنْهُ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَنْعُ اشْتِرَاكِهِ فِي الْمُسَمَّيَاتِ يُفِيدُ تَحْدِيدَ الْمَاءِ فِي النَّجَاسَاتِ وَهُمْ لَا يَعْتَبِرُونَ بِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ وَإِنْ كَانَ مُشْتَرَكًا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَنَاوَلَ إِلَّا الْأَوَانِيَ لِأَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّهَا أَوْعِيَةُ الْمَاءِ الَّتِي يَقْدِرُ بِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا أَشْهَرُ فِي الْحِكَايَاتِ وَأَكْثَرُ عُرْفًا في الاستعمال قال حميد بْنُ مَعْمَرٍ:
Jawabannya: al-Wāqidī ketika ditanya tentang hal ini berkata: “‘Abdullāh dan ‘Ubaydullāh adalah dua bersaudara, keduanya anak dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, dan keduanya thiqah. Mereka berdua telah meriwayatkan hadis ini, dan Muḥammad bin ‘Alī bin Ja‘far telah bertemu dengan keduanya. Hadis ini juga telah diriwayatkan oleh Muḥammad bin Isḥāq dari al-Zuhrī, dari Sālim, dari ayahnya.”
Pertanyaan keempat pada matannya: mereka berkata bahwa kata qullah adalah nama musytarak yang mencakup hal-hal yang berbeda-beda; di antaranya adalah kendi besar yang diangkat dengan tangan, di antaranya adalah puncak gunung, dan di antaranya adalah tinggi badan seseorang. Maka tidak boleh menjadikannya patokan karena adanya kemusytarakan ini.
Dua jawabannya adalah:
Pertama: menolak adanya kemusytarakan dalam penamaan qullah, karena penetapan batasan air dalam masalah najis tidak dianggap oleh mereka.
Kedua: sekalipun kata itu musytarak, penggunaannya di sini tidak boleh mencakup selain bejana, karena dua alasan:
- Bejana adalah wadah air yang dapat dijadikan ukuran.
- Ia lebih masyhur dalam kisah-kisah dan lebih banyak dikenal dalam penggunaan.
Ḥumaid bin Ma‘mar berkata: …
(فَظَلَلْنَا بنعمةٍ وَاتَّكَأْنَا … وَشَرِبْنَا الْحَلَالَ مِنْ قُلَلِهِ)
وَقَالَ الْأَخْطَلُ:
(يَمْشُونَ حَوْلَ مكدمٍ قَدْ كَدَّحَتْ … مَتْنَيْهِ حَمْلُ حناتمٍ وقلالٍ)
يعني: ملخ الْجِلْدَ مِنَ الْكَدِّ.
(Maka kami tetap dalam kenikmatan dan bersandar … dan kami minum yang halal dari qullah-nya)
Dan al-Akhaṭal berkata:
(Mereka berjalan mengelilingi unta yang punggungnya telah lecet … karena membawa kantong-kantong besar dan qullah-qullah)
Maksudnya: kulit punggung unta itu terkelupas karena lelah membawa beban.
وَالسُّؤَالُ الْخَامِسُ: أَنَّ اسْمَ الْقُلَّةِ، وَإِنْ كَانَ مُتَنَاوِلًا لِلْأَوَانِي، فَقَدْ يَتَنَاوَلُ صِغَارَهَا وَكِبَارَهَا فَيَتَنَاوَلُ الْكُوزَ؛ لِأَنَّهُ يُقَلُّ بِالْأَصَابِعِ، وَيَتَنَاوَلُ الْجَرَّةَ؛ لِأَنَّهَا تُقَلُّ بِالْيَدِ، وَيَتَنَاوَلُ الْحَبَّ؛ لِأَنَّهُ يُقَلُّ بِالْكَتِفِ، وَمَا كَانَ مُخْتَلِفَ الْقَدْرِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ حَدًّا وَعَنْ هَذَا جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا جَعَلَهُ مِقْدَارًا بَعْدُ وَمِنْهَا دَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَشَارَ إِلَى أَكْثَرِهَا؛ لِأَنَّهُ لَا فَائِدَةَ فِي تَقْدِيرِهِ بِقُلَّتَيْنِ صَغِيرَتَيْنِ، وَهُوَ مُقَدَّرٌ عَلَى تَقْدِيرِهِ بِوَاحِدَةٍ كَبِيرَةٍ.
Pertanyaan kelima: Nama qullah, meskipun mencakup bejana, tetap dapat mencakup yang kecil maupun yang besar. Ia bisa mencakup kūz (teko kecil) karena diangkat dengan jari, mencakup jarrah (tempayan) karena diangkat dengan tangan, dan mencakup ḥabb (wadah besar) karena diangkat dengan bahu. Maka sesuatu yang berbeda-beda ukurannya tidak boleh dijadikan batas ukuran.
Dua jawabannya adalah:
Pertama: Ketika Rasulullah SAW menjadikannya sebagai ukuran tertentu, hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah qullah yang ukurannya besar; karena tidak ada manfaatnya menetapkan ukuran dengan dua qullah kecil, sebab itu bisa setara dengan ukuran satu qullah besar.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ مَيَّزَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” بِقِلَالِ هَجَرَ ” وَرَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ سِقْلَابٍ.
وَالسُّؤَالُ السَّادِسُ: قَالُوا: فَهُوَ وَإِنْ يَتَنَاوَلْ قِلَالًا مُتَمَيِّزَةً مِنْ قِلَالِ هَجَرَ، فَقَدْ جَاءَ الْحَدِيثُ مُخْتَلِفًا فِي الْعَدَدِ فَرُوِيَ ” إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ ” وَرُوِيَ ” إِذَا كَانَ ثَلَاثًا ” وَرُوِيَ ” إِذَا كَانَ أَرْبَعِينَ قُلَّةً ” فَكَيْفَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَعْمِلُوا حَدِيثَ الْقُلَّتَيْنِ وَتُسْقِطُوا مَا سِوَاهُ مِنَ الْعَدَدِ.
Jawaban kedua: Hal itu sudah dibedakan dengan sabda Nabi ﷺ: “bi qilāli Hajar” (dengan qullah-qullah Hajar), dan hadis ini diriwayatkan oleh Muḥammad bin Isḥāq dari al-Mughīrah bin Siqlāb.
Pertanyaan keenam: Mereka berkata, meskipun yang dimaksud adalah qullah-qullah khusus dari Hajar, hadis tersebut datang dengan perbedaan jumlah. Ada riwayat: “Apabila air itu dua qullah”, ada pula riwayat: “Apabila tiga qullah”, dan ada juga: “Apabila empat puluh qullah”. Bagaimana mungkin kalian menggunakan hadis dua qullah dan menolak jumlah yang lain?
وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَدِيثَ الْأَرْبَعِينَ قُلَّةً رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ فَلَمْ يُؤْخَذْ بِهِ، وحديث الثلاثة القلال تَفَرَّدَ بِهِ بَعْضُ أَصْحَابِ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ الْمُنْذِرِ وَشَكَّ فِي قُلَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثٍ وَسَائِرُ أَصْحَابِ حَمَّادٍ رَوَوْا قُلَّتَيْنِ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ فِي ثَلَاثٍ وَهَكَذَا مَنْ رَوَاهُ مِنْ غَيْرِ هَذَا الطَّرِيقِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ، والنقلة الثِّقَاتُ لَمْ يَشُكُّوا فِيهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ شَكٌّ لِوَاحِدٍ مُعَارِضًا لِيَقِينِ الْجَمْعِ الْكَثِيرِ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ الْأَخْبَارِ كُلِّهَا وَيُسْتَعْمَلَ عَلَى وَجْهٍ يَصِحُّ، وَلَا يَكُونُ فِيهِ تَعَارُضٌ فَيَكُونَ الْقُلَّتَانِ مَحْمُولًا عَلَى قِلَالِ هَجَرَ، كَمَا جَاءَ فِيهِ النَّصُّ، وَالثَّلَاثُ عَلَى قِلَالٍ أَصْغَرَ مِنْهَا فَتَسَعُ قُلَّتَيْنِ مِنْ قِلَالِ هَجَرَ، وَالْأَرْبَعُونَ قُلَّةً عَلَى صِغَارِهَا الَّتِي تُقَلُّ بِالْيَدِ تَكُونُ بِقَدْرِ قُلَّتَيْنِ مِنْ قِلَالِ هَجَرَ.
Artinya, jawabannya ada dua:
- Riwayat empat puluh qullah adalah mauqūf pada ʿAbdullāh bin ʿAmr bin al-ʿĀṣ, diriwayatkan oleh Muḥammad bin al-Munkadir, sehingga tidak dijadikan hujjah marfūʿ.
Adapun riwayat tiga qullah hanya diriwayatkan oleh sebagian perawi Ḥammād bin Salamah dari ʿĀṣim bin al-Mundhir, dan ia ragu apakah dua atau tiga qullah. Sementara seluruh perawi lain dari Ḥammād meriwayatkan dua qullah tanpa keraguan “tiga”. Demikian pula seluruh jalur sahih di luar riwayat ini menyebut dua qullah, dan para perawi yang tsiqah tidak ada yang ragu, maka tidak boleh keraguan satu orang menyelisihi keyakinan banyak perawi yang kuat. - Mengompromikan semua riwayat tanpa menimbulkan pertentangan: riwayat dua qullah dimaknai dengan qullah-qullah Hajar sebagaimana disebutkan dalam nash; riwayat tiga qullah dimaknai dengan qullah yang ukurannya lebih kecil dari qullah Hajar sehingga tiga di antaranya seukuran dua qullah Hajar; dan riwayat empat puluh qullah dimaknai dengan qullah yang sangat kecil, yang dibawa dengan tangan, sehingga totalnya setara dengan dua qullah Hajar.
Kalau mau, saya bisa buatkan tabel perbandingan ukuran qullah berdasarkan penjelasan ini supaya perbedaan riwayatnya terlihat jelas.
وَالسُّؤَالُ السَّابِعُ: إِنْ قَالُوا: تَسْلِيمُ الْحَدِيثِ عَلَى لَفْظِهِ فِي الْقُلَّتَيْنِ يَمْنَعُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِهِ، وَالتَّعَلُّقِ بِظَاهِرِ لَفْظِهِ لِقَوْلِهِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا يَعْنِي أَنَّهُ يَضْعُفُ عَنِ احْتِمَالِ الْخَبَثِ، كَمَا يُقَالُ هَذَا الْخَلُّ لَا يَحْمِلُ الْمَاءَ لِضَعْفِهِ عَنْهُ، وَهَذَا الطَّعَامُ، لَا يَحْمِلُ الْغِشَّ يَعْنِي أَنَّهُ يَضْعُفُ عَنْهُ، وَيَفْسُدُ بِهِ، وَهَذَا الرَّجُلُ لَا يَحْمِلُ هَذَا الْمَتَاعَ إِذَا عَجَزَ عَنْهُ، وَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَوْجَهٍ مِنَ الْجَوَابِ:
أَحَدُهَا: إِنَّ هَذَا التَّأْوِيلَ يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ لِتَحْدِيدِ الْقُلَّتَيْنِ فَائِدَةٌ، وَهَذَا فَاسِدٌ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ فِي أَكْثَرِ الْأَخْبَارِ لَمْ يُنَجَّسْ، وَهَذَا صَرِيحٌ لَا تَأْوِيلَ عَلَيْهِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا أَيْ لَمْ يَقْبَلْ خَبَثًا كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أسْفَاراً) {الجمعة: 5) أَيْ لَمْ يَقْبَلُوهَا وَلَمْ يَلْتَزِمُوا حُكْمَهَا، فَسَلِمَ الحديث من الِاعْتِرَاضِ بِهَذِهِ الْأَسْئِلَةِ وَصَحَّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ عَلَى كُلِّ مُخَالِفٍ.
Dan pertanyaan ketujuh: jika mereka berkata: menerima hadis sesuai lafaznya pada (air) dua qullah menghalangi untuk berdalil dengannya, dan berpegang pada zahir lafaznya pada perkataannya “tidak membawa kotoran” maksudnya bahwa (air itu) lemah dari menanggung kotoran, sebagaimana dikatakan: “cuka ini tidak membawa air” maksudnya lemah untuk menahannya, dan “makanan ini tidak membawa kecurangan” maksudnya lemah dari itu dan rusak karenanya, dan “orang ini tidak membawa barang ini” jika ia tidak mampu membawanya — maka tentang hal ini ada tiga sisi jawaban:
Pertama: bahwa takwil ini menghalangi adanya faedah untuk penentuan dua qullah, dan ini batil.
Kedua: bahwa telah diriwayatkan dalam kebanyakan hadis dengan lafaz “tidak menjadi najis”, dan ini adalah tegas tanpa ada takwil padanya.
Ketiga: bahwa makna perkataannya “tidak membawa kotoran” adalah tidak menerima kotoran, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab” (al-Jumu‘ah: 5), yakni tidak menerimanya dan tidak berpegang pada hukumnya. Maka selamatlah hadis ini dari sanggahan dengan pertanyaan-pertanyaan ini dan sahihlah pendalilan dengannya atas setiap orang yang menyelisihi.
(فَصْلٌ: الرَّدُّ عَلَى الْإِمَامِ مَالِكٍ)
وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَى مَالِكٍ خَاصَّةً بِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا ” فَمَنَعَ مِنْ غَمْسِهَا خَوْفًا مِنْ تَنْجِيسِ الْمَاءِ بِهَا فَدَلَّ عَلَى تَنْجِيسِ الْمَاءِ الْقَلِيلِ، وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ، وَلِأَنَّ أُصُولَ الشَّرْعِ مَوْضُوعَةٌ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ فِي مُخَالَطَةِ الْحَظْرِ لَهُ، فَإِنِ اخْتَلَطَ بِالْقَلِيلِ كَانَ حُكْمُ الْحَظْرِ أَغْلَبَ، وَإِنِ اخْتَلَطَ بِالْكَثِيرِ كَانَ حُكْمُ الْإِبَاحَةِ أَغْلَبَ، أَلَا تَرَى لَوِ اخْتَلَطَتْ أُخْتُ رَجُلٍ بِعَدَدٍ مِنَ النِّسَاءِ حُرِّمْنَ كُلُّهُنَّ عَلَيْهِ تَغْلِيبًا لَحُكْمِ الْحَظْرِ، وَلَوِ اخْتَلَطَتْ بِنِسَاءِ بَلَدٍ حَلَلْنَ لَهُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْإِبَاحَةِ، كَذَلِكَ النَّجَاسَةُ، وَإِنِ اخْتَلَطَتْ بِمَاءٍ قَلِيلٍ وَجَبَ تَغْلِيظُ الْحَظْرِ فِي النَّجَاسَةِ وَإِنِ اخْتَلَطَتْ بِمَاءٍ كَثِيرٍ وَجَبَ تَغْلِيبُ الْإِبَاحَةِ فِي الطَّهَارَةِ، وَهَذَا أَصَحُّ اسْتِدْلَالٍ بَعْدَ النَّصِّ، وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى أبي حنيفة أَيْضًا، ثُمَّ مِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ مَاءٌ قَلِيلٌ خَالَطَهُ نَجَاسَةٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ نَجِسًا قِيَاسًا عَلَى الْمُتَغَيِّرِ.
(PASAL: bantahan kepada Imam Malik)
Dan termasuk dalil terhadap Malik secara khusus adalah hadis Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia membasuhnya tiga kali.” Maka beliau melarang mencelupkannya karena khawatir menajiskan air dengannya, sehingga menunjukkan atas najisnya air sedikit meskipun tidak berubah. Dan karena kaidah-kaidah syariat dibangun atas perbedaan antara yang sedikit dan yang banyak dalam bercampurnya sesuatu yang terlarang dengannya, maka jika bercampur dengan yang sedikit maka hukum larangan lebih dominan, dan jika bercampur dengan yang banyak maka hukum kebolehan lebih dominan. Tidakkah engkau melihat bahwa jika bercampur saudara perempuan seseorang dengan sejumlah perempuan maka seluruhnya haram baginya karena menguatkan hukum larangan, dan jika bercampur dengan perempuan-perempuan satu negeri maka halal bagi dirinya karena menguatkan hukum kebolehan. Demikian pula najis, jika bercampur dengan air sedikit wajib menguatkan larangan dalam najis, dan jika bercampur dengan air banyak wajib menguatkan kebolehan dalam kesucian. Dan ini adalah istidlal yang paling sahih setelah nash, dan ia adalah dalil atas Abu Hanifah juga. Kemudian dari qiyas bahwa itu adalah air sedikit yang bercampur dengan najis, maka wajib hukumnya menjadi najis dengan qiyas kepada yang berubah.
(فَصْلٌ: الرَّدُّ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ
وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَى أبي حنيفة مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ سَلِيطِ بْنِ أَيُّوبَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قِيلَ لَهُ إِنَّكَتَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بضاعةٍ، وَهِيَ يُطْرَحُ فِيهَا الْمَحَائِضُ وَلُحُومُ الْكِلَابِ، وَمَا يُنْجِي النَّاسُ. فَقَالَ: ” الْمَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شيءٌ ” فَلَمْ يَجْعَلْ لِاخْتِلَاطِ النَّجَاسَةِ بِالْمَاءِ تَأْثِيرًا فِي نَجَاسَتِهِ وَهَذَا نَصٌّ يدفع قول أبي حنيفة.
اعترضوا عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ بِسُؤَالَيْنِ:
(PASAL: bantahan kepada Abu Hanifah)
Dan termasuk dalil terhadap Abu Hanifah adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari Ibrahim bin Muhammad, dari Saliṭ bin Ayyub, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abd al-Raḥman, dari Abu Sa‘id al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW ditanya: “Engkau berwudhu dari sumur Budha‘ah, padahal di dalamnya dibuang kain haid, daging anjing, dan kotoran manusia.” Maka beliau bersabda: “Air tidak menajiskannya sesuatu pun.” Maka beliau tidak menjadikan bercampurnya najis dengan air berpengaruh pada kenajisannya, dan ini adalah nash yang menolak pendapat Abu Hanifah.
Mereka mengkritik hadis ini dengan dua pertanyaan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ بِئْرَ بُضَاعَةَ عَيْنٌ جَارِيَةٌ إِلَى بَسَاتِينَ تَشْرَبُ مِنْهَا وَالْمَاءُ الْجَارِي لَا يَثْبُتُ فِيهِ نَجَاسَةٌ.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ بِئْرَ بُضَاعَةَ أَشْهَرُ حَالًا مِنْ أَنْ يُعْتَرَضَ عَلَيْهَا لِهَذَا السُّؤَالِ، وَهِيَ بِئْرٌ فِي بَنِي سَاعِدَةَ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ فِي سننه: قدرت أنا بئر بضاعة بردائي أي: مدرته عَلَيْهَا ثُمَّ ذَرَعْتُهُ، فَإِذَا عَرْضُهَا سِتَّةُ أَذْرُعٍ. وَسَأَلْتُ الَّذِي فَتَحَ لِيَ الْبُسْتَانَ فَأَدْخَلَنِي إِلَيْهِ: هل غير بِنَاؤُهَا عَمَّا كَانَتْ عَلَيْهِ؟ فَقَالَ: لَا، وَرَأَيْتُ فِيهَا مَاءً مُتَغَيِّرَ اللَّوْنِ.
وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْمَاءَ الْجَارِيَ، لَا يَبْقَى فِيهِ التَّغْيِيرُ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَسَمِعْتُ قُتَيْبَةَ بْنَ سَعِيدٍ قَالَ سَأَلْتُ قَيِّمَ بِئْرِ بُضَاعَةَ عَنْ عُمْقِهَا، قَالَ: أَكْثَرُ مَا يَكُونُ فِيهَا الْمَاءُ قَالَ إِلَى الْعَانَةِ قُلْتُ: وَإِذَا نَقَصَ، قَالَ: دُونَ الْعَوْرَةِ.
Salah satunya: bahwa sumur Budha‘ah adalah mata air yang mengalir menuju kebun-kebun yang meminum darinya, dan air yang mengalir tidak tetap di dalamnya najis.
Jawaban darinya: bahwa sumur Budha‘ah lebih masyhur keadaannya daripada dipersoalkan dengan pertanyaan ini, dan ia adalah sumur di Bani Sa‘idah. Abu Dawud berkata dalam Sunan-nya: “Aku mengukur sumur Budha‘ah dengan rida’ku, yakni aku mengelilinginya dengannya, kemudian aku mengukurnya, maka lebarnya enam hasta. Aku bertanya kepada orang yang membukakan kebun untukku lalu memasukkanku ke dalamnya: ‘Apakah bangunannya telah berubah dari sebelumnya?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Dan aku melihat di dalamnya air yang berubah warnanya.
Dan sudah maklum bahwa air yang mengalir tidak tetap padanya perubahan. Abu Dawud berkata: “Aku mendengar Qutaibah bin Sa‘id berkata: Aku bertanya kepada penjaga sumur Budha‘ah tentang kedalamannya. Ia berkata: ‘Paling banyak air yang ada di dalamnya sampai ke kemaluan.’ Aku berkata: ‘Jika berkurang?’ Ia menjawab: ‘Di bawah aurat.’”
وَالسُّؤَالُ الثَّانِي: إِنْ قَالُوا لَا يَجُوزُ أَنْ يُضَافَ إِلَى الصَّحَابَةِ أَنْ يُلْقُوا فِي بِئْرٍ يَتَوَضَّأُ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمَحَائِضَ وَلُحُومَ الْكِلَابِ بَلْ ذَلِكَ مُسْتَحِيلٌ، وَهُوَ بِصِيَانَةِ وُضُوءِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، أَوْلَى فَدَلَّ عَلَى وَهَاءِ الْحَدِيثِ.
وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لَا يَصِحُّ إِضَافَةُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ وَلَا رَوَيْنَا أَنَّهُمْ فَعَلُوهُ، وَإِنَّمَا كَانَتْ بِئْرُ بُضَاعَةَ بِقُرْبٍ مِنْ مَكَانِ الجيف والمحائض، وملقى الأنجاس، وكانت تهب الرِّيحِ، فَكَانَتِ الرِّيحُ تُلْقِي الْمَحَائِضَ وَالْأَنْجَاسَ فِيهَا، ثُمَّ الدَّلِيلُ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى أَنَّهُ مَاءٌ كَثِيرٌ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُنَجَّسَ بِوُقُوعِ نَجَاسَةٍ لَمْ تُغَيِّرْهُ قِيَاسًا عَلَى وُقُوعِ الْبَعْرَةِ الْيَابِسَةِ فِيهِ.
Dan pertanyaan kedua: jika mereka berkata, “Tidak boleh dinisbatkan kepada para sahabat bahwa mereka membuang ke dalam sumur yang digunakan Rasulullah SAW untuk berwudhu kain haid dan daging anjing, bahkan hal itu mustahil. Menjaga wudhu Rasulullah SAW lebih utama, maka hal itu menunjukkan lemahnya hadis ini.”
Jawaban darinya: bahwa para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum tidak sah dinisbatkan hal itu kepada mereka dan kami tidak meriwayatkan bahwa mereka melakukannya. Hanyasanya sumur Budha‘ah berada di dekat tempat bangkai, kain haid, dan pembuangan najis, dan angin bertiup lalu melemparkan kain haid dan najis-najis itu ke dalamnya. Kemudian dalil atasnya dari segi makna adalah bahwa ia adalah air banyak, maka wajib hukumnya tidak menjadi najis dengan jatuhnya najis yang tidak mengubahnya, dengan qiyas kepada jatuhnya kotoran kering ke dalamnya.
فَإِنْ قِيلَ الْبَعْرَةُ الْيَابِسَةُ لَمْ تُخَالِطْهُ قِيلَ الِاعْتِبَارُ بِوُقُوعِ النَّجَاسَةِ لَا بِمُخَالَطَتِهَا، أَلَا تَرَى أَنَّ شَعْرَ الْخِنْزِيرِ وَعَظْمَهُ يُنَجِّسُ الماء إذا وقع فيه، وَإِنْ لَمْ يُخَالِطْهُ، وَلِأَنَّ مَا لَا يُمْكِنُ حِفْظُهُ مِنْ حُلُولِ النَّجَاسَةِ فِيهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُنَجَّسَ إِلَّا بِالتَّغْيِيرِ قِيَاسًا عَلَى مَا لَا يَلْتَقِي طَرَفَاهُ مِنْ بِئْرٍ أَوْ غَدِيرٍ، وَلِأَنَّ الْمَاءَ الْكَثِيرَ لَا يُمْكِنُ حِفْظُهُ بِالْأَوْعِيَةِ، وَلَا يُقْدَرُ عَلَى صَوْنِهِ مِنَ النَّجَاسَةِ، فَصَارَ التَّحَرُّزُ مِنْ حُلُولِ النَّجَاسَةِ فِيهِ شَاقًّا فَعُفِيَ عَنْهُ كَدَمِ الْبَرَاغِيثِ، وَالْمَاءُ الْقَلِيلُ يُمْكِنُ حِفْظُهُ، بِالْأَوْعِيَةِ، وَيُقْدَرُ عَلَى صَوْنِهِ مِنَ النَّجَاسَةِ فَصَارَ التَّحَرُّزُ مِنْ حُلُولِ النَّجَاسَةِ فِيهِ مُمْكِنًا فَلَمْ يعفعَنْهُ كَسَائِرِ الْأَنْجَاسِ، وَلِأَنَّ مَذْهَبَهُمْ يُفْضِي إِلَى مَا يَدْفَعُهُ الْمَعْقُولُ مِنْ تَنْجِيسِ الْمَاءِ الْكَثِيرِ، إِذَا ضَاقَ مَكَانُهُ وَتَطْهِيرِ الْقَلِيلِ إِذَا اتَّسَعَ مَكَانُهُ وَكَثِيرُ الْمَاءِ أَدْفَعُ لِلنَّجَاسَةِ مِنْ قَلِيلِهِ.
Jika dikatakan: “Kotoran kering tidak bercampur dengannya,” dijawab: yang menjadi patokan adalah jatuhnya najis, bukan bercampurnya. Tidakkah engkau melihat bahwa bulu babi dan tulangnya menajiskan air jika jatuh ke dalamnya meskipun tidak bercampur dengannya? Dan karena sesuatu yang tidak mungkin dijaga dari jatuhnya najis ke dalamnya, maka wajib tidak menjadi najis kecuali dengan perubahan, dengan qiyas kepada sesuatu yang kedua ujungnya tidak bertemu, seperti sumur atau kolam. Dan karena air yang banyak tidak mungkin dijaga dengan wadah, dan tidak mampu untuk melindunginya dari najis, maka menjaga dari jatuhnya najis ke dalamnya menjadi sulit, sehingga dimaafkan seperti darah kutu. Sedangkan air sedikit bisa dijaga dengan wadah, dan mampu dilindungi dari najis, maka menjaga dari jatuhnya najis ke dalamnya memungkinkan, sehingga tidak dimaafkan seperti najis-najis lainnya. Dan karena mazhab mereka berimplikasi kepada hal yang ditolak oleh akal, yaitu menajiskan air banyak jika sempit tempatnya dan menyucikan air sedikit jika luas tempatnya, padahal air banyak lebih dapat menolak najis daripada yang sedikit.
(فصل: الجواب عن استدلال المالكية)
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ مَالِكٌ مِنْ قَوْلِهِ: ” خُلِقَ الْمَاءُ طَهُورًا ” فَهُوَ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْمَاءِ الْكَثِيرِ؛ لِأَنَّهُ سَبَبُهُ بِئْرُ بُضَاعَةَ وَلَوْ كَانَ عَامًّا لَخَصَّصْنَاهُ بِمَا ذَكَرْنَا، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْقُلَّتَيْنِ فَهُوَ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْكَثِيرِ تَعَذَّرَ صَوْنُهُ عَنِ النَّجَاسَةِ، وَقِلَّةِ التَّحَرُّزِ مِنْ حُلُولِهَا فِيهِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ جَمْعِهِ بَيْنَ وُرُودِ الْمَاءِ عَلَى النَّجَاسَةِ وَبَيْنَ وُرُودِ النَّجَاسَةِ عَلَى الْمَاءِ فَفَرْقٌ مِنْ وَجْهَيْنِ: شَرْعٌ وَمَعْنًى.
(PASAL: jawaban terhadap istidlal Malikiyyah)
Adapun jawaban terhadap apa yang dijadikan dalil oleh Malik dari sabda beliau: “Air diciptakan suci lagi menyucikan,” maka itu dibawa kepada air yang banyak, karena sebabnya adalah sumur Budha‘ah. Dan seandainya umum maka kami khususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.
Adapun jawaban terhadap qiyasnya kepada dua qullah adalah bahwa illat pada air yang banyak adalah sulitnya menjaga dari najis dan sedikitnya kehati-hatian dari jatuhnya najis ke dalamnya.
Adapun jawaban terhadap penggabungannya antara air yang mengalir kepada najis dan antara najis yang mengalir kepada air, maka keduanya berbeda dari dua sisi: syar‘i dan maknawi.
وَأَمَّا الشَّرْعُ فَأَمْرُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِإِرَاقَةِ وُلُوغِ الْكَلْبِ، وَقَدْ يُطَهَّرُ بِدُونِ مَا فِيهِ، وَأَمَّا الْمَعْنَى فَهُوَ أَنَّ تَنْجِيسَ الْمَاءِ بِوُرُودِهِ عَلَى النَّجَاسَةِ مؤدٍ إِلَى أَنْ لَا تَزُولَ نَجَاسَتُهُ عَنْ مَحَلٍّ إِلَّا بِقُلَّتَيْنِ، وَهَذَا شَاقٌّ فَسَقَطَ، وَتَخْمِيرُ مَا دُونَ الْقُلَّتَيْنِ مِنَ الْمَاءِ مِنْ حُلُولِ النَّجَاسَةِ فِيهِ غَيْرُ شَاقٍّ فَلَزِمَ، وَصَارَ مَا دُونَ الْقُلَّتَيْنِ يُنَجَّسُ بِورُودِ النَّجَاسَةِ عَلَيْهِ، لِأَنَّ حِفْظَهُ مِنْهَا بِتَخْمِيرِ الْإِنَاءِ مُمْكِنٌ، وَصَارَ وُرُودُهُ عَلَى الْمَاءِ اضْطِرَارًا فَلَمْ ينجس.
Adapun secara syar‘i, adalah perintah Nabi SAW untuk menumpahkan (air) jilatan anjing, padahal ia bisa disucikan tanpa apa yang ada di dalamnya.
Adapun secara makna, menajiskan air karena mengalirnya kepada najis berakibat pada tidak hilangnya najis dari suatu tempat kecuali dengan dua qullah, dan ini memberatkan sehingga gugur. Sedangkan menutup air yang kurang dari dua qullah dari jatuhnya najis ke dalamnya tidaklah memberatkan, maka itu wajib dilakukan.
Maka air yang kurang dari dua qullah menjadi najis dengan jatuhnya najis kepadanya, karena menjaganya dari najis dengan menutup bejana memungkinkan. Dan jatuhnya air kepada najis itu secara darurat, maka ia tidak menjadi najis.
(فصل: الجواب عن استدلال الأحناف)
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ أبو حنيفة مِنَ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّهُ نَصٌ فِي النَّهْيِ عَنِ الْبَوْلِ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَلَيْسَ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى نَجَاسَتِهِ بِهِ.
فَإِنْ قِيلَ: لَوْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مُفْضِيًا إِلَى تَنْجِيسِهِ، لَمْ يَكُنْ لِلنَّهْيِ فَائِدَةٌ.
قُلْنَا: الْتِمَاسُ فَائِدَةِ النَّهْيِ اعْتِرَافٌ بِأَنْ لَا دَلِيلَ فِي ظَاهِرِهِ عَلَى فَائِدَةِ النَّهْيِ الْخَوْفُ مِنْ تَغْيِيرِ الْمَاءِ بِكَثْرَةِ الْبَوْلِ فَيَصِيرُ بِالتَّغْيِيرِ نَجِسًا.
(PASAL: jawaban terhadap istidlal Hanafiyyah)
Adapun jawaban terhadap apa yang dijadikan dalil oleh Abu Hanifah dari hadis, maka itu adalah nash dalam larangan kencing di air yang diam, dan tidak terdapat di dalamnya dalil atas kenajisannya dengan (kencing tersebut).
Jika dikatakan: “Kalau hal itu tidak mengakibatkan menajiskannya, niscaya larangan itu tidak ada faedahnya,”
kami katakan: mencari faedah larangan itu adalah pengakuan bahwa tidak ada dalil pada zahirnya. Adapun faedah larangan adalah kekhawatiran berubahnya air karena banyaknya kencing, sehingga dengan perubahan itu menjadi najis.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ نَزْحِ ابْنِ عَبَّاسٍ زَمْزَمَ مِنْ زِنْجِيٍّ مَاتَ فِيهَا فَمِنْ وُجُوهٍ ذَكَرَهَا الشَّافِعِيُّ:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ قَالَ إِنَّ زَمْزَمَ عِنْدَنَا بِمَكَّةَ وَنَحْنُ أُعْرَفُ بِأَحْوَالِهَا، وَلَا يَعْرِفُ أَحَدٌ مِنْ عُلَمَاءِ مَكَّةَ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ نَزَحَهَا، وَقَدْ حُكِيَ عَنْ سُفْيَانَ أَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ نَزَحَهَا فَغَلَبَهُ الْمَاءُ لِكَثْرَتِهِ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ، لَوْ صَحَّ الْحَدِيثُ أَنْ يَكُونَ نَزْحَهَا لِظُهُورِ دَمِ الزِّنْجِيِّ فِيهَا.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ نَزَحَهَا تَنْظِيفًا لَا وَاجِبًا، أَلَا تَرَى إِلَى مَا رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: أَرْبَعَةٌ لَا تُنَجَّسُ، الْمَاءُ وَالثَّوْبُ وَالْأَرْضُ وَابْنُ آدَمَ.
Adapun jawaban tentang (kisah) Ibnu ‘Abbas menimba (air) Zamzam karena ada seorang budak hitam mati di dalamnya, maka dari beberapa sisi yang disebutkan oleh al-Syafi‘i:
Pertama: beliau berkata, “Sesungguhnya Zamzam itu di sisi kami di Makkah, dan kami lebih mengetahui keadaannya, dan tidak ada seorang pun dari ulama Makkah yang mengetahui bahwa Ibnu ‘Abbas pernah menimbanya. Bahkan telah diceritakan dari Sufyan bahwa Ibnu al-Zubair pernah menimbanya, lalu air mengalahkannya karena banyaknya.”
Jawaban kedua: bahwa boleh jadi—seandainya hadis itu sahih—penimbaannya dilakukan karena tampaknya darah budak itu di dalamnya.
Jawaban ketiga: bahwa boleh jadi beliau menimbanya untuk pembersihan, bukan karena kewajiban. Tidakkah engkau melihat riwayat darinya bahwa beliau berkata: “Empat hal yang tidak menajis: air, pakaian, tanah, dan anak Adam.”
فإن قيل: فما معنى قوله: ” لا ينجس “، قِيلَ: يَعْنِي أَنَّ أَعْيَانَهَا لَا تَنْقَلِبُ فَتَصِيرُ نَجِسَةً.
فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ خَصَّ هَذِهِ الْأَرْبَعَةَ بِهَذَا الْحُكْمِ، قِيلَ: إِنَّمَا خَصَّهَا بِالذِّكْرِ لِاخْتِصَاصِهَا بِالصَّلَاةِ وَإِنْ كَانَ غَيْرُهَا فِي حُكْمِهَا؛ لِأَنَّ صِحَّةَ الصَّلَاةِ مُعْتَبَرَةٌ بِطَهَارَةِ الْمَاءِ وَالثَّوْبِ وَالْأَرْضِ وَالْبَدَنِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى سَائِرِ الْمَائِعَاتِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَائِعَاتِ لَا تَبْلُغُ حَدًّا لَا يُمْكِنُ حِفْظُهُ بِالْأَوْعِيَةِ، وَلَا يَتَعَذَّرُ صَوْنُهُ عَنِ النَّجَاسَةِ، فَنُجِّسَ بِحُلُولِ النَّجَاسَةِ فِيهِ؛ لِإِمْكَانِ صَوْنِهَا مِنْهُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَاءُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُو إِلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فِي مَا دُونَ الْقُلَّتَيْنِ فَالْمُعْتَبَرُ فِيهِ إِمْكَانُ حِفْظِهِ مِنْ حُلُولِ النَّجَاسَةِ فِيهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا زَادَ عَلَيْهِ.
Jika dikatakan: “Apa makna perkataannya ‘tidak menajis’?” Dijawab: maksudnya adalah bahwa zat-zatnya tidak berubah menjadi najis.
Jika dikatakan: “Mengapa beliau mengkhususkan empat hal ini dengan hukum ini?” Dijawab: beliau mengkhususkannya dengan penyebutan karena kekhususannya dalam (pembahasan) shalat, meskipun selainnya memiliki hukum yang sama. Sebab, sahnya shalat bergantung pada sucinya air, pakaian, tanah, dan badan.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka dengan selain air dari jenis cairan adalah dari dua sisi:
Pertama: bahwa cairan-cairan tidak sampai pada batas yang tidak mungkin dijaga dengan wadah, dan tidak sulit melindunginya dari najis, maka ia dinajiskan dengan jatuhnya najis ke dalamnya, karena memungkinkan untuk menjaganya dari najis — dan tidak demikian halnya dengan air.
Kedua: bahwa kebutuhan menuntut untuk menggunakan air yang kurang dari dua qullah, maka yang dianggap padanya adalah kemungkinan untuk menjaganya dari jatuhnya najis ke dalamnya — dan tidak demikian halnya dengan yang lebih dari itu.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمُ على الطَّهَارَةِ وَالتَّنْظِيفِ مَا لَا يَدْعُو إِلَى اسْتِعْمَالِ الْمَائِعَاتِ فَيُخَفِّفُ حُكْمَ الْمَاءِ؛ لِكَثْرَةِ اسْتِعْمَالِهِ وَتَغَلَّظَ حُكْمُ غَيْرِهِ لِقِلَّةِ اسْتِعْمَالِهِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِتَغْلِيبِ الْحَظْرِ عَلَى الْإِبَاحَةِ فَهُوَ أَنَّهُ مُنْتَقِضٌ بِمَا لَمْ يَلْتَقِ طَرَفَاهُ مِنَ الْمَاءِ وَبِالثَّوْبِ إِذَا كَانَ عَلَيْهِ يَسِيرٌ مِنْ دَمِ الْبَرَاغِيثِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِيمَا اسْتَشْهَدُوا بِهِ مِنَ الْأُصُولِ أَنَّ الشَّرْعَ لَمْ يَأْتِ بِالْعَفْوِ عَنْ يَسِيرِهِ وَقَدْ جَاءَ بِالْعَفْوِ عَنْ يَسِيرِ النَّجَاسَةِ والله أعلم.
Adapun jawaban terhadap qiyas mereka pada bersuci dan membersihkan sesuatu yang tidak menuntut penggunaan cairan-cairan, maka (jawabannya) adalah bahwa hukum air diringankan karena banyaknya penggunaan, dan hukum selainnya diperberat karena sedikitnya penggunaan.
Adapun jawaban terhadap istidlal mereka dengan menguatkan larangan atas kebolehan, maka hal itu terbantahkan dengan (kasus) air yang kedua ujungnya tidak bertemu, dan dengan pakaian yang terdapat sedikit darah kutu di atasnya.
Kemudian makna dari kaidah yang mereka jadikan dalil adalah bahwa syariat tidak datang dengan memberi keringanan terhadap sedikitnya (air), sedangkan syariat memang datang dengan memberi keringanan terhadap sedikitnya najis. Wallāhu a‘lam.
(مسألة: مقدار القلتين)
وروى الشافعي رضي الله عنه عَنِ ابْنِ جريجٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِإِسْنَادٍ لَا يَحْضُرُ الشَّافِعِيَّ ذِكْرُهُ أنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نجساً وقال في الحديث أو قربتين بِقِلَالِ هجرٍ ” وَقَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَقَدْ رَأَيْتُ قِلَالَ هجرٍ، فَالْقُلَّةُ تَسَعُ قِرْبَتَيْنِ وَشَيْئًا، قَالَ الشافعي: والاحتياط أَنْ تَكُونَ الْقُلَّتَانِ خَمْسَ قربٍ، قَالَ وَقِرَبُ الْحِجَازِ كِبَارٌ “.
(Masalah: kadar dua qullah)
Al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Nabi SAW dengan sanad yang tidak diingat oleh al-Syafi‘i penyebutannya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila air mencapai dua qullah maka tidak membawa najis.” Dan beliau berkata dalam hadis: “atau dua qirbah dengan qilāl Hajar.”
Ibnu Juraij berkata: “Aku telah melihat qilāl Hajar, satu qullah memuat dua qirbah lebih sedikit.” Al-Syafi‘i berkata: “Kehati-hatian adalah menjadikan dua qullah itu lima qirbah.” Ia berkata: “Dan qirbah Hijaz itu besar-besar.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَنَّ الْقُلَّتَيْنِ حَدٌّ لِمَا يُنَجَّسُ مِنَ الْمَاءِ، وَلَا يُنَجَّسْ، فَلَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ تَحْدِيدِ الْقُلَّتَيْنِ، وَمَعْرِفَةِ قَدْرِهِمَا لِيَصِيرَ الْحَدُّ بِهَا مَعْلُومًا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْقُلَّتَانِ: هُمَا مِنْ قِلَالِ هَجَرَ لِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَوَى عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ بِإِسْنَادٍ لَمْ يَحْضُرِ الشَّافِعِيَّ ذِكْرُهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” بِقِلَالِ هَجَرَ ” فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا مُرْسَلٌ، وَالْمَرَاسِيلُ عِنْدَهُ لَيْسَتْ بِحُجَّةٍ، قِيلَ: هُوَ مُسْنَدٌ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَإِنْ نَسِيَ إِسْنَادَهُ وَمُرْسَلٌ عِنْدَ غَيْرِهِ، فَيُلْزَمُ الشَّافِعِيُّ الْعَمَلَ بِهِ لِإِسْنَادِهِ، وَإِنْ لَمْ يُلْزَمْ بِهِ لِإِرْسَالِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ قِلَالَ هَجَرَ هِيَ أَكْبَرُ قِلَالٍ بِالْمَدِينَةِ، وَمَا جُعِلَ مَعْدُودَ الْمَقَادِيرِ حَدًّا لَمْيَتَنَاوَلْ إِلَّا أَكْثَرَهَا؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ فِي الْعَدَدِ، وَأَقْرَبُ إِلَى الْعِلْمِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ قَدَّرَ نصاب الزكاة خمسة أَوْسُقٍ؛ لِأَنَّ الْوَسْقَ أَكْبَرُ مِقْدَارٍ لَهُمْ، وَلَمْ يُقَدِّرْهُ بِالْمُدِّ، وَلَا بِالصَّاعِ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, telah berlalu pembahasan bahwa dua qullah adalah batasan bagi air yang terkena najis dan yang tidak terkena najis, maka tidak ada jalan selain menentukan ukuran dua qullah dan mengetahui kadarnya agar batasannya menjadi jelas.
Jika demikian, maka dua qullah itu adalah dari qilāl Hajar karena tiga hal:
Pertama: bahwa al-Syafi‘i meriwayatkan dari Ibnu Juraij dengan sanad yang tidak diingat oleh al-Syafi‘i penyebutannya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Dengan qilāl Hajar.” Jika dikatakan: “Ini mursal, sedangkan mursal menurut beliau bukan hujjah,” dijawab: hadis itu adalah musnad menurut al-Syafi‘i meskipun beliau lupa sanadnya, dan mursal menurut selain beliau. Maka wajib bagi al-Syafi‘i untuk beramal dengannya karena sanadnya, meskipun tidak wajib bagi selainnya karena ia mursal.
Kedua: bahwa qilāl Hajar adalah qilāl yang paling besar di Madinah, dan sesuatu yang dijadikan ukuran baku tidak berlaku kecuali pada yang paling besar ukurannya, karena jumlahnya lebih sedikit dan lebih mudah diketahui. Tidakkah engkau melihat bahwa beliau menetapkan nisab zakat sebanyak lima wasaq, karena wasaq adalah ukuran terbesar bagi mereka, dan beliau tidak menetapkannya dengan mudd atau sha‘.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ قِلَالَ هَجَرَ مُتَمَاثِلَةٌ لَا تَخْتَلِفُ، وَغَيْرُهَا مِنَ الْقِلَالِ قَدْ تَخْتَلِفُ بِالصِّغَرِ وَالْكِبَرِ، وَمَا يَخْتَلِفُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ حَدًّا؛ لِأَنَّهُ لَا يُفِيدُ الْعِلْمَ بِالْمَحْدُودِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ قِلَالَ هَجَرَ مُتَمَاثِلَةٌ مَا رَوَى قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي وَصْفِ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى ” رَأَيْتُ أَوْرَاقَهَا كَأَذَانِ الْفِيَلَةِ وَنَبْقَهَا كَقِلَالِ هَجَرَ ” فَلَوْ كَانَتْ قِلَالُ هَجَرَ مُخْتَلِفَةَ الْمِقْدَارِ لَمَا عَلِمُوا بِهَذَا التَّشْبِيهِ قَدْرَ نَبْقِهَا، وَلَكَانَ هَذَا الْقَوْلُ لَغْوًا فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ النَّصِّ وَالِاسْتِدْلَالِ أَنَّهَا بِقِلَالِ هَجَرَ فَلَيْسَتْ مَجْلُوبَةً مِنْ هَجَرِ الْبَحْرَيْنِ، وَإِنَّمَا هِيَ مَعْمُولَةٌ بِالْمَدِينَةِ وَاخْتَلَفُوا فِي سَبَبِ نِسْبَتِهَا إِلَى هَجَرَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لِأَنَّهَا تُعْمَلُ بِقَرْيَةٍ مِنْ قُرَى الْمَدِينَةِ، تُسَمَّى هَجَرَ، وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّهَا عُمِلَتْ عَلَى مِثَالِ قِلَالِ هَجَرَ، كَمَا يُقَالُ: ثَوْبٌ مَرْوِيٌّ وَإِنْ عُمِلَ بِالْعِرَاقِ؛ لِأَنَّهُ عَلَى مِثَالِ ما يعلم بِمُرْوٍ.
ketiga: bahwa qillāl Hajar itu serupa dan tidak berbeda-beda, sedangkan qillāl selainnya bisa saja berbeda karena kecil dan besarnya. Sesuatu yang berbeda-beda tidak boleh dijadikan sebagai batasan, karena tidak memberikan pengetahuan yang pasti tentang batas tersebut. Dalil bahwa qillāl Hajar itu serupa adalah riwayat Qatādah dari Anas, bahwa Nabi SAW bersabda ketika menggambarkan sidrat al-muntahā, “Aku melihat daunnya seperti telinga gajah dan buahnya seperti qillāl Hajar.” Seandainya qillāl Hajar itu berbeda-beda ukurannya, niscaya mereka tidak akan mengetahui ukuran buah tersebut melalui tasybīh ini, dan perkataan ini akan menjadi sia-sia. Maka, apabila telah tetap apa yang kami sebutkan dari nash dan istidlāl bahwa maksudnya adalah qillāl Hajar, maka itu bukanlah barang bawaan dari Hajar di Bahrain, melainkan dibuat di Madinah. Mereka berselisih tentang sebab penisbatan nama itu kepada Hajar. Sebagian dari mereka berkata: karena qillāl itu dibuat di sebuah desa dari desa-desa Madinah yang bernama Hajar. Dan sebagian yang lain berkata: bahkan dinamakan demikian karena dibuat sesuai dengan model qillāl Hajar, sebagaimana dikatakan “kain Marwi” walaupun dibuat di Irak, karena mengikuti model kain yang dikenal dari Marw.
(فَصْلٌ: احْتِيَاطُ الشَّافِعِيِّ فِي تَقْدِيرِهِ لِلْقُلَّتَيْنِ)
ثُمَّ إِنَّ الشَّافِعِيَّ لَمْ يَرَ قِلَالَ هَجَرَ، وَلَا أَهْلَ عَصْرِهِ؛ لِأَنَّهَا تُرِكَتْ وَنَفِدَتْ فَاحْتَاجَ إِلَى تَقْدِيرِهَا بِمَا هُوَ مَعْرُوفٌ عِنْدَهُمْ وَمُشَاهَدٌ مِنْهُمْ فَقَدَّرَهَا بِقِرَبِ الْحِجَازِ؛ لِأَنَّهَا مُتَمَاثِلَةٌ مَشْهُورَةٌ، فَرُوِيَ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ قِلَالَ هَجَرَ، والَقُلَّةُ تَسَعُ قِرْبَتَيْنِ، أَوْ قَالَ: قِرْبَتَيْنِ وَشَيْئًا، قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَالِاحْتِيَاطُ أَنْ تَكُونَ الْقُلَّتَانِ خَمْسُ قِرَبٍ.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا تَقْلِيدٌ مِنْهُ لِابْنِ جُرَيْجٍ، وَالتَّقْلِيدُ عِنْدَهُ لَا يَجُوزُ، قِيلَ: لَيْسَ هَذَا تَقْلِيدًا فِي حُكْمٍ، وَإِنَّمَا هُوَ قَبُولُ خَبَرٍ فِي مَغِيبٍ، وَذَلِكَ جائز.
PASAL: Kehati-hatian al-Syafi‘i dalam menentukan ukuran dua qullah
Kemudian, sesungguhnya al-Syafi‘i tidak pernah melihat qillāl Hajar, begitu pula orang-orang sezamannya, karena qillāl itu telah ditinggalkan dan punah. Maka ia perlu menentukannya berdasarkan sesuatu yang dikenal dan dapat disaksikan oleh mereka, lalu ia menentukannya dengan qirbah penduduk Hijaz, karena qirbah itu serupa dan masyhur. Diriwayatkan dari Ibn Jurayj bahwa ia berkata: Aku telah melihat qillāl Hajar, satu qullah memuat dua qirbah, atau ia berkata: dua qirbah dan sedikit. Al-Syafi‘i berkata: Maka sikap kehati-hatian adalah menjadikan dua qullah itu setara dengan lima qirbah.
Jika dikatakan: Ini adalah bentuk taqlid dari beliau kepada Ibn Jurayj, sedangkan taqlid menurut beliau tidak dibolehkan—maka dijawab: Ini bukan taqlid dalam suatu hukum, melainkan penerimaan terhadap kabar tentang sesuatu yang tidak disaksikan secara langsung, dan itu dibolehkan.
فإن قيل: لما جُعِلَ الشَّيْءُ الزَّائِدُ عَلَى الْقِرْبَتَيْنِ نِصْفًا وَزَعَمَ أَنَّهُ احْتِيَاطٌ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الشَّيْءُ مُنْطَلِقًا عَلَى أَكْثَرِ مِنَ النِّصْفِ، قِيلَ: الشَّيْءُ ها هنا نِصْفٌ فِي الِاحْتِيَاطِ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ ابْنَ جُرَيْجٍ شَكَّ فِي الْقَدْرِ هَلْ هُوَ قِرْبَتَانِ أَوْ قِرْبَتَانِ وَشَيْءٌ؟ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الشَّكُّ إِلَّا يَسِيرًا هُوَ أَقَلُّ مِنَ النِّصْفِ لِيَخْفَى وَلَا يَكْثُرَ فَيَزُولُ الشَّكُّ فِيهِ فَلَمَّا جَعَلَهُ نِصْفًا، وَمُقْتَضَى الْحَالِ يُوجِبُ أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ كَانَ احْتِيَاطًا.
وَالثَّانِي: أَنَّ الشَّيْءَ إِذَا كَانَ مُسْتَعْمَلًا فِي التَّبْعِيضِ كَانَ مُشَارًا بِهِ فِي الْعُرْفِ إِلَى أَقَلِّ الْبَعْضَيْنِ فَإِذَا كَانَ الْبَعْضُ الزَّائِدُ عَلَى الشَّيْئَيْنِ أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ قَالُوا اثْنَيْنِ وَشَيْءٌ، وَإِذَا كَانَ أَكْثَرُ مِنَ النِّصْفِ، قَالُوا ثَلَاثَةً إِلَّا شَيْئًا، فَلَمَّا جُعِلَ الشَّيْءُ الزَّائِدُ نِصْفًا كَامِلًا كان احتياطاً.
Maka jika dikatakan: Ketika sesuatu yang lebih dari dua qirbah dijadikan setengah, dan ia mengklaim bahwa itu bentuk kehati-hatian, padahal mungkin saja kata “sesuatu” (syai’un) digunakan untuk makna yang lebih dari setengah—maka dijawab: syai’un di sini adalah setengah sebagai bentuk kehati-hatian karena tiga hal:
Pertama: bahwa Ibn Jurayj ragu dalam kadar takaran, apakah dua qirbah atau dua qirbah dan sesuatu (syai’un). Maka keraguan itu tidak mungkin kecuali hanya sedikit, yaitu yang kurang dari setengah agar tidak tampak mencolok dan tidak terlalu banyak hingga hilang sifat ragu padanya. Maka ketika beliau menjadikannya setengah, padahal tuntutan keadaan menunjukkan bahwa ia kurang dari setengah, itu termasuk sikap kehati-hatian.
Kedua: bahwa kata syai’un apabila digunakan dalam makna sebagian (tab‘īḍ), secara kebiasaan ia mengisyaratkan kepada bagian yang lebih sedikit dari dua bagian. Maka jika bagian tambahan dari dua benda itu kurang dari setengah, mereka mengatakan “dua dan sesuatu”. Dan jika lebih dari setengah, mereka mengatakan “tiga kecuali sesuatu”. Maka ketika syai’un yang ditambahkan itu dijadikan setengah penuh, maka itu adalah bentuk kehati-hatian.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَمَّا كَانَتِ الْقِرْبَةُ الثَّالِثَةُ مُتَبَعِّضَةٌ فَبَعْضُهَا مِنْ جُمْلَةِ الْقُلَّةِ، وَبَعْضُهَا لَيْسَ مِنْهَا، ولم يكن تكثيراً أَحَدِ الْبَعْضَيْنِ عَلَى الْآخَرِ، بِأَوْلَى مِنْ عَكْسِهِ، وَجَبَ التَّسْوِيَةُ بَيْنَ الْبَعْضَيْنِ، فَجَعَلَ كُلَّ أَحَدٍ مِنْهُمَا نِصْفًا مُسَاوِيًا لِصَاحِبِهِ، وَهُوَ الْقَلِيلُ لَا يَكُونُ لِلِاحْتِيَاطِ فِيهِ تَأْثِيرٌ فَجَعَلَ الشَّافِعِيُّ خَمْسَ قِرَبٍ احْتِيَاطًا؛ لِأَنَّ مُجَاوَزَةَ الْمَقَادِيرِ لِلِاسْتِيفَاءِ احْتِيَاطٌ لَهَا أَوْلَى كَمَا يَتَجَاوَزُ حَدَّ الْوَجْهِ فِي غَسْلِهِ وَحَدَّ الْعَوْرَةِ وَإِمْسَاكَ شَيْءٍ مِنَ اللَّيْلِ فِي طَرَفِ الصَّوْمِ، وَلَمْ يَتَعَرَّضِ الشَّافِعِيُّ لِتَحْدِيدِ الْقِرَبِ بِالْأَرْطَالِ؛ لِأَنَّهُ اكْتَفَى أَهْلُ عَصْرِهِ فِي بَلَدِهِ بِالْقِرَبِ الْمَشْهُورَةِ بَيْنَهُمْ، عَنْ أَنْ يُقَدِّرَ كُلَّ قِرْبَةٍ لَهُمْ كَمَا اكْتَفَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْقِلَالِ الْمَشْهُورَةِ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ عَنْ أَنْ يُقَدِّرَ كُلَّ قُلَّةٍ لَهُمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
ketiga: bahwa ketika qirbah ketiga itu merupakan bagian (dari keseluruhan), sebagian darinya termasuk dalam satu qullah, dan sebagian lagi tidak termasuk, serta tidak ada yang lebih utama antara memperbanyak salah satu bagian dibanding yang lain, maka wajib disamakan antara keduanya. Maka masing-masing dari keduanya dijadikan setengah yang setara dengan pasangannya, dan itu adalah kadar yang sedikit, yang tidak memiliki dampak terhadap kehati-hatian, maka al-Syafi‘i menjadikannya lima qirbah sebagai bentuk kehati-hatian; karena melebihi takaran dalam rangka penyempurnaan lebih utama dalam kehati-hatian, sebagaimana melebihi batas wajah saat membasuhnya, batas aurat, dan menahan sebagian malam di awal waktu puasa.
Dan al-Syafi‘i tidak membatasi takaran qirbah dengan satuan raṭl karena masyarakat sezamannya di negerinya telah merasa cukup dengan qirbah yang masyhur di antara mereka, sehingga tidak perlu menentukan kadar setiap qirbah bagi mereka, sebagaimana Nabi SAW mencukupkan dengan qillāl yang masyhur di tengah-tengah mereka tanpa menentukan kadar setiap qullah bagi mereka. Dan Allah Maha Mengetahui.
(فَصْلٌ: هَلْ تحديد القلتين تقريب أم تحقيق؟)
ثُمَّ إِنَّ أَصْحَابَنَا مِنْ بَعْدِ الشَّافِعِيِّ لَمَّا نَأَوْا عَنِ الْحِجَازِ وَبَعُدُوا فِي الْبِلَادِ، وَغَابَتْ عَنْهُمْ قِرَبُ الْحِجَازِ، وَجَهَلَ الْعَوَامُّ تَقَادِيرَ الْقِرَبِ التي أخبرهم بها حد الماء يُنَجَّسُ مِنَ الْمَاءِ، وَلَا يُنَجَّسُ اضْطُرُّوا إِلَى تَقْدِيرِ الْقِرَبِ بِالْأَرْطَالِ، لِيَصِيرَ ذَلِكَ مُقَدَّرًا مَعْلُومًا عِنْدَ كَافَّتِهِمْ كَمَا اضْطُرَّ الشَّافِعِيُّ، وَمَنْ عَاصَرَهُ عِنْدَ عَدَمِ الْقِلَالِ، فِي تَقْدِيرِهَا بِالْقِرَبِ فَاتَّفَقَ رَأْيُهُمْ بَعْدَ أَنِ اخْتَبَرُوا قِرَبَ الْحِجَازِ عَلَى أَنْ قَدَّرُوا كُلَّ قِرْبَةٍ مِنْهَا بِمِائَةِ رِطْلٍ بِالْعِرَاقِيِّ، فَكَانَ أَوَّلَ مَنْ قَدَّرَ ذَلِكَ بِالْأَرْطَالِ مِنْ أَصْحَابِنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ جَابِرٍ وَأَبُو عَبِيدِ بْنُ جَرَبْوَيْهِ ثُمَّ سَاعَدَهُمْ سَائِرُ أَصْحَابِنَا مُوَافَقَةً لِاخْتِيَارِهِمْ فَصَارَتِ الْقُلَّتَانِ الْمُقَدَّرَةُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ بِخَمْسِ قِرَبٍ خَمْسَمِائَةِ رِطْلٍ بِالْعِرَاقِيِّ عِنْدَ جَمِيعِ أَصْحَابِنَا، وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا هَلْ ذَلِكَ تَقْدِيرُ تَقْرِيبٍ أَوْ تَقْدِيرُ تَحْقِيقٍ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL: Apakah penentuan dua qullah bersifat pendekatan atau ketetapan pasti?
Kemudian, sesungguhnya para sahabat kami setelah al-Syafi‘i, ketika mereka telah jauh dari wilayah Hijaz dan tersebar ke berbagai negeri, serta qirbah Hijaz sudah tidak lagi dikenal oleh mereka, dan orang-orang awam tidak lagi mengetahui takaran qirbah yang menjadi penentu batas air yang terkena najis atau tidak, maka mereka terpaksa menetapkan takaran qirbah dengan satuan raṭl, agar menjadi ukuran yang diketahui dan dikenal oleh semua kalangan. Sebagaimana al-Syafi‘i dan orang-orang sezamannya, ketika tidak lagi mendapati qillāl, mereka pun menetapkannya dengan qirbah.
Maka para sahabat kami sepakat, setelah mereka menguji takaran qirbah Hijaz, bahwa setiap satu qirbah ditaksir dengan seratus raṭl ‘Irāqī. Maka orang pertama dari kalangan sahabat kami yang menetapkan takaran tersebut dengan raṭl adalah Ibrāhīm bin Jābir dan Abū ‘Ubayd bin Jarabwayh. Kemudian seluruh sahabat kami lainnya menyepakati pilihan mereka itu, sehingga dua qullah yang ditentukan oleh al-Syafi‘i sebagai lima qirbah menjadi lima ratus raṭl ‘Irāqī menurut seluruh sahabat kami.
Namun mereka berbeda pendapat, apakah penetapan tersebut adalah taksiran pendekatan (taqrīb) atau penetapan pasti (taḥqīq)? Maka ada dua wajah (pendapat) dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ حَدُّ تَقْرِيبٍ لَا يَتَغَيَّرُ الْحُكْمُ فِيهِ بِزِيَادَةِ رِطْلٍ أَوْ رِطْلَيْنِ وَلَا بِنُقْصَانِهِ؛ لِأَنَّ تَحْدِيدَ الْقَلِيلِ بِالْقِرَبِ احْتِيَاطٌ وَتَحْدِيدَ الْقِرَبِ بِالْأَرْطَالِ اسْتِظْهَارٌ فَصَارَ التَّحْقِيقُ فِيهِ مِعْوَزًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَقَدْ أَشَارَ إِلَيْهِ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ أَنَّهُ حَدُّ تَحْقِيقٍ يَتَغَيَّرُ الْحُكْمُ بِزِيَادَةِ الْيَسِيرِ وَنُقْصَانِهِ؛ لِأَنَّ الْحَدَّ مَا يَتَمَيَّزُ بِهِ الْمَحْدُودُ فِي حُكْمِهِ، وَلَمْ يَكُنْ مُبْهَمًا فَيُجْهَلُ، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ الِاجْتِهَادُ فِي اعْتِبَارِهَا عَهْدَنَا مِنَ الْأُصُولِ قَدْ جَعَلَهُ مَحْدُودًا عَلَى التَّحْقِيقِ.
pertama: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj bahwa itu adalah batas pendekatan (taqrīb), yang tidak berubah hukumnya dengan tambahan satu atau dua raṭl, dan tidak pula dengan pengurangannya. Karena penentuan jumlah yang sedikit dengan qirbah adalah bentuk kehati-hatian, dan penentuan qirbah dengan arṭāl adalah bentuk istizhār (usaha menguatkan), maka penetapan secara pasti dalam hal ini menjadi sulit dicapai.
Wajah (pendapat) kedua: dan ini telah disinggung oleh Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa itu adalah batas pasti (taḥqīq), yang hukum berubah dengan sedikitnya kelebihan ataupun kekurangan, karena ḥadd (batas) adalah sesuatu yang membedakan sesuatu yang dibatasi dalam hukumnya, dan tidak bersifat samar sehingga tidak diketahui. Tidak mustahil bahwa ijtihad dalam mempertimbangkan takaran tersebut—menurut kaidah yang kami anut dari usul—telah menjadikannya sebagai batas yang pasti (muḥaddad ‘ala al-taḥqīq).
(مَسْأَلَةٌ: الْفَارِقُ بَيْنَ الْمَاءِ الكثير والقليل)
قال الشافعي: ” احتج بأنه قيل يا رسول الله إنك تتوضأ من بئر بضاعة وهي تطرح فيها المحايض وَلُحُومُ الْكِلَابِ وَمَا يُنْجِي النَّاسُ فَقَالَ: ” الْمَاءُ لا ينجسه شيءٌ ” قال ومعنى لا ينجسه شيءٌ إذا كان كثيراً لم يغيره النجس. وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قَالَ: ” خُلِقَ الْمَاءُ طَهُورًا لَا يُنَجِّسُهُ شيءٌ إلا ما غير ريحه أو طعمه ” وقال فيما روي عن ابن عباس أنه نزح زمزم من زنجي مات فيها إما لا نعرفه وزمزم عندنا وروي عن ابن عباسٍ أنه قال: ” أربع لا يخبثن “
(MASALAH: Perbedaan antara air banyak dan air sedikit)
Al-Syafi‘i berkata: “Dijadikan hujjah bahwa dikatakan: Wahai Rasulullah, engkau berwudhu dari sumur Budha‘ah, padahal padanya dibuang darah haid, bangkai anjing, dan kotoran manusia.” Maka beliau bersabda: “Air tidak dinajiskan oleh sesuatu pun.”
Ia berkata: Makna “tidak dinajiskan oleh sesuatu pun” adalah: apabila air itu banyak dan tidak berubah oleh najis.
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Air itu diciptakan suci dan menyucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu pun kecuali yang mengubah bau atau rasanya.”
Dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa beliau pernah menimba (air) Zamzam karena ada orang Habsyi yang mati di dalamnya—namun kami tidak mengetahui riwayat yang pasti tentang hal itu, sedangkan Zamzam tetap kami gunakan.
Dan diriwayatkan pula dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata: “Empat hal yang tidak menjadi najis.”
فذكر الماء وهو لا يخالف النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وقد يكون الدم ظهر فيها فنزحها إن كان فعل أو تنظيفاً لا واجباً. وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ خَمْسَ قربٍ كبارٌ مِنْ قِرَبِ الْحِجَازِ، فَوَقَعَ فِيهِ دمٌ أَوْ أَيُّ نجاسةٍ كَانَتْ، فَلَمْ يُغَيَّرْ طَعْمُهُ وَلَا لَوْنُهُ ولَا رِيحُهُ وَلَمْ يَنْجُسْ، وَهُوَ بِحَالِهِ طاهرٌ، لأن في خمس قربٍ فصاعداً وَهَذَا فَرْقُ مَا بَيْنَ الْكَثِيرِ الَذِي لَا ينجسه إلا ما غيره، ومن الْقَلِيلِ الَّذِي يُنَجِّسُهُ مَا لَمْ يُغَيِّرُهُ “.
Lalu disebutlah air, dan beliau (Ibn ‘Abbās) tidaklah menyelisihi Nabi SAW. Mungkin saja darah telah muncul di dalamnya lalu beliau menimbanya—jika memang beliau melakukannya—sebagai bentuk pembersihan, bukan karena kewajiban.
Dan apabila air itu sebanyak lima qirbah besar dari qirbah penduduk Hijaz, lalu jatuh ke dalamnya darah atau najis apapun, namun tidak mengubah rasanya, warnanya, atau baunya, maka air itu tidak menjadi najis, dan tetap dalam keadaan suci. Karena dalam lima qirbah atau lebih, inilah perbedaan antara air banyak yang tidak dinajiskan kecuali oleh sesuatu yang mengubahnya, dan air sedikit yang dinajiskan oleh sesuatu meskipun belum mengubahnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقُلَّتَيْنِ فَرْقٌ بَيْنَ قَلِيلِ الْمَاءِ وَكَثِيرِهِ، وَأَنَّ الْقُلَّتَيْنِ خَمْسُ قِرَبٍ بِمَا وَصَفْنَا، وَأَنَّ الْخَمْسَ قِرَبٍ خمسمائة رطل بما بينا صار كثير الماء خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ] وَقَلِيلُهُ مَا دُونَهَا ثُمَّ إِنَّ الشَّافِعِيَّ ذَكَرَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ حُكْمَ كَثِيرِ الْمَاءِ وَمَا يَتَفَرَّعُ عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ النَّجَاسَةِ، وَذَكَرَ بَعْدَهُ حُكْمَ قَلِيلِ الْمَاءِ وَمَا يَتَفَرَّعُ عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ النَّجَاسَةِ، فَإِذَا كَانَ الْمَاءُ كَثِيرًا وَوَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ مَائِعَةٌ أَوْ مُتَجَسِّدَةٌ فلا يخلو أن يتغير بها الماء أو لا يَتَغَيَّرُ فَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ بِهَا الْمَاءُ فَهُوَ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ، ثُمَّ لَا تَخْلُو النَّجَاسَةُ مِنْ أَنْ تَكُونَ مَائِعَةً أَوْ مُتَجَسِّدَةً فَإِنْ كَانَتْ مَائِعَةً كَبَوْلٍ أَوْ خَمْرٍ أُهْرِيقَ فِيهِ فَاسْتِعْمَالُ جميع الماء شيئاً بعد شيء حتى يستنفد جميعه جائز ولا يلزم استبقاء شَيْءٍ مِنْهُ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ جَمِيعَهُ حَتَّى يَسْتَبْقِيَ مِنْهُ قَدْرَ النَّجَاسَةِ الْوَاقِعَةِ فِيهِ لِعِلْمِنَا أَنَّهُ بِاسْتِعْمَالِ جَمِيعِهِ مُسْتَعْمِلُ النَّجَاسَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ النَّجَاسَةَ لَمَّا لَمْ يَظْهَرْ لَهَا أَثَرٌ صَارَتْ مُسْتَهْلَكَةٌ، فَعُفِيَ عَنْهَا، وَلِأَنَّهُ إِذَا اسْتَبْقَى مِنْ جُمْلَةِ الْمَاءِ قَدْرَ النَّجَاسَةِ فَنَحْنُ نُحِيطُ عِلْمًا بِأَنَّ مَا اسْتَبْقَاهُ لَيْسَ بِنَجَاسَةٍ مَحْضَةٍ تَمَيَّزَتْ عَنِ الْمُسْتَعْمَلِ، وَانْحَازَتْ إِلَى الْمُسْتَبْقَى، وَإِنَّمَا الْبَاقِي مَاءٌ فِيهِ جُزْءٌ مِنَ النَّجَاسَةِ، فَكَذَلِكَ الْمُسْتَعْمَلُ فَلَمْ يَكُنْ لِهَذَا الْقَوْلِ وَجْهٌ.
al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Apabila telah tetap bahwa dua qullah adalah batas antara air sedikit dan air banyak, dan bahwa dua qullah itu setara dengan lima qirbah sebagaimana telah kami jelaskan, dan lima qirbah itu setara dengan lima ratus raṭl sebagaimana telah kami rincikan, maka air yang banyak adalah lima ratus raṭl, dan yang sedikit adalah kurang dari itu.
Kemudian al-Syafi‘i menyebutkan dalam masalah ini hukum air yang banyak dan cabang-cabang hukum najis yang terkait dengannya, lalu setelah itu menyebutkan hukum air yang sedikit dan cabang-cabang hukum najis yang terkait dengannya.
Maka apabila air itu banyak dan jatuh ke dalamnya najis, baik berupa cairan maupun benda padat, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah air itu berubah karenanya atau tidak. Jika air tidak berubah karena najis itu, maka air tetap suci dan menyucikan.
Lalu najis itu tidak lepas dari dua bentuk: cair atau padat. Jika najis itu berupa cairan seperti air kencing atau khamar yang dituangkan ke dalam air, maka penggunaan seluruh air itu secara bertahap sampai habis adalah boleh, dan tidak wajib menyisakan sedikit pun darinya.
Sebagian sahabat kami berkata: Tidak boleh menggunakan seluruhnya hingga menyisakan kadar najis yang jatuh ke dalamnya, karena kita tahu bahwa dengan menggunakan seluruhnya berarti juga menggunakan najis. Dan ini adalah pendapat yang keliru. Sebab, ketika najis itu tidak menampakkan pengaruh pada air, maka ia telah mustahlak (terlarut) dan dimaafkan. Dan karena jika seseorang menyisakan dari keseluruhan air sebesar kadar najis, maka kita pun mengetahui secara pasti bahwa sisa air itu bukan najis murni yang terpisah dari air yang digunakan lalu menyendiri dalam air yang disisakan. Sesungguhnya air yang tersisa hanyalah air yang mengandung bagian dari najis, maka demikian pula air yang telah digunakan. Maka pendapat tersebut tidak memiliki dasar.
(فَصْلٌ: إِذَا كَانَ فِي الماء عين نجسة)
وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ مُتَجَسِّدَةً كَالْأَعْيَانِ النَّجِسَةِ مِنْ مَيْتَةٍ أَوْ عَظْمِ خِنْزِيرٍ فَالْأَوْلَى أَنْ لَا يَأْخُذَ فِي اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ إِلَّا بَعْدَ إِخْرَاجِ الميتة منه، وإزالة العين النجسة عنه، فَإِنْ فَعَلَ جَازَ أَنْ يَسْتَعْمِلَ الْمَاءَ كُلَّهُ بِاتِّفَاقِ جَمِيعِ أَصْحَابِنَا شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ، حَتَّى يَسْتَنْفِدَ جَمِيعَهُ، وَلَا يَلْزَمُهُ اسْتِيفَاءُ شَيْءٍ مِنْهُ، فَإِنْ لَمْ تَزُلِ النَّجَاسَةُ وَكَانَتْ عَلَى حَالِهَا فِي الْمَاءِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَعْمِلَ جَمِيعَ الْمَاءِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا انْتَهَى إِلَى حَدِّ نَقْصٍ مِنَ الْقُلَّتَيْنِ صَارَ نَجِسًا وَإِنَّمَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ مِنْهُ مَا كَانَ زَائِدًا عَلَى الْقُلَّتَيْنِ، ثُمَّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِفَةِ اسْتِعْمَالِهِ مِنْ هَذَا الْمَاءِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL: Apabila terdapat benda najis dalam air
Jika najis itu berupa benda padat, seperti benda-benda najis dari bangkai atau tulang babi, maka yang lebih utama adalah tidak menggunakan air tersebut kecuali setelah mengeluarkan bangkai darinya dan menghilangkan benda najis dari air.
Apabila ia melakukannya, maka boleh menggunakan seluruh air itu secara bertahap sampai habis—dengan kesepakatan seluruh sahabat kami—dan tidak wajib menyisakan sedikit pun darinya.
Namun jika najis itu tidak dihilangkan dan masih tetap berada dalam air, maka tidak boleh menggunakan seluruh air tersebut, karena apabila jumlah air telah menyentuh batas kurang dari dua qullah, maka ia menjadi najis.
Yang diperbolehkan hanyalah menggunakan bagian dari air yang lebih dari dua qullah. Lalu para sahabat kami berbeda pendapat mengenai cara penggunaan air dari jenis ini menjadi dua wajah (pendapat):
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ مِنْ هَذَا الْمَاءِ إِلَّا مِنْ مَكَانٍ يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّجَاسَةِ الْقَائِمَةِ فِيهِ قُلَّتَانِ فَصَاعِدًا وَإِنِ اسْتَعْمَلَ مِنْ مَكَانٍ يَكُونُ بَيْنَهُمَا أَقَلُّ لَمْ يَجُزِ اعْتِبَارًا بأن ما قارب النجاسة كان أحص بِحُكْمِهَا.
Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa tidak boleh menggunakan air dari air semacam ini kecuali dari tempat yang antara tempat itu dan najis yang masih ada di dalam air terdapat jarak dua qullah atau lebih. Dan apabila digunakan dari tempat yang jaraknya kurang dari itu, maka tidak boleh, karena dianggap bahwa air yang dekat dengan najis itu lebih layak dihukumi dengan hukumnya (yakni najis).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ الْمَاءَ مِنْ أَيِّ مَوْضِعٍ شَاءَ وَلَوْ مِنْ أَقْرَبِهِ إِلَى النَّجَاسَةِ، وَأَلْصَقِهِ بِهَا؛ لِأَنَّ الْمَاءَ الْوَاحِدَ لَا يَتَبَعَّضُ حُكْمُهُ، وَإِنَّمَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمٌ وَاحِدٌ فِي النَّجَاسَةِ، أَوِ الطَّهَارَةِ فَعَلَى هَذَا يَسْتَعْمِلُ مِنْهُ إِلَى أَنْ يَنْتَهِيَ الْبَاقِي إِلَى حَدِّ الْقُلَّتَيْنِ، فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَعْمِلَ مِنَ الْبَاقِي بِيَدِهِ لم يجزه، لِأَنَّ مَا يَغْتَرِفُهُ بِيَدِهِ مِنْهُ لَا يُوجِبُ تَنْجِيسَ بَاقِيهِ فَيُنَجَّسُ مِنْ يَدِهِ مَا لَاقَى الْبَاقِيَ مِنَ الْمَاءِ بَعْدَ اغْتِرَافِهِ فَأَمَّا إِذَا اغْتَرَفَ مِنْهُ بِدَلْوٍ وَإِنَاءٍ فَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ كِلَا الْمَاءَيْنِ نَجِسٌ، مَا اغْتَرَفَهُ وَمَا أَبْقَاهُ، لِأَنَّهُ اغْتَرَفَ مِنْ مَوْضِعٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّجَاسَةِ أَقَلُّ مِنْ قُلَّتَيْنِ، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يُعْتَبَرُ حَالُ النَّجَاسَةِ، فَإِنْ بَقِيَتْ فِي الْمَاءِ، وَلَمْ تَخْرُجْ فِي الدَّلْوِ الَّذِي اغْتَرَفَهُ فَمَا اغْتَرَفَهُ مِنْ مَاءِ الدَّلْوِ طَاهِرٌ، وَظَاهِرُ الدَّلْوِ مَعَ الْمَاءِ الْبَاقِي نَجِسٌ، فَإِنْ خَرَجَتِ النَّجَاسَةُ فِي الدَّلْوِ الَّذِي اغْتَرَفَهُ فَمَا فِي الدَّلْوِ نَجِسٌ، وَظَاهِرُ الدَّلْوِ مَعَ الْمَاءِ الْبَاقِي طَاهِرٌ، فَإِنْ نَقَطَتْ مِنَ الدَّلْوِ نُقْطَةَ مَاءٍ فَوَقَعَتْ فِي الْبَاقِي مِنَ الْمَاءِ، فَإِنْ نَقَطَتْ مِنْ ظَاهِرِهِ كَانَ الْبَاقِي مِنَ الْمَاءِ عَلَى طَهَارَتِهِ؛ لِأَنَّ ظَاهِرَ الدَّلْوِ طَاهِرٌ وَإِنْ نَقَطَتْ مِنْ بَاطِنِهِ صَارَ الْبَاقِي مِنَ الْمَاءِ نَجِسًا؛ لِأَنَّ مَا فِي دَاخِلِ الدَّلْوِ مِنَ الْمَاءِ نَجِسٌ فَلَوْ شَكَّ هَلْ كَانَتِ النُّقْطَةُ مِنْ ظَاهِرِهِ أَوْ بَاطِنِهِ فَالْمَاءُ الْبَاقِي عَلَى أَصْلِ طَهَارَتِهِ؛ لِأَنَّهُ طَاهِرٌ شُكَّ فِي وُقُوعِ النَّجَاسَةِ فِيهِ، فَهَذَا حُكْمُ الْمَاءِ الْكَثِيرِ إِذَا لَمْ يَتَغَيَّرْ بِوُقُوعِ النَّجَاسَةِ فِيهِ.
Wajah (pendapat) kedua: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, dan jumhur sahabat kami, bahwa boleh menggunakan air dari bagian mana saja yang diinginkan, meskipun dari tempat yang paling dekat dan paling menempel dengan najis. Karena air yang satu tidak terbagi-bagi hukumya; padanya hanya berlaku satu hukum, baik najis maupun suci. Maka berdasarkan hal ini, ia boleh menggunakan air itu hingga air yang tersisa mencapai batas dua qullah. Jika ia ingin menggunakan air yang tersisa itu dengan tangannya, maka tidak diperbolehkan. Karena air yang ia ambil dengan tangannya itu tidak menyebabkan sisa air menjadi najis, namun najis bisa berpindah dari tangannya ke sisa air yang masih tersisa setelah pengambilan, sehingga yang menjadi najis adalah bagian yang terkena dari tangannya.
Adapun bila ia mengambilnya dengan timba atau wadah, maka menurut mazhab Abū Isḥāq al-Marwazī, baik air yang diambil maupun yang tersisa adalah najis, karena pengambilan dilakukan dari tempat yang jaraknya dengan najis kurang dari dua qullah.
Dan menurut mazhab Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, maka dilihat keadaan najisnya: jika najis itu masih tetap berada dalam air dan tidak ikut terbawa dalam timba yang digunakan untuk menimba, maka air yang berada dalam timba itu suci, dan bagian luar timba yang bersentuhan dengan sisa air adalah najis. Namun jika najis ikut keluar dalam timba yang digunakan untuk menimba, maka air yang berada dalam timba itu najis, dan bagian luar timba yang bersentuhan dengan air yang tersisa adalah suci.
Jika dari timba tersebut meneteskan setetes air ke dalam sisa air: apabila yang menetes berasal dari bagian luar timba, maka air yang tersisa tetap suci, karena bagian luar timba itu suci. Namun jika yang menetes berasal dari bagian dalamnya, maka air yang tersisa menjadi najis, karena air di dalam timba itu najis.
Jika ia ragu apakah tetesan itu berasal dari bagian luar atau bagian dalam, maka air yang tersisa tetap pada hukum asalnya, yaitu suci. Karena air itu suci, dan hanya diragukan jatuhnya najis ke dalamnya.
Maka inilah hukum air yang banyak apabila tidak berubah karena kejatuhan najis.
(فَصْلٌ: وَإِنْ تَغَيَّرَ بِالنَّجَاسَةِ الْوَاقِعَةِ فِيهِ بِلَوْنٍ أَوْ طَعْمٍ أَوْ رَائِحَةٍ فَهُوَ نَجِسٌ، وَلَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُ الشَّيْءِ مِنْهُ مَا كَانَ التَّغَيُّرُ عَلَى حَالِهِ سَوَاءٌ كَانَتِ النَّجَاسَةُ مَائِعَةً أَوْ مُتَجَسِّدَةً فَإِنْ زَالَ تَغَيُّرُهُ عَادَ إِلَى الطَّهَارَةِ، لِأَنَّهُ نَجِسٌ لِأَجْلِ التَّغْيِيرِ ثُمَّ يَكُونُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا حُكْمُهُ إِذَا لَمْ يَتَغَيَّرُ عَلَى اسْتِعْمَالٍ، وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ مَائِعَةً أَوْ متجسدة فإن عاد إلى التَّغْيِيرُ بَعْدَ زَوَالِهِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ قَائِمَةً فِيهِ فَهُوَ نَجِسٌ؛ لِأَنَّهُ مَاءٌ مُتَغَيِّرٌ بِنَجَاسَةٍ حُكْمِيَّةٍ، وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ قَدْ أُخْرِجَتْ مِنْهُ فَهُوَ طَاهِرٌ؛ لِأَنَّهُ مَاءٌ طَاهِرٌ قَدْ تَغَيَّرَ مِنْ غَيْرِ نَجَاسَةٍ قَائِمَةٍ فِيهِ وَاللَّهُ أعلم.
PASAL: Jika air berubah karena najis yang jatuh ke dalamnya
Jika air berubah karena najis yang jatuh ke dalamnya, baik dari segi warna, rasa, atau bau, maka air tersebut menjadi najis, dan tidak boleh digunakan sedikit pun darinya selama perubahan itu masih ada—baik najis itu berupa cairan maupun benda padat.
Jika perubahan itu hilang, maka air kembali menjadi suci, karena ia menjadi najis disebabkan oleh perubahan. Maka setelah itu, hukumnya kembali mengikuti apa yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang air yang tidak berubah—boleh digunakan.
Apabila najis itu berupa cairan atau benda padat, lalu setelah hilangnya perubahan air, perubahan itu kembali muncul, maka diperinci: jika najisnya masih tetap ada di dalam air, maka air tersebut najis, karena ia adalah air yang berubah dengan najis secara hukmī.
Namun jika najis itu telah dikeluarkan dari air, maka airnya suci, karena ia adalah air suci yang berubah tanpa ada najis yang masih tersisa di dalamnya.
Dan Allah Maha Mengetahui.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن وقعت ميتةٌ في بئرٍ فتغير مِنْ طَعْمِهَا أَوْ لَوْنِهَا أَوْ رَائِحَتِهَا أُخْرِجَتِ الْمَيْتَةُ وَنُزِحَتِ الْبِئْرُ حَتَّى يَذْهَبَ تَغَيُّرُهَا فَتَطْهُرُ بِذَلِكَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَحُكْمُ مَاءِ الْبِئْرِ فِيمَا يُنَجَّسُ بِهِ، وَلَا يُنَجَّسُ كَحُكْمِ غيره من مياه المصانع، والأواني.
(MASALAH)
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ada bangkai jatuh ke dalam sumur lalu airnya berubah, baik dari rasa, warna, atau baunya, maka bangkai itu dikeluarkan dan sumurnya ditimba hingga hilang perubahan tersebut, maka dengan itu sumur menjadi suci.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Hukum air sumur dalam hal terkena najis atau tidaknya adalah sama seperti hukum air selainnya, baik air yang berada di tempat penampungan maupun di wadah.
وقال أبو حنيفة ماء البئر مخالف لغيره من مياه المصانع والأواني وإن ماتت في البئر عصفوراً وفأرة نُزِحَ مِنَ الْبِئْرِ عِشْرُونَ دَلْوًا وَكَانَ بَاقِي مَائِهَا طَاهِرًا، وَإِنْ وَقَعَ ذَنَبُهَا نُزِحَتِ الْبِئْرُ كلها، وإن مات فيها سنوراً ودجاجة نُزِحَ مِنْهَا أَرْبَعُونَ دَلْوًا، وَكَانَ بَاقِي مَائِهَا طَاهِرًا، وَإِنْ مَاتَتْ فِيهَا شَاةٌ نُزِحَ جَمِيعُ مَائِهَا، وَكَذَا إِنْ وَقَعَ فِيهَا بَوْلٌ أَوْ عَذِرَةٌ، وَكَانَ مِنْ فَرْقٍ بَيْنَ مَاءِ الْبِئْرِ وَغَيْرِهَا أَنَّ مَاءَ الْبِئْرِ يَنْبُعُ مِنْ تَحْتِهَا فَهُوَ يَدْفَعُ النَّجَاسَةَ إِلَى عُلُوِّهَا، وَكَأَنَّهُ فَرْقٌ بَيْنَ الْفَأْرَةِ وَالسِّنَّوْرِ، أَنَّ السِّنَّوْرَ يَغُوصُ فِي الْمَاءِ أَكْثَرَ مِنَ الْفَأْرَةِ فَكَانَ مَا يُنْزَحُ بِمَوْتِهَا أَكْثَرَ، وَالشَّاةُ تَغُوصُ إِلَى قَعْرِ الْبِئْرِ، فَيُنْزَحُ جَمِيعُ مَا فِي الْبِئْرِ، وَهَذَا مَذْهَبٌ إِنْ لَمْ يُعَضِّدْهُ نَصٌّ، وَلَيْسَ فِيهِ نَصٌّ فهو أظهر فساد مِنْ أَنْ يُقَامَ عَلَى فَسَادِهِ دَلِيلٌ؛ لِأَنَّ الماء النجس لا يطهر بِأَخْذِ بَعْضِهِ فَيَكُونُ الْمَأْخُوذُ مِنْهُ نَجِسًا، وَالْمَتْرُوكُ طَاهِرًا وَكَيْفَ تَمَيَّزَتِ النَّجَاسَةُ حَتَّى صَارَ جَمِيعُهَا فِي الْمَأْخُوذِ، وَلَمْ يَبْقَ فِي الْمَتْرُوكِ شَيْءٌ مِنْهَا، وَتَمَيَّزَتِ الطَّهَارَةُ فِي الْمَتْرُوكِ، وَلَمْ يَبْقَ فِي الْمَأْخُوذِ شَيْءٌ مِنْهَا، وَمَا انْفَصَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ قَلَبَ مَا قَالَهُ فَجَعَلَ الْمَأْخُوذَ طَاهِرًا، وَالْمَتْرُوكَ نَجِسًا.
فَإِنْ قَالَ: لِأَنَّ الْمَأْخُوذَ مِنْ أَعْلَاهُ وَمَا يَنْبُعُ مِنْ مَاءِ الْبِئْرِ يَدْفَعُ النَّجَاسَةَ إِلَى أَعْلَى.
Abū Ḥanīfah berkata: Air sumur berbeda hukumnya dengan air selainnya seperti air di tempat penampungan dan bejana. Jika di dalam sumur mati seekor burung pipit atau tikus, maka dari sumur tersebut ditimba dua puluh timba, dan sisa airnya dihukumi suci. Jika yang jatuh adalah ekornya saja, maka seluruh isi sumur harus ditimba.
Jika di dalamnya mati kucing atau ayam, maka ditimba darinya empat puluh timba, dan sisa airnya suci. Jika yang mati di dalamnya adalah kambing, maka seluruh air sumur harus ditimba, begitu pula jika ada air kencing atau kotoran manusia yang jatuh ke dalamnya.
Perbedaan antara air sumur dan selainnya adalah bahwa air sumur memancar dari bawahnya, maka ia mendorong najis ke bagian atasnya. Perbedaan antara tikus dan kucing adalah bahwa kucing lebih dalam menyelam ke dalam air daripada tikus, sehingga air yang harus ditimba karena bangkainya lebih banyak. Sedangkan kambing tenggelam hingga ke dasar sumur, maka seluruh air sumur harus ditimba.
Ini adalah mazhab yang jika tidak didukung oleh nash, dan tidak ada nash padanya, maka kebatilannya lebih jelas daripada harus didatangkan dalil untuk membatalkannya. Karena air yang najis tidak akan menjadi suci hanya dengan mengambil sebagian darinya, sehingga bagian yang diambil dianggap najis dan sisanya suci. Bagaimana najis itu bisa terpisah seluruhnya lalu berada hanya pada bagian yang diambil, dan tidak tersisa sedikit pun dalam yang ditinggalkan? Dan bagaimana pula kesucian terpisah hanya pada bagian yang ditinggalkan dan tidak ada sedikit pun pada yang diambil?
Tidak ada perbedaan antara ini dan orang yang membalik pendapat tersebut, lalu mengatakan bahwa yang diambil adalah suci dan yang ditinggalkan najis.
Jika dikatakan: Karena air yang diambil itu berasal dari bagian atas, sedangkan air sumur yang memancar mendorong najis ke bagian atas… (maka kelanjutannya tetap tidak sah secara logika maupun syar‘ī sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut).
قِيلَ: الدَّلْوُ إِذَا نَزَلَ فِي الْبِئْرِ نُزِحَ جَمِيعُ مَائِهَا، وَلَمْ يَتْرُكْ طَبَقَاتِ الْمَاءِ فِي الْبِئْرِ عَلَى حَالِهَا، ثُمَّ كَيْفَ انْتَهَى رَفْعُ النَّجَاسَةِ بِمَا يَقَعُ مِنْ أَسْفَلِهَا إِلَى عِشْرِينَ دَلْوًا فِي أَعْلَاهَا، وَلَمْ يَرْتَفِعْ عَنْهُ وَلَمْ يَنْخَفِضْ مِنْهُ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: لَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ مَا نَبَعَ مِنْ أَسْفَلِ الْمَاءِ يَرْفَعُ النَّجَاسَةَ إِلَى أَعْلَاهُ، أَوْجَبَ أَنْ يَكُونَ مَا يَصُبُّ عَلَيْهِ من أعلاه يحيط النَّجَاسَةَ إِلَى أَسْفَلِهِ عَلَى قِيَاسِ هَذَا الْقَلِيلِ، وَأَنْتُمْ لَا تَقُولُونَ بِهِ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: زَعَمْتَ أَنَّ الْفَأْرَةَ لَا تَغُوصُ فِي الْمَاءِ بِأَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ دَلْوًا مِنْ أَيْنَ لَكَ هَذَا، وَلِمَ لَا قُلْتَ مِثْلَهُ فِي مَاءِ الْغَدِيرِ، وَمَا تَقُولُ إِنْ شُدَّتِ الْفَأْرَةُ بِحَجَرٍ حَتَّى وَصَلَتْ إِلَى قَعْرِ الْبِئْرِ يَنْبَغِي عَلَى قَوْلِكَ أَنْ يُنْزَحَ جَمِيعُ مَائِهَا وَلَوْ شُدَّتْ بِخَشَبَةٍ حَتَّى مُنِعَتْ مِنْ غَوْصِهَا أَنْ لَا يُنْزَحَ شَيْءٌ مِنْهَا، وَأَنْتَ لَا تَقُولُ بِهَذَيْنِ وَتُوجِبُ نَزْحَ عِشْرِينَ دَلْوًا فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: ذَنَبُ الْفَأْرَةِ أَقَلُّ غَوْصًا فِي الْمَاءِ مِنْ جَمِيعِ الْفَأْرَةِ وَأَنْتَ تَقُولُ فِي ذَنَبِهَا وَهُوَ أَحَدُ أَعْضَائِهَا أَنَّهُ يُنْزَحُ مِنْهُ مَاءُ الْبِئْرِ كُلُّهُ، وَيُنْزَحُ مِنَ الْفَأْرَةِ مَعَ ذَنَبِهَا عِشْرُونَ دَلْوًا مِنْ جُمْلَتِهِ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: زَعَمْتَ أَنَّهُ لَوْ سَقَطَ الدَّلْوُ الْأَخِيرُ مِنَ الْعِشْرِينَ إِلَى مَاءِ الْبِئْرِ صَارَ نَجِسًا، فَإِنْ عَادَ فَنَزَحَ مِنْهَا دَلْوًا وَاحِدًا صَارَ طَاهِرًا فَهَلْ يُتَصَوَّرُ فِي الْمَعْقُولِ أَنَّ الدَّلْوَ النَّجِسَ الَّذِي سَقَطَ فِي الْمَاءِ خَرَجَ جَمِيعُهُ فِي الدَّلْوِ الْمُسْتَقَى مِنْهُ حَتَّى تَمَيَّزَ بَعْدَ امْتِزَاجِهِ بِهِ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ قَالَ الْجَاحِظُ: لَمْ أَرَ دَلْوًا أَعْقَلَ مِنْ دَلْوِ أبي حنيفة يَعْنِي أَنَّهُ يُمَيِّزُ بَيْنَ الْمَاءِ الطَّاهِرِ وَالنَّجِسِ، وَالْجَاحِظُ غَيْرُ مَعْذُورٍ بِمِثْلِ هَذِهِ الْخَلَاعَةِ فِي أبي حنيفة مَعَ فَضْلِهِ وَتَقَدُّمِهِ فِي عِلْمِهِ لَكِنْ تَطَرَّقَ بِاضْطِرَابِ الْمَذْهَبِ وَذَهَابِهِ إِلَى الِاسْتِرْسَالِ بِهَذَا الْقَوْلِ الْمُسْتَهْجَنِ فَإِنْ قَالَ أبو حنيفة: إِنَّمَا قَلْتُ هَذَا؛ لِأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قِيلَ قَدْ رُوِيَ عَنْهُ أنَهُ أَمَرَ بِنَزْحِ سبعٍ أَوْ ثمانٍ، وَلَيْسَتْ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ فِي الْمَصِيرِ إِلَيْهَا بِأَوْلَى مِنَ الْأُخْرَى قَالَ: إِنَّهُ يَجُوزُعَلَى أَنْ يَكُونَ أُمِرَ بِنَزْحِهَا لِيَزُولَ تَغَيُّرُهَا أَوْ تَنْظِيفًا لَا وَاجِبًا فَلِمَ تُرِكَتِ السُّنَّةُ الثَّابِتَةُ وَالْأُصُولُ الْمُشْتَهِرَةُ، لِهَذَا الْأَثَرِ الْمُحْتَمَلِ وَالرِّوَايَةِ الْمُخْتَلِفَةِ.
Dikatakan (sebagai bantahan kepada pendapat Abū Ḥanīfah): Timba yang diturunkan ke dalam sumur ketika digunakan untuk menimba akan mengaduk seluruh airnya, tidak membiarkan lapisan-lapisan air tetap seperti semula. Maka bagaimana mungkin najis itu bisa terdorong naik ke atas lalu berhenti tepat pada dua puluh timba, tidak naik lebih dari itu dan tidak turun kembali?
Kemudian dikatakan kepadanya: Jika engkau membolehkan bahwa air yang memancar dari dasar sumur bisa mendorong najis ke bagian atas, maka secara qiyās semestinya engkau juga membolehkan bahwa air yang dituangkan dari atas bisa mendorong najis ke dasar sumur. Namun kalian tidak mengatakan hal itu.
Kemudian dikatakan pula kepadanya: Engkau menyangka bahwa tikus tidak menyelam ke dalam air melebihi dua puluh timba. Dari mana engkau tahu hal itu? Mengapa engkau tidak mengatakan hal yang sama terhadap air kolam (yang diam)? Lalu apa yang engkau katakan jika tikus itu diikat dengan batu hingga tenggelam sampai dasar sumur? Menurut pendapatmu, berarti seluruh air sumur harus ditimba. Tapi jika ia diikat dengan kayu sehingga tidak tenggelam, berarti tak perlu ditimba sedikit pun. Padahal engkau tidak mengatakan keduanya, namun tetap mewajibkan menimba dua puluh timba dalam segala keadaan.
Kemudian dikatakan lagi kepadanya: Ekor tikus lebih sedikit menyelam dalam air dibanding seluruh tubuh tikus. Namun engkau mengatakan bahwa jika hanya ekornya yang jatuh, maka seluruh air sumur harus ditimba, sementara jika yang jatuh seluruh tubuh tikus (termasuk ekornya), cukup ditimba dua puluh timba.
Kemudian dikatakan pula: Engkau menyangka bahwa jika timba yang ke-dua puluh jatuh ke dalam air sumur, maka ia menjadi najis. Tetapi jika kemudian ditimba satu kali lagi dari sumur tersebut, airnya menjadi suci. Maka apakah masuk akal bahwa najis dari timba yang ke-dua puluh itu seluruhnya keluar dan terpisah dalam satu timba berikutnya, setelah bercampur sebelumnya?
Oleh karena itu al-Jāḥiẓ pernah berkata secara sindiran: “Aku belum pernah melihat timba yang lebih cerdas daripada timba Abū Ḥanīfah!” — maksudnya, seolah timba itu bisa membedakan antara air suci dan najis. Dan sindiran al-Jāḥiẓ ini tidaklah bisa dibenarkan, mengingat kedudukan dan keutamaan Abū Ḥanīfah serta ilmunya. Tapi kesan tersebut muncul karena keganjilan dalam madzhab dan keberaniannya menetapkan pendapat yang dianggap buruk secara akal.
Jika Abū Ḥanīfah berkata: “Aku hanya mengatakan demikian karena diriwayatkan dari ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu,” maka dijawab: “Telah diriwayatkan juga darinya bahwa beliau memerintahkan menimba tujuh atau delapan timba. Maka tidak ada keutamaan salah satu dari dua riwayat tersebut untuk lebih dipegang dibanding yang lain.”
Lalu dikatakan pula: Mungkin saja beliau memerintahkan menimba air itu untuk menghilangkan perubahan atau demi kebersihan semata, bukan sebagai kewajiban. Maka mengapa ditinggalkan sunnah yang sahih dan usul yang masyhur hanya karena riwayat yang masih bersifat kemungkinan dan pernyataan yang berbeda-beda?
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ حُكْمَ مَاءِ الْبِئْرِ فِيمَا يُنَجَّسُ بِهِ وَلَا يُنَجَّسُ كَحُكْمِ غيره من المياه الراكدة، فلا يخلو حال الْبِئْرِ إِذَا وَقَعَتْ فِيهَا النَّجَاسَةُ مَائِعَةً أَوْ قَائِمَةً مِنْ أَنْ يَكُونَ مَاؤُهَا قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا، فَإِنْ كَانَ مَاؤُهَا قَلِيلًا فَهُوَ نَجِسٌ سَوَاءٌ تَغَيَّرْ بِالنَّجَاسَةِ أَوْ لَمْ يَتَغَيَّرْ لَكِنَّهُ إِذَا كَانَ مُتَغَيِّرًا فَطَهَارَتُهُ بِالِاجْتِمَاعِ، وَمُغَيِّرُ أَحَدِهِمَا الْمُكَاثَرَةُ بِالْمَاءِ حَتَّى يَبْلُغَ قُلَّتَيْنِ، وَالثَّانِي زَوَالُ التَّغْيِيرِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُتَغَيِّرٍ فَطَهَارَتُهُ بِوَصْفٍ وَاحِدٍ وَهُوَ الْمُكَاثَرَةُ حَتَّى يَبْلُغَ قُلَّتَيْنِ فَإِنْ صَبَّ عَلَيْهِ الْمَاءَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَاءِ الْوَارِدِ مِنْ أَنْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنَ الْمَوْرُودِ عَلَيْهِ أَوْ أَقَلَّ فَإِذَا كَانَ أَقَلَّ فَالْكُلُّ نَجِسٌ؛ لِأَنَّ الْوَارِدَ لِقِلَّتِهِ صَارَ مُسْتَهْلِكًا فِي الْمَوْرُودِ عَلَيْهِ لِكَثْرَتِهِ، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ فَهُوَ فِي حُكْمِ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ، فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يَكُونُ طَاهِرًا غَيْرَ مُطَهِّرٍ، وَعَلَى مَذْهَبِ الْأَنْمَاطِيِّ يَكُونُ نَجِسًا وَإِنْ كَانَ مَاءُ الْبِئْرِ كَثِيرًا قُلَّتَيْنِ فَصَاعِدًا فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَغَيِّرًا أَوْ غَيْرَ مُتَغَيِّرٍ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُتَغَيِّرٍ فَهُوَ طَاهِرٌ، وَالْكَلَامُ فِي اسْتِعْمَالِهِ عَلَى مَا مَضَى مِنْ كَوْنِ النَّجَاسَةِ قَائِمَةً أَوْ مَائِعَةً، وَإِنْ كَانَ مُتَغَيِّرًا فَهُوَ نَجِسٌ، وَطَهَارَتُهُ مُعْتَبَرَةٌ بِزَوَالِ تَغْيِيرِهِ وَلِزَوَالِ تَغْيِيرِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
PASAL
Apabila telah tetap bahwa hukum air sumur dalam hal terkena najis atau tidaknya adalah sama seperti air-air lain yang diam, maka keadaan sumur jika jatuh ke dalamnya najis—baik cair maupun benda padat—tidak lepas dari dua keadaan: airnya sedikit atau banyak.
Jika air sumur itu sedikit, maka ia menjadi najis, baik mengalami perubahan karena najis atau tidak. Namun jika berubah, maka cara mensucikannya ada dua:
- yang pertama adalah dengan menambahkan air (mukātharah) sampai mencapai dua qullah,
- yang kedua adalah hilangnya perubahan tersebut.
Jika airnya tidak berubah, maka cara penyuciannya hanya dengan satu cara, yaitu mukātharah hingga mencapai dua qullah.
Apabila dituangkan air ke atasnya, maka keadaan air yang dituangkan (wārid) tidak lepas dari dua kemungkinan: lebih banyak atau lebih sedikit dari air yang dituang (mawrūd ‘alayh). Jika yang dituangkan lebih sedikit, maka seluruhnya najis, karena air yang masuk, karena sedikitnya, menjadi mustahlak (terlarut dan hilang dalam) air yang dituang, karena banyaknya.
Namun jika air yang dituangkan lebih banyak, maka ia berada dalam hukum air yang digunakan untuk menghilangkan najis. Maka menurut mazhab al-Syafi‘i, air tersebut suci tetapi tidak menyucikan. Sedangkan menurut mazhab al-Anmāṭī, air itu najis.
Jika air sumur itu banyak, yaitu dua qullah atau lebih, maka tidak lepas dari dua keadaan: mengalami perubahan atau tidak. Jika tidak mengalami perubahan, maka air tersebut suci, dan pembahasan tentang penggunaannya mengikuti yang telah disebutkan sebelumnya mengenai najis cair dan najis padat.
Namun jika mengalami perubahan, maka ia menjadi najis. Penyuciannya tergantung pada hilangnya perubahan tersebut, dan hilangnya perubahan itu memiliki tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَزُولَ بِنَفْسِهِ لِطُولِ الْمُكْثِ وَتَقَادُمِ الْعَهْدِ فَيَعُودُ إِلَى حَالِ الطَّهَارَةِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَزُولَ تَغْيِيرُهُ بِالْمُكَاثَرَةِ بِالْمَاءِ فَيَكُونُ طَاهِرًا سَوَاءٌ كَانَ الْوَارِدُ عَلَيْهِ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَزُولَ تَغْيِيرُهُ بِإِلْقَاءِ شيء فيه لا يَخْلُو حَالُ الشَّيْءِ الْمُلْقَى مِنْ أَنْ يَكُونَ تُرَابًا أَوْ غَيْرَ تُرَابٍ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ تُرَابٍ، كَالطِّيبِ وَمَا جَرَى مَجْرَاهُ مِنْ ذِي رائحته غالبة فالماء على نجاسة لِأَنَّنَا لَمْ نَتَيَقَّنْ زَوَالَ التَّغَيُّرِ، وَإِنَّمَا غَلَبَ عَلَيْهَا مَا هُوَ أَقْوَى رَائِحَةً مِنْهَا فَخَفِيَتْ مَعَهُ، وَإِنْ كَانَ تُرَابًا فَفِي طَهَارَتِهِ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يُطَهَّرُ قِيَاسًا عَلَى زَوَالِ التَّغَيُّرِ بِالطِّيبِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُطَهَّرُ؛ لِأَنَّ التُّرَابَ لَا يَنْفَكُّ مِنَ الْمَاءِ غَالِبًا، وَهُوَ قَرَارٌ لَهُ، فَقَدْ يَتَغَيَّرُ الْمَاءُ مَعَ كَوْنِهِ فِيهِ فَإِذَا زَالَ التَّغَيُّرُ لِحُصُولِ التُّرَابِ فِيهِ دَلَّ عَلَى اسْتِهْلَاكِ النَّجَاسَةِ بِزَوَالِ تَغْيِيرِهَا، وَأَنَّ التُّرَابَ قَدْ جَذَبَهَا إِلَى نَفْسِهِ حَتَّى لَمْ يَبْقَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ مِنْهَا.
Pertama: bahwa perubahan (air karena najis) hilang dengan sendirinya karena lama menetap dan waktu yang berlalu, maka air kembali kepada keadaan suci.
Kedua: bahwa perubahan itu hilang dengan cara mukātharah (penambahan air), maka air menjadi suci, baik air yang ditambahkan sedikit maupun banyak.
Ketiga: bahwa perubahan itu hilang karena dijatuhkan sesuatu ke dalamnya. Keadaan benda yang dijatuhkan tidak lepas dari dua kemungkinan: tanah atau selain tanah.
Jika yang dijatuhkan bukan tanah, seperti wewangian dan semacamnya yang baunya kuat, maka air tetap najis. Karena kita tidak yakin bahwa perubahan najis itu benar-benar hilang, melainkan hanya tertutupi oleh bau lain yang lebih kuat darinya, sehingga menjadi tersembunyi.
Jika yang dijatuhkan adalah tanah, maka dalam kesucian air terdapat dua pendapat sebagaimana disebutkan oleh al-Muzanī dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr:
- Pendapat pertama: tidak menjadi suci, dengan qiyās kepada hilangnya perubahan dengan wewangian.
- Pendapat kedua: bahwa air menjadi suci. Karena tanah tidak dapat sepenuhnya terpisah dari air, ia menjadi dasar bagi air tersebut, maka air bisa saja berubah karena keberadaannya. Maka jika perubahan air hilang karena adanya tanah, itu menunjukkan bahwa najis telah mustahlak (terlarut hingga hilang sifatnya) dengan hilangnya perubahan tersebut, dan bahwa tanah telah menyerap najis itu ke dalam dirinya hingga tidak tersisa lagi bagian dari najis dalam air.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا نَزْحُ مَاءِ الْبِئْرِ إِذَا كَانَ نَجِسًا فَلَا يُطَهَّرُ بِالنَّزْحِ، وَهُوَ بَعْدَ نَزْحِهِ نَجِسٌ كَحُكْمِهِ فِي الْبِئْرِ قَبْلَ نَزْحِهِ فَأَمَّا الْبِئْرُ بَعْدَ نَزْحِهَا فَلَا يَخْلُو أَنْ يَنْبُعَ فِيهَا مَاءٌ أَمْ لَا؟ فَإِنْ لَمْ يَنْبُعْ فِيهَا مَاءٌ فَهِيَ نَجِسَةٌ، لَا تُطَهَّرُ إِلَّا بِمَا تُطَهَّرُ بِهِ النَّجَاسَاتُ مِنَ الْغَسْلِ بِالْمَاءِ وَإِنْ نَبَعَ فِيهَا مَاءٌ لَمْ يَخْلُ حَالُ النَّابِعِ فِيهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَغَيِّرًا أَوْ غَيْرَ مُتَغَيِّرٍ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُتَغَيِّرٍ، نَظَرَفَإِنْ بَلَغَ قُلَّتَيْنِ فَهُوَ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ، وَالْبِئْرُ طَاهِرَةٌ، وَإِنْ كَانَ دُونَ الْقُلَّتَيْنِ فَقَدْ طَهُرَتِ الْبِئْرُ، وَهُوَ مَاءٌ مُسْتَعْمَلٌ فِي إِزَالَةِ نَجَاسَتِهِ، فيكون على مذهب الشافعي طاهر غَيْرَ مُطَهِّرٍ، وَعَلَى مَذْهَبِ الْأَنْمَاطِيِّ نَجِسًا. وَإِنْ كَانَ الْمَاءُ النَّابِعُ مُتَغَيِّرًا فَلَا يَخْلُو تَغْيِيرُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:
PASAL
Adapun air yang ditimba dari sumur ketika airnya najis, maka air tersebut tidak menjadi suci hanya karena ditimba. Setelah ditimba, hukumnya tetap najis sebagaimana ketika masih berada di dalam sumur sebelum ditimba.
Adapun sumurnya setelah ditimba, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah muncul kembali air di dalamnya atau tidak.
- Jika tidak muncul kembali air di dalamnya, maka sumur tersebut najis dan tidak bisa disucikan kecuali dengan cara yang digunakan untuk menyucikan najis pada umumnya, yaitu dicuci dengan air.
- Jika muncul kembali air di dalamnya, maka keadaan air yang muncul tidak lepas dari dua hal: apakah air itu berubah atau tidak.
- Jika tidak berubah, maka dilihat:
- Jika mencapai dua qullah, maka air itu suci dan menyucikan, dan sumur pun menjadi suci.
- Jika kurang dari dua qullah, maka sumur telah suci, namun airnya termasuk air yang digunakan untuk menghilangkan najis. Maka menurut mazhab al-Syafi‘i, air itu suci namun tidak menyucikan (ṭāhir ghayr muṭahhir), dan menurut mazhab al-Anmāṭī, air itu najis.
- Jika mencapai dua qullah, maka air itu suci dan menyucikan, dan sumur pun menjadi suci.
- Jika air yang memancar itu berubah, maka perubahan tersebut tidak lepas dari tiga keadaan:
- Jika tidak berubah, maka dilihat:
أَحَدُهَا: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ مِنَ النَّجَاسَةِ فَيَكُونُ الْمَاءُ نَجِسًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ مِنْ غَيْرِ النَّجَاسَةِ إِمَّا لِحَمْأَةٍ أو لفساد التربة فَلَا حُكْمَ لِتَغْيِيرِهِ وَلَا يُؤَثِّرُ هَذَا التَّغْيِيرُ فِي تَنْجِيسِهِ، وَيَكُونُ كَحُكْمِهِ لَوْ كَانَ غَيْرَ مُتَغَيِّرٍ عَلَى مَا مَضَى.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَشُكَّ فِي سَبَبِ تَغْيِيرِهِ هَلْ هُوَ لِأَجْلِ النَّجَاسَةِ أَوْ لِفَسَادِ التُّرْبَةِ؟ فَيَغْلِبُ عَلَيْهِ حُكْمُ التَّغْيِيرِ بِالنَّجَاسَةِ فَيَكُونُ نَجِسًا؛ لِأَنَّهُ الظَّاهِرُ مِنْ حَالِ تَغْيِيرِهِ.
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: لَوْ أَنَّ غَدِيرًا بَالَ فيه ظبي فوجده مَاؤُهُ مُتَغَيِّرًا فَلَمْ يَعْلَمْ هَلْ تَغَيَّرَ لِبَوْلِ الظَّبْيِ، أَوْ لِطُولِ الْمُكْثِ كَانَ الْمَاءُ نَجِسًا؛ لأن ظاهر تغييره أَنَّهُ لِوُقُوعِ النَّجَاسَةِ فِيهِ، فَغَلَبَ حُكْمُهُ، فَهَذَا حُكْمُ الْمَاءِ الرَّاكِدِ فِي بِئْرٍ أَوْ غَيْرِهَا مَاءِ إِنَاءٍ أَوْ غَدِيرٍ.
Pertama: apabila diketahui bahwa perubahan itu berasal dari najis, maka air tersebut najis.
Kedua: apabila diketahui bahwa perubahan itu bukan berasal dari najis, tetapi dari lumpur atau kerusakan tanah, maka perubahan tersebut tidak berpengaruh dan tidak menjadikan air najis. Maka hukumnya seperti air yang tidak mengalami perubahan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Ketiga: apabila ragu tentang sebab perubahan itu—apakah karena najis atau karena rusaknya tanah—maka yang diunggulkan adalah hukum perubahan karena najis. Maka air tersebut dihukumi najis, karena itu adalah yang tampak dari kondisi perubahan tersebut.
Al-Syafi‘i berkata: “Seandainya ada genangan air yang dikencingi oleh kijang, lalu didapati airnya berubah, dan tidak diketahui apakah perubahan itu karena kencing kijang atau karena lama menetap, maka air itu najis. Karena perubahan yang tampak menunjukkan bahwa itu akibat jatuhnya najis ke dalamnya, maka hukum itulah yang diunggulkan.”
Maka inilah hukum air yang diam, baik di dalam sumur maupun selainnya—seperti air di wadah atau genangan.
(فَصْلٌ: إِذَا وَقَعَتْ في الماء الجاري نجاسة)
فَأَمَّا الْمَاءُ الْجَارِي إِذَا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ تَكُونَ مَائِعَةً أَوْ مُتَجَسِّدَةً، فَإِنْ كَانَتْ مَائِعَةً فَلَا يَخْلُو أَنْ يَتَغَيَّرَ بِهَا شَيْءٌ مِنَ الْمَاءِ الْجَارِي أَمْ لَا؟ فَإِنْ تَغَيَّرَ بِهَا شَيْءٌ مِنْهُ كَانَتِ الْجَرْيَةُ الَّتِي تَغَيَّرَتْ بها نجسة، وَكَانَ مَا فَوْقَهَا مِنَ الْمَاءِ الْأَعْلَى وَمَا تَحْتَهَا مِنَ الْمَاءِ الْأَسْفَلِ طَاهِرَيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ بِهَا فَالْجَرْيَةُ الَّتِي وَقَعَتْ فِيهَا النَّجَاسَةُ نَجِسَةٌ، وَمَا تَحْتَهَا وَفَوْقَهَا طَاهِرٌ، فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ الْجَارِي يَنْتَهِي إِلَى فَضَاءٍ يَقِفُ فِيهِ فَمَاءُ الْفَضَاءِ مَا لَمْ تَنْتَهِ إِلَيْهِ الْجَرْيَةُ، التي وقعت فيها النجاسة طاهر فإذا انْتَهَتِ الْجَرْيَةُ النَّجِسَةُ إِلَيْهِ صَارَ حُكْمُهُ كَحُكْمِ الْمَاءِ الرَّاكِدِ إِذَا قَلَتْهُ نَجَاسَةٌ فِي اعْتِبَارِ الْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ، فَإِنْ كَانَ قُلَّتَيْنِ كَانَ طَاهِرًا، فَلَوْ تَوَضَّأَ رَجُلٌ مِنْ تِلْكَ الْجَرْيَةِ قَبْلَ اتِّصَالِهَا بِمَاءِ الْفَضَاءِ كَانَ وُضُوءُهُ بَاطِلًا لِنَجَاسَةِ الْمَاءِ الَّذِي تَوَضَّأَ بِهِ، وَلَوْ تَوَضَّأَ مِنْ تِلْكَ الْجَرْيَةِ بَعْدَ اتِّصَالِهَا بِمَاءِ الْفَضَاءِ جَازَ وَإِنْ لَمْ تَغِبْ فِيهِ، وَتُخْلَطْ بِهِ؛ لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ فِي طَهَارَتِهِ بِالِاتِّصَالِ لَا بِالِاخْتِلَاطِ؛ أَلَا ترى لو أن قلتين مَاءٍ غَيْرَ رِطْلٍ وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ فَهُوَ نَجِسٌ، وَلَوْ صُبَّ عَلَيْهِ رِطْلٌ مِنْ مَاءٍ صَارَ طَاهِرًا وَجَازَ اسْتِعْمَالُهُ، وَإِنِ اسْتَحَالَ أَنْ يَغِيبَ الْمَاءُ كُلُّهُ فِي الرِّطْلِ الَّذِي صُبَّ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ مُتَجَسِّدَةً كَمَيْتَةٍ وَقَعَتْ فِيهِ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ جَارِيَةً مَعَهُ أَوْ وَاقِفَةً فِيهِ فَإِنْ كَانَتْ جَارِيَةً مَعَهُ فَحُكْمُهَا عَلَى مَا مَضَى مِنْ نَجَاسَةِ الْجَرْيَةِ الَّتِي هِيَ فِيهَا، وَطَهَارَةِ مَا قَبْلَهَا وَمَا بَعْدَهَا، فَإِذَا انْتَهَتِ النَّجَاسَةُ إِلَى مَاءِ الْفَضَاءِ صَارَتْ نَجِسَةً فِي مَاءٍ رَاكِدٍ، فَيَكُونُعَلَى مَا مَضَى مِنِ اعْتِبَارِ قِلَّتِهِ وَكَثْرَتِهِ، فَإِنْ كَانَ قُلَّتَيْنِ فَصَاعِدًا كَانَ مَدُّ الْفَضَاءِ طَاهِرًا، وَكَذَلِكَ مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ مِنَ الْمَاءِ الْجَارِي طَاهِرٌ أَيْضًا قَبْلَ اتِّصَالِهِ بِهِ وَبَعْدَهُ، وَإِنْ كَانَ مَاءُ الْفَضَاءِ دُونَ الْقُلَّتَيْنِ فَهُوَ نَجِسٌ، وَالْمَاءُ الْجَارِي قَبْلَ اتِّصَالِهِ بِمَاءِ الْفَضَاءِ طَاهِرٌ فَإِذَا اتَّصَلَ بِهِ صَارَ نَجِسًا وَلَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ، وَلَوْ لَمْ يَغِبْ فِيهِ وَيَخْتَلِطْ بِهِ اعْتِبَارًا بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّعْلِيلِ بِالِاتِّصَالِ دُونَ الِاخْتِلَاطِ، وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ قَائِمَةً فِي الْمَاءِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
PASAL: Jika najis jatuh ke dalam air yang mengalir
Adapun air yang mengalir, jika ke dalamnya jatuh najis, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal: najis itu cair atau padat.
- Jika najis itu cair, maka tidak lepas dari dua kemungkinan:
- jika air berubah karena najis tersebut, maka bagian aliran yang berubah menjadi najis, sedangkan air di atasnya (sebelumnya) dan di bawahnya (setelahnya) tetap suci;
- jika air tidak berubah karena najis, maka bagian aliran tempat najis jatuh tetap dihukumi najis, sedangkan bagian atas dan bawahnya suci.
- jika air berubah karena najis tersebut, maka bagian aliran yang berubah menjadi najis, sedangkan air di atasnya (sebelumnya) dan di bawahnya (setelahnya) tetap suci;
Jika aliran air itu bermuara pada suatu tempat yang luas sehingga air berhenti di situ, maka air di tempat yang luas tersebut tetap suci selama aliran najis belum sampai kepadanya. Bila aliran najis telah sampai, maka air itu dihukumi seperti air yang diam: najis atau tidak tergantung apakah air tersebut mencapai dua qullah atau tidak.
- Jika mencapai dua qullah, maka tetap suci.
- Jika kurang dari dua qullah, maka najis.
Jika seseorang berwudhu dari aliran najis itu sebelum tersambung ke air tempat yang luas, maka wudhunya batal karena air yang digunakan najis. Tapi jika ia berwudhu setelah aliran tersebut tersambung ke air di tempat yang luas, maka wudhunya sah, walaupun najis belum lenyap dan belum bercampur sempurna, karena patokan dalam penyucian adalah tersambungnya air, bukan tercampurnya air secara sempurna.
Tidakkah engkau melihat bahwa seandainya ada dua qullah air kurang satu raṭl, lalu terkena najis, maka dihukumi najis. Tapi jika ditambahkan satu raṭl air ke dalamnya, maka menjadi suci dan boleh digunakan—padahal tidak mungkin seluruh air tercampur sempurna dengan hanya satu raṭl air tambahan.
- Jika najis yang jatuh adalah benda padat (seperti bangkai), maka tidak lepas dari dua keadaan:
- apakah benda itu ikut mengalir bersama air,
- ataukah diam di tempat.
- apakah benda itu ikut mengalir bersama air,
Jika najis itu mengalir, maka hukumnya sama seperti najis cair:
- bagian aliran yang dilalui najis itu najis,
- bagian sebelum dan sesudahnya tetap suci.
Jika najis itu sampai pada tempat air yang luas, maka berlaku hukum air yang diam, yaitu suci jika mencapai dua qullah atau lebih, dan najis jika kurang dari dua qullah.
Maka:
- tempat air luas dan juga air yang mengalir ke arahnya sebelum dan sesudah menyatu dengannya tetap suci jika air tempat luas tersebut mencapai dua qullah atau lebih;
- jika kurang dari dua qullah, maka menjadi najis saat terkena aliran najis, dan air yang mengalir yang tersambung dengannya juga menjadi najis, meskipun belum menyatu sempurna, karena patokan penyebaran najis adalah sambungan (ittishāl), bukan percampuran (ikhtilāṭ).
- Jika najis itu diam di air, maka ada dua macam keadaannya… (dan pembahasan akan dilanjutkan dalam paragraf berikutnya).
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَنْسَكِنَ بِهَا الْمَاءُ وَيَقِفَ عِنْدَهَا.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَنْسَكِنَ بِهَا وَيَكُونَ عَلَى جَرْيَتِهِ فَإِنَّ انْسَكَنَ الْمَاءُ بِهَا وَوَقَفَ عِنْدَهَا كَانَ مَا فَوْقَهَا مِنَ الْمَاءِ الْجَارِي طَاهِرًا مَا كَانَ عَلَى جَرْيَتِهِ، وَكَانَ مَا وَقَفَ عِنْدَهَا مِنَ الْمَاءِ، وَانْقَطَعَتْ جَرْيَتُهُ فِي حُكْمِ الْمَاءِ الرِاكدِ، فَإِنْ كَانَ قُلَّتَيْنِ كَانَ طَاهِرًا وَإِنْ كَانَ دُونَهُ كَانَ نَجِسًا، وَكَانَ مَا انْحَدَرَ عَنْهَا مِنَ الْمَاءِ نَجِسًا، وَفِي حُكْمِ الرَّاكِدِ، وَسَوَاءٌ كَانَ مَا وَقَفَ عِنْدَهَا مِنَ الْمَاءِ مَحْكُومًا بِطِهَارَتِهِ لِكَثْرَتِهِ أَمْ لَا؟ وَإِنْ كَانَ الْمَاءُ يَمُرُّ بِالْمَيْتَةِ عَلَى جَرْيَتِهِ لَا يَقِفُ عِنْدَهَا، وَلَا يَنْقَطِعُ مِنْ جَرْيَتِهِ بِهَا فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Pertama: bahwa air berhenti dan menetap di tempat najis tersebut.
Kedua: bahwa air tidak berhenti, tetapi terus mengalir melewati najis tersebut.
- Jika air berhenti di tempat najis dan tidak mengalir lagi, maka:
- air yang berada di atasnya dan masih mengalir tetap suci selama alirannya berlanjut,
- sedangkan air yang berhenti di tempat najis dan terputus alirannya, maka ia dihukumi seperti air yang diam.
Maka:- jika mencapai dua qullah, maka air itu suci;
- jika kurang dari dua qullah, maka air itu najis;
- dan air yang mengalir turun dari tempat najis dihukumi najis dan dalam kategori air yang diam.
- jika mencapai dua qullah, maka air itu suci;
- Hal ini berlaku baik air yang berhenti di tempat najis itu sudah dihukumi suci karena banyaknya ataupun belum.
- air yang berada di atasnya dan masih mengalir tetap suci selama alirannya berlanjut,
- Jika air mengalir melewati bangkai dan tidak berhenti di tempatnya, serta alirannya tidak terputus, maka keadaan ini tidak lepas dari tiga bagian… (yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya).
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ فِي غُزْرِ الْمَاءِ كُلِّهِ مِنْ عُلْوِهِ إِلَى قَرَارِهِ فَلَيْسَ يُجَوِّزُهَا شَيْءٌ مِنَ الْمَاءِ لَمْ يَمَسَّهَا فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَمَا كَانَ فَوْقَهَا مِنَ الْمَاءِ مَا لَمْ تَنْتَهِ جَرْيَتُهُ إِلَيْهَا طَاهِرٌ مَا تَحْتَهَا نَجِسٌ، وَفِي حُكْمِ الْمَاءِ الرَّاكِدِ وَإِنَّمَا كَانَ مَا فَوْقَ النَّجَاسَةِ مِنَ الْمَاءِ الْجَارِي طَاهِرًا مَا لَمْ يَنْتَهِ إِلَيْهَا اسْتِشْهَادًا بِمَا أَجْمَعُوا عَلَيْهِ مِنْ أَنَّ إِبْرِيقًا لَوْ صُبَّ مِنْ بِزَالِهِ مَاءٌ عَلَى نَجَاسَةٍ كَانَ الْمَاءُ الْخَارِجُ مِنَ الْبِزَالِ طَاهِرًا مَا لَمْ يُلَاقِ النَّجَاسَةَ، وَإِنْ كَانَ جَارِيًا إِلَيْهَا كَذَلِكَ كَمَا جَرَى إِلَى نَجَاسَةٍ.
Pertama: bahwa najis (bangkai) berada di dalam seluruh kedalaman air, dari bagian atas hingga dasar, sehingga tidak ada satu pun bagian dari air yang melewatinya kecuali pasti bersentuhan dengannya.
Jika demikian keadaannya, maka:
- air yang di atas najis, selama alirannya belum sampai kepada najis itu, dihukumi suci;
- sedangkan air yang di bawahnya adalah najis, dan dihukumi seperti air yang diam.
Adapun sebab kenapa air yang di atas najis dihukumi suci selama belum sampai alirannya kepadanya, adalah dengan meng-qiyaskan pada ijma‘ (kesepakatan para ulama) bahwa:
- seandainya ada ceret (ibriq) yang dituang air dari mulutnya menuju najis, maka air yang masih berada dalam ceret tetap suci, selama belum menyentuh najis,
- walaupun air tersebut mengalir ke arah najis, sebagaimana aliran air ke arah najis pada kasus ini.
Maka meskipun ada gerakan dan aliran, selama belum terjadi pertemuan atau persentuhan, air tetap dihukumi suci.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ النجاسة راسبة في أسفل الماء وغزاره فَلَيْسَ تَمُرُّ بِهَا الطَّبَقَةُ الْعُلْيَا مِنَ الْمَاءِ وَإِنَّمَا تَمُرُّ بِهَا أَسْفَلُ، فَالْمَاءُ طَاهِرٌ مَا لَمْ يَنْتَهِ إِلَيْهَا فَإِذَا انْتَهَى إِلَيْهَا كَانَتِ الطَّبَقَةُ السُّفْلَى مِنَ الْمَاءِ نَجِسَةً لِمُرُورِهَا عَلَى النَّجَاسَةِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي نَجَاسَةِ الطَّبَقَةِ الْعُلْيَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا طَاهِرَةٌ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَجْرِ عَلَى النَّجَاسَةِ وَلَا لَاقَتْهَا فَصَارَ كَالْمَاءِ الْمُتَقَدِّمِ عَلَيْهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا نَجِسَةٌ أَيْضًا؛ لِأَنَّ جَرْيَةَ الْمَاءِ إِنَّمَا تَمْنَعُ مِنَ اخْتِلَاطِهِ بِمَا تَقَدَّمَ وَتَأَخَّرَ، فَأَمَّا مَا عَلَا مِنْهُ وَسَفُلَ مِنْ طَبَقَاتِهِ فَهُوَ بِالرَّاكِدِ أَشْبَهُ، وَالرَّاكِدُ يَتَمَيَّزُ حُكْمُ أَعْلَاهُ وَأَسْفَلِهِ فِي الطَّهَارَةِ وَالنَّجَاسَةِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ النَّجَاسَةُ طَافِيَةً عَلَى رَأْسِ الْمَاءِ وَلَا تَنْتَهِي إِلَى قَرَارِهِ، فَلَيْسَ يَمُرُّ بِهَا إِلَّا أَعْلَى الْمَاءِ دُونَ أَسْفَلِهِ، فَالْمَاءُ طَاهِرٌ مَا لَمْ يَنْتَهِ إِلَيْهَا فَإِذَا انْتَهَى إِلَيْهَا كَانَتِ الطَّبَقَةُالعليا نجسة لمرورها بالنجاسة، وفي نجاسته الطَّبَقَةِ السُّفْلَى وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Bagian kedua: bahwa najis itu mengendap di dasar air dan air tersebut dalam kondisi dalam (bervolume besar), sehingga lapisan atas air tidak melewati najis, melainkan hanya bagian bawah saja yang melintasinya.
Maka:
- air tetap suci selama belum sampai ke najis itu;
- apabila telah sampai kepadanya, maka lapisan bawah dari air menjadi najis karena bersentuhan dan melewati najis.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang status lapisan atasnya:
- Wajah pertama: suci, karena tidak mengalir di atas najis dan tidak menyentuhnya, sehingga hukumnya seperti air yang berada sebelum titik najis.
- Wajah kedua: najis juga, karena aliran air hanya mencegah percampuran antara air yang mendahului dan mengikuti, sedangkan antara lapisan atas dan bawah dalam satu titik itu lebih menyerupai air yang diam, sedangkan pada air yang diam, lapisan atas dan bawah bisa berbeda hukum antara suci dan najis.
Bagian ketiga: bahwa najis itu mengapung di permukaan air dan tidak sampai ke dasar.
Maka:
- yang melewati najis hanyalah lapisan atas air, bukan lapisan bawahnya;
- air tetap suci selama belum sampai ke najis itu;
- jika telah sampai, maka lapisan atas menjadi najis karena bersentuhan dengannya.
Sedangkan tentang najis atau tidaknya lapisan bawah, ada dua wajah sebagaimana dalam kasus sebelumnya.
Dan Allah lebih mengetahui.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي: ” وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ خَمْسَ قربٍ كبارٍ مِنْ قِرَبِ الْحِجَازِ فَوَقَعَ فِيهِ دمٌ أَوْ أَيُّ نجاسةٍ كانت فلم تغير طعمه ولا لونه ولا ريحه لم يَنْجُسْ وَهُوَ بِحَالِهِ طاهرٌ لِأَنَّ فِيهِ خَمْسَ قربٍ فصاعداً وَهَذَا فرقٌ مَا بَيْنَ الْكَثِيرِ الَذِي لَا يُنَجِّسُهُ إِلَّا مَا غَيَّرَهُ وَبَيْنَ الْقَلِيلِ الَّذِي ينجسه ما لم يغيره فإن وقعت ميتةٌ في بئر فغيرت طعمها أو ريحها أو لونها أُخْرِجَتِ الْمَيْتَةُ وَنُزِحَتِ الْبِئْرُ حَتَّى يَذْهَبَ تَغَيُّرُهَا فتطهر بذلك (قَالَ) وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قربٍ فَخَالَطَتْهُ نجاسةٌ لَيْسَتْ بقائمةٍ نَجَّسَتْهُ فِإِنْ صُبَّ عَلَيْهِ ماءٌ أَوْ صُبَّ عَلَى ماءٍ آخَرَ حَتَى يَكُونَ الْمَاءَانِ جَمِيعًا خَمْسَ قربٍ فَصَاعِدًا فَطَهُرَا لَمْ يُنَجِّسْ واحدٌ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ (قَالَ) فَإِنْ فُرِّقَا بَعْدَ ذَلِكَ لَمْ يَنْجَسَا بَعْدَ مَا طَهُرَا إِلَّا بنجاسةٍ تَحْدُثُ فِيهِمَا “.
