قال الشافعي رضي الله عنه ” أَوَّلُ مَا يَبْدَأُ بِهِ أَوْلِيَاءُ الْمَيِّتِ أَنْ يَتَوَلَّى أَرْفَقُهُمْ بِهِ إِغْمَاضَ عَيْنَيْهِ بِأَسْهَلِ مَا يقدر عليه وأن يشد لَحْيَهُ الْأَسْفَلَ بِعِصَابَةٍ عَرِيضَةٍ وَيَرْبُطَهَا مِنْ فَوْقِ رأسه لئلا يسترخي لحيه الأسفل فينفتح فوه فلا ينطبق ويرد ذراعيه حتى يلصقهما ثم يمدهما بعضديه أو يردهما إلى فخذيه ويفعل ذلك بمفاصل ركبتيه ويرد فخذيه إلى بطنه ثم يمدهما ويلين أصابعه حتى يتباقى لينه على غاسله ويخلع عنه ثيابه ويجعل على بطنه سيف أو حديد ويسجى بثوب بغطي به جميع جسده ويجعل على لوح أو سرير “.
Kitab al-Jana’iz
Bab Ighmādh al-Mayt
Imam al-Syafi’i raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Pertama yang dilakukan oleh para wali mayit adalah hendaknya orang yang paling lembut di antara mereka menangani urusan memejamkan kedua matanya dengan cara paling mudah yang ia mampu. Kemudian mengikat rahangnya yang bawah dengan kain yang lebar, lalu mengikatkannya dari atas kepalanya, supaya tidak terjatuh rahangnya yang bawah hingga mulutnya terbuka dan tidak dapat menutup. Dan hendaknya diluruskan kedua lengannya sehingga menempel, kemudian dibentangkan di sepanjang lengan atasnya, atau diarahkan ke pahanya. Demikian pula dilakukan pada sendi lututnya. Hendaknya kedua pahanya diarahkan ke perutnya lalu diluruskan. Dilunakkan pula jari-jemarinya agar tetap lentur bagi orang yang akan memandikannya. Lalu ditanggalkan pakaiannya, diletakkan di atas perutnya pedang atau besi, ditutup dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya, dan diletakkan di atas papan atau dipan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ جَعَلَ الْمَوْتَ حَتْمًا عَلَى عِبَادِهِ، وَمَصِيرًا لِجَمِيعِ خَلْقِهِ، خَتَمَ بِهِ أَعْمَالَ الدُّنْيَا، وَافْتَتَحَ بِهِ جَزَاءَ الْآخِرَةِ، وَسَوَّى فِيهِ بَيْنَ مَنْ أَطَاعَهُ وَمَنْ عَصَاهُ {لِيَجْزِيَ الّذينَ أسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِين أحْسَنُوا بِالْحُسْنَى) {النجم: 31) فَيَنْبَغِي لِمَنْ يُقِرُّ بِالْمَوْتِ أَنْ يَتَّعِظَ بِهِ، وَلِمَنِ اعْتَرَفَ بِالْآخِرَةِ أَنْ يَعْمَلَ لَهَا {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقاَلَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ) {الزلزلة: 7، 8) .
وَرَوَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَقَّ الْحَيَاءِ ” قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ نَسْتَحْيِي مِنَ اللَّهِ عَزَ وَجَلَّ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ: ” مَنْ حَفِظَ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى، وَالْبَطْنَ وَمَا وَعَى، وَتَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا، وَذَكَرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، فقد استحى مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ ” وَيَخْتَارُ الْإِكْثَارَ مِنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ لِأَنَّهُ أَبْعَثُ عَلَى الطَّاعَاتِ وَأَمْنَعُ مِنَ الْمَعَاصِي.
Al-Māwardī berkata:
“Sesungguhnya Allah subḥānahu telah menjadikan kematian sebagai sesuatu yang pasti atas hamba-hamba-Nya, dan sebagai tempat kembali bagi seluruh makhluk-Nya. Allah menutup dengan kematian segala amal dunia, dan membuka dengannya balasan akhirat. Allah menyamakan dalam kematian antara orang yang taat kepada-Nya dengan orang yang durhaka kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: {Liyajziya alladzīna asā’ū bimā ‘amilū wa yajziya alladzīna aḥsanū bil-ḥusnā} (QS. al-Najm: 31). Maka sepantasnya bagi orang yang mengakui adanya kematian untuk mengambil pelajaran darinya, dan bagi orang yang meyakini akhirat agar beramal untuknya, sebagaimana firman-Nya: {Faman ya‘mal mithqāla dzarratin khayran yarah, wa man ya‘mal mithqāla dzarratin syarran yarah} (QS. al-Zalzalah: 7–8).
Dan telah meriwayatkan ‘Abdullāh bin Mas‘ūd bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Malulah kalian kepada Allah ‘azza wa jalla dengan sebenar-benar malu.”
Lalu dikatakan: “Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu?” Beliau bersabda:
“Yaitu barang siapa yang menjaga kepala dan apa yang dikandungnya, perut dan apa yang diisinyai, meninggalkan perhiasan dunia, serta mengingat kematian dan kerusakan (jasad), maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.”
Dan hendaknya seseorang memperbanyak mengingat kematian, karena hal itu lebih mendorong kepada ketaatan dan lebih mencegah dari kemaksiatan.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي عِيَادَةِ الْمَرِيضِ وثوابها
يُسْتَحَبُّ عِيَادَةُ الْمَرِيضِ، فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” عائد المريض في محرف من محارف الْخَيْرِ إِلَى أَنْ يَعُودَ “.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” ما عَادَ مَرِيضًا شَيَّعَهُ سَبْعُونَ أَلْفَ ملكٍ إِلَى أَنْ يَعُودَ “.
وَقَدْ عَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَعْدًا وَجَابِرًا وَعَادَ غُلَامًا يَهُودِيًّا.
PASAL: Pembahasan tentang menjenguk orang sakit dan keutamaannya
Disunnahkan menjenguk orang sakit. Telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Orang yang menjenguk orang sakit berada dalam salah satu kebun dari kebun-kebun kebaikan hingga ia kembali.”
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Tidaklah seseorang menjenguk orang sakit, melainkan tujuh puluh ribu malaikat mengantarkannya hingga ia kembali.”
Rasulullah SAW pernah menjenguk Sa‘d, dan menjenguk Jābir, serta menjenguk seorang anak laki-laki Yahudi.
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَعُودَ لِعِيَادَتِهِ جَمِيعَ الْمَرْضَى وَلَا يَخُصَّ بِهَا قَرِيبًا مِنْ بَعِيدٍ وَلَا صَدِيقًا مِنْ عَدُوٍّ، ليحرز بِهَا ثَوَابَ جَمِيعِهِمْ، وَيَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ الْعِيَادَةُ غِبًّا، وَلَا يُوَاصِلُهَا فِي جَمِيعِ الْأَيَّامِ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَغِبُّوا عِيَادَةَ الْمَرِيضِ أَوْ أَرْبِعُوا إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَغْلُوبًا ” وَيُكْرَهُ إِطَالَةُ الْعِيَادَةِ، لِمَا فِيهَا مِنْ إِضْجَارِ الْمَرِيضِ، فَإِنْ رَأَى في المريض إمارات الصحة وعلامات البرء دعاء لَهُ بِتَعْجِيلِ الْعَافِيَةِ، لِتَقْوَى بِذَلِكَ نَفْسُهُ، فَقَدْ عَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَعْدًا وَوَعَدَهُ بِالْعَافِيَةِ وَالْعُمْرِ وَإِنَّ اللَّهَ سَيَفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، وَإِنْ رَأَى فِيهِ عَلَامَاتِ الْمَوْتِ ذَكَّرَهُ الْوَصِيَّةَ، وَأَمَرَهُ بِالتَّوْبَةِ، وَحَثَّهُ عَلَى الْخُرُوجِ مِنَ الْمَظَالِمِ بِالرِّفْقِ وَالْكَلَامِ اللَّطِيفِ ثُمَّ يُعَجِّلُ الِانْصِرَافَ فَإِذَا قَارَبَ أَنْ يَقْضِيَ حَضَرَهُ أَقْوَى أَهْلِهِ نَفْسًا، وَأَثْبَتُهُمْ عَقْلًا، وَلَقَّنَهُ الشَّهَادَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُنْفٍ وَلَا إِضْجَارٍ، لِمَا رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ “.
Disunnahkan menjenguk seluruh orang sakit, tidak dikhususkan hanya kepada kerabat dekat tanpa yang jauh, atau kepada teman tanpa musuh, agar mendapatkan pahala dari semuanya. Hendaknya ziarah sakit dilakukan berselang-seling, tidak setiap hari, karena telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Selang-selinglah dalam menjenguk orang sakit, atau tiga hari sekali, kecuali bila ia dalam keadaan lemah sekali.”
Dimakruhkan memperlama waktu menjenguk, karena hal itu dapat membuat orang sakit merasa jemu. Jika ia melihat pada orang sakit tanda-tanda sehat dan isyarat sembuh, hendaknya ia mendoakan agar disegerakan kesembuhannya, supaya dengan itu jiwanya menjadi kuat. Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menjenguk Sa‘d dan memberi kabar gembira tentang kesembuhan, umur panjang, dan bahwa Allah akan memberikan kemenangan melalui tangannya.
Apabila terlihat tanda-tanda kematian pada dirinya, maka diingatkan tentang wasiat, diperintahkan untuk bertaubat, dianjurkan untuk keluar dari kezaliman dengan lemah lembut dan perkataan yang halus. Kemudian disegerakan meninggalkan tempat.
Apabila sudah mendekati saat ajalnya, hendaknya dihadiri oleh keluarganya yang paling kuat jiwanya dan paling teguh akalnya, lalu diajarkan kepadanya syahadatain tanpa kekerasan dan tanpa membuatnya jemu. Sebagaimana telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Sa‘īd al-Khudrī dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
“Talqinkanlah orang-orang yang akan meninggal di antara kalian dengan syahadat ‘lā ilāha illā Allāh’.”
وَرَوَى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ كَانَ آخِرَ كَلَامِهِ قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصًا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ ” ثُمَّ يُوَجِّهُهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ وَفِي كَيْفِيَّةِ تَوَجُّهِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُلْقَى عَلَى ظَهْرِهِ وَتَكُونُ رِجْلَاهُ فِي الْقِبْلَةِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يُضْجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ مُسْتَقْبِلًا بِوَجْهِهِ الْقِبْلَةَ، فَإِذَا مَاتَ تَوَلَّى مِنْهُ سَبْعَ خِصَالٍ:
أَوَّلُهَا: إِغْمَاضُ عَيْنَيْهِ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَغْمَضَ عَيْنَ ابْنِ سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الْأَسَدِ وَقَالَ إِنَّ الْبَصَرَ يَتْبَعُ الرُّوحَ ” وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَحْسَنُ فِي كَرَامَتِهِ وَأَبْلَغُ فِي جَمَالِ عِشْرَتِهِ، ولأن لا يُسْرِعَ إِلَيْهَا الْفَسَادُ، فَقَدْ قِيلَ إِنَّهَا آخِرُ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ الرُّوحُ وَأَوَّلُ مَا يُسْرِعُ إِلَيْهِ الْفَسَادُ.
وَالثَّانِي: أَنْ يُطَبِّقَ فَاهُ وَيَشُدَّ لَحْيَهُ الْأَسْفَلَ بِعِصَابَةٍ عَرِيضَةٍ وَيَرْبُطَهَا مِنْ فَوْقِ رأسه، لأن لا يَفْتَحَ فَاهُ فَيَقْبُحَ فِي عَيْنِ النَّاظِرِ إِلَيْهِ، ولأن لا يَلِجَ فِيهِ شَيْءٌ مِنَ الْهَوَامِ.
Mu‘ādz bin Jabal meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
“Barang siapa yang akhir ucapannya adalah lā ilāha illā Allāh dengan ikhlas, maka wajib baginya surga.”
Kemudian mayit dihadapkan ke arah kiblat. Dalam tata cara menghadapkannya ada dua pendapat:
Pertama: dibaringkan di atas punggungnya, dan kedua kakinya diarahkan ke kiblat.
Kedua: dibaringkan di atas sisi kanannya dengan wajahnya menghadap kiblat.
Apabila ia telah wafat, maka dilakukan padanya tujuh perkara:
Pertama: memejamkan kedua matanya. Karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW “telah memejamkan mata Ibn Salamah bin ‘Abd al-Asad, lalu bersabda: Sesungguhnya pandangan mata itu mengikuti ruh.” Hal itu lebih mulia bagi kehormatannya, lebih indah bagi yang menyertainya, serta agar matanya tidak cepat rusak. Telah dikatakan bahwa mata adalah bagian terakhir yang keluar darinya ruh, dan bagian pertama yang cepat rusak.
Kedua: menutup mulutnya dan mengikat rahang bawahnya dengan kain yang lebar, lalu diikatkan dari atas kepalanya, supaya mulutnya tidak terbuka hingga menimbulkan keburukan bagi orang yang memandang, serta agar tidak masuk ke dalamnya sesuatu dari hewan-hewan kecil.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُلَيِّنَ مَفَاصِلَهُ مِنْ يَدَيْهِ وَعَضُدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ وَفَخِذَيْهِ فَيَمُدَّهَا وَيَرُدَّهَا مَنْ لَهُ رِفْقٌ وسهولة لئلا تجسو فتقح، وَلِأَنْ تَبْقَى لَيِّنَةً عَلَى غَاسِلِهِ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَخْلَعَ عَنْهُ ثِيَابَهُ، لِأَنَّهُ رُبَّمَا خَرَجَتْ مِنْهُ نَجَاسَةٌ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا جَمَرَ فِيهَا فَتُغَيَّرُ.
وَالْخَامِسُ: أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَشَزٍ مِنَ الْأَرْضِ وَمَوْضِعٍ مرتفع من لوح أو سرير، لأن لا تُسْرِعَ إِلَيْهِ عُفُونَةُ الْأَرْضِ وَيَبْعُدَ عَنِ الْهَوَامِ.
وَالسَّادِسُ: أَنْ يُسَجَّى بِثَوْبٍ يُغَطَّى بِهِ جَمِيعُ بَدَنِهِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” سُجِّيَ بِثَوْبِ حِبَرَةٍ ” وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَصْوَنُ لِجَسَدِهِ، وَأَبْلَغُ فِي كَرَامَتِهِ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَعْطِفَ مَا فَضَلَ مِنْ طَرَفَيْهِ تَحْتَ رَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ؛ لِكَيْ لَا يَنْكَشِفَ عَنْهُ إِنْ هَبَّتْ رِيحٌ.
وَالسَّابِعُ: أَنْ يُوضَعَ عَلَى بَطْنِهِ سَيْفٌ أَوْ حَدِيدَةٌ أو طين مبلول؛ لأن لا يَرْبُوَ فَيُنْفَخَ بَطْنُهُ فَيُقَبَّحَ، وَيُخْتَارُ أَنْ يَتَوَلَّى الرِّجَالُ أَمْرَ الرِّجَالِ، وَالنِّسَاءُ أَمْرَ النِّسَاءِ، فَإِنْ تَوَلَّى خِلَافَ ذَلِكَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ مِنْ ذَوِي الْمَحَارِمِ جَازَ.
Ketiga: melenturkan persendiannya, baik dari tangan, lengan, kaki maupun pahanya. Diluruskan lalu digerakkan oleh orang yang memiliki kelembutan dan kemudahan, agar sendi-sendinya tidak menjadi kaku dan sulit digerakkan, serta supaya tetap lentur bagi orang yang akan memandikannya.
Keempat: menanggalkan pakaiannya, karena mungkin saja keluar darinya najis, atau karena pakaian itu bisa menahan panas lalu berubah (bau).
Kelima: meletakkannya di tempat yang agak tinggi dari tanah, di atas papan atau dipan, supaya tidak cepat terkena kelembaban tanah dan lebih jauh dari hewan-hewan kecil.
Keenam: menutupinya dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya. Sesungguhnya Rasulullah SAW “pernah ditutupi dengan kain hibarah.” Hal itu lebih menjaga tubuhnya dan lebih memuliakannya. Hendaknya ujung-ujung kain yang berlebih dilipatkan ke bawah kepalanya dan kakinya agar tidak terbuka jika tertiup angin.
Ketujuh: meletakkan di atas perutnya sebilah pedang, atau potongan besi, atau tanah liat yang basah, supaya perutnya tidak menggelembung dan menimbulkan bentuk yang buruk. Disunnahkan agar laki-laki menangani urusan jenazah laki-laki, dan perempuan menangani urusan jenazah perempuan. Namun, apabila urusannya ditangani oleh kerabat maḥram dari lawan jenis, maka hal itu dibolehkan.
فَصْلٌ
: اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُسْتَحَبُّ الْإِنْذَارُ بِالْمَيِّتِ وَإِشَاعَةُ مَوْتِهِ فِي النَّاسِ بِالنِّدَاءِ وَالْإِعْلَامِ؟ فَاسْتَحَبَّ ذَلِكَ بَعْضُهُمْ؛ لِمَا فِي إِنْذَارِهِمْ مِنْ كَثْرَةِ الْمُصَلِّينَ عَلَيْهِ وَالدَّاعِينَ لَهُ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا يُسْتَحَبُّ ذَلِكَ إِخْفَاءً لِأَمْرِهِ وَمُبَادَرَةً بِهِ، وَقَالَ آخَرُونَ يُسْتَحَبُّ ذَلِكَ لِلْغَرِيبِ وَلَا يُسْتَحَبُّ لِغَيْرِهِ، وَبِهِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، لِأَنَّ الْغَرِيِبَ إِذَا لَمْ يُنْذَرِ النَّاسُ بِهِ لَمْ يُعْلَمْ بِهِ.
PASAL
Ulama dari kalangan sahabat kami berbeda pendapat tentang hukum dianjurkannya pemberitahuan tentang kematian seseorang serta menyiarkan wafatnya di tengah manusia dengan panggilan dan pengumuman.
Sebagian mereka menganjurkan hal itu, karena dengan pemberitahuan akan semakin banyak orang yang menyalatkannya dan mendoakannya.
Sebagian lain berpendapat tidak dianjurkan, demi menyembunyikan urusannya dan agar segera diselesaikan.
Ada pula yang berpendapat: dianjurkan untuk jenazah orang asing (ghurabā’), tetapi tidak dianjurkan bagi selainnya. Inilah yang dikatakan oleh ‘Abdullāh bin ‘Umar, karena sesungguhnya orang asing bila tidak diberitahukan kematiannya, maka tidak akan diketahui oleh manusia.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُفْضِي بِالْمَيِّتِ إِلَى مُغْتَسَلِهِ، وَيَكُونُ كَالْمُنْحَدَرِ قَلِيلًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ أَمَّا غُسْلُ الْمَوْتَى وَتَكْفِينُهُمْ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِمْ وَدَفْنُهُمْ فَفَرْضٌ عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَالْكُلُّ بِهِ مُخَاطَبُونَ، فَإِذَا قَامَ بِهِ بَعْضُهُمْ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْ بَاقِيهِمْ، وَإِنْ لم يقم البعض خرج الْكُلُّ لِأَنَّ فُرُوضَ الْكِفَايَاتِ وَفُرُوضَ الْأَعْيَانِ قَدْ يَشْتَرِكَانِ فِي الِابْتِدَاءِ وَيَفْتَرِقَانِ فِي الْفِعْلِ، فَمَا كَانَ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ لَمْ يَلْزَمِ الْكُلَّ، وَيسقط عَنْهُمْ بِفِعْلِ الْبَعْضِ، وَمَا كَانَ مِنْ فُرُوضِ الْأَعْيَانِ يَلْزَمُ الْكُلَّ، فَإِذَا فَعَلَهُ الْبَعْضُ سقط من فَاعِلِهِ دُونَ غَيْرِهِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى إِيجَابِ غُسْلِهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” فُرِضَ عَلَى أُمَّتِي غَسْلُ مَوْتَاهَا وَالصَّلَاةُ عَلَيْهَا وَدَفْنُهَا “.
Bāb Ghusl al-Mayt wa Ghusl al-Rajul Imra’atah wa al-Mar’ah Zawjahā
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Dan dibawa mayit ke tempat pemandian, yang sebaiknya agak miring sedikit seperti jalan menurun.”
Al-Māwardī berkata: “Hal ini sebagaimana yang dikatakan beliau. Adapun memandikan mayit, mengafani, menyalatkan, dan menguburkannya adalah fardhu atas seluruh kaum muslimin, dan semuanya terkena beban kewajiban tersebut. Jika sebagian mereka telah melakukannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Namun, bila tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua berdosa.
Karena fardhu kifāyah dan fardhu ‘ain sama-sama memiliki kesamaan dalam permulaan (kewajiban), tetapi berbeda dalam pelaksanaannya. Maka sesuatu yang termasuk fardhu kifāyah tidak wajib atas semua orang, dan gugur dari mereka dengan dilakukannya oleh sebagian. Adapun yang termasuk fardhu ‘ain, wajib atas semua, dan jika sebagian melakukannya, kewajiban gugur darinya saja, bukan dari selainnya.
Dalil atas wajibnya memandikan mayit adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Diwajibkan atas umatku memandikan mayit-mayit mereka, menyalatkannya, dan menguburkannya.”
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ غُسْلَ الْمَوْتَى فَرْضٌ عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَالْفَضْلُ لِمَنْ قَامَ بِهِ دُونَ مَنْ تَخَلَّفَ عَنْهُ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَلَوْ أَنَّ رُفْقَةً فِي طَرِيقٍ مِنْ سَفَرٍ فَمَاتَ مِنْهُمْ مَيِّتٌ فَلَمْ يُوَارُوهُ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي طَرِيقٍ آهِلٍ يَخْتَرِقُهُ النَّاسُ وَالْمَارَّةُ، أَوْ بِقُرْبِ قَرْيَةٍ أَوْ حِصْنٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَسَاءُوا بِتَرْكِهِمُ الْفَضْلَ، وَتَضْيِيعِ حَقِّ أَخِيهِمْ، وَكَانَ عَلَى مَا يَقْرُبُ مِنْهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يُوَارُوهُ، وَإِنْ كَانُوا لَمْ يُوَارُوهُ وَتَرَكُوهُ فِي صَحْرَاءَ أَوْ مَوْضِعٍ لَا يَمُرُّ بِهِ أَحَدٌ وَلَا يَجْتَازُ بِهِ أَهْلُ قَرْيَةٍ فَقَدْ أَثِمُوا وَعَصَوُا اللَّهَ تَعَالَى، وَعَلَى السُّلْطَانِ أَنْ يُعَاقِبَهُمْ عَلَى ذَلِكَ لِتَضْيِيعِهِمْ حَقَّ اللَّهِ تَعَالَى وَاسْتِخْفَافِهِمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ أَخِيهِمُ الْمُسْلِمِ، اللَّهُمَّ إِلَّا أَنْ يَكُونُوا فِي مَخَافَةٍ مِنْ عَدُوٍّ، وَيَخَافُونَ إِنِ اشْتَغَلُوا بِالْمَيِّتِ أَظَلَّهُمْ، فَالَّذِي يُخْتَارُ أَنْ يُوَارُوهُ مَا أَمْكَنَهُمْ، فَإِنْ تَرَكُوهُ لَمْ يَحْرَجُوا لِأَنَّهُ مَوْضِعُ ضَرُورَةٍ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa memandikan mayit adalah fardhu atas seluruh kaum muslimin, maka keutamaan adalah bagi orang yang melaksanakannya, bukan bagi yang meninggalkannya.
Al-Syāfi‘ī berkata: “Seandainya ada suatu rombongan dalam perjalanan, lalu salah seorang dari mereka meninggal, namun tidak dikuburkan oleh mereka, maka diperhatikan keadaannya. Jika kematiannya terjadi di jalan yang ramai dilalui manusia dan orang yang lewat, atau dekat dengan sebuah desa atau benteng kaum muslimin, maka mereka telah berbuat buruk dengan meninggalkan keutamaan itu dan menyia-nyiakan hak saudaranya. Maka kewajiban menguburkannya berpindah kepada kaum muslimin yang berada di dekatnya. Jika mereka juga tidak menguburkannya dan meninggalkannya di padang pasir atau di tempat yang tidak dilewati seorang pun, dan tidak pula dilalui penduduk desa, maka sungguh mereka telah berdosa dan durhaka kepada Allah Ta‘ālā. Dan wajib atas sulṭān untuk menghukum mereka karena telah menyia-nyiakan hak Allah Ta‘ālā serta meremehkan kewajiban mereka terhadap hak saudara muslimnya.
Kecuali apabila mereka dalam keadaan takut kepada musuh, dan khawatir bila mereka sibuk mengurus jenazah, musuh akan menyerang mereka, maka yang dipilih adalah tetap menguburkannya sebisanya. Namun jika mereka meninggalkannya, tidaklah berdosa, karena keadaan itu merupakan situasi darurat.”
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَلَوْ أَنَّ مُجْتَازِينَ مَرُّوا عَلَى مَيِّتٍ فِي الصَّحْرَاءِ فَقَدْ لَزِمَهُمُ الْقِيَامُ بِهِ، رَجُلًا كَانَ الْمَيِّتُ أَوِ امْرَأَةً، فَإِنْ تَرَكُوهُ حرجوا أو أثموا، ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْمَيِّتِ فَإِنْ كَانَ بِثِيَابِهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَثَرُ غُسْلٍ وَلَا كَفَنٍ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِمْ أَنْ يُغَسِّلُوهُ، وَيُكَفِّنُوهُ، وَيُصَلُّواعَلَيْهِ، وَيَدْفِنُوهُ مَا أَمْكَنَ، وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ أثر الغسل والكفن والحنوط فإنهم يدفنوه، فَإِنِ اخْتَارُوا الصَّلَاةَ عَلَيْهِ صَلَّوْا عَلَى قَبْرِهِ بَعْدَ دَفْنِهِ لِأَنَّ ظَاهِرَهُ أَنْ قَدْ صُلِّيَ عَلَيْهِ.
PASAL
Apabila hendak dimandikan, janganlah disegerakan sebelum dipastikan benar-benar kematiannya dengan tanda-tanda yang menunjukkan hal itu, yaitu terpisahnya pergelangan tangan, lemasnya lengan, miringnya hidung, dan berubahnya bau.
Apabila ia mati tenggelam, terbakar, tertimpa runtuhan, atau jatuh dari ketinggian, maka aku menyukai agar ditunggu sehari atau dua hari, karena dikhawatirkan ia hanya pingsan lalu bisa sadar kembali.
Jika sudah diketahui secara yakin bahwa ia benar-benar telah meninggal, maka segera dimandikan dan dibawa ke tempat pemandian. Tidak perlu menunggu kedatangan orang yang sedang bepergian.
Disukai agar bagian bawah tempat pemandian dibuat miring ke bawah, sedangkan kepalanya di bagian atas, supaya air dapat mengalir terpisah darinya.
فَصْلٌ
: فَإِذَا أُرِيدَ غُسْلُهُ لَمْ يُعَجَّلْ بِهِ حَتَّى يُتَحَقَّقَ مَوْتُهُ بِعَلَامَاتٍ تَدُلُّ عَلَيْهِ، افْتِرَاقُ الزَّنْدَيْنِ، وَاسْتِرْخَاءُ الْعَضُدَيْنِ، وَمَيْلُ الْأَنْفِ، وَتَغْيِيرُ الرَّائِحَةِ، وَإِنْ كَانَ غَرِيقًا أَوْ حَرِيقًا أَوْ تَحْتَ هَدْمٍ، أَوْ مُتَرَدِّيًا مِنْ عُلُوٍّ فَأُحِبُّ أَنْ يُنْتَظَرَ بِهِ الْيَوْمَ وَالْيَوْمَيْنِ، لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ أَنْ يَكُونَ قَدْ زَالَ مِنْهُ عَقْلُهُ فَيَثُوبُ، فَإِذَا عُلِمَ مَوْتُهُ عَلَى الْيَقِينِ بُودِرَ بِغُسْلِهِ، وَأُفْضِيَ بِهِ إِلَى مُغْتَسَلِهِ، وَلَا يُنْتَظَرُ بِهِ قُدُومُ غَائِبٍ، وَيُخْتَارُ أَنْ يَكُونَ أَسْفَلُ الْمُغْتَسَلِ مُنْحَدِرًا وَرَأْسُهُ أَعْلَى، لِكَيْ يَنْفَصِلَ عَنْهُ الماء.
PASAL
Apabila hendak dimandikan, maka tidak boleh disegerakan sebelum benar-benar dipastikan kematiannya dengan tanda-tanda yang menunjukkannya, yaitu renggangnya pergelangan tangan, lemasnya lengan, miringnya hidung, dan berubahnya bau.
Apabila ia meninggal karena tenggelam, terbakar, tertimpa runtuhan, atau jatuh dari ketinggian, maka aku menyukai agar ditunggu sehari atau dua hari, karena dikhawatirkan hanya hilang akal (pingsan) lalu bisa sadar kembali.
Apabila sudah diketahui secara yakin kematiannya, maka segera dimandikan dan dibawa ke tempat pemandian. Tidak perlu ditunggu kedatangan orang yang sedang bepergian.
Dan disukai agar bagian bawah tempat pemandian dibuat menurun, sedangkan kepalanya berada di bagian atas, supaya air dapat mengalir menjauh darinya.
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يُعَادُ تَلْيِينُ مَفَاصِلِهِ وَيُطْرَحُ عَلَيْهِ مَا يُوَارِي مَا بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى سُرَّتِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ أَمَّا إِعَادَةُ تَلْيِينِ مَفَاصِلِهِ فَلَمْ يُوجَدْ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِهِ إِلَّا فِيمَا حَكَاهُ الْمُزَنِيُّ فِي مُخْتَصَرِهِ، وَهَذَا دُونَ جَامِعِهِ، وَتَرْكُ ذَلِكَ أَوْلَى مِنْ فِعْلِهِ، لِتَمَاسُكِ أَعْضَائِهِ، وَإِنَّمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ أَعَادَ تَلْيِينَ مَفَاصِلِهِ عِنْدَ مَوْتِهِ، لَا وَقْتَ غُسْلِهِ، لِتَبْقَى لَيِّنَةً عَلَى غَاسِلِهِ، فَإِنْ أَعَادَ تَلْيِينَ مَفَاصِلِهِ وَقْتَ غُسْلِهِ جَازَ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُغَسَّلَ فِي قَمِيصٍ رَقِيقٍ، لِأَنَّ ذَلِكَ أَصْوَنُ لَهُ.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Kemudian diulangi pelenturan persendiannya, dan ditutup bagian tubuhnya dengan sesuatu yang menutupi antara kedua lutut hingga pusarnya.”
Al-Māwardī berkata: “Hal ini benar. Adapun pengulangan pelenturan persendiannya, tidak ditemukan dari al-Syāfi‘ī dalam kitab-kitabnya kecuali sebagaimana diriwayatkan oleh al-Muzanī dalam Mukhtaṣar-nya, dan itu pun di bawah Jāmi‘-nya. Meninggalkan hal itu lebih utama daripada melakukannya, demi menjaga kekokohan anggota tubuhnya.
Sesungguhnya yang dimaksud perkataan al-Syāfi‘ī adalah melenturkan persendiannya ketika baru meninggal, bukan pada saat dimandikan, agar tetap lentur bagi orang yang memandikannya. Namun jika ia melenturkan persendian pada waktu dimandikan, hukumnya boleh.
Disunnahkan memandikan mayit dengan memakai baju tipis, karena hal itu lebih menjaga kehormatannya.”
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: ” لَمَّا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي غُسْلِهِ فَقَالَ قَوْمٌ يُغَسَّلُ فِي ثِيَابِهِ، وَقَالَ قومٌ لَا يُغَسَّلُ فِيهَا فَغَشِيَنَا النُّعَاسُ، فَسَمِعْنَا هَاتِفًا يَهْتِفُ فِي الْبَيْتِ وَلَا نَرَاهُ يَقُولُ أَلَا غَسِّلُوهُ فِي قَمِيصِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، فَغُسِّلَ فِي الْقَمِيصِ، فَإِنْ لم يكن غُسْلُهُ فِي الْقَمِيِصِ لِصَفَاقَتِهِ سُتِرَ مِنْهُ قَدْرُ عَوْرَتِهِ، وَذَلِكَ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ، لِأَنَّ حُكْمَ عَوْرَتِهِ بَعْدَ وَفَاتِهِ كَحُكْمِ عَوْرَتِهِ فِي حَيَاتِهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعَلِيٍّ: ” لَا تَنْظُرْ لِفَخِذِ حي وَلَا مَيِّتٍ “.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” حرمة المسلم بعد موته كحرمته قَبْلَ مَوْتِهِ وَكَسْرُ عَظْمِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ كَكَسْرِهِ قبل موته “.
Telah diriwayatkan dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata:
“Ketika Rasulullah SAW wafat, manusia berbeda pendapat tentang cara memandikannya. Sebagian berkata: dimandikan dalam pakaiannya. Sebagian lagi berkata: tidak dimandikan dalam pakaiannya. Lalu kami diliputi rasa kantuk, tiba-tiba kami mendengar suara penyeru dari dalam rumah, tetapi kami tidak melihatnya. Ia berkata: ‘Mandikanlah beliau dengan baju yang dipakainya ketika wafat.’ Maka beliau pun dimandikan dengan baju tersebut.”
Apabila tidak dimandikan dengan baju karena tebalnya, maka ditutup bagian auratnya, yaitu antara pusar dan lutut. Karena hukum aurat mayit sama dengan hukum aurat ketika hidup. Rasulullah SAW pernah bersabda kepada ‘Alī:
“Janganlah engkau melihat paha orang yang hidup maupun yang mati.”
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya kehormatan seorang muslim setelah wafat sama dengan kehormatannya sebelum wafat, dan mematahkan tulangnya setelah wafat sama seperti mematahkannya ketika hidup.”
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويستر موضعه الَّذِي يُغَسَّلُ فِيهِ فَلَا يَرَاهُ أَحَدٌ إِلَّا غَاسِلُهُ وَمَنْ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ مَعُونَتِهِ عَلَيْهِ وَيَغُضُّونَ أَبْصَارَهُمْ عَنْهُ إِلَّا فِيمَا لَا يُمْكِنُ غَيْرُهُ لِيَعْرِفَ الْغَاسِلُ مَا غُسِلَ وَمَا بقي “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ يَنْبَغِي أَنْ يُرْتَادَ لِغُسْلِ الْمَيِّتِ مَوْضِعٌ مَسْتُورٌ لِيَخْفَى عَنْ أَبْصَارِ النَّاسِ فَلَا يُشَاهِدُوهُ.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Hendaknya ditutupi tempat di mana mayit dimandikan, sehingga tidak ada seorang pun yang melihatnya selain orang yang memandikannya dan mereka yang memang harus membantunya dalam memandikan. Hendaknya mereka menundukkan pandangan dari melihat tubuh mayit, kecuali pada bagian yang tidak dapat dihindari, agar orang yang memandikan dapat mengetahui bagian yang sudah dibasuh dan yang masih tersisa.”
Al-Māwardī berkata:
“Hal ini sebagaimana yang dikatakan beliau. Hendaknya dipilihkan tempat yang tertutup untuk memandikan mayit, agar tidak terlihat oleh pandangan manusia sehingga mereka tidak menyaksikannya.”
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُخْتَارُ غُسْلُهُ تَحْتَ سَقْفٍ أَوْ سَمَاءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: تَحْتَ سَقْفٍ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ أَصْوَنُ لَهُ وَأَحْرَى، وَقَالَ آخَرُونَ: تَحْتَ السَّمَاءِ لِتَنْزِلَ عَلَيْهِ الرَّحْمَةُ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْغَاسِلِ إِنْ أَمْكَنَهُ تَرْكُ الِاسْتِعَانَةِ بِغَيْرِهِ أَنْ يَفْعَلَ، فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ اسْتَعَانَ بِمَنْ يَثِقُ بِدِينِهِ وَأَمَانَتِهِ، وَيَقِفُ حَيْثُ لَا يَرَى الْمَيِّتَ، فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ إِلَّا الدُّنُوُّ مِنْهُ دَنَا وَغَضَّ طَرْفَهُ وَبَصَرَهُ، فَأَمَّا الْغَاسِلُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَوْثُوقًا بِدِينِهِ وَأَمَانَتِهِ، عَارِفًا بِغُسْلِهِ وَنَظَافَتِهِ، غَاضًّا طَرْفَهُ وَبَصَرَهُ حَسَبَ طَاقَتِهِ وَإِمْكَانِهِ، لِكَيْمَا يُشَاهِدَ مِنْ أَحْوَالِ الْمَيِّتِ سَاتِرًا عليه.
Para sahabat kami berbeda pendapat: apakah lebih utama memandikan mayit di bawah atap atau di bawah langit terbuka?
Sebagian dari mereka berkata: di bawah atap, karena hal itu lebih menjaga kehormatannya dan lebih layak.
Sebagian yang lain berkata: di bawah langit, agar rahmat turun kepadanya.
Disunnahkan bagi orang yang memandikan, jika memungkinkan, untuk tidak meminta bantuan orang lain. Namun jika tidak memungkinkan, maka ia boleh meminta bantuan dari orang yang terpercaya agama dan amanahnya. Hendaknya orang yang membantu berdiri di tempat yang tidak melihat tubuh mayit. Jika tidak memungkinkan kecuali harus mendekat, maka hendaklah ia mendekat dan menundukkan pandangan serta penglihatannya.
Adapun orang yang memandikan, maka sebaiknya adalah orang yang terpercaya dalam agama dan amanahnya, mengetahui cara memandikan dan menjaga kebersihannya, serta menundukkan pandangan dan penglihatannya semampunya, agar hal-hal yang dilihat dari keadaan mayit bisa ia tutupi dan jaga kehormatannya.
مسألة
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَتَّخِذُ إِنَاءَيْنِ: إِنَاءً يَغْرِفُ بِهِ مِنَ الْمَاءِ الْمَجْمُوعِ فَيَصُبُّ فِي الْإِنَاءِ الَّذِي يَلِي الْمَيِّتَ، فَمَا تَطَايَرَ مِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ إِلَى الْإِنَاءِ الَّذِي يَلِيهِ لَمْ يُصِبِ الْآخَرَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ يُخْتَارُ اتِّخَاذُ إِنَاءَيْنِ كَبِيرٌ بِالْبُعْدِ، وَصَغِيرٌ بِالْقُرْبِ، وَإِنَاءٌ يَغْتَرِفُ بِهِ مِنَ الْكَبِيرِ وَيَصُبُّهُ فِي الصَّغِيرِ، حَتَّى لَا يَفْسُدَ الْمَاءُ بِمَا يَتَطَايَرُ مِنْ غُسْلِهِ، وَوَجْهُ فَسَادِهِ إِمَّا بِكَثْرَةِ مَا يَتَطَايَرُ مِمَّا يَنْفَصِلُ مِنْ غُسْلِهِ حَتَّى يَصِيرَ مُسْتَعْمَلًا، وَإِمَّا لِنَجَاسَةٍ تَخْرُجُ مِنْهُ تُنَجِّسُ مَا انْفَصَلَ عَنْهُ وَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيُّ وَأَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ بَلْ ذَلِكَ لِنَجَاسَةِ الْمَيِّتِ، فَذَهَبَا إِلَى تَنْجِيسِهِ اسْتِدْلَالًا بِذَلِكَ مِنْ مَذْهَبِهِ، وَلِأَنَّ مَا انْفَصَلَ مِنْ أَعْضَائِهِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ نَجِسٌ لِفَقْدِ الْحَيَاةِ، فَكَذَلِكَ جُمْلَتُهُ بَعْدَ الْوَفَاةِ.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Hendaknya disediakan dua bejana: satu bejana untuk menimba air dari air yang terkumpul, kemudian dituangkan ke bejana yang berada di dekat mayit. Maka cipratan air dari basuhan mayit yang mengenai bejana dekat mayit tidak sampai mengenai bejana yang satunya.”
Al-Māwardī berkata:
“Ini benar. Disunnahkan menyediakan dua bejana: satu bejana besar diletakkan jauh, dan satu bejana kecil diletakkan dekat. Air diambil dari bejana besar lalu dituangkan ke dalam bejana kecil, agar air tidak rusak karena cipratan dari basuhan mayit.
Sebab rusaknya air itu bisa karena dua hal:
Pertama, karena banyaknya cipratan air yang terpisah dari basuhan mayit hingga menjadikan air itu musta‘mal.
Kedua, karena najis yang keluar dari mayit lalu menajisi air yang terpisah darinya.
Abu al-Qāsim al-Anmāṭī dan Abu al-‘Abbās Ibn Surayj berpendapat bahwa sebabnya adalah karena tubuh mayit itu sendiri najis. Keduanya menisbatkan pendapat ini sebagai pengambilan dalil dari mazhab al-Syāfi‘ī, karena setiap bagian yang terpisah dari tubuh seseorang ketika hidup berstatus najis disebabkan hilangnya kehidupan, maka begitu pula seluruh tubuhnya setelah wafat.”
وَذَهَبَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَسَائِرُ أَصْحَابِنَا: إِلَى طَهَارَةِ الْمَيِّتِ كَطَهَارَةِ الْحَيِّ، وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ} (الإسراء: 70) فَلَمَّا طُهِّرُوا أَحْيَاءً لِأَجْلِ الْكَرَامَةِ وَجَبَ أَنْ يُخَصُّوا بِهَا أَمْوَاتًا لِأَجْلِ الْكَرَامَةِ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا تُنَجِّسُوا مَوْتَاكُمْ ” وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْمُؤْمِنُ لَا يَنْجُسُ ” وَقَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ بَعْدَ مَوْتِهِ وَدُمُوعُهُ تَجْرِي عَلَى خَدِّهِ فَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَمَا قَبَّلَهُ مَعَ رُطُوبَتِهِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ نَجِسًا لَمَا تَعَبَّدْنَا بِغَسْلِهِ، لَأَنَّ غَسْلَ مَا هُوَ نَجِسُ الْعَيْنِ يَزِيدُ تَنْجِيسًا وَلَا يُفِيدُهُ الْغُسْلُ تَطْهِيرًا، فَأَمَّا مَا انْفَصَلَ مِنْ أَعْضَائِهِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ فَقَدْ كَانَ الصَّيْرَفِيُّ يَحْكُمُ بِطَهَارَتِهِ أَيْضًا،وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ نَجِسٌ وَلَا يَصِحُّ اعْتِبَارُ الْمَيِّتِ بِهِ لِضَعْفِهِ عَنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ إِذَا انْفَصَلَ مِنَ الْحَيِّ، وَلَوْ وُجِدَ لِلْمَيِّتِ طَرَفٌ مُنْفَصِلٌ صُلِّيَ عليه.
Abū Isḥāq al-Marwazī dan seluruh sahabat kami berpendapat bahwa mayit itu suci sebagaimana orang hidup. Ini adalah zahir dari nash Imam al-Syāfi‘ī dalam Kitāb al-Umm, dengan dalil firman Allah Ta‘ālā: {Wa laqad karramnā banī Ādam} (QS. al-Isrā’: 70), maka ketika mereka dimuliakan dalam keadaan hidup dengan disucikan, semestinya mereka juga dimuliakan dalam keadaan mati dengan tetap disucikan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian menajisi orang-orang yang telah wafat di antara kalian.”
Dan beliau juga bersabda:
“Seorang mukmin itu tidak najis.”
Rasulullah SAW mencium ‘Utsmān bin Maẓ‘ūn setelah wafat, sementara air mata beliau mengalir di pipinya. Maka seandainya mayit itu najis, tentu beliau tidak akan menciumnya dalam keadaan basah.
Selain itu, kalau mayit itu najis, tentu kita tidak akan diperintahkan untuk memandikannya, karena mencuci sesuatu yang najis pada zatnya hanya menambah kenajisan dan tidak berguna dalam pensucian.
Adapun anggota tubuh yang terpisah dari orang hidup, al-Ṣayrafī berpendapat bahwa itu suci juga. Tetapi yang benar, itu najis, dan tidak sah menjadikan mayit sebagai analogi darinya, karena anggota tubuh yang terpisah itu lemah dalam hal kehormatan dibanding keseluruhan mayit. Bukankah engkau melihat bahwa anggota tubuh yang terpisah dari orang hidup tidak disalatkan, sedangkan kalau ditemukan anggota tubuh terpisah dari seorang mayit, maka ia disalatkan?
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَغَيْرُ الْمُسَخَّنِ مِنَ الْمَاءِ أَحَبُّ إِلَيَّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بردٌ أَوْ يَكُونَ بِالْمَيِّتِ مَا لا ينقيه إلا المسخن فيغسل به ويغسل في قميص ولا يمس عورة الميت بيده ويعد خرقتين نظيفتين لذلك قبل غسله “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِنَّمَا اخْتَرْنَا الْمُسَخَّنَ اتِّبَاعًا لِلسَّلَفِ، وَلِأَنَّ الْمُسَخَّنَ يُرْخِي لَحْمَ الْمَيِّتِ، وَالْبَارِدَ يَشُدُّ لَحْمَهُ وَيُقَوِّيهِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ بِهِ ضَرُورَةٌ لِتَسْخِينِهِ، لِشِدَّةِ الْبَرْدِ الْمَانِعِ مِنَ اسْتِعْمَالِهِ، أَوْ يَكُونُ بِالْمَيِّتِ مِنَ الْوَسَخِ مَا لَا يَعْمَلُ الْبَارِدُ فِي إِزَالَتِهِ، فَلَا بَأْسَ بِتَسْخِينِ الْمَاءِ وَتَغْيِيرِهِ، وَيُخْتَارُ أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ مِلْحًا مِنْ مَوْضِعٍ وَاسِعٍ كَثِيرِ الْحَرَكَةِ وَالْجَرَيَانِ، وَيُغَسَّلَ فِي قَمِيصٍ لِمَا ذَكَرْنَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ سُتِرَ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ، وَلَا يَمَسُّ الْغَاسِلُ عَوْرَتَهُ بِيَدِهِ، وَيَغْسِلُهَا بِالْخِرْقَةِ الَّتِي يَلُفُّهَا عَلَى يَدِهِ، وَيُعِدُّ خِرْقَتَيْنِ نَظِيفَتَيْنِ قَبْلَ غَسْلِهِ، إِحْدَاهُمَا لِعَوْرَتِهِ وَالْأُخْرَى لِجَمِيعِ بَدَنِهِ، وَقِيلَ بَلِ الخرقتان مَعًا لِعَوْرَتِهِ، لِيَكُونَ إِذَا ألقى أحديهما وَاتَّخَذَ الْأُخْرَى غَسَلَ الْأُولَى؛ لِيَعُودَ إِلَى اسْتِعْمَالِهَا ولا ينتظر غسلها فيطول.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Air yang tidak dipanaskan lebih aku sukai, kecuali bila cuaca dingin atau pada mayit terdapat sesuatu yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan air hangat, maka digunakanlah air hangat. Mayit dimandikan dengan memakai qamīṣ (baju tipis), dan tidak boleh menyentuh aurat mayit dengan tangan. Hendaknya disiapkan dua kain bersih untuk itu sebelum memandikan.”
Al-Māwardī berkata:
“Ini sebagaimana yang dikatakan.
Kita memilih menggunakan air hangat karena mengikuti praktik ulama salaf, dan karena air hangat melunakkan daging mayit, sedangkan air dingin mengencangkan dan mengeraskannya. Kecuali bila ada kebutuhan mendesak untuk memanaskannya karena cuaca sangat dingin yang menghalangi penggunaan air dingin, atau karena pada mayit terdapat kotoran yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air hangat. Maka tidak mengapa menggunakan air hangat dan mengubah sifat airnya.
Disukai agar airnya asin, diambil dari tempat yang luas dengan arus yang banyak dan deras.
Mayit dimandikan dengan memakai qamīṣ, sebagaimana telah disebutkan. Jika tidak ada, maka ditutupi bagian antara pusar dan lutut.
Orang yang memandikan tidak boleh menyentuh aurat mayit dengan tangannya, tetapi membasuhnya dengan kain yang dibungkuskan ke tangannya. Hendaknya ia menyiapkan dua kain bersih sebelum memandikan: satu untuk aurat dan satu lagi untuk seluruh tubuhnya.
Ada pula yang mengatakan: kedua kain tersebut semuanya untuk aurat mayit, agar jika salah satunya dilepaskan dan dipakai yang lainnya, maka yang pertama dapat dicuci untuk kemudian digunakan kembali tanpa harus menunggu selesai mencucinya sehingga tidak terlalu lama.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُلْقِي الْمَيِّتَ عَلَى ظَهْرِهِ، ثُمَّ يَبْدَأُ غَاسِلُهُ فَيُجْلِسُهُ إِجْلَاسًا رَفِيقًا وَيُمِرُّ يَدَهُ عَلَى بَطْنِهِ إمراراً بليغاً والماء يصب عليه ليخفى شيء إن خرج منه وعلى يده إحدى الخرقتين حتى ينقي ما هنالك ثم يلقها لتغسل ثم يأخذ الأخرى ثم يبدأ فيدخل أصبعه في فيه بين شفتيه ولا يفغر فاه فيمرها على أسنانه بالماء ويدخل طرف إصبعيه في منخريه بشيء من ماء فينقى شيئاً إن كان هناك “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: أَوَّلُ مَا يَبْدَأُ بِهِ الْغَاسِلُ بَعْدَ إِلْقَاءِ الْمَيِّتِ عَلَى ظَهْرِهِ ثَلَاثَةَ أَشْيَاءَ.
أَوَّلُهَا: أَنْ يُجْلِسَهُ إِجْلَاسًا رَفِيقًا مِنْ غَيْرِ عَجَلَةٍ وَلَا عُنْفٍ وَيَكُونُ جُلُوسًا مَائِلًا إِلَى ظَهْرِهِ، وَلَا يَكُونَ مُعْتَدِلًا فَيَحْتَبِسَ الْخَارِجُ مِنْهُ، ثُمَّ يُمِرُّ يَدَهُ عَلَى بَطْنِهِ إِمْرَارًا بَلِيغًا فِي التَّكْرَارِ لَا فِي شِدَّةِ الِاجْتِهَادِ، وَالْمَاءُ يُصَبُّ مِنْ خَلْفِهِ.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Hendaknya mayit dibaringkan di atas punggungnya, lalu orang yang memandikannya memulai dengan mendudukkannya secara perlahan, kemudian mengusapkan tangannya ke perut mayit dengan usapan yang mendalam, sementara air disiramkan padanya agar jika keluar sesuatu tidak tampak. Di tangannya terdapat salah satu dari dua kain, hingga ia membersihkan bagian tersebut, lalu kain itu dicuci. Setelah itu ia mengambil kain yang lain. Lalu ia memulai dengan memasukkan jarinya ke dalam mulut mayit di antara kedua bibirnya, tanpa membuka mulutnya, lalu mengusapkan jari tersebut ke gigi-giginya dengan air. Kemudian ia masukkan ujung dua jarinya ke lubang hidung dengan sedikit air, untuk membersihkan jika ada sesuatu di dalamnya.”
Al-Māwardī berkata:
“Ini sebagaimana yang dikatakan. Hal pertama yang dilakukan oleh orang yang memandikan setelah membaringkan mayit di atas punggungnya adalah tiga hal:
Pertama: mendudukkannya dengan lembut, tanpa tergesa-gesa dan tanpa kekerasan. Posisi duduknya condong ke belakang, tidak tegak lurus agar tidak tertahan kotoran yang hendak keluar.
Kemudian ia mengusap perutnya dengan usapan yang mendalam dari sisi pengulangan, bukan dengan keras atau terlalu kuat. Air disiramkan dari arah belakangnya.”
قَالَ الشَّافِعِيُّ لِيَخْفَى شَيْءٌ إِنْ خَرَجَ مِنْهُ، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ مَعْنَى قَوْلِهِ ” لِيَخْفَى ” لِيَظْهَرَ شَيْءٌ إِنْ خَرَجَ مِنْهُ، وَهَذَا تَكَلُّفٌ وَعُدُولٌ عَنْ مَعْنَى الظَّاهِرِ، ثُمَّ يَأْخُذُ إِحْدَى الْخِرْقَتَيْنِ فَيُنْجِيهِ بِهَا مِنْ قُبُلِهِ وَدُبُرِهِ، فَإِنْ أَنْقَى ذَلِكَ أَلْقَى الْخِرْقَةَ تُغْسَلُ وَأَخَذَ الْأُخْرَى وَاسْتَعْمَلَهَا على أحد الوجهين في إنقاء أسفله، وأنجا قُبُلَهُ وَدُبُرَهُ وَعَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَلْقَى عَلَى يَدِهِ، وَيَسْتَعْمِلُهُمَا فِي فَمِهِ وَأَعْلَى جَسَدِهِ، وَيُمِرُّهَا عَلَى أَسْنَانِهِ لِيُزِيلَ أَذًى إِنْ كَانَ بِهَا، وَلَا يَفْغَرُ فَاهُ لِمَا لَا يُؤْمَنُ أَنْ يَكْسِرَ لَهُ عَظْمًا، أَوْ يُفْسِدَ لَهُ عُضْوًا.
Al-Syāfi‘ī berkata: “Agar tersembunyi sesuatu jika keluar darinya.”
Sebagian sahabat kami ada yang berkata bahwa maksud dari perkataannya “li yakhfā” adalah agar tampak sesuatu jika keluar darinya. Namun ini merupakan bentuk takalluf (pemaksaan tafsir) dan penyimpangan dari makna zhāhir.
Kemudian ia mengambil salah satu dari dua kain, lalu membersihkan qubul dan dubur mayit dengan kain itu. Jika bagian itu telah bersih, maka kain tersebut dicuci, dan ia mengambil kain yang satunya untuk digunakan pada salah satu dari dua pendapat mengenai cara membersihkan bagian bawah mayit:
- Menurut satu wajah, kain pertama digunakan hanya untuk bagian bawah (qubul dan dubur), dan yang kedua digunakan untuk mulut dan bagian atas tubuhnya.
- Menurut wajah lain, keduanya digunakan secara bergantian dengan diletakkan di tangan, untuk membersihkan bagian qubul dan dubur serta bagian atas tubuhnya.
Ia mengusap gigi-giginya untuk menghilangkan kotoran jika ada. Namun tidak membuka mulutnya, karena dikhawatirkan dapat mematahkan tulangnya atau merusak salah satu anggota tubuhnya.
مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُوَضِّئُهُ وُضُوءَ الصَّلَاةِ، وَيَغْسِلُ رَأْسَهُ وَلِحْيَتَهُ حَتَّى ينقيهما ويسرحهما تسريحاً رفيقاً “.
وَهَذَا يَتَضَمَّنُ ثَلَاثَةَ أَشْيَاءٍ أَيْضًا:
فَأَحَدُهَا: وَهُوَ أَوَّلُ مَا يَبْدَأُ بِهِ بَعْدَ مَا ذَكَرْنَا أن يوضئه وضوءه للصلاة فيمضمضه وينشفه مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ فِيهِمَا جَمِيعًا، وَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَيَمْسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ، وَيَغْسِلَ رِجْلَيْهِ اقْتِدَاءً بِالسَّلَفِ وَتَشْبِيهًا بِالْحَيِّ، ثُمَّ يَغْسِلُ شَعْرَ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، لِأَنَّ رَأْسَهُ أَشْرَفُ جَسَدِهِ وَأَوْلَى مَا ابْتُدِئَ بِهِ ثُمَّ يُسَرِّحُ لِحْيَتَهُ تَسْرِيحًا رَفِيقًا بِمُشْطٍ وَاسِعِ الْأَسْنَانِ، وَإِنْ كَانَ شَعْرُ رَأْسِهِ مُلَبَّدًا سَرَّحَهُ أَيْضًا لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اصْنَعُوا بِمَيِّتِكُمْ مَا تَصْنَعُونَ بِعَرُوسِكُمْ.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Mayit hendaknya diwudu seperti wudu untuk salat. Dibasuh kepalanya dan janggutnya hingga bersih, lalu disisir dengan sisiran yang lembut.”
Ini mencakup tiga hal pula:
Pertama: hal pertama yang dilakukan setelah hal-hal yang telah disebut sebelumnya adalah mewudukan mayit sebagaimana wudu untuk salat. Maka dimulai dengan memasuk‑masukkan air ke mulut dan menghirupkannya ke hidung (tanpa berlebihan), kemudian membasuh wajah, kedua lengan, mengusap kepala dan telinga, lalu membasuh kedua kaki — sebagai bentuk mengikuti salaf dan penyerupaan terhadap keadaan orang hidup.
Kedua: setelah itu dibasuh rambut kepala dan janggutnya, karena kepala adalah bagian tubuh yang paling mulia dan paling layak untuk didahulukan.
Ketiga: menyisir janggutnya dengan sisiran yang lembut menggunakan sisir bergigi jarang. Jika rambut kepalanya kusut dan menggumpal (mulabbad), maka disisir pula, berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Perlakukanlah mayit kalian sebagaimana kalian memperlakukan pengantin kalian.”
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يُغَسِّلُهُ مِنْ صَفْحَةِ عُنُقِهِ الْيُمْنَى وَشِقِّ صَدْرِهِ وَجَنْبِهِ وَفَخِذِهِ وَسَاقِهِ ثُمَّ يَعُودُ إِلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ فَيَصْنَعُ بِهِ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَحْرِفُهُ إِلَى جَنْبِهِ الْأَيْسَرِ فَيَغْسِلُ ظَهْرَهُ وَقَفَاهُ وفخذه وساقه اليمنى وهو يراه متمكناً ثم يحرفه إلى شقه الأيمن فيصنع به مثل ذلك ويغسل ما تحت قدميه وما بين فخذيه وإليتيه بالخرقة ويستقصي ذلك ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى جَمِيعِهِ الْمَاءَ الْقَرَاحَ وَأُحِبُّ أن يكون فيه كافور (قال) وأقل غسل الميت فيما أحب ثلاثاً فإن لم يبلغ الإنقاء فخمساً لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال لمن غسل ابنته ” اغسلنها ثلاثاً أو خمساً أو أكثر إن رأيتن ذلك بماء وسدر واجعلن فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كافورٍ ” (قال) ويجعل في كل ماءٍ قراحٍ كافوراً وإن لم يجعل إلا في الآخرة أجزأه ويتتبع ما بين أظافره بعودٍ ولا يخرج حتى يخرج ما تحتها من الوسخ وكلما صب عليه الماء القراح بعد السدر حسبه غسلاً واحداً ويتعاهد مسح بطنه في كل غسلةٍ ويقعده عند آخر غسلة “.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Kemudian mayit dibasuh dari sisi kanan lehernya, dada bagian kanan, lambung, paha, dan betisnya. Lalu beralih ke sisi kirinya, dan dilakukan hal yang sama. Kemudian dibaringkan ke sisi kirinya, lalu dibasuh bagian punggung, tengkuk, paha, dan betis kanannya dalam keadaan ia masih terbaring mantap. Lalu dibaringkan ke sisi kanannya dan dilakukan hal yang sama.
Dibasuh pula bagian bawah kedua telapak kakinya, sela-sela kedua pahanya, dan kedua pantatnya dengan menggunakan kain, serta disempurnakan pembersihannya.
Kemudian disiramkan air bening ke seluruh tubuhnya. Aku menyukai jika di dalam air itu dicampurkan kapur barus (kāfūr).”
Beliau berkata:
“Jumlah minimal basuhan untuk mayit yang aku sukai adalah tiga kali. Jika belum bersih, maka lima kali. Karena Nabi SAW bersabda kepada orang-orang yang memandikan putrinya:
‘Mandikanlah dia tiga kali, atau lima kali, atau lebih jika kalian anggap perlu, dengan air dan daun bidara, dan jadikan pada basuhan terakhir kapur barus atau sebagian darinya.’
Beliau berkata:
‘Disunnahkan mencampurkan kapur barus pada setiap air bening (setelah air sadr), namun jika hanya dicampurkan pada basuhan terakhir saja maka itu sudah mencukupi.’
Hendaknya dibersihkan juga bagian bawah kuku dengan kayu kecil, hingga semua kotoran di bawah kuku dapat keluar.
Setiap kali air bening disiramkan setelah basuhan dengan sadr, maka itu dihitung sebagai satu kali basuhan. Hendaknya perut mayit diusap dan diperiksa pada setiap basuhan, dan didudukkan pada basuhan terakhir.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ فِي غُسْلِهِ بَعْدَ تَسْرِيحِ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ فَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يَبْدَأَ بِمَيَامِنِ جَسَدِهِ، لِمَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال لأم عطية حين غسلت بنته: ” ابْدَئِي بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ الْوُضُوءِ مِنْهَا “.
وَيُلْقِيهِ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْسَرِ وَيَغْسِلُ الْأَيْمَنَ وَيَبْدَأُ بِصَفْحَةِ عُنُقِهِ الْيُمْنَى وَيَدِهِ وَشِقِّ صَدْرِهِ وَجَنْبِهِ وَفَخِذِهِ وَسَاقِهِ، وَيَغْسِلُ مَا تَحْتَ قَدَمِهِ، ثُمَّ يُلْقِيهِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ وَيَغْسِلُ شِقَّهُ الْأَيْسَرَ عَلَى مَا وَصَفْتُ، وَيَغْسِلُ مَا بَيْنَ إِلْيَتَيْهِ حَتَّى يَأْتِيَ عَلَى جَمِيعِ جَسَدِهِ، وَمَا كَانَ يَغْسِلُهُ حَيًّا فِي جَنَابَتِهِ، وَكُلُّ ذَلِكَ بِمَاءِ السِّدْرِ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنَ الْخِطْمِيِّ، لِأَنَّهُ أَمْسَكُ لِلْبَدَنِ وَأَقْوَى لِلْجَسَدِ.
Al-Māwardī berkata:
“Dan ini benar.
Apabila seseorang ingin memulai memandikan setelah menyisir rambut kepala dan janggut mayit, maka yang disunnahkan adalah memulai dari sisi kanan tubuhnya. Karena telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau berkata kepada Ummu ‘Aṭiyyah ketika memandikan putrinya:
‘Mulailah dari sisi kanannya dan bagian-bagian wudu dari tubuhnya.’
Mayit dibaringkan di sisi kirinya, lalu dibasuh bagian kanan tubuhnya: sisi kanan leher, tangan kanan, dada bagian kanan, lambung kanan, paha, dan betisnya, serta dibasuh juga bagian bawah telapak kakinya.
Kemudian dibaringkan di sisi kanannya dan dibasuh sisi kirinya sebagaimana telah aku sebutkan, dan dibersihkan bagian antara kedua pantatnya hingga seluruh tubuhnya bersih, sebagaimana ia mencuci tubuhnya ketika dalam keadaan janabah saat hidup.
Semua itu dilakukan dengan air sidr (air campuran daun bidara), dan itu lebih kami sukai dibanding khitmī (sejenis tanaman pencuci), karena sidr lebih menahan (melekat) pada tubuh dan lebih kuat membersihkan jasad.”
قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ كَانَ بِهِ وَسَخٌ مُتَلَبِّدٌ رَأَيْتُ أَنْ يُغَسَّلَ بِأُشْنَانٍ، وَيَرْفُقَ فِي جَمِيعِ ذَلِكَ، فَإِذَا غَسَّلَهُ بِالسِّدْرِ صَبَّ عَلَيْهِ حِينَئِذٍ الْمَاءَ الْقَرَاحَ، وَكَانَ الِاجْتِنَابُ بِمَاءِ الْقَرَاحِ دُونَ مَاءِ السِّدْرِ، فَإِنِ احْتَاجَ إِلَى غَسْلِهِ ثَانِيًا بِالسِّدْرِ فَعَلَ، وَإِنِ اكْتَفَى بِالْأَوَّلِ لَمْ يَعُدْ إِلَيْهِ وَاقْتَصَرَ عَلَى غَسْلِهِ بِالْمَاءِ الْقَرَاحِ، فَإِنْ غَسَّلَهُ بِالسِّدْرِ فِي كُلِّ دُفْعَةٍ وَأَفَاضَ بَعْدَهُ مَاءَ الْقَرَاحِ جَازَ، وَكَانَ الِاجْتِنَابُ بِمَاءِ الْقَرَاحِ دُونَ مَاءِ السِّدْرِ، وَالْوَاجِبُ غَسْلُهُ مَرَّةً وَاحِدَةً، وَأَدْنَى كَمَالِهِ ثَلَاثًا وَأَوْسَطُهُ خَمْسًا، وَأَكْثَرُهُ سَبْعًا، وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهَا سَرَفٌ.
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Jika pada tubuh mayit terdapat kotoran yang melekat dan menebal, maka menurutku sebaiknya dimandikan dengan usnān (sejenis sabun atau pembersih alami), dan dilakukan dengan kelembutan dalam semua proses tersebut.
Setelah dimandikan dengan sidr, disiramkan air bening (al-mā’ al-qarāḥ), dan janābah dilakukan dengan air bening, bukan dengan air sidr.
Jika perlu untuk dimandikan kembali dengan sidr, maka boleh dilakukan. Namun bila cukup dengan yang pertama, maka tidak perlu diulangi dan cukup disiram dengan air bening.
Apabila ia dimandikan dengan sidr dalam setiap basuhan, dan setelahnya disiramkan air bening, maka itu dibolehkan. Dan janābah dilakukan dengan air bening, bukan air sidr.
Adapun yang wajib adalah memandikannya satu kali. Tingkatan minimal kesempurnaan adalah tiga kali, tingkatan sedang lima kali, dan maksimal tujuh kali. Lebih dari itu dianggap berlebihan (isrāf).”
فَصْلٌ
: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَسْتَعْمِلَ فِي الْمَاءِ الْقَرَاحِ كَافُورًا يَسِيرًا لَا يَغْلِبُ عَلَيْهِ فَيَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ، فَإِنْ غَلَبَ عَلَيْهِ لَمْ يُحْتَسَبْ به في عداد غسلانه.
وَمَنَعَ أبو حنيفة مِنَ اسْتِعْمَالِ الْكَافُورِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنَّهُ قَالَ لِأُمِّ عَطِيَّةَ الْخَفَّاضِيَّةِ حِينَ غَسَّلَتْ بنته اغْسِلِيهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وسدرٍ، وَاجْعَلِي فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ “.
PASAL
Disunnahkan untuk mencampurkan kāfūr (kapur barus) dalam air bening (al-mā’ al-qarāḥ) dengan kadar sedikit, yang tidak mendominasi air hingga menghalangi kebolehan penggunaannya. Jika kadar kāfūr terlalu banyak hingga mengalahkan (sifat asli) air, maka tidak dihitung dalam bilangan basuhan.
Abū Ḥanīfah melarang penggunaan kāfūr.
Dalil disyariatkannya (penggunaan kāfūr) adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda kepada Ummu ‘Aṭiyyah al-Khaffāḍiyyah ketika memandikan putrinya:
“Mandikanlah dia tiga kali, atau lima kali, atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu, dengan air dan daun bidara (sidr), dan jadikan pada basuhan terakhir kāfūr atau sebagian dari kāfūr.”
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيُتْبِعُ مَا بَيْنَ أَظْفَارِهِ بِعُودٍ لَا يَجْرَحُ، حَتَّى يُخْرِجَ مَا تَحْتَهَا مِنَ الْوَسَخِ، وَإِنَّمَا اسْتُحِبَّ هَذَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَنْظِيفِ الْمَيِّتِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” اصْنَعُوا بِمَيِّتِكُمْ مَا تَصْنَعُونَ بِعَرُوسِكُمْ “.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيَتَعَاهَدُ مَسْحَ بَطْنِهِ فِي كُلِّ غَسْله، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ حَمَلَ هَذَا عَلَى ظَاهِرِهِ وَأَمَرَ أَنْ يَتَعَاهَدَ مَسْحَ بَطْنِهِ بِيَدِهِ وَهُوَ غَيْرُ مَا عَلَيْهِ النَّاسُ فِي وَقْتِنَا، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ أراد بالتعاهد تفقد الموضع الممسوس، لأن لا يَخْرُجَ مِنْهُ شَيْءٌ فَيُفْسِدَهُ، وَلَمْ يُرِدْ مُعَاهَدَةَ مسحه بيده.
Al-Syāfi‘ī berkata:
“Hendaknya dibersihkan bagian bawah kuku mayit dengan kayu kecil yang tidak melukai, hingga dikeluarkan kotoran yang ada di bawahnya. Hal ini disunnahkan karena termasuk bagian dari pembersihan mayit, berdasarkan sabda Nabi SAW: ‘Perlakukanlah mayit kalian sebagaimana kalian memperlakukan pengantin kalian.’”
Al-Syāfi‘ī juga berkata:
“Hendaknya senantiasa memperhatikan pengusapan perutnya dalam setiap basuhan.”
Sebagian sahabat kami memahami pernyataan ini secara zahir, dan memerintahkan agar perut mayit selalu diusap dengan tangan, namun hal itu tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di masa kita sekarang.
Pendapat yang benar adalah bahwa maksud dari tata‘āhud masḥ baṭnihi (memperhatikan pengusapan perut) adalah memeriksa bagian yang telah diusap agar tidak keluar sesuatu darinya yang dapat menajiskan atau merusak proses pemandian, bukan maksudnya mengusap perut secara berulang dengan tangan setiap kali.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ خَرَجَ مِنْهُ شيءٌ أَنْقَاهُ بِالْخِرْقَةِ كَمَا وصفت وأعاد عليه غسله ثم ينشف في ثوب ثم يصير في أكفانه وإن غسل بالماء القراح مرةً أجزأه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ ذَلِكَ: أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ بَعْدَ كَمَالِ غَسْلِهِ خَارِجٌ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: يُعِيدُ غُسْلَهُ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، لِأَنَّ الْخَارِجَ نَاقِضٌ لِحُكْمِ غَسْلِهِ، وَلَيْسَ لِلْمَيِّتِ طَهَارَةٌ غَيْرَ غُسْلِهِ.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Jika keluar sesuatu dari tubuh mayit setelah dimandikan, maka hendaknya dibersihkan dengan kain sebagaimana telah dijelaskan, lalu diulangi basuhan padanya. Setelah itu mayit dikeringkan dengan kain, kemudian dibungkus dalam kain kafan. Jika hanya dimandikan sekali dengan air bening, maka itu sudah mencukupi.”
Al-Māwardī berkata:
“Penjelasan dari hal tersebut adalah: apabila setelah selesai memandikan mayit secara sempurna lalu keluar sesuatu darinya, maka ada tiga pendapat:
Pertama: mengulangi kembali mandinya. Ini adalah pendapat Ibn Abī Hurayrah dan merupakan zahir dari nash al-Syāfi‘ī dalam masalah ini, karena keluarnya sesuatu tersebut membatalkan hukum mandi sebelumnya, dan mayit tidak memiliki bentuk penyucian lain selain mandi.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَغْسِلَ النَّجَاسَةَ وَيُوَضِّئَهُ كَالْحَيِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: يَغْسِلُ مَوْضِعَ النَّجَاسَةِ لَا غَيْرَ، وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وأبي حنيفة لِاسْتِقْرَارِ غُسْلِهِ وَاسْتِحَالَةِ الْحَدَثِ فِيهِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ثُمَّ يُنَشِّفُهُ فِي ثَوْبٍ، ثُمَّ يَصِيرُ فِي أَكْفَانِهِ، وَإِنَّمَا أُمِرَ بِذَلِكَ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نُشِّفَ فِي ثَوْبٍ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَمْسَكُ لِبَدَنِهِ وأوفى لكفنه.
Wajah kedua: membasuh najis yang keluar dan mewudukan mayit sebagaimana orang hidup.
Wajah ketiga: hanya membasuh bagian najis saja, tidak seluruh tubuh. Ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī dan merupakan mazhab Mālik serta Abū Ḥanīfah, karena mandi mayit telah sempurna dan tidak mungkin terjadi hadats padanya lagi.
Al-Syāfi‘ī berkata:
“Kemudian mayit dikeringkan dengan kain, lalu dimasukkan ke dalam kain kafannya.