(MASALAH)
Imam Syafi‘i berkata: “Apabila air sebanyak lima qirbah besar dari qirbah penduduk Hijaz lalu jatuh ke dalamnya darah atau najis apa pun, namun tidak mengubah rasa, warna, dan baunya, maka air itu tidak menjadi najis dan tetap dalam keadaannya sebagai air suci, karena jumlahnya lima qirbah atau lebih. Inilah perbedaan antara air banyak yang tidak menjadi najis kecuali jika berubah, dan air sedikit yang menjadi najis meskipun belum berubah.
Jika bangkai jatuh ke dalam sumur lalu mengubah rasa, bau, atau warnanya, maka bangkai itu harus dikeluarkan dan air sumur harus disedot sampai hilang perubahannya, maka ia menjadi suci kembali dengan cara itu.”
(Beliau berkata): “Jika air kurang dari lima qirbah lalu bercampur dengan najis yang tidak menetap, maka ia menjadi najis. Namun jika dituangkan ke atasnya air lain atau ia dituangkan ke atas air lain sampai jumlah keduanya menjadi lima qirbah atau lebih, maka keduanya menjadi suci, dan salah satunya tidak menajisi yang lain.”
(Beliau berkata): “Jika keduanya kemudian dipisahkan setelah itu, maka keduanya tidak menjadi najis setelah disucikan, kecuali karena ada najis baru yang terjadi pada keduanya.”
قال الماوردي: وهذا صحيح لما ذكره الشَّافِعِيُّ حُكْمَ الْمَاءِ الْكَثِيرِ ذَكَرَ بَعْدَهُ حُكْمَ الْمَاءِ الْقَلِيلِ، فَإِذَا كَانَ الْمَاءُ دُونَ الْقُلَّتَيْنِ فَوَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ فَقَدْ نَجِسَ، سَوَاءٌ تَغَيَّرَ الْمَاءُ أَمْ لَا، وَسَوَاءٌ كَانَتِ النَّجَاسَةُ مَائِعَةً أَمْ لَا، وَإِنَّمَا يَخْتَلِفُ حُكْمُ ذَلِكَ فِيمَا سَنَذْكُرُهُ سِوَى الْحُكْمِ بِنَجَاسَتِهِ، وَهُوَ أَنَّهُ إِنْ تَغَيَّرَ فَطَهَارَتُهُ بِاجْتِمَاعِ وَصْفَيْنِ بِالْمُكَاثَرَةِ، وَزَوَالِ التَّغَيُّرِ وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ فَطَهَارَتُهُ بِالْمُكَاثَرَةِ وَحْدَهَا، فَلَوْ كَانَتْ قُلَّةٌ نَجِسَةً، وَقُلَّةٌ أُخْرَى طَاهِرَةً فَصُبَّتْ إِحْدَى الْقُلَّتَيْنِ فِي الْأُخْرَى صَارَا مَعًا طَاهِرَيْنِ مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ تَغْيِيرٌ سَوَاءٌ صُبَّتِ الطَّاهِرَةُ عَلَى النَّجِسَةِ أَوِ النَّجِسَةُ عَلَى الطَّاهِرَةِ؛ لِأَنَّ طَرِيقَةَ الْمُكَاثَرَةِ إِزَالَةُ النَّجَاسَةِ، فَاسْتَوَى الْحُكْمُ فِي وُرُودِ الطَّاهِرِ عَلَى النَّجَسِ وَوُرُودِ النَّجَسِ عَلَى الطَّاهِرِ، فَإِنْ فُرِّقَا بَعْدَ ذَلِكَ، نُظِرَ فِي حَالِ النَّجَاسَةِ فَإِنْ كَانَتْ مَائِعَةً صَارَتْ مستهلكة، وكان الماآن طَاهِرَيْنِ، وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ قَائِمَةً، فَإِنْ أُخَرِجَتْ مِنْهُ قَبْلَ تَفْرِيقِهِ فَهُمَا طَاهِرَانِ وَإِنَّ فُرِّقَا قبل إخراجها مِنْهُ، نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ قَدْ فَرَّقَهُ بِالِاغْتِرَافِ مِنْهُ دُفْعَةً كَانَ اغْتَرَفَ مِنْهُ بِنَاضِحٍ احْتَمَلَ بِهِ إِحْدَى الْقُلَّتَيْنِ، فَالْقُلَّةُ الَّتِي حُمِلَتِ النَّجَاسَةُ فِيهَا نَجِسَةٌ، وَالْقُلَّةُ الْأُخْرَى طَاهِرَةٌ عَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي إِسْحَاقَ نَجِسٌ، وَإِنْ فَرَّقَ بِأَنْ أَمَالَ الْإِنَاءَ الَّذِي فِيهِ الْقُلَّتَانِ حَتَّى انْصَبَّ مِنْهُ فِي إِنَاءٍ آخَرَ قُلَّةٌ، وَبَقِيَ فِي الْأَوَّلِ قُلَّةٌ، نُظِرَ، فَإِنْ خَرَجَتِ النَّجَاسَةُ حِينَ أَمَالَ الْإِنَاءَ فِي أَوَّلِ جُزْءٍ مِنْ أَجْزَاءِ الْمَاءِ كَانَ الْإِنَاءُ الثَّانِي الَّذِي حَصَلَتْ فِيهِ النَّجَاسَةُ نَجِسًا وَكَانَ مَا بَقِيَ فِي الْأَوَّلِ طَاهِرًا وَإِنْ خَرَجَتِ النَّجَاسَةُ إِلَى الْإِنَاءِ الثَّانِي بَعْدَ أَنْ تَقَدَّمَهُ مَا أَصَارَ بِهِ الثَّانِيَ فِي الْأَوَّلِ أَقَلَّ مِنْ قُلَّتَيْنِ كَانَا جَمِيعًا نَجِسَيْنِ، وَهَكَذَا لَوْ بَقِيَتِ النَّجَاسَةُ فِي الْقُلَّةِ الْبَاقِيَةِ فِي الْإِنَاءِ الْأَوَّلِ كَانَا جَمِيعًا نَجِسَيْنِ، وَإِذَا تَأَمَّلْتَ تَعْجِيلَ ذَلِكَ وَجَدْتَهُ مُسْتَمِرًّا فَلَوْ كَانَ مَعَهُ قُلَّةُ مَاءٍ نَجِسَةٌ، وَقُلَّةٌ أُخْرَى نَجِسَةٌ، فَأَرَاقَ إحديهما في الأخرى، وليس فهما تَغْيِيرٌ فَهُمَا طَاهِرَتَانِ.
Al-Māwardī berkata: Ini benar, karena setelah Imam Syafi‘i menyebutkan hukum air yang banyak, beliau menyebutkan hukum air yang sedikit. Maka apabila air kurang dari dua qullah lalu jatuh ke dalamnya najis, maka ia menjadi najis, baik air itu berubah maupun tidak, dan baik najis itu berupa cairan atau bukan. Perbedaan hukumnya hanyalah pada rincian yang akan kami sebutkan selain dari hukum kenajisannya.
Yaitu, apabila air berubah (karena najis), maka ia suci dengan terpenuhinya dua syarat: pencampuran (dengan air lain) dan hilangnya perubahan. Dan jika air tidak berubah, maka ia suci hanya dengan pencampuran saja.
Seandainya ada satu qullah air najis dan satu qullah air suci, lalu salah satu dari keduanya dituangkan ke yang lain, maka keduanya menjadi suci selama tidak ada perubahan, baik yang suci dituangkan ke yang najis atau yang najis dituangkan ke yang suci, karena metode pencampuran adalah untuk menghilangkan najis. Maka hukumnya sama antara mencurahkan air suci ke air najis atau air najis ke air suci.
Jika keduanya kemudian dipisahkan setelah itu, maka dilihat keadaan najisnya. Jika najis itu berupa cairan, maka ia telah larut dan kedua air menjadi suci. Dan jika najis itu masih ada wujudnya, maka bila ia dikeluarkan sebelum dipisah, maka keduanya suci. Tetapi jika dipisah sebelum dikeluarkan, maka dilihat:
Jika pemisahannya dengan cara menciduk sekali ciduk dengan gayung besar yang membawa satu qullah, maka qullah yang terbawa bersama najis adalah najis, dan yang satu lagi adalah suci menurut mazhab Abū al-‘Abbās dan mayoritas ulama mazhab kami. Sedangkan menurut mazhab Abū Ishāq, keduanya najis.
Dan jika pemisahan dilakukan dengan cara memiringkan bejana yang berisi dua qullah hingga satu qullah tertuang ke bejana lain dan satu qullah tetap berada di bejana pertama, maka dilihat:
Jika najis keluar ke bejana kedua pada awal bagian air yang tertuang, maka bejana kedua yang terkena najis itu najis dan sisa yang ada di bejana pertama adalah suci. Tetapi jika najis keluar ke bejana kedua setelah bagian yang dituangkan membuat sisa di bejana pertama menjadi kurang dari dua qullah, maka keduanya najis. Demikian pula jika najis tetap berada di qullah yang tersisa di bejana pertama, maka keduanya juga najis.
Jika engkau perhatikan secara mendalam, engkau akan mendapati hukum ini berkesinambungan. Maka jika ada satu qullah air najis dan satu qullah air najis lainnya, lalu salah satunya dituangkan ke yang lain tanpa menyebabkan perubahan, maka keduanya menjadi suci.
فَإِنْ قِيلَ: فَكُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْقُلَّتَيْنِ نَجِسَةٌ وَالنَّجَاسَةُ إِذَا اجْتَمَعَتْ مَعَ النَّجَاسَةِ كَانَ أَغْلَظَ لِحُكْمِهَا لِكَثْرَتِهَا، فَكَيْفَ صَارَتْ إِحْدَى النَّجَاسَتَيْنِ مُطَهِّرَةً لِلْأُخْرَى، وَالنَّجَاسَةُ بِاجْتِمَاعِهَا أَكْثَرَ.
قِيلَ: إِنَّمَا كَانَا نَجِسَيْنِ مَعَ الِافْتِرَاقِ؛ لِأَنَّ قِلَّةَ الْمَاءِ تَضْعُفُ عن احتمال النجاسة، وإذا أجمعا كَثُرَ فَقَوِيَ عَلَى احْتِمَالِ النَّجَاسَةِ وَصَارَتْ لِكَثْرَةِ الْمَاءِ مُسْتَهْلَكَةً عُفِيَ عَنْهَا فَلَوْ فُرِّقَا بَعْدَ اجْتِمَاعِهِمَا، وَالنَّجَاسَةُ مَائِعَةٌ كَانَا طَاهِرَيْنِ؛ لِأَنَّهُ مَاءٌ طَاهِرٌ فَلَمْ يَنْجَسْ بِالتَّفْرِيقِ.
Maka jika dikatakan: “Setiap satu dari dua qullah itu adalah najis, dan najis apabila berkumpul dengan najis lainnya menjadi lebih berat hukumnya karena bertambah banyak, maka bagaimana bisa salah satu dari dua najis itu menyucikan yang lainnya, padahal dengan berkumpulnya najis justru bertambah?”
Dijawab: Keduanya menjadi najis ketika terpisah karena sedikitnya air tidak mampu menahan najis. Namun ketika keduanya disatukan, jumlah air menjadi banyak dan mampu menahan najis, sehingga najisnya menjadi larut dan dimaafkan karena banyaknya air. Maka seandainya keduanya dipisahkan setelah bercampur dan najisnya berupa cairan, maka keduanya tetap suci, karena air itu telah menjadi suci dan tidak menjadi najis dengan sebab dipisahkan.
(فَصْلٌ)
: فَلَوْ كَانَ معه قلتان من ماء إِلَّا رِطْلًا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ فَهُوَ نَجِسٌ، فَلَوْ تَمَّمَهُ بِرِطْلٍ مِنْ بَوْلٍ أَوْ خَمْرٍ حَتَّى صَارَ قُلَّتَيْنِ وَلَيْسَ فِيهِمَا تَغْيِيرٌ، فَهُوَ نَجِسٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بَقُلَّتَيْنِ مِنْ مَاءٍ فَيُحْتَمَلُ دَفْعُ النَّجَاسَةِ، وَإِنَّمَا هُوَ قُلَّتَانِ مَاءً وَنَجَاسَةً، وَهَكَذَا لَوْ تَمَّمَ بِرِطْلٍ مِنْ خَمْرٍ أَوْ لَبَنٍ لَمْ يَطْهُرْ، وَكَانَ نَجِسًا لِتَقْصِيرِ الْمَاءِ عَنِ الْقُلَّتَيْنِ، وَلَكِنْ لَوْ تَمَّمَ بِرِطْلٍ مِنْ مَاءٍ نَجِسٍ كَانَ طَاهِرًا لِتَمَامِ الْمَاءِ قُلَّتَيْنِ.
(PASAL)
Jika seseorang memiliki air sebanyak dua qullah kurang satu riṭl, lalu jatuh ke dalamnya najis, maka air itu menjadi najis. Jika kemudian ia menyempurnakannya dengan satu riṭl air kencing atau khamar hingga genap dua qullah dan tidak ada perubahan (pada warna, rasa, atau bau), maka tetap najis, karena itu bukan dua qullah air murni sehingga dapat menahan najis. Yang ada hanyalah dua qullah yang terdiri dari air dan najis.
Demikian juga, jika ia menyempurnakannya dengan satu riṭl khamar atau susu, maka tidak menjadi suci, tetap najis karena airnya kurang dari dua qullah. Tetapi jika ia menyempurnakannya dengan satu riṭl air najis, maka menjadi suci karena jumlah air telah genap dua qullah.
(فَصْلٌ)
: فَلَوْ وَقَعَتْ نَجَاسَةٌ فِي مَاءٍ شُكَّ فِي قَدْرِهِ هَلْ هُوَ قُلَّتَانِ أَوْ أَقَلُّ؟ فَهُوَ عَلَى الْقِلَّةِ مَا لَمْ يَعْلَمْ كَثْرَتَهُ وَيَكُونُ نَجِسًا، فَلَوْ عَلِمَهُ قُلَّتَيْنِ، ثُمَّ رَأَى كَلْبًا قَدْ وَلَغَ فِيهِ، وَشَكَّ هَلْ شَرِبَ مِنْهُ حَتَّى نَقَصَ عَنِ الْقُلَّتَيْنِ أَمْ لَا؟ فَهُوَ عَلَى الْكَثْرَةِ مَا لَمْ يَعْلَمْ نَقْصَهُ وَيَكُونُ طَاهِرًا.
(PASAL)
Jika najis jatuh ke dalam air yang diragukan jumlahnya, apakah mencapai dua qullah atau kurang, maka dihukumi sedikit selama belum diketahui bahwa ia banyak, dan ia menjadi najis.
Namun jika diketahui bahwa air itu dua qullah, lalu seseorang melihat seekor anjing telah menjilatnya dan ia ragu apakah anjing itu meminumnya sehingga airnya berkurang dari dua qullah atau tidak, maka dihukumi banyak selama belum diketahui berkurangnya, dan ia tetap suci.
(فَصْلٌ)
: وَإِنْ كَانَ مَعَهُ قُلَّتَانِ مِنْ مَاءٍ وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ فَتَغَيَّرَ بِهَا ثُمَّ فَرَّقَ فَزَالَ التَّغْيِيرُ بَعْدَ التَّفْرِيقِ فَكِلَا الْمَاءَيْنِ نَجِسٌ، وَلَوْ زَالَ التَّغْيِيرُ قَبْلَ التَّفْرِيقِ فَكِلَا الْمَاءَيْنِ طَاهِرٌ.
(PASAL)
Jika seseorang memiliki dua qullah air, lalu jatuh ke dalamnya najis dan air tersebut berubah karenanya, kemudian dipisah dan perubahan itu hilang setelah pemisahan, maka kedua air itu najis.
Namun jika perubahan hilang sebelum dipisahkan, maka kedua air itu suci.
(فَصْلٌ)
: وَإِذَا شَهِدَ شَاهِدَانِ أَنَّ هَذَا الْمَاءَ نَجِسٌ لَمْ يُحْكَمْ بِتَنْجِيسِهِ دُونَ أَنْ يُخْبِرَا عَنِ السَّبَبِ الَّذِي صَارَ به نجساً؛ لاختلاف الناس فيما ينجس به الْمَاءَ وَلَا يُنَجِّسُ أَلَا تَرَى أَنَّ أبا حنيفة يَجْعَلُ سُؤْرَ الْحِمَارِ نَجِسًا مِثَالُهُ الشَّهَادَةُ بِالْجَرْحِ وَالتَّفْسِيقِ لَا تَسْمَعُ إِلَّا بِذِكْرِ مَا صَارَ بِهِ مَجْرُوحًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
(PASAL)
Jika dua orang saksi memberikan kesaksian bahwa air ini najis, maka tidak dihukumi najis kecuali setelah mereka menjelaskan sebab yang menyebabkan air itu menjadi najis, karena perbedaan pendapat di kalangan manusia tentang hal-hal yang menajiskan air dan yang tidak menajiskannya.
Tidakkah engkau melihat bahwa Abū Ḥanīfah menganggap sisa minum keledai sebagai najis? Maka contohnya seperti kesaksian tentang celaan atau kefasiqan, yang tidak diterima kecuali dengan menyebutkan sebab yang menjadikannya tercela.
Wallāhu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ وَقَعَ فِي الْمَاءِ الْقَلِيلِ مَا لَا يَخْتَلِطُ بِهِ مِثْلُ الْعَنْبَرِ أَوِ الْعُودِ أَوِ الدُّهْنِ الْطَيِّبِ، فَلَا بَأْسَ بِهِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ مَخُوضًا بِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لَمَّا ذكر الشافعي حكم النجاسة إذا وقعت في الْمَاءِ ذَكَرَ بَعْدَهُ حُكْمَ الْأَشْيَاءِ الطَّاهِرَةِ إِذَا وَقَعَتْ وَجُمْلَةُ مَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ الْأَشْيَاءُ الطَّاهِرَةُ ضَرْبَانِ: مَائِعٌ وَجَامِدٌ، فَالْمَائِعُ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَتَمَيَّزُ عَنِ الْمَاءِ كَالدُّهْنِ فَالْمَاءُ مُطَهِّرٌ سَوَاءٌ تَغَيَّرَ أَوْ لَمْ يَتَغَيَّرْ؛ لِأَنَّ الدُّهْنَ لَا يختلط بالماء وإنما يجاوره وتغيير المجاورة لا يغير حُكْمًا أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ مَاءً فِي إِنَاءٍ جَاوَرَتْهُ مَيْتَةٌ فَتَغَيَّرَ بِرَائِحَتِهَا لَمْ يُنَجَّسْ.
(MASALAH)
Imam Syafi‘i RA berkata: “Jika dalam air yang sedikit jatuh sesuatu yang tidak bercampur dengannya seperti ‘anbar, ‘ūd, atau minyak wangi, maka tidak mengapa, karena ia tidak bercampur dengan air.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Setelah Imam Syafi‘i menyebutkan hukum najis yang jatuh ke dalam air, beliau menyebutkan setelahnya hukum benda-benda suci jika jatuh ke dalam air. Dan keseluruhan benda suci yang jatuh ke dalam air terbagi dua: cair dan padat.
Yang cair pun terbagi dua: satu jenis yang dapat dibedakan dari air, seperti minyak, maka air tetap suci baik berubah atau tidak, karena minyak tidak bercampur dengan air, melainkan hanya berdampingan dengannya. Dan perubahan karena kedekatan (bukan percampuran) tidak mengubah hukum.
Tidakkah engkau melihat jika ada air dalam bejana yang berdekatan dengan bangkai lalu berubah karena baunya, maka tidak dihukumi najis?
والضرب الثاني: أَنْ لَا يَتَمَيَّزَ عَنِ الْمَاءِ كَالْخَلِّ وَاللَّبَنِ فَيُنْظَرُ حَالُ الْمَاءِ فَإِنْ غَيَّرَ الْمَائِعُ لَوْنَهُ أَوْ طَعْمَهُ أَوْ رَائِحَتَهُ فَهُوَ غَيْرُ مُطَهِّرٍ؛ لِغَلَبَتِهِ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يُغَيِّرْهُ، نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْمَائِعُ أَقَلَّ مِنَ الْمَاءِ كَانَ الْمَاءُ مُطَهِّرًا؛ لِغَلَبَتِهِ بِالْكَثْرَةِ وَإِنْ كَانَ الْمَائِعُ أَكْثَرَ مِنَ الْمَاءِ فَالْمَاءُ غَيْرُ مُطَهِّرٍ لِغَلَبَةِ الْمَائِعِ عَلَيْهِ بِكَثْرَتِهِ، وَأَمَّا الْجَامِدُ فَضَرْبَانِ: مَذْرُورٌ، وَغَيْرُ مَذْرُورٍ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَذْرُورٍ كَالْعُودِ وَالصَّنْدَلِ وَغَيْرِهِ مِنْ ذِي رِيحٍ ذَكِيٍّ أَوْ غَيْرِ ذَكِيٍّ فَالْمَاءُ مُطَهِّرٌ، وَإِنْ تَغَيَّرَ بِهِ، لِأَنَّهُ تَغَيَّرَ عَنْ مُجَاوَرَةٍ، وَإِنْ كَانَ مَذْرُورًا كَالزَّعْفَرَانِ والعصفر والحنا فَإِنْ تَغَيَّرَ بِهِ لَوْنُ الْمَاءِ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ رَائِحَتُهُ، لِأَنَّ تَغْيِيرَهُ لِاخْتِلَاطِ مُمَازَجَةٍ، وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ لَوْنُ الْمَاءِ وَلَا طَعْمُهُ وَلَا رَائِحَتُهُ فَهُوَ مُطَهِّرٌ، وَيَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ مَا لَمْ يُنَجَّسْ بِهِ الْمَاءُ، وَيَخْرُجْ عَنْ طَعْمِهِ فِي الرقة، والصفا، وَلَا فَرْقَ فِيمَا ذَكَرْنَا مِنْ مُخَالَطَةِ الطَّاهِرَاتِ بِالْمَاءِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ قُلَّتَيْنِ أَوْ أَقَلَّ بِخِلَافِ النَّجَاسَةِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَ اعْتِبَارِ الْقُلَّتَيْنِ فِي النَّجَاسَةِ، وَتَرْكِ اعْتِبَارِهِمَا فِي مُخَالَطَةِ الْأَشْيَاءِ الطَّاهِرَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنَّ النَّجَاسَاتِ لَمَّا سلبت الماء صفتيه في الطهارة والتطهير ضعف قليل الماء عن دَفْعِهَا حَتَّى يَكْثُرَ، وَلَمَّا كَانَتِ الْمَائِعَاتُ تَسْلُبُ الْمَاءَ التَّطْهِيرَ دُونَ الطَّهَارَةِ قَوِيَ قَلِيلُ الْمَاءِ عَلَى دَفْعِهَا وَإِنْ لَمْ يَكْثُرْ.
وَالثَّانِي: أَنَّ حُكْمَ النَّجَاسَاتِ لَمَّا تَعَدَّى إِلَى غَيْرِ الْمَاءِ تَغَلَّظَ حُكْمُهَا فِي الْمَاءِ وَلَمْ يَتَعَدَّ حُكْمَ الْمَائِعَاتِ إِلَى غَيْرِ الْمَاءِ ضَعُفَ حُكْمُهَا فِي الْمَاءِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ التَّحَرُّزَ مِنَ الْمَائِعَاتِ مُتَعَذِّرٌ، فخف حكمها فِي مُخَالَطَةِ الْمَاءِ وَالتَّحَرُّزُ مِنَ النَّجَاسَةِ أَمْكَنُ فَغَلِظَ حُكْمُهَا فِي مُخَالَطَةِ الْمَاءِ.
Dan jenis kedua: yaitu cairan yang tidak dapat dibedakan dari air, seperti cuka dan susu. Maka dilihat keadaan airnya. Jika cairan itu mengubah warna, rasa, atau baunya, maka ia tidak lagi menyucikan, karena telah mengalahkannya. Namun jika tidak mengubahnya, maka dilihat: jika cairan itu lebih sedikit dari air, maka air tetap menyucikan karena dominasinya dengan jumlah yang lebih banyak. Tapi jika cairan itu lebih banyak dari air, maka air tidak menyucikan karena cairan yang mendominasi dengan jumlahnya.
Adapun benda padat, terbagi dua: yang ditaburkan dan yang tidak ditaburkan. Jika bukan yang ditaburkan seperti ‘ūd, ṣandal, dan selainnya dari benda yang harum baunya atau yang tidak harum, maka air tetap menyucikan meskipun berubah karena itu, karena perubahannya disebabkan oleh kedekatan (bukan percampuran).
Namun jika yang ditaburkan seperti za‘farān, ‘uṣfur, dan ḥinā’, maka jika warna, rasa, atau bau air berubah karena itu, maka air tidak menyucikan karena perubahannya akibat percampuran dan perbauran. Tapi jika warna, rasa, dan baunya tidak berubah, maka ia tetap menyucikan dan boleh digunakan selama air itu tidak dinajisi, dan tidak keluar dari sifat airnya dari segi kelembutan atau kejernihannya.
Tidak ada perbedaan dalam yang kami sebutkan tentang bercampurnya benda suci dengan air, apakah air itu dua qullah atau kurang, berbeda dengan najis.
Adapun perbedaan dalam memperhitungkan dua qullah pada najis dan tidak memperhitungkannya dalam pencampuran benda-benda suci dengan air, maka karena tiga hal:
Pertama: Karena najis menghilangkan dua sifat air, yaitu suci dan menyucikan, maka air yang sedikit tidak mampu menolaknya hingga jumlahnya banyak. Sedangkan cairan suci hanya menghilangkan sifat menyucikan tanpa menghilangkan kesuciannya, maka air yang sedikit masih mampu menolaknya meskipun tidak banyak.
Kedua: Karena hukum najis menular ke selain air, maka hukumnya menjadi berat dalam air. Sedangkan hukum cairan suci tidak menular ke selain air, maka hukumnya menjadi lemah dalam air.
Ketiga: Karena menghindari cairan suci sangat sulit, maka hukumnya diperingan ketika bercampur dengan air. Sedangkan menghindari najis lebih memungkinkan, maka hukumnya diperberat dalam pencampurannya dengan air.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي: ” وإذا كان معه في السفر إناآن يَسْتَيْقِنُ أَنَّ أَحَدَهُمَا نجسٌ، وَالْآخَرُ لَمْ يَنْجَسْ تَأَخَّى وَأَرَاقَ النَّجِسَ عَلَى الْأَغْلَبِ عِنْدَهُ وَتَوَضَّأَ بِالطَّهَارَةِ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ تُمَكَّنُ، وَالْمَاءُ عَلَى أَصْلِهِ طاهرٌ “.
(MASALAH)
Imam Syafi‘i berkata: “Apabila seseorang dalam perjalanan membawa dua bejana, dan ia yakin bahwa salah satunya najis dan yang satunya lagi belum terkena najis, maka ia bertindak dengan kehati-hatian (takhayyī) dan menuangkan yang najis pada bejana yang lebih ia sangka sebagai yang najis, lalu ia berwudu dengan air yang suci, karena bersuci itu dimungkinkan, dan hukum asal air adalah suci.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: وَإِذَا كَانَ معه إناآن أَوْ أَكْثَرُ، وَبَعْضُهَا طَاهِرٌ، وَبَعْضُهَا نَجِسٌ، وَقَدْ أَشْكَلَ عَلَيْهِ الطَّاهِرُ مِنَ النَّجِسِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَحَرَّى فِيهَا وَيَجْتَهِدَ، وَيَسْتَعْمِلَ مَا أَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إِلَى طَهَارَتِهِ، وَقَالَ أَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ: وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَهِدَ بَلْ يَتَيَمَّمُ وَيُصَلِّي، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، وَقَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ الْمَاجِشُونُ: يَتَوَضَّأُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَيُصَلِّي بَعْدَ التوضي صَلَاةً لَا يُعِيدُهَا، وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ الْقَعْنَبِيُّ صَاحِبُ مَالِكٍ: يَتَوَضَّأُ بِأَحَدِهِمَا وَيُصَلِّي ثُمَّ يَتَوَضَّأُ بِالْآخَرِ وَيُعِيدُ تِلْكَ الصَّلَاةَ، فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَاسْتَدَلَّ بِأَنَّ اشْتِبَاهَ الطَّاهِرِ بِالنَّجِسِ كَاشْتِبَاهِ الْمَاءِ بِالْبَوْلِ، ثُمَّ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْتَهِدَ فِي اشْتِبَاهِ الْمَاءِ بِالْبَوْلِ، فَكَذَلِكَ لَا يَجْتَهِدُ فِي اشتباه الطاهر بالنجس، واستدل ابن الْمَاجِشُونُ وَابْنُ مَسْلَمَةَ بِأَنَّهُ إِذَا اسْتَعْمَلَهَا كَانَ على يقينمِنِ ارْتِفَاعِ حَدَثِهِ وَاسْتِعْمَالُ مَا أَدَّى إِلَى رَفْعِ حَدَثِهِ وَاجِبٌ عَلَيْهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْمُزَنِيُّ أَنَّ مَنْ قَدَرَ عَلَى مَاءٍ طَاهِرٍ وَوَجَدَ سَبِيلًا إِلَى اسْتِعْمَالِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَيَمَّمَ، وَلَزِمَهُ التَّوَصُّلُ إِلَى اسْتِعْمَالِهِ، وَهَذَا وَاجِدٌ لِمَاءٍ طَاهِرٍ، وَقَادِرٌ عَلَى التَّوَصُّلِ إِلَى اسْتِعْمَالِهِ بِالِاجْتِهَادِ، فَصَارَ الِاجْتِهَادُ وَاجِبًا عَلَيْهِ كَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ؛ لِأَجْلِ التَّوَصُّلِ إِلَى الْمَاءِ بِارْتِيَادِ دَلْوٍ وَحَبْلٍ وَإِصْلَاحِ مَسِيلٍ وَتَنْقِيَةِ بِئْرٍ، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ تُؤَدَّى بِالْيَقِينِ تَارَةً، وَبِالظَّاهِرِ أُخْرَى جَازَ التَّحَرِّي فِيهَا عِنْدَ الِاشْتِبَاهِ كَالْقِبْلَةِ، فَأَمَّا اسْتِشْهَادُهُ بِاشْتِبَاهِ الْمَاءِ بِالْبَوْلِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam Syafi‘i). Jika seseorang memiliki dua bejana atau lebih, dan sebagian darinya suci dan sebagian lainnya najis, namun ia tidak tahu mana yang suci dan mana yang najis, maka wajib baginya untuk taharri (meneliti dan menimbang secara ijtihad), lalu menggunakan air yang menurut hasil ijtihadnya adalah yang suci.
Abū Ibrāhīm al-Muzanī dan Abū Ṯaur berpendapat: tidak boleh baginya melakukan ijtihad, melainkan bertayammum dan salat, dan ia tidak wajib mengulang salat.
Abd al-Malik al-Mājisyūn berpendapat: ia berwudu dengan masing-masing bejana, lalu salat setelah setiap wudu satu salat, dan ia tidak perlu mengulanginya.
Muḥammad bin Maslamah al-Qa‘nabī, murid Mālik, berpendapat: ia berwudu dengan salah satu bejana dan salat, kemudian berwudu dengan bejana yang lain dan mengulang salat yang pertama.
Adapun al-Muzanī berdalil bahwa ketidaktahuan antara air suci dan najis itu seperti ketidaktahuan antara air dan air kencing, di mana tidak diperbolehkan berijtihad dalam kasus semacam itu, maka begitu pula tidak boleh berijtihad dalam ketidaktahuan antara air suci dan najis.
Sedangkan Ibn al-Mājisyūn dan Ibn Maslamah berdalil bahwa jika ia menggunakan semuanya, maka ia telah yakin bahwa hadatsnya telah hilang, dan menggunakan sesuatu yang memastikan hilangnya hadats adalah wajib atasnya.
Dalil atas rusaknya pendapat al-Muzanī adalah bahwa siapa pun yang mampu mendapatkan air suci dan dapat menggunakannya, tidak boleh baginya untuk bertayammum, melainkan wajib berusaha agar bisa menggunakan air tersebut. Orang ini menemukan air suci dan mampu menggunakannya dengan cara berijtihad, maka ijtihad menjadi wajib atasnya sebagaimana ia wajib berusaha mendapatkan air dengan cara mengambil ember dan tali, memperbaiki saluran, atau membersihkan sumur.
Dan karena setiap ibadah terkadang dilakukan dengan keyakinan dan terkadang cukup dengan dugaan yang kuat (ẓann), maka diperbolehkan taharri saat terjadi kesamaran, seperti halnya dalam menentukan arah kiblat.
Adapun dalil al-Muzanī dengan menyamakan kasus ini dengan air yang mirip air kencing, maka ada dua perbedaan antara keduanya:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ اشْتِبَاهَ الْمَاءِ بالبول نادر فسقط الاجتهاد فيه كاشتباه القبلة في الحضر، واشتباه الطاهر بالنجس عام فجاز الاجتهاد فيه كاشتباه القبلة في السفر.
والثاني: أن البول لم يكن له مدخل في الإباحة بحال فسقط الاجتهاد فيه إِذَا اشْتَبَهَ بِالْمُبَاحِ كَالْمُذَكَّاةِ إِذَا اخْتَلَطَتْ بِالْمَيْتَةِ، وَالْأُخْتُ إِذَا اخْتَلَطَتْ بِالْأَجْنَبِيَّةِ، وَالنَّجِسُ قَدْ كَانَ لَهُ مُدْخَلٌ فِي الْإِبَاحَةِ، فَجَازَ الِاجْتِهَادُ فِيهِ إِذَا اشْتَبَهَ بِالْمُبَاحِ كَاشْتِبَاهِ الثَّوْبَيْنِ وَالْقِبْلَتَيْنِ.
وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْمَاجِشُونُ وَابْنُ مَسْلَمَةَ أَنَّ اجْتِنَابَ النَّجَاسَةِ فِي الصَّلَاةِ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهَا كَرَفْعِ الْحَدَثِ وَفِي اسْتِعْمَالِهَا حَمْلُ نَجَاسَةٍ بِيَقِينٍ كَمَا أَنَّ فِيهَا رَفْعَ حَدَثٍ بِيَقِينٍ، فَلَأَنْ كَانَ الْيَقِينُ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ مُوجِبًا لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ كَانَ الْيَقِينُ فِي حَمْلِ النَّجَاسَةِ مُوجِبًا لِبُطْلَانِ الصَّلَاةِ، وَفِي هَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ.
Pertama: Ketidaktahuan antara air dan air kencing adalah kasus yang jarang terjadi, maka ijtihad tidak dianggap dalam hal itu, seperti halnya ketidaktahuan arah kiblat di tempat tinggal (ḥaḍar). Sedangkan ketidaktahuan antara air suci dan air najis adalah hal yang umum terjadi, maka diperbolehkan ijtihad di dalamnya, seperti ketidaktahuan arah kiblat dalam perjalanan (safar).
Kedua: Bahwa air kencing tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang boleh digunakan dalam kondisi apa pun, maka ijtihad tidak berlaku ketika ia tertukar dengan yang mubah, sebagaimana sembelihan yang syar‘i jika bercampur dengan bangkai, atau saudari perempuan jika bercampur dengan perempuan ajnabiyyah. Sedangkan air najis pernah memiliki peluang untuk dibolehkan (yakni air asalnya suci), maka ijtihad boleh dilakukan jika ia tertukar dengan yang mubah, seperti tertukarnya dua pakaian atau dua arah kiblat.
Dan dalil atas batalnya pendapat Ibn al-Mājisyūn dan Ibn Maslamah adalah bahwa menghindari najis dalam salat adalah syarat sahnya, sebagaimana mengangkat hadats. Maka dalam menggunakan (air yang najis), berarti membawa najis secara yakin, sebagaimana ia yakin telah mengangkat hadats. Maka jika keyakinan dalam mengangkat hadats menyebabkan sahnya salat, maka keyakinan dalam membawa najis menyebabkan batalnya salat.
Dan dalam hal ini terdapat dalil yang kuat dan pemisahan yang jelas.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَكُلُّ نَجَاسَةٍ طَرَأَتْ عَلَى طاهرٍ، وَاشْتَبَهَ بِمَا لَمْ يَطْرَأْ عَلَيْهِ النَّجَاسَةُ مِنْ جِنْسِهِ كَأَوَانِي الْمَاءِ إِذَا نُجِّسَ بَعْضُهَا وَاشْتَبَهَ بِالطَّاهِرِ أَوْ كَالثِّيَابِ إِذَا نُجِّسَ بَعْضُهَا، وَاشْتَبَهَ بِمَا لَمْ يُنَجَّسْ وَجَبَ أَنْ يَتَحَرَّى فِيهِ وَيَجْتَهِدَ سَوَاءٌ اسْتَوَى عَدَدُ الطَّاهِرِ وَالنَّجِسِ أَوْ كَانَ عَدَدُ النَّجِسِ أَكْثَرَ مِنَ الطَّاهِرِ أَوْ عَدَدُ الطَّاهِرِ أَكْثَرَ مِنَ النَّجِسِ، وَقَالَ أبو حنيفة: فِي الثِّيَابِ بِمِثْلِ هَذَا، وَمَنَعَ مِنَ الِاجْتِهَادِ فِي الْأَوَانِي إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَدَدُ الطَّاهِرِ أَكْثَرَ فَإِنْ كَانَ مُتَسَاوِيًا أَوْ أَقَلَّ لَمْ يَجْتَهِدْ فَيَمْنَعُ مِنَ الِاجْتِهَادِ فِي الْإِنَاءَيْنِ وَفِي الثَّلَاثَةِ إِذَا كَانَ النَّجِسُ اثْنَيْنِ، وَيَجُوزُ إِذَا كَانَ النَّجِسُ وَاحِدًا اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ ” وَكَثْرَةُ النَّجِسِ مُرِيبٌ، فَوَجَبَ أَنْ يَدَعَ الِاجْتِهَادَ فِيهِ، وَالتُّرَابُ غَيْرُ مُرِيبٍ فَوَجَبَ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى التَّيَمُّمِ بِهِ، قَالَ: وَلِأَنَّ اسْتِوَاءَ الْحَظْرِ وَالْإِبَاحَةِ فِيمَا لَمْ يَسْمَحْ بِهِ فِي حَالِ الضَّرُورَةِ يَمْنَعُ مِنَ الِاجْتِهَادِ كَالْإِنَاءَيْنِ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا مَاءً وَالْآخَرُ بَوْلًا، وَلِأَنَّ الأصول مقررة عَلَى أَنَّ أَكْثَرَ الْحَظْرِيُوجِبُ تَغْلِيبَ حُكْمِهِ فِي الْمَنْعِ، كَالْأُخْتِ إِذَا اخْتَلَطَتْ بِأَجْنَبِيَّةٍ وَكَثْرَةُ الْإِبَاحَةِ تُوجِبُ تَغْلِيبَ حُكْمِهَا فِي الْإِقْدَامِ كَالْأُخْتِ إِذَا اخْتَلَطَتْ بِنِسَاءِ بَلَدٍ، فَكَذَا الْأَوَانِي إِنْ كَانَ الطَّاهِرُ أَكْثَرَ غَلَبَ حُكْمُ الْإِبَاحَةِ، وَإِنْ كَانَ النَّجِسُ أَكْثَرَ غَلَبَ حُكْمُ الْحَظْرِ.
(PASAL)
Jika telah tetap demikian, maka setiap najis yang mengenai sesuatu yang suci, lalu bercampur atau tidak dapat dibedakan dengan yang tidak terkena najis dari jenis yang sama — seperti bejana-bejana air yang sebagian menjadi najis dan tidak dapat dibedakan dengan yang suci, atau pakaian-pakaian yang sebagian najis dan bercampur dengan yang tidak najis — maka wajib untuk taharri (meneliti) dan ijtihad padanya. Hal ini berlaku baik jumlah yang suci dan najis itu sama, atau jumlah yang najis lebih banyak, atau jumlah yang suci lebih banyak.
Abu Ḥanīfah berpendapat seperti itu dalam kasus pakaian, namun melarang ijtihad dalam kasus bejana, kecuali jika jumlah yang suci lebih banyak. Jika jumlahnya sama atau yang najis lebih banyak, maka tidak boleh ijtihad, dan ia melarang ijtihad dalam dua bejana dan dalam tiga bejana jika dua di antaranya najis, dan membolehkan jika yang najis hanya satu. Ia berdalil dengan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Dan banyaknya benda najis itu menimbulkan keraguan, maka wajib meninggalkan ijtihad padanya. Sedangkan tanah tidak menimbulkan keraguan, maka wajib beralih kepada tayammum dengannya.
Ia juga berkata: Karena ketika larangan dan kebolehan sama-sama ada dalam sesuatu yang tidak diberi kelonggaran saat dalam kondisi darurat, maka itu mencegah ijtihad, seperti dua bejana jika salah satunya berisi air dan yang lainnya berisi air kencing.
Dan karena kaidah-kaidah usul telah menetapkan bahwa apabila yang bersifat terlarang lebih banyak, maka hukum larangan itu lebih diutamakan, sebagaimana wanita yang merupakan saudara kandung jika bercampur dengan perempuan ajnabiyyah. Dan jika yang bersifat boleh lebih banyak, maka hukum kebolehannya lebih diutamakan, sebagaimana saudara perempuan jika bercampur dengan perempuan seluruh negeri.
Maka demikian juga halnya dengan bejana: jika yang suci lebih banyak, maka hukum kebolehan lebih diutamakan; dan jika yang najis lebih banyak, maka hukum larangan lebih diutamakan.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَارِ) {الحشر: 2) وَلِأَنَّ كُلَّ جِنْسٍ جَازَ التَّحَرِّي فِيهِ إِذَا كَانَ عَدَدُ الْمُبَاحِ أَكْثَرَ جَازَ التَّحَرِّي فِيهِ إِذَا كَانَ عَدَدُ الْمُبَاحِ أَقَلَّ كَالثِّيَابِ، وَلِأَنَّ كُلَّ عَدَدٍ جَازَ فِيهِ طَلَبُ الطَّاهِرِ مِنَ الثِّيَابِ، جَازَ فِيهِ طَلَبُ الطَّاهِرِ مِنَ الْمَاءِ كَالثَّلَاثِ إِذَا كَانَ أَحَدُهَا نَجِسًا وَكَالْمَيْتَةِ إِذَا اخْتَلَطَتْ بِالْمُذَكَّى عَكْسًا، وَلِأَنَّ جِهَةَ الْحَظْرِ إِذَا الْتَبَسَتْ بِالْجِهَةِ الْمَطْلُوبَةِ جَازَ التَّحَرِّي فِي ذَلِكَ، وَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ غَلَبَةُ جِهَاتِ الْحَظْرِ كَطَلَبِ الْقِبْلَةِ؛ لِأَنَّ الْجِهَاتِ الأربع، وَالْقِبْلَةَ فِي أَحَدِهَا؛ وَلِأَنَّهُ طَرِيقٌ يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى مَعْرِفَةِ الطَّهُورِ فَجَازَ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ فِي الْأَوَانِي كَالْيَقِينِ.
Dan dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ālā: {fa‘tabirū yā ulī al-abṣār} (al-Ḥasyr: 2), “Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan.”
Dan karena setiap jenis yang dibolehkan taharri padanya saat jumlah yang mubah lebih banyak, maka dibolehkan pula taharri padanya saat jumlah yang mubah lebih sedikit, seperti pada pakaian.
Dan karena setiap jumlah yang dibolehkan untuk mencari yang suci dari pakaian, maka dibolehkan juga untuk mencari yang suci dari air, seperti pada tiga bejana jika salah satunya najis, dan seperti bangkai jika bercampur dengan hewan yang disembelih secara syar‘i, secara terbalik.
Dan karena sisi larangan jika tercampur dengan sisi yang dituntut (yakni kebolehan), maka boleh dilakukan taharri padanya, dan tidak dipertimbangkan dominasi sisi larangan, sebagaimana dalam pencarian arah kiblat, karena arah ada empat, dan kiblat hanya di salah satunya.
Dan karena taharri adalah jalan untuk sampai kepada mengetahui air yang suci, maka boleh mengikuti jalan itu dalam kasus bejana, sebagaimana pada keyakinan.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ ” فَهُوَ أَنَّ مَا أَدَّى الِاجْتِهَادُ إِلَى طَهَارَتِهِ قَدْ زَالَتِ الرِّيبَةُ عَنْهُ، وَالتُّرَابُ مَعَ وُجُودِ الْمَاءِ قَدِ انْتَقَلَتِ الرِّيبَةُ إِلَيْهِ، فَلَمْ يَجُزِ اسْتِعْمَالُهُ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى إِنَاءَيْنِ أَحَدُهُمَا مَاءٌ وَالْآخَرُ بَوْلٌ، فَهُوَ مَا ذَكَرْنَا مَعَ الْمُزَنِيِّ مِنَ الْفَرْقَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ، وَالْمَعْنَى فِي الْمَاءِ وَالْبَوْلِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزِ التَّحَرِّي فِيهِ مَعَ غَلَبَةِ الْمُبَاحِ لَمْ يَجُزْ مَعَ غَلَبَةِ الْمَحْظُورِ، وَلَمَّا جَازَ التَّحَرِّي فِي الطَّاهِرِ وَالنَّجِسِ إِذَا غَلَبَ الْمُبَاحُ جَازَ، وَأَمَّا اسْتِشْهَادُهُمْ بِأَنَّ الْحَظْرَ إِذَا غَلَبَ كَانَ حُكْمُهُ أَغْلَبَ اعْتِبَارًا بِالْأَصْلِ الْمَذْكُورِ، فَخَطَأٌ؛ لِأَنَّ التَّحَرِّيَ لَا يَدْخُلُ فِي الْأَصْلِ الَّذِي ذَكَرَهُ، وَإِنْ كَانَتِ الْإِبَاحَةُ أَغْلَبَ أَلَا تَرَى لَوِ اخْتَلَطَتْ أُخْتُهُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ حَرُمْنَ عَلَيْهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَحَرَّى فِيهِنَّ، وَلَوِ اخْتَلَطَتْ بِنِسَاءِ بَلَدٍ حَلَّ لَهُ مَنْ شَاءَ مِنْهُنَّ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَجْتَهِدَ فِيهِنَّ، ثُمَّ يُقَالُ: إِنَّمَا يَتَغَلَّبُ حُكْمُ الْحَظْرِ بِغَلَبَةِ أَمَارَاتِهِ، وَكَذَا يَتَغَلَّبُ حُكْمُ الْإِبَاحَةِ بِغَلَبَةِ أَمَارَاتِهَا، وَلَيْسَ لِلْعَدَدِ تَأْثِيرٌ فِي تَغْلِيبِ أَحَدِ الْحُكْمَيْنِ.
Adapun jawaban atas sabda Nabi SAW: “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu”, maka sesungguhnya sesuatu yang oleh ijtihad telah disimpulkan sebagai suci, maka keraguan telah hilang darinya. Sedangkan tanah, selama masih ada air, keraguan justru berpindah padanya. Maka tidak boleh digunakan.
Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan dua bejana — salah satunya berisi air dan yang lainnya air kencing — maka telah kami sebutkan sebelumnya bersama pendapat al-Muzanī dua perbedaan tersebut. Dan maksud dalam masalah air dan air kencing adalah: ketika tidak boleh taharri padanya meskipun yang mubah lebih dominan, maka terlebih lagi tidak boleh ketika yang terlarang lebih dominan. Namun dalam kasus suci dan najis, ketika yang mubah lebih dominan, maka boleh taharri.
Adapun istidlāl mereka bahwa jika larangan lebih dominan maka hukumnya lebih kuat, dengan alasan mengacu pada kaidah asal, maka itu adalah kekeliruan. Karena taharri tidak termasuk dalam kaidah asal yang mereka sebutkan, sekalipun yang mubah lebih dominan.
Tidakkah engkau melihat, jika saudara perempuannya bercampur dengan sepuluh wanita (tidak dikenal identitasnya), maka semua menjadi haram baginya dan ia tidak boleh bertaharri di antara mereka. Tapi jika bercampur dengan seluruh wanita satu negeri, maka halal baginya menikahi siapa saja dari mereka dan tidak diwajibkan baginya untuk berijtihad dalam memilih.
Kemudian dikatakan: sesungguhnya hukum larangan menjadi dominan karena dominannya tanda-tanda larangan, dan begitu pula hukum kebolehan menjadi dominan karena dominannya tanda-tanda kebolehan. Adapun jumlah tidak berpengaruh dalam menguatkan salah satu dari dua hukum tersebut.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ اجْتِهَادِهِ فِي قَلِيلِ الْأَوَانِي وَكَثِيرِهَا سَوَاءٌ كَانَ الطَّاهِرُ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ، فَمَتَى لَمْ يَجِدْ مِنَ الطَّاهِرِ إِلَّا مَا اشْتَبَهَ بِالنَّجِسِ وَجَبَ عَلَيْهِ الِاجْتِهَادُ، وإن وجد ماء طاهراً بيقين ومعه إناآن قَدْ يَشْتَبِهُ عَلَيْهِ الطَّاهِرُ مِنْهُمَا مِنَ النَّجِسِ، لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ أَنْ يَجْتَهِدَ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّهُ سَبِيلٌ إِلَى الْعُدُولِ عَنْهُمَا بِاسْتِعْمَالِ مَا يَتَيَقَّنُ طَهَارَتَهُ، لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ لَهُ الِاجْتِهَادُ فِيهِمَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ فِي شَرْحِهِ:
(PASAL)
Jika telah tetap kebolehan ijtihad dalam bejana yang sedikit maupun banyak — baik jumlah yang suci lebih sedikit maupun lebih banyak — maka kapan pun ia tidak mendapatkan air suci kecuali yang samar antara yang najis dan yang suci, maka wajib baginya untuk ijtihad.
Namun jika ia mendapati air yang suci secara yakin, sementara bersamanya dua bejana yang salah satunya diragukan antara suci dan najis, maka tidak wajib baginya ijtihad pada salah satu dari keduanya, karena ia memiliki jalan lain yaitu menggunakan air yang diyakini kesuciannya.
Akan tetapi, para ulama mazhab kami berselisih pendapat: apakah boleh baginya ijtihad pada dua bejana tersebut atau tidak? Ada dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abū Isḥāq al-Marwazī dalam syarahnya.
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْتَهِدَ؛ لِأَنَّ الِاجْتِهَادَ إِنَّمَا يَجُوزُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ إِلَيْهِ كَمَا لَا يَجُوزُ الِاجْتِهَادُ فِي الْقِبْلَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى عَيْنِهَا وَلَا فِي أَحْكَامِ الشَّرْعِ مَعَ وُجُودِ النَّصِّ فِيهَا، قَالَ صَاحِبُ هَذَا الْوَجْهِ: وَدَلِيلُ ذَلِكَ مِنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ قَوْلُهُ: ” وَلَوْ كان في السفر وكان معه إنا آن فَيَسْتَيْقِنُ أَنَّ أَحَدَهُمَا نَجِسٌ وَالْآخَرَ لَمْ يُنَجَّسْ تَأَخَّى ” فَجَعَلَ السَّفَرَ شَرْطًا فِي جَوَازِ الِاجْتِهَادِ وَلَا يَكُونُ السَّفَرُ شَرْطًا إِلَّا لِعَدَمِ مَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَاءِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْتَهِدَ، لِأَنَّ أَكْثَرَ أَحْوَالِهِ فِي الِاجْتِهَادِ أَنْ يَكُونَ مُسْتَعْمَلًا بِمَاءٍ طَاهِرٍ فِي الظَّاهِرِ مَعَ وُجُودِ مَاءٍ طَاهِرٍ بِيَقِينٍ، وَذَلِكَ جَائِزٌ؛ أَلَا تَرَى لَوِ اسْتَعْمَلَ مِنْ إِنَاءٍ عَلَى شَاطِئِ نَهْرٍ أَوْ بَحْرٍ، جَازَ، وَإِنْ كَانَتْ طَهَارَتُهُ مِنْ طَرِيقِ الطَّاهِرِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ نَجِسًا بِوُلُوغِ كَلْبٍ، أَوْ غَيْرِهِ، وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ مَاءَ الْبَحْرِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى يَقِينِ الطَّهَارَةِ، قَالَ صَاحِبُ هَذَا الْوَجْهِ وَاشْتِرَاطُ الشَّافِعِيِّ السَّفَرَ إِنَّمَا هُوَ لِوُجُوبِ الِاجْتِهَادِ لَا لِجَوَازِهِ.
Pendapat pertama: Tidak boleh baginya untuk ijtihad, karena ijtihad hanya dibolehkan dalam keadaan darurat kepadanya, sebagaimana tidak dibolehkan ijtihad dalam menentukan kiblat ketika mampu mengetahuinya secara pasti, dan tidak pula dalam hukum-hukum syariat ketika terdapat nash yang jelas. Pemilik pendapat ini berkata: Dalilnya dari nash Imam Syafi‘i adalah sabdanya: “Jika dalam safar dan bersamanya dua bejana, dan ia yakin bahwa salah satunya najis dan yang lainnya belum terkena najis, maka hendaknya ia bertindak hati-hati (takhayyī)”. Maka beliau menjadikan safar sebagai syarat kebolehan ijtihad, dan safar tidak dijadikan syarat kecuali karena ketiadaan air lain selain itu.
Pendapat kedua: Boleh baginya untuk ijtihad, karena dalam kebanyakan kondisi ijtihad, seseorang menggunakan air yang suci secara ẓāhir, padahal masih ada air suci yang diyakini kesuciannya. Dan hal itu diperbolehkan. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang menggunakan air dari sebuah bejana di tepi sungai atau laut, maka hukumnya sah, meskipun thaharahnya berasal dari air suci secara ẓāhir, padahal bisa saja air itu najis karena jilatan anjing atau selainnya. Dan tidak wajib baginya menggunakan air laut, meskipun ia yakin akan kesuciannya.
Pemilik pendapat ini berkata: Syarat safar yang disebutkan oleh Imam Syafi‘i hanyalah menunjukkan kewajiban ijtihad, bukan menunjukkan kebolehannya.
(فَصْلٌ)
: وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ: إِذَا كَانَ مَعَهُ إِنَاءَانِ أَحَدُهُمَا مَاءٌ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ، وَالْآخَرُ مَاءٌ مُسْتَعْمَلٌ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَجْتَهِدَ؛ لِأَنَّهُ إِذَا اسْتَعْمَلَهُمَا أَدَّى فَرْضُ طَهَارَتِهِ بِيَقِينٍ فَإِذَا أَرَادَ الِاجْتِهَادَ فِيهِمَا، نظر، فإن كان مضطر إلى شرب أحدهما جاز الاجتهاد فيهما؛ لأن لا يقدر علم عَلَى اسْتِعْمَالِهِمَا، وَإِنْ لَمْ يُضْطَرَّ إِلَى شُرْبِ أَحَدِهِمَا، فَفِي جَوَازِ اجْتِهَادِهِ فِيهِمَا وَجْهَانِ كَمَا مَضَى:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَهِدَ إِذَا قِيلَ إِنَّ مَنْ تَيَقَّنَ مَاءً طَاهِرًا لَمْ يَجْتَهِدْ.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَجْتَهِدَ إِذَا قِيلَ إِنَّ مَنْ تَيَقَّنَ مَاءً طَاهِرًا جَازَ أَنْ يَجْتَهِدَ.
(PASAL)
Turunan dari dua pendapat tersebut adalah: jika seseorang memiliki dua bejana — salah satunya berisi air suci yang menyucikan, dan yang lainnya berisi air musta‘mal (yang telah dipakai untuk bersuci) — maka tidak wajib baginya untuk ijtihad, karena jika ia menggunakan keduanya maka kewajiban ṭahārah-nya telah tertunaikan dengan yakin.
Namun jika ia ingin ijtihad terhadap keduanya, maka dilihat: jika ia dalam keadaan darurat harus meminum salah satunya, maka boleh ijtihad pada keduanya, karena ia tidak mampu menggunakan keduanya sekaligus.
Tapi jika ia tidak dalam keadaan darurat untuk meminum salah satunya, maka kebolehan ijtihad pada keduanya kembali kepada dua pendapat yang telah lalu:
Pertama: Tidak boleh ijtihad jika dikatakan bahwa siapa yang yakin terhadap adanya air suci maka tidak boleh ijtihad.
Kedua: Boleh ijtihad jika dikatakan bahwa siapa yang yakin terhadap adanya air suci, tetap boleh ijtihad.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا إِذَا كَانَ مَعَهُ إِنَاءَانِ أَحَدُهُمَا مَاءٌ وَالْآخَرُ مَاءُ وَرْدٍ، فَإِنْ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى شُرْبِ أَحَدِهِمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْتَهِدَ، وَلَزِمَهُ اسْتِعْمَالُهُمَا وَجْهًا وَاحِدًا بِخِلَافِ الْمُسْتَعْمَلِ؛ لِأَنَّ مَاءَ الْوَرْدِ لَا مُدْخَلَ لَهُ فِي التَّطْهِيرِ فَلَمْ يَجُزِ الِاجْتِهَادُ فِيهِ كَالْمَاءِ وَالْخَمْرِ، وَلَزِمَهُ اسْتِعْمَالُهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا طَاهِرَانِ بِخِلَافِ الْمَاءِ وَالْخَمْرِ، وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى شُرْبِ أَحَدِهِمَا جَازَ أَنْ يَجْتَهِدَ فِيهِمَا لِأَجْلِ الشُّرْبِ، لَا لِأَجْلِ الطَّهَارَةِ؛ لِأَنَّ الشُّرْبَ يَخْتَصُّ بِالطَّهَارَةِ وَحْدَهَا، وَهُمَا طَاهِرَانِ فَجَازَ الِاجْتِهَادُ فِيهِمَا؛ لِأَجْلِ الشُّرْبِ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الطَّهَارَةِ فَلَمْ يَجُزْ الِاجْتِهَادُ فِيهِمَا؛ لِأَجْلِ الطَّهَارَةِ؛ لِأَنَّهُمَا يَخْتَلِفَانِ فِي التَّطْهِيرِ، وَاجْتِهَادُهُ لِأَجْلِ الشُّرْبِ وَأَنْ يَتَأَخَّى فِيهِمَا أَيُّهُمَا مَاءُ الْوَرْدِ لِيَشْرَبَهُ، فَإِذَا أَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إِلَى أَنَّ أَحَدَهُمَا ماء الورد أعده لشربه، بقي الْآخَرُ وَقَدْ خَرَجَ بِالِاجْتِهَادِ عَنْ أَنْ يَكُونَ مَاءَ وَرْدٍ فَحُكِمَ بِأَنَّهُ مَاءٌ فَجَازَ أَنْ يَسْتَعْمِلَهُ فَهَذَا فَرْقٌ بَيْنَ الِاجْتِهَادَيْنِ.
(PASAL)
Adapun jika seseorang memiliki dua bejana — salah satunya berisi air, dan yang lainnya berisi air mawar — maka jika ia tidak membutuhkan untuk meminum salah satunya, tidak boleh baginya ijtihad, dan ia wajib menggunakan keduanya (untuk bersuci) menurut satu pendapat, berbeda dengan air musta‘mal. Sebab air mawar tidak masuk dalam kategori alat untuk bersuci, maka tidak boleh ijtihad padanya, seperti halnya antara air dan khamar.
Namun ia wajib menggunakan keduanya karena keduanya suci, berbeda dengan air dan khamar. Jika ia membutuhkan untuk meminum salah satunya, maka boleh baginya ijtihad terhadap keduanya untuk tujuan minum, bukan untuk bersuci. Karena minum hanya berlaku khusus bagi air yang suci saja, dan keduanya adalah suci, maka boleh ijtihad pada keduanya untuk keperluan minum karena kesamaan keduanya dalam hal kesucian.
Namun tidak boleh ijtihad padanya untuk bersuci, karena keduanya berbeda dalam kemampuan menyucikan. Maka ijtihad-nya hanya untuk keperluan minum, yaitu agar ia bisa meneliti dan memilih mana di antara keduanya yang air mawar untuk diminumnya. Jika hasil ijtihad-nya menunjuk bahwa salah satunya adalah air mawar, maka ia siapkan untuk diminum. Maka bejana yang satu lagi — karena telah dikeluarkan dari kemungkinan sebagai air mawar berdasarkan ijtihad — dihukumi sebagai air biasa, maka boleh digunakan untuk bersuci. Maka inilah perbedaan antara dua jenis ijtihad tersebut.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا إِذَا كَانَ مَعَهُ إِنَاءَانِ يَتَيَقَّنُ طَهَارَةَ أَحَدِهِمَا، وَنَجَاسَةَ الْآخَرِ، وَقَدِ اشْتَبَهَا فَانْقَلَبَ أَحَدُهُمَا أَوْ أَرَاقَهُ فَفِي الْبَاقِي وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ هُوَ طَاهِرٌ؛ لِأَنَّهُ مَاءٌ مَشْكُوكٌ فِي نَجَاسَتِهِ فَرُدَّ إِلَى أَصْلِهِ فِي الطَّهَارَةِ، فَيَسْتَعْمِلُهُ مِنْ غَيْرِ اجْتِهَادٍ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَعْمِلَهُ حَتَّى يَجْتَهِدَ فِيهِ، وَلَا يُحْكَمُ بِطَهَارَتِهِ قَبْلَ الِاجْتِهَادِ؛ لِأَنَّنَا قَدْ تَيَقَّنَّا حُصُولَ النَّجَاسَةِ فِيهِمَا وَشَكَكْنَا فِي زَوَالِهَا بِإِرَاقَةِ أَحَدِهِمَا، وَالشَّكُّ لَا يَرْفَعُ حُكْمًا ثَبَتَ بِيَقِينٍ.
(PASAL)
Adapun jika seseorang memiliki dua bejana, ia meyakini bahwa salah satunya suci dan yang lainnya najis, lalu keduanya tertukar, kemudian salah satu dari keduanya tumpah atau ia menumpahkannya, maka terhadap bejana yang tersisa terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa air tersebut suci, karena ia adalah air yang diragukan kenajisannya, maka dikembalikan kepada hukum asalnya, yaitu suci, sehingga boleh digunakan tanpa perlu ijtihad.
Pendapat kedua: yaitu pendapat mayoritas ulama mazhab kami, bahwa tidak boleh menggunakannya sampai dilakukan ijtihad padanya, dan tidak boleh dihukumi suci sebelum adanya ijtihad. Karena kita telah meyakini bahwa najis itu pernah ada pada salah satu dari keduanya, dan kita meragukan apakah najis itu telah hilang dengan tumpahnya salah satunya, maka keraguan tidak bisa menghilangkan hukum yang telah ditetapkan dengan keyakinan.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا دَلَائِلُ الِاجْتِهَادِ فَهِيَ الْأَمَارَاتُ الَّتِي يُسْتَدْرَكُ بِهَا حَالُ النَّجَاسَةِ، وَقَدْ تَكُونُ بِأَسْبَابٍ مُخْتَلِفَةٍ وَجِهَاتٍ شَتَّى، فَمِنْهَا تَغَيُّرُ أَوْصَافِهِ، وَمِنْهَا حَرَكَةُ الْمَاءِ وَاضْطِرَابُهُ، وَمِنْهَا آثَارُ نَجَاسَتِهِ لِقُرْبِهِ، وَمِنْهَا انْكِشَافُ أَحَدِهِمَا، وَتَغْطِيَةُ غَيْرِهِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الدَّلَائِلِ وَالْأَمَارَاتِ الَّتِي يَغْلِبُ مَعَهَا فِي النَّفْسِ طَهَارَةُ الطَّاهِرِ وَنَجَاسَةُ النَّجِسِ، فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ اجْتِهَادُ الْأَعْمَى فِيهَا بِمَا عَدَا حَاسَّةَ الْبَصَرِ مِنَ الرَّوَائِحِ، وَالطُّعُومِ وَسَمَاعِ الحركة، والاضطراب لاشتراك الأعمى والبصير في إدراكها بِالْحِسِّ.
(PASAL)
Adapun dalil-dalil untuk ijtihad adalah tanda-tanda (amārah) yang dapat dijadikan dasar untuk mengetahui keadaan najis. Tanda-tanda ini bisa berasal dari berbagai sebab dan sisi yang beragam.
Di antaranya adalah perubahan sifat-sifat air, atau gerakan dan kegelisahan air, atau bekas-bekas najis karena dekatnya, atau salah satu bejana terbuka dan yang lainnya tertutup, dan lain sebagainya dari dalil-dalil dan tanda-tanda yang menyebabkan keyakinan kuat dalam jiwa terhadap kesucian yang suci dan kenajisan yang najis.
Berdasarkan hal ini, sah ijtihad-nya orang buta dalam hal tersebut melalui indera selain penglihatan, seperti mencium bau, merasakan rasa, dan mendengar gerakan dan gelombang air, karena orang buta dan orang yang melihat sama-sama dapat merasakannya melalui pancaindra.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُهُ إِذَا اجْتَهَدَ فِيهِمَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَتَوَصَّلَ بِالِاجْتِهَادِ إِلَى مَعْرِفَةِ الطَّاهِرِ مِنَ النَّجِسِ أَمْ لَا، فَإِنْ تَوَصَّلَ بِالِاجْتِهَادِ إِلَى طَهَارَةِ أَحَدِهِمَا اسْتَعْمَلَهُ، وَيُسْتَحَبُّ لَوْ أَرَاقَ النَّجِسَ قَبْلَ اسْتِعْمَالِ الطَّاهِرِ لِئَلَّا يُعَارِضَهُ الشَّكُّ مِنْ بَعْدِهِ أَوْ خَوْفًا مِنَ الْخَطَأِ فِي اسْتِعْمَالِهِ فَإِنْ لَمْ يُرِقْهُ وَاسْتَعْمَلَ الطَّاهِرَ جَازَ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ الِاجْتِهَادُ لِصَلَاةٍ أُخْرَى بِخِلَافِ الْقِبْلَةِ لِمَا نَذْكُرُهُ مِنَ الْفَرْقِ هُنَاكَ، وَإِنِ اجْتَهَدَ فَلَمْ يُؤَدِّهِ الِاجْتِهَادُ إِلَى شَيْءٍ، وَكَانَ الِاشْتِبَاهُ بَاقِيًا فَيَنْبَغِي أَنْ يُرِيقَ أَحَدَ الْإِنَاءَيْنِ فِي الْآخَرِ، فَإِنْ بَلَغَا قُلَّتَيْنِ كَانَ الْمَاءُ طَاهِرًا فَيَسْتَعْمِلُهُ وَيُصَلِّي وَإِنْ كَانَ دُونَ الْقُلَّتَيْنِ فَهُوَ نَجِسٌ، فَيَتَيَمَّمُ وَيُصَلِّي وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ إِرَاقَةُ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ وَاجِبٌ عَلَيْهِ أَوْ مُسْتَحَبٌّ لَهُ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ إِنْ بَلَغَ قُلَّتَيْنِ اسْتَعْمَلَهُ، وَإِنْ عَجَزَ تَيَمَّمَ وَلَمْ يُعِدْ، وَقَالَ جُمْهُورُهُمْ: لَا يَلْزَمُهُ إِرَاقَةُ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ إِلَّا أَنْ يَتَيَقَّنَ أَنَّهُ يَسْتَكْمِلُ قُلَّتَيْنِ فَيَلْزَمُ، وَإِنْ لَمْ يَسْتَيْقِنِ اسْتِكْمَالَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَلْزَمْ، وَجَازَ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ؛ لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى اسْتِعْمَالِ مَاءٍ طَاهِرٍ وَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ لِوُجُودِ الْمَاءِ الطَّاهِرِ وَإِنْ أُشْكِلَ.
(PASAL)
Jika telah tetap apa yang kami uraikan, maka keadaan seseorang yang berijtihad terhadap dua bejana tidak lepas dari dua hal: yaitu, apakah ia dapat melalui ijtihad mengetahui mana yang suci dari yang najis, atau tidak.
Jika dengan ijtihad ia dapat mengetahui bahwa salah satunya suci, maka ia boleh menggunakannya. Disunnahkan baginya untuk menumpahkan bejana yang najis terlebih dahulu sebelum menggunakan yang suci, agar tidak muncul keraguan setelahnya atau karena khawatir terjadi kesalahan dalam penggunaannya.
Namun jika ia tidak menumpahkannya dan langsung menggunakan yang suci, maka hal itu tetap boleh. Dan tidak wajib baginya untuk melakukan ijtihad kembali untuk salat yang lain, berbeda dengan arah kiblat, sebagaimana akan kami sebutkan perbedaannya nanti.
Jika ia berijtihad namun tidak mendapatkan hasil, dan kebingungan masih tetap, maka sebaiknya ia menuangkan salah satu bejana ke dalam yang lainnya. Jika setelah dicampur jumlahnya mencapai dua qullah, maka air itu suci dan boleh digunakan untuk bersuci dan salat.
Namun jika jumlahnya kurang dari dua qullah, maka air itu najis, maka ia bertayammum dan salat, dan tidak wajib mengulang salatnya.
Para ulama mazhab kami berbeda pendapat: apakah menuangkan salah satu bejana ke dalam yang lainnya itu wajib atau hanya sunnah?
Sebagian mereka berpendapat bahwa hal itu wajib, karena jika jumlahnya mencapai dua qullah, ia wajib menggunakannya, dan jika tidak mampu, maka ia tayammum dan tidak wajib mengulang.
Namun mayoritas mereka berpendapat: tidak wajib menuangkannya kecuali jika ia yakin bahwa gabungan keduanya akan mencapai dua qullah, maka ketika itu menjadi wajib. Tetapi jika ia tidak yakin akan cukupnya dua qullah, maka tidak wajib menuangkannya, dan ia boleh bertayammum karena tidak mampu menggunakan air suci.
Akan tetapi, ia tetap wajib mengulang salatnya karena ia sebenarnya memiliki air suci, meskipun tidak dapat dipastikan.
(فَصْلٌ)
: فَلَوِ اجْتَهَدَ رَجُلَانِ فِي إِنَاءَيْنِ فَأَدَّى اجْتِهَادُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَى طَهَارَةِ مَا نَجَّسَهُ صَاحِبُهُ اسْتَعْمَلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِنَاءَهُ الَّذِي بَانَ فِي اجْتِهَادِهِ أَنَّهُ طَاهِرٌ كَاجْتِهَادِ رَجُلَيْنِ فِي الْقِبْلَةِ إِلَى جِهَتَيْنِ مُخْتَلِفَتَيْنِ، وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَأْتَمَّ بِصَاحِبِهِ؛ لِأَنَّهُ يَعْتَقِدُ فِيهِ أَنَّهُ يُصَلِّي بِنَجَاسَةٍ، فَإِنْ جَمَعَا بَطُلَتْ صَلَاةُ الْمَأْمُومِ دُونَ الْإِمَامِ وَقَدْ ذَكَرَ أَصْحَابُنَا فَرْعًا يُغْنِي شَرْحُهُ عَنِ التَّفْرِيعِ عَلَى هَذَا الْأَصْلِ، وَهُوَ فِي خمسة توضؤوا وَسَمِعُوا مِنْ أَحَدِهِمْ صَوْتًا فَنَفَاهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَنْ نَفْسِهِ، ثُمَّ إِنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْخَمْسَةِ أَمَّ جَمِيعَ أَصْحَابِهِ فِي صَلَاةٍ مِنَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ حَتَّى أَمَّ الْخَمْسَةُ فِي خمس صلوات.
(PASAL)
Jika dua orang berijtihad terhadap dua bejana, lalu hasil ijtihad masing-masing menunjukkan bahwa bejana yang menurut lawannya najis adalah suci menurut dirinya, maka masing-masing boleh menggunakan bejana yang menurut ijtihad-nya adalah suci — sebagaimana dua orang yang berijtihad dalam menentukan arah kiblat namun menghadap ke dua arah yang berbeda.
Namun tidak boleh salah satu dari keduanya menjadi makmum bagi yang lain, karena ia meyakini bahwa yang menjadi imam sedang salat dalam keadaan membawa najis. Jika keduanya tetap salat berjamaah, maka salat makmum batal, sedangkan salat imam tetap sah.
Para ulama kami juga menyebutkan satu cabang yang penjelasannya cukup untuk mewakili rincian dari prinsip ini, yaitu: lima orang berwudu, lalu mereka mendengar suara (kentut) dari salah satu mereka, dan masing-masing menafikan bahwa suara itu berasal dari dirinya. Kemudian masing-masing dari kelima orang itu menjadi imam bagi semua temannya dalam satu dari lima salat fardu, sehingga kelima orang itu semuanya menjadi imam dalam lima salat.
فالجواب أَنَّهُ لَا إِعَادَةَ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ فِي أَوَّلِ الْجَمَاعَاتِ وَهِيَ الصُّبْحُ وَلَا فِي الثَّانِيَةِ وَهِيَ الظُّهْرُ وَلَا فِي الثَّالِثَةِ وَهِيَ الْعَصْرُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الصَّوْتُ مِنَ الْإِمَامَيْنِ الْبَاقِيَيْنِ مِنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، فَأَمَّا الصَّلَاةُ الرَّابِعَةُ وَهِيَ الْمَغْرِبُ فَلَا إِعَادَةَ فِيهَا عَلَى وَاحِدٍ مِنْ جَمَاعَتِهِمْإِلَّا عَلَى الَّذِي أَمَّ فِي الْخَامِسَةِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا نَفَى الصَّوْتَ عَنْ نَفْسِهِ، وَعَنِ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ ائْتَمَّ بِهِمْ مِنْ قَبْلُ فَقَدْ أَضَافَ الصَّوْتَ إِلَى الرَّابِعِ، وَنَسَبَهُ إِلَى الْحَدَثِ وَمَنِ ائْتَمَّ بِمَنِ اعْتَقَدَ حَدَثَهُ لَزِمَتْهُ الْإِعَادَةُ، فَأَمَّا الصَّلَاةُ الْخَامِسَةُ وَهِيَ الْعِشَاءُ فَالْإِعَادَةُ فِيهَا وَاجِبَةٌ عَلَى الْمَأْمُومِينَ الْأَرْبَعَةِ لِإِضَافَتِهِمُ الْحَدَثَ إِلَى الْخَامِسِ وَهُوَ الْإِمَامُ، وَلَا إِعَادَةَ عَلَى الْإِمَامِ فِيهَا، وَإِنَّمَا لَزِمَتْهُ إِعَادَةُ الرَّابِعَةِ الَّتِي كَانَ مَأْمُومًا فِيهَا.
Maka jawabannya: tidak wajib mengulang salat bagi seluruh jamaah mereka dalam salat berjamaah yang pertama, yaitu Subuh, tidak pula dalam yang kedua, yaitu Zuhur, dan tidak pula dalam yang ketiga, yaitu Asar, karena masih mungkin bahwa suara (kentut) itu berasal dari dua imam yang tersisa, yaitu yang akan mengimami Magrib dan Isya.
Adapun salat keempat, yaitu Magrib, maka tidak ada kewajiban mengulang bagi siapa pun dari jamaahnya, kecuali bagi orang yang menjadi imam pada salat kelima (Isya). Karena ketika ia menafikan suara itu dari dirinya dan dari tiga orang yang telah menjadi makmumnya sebelumnya, berarti ia telah menetapkan bahwa suara itu berasal dari orang keempat, dan menyandarkan suara itu pada hadats. Maka siapa yang menjadi makmum kepada orang yang ia yakini telah berhadats, wajib mengulang salatnya.
Adapun salat kelima, yaitu Isya, maka wajib diulang oleh keempat makmumnya karena mereka menyandarkan hadats kepada orang kelima, yaitu imamnya. Sedangkan imam tidak wajib mengulang salat Isya, karena ia tidak meyakini dirinya berhadats. Yang wajib ia ulang hanyalah salat keempat (Magrib), karena saat itu ia menjadi makmum kepada orang yang ia yakini telah berhadats.
(فَصْلٌ)
: وَإِذَا اسْتَعْمَلَ بِاجْتِهَادِهِ فِي الْإِنَاءَيْنِ مِنْ مَاءِ أَحَدِهِمَا ثُمَّ بَانَ لَهُ نَجَاسَةُ مَا اسْتَعْمَلَهُ، وَطَهَارَةُ مَا تَرَكَهُ لَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ الْيَقِينِ، أَوْ مِنْ طَرِيقِ الِاجْتِهَادِ، فَإِنْ بَانَ لَهُ مِنْ طَرِيقِ الْيَقِينِ اجْتَنَبَ بَاقِيَ مَا اسْتَعْمَلَهُ، وَكَانَ نَجِسًا، وَاسْتَعْمَلَ الْإِنَاءَ الْآخَرَ، وَكَانَ طَاهِرًا وَلَزِمَتْهُ الْإِعَادَةُ لِمَا صَلَّى بِالْأَوَّلِ، وَغَسْلُ مَا أَصَابَهُ الْأَوَّلُ مِنْ بَدَنِهِ وَثِيَابِهِ وَإِنْ بَانَ لَهُ ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ الِاجْتِهَادِ، فَقَدْ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: يَجْتَنِبُ بَقِيَّةَ الْأَوَّلِ، وَيَسْتَعْمِلُ الثَّانِيَ عَلَى مَا اقْتَضَاهُ اجْتِهَادُهُ الثَّانِي وَلَا يُعِيدُ مَا صَلَّى بِالْأَوَّلِ؛ لِأَنَّهَا صَلَاةٌ قُضِيَتْ بِالِاجْتِهَادِ فَلَا تُنْقَضُ بِاجْتِهَادٍ، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ بَقِيَّةَ الْأَوَّلِ، لِاعْتِقَادِهِ فِي الْحَالِ أَنَّهُ نَجِسٌ، وَمَنِ اعْتَقَدَ نَجَاسَةَ مَاءٍ حَرُمَ اسْتِعْمَالُهُ عَلَيْهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ شَيْئًا مِنَ الثَّانِي، بِخِلَافِ مَا قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ لِمَا نَفَذَ مِنَ الْحُكْمِ بِنَجَاسَتِهِ، وَالْحُكْمُ إِذَا نَفَذَ بِاجْتِهَادٍ لَمْ يُنْقَضْ بِمِثْلِهِ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ الِاجْتِهَادُ الثَّانِي قَدْ نَقَضَ الْحُكْمَ الْأَوَّلَ لَلَزِمَهُ إِعَادَةُ مَا صَلَّى بِالْأَوَّلِ وَغَسْلُ مَا أَصَابَ مِنْ ثِيَابِهِ وَبَدَنِهِ، وَهُوَ لَا يَقُولُ هَذَا فَعَلِمَ ثُبُوتَ الْحُكْمِ الْأَوَّلِ، وَلَوْ لَزِمَهُ اسْتِعْمَالُ الثَّانِي وَتَرْكُ غَسْلِ مَا أَصَابَ الْأَوَّلُ مِنْ بَدَنِهِ لَكَانَ حَامِلًا لِنَجَاسَةِ يَقِينٍ وَذَلِكَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
(PASAL)
Jika seseorang telah menggunakan air dari salah satu dari dua bejana berdasarkan ijtihad, kemudian ternyata setelah itu jelas baginya bahwa air yang ia gunakan adalah najis dan yang ia tinggalkan adalah suci, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah hal itu menjadi jelas baginya melalui jalan yakin atau melalui jalan ijtihad.
Jika menjadi jelas melalui jalan yakin, maka ia wajib menghindari sisa air yang telah digunakannya karena statusnya najis, dan ia harus menggunakan bejana yang lain karena airnya suci. Ia juga wajib mengulang salat yang telah ia kerjakan dengan air pertama, dan wajib mencuci bagian tubuh dan pakaian yang terkena air najis tersebut.
Namun jika hal itu menjadi jelas baginya melalui ijtihad, maka Abū al-‘Abbās Ibn Surayj berkata: Ia menghindari sisa air pertama dan menggunakan bejana kedua sesuai dengan hasil ijtihad yang kedua, dan tidak wajib mengulang salat yang ia kerjakan dengan air pertama. Karena salat itu telah dikerjakan berdasarkan ijtihad, maka tidak dibatalkan oleh ijtihad yang lain.
Sedangkan mazhab al-Syafi‘i dan mayoritas ulama mazhabnya berpendapat: Tidak boleh baginya menggunakan sisa air dari bejana pertama karena saat ini ia meyakini bahwa air tersebut najis. Dan siapa yang meyakini suatu air itu najis, haram baginya menggunakannya.
Juga tidak boleh baginya menggunakan air dari bejana kedua, berbeda dengan pendapat Abū al-‘Abbās, karena sudah berlaku hukum kenajisan pada air tersebut, dan hukum jika sudah ditetapkan dengan ijtihad, tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad yang lain.
Seandainya ijtihad kedua dapat membatalkan hukum pertama, maka ia wajib mengulang salat yang telah ia kerjakan dengan air pertama dan mencuci pakaian serta tubuhnya yang terkena air itu — padahal ia sendiri tidak mengatakan hal itu. Maka jelaslah bahwa hukum pertama tetap berlaku.
Dan seandainya ia menggunakan air dari bejana kedua namun tidak mencuci bagian tubuhnya yang terkena air najis dari bejana pertama, maka berarti ia membawa najis secara yakin, dan hal itu jelas dilarang.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
قال الشافعي: ” أخبرنا الثقفي يعني عبد الوهاب عَنِ الْمُهَاجِرِ أَبِي مخلدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْخَصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أيامٍ وَلَيَالِيهِنَّ وَلِلْمُقِيمِ يَوْمًا وَلَيْلَةً إِذَا تَطَهَّرَ وَلَبِسَ خُفَّيْهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا “.
(PASAL MENYEKSA KEDUA KHUF)
Imam Syafi‘i berkata: “Telah mengabarkan kepada kami ats-Tsaqafī, yakni ‘Abd al-Wahhāb, dari al-Muhājir Abī Mukhlad, dari ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Bakrah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW memberikan keringanan bagi musafir untuk menyeka kedua khuf selama tiga hari tiga malam, dan bagi yang mukim satu hari satu malam, apabila ia telah bersuci lalu mengenakan kedua khufnya, maka boleh menyeka di atas keduanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَالْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِي الْوُضُوءِ جَائِزٌ، وَهُوَ قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَجُمْهُورِ النَّاسِ وَحُكِيَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الْإِمَامِيَّةِ وَالزَّيْدِيَّةِ وَعَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِي إِحْدَى الرِّوَايَاتِ عَنْهُ أَنَّهُمْ مَنَعُوا مِنَ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِلَى المَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ) {المائدة: 6) فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ مُوجِبَةً لِتَطْهِيرِ الْأَعْضَاءِ الْأَرْبَعَةِ فَلَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ عَنْهَا إِلَى حَالٍ دُونَهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَرْكِ الْأَمْرِ بِهَا، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ، وَقَالَ: هَذَا وضوءٌ لَا يَقْبَلُ اللَهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ “.
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang benar. Menyeka kedua khuf dalam wudu adalah diperbolehkan, dan ini adalah pendapat para sahabat serta mayoritas ulama. Diriwayatkan dari sekelompok kalangan Imamiyyah, Zaidiyyah, dan dari Mālik bin Anas dalam salah satu riwayat darinya, bahwa mereka melarang menyeka di atas khuf, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā:
{Fa’ghsilū wujūhakum wa aydiyakum ilā al-marāfiqi wamsaḥū biru’ūsikum wa arjulakum ilā al-ka‘bain} (al-Mā’idah: 6)
Mereka memahami bahwa ayat ini mewajibkan untuk mensucikan empat anggota wudu, maka tidak boleh berpaling dari kandungan ayat ini kepada bentuk selainnya, karena hal itu berarti meninggalkan perintah ayat.
Mereka juga berdalil dengan riwayat bahwa Nabi SAW berwudu dengan membasuh wajahnya, kedua lengannya, menyeka kepalanya, dan membasuh kedua kakinya, lalu bersabda: “Inilah wudu, Allah tidak menerima salat kecuali dengannya.”
فَكَانَ هَذَا الْخَبَرُ مَانِعًا مِنْ قَبُولِ الصَّلَاةِ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمِثْلِ وُضُوئِهِ، وَقَالُوا وَقَدْ رُوِّينَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَأَلَ أَبَا مَسْعُودٍ الْبَدْرِيَّ عَنِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، فَقَالَ أَبُو مَسْعُودٍ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَمْسَحُ عَلَيْهِمَا، فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ كَانَ ذَلِكَ قبل سورة المائدة لا بَعْدَهَا، فَسَكَتَ أَبُو مَسْعُودٍ قَالُوا: فَكَانَ عَلِيٌّ يَرَى ذَلِكَ مَنْسُوخًا بِسُورَةِ الْمَائِدَةِ.
قَالُوا: وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا أَنْكَرَتْ ذَلِكَ، وَقَالَتْ: لَأَنْ يُقْطَعَ رِجْلَايَ بِالْمُوسَى أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
قَالُوا: وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَأَى سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَمْسَحُ عَلَى خُفَّيْهِ فَأَنْكَرَ عَلَيْهِ، قَالُوا: وَقَدْ رُوِيَ عَنْ جَابِرِ بْنِ يَزِيدَ الْجُعْفِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَمْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:
Maka mereka berkata: Hadis tersebut menjadi penghalang diterimanya salat dengan bersuci melalui menyeka di atas khuf, karena wudu semacam itu tidak sesuai dengan tata cara wudu Nabi SAW.
Mereka juga berkata: Telah diriwayatkan dari ‘Alī bin Abī Ṭālib RA bahwa beliau pernah bertanya kepada Abū Mas‘ūd al-Badri tentang hukum menyeka di atas khuf, maka Abū Mas‘ūd menjawab: “Aku melihat Rasulullah SAW menyeka di atas keduanya.” Maka ‘Alī berkata kepadanya: “Itu terjadi sebelum turunnya Surah al-Mā’idah, bukan setelahnya.” Maka Abū Mas‘ūd pun diam. Mereka berkata: Ini menunjukkan bahwa ‘Alī menganggap hukum menyeka khuf telah di-nasakh (dihapus) dengan Surah al-Mā’idah.
Mereka juga berkata: Telah diriwayatkan bahwa ‘Āisyah mengingkari hal itu, dan berkata: “Lebih aku sukai kakiku dipotong dengan pisau cukur daripada aku menyeka di atas khuf.”
Dan mereka berkata: Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar melihat Sa‘d bin Abī Waqqāṣ menyeka di atas khuf-nya, lalu ia mengingkarinya.
Dan mereka berkata: Telah diriwayatkan dari Jābir bin Yazīd al-Ju‘fī bahwa ia berkata: “Keluarga Rasulullah SAW tidak berselisih dalam tiga perkara…”
أَحَدُهَا: أَنْ لَا يَقُولُوا فِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ إِلَّا خَيْرًا.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَمْسَحُوا عَلَى الْخُفَّيْنِ. وَالثَّالِثُ: أَنْ يجهروا ببسم اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالُوا: وَلِأَنَّكُمْ أَنْكَرْتُمُ الْمَسْحَ عَلَى الرِّجْلَيْنِ، وَذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى تَطْهِيرِهِمَا مِنَ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، فَكَيْفَ وَأَنْتُمْ تُنْكِرُونَ مَا هو أيسر وأقرب، ويجيزون مَا هُوَ أَعْظَمُ وَأَبْعَدُ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَمَّا امْتَنَعَ فِي سَائِرِ الْأَعْضَاءِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَى حَائِلٍ دُونَهُ امْتَنَعَ مِثْلُهُ فِي الرِّجْلَيْنِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ غَسْلَ الرِّجْلَيْنِ قَدْ يَجِبُ فِي غُسْلِ الْجَنَابَةِ كَوُجُوبِهِ فِي الْوُضُوءِ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ فِي الْجَنَابَةِ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى مَسْحِ الْخُفَّيْنِ بَدَلًا مِنْ غَسْلِهِمَا كَذَلِكَ الْوُضُوءُ.
Salah satu dari tiga perkara itu adalah: bahwa mereka tidak berkata kecuali yang baik tentang Abū Bakr dan ‘Umar.
Yang kedua: bahwa mereka tidak menyeka di atas khuf.
Dan yang ketiga: bahwa mereka mengeraskan bacaan Bismillāh ar-Raḥmān ar-Raḥīm.
Mereka berkata: “Kalian telah mengingkari menyeka atas kedua kaki (yakni langsung tanpa alas), padahal itu lebih dekat kepada pensucian kaki dibanding menyeka di atas khuf. Maka bagaimana mungkin kalian mengingkari sesuatu yang lebih ringan dan lebih dekat (kepada teks syar‘i), namun justru membolehkan sesuatu yang lebih berat dan lebih jauh (dari teks)?”
Mereka juga berkata: “Karena ketika tidak diperbolehkan menyeka anggota wudu lain yang tertutup oleh penghalang, maka begitu pula tidak diperbolehkan menyeka kaki yang tertutup khuf.
Mereka juga berkata: “Membasuh kaki adalah kewajiban dalam mandi janabah sebagaimana dalam wudu. Maka sebagaimana tidak diperbolehkan menyeka khuf sebagai ganti dari membasuh kaki dalam mandi janabah, begitu pula tidak diperbolehkan dalam wudu.”
وَدَلِيلُنَا عَلَى جَوَازِهِ السُّنَّةُ الْمَرْوِيَّةُ مِنَ الطُّرُقِ الْمُخْتَلِفَةِ بِالْأَسَانِيدِ الصَّحِيحَةِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ، فَمِنْ ذَلِكَ مَا رَوَى دَلْهَمُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ حُجَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّجَاشِيَّ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خُفَّيْنِ أَسْوَدَيْنِ فَلَبِسَهُمَا ثُمَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَيْهِمَا ذكره أبو داود.
وروى بكير بن عامر الْبَجَلِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أبيِ نُعَيْمٍ عن المغيرة بن شعبة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ نسيت، فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” بَلْ أَنْتَ نَسِيتَ بِهَذَا أَمَرَنِي رَبِّي جَلَّ وَعَزَّ ” ذَكَرَهُ أَبُو دَاوُدَ. وَرَوَى بُكَيْرُ بْنُ عَامِرٍ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ جرير الحلى أَنَّ جَرِيرًا بَالَ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَقَالَ مَا يَمْنَعُنِي أَنْ أَمْسَحَ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَمْسَحُ قَالُوا: إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ، قَالَ مَا أَسْلَمْتُ إِلَّا بَعْدَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ. ذَكَرَهُ أَبُو دَاوُدَ.
وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الْأَعْمَشِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ يَقُولُ سَمِعْتُ حُذَيْفَةَ يَقُولُ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَتَى سُبَاطَةَ قومٍ فَبَالَ قَائِمًا، فَذَهَبْتُ أَتَنَحَّى عَنْهُ، فَجَذَبَنِي حَتَى كُنْتُ عِنْدَ عَقِبِهِ فَلَمَّا فَرَغَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ.
Dalil kami tentang bolehnya menyeka di atas khuf adalah sunnah yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dengan sanad-sanad yang sahih, bahwa Nabi SAW menyeka di atas khuf-nya.
Di antaranya adalah riwayat dari Dalham bin Ṣāliḥ dari Ḥujayr bin ‘Abdillāh dari Abū Buraydah dari ayahnya, bahwa an-Najāshī menghadiahkan kepada Nabi SAW dua khuf hitam, lalu beliau memakainya, kemudian berwudu dan menyeka di atas keduanya. Disebutkan oleh Abū Dāwūd.
Juga riwayat dari Bukayr bin ‘Āmir al-Bajalī dari ‘Abd ar-Raḥmān bin Abī Nu‘aym dari al-Mughīrah bin Syu‘bah, bahwa Rasulullah SAW menyeka di atas khuf-nya. Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, engkau lupa.” Beliau SAW bersabda: “Bahkan engkaulah yang lupa. Atas hal ini Rabb-ku Jalla wa ‘Azza memerintahkanku.” Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd.
Juga diriwayatkan oleh Bukayr bin ‘Āmir dari Abū Zur‘ah bin ‘Amr bin Jarīr al-Ḥallī, bahwa Jarīr buang air kecil, lalu berwudu dan menyeka di atas khuf-nya, dan ia berkata: “Apa yang menghalangiku dari menyeka, padahal aku telah melihat Rasulullah SAW menyeka?” Mereka (yang mengingkari) berkata: “Itu terjadi sebelum turunnya Surah al-Mā’idah.” Maka Jarīr berkata: “Aku tidak masuk Islam kecuali setelah turunnya Surah al-Mā’idah.” Disebutkan oleh Abū Dāwūd.
Dan Imam Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyān dari al-A‘masy, ia berkata: Aku mendengar Abā Wā’il berkata: Aku mendengar Ḥudhayfah berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW datang ke tempat pembuangan sampah suatu kaum, lalu buang air kecil dalam keadaan berdiri. Maka aku hendak menjauh darinya, namun beliau menarikku hingga aku berada di belakang tumitnya. Setelah selesai, beliau berwudu dan menyeka di atas khuf-nya.”
وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبَّادِ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَهَبَ لِحَاجَتِهِ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ قَالَ الْمَغِيرَةُ فَذَهَبْتُ مَعَهُ بماءٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَكَبْتُ عَلَيْهِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ يَدَيْهِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ مِنْ ضيقٍ كُمِّ جُبَّتِهِ فَأَخْرَجَهُمَا مِنْ تَحْتِ جُبَّتِهِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ وَمَسَحَ رَأْسَهُ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عوفٍ قَدْ صَلَّى بِهِمْ ركعةٍ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَعَهُمُ الرَّكْعَةَ الَتِي بَقِيَتْ، فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ فَأَتَمَّ صَلَاتَهُ فَفَرَغَ النَّاسُ فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، قَالَ قَدْ أَحْسَنْتُمْ.
فَدَلَّتْ هَذِهِ الْأَخْبَارُ عَلَى جَوَازِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَأَنَّهُ بَعْدَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ؛ لِأَنَّ غَزْوَةَ تَبُوكَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ وَكَذَلِكَ إِسْلَامُ جَرِيرٍ، وَقَدْ قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنِي بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ سَبْعُونَ بَدْرِيًّا يَعْنِي: أَنَّ بَعْضَهُمْ شَافَهَهُ وَبَعْضَهُمْ رَوَى لَهُ عَنْهُمْ: لِأَنَّ الْحَسَنَ لَمْ يَلْقَ سَبْعِينَ بَدْرِيًّا.
Riwayat yang Anda kutip menguatkan kebolehan masḥ ‘ala al-khuffayn (mengusap di atas khuf/sepatu kulit) berdasarkan sunnah Nabi ﷺ yang berulang kali dinukil dari berbagai jalur, bahkan dari para sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar.
Penjelasan Riwayat
Imam al-Syāfi‘ī meriwayatkan dari Mālik dari Ibn Shihāb dari ‘Abbād ibn Abī Ziyād dari al-Mughīrah ibn Shu‘bah bahwa:
Rasulullah ﷺ keluar untuk buang hajat dalam Perang Tabuk. Al-Mughīrah berkata: Aku membawakan air untuk beliau. Setelah kembali, beliau mencuci wajahnya. Lalu saat hendak mengeluarkan kedua tangannya, beliau tidak bisa mengeluarkannya karena sempitnya lengan jubahnya. Maka beliau keluarkan dari bawah jubahnya, lalu mencuci keduanya, mengusap kepala, dan mengusap di atas kedua khuf-nya. Kemudian beliau datang dalam keadaan ‘Abdurraḥmān ibn ‘Awf telah memimpin salat satu rakaat, maka Rasulullah ﷺ salat satu rakaat bersama mereka, lalu menyempurnakan salatnya sendiri, dan bersabda: “Kalian telah berbuat baik.”
Kesimpulan Hukum
- Riwayat ini terjadi dalam Perang Tabuk, yang merupakan peristiwa setelah turunnya Surah al-Mā’idah. Maka riwayat ini secara qath‘ī membatalkan klaim sebagian orang bahwa hukum masḥ di atas khuf sudah mansūkh (dihapus) oleh ayat wudhu dalam Surah al-Mā’idah.
- Islamnya Jarīr ibn ‘Abdillāh juga terjadi setelah Surah al-Mā’idah, sementara beliau termasuk yang meriwayatkan langsung bahwa Nabi ﷺ mengusap di atas khuf. Maka tidak benar dikatakan bahwa hukum ini hanya berlaku sebelum ayat al-Mā’idah.
- Al-Ḥasan al-Baṣrī mengatakan bahwa tujuh puluh sahabat Badar meriwayatkan kepadanya tentang bolehnya masḥ ‘ala al-khuffayn — walaupun sebagian melalui perantara, ini menunjukkan mutawātir-nya amalan ini di kalangan sahabat.
Penegasan
- Masḥ ‘ala al-khuffayn adalah masalah khilāfiyyah, namun jumhur (mayoritas ulama) dari kalangan sahabat, tabi‘īn, dan imam mazhab, termasuk Imam al-Syāfi‘ī, menganggapnya sebagai sunnah muakkadah yang tetap berlaku.
- Riwayat sahih dari Nabi ﷺ menguatkan bahwa amalan ini dilakukan setelah turunnya ayat wudhu, sehingga tidak mansū
- Pendapat yang menyatakan larangan berdasarkan zahir ayat “wa arjulakum” terbantahkan dengan dalil-dalil sunnah yang sahih dan aplikatif.
Kesimpulan akhir: Masḥ ‘ala al-khuffayn adalah sunnah Rasulullah ﷺ yang diamalkan oleh beliau dan para sahabat, tetap berlaku hingga kini, dan diakui oleh Imam al-Syāfi‘ī serta jumhur ulama.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَإِنْ أَوْجَبَتْ غَسْلَ الرِّجْلَيْنِ فَالسُّنَّةُ جَاءَتْ بِالرُّخْصَةِ فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، فَكَانَتِ الْآيَةُ دالة على غسل الرجلين إذا ظهرتا، وَالسُّنَّةُ وَارِدَةٌ فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا لُبِسَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِي الْآيَةِ قِرَاءَتَيْنِ بِالنَّصْبِ وَالْجَرِّ فَيُحْمَلُ النَّصْبُ عَلَى غَسْلِهِمَا إِذَا كَانَتَا ظاهرتين، ويحمل الجر على مسحهما إن كانتا في الخفين، فتكون الآية باختلاف قراءتيها دَالَّةً عَلَى الْأَمْرَيْنِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” هذا وضوء لا يقبل الله الصلاة إلا بِهِ ” فَهُوَ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى أَوَّلِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ الرُّخْصَةِ فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، عَلَى أَنَّهُ قَالَ ذَلِكَ وَهُوَ ظَاهِرُ الْقَدَمَيْنِ، وَمَنْ كَانَ ظَاهِرُ الْقَدَمَيْنِ لَمْ يُجْزِهِ الْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا رَوَوْهُ مِنْ سُؤَالِ عَلِيٍّ أَبَا مَسْعُودٍ الْبَدْرِيَّ فَمِنْ وُجُوهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الرِّوَايَةَ الثَّابِتَةَ عَنْ عَلِيٍّ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ تَمْنَعُ صِحَّةَ الْحَدِيثِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ سَأَلَهُ اسْتِخْبَارًا عَنْ زَمَانِ الْمَسْحِ لَا إِنْكَارًا لَهُ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ إِنَّمَا سَأَلَهُ لِيَظْهَرَ فِي النَّاسِ قِلَّةُ ضَبْطِ أَبِي مَسْعُودٍ، وَضَعْفُ حَزْمِهِ، وَسُوءُ فَهْمِهِ؛ لِأَنَّ أَبَا مَسْعُودٍ كَانَ مِمَّنْ تَوَقَّفَ عَنْ بَيْعَتِهِ.
Adapun jawaban atas dalil mereka dengan ayat itu dari dua sisi:
pertama: bahwa meskipun ayat tersebut mewajibkan membasuh kedua kaki, sunnah telah datang dengan memberi keringanan dalam mengusap khufain, maka ayat tersebut menunjukkan perintah membasuh kaki apabila keduanya tampak, dan sunnah menjelaskan kebolehan mengusap khufain apabila keduanya dipakai.
Kedua: bahwa dalam ayat tersebut terdapat dua qirā’ah: dengan nashab dan jarr, maka nashab dibawa kepada makna membasuh apabila keduanya tampak, dan jarr dibawa kepada makna mengusap apabila keduanya berada di dalam khufain, maka ayat tersebut, dengan perbedaan kedua qirā’ah-nya, menunjukkan kedua hal tersebut.
Adapun jawaban atas ucapannya, “Ini adalah wudhu yang tidak akan diterima Allah shalat kecuali dengannya”, maka itu dibawa kepada awal Islam, sebelum adanya keringanan dalam mengusap khufain, dan bahwa beliau mengatakan hal tersebut dalam keadaan telapak kakinya tampak, dan siapa yang telapak kakinya tampak maka tidak mencukupi baginya mengusap khufain.
Adapun jawaban atas riwayat yang mereka sebutkan tentang ‘Ali bertanya kepada Abū Mas‘ūd al-Badri, maka ada beberapa sisi:
Pertama: bahwa riwayat yang tsabit dari ‘Ali tentang membolehkan mengusap khufain menafikan keshahihan hadits tersebut.
Kedua: bahwa ia bertanya hanya untuk mengetahui waktu diperbolehkannya mengusap, bukan untuk mengingkarinya.
Ketiga: bahwa ia bertanya hanya untuk menampakkan kepada manusia lemahnya hafalan Abū Mas‘ūd, kurangnya ketegasannya, dan buruknya pemahamannya, karena Abū Mas‘ūd termasuk orang yang enggan membai’atnya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ إِنْكَارِ عَائِشَةَ، وَقَوْلِهَا مَا قَالَتْ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا لَمْ تُنْكِرِ الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَإِنَّمَا كَرِهَتْ بِذَلِكَ السَّفَرِ الْمُحْوِجِ إِلَى الْمَسْحِ عَلَيْهِمَا، وَقَالَتْ: لَأَنْ تُقْطَعَ رِجْلَايَ فَلَا أُسَافِرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ السَّفَرِ الَّذِي يُمْسَحُ فِيهِ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ إِنْكَارَهَا مَعَ ثُبُوتِ السُّنَّةِ وَاشْتِهَارِهَا وَعَمَلِ الصَّحَابَةِ بِهَا مَدْفُوعٌ لَيْسَ فِيهِ دَلِيلٌ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ إِنْكَارِ ابْنِ عُمَرَ عَلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فَقَدْ قَالَ سَعْدٌ لِابْنِ عُمَرَ حِينَ أَنْكَرَ عَلَيْهِ سَلْ أَبَاكَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.
Adapun jawaban atas pengingkaran ‘Āisyah dan ucapannya, maka dari dua sisi:
pertama: bahwa ia tidak mengingkari mash (mengusap) atas khufain, melainkan ia membenci perjalanan yang menjadikannya harus mengusap khufain, dan ia berkata: “Lebih aku sukai kedua kakiku dipotong lalu aku tidak bepergian, daripada aku bepergian dalam keadaan harus mengusap khufain.”
Kedua: bahwa pengingkarannya, padahal sunnah telah tsabit, masyhur, dan dipraktikkan oleh para sahabat, maka pengingkaran itu tertolak dan tidak menjadi dalil.
Adapun jawaban atas pengingkaran Ibn ‘Umar terhadap Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, maka Sa‘d berkata kepada Ibn ‘Umar ketika ia mengingkari: “Tanyalah ayahmu!” Maka ia pun bertanya kepadanya, dan ayahnya berkata: “Ia telah sesuai dengan sunnah.”
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ لَمْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي ثلاثةٍ فَهُوَ أَنَّ جَابِرًا ضَعِيفٌ وَمَتْرُوكُ الْحَدِيثِ، وَقَدْ مَسَحَ عَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ عَلَى أَنَّهُ رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: وَأَنْ تَمْسَحُوا عَلَى الْخُفَّيْنِ فَرَوَى عَنْهُمْ جَوَازَهُ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنْ كَانَ الْمَسْحُ عَلَى الرِّجْلَيْنِ أَوْجَبَ الْمَنْعَ مِنَ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَهُوَ أَنَّهُ اعْتِرَاضٌ عَلَى السُّنَّةِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ، ثُمَّ مُنْتَقِضٌ بِالْمَسْحِ عَلَى الْجَبَائِرِ فَإِنَّهُ يَجُوزُ، وَإِنْ كَانَ ظُهُورُ الْعُضْوِ يُوجِبُ غَسْلَهُ وَيَمْنَعُ مِنْ مَسْحِهِ.
Adapun jawaban atas ucapan Jābir al-Ju‘fī: “Ahlulbait Rasulullah SAW tidak berselisih dalam tiga hal”, maka Jābir adalah perawi yang dha‘īf dan ditinggalkan haditsnya. Padahal ‘Alī dan Ibn ‘Abbās telah mengusap khufain, bahkan diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Dan kalian mengusap khufain,” maka telah diriwayatkan dari mereka berdua kebolehan mengusapnya.
Adapun jawaban atas ucapan mereka: “Jika membasuh kedua kaki diwajibkan, maka itu mewajibkan larangan dari mengusap khufain,” maka itu merupakan bentuk penolakan terhadap sunnah dalam dua tempat sekaligus. Lalu ucapan itu terbantah dengan permasalahan mengusap perban (jabā’ir), karena itu dibolehkan meskipun tampaknya anggota wudhu mewajibkan dibasuh dan mencegah dari diusap.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِسَائِرِ الْأَعْضَاءِ فَهُوَ أَنَّ السُّنَّةَ اسْتَثْنَتِ الرِّجْلَيْنِ فِي جَوَازِ الِانْتِقَالِ مِنْ غَسْلِهِمَا إِلَى الْخُفَّيْنِ دُونَ سَائِرِ الْأَعْضَاءِ فَلَا يُقَاسُ عَلَى مَخْصُوصٍ وَمَنْصُوصٍ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِشْهَادِهِمْ بِالْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ فَقَدْ فَرَّقَتِ السُّنَّةُ بَيْنَهُمَا فَهُوَ أَنَّ غَسْلَ مَا جَاوَزَ الْقَدَمَيْنِ لَمَّا وَجَبَ عَلَيْهِ فِي الْجَنَابَةِ، وَلَمْ يُمْكِنْ غَسْلُهُ فِي الْخُفَّيْنِ وَجَبَ خَلْعُهُمَا وَإِذَا خَلَعَهُمَا ظَهَرَتِ الرِّجْلَانِ فَلَمْ يَجُزِ الْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ مَعَ ظُهُورِهِمَا وَوَجَبَ غَسْلُهُمَا مَعَ جَمِيعِ الْبَدَنِ.
Adapun jawaban atas pendalilannya dengan anggota tubuh yang lain, maka sunnah telah mengecualikan kedua kaki dalam hal bolehnya berpindah dari membasuhnya kepada mengusap khufain, tidak berlaku pada anggota tubuh lainnya. Maka tidak dapat dilakukan qiyās atas sesuatu yang sudah dikhususkan dan ada nash-nya.
Adapun jawaban atas istidlāl mereka dengan mandi junub, maka sunnah telah membedakan antara keduanya, yaitu bahwa membasuh apa yang melebihi kedua kaki ketika wajib dalam mandi junub, dan tidak mungkin membasuhnya dalam keadaan memakai khufain, maka wajib melepaskannya. Dan apabila dilepaskan, maka kedua kaki tampak, sehingga tidak boleh mengusap khufain dalam keadaan keduanya tampak, dan wajib membasuhnya bersama seluruh tubuh.
(فَصْلٌ: الْخِلَافُ فِي تَحْدِيدِ وَقْتِ المسح)
فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِي الْوُضُوءِ بَدَلًا مِنْ غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ هُوَ مَحْدُودٌ أَمْ لَا؟ فَذَهَبَ مَالِكٌ فِي إِحْدَى الرِّوَايَاتِ عَنْهُ وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ إِلَى جَوَازِ الْمَسْحِ عَلَى التَّأْبِيدِ مِنْ غَيْرِ تَحْدِيدٍ وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، وَفِي التَّابِعِينَ قَوْلُالْحَسَنِ وَعُرْوَةَ وَالزُّهْرِيِّ، وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ إِلَى تَحْدِيدِهِ لِلْمُقِيمِ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَلِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَفِي التَّابِعِينَ قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَعَطَاءٍ وَالشَّعْبِيِّ، وَفِي الْفُقَهَاءِ قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ وَالثَّوْرِيِّ وأبي حنيفة وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ.
PASAL: Perselisihan dalam Penetapan Waktu Mengusap
Apabila telah tsabit kebolehan mengusap khufain dalam wudhu sebagai pengganti membasuh kedua kaki, maka para ulama berselisih: apakah hal itu memiliki batasan waktu atau tidak?
Mālik dalam salah satu riwayat darinya — dan ini pula pendapat al-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm-nya — berpendapat bolehnya mengusap secara terus-menerus tanpa batasan waktu. Ini juga merupakan pendapat dari kalangan sahabat seperti Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ, ‘Abdullāh bin ‘Umar, Mu‘āż bin Jabal, Zayd bin Ṡābit, dan Abū al-Dardā’, serta dari kalangan tābi‘īn seperti al-Ḥasan, ‘Urwah, dan al-Zuhrī.
Adapun al-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd-nya berpendapat bahwa waktu mengusap dibatasi: bagi yang mukim sehari semalam, dan bagi yang musafir tiga hari tiga malam. Ini adalah pendapat dari kalangan sahabat seperti ‘Umar, ‘Alī, Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, Ibn Mas‘ūd, dan Ibn ‘Abbās; dan dari kalangan tābi‘īn seperti Sa‘īd bin al-Musayyab, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, ‘Aṭā’, dan al-Sya‘bī; serta dari kalangan fuqahā’ seperti al-Awzā‘ī, al-Tsaurī, Abū Ḥanīfah, Aḥmad, dan Isḥāq.
وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَجَازَهُ عَلَى التَّأْبِيدِ بِرِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ قطن عن أبي بن عمارة قال يحيى بن أيوب وَقَدْ كَانَ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْقِبْلَتَيْنِ أَنَّهُ قَالَ: ” يَا رَسُولَ اللَهِ أَنَمْسَحُ على الخفين، قال نعم، قال يومٌ قَالَ وَيَوْمَيْنِ، قَالَ: وثلاثةٌ، قَالَ: نَعَمْ، وَمَا شَئْتَ وَبِرِوَايَةِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْجَدَلِيِّ عَنْ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ رَخَّصَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ ثَلَاثَةَ أيامٍ وَلَيَالِيهِنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ، وَلَوِ اسْتَزَدْنَاهُ لَزَادَنَا “.
فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْحَدَّ فِيهِ غَيْرُ مَحْتُومٍ مُقَدَّرٍ وَبِمَا رُوِيَ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عُمَارَةَ أَنَّهُ قَدِمَ مِنَ الشَّامِ إِلَى الْمَدِينَةِ يَوْمَ جُمُعَةٍ، وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ: كَمْ عَهْدُكَ بِالْمَسْحِ، فَقُلْتُ مِنَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ أَصَبْتَ السُّنَّةَ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ مَمْسُوحٌ فِي الطَّهَارَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مَحْدُودٍ كَمَسْحِ الرَّأْسِ وَالْجَبِيرَةِ.
Dan orang-orang yang membolehkan mengusap khufain secara terus-menerus tanpa batasan berdalil dengan riwayat Muḥammad bin Yazīd dari Ayyūb bin Qaṭan dari Ubay bin ‘Amārah — Yḥyā bin Ayyūb berkata bahwa ia telah shalat bersama Rasulullah SAW menghadap dua kiblat — bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengusap khufain?” Beliau menjawab, “Ya.” Ia bertanya, “Sehari?” Beliau menjawab, “Ya.” Ia bertanya lagi, “Dan dua hari?” Beliau menjawab, “Ya.” Ia bertanya lagi, “Dan tiga hari?” Beliau menjawab, “Ya, dan selama yang engkau kehendaki.”
Dan juga dengan riwayat Ibrāhīm al-Taymī dari ‘Amr bin Maymūn dari Abī ‘Abdillāh al-Jadalī dari Khuzaimah bin Ṡābit, ia berkata: “Rasulullah SAW memberi rukhṣah kepada kami untuk mengusap khufain selama tiga hari tiga malam bagi musafir, dan sehari semalam bagi yang mukim. Kalau saja kami meminta tambahan, niscaya beliau akan menambahkan.”
Maka hal ini menunjukkan bahwa batasan waktu tersebut tidaklah bersifat pasti dan tetap.
Dan juga berdasarkan riwayat dari ‘Uqbah bin ‘Umārah bahwa ia datang dari Syām ke Madinah pada hari Jumat, sedangkan ‘Umar RA sedang berada di atas mimbar. Lalu ‘Umar bertanya: “Sejak kapan engkau mengusap?” Aku menjawab: “Sejak hari Jumat.” Maka ‘Umar berkata: “Engkau telah sesuai dengan sunnah.”
Mereka juga berkata: karena khuf itu diusap dalam ṭahārah, maka wajib hukumnya tidak dibatasi waktunya sebagaimana mengusap kepala dan perban (jabīrah).
(فَصْلٌ: دَلِيلُ مَنْ حَدَّدَهُ بِوَقْتٍ)
وَالدَّلِيلُ عَلَى تَحْدِيدِهِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَزِينِ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ: ” أَتَيْتُ صَفْوَانَ بْنَ عسالٍ فَقَالَ: مَا جَاءَ بِكَ قُلْتُ ابْتِغَاءَ الْعِلْمِ، قَالَ: إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ، قُلْتُ: مَا حَاكَ فِي صَدْرِي الْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ بَعْدَالْغَائِطِ وَالْبَوْلِ، وَكُنْتَ امْرَءًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَتَيْتُكَ أَسْأَلُكَ هَلْ سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَيْئًا فَقَالَ: نَعَمْ، كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفْرَى أَنْ لَا نَنْزِعَ خفافنا ثلاثة أيامٍ ولياليهن إلا من جنابةٍ لَكِنْ مِنْ غائطٍ وبولٍ ونومٍ.
وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ سَمِعَ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ يُحَدِّثُ عَنْ شُرَيْحِ بْنِ هَانِي قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَقَالَتْ: سَلْ عَلِيًّا، فَإِنَّهُ كَانَ يَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: ” كَانَ الْنَبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ لِلْمُقِيمِ وَثَلَاثَةُ أيامٍ وَلَيَالِيهِنَّ لِلْمُسَافِرِ “.
PASAL: Dalil bagi yang menetapkan batasan waktu mengusap
Dalil atas penetapan waktu mengusap adalah riwayat yang diriwayatkan al-Syāfi‘ī dari Sufyān dari ‘Āṣim bin Razīn bin Ḥubaisy, ia berkata:
“Aku mendatangi Ṣafwān bin ‘Assāl, lalu ia berkata: ‘Apa yang membawamu ke sini?’ Aku menjawab: ‘Mencari ilmu.’ Ia berkata: ‘Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha terhadap apa yang ia cari.’ Aku berkata: ‘Terbetik dalam dadaku rasa ragu tentang mengusap khufain setelah buang air besar dan kecil. Engkau adalah seorang dari sahabat Rasulullah SAW, maka aku datang kepadamu untuk bertanya, apakah engkau mendengar sesuatu dari Rasulullah SAW?’ Ia berkata: ‘Ya, Rasulullah SAW memerintahkan kami ketika sedang safar agar tidak melepas khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, sedangkan karena buang air besar, kecil, dan tidur, maka tidak mengapa.’”
Dan al-Syāfi‘ī meriwayatkan dari Sufyān bin Yazīd bahwa ia mendengar al-Qāsim bin Muḥammad meriwayatkan dari Suraīḥ bin Hānī, ia berkata:
“Aku bertanya kepada ‘Āisyah tentang mengusap khufain, lalu ia menjawab: ‘Tanyakanlah kepada ‘Alī, karena ia biasa ikut berperang bersama Rasulullah SAW.’ Maka aku menanyakannya kepada ‘Alī, dan ia berkata: ‘Nabi SAW bersabda: Sehari semalam bagi yang mukim, dan tiga hari tiga malam bagi yang musafir.’”
وَبِمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي بَكْرَةَ فِي أَوَّلِ الْبَابِ فَدَلَّتْ هَذِهِ الْأَخْبَارُ عَلَى تَحْدِيدِ الْمَسْحِ وَالْحَدِّ بِمَنْعِ الْمَحْدُودِ مِنْ مُشَارَكَةِ غَيْرِهِ فِي حُكْمِهِ، وَلِأَنَّ الْمَسْحَ إِذَا كَانَ عَلَى حَائِلٍ يُقَدَّرُ بِالْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ مُجَاوِزَةٍ كَالْجَبِيرَةِ وَحَاجَةِ الْمُقِيمِ إِلَى لُبْسِ الْخُفَّيْنِ لَا يَسْتَدِيمُ فِي الْغَالِبِ أَكْثَرَ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَالْمُسَافِرُ لَا تَسْتَدِيمُ حَاجَتُهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ.
فأما حديث أبي بن عِمَارَةَ فَدَالٌّ عَلَى جَوَازِ الْمَسْحِ مَا شَاءَ، وهذا صحيح، إذا نزع خفيه كل ثلاث ولم يأمره باستدامته مَا شَاءَ.
وَأَمَّا حَدِيثُ خُزَيْمَةَ فَلَا دَلِيلَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ مَا اسْتَزَادَهُ، وَلَوِ اسْتَزَادَهُ لَجَازَ أَنْ لَا يَزِيدَهُ بَلْ هُوَ ظَنٌّ يُقَابَلُ بِمِثْلِهِ، وَأَمَّا حَدِيثُ عُقْبَةَ بْنِ عُمَارَةَ فَقَدْ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بِخِلَافِهِ، وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ الْجَوَابُ عَنْهُ مَا ذَكَرْنَا فِي حَدِيثِ أُبَيِّ بن عُمَارَةَ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَسْحِ الرَّأْسِ وَالْجَبِيرَةِ، فَإِنْ كَانَتِ الْجَبِيرَةُ أَصْلًا فَقَدْ جَمَعْنَا بَيْنَهُمَا بِالْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَا، وَإِنْ كَانَ مَسْحُ الرَّأْسِ امْتَنَعَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فَإِنَّ مَسْحَ الرَّأْسِ أَصْلٌ لَا يُعْتَبَرُ فِيهِ الْحَاجَةُ الدَّاعِيَةُ إِلَيْهِ بِخِلَافِ الْخُفَّيْنِ.
Dan juga dengan apa yang diriwayatkan oleh al-Syāfi‘ī dari hadits Abī Bakrah di awal bab, maka hadits-hadits ini menunjukkan adanya penetapan batas waktu untuk mengusap, serta bahwa batasan itu menghalangi orang yang dibatasi dari disamakan hukumnya dengan yang tidak dibatasi.
Dan karena mengusap apabila dilakukan pada sesuatu yang menjadi penghalang (ḥā’il) ditakar sesuai kebutuhan tanpa melebihinya, seperti perban (jabīrah). Dan kebutuhan orang mukim untuk memakai khufain pada umumnya tidak berlangsung lebih dari sehari semalam, sedangkan musafir kebutuhannya tidak berlangsung lebih dari tiga hari.
Adapun hadits Ubay bin ‘Amārah, maka ia menunjukkan bolehnya mengusap selama yang dikehendaki. Dan ini benar jika ia melepaskan khuf-nya setiap tiga hari, dan Nabi tidak memerintahkannya untuk terus memakainya selama yang ia kehendaki.
Adapun hadits Khuzaimah, maka tidak terdapat dalil di dalamnya, karena mereka tidak meminta tambahan, dan kalaupun mereka meminta, belum tentu beliau akan menambahinya. Maka itu hanya berupa dugaan yang bisa ditentang dengan dugaan yang semisal.
Adapun hadits ‘Uqbah bin ‘Umārah, maka telah diriwayatkan dari ‘Umar dengan riwayat yang bertentangan dengannya. Andaikan pun riwayat tersebut sahih, maka jawabannya sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam hadits Ubay bin ‘Amārah.
Adapun qiyās mereka terhadap mengusap kepala dan jabīrah, jika yang dimaksud jabīrah sebagai asal, maka kami telah menggabungkan keduanya dengan makna yang telah kami sebutkan. Namun jika yang dimaksud adalah mengusap kepala, maka tidak bisa digabungkan keduanya, karena mengusap kepala merupakan asal yang tidak tergantung pada kebutuhan yang mendesak, berbeda dengan khufain.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْمَسْحُ عَلَى الْعِمَامَةِ بَدَلًا مِنْ مَسْحِ الرَّأْسِ فَلَا يَجُوزُ عِنْدَ الْكَافَّةِ إِلَّا مَا انْفَرَدَ بِهِ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ فَجَوَّزَا ذَلِكَ اسْتِدْلَالًا بِمَا رَوَى رَاشِدُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَرِيَّةً فَأَصَابَهُمُ الْبَرْدُ، فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمرهم أنيَمْسَحُوا عَلَى الْعَصَائِبِ وَالتَّسَاخِينِ، وَالتَّسَاخِينُ: الْخِفَافُ، وَالْعَصَائِبُ الْعَمَائِمُ، وَقَالَ الْفَرَزْدَقُ:
(وركبٍ كَأَنَّ الرِّيحَ تَطْلُبُ منهم … لهاترةٍ مِنْ جَذْبِهَا لِلْعَصَائِبِ)
يَعْنِي: الْعَمَائِمَ.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَمْسَحُوا عَلَى الْمَشَاوِذِ، قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ الْمَشَاوِذُ: الْعَمَائِمُ، وَأَنْشَدَ قَوْلَ الْوَلِيدِ بْنِ عُقْبَةَ:
(إِذَا مَا شَدَدْتُ الْرأْسَ مِنِّي بِمِشْوَذٍ … فَقَصْدُكَ مِنِّي تَغْلِبُ ابْنَةُ وائلٍ)
PASAL
Adapun mengusap ‘imāmah sebagai ganti dari mengusap kepala, maka tidak diperbolehkan menurut jumhur ulama, kecuali pendapat yang dipegang secara menyendiri oleh Aḥmad bin Ḥanbal dan Ibn Jarīr al-Ṭabarī. Keduanya membolehkan hal itu dengan berdalil kepada riwayat Rāsyid bin Sa‘d dari Ṡawbān, ia berkata: “Rasulullah SAW mengutus satu pasukan kecil, lalu mereka tertimpa cuaca dingin. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah SAW, beliau memerintahkan mereka agar mengusap ‘aṣā’ib dan tasākhīn. Tasākhīn adalah khuf, sedangkan ‘aṣā’ib adalah ‘imāmah.”
Dan al-Farazdaq berkata:
(Warakbin ka’annar-rīḥa taṭlubu minhum… lihātiratin min jadzbi-hā lil-‘aṣā’ib)
Yang dimaksud ‘aṣā’ib adalah ‘imāmah-imāmah.
Diriwayatkan juga bahwa Nabi SAW mengutus satu pasukan dan memerintahkan mereka untuk mengusap masyāwidh. Abū ‘Ubaidah berkata: masyāwidh adalah ‘imāmah-imāmah. Dan ia menyitir syair al-Walīd bin ‘Uqbah:
(Idzā mā syadadtu ar-ra’sa minnī bimisywadz… faqaṣduka minnī taghlib ibnata Wā’il).
ودليلنا قوله تعالى: {فَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ} فَأَوْجَبَ مَسْحَ الرَّأْسِ بِغَيْرِ حَائِلٍ، وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ: ” هَذَا وضوءٌ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ “. وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي مَعْقِلٍ عن أنس ابن مَالِكٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَتَوَضَّأُ وَعَلَيْهِ عمامةٌ فَصَلَّى بِهِ فَأَدْخَلَ يَدَهُ من تحت العمامة فمسح مقدم رأسه، ولم يَنْقُضِ الْعِمَامَةَ فَلَوْ جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَى مَسْحِ الْعِمَامَةِ لَمَا تَكَلَّفَ هَذَا، وَرَوَى ابْنُ سِيرِينَ عَنْ عَمْرِو بْنِ وَهْبٍ الثَّقَفِيِّ عَنِ الْمُغِيرَةِ بن شعبة أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعِمَامَتِهِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الِاقْتِصَارَ عَلَى مَسْحِ الْعِمَامَةِ لَا يُجْزِئُ، وَلِأَنَّ الْمَسْحَ عَلَى الرَّأْسِ مُمْكِنٌ، مَعَ بَقَاءِ الْعِمَامَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى الْمَسْحِ عَلَيْهَا لِعَدَمِ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ وَغَسْلُ الرِّجْلَيْنِ غَيْرُ مُمْكِنٍ مَعَ بَقَاءِ الْخُفَّيْنِ، فَجَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِمَا؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ دَاعِيَةٌ إِلَيْهِ، وَلِأَنَّ الْعُدُولَ عَنِ الْغَسْلِ إِلَى الْمَسْحِ رُخْصَةٌ، وَالْعُضْوُ الْوَاحِدُ لَا يَجْتَمِعُ فِيهِ رُخْصَتَانِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْحَدِيثَيْنِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَرَادَ عَصَائِبَ الْجِرَاحِ، وَلِذَلِكَ خَاطَبَ أَهْلَ السَّرَايَا.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَنَى صِغَارَ الْعَمَائِمِ الَّتِي يَصِلُ بِالْمَسْحِ عَلَيْهَا إِلَى مَسْحِ الرَّأْسِ كَمَا رَوَاهُ الْمُغِيرَةُ، وَقَدْ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ اللُّغَةِ إِنَّ مَا ذَكَرَ الْفَرَزْدَقُ مِنَ الْعَصَائِبِ فِي شِعْرِهِ فَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ الْأَلْوِيَةَ والْمَشَاوِذَ: هِيَ عَصَائِبُ تُلَفُّ عَلَى الرَّأْسِ فِي الحروب علامة والله أعلم.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {فَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ} yang mewajibkan mengusap kepala tanpa penghalang. Dan Nabi SAW ketika berwudu dan mengusap kepalanya bersabda: “Ini adalah wudu yang tidak diterima Allah shalat tanpanya.” Diriwayatkan dari ‘Abd al-‘Azīz bin Muslim dari Abī Ma‘qil dari Anas bin Mālik, ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW berwudu dan beliau memakai ‘imāmah, lalu beliau salat dengan ‘imāmah tersebut. Maka beliau memasukkan tangannya dari bawah ‘imāmah lalu mengusap bagian depan kepalanya, dan tidak melepaskan ‘imāmah-nya. Seandainya cukup dengan mengusap ‘imāmah, niscaya beliau tidak akan bersusah payah melakukan hal itu.
Dan Ibn Sīrīn meriwayatkan dari ‘Amr bin Wahb ats-Tsaqafī dari al-Mughīrah bin Syu‘bah bahwa Nabi SAW berwudu lalu mengusap ubun-ubunnya dan ‘imāmah-nya. Maka ini menunjukkan bahwa mengusap ‘imāmah saja tidak mencukupi. Dan karena mengusap kepala itu memungkinkan dilakukan meskipun ‘imāmah masih terpasang, maka tidak boleh mencukupkan diri dengan mengusap ‘imāmah karena tidak ada kebutuhan untuk itu. Sedangkan membasuh kedua kaki tidak mungkin dilakukan jika khuff masih dikenakan, maka dibolehkan mengusap keduanya karena adanya kebutuhan. Dan karena mengganti basuhan dengan usapan adalah bentuk rukhsah, sedangkan satu anggota tubuh tidak dikumpulkan padanya dua rukhsah.
Adapun jawaban atas dua hadits tersebut ada dari dua sisi:
Pertama: bahwa yang dimaksud adalah pembalut luka, karena itu ditujukan kepada para anggota pasukan ekspedisi.
Kedua: bahwa yang dimaksud adalah ‘imāmah-‘imāmah kecil yang dengan mengusapnya dapat mencapai kepala, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Mughīrah. Dan sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa yang disebut al-Farazdaq dalam syairnya tentang ‘aṣā’ib yang dimaksud adalah alwiyah dan masyāwidz, yaitu ‘aṣā’ib yang dililitkan di kepala dalam peperangan sebagai tanda. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا تَطَهَّرَ الرَّجُلُ الْمُقِيمُ بغسلٍ أَوْ وضوءٍ ثُمَّ أَدْخَلَ رِجْلَيْهِ الْخُفَّيْنِ وَهُمَا طَاهَرَتَانِ ثُمَّ أحدث فإنه يسمح عَلَيْهِمَا مِنْ وَقْتِ مَا أَحْدَثَ يَوْمًاوَلَيْلَةً وَذَلِكَ إِلَى الْوَقْتِ الَّذِي أَحْدَثَ فِيهِ فَإِنْ كَانَ مُسَافِرًا مَسَحَ ثَلَاثَةَ أيامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلَى الْوَقْتِ الَذِي أَحْدَثَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا ثَبَتَ تَحْدِيدُ الْمَسْحِ لِلْمُقِيمِ بِيَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَلِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي أَوَّلِ زَمَانِهِ فَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ أَوَّلُ زَمَانِهِ مِنْ وَقْتِ لِبَاسِهِ الْخُفَّيْنِ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَأَبُو ثَوْرٍ أَوَّلُ زَمَانِهِ مِنْ وَقْتِ مَسْحِهِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة أَوَّلُ زَمَانِهِ مَنْ وَقْتِ حَدَثِهِ بَعْدَ لِبَاسِ الْخُفَّيْنِ.
وَاسْتَدَلَّ مَنِ اعْتَبَرَ أَوَّلَ زَمَانِ حَدَثِهِ مِنْ وَقْتِ اللِّبَاسِ بِحَدِيثِ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَوْ سَفَرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، فَجَعَلَ الثَّلَاثَةَ مُدَّةَ اللِّبَاسِ.
وَاسْتَدَلَّ مَنِ اعْتَبَرَ أَوَّلَ زَمَانِهِ مِنْ وَقْتِ الْمَسْحِ بِحَدِيثِ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: يَمْسَحُ الْمُقِيمُ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَالْمُسَافِرُ ثَلَاثَةَ أيامٍ وَلَيَالِيهِنَّ فَجَعَلَ ذَلِكَ مُدَّةَ الْمَسْحِ.
(MASALAH)
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seorang laki-laki yang mukim bersuci dengan mandi atau wudu, kemudian ia memasukkan kedua kakinya ke dalam khuff dalam keadaan keduanya suci, lalu ia berhadats, maka ia boleh mengusap keduanya sejak waktu ia berhadats selama sehari semalam, dan itu dihitung sampai waktu ia berhadats. Jika ia seorang musafir, maka ia mengusap selama tiga hari tiga malam hingga waktu ia berhadats.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan. Apabila telah ditetapkan bahwa batasan waktu mengusap bagi mukim adalah sehari semalam, dan bagi musafir tiga hari tiga malam, maka para fuqaha berselisih pendapat tentang awal waktunya.
Al-Ḥasan al-Baṣrī berpendapat: awal waktunya adalah sejak saat mengenakan khuff.
Sedangkan al-Auzā‘ī, Aḥmad, dan Abū Ṯawr berpendapat: awal waktunya adalah sejak saat mengusap khuff.
Adapun al-Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah berpendapat: awal waktunya adalah sejak hadats setelah mengenakan khuff.
Adapun yang menjadikan awal waktunya adalah dari saat memakai khuff, berdalil dengan ḥadīṡ Ṣafwān bin ‘Assāl, ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kami—jika kami dalam bepergian—untuk tidak melepas khuff kami selama tiga hari tiga malam.” Maka ia menjadikan tiga hari itu sebagai masa pemakaian.
Sedangkan yang menjadikan awal waktunya dari saat mengusap, berdalil dengan ḥadīṡ Abī Bakrah bahwa Nabi SAW bersabda: “Orang mukim mengusap sehari semalam, dan musafir tiga hari tiga malam.” Maka hal itu dijadikan sebagai masa pengusapan.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ أَوَّلَ زَمَانِهِ مِنْ وَقْتِ الْحَدَثِ إِنَّكَ تَجْعَلُ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ حُجَّةً عَلَى الْآخَرِ، ثُمَّ تَسْتَدِلُّ بِالْمَعْنَى الدَّالِّ عَلَيْهِمَا، وَهُوَ أَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ اعْتُبِرَ فِيهَا الْوَقْتُ فَإِنَّ ابْتِدَاءَ وَقْتِهَا مَحْسُوبٌ مِنَ الْوَقْتِ الَّذِي يُمْكِنُ فِيهِ فِعْلُهَا وَصِفَتُهَا مُعْتَبَرَةً بِوَقْتِ أَدَائِهَا كَالصَّلَاةِ إِنْ كَانَتْ ظُهْرًا فَأَوَّلُ وَقْتِهَا زَوَالُ الشَّمْسِ، وَصِفَتُهَا فِي الْقَصْرِ وَالْإِتْمَامِ بِوَقْتِ الْأَدَاءِ وَالْفِعْلِ، فَإِنْ كَانَ وَقْتَ فِعْلِهَا وَأَدَائِهَا مُسَافِرًا قَصَرَ، وَإِنْ كَانَ مُقِيمًا أَتَمَّ كَذَلِكَ الْمَسْحُ أَوَّلَ زَمَانِهِ مِنْ وَقْتِ الْحَدَثِ؛ لِأَنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفِعْلِ وَصِفَتَهُ فِي مَسْحِ الْمُقِيمِ وَالْمُسَافِرِ مُعْتَبَرٌ بِوَقْتِ الْمَسْحِ.
Dan dalil bahwa awal waktunya adalah sejak terjadinya hadats, ialah bahwa engkau menjadikan apa yang dijadikan dalil oleh masing-masing dari kedua kelompok itu sebagai hujjah atas yang lainnya. Kemudian engkau berdalil dengan makna yang menunjukkan keduanya, yaitu bahwa setiap ibadah yang waktu diperhitungkan padanya, maka awal waktunya dihitung dari waktu yang memungkinkan untuk dilakukan, dan sifat ibadah itu dilihat dari waktu pelaksanaannya.
Seperti salat, jika itu adalah salat ẓuḥr, maka awal waktunya adalah saat tergelincirnya matahari. Dan sifat pelaksanaannya, apakah dengan qaṣar atau itmam, dilihat dari waktu pelaksanaan dan pengerjaannya. Jika pada waktu pelaksanaannya ia dalam keadaan safar, maka ia qaṣar. Dan jika dalam keadaan mukim, maka ia menyempurnakan.
Demikian pula dalam hal mengusap: awal waktunya adalah dari saat hadats, karena awal waktu pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya—baik untuk mukim maupun musafir—dilihat dari waktu mengusap.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ زَمَانَ الْمَسْحِ مِنْ وَقْتِ الْحَدَثِ، فَإِذَا أَحْدَثَ بَعْدَ لِبَاسِ خُفَّيْهِ عَلَى طَهَارَةٍ مَسَحَ مِنْ وَقْتِ حَدَثِهِ إِلَى مِثْلِهِ مِنَ الْغَدِ إِنْ كَانَ مُقِيمًا، وَإِلَى مِثْلِهِ مِنَ الْيَوْمِ الرَّابِعِ إِنْ كَانَ مُسَافِرًا، وَأَكْثَرُ مَا يُمْكِنُ الْمُقِيمَ أَنْ يُصَلِّيَ بِالْمَسْحِ سِتُّ صَلَوَاتٍ مُؤَقَّتَاتٍ إِلَّا أَنْ يَجْمَعَ فَيُصَلِّيَ سَبْعًا مِثَالُهُ: أَنْ يُحْدِثَ بَعْدَ الزَّوَالِ، وَقَدْ مَضَى بَعْضُ الْوَقْتِ فَيَمْسَحُ وَيُصَلِّي الظُّهْرَ، ثُمَّ الْعَصْرَ ثُمَّ الْمَغْرِبَ ثُمَّ الْعِشَاءَ ثُمَّ الصُّبْحَ ثُمَّ الظُّهْرَ، فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا ثُمَّ الْعَصْرَ يَجْمَعُهَا إِلَيْهَا، وَأَكْثَرُ مَا يُمْكِنُ الْمُسَافِرَ أَنْ يُصَلِّيَ بِالْمَسْحِ سِتَّ عَشْرَةَ صَلَاةً، إِلَّا أَنْ يَجْمَعَ فَيُصَلِّيَ سَبْعَ عَشْرَةَ مِنْهُنَّ عَشْرٌ فِي يَوْمَيْنِ، وَسَبْعٌ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ، عَلَى مَا وَصَفْنَا مِنْ جَمْعِهِ، وَيَجُوزُ فِي زَمَانِ الْمَسْحِ أَنْ يُصَلِّيَ مَا شَاءَ مِنَ الْفَوَائِتِ وَالنَّوَافِلِ؛ لِأَنَّ وَقْتَ الْمَسْحِ مُقَدَّرٌ بِالزَّمَانِ لَا بِالصَّلَوَاتِ، فَلَوْ شَكَّ فِي وَقْتِ حَدَثِهِ هَلْ كَانَ فِي وَقْتِ الظُّهْرِ أَوْ فِي وَقْتِ الْعَصْرِ؟ حَسِبَهُ مِنْ وَقْتِ الظُّهْرِ احْتِيَاطًا، وَقَالَ الْمُزَنِيُّ يَحْتَسِبُ من وقت العصر، لأنه متيقن حدوث حدثه، وَشَاكٌّ فِي تَقَدُّمِهِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ وَقْتَ الْمَسْحِ رُخْصَةٌ، وَالرُّخَصُ تُبْنَى عَلَى الِاحْتِيَاطِ، وَأُحْوَطُ حَالَتِهِ أَنْ يَبْنِيَ عَلَى أَوَّلِ زَمَانَيْ شَكِّهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ شَكَّ هَلْ صَلَّى بِالْمَسْحِ خَمْسًا أَوْ سِتًّا حَسِبَهَا فِي الْمَسْحِ سِتًّا احْتِيَاطًا لِلْمَسْحِ، وَفِي الْأَدَاءِ خَمْسًا احْتِيَاطًا لِلْفَرْضِ، والله أعلم.
PASAL
Apabila telah ditetapkan bahwa waktu mengusap dimulai dari saat hadats, maka jika seseorang berhadats setelah mengenakan kedua khuff-nya dalam keadaan suci, maka ia mengusap dari waktu hadatsnya sampai waktu yang sama keesokan harinya jika ia seorang mukim, dan sampai waktu yang sama pada hari keempat jika ia seorang musafir.
Jumlah maksimal salat yang dapat dilakukan oleh seorang mukim dengan mengusap adalah enam salat wajib, kecuali jika ia menggabung (jama‘), maka ia bisa salat tujuh kali. Contohnya: ia berhadats setelah zawāl, dan waktu zawāl telah berlalu sebagian, lalu ia mengusap dan salat ẓuḥr, kemudian ‘aṣr, kemudian maghrib, lalu ‘isya’, lalu ṣubḥ, lalu ẓuḥr di awal waktunya, kemudian ia menjamak ‘aṣr bersamanya.
Adapun jumlah maksimal salat yang dapat dilakukan oleh musafir dengan mengusap adalah enam belas salat, kecuali jika ia menjamak, maka ia bisa salat tujuh belas kali—sepuluh di dua hari, dan tujuh di hari ketiga—sebagaimana telah kami jelaskan mengenai cara penjamakannya.
Diperbolehkan pada masa mengusap untuk salat sebanyak yang dikehendaki dari salat-salat qadha dan salat sunnah, karena waktu mengusap ditentukan berdasarkan waktu, bukan berdasarkan jumlah salat.
Jika seseorang ragu tentang waktu hadatsnya, apakah terjadi pada waktu ẓuḥr atau ‘aṣr, maka dihitung dari waktu ẓuḥr sebagai bentuk kehati-hatian. Namun al-Muzanī berkata: dihitung dari waktu ‘aṣr karena ia yakin hadatsnya terjadi dan ragu apakah itu lebih dulu. Ini adalah kekeliruan, karena waktu mengusap adalah rukhsah, dan rukhsah dibangun atas dasar kehati-hatian. Dan keadaan yang lebih hati-hati adalah dengan menganggap awal dari dua waktu yang ia ragukan.
Atas dasar itu, jika ia ragu apakah ia telah salat lima atau enam kali dengan mengusap, maka ia menghitung enam kali dalam hal kehati-hatian untuk mengusap, dan lima kali dalam hal kehati-hatian untuk pelaksanaan fardu. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا جاوز الوقت فقد القطع الْمَسْحُ فَإِنْ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ وَصَلَّى بَعْدَ ذَهَابِ وقت المس أعاد غسل رجليه والصلاة “.
إذا أنقض الْمَسْحِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَلِّيَ بِمَا تَقَدَّمُ مِنَ الْمَسْحِ شَيْئًا، وَلَا أَنْ يَسْتَأْنِفَ بَعْدَهُ مَسْحًا، فَإِنْ كَانَ عِنْدَ تَقَضِّي زَمَانِ الْمَسْحِ فِي صَلَاةٍ، بَطُلَتْ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي صَلَاةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَأْنِفَهَا، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ تَقَضِّي زَمَانِ الْمَسْحِ مَا شَاءَ مَا لَمْ يُحْدِثْ، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ يَجُوزُ أَنْ يَنْزِعَ خُفَّيْهِ، وَأَنْ يُصَلِّيَ مَا لَمْ يُحْدِثْ، وَلَا يَجُوزُ إِنْ كَانَ لَابِسَهُمَا أَنْ يُصَلِّيَ شَيْئًا، وَاسْتَدَلَّا بِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّرْعَ يَمْنَعُ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُرُورُ الزَّمَانِ حَدَثًا اعْتِبَارًا بِسَائِرِ الطَّهَارَاتِ.
والثاني: أن مسح الخفين بدل مِنْ مَسْحِ الرِّجْلَيْنِ، وَحُكْمُ الْبَدَلِ حُكْمُ مُبْدَلِهِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ مُرُورُ الزَّمَانِ مُؤَثِّرًا فِي غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ لَمْ يَكُنْ مُؤَثِّرًا فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدَّرَ زَمَانَ الْمَسْحِ، وَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَجْعَلَهُ مِنَ الزَّمَانِ حَدًّا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إما أن يكون حداً لفعل المسح أو حداً لاستدامة حكمه فلما لم يكن حداً لأمرين بِأَنْ يَكُونَ مُرَادًا أَوْلَى مِنْ صَاحِبِهِ فَحَمَلَ عَلَيْهَا وَجَعَلَ مَأْخَذَهُ مِنَ الزَّمَانِ وَقْتًا لِفِعْلِ الْمَسْحِ، وَحُكْمِهِ جَمِيعًا، وَلَا يَصِحُّ جَمْعُهُمْ بَيْنَ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَبَيْنَ سَائِرِ الطَّهَارَاتِ، وَكَذَلِكَ غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ؛ لِأَنَّ الْمَسْحَ مَحْدُودُ الزَّمَانِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ لِمُرُورِ الزَّمَانِ تَأْثِيرٌ فِي نَقْضِهِ، وَلَيْسَ لِسَائِرِ الطَّهَارَاتِ زَمَانٌ مَحْدُودٌ فَلَمْ يُؤَثِّرْ مُرُورُ الزَّمَانِ فِي نَقْضِهِ.
(MASALAH)
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika telah melewati waktunya, maka mengusap terputus. Maka jika ia berwudu, mengusap, dan salat setelah lewatnya waktu mengusap, maka ia wajib mengulangi membasuh kedua kakinya dan salatnya.”
Apabila masa mengusap telah habis, maka tidak boleh salat dengan mengandalkan usapan yang telah lalu sedikit pun, dan tidak boleh pula memulai kembali usapan setelahnya. Jika bertepatan habisnya masa mengusap saat sedang salat, maka salatnya batal. Jika tidak sedang salat, maka tidak boleh memulai salat.
Al-Ḥasan al-Baṣrī berkata: boleh salat setelah habis masa mengusap selama belum berhadats.
Dāwud bin ‘Alī berkata: boleh mencopot khuff-nya dan salat selama belum berhadats, namun tidak boleh salat jika masih mengenakan khuff.
Keduanya berdalil dengan dua hal:
Pertama: bahwa syariat tidak menjadikan berlalunya waktu sebagai pembatal wudu, sebagaimana pada semua bentuk bersuci lainnya.
Kedua: bahwa mengusap khuff adalah pengganti dari membasuh kedua kaki, dan hukum pengganti mengikuti hukum yang digantikannya. Maka ketika berlalunya waktu tidak berpengaruh terhadap membasuh kaki, maka tidak berpengaruh pula terhadap mengusap khuff.
Namun ini adalah kesalahan, karena Nabi SAW telah menetapkan batas waktu untuk mengusap. Dan hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah batas itu untuk perbuatan mengusap, atau untuk keberlangsungan hukumnya. Ketika tidak dimaksudkan sebagai batas perbuatan semata, maka lebih utama dipahami sebagai batas untuk keduanya: perbuatan mengusap dan hukumnya sekaligus.
Tidak sah menggabungkan antara hukum mengusap khuff dan hukum bersuci lainnya, demikian pula membasuh kaki, karena mengusap memiliki batas waktu tertentu. Maka diperbolehkan bagi berlalunya waktu untuk memberi pengaruh dalam pembatalannya. Sedangkan bersuci yang lain tidak memiliki batas waktu, maka berlalunya waktu tidak mempengaruhi keabsahannya.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ تَقَضِّيَ زَمَانِ الْمَسْحِ بِتَقَضِّي ظُهُورِ الْقَدَمَيْنِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ عِنْدَ تَقَضِّيهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَلَى طُهْرٍ أَوْ حَدَثٍ، فَإِنْ كَانَ مُحْدِثًا تَوَضَّأَ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ اسْتَأْنَفَ لُبْسَ خُفَّيْهِ وَالْمَسْحَ عَلَيْهِمَا إِنْ شَاءَ، وَإِنْ كَانَ مُتَوَضِّئًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَتَوَضَّأُ.
وَالثَّانِي: يَغْسِلُ رِجْلَيْهِ، بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ نَزَعَ خُفَّيْهِ فِي زَمَانِ الْمَسْحِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ والله أعلم.
PASAL
Apabila telah ditetapkan bahwa habisnya masa mengusap ditandai dengan tampaknya kedua kaki, maka keadaannya saat masa mengusap habis tidak lepas dari dua kemungkinan: dalam keadaan suci atau dalam keadaan berhadats.
Jika dalam keadaan berhadats, maka ia berwudu, membasuh kedua kakinya, lalu boleh memulai kembali mengenakan khuff-nya dan mengusap keduanya jika ia menghendaki.
Jika dalam keadaan suci, maka ada dua pendapat:
Pertama: ia harus berwudu kembali.
Kedua: ia cukup membasuh kedua kakinya.
Hal ini dibangun atas perbedaan dua pendapat dalam masalah orang yang melepas khuff-nya di masa masih boleh mengusap, sebagaimana akan disebutkan. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ مَسَحَ فِي الْحَضَرِ ثُمَّ سَافَرَ أَتَمَّ مَسْحَ مقيمٍ وَلَوْ مَسَحَ مُسَافِرًا ثُمَّ أَقَامَ مَسَحَ مَسْحَ مُقِيمٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا ابْتَدَأَ بِالْمَسْحِ مُسَافِرًا ثُمَّ أَقَامَ مَسَحَ مَسْحَ مُقِيمٍ يَوْمًا وَلَيْلَةً باتفاقٍ فِي الْحُكْمِ، وَإِنْ كَانَ مَعَ اخْتِلَافٍ فِي الْعِلَّةِ، فَالشَّافِعِيُّ يَجْعَلُ الْعِلَّةَ فِيهِ أَنَّ الْإِقَامَةَ أَغْلَظُ حَالَيْهِ وأبو حنيفة يَجْعَلُ الْعِلَّةَ فِيهِ أَنَّ الْإِقَامَةَ نِهَايَةُ حَالَيْهِ، فَأَمَّا إِذَا ابْتَدَأَ بِالْمَسْحِ مُقِيمًا ثُمَّ سَافَرَ فَقَدِ اخْتَلَفُوا لِاخْتِلَافِهِمْ فِي ذَلِكَ، فَمَالَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهُ يَمْسَحُ مَسْحَ مُقِيمٍ؛ لِأَنَّهُ أَغْلَظُ حَالَيْهِ، وَقَالَ أبو حنيفة يَمْسَحُ مَسْحَ مُسَافِرٍ؛ لِأَنَّهَا نِهَايَةُ حَالَيْهِ، وَتَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” يمسح المسافر ثلاثة أيامٍ ولياليهن ” وَهَذَا مُسَافِرٌ، وَلِأَنَّهُ مَاسِحٌ جَمَعَ بَيْنَ حَضَرٍ وَسَفَرٍ، فَوَجَبَ أَنَّهُ يَعْتَبِرُ حَالَهُ بِانْتِهَائِهَا كَالْمُسَافِرِ، إِذَا أَقَامَ.
(MASALAH)
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang mengusap dalam keadaan mukim, lalu ia bepergian, maka ia menyempurnakan dengan masa mengusap seorang mukim. Dan jika ia mengusap dalam keadaan musafir lalu bermukim, maka ia mengusap dengan masa mengusap seorang mukim.”
Al-Māwardī berkata: Adapun jika ia memulai mengusap saat musafir lalu bermukim, maka ia mengusap dengan masa mengusap seorang mukim, yaitu sehari semalam, berdasarkan kesepakatan dalam hukum, meskipun terjadi perbedaan dalam ‘illat-nya.
Menurut al-Syāfi‘ī, ‘illat-nya adalah bahwa keadaan mukim lebih berat di antara dua keadaan.
Sedangkan menurut Abū Ḥanīfah, ‘illat-nya adalah bahwa keadaan mukim merupakan akhir dari dua keadaan tersebut.
Adapun jika ia memulai mengusap dalam keadaan mukim, lalu bepergian, maka para ulama berbeda pendapat sebagaimana perbedaan mereka dalam hal ini.
Imam al-Syāfi‘ī condong pada pendapat bahwa ia tetap mengusap dengan masa mengusap seorang mukim, karena itu adalah keadaan yang lebih berat di antara keduanya.
Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa ia mengusap dengan masa mengusap musafir, karena itu adalah keadaan akhirnya. Dan mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Seorang musafir mengusap selama tiga hari tiga malam,” dan orang ini adalah musafir.
Dan karena ia adalah orang yang mengusap yang menggabungkan antara keadaan mukim dan musafir, maka wajib diperhitungkan berdasarkan keadaan akhirnya, sebagaimana musafir yang kemudian bermukim.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَمْسَحُ الْمُقِيمُ يَوْمًا وَلَيْلَةً ” وَهَذَا قَدْ كَانَ مُقِيمًا فَلَزِمَهُ حُكْمُ الْإِقَامَةِ، وَلِأَنَّهُ مَاسِحٌ جَمَعَ بَيْنَ حَضَرٍ وَسَفَرٍ فَوَجَبَ أَنْ يُغَلِّبَ حُكْمَ الْحَضَرِ عَلَى حُكْمِ السَّفَرِ، كَالْمُسَافِرِ إِذَا أَقَامَ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَخْتَلِفُ بِالْحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَوَجَبَ إِذَا أَنْشَأَهَا فِي الْحَضَرِ ثُمَّ سَافَرَ أَنْ يُغَلِّبَ حُكْمَ الْحَضَرِ كَالصَّلَاةِ إِذَا افْتَتَحَهَا مُقِيمًا ثُمَّ سَافَرَ، وَفِيمَا ذَكَرْنَا مِنَ الدَّلَائِلِ انْفِصَالٌ عَنْ دَلَائِلِهِمْ.
Dan dalil kami adalah sabda Nabi SAW: “Orang yang mukim mengusap sehari semalam,” dan orang ini sebelumnya adalah mukim, maka berlaku padanya hukum kemukiman.
Dan karena ia adalah orang yang mengusap yang menggabungkan antara keadaan hadir dan bepergian, maka wajib didahulukan hukum hadhar atas hukum safar, sebagaimana musafir yang kemudian bermukim.
Dan karena ini adalah ibadah yang berbeda hukumnya antara hadhar dan safar, maka apabila ia memulai (ibadah) dalam keadaan hadhar lalu bepergian, wajib didahulukan hukum hadhar, sebagaimana salat jika dibuka dalam keadaan mukim lalu safar, maka tetap disempurnakan.
Dan dalam dalil-dalil yang kami sebutkan terdapat pemisahan yang cukup dari dalil-dalil mereka.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُ مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُقِيمًا فَيُسَافِرَ أَوْ يَكُونَ مُسَافِرًا فَيُقِيمَ فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مُقِيمًا ثُمَّ يُسَافِرُ فَلَهُ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُسَافِرَ بَعْدَ لُبْسِ خُفَّيْهِ، وَقَبْلَ حَدَثِهِ فَلَهُ أَنْ يَمْسَحَ ثَلَاثًا مَسْحَ مُسَافِرٍ لَا يَخْتَلِفُ الْمَسْحُ فِيهِ، لِأَنَّ مُجَرَّدَ اللُّبْسِ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ.
PASAL
Apabila telah ditetapkan apa yang kami sebutkan, maka keadaan orang yang menggabungkan antara hadhar dan safar tidak lepas dari dua perkara: apakah ia seorang mukim lalu bepergian, atau seorang musafir lalu bermukim.
Adapun bagian pertama, yaitu seseorang yang mukim lalu bepergian, maka ia memiliki empat keadaan:
Pertama: bepergian setelah mengenakan khuff-nya dan sebelum berhadats, maka ia boleh mengusap selama tiga hari tiga malam sebagai musafir. Tidak ada perbedaan dalam hal pengusapan ini, karena semata-mata mengenakan khuff tidak berkaitan dengan suatu hukum.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُسَافِرَ بَعْدَ لُبْسِ خُفَّيْهِ، وَبَعْدَ حَدَثِهِ، وَقَبْلَ مَسْحِهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ يَمْسَحُ ثَلَاثًا مَسْحَ مُسَافِرٍ، وَأَوَّلُ زَمَانِ مَسْحِهِ مِنْ وَقْتِ حَدَثِهِ فِي الْحَضَرِ، وَقَالَ الْمُزَنِيُّ يَمْسَحُ يَوْمًا وَلَيْلَةً مَسْحَ مُقِيمٍ، لِأَنَّ ابْتِدَاءَ مُدَّةِ مَسْحِهِ، مَوْجُودَةٌ فِي الْحَضَرِ وَالْحَدَثُ كَالْمَسْحِ فِي اعْتِبَارِهِ مِنْ زَمَانِ الْمَسْحِ أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّهُ مَرَّ عَلَيْهِ بَعْدَ حَدَثِهِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَلَمْ يَمْسَحْ، فَقَدِ انْقَضَتِ الْمُدَّةُ كَمَا لَوْ مَسَحَ، وَهَذَا الَّذِي ذَكَرَهُ خَطَأٌ، لِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّ صِفَةَ الْعِبَادَةِ مُعْتَبَرَةٌ بِزَمَانِ الْفِعْلِ، لَا بِوَقْتِ الْعِبَادَةِ كَالصَّلَاةِ فِي الْقَصْرِ وَالْإِتْمَامِ مُعْتَبَرَةٌ بِوَقْتِ فِعْلِهِ لَا وَقْتِ وُجُوبِهَا، وَكَذَا الْمَسْحُ، وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو سَفَرُهُ بَعْدَ الْحَدَثِ، وَقَبْلَ الْمَسْحِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ مُضِيِّ وَقْتِ صَلَاةٍ أَوْ بَعْدَ مُضِيِّ وَقْتِ صَلَاةٍ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ مُضِيِّ وقت صلاة مَسَحَ ثَلَاثًا مَسْحَ مُسَافِرٍ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ مُضِيِّ وَقْتِ صَلَاةٍ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ أَنَّهُ يَمْسَحُ يوماً وليلة مسح مقيم؛ لأن يَقْضِيَ وَقْتَ الصَّلَاةِ فِي الْحَضَرِ فِي حُكْمِ فِعْلِهَا فِي الْحَضَرِ، فِي وُجُوبِ الْإِتْمَامِ، كَذَلِكَ فِي الْمَسْحِ.
Keadaan kedua: bepergian setelah mengenakan khuff, setelah berhadats, dan sebelum mengusap.
Menurut mazhab al-Syāfi‘ī, ia mengusap selama tiga hari tiga malam seperti musafir, dan awal waktu pengusapan dihitung sejak waktu hadatsnya ketika masih dalam keadaan mukim.
Al-Muzanī berpendapat: ia mengusap sehari semalam seperti mukim, karena awal masa pengusapannya terjadi di saat mukim, dan hadats dianggap seperti pengusapan dalam kaitannya dengan waktu mulai dihitungnya masa pengusapan. Tidakkah engkau melihat, jika telah berlalu sehari semalam setelah hadatsnya dan ia belum mengusap, maka masa itu telah habis, sebagaimana jika ia mengusap?
Pendapat yang disebutkan ini adalah keliru, karena sebagaimana telah kami sebutkan, bahwa sifat ibadah diperhitungkan berdasarkan waktu pelaksanaannya, bukan waktu wajibnya. Sebagaimana dalam salat, antara qaṣar dan itmam diperhitungkan dari waktu pelaksanaannya, bukan dari waktu wajibnya. Begitu pula dalam pengusapan.
Jika demikian, maka bepergian setelah hadats dan sebelum mengusap tidak lepas dari dua keadaan: dilakukan sebelum lewatnya waktu salat atau setelahnya.
Jika bepergiannya sebelum lewat waktu salat, maka ia mengusap tiga hari seperti musafir.
Jika bepergiannya setelah lewatnya waktu salat, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat di kalangan sahabat kami:
Pertama: Dinisbatkan kepada Abū Isḥāq, bahwa ia mengusap sehari semalam seperti mukim, karena ia telah melewatkan waktu salat dalam keadaan mukim, maka dianggap seperti melaksanakannya dalam keadaan mukim dalam hal wajibnya itmam, maka demikian pula dalam pengusapan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ يَمْسَحُ ثَلَاثًا مَسْحَ مُسَافِرٍ لِأَنَّهُ لَمْ يَبْتَدِئْ بِالْمَسْحِ إِلَّا وَهُوَ مُسَافِرٌ.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُسَافِرَ بَعْدَ أَنْ مَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَيَمْسَحُ يَوْمًا وَلَيْلَةً مَسْحَ مُقِيمٍ وَقَدْ مَضَى خِلَافُ أبي حنيفة فِيهَا، فَلَوْ كَانَ قَدْ أَكْمَلَ مَسْحَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فِي الْحَضَرِ، قَبْلَ سَفَرِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَمْسَحَ بَعْدُ فِي سَفَرِهِ شَيْئًا لِاسْتِيفَاءِ مَسْحِ الْإِقَامَةِ إِلَّا أَنْ يَسْتَأْنِفَ مسحاً مبتدئاً.
Pendapat kedua: Dinisbatkan kepada Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa ia mengusap selama tiga hari tiga malam seperti musafir, karena ia tidak memulai pengusapan kecuali dalam keadaan safar.
Keadaan ketiga: bepergian setelah mengusap khuff, maka ia hanya mengusap sehari semalam seperti mukim. Dan dalam hal ini telah disebutkan adanya khilaf Abū Ḥanīfah.
Jika ia telah menyempurnakan masa mengusap sehari semalam ketika masih mukim sebelum bepergian, maka tidak boleh lagi mengusap ketika sedang dalam safar, karena masa pengusapan sebagai mukim telah sempurna — kecuali jika ia memulai pengusapan baru dari awal.
والحالة الرَّابِعَةُ: أَنْ يُسَافِرَ وَيَشُكَّ هَلْ مَسَحَ قَبْلَ سَفَرِهِ أَمْ لَا فَيَنْبَغِي أَنْ يَعْمَلَ عَلَى أَغْلَظِ حَالَيْهِ، وَإِنِ ابْتَدَأَ بِالْمَسْحِ مُسَافِرًا، ثُمَّ أَقَامَ بِالْمَسْحِ قَبْلَ سَفَرِهِ فَيَمْسَحُ يَوْمًا وَلَيْلَةً، مسح مقيم؛ فإن خالفه وَمَسَحَ ثَلَاثًا مَسْحَ مُسَافِرٍ أَعَادَ مَا صَلَّى بِالْمَسْحِ فِي الْيَوْمَيْنِ الْآخَرَيْنِ، لِأَنَّهُ صَلَّى وَهُوَ شَاكٌّ فِي صِحَّةِ طَهَارَتِهِ، فَلَوْ صَلَّى بِالْمَسْحِ يَوْمَيْنِ، وَهُوَ عَلَى شَكِّهِ ثُمَّ تَيَقَّنَ فِي الثالثة أنه مسافر قَبْلَ مَسْحِهِ جَازَ لَهُ الْمَسْحُ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ فَيَسْتَوْفِي مُدَّةَ الْمَسْحِ فِي السَّفَرِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ مَا صَلَّى بِالْمَسْحِ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي؛ لِأَنَّهُ حِينَ صَلَّى كَانَ شَاكًّا فِي طَهَارَتِهِ، فَصَلَّى كَمَنْ صَلَّى عَلَى شَكٍّ مِنْ وُضُوئِهِ ثُمَّ تَيَقَّنَ بَعْدَ فَرَاغِهِ أَنَّهُ كَانَ مُتَوَضِّئًا أَعَادَ.
Keadaan keempat: bepergian dalam keadaan ragu apakah ia telah mengusap sebelum bepergian atau belum, maka hendaknya ia mengambil sikap berdasarkan keadaan yang lebih berat di antara dua keadaan itu.
Jika ia memulai pengusapan dalam keadaan musafir, namun kemudian yakin bahwa ia telah mengusap sebelum safar, maka ia mengusap hanya sehari semalam, yakni seperti mukim. Jika ia menyelisihi hal ini dan tetap mengusap selama tiga hari seperti musafir, maka ia wajib mengulangi salat yang dilakukan dengan pengusapan pada dua hari terakhir, karena ia salat dalam keadaan ragu terhadap keabsahan taharahnya.
Jika ia salat dengan pengusapan selama dua hari dalam keadaan ragu, lalu pada hari ketiga ia yakin bahwa ia memang memulai pengusapan saat sedang musafir, maka boleh baginya untuk mengusap di hari ketiga guna menyempurnakan masa pengusapan dalam safar. Namun ia tetap wajib mengulangi salat yang ia lakukan dengan pengusapan pada hari kedua, karena saat ia salat ketika itu ia berada dalam keadaan ragu terhadap taharahnya. Maka keadaannya seperti orang yang salat dalam keadaan ragu apakah ia telah berwudu, lalu setelah selesai ia baru yakin bahwa ia telah berwudu — maka ia tetap wajib mengulang salatnya.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مُسَافِرًا ثُمَّ يُقِيمُ، فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ مَسَحَ فِي سَفَرِهِ شَيْئًا أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَمْسَحْ فِي سَفَرِهِ حَتَّى أَقَامَ مَسَحَ يَوْمًا وَلَيْلَةً مَسْحَ مُقِيمٍ، وَإِنْ مَسَحَ فِي سَفَرِهِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ قَدِ اسْتَوْفَى مَسْحَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَسْتَوْفِ مَسْحَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَتَمَّ بَعْدَ إِقَامَةٍ مَسْحَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، وَإِنِ اسْتَوْفَى فِي السَّفَرِ مَسْحَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، لَمْ يَجُزْ إِذَا أَقَامَ أَنْ يَمْسَحَ شَيْئًا، وَلَوْ كَانَ قَدْ نَوَى الْمُقَامَ وَهُوَ فِي تَضَاعِيفِ صَلَاةٍ بَطُلَتْ لِتَقَضِّي مَسْحِهِ بِالْإِقَامَةِ عِنْدَ مُجَاوَزَةِ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، فَلَوْ نَوَى الْمُسَافِرُ مُقَامَ ثَلَاثَةٍ أَتَمَّ مَسْحَ خُفَّيْهِ ثَلَاثًا مَسْحَ مُسَافِرٍ لِبَقَائِهِ عَلَى حُكْمِ السَّفَرِ وَلَوْ نَوَى إِقَامَةَ أَرْبَعٍ اخْتَصَرَ عَلَى يَوْمٍ وليلة مسح مقيم؛ لأنه صار مقيماً والله أعلم.
PASAL
Adapun pasal kedua, yaitu seseorang yang awalnya musafir lalu bermukim, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia telah mengusap sesuatu dalam safarnya atau belum.
Jika ia belum mengusap dalam safarnya hingga ia bermukim, maka ia mengusap sehari semalam seperti mukim.
Jika ia telah mengusap dalam safarnya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah menyempurnakan masa sehari semalam atau belum.
Jika ia belum menyempurnakan masa sehari semalam, maka setelah ia bermukim, ia hanya menyempurnakan masa sehari semalam saja.
Namun jika ia telah menyempurnakan dalam safarnya masa sehari semalam, maka ketika ia bermukim tidak boleh lagi mengusap sedikit pun.
Jika ia telah berniat untuk bermukim ketika masih berada di tengah-tengah salat, maka salatnya batal, karena masa pengusapannya terputus dengan niat bermukim setelah melewati sehari semalam.
Jika seorang musafir berniat untuk bermukim selama tiga hari, maka ia tetap menyempurnakan pengusapan selama tiga hari sebagai musafir, karena ia masih berada dalam hukum safar.
Namun jika ia berniat bermukim selama empat hari, maka ia hanya mengusap sehari semalam seperti mukim, karena dengan niat itu ia telah menjadi mukim. Wallāhu a‘lam.
(فَصْلٌ)
: وَإِذَا سَافَرَ فِي مَعْصِيَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْسَحَ ثَلَاثًا، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَمْسَحَ يَوْمًا وَلَيْلَةً؟ وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ مُقِيمًا عَلَى مَعْصِيَةٍ فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ لَا يُجَوِّزُ أَنْ يَمْسَحَ شَيْئًا؛ لِأَنَّ الْمَسْحَ رُخْصَةٌ وَالْعَاصِي لَا يَتَرَخَّصُ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَمْسَحُ يَوْمًا وَلَيْلَةً مُسَافِرًا كَانَ أَوْ مُقِيمًا، وَإِنْ كَانَ عَاصِيًا؛ لِأَنَّ مَسْحَالْخُفَّيْنِ مُلْحَقٌ بِطَهَارَةِ الْأَعْضَاءِ الَّتِي هِيَ عِبَادَاتٌ مفعولة فاستوى فيها المطيع والعاصي بالصلاة، وأن يُتْرَكَ فَتَمْنَعُ مِنْهُ الْمَعْصِيَةَ كَالْفِطْرِ وَالْقَصْرِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ.
PASAL
Jika seseorang bepergian untuk maksiat, maka tidak boleh baginya mengusap selama tiga hari. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang apakah ia boleh mengusap sehari semalam atau tidak.
Demikian pula jika seseorang bermukim dalam keadaan maksiat. Maka salah satu pendapat menyatakan bahwa tidak boleh mengusap sama sekali, karena mengusap adalah rukhsah dan orang yang bermaksiat tidak berhak mendapatkan rukhsah. Ini adalah pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī.
Pendapat kedua: ia tetap boleh mengusap sehari semalam, baik ia musafir maupun mukim, meskipun dalam keadaan maksiat. Karena mengusap khuff disamakan dengan bersuci terhadap anggota tubuh, yang merupakan ibadah yang dilakukan baik oleh orang taat maupun yang bermaksiat, sebagaimana salat. Berbeda dengan rukhsah yang bersifat bisa ditinggalkan dan dilarang karena maksiat, seperti berbuka puasa dan qaṣar. Ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās bin Surayj.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي: ” وإذا توضأ فغسل إِحْدَى رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَدْخَلَهَا الْخُفَّ ثُمَّ غَسَلَ الأخرى ثم أدخلها الخف لم يجزئه إذا أحدث أن يمسح حتى يكون طاهراً بكامله قبل لباسه أحد خفيه فإن نزع الخف الأول الملبوس قبل تمام طهارته ثم لبسه جاز له أن يمسح لأن لباسه مع الذي قبله بعد كمال الطهارة (قال المزني) كَيْفَمَا صَحَّ لُبْسُ خُفَّيْهِ عَلَى طهرٍ جَازَ لَهُ الْمَسْحُ عِنْدِي “.
(MASALAH)
Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Jika seseorang berwudu lalu membasuh salah satu kakinya, kemudian memasukkannya ke dalam khuff, lalu membasuh kaki yang lain dan memasukannya ke dalam khuff, maka tidak sah baginya mengusap ketika berhadats, sampai ia dalam keadaan suci sepenuhnya sebelum mengenakan salah satu dari kedua khuff-nya. Namun jika ia mencopot khuff pertama yang dikenakan sebelum sempurna thaharahnya, lalu memakainya kembali setelah sempurna thaharahnya, maka boleh baginya mengusap, karena pemakaian khuff tersebut bersama dengan yang satunya terjadi setelah thaharah sempurna.”
(Al-Muzanī berkata): “Bagaimanapun caranya ia berhasil mengenakan kedua khuff-nya dalam keadaan suci, maka menurutku sah baginya untuk mengusap.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَلْبَسَ خُفَّيْهِ لِلْمَسْحِ عَلَيْهِمَا إِلَّا عَلَى طَهَارَةٍ كَامِلَةٍ فَإِنْ لَبِسَهُمَا مُحَدِثًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا فَإِنْ غَسَلَ إِحْدَى رِجْلَيْهِ فَأَدْخَلَهَا الْخُفَّ، ثُمَّ غَسَلَ الْأُخْرَى وَأَدْخَلَهَا الْخُفَّ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا، حَتَّى يَنْزِعَ الْخُفَّ الَّذِي لَبِسَهُ أَوَّلًا قَبْلَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ، وَيُعِيدُ لُبْسَهُ قَبْلَ حَدَثِهِ فَيَصِيرُ لَابِسًا لَهُمَا بَعْدَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا حَتَّى يَنْزِعَهُمَا مَعًا، ثُمَّ يَلْبَسُهُمَا قَبْلَ حَدَثِهِ وَقَالَ أبو حنيفة وَالْمُزَنِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ: يَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَيْهِمَا وَإِنْ لَمْ يَنْزِعْ وَاحِدًا مِنْهُمَا، وَلَا فَائِدَةَ فِي نَزْعِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ لُبْسِهُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” يَمْسَحُ الْمُسَافِرُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ ” وَلَمْ يُفَرِّقْ، وَلِأَنَّهُ حَدَثٌ طَرَأَ عَلَى طَهَارَةٍ وَلُبْسٍ فَجَازَ لَهُ الْمَسْحُ قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا لَبِسَهُمَا بَعْدَ كَمَالِ الْغَسْلِ، قَالُوا وَلِأَنَّ نَزْعَ الْخُفَّيْنِ مُؤَثِّرٌ فِي الْمَنْعِ مِنَ الْمَسْحِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي جَوَازِ الْمَسْحِ قَالُوا: وَلِأَنَّ اسْتِدَامَةَ اللُّبْسِ تَجْرِي مَجْرَى ابْتِدَائِهِ بِدَلِيلِ مَا لَوْ حَلَفَ لَا يَلْبَسُ خُفًّا هُوَ لَابِسُهُ حَنِثَ كَمَا لَوِ ابْتَدَأَ لُبْسَهُ فَصَارَ اسْتِدَامَةُ لُبْسِهِ فِي حُكْمِ مَنِ ابْتَدَأَ لُبْسَهُ فِي جَوَازِ مَسْحِهِ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan. Ketahuilah bahwa tidak boleh seseorang mengenakan khuff-nya untuk tujuan mengusap kecuali dalam keadaan telah sempurna ṭahārah-nya. Jika ia mengenakannya dalam keadaan berhadats, maka tidak boleh baginya mengusap atas keduanya.
Jika ia membasuh salah satu kakinya lalu memasukannya ke dalam khuff, kemudian membasuh kaki yang satunya dan memasukannya ke dalam khuff, maka tidak boleh mengusap atas keduanya, sampai ia mencopot khuff yang dikenakan pertama kali sebelum sempurna ṭahārah-nya, lalu memakainya kembali sebelum berhadats. Maka ia dianggap mengenakan keduanya setelah sempurna ṭahārah.
Imām Aḥmad bin Ḥanbal berkata: Tidak boleh mengusap atas keduanya sampai ia mencopot keduanya sekaligus, lalu memakainya kembali sebelum berhadats.
Sedangkan Abū Ḥanīfah, al-Muzanī, dan Abū Ṯawr berpendapat: boleh mengusap atas keduanya meskipun tidak mencopot satupun dari keduanya, dan tidak ada faedah dalam mencopot yang pertama lalu memakainya kembali. Mereka berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Seorang musafir mengusap tiga hari tiga malam,” tanpa membedakan keadaan. Dan karena ini adalah hadats yang terjadi di atas ṭahārah dan pemakaian, maka dibolehkan mengusap, diqiyaskan dengan kasus ketika seseorang mengenakannya setelah selesai membasuh.
Mereka juga berkata: mencopot khuff berpengaruh dalam larangan mengusap, maka tidak seharusnya menjadikan pencopotan sebagai syarat dalam bolehnya mengusap.
Dan karena keberlangsungan pemakaian berlaku seperti permulaan pemakaian, sebagaimana dalam kasus orang yang bersumpah tidak akan memakai khuff, lalu ia tetap mengenakannya, maka ia dihukumi melanggar sumpah, sebagaimana jika ia memulainya dari awal. Maka keberlangsungan pemakaian dihukumi seperti memulai pemakaian dalam hal bolehnya mengusap.
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ يُونُسَ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ عُرْوَةَ ابن الْمُغِيرَةِ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: قُلْتُ يا رسول الله أنمسح على الخفين قال: ” نَعَمْ إِنْ أَدْخَلْتَهُمَا، وَهُمَا طَاهِرَتَانِ ” فَجَعَلَ اللُّبْسِ بَعْدَ طُهْرِهِمَا شَرْطًا فِي جَوَازِ الْمَسْحِ عَلَيْهِمَا، ولأنه ليس قَبْلَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ مِنْ جَوَازِ الْمَسْحِ قِيَاسًا عَلَى لُبْسِهِ قَبْلَ غَسْلِ قَدَمَيْهِ، وَلِأَنَّ لُبْسَ الْخُفَّيْنِ يَفْتَقِرُ إِلَى الطَّهَارَةِ، وَمَا كَانَ إِلَى الطَّهَارَةِ مُفْتَقِرًا كَانَ تَقْدِيمُهَا عَلَى جَمِيعِهِ، لَازِمًا كَالصَّلَاةِ يَلْزَمُ تَقْدِيمُ الطَّهَارَةِ عَلَى جَمِيعِ الرَّكَعَاتِ، وَلِأَنَّ الْمُسْتَبَاحَ بِسَبَبٍ لَا يجوز تقديمه على سببه، كالإفطار لَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ عَلَى السَّفَرِ وَالْمَرَضِ، وَلِأَنَّ الْمَسْحَ مُسْتَبَاحٌ لِشَرْطَيْنِ: اللُّبْسُ وَالْحَدَثُ، فَمَا لَزِمَ تَقْدِيمُ الطَّهَارَةِ عَلَى الْحَدَثِ لَزِمَ تَقْدِيمُهَا عَلَى اللُّبْسِ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا شَرْطٌ فِي جَوَازِ الْمَسْحِ، وَلِأَنَّ حُكْمَ أَحَدِ الْخُفَّيْنِ مُرْتَبِطٌ بِالْآخَرِ، أَلَا تَرَىأَنَّهُ لَوْ نَزَعَ أَحَدَ الْخُفَّيْنِ انْتَقَضَ مَسْحُهُ، كَمَا لَوْ نَزَعَ جَمِيعَ الْخُفَّيْنِ فَوَجَبَ إِذَا لَبِسَ أَحَدَ الْخُفَّيْنِ قَبْلَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ أَنْ لَا يَكُونَ حُكْمُهُ حُكْمَ مَنْ لَبِسَ جَمِيعَ الْخُفَّيْنِ.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِعُمُومِ الْخَبَرِ فَمَحْمُولٌ عَلَى نَصِّ الْخَبَرِ الَّذِي رَوَيْنَاهُ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى مَا بَعْدَ الْغَسْلِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ لُبْسُهُ بَعْدَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ نَزْعَ الْخُفَّيْنِ مُؤَثِّرٌ فِي الْمَنْعِ مِنَ الْمَسْحِ، فَغَيْرُ صَحِيحٍ، بَلْ قَدْ يَكُونُ مُؤَثِّرًا فِي جَوَازِ الْمَسْحِ أَيْضًا، وَهُوَ عِنْدَ تَقَضِّي زَمَانِ الْمَسْحِ، فَكَذَا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ. فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ اسْتِدَامَةَ اللُّبْسِ تَجْرِي مَجْرَى ابْتِدَائِهِ فَصَحِيحٌ فِي الْإِتْمَامِ، وَبَاطِلٌ فِي الْمَسْحِ، أَلَا تَرَى لَوْ أَحْدَثَ، وَكَانَ لَابِسًا جَازَ أَنْ يَمْسَحَ، وَلَوِ ابْتَدَأَ اللُّبْسَ بَعْدَ حَدَثِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْسَحَ فَبَانَ أَنَّ ابْتِدَاءَ اللُّبْسِ فِي الْمَسْحِ مُخَالِفٌ لِاسْتِدَامَتِهِ.
Dan dalil kami adalah riwayat yang diriwayatkan oleh al-Syāfi‘ī dari Sufyān, dari Yūnus, dari al-Sya‘bī, dari ‘Urwah bin al-Mughīrah, dari al-Mughīrah bin Syu‘bah, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kami boleh mengusap atas khuff?” Beliau bersabda: “Ya, jika engkau memasukannya dalam keadaan keduanya suci.” Maka Nabi SAW menjadikan pemakaian khuff setelah suci sebagai syarat dibolehkannya mengusap atas keduanya.
Dan karena ia belum memakai setelah sempurna ṭahārah, maka wajib untuk tidak membolehkannya, diqiyaskan dengan orang yang mengenakan khuff sebelum membasuh kedua kakinya.
Dan karena memakai khuff membutuhkan ṭahārah, maka apa yang membutuhkan ṭahārah, wajib mendahulukan ṭahārah atas keseluruhannya, sebagaimana salat yang mewajibkan mendahulukan ṭahārah atas semua rakaat.
Dan karena sesuatu yang dibolehkan karena sebab, tidak boleh didahulukan atas sebabnya — sebagaimana tidak boleh berbuka puasa sebelum datang safar atau sakit.
Dan karena mengusap dibolehkan dengan dua syarat: pemakaian khuff dan hadats. Maka sebagaimana wajib mendahulukan ṭahārah atas hadats, maka wajib pula mendahulukan ṭahārah atas pemakaian, karena masing-masing dari keduanya adalah syarat dalam bolehnya mengusap.
Dan karena hukum satu khuff terkait dengan khuff lainnya. Tidakkah engkau lihat bahwa jika seseorang melepas salah satu dari khuff-nya, maka batal hukum usapnya, sebagaimana jika ia melepas keduanya. Maka wajib jika ia memakai salah satu khuff sebelum sempurna ṭahārah, tidak dihukumi sebagaimana orang yang mengenakan kedua khuff setelah sempurna ṭahārah.
Adapun istidlāl mereka dengan keumuman hadis, maka hadis itu harus dipahami sesuai dengan redaksi khusus yang telah kami riwayatkan.
Adapun qiyās mereka terhadap orang yang mengenakan setelah membasuh, maka yang dimaksud di sana adalah pemakaian setelah sempurna ṭahārah.
Adapun istidlāl mereka bahwa mencopot khuff berpengaruh dalam larangan mengusap, maka itu tidak benar. Bahkan mencopot bisa berpengaruh pula dalam bolehnya mengusap, yaitu saat habisnya masa mengusap. Maka demikian pula dalam masalah ini.
Adapun istidlāl mereka bahwa keberlangsungan pemakaian berlaku seperti awal pemakaian, maka itu benar dalam konteks menyempurnakan, tetapi tidak berlaku dalam konteks mengusap. Bukankah engkau lihat, jika seseorang berhadats dalam keadaan telah mengenakan khuff, maka boleh mengusap. Tapi jika ia baru mengenakan khuff setelah hadats, maka tidak boleh mengusap. Maka jelas bahwa awal pemakaian dalam mengusap berbeda hukumnya dengan keberlangsungannya.
(فَصْلٌ)
: فَلَوْ لَبِسَ خُفَّيْهِ قَبْلَ غَسْلِ رِجْلَيْهِ، وَأَدْخَلَهُمَا الْخُفَّ ثُمَّ أَحْدَثَ وَقَدَمُهُ فِي سَاقِ الْخُفِّ لَمْ تَسْتَقِرَّ فِي مَوْضِعِ الْقَدَمِ لَمْ يَجُزِ الْمَسْحُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ وَقْتَ حَدَثِهِ لَابِسًا لِخُفِّهِ لُبْسًا كَامِلًا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Jika seseorang mengenakan kedua khuff-nya sebelum membasuh kedua kakinya, dan ia telah memasukkan kakinya ke dalam bagian betis khuff, namun telapak kakinya belum menetap di tempat telapak kaki, lalu ia berhadats dalam keadaan demikian, maka tidak sah baginya mengusap. Karena pada saat terjadi hadats, ia belum dianggap mengenakan khuff-nya dengan sempurna.
Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن تَخَرَّقَ مِنْ مُقَدَّمِ الْخُفِّ شيءٌ بَانَ مِنْهُ بَعْضُ الرِّجْلِ وَإِنْ قَلَّ لَمْ يُجْزِهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَى خُفٍّ غَيْرِ ساترٍ لِجَمِيعِ الْقَدَمِ وَإِنْ كَانَ خَرْقُهُ مِنْ فَوْقِ الْكَعْبَيْنِ لَمْ يَضُرُّهُ ذَلِكَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ خَرْقَ الْخُفِّ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي مَوْضِعِ الْقَدَمِ، أَوْ فِي غَيْرِهِ، فَإِنْ كَانَ الْخَرْقُ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ الْقَدَمِ وَهُوَ أَنْ يكون من فوق الكعبين في ساق الخف، فَجَائِزٌ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِ مَعَ هَذَا الْخَرْقِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَبِسَ خُفًّا لَا سَاقَ لَهُ جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ سَاتِرًا لِجَمِيعِ الْقَدَمِ، رَوَى أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ شَهِدَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ يَسْأَلُ بِلَالًا عَنْ وضوء رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَقَالَ كَانَ يَخْرُجُ يَقْضِي حَاجَتَهُ فَآتِيهِ بِالْمَاءِ، فَيَتَوَضَّأُ وَيَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَمُوقَيْهِ، وَالْمُوقَانِ: خُفَّانِ قَصِيرَانِ لَيْسَ لَهُمَا سَاقٌ، فَإِنْ كَانَ الْخَرْقُ فِي مَوْضِعِ الْقَدَمِ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي جَوَازِ الْمَسْحِ عَلَيْهِ، فَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ لَمْ يَتَفَاحَشِ الْخَرْقُ جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، وَإِنْ تَفَاحَشَ لَمْ يَجُزْ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ يَمْسَحُ مَا أَمْكَنَ الْمَشْيُ عَلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ لَمْ يَجُزْ، وَقَالَ أبو حنيفة يَمْسَحُ إِنْ كَانَ الْخَرْقُ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثِ أَصَابِعَ، فَإِنْ كَانَ ثَلَاثَ أَصَابِعَ فَأَكْثَرَ لَمْ يَجُزْ وَقَالَ أبو يوسف: سَأَلْتُ أبا حنيفة عَنِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا فَقَالَ: لِأَنَّ الثَّلَاثَ أَكْثَرُ الْأَصَابِعِ، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ: لَايَمْسَحُ عَلَيْهِ إِذَا ظَهَرَ مِنَ الْخَرْقِ شَيْءٌ مِنَ الْقَدَمِ، وَإِنْ قَلَّ، وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَجَازَ الْمَسْحَ عَلَيْهِ مَعَ خَرْقِهِ بِحَدِيثِ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا تَطَهَّرَ فَلَبِسَ خُفَّيْهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا “، فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِيمَا أَطْلَقَ اسْمَ الْخُفِّ عَلَيْهِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ خَرْقٌ لَا يُبِيحُ لُبْسَهُ فِي الْإِحْرَامِ، فَلَمْ يَمْنَعْ مِنْ جَوَازِ الْمَسْحِ عَلَيْهِ فِي الْوُضُوءِ، قِيَاسًا عَلَى خُرُوقِ الْخَرَزِ، وَلِأَنَّ إِبَاحَةَ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، رِفْقٌ وَتَرْفِيهٌ، لِأَنَّ الْحَاجَةَ دَاعِيَةٌ إِلَى لُبْسِهِ وَالْمَشَقَّةَ لَاحِقَةٌ فِي نَزْعِهِ، فَلَوْ كَانَتْ خُرُوقُ الْخُفِّ تَمْنَعُ مِنْ لُبْسِهِ وَتَدْعُو إِلَى نَزْعِهِ وَهُوَ الْغَالِبُ مِنْ أَنْوَاعِ الْخِفَافِ لَزَالَ مَعْنَى الرِّفْقِ، بِالتَّغْلِيظِ وَالتَّرْفِيهِ بِالْمَشَقَّةِ.
PASAL
Jika terdapat robekan pada bagian depan khuff sehingga sebagian kaki tampak, meskipun sedikit, maka tidak sah baginya mengusap pada khuff yang tidak menutupi seluruh kaki. Namun jika robekan itu berada di atas mata kaki, maka hal itu tidak membahayakan.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa robekan pada khuff tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi di area telapak kaki atau di selainnya.
Jika robekan terjadi bukan di area telapak kaki, yaitu di atas mata kaki pada betis khuff, maka boleh mengusap khuff tersebut meskipun ada robekan. Karena jika seseorang memakai khuff yang tidak memiliki bagian betis pun, tetap sah mengusapnya selama ia menutupi seluruh kaki.
Diriwayatkan dari Abū ‘Abd al-Raḥmān bahwa ia menyaksikan ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf bertanya kepada Bilāl tentang wudunya Rasulullah SAW. Bilāl menjawab: “Beliau keluar untuk menunaikan hajatnya, lalu aku membawakan air untuk beliau, maka beliau berwudu dan mengusap atas ‘imāmah-nya dan mūqain-nya.” Dan mūqān adalah dua khuff pendek yang tidak memiliki bagian betis.
Namun jika robekan terjadi di bagian telapak kaki, maka para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan mengusapnya:
- Mālik berpendapat: jika robekannya tidak besar, maka boleh mengusap; namun jika terlalu besar, tidak boleh. Ini juga merupakan pendapat al-Syāfi‘ī dalam qaul qadī
- Al-Awzā‘ī, Isḥāq, dan Abū Ṯawr berpendapat: jika masih bisa digunakan untuk berjalan, maka boleh mengusap; jika tidak, maka tidak boleh.
- Abū Ḥanīfah berkata: jika robekannya kurang dari tiga jari, maka boleh mengusap; jika tiga jari atau lebih, maka tidak boleh.
- Abū Yūsuf berkata: “Aku bertanya kepada Abū Ḥanīfah tentang perbedaan antara dua keadaan itu.” Ia menjawab: “Karena tiga adalah jumlah terbanyak dari jari-jari kaki.”
Adapun al-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd, beliau berpendapat: tidak boleh mengusap jika ada bagian dari kaki yang tampak karena robek, meskipun hanya sedikit.
Sedangkan yang membolehkan mengusap meskipun ada robekan berdalil dengan hadis Abū Bakrah bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika ia bersuci lalu memakai kedua khuff-nya, maka ia boleh mengusap atas keduanya,” yang menunjukkan keumuman selama sesuatu itu masih dinamai khuff.
Mereka juga berkata: karena robekan tersebut tidak membolehkan memakainya dalam ihram, namun tidak menghalangi bolehnya mengusap dalam wudu, sebagaimana diqiyaskan dengan robekan pada sambungan benang atau kulit.
Dan karena kebolehan mengusap atas khuff adalah bentuk keringanan dan kemudahan, karena adanya kebutuhan untuk mengenakannya dan kesulitan dalam mencopotnya. Maka jika robekan khuff dianggap menghalangi untuk memakainya dan menyebabkan kewajiban mencopotnya—padahal itu adalah keadaan umum pada jenis khuff—niscaya hilanglah makna keringanan tersebut dan berubah menjadi beban serta kesulitan.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْلِهِ عَزَّ وجل: {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنَ) {المائدة: 6) فَكَانَ عُمُومُهَا يُوجِبُ غَسْلَ الرِّجْلَيْنِ إِلَّا مَا قَامَ دليله من المسح على خفين صَحِيحَيْنِ، وَلِأَنَّ ظُهُورَ الْأَصَابِعِ يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الْمَسْحِ كَمَا لَوْ نَزَعَ أَحَدَ الْخُفَّيْنِ، وَلِأَنَّ كُلَّ حُكْمٍ تَعَلَّقَ بِجَمِيعِ الْقَدَمِ تَعَلَّقَ بِبَعْضِ الْقَدَمِ قِيَاسًا عَلَى غَسْلِهِمَا عِنْدَ ظُهُورِهِمَا، وَلِأَنَّ مَا يُبْطِلُ حُكْمَ الْمَسْحِ يَسْتَوِي حُكْمُ وُجُودِهِ فِي بَعْضِ الْقَدَمَيْنِ وَفِي جَمِيعِ الْقَدَمَيْنِ أَصْلُهُ: انْقِضَاءُ مُدَّةِ الْمَسْحِ عِنْدَ غَسْلِ بَعْضِ الْأَعْضَاءِ، وَلِأَنَّ جَوَازَ الْمَسْحِ يَتَعَلَّقُ بِالطَّهَارَةِ وَبِاسْتِتَارِ الرِّجْلَيْنِ فِي الْخُفَّيْنِ، فَلَمَّا كَانَ تَرْكُ بَعْضِ أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ الْمَسْحِ كَانَ تَرْكُ بَعْضِ الْمُسْتَرِ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ الْمَسْحِ وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ شَرْطَيِ الْمَسْحِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَرْكُ بَعْضِهِ كَتَرْكِ جَمِيعِهِ فِي الْمَنْعِ مِنَ الْمَسْحِ كَالطَّهَارَةِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ ظُهُورُ أَحَدِ الرِّجْلَيْنِ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ الْمَسْحِ عَلَى الأخرى تغليباً لحكم الغسل كان طهور بَعْضِ الرِّجْلِ بِالْمَنْعِ مِنْ مَسْحِ الْبَاقِي مِنْهُمَا أَوْلَى، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْخَبَرِ فَمَخْصُوصٌ.
Dan dalil kami adalah keumuman firman-Nya ‘azza wa jalla:
{Basuhlah wajah-wajah kalian} hingga firman-Nya: {dan kaki-kaki kalian sampai kedua mata kaki} (QS. al-Māidah: 6).
Maka keumumannya mewajibkan membasuh kedua kaki, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan bolehnya mengusap kedua khuf yang sah.
Dan karena tampaknya jari-jari kaki menghalangi bolehnya mengusap, sebagaimana jika seseorang melepas salah satu dari dua khuf-nya.
Dan karena setiap hukum yang berkaitan dengan seluruh kaki, juga berkaitan dengan sebagian kaki, diqiyaskan pada kewajiban membasuh keduanya ketika keduanya tampak.
Dan karena hal-hal yang membatalkan hukum mengusap itu sama hukumnya, baik terjadi pada sebagian kaki maupun seluruh kaki. Dasarnya adalah: habisnya masa mengusap ketika membasuh sebagian anggota tubuh.
Dan karena bolehnya mengusap itu berkaitan dengan ṭahārah dan tertutupnya kedua kaki dalam khuf, maka ketika meninggalkan sebagian anggota ṭahārah menjadi penghalang bolehnya mengusap, maka meninggalkan sebagian penutup juga menjadi penghalang bolehnya mengusap.
Dan penjelasannya secara qiyās: bahwa ia adalah salah satu dari dua syarat bolehnya mengusap, maka wajib menjadikan meninggalkan sebagian darinya seperti meninggalkan seluruhnya dalam larangan mengusap, sebagaimana ṭahārah.
Dan karena ketika tampaknya salah satu dari dua kaki menjadi penghalang bolehnya mengusap kaki yang lain, karena lebih mengedepankan hukum membasuh, maka ṭahārah sebagian kaki menjadi lebih utama sebagai penghalang untuk mengusap sisanya.
Adapun istidlāl mereka dengan khabar, maka itu bersifat khusus.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى خُرُوقِ الْخَرَزِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ خُرُوقَ الْخَرَزِ لَا يُرَى مِنْهَا خف، وليس كذلك ما سواه.
والثاني: أنه خرق الخرز يسند بِمَا يَدْخُلُهَا مِثْلَ الْخُيُوطِ فَلَا يَظْهَرُ مِنْهَا شَيْءٌ مِنَ الْقَدَمِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا سِوَاهُ.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْحَاجَةِ إِلَى لُبْسِهَا وَالْمَشَقَّةِ فِي نَزْعِهَا فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْخُفَّ إِذَا تَخَرَقَ امْتُنِعَ فِي الْغَالِبِ مِنْ لِبَاسِهِ، وَإِنَّمَا يُلْبَسُ مِنَ الْخِفَافِ غَالِبًا مَا كَانَ صَحِيحًا مِنْهَا.
Adapun qiyās mereka terhadap lubang-lubang pada sepatu berhias manik-manik, maka jawabannya dari dua sisi:
Pertama: bahwa lubang-lubang pada manik-manik tidak terlihat bagian kaki darinya, sedangkan selainnya tidak demikian.
Kedua: bahwa lubang pada manik-manik itu tertutup oleh benda yang masuk ke dalamnya seperti benang-benang, sehingga tidak tampak sedikit pun dari kaki, dan selainnya tidak demikian.
Adapun istidlāl mereka dengan kebutuhan untuk memakainya dan adanya kesulitan dalam melepasnya, maka jawabannya adalah:
Bahwa jika khuf itu berlubang, maka pada umumnya tidak akan dipakai, dan yang biasa dipakai dari khuf adalah yang masih utuh.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ خَرْقَ الْخُفِّ يَمْنَعُ مِنَ الْمَسْحِ عَلَيْهِ صَغِيرًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ فِي مُقَدَّمِهِ أَوْ مُؤَخَّرِهِ، وَإِنَّمَا ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – خَرْقَ الْمُقَدَّمِ، لِأَنَّهُ الْغَالِبُ مِنْ خَرْقِ الْخُفِّ، لَا أَنَّهُ مُخْتَصٌّ بِالْمَنْعِ مِنَ الْمَسْحِ هَذَا إِذَا كَانَ فِي ظِهَارَةِ الْخُفِّ وَبِطَانَتِهِ.
PASAL
Maka apabila telah tetap bahwa robeknya khuf menghalangi dari bolehnya mengusap, baik kecil maupun besar, maka tidak ada perbedaan apakah robekan itu berada di bagian depan atau belakang. Dan sesungguhnya Imam al-Syafi‘i – raḍiya Allāh ‘anhu – menyebutkan robeknya bagian depan, karena itu yang paling umum terjadi pada khuf, bukan karena bagian depan itu khusus dalam menghalangi bolehnya mengusap. Hal ini jika robekan itu berada pada bagian luar khuf dan lapisannya.
فَأَمَّا إِنْ كَانَ فِي الْبِطَانَةِ دُونَ الظِّهَارَةِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ جَوَازِ الْمَسْحِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَبِسَ خُفًّا بِلَا بِطَانَةٍ جَازَ لَهُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ وَلَكِنْ لَوْ كَانَ الْخَرْقُ فِي ظِهَارَةِ الْخُفِّ دُونَ بِطَانَتِهِ، فَإِنْ كَانَتِ الْبِطَانَةُ جلوداً جاز مسحه عليه، وإن كانت خَرْقًا لَمْ يَجُزْ فَلَوْ لَبِسَ الْخُفَّ مُخَرَّقًا ثُمَّ لَبِسَ فَوْقَهُ خُفًّا صَحِيحًا جَازَ لَهُ الْمَسْحُ عَلَى الْأَعْلَى وَحْدَهُ، وَكَانَ الْأَسْفَلُ كَاللِّفَافَةِ وَلَوْ لَبِسَ خُفًّا صَحِيحًا ثُمَّ لَبِسَ فَوْقَهُ مُخَرَّقًا مَسْحَ عَلَى الْأَسْفَلِ وَحْدَهُ دُونَ الْأَعْلَى.
Maka apabila robeknya berada pada lapisan dalam saja tanpa bagian luar, maka tidak menghalangi bolehnya mengusap atasnya; karena seandainya seseorang memakai khuf tanpa lapisan dalam pun, tetap boleh baginya mengusap atasnya.
Namun jika robek itu berada pada bagian luar khuf tanpa lapisan dalamnya, maka apabila lapisan dalamnya terbuat dari kulit, maka boleh mengusap atasnya; tetapi jika lapisan dalamnya berupa robekan, maka tidak boleh.
Maka seandainya ia memakai khuf yang robek lalu memakainya lagi dengan khuf yang utuh di atasnya, maka boleh baginya mengusap pada bagian atas saja, sedangkan yang bawah seperti pembungkus.
Dan jika ia memakai khuf yang utuh, lalu memakainya lagi dengan khuf yang robek di atasnya, maka ia hanya mengusap bagian bawah saja, bukan yang atas.
(فَصْلٌ)
: وَلَوْ لَبِسَ خُفًّا بِشَرَجٍ فَإِنْ كَانَ الشَرَجُ فَوْقَ الْقَدَمِ جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، سَوَاءٌ كانت فوقه تُشَدُّ بِالتَّشْرِيجِ أَمْ لَا؟ وَإِنْ كَانَ الشَّرَجُ فِي الْقَدَمِ، فَإِنْ كَانَتْ فُتُوقُهُ إِذَا شَرَجَ لَمْ تُسَدَّ وَلَمْ يَتَغَطَّ الْقَدَمَانِ لَمْ يَجُزِ المسح عليه، وإن كانت فتوحه تُسَدُّ، وَيَتَغَطَّى الْقَدَمَانِ أَجَزَأَهُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، وَحَكَاهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ فِي الشَّرْحِ نَصًّا عَنِ الشافعي.
PASAL
Dan seandainya seseorang memakai khuf yang memiliki belahan (syaraj), maka jika belahan itu berada di atas kaki, boleh mengusap atasnya, baik belahan itu diikat dengan tali pengikat atau tidak.
Dan jika belahan itu berada pada bagian kaki, maka jika celah-celahnya ketika diikat tidak tertutup dan kedua kaki tidak tertutupi, maka tidak boleh mengusap atasnya. Namun jika celah-celahnya tertutup dan kedua kaki tertutupi, maka sah mengusap atasnya.
Hal ini dinukil oleh Abū Isḥāq al-Marwazī dalam al-Syarḥ sebagai nash dari Imam al-Syāfi‘i.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَمْسَحُ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْجَوْرَبَانِ مُجَلَّدِي الْقَدَمَيْنِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ حَتَى يَقُومَا مَقَامَ الْخُفَّيْنِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْجَوْرَبَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُجَلَّدَ الْقَدَمِ فَيَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، وَقَالَ أبو حنيفة لَا يَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا لَا يَنْطَلِقُ اسْمُ الْخُفِّ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزِ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، كَالنَّعْلِ.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَبِي قَيْسٍ الْأَوْدِيِّ عَنْ هُذَيلِ بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شعبة أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ وَلِأَنَّ مَا أَمْكَنَ الْمَشْيُ عَلَيْهِ إِذَا اسْتَتَرَ بِهِ مَحَلُّ الْفَرْضِ جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، كَالْخُفِّ، وَلِأَنَّ كُلَّ حُكْمٍ تَعَلَّقَ بِلِبَاسِ الْخُفِّ تَعَلَّقَ بِلِبَاسِ الْجَوْرَبِ المجلد كالفدية على الحرم فَأَمَّا النَّعْلُ فَلَا يَسْتُرُ الْقَدَمَ فَلَمْ يَجُزِ المسح عليها.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘i raḍiya Allāh ‘anhu berkata:
“Tidak boleh mengusap atas dua jawrab kecuali apabila kedua jawrab tersebut melapisi kaki sampai mata kaki, sehingga keduanya menempati kedudukan dua khuf.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa jawrab terbagi menjadi dua macam:
Pertama: yaitu jawrab yang dilapisi kulit pada bagian kaki, maka boleh mengusap atasnya.
Abū Ḥanīfah berkata: tidak boleh mengusap atasnya, dengan dalil bahwa sesuatu yang tidak dinamai khuf tidak boleh diusap, seperti na‘l (terompah/sandal).
Dalil kami: adalah riwayat Abū Qays al-Awdī dari Hudzayl bin Syuraḥbīl dari al-Mughīrah bin Syu‘bah bahwa Nabi SAW berwudhu dan mengusap atas dua jawrab dan dua na‘l.
Dan karena sesuatu yang memungkinkan dipakai berjalan dan menutupi bagian anggota wudhu yang wajib, maka boleh diusap atasnya, sebagaimana khuf.
Dan karena setiap hukum yang berkaitan dengan memakai khuf juga berlaku pada jawrab yang dilapisi kulit, seperti fidyah bagi yang memakainya di tanah haram.
Adapun na‘l, maka tidak menutupi kaki, sehingga tidak boleh mengusap atasnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْجَوْرَبُ غَيْرَ مُجَلَّدٍ الْقَدَمَ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْجَوْرَبُ غَيْرَ مُنَعَّلٍ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ.
وَقَالَ الثَّوْرِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، يَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، اسْتِدْلَالًا بِالْخَبَرِ أَنَّهُ مَسْحٌ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ، وَقِيَاسًا عَلَى الْمُجَلَّدَيْنِ.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ وَارَى قَدَمَيْهِ بِمَا لَا يُمْكِنُ مُتَابَعَةُ الْمَشْيِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَجُزِ الْمَسْحُ عَلَيْهِ كَاللَّفَائِفِ وَالْخِرَقِ، وَالْخَبَرُ مَحْمُولٌ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْمُجَلَّدَيْنِ وَالْمَعْنَى فِي الْمُجَلَّدَيْنِ أَنَّ مُتَابَعَةَ المشي عليهما ممكن.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُنَعَّلَ الْأَسْفَلِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَشِفُّ وَيَصِلُ بَلَلُ الْمَسْحِ عَلَيْهِ إِلَى الْقَدَمِ، فَلَا يَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَا يَشِفُّ وَيَمْنَعُ صِفَاقُهُ مِنْ وُصُولِ بَلَلِ الْمَسْحِ إِلَى قَدَمَيْهِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ الْمَسْحِ عَلَيْهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ وَهُوَ رِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ، وَالثَّانِي: يَجُوزُ، وَهِيَ رواية الربيع.
Jenis kedua: yaitu jawrab yang tidak dilapisi kulit pada bagian kaki, maka terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: jawrab yang tidak diberi alas (tidak muna‘‘al), maka tidak boleh mengusap atasnya.
Akan tetapi, ats-Tsaurī, Aḥmad, dan Isḥāq berpendapat boleh mengusap atasnya, dengan dalil khabar bahwa Nabi SAW mengusap atas dua jawrab, dan dengan qiyās kepada jawrab yang dilapisi kulit.
Dalil kami: bahwa ia menutupi kedua kaki dengan sesuatu yang tidak memungkinkan untuk terus berjalan dengannya, maka tidak boleh mengusap atasnya, sebagaimana lifāf (balutan) dan khirqah (sobekan kain).
Adapun khabar tersebut ditakwil atas yang telah kami sebutkan dari jawrab yang dilapisi kulit.
Makna diperbolehkannya mengusap pada jawrab yang dilapisi kulit adalah karena masih memungkinkan untuk berjalan dengannya.
Jenis kedua: yaitu jawrab yang bagian bawahnya diberi alas (muna‘‘al), maka ini terbagi lagi menjadi dua:
Pertama: yaitu terbuat dari bahan yang tipis (yashiffu) sehingga basah dari usapan dapat sampai ke kaki, maka tidak boleh mengusap atasnya.
Kedua: yaitu terbuat dari bahan yang tidak tembus (lā yashiffu), dan ketebalannya menghalangi sampainya basah dari usapan ke kedua kaki, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang bolehnya mengusap atasnya menjadi dua pendapat:
Pertama: tidak boleh – dan ini adalah riwayat dari al-Muzanī.
Kedua: boleh – dan ini adalah riwayat dari ar-Rabī‘.
(مسألة: شرائط المسح)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا لَبِسَ مِنْ خُفٍّ خَشَبٍ أَوْ مَا قَامَ مَقَامَهُ أَجْزَأَهُ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. وَجُمْلَتُهُ أَنَّ كُلَّ خُفٍّ اجْتَمَعَتْ فِيهِ ثَلَاثُ شَرَائِطَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهَا، وَرَابِعٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ، جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، مِنْ جُلُودٍ أَوْ لُبُودٍ أَوْ حَدِيدٍ أَوْ خَشَبٍ أَوْ جَوْرَبٍ.
(Masalah: Syarat-syarat mengusap)
Imam al-Syāfi‘i raḍiya Allāh ‘anhu berkata:
“Setiap khuf yang terbuat dari kayu atau apa pun yang menempati kedudukannya, maka mencukupi untuk mengusap atasnya.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah benar.
Kesimpulannya adalah: setiap khuf yang terpenuhi padanya tiga syarat yang disepakati, dan satu syarat yang diperselisihkan, maka boleh mengusap atasnya—baik terbuat dari kulit, atau kain tebal (lubūd), atau besi, atau kayu, atau jawrab.
أَحَدُ الشَّرَائِطِ الثَّلَاثَةِ أَنْ يَكُونَ سَاتِرًا لِجَمِيعِ الْقَدَمِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ حَتَّى لَا يَظْهَرَ شَيْءٌ لَا مِنْ أَعْلَى الْخُفِّ وَسَاقِهِ، وَلَا مِنْ خَرْقٍ فِي وَسَطِهِ أَوْ أَسْفَلِهِ، فَإِنْ ظَهَرَ شَيْءٌ مِنَ الْقَدَمِ مِنْ أَيِّ جِهَةِ ظَهَرَ، لَمْ يَجُزِ الْمَسْحُ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَصِلَ بَلَلُ الْمَسْحِ إِلَى الْقَدَمِ، فَإِنْ وَصَلَ إِمَّا لِخِفَّةِ نَسْجٍ أَوْ رِقَّةِ حَجْمٍ لَمْ يَجُزِ الْمَسْحُ عَلَيْهِ.
وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يُمْكِنَ مُتَابَعَةُ الْمَشْيِ عَلَيْهِ لِقُوَّتِهِ، فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ مُتَابَعَةُ الْمَشْيِ لِضِعْفِهِ، أَوْ ثِقَلِهِ لَمْ يجز المسح عليه.
والشرط الرابع: مختلف فِيهِ: أَنْ يَكْونَ مُبَاحَ اللُّبْسِ، فَلَا يَكُونُ مسروقاً، ولا مغصوباً لأنه لا يُتَرَخَّصُ فِي مَعْصِيَةٍ فَإِنْ كَانَ مَسْرُوقًا أَوْ مَغْصُوبًا فَفِي جَوَازِ مَسْحِهِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ، وَكَذَا لَوْ لَبِسَ خُفًّا مِنْ ذَهَبٍ، كَانَ حَرَامَ اللُّبْسِ كَالْمَغْصُوبِ، فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ أَنَّ الْمَسْحَ عَلَيْهِ بَاطِلٌ، لِأَنَّ الْمَعْصِيَةَ تَمْنَعُ مِنَ الرُّخْصَةِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَسْحَ عَلَيْهِ جَائِزٌ؛ لِأَنَّ الْعِبَادَةَ لَا يُؤَثِّرُ فِيهَا مُقَارَنَةُ الْغَصْبِ كَالصَّلَاةِ فِي الدار المغصوبة، والثوب المغصوب.
Salah satu dari tiga syarat yang disepakati adalah: khuf itu harus menutupi seluruh bagian kaki hingga mata kaki, sehingga tidak tampak sedikit pun—baik dari atas khuf dan betisnya, maupun dari sobekan di bagian tengah atau bawahnya. Maka jika tampak sesuatu dari kaki dari arah mana pun, tidak boleh mengusap atasnya.
Kedua: air basah dari usapan tidak boleh sampai ke kaki. Maka jika sampai—baik karena anyaman yang longgar atau bahan yang tipis—tidak boleh mengusap atasnya.
Syarat ketiga: memungkinkan berjalan terus dengannya karena kekuatannya. Maka jika tidak memungkinkan untuk terus berjalan karena lemahnya bahan atau terlalu berat, tidak boleh mengusap atasnya.
Syarat keempat: adalah syarat yang diperselisihkan, yaitu bahwa khuf itu harus boleh dipakai secara syar‘i. Maka tidak boleh terbuat dari barang curian atau rampasan, karena tidak boleh diberi keringanan dalam maksiat. Jika khuf itu dicuri atau dirampas, maka terdapat dua pendapat tentang bolehnya mengusap atasnya. Begitu juga jika seseorang memakai khuf dari emas, yang hukumnya haram dipakai seperti barang rampasan:
- Salah satu pendapat menyatakan bahwa mengusap atasnya tidak sah, karena maksiat menghalangi adanya rukhshah.
- Pendapat kedua menyatakan bahwa mengusap atasnya sah, karena ibadah tidak terpengaruh oleh disertainya perbuatan ghasab, sebagaimana shalat di rumah rampasan atau memakai pakaian rampasan.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَمْسَحُ عَلَى جُرْمُوقَيْنِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ يَمْسَحُ عَلَيْهِمَا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) قُلْتُ أَنَا وَلَا أَعْلَمُ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا وَقَوْلُهُ مَعَهُمْ أَوْلَى بِهِ مِنِ انْفِرَادِهِ عَنْهُمْ وَزَعَمَ إِنَّمَا أُرِيدُ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ الْمِرْفَقُ فَكَذَلِكَ الْجُرْمُوقَانِ مِرْفَقٌ وَهُوَ بِالْخُفِّ شَبِيهٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا الْجُرْمُوقُ فَهُوَ خُفٌّ يُلْبَسُ عَلَى خُفٍّ، فَإِنْ لَبِسَهُ دُونَ الْخُفِّ الَّذِي تَحْتَهُ، جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، فَإِنْ لَبِسَهُمَا، فَإِنْ كَانَا مَخِيطَيْنِ قد حرز أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، كَالْخُفِّ الْمُبَطَّنِ، وَإِنْ لَمْ يَكُونَا مَخِيطَيْنِ جَازَ أَنْ يَمْسَحَ عَلَى الْأَسْفَلِ مِنْهُمَا، وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَمْسَحَ عَلَى الْأَعْلَى أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘i raḍiya Allāh ‘anhu berkata:
“Tidak boleh mengusap atas dua jurmūq.”
Namun dalam qaul qadīm beliau berkata: “Boleh mengusap atas keduanya.”
Al-Muzanī berkata: Aku berkata—dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hal ini—dan perkataannya yang sesuai dengan mereka lebih utama daripada menyelisihi mereka.
Dan beliau (al-Syāfi‘i) menyangka bahwa yang dimaksud dengan mengusap atas khufayn adalah semacam pelindung, maka demikian pula jurmūqān adalah pelindung, dan ia serupa dengan khuf.
Al-Māwardī berkata:
Adapun jurmūq adalah khuf yang dipakai di atas khuf. Maka jika ia memakainya tanpa khuf yang berada di bawahnya, maka boleh mengusap atasnya.
Jika ia memakai keduanya (jurmūq dan khuf), maka jika keduanya dijahit hingga salah satunya melekat kuat dengan yang lainnya, maka boleh mengusap atasnya, seperti khuf yang dilapisi dalamnya.
Namun jika keduanya tidak dijahit menjadi satu, maka boleh mengusap atas yang bawah dari keduanya.
Adapun apakah boleh mengusap atas yang atas, maka terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْإِمْلَاءِ، وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة وَاخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ أَنَّ الْمَسْحَ عَلَيْهِ جَائِزٌ، لعموم قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَمْسَحُ الْمُقِيمُ يَوْمًا وَلَيْلَةً ” وَلِأَنَّ مَا جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ – وَإِنْ لَمْ يَكُنْ تَحْتَهُ مَلْبُوسٌ – جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ تَحْتَهُ مَلْبُوسٌ كَالْخُفِّ إِذَا لُبِسَ عَلَى جَوْرَبٍ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ الْمَسْحُ عَلَى الْأَعْلَى إِذَا كَانَ مَخِيطًا بِالْأَسْفَلِ جَازَ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ مُنْفَصِلًا عَنِ الْأَسْفَلِ كَالْمَلْبُوسِ عَلَى خُفٍّ مُخَرَّقٍ، وَلِأَنَّ الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ مُرْفَقٌ لِلُحُوقِ الْمَشَقَّةِ فِي نَزْعِهِ، فَكَذَا الْجُرْمُوقُ؛ لِأَنَّ الْمَشَقَّةَ لَاحِقَةٌ فِي نَزْعِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّ الْمَسْحَ عَلَى الْجُرْمُوقِ الْأَعْلَى لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ مَا جُعِلَ بَدَلًا فِي الطَّهَارَةِ لَمْ يَجْعَلْهُ لَهُ بَدَلًا آخَرَ كَالتَّيَمُّمِ، وَلِأَنَّهُ مِمَّا لَا يُعْلَمُ لُبْسُهُ فَلَمْ يَجُزِ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، كَالْقُفَّازَيْنِ، وَلِأَنَّهُ سَاتِرٌ لِمَمْسُوحٍ فَلَمْ يَقُمْ فِي إِسْقَاطِ الْفَرْضِ مَقَامَ الْمَمْسُوحِ كَالْعِمَامَةِ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يُؤَثِّرْ نَزْعُهُ فِي نَقْضِ طَهَارَتِهِ، لَمْ يُؤَثِّرْ لُبْسُهُ فِي جَوَازِ مَسْحِهِ كَاللَّفَائِفِ فَوْقَ الْخُفِّ.
Pertama: Pendapat ini disebutkan dalam qaul qadīm dan dalam kitab al-Imlā’, dan merupakan mazhab Abū Ḥanīfah serta pilihan al-Muzanī, bahwa mengusap atas jurmūq (bagian atas) itu boleh.
Karena keumuman sabda Nabi SAW: “Orang yang mukim boleh mengusap selama sehari semalam”,
Dan karena sesuatu yang boleh diusap meskipun tidak ada alas di bawahnya, maka boleh juga diusap meskipun ada alas di bawahnya, seperti khuf yang dipakai di atas jawrab.
Dan karena jika boleh mengusap atas bagian atas apabila dijahit dengan yang bawah, maka boleh pula mengusap atasnya meskipun terpisah dari yang bawah, seperti yang dipakai di atas khuf yang robek.
Dan karena mengusap atas dua khuf itu merupakan keringanan karena adanya kesulitan dalam melepaskannya, maka demikian pula jurmūq, sebab kesulitan juga ada dalam melepaskannya.
Pendapat kedua: Disebutkan dalam qaul jadīd bahwa mengusap atas jurmūq bagian atas tidak boleh,
karena sesuatu yang dijadikan pengganti dalam ṭahārah, tidak dibuatkan lagi pengganti lain baginya, seperti tayammum.
Dan karena ia merupakan sesuatu yang tidak diketahui sebagai pakaian tetap, maka tidak boleh mengusap atasnya, seperti dua sarung tangan (quffāzayn).
Dan karena ia menutupi sesuatu yang diusap, maka tidak menempati posisi menggugurkan kewajiban sebagaimana ‘imāmah (sorban).
Dan karena sesuatu yang tidak membatalkan ṭahārah bila dilepas, maka pemakaiannya juga tidak menjadikan sahnya mengusap atasnya, sebagaimana balutan (lifāf) di atas khuf.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قُلْنَا: بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ الْمَسْحَ عَلَيْهِ لَا يَجُوزُ فَإِنْ أَرَادَ الْمَسْحَ انْتَزَعَ الْأَعْلَى، وَمَسَحَ عَلَى الْأَسْفَلِ، سَوَاءٌ كَانَ الْأَسْفَلُ مِنْهُمَا هُوَ الْخُفُّ، أَوِ الْجُرْمُوقُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْأَسْفَلُ قَدْ تَخَرَّقَ أَوِ انْفَتَقَ فَيَجُوزُ أَنْ يَمْسَحَ عَلَى الْأَعْلَى فِي الْقَوْلَيْنِ مَعًا فَإِنْ كَانَ الْأَعْلَى مُخَرَّقًا فَلَا يَمْسَحُ عَلَيْهِ، وَيَمْسَحُ عَلَى الْأَسْفَلِ فِي الْقَوْلَيْنِ مَعًا، فَإِنْ أَرَادَ الْمَسْحَ عَلَى الْأَسْفَلِ نَزَعَ الْأَعْلَى أَوَّلًا ثُمَّ مَسَحَ عَلَى الْأَسْفَلِ، فَإِنْ مَسَحَعَلَى الْأَسْفَلِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْزِعَ الْأَعْلَى، فقد كان أبو حامد الاسفرايني يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِهِ، وَيُفَرِّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَسْحِ الرَّأْسِ مِنْ تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَإِنَّ مَسْحَ الرَّأْسِ أَصْلٌ بِذَاتِهِ، فَكَيْفَ مَا وَصَلَ إِلَيْهِ مَسْحُهُ أَجْزَأَهُ، وَمَسْحُ الْخُفِّ بَدَلٌ فَاخْتَصَّ بِأَكْمَلِ صِفَاتِ الْمَسْحِ، وَالصَّحِيحُ الَّذِي يَذْهَبُ إِلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا جَوَازُ هَذَا الْمَسْحِ كَجَوَازِ مَسْحِ الرَّأْسِ مِنْ تَحْتِ الْعِمَامَةِ، وَلَيْسَ لِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْفَرْقِ فِي مَعْنَى الْمَسْحِ تَأْثِيرٌ.
PASAL
Apabila telah dipastikan dua pendapat yang telah kami sebutkan, maka jika kita memilih pendapat dalam qaul jadīd bahwa mengusap atas jurmūq bagian atas tidak boleh, maka jika seseorang ingin mengusap, ia harus melepaskan bagian atas dan mengusap bagian bawah, baik yang bawah itu adalah khuf atau jurmūq.
Kecuali jika yang bawah telah robek atau terbuka, maka boleh mengusap bagian atas menurut kedua pendapat. Namun jika bagian atas robek, maka tidak boleh mengusap atasnya, dan cukup mengusap bagian bawah menurut kedua pendapat.
Maka jika seseorang ingin mengusap bagian bawah, ia harus melepaskan bagian atas terlebih dahulu, lalu mengusap bagian bawah. Jika ia mengusap bagian bawah tanpa melepaskan bagian atas, Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī melarang hal itu dan membedakan antara mengusap kepala dari bawah ‘imāmah (sorban) dan mengusap khuf. Karena mengusap kepala adalah pokok itu sendiri, maka bagaimana pun cara sampainya usapan itu ke kepala, maka hal itu sah.
Sedangkan mengusap khuf adalah pengganti, maka harus dilakukan dengan sifat penyempurna dari bentuk usapan. Akan tetapi pendapat yang benar dan dipegang oleh mayoritas sahabat kami adalah bolehnya mengusap seperti bolehnya mengusap kepala dari bawah ‘imāmah. Perbedaan yang disebutkan dalam makna usapan itu tidak berdampak pada hukum keabsahannya.
(فَصْلٌ)
: وَإِنْ قُلْنَا يَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَى الْأَعْلَى فَلَيْسَ لَهُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَلْبَسَ الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلَ عَلَى طَهَارَةٍ، فَإِنْ لَبِسَ الْأَسْفَلَ عَلَى طَهَارَةٍ، وَالْأَعْلَى عَلَى حَدَثٍ لَمْ يَجُزِ الْمَسْحُ عَلَيْهِ، حَتَّى يَلْبَسَهُمَا عَلَى طَهَارَةٍ، فَيَمْسَحُ حِينَئِذٍ عَلَى الْأَعْلَى، فَلَوْ مَسَحَ عَلَى الْأَعْلَى عَلَى مَا وَصَفْنَاهُ، ثُمَّ نَزَعَهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِحَّةِ طَهَارَتِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ طَهَارَتَهُ صَحِيحَةٌ كَمَنْ مَسَحَ عَلَى خُفٍّ مُبَطَّنٍ، ثُمَّ كَشَطَ أَعْلَاهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ طَهَارَتَهُ قَدْ فَسَدَتْ بِنَزْعِهِ، لِاخْتِصَاصِهِ بِحُكْمِهِ، وَصَارَ كَمَنْ نَزَعَ خُفَّهُ مِنْ رِجْلِهِ فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَسْتَأْنِفُ الْوُضُوءَ وَالْمَسْحَ عَلَى الْخُفِّ الْأَسْفَلِ.
وَالثَّانِي: يَقْتَصِرُ عَلَى مَسْحِ الْخُفِّ الْأَسْفَلِ وَحْدَهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Jika kita berpendapat bahwa boleh mengusap atas khuf bagian atas (al-a‘lā), maka tidak boleh mengusap atasnya kecuali jika ia mengenakan bagian atas dan bagian bawah dalam keadaan suci (berwudhu).
Jika ia memakai bagian bawah dalam keadaan suci, lalu memakai bagian atas dalam keadaan berhadats, maka tidak boleh mengusap atasnya, hingga ia memakai keduanya dalam keadaan suci. Maka saat itu ia boleh mengusap atas bagian atas.
Jika ia telah mengusap bagian atas sebagaimana yang telah dijelaskan, kemudian ia melepas bagian atas tersebut, maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai keabsahan ṭahārah-nya menjadi dua pendapat:
Pertama: ṭahārah-nya tetap sah, seperti orang yang mengusap atas khuf yang dilapisi, lalu melepas lapisan atasnya.
Kedua: ṭahārah-nya batal dengan melepas bagian atas, karena bagian atas itulah yang khusus mendapatkan hukum usapan, sehingga keadaannya seperti orang yang melepas khuf-nya dari kakinya.
Maka ada dua pendapat:
Pertama: ia wajib mengulangi wudhu dan mengusap atas khuf bagian bawah.
Kedua: ia cukup mengusap atas khuf bagian bawah saja.
Wallāhu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ نَزَعَ خُفَّيْهِ بَعْدَ مَسْحِهِمَا غَسَلَ قَدَمَيْهِ وَفِي الْقَدِيمِ وَكِتَابُ ابْنِ أَبِي لَيْلَى يَتَوَضَّأُ (قال المزني) قلت أنا وَالَّذِي قَبْلَ هَذَا أَوْلَى لِأَنَّ غَسْلَ الْأَعْضَاءِ لَا يَنْتَقِضُ فِي السُّنَّةِ إِلَّا بِالْحَدَثِ وَإِنَّمَا انْتَقَضَ طُهْرُ الْقَدَمَيْنِ لِأَنَّ الْمَسْحَ عَلَيْهِمَا كَانَ لِعَدَمِ ظُهُورِهِمَا كَمَسْحِ الْتَيَمُّمِ لِعَدَمِ الْمَاءِ فَلَمَّا كَانَ وُجُودُ الْمَعْدُومِ مِنَ الْمَاءِ بَعْدَ الْمَسْحِ يُبْطِلُ الْمَسْحَ وَيُوجِبُ الْغَسْلَ كَانَ كَذَلِكَ ظُهُورُ الْقَدَمَيْنِ بَعْدَ الْمَسْحِ يُبْطِلُ الْمَسْحَ وَيُوجِبُ الْغَسْلَ وَسَائِرُ الْأَعْضَاءِ سِوَى الْقَدَمَيْنِ مغسولٌ وَلَا غَسْلَ عليهما ثانيةً إلا بحدثٍ ثانٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ نَزَعَ خُفَّهُ فِي مُدَّةِ الْمَسْحِ أَوْ بَعْدَ تقضيها لم يحل حَالُهُ عِنْدَ نَزْعِهِ أَنْ يَكُونَ مُحْدِثًا أَوْ مُتَوَضِّئًا، فَإِنْ كَانَ مُحَدِثًا تَوَضَّأَ، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ مُتَوَضِّئًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘i raḍiya Allāh ‘anhu berkata:
“Jika seseorang melepas kedua khuf-nya setelah mengusap keduanya, maka ia membasuh kedua kakinya. Dalam qaul qadīm dan dalam kitab Ibnu Abī Lailā disebutkan bahwa ia harus berwudhu.”
Al-Muzanī berkata: Aku (lebih) memilih pendapat yang pertama, karena membasuh anggota wudhu tidak batal menurut sunnah kecuali dengan hadats.
Sesungguhnya ṭahārah pada kedua kaki itu batal karena mengusap atas keduanya dilakukan karena tidak tampaknya kaki, sebagaimana tayammum dilakukan karena tidak adanya air.
Maka sebagaimana keberadaan air setelah tayammum membatalkan tayammum dan mewajibkan basuhan, maka begitu pula tampaknya kedua kaki setelah mengusap membatalkan hukum usap dan mewajibkan basuhan.
Sementara seluruh anggota lainnya selain kedua kaki telah dibasuh, maka tidak wajib dibasuh kembali kecuali karena hadats yang baru.
Al-Māwardī berkata:
Kesimpulannya, barangsiapa yang melepas khuf-nya dalam masa boleh mengusap atau setelah masa itu selesai, maka keadaannya saat ia melepasnya ada dua kemungkinan: ia dalam keadaan berhadats atau dalam keadaan suci.
Jika ia dalam keadaan berhadats, maka ia wajib berwudhu dan membasuh kedua kakinya.
Jika ia dalam keadaan suci, maka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ عَلَيْهِ اسْتِئْنَافُ الْوُضُوءِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ عُمَرَ، وَمِنَ التَّابِعِينَ الزُّهْرِيُّ وَالشَّعْبِيُّ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَوَجْهُهُ أَنَّ مَا مَنَعَ مِنَ اسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ بِحُكْمِ الْحَدَثِ أَوْجَبَ اسْتِئْنَافَ الطَّهَارَةِ كَالْحَدَثِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ غَسْلُ رِجْلَيْهِ لَا غَيْرُ، وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ الْأَسْوَدُ وَعَلْقَمَةُ وَعَطَاءٌ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الليث وأبو حنيفة، ووجهه أنه بُدِّلَ زَالَ حُكْمِهِ بِظُهُورِ مُبْدَلِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لا يلزمه إِلَّا غَسْلُ مَا كَانَ بَدَلًا عَنْهُ، كَالتَّيَمُّمِ لَمَّا كَانَ بَدَلًا مِنْ غَسْلِ الْأَعْضَاءِ الْأَرْبَعَةِ كَانَ انْتِقَاضُهُ يُوجِبُ غَسْلَ الْأَعْضَاءِ الْأَرْبَعَةِ، وَمَسْحِ الْخُفَّيْنِ لَمَّا كَانَ بَدَلًا مِنْ غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ كَانَ انْتِقَاضُهُ يُوجِبُ غَسْلَ الرِّجْلَيْنِ.
Pertama: Yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa wajib baginya mengulang seluruh wudhu. Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat Ibn ‘Umar, dari kalangan tābi‘īn: az-Zuhrī dan asy-Sya‘bī, dan dari kalangan fuqahā’: al-Ḥasan al-Baṣrī.
Alasannya: bahwa setiap hal yang menghalangi dari bolehnya melaksanakan shalat karena hukum hadats, maka mewajibkan untuk mengulang ṭahārah, sebagaimana hadats itu sendiri.
Pendapat kedua: Wajib baginya hanya membasuh kedua kaki, tidak yang lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh para tābi‘īn seperti al-Aswad, ‘Alqamah, dan ‘Aṭā’, serta dari kalangan fuqahā’: al-Layts dan Abū Ḥanīfah.
Alasannya: karena sesuatu yang menjadi pengganti, apabila hilang hukumnya karena munculnya yang digantikan, maka yang wajib hanyalah mengganti bagian yang dulu diwakilinya.
Seperti tayammum, yang menjadi pengganti dari membasuh empat anggota wudhu, maka jika tayammum batal, wajib membasuh keempat anggota itu.
Demikian pula mengusap khuf, yang merupakan pengganti dari membasuh kedua kaki; maka jika hukum usap batal, cukup dengan membasuh kedua kaki.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا يُوجِبُهُ الْقَوْلَانِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْأَصْلِ الَّذِي بُنِيَ عَلَيْهِ. فَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورُ الْبَغْدَادِيِّينَ: هُمَا مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ: فِي تَفْرِيقِ الْوُضُوءِ، وَقَالَ أَصْحَابُنَا الْبَصْرِيُّونَ: بَلْ هُمَا مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي طَهَارَةِ بَعْضِ الْأَعْضَاءِ إِذَا انْتَقَضَتْ هَلْ يَنْتَقِضُ بِهَا طَهَارَةُ جَمِيعِ الْأَعْضَاءِ أَمْ لَا؟ لِأَنَّ طُهْرَ الْقَدَمَيْنِ انْتَقَضَ بِظُهُورِهِمَا.
PASAL
Apabila telah ditetapkan konsekuensi dari kedua pendapat tersebut, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang asal kaidah yang menjadi dasar bangunan dari perbedaan itu.
Abū Isḥāq al-Marwazī, Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah, dan mayoritas ulama Baghdādī menyatakan: perbedaan ini dibangun atas perbedaan dua pendapat Imam al-Syāfi‘ī dalam masalah memisah-misah wudhu.
Sedangkan sahabat-sahabat kami dari kalangan Baṣrah menyatakan: bahkan keduanya dibangun atas perbedaan pendapat beliau dalam masalah ṭahārah sebagian anggota wudhu, jika salah satunya batal, apakah itu membatalkan ṭahārah seluruh anggota atau tidak?
Karena ṭahārah kedua kaki batal disebabkan oleh tampaknya kedua kaki tersebut.
(فَصْلٌ)
: إِذَا أَخْرَجَ رِجْلَهُ مِنْ قَدَمِ الْخُفِّ إِلَى سَاقِهِ، فَقَدْ رَوَى الرَّبِيعُ عَنِ الشَّافِعِيِّ صِحَّةَ طَهَارَتِهِ، وَبِهِ قَالَ أبو حامد الاسفرايني، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ قَدَمَيْهِ لَمْ تَظْهَرْ فَلَمْ يَنْتَقِضْ طُهْرُهُمَا، كَمَا لَوْ كَانَ مُسْتَقَرُّهُ فِي مَوْضِعِ الْقَدَمِ مِنَ الْخُفِّ، وَقَالَ أَصْحَابُنَا الْبَصْرِيُّونَ: قَدِ انْتَقَضَ طُهْرُ قَدَمِهِ؛ لِزَوَالِهَا عَنْ مَحَلِّ الْمَسْحِ كَمَا لَوْ ظَهَرَتْ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ حَدَثُهُ بَعْدَ إِدْخَالِ قَدَمِهِ فِي سَاقِ الْخُفِّ، وَقَبْلَ اسْتِقْرَارِهِ فِي مَحَلِّ الْقَدَمِ كَمَنْ أَحْدَثَ وَهُوَ طَاهِرُ الرِّجْلَيْنِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِخْرَاجُهُمَا إِلَى ساق الخف كظهور الرجلين.
PASAL
Jika seseorang mengeluarkan kakinya dari bagian telapak khuf ke bagian betis khuf, maka ar-Rabī‘ meriwayatkan dari Imam al-Syāfi‘i bahwa ṭahārah-nya tetap sah. Pendapat ini juga dipegang oleh Abū Ḥāmid al-Isfarāyinī, dengan dalil bahwa kedua kakinya belum tampak, maka ṭahārah-nya belum batal, sebagaimana jika kedudukannya masih tetap berada di tempat telapak kaki dalam khuf.
Namun sahabat-sahabat kami dari kalangan Baṣrah berpendapat: bahwa ṭahārah kakinya telah batal, karena telah berpindah dari tempat yang diperbolehkan untuk diusap, sebagaimana jika kakinya tampak.
Dan karena jika seseorang berhadats setelah memasukkan kakinya ke dalam bagian betis khuf dan sebelum menempatkannya secara sempurna di tempat telapak kaki, maka keadaannya seperti orang yang berhadats dalam keadaan suci kedua kakinya, sehingga wajib hukumnya menjadikan mengeluarkan kaki ke bagian betis khuf seperti tampaknya kedua kaki.
(فصل)
: إذا لبس المتيمم ثُمَّ وَجَدَ الْمَاءَ لَمْ يَجُزْ لَهُ الْمَسْحُ عَلَيْهِ لِبُطْلَانِ تَيَمُّمِهِ بِوُجُودِ الْمَاءِ، فَصَارَ كَمَنْ لَبِسَ خُفًّا عَلَى حَدَثٍ.
PASAL
Apabila seseorang yang bertayammum lalu memakai khuf, kemudian ia menemukan air, maka tidak boleh baginya mengusap atas khuf tersebut karena tayammumnya batal dengan adanya air. Maka keadaannya seperti orang yang memakai khuf dalam keadaan berhadats.
(فَصْلٌ)
: إِذَا لَبِسَتِ الْمُسْتَحَاضَةُ بَعْدَ وُضُوئِهَا خُفًّا ثُمَّ أَحْدَثَتْ قَبْلَ أَنْ صَلَّتْ بِوُضُوئِهَا شَيْئًا جَازَ، إِذَا تَوَضَّأَتْ أَنْ تَمْسَحَ عَلَى خُفِّهَا لِفَرْضٍ وَاحِدٍ وَمَا شَاءَتْ مِنَ النَّوَافِلِ، وَلَوْ كَانَتْ قَدْ صَلَّتْ قُبَلَ حَدَثِهَا فَرْضًا وَاحِدًا لَمْ يَجُزْ إِذَا أَحْدَثَتْ أَنْ تَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ لِصَلَاةِ الْفَرْضِ، وَجَازَ أَنْ تَمْسَحَ لِصَلَاةِ التَّطَوُّعِ، وَجَمَعَ أبو حنيفة بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ وَأَجَازَ الْمَسْحَ فِيهِمَا عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ وُضُوءَ الْمُسْتَحَاضَةِ يَرْفَعُ حَدَثَهَا لِفَرْضٍ وَاحِدٍ، وَلِسَائِرِ التَّطَوُّعِ، فَإِذَا أَحْدَثَتْ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَرْضِ صَارَتْ كَلَابِسِ خُفٍّ عَلَى طَهَارَةٍ فَجَازَ لَهَا الْمَسْحُ وَإِذَا أَحْدَثَتْ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَرْضِ كَانَتْ كَلَابِسِ خُفٍّ عَلَى حَدَثٍ فَلَمْ يَجُزْ لَهَا الْمَسْحُ.
PASAL
Apabila perempuan yang mengalami istiḥāḍah setelah berwudhu memakai khuf, lalu ia berhadats sebelum shalat dengan wudhunya itu, maka boleh baginya, ketika berwudhu kembali, untuk mengusap atas khuf-nya untuk satu shalat fardhu dan apa saja dari shalat sunnah.
Namun jika ia telah melaksanakan satu shalat fardhu sebelum hadatsnya, maka tidak boleh baginya, setelah berhadats, mengusap atas kedua khuf-nya untuk shalat fardhu, tetapi boleh mengusap untuk shalat sunnah.
Abū Ḥanīfah menyatukan dua keadaan tersebut dan membolehkan mengusap atas khuf dalam keduanya.
Adapun perbedaan antara dua keadaan itu adalah: wudhu perempuan mustahāḍah hanya mengangkat hadatsnya untuk satu shalat fardhu dan seluruh shalat sunnah.
Maka jika ia berhadats sebelum melaksanakan shalat fardhu, maka ia seperti orang yang memakai khuf dalam keadaan suci, sehingga boleh baginya mengusap.
Namun jika ia berhadats setelah shalat fardhu, maka ia seperti orang yang memakai khuf dalam keadaan hadats, maka tidak boleh baginya mengusap.
(فَصْلٌ)
: إِذَا ارْتَفَعَ دَمُ الْمُسْتَحَاضَةِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَرْضِ لَمْ يَجُزْ لَهَا الْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ؛ لِأَنَّ انْقِطَاعَ دَمِهَا يَرُدُّهَا إِلَى الْحَدَثِ الْأَوَّلِ فَصَارَتْ كَلَابِسِ خُفٍّ عَلَى حَدَثٍ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Apabila darah istiḥāḍah berhenti sebelum ia melaksanakan shalat fardhu, maka tidak boleh baginya mengusap atas kedua khuf, karena berhentinya darah mengembalikannya pada keadaan hadats yang pertama. Maka ia seperti orang yang memakai khuf dalam keadaan berhadats.
Wallāhu a‘lam.
قال الشافعي: ” أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي يَحْيَى عَنْ ثورٍ بْنِ يزيدٍ عن رجاء بن حيوة عن كاتب المغيرة عن المغيرة بن شعبة أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مسح أعلى الخف وأسفله واحتج بأثر ابن عمر أنه كان يمسح أَعْلَى الْخُفِّ وَأَسْفَلَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
وَقَالَ أبو حنيفة: السُّنَّةُ أَنْ يَمْسَحَ أَعْلَاهُ دُونَ أَسْفَلِهِ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَمْسَحُ أَعْلَى خُفَّيْهِ؛ قَالَ: وَلِأَنَّهُ مَوْضِعٌ لَا يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى مَسْحِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَسْحُهُ غَيْرَ مَسْنُونٍ كَالسَّاقِ.
وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ الْمُغِيرَةِ أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَمْسَحُ أَعْلَى الْخُفِّ وَأَسْفَلَهُ، وَلِأَنَّهُ مَوْضِعٌ يَلْزَمُ سَتْرُهُ بِالْخُفِّ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَسْحُهُ مَسْنُونًا عَلَى الْقَدَمِ، وَلِأَنَّهُ مَحَلٌّ مَمْسُوحٌ، فَكَانَ مِنَ السُّنَّةِ اسْتِيعَابُ مَسْحِهِ كَالرَّأْسِ فَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيٍّ فَلَا دَلَالَةَ فِيهِ لِأَنَّهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَعْلَى الْخُفِّ أَوْلَى مِنْ أَسْفَلِهِ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَأَمَّا الْخِلَافُ هَلْ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَضُمَّ مَسْحَ أَعْلَاهُ إِلَى مَسْحِ أَسْفَلِهِ أَمْ لَا؟ وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى السَّاقِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ إِنْ سَلِمَ الْوَصْفُ لَهُ أَنَّ السَّاقَ لَا يَلْزَمُ سَتْرُهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
(Bab Tata Cara Mengusap Khuf)
Imam al-Syāfi‘i berkata:
“Telah mengabarkan kepada kami Ibn Abī Yaḥyā dari Ṯaur bin Yazīd dari Rajā’ bin Ḥaywah dari penulis al-Mughīrah dari al-Mughīrah bin Syu‘bah bahwa Nabi SAW mengusap bagian atas khuf dan bagian bawahnya. Dan beliau berdalil dengan atsar dari Ibn ‘Umar bahwa ia mengusap bagian atas dan bawah khuf.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
Adapun Abū Ḥanīfah berkata: Sunnahnya adalah hanya mengusap bagian atasnya saja, tidak bagian bawah, dengan berdalil pada riwayat al-A‘masy dari Abū Isḥāq dari ‘Abd Khayr dari ‘Alī yang berkata:
“Seandainya agama ini berdasarkan logika, tentu bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku telah melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas kedua khuf-nya.”
Ia juga berkata: Dan karena bagian bawah adalah tempat yang tidak boleh hanya diusap sendirian, maka mengusapnya tidak disunnahkan, sebagaimana betis.
Dalil kami adalah hadis al-Mughīrah bahwa Nabi SAW mengusap bagian atas dan bawah khuf.
Dan karena bagian itu wajib tertutup dengan khuf, maka mengusapnya termasuk sunnah atas kaki.
Dan karena ia adalah tempat yang diusap, maka termasuk sunnah untuk menyempurnakan usapan atasnya sebagaimana kepala.
Adapun hadis ‘Alī, tidak menunjukkan larangan, karena maksudnya hanya menunjukkan bahwa bagian atas khuf lebih utama daripada bagian bawah—dan ini disepakati.
Adapun yang diperselisihkan adalah: apakah sunnah menggabungkan antara mengusap bagian atas dan bawah atau tidak?
Adapun qiyās atas betis, maka jika sifatnya benar, maka betis tidak wajib ditutupi, sedangkan kaki wajib ditutupi dengan khuf.
Wallāhu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَأُحِبُّ أَنْ يَغْمِسَ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ ثُمَّ يَضَعُ كَفَّهُ الْيُسْرَى تَحْتَ عَقِبِ الْخُفِّ وَكَفِّهِ الْيُمْنَى عَلَى أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ ثُمَّ يُمِرُّ الْيُمْنَى إِلَى سَاقِهِ وَالْيُسْرَى إِلَى أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا خَصَّ الْيُمْنَى بِالْأَعْلَى وَالْيُسْرَى بِالْأَسْفَلِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَائِشَةَ رَوَتْ، وَقَالَتْ كَانَتْ يُمْنَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمَا عَلَا، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ يُسْرَاهُ لِمَا سَفُلَ.
وَالثَّانِي: أَنَّ ابْنَ عُمَرَ هَكَذَا كَانَ يَمْسَحُ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ مِنَ السُّنَّةِ مَعَ مَسْحِ الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلِ أَنْ يَمْسَحَ حَوْلَ الْعَقِبِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ مَا رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا أَنَّ مَسْحَهُ لَيْسَ بِمَسْنُونٍ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ لِحَدِيثِ الْمُغِيرَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي مُخْتَصَرِ الطَّهَارَةِ الصُّغْرَى أَنَّ مَسْحَهُ مَسْنُونٌ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، لِأَنَّهُ مِنْ بَقَايَا مَحَلِّ الْفَرْضِ، فَلَوْ مَسَحَ الْأَعْلَى بِالْيُسْرَى وَالْأَسْفَلَ بِالْيُمْنَى لَكَانَ مُخَالِفًا لِلْأَدَبِ فِي الْفِعْلِ وَمُؤَدِّيًا لسنة المسح.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘i raḍiya Allāh ‘anhu berkata:
“Aku menyukai agar seseorang mencelupkan kedua tangannya ke dalam air, lalu meletakkan telapak tangan kirinya di bawah tumit khuf dan telapak tangan kanannya di atas ujung jari-jari kaki, lalu menggerakkan tangan kanan ke arah betis dan tangan kiri ke arah ujung jari-jari.”
Al-Māwardī berkata: Sesungguhnya beliau mengkhususkan tangan kanan untuk bagian atas dan tangan kiri untuk bagian bawah karena dua hal:
Pertama: ‘Āisyah meriwayatkan bahwa beliau berkata, “Tangan kanan Rasulullah SAW untuk yang bagian atas,” maka ini menunjukkan bahwa tangan kirinya untuk yang bagian bawah.
Kedua: Bahwa Ibn ‘Umar mengusap dengan cara seperti itu.
Para sahabat kami berbeda pendapat, apakah termasuk sunnah saat mengusap bagian atas dan bawah untuk mengusap sekitar tumit, terdapat dua pendapat:
Pertama: dan ini adalah zahir dari riwayat al-Muzanī di sini, bahwa mengusapnya tidak disunnahkan. Ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, berdasarkan hadis al-Mughīrah.
Pendapat kedua: dan ini telah dinyatakan oleh al-Syāfi‘i dalam Mukhtaṣar aṭ-Ṭahārah aṣ-Ṣughrā, bahwa mengusapnya adalah sunnah. Ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, karena itu termasuk bagian dari sisa tempat yang wajib (maḥall al-farḍ).
Maka seandainya seseorang mengusap bagian atas dengan tangan kiri dan bagian bawah dengan tangan kanan, maka ia telah menyelisihi adab dalam pelaksanaan, namun tetap dianggap telah menjalankan sunnah mengusap.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ مَسَحَ عَلَى بَاطِنِ الْخُفِّ وَتَرَكَ الظَّاهِرَ أَعَادَ وَإِنْ مَسَحَ عَلَى الظَّاهِرِ وَتَرَكَ الْبَاطِنَ أَجْزَأَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِلْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ أَرْبَعَةَ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: حَالُ كَمَالٍ وَهُوَ أَنْ يَمْسَحَ أَعْلَى الْخُفِّ وَأَسْفَلَهُ عَلَى مَا مَضَى.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: حَالُ إِجْزَاءٍ، وَهُوَ أَنْ يَمْسَحَ أَعْلَى الْخُفِّ دُونَ أَسْفَلِهِ.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: حَالٌ لَا كَمَالَ فِيهَا وَلَا إِجْزَاءَ وَهُوَ أَنْ يُمْسَحَ مَا فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ مِنْ سَاقِ الْخُفِّ.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: مُخْتَلَفٌ فِيهَا، وَهُوَ أَنْ يَمْسَحَ أَسْفَلَ الْخُفِّ دُونَ أَعْلَاهُ فَالَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ، وَطَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا يَزْعُمُونَ أَنَّهُ هُوَ الْمَذْهَبُ، وَأَنَّ مَسْحَهُ لَا يُجْزِئُ وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ يَذْهَبُ إِلَى جَوَازِهِ، وَيَزْعُمُ أَنَّهُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَنَّ الْمُزَنِيَّ لَمْ يَحْكِهِ نَصًّا، وَإِنَّمَا أَخَذَهُ مِنْ دَلِيلِ كَلَامِهِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: وَلَوْ مَسَحَ عَلَى الظَّاهِرِ، وَتَرَكَ الْبَاطِنَ، أَجْزَأَهُ، فَظَنَّ بِدَلِيلِ كَلَامِهِ أَنَّ مَسْحَ بَاطِنِهِ دُونَ ظَاهِرِهِ لَا يُجْزِئُ فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يُخْرِجُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘i raḍiya Allāh ‘anhu berkata:
“Jika seseorang mengusap bagian dalam khuf dan meninggalkan bagian luarnya, maka ia harus mengulang. Tetapi jika ia mengusap bagian luar dan meninggalkan bagian dalam, maka itu mencukupi.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa mengusap atas dua khuf memiliki empat keadaan:
Pertama: Keadaan sempurna, yaitu mengusap bagian atas dan bawah khuf, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Kedua: Keadaan mencukupi, yaitu mengusap hanya bagian atas khuf tanpa bagian bawahnya.
Ketiga: Keadaan yang tidak sempurna dan tidak mencukupi, yaitu mengusap bagian atas betis dari khuf yang berada di atas mata kaki.
Keempat: Keadaan yang diperselisihkan, yaitu mengusap bagian bawah khuf saja tanpa bagian atasnya.
Mengenai keadaan keempat ini, yang dinukil oleh al-Muzanī dari Imam al-Syāfi‘i adalah bahwa itu tidak mencukupi. Maka para sahabat kami pun berbeda pendapat:
Abū al-‘Abbās dan sekelompok sahabat kami menganggap itu sebagai pendapat resmi mazhab, dan bahwa mengusap bagian bawah saja tidak mencukupi.
Sedangkan Abū Isḥāq berpandangan bahwa itu mencukupi, dan mengklaim bahwa itu adalah mazhab al-Syāfi‘i, serta bahwa al-Muzanī tidak meriwayatkannya sebagai naṣṣ, tetapi hanya menyimpulkan dari dalil pernyataannya. Karena al-Syāfi‘i berkata:
“Jika ia mengusap bagian luar dan meninggalkan bagian dalam, maka itu mencukupi.”
Lalu al-Muzanī menyangka dari dalil pernyataan itu bahwa mengusap bagian dalam tanpa bagian luar tidak mencukupi.
Adapun Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah mengeluarkan masalah ini sebagai dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَاخْتِيَارُ أَبِي الْعَبَّاسِ بِقَوْلِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ. وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يمسح على ظاهر خفه، وَمَعْنَى قَوْلِهِ: ” لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ ” لِأَنَّهُ يُلَاقِي الْأَنْجَاسَ، فَكَانَ مَسْحُهُ لِإِزَالَةِ مَا لَاقَى مِنَ النَّجَاسَةِ أَوْلَى، لَكِنَّ الرَّأْيَ مَتْرُوكٌ بِالنَّصِّ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُجْزِئُ مَسْحُهُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ؛ لِأَنَّهُ يُقَابِلُ مَسْحَ الفرضكَالْأَعْلَى، وَأَمَّا مَسْحُ الْعَقِبِ وَحْدَهُ فَإِنْ قِيلَ بِأَنَّهُ سُنَّةٌ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ قِيلَ: لَيْسَ بِسُنَّةٍ فَفِي إِجْزَائِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يُجْزِئُ قِيَاسًا عَلَى السَّاقِ.
وَالثَّانِي: يُجْزِئُ؛ لِأَنَّهُ يُقَابِلُ مَحَلَّ الْفَرْضِ كَالْقَدَمِ الْأَعْلَى. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pertama: Tidak mencukupi, dan ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah serta pilihan Abū al-‘Abbās, berdasarkan ucapan ‘Alī bin Abī Ṭālib:
“Seandainya agama ini berdasarkan akal semata, niscaya bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku telah melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas khuf-nya.”
Makna ucapannya: “bagian bawah lebih utama diusap daripada bagian atas”, karena bagian bawah lebih sering terkena najis, maka semestinya menurut akal diusap untuk menghilangkan najis yang mengenainya. Namun akal ditinggalkan karena ada nash (dalil syar‘i).
Pendapat kedua: Mengusap bagian bawah mencukupi, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena bagian itu berhadapan dengan tempat yang wajib diusap sebagaimana bagian atas.
Adapun mengusap bagian tumit saja (‘aqib), maka jika dikatakan bahwa itu sunnah, maka cukup (sah); namun jika dikatakan bahwa itu bukan sunnah, maka dalam keabsahannya ada dua wajah:
Pertama: Tidak mencukupi, diqiyaskan dengan betis (yang tidak wajib diusap).
Kedua: Mencukupi, karena ia berhadapan langsung dengan tempat yang wajib diusap sebagaimana bagian atas kaki.
Wallāhu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وكيفما أتى بالمسح على طهر الْقَدَمِ بِكُلِّ الْيَدِ أَوْ بَعْضِهِ أَجْزَأَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْوَاجِبُ مِنْ مَسْحِ الْخُفِّ مَسْحُ بَعْضِهِ، وَإِنْ قَلَّ بِكُلِّ الْيَدِ أو بعضها، وقال أبو حنيفة: الواجب مسح ثلاثة أَصَابِعَ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ كَانَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ الْخُفَّيْنِ خُطُوطًا بِالْأَصَابِعِ، قَالَ: وَأَقَلُّ الْأَصَابِعِ ثَلَاثٌ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْمَأْمُورَ بِهِ الْمَسْحُ، دُونَ الْمَسِّ، وَمَا ذَكَرْتُمُوهُ يَكُونُ مَسًّا وَلَا يَكُونُ مَسْحًا؛ لِأَنَّ الْمَسَّ الْمُلَاقَاةُ، وَالْمَسْحُ أَنْ يَنْضَمَّ إِلَى الْمُلَاقَاةِ إِمْرَارٌ.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘i raḍiya Allāh ‘anhu berkata:
“Bagaimanapun cara seseorang melakukan usapan atas khuf dalam keadaan suci kaki, baik dengan seluruh tangan atau sebagiannya, maka hal itu mencukupi.”
Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan. Kewajiban dalam mengusap khuf adalah mengusap sebagian darinya, meskipun sedikit, baik dengan seluruh tangan atau sebagiannya.
Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat: yang wajib adalah mengusap tiga jari, dengan berdalil pada riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau mengusap bagian atas dua khuf dengan garis-garis menggunakan jari-jarinya.
Ia berkata: jumlah jari paling sedikit adalah tiga.
Ia juga berkata: karena yang diperintahkan adalah masḥ (usapan), bukan mass (sentuhan).
Dan apa yang kalian sebutkan (yaitu sebagian tangan menyentuh khuf) itu tergolong mass, bukan masḥ, karena mass adalah sekadar menyentuh, sedangkan masḥ adalah menyentuh disertai dengan mengusapkannya.
ودليلنا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَمْسَحُ الْمُقِيمُ يَوْمًا وَلَيْلَةً ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِيمَا انْطَلَقَ اسْمُ الْمَسْحِ عَلَيْهِ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ، وَلِأَنَّهُ أَتَى فِي مَحَلِّ الْمَسْحِ بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَسْحِ فَوَجَبَ أَنْ يُجْزِئَهُ، كَمَا لَوْ مَسَحَ ثَلَاثَ أَصَابِعَ، وَلِأَنَّ التَّقْدِيرَ ثَلَاثٌ إِمَّا بِنَصٍّ أَوْ إِجْمَاعٍ، وَلَيْسَ فِي تَقْدِيرِهِ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَلَمْ يَصِحَّ التَّقْدِيرُ، وَلِأَنَّ الْأَصَابِعَ مُخْتَلِفَةٌ فِي الطُّولِ وَالْعَرْضِ فَصَارَتْ مَجْهُولَةً، وَالْمَقَادِيرُ لَا تَثْبُتُ بِمَجْهُولٍ فَأَمَّا الْخَبَرُ فَمَجْهُولٌ، وَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، وَلَوْ صَحَّ مُسْنَدًا لَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الِاقْتِصَارَ عَلَى مَا دَونَهُ لَا يُجْزِئُ كَمَا رُوِيَ أَنَّهُ مَسَحَ أَعْلَى الْخُفِّ وأسفله، ولم يدل على أنه مَسْحَ الْأَسْفَلِ وَحْدَهُ لَا يُجْزِئُ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ مِنْ أَنَّ هَذَا مَسٌّ لَا مَسْحٌ حَتَّى يَنْضَمَّ إِلَيْهِ إِمْرَارٌ فَهُوَ أَنَّهَا دَعْوَى قَدِ اجْتَمَعْنَا عَلَى إِبْطَالِهَا؛ لِاتِّفَاقِنَا أَنَّ الْإِمْرَارَ لَيْسَ بِشَرْطٍ؛ لِأَنَّهُ لَوْ وَضَعَ عَلَيْهِ ثَلَاثَ أَصَابِعَ مِنْ غَيْرِ إِمْرَارٍ أَجْزَأَ، ونحن نقول: مثله فِيمَا قَالَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan dalil kami adalah sabda Nabi SAW:
“Orang yang mukim boleh mengusap selama sehari semalam.”
Maka hadis ini bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang layak disebut masḥ (usap), baik sedikit maupun banyak.
Dan karena ia telah melakukan usapan pada tempat yang disyariatkan usapan dengan sesuatu yang secara bahasa dapat disebut masḥ, maka wajib hukumnya dianggap sah, sebagaimana jika ia mengusap dengan tiga jari.
Dan karena penentuan ukuran “tiga jari” harus didasarkan pada nash atau ijmā‘, sedangkan tidak ada nash maupun ijmā‘ yang menentukan tiga jari, maka penentuan itu tidak sah.
Selain itu, ukuran jari pun berbeda-beda dalam panjang dan lebarnya, maka hal itu menjadi tidak pasti, padahal ukuran-ukuran syar‘i tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang tidak pasti.
Adapun khabar yang dijadikan dalil, maka itu majhūl (tidak jelas sanadnya), dan bahkan hanya mauqūf pada al-Ḥasan al-Baṣrī.
Kalaupun seandainya shahih dan musnad sampai kepada Nabi, maka tidak menunjukkan bahwa mengusap kurang dari itu tidak sah.
Sebagaimana riwayat bahwa beliau mengusap bagian atas dan bawah khuf, itu tidak menunjukkan bahwa mengusap bagian bawah saja tidak sah.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa “ini hanyalah mass (sentuhan), bukan masḥ (usap), karena tidak disertai imrār (menggerakkan tangan),” maka itu hanyalah klaim semata yang telah kami sepakati untuk dibatalkan.
Karena kami telah sepakat bahwa imrār bukan syarat, sebab jika seseorang meletakkan tiga jarinya di atas khuf tanpa menggerakkan (mengusap), maka itu tetap mencukupi.
Dan kami katakan: pendapat kalian itu berlaku juga atas kalian sendiri.
Wallāhu a‘lam.
قال الشافعي: ” وَالِاخْتِيَارُ فِي السُّنَّةِ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ صَلَاةَ الجمعة الاغتسال لها لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” الغسل واجبٌ على كل محتلمٍ ” يريد وجوب الاختيار لأنه قال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ تَوَضَّأَ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أفضل ” وقال عمر لعثمان رضي الله عنهما حين راح والوضوء أيضاً؟ وقد عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان يأمر بالغسل “.
(Bab Mandi untuk Shalat Jumat dan Hari Raya)
Imam al-Syāfi‘i berkata:
“Dan yang lebih utama dalam sunnah bagi setiap orang yang ingin melaksanakan shalat Jumat adalah mandi untuknya, karena Rasulullah SAW bersabda: ‘Mandi itu wajib atas setiap orang yang telah mimpi basah,’ maksudnya adalah wajib dari sisi pilihan (anjuran kuat), karena beliau SAW juga bersabda:
‘Barang siapa yang berwudhu, maka itu baik, dan barang siapa yang mandi, maka mandi itu lebih utama.’
Dan ‘Umar pernah berkata kepada ‘Utsmān raḍiya Allāhu ‘anhumā saat beliau datang hanya dengan berwudhu:
‘Dan engkau pun hanya berwudhu juga? Padahal engkau tahu bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk mandi.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: غُسْلُ الْجُمُعَةِ سُنَّةٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ وَلَيْسَ بِسُنَّةٍ، وَرَوَى قَوْلَهُ عَنْ مَالِكٍ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ مَالِكٍ عَنْ صَفْوَانَ بن سليم عن عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” غُسْلُ الْجُمُعَةِ واجبٌ عَلَى كُلِّ محتلمٍ ” وَبِرِوَايَةِ بُكَيْرٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ حَفْصَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ عَلَى كُلِّ محتلمٍ رَاحَ إِلَى الْجُمُعَةِ، ومن رَاحَ إِلَى الْجُمُعَةِ الْغُسْلُ، وَبِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: ” سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” مَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ “.
Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan (oleh al-Syāfi‘i): mandi Jumat adalah sunnah, bukan wajib.
Adapun Dāwūd bin ‘Alī berpendapat bahwa mandi Jumat adalah wajib, bukan sunnah. Ia meriwayatkan pendapat ini dari Mālik, dengan berdalil pada riwayat Mālik dari Ṣafwān bin Sulaym dari ‘Aṭā’ bin Yasār dari Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Mandi Jumat adalah wajib atas setiap orang yang telah mimpi basah.”
Dan dengan riwayat Bukayr dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar dari Ḥafṣah, dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Atas setiap orang yang telah mimpi basah dan pergi ke Jumat, maka wajib baginya mandi.”
Serta dengan riwayat az-Zuhrī dari Sālim dari ayahnya (Ibn ‘Umar) ia berkata:
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang datang ke shalat Jumat, hendaklah ia mandi.”
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ هَمَّامٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” من توضأ فيها ونعمت ومن اغتسل فهو فضلٌ “.
وَرَوَى يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: ” كَانَ النَّاسُ مُهَّانُ أَنْفُسِهِمْ فَيَرُوحُونَ إِلَى الْجُمُعَةِ بِهَيْئَتِهِمْ وَقِيلَ لَهُمْ لَوِ اغْتَسَلْتُمْ “.
Dan dalil kami adalah riwayat Hammām dari Qatādah dari al-Ḥasan dari Samurah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang berwudhu untuk (shalat Jumat), maka itu baik, dan barang siapa yang mandi, maka itu keutamaan.”
Dan diriwayatkan oleh Yaḥyā bin Sa‘īd dari ‘Amrah dari ‘Ā’isyah, ia berkata:
“Dahulu orang-orang dalam keadaan lusuh, lalu mereka pergi ke shalat Jumat dalam kondisi seperti itu, maka dikatakan kepada mereka: ‘Seandainya kalian mandi.'”
وَرَوَى عَمْرُو بْنُ أَبِي عَمْرٍو عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ نَاسًا مِنَ الْعِرَاقِ جَاءُوا فَقَالُوا: يَا ابْنَ عَبَّاسٍ؛ أَتَرَى الْغُسْلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبًا فَقَالَ: لَا؛ وَلَكِنَّهُ طهرٌ وخيرٌ لِمَنِ اغْتَسَلَ، وَمَنْ لَمْ يَغْتَسِلْ فَلَيْسَ بواجبٍ، وَسَأُخْبِرُكُمْ كَيْفَ بدأ الْغُسْلِ كَانَ النَّاسُ مَجْهُودِينَ يَلْبَسُونَ الصُّوفَ وَيَحْمِلُونَعَلَى ظُهُورِهِمْ، وَكَانَ مَسْجِدُهُمْ ضَيِّقًا مُقَارِبَ السَّقْفِ إِنَمَا هُوَ عريشٌ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي يومٍ حارٍ، وَعَرِقَ النَّاسُ فِي ذَلِكَ الصُّوفِ حَتَى ثَارَتْ مِنْهُمْ رِيَاحٌ آذَى بِذَلِكَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، فَلَمَّا وَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تِلْكَ الرِّيحَ، فَقَالَ أَيُّهَا الْنَاسُ إِذَا كَانَ هَذَا الْيَوْمُ فَاغْتَسِلُوا، وَلِيَمَسَّ أَحَدُكُمْ أَفْضَلَ مَا يَجِدُ مِنْ دُهْنِهِ وَطِيبِهِ، قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ ثم جاء الله بالخبر وَلَبِسُوا غَيْرَ الصُّوفِ وَكُفُوا الْعَمَلَ وَوَسِعَ مَسْجِدُهُمْ وَذَهَبَ بَعْضُ الَّذِي كَانَ يُؤْذِي بَعْضُهُمْ بَعْضًا مِنَ الْعَرَقِ ذَكَرَهُ أَبُو دَاوُدَ.
وَرَوَى مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: دَخَلَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَخْطُبُ فَقَالَ عُمَرُ: أَيُّ سَاعَةٍ هَذِهِ؟ فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ انْقَلَبْتُ مِنَ السُّوقِ فَسَمِعْتُ النِّدَاءَ فَمَا زِدْتُ عَلَى أَنْ تَوَضَّأْتُ وَأَقْبَلْتُ فَقَالَ عُمَرُ: الْوُضُوءَ أَيْضًا، وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان يأمر بالغسل.
Dan diriwayatkan oleh ‘Amr bin Abī ‘Amr dari ‘Ikrimah bahwa sekelompok orang dari Irak datang dan berkata:
“Wahai Ibn ‘Abbās, apakah engkau melihat mandi pada hari Jumat itu wajib?”
Ia menjawab:
“Tidak. Akan tetapi itu adalah penyucian diri dan kebaikan bagi siapa saja yang melakukannya. Barang siapa tidak mandi, maka tidak berdosa atasnya. Aku akan mengabarkan kepada kalian bagaimana awal mula disyariatkannya mandi.
Dahulu orang-orang dalam keadaan letih, mereka memakai pakaian wol dan mengangkat beban di punggung mereka. Masjid mereka sempit, atapnya rendah, hanya terbuat dari pelepah kurma.
Pada suatu hari yang panas, Rasulullah SAW keluar, dan orang-orang berkeringat karena memakai wol, hingga tercium bau tak sedap di antara mereka, saling menyakiti satu sama lain dengan bau tersebut.
Ketika Rasulullah SAW mencium bau itu, beliau bersabda:
‘Wahai manusia, jika datang hari ini (Jumat), maka mandilah. Hendaklah salah seorang dari kalian memakai minyak wangi terbaik yang ia miliki serta minyak rambut terbaiknya.’
Ibn ‘Abbās berkata: “Setelah itu, Allah mendatangkan kemudahan. Mereka tidak lagi memakai wol, mereka pun tidak lagi bekerja seperti sebelumnya, masjid menjadi lebih luas, dan sebagian penyebab bau tidak sedap pun hilang.”
Riwayat ini disebutkan oleh Abū Dāwūd.
Dan diriwayatkan oleh Ma‘mar dari az-Zuhrī dari Sālim dari ayahnya (Ibn ‘Umar), ia berkata:
‘Uṯmān bin ‘Affān masuk masjid pada hari Jumat saat ‘Umar bin al-Khaṭṭāb sedang berkhutbah. Maka ‘Umar berkata:
“Jam berapa ini?”