Perintah untuk melakukan hal tersebut karena Rasulullah SAW pernah dikeringkan dengan kain, dan karena hal itu lebih membuat tubuhnya terjaga dan lebih sempurna untuk balutan kafannya.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ رَأَى حَلْقَ الشَّعْرِ وَتَقْلِيمَ الأظفار ومنهم من لم يره (قال المزني) وتركه أعجب إليّ لِأَنَّهُ يَصِيرُ إِلَى بِلًى عَنْ قَلِيلٍ وَنَسْأَلُ الله حسن ذلك المصير “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا أَخْذُ شَعْرِهِ وَتَقْلِيمُ ظُفُرِهِ فَغَيْرُ مَأْمُورٍ بِهِ إِذَا كَانَ يَسِيرًا، وَإِنْ طَالَ ذَلِكَ وَفَحُشَ فَأَخْذُهُ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَفِي اسْتِحْبَابِهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ أَخْذَهُ مَكْرُوهٌ وَتَرْكَهُ أَوْلَى، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالْمُزَنِيِّ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْخِتَانُ الْوَاجِبُ فِي حَالِ الْحَيَاةِ لَا يُفْعَلُ بَعْدَ الْوَفَاةِ كَانَ هَذَا أَوْلَى، وَلِأَنَّهُ لَوْ وَصَلَ عَظْمَهُ بِعَظْمٍ نَجِسٍ كَانَ مَأْخُوذًا بِقَلْعِهِ فِي الْحَيَاةِ وَلَا يُؤْمَرُ بِقَلْعِهِ بَعْدَ الْوَفَاةِ، فَهَذَا أَوْلَى، قَالَ الْمُزَنِيُّ لِأَنَّهُ يَصِيرُ إِلَى بِلًى عَنْ قَلِيلٍ، وَنَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرَ ذَلِكَ الْمَصِيرِ.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Sebagian sahabat kami berpendapat dianjurkan mencukur rambut dan memotong kuku (mayit), dan sebagian lainnya tidak menganjurkannya. Al-Muzanī berkata: ‘Meninggalkannya lebih aku sukai, karena ia akan segera mengalami pembusukan. Kita memohon kepada Allah agar diberikan akhir yang baik dalam perjalanan menuju akhirat itu.’”
Al-Māwardī berkata:
“Adapun memotong rambut dan kuku mayit, maka tidak ada perintah untuk melakukannya jika keadaannya masih pendek. Jika rambut dan kuku itu panjang dan berlebihan, maka memotongnya tidaklah wajib, dan dalam hal disunnahkannya terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang merupakan pendapat dalam qaul qadīm, menyatakan bahwa memotongnya adalah makruh, dan meninggalkannya lebih utama. Ini juga merupakan mazhab Mālik dan al-Muzanī.
Sebab, jika khitān yang wajib ketika hidup saja tidak dilakukan setelah wafat, maka memotong rambut dan kuku tentu lebih utama untuk ditinggalkan.
Demikian pula, seandainya ada tulang yang disambung dengan tulang najis ketika hidup, maka wajib dicabut, tetapi setelah wafat tidak diperintahkan untuk mencabutnya. Maka perkara ini (rambut dan kuku) lebih layak untuk ditinggalkan.
Al-Muzanī berkata: ‘Karena semua itu akan segera mengalami kerusakan dan hancur. Dan kita memohon kepada Allah kebaikan dalam nasib akhir tersebut.’”
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إنَّ أَخْذَهُ مُسْتَحَبٌّ وَتَرْكَهُ مَكْرُوهٌ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اصْنَعُوا بِمَيِّتِكُمْ مَا تَصْنَعُونَ بِعَرُوسِكُمْ، وَلِأَنَّ تَنْظِيفَ سِنٍّ فِي حَالِ الْحَيَاةِ مِنْ غَيْرِ أَلَمٍ، فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَحَبَّ بَعْدَ الْوَفَاةِ كَإِزَالَةِ الْأَنْجَاسِ، فَعَلَى هَذَا يُخْتَارُ أَنْ يُؤْخَذَ شَعْرُ عَانَتِهِ وَإِبِطَيْهِ بِالنَّوْرَةِ لَا بِالْمُوسَى، لِأَنَّ ذَلِكَ أَرْفَقُ بِهِ، وَيُقَصِّرُ شَعْرَ شَارِبِهِ وَلَا يَحْلِقُ، وَيَتْرُكُ لِحْيَتَهُ وَلَا يَمَسَّهَا، فَأَمَّا شَعْرُ رَأْسِهِ فَإِنْ كَانَ ذَا جُمَّةٍ فِي حَيَاتِهِ تُرِكَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَا جُمَّةٍ حُلِقَ وَيُقَلِّمُ أَظْفَارَ أَطْرَافِهِ، ثُمَّ حُكِيَ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ أَنَّ ذَلِكَ يُدْفَنُ مَعَهُ، وَالِاخْتِيَارُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيهِ خَبَرٌ يُعْمَلُ عَلَيْهِ وَلَا أَثَرٌ يُسْتَنَدُ إليه.
Pendapat kedua: yaitu pendapat al-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd, bahwa memotong (rambut dan kuku mayit) adalah mustahabb (dianjurkan), dan meninggalkannya adalah makrūh.
Dalilnya adalah sabda Nabi SAW:
“Perlakukanlah mayit kalian sebagaimana kalian memperlakukan pengantin kalian.”
Juga karena membersihkan gigi saat hidup tanpa rasa sakit itu dianjurkan, maka setelah wafat pun disunnahkan, sebagaimana disunnahkannya menghilangkan najis.
Berdasarkan ini, maka yang dianjurkan adalah:
- mencabut rambut kemaluan dan ketiak dengan nūrah (bubuk penghilang rambut), bukan dengan pisau cukur, karena itu lebih lembut bagi mayit,
- merapikan kumis tanpa mencukurnya,
- membiarkan janggut dan tidak menyentuhnya,
- adapun rambut kepala, jika mayit semasa hidupnya berambut panjang (jummah), maka dibiarkan;
namun jika tidak, maka rambutnya dicukur, - memotong kuku tangan dan kaki.
Kemudian diriwayatkan dari al-Awzā‘ī bahwa rambut dan kuku yang dipotong itu dikuburkan bersama mayit.
Adapun pendapat yang kami anggap paling kuat adalah bahwa tidak ada riwayat yang sahih yang dapat dijadikan landasan hukum dalam hal ini, baik berupa khabar (hadis) maupun atsar (perkataan sahabat) yang bisa dijadikan sandaran.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُقَرِّبُ الْمُحْرِمَ الطِّيبَ فِي غُسْلِهِ وَلَا حنوطه ولا يخمر رأسه لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” كفنوه في ثوبيه اللذين مات فيهما ولا تخمروا رأسه ” ولقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا تُقَرِّبُوهُ طِيبًا فَإِنَهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا ” وإن ابنا لعثمان توفي محرماً فلم يخمر رأسه ولم يقربه طيباً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ:
الْإِحْرَامُ لَا يَنْقَطِعُ بِالْمَوْتِ، فَإِذَا مَاتَ الْمُحْرِمُ لَمْ يُغَطَّ رَأْسُهُ، وَلَمْ يُمَسَّ طِيبًا، وَلَمْ يُلْبَسْ مَخِيطًا، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: عَطَاءٌ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ.
Masalah
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Tidak boleh didekatkan wewangian kepada mayit yang meninggal dalam keadaan iḥrām, tidak pula dibubuhi ḥanūṭ, dan tidak ditutup kepalanya, berdasarkan sabda Nabi SAW:
‘Kafanilah dia dengan dua kain ihram yang dipakainya ketika wafat, dan jangan kalian tutupi kepalanya.’
Dan sabda Nabi SAW:
‘Jangan kalian dekatkan kepadanya wewangian, karena ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.’
Anak lelaki ‘Utsmān wafat dalam keadaan muḥrim, maka tidak ditutup kepalanya dan tidak pula didekatkan wewangian kepadanya.”
Al-Māwardī berkata:
“Ini sebagaimana yang dikatakan.
Iḥrām tidak gugur dengan sebab kematian. Maka jika seseorang wafat dalam keadaan muḥrim, tidak boleh ditutupi kepalanya, tidak boleh dikenai wewangian, dan tidak boleh dipakaikan pakaian yang berjahit.
Pendapat ini dikatakan oleh para sahabat seperti: ‘Utsmān, ‘Alī, dan Ibn ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhum.
Dari kalangan tābi‘īn: ‘Aṭā’.
Dari kalangan fuqahā’: Sufyān al-Thawrī, Aḥmad, dan Isḥāq.”
وَقَالَ أبو حنيفة، وَمَالِكٌ: قَدِ انْقَطَعَ عَنْهُ إِحْرَامُهُ بِالْمَوْتِ، وَجَازَ تَطْيِيبُهُ وَتَغْطِيَةُ رَأْسِهِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ عُمَرَ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” خمروا مَوْتَاكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ ” وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صدقةٍ جاريةٍ، وعلمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، وولدٍ صالحٍ يَدْعُو لَهُ ” فَدَلَّ عَلَى انْقِطَاعِ إِحْرَامِهِ.
قَالُوا وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ شَرْعِيَّةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ حُكْمُهَا بِالْمَوْتِ كَالصَّلَاةِ، قَالُوا وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَتَعَلَّقُ بِهَا تَحْرِيمُ الطِّيبِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْقَطِعَ حُكْمُهَا بِالْمَوْتِ كَالْعِدَّةِ، قَالُوا وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ حُكْمُ إِحْرَامِهِ بَاقِيًا بَعْدَ مَوْتِهِ لَوَجَبَتِ الْفِدْيَةُ فِي تَطْيِيبِهِ وَتَغْطِيَةِ رَأْسِهِ، كَمَنْ طَيَّبَ مَجْنُونًا مُحْرِمًا، فَلَمَّا لَمْ تَجِبِ الْفِدْيَةُ عَلَى مَنْ فَعَلَ بِهِ دَلَّ عَلَى انْقِطَاعِ إِحْرَامِهِ.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berpendapat bahwa iḥrām seseorang terputus dengan kematian, sehingga diperbolehkan untuk diberi wewangian dan ditutup kepalanya. Pendapat ini juga dinukil dari para sahabat seperti Ibn ‘Umar dan ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhumā.
Mereka berdalil dengan riwayat dari ‘Aṭā’ dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tutupi mayit kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi.”
Juga berdalil dengan sabda Nabi SAW:
“Jika anak Adam wafat, maka terputus amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
Hadis ini menurut mereka menunjukkan bahwa amalnya — termasuk iḥrām — telah terputus.
Mereka juga berargumen bahwa iḥrām adalah ibadah syar‘iyyah, maka wajib hukumnya gugur dengan kematian sebagaimana salat.
Dan karena iḥrām adalah ibadah yang berkaitan dengan keharaman memakai wewangian, maka hukumnya harus terputus dengan kematian sebagaimana berakhirnya masa ‘iddah.
Mereka juga berkata:
Seandainya hukum iḥrām tetap berlaku setelah kematian, niscaya wajib membayar fidyah bagi orang yang memberi wewangian dan menutup kepala si mayit, sebagaimana jika seseorang mewangikan orang gila yang sedang beriḥrām. Namun karena tidak ada kewajiban fidyah atas orang yang melakukannya pada mayit, maka ini menunjukkan bahwa iḥrām telah terputus dengan kematian.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا: رِوَايَةُ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: ” كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَخَرَّ رَجُلٌ عَنْ بَعِيرِهِ فَوُقِصَ فَمَاتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اغْسِلُوهُ بماءٍ وسدرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ اللَّذَيْنِ مَاتَ فِيهِمَا، وَلَا تُقَرِّبُوهُ طِيبًا فَإِنَهُ يُبْعَثُ يوم القيامة ملبياً “.
فإن قيل: فقد عَلَّلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذلك بأنه قَالَ: ” يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا ” وَعَلَّقَ الْحُكْمَ بِهِ، وَلَيْسَ يُعْلَمُ هَلْ يُبْعَثُ غَيْرُهُ مُلَبِّيًا أَمْ لَا؟ قُلْنَا: إِنَّمَا عَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هذا الحكم بموته محرماً لا لِأَنَّهُ يُبْعَثُ مُلَبِّيًا، عَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ مَاتَ مُحْرِمًا يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا ” وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال ” حرمةُ المسلم بعد موته كحرمته قبلمَوْتِهِ، وَكَسْرُ عَظْمِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ كَكَسْرِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ ” فَسَوَّى بَيْنَ حُرْمَتِهِمَا فَاقْتَضَى تَسَاوِي حُكْمِهِمَا.
Dan dalil atas apa yang kami katakan adalah riwayat dari Sa‘īd bin Jubayr dari Ibn ‘Abbās, ia berkata:
“Kami bersama Rasulullah SAW, lalu ada seorang lelaki yang jatuh dari untanya, lehernya patah, dan ia meninggal. Maka Rasulullah SAW bersabda:
‘Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara (sidr), dan kafanilah dia dengan dua kain ihram yang dipakainya ketika wafat, dan jangan kalian dekatkan padanya wewangian, karena sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.’”
Jika ada yang berkata: “Bukankah Rasulullah SAW memberikan ‘illat (alasan) atas larangan tersebut karena sabdanya ‘Ia akan dibangkitkan dalam keadaan bertalbiyah’, dan hukum itu digantungkan pada hal tersebut? Padahal tidak diketahui apakah selainnya akan dibangkitkan dalam keadaan bertalbiyah atau tidak?”
Maka kami menjawab:
Sesungguhnya Rasulullah SAW menggantungkan hukum itu karena kematiannya dalam keadaan muḥrim, bukan semata-mata karena dibangkitkannya dalam keadaan bertalbiyah.
Terlebih lagi, telah diriwayatkan secara tegas dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Barang siapa yang wafat dalam keadaan ihram, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.”
Dan diriwayatkan pula bahwa beliau bersabda:
“Kehormatan seorang muslim setelah kematiannya sama seperti kehormatannya sebelum kematian. Mematahkan tulangnya setelah wafat seperti mematahkannya ketika hidup.”
Maka sabda ini menyamakan antara kehormatan mayit dan orang hidup, dan konsekuensinya adalah kesamaan hukum keduanya.
وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” يُحْشَرُ الْمَرْءُ فِي ثَوْبَيْهِ اللَّذَيْنِ مَاتَ فِيهِمَا ” قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ يُحْشَرُ فِي عَمَلِهِ الصَّالِحِ وَالطَّالِحِ، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى ثُبُوتِ إِحْرَامِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ لَا يَخْرُجُ مِنْهُ بِالْجُنُونِ فَجَازَ أَنْ يَبْقَى بَعْضُ أَحْكَامِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ كَالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ ثَبَتَتْ حُكْمًا، يَفْعَلُهُ تَارَةً وَيَفْعَلُ غَيْرَهُ أُخْرَى فَوَجَبَ أَنْ لَا يَبْطُلَ حُكْمُهَا بِالْمَوْتِ كَالْإِيمَانِ، وَلِأَنَّهُ مَعْنًى يُزِيلُ التَّكْلِيفَ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَبْطُلَ حُكْمُ الْإِحْرَامِ كالإغماء والجنون، ولأنه ليس محرم فِي حَيَاتِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَزُولَ تَحْرِيمُهُ بِوَفَاتِهِ كَالْحَرِيرِ وَالثَّوْبِ الْمَغْصُوبِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” خَمِّرُوا رُءُوسَ مَوْتَاكُمْ ” فَالْمُرَادُ بِهِ مَنْ سِوَى الْمُحْرِمِ لِأَنَّهُ قَالَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَيْسَ فِي الْيَهُودِ مُحْرِمٌ.
Diriwayatkan dari Abu Sa‘īd al-Khudrī bahwa Nabi SAW bersabda: “Seseorang akan dibangkitkan dengan dua kainnya yang ia wafat di dalamnya.” Para ahli ilmu berkata: Ia akan dibangkitkan bersama amalnya, baik yang saleh maupun yang buruk. Maka hal itu menunjukkan tetapnya status iḥrām-nya setelah kematiannya. Karena iḥrām adalah suatu akad yang tidak batal dengan kegilaan, maka boleh sebagian hukumnya tetap berlaku setelah kematian, seperti halnya nikah. Dan karena iḥrām adalah ibadah yang telah tetap hukumnya, terkadang dilakukan, dan terkadang tidak, maka wajib hukumnya tidak batal dengan kematian, seperti keimanan. Dan karena kematian adalah suatu keadaan yang menghapus taklif, maka wajib hukumnya iḥrām tidak batal karenanya, sebagaimana tidak batal karena pingsan dan kegilaan. Dan karena seseorang tidak menjadi muḥrim dalam hidupnya kecuali dengan larangan tertentu, maka wajib hukumnya larangan tersebut tidak hilang dengan kematiannya, seperti sutra dan pakaian hasil ghasab.
Adapun jawaban atas sabda Nabi SAW “Tutupi kepala mayat-mayat kalian,” yang dimaksud adalah selain muḥrim, karena beliau bersabda: “Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi,” sedangkan di kalangan Yahudi tidak ada muḥrim.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” وإذا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ ” فَهُوَ أَنَّ هَذَا لَوْ لَزِمَنَا فِي سَائِرِ الْمُحْرِمِينَ لَلَزِمَهُمْ فِي الْمُحْرِمِ الَّذِي حَكَمَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ لَا يُغَطَّى رَأْسُهُ، فَلَمَّا لَمْ يَمْتَنِعْ لَهُمْ تَخْصِيصُ ذَلِكَ الْمُحْرِمِ لَمْ يَمْتَنِعْ لَنَا تَخْصِيصُ سَائِرِ الْمُحْرِمِينَ، عَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ فِي خَبَرٍ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ خَمْسٍ ذَكَرَ فِيهَا حَجٍّ يُؤَدَّى وَدِينٍ يُقْضَى، فَثَبَتَ بنص الخير تَخْصِيصُ الْمُحْرِمِ.
وَأَمَّا قِيَاسِهِمْ عَلَى الصَّلَاةِ، فَالْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ: أَنَّهَا تَبْطُلُ بِالْجُنُونِ وَالْإِغْمَاءِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُعْتَدَّةِ فَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِيهَا نَصٌّ، وَلِأَصْحَابِنَا فِيهَا اخْتِلَافٌ، عَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ إِنَّ حُكْمَ الْعِدَّةِ بَاقٍ، فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ سُؤَالُهُمْ، وَعَلَى قَوْلِ غَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِنَا قَدِ انْقَطَعَ حُكْمُ الْعِدَّةِ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْإِحْرَامِ أَنَّ الْعِدَّةَ حَقٌّ لِآدَمِيٍّ عَلَى بَدَنٍ فَانْقَطَعَ حُكْمُهُ بِالْمَوْتِ وَالْإِسْلَامِ، وَأَمَّا سُقُوطُ الْعِدَّةِ فَلِأَجْلِ عَدَمِ الِاسْتِمْتَاعِ، وَتَحْرِيمُ الطِّيبِ بَاقٍ لِأَجْلِ الْإِحْرَامِ، كَالْمَيِّتِ يَحْرُمُ تَكْسِيرُ عَظْمِهِ لِبَقَاءِ حُرْمَتِهِ، وَسَقَطَ إرشه لزوال منفعته.
Adapun jawaban atas sabda Nabi SAW: “Apabila anak Adam wafat, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara,” maka jawabannya adalah: jika hadits ini mengharuskan demikian pada seluruh orang yang beriḥrām, maka semestinya berlaku pula bagi muḥrim yang Nabi SAW menetapkan padanya bahwa tidak boleh ditutupi kepalanya. Maka tatkala tidak diingkari oleh mereka adanya kekhususan pada muḥrim tersebut, maka tidak diingkari pula bagi kami adanya kekhususan pada selain muḥrim tersebut. Terlebih lagi telah diriwayatkan dalam satu khabar bahwa amal terputus kecuali dari lima perkara, yang di antaranya disebutkan haji yang ditunaikan dan utang yang dilunasi. Maka dengan nash hadits ini telah tetap adanya kekhususan pada muḥrim.
Adapun qiyās mereka dengan salat, maka salat itu batal dengan kegilaan dan pingsan. Sedangkan qiyās mereka dengan perempuan yang menjalani masa ‘iddah, maka Imam al-Syafi‘i tidak memiliki nash tentangnya. Namun para sahabat kami berbeda pendapat. Menurut pendapat Abū Isḥāq, hukum ‘iddah tetap berlaku. Maka berdasarkan ini, gugurlah pertanyaan mereka. Sedangkan menurut selainnya dari kalangan sahabat kami, hukum ‘iddah terputus.
Perbedaan antara ‘iddah dan iḥrām adalah bahwa ‘iddah merupakan hak manusia atas jasad yang fana, maka gugurlah hukumnya dengan kematian dan masuk Islam. Adapun gugurnya ‘iddah adalah karena tidak ada lagi kemungkinan istimta‘ (hubungan suami-istri), sedangkan larangan memakai wewangian tetap berlaku karena iḥrām, sebagaimana tulang mayit yang haram dipatahkan karena masih adanya kehormatan (mayit), namun gugur irsynya karena manfaatnya telah hilang.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ بِقُرْبِ الْمَيِّتِ مِجْمَرَةٌ لَا تَنْقَطِعُ حَتَى يَفْرُغَ مِنْ غَسْلِهِ فَإِذَا رَأَى مِنَ الْمَيِّتِ شَيْئًا لَا يَتَحَدَّثُ بِهِ لِمَا عَلَيْهِ مِنْ سِتْرِ أَخِيهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا اسْتِحْدَاثُ الْمِجْمَرِ مِنْ حِينِ غَسْلِهِ إِلَى وَقْتِ الْفَرَاغِ مِنْهُ: فَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” اصْنَعُوا بِمَيِّتِكُمْ مَا تَصْنَعُونَ بِعَرُوسِكُمْ ” وَلِيَقْطَعَ رَائِحَةً إن ندرت مِنْهُ، صِيَانَةً لَهُ، وَمَنْعًا مِنْ أَذَى مَنْ حَضَرَهُ، وَأَمَّا كِتْمَانُهُ لِمَا يَرَى مِنْ تَغْيِيرِ الْمَيِّتِ وَسُوءِ أَمَارَةٍ فَمَأْمُورٌ بِهِ لَا يَحِلُّ لِلْغَاسِلِ أَنْ يَتَحَدَّثَ بِهِ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ أَرْبَعِينَمَرَّةً ” فَأَمَّا مَا يَرَى مِنْ مَحَاسِنِهِ فَقَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَأْمُرُ بِسِتْرِهَا وَيَمْنَعُ مِنَ الْإِخْبَارِ بِهَا لِأَنَّهَا رُبَّمَا كَانَتْ عِنْدَهُ مَحَاسِنَ وَعِنْدَ غَيْرِهِ مَسَاوِئَ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَأْمُورٌ بِإِذَاعَتِهَا وَمَنْدُوبٌ إِلَى الْإِخْبَارِ بِهَا، لِأَنَّ ذَلِكَ مِمَّا يَبْعَثُ عَلَى كَثْرَةِ الدُّعَاءِ لَهُ وَالتَّرَحُّمِ عَلَيْهِ، وَقَدْ كَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ يَذْكُرُ مِنْ أَحْوَالِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي غُسْلِهِ مَا رَآهُ مِنَ النُّورِ وَشَمَّهُ مِنْ رَوَائِحِ الْجَنَّةِ وَمَا كَانَ مِنْ مَعُونَةِ الملائكة.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Aku menyukai adanya pembakaran dupa (mijmarah) di dekat mayit yang tidak terputus sampai selesai dari memandikannya. Maka jika ia melihat sesuatu dari mayit, janganlah ia menceritakannya karena ia berkewajiban menutupi (aib) saudaranya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun membuat dupa dari awal memandikan hingga selesai, maka hal itu didasarkan pada sabda Nabi SAW: “Perlakukanlah mayit kalian sebagaimana kalian memperlakukan pengantin kalian.” Juga untuk menghilangkan bau bila ada yang keluar darinya, sebagai bentuk penjagaan terhadap kehormatannya, dan untuk mencegah gangguan bagi orang yang hadir. Adapun menyembunyikan apa yang dilihat berupa perubahan (pada tubuh) mayit atau tanda-tanda keburukan, maka hal itu diperintahkan, dan tidak halal bagi orang yang memandikannya untuk menceritakan hal tersebut, berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Barang siapa memandikan mayit lalu menutupi (apa yang dilihat darinya), maka Allah akan mengampuninya sebanyak empat puluh kali.”
Adapun jika yang terlihat adalah kebaikan-kebaikannya, maka sebagian sahabat kami memerintahkan agar ditutupi dan melarang untuk memberitahukannya, karena bisa jadi sesuatu yang dianggap baik oleh seseorang, dianggap buruk oleh orang lain. Namun pendapat yang benar adalah bahwa seseorang diperintahkan untuk menyebarkan kebaikannya dan dianjurkan untuk memberitahukannya, karena hal itu dapat mendorong banyak orang untuk mendoakannya dan memintakan rahmat baginya. Dan telah disebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib karamallāhu wajhah menyebutkan tentang kondisi Rasulullah SAW ketika dimandikan, berupa cahaya yang ia lihat, aroma surga yang ia cium, dan pertolongan dari para malaikat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَوْلَاهُمْ بِغُسْلِهِ أَوْلَاهُمْ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَيِّتُ رَجُلًا فَأَوْلَى أَهْلِهِ أَنْ يُغَسِّلَهُ أَوْلَاهُمْ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ لَا يُخْتَلَفُ فِيهِ، فَيَكُونُ أَقْرَبُ عِصَابَتِهِ أَوْلَى بِغُسْلِهِ مِنْ زَوْجَاتِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ امْرَأَةً: فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَاتِ زَوْجٍ فَأَحَقُّ عِصَابَتِهَا بِغَسْلِهَا أَحَقُّ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهَا، وَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ فَعَلَى وجهن:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَصَبَةَ مِنْ ذَوِي مَحَارِمِهَا أَوْلَى بِغَسْلِهَا مِنَ الزَّوْجِ لِأَنَّهُمْ أَوْلَى بِالصَّلَاةِ عَلَيْهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ وَبِهِ قَالَ: إِنَّ الزَّوْجَ أَحَقُّ بِغَسْلِهَا وَإِنْ كَانَ عَصَبَتُهَا أَحَقَّ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهَا، لِأَنَّ لِلزَّوْجِ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا ما ليس للعصبات النظر إليه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Orang yang paling berhak memandikannya adalah orang yang paling berhak menshalatinya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun jika mayitnya laki-laki, maka kerabat yang paling berhak memandikannya adalah orang yang paling berhak menshalatinya, dan hal ini tidak diperselisihkan. Maka yang paling dekat dari kalangan ‘aṣabah-nya lebih berhak memandikannya dibandingkan para istrinya.
Dan jika mayitnya perempuan, maka jika ia tidak memiliki suami, maka ‘aṣabah-nya yang paling berhak memandikannya juga lebih berhak menshalatinya. Namun jika ia memiliki suami, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: ‘aṣabah-nya dari kalangan maḥram lebih berhak memandikannya daripada suaminya, karena mereka lebih berhak menshalatinya.
Pendapat kedua — dan ini yang lebih kuat serta merupakan pendapat al-Syafi‘i — adalah bahwa suami lebih berhak memandikannya, meskipun ‘aṣabah-nya lebih berhak menshalatinya, karena suami memiliki hak untuk melihat bagian tubuh istrinya yang tidak boleh dilihat oleh ‘aṣabah.
مسألة المرأة تغسل زوجها الميت
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويغسل الرجل امرأته والمرأة زوجها غسلت أسماء بنت عميس زوجها أبا بكر الصديق رضي الله عنه. وعلي امرأته فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وقالت عائشة لَوِ اسْتَقْبَلْنَا مِنْ أَمْرِنَا مَا اسْتَدْبَرْنَا مَا غَسَّلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إلا نساؤه (قال) وليس للعدة معنىً يحل لأحدهما فيها ما لا يحل له من صاحبه “.
قال الماوردي: وهذا صحيح: أما الزوجة فلها أَنْ تُغَسِّلَ زَوْجَهَا إِذَا مَاتَ، لَا يُعْلَمُ فِي ذَلِكَ خِلَافٌ، لِمَا رُوِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ: ” أَوْصَى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ يُغَسِّلَهُ زَوْجَتُهُ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ وَقَالَ: إِنْ كُنْتِ صَائِمَةً فَأَفْطِرِي “، وَيُعِينُكِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بِكْرٍ، قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَغَسَّلَتْهُ وَهِيَ صَائِمَةٌ ثُمَّ ذَكَرَتْ عَزْمَةَ أَبِي بَكْرٍ فَدَعَتْ بِمَاءٍ فَشَرِبَتْهُ وَقَالَتْ: كِدْتُ أُتْبِعُهُ مَعْصِيَةً.
Masalah tentang perempuan yang memandikan suaminya yang telah wafat
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Seorang laki-laki boleh memandikan istrinya, dan seorang perempuan boleh memandikan suaminya. Asmā’ binti ‘Umays telah memandikan suaminya, Abū Bakr al-Ṣiddīq ra., dan ‘Alī telah memandikan istrinya, Fāṭimah binti Rasulullah SAW. ‘Ā’isyah berkata: ‘Seandainya kami menghadapi kembali urusan kami sebagaimana yang telah berlalu, niscaya tidak akan ada yang memandikan Rasulullah SAW kecuali para istrinya.’”
(Beliau berkata): “Dan masa ‘iddah tidaklah memiliki makna yang menghalalkan salah satunya terhadap yang lain sesuatu yang tidak halal sebelumnya.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Adapun istri, maka boleh baginya memandikan suaminya jika ia meninggal, dan tidak diketahui adanya khilaf dalam hal ini, berdasarkan riwayat dari Sa‘īd bin al-Musayyab yang berkata: “Abū Bakr ra. berwasiat agar ia dimandikan oleh istrinya, Asmā’ binti ‘Umays, dan ia berkata: ‘Jika engkau sedang berpuasa, maka berbukalah, dan biarkan ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr membantumu.’”
‘Ā’isyah ra. berkata: “Maka ia memandikannya dalam keadaan berpuasa, lalu ia teringat wasiat Abū Bakr, lalu ia meminta air dan meminumnya, dan berkata: ‘Aku hampir saja melanggarnya.’”
وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: ” لَوِ اسْتَقْبَلْنَا مِنْ أَمْرِنَا مَا اسْتَدْبَرْنَا مَا غَسَّلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَّا نِسَاؤُهُ ” فَأَمَّا إِذَا مَاتَتِ الزَّوْجَةُ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ لِزَوْجِهَا أَنْ يُغَسِّلَهَا أَمْ لَا؟
فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ إِلَى جَوَازِ ذَلِكَ.
وَقَالَ أبو حنيفة، وَالثَّوْرِيُّ: لَا يَجُوزُ لَهُ غُسْلُهَا اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى امرئٍ يَنْظُرُ إِلَى فَرْجِ امرأةٍ وَبِنْتِهَا ” قَالُوا فَلَمَّا جَازَ لَهُ الْعَقْدُ عَلَى بِنْتِ امْرَأَتِهِ إِذَا مَاتَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ وَاسْتَبَاحَ بِالْعَقْدِ النَّظَرَ إِلَى فَرْجِهَا دَلَّ على أن الأمر قد حرم عليه النظر إليها؛ لأن لا يَكُونَ نَاظِرًا إِلَى فَرْجِ امْرَأَةٍ وَبِنْتِهَا، قَالُوا وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ لَهُ الْعَقْدُ عَلَى أُخْتِ زَوْجَتِهِ لَمْ يَجُزْ لَهُ النَّظَرُ إِلَى زَوْجَتِهِ، كَالْمُطَلَّقَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَمَّا حَلَّ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ غَيْرَهَا لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يُغَسِّلَهَا، وَلَمَّا لَمْ يَحِلَّ لَهَا أَنْ تَنْكِحَ غَيْرَهُ حَلَّ لَهَا أَنْ تُغَسِّلَهُ لِارْتِفَاعِ الْعِصْمَةِ بِمَوْتِهَا وَبَقَاءِ الْعِصْمَةِ بِمَوْتِهِ.
Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah ra. bahwa ia berkata: “Seandainya kami menghadapi kembali urusan kami sebagaimana yang telah berlalu, niscaya tidak ada yang memandikan Rasulullah SAW kecuali para istrinya.”
Adapun jika istri yang wafat, maka para ulama berselisih pendapat: apakah suaminya boleh memandikannya atau tidak?
Imam al-Syafi‘i dan Mālik berpendapat bahwa hal itu boleh.
Sedangkan Abū Ḥanīfah dan al-Thawrī berpendapat tidak boleh, dengan dalil sabda Nabi SAW: “Allah tidak akan memandang seseorang yang memandang kemaluan seorang perempuan dan anak perempuannya.”
Mereka berkata: Ketika suami boleh menikahi anak perempuan dari istrinya (yang sudah wafat) jika belum sempat digauli, dan boleh dengan akad melihat kemaluannya, maka hal itu menunjukkan bahwa ia telah diharamkan memandang istrinya (yang wafat), agar tidak sampai ia memandang kemaluan seorang perempuan dan anak perempuannya sekaligus.
Mereka juga berkata: Setiap orang yang boleh menikahi saudari istrinya, maka tidak halal baginya untuk melihat istrinya — seperti dalam kasus talak sebelum dukhūl.
Mereka berkata pula: Karena ketika suami telah halal menikahi perempuan lain (setelah istrinya wafat), maka ia tidak lagi halal memandikan istrinya yang telah wafat, sedangkan ketika istri tidak halal menikah dengan laki-laki lain (selama masa ‘iddah), maka halal baginya untuk memandikan suaminya, karena ikatan pernikahan telah terputus dengan wafatnya istri, dan masih tetap ada dengan wafatnya suami.
وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ: مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: ” دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: وَارَأْسَاهُ فَقُلْتُ لَا بَلْ وَارَأْسَاهُ فَقَالَ مَا عَلَيْكِ لَوْ مِتِّ قَبْلِي لَغَسَّلْتُكِ وَكَفَّنْتُكِ ” فَلَمَّا أَخْبَرَهَا أَنَّهَا لَوْ مَاتَتْ قَبْلَهُ لَغَسَّلَهَا، وَقَدْ أَخْبَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ سَيَمُوتُ: دَلَّ على أنه قصد بذلك بيان حكم غيرها مِنَ الْأَزْوَاجِ مَعَ غَيْرِهَا مِنَ الزَّوْجَاتِ، وَرَوَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ أَوْصَتْ أَنْ يُغَسِّلَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَتْ أَسْمَاءُ فَغَسَّلَهَا عَلِيٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَأَنَا مَعَهُ ثُمَّ لَمْ يَكُنْ مِنَ الصَّحَابَةِ مُنْكِرًا فِعْلَهُ فَدَلَّ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ.
Dan dalil atas benarnya pendapat yang dipegang oleh al-Syafi‘i adalah riwayat dari ‘Ā’isyah ra. bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW masuk menemuiku lalu berkata: ‘Wā ra’sāh’ (aduh kepalaku). Maka aku berkata: ‘Tidak, bahkan wā ra’sāh (aku yang sakit kepala).’ Maka beliau bersabda: ‘Apa keberatanmu seandainya engkau wafat sebelumku, niscaya aku akan memandikanmu dan mengafanimu.’”
Ketika beliau memberitahunya bahwa jika ia wafat terlebih dahulu, maka beliau akan memandikannya — padahal Allah Ta‘ala telah memberitahukan kepada beliau bahwa beliau akan wafat lebih dahulu — maka hal itu menunjukkan bahwa maksud beliau adalah menjelaskan hukum umum bagi para istri lainnya dengan para suami mereka.
Juga diriwayatkan oleh Asmā’ binti ‘Umays bahwa Fāṭimah ‘alaihas-salām berwasiat agar ia dimandikan oleh ‘Alī ra.
Asmā’ berkata: “Maka ‘Alī ‘alaihis-salām memandikannya bersamaku.”
Dan tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang mengingkari perbuatan tersebut, maka hal itu menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan ijmā‘.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا جَازَ لَهُ أَنْ يُغَسِّلَهَا لِبَقَاءِ النِّكَاحِ بَيْنَهُمَا لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” كُلُّ سَبَبٍ وَنَسَبٍ يَنْقَطِعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا سببي ونسبي ” قلنا قد بين مَعْنَى ذَلِكَ، وَأَنَّهُ فِي الْآخِرَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،وَالنِّكَاحُ فِي الدُّنْيَا مُرْتَفِعٌ بِالْمَوْتِ، أَلَا تَرَى أنه عَلَيْهِ السَّلَامُ تَزَوَّجَ أُمَامَةَ بِنْتَ أَبِي الْعَاصِي بَعْدَ فَاطِمَةَ وَهِيَ بِنْتُ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَتَزَوَّجَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِنْتَيْ رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَاحِدَةً بَعْدَ أُخْرَى، فَلَوْ كَانَ سَبَبُ النِّكَاحِ بَاقِيًا لَحَرُمَ عَلَى عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ تَزْوِيجُ أُمَامَةَ، وَعَلَى عُثْمَانَ تَزْوِيجُ أُمِّ كُلْثُومٍ بَعْدَ رُقَيَّةَ، وَلِأَنَّهَا زَوْجِيَّةٌ زَالَتْ بِالْوَفَاةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ بِهَا تَحْرِيمُ النَّظَرِ قِيَاسًا عَلَى موت الزوج، ولأنه معنى تزيل التكليف فوجب أن لا يحرم كَالْجُنُونِ، وَلِأَنَّ أُصُولَ النِّكَاحِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ أَوْجَبَ تَحْرِيمَ نَظَرِ أَحَدِهِمَا لَمْ يُوجِبْ تَحْرِيمَ نَظَرِ الْآخَرِ كَالْإِيلَاءِ وَالظِّهَارِ، فَلَمَّا كَانَ الْمَوْتُ لَا يُوجِبُ تَحْرِيمَ نَظَرِ الزَّوْجِ اقْتَضَى أَنْ لَا يُوجِبَ تَحْرِيمَ نَظَرِ الزَّوْجَةِ.
Jika dikatakan: “Sesungguhnya diperbolehkan bagi suami untuk memandikan istrinya karena masih adanya hubungan pernikahan di antara keduanya, berdasarkan sabda Nabi SAW: ‘Setiap hubungan dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali hubunganku dan nasabku,’”
maka kami jawab: Telah dijelaskan bahwa makna sabda tersebut adalah untuk akhirat, pada hari kiamat, sedangkan pernikahan di dunia batal dengan kematian.
Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi SAW menikahi Ummāmah binti Abī al-‘Āṣ setelah wafatnya Fāṭimah — dan Ummāmah adalah putri dari Zaynab binti Rasulullah SAW — dan bahwa ‘Utsmān ra. menikahi dua putri Rasulullah SAW, satu setelah yang lain?
Maka seandainya hubungan pernikahan itu tetap berlaku (pasca wafat), niscaya ‘Alī ‘alaihis-salām diharamkan menikahi Ummāmah, dan ‘Utsmān diharamkan menikahi Ummu Kulthūm setelah Ruqayyah.
Dan karena status sebagai istri telah hilang dengan wafat, maka tidak boleh dikaitkan dengannya hukum haramnya memandang (aurat) — dengan analogi kepada kematian suami.
Dan karena kematian adalah kondisi yang menghilangkan taklīf, maka tidak wajib hukumnya haram, sebagaimana kegilaan.
Dan karena pokok-pokok hukum pernikahan dibangun atas dasar bahwa setiap hal yang menyebabkan haramnya salah satu memandang (aurat) pasangannya, tidak mengharuskan haramnya pandangan dari pihak yang lain — seperti dalam kasus īlā’ dan ẓihār. Maka ketika kematian tidak mewajibkan haramnya pandangan dari pihak suami, maka semestinya tidak mewajibkan haramnya pandangan dari pihak istri pula.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى امرئٍ يَنْظُرُ إِلَى فَرْجِ امْرَأَةٍ وَبِنْتِهَا ” فَقَدْ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ: الْمُرَادُ بِهِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فِي النِّكَاحِ، عَلَى أَنَّهُ قَدْ يُمْنَعُ مِنَ النَّظَرِ إِلَى فَرْجِهَا، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الطَّلَاقِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ لَهَا النَّظَرُ إِلَيْهِ لَمْ يَجُزْ لَهُ النَّظَرُ إِلَيْهَا، وَلَمَّا جَازَ لَهَا النَّظَرُ فِي الْمَوْتِ إِلَيْهِ جَازَ لَهُ النظر إليها.
وأما الجواب على قَوْلِهِمْ إِنَّهُ لَمَّا كَانَ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ غَيْرَهَا لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يُغَسِّلَهَا: فَدَعْوَى لَا بُرْهَانَ عَلَيْهَا، وَلَيْسَ تَفَرُّدُهَا بِالْعِدَّةِ مُوجِبًا لِتَفَرُّدِهَا لِعِصْمَةِ الزَّوْجِيَّةِ، لِأَنَّ الْعِدَّةَ لَا مَدْخَلَ لَهَا فِي إِبَاحَةِ النَّظَرِ وَحَظْرِهِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ طَلَّقَهَا وَمَاتَ فِي عِدَّتِهَا لَمْ يَحِلَّ لَهَا النَّظَرُ إِلَيْهِ، وَإِنْ كَانَتْ فِي عِدَّةٍ مِنْهُ، وَلَوْ مَاتَ مِنْهَا وَهِيَ حَامِلٌ فَوَضَعَتْ قَبْلَ غُسْلِهِ جَازَ لَهَا النَّظَرُ إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِي عِدَّةٍ مِنْهُ، فَعَلِمَ أَنَّ ثُبُوتَ الْعِدَّةِ كَعَدَمِهَا فِي إِبَاحَةِ النَّظَرِ وَحَظْرِهِ.
Adapun jawaban atas sabda Nabi SAW: “Allah tidak akan memandang seseorang yang memandang kemaluan seorang perempuan dan anak perempuannya,” maka para ulama berkata: Yang dimaksud adalah mengumpulkan keduanya dalam satu pernikahan.
Di sisi lain, boleh jadi seseorang dilarang memandang kemaluannya (istri), namun bukan karena sebab itu.
Adapun qiyās mereka dengan talak, maka maksudnya adalah: ketika istri tidak boleh melihat suami, maka suami pun tidak boleh melihatnya. Dan ketika istri boleh melihat suaminya dalam kondisi setelah wafat, maka suami pun boleh melihat istrinya (yang wafat).
Adapun jawaban atas perkataan mereka: “Karena suami boleh menikahi perempuan lain setelah istrinya wafat, maka ia tidak halal memandikannya,” maka itu hanyalah klaim tanpa dalil. Dan tidak bisa disimpulkan bahwa karena istri sendiri wajib menjalani masa ‘iddah, maka ia tetap memiliki ikatan pernikahan secara khusus, karena ‘iddah tidak berpengaruh terhadap hukum bolehnya memandang atau larangannya.
Tidakkah engkau lihat, bahwa jika suami mentalaknya dan ia wafat saat istrinya masih dalam ‘iddah, maka istri tidak halal memandangnya — meskipun ia masih dalam masa ‘iddah-nya?
Sebaliknya, jika suami wafat dan istrinya dalam keadaan hamil, lalu ia melahirkan sebelum suaminya dimandikan, maka ia boleh memandangnya, meskipun ia tidak lagi berada dalam masa ‘iddah darinya.
Maka diketahui bahwa keberadaan ‘iddah ataupun tidak adanya ‘iddah sama saja dalam perkara bolehnya memandang atau pelarangannya.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِلزَّوْجِ أَنْ يُغَسِّلَ زَوْجَتَهُ فَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُغَسِّلَهَا ذَاتُ مَحْرَمٍ مِنْ نِسَاءِ أَهْلِهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَذَاتُ رَحِمٍ مِنْهُنَّ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَامْرَأَةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، لِأَنَّ النِّسَاءَ أَوْلَى بِالنِّسَاءِ، وَالزَّوْجُ أَوْلَى الرِّجَالِ بِزَوْجَتِهِ، فَلَوْ أَنَّ مُسْلِمًا مَاتَتْ لَهُ زَوْجَةٌ ذِمِّيَّةٌ جَازَ لَهُ أَنْ يُغَسِّلَهَا إِنْ رَضِيَ أَوْلِيَاؤُهَا مِنْ أَهْلِ مِلَّتِهَا، وَلَوْ أَنَّ مُسْلِمًا مَاتَ وَلَهُ زَوْجَةٌ ذِمِّيَّةٌ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ كَرِهْتُ أَنْ تُغَسِّلَهُ، لِأَنَّ ذَلِكَ فَرْضٌ عَلَى أَهْلِ دِينِهِ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنْ غَسَّلَتْهُ جَازَ لِحُصُولِ الْغُسْلِ الْمَأْمُورِ بِهِ، فَإِنْ قِيلَ فَلَوْ أَنَّ مَيِّتًا غَسَّلَهُ السَّيْلُ أَوِ الْمَطَرُ لَمْ يُجْزِهِ وإن كان الغسل موجود قُلْنَا لِأَنَّ الْغُسْلَ لَا يَجِبُ عَلَى الْمَيِّتِ وَإِنَّمَا يَجِبُ عَلَيْنَا فِي الْمَيِّتِ فَإِذَا غَسَّلَهُ السَّيْلُ وَالْمَطَرُ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ الْفِعْلَ مِنَّا لَمْ يُوجَدْ وَكَذَا الْغَرِيقُ غُسْلُهُ وَاجِبٌ لِمَا ذَكَرْنَا فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا وَجَبَتِ النِّيَّةُ فِي غُسْلِ الْمَيِّتِ لِأَنَّهَا طَهَارَةٌ وَاجِبَةٌ قُلْنَا فِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ النِّيَّةَ وَاجِبَةٌ لِأَنَّهَا طهار وَاجِبَةٌ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ النِّيَّةَ غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَهُوَ أَشْبَهُ بِنَصِّ الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّهُ فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ لَا يَتَعَيَّنُ عَلَى شَخْصٍ دُونَ شَخْصٍ، فَلَمَّا لَمْ تَجِبْ فِيهِ النِّيَّةُ وَإِنْ وَجَبَتْ في غيره.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa suami boleh memandikan istrinya, maka disunnahkan agar yang memandikannya adalah perempuan maḥram dari kalangan keluarganya. Jika tidak ada, maka perempuan kerabat dari rahimnya. Jika tidak ada juga, maka perempuan dari kalangan kaum muslimin, karena perempuan lebih utama untuk memandikan perempuan, dan suami adalah laki-laki yang paling utama memandikan istrinya.
Jika seorang muslim memiliki istri dzimmiyyah yang meninggal, maka boleh baginya untuk memandikannya jika wali-walinya dari kalangan agamanya merelakan.
Namun jika seorang muslim wafat dan ia memiliki istri dzimmiyyah,
maka Imam al-Syafi‘i berkata: “Aku tidak menyukai ia memandikannya, karena hal itu adalah kewajiban atas kaum muslimin dari agamanya.”
Tetapi jika ia tetap memandikannya, maka hal itu sah, karena tujuan dari mandi yang diperintahkan telah tercapai.
Jika dikatakan: “Bagaimana dengan orang mati yang dimandikan oleh air banjir atau hujan — padahal basuhan telah terjadi — namun tetap tidak sah?”
Kami katakan: Karena mandi jenazah itu bukan kewajiban atas mayit itu sendiri, tetapi kewajiban atas kita terhadap mayit. Maka jika yang memandikannya adalah banjir atau hujan, tidaklah sah karena perbuatan dari kita tidak terjadi.
Demikian pula jenazah yang mati tenggelam: mandi baginya tetap wajib sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Jika dikatakan: “Kalau begitu, mengapa niat tidak diwajibkan dalam mandi jenazah, padahal itu adalah bentuk ṭahārah yang wajib?”
Kami jawab: Dalam hal ini, ada dua pendapat di kalangan sahabat kami:
Pertama: Niat itu wajib karena ini adalah ṭahārah yang wajib.
Kedua: Niat tidak wajib — dan ini yang lebih sesuai dengan nash Imam al-Syafi‘i — karena mandi jenazah adalah fardu kifāyah, tidak ditetapkan atas individu tertentu. Maka karena itu tidak diwajibkan padanya niat, meskipun niat diwajibkan dalam selainnya.
فَصْلٌ
: يَجُوزُ لِلسَّيِّدِ أَنْ يُغَسِّلَ أُمَّ وَلَدِهِ إِذَا مَاتَتْ، وَكَذَلِكَ أَمَتَهُ وَمُدَبَّرَتَهُ، لِأَنَّ حُكْمَ الرِّقِّ فِي جَمِيعِهِمْ بَاقٍ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يلزمه موؤنة دَفْنِهِمْ بَعْدَ الْوَفَاةِ كَمَا كَانَ يَلْزَمُهُ الْإِنْفَاقُ عَلَيْهِمْ فِي الْحَيَاةِ، فَإِن مَاتَ السَّيِّدُ لَمْ يَكُنْ لِأَمَتِهِ وَلَا لِمُدَبَّرَتِهِ وَلَا لِأُمِّ وَلَدِهِ أَنْ تُغَسِّلَهُ، أَمَّا الْأَمَةُ فَلِأَنَّهَا صَارَتْ مِلْكًا لِوَرَثَتِهِ، وَأَمَّا الْمُدَبَّرَةُ وَأُمُّ الْوَلَدِ فَلِزَوَالِ الرِّقِّ عَنْهُمَا، وَارْتِفَاعِ الْعَصَبَةِ بَيْنَ السَّيِّدِ وَبَيْنَهُمَا.
فَإِنْ قِيلَ: فَالنِّكَاحُ يَرْتَفِعُ بِالْمَوْتِ كَمَا أَنَّ الرِّقَّ يَرْتَفِعُ بِالْمَوْتِ ثُمَّ لَمْ يَكُنِ ارْتِفَاعُ النِّكَاحِ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ الْغُسْلِ، كَذَلِكَ أَيْضًا لَا يَكُونُ ارْتِفَاعُ الرِّقِّ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ الْغُسْلِ؟ قُلْنَا وُجُودُ النِّكَاحِ مُوجِبٌ لِلِاسْتِبَاحَةِ، فَإِذَا اتَّصَلَتِ الِاسْتِبَاحَةُ بِالْمَوْتِ جَازَ أَنْ يَبْقَى لَهَا حُكْمٌ بعد الموت، وليس دوام الولده المدبرة مُوجِبٌ لِاسْتِبَاحَتِهَا، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الرِّقُّ فِيهَا مَوْجُودًا وَهُمَا فِي إِبَاحَةِ زَوْجٍ، فَضَعُفَ الرِّقُّ عَنْ مَعْنَى النِّكَاحِ وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِ فِي بَقَاءِ الِاسْتِبَاحَةِ بَعْدَ الْمَوْتِ.
PASAL
Boleh bagi tuan (pemilik budak) untuk memandikan umm al-walad-nya jika ia meninggal dunia, begitu pula budak perempuannya dan budak yang mudabbirah, karena hukum perbudakan masih tetap berlaku pada mereka semua. Tidakkah engkau melihat bahwa ia tetap wajib menanggung biaya pemakaman mereka setelah wafat, sebagaimana ia wajib menafkahi mereka ketika hidup?
Namun jika sang tuan wafat, maka tidak boleh bagi budaknya, tidak pula bagi mudabbirah-nya, dan tidak pula bagi umm al-walad-nya untuk memandikannya.
Adapun budak perempuan, karena ia telah menjadi milik para ahli warisnya.
Adapun mudabbirah dan umm al-walad, karena status perbudakan telah hilang dari keduanya, dan tidak ada lagi ikatan ‘aṣabah antara tuan dengan mereka.
Jika dikatakan: “Pernikahan pun batal dengan kematian, sebagaimana perbudakan juga batal dengan kematian. Namun meskipun pernikahan telah batal, hal itu tidak mencegah bolehnya memandikan jenazah; maka demikian pula perbudakan, tidak seharusnya menghalangi bolehnya memandikan jenazah.”
Kami jawab: Keberadaan akad nikah mengakibatkan kebolehan (melihat, menyentuh, dan semisalnya), maka jika kebolehan itu bersambung sampai waktu kematian, boleh saja hukum kebolehannya tetap berlaku setelah kematian.
Sedangkan status sebagai mudabbirah atau umm al-walad tidak mengharuskan kebolehan (yang dimaksud), karena bisa jadi status perbudakan masih ada namun mereka berada dalam keadaan halal sebagai istri. Maka makna perbudakan itu lebih lemah daripada makna pernikahan, dan tidak bisa disamakan dengannya dalam hal kebolehan yang tetap berlaku setelah kematian.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْخُنْثَى الْمُشْكَلُ فَقَدْ حُكِيَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيِّ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّ الْوَاجِبَ فِيهِ التَّيَمُّمُ دُونَ الْغُسْلِ، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَلِأَنَّ الْوَجْهَ وَالْيَدَيْنِ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ فِي الرجال ولا في النساء فجاز لكلي الْفَرِيقَيْنِ النَّظَرُ إِلَيْهِ، وَلَمْ يَجُزْ لَهَا النَّظَرُ إِلَى جَسَدِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ رَجُلًا فَيَحْرُمُ عَلَى النِّسَاءِ، وَقَدْ يَكُونُ امْرَأَةً فَيَحْرُمُ عَلَى الرِّجَالِ.
وَهَذَا غَلَطٌ وَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ لِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فُرِضَ عَلَى أُمَّتِي غُسْلُ مَوْتَاهَا ” وَلَوْ جَازَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْ غُسْلِهِ لِإِشْكَالِ عَوْرَتِهِ لَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ بِذَلِكَ مِنْ تَيَمُّمِهِ، لِأَنَّ التَّيَمُّمَ فِي الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ، وَعَوْرَةُ الْمَرْأَةِ فِي ذِرَاعَيْهَا كَعَوْرَتِهَا فِي سَائِرِ جَسَدِهَا، وَإِنَّمَا الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ، عَلَى أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ مُبَاشَرَتَهُ بِحَرَامٍ كَمُبَاشَرَةِ سَائِرِ الْجَسَدِ، فَكَانَ التَّيَمُّمُ فِي تَحْرِيمِ الْمُبَاشَرَةِ مُسَاوِيًا لِلْغُسْلِ، فَإِذَا تَسَاوَيَا فَاسْتِعْمَالُ الْغُسْلِ الْوَاجِبِ أَوْلَى، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ غُسْلَ الْخُنْثَى وَاجِبٌ فَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يُغَسَّلَ فِي قَمِيصٍ، وَيَكُونَ مَوْضِعُ غُسْلِهِ مُظْلِمًا، وَيَتَوَلَّى غُسْلَهُ أَوْثَقُ مَنْ يُقْدَرُ عَلَيْهِ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ.
PASAL
Adapun khuntsā musykil, telah dinukil dari Abū ‘Abdillāh al-Zubayrī dari kalangan sahabat kami, bahwa kewajiban padanya adalah tayammum dan bukan ghusl. Ini juga merupakan pendapat ahli Irak. Alasannya, karena wajah dan kedua tangan bukanlah aurat, baik pada laki-laki maupun perempuan, maka boleh dilihat oleh kedua kelompok. Sementara tubuhnya tidak boleh dilihat, karena bisa jadi ia laki-laki, sehingga haram dilihat oleh perempuan; atau bisa jadi ia perempuan, sehingga haram dilihat oleh laki-laki.
Namun pendapat ini keliru. Yang benar, ghusl tetap wajib atasnya karena keumuman sabda Nabi SAW: “Diwajibkan atas umatku untuk memandikan jenazah-jenazah mereka.”
Seandainya boleh ditinggalkan ghusl karena syubhat auratnya, tentu tayammum pun wajib ditinggalkan. Padahal tayammum dilakukan pada wajah dan kedua lengan, dan aurat perempuan mencakup kedua lengannya sebagaimana seluruh anggota tubuh lainnya. Hanya saja wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat.
Lagi pula, menyentuh bagian wajah dan tangan tidak setingkat dengan menyentuh bagian tubuh lainnya dalam hal keharaman. Maka dari sisi keharaman menyentuh, tayammum dan ghusl setara. Maka jika keduanya setara, penggunaan ghusl yang wajib lebih utama.
Jika telah tetap bahwa mandi jenazah untuk khuntsā musykil adalah wajib, maka yang disunnahkan adalah dimandikan dengan memakai baju (qamīṣ), tempat mandinya dalam keadaan gelap, dan yang memandikannya adalah orang paling terpercaya dari kalangan laki-laki dan perempuan yang memungkinkan.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمَرْأَةُ إِذَا مَاتَتْ فِي مَوْضِعٍ لَيْسَ بِهِ إِلَّا الرِّجَالُ الْأَجَانِبُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْمُزَنِيِّ وَكَثِيرٍ مِنْهُمْ، تُيَمَّمُ وَلَا تُغَسَّلُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُغَسَّلُ فِي قَمِيصٍ، وَيَلُفُّ عَلَى يَدِهِ خِرْقَةً كَيْ لَا يَمَسَّهَا، وَيَغُضُّ بَصَرَهُ وَهَذَا أَصَحُّهُمَا عِنْدِي. وَلَوْ كَانَ الْمَيِّتُ رَجُلًا فِي مَوْضِعٍ لَيْسَ بِهِ إِلَّا النِّسَاءُ الْأَجَانِبُ فَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى أَنَّهُنَّ يُغَسِّلْنَهُ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُيَمَّمَ، وَهَذَا يُؤَيِّدُ إِيجَابَ غسل المرأة.
PASAL
Adapun apabila seorang perempuan wafat di tempat yang tidak terdapat kecuali laki-laki ajnabī, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama — dan ini adalah pendapat al-Muzanī dan banyak ulama lainnya —: dilakukan tayammum atasnya dan tidak dimandikan.
Kedua: dimandikan dengan mengenakan qamīṣ, dan tangan yang memandikannya dibalut dengan kain agar tidak menyentuh langsung tubuhnya, serta ia menundukkan pandangannya. Dan ini adalah pendapat yang paling kuat menurutku.
Dan jika mayit tersebut adalah laki-laki yang berada di tempat yang tidak ada kecuali perempuan-perempuan ajnabī, maka Imam al-Syafi‘i telah menegaskan bahwa mereka boleh memandikannya, dan tidak boleh hanya ditayammumi saja.
Hal ini menguatkan pendapat bahwa mandi jenazah bagi perempuan juga tetap diwajibkan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُغَسِّلُ الْمُسْلِمُ قَرَابَتَهُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَيَتْبَعُ جِنَازَتَهُ وَلَا يُصَلِّي عَلَيْهِ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر علياً فغسل أَبَا طَالِبٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ ” إِذَا مَاتَ الْمُشْرِكُ وَلَهُ قَرَابَةٌ ٌمسلمون فَلَهُمْ أَنْ يُغَسِّلُوهُ وَيُكَفِّنُوهُ وَيَتْبَعُوا جِنَازَتَهُ ” وَكَرِهَ مَالِكٌ ذَلِكَ.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً) {لقمان: 15) وَرُوِيَ عَنْ نَاجِيَةَ بْنِ كَعْبٍ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: ” لَمَّا مَاتَ أَبُو طَالِبٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ مَاتَ عَمُّكَ الضَّالُّ، فَقَالَ: غَسِّلْهُ وَكَفِّنْهُ وَوَارِهِ وَلَا تُصَلِّ عَلَيْهِ “، فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ غَسْلِهِ وَدَفْنِهِ فَلَيْسَ لَهُمْ أَنْ يُصَلُّوا عَلَيْهِ وَلَا يَزُورُوا قَبْرَهُ، وَلَا يَدْعُوا لَهُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أبَداً وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ) {التوبة: 84) وَقَالَ تَعَالَى: {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا للمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أولِي قُرْبَى) {التوبة: 113) فَأَمَّا إِنْ تَرَكَ الْمُشْرِكُ قَرَابَةً مُشْرِكِينَ وَمُسْلِمِينَ، فَالْمُشْرِكُونَ أَوْلَى بِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، لِاسْتِوَائِهِمْ فِي الْقَرَابَةِ وَزِيَادَتِهِمْ بِالْمِلَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Masalah:
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Seorang muslim boleh memandikan kerabatnya yang musyrik, mengikuti jenazahnya, tetapi tidak menshalatinya, karena Nabi SAW memerintahkan ‘Ali untuk memandikan Abu Thalib.”
Al-Mawardi berkata: “Hal ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika orang musyrik meninggal dunia dan ia memiliki kerabat yang muslim, maka mereka boleh memandikannya, mengafani, dan mengikuti jenazahnya.” Namun Malik membenci hal tersebut.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik} (QS Luqman: 15). Dan diriwayatkan dari Nājiya bin Ka‘b dari ‘Ali ra. berkata: “Ketika Abu Thalib wafat, aku berkata: Wahai Rasulullah, pamanmu yang sesat telah wafat. Maka beliau bersabda: Mandikanlah, kafanilah, dan kuburkanlah, tetapi jangan kau shalati.”
Jika telah tetap kebolehan memandikan dan menguburkannya, maka tidak diperbolehkan menshalatinya, menziarahi kuburnya, dan mendoakan untuknya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu shalat atas seseorang di antara mereka yang mati selama-lamanya dan jangan (pula) berdiri di atas kuburnya} (QS At-Taubah: 84), dan firman-Nya: {Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, sekalipun mereka itu kaum kerabat} (QS At-Taubah: 113).
Adapun jika orang musyrik meninggalkan kerabat yang musyrik dan muslim, maka yang lebih utama mengurusi jenazahnya adalah kerabat yang musyrik, karena sama-sama memiliki hubungan kekerabatan dan mereka memiliki kelebihan dalam agama (kemusyrikan). Wallahu a‘lam.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَحَبُّ عَدَدِ الْكَفَنِ إِلَيَّ ثَلَاثَةُ أثوابٍ بيضٍ رياطٍ ليس فيها قميص ولا عمامةٌ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كفن فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بيضٍ سُحُولِيَّةٍ لَيْسَ فِيهَا قميص ولا عمامة “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ صَحِيحٌ أَمَّا تَكْفِينُ الْمَوْتَى واجب إِجْمَاعًا، بِهِ وَرَدَتِ السُّنَّةُ وَعَلَيْهِ جَرَى الْعَمَلُ، إِذَا كَانَ وَاجِبًا انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى عَدَدِهِ وَصِفَتِهِ، فَأَمَّا عَدَدُهُ فَالْمُخْتَارُ فِيهِ وَمَا جَرَى الْعَمَلُ بِهِ ثَلَاثَةُ أَثْوَابٍ، لِرِوَايَةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كُفِّنَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي ثَلَاثَةِ أثوابٍ بِيضٍ سُحُولِيَّةٍ لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ.
BAB: Jumlah Kain Kafan dan Cara Menggunakan Hanūṭ
Imam al-Syafi‘i ra. berkata:
“Jumlah kafan yang paling aku sukai adalah tiga helai kain putih riyāṭ, yang tidak terdapat padanya qamīṣ dan tidak pula ‘imāmah, karena Rasulullah SAW dikafani dalam tiga helai kain putih suḥūliyyah, yang tidak terdapat padanya qamīṣ dan tidak pula ‘imāmah.”
Al-Māwardī berkata:
Dan itu benar. Adapun mengafani mayit adalah kewajiban berdasarkan ijmak, sebagaimana yang diriwayatkan dalam sunnah dan menjadi praktik yang dijalankan. Jika telah tetap bahwa mengafani itu wajib, maka pembahasan berpindah kepada jumlah dan sifatnya.
Adapun jumlah kain kafan, maka yang dipilih dan yang menjadi praktik umum adalah tiga helai kain, berdasarkan riwayat dari ‘Ā’isyah ra. bahwa ia berkata:
“Rasulullah SAW dikafani dalam tiga helai kain putih suḥūliyyah, yang tidak terdapat padanya qamīṣ dan tidak pula ‘imāmah.”
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِنْ كُفِّنَ فِي خَمْسَةِ أَثْوَابٍ جَازَ وَلَا يُزَادُ عَلَى الْخَمْسَةِ، لِرِوَايَةِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تُغَالُوا فِي الْكَفَنِ فَإِنَهُ يُسْلَبُ سَلْبًا سَرِيعًا فَإِنْ كُفِّنَ فِي ثَوْبٍ واحدٍ يَسْتُرُ جَمِيعَ بَدَنِهِ جَازَ؛ لِمَا رُوِيَ أَنَّ مُصْعَبَ بْنَ عُمَيْرٍ قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ وَكَانَتْ له نمرةٌ واحدةٌ إذا غَطَّى بِهَا رَأْسَهُ بَدَتْ رِجْلَاهُ، وَإِنْ غَطَّى بِهَا رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” غَطُّوا رَأْسَهُ وَاطْرَحُوا عَلَى قَدَمَيْهِ شَيْئًا مِنَ الْإِذْخِرِ ” فَإِنْ غَطَّى مِنَ الْمَيِّتِ قَدْرَ عَوْرَتِهِ، وَذَلِكَ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ فَقَدْ أَسْقَطَ الْفَرْضَ، وَلَكِنْ أَخَلَّ بِحَقِّ الْمَيِّتِ، وَإِنَّمَا أُجِيزَ؛ لِأَنَّ نَمِرَةَ مُصْعَبٍ لَمْ تَسْتُرْ جَمِيعَ بَدَنِهِ فَلَمْ يَأْمُرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يُكَفَّنَ فِي غَيْرِهِ، وَلِأَنَّهُ يَجِبُ مِنْ سِتْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ مَا كَانَ يَجِبُ مِنْ سِتْرِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ، وَذَلِكَ قَدْرُ عَوْرَتِهِ.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika dikafani dengan lima kain, maka itu boleh, tetapi tidak boleh melebihi lima, karena riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib عليه السلام bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Janganlah berlebih-lebihan dalam kafan, karena itu akan segera dilucuti.’”
Maka jika dikafani dengan satu kain yang menutupi seluruh tubuhnya, itu boleh, berdasarkan riwayat bahwa Muṣʿab bin ʿUmair terbunuh pada hari Uhud, dan ia hanya memiliki satu namirah (kain bergaris) saja. Jika kepala ditutupi dengannya, maka kakinya terlihat, dan jika kakinya ditutupi, maka kepalanya terlihat. Maka Nabi SAW bersabda: “Tutuplah kepalanya dan letakkan sesuatu dari idzkhir di atas kedua kakinya.”
Maka jika yang tertutup dari mayit hanya sebatas auratnya, yaitu antara pusar dan lututnya, Imam Syafi‘i berkata: ‘Ia telah menggugurkan kewajiban, tetapi telah mengurangi hak mayit.’ Hukum ini dibolehkan karena namirah Muṣʿab tidak dapat menutupi seluruh tubuhnya, dan Rasulullah SAW tidak memerintahkan agar ia dikafani dengan yang lain.
Dan karena kewajiban menutupi jenazah setelah kematiannya adalah sebagaimana kewajiban menutupinya sebelum kematian, yaitu sebatas auratnya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا صِفَةُ الْأَكْفَانِ فَيُخْتَارُ أَنْ تَكُونَ بِيضًا، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” خَيْرُ ثِيَابِكُمُ البياضُ فَأَلْبِسُوهَا أَحْيَاءَكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ ” وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كُفِّنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بيضٍ رياطٍ سُحُولِيَّةٍ، فَالرِّيَاطُ هِيَ الْأُزُرُ الْبِيضُ الْخِفَافُ الَّتِي لَا فق فِيهَا وَلَا خِيَاطَةَ، وَالسُّحُولِيَّةُ الْمَنْسُوبَةُ إِلَى قَرْيَةٍ مِنْ قُرَى الْيَمَنِ يُقَالُ لَهَا سُحُولُ، وَيُخْتَارُ أَنْ تَكُونَ الثِّيَابُ الْبَيَاضُ جُدُدًا لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ، وَاخْتَارَ مَالِكٌ الْعِمَامَةَ لِلْمَيِّتِ رجلاً كانت أَوِ امْرَأَةً، وَاخْتَارَ أبو حنيفة الْقَمِيصَ.
فَأَمَّا مَالِكٌ فَإِنَّهُ عَوَّلَ عَلَى أَنَّهُ فِعْلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَأَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ عُمِّمَ فِي كَفَنِهِ.
PASAL
Adapun sifat kain kafan, maka yang dipilih adalah yang berwarna putih, berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang berwarna putih. Maka kenakanlah ia oleh orang-orang hidup kalian dan kafanilah orang-orang mati kalian dengannya.”
Dan diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW dikafani dengan tiga kain putih riyaṭ yang suḥūliyyah. Riyaṭ adalah izār putih yang ringan, tidak ada belahan dan tidak ada jahitannya. Sedangkan suḥūliyyah adalah kain yang dinisbatkan kepada sebuah desa di Yaman yang bernama Suḥūl.
Dan dipilih agar kain-kain tersebut berwarna putih, baru (tidak bekas), dan tidak mengandung qamīṣ (baju) dan tidak pula ‘imāmah (sorban).
Imam Mālik memilihkan ‘imāmah bagi jenazah, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan Abū Ḥanīfah memilihkan qamīṣ.
Adapun Mālik, ia bersandar pada praktik penduduk Madinah dan bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib ra. dimakaikan ‘imāmah dalam kafannya.
وَأَمَّا أبو حنيفة فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ بِمَا رُوِيَ عَنِ ” النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ كُفِّنَ فِي قَمِيصٍ “، وَلِأَنَّهُ أَجْمَلُ زِيِّ الْأَحْيَاءِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سُنَّةً فِي الْمَوْتَى كَالْإِزَارِ.
وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ غَيْرُ صَحِيحٍ، لِرِوَايَةِ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” كفن في ثلاثة أثواب ليس فيها قيمصٌ وَلَا عمامةٌ ” وَلِأَنَّهُ مَلْبُوسٌ مُنِعَ مِنْهُ الْمُحْرِمُ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ الْمَيِّتُ كَالسَّرَاوِيلِ، فَأَمَّا تَعْمِيمُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، وَإِنَّمَا كَانَتْ عِصَابَةً شَدَّ بِهَا رَأْسَهُ لِأَجْلِ الضَّرْبَةِ الَّتِي كَانَتْ بِهِ وَأَمَّا مَا رُوِيَ أَنَّهُ كفن في قميص فأما الرِّوَايَةُ أَنَّهُ غُسِّلَ فِي قَمِيصٍ، لِأَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْ بِخِلَافِهِ.
Adapun Abū Ḥanīfah, ia berdalil dengan riwayat bahwa “Nabi SAW dikafani dengan qamīṣ (baju)”, dan karena qamīṣ adalah pakaian terindah bagi orang hidup, maka hal itu menunjukkan bahwa ia disunnahkan pula bagi orang mati, sebagaimana izār.
Namun kedua mazhab tersebut tidak sahih, karena riwayat dari ‘Āisyah ra. bahwa “Rasulullah SAW dikafani dalam tiga kain yang tidak terdapat qamīṣ dan tidak pula ‘imāmah di dalamnya.” Dan karena qamīṣ adalah pakaian yang dilarang dipakai oleh orang yang sedang beriḥrām, maka wajib pula dilarang bagi mayit, sebagaimana halnya sirwāl (celana).
Adapun riwayat bahwa ‘Alī عليه السلام dikenakan ‘imāmah, maka itu tidak sahih. Yang benar, ia hanya dikenakan ‘iṣābah (ikat kepala) untuk mengikat kepalanya karena luka akibat pukulan yang ada padanya.
Dan riwayat bahwa beliau SAW dikafani dengan qamīṣ—maksudnya adalah riwayat bahwa beliau dimandikan dalam qamīṣ, karena ‘Āisyah ra. meriwayatkan sebaliknya.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُجَمَّرُ بِالْعُودِ حَتَى يَعْبَقَ بِهَا ثُمَّ يَبْسُطُ أحسنها وأوسعها ثم الثانية عليها ثم التي تلي الميت ويذر فيها بينها الحنوط ثُمَّ يُحْمَلُ الْمَيِّتُ فَيُوضَعُ فَوْقَ الْعُلْيَا مِنْهَا مستلقياً ثم يأخذ شَيْئًا مِنْ قُطْنٍ مَنْزُوعِ الْحَبِّ فَيَجْعَلُ فِيهِ الحنوط والكافور ثميدخله بَيْنَ إِلْيَتَيْهِ إِدْخَالًا بَلِيغًا وَيُكْثِرُ لِيَرُدَّ شَيْئًا إِنْ جَاءَ مِنْهُ عِنْدَ تَحْرِيكِهِ إِذَا حُمِلَ وزعزع ويشد عليه خرقةٌ مشقوقة الطرف تأخذ إليتيه وعانته ثم يشد عليه كما يشد التبان الواسع (قال المزني) لا أحب ما قال من إبلاغ الحشو لأن في ذلك قبحاً يتناول به حرمته ولكن يجعل كالموزة من القطن فيما بين إليتيه وسفرة قطن تحتها ثم يضم إلى أليتيه والشداد من فوق ذلك كالتبان يشد عليه فإن جاء منه شيءٌ يمنعه ذلك من أن يظهر منه فهذا أحسن في كرامته من انتهاك حرمته. (قال الشافعي) ويأخذ القطن فيضع عليه الحنوط الكافور فَيَضَعُهُ عَلَى فِيهِ وَمَنْخَرَيْهِ وَعَيْنَيْهِ وَأُذُنَيْهِ وَمَوْضِعِ سجوده وإن كانت به جراح نافذةٌ وضع عليها ويحنط رأسه ولحيته بالكافور وعلى مساجده وَيُوضَعُ الْمَيِّتُ مِنَ الْكَفَنِ بِالْمَوْضِعِ الَّذِي يَبْقَى منه من عند رجليه أقل مما يبقى من عند رأسه ثم يثني عليه ضيق الثَّوْبِ الَّذِي يَلِيهِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ يثني ضيق الثوب الآخر على شقه الأيسر كما وصفت كما يشتمل الحي بالسياج ثم يصنع بالأثواب كلها كذلك ثم يجمع ما عند رأسه من الثياب جمع العمامة ثم يرده على وجهه ثم يرد ما على رجليه على ظهور رجليه إلى حيث بلغ فإن خافوا أن تنتشر الأكفان عقدوها عليه “.