‘Uṯmān menjawab:
“Wahai Amīrul-Mu’minīn, aku baru kembali dari pasar, lalu aku mendengar adzan, maka aku tidak menambah selain berwudhu dan langsung datang.”
‘Umar berkata:
“Wudhu saja? Padahal engkau mengetahui bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk mandi.”
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو علمنا وُجُوبَهُ لَرَجَعَ عُثْمَانُ وَمَا تَرَكَهُ عُمَرُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَلِأَنَّهُ غُسْلٌ لِسَبَبٍ مُسْتَقْبَلٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ سُنَّةً كَالْغُسْلِ لِدُخُولِ مَكَّةَ، وَالْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، وَعَكْسُهُ غُسْلُ الْجَنَابَةِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ أَخْبَارِهِمْ فَهُوَ: أَنَّهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى وُجُوبِ الِاخْتِيَارِ وَالِاسْتِحْبَابِ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَخْبَارِ.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘i raḍiya Allāh ‘anhu berkata:
“Seandainya kami mengetahui bahwa mandi Jumat itu wajib, tentu ‘Utsmān akan kembali (untuk mandi), dan ‘Umar pun tidak akan membiarkannya.”
Al-Māwardī berkata: Dan karena mandi ini disyariatkan untuk suatu sebab yang akan datang, maka hal itu menunjukkan bahwa ia adalah sunnah, sebagaimana mandi untuk masuk Makkah, wukuf di ‘Arafah; kebalikannya adalah mandi karena janabah, yang disyariatkan karena sebab yang telah terjadi.
Adapun jawaban atas hadis-hadis yang mereka jadikan dalil, maka itu ditakwil sebagai wajib secara pilihan (wujūb ikhtiyār) dan anjuran (istiḥbāb), berdasarkan dalil dari hadis-hadis yang telah kami sebutkan sebelumnya.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ غُسْلَ الْجُمُعَةِ مَسْنُونٌ فَهُوَ سُنَّةٌ لِمَنْ لَزِمَهُ حُضُورُ الْجُمُعَةِ، فَأَمَّا مَنْ لَمْ يَلْزَمْهُ حُضُورُ الْجُمُعَةِ فَلَيْسَ الْغُسْلُ سُنَّةً لَهُ، فَأَمَّا مَنْ كَانَ مَنْ أَهِلِهَا، وَهُوَ مَمْنُوعٌ بِعُذْرٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ الْغُسْلُ مسنوناً له ومأموراً بِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا لَيْسَ بِسُنَّةٍ لَهُ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ مَعْذُورًا بِتَرْكِ الْجُمُعَةِ كَانَ مَعْذُورًا بِتَرْكِ الْغُسْلِ لَهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْغُسْلَ سُنَّةٌ؛ لِأَنَّ زَوَالَ عُذْرِهِ يَجُوزُ وَلُزُومَ الْجُمُعَةِ لَهُ مُمْكِنٌ.
فَأَمَّا غُسْلُ الْعِيدِ فَسُنَّةٌ لِمَنْ أَرَادَ حُضُورَ الْعِيدِ أَوْ لَمْ يُرِدْهُ وَجْهًا وَاحِدًا.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ غُسْلِ الْجُمُعَةِ أَنَّ غُسْلَ الْعِيدِ مَأْمُورٌ بِهِ لِأَخْذِ الزِّينَةِ فَاسْتَوَى فِيهِ مَنْ حَضَرَ الْعِيدَ، وَمَنْ لَمْ يَحْضُرْ كَاللِّبَاسِ، وَغُسْلُ الْجُمُعَةَ مَأْمُورٌ بِهِ لِقَطْعِ الرَّائِحَةِ، لأن لا يُؤْذِيَ بِهَا مَنْ جَاوَرَهُ، فَإِذَا لَمْ يَحْضُرُ زال معناه. والله أعلم.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa mandi Jumat adalah sunnah, maka ia disunnahkan bagi orang yang wajib menghadiri shalat Jumat.
Adapun bagi orang yang tidak wajib menghadiri Jumat, maka mandi Jumat tidak disunnahkan baginya.
Adapun orang yang termasuk ahlinya (orang yang biasanya menghadiri Jumat) tetapi terhalang karena uzur, maka para sahabat kami berselisih pendapat: apakah mandi tetap disunnahkan dan dianjurkan baginya?
Terdapat dua pendapat:
Pertama: Tidak disunnahkan baginya, karena ketika ia memiliki uzur untuk tidak menghadiri Jumat, maka ia juga memiliki uzur untuk meninggalkan mandinya.
Kedua: Mandi tetap sunnah, karena bisa jadi uzurnya hilang dan kewajiban menghadiri Jumat menjadi mungkin baginya.
Adapun mandi hari raya (‘Īd), maka sunnah dilakukan baik bagi yang ingin hadir maupun tidak, menurut satu wajah saja.
Perbedaan antara mandi ‘Īd dan mandi Jumat adalah:
- Mandi ‘Īd disyariatkan karena perintah untuk berhias (akhẓ az-zīnah), maka sama saja antara yang hadir dan tidak hadir shalat ‘Īd, sebagaimana perintah memakai pakaian.
- Sedangkan mandi Jumat disyariatkan untuk menghilangkan bau agar tidak mengganggu orang lain yang hadir bersamanya. Maka jika ia tidak hadir, hilanglah alasan disyariatkannya.
Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُجْزِيهِ غُسْلُهُ لَهَا إِذَا كَانَ بَعْدَ الْفَجْرِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَجُمْلَتُهُ أَنَّ لِلْمُغْتَسِلِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَغْتَسِلَ لَهَا بَعْدَ الزَّوَالِ وَقَبْلَ الصَّلَاةِ فَلَا اخْتِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّ غُسْلَهُ لَهَا مُجْزِئٌ.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَغْتَسِلَ لَهَا قَبْلَ الزَّوَالِ وَبَعْدَ الْفَجْرِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وأبي حنيفة أَنْ غُسْلَهُ مُجْزِئٌ لَهَا، وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُجْزِئُهُ؛ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ رَاحَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ ” وَاسْمُ الرَّوَاحِ إِنَّمَا يَنْطَلِقُ عَلَى مَا بَعْدَ الزَّوَالِ قَالَ: وَلِأَنَّ مَشْرُوعَاتِ الْجُمُعَةِ لَا يَجُوزُ فِعْلُهَا قَبْلَ وَقْتِ الْجُمُعَةِ، كَالْأَذَانِ وَكَالْغُسْلِ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘i raḍiya Allāh ‘anhu berkata:
“Mandi Jumat sah dan mencukupi jika dilakukan setelah fajar.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Kesimpulannya, bahwa orang yang mandi untuk shalat Jumat memiliki tiga keadaan:
Pertama: Ia mandi setelah tergelincir matahari (setelah zawāl) dan sebelum shalat Jumat. Maka tidak ada perbedaan di antara para fuqahā’ bahwa mandinya sah dan mencukupi.
Kedua: Ia mandi sebelum zawāl dan setelah terbit fajar. Maka menurut mazhab al-Syāfi‘i dan Abū Ḥanīfah, mandinya sah dan mencukupi untuk Jumat.
Sedangkan Mālik berpendapat: tidak mencukupi, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW:
“Barang siapa yang pergi ke Jumat, maka hendaklah ia mandi.”
Dan kata “raāḥa (pergi)” secara bahasa hanya digunakan untuk waktu setelah zawāl.
Ia juga berkata: Karena amalan-amalan yang disyariatkan untuk Jumat tidak boleh dilakukan sebelum waktunya, seperti adzan dan mandi sebelum terbit fajar.
ودليلنا رواية أبي الأشعث عن أواس بْنِ أَوْسٍ الثَّقَفِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” مَنْ غَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنَ الْإِمَامَ وَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِ خطوةٍ عَمَلُ سنةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا ” فَجَعَلَ الْغُسْلَ فِي الْبُكُورِ أَفْضَلَ، وَرَوَى أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ” وَلِأَنَّ هَيْئَاتِ الْجُمُعَةِ يَجُوزُ فِعْلُهَا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَبْلَ وَقْتِ الْجُمُعَةِ كَالطِّيبِ وَاللِّبَاسِ، وَلِأَنَّ فِي الْمَنْعِ مِنَ الْغُسْلِ لَهَا إِلَّا بَعْدَ دُخُولِ وَقْتِهَا مَشَقَّةً لَاحِقَةً وَذَرِيعَةً إِلَى الْفَوَاتِ؛ لِأَنَّ صَلَاةَ الْجُمُعَةِ تُعَجَّلُ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا فَلَا تَنْفَكُّ مِنْ فَوَاتِ الْغُسْلِ أَوِ الصَّلَاةِ.
Dan dalil kami adalah riwayat Abū al-Ash‘ats dari Awās bin Aws ats-Tsaqafī, ia berkata:
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa mandi pada hari Jumat, lalu ia mandi dengan sempurna, kemudian berangkat di awal waktu dan lebih awal, berjalan (tidak berkendara), mendekat kepada imam, mendengarkan dan tidak berbicara sia-sia, maka setiap langkahnya dihitung sebagai pahala amalan satu tahun — pahala puasa dan qiyām-nya.”
Hadis ini menunjukkan bahwa mandi di waktu pagi (bukan setelah zawāl) itu lebih utama.
Dan diriwayatkan pula oleh Abū Ṣāliḥ dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi Jumat, kemudian pergi di jam pertama, maka seolah-olah ia berkurban dengan unta. Barang siapa pergi di jam kedua, maka seolah-olah ia berkurban dengan sapi…”
Dan karena tata cara persiapan Jumat lainnya boleh dilakukan pada hari Jumat sebelum masuk waktunya, seperti memakai wangi-wangian dan pakaian terbaik.
Dan karena melarang mandi Jumat kecuali setelah masuk waktunya akan menimbulkan kesulitan dan menjadi sebab terlewatnya mandi, karena shalat Jumat sering disegerakan di awal waktunya, sehingga tidak terhindar dari kehilangan kesempatan mandi atau shalat Jumat itu sendiri.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” مَنْ رَاحَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ ” فَهُوَ أَنَّ الرَّوَاحَ الِانْصِرَافُ إِلَى الشَّيْءِ قَبْلَ الزَّوَالِ وَبَعْدَهُ أَلَا تَرَى قَوْلَهُ وَمَنْ رَاحَ إِلَى الْجُمُعَةِ فِي السَّاعَةِ الْأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَقَالَ عُمَرُ بْنُ أَبِي رَبِيعَةَ:
(أَمِنْ آلِ نعمٍ أَنْتَ غادٍ مُبَكِّرُ … غَدَاةَ غدٍ أَمْ رائحٌ فَمُهَجِّرُ)
وَالتَّهْجِيرُ قَبْلَ الزَّوَالِ وَجَعَلَهُ بَعْدَ الزَّوَالِ، وَجَعَلَهُ بَعْدَ الرَّوَاحِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْأَذَانِ فَفَاسِدٌ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الطِّيبِ وَاللِّبَاسِ، عَلَى أَنَّ الْأَذَانَ مِنْ مَشْرُوعَاتِ الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَجُزْ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ، وَهَذَا مِنْ مَسْنُونَاتِ الْيَوْمِ فَجَازَ قبل دخول وقت الصلاة.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَغْتَسِلَ لَهَا قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا يُجْزِئُهُ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ يُجْزِئُهُ؛ لِأَنَّ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ تَبَعٌ لِيَوْمِهَا، وَقِيَاسًا عَلَى غُسْلَ الْعِيدِ لَمَّا جَازَ قَبْلَ الْفَجْرِ جَازَ بَعْدَ الْفَجْرِ.
Adapun jawaban atas perkataannya: “Barangsiapa pergi menuju Jum‘at maka hendaklah ia mandi” adalah bahwa ar-rawāḥ berarti berangkat menuju sesuatu, baik sebelum zawāl maupun sesudahnya. Tidakkah engkau lihat sabdanya: “Barangsiapa berangkat menuju Jum‘at pada jam pertama maka seakan-akan ia berkurban dengan unta betina”, dan perkataan ‘Umar bin Abī Rabī‘ah:
(Amin āli Na‘min anta ghādin mubakkirun … ghadāta ghadin am rā’iḥun famuhajjirun)
Sedangkan at-tahjīr adalah sebelum zawāl, tetapi ia menjadikannya sesudah zawāl, dan ia menjadikannya setelah ar-rawāḥ. Adapun pendalilannya dengan adzan adalah rusak, karena apa yang telah kami sebutkan tentang memakai wewangian dan pakaian, sebab adzan itu termasuk syariat shalat dan tidak boleh sebelum masuk waktu shalat, sedangkan mandi ini termasuk sunnah hari (Jum‘at), maka boleh dilakukan sebelum masuk waktu shalat.
Keadaan yang ketiga: apabila ia mandi untuk (shalat Jum‘at) sebelum fajar maka tidak mencukupinya. Al-Auzā‘ī berkata: itu mencukupi, karena malam Jum‘at adalah bagian dari siangnya. Dengan qiyās atas mandi ‘Ied, ketika boleh dilakukan sebelum fajar maka boleh juga setelah fajar.
ودليلنا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ واجبٌ عَلَى كُلِّ محتلمٍ ” فَأَضَافَهُ إِلَى الْيَوْمِ فَلَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُهُ عَلَيْهِ، ولأنه إِيقَاعَ الْغُسْلِ قَبْلَ يَوْمِ الْجُمُعَةِ يَمْنَعُهُ لِإِجْزَائِهِ لِلْجُمُعَةِ كَالْغُسْلِ فِي يَوْمِ الْخَمِيسِ، فَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ تَبَعٌ لِيَوْمِهِ فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ لِاخْتِلَافِ أَحْكَامِهَا، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى غُسْلِ يَوْمِ الْعِيدِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِهِ قَبْلَ الْفَجْرِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ فَسَقَطَ السُّؤَالُ.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ، فَعَلَى هَذَا الْفَرْقِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ ضِيقُ وَقْتِ الْغُسْلِ فِي الْعِيدِ بَعْدَ الْفَجْرِ لِتَقْدِيمِ الصَّلَاةِ لَهَا فِي أَوَّلِ الْيَوْمِ فَدَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى التَّوْسِعَةِ فِي تَقْدِيمِ الْغُسْلِ وَالطِّيبِ قَبْلَ الفجر وها هنا بخلافه والله أعلم.
Dan dalil kami adalah sabda Nabi SAW: “Mandi pada hari Jum‘at itu wajib atas setiap orang yang telah baligh.” Maka beliau menisbatkannya kepada yaum (hari), sehingga tidak boleh mendahulukannya sebelum hari itu. Dan karena melaksanakan mandi sebelum hari Jum‘at tidak bisa mencukupinya untuk Jum‘at, sebagaimana mandi pada hari Kamis.
Adapun perkataannya bahwa malam Jum‘at itu mengikuti siangnya, maka tidak diterima, karena berbeda hukum antara keduanya. Sedangkan qiyās-nya dengan mandi pada hari ‘Ied, para sahabat kami berselisih tentang kebolehannya sebelum fajar dengan dua pendapat:
Pertama: tidak boleh, maka gugurlah pertanyaan itu.
Kedua: boleh. Maka berdasarkan pendapat ini, perbedaan antara mandi ‘Ied dan mandi Jum‘at adalah bahwa waktu mandi pada hari ‘Ied menjadi sempit setelah fajar karena shalatnya dilaksanakan di awal siang. Maka adanya kebutuhan mendorong untuk memberi kelonggaran dalam mendahulukan mandi dan memakai wewangian sebelum fajar. Sedangkan dalam masalah ini (mandi Jum‘at) tidak demikian halnya. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ جُنُبًا فَاغْتَسَلَ لَهُمَا جَمِيعًا أَجْزَأَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَصْبَحَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ جُنُبًا فَعَلَيْهِ غُسْلَانِ: وَاجِبٌ: وَهُوَ الْجَنَابَةُ وَمَسْنُونٌ: وَهُوَ الْجُمُعَةُ، فَإِنِ اغْتَسَلَ لَهُمَا غُسْلَيْنِ كَانَ أَفْضَلَ وَيُقَدِّمُ غُسْلَ الْجَنَابَةِ، وَإِنِ اغْتَسَلَ لَهُمَا غُسْلًا وَاحِدًا يَنْوِيهِمَا مَعًا أَجْزَأَهُ، وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُجْزِئُ لِاخْتِلَافِ مُوجِبَيْهِمَا، وَسَائِرِ أَحْكَامِهِمَا وَهَذَا أَغْلَظُ؛ لِأَنَّ الْغُسْلَ إِذَا تَرَادَفَ تَدَاخَلَ كَغُسْلِ الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ. وَلِأَنَّهُ لَمَّا نَابَ غُسْلُ الْجَنَابَةِ عَنِ الْغُسْلِ الْمَفْرُوضِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَنُوبَ عَنِ الْمَسْنُونِ وَلَيْسَ لِاخْتِلَافِ أَحْكَامِهِمَا وَجْهٌ فِي الِامْتِنَاعِ مِنْ تَدَاخُلِهِمَا كَالْحَيْضِ وَالْجَنَابَةِ وَاللَّهُ أعلم.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Apabila ia dalam keadaan junub lalu mandi untuk keduanya sekaligus, maka itu mencukupinya.”
Al-Māwardī berkata: Gambaran masalahnya adalah pada seorang lelaki yang di pagi hari Jum‘at dalam keadaan junub, maka ia terkena dua mandi: mandi wajib, yaitu mandi janabah, dan mandi sunnah, yaitu mandi Jum‘at. Jika ia mandi dua kali untuk keduanya, maka itu lebih utama, dan ia mendahulukan mandi janabah. Jika ia mandi sekali saja dengan niat untuk keduanya sekaligus, maka itu mencukupinya.
Mālik berkata: tidak mencukupi, karena perbedaan sebab wajib keduanya dan perbedaan hukum-hukum keduanya. Pendapat ini lebih berat, sebab apabila beberapa mandi itu berturut-turut maka bisa saling masuk, seperti mandi janabah dan mandi haid.
Dan karena ketika mandi janabah bisa menggantikan mandi fardhu (mandi wajib), maka lebih utama ia bisa menggantikan mandi sunnah. Perbedaan hukum di antara keduanya tidak menjadi alasan untuk menolak terjadinya penggabungan keduanya, sebagaimana (gabungan) antara mandi haid dan mandi janabah. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن نوى بالغسل الجمعة والعيد لَمْ يُجْزِهِ مِنَ الْجَنَابَةِ حَتَّى يَنْوِيَ مِنَ الْجَنَابَةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِيمَنِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ غُسْلُ الْجَنَابَةِ وَالْجُمُعَةِ، فَاغْتَسَلَ أَحَدُ الْغُسْلَيْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَنْوِيَ الْجَنَابَةَ وَحْدَهَا، دُونَ الْجُمُعَةِ، أَوْ يَنْوِيَ الْجُمُعَةَ وَحْدَهَا، دُونَ الْجَنَابَةِ، وَإِنْ نَوَى بِغُسْلِهِ الْجَنَابَةَ دُونَ الْجُمُعَةِ أَجْزَأَهُ غُسْلُ الْجُمُعَةِ، وَفِي إِجْزَائِهِ غُسْلَ الْجُمُعَةِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: رَوَاهُ الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ أَنَّهُ يُجْزِئُهُ عَنِ الْجُمُعَةِ بِنِيَةِ الْجَنَابَةِ كَمَا يُجْزِئُ إذا نوى في أحد الأحداث لجمعها.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: رَوَاهُ الرَّبِيعُ فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ عَنِ الْجُمُعَةِ إِلَّا أَنْ يَنْوِيَهَا لِاخْتِلَافِ سَبَبَيْهِمَا فِي كَوْنِ أَحَدِهِمَا لماضٍ، وَالْآخَرِ لِمُسْتَقْبَلٍ، فَمَنَعَ مِنْ أَنْ يُجْزِئَ نِيَّةُ أَحَدِهِمَا عن الآخر.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Apabila seseorang berniat dengan mandinya untuk Jum‘at dan ‘Ied, maka tidak mencukupi dari janabah hingga ia meniatkannya untuk janabah.”
Al-Māwardī berkata: Gambaran masalahnya adalah pada seseorang yang berkumpul atasnya pada hari Jum‘at mandi janabah dan mandi Jum‘at, lalu ia melaksanakan salah satunya, maka tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama, ia berniat janabah saja tanpa Jum‘at.
Kedua, ia berniat Jum‘at saja tanpa janabah.
Jika ia berniat dengan mandinya untuk janabah tanpa Jum‘at, maka mencukupi juga untuk mandi Jum‘at. Tentang mencukupinya dari mandi Jum‘at terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, diriwayatkan oleh al-Muzanī dalam Jāmi‘ al-Kabīr, bahwa itu mencukupinya dari mandi Jum‘at dengan niat janabah, sebagaimana mencukupinya apabila ia berniat salah satu hadats dari beberapa hadats yang terkumpul.
Pendapat kedua, diriwayatkan oleh ar-Rabī‘ dalam al-Imlā’, bahwa tidak mencukupinya dari mandi Jum‘at kecuali ia meniatkannya, karena berbeda sebab keduanya, di mana salah satunya karena sesuatu yang telah lalu (janabah), dan yang lain karena sesuatu yang akan datang (shalat Jum‘at). Maka tidak cukup niat salah satunya untuk yang lain.
(فصل)
: وإن نوى غسل الْجُمُعَةِ دُونَ الْجَنَابَةِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ: أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ عَنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَمَّا الْجَنَابَةِ فَإِنَّهُ لَمْ يَنْوِهَا، وَأَمَّا الْجُمُعَةِ فَلِوُجُوبِ مَا هُوَ أَمْكَنُ مِنْهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُجْزِئُهُ عَنِ الْجُمُعَةِ، وَهَذَا مَذْهَبُ مَنْ يَجْعَلُ الطَّهَارَةَ الْمَنْدُوبَ إِلَيْهَا قَائِمَةً مَقَامَ الطَّهَارَةِ الْوَاجِبَةِ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُجْزِئَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ الَّتِي نَوَاهَا دُونَ الْجَنَابَةِ الَّتِي لَمْ يَنْوِهَا، وَهَذَا مَذْهَبُ أَبِي إِسْحَاقَ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَإِنَّمَا لِكُلِ امرئٍ مَا نَوَى “.
(PASAL)
Apabila seseorang berniat mandi Jum‘at saja tanpa berniat mandi janabah, maka di dalamnya ada tiga wajah:
Wajah pertama: tidak mencukupinya dari salah satunya. Adapun dari janabah karena ia tidak meniatkannya, dan dari Jum‘at karena adanya kewajiban mandi yang lebih utama darinya.
Wajah kedua: mencukupinya dari mandi Jum‘at. Ini adalah mazhab orang yang menjadikan thaharah yang disunnahkan kedudukannya sama dengan thaharah yang diwajibkan.
Wajah ketiga: mencukupinya dari mandi Jum‘at yang ia niatkan, tetapi tidak mencukupinya dari janabah yang tidak ia niatkan. Ini adalah mazhab Abū Isḥāq, Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, dan jumhur sahabat kami, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.”
(فَصْلٌ)
: وَإِذَا اغْتَسَلَ الرَّجُلُ غُسْلَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ اجْتَنَبَ بَعْدَهُ عَمْدًا أَوْ غَيْرَ عَمْدٍ اغْتَسَلَ لِلْجَنَابَةِ، وَلَمْ يُعِدْ غُسْلَ الْجُمُعَةِ وَهُوَ قَوْلُ الْكَافَّةِ، وَخَالَفَ الْأَوْزَاعِيُّ، وَقَالَ: يُعِيدُ غُسْلَ الْجُمُعَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ غُسْلَ الْجُمُعَةِ تَنْظِيفٌ فَإِذَا تَعَقَّبَهُ غُسْلُ الْجَنَابَةِ زَادَهُ تَنْظِيفًا وَلَمْ يُعِدْهُ.
(PASAL)
Apabila seorang lelaki telah mandi Jum‘at kemudian ia berjunub setelahnya, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, maka ia mandi janabah dan tidak mengulangi mandi Jum‘at. Inilah pendapat jumhur.
Al-Auzā‘ī berpendapat: ia harus mengulangi mandi Jum‘at. Ini adalah keliru, karena mandi Jum‘at itu bertujuan untuk kebersihan. Maka apabila setelahnya diikuti dengan mandi janabah, itu justru menambah kebersihan, sehingga tidak perlu mengulanginya.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وأحب الغسل من غسل الميت، وكذلك الغسل للأعياد سنةٌ اختياراً وإن ترك الغسل للجمعة والعيد أجزأته الصلاة وإن نوى الغسل للجمعة والعيد لم يجزه من الجنابة حتى ينوى الجنابة وَأَوْلَى الْغُسْلِ أَنْ يَجِبَ عِنْدِي بَعْدَ غُسْلِ الْجَنَابَةِ الْغُسْلُ مِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ وَالْوُضُوءُ مِنْ مَسِّهِ مُفْضِيًا إِلَيْهِ وَلَوْ ثَبَتَ الْحَدِيثُ بِذَلِكَ عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قلت به ثم غسل الجمعة ولا نرخص في تركه ولا نوجبه إِيجَابًا لَا يُجْزِئُ غَيْرُهُ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) إِذَا لم يثبت فَقَدْ ثَبَتَ تَأْكِيدُ غُسْلِ الْجُمُعَةِ فَهُوَ أَوْلَى وَأَجْمَعُوا أَنَّ مَسَّ خِنْزِيرًا أَوْ مَسَّ مَيْتَةً أَنَّهُ لَا غُسْلَ وَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ إِلَّا غُسْلَ مَا أَصَابَهُ فَكَيْفَ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ فِي أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ؟ ! “.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Aku menyukai mandi karena memandikan mayit, demikian juga mandi untuk hari raya hukumnya sunnah ikhtiyār. Jika seseorang meninggalkan mandi Jum‘at dan ‘Ied, shalatnya tetap sah. Dan jika ia berniat mandi untuk Jum‘at dan ‘Ied, tidak mencukupinya dari janabah hingga ia meniatkan janabah. Mandi yang paling utama menurutku diwajibkan setelah mandi janabah adalah mandi karena memandikan mayit, dan wudhu karena menyentuhnya sebagai bentuk ihtiyāth (kehati-hatian). Seandainya hadits tentang hal itu sahih dari Nabi SAW, niscaya aku akan berpendapat dengannya. Kemudian mandi Jum‘at; kami tidak memberi keringanan dalam meninggalkannya, namun juga tidak mewajibkannya dengan kewajiban yang tidak bisa diganti kecuali dengannya.”
(Muzanī berkata): Jika tidak sahih (hadits tentang mandi memandikan mayit), maka yang sahih adalah penegasan atas mandi Jum‘at, maka itu lebih utama. Dan kaum muslimin telah berijma‘ bahwa menyentuh babi atau bangkai tidak mewajibkan mandi dan tidak pula wudhu, melainkan cukup mencuci bagian yang terkena najis. Maka bagaimana bisa diwajibkan mandi karena menyentuh saudara seimannya?!
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا غُسْلُ الْمَيِّتِ فَوَاجِبٌ، وَأَمَّا الْغُسْلُ مَنْ غُسْلِهِ وَالْوُضُوءُ من مسه فقد روى صالح مولى التَّوْأَمَةِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ، وَمَنْ مَسَّهُ مفضياً إليه فليتوضأ “.
قال الشافعي رضي الله عنه: إِنْ صَحَّ هَذَا الْحَدِيثُ قُلْتُ بِهِ، فَلَمْ يَصِحَّ؛ لِأَنَّ فِي إِسْنَادِهِ ضَعْفًا، فَالْغُسْلُ مِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ، وَالْوُضُوءُ مِنْ مَسِّهِ سُنَّةٌ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ وَإِنَّمَا كَانَ سُنَّةً مَعَ ضَعْفِ الْحَدِيثِ؛ لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَعَلَهُ، وَكَذَلِكَ صَحَابَتُهُ، رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَغْتَسِلُ مِنْ أربعٍ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ وَمِنَ الْحِجَامَةِ وَمِنْغُسْلِ الْمَيِّتِ وَإِنْ صَحَّ هَذَا الْحَدِيثُ وَثَبَتَ فَإِنَّ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ مَنْ أَخْرَجَ لِصِحَّتِهِ مِائَةً وَعِشْرِينَ طَرِيقًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَكُونُ وَاجِبًا؛ لِثُبُوتِ الْأَمْرِ بِهِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ.
وَالثَّانِي: يَكُونُ مَعَ ثُبُوتِ الْأَمْرِ بِهِ اسْتِحْبَابًا لِاحْتِمَالِهِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ.
Al-Māwardī berkata: Adapun mandi bagi mayit maka hukumnya wajib. Sedangkan mandi karena memandikannya dan wudhu karena menyentuhnya, telah diriwayatkan oleh Ṣāliḥ maulā at-Tu’amah dari Abū Ṣāliḥ dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa memandikan mayit maka hendaklah ia mandi, dan barangsiapa menyentuhnya dengan langsung maka hendaklah ia berwudhu.”
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: Jika hadits ini sahih niscaya aku berpendapat dengannya, namun tidak sahih karena dalam sanadnya terdapat kelemahan. Maka mandi karena memandikan mayit dan wudhu karena menyentuhnya adalah sunnah, bukan wajib. Ia menjadi sunnah meskipun haditsnya lemah, karena Nabi SAW melakukannya, demikian pula para sahabatnya.
Diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin az-Zubair dari ‘Āisyah bahwa Nabi SAW mandi karena empat hal: dari janabah, pada hari Jum‘at, dari bekam, dan dari memandikan mayit.
Apabila hadits ini sahih dan tetap, maka di antara ahli hadits ada yang mengeluarkan kesahihannya dari seratus dua puluh jalur. Maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang kewajibannya dengan dua wajah:
Pertama: hukumnya wajib, karena adanya perintah yang tetap dengannya. Ini adalah pendapat Abū Isḥāq.
Kedua: meskipun perintahnya tetap, hukumnya hanya mustahabb, karena adanya kemungkinan (ta’wil). Ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ مَأْمُورٌ بِهِ اسْتِحْبَابًا وَإِمَّا وَاجِبًا، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ هَلْ هُوَ مَعْقُولُ الْمَعْنَى أَمْ لَا؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَيْسَ هُوَ بِمَعْقُولِ الْمَعْنَى، وَإِنَّمَا فَعَلَ اسْتِسْلَامًا لِلشَّرْعِ، وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ هُوَ مَعْقُولُ الْمَعْنَى، فَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا فِي مَعْنَاهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطِّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ، وَأَبِي الْعَبَّاسِ أن المعنى فيه نَجَاسَةِ الْمَيِّتِ، وَالْغُسْلُ مِنَ الْأَنْجَاسِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ إِنْ كَانَ يَابِسًا وَوَاجِبٌ إِنْ كَانَ رَطْبًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الْمَعْنَى فِيهِ حُرْمَةُ الْمَيِّتِ كما تلزم الطهارة لملامسة النساء الأحياء لحرمتين لِيُصَلَّى عَلَى الْمَيِّتِ عَلَى أَكْمَلِ طَهَارَةٍ.
(PASAL)
Apabila telah tetap bahwa mandi (karena memandikan mayit) itu diperintahkan, baik dalam bentuk sunnah maupun wajib, maka para sahabat kami berbeda pendapat: apakah ia ma‘qūl al-ma‘nā (dapat dipahami illat-nya) atau tidak?
Sebagian mereka berkata: ia tidak dapat dipahami illat-nya, melainkan dilakukan sebagai bentuk kepatuhan terhadap syariat.
Sebagian yang lain berkata: bahkan ia ma‘qūl al-ma‘nā. Orang yang berpendapat demikian berbeda dalam menjelaskan maknanya menjadi dua wajah:
Wajah pertama: yaitu pendapat Abū Ṭayyib bin Salamah dan Abū al-‘Abbās, bahwa maknanya adalah karena najisnya mayit. Maka mandi dari najis itu dianjurkan jika kering, dan wajib jika basah.
Wajah kedua: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās dan Ibn Abī Hurairah, bahwa maknanya adalah karena penghormatan kepada mayit, sebagaimana diwajibkan thaharah ketika menyentuh perempuan yang hidup karena penghormatan. Maka dimaksudkan agar dishalati mayit dalam keadaan thaharah yang sempurna.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَإِنْ قِيلَ بِوُجُوبِهِ، فَهُوَ لَا مَحَالَةَ مُقَدَّمٌ عَلَى غُسْلِ الْجُمُعَةِ، وَإِنْ قِيلَ بِاسْتِحْبَابِهِ فَفِي تَأْكِيدِهِ عَلَى غُسْلِ الْجُمُعَةِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ أَنَّ غُسْلَ الْجُمُعَةِ أَوْكَدُ سُنَّةً؛ لِثُبُوتِ الْخَبَرِ فِيهِ وَاخْتِلَافِ النَّاسِ فِي وُجُوبِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ أَوْكَدُ مِنْ غُسْلِ الْجُمُعَةِ، لِوُقُوفِ الْخَبَرِ عَلَى الصِّحَّةِ وَتَرَدُّدِهِ بَيْنَ الواجب والسنة.
(PASAL)
Apabila telah tetap sebagaimana kami sebutkan, maka jika dikatakan hukumnya wajib, maka tidak diragukan lagi ia didahulukan atas mandi Jum‘at. Dan jika dikatakan hukumnya sunnah, maka dalam hal penegasannya dibanding mandi Jum‘at terdapat dua qaul:
Qaulan pertama: yaitu qaul qadīm, bahwa mandi Jum‘at lebih ditekankan kesunnahannya, karena adanya khabar yang tetap padanya serta adanya perbedaan pendapat ulama tentang kewajibannya.
Qaulan kedua: yaitu qaul jadīd, bahwa mandi (karena memandikan mayit) lebih ditekankan daripada mandi Jum‘at, karena khabar tentangnya sahih serta statusnya yang masih diperdebatkan antara wajib dan sunnah.
(فصل)
: فأما المزني فإنه أنكره وَمَنَعَ مِنْ ثُبُوتِ حُكْمِهِ حَتْمًا أَوْ نَدْبًا تَعَلُّقًا بِأَنَّ مَنْ مَسَّ كَلْبًا أَوْ خِنْزِيرًا لَمْ يَتَوَضَّأْ فَكَيْفَ يَتَوَضَّأُ مِنْ أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ، وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَمَعَ مَا فَرَّقَتِ السُّنَّةُ بَيْنَهُمَا.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ اسْتِدْلَالٌ يَرْفُضُ الْأُصُولَ، لِأَنَّ مَنْ مَسَّ امْرَأَةً مُؤْمِنَةً تَوَضَّأَ، وَمَنْ مَسَّ مَيْتَةً أَوْ خِنْزِيرًا لَمْ يَتَوَضَّأْ، وَمَنْ مَسَّ ذَكَرَ مُؤْمِنٍ تَوَضَّأَ وَلَوْ مَسَّ بَوْلًا أَوْ عَذِرَةً لَمْ يَتَوَضَّأْ فَكَيْفَ يمنع من تسليم أَنْ يَكُونَ الشَّرْعُ وَارِدًا بِالْوُضُوءِ مِنْ مَسِّ الْمَيْتَةِ دُونَ الْخِنْزِيرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
(PASAL)
Adapun al-Muzanī, maka ia mengingkari (hukum ini) dan menolak tetapnya, baik sebagai kewajiban maupun anjuran, dengan alasan bahwa barangsiapa menyentuh anjing atau babi tidak diwajibkan wudhu, maka bagaimana mungkin diwajibkan wudhu karena menyentuh saudaranya sesama mukmin?!
Ini adalah kesalahan dari dua sisi:
Pertama: karena ia menggabungkan sesuatu yang telah dibedakan oleh sunnah.
Kedua: karena itu adalah bentuk istidlāl yang menolak ushul. Sebab barangsiapa menyentuh seorang perempuan mukmin maka ia berwudhu, sementara barangsiapa menyentuh bangkai atau babi tidak berwudhu. Barangsiapa menyentuh kemaluan seorang mukmin maka ia berwudhu, sementara jika menyentuh air kencing atau kotoran tidak berwudhu. Maka bagaimana bisa ditolak kemungkinan bahwa syariat memang datang dengan kewajiban wudhu karena menyentuh mayit tetapi tidak karena menyentuh babi? Wallāhu a‘lam.
(مَسْأَلَةٌ)
: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” قَالَ اللَهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيض وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) {قَالَ الشَّافِعِيُّ) ” مِنَ الْمَحِيضِ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ” (قَالَ الشَّافِعِيُّ) تَطَهَّرْنَ بِالْمَاءِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْحَيْضَ هُوَ مَا يُرْخِيهِ الرَّحِمُ مِنَ الدَّمِ إِذَا كَانَ عَلَى وَصْفٍ وَقَدْ وَرَدَ الشَّرْعُ لَهُ بِسِتَّةِ أَسْمَاءٍ بَعْضُهَا فِي اللِّسَانِ مَذْكُورٌ وَبَعْضُهَا فِي اللُّغَةِ مَشْهُورٌ.
BAB HAID PEREMPUAN, SUCINYA, DAN ISTIHADHAHNYA
MASALAH
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: “Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman: {Maka jauhilah perempuan pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka hingga mereka suci},” (asy-Syafi‘i berkata:) “dari haid. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu, (asy-Syafi‘i berkata:) telah bersuci dengan air.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa haid adalah darah yang dilepaskan oleh rahim apabila sesuai dengan sifatnya, dan dalam syariat telah disebutkan untuknya enam nama, sebagian disebut dalam lisan, dan sebagian lagi terkenal dalam bahasa.
أَحَدُهَا: وَهُوَ أَشْهَرُهَا عِنْدَ الْخَاصِّ وَالْعَامِّ الْحَيْضُ، وَفِي تَكَلُّفِ الشَّاهِدِ عَلَيْهِ فِي شَرْعٍ أَوْ لُغَةٍ عَنَاءٌ مُسْتَهْجَنٌ وَسُمِّيَ حَيْضًا لِسَيَلَانِهِ مِنْ رَحِمِ الْمَرْأَةِ، مأخوذ من قوله: حاض السبيل، وَفَاضَ إِذَا سَالَ وَمِنْهُ قَوْلُ عِمَارَةَ بْنِ عقيل:
(أجالت حصاهن الدواري وحيضت … عليهن حيضات السيول الطواحم)
السيول الجواري الَّتِي تُدِيرُ التُّرَابَ، وَكَذَلِكَ الذَّارِيَاتُ والْهَوَاجِمُ السُّيُولُ الْعَالِيَةُ وَحَيَّضَتْ أَيْ سَيَّلَتْ، وَحَيْضَاتُ السُّيُولِ مَا سَالَ مِنْهَا فَسُمِّيَ بِهِ دَمُ الْحَيْضِ حَيْضًا لِسَيَلَانِهِ.
Pertama, dan ini yang paling masyhur di kalangan khusus maupun awam, adalah haidh. Mencari dalilnya secara syar‘i maupun secara bahasa adalah usaha yang sia-sia lagi tidak layak. Disebut haidh karena mengalir dari rahim perempuan. Kata ini diambil dari ungkapan ḥāḍa as-sabīl, dan fāḍa jika sesuatu itu mengalir. Di antaranya adalah perkataan ‘Imārah bin ‘Uqail:
Ajālat ḥiṣāhunna ad-duwārī wa ḥayyaḍat … ‘alayhinna ḥaiḍātu as-suyūl aṭ-ṭawāḥim
(“Batu-batu bundar mereka diputar, dan air bah pun mengaliri mereka dengan aliran banjir yang ganas.”)
Yang dimaksud dengan as-suyūl al-jawārī adalah banjir yang mengaduk tanah, demikian juga adz-dzāriyāt dan al-hawājim, yaitu banjir besar yang tinggi. Ḥayyaḍat artinya mengaliri, dan ḥaiḍātu as-suyūl adalah aliran yang mengalir darinya. Maka darah haid disebut haidh karena sifatnya yang mengalir.
وَالثَّانِي: الطَّمْثُ وَالْمَرْأَةُ طَامِثٌ، قَالَ الْفَرَّاءُ: الطَّمْثُ الدَّمُ، وَكَذَلِكَ قِيلَ إِذَا افْتَضَّ الرَّجُلُ الْبِكْرَ قَدْ طَمَثَهَا أَيْ أَدْمَاهَا قَالَ اللَّهُ تعالى: {فِيهِنَّ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ لَم يَطْمِثْهُنَّ إنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلاَ جَانٌّ) {الرحمن: 56) .
وَقَالَ الشَّاعِرُ وَهُوَ الْفَرَزْدَقُ:
(دُفِعْنَ إِلَيَّ لَمْ يُطْمَثْنَ قَبْلِي … وَهُنَّ أصَحُّ مِنْ بَيْضِ النَّعَامِ)
Kedua, ṭamṡ, dan perempuan disebut ṭāmiṡ. Al-Farrā’ berkata: ṭamṡ adalah darah. Begitu pula dikatakan, apabila seorang laki-laki merobek keperawanan seorang gadis, maka dikatakan ṭamaṡahā, yakni telah mengalirkannya darah.
Allah Ta‘ala berfirman:
{Di dalam surga itu ada para bidadari yang menundukkan pandangan, yang belum pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka dan tidak pula oleh jin} (QS ar-Raḥmān: 56).
Dan penyair al-Farazdaq berkata:
Dufi‘na ilayya lam yuṭmaṡna qablī … wa hunna aṣaḥḥu min baiḍi an-na‘ām
(“Mereka diserahkan kepadaku, belum pernah ditamṡ sebelumnya … dan mereka lebih sehat dari telur burung unta.”)
وَالثَّالِثُ: الْعَرْكُ، وَالْمَرْأَةُ عَارِكٌ وَالنِّسَاءُ عَوَارِكُ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: إِذَا عَرَكَتِ الْمَرْأَةُ فَلَا يَحِلُّ أَنْ يُنْظُرَ إِلَى شَيْءٍ مِنْهَا إِلَّا إِلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا وَيُرْوَى إِذَا عَارَكَتْ يَعْنِي: إِذَا حَاضَتْ مَأْخُوذٌ مِنْ عَرَاكِ الرِّجَالِ وَقَالَ الشَّاعِرُ:
(أَفِي السِّلْمِ أَعْيَارُ أجفاءٍ وغلظةٍ … وَفِي الْحَرْبِ أَشْبَاهُ النساء العوارك)
Ketiga, ‘ark, dan perempuan disebut ‘ārik, sedangkan bentuk jamaknya adalah ‘awārik. Diriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Jika seorang perempuan telah ‘araka, maka tidak halal dilihat sesuatu pun darinya kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya.”
Juga diriwayatkan: idzā ‘ārakat, maksudnya: jika ia mengalami haid.
Kata ini diambil dari ‘arāk para lelaki. Penyair berkata:
Afi as-silmi a‘yāru ajfā’in wa ghalẓatin … wa fi al-ḥarbi asybāhu an-nisā’i al-‘awārik
(“Apakah di masa damai kalian adalah lelaki keras dan kasar … tapi saat perang kalian seperti para wanita yang haid.”)
وَالرَّابِعُ: الضَّحِكُ وَالْمَرْأَةُ ضَاحِكٌ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ} وَقَالَ مُجَاهِدٌ حَاضَتْ، وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
(وَضَحِكُ الْأَرَانِبِ فَوْقَ الصَّفَا … كَمِثْلِ دَمِ الْحَرْقِ يَوْمَ اللِّقَا)
Keempat, aḍ-ḍaḥik, dan perempuan disebut ḍāḥik. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan istrinya berdiri lalu ia tertawa} (QS Hūd: 71). Mujāhid berkata: maksudnya adalah ḥāḍat (mengalami haid).
Di antaranya juga adalah perkataan penyair:
Wa ḍaḥiku al-arānibi fawqa aṣ-ṣafā … ka-mitsli dami al-ḥarqi yauma al-liqā
(“Dan tawa kelinci di atas bebatuan … seperti darah luka bakar di hari pertemuan.”)
وَالْخَامِسُ: الْإِكْبَارُ، وَالْمَرْأَةُ مُكْبَرٌ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ) {يوسف: 31) .
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مَعْنَاهُ حِضْنَ عِنْدَ رُؤْيَتِهِ قَالَ الشَّاعِرُ:
(نَأْتِي النِّسَاءَ عَلَى أطهَارِهِنَّ وَلَا … نَأتِي النِّسَاءَ إِذَا أُكْبِرْنَ إِكْبَارًا)
Kelima, al-ikbār, dan perempuan disebut mukbar. Allah Ta‘ala berfirman: {Maka ketika mereka melihatnya, mereka mengaguminya} (QS Yūsuf: 31).
Ibnu ‘Abbās berkata: maknanya adalah mereka ḥiḍna (mengalami haid) saat melihatnya.
Penyair berkata:
Na’tī an-nisā’a ‘alā aṭhārihinna wa lā … na’tī an-nisā’a idzā ukbirna ikbāran
(“Kami mendatangi perempuan dalam keadaan suci mereka, dan tidak mendatangi perempuan jika mereka mengalami ikbār.”)
وَالسَّادِسُ: الْإِعْصَارُ، وَالْمَرْأَةُ مُعْصِرٌ وَقَالَ الشَّاعِرُ:
(جاريةٌُ قَدْ أَعْصَرَتْ … أَوْ قَدْ دَنَا إِعْصَارُهَا)
وَمِنْهُ اشْتُقَّ لِلسَّحَابِ اسْمُ الْإِعْصَارِ لِخُرُوجِ الْمَطَرِ مِنْهُ كَخُرُوجِ الدَّمِ مِنَ الرَّحِمِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَأَنْزَلْنَا مِنَ المُعْصِرَاتٍ مَاءً ثَجَّاجاً) {النبأ: 14) .
Keenam, al-i‘ṣār, dan perempuan disebut mu‘ṣir. Penyair berkata:
Jāriyatun qad a‘ṣarat … aw qad danā i‘ṣāruhā
(“Seorang gadis yang telah mengalami i‘ṣār, atau telah dekat masa i‘ṣār-nya.”)
Dari kata ini pula diambil penamaan i‘ṣār untuk awan, karena keluarnya hujan darinya seperti keluarnya darah dari rahim.
Allah Ta‘ala berfirman:
{Dan Kami turunkan dari awan yang membawa hujan air yang tercurah} (QS an-Naba’: 14).
وَقَالَ عُمَرُ بْنُ أَبِي رَبِيعَةَ:
(فَكَانَ مِجَنِّي دُونَ مَنْ كُنْتُ أَتَّقِي … ثَلَاثُ شُخُوصٍ كَاعِبَانِ وَمَعْصَرُ)
أَيْ: حَائِضٌ، فَالْحَيْضُ فِي النساء خلقة فطهرهن اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهَا وَقَدْ ذَكَرَ الْجَاحِظُ فِي كِتَابِ الْحَيَوَانِ أَنَّ الَّذِي يَحِيضُ مِنَ الْحَيَوَانِ أَرْبَعَةٌ، الْمَرْأَةُ، وَالضَّبْعُ وَالْأَرْنَبُ وَالْخُفَّاشُ وَحَيْضُ الضَّبْعِ وَالْأَرْنَبِ مَشْهُورٌ فِي أَشْعَارِ الْعَرَبِ قَالَ الشَّاعِرُ فِي حَيْضِ الضَّبْعِ:
(تَضْحَكُ الضَّبْعُ لِقَتْلَى هذيلٍ … وترى الذئب بها يستهل)
يعني تحيض.
Dan ‘Umar bin Abī Rabī‘ah berkata:
Fa kāna mijannī dūna man kuntu attaqī … ṯalāṡu syuḫūṣin kā‘ibān wa mu‘ṣir
(“Maka perisaiku berada di hadapan orang yang hendak kuwaspadai … tiga sosok: dua gadis yang telah membesar dadanya dan satu yang sedang haid.”)
Yaitu: ḥāiḍ (sedang haid). Maka haid pada perempuan adalah bagian dari penciptaan, dan Allah Ta‘ala telah mensucikan mereka dengannya.
Al-Jāḥiẓ menyebutkan dalam Kitāb al-Ḥayawān bahwa hewan yang mengalami haid ada empat: perempuan, hyena (aḍ-ḍab‘), kelinci, dan kelelawar. Haidnya hyena dan kelinci masyhur dalam syair-syair Arab. Seorang penyair berkata tentang haidnya hyena:
Taḍḥaku aḍ-ḍab‘u li-qatlā Hudzayl … wa tarā adz-dzi’ba bihā yastahil
(“Hyena itu tertawa menyaksikan terbunuhnya orang-orang Hudzayl … dan engkau melihat serigala menangis karenanya.”)
Artinya: mengalami haid.
(فصل)
: وَرَوَى يَعْلَى بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا أَكَلَ آدَمُ مِنَ الشَّجَرَةِ الَّتِي نَهَاهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يَا آدَمُ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ قَالَ: زَيَّنَتْهُ لِي حَوَّاءُ قَالَ: إِنِّي عَاقَبْتُهَا أَلَّا تَحْمِلَ إِلَّا كُرْهًا وَلَا تَضَعَ إِلَّا كُرْهًا وَدَمَيْتُهَا فِي الشَّهْرِ مَرَّتَيْنِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ حَوَّاءَ عِنْدَ ذَلِكَ فَقَالَ: عَلَيْكِ الرِّثَّةُ وَعَلَى بَنَاتِكِ.
PASAL
Diriwayatkan dari Ya‘là bin Muslim, dari Sa‘īd, dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Ketika Ādam memakan buah dari pohon yang telah Allah Ta‘ala larang, Allah Ta‘ala berfirman: “Wahai Ādam, apa yang mendorongmu melakukan hal itu?” Ia menjawab: “Ḥawwā’ yang memperindahkannya bagiku.” Maka Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menghukumnya, bahwa ia tidak akan hamil kecuali dengan rasa susah, dan tidak melahirkan kecuali dengan rasa susah, dan Aku jadikan darah keluar darinya dalam sebulan dua kali.”
Ibnu ‘Abbās berkata: “Lalu aku melihat Ḥawwā’ saat itu, dan Allah berfirman: ‘Atasmu pakaian usang, dan atas anak-anak perempuanmu.’”
(فَصْلٌ)
: وَكَانَ السَّبَبُ فِي بَيَانِ حُكْمِ الْحَيْضِ وَمَا يَلْزَمُ اجْتِنَابُهُ مِنَ الْحَائِضِ مَا رُوِيَ أَنَّأُسَيْدَ بْنَ حُضَيْرٍ وَعَبَّادَ بْنَ بِشْرٍ وَثَابِتَ بْنَ الدَّحْدَاحِ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن حكم الحيض والحائض، واختلف في سبب سُؤَالِهِمْ، فَقَالَ قَتَادَةُ: كَانَ سَبَبُ سُؤَالِهِمْ أَنَّ الْعَرَبَ، وَمَنْ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ يَجْتَنِبُونَ مُسَاكَنَةَ الْحَائِضِ وَمُوَاكَلَتَهَا وَمُشَارَبَتَهَا فَسَأَلُوا عَنْهُ لِيَعْلَمُوا حُكْمَ الشَّرْعِ فِيهِ، وَقَالَ مُجَاهِدٌ: بَلْ كَانُوا يَعْتَزِلُونَ وَطْأَهُنَّ فِي الْفَرْجِ وَيَأْتُوهُنَّ فِي أَدْبَارِهِنَّ مُدَّةَ حَيْضِهِنَّ فَسَأَلُوا لِيَعْلَمُوا حُكْمَهُ فِيهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ) {البقرة: 222) .
PASAL
Adapun sebab penjelasan hukum haid dan apa yang wajib dijauhi dari perempuan haid adalah sebagaimana yang diriwayatkan bahwa Usayd bin Ḥuḍayr, ‘Abbād bin Bisyr, dan Ṯābit bin ad-Daḥdāḥ bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum haid dan perempuan haid. Para ulama berbeda pendapat mengenai sebab pertanyaan mereka.
Qatādah berkata: Sebab pertanyaan mereka adalah karena orang-orang Arab dan kaum yang hidup pada awal Islam menjauhi tinggal serumah dengan perempuan haid, tidak makan bersama mereka, dan tidak minum bersama mereka. Maka mereka bertanya untuk mengetahui hukum syariat dalam hal itu.
Sedangkan Mujāhid berkata: Bahkan mereka menjauhi menyetubuhi mereka di farji, namun mendatangi mereka dari arah belakang selama masa haid mereka. Maka mereka bertanya untuk mengetahui hukumnya. Maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya:
{Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: itu adalah kotoran. Maka jauhilah perempuan di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka hingga mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri} (QS al-Baqarah: 222).
فَبَدَأَ بِتَفْسِيرِ الْآيَةِ.
فَأَمَّا قَوْلُهُ سُبْحَانَهُ: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ) {البقرة: 222) فَالْمَحِيضُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ عِبَارَةً عَنْ دَمِ الْحَيْضِ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ العلم، وقوله هو أذىً فَالْأَذَى هُوَ مَا يُؤْذِي فَسَمَّى دَمَ الْحَيْضِ أذى؛ لأنه له لوناً ورائحة منتة وَنَجَاسَةٌ مُؤْذِيَةٌ مَعَ مَنْعِهِ مِنْ عِبَادَاتٍ وَتَغَيُّرِ أَحْكَامٍ، وَقَوْلُهُ {فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ) {البقرة: 222) فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Maka dimulailah dengan tafsir ayat tersebut.
Adapun firman-Nya Subḥānahu: {Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid} (QS al-Baqarah: 222), maka al-maḥīḍ dalam konteks ini adalah ungkapan untuk darah haid menurut kesepakatan para ulama. Dan firman-Nya: “Katakanlah: itu adalah kotoran”, maka al-adzā adalah sesuatu yang menyakiti. Maka Allah menyebut darah haid sebagai adzā karena ia memiliki warna, bau yang busuk, dan merupakan najis yang menyakiti, di samping mencegah perempuan dari ibadah serta menyebabkan perubahan berbagai hukum.
Adapun firman-Nya: {Maka jauhilah perempuan} (QS al-Baqarah: 222), ayat ini memiliki dua takwilan:
أَحَدُهُمَا: اعْتِزَالُ جَمِيعِ بَدَنِهَا أَنْ يُبَاشِرَهُ بِشَيْءٍ مِنْ بَدَنِهِ وَهَذَا قَوْلُ عُبَيْدَةَ السَّلْمَانِيِّ اسْتِعْمَالًا لِعُمُومِ اللَّفْظِ.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّ الْمُرَادَ اعْتِزَالُ وَطْئِهَا دُونَ غَيْرِهِ، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ لِرِوَايَةِ حَمَّادٍ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إِذَا حَاضَتْ مِنْهُنَّ المرأة أخرجوها من البيت ولم يواكلوها، وَلَمْ يُشَارِبُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِي الْبَيْتِ، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً) {البقرة: 222) إِلَى آخِرِ الْآيَةِ، فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ وَاصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ، فَقَالَتِ الْيَهُودُ مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِنَا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ وَرَوَتْ صَفِيَّةُ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَضَعُ رَأْسَهُ فِي حِجْرِي فَيَقْرَأُ وَأَنَا حائضٌ وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ إِنِّي لَأَدْنُو إِلَى الْحَائِضِ، وَمَالِي إليها ضرورة أي: ميل إِلَيْهَا لِحَاجَةٍ وَقَوْلُهُ فِي الْمَحِيضِ فِي هَذَا الْمَحِيضِ الثَّانِي ثَلَاثُ تَأْوِيلَاتٍ:
Pertama, maknanya adalah menjauhi seluruh tubuhnya, yakni tidak menyentuh sedikit pun dari badannya dengan anggota badan sendiri. Ini adalah pendapat ‘Ubaidah as-Salmānī dengan berpegang pada keumuman lafaz ayat.
Takwilan kedua, bahwa yang dimaksud adalah menjauhi jima‘ saja, bukan yang lainnya. Ini adalah pendapat jumhur, berdasarkan riwayat Ḥammād dari Ṯābit al-Bunānī dari Anas bin Mālik bahwa orang-orang Yahudi, apabila seorang perempuan haid di antara mereka, mereka mengeluarkannya dari rumah, tidak makan bersama, tidak minum bersama, dan tidak bergaul dengannya di dalam rumah. Maka Rasulullah SAW ditanya tentang hal itu, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan: {Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: itu adalah kotoran} (QS al-Baqarah: 222) hingga akhir ayat.
Maka Rasulullah SAW bersabda: “Bergaullah dengan mereka di dalam rumah, dan lakukanlah segala sesuatu kecuali nikāḥ (jima‘).” Maka orang-orang Yahudi berkata: “Orang ini tidak ingin membiarkan satu pun dari urusan kita kecuali ia menyelisihi kita di dalamnya.”
Ṣafiyyah meriwayatkan dari ‘Āisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW meletakkan kepalanya di pangkuanku dan membaca (al-Qur’an) sedangkan aku sedang haid.”
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya aku mendekati perempuan haid, padahal aku tidak memiliki kebutuhan darinya,” maksudnya: condong kepadanya karena ada keperluan.
Adapun firman-Nya “fī al-maḥīḍ” dalam maḥīḍ yang kedua, memiliki tiga takwilan:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ دَمُ الْحَيْضِ كَالْحَيْضِ الْأَوَّلِ.
وَالثَّانِي: زَمَانُ الْحَيْضِ لِيَعُمَّ زَمَانَ جَرَيَانِ الدَّمِ وَمَا يَتَخَلَّلُهُ مِنْ أَوْقَاتِ انقطاعه.
وَالثَّالِثُ: مَكَانُ الْحَيْضِ وَهُوَ الْفَرْجُ كَمَا يُقَالُ: مبيت ومقيل لمكان البيتوتة، ومكان القيولة، وَهُوَ قَوْلُ أَزْوَاجِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَجُمْهُورِ الْمُفَسِّرِينَ.
Pertama: bahwa yang dimaksud adalah darah haid, sebagaimana pada kata al-ḥaiḍ yang pertama.
Kedua: waktu haid, agar mencakup masa mengalirnya darah dan waktu-waktu terputus di antara alirannya.
Ketiga: tempat haid, yaitu farji, sebagaimana dikatakan mabīt dan maqīl untuk menunjukkan tempat bermalam dan tempat tidur siang. Ini adalah pendapat istri-istri Rasulullah SAW dan jumhur para mufassir.
وَقَوْلُهُ {وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ) {البقرة: 222) فِيهِ قراءتان:
إحداهما: أنه تأكيد لقوله ” فاعتزلوا ” بِالتَّخْفِيفِ وَضَمِّ الْهَاءِ، وَمَعْنَاهُ: انْقِطَاعُ الدَّمِ وَهُوَ قول مجاهد وعكرمة.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ تَحْدِيدٌ لِآخِرِ زَمَانِ التَّحْرِيمِ وَقَوْلُهُ ” حتى يطهرن ” فيه قراءتان.
وَالثَّانِيَةُ: بِالتَّشْدِيدِ وَفَتْحِ الْهَاءِ.
وَمَعْنَاهُ: حَتَّى يَغْتَسِلْنَ.
Dan firman-Nya {wa lā taqrabūhunna} (QS al-Baqarah: 222) memiliki dua qirā’ah:
Yang pertama: sebagai penegasan terhadap firman-Nya “fa‘tazilū”, dengan bacaan ringan (takhfīf) dan ḍamm pada huruf hā’ (yakni yaṭhurna). Maknanya adalah berhentinya darah. Ini adalah pendapat Mujāhid dan ‘Ikrimah.
Yang kedua: sebagai penentuan akhir waktu keharaman. Adapun firman-Nya “ḥattā yaṭhurna”, padanya juga terdapat dua qirā’ah:
Yang kedua: dengan bacaan tasydīd dan fatḥah pada huruf hā’ (yakni yaṭṭaharna). Maknanya adalah hingga mereka mandi (bersuci).
وقوله {فَإِذَا تَطَهرْنَّ) {البقرة: 222) فيه قولان:
أَحَدُهُمَا: تَطَهَّرْنَ مِنَ الدَّمِ بِانْقِطَاعِهِ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة.
وَالثَّانِي: يَطْهُرْنَ بِالْمَاءِ، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ الصَّحِيحُ؛ لِأَنَّهُ أَضَافَ الطَّهَارَةَ إِلَى فِعْلِهِنَّ وَلَيْسَ انْقِطَاعُ الدَّمِ مِنْ فِعْلِهِنَّ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُرَادًا وَفِي صِفَةِ هَذِهِ الطَّهَارَةِ لِأَهْلِ التَّأْوِيلِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
أَحَدُهَا: غَسْلُ الْفَرْجِ وَهَذَا قَوْلُ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ.
وَالثَّانِي: الوضوء وهو قول طاووس وَمُجَاهِدٍ.
وَالثَّالِثُ: الْغُسْلُ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعِكْرِمَةَ وَالْحَسَنِ وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ.
Dan firman-Nya {fa idzā taṭahharna} (QS al-Baqarah: 222), terdapat dua pendapat:
Pertama: bahwa yang dimaksud adalah mereka bersuci dari darah dengan berhentinya darah, dan ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah.
Kedua: bahwa mereka bersuci dengan air, dan ini adalah pendapat jumhur, serta inilah yang shahih, karena Allah menyandarkan ṭahārah (kesucian) kepada perbuatan mereka, sedangkan berhentinya darah bukan termasuk perbuatan mereka, maka tidak boleh dijadikan sebagai maksud.
Adapun dalam menjelaskan bentuk ṭahārah ini menurut para ahli takwil, terdapat tiga pendapat:
Pertama: mencuci farji, dan ini adalah pendapat Dāwud bin ‘Alī.
Kedua: wudhu, dan ini adalah pendapat Ṭāwūs dan Mujāhid.
Ketiga: mandi (ghusl), dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbās, ‘Ikrimah, dan al-Ḥasan, serta pendapat ini juga dipegang oleh asy-Syāfi‘ī dan jumhur fuqahā’.
وَقَوْلُهُ: {فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ) {البقرة: 222) فِيهِ تأويلان:
أَحَدُهَا: الْقُبُلُ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ فِي حَالِ الْحَيْضِ دُونَ الدُّبُرِ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٍ.
وَالثَّانِي: مِنْ قِبَلِ طُهْرِهِنَّ لَا مِنْ قِبَلِ حَيْضِهِنَّ، وَهَذَا قَوْلُ عِكْرِمَةَ وقَتَادَةَ.
وَالثَّالِثُ: فَأْتُوهُنَّ مِنْ قِبَلِ النِّكَاحِ لَا مِنْ قِبَلِ الْفُجُورِ وَهَذَا قَوْلُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ.
وَقَوْلُهُ {إنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَابِينَ) {البقرة: 222) ويحب المتطهرين فيه ثلاث تَأْوِيلَاتٍ:
أَحَدُهَا: الْمُتَطَهِّرِينَ بِالْمَاءِ وَهَذَا قَوْلُ عَطَاءٍ.
وَالثَّانِي: الْمُتَطَهِّرِينَ مِنْ أَدْبَارِ النِّسَاءِ أَنْ يَأْتُوهَا، وَهَذَا قَوْلُ مُجَاهِدٍ.
وَالثَّالِثُ: الْمُتَطَهِّرِينَ مِنَ الذُّنُوبِ أن يعودوا فيها بَعْدَ التَّوْبَةِ مِنْهَا وَهَذَا مَحْكِيٌّ عَنْ مُجَاهِدٍ أيضاً.
Firman-Nya: {fa’tūhunna min ḥayṡu amarakumu Allāh} (QS al-Baqarah: 222), padanya terdapat beberapa takwilan:
Pertama: yang dimaksud adalah qubul (kemaluan depan), yaitu tempat yang dilarang untuk didatangi saat haid, bukan dubur. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbās dan Mujāhid.
Kedua: dari arah kesucian mereka, bukan dari arah haid mereka. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah dan Qatādah.
Ketiga: datangi mereka dengan cara pernikahan, bukan dengan cara kebejatan. Ini adalah pendapat Muḥammad bin al-Ḥanafiyyah.
Adapun firman-Nya: {Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri} (QS al-Baqarah: 222), terdapat tiga takwilan:
Pertama: orang-orang yang menyucikan diri dengan air. Ini adalah pendapat ‘Aṭā’.
Kedua: orang-orang yang menyucikan diri dari menyetubuhi wanita lewat dubur. Ini adalah pendapat Mujāhid.
Ketiga: orang-orang yang menyucikan diri dari dosa, yakni tidak kembali lagi setelah bertobat darinya. Ini juga dinukil dari Mujāhid.
فَهَذَا مَا جَاءَ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ حُكْمِ الْحَيْضِ، وَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَدَارُ الْحَيْضِ فِيهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَحَادِيثَ:
أَحَدُهَا: حَدِيثُ أُمِّ سَلَمَةَ فِي الْمُعْتَادَةِ.
وَالثَّانِي: حَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ فِي الْمُمَيِّزَةِ.
وَالثَّالِثُ: حَدِيثُ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ فِي الْمُسْتَحَاضَةِ.
فَأَمَّا حَدِيثُ أُمِّ سَلَمَةَ فَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَهْرَاقُ الدَّمَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاسْتَفْتَتْ لَهَا أُمُّ سَلَمَةَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ لِتَنْظُرْ عَدَدَ اللَّيَالِي وَالأيَامِ الَّتِي كَانَتْ تحيضهن من الشهر قبل أن يصيبها الذي أَصَابَهَا فَلْتَتْرُكِ الصَّلَاةَ قَدْرَ ذَلِكَ مِنَ الشَّهْرِ فَإِذَا خَلَفَتْ ذَلِكَ فَلْتَغْتَسِلْ ثُمَّ لِتَسْتَنْقِ بثوبٍ ثَمَّ لِتُصَلِّيَ.
وَأَمَا حَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حبيش فرواه ابن شهاب عن عروة ابن الزُّبَيْرِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ أَنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضَةِ فَإِنَهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ وَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي، فَإِنَّمَا هُوَ عرقٌ.
Maka inilah yang datang dalam Kitab Allah Ta‘ala tentang hukum haid. Adapun dalam sunnah, pokok pembahasan haid bersandar pada tiga hadis:
Pertama: hadis Ummu Salamah tentang perempuan yang memiliki kebiasaan (haid teratur).
Kedua: hadis Fāṭimah binti Abī Ḥubaisy tentang perempuan yang dapat membedakan (antara darah haid dan istihādah).
Ketiga: hadis Ḥamnah binti Jahsy tentang perempuan yang mengalami istihādah terus-menerus.
Adapun hadis Ummu Salamah, diriwayatkan oleh asy-Syāfi‘ī dari Mālik dari Nāfi‘ dari Sulaimān bin Yasār dari Ummu Salamah bahwa ada seorang perempuan yang darahnya terus-menerus keluar pada masa Rasulullah SAW. Maka Ummu Salamah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW untuknya. Beliau bersabda: “Hendaklah ia melihat jumlah malam dan hari yang biasa ia alami haid dalam sebulan sebelum ia terkena apa yang menimpanya itu. Maka hendaklah ia meninggalkan shalat selama kadar waktu itu dari setiap bulan. Setelah itu, hendaklah ia mandi, lalu menyumbat (kemaluannya) dengan kain, kemudian hendaklah ia shalat.”
Adapun hadis Fāṭimah binti Abī Ḥubaisy, diriwayatkan oleh Ibn Syihāb dari ‘Urwah bin az-Zubair dari Fāṭimah binti Abī Ḥubaisy bahwa ia mengalami istihādah. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: “Jika itu adalah darah haid, maka ia adalah darah berwarna hitam yang dikenal. Apabila yang seperti itu terjadi, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika yang lain (selainnya), maka berwudhulah dan shalatlah, karena itu hanyalah darah urat.”
وَأَمَّا حَدِيثُ حَمْنَةُ بِنْتِ جَحْشٍ فَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ طَلْحَةَ عَنْ عَمِّهِ عِمْرَانَ بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أُمِّهِ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ كُنْتُ أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَثِيرَةً شَدِيدَةً فَجِئْتُ إِلَى النَبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَوَجَدْتُهُ فِي بَيْتِ أُخْتِي زَيْنَبَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً وَإِنَّهُ لحديثٌ مَا بُدٌّ مِنْهُ وإني لأستحي منه فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمَا هُوَ يَا هَنْتَاهُ فَقَالَتْ إِنِي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَثِيرَةً شَدِيدَةً فَمَاتَرَى قَدْ مَنَعَتْنِي الصَّلَاةَ وَالصَوْمَ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وأنا منها فَإِنِي أَبْعَثُ لَكِ الْكُرْسُفَ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَ قَالَتْ هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ قَالَ فَالتَجِمِي قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ قَالَ فَاتَّخِذِي ثَوْبًا قَالَتْ هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ إِنَّمَا أَثُجُّ ثَجًّا فَقَالَ النَّبِيُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَآمُرُكِ بِأَمْرَيْنِ أَيَّهُمَا فَعَلْتِ أَجَزَاكِ عَنِ الْآخَرِ فَإِنْ قَوِيتِ عَلَيْهِمَا فَأَنْتِ أَعْلَمُ قَالَ إِنَّمَا هِيَ ركضةٌ مِنْ رَكْضَاتِ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَةَ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ فِي عِلْمٍ اللَهِ ثُمَّ اغْتَسِلِي حَتَى إِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ واستنقأت فصلي أربعاً وعشرين ليلةً وأيامها أو ثلاثة وعشرين ليلة وأيامها وصومي فإنه يجزيك وَكَذَا افْعَلِي فِي كُلِّ شهرٍ كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ وَكَمَا يَطْهُرْنَ مِيقَاتَ حَيْضِهِنَّ وَطُهْرِهِنَّ فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي الظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي الْعَصْرَ فتغتسلين ثُمَ تُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ الْمَغْرِبَ ثمَ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فَافْعَلِي وَتَغْتَسِلِينَ عِنْدَ الْفَجْرِ ثُمَّ تُصَلِّينَ الصُّبْحَ وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي وَصُومِي إِنْ قَوِيتِ عَلَى ذَلِكَ قال وهذا أحب لاأمرين إليّ.
Adapun hadis Ḥamnah binti Jahsy, diriwayatkan oleh asy-Syāfi‘ī dari Ibrāhīm bin Muḥammad, dari ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Aqīl, dari Ibrāhīm bin Muḥammad bin Ṭalḥah, dari pamannya ‘Imrān bin Ṭalḥah, dari ibunya Ḥamnah binti Jahsy. Ia berkata:
“Aku mengalami istihāḍah dengan darah yang banyak dan deras. Maka aku datang kepada Nabi SAW dan mendapatinya berada di rumah saudara perempuanku, Zainab. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku memiliki kebutuhan yang harus kusampaikan kepadamu, dan ini adalah perkara yang tidak bisa dihindari, meskipun aku malu menyampaikannya.’ Maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Apa itu, wahai Ḥantāh?’ Ia berkata: ‘Sesungguhnya aku mengalami istihāḍah yang sangat banyak dan deras, engkau pun bisa melihatnya sendiri, hal itu telah menghalangiku dari salat dan puasa.’
Nabi SAW bersabda: ‘Aku akan mengirimkan untukmu kapas, karena itu dapat menghentikan darah.’ Ia menjawab: ‘Itu lebih banyak dari itu.’ Beliau bersabda: ‘Kalau begitu ikatlah (alat kelaminmu).’ Ia menjawab: ‘Itu pun lebih banyak dari itu.’ Beliau bersabda: ‘Kalau begitu kenakanlah kain.’ Ia berkata: ‘Itu pun lebih banyak dari itu. Sesungguhnya darah itu mengalir deras sekali.’
Maka Nabi SAW bersabda: ‘Aku akan perintahkan kepadamu dua hal, mana saja yang kau lakukan, itu mencukupimu dari yang lain. Dan jika engkau mampu melakukan keduanya, maka engkaulah yang lebih mengetahui keadaanmu.’
Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya itu hanyalah satu pukulan dari pukulan setan. Maka anggaplah dirimu haid selama enam atau tujuh hari dalam ilmu Allah, lalu mandilah. Jika engkau melihat bahwa engkau telah suci dan bersih, maka salatlah dua puluh empat malam beserta siangnya, atau dua puluh tiga malam beserta siangnya, dan berpuasalah. Maka itu mencukupimu. Dan lakukanlah seperti itu setiap bulan sebagaimana perempuan-perempuan lain mengalami haid dan suci pada waktu haid dan sucinya.
Jika engkau mampu untuk mengakhirkan salat ẓuhr dan menyegerakan salat ‘aṣr, lalu engkau mandi dan salat ẓuhr dan ‘aṣr bersama-sama, kemudian mengakhirkan salat maghrib, lalu mandi dan menggabungkan antara maghrib dan ‘isyā’, maka lakukanlah. Dan mandilah di waktu fajar, kemudian salat subuh. Dan lakukan pula puasa jika engkau mampu melakukannya.’”
Ḥamnah berkata: “Itulah yang paling disukai Nabi SAW dari dua hal tersebut.”
(فصل)
: فإذا أوضح حُكْمُ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَحَيْضُ الْمَرْأَةِ يَتَعَلَّقُ بِهِ سَبْعَةُ أَحْكَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَمْنَعُ مِنَ الصَّلَاةِ وَيُسْقِطُ الْقَضَاءَ أَمَّا تَرْكُ الصَّلَاةِ؛ فَلِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَمِيرَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَمْنَةَ بِنْتَ جَحْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَلِكَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا وَأَمَّا سُقُوطُ الْقَضَاءِ فَلِرِوَايَةِ الشَّافِعِيِّ عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مُعَاذَةَ الْعَدَوِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ عَائِشَةَ أَتَقْضِي الْحَائِضُ الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أحروريةٌ أَنْتِ قَدْ كُنَّا نَحِيضُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَا نَقْضِي الصَّلَاةَ وَلَا نُؤمَرُ بِقَضَائِهَا.
PASAL
Apabila telah jelas hukum dari apa yang kami sebutkan berdasarkan al-Kitāb dan as-Sunnah, maka haid pada perempuan berkaitan dengan tujuh hukum:
Pertama: haid menghalangi dari salat dan menggugurkan kewajiban qadhā’-nya.
Adapun larangan salat, berdasarkan riwayat az-Zuhrī dari ‘Amīrah dari ‘Āisyah bahwa Ḥamnah binti Jahsy mengalami istihāḍah, lalu ia bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu. Maka beliau memerintahkannya untuk meninggalkan salat pada hari-hari qar’-nya (yakni haidnya).
Adapun gugurnya kewajiban qadhā’, berdasarkan riwayat asy-Syāfi‘ī dari ‘Abd al-Wahhāb dari Ayyūb dari Abī Qilābah dari Mu‘ādzah al-‘Adawiyyah bahwa ada seorang perempuan bertanya kepada ‘Āisyah: “Apakah perempuan haid harus mengqadhā salat?” Maka ‘Āisyah menjawab: “Apakah engkau seorang Ḥarūriyyah? Dahulu kami mengalami haid pada masa Rasulullah SAW, maka kami tidak mengqadhā salat dan tidak diperintahkan untuk mengqadhānya.”
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَمْنَعُ مِنَ الصِّيَامِ وَيُوجِبُ الْقَضَاءَ لِرِوَايَةِ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ تَقُولُ: ” إِنْ كَانَ لَيَكونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ فِي رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ حَتَّى يَأْتِيَ شَعْبَانُ ” يَعْنِي: صَوْمَ مَا أَفْطَرَتْ بِالْحَيْضِ، ثُمَّ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى الْقَضَاءِ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الصَّلَاةِ فِي الْقَضَاءِ وَالصَّوْمِ فِي وُجُوبِ الْقَضَاءِ لُحَوْقُ الْمَشَقَّةِ فِي قضائها للصلاة دون الصيام فزادت المشقة فِي قَضَائِهَا وَقَلِيلَةُ الصِّيَامِ وَعَدَمُ الْمَشَقَّةِ فِي قَضَائِهِ.
وَالثَّالِثُ: الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ لِرِوَايَةِ الشَّافِعِيِّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حائضٌ وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلَا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي.
وَالرَّابِعُ: دُخُولُ الْمَسْجِدِ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَمَّا الْمَسْجِدُ فَلَا أُحِلُّهُ لجنبٍ وَلَا لحائضٍ ” وَلِأَنَّ حَدَثَ الْحَيْضِ أَغْلَظُ مِنْ حَدَثِ الْجَنَابَةِ، ثُمَّ كَانَ نَصُّ الْكِتَابِ يَمْنَعُ الْجُنُبَ مِنَ الَمَقَامِ فِيهِ فَكَانَتِ الْحَائِضُ مَعَ مَا يُخَافُ تَنْجِيسُ الْمَسْجِدِ بِدَمِهَا أَحَقَّ بِالْمَنْعِ وَإِذَا مُنِعَتْ مِنَ الْمَسْجِدِ فَهِيَ مَمْنُوعَةٌ مِنَ الِاعْتِكَافِ لَا مَحَالَةَ.
Kedua: Haid menghalangi dari puasa dan mewajibkan qadhā’, berdasarkan riwayat Yaḥyā bin Sa‘īd dari Abī Salamah dari ‘Abdurraḥmān, bahwa ia mendengar ‘Āisyah berkata:
“Sungguh dahulu aku memiliki utang puasa Ramadhan, namun aku tidak mampu mengqadhanya hingga datang bulan Sya‘bān” — maksudnya adalah puasa yang ia tinggalkan karena haid. Dalam riwayat ini terdapat dalil tentang kewajiban qadhā’.
Perbedaan antara salat dan puasa dalam hal qadhā’ adalah karena kesulitan yang besar dalam mengqadhā salat — yang jumlahnya banyak dalam sehari — sedangkan puasa jumlahnya sedikit dan tidak berat untuk diqadhā. Maka karena besarnya kesulitan dalam mengqadhā salat, ia dimaafkan, sedangkan puasa tetap wajib diqadhā.
Ketiga: Tawaf di Ka‘bah, berdasarkan riwayat asy-Syāfi‘ī dari Mālik dari ‘Abdurraḥmān bin al-Qāsim dari ayahnya dari ‘Āisyah, ia berkata:
“Aku tiba di Makkah dalam keadaan haid, maka aku tidak melakukan tawaf di Ka‘bah dan tidak pula sa‘i antara Shafa dan Marwah. Maka aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda: ‘Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, hanya saja jangan tawaf di Ka‘bah hingga engkau suci.’”
Keempat: Masuk masjid, berdasarkan riwayat dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Adapun masjid, maka aku tidak menghalalkannya bagi orang junub dan tidak pula bagi perempuan haid.”
Dan karena hadats haid lebih berat dibanding hadats janabah, sedangkan nash dalam al-Qur’an melarang orang junub menetap di dalam masjid, maka perempuan haid — apalagi dengan adanya kekhawatiran menajiskan masjid dengan darahnya — lebih utama untuk dilarang.
Dan apabila ia dilarang masuk masjid, maka secara otomatis ia dilarang juga dari i‘tikaf.
وَالْخَامِسُ: مَسُّ الْمُصْحَفِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ يَمَسّهُ إِلاَّ المُطَهِّرُونَ) {الواقعة: 79) .
والسادسة: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَإِنْ خَالَفَ فِيهِ مَالِكٌ وَلِمَا دَلَّلْنَا عَلَيْهِ مِنْ نَهْيِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْجُنُبَ وَالْحَائِضَ أَنْ يَقْرَءَا شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ.
وَالسَّابِعُ: الْوَطْءُ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ قَوْله تَعَالَى: {فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ) {البقرة: 222) فَأَمَّا الِاسْتِمْتَاعُ بِمَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَهُوَ مَا عَلَا عَنِ السُّرَّةِ وَانْحَدَرَ عَنِ الرُّكْبَةِ فَمُبَاحٌ لِرِوَايَةِ حَبِيبٍ عَنْ مَيْمُونَةٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُبَاشِرُ الْمَرْأَةَ مِنْ نِسَائِهِ وَهِيَ حائضٌ إِذَا كَانَ عَلَيْهَا إزارٌ إِلَى أَنْصَافِ الْفَخِذَيْنِ أَوِ الرُّكْبَتَيْنِ تَحْتَجِرُ بِهِ وَرَوَى إِبْرَاهِيمُ عَنِ الأسود عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَأْمُرُ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا أَنْ تَتَّزِرَ ثُمَّ يُضَاجِعَهَا.
Kelima: Menyentuh mushaf, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{Lā yamassuhu illā al-muṭahharūn} (QS al-Wāqi‘ah: 79).
Keenam: Membaca al-Qur’an, meskipun Mālik berbeda pendapat dalam hal ini. Namun telah kami tunjukkan dalil larangan Nabi SAW terhadap orang junub dan perempuan haid membaca sesuatu dari al-Qur’an.
Ketujuh: Melakukan wath’ (hubungan intim), berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{Fa‘taẓilū an-nisā’a fī al-maḥīḍ} (QS al-Baqarah: 222).
Adapun menikmati bagian tubuh di atas izār, yaitu yang berada di atas pusar dan di bawah lutut, maka hal itu dibolehkan. Berdasarkan riwayat Ḥabīb dari Maymūnah bahwa Rasulullah SAW biasa melakukan mubāsyarah terhadap salah satu istrinya yang sedang haid, jika ia mengenakan izār sampai pertengahan paha atau sampai lutut, yang digunakan untuk menutupinya.
Ibrāhīm meriwayatkan dari al-Aswad dari ‘Āisyah, ia berkata:
“Rasulullah SAW memerintahkan salah satu dari kami, apabila sedang haid, untuk memakai izār, lalu beliau tidur bersamanya.”
فَأَمَّا الِاسْتِمْتَاعُ بِمَا دُونَ الْإِزَارِ وَهُوَ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ إِذَا عَدَلَ عَنِ الْفَرْجِ فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ أَصْحَابُنَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ: أَنَّهُ مَحْظُورٌ وَبِهِ قَالَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَبُو الْعَبَّاسِ وعلي بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أبو حنيفة وأبو يوسف لِرِوَايَةِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَمَّا يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ مِنَ الْمَرْأَةِ وَهِيَ حائضٌ قَالَ: مَا تَحْتَ الْإِزَارِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُبَاحٌ وَبِهِ قَالَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ وَأَبُو إِسْحَاقَ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ ومحمد بن الحسن لِمَا رُوِيَ أَنَّ ثَلَاثَةَ رَهْطٍ سَأَلُوا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَمَّا يَحِلُّ مِنَ الْحَائِضِ فقال: ما أحسم الحجرين، ولأن الْفَرْجَ هُوَ الْمَخْصُوصُ بِالتَّحْرِيمِ دُونَ مَا حَوْلَهُ كَالدُّبُرِ، وَتَأَوَّلُوا قَوْلَهُ مَا تَحْتَ الْإِزَارِ أَنَّهُ كِنَايَةٌ عَنِ الْفَرْجِ وَهُوَ مَشْهُورٌ أَنَّهُمْ يُكَنُّونَ عَنِ الْفَرْجِ بِالْإِزَارِ قَالَ الْأَخْطَلُ:
(قومٌ إِذَا حَارَبُوا شَدُّوا مَآزِرَهُمْ … دُونَ النِّسَاءِ ولو باتت بِأَطْهَارِ)
Adapun bersenang-senang dengan selain bagian bawah izar, yaitu bagian antara pusar dan lutut, apabila menghindari farji, maka para sahabat kami berselisih pendapat menjadi tiga wajah:
Pertama: dan inilah yang tampak dari mazhab, bahwa hal itu terlarang. Pendapat ini dikatakan oleh Abu al-‘Abbas dan ‘Ali bin Abi Hurairah dari kalangan sahabat kami, serta oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf dari kalangan fuqaha, berdasarkan riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi SAW ditanya tentang apa yang diharamkan bagi laki-laki dari perempuan yang sedang haid, maka beliau menjawab: “Yang di bawah izar.”
Wajah kedua: bahwa hal itu mubah. Pendapat ini dikatakan oleh Abu ‘Ali bin Khairan dan Abu Ishaq dari kalangan sahabat kami, serta oleh Malik dan Muhammad bin al-Hasan dari kalangan fuqaha, karena diriwayatkan bahwa tiga orang bertanya kepada ‘Umar bin al-Khaththab RA tentang apa yang halal dari wanita haid, maka ia menjawab: “Yang aku singkirkan dari dua batu (yakni farji).” Dan karena farji adalah bagian yang khusus diharamkan, bukan bagian sekitarnya seperti dubur. Mereka menakwilkan sabda beliau “yang di bawah izar” sebagai kiasan dari farji, dan hal itu memang masyhur bahwa mereka biasa menyebut farji dengan izar. Al-Akhtal berkata:
(Kaum yang bila berperang, mereka mengeratkan ma’āzir mereka … menjauhi perempuan meskipun mereka dalam keadaan suci).
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْفَيَّاضِ: إِنَّهُ إِنْ كَانَ يَضْبُطُ نَفْسَهُ عَنْ إِصَابَةِ الْفَرْجِ إِمَّا لِضَعْفِ شَهْوَتِهِ أَوْ لِقُوَّةٍ تُخْرِجُهُ جَازَ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ، وَإِنْ لَمْ يَضْبُطْ نَفْسَهُ عَنْ ذَلِكَ لِقُوَّةِ شَهْوَتِهِ وَقِلَّةٍ تُخْرِجُهُ لَمْ يَجُزْ فَقَدْ رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يأمرنا في فَوْرَ حَيْضَتِنَا أَنْ نَتَّزِرَ ثُمَّ يُبَاشِرُنَا وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَمْلِكُ إِرْبَهُ.
Wajah ketiga: yaitu pendapat Abu al-Fayyāḍ, bahwa jika seseorang mampu menahan dirinya dari menyetubuhi farji, baik karena lemahnya syahwat atau karena kekuatan yang dapat menahannya, maka boleh baginya untuk bersenang-senang dengan bagian antara pusar dan lutut. Namun jika ia tidak mampu menahan dirinya dari hal itu karena kuatnya syahwat dan lemahnya kemampuan menahan, maka tidak boleh.
Telah meriwayatkan ‘Abdurraḥmān bin al-Aswad dari ayahnya dari ‘Āisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kami ketika datang haid kami agar mengenakan izar, kemudian beliau membaur (membelai) kami. Dan siapakah di antara kalian yang mampu menguasai syahwatnya sebagaimana Rasulullah SAW mampu menguasai syahwatnya?”
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ السَّبْعَةِ فَهِيَ مُتَعَلِّقَةٌ بِكُلِّ حَيْضٍ وُجِدَ فِي كُلِّ امْرَأَةٍ وَقَدْ يَتَعَلَّقُ به حكمان يختصان ببعض النِّسَاءِ وَهُمَا: الْبُلُوغُ وَالْعِدَّةُ بِالْأَقْرَاءِ فَصَارَتْ مَعَ هَذَيْنِ تِسْعَةَ أَحْكَامٍ فَإِنْ خَالَفَتِ الْمَرْأَةُ فِي حَالِ حَيْضِهَا مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ فَهِيَ عَاصِيَةٌ بِارْتِكَابِهَا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا فِيمَا سِوَى الْوَطْءِ، وَأَمَّا الْوَطْءُ فَإِنْ كَانَ فِيمَا سِوَى الْفَرْجِ مِمَّا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي تَحْرِيمِهِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا فِيهِ وَلَا عَلَى الْوَاطِئِ، وَإِنْ كَانَ فِي الْفَرْجِ فَقَدْ رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سفيان بن أبي أمية عن مقسم عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَرْفَعُهُ قَالَ: مَنْ أَتَى امْرَأَةً وَهِيَ حائضٌ إِنْ كَانَ الدَّمُ غَبِيطًا تَصَدَّقَ بدينارٍ وَإِنْ كَانَ أَحْمَرَ تَصَدَّقَ بِنِصْفِ دينارٍ.
PASAL
Apabila telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan dari tujuh hukum ini, maka hukum-hukum tersebut berkaitan dengan setiap haid yang terjadi pada setiap wanita. Dan terkadang terdapat dua hukum lain yang berkaitan dengan sebagian wanita, yaitu: baligh dan iddah dengan qurū’, sehingga dengan kedua ini menjadi sembilan hukum.
Jika seorang wanita melanggar salah satu dari hukum-hukum ini ketika sedang haid, maka ia berdosa karena perbuatannya, dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya selain dalam hal jima‘.
Adapun jima‘, jika dilakukan bukan pada farji, yaitu pada bagian antara pusar dan lutut sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang keharamannya menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, maka tidak ada kewajiban atasnya dan tidak pula atas laki-laki yang melakukannya.
Namun jika jima‘ dilakukan pada farji, maka telah meriwayatkan asy-Syāfi‘ī dari Sufyān bin Abī Umayyah dari Maqsim dari Ibnu ‘Abbās secara marfū‘, ia berkata: “Barangsiapa mendatangi istrinya dalam keadaan haid, jika darahnya ghabīṭ (pekat), maka ia bersedekah satu dinar. Dan jika merah (cair), maka ia bersedekah setengah dinar.”
قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِنْ صَحَّ هَذَا الْحَدِيثُ قُلْتُ به لأنه كان واقعاً فِيهِ فَكَانَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ وَجُمْهُورُ الْبَغْدَادِيِّينَ يجعلونه قولاً في القديم ومذهبنا وَهُوَ قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَكَانَ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ وَجُمْهُورُ الْبَصْرِيِّينَ لَا يُخْرِجُونَهُ فِي الْقَدِيمِ قَوْلًا وَلَا يَجْعَلُونَهُ مَذْهَبًا؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ الْحُكْمَ فِيهِ مَوْقُوفًا عَلَى صِحَّةِ الْحَدِيثِ، وَهُوَ غَيْرُ صَحِيحٍ وَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ يَقُولُ: لَوْ صح الحديث لكان حَمْلُهُ عَلَى الْقَدِيمِ اسْتِحْبَابًا لَا وَاجِبًا؛ لِاحْتِمَالِ الْمُتَعَلِّقِ بِهِ.
وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَمَا صَحَّ فِي سَائِرِ كُتُبِهِ: أَنَّهُ لَا شَيْءَ عَلَى الْوَاطِئِ فِي الْحَيْضِ وَلَا الْمَوْطُوءَةِ الْحَائِضِ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ، وَلِأَنَّ الْوَطْءَ إِذَا حُرِّمَ لِأَجْلِ الْأَذَى لَمْ يُوجِبِ الْكَفَّارَةَ كَالْوَطْءِ فِي الدُّبُرِ وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: رَأَيْتُ فِي مَنَامِي كَأَنِّي أَبُولُ دَمًا قَالَ: يُوشِكُ أَنْ تَطَأَ امْرَأَتَكَ وَهِيَ حائضٌ قَالَ نَعَمْ قَالَ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ وَلَا تَعُدْ وَلَمْ يُوجِبْ عَلَيْهِ كَفَّارَةً.
Berkata asy-Syāfi‘ī: “Jika hadis ini sahih, maka aku berpendapat dengannya, karena itu merupakan perkara yang terjadi padanya.” Maka Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī dan mayoritas ulama Bagdad menjadikannya sebagai salah satu pendapat dalam qaul qadīm dan termasuk dalam mazhab kami. Ini juga merupakan pendapat al-Awzā‘ī, Aḥmad, dan Isḥāq.
Adapun Abū Ḥāmid al-Marwazī dan mayoritas ulama Baṣrah tidak menjadikannya sebagai salah satu pendapat dalam qaul qadīm dan tidak pula sebagai bagian dari mazhab, karena asy-Syāfi‘ī menjadikan hukum tersebut tergantung pada kesahihan hadis, padahal hadis tersebut tidak sahih. Dan Abū al-‘Abbās berkata: “Sekiranya hadis itu sahih, maka itu tetap dibawa pada qaul qadīm sebagai mustaḥabb (anjuran), bukan wajib, karena kemungkinan maksud yang berkaitan dengannya.”
Adapun mazhab asy-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd dan yang sahih dalam seluruh kitabnya adalah bahwa tidak ada kewajiban apa pun atas orang yang menjima‘ wanita haid, dan juga atas wanita haid yang dijima‘. Berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada hak dalam harta kecuali zakat.” Dan karena jima‘ yang diharamkan karena sebab gangguan (adzā) tidak mewajibkan kaffarah, seperti jima‘ di dubur.
Telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abū Bakar RA: “Aku bermimpi seakan-akan aku kencing darah.” Maka Abū Bakar berkata: “Tampaknya engkau akan menjima‘ istrimu dalam keadaan haid.” Ia berkata: “Benar.” Maka Abū Bakar berkata: “Mohonlah ampun kepada Allah dan jangan kau ulangi.” Dan beliau tidak mewajibkan kaffarah atasnya.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ التِّسْعَةِ فِي تَعَلُّقِهَا بِالْحَيْضِ كَانَ دَمُ حَيْضِهَا بَاقِيًا فَالْأَحْكَامُ بِحَالِهَا وَالتَّحْرِيمُ ثَابِتٌ. وَإِنِ انْقَطَعَ دَمُهَا وَاغْتَسَلَتْ حَلَّ جَمِيعُ ذَلِكَ لَهَا لِارْتِفَاعِ حَيْضِهَا، وَعَوْدِهَا إِلَى حَالِ الطُّهْرِ. فَأَمَّا بَعْدَ انْقِطَاعِ دَمِهَا وَقَبْلَ الْغُسْلِ فَتُقَسَّمُ هَذِهِ التِّسْعَةُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:
قِسْمٌ يَجُوزُ لَهَا فِعْلُهُ قَبْلَ الْغُسْلِ: وَهُوَ الصَّوْمُ وَحْدَهُ؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى طَهَارَةٍ فَجَازَ لَهَا الدُّخُولُ فِيهِ قَبْلَهَا.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا لَا يَجُوزُ لَهَا فِعْلُهُ قَبْلَ الْغُسْلِ وَهُوَ الصَّلَاةُ، وَالطَّوَافُ، وَمَسُّ الْمُصْحَفِ، وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ، وَفِي دُخُولِ الْمَسْجِدِ وَجْهَانِ؛ إِلَّا أَنَّ فَرْضَ الصَّلَاةِ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهَا بِانْقِطَاعِ الدَّمِ وَإِنْ لَمْ تَغْتَسِلْ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تُصَلِّيَ إِلَّا بَعْدَ الْغُسْلِ. فَإِذَا اغْتَسَلَتْ قَضَتْ مَا تَرَكَتْ مِنَ الصَّلَاةِ بَعْدَ انْقِطَاعِ دَمِهَا وَقَبْلَ الْغُسْلِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فَاغْتَسِلِي وَصَلَّي “.
PASAL
Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan dari sembilan hukum yang berkaitan dengan haid, maka selama darah haidnya masih ada, hukum-hukumnya tetap berlaku dan keharamannya tetap berlaku. Jika darahnya telah terputus dan ia telah mandi, maka seluruh hukum tersebut menjadi halal baginya karena haidnya telah terangkat dan ia kembali kepada keadaan suci.
Adapun setelah darahnya terputus namun sebelum mandi, maka sembilan hukum ini terbagi menjadi tiga bagian:
Bagian pertama: perkara yang boleh ia lakukan sebelum mandi, yaitu puasa saja; karena puasa tidak memerlukan keadaan suci, maka boleh ia masuk ke dalamnya sebelum mandi.
Bagian kedua: perkara yang tidak boleh ia lakukan sebelum mandi, yaitu shalat, thawaf, menyentuh mushaf, membaca Al-Qur’an. Adapun masuk masjid terdapat dua wajah pendapat. Hanya saja kewajiban shalat telah tetap baginya dengan terputusnya darah, meskipun ia belum mandi, namun tidak boleh ia shalat kecuali setelah mandi. Maka jika ia telah mandi, ia wajib mengqadha apa yang ia tinggalkan dari shalat setelah darahnya terputus dan sebelum mandi, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Apabila datang haid, tinggalkan shalat. Dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.”
(فَصْلٌ)
: وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِ وَهُوَ الْوَطْءُ.
فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى بَقَائِهِ عَلَى التَّحْرِيمِ حَتَّى تَغْتَسِلَ.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنِ انْقَطَعَ انْقَطَعَ دَمُهَا لِأَكْثَرِ الْحَيْضِ وَهُوَ عِنْدَهُ عَشَرَةُ أَيَّامٍ جَازَ وَطْؤُهَا قَبْلَ الْغُسْلِ، وَإِنِ انْقَطَعَ لِأَقَلَّ مِنَ الْعَشَرَةِ لَمْ يَجُزْ وَطْؤُهَا إِلَّا أَنْ تَغْتَسِلَ أَوْ يَمُرَّ عَلَيْهَا وَقْتُ صَلَاةٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: {ولاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) {البقرة: 222) فَجَعَلَ انْقِطَاعَ الدَّمِ غَايَةً. وَالْحُكْمُ بَعْدَ الْغَايَةِ مُخَالِفٌ لِمَا قَبْلَهَا قَالَ: وَلِأَنَّهَا أَمِنَتْ مُعَاوَدَةَ الدَّمِ فَجَازَ وَطْؤُهَا كَالْمُغْتَسِلَةِ. قَالَ: وَلِأَنَّهَا اسْتَبَاحَتْ فِعْلَ الصَّوْمِ فَجَازَ وَطْؤُهَا كَالْمُتَيَمِّمِ. قَالَ: ولأن حُكْمٌ وَجَبَ بِعِلَّةٍ زَالَ بِزَوَالِهَا، وَعِلَّةُ التَّحْرِيمِ: حُدُوثُ الدَّمِ. فَوَجَبَ أَنْ يَزُولَ بِانْقِطَاعِ الدَّمِ قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَمْ يَبْقَ بَعْدَ انْقِطَاعِ الدَّمِ إِلَّا وُجُوبُ الْغُسْلِ وَبَقَاءُ الْغُسْلِ لَا يَمْنَعُ من استباحة وطئها كالجنب.
ودليلنا قوله سبحانه وتعالى: {وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ) {البقرة: 222) وَالِاسْتِدْلَالُ بِهَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي الْآيَةِ قِرَاءَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا: بِالتَّخْفِيفِ وَضَمِّ الْهَاءِ. وَمَعْنَاهَا: انْقِطَاعُ الدَّمِ. وَالْأُخْرَى بِالتَّشْدِيدِ وَفَتْحِ الْهَاءِ مَعْنَاهَا الْغُسْلُ. وَاخْتِلَافُ الْقِرَاءَتَيْنِ كَالْآيَتَيْنِ فَيُسْتَعْمَلَانِ مَعًا. وَيَكُونُ تَقْدِيرُ ذَلِكَ: فَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَنْقَطِعَ دَمُهُنَّ وَيَغْتَسِلْنَ.
PASAL
Bagian ketiga: yaitu perkara yang para fuqaha berselisih pendapat di dalamnya, yaitu jima‘.
Asy-Syāfi‘ī, Mālik, dan mayoritas fuqaha berpendapat bahwa hukum haramnya tetap berlaku hingga wanita tersebut mandi.
Abū Ḥanīfah berkata: Jika darahnya terputus setelah melewati batas maksimal haid—yang menurutnya adalah sepuluh hari—maka boleh dijima‘ sebelum mandi. Namun jika darahnya terputus sebelum sepuluh hari, maka tidak boleh dijima‘ kecuali ia telah mandi atau telah berlalu atasnya satu waktu shalat. Dalilnya adalah firman Allah SWT: {dan janganlah kalian mendekati mereka hingga mereka suci} (al-Baqarah: 222), maka ia menjadikan terputusnya darah sebagai batasan, dan hukum setelah batasan berbeda dengan hukum sebelumnya.
Ia berkata: Karena wanita tersebut telah aman dari kemungkinan keluarnya darah lagi, maka boleh dijima‘ sebagaimana wanita yang telah mandi. Ia juga berkata: Karena ia telah dibolehkan untuk berpuasa, maka boleh dijima‘ sebagaimana orang yang tayammum.
Ia berkata lagi: Karena suatu hukum yang wajib karena adanya suatu sebab akan gugur dengan hilangnya sebab tersebut. Dan sebab keharaman adalah keluarnya darah. Maka ketika darah telah berhenti, wajib pula hukum haram itu hilang. Ia juga berkata: Setelah darah berhenti, yang tersisa hanyalah kewajiban mandi. Dan kewajiban mandi tidak menghalangi kebolehan untuk menjima‘, sebagaimana halnya orang junub.
Adapun dalil kami adalah firman Allah SWT: {dan janganlah kalian mendekati mereka hingga mereka suci. Maka apabila mereka telah bersuci, maka datangi mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu} (al-Baqarah: 222).
Dalil dari ayat ini dari dua sisi:
Pertama: bahwa dalam ayat tersebut terdapat dua qirā’ah. Salah satunya dibaca dengan takhfīf dan ḍammah pada huruf hā’, maknanya adalah terputusnya darah. Qirā’ah lainnya dengan tasydīd dan fatḥah pada huruf hā’, maknanya adalah mandi. Perbedaan dua qirā’ah itu seperti dua ayat, maka keduanya digunakan bersamaan. Maka maknanya: “Janganlah kalian mendekati mereka hingga darah mereka berhenti dan mereka telah mandi.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَالَ تَعَالَى: {فَإِذاَ تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ} فَجَعَلَ بَعْدَ الْغَايَةِ شَرْطًا هُوَ الْغُسْلُ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِضَافَةُ الْفِعْلِ إِلَيْهِنَّ وَلَيْسَ انْقِطَاعُ الدَّمِ مِنْ فِعْلِهِنَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلْنَ الطَّهَارَةَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَثْنَى عَلَيْهِنَّ بِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: {إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَابِينَ وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرِينَ) {البقرة: 222) وَالثَّنَاءُ يُسْتَحِقُّ بِالْأَفْعَالِ الصَّادِرَةِ مِنْ جِهَةِ مَنْ تَوَجَّهَ الثَّنَاءُ إِلَيْهِ. فَأَمَّا فِعْلُ غَيْرِهِ فَلَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهِ مَدْحًا وَلَا ذَمًّا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَكُلُّ حُكْمٍ تَعَلَّقَ بِغَايَةٍ وَشَرْطٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَبَاحَ بِوُجُودِ الْغَايَةِ مَعَ عَدَمِ الشَّرْطِ. وَهَذَا مِثْلُ قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: {وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا الْنِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ) {النساء: 6) فَجَعَلَ بَعْدَ الْغَايَةِ الَّتِي هِيَ الْبُلُوغُ لِلنِّكَاحِ شَرْطًا هُوَ إِينَاسُ الشَّرْطِ. فَلَمْ يَجُزْ دَفْعُ أَمْوَالِهِمْ إِلَيْهِمْ بَعْدَ الْبُلُوغِ وَقَبْلَ الرُّشْدِ. وَالْمَعْنَى هُوَ أَنَّ كُلَّ مَمْنُوعَةٍ مِنَ الصَّلَاةِ بِحَدَثِ الْحَيْضِ فَوَطْؤُهَا حَرَامٌ. قِيَاسًا عَلَى زَمَانِ الْحَيْضِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا حَرَّمَ الْوَطْءَ وَغَيْرَهُ لَمْ يَحِلَّ الْوَطْءُ مَعَ بَقَاءِ شَيْءٍ حَرَّمَهُ مَعَهُ كَالْحَجِّ، وَلِأَنَّ مَحْظُورَاتِ الْحَيْضِ يَسْتَوِي حَالُهَا عِنْدَ ارْتِفَاعِ الْحَيْضِ بَيْنَ انْقِطَاعِهِ لِأَكْثَرِهِ وَأَقَلِّهِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَعْنًى شُرِطَ فِي إِبَاحَتِهِ الطَّهَارَةُ لَمْ يُسْتَبَحْ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ كَالصَّلَاةِ.
Wajah kedua: Bahwa Allah Ta‘ālā berfirman: {Apabila mereka telah bersuci maka datangi mereka}, maka Allah menjadikan setelah ghāyah (batas) suatu syarat, yaitu mandi, karena dua hal:
Pertama: perbuatan disandarkan kepada mereka, sedangkan terputusnya darah bukanlah perbuatan dari mereka. Yang mereka lakukan adalah ṭahārah (mandi).
Kedua: Allah memuji mereka dengan firman-Nya: {Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci} (al-Baqarah: 222), dan pujian itu pantas diberikan atas perbuatan yang berasal dari pihak yang dituju pujian tersebut. Adapun perbuatan orang lain, maka tidak berhak dipuji ataupun dicela karenanya.
Jika demikian, maka setiap hukum yang dikaitkan dengan batas dan syarat, tidak boleh dijadikan halal hanya dengan adanya batas tanpa adanya syarat. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: {Ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai usia nikah. Kemudian jika kalian melihat pada mereka kecerdasan, maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka} (an-Nisā’: 6). Maka Allah menjadikan setelah batas berupa baligh untuk menikah, syarat berupa tampaknya kecerdasan. Maka tidak boleh diserahkan harta mereka setelah baligh sebelum tampaknya kecerdasan.
Maknanya adalah bahwa setiap wanita yang terlarang dari shalat karena ḥadaṡ haid, maka haram dijima‘, qiyās atas waktu haid. Dan karena setiap perkara yang diharamkan pada waktu haid, maka tidak boleh jima‘ dengan tetapnya salah satu dari perkara yang mengharamkannya, seperti dalam ḥajj.
Dan karena larangan-larangan haid statusnya sama saat haid telah terangkat, baik terputusnya pada hari ke-10 maupun kurang dari itu, sebagaimana shalat dan puasa. Dan karena setiap perkara yang disyaratkan ṭahārah untuk kehalalannya, tidak boleh dilakukan tanpa ṭahārah, sebagaimana shalat.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ الِاسْتِدْلَالِ بِهَا. وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُغْتَسِلَةِ بِعِلَّةِ أَنَّهَا أَمِنَتْ مُعَاوَدَةَ الدَّمِ فَلَا تَأْثِيرَ لِهَذَا الْوَصْفِ. لِأَنَّهَا لَوِ اغْتَسَلَتْ قَبْلَ أَنْ أَمِنَتْ مُعَاوَدَةَ الدَّمِ فَلَهُ وَطْؤُهَا. ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمُغْتَسِلَةِ اسْتِبَاحَتُهَا لِلصَّلَاةِ، وَكَذَا قِيَاسُهُ عَلَى الْمُتَيَمِّمَةِ عَلَى أَنَّهُ مُنْتَقِضٌ بِالَّتِي انْقَطَعَ دَمُهَا لِدُونِ الْعَشَرَةِ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَاسْتَبَاحَتِ الدُّخُولَ فِي الصَّوْمِ وَلَمْ تَسْتَبِحِ الْوَطْءَ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّ ارْتِفَاعَ الْعِلَّةِ وَقْتٌ لِارْتِفَاعِ حُكْمِهَا: فَهُوَ أَنَّ لِأَصْحَابِنَا فِيهِ خِلَافًا. وَلَوْ سَلِمَ لَهُ ذَلِكَ لَكَانَ كَذَلِكَ مَا لَمْ يُخْلِفْ تِلْكَ الْعِلَّةَ عِلَّةً أُخْرَى وَقَدْ خَلَفَتْهَا عِلَّةٌ وَهِيَ الْمَنْعُ مِنَ الصَّلَاةِ لَحَدَثِ الْحَيْضِ. وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى بَقَاءِ الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ فَالْفَرْقُ فِي الْمَعْنَى يَمْنَعُ صِحَّةَ الْجَمْعِ وَهُوَ أَنَّ الْجَنَابَةَ لَمَّا لَمْ تَمْنَعْ مِنَ الْوَطْءِ لَمْ يَكُنْ بَقَاءُ الْغُسْلِ عَلَيْهَا مَانِعًا. وَلَمَّا مَنَعَ الْحَيْضُ مِنَ الْوَطْءِ كَانَ بَقَاءُ الْغُسْلِ فِيهِ مَانِعًا.
Adapun jawaban atas dalil mereka dari ayat, maka adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan dari istidlāl dengannya.
Adapun qiyās mereka atas wanita yang telah mandi, dengan alasan bahwa ia telah merasa aman dari kembalinya darah, maka sifat ini tidak berpengaruh, karena jika ia mandi sebelum merasa aman dari kembalinya darah, tetap halal menjima‘nya.
Kemudian makna pada wanita yang telah mandi adalah karena ia telah dibolehkan untuk shalat.
Begitu pula qiyās mereka atas wanita yang tayammum, adalah qiyās yang batal dengan wanita yang darahnya terputus sebelum sepuluh hari dan sebelum terbit fajar, yang dibolehkan untuk memulai puasa namun belum dibolehkan untuk dijima‘.
Adapun jawaban atas istidlāl mereka bahwa hilangnya ‘illat berarti hilangnya hukum yang bergantung padanya, maka dalam hal ini terdapat khilaf di kalangan sahabat kami.
Dan seandainya hal itu diterima darinya, tetaplah demikian selama tidak ada ‘illat lain yang menggantikan ‘illat tersebut, sedangkan di sini telah datang ‘illat pengganti, yaitu larangan dari shalat karena ḥadaṡ haid.
Adapun qiyās mereka terhadap keadaan wajib mandi karena junub, maka perbedaan makna antara keduanya mencegah keabsahan penyamaan tersebut. Yaitu bahwa junub tidak mencegah dari jima‘, maka kewajiban mandi tidak menjadi penghalang. Sedangkan haid melarang dari jima‘, maka tetapnya kewajiban mandi padanya menjadi penghalang.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ وَطْأَهَا قَبْلَ الْغُسْلِ حَرَامٌ فَمَتَى كَانْتْ قَادِرَةً عَلَى اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فَعَلَيْهَا اسْتِعْمَالُهُ وَالِاغْتِسَالُ بِهِ. وَإِنْ كَانَتْ عَادِمَةً لِلْمَاءِ قَامَ التَّيَمُّمُ فِي اسْتِبَاحَةِ الْوَطْءِ مَقَامَ الْغُسْلِ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ بَدَلٌ مِنْهُ عِنْدَ عَدَمِهِ. فَلَوْ أَحْدَثَتْ بَعْدَ التَّيَمُّمِ مُنِعَتْ مِنَ الصَّلَاةِ حَتَّى تَتَيَمَّمَ لِأَنَّ حَدَثَ الْحَيْضِ قَدِ ارْتَفَعَ وَطَرَأَ حَدَثُ غَيْرِهِ فَلَا يَمْنَعُ مِنْ الْوَطْءِ. وَلَكِنْ لَوْ رَأَتِ الْمَاءَ بَعْدَ التَّيَمُّمِ حَرُمَ وَطْؤُهَا حَتَّى تَغْتَسِلَ، لِأَنَّهَا بِوُجُودِ الْمَاءِ قَدْ عَادَتْ إِلَى حَدَثِ الْحَيْضِ الْمَانِعِ مِنْالْوَطْءِ. فَلَوْ عَدِمَتِ الْمَاءَ وَالتُّرَابَ حَلَّتْ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَلَمْ يَجُزْ وَطْؤُهَا لِعَدَمِ الطَّهَارَةِ. فَإِذَا تَيَمَّمَتْ فَوَطَأَهَا ثُمَّ أَرَادَ وَطْأَهَا ثَانِيَةً فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِهِ بِالتَّيَمُّمِ الْأَوَّلِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL
Apabila telah tetap bahwa menjima‘ wanita sebelum mandi adalah haram, maka kapan pun ia mampu menggunakan air, wajib baginya menggunakannya dan mandi dengannya.
Namun jika ia tidak memiliki air, maka tayammum menggantikan mandi dalam kebolehan jima‘, karena tayammum adalah pengganti dari mandi ketika tidak ada air.
Jika setelah tayammum ia berhadats, maka ia terlarang dari shalat sampai ia tayammum kembali, karena ḥadaṡ haid telah terangkat dan muncul hadats lain, maka hal itu tidak mencegah dari jima‘.
Akan tetapi jika ia melihat air setelah tayammum, maka haram dijima‘ sampai ia mandi, karena dengan adanya air ia kembali kepada hukum ḥadaṡ haid yang mencegah jima‘.
Jika ia tidak mendapatkan air dan juga tidak mendapatkan tanah (turāb), maka ia telah menjadi halal (melakukan shalat) karena menghormati waktu, namun tidak boleh dijima‘ karena tidak ada ṭahārah.
Jika ia tayammum kemudian dijima‘, lalu suaminya ingin menjima‘nya kembali, maka para sahabat kami berselisih pendapat tentang kebolehannya dengan tayammum yang pertama pada dua wajah:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَطَأَهَا ثَانِيَةً حَتَّى تُعِيدَ التَّيَمُّمَ ثَانِيَةً. كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ تُصَلِّيَ فَرِيضَةً ثَانِيَةً إِلَّا بِتَيَمُّمٍ ثَانٍ. وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِارْتِفَاعِ حَدَثِ الْحَيْضِ بِالتَّيَمُّمِ الْمُتَقَدِّمِ. فَأَمَّا إِذَا تَيَمَّمَتِ الْحَائِضُ وَدَخَلَ عَلَيْهَا وَقْتُ صَلَاةٍ أُخْرَى. فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ وَطْؤُهَا بِالتَّيَمُّمِ الْمُتَقَدِّمِ فِي الْوَقْتِ الْمَاضِي أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ: قَدْ بَطُلَ تَيَمُّمُهَا بِخُرُوجِ الْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ وَطْؤُهَا فِي الْوَقْتِ الثَّانِي إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ تَيَمُّمٍ ثَانٍ. لِأَنَّ التَّيَمُّمَ أَضْعَفُ حَالًا مِنَ الْغُسْلِ فَقَصُرَ حُكْمُهُ عَنْ حُكْمِ الْغُسْلِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ عِنْدِي يَجُوزُ وَطْؤُهَا بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ الثَّانِي مِنْ غَيْرِ إِحْدَاثِ تَيَمُّمٍ ثَانٍ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ خُرُوجُ الْوَقْتِ بِأَغْلَظَ مِنَ الْحَدَثِ. فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ طُرُوءُ الْحَدَثِ عَلَى التَّيَمُّمِ فَخُرُوجُ الْوَقْتِ وَدُخُولُ غَيْرِهِ أَوْلَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pertama dari dua wajah: tidak boleh menjima‘nya untuk kedua kali sampai ia mengulang tayammum kedua kali, sebagaimana ia tidak boleh shalat fardhu kedua tanpa tayammum yang baru. Ini adalah qiyās atas pendapat Abū al-‘Abbās.
Wajah kedua: boleh, karena ḥadaṡ haid telah terangkat dengan tayammum yang terdahulu.
Adapun jika wanita haid telah bertayammum lalu masuk waktu shalat yang lain, maka para sahabat kami berselisih pendapat apakah boleh menjima‘nya dengan tayammum yang terdahulu pada waktu yang telah lalu, atau tidak, pada dua wajah:
Pertama: dan ini adalah pendapat Ibn Surayj, bahwa tayammum-nya telah batal dengan keluarnya waktu shalat, maka tidak boleh dijima‘ pada waktu kedua kecuali dengan memulai tayammum baru. Karena tayammum lebih lemah keadaannya daripada mandi, maka hukum tayammum lebih pendek daripada hukum mandi.
Wajah kedua: dan ini yang lebih shahih menurutku, bahwa boleh menjima‘nya setelah masuk waktu kedua tanpa memperbarui tayammum, karena keluarnya waktu tidak lebih berat daripada ḥadaṡ. Maka ketika terjadinya ḥadaṡ tidak membatalkan tayammum, maka lebih utama lagi bahwa keluarnya waktu dan masuknya waktu lain juga tidak membatalkannya. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وَإِذَا اتَّصَلَ بِالْمَرْأَةِ الدَمُ نَظَرَتْ فَإِنْ كَانَ دَمُهَا ثَخِينًا مُحْتَدِمًا يَضْرِبُ إِلَى السَّوَادِ لَهُ رَائِحَةٌ فَتِلْكَ الْحَيْضَةُ نَفْسُهَا فَلْتَدَعِ الصَّلَاةَ فَإِذَا ذهب ذلك الدم وجاءها الدم الأحمر الرقيق الْمُشْرِقُ فَهُوَ عرقٌ وَلَيْسَتِ الْحَيْضَةُ وَهُوَ الطُّهْرُ وعليها أن تغتسل كما وصفت وتصلي ويأتيها زوجها “.
قال الماوردي: اعلم أن للحيض مقدمات ثلاث لَا بُدَّ مِنْ تَقْدِيمِهَا لِتَكُونَ الْمَسَائِلُ مَبْنِيَّةً عَلَيْهَا.
فَالْمُقَدِّمَةُ الْأُولَى فِي زَمَانِ الْحَيْضِ.
وَالْمُقَدِّمَةُ الثَّانِيَةُ فِي قَدْرِ الْحَيْضِ.
وَالْمُقَدِّمَةُ الثَّالِثَةُ فِي صِفَةِ الْحَيْضِ.
(Masalah)
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Apabila darah keluar terus-menerus dari wanita, maka ia melihat: jika darahnya kental, memancar, cenderung kehitaman, dan memiliki bau, maka itulah darah haid itu sendiri, maka hendaklah ia meninggalkan shalat. Jika darah itu telah berhenti dan datang darah merah yang encer, terang, maka itu adalah darah urat dan bukan haid, itu adalah suci, dan wajib atasnya mandi sebagaimana telah aku sebutkan, lalu shalat dan boleh didatangi oleh suaminya.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa haid memiliki tiga muqaddimah (pendahuluan) yang harus didahulukan agar masalah-masalah bisa dibangun di atasnya:
Maqdīmah pertama: tentang waktu haid.
Maqdīmah kedua: tentang kadar (lama) haid.
Maqdīmah ketiga: tentang sifat (ciri) haid.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا زَمَانُ الْحَيْضِ فَأَقَلُّ زَمَانٍ تَحِيضُ فِيهِ النِّسَاءُ تِسْعُ سِنِينَ وَأَكْثَرُهُ غَيْرُ مَحْدُودٍ؛ لِأَنَّ مَا كَانَ الْحَدُّ فِيهِ مُعْتَبَرًا وَلَمْ يَكُنْ فِي الشَّرْعِ مَحْدُودًا كَانَ الرُّجُوعُ فِي حَدِّهِ إِلَى مَا وُجِدَ مِنَ الْعَادَاتِ الْجَارِيَةِ وَلَمْ يُوجَدْ فِي جَارِي الْعَادَةِ حُدُوثُ الْحَيْضِ لِأَقَلِّ مِنْ تِسْعِ سِنِينَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأَعْجَلُ مَنْ سَمِعْتُ مِنَ النِّسَاءِ تَحِيضُ نِسَاءُ تِهَامَةَ يَحِضْنَ لِتِسْعِ سِنِينَ وَقَدْ رَأَيْتُ جدة لها إحدى وعشرين سَنَةً. وَقَدْ يُمْكِنُ عَلَى مَذْهَبِهِ أَنْ يَكُونَ لها تسعة عَشْرَةَ سَنَةً وَشَيْءٌ غَيْرَ أَنَّ الشَّافِعِيَّ أَخْبَرَنَا بِمَا وَجَدَ لَا بِمَا يُمْكِنُ فَكَانَ أَوَّلُ زَمَانِ الْحَيْضِ بَعْدَ اعْتِبَارِ أَقَلِّ الْعَادَاتِ تِسْعَ سِنِينَ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلِ التِّسْعُ حَدُّ تَحْقِيقٍ أَوْ حَدُّ تَقْرِيبٍ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL
Adapun waktu haid, maka paling sedikit usia wanita mulai mengalami haid adalah sembilan tahun, dan batas maksimalnya tidak ditentukan; karena setiap perkara yang batasnya dianggap penting namun tidak ditentukan oleh syariat, maka batasnya dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku. Dan tidak ditemukan dalam adat yang berlaku adanya haid pada usia kurang dari sembilan tahun.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Wanita paling cepat yang aku dengar mengalami haid adalah wanita-wanita Tihāmah, mereka mengalami haid pada usia sembilan tahun. Dan aku pernah melihat seorang nenek yang usianya dua puluh satu tahun.”
Menurut mazhab beliau, mungkin saja usia wanita itu sembilan belas tahun lebih sekian, namun asy-Syāfi‘ī menceritakan kepada kita apa yang ia temukan, bukan apa yang mungkin terjadi. Maka waktu paling awal terjadinya haid setelah mempertimbangkan kebiasaan paling minimal adalah sembilan tahun.
Para sahabat kami berselisih pendapat: apakah sembilan tahun itu merupakan batas taḥqīq (pasti) atau hanya batas taqrīb (perkiraan), terdapat dua wajah pendapat.
أَحَدُهُمَا: حَدُّ تَحْقِيقٍ مُتَغَيِّرُ الْحُكْمِ فِيهِ بِزِيَادَةِ يَوْمٍ وَنُقْصَانِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ حَدُّ تَقْرِيبٍ لَا يُؤَثِّرُ فِيهِ نُقْصَانُ الْيَوْمِ وَالْيَوْمَيْنِ. وَهَذَا كَاخْتِلَافِهِمْ فِي تَحْدِيدِ الْقُلَّتَيْنِ.
فَأَمَّا أَكْثَرُ زَمَانِ حَيْضِهِنَّ فَلَمْ يَنْحَصِرْ بِحَدٍّ لِاخْتِلَافِهِ وَتَبَايُنِهِ، وَهُوَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْبِلَادِ لِحَرِّهَا وَبَرْدِهَا قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ رَأَتِ الدَّمَ قَبْلَ اسْتِكْمَالِ تِسْعِ سِنِينَ فَهُوَ دَمُ فَسَادٍ لَا يُقَالُ لَهُ حَيْضٌ وَلَا اسْتِحَاضَةٌ لِأَنَّ الِاسْتِحَاضَةَ لَا تَكُونُ إِلَّا عَلَى أَثَرِ حَيْضٍ.
وَأَمَّا قَدْرُ الْحَيْضِ فَيَتَعَلَّقُ بِهِ وَمِمَّا لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ مِنَ الطُّهْرِ خَمْسَةُ فُصُولٍ:
Pertama dari dua wajah: bahwa batas sembilan tahun adalah batas taḥqīq (pasti), yang hukum padanya bisa berubah hanya karena bertambah atau berkurangnya satu hari.
Wajah kedua: bahwa itu adalah batas taqrīb (perkiraan), sehingga tidak terpengaruh oleh berkurangnya satu atau dua hari. Ini sebagaimana perbedaan mereka dalam menentukan batas qullatayn.
Adapun waktu maksimal haid mereka, maka tidak dibatasi dengan suatu batas tertentu karena perbedaan dan keberagamannya, dan hal itu berbeda-beda tergantung negeri, karena perbedaan panas dan dinginnya.
Asy-Syāfi‘ī berkata: Jika seorang wanita melihat darah sebelum genap sembilan tahun, maka itu adalah darah fasād, tidak dinamakan haid dan juga bukan istiḥāḍah, karena istiḥāḍah tidak terjadi kecuali setelah adanya haid.
Adapun kadar haid, maka itu berkaitan dengannya dan termasuk yang tidak dapat ditinggalkan dari perkara ṭahārah terdapat dalam lima pasal:
(فَصْلٌ)
: فِي أَقَلِّ الْحَيْضِ وَهُوَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَسَيَأْتِي الْخِلَافُ فِيهِ وَالْحِجَاجُ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: فِي أَكْثَرِ الْحَيْضِ وَهُوَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا.
وَالثَّالِثُ: فِي أَوْسَطِهِ وَهُوَ سِتَّةُ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةُ أَيَّامٍ فَهُوَ كَالْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ لِحَدِيثِ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ.
وَالرَّابِعُ: فِي أَقَلِّ الطُّهْرِ مِنَ الْحَيْضَتَيْنِ وَهُوَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَالْوِفَاقُ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنَ الْخِلَافِ فِيهِ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ.
وَالْخَامِسُ: فِي أَكْثَرِ الطُّهْرِ بَيْنَ الْحَيْضَتَيْنِ وَهُوَ غَيْرُ مَحْدُودٍ. فَلَوْ رَأَتِ الدَّمَ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ كَانَ دَمَ فَسَادٍ وَلَمْ يَكُنْ حَيْضًا وَلَا اسْتِحَاضَةً. وَلَوْ تَجَاوَزَ خمسة عشر يوماً ففيه حيض واستحاضة.
PASAL
Tentang paling sedikit haid, menurut pendapat asy-Syāfi‘ī adalah satu hari satu malam. Akan datang penjelasan tentang khilaf dan hujah atasnya.
Kedua: tentang paling banyak haid, menurut asy-Syāfi‘ī adalah lima belas hari.
Ketiga: tentang waktu pertengahan haid, yaitu enam atau tujuh hari, dan ini hampir merupakan kesepakatan, berdasarkan hadis Ḥamnah binti Jahsy.
Keempat: tentang paling sedikit masa suci di antara dua haid, yaitu lima belas hari, dan kesepakatan dalam hal ini lebih kuat daripada khilafnya, sebagaimana akan kami sebutkan.
Kelima: tentang paling banyak masa suci di antara dua haid, dan ini tidak dibatasi.
Maka jika seorang wanita melihat darah kurang dari satu hari satu malam, maka itu adalah darah fasād, bukan haid dan bukan pula istiḥāḍah. Dan jika melebihi lima belas hari, maka dalam darah itu terdapat haid dan istiḥāḍah.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا صِفَةُ الْحَيْضِ فَدَمُ الْحَيْضِ فِي الغالب أسود ثخين محتدم مريج وَالْمُحْتَدِمُ: هُوَ الْحَارُّ الْمُحْتَرِقُ مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ يَوْمٌ مُحْتَدِمٌ إِذَا كَانَ شَدِيدَ الْحَرِّ سَاكِنَ الرِّيحِ. وَأَمَّا دَمُ الِاسْتِحَاضَةِ فِي الْغَالِبِ فَهُوَ أَحْمَرُ رَقِيقٌ مُشْرِقٌ وَرُبَّمَا تَغَيَّرَ دَمُ الْحَيْضِ إِلَى الْحُمْرَةِ وَدَمُ الِاسْتِحَاضَةِ إِلَى السَّوَادِ. وَإِمَّا لِمَرَضٍ طَرَأَ أَوْ غِذَاءٍ اخْتَلَفَ أَوْ زَمَانٍ تَقَلَّبَ أَوْ بُلْدَانٍ اخْتَلَفَتْ فَيُعْرَفُ إِذَا تَغَيَّرَ وَلَا يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ مَوْصُوفًا بِهَذِهِ الصِّفَةِ مَعَ السَّلَامَةِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَ دَمِ الْحَيْضِ وَدَمِ الِاسْتِحَاضَةِ مَعَ افْتِرَاقِهِمَا فِي الصِّفَةِ: أَنَّ دَمَ الْحَيْضِ يَخْرُجُ مِنْ قَعْرِ الرَّحِمِ وَدَمَ الِاسْتِحَاضَةِ يَسِيلُ مِنَ الْعَادِلِ: وَهُوَ عِرْقٌ يَسِيلُ دَمُهُ فِي أَدْنَى الرَّحِمِ دُونَ قَعْرِهِ حَكَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ فِي دَمِ الِاسْتِحَاضَةِ إِنَّمَا هُوَ عرقٌ.
PASAL
Adapun sifat haid, maka darah haid pada umumnya berwarna hitam, kental, memancar, dan marīj.
Muḥtadim artinya panas yang membakar, diambil dari ucapan mereka: yaumun muḥtadim (hari yang sangat panas lagi tidak berangin).
Adapun darah istiḥāḍah, umumnya berwarna merah, encer, terang.
Terkadang darah haid berubah menjadi merah, dan darah istiḥāḍah menjadi hitam, karena suatu penyakit yang terjadi, atau karena makanan yang berbeda, atau karena perubahan zaman, atau karena perbedaan negeri. Maka perubahan tersebut dapat diketahui, dan tidak menghalangi darah itu tetap disifati dengan sifat-sifat tersebut selama tidak ada gangguan.
Perbedaan antara darah haid dan darah istiḥāḍah, selain perbedaan dalam sifatnya, adalah bahwa darah haid keluar dari dasar rahim, sedangkan darah istiḥāḍah mengalir dari ‘ādil, yaitu urat darah yang mengalir dari bagian bawah rahim, bukan dari dasarnya—sebagaimana dinukil dari Ibnu ‘Abbās.
Dan Nabi SAW telah bersabda kepada Fāṭimah binti Abī Ḥubaish tentang darah istiḥāḍah: “Itu hanyalah darah dari urat.”
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَمَهَّدَ مَا وَصَفْنَا مِنْ مُقَدِّمَاتِ الْحَيْضِ فَالنِّسَاءُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرَبٍ: طَاهِرٌ، وَحَائِضٌ، وَمُسْتَحَاضَةٌ، وَذَاتُ فَسَادٍ.
فَأَمَّا الطَّاهِرُ فَهِيَ الَّتِي تَرَى النَّقَاءَ وَمَعْنَاهُ أَنْ تَسْتَدْخِلَ الْقُطْنَ فَيَخْرُجُ نَقِيًّا. وَأَمَّا الْحَائِضُ: فَهِيَ الَّتِي تَرَى الدَّمَ فِي زَمَانٍ يَكُونُ حَيْضًا وَأَمَّا الْمُسْتَحَاضَةُ: فَهِيَ الَّتِي تَرَى الدَّمَ فِي أَثَرِ الْحَيْضِ عَلَى صِفَةٍ لَا تَكُونُ حَيْضًا. وَأَمَّا ذَاتُ الْفَسَادِ: فَهِيَ الَّتِي تَبْتَدِئُ بِدَمٍ لَا يَكُونُ حَيْضًا. وَإِذَا كَانَ النِّسَاءُ بِهَذِهِ الْأَحْوَالِ فَالطَّاهِرُ مِنْهُنَّ يَتَعَلَّقُ عَلَيْهَا حُكْمُ الطُّهْرِ، وَالْحَائِضُ يَتَعَلَّقُ عَلَيْهَا حُكْمُ الْحَيْضِ. وَأَمَّا الْمُسْتَحَاضَةُ فَيَنْقَسِمُ حَالُهَا أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مُمَيِّزَةً.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُعْتَادَةً.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ صَاحِبَةَ تَمْيِيزٍ وَعَادَةٍ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا تَمْيِيزٌ وَلَا عَادَةٌ.
PASAL
Apabila telah jelas apa yang kami uraikan tentang muqaddimah-muqaddimah haid, maka para wanita terbagi menjadi empat macam:
- Wanita suci (ṭāhir),
- Wanita haid,
- Wanita mustaḥāḍah,
- Wanita yang mengalami darah fasā
Adapun wanita suci, yaitu yang melihat naqā’, maksudnya ia memasukkan kapas lalu keluar dalam keadaan bersih.
Adapun wanita haid, yaitu yang melihat darah pada waktu yang dianggap sebagai waktu haid.
Adapun wanita mustaḥāḍah, yaitu yang melihat darah setelah haid dengan sifat yang bukan sifat darah haid.
Adapun wanita yang mengalami darah fasād, yaitu yang pertama kali keluar darah namun darah tersebut bukan darah haid.
Jika keadaan wanita-wanita demikian, maka wanita suci berlaku atasnya hukum suci, dan wanita haid berlaku atasnya hukum haid.
Adapun wanita mustaḥāḍah, maka keadaannya terbagi menjadi empat bagian:
Pertama: wanita yang memiliki kemampuan tamyīz (membedakan).
Kedua: wanita yang memiliki ‘ādah (kebiasaan haid).
Ketiga: wanita yang memiliki tamyīz dan juga ‘ādah.
Keempat: wanita yang tidak memiliki tamyīz dan tidak pula ‘ādah.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْمُمَيِّزَةُ فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ وَصُورَتُهَا فِي امْرَأَةٍ تَصِلُ بِهَا الدَّمَ حَتَّى تُجَاوِزَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَبَعْضُهُ أَسْوَدُ ثَخِينٌ، وَبَعْضُهُ أَحْمَرُ رَقِيقٌ، فَهَذِهِ هِيَ الْمُمَيِّزَةُ. فتميز من دمها كَانَ أَسْوَدَ ثَخِينًا فَيَكُونُ حَيْضُهَا وَمَا كَانَ مِنْهُ أَحْمَرَ رَقِيقًا فَهُوَ اسْتِحَاضَةٌ.
PASAL
Adapun wanita mumyayyizah, maka inilah masalah al-Kitāb, dan bentuknya adalah pada seorang wanita yang darah terus keluar darinya hingga melebihi lima belas hari, dan sebagian darahnya berwarna hitam, kental, dan sebagian lainnya berwarna merah, encer.
Maka wanita ini adalah mumyayyizah (yang bisa membedakan). Ia membedakan dari darahnya mana yang hitam dan kental, itulah darah haidnya. Sedangkan darah yang merah dan encer, maka itu adalah istiḥāḍah.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا اعْتِبَارَ بِالتَّمْيِيزِ وَتُرَدُّ إِلَى عَادَتِهَا اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لِتَنْظُرْ عَدَدَ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ الَّتِي كَانَتْ تحيضهن من الشهر قبل أن يصيبها الذي أَصَابَهَا فَلْتَتْرُكِ الصَّلَاةَ قَدْرَ ذَلِكَ الشَّهْرِ ” قَالَ: وَلِأَنَّ الدَّمَ قَدْ يُوجَدُ فَيَكُونُ حَيْضًا وَقَدْ يُوجَدُ فَلَا يَكُونُ حَيْضًا مَعَ كَوْنِهِ مُتَمَيِّزًا أَوْ أَيَّامَ الْعَادَةِ إِذَا قَارَبَهَا الدَّمُ لَا يَكُونُ إِلَّا حَيْضًا، وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَهَا: ” إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ ” فَرَدَّهَا إِلَى تَمْيِيزِهَا وَاعْتِبَارِ لَوْنِهِ وَرَوَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ لِلْحَائِضِ دَفْعَاتٍ وَلِدَمِ الْحَيْضِ ريحٌ لَيْسَ لِغَيْرِهِ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُ الْحَيْضِ فَلْتَغْتَسِلْ وَلِأَنَّ الْحَيْضَ مُتَعَلِّقٌ بِدَمٍ وَأَيَّامٍ فَوَجَبَ أَنْ يُقَدَّمَ الدَّمُ عَلَى الْأَيَّامِ كَالْعِدَّةِ تُقَدَّمُ الْأَقْرَاءُ عَلَى الشُّهُورِ. وَلِأَنَّ مَا خَرَجَ مِنْ مَخْرَجٍ وَاحِدٍ إِذَا الْتَبَسَ وَأَمْكَنَ تَمْيِيزُهُ بِصِفَاتِهِ كَانَ التَّمْيِيزُ بِصِفَاتِهِ أَوْلَى كَالْمَنِيِّ وَالْمِذِيِّ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ فَهُوَ أَنَّهُ وَارِدٌ فِي الْمُعْتَادَةِ دُونَ الْمُمَيِّزَةِ. وَحَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ وَارِدٌ فِي الْمُمَيِّزَةِ دُونَ الْمُعْتَادَةِ فَتَسْتَعْمِلُ الْخَبَرَيْنِ فِيمَا وَرَدَا فِيهِ وَلَا يَسْقُطُ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ.
Abū Ḥanīfah berkata: Tidak ada pertimbangan terhadap tamyīz, dan wanita dikembalikan kepada ‘ādah-nya, berdasarkan hadis Ummu Salamah bahwa Nabi SAW bersabda: “Hendaklah ia melihat jumlah malam dan hari yang biasa ia alami haid dalam sebulan sebelum terjadi padanya apa yang terjadi, maka hendaklah ia meninggalkan shalat sebanyak hari tersebut dalam sebulan.”
Ia berkata pula: Karena darah bisa saja ditemukan dan itu adalah haid, dan bisa juga ditemukan namun bukan haid, meskipun memiliki tanda yang membedakannya. Sementara hari-hari ‘ādah, apabila darah mendekatinya, maka itu tidak mungkin kecuali haid.
Adapun dalil kami adalah hadis Fāṭimah binti Abī Ḥubaish bahwa Nabi SAW bersabda kepadanya: “Jika darah haid itu adalah darah yang hitam dan dikenal, maka jika itu yang keluar, tinggalkanlah shalat,” maka Nabi SAW mengembalikan (penentuan) kepadanya berdasarkan tamyīz-nya dan dengan mempertimbangkan warnanya.
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Darah haid itu keluar dalam gelombang-gelombang (terputus-putus), dan darah haid itu memiliki bau khas yang tidak dimiliki oleh darah selainnya. Maka jika telah berlalu kadar haid, hendaklah ia mandi.”
Karena haid itu berkaitan dengan darah dan hari-hari, maka wajib didahulukan pertimbangan darah atas hari, sebagaimana dalam masalah ‘iddah, di mana yang didahulukan adalah qurū’ daripada hitungan bulan.
Dan karena sesuatu yang keluar dari satu tempat, jika samar, dan memungkinkan untuk dibedakan dengan sifat-sifatnya, maka membedakan dengan sifat-sifatnya lebih utama, sebagaimana halnya antara manī dan mażī.
Adapun jawaban atas hadis Ummu Salamah, maka itu berlaku bagi wanita yang memiliki ‘ādah, bukan bagi wanita yang memiliki tamyīz. Sedangkan hadis Fāṭimah binti Abī Ḥubaish berlaku bagi wanita yang memiliki tamyīz, bukan bagi yang memiliki ‘ādah. Maka kedua hadis digunakan sesuai konteks masing-masing, dan tidak ada yang membatalkan salah satunya dengan yang lain.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ أَيَّامِ الْعَادَةِ أَنَّهَا لَا تَكُونُ إِلَّا حَيْضًا فَكَانَ أَوْلَى مِنَ اعْتِبَارِ الدَّمِ فَهُوَ أَنَّهُ اسْتِدْلَالٌ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ أَيَّامَ الْعَادَةِ قَدْ تُوجَدُ خَالِيَةً مِنَ الدَّمِ فَلَا يَكُونُ حَيْضًا فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْيَجْعَلَ حُكْمَ الْأَيَّامِ أَقْوَى مِنْ حُكْمِ الدَّمِ وَالدَّمُ قَدْ يَكُونُ حَيْضًا فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ.
Adapun jawaban atas pendapat bahwa “hari-hari ‘ādah tidaklah mungkin kecuali sebagai haid, maka itu lebih utama dipertimbangkan daripada darah”, maka ini adalah istidlāl yang rusak (batil); karena hari-hari ‘ādah terkadang ada tanpa disertai darah, maka itu tidak dianggap haid.
Maka bagaimana mungkin boleh menjadikan hukum hari-hari lebih kuat daripada hukum darah, padahal darah bisa saja merupakan haid di luar hari-hari ‘ādah?
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ التَّمْيِيزَ مُعْتَبَرٌ فَاعْتِبَارُهُ يَكُونُ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الدَّمُ مُخْتَلِفًا بَعْضُهُ أَسْوَدُ ثَخِينٌ وَبَعْضُهُ أَحْمَرُ رَقِيقٌ. فَإِنْ كَانَ لَوْنًا وَاحِدًا فَلَا تَمْيِيزَ وَيُنْظَرُ فِيهِ: فَإِنْ كَانَ أَسْوَدَ فَكُلُّهُ حَيْضٌ إِنْ بَلَغَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَلَمْ يَزِدْ عَلَى خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مُبْتَدَأَةً كَانَتْ أَوْ ذَاتَ حَيْضٍ. وَإِنْ نَقَصَ عَنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَهُوَ دَمُ فَسَادٍ. وَإِنْ زَادَ عَلَى خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَهِيَ مُسْتَحَاضَةٌ فَتُرَدُّ إِلَى مَا سَنَذْكُرُهُ. وَإِنْ كَانَ الدَّمُ أَحْمَرَ رَقِيقًا فَلَهَا حَالَتَانِ: مُبْتَدَأَةٌ، وَذَاتُ حَيْضٍ فَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ حَيْضٍ فَهُوَ كَالسَّوَادِ إِذَا انْفَرَدَ يَكُونُ حَيْضًا إِنْ بَلَغَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَلَمْ يَتَجَاوَزْ خَمْسَةَ عَشَرَ. وَاسْتِحَاضَةً إِنْ تَجَاوَزَ ذَلِكَ. وَإِنْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً فَفِيهِ وَجْهَانِ:
PASAL
Apabila telah tetap bahwa tamyīz (pembedaan) itu dipertimbangkan, maka pertimbangannya memiliki tiga syarat:
Pertama: bahwa darah yang keluar berbeda-beda; sebagian berwarna hitam kental, dan sebagian lainnya berwarna merah encer. Jika warnanya satu macam saja, maka tidak ada tamyīz, dan diperinci:
Jika warnanya hitam, maka seluruhnya dihukumi haid apabila mencapai satu hari satu malam dan tidak melebihi lima belas hari, baik wanita itu mubtada’ah (pertama kali haid) atau sudah memiliki haid sebelumnya.
Jika kurang dari satu hari satu malam, maka itu adalah darah fasād.
Jika melebihi lima belas hari, maka ia adalah mustaḥāḍah, dan akan dikembalikan kepada ketentuan yang akan disebutkan.
Jika darahnya berwarna merah encer, maka ada dua keadaan:
- Jika ia żātu ḥaiḍ (wanita yang sudah pernah haid), maka hukumnya seperti darah hitam bila berdiri sendiri: dianggap haid jika mencapai satu hari satu malam dan tidak melebihi lima belas hari, dan dianggap istiḥāḍah jika melebihi batas tersebut.
- Jika ia mubtada’ah (belum pernah haid), maka dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا كَذَاتِ الْحَيْضِ فِي أَنَّهُ حَيْضٌ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ دَمُ فَسَادٍ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مَشْرُوحًا فِي مَوْضِعِهِ.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ سَوَادُ الدَّمِ قَدْرًا يَكُونُ حَيْضًا وَهُوَ أَنْ يَبْلُغَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَلَا يَتَجَاوَزَ خَمْسَةَ عَشَرَ. فَإِنْ قَصُرَ عَنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ تَجَاوَزَ خَمْسَةَ عَشَرَ فَلَا تَمْيِيزَ وَكَانَ حُكْمُ الْكُلِّ وَاحِدًا فِي كَوْنِهِ دَمَ فَسَادٍ إِنْ نَقُصَ عَنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوِ اسْتِحَاضَةً دَخَلَتْ فِي حَيْضٍ إِنْ تَجَاوَزَ خَمْسَةَ عَشَرَ.
وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَجَاوَزَ الدَّمُ الْأَحْمَرُ خَمْسَةَ عَشَرَ لِيَدْخُلَ الِاسْتِحَاضَةُ فِي الْحَيْضِ فَإِنِ انْقَطَعَ فِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَكِلَا الدَّمَيْنِ سَوَادُهُ وَحُمْرَتُهُ حَيْضٌ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.
Pertama dari dua wajah: bahwa darah merah encer bagi mubtada’ah dihukumi seperti wanita yang sudah memiliki haid, yaitu dianggap haid.
Wajah kedua: bahwa itu adalah darah fasād, bukan haid—sebagaimana akan dijelaskan secara rinci di tempatnya.
Syarat kedua: bahwa darah yang hitam jumlahnya mencapai kadar yang dianggap haid, yaitu minimal satu hari satu malam dan tidak melebihi lima belas hari. Maka jika kurang dari satu hari satu malam, atau melebihi lima belas hari, maka tidak dianggap tamyīz.
Dan seluruh darahnya diberi hukum yang satu: jika kurang dari satu hari satu malam maka darah fasād; dan jika melebihi lima belas hari, maka itu istiḥāḍah yang masuk dalam haid.
Syarat ketiga: bahwa darah merah tersebut melebihi lima belas hari agar istiḥāḍah-nya masuk ke dalam haid. Maka jika darahnya terputus dalam waktu lima belas hari, maka kedua darah tersebut—yang hitam dan yang merah—dihukumi sebagai haid, sebagaimana akan dijelaskan.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطَ الثَّلَاثَةَ حُكِمَ لَهَا بِالتَّمْيِيزِ وَلَزِمَهَا اعْتِبَارُهُ فِي حَيْضِهَا فَحِينَئِذٍ لَا يَخْلُو دَمُهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتَقَدَّمَ السَّوَادُ وَتَتَأَخَّرَ الْحُمْرَةُ.
وَالثَّانِي: أَنْ تَتَقَدَّمَ الْحُمْرَةُ وَيَتَعَقَّبَهَا السَّوَادُ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ السَّوَادُ فِي الطَّرَفَيْنِ وَالْحُمْرَةُ فِي الْوَسَطِ.
PASAL
Apabila telah terpenuhi tiga syarat tamyīz tersebut, maka ditetapkan baginya hukum tamyīz dan wajib baginya untuk mempertimbangkannya dalam menentukan haidnya. Maka ketika itu, darahnya tidak lepas dari empat bagian:
Pertama: darah hitam mendahului, kemudian disusul oleh darah merah.
Kedua: darah merah mendahului, lalu diikuti oleh darah hitam.
Ketiga: darah hitam berada di kedua ujung (awal dan akhir), sedangkan darah merah berada di tengah-tengah.
وَالرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ الْحُمْرَةُ فِي الطَّرَفَيْنِ وَالسَّوَادُ فِي الْوَسَطِ. فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَتَقَدَّمَ السَّوَادُ وَتَتَعَقَّبَهُ الْحُمْرَةُ وَصُورَتُهُ أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ دَمًا أَسْوَدَ وَبَاقِيَ الشَّهْرِ دَمًا أَحْمَرَ فَحَيْضُهَا الْخَمْسَةُ السَّوَادُ تَدَعُ فِيهَا الصَّلَاةَ وَالصِّيَامَ. وَأَيَّامُ الدَّمِ الْأَحْمَرِ فِيمَا بَقِيَ مِنَ الشَّهْرِ اسْتِحَاضَةٌ يَلْزَمُهَا فِيهِ الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ، لِأَنَّ التَّمْيِيزَ فَاصِلٌ بَيْنَ دَمِ الْحَيْضِ وَدَمِ الِاسْتِحَاضَةِ لَكِنْ إِنْ كَانَ هَذَا الشَّهْرُ أَوَّلَ شُهُورِ اسْتِحَاضَتِهَا لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ بِانْتِقَالِهَا مِنَ السَّوَادِ إِلَى الْحُمْرَةِ لِجَوَازِ انْقِطَاعِهِ فِي الْخَمْسَةَ عَشَرَ فَيَكُونُ حَيْضًا وَهُوَ ظَاهِرُ حاله. حتىإِذَا تَجَاوَزَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا تَتَعَقَّبُ اسْتِحَاضَتَهَا فَقَضَتْ مَا تَرَكَتْ مِنَ الصَّلَاةِ فِيمَا تَقَدَّمَ من الحمرة واستقبلتها فيهما تَعْقُبُ. فَإِذَا دَخَلَ الشَّهْرُ الثَّانِي فَقَدْ ثَبَتَتِ استحاضتها. فتصلي وتصوم حتى ينتقل مِنَ السَّوَادِ إِلَى الْحُمْرَةِ، لِأَنَّهُ لِاعْتِبَارِ حَالِهَا في الشهر الماضي قد صَارَ فِي الْأَغْلَبِ اسْتِحَاضَةً، وَإِنْ جَازَ لِانْقِطَاعِهِ فِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا أَنْ يَكُونَ حَيْضًا. وكذلك لَوْ رَأَتْ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَحْمَرَ وَبَاقِي الشَّهْرِ دَمًا أَصْفَرَ كَانَ الْخَمْسَةُ الْحُمْرَةُ حَيْضًا تَقُومُ مَقَامَ السَّوَادِ عِنْدَ عُدَّتِهِ وَكَانَ الصُّفْرَةُ اسْتِحَاضَةً تَقُومُ مَقَامَ الْحُمْرَةِ عِنْدَ تَقَدُّمِهَا. فَلَوْ رَأَتْ فِي ابْتِدَاءِ الشَّهْرِ الثَّانِي عَشَرَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَبَاقِي الشَّهْرِ دَمًا أَحْمَرَ كَانَ حَيْضُهَا الْعَشَرَةَ السَّوَادَ، وَإِنْ زَادَ عَلَى حَيْضِهَا فِي الشَّهْرِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ بِالتَّمْيِيزِ، وَلِكُلِّ حَيْضَةٍ حُكْمٌ، وَهَكَذَا لَوْ رَأَتْ فِي أَوَّلِ الثَّالِثِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَبَاقِي الشَّهْرِ أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ كَانَ حَيْضُهَا سَبْعًا، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تَسْتَدِيمَ الْحُمْرَةُ بَعْدَ السَّوَادِ عَلَى خَمْسَةَ عَشَرَ فِي بَقِيَّةِ الشَّهْرِ كُلِّهِ وَبَيْنَ أَنْ تَبْلُغَ قَدْرًا يَزِيدُ مَعَ السَّوَادِ عَلَى خَمْسَةَ عَشَرَ فِي أَنَّهَا تَكُونُ مُسْتَحَاضَةٌ. فَإِنْ لَمْ يَزِدْ فَلَيْسَتْ مُسْتَحَاضَةٌ. مِثَالُهُ أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ فَإِنِ اتَّصَلَ الدَّمُ الْأَحْمَرُ بَعْدَهُ أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا فَصَاعِدًا كَانَتْ مُسْتَحَاضَةً. وَإِنِ انْقَطَعَ الْعَشَرَةَ فَمَا دُونُ كَانَتْ حَائِضًا وَكَانَ الزَّمَانُ حَيْضًا. وَإِنِ اخْتَلَفَا فَلَوْ رَأَتْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا دَمًا أَسْوَدَ ثُمَّ رَأَتْ بَعْدَهُ دَمًا أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ كَانَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ السَّوَادُ حَيْضًا. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا بَعْدَهُ مِنَ الصُّفْرَةِ هَلْ تَكُونُ اسْتِحَاضَةً أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ لَا يَكُونُ اسْتِحَاضَةً وَيَكُونُ دَمَ فَسَادٍ وَجُعِلَتِ الِاسْتِحَاضَةُ مَا دَخَلَتْ عَلَى إِثْرِ الْحَيْضِ فَيَ زَمَانٍ ثُمَّ تَجَاوَزَتْ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وهو قول أبي إسحاق يكون اسْتِحَاضَةً وَسَوَّى بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ فِيمَا دَخَلَ عَلَى زَمَانِ الْحَيْضِ وَمَا لَمْ يَدْخُلْ.
PASAL
Bagian keempat: yaitu darah merah berada di kedua ujung, dan darah hitam berada di tengah.
Adapun bagian pertama, yaitu mendahulunya darah hitam dan diikuti oleh darah merah—contohnya: seorang wanita melihat darah hitam selama lima hari di awal bulan, lalu sisanya adalah darah merah. Maka haidnya adalah lima hari darah hitam, ia meninggalkan shalat dan puasa pada hari-hari tersebut. Adapun sisa hari dalam bulan itu yang terdapat darah merah, maka itu adalah istiḥāḍah, ia wajib shalat dan puasa, karena tamyīz membedakan antara darah haid dan darah istiḥāḍah.
Namun jika bulan tersebut adalah awal masa istiḥāḍah-nya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa saat darah berubah dari hitam ke merah, karena masih mungkin darah itu terputus dalam lima belas hari sehingga dihukumi haid, sesuai keadaan lahirnya. Maka bila telah melebihi lima belas hari, barulah dianggap istiḥāḍah, dan ia wajib mengqadha shalat yang ditinggalkannya selama masa darah merah sebelumnya, dan sejak itu ia mulai memperlakukan dirinya sebagai mustaḥāḍah.
Bila memasuki bulan kedua, maka telah tetaplah status istiḥāḍah-nya. Maka ia shalat dan puasa hingga darahnya kembali berubah dari hitam ke merah, karena dengan mempertimbangkan keadaannya di bulan sebelumnya, darah merah itu lebih cenderung sebagai istiḥāḍah, meskipun masih mungkin dihukumi haid jika terputus sebelum lima belas hari.
Demikian pula jika ia melihat lima hari darah merah lalu sisanya darah kuning, maka lima hari darah merah itu dihukumi haid dan menggantikan kedudukan darah hitam dalam perhitungan, dan darah kuning dihukumi istiḥāḍah seperti halnya darah merah jika datang lebih dahulu.
Maka jika di awal bulan kedua ia melihat darah hitam selama sepuluh hari, lalu sisanya darah merah, maka haidnya adalah sepuluh hari darah hitam, meskipun lebih banyak dari haidnya di bulan pertama, karena yang menjadi patokan adalah tamyīz, dan setiap haid memiliki hukum tersendiri.
Begitu juga bila di awal bulan ketiga ia melihat darah hitam selama tujuh hari, lalu sisanya darah merah atau kuning, maka haidnya adalah tujuh hari tersebut. Tidak ada perbedaan antara terus-menerusnya darah merah setelah darah hitam selama lima belas hari sepanjang sisa bulan, dan antara jika darah itu menyatu dengan darah hitam hingga melebihi lima belas hari. Dalam kedua keadaan tersebut, wanita itu adalah mustaḥāḍah. Tapi jika tidak melebihi lima belas hari, maka ia bukan mustaḥāḍah.
Contohnya: ia melihat darah hitam selama lima hari, lalu darah merah bersambung setelahnya selama sebelas hari atau lebih, maka ia adalah mustaḥāḍah. Namun jika darah merahnya terputus setelah sepuluh hari atau kurang, maka ia tetap haid, dan waktu tersebut dihukumi sebagai masa haid.
Jika darahnya berbeda—misalnya ia melihat lima belas hari darah hitam, lalu setelahnya melihat darah merah atau kuning—maka lima belas hari darah hitam itu adalah haid. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang darah kuning setelahnya: apakah dihukumi istiḥāḍah atau tidak? Ada dua wajah:
Pertama: pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa itu bukan istiḥāḍah, melainkan darah fasād. Karena istiḥāḍah adalah darah yang datang setelah haid dalam waktu yang bersambung lalu melewati batasnya.
Kedua: pendapat Abū Isḥāq, bahwa itu adalah istiḥāḍah, dan beliau menyamakan antara darah yang datang dalam waktu haid dan yang datang di luar waktunya.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَتَقَدَّمَ الْحُمْرَةُ ثُمَّ يتعقبها السَّوَادُ فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَنْقُصَ الْحُمْرَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ، وَيَبْلُغُ السَّوَادُ الْمُتَعَقِّبُ قَدْرَ الْحَيْضِ، مِثَالُهُ أَنْ تَرَى الْحُمْرَةَ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ. وَتَرَى السَّوَادَ بَعْدَهُ مَا بَيْنَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَى خَمْسَةَ عَشَرَ. فَالْحُمْرَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ دَمُ فَسَادٍ وَالْحَيْضُ مَا بَعْدَهُ مِنَ السَّوَادِ وَلَيْسَ لَهَا اسْتِحَاضَةً وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَحَقَّ التَّمْيِيزَ بِاخْتِلَافِ الدَّمَيْنِ وَكَانَ الْأَوَّلُ مُخَالِفًا لِدَمِ الْحَيْضِ صَارَ الثَّانِي بِانْفِرَادِهِ حَيْضًا.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَبْلُغَ الْحُمْرَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ قَدْرَ الْحَيْضِ وَيَنْقُصَ السَّوَادُ الْمُتَعَقِّبُ عَنْقَدْرِ الْحَيْضِ. مِثَالُهُ أَنْ تَرَى مَا بَيْنَ يوم وليلة إلى خمسة عشر دماً أحمراً وَأَصْفَرَ فَإِنَّ الصُّفْرَةَ تَقُومُ مَقَامَ الْحُمْرَةِ وَتَرَى أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ دَمًا أَسْوَدَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
PASAL
Adapun bagian kedua, yaitu darah merah mendahului lalu diikuti oleh darah hitam, maka ini terbagi menjadi empat bagian:
Pertama: darah merah yang mendahului kurang dari kadar haid, dan darah hitam yang mengikutinya mencapai kadar haid.
Contohnya: ia melihat darah merah kurang dari satu hari satu malam, lalu setelahnya ia melihat darah hitam antara satu hari satu malam hingga lima belas hari. Maka darah merah yang mendahului adalah darah fasād, dan darah hitam setelahnya adalah haid. Tidak ada istiḥāḍah padanya. Karena tamyīz telah sah dengan perbedaan dua jenis darah, dan darah pertama menyelisihi sifat darah haid, maka darah kedua yang datang sendirian dihukumi sebagai haid.
Kedua: darah merah yang mendahului mencapai kadar haid, dan darah hitam yang mengikutinya kurang dari kadar haid.
Contohnya: ia melihat darah merah dan kuning (karena kuning menempati posisi merah) selama antara satu hari satu malam hingga lima belas hari, kemudian ia melihat darah hitam kurang dari satu hari satu malam. Maka ini terbagi menjadi dua bentuk:
(penjelasan bentuk pertama dan kedua akan dilanjutkan pada bagian berikutnya).
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَا جَمِيعًا لَا يتجاوزان قدر أكثر الحيض مثل ما تَرَى عَشَرَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَحْمَرَ وَأَصْفَرَ أَوْ أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَتَرَى أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ فَكِلَا الدَّمَيْنِ يَكُونُ حَيْضًا فِي غَيْرِ الْمُبْتَدَأَةِ وَفِي الْمُبْتَدَأَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَجَاوَزَ جَمِيعًا قَدْرَ أَكْثَرِ الْحَيْضِ مِثْلَ أَنْ تَرَى خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا دَمًا أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ وَتَرَى بَعْدَهُ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ دَمًا أَسْوَدَ. فَحَيْضُهَا مَا تَقَدَّمَ مِنَ الدَّمِ الْأَحْمَرِ وَالْأَصْفَرِ إِنْ كَانَتْ ذَاتَ حَيْضٍ غَيْرَ مُبْتَدَأَةٍ وَفِي الْمُبْتَدَأَةِ وَجْهَانِ. وَمَا يَتَعَقَّبُهُ مِنَ الدَّمِ الْأَسْوَدِ اسْتِحَاضَةٌ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ التَّمْيِيزِ لِمُجَاوَزَةِ أَكْثَرِ الْحَيْضِ وَنَقْصِ السَّوَادِ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ.
Pertama dari dua bentuk: bahwa jumlah total darah merah dan hitam tidak melebihi kadar maksimal haid.
Contohnya: ia melihat darah merah dan kuning selama sepuluh hari atau empat belas hari, lalu melihat darah hitam kurang dari satu hari. Maka kedua jenis darah tersebut dihukumi sebagai haid pada wanita yang bukan mubtada’ah.
Adapun bagi mubtada’ah, terdapat dua wajah pendapat.
Bentuk kedua: bahwa jumlah keduanya melebihi kadar maksimal haid.
Contohnya: ia melihat darah merah atau kuning selama lima belas hari, lalu melihat setelah itu darah hitam kurang dari satu hari satu malam.
Maka haidnya adalah darah merah dan kuning yang terdahulu, jika ia adalah wanita yang sudah memiliki haid (bukan mubtada’ah), dan bagi mubtada’ah terdapat dua wajah pendapat.
Adapun darah hitam yang datang setelahnya, maka itu adalah istiḥāḍah, karena tamyīz dalam kasus ini ditetapkan dengan alasan melebihi batas maksimal haid dan karena darah hitam kurang dari kadar minimal haid.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَنْقُصَ الْحُمْرَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ وَيَنْقُصَ السَّوَادُ الْمُتَعَقِّبُ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ أَيْضًا. مِثَالُهُ أَنْ تَرَى أقل من يوم وليلة دماً أحمر أو أصفر وترى أقل من يوم وليلة بعده دماً أسود فهذا وَإِنْ خَرَجَ عَنْ أَقْسَامِ الْمُسْتَحَاضَةِ لِمَا ذَكَرْنَا فِي شُرُوطِهَا أَنْ يَتَجَاوَزَ دَمُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي أَقْسَامِ الْمُمَيِّزَةِ فَكَذَلِكَ مَا أَوْرَدْنَاهُ فَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ ذَاتَ حَيْضٍ فَكِلَا الدَّمَيْنِ حَيْضٌ فَإِنْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً فَعَلَى الْوَجْهَيْنِ.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تَبْلُغَ الْحُمْرَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ قَدْرَ الْحَيْضِ وَيَبْلُغَ السَّوَادُ الْمُتَعَقِّبُ أَيْضًا قَدْرَ الْحَيْضِ فهذا على ضربين:
أحدهما: أن يتجاوزا جَمِيعًا قَدْرَ أَكْثَرِ الْحَيْضِ مِثَالُهُ أَنْ تَرَى عَشَرَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ ثُمَّ تَرَى بَعْدَهُ عَشَرَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ. فَإِنْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً فَحَيْضُهَا الْعَشَرَةُ السَّوَادُ الْمُتَأَخِّرَةُ دُونَ الصُّفْرَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ لِأَنَّ السواد قد وجد بصفة الحيض بخلاف الصفرة وكذا الزمانين عَلَى سَوَاءٍ فِي الْإِمْكَانِ وَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ حَيْضٍ فَعَلَى وَجْهَيْنِ لِأَصْحَابِنَا:
Bagian ketiga: bahwa darah merah yang mendahului kurang dari kadar haid, dan darah hitam yang mengikutinya juga kurang dari kadar haid.
Contohnya: ia melihat darah merah atau kuning kurang dari satu hari satu malam, lalu setelah itu ia melihat darah hitam juga kurang dari satu hari satu malam.
Meskipun kasus ini keluar dari kategori mustaḥāḍah—karena dalam syarat istiḥāḍah disebutkan bahwa darahnya harus melebihi lima belas hari—namun ia tetap masuk dalam kategori mumyayyizah, sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Maka bila wanita tersebut adalah żātu ḥaiḍ (yang sudah pernah mengalami haid), maka kedua darah itu dihukumi sebagai haid. Dan bila ia mubtada’ah, maka dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat.
Bagian keempat: bahwa darah merah yang mendahului mencapai kadar haid, dan darah hitam yang mengikutinya juga mencapai kadar haid. Maka ini terbagi menjadi dua bentuk:
Pertama: keduanya melebihi batas maksimal haid.
Contohnya: ia melihat darah merah atau kuning selama sepuluh hari, lalu setelah itu melihat darah hitam selama sepuluh hari.
Maka jika ia mubtada’ah, maka haidnya adalah sepuluh hari darah hitam yang datang kemudian, bukan darah kuning yang mendahului. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat kami dalam hal ini, karena darah hitam memiliki sifat haid, sedangkan darah kuning tidak. Begitu pula kedua rentang waktu itu sama-sama mungkin menjadi haid.
Namun jika ia adalah żātu ḥaiḍ, maka di dalamnya terdapat dua wajah pendapat di kalangan sahabat kami:
(penjelasan dua wajah ini akan diteruskan pada bagian berikutnya).
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أبي العباس وأبي علي أَنَّ حَيْضَهَا مَا تَقَدَّمَ مِنْ عَشَرَةِ الْحُمْرَةِ أَوِ الصُّفْرَةِ دُونَ مَا تَعَقُّبٍ مِنَ الْعَشَرَةِ السَّوَادِ. قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ: لِأَنَّ الِاسْتِحَاضَةَ تَدْخُلُ عَلَى الْحَيْضِ وَالْحَيْضُ لَا يَدْخُلُ عَلَى الِاسْتِحَاضَةِ فَلَمَّا كَانَتِ الْعَشَرَةُ الْأَيَّامِ الصُّفْرَةُ أَوِ الْحُمْرَةُ لَوِ انْفَرَدَتْ كَانَتْ حَيْضًا اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَا دَخَلَ عَلَيْهَا مِنَ السَّوَادِ اسْتِحَاضَةً لِتَمَيُّزِ الدمين وامتناع كونهما حيضاً.
والوجه الثاني: وهو قول أبي العباس وَجُمْهُورِ الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّ حَيْضَهَا مَا تَأَخَّرَ مِنْعَشَرَةِ السَّوَادِ دُونَ مَا تَقَدُّمٍ مِنْ عَشَرَةِ الصُّفْرَةِ لِاخْتِصَاصِهِ بِصِفَةِ الْحَيْضِ مَعَ تَسَاوِي الزَّمَانَيْنِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُوجَدَ صِفَةُ الْحَيْضِ فِي دَمٍ مُمْكِنٍ فَيُجْعَلُ الْحَيْضُ فِيمَا سِوَاهُ وَلِأَنَّ مِنْ شَأْنِ الْحَيْضِ أَنْ يَبْدُوَ قَوِيًّا أَسْوَدَ ثُمَّ يَرِقُّ وَيَصْفُو وَلَيْسَ مِنْ شَأْنِهِ أَنْ يَبْدُوَ رَقِيقًا صَافِيًا ثُمَّ يَقْوَى وَيَسْوَدُّ. وَقَدْ رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الْحَيْضَةَ تَبْدُو فَتَكُونُ دَمًا خَاثِرًا ثُمَّ يَرِقُّ الدَّمُ وَيَصْفُو ثُمَّ يَكُونُ صُفْرَةً فَإِذَا رَأَتِ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ فَهُوَ الطُّهْرُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَتَجَاوَزَ الزَّمَانُ قَدْرَ أَكْثَرِ الْحَيْضِ. مِثَالُهُ أَنْ تَرَى عَشَرَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ ثُمَّ تَرَى بَعْدَهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ فَمَنْ جَعَلَ الصفرة هناك حيضاً جعل كلا الزمانين ها هنا حَيْضًا وَمَنْ جَعَلَ السَّوَادَ هُنَاكَ حَيْضًا جَعَلَ السواد الخمسة ها هنا حَيْضًا فَهَذَا حُكْمُ الْمُمَيِّزَةِ إِذَا رَأَتْ صُفْرَةَ الدَّمِ وَحُمْرَتَهُ مِثْلَ سَوَادِهِ وَهُوَ الثَّانِي مِنْ أَقْسَامِهَا.
Salah satu dari dua wajah: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās dan Abū ‘Alī bahwa haidnya adalah sepuluh hari pertama berupa darah merah atau kuning, bukan sepuluh hari setelahnya berupa darah hitam.
Abū al-‘Abbās berkata: karena istiḥāḍah bisa masuk ke dalam haid, namun haid tidak bisa masuk ke dalam istiḥāḍah. Maka ketika sepuluh hari darah kuning atau merah itu, jika berdiri sendiri sudah layak dianggap haid, maka apa yang datang sesudahnya dari darah hitam harus dianggap sebagai istiḥāḍah karena perbedaan sifat dua darah dan karena tidak mungkin keduanya haid sekaligus.
Wajah kedua: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās (juga) dan mayoritas ulama muta’akhkhirīn, bahwa haidnya adalah sepuluh hari terakhir berupa darah hitam, bukan sepuluh hari pertama berupa darah kuning. Karena darah hitam memiliki sifat khas haid, sedangkan kedua rentang waktu itu sama-sama mungkin dianggap haid. Maka tidak boleh menetapkan haid pada darah yang tidak memiliki sifat haid sementara terdapat darah lain yang memiliki sifat tersebut.
Juga karena tabiat haid biasanya muncul diawali dengan darah yang kuat dan hitam, kemudian menjadi ringan dan jernih. Bukan sebaliknya: dimulai dengan darah encer dan jernih lalu menjadi pekat dan hitam.
Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Abū Hurairah bahwa haid itu bermula dengan darah kental, kemudian menjadi encer dan jernih, lalu berubah menjadi ṣufrah, dan jika wanita melihat al-qaṣṣah al-bayḍā’ maka itulah tanda suci.
Bentuk kedua dari bagian keempat: bahwa total waktu darah tidak melebihi batas maksimal haid.
Contohnya: ia melihat sepuluh hari darah kuning, lalu lima hari darah hitam.
Maka barangsiapa menganggap darah kuning pada contoh sebelumnya sebagai haid, maka di sini ia menganggap kedua waktu (kuning dan hitam) sebagai haid.
Dan barangsiapa menganggap darah hitam pada contoh sebelumnya sebagai haid, maka di sini ia menghukumi lima hari darah hitam sebagai haid.
Inilah hukum wanita mumyayyizah ketika ia melihat darah kuning atau merah yang setara dengan darah hitam—dan ini adalah bagian kedua dari pembagian mumyayyizah.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ السَّوَادُ فِي الطَّرَفَيْنِ وَالْحُمْرَةُ أَوِ الصُّفْرَةُ فِي الْوَسَطِ فَهَذَا عَلَى ثَمَانِيَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أن يبلغ كل واحد من الدماء الثلاثة قَدْرًا يَكُونُ حَيْضًا وَلَا يَتَجَاوَزُ جَمِيعُهُ قَدْرَ أَكْثَرِ الْحَيْضِ مِثَالُهُ أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ. فَفِي الصُّفْرَةِ الْمُتَوَسِّطَةِ بَيْنَ الدَّمَيْنِ الْأَسْوَدَيْنِ وَجْهَانِ:
PASAL
Adapun bagian ketiga: yaitu apabila darah hitam berada di kedua ujung, sedangkan darah merah atau kuning berada di tengah-tengah, maka ini terbagi menjadi delapan bagian.
Pertama: masing-masing dari ketiga jenis darah tersebut (hitam, merah, atau kuning) mencapai kadar yang dapat dihukumi sebagai haid, dan keseluruhan darah tersebut tidak melebihi batas maksimal haid.
Contohnya: ia melihat lima hari darah hitam, lima hari darah merah atau kuning, lalu lima hari darah hitam lagi.
Maka dalam darah kuning (atau merah) yang berada di tengah antara dua darah hitam itu terdapat dua wajah pendapat:
(penjelasan dua wajah ini akan dilanjutkan dalam bagian berikutnya).
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ حَيْضٌ وهو قول أبي العباس.
والثاني: استحاضة في حُكْمِ الطُّهْرَيْنِ الدَّمَيْنِ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنَ التَّلْفِيقِ:
أَحَدُهُمَا: يَكُونُ فِي حُكْمِ الْحَيْضِ.
وَالثَّانِي: فِي حُكْمِ الطُّهْرِ وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْمُبْتَدَأَةُ وَذَاتُ الْحَيْضِ لِأَنَّ الْمُبْتَدَأَةَ بِمَا تُقَدِّمُ مِنَ السَّوَادِ قَدْ صَارَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْحَيْضِ.
Pertama dari dua wajah: bahwa darah (kuning atau merah) yang berada di tengah itu adalah haid — ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās.
Wajah kedua: bahwa itu adalah istiḥāḍah, dan berada dalam hukum dua masa suci (yakni diapit oleh dua masa darah haid), ini adalah pendapat Abū Isḥāq.
Maka berdasarkan wajah kedua ini, terdapat dua pendapat dari sisi talfiq (menggabungkan dua jenis darah):
Pertama: dihukumi sebagai haid.
Kedua: dihukumi sebagai suci (ṭuhr).
Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara wanita mubtada’ah dan żātu ḥaiḍ, karena mubtada’ah—dengan mendahulukan darah hitam di awal—telah termasuk dalam kategori wanita yang memiliki haid (żātu ḥaiḍ).
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أن يبلغ كل واحد من الدماء الثلاثة قَدْرًا يَكُونُ حَيْضًا وَيَتَجَاوَزُ جَمِيعُهُ قَدْرَ أَكْثَرِ الْحَيْضِ. مِثَالُهُ: أَنْ تَرَى سَبْعَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ وَسَبْعَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ يَكُونُ حَيْضُهَا السَّبْعُ السَّوَادُ وَالسَّبْعُ الصُّفْرَةُ وَمَا تَعَقَّبَهُ مِنَ السَّوَادِ اسْتِحَاضَةٌ. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ يَكُونُ حَيْضُهَا السَّبْعَةَ السَّوَادَ الْأُولَى وَالسَّبْعَةَ السَّوَادَ الْأَخِيرَةَ وَتَكُونُ السَّبْعَةُ الصُّفْرَةُ اسْتِحَاضَةً. وَلَا يَكُونُ عَلَى قَوْلَيِ التَّلْفِيقِ لِمُجَاوَزَةِ قَدْرِ الْحَيْضِ فَلَوْ رَأَتْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ كَانَ حَيْضُهَا الثَّمَانِيَةُ السَّوَادُ الْأُولَى وَمَا بَعْدَهَا مِنَ الدَّمَيْنِ اسْتِحَاضَةً عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا لِأَنَّكَ إِذَا ضَمَمْتَ إِلَى السَّوَادِ الْأَوَّلِ وَاحِدًا مِنَ الدَّمَيْنِ تَجَاوَزَ أَكْثَرَ الْحَيْضِ فَلَمْ يُضَمَّ.
Bagian kedua: bahwa masing-masing dari tiga jenis darah (hitam, merah, kuning) mencapai kadar yang dihukumi sebagai haid, namun total keseluruhannya melebihi batas maksimal haid.
Contohnya: ia melihat tujuh hari darah merah atau kuning, dan tujuh hari setelahnya darah hitam.
Menurut pendapat Abū al-‘Abbās, haidnya adalah tujuh hari darah hitam yang pertama dan tujuh hari darah kuning, sedangkan darah hitam yang datang setelah itu adalah istiḥāḍah.
Menurut pendapat Abū Isḥāq, haidnya adalah tujuh hari darah hitam yang pertama dan tujuh hari darah hitam yang terakhir, sedangkan tujuh hari darah kuning di tengah adalah istiḥāḍah.
Dan dalam kasus ini, tidak mungkin menggunakan dua pendapat talfiq (penggabungan) karena keseluruhannya telah melebihi kadar maksimal haid.
Contohnya lagi: jika ia melihat delapan hari darah hitam, delapan hari setelahnya darah kuning, dan delapan hari berikutnya darah hitam, maka haidnya adalah delapan hari darah hitam yang pertama saja. Adapun dua jenis darah berikutnya, keduanya adalah istiḥāḍah menurut kedua mazhab, karena apabila salah satu dari dua darah itu digabungkan dengan darah hitam pertama, maka jumlahnya melebihi batas maksimal haid—maka tidak boleh digabungkan.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَنْقُصَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ وَلَا يَبْلُغُجَمِيعُهَا قَدْرَ الْحَيْضِ. مِثَالُهُ أَنْ تَرَى سَاعَةً دَمًا أَسْوَدَ وَسَاعَةً دَمًا أَصْفَرَ وَسَاعَةً دَمًا أَسْوَدَ فَهَذَا كُلُّهُ دَمُ فَسَادٍ وَذَكَرْنَاهُ وَإِنْ كَانَ خَارِجًا مِنْ أَحْكَامِ الْمُمَيِّزَةِ؛ لِأَنَّ مُقَابَلَةَ التَّقْسِيمِ فِي هَذَا الْفَصْلِ اقْتَضَاهُ.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَنْقُصَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ لَكِنْ يَبْلُغُ جَمِيعُهَا قَدْرَ الْحَيْضِ. مِثَالُهُ: أَنْ تَرَى يَوْمًا وَلَيْلَةً دَمًا أَسْوَدَ وَثَلَاثَةً أَصْفَرَ وَثَلَاثَةً أَسْوَدَ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ يَكُونُ حَيْضًا. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ لَا يَكُونُ حَيْضًا؛ لِأَنَّهُ يَخْرِجُ الصُّفْرَةَ فَيَكُونُ بَاقِي السَّوَادِ ثُلُثَيْ يَوْمٍ وَذَلِكَ لَا يَكُونُ حَيْضًا. فَلَوْ رَأَتْ نِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ: فَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ يَكُونُ حيضاً يوماً ونصف وَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ لَا يَكُونُ حَيْضًا يَوْمًا وَنِصْفًا، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ يَكُونُ حَيْضُهَا يَوْمًا وَاحِدًا وَالنِّصْفُ الصُّفْرَةُ اسْتِحَاضَةٌ بَيْنَ دَمَيْ حَيْضٍ كَطُهْرِ التَّلْفِيقِ.
Dan bagian ketiga: yaitu setiap dari tiga darah itu kurang dari kadar ḥaiḍ, dan seluruhnya pun tidak mencapai kadar ḥaiḍ. Contohnya: ia melihat satu jam darah hitam, satu jam darah kuning, dan satu jam darah hitam, maka ini semuanya adalah dam fasād, dan telah kami sebutkan, meskipun keluar dari hukum-hukum wanita yang dapat membedakan (mumyayyizah); karena pembagian dalam pasal ini mengharuskannya demikian.
Dan bagian keempat: yaitu setiap dari tiga darah itu kurang dari kadar ḥaiḍ, tetapi seluruhnya mencapai kadar ḥaiḍ. Contohnya: ia melihat sehari semalam darah hitam, tiga hari darah kuning, dan tiga hari darah hitam. Menurut pendapat Abū al-‘Abbās, ini adalah ḥaiḍ. Dan menurut pendapat Abū Isḥāq, ini bukan ḥaiḍ, karena ia mengeluarkan warna kuning sehingga yang tersisa dari warna hitam hanya dua pertiga hari, dan itu tidak cukup untuk menjadi ḥaiḍ. Maka jika ia melihat setengah hari darah hitam, setengah hari darah kuning, dan setengah hari darah hitam, menurut pendapat Abū Isḥāq, maka ḥaiḍ-nya adalah satu hari setengah. Dan menurut pendapat Abū al-‘Abbās, tidak menjadi ḥaiḍ satu hari setengah. Dan menurut pendapat Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah satu hari, dan setengahnya yang berupa warna kuning adalah istiḥāḍah yang berada di antara dua darah ḥaiḍ, seperti ṭuhr talaffuq.
وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ يَبْلُغَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ السَّوَادَيْنِ قَدْرَ الْحَيْضِ وَتَنْقُصُ الصُّفْرَةُ الْمُتَوَسِّطَةُ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ مِثَالُهُ أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ. فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ وَنِصْفٌ وَهِيَ الدِّمَاءُ الثَّلَاثَةُ كُلُّهَا. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ زَمَانَ السَّوَادَيْنِ وَنِصْفُ يَوْمِ الصُّفْرَةِ طُهْرٌ بَيْنَهُمَا. فَيَكُونُ عَلَى قَوْلِ التَّلْفِيقِ فَلَوْ رَأَتْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ وَسَبْعَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ: فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا ثَمَانِيَةُ أَيَّامٍ وَنِصْفٌ وَمَا بَعْدَهُ مِنَ السَّبْعَةِ اسْتِحَاضَةٌ لِمُجَاوَزَتِهِ أَكْثَرَ الْحَيْضِ. وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ حَيْضُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَهُوَ السَّوَادَانِ دُونَ الصُّفْرَةِ.
Dan bagian kelima: yaitu masing-masing dari dua darah hitam mencapai kadar ḥaiḍ, sedangkan warna kuning yang berada di tengah-tengah kurang dari kadar ḥaiḍ. Contohnya: ia melihat lima hari darah hitam, setengah hari darah kuning, dan lima hari darah hitam. Maka menurut pendapat Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah sepuluh hari setengah, yaitu ketiga jenis darah semuanya. Dan menurut pendapat Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah sepuluh hari, yaitu masa dua darah hitam, dan setengah hari warna kuning adalah ṭuhr di antara keduanya. Maka ini termasuk pendapat talaffuq.
Jika ia melihat delapan hari darah hitam, setengah hari darah kuning, dan tujuh hari darah hitam, maka menurut pendapat Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah delapan setengah hari, dan yang setelahnya dari tujuh hari itu adalah istiḥāḍah karena melebihi batas maksimal ḥaiḍ. Dan menurut pendapat Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah lima belas hari, yaitu dua darah hitam tanpa warna kuning.
وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ يَنْقُصَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ السَّوَادَيْنِ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ فَتَبْلُغُ الصُّفْرَةُ الْمُتَوَسِّطَةُ قَدْرَ الْحَيْضِ.
مِثَالُهُ: أَنْ تَرَى نِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ: فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا سِتَّةُ أَيَّامٍ وَهِيَ أَيَّامُ الدَّمِ كُلِّهِ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ حَيْضُهَا النِّصْفَانِ السَّوَادَانِ إِنِ انْضَمَّ إِلَيْهِمَا مَعَ الْيَوْمِ لَيْلَةٌ وَالْخَمْسَةُ الصُّفْرَةُ الْمُتَوَسِّطَةُ اسْتِحَاضَةٌ بَيْنَ دَمَيْ حَيْضٍ فَيَكُونُ كَطُهْرِ التَّلْفِيقِ وَإِنْ لَمْ يَنْضَمَّ إِلَى يَوْمِ السَّوَادَيْنِ لَيْلَةٌ صَارَ السَّوَادُ تَبَعًا لِلصُّفْرَةِ فَتَصِيرُ السِّتَّةُ كُلُّهَا وَهِيَ أَيَّامُ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ حَيْضًا فِي ذَاتِ الْحَيْضِ وَفِي الْمُبْتَدَأَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dan bagian keenam: yaitu masing-masing dari dua darah hitam kurang dari kadar ḥaiḍ, lalu warna kuning yang berada di tengah-tengah mencapai kadar ḥaiḍ.
Contohnya: ia melihat setengah hari darah hitam, lima hari darah kuning, dan setengah hari darah hitam. Maka menurut pendapat Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah enam hari, yaitu seluruh hari-hari darah tersebut. Dan menurut pendapat Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah dua setengah hari darah hitam jika bergabung dengan satu malam, sedangkan lima hari warna kuning yang berada di tengah adalah istiḥāḍah di antara dua darah ḥaiḍ, maka hukumnya seperti ṭuhr talaffuq. Namun jika tidak bergabung kepada dua darah hitam itu satu malam, maka darah hitam itu menjadi ikut pada warna kuning, sehingga keseluruhan enam hari—yaitu hari-hari dari ketiga jenis darah—menjadi ḥaiḍ bagi wanita yang sudah terbiasa ḥaiḍ, dan bagi wanita pemula terdapat dua wajah pendapat.
وَالْقِسْمُ السَّابِعُ: أَنْ يَبْلُغَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ السَّوَادِ الْأَوَّلِ وَالصُّفْرَةِ الْمُتَوَسِّطَةِ قَدْرَ الحيضوَيَنْقُصُ السَّوَادِ الْآخَرِ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ. مِثَالُهُ أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ فَكُلُّ ذَلِكَ حَيْضٌ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا وَهُوَ عَشَرَةُ أَيَّامٍ وَنِصْفٌ. أَمَّا أَبُو الْعَبَّاسِ فَعَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الصُّفْرَةَ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ حَيْضٌ وَإِنْ تَعَقَّبَهَا سَوَادٌ. وَأَمَّا أَبُو إِسْحَاقَ فَلِأَنَّ الصُّفْرَةَ لَمْ يَتَعَقَّبْهَا مِنَ السَّوَادِ قَدْرٌ يَكُونُ حَيْضًا فَصَارَتْ تَبَعًا وَكَانَ الْكُلُّ حَيْضًا فَلَوْ رَأَتْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَسَبْعَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ: فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ يَكُونُ حَيْضُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا الثَّمَانِيَةُ السَّوَادُ وَالسَّبْعَةُ الصُّفْرَةُ وَيَكُونُ النِّصْفُ يَوْمٍ السَّوَادُ دَمَ فَسَادٍ لِمُجَاوَزَةِ أَيَّامِ الْحَيْضِ وَتَمَيُّزِهِ عَمَّا قَبْلُ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ يَكُونُ حَيْضُهَا ثَمَانِيَةُ أَيَّامٍ وَنِصْفٌ وَهُوَ زَمَانُ الدَّمَيْنِ الْأَسْوَدَيْنِ وَالسَّبْعَةُ الصُّفْرَةُ اسْتِحَاضَةٌ مَحْضَةٌ فَلَوْ رَأَتْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا ثَمَانِيَةُ أَيَّامٍ وَنِصْفٌ زَمَانَيِ السَّوَادِ الْأَوَّلِ وَالْأَخِيرِ وَالثَّمَانِيَةُ الصُّفْرَةُ اسْتِحَاضَةٌ مَحْضَةٌ.
Dan bagian ketujuh: yaitu darah hitam pertama dan warna kuning di tengah-tengah masing-masing mencapai kadar ḥaiḍ, sedangkan darah hitam yang terakhir kurang dari kadar ḥaiḍ.
Contohnya: ia melihat lima hari darah hitam, lima hari darah kuning, dan setengah hari darah hitam. Maka seluruhnya dihukumi ḥaiḍ menurut dua mazhab sekaligus, yaitu sepuluh setengah hari.
Adapun Abū al-‘Abbās, maka sesuai dengan asal pendapatnya bahwa warna kuning pada hari-hari ḥaiḍ dihukumi ḥaiḍ, meskipun setelahnya terdapat darah hitam.
Dan Abū Isḥāq berpendapat demikian karena warna kuning itu tidak diikuti oleh darah hitam dengan kadar yang mencukupi untuk dihukumi ḥaiḍ, maka warna kuning menjadi ikutannya, dan keseluruhannya dihukumi ḥaiḍ.
Jika ia melihat delapan hari darah hitam, tujuh hari darah kuning, dan setengah hari darah hitam, maka menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah lima belas hari, yaitu delapan hari darah hitam dan tujuh hari darah kuning, dan setengah hari darah hitam terakhir adalah dam fasād, karena melebihi hari-hari ḥaiḍ dan terpisah dari sebelumnya.
Dan menurut Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah delapan setengah hari, yaitu masa dua darah hitam, dan tujuh hari warna kuning adalah istiḥāḍah murni.
Jika ia melihat delapan hari darah hitam, delapan hari darah kuning, dan setengah hari darah hitam, maka menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah delapan setengah hari, yaitu masa dua darah hitam pertama dan terakhir, sedangkan delapan hari darah kuning adalah istiḥāḍah murni.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: يَنْقُصُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ السَّوَادِ الْأَوَّلِ وَالصُّفْرَةِ الْمُتَوَسِّطَةِ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ وَيَبْلُغُ السَّوَادُ الْأَخِيرُ قَدْرَ الْحَيْضِ. مِثَالُهُ أَنْ تَرَى نِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا سِتَّةُ أَيَّامٍ زمان الدماء الثلاثة وعلى قول أبي إسحاق حَيْضُهَا خَمْسَةُ أَيَّامٍ وَهِيَ السَّوَادُ الْأَخِيرُ وَلَا يَكُونُ السَّوَادُ الْأَوَّلُ حَيْضًا لِمَا تَعَقَّبَهُ مِنَ الصُّفْرَةِ. فَلَوْ رَأَتْ نِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا دَمًا أَسْوَدَ: فَحَيْضُهَا عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا الْخَمْسَةَ عَشَرَ السَّوَادُ؛ لِأَنَّ الرُّجُوعَ إِلَى التَّمْيِيزِ مَعَ تَجَاوُزِ أَكْثَرِ الْحَيْضِ مَا لَوِ انْفَرَدَ كَانَ حَيْضًا، فَهَذَا مَا فِي الْقِسْمِ الثَّالِثِ مِنَ الْأَقْسَامِ الثَّمَانِيَةِ.
Dan bagian kedua: yaitu darah hitam pertama dan warna kuning di tengah-tengah masing-masing kurang dari kadar ḥaiḍ, sedangkan darah hitam terakhir mencapai kadar ḥaiḍ.
Contohnya: ia melihat setengah hari darah hitam, setengah hari darah kuning, dan lima hari darah hitam. Maka menurut pendapat Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah enam hari, yaitu seluruh masa dari ketiga jenis darah.
Dan menurut pendapat Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah lima hari, yaitu darah hitam terakhir saja, dan darah hitam pertama tidak dihukumi ḥaiḍ karena diikuti oleh warna kuning.
Jika ia melihat setengah hari darah hitam, setengah hari darah kuning, dan lima belas hari darah hitam, maka ḥaiḍ-nya menurut dua mazhab sekaligus adalah lima belas hari darah hitam tersebut; karena kembali pada tam-yīz (kemampuan membedakan jenis darah) saat melebihi batas maksimal ḥaiḍ masih dianggap sah, selama jika darah itu berdiri sendiri mencukupi untuk dihukumi ḥaiḍ.
Demikianlah yang terdapat pada bagian ketiga dari delapan bagian.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الصُّفْرَةُ فِي الطَّرَفَيْنِ وَالسَّوَادُ فِي الْوَسَطِ فَهَذَا عَلَى سِتَّةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُبْلَغَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ قَدْرَ الْحَيْضِ مِثَالُهُ أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ: فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا أَيَّامَ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ الْخَمْسَةُ السَّوَادُ وَمَا بَعْدَهُ مِنَ الْخَمْسَةِ الصُّفْرَةِ فَلَا تَكُونُ الْخَمْسَةُ الصُّفْرَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ حَيْضًا فَلَوْ رَأَتْ سِتَّةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَسِتَّةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَسِتَّةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ كَانَ حَيْضُهَا عَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ اثْنَيْ عَشَرَ يَوْمًا السِّتَّةَ الصُّفْرَةَ الْمُتَقَدِّمَةَ وَالسِّتَّةَ السَّوَادَ الْمُتَوَسِّطَةَ وَمَا بَعْدَهَا مِنَ السِّتَّةِ الصُّفْرَةِ الْمُتَأَخِّرَةِ اسْتِحَاضَةٌ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ حَيْضُهَا سِتَّةُ أَيَّامٍ السَّوَادُ الْمُتَوَسِّطَةُ وَمَا قَبْلَهُ وَمَا بَعْدَهُ مِنَ الصُّفْرَتَيْنِ اسْتِحَاضَةٌ. فَلَوْ رَأَتْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًاأَصْفَرَ فَحَيْضُهَا عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا الثَّمَانِيَةُ السَّوَادُ وَلَا تُضَمُّ إِلَيْهَا وَاحِدٌ مِنَ الصُّفْرَتَيْنِ لِأَنَّهُ يصبر مُجَاوِزًا لِأَكْثَرِ الْحَيْضِ.
(PASAL)
Adapun bagian keempat: yaitu warna kuning berada di kedua ujung dan darah hitam berada di tengah, maka ini terbagi menjadi enam bagian:
Pertama: setiap dari ketiga jenis darah itu mencapai kadar ḥaiḍ.
Contohnya: ia melihat lima hari darah kuning, lima hari darah hitam, dan lima hari darah kuning.
Menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah lima belas hari, yaitu hari-hari dari ketiga darah tersebut.
Menurut Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah sepuluh hari, yaitu lima hari darah hitam dan lima hari darah kuning yang setelahnya; sedangkan lima hari darah kuning yang pertama tidak dihukumi ḥaiḍ.
Jika ia melihat enam hari darah kuning, enam hari darah hitam, dan enam hari darah kuning, maka menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah dua belas hari: enam hari darah kuning yang pertama dan enam hari darah hitam di tengah, sedangkan enam hari darah kuning yang setelahnya adalah istiḥāḍah.
Menurut Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah enam hari, yaitu darah hitam di tengah, dan darah kuning sebelum dan sesudahnya adalah istiḥāḍah.
Jika ia melihat delapan hari darah kuning, delapan hari darah hitam, dan delapan hari darah kuning, maka menurut kedua mazhab sekaligus, ḥaiḍ-nya adalah delapan hari darah hitam, dan tidak digabungkan dengan salah satu dari dua darah kuning, karena jumlahnya melebihi batas maksimal ḥaiḍ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَنْقُصَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ مِثَالُهُ أَنْ تَرَى ثُلُثَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ وَثُلُثَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ فَيَكُونُ كُلُّهُ دَمَ فَسَادٍ وَجَمِيعُهُ أَقَلُّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَلَوْ رَأَتْ نِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ: فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا يَوْمٌ وَنِصْفُ زمان الدماء الثلاثة وعلى قول أبي إسحاق حَيْضُهَا يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَهُوَ النِّصْفُ السَّوَادُ وَمَا بَعْدَهُ مِنَ النِّصْفِ الصُّفْرَةِ وَلَا تَكُونُ الصُّفْرَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ حَيْضًا.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَبْلُغَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الصُّفْرَتَينِ قَدْرَ الْحَيْضِ وَيَنْقُصُ السَّوَادُ الْمُتَوَسِّطُ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ مِثَالُهُ أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ: فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ وَنِصْفٌ زَمَانُ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ وَهَكَذَا يَجِيءُ عَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ أَيْضًا لِأَنَّ السَّوَادَ الْمُتَوَسِّطَ لَا يَكُونُ انْفِرَادُهُ حَيْضًا فَصَارَ تَبَعًا لِلصُّفْرَتَيْنِ. فَلَوْ رَأَتْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ. فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا ثَمَانِيَةُ أَيَّامٍ وَنِصْفٌ الْأَوَّلُ وَالسَّوَادُ الْمُتَوَسِّطُ وَتَكُونُ الصُّفْرَةُ الْمُتَأَخِّرَةُ اسْتِحَاضَةٌ تَمَيَّزَتْ عَنِ الْأَوَّلِ بِمَا تَوَسَّطَهَا مِنَ السَّوَادِ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ تَكُونُ مُسْتَحَاضَةً لَا تَمْيِيزَ لَهَا لِأَنَّ السَّوَادَ بِانْفِرَادِهِ لَا يَكُونُ حَيْضًا لِنَقْصِهِ وَالصُّفْرَتَانِ تَزِيدُ عَنْ قَدْرِهِ.
Dan bagian kedua: yaitu masing-masing dari ketiga darah tersebut kurang dari kadar ḥaiḍ.
Contohnya: ia melihat sepertiga hari darah hitam, dan sepertiga hari darah kuning, maka semuanya adalah dam fasād, karena seluruhnya kurang dari satu hari satu malam.
Jika ia melihat setengah hari darah kuning, setengah hari darah hitam, dan setengah hari darah kuning, maka menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah satu hari setengah, yakni seluruh masa ketiga darah tersebut.
Sedangkan menurut Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah satu hari satu malam, yaitu setengah hari darah hitam dan setengah hari darah kuning setelahnya; sedangkan darah kuning yang mendahului tidak dihukumi ḥaiḍ.
Dan bagian ketiga: yaitu kedua darah kuning mencapai kadar ḥaiḍ, sedangkan darah hitam yang berada di tengah-tengah kurang dari kadar ḥaiḍ.
Contohnya: ia melihat lima hari darah kuning, setengah hari darah hitam, dan lima hari darah kuning.
Maka menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah sepuluh hari setengah, yaitu seluruh masa ketiga darah tersebut.
Dan begitu pula menurut Abū Isḥāq, karena darah hitam di tengah tidak cukup jika berdiri sendiri untuk dihukumi ḥaiḍ, sehingga ia menjadi ikut pada dua darah kuning.
Jika ia melihat delapan hari darah kuning, setengah hari darah hitam, dan delapan hari darah kuning, maka menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah delapan setengah hari: delapan hari pertama dan darah hitam yang di tengah; dan darah kuning yang setelahnya adalah istiḥāḍah, karena telah terbedakan dari yang pertama dengan adanya darah hitam di tengah.
Dan menurut Abū Isḥāq, ia adalah wanita mustaḥāḍah yang tidak memiliki kemampuan membedakan (tam-yīz), karena darah hitam jika berdiri sendiri tidak cukup untuk dihukumi ḥaiḍ, dan dua darah kuning melebihi batas maksimal ḥaiḍ.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَنْقُصَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الصُّفْرَتَيْنِ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ وَيَبْلُغُ السَّوَادُ الْمُتَوَسِّطُ قَدْرَ الْحَيْضِ – مِثَالُهُ أَنْ تَرَى نِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ حَيْضُهَا سِتَّةُ أَيَّامٍ زَمَانَ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ حَيْضُهَا خَمْسَةُ أَيَّامٍ وَنِصْفُ السَّوَادِ وَمَا بَعْدَهُ مِنَ الصُّفْرَةِ دُونَ مَا تَقَدَّمَهُ.
وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ يَبْلُغَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الصُّفْرَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَالسَّوَادِ الْمُتَوَسِّطِ قَدْرَ الْحَيْضِ وَتَنْقُصُ الصُّفْرَةُ الْمُتَأَخِّرَةُ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ. مِثَالُهُ أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ وَنِصْفُ السَّوَادِ الْمُتَوَسِّطِ وَمَا بَعْدَهُ مِنَ الصُّفْرَةِ دُونَ مَا تَقَدَّمَهُ فَلَوْ رَأَتْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَسَبْعَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا الصُّفْرَةُ الثَّمَانِيَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ وَمَا بَعْدَهَا مِنَ السَّبْعَةِ السَّوَادِ وَالصُّفْرَةُ الْأَخِيرَةُ دَمُ فَسَادٍ لِمُجَاوَزَتِهَا أَكْثَرَ الْحَيْضِ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ حيضها سبعة أَيَّامٍ وَنِصْفٌ وَهِيَ السَّوَادُ الْمُتَوَسِّطُ وَالصُّفْرَةُ الْمُتَأَخِّرَةُ فَلَوْ رَأَتْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ فَحَيْضُهَا عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا ثَمَانِيَةُ أَيَّامٍ وَهِيَ السَّوَادُ الْمُتَوَسِّطُ وَالصُّفْرَةُ الْمُتَأَخِّرَةُ اسْتِحَاضَةٌ فَأَمَّا الصُّفْرَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ تَكُونُ دَمَ فساد لأنه لا يجعل الِاسْتِحَاضَةَ إِلَّا مَا كَانَتْ عَلَى أَثَرِ حَيْضٍ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ الصُّفْرَةُ الأولة اسْتِحَاضَةٌ أَيْضًا كَالصُّفْرَةِ الثَّانِيَةِ وَيَجُوزُ تَقْدِيمُ الِاسْتِحَاضَةِ عَلَى الْحَيْضِ كَمَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنِ الْحَيْضِ.
Dan bagian keempat: yaitu kedua warna kuning—yang pertama dan terakhir—kurang dari kadar ḥaiḍ, sedangkan darah hitam di tengah mencapai kadar ḥaiḍ.
Contohnya: ia melihat setengah hari darah kuning, lima hari darah hitam, dan setengah hari darah kuning.
Menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah enam hari, yaitu seluruh masa dari tiga jenis darah.
Sedangkan menurut Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah lima hari, yaitu darah hitam dan darah kuning setelahnya, tanpa menyertakan darah kuning yang mendahului.
Dan bagian kelima: yaitu darah kuning yang pertama dan darah hitam di tengah-tengah mencapai kadar ḥaiḍ, sedangkan darah kuning yang terakhir kurang dari kadar ḥaiḍ.
Contohnya: ia melihat lima hari darah kuning, lima hari darah hitam, dan setengah hari darah kuning.
Menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah sepuluh setengah hari: darah kuning yang pertama, darah hitam di tengah, dan darah kuning yang setelahnya, tidak termasuk darah yang mendahului.
Jika ia melihat delapan hari darah kuning, tujuh hari darah hitam, dan setengah hari darah kuning, maka menurut Abū al-‘Abbās, ḥaiḍ-nya adalah lima belas hari: delapan hari darah kuning pertama dan tujuh hari darah hitam, sedangkan darah kuning terakhir adalah dam fasād karena melebihi batas maksimal ḥaiḍ.
Menurut Abū Isḥāq, ḥaiḍ-nya adalah tujuh setengah hari: darah hitam dan darah kuning yang mengikutinya.
Jika ia melihat delapan hari darah kuning, delapan hari darah hitam, dan setengah hari darah kuning, maka menurut kedua mazhab sekaligus, ḥaiḍ-nya adalah delapan hari darah hitam, sedangkan darah kuning terakhir adalah istiḥāḍah.
Adapun darah kuning pertama, menurut Abū al-‘Abbās adalah dam fasād, karena ia tidak menganggap istiḥāḍah kecuali jika terjadi setelah ḥaiḍ.
Sedangkan menurut Abū Isḥāq, darah kuning pertama juga adalah istiḥāḍah, seperti darah kuning yang kedua, dan boleh saja istiḥāḍah itu mendahului ḥaiḍ sebagaimana boleh juga datang setelah ḥaiḍ.
وَالْقِسْمُ السَّادِسُ: أَنْ يَنْقُصَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الصُّفْرَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَالسَّوَادِ الْمُتَوَسِّطِ عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ وَتَبْلُغُ الصُّفْرَةُ الْمُتَأَخِّرَةُ قَدْرَ الْحَيْضِ. مِثَالُهُ أَنْ تَرَى نِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَصْفَرَ وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا أَسْوَدَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ كُلُّ ذَلِكَ حَيْضٌ وَهُوَ سِتَّةُ أَيَّامٍ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ تَكُونُ جَمِيعُهَا كَالصُّفْرَةِ الْمَحْضَةِ لِأَنَّ السَّوَادَ الْمُتَوَسِّطَ بِنُقْصَانِهِ عَنِ الْحَيْضِ يَكُونُ تَبَعًا فَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ حَيْضٍ كَانَتِ السِّتَّةُ كُلُّهَا حَيْضًا – وَإِنْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً فَدَمُ فَسَادٍ – فَهَذَا حُكْمُ الْمُمَيِّزَةِ عَلَى مَا انْقَسَمَتْ إِلَيْهِ الْأَقْسَامُ الْأَرْبَعَةُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan bagian keenam: yaitu darah kuning yang pertama dan darah hitam di tengah-tengah masing-masing kurang dari kadar ḥaiḍ, sedangkan darah kuning yang terakhir mencapai kadar ḥaiḍ.
Contohnya: ia melihat setengah hari darah kuning, setengah hari darah hitam, dan lima hari darah kuning.
Menurut Abū al-‘Abbās, semuanya adalah ḥaiḍ, yaitu enam hari.
Dan menurut Abū Isḥāq, semuanya dihukumi seperti darah kuning murni, karena darah hitam di tengah—dengan kekurangannya dari kadar ḥaiḍ—menjadi ikutannya. Maka jika ia adalah wanita yang telah memiliki kebiasaan ḥaiḍ, maka enam hari tersebut seluruhnya adalah ḥaiḍ; dan jika ia wanita pemula (mubtada’ah), maka itu adalah dam fasād.
Demikianlah hukum bagi wanita yang dapat membedakan (mumayyizah) sesuai dengan pembagian menjadi empat bagian.
Wa Allāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتَظْهِرَ بِثَلَاثَةِ أيامٍ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” فإذا ذهب قدرها – يريد الحيضة – فاغسلي الدم عنك وصلي ” ولا يقول لها النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إذا ذهب قدرها إلا وهي به عارفةٌ (قال) وإن لم ينفصل دمها بما وصفت ثم فَتَعْرِفُهُ وَكَانَ مُشْتَبِهًا نَظَرَتْ إِلَى مَا كَانَ عليه حيضتها فيما مضى من دهرها فتركت الصلاة للوقت الذي كانت تحيض فيه لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لتنظر عدة الليالي والأيام التي كانت تحيضهن من الشهر قبل أن يصيبها ما أصابها فلتدع الصلاة فَإِذَا خَلَّفَتْ ذَلِكَ فَلْتَغْتَسِلْ ثُمَّ لِتَسْتَثْفِرْ بثوبٍ ثم تصلي “.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak boleh bagi seorang wanita untuk istizhār (menambah waktu berhenti shalat) selama tiga hari, karena Rasulullah SAW bersabda: ‘Apabila telah habis kadarnya’—yang dimaksud adalah masa ḥaiḍ—‘maka basuhlah darah itu darimu dan shalatlah’. Dan Nabi SAW tidak akan mengatakan kepadanya ‘apabila telah habis kadarnya’ kecuali ia sudah mengetahui kadarnya.”
(Beliau berkata lagi): “Jika darahnya tidak bisa dibedakan sebagaimana yang telah kami jelaskan, dan ia tidak mengenalinya karena darahnya serupa, maka hendaknya ia melihat kepada kebiasaan ḥaiḍ-nya di masa lalu, lalu ia meninggalkan shalat selama waktu yang biasa ia alami ḥaiḍ, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
‘Hendaklah ia memperhatikan jumlah malam dan hari yang biasa ia alami ḥaiḍ dalam setiap bulan sebelum ia mengalami kondisi yang sekarang ini, maka hendaklah ia meninggalkan shalat pada masa itu. Setelah itu hendaknya ia mandi, lalu menyumbat (kemaluannya) dengan kain, lalu shalat.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا اسْتُحِيضَتِ الْمُعْتَادَةُ رُدَّتْ إِلَى عَادَتِهَا مِنْ غَيْرِ اسْتِظْهَارٍ بِزِيَادَةٍ وَهَكَذَا الْمُمَيِّزَةُ – وَقَالَ مَالِكٌ: تَسْتَظْهِرُ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَوْقَ عَادَتِهَا إِلَى أَنْ تَبْلُغَ عَادَتُهَا اثْنَيْ عَشَرَ يَوْمًا فَإِنْ كَانَتْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ يوماً استظهرت بيومين تمام الخمسة عشر يوماً وإن كانت أربعة عَشَرَ يَوْمًا اسْتَظْهَرَتْ بِيَوْمٍ اسْتِدْلَالًا بِمَا رَوَاهُ جابر بن عبد الله بن حزام الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ الْمُسْتَحَاضَةَ أَنْ تَسْتَظْهِرَ بِثَلَاثَةِ أيامٍ.
Al-Māwardī berkata: “Dan ini sebagaimana yang dikatakan (oleh al-Syāfi‘ī), bahwa apabila seorang wanita yang memiliki kebiasaan mengalami istiḥāḍah, maka ia dikembalikan kepada kebiasaannya tanpa perlu istizhār (menambah hari lebih dari kebiasaannya). Demikian pula halnya wanita mumayyizah.”
Sedangkan Mālik berkata: “Ia boleh istizhār selama tiga hari di atas kebiasaannya, sampai kebiasaannya mencapai dua belas hari. Jika kebiasaannya tiga belas hari, maka ia istizhār dua hari agar genap lima belas hari. Dan jika kebiasaannya empat belas hari, maka ia istizhār satu hari.”
Hal ini berdasarkan istidlāl dari riwayat yang disampaikan oleh Jābir bin ‘Abdillāh bin Ḥizām al-Anṣārī bahwa Rasulullah SAW memerintahkan wanita mustaḥāḍah untuk istizhār selama tiga hari.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الوُسْطَى) {البقرة: 238) فَكَانَ أَمْرُهُ بِالْمُحَافَظَةِ عَلَيْهَا يُوجِبُ الِاسْتِظْهَارَ لِفِعْلِهَا وَيَمْنَعُ مِنَ الِاسْتِظْهَارِ مِنْ تَرْكِهَا وَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ ” لِتَنْظُرْ عَدَدَ اللَّيَالِي والأيام التي كانت تحيضهن من الشهر قبل أَنْ يُصِيبَهَا الَّذِي أَصَابَهَا فَلْتَتْرُكِ الصَّلَاةَ قَدْرَ ذَلِكَ مِنَ الشَّهْرِ ” كَانَ ذَلِكَ مَانِعًا مِنْ تَرْكِ الصَّلَاةِ أَكْثَرَ مِنْ قَدْرِهَا مِنَ الشَّهْرِ ثُمَّ قَالَ: ” فَإِذَا خَلَّفَتْ ذَلِكَ فَلْتَغْتَسِلْ ثُمَّ لِتَسْتَثْفِرْ بِثَوْبٍ ثُمَّ لِتُصَلِّي ” فَكَانَ أَمْرُهُ بِفِعْلِ الصَّلَاةِ بَعْدَ أَيَّامِ الْعَادَةِ مَانِعًا مِنَ الِاسْتِظْهَارِ بشيء بعد – وما روى الشافعي عن عمرو بن أبي سلمة عن الْأَوْزَاعِيِّ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ ” اسْتُحِيضَتْ أمُّحَبِيبَةَ بِنْتُ جحشٍ وَهِيَ تَحْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عوفٍ سَبْعَ سِنِينَ فَاشْتَكَتْ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ لَهَا: ” هَذِهِ لَيْسَتْ بحيضةٍ وَلَكِنَّ هَذَا عرقٌ فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي ” فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى الْمَنْعِ مِنَ الِاسْتِظْهَارِ بِزِيَادَةٍ فَأَمَّا حَدِيثُ جَابِرٍ إِنْ صَحَّ فَمَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِظْهَارِ لِلصَّلَاةِ فِيمَنْ شَكَّتْ فِي عَادَتِهَا ثَلَاثٌ هِيَ أَمْ أَرْبَعٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَسْتَظْهِرَ بِالرُّجُوعِ إِلَى ثَلَاثٍ وَإِنَّمَا حَمَلْنَاهُ عَلَى هَذَا التَّأْوِيلِ لِتَأْتَلِفَ الْأَخْبَارُ وَلَا تختلف والله أعلم.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā:
{حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الوُسْطَى} (QS. al-Baqarah: 238),
maka perintah-Nya untuk menjaga shalat mengharuskan istizhār (memastikan suci) untuk menunaikannya, dan melarang istizhār yang menyebabkan meninggalkan shalat.
Dan sabda Nabi SAW dalam hadits Umm Salamah:
“Hendaklah ia melihat jumlah malam dan hari yang biasa ia alami ḥaiḍ dalam setiap bulan sebelum mengalami kondisi yang menimpanya, lalu hendaklah ia meninggalkan shalat sebanyak itu dari bulan tersebut.”
Itu menunjukkan larangan meninggalkan shalat lebih dari kadar kebiasaan haidnya dalam sebulan.
Kemudian beliau bersabda:
“Apabila telah melewati kebiasaannya itu, maka hendaklah ia mandi, lalu menyumbat dengan kain, lalu shalat.”
Maka perintah beliau untuk melaksanakan shalat setelah hari-hari kebiasaan haid menjadi larangan untuk istizhār dengan menambah hari setelahnya.
Adapun riwayat yang dibawakan oleh al-Syāfi‘ī dari ‘Amr bin Abī Salamah, dari al-Awzā‘ī, dari az-Zuhrī, dari ‘Urwah, dari ‘Ā’isyah bahwa ia berkata:
“Ummu Ḥabībah binti Jahsy mengalami istiḥāḍah selama tujuh tahun, dan ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda kepadanya: ‘Ini bukan ḥaiḍ, melainkan ini adalah urat (darah penyakit). Maka jika datang ḥaiḍ, tinggalkanlah shalat, dan jika telah berlalu, maka mandilah dan shalatlah.'”
Maka hadits ini menunjukkan larangan untuk istizhār dengan penambahan hari.
Adapun hadits Jābir—jika shahih—maka ditakwilkan bahwa istizhār itu adalah dalam rangka shalat bagi wanita yang ragu apakah kebiasaannya tiga hari atau empat hari, maka Nabi memerintahkannya untuk kembali ke angka tiga.
Kami membawa makna hadits itu demikian agar semua riwayat dapat disatukan dan tidak saling bertentangan.
Wa Allāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” (قَالَ) وَالصُّفْرَةُ وَالْكُدْرَةُ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ حيضٌ ثم إذا ذهب ذلك اغتسلت وصلت “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
وَقَالَ أبو يوسف ومحمد: الْحُمْرَةُ وَالصُّفْرَةُ حَيْضٌ، فَأَمَّا الْكُدْرَةُ فَلَيْسَتْ حَيْضًا إِلَّا أَنْ يَتَقَدَّمَهَا سَوَادٌ، وَهَذَا خَطَأٌ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَيْضٌ تَقَدَّمَهُ سَوَادٌ أَمْ لَا، لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: ” كُنَّا نُعِدُّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ فِي أَيَّامِ ألْحَيْضِ حَيْضًا ” وَلِأَنَّ كُلَّمَا كَانَ حَيْضًا عِنْدَ تَقَدُّمِ غَيْرِهِ كَانَ حَيْضًا، وَإِنِ انْصَرَفَ عَنْ غَيْرِهِ كَالصُّفْرَةِ وَالْحُمْرَةِ.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
“Dan warna kuning (ṣufrah) serta keruh (kudrah) pada hari-hari ḥaiḍ adalah ḥaiḍ. Kemudian apabila itu telah berhenti, maka ia mandi dan shalat.”
Al-Māwardī berkata: “Dan ini adalah pendapat yang benar.”
Abū Yūsuf dan Muḥammad berpendapat:
“Warna merah (ḥumrah) dan kuning (ṣufrah) adalah ḥaiḍ, adapun warna keruh (kudrah) bukanlah ḥaiḍ, kecuali jika didahului oleh warna hitam (sawād).”
Dan ini adalah pendapat yang keliru. Bahkan semuanya itu adalah ḥaiḍ, baik didahului oleh warna hitam ataupun tidak. Karena diriwayatkan dari ‘Ā’isyah bahwa ia berkata:
“Kami dahulu menganggap warna kuning (ṣufrah) dan keruh (kudrah) pada hari-hari ḥaiḍ sebagai ḥaiḍ.”
Dan karena segala sesuatu yang dihukumi sebagai ḥaiḍ bila didahului oleh selainnya, maka ia tetap ḥaiḍ meskipun tidak didahului, seperti warna kuning dan merah.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ حَيْضٌ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِ الشَّافِعِيِّ بِقَوْلِهِ ” أَيَّامُ الْحَيْضِ حَيْضٌ ” فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: يَعْنِي: فِي أَيَّامِ الْعَادَةِ، فَإِنْ تَجَاوَزَتْ أَيَّامَ الْعَادَةِ لَمْ يَكُنْ حَيْضًا، وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ فِي قَدِيمِ أَمْرِهِ. وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ أَرَادَ فِي الْأَيَّامِ الَّتِي يُمْكِنُ أَنْ تَكُونَ حَيْضًا وَهِيَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ، وَإِنْ تَجَاوَزَتْ أَيَّامَ العادة ورجع إلى هذا القول أبو العباس فِي آخِرِ أَيَّامِهِ، وَقَالَ: كُنْتُ أَذْهَبُ إِلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ حَتَّى وَجَدْتُ لِلشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ الْعَدَدِ أَنَّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ حَيْضٌ، وَسَوَاءٌ كَانَ لَهَا أَيَّامٌ قَبْلَ ذَلِكَ أَوْ لَمْ يَكُنْ فَجَعَلَ حُكْمَ الْمُبْتَدَأَةِ، وَذَاتِ الْحَيْضِ سَوَاءً، قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ فِي الْقِيَاسِ لَوْلَا مَا وَجَدْنَاهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ؛ وَاسْتَدَلَّ مَنْ جَعَلَ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ حَيْضًا فِي أَيَّامِ الْعَادَةِ دُونَ مَا جَاوَزَهَا مِنَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا بِرِوَايَةِ أُمِّ الْهُذَيْلِ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ. – وَكَانَتْ بَايَعَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَتْ: كُنَا لَا نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا يَعْنِي بَعْدَ أَيَّامِ الْعَادَةِ، قَالَ: وَلِأَنَّ حُكْمَ الْحَيْضِ ثَبَتَ بِأَحَدِ مَعْنَيَيْنِ.
(PASAL)
Jika telah tetap bahwa ṣufrah (warna kuning) dan kudrah (warna keruh) pada hari-hari ḥaiḍ dihukumi ḥaiḍ, maka para sahabat kami berselisih pendapat tentang maksud perkataan Imam al-Syāfi‘ī:
“Pada hari-hari ḥaiḍ, maka itu adalah ḥaiḍ.”
Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: maksudnya adalah pada hari-hari kebiasaan. Maka jika melebihi hari-hari kebiasaan, maka itu bukan ḥaiḍ. Pendapat ini juga dinukil dari Abū Isḥāq dalam pendapat lamanya.
Sementara mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa maksudnya adalah hari-hari yang mungkin dihukumi ḥaiḍ, yaitu lima belas hari. Meskipun melebihi hari kebiasaan. Dan Abū al-‘Abbās kembali kepada pendapat ini pada akhir hayatnya. Ia berkata: “Aku dulu condong kepada pendapat pertama, sampai aku menemukan dalam Kitāb al-‘Adad karya al-Syāfi‘ī bahwa ṣufrah dan kudrah pada hari-hari ḥaiḍ dihukumi ḥaiḍ, baik ia memiliki kebiasaan sebelumnya atau tidak.” Maka al-Syāfi‘ī menyamakan hukum wanita mubtada’ah dan wanita yang telah memiliki kebiasaan.
Abū Isḥāq berkata: “Pendapat pertama lebih kuat secara qiyās, kalau saja tidak kami temukan (teks) dari al-Syāfi‘ī.”
Orang yang berpendapat bahwa ṣufrah dan kudrah hanya dihukumi ḥaiḍ pada hari-hari kebiasaan, tidak pada yang melebihi lima belas hari, berdalil dengan riwayat dari Umm al-Hudail dari Ummu ‘Aṭiyyah—yang telah berbaiat kepada Nabi SAW—bahwa ia berkata:
“Kami dahulu tidak menganggap ṣufrah dan kudrah sebagai apa-apa setelah suci,”
maksudnya adalah setelah hari-hari kebiasaan.
Ia juga berkata: “Karena hukum ḥaiḍ itu ditetapkan dengan salah satu dari dua makna.”
أما وجود شاهد فيه وصفة محلة وهو السواد أو مصادمة أيام العادة، فلما تجاوزت أيام الصفة بتغيره إلى الصفرة والكدرة، وتجاوزت أَيَّامَ الْعَادَةِ عُلِمَ أَنَّهُ لَيْسَ بِحَيْضٍ، لِفَقْدِ الْعِلْمِ الدَّالِّ عَلَيْهِ.
وَالدَّلِيلُ عَلَى اسْتِوَاءِ حُكْمٍ فِي أَيَّامِ الْعَادَةِ وَغَيْرِهَا مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ بِرِوَايَةِ عَلْقَمَةَ بْنِ أَبِي عَلْقَمَةَ أَنَّ النِّسَاءَ كُنَّ يُرْسِلْنَ إِلَى عَائِشَةَ بِالدَّرَجَةِ فِيهَا شَيْءٌ مِنَ الصُّفْرَةِ، فَتَقُولُ لَهُنَّ: لَا تُصَلِّينَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ، فَدَلَّ إِطْلَاقُهَا عَلَى اسْتِوَاءِ الحكم في الحالين، ولأن التمييز وَالْعَادَةِ مَعْنَيَانِ يُعْتَبَرُ بِهِمَا الْحَيْضُ عِنْدَ إِشْكَالِهِ وَمُجَاوَزَةِ أَيَّامِهِ، ثُمَّ كَانَتِ الْعَادَةُ غَيْرَ مُعْتَبَرَةٍ فِي الْحَيْضِ إِذَا لَمْ تُجَاوِزْ أَكْثَرَ أَيَّامِهِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَمْيِيزُ الصُّفْرَةِ وَالْكُدْرَةِ غَيْرَ مُعْتَبَرٍ فِيهِ مَا لَمْ يُجَاوِزْ أَكْثَرَ أَيَّامِهِ، وَلِأَنَّ الْمَنِيَّ هُوَ الثَّخِينُ الْأَبْيَضُ وَقَدْ يَتَغَيَّرُ إِلَى الصُّفْرَةِ وَالرِّقَّةِ لِعِلَّةٍ تَحْدُثُ، ثُمَّ لَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهُ بِاخْتِلَافِ لَوْنِهِ؛ كَذَلِكَ مَا يُرْخِيهِ الرحمن مِنَ الدَّمِ لَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهُ فِي أَيَّامِهِ بِاخْتِلَافِ لَوْنِهِ فَأَمَّا حَدِيثُ أُمِّ عَطِيَّةَ فَوَارِدٌ فِيمَا وُجِدَ فِي الطُّهْرِ، وَالطُّهْرُ مَا تَجَاوَزَ أَيَّامَ الْحَيْضِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ اعْتِبَارَ الْحَيْضِ بِمَعْنَيَيْنِ فَيُقَالُ: وَبِمَعْنَى ثَالِثٍ، وَهُوَ وُجُودُهُ فِي زمان يجوز أن يكون حيضاً.
Adapun keberadaan tanda—baik berupa sifat darah yang menunjukkan tempat keluarnya, yaitu warna hitam, atau karena bertepatan dengan hari-hari kebiasaan—maka ketika sifat itu berubah menjadi ṣufrah dan kudrah, serta hari-hari tersebut melebihi masa kebiasaan, maka diketahui bahwa itu bukan ḥaiḍ, karena hilangnya tanda yang menunjukkan bahwa itu ḥaiḍ.
Dalil atas samanya hukum antara hari-hari kebiasaan dan selainnya dari hari-hari yang memungkinkan sebagai ḥaiḍ, adalah riwayat dari ‘Alqamah bin Abī ‘Alqamah, bahwa para wanita biasa mengirimkan darrajah (kapas pembalut) kepada ‘Ā’isyah yang padanya terdapat sedikit ṣufrah, maka ia berkata kepada mereka:
“Jangan kalian shalat sampai kalian melihat al-qaṣṣah al-bayḍā’ (lendir putih sebagai tanda suci).”
Maka pernyataan beliau yang bersifat mutlak ini menunjukkan kesamaan hukum dalam dua keadaan tersebut.
Dan karena tam-yīz dan ‘ādah adalah dua makna yang dipakai sebagai acuan dalam penentuan ḥaiḍ ketika ada kesamaran dan saat melebihi hari-hari ḥaiḍ, maka ketika kebiasaan (‘ādah) tidak dianggap dalam ḥaiḍ selama belum melebihi batas maksimalnya, maka wajib pula bahwa pembeda antara ṣufrah dan kudrah juga tidak dianggap selama belum melebihi batas maksimal hari-hari ḥaiḍ.
Dan karena manī adalah cairan yang kental dan berwarna putih, namun kadang berubah menjadi kekuningan dan encer karena sebab tertentu, maka hukumnya tidak berubah karena perbedaan warnanya. Maka demikian pula darah yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Pengasih, tidak berbeda hukumnya dalam masa yang memungkinkan sebagai ḥaiḍ hanya karena perbedaan warnanya.
Adapun hadits Ummu ‘Aṭiyyah, maka konteksnya adalah berkaitan dengan ṭuhr (suci), dan yang dimaksud dengan ṭuhr adalah setelah melewati hari-hari ḥaiḍ.
Adapun istidlāl yang menyatakan bahwa penetapan ḥaiḍ itu dengan dua makna, maka kami katakan: bahkan dengan makna ketiga, yaitu keberadaannya dalam masa yang memungkinkan sebagai ḥaiḍ.
(فصل)
: فعلى هَذَيْنِ الْمَذْهَبَيْنِ تَكُونُ فُرُوعُ هَذَا الْفَصْلِ فَإِذَا كانت عادة امرأة أن ترى من أو لكل شَهْرٍ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ، وَبَاقِيَ شَهْرِهَا طُهْرًا، فَرَأَتْ فِي هَذَا الشَّهْرِ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ، وَبَاقِيَ الشَّهْرِ طُهْرًا فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ حَيْضَهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ وَهُوَ زَمَانُ الدَّمَيْنِ مَعًا لِوُجُودِهِ فِي زَمَانٍ يَجُوزُ أن يكون حيضا، وعلى مذهب أبي سعيد الْإِصْطَخْرِيُّ حَيْضُهَا الْخَمْسَةُ السَّوَادُ وَالْخَمْسَةُ الصُّفْرَةُ اسْتِحَاضَةٌ لمفارقتها أيام العادة.
(PASAL)
Berdasarkan dua mazhab ini, maka cabang-cabang hukum dari pasal ini berlaku.
Jika kebiasaan seorang wanita adalah melihat selama setiap bulan lima hari darah hitam, dan sisanya dari bulan itu adalah suci, lalu pada bulan ini ia melihat lima hari darah hitam dan lima hari darah kuning, serta sisanya dari bulan itu adalah suci,
maka menurut mazhab al-Syāfi‘ī dan mayoritas sahabat kami, ḥaiḍ-nya adalah sepuluh hari, yaitu masa dua jenis darah tersebut secara bersamaan, karena semuanya berada dalam masa yang memungkinkan sebagai ḥaiḍ.
Sedangkan menurut mazhab Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, ḥaiḍ-nya hanya lima hari darah hitam, dan lima hari darah kuning adalah istiḥāḍah, karena tidak bertepatan dengan hari-hari kebiasaan.
(فرع)
: فلو بدأت وعادتها الْخَمْسَةَ السَّوَادَ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ، وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَحْمَرَ، وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ، كَانَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ كل ذلك حيضا، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي سَعِيدٍ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ الْخَمْسَةُ السَّوَادُ، وَالْخَمْسَةُ الْحُمْرَةُ، لِأَنَّهُ يَجْعَلُهَا كَالسَّوَادِ بِخِلَافِ الصُّفْرَةِ، وَيَجْعَلُ الْخَمْسَةَ الصُّفْرَةَ اسْتِحَاضَةٌ لِمُفَارَقَتِهَا أَيَّامَ الْعَادَةِ.
(Cabang masalah)
Jika seorang wanita memulai dan kebiasaannya adalah lima hari darah hitam dari awal bulan, lalu ia melihat:
- lima hari darah hitam,
- lima hari darah merah,
- lima hari darah kuning,
maka menurut mazhab al-Syāfi‘ī, semuanya adalah ḥaiḍ.
Sedangkan menurut mazhab Abū Sa‘īd, ḥaiḍ-nya adalah sepuluh hari: lima hari darah hitam dan lima hari darah merah—karena ia menyamakan darah merah dengan darah hitam, berbeda halnya dengan warna kuning—dan lima hari darah kuning dianggap istiḥāḍah, karena tidak bertepatan dengan hari-hari kebiasaan.
(فَرْعٌ)
: فَلَوْ كَانَتْ عَادَتُهَا الْخَمْسَةُ السَّوَادُ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ، وَبَاقِيهِ طُهْرًا، فَرَأَتْ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ، ثُمَّ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا طُهْرًا ثُمَّ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ، كَانَتِ الْخَمْسَةُ الصُّفْرَةُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ حَيْضًا؛ لِوُجُودِهَا فِي زَمَانٍ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ حيضاً؛ على مَذْهَبِ أَبِي سَعِيدٍ اسْتِحَاضَةٌ لِمُفَارَقَتِهَا أَيَّامَ الْعَادَةِ.
(Cabang masalah)
Jika kebiasaannya adalah lima hari darah hitam dari awal bulan, dan sisanya adalah suci, lalu ia melihat:
- lima hari darah hitam,
- kemudian lima belas hari suci,
- lalu lima hari darah kuning,
maka lima hari darah kuning tersebut menurut mazhab al-Syāfi‘ī dihukumi ḥaiḍ, karena terjadi dalam waktu yang masih memungkinkan sebagai ḥaiḍ.
Sedangkan menurut mazhab Abū Sa‘īd, itu dihukumi istiḥāḍah, karena keluar dari hari-hari kebiasaan.
(فَرْعٌ)
: فَلَوْ كَانَتْ عَادَتُهَا عَشَرَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ فَرَأَتْ خَمْسَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِهِ دَمًاأَسْوَدَ ثُمَّ عَشَرَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ كَانَ جَمِيعُ الدَّمَيْنِ حَيْضًا وَهُوَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فَأَمَّا أَبُو سَعِيدٍ فَيَجْعَلُ حَيْضَهَا مِنْ ذَلِكَ عَشَرَةَ أَيَّامٍ وَيُفَرِّقُ حُكْمَ الصُّفْرَةِ فَيَجْعَلُ خَمْسَةً مِنْهَا حَيْضًا لِوُجُودِهَا فِي أَيَّامِ الْعَادَةِ وَخَمْسَةً اسْتِحَاضَةً لِمُفَارَقَتِهَا أَيَّامَ الْعَادَةِ.
(Cabang masalah)
Jika kebiasaannya adalah sepuluh hari darah hitam dari awal bulan, lalu ia melihat:
- lima hari pertama darah hitam,
- lalu sepuluh hari berikutnya darah kuning,
maka seluruh dua jenis darah itu dihukumi ḥaiḍ, yaitu lima belas hari, menurut mazhab al-Syāfi‘ī.
Adapun Abū Sa‘īd, maka ia menghukumi ḥaiḍ-nya hanya sepuluh hari saja, dan ia membedakan hukum darah kuning:
- lima hari pertama dari darah kuning dihukumi ḥaiḍ, karena terjadi pada hari-hari kebiasaan,
- dan lima hari setelahnya dihukumi istiḥāḍah, karena terjadi di luar hari kebiasaan.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن لم ينفصل دمها بما وَصَفْتُ لَكَ فَتَعْرِفُهُ وَكَانَ مُشْتَبِهًا نَظَرَتْ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ حَيْضُهَا فِيمَا مَضَى مِنْ دَهْرِهَا فَتَتْرُكُ الصَّلَاةَ لِلْوَقْتِ الَّذِي كَانَتْ تَحِيضُ فيه، وَهَذَا صَحِيحٌ، وَهُوَ الْقِسْمُ الثَّانِي مِنْ أَقْسَامِ الِاسْتِحَاضَةِ وَهِيَ الْمُعْتَادَةُ.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
“Jika darahnya tidak dapat dibedakan sebagaimana telah aku sebutkan kepadamu, dan ia mengenalinya, namun darah itu serupa (tidak jelas perbedaannya), maka hendaknya ia melihat kepada kebiasaan ḥaiḍ-nya di masa lalu, lalu ia meninggalkan shalat pada waktu yang dahulu ia alami ḥaiḍ.”
Dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ,
dan inilah bagian kedua dari pembagian wanita yang mengalami istiḥāḍah, yaitu wanita yang memiliki kebiasaan (mu‘taādah).
وَصُورَتُهَا: فِي امْرَأَةٍ اسْتَمَرَّ بها الدم حتى يجاوز خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَكُلُّهُ لَوْنٌ وَاحِدٌ، لَا يتميز بعضه عن بعض ولها عادة سالفة فِي حَيْضِهَا، فَوَجَبَ أَنْ تُرَدَّ إِلَى عَادَتِهَا السالفة، وَقَالَ مَالِكٌ لَا اعْتِبَارَ بِالْعَادَةِ اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَهَا: ” إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُوَ عرقٌ ” فَرَدَّهَا إِلَى التَّمْيِيزِ وَلَمْ تُعْتَبَرِ الْعَادَةُ قَالَ: وَلِأَنَّ الدَّمَ قَدْ يُوجَدُ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ فَيَكُونُ حَيْضًا، وَتُوجَدُ أَيَّامَ الْعَادَةِ بِغَيْرِ دَمٍ، فَلَا يَكُونُ حَيْضًا، فَلَمْ يَكُنْ لِلْعَادَةِ تَأْثِيرٌ.
Dan bentuk kasusnya: seorang wanita yang darahnya terus-menerus keluar hingga melebihi lima belas hari, dan seluruh darah itu satu warna, tidak dapat dibedakan sebagian dari sebagian lainnya, sementara ia memiliki kebiasaan terdahulu dalam ḥaiḍ-nya.
Maka wajib baginya untuk kembali kepada kebiasaan yang lampau.
Mālik berpendapat bahwa tidak ada pertimbangan terhadap kebiasaan, dengan berdalil pada hadits Fāṭimah binti Abī Ḥubaysy, bahwa Nabi SAW bersabda kepadanya:
“Jika itu darah ḥaiḍ, maka ia berwarna hitam yang dikenal; apabila seperti itu, maka tinggalkanlah shalat. Tetapi jika yang lain (selain itu), maka berwudhulah dan shalatlah, karena itu hanyalah darah urat.”
Mālik berkata: Maka Nabi mengembalikannya kepada pembeda (tam-yīz) dan tidak mempertimbangkan ‘ādah.
Ia juga berkata: karena darah dapat saja keluar di luar hari kebiasaan dan itu dihukumi ḥaiḍ, dan bisa jadi hari kebiasaan datang tanpa darah, maka itu bukan ḥaiḍ. Maka kebiasaan tidak memiliki pengaruh.
وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ أُمِّ سَلَمَةَ قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لتنظر عدد الليالي والأيام التي كانت تحيضهن من الشهر مثل أَنْ يُصِيبَهَا الَّذِي أَصَابَهَا فَلْتَتْرُكِ الصَّلَاةَ، قَدْرَ ذَلِكَ مِنَ الشَّهْرِ، فَدَلَّ عَلَى اعْتِبَارِ الْعَادَةِ وَرَوَى أَبُو الْيَقْظَانِ عَنْ عَدَيِّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” الْمُسْتَحَاضَةُ تَدَعُ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أقْرَائِهَا ثُمَ تَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي حَتَّى أَيَّامَ حَيْضِهَا ” وَرَوَى العلا بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ جَعْفَرٍ أَنَّ سَوْدَةَ اسْتُحِيضَتْ فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا مَضَتْ أَيَّامُهَا اغْتَسَلَتْ وَصَلَّتْ.
فَدَلَّتْ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ الثَّلَاثَةُ عَلَى اعْتِبَارِ الْعَادَةِ، وَلِأَنَّ الْحَيْضَ يَتَعَلَّقُ بِدَمٍ وَأَيَّامٍ فَجَازَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الْأَيَّامِ عِنْدَ إِعْوَازِ الدَّمِ كَالْعِدَّةِ تَنْتَقِلُ عَنِ الْأَقْرَاءِ إِلَى الشُّهُورِ.
Dalil kami adalah hadits Umm Salamah, sabda Nabi SAW:
“Hendaklah ia memperhatikan jumlah malam dan hari yang biasa ia alami ḥaiḍ dalam setiap bulan, seperti ketika ia ditimpa keadaan yang menimpanya, maka hendaklah ia meninggalkan shalat sebanyak itu dari bulan tersebut.”
Hadits ini menunjukkan bahwa ‘ādah (kebiasaan) dipertimbangkan.
Dan diriwayatkan oleh Abū al-Yaqẓān dari ‘Adiyy bin Thābit dari ayahnya dari kakeknya, dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Wanita mustaḥāḍah meninggalkan shalat pada hari-hari qur’ (kebiasaan ḥaiḍ-nya), lalu ia mandi dan shalat hingga datang hari-hari ḥaiḍ-nya kembali.”
Dan diriwayatkan oleh al-‘Alā’ bin al-Musayyab dari al-Ḥakam bin Ja‘far bahwa Sawdah mengalami istiḥāḍah, maka Rasulullah SAW memerintahkannya:
“Jika hari-harinya telah lewat, hendaklah ia mandi dan shalat.”
Maka tiga hadits ini menunjukkan bahwa kebiasaan (‘ādah) diperhitungkan.
Dan karena ḥaiḍ itu berkaitan dengan darah dan hari, maka boleh kembali kepada hari-hari ketika darah tidak dapat dibedakan, seperti halnya dalam ‘iddah, yang dipindahkan dari masa qur’ ke hitungan bulan ketika qur’ tidak bisa diketahui.
فَأَمَّا حَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ فَمُسْتَعْمَلٌ فِي الْمُمَيِّزَةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْمُرَ بِالتَّمْيِيزِ لِمَنْ لَا تَمْيِيزَ لَهَا، وَحَدِيثُ أُمِّ سَلَمَةَ مُسْتَعْمَلٌ فِي الْمُعْتَادَةِ الَّتِي لَا تَمْيِيزَ لَهَا فَيُسْتَعْمَلُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْحَدِيثَيْنِ فِي موضعه.
وأما ما ذكرنا مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِأَنَّ أَيَّامَ الْعَادَةِ لَا تَكُونُ حَيْضًا، فَإِنْ عَنَى إِذَا خَلَتْ مِنَ الدَّمِ، فَصَحِيحٌ، وَإِذَا أَرَادَ إِذَا اقْتَرَنَ بِهَا الدَّمُ فَفَاسِدٌ، وَهَذِهِ أَيَّامُ عَادَةٍ قَارَنَتْ دَمًا فَلَمْ يسلم للاستدلال.
Adapun hadits Fāṭimah binti Abī Ḥubaysy, maka itu digunakan untuk wanita mumayyizah, karena tidak mungkin Nabi memerintahkan untuk menggunakan tam-yīz bagi orang yang tidak memiliki kemampuan tam-yīz.
Sedangkan hadits Umm Salamah, maka digunakan untuk wanita yang memiliki kebiasaan (mu‘taādah) tetapi tidak memiliki tam-yīz. Maka masing-masing dari dua hadits tersebut digunakan pada tempatnya masing-masing.
Adapun apa yang disebutkan dalam istidlāl bahwa hari-hari kebiasaan tidak bisa dihukumi sebagai ḥaiḍ, maka:
- jika yang dimaksud adalah hari-hari tersebut kosong dari darah, maka itu benar,
- tetapi jika yang dimaksud adalah hari-hari tersebut disertai darah, maka itu tidak benar.
Dan hari-hari kebiasaan yang disertai darah tidak bisa menjadi dasar istidlāl bahwa itu bukan ḥaiḍ, maka tidak sah hujjah tersebut.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعَادَةَ مُعْتَبَرَةٌ عِنْدَ فَقْدِ التَّمْيِيزِ، فَلِلْعَادَةِ ضَرْبَانِ: مُتَّفِقَةٌ وَمُخْتَلِفَةٌ.
فَأَمَّا الْمُتَّفِقَةُ: فَضَرْبَانِ: مُتَّفِقَةٌ بِالْحَيْضِ وَالطُّهْرِ ومُتَّفِقَةٌ بِالتَّمْيِيزِ فَأَمَّا الْمُتَّفِقَةُ بِالْحَيْضِ وَالطُّهْرِ فَهُوَ أَنْ تَحِيضَ على مرور الشهور في كل شهر عشراً، وَتَرَى بَاقِيَهُ طُهْرًا؛ فَإِذَا أَشْكَلَ حَيْضُهَا فِي هَذَا الشَّهْرِ وَتَجَاوَزَ أَكْثَرَ الْحَيْضِ رُدَّتْ إِلَى العشر، وَهِيَ الْعَادَةُ الْمُتَّفِقَةُ بِالْحَيْضِ وَالطُّهْرِ وَأَعَادَتْ صَلَاةَ مَا زَادَ عَلَيْهَا، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَتْ عَادَتُهَا السالفة أَقَلُّ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ أَوْ أَكْثَرُ الْحَيْضِ خمسة عشر يوماً أو أوسطه ستاً أو سبعاً رُدَّتْ إِلَى عَادَتِهَا مِنْ ذَلِكَ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا إِذَا كَانَ قَدْرًا يَكُونُ حَيْضًا، فَلَوْ كَانَتْ عَادَتُهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا وَخَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا طُهْرًا رُدَّتْ إِلَى عَادَتِهَا فِي الْأَمْرَيْنِ فِي الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ، فَيُجْعَلُ حَيْضُهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ وَطُهْرُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا.
(PASAL)
Jika telah tetap bahwa kebiasaan (‘ādah) dipertimbangkan ketika tidak ada tam-yīz, maka ‘ādah itu terbagi dua:
yang tetap (muttafiqah) dan yang berubah-ubah (mukhtalifah).
Adapun ‘ādah muttafiqah, terbagi dua:
- yang tetap pada ḥaiḍ dan ṭuhr,
- dan yang tetap pada tam-yī
Adapun ‘ādah muttafiqah pada ḥaiḍ dan ṭuhr adalah wanita yang mengalami ḥaiḍ secara teratur tiap bulan selama sepuluh hari, dan melihat sisanya dalam bulan itu sebagai ṭuhr.
Maka jika terjadi kesamaran pada ḥaiḍ-nya di bulan tertentu dan darahnya melebihi batas maksimal ḥaiḍ, maka ia dikembalikan kepada angka sepuluh hari, yaitu kebiasaan ḥaiḍ-nya yang tetap, dan ia mengqadha shalat dari hari-hari yang lebih dari itu.
Begitu pula, jika kebiasaan sebelumnya adalah:
- minimal ḥaiḍ, yaitu sehari semalam,
- atau maksimal ḥaiḍ, yaitu lima belas hari,
- atau pertengahan ḥaiḍ, seperti enam atau tujuh hari,
maka ia dikembalikan kepada kebiasaannya tersebut, sedikit ataupun banyak, selama kadarnya masih tergolong ḥaiḍ.
Maka jika kebiasaannya adalah lima hari darah dan lima belas hari suci, maka ia dikembalikan kepada kebiasaannya dalam dua hal:
yaitu ḥaiḍ selama lima hari dan ṭuhr selama lima belas hari.
فَلَوْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً فَرَأَتْ عَشَرَةَ أَيَّامٍ حَيْضًا وَبَاقِيَ الشَّهْرِ طُهْرًا ثُمَّ أُشْكِلَ دَمُهَا فِي الشَّهْرِ الثَّانِي وَتَجَاوَزَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَجَبَ رَدُّهَا فِيمَا أُشْكِلَ مَنْ شَهْرِهَا الثَّانِي إِلَى الْعَشَرَةِ الَّتِي حَاضَتْهَا مِنْ قَبْلُ، وَإِنْ لَمْ يَتَكَرَّرْ صَارَتِ الْمَرَّةُ الْوَاحِدَةُ لَهَا عَادَةً لَا يَخْتَلِفُ فِيهَا أَصْحَابُنَا؛ لِأَنَّ فَقْدَ التَّمْيِيزِ يَقْتَضِي اعْتِبَارَ الْعَادَةِ، فكان اعتبار عادتها، وإن كانت مَرَّةً أَوْلَى مِنِ اعْتِبَارِ عَادَةٍ غَيْرِهَا ثُمَّ هَكَذَا تُعْتَبَرُ عَادَتُهَا فِي الطُّهْرِ فَإِنِ اسْتَدَامَ بِهَا الْإِشْكَالُ فِي الشَّهْرِ الثَّانِي وَالثَّالِثِ وَالرَّابِعِ رُدَّتْ إِلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْعَادَةِ فِيمَا ثَبَتَ لَهَا مِنَ الْإِشْكَالِ بِالشَّهْرِ الْأَوَّلِ، وَلَا يَلْزَمُهَا الْغُسْلُ فِي الشَّهْرِ الْأَوَّلِ عِنْدَ مُجَاوَزَةِ أَيَّامِ الْعَادَةِ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْإِشْكَالِ مَا ثَبَتَ لَهَا، وَانْقِطَاعُ دَمِهَا، وَإِنْ جَاوَزَ قَدْرَ الْعَادَةِ مجوز في أقل من خمسة عشرة.
Maka jika seorang wanita mubtada’ah (baru pertama kali mengalami haid) melihat darah selama sepuluh hari lalu sisa bulan itu suci, kemudian darahnya menjadi samar pada bulan kedua dan melebihi lima belas hari, maka wajib mengembalikannya dalam bulan kedua kepada sepuluh hari yang telah ia alami sebelumnya.
Meskipun tidak terulang, satu kali kejadian itu sudah menjadi kebiasaan baginya, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para sahabat kami dalam hal ini.
Karena ketiadaan tam-yīz mengharuskan kembali kepada ‘ādah, maka menggunakan kebiasaannya sendiri, walaupun hanya sekali, lebih utama daripada menggunakan kebiasaan orang lain.
Demikian pula, kebiasaan ṭuhr-nya juga diperhitungkan.
Jika kesamaran darah terus berlanjut pada bulan kedua, ketiga, dan keempat, maka ia tetap dikembalikan kepada kebiasaan yang telah ditetapkan pada bulan pertama saat terjadi kesamaran.
Dan tidak wajib baginya mandi (ghusl) pada bulan pertama ketika hari-hari darah melebihi masa kebiasaan, karena hukum kesamaran (al-ishkāl) itu hanya berlaku bila benar-benar terbukti terjadi.
Sedangkan darah yang berhenti, meskipun melebihi kadar kebiasaan, masih dimungkinkan sebagai bagian dari haid selama tidak melebihi lima belas hari.
وَأَمَّا الْمُتَّفِقَةُ بِالتَّمْيِيزِ فَهُوَ أَنْ تَرَى الْمُبْتَدَأَةُ عشرة أيام دما أسود وباقي الشهر دما أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ فَيَكُونُ حَيْضُهَا مِنْ ذَلِكَ عَشَرَةً بِالتَّمْيِيزِ الْحَاصِلِ لَهَا ثُمَّ تَرَى كَذَلِكَ فِي الشَّهْرِ الثَّانِي، ثُمَّفِي الثَّالِثِ، فَتَسْتَقِرُّ عَادَتُهَا بِالتَّمْيِيزِ عَلَى عَشَرَةٍ فَإِذَا أُشْكِلَ دَمُهَا فِي بَعْضِ الشُّهُورِ فَقَدَّمَتِ التَّمْيِيزَ رُدَّتْ إِلَى الْعَادَةِ الْحَاصِلَةِ بِالتَّمْيِيزِ، وَهِيَ عَشَرَةٌ، وَأَعَادَتْ صَلَاةَ مَا زَادَ عَلَيْهَا، وَهَكَذَا لَوْ مَيَّزَتِ الْمُبْتَدَأَةُ شَهْرًا وَاحِدًا فَكَانَ حَيْضُهَا مِنْ جُمْلَتِهِ عَشَرَةً، ثُمَّ أُشَكِلَ دَمُهَا فِي الشَّهْرِ الثَّانِي، رُدَّتْ إِلَى الْعَشَرَةِ، وَإِنْ لَمْ يَتَكَرَّرْ وصَارَتِ الْمَرَّةُ لَهَا عَادَةً. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.
Adapun yang tetap (muttafiqah) berdasarkan tam-yīz, yaitu ketika wanita mubtada’ah melihat sepuluh hari darah hitam, dan sisa bulan ia melihat darah merah atau kuning, maka yang dihukumi ḥaiḍ adalah sepuluh hari itu, berdasarkan tam-yīz yang ia miliki.
Lalu ia melihat hal yang sama pada bulan kedua, kemudian juga pada bulan ketiga, maka tertetaplah kebiasaannya berdasarkan tam-yīz pada sepuluh hari.
Maka jika suatu saat darahnya menjadi samar pada beberapa bulan setelahnya, dan ia kehilangan kemampuan tam-yīz, maka ia dikembalikan kepada kebiasaan yang ditetapkan dengan tam-yīz, yaitu sepuluh hari, dan ia harus mengqadha shalat yang ia tinggalkan melebihi itu.
Demikian pula, jika wanita mubtada’ah membedakan darahnya selama satu bulan saja, dan ḥaiḍ-nya dari seluruh darah itu adalah sepuluh hari, lalu pada bulan kedua darahnya menjadi samar, maka ia dikembalikan kepada sepuluh hari itu, dan meskipun belum berulang, satu kali kejadian itu telah menjadi kebiasaan baginya.
Wa Allāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
(فصل)
: وأما الضَّرْبُ الثَّانِي: وَهِيَ الْعَادَةُ الْمُخْتَلِفَةُ، فَهِيَ ضَرْبَانِ: مُرَتَّبَةٌ وَغَيْرُ مُرَتَّبَةٍ.
فَأَمَّا الْمُرَتَّبَةُ فَصُورَتُهَا أَنْ تَحِيضَ فِي شَهْرٍ خَمْسَةً وَفِي الثَّانِي سَبْعَةً، وَفِي الثَّالِثِ عَشَرَةً، ثُمَّ تَعُودُ النَّوْبَةُ فَتَحِيضُ فِي الرَّابِعِ خَمْسَةً، وَفِي الْخَامِسِ سَبْعَةً، وَفِي السَّادِسِ عَشَرَةً، ثُمَّ هَكَذَا فِي سَائِرِ دَهْرِهَا يَجْرِي الْأَمْرُ فِي حَيْضِهَا عَلَى نَوْبَةٍ صَحِيحَةٍ وَعَادَةٍ مُسْتَقِيمَةٍ ثُمَّ يُشَكَّلُ دَمُهَا فِي هَذَا الشَّهْرِ وَيَتَجَاوَزُ أَكْثَرَ الْحَيْضِ، فَيُنْظَرُ مَا كَانَ تقتضيه نوبة عادتها في حيضها مِنْ هَذَا الشَّهْرِ فَتُرَدُّ إِلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ مَا قَبْلَهُ خَمْسَةً جَعَلَتْ هَذَا سَبْعَةً وَمَا بَعْدَهُ عَشَرَةً، وَإِنْ كَانَ مَا قَبْلَهُ سَبْعَةً جَعَلَتْ هَذَا عَشَرَةً، وَمَا بَعْدَهُ خَمْسَةً، وَإِنْ كان ما قبله خمسة جَعَلَتْ هَذَا خَمْسَةً، وَمَا بَعْدَهُ سَبْعَةً، ثُمَّ تَدُورُ النَّوْبَةُ كَذَلِكَ أَبَدًا مَا كَانَتْ عَلَى إِشْكَالِهَا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ التَّرْتِيبَ قَدْ قَدَّرَ لَهَا عَادَةً مُسْتَقِيمَةً، فَصَارَتْ كَالْعَادَةِ الْمُتَّفِقَةِ، فَلَوْ نَسِيَتْ مَا كَانَ تَقْتَضِيهِ نَوْبَةُ عَادَتِهَا، وَتَرَتُّبُ حَيْضَتِهَا رُدَّتْ إِلَى أَقَلِّ نَوْبَتِهَا، وَهِيَ الْخَمْسَةُ؛ لِأَنَّهَا يَقِينٌ، وَاحْتِيَاطٌ، فَتَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي، فَإِذَا مَضَى عَلَيْهَا الْيَوْمُ السَّابِعُ، اغْتَسَلَتْ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ نَوْبَةُ شَهْرِهَا سَبْعَةً، فَإِذَا مَضَى عَلَيْهَا الْيَوْمُ الْعَاشِرُ، اغْتَسَلَتْ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ نَوْبَةُ شَهْرِهَا عَشَرَةً.
PASAL
Adapun jenis kedua: yaitu ‘ādah yang berbeda-beda, maka ada dua macam: yang teratur dan yang tidak teratur.
Adapun yang teratur, bentuknya adalah bila ia haid pada satu bulan selama lima hari, pada bulan kedua selama tujuh hari, dan pada bulan ketiga selama sepuluh hari, lalu siklus tersebut berulang: pada bulan keempat ia haid lima hari, pada bulan kelima tujuh hari, pada bulan keenam sepuluh hari, dan begitu seterusnya sepanjang masa, haidnya berjalan dalam siklus yang benar dan ‘ādah yang lurus.
Kemudian pada suatu bulan darahnya menjadi tidak jelas dan melebihi batas maksimal haid, maka dilihat apa yang ditentukan oleh siklus ‘ādah-nya pada bulan tersebut, lalu dikembalikan kepadanya.
Jika sebelumnya lima hari, maka bulan ini dijadikan tujuh hari dan setelahnya sepuluh hari. Jika sebelumnya tujuh hari, maka bulan ini dijadikan sepuluh hari dan setelahnya lima hari. Dan jika sebelumnya lima hari, maka bulan ini dijadikan lima hari dan setelahnya tujuh hari.
Kemudian siklusnya terus berputar seperti itu selama darahnya tetap dalam kondisi yang membingungkan.
Hal itu dilakukan karena keteraturan tersebut telah menetapkan baginya ‘ādah yang lurus, sehingga menjadi seperti ‘ādah yang sudah tetap.
Jika ia lupa berapa yang ditentukan oleh siklus ‘ādah-nya dan urutan haidnya, maka ia dikembalikan kepada siklus paling sedikit, yaitu lima hari, karena itu adalah sesuatu yang yakin dan merupakan bentuk kehati-hatian. Maka ia mandi dan salat.
Jika telah berlalu hari ketujuh, maka ia mandi lagi, karena mungkin siklus haid bulan itu adalah tujuh hari.
Jika telah berlalu hari kesepuluh, maka ia mandi lagi, karena mungkin siklus haid bulan itu adalah sepuluh hari.
وَأَمَّا غَيْرُ الْمُرَتَّبَةِ، فَصُورَتُهَا: أَنْ تَحِيضَ فِي شَهْرٍ خَمْسَةً، وَفِي شَهْرٍ سَبْعَةً وَفِي شَهْرٍ عَشَرَةً، لَا يَنْقُصُ حَيْضُهَا عَنِ الْخَمْسَةِ وَلَا يَزِيدُ عَلَى الْعَشَرَةِ وَلَيْسَ بِهَا نوبة صحيحة، وَلَا عَادَةٌ رَاتِبَةٌ، وَتَتَقَدَّمُ الْخَمْسَةُ عَلَى الْعَشَرَةِ تَارَةً، وَتَتَأَخَّرُ عَنْهَا تَارَةً، فَإِذَا أُشْكِلَ دَمُهَا فِي هَذَا الشَّهْرِ وَتَجَاوَزَتْ أَكْثَرَ الْحَيْضِ نَظَرَتْ إِلَى عَادَتِهَا فِي الشَّهْرِ الْمَاضِي قَبْلَ إِشْكَالِ دَمِهَا، فَإِنْ كَانَ أَقَلَّ عَادَتِهَا، وَهِيَ الْخَمْسُ ردت إلى عادتها. لَا تَخْتَلِفُ وَأَعَادَتْ صَلَاةَ مَا زَادَ عَلَيْهَا، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرُ عَادَتِهَا هِيَ الْعَشْرُ، فَإِنْ تَكَرَّرَتْ قَبْلَ الْإِشْكَالِ بِشَهْرَيْنِ وَثَلَاثَةٍ رُدَّتْ إِلَيْهِمَا، وَأَعَادَتْ صَلَاةَ مَا زَادَ عَلَيْهَا، وَإِنْ لَمْ تَتَكَرَّرْ فَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تُرَدُّ إِلَيْهَا أَيْضًا، وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرُ الْعَادَةِ نَصَّ عَلَيْهَا فِي كِتَابِ الْأُمِّ لِقُرْبِهِ مِنْ شَهْرِ الإشكال، ولقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لتنظرعدد الليالي والأيام التي كانت تحيضهن من الشهر قبل أن يصيبها الذي أصابها فلتترك الصَّلَاةَ ” وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: وَتُرَدُّ إِلَى أَقَلِّ الْعَادَةِ وَهِيَ الْخَمْسَةُ، وَحَكَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْعَدَدِ، وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة لِدُخُولِهَا فِي السَّبْعَةِ وَالْعَشَرَةِ؛ لِأَنَّ مَنْ حَاضَتْ سَبْعَةً وَعَشَرَةً فَقَدْ حَاضَتْ خَمْسَةً، مَعَ مَا فِيهِ مِنَ الِاحْتِيَاطِ وَالِاسْتِظْهَارِ، وَهَذَا الْقَوْلُ غَيْرُ سَدِيدٍ؛ لِأَنَّ مُبْتَدَأَةً لَوْ حَاضَتْ فِي أَوَّلِ شُهُورِ حَيْضِهَا خَمْسًا، وَفِي الثَّانِي: عَشْرًا، ثُمَّ أُشْكِلَ دَمُهَا فِي الثَّالِثِ، وَتَجَاوَزَ أَكْثَرَ الْحَيْضِ رُدَّتْ إِلَى الْعَشْرَةِ اتِّفَاقًا؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى شَهْرِ الِاسْتِكْمَالِ وَلَمْ تَكُنِ الْحُمْرَةُ مُعْتَبَرَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ أَحْوَطَ؛ لِأَنَّهَا أَبْعَدُ كَذَلِكَ غَيْرُ الْمُبْتَدَأَةِ فَهَذَا حُكْمُ الْمُعْتَادَةِ وَهُوَ الثَّانِي مِنْ أَقْسَامِ الْمُسْتَحَاضَةِ.
PASAL
Adapun yang tidak teratur, bentuknya adalah: ia haid pada suatu bulan selama lima hari, pada bulan lain selama tujuh hari, dan pada bulan lain lagi selama sepuluh hari; haidnya tidak pernah kurang dari lima hari dan tidak lebih dari sepuluh hari. Ia tidak memiliki siklus yang tetap dan tidak pula memiliki ‘ādah yang tersusun rapi. Terkadang lima hari itu mendahului sepuluh hari, dan terkadang datang setelahnya.
Apabila darahnya menjadi tidak jelas pada bulan ini dan melebihi batas maksimal haid, maka ia melihat ‘ādah-nya pada bulan yang lalu sebelum darahnya menjadi tidak jelas. Jika ‘ādah-nya yang paling sedikit adalah lima hari, maka ia dikembalikan kepada ‘ādah-nya tersebut, tidak boleh menyelisihinya, dan ia mengulang salat atas apa yang melebihi dari lima hari itu.
Jika ‘ādah-nya yang paling banyak adalah sepuluh hari dan telah terulang sebelum munculnya darah yang tidak jelas selama dua atau tiga bulan, maka ia dikembalikan kepada jumlah itu, dan ia mengulang salat atas apa yang melebihi dari sepuluh hari itu.
Jika belum terulang, maka pendapat yang tampak dari mazhab al-Syafi‘i adalah ia tetap dikembalikan kepada sepuluh hari juga, karena itu lebih dekat dengan bulan terjadinya darah yang tidak jelas, dan berdasarkan sabda Nabi SAW: “Hendaklah ia memperhatikan jumlah malam dan hari yang biasa ia haid padanya dari bulan sebelum ia tertimpa apa yang menimpanya, lalu hendaklah ia tinggalkan salat.”
Dan Abū Isḥāq al-Marwazī berkata: ia dikembalikan kepada ‘ādah yang paling sedikit yaitu lima hari. Pendapat ini diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dalam Kitāb al-‘Adad, dan merupakan pendapat Abū Ḥanīfah, karena ia termasuk ke dalam yang tujuh dan yang sepuluh; sebab orang yang telah haid tujuh dan sepuluh hari, maka pasti ia telah haid lima hari, di samping hal itu juga merupakan bentuk kehati-hatian dan usaha untuk berhati-hati.
Namun, pendapat ini tidak benar; karena seorang perempuan yang baru pertama kali haid, jika ia haid lima hari pada bulan pertama, sepuluh hari pada bulan kedua, lalu darahnya menjadi tidak jelas pada bulan ketiga dan melebihi batas maksimal haid, maka ia dikembalikan kepada sepuluh hari secara ijmā’, karena itu lebih dekat dengan bulan sempurna haidnya, dan warna merah tidaklah dianggap meskipun lebih hati-hati, karena ia lebih jauh. Demikian pula halnya bagi selain perempuan yang baru pertama haid.
Inilah hukum bagi perempuan yang memiliki ‘ādah, dan ini adalah jenis kedua dari macam-macam perempuan istihāḍah.
(فَصْلٌ)
: فِي الْقِسْمِ الثَّالِثِ مِنْ أَقْسَامِ الْمُسْتَحَاضَةِ وَهِيَ الَّتِي قَدِ اجْتَمَعَ لَهَا تَمْيِيزٌ وَعَادَةٌ، وَصُورَتُهَا: فِي امْرَأَةٍ قَدِ اسْتَقَرَّتْ لَهَا عَادَةٌ فِي حَيْضِهَا فِيمَا سَلَفَ مِنْ شُهُورِهَا وَاسْتَمَرَّ بِهَا الدَّمُ فِي شَهْرِهَا حَتَّى تَجَاوَزَ أَكْثَرَ الْحَيْضِ وَهُوَ مُتَمَيِّزٌ بَعْضُهُ أَسْوَدُ وَبَعْضُهُ أَحْمَرُ أو أصفر، فَصَارَتْ جَامِعَةً بَيْنَ التَّمْيِيزِ فِي حَيْضِهَا، وَبَيْنَ الْعَادَةِ فِيمَا سَلَفَ مِنْ شُهُورِهَا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تُرَدُّ إِلَى تَمْيِيزِهَا دُونَ عَادَتِهَا، وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ: بَلْ تُرَدُّ إِلَى عَادَتِهَا دُونَ تَمْيِيزِهَا اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:
PASAL
Bagian ketiga dari macam-macam perempuan istihāḍah adalah perempuan yang memiliki sekaligus tamyīz dan ‘ādah.
Bentuknya: seorang perempuan yang telah tetap baginya ‘ādah haid pada bulan-bulan sebelumnya, lalu darah terus mengalir padanya pada bulan ini hingga melebihi batas maksimal haid, sementara darah tersebut bisa dibedakan—sebagian berwarna hitam dan sebagian lagi merah atau kuning. Maka ia menjadi gabungan antara memiliki tamyīz dalam haidnya dan ‘ādah pada bulan-bulan sebelumnya.
Maka mazhab al-Syafi‘i adalah: ia dikembalikan kepada tamyīz-nya dan bukan kepada ‘ādah-nya.
Namun Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan Abū ‘Alī Ibn Khayrān berpendapat: justru ia dikembalikan kepada ‘ādah-nya, bukan kepada tamyīz-nya, dengan berdalil pada dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَادَةَ تَأْتَلِفُ، وَالتَّمْيِيزَ يَخْتَلِفُ، وَالْمُؤْتَلِفُ أَوْلَى بِالِاعْتِبَارِ مِنَ الْمُخْتَلِفِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْعَادَةَ مُتَكَرِّرَةٌ، وَالتَّمْيِيزَ مُنْفَرِدٌ، وَمَا تَكَرَّرَ أَوْلَى اعْتِبَارًا مِمَّا انْفَرَدَ، وَهَذَا خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ التَّمْيِيزَ صِفَةُ مَحَلِّ حَيْضِ الْإِشْكَالِ وَالْعَادَةُ فِي غَيْرِهِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى الشَّيْءِ بِصِفَتِهِ أَوْلَى مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ لِغَيْرِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ التَّمْيِيزَ دَلَالَةٌ حَاضِرَةٌ، وَالْعَادَةَ دَلَالَةٌ مَاضِيَةٌ، وَالدَّلَالَةُ الْحَاضِرَةُ أَوْلَى اعْتِبَارًا مِنَ الدَّلَالَةِ الْمَاضِيَةِ، كَالْمُتَدَاعِيَيْنِ دَارًا وَلِأَحَدِهِمَا يَدٌ حَاضِرَةٌ فَهُوَ أَوْلَى مِنَ الْآخَرِ، إِذَا كَانَتْ لَهُ يَدٌ مُتَقَدِّمَةٌ، فَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنَ الِاسْتِدْلَالَيْنِ فَكِلَاهُمَا مَدْخُولٌ أَمَّا الْأَوَّلُ فَإِنَّهُمْ يُسَوُّونَ بَيْنَ مَا ائْتَلَفَ مِنَ التَّمْيِيزِ وَاخْتَلَفَ فِي تَقْدِيمِ الْعَادَةِ عَلَيْهِ.
Pertama: karena ‘ādah itu bersifat tetap, sedangkan tamyīz itu berubah-ubah; dan sesuatu yang tetap lebih layak untuk dijadikan acuan daripada yang berubah-ubah.
Kedua: karena ‘ādah bersifat berulang, sedangkan tamyīz bersifat tunggal (sekali waktu saja); dan sesuatu yang berulang lebih layak dijadikan pegangan daripada yang sekali muncul.
Namun ini adalah kesalahan karena dua hal:
Pertama: tamyīz adalah sifat darah yang sedang bermasalah (ḥayḍ al-ishkāl), sedangkan ‘ādah berkaitan dengan selainnya. Maka petunjuk terhadap suatu perkara melalui sifatnya lebih kuat daripada petunjuk melalui hal lain.
Kedua: tamyīz adalah petunjuk yang hadir (saat ini), sedangkan ‘ādah adalah petunjuk yang telah berlalu. Dan petunjuk yang hadir lebih kuat dijadikan dasar daripada petunjuk masa lalu. Seperti dua orang yang bersengketa atas sebuah rumah, dan salah satunya memegang kepemilikan saat ini, maka ia lebih berhak daripada yang mengaku pernah memilikinya di masa lalu.
Adapun dua dalil yang disebutkan (oleh pihak yang mendahulukan ‘ādah atas tamyīz), keduanya tertolak.
Dalil pertama: mereka menyamakan antara tamyīz yang bersifat tetap dan yang berubah-ubah, namun tetap mendahulukan ‘ādah atasnya.
وَأَمَّا الثَّانِي: فَلِأَنَّهُمْ يُسَوُّونَ بَيْنَ مَا تَكَرَّرَ مِنَ التَّمْيِيزِ وَانْفَرَدَ فِي تَقْدِيمِ الْعَادَةِ عَلَيْهِ عَلَىهَذَيْنِ الْمَذْهَبَيْنِ يَكُونُ تَفْرِيعُ هَذَا الْفَصْلِ فَإِذَا اعْتَادَتِ الْمَرْأَةُ أَنْ تَحِيضَ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ، وَتَرَى بَاقِيَهُ طُهْرًا فَرَأَتْ فِي هَذَا الشَّهْرِ عَشَرَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَبَاقِيَهُ دَمًا أَصْفَرَ، فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ تُرَدُّ إِلَى الْعَشَرَةِ السَّوَادِ اعْتِبَارًا بِالتَّمْيِيزِ، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي سَعِيدٍ تُرَدُّ إِلَى الْخَمْسَةِ الْمُعْتَادَةِ اعْتِبَارًا بِالْعَادَةِ، فَإِنْ كَانَتْ عَادَتُهَا أَنْ تَرَى مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَبَاقِيَهُ طُهْرًا فَرَأَتْ فِي أَوَّلِ هَذَا الشَّهْرِ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَحْمَرَ وَبَاقِيَهُ دَمًا أَصْفَرَ فَحَيْضُهَا الْخَمْسَةُ الْحُمْرَةُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا لِاجْتِمَاعِ التَّمْيِيزِ فِيهَا وَالْعَادَةُ، وَإِذَا اعْتَادَتْ خَمْسَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ يَوْمًا دَمًا أَسْوَدَ وَبَاقِيَهُ طُهْرًا فَرَأَتْ فِي هَذَا الشَّهْرِ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَحْمَرَ وَبَاقِيَهُ دَمًا أَسْوَدَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Adapun yang kedua: karena mereka menyamakan antara tamyīz yang berulang dan yang tunggal dalam hal mendahulukan ‘ādah atasnya.