Masalah:
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Kain kafan diberi asap ‘ūd hingga wangi melekat padanya, lalu dibentangkan kain yang terbaik dan terluas, kemudian kain kedua di atasnya, lalu kain yang akan langsung menyentuh jenazah. Di antara kain itu ditaburkan ḥanūṭ (campuran wewangian). Kemudian jenazah diangkat dan diletakkan di atas bagian paling atas dari kain tersebut dalam posisi terlentang. Lalu diambil kapas yang telah dibuang bijinya, lalu dimasukkan ḥanūṭ dan kāfūr ke dalamnya, lalu dimasukkan di antara dua pantatnya secara mendalam. Diperbanyak isinya agar dapat menahan sesuatu yang keluar dari tubuhnya saat digerakkan dan diangkat.”
Kemudian diikatkan sehelai kain yang disobek ujungnya, membungkus pantat dan kemaluannya, lalu diikatkan seperti mengikat tubbān (celana dalam yang longgar).
(Al-Muzanī berkata): Aku tidak menyukai pendapat Syafi‘i tentang memasukkan isian (kapas dan wewangian) secara dalam, karena hal itu adalah sesuatu yang buruk dan dapat merusak kehormatannya. Tetapi cukup dibuat seperti pisang dari kapas di antara kedua pantatnya, dan diberi alas kapas di bawahnya, lalu kedua pantatnya dirapatkan dan diikat dari atasnya seperti celana dalam yang diikatkan. Jika ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya, maka hal itu akan tertahan dan tidak terlihat, dan ini lebih menjaga kehormatannya daripada merusaknya.”
(Syafi‘i berkata): Dan ia mengambil kapas lalu diletakkan padanya ḥanūṭ dan kāfūr, kemudian diletakkan pada mulutnya, kedua lubang hidungnya, kedua matanya, kedua telinganya, dan tempat sujudnya. Jika terdapat luka yang tembus, maka diletakkan juga di atas luka tersebut. Dan kepalanya serta jenggotnya diberi ḥanūṭ dan kāfūr, juga pada tempat-tempat sujudnya.
Jenazah diletakkan pada kain kafan di posisi yang menyisakan bagian kaki lebih sedikit dibanding bagian kepala. Kemudian kain yang paling dekat dengannya dilipatkan ke sisi kanannya, lalu sisi kirinya, seperti seseorang yang menyelimutkan dirinya dengan sijāj (selimut). Lalu semua kain lainnya dilakukan dengan cara yang sama.
Kemudian bagian kain di sekitar kepalanya dikumpulkan seperti ‘imāmah, lalu dilipatkan ke wajahnya. Dan bagian yang di atas kakinya dilipatkan ke atas punggung kakinya sejauh yang bisa dicapai. Jika dikhawatirkan kain kafan akan terlepas, maka mereka boleh mengikatkan kain tersebut pada jenazah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَقَالَ الشَّافِعِيُّ في كتاب الربيع ويجمر بالند، وإنما اخترنا ذلك، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اصْنَعُوا بِمَوْتَاكُمْ مَا تَصْنَعُونَ بِعَرُوسِكُمْ ” وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَبْلَغُ فِي كَرَامَةِ الْمَيِّتِ، وَأَجْمَلُ فِي عِشْرَةِ الْحَاضِرِينَ، ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَيَبْسُطُ أَحْسَنَ الْأَثْوَابِ الثَّلَاثَةِ وَأَوْسَعَهَا، ثُمَّ يَبْسُطُ فَوْقَهُ الَّذِي يَلِيهِ فِي الْحُسْنِ، ثُمَّ يَبْسُطُ فَوْقَهُ الَّذِي هُوَ دُونَهَا، وَإِنَّمَا اخْتَرْنَا أَنْ يَكُونَ أَحْسَنُهَا أَظْهَرَهَا، لِأَنَّ ذَلِكَ أَبْلَغُ فِي جَمَالِهِ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ حَيًّا لَاخْتَارَ لَهُ ذَلِكَ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيَذُرُّ بَيْنَهَا الْحَنُوطَ، وَهَذَا شَيْءٌ لَمْ يَذْكُرْهُ غير الشافعي من الفقهاء، وإنما اختاره لأن لا يُسْرِعَ بِلَى الْأَكْفَانِ، وَلِيَقِيَهَا عَنْ بَلَلٍ يَمَسُّهَا.
Al-Māwardī berkata: “Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam Syafi‘i). Dan Imam Syafi‘i berkata dalam kitab al-Rabī‘: ‘Dan kain kafan diberi asap dengan nadd (sejenis kayu gaharu).’” Kami memilih hal tersebut berdasarkan sabda Nabi SAW: “Perlakukanlah orang-orang mati kalian sebagaimana kalian memperlakukan pengantin kalian.” Dan karena hal itu lebih sempurna dalam memuliakan jenazah, serta lebih indah di hadapan orang-orang yang hadir.
Kemudian Imam Syafi‘i berkata: “Dibentangkan kain yang paling bagus dan paling lebar dari tiga kain tersebut, lalu di atasnya dibentangkan kain yang paling mendekati kualitasnya, kemudian di atasnya kain yang kualitasnya di bawah keduanya.” Kami memilih agar kain yang terbaik ditaruh paling atas karena hal itu lebih menampakkan keindahannya. Seandainya mayit itu masih hidup, tentu ia akan memilih seperti itu untuk dirinya.
Imam Syafi‘i juga berkata: “Dan ditaburkan ḥanūṭ di antara kain-kain tersebut.” Ini adalah sesuatu yang tidak disebutkan oleh selain Imam Syafi‘i dari kalangan para fuqahā’. Beliau memilih hal itu agar kain kafan tidak cepat rusak dan agar melindunginya dari kelembaban yang bisa mengenainya.
قَالَ الشَّافِعِيُّ ثُمَّ يُحْمَلُ الْمَيِّتُ فَيُوضَعُ فَوْقَ الْعُلْيَا مِنْهَا مُسْتَلْقِيًا، وَيَأْخُذُ شَيْئًا مِنْ قُطْنٍ مَنْزُوعِ الْحَبِّ فَيَجْعَلُ فِيهِ الْحَنُوطَ وَالْكَافُورَ، ثُمَّ يُدْخِلُ بَيْنَ إِلْيَتَيْهِ إِدْخَالًا بَلِيغًا، وَيُكْثِرُ لِيَرُدَّ شَيْئًا إِنْ جَاءَ مِنْهُ عِنْدَ تَحْرِيكِهِ إِذَا حمل ورغرغ ويشد عليه كما يشد التبان الْوَاسِعُ، فَإِنْ كَانَ بِهِ إِنْزَالٌ يُخْشَى عَلَى الثَّوْبِ مِنْهُ فَاحْتَاجَ أَنْ يَجْعَلَ فَوْقَ الْخِرْقَةِ مِثْلَ السُّفْرَةِ مِنْ لُبُودٍ فَعَلَ ذَاكَ، وَإِنَّمَا اخْتَارَ هَذَا كُلَّهُ اتِّبَاعًا لِلسَّلَفِ، وَإِكْرَامًا لِلْمَيِّتِ، وَحِفْظًا لِلْأَكْفَانِ.
وَلَمْ يُرِدِ الشَّافِعِيُّ بِقَوْلِهِ وَيُدْخِلُهُ إِدْخَالًا بَلِيغًا فِي الْحَلْقَةِ كَمَا تَوَهَّمَ الْمُزَنِيُّ، لِأَنَّ فِي ذَلِكَ انْتِهَاكَ حُرْمَتِهِ، وَإِنَّمَا أَرَادَ إِدْخَالًا بَلِيغًا بَيْنَ الْإِلْيَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ انْتِهَاكِ حرمته.
Imam Syafi‘i berkata: “Kemudian jenazah diangkat dan diletakkan di atas kain yang paling atas dalam posisi terlentang. Lalu diambil segumpal kapas yang telah dibuang bijinya, kemudian diletakkan padanya ḥanūṭ dan kāfūr, lalu dimasukkan di antara dua pantatnya secara mendalam. Isinya diperbanyak agar dapat menahan sesuatu yang mungkin keluar dari tubuhnya saat digerakkan dan dibawa, serta diguncang. Lalu diikatkan seperti mengikat tubbān (celana dalam) yang longgar. Jika pada tubuhnya ada cairan yang ditakutkan dapat mengotori kain kafan, maka ditambahkan di atas kain pengikat itu semacam alas dari kain tebal (lubūd) seperti sufrah (alas makan), maka itu boleh dilakukan.”
Semua ini dipilih oleh Imam Syafi‘i sebagai bentuk mengikuti para salaf, memuliakan jenazah, dan menjaga kebersihan kain kafan.
Dan yang dimaksud Imam Syafi‘i dengan perkataan “dimasukkan secara mendalam” bukanlah dimasukkan ke dalam lubang dubur sebagaimana disangka oleh al-Muzanī, karena hal itu termasuk pelanggaran terhadap kehormatan jenazah. Tetapi yang dimaksud adalah memasukkannya secara mendalam di antara dua pantat tanpa melanggar kehormatannya.
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَيَأْخُذُ الْقُطْنَ فَيَضَعُهُ عَلَى الْحَنُوطِ وَالْكَافُورِ فَيَضَعُهُ عَلَى فِيهِ وَمَنْخَرَيْهِ وَعَيْنَيْهِ وَأُذُنَيْهِ وَمَوْضِعِ سُجُودِهِ وَجَمِيعِ مَنَافِذِهِ، وَإِنْ كَانَتْ بِهِ جِرَاحٌ أَوْ قُرُوحٌ وَضَعَ عَلَيْهَا، وَيَحْفَظُ رَأْسَهُ وَلِحْيَتَهُ بِالْكَافُورِ، وَإِنَّمَا اخْتَرْنَا أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِمَسَاجِدِهِ وَهِيَ أَعْضَاؤُهُ السَّبْعَةُ لِمَا رُوِيَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُوكِلُ بِهِ مَنْ يَذُبُّ عَنْ مَوْضِعِ سُجُودِهِ النَّارَ، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أثَرِ السّجُودِ) {الفتح: 29) وَاخْتَرْنَا أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ فِي مَنَافِذِهِ وَجِرَاحِهِ حِفَاظًا لِلْخَارِجِ مِنْهُ وَصِيَانَةً لِلْأَكْفَانِ.
Imam Syafi‘i berkata: “Kemudian diambil kapas, lalu diletakkan di atas ḥanūṭ dan kāfūr, lalu diletakkan pada mulutnya, kedua lubang hidungnya, kedua matanya, kedua telinganya, tempat sujudnya, dan seluruh lubang-lubangnya. Jika ada luka atau borok padanya, maka diletakkan juga di atasnya. Kepala dan janggutnya dijaga dengan kāfūr.”
Kami memilih agar hal itu dilakukan pada anggota-anggota sujudnya—yaitu tujuh anggota—karena diriwayatkan dalam hadis bahwa Allah Ta‘ala menugaskan (malaikat) yang menjaga tempat sujudnya dari api neraka. Dan berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: {Tanda-tanda mereka tampak di wajah mereka dari bekas sujud} (QS al-Fatḥ: 29).
Dan kami memilih agar hal itu dilakukan pula pada lubang-lubangnya dan lukanya, sebagai penjagaan dari sesuatu yang keluar darinya, dan untuk menjaga kebersihan kain kafan.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الطراز: وهو طيب ومسك يخلط ويداف فَيُوضَعُ عَلَى جَبِينِهِ فَلَا يَخْتَارُهُ، لِأَنَّهُ لَمْ يُرْوَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَلَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ الْأَحْيَاءِ مِنْ أَهْلِ الصِّيَانَةِ مَعَ مَا فِيهِ منْ تَشْوِيهِ الْبَشَرَةِ، وَتَغْيِيرِ اللَّوْنِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَأَكْرَهُ أَنْ يَجْعَلَ فِي عَيْنَيْهِ الزَّاوُوقَ، وَأَنْ يَجْعَلَ عَلَى بَدَنِهِ الْمُرْدَاسَنْجَ، وَالزَّاوُوقُ هُوَ شَيْءٌ لَزِجٌ كَالصَّمْغِ يُمْسِكُهُ وَيَحْفَظُهُ، وَإِنَّمَا كَرِهْتُهُ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَنْقُولٍ عَنْ أَحَدٍ يُتَّبَعُ.
وَكَذَلِكَ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُ الصَّبْرِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَلَا يُجْعَلُ الْمَيِّتُ فِي صُنْدُوقٍ وَهُوَ التَّابُوتُ، وَإِنَّمَا نهي عَنْهُ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَصْحَابَهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لَمْ يَفْعَلُوهُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ أَوْصَى فَقَالَ: لَا تَجْعَلُونِي فِي الصُّنْدُوقِ.
PASAL
Adapun ṭirāz—yaitu wewangian dan minyak kesturi yang dicampur dan diaduk lalu diletakkan di dahi mayit—maka hal itu tidak dipilih, karena tidak diriwayatkan dari seorang pun sahabat ra., dan tidak pula menjadi kebiasaan orang-orang yang menjaga diri dari kalangan orang hidup, serta di dalamnya terdapat unsur merusak kulit dan mengubah warna.
Imam Syafi‘i berkata dalam al-Umm: “Aku membenci jika ditaruh zāwūq di kedua matanya, atau ditaruh murdāsanj di tubuhnya.” Zāwūq adalah zat lengket seperti lem yang dapat melekat dan menjaga (tubuh), dan aku membencinya karena tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa hal itu dilakukan oleh orang yang dapat dijadikan panutan.
Demikian pula makruh menggunakan ṣabr (sejenis bahan yang pahit). Imam Syafi‘i berkata dalam al-Umm: “Dan mayit tidak diletakkan dalam ṣundūq (peti), yaitu tabut.” Larangan ini karena Nabi SAW dan para sahabat ra. tidak melakukannya. Dan diriwayatkan dari Sa‘d bin Abī Waqqāṣ bahwa ia berwasiat seraya berkata: “Jangan kalian letakkan aku di dalam peti.”
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيُوضَعُ الْمَيِّتُ مِنَ الْكَفَنِ بِالْمَوْضِعِ الذي يبقى من عند رجليه أولى مِمَّا يَبْقَى عِنْدَ رَأْسِهِ، وَإِنَّمَا اخْتَارَ ذَلِكَ لِأَنَّ نَمِرَةَ مُصْعَبٍ لَمَّا قَصُرَتْ عَنْهُ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَكُونَ أَكْثَرُهَا مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ لِيُغَطَّى بِهَا جَمِيعُ وَجْهِهِ، وَلِأَنَّ الرَّأْسَ أَشْرَفُ مِنْ جَمِيعِ الْجَسَدِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ ثُمَّ يُثْنى عَلَيْهِ ضَفَّة الثَّوْبِ الَّذِي يَلِيهِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ، ثُمَّ يُثْنى ضَفَّة الثَّوْبِ الْآخَرِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ كَمَا يَشْتَمِلُ الْحَيُّ، وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُدْرِجَهُ فِي أَكْفَانِهِ بَدَأَ بِمَا يَلِي شِقَّهُ الْأَيْسَرَ فَأَلْقَاهُ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ، وَمَا يَلِي شِقَّهُ الْأَيْمَنَ فَأَلْقَاهُ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ، ثُمَّ يَفْعَلُ بِالثَّانِي وَالثَّالِثِ مِثْلَ ذَلِكَ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ ذَلِكَ أَخَذَ مَا عِنْدَ رأسه فألقاه على وجهه، لأن لا يَكْشِفَهُ الرِّيحُ وَأَخَذَ مَا عِنْدَ رِجْلَيْهِ فَأَلْقَاهُ عَلَى رِجْلَيْهِ، ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ كَانَ الطَّرِيقُ بَعِيدًا يَخَافُ أَنْ يَكْشِفَهُ الرِّيحُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَخْرِقَ مِنْهُ ضَفَّةً دَقِيقَةً فَيَشُدَّهَا عَلَيْهِ، فَإِذَا أُدْخِلَ قَبْرَهُ حُلَّتْ، وَإِنْ كَانَ الطَّرِيقُ قَرِيبًا لَمْ يَشُدَّ، لِأَنَّ عَادَةَ السَّلَفِ بِالْحَرَمَيْنِ لَمْ تجر بمثله.
PASAL
Imam Syafi‘i berkata: “Jenazah diletakkan pada kain kafan dengan posisi yang menyisakan lebih banyak bagian dari arah kepalanya dibanding dari arah kakinya.” Beliau memilih demikian karena namirah (kain bergaris) milik Muṣʿab ketika tidak cukup menutupi tubuhnya, Rasulullah SAW memerintahkan agar bagian yang lebih panjang diarahkan ke kepalanya agar dapat menutupi seluruh wajahnya. Dan karena kepala lebih mulia daripada seluruh anggota tubuh lainnya.
Imam Syafi‘i berkata: “Kemudian sisi kain yang paling dekat dengan tubuh jenazah dilipat ke sisi kanannya, lalu sisi kain yang lain dilipat ke sisi kirinya, sebagaimana orang hidup berselimut.”
Dan hal ini benar jika ingin membungkus jenazah dalam kain kafan: dimulai dengan sisi kain yang dekat dengan sisi kiri jenazah, lalu dilipat ke sisi kanannya, kemudian sisi kanan dilipat ke sisi kirinya. Setelah itu dilakukan hal yang sama pada kain kedua dan ketiga.
Setelah selesai, bagian kain yang berada di dekat kepalanya diambil dan dilipatkan ke wajahnya agar tidak tersingkap oleh angin, dan bagian yang berada di dekat kedua kakinya dilipatkan ke arah kakinya.
Kemudian dilihat: jika jalan menuju kuburan cukup jauh dan dikhawatirkan angin akan membuka kafannya, maka disarankan untuk menyobek sedikit ujung kain itu dan mengikatkannya pada jenazah. Jika jenazah telah dimasukkan ke dalam kubur, maka ikatan tersebut dilepas kembali.
Namun jika jalan ke kuburan dekat, maka tidak perlu diikat, karena kebiasaan salaf di dua tanah haram (Makkah dan Madinah) tidak pernah melakukan hal seperti itu.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا أَدْخَلُوهُ الْقَبْرَ حَلُّوهَا وَأَضْجَعُوهُ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ وَوَسَّدُوا رَأْسَهُ بلبنةٍ وَأَسْنَدُوهُ لِئَلَّا يَسْتَلْقى عَلَى ظَهْرِهِ وَأَدْنَوْهُ إِلَى اللَّحْدِ مِنْ مُقَدَّمِهِ لئلاينكب على وجهه وينصب اللبن على اللحد ويسد فرج اللبن ثم يهال التراب عليه والإهالة أن يطرح من على شفير القبر التراب بيديه جميعاً ثم يهال بالمساحي ولا أحب أن يرد في القبر أكثر من ترابه لئلا يرتفع جداً ويشخص عن وجه الأرض قدر شبر ويرش عليه الماء ويوضع عليه الحصباء ويوضع عند رأسه صخرة أو علامة ما كانت “.
Masalah:
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Apabila mereka memasukkan jenazah ke dalam kubur, maka mereka membuka ikatannya, membaringkannya di sisi kanan, meletakkan bata sebagai bantal di bawah kepalanya, dan menyandarkannya agar tidak terlentang di punggungnya. Didekatkan ke arah laḥd (ceruk dalam kubur) dari bagian depannya agar tidak tertelungkup ke wajahnya. Batu bata disusun di atas laḥd, dan celah antar batu ditutup, kemudian ditimbunlah tanah di atasnya.”
Dan ihālah (penimbunan) adalah dengan melemparkan tanah dari bibir kubur dengan kedua tangan, lalu dilanjutkan dengan sekop. Aku tidak menyukai jika dimasukkan ke dalam kubur tanah lebih banyak dari tanah aslinya, agar tidak terlalu tinggi dan menonjol dari permukaan tanah kecuali setinggi satu jengkal. Lalu disiram dengan air, dan ditaburi kerikil di atasnya, serta diletakkan batu di dekat kepalanya atau tanda apa pun yang ada.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا دَفْنُ الْمَوْتَى فَوَاجِبٌ، وَهُوَ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ، وَكَانَ أَصْلُهُ أَنَّ قَابِيلَ لَمَّا قَتَلَ أَخَاهُ هَابِيلَ لَمْ يَدْرِ مَا يَصْنَعُ بِهِ {فَبَعَثَ اللهُ غُرَاباً يَبْحَثُ فِي الأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتِي أَعَجِزْتُ أنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الغُرَابِ فأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي} (المائدة: 31) فَتَنَبَّهَ قَابِيلُ بِفِعْلِ الْغُرَابِ عَلَى دَفْنِ أَخِيهِ فَدَفَنَهُ، وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَلَمْ نَجْعَلِ الأَرْضَ كِفَاتاً أحْيَاءُ وَأَمْوَاتاً) {المرسلات: 25) يَعْنِي تَجْمَعُهُمْ أَحْيَاءً وَتَضُمُّهُمْ أَمْوَاتًا، وَقَالَ تَعَالَى: {مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهاَ نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى) {طه: 55) فَإِذَا دُفِنَ الْمَيِّتُ وَاجِبًا فَيُخْتَارُ تَعْمِيقُ الْقُبُورِ، وَأَنْ يَكُونَ نَحْوَ الْقَامَةِ وَالْبَسْطَةِ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” عمقوا قبور موتاكم لأن لا تريح عليكم “.
Al-Māwardī berkata: Adapun menguburkan mayit hukumnya wajib, dan ia termasuk fardhu kifāyah. Asalnya adalah bahwa Qābil ketika membunuh saudaranya Hābil, ia tidak tahu apa yang harus diperbuat terhadapnya. {Maka Allah mengutus seekor gagak yang menggali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana ia seharusnya menguburkan jasad saudaranya. Qābil berkata: “Aduhai celakaku, apakah aku lemah untuk berbuat seperti gagak ini lalu aku menguburkan jasad saudaraku”} (al-Māidah: 31). Maka Qābil pun teringat dengan perbuatan gagak lalu ia menguburkan saudaranya. Allah Ta‘ālā berfirman: {Bukankah Kami menjadikan bumi sebagai tempat berkumpul yang hidup-hidup dan yang mati-mati} (al-Mursalāt: 25). Maksudnya: bumi mengumpulkan mereka ketika hidup dan menampung mereka ketika mati. Dan Allah Ta‘ālā berfirman: {Darinya Kami menciptakan kalian, ke dalamnya Kami kembalikan kalian, dan darinya pula Kami keluarkan kalian pada kali yang lain} (Thāhā: 55). Maka apabila menguburkan mayit itu wajib, dipilih untuk memperdalam kubur, dan hendaknya seukuran tinggi badan dan rentangan tangan, karena diriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda: “Perdalam-lah kubur mayit kalian agar tidak mengeluarkan bau kepada kalian.”
فَصْلٌ
: اللَّحْدُ فِي الْقُبُورِ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنَ الشق الضَّرِيحِ فِي وَسَطِهِ، بِخِلَافِ مَذْهَبِ أبي حنيفة، لِمَا رَوَى سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” اللحد لنا والشق لغيرها ” وقد كلف عَادَةُ أَهْلِ مَكَّةَ الضَّرِيحَ، وَكَانَ يَتَوَلَّى ذَلِكَ لَهُمْ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، وَكَانَتْ عَادَةُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ اللَّحْدَ، وَكَانَ يَتَوَلَّى ذَلِكَ لَهُمْ أَبُو طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيُّ ” فَلَمَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ قَوْمٌ اجْعَلُوا لَهُ ضَرِيحًا وَقَالَ آخَرُونَ لَحْدًا، فَأَنْفَذَ الْعَبَّاسُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَسُولًا إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ وَرَسُولًا إِلَى أَبِي طَلْحَةَ وَقَالَ الْعَبَّاسُ اللَّهُمَّ خِرْ لِنَبِيِّكَ فَسَبَقَ الرَّسُولُ إِلَى أَبِي طَلْحَةَ فَجَاءَ بِهِ فَأَلْحَدَ لَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.
PASAL: Laḥd di dalam kubur lebih kami sukai daripada syaqq (kubur belahan) di tengahnya, berbeda dengan mazhab Abū Ḥanīfah. Karena telah diriwayatkan oleh Sa‘īd bin Jubair dari Ibn ‘Abbās dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Laḥd untuk kita dan syaqq untuk selain kita.”
Dan kebiasaan penduduk Makkah adalah dengan ḍarīḥ (syaqq), dan yang melaksanakannya bagi mereka adalah Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ. Sedangkan kebiasaan penduduk Madinah adalah dengan laḥd, dan yang melaksanakannya bagi mereka adalah Abū Ṭalḥah al-Anṣārī.
Maka ketika Rasulullah SAW wafat, sebagian orang berkata: “Kuburkanlah beliau dengan ḍarīḥ.” Sebagian yang lain berkata: “Dengan laḥd.” Maka al-‘Abbās RA mengutus seorang utusan kepada Abū ‘Ubaidah dan seorang utusan kepada Abū Ṭalḥah, lalu al-‘Abbās berdoa: “Ya Allah, pilihkanlah untuk Nabi-Mu.” Maka utusan lebih dahulu sampai kepada Abū Ṭalḥah, lalu ia datang dan membuatkan laḥd bagi beliau SAW.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا أُدْخِلَ الْمَيِّتُ قَبْرَهُ أَضْجَعُوهُ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ، اتِّبَاعًا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَيُوَسَّدُ رَأْسُهُ بِلَبِنَةٍ وَيُكْرَهُ الْمِخَدَّةُ وَالْمُضْرِبَةُ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ تَفَاخُرِ الْأَحْيَاءِ وَفِعْلِ الْمُتَنَعِّمِينَ، فَإِذَا انصب في اللحد قرب منه لأنه لا يَنْكَبَّ، وَأُسْنِدَ مِنْ وَرَائِهِ لِئَلَّا يَسْتَلْقِيَ، ثُمَّ يُنْصَبُ عَلَيْهِ اللَّبِنُ نَصْبًا قَائِمًا لَا بَسْطًا، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كذلك فعل به، ولأنهأحكم في عمارة وَأَبْعَدُ فِي بِلَى أَكْفَانِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي اللَّحْدِ فُرُجٌ سَدُّوهَا بِقِطَعِ اللَّبِنِ، ثُمَّ يُهَالُ عَلَيْهِ التُّرَابُ، وَالْإِهَالَةُ أَنْ يَطْرَحَ مِنْ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ التُّرَابَ بِيَدَيْهِ جَمِيعًا، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا، لِرِوَايَةِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَهَالَ عَلَى قَبْرِ ميتٍ بِكَفَّيْهِ ثَلَاثًا ” ثُمَّ يُهَالُ عَلَيْهِ بِالْمِسَاحِي، لِأَنَّ ذَلِكَ أَسْرَعُ فِي عَمَلِهِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَا أُحِبُّ أَنْ يُزَادَ في القبر أكثر من ترابه، لأن لا يَعْلُوَ جِدًّا، وَيَخْتَارُ أَنْ يُرْفَعَ الْقَبْرُ عَنِ الأرض قدر شبر أو نحوه ليعلم أن قبر، فيترحم عليه، ولأن لا يَنْسَاهُ مَنْ يَجْهَلُ أَمْرَهُ.
PASAL: Apabila mayit dimasukkan ke dalam kuburnya, maka dibaringkan pada sisi kanannya menghadap kiblat, mengikuti Rasulullah SAW. Kepalanya dialasi dengan labinah (bata tanah), dan dimakruhkan memakai bantal atau alas mewah, karena hal itu termasuk kebanggaan orang hidup dan perbuatan orang yang bersenang-senang. Apabila tubuhnya condong di dalam laḥd, maka didekatkan kepadanya supaya tidak tertelungkup, dan disangga dari belakang supaya tidak telentang. Kemudian ditata di atasnya batu bata secara tegak, bukan secara datar, karena Rasulullah SAW diperlakukan demikian, dan hal itu lebih kokoh dalam bangunan serta lebih menjaga kain kafannya dari cepat rusak.
Apabila ada celah dalam laḥd, maka ditutup dengan potongan bata, lalu ditimbun dengan tanah. Cara menimbun tanah adalah menaruh tanah dari sisi kanan dengan kedua tangan sekaligus, dan disunnahkan melakukannya tiga kali, berdasarkan riwayat dari Ja‘far bin Muḥammad bin ‘Alī: “Bahwa Rasulullah SAW menimbunkan tanah di atas kubur seorang mayit dengan kedua tangannya sebanyak tiga kali.” Setelah itu ditimbun dengan sekop, karena hal itu lebih cepat dalam pengerjaannya.
Imam al-Syāfi‘ī berkata: Aku tidak suka ditambahkan tanah ke dalam kubur lebih dari tanahnya sendiri, supaya tidak terlalu tinggi. Dipilih agar kubur ditinggikan dari permukaan tanah kira-kira satu jengkal atau semisalnya, supaya diketahui bahwa itu adalah kubur, lalu orang mendoakan rahmat kepadanya, dan agar tidak dilupakan oleh orang yang tidak mengetahuinya.
فَصْلٌ
: الْمُخْتَارُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنْ تُسْطَحَ الْقُبُورُ وَلَا تُسْنَمَ، وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ أبي حنيفة أَنْ تُسْنَمَ وَلَا تُسْطَحَ، وَاخْتِيَارُ الشَّافِعِيِّ أَوْلَى، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَطَحَ قَبْرَ ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَرُوِيَ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَبَرَ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ فَسَطَحَ قَبْرَهُ ” وَرُوِيَ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ: ” دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقُلْتُ لَهَا: يَا أُمَّهْ اكْشِفِي عَنْ قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَكَشَفَتْ فَرَأَيْتُ قَبْرَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مُسَطَّحَةً.
PASAL: Pendapat yang dipilih dalam mazhab al-Syāfi‘ī adalah bahwa kubur diratakan (datar) dan tidak dibuat menonjol (musannam). Sedangkan pendapat yang dipilih menurut Abū Ḥanīfah adalah kubur dibuat menonjol dan tidak diratakan. Pilihan al-Syāfi‘ī lebih utama, karena Rasulullah SAW meratakan kubur putranya Ibrāhīm ‘alaihissalām.
Dan diriwayatkan bahwa Nabi SAW menguburkan ‘Uthmān bin Maẓ‘ūn lalu beliau meratakan kuburnya.
Juga diriwayatkan dari al-Qāsim bin Muḥammad, ia berkata: “Aku masuk menemui ‘Āisyah RA, lalu aku berkata kepadanya: Wahai ibunda, bukakanlah penutup kubur Rasulullah SAW. Maka beliau pun membuka, lalu aku melihat kubur Rasulullah SAW, Abū Bakr, dan ‘Umar RA dalam keadaan rata (datar).”
فَصْلٌ
: فَإِذَا سَطَحَ الْقَبْرَ وَفَرَغَ مِنْهُ فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَرُشَّ عَلَيْهِ الْمَاءَ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَشَّ عَلَى قَبْرِ ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ الْمَاءَ، وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ نَقَاءً، وَلَا يُبَرِّكُهُ الْمَاءَ، وَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ يُبَرِّدُ عَلَيْهِ مَضْجَعَهُ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَحْفَظُ لِلْقَبْرِ وَأَبْقَى لِأَثَرِهِ ثُمَّ يُوضَعُ عَلَى الْقَبْرِ حَصًا، وَهُوَ الْحَصَا الصِّغَارُ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَضَعَ عَلَى قَبْرِ ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مِنْ حَصْبَاءِ الْعَرْصَةِ، ثُمَّ يُوضَعُ عِنْدَ رَأْسِ الْمَيِّتِ صَخْرَةً أَوْ عَلَامَةً يُعْرَفُ بِهَا، وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ أَيْضًا مِثْلَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا قَبَرَ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَضَعَ عِنْدَ قَبْرِهِ حَجَرَيْنِ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِهِ وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيْهِ، فَقَالَ: أَجْعَلُ لِقَبْرِ أَخِي عَلَامَةً أَدْفِنُ عِنْدَهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِهِ “.
PASAL: Apabila kubur telah diratakan dan selesai dikerjakan, maka sebaiknya diperciki dengan air, karena Rasulullah SAW memercikkan air di atas kubur putranya Ibrāhīm ‘alaihissalām. Hal itu juga mengandung kebersihan, dan bukan air yang membuatnya becek, sebab Allah SWT yang menyejukkan tempat tidurnya. Selain itu, memercikkan air lebih menjaga kubur dan lebih lama meninggalkan bekasnya.
Kemudian diletakkan di atas kubur kerikil-kerikil kecil, karena Rasulullah SAW meletakkan di atas kubur putranya Ibrāhīm ‘alaihissalām kerikil-kerikil dari tanah lapang.
Lalu diletakkan di sisi kepala mayit sebuah batu atau tanda yang bisa dikenali, dan di sisi kakinya juga demikian. Karena ketika Rasulullah SAW menguburkan ‘Uthmān bin Maẓ‘ūn, beliau meletakkan di kuburnya dua batu, salah satunya di sisi kepala dan yang lainnya di sisi kaki, lalu beliau bersabda: “Aku jadikan untuk kubur saudaraku ini sebuah tanda, agar aku menguburkan di dekatnya siapa pun dari keluarganya yang meninggal.”
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ الدَّفْنُ فِي الصَّحْرَاءِ لَا فِي الْبُيُوتِ وَالْمَسَاكِنِ، لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى لِكَثْرَةِ الدَّاعِي لَهُ إِذَا دَرَسَ قَبْرُهُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَهْلِ الْقُبُورِ الدَّارِسَةِ ” وَيُخْتَارُ لِمَنْ مَرَّ بِالْقُبُورِ أَنْ يَدْعُوَ لِأَهْلِهَا بالرحمة، ويسلم عَلَيْهِمْ وَيَقُولَ أَنْتُمْ لَنَا سَابِقُونَ وَنَحْنُ بِكُمْ لَاحِقُونَ، فَقَدْ رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَمَّا الْقِرَاءَةُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَرَأَيْتُ مَنْ أَوْصَى بِالْقِرَاءَةِ عِنْدَ قَبْرِهِ وَهُوَ عِنْدَنَا حَسَنٌ.
PASAL: Imam al-Syāfi‘ī berkata: Aku lebih suka pemakaman dilakukan di tanah lapang, bukan di dalam rumah dan tempat tinggal, karena hal itu lebih dekat kepada rahmat Allah Ta‘ālā disebabkan banyaknya orang yang mendoakan apabila kuburnya telah usang.
Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Ya Allah, ampunilah penghuni kubur-kubur yang telah usang.”
Disunnahkan bagi orang yang melewati kuburan untuk mendoakan rahmat bagi penghuninya, memberi salam kepada mereka, dan berkata: “Kalian telah mendahului kami, dan kami akan menyusul kalian.” Hal ini telah diriwayatkan dari Nabi SAW.
Adapun membaca al-Qur’an di sisi kubur, maka Imam al-Syāfi‘ī berkata: Aku pernah melihat ada orang yang berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi kuburnya, dan hal itu menurut kami adalah baik.
فَصْلٌ
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَا أُحِبُّ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ فِي بَلْدَةٍ أَنْ يُنْقَلَ إِلَى غَيْرِهَا وَبِخَاصَّةٍ إِنْ كَانَ مَاتَ بِمَكَّةَ أَوِ الْمَدِينَةِ أَوْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، اللَّهُمَّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بِالْقُرْبِ مِنْ مَكَّةَ أَوِ الْمَدِينَةِ أَوْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَيَخْتَارُ أَنْ يُنْقَلَ إِلَيْهَا لِفَضْلِ الدَّفْنِ فِيهَا فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ مَاتَ فِي أَحَدِ الْحَرَمَيْنِ بُعِثَ مِنَ الْآمِنِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ” رَوَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَنَسٌ، وَزَادَ الزُّهْرِيُّ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَنْ قُبِرَ بِالْمَدِينَةِ كُنْتُ عَلَيْهِ شَاهِدًا وَلَهِ شَافِعًا وَمَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ فَكَأَنَّمَا مَاتَ بِسَمَاءِ الدُّنْيَا “.
PASAL: Imam al-Syāfi‘ī berkata: Aku tidak suka apabila seseorang meninggal di suatu negeri lalu dipindahkan ke negeri lain, terutama jika ia wafat di Makkah, Madinah, atau Baitul Maqdis. Kecuali jika tempat wafatnya itu dekat dengan Makkah, Madinah, atau Baitul Maqdis, maka dipilih untuk dipindahkan ke sana karena keutamaan dikuburkan di tempat-tempat tersebut.
Telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang wafat di salah satu dari dua tanah haram, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat termasuk golongan orang-orang yang aman.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbās dan Anas.
Dan al-Zuhrī menambahkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang dikuburkan di Madinah, maka aku menjadi saksi atasnya dan pemberi syafaat baginya. Dan barangsiapa yang wafat di Makkah, maka seakan-akan ia wafat di langit dunia.”
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُدْفَنَ الْمَيِّتُ لَيْلًا، وَقَدْ كَرِهَ الْحَسَنُ ذَلِكَ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ مَا رُوِيَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دُفِنَتْ لَيْلًا، وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دُفِنَ لَيْلًا، وَرُوِيَ أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دُفِنَ لَيْلًا.
PASAL: Imam al-Syāfi‘ī berkata: Tidak mengapa mayit dikuburkan pada malam hari, meskipun al-Ḥasan memakruhkannya.
Dalil atas bolehnya hal itu adalah riwayat bahwa Fāṭimah binti Rasulullah SAW dikuburkan pada malam hari. Dan diriwayatkan pula bahwa Abū Bakr RA dikuburkan pada malam hari, serta ‘Uthmān RA juga dikuburkan pada malam hari.
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ أَنَّ قَوْمًا فِي مَرْكَبٍ مَاتَ مِنْهُمْ مَيِّتٌ كَانَ عَلَيْهِمْ أَنْ يُغَسِّلُوهُ وَيُكَفِّنُوهُ وَيُصَلُّوا عَلَيْهِ، ثُمَّ يَنْظُرُونَ فَإِنْ كَانُوا بِالْقُرْبِ مِنَ الْأَرْضِ، وَلَمْ يَكُنْ فِي صُعُودِهِمْ مَخَافَةٌ مِنْ عَدُوٍّ وَلَا سَبُعٍ، كَانَ عَلَيْهِمْ أَنْ يُقَدِّمُوهُ إِلَى قَبْرِهِ فِي الْأَرْضِ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْأَرْضِ بُعْدٌ يُخَافُ أَنْ يَفْسُدَ الْمَيِّتُ إِلَى الْبُلُوغِ، أَوْ كَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْأَرْضِ قُرْبٌ وَلَكِنَّهُمْ يَخْشَوْنَ مِنْ صُعُودِهِمْ أَنْ يَظْفَرَ بِهِمْ عَدُوٌّ أَوْ سَبُعٌ فَإِنَّهُمْ يَشُدُّونَهُ بَيْنَ لَوْحَيْنِ وَيُلْقُونَهُ فِي الْبَحْرِ بَعْدَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ، فَإِنْ أَلْقَوْهُ فِي الْبَحْرِ رَجَوْتُ أن يسعهم.
PASAL: Imam al-Syāfi‘ī berkata: Jika suatu kaum berada di atas perahu lalu salah seorang dari mereka meninggal, maka wajib atas mereka memandikannya, mengafaninya, dan menyalatinya. Kemudian mereka melihat keadaan: apabila mereka dekat dengan daratan dan tidak ada kekhawatiran dari musuh atau binatang buas ketika mereka naik ke darat, maka wajib atas mereka membawanya ke kubur di darat.
Namun jika antara mereka dengan daratan terdapat jarak jauh sehingga dikhawatirkan mayit itu akan rusak sebelum sampai, atau jaraknya dekat tetapi mereka khawatir ketika naik ke darat musuh atau binatang buas akan menyerang mereka, maka hendaklah mereka mengikatnya di antara dua papan lalu melemparkannya ke laut setelah disalati. Jika mereka melemparkannya ke laut, aku berharap hal itu mencukupi mereka.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الْقَبْرِ فَقَدْ أَكْمَلَ وَيَنْصَرِفُ مَنْ شَاءَ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ إِذَا ووري فذلك له واسع (قال) وَبَلَغَنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه سطح قبر ابنه إبراهيم عليه السلام ووضع عليه حصباء من حصباء العرضة وأنه عليه السلام رش على قبره وروي عن القاسم قال رأيت قبر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وأبي بكر وعمر مسطحة “.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Apabila telah selesai dari pengurusan kubur, maka ia telah sempurna. Siapa yang ingin pergi maka boleh berpaling, dan siapa yang ingin tetap tinggal sampai mayit ditutup tanah maka hal itu juga luas baginya.”
Beliau berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah SAW meratakan kubur putranya Ibrāhīm ‘alaihissalām, dan beliau meletakkan di atasnya kerikil-kerikil dari tanah lapang, serta beliau SAW memercikkan air di atas kuburnya. Dan diriwayatkan dari al-Qāsim, ia berkata: Aku melihat kubur Nabi SAW, Abū Bakr, dan ‘Umar dalam keadaan rata (datar).”
قال الماوردي: ووري، فذلك له واسع (وَهَذَا صَحِيحٌ) ثَبَتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ شَيَّعَ جِنَازَةً وَصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنِ انْتَظَرَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قيراطان، فلايَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا أَنَّهُ إِذَا صَلَّى عَلَيْهِ فَقَدِ اسْتَحَقَّ قِيرَاطًا، وَاخْتَلَفُوا فِي الْقِيرَاطِ الْآخَرِ مَتَى يَسْتَحِقُّهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِذَا وُورِيَ فِي لَحْدِهِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ إِذَا فَرَغَ مِنْ قَبْرِهِ، وَيَخْتَارُ لِمَنْ يَحْضُرُ دَفْنَهُ أَنْ يَقْرَأَ سُورَةَ يس وَيَدْعُوَ لَهُ وَيَتَرَحَّمَ عَلَيْهِ، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَرَّ بِقَوْمٍ يَدْفِنُونَ مَيِّتًا فَقَالَ تَرَحَّمُوا عَلَيْهِ فإنه الآن يسأل “.
Al-Māwardī berkata: “Dan apabila mayit telah ditutup tanah, maka hal itu luas baginya.” (Ini adalah pendapat yang sahih) yang tetap dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengiringi jenazah dan menyalatkannya maka baginya satu qīrāṭ, dan barangsiapa menunggunya hingga selesai dikuburkan maka baginya dua qīrāṭ.”
Maka para sahabat kami tidak berselisih bahwa apabila ia menyalatkannya maka ia berhak atas satu qīrāṭ. Namun mereka berselisih tentang qīrāṭ yang kedua, kapan seseorang berhak mendapatkannya, dengan dua pendapat:
Pertama: Apabila mayit telah dimasukkan ke dalam laḥd-nya.
Kedua: Dan ini yang lebih sahih, yaitu apabila telah selesai dari pengurusan kuburnya.
Dan dipilih bagi orang yang menghadiri penguburannya agar membaca surat Yāsīn, mendoakannya, dan memohonkan rahmat untuknya. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW melewati suatu kaum yang sedang menguburkan mayit, lalu beliau bersabda: “Mohonkanlah rahmat untuknya, karena sesungguhnya ia sekarang sedang ditanya.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا تُبْنَى الْقُبُورُ وَلَا تُجَصَّصُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا تَجْصِيصُ الْقُبُورِ فَمَمْنُوعٌ مِنْهُ، فِي مِلْكِهِ وَغَيْرِ مِلْكِهِ، لِرِوَايَةِ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى عن تجصيص الْقُبُورِ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ يَعْنِي تَجْصِيصَهَا، وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَى الْقُبُورِ كَالْبُيُوتِ وَالْقِبَابِ، فَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى عن بناء القبور، ولأن فيه تضييق عَلَى غَيْرِهِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَرَأَيْتُ الْوُلَاةَ عِنْدَنَا بِمَكَّةَ يَأْمُرُونَ بِهَدْمِ مَا يَبْنُونَ مِنْهَا، وَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي مِلْكِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَحْظُورًا لَمْ يَكُنْ مُخْتَارًا.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Dan tidak boleh kubur dibangun dan tidak boleh diplester (dengan kapur).”
Al-Māwardī berkata: Adapun memplester kubur hukumnya terlarang, baik di tanah miliknya maupun bukan miliknya. Berdasarkan riwayat Abū al-Zubair dari Jābir bahwa Rasulullah SAW melarang memplester kubur. Abū ‘Ubaid berkata: maksudnya adalah melapisinya dengan kapur.
Adapun membangun di atas kubur seperti rumah atau kubah, jika di tanah bukan miliknya maka tidak boleh, karena Rasulullah SAW melarang membangun di atas kubur, dan juga karena hal itu menyempitkan bagi orang lain.
Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Aku melihat para penguasa di Makkah memerintahkan untuk merobohkan bangunan yang didirikan di atas kubur, dan aku tidak melihat para fuqahā’ mencela mereka atas tindakan itu. Dan jika bangunan itu didirikan di tanah miliknya sendiri, maka meskipun tidak sampai pada derajat yang terlarang, tetap bukan merupakan pilihan yang baik.”
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ وَإِنْ كَانَتِ الْمَقْبَرَةُ مُسَبَّلَةً عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَتَنَازَعَ اثْنَانِ فِي مَوْضِعٍ مِنْهَا لِدَفْنِ مَيِّتٍ فَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا سَابِقًا فَهُوَ أَوْلَى، وَإِنْ تَسَاوَيَا أُقْرِعَ بَيْنَهُمَا.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِذَا دُفِنَ مَيِّتٌ فِي أَرْضٍ مُسَبَّلَةٍ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْبِشَهُ وَيُنْزِلَ عَلَيْهِ مَيتَه، إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ بَلِيَ وَصَارَ رَمِيمًا، فَإِنِ اسْتَعْجَلَ فِي نَبْشِهِ وَكَانَ أَثَرُ الْمَيِّتِ بَاقِيًا فَعَلَيْهِ رَدُّ تُرَابِهِ وَعِظَامِهِ إِلَيْهِ، وَإِعَادَةُ الْقَبْرِ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ.
PASAL: Imam al-Syāfi‘ī berkata: Apabila kuburan diwakafkan (musabbalah) untuk kaum muslimin, lalu dua orang berselisih pada suatu tempat di dalamnya untuk menguburkan mayit, maka jika salah satunya lebih dahulu, dialah yang lebih berhak. Jika keduanya bersamaan, maka diundi di antara keduanya.
Imam al-Syāfi‘ī berkata: Dan apabila seorang mayit telah dikuburkan di tanah wakaf (musabbalah), maka tidak boleh bagi siapa pun membongkarnya lalu menguburkan mayit lain di atasnya, kecuali jika mayit itu sudah hancur dan menjadi tanah. Jika tergesa-gesa membongkarnya sementara bekas mayit masih ada, maka wajib baginya mengembalikan tanah dan tulang-belulangnya, serta mengembalikan kubur itu seperti semula.
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِذَا أَعَارَهُ بُقْعَةً لِلدَّفْنِ فَدُفِنَ فِيهَا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِي إِعَارَتِهَا، مَا لَمْ يَتَحَقَّقْ أَنَّهُ قَدْ بَلِيَ وَصَارَ رَمِيمًا، فَإِذَا تَحَقَّقَ ذَلِكَ كَانَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيهَا، وَإِنْ دُفِنَ فِي مِلْكِهِ بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَمَوْضِعُ الدَّفْنِ غَصْبٌ، قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَكْرَهُ أَنْ يَنْقُلَهُ، لِأَنَّهُ نَهْكُ حُرْمَتِهِ، فَإِنْ نَقَلَهُ جَازَ، فَلَوْ غَصَبَ كَفَنًا وَكَفَّنَ لَهُ مَيِّتًا ودفن قال أبو حامد لم يخرج، وكان عَلَى غَاصِبِ الْكَفَنِ قِيمَتُهُ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأَرْضِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حُرْمَةَ الْأَرْضِ أوكد؛ لأن الانتفاع بها مؤيد، والانتفاع بالثوب مؤبداً.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْكَفَنَ رُبَّمَا تَعَيَّنَ عَلَى صَاحِبِهِ بتكفين الْمَيِّتِ بِهِ إِذَا لَمْ يُوجَدْ غَيْرُهُ، وَالْأَرْضُ الْمَمْلُوكَةُ لَا يَتَعَيَّنُ الدَّفْنُ فِيهَا لِوُجُودِ غَيْرِهَا مِنَ الْمُبَاحِ، فَكَانَ حُكْمُ الْأَرْضِ أَغْلَظَ وَيَحْتَمِلُ غَيْرَ هَذَا الْقَوْلِ وَيُمْكِنُ قَلْبُ الْفُرُوقِ بِمَا هو أولى منها.
PASAL: Imam al-Syāfi‘ī berkata: Apabila seseorang meminjamkan sebidang tanah untuk pemakaman, lalu mayit dikuburkan di dalamnya, maka ia tidak boleh menarik kembali pinjamannya selama belum dipastikan bahwa mayit itu telah hancur dan menjadi tanah. Jika sudah dipastikan demikian, maka ia boleh menggunakannya kembali.
Jika mayit dikuburkan di tanah miliknya tanpa seizinnya, maka tempat penguburan itu statusnya ghasab. Imam al-Syāfi‘ī berkata: Aku tidak suka mayit itu dipindahkan, karena hal itu merusak kehormatannya. Namun jika dipindahkan, maka boleh.
Seandainya seseorang merampas kain kafan lalu dipakaikan untuk mengkafani mayit dan dikuburkan, maka menurut Abū Ḥāmid tidak boleh dikeluarkan kembali, tetapi bagi perampas kafan wajib mengganti nilainya.
Perbedaan antara tanah dengan kain kafan ada dua sisi:
Pertama: Kehormatan tanah lebih kuat, karena pemanfaatannya terus-menerus, sedangkan pemanfaatan kain hanya sekali untuk selama-lamanya.
Kedua: Kain kafan terkadang menjadi kewajiban khusus atas pemiliknya untuk mengkafani mayit bila tidak ada selainnya, sedangkan tanah milik pribadi tidak harus dipakai untuk pemakaman karena masih ada tanah lain yang mubah. Maka hukum tanah lebih ketat.
Namun hal ini masih mungkin diperselisihkan, dan bisa saja perbedaan itu dibalik dengan alasan yang lebih kuat.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَالْمَرْأَةُ في غسلها كالرجل وتتعهد بأكثر ما يتعهد به الرجل وأن يضفر شعر رأسها ثلاثة قرون فيلقين خلفها لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر بذلك أم عطية في ابنته وبأمره غسلتها “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لِأَنَّهُمَا لَمَّا اسْتَوَيَا فِي غُسْلِهِمَا حَيَّيْنِ اسْتَوَيَا فِي غُسْلِهِمَا مَيِّتَيْنِ، لَكِنْ يَنْبَغِي لِغَاسِلِ الْمَرْأَةِ أَنْ يَزِيدَ في تفقد بدنها وتعاهد جسدها لمالها مِنَ الْعُكَنِ الَّتِي يَعْدِلُ الْمَاءُ عَنْهَا ثُمَّ يَجْعَلُ شَعْرَ رَأْسِهَا ثَلَاثَ ضَفَائِرَ خَلْفَهَا.
وَقَالَ أبو حنيفة: يجعل ضفيرتين تلتقيان عَلَى صَدْرِهَا، وَمَا ذَكَرْنَاهُ أَوْلَى: لِمَا رُوِيَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قالت: ظفرنا شَعْرَ أُمِّ كُلْثُومٍ ابنةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثَلَاثَةَ قُرُونٍ وَأَلْقَيْنَاهَا خَلْفَهَا، وَأُمُّ عَطِيَّةَ لَمْ تَفْعَلْ ذَلِكَ إِلَّا عَنْ أَمْرٍ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Wanita dalam hal mandi jenazah sama seperti laki-laki. Ia juga diperhatikan dengan apa yang diperhatikan pada laki-laki. Rambut kepalanya dikepang menjadi tiga kepangan lalu diletakkan ke belakangnya, karena Nabi SAW memerintahkan hal itu kepada Ummu ‘Aṭiyyah ketika memandikan putrinya. Dan dengan perintah beliau SAW Ummu ‘Aṭiyyah memandikannya.”
Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, karena keduanya (laki-laki dan perempuan) sama dalam mandi ketika hidup, maka sama pula dalam mandi ketika meninggal. Akan tetapi sebaiknya orang yang memandikan perempuan lebih teliti dalam memeriksa tubuhnya dan memperhatikan jasadnya, karena adanya lipatan-lipatan tubuh yang sering air tidak merata sampai ke sana. Kemudian rambut kepalanya dibuat tiga kepangan di belakangnya.
Abū Ḥanīfah berkata: Rambutnya dibuat dua kepangan yang diletakkan bertemu di dadanya. Dan apa yang kami sebutkan lebih utama, karena diriwayatkan dari Ummu ‘Aṭiyyah RA bahwa ia berkata: “Kami mengepang rambut Ummu Kulthūm putri Rasulullah SAW menjadi tiga kepangan dan kami letakkan ke belakangnya.” Dan Ummu ‘Aṭiyyah tidak melakukan hal itu kecuali dengan perintah Rasulullah SAW.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَتُكَفَّنُ بِخَمْسَةِ أَثْوَابٍ خمارٌ وإزارٌ وَثَلَاثَةُ أَثْوَابٍ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهَا دِرْعًا لِمَا رَأَيْتُ فِيهِ مِنَ قَوْلِ الْعُلَمَاءِ وَقَدْ قَالَ بِهِ الشَّافِعِيُّ مَرَّةً مَعَهَا ثُمَّ خَطَّ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْوَاجِبُ مِنْ كَفَنِ الْمَرْأَةِ فَهُوَ ثَوْبٌ يَسْتُرُ جَمِيعَ بَدَنِهَا إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا، أَمَّا الْمَسْنُونُ مِنْهُ وَمَا جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُ السَّلَفِ الصَّالِحِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَخَمْسَةُ أَثْوَابٍ، لِأَنَّ حُكْمَ عَوْرَتِهَا أَغْلَظُ وَلِبَاسَهَا فِي الْحَيَاةِ أَكْمَلُ، وَقَدْ رَوَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ فِي غَسْلِهَا بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ يُنَاوِلُهَا بِيَدِهِ ثَوْبًا ثَوْبًا حَتَّى دَفَعَ إِلَيْهَا خَمْسَةً. فَأَمَّا صِفَةُ هَذِهِ الْأَثْوَابِ الْخَمْسَةِ فَهِيَ مِئْزَرٌ وَخِمَارٌ وَإِزَارَانِ، وَفِي الخامس قولان:
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Wanita dikafani dengan lima kain: khimār, izār, dan tiga lembar kain. (al-Muzanī berkata:) Aku lebih suka salah satunya berupa dir‘ (baju kurung), karena aku melihat pendapat ulama demikian. Dan al-Syāfi‘ī pernah berpendapat begitu lalu kemudian beliau menghapusnya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun yang wajib dari kafan wanita adalah selembar kain yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Adapun yang sunnah, dan yang menjadi amalan para salaf ṣāliḥ raḍiyallāhu ‘anhum, adalah lima kain, karena hukum aurat wanita lebih ketat, dan pakaiannya di masa hidup lebih lengkap.
Ummu ‘Aṭiyyah meriwayatkan bahwa ketika ia memandikan putri Rasulullah SAW, beliau senantiasa memberikan kepadanya sehelai demi sehelai kain, hingga beliau menyerahkan kepadanya lima lembar.
Adapun bentuk dari lima kain itu adalah: mi’zār, khimār, dua lembar izār, dan pada yang kelima terdapat dua pendapat.
أحدهما: إزار ثان.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّهُ دِرْعٌ لِمَا رَوَتْ لَيْلَى الثَّقَفِيَّةُ أَنَّهَا قَالَتْ: ” كُنْتُ فِيمَنْ غَسَّلَ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَوَّلُ مَا نَاوَلَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْإِزَارَ ثُمَّ الدِّرْعَ، ثُمَّ الْخِمَارَ، ثُمَّ الْمِلْحَفَةَ، ثُمَّ الثَّوْبَ الَّذِي أَدْرَجْنَاهَا فِيهِ ” فَعَلَى هَذَا تُؤَزَّرُ أَوَّلًا ثُمَّ تُدْرَعُ ثُمَّ تُخَمَّرُ ثُمَّ تُلَفُّ فِي ثَوْبَيْنِ، وَقَدْ حَكَى الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُشَدُّ عَلَى صَدْرِهَا بِثَوْبٍ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ هَذَا الثَّوْبُ مِنْ جُمْلَةِ الْخَمْسَةِ أَوْ زَائِدٍ عَلَيْهَا، فَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ هُوَ ثَوْبٌ مِنْ جُمْلَةِ الْخَمْسَةِ يُشَدُّ عَلَى صَدْرِهَا وَيُدْفَنُ مَعَهَا، وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ ثَوْبٌ سَادِسٌ غَيْرُ الْخَمْسَةِ يُشَدُّ عَلَى صَدْرِهَا، فَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا هَلْ يُحَلُّ عِنْدَ دفنها أم لا على وجهين؟ أحدهما يُحَلُّ عَنْهَا وَيُؤْخَذُ عِنْدَ دَفْنِهَا.
Salah satu pendapat: kain kelima adalah izār yang kedua.
Pendapat yang kedua, dan ini yang lebih sahih serta dipilih al-Muzanī, bahwa kain itu adalah dir‘, berdasarkan riwayat dari Lailā al-Tsaqafiyyah, ia berkata: “Aku termasuk di antara yang memandikan Ummu Kulthūm binti Rasulullah SAW. Maka kain pertama yang diberikan Rasulullah SAW kepada kami adalah izār, kemudian dir‘, kemudian khimār, kemudian milḥafah, kemudian kain yang kami membungkusnya di dalamnya.”
Berdasarkan hal ini, maka jenazah wanita dipakaikan izār terlebih dahulu, lalu dir‘, lalu khimār, kemudian dibungkus dengan dua kain.
Dan al-Muzanī meriwayatkan dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr dari Imam al-Syāfi‘ī bahwa jenazah wanita diikatkan pada dadanya dengan selembar kain. Maka para ulama Syāfi‘iyyah berbeda pendapat: apakah kain ini termasuk bagian dari lima kain atau tambahan di luar lima itu?
Abū al-‘Abbās Ibn Surayj berpendapat bahwa kain tersebut termasuk salah satu dari lima, diikatkan pada dadanya dan ikut dikuburkan bersamanya.
Sedangkan Abū Isḥāq al-Marwazī dan mayoritas ulama kami berpendapat bahwa kain itu adalah kain keenam selain lima kain, yang diikatkan pada dadanya.
Bagi yang berpendapat demikian, mereka berselisih lagi: apakah kain itu dilepas ketika penguburan atau tidak? Menurut salah satu pendapat, kain itu dilepas darinya dan diambil ketika penguburan.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَمُؤْنَةُ الْمَيِّتِ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ دُونَ وَرَثَتِهِ وَغُرَمَائِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِنَّمَا كَانَتْ مِنْ أَصْلِ تَرِكَتِهِ مُقَدَّمَةً عَلَى غُرَمَائِهِ وَوَرَثَتِهِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ أَوْلَى مِنْهُمْ بِنَفَقَتِهِ فِي حَيَاتِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَوْلَى منه بمؤونته بَعْدَ وَفَاتِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا لَزِمَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتُهُ إِذَا مَاتَ مُعْدِمًا لَزِمَ ذَلِكَ فِي مَالِهِ إِذَا كَانَ مُوسِرًا، فَأَمَّا الزَّوْجَةُ إِذَا مَاتَتْ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي نَفَقَتِهَا: فَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ إِنَّهَا عَلَى الزَّوْجِ؛ لِأَنَّهُ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ الْإِنْفَاقُ عَلَيْهَا فِي الْحَيَاةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الْإِنْفَاقُ عَلَيْهَا بَعْدَ الْوَفَاةِ، كَالْمُنَاسِبِينَ مِنَ الْوَالِدَيْنِ وَالْمَوْلُودِينَ.
وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة: إِنَّ مَؤُونَتَهَا وَاجِبَةٌ فِي تَرِكَتِهَا دُونَ زَوْجِهَا، لِأَنَّ نَفَقَتَهَا مُسْتَحَقَّةٌ بِالنِّكَاحِ لِأَجْلِ التَّمَكُّنِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ، وَبِمَوْتِهَا قَدِ ارْتَفَعَ النِّكَاحُ، وَزَالَ التَّمَكُّنُ، فَوَجَبَ أَنْ يَزُولَ مُوجِبُهَا مِنَ النَّفَقَةِ، وَلِهَذَا الْمَعْنَى وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمُنَاسِبِينَ.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Biaya pemakaman mayit diambil dari harta peninggalannya, bukan dari ahli warisnya dan bukan pula dari para krediturnya.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Biaya pemakaman diambil dari pokok harta peninggalannya, didahulukan atas para kreditur dan ahli warisnya karena dua alasan:
Pertama: Karena ketika hidup, ia lebih berhak atas nafkah dari hartanya sendiri dibandingkan mereka, maka setelah wafat pun ia lebih berhak atas biaya pemakamannya dari harta peninggalannya.
Kedua: Karena ketika ia wafat dalam keadaan tidak memiliki harta, kewajiban biaya pemakamannya menjadi tanggungan kaum muslimin, maka jika ia wafat dalam keadaan mampu, kewajiban itu ditunaikan dari hartanya sendiri.
Adapun seorang istri bila ia wafat, para ulama kami berbeda pendapat tentang biaya pemakamannya:
Abū Isḥāq al-Marwazī berpendapat, dan ini juga pendapat Imām Mālik, bahwa biayanya ditanggung oleh suami, karena suami wajib menafkahinya di masa hidup, maka seharusnya ia juga menanggungnya setelah wafat, sebagaimana orang-orang kerabat seperti orang tua dan anak.
Sedangkan Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah berpendapat, dan ini yang merupakan zahir mazhab al-Syāfi‘ī serta pendapat Abū Ḥanīfah, bahwa biayanya wajib diambil dari harta peninggalannya sendiri, bukan dari suaminya. Sebab, nafkahnya wajib ditunaikan karena adanya akad nikah demi tercapainya hak menikmati, dan dengan wafatnya ia, akad nikah telah putus serta hilang sebabnya, maka gugurlah kewajiban nafkah. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara istri dengan kerabat dekat (orang tua dan anak).
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ تَكْفِينِ الْمَيِّتِ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْكَفَنِ هَلْ يَكُونُ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِهِ أَوْ عَلَى مِلْكِ وَارِثِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ، لِأَنَّهُ مُقَدَّمٌ عَلَى وَرَثَتِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدِ انْتَقَلَ إِلَى مِلْكِ وَارِثِهِ، لِأَنَّ الْمَوْتَ لما منع من ابتداء المالك مَنَعَ مِنَ اسْتِدَامَةِ الْمِلْكِ.
PASAL: Apabila telah tetap bahwa kewajiban kafan diambil dari harta peninggalan mayit, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai status kepemilikan kain kafan itu: apakah tetap menjadi milik mayit ataukah sudah berpindah kepada ahli warisnya? Ada dua pendapat:
Pertama: Kain kafan tetap milik mayit, karena kedudukannya lebih didahulukan daripada ahli warisnya.
Kedua: Kain kafan berpindah menjadi milik ahli warisnya, karena kematian yang menghalangi seseorang untuk memiliki sesuatu sejak awal juga menghalangi dari keberlangsungan kepemilikan.
فَصْلٌ
: أَمَّا إِذَا كُفِّنَ الْمَيِّتُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ وَدُفِنَ وَأَقْسَمَ الْوَرَثَةُ تَرِكَتَهُ ثُمَّ نُبِشَ وَسُرِقَتْ أَكْفَانُهُ وَتُرِكَ عريان فَالْمُسْتَحَبُّ لِوَرَثَتِهِ أَنْ يُكَفِّنُوهُ ثَانِيَةً، وَلَا يَلْزَمُهُمْ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَوْ لَزِمَهُمْ ذَلِكَ ثَانِيَةً لَلَزِمَهُمْ إِلَى مَا لَا يَتَنَاهَى فَيُؤَدِّي إِلَى اسْتِيعَابِ التركة، وإذا الْخُرُوجِ مِنْ أَمْوَالِهِمْ، وَمَا أَدَّى إِلَى هَذَا فغير لازم.
PASAL: Apabila mayit telah dikafani dari harta peninggalannya, lalu dikuburkan, kemudian para ahli waris membagi warisannya, lalu kuburnya dibongkar dan kain kafannya dicuri hingga ia ditinggalkan dalam keadaan telanjang, maka yang sunnah bagi ahli warisnya adalah mengafani kembali. Namun hal itu tidak wajib atas mereka, karena jika diwajibkan sekali lagi, niscaya akan terus-menerus diwajibkan setiap kali terjadi (pencurian), yang pada akhirnya bisa menghabiskan seluruh harta peninggalannya bahkan keluar dari harta mereka sendiri. Sesuatu yang membawa kepada keadaan demikian, maka hukumnya tidak wajib.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنِ اشْتَجَرُوا فِي الْكَفَنِ فَثَلَاثَةُ أَثْوَابٍ إِنْ كَانَ وَسَطًا لَا مُوسِرًا وَلَا مُقِلًّا وَمِنَ الْحَنُوطِ بِالْمَعْرُوفِ لَا سَرَفًا وَلَا تَقْصِيرًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا مَاتَ رجل وترك ما لا يَضِيقُ عَنْ قَضَاءِ دَيْنِهِ فَاخْتَلَفَ الْوَرَثَةُ وَالْغُرَمَاءُ فِي كَفَنِهِ وَمَؤُونَةِ دَفْنِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ اخْتِلَافِهِمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي صِفَةِ الْأَكْفَانِ أَوْ فِي عَدَدِهَا، فَإِنْ كَانَ فِي صِفَةِ الْأَكْفَانِ فَدَعَا الْوَرَثَةُ إِلَى تَكْفِينِهِ بِأَرْفَعِ الثِّيَابِ وَأَعْلَاهَا كَالسَّرْبِ وَالدِّيبَقِيِّ، وَدَعَا الغرماء إلى تكفينه بأدون الثياب كالناف وَغَلِيظِ الْبَصْرِيِّ، فَيَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يُلْزِمَ الْفَرِيقَيْنِ التَّعَارُفَ لِمِثْلِ الْمَيِّتِ فِي مِثْلِ حَالِهِ مِنْ يَسَارِهِ وَإِعْسَارِهِ وَسَطًا لَا مَا دَعَا إِلَيْهِ السَّرَفُ، وَلَا مَا صَنَعَ مِنْهُ الشَّحِيحُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُواْ لَمْ يُسْرِفُواْ وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً) {الفرقان: 67) وَقَالَ تَعَالَى: {وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كَلَّ البَسْطِ) {الإسراء: 29) فَذَمَّ الْحَالَيْنِ، وَمَدَحَ التَّوَسُّطَ بَيْنَهُمَا.
وَإِنِ اخْتَلَفُوا فِي عَدَدِ الْأَكْفَانِ فَقَالَ الْوَرَثَةُ نُكَفِّنُهُ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ وَقَالَ الْغُرَمَاءُ مَا نُكَفِّنُهُ إِلَّا فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُصَارُ إِلَى قَوْلِ الْغُرَمَاءِ وَيُكَفَّنُ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ لَا يُزَادُ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ الْقَدْرُ الْوَاجِبُ وَمَا زَادَ عَلَيْهِ تَطَوُّعٌ، وَلِلْغُرَمَاءِ مَنْعُ الْوَرَثَةِ مِنْ إِخْرَاجِ الْمَالِ فِي التَّطَوُّعِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يُصَارُ إِلَى قَوْلِ الْوَرَثَةِ وَيُكَفَّنُ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ لَا يُنْقَصُ مِنْهَا اتِّبَاعًا لِلسُّنَّةِ وَرُجُوعًا إِلَى مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ حَيًّا مُفْلِسًا لَقَدَّمَ ثَلَاثَةَ أَثْوَابٍ عَلَى الْغُرَمَاءِ، فَكَذَلِكَ يُقَدَّمُ بِهَا مَيِّتًا، وَلَوْ قَالَ الْوَرَثَةُ فِي خَمْسَةِ أَثْوَابٍ وَقَالَ الْغُرَمَاءُ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْغُرَمَاءِ لَا يُخْتَلَفُ، وَلَوْ قَالَ الْوَارِثُ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَقَالَ الْغُرَمَاءُ فِي خِرْقَةٍ تَسْتُرُ عَوْرَتَهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَرَثَةِ لَا يُخْتَلَفُ، فَأَمَّا الْحَنُوطُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَاجِبٌ كَالْكَفَنِ، فَعَلَى هَذَا لَيْسَ لِلْغُرَمَاءِ أَنْ يَمْنَعُوا مِنْهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ، لِأَنَّ طِيبَ الْحَيِّ غَيْرُ وَاجِبٍ فَكَذَلِكَ طِيبُ الْمَيِّتِ فَعَلَى هَذَا لِلْغُرَمَاءِ أَنْ يَمْنَعُوا منه.
Salah satu pendapat: Dikembalikan kepada pendapat para kreditur, dan mayit hanya dikafani dengan satu lembar kain saja tanpa tambahan, karena itulah kadar yang wajib, sedangkan selebihnya adalah sunnah. Dan para kreditur berhak mencegah ahli waris mengeluarkan harta untuk sesuatu yang hukumnya sunnah.
Pendapat yang kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: Dikembalikan kepada pendapat ahli waris, dan mayit dikafani dengan tiga lembar kain tanpa boleh dikurangi, mengikuti sunnah dan kembali kepada kebiasaan yang berlaku. Karena seandainya ia masih hidup dalam keadaan pailit, niscaya ia akan mendahulukan tiga kain kafan daripada membayar para kreditur. Maka demikian pula ketika ia meninggal, tiga kain kafan didahulukan atas para kreditur.
Namun apabila ahli waris meminta lima kain kafan sementara para kreditur hanya membolehkan tiga, maka yang diikuti adalah pendapat para kreditur, tanpa ada perbedaan. Dan jika ahli waris meminta satu lembar kain, sementara para kreditur hanya membolehkan sehelai kain penutup yang sekadar menutup auratnya, maka yang diikuti adalah pendapat ahli waris, tanpa ada perbedaan.
Adapun tentang ḥanūṭ (wewangian), para ulama kami berbeda pendapat tentang hukumnya menjadi dua wajah:
Pertama: Wajib seperti halnya kain kafan. Maka berdasarkan ini, para kreditur tidak boleh mencegah penggunaannya.
Kedua: Tidak wajib, karena wewangian bagi orang hidup tidak wajib, maka demikian pula wewangian bagi orang mati. Maka berdasarkan ini, para kreditur boleh mencegahnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُغَسَّلُ السَّقْطُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ إِنِ اسْتَهَلَّ وَإِنْ لَمْ يَسْتَهِلَّ غُسِّلَ وَكُفِّنَ وَدُفِنَ وَالْخِرْقَةُ الَّتِي تُوَارِيهِ لِفَافَةُ تَكْفِينِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا يَخْلُو حَالُ السَّقْطِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يَسْتَهِلَّ صَارِخًا أَوْ يَسْقُطَ مَيِّتًا، فَإِنِ اسْتَهَلَّ صَارِخًا غُسِّلَ وَكُفِّنَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَدُفِنَ، وَبِهِ قَالَ كَافَّةُ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لم يصل عَلَى ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَكَانَ لَهُ حِينَ مَاتَ سِتَّةَ عَشَرَ وَقِيلَ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ شَهْرًا، قَالَ: وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ شَفَاعَةٌ وَدُعَاءٌ لِأَهْلِ الذُّنُوبِ وَالْخَطَايَا وَالطِّفْلُ لَا ذَنْبَ لَهُ وَهُوَ مَغْفُورٌ لَهُ.
وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ مع الظاهر الْعَامَّةِ مَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ إِذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ وَرِثَ وَوُرِّثَ، وَصُلِّيَ عَلَيْهِ ” وَرَوَى أَنَسٌ وَالْمُغِيرَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ صُلِّيَ عَلَيْهِ ” وَلِأَنَّهُ كَالْكَبِيرِ فِي مِيرَاثِهِ وَإِيجَابِ الْقَوَدِ عَلَى قَاتِلِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ كَالْكَبِيرِ فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Janin gugur (saqṭ) dimandikan dan dishalati jika ia sempat mengeluarkan suara tangis (istahalla). Jika ia tidak istahalla, maka ia dimandikan, dikafani, dan dikuburkan. Kain yang menutupinya itu adalah kafannya.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, keadaan saqṭ tidak lepas dari dua hal:
Pertama: jika ia istahalla dengan menangis, maka ia dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan. Demikian pendapat seluruh fuqahā’, kecuali Sa’īd bin Jubair yang berkata: tidak dishalati. Alasannya, karena Rasulullah SAW tidak menshalati putranya, Ibrāhīm AS, padahal saat wafat usianya enam belas bulan, ada pula yang mengatakan delapan belas bulan. Ia berkata: karena shalat itu adalah syafaat dan doa bagi ahli dosa dan kesalahan, sementara anak kecil tidak punya dosa dan telah diampuni.
Dalil atas wajibnya shalat atasnya, selain zhahir dalil yang umum, adalah riwayat dari Ibn ‘Abbās: “Bahwa Nabi SAW bersabda: Jika bayi itu sempat menangis (istahalla), maka ia berhak mewarisi dan diwarisi, dan dishalati.” Juga riwayat dari Anas dan al-Mughīrah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jika bayi itu sempat menangis (istahalla), maka ia dishalati.” Dan karena kedudukannya sama dengan orang dewasa dalam hal waris dan wajibnya qishāṣ bagi orang yang membunuhnya, maka wajib pula ia diperlakukan seperti orang dewasa dalam hal dishalati.
وَمَا اسْتُدِلَّ بِهِ مِنْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَمْ يُصَلِّ عَلَى ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ” فَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ أَبِي أَوْفَى وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى عَلَى ابْنِهِ، وَكِلَا الرِّوَايَتَيْنِ صَحِيحَةٌ فَمَنْ رَوَى أَنَّهُ صَلَّى يَعْنِي أَنَّهُ أَمَرَ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ، وَمَنْ رَوَى أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ فَعَنَى بِنَفْسِهِ لِاشْتِغَالِهِ بِصَلَاةِ الْخُسُوفِ.
وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّ الصَّلَاةَ شَفَاعَةٌ لِأَهْلِ الْخَطَايَا فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْأَمْرُ كَمَا زَعَمَ لَكَانَ الْمَجْنُونُ وَالْأَبْلَهُ وَمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ لَا ينبغي أن يصلي، لأنه ممن لا ذنب عليه، ولكان الأنبياء عليهم السلام لَا يَحْتَاجُونَ إِلَى الصَّلَاةِ، لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ قَدْ غَفَرَ لَهُمْ، فَلَمَّا قَالَ الْجَمِيعُ إِنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ أَفْوَاجًا وَزُمَرًا بِغَيْرِ إِمَامٍ دَلَّ عَلَى بُطْلَانِ مَا قَالَهُ.
Dan apa yang dijadikan dalil bahwa Rasulullah SAW “tidak menshalati putranya Ibrāhīm AS”, maka telah diriwayatkan dari Ibn Abī ‘Awfā dan ‘Āisyah RA bahwa Rasulullah SAW menshalati putranya. Kedua riwayat itu shahih. Maka barang siapa meriwayatkan bahwa beliau shalat, maksudnya adalah beliau memerintahkan agar dishalati. Dan barang siapa meriwayatkan bahwa beliau tidak shalat, maksudnya adalah beliau tidak melakukannya sendiri karena sibuk dengan shalat gerhana.
Adapun ucapannya bahwa shalat adalah syafaat bagi ahli kesalahan, maka itu tidak benar. Sebab, jika perkara itu sebagaimana yang ia sangka, niscaya orang gila, orang dungu, dan siapa saja yang tidak berakal tidak semestinya dishalati, karena mereka tidak punya dosa. Demikian pula para nabi ‘alaihim al-salām, mereka tidak membutuhkan shalat, karena Allah SWT telah mengampuni mereka. Maka tatkala seluruh ulama mengatakan bahwa Nabi SAW dishalati oleh kaum muslimin berbondong-bondong tanpa imam, hal itu menunjukkan batilnya perkataan tersebut.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا سَقَطَ الْجَنِينُ مَيِّتًا مِنْ غَيْرِ حَرَكَةٍ وَلَا اسْتِهْلَالٍ فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَسْقُطَ لِدُونِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ قَبْلَ نَفْخِ الرُّوحِ فِيهِ، فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ أَنَّهُ لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، بَلْ يُلَفُّ فِي خِرْقَةٍ وَيُدْفَنُ.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَسْقُطَ وَقَدْ بَلَغَ الزَّمَانَ الَّذِي يَنْفُخُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ فِيهِ الرُّوحَ وَذَلِكَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ، لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” يُخْلَقُ أَحَدُكُمْ فَيَبْقَى فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا عَلَقَةً، ثُمَّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مُضْغَةً، ثُمَّ يَأْتِي ملكٌ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيَكْتُبُ أَجَلَهُ وَعَمَلَهُ وَأَنَّهُ شَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ ” وَإِذَا بَلَغَ الْحَدَّ الَّذِي يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ فَفِي إِيجَابِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ قولان:
أَحَدُهُمَا: حَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ تَخْرِيجًا عَنِ الشَّافِعِيِّ مِنَ الْقَدِيمِ إنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ لَهُ حُكْمُ الْحَيَاةِ قَبْلَ وَضْعِهِ فَصَارَ كَثُبُوتِ الْحَيَاةِ لَهُ بَعْدَ وَضْعِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ إنَّهُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْحَيَاةِ فِي الصَّلَاةِ، فَعَلَى هَذَا هَلْ يَجِبُ غُسْلُهُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL
Apabila janin gugur dalam keadaan mati tanpa ada gerakan dan tanpa istihlāl, maka ada dua keadaan:
Pertama: jika gugur sebelum empat bulan, sebelum ditiupkan ruh ke dalamnya, maka tidak ada perbedaan dalam mazhab bahwa ia tidak dimandikan dan tidak dishalati, tetapi hanya dibungkus dengan kain lalu dikuburkan.
Kedua: jika gugur setelah mencapai waktu ditiupkan ruh ke dalamnya, yaitu empat bulan. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian diciptakan di perut ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah, kemudian empat puluh hari berupa ‘alaqah, kemudian empat puluh hari berupa mudhghah, lalu datang malaikat dan meniupkan ruh padanya serta menuliskan ajalnya, amalnya, dan apakah ia sengsara atau bahagia.”
Jika telah mencapai batas waktu ditiupkannya ruh, maka tentang kewajiban shalat atasnya ada dua pendapat:
Pertama: yang diriwayatkan Ibn Abī Hurairah sebagai hasil istinbāṭ dari perkataan al-Syafi‘i dalam qaul qadīm, bahwa janin itu dimandikan dan dishalati, karena telah tetap baginya hukum kehidupan sebelum lahir, maka kedudukannya seperti tetap hidup setelah lahir.
Kedua: dan ini yang shahih, ditegaskan oleh al-Syafi‘i dalam qaul qadīm dan jadīd, bahwa ia tidak dishalati, karena ketika itu belum berlaku atasnya hukum kehidupan dalam shalat. Atas dasar ini, apakah ia wajib dimandikan atau tidak? Dalam hal ini ada dua wajah.
فَصْلٌ
: إِذَا وُجِدَ بَعْضُ الْمَيِّتِ أَوْ عُضْوٌ مِنْ أَعْضَائِهِ غُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ.
وَقَالَ أبو حنيفة يُصَلِّي عَلَى أَكْثَرِهِ وَلَا يُصَلِّي عَلَى أَقَلِّهِ، وَالِاعْتِبَارُ بِالرَّأْسِ قِيَاسًا عَلَى مَا قُطِعَ مِنْ أَعْضَاءِ الْحَيِّ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا أَنَّ طَائِرًا أَلْقَى يَدًا بِمَكَّةَ مِنْ وَقْعَةِ الْجَمَلِ، فَعُرِفَتْ بِالْخَاتَمِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ النَّاسُ، وَكَانَتْ يَدَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَتَّابِ بْنِ أَسِيدٍ، وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ صَلَّى عَلَى رُؤُوسِ الْقَتْلَى بِالشَّامِ، وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى عَلَى عِظَامٍ بِالشَّامِ، وَلَيْسَ لمن ذكرنا مخالف فثبت أن إِجْمَاعٌ، فَأَمَّا الْعُضْوُ الْمَقْطُوعُ مِنَ الْإِنْسَانِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ غُسْلِهِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ عَلَى وَجْهَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ كَالْعُضْوِ الْمَقْطُوعِ مِنَ الْمَيِّتِ وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَهُوَ أَصَحُّ.
PASAL
Apabila ditemukan sebagian dari jasad mayit atau salah satu anggota tubuhnya, maka ia dimandikan dan dishalati.
Abu Hanīfah berkata: dishalati bila yang ditemukan adalah sebagian besar tubuhnya, dan tidak dishalati bila hanya sebagian kecil, dengan tolok ukur adalah kepala, qiyās kepada anggota tubuh orang hidup yang terpotong.
Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa seekor burung menjatuhkan sebuah tangan di Mekah dari peristiwa al-Jamal, lalu dikenali dengan cincin, maka orang-orang pun menyalatinya. Tangan itu adalah milik ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Attāb bin Asīd. Diriwayatkan bahwa Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ pernah menyalati kepala-kepala orang yang terbunuh di Syam, dan diriwayatkan pula bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA pernah menyalati tulang-belulang di Syam. Tidak ada yang menyelisihi apa yang kami sebutkan, maka tetaplah bahwa itu ijmā‘.
Adapun anggota tubuh yang terpotong dari orang hidup, para ashāb kami berbeda pendapat mengenai kewajiban memandikan dan menyalatinya pada dua wajah:
Pertama: dimandikan dan dishalati, sebagaimana anggota yang terpotong dari mayit.
Kedua: tidak dimandikan dan tidak dishalati, dan ini yang lebih shahih.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ عُضْوَ الْحَيِّ إِنَّمَا لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَا يُصَلَّى عَلَى جُمْلَتِهِ الْبَاقِيَةِ، وَلَمَّا صلّي عَلَى الْمَيِّتِ صلّي عَلَى بَعْضِهِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يُصَلى عَلَى مَا وَجَدَ مِنْ أَعْضَاءِ الْمَيِّتِ وَأَبْعَاضِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ ينوي الصلاة جُمْلَةَ الْمَيِّتِ أَوْ مَا وُجِدَ مِنْهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَنْوِي بِالصَّلَاةِ مَا وُجِدَ مِنْ أَعْضَائِهِ لَا غَيْرَ بَعْدِ غُسْلِ الْعُضْوِ وَتَكْفِينِهِ، فَإِنْ لَمْ يُكَفِّنْهُ جَازَ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْعُضْوُ مِنْ عَوْرَةِ الْمَيِّتِ فَلَا بُدَّ مِنْ تَكْفِينِهِ وَدَفْنِهِ بَعْدَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَنْوِي بِالصَّلَاةِ جُمْلَةَ الْمَيِّتِ؛ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْعُضْوِ لَزِمَتْهُ لِحُرْمَةِ جُمْلَتِهِ، إِلَّا أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ جُمْلَةَ الْمَيِّتِ قَدْ صَلَّى عَلَيْهِ، فَيَخُصُّ بِالصَّلَاةِ الْعُضْوَ الْمَوْجُودَ وَجْهًا وَاحِدًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Perbedaan antara keduanya ialah: anggota tubuh orang hidup tidak dishalati karena memang seluruh jasadnya yang tersisa tidak dishalati. Adapun mayit, karena ia dishalati, maka sebagian tubuhnya pun dishalati.
Jika telah tetap bahwa dishalati apa yang ditemukan dari anggota tubuh mayit atau bagian-bagiannya, maka para ashāb kami berbeda pendapat: apakah niat shalat itu untuk seluruh jasad mayit atau hanya untuk bagian yang ditemukan? Ada dua wajah:
Pertama: berniat shalat hanya atas anggota tubuh yang ditemukan saja, setelah dimandikan dan dikafani. Jika tidak dikafani maka boleh, kecuali bila anggota tubuh itu berasal dari aurat mayit, maka wajib dikafani dan dikuburkan setelah dishalati.
Kedua: berniat shalat atas seluruh jasad mayit, karena kehormatan anggota tubuh itu melekat padanya lantaran kehormatan jasadnya secara keseluruhan. Kecuali bila diketahui bahwa jasad mayit secara keseluruhan telah dishalati, maka shalat dikhususkan bagi anggota yang ditemukan, dan ini hanya pada satu wajah. والله أعلم.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَالشُّهَدَاءُ الَّذِينَ عَاشُوا وَأَكَلُوا الطَّعَامَ أَوْ بَقَوْا مُدَّةً يَنْقَطِعُ فِيهَا الْحَرْبُ وَإِنْ لَمْ يَطْعَمُوا كَغَيْرِهِمْ مِنَ الْمَوْتَى وَالَّذِينَ قَتَلَهُمُ الْمُشْرِكُونَ فِي المعترك يكفنون بثيابهم التي قتلوا بها إن شاء أولياؤهم وتنزع عنهم الخفاف والفراء والجلود وما لم يكن من عام لباس الناس ولا يغسلون ولا يصلى عليهم وروي عن جابر بن عبد الله وأنس ابن مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه لم يصل عليهم ولم يغسلهم (قال) وعمر شهيدٌ غير أنه لما لم يقتل في المعترك غسل وصلي عليه والغسل والصلاة سنة لا يخرج منها إلا من أخرجه رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الشُّهَدَاءُ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي مُعْتَرَكِ الْمُشْرِكِينَ لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يُغَسَّلُوا، وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِمْ، هَذَا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَأَكْثَرِ أَهْلِ الْحَرَمَيْنِ.
وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ يُغَسَّلُونَ وَيُصَلَّى عَلَيْهِمْ كَغَيْرِهِمْ مِنَ الْمَوْتَى، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ.
Bab Syuhadā’ dan siapa yang dishalati serta dimandikan
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Adapun para syuhadā’ yang masih hidup setelah luka, lalu makan makanan, atau tetap hidup dalam waktu yang cukup lama sehingga peperangan selesai, walaupun mereka tidak sempat makan, maka hukum mereka seperti mayit lainnya. Sedangkan orang-orang yang dibunuh oleh kaum musyrik dalam pertempuran, maka mereka dikafani dengan pakaian yang mereka kenakan ketika terbunuh jika wali mereka menghendaki, dan dilepaskan dari mereka khuff, pakaian bulu, kulit, dan apa saja yang bukan pakaian umum manusia. Mereka tidak dimandikan dan tidak dishalati. Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh dan Anas bin Mālik bahwa Nabi SAW tidak menshalati mereka dan tidak memandikan mereka.”
Beliau (al-Syafi‘i) berkata: “Adapun ‘Umar adalah seorang syahid, hanya saja karena ia tidak terbunuh dalam pertempuran, maka ia dimandikan dan dishalati. Memandikan dan menyalati itu adalah sunnah yang tidak boleh ditinggalkan kecuali bagi orang yang dikecualikan oleh Rasulullah SAW.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Para syuhadā’ yang terbunuh di medan pertempuran melawan kaum musyrik tidak termasuk sunnah untuk dimandikan dan tidak pula dishalati. Ini adalah pendapat al-Syafi‘i, Mālik, dan mayoritas ulama dua tanah haram.
Sa‘īd bin al-Musayyib dan al-Ḥasan al-Baṣrī berkata: mereka dimandikan dan dishalati sebagaimana mayit lainnya. Ini juga pendapat Ibn ‘Umar.
وَقَالَ أبو حنيفة بِقَوْلِنَا فِي تَرْكِ غُسْلِهِمْ، ويقول سَعِيدٍ فِي إِيجَابِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ، اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى عَلَى قَتْلَى أُحُدٍ، وَكَانَ يُصَلِّي عَلَى عَشَرَةٍ عَشَرَةٍ وَحَمْزَةُ مَعَهُمْ، حَتَّى كَبَّرَ عَلَى حَمْزَةَ سَبْعِينَ تَكْبِيرَةً، وَرَوَى عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” صَلَّى عَلَى قَتْلَى أحدٍ بَعْدَ ثَمَانِي سِنِينَ “.
وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ ” أَنَّ أَعْرَابِيًّا أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَبَايَعَهُ وَآمَنَ بِهِ، وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ مَعَكَ، ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَغَنِمَ فَقَسَمَ لَهُ، فَقَالَ مَا هَذَا؟ فَقَالَ هَذَا حَظُّكَ مِنَ الْغَنِيمَةِ فَقَالَ مَا عَلَى هَذَا بَايَعْتُكَ، إِنِّمَا بَايَعْتُكَ عَلَى أَنْ أُدْمِيَ هَذَا وَأَشَارَ إِلَى حلقةٍ، ثُمَّ نَهَضُوا فَأَصَابَهُ سهمٌ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ فَمَاتَ، فَكَفَّنَهُ وَصَلَى عَلَيْهِ ” قَالَ وَلِأَنَّهُ قُتِلَ ظُلْمًا فَوَجَبَ أَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ كَمَنْ قُتِلَ فِي غَيْرِ الْمُعْتَرَكِ، قَالَ وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى الْمَيِّتِ اسْتِغْفَارٌ لَهُ وَتَرَحُّمٌ عَلَيْهِ وَالشَّهِيدُ بِذَلِكَ أَوْلَى.
Abu Ḥanīfah berkata dengan pendapat kami dalam meninggalkan memandikan mereka, dan beliau sependapat dengan Sa‘īd dalam mewajibkan shalat atas mereka. Ia berdalil dengan riwayat dari Miqsam dari Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW menshalati para syuhadā’ Uhud. Beliau menshalati sepuluh orang demi sepuluh orang, dan Ḥamzah bersama mereka, hingga beliau bertakbir atas Ḥamzah tujuh puluh takbir.
Diriwayatkan pula oleh ‘Uqbah bin ‘Āmir bahwa Rasulullah SAW “menshalati para syuhadā’ Uhud setelah delapan tahun.”
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Syaddād bin al-Hād, “Bahwa seorang a‘rābī datang kepada Nabi SAW lalu membaiat beliau dan beriman kepadanya. Ia berkata: ‘Sesungguhnya aku berhijrah bersamamu.’ Kemudian Rasulullah SAW berperang dan memperoleh ghanīmah, lalu beliau membagikannya untuknya. Maka ia berkata: ‘Apa ini?’ Beliau bersabda: ‘Ini adalah bagianmu dari ghanīmah.’ Ia menjawab: ‘Bukan untuk ini aku membaiatmu. Aku membaiatmu hanya agar tempat ini berdarah,’ sambil menunjuk lingkaran (pada tubuhnya). Lalu mereka berangkat dan terkena panah tepat pada tempat yang ia tunjuk hingga mati. Maka Nabi SAW mengafaninya dan menshalatinya.”
Ia berkata: Karena ia terbunuh secara zhalim, maka wajib dishalati, sebagaimana orang yang terbunuh bukan dalam pertempuran. Dan karena shalat atas mayit adalah permohonan ampun dan rahmat baginya, maka syahid lebih utama untuk dishalati.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهُمْ لَا يُغَسَّلُونَ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِمْ قَوْله تَعَالَى: {وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللهِ أمْوَاتاً بَلْ أحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ) {آل عمران: 169) فَأَخْبَرَ بِحَيَاتِهِمْ وَالْحَيُّ لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَرَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَمَعَ قَتْلَى أحدٍ وَقَالَ: زَمِّلُوهُمْ بِكُلُومِهِمْ، فَإِنَّهُمْ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوْدَاجُهُمْ تَشْخُبُ دَمًا اللَّوْنُ لَوْنُ الدَّمِ وَالرِّيحُ رِيحُ الْمِسْكِ ” قَالَ جَابِرٌ وَأَنَسٌ ثُمَّ لَمْ يُغَسِّلْهُمْ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِمْ وَفِي رِوَايَةِ بَعْضِهِمْ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ فِي الْحَدِيثِ ” وَلَا تُغَسِّلُوهُمْ وَلَا تُصَلُّوا عَلَيْهِمْ ” وَلِأَنَّهُ مَيِّتٌ لَا يَجِبُ غُسْلُهُ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَجِبَ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ كَالسَّقْطِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَا يَلْزَمُ فِعْلُهُ فِي السَّقْطِ لَا يَلْزَمُ فِعْلُهُ فِي الشَّهِيدِ، كَالْغُسْلِ فَلَا تَجِبُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ كَالسَّقْطِ، وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ قُرِنَتْ بِطَهَارَةٍ فَوَجَبَ إِذَا سَقَطَ فَرْضُ الطَّهَارَةِ أَنْ يَسْقُطَ فَرْضُ الصَّلَاةِ كَالْحَائِضِ.
Dalil bahwa para syuhadā’ tidak dimandikan dan tidak dishalati ialah firman Allah Ta‘ālā:
“Dan jangan sekali-kali engkau menyangka bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka, diberi rezeki.” (QS. Āli ‘Imrān: 169)
Maka Allah telah mengabarkan bahwa mereka hidup, sedangkan orang yang hidup tidak dimandikan dan tidak dishalati.
Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh dan Anas bin Mālik bahwa Rasulullah SAW mengumpulkan para syuhadā’ Uhud lalu bersabda:
“Selimutilah mereka dengan luka-luka mereka, karena sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan urat-urat mereka memancar darah, warnanya warna darah, baunya bau misk.”
Jābir dan Anas berkata: “Kemudian beliau tidak memandikan mereka dan tidak pula menyalati mereka.”
Dan dalam sebagian riwayat dari beliau SAW dalam hadis itu: “Jangan kalian mandikan mereka dan jangan kalian salatkan atas mereka.”
Karena mereka adalah mayit yang tidak wajib dimandikan, maka tidak wajib pula dishalati seperti saqṭ.
Segala sesuatu yang tidak wajib dilakukan atas saqṭ juga tidak wajib dilakukan atas syahid, seperti mandi, maka tidak wajib pula dishalati sebagaimana saqṭ.
Dan karena shalat itu adalah ibadah yang disertai dengan thahārah, maka ketika gugur kewajiban thahārah, wajib gugur pula kewajiban shalat — seperti halnya wanita haid.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ فَهُوَ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ لَا أَصْلَ لَهُ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، لِأَنَّهُ رِوَايَةُ الْحَسَنِ بْنِ عُمَارَةَ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ عقبة عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ قَالَ لِي شُعْبَةُ أَلَا تَرَى إِلَى هَذَا الْمَجْنُونِ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ جَاءَنِي يَسْأَلُنِي أَنْ لَا أَتَكَلَّمَ فِي الْحَسَنِ بْنِ عمارة وهو يروي عن الحكم بن عيينة عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى عَلَى قَتْلَى أحدٍ ” هَذَا حَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ حَدَّثَنِي عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يُصَلِّ عَلَى قَتْلَى أحدٍ ” عَلَى أَنَّهُ لَوْ صَحَّ لَكَانَ الْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: ترجيح.
وَالثَّانِي: اسْتِعْمَالٌ، فَأَمَّا التَّرْجِيحُ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ رَاوِي خَبَرِنَا شَاهَدَ الْحَالَ، وَهُوَ جَابِرٌ وَأَنَسٌ وَرَاوِي خَبَرِهِمُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَلَمْ يُشَاهِدِ الْحَالَ، لِأَنَّهُ كَانَ لَهُ عَامَ أُحُدٍ سَنَتَانِ، وَمَاتَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَهُ تِسْعُ سِنِينَ.
وَالثَّانِي: مُتَّفَقٌ عَلَى اسْتِعْمَالِ بَعْضِهِ وَهُوَ الصَّلَاةُ وَخَبَرُهُمْ مُخْتَلَفٌ فِي اسْتِعْمَالِ جَمِيعِهِ.
Adapun jawaban terhadap hadis Ibn ‘Abbās, maka hadis itu lemah dan tidak memiliki asal menurut para ahli hadis, karena ia merupakan riwayat al-Ḥasan bin ‘Umārah dari al-Ḥakam bin ‘Uqbah dari Miqsam dari Ibn ‘Abbās.
Abū Dāwūd al-Ṭayālisī berkata: Syubrah berkata kepadaku: “Tidakkah engkau lihat kepada orang gila ini, Jarīr bin Ḥāzim, ia datang kepadaku meminta agar aku tidak berbicara tentang al-Ḥasan bin ‘Umārah, padahal ia meriwayatkan dari al-Ḥakam bin ‘Uyainah dari Miqsam dari Ibn ‘Abbās, bahwa Nabi SAW menshalati para syuhadā’ Uhud.”
Ini Ḥammād bin Abī Sulaymān meriwayatkan kepadaku dari Ibrāhīm al-Nakha‘ī dari ‘Alqamah dari Ibn Mas‘ūd bahwa Nabi SAW tidak menshalati para syuhadā’ Uhud.
Kalaupun hadis itu shahih, maka jawabannya dari dua sisi:
Pertama: tarjīḥ (pendahuluan dalil).
Kedua: taṭbīq (penggunaan bersama).
Adapun tarjīḥ, maka ada tiga sisi:
Pertama: perawi hadis kami menyaksikan langsung kejadian, yaitu Jābir dan Anas. Sedangkan perawi hadis mereka adalah Ibn ‘Abbās yang tidak menyaksikan kejadian secara langsung, karena pada tahun Perang Uhud ia baru berusia dua tahun, dan ketika Nabi SAW wafat, ia baru berusia sembilan tahun.
Kedua: hadis kami disepakati penggunaannya dalam sebagian aspek, yaitu tidak dishalati. Sedangkan hadis mereka diperselisihkan dalam penggunaannya secara keseluruhan.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ خَبَرَنَا نَاقِلٌ لِمَا ثَبَتَ مِنْ حُكْمِ الصَّلَاةِ، وَخَبَرَهُمْ مُبْقٍ لِحُكْمِ الصَّلَاةِ، فَكَانَ خَبَرُنَا أَوْلَى لِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ التَّرْجِيحِ، وَأَمَّا الِاسْتِعْمَالُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنْ نَحْمِلَ رِوَايَتَهُمْ عَلَى الدُّعَاءِ لَهُمْ دُونَ الصَّلَاةِ الَّتِي يَدْخُلُهَا بِإِحْرَامٍ وَيَخْرُجُ مِنْهَا بِسَلَامٍ.
وَالثَّانِي: أَنْ نَحْمِلَ ذَلِكَ عَلَى مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ فِي غَيْرِ الْمُعْتَرَكِ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ فَمَحْمُولٌ عَلَى الدُّعَاءِ لَهُمْ بِإِجْمَاعِنَا وَإِيَّاهُمْ عَلَى أَنَّ الصَّلَاةَ عَلَيْهِمْ بَعْدَ ثَمَانِ سِنِينَ غَيْرُ جَائِزَةٍ، وَأَمَّا حَدِيثُ الْأَعْرَابِيِّ فَلِأَنَّهُ قُتِلَ فِي غَيْرِ الْمُعْتَرَكِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ فَمُنْتَقِضٌ بِالَّذِي إِذَا قَتَلَهُ قُطَّاعُ الطَّرِيقِ هُوَ مَقْتُولٌ ظُلْمًا ثُمَّ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِيمَنْ قُتِلَ فِي غير الْمُعْتَرَكِ أَنَّهُ يُغَسَّلُ، فَلِذَلِكَ صَلَّى عَلَيْهِ وَلَمَّا كَانَ الْمَقْتُولُ فِي الْمُعْتَرَكِ لَا يُغَسَّلُ فَلِذَلِكَ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهَا اسْتِغْفَارٌ فَيَفْسُدُ بِالسَّقْطِ.
Ketiga: bahwa hadis kami merupakan penghapus hukum shalat (yang telah berlaku sebelumnya), sedangkan hadis mereka menetapkan hukum shalat. Maka hadis kami lebih utama untuk diikuti karena sisi-sisi tarjīḥ yang telah disebutkan.
Adapun sisi istimāl (kompromi antara dua dalil), maka dari dua sisi:
Pertama: bahwa riwayat mereka ditakwil sebagai doa untuk para syuhadā’, bukan shalat jenazah yang dimulai dengan iḥrām dan ditutup dengan salām.
Kedua: bahwa riwayat tersebut ditakwil untuk syuhadā’ yang meninggal bukan di medan pertempuran (ghayr al-mu‘tarak).
Adapun jawaban atas hadis ‘Uqbah bin ‘Āmir, maka ditakwil sebagai doa untuk mereka—dan itu disepakati oleh kami dan mereka—bahwa shalat atas mereka setelah delapan tahun tidak boleh.
Adapun hadis tentang a‘rābī, maka karena ia terbunuh bukan di medan pertempuran.
Adapun qiyās mereka, maka rusak dengan contoh orang yang dibunuh oleh perampok jalanan (quttā‘ al-ṭarīq): ia dibunuh secara zhalim, namun tidak dishalati.
Makna di balik ini adalah: siapa yang terbunuh bukan di medan pertempuran, maka ia dimandikan, karena itu ia dishalati. Sedangkan yang terbunuh di medan pertempuran tidak dimandikan, maka karena itulah tidak dishalati.
Adapun ucapan mereka bahwa shalat itu bentuk istighfār, maka rusak dengan perumpamaan saqṭ, karena ia pun tidak dishalati meski tidak berdosa.
فَصْلٌ
: إِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْمَقْتُولَ فِي الْمُعْتَرَكِ لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ فَتَكْفِينُهُ وَدَفْنُهُ وَاجِبٌ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ، وَثِيَابُهُ الَّتِي مَاتَ فِيهَا حَقٌّ لِوَلِيِّهِ، إِنْ شَاءَ نَزَعَهَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ كَفَّنَهُ فِيهَا.
وَقَالَ أبو حنيفة لَا يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَنْزِعَ عَنْهُ ثِيَابَهُ، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” زَمِّلُوهُمْ فِي كُلُومِهِمْ “.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ ” أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَحَلِيفًا لَهُ لَمَّا قُتِلَا يَوْمَ أُحُدٍ هَمَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِيَدْفِنَهُمَا بِثِيَابِهِمَا فَمَنَعَتْ صَفِيَّةُ بِنْتُ عَبْدِ الْمُطْلِبِ مِنْ ذَلِكَ وَجَاءَتْ بِثَوْبَيْنِ أَبْيَضَيْنِ فَكَفَّنَهُمَا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيهِمَا وَدَفَنَهُمَا مَعًا ” فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِوَلِيِّهِمَا الْخِيَارَ فِي تَرْكِهَا أَوْ أَنْ يَنْزِعَهَا فَعَلَيْهِ أَنْ يُكَفِّنَهُ فِي غَيْرِهَا وَيَدْفِنَهَا، وَإِنْ تَرَكَهَا كَانَ أَوْلَى إِلَّا أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَنْزِعَ عَنْهُ الْخِفَافَ وَالْفِرَاءَ وَمَا لَيْسَ مِنْ لِبَاسِ النَّاسِ غَالِبًا عَامًّا، وَيَتْرُكَ مَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ غَالِبِ اللِّبَاسِ مَخِيطًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مَخِيطٍ.
PASAL
Apabila telah ditetapkan bahwa orang yang terbunuh di medan pertempuran tidak dimandikan dan tidak disalatkan, maka mengafani dan menguburkannya adalah kewajiban menurut hukum asal. Adapun pakaian yang ia wafat dengannya adalah hak walinya; jika ia menghendaki, ia boleh melepaskannya, dan jika ia menghendaki, ia boleh mengafani jenazah dengannya.
Abu Ḥanīfah berpendapat bahwa tidak boleh bagi walinya untuk melepaskan pakaian tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Zammilūhum fī kulūmihim” (“Selimutilah mereka dengan luka-luka mereka”).
Dalil kami adalah riwayat bahwa Ḥamzah bin ʿAbd al-Muṭṭalib RA dan sekutunya, ketika keduanya terbunuh pada hari Perang Uḥud, Nabi SAW bermaksud menguburkan mereka dengan pakaian mereka. Namun Ṣafiyyah binti ʿAbd al-Muṭṭalib melarang hal itu dan membawa dua lembar kain putih. Maka Nabi SAW mengafani keduanya dengan kain tersebut dan menguburkannya bersama.
Maka apabila telah ditetapkan bahwa wali keduanya memiliki pilihan untuk membiarkan atau melepas pakaian tersebut, maka jika ia memilih untuk melepasnya, ia wajib mengafani dengan kain selainnya dan menguburkan pakaian itu. Namun jika ia membiarkannya tetap dikenakan, itu lebih utama, kecuali bahwa disunnahkan untuk melepas khifāf (sepatu kulit), firā’ (bulu binatang), dan apa saja yang umumnya bukan merupakan pakaian manusia secara umum, dan membiarkan selain dari itu berupa pakaian yang biasa dikenakan, baik yang berjahit maupun tidak.
فَصْلٌ
: قَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَ الْقَتِيلِ فِي مُعْتَرَكِ الْمُشْرِكِينَ، وَسَوَاءٌ قُتِلَ بِالْحَدِيدِ أَوْ بِحَجَرِ المنجنيق، أو رفس حيوان، أو تردي مِنْ جَبَلٍ، أَوْ سقوط فِي بِئْرٍ أَوْ عُصِرَ فِي زَحْمٍ، عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانَ، أَوْ مَاتَ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ بِسَبَبٍ مِنْ مُشْرِكٍ أَوْ غَيْرِهِ فَهُوَ قَتْلُ شَهَادَةٍ لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، إِلَّا أَنْ يَمُوتَ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ حَتْفَ أَنْفِهِ فَهُوَ كَغَيْرِهِ مِنْ مَوْتَى الْمُسْلِمِينَ يُغَسَّلُ وَيُكَفَّنُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ، فَأَمَّا مَنْ جُرِحَ فِي حَرْبٍ ثُمَّ خَلَصَ حَيًّا فَمَاتَ مِنْ جِرَاحَتِهِ وَالْحَرْبُ قَائِمَةٌ، أَوْمَاتَ بَعْدَ تَقَضِّي الْحَرْبِ بِزَمَانٍ قَرِيبٍ لَمْ يُغَسَّلْ وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ كَالْقَتِيلِ فِي الْمُعْتَرَكِ، سَوَاءٌ أَكَلَ الطَّعَامَ أَمْ لَا، وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ تَقَضِّي الْحَرْبِ وَانْكِشَافِهَا بِزَمَانٍ بَعِيدٍ غُسِّلَ وصلى عليه.
وقال أبو حنيفة إذا مَاتَ قَبْلَ أَكْلِ الطَّعَامِ لَمْ يُغَسَّلْ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ أَكْلِ الطَّعَامِ غُسِّلَ، وَالِاعْتِبَارُ بِقُرْبِ الزَّمَانِ وَبُعْدِهِ.
PASAL
Telah disebutkan hukum orang yang terbunuh di medan pertempuran melawan kaum musyrik, baik ia terbunuh karena senjata besi, batu manjanīq, tendangan hewan, terjatuh dari gunung, terperosok ke dalam sumur, atau terhimpit dalam kerumunan—dalam keadaan apa pun itu—atau mati di antara dua barisan karena sebab dari orang musyrik atau selainnya, maka ia adalah syahid perang yang tidak dimandikan dan tidak disalatkan.
Kecuali jika ia mati di antara dua barisan karena ajal biasa (tanpa sebab luar), maka hukumnya seperti kaum muslimin lainnya: dimandikan, dikafani, dan disalatkan.
Adapun orang yang terluka dalam peperangan kemudian selamat dalam keadaan hidup lalu wafat karena luka tersebut sementara perang masih berlangsung, atau wafat setelah perang selesai dalam waktu dekat, maka ia tidak dimandikan dan tidak disalatkan seperti orang yang terbunuh di medan pertempuran, baik ia sempat makan atau tidak.
Namun jika ia wafat setelah perang selesai dan benar-benar berakhir dalam waktu yang cukup lama, maka ia dimandikan dan disalatkan.
Abu Ḥanīfah berpendapat: jika ia wafat sebelum makan, maka ia tidak dimandikan; namun jika wafat setelah makan, maka ia dimandikan. Padahal yang menjadi tolok ukur adalah dekat atau jauhnya waktu (dari peristiwa peperangan).
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ أَنَّ عبيدة ابن الْحَارِثِ أُصِيبَتْ رِجْلُهُ بِبَدْرٍ فَحُمِلَ وَعَاشَ حَتَّى مَاتَ بِالصَّفْرَاءِ، فَغَسَّلَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَصَلَّى عَلَيْهِ، فَلَوْ أَسَرَ الْمُشْرِكُونَ رَجُلًا وَقَتَلُوهُ بِأَيْدِيهِمْ صَبْرًا فَفِي غُسْلِهِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ كَالْجَرِيحِ إِذَا خَلَصَ حَيًّا وَمَاتَ، لِأَنَّ خُرُوجَ رُوحِهِ فِي غَيْرِ الْمُعْتَرَكِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ لِأَنَّهُ قُتِلَ ظُلْمًا بِيَدِ مُشْرِكٍ حَرْبِيٍّ كالقتيل في المعترك، فأما من مات شهيداً بغرق أَوْ حَرْقٍ أَوْ تَحْتَ هَدْمٍ أَوْ قُتِلَ غِيلَةً أَوْ قَتَلَهُ اللُّصُوصُ وَقُطَّاعُ الطَّرِيقِ فَكُلُّ هؤلاء لا يُغَسَّلُونَ وَيُصَلَّى عَلَيْهِمْ فَقَدْ قُتِلَ عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ شُهَدَاءَ فَغُسِّلُوا وَصُلِّيَ عَلَيْهِمْ.
Dan dalil atas hal tersebut adalah riwayat bahwa ʿUbādah bin al-Ḥārits terluka kakinya dalam Perang Badar, lalu ia dibawa dan tetap hidup hingga wafat di Ṣafrā’. Maka Nabi SAW memandikannya dan menyalatinya.
Seandainya orang musyrik menawan seorang muslim lalu membunuhnya dengan tangan mereka secara langsung, maka dalam hal memandikan dan menyalatinya terdapat dua pendapat:
Pertama: Dimandikan dan disalatkan seperti orang yang terluka dalam perang lalu selamat hidup dan wafat, karena keluarnya ruhnya tidak terjadi di medan pertempuran.
Kedua: Tidak dimandikan dan tidak disalatkan, karena ia dibunuh secara zalim oleh tangan orang musyrik yang sedang memerangi, maka hukumnya seperti orang yang terbunuh di medan pertempuran.
Adapun orang yang mati syahid karena tenggelam, terbakar, tertimpa bangunan runtuh, dibunuh secara licik, atau dibunuh oleh pencuri dan perampok jalanan, maka mereka semua tidak dimandikan, tetapi tetap disalatkan atas mereka.
Telah terbunuh ʿUmar, ʿUtsmān, dan ʿAlī RA sebagai syuhada, dan mereka dimandikan serta disalatkan.
فَصْلٌ
: إِذَا قُتِلَ الصَّبِيُّ أَوِ الْمَرْأَةُ فِي مُعْتَرَكِ الْمُشْرِكِينَ لَمْ يُغَسَّلُوا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ كَغَيْرِهِمْ مِنَ الرِّجَالِ الْبَالِغِينَ، وَوَافَقَنَا أبو حنيفة فِي الْمَرْأَةِ، وَخَالَفَنَا فِي الصَّبِيِّ، فَقَالَ يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ، لِأَنَّ تَرْكَ الْغُسْلِ تَطْهِيرٌ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ، وَالصَّبِيُّ لَا ذَنْبَ لَهُ فَلَا يَلْحَقُهُ التَّطْهِيرُ، فَوَجَبَ أَنْ يُغَسَّلَ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ الْبَالِغَ مُخَاطَبٌ فِي حَيَاتِهِ بِطَهَارَتَيِ الْحَدَثِ وَإِزَالَةِ النَّجَسِ وَلَا يَلْزَمُ الصَّبِيُّ وَاحِدًا مِنْهُمَا، فَلَمَّا سَقَطَ لِلشَّهَادَةِ الْغُسْلُ فِيمَنْ تَلْزَمُهُ الطَّهَارَتَانِ فِي حَيَاتِهِ فَلَأَنْ تَسْقُطَ بِهَا عَمَّنْ لَا تَلْزَمُهُ فِي حَيَاتِهِ أَوْلَى، وَلِأَنَّ حُكْمَ الصَّلَاةِ وَالْغُسْلِ يَجْرِيَانِ فِي الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ عَلَى سَوَاءٍ كَالْمَوْتَى، وَأَمَّا قَوْلُهُ تَرْكُ الْغُسْلِ تَطْهِيرٌ فَلَيْسَ كَذَلِكَ، وَإِنَّمَا تُرِكَ لِأَنَّهُ اسْتَغْنَى بِكَرَامَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ عَنْهُ.
PASAL
Apabila seorang anak kecil atau perempuan terbunuh di medan pertempuran melawan kaum musyrik, maka mereka tidak dimandikan dan tidak disalatkan, sebagaimana laki-laki baligh lainnya.
Abu Ḥanīfah sependapat dengan kami dalam hal perempuan, namun berbeda pendapat dalam hal anak kecil. Ia berpendapat bahwa anak kecil harus dimandikan dan disalatkan, karena menurutnya, meninggalkan mandi jenazah adalah bentuk penyucian dari Allah SWT, sedangkan anak kecil tidak memiliki dosa, maka tidak layak memperoleh penyucian tersebut, sehingga wajib dimandikan.
Namun ini adalah kekeliruan, karena orang baligh dikenai beban dalam hidupnya untuk bersuci dari ḥadaṡ dan menghilangkan najis, sedangkan anak kecil tidak dikenai keduanya. Maka, ketika syahadah menggugurkan kewajiban mandi bagi orang yang terkena beban dua jenis thaharah tersebut semasa hidup, maka menggugurkannya bagi orang yang tidak terkena kewajiban itu tentu lebih utama.
Lagipula, hukum salat dan mandi jenazah berlaku sama antara yang kecil dan yang besar di luar konteks syahadah. Adapun pernyataan bahwa meninggalkan mandi adalah bentuk penyucian, maka itu tidaklah benar. Justru yang benar, ia ditinggalkan karena telah cukup dengan kemuliaan dari Allah SWT yang menjadikannya tidak membutuhkan mandi.
فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ قَبْلَ الْمَعْرَكَةِ جُنُبًا فَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ نَصٌّ فِي إِيجَابِ غُسْلِهِ، لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ بَعْدَ اتِّفَاقِهِمْ أَنَّهُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، فَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يَجِبُ غُسْلُهُ لِلْجَنَابَةِ لَا لِلْمَوْتِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ فَمَنْ أَوْجَبَ غُسْلَهُ اسْتَدَلَّ بِمَا رُوِيَ ” أَنَّ حَنْظَلَةَ بْنَ الرَّاهِبِ قُتِلَ يوم أحدٍ فَرَأَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمَلَائِكَةَ تُغَسِّلُهُ فَبَعَثَ إِلَى أَهْلِهِ فَسَأَلَ عَنْ شَأْنِهِ فَقَالُوا لَا عِلْمَ لَنَا بِهِ غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ وَاقَعَ أَهْلَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْحَرْبِ جُنُبًا ” فَلَمَّا غَسَّلَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَالْمَلَائِكَةُ لَا تُغَسِّلُهُ إِلَّا عَنْ أَمْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ دَلَّ عَلَى أَنَّ غُسْلَهُ مَأْمُورٌ بِهِ، وَلِأَنَّهُ لَزِمَهُ غُسْلُ جَمِيعِ بَدَنِهِ فِي حَالِ حَيَاتِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِالْقَتْلِ، كَمَا إِذَا كَانَ عَلَى جَمِيعِ بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ ثُمَّ قُتِلَ شَهِيدًا.
PASAL
Apabila seseorang dalam keadaan junub sebelum pertempuran, maka tidak terdapat nash dari al-Syāfi‘ī mengenai wajibnya ia dimandikan. Namun para sahabat kami berbeda pendapat setelah sepakat bahwa tidak disalatkan atasnya.
Abu al-‘Abbās ibn Surayj berpendapat bahwa wajib dimandikan karena junub, bukan karena kematian. Pendapat ini juga dikatakan oleh Mālik.
Mereka yang mewajibkan mandi berdalil dengan riwayat bahwa Ḥanẓalah ibn al-Rāhib terbunuh pada hari Uhud, lalu Rasulullah SAW melihat para malaikat memandikannya. Maka beliau mengutus seseorang kepada keluarganya untuk menanyakan keadaannya. Mereka berkata, “Kami tidak mengetahui apa-apa darinya kecuali bahwa ia telah berhubungan dengan istrinya lalu keluar ke medan perang dalam keadaan junub.” Maka ketika malaikat memandikannya —dan malaikat tidak akan memandikan kecuali atas perintah Allah SWT— hal itu menunjukkan bahwa mandinya adalah perintah dari Allah.
Juga karena ia wajib mandi seluruh badan saat hidupnya, maka tidak gugur hanya karena terbunuh, sebagaimana jika seluruh tubuhnya terkena najis kemudian terbunuh sebagai syahid.
وَمَنْ قَالَ لَا يَجِبُ غُسْلُهُ اسْتَدَلَّ بِأَنَّهَا طَهَارَةٌ عَنْ حَدَثٍ فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ بِالْقَتْلِ كَالطَّهَارَةِ الصُّغْرَى، وَلِأَنَّ الْحَيَّ الْجُنُبَ إِنَّمَا يُغَسَّلُ لِأَنْ يُصَلِّيَ وَالْمَيِّتَ إِنَّمَا يُغَسَّلُ لِأَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَإِذَا كَانَ هَذَا الْقَتِيلُ الْجُنُبُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ فَلَا مَعْنَى لِغُسْلِهِ، فَأَمَّا إِزَالَةُ النَّجَاسَةِ مِنْ بَدَنِهِ فَإِنْ كَانَتْ مِنْ جِهَةِ الشَّهَادَةِ لَمْ يَجِبْ إِزَالَتُهَا، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ غَيْرِ جِهَةِ الشَّهَادَةِ كَالْبَوْلِ وَالْخَمْرِ وَجَبَ إِزَالَتُهَا، وَالْفَرْقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجَنَابَةِ أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ إِزَالَةُ قَلِيلِ النَّجَاسَةِ وَجَبَ إِزَالَةُ كَثِيرِهَا، وَلَمَّا لَمْ يَجِبْ إِزَالَةُ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ لَمْ يَجِبْ إِزَالَةُ الْأَكْبَرِ.
Dan orang yang berpendapat tidak wajib dimandikan berdalil bahwa ṭahārah dari ḥadaṡ adalah bentuk penyucian yang gugur karena terbunuh, sebagaimana ṭahārah kecil gugur (tidak wajib) bagi syahid. Dan karena orang hidup yang junub dimandikan agar ia dapat melaksanakan salat, sedangkan orang mati dimandikan agar dapat disalatkan, dan apabila jenazah yang junub ini tidak disalatkan, maka tidak ada makna bagi mandinya.
Adapun penghilangan najis dari tubuhnya, maka jika najis itu berasal dari syahadah (seperti darah luka dalam jihad), maka tidak wajib menghilangkannya. Namun jika berasal dari selain syahadah seperti air kencing atau khamr, maka wajib dihilangkan.
Perbedaan antara najis dan junub adalah: karena wajib menghilangkan najis yang sedikit, maka menghilangkan yang banyak pun menjadi wajib. Sedangkan karena tidak wajib menghilangkan ḥadaṡ kecil, maka tidak wajib pula menghilangkan ḥadaṡ besar.
فَصْلٌ
: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَنْ قُتِلَ فِي مَعْرَكَةِ أَهْلِ الْحَرْبِ، فَأَمَّا مَنْ قُتِلَ فِي مَعْرَكَةِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَلَهُ حَالَانِ:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَاغِيًا أَوْ عَادِلًا، فَإِنْ كَانَ بَاغِيًا غُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ اسْتِهَانَةً به، لأنه باين جميع الْمُسْلِمِينَ بِفِعْلِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُغَسَّلَ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ كَالْحَرْبِيِّ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِ غُسْلِهِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” صَلُّوا عَلَى مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَخَلْفَ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ” وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تُكَفِّرُوا أَحَدًا مِنْ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ وَإِنْ عَمِلُوا الْكَبَائِرَ وَجَاهِدُوا مَعَ كُلِّ أميرٍ، وَصَلُّوا عَلَى كُلِّ ميتٍ ” وَلِأَنَّهُ مُسْلِمٌ مقتول فوجب أن يغسل ويصلى عليه ك ” الزاني ” الْمُحْصَنِ، وَالْقَاتِلِ الْعَامِدِ، وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ اسْتِغْفَارٌ وَرَحْمَةٌ وَالْبَاغِي إِلَيْهَا أَحْوَجُ فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى أَهْلِ الحرب فغلط لوقوع الفرق بينهما.
PASAL
Telah dijelaskan sebelumnya hukum orang yang terbunuh di medan pertempuran melawan musuh harbi. Adapun orang yang terbunuh di medan pertempuran melawan ahl al-baghy (golongan pemberontak), maka ia memiliki dua keadaan: bisa jadi ia bagian dari pemberontak (bāghī) atau bagian dari pihak yang adil (ʿādil).
Jika ia termasuk golongan pemberontak, maka ia tetap dimandikan dan disalatkan. Abu Ḥanīfah berpendapat: tidak dimandikan dan tidak disalatkan sebagai bentuk penghinaan terhadapnya, karena ia telah memisahkan diri dari seluruh kaum muslimin dengan perbuatannya, maka sepatutnya tidak dimandikan dan tidak disalatkan sebagaimana orang musyrik harbi.
Namun dalil yang menunjukkan wajibnya mandi dan salat atasnya adalah sabda Nabi SAW: “Ṣallū ʿalā man qāla lā ilāha illā Allāh, wa ṣallū khalfa man qāla lā ilāha illā Allāh” (“Salatlah atas orang yang mengucapkan Lā ilāha illā Allāh dan salatlah di belakang orang yang mengucapkan Lā ilāha illā Allāh”).
Dan juga sabda Nabi SAW: “Lā tukaffirū aḥadan min ahl millatikum wa in ʿamilū al-kabāʾir, wa jāhidū maʿa kull amīr, wa ṣallū ʿalā kull mayyit” (“Janganlah kalian mengkafirkan seorang pun dari umat kalian meskipun ia melakukan dosa-dosa besar, dan berjihadlah bersama setiap pemimpin, serta salatlah atas setiap mayit”).
Dan karena ia seorang muslim yang terbunuh, maka wajib dimandikan dan disalatkan sebagaimana zānī muḥṣan (pezina yang sudah menikah) dan qātil ʿāmid (pembunuh dengan sengaja). Lagi pula, salat jenazah adalah bentuk permohonan ampun dan rahmat, dan seorang pemberontak lebih membutuhkan keduanya.
Adapun menyamakan mereka dengan orang musyrik harbi adalah kesalahan, karena terdapat perbedaan yang nyata antara keduanya.
فصل
: وإن كان المقتول عادلاً ففي غسل وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة لِمَا رُوِيَ أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ صَلَّى عَلَى قَتْلَاهُ، وَلِأَنَّهُ مُسْلِمٌ قَتَلَهُ مُسْلِمٌ فَوَجَبَ أَنْ يُغَسَّلَ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ كَالْمَقْتُولِ غِيلَةً.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ لَمَّا قُتِلَ بِصِفِّينَ لَمْ يُغَسَّلْ وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ بِوَصِيَّةِ عَمَّارٍ، وَأَمْرِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَلِأَنَّهُ مُسْلِمٌ قُتِلَ فِي الْمَعْرَكَةِ ظُلْمًا فَوَجَبَ أَنْ لَا يُغَسَّلَ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ كَالْقَتِيلِ فِي مَعْرَكَةِ الْمُشْرِكِينَ.
PASAL
Apabila orang yang terbunuh itu dari pihak yang ʿādil (adil), maka dalam hal mandi dan salat atasnya terdapat dua pendapat:
Pertama: Dimandikan dan disalatkan. Ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah, berdasarkan riwayat bahwa ʿAlī ʿAlayhi al-Salām menyolatkan para syuhada dari pihaknya, dan karena ia adalah seorang muslim yang dibunuh oleh sesama muslim, maka wajib dimandikan dan disalatkan sebagaimana orang yang dibunuh secara licik (ghīlah).
Kedua: Tidak dimandikan dan tidak disalatkan, berdasarkan riwayat bahwa ketika ʿAmmār ibn Yāsir terbunuh dalam Perang Ṣiffīn, ia tidak dimandikan dan tidak disalatkan atas wasiat dari ʿAmmār sendiri dan perintah dari ʿAlī ʿAlayhi al-Salām. Dan karena ia adalah seorang muslim yang terbunuh secara zalim di medan pertempuran, maka sepatutnya tidak dimandikan dan tidak disalatkan sebagaimana orang yang terbunuh di medan pertempuran melawan kaum musyrik.
فَصْلٌ
: إِذَا اخْتَلَطَ مَوْتَى الْمُسْلِمِينَ بِمَوْتَى الْمُشْرِكِينَ صَلَّى عَلَى جَمَاعَتِهِمْ وَاحِدًا وَاحِدًا، وَنَوَى بِالصَّلَاةِ الْمُسْلِمِينَ مِنْهُمْ، وَسَوَاءٌ اخْتَلَطَ مُسْلِمٌ بِمِائَةِ مُشْرِكٍ، أَوْ مُشْرِكٌ بِمِائَةِ مُسْلِمٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ كَانَ الْمُسْلِمُونَ أَكْثَرَ صَلَّى عَلَيْهِمْ، وَإِنْ كَانُوا أَقَلَّ أَوْ كَانُوا سَوَاءً لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِمْ، اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الْأَغْلَبِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ يُصَلَّى عَلَيْهِمْ إِذَا كَانَ الْمُسْلِمُونَ أَكَثُرَ رَجَاءَ أَنْ تَكُونَ صَلَاةً عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ إِذَا كَانَ الْمُسْلِمُونَ أَقَلَّ، وَإِنْ كَانَ لَا يصلى عليهم إذا كان المسلون أَقَلَّ خَوْفًا مِنْ أَنْ تَكُونَ صَلَاةً عَلَى كُلِّ كَافِرٍ فَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ إِذَا كَانَ الْمُسْلِمُونَ أَكَثَرَ، فَعُلِمَ فَسَادُ مَا اعْتَبَرُوهُ وَاللَّهُ أعلم.
PASAL
Apabila jenazah kaum muslimin bercampur dengan jenazah kaum musyrikin, maka disalatkan satu per satu atas mereka secara berjamaah, dengan niat salat hanya untuk kaum muslimin di antara mereka. Sama saja apakah satu muslim bercampur dengan seratus musyrik, atau satu musyrik bercampur dengan seratus muslim.
Abū Ḥanīfah berpendapat: jika kaum muslimin lebih banyak, maka disalatkan; namun jika mereka lebih sedikit atau jumlahnya sama, maka tidak disalatkan, dengan pertimbangan hukum mayoritas.
Namun pendapat ini tidak benar. Karena jika ia menyalatkan mereka saat kaum muslimin lebih banyak dengan harapan agar salat itu mencakup setiap muslim, maka makna ini juga ada ketika kaum muslimin lebih sedikit. Dan jika ia tidak menyalatkan mereka saat kaum muslimin lebih sedikit karena khawatir salat itu mencakup setiap orang kafir, maka kekhawatiran ini juga ada ketika kaum muslimin lebih banyak. Maka jelaslah rusaknya pertimbangan tersebut. Wallāhu aʿlam.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ حَمَلَ فِي جِنَازَةِ سَعْدِ بْنِ معاذٍ بين العمودين وعن سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ حَمَلَ سَرِيرَ ابْنِ عَوْفٍ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ عَلَى كَاهِلِهِ وَأَنَّ عثمان حمل بين عمودي سرير أمه فَلَمْ يُفَارِقْهُ حَتَّى وُضِعَ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ حَمَلَ بَيْنَ عَمُودَيْ سَرِيرِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ حَمَلَ بَيْنَ عمودي سرير المسور (قال) ووجه حملها من الجوانب أن يضع ياسرة السرير المقدمة على عاتقه الأيمن ثم ياسرته المؤخرة ثم يامنة السرير المقدمة على عاتقه الأيسر ثم يامنته المؤخرة فإن كثر الناس أحببت أن يكون أكثر حمله بين العمودين ومن أين حمل فحسن “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: السُّنَّةُ فِي حَمْلِ الْجِنَازَةِ أَنْ يَحْمِلَهَا خَمْسَةٌ، أَرْبَعَةٌ فِي جَوَانِبِهَا وَوَاحِدٌ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ.
BAB MENGUSUNG JENAZAH
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
“Telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mengusung jenazah Saʿd ibn Muʿādh di antara dua tiang penyangga. Dan dari Saʿd ibn Abī Waqqāṣ bahwa ia mengusung keranda Ibn ʿAwf di antara dua tiangnya di atas bahunya. Dan bahwa ʿUthmān mengusung di antara dua tiang keranda ibunya dan tidak meninggalkannya hingga jenazah diletakkan. Dan dari Abū Hurayrah bahwa ia mengusung di antara dua tiang keranda Saʿd ibn Abī Waqqāṣ. Dan bahwa Ibn al-Zubayr mengusung di antara dua tiang keranda al-Miswar.”
(Beliau berkata): “Cara mengusung dari keempat sisi adalah dengan meletakkan bagian kiri depan keranda di atas pundak kanan, lalu bagian kiri belakang, kemudian bagian kanan depan di atas pundak kiri, lalu bagian kanan belakang. Jika orang yang hadir banyak, maka aku lebih menyukai agar lebih sering mengusung dari antara dua tiang. Dan dari sisi mana pun seseorang mengusung, itu baik.”
Al-Māwardī berkata:
Sunnah dalam mengusung jenazah adalah agar diusung oleh lima orang: empat orang di keempat sisi keranda, dan satu orang di antara dua tiang penyangga.
وَقَالَ أبو حنيفة السُّنَّةُ أَنْ يَحْمِلَهَا أَرْبَعَةٌ فِي جَوَانِبِهَا، وَلَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ حَمْلُهَا بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ.
وَدَلِيلُنَا فِي ذَلِكَ: مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ حَمَلَ جِنَازَةَ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ وَرُوِيَ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ حَمَلَ سَرِيرَ ابْنِ عَوْفٍ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ عَلَى كَاهِلِهِ وَأَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَمَلَ بَيْنَ عَمُودَيْ سَرِيرِ ابنه فَلَمْ يُفَارِقْهُ حَتَّى وُضِعَ، وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ حَمَلَ بَيْنَ عَمُودَيْ سَرِيرِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ حَمَلَ بَيْنَ عمودي سرير المسور [ابن مَخْرَمَةَ] وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَمْكَنُ وَأَحْصَرُ لِلْمَحْمُولِ، فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَوَجْهُ حَمْلِهَا مِنَ الْجَوَانِبِ، أَنْ يوضع بأسرة السَّرِيرِ مِنْ مُقَدَّمِهِ عَلَى عَاتِقِهِ الْأَيْمَنِ وَيَتَأَخَّرَ، ويوضع بأسرةالسَّرِيرِ مِنْ مُؤَخَّرِهِ عَلَى عَاتِقِهِ الْأَيْمَنِ، ثُمَّ يَتَقَدَّمُ وَيَضَعُ السَّرِيرَ مِنْ مُقَدَّمِهِ عَلَى عَاتِقِهِ الأيسر، ثم يتأخر ويضع ثامنة السَّرِيرِ مِنْ مُؤَخَّرِهِ عَلَى عَاتِقِهِ الْأَيْسَرِ، ثُمَّ يَتَقَدَّمَ، ثُمَّ يَحْمِلَ الْخَامِسُ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ الْمُقَدَّمَيْنِ عَلَى كَاهِلِهِ، فَإِنْ ثَقُلَتِ الْجِنَازَةُ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَحْمِلَهَا سِتَّةٌ، وَثَمَانٍ، وَعَشْرٌ، وَأَنْ يُجْعَلَ تَحْتَهَا أَعْمِدَةٌ مُعَارَضَةٌ تَمْنَعُ الْجِنَازَةَ، كَذَا حُمِلَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، لِأَنَّهُ كَانَ مُبَدَّنًا ثَقِيلًا، فَأَمَّا النِّسَاءُ فَيُخْتَارُ لَهُنَّ إِصْلَاحُ النَّعْشِ كَالْقُبَّةِ عَلَى السَّرِيرِ لِمَا فِيهِ مِنَ الصِّيَانَةِ، وَكَانَ الْأَصْلُ فِيهِ أَنَّ زَيْنَبَ بِنْتَ جَحْشٍ زوج النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَاتَتْ فِي خِلَافَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَكَانَتْ خَلِيقَةً ذَاتَ جِسْمٍ، فَلَمَّا أَخْرَجُوهَا رَأَى النَّاسُ جُثَّتَهَا فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ: قَدْ رَأَيْتُ فِي بِلَادِ الْحَبَشَةِ نُعُوشًا لِمَوْتَاهُمْ فَعَمِلَتْ نَعْشًا لِزَيْنَبَ فَلَمَّا عُمِلَ قَالَ عمر رضي الله عنه نعم خبا الظَّعِينَةِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَيْسَ فِي حَمْلِ الْجِنَازَةِ دَنَاءَةٌ وَلَا إِسْقَاطُ مُرُوءَةٍ، بَلْ ذَلِكَ مَكْرُمَةٌ وَثَوَابٌ وَبِرٌّ، وَفِعَالُ أَهْلِ الْخَيْرِ، قَدْ فَعَلَهُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثُمَّ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ، وَيَتَوَلَّى حَمْلَ الْجِنَازَةِ الرِّجَالُ دُونَ النِّسَاءِ مَا كَانُوا مَوْجُودِينَ، سَوَاءٌ كَانَ الميت رجلاً أو امرأة، وكيف ما حملت الجنازة جاز.
PASAL
Abu Ḥanīfah berkata: Sunnah dalam mengusung jenazah adalah dilakukan oleh empat orang dari keempat sisi keranda, dan bukan termasuk sunnah mengusungnya di antara dua tiang penyangga.
Adapun dalil kami: telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW mengusung jenazah Saʿd ibn Muʿādh di antara dua tiang penyangga. Diriwayatkan pula bahwa Saʿd ibn Abī Waqqāṣ mengusung keranda Ibn ʿAwf di antara dua tiang di atas bahunya, dan bahwa ʿUthmān ibn ʿAffān RA mengusung antara dua tiang keranda anaknya dan tidak meninggalkannya hingga diletakkan. Juga diriwayatkan bahwa Abū Hurayrah mengusung antara dua tiang keranda Saʿd ibn Abī Waqqāṣ, dan bahwa Ibn al-Zubayr mengusung antara dua tiang keranda al-Miswar ibn Makhramah.
Dan karena cara itu lebih memungkinkan dan lebih mantap bagi jenazah yang diusung.
Setelah ini ditetapkan, maka cara mengusung dari sisi-sisi keranda adalah: meletakkan sisi kiri bagian depan keranda di atas pundak kanan, lalu mundur dan meletakkan sisi kiri bagian belakang di atas pundak kanan. Lalu maju dan meletakkan sisi kanan bagian depan di atas pundak kiri, lalu mundur dan meletakkan sisi kanan bagian belakang di atas pundak kiri. Kemudian maju lagi, dan orang kelima mengusung antara dua tiang bagian depan di atas bahunya. Jika jenazah terasa berat, maka tidak mengapa diusung oleh enam, delapan, atau sepuluh orang, dan diletakkan di bawahnya beberapa tiang melintang agar menopangnya. Demikianlah jenazah ʿUbaydullāh ibn ʿUmar diusung karena ia bertubuh besar dan berat.
Adapun jenazah perempuan, maka lebih utama kerandanya dibuat dengan penutup seperti kubah di atasnya, demi menjaga kehormatannya. Hal ini berangkat dari peristiwa wafatnya Zaynab binti Jaḥsh, istri Nabi SAW, pada masa kekhilafahan ʿUmar ibn al-Khaṭṭāb RA. Ia bertubuh besar, maka ketika jenazahnya dikeluarkan, orang-orang dapat melihat bentuk tubuhnya. Hal ini sangat membuat ʿUmar RA tidak nyaman. Maka Asmāʾ binti ʿUmays berkata, “Aku pernah melihat di negeri Ḥabasyah keranda-keranda mereka tertutup,” lalu ia membuatkan keranda untuk Zaynab. Ketika telah dibuat, ʿUmar RA berkata, “Ini adalah sebaik-baik penutup wanita.”
Al-Syāfiʿī berkata: Tidak ada kehinaan dalam mengusung jenazah, dan tidak pula menjatuhkan martabat, bahkan itu adalah kemuliaan, pahala, dan bentuk bakti, serta merupakan perbuatan orang-orang saleh. Nabi SAW telah melakukannya, kemudian para sahabat dan tabi’in pun melakukannya.
Yang mengusung jenazah adalah kaum laki-laki, bukan perempuan, selama kaum laki-laki masih ada, baik mayitnya laki-laki maupun perempuan. Dan bagaimana pun cara jenazah diusung, maka hal itu tetap sah.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَالْمَشْيُ بِالْجِنَازَةِ الْإِسْرَاعُ وهو فوق سجية المشي “.
قال الماوردي: وهو كَمَا قَالَ.
الْمُخْتَارُ لِحَامِلِ الْجِنَازَةِ أَنْ يَزِيدَ عَلَى سَجِيَّةِ مَشْيِهِ كَالْمُسْرِعِ، وَلَا يَسْعَى لِرِوَايَةِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا تُقَدِّمُونَهَا إليه، وإن كان غير شَيْءٌ وَضَعْتُمُوهُ عَنْ رِقَابِكُمْ “.
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْنَا نَبِيَّنَا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْإِسْرَاعِ بِالْجِنَازَةِ فَقَالَ: ” دُونَ الْخَبَبِ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا تُعَجَّلُ إِلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذلك فبعد الأهل النَّارِ “.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَإِنْ كَانَ بِالْمَيِّتِ عِلَّةٌ يَخَافُ النَّجَاسَةَ يَعْنِي انْفِجَارَهُ تَرَفَّقَ به في المشي.
BAB BERJALAN MENGIRINGI JENAZAH
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
“Berjalan mengiringi jenazah adalah dengan mempercepat langkah, yaitu lebih cepat dari kebiasaan berjalan biasa.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan.
Yang dipilih bagi orang yang mengusung jenazah adalah agar berjalan lebih cepat dari kebiasaan langkahnya, seperti orang yang berjalan cepat, namun tidak berlari, berdasarkan riwayat Ibn al-Musayyab dari Abū Hurayrah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Percepatlah dalam membawa jenazah, karena jika ia orang baik maka kalian mempercepatnya menuju kebaikan, dan jika ia bukan demikian, maka kalian segera meletakkannya dari pundak kalian.”
Dan diriwayatkan dari Ibn Masʿūd, ia berkata:
“Kami bertanya kepada Nabi kami SAW tentang mempercepat langkah dalam membawa jenazah, maka beliau bersabda: ‘Lebih cepat dari jalan biasa namun tidak sampai berlari, karena jika ia orang baik, kalian percepat menuju kebaikan, dan jika sebaliknya, maka menjauhkan ia dari penghuni neraka.’”
Al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata:
“Namun jika pada jenazah terdapat kondisi yang dikhawatirkan menimbulkan najis—seperti meledaknya tubuh—maka hendaknya diperlambat dan diperlakukan dengan lembut saat berjalan.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْمَشْيُ أَمَامَهَا أَفْضَلُ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَانُوا يَمْشُونَ أَمَامَ الْجِنَازَةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
وَبِهِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ.
وَقَالَ أبو حنيفة: الْمَشْيُ خَلْفَهَا أَفْضَلُ، وَرَوَاهُ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.
وَقَالَ الثَّوْرِيُّ: إِنْ كَانَ رَاكِبًا فَالْمَشْيُ أَمَامَهَا أَفْضَلُ، وَإِنْ كَانَ مَاشِيًا كَانَ بِالْخِيَارِ وَرَوَاهُ عَنْ أَنَسٍ.
وَاسْتَدَلُّوا عَلَى فَضْلِ الْمَشْيِ خَلْفَهَا بِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” الْجِنَازَةُ متبوعةٌ لَا تَتْبَعُ لَيْسَ مِنْهَا مَنْ تَقَدَّمَهَا ” وَبِمَا رَوَاهُ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: ” فَضْلُ الْمَشْيِ خَلْفَ الْجِنَازَةِ عَلَى الْمَشْيِ أَمَامَ الْجِنَازَةِ كَفَضْلِ الْمَكْتُوبَةِ عَلَى النَّافِلَةِ، سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.
Masalah:
Al-Syāfiʿī raḍiyallāhu ʿanhu berkata:
“Berjalan di depan jenazah lebih utama, karena Nabi SAW, Abū Bakr, ʿUmar, dan ʿUthmān biasa berjalan di depan jenazah.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
Pendapat ini juga dipegang oleh Abū Bakr, ʿUmar, ʿUthmān, Ibn ʿUmar, Abū Hurayrah raḍiyallāhu ʿanhum, serta oleh Mālik dan Aḥmad.
Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa berjalan di belakang jenazah lebih utama, dan ini diriwayatkan dari ʿUmar raḍiyallāhu ʿanhu.
Al-Thawrī berkata: Jika ia berkendara, maka berjalan di depan jenazah lebih utama; namun jika ia berjalan kaki, maka ia diberi pilihan. Pendapat ini dinisbatkan kepada Anas.
Mereka yang berpendapat bahwa berjalan di belakang jenazah lebih utama berdalil dengan riwayat dari Ibn Masʿūd bahwa Nabi SAW bersabda:
“Jenazah itu diikuti, bukan mengikuti. Tidak termasuk bagian darinya orang yang mendahuluinya.”
Dan juga dengan riwayat dari Abū Umāmah dari ʿAlī raḍiyallāhu ʿanhu bahwa ia berkata:
“Keutamaan berjalan di belakang jenazah dibanding berjalan di depannya seperti keutamaan salat fardhu atas salat sunnah. Aku mendengarnya dari Rasulullah SAW.”
وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَمْشِي خَلْفَهَا، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَمَامَهَا، فَقَالَ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَعْلَمَانِ أَنَّ الْمَشْيَ خَلْفَهَا أَفْضَلُ، وَلَكِنَّهُمَا يُسَهِّلَانِ عَلَى النَّاسِ.
قَالُوا: وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ الْجِنَازَةَ تَقُولُ قَدِّمُونِي قَدِّمُونِي “.
ودليلنا على فضل الشيء رِوَايَةُ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ كَانُوا يَمْشُونَ أَمَامَ الْجِنَازَةِ وَلَفْظَةُ كَانَ عِبَارَةٌ عَنْ دَوَامِ الْفِعْلِ وَالْمُقَامِ عَلَيْهِ، وَالنَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَفْعَلُ الْجَائِزَ مَرَّةً وَلَا يَدُومُ إِلَّا عَلَى الْأَفْضَلِ، وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ مَشَى خَلْفَ الْجِنَازَةِ.
وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لِلنَّاسِ فِي جِنَازَةِ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ امْشُوا أَمَامَ أُمِّكُمْ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَا يَنْهَى بِفِعْلِ الشَّيْءِ إِلَى غَيْرِهِ إِلَّا لِفَضْلِ مَا أَمَرَ بِهِ عَلَى مَا نَهَى عَنْهُ، وَلِأَنَّ أَفْضَلَ مَنْ مَشَى مَعَ الْجِنَازَةِ حَامِلُهَا لأن له أجرين، والماشي مَعَ الْجِنَازَةِ أَجْرٌ، ثُمَّ كَانَ مَنْ حَمَلَ قدام الجنازة أفضل من حَمَلَ مِنْ مُؤَخَّرِهَا، كَذَلِكَ مَنْ مَشَى أَمَامَ الْجِنَازَةِ أَفْضَلُ مِمَّنْ مَشَى خَلْفَهَا.
Dan diriwayatkan dari ʿAlī raḍiyallāhu ʿanhu bahwa beliau berjalan di belakang jenazah, sedangkan Abū Bakr dan ʿUmar raḍiyallāhu ʿanhumā berjalan di depan jenazah. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya Abū Bakr dan ʿUmar mengetahui bahwa berjalan di belakang jenazah itu lebih utama, tetapi keduanya memudahkan urusan bagi manusia.”
Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya jenazah berkata: ‘Dahulukan aku, dahulukan aku.’”