Berdasarkan dua mazhab ini, maka rincian pasal ini adalah sebagai berikut:
Jika seorang perempuan memiliki ‘ādah haid pada awal setiap bulan selama lima hari dengan darah hitam, dan sisanya adalah suci, lalu pada bulan ini ia melihat darah hitam selama sepuluh hari dan sisanya darah kuning, maka menurut mazhab al-Syafi‘i ia dikembalikan kepada sepuluh hari darah hitam dengan pertimbangan tamyīz. Sedangkan menurut mazhab Abū Sa‘īd, ia dikembalikan kepada lima hari yang merupakan ‘ādah-nya, dengan pertimbangan ‘ādah.
Jika ‘ādah-nya adalah melihat dari awal bulan selama lima hari darah hitam dan sisanya suci, lalu pada awal bulan ini ia melihat lima hari darah merah dan sisanya darah kuning, maka haidnya adalah lima hari darah merah menurut kedua mazhab, karena berkumpulnya tamyīz dan ‘ādah dalam waktu tersebut.
Dan jika ia terbiasa melihat selama lima hari dari awal bulan, satu harinya darah hitam dan sisanya suci, lalu pada bulan ini ia melihat selama lima hari darah merah dan sisanya darah hitam, maka dalam hal ini ada dua wajah (pendapat):
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهَا مُمَيِّزَةٌ، وَحَيْضُهَا الْخَمْسَةُ الْحُمْرَةُ، لِتَمْيِيزِهِ مِمَّا يُجَاوَزُ بِهِ، وَلَا يَكُونُ الْأَسْوَدُ حَيْضًا.
والوجه الثاني: وهو قول أبي إسحاق أنها مُعْتَادَةٌ لَا تَمْيِيزَ لَهَا، وَحَيْضُهَا الْخَمْسَةُ الْحُمْرَةُ اعْتِبَارًا بِالْعَادَةِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ، فَيَسْتَوِي الْحُكْمَانِ، وَيَخْتَلِفُ الْمَعْنَيَانِ فَتَكُونُ مُمَيِّزَةً عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ وَمُعْتَادَةً عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي.
Pendapat pertama—yaitu pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj—adalah bahwa perempuan tersebut tergolong mumayyizah, dan haidnya adalah lima hari darah merah, karena dapat dibedakan dari darah setelahnya, dan darah hitam tidak dihukumi sebagai haid.
Pendapat kedua—yaitu pendapat Abū Isḥāq—adalah bahwa ia tergolong mu‘taādah, bukan mumayyizah, dan haidnya tetap lima hari darah merah dengan pertimbangan ‘ādah. Ini juga merupakan pendapat Abū Sa‘īd.
Maka dua pendapat ini menyepakati hukum (yaitu haidnya lima hari darah merah), tetapi berbeda dalam alasan: ia dianggap mumayyizah menurut pendapat pertama, dan dianggap mu‘taādah menurut pendapat kedua.
(فَرْعٌ)
: وَلَوْ كَانَتْ عَادَتُهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ دَمًا أَسْوَدَ فَرَأَتْ فِي أَوَّلِهِ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَحْمَرَ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ أَنَّ حَيْضَهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ الْخَمْسَةُ الْحُمْرَةُ، وَالْخَمْسَةُ السَّوَادُ، وَلِتَمْيِيزِهَا عَمَّا لَيْسَ بِحَيْضٍ مِنْ بَعْدُ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ حَيْضُهَا الْخَمْسَةُ الْحُمْرَةُ، لِمُوَافَقَتِهَا أَيَّامَ الْعَادَةِ.
وَالثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ أَنَّ حَيْضَهَا الْخَمْسَةُ السَّوَادُ؛ لِأَنَّهُ أَشْبَهُ بِدَمِ الْحَيْضِ.
Cabang Masalah (Far‘)
Jika seorang perempuan memiliki ‘ādah haid selama lima hari dari awal bulan berupa darah hitam, lalu pada awal bulan ini ia melihat lima hari darah merah, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa haidnya adalah sepuluh hari: lima hari darah merah dan lima hari darah hitam, karena bisa dibedakan dari yang bukan haid setelahnya.
Kedua: yaitu pendapat Abū Sa‘īd, bahwa haidnya adalah lima hari darah merah, karena sesuai dengan hari-hari ‘ādah-nya.
Ketiga: yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa haidnya adalah lima hari darah hitam, karena lebih menyerupai darah haid.
(فَرْعٌ)
: وَلَوْ كَانَتْ عَادَتُهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ دَمًا أَسْوَدَ وَبَاقِيهِ طُهْرًا فَرَأَتْ فِي شَهْرِهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ فِي أَوَّلِهِ، ثُمَّ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا طُهْرًا، ثُمَّ رَأَتِ الدَّمَ الْأَسْوَدَ، فَإِنِ انْقَطَعَ مَا بَيْنَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَبَيْنَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَهُوَ حَيْضٌ وَإِنْ تَجَاوَزَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَقَدْ دَخَلَتِ الِاسْتِحَاضَةُ فِي الْحَيْضِ، وَلَهَا عَادَةٌ بِلَا تَمْيِيزٍ فَتُرَدُّ إِلَى عَادَتِهَا فِي الْقَدْرِ الَّذِي كَانَتْ تَحِيضُهُ مِنْ قَبْلُ، وَهِيَ خَمْسَةُ أَيَّامٍ، وَهَلْ تَحِيضُ قَدْرَ الْعَادَةِ مِنْ زَمَانِ الْعَادَةِ أَوْ مِنْ زَمَانِ الدَّمِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا أَبُو العباس:
أَحَدُهُمَا: مِنْ زَمَانِ الدَّمِ وَهُوَ الْأَصَحُّ.
وَالثَّانِي: مِنْ زَمَانِ الْعَادَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Cabang Masalah (Far‘)
Jika seorang perempuan memiliki ‘ādah haid lima hari dari awal bulan berupa darah hitam dan selebihnya adalah suci, lalu pada bulan ini ia melihat darah hitam selama lima hari di awal bulan, kemudian suci selama lima belas hari, lalu melihat lagi darah hitam:
Maka jika jeda antara dua darah tersebut berlangsung antara satu hari satu malam hingga lima belas hari, maka darah yang terakhir itu adalah haid.
Namun jika melebihi lima belas hari, maka berarti istihāḍah telah masuk ke dalam masa haid. Dalam kondisi ini ia memiliki ‘ādah tanpa tamyīz, maka ia dikembalikan kepada ‘ādah-nya dalam hal jumlah hari yang biasa ia alami sebelumnya, yaitu lima hari.
Lalu timbul pertanyaan: apakah ia dihukumi haid selama lima hari terhitung dari waktu ‘ādah-nya atau dari waktu keluarnya darah? Maka terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abū al-‘Abbās:
Pertama: dari waktu keluarnya darah, dan ini yang paling ṣaḥīḥ.
Kedua: dari waktu ‘ādah-nya.
Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
(مَسْأَلَةٌ)
: قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَ الدَّمُ مُبْتَدِئًا لَا مَعْرِفَةَ لَهَا بِهِ أَمْسَكَتْ عَنِ الصَّلَاةِ ثُمَّ إِذَا جَاوَزَتْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا اسْتَيْقَنَتْ أَنَّهَا مستحاضةٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْقِسْمُ الرَّابِعُ مِنْ أَقْسَامِ الْمُسْتَحَاضَةِ، وَهِيَ الَّتِي لَهَا تَمْيِيزٌ وَلَا عَادَةٌ، وَهِيَ امرأة مبتدأة وناسية في كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا أَقْسَامٌ تَتَعَلَّقُ عَلَيْهَا أَحْكَامٌ.
فَأَمَّا الْمُبْتَدَأَةُ فَهِيَ الَّتِي بَدَأَ بِهَا الدَّمُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ لَهَا حَيْضٌ مِنْ قَبْلُ، وَلَهَا سِنٌّ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ دَمُهَا فِيهِ حَيْضًا، وَهُوَ تِسْعُ سِنِينَ فَصَاعِدًا فَعَلَيْهَا عِنْدَ ابْتِدَاءِ رُؤْيَةِ الدَّمِ إِذَا كَانَ كَدَمِ الْحَيْضِ أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ فَإِنِ اسْتَدَامَ بِهَا يَوْمًا وَلَيْلَةً بَانَ أَنَّهُ دَمُ حَيْضٍ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهَا لِلصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنْ لَمْ يَدُمْ يَوْمًا وَلَيْلَةً بَانَ أَنَّهُ دَمُ فَسَادٍ وَلَزِمَهَا إِعَادَةُ مَا تَرَكَتْ مِنَ الصَّلَاةِ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة، وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ عَلَيْهَا أَنْ تُصَلِّيَ لِرُؤْيَةِ الدَّمِ فَإِنِ انْقَطَعَ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ كَانَ فَرْضُ الصَّلَاةِ لَهَا لَازِمًا وَأَجْزَأَهَا مَا صَلَّتْ، وَإِنِ اسْتَدَامَ بِهَا يَوْمًا وَلَيْلَةً تَرَكَتِ الصَّلَاةَ حِينَئِذٍ، قَالَ: لِأَنَّ رُؤْيَةَ الدَّمِ قَدْ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ حَيْضًا تَدَعُ فِيهِ الصَّلَاةَ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ دَمَ فَسَادٍ تَلْزَمُ فِيهِ الصَّلَاةُ فَلَمْ يَجُزْ إِسْقَاطُ فَرْضِ الصَّلَاةِ بِالشَّكِّ وَالتَّجْوِيزِ، وَهَذَا التَّعْلِيلُ فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: غَيْرُ الْمُبْتَدَأَةِ إِذَا بَدَأَتْ بِرُؤْيَةِ الدَّمِ تَدَعُ الصَّلَاةَ، وَإِنْ كَانَ هذا التجويز موجود.
وَالثَّانِي: الْمُعْتَادَةُ إِذَا تَجَاوَزَ دَمُهَا قَدْرَ الْعَادَةِ تَدَعُ الصَّلَاةَ، وَإِنْ كَانَ هَذَا التَّجْوِيزُ مَوْجُودًا وَإِذَا بَطُلَ بِهَذَيْنِ مَا عَلَّلَ بِهِ مِنْ هَذَا التَّجْوِيزِ، وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ الْغَالِبُ مِنْ حَالِهَا، وَهُوَ أَنَّ مَا ابْتَدَأَتْ بِرُؤْيَتِهِ حَيْضٌ.
Masalah
Al-Syafi‘i berkata:
“Jika darah itu baru mulai keluar dan ia tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang darah itu, maka ia menahan diri dari salat. Lalu jika darah itu melebihi lima belas hari, ia yakin bahwa ia adalah perempuan mustaḥāḍah.”
Al-Māwardī berkata:
Ini adalah bagian keempat dari macam-macam perempuan mustaḥāḍah, yaitu perempuan yang memiliki tamyīz tetapi tidak memiliki ‘ādah. Dan ini berlaku bagi perempuan mubtada’ah (yang baru pertama haid) dan perempuan yang lupa (akan ‘ādah-nya). Masing-masing dari keduanya memiliki cabang hukum tersendiri.
Adapun mubtada’ah adalah perempuan yang mulai keluar darah padanya tanpa ada haid sebelumnya, dan usianya memungkinkan untuk mengalami haid, yaitu sembilan tahun atau lebih.
Maka wajib baginya, ketika pertama kali melihat darah yang seperti darah haid, untuk meninggalkan salat. Jika darah itu berlangsung sehari semalam, maka terbukti bahwa itu adalah darah haid, dan tidak ada kewajiban qadha’ atas salat yang ditinggalkan.
Namun jika tidak berlangsung selama sehari semalam, maka terbukti bahwa itu adalah darah fasād, dan ia wajib mengqadha salat yang telah ia tinggalkan.
Inilah juga pendapat Abū Ḥanīfah.
Sedangkan Abū al-‘Abbās Ibn Surayj berpendapat: ia tetap wajib salat selama melihat darah, karena bisa jadi itu bukan haid. Jika darah berhenti sebelum sehari semalam, maka salatnya sah dan ia telah menunaikan kewajiban. Namun jika darah itu berlanjut selama sehari semalam, maka ia baru boleh meninggalkan salat saat itu.
Beliau berkata: karena melihat darah itu bisa jadi haid yang membuat salat ditinggalkan, dan bisa juga darah fasād yang mengharuskan salat. Maka tidak boleh menggugurkan kewajiban salat hanya karena kemungkinan atau keraguan.
Namun, alasan ini rusak dari dua sisi:
Pertama: perempuan yang bukan mubtada’ah jika melihat darah di awal, tetap diperintahkan untuk meninggalkan salat, meskipun kemungkinan ini (antara haid dan bukan) tetap ada.
Kedua: perempuan yang memiliki ‘ādah, jika darahnya melebihi batas ‘ādah, juga tetap meninggalkan salat, meskipun terdapat kemungkinan (itu istihāḍah).
Jika alasan yang didasarkan atas kemungkinan ini terbantahkan oleh dua hal di atas, maka yang harus dijadikan pegangan adalah kebiasaan yang umum, yaitu bahwa darah yang pertama kali ia lihat adalah darah haid.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا وَدَامَ بِهَا يَوْمًا وَلَيْلَةً فَصَاعِدًا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ دَمًا أَسْوَدَ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ دَمًا أَصْفَرَ أَوْ أَحْمَرَ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مُخْتَلِفًا بَعْضُهُ أَسْوَدُ وَبَعْضُهُ أَصْفَرُ، فَإِنْ كَانَ دَمًا أَسْوَدَ فَهُوَ حَيْضٌ مَا لَمْ يُجَاوِزْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَإِنْ كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا يَكُونُ حَيْضًا، وَيَكُونُ دَمَ فَسَادٍ، وَأَمَّا أَبُو سَعِيدٍ فَعَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّهُ مَوْجُودٌ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ، وَأَمَّا أَبُو إِسْحَاقَ فَلِأَنَّهُ قَدْ خَلَا مِنْ عَلَامَتَيِ الْحَيْضِ.
PASAL
Jika telah tetap sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan darah itu berlangsung selama sehari semalam atau lebih, maka terbagi menjadi tiga keadaan:
Pertama: darah tersebut berwarna hitam.
Kedua: darah tersebut berwarna kuning (aṣfar) atau merah (aḥmar).
Ketiga: darah tersebut bercampur, sebagian hitam dan sebagian kuning.
Jika darah tersebut berwarna hitam, maka itu adalah haid selama tidak melebihi lima belas hari.
Jika darah tersebut berwarna kuning, maka ada dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan Abū Isḥāq al-Marwazī bahwa itu bukan darah haid, tetapi darah fasād.
Adapun Abū Sa‘īd, maka pendapat ini sejalan dengan prinsipnya bahwa darah tersebut keluar di luar hari-hari ‘ādah.
Sedangkan Abū Isḥāq berpendapat demikian karena darah tersebut tidak memiliki dua ciri khas darah haid.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ يَكُونُ حيضاًَ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ لِوُجُودِ الدَّمِ فِي زَمَانٍ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ فِيهِ حَيْضًا وَإِنْ كَانَ مُخْتَلِفًا فَعَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتَقَدَّمَ السَّوَادُ ثُمَّ تَتَعَقَّبُهُ الصفرة مثاله: أن ترى خمسة أيام دما أَسْوَدَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ تَكُونُ الْعَشَرَةُ كُلُّهَا حَيْضًا لِوُجُودِ الدَّمَيْنِ فِي زَمَانٍ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ حَيْضًا، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ يَكُونُ حَيْضُهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ زَمَانَ الدَّمِ الْأَسْوَدِ، وَلَا تَكُونُ الصُّفْرَةُ حَيْضًا؛ لِأَنَّ الْمُبْتَدَأَةَ لَيْسَتْ لَهَا عَادَةٌ فَصَارَتِ الصُّفْرَةُ مَوْجُودَةٌ فِي غَيْرِ زَمَانِ الْعَادَةِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَتَقَدَّمَ الصُّفْرَةُ ثُمَّ يَتَعَقَّبَهَا السواد مثاله: أن ترى خمسة أيام دما أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ فَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ تَكُونُ الْعَشَرَةُ كُلُّهَا حَيْضًا مَا تَقَدَّمَ مِنَ الصُّفْرَةِ، وَمَا تَعَقَّبَ مِنَ السَّوَادِ عَلَى مَذْهَبِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَكُونُ حَيْضُهَا الْخَمْسَةَ السَّوَادَ دُونَ الصُّفْرَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ أَمَّا أَبُو سَعِيدٍ فَعَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّهُ مَوْجُودٌ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ، فَأَمَّا أَبُو إِسْحَاقَ فَعَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الصُّفْرَةَ إِذَا تَعَقَّبَهَا سَوَادٌ لَمْ تَكُنْ حَيْضًا.
Pendapat kedua: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa darah kuning tersebut adalah haid, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas sahabat al-Syāfi‘ī, karena darah itu muncul pada waktu yang memungkinkan dihukumi sebagai haid.
Dan jika darahnya berbeda-beda, maka terbagi menjadi empat bagian:
Bagian pertama: darah hitam mendahului, lalu diikuti darah kuning.
Contohnya: ia melihat lima hari darah hitam, lalu lima hari darah kuning.
Menurut mazhab al-Syāfi‘ī dan mayoritas sahabatnya, maka keseluruhan sepuluh hari itu adalah haid, karena keduanya muncul dalam waktu yang memungkinkan sebagai haid.
Sedangkan menurut mazhab Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, haidnya hanya lima hari ketika darah hitam keluar, dan darah kuning tidak dihukumi sebagai haid; karena perempuan mubtada’ah tidak memiliki ‘ādah, sehingga darah kuning dianggap keluar di luar waktu ‘ādah.
Bagian kedua: darah kuning mendahului, lalu diikuti darah hitam.
Contohnya: ia melihat lima hari darah kuning, lalu lima hari darah hitam.
Menurut mazhab Abū al-‘Abbās, maka seluruh sepuluh hari itu adalah haid, baik darah kuning yang mendahului maupun darah hitam yang mengikuti.
Sedangkan menurut mazhab Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan Abū Isḥāq al-Marwazī, haidnya hanya lima hari ketika darah hitam keluar, tidak termasuk darah kuning yang mendahului.
Adapun Abū Sa‘īd berpegang pada prinsipnya bahwa darah kuning tersebut muncul di luar waktu ‘ādah.
Sedangkan Abū Isḥāq berpegang pada pendapatnya bahwa darah kuning, apabila diikuti oleh darah hitam, maka tidak dihukumi sebagai haid.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَوَسَّطَ السَّوَادُ بَيْنَ دَمَيِ الصُّفْرَةِ، مِثَالُهُ: أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ، وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ، فَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ يَكُونُ حَيْضُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا زَمَانَ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ لِوُجُودِهَا فِي زَمَانٍ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ حَيْضًا، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ خَمْسَةُ أَيَّامٍ هِيَ زَمَانُ الدَّمِ الْأَسْوَدِ، وَلَا يَكُونُ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الصُّفْرَةِ وَلَا مَا تَأَخَّرَ حَيْضًا لِوُجُودِهِمَا فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْعَادَةِ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ الْخَمْسَةُ السَّوَادُ، وَالْخَمْسَةُ الصُّفْرَةُ الْمُتَأَخِّرَةُ، وَلَا تَكُونُ الصُّفْرَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ حَيْضًا لِمَا يَعْقُبُهَا مِنَ السَّوَادِ.
Bagian ketiga: darah hitam berada di tengah antara dua masa darah kuning.
Contohnya: ia melihat lima hari darah kuning, lalu lima hari darah hitam, lalu lima hari lagi darah kuning.
Menurut mazhab Abū al-‘Abbās, haidnya adalah lima belas hari, yaitu seluruh masa dari ketiga jenis darah tersebut, karena semuanya terjadi dalam rentang waktu yang memungkinkan dihukumi sebagai haid.
Menurut pendapat Abū Sa‘īd, haidnya hanya lima hari, yaitu saat keluarnya darah hitam saja; sedangkan darah kuning yang mendahului maupun yang mengikuti tidak dihukumi haid, karena terjadi di luar waktu ‘ādah.
Menurut pendapat Abū Isḥāq, haidnya adalah sepuluh hari: lima hari darah hitam dan lima hari darah kuning yang datang setelahnya, dan darah kuning yang mendahului tidak dihukumi sebagai haid karena diikuti oleh darah hitam.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تَتَوَسَّطَ الصُّفْرَةُ بَيْنَ دَمِ السَّوَادِ مِثَالُهُ: أَنْ تَرَى خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَصْفَرَ وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ، فَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي الْعَبَّاسِ حَيْضُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا زَمَانَ الدِّمَاءِ الثَّلَاثَةِ لِوُجُودِهَا فِي زَمَانٍ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ حَيْضًا، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ زَمَانَ الدَّمَيْنِ الْأَسْوَدَيْنِ الْأُوَلُ وَالْأُخَرُ وَزَمَانُ الصُّفْرَةِ الْمُتَوَسِّطَةِ طُهْرٌ لِمُفَارَقَتِهَا أَيَّامَ الْعَادَةِ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ تَكُونُ الْخَمْسَةُ الصُّفْرَةُ لِمَا تَعَقَّبَهَا مِنَ السَّوَادِ كَطُهْرِ التَّلْفِيقِ.
Bagian keempat: darah kuning berada di tengah-tengah antara dua masa darah hitam.
Contohnya: ia melihat lima hari darah hitam, lalu lima hari darah kuning, lalu lima hari lagi darah hitam.
Menurut mazhab Abū al-‘Abbās, seluruh lima belas hari itu adalah haid, karena semua darah tersebut keluar dalam waktu yang memungkinkan dihukumi sebagai haid.
Menurut pendapat Abū Sa‘īd, haidnya adalah sepuluh hari, yaitu masa dua darah hitam di awal dan akhir; sedangkan masa darah kuning yang berada di tengah dihukumi sebagai suci karena terjadi di luar hari-hari ‘ādah.
Menurut pendapat Abū Isḥāq, lima hari darah kuning itu dihukumi suci karena diikuti oleh darah hitam, sehingga statusnya seperti ṭuhr talaffuq (suci yang disambung dengan darah haid setelahnya).
(فَصْلٌ)
فَأَمَّا إِذَا تَجَاوَزَ دَمُ الْمُبْتَدَأَةِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَقَدْ صَارَتْ حِينَئِذٍ مُسْتَحَاضَةً لَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهَا تَمْيِيزٌ أَمْ لَا، فَإِنْ كَانَ لَهَا تَمْيِيزٌ عَمِلَتْ عَلَيْهِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ شَرْحُهُ آنِفًا وَسَالِفًا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا تَمْيِيزٌ فَفِيمَا تُرَدُّ إِلَيْهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ كَمَا هُنَا وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ إِنَّمَا تُرَدُّ إِلَى أَقَلِّالْحَيْضِ يَوْمًا وَلَيْلَةً؛ لِأَنَّهُ يَقِينٌ وَاحْتِيَاطٌ وَمَا جَاوَزَهُ شَكٌّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْقِطَ بِالشَّكِّ فَرْضَ الصَّلَاةِ.
PASAL
Adapun jika darah perempuan mubtada’ah (yang baru pertama haid) melebihi lima belas hari, maka saat itu ia menjadi mustaḥāḍah. Keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
Pertama, ia memiliki tamyīz, maka ia beramal berdasarkan tamyīz-nya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Kedua, ia tidak memiliki tamyīz, maka dalam hal apa ia dikembalikan terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: dinyatakan oleh Imam al-Syāfi‘ī sebagaimana dalam nash ini, dan ini adalah pilihan Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, yaitu bahwa ia dikembalikan kepada masa haid paling sedikit, yaitu sehari semalam, karena itu adalah hal yang yaqīn dan bersifat iḥtiyāṭ (kehati-hatian). Adapun selebihnya adalah perkara yang masih syakk, maka tidak boleh menggugurkan kewajiban salat karena syakk.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهَا تُرَدُّ إِلَى سِتَّةِ أَيَّامٍ وسبعة أيام، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِحَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ ” تَحِيضِي فِي عِلْمِ اللَّهِ سِتًّا أَوْ سَبْعًا ” وَلِأَنَّ ذَلِكَ غَالِبُ عَادَاتِ النِّسَاءِ، فَاقْتَضَى أَنْ تُرَدَّ إِلَيْهَا كَمَا تُرَدُّ إِلَى غَالِبِ عَادَاتِهِنَّ إِذَا اسْتَدَامَ الدَّمُ بِهَا أَنْ تَحِيضَ فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً، وَلَيْسَ الْيَقِينُ فِيهِ مُعْتَبَرًا كَذَلِكَ يُعْتَبَرُ فِي الْقَدْرِ غَالِبُ الْعَادَاتِ، وَلَا يَكُونُ الْيَقِينُ فِيهِ مُعْتَبَرًا، وَقَالَ أبو حنيفة: تُرَدُّ إِلَى أَكْثَرِ الْحَيْضِ، وَهُوَ عَشَرَةُ أَيَّامٍ عِنْدَهُ، فَخَالَفَ الْقَوْلَيْنِ مَعًا؛ احْتِجَاجًا بِأَنَّهَا دَاخِلَةٌ فِي حَيْضٍ بِيَقِينٍ، فَلَمْ تَخْرُجْ مِنْهُ إِلَّا إِلَى طُهْرٍ بِيَقِينٍ.
وَدَلِيلُنَا مَعَ الْخَبَرِ أَنَّهُ اخْتَلَطَ حَيْضُهَا بِاسْتِحَاضَتِهَا فَوَجَبَ رَدُّهَا عَنِ الْأَكْثَرِ إِلَى مَا دُونِهِ كَالْمُعْتَادَةِ فِي رَدِّهَا عَنْ أَكْثَرِ الْحَيْضِ إِلَى أَيَّامِ الْعَادَةِ، وَلِأَنَّ الِاسْتِظْهَارَ لِلْعَادَةِ أَوْلَى مِنَ الِاسْتِظْهَارِ عَلَيْهَا فَامْتَنَعَ بِذَلِكَ رَدُّهَا إِلَى أَكْثَرِهِ، وَلَمْ يَبْقَ رَدُّهَا، إِلَى الْيَقِينِ، وَهُوَ الْأَقَلُّ أَوْ إِلَى الْأَغْلَبِ وَهُوَ سِتٌّ أَوْ سَبْعٌ.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى هَذَا الْقَوْلِ فِي السِّتِّ أَوِ السبع هل ترد إليها على طريق التخيير – أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: yaitu pendapat yang dipilih oleh Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa perempuan mubtada’ah yang darahnya melebihi lima belas hari dan tidak memiliki tamyīz, dikembalikan kepada enam atau tujuh hari, berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Ḥamnah bint Jahsy:
“Haidlah kamu menurut ilmu Allah selama enam atau tujuh hari.”
Selain itu, karena enam atau tujuh hari adalah kebiasaan yang dominan di kalangan perempuan, maka sepatutnya ia dikembalikan kepada rata-rata kebiasaan itu, sebagaimana perempuan lain yang memiliki darah terus-menerus dikembalikan kepada kebiasaan mayoritas wanita bahwa mereka haid satu kali dalam setiap bulan. Maka dalam hal ini, bukan yaqīn yang dijadikan dasar, melainkan kebiasaan yang umum.
Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa ia dikembalikan kepada batas maksimal haid, yaitu sepuluh hari menurut mazhabnya. Maka pendapat ini menyelisihi dua pendapat sebelumnya, dengan alasan bahwa ia telah masuk dalam masa haid secara yaqīn, maka tidak keluar darinya kecuali dengan yaqīn pula bahwa ia telah suci.
Adapun dalil kami, selain hadits tersebut, adalah bahwa darah haidnya telah bercampur dengan istihāḍahnya, maka wajib ia dikembalikan dari jumlah maksimal kepada yang lebih sedikit, sebagaimana perempuan mu‘taādah dikembalikan dari lebihnya darah kepada jumlah hari ‘ādah-nya.
Dan karena kehati-hatian dalam mengikuti ‘ādah lebih utama daripada kehati-hatian dalam menyelisihinya, maka tidak boleh mengembalikannya kepada batas maksimal.
Maka tidak ada lagi kemungkinan selain mengembalikannya kepada yang paling yaqīn, yaitu jumlah paling sedikit (sehari semalam), atau mengembalikannya kepada kebiasaan mayoritas, yaitu enam atau tujuh hari.
Para sahabat kami berbeda pendapat dalam pendapat yang kedua ini—yaitu enam atau tujuh hari—apakah ia diberi pilihan antara keduanya (takhyīr) atau tidak. Maka terdapat dua wajah (pendapat):
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مُخَيَّرَةٌ بَيْنَ السِّتَّةِ أَوِ السَّبْعَةِ -.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا غَيْرُ مُخَيَّرَةٍ وَإِنَّمَا فَرْضُ الِاجْتِهَادِ إِلَيْهَا فِي حَيْضِ نَظَائِرِهَا مِنْ أَهْلِهَا فَإِنْ كَانَ غَالِبُ حَيْضِهِنَّ سِتًّا فَمَا دُونُ حَيَّضَتْ نَفْسَهَا سِتًّا وَإِنْ كان عَلَى هَذَا الْقَوْلِ فِي السِّتِّ أَوِ السَّبْعِ نفسها معاً ثُمَّ تَصْنَعُ كَذَلِكَ فِي كُلِّ شَهْرٍ فَلَوْ كَانَ أَوَّلُ دَمِهَا الَّذِي رَأَتْهُ أَصْفَرَ ثُمَّ تَعَقَّبَهُ سوادٌ، وَدَخَلَتِ الِاسْتِحَاضَةُ فِي الْحَيْضِ، وَوَجَبَ رَدُّهَا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ إِلَى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، وَفِي الثَّانِي إِلَى سِتٍّ أَوْ سَبْعٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ تُرَدُّ فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ إِلَى زَمَانِ الدَّمِ الْأَصْفَرِ أَوْ إِلَى زَمَانِ الدَّمِ الْأَسْوَدِ، عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ تُرَدُّ إِلَى الدَّمِ الْأَصْفَرِ لِتَقَدُّمِهِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ المروزي ترد إلى الدم الأسود؛ لأنه اختص بدم الحيض، وإذا رُدَّتْ إِلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ كَانَ الْقَدْرُ الَّذِي رُدَّتْ إِلَيْهِ مِنَ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ أو الست أو السبع حيضاً يقيناً لا تقتضي مَا تَرَكَتْ فِيهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَكَانَ مَا بَعْدَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا طُهْرًا يَقِينًا تُصَلِّي وَتَصُومُ وَيَأْتِيهَا زَوْجُهَا، وَفِيمَا بَيْنَهُمَا مِنَ الزَّمَانِ قَوْلَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي الْأُمِّ:
Pendapat pertama: ia diberi pilihan (mukhayyarah) antara enam atau tujuh hari.
Pendapat kedua: ia tidak diberi pilihan, melainkan wajib berijtihad berdasarkan kebiasaan haid perempuan-perempuan semisalnya dari kalangan keluarganya. Jika kebanyakan perempuan sepertinya haid selama enam hari atau kurang, maka ia menetapkan dirinya haid selama enam hari. Jika kebiasaan mereka enam atau tujuh hari secara bersama-sama, maka ia pun memilih demikian dan melakukan hal itu setiap bulan.
Jika darah pertama yang ia lihat berwarna kuning, lalu diikuti oleh darah hitam, dan istihāḍah masuk ke dalam masa haid, lalu wajib ia dikembalikan—menurut salah satu dari dua pendapat—kepada satu hari satu malam, atau—menurut pendapat kedua—kepada enam atau tujuh hari, maka sahabat-sahabat kami berbeda pendapat:
Apakah ia dikembalikan pada waktu keluarnya darah kuning, atau pada waktu keluarnya darah hitam? Maka ada dua wajah:
Pertama: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, bahwa ia dikembalikan kepada darah kuning karena ia yang lebih dahulu muncul.
Kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa ia dikembalikan kepada darah hitam karena darah itulah yang khusus menjadi tanda darah haid.
Jika ia telah dikembalikan kepada salah satu dari dua pendapat tersebut (yakni sehari semalam, atau enam atau tujuh hari), maka kadar hari yang ia kembalikan itu—sehari semalam, atau enam, atau tujuh—dihukumi sebagai haid secara yaqīn, dan ia tidak perlu mengqadha salat yang ditinggalkannya pada hari-hari tersebut.
Adapun hari setelah lima belas hari dihukumi sebagai ṭuhr secara yaqīn, maka ia salat, puasa, dan boleh digauli oleh suaminya.
Sedangkan waktu di antara keduanya—antara masa haid dan masa ṭuhr—maka terdapat dua pendapat yang dinyatakan oleh al-Syāfi‘ī dalam al-Umm:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ طُهْرٌ بِيَقِينٍ تُصَلِّي وَتَصُومُ وَلَا تَقْضِيَ وَيَأْتِيهَا زَوْجُهَا؛ لِأَنَّ رَدَّهَا إِلَى هَذَا الْقَدْرِ يَمْنَعُ مِنْ جَرَيَانِ حُكْمِ الْحَيْضِ عَلَى مَا سِوَاهُ وَهَذَا اخْتِيَارُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَهُوَ أَصَحُّ القولين.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ طُهْرٌ مَشْكُوكٌ فِيهِ لِإِمْكَانِ الْحَيْضِ فِيهِ مَعَ وُجُودِ الدَّمِ، وَهَذَا اخْتِيَارُ أَبِي الْعَبَّاسِ، فَتُصَلِّي وَلَا تَقْضِيَ وَتَصُومُ وَتَقْضِي؛ لِأَنَّ الْحَائِضَ يَلْزَمُهَا قَضَاءُ الصِّيَامِ وَلَا يَلْزَمُهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ فَأُمِرَتْ بِالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ؛ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ طَاهِرًا، وَأُمِرَتْ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، خَوْفًا مِنْ أَنْ تَكُونَ حَائِضًا، وَيُمْنَعُ الزَّوْجُ مِنْ إِتْيَانِهَا، وَكَذَا تُمْنَعُ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَحَمْلِ الْمُصْحَفِ وَدُخُولِ الْمَسْجِدِ فَهَذَا حُكْمُ الْمُبْتَدَأَةِ.
Pendapat pertama: bahwa waktu di antara masa haid dan masa ṭuhr tersebut adalah ṭuhr secara yaqīn—maka ia salat, puasa, tidak wajib qaḍā’, dan suaminya boleh menggaulinya. Karena mengembalikannya kepada jumlah tersebut (sehari semalam, atau enam atau tujuh hari) menghalangi berlakunya hukum haid atas waktu selain itu. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abū Isḥāq al-Marwazī dan merupakan pendapat yang paling ṣaḥīḥ di antara dua pendapat tersebut.
Pendapat kedua: bahwa waktu tersebut adalah ṭuhr yang masih diragukan, karena memungkinkan terjadi haid di dalamnya dengan adanya darah. Ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās. Maka perempuan itu tetap diperintahkan salat dan tidak perlu qaḍā’, serta puasa dan wajib qaḍā’, karena perempuan haid wajib mengqadha puasa dan tidak wajib mengqadha salat.
Maka ia diperintahkan salat dan puasa karena kemungkinan ia sedang suci, dan diperintahkan mengqadha puasa karena kemungkinan ia haid.
Suaminya dilarang menggaulinya, begitu pula ia dilarang membaca Al-Qur’an, membawa mushaf, dan masuk masjid.
Inilah hukum bagi perempuan mubtada’ah.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا النَّاسِيَةُ فَتَنْقَسِمُ حَالُهَا ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ نَاسِيَةً لِقَدْرِ حَيْضِهَا وَوَقْتِهِ.
الْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ نَاسِيَةً لِقَدْرِ حَيْضِهَا ذَاكِرَةً لِوَقْتِهِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ نَاسِيَةً لِوَقْتِ حَيْضِهَا ذَاكِرَةً لِقَدْرِهِ.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ النَّاسِيَةُ لِقَدْرِ حَيْضِهَا وَوَقْتِهِ، فَصُورَتُهُ فِي امْرَأَةٍ اتَّصَلَ دَمُهَا وَاسْتَدَامَ وَهُوَ عَلَى صِفَةٍ وَاحِدَةٍ لَا يَتَمَيَّزُ ولها عادة في الحيض سالفة، قَدْ نَسِيَتْ قَدْرَهَا، وَلَا تَعْلَمُ هَلْ كَانَ يَوْمًا أَوْ خَمْسًا أَوْ عَشْرًا أَوْ خَمْسَةَ عَشَرَ، وَنَسِيَتْ وَقْتَهَا فَلَا تَعْلَمُ هَلْ كَانَ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ وَسَطِهِ أَوْ فِي آخِرِهِ؟ هَلْ كَانَتْ تَحِيضُ فِي كُلِّ شَهْرٍ أَوْ شَهْرَيْنِ أَوْ فِي كُلِّ سَنَةٍ أَوْ سَنَتَيْنِ، فَهَذِهِ يُسَمِّيهَا أَصْحَابُنَا الْمُتَحَيِّرَةُ لِإِشْكَالِ أَمْرِهَا وَتَرَدُّدِهَا بَيْنَ أَمْرَيْنِ مُتَبَايِنَيْنِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، فَقَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَغْلَطُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَيُخْرِجُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْمُبْتَدَأَةِ لَمَّا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ كَلَامُ الشَّافِعِيِّ حَيْثُ يَقُولُ فِي كِتَابِ الْعَدَدِ ” وَإِذَا ابْتَدَأَتْ مُسْتَحَاضَةً أَوْ نَسِيَتْ أَيَّامَ حَيْضِهَا تَرَكَتِ الصَّلَاةَ لِأَقَلِّ مَا تَحِيضُ لَهُ النِّسَاءُ، وَذَلِكَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ ” فَظَنَّ أَنَّهُ أَرَادَ هَذِهِ النَّاسِيَةَ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ أَوَّلَ زَمَانِ حَيْضِهَا مَجْهُولٌ، فَلَا مَعْنَى لِاعْتِبَارِ الِاجْتِهَادِ مَعَ الْجَهْلِ بِالزَّمَانِ، وَلِأَصْحَابِنَا عَمَّا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْعَدَدِ جَوَابَانِ:
PASAL
Adapun perempuan yang nāsiyah (lupa), maka keadaannya terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: ia lupa kadar haidnya dan waktunya.
Kedua: ia lupa kadar haidnya namun masih ingat waktunya.
Ketiga: ia lupa waktu haidnya namun masih ingat kadarnya.
Adapun bagian pertama, yaitu perempuan yang lupa kadar dan waktu haidnya, contohnya adalah: seorang perempuan yang darahnya terus mengalir dan berkesinambungan dengan satu sifat yang tidak bisa dibedakan, dan sebelumnya ia memiliki ‘ādah haid, namun ia lupa berapa jumlahnya—apakah satu hari, lima hari, sepuluh hari, atau lima belas hari.
Ia juga lupa kapan waktunya—apakah di awal bulan, pertengahan, atau akhir bulan; apakah ia haid setiap bulan, dua bulan sekali, setahun sekali, atau dua tahun sekali.
Perempuan seperti ini disebut oleh para sahabat kami sebagai al-mutaḥayyirah, karena keadaan haidnya membingungkan dan ia terombang-ambing antara dua keadaan yang bertentangan.
Dalam kondisi seperti ini, sebagian sahabat kami ada yang keliru dalam masalah ini, lalu mengeluarkannya (mengqiyaskan) kepada dua pendapat sebagaimana pada perempuan mubtada’ah, karena tertipu oleh perkataan al-Syāfi‘ī dalam Kitāb al-‘Adad:
“Jika seorang perempuan memulai dengan istihāḍah atau lupa hari-hari haidnya, maka ia meninggalkan salat selama kadar minimal haid perempuan, yaitu satu hari satu malam.”
Mereka mengira bahwa yang dimaksud adalah perempuan nāsiyah seperti ini, dan ini tidaklah benar. Karena awal waktu haidnya tidak diketahui, maka tidak ada arti untuk ijtihād dalam kondisi ketidaktahuan terhadap waktu.
Adapun jawaban sahabat-sahabat kami terhadap pernyataan al-Syāfi‘ī dalam Kitāb al-‘Adad, maka ada dua:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ الْمُبْتَدَأَةِ وَالنَّاسِيَةِ، وَعَطَفَ بِالْجَوَابِ عَلَيْهِمَا مُرِيدًا لِلْمُبْتَدَأَةِ دُونَ النَّاسِيَةِ وَكَثِيرًا مَا يَفْعَلُ الشَّافِعِيُّ مِثْلَ هَذَا.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ النَّاسِيَةَ لِقَدْرِ حَيْضِهَا إِذَا كَانَتْ ذَاكِرَةً لِوَقْتِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.
فَأَمَّا النَّاسِيَةُ لِلْأَمْرَيْنِ قَدْرًا وَوَقْتًا، فَهِيَ مَجْهُولَةُ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ، وَهِيَ فِي مَحْظُورَاتِ الْحَيْضِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.
قِسْمٌ يَجِبُ عَلَيْهَا اجتنابه، وقسم يجب عليها فعله، وقسم يختلف فيه.
فأما القسم الذي يلزمها اجتنابه فهو حمل المصحف أو دخول الْمَسْجِدِ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِفِي غَيْرِ الصَّلَاةِ وَالتَّطَوُّعِ بِنَفْلِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالطَّوَافِ، فَتُمْنَعُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ؛ خَوْفًا مِنْ أَنْ تَكُونَ حَائِضًا، وَلَيْسَ يَضُرُّهَا تَرْكُهُ إِنْ كانت طاهراً.
فأما القسم الذي يلزمها فعله وهو مَا كَانَ فَرْضًا مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالطَّوَافِ، فَيَلْزَمُهَا فِعْلُهُ؛ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ طَاهِرًا، وَلَيْسَ يسقط فرضه بالشك.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَشَيْئَانِ:
Jawaban pertama: bahwa Imam al-Syāfi‘ī telah menggabungkan antara mubtada’ah dan nāsiyah, lalu mengaitkan hukum dengan keduanya, namun yang beliau maksud hanyalah mubtada’ah saja, bukan nāsiyah. Dan hal seperti ini sering dilakukan oleh al-Syāfi‘ī.
Jawaban kedua: bahwa yang dimaksud oleh al-Syāfi‘ī adalah perempuan yang lupa kadar haidnya tetapi masih ingat waktunya, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
Adapun perempuan yang lupa dua-duanya—baik kadar maupun waktu haidnya—maka ia tergolong perempuan yang haid dan sucinya tidak diketahui. Maka dalam hal-hal yang termasuk perkara yang dilarang bagi perempuan haid, ia berada dalam tiga keadaan:
Pertama, perkara yang wajib ia jauhi,
Kedua, perkara yang wajib ia lakukan,
Ketiga, perkara yang diperselisihkan hukumnya.
Adapun bagian pertama, yaitu yang wajib ia jauhi:
membawa mushaf, masuk masjid, membaca Al-Qur’an di luar salat, salat sunnah (tathawwu‘), puasa sunnah, dan ṭawāf. Maka ia dilarang dari semua ini karena dikhawatirkan ia sedang dalam keadaan haid. Dan meninggalkan semua ini tidak membahayakannya jika ternyata ia dalam keadaan suci.
Adapun bagian kedua, yaitu yang wajib ia lakukan:
semua yang fardu, seperti salat fardu, puasa wajib, dan ṭawāf wajib—semua ini wajib ia lakukan karena bisa jadi ia sedang suci, dan kewajiban tidak gugur hanya karena adanya keraguan.
Adapun bagian ketiga, yaitu yang diperselisihkan hukumnya, terdapat dalam dua hal:
أَحَدُهُمَا: وَطْءُ الزَّوْجِ.
وَالثَّانِي: سُنَنُ الصَّلَوَاتِ الْمُوَظَّفَاتِ، وَفِيهِمَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مَمْنُوعَةٌ مِنْهُمَا وَأَمَّا وَطْءُ الزَّوْجِ فَلَرُبَّمَا صَادَفَ حَيْضًا مَحْظُورًا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تستبيحها بِالشَّكِّ، وَأَمَّا السُّنَنُ مِنَ الصَّلَوَاتِ الرَّاتِبَةِ، فَلِأَنَّ فِعْلَهَا فِي الْحَيْضِ أَغْلَظُ مِنْ تَرْكِهَا فِي الطُّهْرِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا مُمَكَّنَةٌ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْنُوعَةٍ مِنْ فِعْلِهِمَا، أَمَّا وَطْءُ الزَّوْجِ فَلِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُسْتَحِقُّ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا يَقِينًا، فَلَا يَمْنَعُ مِنْهَا شَكٌّ.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَنْعَهُ مِنْهَا مَعَ اسْتِدَامَةِ حَالِهَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مَعَ بَقَاءِ النِّكَاحِ، وَلَيْسَتْ كَالْمُبْتَدَأَةِ إِذَا أُشْكِلَ حَالُهَا؛ لِأَنَّ زَمَانَ الشَّكِّ يَسِيرٌ.
وَأَمَّا السُّنَنُ مِنَ الصَّلَوَاتِ فلأمرين:
أحدهما: أنها تبع لِلْمَفْرُوضَاتِ فِي الْفِعْلِ وَالتَّرْكِ، فَلَمَّا كَانَتْ مَأْمُورَةً بِفِعْلِ الْمَفْرُوضَاتِ صَارَتْ مَأْمُورَةً بِفِعْلِ الْمَسْنُونَاتِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ تَعَارُضَ الشَّكَّيْنِ قَدْ تَقَابَلَا، وَالْأَصْلُ الْأَمْرُ بِالْفِعْلِ.
Pertama dari dua perkara yang diperselisihkan hukumnya adalah:
- Jima‘ (hubungan suami-istri),
- Salat sunnah yang rutin (rawātib).
Dalam kedua hal ini terdapat dua wajah (pendapat):
Wajah pertama: ia dilarang dari keduanya.
Adapun jima‘, karena bisa jadi dilakukan saat ia sedang haid, yang hukumnya haram, maka tidak boleh dibolehkan hanya dengan keraguan.
Adapun salat sunnah rawātib, karena melakukannya saat haid lebih berat dosanya daripada meninggalkannya saat suci.
Wajah kedua: ia diperbolehkan melakukan keduanya, tidak dilarang.
Adapun jima‘, karena dua alasan:
Pertama: suami berhak mendapatkan kenikmatan secara yaqīn, maka tidak dapat dicegah hanya karena syakk.
Kedua: melarang suami dari berjima‘ dengannya secara terus-menerus sementara pernikahan tetap berlangsung adalah sesuatu yang diharamkan. Dan ia tidak seperti mubtada’ah yang masa keraguannya singkat.
Adapun salat sunnah, juga karena dua alasan:
Pertama: salat sunnah merupakan pengikut (turunan) dari salat fardhu, baik dalam pelaksanaan maupun dalam kewajibannya. Ketika ia diperintahkan menunaikan salat fardhu, maka secara otomatis ia juga diperintahkan menunaikan salat sunnah.
Kedua: adanya dua keraguan yang saling berhadapan, dan hukum asalnya adalah perintah untuk melaksanakan amal.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَحْكَامِ هَذِهِ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ فَالْكَلَامُ بَعْدَهَا فِي فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: فِي صِحَّةِ الطَّهَارَةِ.
وَالثَّانِي: فِي إجزأ مَا فَعَلَتْهُ مِنْ عِبَادَةٍ.
فَأَمَّا الطَّهَارَةُ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تَعْرِفَ وَقْتَ غُسْلِهَا حِينَ كَانَ يَنْقَطِعُ دَمُهَا فِيمَا سَلَفَ مِنْ حَيْضِهَا أَمْ لَا فَإِنْ عَرَفَتْهُ، وَإِنَّهُ كَانَ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ اغْتَسَلَتْ فِي غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ كُلِّ يَوْمٍ وَتَوَضَّأَتْ لِمَا سِوَى الْمَغْرِبِ مِنَ الصَّلَوَاتِ؛ لِأَنَّ الْمَغْرِبَ كُلَّ يَوْمٍ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ آخِرَ حَيْضِهَا فَلَزِمَهَا الْغُسْلُ فِيهِ، وَمَا سِوَى الْمَغْرِبِ لَمْ تَجْرِ لَهَا عَادَةٌ بِانْقِطَاعِ الدَّمِ فِيهِ فَلَمْ تَغْتَسِلْ فِيهِ، وَتَوَضَّأَتْ؛ لِأَنَّهَا مُسْتَحَاضَةٌ، وَقَدْ رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَابْنُ عُمَرَ أَنَّالنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ الْمُسْتَحَاضَةَ أَنْ تَغْتَسِلَ مِنْ ظُهْرٍ إِلَى ظُهْرٍ بِالظَّاءِ مُعْجَمَةً، يُرِيدُ بِهِ مَا وَصَفْنَا مِنْ مُسْتَحَاضَةٍ ذَكَرَتْ أَنَّهَا كَانَتْ تَغْتَسِلُ عِنْدَ الظُّهْرِ فَأَمَرَهَا بِالْغُسْلِ فِي ظُهْرِ كُلِّ يَوْمٍ، وَكَانَ بَعْضُهُمْ يَرْوِيهِ مِنْ طُهْرٍ إِلَى طُهْرٍ بالطاء غير معجمة، عِنْدَ تَقَضِّي الْحَيْضِ، وَإِقْبَالِ الطُّهْرِ، وَلِكُلِّ رِوَايَةٍ مِنْهُمَا وَجْهٌ، وَهِيَ فِي مَوْضِعِهَا دَلِيلٌ، وَإِنْ لَمْ يُذْكَرْ وَقْتُ غُسْلِهَا حِينَ كَانَ يَنْقَطِعُ دَمُهَا، وَنَسِيَتْ فَعَلَيْهَا أَنْ تَغْتَسِلَ لِكُلِّ صَلَاةٍ وَتَصْبِرَ إِلَى آخِرِ وَقْتِهَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ وَقْتَ انْقِطَاعِ حَيْضِهَا وَيَكُونُ الْغُسْلُ فِي آخِرِهِ فِي الْوَقْتِ الَّذِي لَا يُمْكِنُهَا بَعْدَ الْغُسْلِ إِلَّا فِعْلُ الصَّلَاةِ لِجَوَازِ أَنْ يَنْقَطِعَ دَمُهَا فِي آخِرِهِ فَلَا يُجْزِئُهَا مَا قَدَّمَتْ فِي أَوَّلِهِ مِنَ الْغُسْلِ وَالصَّلَاةِ، وَقَدْ رَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ كَثِيرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: اسْتُحِيضَتْ حَمْنَةُ بِنْتُ جَحْشٍ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اغْتَسِلِي لِكُلِّ صلاةٍ ” فَهَذَا الْكَلَامُ فِي طَهَارَتِهَا.
PASAL
Setelah ditetapkan hukum-hukum tiga golongan perempuan yang telah dijelaskan, maka pembahasan selanjutnya terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: tentang sahnya ṭahārah (bersuci),
Kedua: tentang keabsahan ibadah yang telah dilakukan olehnya.
Adapun ṭahārah, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
- Apakah ia mengetahui waktu mandi sucinya ketika dulu darahnya terputus saat haid, atau
- Tidak mengetahuinya.
Jika ia mengetahuinya, misalnya ia tahu bahwa darah biasanya terputus saat terbenam matahari, maka ia mandi pada waktu magrib setiap hari, dan cukup berwudu untuk selain salat magrib.
Karena salat magrib setiap hari mungkin merupakan akhir masa haidnya, maka ia wajib mandi pada waktu itu.
Sedangkan selain magrib, tidak ada kebiasaan darah berhenti saat itu, maka tidak wajib mandi, cukup berwudu karena ia berstatus mustaḥāḍah.
Diriwayatkan dari Anas bin Mālik dan Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW memerintahkan perempuan mustaḥāḍah agar mandi “dari ẓuhr ke ẓuhr” (dengan huruf ẓā’ mu‘jamah), maksudnya seperti yang dijelaskan tadi: perempuan yang biasa mandi setiap masuk waktu ẓuhr, maka beliau memerintahkannya untuk mandi di waktu ẓuhr setiap hari.
Sebagian ada yang meriwayatkannya dengan lafaz “dari ṭuhr ke ṭuhr” (dengan huruf ṭā’, tanpa titik), maksudnya saat selesai haid dan datangnya suci.
Kedua riwayat tersebut memiliki makna yang bisa diterima dan menjadi dalil di tempatnya.
Jika ia tidak mengetahui waktu mandinya saat darah biasa terputus, dan ia lupa, maka ia wajib mandi untuk setiap salat, dan menunda pelaksanaan salat hingga akhir waktunya, karena bisa jadi akhir waktu itu adalah saat suci dari haidnya.
Dengan itu, mandi dilakukan di akhir waktu, yaitu saat ia tidak bisa melakukan apa pun setelahnya kecuali salat, karena mungkin darah terputus saat itu. Maka tidak cukup baginya jika ia telah mandi dan salat di awal waktu.
Diriwayatkan oleh Sulaimān bin Kathīr dari al-Zuhrī, dari ‘Urwah, dari ‘Ā’isyah, bahwa ia berkata:
Hamnāh bint Jahsh mengalami istihāḍah, maka Nabi SAW bersabda kepadanya: “Mandilah untuk setiap salat.”
Inilah pembahasan tentang ṭahārah-nya.
(فصل)
: وأما إجزأ مَا فَعَلَتْهُ مِنَ الْعِبَادَاتِ فَهِيَ ثَلَاثُ عِبَادَاتٍ الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالطَّوَافُ.
فَأَمَّا الصَّلَاةُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أصحابنا فيها فالذي عليه جمهورهم أنها تُصَلِّيَ فِي آخِرِ كُلِّ وَقْتٍ مِنْ أَوْقَاتِ الصَّلَوَاتِ صَلَاةً وَاحِدَةً، لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ فِيهِ طَاهِرًا، وَلَا يَلْزَمُهَا إِعَادَتُهَا؛ لِأَنَّهَا إِنْ كَانَتْ طَاهِرًا فَقَدْ أَدَّتْهَا فِي وَقْتِهَا، وَإِنْ كَانَتْ حَائِضًا لَمْ يَلْزَمْهَا قَضَاؤُهَا، وَقَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: عَلَيْهَا أَنْ تُعِيدَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ عِنْدَ غُسْلِ الْمَغْرِبِ، وَتُعِيدُ الْمَغْرِبَ وَعِشَاءَ الْآخِرَةِ عِنْدَ غُسْلِ الصُّبْحِ، قَالَ: لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَنْقَطِعَ دَمُهَا قَبْلَ الْمَغْرِبِ بِرَكْعَةٍ فَتَجِبُ عَلَيْهَا صَلَاةُ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَلَا يُجْزِئُهَا صَلَاتُهَا مِنْ قَبْلُ، وَكَذَلِكَ قَبْلَ الْفَجْرِ بِرَكْعَةٍ فَيَلْزَمُهَا الْمَغْرِبُ وَعِشَاءُ الْآخِرَةِ، وكلا المذهبين عندي مدخول؛ لِأَنَّهَا بِالشَّكِّ فِي الْحَيْضِ مُلْتَزِمَةٌ لِصَلَاةِ الْوَقْتِ مَأْخُوذَةٌ بِأَدَائِهَا عَلَى الْيَقِينِ؛ لِأَنَّ الْفَرْضَ الثَّابِتَ فِي الذِّمَّةِ لَا يَسْقُطُ بِالشَّكِّ فِي الْأَدَاءِ، وهي إذا صلت في أول الوقت جاز أن يكون الطهر في أوله وإذا صلت في وسط الوقت جَازَ أَنْ يَكُونَ الطُّهْرُ فِي أَحَدِ طَرَفَيْهِ فيه فلم ينتقض فعل الصَّلَاةِ الْوَاحِدَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ وَقْتِهَا، إِنَّهَا مُؤَدِّيَةٌ لَهَا بِيَقِينٍ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا تَتْرُكُ تَنْزِيلَيْنِ هُمَا أَغْلَظُ أَحْوَالِهَا فِي الْتِزَامِ فَرْضِ الْوَقْتِ، وَصِفَةُ أَدَائِهَا أَحَدَ التَّنْزِيلَيْنِ أَنْ يَسْتَدِيمَ الطُّهْرُ إِلَى دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ وَإِمْكَانِ أَدَائِهَا ثُمَّ تَحِيضُ فِي بَاقِيهِ فَتَلْزَمُهَا الصَّلَاةُ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا بِالْوُضُوءِ دُونَ الْغُسْلِ؛ لِأَنَّهُ آخِرُ طُهْرِهَا.
PASAL
Adapun tentang keabsahan ibadah yang telah dilakukan oleh perempuan mutaḥayyirah (yang lupa waktu dan kadar haidnya), maka ibadah yang dibahas ada tiga: salat, puasa, dan ṭawāf.
Pertama: Salat.
Ulama mazhab kami berbeda pendapat dalam hal ini.
Mayoritas mereka berpendapat: ia melaksanakan satu salat di akhir setiap waktu salat karena bisa jadi saat itu ia dalam keadaan suci. Ia tidak wajib mengulang salat tersebut karena:
- Jika ternyata ia suci, maka ia telah menunaikannya di waktunya secara sah.
- Jika ternyata ia haid, maka tidak wajib mengqadha salat bagi perempuan haid.
Namun Ibn Surayj berpendapat:
- Ia wajib mengulang salat ẓuhr dan ‘aṣr saat mandi magrib,
- Dan mengulang magrib dan ‘isya’ saat mandi subuh.
Beliau berdalil: mungkin darahnya telah terputus sebelum magrib satu rakaat, sehingga ia wajib menunaikan ẓuhr dan ‘aṣr, dan salat yang ia lakukan sebelumnya tidak sah.
Begitu pula mungkin darah terputus sebelum fajar satu rakaat, sehingga ia wajib menunaikan magrib dan ‘isya’.
Namun kedua mazhab ini (pendapat jumhur dan Ibn Surayj) menurut saya mengandung kelemahan, karena ia—dalam kondisi ragu tentang haid—tetap berkewajiban menunaikan salat waktu tersebut dengan pelaksanaan yang pasti (yaqīn).
Karena kewajiban yang melekat di dalam tanggungan (żimmah) tidak gugur hanya karena syakk dalam pelaksanaannya.
Jika ia salat di awal waktu, bisa jadi saat itu ia suci.
Jika ia salat di pertengahan waktu, maka bisa jadi suci ada di salah satu ujung waktu tersebut.
Maka pelaksanaan salat satu kali dalam satu waktu tidak gugur nilainya, karena ia telah menunaikannya dengan yaqīn.
Pendapat yang ṣaḥīḥ adalah:
- ia meninggalkan dua pendekatan ekstrem,
- dan tetap berpegang pada kewajiban salat yang pasti di waktunya.
Salah satu pendekatan yang ditinggalkan adalah jika suci berlanjut sampai masuk waktu salat, lalu ia haid di sisa waktu tersebut. Maka ia wajib menunaikan salat itu di awal waktunya hanya dengan berwudu, tanpa mandi, karena itu adalah akhir dari masa sucinya.
وَالتَّنْزِيلُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَدِيمَ الْحَيْضُ إِلَى دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ ثُمَّ تَطْهُرُ فِي بَاقِيهِ فَتَلْزَمُهَا الصَّلَاةُ فِي آخِرِ الْوَقْتِ بِالْغُسْلِ دُونَ الْوُضُوءِ؛ لِأَنَّهُ أَوَّلُ طُهْرِهَا؛ فَحَصَلَ مِنْ هَذَيْنِ التَّنْزِيلَيْنِ أَنَّهُ يَلْزَمُهَا إِذَا دَخَلَ وَقْتُ صَلَاةِ الظُّهْرِ أَنْ تُصَلِّيَ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا بِالْوُضُوءِ دُونَ الْغُسْلِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرَ طُهْرِهَا ثُمَّ تُصَلِّيَ فِي آخِرِ الْوَقْتِ صَلَاةً ثَانِيَةً بِالْغُسْلِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ أَوَّلَ طُهْرِهَافَإِذَا دَخَلَ وَقْتُ الْعَصْرِ صَلَّتْ فِي أَوَّلِهِ بِالْوُضُوءِ دُونَ الْغُسْلِ؛ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرَ طُهْرِهَا ثُمَّ أَعَادَتِ الصَّلَاةَ بِالْغُسْلِ فِي آخِرِ وَقْتِهَا، وَقَدْ بَقِيَ مِنْهُ قَدْرُ مَا يَلْزَمُهَا بِهِ صَلَاةُ الْعَصْرِ عَلَى مَا اخْتَلَفَ فِيهِ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ ثُمَّ تُعِيدُ صَلَاةَ الظُّهْرِ ثَالِثَةً فِي آخِرِ وَقْتِ الْعَصْرِ بِالْغُسْلِ لِجَوَازِ أَنْ تبتدي بالظهر فِي آخِرِ وَقْتِ الْعَصْرِ فَيَلْزَمُهَا صَلَاةُ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، فَإِنْ قَدَّمَتِ الْعَصْرَ الثَّانِيَةَ عَلَى الظُّهْرِ الثَّالِثَةِ كَانَ غُسْلُ الْعَصْرِ لَهُمَا وَتَوَضَّأَتْ لِلظُّهْرِ كَالْمُسْتَحَاضَةِ، وَإِنْ قَدَّمَتْ ثَالِثَةَ الظُّهْرِ عَلَى ثَانِيَةِ الْعَصْرِ فَإِنَّ الْغُسْلَ لَهُمَا وَتَوَضَّأَتْ لِلْعَصْرِ، فَإِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ صَلَّتِ الْمَغْرِبَ بِالْغُسْلِ صَلَاةً وَاحِدَةً؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهَا إِلَّا وَقْتٌ وَاحِدٌ فَإِذَا دَخَلَ وَقْتُ عِشَاءِ الْآخِرَةِ صَلَّتْهَا فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا بِالْوُضُوءِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرَ طُهْرِهَا ثُمَّ أَعَادَتْهَا فِي آخِرِ وَقْتِهَا بِالْغُسْلِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرَ طُهْرِهَا وَأَعَادَتْ مَعَهَا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ بِغُسْلِهَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ، لِجَوَازِ أَنْ تَبْتَدِئَ بالطهر في آخر وقت عشاء الآخر فيلزمها صلاة المغرب وعشاء الآخر، وتتوضأ للآخرة منهما، فإذا طلع الفجر صلت الصبح فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا بِالْوُضُوءِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرَ طُهْرِهَا، ثُمَّ أَعَادَتْ فِي آخِرِ وَقْتِهَا بِالْغُسْلِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ أَوَّلَ طُهْرِهَا فَتَصِيرُ مُصَلِّيَةً لِلظُّهْرِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَهِيَ أَغْلَظُ صَلَاتِهَا حكماً عليها مرة في آخر وَقْتِهَا بِالْوُضُوءِ، وَثَانِيَةً فِي آخِرِ وَقْتِهَا بِالْغُسْلِ، وَثَالِثَةً فِي آخِرِ وَقْتِ الْعَصْرِ بِالْغُسْلِ الْوَاحِدِ لَهَا فِي الْعَصْرِ، وَتَصِيرُ مُصَلِّيَةً لِلْعَصْرِ مَرَّتَيْنِ مَرَّةً فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا بِالْوُضُوءِ، وَثَانِيَةً فِي آخِرِ وَقْتِهَا بِالْغُسْلِ وَتَصِيرُ مُصَلِّيَةً لِلْمَغْرِبِ مَرَّتَيْنِ مَرَّةً فِي وَقْتِهَا بِالْغُسْلِ، وَثَانِيَةً فِي آخِرِ وَقْتِ عِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالْغُسْلِ لَهَا، وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ، وَتَصِيرُ مُصَلِّيَةً لِعِشَاءِ الْآخِرَةِ، مَرَّتَيْنِ مَرَّةً بِالْوُضُوءِ، وَثَانِيَةً بِالْغُسْلِ ثُمَّ كَذَلِكَ الصُّبْحُ فَتَصِيرُ مُؤَدِّيَةً لِفَرْضِ الْخَمْسِ يَقِينًا.
dan tanzīl yang kedua: jika darah ḥaiḍ terus mengalir hingga masuk waktu salat, kemudian ia suci di sisa waktunya, maka ia wajib salat di akhir waktu itu dengan mandi tanpa wuḍuʼ; karena itu adalah awal suci baginya. Maka dari dua tanzīl ini, didapatkan bahwa apabila masuk waktu salat ẓuḥur, maka ia wajib salat di awal waktunya dengan wuḍuʼ tanpa mandi karena dimungkinkan itu adalah akhir sucinya, lalu ia salat di akhir waktu dengan mandi karena dimungkinkan itu adalah awal sucinya. Maka jika masuk waktu ʿaṣr, ia salat di awal waktu dengan wuḍuʼ tanpa mandi karena dimungkinkan itu adalah akhir sucinya, lalu ia mengulangi salat itu dengan mandi di akhir waktunya jika masih tersisa waktu yang cukup untuk kewajiban salat ʿaṣr, menurut perbedaan pendapat dalam mazhab al-Syāfiʿī. Lalu ia mengulang salat ẓuḥur untuk ketiga kalinya di akhir waktu ʿaṣr dengan mandi karena dimungkinkan ia memulai salat ẓuḥur di akhir waktu ʿaṣr, sehingga ia wajib melaksanakan salat ẓuḥur dan ʿaṣr. Jika ia mendahulukan ʿaṣr yang kedua atas ẓuḥur yang ketiga, maka mandi ʿaṣr mencukupi untuk keduanya dan ia berwuḍuʼ untuk ẓuḥur sebagaimana keadaan wanita mustaḥāḍah. Namun jika ia mendahulukan ẓuḥur yang ketiga atas ʿaṣr yang kedua, maka mandinya untuk keduanya dan ia berwuḍuʼ untuk salat ʿaṣr.
Jika matahari telah terbenam, maka ia salat magrib dengan mandi sekali karena magrib hanya memiliki satu waktu. Jika masuk waktu isyāʼ terakhir, ia salat di awal waktunya dengan wuḍuʼ karena dimungkinkan itu adalah akhir sucinya, kemudian ia mengulangi salat itu di akhir waktunya dengan mandi karena dimungkinkan itu adalah awal sucinya, dan ia mengulangi bersama salat isyāʼ itu juga salat magrib dengan mandi yang digunakan untuk isyāʼ terakhir, karena dimungkinkan ia memulai suci di akhir waktu isyāʼ terakhir, maka ia wajib salat magrib dan isyāʼ terakhir. Ia berwuḍuʼ untuk yang terakhir dari keduanya. Jika telah terbit fajar, maka ia salat subuh di awal waktunya dengan wuḍuʼ karena dimungkinkan itu adalah akhir sucinya, kemudian ia mengulanginya di akhir waktunya dengan mandi karena dimungkinkan itu adalah awal sucinya.
Dengan demikian, ia menjadi melaksanakan salat ẓuḥur sebanyak tiga kali, dan itu adalah salat yang paling berat baginya secara hukum: sekali di akhir waktunya dengan wuḍuʼ, kedua di akhir waktunya dengan mandi, dan ketiga di akhir waktu ʿaṣr dengan satu mandi yang mencakup salat ʿaṣr. Ia menjadi melaksanakan salat ʿaṣr dua kali: sekali di awal waktunya dengan wuḍuʼ, dan kedua di akhir waktunya dengan mandi. Ia menjadi melaksanakan salat magrib dua kali: sekali di waktunya dengan mandi, dan kedua di akhir waktu isyāʼ terakhir dengan mandi yang sama untuk magrib dan isyāʼ terakhir. Ia juga melaksanakan isyāʼ terakhir dua kali: sekali dengan wuḍuʼ, dan kedua dengan mandi. Demikian pula salat subuh. Maka ia menjadi telah menunaikan lima salat fardu secara yaqīn.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا الصِّيَامُ فَإِذَا أَهَّلَ شَهْرُ رَمَضَانَ صَامَتْ جَمِيعَهُ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ طَاهِرَةً قَالَ أَصْحَابُنَا: فَإِذَا صَامَتْهُ اعْتَدَّتْ مِنْهُ بِصِيَامِ نِصْفِهِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَأَعَادَتْ صوم خمسة عشرة يَوْمًا فِي شَهْرٍ آخَرَ؛ لِأَنَّ أَسْوَأَ أَحْوَالِهَا أَنْ تَكُونَ فِي نِصْفِ شَهْرِهَا حَائِضًا وَفِي نِصْفِهِ طَاهِرًا فَكَذَلِكَ اعْتَدَّتْ مِنْ فَرْضِهَا بِصَوْمِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا لِأَنَّهُ أَقَلُّ طُهْرِهَا فِيهِ، وإعادة صَوْمَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا لِأَنَّهُ أَكْثَرُ حَيْضِهَا فِيهِ وَلَيْسَ يَتَعَيَّنُ لَهَا مَا تَعْتَدُّ بِصَوْمِهِ مِنْ رَمَضَانَ؛ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَوَّلِهِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ وَسَطِهِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي آخِرِهِ، وَلَا يَكُونُ جَهْلُهَا بِتَعْيِينِهِ مُؤَثِّرًا فِي صِحَّةِ الِاحْتِسَابِ بِهِ، فَهَذَا مَا أَطْلَقَهُ أَصْحَابُنَا مِنِ احْتِسَابِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْهُ. قُلْتُ أَنَا: وَهَذَا الْإِطْلَاقُ عِنْدِي لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ لَهَا حَالَيْنِ حَالٌ يُعْلَمُ أَنَّ حَيْضَهَا قَدْ كَانَ يَبْتَدِئُ بِهَا قَبْلَ الْفَجْرِ فَيَكُونُ الْجَوَابُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الِاحْتِسَابِ بِخَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنَ الشَّهْرِ الْكَامِلِ لما ذكره مِنَ التَّعْلِيلِ، وَحَالٌ يُجْهَلُ الْوَقْتُ الَّذِي كَانَ يبتدئ فيه حيضها ولايعلم هَلْ كَانَ قَبْلَ الْفَجْرِ أَوْ بَعْدَهُ فَهَذِهِ لَا تُحْتَسَبُ مِنْ صَوْمِ شَهْرِهَا الْكَامِلِ إِلَّا بِأَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ بِهَا الْحَيْضُ فِي تَضَاعِيفِ الْيَوْمِ مِنْ نِصْفِهِ، وَيَسْتَدِيمُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَيَكُونُ آخِرُهُ نِصْفُ السَّادِسَ عَشَرَ فَيَبْطُلُ صَوْمُ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ لِوُجُودِ الْحَيْضِ فِيهِ، وَصَوْمُ أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا بَعْدَهُ كَامِلَةً، وَصَوْمُ الْيَوْمِ السَّادِسَ عَشَرَ بَاطِلٌ؛ لِوُرُودِ الْحَيْضِ فِيهِ، وَيَصِحُّ لَهَا صَوْمُ مَا سِوَاهُ وَهُوَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا إِنْ كَانَ الشَّهْرُ كَامِلًا؛ وَثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا إِنْ كَانَ الشَّهْرُ نَاقِصًا، وَيَلْزَمُهَا قَضَاءُ سِتَّةَ عَشَرَ يَوْمًا عَلَى مَا وَصَفْنَا، فَإِذَا صَامَتْ شَهْرًا لِلْقَضَاءِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ كَامِلًا احْتُسِبَ مِنْهُ بِأَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَبَقِيَ عَلَيْهَا قَضَاءُ يَوْمَيْنِ فَتَقْضِيهِمَا عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فَإِنْ كَانَ نَاقِصًا احْتَسَبَتْ مِنْهُ بِثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَبَقِيَ عَلَيْهَا قَضَاءُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، وَأَمَّا صِيَامُ الْأَيَّامِ الْمُفْرَدَةِ، فَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ يَوْمٍ وَاحِدٍ. قَالَ أَصْحَابُنَا صَامَتْ يَوْمًا وَاحِدًا وَأَمْسَكَتْ أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَتْ يَوْمًا ثَانِيًا، لِيَكُونَ أَحَدُ الْيَوْمَيْنِ مُصَادِفٌ الطُّهْرَ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّهَا إِنْ كَانَتْ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ حَائِضًا، فَأَسْوَأُ أَحْوَالِهَا أَنْ يَكُونَ ذلك اليوم أول حيضها، وتستديم خمسة عشرة يَوْمًا فَيَكُونُ الْيَوْمُ الْآخِرُ الَّذِي صَامَتْهُ بَعْدَ إمساك أربعة عشر يوماً طهر بِيَقِينٍ، وَإِنْ كَانَتْ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ طَاهِرًا فَقَدْ أَجْزَأَهَا صَوْمُهُ، وَلَا يَضُرُّهَا صَوْمُ الْيَوْمِ الْآخِرِ وَإِنْ صَادَفَ حَيْضًا قَالُوا: فَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ يَوْمَيْنِ صَامَتْهُمَا ثُمَّ أَمْسَكَتْ ثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَهُوَ عَدَدٌ يُكْمِلُ مَعَ أَيَّامِ الصَّوْمِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، ثُمَّ تَصُومُ بَعْدَ ذلك يومين آخرين ليكون أحد الطوافين عَلَى مَا تَقَدَّمَ وَمِنَ التَّعْلِيلِ مُصَادِفًا لِطُهْرٍ بِيَقِينٍ فَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ثُمَّ أَمْسَكَتْ عَنِ الصِّيَامِ اثْنَيْ عَشَرَ يَوْمًا ثم صامت ثلاثة أيام بعدها فيكون أحد الطوافين مُصَادِفًا لِطُهْرٍ بِيَقِينٍ، فَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ صَامَتْهَا، وَأَمْسَكَتْ أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَتْ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ أُخَرَ، وَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ خَمْسَةِ أَيَّامٍ صَامَتْهَا، وَأَمْسَكَتْ عَشَرَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ صَامَتْ خَمْسَةَ أَيَّامٍ وَأَمْسَكَتْ عَشَرَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ صَامَتْ خَمْسَةَ أَيَّامٍ أُخَرَ، وَهَكَذَا يَكُونُ فِيمَا زَادَ مِنَ الْأَيَّامِ عَلَى هَذَا الْعَدَدِ تُصُومُهَا وَتُمْسِكُ مَا بَعْدَهَا مِنَ الْأَيَّامِ مَا يَسْتَكْمِلُ مَعَهَا تَمَامَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، ثُمَّ تُعِيدُ صِيَامَ تِلْكَ الْأَيَّامِ مِنْ بَعْدِهِ، وَهَذَا الْإِطْلَاقُ مِنْ أَصْحَابِنَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ أَيْضًا، وإنما يصح ممن علمت أن حَيْضِهَا بَعْدَ الْفَجْرِ فَلَا يُجْزِئُهَا فِي الْقَضَاءِ مَا وَصَفُوهُ؛ لِأَنَّهَا إِذَا صَامَتْ لِقَضَاءِ يَوْمٍ يكون ابتداء حَيْضَهَا يَبْتَدِئُ بِهَا قَبْلَ الْفَجْرِ، فَأَمَّا مَنْ لَمْ تَعْلَمْ ذَاكَ مِنْ حَالِهَا وَجَوَّزَتْ أَنْيَوْمَيْنِ بَيْنَهُمَا أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا جَازَ أَنْ يَكُونَ ابْتِدَاءُ حَيْضِهَا مِنْ نِصْفِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ الَّذِي صَامَتْهُ، وَآخِرُهُ نِصْفَ الْيَوْمِ الْأَخِيرِ الَّذِي صَامَتْهُ تَكْمِلَةَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا؛ فَلَا يُجْزِئُهَا صَوْمُ وَاحِدٍ مِنَ الْيَوْمَيْنِ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْحَيْضُ مَوْجُودًا فِيهِمَا، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْوَجْهُ الَّذِي يَسْلَمُ بِهِ مِنْ هَذَا الِاحْتِمَالِ، وَيُؤَدِّي فَرْضَ صَوْمِهَا بِيَقِينٍ أَنْ تَزِيدَ فِي صَوْمِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الطَّرَفَيْنِ عَلَى الْعَدَدِ الَّذِي يَزِيدُ قَضَاؤُهُ مِنَ الْأَيَّامِ صَوْمَ يوم واحد زائداً على ذلك العدد لتجرية مَا وَصَفْنَا مِنَ الِاحْتِمَالِ، فَإِذَا كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ يَوْمٍ وَاحِدٍ صَامَتْ يَوْمَيْنِ، وَأَمْسَكَتْ ثَلَاثَةَ عشر يوماً، ثُمَّ صَامَتْ يَوْمَيْنِ آخَرَيْنِ فَيَصِحُّ لَهَا مِنْ هَذِهِ الْأَرْبَعَةِ أَيَّامٍ يَوْمٌ وَاحِدٌ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ حَيْضُهَا فِي نِصْفِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِنَ الصِّيَامِ الْأَوَّلِ، كَانَ آخِرُهُ نِصْفَ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِنَ الصِّيَامِ الْآخَرِ أَجْزَأَهَا صَوْمُ مَا بَعْدَهُ مِنَ الْيَوْمِ الثَّانِي؛ لِمُصَادَفَتِهِ طُهْرًا أَوْ إِنْ كَانَ أَوَّلُ حَيْضِهَا نِصْفَ الْيَوْمِ الثَّانِي مِنَ الصِّيَامِ الْأَوَّلِ، كَانَ آخِرُهُ نِصْفَ الْيَوْمِ الثَّانِي مِنَ الصِّيَامِ الثَّانِي، فَسَلِمَ لَهَا نِصْفُ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ؛ لِمُصَادَفَتِهِ طُهْرًا، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ يَوْمَيْنِ صَامَتْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَأَمْسَكَتِ اثْنَيْ عَشَرَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَتْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ كَانَ أَوَّلُ حَيْضِهَا نِصْفَ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِنَ الصِّيَامِ فَآخِرُهُ نِصْفُ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِنَ الصِّيَامِ الْآخَرِ فَأَجْزَأَهَا الْيَوْمَانِ بَعْدَهُ الثَّانِي وَالثَّالِثُ وَإِنْ كَانَ أَوَّلُ حَيْضِهَا نِصْفَ الْيَوْمِ الثَّانِي مِنَ الصِّيَامِ الْأَوَّلِ فَآخِرُهُ نِصْفُ الْيَوْمِ الثَّانِي مِنَ الصِّيَامِ الْأَخِيرِ فَأَجْزَأَهَا صَوْمُ الْيَوْمِ الأول، لتقدمه على الحيض وصوم الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِنَ الصِّيَامِ الْأَوَّلِ؛ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى الْحَيْضِ وَصَوْمُ الْيَوْمِ الثَّالِثِ مِنَ الصِّيَامِ الْأَخِيرِ لِتَأَخُّرِهِ عَنِ الْحَيْضِ، وَإِنْ كَانَ أَوَّلُ حَيْضِهَا نصف اليوم الثالث مِنَ الصِّيَامِ الْأَوَّلِ فَآخِرُهُ نِصْفُ الْيَوْمِ الثَّالِثِ مِنَ الصِّيَامِ الْأَخِيرِ، فَأَجْزَأَهَا صَوْمُ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ وَالثَّانِي مِنَ الصِّيَامِ الْأَوَّلِ، فَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ صَامَتْ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ وَأَمْسَكَتْ أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَتْ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ، لِيَسْلَمَ لَهَا صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي أَحَدِ الطَّرَفَيْنِ، وَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ صَامَتْ خَمْسَةَ أَيَّامٍ، وَأَمْسَكَتْ عَشَرَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ صَامَتْ خَمْسَةَ أَيَّامٍ، فَيَصِحُّ لَهَا صَوْمُ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ مِنْ عَشَرَةِ أَيَّامٍ، وَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ خَمْسَةِ أَيَّامٍ صَامَتْ سِتَّةَ أَيَّامٍ، وَأَمْسَكَتْ تِسْعَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ صَامَتْ سِتَّةَ أَيَّامٍ، فَيَصِحُّ لَهَا صَوْمُ خَمْسَةِ أَيَّامٍ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ يَوْمًا، ثُمَّ عَلَى قِيَاسِ هَذَا يَكُونُ الْحُكْمُ فِي صَوْمِ مَا زَادَ عَلَى هَذَا الْعَدَدِ بِأَنْ تَصُومَهُ مَعَ يَوْمٍ زَائِدٍ ثُمَّ تُمْسِكُ تَمَامَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا ثُمَّ تُعِيدُ صَوْمَ تِلْكَ الْأَيَّامِ مَعَ الْيَوْمِ الزَّائِدِ فَيَسْلَمُ لَهَا صَوْمُ تِلْكَ الْأَيَّامِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Adapun puasa, apabila bulan Ramadan telah masuk, maka ia berpuasa penuh seluruhnya karena ada kemungkinan ia dalam keadaan suci. Para aṣḥāb kami berkata: apabila ia telah berpuasa, maka ia menghitung dari Ramadan itu sebanyak lima belas hari sebagai puasa yang sah, dan mengulangi puasa lima belas hari lagi di bulan lain; karena kondisi terburuknya adalah separuh bulan ia ḥaiḍ dan separuhnya lagi ia suci. Maka demikian pula ia menghitung dari kewajiban puasanya sebanyak lima belas hari sebagai bagian dari masa sucinya yang paling sedikit, dan ia mengulang puasa lima belas hari karena itu masa ḥaiḍ-nya yang paling panjang.
Dan tidak ditentukan dari bagian mana Ramadan ia memperhitungkan puasa: bisa dari awalnya, bisa dari pertengahannya, bisa pula dari akhirnya. Tidak diketahuinya bagian tersebut tidak memengaruhi keabsahan penghitungan puasanya. Maka inilah pendapat mutlak yang disebutkan oleh aṣḥāb kami mengenai dihitungnya lima belas hari dari Ramadan.
Aku (pengarang) berkata: pendapat mutlak ini menurutku tidak benar, karena ia memiliki dua keadaan:
Pertama, jika diketahui bahwa ḥaiḍ-nya dimulai sebelum fajar, maka jawabannya seperti yang telah lewat, yaitu memperhitungkan lima belas hari dari bulan penuh, sebagaimana alasan yang telah disebut.
Kedua, jika tidak diketahui kapan ḥaiḍ-nya mulai, apakah sebelum fajar atau sesudahnya, maka dalam hal ini ia tidak boleh menghitung dari bulan penuh kecuali empat belas hari saja; karena bisa jadi ḥaiḍ itu dimulai pada pertengahan hari dari lima belas hari tersebut dan terus berlangsung selama lima belas hari, sehingga akhirnya jatuh pada pertengahan hari keenam belas. Maka puasanya pada hari pertama batal karena ada ḥaiḍ di dalamnya, dan empat belas hari setelahnya sah, serta hari keenam belas batal juga karena terkena ḥaiḍ. Maka yang sah hanyalah empat belas hari bila bulan itu lengkap, dan tiga belas hari jika bulan itu kurang. Maka ia wajib mengqadha enam belas hari seperti yang telah dijelaskan.
Apabila ia berpuasa sebulan penuh untuk qadha, maka dilihat:
- Jika bulan itu lengkap, maka dihitung empat belas hari darinya, dan tersisa dua hari yang harus diqadha, yang akan dijelaskan nanti.
- Jika bulan itu kurang, maka dihitung tiga belas hari darinya, dan tersisa tiga hari lagi yang harus diqadha.
Adapun puasa hari-hari ganjil (satu hari, dua hari, dst), jika ia hanya wajib puasa satu hari saja, maka para aṣḥāb kami berkata: ia puasa satu hari, lalu berhenti selama empat belas hari, kemudian puasa satu hari lagi, agar salah satu dari dua hari tersebut bertepatan dengan masa suci secara yaqīn; karena jika hari pertama ia sedang ḥaiḍ, maka keadaan terburuknya adalah itu adalah awal ḥaiḍ-nya dan berlangsung lima belas hari, sehingga hari kedua setelah menunggu empat belas hari pasti masa suci. Jika ia ternyata suci di hari pertama, maka puasa hari itu sah, dan tidak membahayakannya puasa hari kedua meskipun bertepatan dengan ḥaiḍ.
Jika ia wajib puasa dua hari, maka ia puasa dua hari, kemudian berhenti tiga belas hari (agar bersama puasa menjadi lima belas hari), lalu puasa dua hari lagi setelah itu agar salah satu dari dua putaran itu (awal dan akhir) bertepatan dengan masa suci secara yaqīn berdasarkan alasan yang telah disebut.
Jika ia wajib puasa tiga hari, maka ia berhenti dari puasa selama dua belas hari, lalu puasa tiga hari setelah itu, agar salah satu dari dua putaran puasa itu bertepatan dengan masa suci secara yaqīn.
Jika ia wajib puasa empat hari, maka ia puasa empat hari, lalu berhenti sebelas hari, lalu puasa empat hari lagi.
Jika ia wajib puasa lima hari, maka ia puasa lima hari, lalu berhenti sepuluh hari, kemudian puasa lima hari lagi, lalu kembali berhenti sepuluh hari, lalu puasa lima hari lagi.
Dan demikian pula, jika jumlah hari puasa yang wajib melebihi angka-angka tersebut, maka ia puasa sejumlah itu ditambah satu hari, lalu berhenti hingga genap lima belas hari, lalu ulangi puasa hari-hari itu bersama hari tambahan agar ia yakin telah sah berpuasa hari-hari itu.
Dan pendapat mutlak dari aṣḥāb kami ini pun tidak benar, kecuali bagi orang yang mengetahui bahwa ḥaiḍ-nya dimulai setelah fajar. Maka tidak mencukupi baginya cara qadha sebagaimana yang mereka gambarkan, karena jika ia berpuasa untuk qadha satu hari dan ternyata ḥaiḍ-nya mulai sebelum fajar, maka puasa itu tidak sah.
Adapun wanita yang tidak mengetahui keadaan dirinya dan memungkinkan ḥaiḍ-nya dimulai di pertengahan hari pertama dari dua hari yang ia puasa, dan berakhir di pertengahan hari kedua, maka bisa jadi keduanya terkena ḥaiḍ, dan tidak sah salah satunya. Maka cara yang paling selamat untuk keluar dari kemungkinan ini dan memastikan bahwa puasanya sah secara yaqīn adalah dengan menambahkan satu hari puasa di setiap ujung dari dua sisi. Maka jika ia wajib puasa satu hari, ia puasa dua hari, lalu berhenti tiga belas hari, lalu puasa dua hari lagi. Maka dari empat hari ini, satu hari darinya sah secara yaqīn. Dan seterusnya berdasarkan pola ini:
- Jika wajib puasa dua hari → puasa tiga hari, berhenti dua belas hari, lalu puasa tiga hari lagi
- Jika wajib puasa tiga hari → puasa empat hari, berhenti sebelas hari, lalu puasa empat hari lagi
- Jika wajib puasa empat hari → puasa lima hari, berhenti sepuluh hari, lalu puasa lima hari lagi
- Jika wajib puasa lima hari → puasa enam hari, berhenti sembilan hari, lalu puasa enam hari lagi
Maka akan sah baginya dari semua itu jumlah hari yang ia wajib qadha secara yaqīn. Begitulah hukum dalam puasa yang lebih dari jumlah tersebut: ia menambahkan satu hari, lalu berhenti selama lima belas hari, kemudian mengulang puasa bersama hari tambahan tersebut. Maka dengan itu, ia telah menunaikan puasanya dengan sah. Wallāhu aʻlam.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الطَّوَافُ إِذَا كَانَ وَاجِبًا عَلَيْهَا فَأَرَادَتْ فَعَلَيْهَا أَنْ تَطُوفَ ثُمَّ تُمْسِكَ تَمَامَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مَعَ أَوَّلِ سَاعَةٍ بَدَأَتْ فِيهَا بِالطَّوَافِ ثُمَّ تَطُوفُ عُقَيْبَ ذَلِكَ طَوَافًا ثَانِيًا فَيَصِحُّ لَهَا أَحَدُ الطَّوَافَيْنِ مِثَالٌ: أَنْ تَكُونَ قَدْ بَدَأَتْ بِالطَّوَافِ مَعَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَتُمْسِكُ إِلَى زَوَالِ الشَّمْسِ مِنَ الْيَوْمِ الْخَامِسِ عَشَرَ ثُمَّ تَطُوفُ ثَانِيَةً عُقَيْبَ الزَّوَالِ سَوَاءً عَلِمَتْ أَنَّ حَيْضَهَا يَبْتَدِئُ قَبْلَ الْفَجْرِ أَوْ لَمْ تَعْلَمْ بِخِلَافِ الصِّيَامِ؛ لِأَنَّ صَوْمَ الْيَوْمِ مَعَ وُجُودِ الْحَيْضِ فِي بَعْضِهِ لَا يَصِحُّ، وَالطَّوَافُ فِي يَوْمٍ قَدْ كَانَتْ حَائِضًا فِي بَعْضِهِ يَصِحُّ، فَإِذَا فَعَلَتْ مَا وَصَفْنَا كَانَ أَحَدُ الطَّوَافَيْنِ مُصَادِفًا لِطُهْرٍ بِيَقِينٍ، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ الْأَوَّلُ فِي أَوَّلِ حَيْضِهَا كَانَ الثَّانِي فِي أَوَّلِ طُهْرِهَا وَإِنْ كَانَالْأَوَّلُ فِي وَسَطِ الْحَيْضِ كَانَ الثَّانِي فِي وَسَطِ الطُّهْرِ، فَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ فِي الطُّهْرِ فهو المجزئ، ولا تضر مُصَادَفَةُ الثَّانِي لِلْحَيْضِ، فَأَمَّا إِنْ أَرَادَتْ طَوَافًا غَيْرَ وَاجِبٍ، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
PASAL
Adapun ṭawāf, apabila ia wajib baginya lalu ia ingin melaksanakannya, maka wajib atasnya untuk ṭawāf terlebih dahulu, kemudian menahan diri selama lima belas hari penuh terhitung dari jam pertama ia mulai ṭawāf, lalu setelah itu ia ṭawāf kembali, maka sah salah satu dari dua ṭawāf tersebut baginya.
Contohnya: jika ia mulai ṭawāf saat matahari tergelincir (zawāl), maka ia menahan diri sampai zawāl matahari pada hari kelima belas, lalu ṭawāf kedua sesudah zawāl tersebut — baik ia mengetahui bahwa ḥaiḍ-nya dimulai sebelum fajar atau tidak mengetahuinya. Hal ini berbeda dengan puasa; karena puasa pada hari yang di dalamnya terdapat ḥaiḍ walau hanya sebagian waktunya tidak sah, sedangkan ṭawāf pada hari yang sebagian waktunya ia sedang ḥaiḍ tetap sah.
Maka apabila ia melakukan seperti yang kami jelaskan, niscaya salah satu dari dua ṭawāf tersebut pasti bertepatan dengan masa suci secara yaqīn. Karena jika ṭawāf pertama dilakukan di awal masa ḥaiḍ, maka ṭawāf kedua dilakukan di awal masa suci. Dan jika ṭawāf pertama dilakukan di pertengahan masa ḥaiḍ, maka ṭawāf kedua berada di pertengahan masa suci. Jika ṭawāf pertama dilakukan dalam keadaan suci, maka itulah yang mencukupi, dan tidak membahayakan jika ṭawāf kedua bertepatan dengan masa ḥaiḍ.
Adapun jika ia menginginkan ṭawāf yang tidak wajib, maka hal itu terbagi menjadi dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَبْتَدِئَ بِهِ تَطَوُّعًا مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ فَلَا يَجُوزُ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ مِنَ الْإِشْكَالِ، كَمَا لَا يجوز أن تتطوع بالصلاة وَإِنْ كَانَ مَسْنُونًا لَهُ سَبَبٌ رَاتِبٌ فَعَلَى ضربين:
أحدهما: أن يلزمه فِي تَرْكِهِ جُبْرَانُ دَمٍ كَطَوَافِ الْوَدَاعِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، فَلَهَا أَنْ تَطُوفَهُ عَلَى مَا وَصَفْنَا وَلَا تُمْنَعَ مِنْهُ، لِمَا يَتَعَلَّقُ بِذِمَّتِهَا من دم الجبران.
والضرب الثاني: أن يَلْزَمَ فِي تَرْكِهِ دَمٌ، كَطَوَافِ الْقُدُومِ فَهَلْ تُمْنَعُ مِنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ كَالْمَسْنُونَاتِ مِنَ الصَّلَوَاتِ الْمُوَظَّفَاتِ هَذَا حُكْمُ النَّاسِيَةِ لِقَدْرِ حَيْضِهَا وَوَقْتِهِ حَتَّى خَرَجَ بِنَاءُ الِاسْتِيفَاءِ إِلَى الإطالة التي أنالها كاره لكن ما اقتضت إِبَانَةُ الْمَشْرُوحِ كَانَ إِغْفَالُهُ تَقْصِيرًا وَتَرْكُهُ عَجْزًا.
Pertama, jika ia memulai ṭawāf secara ṭawwaʿan (sukarela) tanpa sebab, maka ṭawāf itu tidak boleh dilakukan dalam keadaan yang penuh keraguan ini — sebagaimana tidak dibolehkan shalat sunnah dalam keadaan serupa.
Namun jika ṭawāf tersebut sunnah yang memiliki sebab tetap, maka ada dua bentuk:
- Pertama, jika meninggalkannya mengharuskan denda dam sebagai pengganti, seperti ṭawāf wadaʿ menurut salah satu dari dua pendapat, maka ia boleh melaksanakannya sesuai dengan penjelasan sebelumnya dan tidak dilarang melakukannya, karena hal itu berkaitan dengan kewajiban dam atas tanggungannya.
- Kedua, jika meninggalkannya mengharuskan dam (namun tidak sebagai pengganti), seperti ṭawāf qudūm, maka apakah ia dilarang melakukannya atau tidak? Ada dua wajah pendapat dalam hal ini, seperti halnya salat-salat sunnah muwāẓẓafah (yang teratur).
Demikianlah hukum bagi wanita yang lupa kadar dan waktu ḥaiḍ-nya, hingga penyusunan pembahasan menjadi panjang — yang aku sendiri tidak menyukainya, namun karena tuntutan penjelasan terhadap persoalan yang disampaikan, maka mengabaikannya adalah bentuk kekurangan, dan meninggalkannya adalah kelemahan.
(فَصْلٌ)
: فِي الْقِسْمِ الثَّانِي مِنْ أَقْسَامِ النَّاسِيَةِ وَهِيَ النَّاسِيَةُ لِقَدْرِ حَيْضِهَا الذَّاكِرَةُ لِوَقْتِهِ، وَإِذَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ أَعْلَمُ أَنَّ لِي مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً لَكِنِّي نَاسِيَةٌ لِقَدْرِهَا فَلَا أَعْلَمُ أَيَوْمٌ هِيَ أَمْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فهذه في حكم المبتدأة في أن يحيض في أو كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً، وَفِي قَدْرِ مَا تُرَدُّ إِلَيْهِ مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ قَوْلَانِ كَمَا ذَكَرْنَا فِي الْمُبْتَدَأَةِ:
PASAL
Tentang bagian kedua dari kelompok wanita yang lupa (nāsiyah), yaitu wanita yang lupa kadar ḥaiḍ-nya tetapi masih ingat waktu mulainya.
Apabila seorang wanita berkata, “Aku tahu bahwa setiap awal bulan aku mengalami ḥaiḍ, namun aku lupa berapa lamanya — apakah satu hari atau lima belas hari?”, maka wanita ini dihukumi seperti mubtadaʼah (wanita yang baru pertama kali mengalami ḥaiḍ) dalam hal bahwa ia benar-benar mengalami ḥaiḍ di awal setiap bulan.
Adapun mengenai berapa hari ia dikembalikan dalam kadar ḥaiḍ-nya, maka terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan mubtadaʼah:
- Pertama, ia dikembalikan kepada kadar minimal ḥaiḍ, yaitu satu hari satu malam.
- Kedua, ia dikembalikan kepada kadar pertengahan, yaitu enam atau tujuh hari.
أَحَدُهَا: تُرَدُّ إِلَى أَقَلِّ الْحَيْضِ يوم وليلة.
والثاني: ترد إلى وسطه ست أو سبع، وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، وَقَالَ أبو حنيفة تُرَدُّ إِلَى أَكْثَرِ الْحَيْضِ، وَذَلِكَ عَشَرَةُ أَيَّامٍ عِنْدَهُ؛ لِأَنَّ مَا تَجَاوَزَهَا مُخْتَصٌ بِالْإِشْكَالِ دُونَ مَا حَلَّ فِيهَا، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِحَمْنَةَ ” تَحِيضِي فِي عِلْمِ اللَّهِ سِتًّا أَوْ سَبْعًا ” وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ عَادَتُهَا مُعْتَبَرَةً عِنْدَ وُجُودِهَا اقْتَضَى أَنْ تَكُونَ عَادَةُ غَيْرِهَا مُعْتَبَرَةً عِنْدَ عَدَمِهَا، اسْتِدْلَالًا بِأَقَلِّ الْحَيْضِ وَأَكْثَرِهِ، وَلِأَنَّ الِاحْتِيَاطَ لِفَرْضِ الصَّلَاةِ يَقْتَضِي أَحَدَ أَمْرَيْنِ إِمَّا اعْتِبَارُ الْيَقِينِ، وَذَلِكَ أَقَلُّ الْحَيْضِ، وَإِمَّا اعْتِبَارُ الْغَالِبِ، وَذَلِكَ أَكْثَرُ الْحَيْضِ فَأَمَّا اعْتِبَارُ أَكْثَرِهِ فَخَارِجٌ عَنِ الِاحْتِيَاطِ؛ لِفَرْضِ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَكُونُ التَّفْرِيعُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ عَلَى مَا مَضَى فِي الْمُبْتَدَأَةِ مِنْ أَنَّ الزَّمَانَ الَّذِي رُدَّتْ إِلَيْهِ حَيْضٌ بِيَقِينٍ، وَمَا بَعْدَهُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا طُهْرٌ بِيَقِينٍ وَفِيمَا بَيْنَهُمَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: طُهْرٌ بقين.
وَالثَّانِي: مَشْكُوكٌ فِيهِ فَيَمْتَنِعُ الزَّوْجُ مِنْ وَطْئِهَا، فيِهِ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِقُرْبِ زَمَانِهِ، وَهَلْ يَمْنَعُ مِنْ فِعْلِ الصَّلَوَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ مِنَ الْمَسْنُونَاتِ مَعَهَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ، فَلَوْ قَالَتْ أَعْلَمُ أَنَّ لِي فِي أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ ثلاثة أيام حيض وشك فِي الزِّيَادَةِ عَلَيْهَا، فَهَذِهِ أَيْضًا عَلَىقولين إن اعْتَبَرْنَا الْيَقِينَ في رد هذه إلى ثلاثة أيام وإن اعتبرنا الغالب تلك رددناها إِلَى سِتٍّ أَوْ سَبْعٍ وَهَكَذَا لَوْ قَالَتْ أَتَيَقَّنُ خَمْسًا مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ، وَأَشُكُّ فِي الزِّيَادَةِ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ تُرَدُّ إِلَى خَمْسٍ اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ، وَالثَّانِي تُرَدُّ إِلَى سِتٍّ أَوْ سَبْعٍ اعْتِبَارًا بِالْغَالِبِ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَتْ أَتَيَقَّنُ سَبْعًا مِنْ أَوَّلِهِ، وَأَشُكُّ فِي الزِّيَادَةِ رُدَّتْ إِلَى السَّبْعِ عَلَى الْيَقِينِ، فَإِذَا أَهَلَّ عَلَيْهَا شَهْرُ رَمَضَانَ وَحَالُهَا مَا وَصَفْنَا تَرَكَتْ مِنْ أَوَّلِهِ صِيَامَ الْقَدْرِ الَّذِي رُدَّتْ إِلَيْهِ وَهُوَ مِنْ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، وَمِنَ الثَّانِي سِتٌّ أَوْ سَبْعٌ، وَصَامَتْ بَقِيَّةَ الشَّهْرِ، وَاحْتَسَبَتْ مِنْهُ بِمَا بَعْدَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَهُوَ النِّصْفُ الثَّانِي مِنْهُ؛ لِأَنَّهَا فِيهِ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ وَهَلْ تُحْتَسَبُ بِمَا بَيْنَ الْقَدْرِ الَّذِي رُدَّتْ إِلَيْهِ مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ، وَهِيَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ عَلَى قَوْلَيْنِ إِنْ قِيلَ إِنَّهُ طُهْرٌ بِيَقِينٍ، احْتَسَبَتْ وَأَعَادَتْ صِيَامَ الْأَيَّامِ الَّتِي رُدَّتْ إِلَيْهَا لَا غَيْرَ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ طُهْرٌ مَشْكُوكٌ فِيهِ، أَعَادَتْ صِيَامَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ كُلِّهَا، وَهُوَ النِّصْفُ الْأَوَّلُ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَقَضَتْهُ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي مِنْ شَوَّالٍ وَأَجْزَأَهَا؛ لِأَنَّهَا فِيهِ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ.
PASAL
Masuk dalam bagian kedua dari pembagian wanita nāsiyah, yaitu wanita yang lupa kadar ḥaiḍ-nya namun masih mengingat waktunya.
Jika seorang wanita berkata, “Aku tahu bahwa aku memiliki ḥaiḍ setiap awal bulan, namun aku lupa berapa kadarnya — apakah hanya satu hari atau lima belas hari?”, maka wanita ini dihukumi seperti mubtadaʼah dalam hal bahwa ia mengalami ḥaiḍ pada awal setiap bulan.
Adapun kadar hari yang ia dikembalikan kepadanya dari hari-hari ḥaiḍ, terdapat dua pendapat sebagaimana disebut dalam kasus mubtadaʼah:
- Pertama, dikembalikan kepada kadar minimal ḥaiḍ, yaitu satu hari satu malam.
- Kedua, dikembalikan kepada kadar pertengahan, yaitu enam atau tujuh hari.
Telah disebutkan penjelasan kedua pendapat ini.
Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa ia dikembalikan kepada kadar maksimal ḥaiḍ, yaitu sepuluh hari menurut pendapat beliau; karena apa yang melebihi kadar itu khusus untuk situasi yang samar, tidak untuk yang berada dalam rentang tersebut. Pendapat ini keliru karena sabda Nabi SAW kepada Ḥamnah: “taḥīḍī fī ʻilmi Allāh sittan aw sabʻan” (ḥaiḍ-lah kamu menurut ilmu Allah enam atau tujuh hari).
Juga karena saat ada kebiasaan pribadi yang diketahui maka ia dianggap, maka saat tidak ada kebiasaan, kebiasaan wanita lain dianggap, berdasarkan batas minimal dan maksimal ḥaiḍ.
Juga karena kehati-hatian dalam kewajiban salat menuntut dua kemungkinan:
- mempertimbangkan yang yaqīn, yaitu kadar ḥaiḍ paling sedikit,
- atau mempertimbangkan yang dominan (ghālib), yaitu kadar pertengahan ḥaiḍ.
Adapun mempertimbangkan kadar maksimal ḥaiḍ keluar dari prinsip kehati-hatian dalam kewajiban salat.
Kemudian percabangan dua pendapat ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam mubtadaʼah:
- Waktu yang ia kembalikan sebagai ḥaiḍ adalah ḥaiḍ secara yaqīn,
- Lima belas hari setelahnya adalah suci secara yaqīn,
- Sedangkan waktu antara keduanya terdapat dua pendapat:
- Pertama, dihukumi suci secara yaqīn,
- Kedua, dihukumi sebagai masa syubhat, sehingga suami dilarang menyetubuhinya — menurut satu wajah — karena kedekatannya dengan masa ḥaiḍ.
- Pertama, dihukumi suci secara yaqīn,
Lalu apakah ia dilarang pula dari salat fardhu dan salat sunnah bersamanya? Maka itu sebagaimana dua wajah yang telah disebutkan.
Jika ia berkata, “Aku yakin setiap awal bulan aku ḥaiḍ selama tiga hari dan ragu terhadap adanya tambahan hari setelah itu”, maka terdapat dua pendapat:
- Jika kita menganggap yang yaqīn, maka ia dikembalikan kepada tiga hari.
- Jika kita menganggap yang dominan, maka ia dikembalikan kepada enam atau tujuh hari.
Begitu pula jika ia berkata, “Aku yakin mengalami ḥaiḍ lima hari setiap awal bulan, dan ragu terhadap tambahan hari setelahnya”, maka:
- Salah satu pendapat mengembalikannya kepada lima hari, dengan mempertimbangkan yaqīn,
- Pendapat lain mengembalikannya kepada enam atau tujuh hari, dengan mempertimbangkan yang dominan.
Namun jika ia berkata, “Aku yakin tujuh hari setiap awal bulan dan ragu terhadap tambahan”, maka dikembalikan kepada tujuh hari saja, karena itu adalah yaqīn.
Apabila bulan Ramadan masuk dan ia dalam keadaan seperti yang telah dijelaskan, maka ia meninggalkan puasa di awal Ramadan sesuai dengan kadar yang ia dikembalikan padanya:
- menurut satu pendapat: satu hari satu malam,
- menurut yang lain: enam atau tujuh hari,
lalu ia berpuasa di sisa bulan, dan menghitung bagian yang setelah lima belas hari — yaitu paruh kedua Ramadan — karena itu adalah masa suci secara yaqī
Apakah ia juga menghitung bagian yang berada di antara kadar yang dikembalikan sebagai ḥaiḍ hingga lima belas hari (yakni masa syubhat) sebagai puasa? Maka ini pun dua pendapat:
- Jika dikatakan bahwa itu adalah suci secara yaqīn, maka ia menghitungnya dan hanya mengqadha hari-hari yang termasuk kadar ḥaiḍ-nya.
- Jika dikatakan bahwa itu adalah masa syubhat, maka ia wajib mengqadha seluruh lima belas hari pertama Ramadan — yaitu paruh pertama bulan — dan ia mengqadhanya pada hari kedua Syawwal dan itu mencukupinya karena saat itu ia dalam keadaan suci secara yaqī
(فَرْعٌ)
: وَلَوْ قَالَتْ: أَعْلَمُ أَنَّ لِي مِنْ كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً، وَهِيَ إِمَّا فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ فِي أَوَّلِ النِّصْفِ الثَّانِي مِنْهُ، وَأَنَا نَاسِيَةٌ لِقَدْرِهَا، وَفِي أَيِّ الزَّمَانَيْنِ هِيَ مِنَ الشَّهْرِ، فَهَذِهِ لَهَا طُهْرٌ، وَلَيْسَ لَهَا حَيْضٌ لِأَنَّكَ تُنْزِلُهَا تَنْزِيلَيْنِ، فَتَجْعَلُ فِي أَحَدِ التَّنْزِيلَيْنِ حَيْضَهَا فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ فَتَحِيضُهَا مِنْ أَوَّلِهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَسِتًّا أَوْ سَبْعًا فِي الْقَوْلِ الثَّانِي فَتُصَلِّي هَذَا الْقَدْرَ بِالْوُضُوءِ وَتَغْتَسِلُ عِنْدَ تَقَضِّيهِ وَهِيَ فِيمَا بَعْدَهُ إِلَى آخِرِ النِّصْفِ الْأَوَّلِ طَاهِرٌ إِمَّا طُهْرٌ بِيَقِينٍ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، أَوْ طُهْرُ شَكٍّ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي فَهَذَا أَحَدُ التَّنْزِيلَيْنِ.
وَالتَّنْزِيلُ الثَّانِي: أَنْ تَجْعَلَ حَيْضَهَا أَوَّلَ النِّصْفِ الثَّانِي مِنَ الشَّهْرِ فَتَحِيضُهَا يَوْمًا وَلَيْلَةً فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَهُوَ السَّادِسَ عَشَرَ وَحْدَهُ وَسِتًّا أَوْ سَبْعًا فِي الْقَوْلِ الثَّانِي وهي من السادس عشر إلى الثالث وَالْعِشْرِينَ، فَتُصَلِّي فِي هَذَا الزَّمَانِ بِالْوُضُوءِ؛ لِأَنَّهُ ليس بحيض متيقين لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْحَيْضُ فِي النِّصْفِ الْأَوَّلِ، فَإِذَا مَضَى هَذَا الْقَدْرُ اغْتَسَلَتْ فِي آخِرِهِ وهي بعده إلى آخر الشهر طاهراً ما طُهْرٌ بِيَقِينٍ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ أَوْ طُهْرُ شَكٍّ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي.
FARʻ
Jika seorang wanita berkata: “Aku tahu bahwa aku memiliki ḥaiḍ setiap bulan, dan itu terjadi entah di awal bulan atau di awal paruh kedua bulan tersebut, dan aku lupa berapa kadarnya dan di waktu yang mana dari dua waktu itu terjadi”, maka wanita ini dihukumi sebagai suci, dan tidak dianggap sedang ḥaiḍ.
Karena engkau akan memberikan dua kemungkinan tanzīl terhadapnya:
Tanzīl pertama, engkau tempatkan ḥaiḍ-nya di awal bulan. Maka ia mengalami ḥaiḍ di awal bulan selama satu hari satu malam menurut salah satu dari dua pendapat, atau enam atau tujuh hari menurut pendapat kedua. Maka ia tidak salat dalam kadar tersebut, lalu mandi setelah selesai. Setelah itu, hingga akhir paruh pertama bulan, ia dihukumi suci — entah suci secara yaqīn menurut salah satu pendapat, atau suci yang masih syubhat menurut pendapat kedua. Itulah tanzīl pertama.
Tanzīl kedua, engkau tempatkan ḥaiḍ-nya di awal paruh kedua bulan. Maka ia mengalami ḥaiḍ selama satu hari satu malam menurut salah satu pendapat, yaitu hari ke-16 saja; atau selama enam atau tujuh hari menurut pendapat kedua, yaitu dari tanggal 16 sampai 23.
Maka selama waktu tersebut (yaitu tanggal 1–15), ia salat dengan wuḍūʼ karena waktu itu bukan masa ḥaiḍ secara yaqīn, sebab ada kemungkinan ḥaiḍ-nya berada di paruh kedua. Setelah lewat masa ḥaiḍ ini (16–23), ia mandi pada akhir masa tersebut. Dan sejak saat itu hingga akhir bulan, ia dihukumi suci — entah suci secara yaqīn menurut salah satu pendapat, atau suci yang masih syubhat menurut pendapat kedua.
(فَرْعٌ)
: وَلَوْ قَالَتْ أَعْلَمُ أَنَّ لِي فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً لَا أَعْلَمُ قَدْرَهَا وَلَا مَوْضِعَهَا مِنَ الشَّهْرِ هل هي أَوَّلِهِ أَوْ فِي وَسَطِهِ أَوْ فِي آخِرِهِ؟ فَهَذِهِ لَيْسَ لَهَا حَيْضٌ بِيَقِينٍ وَلَا طُهْرٌ بِيَقِينٍ، وَحُكْمُهَا أَنْ تُصَلِّيَ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ قدر ما ترد إليه فذلك يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَسِتٌّ أَوْ سَبْعٌ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي ثُمَّ تَغْتَسِلَ بَعْدَ ذَلِكَ لِكُلِّ صَلَاةٍ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ، وَالْكَلَامُ مِمَّا تَحْتَسِبُ بِهِ مِنْ صِيَامِ شَهْرِهَا عَلَى مَا مَضَى فَهَذَا حُكْمُ النَّاسِيَةِ لِقَدْرِ حَيْضِهَا الذاكرة لوقته.
FARʻ
Jika seorang wanita berkata, “Aku tahu bahwa setiap bulan aku mengalami ḥaiḍ, namun aku tidak tahu berapa kadarnya dan tidak pula tahu kapan waktunya — apakah di awal bulan, di pertengahannya, atau di akhirnya?”, maka wanita ini tidak memiliki ḥaiḍ secara yaqīn, dan tidak pula suci secara yaqīn.
Hukumnya: ia tetap menunaikan salat dari awal bulan selama kadar yang ia dikembalikan padanya, yaitu:
- satu hari satu malam menurut salah satu pendapat,
- enam atau tujuh hari menurut pendapat kedua.
Setelah itu, ia mandi setiap kali akan salat hingga akhir bulan.
Adapun pembahasan mengenai hari-hari puasa yang boleh dihitung dari bulan tersebut, maka hukumnya mengikuti sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Inilah hukum wanita yang lupa kadar ḥaiḍ-nya, namun masih ingat waktu datangnya.
(فَصْلٌ)
: فِي الْقِسْمِ الثَّالِثِ مِنْ أَقْسَامِ النَّاسِيَةِ، وَهِيَ النَّاسِيَةُ لِوَقْتِ حَيْضِهَا الذَّاكِرَةُ لِقَدْرِهِ، وَإِذَا قالت المرأة أعلم أن حيضي عَشَرَةُ أَيَّامٍ أَنَا نَاسِيَةٌ لِزَمَانِهِ، فَهَذِهِ عَلَى عَشَرَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَنْسَى شُهُورَهَا وَمَوْقِعَ الْحَيْضِ مِنْهَا، مِثَالُهُ: أَنْ تَقُولَ أَعْلَمُ أَنَّ حِيضَتِي عَشَرَةُ أَيَّامٍ وَأَنَا نَاسِيَةٌ هَلْ هِيَ فِي كُلِّ شَهْرٍ أَوْ شُهُورٍ أَوْ سَنَةٍ أَوْ سَنَتَيْنِ وَنَاسِيَةٌ هَلْ هِيَ أَوَّلَ الشَّهْرِ أو في وسطه أو آخره؟ فهذا فِي حُكْمِ النَّاسِيَةِ لِلْأَمْرَيْنِ الْمُسَمَّاةُ الْمُتَحَيِّرَةُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ إِلَّا مِنْ وَجْهٍ وَاحِدٍ تَحِيضُ بِالصِّيَامِ، وَهُوَ أَنَّهَا إِذَا صَامَتْ شَهْرَ رَمَضَانَ احْتُسِبَ بِهِ إِلَّا قَدْرَ أَيَّامِ حَيْضِهَا الَّتِي عَلِمَتْهَا، وَهِيَ عَشَرَةُ أَيَّامٍ تَقْضِيهَا فِي عِشْرِينَ يَوْمًا إِنْ عَلِمَتْ أَنَّ ابْتِدَاءَ حَيْضِهَا قَبْلَ الْفَجْرِ، وَإِنْ لَمْ تَعْلَمْ قَضَتْ أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ يَوْمٌ مِنَ الْعَشَرَةِ مُبَعَّضًا مِنْ يَوْمَيْنِ فَيَبْطُلُ بِالْعَشَرَةِ صِيَامُ أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا، وَتَقْضِيهَا فِي ثَلَاثَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا هِيَ ضِعْفُهَا، وَزِيَادَةُ يوماً لِجُبْرَانِ التَّبْعِيضِ، فَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ يَوْمٍ وَاحِدٍ صَامَتْ يَوْمَيْنِ بَيْنَهُمَا تِسْعَةُ أَيَّامٍ إِنْ عَلِمَتْ تَقَدُّمَ حَيْضِهَا قَبْلَ الْفَجْرِ، وَإِنْ لَمْ تَعْلَمْ صَامَتْ يَوْمَيْنِ بَيْنَهُمَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ لِيَكُونَ الْيَوْمُ الزَّائِدُ فِي الْإِمْسَاكِ جُبْرَانًا لِلتَّبْعِيضِ، وَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ يَوْمَيْنِ صَامَتْ يَوْمَيْنِ، وَأَمْسَكَتْ تسعة أيام وصامت آخَرِينَ، وَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ صَامَتْهَا وَأَمْسَكَتْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ صَامَتْ ثَلَاثَةَ أيام أخر والطريق إلى معرفة ذلك أنك تَزِيدُ عَلَى أَيَّامِ حَيْضِهَا يَوْمًا لِجُبْرَانِ التَّبْعِيضِ، وَتَصُومُ مَا عَلَيْهَا مِنَ الْأَيَّامِ ثُمَّ تُسْقِطُهَا مِنْ أَيَّامِ حَيْضِهَا مَعَ الْيَوْمِ الزَّائِدِ، وَتَنْظُرُ الْبَاقِيَ بَعْدَهُ فَيَكُونُ هُوَ عَدَدُ الْأَيَّامِ الَّتِي تُمْسِكُهَا، ثُمَّ تُعِيدُ صِيَامَ تِلْكَ الْأَيَّامِ بَعْدَهَا وَتَكُونُ فِي هَذَا بِخِلَافِ الْمُتَحَيِّرَةِ؛ لِأَنَّ حَيْضَ هَذِهِ أَقَلُّ مِنْ أَيَّامِ حَيْضِهَا مُخَالَفَتُهَا فِي الْحُكْمِ.
PASAL
Tentang bagian ketiga dari kelompok wanita yang lupa (nāsiyah), yaitu wanita yang lupa waktu ḥaiḍ-nya tetapi masih ingat kadar ḥaiḍ-nya.
Jika seorang wanita berkata, “Aku tahu bahwa ḥaiḍ-ku adalah sepuluh hari, namun aku lupa kapan waktunya”, maka wanita ini termasuk dalam sepuluh bagian.
Pertama: ia lupa bulan-bulan terjadinya dan tempat ḥaiḍ dalam bulan itu.
Contohnya: ia berkata, “Aku tahu bahwa ḥaiḍ-ku sepuluh hari, tetapi aku lupa apakah itu terjadi setiap bulan, setiap beberapa bulan, setiap tahun, atau setiap dua tahun; dan aku juga lupa apakah itu di awal bulan, pertengahan, atau akhirnya.” Maka wanita ini termasuk dalam hukum wanita yang lupa dua hal (nāsiyah li al-amrayn) yang disebut sebagai mutaḥayyirah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam hal hukum seputar thaharah, salat, dan puasa — kecuali dalam satu hal, yaitu:
Dalam hal puasa, ia tetap dihukumi mengalami ḥaiḍ; artinya:
- Jika ia berpuasa di bulan Ramadan, maka puasanya dihitung sah kecuali sepuluh hari yang ia yakini sebagai masa ḥaiḍ-nya, maka ia wajib mengqadha sepuluh hari itu.
- Jika ia tahu bahwa awal ḥaiḍ-nya terjadi sebelum fajar, maka ia cukup mengqadha sepuluh hari.
- Jika tidak tahu apakah sebelum atau setelah fajar, maka ia mengqadha sebelas hari, karena dimungkinkan satu dari sepuluh hari tersebut terkena sebagian ḥaiḍ dari dua hari. Maka puasa dari sepuluh hari itu batal, dan jumlah hari yang batal menjadi sebelas.
Ia mengqadha sebelas hari tersebut dalam waktu dua puluh tiga hari — yaitu dua kali sepuluh hari plus satu hari sebagai kompensasi untuk hari yang terkena tabʻiḍ (sebagiannya terkena ḥaiḍ).
Jika ia hanya wajib puasa satu hari:
- Maka ia berpuasa dua hari yang dipisah dengan sembilan hari imsāk (tidak puasa), jika ia tahu bahwa ḥaiḍ-nya datang sebelum fajar.
- Jika ia tidak tahu, maka ia berpuasa dua hari yang dipisah oleh sepuluh hari imsāk, agar hari tambahan itu menjadi penutup kemungkinan tabʻiḍ.
Jika ia wajib puasa dua hari:
- Maka ia berpuasa dua hari, kemudian imsāk sembilan hari, lalu berpuasa dua hari lagi.
Jika ia wajib puasa tiga hari:
- Maka ia puasa tiga hari, imsāk delapan hari, lalu puasa tiga hari lagi.
Jalan untuk mengetahui cara ini adalah:
- Tambahkan satu hari ke jumlah hari ḥaiḍ-nya sebagai ganti tabʻiḍ.
- Puasalah hari-hari yang ia wajib qadha,
- Lalu kurangi dari jumlah hari ḥaiḍ (ditambah satu) tersebut,
- Sisanya adalah jumlah hari imsāk yang wajib,
- Lalu ia ulang puasa hari-hari tersebut setelah masa imsā
Dengan cara ini, ia berbeda dari mutaḥayyirah, karena jumlah hari ḥaiḍ-nya lebih sedikit daripada hari-hari ḥaiḍ milik mutaḥayyirah, maka hukumnya pun berbeda.
(فَصْلٌ)
: وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَذْكُرَ شُهُورَهَا، وَتَنْسَى مَوْضِعَ الْحَيْضِ مِنْهَا مِثَالُهُ: أَنْ تَقُولَ أَعْلَمُ أَنَّ حَيْضِي عَشَرَةُ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَأَنَا نَاسِيَةٌ لِمَوْضِعِ الْحَيْضِ مِنْهَا فَهَذِهِ فِي حُكْمِ الَّتِي قَبْلَهَا إِلَّا فِي الطَّهَارَةِ وَحْدَهَا، وَهُوَ أَنَّ هَذِهِ تَتَوَضَّأُ مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ عَشَرَةَ أَيَّامٍ لِكُلِّ صَلَاةٍ لِعَدَمِ انْقِطَاعِ الْحَيْضِ فِيهِ ثُمَّ تَغْتَسِلُ بَعْدَ تَقَضِّي الْعَشَرَةِ لِكُلِّ صَلَاةٍ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ؛ لِجَوَازِ انْقِطَاعِ الْحَيْضِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ إِلَّا أَنْ تَعْلَمَ وَقْتَ غُسْلِهَا مِنَ الْيَوْمِ، فَتَغْتَسِلُ فِي مَثْلِهِ، مِنْ كُلِّ يَوْمٍ ثُمَّ عَلَى قِيَاسِ هَذَا يَكُونُ الْجَوَابُ فِيمَا زَادَ مِنْ أَيَّامِ حَيْضِهَا، أَوْ نَقَصَ فِي الْفَصْلَيْنِ مَعًا.
PASAL
Bagian kedua: yaitu wanita yang mengingat bulannya (yakni setiap bulan pasti ḥaiḍ), tetapi lupa waktu terjadinya ḥaiḍ dalam bulan tersebut.
Contohnya: ia berkata, “Aku tahu bahwa ḥaiḍ-ku adalah sepuluh hari dari setiap bulan, tetapi aku lupa kapan terjadinya dalam bulan itu.”
Maka wanita ini dihukumi seperti bagian yang sebelumnya (wanita yang lupa waktu dan kadar sekaligus), kecuali dalam hal thaharah saja, yaitu:
Wanita ini berwuḍūʼ untuk setiap salat dari awal bulan selama sepuluh hari, karena ḥaiḍ tidak dipastikan putus dalam hari-hari tersebut.
Kemudian setelah sepuluh hari berlalu, ia mandi untuk setiap salat hingga akhir bulan, karena bisa jadi darah ḥaiḍ telah berhenti menjelang setiap salat.
Kecuali jika ia mengetahui waktu mandi hariannya (yakni kapan biasanya darah berhenti), maka ia mandi di waktu yang semisal itu setiap harinya.
Dan berdasarkan kaidah ini, jawaban juga berlaku untuk kasus jumlah hari ḥaiḍ-nya lebih atau kurang dari sepuluh hari, baik dalam kedua pasal sebelumnya maupun yang sedang dibahas ini.
(فَصْلٌ)
: وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَنْسَى شُهُورَهَا وَتَذْكُرَ مَوْضِعَ الْحَيْضِ مِنْهَا مِثَالُهُ: أَنْ تَقُولَ أَعْلَمُ أَنَّ حَيْضِي عَشَرَةُ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ وَأَنَا نَاسِيَةٌ هَلْ هِيَ فِي كُلِّ شَهْرٍ أَوْ شُهُورٍ، فَهَذِهِ تَغْتَسِلُ عِنْدَ تَقَضِّي الْعَشْرِ الْأَوَّلِ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَتَتَوَضَّأُ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الشَّهْرِ وَتَحْتَسِبُ بِالشَّهْرِمِنْ صَوْمِهَا إِلَّا قَدْرَ الْعَشَرَةِ الَّتِي بَعْدَ أَيَّامِ حَيْضِهَا، وَتَقْضِيهَا فِيمَا بَعْدَ الْعَشْرِ، وَيُجْزِئُهَا؛ لِأَنَّهَا عَلَى يَقِينٍ مِنِ انْقِطَاعِ حَيْضِهَا بَعْدَ تقضي العشر، فلا يَلْزَمُهَا إِلَّا غُسْلٌ وَاحِدٌ.
PASAL
Bagian ketiga: yaitu wanita yang lupa bulan-bulan datangnya ḥaiḍ, namun ia ingat waktu ḥaiḍ-nya dalam setiap bulan.
Contohnya: ia berkata, “Aku tahu bahwa ḥaiḍ-ku adalah sepuluh hari dari awal bulan, tetapi aku lupa apakah itu terjadi setiap bulan, atau beberapa bulan sekali.”
Maka wanita ini wajib mandi setelah sepuluh hari pertama setiap bulan berlalu, dan berwuḍuʼ untuk setiap salat pada sisa hari dalam bulan itu.
Ia boleh menghitung puasanya dalam bulan tersebut sebagai sah, kecuali sepuluh hari pertama yang ia yakini sebagai masa ḥaiḍ, maka hari-hari itu tidak ia hitung sebagai puasa dan ia wajib mengqadhanya setelah sepuluh hari tersebut.
Dan hal itu mencukupi baginya, karena ia yakin bahwa darah ḥaiḍ-nya telah berhenti setelah sepuluh hari. Maka ia hanya wajib mandi satu kali saja.
(فَصْلٌ)
: وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تَذْكُرَ شُهُورَهَا، وَأَنَّ الْحَيْضَ مُخْتَصٌّ بِأَحَدِ أَعْشَارِ الشَّهْرِ، وَتَنْسَى يَقِينَ ذَلِكَ الْعَشْرِ.
مِثَالُهُ: أَنْ تَقُولَ أَعْلَمُ أَنَّ حَيْضِي فِي كُلِّ شَهْرٍ أَحَدُ أَعْشَارِهِ بِكَمَالِهِ، وَأَنَا نَاسِيَةٌ أَيَّ الأعشار هي، إِمَّا الْأَوَّلَ بِكَمَالِهِ أَوِ الثَّانِيَ بِكَمَالِهِ أَوِ الثَّالِثَ بِكَمَالِهِ، فَهَذِهِ تُصَلِّي الْعَشْرَ الْأَوَّلَ بِالْوُضُوءِ، وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِهِ، وَتُصَلِّي الْعَشْرَ الثَّالِثَ بِالْوُضُوءِ، وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِهِ؛ لِأَنَّ تَقَضِّيَ حَيْضِهَا مُجَوَّزٌ فِي آخِرِ كُلِّ شَهْرٍ فَلَزِمَهَا ثَلَاثَةُ اغْتِسَالَاتٍ، فَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي أَحَدُ أَخْمَاسِ الشَّهْرِ بِكَمَالِهِ، وَأَنَا نَاسِيَةٌ لَهُ، لَزِمَهَا سِتَّةُ اغْتِسَالَاتٍ، الْغُسْلُ الْأَوَّلُ فِي آخِرِ الْخَامِسِ وَالْغُسْلُ الثَّانِي فِي آخِرِ الْعَاشِرِ، وَالْغُسْلُ الثَّالِثُ فِي آخِرِ الْخَامِسَ عَشَرَ، وَالْغُسْلُ الرَّابِعُ فِي آخِرِ الْعِشْرِينَ، وَالْغُسْلُ الْخَامِسُ فِي آخِرِ الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ، وَالْغُسْلُ السَّادِسُ فِي الثَّلَاثِينَ، ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ يَكُونُ الْجَوَابُ فِيمَا زَادَ وَنَقَصَ.
PASAL
Bagian keempat: yaitu wanita yang mengingat bulan-bulan ḥaiḍ-nya, dan bahwa ḥaiḍ-nya khusus terjadi dalam satu dari sepuluh bagian (sepersepuluh) bulan, namun ia lupa secara pasti bagian sepuluh mana itu.
Contohnya: ia berkata, “Aku tahu bahwa ḥaiḍ-ku dalam setiap bulan berada di salah satu dari sepuluh bagian bulan secara penuh, namun aku lupa bagian yang mana — apakah sepuluh hari pertama secara penuh, atau kedua secara penuh, atau ketiga secara penuh.”
Maka ia wajib salat dengan wuḍuʼ pada sepuluh hari pertama dan mandi di akhir hari kesepuluhnya.
Kemudian ia juga wajib salat dengan wuḍuʼ pada sepuluh hari ketiga (yaitu tanggal 21–30), dan mandi di akhir hari ketiganya.
Karena kemungkinan suci dari ḥaiḍ itu bisa jadi terjadi di akhir bulan, maka wajib baginya tiga kali mandi (di akhir 10, 20, dan 30).
Jika ia berkata: “ḥaiḍ-ku berada di salah satu dari lima bagian bulan secara penuh (yakni setiap lima hari satu bagian), dan aku lupa bagian yang mana”, maka ia wajib enam kali mandi:
- mandi pertama di akhir hari kelima,
- mandi kedua di akhir hari kesepuluh,
- mandi ketiga di akhir hari kelima belas,
- mandi keempat di akhir hari kedua puluh,
- mandi kelima di akhir hari kedua puluh lima,
- mandi keenam di akhir hari ketiga puluh.
Kemudian berdasarkan pola ini, jawaban juga berlaku untuk jumlah bagian yang lebih banyak atau lebih sedikit dari itu.
(فَصْلٌ)
: وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ تَذْكُرَ حَيْضَهَا فِي يَوْمٍ مِنَ الشَّهْرِ وتنسى حالها فيما سواه.
ومثاله: أن تقول أعلم أن حيضي عشرة أيام مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَأَنَا نَاسِيَةٌ لَهَا لَكِنِّي أَذْكُرُ أَنَّنِي كُنْتُ حَائِضًا فِي الْعَاشِرِ مِنْهُ فَالْأَصْلُ الَّذِي يُبْنَى عَلَيْهِ حَالُ هَذِهِ فِي مَعْرِفَةِ حُكْمِهَا أَنْ يُجْعَلَ الْعَاشِرَ تَارَةً فِي آخِرِ حَيْضِهَا، وَتَنْظُرَ أَيْنَ أَوَّلُهُ تَارَةً أَوَّلَ حَيْضِهَا وَتَنْظُرَ أَيْنَ آخِرُهُ، وَتَجْعَلَ مَا قَبْلَ أَوَّلِهِ طُهْرًا وَمَا بَعْدَ آخِرِهِ طُهْرًا، وَمَا بَيْنَهُمَا شَكٌّ لَكِنْ مَا تَقَدَّمَ يَوْمَ الْحَيْضِ تُصَلِّيهِ بِالْوُضُوءِ، وَمَا تَأَخَّرَ عَنْهُ تُصَلِّيهِ بِالْغُسْلِ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ هَذِهِ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ فِي شَكٍّ إِلَى آخِرِ التَّاسِعِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْعَاشِرُ آخِرَ حَيْضِهَا، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، لِأَنَّ الْحَيْضَ لَا يَنْقَطِعُ فِيهِ وَتَدَعُ الصَّلَاةَ فِي الْعَاشِرِ، لِيَقِينِ الْحَيْضِ فِيهِ، وَهِيَ مِنَ الْحَادِي عَشَرَ إِلَى التَّاسِعَ عَشَرَ فِي شَكٍّ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْعَاشِرُ أَوَّلَ حَيْضِهَا لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ صَلَاةً لِجَوَازِ انْقِطَاعِ الْحَيْضِ فِيهِ ثُمَّ هِيَ فِي آخِرِ شَهْرِهَا طَاهِرٌ بِيَقِينٍ، فَلَوْ قَالَتْ: وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا – كُنْتُ فِي يَوْمِ الْعِشْرِينَ حَائِضًا فَهِيَ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى العاشر منه طاهراً لِقُصُورِ الْحَيْضِ عَنْ الِابْتِدَاءِ فِيهِ، وَمِنَ الْحَادِي عَشَرَ إِلَى التَّاسِعَ عَشَرَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ لِجَوَازِ ابْتِدَاءِ الْحَيْضِ فِيهِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ؛ لِأَنَّ الْحَيْضَ لَا يَنْقَطِعُ فِيهِ وَتَدَعُ الصَّلَاةَ فِي الْعِشْرِينَ لِيَقِينِ الْحَيْضِ فِيهِ، وَهِيَ فِي الْحَادِي وَالْعِشْرِينَ إِلَى التَّاسِعِ وَالْعِشْرِينَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ لِجَوَازِ انْتِهَاءِ الْحَيْضِ فِيهِ إِنْ كَانَ يَوْمُ الْعِشْرِينَ أَوَّلَهُ، وَتُصَلِّي بِالْغُسْلِ لِكُلِّ صَلَاةٍ، لِجَوَازِ انْقِطَاعِ الْحَيْضِ فِيهِ، وَهِيَ فِي يَوْمِ الثَّلَاثِينَ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّ دَمَ الْحَيْضِ لَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ، فَلَوْ قَالَتْ – وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا – كُنْتُ يَوْمَ الْخَامِسَ عَشَرَ حَائِضًافَهِيَ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى الْخَامِسِ مِنْهُ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ لِقُصُورِ الْحَيْضِ عَنِ الِابْتِدَاءِ فِيهِ، وَمِنَ السَّادِسِ إِلَى الرَّابِعَ عَشَرَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، لِجَوَازِ ابْتِدَاءِ الْحَيْضِ فِيهِ، وَتُصَلِّي بِالْوُضُوءِ؛ لِأَنَّ الدَّمَ لَا يَنْقَطِعُ فِيهِ وَتَدَعُ الصَّلَاةَ فِي الْخَامِسَ عَشَرَ لِيَقِينِ حَيْضِهَا، وَهِيَ مِنَ السَّادِسِ عَشَرَ إِلَى آخِرِ الرَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ، فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ لِجَوَازِ انْتِهَاءِ الْحَيْضِ إِلَيْهِ، وَتُصَلِّي بِالْغُسْلِ لِجَوَازِ انْقِطَاعِهِ فِيهِ، وَهِيَ مِنَ الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ، وَلَوْ قَالَتْ: – وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا – كُنْتُ فِي الْيَوْمِ الْخَامِسِ حَائِضًا فَهَذِهِ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ الرَّابِعِ طُهْرٌ مَشْكُوكٌ فِيهِ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَهِيَ مِنَ الْخَامِسِ إِلَى آخِرِ الْعَاشِرِ فِي حَيْضٍ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّهَا أَيَّامٌ لَا تنفك في التنزيلين معاً عن أَنْ يَكُونَ حَيْضُهَا، وَهِيَ مِنَ الْحَادِي عَشَرَ إِلَى آخِرِ الرَّابِعَ عَشَرَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ لِجَوَازِ انْقِطَاعِ الْحَيْضِ فِيهِ ثُمَّ هِيَ فِي الْخَامِسَ عَشَرَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ فِي طُهْرٍ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّ الدَّمَ لَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ، وَلَوْ قَالَتْ: – وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا – كُنْتُ فِي الْيَوْمِ الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ حَائِضًا بِيَقِينٍ، فَهِيَ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ الْخَامِسَ عَشَرَ فِي طُهْرٍ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّ الْحَيْضَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ مِنْهُ، وَمِنَ السَّادِسَ عَشَرَ إِلَى آخِرِ الْعِشْرِينَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، لِجَوَازِ ابْتِدَاءِ الْحَيْضِ فِيهِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَهِيَ مِنِ الْحَادِي وَالْعِشْرِينَ إِلَى الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ فِي حَيْضٍ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ فِي التَّنْزِيلَيْنِ مَعًا أَنْ يَكُونَ حَيْضًا ثُمَّ هِيَ فِي السَّادِسِ وَالْعِشْرِينَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، وَتُصَلِّي بِالْغُسْلِ، لِجَوَازِ انْقِطَاعِ الْحَيْضِ فِيهِ، فَلَوْ قَالَتْ: – وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا – كُنْتُ في الثاني عشر والسدس عَشَرَ حَائِضًا فَهَذِهِ تَنْزِيلُهَا عَلَى حَالَيْنِ فَيُجْعَلُ فِي إِحْدَى الْحَالَيْنِ الثَّانِي عَشَرَ أَوَّلَ حَيْضِهَا، وَتَنْظُرُ إِلَى أَنْ يَنْتَهِيَ، وَفِي الْحَالِ الْأُخْرَى الثَّامِنَ عَشَرَ آخِرُ حَيْضِهَا، وَتَنْظُرُ مِنْ أَيْنَ يَبْتَدِئُ ثُمَّ يُجْعَلُ مَا قَبْلَ الِابْتِدَاءِ أَوْ بَعْدَ الِانْتِهَاءِ طُهْرًا وَمَا قَبْلَ الْأَوَّلِ شَكًّا بِالْوُضُوءِ وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الثَّانِي حَيْضًا، وَمَا بَعْدَ الثَّانِي إِلَى الِانْتِهَاءِ شَكًّا بِالْغُسْلِ فَعَلَى هَذَا هِيَ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ الثَّامِنِ فِي طُهْرٍ بِيَقِينٍ وَهِيَ مِنَ التَّاسِعِ إِلَى آخِرِ الْحَادِي عَشَرَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَمِنَ الثَّانِي عَشَرَ إِلَى الثَّامِنَ عَشَرَ فِي حَيْضٍ بِيَقِينٍ، وَمِنَ التَّاسِعِ عَشَرَ إِلَى الْحَادِي وَالْعِشْرِينَ، فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ، وَمِنَ الثَّانِي وَالْعِشْرِينَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ طُهْرٌ بِيَقِينٍ.
PASAL
Bagian kelima: yaitu wanita yang mengingat bahwa ia sedang ḥaiḍ pada satu hari tertentu dalam bulan, namun lupa keadaannya pada hari-hari selain itu.
Contohnya: ia berkata, “Aku tahu bahwa ḥaiḍ-ku sepuluh hari setiap bulan, dan aku lupa selain itu, namun aku ingat aku sedang ḥaiḍ pada hari kesepuluh.”
Maka dasar hukum yang dibangun atas kondisi wanita ini adalah:
Kadang hari kesepuluh dianggap sebagai akhir ḥaiḍ-nya, lalu dicari awalnya.
Kadang dianggap awal ḥaiḍ-nya, lalu dicari akhirnya.
Apa yang terjadi sebelum awal ḥaiḍ dihukumi sebagai suci,
dan apa yang terjadi setelah akhir ḥaiḍ juga suci.
Adapun yang di antara keduanya adalah status syakk (meragukan).
Namun:
- Salat yang dilakukan sebelum hari kesepuluh dikerjakan dengan wuḍuʼ.
- Salat yang dilakukan setelah hari kesepuluh dikerjakan dengan mandi.
Berdasarkan itu:
- Dari awal bulan sampai akhir hari kesembilan: syakk, karena mungkin hari kesepuluh adalah akhir ḥaiḍ-nya → salat dilakukan dengan wuḍuʼ.
- Hari kesepuluh: tidak salat karena yakin ḥaiḍ.
- Dari hari kesebelas sampai kesembilan belas: syakk, karena mungkin hari kesepuluh adalah awal ḥaiḍ → salat dengan mandi.
- Sisa bulan: suci dengan yakin.
Contoh lain:
Jika ia berkata, “Aku yakin aku sedang ḥaiḍ pada hari kedua puluh,” maka:
- Dari awal bulan sampai hari kesepuluh: suci dengan yakin, karena ḥaiḍ tidak mungkin dimulai di situ.
- Dari hari kesebelas sampai kesembilan belas: syakk → salat dengan wuḍuʼ.
- Hari kedua puluh: tidak salat karena yakin ḥaiḍ.
- Dari hari ke-21 sampai ke-29: syakk → salat dengan mandi.
- Hari ke-30: suci dengan yakin karena darah tidak sampai ke sana.
Jika ia berkata, “Aku sedang ḥaiḍ pada hari kelima belas,” maka:
- Dari awal bulan sampai hari kelima: suci dengan yakin.
- Hari ke-6 sampai ke-14: syakk → salat dengan wuḍuʼ.
- Hari ke-15: tidak salat karena yakin ḥaiḍ.
- Hari ke-16 sampai ke-24: syakk → salat dengan mandi.
- Hari ke-25 sampai akhir bulan: suci dengan yakin.
Jika ia berkata, “Aku sedang ḥaiḍ pada hari kelima,” maka:
- Hari 1–4: syakk → salat dengan wuḍuʼ.
- Hari 5–10: ḥaiḍ dengan yakin.
- Hari 11–14: syakk → salat dengan mandi.
- Hari 15 sampai akhir bulan: suci dengan yakin.
Jika ia berkata, “Aku sedang ḥaiḍ pada hari ke-25,” maka:
- Hari 1–15: suci dengan yakin.
- Hari 16–20: syakk → salat dengan wuḍuʼ.
- Hari 21–25: ḥaiḍ dengan yakin.
- Hari 26–30: syakk → salat dengan mandi.
Jika ia berkata, “Aku sedang ḥaiḍ pada hari ke-12 dan ke-16,” maka ia diturunkan kepada dua kemungkinan:
- Kemungkinan pertama: hari ke-12 adalah awal ḥaiḍ, maka dicari akhirnya.
- Kemungkinan kedua: hari ke-18 adalah akhir ḥaiḍ, maka dicari awalnya.
Apa yang sebelum permulaan dan setelah akhir adalah suci,
Apa yang sebelum awal ḥaiḍ adalah syakk → salat dengan wuḍuʼ,
Yang berada di antara dua tanggal tersebut (12–18) adalah ḥaiḍ dengan yakin,
Yang setelahnya sampai akhir bulan → syakk → salat dengan mandi.
Dengan demikian:
- Hari 1–8: suci dengan yakin
- Hari 9–11: syakk → salat dengan wuḍuʼ
- Hari 12–18: ḥaiḍ dengan yakin
- Hari 19–21: syakk → salat dengan mandi
- Hari 22–30: suci dengan yakin.
(فَصْلٌ)
: القسم السَّادِسُ: أَنْ تَذْكُرَ طُهْرَهَا فِي يَوْمٍ مِنَ الشَّهْرِ، وَتَنْسَى حَالَهَا فِيمَا سِوَاهُ.
مِثَالُهُ: أَنْ تقول أعلم أن حيضي عشرة أيام من كُلِّ شَهْرٍ وَأَنَا نَاسِيَةٌ لَهَا، لَكِنِّي كُنْتُ فِي الْعَاشِرِ مِنْهُ طَاهِرًا. فَالْأَصْلُ الَّذِي يُبْنَى عَلَيْهِ جَوَابُ هَذَا الْفَصْلِ، أَنْ نَنْظُرَ فَإِنْ كَانَ آخِرُ طَرَفَيِ الطُّهْرِ يَقْصُرُ عَنْ عَدَدِ أَيَّامِ الْحَيْضِ كَانَ جَمِيعُهُ طُهْرًا، وَنَزَّلَتْ حَيْضَهَا فِي الطَّرَفِ الْآخَرِ تَنْزِيلَيْنِ، وَاعْتَبَرَتْ حُكْمَهُ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الطَّرَفَيْنِ يَتَّسِعُ لِعَدَدِ أَيَّامِ الْحَيْضِ نَزَّلَتْ كُلَّ طَرَفٍ تَنْزِيلَيْنِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْجَوَابُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّهَا طَاهِرٌ مِنْأَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ الْعَاشِرِ؛ لِأَنَّ مَا قَبْلَ الْعَاشِرِ أَقَلُّ عَدَدًا مِنْ عَشْرِ الْحَيْضِ، فَكَانَ طُهْرًا ثُمَّ هِيَ مِنَ الْحَادِي عَشَرَ إِلَى آخِرِ الْعِشْرِينَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَمِنَ الْحَادِي وَالْعِشْرِينَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ فَلَوْ قَالَتْ – وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا – كُنْتُ فِي الْيَوْمِ الْعِشْرِينَ طَاهِرًا كَانَتْ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ الْعَاشِرِ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَمِنَ الْحَادِي عَشَرَ إِلَى التَّاسِعَ عَشَرَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ، وَهِيَ طَاهِرٌ فِيمَا تَيَقَّنَتْهُ مِنَ الْيَوْمِ الْعِشْرِينَ، ثُمَّ هِيَ مِنَ الْحَادِي وَالْعِشْرِينَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَّسِعُ هَذَا الْعَدَدُ أَيَّامَ الْحَيْضِ الْعَشَرَةَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَلَوْ قَالَتْ: – وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا – كُنْتُ فِي الْخَامِسَ عَشَرَ طَاهِرًا فَهَذِهِ تُصَلِّي مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ الْعَاشِرِ بِالْوُضُوءِ، وَمِنَ الْحَادِي عَشَرَ إِلَى آخِرِ الرَّابِعَ عَشَرَ بِالْغُسْلِ، وَهِيَ فِيمَا تَيَقَّنَتْهُ مِنَ الْخَامِسَ عَشَرَ طَاهِرٌ، وَمِنَ السَّادِسَ عَشَرَ إِلَى آخِرِ الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ فِي شَكٍّ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَمِنَ السَّادِسِ وَالْعِشْرِينَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ بِالْغُسْلِ، فَلَوْ قَالَتْ: كُنْتُ فِي الثَّامِنِ وَالثَّانِي عَشَرَ طَاهِرًا، فَهَذِهِ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ الثَّانِي عَشَرَ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّ مَا قَبْلَ الثَّامِنِ أَقَلُّ مِنْ عَشْرِ الْحَيْضِ، ثُمَّ هِيَ مِنَ الثَّالِثَ عَشَرَ إِلَى آخِرِ الْعِشْرِينَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ وَهِيَ فِي الْحَادِي وَالْعِشْرِينَ، وَالثَّانِي وَالْعِشْرِينَ حَائِضٌ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ فِي التَّنْزِيلَيْنِ مِنْ أَنْ يَكُونَ حَيْضًا، وَهِيَ فِي الثَّالِثِ وَالْعِشْرِينَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ.
PASAL
Bagian keenam: Seorang wanita mengingat sucinya pada suatu hari dalam sebulan, tetapi lupa keadaan dirinya pada hari-hari selainnya.
Contohnya: Ia berkata, “Aku tahu bahwa haidku sepuluh hari setiap bulan, dan aku lupa hari-harinya, tetapi aku yakin bahwa pada hari kesepuluh aku dalam keadaan suci.” Maka kaidah yang menjadi dasar dalam menjawab pasal ini adalah: kita lihat, jika ujung terakhir dari masa suci kurang dari jumlah hari haid, maka seluruhnya dianggap sebagai suci, dan haidnya diletakkan pada ujung yang lain dengan dua bentuk tanzīl, dan hukum atasnya berlaku terhadap masa yang telah lalu.
Jika masing-masing dari dua ujung itu cukup untuk jumlah hari haid, maka setiap ujung dijadikan dua bentuk tanzīl. Maka berdasarkan hal ini, jawaban dari masalah ini adalah:
Ia dianggap suci dari awal bulan hingga akhir hari kesepuluh, karena hari-hari sebelum hari kesepuluh lebih sedikit dari sepuluh hari haid, maka itu adalah masa suci. Kemudian dari hari kesebelas hingga akhir hari kedua puluh adalah masa suci yang diragukan, namun ia tetap salat dengan berwudu. Dan dari hari kedua puluh satu hingga akhir bulan adalah masa suci yang diragukan, tetapi ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata – dan masalah tetap sebagaimana adanya – “Aku dalam keadaan suci pada hari kedua puluh,” maka ia dalam masa suci yang diragukan dari awal bulan hingga akhir hari kesepuluh, namun ia tetap salat dengan berwudu; dan dari hari kesebelas hingga kesembilan belas dalam masa suci yang diragukan, namun ia tetap salat dengan mandi; dan ia yakin suci pada hari kedua puluh.
Kemudian dari hari kedua puluh satu dalam masa suci yang diragukan, karena bisa jadi jumlah hari haid mencakup sepuluh hari hingga akhir bulan, tetapi ia tetap salat dengan berwudu dan mandi pada akhir bulan.
Jika ia berkata – dan masalah tetap sebagaimana adanya – “Aku suci pada hari kelima belas,” maka ia salat dari awal bulan hingga akhir hari kesepuluh dengan berwudu, dan dari hari kesebelas hingga akhir hari keempat belas dengan mandi. Ia yakin suci pada hari kelima belas. Dari hari keenam belas hingga akhir hari kedua puluh lima berada dalam keraguan, maka ia salat dengan berwudu. Dan dari hari kedua puluh enam hingga akhir bulan dengan mandi.
Jika ia berkata: “Aku suci pada hari kedelapan dan kedua belas,” maka ia suci dengan yakin dari awal bulan hingga akhir hari kedua belas, karena hari-hari sebelum hari kedelapan kurang dari sepuluh hari haid. Kemudian dari hari ketiga belas hingga akhir hari kedua puluh dalam masa suci yang diragukan, namun ia salat dengan berwudu. Ia berada pada hari kedua puluh satu dan kedua puluh dua dalam keadaan haid dengan yakin, karena tidak mungkin dua bentuk tanzīl tersebut lepas dari haid.
Kemudian ia berada pada hari kedua puluh tiga hingga akhir bulan dalam masa suci yang diragukan, namun ia salat dengan mandi.
(فَصْلٌ)
: وَالْقِسْمُ السَّابِعُ: أَنْ تَذْكُرَ أَنَّهَا كَانَتْ فِي يَوْمٍ مِنَ الشَّهْرِ حَائِضًا، وَفِي يَوْمٍ مِنْهُ طَاهِرًا وَتَنْسَى حَالَهَا فِيمَا سِوَاهُ.
مِثَالُهُ: أَنْ تقول كان حيضي من الشهر عشرة أيام لا أعرفها لَكِنِّي كُنْتُ فِي الثَّامِنِ حَائِضًا، وَفِي الثَّامِنَ عَشَرَ طَاهِرًا، فَهَذِهِ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ مِنْ سَبْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا؛ لِأَنَّهَا مِنَ الثَّامِنَ عَشَرَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ فِي طُهْرٍ بِيَقِينٍ، فَيَكُونُ لَهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ حَيْضٌ بِيَقِينٍ، وَتَكُونُ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ السَّابِعِ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ وَهِيَ فِي الثَّامِنِ وَالتَّاسِعِ وَالْعَاشِرِ حَائِضٌ بِيَقِينٍ، وَمِنَ الْحَادِي عَشَرَ إِلَى آخِرِ السَّابِعَ عَشَرَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ، فَلَوْ قَالَتْ: وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا كُنْتُ فِي الثَّامِنِ طَاهِرًا، وَفِي الثَّامِنَ عَشَرَ حَائِضًا، فَهَذِهِ حَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ مِنِ اثْنَيْنِ وَعِشْرِينَ يَوْمًا؛ لِأَنَّ مَا قَبْلَ الثَّامِنِ طُهْرٌ، وَلَا يَكُونُ لَهَا حَيْضٌ بِيَقِينٍ غَيْرَ الْيَوْمِ الَّذِي عَرَفَتْهُ، فَتَكُونُ مِنَ التَّاسِعِ إِلَى آخِرِ السَّابِعَ عَشَرَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ وَتَدَعُ الصَّلَاةَ فِي الثَّامِنَ عَشَرَ الَّذِي تَيَقَّنَتْ حَيْضَهَافِيهِ، وَهِيَ مِنَ التَّاسِعَ عَشَرَ إِلَى آخِرِ السَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ، وَهِيَ فِيمَا بَعْدَ السَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ، فَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي خَمْسَةُ أَيَّامٍ مِنَ الْعَشْرِ، وَكُنْتُ فِي الرَّابِعِ حَائِضًا، وَفِي السَّابِعِ طَاهِرًا تَحِيضُ هَذِهِ خَمْسَةَ أَيَّامٍ مِنْ سِتَّةِ أَيَّامٍ؛ لِأَنَّهَا فِي السَّابِعِ وَمَا بَعْدَهُ طَاهِرٌ فَيَحْصُلُ لَهَا مِنَ الْحَيْضِ الْيَقِينِ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ، وَمِنَ الْمَشْكُوكِ فِيهِ يَوْمَانِ أَوَّلٌ بِالْوُضُوءِ، وَسَادِسٌ بِالْغُسْلِ؛ لِأَنَّ ابْتِدَاءَ حَيْضِهَا إِنْ كَانَ مِنْ أَوَّلِ الْعَشْرِ كَانَ آخِرُهُ الْخَامِسَ، وَإِنْ كَانَ مِنَ الثَّانِي آخِرُهُ السَّادِسَ فَكَانَتْ مِنَ الثَّانِي إِلَى آخِرِ الْخَامِسِ حَائِضًا بِيَقِينٍ، وَالْيَوْمُ الْأَوَّلُ مَشْكُوكٌ فِيهِ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ وَالسَّادِسُ مَشْكُوكٌ فِيهِ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ، فَلَوْ قَالَتْ وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا كُنْتُ فِي الثَّالِثِ طَاهِرًا، وَفِي الثَّامِنِ حَائِضًا فَهَذِهِ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ وَالثَّانِي وَالثَّالِثِ، طَاهِرٌ بِيَقِينٍ وَفِي الرَّابِعِ وَالْخَامِسِ مَشْكُوكٌ فِيهِ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَفِي السَّادِسِ وَالسَّابِعِ وَالثَّامِنِ حَائِضٌ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّهُ كَانَ الثَّامِنَ الَّذِي عَلِمَتْ حَيْضَهَا فِيهِ آخِرُهُ فَأَوَّلُهُ الرَّابِعُ، وَإِنْ كَانَ الْعَاشِرُ آخر فَأَوَّلُهُ السَّادِسُ، ثُمَّ هِيَ مِنَ التَّاسِعِ وَالْعَاشِرِ فِي شَكٍّ لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ فَيَكُونُ الْيَقِينُ مِنْ طُهْرِهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَالْيَقِينُ مِنْ حَيْضِهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَالشَّكُّ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ.
PASAL
Bagian ketujuh: Seorang wanita mengingat bahwa ia haid pada suatu hari dari bulan, dan suci pada hari lain dari bulan tersebut, sementara ia lupa keadaannya pada hari-hari selainnya.
Contohnya: Ia berkata, “Haidku sepuluh hari dalam sebulan, aku tidak tahu hari-harinya, tapi aku haid pada hari kedelapan dan suci pada hari kedelapan belas.” Maka haidnya adalah sepuluh hari dari tujuh belas hari, karena dari hari kedelapan belas hingga akhir bulan adalah masa suci dengan yakin. Maka ia memiliki tiga hari haid dengan yakin, dan dari awal bulan hingga akhir hari ketujuh dalam masa suci yang diragukan, namun ia tetap salat dengan wudu. Ia berada pada hari kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh dalam keadaan haid dengan yakin.
Kemudian dari hari kesebelas hingga akhir hari ketujuh belas dalam masa suci yang diragukan, namun ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata – dan masalah tetap sebagaimana adanya – “Aku suci pada hari kedelapan dan haid pada hari kedelapan belas,” maka haidnya adalah sepuluh hari dari dua puluh dua hari, karena hari-hari sebelum kedelapan adalah masa suci, dan tidak ada haid yang diyakini selain hari yang ia ketahui. Maka dari hari kesembilan hingga akhir hari ketujuh belas dalam masa suci yang diragukan, namun ia salat dengan wudu, dan ia meninggalkan salat pada hari kedelapan belas yang ia yakini sebagai haid. Ia berada dari hari kesembilan belas hingga akhir hari kedua puluh tujuh dalam masa suci yang diragukan, namun ia salat dengan mandi, dan setelah hari kedua puluh tujuh ia suci dengan yakin.
Jika ia berkata: “Haidku lima hari dari sepuluh hari, dan aku haid pada hari keempat dan suci pada hari ketujuh,” maka ia haid lima hari dari enam hari, karena ia suci pada hari ketujuh dan setelahnya, maka ia memiliki empat hari haid dengan yakin, dan dua hari dalam keraguan: hari pertama dengan wudu dan hari keenam dengan mandi, karena jika awal haidnya dari hari pertama maka akhirnya hari kelima, dan jika dari hari kedua maka akhirnya hari keenam. Maka dari hari kedua hingga akhir hari kelima ia haid dengan yakin, hari pertama diragukan dan ia salat dengan wudu, dan hari keenam diragukan dan ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata – dan masalah tetap sebagaimana adanya – “Aku suci pada hari ketiga dan haid pada hari kedelapan,” maka pada hari pertama, kedua, dan ketiga ia suci dengan yakin. Pada hari keempat dan kelima dalam keraguan, namun ia salat dengan wudu. Pada hari keenam, ketujuh, dan kedelapan ia haid dengan yakin, karena hari kedelapan yang ia yakini sebagai haid adalah akhirnya, maka awalnya adalah hari keempat, dan jika akhirnya hari kesepuluh maka awalnya hari keenam.
Kemudian ia berada pada hari kesembilan dan kesepuluh dalam keraguan, namun ia salat dengan mandi. Maka suci dengan yakin selama tiga hari, haid dengan yakin selama tiga hari, dan sisanya empat hari dalam keraguan.
(فَصْلٌ)
: وَالْقِسْمُ الثَّامِنُ: أَنْ تَذْكُرَ أَنَّهَا كَانَتْ حَائِضًا فِي يَوْمٍ مِنْ يَوْمَيْنِ لَا تَعْرِفُهُ بِعَيْنِهِ وَتَنْسَى حَالَهَا فِيمَا سِوَاهُ.
مِثَالُهُ: أَنْ تَقُولَ أَعْلَمُ أَنَّ حَيْضِي مِنَ الشَّهْرِ عَشَرَةُ أَيَّامٍ، وَأَنَّنِي كُنْتُ إِمَّا فِي الْخَامِسِ مِنْهُ حَائِضًا أَوْ مِنَ الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ فَهَذِهِ يَحْصُلُ حَيْضُهَا تَارَةً فِي الْخَامِسِ، وَتُنَزَّلُ تَنْزِيلَيْنِ، وَتَارَةً مِنَ الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ، فَتُنَزَّلُ تَنْزِيلَيْنِ فَتَصِيرُ مُنَزَّلَةً أَرْبَعَ مَرَّاتٍ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهَذِهِ فِي شَكٍّ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ الْعَاشِرِ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ ابْتِدَاءُ حَيْضِهَا الْخَامِسَ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ، وَهِيَ فِي الْخَامِسَ عَشَرَ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّهَا لَا تَنْتَهِي إِلَيْهِ فِي التَّنْزِيلَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ، وَلَا تَبْتَدِئُ مِنْهُ فِي التَّنْزِيلَيْنِ الْآخَرَيْنِ، ثُمَّ هِيَ مِنَ السَّادِسَ عَشَرَ إِلَى الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ فِي شَكٍّ، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْخَامِسُ وَالْعِشْرُونَ آخِرَ حَيْضِهَا، وَمِنَ السَّادِسِ وَالْعِشْرِينَ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ فِي شَكٍّ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرُ الشَّهْرِ آخِرَ حَيْضِهَا، لَكِنْ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ؛ لِأَنَّ انْقِطَاعَ الدَّمِ فِيهِ يَجُوزُ، فَلَوْ قَالَتْ: وَالْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا كُنْتُ حَائِضًا إِمَّا فِي الْيَوْمِ الْعَاشِرِ أَوْ فِي الْيَوْمِ الْعِشْرِينَ فَهَذَا عَلَى الْأَصْلِ الْمُقَدَّرِ تَكُونُ فِي شَكٍّ فِي جَمِيعِ الشَّهْرِ إِلَّا فِي الْيَوْمِ الْأَخِيرِ مِنْهُ فَإِنَّهَا طَاهِرٌ فِيهِ، لَكِنْ تُصَلِّي مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ إِلَى آخِرِ الْعَاشِرِ بِالْوُضُوءِ، وَمِنَ الْحَادِي عَشَرَ إِلَى آخِرِ التَّاسِعَ عَشَرَ بِالْغُسْلِ، وَمِنَ الْعِشْرِينَ إِلَى التَّاسِعِ وَالْعِشْرِينَ بِالْوُضُوءِ وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِهِ.
PASAL
Bagian kedelapan: Seorang wanita mengingat bahwa ia haid pada salah satu dari dua hari, namun tidak mengetahui secara pasti harinya, dan ia lupa keadaan dirinya pada hari-hari selainnya.
Contohnya: Ia berkata, “Aku tahu bahwa haidku dalam sebulan sepuluh hari, dan aku pernah haid pada hari kelima atau pada hari kedua puluh lima.” Maka haidnya kadang terjadi pada hari kelima dan diturunkan dengan dua bentuk tanzīl, dan kadang terjadi pada hari kedua puluh lima dan diturunkan pula dengan dua bentuk tanzīl, sehingga total menjadi empat bentuk tanzīl.
Dalam keadaan ini, ia berada dalam keraguan dari awal bulan hingga akhir hari kesepuluh, tetapi ia tetap salat dengan wudu karena memungkinkan awal haidnya pada hari kelima. Namun ia tetap salat dengan mandi. Ia berada dalam keadaan suci dengan yakin pada hari kelima belas, karena pada dua bentuk tanzīl yang pertama haidnya telah berakhir sebelum hari itu, dan pada dua bentuk tanzīl yang terakhir haidnya belum dimulai dari hari itu.
Kemudian dari hari keenam belas hingga hari kedua puluh lima ia berada dalam keraguan, namun tetap salat dengan wudu, karena bisa jadi hari kedua puluh lima adalah akhir haidnya. Dari hari kedua puluh enam hingga akhir bulan ia juga berada dalam keraguan, karena bisa jadi akhir bulan adalah akhir haidnya, namun tetap salat dengan mandi, karena kemungkinan darah haid berhenti pada hari itu.
Jika ia berkata – dan masalah tetap sebagaimana adanya – “Aku haid pada hari kesepuluh atau hari kedua puluh,” maka berdasarkan kaidah yang ditetapkan, ia berada dalam keraguan selama seluruh bulan kecuali pada hari terakhir yang ia yakin sebagai masa suci.
Maka ia salat dari awal bulan hingga akhir hari kesepuluh dengan wudu, dari hari kesebelas hingga akhir hari kesembilan belas dengan mandi, dari hari kedua puluh hingga hari kedua puluh sembilan dengan wudu, dan ia mandi pada hari terakhir bulan itu.
(فَصْلٌ)
: وَالْقِسْمُ التَّاسِعُ: أَنْ تَذْكُرَ أَنَّهَا كَانَتْ طَاهِرًا فِي وَاحِدٍ مِنْ يَوْمَيْنِ لَا تَعْرِفُهُ بِعَيْنِهِ، وَتَنْسَى حَالَهَا فيما سواه.
مثاله: أن تقول أعلم أن حيضي عشرة أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ، وَأَنَّنِي كُنْتُ إِمَّا فِي الْخَامِسِ مِنْهُ طَاهِرًا، أَوْ فِي الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ، فَهَذِهِ مِمَّنْ لَمْ يَسْتَفِدْ بِهَذَا الْقَوْلِ لَهَا حُكْمًا، وَلَمْ تَزِدْ بَيَانًا وَحُكْمُهَا حُكْمُ مَنْ قَالَتْ أَعْلَمُ أَنَّ حَيْضِي عَشَرَةُ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ لَا أَعْرِفُهَا، فَتُصَلِّي عَشَرَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِهِ بِالْوُضُوءِ، وَتَغْتَسِلُ بَعْدَهُ لِكُلِّ صَلَاةٍ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ.
PASAL
Bagian kesembilan: Seorang wanita mengingat bahwa ia suci pada salah satu dari dua hari, namun tidak mengetahui secara pasti hari tersebut, dan ia lupa keadaan dirinya pada hari-hari selainnya.
Contohnya: Ia berkata, “Aku tahu bahwa haidku sepuluh hari dalam sebulan, dan aku pernah suci pada hari kelima atau pada hari kedua puluh lima.” Maka wanita seperti ini tidak mendapatkan faidah hukum dari pernyataan tersebut dan tidak menambah penjelasan apa pun.
Hukumnya sama seperti wanita yang berkata, “Aku tahu haidku sepuluh hari dalam sebulan, tetapi aku tidak tahu hari-harinya.” Maka ia salat selama sepuluh hari dari awal bulan dengan wudu, dan setelah itu ia mandi untuk setiap salat hingga akhir bulan.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الْعَاشِرُ: أَنْ لا تذكر حيضاً ولا طهراً وتتيقن أيام حَيْضِهَا حُكْمًا؛ وَهَذَا إِنَّمَا يَكُونُ إِذَا كَانَتْ أَيَّامُ حَيْضِهَا أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ الْأَيَّامِ الَّتِي كَانَ الْحَيْضُ فِيهَا، فَإِنْ زَادَ الْحَيْضُ عَلَى النِّصْفِ يَوْمًا تَيَقَّنَتْ حَيْضَ يَوْمَيْنِ، ثُمَّ كُلَّمَا زاد يوم زاد يقين حيضها يومان.
مِثَالُهُ: أَنْ تَقُولَ أَعْلَمُ أَنَّ حَيْضِي سِتَّةُ أَيَّامٍ مِنَ الْعَشْرِ لَا أَعْرِفُهَا فَهَذِهِ لَهَا تنزيلان:
أحدهما: أن يجعل أَوَّلَ حَيْضِهَا أَوَّلَ الْعَشْرِ فَيَكُونُ آخِرُهَا السَّادِسَ.
والتنزيل الثاني: أن يجعل آخِرَ حَيْضِهَا آخِرَ الْعَشْرِ فَيَكُونُ أَوَّلُهُ الْخَامِسَ، فيعلم أَنَّ الْخَامِسَ وَالسَّادِسَ حَيْضٌ يَقِينًا وَأَرْبَعَةَ أَيَّامٍ قَبْلَهَا شَكٌّ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَأَرْبَعَةَ أَيَّامٍ بَعْدَهَا شَكٌّ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ.
وَلَوْ قَالَتْ: كَانَ حَيْضِي في سبع مِنَ الْعَشْرِ كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ مِنَ الرَّابِعِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرَ الْعَشْرِ آخِرُهُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ أَوَّلُ الْعَشْرِ أَوَّلَهُ وَلَهَا ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ قَبْلَهَا شَكٌّ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ وَثَلَاثَةُ أَيَّامٍ بَعْدَهَا شَكٌّ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ.
وَلَوْ قَالَتْ: كَانَ حَيْضِي ثَمَانِيَةُ أَيَّامٍ مِنَ الْعَشْرِ كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنَ الثَّالِثِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرُ الْعَشْرِ آخِرَهُ إِلَى الثَّامِنِ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ أَوَّلُ الْعَشْرِ أَوَّلَهُ، وَلَهَا يَوْمَانِ قَبْلَهَا شَكٌّ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَيَوْمَانِ بَعْدَهَا شَكٌّ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ.
وَلَوْ قَالَتْ: كَانَ حَيْضِي تِسْعَةُ أَيَّامٍ مِنَ الْعَشْرِ كَانَ يَقِينُ حيضها ستة أيام من الثالث يَوْمُ شَكٍّ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَمِنْ آخِرِهِ يَوْمُ شَكٍّ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ.
فَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي عَشَرَةُ أَيَّامٍ مِنْ عِشْرِينَ يَوْمًا فَلَيْسَ لَهَا حَيْضٌ بِيَقِينٍ؛ لِأَنَّ أَيَّامَ حَيْضِهَا لَا تَزِيدُ عَلَى النِّصْفِ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَتْ حَيْضِي أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا مِنَ الْعِشْرِينَ لَا أَعْرِفُهَا كَانَ لَهَا يَوْمَانِ حَيْضٌ بِيَقِينٍ الْعَاشِرُ وَالْحَادِي عَشَرَ، وَمَا قَبْلَ الْعَاشِرِ شَكٌّ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَمِنْ بَعْدِ الْحَادِي عَشَرَ شَكٌّ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ.
PASAL
Adapun bagian kesepuluh: yaitu seorang wanita tidak mengingat masa haid maupun masa sucinya, namun ia meyakini jumlah hari haidnya secara hukum. Ini terjadi apabila jumlah hari haidnya lebih dari separuh hari-hari yang mungkin terjadi haid di dalamnya.
Jika haidnya melebihi setengah hari dengan satu hari, maka ia meyakini dua hari haid. Kemudian setiap kali bertambah satu hari, bertambah pula keyakinan haidnya dua hari.
Contohnya: Ia berkata, “Aku tahu haidku enam hari dari sepuluh hari, namun aku tidak tahu hari-harinya.” Maka ada dua bentuk tanzīl:
- Yang pertama: awal haidnya dimulai dari awal sepuluh hari, maka berakhir pada hari keenam.
- Yang kedua: akhir haidnya bertepatan dengan akhir sepuluh hari, maka awalnya dimulai dari hari kelima.
Maka hari kelima dan keenam adalah haid dengan yakin. Empat hari sebelumnya dalam keadaan syak (ragu), ia salat dengan wudu. Dan empat hari setelahnya dalam keadaan syak, ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku tujuh hari dari sepuluh hari,” maka haid yang diyakini adalah empat hari dari hari keempat, karena bisa jadi akhir haidnya bertepatan dengan akhir sepuluh hari, dan bisa jadi awalnya dari awal sepuluh hari. Maka tiga hari sebelumnya dalam keadaan syak, ia salat dengan wudu, dan tiga hari setelahnya dalam keadaan syak, ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku delapan hari dari sepuluh hari,” maka haid yang diyakini adalah enam hari dari hari ketiga, karena mungkin akhir haidnya sampai hari kedelapan, dan bisa jadi awalnya dari awal sepuluh hari. Maka dua hari sebelumnya dalam keadaan syak, ia salat dengan wudu, dan dua hari setelahnya dalam keadaan syak, ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku sembilan hari dari sepuluh hari,” maka haid yang diyakini adalah enam hari dari hari ketiga. Hari pertama dalam keadaan syak, ia salat dengan wudu, dan hari terakhir dalam keadaan syak, ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku sepuluh hari dari dua puluh hari,” maka tidak ada satu haripun yang diyakini sebagai haid, karena hari-hari haidnya tidak melebihi separuh.
Namun jika ia berkata: “Haidku sebelas hari dari dua puluh hari dan aku tidak tahu hari-harinya,” maka ia memiliki dua hari haid dengan yakin, yaitu hari kesepuluh dan kesebelas. Hari-hari sebelum kesepuluh dalam keadaan syak, ia salat dengan wudu, dan hari-hari setelah kesebelas dalam keadaan syak, ia salat dengan mandi.
فَلَوْ قَالَتْ: كان حَيْضِي اثْنَيْ عَشَرَ يَوْمًا مِنَ الْعِشْرِينَ كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ مِنَ التَّاسِعِ إِلَى الثَّانِي عَشَرَ، وَمَا قَبْلَهَا شَكٌّ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ، وَمَا بَعْدَهَا شَكٌّ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ، وَكَذَا حُكْمُ الْأَيَّامِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَالْمُتَأَخِّرَةِ، فَلَوْ قَالَتْ حَيْضِي ثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنَ الْعِشْرِينَ كَانَيقين حيضها ستة أيام من الثاني إِلَى الثَّالِثَ عَشَرَ وَسَبْعَةٌ مِنْ قَبْلِهَا شَكٌّ بِالْوُضُوءِ وَسَبْعَةٌ بَعْدَهَا شَكٌّ بِالْغُسْلِ وَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنَ الْعِشْرِينَ كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ السَّابِعِ إِلَى الرَّابِعَ عَشَرَ، وَقَبْلَهَا سِتَّةُ أَيَّامٍ شَكٌّ بِالْوُضُوءِ وَبَعْدَهَا سِتَّةُ أَيَّامٍ شَكٌّ تُصَلِّي بِالْغُسْلِ.
فَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنَ الْعِشْرِينَ كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا عَشَرَةَ أَيَّامٍ مِنَ السَّادِسِ إِلَى الْخَامِسَ عَشَرَ وَخَمْسَةُ أَيَّامٍ قَبْلَهَا شَكٌّ بِالْوُضُوءِ وَخَمْسَةُ أَيَّامٍ بَعْدَهَا شَكٌّ بِالْغُسْلِ، وَالْأَصْلُ الَّذِي يُؤَدِّيكَ إِلَى مَعْرِفَةِ أَيَّامِ حَيْضِهَا وَأَيَّامِ شَكِّهَا أَنْ تُلْغِيَ عَدَدَ أَيَّامِ الْحَيْضِ مِنْ جُمْلَةِ الْأَيَّامِ، وَتَنْظُرَ الْبَاقِيَ مِنْهَا فَتُلْقِيهِ مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ فَيَكُونُ الْبَاقِي مِنْهَا هُوَ الْحَيْضُ الْيَقِينُ، وَتِلْكَ الْأَيَّامُ هِيَ عَدَدُ الشَّكِّ فِي الطَّرَفَيْنِ فَعَلَى هَذَا إِذَا قَالَتْ حَيْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْ أَحَدٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا أَلْقَيْتَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ مِنَ الْأَحَدِ وَالْعِشْرِينَ، فَيَكُونُ الْبَاقِي ستة أيام فتلقي السِّتَّةَ مِنَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ يَكُونُ الْبَاقِي مِنْهَا تِسْعَةَ أَيَّامٍ فَتَكُونُ التِّسْعَةُ هِيَ الْحَيْضُ الْيَقِينُ وَالسِّتَّةُ هِيَ شَكٌّ قَبْلَهَا، وَشَكٌّ بَعْدَهَا فَيَكُونُ أَوَّلُ التِّسْعَةِ مِنَ السَّابِعِ، وَآخِرُهَا الْخَامِسَ عَشَرَ.
PASAL
Jika ia berkata: “Haidku dua belas hari dari dua puluh hari,” maka haid yang diyakini adalah empat hari, dari hari kesembilan hingga kedua belas. Hari-hari sebelumnya adalah dalam keadaan syak, maka ia salat dengan wudu, dan hari-hari setelahnya dalam keadaan syak pula, maka ia salat dengan mandi. Demikian pula hukum pada hari-hari sebelum dan sesudahnya.
Jika ia berkata: “Haidku tiga belas hari dari dua puluh hari,” maka haid yang diyakini adalah enam hari, dari hari kedua hingga hari ketiga belas. Tujuh hari sebelumnya dalam keadaan syak, ia salat dengan wudu, dan tujuh hari setelahnya dalam keadaan syak, ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku empat belas hari dari dua puluh hari,” maka haid yang diyakini adalah tiga hari, dari hari ketujuh hingga hari keempat belas. Enam hari sebelumnya dalam keadaan syak, ia salat dengan wudu, dan enam hari setelahnya dalam keadaan syak, ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh hari,” maka haid yang diyakini adalah sepuluh hari, dari hari keenam hingga hari kelima belas. Lima hari sebelumnya dalam keadaan syak, ia salat dengan wudu, dan lima hari setelahnya dalam keadaan syak, ia salat dengan mandi.
Dasar kaidah yang akan membawamu kepada penentuan hari-hari haidnya dan hari-hari syaknya adalah:
Engkau kurangi jumlah hari haid dari keseluruhan jumlah hari, kemudian sisanya engkau kurangi dari sisi awal dan akhir haid tersebut. Sisa hari yang tidak tercakup oleh keraguan itulah haid yang diyakini. Adapun hari-hari yang dikeluarkan di awal dan akhir adalah hari-hari syak.
Berdasarkan kaidah ini, jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh satu hari,” maka engkau kurangi lima belas dari dua puluh satu, tersisa enam hari. Enam hari itu dikurangi dari lima belas, maka sisanya sembilan hari. Maka sembilan hari itu adalah haid yang diyakini, dan enam hari adalah syak, yaitu tiga hari sebelum sembilan dan tiga hari setelahnya.
Maka awal dari sembilan hari itu adalah hari ketujuh, dan akhirnya hari kelima belas.
فلو قالت: حيضي خمسة عشر يوما من اثْنَيْنِ وَعِشْرِينَ يَوْمًا، كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ مِنَ الثَّامِنِ إِلَى الْخَامِسَ عَشَرَ، وَقَبْلَهَا سَبْعَةُ أَيَّامٍ شَكٌّ بِالْوُضُوءِ، وَبَعْدَهَا سَبْعَةُ أَيَّامٍ شَكٌّ بِالْغُسْلِ، فَيَصِيرُ كُلَّمَا زَادَ عَدَدُ الْأَيَّامِ نَقَصَ مِنْ يَقِينِ حَيْضِهَا يَوْمٌ.
فَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْ ثَلَاثَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا سَبْعَةُ أَيَّامٍ مِنَ التَّاسِعِ إِلَى الْخَامِسَ عَشَرَ وَقَبْلَهَا ثَمَانِيَةُ أَيَّامٍ شَكٌّ بِالْوُضُوءِ وَبَعْدَهَا ثَمَانِيَةُ أَيَّامٍ شَكٌّ بِالْغُسْلِ وَلَوْ قَالَتْ حَيْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنَ الْعَاشِرِ إِلَى الْخَامِسَ عَشَرَ وَقَبْلَهَا تِسْعَةُ أَيَّامٍ شَكٌّ بِالْوُضُوءِ وَبَعْدَهَا تِسْعَةُ أَيَّامٍ شَكٌّ بِالْغُسْلِ وَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْ خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ مِنَ الْحَادِي عَشَرَ إِلَى الْخَامِسَ عَشَرَ وَقَبْلَهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ شَكٌّ بِالْوُضُوءِ وَبَعْدَهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ شَكٌّ بِالْغُسْلِ.
PASAL
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh dua hari,” maka haid yang diyakini adalah delapan hari, dari hari kedelapan hingga hari kelima belas. Sebelumnya terdapat tujuh hari dalam keadaan syak, maka ia salat dengan wudu. Setelahnya juga tujuh hari dalam keadaan syak, maka ia salat dengan mandi.
Dengan demikian, setiap kali jumlah hari (keseluruhan) bertambah satu, maka jumlah hari haid yang diyakini berkurang satu.
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh tiga hari,” maka haid yang diyakini adalah tujuh hari, dari hari kesembilan hingga hari kelima belas. Sebelumnya terdapat delapan hari dalam keadaan syak, ia salat dengan wudu. Setelahnya juga delapan hari dalam keadaan syak, ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh empat hari,” maka haid yang diyakini adalah enam hari, dari hari kesepuluh hingga hari kelima belas. Sebelumnya sembilan hari syak, ia salat dengan wudu, dan setelahnya sembilan hari syak, ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh lima hari,” maka haid yang diyakini adalah lima hari, dari hari kesebelas hingga hari kelima belas. Sebelumnya sepuluh hari syak, ia salat dengan wudu, dan setelahnya sepuluh hari syak, ia salat dengan mandi.
وَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْ سِتَّةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا أَرْبَعَةَ أَيامٍ مِنَ الثَّانِي عَشَرَ إِلَى الْخَامِسَ عَشَرَ وَقَبْلَهَا أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا شَكٌّ بِالْوُضُوءِ وَبَعْدَهَا أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا شَكٌّ بِالْغُسْلِ.
وَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْ سَبْعَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الثَّالِثَ عَشَرَ إِلَى الْخَامِسَ عَشَرَ وَقَبْلَهَا اثْنَيْ عَشَرَ يَوْمًا شَكٌّ بِالْوُضُوءِ وَبَعْدَهَا إِحْدَى عَشَرَ يَوْمًا شَكٌّ بالغسل.
ولو قالت: حيضي خمسة عشرة يَوْمًا مِنْ ثَمَانِيَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا يَوْمَيْنِ الرَّابِعَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ وَقَبْلَهَا ثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا شَكٌّ بِالْوُضُوءِ وَبَعْدَهَا ثَلَاثَةَ عَشْرَةَ يَوْمًا شَكٌّ بِالْغُسْلِ.
وَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْ تِسْعَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا كَانَ يَقِينُ حَيْضِهَا يَوْمًا وَهُوَ الْخَامِسَ عَشَرَ وقبله أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا شَكٌّ بِالْغُسْلِ.
وَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا مِنْ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ما لَمْ يَكُنْ لَهَا يَقِينُ حَيْضٍ لِأَنَّ أَيَّامَ الحيض لا يزيد عَلَى النِّصْفِ شَيْئًا، وَعَلَى هَذَا يَكُونُ قِيَاسُ مَا وَرَدَ عَلَيْكَ مِنْ هَذِهِ الْمَسَائِلِ.
PASAL
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh enam hari,” maka haid yang diyakini adalah empat hari, dari hari kedua belas hingga hari kelima belas. Sebelumnya sebelas hari dalam keadaan syak, maka ia salat dengan wudu, dan setelahnya sebelas hari juga dalam keadaan syak, maka ia salat dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh tujuh hari,” maka haid yang diyakini adalah tiga hari, dari hari ketiga belas hingga hari kelima belas. Sebelumnya dua belas hari syak dengan wudu, dan setelahnya sebelas hari syak dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh delapan hari,” maka haid yang diyakini adalah dua hari, yaitu hari keempat belas dan kelima belas. Sebelumnya tiga belas hari syak dengan wudu, dan setelahnya tiga belas hari syak dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari dua puluh sembilan hari,” maka haid yang diyakini adalah satu hari, yaitu hari kelima belas. Sebelumnya empat belas hari dalam syak dengan wudu, dan setelahnya empat belas hari dalam syak dengan mandi.
Jika ia berkata: “Haidku lima belas hari dari tiga puluh hari,” maka ia tidak memiliki satu haripun yang diyakini sebagai haid, karena hari-hari haid tidak melebihi setengah dari jumlah hari tersebut.
Berdasarkan hal ini, dapat di-qiyās-kan seluruh masalah yang semakna dengannya.
فَهَذَا آخِرُ أَقْسَامِ النَّاسِيَةِ، وَهُوَ آخِرُ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَقْسَامِ الْمُسْتَحَاضَةِ، وَقَدْ يَتَعَقَّبُ ذَلِكَ فُصُولٌ أَرْبَعٌ هِيَ تَابِعَةٌ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ أَحْوَالِ الْمُسْتَحَاضَةِ:
أَحَدُهَا: فِي التَّلْفِيقِ وَهُوَ مِنْ تَوَابِعِ التَّمْيِيزِ.
وَالثَّانِي: فِي الِانْتِقَالِ وَهُوَ مِنْ تَوَابِعِ الْعَادَةِ.
وَالثَّالِثُ: فِي الْخَلْطَةِ وَهُوَ مِنْ تَوَابِعِ النَّاسِيَةِ.
وَالرَّابِعُ: فِي الْغَفْلَةِ وَهُوَ مُلْحَقٌ بِذَاتِ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Inilah akhir dari pembahasan tentang pembagian wanita yang lupa (nāsiyah), dan sekaligus menjadi akhir dari apa yang telah kami sampaikan mengenai pembagian wanita mustaḥāḍah.
Setelah ini, terdapat empat pasal lanjutan yang merupakan cabang dari keadaan-keadaan mustaḥāḍah:
- Pertama: tentang talfīq, dan ini merupakan cabang dari pembahasan tamyī
- Kedua: tentang intiqāl, dan ini merupakan cabang dari pembahasan ‘ā
- Ketiga: tentang khalṭah, dan ini merupakan cabang dari pembahasan wanita yang lupa (nāsiyah).
- Keempat: tentang ghaflah, dan ini termasuk dalam kategori wanita yang mengalami haid dan suci.
Wallāhu a‘lam.
(الْفَصْلُ الْأَوَّلُ: فِي التَّلْفِيقِ)
وَصُورَتُهُ أَنْ تَرَى الْمَرْأَةُ يَوْمًا دَمًا ويوماً نقاً، ويوماً دماً ويوماً نقاً، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَتَجَاوَزَ ذَلِكَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا أَوْ لَا يَتَجَاوَزُهَا وَانْقَطَعَ عِنْدَ اسْتِكْمَالِهَا، فَالَّذِي صَرَّحَ بِهِ الشَّافِعِيُّ فِي سَائِرِ كُتُبِهِ أَنَّ كُلَّ ذَلِكَ حَيْضٌ أَيَّامُ الدَّمِ وَأَيَّامُ النَّقَاءِ، وَقَالَ فِي كِتَابِ الْحَيْضِ، فِي مُنَاظَرَةٍ جَرَتْ بَيْنَهُ وبين محمد بن الحسن ما اقتضى أَنْ تَكُونَ أَيَّامُ الدَّمِ حَيْضًا، وَأَيَّامُ النَّقَاءِ طُهْرًا فَخَرَّجَهُ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
PASAL PERTAMA: TENTANG TALFĪQ
Bentuk permasalahannya adalah: seorang wanita melihat darah pada suatu hari, lalu bersih pada hari berikutnya, lalu darah lagi di hari selanjutnya, dan begitu seterusnya berselang-seling antara darah dan bersih.
Kondisinya tidak lepas dari dua keadaan:
- Bisa jadi hal itu melebihi lima belas hari,
- atau tidak melebihinya dan berhenti tepat saat mencapai lima belas hari.
Pendapat yang ditegaskan oleh Imam al-Syāfi‘ī dalam seluruh kitab-kitabnya adalah bahwa semuanya termasuk haid — baik hari-hari darah maupun hari-hari suci (bersih).
Namun, dalam Kitāb al-Ḥaiḍ, dalam sebuah perdebatan antara beliau dan Muḥammad bin al-Ḥasan, Imam al-Syāfi‘ī menyampaikan bahwa hari-hari keluar darah adalah haid, dan hari-hari bersih adalah suci.
Para sahabat kami dari kalangan jumhur men-takhrīj-kan permasalahan ini menjadi dua pendapat (dua qaul):
أَحَدُهُمَا: أَنَّ كُلَّ ذَلِكَ حَيْضٌ أَيَّامُ الدَّمِ وَأَيَّامُ النَّقَاءِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَقَلَّ طُهْرٍ خَمْسَةَ عَشَرَ يوماً فلا يجوز.
وَالثَّانِي: أَنَّ عَادَةَ النِّسَاءِ فِي الْحَيْضِ مُسْتَمِرَّةٌ بأن يجري الدم زماناً ويرقأ زَمَانًا، وَلَيْسَ مِنْ عَادَتِهِ أَنْ يَسْتَدِيمَ جَرَيَانُهُ إِلَى انْقِضَاءِ مُدَّتِهِ، فَلَمَّا كَانَ زَمَانُ إِمْسَاكِهِ حَيْضًا؛ لِكَوْنِهِ بَيْنَ دَمَيْنِ كَانَ زَمَانُ النَّقَاءِ حَيْضًا لِحُصُولِهِ بَيْنَ دَمَيْنِ، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْخَمْسَةَ عَشَرَ كُلُّهَا حَيْضًا، يَحْرُمُ عَلَيْهَا فِي أَيَّامِ النَّقَاءِ مَا يَحْرُمُ عَلَيْهَا فِي أَيَّامِ الدم.
Salah satu dari dua pendapat:
Bahwa seluruh hari tersebut adalah haid — baik hari-hari keluar darah maupun hari-hari naqā’ (bersih dari darah). Pendapat ini dikatakan oleh Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, berdasarkan dua alasan:
Pertama: Bahwa suci paling sedikit adalah lima belas hari, maka tidak boleh dianggap sebagai suci (jika belum mencapainya).
Kedua: Bahwa kebiasaan para wanita dalam haid itu berlangsung secara berulang, yakni darah keluar pada suatu waktu dan berhenti pada waktu lain. Tidak menjadi kebiasaan bahwa darah mengalir terus-menerus sampai habis seluruh masa haid. Maka ketika masa berhentinya darah itu berada di antara dua masa darah, ia tetap dihukumi haid karena terletak di antara dua darah.
Berdasarkan hal ini, maka kelima belas hari tersebut semuanya dianggap haid, dan pada hari-hari naqā’ (yang tampak bersih dari darah), haram atasnya apa yang juga haram pada hari-hari darah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ أَيَّامَ الدَّمِ حَيْضٌ، وَأَيَّامَ النَّقَاءِ طُهْرٌ، وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ، لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الدَّمُ دَالًّا عَلَى الْحَيْضِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ النَّقَاءُ الْأَعْلَى الطُّهْرَ.
وَالثَّانِي: لَوْ جَازَ أَنْ يُجْعَلَ النَّقَاءُ حَيْضًا لما تعقبه من الحيض لجاز أَنْ يُجْعَلَ الْحَيْضُ طُهْرًا؛ لِمَا تَعَقَّبَهُ مِنَ الطُّهْرِ فَعَلَى هَذَا تُلَفِّقُ أَيَّامَ الدَّمِ فَتَكُونُ حَيْضًا تَجْتَنِبُ فِيهِ مَا تَجْتَنِبُهُ الْحَائِضُ، وَتُلَفِّقُ أَيَّامَ النَّقَاءِ فَتَكُونُ طُهْرًا تَسْتَبِيحُ مَا تَسْتَبِيحُهُ الطَّاهِرُ، وَيَكُونُ حَيْضُهَا ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ هِيَ الْأَفْرَادُ مِنْ أَيَّامِهَا الْأَوَّلُ وَالثَّالِثُ وَالْخَامِسُ وَالسَّابِعُ وَالتَّاسِعُ وَالْحَادِي عَشَرَ وَالثَّالِثَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ، وَيَكُونُ طُهْرُهَا سَبْعَةَ أَيَّامٍ هِيَ الْأَزْوَاجُ مِنْ أَيَّامِهَا الثَّانِي وَالرَّابِعُ وَالسَّادِسُ وَالثَّامِنُ وَالْعَاشِرُ وَالثَّانِي عَشَرَ وَالرَّابِعَ عَشَرَ ثُمَّ عَلَى كِلَا الْقَوْلَيْنِ إِنِ انْقَطَعَ دَمُهَا عِنْدَ تَقَضِّي الدَّمِ الْأَوَّلِ اغْتَسَلَتْ وَصَلَّتْ وَصَامَتْ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ طُهْرًا تَامًّا، فَإِذَا رَأَتِ الدَّمَ مِنَ الْيَوْمِ الثَّالِثِ أَمْسَكَتْ، فَإِذَا انْقَطَعَ عِنْدَ تَقَضِّيهِ وَدُخُولِ الرَّابِعِ اغْتَسَلَتْ وَصَلَّتْ لِجَوَازِ أَنْ يَسْتَدِيمَ الطُّهْرُ ثُمَّ تَفْعَلُ هكذا في جميع الأيام النَّقَاءِ إِلَّا أَنْ يَصِيرَ ذَلِكَ عَادَةً لَهَا فِي كُلِّ شَهْرٍ فَلَا يَلْزَمُهَا أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ فَيَ أَيَّامِ النَّقَاءِ إِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا حَيْضٌ، وَيَلْزَمُهَا ذَلِكَ إِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا طُهْرٌ، وَهَكَذَا لَوْ رَأَتْ يَوْمَيْنِ دَمًا، وَيَوْمَيْنِ نَقَاءً، ولم تتجاوز خمسة عَشَرَ يَوْمًا؛ لِأَنَّهَا كَانَتْ فِي الْخَامِسَ عَشَرَ طَاهِرًا، فَإِنْ لَفَّقْنَا حَيْضَهَا كَانَ حَيْضُهَا أَيَّامَ الدَّمِ، وَهِيَ ثَمَانِيَةٌ وَهَكَذَا لَوْ رَأَتْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ دَمًا وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ نَقَاءً، فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَ حَيْضُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَإِنْ لَفَّقْنَا كَانَ حَيْضُهَا أَيَّامَ الدَّمِ وَهِيَ تِسْعَةٌ، وَهَكَذَا لَوْ رَأَتْ يَوْمًا دَمًا وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ نَقَاءً، أَوْ رَأَتْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ دَمًا وَيَوْمًا نقاً فَهُوَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي التَّلْفِيقِ.
Pendapat kedua:
Bahwa hari-hari keluar darah adalah haid, dan hari-hari naqā’ (bersih dari darah) adalah suci. Ini merupakan pendapat Abū Isḥāq, berdasarkan dua alasan:
Pertama: Karena darah menjadi penanda adanya haid, maka naqā’ yang tampak di antara darah-darah itu mesti dihukumi suci.
Kedua: Seandainya boleh menghukumi naqā’ sebagai haid hanya karena diikuti darah sesudahnya, maka seharusnya darah pun bisa dihukumi suci karena diikuti oleh ṭuhr sesudahnya — dan ini tidak mungkin.
Berdasarkan pendapat ini, maka:
- Hari-hari darah disatukan (ditalfīq) dan dihukumi sebagai haid; pada hari-hari itu ia menjauhi apa yang diharamkan atas wanita haid.
- Hari-hari naqā’ pun disatukan dan dihukumi sebagai suci; pada hari-hari itu ia boleh melakukan apa yang boleh dilakukan wanita suci.
Jika pola yang terjadi selama lima belas hari adalah berselang: hari pertama keluar darah, kedua bersih, ketiga darah, keempat bersih, dan seterusnya, maka:
- Hari-hari ganjil (pertama, ketiga, kelima, ketujuh, kesembilan, kesebelas, ketiga belas, kelima belas) adalah haid — total delapan hari.
- Hari-hari genap (kedua, keempat, keenam, kedelapan, kesepuluh, kedua belas, keempat belas) adalah suci — total tujuh hari.
Kemudian, menurut kedua pendapat:
Jika darah berhenti setelah hari pertama, maka ia mandi dan salat serta puasa, karena boleh jadi itu ṭuhr sempurna.
Jika kemudian ia melihat darah pada hari ketiga, maka ia harus menahan diri.
Jika darah berhenti dan masuk hari keempat, maka ia mandi dan salat, karena memungkinkan ṭuhr-nya berlanjut.
Ia terus melakukan demikian di semua hari naqā’, kecuali jika pola ini menjadi kebiasaannya setiap bulan, maka:
- Jika kita katakan: naqā’ adalah haid, maka tidak wajib baginya mengulang mandi di setiap masa naqā’.
- Jika kita katakan: naqā’ adalah suci, maka wajib baginya mandi dan salat setiap kali darah berhenti.
Demikian juga jika ia melihat dua hari darah dan dua hari bersih, dan tidak melebihi lima belas hari — karena pada hari kelima belas ia suci — maka:
- Jika kita menalfīq (menggabungkan) hari-hari darah, maka haidnya adalah delapan hari (semua hari darah).
Demikian pula bila ia melihat tiga hari darah dan tiga hari bersih secara bergantian:
- Jika tidak kita telfīq, maka haidnya dianggap lima belas hari.
- Jika kita telfīq, maka haidnya hanya hari-hari darah, yakni sembilan hari.
Demikian pula jika ia melihat sehari darah dan tiga hari bersih, atau tiga hari darah dan satu hari bersih — maka semuanya kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan dalam masalah talfīq.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَجَاوَزَ دَمُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، فَقَدْ حُكِيَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ بِنْتِ الشَّافِعِيِّ، وَكَانَ مُقَدَّمًا فِي الْحَيْضِ والمناسك أن هذه غير مستحاضة حكمها كحكم التي انقطع دمها الخمسة عشر يوماً؛ لأنها من السَّادِسَ عَشَرَ طَاهِرٌ طُهْرًا لَمْ يَتَّصِلْ بِدَمِ الْحَيْضِ، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ أَنَّ هَذِهِ مُسْتَحَاضَةٌ؛ لِأَنَّهَا بَعْدَ أَيَّامِ الْحَيْضِ على صفتها من أيام الحيض، وهذا حَالُ الْمُسْتَحَاضَةِ، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا مُسْتَحَاضَةٌ فَلَهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ: حَالٌ تَكُونُ مُمَيِّزَةً، وَحَالٌ تَكُونُ مُعْتَادَةً، وَحَالٌ لَا يَكُونُ لَهَا تَمْيِيزٌ وَلَا عَادَةٌ، فَإِنْ كَانَتْ مُمَيِّزَةً رُدَّتْ إِلَى تَمْيِيزِهَا، فَإِنْ قَالَتْ: رَأَيْتُ خَمْسَةَ أَيَّامٍ يَتَخَلَّلُهَا النَّقَاءُ دَمًا أَسْوَدَ، وَبَاقِيَ ذَلِكَ دَمًا أَصْفَرَ رُدَّتْ إلى الخمس، فإن لم نلفق كانت الخمس كُلُّهَا حَيْضًا، وَإِنْ لَفَّقْنَا كَانَ التَّلْفِيقُ مِنَ الخمس فَيَكُونُ حَيْضُهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ الْأَوَّلُ وَالثَّالِثُ وَالْخَامِسُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا تَمْيِيزًا لِكَوْنِ دَمِهَا لَوْنًا وَاحِدًا وَكَانَتْ لَهَا عَادَةٌ فِي الْحَيْضِ مُسْتَمِرَّةٌ، فَوَجَبَ رَدُّهَا إِلَى عَادَتِهَا، فَإِنْ كَانَتْ عَادَتُهَا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ خَمْسًا رُدَّتْ إِلَى الخمس، فإن لم نلفق كانت الخمس كُلُّهَا حَيْضًا، وَإِنْ لَفَّقْنَا، فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ التَّلْفِيقُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Keadaan kedua
Yaitu apabila darahnya melebihi lima belas hari.
Diriwayatkan dari ‘Abd al-Raḥmān bin Bint al-Syāfi‘ī — yang merupakan tokoh terkemuka dalam bab haid dan manasik — bahwa wanita seperti ini bukan mustaḥāḍah, melainkan dihukumi seperti wanita yang darahnya terputus setelah lima belas hari; karena dari hari keenam belas dan seterusnya ia suci dengan ṭuhr yang tidak tersambung dengan darah haid.
Namun mazhab al-Syāfi‘ī dan mayoritas sahabatnya menyatakan bahwa wanita seperti ini adalah mustaḥāḍah, karena darah yang keluar setelah hari-hari haid masih tampak seperti darah haid — dan ini adalah ciri khas mustaḥāḍah.
Apabila statusnya telah dipastikan sebagai mustaḥāḍah, maka ia memiliki tiga kondisi:
- Memiliki tanda pembeda (mumayyizah),
- Memiliki kebiasaan haid (mu‘taādah),
- Tidak memiliki tanda pembeda maupun kebiasaan haid.
- Jika ia termasuk mumayyizah, maka dikembalikan kepada tamyīz-nya.
Contohnya: Ia berkata, “Aku melihat darah hitam selama lima hari yang diselingi masa bersih, dan setelah itu darah kuning.” Maka dikembalikan kepada lima hari tersebut.
Jika tidak dilakukan talfīq (tidak digabung), maka seluruh lima hari itu dihukumi haid.
Jika dilakukan talfīq, maka haidnya adalah tiga hari: hari pertama, ketiga, dan kelima. - Jika ia tidak memiliki tamyīz, karena darahnya satu warna, namun ia memiliki kebiasaan haid yang terus-menerus, maka wajib dikembalikan kepada kebiasaannya.
Misalnya: Jika kebiasaannya lima hari setiap bulan, maka dikembalikan kepada lima hari itu.
Jika tidak dilakukan talfīq, maka seluruh lima hari itu dihukumi haid.
Namun jika dilakukan talfīq, maka dari mana talfīq itu dimulai? Maka terdapat dua pendapat (qaulayn).
أحدهما: من أيام العادة، وهي الخمس وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: لِأَنَّهَا أَخَصُّ فَيَكُونُ حَيْضُهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَهِيَ الْأَوَّلُ وَالثَّالِثُ وَالْخَامِسُ.
والقول الثاني: من أيام الحيض وهي الخمس عشرة لأنها أمس، فَيَكُونُ حَيْضُهَا خَمْسَةً مِنْ تِسْعَةٍ، وَهِيَ الْأَوَّلُ وَالثَّالِثُ وَالْخَامِسُ وَالسَّابِعُ وَالتَّاسِعُ، فَلَوْ كَانَتْ عَادَتُهَا عَشْرًا فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَ حَيْضُهَا تِسْعَةَ أَيَّامٍ؛ لِأَنَّهَا كَانَتْ فِي الْعَاشِرِ فِي طُهْرٍ لَمْ تَتَّصِلْ بِدَمِ الْحَيْضِ وَإِنْ لَفَّقْنَا فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ التَّلْفِيقُ؟ عَلَى الْقَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مِنْ أيام العادة وهي العشر، فيكون حيضها خمسة أيام، تِسْعَةٍ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ، وَهِيَ الخمس عشرة فيكون حيضها ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يُلَفِّقُ مِنَ الْخَمْسَةَ عشر أكثر منها وتصير بمنزلة معتادة فحفظت عَادَتَهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا تَمْيِيزٌ وَلَا عَادَةٌ وَكَانَتْ مُبْتَدَأَةً فَفِيهَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: تُرَدُّ إِلَى يِومٍ وَلَيْلَةٍ، وَهُوَ أَقَلُّ الْحَيْضِ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ حُكْمُ التَّلْفِيقِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تُرَدُّ إلى ست أو سبع فإن ردت إلى الست، ولم نلفق كان حيضها خمساً؛ لكونها في السادس طاهراً وإن لفقنا من الست كان حيضها ثلاثاً، وَإِنْ لَفَّقْنَا مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ كَانَ حَيْضُهَا ستاً من إحدى عشرة، ولو ردت إلى السبع، فإن لم نلفق كان حيضها سبعاً وإِنْ لَفَّقْنَا مِنَ السَّبْعَةِ كَانَ حَيْضُهَا أَرْبَعَةً وَإِنْ لَفَّقْنَا مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ كَانَ حَيْضُهَا سبعاً من ثلاث عشرة.
Salah satu dari dua pendapat:
Bahwa talfīq (penggabungan hari-hari haid) dimulai dari hari-hari kebiasaan (‘ādah), yaitu lima hari. Pendapat ini disampaikan oleh Abū Isḥāq, dengan alasan bahwa hari-hari kebiasaan lebih khusus. Maka haidnya adalah tiga hari, yaitu hari pertama, ketiga, dan kelima.
Pendapat kedua:
Talfīq dimulai dari hari-hari haid, yaitu lima belas hari, karena itu lebih dekat dengan kejadian haid. Maka haidnya adalah lima hari dari sembilan hari, yaitu hari pertama, ketiga, kelima, ketujuh, dan kesembilan.
Jika kebiasaannya adalah sepuluh hari, maka:
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka haidnya adalah sembilan hari, karena pada hari kesepuluh ia dalam keadaan suci yang tidak tersambung dengan darah haid.
- Jika dilakukan talfīq, maka dari mana talfīq itu dimulai?
Terdapat dua pendapat:
- Dari hari-hari kebiasaan, yaitu sepuluh hari, maka haidnya adalah lima hari dari sembilan hari.
- Dari hari-hari haid, yaitu lima belas hari, maka haidnya adalah delapan hari, karena tidak mungkin talfīq dilakukan dari lebih dari lima belas hari. Dalam hal ini, ia dianggap seperti wanita yang memiliki kebiasaan (mu‘taādah) yang telah dijaga.
Jika ia tidak memiliki tanda pembeda (tamyīz) dan tidak memiliki kebiasaan (‘ādah), serta ia adalah wanita yang baru pertama kali mengalami haid (mubtada’ah), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
- Ia dikembalikan kepada sehari semalam, yaitu paling sedikit haid. Dalam pendapat ini, hukum talfīq gugur (tidak berlaku).
- Ia dikembalikan kepada enam atau tujuh hari.
- Jika dikembalikan ke enam hari:
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka haidnya adalah lima hari, karena hari keenam adalah suci.
- Jika dilakukan talfīq dari enam hari, maka haidnya adalah tiga hari.
- Jika dilakukan talfīq dari hari-hari haid (misal dari sebelas hari), maka haidnya adalah enam hari dari sebelas.
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka haidnya adalah lima hari, karena hari keenam adalah suci.
- Jika dikembalikan ke tujuh hari:
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka haidnya adalah tujuh hari.
- Jika dilakukan talfīq dari tujuh hari, maka haidnya adalah empat hari.
- Jika dilakukan talfīq dari hari-hari haid (misal dari tiga belas hari), maka haidnya adalah tujuh hari dari tiga belas.
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka haidnya adalah tujuh hari.
- Jika dikembalikan ke enam hari:
(فَصْلٌ)
: وَإِذَا رَأَتْ نِصْفَ يَوْمٍ دَمًا وَنِصْفَ يوم نقاء ونصف يَوْمٍ دَمًا وَنِصْفَ يَوْمٍ نَقَاءً مُسْتَمِرًّا بِهَا هَكَذَا فَلَهَا حَالَتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَتَجَاوَزَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا.
وَالثَّانِيَةُ: أَنْ لَا تَتَجَاوَزَهَا، فَإِنْ لَمْ تَتَجَاوَزْهَا وَانْقَطَعَ عِنْدَ تَقَضِّيهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: إِنَّهُ لَا يَكُونُ حَيْضًا حَتَّى يَسْتَدِيمَ فِي أَوَّلِهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً دَمًا، وَمِنْ آخِرِهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً دَمًا فَيَصِيرُ حِينَئِذٍ مَا بَيْنَهُمَا مِنْ أَنْصَافِ الأيام حيضاً فيكون تَبَعًا لِحَيْضٍ فِي الطَّرَفَيْنِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنِ استدام في أوله يوماً وليلة كَانَ مَا تَعَقَّبَهُ مِنْ أَنْصَافِ الْأَيَّامِ حَيْضًا، وَلَا تُعْتَبَرُ اسْتِدَامَةُ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فِي آخِرِهِ، لِأَنَّ آخِرَ الْيَوْمِ تَبَعٌ لِأَوَّلِهِ، وَمَا لَمْ يَسْتَدِمْ فِي الْأَوَّلِ يَوْمًا وَلَيْلَةً دَمًا فَهُوَ دَمُ فَسَادٍ، وَلَيْسَ بِحَيْضٍ.
PASAL
Jika seorang wanita melihat darah setengah hari, lalu bersih setengah hari, kemudian darah lagi setengah hari, lalu bersih lagi setengah hari — dan keadaan ini terus berlangsung seperti itu — maka ada dua kemungkinan:
Pertama: Jika melewati lima belas hari.
Kedua: Jika tidak melewatinya dan darah berhenti ketika hari kelima belas selesai.
Jika tidak melewati lima belas hari dan berhenti tepat pada batasnya, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam tiga wujūh (pendekatan):
Pendapat pertama:
Bahwa tidak dihukumi haid kecuali jika pada awalnya terdapat darah yang mengalir terus selama sehari semalam, dan pada akhirnya juga ada darah yang mengalir terus selama sehari semalam. Maka semua setengah hari yang berada di antara keduanya dihukumi sebagai haid karena menjadi tabi‘ (pengikut) dari haid di dua ujung tersebut.
Pendapat kedua:
Jika pada awalnya terdapat darah yang mengalir selama sehari semalam secara terus-menerus, maka semua setengah hari setelahnya dihukumi haid — tanpa syarat harus ada kesinambungan sehari semalam di akhir. Sebab akhir hari itu merupakan tabi‘ dari awalnya.
Adapun jika pada awalnya tidak ada darah yang mengalir selama sehari semalam, maka seluruh darah yang keluar dihukumi sebagai darah fasad, bukan haid.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ مَتَى تُلُفِّقَ مِنَ الْجُمْلَةِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ فَصَاعِدًا، دَمًا كَانَ حَيْضًا وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلْ، وَيَسْتَدِيمُ، لِأَنَّهَا أَيَّامُ حَيْضٍ قَدْوُجِدَ فِيهَا مِنَ الدَّمِ قَدْرَ الْحَيْضِ، وَهَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ الَّذِي يَقَعُ عَلَيْهِ التَّفْرِيعُ فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ نُلَفِّقْ فَحَيْضُهَا أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَنِصْفٌ؛ لِأَنَّهَا فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْهُ فِي طُهْرٍ لَمْ يَتَّصِلْ بِدَمِ الْحَيْضِ، وَإِنْ لَفَّقْنَا كَانَ حَيْضُهَا سَبْعَةَ أَيَّامٍ وَنِصْفٌ، فَعَلَى هَذَا لَوْ رَأَتْ ثُلُثَ يَوْمٍ دَمًا وَبَاقِيَهُ نَقَاءً حَتَّى اسْتَكْمَلَتْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَ حَيْضُهَا أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَثُلُثًا، وَإِنْ لَفَّقْنَا كَانَ حَيْضُهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ.
والحال الثانية: أن يتجاوز الدم أَنْصَافِ الْأَيَّامِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَهَذِهِ مُسْتَحَاضَةٌ قَدْ دَخَلَتِ اسْتِحَاضَتُهَا فَيَ حَيْضِهَا، فَوَجَبَ أَنْ تُرَدَّ إِلَى تَمْيِيزِهَا إِنْ كَانَتْ مُمَيِّزَةً، فَإِذَا مَيَّزَتْ أَنْصَافَ خَمْسَةِ أَيَّامٍ دَمًا أَسْوَدَ وَبَاقِيهِ دَمًا أَصْفَرَ، فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَ حَيْضُهَا أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ وَنِصْفًا، وَإِنْ لَفَّقْنَا كَانَ التَّلْفِيقُ مِنَ الْخَمْسِ فَيَكُونُ حَيْضُهَا يَوْمَيْنِ وَنِصْفًا، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مُمَيِّزَةً رُدَّتْ إِلَى عَادَتِهَا إِنْ كانت معتادة فإن كانت عادتها عشراً ردت إلى العشر، فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَ حَيْضُهَا
تِسْعَةَ أَيَّامٍ وَنِصْفًا، وَإِنْ لَفَّقْنَا فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ التَّلْفِيقُ؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ:
Pendapat ketiga:
Ini adalah pendapat Ibn Surayj, Abū Isḥāq, dan mayoritas sahabat kami, bahwa:
Kapan saja dapat dikumpulkan (ditalfīq) dari seluruh hari darah sebanyak sehari semalam atau lebih, maka itu dihukumi sebagai haid, meskipun tidak berlangsung terus-menerus (tidak bersambung), karena hari-hari itu adalah masa-masa haid dan telah ditemukan di dalamnya jumlah darah yang mencukupi kadar minimal haid.
Ini adalah pendapat yang menjadi mazhab dan dijadikan dasar tafrī‘ (pengambilan hukum cabang).
Berdasarkan ini:
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka haidnya adalah empat belas setengah hari, karena setengah hari terakhir adalah masa suci yang tidak bersambung dengan darah haid.
- Jika ditalfīq, maka haidnya adalah tujuh setengah hari.
Contoh lain:
Jika ia melihat sepertiga hari darah, dan sisanya bersih, lalu terus seperti itu hingga genap lima belas hari, maka:
- Jika tidak ditalfīq, maka haidnya adalah empat belas sepertiga hari.
- Jika ditalfīq, maka haidnya adalah lima hari.
Keadaan kedua:
Jika darah melebihi setengah hari setiap kali dan berlanjut hingga lebih dari lima belas hari, maka ia adalah mustaḥāḍah, dan istihāḍah-nya telah masuk ke dalam hari-hari haidnya.
Maka wajib dikembalikan kepada pembeda (tamyīz) jika ia mumayyizah.
Misalnya: Ia membedakan lima setengah hari darah hitam dan sisanya darah kuning:
- Jika tidak ditalfīq, maka haidnya adalah empat setengah hari.
- Jika ditalfīq dari lima hari itu, maka haidnya adalah dua setengah hari.
Jika ia tidak punya tanda pembeda, namun ia punya kebiasaan (‘ādah), maka dikembalikan kepada kebiasaannya.
Jika kebiasaannya sepuluh hari, maka dikembalikan kepadanya:
- Jika tidak ditalfīq, maka haidnya sembilan setengah hari.
- Jika ditalfīq, maka dari mana dilakukan talfīq?
Maka kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya:
- Dari hari-hari kebiasaan
- Dari hari-hari haid yang sedang terjadi.
أَحَدُهُمَا: مِنْ أَيَّامِ الْعَادَةِ فَيَكُونُ حَيْضُهَا خَمْسَةَ أَيَّامٍ أَيْضًا مِنْ عَشْرِ الْعَادَةِ.
وَالثَّانِي: مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ فَيَكُونُ حَيْضُهَا سَبْعَةَ أَيَّامٍ وَنِصْفًا، أَنْصَافُ أَكْثَرِ الْحَيْضِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَتَصِيرُ عَادَتُهَا فِي حُكْمِ النَّاقِصَةِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ تَمْيِيزٌ وَلَا عَادَةَ وَكَانَتْ مُبْتَدَأَةً فَفِيمَا تُرَدُّ إِلَيْهِ قَوْلَانِ:
أحدهما: إلى يوم وليلة أقل الحيض، وإن لَمْ نُلَفِّقْ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَا حَيْضَ لِهَذِهِ، لِأَنَّهَا لَمْ تَرَ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ كُلِّهِ دَمًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهَا تَحِيضُ يَوْمًا وَلَيْلَةً مِنْ أَوَّلِهِ، وَإِنْ لَمْ تَرَ الدَّمَ فِي جَمِيعِهِ، لِأَنَّ النَّقَاءَ عَلَى هَذَا فِي حُكْمِ الدَّمِ، وَإِنْ لَفَّقْنَا فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ التَّلْفِيقَ مِنَ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَلَا حَيْضَ لِهَذِهِ لَا يَخْتَلِفُ، لِأَنَّهُ لَا يَتَلَفَّقُ من اليوم والليلة حيض، فإن قُلْنَا: إِنَّ التَّلْفِيقَ مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ كَانَ حَيْضُهَا يَوْمًا وَلَيْلَةً مِنْ جُمْلَةِ يَوْمَيْنِ وَلَيْلَتَيْنِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا تُرَدُّ إِلَى سِتَّةِ أَيَّامٍ أو سبعة أيام فإذا ردت إلى السبع فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَ حَيْضُهَا سِتَّةَ أَيَّامٍ وَنِصْفًا، وَإِنْ لَفَّقْنَا فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ التَّلْفِيقُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مِنَ السبع فَيَكُونُ حَيْضُهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَنِصْفًا.
وَالثَّانِي: مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ فَيَكُونُ حَيْضُهَا سَبْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ جُمْلَةِ ثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَنِصْفٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Salah satu dari dua pendapat:
Bahwa talfīq dilakukan dari hari-hari kebiasaan (‘ādah), maka haidnya adalah lima hari dari sepuluh hari kebiasaan.
Pendapat kedua:
Talfīq dilakukan dari hari-hari haid, maka haidnya adalah tujuh setengah hari, yakni setengah dari lima belas hari (maksimal haid). Dengan ini, kebiasaannya dihukumi sebagai kebiasaan yang berkurang.
Jika tidak ada tanda pembeda (tamyīz) dan tidak ada kebiasaan (‘ādah), serta ia adalah wanita yang baru pertama haid (mubtada’ah), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama:
Ia dikembalikan kepada sehari semalam sebagai kadar minimal haid.
- Jika tidak ditalfīq, maka sahabat kami memiliki dua wajah:
- Pendapat al-Marwazī: Tidak dihukumi haid, karena tidak melihat darah selama sehari semalam penuh.
- Pendapat Ibn Surayj: Dihukumi haid sehari semalam dari awal, meskipun tidak melihat darah selama keseluruhannya, karena naqā’ dalam keadaan seperti ini dihukumi seperti darah.
- Pendapat al-Marwazī: Tidak dihukumi haid, karena tidak melihat darah selama sehari semalam penuh.
- Jika ditalfīq, maka:
- Jika dikatakan bahwa talfīq dilakukan dari hari dan malam, maka tidak ada haid baginya secara ijmak, karena tidak cukup darah untuk ditalfīq dari waktu tersebut.
- Namun jika talfīq dilakukan dari hari-hari haid secara keseluruhan, maka haidnya adalah sehari semalam dari total dua hari dua malam.
- Jika dikatakan bahwa talfīq dilakukan dari hari dan malam, maka tidak ada haid baginya secara ijmak, karena tidak cukup darah untuk ditalfīq dari waktu tersebut.
Pendapat kedua:
Ia dikembalikan kepada enam atau tujuh hari:
- Jika dikembalikan ke tujuh hari:
- Jika tidak ditalfīq, maka haidnya enam setengah hari.
- Jika ditalfīq, maka terdapat dua pendapat:
- Jika dari tujuh hari → haidnya tiga setengah hari.
- Jika dari total hari-hari haid (misal 13,5 hari) → haidnya tujuh hari dari tiga belas setengah.
- Jika dari tujuh hari → haidnya tiga setengah hari.
- Jika tidak ditalfīq, maka haidnya enam setengah hari.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
(فَرْعٌ)
: وَإِذَا رَأَتِ الْمَرْأَةُ يَوْمًا وَلَيْلَةً دَمًا وَثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا طُهْرًا ثُمَّ يَوْمًا وَلَيْلَةً دَمًا، وَهُوَ عَلَىقَوْلَيِ التَّلْفِيقِ، فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَ حَيْضُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَإِنْ لَفَّقْنَا كَانَ حَيْضُهَا يومين والأول وَالْخَامِسَ عَشَرَ، وَهَكَذَا لَوْ رَأَتْ نِصْفَ يَوْمٍ دماً وأربعة عشراً يَوْمًا طُهْرًا وَنِصْفَ يَوْمٍ دَمًا، فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَ حَيْضُهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَإِنْ لَفَّقْنَا كَانَ حَيْضُهَا يَوْمًا وَاحِدًا، وَهُوَ نِصْفُ الْأَوَّلِ وَنِصْفُ الْأَخِيرِ.
(FAR‘)
Jika seorang wanita melihat sehari semalam darah, kemudian tiga belas hari suci, lalu sehari semalam darah lagi, maka kasus ini mengacu kepada dua pendapat dalam talfīq:
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka seluruh lima belas hari itu dihukumi haid.
- Jika dilakukan talfīq, maka haidnya adalah dua hari, yaitu gabungan dari hari pertama dan hari kelima belas.
Demikian pula jika ia melihat setengah hari darah, lalu empat belas hari suci, kemudian setengah hari darah:
- Jika tidak ditalfīq, maka semuanya — lima belas hari — dihukumi haid.
- Jika ditalfīq, maka haidnya hanya satu hari, yaitu gabungan dari setengah hari pertama dan setengah hari terakhir.
(فَرْعٌ)
: وَلَوْ رَأَتْ يَوْمًا وَلَيْلَةً دَمًا وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا طُهْرًا وَيَوْمًا وليلة دماً، كان حيضها اليوم الأول، وكان اليوم الْأَخِيرُ دَمَ فَسَادٍ، وَهَكَذَا لَوْ رَأَتْ يَوْمَيْنِ دَمًا وَثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا طُهْرًا وَيَوْمَيْنِ دَمًا، كان حيضا الْيَوْمَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ، وَكَانَ الْيَوْمَانِ الْآخَرَانِ فَسَادًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُلَفِّقَ مَا قَبْلَ الْخَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا إِلَى مَا بَعْدَهَا قَوْلًا وَاحِدًا، وَلَكِنْ لَوْ رَأَتْ يَوْمًا وَلَيْلَةً دَمًا وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ يوماًطهراً، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً دَمًا، كَانَ حَيْضُهَا الْيَوْمَ الْأَخِيرَ دُونَ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّ الْأَوَّلَ بِفَقْدِ اللَّيْلَةِ يَقْصُرُ عَنْ أَقَلِّ الْحَيْضِ، فَلَوْ رَأَتْ يَوْمًا بِلَا لَيْلَةٍ دَمًا وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا طهراًَ، وَيَوْمًا بِلَا لَيْلَةٍ دَمًا فَكِلَا الْيَوْمَيْنِ الْأَوَّلِ وَالْأَخِيرِ دَمَ فَسَادٍ، وَلَيْسَ لَهَا حَيْضٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِانْفِرَادِهِ لَا يَكُونُ حَيْضًا، وَلَا يَجُوزُ لِبُعْدِ مَا بَيْنَهُمَا عَنْ قَدْرِ الْحَيْضِ أَنْ يُلَفِّقَ أَحَدَهُمَا إِلَى الْآخَرِ.
(FAR‘)
Jika seorang wanita melihat sehari semalam darah, lalu empat belas hari suci, lalu sehari semalam darah lagi, maka haidnya adalah hari pertama, sedangkan hari terakhir adalah darah fasad.
Demikian pula jika ia melihat dua hari darah, lalu tiga belas hari suci, lalu dua hari darah lagi, maka haidnya adalah dua hari pertama, dan dua hari terakhir adalah darah fasad.
Tidak boleh men-talfīq (menggabungkan) darah sebelum hari kelima belas dengan darah setelahnya, menurut kesepakatan pendapat.
Namun, apabila ia melihat sehari tanpa malam darah, lalu empat belas hari suci, lalu sehari semalam darah, maka yang dihukumi haid adalah hari terakhir saja, karena hari pertama tidak mencapai batas minimal haid (sehari semalam).
Jika ia hanya melihat sehari (tanpa malam) darah, lalu empat belas hari suci, lalu sehari (tanpa malam) darah lagi, maka kedua hari itu adalah darah fasad, dan ia tidak memiliki haid, karena masing-masing hari secara sendiri-sendiri tidak memenuhi syarat minimal haid, dan tidak boleh ditalfīq antara keduanya karena jauhnya jarak di antara keduanya dari kadar haid yang sah.
(فَرْعٌ)
: وَإِذَا كانت عادتها من أول الشهر عشراً فَرَأَتْ فِي يَوْمَيْنِ دَمًا وَسِتَّةِ أَيَّامٍ طُهْرًا وَيَوْمَيْنِ دَمًا، فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَتِ الْعَشْرُ كُلُّهَا حَيْضًا، وَهِيَ عَلَى عَادَتِهَا، وَإِنْ لَفَّقْنَا كَانَ حَيْضُهَا أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ الْيَوْمَانِ الْأَوَّلَانِ وَالْيَوْمَانِ الْآخَرَانِ، وَتَصِيرُ عَادَتُهَا نَاقِصَةً وَحَيْضُهَا مُتَفَرِّقًا وَلَوْ كانت عادتها خمسة مرات ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ دَمًا، وَأَرْبَعَةُ أَيَّامٍ طُهْرًا، وَثَلَاثَةُ أَيَّامٍ دَمًا، فَإِنْ لَمْ نُلَفِّقْ كَانَ حَيْضُهَا عَشَرَةً، وَقَدْ زَادَتْ عَادَتُهَا وَلَمْ تُفَرِّقْ، وَإِنْ لَفَّقْنَا كَانَ حَيْضُهَا سِتَّةَ أَيَّامٍ الثَّلَاثَةُ الْأُولَى، وَالثَّلَاثَةُ الْأَخِيرَةُ، وَتَصِيرُ عَادَتُهَا زَائِدَةً، وَحَيْضُهَا مُتَفَرِّقًا.
(FAR‘)
Jika seorang wanita memiliki kebiasaan haid sepuluh hari dari awal bulan, lalu ia melihat darah selama dua hari, kemudian enam hari suci, lalu dua hari darah lagi, maka:
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka seluruh sepuluh hari tersebut dihukumi haid, dan ia tetap berada sesuai kebiasaannya.
- Jika dilakukan talfīq, maka haidnya hanya empat hari, yaitu dua hari pertama dan dua hari terakhir, sehingga kebiasaannya menjadi berkurang, dan haidnya menjadi terpisah-pisah.
Dan jika kebiasaannya selama lima kali berturut-turut adalah:
tiga hari darah, kemudian empat hari suci, lalu tiga hari darah lagi, maka:
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka haidnya adalah sepuluh hari, dan berarti kebiasaannya bertambah dan haidnya tidak terpisah.
- Jika dilakukan talfīq, maka haidnya adalah enam hari: tiga hari pertama dan tiga hari terakhir, sehingga kebiasaannya menjadi bertambah, tetapi haidnya menjadi terpisah-pisah.
(فَرْعٌ)
: فَإِذَا رَأَتْ بَيْنَ أَثْنَاءِ النَّقَاءِ نِصْفَ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ دَمًا، وَنِصْفَ الْخَامِسِ دَمًا وَالْخَامِسَ عَشَرَ وَالسَّادِسَ عَشَرَ فَإِنْ كَانَ النِّصْفَانِ الْمَوْجُودَانِ فِي الْأَوَّلِ وَالْخَامِسِ يَنْقُصَانِ عَنْ أَقَلِّ الْحَيْضِ لعدم الليلة مع اليوم والنقصان دَمُ فَسَادٍ. وَحَيْضُهَا يَوْمًا الدَّمَ الْخَامِسَ عَشَرَ وَالسَّادِسَ عَشَرَ، وَإِنْ كَانَ النَّاقِصَانِ يَبْلُغَانِ أَقَلَّ الْحَيْضِ لِوُجُودِ اللَّيْلَةِ مَعَهُمَا، فَقَدْ دَخَلَتِ اسْتِحَاضَتُهَا وحيضها، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ الدَّمَيْنِ لِمُجَاوَزَةِ الثَّانِي أَكْثَرَ الْحَيْضِ، وَالْوَاجِبُ إِنْ لَمْ يَكُنْ تَمْيِيزٌ أَنْ تُرَدَّ إِلَى عَادَتِهَا فَإِنْ كَانَتْ عَادَتُهَا خَمْسًا رُدَّتْ إِلَيْهَا، فَإِنْ لَمْ تُلَفِّقْ نُظِرَتْ فَإِنْ كَانَ مَا رَأَتْهُ مِنَ الدَّمِ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ فِي نِصْفِهِ الْأَوَّلِ، وَمَا رَأَتْهُ فِي الْخَامِسِ فِي نِصْفِهِ الثَّانِي فَحَيْضُهَا خمس لِلْعَادَةِ مِنْ غَيْرِ نَقْصٍ، وَلَا زِيَادَةَ وَإِنْ كَانَ مَا رَأَتْهُ مِنَ الدَّمِ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ فِي نِصْفِهِ الثَّانِي، وَمَا رَأَتْهُ فِي الخامس في نصفه الأول كان حيضها أربعاً، وَقَدْ نَقَصَتْ عَادَتُهَا يَوْمًا، وَإِنْ كَانَ الدَّمُ الْأَوَّلُ فِي نِصْفِهِ الْأَوَّلِ وَالثَّانِي فِي نِصْفِهِ الأول، كان حيضها أربعة أيام ونصف وَقَدْ نَقَصَتْ عَادَتُهَا نِصْفَ يَوْمٍ وَهَكَذَا لَوْ رأته بِالْعَكْسِ فَهَذَا إِذَا لَمْ نُلَفِّقُ فَأَمَّا إِذَا لفقنا، فإنقُلْنَا: إِنَّ التَّلْفِيقَ مِنْ أَيَّامِ الْعَادَةِ كَانَ حيضها يوماً هو نصف الْأَوَّلِ وَنِصْفُ الْخَامِسِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ التَّلْفِيقَ مِنْ أَيَّامِ الْحَيْضِ كَانَ حَيْضُهَا يَوْمَيْنِ وَهُمَا نِصْفَانِ مَعَ الْيَوْمِ الْخَامِسَ عَشَرَ دُونَ السَّادِسَ عَشَرَ، لِوُجُودِ الْخَامِسَ عَشَرَ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ وَوُجُودِ السَّادِسَ عَشَرَ فِي غَيْرِهَا، فَإِنْ كَانَتْ عادتها في أقل من الخمس أَوْ أَكْثَرَ فَاعْتَبِرْهُ بِمَا وَصَفْنَا فَلَوْلَا خَوْفُ الْإِطَالَةِ لَذَكَرْنَاهُ.
(FAR‘)
Jika seorang wanita melihat setengah hari pertama dari hari pertama darah, lalu suci, kemudian pada setengah hari dari hari kelima melihat darah lagi, lalu pada hari kelima belas dan keenam belas melihat darah pula, maka:
- Jika dua setengah hari yang pertama (hari pertama dan kelima) kurang dari kadar minimal haid (karena tidak lengkap siang dan malam), maka darah tersebut adalah darah fasad, dan haidnya hanyalah dua hari, yaitu hari kelima belas dan keenam belas.
- Namun, jika dua bagian darah tersebut cukup untuk memenuhi kadar minimal haid (sehari semalam) karena disertai malamnya, maka darah itu telah masuk dalam wilayah haid dan istihādah sekaligus, dan tidak boleh digabung antara dua darah itu karena darah yang kedua telah melewati batas maksimal haid.
Dalam kasus seperti ini, jika tidak ada tanda pembeda (tamyīz), maka dikembalikan kepada kebiasaan (‘ādah):
- Jika kebiasaannya lima hari, maka ia dikembalikan kepada lima hari tersebut.
Kemudian:
- Jika tidak dilakukan talfīq, maka diperhatikan:
- Jika darah yang dilihat pada hari pertama adalah pada setengah hari pertama, dan yang di hari kelima adalah pada setengah hari terakhir, maka haidnya lima hari, tanpa berkurang atau bertambah.
- Jika darah hari pertama ada pada setengah hari terakhir, dan yang di hari kelima pada setengah hari pertama, maka haidnya empat hari, berarti kebiasaannya berkurang satu hari.
- Jika darah pertama pada setengah hari pertama, dan darah kedua pada setengah hari pertama juga, maka haidnya empat setengah hari, berarti kebiasaannya berkurang setengah hari.
- Jika kebalikannya (darah hari pertama di setengah hari terakhir, dan hari kelima juga di setengah hari terakhir), maka hukumnya serupa.
- Jika darah yang dilihat pada hari pertama adalah pada setengah hari pertama, dan yang di hari kelima adalah pada setengah hari terakhir, maka haidnya lima hari, tanpa berkurang atau bertambah.
Semua ini berlaku jika tidak dilakukan talfīq.
Namun, jika dilakukan talfīq, maka:
- Jika kita katakan talfīq dilakukan dari hari-hari kebiasaan, maka haidnya adalah satu hari: gabungan dari setengah hari pertama dan setengah hari kelima.
- Jika kita katakan talfīq dari hari-hari haid, maka haidnya dua hari, yaitu gabungan dari dua setengah hari (hari pertama dan kelima) dan hari kelima belas, tanpa memasukkan hari keenam belas, karena:
- Hari kelima belas termasuk dalam masa haid.
- Hari keenam belas berada di luar batas haid.
- Hari kelima belas termasuk dalam masa haid.
Dan jika kebiasaan wanita tersebut kurang dari lima hari atau lebih dari lima hari, maka diukur sebagaimana penjelasan yang telah disebutkan, dan seandainya bukan karena takut memperpanjang (pembahasan), tentu akan kami uraikan seluruh rinciannya.
(الْفَصْلُ الثَّانِي: الِانْتِقَالُ)
وَالِانْتِقَالُ أَنْ تَرَى الْمُعْتَادَةُ حَيْضَهَا فِي غَيْرِ أَيَّامِ عَادَتِهَا، وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ انْتِقَالٌ فِي الزَّمَانِ، وَانْتِقَالٌ فِي الْقَدْرِ، فَأَمَّا الِانْتِقَالُ فِي الزَّمَانِ فَهُوَ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَتَقَدَّمُ فِيهِ الْحَيْضُ، وَضَرْبٌ يَتَأَخَّرُ فِيهِ الْحَيْضُ، فَأَمَّا الْمُتَقَدِّمُ فَصُورَتُهُ: أَنْ تَكُونَ عادتها أن الحيض عَشَرَةَ أَيَّامٍ مِنْ وَسَطِ الشَّهْرِ فَتَحِيضُ فِي شَهْرِهَا عَشَرَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِهِ، فَيَصِيرُ حَيْضُهَا مُقَدَّمًا عَلَى عَادَتِهَا وَأَمَّا الْمُتَأَخِّرُ فَصُورَتُهُ أَنْ تَكُونَ عَادَتُهَا أَنْ تَحِيضَ عَشَرَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ، فَتَحِيضُ فِي شَهْرِهَا عَشَرَةَ أَيَّامٍ مِنْ وَسَطِهِ، فَيَصِيرُ حَيْضُهَا مُتَأَخِّرًا عَنْ عَادَتِهَا، وقد ربما يتأخر بَعْضِهِ دُونَ جَمِيعِهِ، وَرُبَّمَا تَقَدَّمَ بَعْضُهُ دُونَ جَمِيعِهِ، وَأَمَّا الِانْتِقَالُ فِي الْقَدْرِ فَضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَنْتَقِلُ إِلَى الزِّيَادَةِ، وَضَرْبٌ يَنْتَقِلُ إِلَى النُّقْصَانِ، فَأَمَّا الْمُنْتَقِلُ إِلَى الزِّيَادَةِ فَهُوَ أَنْ تَكُونَ عادتها في الشهر خمساً فتحيض في شهرها عشراً وَأَمَّا الْمُنْتَقِلُ إِلَى النُّقْصَانِ فَهُوَ أَنْ تَكُونَ عادتها في الشهر عشراً فتحيض في شهرها خمساً، وَقَدْ تَجْمَعُ الْمُنْتَقِلَةُ بَيْنَ الِانْتِقَالِ فِي الزَّمَانِ، وَبَيْنَ الِانْتِقَالِ فِي الْقَدْرِ، وَقَدْ تَنْتَقِلُ عَادَتُهَا فِي الطُّهْرِ كَمَا تَنْتَقِلُ عَادَتُهَا فِي الْحَيْضِ، فَتَكُونُ عَادَتُهَا أَنْ تَرَى فِي طُهْرِ كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً، فَتَصِيرُ فِي طُهْرِ كُلِّ شَهْرَيْنِ حَيْضَةٌ أَوْ تَكُونُ فِي شَهْرَيْنِ فَتَصِيرُ فِي شَهْرٍ، فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا، مِنْ حَالِ الِانْتِقَالِ، فَمَتَى انْقَطَعَ دَمُ الْمُنْتَقِلَةِ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ، وَلَمْ يَتَجَاوَزْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَهُوَ حَيْضٌ، وَإِنْ تَكَرَّرَ مِرَارًا بَطُلَ حُكْمُ الْعَادَةِ الأولى إلى ما انتقلت إليه من الأخرى، حتى إن استحيضت من بعد وجب ردها عند اعتبار العادة إِلَى مَا انْتَقَلَتْ إِلَيْهِ، دُونَ مَا انْتَقَلَتْ عَنْهُ فَأَمَّا انْتِقَالُهَا عَنِ الْعَادَةِ الْمَرَّةَ الْوَاحِدَةَ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَبْطُلُ بِهِ حُكْمُ ما تقدم من العادة في الزَّمَانِ، وَالْقَدْرِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
(PASAL KEDUA: PERPINDAHAN)
Perpindahan adalah ketika perempuan yang memiliki kebiasaan haid melihat darah haidnya bukan pada hari-hari kebiasaannya. Perpindahan ini terbagi menjadi dua:
Perpindahan dalam waktu, dan perpindahan dalam jumlah (durasi).
Pertama: Perpindahan dalam waktu (al-intiqāl fī al-zamān)
Ini terbagi menjadi dua:
- Perpindahan ke waktu yang lebih awal (taqaddum): misalnya, kebiasaannya haid sepuluh hari dari pertengahan bulan, lalu ia haid pada bulan berikutnya selama sepuluh hari dari awal bulan. Maka haidnya dianggap berpindah lebih awal dari kebiasaan.
- Perpindahan ke waktu yang lebih akhir (ta-akhkhur): misalnya, kebiasaannya haid sepuluh hari dari awal bulan, lalu ia haid pada bulan berikutnya sepuluh hari dari pertengahan bulan. Maka haidnya dianggap berpindah ke waktu yang lebih lambat dari kebiasaan.
Kadang pula, sebagian hari haid bisa lebih lambat tanpa keseluruhan berpindah, atau sebagian haid lebih awal tanpa seluruhnya berubah.
Kedua: Perpindahan dalam jumlah (al-intiqāl fī al-qadr)
Ini juga terbagi menjadi dua:
- Perpindahan ke jumlah yang lebih banyak (ziyādah): misalnya kebiasaannya haid lima hari, lalu ia haid sepuluh hari.
- Perpindahan ke jumlah yang lebih sedikit (nuqṣān): misalnya kebiasaannya haid sepuluh hari, lalu ia haid hanya lima hari.
Kadang, perempuan bisa mengalami dua jenis perpindahan sekaligus, baik dalam waktu maupun dalam jumlah.
Ketiga: Perpindahan dalam kebiasaan suci
Sebagaimana bisa berpindah kebiasaan haid, bisa pula berpindah kebiasaan suci, seperti:
- awalnya ia melihat haid setiap kali suci satu bulan, lalu berpindah menjadi satu haid dalam dua bulan, atau sebaliknya.
Hukum setelah terjadi perpindahan
Jika darah wanita yang berpindah keluar dalam batas hari-hari haid dan tidak melebihi lima belas hari, maka itu adalah haid.
Jika terjadi berulang kali, maka batal hukum kebiasaan lama, dan kebiasaannya yang baru menjadi patokan. Maka, jika setelah itu ia terkena istihāḍah, maka dalam mempertimbangkan kebiasaannya, dikembalikan kepada kebiasaan yang baru, bukan kebiasaan lama.
Adapun jika perpindahan hanya terjadi satu kali, maka para ulama kami berbeda pendapat:
Apakah satu kali perpindahan ini membatalkan kebiasaan sebelumnya dalam hal waktu dan jumlah?
Ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ حُكْمَ الْعَادَةِ الْأُولَى لَا يَبْطُلُ بِانْتِقَالِ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ، حَتَّى تَعُودَ ثَانِيَةً فَتَصِيرُ بِعَوْدِهَا عَادَةً يَبْطُلُ بِهَا سَالِفُ الْعَادَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَوَجَدْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيَّ اخْتَارَهُ مِنْ كِتَابِ الْحَيْضِ لَهُ أَنَّ انْتِقَالَ الْمَرَّةِ الْوَاحِدَةِ فَقَدْ أَبْطَلَ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْعَادَةِ، وَصَارَ مَا انْتَقَلَتْ إِلَيْهِ عَادَةً، قَالَ: لِأَنَّ الْمُبْتَدَأَةَ قَدْ ثَبَتَ لَهَا عَادَةٌ بِحَيْضِ مَرَّةٍ فَكَذَا غَيْرُهَا مِنْ ذَوَاتِ الْعَادَةِ.
Pertama: yaitu qiyas atas perkataan Abū Sa‘īd bahwa hukum ‘ādah pertama tidak batal hanya dengan berpindah sekali, sampai ia kembali untuk kedua kalinya, maka dengan kembalinya itu jadilah ia ‘ādah yang membatalkan ‘ādah sebelumnya.
Wajah yang kedua: aku dapati Abū Isḥāq al-Marwazī memilih dalam Kitāb al-Ḥayḍ-nya bahwa perpindahan sekali saja telah membatalkan ‘ādah yang terdahulu, dan yang berpindah kepadanya menjadi ‘ādah. Ia berkata: karena wanita mubtada’ah telah tetap baginya ‘ādah hanya dengan satu kali haid, demikian pula selainnya dari wanita yang memiliki ‘ādah.
(فَرْعٌ)
: وإذا كانت عادتها عشراً مِنْ أَوَّلِ كُلِّ شَهْرٍ فَرَأَتْ قَبْلَ الشَّهْرِ خمساً وَإِنِ انْقَطَعَ دَمُهَافَقَدِ انْتَقَلَتْ عَادَتُهَا فِي الزَّمَانِ بِأَنْ تَقَدَّمَتْ وَفِي الْقَدْرِ بِأَنْ نَقَصَتْ وَإِنْ تَجَاوَزَ الدَّمُ حتى بلغ خمساً فِي الشَّهْرِ، فَقَدِ انْتَقَلَتْ بَعْضُ أَيَّامِهَا دُونَ جَمِيعِهَا، وَلَمْ تَنْقُصْ فِي الْقَدْرِ إِنْ تَجَاوَزَهَا الدم حتى بلغ عشراً في الشهر فقد انتقلت عادتها بزيادة خمس فِي الْقَدْرِ تَقَدَّمَتْ، وَلَمْ يَنْتَقِلْ زَمَانُ الْعَادَةِ فِي الْعَشْرِ، فَإِنْ تَجَاوَزَهَا الدَّمُ حَتَّى تَمَيَّزَ الْعَشْرُ فَقَدْ دَخَلَتِ الِاسْتِحَاضَةُ، فِي الْحَيْضِ لِمُجَاوَزَةِ دَمِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَوَجَبَ رَدُّهَا عِنْدَ عدم التمييز إلى عادتها، وهي العشر السالفة، وَفِي ابْتِدَاءِ الْعَشْرِ الَّذِي تُرَدُّ إِلَيْهِ وَجْهَانِ:
(FAR‘)
Apabila ‘ādatnya sepuluh hari dari awal setiap bulan, lalu ia melihat darah sebelum masuk bulan selama lima hari, maka jika darahnya terputus berarti ‘ādatnya telah berpindah pada waktu dengan cara maju, dan pada kadar dengan cara berkurang.
Jika darah itu terus berlanjut hingga mencapai lima hari di dalam bulan, maka telah berpindah sebagian hari-harinya tanpa keseluruhannya, dan tidak berkurang pada kadar. Jika darah itu terus berlanjut hingga mencapai sepuluh hari di dalam bulan, maka ‘ādatnya telah berpindah dengan tambahan lima pada kadar secara maju, dan tidak berpindah waktu ‘ādat pada sepuluh itu.
Jika darah itu terus berlanjut hingga jelas batas sepuluh hari, maka telah masuklah istihādhah, karena darahnya melebihi lima belas hari, dan wajib mengembalikannya—ketika tidak ada tamyīz—kepada ‘ādatnya, yaitu sepuluh hari yang terdahulu.
Dan tentang permulaan sepuluh hari yang dikembalikan kepadanya ada dua wajah:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ أَنَّ ابْتِدَاءَهَا مِنْ حِينِ رَأَتْ فِيهِ الدَّمَ فِي مُنْتَهَى إشكالها فيكون حيضها خمساً قبل الشهر، وخمساً بَعْدَهُ، وَمَا تَعَقَّبَهُ اسْتِحَاضَةٌ فَتُرَدُّ إِلَى الْعَادَةِ، مِنَ الْقَدْرِ دُونَ الزَّمَانِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ إِنَّ ابْتِدَاءَهَا مَنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ الَّذِي هُوَ شَهْرُ عَادَتِهَا، فَيَكُونُ حَيْضُهَا مِنْ أَوَّلِهِ، وَمَا تُقَدِّمُهُ وَمَا تَعَقَّبَهُ اسْتِحَاضَةٌ، فَتُرَدُّ إِلَى الْعَادَةِ فِي الْقَدَرِ وَالزَّمَانِ مَعًا، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ تَكُونُ مُنْتَقِلَةً فِي بَعْضِ أَيَّامِهَا، وَعَلَى الثَّانِي لَا تَكُونُ مُنْتَقِلَةً.
Pertama: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa permulaan haidnya dihitung sejak saat ia melihat darah pada akhir masa yang menimbulkan kesamaran. Maka haidnya menjadi lima hari sebelum bulan dan lima hari setelahnya, sedangkan yang menyertainya berupa istihādhah, maka ia dikembalikan kepada ‘ādah dari sisi kadar saja tanpa waktu.
Wajah yang kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa permulaan haidnya dihitung dari awal bulan yang merupakan bulan ‘ādahnya. Maka haidnya dari awal bulan, sedangkan apa yang mendahuluinya dan apa yang mengikutinya adalah istihādhah. Maka ia dikembalikan kepada ‘ādah dalam kadar dan waktu sekaligus.
Maka menurut wajah pertama ia dianggap berpindah pada sebagian hari-harinya, sedangkan menurut wajah kedua ia tidak dianggap berpindah.
(الْفَصْلُ الثَّالِثُ: الْخَلْطَةُ)
وَإِذَا قَالَتْ أَعْلَمُ أَنَّ حَيْضِي مِنَ الشَّهْرِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَأَعْلَمُ أَنِّي أخلط من أحد النصفين في الآخر بيوم وَاحِدٍ وَلَسْتُ أَعْلَمُ هَلْ هُوَ النِّصْفُ الْأَوَّلُ إِلَّا يَوْمًا مِنَ النِّصْفِ الثَّانِي أَوْ هُوَ النِّصْفُ الْأَوَّلُ إِلَّا يَوْمًا مِنَ النِّصْفِ الْأَوَّلِ؟ فَهَذِهِ تُنَزَّلُ عَلَى حَالَيْنِ وَتَلْتَزِمُ الْأَغْلَظَ مِنْهُمَا وَالْأَحْوَطَ فِيهِمَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، فَهَذِهِ لَهَا يَوْمَانِ طُهْرٌ بِيَقِينٍ أَوَّلَ الشَّهْرِ وَآخِرَهُ، وَيَوْمَانِ حَيْضٌ بِيَقِينٍ الْخَامِسَ عَشَرَ وَالسَّادِسَ عَشَرَ؛ لِأَنَّ حيضتها إن كانت فِي النِّصْفِ الْأَوَّلِ فَأَوَّلُهُ الثَّانِي وَآخِرُهُ السَّادِسَ عشرفكان الْأَوَّلُ مِنَ الشَّهْرِ طُهْرًا بِيَقِينٍ وَإِنْ كَانَ النصف الثاني فأوله الخامس عشر، وآخر التاسع والعشرين فَكَانَ الْيَوْمُ الْأَخِيرُ مِنَ الشَّهْرِ طُهْرًا يَقِينًا، وَصَارَ فِي التَّنْزِيلِ مَعًا الْخَامِسَ عَشَرَ وَالسَّادِسَ عَشَرَ حَيْضًا يَقِينًا، ثُمَّ هِيَ مِنَ الثَّانِي إِلَى الرَّابِعَ عَشَرَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِ السَّادِسَ عَشَرَ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرَ حَيْضِهَا ثُمَّ هِيَ فِي السَّابِعَ عَشَرَ إِلَى الثَّامِنِ وَالْعِشْرِينَ فِي طُهْرٍ مَشْكُوكٍ فِيهِ تُصَلِّي بِالْوُضُوءِ وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِ الثَّامِنِ وَالْعِشْرِينَ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ آخِرَ حَيْضِهَا، فَلَوْ قَالَتْ أَخْلِطُ مِنْ أَحَدِ النِّصْفَيْنِ فِي الْآخَرِ يَوْمَيْنِ كَانَ لَهَا أَرْبَعَةُ أَيَّامٍ طُهْرًا يَوْمَانِ فِي أَوَّلِهِ وَيَوْمَانِ فِي آخِرِهِ وَأَرْبَعَةُ أَيَّامٍ حَيْضٌ فِي وَسَطِهِ مِنَ الرَّابِعَ عشر إلى السابع عشر تغتسل غُسْلَيْنِ أَحَدُهُمَا فِي آخِرِ السَّابِعَ عَشَرَ وَالثَّانِي فِي آخِرِ السَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ، وَلَوْ قَالَتْ كُنْتُ أَخْلِطُ مِنْ أَحَدِ النِّصْفَيْنِ فِي الْآخَرِ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَلَهَا سِتَّةُ أَيَّامٍ طُهْرٌ بِيَقِينٍ ثَلَاثَةٌ فِي أَوَّلِهِ، وَثَلَاثَةٌ مِنْ آخِرِهِ، وَسِتَّةُ أَيَّامٍ حَيْضٌ بِيَقِينٍ فِي وَسَطِهِ، وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِ الثَّامِنَ عَشَرَ وَفِي آخِرِ السَّادِسِ وَالْعِشْرِينَ، ثُمَّ عَلَى هَذَا كُلَّمَا زَادَ مِنَ الْخَلْطَةِ يَوْمٌ زَادَ فِي يَقِينِ الْحَيْضِ يَوْمَانِ فِي الْوَسَطِ، وَفِي يَقِينِ الطُّهْرِ يَوْمَانِ فِي الطَّرَفَيْنِ فَلَوْ قالتكنت أخلط من أحد النصفين في الآخر بِنِصْفِ يَوْمٍ كَانَ لَهَا نِصْفُ يَوْمٍ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ طُهْرٌ بِيَقِينٍ وَنِصْفُ يَوْمٍ مِنْ آخِرِهِ طُهْرٌ بِيَقِينٍ، وَيَوْمٌ حَيْضٌ بِيَقِينٍ مِنْ يَوْمَيْنِ نِصْفُ الْخَامِسَ عَشَرَ وَنِصْفُ السَّادِسَ عَشَرَ فَلَوْ شَكَّتْ هَلْ كَانَتْ تَخْلِطُ مِنْ أَحَدِ النِّصْفَيْنِ فِي الْآخَرِ شَيْئًا أَمْ لَا؟ فَهَذِهِ لَيْسَ لَهَا يَقِينُ حَيْضٍ وَلَا طُهْرٍ، وَتُصَلِّي النصف الأول بالوضوء، والثاني بالغسل فلو ثبت أَنَّهَا كَانَتْ تَخْلِطُ بِيَوْمٍ وَشَكَّتْ فِيمَا زَادَ عَلَيْهِ كَانَ الْأَوَّلُ طُهْرًا، وَالْخَامِسَ عَشَرَ وَالسَّادِسَ عَشَرَ حَيْضًا، وَتُصَلِّي مَا قَبْلَهُمَا بِالْوُضُوءِ، وَمَا بَعْدَهُمَا بِالْغُسْلِ، فَلَوْ قَالَتْ: أَعْلَمُ أَنَّنِي أَخْلِطُ مِنْ أَحَدِ النِّصْفَيْنِ فِي الْآخَرِ بِجُزْءٍ يَسِيرٍ، فَلِهَذِهِ جُزْآنِ طُهْرٌ بِيَقِينٍ أَحَدُهُمَا مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ، وَالثَّانِي مِنْ آخِرِهِ، وَجُزْآنِ حَيْضٌ بِيَقِينٍ مِنْ وَسَطِهِ أَحَدُهُمَا مِنْ آخِرِ النِّصْفِ الْأَوَّلِ، وَالثَّانِي مِنْ أَوَّلِ النِّصْفِ الثَّانِي، لَكِنْ لَا تَدَعُ فِيهِمَا شَيْئًا مِنَ الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ الْجُزْءُ الْأَوَّلُ آخِرَ وَقْتِ الْعَصْرِ، فَلَا تَسْقُطُ عَنْهَا صَلَاةُ الْعَصْرِ، وَالْجُزْءُ الثَّانِي مِنْ أَوَّلِ وَقْتِ الْمَغْرِبِ فَلَا تَسْقُطُ عَنْهَا صَلَاةُ الْمَغْرِبِ، فَلَوْ قَالَتْ حَيْضِي مِنَ الشَّهْرِ عَشَرَةُ أَيَّامٍ، وَأَعْلَمُ أَنَّنِي أَخْلِطُ مَنْ أَحَدِ النِّصْفَيْنِ فِي الْآخَرِ بِيَوْمٍ، وَقَدْ أُشْكِلَ فَهَذِهِ لَهَا سِتَّةُ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ طُهْرٌ بِيَقِينٍ وَسِتَّةُ أَيَّامٍ مِنْ آخِرِهِ طُهْرٌ بِيَقِينٍ، وَيَوْمَانِ مِنْ وَسَطِهِ حَيْضٌ بِيَقِينٍ، وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِ السَّادِسَ عَشَرَ وَفِي آخِرِ الرَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ، فَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي تِسْعَةُ أَيَّامٍ وَأَخْلِطُهَا بِيَوْمٍ كَانَ لَهَا سَبْعَةُ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ طُهْرٌ بِيَقِينٍ وَسَبْعَةُ أَيَّامٍ مِنْ آخِرِهِ طُهْرٌ بِيَقِينٍ، وَيَوْمَانِ مِنْ وَسَطِهِ حَيْضٌ بِيَقِينٍ، ثُمَّ هَكَذَا كُلَّمَا نَقَصَتْ مِنْ أَيَّامِ حَيْضِهَا يَوْمًا زَادَ فِي يَقِينِ طُهْرِهَا مِنْ كُلِّ طَرَفٍ يَوْمٌ، فلو كان حيضها خمساً مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَّلِ، وَتَخْلِطُ مَنْ أَحَدِ الْخَمْسَيْنِ فِي الْآخَرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ.
فَالْجَوَابُ مَبْنِيٌّ عَلَى مَا مَضَى.
(PASAL KETIGA: al-Khalṭah)
Apabila seorang wanita berkata: “Aku mengetahui bahwa haidku dari bulan itu lima belas hari, dan aku mengetahui bahwa aku mencampur dari salah satu setengah bulan ke setengah yang lain satu hari, namun aku tidak mengetahui apakah itu setengah pertama kecuali satu hari dari setengah kedua, ataukah setengah kedua kecuali satu hari dari setengah pertama?”
Maka wanita ini dihukumi atas dua keadaan, dan ia terikat dengan yang paling berat di antara keduanya dan yang paling hati-hati di antara keduanya. Jika demikian, maka ia memiliki dua hari suci dengan yakin, pada awal bulan dan akhir bulan, dan dua hari haid dengan yakin, yaitu hari kelima belas dan keenam belas. Sebab, bila haidnya pada setengah pertama, maka awalnya adalah hari kedua dan akhirnya adalah hari keenam belas, sehingga hari pertama bulan itu adalah suci dengan yakin. Jika pada setengah kedua, maka awalnya adalah hari kelima belas dan akhirnya hari dua puluh sembilan, sehingga hari terakhir bulan itu adalah suci dengan yakin. Maka dengan penurunan ini, hari kelima belas dan keenam belas menjadi haid dengan yakin.
Kemudian, ia dari hari kedua hingga hari keempat belas berada dalam kesucian yang diragukan, maka ia shalat dengan wudhu dan mandi di akhir hari keenam belas, karena boleh jadi itu akhir haidnya. Lalu ia dari hari ketujuh belas hingga kedelapan belas berada dalam kesucian yang diragukan, maka ia shalat dengan wudhu dan mandi di akhir hari kedelapan belas, karena boleh jadi itu akhir haidnya.
Jika ia berkata: “Aku mencampur dari salah satu setengah bulan ke setengah yang lain dua hari”, maka ia memiliki empat hari suci, dua hari di awal bulan dan dua hari di akhir bulan, dan empat hari haid dengan yakin di pertengahannya, dari hari keempat belas hingga ketujuh belas. Ia mandi dua kali, sekali di akhir hari ketujuh belas dan sekali di akhir hari kedua puluh sembilan.
Jika ia berkata: “Aku mencampur dari salah satu setengah bulan ke setengah yang lain tiga hari”, maka ia memiliki enam hari suci dengan yakin, tiga hari di awal bulan dan tiga hari di akhirnya, dan enam hari haid dengan yakin di pertengahannya. Ia mandi di akhir hari kedelapan belas dan di akhir hari kedua puluh enam.
Demikianlah, setiap kali bertambah campurannya satu hari, maka bertambah pula pada haid dengan yakin dua hari di pertengahan, dan pada suci dengan yakin dua hari di kedua ujungnya.
Jika ia berkata: “Aku mencampur dari salah satu setengah bulan ke setengah yang lain setengah hari”, maka ia memiliki setengah hari dari awal bulan suci dengan yakin dan setengah hari dari akhirnya suci dengan yakin, dan satu hari haid dengan yakin dari dua hari, yaitu setengah hari kelima belas dan setengah hari keenam belas.
Jika ia ragu apakah ia mencampur dari salah satu setengah bulan ke setengah yang lain sesuatu atau tidak, maka ia tidak memiliki haid dengan yakin dan tidak pula suci dengan yakin. Ia shalat pada setengah pertama dengan wudhu, dan setengah kedua dengan mandi.
Jika telah tetap bahwa ia mencampur satu hari, dan ia ragu dalam tambahan atasnya, maka hari pertama adalah suci, dan hari kelima belas dan keenam belas adalah haid. Ia shalat sebelum keduanya dengan wudhu, dan sesudah keduanya dengan mandi.
Jika ia berkata: “Aku mengetahui bahwa aku mencampur dari salah satu setengah bulan ke setengah yang lain dengan bagian yang sedikit”, maka baginya ada dua bagian suci dengan yakin, satu dari awal bulan dan satu dari akhirnya, dan dua bagian haid dengan yakin dari pertengahannya, satu dari akhir setengah pertama dan satu dari awal setengah kedua. Akan tetapi ia tidak meninggalkan shalat di dalam keduanya, karena boleh jadi bagian pertama itu adalah akhir waktu ‘ashar, maka shalat ‘ashar tidak gugur darinya; dan bagian kedua dari awal waktu maghrib, maka shalat maghrib tidak gugur darinya.
Jika ia berkata: “Haidku dari bulan sepuluh hari, dan aku mengetahui bahwa aku mencampur dari salah satu setengah bulan ke setengah yang lain satu hari, dan telah samar bagiku”, maka baginya enam hari dari awal bulan suci dengan yakin, dan enam hari dari akhirnya suci dengan yakin, dan dua hari dari pertengahannya haid dengan yakin. Ia mandi di akhir hari keenam belas dan di akhir hari kedua puluh empat.
Jika ia berkata: “Haidku sembilan hari dan aku mencampurnya dengan satu hari”, maka baginya tujuh hari dari awal bulan suci dengan yakin, dan tujuh hari dari akhirnya suci dengan yakin, dan dua hari dari pertengahannya haid dengan yakin.
Dan demikian seterusnya, setiap kali berkurang hari haidnya satu hari, bertambah pada suci dengan yakin dari setiap ujung satu hari.
Maka jika haidnya lima hari dari sepuluh hari pertama, dan ia mencampur dari salah satu dua setengah bulan ke setengah yang lain dengan satu hari, atau dua hari, atau tiga hari, maka jawabannya dibangun atas apa yang telah lalu.
(فَرْعٌ)
: فَلَوْ قَالَتْ: حَيْضِي مِنَ الشَّهْرِ عَشَرَةُ أَيَّامٍ لَا أَعْرِفُهَا وَطُهْرِي عِشْرُونَ يَوْمًا مُتَّصِلَةً، وَأَخْلِطُ مِنْهُمَا فِي أَحَدِ النِّصْفَيْنِ خَمْسَةَ أَيَّامٍ فَهَذِهِ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ، وَهِيَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَّلِ فِي شَكٍّ تُصَلِّي فِيهِ بِالْوُضُوءِ، وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِهِ، وَفِي الْعَشْرِ الْآخَرِ فِي شَكٍّ تُصَلِّي فِيهِ بِالْوُضُوءِ، وَتَغْتَسِلُ فِي آخِرِهِ.
(FAR‘)
Seandainya ia berkata: “Haidku dari bulan sepuluh hari yang aku tidak mengetahuinya, dan suciku dua puluh hari bersambung, namun aku mencampur dari keduanya pada salah satu setengah bulan lima hari,” maka ia pada sepuluh hari pertengahan adalah suci dengan yakin.
Sedangkan pada sepuluh hari pertama ia dalam keraguan, maka ia shalat di dalamnya dengan wudhu dan mandi pada akhirnya. Dan pada sepuluh hari terakhir ia juga dalam keraguan, maka ia shalat di dalamnya dengan wudhu dan mandi pada akhirnya.
(فَرْعٌ)
: لَوْ قَالَتْ: حَيْضِي مِنَ الشَّهْرِ خَمْسَةُ أيام، أَعْرِفُهَا وَأَخْلِطُ مِنَ الطُّهْرِ الْمُتَّصِلِ مِنْ أَحَدِ النِّصْفَيْنِ فِي الْآخَرِ بِخَمْسَةِ أَيَّامٍ، فَهَذِهِ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ طَاهِرٌ بِيَقِينٍ، وَفِي الْعَشْرِ الْأَوَّلِ فِي شَكٍّ تُصَلِّي الْخَمْسَ الْأَوَّلَ مِنْهُ بِالْوُضُوءِ، لِعَدَمِ انْقِطَاعِ الدَّمِ فِيهِ، وَالْخَمْسَ الثَّانِيَ بِالْغُسْلِ لِجَوَازِ انْقِطَاعِ الدَّمِ فِيهِ، وَهِيَ كَذَلِكَ فِي الْعَشْرِ الْآخَرِ فِي شَكٍّ تُصَلِّي الْخَمْسَ الْأَوَّلَ مِنْهُ بِالْوُضُوءِ، وَالْخَمْسَ الثَّانِيَ مِنْهُ بِالْغُسْلِ، ثُمَّ قِسْ عَلَى هَذَا مَا يَرِدُ عَلَيْكَ مِنْ أَمْثَالِهِ
(FAR‘)
Seandainya ia berkata: “Haidku dari bulan lima hari, aku mengetahuinya, dan aku mencampur dari suci yang bersambung pada salah satu setengah bulan ke setengah yang lain lima hari,” maka ia pada sepuluh hari pertengahan adalah suci dengan yakin.
Adapun pada sepuluh hari pertama ia dalam keraguan: ia shalat pada lima hari pertamanya dengan wudhu, karena tidak terputus darah di dalamnya, dan pada lima hari keduanya dengan mandi, karena boleh jadi darah terputus di dalamnya.
Demikian pula pada sepuluh hari terakhir ia dalam keraguan: ia shalat pada lima hari pertamanya dengan wudhu, dan pada lima hari keduanya dengan mandi.
Kemudian qiyaskanlah atas hal ini apa yang serupa dengannya.
(الْفَصْلُ الرَّابِعُ: فِي الْغَفْلَةِ)
وَالْغَافِلَةُ هِيَ الَّتِي تَعْلَمُ مِنْ حَالِهَا مَا يَدُلُّ عَلَى يَقِينِ طُهْرِهَا، وَيَقِينِ حَيْضِهَا لَكِنْ قَدْ غَفَلَتْ جَهْلًا مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِهِ.
مِثَالُهُ: أَنْ تَقُولَ حَيْضِي خَمْسَةُ أَيَّامٍ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَّلِ لَا أَعْرِفُهَا وَأَعْلَمُ أَنَّنِي كُنْتُ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ حَائِضًا، فَهَذِهِ حَيْضُهَا الْخَمْسَةُ الْأُولَى وَطُهْرُهَا الْخَمْسُ الثَّانِيَةُ، وَلَوْ قَالَتْ: كُنْتُ فِي الْيَوْمِ الْعَاشِرِ حَائِضًا فَهَذِهِ حَيْضُهَا الْخَمْسَةُ الثَّانِيَةُ وَطُهْرُهَا الْخَمْسُ الْأُولَى وَلَوْ قَالَتْ كُنْتُ في اليوم السادس طاهراً كان حيضها الخمس الْأُولَى. فَلَوْ قَالَتْ حَيْضِي أَحَدُ الْخَمْسَتَيْنِ بِكَمَالِهِ وَكُنْتُ فِي الثَّالِثِ حَائِضًا كَانَ حَيْضُهَا الْخَمْسَةُ الْأُولَى، وَلَوْ قَالَتْ: كُنْتُ فِي الثَّالِثِ طَاهِرًا كَانَ حَيْضُهَا الْخَمْسَةُ الثَّانِيَةُ، وَلَوْ قَالَتْ كُنْتُ فِي السَّابِعِ طَاهِرًا كَانَ حَيْضُهَا الْخَمْسَةُ الْأُولَى، فلو قالت: حيضي أربعة أيام من العشر، وَأَخْلِطُ مِنْ أَحَدِ الْخَمْسَتَيْنِ فِي الْآخَرِ بِيَوْمَيْنِ فَحَيْضُهَا مِنْ أَوَّلِ الرَّابِعِ إِلَى آخِرِ السَّابِعِ، وَلَوْ قَالَتْ كُنْتُ أَخْلِطُ مِنْ أَحَدِ الْخَمْسَتَيْنِ فِي الْآخَرِ إِمَّا بِيَوْمٍ أَوْ بِيَوْمَيْنِ، وَكُنْتُ فِي السَّابِعِ طَاهِرًا كَانَ حَيْضُهَا مِنْ أَوَّلِ الثَّالِثِ إِلَى آخِرِ السَّادِسِ، وَلَوْ قَالَتْ كُنْتُ فِي الْيَوْمِ الرَّابِعِ طَاهِرًا كَانَ حَيْضُهَا مِنْ أَوَّلِ الْخَامِسِ إِلَى آخِرِ الثَّامِنِ فَقِسْ عَلَى هذا نظائره والله أعلم.