Adapun dalil kami atas keutamaan berjalan di depan jenazah adalah riwayat dari Sālim dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW, Abū Bakr, ʿUmar, dan ʿUthmān raḍiyallāhu ʿanhum biasa berjalan di depan jenazah. Dan lafaz “kāna” menunjukkan kebiasaan yang terus-menerus dan konsistensi dalam perbuatan. Dan Nabi SAW jika melakukan sesuatu yang mubah hanya sekali, maka tidak mesti menunjukkan keutamaan. Namun jika beliau melakukannya terus-menerus, maka itu menunjukkan bahwa itulah yang paling utama.
Dan tidak ada satu pun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah berjalan di belakang jenazah.
Diriwayatkan pula bahwa ʿUmar ibn al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ʿanhu berkata kepada orang-orang dalam jenazah Zaynab binti Jaḥsh: “Berjalanlah kalian di depan ibunda kalian!” Dan ʿUmar RA tidak akan memerintahkan sesuatu dan melarang dari yang lainnya kecuali karena keutamaan yang diperintahkannya atas yang dilarangnya.
Dan karena orang yang paling utama berjalan bersama jenazah adalah orang yang mengusungnya—karena ia mendapat dua pahala—sedangkan orang yang hanya berjalan mendapat satu pahala. Lalu, di antara para pengusung, yang mengusung dari depan lebih utama dari yang mengusung dari belakang. Maka demikian pula, orang yang berjalan di depan jenazah lebih utama daripada orang yang berjalan di belakangnya.
فَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ مَسْعُودٍ فَضَعِيفُ الْإِسْنَادِ عَلَى أَنَّ قَوْلَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَيْسَ مَعَهَا مَنْ تَقَدَّمَهَا ” يُحْمَلُ عَلَى مَنْ تَبَاعَدَ عَنْهَا وَانْقَطَعَ مِنْهَا.
وَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي أُمَامَةَ فَأَضْعَفُ مِنَ الْأَوَّلِ لِأَنَّهُ رِوَايَةُ مُطَرِّفِ بْنِ يَزِيدَ وَكَانَ كَذَّابًا يَضَعُ الْحَدِيثَ، عَلَى أن خبرنا أولى منه، لأنه يفعل فعل دوام عليه.
وَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيٍّ – عَلَيْهِ السَّلَامُ -، وَقَوْلُهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – يَعْلَمَانِ فَضْلَ الْمَشْيِ خَلْفَهَا وَلَكِنَّهُمَا يُسَهِّلَانِ عَلَى النَّاسِ، فَحَدِيثٌ غَيْرُ ثَابِتٍ، لِأَنَّهُ رِوَايَةُ بَحْرِ بْنِ جَابِرٍ وَكَانَ ضَعِيفًا، وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ بَحْرًا قِيلَ لَهُ مَنْ حَدَّثَكَ فَقَالَ: طَائِرٌ مَرَّ بِنَا.
وَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إن الْجِنَازَة تَقُولُ قَدِّمُونِي ” فَمَعْنَاهُ: أَسْرِعُوا بِي.
Adapun hadis Ibn Masʿūd, maka sanadnya lemah. Lagipula, sabda Nabi SAW: “Laysa maʿahā man taqaddamahā” (“Bukan termasuk bagian dari jenazah orang yang mendahuluinya”) ditakwilkan maksudnya adalah orang yang terlalu jauh mendahuluinya hingga terputus dari rombongan jenazah.
Adapun hadis Abū Umāmah, maka ia lebih lemah lagi daripada yang pertama, karena berasal dari riwayat Muṭarrif ibn Yazīd, yang dikenal sebagai pendusta dan tukang membuat hadis palsu. Di samping itu, riwayat kami lebih kuat daripada riwayat tersebut, karena berdasarkan perbuatan yang terus-menerus dilakukan (dawām) oleh Nabi SAW.
Adapun hadis dari ʿAlī ʿalayhi al-salām, dan pernyataannya bahwa Abū Bakr dan ʿUmar raḍiyallāhu ʿanhumā mengetahui keutamaan berjalan di belakang jenazah namun memudahkan bagi manusia, maka itu hadis yang tidak sahih, karena bersumber dari riwayat Baḥr ibn Jābir, yang statusnya lemah. Bahkan telah disebutkan bahwa Baḥr pernah ditanya, “Siapa yang memberitakan hadis ini kepadamu?” Maka ia menjawab, “Seekor burung yang melintas di atas kami.”
Adapun sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya jenazah berkata: ‘Qaddimūnī!’” (“Dahulukan aku!”), maka maksudnya adalah: “Percepatlah membawaku.”
فَصْلٌ
: يُكْرَهُ لِمَنْ تَبِعَ الْجِنَازَةَ، أَنْ يَرْكَبَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ضَعِيفًا، أَوْ يَكُونَ الطَّرِيقُ بَعِيدًا، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَا رَكِبَ فِي عِيدٍ وَلَا جِنَازَةٍ قَطُّ “.
وَرَوَى ذَلِكَ الزُّهْرِيُّ، فَإِذَا عَادَ مِنَ الدَّفْنِ جَازَ أَنْ يَرْكَبَ، وَلَمْ يُكْرَهْ ذَلِكَ لَهُ، وَرَوَى سَمُرَةَ بْنُ جُنْدُبٍ لَمَّا مَاتَ ثَابِتُ بْنُ الدَّحْدَاحِ تَبِعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جِنَازَتَهُ مَاشِيًا، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ دَفْنِهِ أُتِيَ بفرسٍ فَرَكِبَهُ، وَرَجَعَ عَلَيْهِ.
PASAL
Dimakruhkan bagi orang yang mengikuti jenazah untuk berkendara, kecuali jika ia dalam keadaan lemah atau jalannya jauh. Sebab Rasulullah SAW “tidak pernah berkendara dalam salat ‘Īd maupun dalam mengiringi jenazah sama sekali.”
Riwayat ini disampaikan oleh al-Zuhrī.
Namun jika telah kembali dari pemakaman, maka dibolehkan untuk berkendara dan tidak dimakruhkan baginya.
Diriwayatkan dari Samurah ibn Jundub bahwa ketika Ṯābit ibn al-Daḥdāḥ wafat, Rasulullah SAW mengikuti jenazahnya dengan berjalan kaki. Setelah selesai dari pemakaman, beliau didatangkan seekor kuda, lalu beliau menungganginya dan kembali dengan berkendara.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْوَلِيُّ أَحَقُّ بِالصَّلَاةِ مِنَ الْوَالِي لِأَنَّ هَذَا من الأمور الخاصة “.
مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ: أَنَّ الْوَلِيَّ الْمُنَاسِبَ أَوْلَى بِالصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ مِنْ وَالِي الْبَلَدِ، وَسُلْطَانِهِ وَقَالَ أبو حنيفة وَالِي الْبَلَدِ وَسُلْطَانُهُ أَوْلَى بِالصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ مِنْ سَائِرِ أَوْلِيَائِهِ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ: اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَؤُمَّنَّ رجلٌ رَجُلًا فِي سُلْطَانِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ “.
BAB ORANG YANG PALING BERHAK MENYOLATI MAYIT
Al-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ʿanhu berkata:
“Wali (keluarga) lebih berhak menyolati jenazah daripada wali (penguasa), karena ini termasuk urusan yang bersifat khusus.”
Mazhab al-Syāfiʿī dalam pendapat jadīd (baru) adalah bahwa wali kerabat yang sesuai lebih berhak menyolati jenazah daripada wali kota atau penguasanya.
Abu Ḥanīfah berpendapat bahwa wali kota dan penguasanya lebih berhak menyolati jenazah daripada seluruh kerabatnya. Ini juga merupakan pendapat al-Syāfiʿī dalam qadīm (pendapat lama), dengan dalil sabda Nabi SAW:
“Tidak boleh seseorang mengimami orang lain di wilayah kekuasaan orang itu kecuali dengan izinnya.”
وَرُوِيَ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ – عليهما السلام – قَدَّمَ سَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ حَتَّى صَلَّى عَلَى أَخِيهِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَقَالَ: ” لَوْلَا السُّنَّةُ لَمَا قَدَّمْتُكَ ” وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ سُنَّ لَهَا الْجَمَاعَةُ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْوَالِي بِإِقَامَتِهَا أَوْلَى مِنَ الْوَلِيِّ، كَسَائِرِ الصَّلَوَاتِ وَوَجَّهَ فِي الْجَدِيدِ عُمُومَ قوله تعالى: {وَأَولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ) {الأنفال: 75) وَلِأَنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ بِالنَّسَبِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ أَحَقَّ مِنَ الْوَالِي كَالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ تَقَدَّمَ عَلَى غَيْرِهِ فِي النِّكَاحِ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ فِي الصَّلَاةِ، كَالْقَرِيبِ عَلَى الْبَعِيدِ، وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ صَلَاةِ الْجِنَازَةِ الِاسْتِغْفَارُ وَالتَّرَحُّمُ وَالِاسْتِكْثَارُ مِنَ الدُّعَاءِ.
Dan diriwayatkan dari al-Ḥusain bin ‘Alī – ‘alaihimā as-salām – bahwa ia mendahulukan Sa‘īd bin al-‘Āṣ hingga ia menyalatkan jenazah saudaranya, al-Ḥasan bin ‘Alī, lalu ia berkata: “Seandainya bukan karena sunnah, niscaya aku tidak akan mendahulukanmu.” Karena shalat itu adalah shalat yang disunnahkan berjamaah, maka wajiblah agar wālī (penguasa) lebih berhak untuk mendirikannya dibanding walī (kerabat), sebagaimana shalat-shalat yang lain. Dan dalam pendapat jadīd, beliau (al-Syāfi‘ī) mengarahkan pada keumuman firman Allah Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang memiliki hubungan kerabat itu lebih berhak satu sama lain” (al-Anfāl: 75). Dan karena ia adalah hak yang ditetapkan berdasarkan nasab, maka wajib agar walī lebih berhak daripada wālī, sebagaimana dalam pernikahan. Dan karena setiap orang yang lebih didahulukan atas selainnya dalam pernikahan, maka ia juga lebih didahulukan dalam shalat jenazah, seperti kerabat dekat dibanding kerabat jauh. Dan karena tujuan dari shalat jenazah adalah memohonkan ampunan, rahmat, dan memperbanyak doa.
وَلِهَذَا كَانَ الْأَبُ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهِ، لِأَنَّهُ أَشْفَقُ وَأَحْنَى وَأَرَقُّهُمْ عَلَيْهِ، قُلْنَا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ أَوْلَى لِاخْتِصَاصِهِ بِهَذَا الْمَعْنَى.
فَأَمَّا الْخَبَرُ فمحمول على الصلوات المفروضات.
وأما تقديم الحسين عَلَيْهِ السَّلَامُ لِسَعِيدٍ، وَقَوْلُهُ: لَوْلَا السُّنَّةُ لَمَا قَدَّمْتُكَ، يَعْنِي: أنَّ مِنَ السُّنَّةِ تَقْدِيمَ الْوُلَاةِ عَلَى طَرِيقِ الْأَدَبِ لَا الْوَاجِبُ، أَلَا تَرَى أَنَّ سَعِيدًا اسْتَأْذَنَ الْحُسَيْنَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ، وَلَوْ كَانَ حَقًّا لَهُ لَمَا اسْتَأْذَنَ فِيهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى سَائِرِ الصَّلَوَاتِ، فَالْمَعْنَى فِيهَا ثُبُوتُ الْحَقِّ فِيهَا، بِالْوِلَايَةِ دون النسب.
Dan karena itu, ayah lebih berhak daripada selainnya, karena ia adalah yang paling kasih sayang, paling lembut, dan paling belas kasih terhadap mayit. Maka kami katakan: ini menunjukkan bahwa wali kerabat lebih berhak karena kekhususannya dalam makna tersebut.
Adapun hadis (yang digunakan sebagai dalil oleh pihak yang mendahulukan wali penguasa), maka itu dibawa kepada konteks salat-salat fardhu (bukan salat jenazah).
Adapun tindakan al-Ḥusayn ʿalayhi al-salām yang mendahulukan Saʿīd dan perkataannya “Seandainya bukan karena sunnah, niscaya aku tidak akan mendahulukanmu,” maksudnya adalah: termasuk sunnah untuk mendahulukan para pemimpin sebagai bentuk adab, bukan karena kewajiban.
Tidakkah engkau melihat bahwa Saʿīd meminta izin kepada al-Ḥusayn raḍiyallāhu ʿanhu untuk menyolati jenazah al-Ḥasan? Dan seandainya itu benar-benar hak miliknya (Saʿīd), niscaya ia tidak akan meminta izin dalam perkara itu.
Adapun qiyās (analogi) terhadap salat-salat lainnya, maka makna (yang membedakan) adalah bahwa hak (menjadi imam) dalam salat-salat itu berdasarkan kekuasaan (wilāyah), bukan berdasarkan kekerabatan (nasab).
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَحَقُّ قَرَابَتِهِ الْأَبُ ثُمَّ الْجَدُّ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ ثَمَّ الْوَلَدُ وَوَلَدُ الْوَلَدِ ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ ثُمَّ أَقْرَبُهُمْ بِهِ عَصَبَةً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ثَبَتَ أَنَّ أَوْلِيَاءَ الْمَيِّتِ أَحَقُّ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ مِنَ الْوَالِي، فَأَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ الْأَبُ، لأنه قد شارك الابن في البعضية، وَاخْتُصَّ بِفَضْلِ الْحُنُوِّ وَالشَّفَقَةِ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، وَمَنْ عَلَا مِنْهُمْ لِمُشَارَكَتِهِمُ الْأَبَ فِي هذا المعنى، ثم الأب لاختصاصه بالبعضية وقربه بالتعصيب، ثُمَّ بَنُو الِابْنِ وَإِنْ سَفُلُوا لِمُشَارَكَتِهِمُ الِابْنَ في هذا لاختصاصهم المعنى، ثم الإخوة للأب والأم تتقدم على الإخوة للأب، بالرحم مَعَ مُشَارَكَتِهِمْ فِي التَّعْصِيبِ، وَلَا وَجْهَ لِمَنْ خَرَّجَ مِنْ أَصْحَابِنَا قَوْلًا ثَانِيًا، أَنَّهُمْ سَوَاءٌ مِنْ وِلَايَةِ النِّكَاحِ، لِأَنَّ أَكْثَرَ أَصْحَابِنَا امْتَنَعُوا مِنْ تَخْرِيجِهِ فِي الصَّلَاةِ، احْتِجَاجًا بِمَا ذَكَرْتُ، وَأَنَّ لِلْإِمَامِ مَدْخَلًا فِي الْوِلَايَةِ عَلَى الْمَيِّتِ فِي غُسْلِهِ، فَقَوِيَ الْأَخُ بِهَا وَلَا مَدْخَلَ لَهَا فِي النِّكَاحِ، فَلَمْ يَزْدَدِ الْأَخُ بِهَا قُوَّةً، فَهُنَاكَ ثُمَّ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ، ثُمَّ بَنُو الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ، وَالْأُمِّ، ثُمَّ بَنُو الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ، ثُمَّ الْأَعْمَامُ ثُمَّ بَنُوهُمْ يَتَرَتَّبُونَ عَلَى تَرْتِيبِ الْعَصَبَاتِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ عَصَبَةٌ، فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ من لا ولي له.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī ra. berkata: “Kerabat yang paling berhak (menyalatkan jenazah) adalah ayah, kemudian kakek dari pihak ayah, lalu anak dan cucu (dari anak), kemudian saudara kandung, lalu saudara seayah, kemudian yang paling dekat dari mereka secara ‘aṣabah.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar, apabila telah ditetapkan bahwa para wali si mayit lebih berhak menyalatkannya dibanding wālī (penguasa), maka yang paling berhak dari para wali adalah ayah, karena ia berbagi kedudukan sebagai bagian (dari mayit) bersama anak, dan dikhususkan dengan keutamaan kasih sayang dan kelembutan. Kemudian kakek (ayah dari ayah), dan yang lebih tinggi darinya, karena mereka berbagi makna tersebut dengan ayah. Lalu anak, karena ia dikhususkan dengan hubungan kebagian (dari mayit) dan kedekatan melalui ta‘ṣīb. Setelah itu, anak-anak dari anak (yakni cucu dan seterusnya), meskipun jauh, karena mereka berbagi makna tersebut dengan anak. Lalu saudara kandung (seayah-seibu) didahulukan dari saudara seayah saja, karena hubungan rahim sekaligus berbagi dalam ta‘ṣīb.
Tidak ada alasan bagi sebagian sahabat kami yang mengemukakan pendapat kedua, bahwa mereka (kerabat) sama seperti dalam wilayah nikah. Sebab mayoritas sahabat kami menolak untuk mengqiyaskan hal ini pada shalat, dengan dalil yang telah saya sebutkan, dan bahwa imam (penguasa) memiliki andil dalam wilayah atas mayit dalam hal memandikannya, maka saudara menjadi kuat dengan sebab itu. Adapun dalam nikah, imam tidak memiliki andil seperti itu, sehingga saudara tidak mendapat penguatan dari sisi itu.
Setelah itu (dalam urutan hak), saudara-saudara seayah, lalu anak-anak dari saudara seayah dan ibu, kemudian anak-anak dari saudara seayah, lalu paman-paman, kemudian anak-anak mereka, dengan urutan mengikuti urutan ‘aṣabah. Jika tidak ada ‘aṣabah, maka sultan adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فإن اجتمع له أولياء فِي دَرَجَةٍ، فَأَحَبُّهُمْ إِلَيَّ أَسَنُّهُمْ، فَإِنْ لَمْ يُحْمَدْ حَالُهُ فَأَفْضَلُهُمْ وَأَوْفَقُهُمُ، فَإِنِ اسْتَوَوْا، أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ وَالْوَلِيُّ الْحُرُّ أَوْلَى مِنَ الْوَلِيِّ الْمَمْلُوكِ “، وهو كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ لَهُ ثَلَاثَةُ أَوْلِيَاءَ قَدِ اسْتَوَوْا فِي الدَّرَجِ، كَالْبَنِينَ وَالْإِخْوَةِ، فَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ يُحْسِنُ الصَّلَاةَ، وَبَعْضُهُمْ لَا يُحْسِنُهَا، فَالَّذِي يُحْسِنُهَا مِنْهُمْ أَوْلَى بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ مِنْ بَاقِيهِمْ، وَإِنْ كَانَ جَمِيعُهُمْ يُحْسِنُهَا، فَأَسَنُّهُمْ إِذَا كان محمود أَوْلَى بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَإِنَّمَا كَانَ الْمُسِنُّ أَوْلَى مِنَ الْفَقِيهِ بِخِلَافِ إِمَامَةِ الصَّلَوَاتِ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ، الِاسْتِغْفَارُ لَهُ، وَالتَّرَحُّمُ عَلَيْهِ، وَالدُّعَاءُ لَهُ، وَذَلِكَ مِنَ الْمُسِنِّ أَقْرَبُ إِلَى الْإِجَابَةِ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ (مِنْ إِجْلَالِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ إِكْرَامُ ذي الشيبة المسلمين) فإن استوت أحوالهم في السن، وتشاحنوا أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ، فَمَنْ خَرَجَتْ قُرْعَتُهُ، كَانَ أَوْلَى، فَأَمَّا الْعَبْدُ الْمُنَاسِبُ، فَلَا وِلَايَةَ لَهُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ، لِأَنَّ الرِّقَّ يَمْنَعُ مِنْ ثُبُوتِ الْوِلَايَاتِ.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī ra. berkata: “Apabila berkumpul beberapa wali yang setara dalam derajat, maka yang paling aku sukai adalah yang paling tua usianya. Jika keadaan si tua itu tidak terpuji, maka (yang lebih utama adalah) yang paling utama dan paling tepat (menjadi imam). Jika mereka setara, maka dilakukan undian di antara mereka. Dan wali yang merdeka lebih berhak daripada wali yang merupakan budak.”
Hal ini sebagaimana yang beliau katakan, yaitu apabila seseorang memiliki tiga wali yang setara dalam derajat, seperti anak-anak dan saudara-saudara, maka jika sebagian dari mereka pandai menunaikan shalat dan sebagian lainnya tidak, maka yang pandai menunaikan shalat lebih berhak menyalatkannya dibanding yang lain.
Jika semua mereka pandai menunaikan shalat, maka yang paling tua usianya (jika terpuji keadaannya) lebih berhak menyalatkannya. Jika ada yang lebih faqīh darinya, maka si tua tetap lebih utama dibanding si faqīh, berbeda halnya dengan imāmah shalat lima waktu. Sebab tujuan dari shalat jenazah adalah memohonkan ampunan, rahmat, dan doa untuk si mayit, dan hal itu lebih dekat kepada terkabulnya dari orang yang tua usianya, karena diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Termasuk mengagungkan Allah SWT adalah memuliakan orang Muslim yang telah beruban.”
Jika mereka setara dalam usia dan saling bersaing, maka dilakukan undian di antara mereka, dan siapa yang keluar undiannya, maka ia yang lebih berhak.
Adapun budak yang sesuai, maka ia tidak memiliki kewalian dalam shalat atas mayit, karena status budak menghalangi tetapnya kewalian.
فَصْلٌ
: لَوْ أَنَّ رَجُلًا أَوْصَى قَبْلَ مَوْتِهِ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ رَجُلٌ بِعَيْنِهِ مِنْ غَيْرِ أَوْلِيَائِهِ، فَقَدْ حُكِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، وَأُمِّ سَلَمَةَ، وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَابْنِ سِيرِينَ، وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ: أَنَّهُ أَحَقُّ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ مِنْ جَمِيعِ الْأَوْلِيَاءِ، وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ مَالِكٍ.
وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْأَوْلِيَاءَ أَوْلَى بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهُمْ فَلَمْ تُنَفَّذْ فِيهِ وَصِيَّةُ الْمَيِّتِ لِانْقِطَاعِ وِلَايَتِهِ، مَعَ مَا فِيهِ مِنْ دُخُولِ النَّقْصِ عَلَى أَوْلِيَائِهِ، وَمِثَالُ هَذَا: وَصِيَّةُ الْمَيِّتِ لِتَزْوِيجِ بَنَاتِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Seandainya seseorang berwasiat sebelum wafatnya agar yang menyalatkannya adalah seorang lelaki tertentu dari selain para walinya, maka telah diriwayatkan dari ‘Ā’isyah ra., Umm Salamah, Anas bin Mālik ra., Ibn Sīrīn, dan Aḥmad bin Ḥanbal bahwa orang yang diwasiatkan itulah yang lebih berhak menyalatkannya daripada seluruh para wali. Dan ini adalah qiyās pendapat Mālik.
Sedangkan menurut al-Syāfi‘ī dan seluruh fuqahā’ lainnya, para walilah yang lebih berhak menyalatkannya, karena itu adalah hak bagi mereka, sehingga wasiat si mayit tidak dilaksanakan dalam perkara ini karena telah terputusnya wilayahnya, disertai adanya unsur merendahkan hak para walinya.
Contoh untuk hal ini adalah wasiat si mayit agar anak-anak perempuannya dinikahkan (oleh orang tertentu), wa-Allāhu a‘lam.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُصَلَّى عَلَى الْجَنَائِزِ فِي كُلِّ وَقْتٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، الصَّلَاةُ عَلَى الْمَيِّتِ، لَا يَخْتَصُّ بِهَا وَقْتٌ دُونَ وَقْتٍ، وَلَا تُكْرَهُ فِي وَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ، وَيَجُوزُ فِعْلُهَا فِي الْأَوْقَاتِ الْمَنْهِيِّ عَنِ الصَّلَاةِ فِيهَا، وَكَرِهَ أبو حنيفة فِعْلَهَا فِي الْأَوْقَاتِ الْمَنْهِيِّ عَنِ الصَّلَاةِ فِيهَا، بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي الصَّلَوَاتِ الَّتِي لَهَا أَسْبَابٌ، وَاسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ نُصَلِّيَ ثَلَاثَ سَاعَاتٍ، وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهَا مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ تَقُومُ الظَّهِيرَةُ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تصفر للغروب حتى تغرب “.
Bab Waktu Shalat Jenazah
Imam al-Syāfi‘ī ra. berkata: “Shalat atas jenazah boleh dilakukan di setiap waktu.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Shalat atas mayit tidak dikhususkan untuk waktu tertentu saja, dan tidak makruh dilakukan pada waktu tertentu saja. Ia boleh dilakukan pada waktu-waktu yang dilarang untuk shalat.
Abū Ḥanīfah memakruhkan pelaksanaannya pada waktu-waktu yang dilarang untuk shalat, berdasarkan pada prinsipnya mengenai shalat-shalat yang memiliki sebab, dan dengan berdalil pada riwayat dari ‘Uqbah bin ‘Āmir, ia berkata:
“Rasulullah SAW melarang kami shalat pada tiga waktu, dan menguburkan jenazah-jenazah kami di dalamnya:
- ketika matahari terbit hingga meninggi,
- ketika matahari berada di tengah langit hingga bergeser ke barat,
- dan ketika matahari menguning menjelang terbenam hingga benar-benar terbenam.”
قال الماوردي: وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مَعَهُ مِنَ الْكَلَامِ فِي أَصْلِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى عَيْنِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: مَا رُوِيَ أَنَّ عَقِيلَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَاتَ فَصَلَّى عَلَيْهِ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ عِنْدَ اصْفِرَارِ الشَّمْسِ، فَلَمْ يُعْلَمْ أَحَدٌ أَنْكَرَ ذَلِكَ فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ لَهَا سَبَبٌ، فَجَازَ فِعْلُهَا فِي جَمِيعِ الْأَوْقَاتِ كَالْمَفْرُوضَاتِ، فَأَمَّا حَدِيثُ عُقْبَةَ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ، لِأَنَّهُ نَهَى عَنْ قَبْرِ الْمَوْتَى فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ، وَذَلِكَ غَيْرُ مَمْنُوعٍ منه إجماعاً.
Al-Māwardī berkata: Dalil atas hal ini adalah apa yang telah kami sebutkan sebelumnya bersama penjelasan dalam pokok masalah ini. Kemudian, dalil khusus atas permasalahan ini adalah riwayat bahwa ‘Aqīl bin Abī Ṭālib ra. wafat, lalu para Muhājirīn dan Anṣār menyalatinya ketika matahari telah menguning, dan tidak diketahui ada seorang pun yang mengingkari hal itu, maka hal itu menjadi ijmā‘.
Dan karena ia adalah shalat yang memiliki sebab, maka boleh dilakukan pada seluruh waktu, sebagaimana shalat fardhu yang tertinggal.
Adapun hadits ‘Uqbah, maka tidak bisa dijadikan hujjah, karena yang dilarang dalam hadits tersebut adalah menguburkan mayit pada waktu-waktu itu, dan itu bukan sesuatu yang terlarang menurut ijmā‘.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنِ اجْتَمَعَتْ جَنَائِزُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَأَرَادُوا الْمُبَادَرَةَ جَعَلُوا النِّسَاءَ مِمَّا يَلِي الْقِبْلَةَ ثَمَّ الصِّبْيَانَ يَلُونَهُمْ ثَمَّ الرِّجَالَ مِمَا يَلِي الْإِمَامَ (قال المزني) قلت أنا والخناثى في معناه يكون النساء بينهن وبين الصبيان كما جعلهم في الصلاة بين الرجال والنساء “.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī ra. berkata: “Apabila jenazah laki-laki, perempuan, dan anak-anak berkumpul, dan mereka ingin segera menyelenggarakan (shalat jenazah), maka diletakkan jenazah perempuan di bagian yang menghadap kiblat, kemudian anak-anak di belakang mereka, lalu jenazah laki-laki di bagian yang menghadap imam.”
Al-Muzanī berkata: Aku bertanya, “Lalu bagaimana dengan khuntsā?” Maka jawabannya: “Ditempatkan di antara perempuan dan anak-anak, sebagaimana khuntsā ditempatkan di antara laki-laki dan perempuan dalam shalat.”
(قال) حدثنا إبراهيم قال حدثنا الربيع عن الشافعي قال: القيام في الجنائز منسوخ واحتج بحديث علي رضي الله عنه قال إبراهيم قال حدثنا يوسف بن مسلم المصيصي قال حدثنا حجاج بن محمد عن ابن جريج قال أخبرني موسى بن عقبة عن قيس بن مسعود بن الحكم عن أبيه أنه شهد جنازة مع علي بن أبي طالب فرأى الناس قياماً ينتظرون أين توضع فأشار إليهم بدرةٍ أو سوطاً اجلسوا فإن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قد جلس بعد ما كان يقوم قال ابن جريج وأخبرني نافع بن جبير عن مسعود عن علي مثله.
Bab Apakah Disunnahkan Berdiri Saat Jenazah Datang untuk Dishalatkan dan Tentang Tata Cara Shalat dan Pemakamannya
(Al-Syāfi‘ī berkata): Telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami al-Rabī‘ dari al-Syāfi‘ī, ia berkata: Berdiri (ketika melihat) jenazah adalah hukum yang telah dinasakh, dan ia berdalil dengan hadits ‘Alī ra.
Ibrāhīm berkata: Telah menceritakan kepada kami Yūsuf bin Muslim al-Maṣīṣī, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ḥajjāj bin Muḥammad dari Ibn Jurayj, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Mūsā bin ‘Uqbah dari Qays bin Mas‘ūd bin al-Ḥakam dari ayahnya bahwa ia pernah menghadiri jenazah bersama ‘Alī bin Abī Ṭālib. Lalu ia melihat orang-orang berdiri menunggu di mana jenazah itu akan diletakkan. Maka ia (‘Alī) memberi isyarat kepada mereka dengan tongkat atau cambuk seraya berkata: “Duduklah! Sesungguhnya Nabi SAW dahulu berdiri, lalu beliau duduk (tidak berdiri lagi).”
Ibn Jurayj berkata: Dan telah mengabarkan kepadaku Nāfi‘ bin Jubayr dari Mas‘ūd dari ‘Alī (dengan riwayat) yang semisalnya.
ثُمَّ إِذَا اجْتَمَعَتْ عِدَّةُ جَنَائِزَ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَخُصَّ كُلَّ جِنَازَةٍ بِصَلَاةٍ مُنْفَرِدَةٍ، وَتُقَدَّمَ الصَّلَاةُ عَلَى السَّابِقِ، فَإِذَا جَاءُوا عَلَى سَوَاءٍ وَلَمْ يتشاحنوا فَالصَّلَاةُ عَلَى أَفْضَلِهِمْ نَسَبًا وَدِينًا، إِلَّا أَنْ يُخَافَ مِنْ غَيْرِهِ الْفَسَادُ، فَيُبْدَأَ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ، فإن تشاحنوا فِي التَّقْدِيمِ، أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ، وَبَدَأَ بِمَنْ خَرَجَتْ لَهُ الْقُرْعَةُ، وَإِنْ كَانَ أَنْقَصَهُمْ، فَإِنْ لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ مُنْفَرِدِينَ، جَازَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِمْ مُجْتَمِعِينَ، فَإِنْ كَانُوا جِنْسًا وَاحِدًا رجالاً غَيْرَ أَوْ نِسَاءً كَذَلِكَ، فَالْمُخْتَارُ أَنْ يَكُونَ أَفْضَلُهُمْ أَقْرَبَ إِلَى الْإِمَامِ، ثُمَّ بَعْدَهُ مَنْ يَلِيهِ فِي الْفَضْلِ، حَتَّى يَكُونَ أَقَلُّهُمْ فَضْلًا أبعدهم من الإمام وأقربهم الْقِبْلَةِ، كَمَا يَخْتَارُ أَنْ يَكُونَ أَقْرَبُ الْأَحْيَاءِ أَقْرَبَ إِلَى الْإِمَامِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، هَذَا إِذَا لَمْ يَكُنْ قَدْ سَبَقَتْ إِلَى الْمَوْضِعِ جِنَازَةُ غَيْرِهِ، فَأَمَّا إِنْ سَبَقَتْ جِنَازَةُ غَيْرِهِ مِمَّنْ لَيْسَ بِأَفْضَلَ وَوُضِعَتْ مِمَّا يَلِي الْإِمَامَ، لَمْ يَجُزْ أَنْ تُؤَخَّرَ لِجِنَازَةِ مَنْ هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ، كَالْحَيِّ إِذَا سَبَقَ إِلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ، لَمْ يَكُنْ لِمَنْ هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَنْ يُؤَخِّرَهُ عَنْ مَوْضِعِهِ، فَأَمَّا إِنْ كَانُوا أَجْنَاسًا بَدَأَ فَقَدَّمَ الرِّجَالُ مِمَّا يَلِي الْإِمَامَ، ثُمَّ بَعْدَهُمُ الصِّبْيَانُ، ثُمَّ بَعْدَهُمُ الْخَنَاثَى ثُمَّ بَعْدَهُمُ النِّسَاءَ، وَهُوَ أَقْرَبُ الْجَمَاعَةِ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَأَبْعَدُهُمْ مِنَ الْإِمَامِ، وَاخْتَارَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ ضِدَّ هَذَا، فَقَالَ: يَكُونُ الرِّجَالُ أَقْرَبَ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَالنِّسَاءُ أَقْرَبَ إِلَى الْإِمَامِ كَالدَّفْنِ، وَمَا ذَكَرْنَاهُ أَوْلَى في الاختيار، لما رَوَاهُ نَافِعٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ صَلَّى عَلَى تِسْعِ جَنَائِزَ، فَجَعَلَ الرِّجَالَ مِمَّا يَلِيهِ، وَالنِّسَاءَ صُفُوفًا وَرَاءَ الرِّجَالِ.
Jika berkumpul beberapa jenazah, maka sebaiknya setiap jenazah dishalatkan secara terpisah, dan didahulukan shalat atas jenazah yang datang lebih dahulu. Apabila mereka datang bersamaan dan tidak ada perselisihan, maka shalat didahulukan atas yang paling utama dalam nasab dan agama, kecuali jika ditakutkan timbul kerusakan dari selainnya, maka dimulai dengan shalat atasnya.
Jika mereka berselisih dalam hal siapa yang didahulukan, maka dilakukan undian di antara mereka, lalu dimulai dengan yang keluar undiannya, meskipun ia yang paling rendah kedudukannya.
Jika tidak memungkinkan untuk menyalatkan mereka secara terpisah, maka boleh dishalatkan secara bersama-sama.
Jika mereka dari satu jenis — laki-laki semuanya atau perempuan semuanya — maka yang lebih utama diletakkan lebih dekat ke arah imam, lalu setelahnya yang di bawahnya dalam keutamaan, hingga yang paling sedikit keutamaannya diletakkan paling jauh dari imam dan paling dekat ke kiblat. Sebagaimana juga dipilih agar orang hidup yang paling utama berdiri lebih dekat ke imam, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Hendaknya yang dewasa dan berakal dari kalian berdiri di dekatku.”
Hal ini berlaku apabila belum ada jenazah lain yang telah lebih dahulu ditempatkan di posisi tersebut.
Adapun jika sudah lebih dahulu diletakkan jenazah lain yang bukan paling utama, maka tidak boleh digeser dari tempatnya hanya untuk memberi tempat bagi jenazah yang lebih utama, sebagaimana orang hidup apabila telah lebih dahulu menempati shaf pertama, maka tidak boleh digeser oleh orang yang lebih utama darinya.
Adapun jika mereka terdiri dari beberapa jenis, maka didahulukan laki-laki diletakkan di bagian yang menghadap imam, kemudian di belakangnya anak-anak, lalu khuntsā, lalu perempuan di barisan paling belakang, yang paling dekat ke kiblat dan paling jauh dari imam.
Al-Ḥasan al-Baṣrī memilih kebalikannya, ia berkata: laki-laki diletakkan paling dekat ke kiblat dan perempuan paling dekat ke imam, sebagaimana dalam tata cara pemakaman. Namun apa yang kami sebutkan lebih utama untuk dipilih, berdasarkan riwayat dari Nāfi‘ bahwa Ibn ‘Umar pernah menyalatkan sembilan jenazah, maka ia meletakkan laki-laki di dekatnya, dan perempuan di barisan di belakang laki-laki.
وَرَوَى عَمَّارٌ مَوْلَى الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ أَنَّهُ شَهِدَ جِنَازَةَ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا امْرَأَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، وَابْنِهَا زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَكَانَا مَاتَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، فَوُضِعَا جَمِيعًا فِي الْمُصَلَّى، وَالْإِمَامُ يَوْمَئِذٍ سَعِيدُ بْنُ الْعَاصِ وَهُوَ الْأَمِيرُ، وَفِي النَّاسِ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ وَأَبُو قَتَادَةَ، فَوَضَعَ الْغُلَامَ مِمَّا يَلِي الْإِمَامَ، قَالَ: فَأَنْكَرْتُ ذَلِكَ، فَنَظَرْتُ إِلَى هَؤُلَاءِ فَقُلْتُ: مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: هَذِهِ السُّنَّةُ، وَلِأَنَّهُمْ إِذَا صَلَّوْا خَلْفَ الْإِمَامِ، كَانَ الرِّجَالُ أَقْرَبَهُمْ إِلَى الْإِمَامِ، كَذَلِكَ إِذَا صَلَّى عَلَيْهِ الْإِمَامُ، فَأَمَّا الدَّفْنُ، فَيُخْتَارُ أَنْ يَكُونَ الرِّجَالُ أَقْرَبَ إِلَى الْقِبْلَةِ، ثُمَّ الصِّبْيَانُ، ثُمَّ الْخَنَاثَى، ثُمَّ النِّسَاءُ، أَبْعَدَ الْجَمَاعَةِ مِنْهَا، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَخِّرُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَخَّرَهُنَّ اللَّهُ ” وَكَانَ هَذَا بِخِلَافِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ، لِأَنَّ الْفَضْلَ فِي الْقُرْبِ مِنَ الْإِمَامِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ إِمَامٌ؛ كَانَ الْفَضْلُ فِي الْقُرْبِ مِنَ الْقِبْلَةِ، فَإِنْ خُولِفَ مَا اخْتَرْنَاهُ أَجْزَأَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Diriwayatkan oleh ‘Ammār, maulā al-Ḥārith bin Nawfal, bahwa ia menghadiri jenazah Ummu Kultsūm binti ‘Alī bin Abī Ṭālib ra. (istri dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb ra.) dan anaknya, Zaid ra., yang keduanya wafat pada hari yang sama. Maka keduanya diletakkan bersama di tempat shalat jenazah (muṣallā), dan yang menjadi imam saat itu adalah Sa‘īd bin al-‘Āṣ, selaku amir. Di tengah jamaah hadir pula Ibn ‘Abbās, Abū Hurairah, Abū Sa‘īd al-Khudrī, dan Abū Qatādah. Maka jenazah anak laki-laki diletakkan di posisi yang menghadap imam.
‘Ammār berkata: Aku mengingkari hal itu, lalu aku melihat kepada mereka dan bertanya: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Inilah sunnah.” Karena jika mereka shalat di belakang imam, laki-laki adalah yang paling dekat ke imam, maka demikian pula bila imam menyalatkan jenazah.
Adapun dalam pemakaman, maka yang dipilih adalah agar jenazah laki-laki diletakkan paling dekat ke kiblat, lalu anak-anak, kemudian khuntsā, lalu perempuan yang menjadi paling jauh dari arah kiblat. Berdasarkan sabda Nabi SAW: “Akhirkanlah mereka (para wanita) sebagaimana Allah telah mengakhirkan mereka.”
Ini berbeda dengan tata letak dalam shalat atas mereka, karena keutamaan dalam shalat adalah kedekatan dengan imam. Maka jika tidak ada imam, maka keutamaan beralih kepada kedekatan dengan kiblat. Jika susunan yang kami pilih ini dilanggar, maka tetap sah, wa-Allāhu a‘lam.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَوْقِفُ الْإِمَامِ مِنَ الْمَيِّتِ؛ فَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِيهِ نص، لكن قال أصحابنا البصريين: يَقِفُ عِنْدَ صَدْرِ الرَّجُلِ، وَعِنْدَ عَجُزِ الْمَرْأَةِ، وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ.
وَقَالَ الْبَغْدَادِيُّونَ: يَقِفُ عِنْدَ رَأْسِ الرَّجُلِ وَعَجُزِ الْمَرْأَةِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَقِفُ عِنْدَ صَدْرِ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ جَمِيعًا، وَمَا ذَكَرْنَاهُ أَوْلَى، لِرِوَايَةِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ بِالنِّفَاسِ، يُقَالُ لَهَا أُمُّ كَعْبٍ، فَوَقَفَ عِنْدَ وَسَطِهَا، وَكَبَّرَ أَرْبَعًا، وَلِأَنَّ عَجُزَهَا أَعْظَمُ عَوْرَتِهَا فَاخْتَرْنَا أَنْ يَقِفَ عِنْدَهُ لِيَسْتُرَهُ.
PASAL
Adapun tempat berdirinya imam terhadap jenazah, maka tidak ada naṣ yang tegas dari al-Syāfi‘ī tentang hal itu. Namun para sahabat kami dari kalangan Basrah berpendapat: Imam berdiri di bagian dada jenazah laki-laki dan di bagian pinggul jenazah perempuan. Ini juga merupakan pendapat Aḥmad bin Ḥanbal.
Sedangkan ulama Baghdad berpendapat: Imam berdiri di bagian kepala jenazah laki-laki dan di bagian pinggul jenazah perempuan.
Abū Ḥanīfah berpendapat: Imam berdiri di bagian dada jenazah, baik laki-laki maupun perempuan.
Dan pendapat yang kami sebutkan (yakni: dada laki-laki dan pinggul perempuan) adalah yang lebih utama, berdasarkan riwayat dari Samurah bin Jundub, ia berkata: Aku shalat di belakang Nabi SAW atas seorang perempuan yang meninggal karena nifas — yang dipanggil dengan nama Ummu Ka‘b — maka beliau berdiri di bagian tengah tubuhnya dan bertakbir empat kali.
Dan karena bagian pinggul perempuan adalah auratnya yang paling besar, maka kami memilih agar imam berdiri di sisinya, untuk lebih menutupinya.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ في المسجد
كَرِهَ مَالِكٌ وأبو حنيفة أَنْ يُدْخَلَ الْمَيِّتُ الْمَسْجِدَ، وَأَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ فِيهِ، وَذَلِكَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ غَيْرُ مَكْرُوهٍ، بَلْ مُسْتَحَبٌّ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ حِينَ مَاتَ، أُدْخِلَ الْمَسْجِدَ لِيُصَلَّى عَلَيْهِ، فَأَنْكَرَ ذَلِكَ بَعْضُ الناس، فقال عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهِ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – على أبي سهيلٍ واجباً إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ “.
وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى عَلَى صُهَيْبٍ فِي الْمَسْجِدِ، وَكَانَ ذَلِكَ بِحَضْرَةِ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ.
PASAL: Pembahasan tentang Shalat atas Mayit di Dalam Masjid
Mālik dan Abū Ḥanīfah memakruhkan memasukkan mayit ke dalam masjid dan menyalatkannya di dalamnya.
Namun menurut al-Syāfi‘ī, hal itu tidak makruh, bahkan disunnahkan. Karena diriwayatkan bahwa ketika Sa‘d bin Abī Waqqāṣ wafat, ia dimasukkan ke dalam masjid untuk dishalatkan, lalu sebagian orang mengingkarinya. Maka ‘Ā’isyah ra. berkata: “Demi Allah, tidaklah Rasulullah SAW menyalatkan Abū Suhail wajibnya kecuali di dalam masjid.”
Dan diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb ra. pernah menyalatkan jenazah Ṣuhayb di dalam masjid, dan hal itu disaksikan oleh para Muhājirīn dan Anṣār.
فصل: القول في صلاة الغائب
يَجُوزُ لِأَهْلِ الْبَلَدِ أَنْ يُصَلُّوا عَلَى مَيِّتٍ مات ببلد آخر.
وَقَالَ أبو حنيفة لَا يَجُوزُ ذَلِكَ، وَذَلِكَ رَدٌّ لِلسُّنَّةِ الثَّابِتَةِ مِنْ طَرِيقِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَعَى النَّجَاشِيَّ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ مَاتَ، وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى وَكَبَّرَ أَرْبَعًا.
PASAL: Pembahasan tentang Shalat Ghaib
Boleh bagi penduduk suatu negeri untuk menyalatkan jenazah seseorang yang wafat di negeri lain.
Abū Ḥanīfah berpendapat tidak boleh, dan pendapat ini merupakan penolakan terhadap sunnah yang tsabit, berdasarkan riwayat dari Sa‘īd bin al-Musayyib dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW memberitakan wafatnya an-Najāsyī kepada para sahabat pada hari wafatnya, lalu beliau keluar bersama mereka ke muṣallā dan menyalatkannya dengan bertakbir empat kali.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ في الصلاة على المقتول في حد
المتقول فِي حَدٍّ وَقِصَاصٍ يَجِبُ غُسْلُهُ، وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ وَقَالَ الزُّهْرِيُّ: الْمَقْتُولُ حَدًّا بِالرَّجْمِ، لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَالْمَقْتُولُ قَوَدًا لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَقَالَ مَالِكٌ: كُلُّ مَقْتُولٍ بِحَدٍّ فِي قَوَدٍ، أَوْ حَدٍّ لَا يُصَلِّي عَلَيْهِ الْإِمَامُ، وَيُصَلِّي عَلَيْهِ أَوْلِيَاؤُهُ:
وَقَالَ الْحَسَنُ: إِذَا مَاتَتِ الْمَرْأَةُ فِي نِفَاسٍ مِنْ زِنًا، لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهَا، وَلَا عَلَى وَلَدِهَا، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: لَا يُصَلَّى عَلَى مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ.
وَالدَّلِيلُ عَلَى جَمِيعِهِمْ فِي وُجُوبِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ: قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فُرِضَ عَلَى أُمَّتِي غَسْلُ مَوْتَاهَا وَالصَّلَاةُ عَلَيْهَا “.
PASAL: Pembahasan tentang Shalat atas Orang yang Dibunuh karena Hukuman Ḥadd
Orang yang dibunuh karena hukuman ḥadd atau qiṣāṣ wajib dimandikan dan dishalatkan.
Al-Zuhrī berpendapat: Orang yang dibunuh dengan ḥadd rajam tidak dishalatkan, demikian juga orang yang dibunuh karena qiṣāṣ.
Mālik berkata: Setiap orang yang dibunuh karena ḥadd dalam bentuk qiṣāṣ atau selainnya, tidak dishalatkan oleh imam, namun dishalatkan oleh para walinya.
Al-Ḥasan berkata: Jika seorang perempuan mati dalam keadaan nifas karena zina, maka tidak dishalatkan, begitu pula anaknya.
Al-Awzā‘ī berkata: Tidak dishalatkan atas orang yang bunuh diri.
Dan dalil atas wajibnya menyalatkan semua mereka adalah sabda Nabi SAW:
“Diwajibkan atas umatku untuk memandikan orang mati mereka dan menyalatkannya.”
قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَبَّرَ أَرْبَعًا وَقَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأولى وروي عن ابن عباس أنه قرأ بفاتحة الكتاب وجهر بها وقال إنما فعلت لتعلموا أنها سنة وعن ابن عمر أنه كان يرفع يديه كلما كبر على الجنازة وعن ابن المسيب وعروة مثله “.
Bab Takbir dalam Shalat Jenazah dan Siapa yang Lebih Berhak Memasukkan ke Dalam Kubur
Imam al-Syāfi‘ī ra. berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Ibrāhīm bin Muḥammad dari ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Aqīl dari Jābir bin ‘Abdillāh bahwa Rasulullah SAW bertakbir empat kali dan membaca Umm al-Qur’ān (al-Fātiḥah) setelah takbir pertama.”
Dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa ia membaca Sūrat al-Fātiḥah dan mengeraskan bacaannya, lalu ia berkata: “Sesungguhnya aku melakukan ini agar kalian mengetahui bahwa itu adalah sunnah.”
Dan dari Ibn ‘Umar bahwa ia mengangkat kedua tangannya setiap kali bertakbir dalam shalat jenazah, dan dari Ibn al-Musayyib dan ‘Urwah diriwayatkan hal yang serupa.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى الْمَوْتَى: فَمِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فُرِضَ عَلَى أُمَّتِي غَسْلُ مَوْتَاهَا، وَالصَّلَاةُ عَلَيْهَا ” فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُهَا فَهِيَ صَلَاةٌ شَرْعِيَّةٌ يَجِبُ فِيهَا طَهَارَةُ الْأَعْضَاءِ، وَسِتْرُ الْعَوْرَةِ وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ، وَهُوَ قَوْلُ الْكَافَّةِ، إِلَّا أَنَّ الشَّعْبِيَّ وَابْنَ جَرِيرٍ الطَّبَرِيَّ، فَإِنَّهُمَا قَالَا: لَيْسَتْ صَلَاةً شَرْعِيَّةً وَإِنَّمَا دُعَاءٌ وَاسْتِغْفَارٌ، يَجُوزُ فِعْلُهَا بِغَيْرِ طَهَارَةٍ، هَذَا قَوْلٌ خَرَقَا فِيهِ الْإِجْمَاعَ، وَخَالَفَا فِيهِ الْكَافَّةَ، مَعَ مَا وَرَدَ بِهِ الْكِتَابُ مِنْ تَسْمِيَتِهَا صَلَاةً فِي الشَّرْعِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَداً ولاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ) {التوبة: 84) وَإِذَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِأَنَّهَا صَلَاةٌ لَمْ تَجُزْ إِلَّا بِطَهَارَةٍ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طهورٍ ” وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَفْتَقِرُ إِلَى إِحْرَامٍ وَسَلَامٍ، فَوَجَبَ أَنْ تَفْتَقِرَ إِلَى الطَّهَارَةِ كَسَائِرِ الصَّلَوَاتِ، وَلِأَنَّهَا لَمَّا اعْتُبِرَ فِيهَا شُرُوطُ الصَّلَاةِ، كَسِتْرِ الْعَوْرَةِ، وَاسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ، وَجَبَ اعْتِبَارُ الطَّهَارَةِ فِيهَا.
Al-Māwardī berkata:
Adapun shalat atas orang-orang yang meninggal adalah termasuk fardu kifāyah, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Diwajibkan atas umatku memandikan orang mati mereka dan menyalatkannya.”
Maka apabila kewajibannya telah ditetapkan, ia adalah shalat yang bersifat syar‘ī, yang mewajibkan bersuci anggota tubuh, menutup aurat, dan menghadap kiblat. Ini adalah pendapat seluruh ulama, kecuali al-Sya‘bī dan Ibn Jarīr al-Ṭabarī, keduanya berpendapat: itu bukanlah shalat syar‘iyyah, melainkan doa dan istighfar, yang boleh dilakukan tanpa bersuci.
Ini adalah pendapat yang menyelisihi ijmā‘ dan bertentangan dengan seluruh ulama, padahal telah datang nash dalam al-Qur’an yang menamainya sebagai shalat secara syar‘ī, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
“Dan janganlah kamu shalat atas salah seorang dari mereka yang mati selama-lamanya, dan jangan berdiri di atas kuburnya.” (At-Taubah: 84)
Dan apabila syariat telah menyebutnya shalat, maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan bersuci, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci.”
Dan karena ia adalah ibadah yang membutuhkan iḥrām (takbir pembuka) dan salām (penutup), maka wajib pula disyaratkan bersuci, sebagaimana shalat-shalat lainnya.
Dan karena padanya telah ditetapkan syarat-syarat shalat seperti menutup aurat dan menghadap kiblat, maka wajib pula mempertimbangkan bersuci padanya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَا يَتَضَمَّنُهَا فَشَيْئَانِ تَكْبِيرٌ وَأَذْكَارٌ فَأَمَّا عَدَدُ تَكْبِيرِهَا: فَقَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ أَكْثَرِ الصَّحَابَةِ، وَجُمْهُورِ التَّابِعِينَ، وَمَذْهَبُ الْفُقَهَاءِ أَجْمَعِينَ، أَنَّهَا أَرْبَعُ تَكْبِيرَاتٍ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَأَنَسٍ، وَمُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، يُكَبِّرُ ثَلَاثًا.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ وَزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ: يُكَبِّرُ خَمْسًا.
وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ يُكَبِّرُ مَا شَاءَ مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مَحْصُورٍ، وَلَكِنْ مَذْهَبُ مَنْ هُوَ خَبَرٌ مَرْوِيٌّ وَالْأَرْبَعُ أَصَحُّهَا وَأَوْلَاهَا؛ لِأُمُورٍ ثَلَاثَةٍ:
PASAL
Adapun kandungan dalam shalat jenazah terdiri atas dua hal: takbir dan adzkār.
Adapun jumlah takbir dalam shalat jenazah, para ulama berselisih pendapat menjadi empat mazhab:
Pertama: Yaitu mazhab mayoritas sahabat, jumhur tābi‘īn, dan mazhab seluruh fuqahā’: bahwa jumlah takbir dalam shalat jenazah adalah empat kali.
Kedua: Yaitu pendapat Ibn ‘Abbās, Anas, dan Muḥammad bin Sīrīn: bahwa takbirnya tiga kali.
Ketiga: Yaitu pendapat Ḥudhayfah bin al-Yamān dan Zayd bin Arqam: bahwa takbirnya lima kali.
Keempat: Yaitu pendapat ‘Abdullāh bin Mas‘ūd: bahwa ia bertakbir sebanyak yang ia kehendaki, tanpa batasan jumlah tertentu.
Namun pendapat ini hanyalah khabar yang diriwayatkan. Dan empat takbir adalah pendapat yang paling sahih dan paling utama, karena tiga alasan:
أَحَدُهَا: أَكْثَرُ رِوَايَةٍ فِي أَمْوَاتٍ شَتَّى، فَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَبَّرَ عَلَى النَّجَاشِيِّ أَرْبَعًا، وَرَوَى سَهْلُ بْنُ حنيف أنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كبر على قبر سكينة أَرْبَعًا.
وَرَوَى أَنَسٌ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَبَّرَ عَلَى ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَرْبَعًا، آخر فعله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَكَانَ نَاسِخًا لِمُتَقَدِّمِهِ.
وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ أَبِي أَوْفَى أَنَّ آخِرَ مَا كَبَّرَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى الْجَنَائِزِ أَرْبَعًا، جِنَازَةَ سُهَيْلِ ابْنِ بَيْضَاءَ.
وَالثَّالِثُ: عَمَلُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لَهُ وَانْعِقَادُ إِجْمَاعِهِمْ عَلَيْهِ، فَأَمَّا عَمَلُ الصَّحَابَةِ، فَهُوَ مَا رُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَبَّرَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أربعاً، وكبر علي عَلَى أَبِي بَكْرٍ أَرْبَعًا، وَكَبَّرَ صُهَيْبٌ عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَرْبَعًا، وَكَبَّرَ الْحَسَنُ على علي ابن أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ أَرْبَعًا.
pertama: riwayat yang paling banyak dalam berbagai peristiwa kematian, yaitu bahwa Abu Hurairah meriwayatkan bahwa SAW menyalatkan Raja Najasyi dengan empat kali takbir, dan Sahl bin Ḥunayf meriwayatkan bahwa SAW bertakbir empat kali atas kubur Sakinah.
Dan Anas meriwayatkan bahwa SAW bertakbir empat kali atas putranya, Ibrāhīm AS. Itu merupakan perbuatan terakhir beliau SAW, maka menjadi penghapus bagi yang sebelumnya.
Dan Ibnu ʿAbbās serta Ibnu Abī Awfā meriwayatkan bahwa takbir terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah SAW atas jenazah adalah empat kali, yaitu pada jenazah Suhayl bin Bayḍā’.
ketiga: perbuatan para sahabat RA terhadap hal itu dan adanya ijmāʿ mereka. Adapun perbuatan para sahabat, maka diriwayatkan bahwa Abū Bakr RA menyalatkan Rasulullah SAW dengan empat kali takbir, dan ʿAlī menyalatkan Abū Bakr dengan empat kali takbir, dan Ṣuhayb menyalatkan ʿUmar RA dengan empat kali takbir, dan al-Ḥasan menyalatkan ʿAlī bin Abī Ṭālib AS dengan empat kali takbir.
فَأَمَّا انْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ، فَهُوَ مَا رُوِيَ أَنَّ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيَّ قَالَ: اخْتَلَفَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَ مَوْتِهِ فِي التَّكْبِيرِ عَلَى الْجِنَازَةِ، فَقَالَ قَوْمٌ: يُكَبِّرُ أَرْبَعًا، وَقَالَ قَوْمٌ ثَلَاثًا، وَقَالَ قَوْمٌ: خَمْسًا، فَجَمَعَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَاسْتَشَارَهُمْ فَأَجْمَعُوا عَلَى أَنْ يُكَبِّرَ فِيهَا أَرْبَعًا، فَكَانَ انْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ مُزِيلًا لِحُكْمِ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْخِلَافِ، وَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يَجْعَلُ ذَلِكَ مِنَ الِاخْتِلَافِ الْمُبَاحِ، وَلَيْسَ بَعْضُهُ بِأَوْلَى مِنْ بَعْضٍ، وَهَذَا قَرِيبٌ مِنْ مَذْهَبِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَمَا ذَكَرْنَا مِنَ انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ يُبْطِلُ هَذَا الْمَذْهَبَ، فَهَذَا جُمْلَةُ الْقَوْلِ فِي أَعْدَادِ التَّكْبِيرِ، فَأَمَّا الْأَذْكَارُ فَيَأْتِي فِيمَا بَعْدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
Adapun ijmāʿ yang telah terjadi, maka hal itu adalah sebagaimana diriwayatkan bahwa Ibrāhīm al-Nakhaʿī berkata: “Para sahabat Rasulullah SAW berselisih setelah wafatnya beliau dalam jumlah takbir atas jenazah. Sebagian berkata: bertakbir empat kali, sebagian berkata tiga kali, dan sebagian berkata lima kali. Maka ʿUmar RA mengumpulkan para sahabat RA, lalu meminta pendapat mereka, maka mereka bersepakat atas empat kali takbir. Maka terjadinya ijmāʿ ini menghapus hukum perbedaan yang sebelumnya.”
Dan Abū al-ʿAbbās Ibn Surayj menganggap hal itu termasuk perbedaan yang diperbolehkan, dan tidak ada yang lebih utama dari yang lain, dan ini dekat dengan mazhab Ibn Masʿūd. Namun, apa yang kami sebutkan tentang terjadinya ijmāʿ membatalkan mazhab ini.
Inilah ringkasan pembahasan tentang jumlah takbir. Adapun zikir-zikirnya akan disebutkan setelah ini insya Allah.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ تَكْبِيرَاتِ الْجِنَازَةِ أَرْبَعٌ لَا يُزَادُ عَلَيْهَا، وَلَا يُنْقَصُ مِنْهَا، وَكَبَّرَ الْإِمَامُ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعٍ، لَمْ يَجُزْ لِلْمَأْمُومِينَ اتِّبَاعُهُ فِيمَا زَادَ عَلَى الْأَرْبَعِ، وَهَلْ يُسَلِّمُونَ أَوْ يَنْتَظِرُونَ سَلَامَهُ، عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يُسَلِّمُونَ، لِأَنَّ الْإِمَامَ يَفْعَلُ مَا لَيْسَ مِنْ صَلَاتِهِمْ.
وَالثَّانِي: يَنْتَظِرُونَ فَرَاغَهُ لِيُسَلِّمُوا مَعَهُ، حَتَّى يَكُونَ خروجهم بخروجه.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa jumlah takbir dalam salat jenazah adalah empat, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi, lalu imam bertakbir lebih dari empat kali, maka tidak boleh bagi makmum mengikuti imam dalam takbir yang melebihi empat.
Adapun apakah makmum langsung salam atau menunggu salam imam, terdapat dua pendapat:
pertama: mereka salam, karena imam melakukan sesuatu yang bukan bagian dari salat mereka.
kedua: mereka menunggu sampai imam selesai, agar keluar dari salat bersamaan dengan imam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويكبر المصلي على الميت ويرفع يديه حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ أَوَّلُ مَا يَبْدَأُ بِهِ الْمُصَلِّي أَنْ يَفْتَتِحَ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرَةِ الْأُولَى، نَاوِيًا الصَّلَاةَ عَلَى الْمَيِّتِ، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ لَمْ تُجْزِهِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ” وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ كُلَّمَا كَبَّرَ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي التَّكْبِيرَةِ الْأُولَى لَا غَيْرَ، وَمَا ذَكَرْنَاهُ أَوْلَى، لِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيرَةٍ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ عُمَرَ، وَابْنُ الزُّبَيْرِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَمِنَ التَّابِعِينَ عُرْوَةُ، وَابْنُ الْمُسَيَّبِ، ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى: أَنَّهَا تَكْبِيرَةٌ فِي صَلَاةِ الْجِنَازَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَحَبَّ فِيهَا رَفْعُ الْيَدَيْنِ، كَالتَّكْبِيرَةِ الْأُولَى، وَلِأَنَّ مَا سُنَّ فِي التَّكْبِيرَةِ الْأَوْلَى سُنَّ فِي الثَّانِيَةِ، كَمَا يَجْهَرُ بِالتَّكْبِيرِ، وَلِأَنَّ التَّكْبِيرَاتِ الزَّوَائِدَ فِي الْقِيَامِ مِنْ سُنَنِهَا رَفْعُ الْيَدَيْنِ كَتَكْبِيرَاتِ العيدين.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Orang yang salat atas jenazah bertakbir dan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Hal pertama yang dilakukan oleh orang yang salat adalah memulai salat dengan takbir pertama, dengan niat salat atas jenazah. Jika tidak berniat, maka tidak sah, karena sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
Ia mengangkat kedua tangannya setiap kali bertakbir, sejajar dengan kedua bahunya.
Abū Ḥanīfah berkata: Mengangkat tangan hanya pada takbir pertama saja, tidak pada selainnya.
Pendapat yang kami sebutkan lebih utama, karena diriwayatkan dari Ibn ʿAbbās bahwa Nabi SAW mengangkat kedua tangannya setiap kali bertakbir. Dan demikian pula yang dikatakan oleh para sahabat seperti Ibn ʿUmar dan Ibn al-Zubayr RA, dan dari kalangan tābiʿīn seperti ʿUrwah dan Ibn al-Musayyab.
Adapun dalil secara makna: karena ia adalah takbir dalam salat jenazah, maka disunnahkan mengangkat tangan padanya sebagaimana pada takbir pertama. Dan karena apa yang disunnahkan pada takbir pertama juga disunnahkan pada takbir kedua, sebagaimana menjaharkan takbir. Dan karena takbir tambahan dalam posisi berdiri, disunnahkan padanya mengangkat tangan seperti pada takbir-takbir salat dua hari raya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثَمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: يَبْتَدِئُهَا بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَهِيَ وَاجِبَةٌ فِيهَا، وَبِهِ قَالَ عَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عنهما.
وَقَالَ مَالِكٌ، وأبو حنيفة، لَيْسَتْ وَاجِبَةً وَلَا مُسْتَحَبَّةً، وَبِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ، إِلْحَاقًا بِالسُّجُودِ وَالرُّكُوعِ وَإِنَّ ذَلِكَ إِنْ كَانَ وَاجِبًا لِيَكُونَ مَعَ كُلِّ تَكْبِيرَةٍ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِهَا: رِوَايَةُ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَبَّرَ عَلَى الْجِنَازَةِ أَرْبَعًا وَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الْأَوْلَى، وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ جَهَرَ بِالْقِرَاءَةِ فِي صَلَاةِ الْجِنَازَةِ وَقَالَ: إِنَّمَا جَهَرْتُ لِتَعْلَمُوا أَنَّ فِيهَا قِرَاءَةً وَلِأَنَّهَا صلاة تتضمن القيام فوجب أن تتضمن القراءة كَسَائِرِ الصَّلَوَاتِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Kemudian ia membaca Fātiḥat al-Kitāb.”
Al-Māwardī berkata: Ia memulainya dengan Bismillāh al-Raḥmān al-Raḥīm, dan ini hukumnya wajib dalam salat jenazah. Pendapat ini juga dikatakan oleh ʿAlī dan Ibn ʿAbbās RA.
Mālik dan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa membaca Fātiḥah tidak wajib dan tidak pula disunnahkan. Pendapat ini juga dikatakan oleh Ibn ʿUmar dan Abū Hurairah, dengan meng-qiyaskan salat jenazah pada sujud dan rukuk, karena jika bacaan itu wajib, tentu ia ada setelah setiap takbir.
Adapun dalil yang menunjukkan wajibnya membaca Fātiḥah adalah riwayat Jābir bin ʿAbdillāh bahwa Rasulullah SAW bertakbir empat kali atas jenazah dan membaca Fātiḥat al-Kitāb setelah takbir pertama.
Juga diriwayatkan dari Ibn ʿAbbās bahwa ia menjaharkan bacaan dalam salat jenazah dan berkata: “Aku menjaharkan bacaan agar kalian tahu bahwa dalam salat jenazah itu ada bacaan.”
Karena salat jenazah mencakup berdiri, maka wajib mengandung bacaan sebagaimana salat-salat yang lain.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ قِرَاءَةَ الْفَاتِحَةِ فِيهَا وَاجِبَةٌ فَيَبْتَدِئُ بِالتَّعَوُّذِ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ، فأما قوله: ” وجهت وجهي ” فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مُسْتَحَبٌّ كَالتَّعَوُّذِ.
وَالثَّانِي: لَيْسَ بِمُسْتَحَبٍّ كَالسُّورَةِ، ثُمَّ إِنْ صَلَّى عَلَى الْجِنَازَةِ نَهَارًا، أَسَرَّ بِالْقِرَاءَةِ، وَإِنْ صَلَّى عَلَيْهَا لَيْلًا، فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَجْهَرُ؛ لِأَنَّهَا مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ.
وَالثَّانِي: يُسِرُّ بِهَا وَلَا يَجْهَرُ، كَمَا يُسِرُّ لِلدُّعَاءِ وَلَا يَجْهَرُ.
PASAL
Apabila telah ditetapkan bahwa membaca Sūrat al-Fātiḥah dalam salat jenazah adalah wajib, maka dimulai dengan taʿawwudz sebelum membaca.
Adapun ucapan “wajjahtu wajhiya”, maka ada dua pendapat:
pertama: disunnahkan seperti taʿawwudz;
kedua: tidak disunnahkan sebagaimana halnya membaca surah setelah Fātiḥah.
Kemudian jika salat jenazah dilakukan pada siang hari, maka bacaannya dipelankan. Namun jika salat dilakukan pada malam hari, maka ada dua pendapat dalam mazhab kami:
pertama: dijaharkan, karena termasuk salat malam;
kedua: dipelankan dan tidak dijaharkan, sebagaimana doa juga dipelankan dan tidak dijaharkan.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” ثَمَّ يُكَبِّرُ الثَّانِيَةَ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ كَذَلِكَ، ثُمَّ يَحْمَدُ اللَّهَ تَعَالَى وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ويدعو للمؤمنين والمؤمنات “.
ذكر المزني هاهنا، وإذا كبر الثانية ذكر الله تعالى، وصلى على النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، ودعا للمؤمنين والمؤمنات، فذكر ثَلَاثَةَ أَشْيَاءَ فَأَمَّا التَّحْمِيدُ: فَلَمْ يَحْكِ عَنِ الشَّافِعِيِّ غَيْرُ الْمُزَنِيِّ ذَكَرَهُ فِي الْمُخْتَصَرِ، وَلَمْ يَذْكُرْهُ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ نَسَبَ الْمُزَنِيَّ إِلَى الْغَلَطِ فِيمَا نَقَلَهُ مِنَ التحميد، ولم يخيره، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ هَذِهِ الزِّيَادَةُ مِنَ التَّحْمِيدِ مَأْخُوذٌ بِهَا، وَالْمُزَنِيُّ لَمْ يَنْقُلْهَا مِنْ كِتَابٍ، وَإِنَّمَا رَوَاهَا سَمَاعًا مِنْ لَفْظِهِ، فَحَصَلَ مِنْ هَذَا أَنَّهُمْ لَا يَخْتَلِفُونَ أَنَّ التَّحْمِيدَ فِي الثَّانِيَةِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ. وَاخْتَلَفُوا فِي اسْتِحْبَابِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ، وَلَا يَخْتَلِفُونَ أَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – واجبة، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ فِيهَا ” وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى الْمَيِّتِ دُعَاءٌ يُرْجَى إِجَابَتُهُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” كُلُّ دُعَاءٍ فَهُوَ مَحْجُوبٌ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى حَتَى يُصَلَّى عَلَى مُحَمَدٍ وَعَلَى آلِهِ ” وَلَا يَخْتَلِفُونَ أَنَّ الدُّعَاءَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اسْتِحْبَابٌ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ فِيهِ، وَيَحْمَدُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَوَّلًا، وَبِالصَّلَاةِ عَلَى نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثانياًوَبِالدُّعَاءِ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثَالِثًا، فَيَقُولُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا وَقُلُوبِهِمْ عَلَى الْخَيْرَاتِ، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَالْحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ عَلَى مِلَّةِ نبيك محمد – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَإِنَّمَا اخْتَرْنَا الدُّعَاءَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ عُقَيْبَ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، لِيَكُونَ أَسْرَعَ إِلَى الْإِجَابَةِ، فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” إِذَا سَأَلَ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ فِي حَاجَتِهِ فَلْيَبْدَأْ بِالصَّلَاةِ عَلَيَّ فَإِنَّ الْكَرِيمَ إِذَا سئل في حاجتين لم يجب في أحدها وَتَرَكَ الْأُخْرَى ” فَلَوْ قَدَّمَ بَعْضَ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ عَلَى بَعْضٍ جَازَ، وَلَوِ اقْتَصَرَ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الثَّانِيَةِ عَلَى الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جاز.
Masalah:
Imam al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: “Kemudian ia bertakbir yang kedua, dan mengangkat kedua tangannya sebagaimana sebelumnya. Lalu ia memuji Allah Taʿālā, bersalawat kepada Nabi SAW, dan berdoa untuk kaum mukminin dan mukminat.”
Al-Muzanī menyebutkan dalam hal ini: Setelah takbir kedua, ia menyebut nama Allah Taʿālā, bersalawat kepada Nabi SAW, dan berdoa untuk kaum mukminin dan mukminat—ia menyebut tiga hal.
Adapun taḥmīd (memuji Allah), maka tidak ada yang meriwayatkannya dari al-Syāfiʿī selain al-Muzanī, yang menyebutkannya dalam al-Mukhtaṣar, dan tidak disebutkan dalam al-Jāmiʿ al-Kabīr. Maka sebagian dari kalangan kami menisbatkan al-Muzanī kepada kekeliruan dalam riwayatnya tentang taḥmīd, dan tidak memilihnya. Dan sebagian dari mereka berkata bahwa tambahan taḥmīd ini dipegangi, dan bahwa al-Muzanī tidak menukilnya dari kitab, tetapi meriwayatkannya secara langsung dari lisannya.
Maka dari sini dapat dipahami bahwa mereka tidak berselisih bahwa taḥmīd pada takbir kedua bukanlah sesuatu yang wajib. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hukum disunnahkannya, dengan dua pendapat.
Dan mereka tidak berselisih bahwa salawat kepada Nabi SAW adalah wajib, karena sabda beliau SAW: “Tidak sah salat seseorang yang tidak bersalawat kepadaku di dalamnya,” dan karena salat atas jenazah adalah doa yang diharapkan dikabulkan.
Diriwayatkan pula dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Setiap doa terhalang dari Allah Taʿālā sampai bersalawat kepada Muḥammad dan keluarganya.”
Dan mereka juga sepakat bahwa doa untuk kaum mukminin dan mukminat adalah sunnah, bukan wajib.
Urutannya adalah:
pertama, memuji Allah ʿAzza wa Jalla;
kedua, bersalawat kepada Nabi SAW;
ketiga, berdoa untuk kaum mukminin dan mukminat.
Maka ia mengucapkan:
“Allāhumma-ghfir lil-mu’minīna wa al-mu’mināt wa al-muslimīna wa al-muslimāt, al-aḥyā’i minhum wa al-amwāt. Wa allif baina qulūbinā wa qulūbihim ʿala al-khayrāt, wajʿal fī qulūbihimu al-īmān wa al-ḥikmah, wa thabbit-hum ʿalā millati nabiyyika Muḥammad SAW.”
Kami memilih doa untuk kaum mukminin dan mukminat setelah salawat kepada Nabi SAW agar lebih cepat dikabulkan, karena diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian memohon kepada Rabb-nya dalam suatu hajat, maka mulailah dengan bersalawat kepadaku. Sesungguhnya Dzat Yang Maha Mulia, apabila diminta dalam dua hal, tidak akan menolak yang satu dan mengabulkan yang lain.”
Jika ia membalik urutan tiga hal tersebut, hukumnya tetap sah. Dan jika setelah takbir kedua ia hanya membaca salawat kepada Nabi SAW saja, maka itu pun sah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يُكَبِّرُ الثَّالِثَةَ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ كَذَلِكَ وَيَدْعُو للميت فيقول ” اللهم عبدك وابن عبدك خرج من روح الدنيا وسعتها ومحبوبه وأحباؤه فيها إلى ظلمة القبر وما هو لاقيه وكان يشهد أن لا إله إلا أنت وأن محمداً عبدك ورسولك وأنت أعلم به اللهم نزل بك وأنت خير منزولٍ به وأصبح فقيراً إلى رحمتك وأنت غني عن عذابه وقد جئناك راغبين إليك شفعاء له اللهم إن كان محسناً فزد في إحسانه وإن كان مسيئاً فتجاوز عنه ولقه برحمتك رضاك وقه فتنة القبر وعذابه وافسح له في قبر وجاف الأرض عن جنبيه ولقه برحمتك الأمن من عذابك حتى تبعثه إلى جنتك يا أرحم الراحمين ” ثم يكبر الرابعة ثم يسلم عن يمينه وشماله ويخفي القراءة والدعاء ويجهر بالسلام “.
MASALAH:
Imam Syafi’i ra. berkata: “Kemudian bertakbir ketiga, dan mengangkat kedua tangannya seperti itu, lalu berdoa untuk mayit dengan berkata:
‘Ya Allah, hamba-Mu dan anak dari hamba-Mu ini telah keluar dari kenyamanan dunia dan kelapangannya, dari segala yang dicintainya dan orang-orang yang mencintainya di dalamnya, menuju kegelapan kubur dan apa yang akan ia hadapi. Ia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu, dan Engkau lebih mengetahui tentangnya. Ya Allah, ia kini singgah kepada-Mu, dan Engkaulah sebaik-baik tempat bersinggah. Ia telah menjadi fakir terhadap rahmat-Mu, sedang Engkau tidak butuh untuk mengazabnya. Kami datang kepada-Mu penuh harap, menjadi pemberi syafaat untuknya. Ya Allah, jika ia termasuk orang yang berbuat baik, maka tambahkanlah kebaikannya; dan jika ia termasuk orang yang bersalah, maka maafkanlah kesalahannya. Sambutlah ia dengan rahmat-Mu dan keridhaan-Mu, lindungilah ia dari fitnah dan azab kubur, lapangkanlah kuburnya, jauhkan tanah dari kedua sisinya. Berikanlah kepadanya dengan rahmat-Mu rasa aman dari azab-Mu, hingga Engkau membangkitkannya menuju surga-Mu, wahai Zat yang Maha Penyayang di antara para penyayang.’
Kemudian bertakbir keempat, lalu salam ke kanan dan ke kiri. Bacaan dan doa disamarkan (tidak dijahrkan), sedangkan salam dijahrkan.”
قال الماوردي: وإذا كَانَ الْمَيِّتُ امْرَأَةً قَالَ: اللَّهُمَّ أَمَتُكَ، وَابْنَةُ عَبْدِكَ، وَأَتَى بِجَمِيعِ الدُّعَاءِ بِلَفْظِ التَّأْنِيثِ، وَلَوْ كَانَ الْمَيِّتُ طِفْلًا، دَعَا لِأَبَوَيْهِ فَقَالَ: اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَهُمَا فَرَطًا وَسَلَفًا، وَذُخْرًا وَعِظَةً وَاعْتِبَارًا، وثقل به موازنيهما، وَأَفْرِغِ الصَّبْرَ عَلَى قُلُوبِهِمَا، وَلَا تَفْتِنْهُمَا بَعْدَهُ، وَإِنَّمَا اخْتَرْنَا هَذَا الدُّعَاءَ، لِأَنَّهُ مَأْثُورٌ عَنِ السَّلَفِ وَبِأَيِّ شَيْءٍ دَعَا وَلَوِ اقْتَصَرَ عَلَى أَنْ قَالَ اللَّهُمَّ ارْحَمْ جَازَ، ثُمَّ يُكَبِّرُ الرَّابِعَةَ وَيُسَلِّمُ، وَلَمْ يُحْكَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الرَّابِعَةِ ذِكْرٌ غَيْرُ السَّلَامِ، وَقَالَ الْبُوَيْطِيُّ: إِذَا كَبَّرَ الرَّابِعَةَ قَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، وَحَكَى أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الْمُتَقَدِّمِينَ كَانُوا يَقُولُونَ فِي الرَّابِعَةِ: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِمَحْكِيٍّ عَنِ الشَّافِعِيِّ فَإِنْ فَعَلَ كَانَ حَسَنًا وَيسَلّم تَسْلِيمَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا عَنْ يَمِينِهِ، وَالثَّانِيَةُ عَنْ شِمَالِهِ، وَعَلَى قِيَاسِ قَوْلِهِ الْقَدِيمِ إِنْ كَانَ الْجَمْعُ يَسِيرًا سَلَّمَ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً عَنْ يَمِينِهِ وَتِلْقَاءَ وجهه.
al-Māwardī berkata: Apabila mayit adalah seorang perempuan, maka dikatakan: Allāhumma amatuka, wabnatu ‘abdik, dan seluruh doa dibaca dengan lafaz muannats (bentuk perempuan). Dan jika mayit adalah seorang anak kecil, maka didoakan untuk kedua orang tuanya, seraya berkata: Allāhummaj‘alhu lahumā faraṭan wa salafan, wa dzukhran wa ‘izhatan wa i‘tibāran, dan semoga dengannya menambah berat timbangan (amal) keduanya, wa afrighiṣ-ṣabra ‘alā qulūbihimā, wa lā taftinhumā ba‘dah, dan doa ini kami pilih karena berasal dari para salaf.
Dengan doa apa pun dia berdoa maka boleh, dan jika dia mencukupkan dengan mengatakan Allāhumma irḥam saja, maka itu sah. Kemudian bertakbir keempat lalu mengucapkan salam, dan tidak dinukil dari asy-Syāfi‘ī dalam takbir keempat kecuali salam saja.
Al-Buwayṭī berkata: Apabila dia bertakbir keempat, hendaknya dia berkata: Allāhummaghfir liḥayyinā wa mayyitinā, wa syāhidinā wa ghā’ibinā. Dan Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah meriwayatkan bahwa para ulama terdahulu biasa mengucapkan pada takbir keempat: Rabbanā ātinā fi-d-dunyā ḥasanah, wa fi-l-ākhirati ḥasanah, wa qinā ‘adzāba-n-nār, namun itu tidak dinukil dari asy-Syāfi‘ī. Jika dilakukan, maka itu baik.
Kemudian mengucapkan dua salam: yang pertama ke arah kanan, dan yang kedua ke arah kiri. Berdasarkan qiyās dengan qaul qadīm beliau, apabila jumlah jamaah sedikit, maka cukup satu salam ke arah kanan dan ke arah wajah.
فصل شروط صحة صلاة الجنازة
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ شُرُوطَ الصَّلَاةِ مُعْتَبَرَةٌ فِي صَلَاةِ الْجِنَازَةِ، وَهِيَ طَهَارَةُ الْأَعْضَاءِ مِنْ حَدَثٍ وَنَجَسٍ، وَسِتْرُ الْعَوْرَةِ بِلِبَاسٍ طَاهِرٍ، وَالْوُقُوفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ، وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ، فَمَنْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ مِنْهَا لَمْ يَكُنْ مُصَلِّيًا عَلَيْهَا، فَلَوْ أَنَّ قَوْمًا صَلَّوْا عَلَى جِنَازَةٍ، وَكُلُّهُمْ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ لَمْ تُجْزِهِمْ، وَأَعَادُوا الصَّلَاةَ عَلَيْهِ بِطَهَارَةٍ كَامِلَةٍ، وَكَذَلِكَ لَوْ صَلَّوْا قُعُودًا أَجْمَعِينَ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقِيَامِ، فَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ عَلَى طَهَارَةٍ وَبَعْضُهُمْ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ، أَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ قِيَامًا وَبَعْضُهُمْ قُعُودًا، فَإِنْ كَانَ الْقَائِمُ وَالْمُتَطَهِّرُ مِنْهُمْ ثَلَاثَةً وَأَكْثَرَ أَجْزَأَ وَلَمْ يُحْتَجْ إِلَى إِعَادَةِ الصَّلَاةِ، لِوُقُوعِ الْكِفَايَةِ بِهِمْ، وَإِنْ كَانَ الْقَائِمُ الْمُتَطَهِّرُ وَاحِدًا أَوِ اثْنَيْنِ، لَمْ يَجْزِهِمْ وَأَعَادُوا الصَّلَاةَ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْكِفَايَةَ لَا تَقَعُ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ إِذَا وُجِدُوا.
فَصْلٌ
: إِذَا مَاتَ رَجُلٌ بِمَوْضِعٍ لَيْسَ بِهِ إِلَّا النِّسَاءُ صَلَّيْنَ عَلَيْهِ فُرَادَى بِغَيْرِ إِمَامٍ، لِأَنَّ النِّسَاءَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَقَدَّمْنَ عَلَى الرِّجَالِ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فَإِنْ صَلَّيْنَ جَمَاعَةً جَازَ، فَلَوْ حَضَرَ الرِّجَالُ فِيمَا بَعْدُ، لَمْ تَلْزَمْهُمْ إِعَادَةُ الصَّلَاةِ، وَلَوْ كَانَتِ الْمَيِّتُ امْرَأَةً وَلَيْسَ هُنَاكَ مَنْ يُصَلِّي عَلَيْهَا إِلَّا النِّسَاءُ صَلَّيْنَ عَلَيْهَا، لِأَنَّ النِّسَاءَ يَجُوزُ أَنْ يَتَقَدَّمْنَ عَلَى النساء.
PASAL: Syarat-Syarat Sahnya Salat Jenazah
Telah kami sebutkan bahwa syarat-syarat salat berlaku pula dalam salat jenazah, yaitu: suci anggota badan dari ḥadaṡ dan najis, menutup aurat dengan pakaian yang suci, berdiri di tempat yang suci, dan menghadap kiblat. Maka siapa yang mengabaikan salah satu dari syarat tersebut, maka ia tidak dihitung salat atas jenazah.
Seandainya suatu kaum menyalatkan jenazah, sementara seluruh mereka dalam keadaan tidak suci, maka salat mereka tidak sah dan mereka harus mengulanginya dalam keadaan suci secara sempurna. Begitu pula apabila mereka semua salat dalam keadaan duduk padahal mampu berdiri.
Jika sebagian dari mereka suci dan sebagian lainnya tidak suci, atau sebagian berdiri dan sebagian duduk, maka jika yang berdiri dan bersuci di antara mereka berjumlah tiga orang atau lebih, maka salatnya sah dan tidak perlu diulang karena kewajiban kifayah telah tercapai dengan mereka. Namun jika yang berdiri dan bersuci hanya satu atau dua orang, maka salatnya tidak mencukupi dan mereka harus mengulanginya, karena kewajiban kifayah tidak tercapai dengan kurang dari tiga orang apabila mereka ada.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ فَاتَهُ بَعْضُ الصَّلَاةِ افْتَتَحَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ تَكْبِيرَ الْإِمَامِ ثُمَّ قَضَى مَكَانَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وأبي يوسف.
وَقَالَ أبو حنيفة ومحمد: يَنْتَظِرُ تَكْبِيرَةَ الْإِحْرَامِ وَلَا يُكَبِّرُ قَبْلَهُ، فَإِذَا كَبَّرَ الْإِمَامُ كَبَّرَ مَعَهُ فَإِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ، قَضَى مَا فَاتَهُ، احْتِجَاجًا بِأَنَّ تَكْبِيرَاتِ الْجِنَازَةِ جَارِيَةٌ مَجْرَى رَكَعَاتِ الصَّلَاةِ، فَلَمَّا كَانَ الرَّجُلُ إِذَا سَبَقَهُ الْإِمَامُ بِرَكْعَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَلِّيَهَا ثُمَّ يَدْخُلَ مَعَهُ، كَذَلِكَ إذا فاته تكبيرة لم يجز أن يبدئها ثُمَّ يُكَبِّرَ مَعَهُ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا: قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا ” وَلَا يُمْكِنُهُ أَنْ يُصَلِّيَ ما أدرك معه إلا بتقديم التَّكْبِيرِ، وَلِأَنَّهُ أَدْرَكَ جُزْءًا مَعَ الْإِمَامِ بِتَقَدُّمِ التَّكْبِيرِ، فَجَازَ أَنْ يَأْتِيَ بِهِ كَمَا يَأْتِي بِالتَّكْبِيرِ قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الصَّلَوَاتِ.
Masalah:
Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Barang siapa tertinggal sebagian dari salat jenazah, maka ia memulai (salatnya) dan tidak menunggu takbir imam, lalu ia mengganti bagian yang tertinggal.”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat Mālik dan Abū Yūsuf.
Adapun Abū Ḥanīfah dan Muḥammad berpendapat: Ia menunggu takbiratul-iḥrām imam dan tidak boleh bertakbir sebelumnya. Maka ketika imam bertakbir, ia ikut bertakbir bersamanya. Lalu jika imam salam, ia mengganti bagian salat yang tertinggal. Mereka berdalil bahwa takbir-takbir dalam salat jenazah menempati posisi rakaat dalam salat. Maka sebagaimana seseorang yang tertinggal satu rakaat tidak boleh mendahului dengan salat sendiri lalu ikut bersama imam, demikian pula jika ia tertinggal satu takbir tidak boleh ia mendahului dan kemudian bertakbir bersama imam.
Dalil atas pendapat kami adalah sabda Nabi SAW: “Apa yang kalian dapati (dari salat bersama imam), maka salatlah.” Dan tidak mungkin ia dapat melaksanakan bagian salat bersama imam kecuali dengan mendahulukan takbir. Karena ia telah mendapatkan bagian bersama imam dengan mendahului takbir, maka boleh baginya melanjutkannya sebagaimana ia melanjutkan takbir dalam salat-salat lainnya.
فَأَمَّا مَا احْتَجَّ بِهِ أبو حنيفة فَلَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى أَنْ يَلْزَمَ الْمَأْمُومُ أَنْ يَكُونَ تَكْبِيرُهُ مُقَارِنًا لِتَكْبِيرِ الْإِمَامِ، وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى أنه لو كبر بعد تكبيرة الإمام جاز، وإذا جاز جاز لمن أتى بعده.
فإذا تقرر أن يُكَبِّرَ وَلَا يَنْتَظِرَ تَكْبِيرَةَ الْإِحْرَامِ، فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ قَدْ سَبَقَهُ بِتَكْبِيرَةٍ وَاحِدَةٍ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَقَرَأَ الْفَاتِحَةَ، فَإِنْ أَدْرَكَ قِرَاءَةَ جَمِيعِهَا قَبْلَ التَّكْبِيرَةِ الثَّانِيَةِ فَذَلِكَ جَائِزٌ، وَإِنْ قَرَأَبَعْضَهَا ثُمَّ كَبَّرَ الْإِمَامُ قَطَعَ الْقِرَاءَةَ وَكَبَّرَ الثَّانِيَةَ مَعَهُ، وَقَدْ يَحْمِلُ الْإِمَامُ عَنْهُ مَا بَقِيَ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَإِنْ كَانَ أَدْرَكَهُ فِي التَّكْبِيرَةِ الثَّانِيَةِ فَدَخَلَ مَعَهُ، كَانَتْ لَهُ أُولَةٌ يَقْرَأُ فِيهَا الْفَاتِحَةَ، وَيَبْنِي عَلَى صَلَاةِ نَفْسِهِ وَهِيَ لِلْإِمَامِ ثَانِيَةٌ يُصَلِّي فِيهَا عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَإِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ أَتَمَّ الصَّلَاةَ سَوَاءً كَانَتِ الجنازة موضوعة أو مرفوعة.
Adapun dalil yang digunakan oleh Abū Ḥanīfah, maka tidak sah, karena hal itu mengharuskan agar makmum harus bertakbir bersamaan dengan takbir imam. Padahal telah menjadi ijma‘ bahwa jika makmum bertakbir setelah takbir imam, itu dibolehkan. Maka jika hal itu boleh, berarti juga boleh bagi orang yang datang belakangan.
Jika telah dipastikan bahwa ia bertakbir dan tidak menunggu takbiratul-iḥrām imam, maka apabila imam telah mendahuluinya dengan satu takbir, ia langsung memulai salat dan membaca al-Fātiḥah. Jika ia berhasil menyelesaikan seluruh bacaan al-Fātiḥah sebelum takbir kedua imam, maka hal itu sah. Namun jika ia baru membaca sebagian, lalu imam bertakbir kedua, maka ia memotong bacaan dan ikut bertakbir kedua bersama imam. Maka bagian bacaan yang tersisa ditanggung oleh imam untuknya.
Jika ia mendapatkan imam sedang dalam takbir kedua, lalu ia masuk bersamanya, maka itu menjadi takbir pertama baginya—di mana ia membaca al-Fātiḥah di dalamnya—dan menjadi takbir kedua bagi imam—di mana imam bershalawat atas Nabi SAW. Maka ketika imam salam, ia menyempurnakan salatnya, baik jenazah masih diletakkan atau sudah diangkat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ لَمْ يُدْرِكْ صَلَّى عَلَى الْقَبْرِ. وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ صَلَّى عَلَى الْقَبْرِ وَعَنْ عُمَرَ وَابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ مِثْلُهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ أَمَّا مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ مَرَّةً، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ ثَانِيَةً، وَأَمَّا مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ مِنْ أَوْلِيَائِهِ وَغَيْرِ أَوْلِيَائِهِ، فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ ثَانِيَةً قَبْلَ الدَّفْنِ عَلَى جِنَازَتِهِ، وَبَعْدَ الدَّفْنِ عَلَى قَبْرِهِ، وَهُوَ أَوْلَى بَلْ قَدْ كَرِهَ الشَّافِعِيُّ الصَّلَاةَ عَلَيْهِ قَبْلَ الدفن لما يخاف من انفجاره، وَاسْتَحَبَّهَا بَعْدَ الدَّفْنِ.
Masalah:
Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Barang siapa tidak sempat (menyalatinya), maka ia salat di atas kuburnya.” Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah salat di atas kubur, dan dari ‘Umar, Ibn ‘Umar, serta ‘Ā’isyah juga melakukan hal yang serupa.
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang sahih. Adapun orang yang telah menyalatinya sekali, maka tidak boleh menyalatinya untuk kedua kalinya. Sedangkan orang yang belum menyalatinya, baik dari kalangan wali-walinya maupun bukan, maka ia boleh menyalatinya kedua kali, yaitu sebelum penguburan di atas jenazahnya, dan setelah penguburan di atas kuburnya—dan yang ini lebih utama.
Bahkan, asy-Syāfi‘ī memakruhkan salat atasnya sebelum dikuburkan karena dikhawatirkan jenazahnya akan meledak (rusak), dan beliau menganjurkan salat setelah dikuburkan.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيٌّ وَعُمَرُ وَابْنُ عُمَرَ وَأَبُو مُوسَى وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.
وَمِنَ التَّابِعِينَ الزُّهْرِيُّ وَغَيْرُهُ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ، وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ إِذَا صَلَّى عَلَى الْمَيِّتِ وَلِيُّهُ مَرَّةً لَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ ثَانِيَةً سَوَاءً دُفِنَ أَوْ لَمْ يُدْفَنْ تَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ فِي الْمَقْبَرَةِ وَرُوِيَ عنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه منع من الصلاة على القبر وغلط الْأَمْرَ فِيهِ وَقَالَ: ” لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ ” قَالُوا وَلَوْ جَازَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْقَبْرِ، لَجَازَتْ عَلَى قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ إِذَا صُلِّيَ عَلَيْهِ مَرَّةً فَقَطْ سَقَطَ الْغَرَضُ وَصَارَتِ الثَّانِيَةُ نَفْلًا، وَالتَّنَفُّلُ عَلَى الْمَيِّتِ لَا يَجُوزُ، بِدَلَالَةِ أَنَّ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ مَرَّةً لَمْ يَجُزْ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ ثَانِيَةً.
Dan pendapat ini (bolehnya salat atas kubur) dikatakan pula oleh para sahabat: ‘Alī, ‘Umar, Ibn ‘Umar, Abū Mūsā, dan ‘Ā’isyah RA.
Dari kalangan tābi‘īn: az-Zuhrī dan lainnya.
Dari kalangan fuqahā’: al-Awzā‘ī, Aḥmad, dan Isḥāq.
Adapun Abū Ḥanīfah dan Mālik berpendapat bahwa apabila wali mayit telah menyalatinya sekali, maka tidak boleh disalati untuk kedua kalinya, baik mayit itu sudah dikuburkan ataupun belum. Mereka berdalil dengan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau melarang salat di pemakaman, dan riwayat bahwa beliau melarang salat di atas kubur serta menyalahkan perbuatan tersebut dengan sabdanya: “Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.”
Mereka berkata: Andaikan salat atas kubur itu dibolehkan, niscaya dibolehkan pula salat di atas kubur Rasulullah.
Mereka juga berkata: Karena jika telah disalati sekali, maka tujuan sudah tercapai dan salat kedua menjadi nafilah (sunnah tambahan), sedangkan salat nafilah atas mayit tidak diperbolehkan. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa orang yang telah menyalatinya sekali tidak boleh mengulang salat atasnya untuk kedua kali.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ الصَّلَاةِ عَلَى الْقَبْرِ، ثُبُوتُ الرِّوَايَةِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِذَلِكَ مِنْ سِتَّةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: رِوَايَةُ سَهْلِ بن حنيف أنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى عَلَى قَبْرِ مسكينةٍ.
وَثَانِيهَا: رِوَايَةُ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى عَلَى قَبْرِ رَجُلٍ أَسْوَدَ كَانَ يُنَظِّفُ الْمَسْجِدَ فَدُفِنَ لَيْلًا.
وَثَالِثُهَا: رِوَايَةُ الشَّافِعِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ بقبرٍ دُفِنَ حَدِيثًا فَصَلَّى عَلَيْهِ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا فَقِيلَ لِلشَّعْبِيِّ مِمَّنْ سَمِعْتَ هَذَا؟ فَقَالَ مِنَ الثِّقَةِ مِمَّنْ شَهِدَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ.
Dan dalil atas bolehnya salat di atas kubur adalah adanya riwayat yang sah dari Rasulullah SAW dalam hal itu melalui enam sisi:
Pertama: Riwayat Sahl bin Ḥanīf bahwa Rasulullah SAW menyalatkan seorang perempuan miskin di atas kuburnya.
Kedua: Riwayat Ṯābit al-Bunānī dari Anas, bahwa Rasulullah SAW menyalatkan di atas kubur seorang laki-laki berkulit hitam yang biasa membersihkan masjid, dan ia telah dikuburkan pada malam hari.
Ketiga: Riwayat asy-Syāfi‘ī dari Ibn ‘Abbās, bahwa Rasulullah SAW melewati sebuah kubur yang baru saja dikuburkan, lalu beliau salat atasnya dan bertakbir empat kali. Maka ditanyakan kepada asy-Sya‘bī: “Dari siapa engkau mendengar hal ini?” Ia menjawab: “Dari seorang terpercaya yang menyaksikan langsung ‘Abdullāh bin ‘Abbās.”
وَرَابِعُهَا: رِوَايَةُ الشَّعْبِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَلَّى عَلَى قَبْرٍ مَنْبُوذٍ، وَكَبَّرَ أَرْبَعًا.
وَخَامِسُهَا: رِوَايَةُ الشَّعْبِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صلى على قبر حدث بعد بعد ثلاث.
وسادسها: رواية الشعبي عن الن عباس أنه صَلَّى عَلَى قَبْرٍ بَعْدَ شَهْرٍ فَكَانَتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثابتة بِذَلِكَ مِنْ هَذِهِ الْأَوْجُهِ، فَمَنْ أَنْكَرَهَا كَانَ مُبَاهِتًا، وَلِأَنَّهُ مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَى الْمَيِّتِ جَازَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى الْقَبْرِ مَا لَمْ يُبْلَ، كَالْوَلِيِّ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ نَهْيِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الصَّلَاةِ فِي الْمَقْبَرَةِ، فَالْمَقْصُودُ بِهِ بَيَانُ الطَّهَارَةِ لِلْمَكَانِ.
Keempat: Riwayat asy-Sya‘bī dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW menyalatkan jenazah yang dikubur secara manbūż (dibuang/tidak dikubur secara layak), dan beliau bertakbir empat kali.
Kelima: Riwayat asy-Sya‘bī dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW menyalatkan di atas sebuah kubur setelah tiga hari.
Keenam: Riwayat asy-Sya‘bī dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW menyalatkan di atas sebuah kubur setelah sebulan.
Maka sunnah Rasulullah SAW telah tetap melalui enam sisi ini. Barang siapa mengingkarinya, maka ia telah membangkang secara terang-terangan.
Dan karena siapa saja yang belum menyalatkan mayit, maka boleh baginya menyalatkan di atas kuburnya selama belum hancur, sebagaimana halnya wali mayit.
Adapun jawaban terhadap larangan Nabi SAW salat di pekuburan, maka maksudnya adalah penjelasan tentang pentingnya kesucian tempat (dari najis).
وَأَمَّا رِوَايَتُهُمْ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ عَلَى الْقَبْرِ، فَغَيْرُ ثَابِتٍ بوجه، وقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ، فَإِنَّمَا قَالَ ذَلِكَ خَوْفًا مِنَ الِافْتِتَانِ بِقَبْرِهِ، وَأَنْ يُؤَدِّيَهُمْ تَعْظِيمُهُ إِلَى عِبَادَتِهِ، وَأَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَالصَّحِيحُ مِنْ مَذَاهِبِ أَصْحَابِنَا أَنَّهَا غَيْرُ جَائِزَةٍ، لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَأَمَّا قَبْرُ غَيْرِهِ فَأَصَحُّ مَذَاهِبِهِمْ أَيْضًا أَنَّهُ يُصَلَّى عَلَيْهِ مَا لَمْ يَصِرْ رَمِيمًا، وَقِيلَ بَلْ يُصَلِّي عَلَيْهِ مَنْ عَاصَرَهُ وَقِيلَ بَلْ يُصَلِّي عَلَيْهِ أَبَدًا وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ التَّنَفُّلَ عَلَى الْمَيِّتِ لَا يَجُوزُ، فَيَفْسُدُ بِصَلَاةِ الْمَرْأَةِ لِأَنَّهَا نَافِلَةٌ، ثُمَّ لم تكن ممنوعة.
Adapun riwayat mereka bahwa Nabi SAW melarang salat atas kubur, maka itu tidak sah dari segi mana pun.
Sedangkan sabda beliau SAW: “Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid,” maka beliau mengatakannya karena khawatir terjadi fitnah terhadap kuburnya, dan bahwa pengagungan terhadapnya bisa menyeret mereka kepada penyembahannya.
Adapun salat di atas kubur Rasulullah SAW, maka pendapat yang sahih dari mazhab para sahabat kami (ulama Syafi‘iyyah) adalah bahwa itu tidak boleh, sebagaimana telah kami sebutkan.
Adapun salat di atas kubur selain beliau, maka pendapat yang paling sahih juga dari mazhab mereka adalah bahwa boleh disalatkan selama belum menjadi ramīm (hancur luluh).
Ada pula pendapat bahwa yang boleh menyalatinya hanyalah orang yang semasa dengannya. Dan ada pula pendapat bahwa boleh disalati selamanya, namun itu tidak sahih.
Adapun pernyataan mereka bahwa salat nafilah atas mayit tidak boleh, maka terbantahkan dengan salat perempuan, karena salatnya tergolong nafilah, namun tetap tidak dilarang.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُدْخِلُ الْمَيِّتَ قَبْرَهُ إِلَّا الرِّجَالُ مَا كَانُوا مَوْجُودِينَ وَيُدْخِلُهُ مِنْهُمْ أَفْقَهُهُمْ وَأَقْرَبُهُمْ بِهِ رحماً ويدخل المرأة زوجها وأقربهم بها رحما ويستر عليها بثوب إذا أنزلت القبر (قال الشافعي) وأحب أن يكونوا وتراً ثلاثة أو خمسة “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَتَوَلَّى إِدْخَالَ الْمَيِّتِ قَبْرَهُ إِلَّا الرِّجَالُ رَجُلًا كَانَ الْمَيِّتُ أَوِ امْرَأَةً، لِأَنَّ الرِّجَالَ بِذَلِكَ أَعْرَفُ وَعَلَيْهِ أَقْدَرُ، وَتَنَزُّلَهُمْ فِيهِ أَهْوَنُ وَقَرَابَاتِ الْمَيِّتِ وَأَهْلَ رَحِمِهِ أَحَقُّ بِهِ مِنَ الْأَجَانِبِ، كَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ، فَإِنِ اسْتَوَوْا فِي النَّسَبِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: قُدِّمَ أَفْقَهُهُمْ، يُرِيدُ أَعْلَمَهُمْ بِإِدْخَالِهِ الْقَبْرَ، وَلَيْسَ يُرِيدُ أَعْلَمَهُمْ بِأَحْكَامِ الشَّرْعِ، فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ امْرَأَةً.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: يَتَوَلَّى إِدْخَالَهَا الْقَبْرَ زَوْجُهَا، ثُمَّ أَبُوهَا وَهَذَا عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ.
Masalah:
Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Tidak boleh memasukkan mayit ke dalam kuburnya kecuali oleh laki-laki selama mereka ada. Yang memasukkannya adalah yang paling faqīh di antara mereka dan yang paling dekat hubungan kerabatnya dengannya. Jika yang wafat adalah perempuan, maka yang memasukkannya adalah suaminya dan orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengannya. Dan ia ditutupi dengan kain saat diturunkan ke dalam kubur. (Kata asy-Syāfi‘ī): Aku menyukai jumlah mereka ganjil: tiga atau lima.”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang benar, yaitu tidak sepantasnya memasukkan mayit ke kuburnya kecuali oleh laki-laki, baik mayit itu laki-laki maupun perempuan. Karena laki-laki lebih mengetahui hal itu, lebih mampu melakukannya, dan lebih mudah bagi mereka turun ke liang lahat. Keluarga dekat dan kerabat si mayit lebih berhak atasnya dibanding orang lain, sebagaimana dalam salat atas jenazah.
Jika mereka setara dalam nasab (kekerabatan), kata asy-Syāfi‘ī: Didahulukan yang paling faqīh, yang dimaksud adalah paling mengetahui cara memasukkan ke liang kubur, bukan yang paling mengetahui hukum-hukum syariat.
Jika mayit adalah seorang perempuan, kata asy-Syāfi‘ī: Yang memasukkannya ke kubur adalah suaminya, kemudian ayahnya—dan ini menurut salah satu dari dua pendapat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: الْأَبُ أَحَقُّ مِنَ الزَّوْجِ كَالْغُسْلِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَابْنُهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَأَخُوهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فَخَادِمٌ لَهَا مَمْلُوكٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَخِصْيَانٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَرِجَالٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونُوا وِتْرًا ثَلَاثًا، فَإِنْ زَادُوا فَخَمْسَةً، لِأَنَّ الَّذِي تَوَلَّى إِدْخَالَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثَلَاثَةٌ، الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَاخْتَلَفُوا فِي الثَّالِثِ فَقَالُوا: الْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ، وَقِيلَ: أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، ثُمَّ جَاءَتْ بَنُو زُهْرَةَ فَسَأَلُوا إِدْخَالَ رَجُلٍ مِنْهُمْ، فَقِيلَ: إِنَّهُ لَمْ يُدْخِلُوا أَحَدًا مِنْهُمْ، وَقِيلَ: بَلْ أَدْخَلُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ، فَصَارُوا أَرْبَعَةً، فَدَعَوْا مَوْلًى لِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُقَالُ لَهُ شُقْرَانُ فَأَدْخَلُوهُ مَعَهُمْ حَتَّى صَارُوا خَمْسَةً، وَيُخْتَارُ أَنْ يُسْتَرَ الْمَيِّتُ بِثَوْبٍ عِنْدَ إدخاله القبر، لا سيما إذا كَانَتِ امْرَأَةً لِمَا فِيهِ مِنَ الصِّيَانَةِ.
Adapun pendapat kedua: ayah lebih berhak daripada suami, sebagaimana dalam hal memandikan. Jika tidak ada ayah, maka anak laki-lakinya. Jika tidak ada, maka saudaranya. Jika tidak ada, kata asy-Syāfi‘ī: maka budak laki-lakinya. Jika tidak ada, maka para kasim (khiṣyān). Jika tidak ada, maka laki-laki dari kalangan kaum Muslimin.
Dan disunnahkan agar jumlah mereka ganjil, tiga orang. Jika ditambah, maka lima orang. Karena yang memasukkan Rasulullah SAW ke dalam kuburnya adalah tiga orang: al-‘Abbās bin ‘Abd al-Muṭṭalib, dan ‘Alī bin Abī Ṭālib RA, dan terjadi perbedaan pendapat tentang yang ketiga. Ada yang mengatakan: al-Faḍl bin al-‘Abbās. Ada juga yang mengatakan: Usāmah bin Zayd.
Kemudian datang Bani Zuhrah dan meminta agar salah seorang dari mereka ikut serta. Maka ada yang mengatakan: tidak ada seorang pun dari mereka yang diikutsertakan. Ada juga yang mengatakan: bahkan mereka memasukkan ‘Abd ar-Raḥmān bin ‘Awf. Maka jumlah mereka menjadi empat. Lalu mereka memanggil maulā Rasulullah SAW yang bernama Syuqrān, dan mereka memasukkannya bersama mereka, hingga jumlah mereka menjadi lima orang.
Dan disunnahkan untuk menutupi mayit dengan kain ketika dimasukkan ke liang kubur, terlebih lagi jika mayit tersebut seorang perempuan, karena hal itu lebih menjaga kehormatannya.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويسل الميت سلا من قبل رأسه وروي عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سل من قبل رأسه (قال) حدثنا إبراهيم بن محمد قال حدثنا الفضل بن أبي الصباح قال حدثنا يحيى بن المنهال عن خليفة عن حجاج عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دخل قبراً ليلاً فأسرج له وأخذه قبل من القبلة (قال) حدثنا إبراهيم قال حدثنا ابن منيع عن هشيم عن خالد الحذاء عن ابن سيرين أن رجلاً من الأنصار مات فشهده أنس بن مالك فأدخله من قبل رجل القبر. “.
MASALAH:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Mayit diturunkan secara perlahan dari arah kepalanya.” Dan telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW diturunkan dari arah kepalanya.
(Ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm bin Muhammad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami al-Faḍl bin Abī al-Ṣabāḥ, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yaḥyā bin al-Minhāl dari Khalīfah dari Ḥajjāj dari ‘Aṭā’ dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW masuk ke dalam kubur pada malam hari, lalu dinyalakan pelita untuk beliau, dan beliau mengambilnya dari arah kiblat.
(Ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Munī‘ dari Hushaym dari Khālid al-Ḥadhdhā’ dari Ibn Sīrīn bahwa ada seorang laki-laki dari kalangan Anṣār meninggal dunia, lalu disaksikan oleh Anas bin Mālik, maka mayit tersebut dimasukkan dari arah kaki kubur.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
وَهُوَ: أَنْ تُوضَعَ الْجِنَازَةُ عِنْدَ رِجْلِ الْقَبْرِ، ثُمَّ يُسَلُّ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ سَلًّا، وَاخْتَارَ أبو حنيفة أَنْ تُوضَعَ بَعِيدًا مِنَ الْقَبْرِ عِنْدَ نَاحِيَةِ الْقِبْلَةِ، ثُمَّ تُحَطُّ عَرْضًا.
رُوِيَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قُدِّمَ إِلَى الْقَبْرِ مُعْتَرِضًا.
وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ: لَا بَأْسَ أَنْ يُسَلَّ مِنْ قِبَلِ رِجْلِهِ، وَمَا ذَكَرْنَاهُ أَوْلَى فِي الِاخْتِيَارِ، لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُلَّ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ سَلًّا، وَلِأَنَّ الْحَائِطَ فِي قَبْرِهِ قِبْلَةٌ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَمَنْ شَاهَدَ الْمَوْضِعَ عَلِمَ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُ تَقْدِيمُ الْجِنَازَةِ إِلَيْهِ عَرْضًا ” وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Al Mawardi berkata: dan ini adalah pendapat yang sahih,
yaitu: jenazah diletakkan di sisi kaki kubur, kemudian diturunkan secara perlahan dari arah kepalanya.
Abu Ḥanīfah memilih agar jenazah diletakkan jauh dari kubur di sisi arah kiblat, kemudian diangkat dan diletakkan secara melintang.
Diriwayatkan dari Ibrāhīm al-Nakha‘ī bahwa Rasulullah SAW dihadapkan ke kubur dalam keadaan melintang.
Dan dinukil dari Mālik bahwa ia berkata: tidak mengapa diturunkan dari arah kakinya.
Namun yang kami sebutkan lebih utama untuk dipilih, karena riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW diturunkan dari arah kepalanya secara perlahan.
Dan karena dinding di arah kepala dalam kubur itu adalah kiblat.
Imam al-Syafi‘i berkata: “Barang siapa yang menyaksikan langsung tempat tersebut akan mengetahui bahwa tidak mungkin jenazah dihadapkan ke sana dalam posisi melintang.”
Wallāhu a‘lam.
فصل: حكم نبش القبر
قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِنْ دُفِنَ الْمَيِّتُ وَلَمْ يُغَسَّلْ وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يُمَاطَ عنه التراب ويغسل ويكفن يصلى عَلَيْهِ، وَذَلِكَ وَاجِبٌ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ، فَإِنْ تَغَيَّرَ وَرَاحَ لَمْ يُنْبَشْ، وَتُرِكَ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يُنْبَشُ وَإِنْ تَغَيَّرَ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ فَإِنْ كَانَ قَدْ غُسِّلَ وَكُفِّنَ وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَمْ يُنْبَشْ وَصَلِّي عَلَى قَبْرِهِ قَبْلَ الثَّلَاثِ وَبَعْدَهَا.
وَقَالَ أبو حنيفة: يُصَلَّى عَلَى قَبْرِهِ قَبْلَ الثَّلَاثِ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ بَعْدَهَا، وَهَذَا خَطَأٌ لِرِوَايَةِ الشَّعْبِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” صَلَّى عَلَى قبرٍ مِنْ بَعْدِ شهرٍ “.
فَأَمَّا إِذَا غُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَدُفِنَ قَبْلَ أَنْ يُكَفَّنَ فَهَلْ يُنْبَشُ وَيُكَفَّنُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يُنْبَشُ كَمَا يُنْبَشُ لِلْغُسْلِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُتْرَكُ وَلَا يُنْبَشُ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْكَفَنِ الْمُدَارَاةُ، وَقَدْ حَصَلَتْ، فَإِنْ دُفِنَ بَعْدَ غُسْلِهِ وَتَكْفِينِهِ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَا بَأْسَ أَنْ يُنْبَشُ وَيُوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ وَيُرِيحُ، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أَوَّلَ مَنْ وُجِّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ فِي قَبْرِهِ الْبَرَاءُ بْنُ مَعْرُورٍ أَوْصَى بِذَلِكَ ثُمَّ صَارَ سُنَّةً.
PASAL: Hukum Membongkar Kubur
Imam al-Syafi’i berkata: Jika mayit telah dikubur dan belum dimandikan serta belum dishalatkan, maka tidak mengapa tanahnya disingkirkan, lalu dimandikan, dikafani, dan dishalatkan. Hal itu hukumnya wajib selama belum berubah (jasadnya). Namun jika telah berubah dan mengeluarkan bau, maka tidak dibongkar dan dibiarkan saja.
Sebagian sahabat kami ada yang berpendapat: boleh dibongkar meskipun telah berubah, namun itu tidak sahih.
Jika mayit sudah dimandikan dan dikafani namun belum dishalatkan,
Imam al-Syafi’i berkata: tidak dibongkar, cukup dishalatkan di atas kuburnya, baik sebelum tiga hari maupun sesudahnya.
Abu Ḥanīfah berkata: dishalatkan di atas kuburnya sebelum tiga hari saja, dan tidak dishalatkan setelahnya. Ini adalah pendapat yang keliru, karena ada riwayat dari al-Sya‘bī dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW “shalat di atas sebuah kubur setelah sebulan.”
Adapun jika ia telah dimandikan dan dishalatkan kemudian dikubur tanpa dikafani, apakah dibongkar untuk dikafani atau tidak? Maka ada dua pendapat:
Pertama: dibongkar sebagaimana dibongkar untuk dimandikan.
Dan kedua: dibiarkan dan tidak dibongkar, karena maksud dari kafan adalah untuk menutupi (aurat dan jasad), dan hal itu telah tercapai.
Jika ia telah dikubur setelah dimandikan dan dikafani tetapi tidak menghadap kiblat,
Imam al-Syafi’i berkata: tidak mengapa dibongkar dan diarahkan ke kiblat selama belum berubah dan mengeluarkan bau.
Dan telah diriwayatkan bahwa orang pertama yang diarahkan ke kiblat dalam kuburnya adalah al-Barā’ bin Ma‘rūr yang berwasiat akan hal itu, kemudian hal tersebut menjadi sunah.
فصل: القول في استخراج الجنين من بطن أمه وهي ميتة
إِذَا مَاتَتِ امْرَأَةٌ وَفِي جَوْفِهَا وَلَدٌ حَيٌّ فَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِيهِ نَصٌّ، لَكِنْ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ، يُخْرَجُ جَوْفُهَا وَيُخْرَجُ وَلَدُهَا، لِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَيِّ أَوْكَدُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ.
وَقَالَ غَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا: إِنْ كَانَ الْوَلَدُ لِمُدَّةٍ يجوز أن يعيش لستة أشهر فساعداً شُقَّ جَوْفُهَا وَأُخْرِجَ، وَإِنْ كَانَ لِمُدَّةٍ لَا يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ فِيهَا: تُرِكَ.
PASAL: Pendapat tentang Mengeluarkan Janin dari Perut Ibunya yang Telah Meninggal
Jika seorang perempuan meninggal dunia dan di dalam perutnya terdapat anak yang masih hidup, maka Imam al-Syafi‘i tidak memiliki nash (teks eksplisit) mengenai hal ini.
Namun Abū al-‘Abbās bin Surayj—dan ini juga merupakan pendapat Abū Ḥanīfah serta mayoritas fuqahāʾ—berpendapat: perutnya dibedah dan anaknya dikeluarkan, karena kehormatan orang hidup lebih diutamakan daripada kehormatan orang mati.
Sebagian yang lain dari sahabat kami berkata: jika usia janin telah mencapai batas yang memungkinkan untuk hidup—enam bulan atau lebih—dan ada tanda-tanda gerak, maka perutnya dibedah dan dikeluarkan.
Namun jika usianya belum mencapai masa yang memungkinkan untuk hidup, maka dibiarkan.
فَصْلٌ
: إِذَا ابْتَلَعَ الْمَيِّتُ جَوْهَرَةً فِي حَيَاتِهِ، فَإِنْ كَانَتْ لِغَيْرِهِ أُخْرِجَتْ مِنْ جَوْفِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لَهُ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا تُخْرَجُ وَيَكُونُ ذَلِكَ فِي حُكْمِ مَا قَدْ أَتْلَفَهُ فِي حَاجَاتِهِ وَشَهَوَاتِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُخْرَجُ لِأَنَّ ذَلِكَ مِلْكٌ لِوَرَثَتِهِ لِبَقَاءِ عَيْنِهِ وَالْقُدْرَةِ عَلَى أَخْذِهِ.
PASAL
Jika seseorang menelan permata semasa hidupnya, maka:
- Jika permata itu milik orang lain, wajib dikeluarkan dari perutnya.
- Jika permata itu miliknya sendiri, maka terdapat dua wajah (pendapat):
Pertama: tidak perlu dikeluarkan, karena dianggap seperti benda yang telah ia binasakan dalam kebutuhannya dan syahwatnya.
Kedua: perlu dikeluarkan, karena itu adalah milik ahli warisnya, selama bendanya masih ada dan memungkinkan untuk diambil.
فَصْلٌ
: فَإِنْ مَاتَتِ امْرَأَةٌ نَصْرَانِيَّةٌ وَفِي جَوْفِهَا وَلَدٌ مُسْلِمٌ، فَقَدْ حَكَى الشَّافِعِيُّ أَنَّهَا تُدْفَعُ إِلَى أَهْلِ دِينِهَا لِيَتَوَلَّوْا غُسْلَهَا، وَدَفْنَهَا، وَحُكِيَ عَنْ أَصْحَابِنَا أَنَّهَا تُدْفَنُ بَيْنَ مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ، وَكَذَلِكَ إِذَا اخْتَلَطَ مَوْتَى الْمُسْلِمِينَ بِمَوْتَى المشركين، لكن قد روي عن عمر ابن الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَصْرَانِيَّةً مَاتَتْ وَفِي جَوْفِهَا وَلَدٌ مُسْلِمٌ فَأَمَرَ بِدَفْنِهَا فِي مقابر المسلمين.
PASAL
Jika seorang perempuan Nasrani meninggal dunia dan di dalam perutnya terdapat anak yang beragama Islam, maka Imam al-Syafi‘i meriwayatkan bahwa jenazah tersebut diserahkan kepada keluarganya yang seagama untuk memandikan dan menguburkannya.
Namun dinukil dari sahabat-sahabat kami bahwa ia dikuburkan di antara pekuburan kaum Muslimin dan kaum musyrikin. Demikian pula jika jenazah kaum Muslimin bercampur dengan jenazah kaum musyrikin.
Akan tetapi, telah diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa ada seorang perempuan Nasrani yang meninggal dan di dalam perutnya terdapat anak Muslim, maka ia memerintahkan agar dikuburkan di pekuburan kaum Muslimin.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أُدْخِلَ الْمَيِّتُ قَبْرَهُ قَالَ الَّذِينَ يُدْخِلُونَهُ ” بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ سَلَّمَهُ إِلَيْكَ الْأَشِحَّاءُ مِنْ وَلَدِهِ وَأَهْلِهِ وَقَرَابَتِهِ وَإِخْوَانِهِ وَفَارَقَ مَنْ كَانَ يُحِبُّ قُرْبَهُ وَخَرَجَ مِنْ سَعَةِ الدُّنْيَا وَالْحَيَاةِ إِلَى ظُلْمَةِ الْقَبْرِ وَضِيقِهِ وَنَزَلَ بِكَ وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُولٍ بِهِ إِنْ عَاقَبْتَهُ فَبِذَنْبِهِ وَإِنْ عَفَوْتَ فَأَنْتَ أَهْلُ الْعَفْوِ أَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ وَهُوَ فَقِيرٌ إِلَى رَحْمَتِكَ اللَّهُمَّ اشْكُرْ حَسَنَاتِهِ وَاغْفِرْ سَيِّئَاتِهِ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَاجْمَعْ لَهُ بِرَحْمَتِكَ الْأَمْنَ مِنْ عَذَابِكَ وَاكْفِهِ كُلَّ هولٍ دُونَ الْجَنَّةِ اللَّهُمَّ اخْلُفْهُ فِي تَرِكَتِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَارْفَعْهُ فِي عِلِّيِّينَ وَعُدْ عَلَيْهِ بِفَضْلِ رَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا اخْتَرْنَا هَذَا الدُّعَاءَ، لِأَنَّهُ مَرْوِيٌّ عَنِ السَّلَفِ وَمُوَافِقٌ لِلْحَالِ، وَلَيْسَ فِيهِ حَدٌّ لَا يَتَجَاوَزُ وَلَا نَقْصٌ عَنْهُ وَبِأَيِّ شَيْءٍ دَعَا جَازَ.
BAB APA YANG DIUCAPKAN SAAT MAYIT DIMASUKKAN KE DALAM KUBURNYA
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Apabila mayit dimasukkan ke dalam kuburnya, maka orang-orang yang memasukkannya mengucapkan:
Bismillāh wa ‘alā millati Rasūlillāh. Allāhumma sallimhu ilayka al-ashihhā’ min waladihi wa ahlihi wa qarābatihi wa ikhuwānihi, wa fāraqa man kāna yuḥibbu qurbahu, wa kharaja min sa‘ati al-dunyā wa al-ḥayāti ilā ẓulmati al-qabri wa ḍīqihi, wa nazala bika wa anta khayru manzūlin bih. In ‘āqabtahu fa-bidzanbih, wa in ‘afawta fa-anta ahlu al-‘afwi, anta ghanīyyun ‘an ‘adhābih, wa huwa faqīrun ilā raḥmatik. Allāhumma uškur ḥasanātih, waghfir sayyiātih, wa a‘idzhhu min ‘adhābi al-qabr, wajma‘ lahu bi-raḥmatika al-amna min ‘adhābik, wakfihi kulla hawlin dūna al-jannah. Allāhumma akhlufhu fī tarikatihi fī al-ghābirīn, warfa‘hu fī ‘illiyyīn, wa ‘ud ‘alayhi bi-faḍli raḥmatika yā arḥama al-rāḥimīn.”
al-Māwardī berkata: Dan kami memilih doa ini karena ia diriwayatkan dari para salaf dan sesuai dengan keadaan, tidak ada batasan yang tidak boleh dilampaui maupun kekurangan yang harus dipenuhi. Maka doa dengan lafaz apa pun diperbolehkan.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأُحِبُّ تَعْزِيَةَ أَهْلِ الْمَيِّتِ رَجَاءَ الْأَجْرِ بِتَعْزِيَتِهِمْ وَأَنْ يُخَصَّ بِهَا خِيَارُهُمْ وَضُعَفَاؤُهُمْ عَنِ احْتِمَالِ مصيبتهم ويعزى المسلم بموت أبيه النصراني فيقول ” أعظم الله أجرك وأخلف عليك ” ويقول في تعزية النصراني لقرابته ” أخلف الله عليك ولا نقص عددك “.
وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِنَّمَا اسْتَحَبَّ التَّعْزِيَةَ اتِّبَاعًا لِلسُّنَّةِ وَالْتِمَاسًا لِلْأَجْرِ، فَقَدْ رَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ “.
BAB TAKZIYAH DAN APA YANG DIPERSIAPKAN UNTUK KELUARGA MAYIT
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Aku menyukai takziyah kepada keluarga mayit dengan harapan mendapatkan pahala karena menghibur mereka, dan agar takziyah itu dikhususkan kepada orang-orang terbaik dari mereka dan orang-orang lemah yang tidak mampu menanggung musibahnya.
Seorang muslim diberi takziyah atas wafatnya ayahnya yang Nasrani dengan ucapan: ‘Aẓẓama Allāhu ajraka wa akhlafa ‘alaika (Semoga Allah membesarkan pahalamu dan menggantinya untukmu).
Dan dikatakan kepada orang Nasrani yang mendapat musibah karena kerabatnya: Akhlafa Allāhu ‘alaika wa lā naqaṣa ‘adadak (Semoga Allah menggantinya untukmu dan tidak mengurangi jumlah kalian).”
Dan ini adalah pendapat yang sahih.
Disunahkan memberi takziyah karena mengikuti sunah dan mengharap pahala, karena telah diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Barang siapa memberi takziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti orang yang diberi takziyah.”
وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: لَمَّا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَمِعْنَا هَاتِفًا فِي الْبَيْتِ يُسْمَعُ صَوْتُهُ، وَلَا يرى شخصه، ألا إن في الله عزا عَنْ كُلِّ مُصِيبَةٍ، وَخَلَفًا مَنْ كُلِّ هَالِكٍ، وَدَرْكًا مِنْ كُلِّ فَائِتٍ، فَبِاللَّهِ ثِقُوا، وَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا، فَإِنَّ الْمُصَابَ مَنْ حُرِمَ الثَّوَابَ، فَقِيلَ هَذَا الْخَضِرُ جَاءَ يُعَزِّي زَوْجَاتِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
فَيُسْتَحَبُّ تَعْزِيَةُ أَهْلِ الْبَيْتِ وَقَرَابَتِهِ، ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَمَنْ شَيَّعَ الْجِنَازَةَ وَأَرَادَ الِانْصِرَافَ قَبْلَ الدَّفْنِ عَزَّى وَانْصَرَفَ، وَمَنْ صَبَرَ حَتَّى يُدْفَنَ عَزَّى بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ دَفْنِهِ، إِلَّا أَنْ يَرَى مِنْ أَهْلِهِ جَزَعًا شَدِيدًا وَقِلَّةَ صَبْرٍ، فَتُقَدَّمُ تَعْزِيَتُهُمْ، لِيُسَلُّوا، وَيَخُصُّ التَّعْزِيَةَ أَقَلَّهُمْ صَبْرًا وَأَشَدَّهُمْ جَزَعًا، وَيَخُصُّ أَكْثَرَهُمْ فَضْلًا وَدِينًا، أَمَّا الْقَلِيلُ الصَّبْرِ فَلْيُسَلُّوا، وَأَمَّا الْكَثِيرُ الْفَضْلِ، فَإِنَّمَا يُرْجَى مِنْ إِجَابَةِ رَدِّهِ وَدُعَائِهِ.
Dan telah diriwayatkan dari ‘Ā’isyah RA bahwa ia berkata:
Ketika Rasulullah SAW wafat, kami mendengar suara dari dalam rumah, terdengar suaranya namun tidak terlihat wujudnya,
yang berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya di sisi Allah terdapat penghibur atas setiap musibah, pengganti dari setiap yang binasa, dan balasan dari setiap yang hilang. Maka percayalah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Sesungguhnya orang yang benar-benar tertimpa musibah adalah yang terhalang dari pahala.”
Lalu dikatakan: “Itulah al-Khiḍr yang datang untuk menghibur para istri Nabi SAW.”
Maka disunahkan memberi takziyah kepada Ahlul Bait dan kerabatnya selama tiga hari setelah wafatnya.
Barang siapa yang mengantarkan jenazah dan ingin beranjak pergi sebelum dikuburkan, maka ia memberi takziyah lalu berpaling.
Dan barang siapa yang sabar menunggu hingga pemakaman selesai, maka ia memberi takziyah setelah selesai penguburan,
kecuali jika ia melihat dari keluarga jenazah adanya kesedihan yang sangat berat dan minimnya kesabaran, maka takziyah diberikan lebih awal agar mereka terhibur.
Takziyah dikhususkan kepada mereka yang paling sedikit sabarnya dan paling berat kesedihannya, serta yang paling besar keutamaannya dan paling dalam agamanya.
Adapun yang sedikit sabarnya, maka ia perlu dihibur,
sedangkan yang memiliki banyak keutamaan, maka diharapkan ia akan menerima dengan baik takziyah tersebut dan akan mendoakan.
فَصْلٌ: القول في ألفاظ التعزية
فَأَمَّا أَلْفَاظُ التَّعْزِيَةِ، فَإِنْ كَانَ الْمُعَزَّى مُسْلِمًا عَلَى مُسْلِمٍ قَالَ: أَعْظَمَ اللَّهُ أَجْرَكَ، وَأَحْسَنَ عَزَاكَ، وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ، وَإِنْ كَانَ الْمُعَزَّى كَافِرًا عَلَى كَافِرٍ قَالَ: أَخْلَفَ اللَّهُ عَلَيْكَ، وَلَا نَقَصَ عَدَدَكَ، وَلَمْ يَذْكُرِ الْمَيِّتَ بِخَيْرٍ وَلَا شَرٍّ، أَمَّا الْخَيْرُ فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِهِ، وَأَمَّا الشَّرُّ فَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَدِّ عَنْ ذِي قَبْرٍ، وَلِأَنَّهُ يُؤْذِي الْحَيَّ.
PASAL: Ucapan dalam Takziyah
Adapun lafaz-lafaz takziyah:
Jika orang yang diberi takziyah adalah seorang muslim atas muslim yang wafat, maka diucapkan:
“A‘ẓama Allāhu ajraka, wa aḥsana ‘azāka, wa ghafara li-mayyitika”
(Semoga Allah membesarkan pahalamu, memperindah penghiburan bagimu, dan mengampuni mayitmu).
Jika orang yang diberi takziyah adalah seorang kafir atas kafir yang wafat, maka diucapkan:
“Akhlafa Allāhu ‘alaika, wa lā naqaṣa ‘adadak”
(Semoga Allah menggantinya untukmu dan tidak mengurangi jumlah kalian),
dan tidak menyebut si mayit dengan pujian maupun celaan.
Adapun tidak memuji karena ia bukan termasuk ahli kebaikan,
dan tidak mencela karena sabda Nabi SAW: “Jangan cela orang yang sudah berada dalam kubur.”
Juga karena hal itu dapat menyakiti orang yang masih hidup.
رُوِيَ أَنَّ النَّاسَ كَانُوا يَسُبُّونَ أَبَا جَهْلٍ بِحَضْرَةِ ابْنِهِ عِكْرِمَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا تَسُبُّوا الْمَوْتَى لِتُؤْذُوا بِهِ الْأَحْيَاءَ “.
وَإِنْ كَانَ الْمُعَزَّى مُسْلِمًا عَلَى كَافِرٍ قَالَ: أَعْظَمَ اللَّهُ أَجْرَكَ، وَأَحْسَنَ عَزَاكَ، وَأَخْلَفَ عَلَيْكَ، وَإِنْ كَانَ الْمُعَزَّى كَافِرًا عَلَى مُسْلِمٍ قَالَ: أَخْلَفَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَلَا نَقَصَ عَدَدَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ.
Diriwayatkan bahwa orang-orang pernah mencela Abū Jahl di hadapan putranya, ‘Ikrimah, maka Nabi SAW bersabda:
“Lā tasubbū al-mawtā li tuʾdhu bihim al-aḥyāʾ”
(“Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah mati karena itu akan menyakiti yang masih hidup.”)
Jika orang yang diberi takziyah adalah muslim atas kafir yang wafat, maka ucapannya adalah:
“A‘ẓama Allāhu ajraka, wa aḥsana ‘azāka, wa akhlafa ‘alaika”
(Semoga Allah membesarkan pahalamu, memperindah penghiburan bagimu, dan menggantinya untukmu).
Dan jika orang yang diberi takziyah adalah kafir atas muslim yang wafat, maka ucapannya adalah:
“Akhlafa Allāhu ‘alaika, wa lā naqaṣa ‘adadak, wa ghafara li-mayyitika”
(Semoga Allah menggantinya untukmu, tidak mengurangi jumlah kalian, dan mengampuni mayitmu).
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأُحِبُّ لِقَرَابَةِ الْمَيِّتِ وَجِيرَانِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ طَعَامًا يَسَعُهُمْ فَإِنَّهُ سُنَّةٌ وَفِعْلُ أَهْلِ الْخَيْرِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَكَرِهَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ ذَلِكَ وَقَالَ هُوَ فِعْلُ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ حِينَ مَوْتِهِ قَالَ لِأَهْلِهِ: اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ جَاءَهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ ثُمَّ اسْتَدْعَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ إِلَى مَنْزِلِهِ فَأَقَامَ عِنْدَهُ ثَلَاثَةً إِلَى انْقِضَاءِ الْمُصِيبَةِ، وَحَلَقَ رَأْسَهُ، قَالَ الرَّاوِي: وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ حُلِقَ رَأْسُهُ في الإسلام.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Aku menyukai bagi kerabat mayit dan tetangganya untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit pada hari dan malam wafatnya yang cukup bagi mereka. Karena hal itu merupakan sunah dan perbuatan orang-orang yang baik.”
al-Māwardī berkata:
Sufyān al-Tsaurī membenci hal itu dan berkata: “Itu adalah perbuatan orang-orang jahiliah.”
Adapun dalil atas disunahkannya hal itu adalah bahwa ketika datang berita wafatnya Ja‘far bin Abī Ṭālib kepada Nabi SAW, beliau bersabda kepada keluarganya:
“Buatkan makanan untuk keluarga Ja‘far, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”
Kemudian Nabi SAW memanggil ‘Abdullāh bin Ja‘far ke rumahnya dan ia tinggal di situ selama tiga hari sampai berlalunya masa musibah, lalu Nabi mencukur rambutnya.
Perawi berkata: “Dan ia adalah orang pertama yang dicukur rambutnya dalam Islam.”
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَأُرَخِّصُ فِي الْبُكَاءِ بِلَا نَدْبٍ وَلَا نياحةٍ لِمَا فِي النَّوْحِ مِنْ تَجْدِيدِ الْحُزْنِ وَمَنْعِ الصبر وعظيم الإثم وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه ” وذكر ذلك ابن عباس لعائشة فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا حَدَّثَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إن الله ليعذب الميت ببكاء أهله عليه ” ولكن قال ” إن الله يزيد الكافر عذاباً ببكاء أهله عليه ” (قال) وقالت عائشة حسبكم القرآن {لا تَزِر وَازِرَة وِزْرَ أُخْرَى} وقال ابن عباس عند ذلك الله أضحك وأبكى (قال الشافعي) ما رَوَتْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أشبه بدلالة الكتاب والسنة قال الله جل وعز {لا تزرُ وَازِرَة وِزْرَ أُخْرَى} وقال {لِتُجْزَى كُلّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى} وقال عليه السلام لرجل في ابنه ” إنه لا تجنى عليك ولا تنجني عليه ” وما زيد في عذاب الكافر فباستيجابه له لا بذنب غيره (قال المزني) بلغني أنهم كانوا يوصون بالبكاء عليه وبالنياحة أو بهما وهي معصيةٌ ومن أمر بها فعملت بعده كانت له ذنباً فيجوز أن يزاد بذنبه عذاباً – كما قال الشافعي – لا بذنب غيره “.
BAB MENANGISI MAYIT
Imam al-Syafi‘i rahimahullāh berkata:
“Aku memberi rukhṣah (keringanan) dalam menangis tanpa meratap dan tanpa niyāḥah, karena dalam meratap terdapat pembaruan kesedihan, penghalang kesabaran, dan dosa yang besar.
Diriwayatkan dari ‘Umar RA bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya mayit itu benar-benar diazab karena tangisan keluarganya atas dirinya.’
Ibnu ‘Abbās menyebutkan hal itu kepada ‘Ā’isyah, lalu ia berkata: ‘Semoga Allah merahmati ‘Umar. Demi Allah, Rasulullah SAW tidak bersabda: “Sesungguhnya Allah menyiksa mayit karena tangisan keluarganya atas dirinya”, tetapi beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menambah azab orang kafir karena tangisan keluarganya atas dirinya.”’
‘Ā’isyah berkata: ‘Cukuplah bagi kalian (sebagai pegangan) adalah Al-Qur’an: {Lā taziru wāziratun wizra ukhrā} (tidak seorang pun memikul dosa orang lain)’.
Ibnu ‘Abbās saat itu berkata: ‘Allah yang membuat tertawa dan menangis.’
Imam al-Syafi‘i berkata:
Apa yang diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah dari Nabi SAW lebih sesuai dengan dalil Al-Qur’an dan sunnah. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
{Lā taziru wāziratun wizra ukhrā} dan
{Litujzā kullu nafsin bimā tas‘ā},
dan Rasulullah SAW bersabda kepada seorang lelaki tentang anaknya:
“Sesungguhnya ia tidak menanggung dosamu dan engkau tidak menanggung dosanya.”
Dan penambahan azab bagi orang kafir adalah karena ia memang pantas mendapatkannya, bukan karena dosa orang lain.
al-Muzanī berkata:
Telah sampai kepadaku bahwa mereka (orang-orang kafir) biasa mewasiatkan agar ditangisi atau diratapi atau keduanya, dan itu adalah maksiat. Maka barang siapa memerintahkannya dan perbuatannya dilakukan setelah ia mati, maka itu menjadi dosanya. Maka boleh jadi ditambah azabnya karena dosanya itu—sebagaimana yang dikatakan oleh al-Syafi‘i—dan bukan karena dosa orang lain.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ صَحِيحٌ.
أَمَّا النَّوْحُ، وَالتَّعْدِيدُ، وَلَطْمُ الْخُدُودِ، وَالدُّعَاءُ بِالْوَيْلِ وَالثُّبُورِ، فَكُلُّ ذَلِكَ مَحْظُورٌ حَرَامٌ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ لَعَنَ النَّائِحَةَ وَالْمُسْتَمِعَةَ، وَنَهَى عَنِ الصِّيَاحِ وَالْمَأْتَمِ.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَنْهَاكُمْ عَنْ صَوْتَيْنِ فَاجِرَيْنِ صَوْتٍ عند المصيبة، وصوت عند نغمةٍ ” قيل: المراد به النياحة عند المصيبة، والمزمار عند النغمة.
وَرَوَتِ امْرَأَةُ أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ مِنَّا مَنْ حَلَقَ أَوْ سَلَقَ ” فالحلق هوحَلْقُ الشَّعْرِ، وَالسَّلْقُ هُوَ أَنْ تَنُوحَ بِلِسَانِهَا، قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: {سَلَقُوكُمْ بِأَلْسِنَةٍ حِدَادٍ} (الأحزاب: 19) .
al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang sahih.
Adapun niyāḥah (ratapan), menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara berlebihan (ta‘dīd), menampar pipi, serta doa dengan ratapan celaka (wail) dan kebinasaan (ṯubūr), maka semua itu adalah perbuatan terlarang dan haram,
berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau melaknat perempuan yang meratap dan orang yang mendengarkannya, serta melarang dari teriakan dan perkumpulan ratapan (maʾtam).
Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Aku melarang kalian dari dua suara yang fajir: suara saat musibah, dan suara saat hiburan.”
Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah niyāḥah saat musibah dan suara seruling (alat musik) saat bersenang-senang.
Dan istri Abū Mūsā meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami orang yang mencukur rambut atau meratap.”
Yang dimaksud dengan ḥalq adalah mencukur rambut, dan salq adalah meratap dengan lisannya.
Allah Subḥānahu wa Taʿālā berfirman:
{Salaqūkum bi-alsinatin ḥidād} (QS. al-Aḥzāb: 19)
(“Mereka menyerang kalian dengan lisan yang tajam”).
وَرَوَى قُتَيْبَةُ فِي غَرِيبِ الْحَدِيثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَعَنَ مِنَ النِّسَاءِ السَّالِقَةَ وَالْحَالِقَةَ، وَالْخَارِقَةَ وَالْمُمْتَهِشَةَ.
فَالسَّالِقَةُ: الَّتِي تَرْفَعُ صَوْتَهَا بِالصُّرَاخِ عِنْدَ الْمُصِيبَةِ، وَالْحَالِقَةُ: الَّتِي تَحْلِقُ شَعْرَهَا، وَالْخَارِقَةُ: الَّتِي تَخْرِقُ ثَوْبَهَا، وَالْمُمْتَهِشَةُ: أن تَخْمُش وَجْهَهَا فَتَأْخُذُ لَحْمَهُ بِأَظْفَارِهَا مِنْهُ، وَقِيلَ نَهْشَةُ الْكِلَابِ، وَالْمُمَهِّشَةُ: الَّتِي تحلق وجهها بالموسى للتزين.
Diriwayatkan oleh Qutaybah dalam Gharīb al-Ḥadīṡ bahwa Rasulullah SAW melaknat dari kalangan perempuan:
- as-sāliqah,
- al-ḥāliqah,
- al-khāriqah,
- dan al-mumtahiṣ
Adapun as-sāliqah adalah perempuan yang mengangkat suaranya dengan teriakan saat terkena musibah.
al-ḥāliqah adalah perempuan yang mencukur rambutnya.
al-khāriqah adalah perempuan yang merobek pakaiannya.
al-mumtahiṣyah adalah perempuan yang mencakar wajahnya, mengambil dagingnya dengan kukunya. Ada pula yang mengatakan bahwa maknanya seperti gigitan anjing.
Adapun al-mumahhiṣah adalah perempuan yang mencukur wajahnya dengan pisau cukur untuk berhias.
فصل البكاء على الميت
فَأَمَّا الْبُكَاءُ بِلَا نَدْبٍ وَلَا نِيَاحَةٍ فَمُبَاحٌ، لِمَا فِيهِ مِنْ تَخْفِيفِ الْحُزْنِ وَتَعْجِيلِ السُّلُوِّ، وَقَدْ رَوَى ثُمَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَضَعَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي حِجْرِهِ وَهُوَ يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَقَالَ لَوْلَا أَنَّهُ مَوْعِدٌ صادقٌ، ووعدٌ جامعٌ، وَأَنَّ الْمَاضِيَ فَرَطٌ لِلْبَاقِي، وَأَنَّ الْآخِرَ لاحقٌ بِالْأَوَّلِ، لَحَزِنَّا عَلَيْكَ يَا إِبْرَاهِيمُ، ثُمَّ دَمَعَتْ عَيْنَاهُ، فَقَالَ: تَدْمَعُ الْعَيْنُ، وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ، وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَاهُ الرَّبُّ، وَإِنَّا بِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ مَحْزُونُونَ الْحَقْ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ.
PASAL: Menangis atas Mayit
Adapun menangis tanpa nadb (meratap) dan tanpa niyāḥah (ratapan keras), maka hukumnya mubah, karena di dalamnya terdapat pengurangan kesedihan dan percepatan hilangnya duka.
Telah diriwayatkan oleh Ṯumāmah bin ‘Abdillāh dari Anas bin Mālik bahwa Rasulullah SAW meletakkan Ibrāhīm—putra beliau—di pangkuannya saat beliau sedang menghadapi sakaratul maut, lalu bersabda:
“Sekiranya bukan karena ini adalah janji yang pasti, dan pertemuan yang dijanjikan, dan bahwa yang telah lalu hanyalah mendahului yang tersisa, dan bahwa yang kemudian pasti menyusul yang terdahulu, niscaya kami benar-benar akan bersedih atasmu wahai Ibrāhīm.”
Kemudian kedua mata beliau mengalirkan air mata, lalu beliau bersabda:
“Mata meneteskan air mata, hati diliputi kesedihan, namun kami tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb. Dan sesungguhnya kami bersedih karena kepergianmu wahai Ibrāhīm. Bergabunglah engkau dengan para pendahulu yang saleh, ‘Uṯmān bin Maẓ‘ūn.”
وَرَوَى أَبُو أُمَامَةَ قَالَ: جَاءَ رجلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ مَاتَ ابْنُهُ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَعَيْنَاهُ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ تَبْكِي عَلَى هَذَا السَّخْلِ، وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ دَفَنْتُ اثْنَيْ عَشَرَ وَلَدًا كُلُّهُمْ أَشَفُّ مِنْهُ كُلُّهُمْ أَدْفِنُهُمْ فِي التُّرَابِ أَحْيَاءً فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَمَا ذَنْبِي إِنْ كَانَتِ الرَّحْمَةُ ذَهَبَتْ مِنْكَ ” وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ ” لَمَّا مَاتَتْ رُقَيَّةُ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – توجه عثمان بن مظعون بالحصبة ” قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الحق لبلغنا الخير أيجهر عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ قَالَ: وَبَكَى النِّسَاءُ فَجَعَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَضْرِبُهُنَّ بِسَوْطِهِ، فَأَخَذَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِيَدِهِ، وَقَالَ دَعْهُنَّ يَا عُمَرُ وقَالَ إِيَّاكُنَّ وَنَعِيقَ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ مَهْمَا يَكُنْ مِنَ الْعَيْنِ وَالْقَلْبِ فَمِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمِنَ الرَّحْمَةِ، وَمَهْمَا يَكُنْ مِنَ اللِّسَانِ وَالْيَدِ فَمِنَ الشَّيْطَانِ، قَالَ وَبَكَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ، فَجَعَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَمْسَحُ الدُّمُوعَ عَنْ عَيْنِهَا بِطَرَفِ ثَوْبِهِ، وَقِيلَ إنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – زَوَّجَ عُثْمَانَ ابْنَتَهُ أُمَّ كُلْثُومٍ عَلَى شَفِيرِ قبر رقية.
Dan telah meriwayatkan Abu Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW ketika putranya, Ibrahim AS, wafat, dan kedua mata beliau meneteskan air mata. Laki-laki itu berkata, “Wahai Nabi Allah, engkau menangisi anak kecil ini? Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku telah mengubur dua belas anak hidup-hidup, semuanya lebih tampan darinya.” Maka Nabi SAW bersabda: “Apa salahku jika rasa kasih telah dicabut darimu?”
Dan telah meriwayatkan Ibn Abbas, ia berkata: “Ketika Ruqayyah binti Rasulullah SAW wafat, ‘Utsman bin Mazh’un menghadiri pemakamannya.” Rasulullah SAW bersabda, “Benarlah jika telah sampai kepada kami kebaikan. Apakah ‘Utsman bin Mazh’un mengangkat suaranya?” Dan para wanita menangis, lalu ‘Umar bin al-Khaththab memukul mereka dengan cambuknya. Maka Nabi SAW memegang tangannya dan bersabda, “Biarkan mereka, wahai ‘Umar, dan jauhilah oleh kalian ratapan setan, karena apa pun yang berasal dari mata dan hati, maka itu dari Allah ‘azza wa jalla dan dari rahmat. Adapun yang berasal dari lisan dan tangan, maka itu dari setan.”