(PASAL KEEMPAT: Tentang al-Ghaflah)
Yang dimaksud dengan ghāfilah adalah wanita yang mengetahui dari keadaannya sesuatu yang menunjukkan dengan yakin tentang sucinya dan haidnya, tetapi ia lalai karena tidak mampu mengambil istidlāl darinya.
Contohnya: seorang wanita berkata, “Haidku lima hari dari sepuluh hari pertama, aku tidak mengetahuinya, tetapi aku tahu bahwa aku pada hari pertama dalam keadaan haid.” Maka haidnya adalah lima hari pertama, dan sucinya lima hari kedua.
Jika ia berkata, “Aku pada hari kesepuluh dalam keadaan haid,” maka haidnya adalah lima hari kedua, dan sucinya lima hari pertama.
Jika ia berkata, “Aku pada hari keenam dalam keadaan suci,” maka haidnya adalah lima hari pertama.
Jika ia berkata, “Haidku salah satu dari dua kali lima hari secara penuh, dan aku pada hari ketiga dalam keadaan haid,” maka haidnya adalah lima hari pertama.
Jika ia berkata, “Aku pada hari ketiga dalam keadaan suci,” maka haidnya adalah lima hari kedua.
Jika ia berkata, “Aku pada hari ketujuh dalam keadaan suci,” maka haidnya adalah lima hari pertama.
Jika ia berkata, “Haidku empat hari dari sepuluh, dan aku mencampur dari salah satu dua kali lima hari ke dalam yang lain selama dua hari,” maka haidnya adalah dari awal hari keempat sampai akhir hari ketujuh.
Jika ia berkata, “Aku mencampur dari salah satu dua kali lima hari ke dalam yang lain, entah satu hari atau dua hari, dan aku pada hari ketujuh dalam keadaan suci,” maka haidnya adalah dari awal hari ketiga sampai akhir hari keenam.
Jika ia berkata, “Aku pada hari keempat dalam keadaan suci,” maka haidnya adalah dari awal hari kelima sampai akhir hari kedelapan.
Maka qiyaskanlah atas hal ini segala yang serupa dengannya. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وَأُشْكِلَ وَقْتُ الْحَيْضِ عَلَيْهَا مِنَ الِاسْتِحَاضَةِ فَلَا يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَتْرُكَ الصَّلَاةَ إِلَّا أَقَلَّ مَا تَحِيضُ لَهُ النِّسَاءُ وَذَلِكَ يَوْمٌ وليلةٌ فعليها أن تغتسل وتقضي الصلاة أربعة عشر يوماً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَقْصُورَةٌ عَلَى الْكَلَامِ فِي أَقَلِّ الْحَيْضِ وَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهِ عَلَى مَذَاهِبَ شَتَّى فَأَمَّا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فَالَّذِي نص عليه ها هنا، وَفِي كِتَابِ الْأُمِّ أَنَّ أَقَلَّ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَقَالَ فِي كِتَابِ الْعَدَدِ أَقَلُّهُ يَوْمٌ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ هَذَيْنِ النَّصَّيْنِ عَلَى ثلاثة طرق:
أحدها: وهو طريقة المزني وابن شريح أَنَّ أَقَلَّ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَمَا قَالَهُ مِنْ كِتَابِ الْعَدَدِ أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ يُرِيدُ بِهِ مَعَ لَيْلَةٍ، وَهَذِهِ عَادَةُ الْعَرَبِ وَأَهْلِ اللِّسَانِ أَنَّهُمْ يُطْلِقُونَ ذِكْرَ الْأَيَّامِ يُرِيدُونَ بِهَا مَعَ اللَّيَالِي، وَيُطْلِقُونَ ذِكْرَ اللَّيَالِي، وَيُرِيدُونَ بِهَا مَعَ الْأَيَّامِ، وَكَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِينَ لَيْلَةً) {الأعراف: 142) يُرِيدُ مَعَ الْأَيَّامِ، وَكَقَوْلِهِ تَعَالَى: {تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ) {هود: 65) يُرِيدُ مَعَ اللَّيَالِي غَيْرَ أَنَّ الْمُزَنِيَّ عَلَّلَ لِطَرِيقَتِهِ هَذِهِ تَعْلِيلًا قَدَحَ فِيهِ أَصْحَابُنَا فَقَالَ: لِأَنَّ الْيَوْمَ وَاللَّيْلَةَ زِيَادَةُ عِلْمٍ، وَقَالَ أَصْحَابُنَا: هَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ زِيَادَةَ الْعِلْمِ وُجُودُ الْأَقَلِّ لَا وُجُودُ الْأَكْثَرِ، وَلَوْ كَانَ الْيَوْمُ وَاللَّيْلَةُ أَزْيَدَ عِلْمًا مِنَ الْيَوْمِ لَكَانَ الثَّلَاثُ أَزْيَدَ عِلْمًا، وَهَذَا الِاعْتِرَاضُ عَلَى الْمُزَنِيِّ خَطَأٌ فِي تَأْوِيلِ كَلَامِهِ؛ لِأَنَّ الْمُزَنِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ زِيَادَةَ عِلْمٍ فِي النَّقْلِ، لَا فِي الْوُجُودِ.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i berkata: “Dan ketika waktu haidnya samar baginya karena istihadhah, maka tidak boleh baginya meninggalkan salat kecuali sekadar minimal yang dialami perempuan ketika haid, yaitu sehari semalam. Maka ia wajib mandi dan mengqadha salat selama empat belas hari.”
Al-Mawardi berkata: Masalah ini khusus pembahasan tentang minimal haid. Manusia telah berbeda pendapat dalam hal ini dengan beragam mazhab. Adapun mazhab al-Syafi‘i, maka nash yang beliau sebutkan di sini dan dalam Kitab al-Umm bahwa minimal haid adalah sehari semalam. Dan beliau berkata dalam Kitab al-‘Adad bahwa minimalnya adalah sehari. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam memahami perbedaan dua nash ini dengan tiga cara:
Pertama: yaitu cara al-Muzani dan Ibn Syuraih, bahwa minimal haid adalah sehari semalam, sedangkan perkataannya dalam Kitab al-‘Adad bahwa minimalnya adalah sehari, yang dimaksud adalah bersama dengan malamnya. Dan ini adalah kebiasaan orang Arab dan ahli bahasa, bahwa mereka menyebut hari dengan maksud bersama malamnya, dan menyebut malam dengan maksud bersama harinya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Wa wā‘adnā Mūsā tsalātsīna lailah} (QS. al-A‘rāf: 142), maksudnya beserta hari-harinya. Dan firman-Nya: {Tamatta‘ū fī dārikum tsalātsata ayyām} (QS. Hūd: 65), maksudnya beserta malam-malamnya. Hanya saja al-Muzani memberi alasan pada cara ini dengan alasan yang dipermasalahkan oleh sahabat-sahabat kami. Ia berkata: “Karena hari dan malam lebih menambah pengetahuan.” Sahabat-sahabat kami berkata: “Ini keliru, karena tambahan pengetahuan adalah keberadaan yang lebih sedikit, bukan keberadaan yang lebih banyak. Seandainya hari dan malam lebih menambah pengetahuan daripada hari, maka tiga hari lebih menambah pengetahuan, dan itu tidak benar.” Akan tetapi bantahan kepada al-Muzani ini adalah keliru dalam menafsirkan ucapannya. Karena sesungguhnya al-Muzani yang dimaksud adalah tambahan pengetahuan dalam periwayatan, bukan dalam keberadaan.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ حَكَاهَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ عَنْ بَعْضِ مُتَقَدِّمِي أَصْحَابِنَا أَنَّ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ لِاخْتِلَافِ النَّصِّ فِي الْمَوْضِعَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ.
وَالثَّانِي: أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ، وَهَذِهِ طَرِيقَةٌ فَاسِدَةٌ؛ لِأَنَّهُ إِنْ وَجَدَ فِي الْعَادَةِ يَوْمًا لَمْ يَكُنْ لِزِيَادَةِ اللَّيْلَةِ مَعْنًى، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ لَمْ يَكُنْ لِنُقْصَانِهَا وَجْهًا.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ: أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ، وَإِنَّمَا كَانَ الشَّافِعِيُّ يَرَى أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ إِلَى أَنْ أَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ أَنَّ عِنْدَهُمُ امْرَأَةً تَحِيضُ غَدْوَةً وَتَطْهُرُ عَشِيَّةً فَرَجَعَ إِلَى قَوْلِهِ، وَأَصَحُّ هَذِهِ الطُّرُقِ الثَّلَاثِ الطَّرِيقَةُ الْأُولَى أَنَّ أَقَلَّهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، وَهُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِهِ، وَالْمُعَوَّلُ عَلَيْهِ مِنْ قَوْلِهِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَابْنُ جُرَيْجٍ وَأَحْمَدُ وَأَبُو ثَوْرٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة: أَقَلُّ الْحَيْضِ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ.
وقال أبو يوسف: لعله يَوْمَانِ.
Dan cara kedua, diriwayatkan oleh Abū Isḥāq al-Marwazī dari sebagian ulama terdahulu dari sahabat-sahabat kami, bahwa masalah ini berada pada dua qaul karena adanya perbedaan nash di dua tempat:
Pertama: bahwa minimalnya adalah sehari semalam.
Kedua: bahwa minimalnya adalah sehari.
Cara ini batil, karena jika memang ada dalam kebiasaan sehari, maka tambahan malam tidak ada artinya. Dan jika tidak ada, maka pengurangannya juga tidak ada wajahnya.
Adapun cara ketiga: bahwa minimalnya adalah sehari, hanya saja al-Syafi‘i dahulu berpendapat bahwa minimalnya adalah sehari semalam, sampai ‘Abd al-Raḥmān bin Mahdī mengabarkan kepadanya bahwa di tempat mereka ada seorang perempuan yang haid pada pagi hari lalu suci pada sore hari, maka ia pun kembali pada qaulnya.
Dan yang paling ṣaḥīḥ dari tiga cara ini adalah cara pertama, yaitu bahwa minimal haid adalah sehari semalam. Inilah yang masyhur dari mazhabnya, dan yang diandalkan dari perkataannya. Dan dengan pendapat ini berkata dari kalangan sahabat: ‘Alī bin Abī Ṭālib dan ‘Abdullāh bin ‘Umar. Dari kalangan tābi‘īn: ‘Aṭā’. Dari kalangan fuqahā’: al-Auzā‘ī, Ibn Jurayj, Aḥmad, dan Abū Tsaur.
Sedangkan Abū Ḥanīfah berkata: minimal haid adalah tiga hari.
Dan Abū Yūsuf berkata: mungkin dua hari.
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا حَدَّ لِأَقَلِّهِ، وَاسْتَدَلَّ ناصر أبي حنيفة لمذهبه بما روي عن عبد الله عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَقَلُّ الْحَيْضِ ثَلَاثٌ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ الثلاث يض ” وَبِرِوَايَةِ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال في المستحاضة: ” تدع الصلاة أقراءها ” قَالَ: وَأَقَلُّ مَا يَنْطَلِقُ ذِكْرُ الْأَيَّامِ ثَلَاثَةٌ وَأَكْثَرُهُ عَشَرَةٌ، قَالَ وَقَدْ رَوَى الْجَلْدُ بْنُ أَيُّوبَ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قُرْءُ الْحَيْضِ ثَلَاثٌ أَرْبَعٌ خمس حتى انتهى إلى عشر.
وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَقَلُّ الْحَيْضِ ثَلَاثٌ، وَهَذَانِ صحابيان لا يقولان ذلك، إلا عن توقيف؛ لِأَنَّ الْقِيَاسَ لَا مَدْخَلَ لَهُ فِيهِ، قَالَ: وَلِأَنَّ مَا نَقَصَ مِنَ الثَّلَاثِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ حَيْضًا قِيَاسًا عَلَى مَا نَقَصَ اليوم والليلة.
Dan Mālik berkata: tidak ada batas minimal untuk haid.
Pendukung mazhab Abū Ḥanīfah berdalil dengan riwayat dari ‘Abdullāh, dari al-‘Alā’ bin ‘Abd al-Raḥmān, dari Makḥūl, dari Abū Umāmah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Minimal haid adalah tiga, dan tidak ada haid pada yang kurang dari tiga.”
Juga dengan riwayat ‘Adī bin Tsābit, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda tentang perempuan mustahāḍah: “Ia meninggalkan salat pada masa aqrā’-nya.” Ia berkata: “Dan minimal sebutan al-ayyām adalah tiga, dan maksimalnya sepuluh.”
Dan telah meriwayatkan al-Jald bin Ayyūb, dari Mu‘āwiyah bin Qurrah, dari Anas bin Mālik, ia berkata: “Masa haid adalah tiga, empat, lima, hingga berakhir pada sepuluh.”
Dan Ibn Mas‘ūd berkata: minimal haid adalah tiga. Dan dua sahabat ini tidak akan berkata demikian kecuali berdasarkan tawqīf, karena qiyās tidak masuk dalam bab ini. Ia berkata: “Dan karena apa yang kurang dari tiga tidak boleh dianggap haid, dengan qiyās terhadap apa yang kurang dari sehari semalam.”
دليلنا قوله تعالى: {وَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ} (البقرة: 222) فلما أطلق ذكره ولم يحد قدره فَكَانَ الرُّجُوعُ فِيهِ عِنْدَ عَدَمِ حَدِّهِ فِي الشرع إلى العرف والعادة، وكالقصر واليوم والليلة موجود في العرف والعادة، وإن كان مختلفاً بِاخْتِلَافِ الْأَبْدَانِ وَالْأَسْفَارِ وَالْبُلْدَانِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَوَجَدْتُ نِسَاءَ مَكَّةَ وَتِهَامَةَ يَحِضْنَ يَوْمًاوَلَيْلَةً، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ: ” فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي ” وَأَمَرَهَا بترك الصلاة عند وجود صفة الْحَيْضِ فِي دَمِهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ مِنْ غَيْرِ تقدير بثلاثة فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى إِطْلَاقِهِ إِلَّا مَا قَامَ دَلِيلُ تَخْصِيصِهِ، وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: مَا زَادَ عَلَى خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَهُوَ استحاضةٌ، وَأَقَلُّ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ أَقَلُّ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، وَالصَّحَابِيُّ إِذَا قَالَ هَذَا فَإِنَّمَا يُرِيدُ بِهِ أَكَابِرَ الصَّحَابَةِ وَعُلَمَائِهَا، فَدَلَّ هَذَانِ الْأَثَرَانِ عَلَى أَنَّ التَّوْقِيتَ بِالْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ مَوْجُودٌ وَالْوِفَاقُ عَلَيْهِ مَشْهُورٌ، وَلِأَنَّهُ دَمٌ يُسْقِطُ فَرْضَ الصَّلَاةِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ يَوْمًا وَلَيْلَةً كَالنِّفَاسِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مُدَّةٍ صَلُحَتْ أَنْ تَكُونَ زَمَنًا لِلْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ شَرْعًا صَلُحَتْ لِأَنْ تَكُونَ زَمَنًا لِأَقَلِّ الْحَيْضِ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ الْحَمْلُ، لِأَنَّهُ تُقُدِّرَ بِالشُّهُورِ دُونَ الْأَيَّامِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Wa‘tażilū al-nisā’a fī al-maḥīḍ wa lā taqrabūhunna ḥattā yaṭhurna} (QS. al-Baqarah: 222). Ketika Allah menyebutkannya secara mutlak tanpa menentukan kadarnya, maka dalam keadaan tidak ada batasan syar‘i, kembalinya kepada ‘urf dan kebiasaan.
Sebagaimana qasr (salat musafir) dan (ukurannya) sehari semalam yang ada dalam ‘urf dan kebiasaan, meskipun berbeda sesuai perbedaan badan, perjalanan, dan negeri.
Al-Syafi‘i berkata: “Aku mendapati perempuan Mekah dan Tihamah mengalami haid sehari semalam.”
Hal ini juga ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW kepada Fāṭimah bint Abī Ḥubaisy: “Apabila datang haidmu, tinggalkan salat. Dan apabila telah berlalu, maka mandilah dan salatlah.” Beliau memerintahkannya meninggalkan salat ketika terdapat sifat haid pada darahnya secara mutlak tanpa ditentukan tiga hari. Maka wajib dipahami sesuai kemutlakannya, kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
Dan diriwayatkan dari ‘Alī bin Abī Ṭālib RA, beliau berkata: “Apa yang lebih dari lima belas hari, maka itu adalah istihāḍah. Dan minimal haid adalah sehari semalam.”
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ, beliau berkata: “Aku mendapati manusia berkata: minimal haid adalah sehari semalam.” Seorang sahabat apabila berkata demikian, maka yang dimaksud adalah para sahabat besar dan para ulama di antara mereka. Maka kedua atsar ini menunjukkan bahwa penetapan (batas minimal haid) dengan sehari semalam memang ada, dan kesepakatan atasnya masyhur.
Karena darah itu menggugurkan kewajiban salat, maka boleh terjadi sehari semalam sebagaimana nifas. Dan setiap masa yang sah dijadikan sebagai waktu untuk masḥ ‘alā al-khuffayn secara syar‘i, maka ia sah dijadikan waktu minimal haid. Dan tidak berlaku pada ḥaml (kehamilan), karena ia ditentukan dengan bulan, bukan dengan hari.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ رِوَايَتِهِمْ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، أَنَّهُ قَالَ أَقَلُّ الْحَيْضِ ثلاثٌ فَهُوَ أَنَّهُ خبر مردود؛ لأن عبد الملك مجهول، والعلا ضَعِيفٌ، وَمَكْحُولٌ لَمْ يَلْقَ أَبَا أُمَامَةَ، فَكَانَ مُرْسَلًا، وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى سُؤَالِ امْرَأَةٍ كَانَتْ عَادَتُهَا ثَلَاثًا، وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ فِي الْمُسْتَحَاضَةِ ” تَدَعُ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا ” وَأَمَّا ابْنُ مَسْعُودٍ فَقَوْلُهُ مَعَارِضٌ بِقَوْلِ عَلِيٍّ، وَهُوَ أَوْلَى؛ لِأَنَّ عُمُومَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ يُعَاضِدُهُ وَأَمَّا أَنَسٌ فَلَمْ يَكُنْ فِي الْحَيْضِ أَصْلًا، قَالَ ابْنُ عُلَيَّةَ اسْتُحِيضَتِ امْرَأَةٌ مِنْ آلِ أَنَسٍ فَسُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْهَا، وَأَنَسٌ حَيٌّ، وَلَوْ كَانَ أَصْلًا فِيهِ لَاكْتَفَوْا بِسُؤَالِهِ عَنْ غَيْرِهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَا دُونَ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، فَالْمَعْنَى فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ أَنَّهُ مُسْتَوْعِبٌ لِأَوْقَاتِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ.
Adapun jawaban atas riwayat mereka dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Minimal haid adalah tiga”, maka itu adalah khabar yang tertolak. Karena ‘Abd al-Malik majhūl, al-‘Alā’ ḍa‘īf, dan Makḥūl tidak pernah bertemu dengan Abū Umāmah, sehingga statusnya mursal. Seandainya pun sahih, maka harus dipahami sebagai jawaban atas pertanyaan seorang perempuan yang kebiasaannya tiga hari.
Demikian pula jawaban atas sabda beliau tentang perempuan mustahāḍah: “Ia meninggalkan salat pada hari-hari aqrā’-nya”.
Adapun perkataan Ibn Mas‘ūd, maka bertentangan dengan perkataan ‘Alī, dan perkataan ‘Alī lebih utama, karena keumuman al-Kitāb dan al-Sunnah mendukungnya.
Sedangkan Anas, ia sama sekali tidak memiliki dasar dalam masalah haid. Ibn ‘Ulayyah berkata: Seorang perempuan dari keluarga Anas mengalami istihāḍah, lalu ditanyakan perihalnya kepada Ibn ‘Abbās padahal Anas masih hidup. Seandainya Anas memiliki dasar dalam masalah haid, tentu mereka cukup bertanya kepadanya tanpa selainnya.
Adapun qiyās mereka dengan apa yang kurang dari sehari semalam, maka maksud penetapan sehari semalam adalah karena waktu itu mencakup seluruh waktu salat lima.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا مَالِكٌ فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا حَدَّ لِأَقَلِّهِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذَى) {البقرة: 222) فَجُعِلَ الْأَذَى حَيْضًا، وَيَسِيرُ الدَّمِ أَذًى فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَيْضًا، وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ ” قَالَ: وَلِأَنَّهُ دَمٌ يُسْقِطُ فَرْضَ الصَّلَاةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَقَلُّهُ غَيْرَ مَحْدُودٍ كَالنِّفَاسِ.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ فَجَعَلَ زَمَانَ الْحَيْضِ مُسْقِطًا لِفَرْضِ الصَّلَاةِ، وَسُقُوطِهَا يَتَعَلَّقُ بِزَمَانٍ مَحْدُودٍ، وَلِأَنَّهُ خَارِجٌ مِنَ الرَّحِمِ يَدُلُّ عَلَى بَرَاءَتِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَحْدُودًا كَالْحَمْلِ، فَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا دَلِيلَ فِيهَا؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ الْحَيْضَ أَذًى، وَلَمْ يَجْعَلِ الْأَذَى حَيْضًا، وَأَمَّا حَدِيثُ فَاطِمَةَ فَالْمُرَادُ بِهِ إِقْبَالُ حَيْضِهَا، وَقَدْ كَانَ أَيَّامًا، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى النِّفَاسِ فَالْمَعْنَى فِيهِ وجود العادة بيسيره.
(PASAL)
Adapun Mālik, ia berdalil bahwa haid tidak memiliki batas minimal dengan firman Allah Ta‘ala: {Yas’alūnaka ‘ani al-maḥīḍi qul huwa adzā} (QS. al-Baqarah: 222). Maka dijadikan adzā itu haid, dan sedikit darah pun adalah adzā, sehingga wajib dianggap haid. Juga dengan sabda Nabi SAW: “Apabila datang haidmu maka tinggalkanlah salat.” Ia berkata: karena ia adalah darah yang menggugurkan kewajiban salat, maka wajib minimalnya tidak terbatas sebagaimana nifas.
Dalil kami adalah sabda Nabi SAW: “Apabila datang haidmu maka tinggalkanlah salat.” Maka jadilah masa haid itu penggugur kewajiban salat, sedangkan gugurnya salat itu terkait dengan masa yang terbatas.
Dan karena ia keluar dari rahim yang menunjukkan kosongnya rahim, maka wajib ada batasnya sebagaimana ḥaml.
Adapun ayat tersebut, tidak ada dalil di dalamnya, karena Allah menjadikan haid itu adzā, bukan menjadikan setiap adzā itu haid.
Adapun hadis Fāṭimah, yang dimaksud adalah datangnya haidnya, dan itu memang berlangsung beberapa hari.
Adapun qiyās Mālik dengan nifas, maka maksudnya pada nifas terdapat kebiasaan meskipun sedikit.
(مسألة)
: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَكْثَرُ الْحَيْضِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
وَحُكِيَ عَنْ أبي حنيفة أَنَّ أَكْثَرَهُ عَشَرَةُ أَيَّامٍ، وَعَنْ مَكْحُولٍ أَنَّ أَكْثَرَهُ سَبْعَةُ أَيَّامٍ، وَعَنْسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّ أَكْثَرَهُ ثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ فِي أَكْثَرِهِ ثَلَاثُ روايات إحداهن خمسة عشرة يَوْمًا، كَقَوْلِنَا وَالثَّانِيَةُ سَبْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا كَقَوْلِ الماجشون، والثالث أَنَّهُ غَيْرُ مَحْدُودٍ، وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة بِحَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” وَأَكْثَرُ الْحَيْضِ عشرٌ ” وَبِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لِتَنْظُرْ عَدَدَ اللَيَالِي وَالْأَيَّامِ “، وَهَذَا يَنْطَلِقُ عَلَى الْعَشَرَةِ وَمَا دُونُ، وَبِقَوْلِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قُرْءُ الْحَيْضِ ثَلَاثٌ إِلَى أَنِ انْتَهَى إِلَى عَشْرٍ.
(Masalah)
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Maksimal haid adalah lima belas hari.”
Al-Māwardī berkata: dan ini adalah pendapat yang sahih.
Diriwayatkan dari Abū Ḥanīfah bahwa maksimalnya adalah sepuluh hari. Dari Makḥūl bahwa maksimalnya tujuh hari. Dari Sa‘īd bin Jubair bahwa maksimalnya tiga belas hari.
Dan diriwayatkan dari Mālik tentang maksimal haid tiga riwayat:
Pertama, lima belas hari, seperti pendapat kami.
Kedua, tujuh belas hari, seperti pendapat al-Mājisyūn.
Ketiga, bahwa ia tidak memiliki batas maksimal.
Abū Ḥanīfah berdalil dengan hadis Abū Umāmah bahwa Nabi SAW bersabda: “Maksimal haid adalah sepuluh.”
Dan dengan sabda Nabi SAW: “Hendaklah ia melihat bilangan malam dan hari-hari.” Dan ini berlaku pada sepuluh dan yang kurang darinya.
Dan dengan perkataan Anas bin Mālik: “Masa haid adalah tiga, … hingga berakhir pada sepuluh.”
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَى زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: خَرَجَ النَبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في ضحىً أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى وَانْصَرَفَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عقلٍ ودينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَ، يَا مَعْشَرَ النَسَاءِ فَقُلْنَ مَا نُقْصَانُ عَقْلِنَا وَدِينِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شهادة المرأة بنصف شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى، قَالَ فَذَلِكَ نُقْصَانُ عقلها، أرأيت إذا حاضت لم تصل ولم تصم.
رَوَى شَطْرَ دَهْرِهَا قَالَ: فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا “.
وَمَعْلُومٌ أَنَّهَا لَا تَصِيرُ مَوْصُوفَةً بِهَذِهِ الصِّفَةِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ نِصْفُ كُلِّ شَهْرٍ حَيْضًا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ أَكْثَرَهُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَلِأَنَّهُ دَمٌ يُسْقِطُ فَرْضَ الصَّلَاةِ، فَجَازَ أَنْ يَبْلُغَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، كَالنِّفَاسِ، وَلِأَنَّهُ دَمٌ يُرْخِيهِ الرَّحِمُ جَرَتْ بِهِ عَادَةٌ صَحِيحَةٌ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، كَالطُّهْرِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِمَا ذَكَرَهُ فَقَدْ تَقَدَّمَ الْجَوَابُ عَنْهُ.
Dalil kami adalah riwayat Zayd bin Aslam dari ‘Iyāḍ bin ‘Abdillāh dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, ia berkata:
Rasulullah SAW keluar pada hari raya Iedul Aḍḥā atau Iedul Fiṭr menuju mushalla, kemudian kembali, lalu bersabda:
“Wahai sekalian perempuan, bersedekahlah, karena aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih mampu mengalahkan akal seorang laki-laki yang teguh selain salah seorang dari kalian.”
Wahai sekalian perempuan, mereka pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan agama kami?” Beliau bersabda: “Bukankah persaksian perempuan separuh dari persaksian laki-laki?” Mereka menjawab: “Benar.” Beliau bersabda: “Itulah kurang akalnya. Bukankah jika ia haid, ia tidak salat dan tidak puasa separuh masa hidupnya?” Mereka menjawab: “Benar.” Beliau bersabda: “Itulah kurang agamanya.”
Dan telah diketahui bahwa seorang perempuan tidaklah disebut dengan sifat ini kecuali jika separuh setiap bulan adalah haid. Maka hal itu menunjukkan bahwa maksimal haid adalah lima belas hari.
Dan karena ia adalah darah yang menggugurkan kewajiban salat, maka boleh sampai lima belas hari sebagaimana nifas.
Dan karena ia adalah darah yang dilepaskan oleh rahim yang telah menjadi kebiasaan yang sahih, maka boleh berlangsung lima belas hari sebagaimana masa suci.
Adapun dalil yang mereka sebutkan, jawabannya telah dijelaskan sebelumnya.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا أَقَلُّ الطُّهْرِ بَيْنَ الْحَيْضَتَيْنِ فَخَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، فَهُوَ قَوْلُ أبى حنيفة وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ مَالِكٌ: أَقَلُّهُ عَشَرَةُ أَيَّامٍ، وَقَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ لَا حَدَّ لِأَقَلِّهِ.
وَدَلِيلُنَا مَعَ اعْتِبَارِ الْعَادَةِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” تَقْعُدُ شَطْرَ دَهْرِهَا لَا تُصَلِّي “، وَلِأَنَّ الشَّرْعَ قَدِ اسْتَقَرَّ نَصًّا بِأَنَّ الشَّهْرَ فِي مُقَابَلَةِ قُرْءٍ جَامِعٍ لِحَيْضٍ وَطُهْرٍ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ عَلَى الْمُؤَيَّسَةِ فِي مُقَابَلَةِ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ فِي الْعِدَّةِ، وَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ إِمَّا لِأَنَّ الشَّهْرَ يَجْمَعُ أَكْثَرَ الْحَيْضِ، وَأَكْثَرَ الطُّهْرِ، أَوْ لِأَنَّهُ يَجْمَعُ أَقَلَّ الْحَيْضِ، وَأَقَلَّ الطُّهْرِ أَوْ لِأَنَّهُ يَجْمَعُ أَكْثَرَ الْحَيْضِ، وَأَقَلَّ الطُّهْرِ أَوْ لِأَنَّهُ يَجْمَعُ أَقَلَّ الْحَيْضِ وَأَكْثَرَ الطُّهْرِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يكون جامعاً لأكثر الأمرين؛ لأن أكثر الطهر غير محدود ولم يجز أن يكون جامعاً، لأقل الْأَمْرَيْنِ؛ لِأَنَّهُ يَكُونُ أَقَلَّ مِنْ شَهْرٍ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ جَامِعًا لِأَقَلِّ الْحَيْضِ وَأَكْثَرِ الطُّهْرِ، لِأَنَّهُ يَتَجَاوَزُ الشَّهْرَ فَثَبَتَ أَنَّهُ جَامِعٌ لِأَكْثَرِ الْحَيْضِ وَأَقَلِّ الطُّهْرِ، فَلَمَّا كَانَ أَكْثَرُ الْحَيْضِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا بِمَا دَلَّلْنَا ثَبَتَ أن أقل الطهر خمسة عشر يوماً.
(PASAL)
Adapun minimal masa suci di antara dua haid adalah lima belas hari. Inilah pendapat Abū Ḥanīfah dan mayoritas fuqahā’.
Mālik berkata: minimalnya sepuluh hari.
Aḥmad dan Isḥāq berkata: tidak ada batas minimal baginya.
Dalil kami, dengan memperhatikan kebiasaan, adalah sabda Nabi SAW: “Seorang perempuan meninggalkan salat separuh masa hidupnya.”
Dan karena syariat telah menetapkan dengan nash bahwa bulan sebanding dengan satu qur’ yang mencakup haid dan suci. Karena Allah Ta‘ala menjadikan tiga bulan bagi perempuan yang tidak haid sebagai ganti dari tiga qur’ dalam ‘iddah.
Hal itu tidak lepas dari empat keadaan:
- Bisa jadi bulan mencakup maksimal haid dan maksimal suci.
- Atau mencakup minimal haid dan minimal suci.
- Atau mencakup maksimal haid dan minimal suci.
- Atau mencakup minimal haid dan maksimal suci.
Maka tidak boleh dikatakan mencakup keduanya dalam keadaan maksimal, karena maksimal masa suci tidak terbatas. Tidak boleh pula dikatakan mencakup keduanya dalam keadaan minimal, karena akan kurang dari sebulan.
Dan tidak boleh dikatakan mencakup minimal haid dan maksimal suci, karena akan melewati sebulan.
Maka tetaplah bahwa bulan mencakup maksimal haid dan minimal suci.
Ketika maksimal haid adalah lima belas hari sebagaimana telah kami buktikan, maka tetaplah bahwa minimal suci adalah lima belas hari.
(مسألة: القول في النفاس)
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَكْثَرُ النِّفَاسِ سِتُّونَ يَوْمًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا النِّفَاسُ فَهُوَ دَمٌ يُرْخِيهِ الرَّحِمُ فِي حَالِ الْوِلَادَةِ، وَبَعْدَهَا مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ فَلَانٌ قَدْ نَفَسَ الدَّمَ إِذَا أَخْرَجَهُ، وَتَنَفَّسَ النَّهَارُ إِذَا طَالَ، وَتَنَفَّسَ الصُّبْحُ إِذَا ظَهَرَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّس) {التكوير: 18) أَيْ ظَهَرَ، وَالنِّفَاسُ كَالْحَيْضِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضَ، وَهِيَ السَّبْعَةُ الْمَذْكُورَةُ فِيمَا يَحْرُمُ بِالْحَيْضِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالطَّوَافِ وَدُخُولِ الْمَسْجِدِ وَمَسِّ الْمُصْحَفِ وَقِرَاءَةِ الْقِرَانِ وَوَطْءِ الزَّوْجِ، وَمُخَالِفٌ لَهُ فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:
أَحدُهَا: أَنَّ الْحَيْضَ قَدْ يكون بلوغاً من الصَّغِيرَةِ وَالنِّفَاسُ لَا يَكُونُ بُلُوغًا، وَإِنَّمَا يَكُونُ الْبُلُوغُ بِمَا قَبْلَهُ مِنَ الْحَمْلِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَيْضَ يَكُونُ اسْتِبْرَاءً فِي الْعِدَّةِ، وَالنِّفَاسُ لَا يَكُونُ اسْتِبْرَاءً فِي الْعِدَّةِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ قَدْرَ النِّفَاسِ مُخَالِفٌ لِقَدْرِ الْحَيْضِ فِي أَقَلِّهِ وَأَكْثَرِهِ وَأَوْسَطِهِ.
(Masalah: perkataan tentang nifas)
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Maksimal nifas adalah enam puluh hari.”
Al-Māwardī berkata: Adapun nifas adalah darah yang dilepaskan oleh rahim pada waktu melahirkan dan setelahnya. Diambil dari ucapan mereka: fulān qad naffasa al-dam jika ia mengeluarkannya, dan tanaffasa al-nahār jika siang menjadi panjang, dan tanaffasa al-ṣubḥ jika telah tampak. Allah Ta‘ala berfirman: {Wa al-ṣubḥi idzā tanaffas} (QS. al-Takwīr: 18), artinya: telah tampak.
Nifas hukumnya sama dengan haid dalam hal-hal hukum yang terkait dengannya, yaitu tujuh perkara yang diharamkan dengan haid: salat, puasa, thawaf, masuk masjid, menyentuh mushaf, membaca al-Qur’an, dan berjima‘ dengan suami.
Namun nifas berbeda dari haid dalam tiga hal:
Pertama: haid bisa menjadi tanda baligh bagi anak kecil, sedangkan nifas tidak mungkin menjadi tanda baligh, karena balighnya dengan apa yang mendahuluinya berupa hamil.
Kedua: haid bisa menjadi istibra’ dalam ‘iddah, sedangkan nifas tidak bisa menjadi istibra’ dalam ‘iddah.
Ketiga: ukuran nifas berbeda dengan ukuran haid pada minimal, maksimal, dan pertengahannya.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا أَقَلُّ النِّفَاسِ فَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِي كُتُبِهِ نَصٌّ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا رَوَى أَبُو ثَوْرٍ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ أَقَلُّ النِّفَاسِ سَاعَةً فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلِ السَّاعَةُ حَدٌّ لِأَقَلِّهِ أَوْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَجَمِيعِ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّهُ مَحْدُودُ الْأَقَلِّ بِسَاعَةٍ، وَبِهِ قَالَ محمد بن الحسن وَأَبُو ثَوْرٍ.
الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهُ لَا حَدَّ لِأَقَلِّهِ، وَإِنَّمَا ذَكَرَ السَّاعَةَ تَقْلِيلًا وَتَفْرِيقًا لَا أَنَّهُ جَعَلَهَا حَدًّا، وَأَقَلُّهُ مَجَّةٌ مِنْ دَمٍ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ، وَقَالَ أبو حنيفة: أَقَلُّ النِّفَاسِ خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ يَوْمًا.
وَقَالَ أبو يوسف أَقَلُّهُ أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا، وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ أَقَلُّهُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ، وَكُلُّ هَذِهِ الْحُدُودِ لَيْسَ فِيهَا نَصٌّ، وَلَا قِيَاسٌ عَلَى أَصْلٍ، وَإِنَّمَا وَجَدَ قَائِلُوهَا نِسَاءً كَانَ أَقَلُّ نِفَاسِهِنَّ مَا ذَكَرُوا فَجَعَلُوهُ حَدًّا مُسْتَحْسَنًا، وَلَيْسَ هَذَا دَلِيلًا عَلَى مَنْ وَجَدَ أَقَلَّ مِنْ حَدِّهِمْ، وَقَدْ وُجِدَ نِسَاءٌ كَانَ نِفَاسُهُنَّ أَقَلَّ مِنْ هَذِهِ الْحُدُودِ.
رُوِيَ أَنَّ امْرَأَةً وَلَدَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَمْ تَرَ مَعَهُ دَمًا فَسُمِّيَتْ ذَاتَ الْجَفَافِ.
وَرَوَى أَبُو أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ إِذَا طَهُرَتِ النُّفَسَاءُ حِينَ تَضَعُ صَلَّتْ وَهَذَا نَصٌّ.
(PASAL)
Adapun minimal nifas, maka Imam al-Syafi‘i tidak menashkannya dalam kitab-kitabnya. Hanya saja Abū Tsaur meriwayatkan darinya bahwa beliau berkata: “Minimal nifas adalah satu jam.”
Maka sahabat-sahabat kami berbeda pendapat, apakah satu jam itu menjadi batas minimal nifas atau tidak, dengan dua wajah:
Pertama: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās dan seluruh ulama Baghdad, bahwa minimal nifas memang terbatas pada satu jam. Pendapat ini juga dikatakan oleh Muḥammad bin al-Ḥasan dan Abū Tsaur.
Kedua: yaitu pendapat ulama Bashrah, bahwa tidak ada batas minimal nifas. Disebutnya satu jam hanya untuk menunjukkan sedikitnya dan untuk membedakan, bukan untuk menjadikannya batas. Minimal nifas cukup dengan setetes darah saja. Pendapat ini dikatakan oleh Mālik, al-Auzā‘ī, Aḥmad, dan Isḥāq.
Abū Ḥanīfah berkata: minimal nifas adalah dua puluh lima hari.
Abū Yūsuf berkata: minimalnya sebelas hari.
Sufyān al-Thawrī berkata: minimalnya tiga hari.
Semua batas-batas ini tidak memiliki nash, dan tidak ada pula qiyās kepada suatu asal. Akan tetapi mereka yang berpendapat demikian hanya menemukan perempuan yang minimal nifasnya seperti yang mereka sebutkan, lalu mereka menjadikannya batas yang dianggap baik. Padahal hal itu bukan dalil atas perempuan yang nifasnya kurang dari batas mereka, dan sungguh telah ditemukan perempuan yang nifasnya kurang dari batas-batas tersebut.
Diriwayatkan bahwa ada seorang perempuan melahirkan pada masa Rasulullah SAW dan tidak melihat darah bersamanya, lalu ia dijuluki Dzāt al-Jafāf.
Dan Abū Umāmah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila perempuan nifas telah suci ketika melahirkan, maka ia salat.” Dan ini adalah nash.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا أَكْثَرُ النِّفَاسِ فَقَدِ اخْتَلَفُوا فِيهِ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ أَكْثَرَهُ سِتُّونَ يَوْمًا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالشَّعْبِيُّ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ أَكْثَرُهُ خَمْسُونَ يَوْمًا.
وَقَالَ أبو حنيفة: أَكْثَرُهُ أَرْبَعُونَ يَوْمًا، وَحَكَى الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ أَهْلِ دِمَشْقَ أَنَّ أَكْثَرَ النِّفَاسِ مِنَ الْغُلَامِ ثَلَاثُونَ يَوْمًا وَمِنَ الْجَارِيَةِ أَرْبَعُونَ يَوْمًا، وَكُلٌّ مِنْهُمْ رَجَعَ فِيمَا ذَكَرَهُ مِنَ الْحَدِّ إِلَى ماوَجَدَ فَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة عَلَى حَدِّهِ بِالْأَرْبَعِينَ بِرِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَّتَ لِلنُّفَسَاءَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا.
(PASAL)
Adapun maksimal nifas, para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Imam al-Syafi‘i berpendapat bahwa maksimal nifas adalah enam puluh hari. Dengan pendapat ini pula berkata Mālik dan al-Sya‘bī.
Al-Ḥasan al-Baṣrī berkata: maksimalnya lima puluh hari.
Abū Ḥanīfah berkata: maksimalnya empat puluh hari.
Al-Auzā‘ī meriwayatkan dari penduduk Damaskus bahwa maksimal nifas bagi yang melahirkan anak laki-laki adalah tiga puluh hari, sedangkan bagi yang melahirkan anak perempuan adalah empat puluh hari.
Masing-masing dari mereka kembali kepada apa yang mereka temukan (dari kebiasaan perempuan).
Abū Ḥanīfah berdalil atas batas empat puluh hari dengan riwayat dari Anas bin Mālik, bahwa Nabi SAW menetapkan bagi perempuan nifas empat puluh hari.
وَرَوَتْ مُسَّةُ أُمُّ بُسَّةُ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ النِّسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تقعد بعد نفاسها أربعين يوماً وكنا نطلق عَلَى وُجُوهِنَا الْوَرَسَ يَعْنِي: مِنَ الْكَلَفِ ” وَلِأَنَّ الْأَرْبَعِينَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهَا، وَالزِّيَادَةَ مُخْتَلَفٌ فِيهَا، فَلَمْ يَجُزْ تَرْكُ يَقِينِ الصَّلَاةِ؛ بِمُخْتَلَفٍ فِيهِ.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ إِلَى أَنْ تَرَى الطُّهْرَ ” فَكَانَ عُمُومُهُ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ مَا جَاوَزَ الْأَرْبَعِينَ يَكُونُ نِفَاسًا، وَلِأَنَّ حَدَّ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ مَأْخُوذٌ مِنْ وُجُودِ الْعَادَةِ الْمُسْتَمِرَّةِ فِيهِ، وَقَدْ وَجَدَ الشَّافِعِيُّ السِّتِّينَ فِي عَادَةٍ مُسْتَمِرَّةٍ، وَتَحَرَّرَ هَذَا قِيَاسًا، فَيُقَالُ لِأَنَّهُ دَمٌ أَرْخَاهُ الرَّحِمُ جَرَتْ بِهِ عَادَةٌ مُسْتَقِرَّةٌ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ نِفَاسًا كَالْأَرْبَعِينَ، وَلِأَنَّ أَكْثَرَ الدَّمِ يَزِيدُ عَلَى عَادَتِهِ فِي الْغَالِبِ، كَالْحَيْضِ غَالِبُهُ السَّبْعُ، وَأَكْثَرُهُ يَزِيدُ عَلَى السَّبْعِ، فَلَمَّا كَانَ غَالِبُ النِّفَاسِ أَرْبَعِينَ، وَجَبَ أَنْ يَزِيدَ أَكْثَرُهُ عَلَى الْأَرْبَعِينَ، وَلِأَنَّ النِّفَاسَ هُوَ مَا كَانَ مُحْتَسِبًا مِنَ الْحَيْضِ فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ، فَلَمَّا كَانَ غَالِبُ الحمل تسعة أشهر، وغالب الحيض ست أو سبع، فإن اعتبرنا السبع كَانَ النِّفَاسُ ثَلَاثَةً وَسِتِّينَ يَوْمًا، وَإِنِ اعْتَبَرْنَا الست كَانَ النِّفَاسُ أَرْبَعَةً وَخَمْسِينَ يَوْمًا، وَإِنِ اعْتَبَرْنَاهُمَا مَعًا كَانَ النِّفَاسُ سِتِّينَ يَوْمًا، وَهُوَ أَنْ يجعل حيضها في ستة أشهر سبعاً، وفي ثلاثة اشهر ستاً فَصَحَّ أَنَّ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ أَصَحُّ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ فَهُوَ أَنَّهُ ضَعِيفٌ، لِأَنَّ رِوَايَةَ سَلَامِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنِ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ وَسَلَامٌ قَدْ أُسْقِطَ حَدِيثُهُ ذَكَرَهُ السَّاجِيُّ، وَقَالَ كَانَ ضَعِيفًا، وَلَوْ كَانَ صَحِيحًا لَحَمَلَ عَلَى مَنْ تَجَاوَزَ دَمُهَا سِتِّينَ يَوْمًا، فَرَدَّهَا إِلَى أَوْسَطِهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا كَمَا رَدَّ حَمْنَةَ بِنْتَ جَحْشٍ حِينَ اسْتُحِيضَتْ إلى أوسط الحيض ست أو سبع، وَأَمَّا حَدِيثُ أُمِّ سَلَمَةَ فَلَا دَلِيلَ فِيهِ، لِأَنَّهُ إِخْبَارٌ عَنْ قَدْرِ عَادَتِهِنَّ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْوِفَاقِ فَلَيْسَ الْوِفَاقُ عَلَى أَنَّ الْأَرْبَعِينَ نِفَاسٌ، دَلِيلًا عَلَى أَنَّ الْأَرْبَعِينَ أَكْثَرُ النِّفَاسِ كَالْعِشْرِينِ فَأَمَّا أَوْسَطُ النِّفَاسِ فَأَرْبَعُونَ يَوْمًا؛ لِأَنَّ غَالِبَ عادت النساء جارية به كالسبع فِي الْحَيْضِ، وَوُجُودُهُ فِي الْعَادَةِ يُغْنِي عَنْ دَلِيلِ أَصْلِهِ.
Diriwayatkan oleh Mussah Umm Bussa dari Umm Salamah, ia berkata: “Dahulu para perempuan di zaman Rasulullah SAW duduk karena nifas selama empat puluh hari, dan kami membalurkan waras di wajah-wajah kami (yakni untuk menghilangkan flek).”
Dan karena empat puluh hari itu disepakati, sedangkan selebihnya diperselisihkan, maka tidak boleh meninggalkan keyakinan salat dengan sesuatu yang masih diperselisihkan.
Dalil kami adalah riwayat dari Umm Salamah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Perempuan nifas itu duduk (meninggalkan salat) sampai ia melihat suci.” Maka keumuman hadis ini mengandung bahwa apa yang melewati empat puluh hari pun termasuk nifas.
Dan karena batas haid dan nifas diambil dari adanya kebiasaan yang terus-menerus, dan Imam al-Syafi‘i telah mendapati adanya enam puluh hari dalam kebiasaan yang terus-menerus, maka hal itu menjadi tetap sebagai qiyās.
Dikatakan: karena ia adalah darah yang dilepaskan oleh rahim dengan kebiasaan yang sudah mapan, maka boleh ia dianggap nifas sebagaimana empat puluh hari.
Dan karena pada umumnya darah itu melebihi kebiasaannya, sebagaimana haid yang biasanya tujuh hari, namun maksimalnya bisa melebihi tujuh. Maka ketika kebiasaan nifas adalah empat puluh hari, wajiblah bahwa maksimalnya bisa melebihi empat puluh.
Dan karena nifas itu dihitung dari haid dalam masa hamil, maka ketika umumnya hamil sembilan bulan, dan umumnya haid enam atau tujuh hari: jika dihitung dengan tujuh maka nifas menjadi enam puluh tiga hari, jika dengan enam maka nifas menjadi lima puluh empat hari, dan jika dengan keduanya sekaligus maka nifas menjadi enam puluh hari, yaitu dengan menghitung enam bulan dengan tujuh, dan tiga bulan dengan enam.
Maka sahihlah bahwa pendapat kami lebih kuat.
Adapun jawaban atas hadis Anas bin Mālik, maka hadis itu dha‘īf. Karena ia diriwayatkan oleh Salām bin Muslim dari Ḥumayd dari Anas, sedangkan Salām haditsnya ditolak. Disebutkan oleh al-Sājī, ia berkata: “Ia dha‘īf.”
Dan seandainya sahih, maka ia dibawa kepada perempuan yang darahnya melewati enam puluh hari, lalu dikembalikan kepada pertengahan, yaitu empat puluh hari, sebagaimana Nabi SAW mengembalikan Ḥamnah bint Jahsy ketika mengalami istihāḍah kepada pertengahan haid, enam atau tujuh hari.
Adapun hadis Umm Salamah, tidak ada dalil di dalamnya, karena itu hanya berita tentang kebiasaan mereka.
Adapun istidlāl mereka dengan kesepakatan, maka kesepakatan bahwa empat puluh hari itu nifas, bukanlah dalil bahwa empat puluh hari adalah maksimal nifas. Hal itu sama seperti dua puluh hari, disepakati ia nifas, namun tidak berarti ia adalah maksimal.
Adapun pertengahan nifas adalah empat puluh hari, karena kebiasaan perempuan umumnya demikian, sebagaimana tujuh hari dalam haid. Dan adanya kebiasaan ini sudah cukup tanpa membutuhkan dalil tambahan.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حُكْمِ النِّفَاسِ، وَقِدْرِهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَرْأَةِ فِي وِلَادَتِهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَضَعَ مَا فِيهِ خَلْقٌ مُصَوَّرٌ أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيمَا وَضَعَتْهُ خَلْقٌ مُصَوَّرٌ لَا جَلِيٌّ وَلَا خَفِيٌّ، كَالْعَلَقَةِ وَالْمُضْغَةِ الَّتِي لَا تَصِيرُ بِهَا أُمَّ وَلَدٍ، وَلَا تَجِبُ فِيهَا عِدَّةٌ لَمْ يَكُنِ الدَّمُ الْخَارِجُ مَعَهُ نِفَاسًا، وَكَانَ دَمَ اسْتِحَاضَةٍ أَوْ حَيْضٍ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَحْكُمْ لماوَضَعَتْهُ حُكْمَ الْوَلَدِ فِيمَا سِوَى النِّفَاسِ، فَكَذَلِكَ فِي النِّفَاسِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ خَلْقٌ مُصَوَّرٌ تَقْضِي بِهِ الْعِدَّةَ وَتَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ، فَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ تَرَى مَعَهُ دَمًا أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ تَرَ مَعَهُ دَمًا، وَقَدْ يُوجَدُ هَذَا كَثِيرًا فِي نِسَاءِ الْأَكْرَادِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الْغُسْلِ عَلَيْهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
(PASAL)
Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan tentang hukum nifas dan ukurannya, maka keadaan seorang perempuan ketika melahirkan tidak lepas dari dua hal:
Apakah ia melahirkan sesuatu yang di dalamnya ada bentuk makhluk yang tercipta, atau tidak.
Jika apa yang dilahirkannya tidak terdapat bentuk makhluk yang tercipta, baik yang jelas maupun samar, seperti ‘alaqah dan mudhghah yang dengannya tidak menjadi umm walad dan tidak wajib ‘iddah, maka darah yang keluar bersamanya bukanlah nifas, melainkan darah istihāḍah atau haid sesuai dengan keadaannya. Sebab ketika apa yang dilahirkannya tidak dihukumi sebagai anak dalam hal selain nifas, maka demikian pula tidak dihukumi sebagai nifas.
Namun jika yang dilahirkannya memiliki bentuk makhluk yang tercipta, yang karenanya wajib ‘iddah dan dengannya ia menjadi umm walad, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal: apakah ia melihat darah bersamanya atau tidak.
Jika ia tidak melihat darah bersamanya—dan hal ini banyak terjadi pada perempuan Kurdi—maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang wajib tidaknya mandi baginya dengan dua wajah:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ لَا غُسْلَ عَلَيْهَا، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة، لِأَنَّ وُجُوبَ الغسل متعلق بانقطاع الدم، فإن عُدِمَ الدَّمُ لَمْ يَجِبِ الْغُسْلُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ، أَنَّ الْغُسْلَ عَلَيْهَا وَاجِبٌ بِهِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ؛ لِأَنَّ الْوَلَدَ مَخْلُوقٌ مِنْ مَائِهَا وَمَاءِ الزَّوْجِ، فَإِذَا وَلَدَتْ فَكَأَنَّمَا قَدْ أَنْزَلَتْ، فَعَلَى هَذَا هَلْ تَغْتَسِلُ فِي حَالِ وَضْعِهَا أَوْ بَعْدَ مُضِيِّ سَاعَةٍ مِنْهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِهِمْ فِي أَقَلِّ النِّفَاسِ هَلْ هُوَ مَحْدُودٌ بِسَاعَةٍ أم لا؟ على هَذَا لَوْ كَانَتْ وِلَادَتُهَا فِي نَهَارِ رَمَضَانَ فَبُطْلَانُ صَوْمِهَا عَلَى الْوَجْهَيْنِ، إِنْ قِيلَ لَا غُسْلَ عَلَيْهَا، فَهِيَ عَلَى صَوْمِهَا وَإِنْ قِيلَ بِوُجُوبِ الْغُسْلِ عَلَيْهَا بَطُلَ صَوْمُهَا.
Salah satunya, yaitu riwayat dari Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa tidak wajib mandi atasnya. Dan dengan pendapat ini berkata Abū Ḥanīfah. Sebab kewajiban mandi itu terkait dengan terhentinya darah. Jika tidak ada darah, maka tidak wajib mandi.
Wajah yang kedua, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās bin Surayj, bahwa mandi wajib atasnya, dan dengan pendapat ini berkata Mālik. Karena anak itu tercipta dari air mani perempuan dan air mani suami, maka ketika ia melahirkan seakan-akan ia telah mengeluarkan mani, sehingga wajib mandi.
Atas dasar ini, apakah ia wajib mandi pada saat melahirkan ataukah setelah lewat satu jam darinya? Hal ini kembali kepada dua wajah perbedaan mereka tentang minimal nifas, apakah terbatas satu jam atau tidak.
Maka atas dasar ini pula, jika ia melahirkan di siang hari Ramadhan, maka batalnya puasanya tergantung pada dua wajah tersebut. Jika dikatakan tidak wajib mandi atasnya, maka puasanya tetap sah. Dan jika dikatakan wajib mandi atasnya, maka batal puasanya.
(فَصْلٌ)
: وَإِنْ رَأَتْ فِي وِلَادَتِهَا دَمًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبْتَدِئَ بِهَا مَعَ الْوِلَادَةِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَبْتَدِئَ بِهَا قَبْلَ الْوِلَادَةِ، فَإِنْ بَدَأَ بِهَا الدَّمُ قَبْلَ الْوِلَادَةِ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَتَّصِلِ بِدَمِ الْوِلَادَةِ أَمْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَتَّصِلْ إِلَى مَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ، وَانْقَطَعَ قَبْلَهَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ الدمُ نِفَاسًا، لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ، كَانَ كَالَّذِي تَرَاهُ الْمَرْأَةُ مِنَ الدَّمِ عَلَى حَمْلِهَا هَلْ يَكُونُ حَيْضًا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة يَكُونُ دَمَ فَسَادٍ، فلا يَكُونُ حَيْضًا.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ يَكُونُ حَيْضًا وَسَنَذْكُرُ تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ فِي مَوْضِعِهِ مِنْ كِتَابِ الْعَدَدِ، وَإِنِ اتَّصَلَ الدَّمُ بِمَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
(PASAL)
Jika seorang perempuan melihat darah pada waktu melahirkannya, maka keadaannya terbagi dua:
Pertama: darah itu mulai keluar bersamaan dengan kelahirannya.
Kedua: darah itu mulai keluar sebelum kelahiran.
Jika darah itu mulai keluar sebelum kelahiran, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah darah itu tersambung dengan darah setelah kelahiran atau tidak.
Jika tidak tersambung sampai setelah kelahiran, melainkan sudah terputus sebelumnya, maka darah itu bukan nifas. Dalam hal ini para sahabat kami tidak berselisih, hukumnya seperti darah yang dilihat perempuan pada waktu hamil, apakah ia termasuk haid atau tidak, terdapat dua qaul:
Pertama: qaul qadīm, dan ini adalah mazhab Abū Ḥanīfah, bahwa ia adalah darah fasad, bukan haid.
Kedua: qaul jadīd, dan ini adalah mazhab Mālik, bahwa ia adalah haid. Dan kami akan menyebutkan alasan kedua qaul ini pada tempatnya dalam Kitāb al-‘Adad.
Namun jika darah itu tersambung dengan darah setelah kelahiran, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini dengan dua wajah:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطِّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ أَنَّهُ دَمُ نِفَاسٍ، وَإِنَّ أَوَّلَ نِفَاسِهَا مِنْ حِينِ بَدَأَ بِهَا الدَّمُ قَبْلَ الْوِلَادَةِ لِاتِّصَالِهِ بِهَا وَكَوْنِهِ أَحَدَ أَسْبَابِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ مَا تَقَدَّمَ الْوِلَادَةَ لَيْسَ بِنِفَاسٍ، وَإِنَّ أَوَّلَ النِّفَاسِ مَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ؛ لِأَنَّ دَمَ النِّفَاسِ مَا بَقِيَ مِنْ غِذَاءِ الْمَوْلُودِ مِنَ الْحَيْضِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَقَدَّمَ عَلَيْهِ، فَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ، لَوْ وَلَدَتْ وَلَدَيْنِ وَرَأَتْ مَعَ الْأَوَّلِ مِنْهُمَا دَمًا، وَاتَّصَلَبِوِلَادَةِ الثَّانِي فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يَكُونُ نِفَاسُهَا مِنْ حِينِ رَأَتِ الدَّمَ مَعَ الْأَوَّلِ، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي يَكُونُ أَوَّلُهُ بَعْدَ وِلَادَةِ الثَّانِي.
pertama: yaitu pendapat Abū Ṭayyib bin Salamah bahwa itu adalah darah nifas, dan sesungguhnya awal nifasnya adalah sejak mulai keluar darah sebelum melahirkan, karena darah itu bersambung dengan kelahiran dan merupakan salah satu sebabnya.
kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī bahwa darah yang mendahului kelahiran bukanlah darah nifas, dan sesungguhnya awal nifas adalah setelah melahirkan; karena darah nifas adalah sisa dari makanan janin dari darah ḥaiḍ, maka tidak boleh mendahuluinya. Maka berdasarkan dua pendapat ini, jika seorang wanita melahirkan dua anak dan ia melihat darah bersama kelahiran yang pertama, lalu bersambung dengan kelahiran yang kedua, maka menurut pendapat pertama, nifasnya dimulai sejak ia melihat darah bersama anak yang pertama. Dan menurut pendapat kedua, awal nifasnya adalah setelah kelahiran anak yang kedua.
(فَصْلٌ)
: وَإِنْ رَأَتِ الدَّمَ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، وَلَمْ يَتَقَدَّمْ عَلَى الْوِلَادَةِ فَهُوَ دَمُ نِفَاسٍ سَوَاءٌ كان اسوداً ثخيناً، أو كان أصفر رقيقاً فِي الْمُبْتَدَأَةِ وَغَيْرِهَا لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ بخلاف الحيض؛ لأن الولادة شاهر للنفاس، فلم يحتج إلى اعتبار شاهر فِي الدَّمِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْحَيْضُ فَإِنِ اتَّصَلَ إِلَى سِتِّينَ يَوْمًا، فَكُلُّهُ نِفَاسٌ فَإِنِ انْقَطَعَ الدَّمُ فِي أَثْنَاءِ نِفَاسِهَا، وَلَمْ يَتَّصِلْ كَأَنَّهَا رَأَتْ يَوْمًا دَمًا وَيَوْمًا نَقَاءً حَتَّى بَلَغَ سِتِّينَ يَوْمًا ثُمَّ انْقَطَعَ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَلْفِيقِ الْحَيْضِ:
PASAL
Jika ia melihat darah setelah melahirkan dan tidak didahului oleh darah sebelum kelahiran, maka itu adalah darah nifas, baik darah tersebut hitam pekat ataupun kuning encer, baik pada wanita yang baru pertama kali melahirkan maupun yang lainnya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kami mengenai hal ini, berbeda dengan ḥaiḍ, karena kelahiran adalah penanda jelas (syāhir) bagi nifas, maka tidak diperlukan adanya penanda dalam darah. Adapun ḥaiḍ tidak demikian keadaannya.
Jika darah terus bersambung hingga enam puluh hari, maka semuanya adalah nifas. Namun jika darah terputus di tengah masa nifasnya, dan tidak bersambung, seperti ia melihat darah sehari lalu suci sehari, sampai genap enam puluh hari kemudian darahnya berhenti, maka dalam hal ini ada dua pendapat sebagaimana dalam kasus penggabungan ḥaiḍ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ جَمِيعَهُ نِفَاسٌ.
وَالثَّانِي: أَنَّ أَيَّامَ الدَّمِ نِفَاسٌ، وَأَيَّامَ النَّقَاءِ طُهْرٌ، فَلَوْ رَأَتْ خَمْسَةَ أَيَّامٍ دَمًا، وَخَمْسَةَ أَيَّامٍ نَقَاءً حَتَّى بَلَغَ سِتِّينَ يَوْمًا كَانَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ أَيْضًا، فَإِنِ اتَّصَلَ النَّقَاءُ فِي أَثْنَاءِ الدَّمِ حَتَّى بَلَغَ طُهْرًا كَامِلًا كَأَنَّهَا رَأَتْ ثَلَاثِينَ يَوْمًا دَمًا، وَخَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا طُهْرًا، وَخَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا دَمًا، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ هَلْ يَكُونُ طُهْرًا فَاصِلًا بَيْنَ الدَّمَيْنِ وَقَاطِعًا لِلنِّفَاسِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ أَنَّهُ قَاطِعٌ لِلنِّفَاسِ، وَفَاصِلٌ بَيْنَ الدَّمَيْنِ؛ لِأَنَّ النِّفَاسَ مُعْتَبَرٌ بِالْحَيْضِ، فَلَمَّا كَانَ الطُّهْرُ الْكَامِلُ فِي الْحَيْضِ فَاصِلًا بَيْنَ الدَّمَيْنِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي النِّفَاسِ أَيْضًا فَاصِلًا بَيْنَ الدَّمَيْنِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الدَّمُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ ثَلَاثُونَ يَوْمًا نِفَاسًا، وَالْخَمْسَةَ عَشَرَ النَّقَاءُ طُهْرًا، وَالدَّمُ الثَّانِي وَهُوَ خَمْسَةَ عَشَرَ حَيْضًا فَإِنْ زَادَ عَلَى الْخَمْسَةَ عَشَرَ فَقَدْ دَخَلَتِ الِاسْتِحَاضَةُ فِي حَيْضِهَا فَصَارَتْ مُسْتَحَاضَةً وَهَذَا مَذْهَبُ أَبِي ثَوْرٍ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّ هَذَا الطُّهْرَ غَيْرُ قَاطِعٍ لِلنِّفَاسِ وَلَا فَاصِلٌ بَيْنَ الدَّمَيْنِ؛ لِأَنَّ النِّفَاسَ لَمَّا خَالَفَ الْحَيْضَ فِي أَقَلِّهِ وَأَكْثَرِهِ خَالَفَهُ فِي الطُّهْرِ الَّذِي فِي خِلَالِ دَمِهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الزَّمَانُ نِفَاسًا وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَيَكُونُ الطُّهْرُ الَّذِي بَيْنَهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ مِنَ التَّلْفِيقِ.
pertama: bahwa semuanya adalah nifas.
kedua: bahwa hari-hari keluarnya darah adalah nifas, dan hari-hari suci adalah ṭuhūr. Maka jika ia melihat lima hari darah dan lima hari suci hingga genap enam puluh hari, maka berlaku dua pendapat ini juga.
Jika masa suci itu bersambung di tengah darah hingga mencapai ṭuhūr sempurna, seperti ia melihat tiga puluh hari darah, lima belas hari suci, lalu lima belas hari darah lagi, maka para ulama kami berselisih pendapat apakah ṭuhūr itu merupakan pemutus antara dua darah dan pemisah bagi masa nifas atau tidak. Ada dua pendapat:
pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq bahwa ṭuhūr tersebut memutus masa nifas dan menjadi pemisah antara dua darah; karena nifas dipersamakan dengan ḥaiḍ, dan ketika ṭuhūr sempurna dalam ḥaiḍ menjadi pemisah antara dua darah, maka seharusnya dalam nifas pun demikian. Maka berdasarkan pendapat ini, darah pertama — yaitu tiga puluh hari — adalah nifas, lima belas hari suci adalah ṭuhūr, dan darah kedua — yaitu lima belas hari — adalah ḥaiḍ. Jika lebih dari lima belas hari maka masuklah darah istiḥāḍah dalam masa ḥaiḍ-nya, sehingga ia menjadi mustaḥāḍah, dan ini adalah mazhab Abū Ṯawr.
kedua: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj bahwa ṭuhūr tersebut tidak memutus masa nifas dan tidak menjadi pemisah antara dua darah; karena nifas berbeda dengan ḥaiḍ dalam hal minimal dan maksimal waktunya, maka ia pun berbeda dalam hal ṭuhūr yang berada di antara darahnya. Maka berdasarkan pendapat ini, seluruh rentang waktu tersebut adalah nifas, dan ini adalah mazhab Mālik. Adapun ṭuhūr yang berada di antara dua darah, maka statusnya berdasarkan dua pendapat dalam masalah talfiq.
(فَصْلٌ)
: فَإِنِ اتَّصَلَ دَمُ نِفَاسِهَا حَتَّى تَجَاوَزَ سِتِّينَ يَوْمًا، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهَا عَادَةٌ فَي الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ أَوْ مُبْتَدَأَةً، فَإِنْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً فِي النِّفَاسِ وَالْحَيْضِ، فَمَا تَجَاوَزَ السِّتِّينَ يَوْمًا اسْتِحَاضَةٌ، وَلَيْسَ بِحَيْضٍ لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ، لِأَنَّ يَقِينَ النِّفَاسِ يَغْلِبُ عَلَى شَكِّ الْحَيْضِ، فَعَلَى هَذَا تَصِيرُ الِاسْتِحَاضَةُ دَاخِلَةً فِي النِّفَاسِ، وَلَهَا ثَلَاثَةُ أحوال:
الأول: حال يكون لها تمييز.
الثاني: وحال يكون لها ولا عادة.
PASAL
Jika darah nifasnya terus bersambung hingga melebihi enam puluh hari, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia memiliki kebiasaan dalam ḥaiḍ dan nifas, ataukah ia adalah wanita yang baru pertama kali mengalami hal itu. Jika ia adalah mubtada’ah dalam nifas dan ḥaiḍ, maka apa yang melebihi enam puluh hari adalah istiḥāḍah dan bukan ḥaiḍ, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kami tentang hal ini, karena keyakinan bahwa itu adalah nifas lebih kuat dibandingkan keraguan tentang ḥaiḍ. Maka berdasarkan hal ini, istiḥāḍah dianggap masuk dalam masa nifas, dan wanita tersebut memiliki tiga keadaan:
pertama: keadaan di mana ia memiliki kemampuan membedakan (antara darah ḥaiḍ, nifas, dan istiḥāḍah).
kedua: keadaan di mana ia tidak memiliki kemampuan membedakan dan juga tidak memiliki kebiasaan.
الثالث: وحال يكون مُبْتَدَأَةً لَيْسَ لَهَا تَمْيِيزٌ وَلَا عَادَةٌ، فَإِنْ كَانَ لَهَا تَمْيِيزٌ وَهُوَ أَنْ يَكُونَبعضه دماً أسود ثخين وبعضه أحمر رقيق، فَيَكُونُ السَّوَادُ مِنْهُ نِفَاسًا، وَالْحُمْرَةُ اسْتِحَاضَةً، وَإِنْ كان لها عادة بلا تَمْيِيزٍ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ كُلُّ الدَّمِ لَوْنًا وَاحِدًا وَلَهَا عَادَةٌ سَالِفَةٌ فِي نِفَاسٍ مُسْتَمِرٍّ فَتُرَدُّ إِلَى عَادَتِهَا فِي نِفَاسِهَا، وَيَكُونُ مَا تَجَاوَزَهَا اسْتِحَاضَةً، وَإِنْ كَانَتْ مُبْتَدَأَةً لَيْسَ لَهَا تَمْيِيزٌ وَلَا عَادَةٌ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا تُرَدُّ إِلَيْهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهَا تُرَدُّ إِلَى أَقَلِّ النِّفَاسِ فَعَلَى هَذَا تُعِيدُ جَمِيعَ مَا تَرَكَتْ مِنَ الصَّلَوَاتِ سَوَاءٌ حَدَدْنَا أَوَّلَهُ بِسَاعَةٍ أَمْ لَا؟ لِأَنَّ السَّاعَةَ حَدٌّ لَا يُصَادِفُ وَقْتَ صَلَاةٍ مُسْتَوْعِبٍ، وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي تُرَدُّ فِيهِ الْحَائِضُ إِلَى أَقَلِّ حَيْضِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهَا تُرَدُّ إِلَى أَوْسَطِ النِّفَاسِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا وَتُعِيدُ صَلَاةَ مَا زَادَ عَلَيْهِ، وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي تُرَدُّ فِيهِ الْحَائِضُ إِلَى أَوْسَطِ حَيْضِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيِّ ذَكَرَهُ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ أَنَّهَا تُرَدُّ إِلَى أَكْثَرِ النِّفَاسِ سِتِّينَ يَوْمًا، وَفَرَّقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَيْضِ أَنَّ النِّفَاسَ يَقِينٌ فَجَازَ أَنْ تُرَدَّ فِيهِ إِلَى أَكْثَرِهِ، وَلَيْسَ الْحَيْضُ بِيَقِينٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُرَدَّ فِيهِ إِلَى أَكْثَرِهِ.
ketiga: keadaan seorang mubtada’ah (wanita yang baru pertama kali mengalami nifas) yang tidak memiliki kemampuan membedakan dan tidak pula memiliki kebiasaan.
Jika ia memiliki kemampuan membedakan, yaitu sebagian darahnya berwarna hitam pekat dan sebagian lagi merah encer, maka darah yang hitam adalah nifas, sedangkan yang merah adalah istiḥāḍah.
Jika ia memiliki kebiasaan tanpa kemampuan membedakan, yaitu seluruh darah yang keluar satu warna, dan sebelumnya ia pernah mengalami nifas yang terus-menerus, maka ia dikembalikan kepada kebiasaan lamanya dalam nifas, dan darah yang melebihi kebiasaan tersebut adalah istiḥāḍah.
Namun jika ia mubtada’ah yang tidak memiliki kemampuan membedakan dan tidak memiliki kebiasaan, maka para ulama kami berselisih pendapat kepada apa ia dikembalikan, menjadi tiga pendapat:
pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa ia dikembalikan kepada minimal masa nifas. Maka berdasarkan pendapat ini, ia wajib mengqadha seluruh salat yang ditinggalkan setelah masa minimal itu, baik kita menentukan awalnya dengan satu jam atau tidak, karena satu jam adalah batas waktu yang tidak mencakup satu waktu salat secara utuh. Dan ini sesuai dengan pendapat yang mengembalikan wanita ḥā’iḍ kepada minimal masa ḥaiḍ-nya.
kedua: yaitu pendapat Ibn Surayj, bahwa ia dikembalikan kepada rata-rata masa nifas yaitu empat puluh hari, dan ia mengqadha salat yang ditinggalkan setelahnya. Ini sesuai dengan pendapat yang mengembalikan wanita ḥā’iḍ kepada rata-rata masa ḥaiḍ-nya.
ketiga: yaitu pendapat Abū Ibrāhīm al-Muzanī sebagaimana disebutkan dalam Jāmi‘-nya yang besar, bahwa ia dikembalikan kepada maksimal masa nifas yaitu enam puluh hari. Ia membedakan antara nifas dan ḥaiḍ, bahwa nifas adalah sesuatu yang diyakini keberadaannya (yaqīn), maka boleh dikembalikan kepada batas maksimalnya. Sedangkan ḥaiḍ bukanlah sesuatu yang pasti, maka tidak boleh dikembalikan kepada batas maksimalnya.
(فَصْلٌ)
: وَإِنْ كَانَ لِهَذِهِ النُّفَسَاءِ الَّتِي قَدْ تَجَاوَزَ دَمُهَا سِتِّينَ يَوْمًا حَيْضٌ مُعْتَادٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَّصِلَ دَمُ الْحَيْضِ بِدَمِ النِّفَاسِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ فِي كِتَابِهِ فِي الْحَيْضِ.
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَّصِلَ، لِأَنَّ النِّفَاسَ نَوْعٌ مِنَ الْحَيْضِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَّصِلَ حَيْضٌ بِحَيْضٍ، فَكَذَلِكَ نِفَاسٌ بِحَيْضٍ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْجَوَابُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ رَدِّهَا إِلَى التَّمْيِيزِ ثُمَّ إِلَى الْعَادَةِ ثُمَّ عَلَى الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ.
PASAL
Jika wanita yang dalam masa nifas dan darahnya telah melebihi enam puluh hari memiliki ḥaiḍ yang sudah menjadi kebiasaan, maka para ulama kami berselisih pendapat: apakah boleh darah ḥaiḍ bersambung langsung dengan darah nifas atau tidak? Terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Abū Isḥāq al-Marwazī dalam kitabnya tentang ḥaiḍ:
pertama: tidak boleh bersambung, karena nifas adalah salah satu jenis ḥaiḍ, dan tidak boleh satu ḥaiḍ bersambung dengan ḥaiḍ lainnya, maka demikian pula tidak boleh nifas bersambung dengan ḥaiḍ. Berdasarkan pendapat ini, maka jawabannya sama seperti yang telah lalu: dikembalikan kepada tamyīz, kemudian kepada kebiasaan, lalu kepada tiga pendapat yang telah disebutkan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَتَّصِلَ؛ لِأَنَّ النِّفَاسَ مُخَالِفٌ لِلْحَيْضِ فِي أَقَلِّهِ وَأَكْثَرِهِ، فَجَازَ أَنْ يَتَّصِلَ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ، فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ يَكُونُ التَّفْرِيعُ فَيُنْظَرُ فِي قَدْرِ الدَّمِ الزَّائِدِ على الستين، فإن لم يتجاوز خمسة عشرة يَوْمًا فَأَمْرُهَا غَيْرُ مُشْكِلٍ، وَتَكُونُ السِّتُّونَ يَوْمًا نِفَاسًا، وَمَا زَادَ عَلَى السِّتِّينَ حَيْضٌ، فَإِنْ كَانَ الدَّمُ سَبْعِينَ يَوْمًا فَحَيْضُهَا عَشَرَةُ أَيَّامٍ؛ لأنك تَسْتَكْمِلُ النِّفَاسَ سِتِّينَ يَوْمًا؛ لِأَنَّهُ يَقِينٌ، وَتَجْعَلُ الزِّيَادَةَ بَعْدَهَا حَيْضًا وَإِنْ بَلَغَ دَمُهَا خَمْسَةً وَسَبْعِينَ يَوْمًا، فَقَدِ اسْتُكْمِلَ أَكْثَرُ النِّفَاسِ، وَأَكْثَرُ الْحَيْضِ، فَأَمَّا إِذَا تَجَاوَزَ دَمُهَا خَمْسَةً وَسَبْعِينَ يَوْمًا، فَقَدْ صَارَتْ حِينَئِذٍ مُسْتَحَاضَةً، دَخَلَتِ اسْتِحَاضَتُهَا فِي الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ جَمِيعًا، وَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهَا تَمْيِيزٌ أَمْ لَا؟ فَإِنْ كَانَتْ مُمَيِّزَةً رُدَّتْ إِلَى تَمْيِيزِهَا وَلَا يَخْلُو حَالُ مَا مُيِّزَ بِهِ مِنْ سَوَادٍ مِنْ أَنْ يَتَجَاوَزَ السِّتِّينَ أَوْ لَا يَتَجَاوَزُهَا، فَإِنْ تَجَاوَزَ السِّتِّينَ، وَلَمْ يزد على الخمسة والسبعين، فقد استقرها نِفَاسُهَا وَحَيْضُهَا بِالتَّمْيِيزِ، فَيَكُونُ نِفَاسُهَا سِتِّينَ يَوْمًا، وَالْحَيْضُ مَا زَادَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَتَجَاوَزْ دَمُهَا سِتِّينَ يَوْمًا فَقَدْ حَصَلَ لَهَا بِالتَّمْيِيزِ النِّفَاسُ وَحْدَهُ، فَيَكُونُ نِفَاسُهَا سِتِّينَ يَوْمًا وَتُرَدُّ إلى عادتها في الحيض، فإن كانت عشراً صَارَ مَا تَتْرُكُهُ مِنْالصَّلَوَاتِ سَبْعِينَ يَوْمًا، وَلَوْ كَانَ مَا مُيِّزَ بِهِ مِنْ سَوَادِ الدَّمِ خَمْسِينَ يَوْمًا صَارَ مَا تَتْرُكُهُ مِنَ الصَّلَوَاتِ مَعَ عَادَتِهَا فِي الْحَيْضِ سِتِّينَ يَوْمًا، وَلَوْ كَانَ سَوَادُ الدَّمِ عِشْرِينَ يَوْمًا صَارَ مَا تَتْرُكُهُ مِنَ الصَّلَوَاتِ مَعَ عَادَتِهَا فِي الْحَيْضِ ثَلَاثِينَ يَوْمًا فَيَسْتَقِرُّ لَهَا النِّفَاسُ بِالتَّمْيِيزِ وَالْحَيْضِ بِالْعَادَةِ، وَإِنْ يَتَمَيَّزْ دَمُهَا، وَلَوْ كَانَ لَوْنًا وَاحِدًا رُدَّتْ إِلَى عَادَتِهَا فِي النِّفَاسِ وَالْحَيْضِ جَمِيعًا وَلَا يَخْلُو حَالُ مَا فِيهِمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ عَادَةً فِي النِّفَاسِ وَالْحَيْضِ جَمِيعًا، فَتُرَدُّ إِلَى الْعَادَةِ فِيهِمَا.
مِثَالُهُ أَنْ تَكُونَ عَادَتُهَا فِي النفاس ثلاثون يَوْمًا، وَفِي الْحَيْضِ عَشَرَةُ أَيَّامٍ فَتَتْرُكُ الصَّلَاةَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَتُعِيدُ صَلَاةَ مَا زَادَ عَلَيْهَا.
wajah kedua: boleh darah ḥaiḍ bersambung dengan darah nifas; karena nifas berbeda dengan ḥaiḍ dalam batas minimal dan maksimalnya, maka diperbolehkan salah satunya bersambung dengan yang lain.
Berdasarkan pendapat ini, dilakukan perincian: maka dilihat kadar darah yang melebihi enam puluh hari. Jika tidak melebihi lima belas hari, maka perkaranya tidak rumit: enam puluh hari dihitung sebagai nifas, dan yang melebihi itu adalah ḥaiḍ. Maka jika darahnya berlangsung selama tujuh puluh hari, maka ḥaiḍ-nya sepuluh hari, karena enam puluh hari telah ditetapkan sebagai nifas secara yakin, dan kelebihannya dihukumi sebagai ḥaiḍ.
Jika darahnya sampai tujuh puluh lima hari, maka telah sempurna maksimal nifas dan maksimal ḥaiḍ. Namun jika darahnya melebihi tujuh puluh lima hari, maka ia telah menjadi mustaḥāḍah, dan istiḥāḍah-nya masuk ke dalam ḥaiḍ dan nifas sekaligus. Maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia bisa membedakan atau tidak?
Jika ia bisa membedakan, maka ia dikembalikan pada kemampuan membedakannya. Dan darah yang dibedakan dengan warna hitam itu tidak lepas dari dua kemungkinan: melebihi enam puluh hari atau tidak.
Jika melebihi enam puluh dan tidak lebih dari tujuh puluh lima, maka telah tetaplah hukum nifas dan ḥaiḍ-nya berdasarkan tamyīz. Maka nifasnya enam puluh hari, dan sisanya adalah ḥaiḍ.
Jika darah hitam itu tidak melebihi enam puluh hari, maka telah tetap bahwa darah itu hanya sebagai nifas, dan ia dikembalikan pada kebiasaan dalam ḥaiḍ. Jika kebiasaan ḥaiḍ-nya sepuluh hari, maka salat yang ia tinggalkan selama tujuh puluh hari tidak perlu diqadha.
Jika darah hitamnya lima puluh hari, maka dengan kebiasaan ḥaiḍ sepuluh hari, salat yang ditinggalkan menjadi enam puluh hari.
Jika darah hitamnya dua puluh hari, maka salat yang ditinggalkan bersama kebiasaan ḥaiḍ-nya menjadi tiga puluh hari. Maka tetaplah bahwa nifasnya berdasarkan tamyīz dan ḥaiḍ-nya berdasarkan kebiasaan.
Jika darahnya tidak bisa dibedakan, meskipun warnanya satu macam, maka ia dikembalikan pada kebiasaannya dalam nifas dan ḥaiḍ sekaligus. Dan keadaan darah dalam dua masa ini tidak lepas dari empat macam:
pertama: ia memiliki kebiasaan dalam nifas dan ḥaiḍ sekaligus, maka ia dikembalikan pada kebiasaan keduanya.
Contohnya: jika kebiasaan nifasnya tiga puluh hari dan kebiasaan ḥaiḍ-nya sepuluh hari, maka ia meninggalkan salat selama empat puluh hari dan mengqadha salat yang melebihi itu.
والقسم الثاني: أن تكون لَهَا عَادَةٌ فِي النِّفَاسِ دُونَ الْحَيْضِ.
مِثَالُهُ أن يكون عادتها في النفاس ثلاثون يَوْمًا، وَلَيْسَ لَهَا فِي الْحَيْضِ عَادَةٌ تَعْرِفُهَا فَتُرَدُّ فِي نِفَاسِهَا إِلَى الثَّلَاثِينَ الْمُعْتَادَةِ، وَفِيمَا تُرَدُّ إِلَيْهِ مِنَ الْحَيْضِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: تُرَدُّ إِلَى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَعَلَى هَذَا تَدَعُ الصَّلَاةَ أحد وثلاثين يوماً.
والقول الثاني: ترد إلى ست أو سبع، فَعَلَى هَذَا تَدَعُ الصَّلَاةَ سِتَّةً أَوْ سَبْعَةً وَثَلَاثِينَ يَوْمًا.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ لَهَا عَادَةٌ فِي الْحَيْضِ دُونَ النِّفَاسِ.
مِثَالُهُ: أَنْ تكون عادتها في الحيض عشراً، وَهِيَ مُبْتَدَأَةٌ بِالنِّفَاسِ، فَتُرَدُّ إِلَى عَادَتِهَا الْعَشْر فِي الْحَيْضِ، وَيَكُونُ فِيمَا تُرَدُّ إِلَيْهِ مِنَ النِّفَاسِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: إِلَى أَقَلِّهِ فَلِهَذَا تدع الصلاة عشر الْحَيْضِ وَحْدَهَا.
وَالثَّانِي: إِلَى أَوْسَطِهِ فَعَلَى هَذَا تَدَعُ الصَّلَاةَ خَمْسِينَ يَوْمًا.
وَالثَّالِثُ: إِلَى أَكْثَرِهِ فَعَلَى هَذَا تَدَعُ الصَّلَاةَ سَبْعِينَ يَوْمًا.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا عَادَةٌ فِي النِّفَاسِ، وَلَا فِي الْحَيْضِ، فَفِيمَا تُرَدُّ إِلَيْهِ ثَلَاثَةُ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: تُرَدُّ إِلَى أَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ فَعَلَى هَذَا تَدَعُ الصَّلَاةَ يَوْمًا وَلَيْلَةً.
وَالثَّانِي: تُرَدُّ إِلَى أَوْسَطِ الْأَمْرَيْنِ، فَعَلَى هَذَا تَدَعُ الصَّلَاةَ سِتَّةً أَوْ سَبْعَةً وَأَرْبَعِينَ يَوْمًا.
الثَّالِثُ: تُرَدُّ إِلَى أَكْثَرِ النِّفَاسِ وَأَوْسَطِهِ فَعَلَى هَذَا تضع الصلاة ستة أو سبع وستين يوماً والله أعلم.
bagian kedua: wanita yang memiliki kebiasaan dalam nifas tetapi tidak dalam ḥaiḍ.
Contohnya: kebiasaan nifasnya tiga puluh hari, dan ia tidak memiliki kebiasaan yang diketahui dalam ḥaiḍ. Maka ia dikembalikan dalam masalah nifas kepada tiga puluh hari yang biasa dialaminya. Adapun dalam hal ḥaiḍ, terdapat dua pendapat:
pertama: dikembalikan kepada satu hari satu malam. Maka berdasarkan pendapat ini, ia meninggalkan salat selama tiga puluh satu hari.
kedua: dikembalikan kepada enam atau tujuh hari. Maka ia meninggalkan salat selama tiga puluh enam atau tiga puluh tujuh hari.
bagian ketiga: wanita yang memiliki kebiasaan dalam ḥaiḍ, tetapi tidak dalam nifas.
Contohnya: kebiasaan ḥaiḍ-nya sepuluh hari, dan ia mubtada’ah dalam nifas. Maka ia dikembalikan dalam hal ḥaiḍ kepada kebiasaannya yang sepuluh hari, dan dalam hal nifas terdapat tiga pendapat:
pertama: dikembalikan kepada minimal masa nifas. Maka berdasarkan pendapat ini, ia hanya meninggalkan salat selama sepuluh hari masa ḥaiḍ saja.
kedua: dikembalikan kepada masa pertengahan, maka ia meninggalkan salat selama lima puluh hari.
ketiga: dikembalikan kepada maksimal masa nifas, maka ia meninggalkan salat selama tujuh puluh hari.
bagian keempat: wanita yang tidak memiliki kebiasaan dalam nifas maupun ḥaiḍ. Maka dalam hal ini terdapat tiga mazhab:
pertama: dikembalikan kepada yang paling sedikit dari keduanya. Maka ia meninggalkan salat selama satu hari satu malam.
kedua: dikembalikan kepada pertengahan dari keduanya. Maka ia meninggalkan salat selama empat puluh enam atau empat puluh tujuh hari.
ketiga: dikembalikan kepada maksimal masa nifas dan pertengahan masa ḥaiḍ. Maka ia meninggalkan salat selama enam puluh enam atau enam puluh tujuh hari. Wallāhu a‘lam.
(مسألة)
: قال الشافعي: ” وَالَّذِي يُبْتَلَى بِالْمَذْيِ فَلَا يَنْقَطِعُ مِثْلَ الْمُسْتَحَاضَةِ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صلاةٍ فريضةٍ بَعْدَ غَسْلِ فَرْجِهِ ويعصبه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ وَفِي حُكْمِ الْمُسْتَحَاضَةِ وَذَاتِ الْفَسَادِ فَأَمَّا الْمُسْتَحَاضَةُ فَحُكْمُهَا فِيمَا يَلْزَمُهَا مِنَ الْعَادَاتِ، وَتَسْتَبِيحُهُ مِنَ الْقُرْبِ حُكْمُ النِّسَاءِ الطَّاهِرَاتِ إِلَّا فِي الطَّهَارَةِ وَحْدَهَا، فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَيْهَا أَنْ تَتَوَضَّأَ لِصَلَاةِ كُلِّ فَرِيضَةٍ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَجْمَعَ بِالْوُضُوءِ الْوَاحِدِ بَيْنَ فَرْضَيْنِ.
(Masalah)
Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Orang yang terkena penyakit keluarnya mażī yang terus-menerus dan tidak terputus, seperti wanita mustaḥāḍah, maka ia wajib berwudu untuk setiap salat fardhu setelah mencuci farjinya dan membalutnya.”
Al-Māwardī berkata: Telah lalu pembahasan tentang wanita ḥā’iḍ, wanita nufasā’, dan hukum wanita mustaḥāḍah serta yang mengalami darah fasād. Adapun wanita mustaḥāḍah, maka hukum yang berlaku atasnya dalam hal kebiasaan (‘ādah) dan apa yang dibolehkan baginya berupa hubungan (suami istri) sama dengan wanita-wanita suci, kecuali dalam hal ṭahārah saja.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga mazhab:
pertama: yaitu mazhab al-Syāfi‘ī, bahwa wajib atasnya berwudu untuk setiap salat fardhu, dan tidak boleh menggabungkan dua salat fardhu dengan satu wudu.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ، أَنَّهَا تَتَوَضَّأُ لِوَقْتِ كُلِّ فَرِيضَةٍ، وَتُصَلِّي بِذَلِكَ الْوُضُوءِ مَا شَاءَتْ مِنَ الْفُرُوضِ وَالنَّوَافِلِ، مَا لَمْ يَخْرُجِ الْوَقْتُ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ أَنَّهَا كَغَيْرِهَا مِنَ النِّسَاءِ لَا وُضُوءَ عَلَيْهَا إِلَّا مِنْ حَدَثٍ، غَيْرِ الِاسْتِحَاضَةِ.
فَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ الْمُسْتَحَاضَةُ تَتَوَضَّأُ لِوَقْتِ كُلِّ صلاةٍ، وَلِأَنَّ كُلَّ طَهَارَةٍ صَحَّ أَنْ يُؤَدَّى بِهَا النَّفْلُ صَحَّ أَنْ يُؤَدَّى بِهَا الْفَرْضُ قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ الْمُسْتَحَاضَةِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةُ عُذْرٍ فَوَجَبَ أَنْ يَتَقَدَّرَ بِالْوَقْتِ دُونَ الْفِعْلِ، قِيَاسًا عَلَى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ. وَأَمَّا مَالِكٌ فَإِنَّهُ بَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ النَّادِرَ لَا وُضُوءَ فِيهِ، وَدَمُ الِاسْتِحَاضَةِ نَادِرٌ، وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ الْوُضُوءِ لِكُلِّ فَرِيضَةٍ مَا رَوَى شَرِيكٌ عَنْ أَبِي الْيَقْظَانِ عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ فِي الْمُسْتَحَاضَةِ ” تَدَعُ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا ثُمَّ تَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي ” وَالْوُضُوءُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ وَتَصُومُ وَتُصَلِّي وَرَوَى حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَذَكَرَ خَبَرَهَا قَالَ ثُمَّ اغْتَسِلِي ثُمِّ تَوَضَّئِي لِكُلِ صلاةٍ.
mazhab kedua: yaitu pendapat Abū Ḥanīfah, bahwa wanita mustaḥāḍah berwudu untuk setiap waktu salat fardhu, dan ia boleh melaksanakan salat fardhu dan nāfilah sebanyak yang ia kehendaki dengan wudu tersebut, selama waktunya belum habis.
mazhab ketiga: yaitu pendapat Mālik, bahwa wanita mustaḥāḍah seperti wanita lainnya, tidak wajib berwudu kecuali karena hadats selain istiḥāḍah.
Adapun Abū Ḥanīfah berdalil dengan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Wanita mustaḥāḍah berwudu setiap waktu salat.” Dan karena setiap ṭahārah yang sah digunakan untuk salat sunnah, maka sah pula digunakan untuk salat fardhu, dengan qiyās terhadap wanita yang bukan mustaḥāḍah. Dan karena ini merupakan ṭahārah karena uzur, maka harus dibatasi dengan waktu, bukan dengan perbuatan, sebagaimana hukum mengusap khuf.
Adapun Mālik membangun pendapatnya atas kaidah bahwa sesuatu yang jarang (nadir) tidak mewajibkan wudu, dan darah istiḥāḍah adalah darah yang jarang.
Adapun dalil yang menunjukkan kewajiban berwudu untuk setiap salat fardhu adalah hadis yang diriwayatkan oleh Syarīk dari Abū al-Yaqẓān, dari ‘Adī bin Ṯābit, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda tentang wanita mustaḥāḍah: “Ia meninggalkan salat pada masa qar’-nya, kemudian mandi dan salat, dan ia berwudu untuk setiap salat, lalu berpuasa dan salat.”
Dan diriwayatkan oleh Ḥabīb bin Abī Ṯābit dari ‘Urwah dari ‘Āisyah, ia berkata: “Fāṭimah binti Abī Ḥubaysy datang kepada Nabi SAW dan menceritakan keadaannya, maka beliau bersabda: ‘Mandilah, kemudian berwudulah untuk setiap salat.'”
ذَكَرَ هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ، وَلِأَنَّهَا طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَجْمَعَ بِهَا بَيْنَ فَرْضَيْنِ قِيَاسًا عَلَى فَرْضِهِ فِي وَقْتَيْنِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ فَرْضِهِ إِذَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ فَرْضِهِ قَضَاءً كَالْمُحْدِثِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ أبو حنيفة من الخبر فمن وجهين:
أحدهما: أن للفائت وقتاً لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ نَامَ عَنْ صلاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَذَلِكَ وَقْتُهَا ” فَصَارَ أَمْرُهُ بِالْوُضُوءِ لِوَقْتِ كُلِّ صَلَاةٍ يَتَنَاوَلُ الْفَوَائِتَ وَغَيْرَهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ الصَّلَاةَ تَجِبُ بِالْوَقْتِ، فَصَارَ أَمْرُهُ بِالْوُضُوءِ لِوَقْتِ كُلِّ صَلَاةٍ أَمْرًا بِالْوُضُوءِ لِكُلِّ صَلَاةٍ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْوُضُوءِ الصَّلَاةُ دُونَ الْوَقْتِ.
وَأَمَّا قياسه على المتنفل فَفَاسِدُ الْمَوْضُوعِ؛ لِأَنَّ النَّفْلَ أَخَفُّ حَالًا، وَأَقَلُّ شُرُوطًا وَالْفَرْضَ أَغْلَظُ حَالًا وَآكَدُ شُرُوطًا، فَلَمْ يَجُزْ مَعَ اخْتِلَافِ مَوْضُوعِهِمَا بِالتَّخْفِيفِ وَالتَّغْلِيظِ أَنْيُجْمَعُ بَيْنَهُمَا فِيمَا اخْتَلَفَا فِيهِ مِنْ تَخْفِيفٍ وَتَغْلِيظٍ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي أَصْلِهِ الْمَرْدُودِ إِلَيْهِ مِنْ طَهَارَةِ غَيْرِ الْمُسْتَحَاضَةِ أَنَّهَا طَهَارَةٌ يُصَلَّى بِهَا الْفُرُوضُ الْمُؤَدَّاةُ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَلَا يَصِحُّ، لِأَنَّ الْمَسْحَ طَهَارَةُ رَفَاهِيَةٍ، وَطَهَارَةُ الْمُسْتَحَاضَةِ طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ، ثُمَّ المعنى في المسح أنها لَمَّا جَازَ أَنْ يُؤَدّي بِهِ فَرْضَيْنِ فِي وقتين جاز في وقت، وها هنا بِخِلَافِهِ، وَأَمَّا مَالِكٌ فَقَدْ قَدَّمْنَا مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى الْأَصْلِ الَّذِي رَدَّهُ إِلَيْهِ مَا أَغْنَى عَنْ إِعَادَتِهِ.
Abū Dāwūd telah meriwayatkan dua hadis ini dalam Sunan-nya. Dan karena ini adalah ṭahārah karena darurat, maka tidak boleh menggabungkan dua salat fardhu dengannya, dengan qiyās kepada orang yang mengerjakan salat fardhu di dua waktu. Dan setiap orang yang tidak boleh salat setelah menunaikan salat fardhu (dengan wudu sebelumnya), maka ia juga tidak boleh salat qadha sesudahnya, sebagaimana orang yang berhadats.
Adapun jawaban atas dalil yang dikemukakan oleh Abū Ḥanīfah dari hadis tersebut, maka ada dua sisi:
pertama: bahwa salat yang terlewat memiliki waktunya, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang tertidur dari salat atau lupa, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ia ingat, maka itulah waktunya.” Maka perintah berwudu untuk setiap waktu salat mencakup baik salat yang sedang dikerjakan pada waktunya maupun yang dikerjakan secara qadha.
kedua: salat itu diwajibkan karena masuk waktu, maka perintah untuk berwudu pada setiap waktu salat adalah perintah untuk berwudu setiap kali hendak salat; karena tujuan dari wudu itu adalah salat, bukan waktunya.
Adapun qiyās mereka terhadap orang yang salat sunnah adalah tidak valid, karena salat sunnah lebih ringan hukum dan syaratnya, sedangkan salat fardhu lebih berat dan lebih ketat syaratnya. Maka tidak sah disamakan antara keduanya dalam hal yang berbeda antara keduanya dalam aspek keringanan dan ketegasan. Padahal makna asal yang menjadi tempat kembali pada orang yang tidak mustaḥāḍah adalah bahwa itu adalah ṭahārah yang digunakan untuk melaksanakan salat fardhu yang ditunaikan tepat waktu.
Adapun qiyās mereka terhadap hukum mengusap khuf, maka tidak sah pula, karena masḥ adalah ṭahārah yang bersifat kenyamanan (rafāhah), sedangkan ṭahārah bagi wanita mustaḥāḍah adalah ṭahārah darurat. Selain itu, makna dalam hukum masḥ adalah bahwa ketika boleh digunakan untuk dua salat fardhu di dua waktu, maka boleh pula dalam satu waktu. Sedangkan dalam kasus ini, keadaannya berbeda.
Adapun Mālik, maka telah kami sebutkan sebelumnya dalil atas dasar pendapatnya, yang menjadikan tidak perlu mengulang penjelasannya di sini.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا تَتَوَضَّأُ لِكُلِّ فَرِيضَةٍ فَعَلَيْهَا طَهَارَتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: طَهَارَةُ فَرْجِهَا مِنْ دَمِ الِاسْتِحَاضَةِ.
وَالثَّانِي: الْوُضُوءُ مِنَ الْحَدَثِ. فَأَمَّا طَهَارَةُ فَرْجِهَا فَهِيَ مُتَقَدِّمَةٌ عَلَى الْوُضُوءِ كَتَقَدُّمِ الِاسْتِحَاضَةِ وَصِفَتُهُ أَنْ تَغْسِلَ فَرْجَهَا بِالْمَاءِ، حَتَّى تُنَقِّيَهُ مِنَ الدَّمِ، ثُمَّ تَحْشُوهُ بِالْقُطْنِ، فَإِنْ كَانَ الدَّمُ يَحْتَبِسُ مِنْ غَيْرِ شِدَادٍ لِضَعْفِهِ اقْتَصَرَتْ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ الدَّمُ لَا يَحْتَبِسُ بِالْقُطْنِ وَحْدَهُ لِقُوَّتِهِ شَدَّتْهُ بِخِرْقَةٍ تَتَلَجَّمُ بِهَا مُسْتَثْفِرَةً مِنْ وَرَائِهَا، كَمَا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَمْنَةَ بِنْتَ جَحْشٍ، وَكَمَا قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من حديث أم سلمة ثم لتستثفر بثوت، وَصُورَةُ الِاسْتِثْفَارِ أَنْ تَشُدَّ فِي وَسَطِهَا حَبْلًا، ثم تأخذ خرقة عرضة مَشْقُوقَةَ الطَّرَفَيْنِ فَتَشُدَّ أَحَدَ طَرَفَيْهَا فِي الْحَبْلِ من مقدمها، وعند سرتها ثم تحدر الحرقة عَلَى فَرْجِهَا، وَبَيْنَ الْإِلْيَتَيْنِ وَتَعْقِدُ طَرَفَهَا الْآخَرَ مِنْ وَرَائِهَا فِي الْحَبْلِ الْمُسْتَدِيرِ فِي وَسَطِهَا كَثَفَرِ الدَّابَّةِ وَسُمِّي اسْتِثْفَارًا مِنْ قَوْلِهِمْ ثَفَّرَ الْكَلْبُ، وَاسْتَثْفَرَ إِذَا جَلَسَ عَاطِفًا بِذَنَبِهِ عَلَى فَرْجِهِ وَبَيْنَ فَخِذَيْهِ حَتَّى يَخْرُجَ إِلَى بَطْنِهِ فَإِنْ كَانَ الدَّمُ زَائِدًا تَخَافُ أَنْ يَظْهَرَ مِنَ الْخِرْقَةِ جَعَلَتْ مَكَانَ الْخِرْقَةِ جِلْدًا أَوْ لِبْدًا فَهَذِهِ صِفَةُ تَطْهِيرِهَا لِفَرْجِهَا.
PASAL
Jika telah ditetapkan bahwa wanita mustaḥāḍah wajib berwudu untuk setiap salat fardu, maka atasnya dua macam ṭahārah:
pertama: ṭahārah farjinya dari darah istiḥāḍah,
kedua: wudu dari hadats.
Adapun ṭahārah farjinya, maka dilakukan sebelum wudu, sebagaimana istiḥāḍah itu mendahului wudu. Sifat ṭahārah-nya adalah: ia mencuci farjinya dengan air hingga bersih dari darah, lalu menyumbatnya dengan kapas. Jika darahnya dapat tertahan dengan kapas saja karena lemah, maka cukup dengan itu. Namun jika darahnya tidak tertahan hanya dengan kapas karena deras, maka ia mengikatnya dengan kain dan membalutnya dengan rapat dari belakang, seperti yang diperintahkan Rasulullah SAW kepada Ḥamnah binti Jaḥsy, dan sebagaimana sabda beliau SAW dalam hadis Umm Salamah: “Kemudian hendaklah ia beristitsfār dengan kain.”
Cara melakukan istitsfār adalah dengan mengikat tali di pinggangnya, lalu mengambil sepotong kain yang lebar dan kedua ujungnya terbuka, kemudian ia mengikat salah satu ujungnya ke tali di bagian depan dekat pusarnya, lalu ia tarik kain tersebut ke farjinya, antara kedua pantatnya, dan ia ikatkan ujung satunya di belakang pada tali yang melingkar di pinggangnya, seperti pelana pada punggung hewan. Dinamakan istitsfār dari ucapan mereka: ṯaffara al-kalbu wa-istatsfara, yaitu ketika anjing duduk menekuk ekornya di antara farjinya dan kedua pahanya hingga menutup perutnya.
Jika darahnya sangat deras dan dikhawatirkan tembus dari kain, maka ia ganti kain tersebut dengan kulit atau kain tebal. Maka inilah tata cara menyucikan farjinya.
(فَصْلٌ)
: وَأَمَّا طَهَارَتُهَا مِنْ حَدَثِهَا فَتَحْتَاجُ إِلَى شَرْطَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عُقَيْبَ طَهَارَةِ الْفَرْجِ وَشَدِّهِ مِنْ غَيْرِ تَرَاخٍ، وَلَا بُعْدٍ فَإِنْ تَوَضَّأَتْ بَعْدَ تَطَاوُلِ الزَّمَانِ مِنْ غَسْلِ الْفَرْجِ وَشِدَادِهِ صَارَتْ مُتَطَهِّرَةً طَهَارَةَ ضَرُورَةٍ مَعَ كَوْنِهَا حَامِلَةً لِلنَّجَاسَةِ، فَتَكُونُ كَالْعَادِمِ لِلْمَاءِ إِذَا تَيَمَّمَ، وَعَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ يَقْدِرُ عَلَى غَسْلِهَا فَتَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ وُضُوءَهَا بَاطِلٌ بِكُلِّ حَالٍ، وَتَسْتَأْنِفُ غَسْلَ الْفَرْجِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ جَائِزٌ، وَيُعْتَبَرُ حَالُ النَّجَاسَةِ، فَإِنْ ظَهَرَتْ إِلَى مَكَانٍ يَلْزَمُ تَطْهِيرُهُ، وَأَمْكَنَ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ حَدَثٍ فَوُضُوؤُهَا عَلَى صِحَّتِهِ.
PASAL
Adapun ṭahārah-nya dari hadats, maka ia membutuhkan dua syarat:
pertama: dilakukan segera setelah ṭahārah farji dan pengikatannya, tanpa jeda waktu atau keterlambatan. Jika ia berwudu setelah waktu yang lama sejak mencuci farji dan mengikatnya, maka ia dianggap bersuci dalam keadaan darurat sembari masih membawa najis, sehingga hukumnya seperti orang yang tidak mendapatkan air lalu bertayammum, namun di tubuhnya masih terdapat najis yang sebenarnya mampu ia bersihkan. Maka dalam hal ini ada dua pendapat yang telah dijelaskan sebelumnya:
pertama: wudunya batal dalam segala kondisi, dan ia harus mengulangi mencuci farji.
kedua: wudunya sah, dan yang dilihat adalah keadaan najisnya: jika najis itu tampak pada tempat yang wajib disucikan dan masih memungkinkan untuk disucikan tanpa terjadi hadats, maka wudunya tetap sah.
(فَصْلٌ)
: وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ وُضُوؤُهَا بَعْدَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ الَّتِي تُرِيدُ أَنْ تَتَوَضَّأَ لَهَا فَإِنْ تَوَضَّأَتْ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ كَانَ وُضُوؤُهَا بَاطِلًا كَالْمُتَيَمِّمِ قَبْلَ الْوَقْتِ وَأَجَازَ أبو حنيفةوُضُوءَهَا قَبْلَ الْوَقْتِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ فَإِذَا تَوَضَّأَتْ بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ فَهَلْ يَلْزَمُهَا فِعْلُ الصَّلَاةِ عَلَى الْفَوْرِ فِي الْحَالِ أَمْ يَجُوزُ التَّرَاخِي فِيهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL
Syarat kedua: bahwa wudunya dilakukan setelah masuk waktu salat yang hendak ia kerjakan. Maka jika ia berwudu sebelum masuk waktu, wudunya batal, seperti halnya tayammum sebelum masuk waktu salat.
Abū Ḥanīfah membolehkan wudu wanita mustaḥāḍah sebelum masuk waktu, dan pembahasan tentangnya telah disebutkan sebelumnya.
Apabila ia telah berwudu setelah masuk waktu salat, maka apakah wajib atasnya untuk segera melaksanakan salat saat itu juga, ataukah boleh menundanya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ أَنَّهُ يَجُوزُ فِعْلُهَا عَلَى التَّرَاخِي مَا لَمْ يَخْرُجِ الْوَقْتُ؛ لِأَنَّ أَدَاءَ الصَّلَاةِ فِي آخِرِ الْوَقْتِ كَأَدَائِهَا فِي أَوَّلِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا وَعَلَيْهَا الْمُبَادَرَةُ بِهَا عَلَى الْفَوْرِ بِحَسْبَ الْإِمْكَانِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدِي؛ لِأَنَّ وُضُوءَ الْمُسْتَحَاضَةِ إِنَّمَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ الْمُتَقَدِّمَ عَلَيْهِ، وَلَا يَرْفَعُ مَا قَارَنَهُ أَوْ تَأَخَّرَ عَنْهُ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُؤَخِّرَ الصَّلَاةَ مَعَ حَدَثِهَا إِلَّا بِحَسبِ ضَرُورَتِهَا الَّتِي لَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْهَا، وَفِيهِ وَجْهٌ ثَالِثٌ أَنَّهُ يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ انْتِظَارًا لِأَسْبَابِ كَمَالِهَا كَالْجَمَاعَةِ، وَقَصْدِ الْبِقَاعِ الشَّرِيفَةِ، وَارْتِيَادِ سُترَةٍ تَسْتَقْبِلُهَا وَمَا جَرَى هَذَا الْمَجْرَى؛ لِأَنَّ تَأْخِيرَ الصَّلَاةِ لِهَذِهِ الْأَسْبَابِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ، وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا لِغَيْرِ هَذِهِ الْأَسْبَابِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَنْدُوبٍ إِلَيْهِ.
pertama: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās bahwa boleh mengerjakan salat secara tertunda selama belum keluar waktunya; karena melaksanakan salat di akhir waktu hukumnya sama dengan melaksanakannya di awal waktu.
wajah kedua: bahwa boleh menunda salat, namun wajib menyegerakannya secepat mungkin sesuai kemampuan, dan inilah yang menurutku paling ṣaḥīḥ; karena wudu wanita mustaḥāḍah hanya menghilangkan hadats yang terjadi sebelum wudu saja, tidak menghilangkan hadats yang bersamaan dengan wudu atau yang datang setelahnya. Maka tidak boleh baginya menunda salat dalam keadaan hadats kecuali sebatas kadar kebutuhan yang tidak mungkin dihindari.
Dan ada wajah ketiga, yaitu bahwa boleh menunda salat dalam rangka menunggu penyempurnaan sebab-sebab keutamaan, seperti berjamaah, menuju tempat yang mulia, mencari sutrah yang dihadapinya, dan semisalnya. Karena menunda salat karena sebab-sebab ini adalah perkara yang disunnahkan. Namun tidak boleh menundanya selain karena sebab-sebab tersebut, karena tidak ada anjuran untuk menundanya.
(فَصْلٌ)
: فَإِذَا فَعَلَتْ مَا وَصَفْنَا مِنَ الطَّهَارَتَيْنِ فَجَرَى دَمُهَا مِنَ الشِّدَادِ وَظَهَرَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَجْرِيَ لِضَعْفِ الشِّدَادِ وَتَقْصِيرِهَا فِيهِ فَقَدْ بَطُلَتْ طَهَارَتُهَا وَصَلَاتُهَا إِنْ كَانَتْ فِي الصَّلَاةِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَجْرِيَ دَمُهَا لِغَلَبَتِهِ وَكَثْرَتِهِ مَعَ كَوْنِ الشِّدَادِ مُحْكَمًا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ جَرَيَانُ الدَّمِ وَسَيَلَانُهُ في الصلاة فصلاتها صحيحة وتيممها لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ حَيْثُ وَصَفَ لَهَا حَالَ الِاسْتِحَاضَةِ ” صَلِّي وَلَوْ قُطِرَ الدَّمُ عَلَى الْحَصِيرِ “.
PASAL
Jika wanita mustaḥāḍah telah melakukan dua bentuk ṭahārah sebagaimana yang telah kami jelaskan, lalu darahnya mengalir keluar dari pembalut yang telah dikencangkan, dan darah itu tampak, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
pertama: darah mengalir karena lemahnya ikatan atau kelalaian dalam mengikatnya. Maka dalam hal ini ṭahārah-nya batal dan salatnya juga batal jika terjadi saat sedang salat.
keadaan kedua: darah mengalir karena deras dan banyaknya darah, meskipun ikatan telah dilakukan dengan sempurna dan kuat, maka ini terbagi lagi menjadi dua keadaan:
pertama: darah mengalir dan menetes saat sedang salat. Maka salatnya tetap sah, dan ini adalah bentuk tayammum baginya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Fāṭimah binti Abī Ḥubaysy ketika beliau menjelaskan tentang keadaan istiḥāḍah: “Salatlah, meskipun darah menetes di atas tikar.”
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ جَرَيَانُ دَمِهَا فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ فَفِي بُطْلَانِ طَهَارَتِهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا تَبْطُلُ وَهِيَ عَلَى حَالِ الصِّحَّةِ وَهَذَا ظَاهِرُ قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ إِذْ لَمْ يَجْعَلْ صَلَاةَ الِاسْتِحَاضَةِ عَلَى الْفَوْرِ مِنْ طَهَارَتِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ طَهَارَتَهَا قَدْ بَطُلَتْ كَمَا يَبْطُلُ التَّيَمُّمُ، بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ قَبْلَ الصَّلَاةِ، وَلَا يَبْطُلُ بِرُؤْيَتِهِ فِي الصَّلَاةِ، وَهَذَا قَوْلُ مَنْ جَعَلَ صَلَاةَ الْمُسْتَحَاضَةِ عَلَى الْفَوْرِ مِنْ طَهَارَتِهَا، وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ يَتَفَرَّعُ حُكْمُ مَنْ جَرَى دَمُهَا فِي الصَّلَاةِ فَأَرَادَتْ أَنْ تَتَنَفَّلَ بِتِلْكَ الطَّهَارَةِ بَعْدَ فَرَاغِهَا مِنَ الصَّلَاةِ، فَإِنْ قِيلَ: بِبُطْلَانِ طَهَارَتِهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَتَنَفَّلَ بِتِلْكَ الطَّهَارَةِ إِلَّا بِطِهَارَةٍ مُسْتَأْنَفَةٍ، وَإِنْ قِيلَ بِصِحَّةِ طَهَارَتِهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ جَازَ أَنْ تَتَنَفَّلَ بَعْدَ تِلْكَ الصَّلَاةِ فِيمَا شَاءَتْ مِنْ صلاة وطواف.
keadaan kedua: yaitu darahnya mengalir di luar salat. Maka dalam hal ini, tentang batal tidaknya ṭahārah-nya terdapat dua pendapat:
pertama: ṭahārah-nya tidak batal, dan ia tetap dalam keadaan suci. Ini adalah pendapat yang tampak dari Abū al-‘Abbās, karena ia tidak mewajibkan agar salat dilakukan segera setelah ṭahārah pada kasus istiḥāḍah.
kedua: ṭahārah-nya batal, seperti halnya tayammum yang batal ketika melihat air sebelum salat, dan tidak batal jika melihat air saat dalam salat. Ini adalah pendapat orang yang mewajibkan agar salat wanita mustaḥāḍah dilakukan segera setelah ṭahārah.
Dari dua pendapat ini bercabang hukum bagi wanita yang darahnya mengalir saat salat, lalu ia ingin melaksanakan salat sunnah dengan ṭahārah yang sama setelah selesai dari salat fardu:
– Jika dikatakan bahwa ṭahārah-nya batal sebelum salat, maka tidak boleh ia mengerjakan salat sunnah kecuali dengan ṭahārah baru.
– Jika dikatakan bahwa ṭahārah-nya sah sebelum salat, maka boleh baginya melaksanakan salat sunnah dan ṭawāf setelah salat fardu sebanyak yang ia kehendaki.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ دَمُ اسْتِحَاضَتِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ انْقِطَاعُهُ لِارْتِفَاعِ الاستحاضة، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تَكُونَ فِي صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِ صَلَاةٍ، فَإِنْ كَانَتْ فِي صَلَاةٍ فَفِي بُطْلَانِ صَلَاتِهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ أَنَّ صَلَاتَهَا لَا تَبْطُلُ وَتَمْضِي فِيهَا، وَإِنِ ارْتَفَعَتِ اسْتِحَاضَتُهَا كَالْمُتَيَمِّمِ لَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ فِيهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ صَلَاتَهَا قَدْ بَطُلَتْ بِارْتِفَاعِ الِاسْتِحَاضَةِ؛ لارتفاع الضرورة والفرق بينهما وَبَيْنَ الْمُتَيَمِّمِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
PASAL
Adapun jika darah istiḥāḍah-nya berhenti, maka terdapat dua keadaan:
pertama: darah itu berhenti karena memang istiḥāḍah-nya telah selesai (bukan hanya terputus sejenak). Maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia sedang dalam salat atau tidak.
Jika ia dalam salat, maka tentang batal tidaknya salatnya terdapat dua pendapat:
pertama: yaitu pendapat yang dinukil dari Abū al-‘Abbās bahwa salatnya tidak batal, dan ia boleh melanjutkan salatnya meskipun istiḥāḍah-nya telah berhenti, seperti halnya orang yang bertayammum, salatnya tidak batal saat melihat air di tengah salat.
kedua: yaitu pendapat yang tampak dari mazhab al-Syāfi‘ī bahwa salatnya batal karena istiḥāḍah-nya telah berhenti, sebab keuzuran (yang membolehkan bersuci darurat) telah hilang. Dan terdapat dua perbedaan antara kasus ini dan tayammum:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُتَيَمِّمَ قَدْ أَتَى بِبَدَلِ الطَّهَارَةِ فَجَازَ أَنْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ بِالْبَدَلِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْأَصْلِ، وَالْمُسْتَحَاضَةُ لَمْ تَأْتِ بِبَدَلِ الطَّهَارَةِ مَعَ كَوْنِهَا مُحْدِثَةً فَلَمْ تَصِحَّ مِنْهَا الصَّلَاةُ وَالثَّانِي أَنَّ مَعَ حَدَثِ الْمُسْتَحَاضَةِ نَجَاسَةً لَا تَصِحُّ الصَّلَوَاتُ مَعَهَا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى إِزَالَتِهَا فَكَانَتْ أَغْلَظَ حَالًا مِنَ الْمُتَيَمِّمِ الَّذِي لَا نَجَاسَةَ عَلَيْهِ فَهَذَا حُكْمُ اسْتِحَاضَتِهَا إِذَا ارْتَفَعَتْ فِي الصَّلَاةِ فَأَمَّا إِنِ ارْتَفَعَتْ فِي غَيْرِ صَلَاةٍ فَهَذِهِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ وَقْتُ الصَّلَاةِ مُتَّسِعًا لِلطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ فَلَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا أَنَّ طَهَارَتَهَا قَدْ بَطُلَتْ لِارْتِفَاعِ ضَرُورَتِهَا.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ وَقْتُ الصَّلَاةِ قَدْ ضَاقَ عَنْ فِعْلِ الطهارة ولم يبق له إلا قدراً لصلاة فَفِي بُطْلَانِ طَهَارَتِهَا وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى بُطْلَانِ الصَّلَاةِ بِهَا.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا بَاطِلَةٌ إِذَا قِيلَ: إن الصلاة بها باطلة، وهذا أصح لوجهين.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا صَحِيحَةٌ لِصَلَاةِ وَقْتِهَا، دُونَ مَا سِوَاهَا مِنْ فَرْضٍ وَنَفْلٍ، إِذَا قِيلَ إِنَّ الصَّلَاةَ بِهَا لَا تَبْطُلُ، وَهَذَا وَجْهٌ ضَعِيفٌ؛ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ يَبْطُلُ بِرُؤْيَةِ الْمَاءِ قَبْلَ الصَّلَاةِ، وَإِنْ ضَاقَ وَقْتُهَا وَلَكِنْ ذُكِرَ فَذَكَرْتُهُ.
pertama: bahwa orang yang bertayammum telah melakukan pengganti dari ṭahārah (yaitu tayammum), maka sah baginya untuk salat dengan pengganti tersebut meskipun kemudian mampu melakukan ṭahārah dengan air. Adapun wanita mustaḥāḍah, ia tidak melakukan pengganti ṭahārah (melainkan wudu biasa), padahal ia masih dalam keadaan berhadats, maka tidak sah salat darinya.
kedua: bahwa wanita mustaḥāḍah menyertai hadatsnya dengan najis yang tidak sah digunakan untuk salat selama ia mampu menghilangkannya. Maka keadaannya lebih berat dibandingkan orang yang bertayammum, yang tidak membawa najis di tubuhnya.
Demikianlah hukum jika istiḥāḍah-nya terhenti saat salat.
Adapun jika istiḥāḍah-nya berhenti di luar salat, maka ini terbagi menjadi dua:
pertama: jika waktu salat masih cukup untuk melakukan ṭahārah dan salat, maka tidak ada khilaf di kalangan ulama kami bahwa ṭahārah-nya telah batal karena hilangnya uzur.
kedua: jika waktu salat sangat sempit sehingga tidak tersisa kecuali untuk pelaksanaan salat saja, dan tidak cukup untuk ṭahārah, maka tentang batal tidaknya ṭahārah-nya terdapat dua pendapat, berdasarkan khilaf tentang sah tidaknya salat dengan ṭahārah tersebut:
– pertama: ṭahārah-nya batal, jika dikatakan bahwa salat dengannya tidak sah. Dan ini yang lebih kuat karena dua alasan.
– kedua: ṭahārah-nya tetap sah, tetapi hanya sah untuk salat yang waktunya sempit tersebut, tidak untuk selainnya dari salat fardhu lainnya atau salat sunnah. Ini adalah pendapat yang lemah, karena tayammum batal dengan melihat air sebelum salat, meskipun waktunya sempit. Namun pendapat ini disebutkan dan layak dicatat.
(فَصْلٌ)
: وَالضَّرْبُ الثَّانِي: فِي الْأَصْلِ، أَنْ يَكُونَ انْقِطَاعُ ذلك لرؤية الدم لا لارتفاع الِاسْتِحَاضَةِ، كَأَنَّهُ يَنْقَطِعُ سَاعَةً ثُمَّ يَجْرِي سَاعَةً فَإِنْ كَانَ قَدْ عُرِفَ بِالْعَادَةِ أَنَّهُ يَنْقَطِعُ، وَيَعُودُ كَانَ وُضُوؤُهَا جَائِزًا وَإِنْ كَانَتْ فِي الصَّلَاةِ مَاضِيَةً وَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ ذَلِكَ بِالْعَادَةِ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ تَكُونَ فِي صَلَاةٍ أَوْ فَي غَيْرِ صَلَاةٍ فَإِنْ كَانَتْ فِي صَلَاةٍ فَصَلَاتُهَا بَاطِلَةٌ، سَوَاءٌ عَاوَدَهَا الدَّمُ فِي الصَّلَاةِ فَصَارَ مُعْتَادًا أَمْ لَا؛ لِأَنَّهَا عِنْدَ انْقِطَاعِهِ شَاكَّةٌ فِي عَوْدِهِ، فَلَمْ تَصِحَّ الصَّلَاةُ بِزَوَالِ الشَّكِّ بَعْدَ عَوْدِهِ كَالْمُصَلِّي إِذَا شَكَّ فِي طَهَارَتِهِ ثُمَّ تَيَقَّنَ صِحَّتَهَا قَبْلَ فَرَاغِهِ مِنْ صَلَاتِهِ كَانَتْ صَلَاتُهُ بَاطِلَةٌ، بِالشَّكِّ الْمُتَقَدِّمِ، وَإِنْ تَعَقَّبَهُ يَقِينٌ طَارِئٌ، وَإِنْ كَانَتْ فِي غَيْرِ صَلَاةٍ، حُكِمَ فِي الظَّاهِرِ بِبُطْلَانِ وُضُوئِهَا، فَإِنْ لَمْ يُعَاوِدْهَا الدَّمُ حَتَّى تَوَضَّأَتْ لِمَا يُسْتَقْبَلُ مِنَالصلاة، استقر الحكم، وإن عادوها الدَّمُ قَبْلَ اسْتِئْنَافِ وُضُوئِهَا صَارَ عَادَةً فِيمَا بَعْدُ، وَفِيمَا تَقَدَّمَ مِنْ طَهَارَتِهَا وَجْهَانِ:
PASAL
Keadaan kedua secara asal: yaitu terputusnya darah bukan karena benar-benar berhentinya istiḥāḍah, namun karena terlihatnya darah secara terputus-putus, seperti terputus satu jam lalu mengalir lagi satu jam.
Jika sudah diketahui berdasarkan kebiasaan bahwa darah itu memang akan terputus lalu kembali lagi, maka wudunya tetap sah, meskipun darahnya berhenti saat sedang salat, maka ia tetap melanjutkan salatnya.
Namun jika belum dikenal adanya kebiasaan seperti itu, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
apakah ia dalam salat atau di luar salat.
Jika ia dalam salat, maka salatnya batal, baik darah itu kembali mengalir dalam salat hingga menjadi kebiasaan ataupun tidak; karena saat darah terputus, ia dalam keadaan ragu akan kembalinya darah. Maka salatnya tidak sah hanya dengan hilangnya keraguan setelah darah itu kembali, sebagaimana orang yang salat dalam keadaan ragu terhadap kesucian, lalu ia yakin bahwa ia suci sebelum selesai salat, maka salatnya tetap batal karena keraguan sebelumnya, meskipun kemudian muncul keyakinan yang menyusul.
Jika darah terputus di luar salat, maka secara zhahir dihukumi bahwa wudunya batal. Namun jika darah tidak kembali mengalir hingga ia berwudu untuk salat berikutnya, maka hukumnya tetap (sah). Namun jika darah kembali mengalir sebelum ia mengulangi wudu, maka itu dianggap sebagai kebiasaan (yang baru terbentuk) untuk masa mendatang, dan dalam ṭahārah-nya yang telah lalu terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: بَاطِلَةٌ لِلْحُكْمِ بِبُطْلَانِهَا بِالشَّكِّ الْمُتَقَدِّمِ كَالصَّلَاةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: صَحِيحَةٌ لِلْعَادَةِ الطَّارِئَةِ الَّتِي زَالَ بِهَا الشك كالمسافر إذا شك هل بدأ بمسح مسافر جاز، أو مقيم مَسَحَ مَسْحَ مُقِيمٍ، فَلَوْ تَيَقَّنَ أَنَّهُ ابْتَدَأَ الْمَسْحَ مُسَافِرًا جَازَ لِزَوَالِ الشَّكِّ أَنْ يُبْنَى عَلَى مَسْحِ مُسَافِرٍ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ أَنَّ الصَّلَاةَ بَطُلَتْ بِالشَّكِّ لِأَنَّهُ لَا يَتَخَلَّلُهَا مَا لَيْسَ مِنْهَا وَالْوُضُوءُ لَا يَبْطُلُ بِالشَّكِّ إِذَا ارْتَفَعَ، لِأَنَّهُ قَدْ يَتَخَلَّلُهُ مَا لَيْسَ مِنْهُ.
pertama: ṭahārah-nya batal, karena telah dihukumi batal berdasarkan keraguan sebelumnya, sebagaimana halnya salat.
wajah kedua: ṭahārah-nya sah, karena telah muncul kebiasaan baru yang menghilangkan keraguan, sebagaimana orang yang sedang bepergian lalu ragu: apakah ia memulai masḥ dalam keadaan musafir sehingga boleh masḥ musāfir, atau ia memulai saat mukim sehingga hanya boleh masḥ muqīm; maka jika ia kemudian yakin bahwa ia memulainya sebagai musafir, maka sah baginya untuk membangun masḥ tersebut atas dasar masḥ musāfir, karena keraguan telah hilang.
Perbedaan antara wudu dan salat: salat batal karena adanya keraguan, karena dalam salat tidak boleh diselingi sesuatu yang bukan bagian darinya. Adapun wudu tidak batal karena keraguan jika kemudian hilang, karena dalam wudu boleh diselingi hal-hal yang bukan bagian darinya.
(الْقَوْلُ فِي دَمِ الْفَسَادِ)
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا ذَاتُ الْفَسَادِ وَهُوَ الدَّمُ الَّذِي لَيْسَ بِحَيْضٍ وَلَا اسْتِحَاضَةٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ يَجْعَلُهَا كَ ” الِاسْتِحَاضَةِ ” فِي الطَّهَارَةِ وَأَحْكَامِهَا. وَلَا يَكُونُ دَمُ الْفَسَادِ بِأَنْدَرَ مِنَ الْمَذْيِ الَّذِي يُسَاوِي حُكْمَ الْمُسْتَحَاضَةِ، وَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ يَجْعَلُ ذَلِكَ حَدَثًا كَسَائِرِ الْأَحْدَاثِ لَا يَجْمَعُ إِلَى الْفَرْضِ بَعْدَ ظُهُورِ الدَّمِ نَفْلًا، لِأَنَّ دَمَ الْفَسَادِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَنْدَرَ مِنَ الْمَذْيِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَذْيَ، وَسَلَسَ الْبَوْلِ قَدْ يَدُومُ زَمَانًا إِذَا حَدَثَ بِصَاحِبِهِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ فِي حُكْمِ الِاسْتِحَاضَةِ الَّتِي قَدْ تَدُومُ بِهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ دَمُ الْفَسَادِ لِأَنَّهُ إِنْ دَامَ خَرَجَ عَنْ دَمِ الْفَسَادِ فصار حيضاً أم اسْتِحَاضَةً.
(Pembahasan tentang Darah Fasād)
PASAL
Adapun wanita yang mengalami fasād, yaitu darah yang bukan ḥaiḍ dan bukan pula istiḥāḍah, maka para ulama kami berselisih pendapat tentang hukumnya:
Abū Isḥāq memandang bahwa darah fasād diperlakukan seperti istiḥāḍah dalam hal ṭahārah dan hukum-hukumnya. Dan darah fasād tidak lebih jarang daripada mażī, padahal mażī disamakan hukumnya dengan wanita mustaḥāḍah.
Adapun Abū al-‘Abbās berpendapat bahwa darah fasād adalah hadats sebagaimana hadats-hadats lainnya. Maka tidak boleh menggabungkan antara salat fardhu dan sunnah setelah keluarnya darah tersebut, karena darah fasād meskipun tidak lebih jarang daripada mażī, tetapi perbedaan antara keduanya adalah bahwa mażī dan salas al-bawl (keluar air kencing terus-menerus) bisa berlangsung lama jika sudah menimpa seseorang, maka boleh dihukumi seperti istiḥāḍah yang memang bisa berlangsung lama. Sedangkan darah fasād tidak demikian; jika ia berlangsung lama, maka ia telah keluar dari kategori fasād, dan berubah menjadi darah ḥaiḍ atau istiḥāḍah.
(فَصْلٌ)
: فَأَمَّا الْمُبْتَلَى بِالْمَذْيِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لِحُدُوثِ سَبَبٍ مِنْ لَمْسٍ، أَوْ نَظَرٍ، أَوْ تَحْرِيكِ شَهْوَةٍ فَهُوَ كَسَائِرِ الْأَحْدَاثِ فِي غُسْلِهِ وَوُجُوبِ الْوُضُوءِ مِنْهُ قَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ حِينَ أَمَرَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طالبٍ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ أَنْ يَسْأَلَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالنَّضْحِ عَلَى فَرْجِهِ وَالْوُضُوءِ مِنْهُ.
PASAL
Adapun orang yang mengalami keluarnya mażī, maka keadaannya terbagi menjadi dua:
pertama: keluarnya mażī disebabkan oleh suatu sebab, seperti karena menyentuh, memandang, atau membangkitkan syahwat. Maka hukumnya seperti hadats-hadats lainnya dalam hal wajib mencuci (bagian yang terkena) dan wajib berwudu darinya.
Rasulullah SAW telah memerintahkan al-Miqdād bin al-Aswad — ketika ‘Alī bin Abī Ṭālib ra. menyuruhnya untuk bertanya kepada Rasulullah SAW — agar memercikkan air (naḍḥ) ke kemaluannya dan berwudu karena keluarnya mażī.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَسْتَدِيمَ بِصَاحِبِهِ لَا مِنْ حُدُوثِ سَبَبٍ فَهُوَ فِي حُكْمِ الْمُسْتَحَاضَةِ فِي غَسْلِ فَرْجِهِ وَشَدِّهِ وَالْوُضُوءِ مِنْهُ لِكُلِّ فَرِيضَةٍ وَكَذَا مَنْ به سلسل الْبَوْلِ أَوِ اسْتِطْلَاقُ الرِّيحِ الْمُسْتَدِيمُ.
فَأَمَّا منِ اسْتَدَامَ بِهِ الْمَنِيُّ فَعَلَيْهِ أَنْ يَغْتَسِلَ مِنْهُ لِكُلِّ فَرِيضَةٍ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَقَلَّ مَنْ يَسْتَدِيمُ بِهِ الْمَنِيُّ، لِأَنَّ مَعَهُ تَلَفَ النَّفْسِ “.
فَأَمَّا مَنْ بِهِ جَرْحٌ يَسِيلُ دَمُهُ فَلَا يَرْقَأُ فَعَلَيْهِ أَنْ يَغْسِلَهُ عِنْدَ كُلِّ فَرِيضَةٍ وَيَشُدَّهُ مُكْتَفِيًا بِهِ مِنْ غَيْرِ وُضُوءٍ لِأَنَّ خُرُوجَ الدَّمِ مِنَ الْجَسَدِ يُوجِبُ غَسْلَ مَحَلِّهِ مِنْ غير وضوء. والله أعلم بالصواب.
wajah kedua: yaitu jika mażī keluar terus-menerus dari seseorang tanpa sebab seperti sentuhan, pandangan, atau rangsangan syahwat, maka hukumnya seperti wanita mustaḥāḍah: wajib mencuci farjinya, membalutnya, dan berwudu untuk setiap salat fardhu. Demikian pula orang yang mengalami salas al-bawl (kencing terus-menerus) atau istilāq ar-rīḥ (kentut terus-menerus).
Adapun orang yang keluar manī secara terus-menerus, maka wajib atasnya mandi untuk setiap salat fardhu.
Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Sangat jarang seseorang mengalami keluarnya manī secara terus-menerus, karena hal itu biasanya disertai rusaknya kondisi tubuh (jiwa).”
Adapun orang yang memiliki luka yang terus mengeluarkan darah dan tidak berhenti, maka wajib atasnya mencuci darah itu untuk setiap salat fardhu, dan membalut lukanya, serta itu sudah cukup tanpa wudu, karena keluarnya darah dari tubuh hanya mewajibkan mencuci tempatnya, bukan berwudu. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.