Dikatakan pula bahwa Fathimah RA menangis di pinggir kubur, maka Rasulullah SAW mengusap air mata dari matanya dengan ujung pakaiannya. Dan dikatakan bahwa beliau SAW menikahkan ‘Utsman dengan putrinya, Ummu Kultsum, di pinggir kubur Ruqayyah.
فَأَمَّا رِوَايَةُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمَيِّتَ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ ” فَقَدْ ذَكَرَ ذَلِكَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَعْدَ مَوْتِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ، وَاللَّهِ مَا حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إن الله ليعذب الميت ببكاء أهله عليه ” حسبكم القرآن ” {لا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى) {فاطر: 18) وَكِلَا الْحَدِيثَيْنِ يَفْتَقِرُ إِلَى تَأْوِيلٍ، وَلَيْسَ يُمْكِنُ حَمْلُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى ظَاهِرِهِ، فَلِأَصْحَابِنَا ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:
أَحَدُهَا: مَا رَوَتْهُ عَمْرَةُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اجْتَازَ عَلَى قَبْرِ يَهُودِيٍّ، وَأَهْلُهُ يَبْكُونَ عَلَيْهِ، فَقَالَ إِنَّهُ لَيُبْكَى عَلَيْهِ، وَإِنَهُ لَيُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ فَقَالَ ذَلِكَ إِخْبَارًا عَنْ حَالِهِ.
Adapun riwayat dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah benar-benar menyiksa mayit karena tangisan keluarganya atasnya.”
Maka hal itu pernah disebutkan oleh Ibnu ‘Abbās kepada ‘Ā’isyah RA setelah wafatnya ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA. Maka ‘Ā’isyah berkata:
“Semoga Allah merahmati ‘Umar. Demi Allah, Rasulullah SAW tidak bersabda: ‘Sesungguhnya Allah menyiksa mayit karena tangisan keluarganya atasnya.’ Cukuplah bagi kalian (sebagai pegangan) Al-Qur’an: {Lā taziru wāziratun wizra ukhrā} (QS. Fāṭir: 18).”
Kedua hadis tersebut membutuhkan penakwilan, dan tidak mungkin dipahami secara lahiriah. Maka menurut sahabat-sahabat kami (mazhab Syafi‘i), terdapat tiga penakwilan:
Pertama:
Apa yang diriwayatkan oleh ‘Amrah dari ‘Ā’isyah RA bahwa Nabi SAW pernah melewati sebuah kubur milik seorang Yahudi sementara keluarganya sedang menangisinya, lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya ia sedang ditangisi, padahal ia sedang diazab di dalam kuburnya.”
Maka sabda Nabi tersebut merupakan bentuk pemberitaan tentang keadaan si mayit (yang memang sedang diazab), bukan karena tangisan mereka.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ بِذَلِكَ مَا يُبْكَى بِهِ الْجَاهِلِيُّ مِنْ حُرُوبِهِ، وَقَتْلِهِ، وَغَارَاتِهِ، فَيَظُنُّونَ أَنَّ ذِكْرَ ذَلِكَ رَحْمَةٌ لَهُ فَيَكُونُ عَذَابًا عَلَيْهِ.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّالِثُ: ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ: أَنَّهُ وَارِدٌ فِيمَنْ وصل بِالْبُكَاءِ، فَقَدْ كَانُوا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ وَقَالَ شَاعِرٌ مِنْهُمْ:
(فَإِنْ مِتُّ فَانْعي بِمَا أَنَا أَهْلُهُ … وَشُقِّي عَلَيَّ الْجَيْبَ يَا أم مَعْبَدِ)
فَإِذَا عُمِلَ بِذَلِكَ بَعْدَهُ كَانَ زَائِدًا فِي عَذَابِهِ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Dan takwil kedua: bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah apa yang ditangisi oleh orang-orang jahiliah berupa peperangan, pembunuhan, dan penyerbuan-penyerbuan mereka, lalu mereka menyangka bahwa menyebut-nyebut hal itu adalah bentuk kasih sayang bagi si mayit, padahal itu justru menjadi azab baginya.
Dan takwil ketiga: disebutkan oleh al-Muzani, bahwa itu ditujukan kepada orang yang mewasiatkan agar ditangisi setelah kematiannya. Dahulu mereka melakukan hal itu. Seorang penyair dari mereka berkata:
Fa-in mittu fa-n‘ī bimā anā ahluhū … wa-syuqqī ‘alayya al-jaiba yā umma Ma‘badi
“Jika aku mati, ratapilah aku dengan apa yang layak bagiku … dan robeklah bajumu karenaku, wahai Ummu Ma‘bad.”
Maka jika hal itu dilaksanakan setelah kematiannya, itu menjadi tambahan dalam azabnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang membuat suatu sunah yang buruk, maka ia akan memikul dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.”
فَصْلٌ
: يُكْرَهُ الْوَطْءُ عَلَى الْقَبْرِ، وَالِاسْتِنَادُ إِلَيْهِ، وَالْجُلُوسُ عَلَيْهِ، وَإِيقَادُ النَّارِ عِنْدَهُ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ لَهُ مِنَ الْمَشْيِ عَلَيْهِ، خَلَعَ نَعْلَهُ مِنْ رِجْلِهِ، وَمَشَى مَا أَمْكَنَ، وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَمْشِي بَيْنَ الْقُبُورِ، فَرَأَى رَجُلًا يَمْشِي بَيْنَ الْمَقَابِرِ بِنَعْلَيْهِ، فَقَالَ: يَا صَاحِبَ السِّبْتَيْنِ اخْلَعْ سِبْتَيْكَ قَالَ: فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَإِذَا بِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فخعلهما فَرَمَى بِهِمَا.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأَكْرَهُ الْمَبِيتَ عِنْدَ الْقُبُورِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْوَحْشَةِ وَإِزْعَاجِ القلب.
PASAL
Dimakruhkan menginjak kubur, bersandar padanya, duduk di atasnya, dan menyalakan api di sekitarnya, karena larangan dari Rasulullah SAW.
Jika seseorang terpaksa harus berjalan di atasnya, maka hendaknya ia melepaskan sandalnya dari kakinya dan berjalan seminimal mungkin.
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berjalan di antara kuburan, lalu melihat seorang laki-laki berjalan di antara kubur dengan mengenakan sandalnya. Maka beliau bersabda:
“Wahai pemilik dua sandal kulit, lepaskan dua sandalmu!”
Lelaki itu pun menoleh, dan ternyata itu adalah Rasulullah SAW, maka ia segera melepaskannya dan melemparkannya.
Imam al-Syafi‘i berkata:
“Aku memakruhkan bermalam di dekat kuburan karena hal itu dapat menimbulkan rasa takut dan mengganggu hati.”
فَصْلٌ
: وَأَمَّا زِيَارَةُ الْقُبُورِ فَقَدْ كَرِهَهَا مَالِكٌ، وَهِيَ عِنْدَنَا مُسْتَحَبَّةٌ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: الْهُجْرُ فِي هَذَا الدُّعَاءِ بِالْوَيْلِ وَالثُّبُورِ.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” زُورُوا قُبُورَ مَوْتَاكُمْ فَإِنَّ لَكُمْ فِيهَا اعْتِبَارًا ” والله تعالى أعلم.
PASAL
Adapun ziarah kubur, maka Malik memakruhkannya, sedangkan menurut kami hukumnya mustahab, berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Sungguh aku telah melarang kalian dari ziarah kubur, ketahuilah maka berziarahlah kalian, dan janganlah berkata perkara yang mungkar.”
Asy-Syafi‘i berkata: Al-hujru dalam hal ini adalah doa dengan kecelakaan dan kebinasaan.
Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW: “Ziarahlah kubur orang-orang mati kalian, karena sesungguhnya di dalamnya terdapat pelajaran bagi kalian.”
Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.
أَمَّا الزَّكَاةُ فِي اللُّغَةِ فَهِيَ النَّمَاءُ وَالزِّيَادَةُ يُقَالُ: زَكَا الْمَالُ إِذَا نَمَا وَزَادَ، وَزَكَا الزرع إذا زاد ربعه ويقال: رجل زاك، إذا كان كثير الخير والمعروف، قال الله تعالى: {قَتَلْتَ نَفْساً زَاكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ) {الكهف: 74) أَيْ نَامِيَةً كَثِيرَةَ الْخَيْرِ وَقَالَ الشَّاعِرُ:
(قَبَائِلُنَا سبعٌ وَأَنْتُمْ ثَلَاثَةٌ … وَلَسَبْعٌ أَزْكَى مِنْ ثلاثٍ وَأَكْثَرُ)
وَقَالَ الرَّاجِزُ الْمِنْقَرِيُّ:
(فَلَا زَكَا عَدِيدُهُ وَلَا خَسَا … كَمَا شِرَارُ الْبَقْلِ أَطْرَافُ السَّفَا)
غَيْرَ أَنَّ الزَّكَاةَ فِي الشَّرْعِ، اسْمٌ صَرِيحٌ لِأَخْذِ شَيْءٍ مَخْصُوصٍ، مِنْ مال مخصوص، على أوصافه مَخْصُوصَةٍ لِطَائِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: الزَّكَاةُ، اسْمٌ مَا عُرِفَ إِلَّا بِالشَّرْعِ وَلَيْسَ لَهُ فِي اللُّغَةِ أَصْلٌ، وَهَذَا الْقَوْلُ وَإِنْ كَانَ فَاسِدًا بِمَا ذَكَرْنَاهُ، فَلَيْسَ الْخِلَافُ فِيهِ مؤثراً في أحكام الزكاة.
KITAB ZAKAT
Adapun zakat dalam bahasa adalah pertumbuhan dan penambahan. Dikatakan: zakā al-māl (harta itu tumbuh) jika ia bertambah dan berkembang. Dan zakā az-zar‘ (tanaman itu tumbuh) jika hasilnya bertambah. Dikatakan pula: rajulun zāk (seorang lelaki yang zak), jika ia banyak kebaikan dan kebajikannya.
Allah Ta‘ālā berfirman:
{Qatalta nafsan zākiyatan bighayri nafs} (QS. al-Kahf: 74),
yakni: jiwa yang tumbuh dan banyak kebaikannya.
Dan seorang penyair berkata:
(Qabā’ilunā sab‘un wa antum ṯalāṯah … wa la-sab‘un azkā min ṯalāṯin wa akṯaru)
(Suku kami tujuh dan kalian tiga … dan yang tujuh itu lebih baik dan lebih banyak dari tiga)
Dan rājiz al-Minqarī berkata:
(Falā zakā ‘adīdahu wa lā khasā … kamā shirāru al-baqli aṭrāfu as-safā)
(Maka tidak berkembang jumlahnya dan tidak juga berharga … seperti pucuk tanaman buruk yang tumbuh di tanah keras)
Namun zakat dalam istilah syariat adalah nama khusus untuk pengambilan sesuatu tertentu dari harta tertentu, dengan sifat-sifat tertentu, bagi golongan tertentu.
Dāwūd bin ‘Alī berkata:
Zakat adalah istilah yang hanya dikenal dalam syariat dan tidak memiliki asal dalam bahasa.
Pendapat ini, meskipun rusak karena telah kami jelaskan asal-usul bahasanya, namun perbedaan ini tidak berpengaruh terhadap hukum-hukum zakat.
فصل
: والأصل فِي وُجُوبِهَا الْكِتَابُ، وَالسُّنَّةُ، وَإِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ.
فَأَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {وَمَا أُمِرُوا إلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاّةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ القَيِّمَةِ) {البينة: 5) وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ) {النور: 56) وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذِهِ الْآيَةِ هَلْ هِيَ مُجْمَلَةٌ أم لا؟ فَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ مُجْمَلَةٌ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ لَا تَجِبُ إِلَّا فِي مَالٍ مَخْصُوصٍ إِذَا بَلَغَ قَدْرًا مَخْصُوصًا، وَالْآيَةُ لَا تَتَضَمَّنُ شَيْئًا مِنْ هَذَا، فَعُلِمَ أَنَّهَا مُجْمَلَةٌ، وَبَيَانُهَا مَأْخُوذٌ مِنْ جِهَةِ السُّنَّةِ، إِلَّا أَنَّهَا تَقْتَضِي الْوُجُوبَ، وَقَالَ عدة مِنْ أَصْحَابِنَا لَيْسَتْ مُجْمَلَةً، وَذَلِكَ أَنَّ كُلَّ ما يتناوله اسم الزكاة فلأنه يقتضي وُجُوبَهُ، فَإِذَا أَخْرَجَ مِنَ الْمَالِ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الزَّكَاةِ فَقَدِ امْتَثَلَ الْأَمْرَ، وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهِ مَأْخُوذَةٌ مِنَ السُّنَّةِ، وَيَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الزَّكَاةِ أَيْضًا قَوْله تَعَالَى: {وَفِي أمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِوَالمَحْرُومِ) {الذاريات: 19) وقَوْله تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا) {التوبة: 103) فَقَوْلُهُ تَعَالَى خُذْ صَرِيحٌ فِي الْأَخْذِ، وَتَنْبِيهٌ عَلَى الْوُجُوبِ، وقوله تعالى: {وَفِي أمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ) {المعارج: 24) صَرِيحٌ فِي الْوُجُوبِ، وَتَنْبِيهٌ عَلَى الْأَخْذِ، وَقَالَ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ} (التوبة: 34) وَالْكَنْزُ مِنَ الْأَمْوَالِ مَا لَمْ تُؤَدَّ زَكَاتُهُ، سَوَاءٌ كَانَ مَدْفُونًا أَوْ ظَاهِرًا، وَمَا أُدِّيَ زَكَاتُهُ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ، سَوَاءٌ كَانَ مَدْفُونًا أَوْ ظَاهِرًا هَكَذَا قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَقَدِ اعْتَرَضَ عَلَيْهِ فِي هَذَا التَّأْوِيلِ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ، وَابْنُ دَاوُدَ الْأَصْبَهَانِيُّ، فَأَمَّا ابْنُ دَاوُدَ فَقَالَ: الْكَنْزُ فِي اللُّغَةِ هُوَ الْمَالُ الْمَدْفُونُ، سَوَاءٌ أَدَّيْتَ زَكَاتَهُ أَمْ لَا، وَهُوَ الْمُرَادُ بِالْآيَةِ.
PASAL
Adapun dasar kewajiban zakat adalah al-Kitāb, as-Sunnah, dan ijmak para sahabat.
Adapun al-Kitāb, maka firman Allah Ta‘ala:
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya semata-mata, condong kepada kebenaran, serta menegakkan salat dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah: 5)
Dan firman-Nya Ta‘ala:
“Tegakkanlah salat dan tunaikanlah zakat.” (QS an-Nūr: 56)
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang ayat ini: apakah ayat ini bersifat mujmal (global) atau tidak?
Abu Ishaq berkata: Ayat ini mujmalah, karena zakat tidak wajib kecuali pada harta tertentu jika telah mencapai kadar tertentu, dan ayat ini tidak mengandung penjelasan tentang hal itu. Maka diketahui bahwa ia mujmalah, dan penjelasannya diambil dari sisi sunnah, hanya saja ayat tersebut menunjukkan kewajiban.
Dan beberapa sahabat kami berkata: Ayat ini tidak mujmalah, karena setiap yang termasuk dalam nama zakat, maka ayat tersebut menuntut kewajibannya. Jika seseorang mengeluarkan dari hartanya sesuatu yang layak disebut zakat, maka ia telah melaksanakan perintah. Tambahan rincinya diambil dari sunnah.
Dan dalil atas kewajiban zakat juga firman-Nya Ta‘ala:
“Dan pada harta mereka ada hak bagi yang meminta dan yang tidak mendapat bagian.” (QS adz-Dzāriyāt: 19)
Dan firman-Nya Ta‘ala:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS at-Taubah: 103)
Firman-Nya “khud” (ambillah), adalah lafaz yang jelas dalam perintah mengambil, dan menunjukkan kewajiban.
Dan firman-Nya Ta‘ala:
“Dan pada harta mereka terdapat hak yang telah diketahui.” (QS al-Ma‘ārij: 24)
Ini juga jelas dalam kewajiban dan perintah untuk mengambil.
Dan firman-Nya Ta‘ala:
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka berilah kabar gembira kepada mereka dengan azab yang pedih.” (QS at-Taubah: 34)
Adapun kanz (perbendaharaan) dari harta adalah harta yang tidak ditunaikan zakatnya, baik itu tersembunyi maupun tampak. Sedangkan harta yang telah ditunaikan zakatnya maka bukan kanz, baik tersembunyi maupun tampak. Demikianlah pendapat asy-Syafi‘i.
Dan pendapat ini telah diperselisihkan oleh Ibn Jarīr ath-Thabarī dan Ibn Dāwūd al-Aṣbahānī.
Adapun Ibn Dāwūd, ia berkata: Kanz dalam bahasa adalah harta yang terpendam, baik dizakati maupun tidak, dan itulah yang dimaksud dalam ayat.
وَأَمَّا ابْنُ جَرِيرٍ فَقَالَ: الْكَنْزُ الْمُحَرَّمُ بِالْآيَةِ، هُوَ مَا لَمْ يُنْفَقْ مِنْهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ، فِي الْغَزْوِ وَالْجِهَادِ، وَكِلَا التَّأْوِيلَيْنِ غَلَطٌ، وَمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ أَصَحُّ، لِأَنَّ الْكِتَابَ يَشْهَدُ لَهُ، / وَالسُّنَّةَ تَدُلُّ عَلَيْهِ، وَقَوْلُ الصَّحَابَةِ يُعَضِّدُهُ، فَأَمَّا مَا يَشْهَدُ من كتاب الله سبحانه، فما ورد فيه مِنَ الْوَعِيدِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ) {التوبة: 34) إِلَى قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ: {مَا كَنَزْتُمْ لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ) {التوبة: 35) وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْوَعِيدُ وَارِدًا فِي حِرْزِ الْأَمْوَالِ وَدَفْنِهَا، كَمَا قَالَ ابْنُ دَاوُدَ لِإِبَاحَتِهِ ذَلِكَ، وَلَا فِي إِنْفَاقِهَا فِي الْغَزْوِ وَالْجِهَادِ، وكما قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ، لِأَنَّ فَرْضَهُ لَمْ يَتَعَيَّنْ، وَلَيْسَ فِي الْأَمْوَالِ حَقٌّ يَجِبُ أَدَاؤُهُ إِلَّا الزَّكَاةَ فَعُلِمَ أَنَّهُ الْمُرَادُ بِالْآيَةِ.
وَأَمَّا مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ السُّنَّةِ، فَمَا رَوَى عَطَاءٌ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي أَوْضَاحًا مِنْ ذَهَبٍ، أكنزٌ هي؟ فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” كُلُّ مالٍ بَلَغَ الزَّكَاةَ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بكنزٍ، وَمَا لَمْ يُزَكِّهِ فَهُوَ كنزٌ “.
Adapun Ibnu Jarīr berkata: kanz yang diharamkan oleh ayat tersebut adalah harta yang tidak dinafkahkan di jalan Allah SWT, dalam peperangan dan jihād. Kedua tafsir itu keliru, dan pendapat yang disebutkan oleh al-Syāfi‘ī lebih benar, karena al-Kitāb menjadi saksi atasnya, sunnah menunjukkan hal itu, dan perkataan para sahabat menguatkannya. Adapun yang menjadi saksi dari Kitab Allah SWT adalah apa yang disebutkan berupa ancaman dalam firman-Nya Ta‘ālā: {maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih} (QS al-Tawbah: 34), hingga firman-Nya SWT: {(inilah) harta yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu} (QS al-Tawbah: 35). Tidak boleh dikatakan bahwa ancaman ini ditujukan pada sekadar menyimpan dan mengubur harta, seperti yang dikatakan oleh Ibn Dāwūd bahwa hal itu dibolehkan, dan tidak pula pada tidak menafkahkannya dalam peperangan dan jihād seperti yang dikatakan oleh Ibnu Jarīr, karena hal itu tidak diwajibkan secara pasti, dan tidak ada kewajiban dalam harta selain zakat. Maka diketahui bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah zakat.
Adapun yang ditunjukkan oleh sunnah, adalah riwayat dari ‘Aṭā’ dari Umm Salamah bahwa ia berkata: Wahai Rasulullah, aku memiliki beberapa perhiasan dari emas, apakah itu termasuk kanz? Maka Rasulullah SAW bersabda: “Setiap harta yang telah mencapai nishab zakat dan telah ditunaikan zakatnya, maka bukanlah kanz, dan apa yang belum dizakati, maka itu adalah kanz.”
وَأَمَّا مَا يُعَضِّدُهُ مِنْ قَوْلِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: كُلُّ مَالٍ لَمْ تُؤَدَّ زَكَاتُهُ فَهُوَ كَنْزٌ وَإِنْ لَمْ يُدْفَنْ، وَكُلُّ مَالٍ أُدِّيَ زَكَاتُهُ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ وَإِنْ دُفِنَ، وَرُوِيَ عَنْ أَبِي هريرة قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ لَا يُؤَدِّي زَكَاةَ مَالِهِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعٌ أَقْرَعُ، يَطْلُبُ صَاحِبَهُ، فَيَقُولُ: أَنَا كَنْزُكَ، أَنَا كَنْزُكَ، وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، فَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَا مِنَ الْكِتَابِ دَالٌّ عَلَى وُجُوبِ الزَّكَاةِ، وَإِنْ كَانَ مَا وَرَدَ بِهِ الْكِتَابُ أَكْثَرَ مِمَّا ذَكَرْنَا.
وَأَمَّا الدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِهَا مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ: فما روى عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خمسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وصومِ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “.
Adapun dalil yang menguatkan dari perkataan para sahabat RA, adalah riwayat dari Ibn ‘Umar bahwa ia berkata: “Setiap harta yang tidak ditunaikan zakatnya maka itu adalah kanz (perbendaharaan), meskipun tidak dikubur, dan setiap harta yang telah ditunaikan zakatnya maka itu bukan kanz, meskipun dikubur.”
Dan telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Siapa pun lelaki yang tidak menunaikan zakat hartanya, maka pada hari kiamat akan datang kepadanya seekor ular jantan botak yang mengejar pemiliknya seraya berkata: ‘Aku adalah hartamu yang kau timbun, aku adalah hartamu yang kau timbun.’”
Dan tidak ada yang menyelisihi keduanya dari kalangan para sahabat. Maka apa yang telah kami sebutkan dari al-Kitāb menunjukkan kewajiban zakat, meskipun apa yang datang dalam al-Kitāb tentangnya lebih banyak dari yang kami sebutkan.
Adapun dalil atas kewajibannya dari sisi as-Sunnah, adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh perjalanannya.”
وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” صَلُّوا خَمْسَكُمْ، وَصُومُوا شَهْرَكُمْ، وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ، وَحُجُّوا بَيْتَ رَبِّكُمْ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ “.
وَرَوَى أَبُو وَائِلٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: مَا مِنْ رجلٍ لَا يُؤَدِّي زَكَاةَ مَالِهِ، إِلَّا مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ يَتْبَعُهُ وَهُوَ يَفِرُّ مِنْهُ، حَتَّى يُطَوِّقَهُ فِي عُنُقِهِ، ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – {سَيُطَوَقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ) {آل عمران: 180) وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ “.
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Tunaikanlah salat lima waktumu, puasalah di bulanmu, bayarkan zakat hartamu, dan berhajilah ke Bait Tuhanmu, niscaya kalian masuk surga.”
Dan Abū Wāʾil meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tiada seorang pun yang tidak menunaikan zakat hartanya, kecuali hartanya itu akan dijelmakan pada hari kiamat sebagai ular jantan yang botak, yang mengejarnya sementara ia lari darinya, hingga ular itu melilitkan dirinya ke leher orang tersebut.” Lalu Rasulullah SAW membaca firman Allah Ta‘ālā: {Kelak mereka akan dikalungi (dengan) apa yang mereka bakhilkan itu pada hari kiamat} (QS Āli ‘Imrān: 180).
Dan diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Aku diperintahkan untuk mengambil ṣadaqah dari orang-orang kaya kalian, lalu aku kembalikan kepada orang-orang fakir kalian.”
وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أُمِرْتُ بِثَلَاثٍ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَيُقِيمُوا الصلاةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ “. وَرُوِيَ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: ” ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةٍ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ “.
وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَيُّمَا صَاحِبِ إبلٍ أَوْ بقرٍ وغنمٍ لَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهَا طُرِحَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بقاعٍ فرقرٍ، تنطحه بقرونها، وتكأه بأظلافها، كلما بعدت أُخْرَاهَا عَادَتْ عَلَيْهِ أُولَاهَا “.
فَهَذَا مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ.
Dan telah meriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Aku diperintahkan dengan tiga hal: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘lā ilāha illallāh’, menegakkan salat, dan menunaikan zakat.”
Dan telah diriwayatkan bahwa Mu‘ādz bin Jabal, ketika diutus oleh Rasulullah SAW ke Yaman, beliau bersabda:
“Ajaklah mereka kepada kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Jika mereka memenuhi ajakanmu, maka beritahukan kepada mereka bahwa mereka memiliki kewajiban sedekah yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.”
Dan telah meriwayatkan Ibn ‘Umar dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
“Siapa saja pemilik unta, sapi, dan kambing yang tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari kiamat hewan-hewan itu akan dibentangkan di tanah lapang yang luas, lalu menanduknya dengan tanduk-tanduknya dan menginjak-injaknya dengan kuku-kukunya. Setiap kali yang terakhir menjauh darinya, maka yang pertama kembali lagi menginjaknya.”
Maka ini adalah dalil dari sisi sunnah.
فَأَمَّا طَرِيقُ وُجُوبِهَا مِنْ إِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، فَهُوَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا قُبِرَ، وَاسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَفَرَ مِنَ الْعَرَبِ مَنْ كَفَرَ، وَامْتَنَعَ مِنْ أَدَاءِ الزَّكَاةِ مَنِ امْتَنَعَ، فَهَمَّ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِقِتَالِهِمْ، وَاسْتَشَارَ الصَّحَابَةَ فِيهِمْ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: كَيْفَ تُقَاتِلُهُمْ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ، قَالَ: فَوَكَزَ أَبُو بَكْرٍ فِي صَدْرِي وَقَالَ: وَهَلْ هَذَا إِلَّا حَقُّ حَقِّهَا، وَاللَّهِ لَا فَرَّقْتُ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ، وَقَدْ جَمَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَهُمَا فِي كِتَابِهِ، ثُمَّ قَالَ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عِقَالًا أَوْ عَنَاقًا مِمَّا أَعْطَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لقاتلتهم عليه، قال عمر: وشرح الله تعالى صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَجْمَعَتِ الصَّحَابَةُ مَعَهُ عَلَى وُجُوبِهَا بَعْدَ مُخَالَفَتِهِمْ لَهُ، وَأَطَاعُوهُ عَلَى قِتَالِ مَانِعِيهَا بَعْدَ إِنْكَارِهِمْ عَلَيْهِ، فَثَبَتَ وُجُوبُهَا بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ.
Adapun jalan penetapan wajibnya zakat berdasarkan ijma‘ para sahabat, maka sesungguhnya ketika Rasulullah SAW wafat dan Abū Bakar RA diangkat menjadi khalifah, sebagian dari bangsa Arab ada yang kafir, dan sebagian lagi menolak membayar zakat. Maka Abū Bakar RA bertekad untuk memerangi mereka, dan beliau bermusyawarah dengan para sahabat mengenai hal itu. Lalu ‘Umar RA berkata kepadanya: “Bagaimana engkau akan memerangi mereka, padahal Rasulullah SAW bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan lā ilāha illa Allāh. Maka apabila mereka telah mengucapkannya, mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka terserah kepada Allah SWT.” Maka Abū Bakar menekan dadaku seraya berkata: “Bukankah ini termasuk haknya?! Demi Allah, aku tidak akan membedakan antara salat dan zakat, sungguh Allah ‘azza wa jalla telah menggabungkan keduanya dalam Kitab-Nya.” Kemudian beliau berkata: “Demi Allah, seandainya mereka menolak memberikan seutas tali atau seekor anak kambing betina yang dahulu mereka berikan kepada Rasulullah SAW, niscaya aku akan memerangi mereka karenanya.” Maka ‘Umar berkata: “Lalu Allah SWT melapangkan dadaku terhadap apa yang Allah lapangkan untuk Abū Bakar.” Maka para sahabat pun bersepakat bersamanya atas kewajiban zakat setelah sebelumnya berselisih, dan mereka taat untuk memerangi orang-orang yang menolak zakat setelah sebelumnya mengingkarinya. Maka tetaplah kewajiban zakat itu berdasarkan al-Kitāb, al-Sunnah, dan ijma‘.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ أَوِ ابْنِ فُلَانِ بن أنس شك الشافعي عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ هَذِهِ الصَّدَقَةُ ” بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – على المسلمين التي أمر الله جل وعز بها فَمَنْ سُئِلَهَا عَلَى وَجْهِهَا فَلْيُعْطِهَا وَمَنْ سُئِلَ فَوْقَهَا فَلَا يُعْطِهِ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنَ الْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا الْغَنَمُ فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وثلاثين ففيها بنت مخاضٍ فإن لم تكن بنت مخاضِ فابن لبونٍ ذكر فإذا بلغت ستا وثلاثين إلى خمسٍ وأربعين ففيها بنت ليونٍ أنثى فإذا بلغت ستا وأربعين إلى ستين ففيها حقه طروقة الجمل فإذا بلغت إحدى وستين إلى خمس وسبعين ففيها جذعة فإذا بلغت ستا وسبعين إلى تسعين ففيها ابنتا لبون فإذا بلغت إحدى وتسعين إلى عشرين ومائةٍ ففيها حقتان طروقتا الجمل “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِنَّمَا بَدَأَ الشَّافِعِيُّ بِزَكَاةِ الْإِبِلِ لِأَمْرَيْنِ.
Bab Kewajiban Zakat Unta yang Merumput Sendiri
Asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Telah mengabarkan kepada kami al-Qāsim bin ‘Abdillāh bin ‘Umar dari al-Mutsannā bin Anas, atau Ibn Fulān bin Anas — asy-Syafi‘i ragu — dari Anas bin Mālik, ia berkata:
‘Inilah zakat’: Bismillāh ar-Raḥmān ar-Raḥīm, inilah kewajiban zakat yang telah diwajibkan oleh Rasulullah SAW atas kaum muslimin, yang diperintahkan oleh Allah Jalla wa ‘Azza. Maka siapa yang diminta sesuai kadar zakatnya, hendaklah ia memberikannya. Dan siapa yang diminta lebih dari kadar itu, maka jangan memberikannya. Untuk unta yang berjumlah dua puluh empat ke bawah, zakatnya adalah kambing: setiap lima ekor unta satu ekor kambing.
Jika telah mencapai dua puluh lima hingga tiga puluh lima, maka zakatnya seekor betina bint makhāḍ. Jika tidak ada bint makhāḍ, maka diganti dengan ibn lubūn jantan. Jika telah mencapai tiga puluh enam hingga empat puluh lima, maka zakatnya seekor betina bint labūn. Jika telah mencapai empat puluh enam hingga enam puluh, maka zakatnya seekor ḥiqqah yang bisa dikawini oleh unta jantan. Jika telah mencapai enam puluh satu hingga tujuh puluh lima, maka zakatnya seekor jadza‘ah. Jika telah mencapai tujuh puluh enam hingga sembilan puluh, maka zakatnya dua ekor bint labūn. Jika telah mencapai sembilan puluh satu hingga seratus dua puluh, maka zakatnya dua ekor ḥiqqah yang bisa dikawini oleh unta jantan.
Al-Māwardī berkata: Asy-Syafi‘i memulai dengan zakat unta karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا غَالِبُ أَمْوَالِهِمْ، فَبَدَأَ بِهَا لِعُمُومِ الْحَاجَةِ إِلَيْهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ أَعْدَادَ نُصُبِهَا أسنان الواجب فيها فصعب ضَبْطُهُ، فَبَدَأَ بِذِكْرِهِ لِتَقَعَ الْعِنَايَةُ بِمَعْرِفَتِهِ، ثُمَّ رَوَى الشَّافِعِيُّ مَا قَدَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ نُصُبِهَا، وَأَبَانَهُ مِنْ فَرْضِهَا، وَأَثْبَتَهُ فِي صَحِيفَةٍ، وَأَخَذَ بِهَا عُمَّالُهُ فِي حَيَاتِهِ، وَاقْتَدَى بها خلفاؤه رضي الله عنهم من بعده – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَجُمْلَةُ مَنْ رَوَى فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُسْتَوْفَاةً أَرْبَعَةٌ: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، وَعَمْرُو بْنُ حَزْمٍ، وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَأَخَذَ الشَّافِعِيُّ بِرِوَايَةِ أَنَسٍ وَابْنِ عُمَرَ، دُونَ حَدِيثِ عَلِيٍّ وَعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ لِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ.
أَحَدُهَا: أَنَّ حَدِيثَ أَنَسٍ وَابْنِ عُمَرَ أَصَحُّ سَنَدًا مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ وَابْنِ حَزْمٍ، وَلِأَنَّ حَدِيثَ أَنَسٍ وَارِدٌ مِنْ طَرِيقَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي صَدْرِ الْبَابِ عَنْ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ.
Pertama: karena ia merupakan mayoritas harta mereka, maka dimulai dengannya karena kebutuhan umum terhadapnya.
Kedua: karena jumlah dan tingkatan niṣāb pada jenis harta ini bergantung pada usia hewan yang wajib dizakati, sehingga sulit untuk dipastikan, maka didahulukan penyebutannya agar diperhatikan dengan seksama dalam mengenalinya. Kemudian al-Syāfi‘ī meriwayatkan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW mengenai niṣāb-nya, dan beliau menjelaskannya dalam ketetapan kewajibannya, dan menuliskannya dalam lembaran tertulis, yang dijadikan pegangan oleh para petugasnya pada masa hidupnya, dan diikuti oleh para khalifah setelah beliau SAW.
Adapun para perawi yang meriwayatkan secara lengkap kewajiban ṣadaqah dari Rasulullah SAW ada empat: ‘Alī bin Abī Ṭālib ‘alaihis salām, ‘Abdullāh bin ‘Umar, ‘Amr bin Ḥazm, dan Anas bin Mālik RA. Maka al-Syāfi‘ī mengambil riwayat Anas dan Ibnu ‘Umar, bukan hadits ‘Alī dan ‘Amr bin Ḥazm karena tiga alasan:
Pertama: karena hadits Anas dan Ibnu ‘Umar lebih shahih sanadnya daripada hadits ‘Alī dan Ibnu Ḥazm. Dan karena hadits Anas diriwayatkan melalui dua jalur.
Salah satunya: apa yang diriwayatkan oleh al-Syāfi‘ī di awal bab dari al-Muthannā bin Anas, dari Anas bin Mālik.
وَالثَّانِي: رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، وَحَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ، رَوَاهُ أَيْضًا مِنْ طريقين ثابتين.
أحدهما: عن يونس بن يزيد عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ.
وَالثَّانِي: عَنْ سُفْيَانَ بْنِ حُسَيْنٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَوَارِدٌ مِنْ طَرِيقَيْنِ ضَعِيفَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَكَانَ عَاصِمٌ ضَعِيفًا، وَالْآخَرُ الْحَارِثُ الْأَعْوَرُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَكَانَ الْحَارِثُ ضَعِيفًا وَكَانَ الشَّعْبِيُّ إِذَا رَوَى عَنِ الْحَارِثِ قَالَ: أَخْبَرَنِي الْحَارِثُ الْأَعْوَرُ وَكَانَ وَاللَّهِ كَذَّابًا، وَحَدِيثُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَارِدٌ مِنْ طَرِيقَيْنِ غَيْرِ ثَابِتَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَبُو بَكْرِ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ.
Dan yang kedua: Diriwayatkan oleh Muḥammad bin ‘Abdillāh al-Anṣārī dari Ḥumayd ath-Ṭawīl dari Anas bin Mālik.
Adapun hadis Ibn ‘Umar, maka juga diriwayatkan melalui dua jalur yang tsābit (kuat):
Pertama, dari Yūnus bin Yazīd dari az-Zuhrī dari Sālim dari Ibn ‘Umar.
Kedua, dari Sufyān bin Ḥusayn dari az-Zuhrī dari Sālim dari Ibn ‘Umar.
Adapun hadis ‘Alī RA, maka diriwayatkan melalui dua jalur yang ḍa‘īf (lemah):
Pertama, dari ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Alī RA, dan ‘Āṣim tergolong ḍa‘īf.
Kedua, dari al-Ḥārits al-A‘war dari ‘Alī RA, dan al-Ḥārits juga ḍa‘īf. Dan asy-Sya‘bī, apabila meriwayatkan dari al-Ḥārits, ia berkata: “Telah mengabarkan kepadaku al-Ḥārits al-A‘war, dan demi Allah, dia adalah seorang pendusta.”
Adapun hadis ‘Amr bin Ḥazm, maka diriwayatkan melalui dua jalur yang tidak tsābit:
Pertama, dari Abū Bakr bin ‘Amr bin Ḥazm dari ayahnya dari kakeknya.
وَالثَّانِي: يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ الْأَيْلِيُّ قَالَ: أَقْرَأَنِي سَالِمٌ كِتَابَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الَّذِي عِنْدَ آلِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ فِي ذَلِكَ، فَلَمَّا كَانَ حَدِيثُ أَنَسٍ وَابْنِ عُمَرَ أَصَحَّ سَنَدًا مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَابْنِ حَزْمٍ، كَانَ الْأَخْذُ بِهِمَا، وَالْعَمَلُ عَلَيْهِمَا أولى.
وَالثَّانِي: أَنَّ حَدِيثَ أَنَسٍ وَابْنِ عُمَرَ عَمِلَ عَلَيْهِ إِمَامَانِ، أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ كَرَّمَ اللَّهُ وجهيهما، ولم يعملا على رواية علي عليه السلام وَابْنِ حَزْمٍ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ فِي حَدِيثِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَا اتُّفِقَ عَلَى تَرْكِهِ، وَهُوَ فِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ: خَمْسُ شِيَاهٍ، وَحَدِيثُ أَنَسٍ وَابْنِ عُمَرَ مُجْمَعٌ عَلَى العمل به.
dan yang kedua: Yunus bin Yazid al-Aili berkata: Salim membacakan kepadaku kitab Nabi SAW yang berada di sisi keluarga ‘Amru bin Hazm dalam hal itu. Ketika hadis Anas dan Ibnu ‘Umar lebih sahih sanadnya daripada hadis ‘Ali RA dan Ibnu Hazm, maka mengambil dan beramal dengan keduanya lebih utama.
dan yang kedua: bahwa hadis Anas dan Ibnu ‘Umar diamalkan oleh dua imam, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar raḍiya Allāh ‘anhumā, dan tidak ada seorang pun dari para imam yang mengamalkan riwayat ‘Ali RA dan Ibnu Hazm.
dan yang ketiga: bahwa dalam hadis ‘Ali RA terdapat hal yang disepakati untuk ditinggalkan, yaitu pada dua puluh lima: lima ekor kambing, sedangkan hadis Anas dan Ibnu ‘Umar telah disepakati untuk diamalkan.
فإن قيل: لما خَصَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الزكاة بأن كتبها في صحيفة دون سائرها من الْفُرُوضِ، مِنَ الصَّلَاةِ وَمَوَاقِيتِهَا، وَالصِّيَامِ وَأَحْكَامِهِ، وَالْحَجِّ ومناسكه، ولا اقتصر على القول كَمَا اقْتَصَرَ عَلَى الْقَوْلِ فِي غَيْرِهِ.
قِيلَ: يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ فَعَلَ ذَلِكَ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ ونصبها، ومقاديرها، الواجب فِيهَا وَأَسْنَانَ الْمَأْخُوذِ مِنْهَا، لَمَّا طَالَ وَصَعُبَ احْتَاجَ إِلَيْهِ بَعْضُ النَّاسِ، دُونَ سَائِرِهِمْ، فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً، بِخِلَافِ الْفُرُوضِ الْمُتَرَادِفَةِ عَلَى الْكَافَّةِ، أَوْدَعَ ذَلِكَ كِتَابًا لِيَكُونَ أَحْفَظَ لَهُ، وَأَضْبَطَ، فَكَانَتْ نُسْخَةُ ذَلِكَ فِي قِرَابِ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَامَ بِالْأَمْرِ بَعْدَهُ، أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَخَذَهَا مِنْ قِرَابِ سَيْفِهِ فَكَانَ يَعْمَلُ عَلَيْهَا مُدَّةَ حَيَاتِهِ، ثُمَّ مَاتَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَعَمِلَ بِهَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مدة حياته.
Jika dikatakan: Mengapa Rasulullah SAW mengkhususkan zakat dengan menuliskannya dalam lembaran tersendiri, tidak seperti kewajiban-kewajiban lain seperti salat beserta waktunya, puasa dan hukumnya, serta haji dan manasiknya—beliau tidak mencukupkan dengan ucapan saja sebagaimana yang beliau lakukan pada kewajiban-kewajiban lain?
Dijawab: Hal itu bisa jadi karena zakat—dengan berbagai jenis harta yang wajib dizakati, kadar yang wajib dikeluarkan, dan jenis-jenis hewan yang diambil—disebabkan pembahasannya yang panjang dan rumit, dan karena dibutuhkan oleh sebagian orang saja, tidak oleh semuanya, dan itu hanya setahun sekali, tidak seperti kewajiban-kewajiban lain yang berlaku berulang bagi semua orang. Maka beliau menyimpannya dalam bentuk tulisan agar lebih mudah dijaga dan lebih akurat.
Naskah itu disimpan dalam qirāb (sarung) pedang Rasulullah SAW. Maka ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar RA menggantikan beliau dalam urusan umat, ia mengambil naskah tersebut dari sarung pedang Nabi SAW dan mengamalkan isinya selama masa hidupnya. Kemudian setelah ia wafat RA, ‘Umar RA pun mengamalkan naskah itu sepanjang hidupnya.
فَصْلٌ
أَوَّلُ مَا ابْتَدَأَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي نُسْخَتِهِ أَنْ كَتَبَ ” بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ” فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى إِثْبَاتِ التَّسْمِيَةِ فِي ابْتِدَاءِ الْكُتُبِ، وَدَلَّ عَلَى نَسْخِ مَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْجَاهِلِيَّةُ، مِنْ قَوْلِهِمْ بِاسْمِكِ اللَّهُمَّ، وَدَلَّ عَلَى أَنَّ الِابْتِدَاءَ بِحَمْدِ اللَّهِ تَعَالَى لَيْسَ بِوَاجِبٍ فِي ابْتِدَاءِ الْكُتُبِ، وَأَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيهِ بحمد الله تعالى فهو أبتر ” يريد لمن يبدأ فيه بحمد اللَّهِ سُبْحَانَهُ، ثُمَّ قَالَ هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ، فَبَدَأَ بِإِشَارَةِ التَّأْنِيثِ، لِأَنَّهُ عَطَفَ عَلَيْهَا مُؤَنَّثًا، وَقَوْلُهُ فَرِيضَةُ، يَعْنِي نُسْخَةُ فَرِيضَةِ الصَّدَقَةِ، فَحَذَفَ ذكر النسخة وأقام الفريضة مَقَامِهَا، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ اسْمَ الصَّدَقَةِ وَالزَّكَاةِ وَاحِدٌ، بِخِلَافِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أبو حنيفة ثُمَّ قَالَ: الَّتِي فَرَضَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى الْمُسْلِمِينَ، يَعْنِي: الَّتِي قَدَّرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، كَمَا يُقَالُ فَرَضَ الْقَاضِي النَّفَقَةَ أَيْ قَدَّرَهَا، بدليل قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيمَا بَعْدَ ذَلِكَ، الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ بِهَا، فَكَانَ فِي ذَلِكَ بَيَانٌ وَاضِحٌ عَلَى أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَوْجَبَهَا، وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قدرها، ثم أكد ذلك ما روي عن ضمام بن ثعلبة أَنَّهُ قَامَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِنَا فَتَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِنَا؟ فَقَالَ: اللَّهُ أَمَرَنِي بِذَلِكَ وَقَوْلُهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، دَلَّ عَلَى أَنَّ الْكُفَّارَ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِمْ، ثُمَّ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: فمن يسألها فَلْيُعْطِهَا، يُرِيدُ مَنْ سَأَلَكُمُ الزَّكَاةَ مِنَ الْوُلَاةِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي أَثْبَتُّهُ، وَكَانَ عَدْلًا، فَأَعْطُوهُ ثم قال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَمَنْ سُئِلَ فَوْقَهَا فَلَا يُعْطِهِ ” يُرِيدُ مَنْ سُئِلَ فَوْقَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ، وَالْحُكْمُ فِيهِ أَنْ يُنْظَرَ، فَإِنْ كَانَ طَالِبُ الزِّيَادَةِ مُتَأَوِّلًا بِطَلَبِهَا، كالمالكي الذي يرى أخذ الكبيرة من الصِّغَارِ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَمْنَعَهُ الْقَدْرَ الْوَاجِبَ، وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَلَا يُعْطِهِ ” رَاجِعًا إِلَى الزِّيَادَةِ، وَإِنْ كَانَ طالب الزيادة غير متأول فيها، والزيادة لا وجه له في الاجتهاد بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَلَا يُعْطِهِ ” فِيهِ لِأَصْحَابِنَا جَوَابَانِ:
PASAL
Permulaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam naskah zakat adalah menulis: “Bismillāh ar-Raḥmān ar-Raḥīm.” Maka hal ini menunjukkan disyariatkannya penulisan basmalah di awal surat atau dokumen, dan menunjukkan penghapusan terhadap kebiasaan jahiliah yang hanya mengatakan “Bismika Allāhumma.”
Ia juga menunjukkan bahwa memulai dengan pujian kepada Allah Ta‘ala (al-ḥamdu liLlāh) tidaklah wajib dalam permulaan tulisan. Dan makna sabda Nabi SAW: “Setiap urusan penting yang tidak dimulai dengan pujian kepada Allah Ta‘ala, maka ia terputus (tidak berkah)” adalah anjuran, bagi siapa yang memulainya dengan pujian kepada Allah Ta‘ala.
Kemudian beliau berkata: “Hādhihi farīḍatu aṣ-ṣadaqah (Inilah kewajiban zakat),” dan beliau memulai dengan bentuk isyārah mu’annats karena yang diikutkan setelahnya juga mu’annats.
Sabda beliau “farīḍah” berarti naskah kewajiban zakat, dan beliau menggugurkan penyebutan kata “naskah” lalu menjadikan kata “farīḍah” sebagai penggantinya. Maka ini menunjukkan bahwa nama ṣadaqah dan zakāt adalah satu makna, berbeda dengan pendapat Abū Ḥanīfah.
Kemudian beliau bersabda: “Allatī faraḍahā RasūluLlāh SAW ‘ala al-muslimīn,” maksudnya: yang telah ditentukan ukurannya oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dikatakan: “Hakim mewajibkan nafkah,” yakni: ia menentukan ukurannya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW setelah itu: “yang diperintahkan oleh Allah Ta‘ala,” maka di dalamnya terdapat penjelasan yang terang bahwa Allāh Ta‘ālā-lah yang mewajibkannya, dan Rasulullah SAW yang menentukan kadarnya.
Hal ini ditegaskan pula oleh riwayat dari Ḍimām bin Tha‘labah, bahwa ia berdiri lalu berkata: “Wahai Rasulullah, apakah Allah yang memerintahkanmu untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya kami dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir kami?” Maka beliau bersabda: “Allah yang memerintahkanku dengan hal itu.”
Dan sabda beliau “‘ala al-muslimīn” menunjukkan bahwa orang-orang kafir tidak terkena kewajiban zakat.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang diminta zakatnya maka hendaklah ia memberikannya,” maksudnya: siapa yang diminta oleh petugas zakat sesuai dengan ketentuan yang telah aku tetapkan, dan ia orang yang adil, maka berikanlah.
Kemudian beliau bersabda: “Dan barang siapa yang diminta lebih dari kadar itu, maka jangan diberi,” maksudnya: siapa yang diminta melebihi kadar yang wajib.
Hukumnya dilihat: jika orang yang meminta tambahan itu melakukan ta’wil dalam permintaannya, seperti seorang Malikiyah yang berpendapat bolehnya mengambil zakat unta besar dari unta kecil, maka ia tidak boleh dihalangi dari kadar yang wajib, dan makna sabda Nabi SAW “falā yu‘ṭih” kembali kepada tambahan tersebut.
Namun jika orang yang meminta tambahan tidak memiliki dasar ta’wil, dan tambahan itu tidak memiliki dasar dalam ijtihad, maka sabda Nabi SAW “falā yu‘ṭih” berlaku atas tambahan tersebut.
Dalam hal ini, para sahabat kami memiliki dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ رَاجِعٌ إِلَى الزِّيَادَةِ، فَعَلَى هَذَا يُعْطِيهِ الْقَدْرَ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ، لِمَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: مَنْ وُلِّيَ عَلَيْكُمْ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا مَا أَقَامَ فِيكُمْ كِتَابَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ رَاجِعٌ إِلَى الْجُمْلَةِ مِنَ الْوَاجِبِ وَالزِّيَادَةِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَ الْوَاجِبَ وَلَا الزِّيَادَةَ، لِأَنَّهُ بِطَلَبِ الزِّيَادَةِ فَاسِقٌ، وَالْفَاسِقُ لَا وِلَايَةَ لَهُ، قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَطِيعُوهُمْ مَا أَطَاعُوا اللَّهَ سُبْحَانَهُ، فَإِذَا عَصَوُا اللَّهَ تَعَالَى فَلَا طَاعَةَ لَهُمْ عَلَيْكُمْ ” ثُمَّ ابتدأ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بذكر الإبل فقال: ” فِي أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ مِنَ الْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا الْغَنَمُ “، فَكَانَ هَذَا تَفْسِيرًا مِنْ وَجْهٍ، وَإِجْمَالًا مِنْ وَجْهٍ، فَالتَّفْسِيرُ أَنَّهُ لَا يَجِبُ فِي أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ فَمَا دُونَهَا إِلَّا الْغَنَمُ، وَالْإِجْمَالُ أَنَّهُ لَا يُدْرَى قَدْرُ الْوَاجِبِ فِيهَا، ثُمَّ قال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَ ذَلِكَ مُفَسِّرًا لِهَذَا الْإِجْمَالِ، ” فِي كُلِّ خمسٍ شَاةٌ ” فَكَانَ هَذَا بَيَانًا لِابْتِدَاءِ النِّصَابِ، وَقَدْرِ الْوَاجِبِ فِيهِ.
salah satunya: bahwa hal itu kembali kepada tambahan, maka dalam hal ini ia wajib memberikan kadar yang wajib atasnya, berdasarkan riwayat dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang diangkat memimpin kalian, maka dengarkanlah dan taatilah dia, meskipun ia adalah seorang budak Habasyi, selama ia menegakkan kitab Allah SWT di tengah kalian.”
dan jawaban kedua: bahwa hal itu kembali kepada keseluruhan dari yang wajib dan tambahan, maka dalam hal ini tidak boleh diberikan yang wajib maupun yang tambahan, karena dengan meminta tambahan ia termasuk orang fasik, dan orang fasik tidak memiliki kewenangan. Nabi SAW bersabda: “Taatilah mereka selama mereka menaati Allah SWT, jika mereka bermaksiat kepada Allah Taala maka tidak ada ketaatan atas kalian kepada mereka.”
kemudian Nabi SAW memulai dengan menyebutkan unta seraya bersabda: “Pada dua puluh empat ekor unta ke bawah zakatnya adalah kambing,” maka ini merupakan penjelasan dari satu sisi, dan global dari sisi lain. Penjelasannya adalah bahwa pada dua puluh empat ekor ke bawah tidak wajib kecuali kambing, sedangkan keumumannya adalah belum diketahui kadar kewajiban di dalamnya. Lalu Nabi SAW bersabda setelah itu sebagai penjelas dari keumuman tersebut: “Pada setiap lima ekor (unta) satu ekor kambing,” maka ini merupakan penjelasan tentang permulaan niṣāb dan kadar kewajiban di dalamnya.
فَصْلٌ
لَا اخْتِلَافَ بَيْنَ العلماء أن أول النصاب فِي الْإِبِلِ خَمْسٌ، وَأَنَّ الْوَاجِبَ فِيهَا شَاةٌ، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فِي كُلِّ خمسٍ شاةٌ ” وَلِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ليس فيما دون خمس ذودٍ من الإبل صدقة ” والذوذ مِنَ الثَّلَاثَةِ إِلَى التِّسْعَةِ فَإِذَا صَارَتْ عَشْرًا فما فوق صرة من الإبل، فإذا بلغت مائة قيل هنيدة، وَيُقَالُ هُنَيْدِيَّةٌ، فَإِذَا نَقَصَتْ إِبِلُ الرَّجُلِ عَنْ خَمْسٍ فَلَا شَيْءَ فِيهَا، فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا فَفِيهَا شَاةٌ إِلَى تِسْعٍ، فَإِذَا بَلَغَتْ عَشْرًا إلى أربع عشرة ففيها شاتان فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسَ عَشْرَةَ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ، إِلَى تِسْعَ عَشْرَةَ، فَإِذَا بَلَغَتْ عِشْرِينَ فَفِيهَا أَرْبَعُ شِيَاهٍ، إِلَى أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ، وَهِيَ غَايَةُ الْعَدَدِ الَّذِي يَجِبُ فِي فَرِيضَةِ الْغَنَمِ.
PASAL
Tidak terdapat perbedaan di antara para ulama bahwa awal niṣāb pada unta adalah lima ekor, dan bahwa yang wajib padanya adalah seekor kambing, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Pada setiap lima ekor (unta) ada seekor kambing.”
Dan berdasarkan riwayat Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada kewajiban zakat pada unta kurang dari lima ekor dhawd.”
Adapun dhawd adalah unta antara tiga hingga sembilan. Jika telah mencapai sepuluh, maka disebut ṣurah dari unta. Jika telah mencapai seratus, disebut hunaydah, dan ada pula yang menyebutnya hunaydiyyah.
Maka apabila unta seseorang kurang dari lima ekor, maka tidak ada zakat padanya. Jika telah mencapai lima ekor, maka wajib seekor kambing, hingga sembilan. Jika telah mencapai sepuluh sampai empat belas, maka wajib dua ekor kambing. Jika telah mencapai lima belas, maka wajib tiga ekor kambing, hingga sembilan belas. Jika telah mencapai dua puluh, maka wajib empat ekor kambing, hingga dua puluh empat. Dan itu adalah batas akhir jumlah yang wajib zakatnya berupa kambing.
فَأَمَّا صفة هذه الشياه، وهي كُلُّ شَاةٍ يَجُوزُ أُضْحِيَّتُهَا إِمَّا جَذَعَةٌ مِنَ الضَّأْنِ أَوْ ثَنِيَّةٌ مِنَ الْمَعْزِ، وَلَا وَجْهَ لِمَنْ قَالَ مِنْ أَصْحَابِنَا، كُلُّ مَا انْطَلَقَ عَلَيْهِ اسْمُ شَاةٍ أَجْزَأَتْ وَإِنْ لَمْ تُجْزِ فِي الضَّحَايَا، لِأَنَّ مُطْلَقَ هَذَا الِاسْمِ فِي الشرع يتناول ما قيد وصفه من الضَّحَايَا كَالدِّمَاءِ الْوَاجِبَةِ فِي الْحَجِّ، ثُمَّ لِأَصْحَابِنَا فِي هَذِهِ الشَّاةِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّهَا تجزي ذكراً وأنثى كَالضَّحَايَا، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.
والثاني: أنها لا تجزي إلا أنثى كالواجبة فِي الزَّكَاةِ.
وَالثَّالِثُ: وَبِهِ قَالَ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ، أَنَّهُ إِنْ كَانَتِ الْإِبِلُ إِنَاثًا لَمْ تُجْزِ الشَّاةُ إِلَّا أُنْثَى، وَإِنْ كَانَتْ ذُكُورًا أَجْزَأَ ذَكَرًا وَأُنْثَى، اعْتِبَارًا بِوَصْفِ الْمَالِ، كَمَا يُؤْخَذُ مِنَ الْكِرَامِ كَرِيمٌ، وَمِنَ اللِّئَامِ لَئِيمٌ، فَأَمَّا الْوَقْصُ فَهُوَ مَا بَيْنَ النِّصَابَيْنِ كالأربعة إلى الخمس وَالْعَشَرَةِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ:
Adapun sifat kambing-kambing ini, yaitu setiap kambing yang sah untuk dijadikan udhḥiyah, baik berupa jadza‘ah dari jenis ḍa’n (domba), atau tsaniyyah dari jenis ma‘z (kambing), maka tidak tepat pendapat sebagian sahabat kami yang mengatakan: “Setiap yang dinamai kambing sah untuk menggugurkan kewajiban, meskipun tidak sah untuk udhḥiyah,” karena penyebutan mutlak nama ini dalam syariat mencakup apa yang telah ditentukan sifatnya dalam udhḥiyah, sebagaimana halnya darah yang wajib dalam haji.
Kemudian para sahabat kami berbeda pendapat tentang kambing ini menjadi tiga pendapat:
Pertama: bahwa ia mencukupi baik jantan maupun betina sebagaimana dalam udhḥiyah. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.
Kedua: bahwa ia tidak mencukupi kecuali betina, sebagaimana yang wajib dalam zakat.
Ketiga: dan ini adalah pendapat sebagian ulama muta’akhkhirīn dari sahabat kami kalangan Baṣrah, bahwa jika unta-unta tersebut betina, maka tidak mencukupi kecuali kambing betina; dan jika unta-unta tersebut jantan, maka mencukupi baik kambing jantan maupun betina, berdasarkan pertimbangan sifat harta, sebagaimana diambil dari yang mulia harta yang mulia, dan dari yang hina harta yang hina.
Adapun al-waqṣ, yaitu apa yang berada di antara dua niṣāb seperti empat (unta) sampai lima dan sepuluh, maka terdapat dua pendapat manṣūṣ:
أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ البويطي، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ محمد بن الحسن، أَنَّ الْفَرْضَ مَأْخُوذٌ مِنْ جَمِيعِهِ، فَتَكُونُ الشَّاةُ مَأْخُوذَةً مِنَ التِّسْعَةِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ أبو حنيفة وأبو يوسف، أَنَّ الشَّاةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْخَمْسِ، وَالْوَقْصَ الزَّائِدَ عَلَى ذَلِكَ عَفْوٌ، وَسَنَذْكُرُ تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ، وَمَا يَتَفَرَّعُ عَلَيْهِمَا فِي مَوْضِعِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ سبحانه، وإذا صَارَتِ الْإِبِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ، انْتَقَلَ الْفَرْضُ مِنَ الْغَنَمِ إِلَى الْإِبِلِ، وَوَجَبَ فِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ، وَبِهِ قَالَ كَافَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ، إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَعَامِرٍ الشَّعْبِيِّ، أَنَّ فِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ خَمْسُ شِيَاهٍ، فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَعِشْرِينَ، فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ، اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ شُعْبَةَ وَزُهَيْرٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ مِنَ الْإِبِلِ خَمْسُ شياه، وفي ستة وَعِشْرِينَ بِنْتُ مَخَاضٍ ” وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غَيْرُ ثَابِتَةٍ وَالْحِكَايَةُ عَنْ عَلِيٍّ وَالشَّعْبِيِّ غَيْرُ صَحِيحَةٍ، وَلَوْ سَلَّمْنَا هَذِهِ الرِّوَايَةَ لَكَانَتْ رِوَايَةُ أَنَسٍ وَابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي خمسٍ وَعِشْرِينَ بِنْتُ مخاضٍ ” أَوْلَى مِنْ وُجُوهٍ.
salah satunya: dan ini adalah pendapat al-Buwayṭī, serta diikuti oleh Muḥammad bin al-Ḥasan, bahwa kewajiban itu diambil dari keseluruhan (jumlah), sehingga satu ekor kambing itu diambil dari sembilan ekor (unta).
dan pendapat kedua: dan ini yang disebutkan dalam qaul qadīm dan jadīd, serta diikuti oleh Abū Ḥanīfah dan Abū Yūsuf, bahwa kambing itu diambil dari lima ekor (unta), sedangkan jumlah selebihnya dari itu adalah ‘afw (tidak terkena kewajiban). Kami akan menyebutkan penjelasan dua pendapat ini dan cabang-cabang hukum yang berkaitan dengannya di tempatnya, insya Allah SWT.
Apabila unta telah mencapai dua puluh lima ekor, maka kewajiban berpindah dari kambing kepada unta, dan wajib pada jumlah tersebut satu ekor bint makhāḍ, dan ini adalah pendapat seluruh ulama, kecuali riwayat dari ‘Alī raḍiya Allāh ‘anhu dan ‘Āmir al-Sya‘bī bahwa pada dua puluh lima ekor wajib lima ekor kambing, dan jika telah mencapai dua puluh enam ekor maka wajib bint makhāḍ, berdasarkan riwayat dari Syu‘bah dan Zuhayr dari Abū Isḥāq dari ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Alī karramallāh wajhah bahwa Nabi SAW bersabda: “Pada dua puluh lima ekor unta, lima ekor kambing; dan pada dua puluh enam ekor bint makhāḍ.”
Namun riwayat ini dari Rasulullah SAW tidaklah tsabit, dan riwayat dari ‘Alī dan al-Sya‘bī pun tidak sahih. Dan seandainya kami menerima riwayat ini, niscaya riwayat dari Anas dan Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada dua puluh lima ekor (unta) bint makhāḍ” lebih utama untuk diambil dari berbagai sisi.
أَحَدُهَا: ثِقَةُ الرُّوَاةِ، وَصِحَّةُ الْإِسْنَادِ.
وَالثَّانِي: اتِّفَاقُهُمْ عَلَى أَنَّ حَدِيثَ أَنَسٍ وَابْنِ عُمَرَ مُتَّصِلٌ بِالنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَشَكُّهُمْ فِي حَدِيثِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ هَلْ هُوَ مَوْقُوفٌ عَلَيْهِ أَوْ مُتَّصِلٌ بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، لأن زهيراً يقول: أجبته عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَكَانَ الْحَدِيثُ الْمُتَّصِلُ بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إجماعاً أولى.
والثالث: أنه رواية أنس وابن عمر معول على جميعها، وَحَدِيثُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ مُتَّفَقٌ عَلَى تَرْكِ بَعْضِهِ.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ حَدِيثَ أَنَسٍ أَشْبَهُ بِأُصُولِ الزكاة من حديث عليّ عليه السلام، لأنه سَائِرَ النُّصُبِ لَا تَقْتَرِنُ حَتَّى يَتَخَلَّلَهَا وَقْصٌ لَا يُؤَثِّرُ فِي الزَّكَاةِ، فَأَمَّا صِفَةُ بِنْتِ مَخَاضٍ، فَهِيَ: الَّتِي لَهَا سَنَةٌ كَامِلَةٌ وَقَدْ دَخَلَتْ فِي الثَّانِيَةِ، وَإِنَّمَا سُمِّيَتْ بِنْتَ مَخَاضٍ، لِأَنَّ أُمَّهَا قَدْ مَخَضَتْبِغَيْرِهَا، أَيْ: حَمَلَتْ، وَالْمَاخِضُ: الْحَامِلُ، وَهَذَا السِّنُّ هو أولى للانتفاع بالإبل، لأن ما دون ذلك لا انتفاع بِهِ فِي الْغَالِبِ، وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ النَّاقَةَ إِذَا وَضَعَتْ وَلَدَهَا لِدُونِ وَقْتِهِ وَأَوَانِهِ قِيلَ خدجت الناقة وقيل: سمي خديج إذا وَضَعَتْهُ لِوَقْتِهِ وَزَمَانِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ نَاقِصُ الْخَلْقِ في نفسه، قيل: أخدجت الناقة، وسمي مخدوج، فَإِذَا وَضَعَتْهُ تَامًا قِيلَ لَهُ هُبَعٌ وَرُبَعٌ، ثُمَّ فَصِيلٌ، ثُمَّ مَلِيلٌ، ثُمَّ حُوَارٌ، ثُمَّ جاسر فإذا تم سَنَةً قِيلَ ابْنُ مَخَاضٍ لِلذَّكَرِ، وَبِنْتُ مَخَاضٍ للأنثى.
Pertama: Para perawi riwayat Anas dan Ibn ‘Umar adalah orang-orang tsiqah, dan sanadnya ṣaḥīḥ.
Kedua: Terdapat kesepakatan bahwa hadis Anas dan Ibn ‘Umar bersambung kepada Nabi SAW, sedangkan dalam hadis ‘Alī AS terdapat keraguan: apakah itu mauqūf (ucapan ‘Alī sendiri) atau marfū‘ (sampai kepada Rasulullah SAW)? Karena Zuhair mengatakan: “Saya meriwayatkannya dari Rasulullah SAW,” maka hadis yang bersambung kepada Rasulullah SAW secara ijmā‘ lebih didahulukan.
Ketiga: Riwayat Anas dan Ibn ‘Umar dijadikan sandaran secara keseluruhan, sedangkan hadis ‘Alī AS disepakati bahwa sebagian bagiannya ditinggalkan.
Keempat: Hadis Anas lebih sesuai dengan kaidah-kaidah zakat dibanding hadis ‘Alī AS, karena seluruh nuṣub (batasan jumlah) dalam zakat tidak disertai kewajiban zakat jika disela oleh waqṣ (angka antara dua batas), yang tidak berdampak pada kewajiban zakat.
Adapun sifat bint makhāḍ adalah: unta betina yang telah berumur satu tahun penuh dan memasuki tahun kedua. Dinamakan bint makhāḍ karena induknya telah mengandung selainnya, yaitu: sedang hamil. Al-mākiḍ adalah betina yang sedang hamil. Umur ini adalah umur yang paling layak untuk dimanfaatkan dalam unta, karena yang kurang dari itu umumnya belum bisa dimanfaatkan.
Adapun rincian tentang kelahiran unta: jika seekor unta melahirkan anaknya sebelum waktunya, dikatakan: “khadajat an-nāqah” (unta itu keguguran).
Jika ia melahirkan pada waktunya tetapi belum sempurna bentuknya, disebut “makhdūj”, dan dikatakan: “akhdajat an-nāqah.”
Jika ia melahirkannya dengan sempurna, disebut “huba‘” dan “ruba‘”, lalu disebut “faṣīl”, lalu “malīl”, lalu “ḥiwār”, lalu “jāsir”.
Jika telah genap satu tahun, maka dinamakan ibn makhāḍ untuk jantan dan bint makhāḍ untuk betina.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ بِنْتِ مَخَاضٍ فِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ فَهِيَ فَرْضُهَا، إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ، فإذا لَمْ يَكُنْ فِي إِبِلِهِ بِنْتُ مَخَاضٍ وَكَانَ في إبله ابن لبون ذكراً، أُخِذَ مِنْهُ ابْنُ لَبُونٍ ذَكَرٌ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ مَعَ وُجُودِ بِنْتِ مَخَاضٍ، وهذا غلط.
وقال أبو حنيفة يجوز أن يأخذ مِنْهَا ابْنُ لَبُونٍ مَعَ وُجُودِ بِنْتِ مَخَاضٍ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُؤْخَذَ ابن لبون مع وجود بنت مخاض في ماله، قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ بِنْتُ مَخَاضٍ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَرٌ ” فَشَرْطُ أَخْذِ ابْنِ لَبُونٍ مَعَ عَدَمِ بِنْتِ مَخَاضٍ، فَاقْتَضَى أَنْ لَا يُؤْخَذُ مَعَ وُجُودِهَا، فلو لم يكن في ماله بنت خاض، وَلَا ابْنُ لَبُونٍ فَابْتَاعَ ابْنَ لَبُونٍ، جَازَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ، وَقَالَ مَالِكٌ يَلْزَمُهُ أَنْ يَبْتَاعَ بِنْتَ مَخَاضٍ، فَإِنِ ابْتَاعَ ابْنَ لَبُونٍ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهُ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَرٌ، وَلِأَنَّ كل من يَجُوزُ إِخْرَاجُهُ إِذَا كَانَ لَهُ مَالِكًا يَجُوزُ إخراجه إذا ابتاعه، قياساً على ابن مخاض، فلو لم يكن فِي مَالِهِ جَمِيعًا، وَأَرَادَ السَّاعِي مُطَالَبَتَهُ بِالْوَاجِبِ عَلَيْهِ، فَفِي كَيْفِيَّةِ مُطَالَبَتِهِ بِالْوَاجِبِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:
أحدهما: يخير فِي الْمُطَالَبَةِ بَيْنَ بِنْتِ مَخَاضٍ وَابْنِ لَبُونٍ ذَكَرٍ، لِأَنَّهُ مُخَيَّرٌ فِي الْأَدَاءِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يطالبه ببنت مخاض لأنه الْأَصْلُ، فَإِنْ جَاءَ بِابْنِ لَبُونٍ أُخِذَ مِنْهُ، فلو أَعْطَى حِقًّا ذَكَرًا بَدَلًا مِنْ بِنْتِ مَخَاضٍ عِنْدَ عَدَمِهَا، فَفِي جَوَازِ قَبُولِهِ مِنْهُ وَجْهَانِ، أَصَحُّهُمَا يُقْبَلُ مِنْهُ، لِأَنَّهُ أَعْلَى سِنًّا مِنَ ابن لبون وأنفع، والوجه الثاني وهو مذهب ضَعِيفٌ، لَا يُقْبَلُ مِنْهُ، لِأَنَّهُ لَا مَدْخَلَ لَهُ فِي الزَّكَاةِ.
PASAL
Apabila telah tetap kewajiban bint makhāḍ pada bilangan dua puluh lima, maka itulah yang menjadi kadar wajibnya, hingga tiga puluh lima. Apabila tidak ada bint makhāḍ dalam kepemilikan untanya, tetapi terdapat ibn labūn jantan, maka diambil darinya ibn labūn jantan. Tidak boleh diambil darinya ibn labūn apabila bint makhāḍ masih ada, dan ini adalah kekeliruan.
Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa boleh diambil darinya ibn labūn meskipun masih ada bint makhāḍ. Dalil bahwa tidak boleh diambil darinya ibn labūn jika masih ada bint makhāḍ dalam hartanya adalah sabda Nabi SAW: “Pada dua puluh lima ekor (unta) adalah bint makhāḍ hingga tiga puluh lima. Jika tidak ada, maka ibn labūn jantan.” Maka syarat pengambilan ibn labūn adalah ketika tidak ada bint makhāḍ, dan hal itu menunjukkan bahwa tidak boleh diambil apabila masih ada.
Jika dalam hartanya tidak terdapat bint makhāḍ maupun ibn labūn, lalu ia membeli ibn labūn, maka boleh diambil darinya. Mālik berpendapat bahwa ia wajib membeli bint makhāḍ, dan jika ia membeli ibn labūn, tidak boleh diambil darinya. Pendapat ini keliru, karena keumuman sabda Nabi SAW: “Jika tidak ada maka ibn labūn jantan.”
Dan karena setiap hewan yang boleh dikeluarkan jika ia memilikinya, juga boleh dikeluarkan jika ia membelinya, sebagaimana ibn makhāḍ. Maka jika dalam hartanya tidak ada sama sekali, lalu petugas zakat ingin menagih kewajibannya, maka dalam cara penagihannya ada dua pendapat:
Pertama: petugas diberi pilihan antara menuntut bint makhāḍ atau ibn labūn jantan, karena ia diberi pilihan dalam pelaksanaan kewajiban.
Kedua: petugas menuntut bint makhāḍ karena itu adalah asal (kadar wajib), tetapi jika ia datang membawa ibn labūn, maka diterima darinya.
Jika ia menyerahkan ḥiqq jantan sebagai ganti dari bint makhāḍ ketika tidak memilikinya, maka terdapat dua pendapat dalam kebolehannya:
Pendapat yang lebih kuat: diterima darinya, karena lebih tinggi umurnya dari ibn labūn dan lebih bermanfaat.
Pendapat kedua (lemah): tidak diterima darinya, karena tidak ada bagian baginya dalam zakat.
فَصْلٌ
: فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ وَاحِدَةً وَبَلَغَتْ سِتًّا وَثَلَاثِينَ، فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ، وَهِيَ الَّتِي لَهَا سَنَتَانِ كَامِلَتَانِ وَدَخَلَتْ فِي الثَّالِثَةِ، وَإِنَّمَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ، لِأَنَّ أُمَّهَا قَدْ وَضَعَتْ وَدَرَّ لَبَنُهَا، وَلَيْسَ ذَلِكَ شَرْطًا فِيهَا، وَلَا فِي بِنْتِ مَخَاضٍ، بَلْ الِاسْمُ وَاقِعٌ عَلَيْهِمَا وَإِنْ لَمْ تَكُنِ الْأُمُّ مَاخِضًا وَلَا لَبُونًا، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي مَالِهِ بِنْتُ لَبُونٍ فَأَعْطَى بَدَلَهَا حِقًّا لَمْ يَجُزْ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَجُوزُ إِخْرَاجُهُ قِيَاسًا عَلَى ابْنِ لَبُونٍ، وَهَذَا خَطَأٌ.
والفرق بينهما: أن الحق مقارب لبنت اللبون في المنفعة والحمل، ثم يختص ببعض الزكاة فَلَمْ يَجُزْ أَخْذُهُ بَدَلًا مِنْهَا لِنَقْصِهِ، وَابْنُ اللبون وإن كان فيه بعض الذُّكُورَةِ فَفِيهِ مِنَ الْقُوَّةِ وَالْمَنْفَعَةِ وَالِامْتِنَاعِ مِنْ صِغَارِ السِّبَاعِ مَا لَيْسَ فِي بِنْتِ مَخَاضٍ، فَجَازَ أَخْذُهُ بَدَلًا مِنْهَا.
PASAL
Apabila unta bertambah seekor dan mencapai tiga puluh enam, maka zakatnya adalah bint labūn sampai empat puluh lima. Bint labūn adalah unta betina yang telah genap berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga. Disebut demikian karena ibunya telah melahirkan dan air susunya mengalir, namun hal itu bukanlah syarat pada bint labūn, dan juga bukan syarat pada bint makhāḍ. Nama tersebut tetap berlaku atas keduanya sekalipun induknya belum bunting ataupun belum mengeluarkan susu. Jika dalam hartanya tidak terdapat bint labūn, lalu ia memberikan gantinya dengan ḥiqqah, maka tidak sah.
Sebagian sahabat kami berpendapat: boleh mengeluarkannya sebagai pengganti berdasarkan qiyās terhadap ibn labūn, dan ini adalah kesalahan.
Perbedaan antara keduanya: ḥiqqah memang mirip dengan bint labūn dalam hal manfaat dan kemampuannya untuk membawa beban, namun ia memiliki kekhususan dalam sebagian jenis zakat sehingga tidak boleh diambil sebagai pengganti karena kekurangannya. Adapun ibn labūn, meskipun ia jantan, namun ia memiliki kekuatan, manfaat, dan mampu menjaga diri dari serangan binatang buas kecil, yang mana hal itu tidak dimiliki oleh bint makhāḍ, maka boleh diambil sebagai pengganti untuknya.
فَصْلٌ
: فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ وَاحِدَةً، فَبَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ، فَفِيهَا حِقَّةٌ، إِلَى السِّتِّينَ، وَالْحِقَّةُ: الَّتِي لَهَا ثَلَاثُ سِنِينَ وَقَدْ دَخَلَتْ فِي الرَّابِعَةِ وَسُمِّيَتْ بِذَلِكَ، لِأَنَّهَا قَدِ اسْتَحَقَّتْ أَنْ يَطْرُقَهَا الْفَحْلُ، وَقِيلَ بَلْ سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا قَدِ اسْتَحَقَّتْ أَنْ تُرْكَبَ، وَيُحْمَلَ عَلَيْهَا الْحُمُولَةُ، فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً فَبَلَغَتْ إِحْدَى وَسِتِّينَ فَفِيهَا جَذَعَةٌ إِلَى خَمْسٍ وَسَبْعِينَ. والجذعة: التي مالها أَرْبَعُ سِنِينَ وَقَدْ دَخَلَتْ فِي الْخَامِسَةِ وَقَدْ خَرَجَ جَمِيعُ أَسْنَانِهَا.
PASAL
Apabila unta bertambah satu ekor, sehingga mencapai empat puluh enam, maka wajib dikeluarkan ḥiqqah, sampai enam puluh. Al-ḥiqqah adalah unta betina yang telah berumur tiga tahun dan masuk tahun keempat. Disebut demikian karena ia telah berhak untuk dikawini pejantan. Ada pula yang mengatakan dinamakan demikian karena ia telah berhak untuk ditunggangi dan dibebani muatan.
Apabila bertambah satu ekor sehingga mencapai enam puluh satu, maka yang wajib adalah jadza‘ah, sampai tujuh puluh lima. Al-jadza‘ah adalah unta betina yang telah berumur empat tahun dan masuk tahun kelima, dan seluruh giginya telah tumbuh lengkap.
قَالَ الْأَصْمَعِيُّ وَإِنَّمَا سُمِّيَتْ جَذَعَةً لِأَنَّ أَسْنَانَهَا لَمْ تَسْقُطْ فَيُبَدَّلُ عَلَيْهَا، والجذعة أعلى الأسنان الواجبة على الزَّكَاةِ، وَيُقَالُ لِمَا زَادَ عَلَى الْجَذَعِ ثَنِيٌّ، ثُمَّ رُبَاعٌ، ثُمَّ سَدِيسٌ، ثُمَّ بَازِلٌ، ثُمَّ مُخَلَّفُ عَامٍ، وَمُخَلَّفُ عَامَيْنِ، وَالْجَذَعُ هُوَ نِهَايَةُ الْإِبِلِ فِي الْحُسْنِ وَالدَّرِّ وَالنَّسْلِ وَالْقُوَّةِ، وَمَا زاد عليه وجوع، كَالْكِبَرِ وَالْهَرَمِ، فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ وَاحِدَةً فَبَلَغَتْ سِتًّا وَسَبْعِينَ، فَفِيهَا بِنْتَا لَبُونٍ إِلَى تِسْعِينَ، فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً فَبَلَغَتْ إِحْدَى وَتِسْعِينَ، فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا الْفَحْلِ، ثُمَّ لَا يَزَالُ ذَلِكَ فَرْضُهَا إِلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى المائة وَعِشْرِينَ، تَغَيَّرَ هَذَا الِاعْتِبَارُ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ، وَهَذِهِ الْجُمْلَةُ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا فَهِيَ نَصُّ الْخَبَرِ، وَإِجْمَاعُ فُقَهَاءِ الْأَمْصَارِ، فَحَصَلَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ فِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ بِنْتُ مَخَاضٍ، إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ إِلَى سِتِّينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ إِحْدَى وَسِتِّينَ فَفِيهَا جَذَعَةٌ إِلَى خَمْسٍ وَسَبْعِينَ فإذا بلغت ستة وسبعين ففيها بنت لَبُونٍ إِلَى تِسْعِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ إِحْدَى وَتِسْعِينَ فَفِيهَا حِقَّتَانِ إِلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، ثُمَّ يَسْتَقِرُّ الفرض لما زاد على الحقاق وبنات اللبون.
al-Aṣma‘ī berkata: dinamakan jadza‘ah karena giginya belum rontok, maka ia dapat diganti dengannya. Jadza‘ah adalah tingkat gigi tertinggi yang wajib dizakati. Sesudah jadza‘ah disebut tsaniyy, kemudian rubā‘, lalu sadīs, lalu bāzil, lalu mukhallaf ‘ām, dan mukhallaf ‘āmayn. Jadza‘ adalah puncak kualitas unta dalam hal keindahan, air susu, keturunan, dan kekuatan. Apa yang lebih tua dari itu adalah kekurusan seperti tua renta dan pikun.
Apabila unta bertambah satu sehingga mencapai tujuh puluh enam, maka zakatnya adalah dua ekor bintu labūn sampai sembilan puluh. Jika bertambah satu menjadi sembilan puluh satu, maka zakatnya adalah dua ekor ḥiqqah yang layak dikawini pejantan. Ketentuan ini terus berlaku hingga mencapai seratus dua puluh.
Apabila melebihi seratus dua puluh, maka perhitungan ini berubah sebagaimana akan disebutkan. Seluruh uraian yang telah disebutkan itu adalah berdasarkan teks hadis dan ijmak para fuqaha di berbagai negeri.
Dengan demikian, zakat dari dua puluh lima sampai tiga puluh lima ekor unta adalah satu ekor bintu makhāḍ. Jika mencapai tiga puluh enam sampai empat puluh lima, maka satu ekor bintu labūn. Jika mencapai empat puluh enam sampai enam puluh, maka satu ekor ḥiqqah. Jika mencapai enam puluh satu sampai tujuh puluh lima, maka satu ekor jadza‘ah. Jika mencapai tujuh puluh enam sampai sembilan puluh, maka dua ekor bintu labūn. Jika mencapai sembilan puluh satu sampai seratus dua puluh, maka dua ekor ḥiqqah.
Setelah itu, ketentuan zakat menjadi tetap berdasarkan kelipatan dari ḥiqqah dan bintu labūn.
فصل
: قال الشافعي فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ.
وَهُوَ صَحِيحٌ.
وَهُوَ نَصُّ الْحَدِيثِ فَإِذَا بَلَغَتْ مِائَةً وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ، فَفِيهَا ثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ، وَبِهِ قَالَ أَبُو ثَوْرٍ وَأَبُو عُبَيْدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَّامٍ.
وَقَالَ حَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، وَالْحَكَمُ بْنُ عُيَيْنَةَ: لَا اعْتِبَارَ بِالزِّيَادَةِ حَتَّى تَكُونَ خَمْسًا، فَتَبْلُغُ مِائَةً وَخَمْسًا وَعِشْرِينَ، فَيَكُونَ فِيهَا حِقَّتَانِ وَبِنْتُ مَخَاضٍ، فَالْحِقَّتَانِ فِي مِائَةٍ، وَبِنْتُمَخَاضٍ فِي خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ وَقَالَ مَالِكٌ فِي رِوَايَةِ الْقَاسِمِ عَنْهُ: لَا اعْتِبَارَ بِالزِّيَادَةِ حَتَّى تَكُونَ عَشْرًا فَتَبْلُغَ مِائَةً وَثَلَاثِينَ، فَيَكُونَ فِيهَا حِقَّتَانِ وَبِنْتُ لَبُونٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ: يَسْتَأْنِفُ الْفَرْضَ بَعْدَ مِائَةٍ وَعِشْرِينَ فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ، فَيَكُونُ فِي مِائَةٍ وَخَمْسٍ وَعِشْرِينَ حِقَّتَانِ وَشَاةٌ، وَفِي مِائَةٍ وَثَلَاثِينَ، حِقَّتَانِ وَشَاتَانِ، وَفِي مِائَةٍ وَخَمْسٍ وَثَلَاثِينَ حِقَّتَانِ وَثَلَاثُ شِيَاهٍ، وَفِي مِائَةٍ وَأَرْبَعِينَ حِقَّتَانِ وَأَرْبَعُ شِيَاهٍ، وَفِي مِائَةٍ وَخَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ حِقَّتَانِ وَبِنْتُ مَخَاضٍ، وَفِي مِائَةٍ وَخَمْسِينَ ثَلَاثُ حِقَاقٍ، كَقَوْلِنَا ثُمَّ يَسْتَأْنِفُ فَرْضَ الشِّيَاهِ بَعْدَ ذَلِكَ.
PASAL
Imam al-Syafi‘i berkata: Apabila jumlah unta melebihi seratus dua puluh, maka pada setiap empat puluh ekor wajib seekor bintu labūn, dan pada setiap lima puluh ekor wajib seekor ḥiqqah.
Dan itu benar. Itulah nash hadis. Maka jika jumlahnya mencapai seratus dua puluh satu, maka zakatnya adalah tiga ekor bintu labūn. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abū Ṯawr dan Abū ‘Ubaid al-Qāsim bin Sallām.
Adapun Ḥammād bin Abī Sulaymān dan al-Ḥakam bin ‘Uyainah berpendapat: Tidak diperhitungkan kelebihan (dari seratus dua puluh) hingga mencapai lima, yaitu menjadi seratus dua puluh lima, maka zakatnya adalah dua ekor ḥiqqah dan seekor bintu makhāḍ; dua ḥiqqah untuk seratus, dan satu bintu makhāḍ untuk dua puluh lima.
Mālik dalam riwayat al-Qāsim darinya berkata: Tidak diperhitungkan kelebihan hingga mencapai sepuluh, yaitu menjadi seratus tiga puluh, maka zakatnya adalah dua ekor ḥiqqah dan satu bintu labūn.
Abū Ḥanīfah dan kedua sahabatnya berpendapat: Setelah seratus dua puluh dimulai perhitungan baru, yaitu pada setiap lima ekor wajib seekor kambing. Maka pada seratus dua puluh lima: dua ekor ḥiqqah dan satu kambing; seratus tiga puluh: dua ḥiqqah dan dua kambing; seratus tiga puluh lima: dua ḥiqqah dan tiga kambing; seratus empat puluh: dua ḥiqqah dan empat kambing; seratus empat puluh lima: dua ḥiqqah dan satu bintu makhāḍ; seratus lima puluh: tiga ḥiqqah, seperti pendapat kami, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan kambing setelah itu.
وَاسْتُدِلَّ عَلَى ذَلِكَ بِرِوَايَةِ زُهَيْرٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَاصِمِ بن ضمرة عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ عَلَى الْمِائَةِ وَعِشْرِينَ استؤنفت الفريضة، في كل خمس شاة، ولرواية أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَتَبَ إِلَيْهِ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ إِلَى الْيَمَنِ: وَفِيهِ الْعَقْلُ، وَالْأَسْنَانُ، وَنُصُبُ الزَّكَوَاتِ، فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ عَلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ فَفِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ، قَالُوا وَلِأَنَّ الشَّاةَ فَرْضٌ يَتَكَرَّرُ قَبْلَ الْمِائَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَكَرَّرَ بَعْدَهَا كَالْحِقَاقِ وبنات اللبون، قالوا: وَلِأَنَّكُمْ إِذَا أَوْجَبْتُمْ بِالْوَاحِدَةِ الزَّائِدَةِ عَلَى الْمِائَةِ وَعِشْرِينَ ثَلَاثَ بَنَاتِ لَبُونٍ لَمْ تَنْفَكُّوا مِنْ مخالفة الخبر ومخالفة أُصُولِ الزَّكَوَاتِ، لِأَنَّكُمْ إِنْ قُلْتُمْ إِنَّ ثَلَاثَ بَنَاتِ لَبُونٍ تَجِبُ فِي مِائَةٍ وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ، فَقَدْ خَالَفْتُمُ الْخَبَرَ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ ” وَأَنْتُمْ أَوْجَبْتُمْ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ وَثُلُثٍ، وَإِنْ قُلْتُمْ إِنَّ بَنَاتِ اللَّبُونِ مَأْخُوذَةٌ مِنْ مِائَةٍ وَعِشْرِينَ وَإِنَّ الْوَاحِدَةَ الزَّائِدَةَ وَقْصٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا الْفَرْضُ، خَالَفْتُمْ أُصُولَ الزَّكَوَاتِ لِأَنَّ كُلَّ مُغَيِّرٍ لِلْفَرْضِ فِي أُصُولِ الزَّكَوَاتِ يَتَعَلَّقُ الْفَرْضُ بِهِ، وَيَكُونُ الْفَرْضُ مَأْخُوذًا مِنْهُ وَمِنَ الْمَزِيدِ عَلَيْهِ، كَالسَّادِسِ وَالثَّلَاثِينَ وَالسَّادِسِ وَالْأَرْبَعِينَ وَالْوَاحِدِ الزَّائِدِ عَلَى السِّتِّينَ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ رِوَايَةُ أَنَسٍ وَابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: فإذا بلغت أحد وَتِسْعِينَ فَفِيهَا حِقَّتَانِ إِلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ عَلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ، وَالدَّلَالَةُ فِي هَذَا الْخَبَرِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dalil atas pendapat tersebut adalah riwayat dari Zuhair dari Abū Isḥāq dari ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Alī – ‘alaihis salām – bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila unta melebihi seratus dua puluh, maka zakatnya diulang dari awal, yaitu pada setiap lima ekor seekor kambing.”
Juga berdasarkan riwayat Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi SAW menulis surat kepadanya saat beliau mengutusnya ke Yaman, dan dalam surat itu terdapat hukum diyat, gigi, dan nishab zakat, dan disebutkan: “Apabila unta melebihi seratus dua puluh, maka pada setiap lima ekor wajib seekor kambing.”
Mereka (pendukung pendapat ini) juga berkata: “Karena kambing merupakan kadar wajib yang berulang sebelum mencapai seratus, maka semestinya berulang pula setelahnya, sebagaimana ḥiqqah dan bint labūn.”
Mereka berkata lagi: “Jika kalian mewajibkan tiga ekor bint labūn hanya karena satu ekor tambahan dari seratus dua puluh, maka kalian tidak lepas dari dua hal: menyelisihi hadis dan menyelisihi prinsip umum zakat. Jika kalian mengatakan bahwa tiga bint labūn wajib pada seratus dua puluh satu, maka kalian telah menyelisihi hadis, karena Nabi SAW bersabda: ‘Pada setiap empat puluh adalah bint labūn,’ sedangkan kalian mewajibkan pada setiap empat puluh satu sepertiga.
Dan jika kalian mengatakan bahwa tiga bint labūn diambil dari seratus dua puluh, dan satu ekor yang lebih itu tidak ada pengaruhnya terhadap kewajiban zakat, maka kalian telah menyelisihi prinsip zakat, karena setiap hal yang menambah kadar wajib dalam prinsip zakat maka ia harus dihitung dan zakatnya diambil dari total itu, seperti pada bilangan tiga puluh enam, empat puluh enam, dan satu ekor tambahan setelah enam puluh.
Dalil yang menguatkan adalah riwayat Anas dan Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika telah mencapai sembilan puluh satu, maka wajib dua ḥiqqah, hingga seratus dua puluh. Maka apabila lebih dari seratus dua puluh, maka pada setiap empat puluh bint labūn, dan pada setiap lima puluh ḥiqqah.”
Dan dalil dari hadis ini dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِقَّتَانِ إِلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، وَإِلَى غَايَةٍ وَحَدٍّ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْحُكْمُ بَعْدَ الْحَدِّ وَالْغَايَةِ بِخِلَافِهِ قَبْلَهُ.
وَالثَّانِي قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ ” فَاقْتَضَى ظَاهِرُ هَذَا اللَّفْظِ أَنْ يَكُونَ قَلِيلُ الزِّيَادَةِ وَكَثِيرُهَا مُغَيِّرًا لِلْفَرْضِ عَلَى مَا أَبَانَهُ مِنْ وُجُوبِ بِنْتِ لَبُونٍ فِي أَرْبَعِينَ وَحِقَّةٍ فِي خَمْسِينَ، فَإِنْ قِيلَ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَإِذَا زَادَتْ عَلَى الْمِائَةِ وَعِشْرِينَ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ “، لأن حُكْمِ الزِّيَادَةِ عَلَى الْمِائَةِ وَالْعِشْرِينَ إِذَا بَلَغَتْ أَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ، وَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسِينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ، لِأَنَّهُأَرَادَ بِذَلِكَ جُمْلَتَهَا مِنَ الزِّيَادَةِ وَالْمَزِيدُ عَلَيْهِ أَنْ يَكُونَ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ مِنْهَا بِنْتُ لَبُونٍ، وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ، فَالْجَوَابُ أَنَّ هَذَا التَّأْوِيلَ يَبْطُلُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
PASAL
Dalil atas pendapat tersebut adalah riwayat dari Zuhair dari Abū Isḥāq dari ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Alī – ‘alaihis salām – bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila unta melebihi seratus dua puluh, maka zakatnya diulang dari awal, yaitu pada setiap lima ekor seekor kambing.”
Juga berdasarkan riwayat Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi SAW menulis surat kepadanya saat beliau mengutusnya ke Yaman, dan dalam surat itu terdapat hukum diyat, gigi, dan nishab zakat, dan disebutkan: “Apabila unta melebihi seratus dua puluh, maka pada setiap lima ekor wajib seekor kambing.”
Mereka (pendukung pendapat ini) juga berkata: “Karena kambing merupakan kadar wajib yang berulang sebelum mencapai seratus, maka semestinya berulang pula setelahnya, sebagaimana ḥiqqah dan bint labūn.”
Mereka berkata lagi: “Jika kalian mewajibkan tiga ekor bint labūn hanya karena satu ekor tambahan dari seratus dua puluh, maka kalian tidak lepas dari dua hal: menyelisihi hadis dan menyelisihi prinsip umum zakat. Jika kalian mengatakan bahwa tiga bint labūn wajib pada seratus dua puluh satu, maka kalian telah menyelisihi hadis, karena Nabi SAW bersabda: ‘Pada setiap empat puluh adalah bint labūn,’ sedangkan kalian mewajibkan pada setiap empat puluh satu sepertiga.
Dan jika kalian mengatakan bahwa tiga bint labūn diambil dari seratus dua puluh, dan satu ekor yang lebih itu tidak ada pengaruhnya terhadap kewajiban zakat, maka kalian telah menyelisihi prinsip zakat, karena setiap hal yang menambah kadar wajib dalam prinsip zakat maka ia harus dihitung dan zakatnya diambil dari total itu, seperti pada bilangan tiga puluh enam, empat puluh enam, dan satu ekor tambahan setelah enam puluh.
Dalil yang menguatkan adalah riwayat Anas dan Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika telah mencapai sembilan puluh satu, maka wajib dua ḥiqqah, hingga seratus dua puluh. Maka apabila lebih dari seratus dua puluh, maka pada setiap empat puluh bint labūn, dan pada setiap lima puluh ḥiqqah.”
Dan dalil dari hadis ini dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: انْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ بِخِلَافِهِ، لِأَنَّهُ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ فِي مِائَةٍ وَسِتِّينَ حِقَّتَانِ وَبِنْتُ لَبُونٍ، فَالْحِقَّتَانِ فِي مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، وَبِنْتُ اللَّبُونِ فِي الْأَرْبَعِينَ الزَّائِدَةِ، وَفِي الْمِائَةِ وَسَبْعِينَ ثَلَاثُ حِقَاقٍ، وَهَذَا قَوْلٌ قَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى خِلَافِهِ، فَكَانَ التَّأْوِيلُ الْمُؤَدِّي إِلَيْهِ بَاطِلًا بِالْإِجْمَاعِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَإِذَا زَادَتْ ” شَرْطٌ، وَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ ” حُكْمٌ وَالْحُكْمُ رَاجِعٌ إِلَى الْجُمْلَةِ عِنْدَ وُجُودِ الشَّرْطِ، وَلَيْسَ لَهُ اخْتِصَاصٌ بِبَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ، وَمِمَّا يُؤَيِّدُ مَا ذَكَرْنَاهُ رِوَايَةُ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ وَسُفْيَانَ بْنِ حُسَيْنٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ عَلَى الْمِائَةِ وَعِشْرِينَ وَاحِدَةً فَفِيهَا ثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ ” فَكَانَ هَذَا نَصًّا يُبْطِلُ كُلَّ تَأْوِيلٍ، وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ، هُوَ أَنَّ الشَّاةَ أَحَدُ طَرَفَيِ الْإِيجَابِ فِي الْإِبِلِ قَبْلَ الْمِائَةِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَكُونَ بَعْدَ الْمِائَةِ كَالْجَذَعَةِ، وَلِأَنَّ بِنْتَ مَخَاضٍ سِنٌّ لَا يَتَكَرَّرُ قَبْلَ المائة فوجب أن لا يعود بعد المائة كالجذعة، فثبت بهذين القياسين انتفاء وجوب الشاة وبنت المخاض بعد المائة، ثم نقول بابتداء لما ذكرنا، ولأنها نصب مختلفة الترتيب فِي اسْتِفْتَاحِ الْفَرِيضَةِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَعُودَ تَرْتِيبُهَا الْأَوَّلُ فِيمَا بَعْدُ كَالْغَنَمِ، وَلِأَنَّا وَجَدْنَا النُّصُبَ الَّتِي قَبْلَ الْمِائَةِ أَقْرَبَ إِلَى فَرْضِ الْغَنَمِ مِنَ النُّصُبِ الَّتِي بَعْدَ الْمِائَةِ، فَلَمَّا لَمْ تَعُدِ الشَّاةُ إِلَى النُّصُبِ الَّتِي هِيَ أقرب إليها، فالتي لَا تَعُودَ إِلَى النُّصُبِ الَّتِي هِيَ أَبْعَدُ منها أولى، فأما الجواب على ما اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنَ الْخَبَرِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
PASAL
Pertama: Telah terjadi ijma‘ (kesepakatan ulama) yang menyalahi pendapat itu. Sebab, pendapat tersebut mengharuskan pada seratus enam puluh ekor unta ada dua ekor ḥiqqah dan satu ekor bint labūn—dua ḥiqqah untuk seratus dua puluh, dan satu bint labūn untuk empat puluh sisanya. Dan pada seratus tujuh puluh, tiga ekor ḥiqqah. Ini adalah pendapat yang secara ijma‘ telah diselisihi oleh kaum muslimin. Maka takwil (penafsiran) yang mengarah ke sana adalah batil menurut ijma‘.
Kedua: Sabda Nabi SAW: “fa idzā zādat” adalah kalimat syarat, sedangkan sabda beliau “fa fī kulli arba‘īn bint labūn, wa fī kulli khamsīn ḥiqqah” adalah hukum. Hukum itu kembali ke keseluruhan jumlah ketika syaratnya terpenuhi, dan tidak boleh dibatasi hanya pada sebagian tanpa sebagian yang lain.
Yang menguatkan penjelasan ini adalah riwayat dari Yūnus bin Yazīd dan Sufyān bin Ḥusain dari al-Zuhrī dari Sālim dari ayahnya, ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila unta melebihi seratus dua puluh satu, maka wajib tiga ekor bint labūn.” Maka ini adalah nash (teks jelas) yang membatalkan semua bentuk takwil.
Adapun dalil qiyās yang menguatkan hal ini adalah bahwa kambing adalah kadar wajib yang digunakan pada awal zakat unta sebelum mencapai seratus, maka tidak layak untuk kembali digunakan setelahnya, seperti jadza‘ah. Demikian pula bint makhāḍ, ia adalah kadar umur tertentu yang tidak terulang sebelum seratus, maka tidak semestinya kembali setelah seratus, sebagaimana jadza‘ah. Maka dengan dua qiyās ini dapat dipastikan bahwa tidak wajib kambing dan bint makhāḍ setelah seratus.
Kemudian kami katakan bahwa permulaan yang telah disebutkan, dan karena nishab-nishab tersebut memiliki susunan yang berbeda pada awal kewajiban, maka tidak boleh urutan sebelumnya kembali setelahnya, seperti halnya dalam zakat kambing. Dan karena kami dapati bahwa nishab sebelum seratus lebih dekat kepada kadar wajib berupa kambing dibanding nishab setelah seratus, maka ketika kambing tidak kembali pada nishab yang lebih dekat dengannya, maka pada nishab yang lebih jauh darinya tentu lebih utama untuk tidak kembali.
Adapun jawaban atas dalil yang mereka kemukakan dari hadis, maka dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: تَرْجِيحٌ.
وَالثَّانِي: اسْتِعْمَالٌ، فَأَمَّا التَّرْجِيحُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ مَا رَوَيْنَا مِنَ الْأَخْبَارِ، فَمِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ مَا رَوَيْنَاهُ أَصَحُّ إِسْنَادًا، وَأَوْثَقُ رِجَالًا.
وَالثَّانِي: أَنَّ بِهِ عَمِلَ الْإِمَامَانِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ خبرنا متفق على اسْتِعْمَالِ بَعْضِهِ، فَالْمُتَّفَقُ عَلَى مَا اسْتُعْمِلَ مِنْهُ فيما دون المائة والعشرين، والمختلف منه فيما زاد على ذلك، وغيرهم مُتَّفَقٌ عَلَى تَرْكِ بَعْضِهِ، مُخْتَلَفٌ فِي اسْتِعْمَالِ بَعْضِهِ، فَمَا اتُّفِقَ عَلَى تَرْكِهِ مِنْهُ: إِيجَابُ خَمْسِ شِيَاهٍ، وَمَا اخْتُلِفَ فِي اسْتِعْمَالِهِ مِنْهُ فما زاد على المائة وعشرين.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ خَبَرَنَا مُسْنَدٌ، وَخَبَرَهُمْ يُوقَفُ مَرَّةً، وَيُسْنَدُ أُخْرَى، فَكَانَ خَبَرُنَا أَوْلَى وَأَمَّا الِاسْتِعْمَالُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الَّذِي رَوَاهُ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” اسْتُؤْنِفَتِ الْفَرِيضَةُ ” وَقَوْلُهُ ” فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ ” مِنْ قَوْلِ الرَّاوِي عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ ظَنًّا مِنْهُ أَنَّهُ أَرَادَ بِالِاسْتِئْنَافِ ابْتِدَاءَ الْفَرِيضَةِ فَلَا يَكُونُ لَهُ حُكْمٌ، وَقَوْلُهُ اسْتُؤْنِفَتِ الْفَرِيضَةُ، يُرِيدُ بِهِ اسْتِئْنَافَهَا عَلَى غَيْرِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ تَرْتِيبِهَا، وَهُوَ الَّذِي أَبَانَهُ بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ.
Pertama: bentuknya adalah tarjih (penguatan dalil).
Kedua: bentuknya adalah isti‘māl (pengamalan).
Adapun tarjih antara riwayat yang kami bawakan dengan riwayat-riwayat lain, maka terdapat dalam empat hal:
Pertama: bahwa riwayat yang kami bawakan sanadnya lebih sahih dan para perawinya lebih terpercaya.
Kedua: bahwa riwayat ini diamalkan oleh dua imam, yaitu Abū Bakar dan ‘Umar RA.
Ketiga: bahwa hadis kami disepakati untuk diamalkan pada sebagian bagiannya, yaitu yang berkaitan dengan zakat di bawah seratus dua puluh. Adapun yang diperselisihkan hanya pada bagian yang melebihi itu. Sedangkan riwayat-riwayat lain disepakati untuk ditinggalkan pada sebagian bagiannya, dan diperselisihkan dalam pengamalannya pada sebagian lainnya. Yang disepakati untuk ditinggalkan adalah kewajiban lima ekor kambing, dan yang diperselisihkan adalah zakat atas jumlah yang melebihi seratus dua puluh.
Keempat: bahwa hadis kami dalam bentuk musnad (bersambung sanadnya kepada Nabi SAW), sedangkan hadis mereka kadang berhenti pada sahabat (mauqūf) dan kadang musnad. Maka hadis kami lebih utama.
Adapun dari sisi isti‘māl (pengamalan), maka dari dua sisi:
Pertama: bahwa yang diriwayatkan oleh ‘Alī RA dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Fardhu zakat dimulai kembali (yaitu istu’nifat al-farīḍah),” dan ucapan “pada setiap lima ekor (unta) satu kambing” adalah dari si perawi dari ‘Alī RA yang mengira bahwa maksud dari “istu’nifat” adalah memulai kembali zakat dari awal, maka ucapannya itu tidak memiliki ketetapan hukum.
Adapun ucapan beliau “istu’nifat al-farīḍah”, yang beliau maksudkan adalah memulai kembali perhitungan zakat dengan cara yang berbeda dari susunan sebelumnya. Itulah yang dijelaskan oleh sabda Nabi SAW: “Pada setiap empat puluh (unta) seekor bintu labūn, dan pada setiap lima puluh seekor ḥiqqah.”
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُرَادَ بِقَوْلِهِ اسْتُؤْنِفَتِ الفريضة في كل خمس شاة فإسناد مِنْ غَيْرِ أَعْيَانِهَا كَأَنَّهُ مَلَكَ مِائَةً وَعِشْرِينَ ثم استأنفت فِي حَوْلِهَا خَمْسًا أَوْ عَشْرًا مِنْ غَيْرِ بناتها، فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ بِهَذَا الْحَوْلِ وَيُخْرِجَ مَنْ كُلِّ خَمْسٍ شَاةً، وَهَذَا الِاسْتِعْمَالُ ذَكَرَهُ أَبُو حَامِدٍ وَفِيهِ نَظَرٌ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ فَلَا يَصِحُّ، لِأَنَّا نَقُولُ إِنَّ الشَّاةَ قَدْ تُؤْخَذُ بَعْدَ المائة بين الستين، على أنا عَارَضْنَاهُمْ بِمِثْلِهِ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّكُمْ لَا تَنْفَكُّونَ من مخالفة الخبر وأصول الزَّكَاةِ: فَالْجَوَابُ أَنَّ مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ أَنَّ ثَلَاثَ بَنَاتِ لَبُونٍ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْكُلِّ أَعْنِي مِنَ المائة والإحدى والعشرين، ولم يخالف الْخَبَرَ لَكِنْ خَصَّصْنَاهُ، وَمَذْهَبُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، أَنَّهَا مَأْخُوذَةٌ مِنْ مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، وَالْوَاحِدَةُ الزَّائِدَةُ عليها لا يتعلق الفرض عليها، تَمَسُّكًا بِالْخَبَرِ، وَلَيْسَ فِي ذَلِكَ مُخَالَفَةً لِلْأُصُولِ، لِأَنَّا قَدْ وَجَدْنَا فِي الْأُصُولِ مَنْ يُغَيِّرُ فَرْضَ غَيْرِهِ، وَلَا يُغَيِّرُ فَرْضَ نَفْسِهِ، فَمِنْهُمُ الْأَخَوَانِ يُغَيِّرَانِ فَرْضَ الْأُمِّ مِنَ الثُّلُثِ إِلَى السدس، ولا يغيران حال نفسيهما وَالْعَبْدُ إِذَا وَطِئَ حُرَّةً بِنِكَاحٍ حَصَّنَهَا وَجَعَلَ فَرْضَهَا الرَّجْمَ، وَلَمْ يُغَيِّرْ فَرْضَ نَفْسِهِ فِي الْحَدِّ.
PASAL
Kedua: Maksud dari sabda Nabi SAW “istu’nifat al-farīḍah fī kulli khamsin syātun” (zakat dimulai kembali: pada setiap lima ekor [unta] seekor kambing) adalah penyandaran (hukum) terhadap kepemilikan baru, bukan terhadap kelanjutan dari kepemilikan sebelumnya. Seakan-akan seseorang telah memiliki seratus dua puluh ekor, lalu ia memiliki tambahan lima atau sepuluh ekor dalam haul (tahun zakat) yang berbeda dan dari unta yang bukan anak-anak unta sebelumnya. Maka dalam hal ini, ia memulai haul yang baru dan wajib mengeluarkan seekor kambing dari setiap lima ekor.
Inilah bentuk pemahaman terhadap lafaz tersebut yang disebutkan oleh Abū Ḥāmid, meskipun masih perlu ditinjau ulang.
Adapun qiyās mereka, maka tidak sah, karena kami katakan bahwa kambing memang bisa saja diambil lagi setelah melewati seratus ekor, yaitu pada nishab antara enam puluh dan seterusnya. Bahkan kami pun melawan mereka dengan qiyās yang serupa.
Adapun ucapan mereka bahwa: “Kalian tidak akan lepas dari menyelisihi hadis dan prinsip-prinsip zakat”, maka jawabannya:
Mazhab al-Syāfi‘ī adalah bahwa tiga ekor bint labūn diambil dari keseluruhan jumlah, yaitu dari seratus dua puluh satu ekor, bukan hanya dari yang lebih. Maka tidak ada penyelisihan terhadap hadis, melainkan kami mentakhsish (mengkhususkan) hadis tersebut.
Adapun mazhab Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, maka ia mengatakan bahwa tiga bint labūn diambil dari seratus dua puluh, dan satu ekor yang lebih tidak ada kaitannya dengan kewajiban zakat, sebagai bentuk pegangan terhadap hadis. Dan ini pun tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip zakat, karena kami dapati dalam prinsip-prinsip tersebut ada yang bisa mengubah kadar kewajiban pihak lain, namun tidak mengubah kadar wajibnya sendiri.
Contohnya: dua orang saudara dapat mengubah jatah bagian ibu dari sepertiga menjadi seperenam, namun tidak mengubah bagian mereka sendiri. Dan juga, seorang budak apabila menggauli perempuan merdeka melalui akad nikah, maka ia menyebabkan perempuan itu menjadi muḥṣanah (berstatus terjaga) dan hukumannya menjadi rajam. Namun budak tersebut tidak berubah hukum hadd atas dirinya sendiri.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَالِكٌ فَاسْتَدَلَّ لِصِحَّةِ مَذْهَبِهِ بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ عَلَى مائةٍ وَعِشْرِينَ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حقة ” وكان المعتبر في الزيادة اجتماع الثلاث حقاق وَبَنَاتُ اللَّبُونِ، وَذَلِكَ لَا يَجْتَمِعُ فِي أَقَلِّ مِنْ مِائَةٍ وَثَلَاثِينَ، وَهَذَا خَطَأٌ بِدَلَالَةِ مَا رَوَاهُ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ وَاحِدَةً فَفِيهَا ثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ، ثُمَّ يَبْطُلُ ما ذكره مِنَ اجْتِمَاعِ الْحِقَاقِ وَبَنَاتِ اللَّبُونِ بِمِائَةٍ وَخَمْسِينَ فَفِيهَا ثَلَاثُ حِقَاقٍ لَا غَيْرَ، وَبِمِائَةٍ وَسِتِّينَ فَفِيهَا أَرْبَعُ بَنَاتِ لَبُونٍ لَا غَيْرَ، وَأَمَّا حَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ فَلَا يَرْجِعُ إِلَى خَبَرٍ وَلَا أَثَرٍ وَلَا نَظَرٍ، فَبَطَلَ قَوْلُهُ وأما ابن جرير الطبري فله مذهب خامس أَنَّ الْمُصَدِّقَ بِالْخِيَارِ فِيمَا زَادَ عَلَى الْمِائَةِ وَعِشْرِينَ بَيْنَ ثَلَاثِ بَنَاتِ لَبُونٍ، كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَبَيْنَ حِقَّتَيْنِ وَشَاةٍ، كَمَا قَالَ أبو حنيفة وَهَذَا خَطَأٌ فَاحِشٌ لِأَنَّنَا قَدْ أَسْقَطْنَا مَا رَوَاهُ أبو حنيفة، وَأَسْقَطَ أبو حنيفة مَا رَوَيْنَاهُ، وَأَسْقَطَ ابْنُ جَرِيرٍ الْخَبَرَيْنِ جَمِيعًا،لِأَنَّهُ إِنْ ثَبَتَ أَنَّ فَرْضَهُ بَنَاتُ اللَّبُونِ لَمْ يَجُزِ اعْتِبَارُ الشَّاةِ، وَإِنْ ثَبَتَ أَنَّ فَرْضَهُ الشَّاةُ لَمْ يَجُزِ اعْتِبَارُ بَنَاتِ اللَّبُونِ فَاعْتِبَارُهُمَا إِسْقَاطُهُمَا.
PASAL
Adapun Mālik, ia berdalil untuk menguatkan pendapatnya dengan sabda Nabi SAW: “Apabila unta melebihi seratus dua puluh, maka pada setiap empat puluh ekor wajib bint labūn dan pada setiap lima puluh wajib ḥiqqah.”
Menurut Mālik, yang dianggap dalam kelebihan tersebut adalah terkumpulnya tiga ekor ḥiqqah dan banāt labūn, dan hal itu tidak mungkin terkumpul pada jumlah kurang dari seratus tiga puluh ekor.
Namun, ini adalah kesalahan, berdasarkan dalil dari riwayat al-Zuhrī dari Sālim dari ayahnya, ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila unta melebihi seratus dua puluh satu, maka zakatnya adalah tiga ekor bint labūn.”
Maka batallah apa yang ia sebutkan tentang terkumpulnya ḥiqqah dan banāt labūn pada jumlah seratus lima puluh — karena pada seratus lima puluh hanya wajib tiga ekor ḥiqqah, tidak lebih. Dan pada seratus enam puluh wajib empat ekor bint labūn, tidak lebih.
Adapun Ḥammād bin Abī Sulaymān, maka pendapatnya tidak kembali kepada hadis, atsar, maupun dalil rasional, maka batallah pendapatnya.
Adapun Ibn Jarīr al-Ṭabarī, maka ia memiliki mazhab kelima: bahwa petugas zakat diberi pilihan pada kelebihan atas seratus dua puluh — antara tiga ekor bint labūn sebagaimana pendapat al-Syāfi‘ī, atau dua ekor ḥiqqah dan seekor kambing sebagaimana pendapat Abū Ḥanīfah. Ini adalah kesalahan besar.
Karena kami telah menolak riwayat yang dijadikan pegangan Abū Ḥanīfah, dan Abū Ḥanīfah pun menolak riwayat yang kami pegang, sedangkan Ibn Jarīr telah menggugurkan kedua riwayat tersebut sekaligus.
Sebab, jika telah tetap bahwa yang wajib adalah banāt labūn, maka tidak boleh mempertimbangkan kambing. Dan jika telah tetap bahwa yang wajib adalah kambing, maka tidak boleh mempertimbangkan banāt labūn. Maka mempertimbangkan keduanya berarti menggugurkan keduanya.
فَصْلٌ
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْوَاحِدَةَ الزائدة على مائة وعشرين بغير الْفَرْضَ مُوجِبَةٌ لِثَلَاثِ بَنَاتِ لَبُونٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الزَّائِدَةِ إِذَا كَانَتْ بَعْضَ وَاحِدَةٍ، هَلْ تُغَيِّرُ الْفَرِيضَةَ أَمْ لَا فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يَتَغَيَّرُ بِهَا الْفَرْضُ، فَيَجِبُ فِي مِائَةٍ وَعِشْرِينَ وَسُدُسٍ ثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَدِيثِ أَنَسٍ ” فَإِذَا زَادَتِ الْإِبِلُ عَلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وفي كل خمسين حقة ” فجعل تغير الْفَرْضِ مُعْتَبَرًا بِالزِّيَادَةِ وَالزِّيَادَةُ لَا تَخْتَصُّ بِكَثِيرٍ دُونَ قَلِيلٍ، وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَأَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَعَامَّةُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ أَصَحُّ أن الفرض لا يتغير إلا بتغير كَامِلٍ، فَإِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ عَلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ بَعْضَ تَغْيِيرٍ لَمْ يَتَغَيَّرِ الْفَرْضُ بِهَا، وَوَجَبَ فِيهَا حِقَّتَانِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ: ” فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ وَاحِدَةً فَفِيهَا ثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ “، وَلِأَنَّهُ وَقْصٌ مُحَدَّدٌ فِي الشَّرْعِ فَوَجَبَ إِذَا كَانَتِ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ أَقَلَّ مِنْ بَعِيرٍ كَامِلٍ أَنْ لَا يَتَغَيَّرَ الْفَرْضُ بِهَا كَسَائِرِ الْأَوْقَاصِ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa satu ekor unta yang melebihi seratus dua puluh, tanpa ditetapkan sebagai farḍ, mewajibkan tiga ekor bint labūn, maka para sahabat kami berselisih pendapat tentang tambahan tersebut apabila hanya sebagian dari satu ekor, apakah mengubah farīḍah atau tidak.
Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī berkata: farḍ berubah karena tambahan tersebut, maka wajib atas seratus dua puluh dan sepertiga seekor (yaitu seperenam puluh) tiga ekor bint labūn, berdasarkan sabda Nabi SAW dalam hadis Anas: “Apabila unta melebihi seratus dua puluh, maka pada setiap empat puluh ekor ada bint labūn, dan pada setiap lima puluh ekor ada ḥiqqah.” Maka ia menjadikan perubahan farḍ tergantung pada tambahan, dan tambahan tidak khusus pada jumlah banyak saja tanpa yang sedikit.
Sedangkan Abū al-ʿAbbās Ibn Surayj, Abū Isḥāq al-Marwazī, dan mayoritas sahabat kami—dan inilah yang paling sahih—berpendapat bahwa farḍ tidak berubah kecuali dengan perubahan yang sempurna. Maka apabila tambahan atas seratus dua puluh hanyalah sebagian perubahan, maka farḍ tidak berubah karenanya, dan yang wajib hanyalah dua ekor ḥiqqah, berdasarkan sabda Nabi SAW dalam hadis Ibn ʿUmar: “Apabila melebihi seratus dua puluh satu ekor, maka wajib tiga ekor bint labūn.”
Dan karena itu adalah waqṣ yang telah ditentukan dalam syariat, maka apabila tambahan itu kurang dari seekor unta yang sempurna, tidaklah farḍ berubah karenanya sebagaimana awqāṣ lainnya.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْفَرْضَ يَتَغَيَّرُ بِمَا زَادَ عَلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ عَلَى اخْتِلَافِ هَذَيْنِ الْمَذْهَبَيْنِ فِي اعْتِبَارِ كَثِيرِ الزِّيَادَةِ وَقَلِيلِهَا، وَاعْتِبَارِ بَعِيرٍ كَامِلٍ يَزِيدُ عَلَيْهَا، فَفِيهَا بَعْدَ وُجُوبِ الزِّيَادَةِ ثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ إِلَى مِائَةٍ وَثَلَاثِينَ، فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ مِائَةً وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتَا لَبُونٍ وَحِقَّةٌ، أَمَّا بِنْتَا لَبُونٍ فَفِي ثَمَانِينَ، وَأَمَّا الْحِقَّةُ فَفِي خَمْسِينَ، ثُمَّ ذَلِكَ فَرْضُهَا إِلَى مِائَةٍ وَأَرْبَعِينَ فَإِذَا بَلَغَتْ مِائَةً وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ وَحِقَّتَانِ إِلَى مِائَةٍ وَخَمْسِينَ فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا ثَلَاثُ حِقَاقٍ إِلَى مِائَةٍ وَسِتِّينَ، فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا أَرْبَعُ بَنَاتِ لَبُونٍ إِلَى مِائَةٍ وَسَبْعِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا حِقَّةٌ وَثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ إِلَى مِائَةٍ وَثَمَانِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا حِقَّتَانِ وَبِنْتَا لَبُونٍ إِلَى مِائَةٍ وَتِسْعِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا ثَلَاثُ حِقَاقٍ وَبِنْتُ لَبُونٍ إِلَى مِائَتَيْنِ، فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا أَرْبَعُ حِقَاقٍ أو خمس بنات لبون.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa kadar wajib (zakat) berubah dengan kelebihan dari seratus dua puluh ekor unta—meskipun terdapat perbedaan dua mazhab dalam mempertimbangkan banyak atau sedikitnya tambahan, serta apakah tambahan satu ekor penuh berpengaruh atau tidak—maka setelah wajibnya tambahan itu, maka zakatnya adalah tiga ekor bint labūn sampai jumlah mencapai seratus tiga puluh tiga.
Apabila telah genap seratus tiga puluh ekor, maka zakatnya adalah dua ekor bint labūn dan satu ekor ḥiqqah.
Adapun dua bint labūn adalah untuk delapan puluh ekor, dan satu ḥiqqah untuk lima puluh ekor.
Kemudian itu adalah kadar zakatnya hingga mencapai seratus empat puluh ekor.
Apabila telah mencapai seratus empat puluh, maka zakatnya adalah satu ekor bint labūn dan dua ekor ḥiqqah, hingga mencapai seratus lima puluh.
Apabila telah sampai seratus lima puluh, maka zakatnya adalah tiga ekor ḥiqqah hingga seratus enam puluh.
Apabila telah sampai seratus enam puluh, maka zakatnya adalah empat ekor bint labūn hingga seratus tujuh puluh.
Apabila telah sampai seratus tujuh puluh, maka zakatnya adalah satu ekor ḥiqqah dan tiga ekor bint labūn hingga seratus delapan puluh.
Apabila telah sampai seratus delapan puluh, maka zakatnya adalah dua ekor ḥiqqah dan dua ekor bint labūn hingga seratus sembilan puluh.
Apabila telah sampai seratus sembilan puluh, maka zakatnya adalah tiga ekor ḥiqqah dan satu ekor bint labūn hingga dua ratus.
Apabila telah sampai dua ratus, maka zakatnya adalah empat ekor ḥiqqah atau lima ekor bint labūn.
مسألة:
قال الشافعي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ جَذَعَةً وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ منه ويجعل معها شاتين إن استيسرتا عليه أو عشرين درهماً فإذا بلغت عليه الحقة وليست عنده حقة وعنده جذعة فإنها تقبل منه الجذعة ويعطيه المصدق عشرين درهماً أو شاتين ” (قال الشافعي) حديث أنس بن مالك ثابت من جهة حماد بن سلمة وغيره عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وروي عن ابن عمر أن هذه نسخة كتاب عمر في الصدقة التي كان يأخذ عليها فحكي هذا المعنى من أوله إلى قوله ” فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خمسين حقة، (قال الشافعي) وبهذا كله نأخذ “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Barang siapa yang kadar zakatnya mencapai seekor jadza‘ah tetapi ia tidak memiliki jadza‘ah dan ia memiliki ḥiqqah, maka ḥiqqah itu diterima darinya, dan ditambahkan bersamanya dua ekor kambing—jika hal itu mudah baginya—atau dua puluh dirham. Dan apabila yang wajib atasnya adalah ḥiqqah tetapi ia tidak memiliki ḥiqqah dan memiliki jadza‘ah, maka jadza‘ah itu diterima darinya, dan petugas zakat memberinya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.”
(Al-Syafi‘i berkata): Hadis Anas bin Mālik adalah hadis yang tetap (ṣaḥīḥ) dari jalur Ḥammād bin Salamah dan selainnya dari Rasulullah SAW. Dan diriwayatkan dari Ibn ʿUmar bahwa ini adalah naskah surat Umar tentang zakat yang dulu ia gunakan sebagai pegangan, maka dikisahkan makna ini dari awal hingga sabdanya: “Pada setiap empat puluh (unta) seekor bint labūn, dan pada setiap lima puluh seekor ḥiqqah.”
(Al-Syafi‘i berkata): “Dan dengan semua ini kami berpegang.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ صَحِيحٌ.
وَأَصْلُهُ: أَنَّ مَنْ وَجَبَتِ الْفَرِيضَةُ فِي مَالِهِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ، فَلَهُ الصُّعُودُ فِي السِّنِّ وَالْأَخْذِ أَوِ النُّزُولُ وَالرَّدِّ وَقَالَ مَالِكٌ: عَلَيْهِ أَنْ يَبْتَاعَ الْفَرْضَ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ رِوَايَةُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ فِي كِتَابِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ جَذَعَةً وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ أُخِذَتْ مِنْهُ، وَيَجْعَلُ مَعَهَا إِنِ اسْتَيْسَرَ شَاتَيْنِ، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ حِقَّةً وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ جذعة أخذها وأعطاه المصدق شاتين، أو أعطاه المصدق عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَذَكَرَ مِثْلَ هَذَا فِي كُلِّ فَرِيضَةٍ، وَلِأَنَّ أَمْرَ الزَّكَاةِ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمُوَاسَاةِ وَالرِّفْقِ بِرَبِّ الْمَالِ وَالْمَسَاكِينِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنِ الْفَرْضُ مَوْجُودًا فِي مَالِهِ جَعَلَ لَهُ الصُّعُودَ وَالنُّزُولَ تَخْفِيفًا عَلَيْهِ وَرِفْقًا بِهِ، إِذْ فِي تَكْلِيفِهِ ابْتِيَاعَ الْفَرْضِ مَشَقَّةٌ لَاحِقَةٌ، فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الصُّعُودِ فِي السِّنِّ وَالْأَخْذِ وَالنُّزُولِ فِيهَا وَالرَّدِّ، فَالْوَاجِبُ فِي كُلِّ سِنٍّ شَاتَانِ أَوْ عِشْرُونَ دِرْهَمًا وَبِهِ قَالَ كَافَّةُ الْفُقَهَاءِ إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ وَهُوَ قَوْلُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ: أَنَّهُ أَوْجَبَ فِي كُلِّ سِنٍّ شَاتَيْنِ، أَوْ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ خلفاً بِأَنَّ نِصَابَ الدَّرَاهِمِ لَمَّا كَانَ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ وَنِصَابُ الْغَنَمِ أَرْبَعِينَ كَانَتْ قِيمَةُ كُلِّ شَاةٍ مِنْهَا خَمْسَةَ دَرَاهِمَ، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الشَّاتَانِ فِي مُقَابَلَةِ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ، وَهَذَا مَذْهَبٌ يَدْفَعُهُ نَصُّ الْحَدِيثِ الثَّابِتِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، عَلَى مَا رَوَيْنَاهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، فَكَانَ مُطْرَحًا، وَلَيْسَ نُصُبُ الزَّكَوَاتِ بَعْضُهَا مُقَدَّرًا بِقِيمَةِ بَعْضٍ، لِأَنَّ نِصَابَ الْبَقَرِ ثَلَاثُونَ، وَالْغَنَمِ أَرْبَعُونَ، وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْبَقَرَةَ فِي الشَّرْعِ مُقَدَّرَةٌ فِي الضَّحَايَا بِسَبْعٍ مِنَ الْغَنَمِ، وَنِصَابَ الْإِبِلِ خَمْسٌ، وَهِيَ فِي الضَّحَايَا كَالْبَقَرِ فَعُلِمَ بِذَلِكَ فَسَادُ اعْتِبَارِهِ وَعُدُولِهِ عَنِ النَّصِّ لِسُوءِ اخْتِيَارِهِ.
PASAL
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
Dasarnya adalah bahwa siapa saja yang telah wajib zakat pada hartanya tetapi tidak memiliki hewan yang sesuai dengan kadar yang diwajibkan, maka ia dibolehkan naik tingkat usia hewan (memberi yang lebih tua) dengan pengganti, atau turun tingkat usia (memberi yang lebih muda) dengan tambahan.
Mālik berpendapat bahwa wajib atasnya membeli hewan sesuai kadar yang diwajibkan. Dalil yang menunjukkan kebolehan naik-turun umur hewan zakat adalah riwayat dari Anas bin Mālik, ia berkata:
Dalam surat Abū Bakr al-Ṣiddīq RA disebutkan: “Siapa yang wajib zakatnya berupa jadza‘ah namun ia tidak memilikinya, sedangkan ia memiliki ḥiqqah, maka diambil darinya ḥiqqah dan ditambahkan kepadanya dua ekor kambing jika memungkinkan, atau dua puluh dirham. Dan siapa yang zakatnya berupa ḥiqqah dan tidak memilikinya, tetapi ia memiliki jadza‘ah, maka diambil darinya jadza‘ah, dan petugas zakat memberikan kepadanya dua kambing atau dua puluh dirham.”
Hal yang sama disebutkan dalam seluruh kadar zakat.
Karena urusan zakat dibangun di atas asas muwāsāt (saling menolong) dan rifq (kemudahan) kepada pemilik harta dan kaum miskin. Maka apabila hewan yang wajib tidak tersedia dalam hartanya, maka dibolehkan naik atau turun tingkat usia sebagai bentuk keringanan dan kemudahan baginya, sebab mewajibkan ia untuk membeli hewan tertentu adalah beban yang berat.
Apabila telah ditetapkan bolehnya naik-turun umur hewan (dengan ganti atau tambahan), maka yang wajib dalam setiap perbedaan usia adalah dua kambing atau dua puluh dirham. Ini adalah pendapat seluruh fuqahā’ kecuali yang diriwayatkan dari Ḥammād bin Abī Sulaymān dan juga pendapat ‘Alī – ‘alaihis salām – yang mewajibkan dua kambing atau sepuluh dirham dalam setiap perbedaan usia.
Dalil mereka: karena nishab dirham adalah dua ratus dirham dan nishab kambing adalah empat puluh, maka nilai setiap satu kambing adalah lima dirham, sehingga dua kambing setara dengan sepuluh dirham. Maka menurut mereka, dua kambing harus disetarakan dengan sepuluh dirham.
Namun pendapat ini ditolak oleh nash hadis yang sahih dari Rasulullah SAW sebagaimana yang kami riwayatkan dari Anas bin Mālik, maka pendapat itu tertolak.
Lagipula, nishab zakat tidak saling diukur dengan nilai satu sama lain. Karena nishab sapi adalah tiga puluh, nishab kambing empat puluh, padahal satu ekor sapi dalam hukum kurban disetarakan dengan tujuh kambing. Dan nishab unta adalah lima ekor, namun dalam kurban disamakan dengan sapi. Maka hal ini menunjukkan rusaknya penilaian berdasarkan harga, dan menyelisihi nash adalah bentuk keburukan dalam memilih pendapat.
فَصْلٌ
: إِذَا تَمَهَّدَ وُجُوبُ شَاتَيْنِ أَوْ عشرين درهماً في كل شيء زَائِدٍ أَوْ نَاقِصٍ، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى شَرْحِ الْمَذْهَبِ وَالتَّفْرِيعِ عَلَيْهِ فَنَقُولُ: إِذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْفَرِيضَةُ وَكَانَتْ فِي مَالِهِ مَوْجُودَةً، فَلَيْسَ لَهُ الْعُدُولُ عَنْهَا إِلَى الصُّعُودِ فِي الْأَسَنِّ وَالْأَخْذِ، ولا النزول فيها، ولا الرد لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَرَطَ فِي جَوَازِ الْعُدُولِ عَنِ الْفَرِيضَةِ عَدَمَهَا فِي الْمَالِ، فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ومن بلغت صدقته جذعة ولم تكن عنده وعنده حقة أخذت منه ” فلو وَجَبَتْ عَلَيْهِ حِقَّةٌ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ لبون أخذت منه، وأخذ معها شاتان أو عشرون دِرْهَمًا، وَالْخِيَارُ إِلَيْهِ فِي دَفْعِ مَا اسْتَيْسَرَ عَلَيْهِ مِنَ الشَّاتَيْنِ أَوِ الْعِشْرِينَ دِرْهَمًا، لِتَخْيِيرِ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَلَوْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ حِقَّةٌ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ جَذَعَةٌ أُخِذَتْ مِنْهُ، وَدَفَعَ إِلَيْهِ الْمُصَدِّقُ شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَلَهُ الْخِيَارُ عَلَى وَجْهِ النَّظَرِ لِلْمَسَاكِينِ فِي دَفْعِ مَا كَانَ فَقْدُهُ أَقَلَّ ضَرَرًا عَلَيْهِمْ، فَلَوْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ بِنْتُ مخاض وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ فَأَعْطَى ابْنَ لَبُونٍ لِيَقُومَ مَقَامَ بنت مخاض، وأعطى الجيران كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ، لِأَنَّ ابْنَ اللَّبُونِ فِي حُكْمِ بِنْتِ الْمَخَاضِ عِنْدَ عَدَمِهَا، فَصَارَ كَمُعْطِي بِنْتَ مَخَاضٍ، وَالْجُبْرَانِ بَدَلًا مِنْ بِنْتِ لَبُونٍ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ ابْنَ اللَّبُونِ أُقِيمَ مقامه بِنْتِ مَخَاضٍ إِذَا كَانَتْ هِيَ الْفَرْضَ، وَالْفَرْضُ هَاهُنَا بِنْتُ لَبُونٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤْخَذَ مكانها ذكر أو جبرها.
PASAL
Apabila telah tetap kewajiban dua ekor kambing atau dua puluh dirham sebagai ganti atas setiap kekurangan atau kelebihan, maka pembahasan berpindah pada penjelasan mazhab dan perincian atasnya.
Maka kami katakan: Apabila farīḍah telah wajib atas seseorang dan hewan tersebut ada dalam hartanya, maka tidak boleh baginya menggantinya dengan yang lebih tua atau yang lebih muda, atau menolaknya. Karena Rasulullah SAW mensyaratkan bolehnya mengganti farīḍah hanya jika tidak ada di dalam hartanya. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang kadar zakatnya mencapai jadza‘ah namun ia tidak memilikinya dan ia memiliki ḥiqqah, maka ḥiqqah itu diambil darinya.”
Maka jika yang wajib atasnya adalah ḥiqqah tetapi ia tidak memilikinya dan ia memiliki bint labūn, maka bint labūn itu diambil darinya, dan ditambahkan dua ekor kambing atau dua puluh dirham, dan pilihan ada padanya untuk menyerahkan yang lebih mudah baginya antara dua ekor kambing atau dua puluh dirham, karena Rasulullah SAW memberikan pilihan.
Dan jika yang wajib atasnya adalah ḥiqqah tetapi ia tidak memilikinya dan ia memiliki jadza‘ah, maka jadza‘ah itu diambil darinya, dan petugas zakat memberikan dua ekor kambing atau dua puluh dirham, dan petugas memiliki pilihan—dalam kerangka melihat maslahat untuk orang-orang miskin—untuk memberikan ganti yang kekurangannya lebih sedikit bagi mereka.
Maka jika yang wajib atasnya adalah bint makhāḍ dan ia tidak memilikinya, lalu ia memberikan ibn labūn untuk menggantikannya, serta memberikan jubrān, maka hal ini memiliki dua pendapat:
Pertama: Boleh, karena ibn labūn dihukumi sebagai pengganti dari bint makhāḍ ketika bint makhāḍ tidak ada, maka ia seperti orang yang memberikan bint makhāḍ, dan jubrān sebagai pengganti dari bint labūn.
Kedua: Tidak boleh, karena ibn labūn hanya dapat menggantikan bint makhāḍ jika bint makhāḍ adalah yang diwajibkan, sedangkan dalam kasus ini yang diwajibkan adalah bint labūn, maka tidak boleh menggantikannya dengan unta jantan ataupun dengan jubrān.
فَصْلٌ
: فَلَوِ اخْتَلَفَ الْمُصَدِّقُ وَرَبُّ الْمَالِ فِي الصُّعُودِ فِي السِّنِّ وَالنُّزُولِ فِيهَا فَقَالَ الْمُصَدِّقُ أَصْعَدُ إِلَى السِّنِّ الْأَعْلَى وَأُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَقَالَ رَبُّ الْمَالِ أَنْزِلُ إِلَى السن الأدنى وأعطى شاتين وعشرين درهماً ففيه وجهان: ظاهر مذهب الشافعي فيهما: أَنَّ الْخِيَارَ لِلْمُصَدِّقِ فَيَأْخُذُ الْأَعْلَى وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، لِأَنَّهُ أَقْوَى يَدًا فِي أَخْذِ الْأَفْضَلِ، وَالْوَجْهُ الثَّانِيُ أَنَّ الْخِيَارَ لِرَبِّ الْمَالِ فَيُعْطِي الْأَدْنَى فِي السِّنِّ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، لِأَنَّهُ أَقْوَى تَصَرُّفًا فِي مَالِهِ، وَنَظِيرُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ اخْتِلَافُ الْمُصَدِّقِ وَرَبِّ الْمَالِ فِي أَخْذِ الْحِقَاقِ، وَبَنَاتِ اللَّبُونِ مِنْ ثمانين مِنَ الْإِبِلِ، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي ذَلِكَ وَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ، فَلَوْ قَالَ الْمُصَدِّقُ آخُذُ الْأَدْنَى وَآخُذُ شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَقَالَ رَبُّ الْمَالِ أُعْطِي الْأَعْلَى وَآخُذُ شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْمُصَدِّقُ وَاجِدًا لِمَا يُعْطِيهِ فَالْخِيَارُ لَهُ، ويأخذ الأدنى من شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَلِرَبِّ الْمَالِ الْخِيَارُ مع الشاتين والعشرين درهماً، فإن كَانَ الْمُصَدِّقُ وَاجِدًا لِمَا يُعْطِيهِ إِنْ أَخَذَ الْأَعْلَى كَانَ عَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ أَحَدُهُمَا الْخِيَارُ لِلْمُصَدِّقِ، وَالثَّانِي لِرَبِّ الْمَالِ.
PASAL
Apabila terjadi perselisihan antara petugas zakat (muṣaddiq) dan pemilik harta tentang menaikkan atau menurunkan tingkat umur hewan zakat, lalu petugas zakat berkata, “Aku naikkan ke umur yang lebih tinggi dan aku berikan dua ekor kambing atau dua puluh dirham,” sementara pemilik harta berkata, “Aku turunkan ke umur yang lebih rendah dan aku beri dua ekor kambing serta dua puluh dirham,” maka ada dua pendapat:
Menurut mazhab al-Syafi‘i yang zahir dalam keduanya: pilihan berada di tangan petugas zakat, maka ia boleh mengambil yang lebih tinggi dan memberi dua ekor kambing atau dua puluh dirham, karena ia memiliki kekuatan tangan dalam mengambil yang lebih utama.
Pendapat kedua: pilihan berada di tangan pemilik harta, maka ia boleh memberikan yang lebih rendah dalam umur dan menambahkan dua ekor kambing atau dua puluh dirham, karena ia lebih berhak dalam mengelola hartanya.
Permasalahan ini serupa dengan perselisihan antara petugas zakat dan pemilik harta dalam memilih antara mengambil ḥiqqah atau bint labūn dari delapan puluh ekor unta. Pandangan mazhab al-Syafi‘i dan Abū al-ʿAbbās Ibn Surayj dalam hal ini akan dijelaskan nanti.
Maka jika petugas zakat berkata, “Aku ambil yang lebih rendah dan aku beri dua ekor kambing atau dua puluh dirham,” dan pemilik harta berkata, “Aku serahkan yang lebih tinggi dan aku terima dua ekor kambing atau dua puluh dirham,” jika petugas zakat tidak memiliki apa yang hendak ia berikan, maka pilihan berada padanya, dan ia mengambil yang lebih rendah dari dua ekor kambing atau dua puluh dirham, dan pemilik harta memiliki pilihan dalam menyerahkan dengan dua ekor kambing atau dua puluh dirham.
Namun, jika petugas zakat memiliki apa yang hendak ia berikan jika ia mengambil yang lebih tinggi, maka kembali pada dua pendapat sebelumnya:
pertama, pilihan berada di tangan petugas zakat;
kedua, pilihan berada di tangan pemilik harta.
فَصْلٌ
: وَيَجُوزُ لَهُمَا النُّزُولُ مِنْ بِنْتِ لَبُونٍ إِلَى بِنْتِ مَخَاضٍ، كَمَا جَازَ لَهُمَا النُّزُولُ مِنَ الْحِقَّةِ إِلَى بِنْتِ لَبُونٍ، وَلَا يَجُوزُ لَهُمَا النُّزُولُ مِنْ بِنْتِ مَخَاضٍ إِلَى سِنٍّ هُوَ أَدْنَى مِنْهَا، وَلَكِنْ يَجُوزُ الصُّعُودُ مِنْ بِنْتِ مَخَاضٍ إِلَى بِنْتِ لَبُونٍ، كَمَا يَجُوزُ الصُّعُودُ مِنْ بِنْتِ لَبُونٍ إِلَى حِقَّةٍ، وَيَجُوزُ الصُّعُودُ مِنْ حِقَّةٍ إِلَى جَذَعَةٍ، فَأَمَّا الصُّعُودُ مِنَ الْجَذَعَةِ إِلَى الثَّنِيَّةِ فَإِنْ دَفَعَهَا رَبُّ الْمَالِ مُتَطَوِّعًا بِفَضْلِهَا قُبِلَتْ مِنْهُ لَا يُخْتَلَفُ، كَمَا يُقْبَلُ فِي الْغَنَمِ فَوْقَ الْجِذَاعِ وَالثَّنَايَا، وَإِنْ دَفَعَهَا لِيَأْخُذَ فَضْلَ السِّنِّ الزَّائِدِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ جَوَازُهُ.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ لِتَقَارُبِهِمَا فِي الْمَنْفَعَةِ وَالْفَضِيلَةِ.
PASAL
Diperbolehkan bagi keduanya (pemilik harta dan petugas zakat) untuk turun dari bint labūn ke bint makhāḍ, sebagaimana dibolehkan turun dari ḥiqqah ke bint labūn. Namun tidak diperbolehkan turun dari bint makhāḍ ke umur yang lebih rendah darinya.
Akan tetapi dibolehkan naik dari bint makhāḍ ke bint labūn, sebagaimana dibolehkan naik dari bint labūn ke ḥiqqah, dan dibolehkan pula naik dari ḥiqqah ke jadza‘ah.
Adapun naik dari jadza‘ah ke ṯaniyyah, maka jika pemilik harta menyerahkannya secara suka rela dengan kelebihan yang ada padanya, maka hal itu diterima darinya tanpa ada perbedaan pendapat, sebagaimana juga diterima dalam zakat kambing yang melebihi umur jadza‘ dan ṯanāyā.
Namun jika ia menyerahkannya dengan maksud untuk mengambil kelebihan umur yang lebih tinggi tersebut sebagai pengganti (imbalan), maka terdapat dua pendapat:
Pertama: Dan ini adalah nash dari Imam al-Syāfi‘ī, yaitu kebolehannya.
Kedua: Tidak boleh, karena keduanya (umur jadza‘ah dan ṯaniyyah) berdekatan dalam hal manfaat dan keutamaan.
فَصْلٌ
: إِذَا كَانَتْ إِبِلُهُ إحدى وستين بنت مخاض، فأعطى واحد مِنْهَا وَهِيَ بِنْتُ مَخَاضٍ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: تؤخذ فَرْضًا، وَلَا يُكَلَّفُ غَيْرَهَا جُبْرَانًا، لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِجْحَافِ بِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تُؤْخَذُ مِنْهُ، لِأَنَّهَا فرض بعضٍ هذه الجملة إلى أن يعطي جبراناً من الْجَذَعَةِ فَتُؤْخَذُ حِينَئِذٍ مَعَ الْجُبْرَانِ.
PASAL
Apabila unta miliknya berjumlah enam puluh satu ekor semuanya bint makhāḍ, lalu ia menyerahkan satu ekor dari unta tersebut yang juga bint makhāḍ, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: bint makhāḍ tersebut diterima sebagai farḍ, dan ia tidak dibebani untuk memberikan jubrān sebagai tambahan, karena di dalamnya terdapat unsur memberatkan (yang tidak adil) terhadapnya.
Kedua: tidak boleh diambil darinya, karena itu adalah farḍ dari sebagian kelompok unta tersebut, sampai ia memberikan jubrān dari jadza‘ah, maka barulah ia diambil disertai jubrān.
فَصْلٌ
: إِذَا لم تكن الفريضة موجودة في ماله وأراد أَنْ يَصْعَدَ سِنِينَ وَيَأْخُذَ أَرْبَعَ شِيَاهٍ أَوْ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا، أَوْ أَرَادَ أَنْ يَنْزِلَ سِنِينَ وَيُعْطِيَ أَرْبَعَ شِيَاهٍ أَوْ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا، أَوْ أراد أن يصعد بثلاثة أسنان أو ينزل بثلاثة أَسْنَانٍ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ السِّنُّ الَّذِي يَلِي الْفَرِيضَةَ غَيْرَ مَوْجُودٍ فِي مَالِهِ، كَمَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ جَذَعَةٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَلَا حِقَّةٌ وَكَانَتْ عِنْدَهُ بِنْتُ لَبُونٍ، فَهَذَا لَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ أَنَّهَا تُؤْخَذُ مِنْهُ وَيُؤْخَذُ مَعَهَا إِمَّا أَرْبَعُ شِيَاهٍ أَوْ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا، وَكَذَلِكَ لَوْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ بنت مخاض فلم يكن عنده بنت مخاض ولا بنت لبون فكان عِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُؤْخَذُ مِنْهُ، وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ أَرْبَعَ شِيَاهٍ، أَوْ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا، هَذَا مَا لَمْ يَخْتَلِفْ فِيهِ الْمَذْهَبُ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدَّرَ جُبْرَانَ السِّنِّ الْوَاحِدِ بِشَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ درهماً تنبيهاً على السنين والثلاثة توخياً للرفق وطلب المواساة.
PASAL
Apabila hewan yang menjadi kadar wajib (zakat) tidak terdapat dalam hartanya, lalu ia ingin menaikkan dua tingkat umur dan menyerahkan empat ekor kambing atau empat puluh dirham, atau ia ingin menurunkan dua tingkat umur dan memberikan empat kambing atau empat puluh dirham, atau ia ingin naik tiga tingkat umur atau turun tiga tingkat umur, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
Pertama: Umur hewan yang berada satu tingkat di bawah atau di atas kadar wajib tidak tersedia dalam hartanya.
Seperti seseorang yang wajib atasnya jadza‘ah, tetapi tidak memiliki jadza‘ah dan juga tidak memiliki ḥiqqah, sedangkan ia memiliki bint labūn, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab bahwa bint labūn tersebut boleh diambil darinya, dan ditambahkan padanya empat ekor kambing atau empat puluh dirham.
Demikian pula jika wajib atasnya bint makhāḍ, namun ia tidak memiliki bint makhāḍ maupun bint labūn, sedangkan ia memiliki ḥiqqah, maka ḥiqqah tersebut diambil darinya dan petugas zakat memberinya empat ekor kambing atau empat puluh dirham.
Hal ini tidak diperselisihkan dalam mazhab, karena Rasulullah SAW telah menentukan bahwa pengganti satu tingkat umur dalam zakat adalah dua kambing atau dua puluh dirham—sebagai isyarat untuk pengganti dua tingkat (dengan empat kambing atau empat puluh dirham) dan tiga tingkat (dengan enam kambing atau enam puluh dirham), demi memberikan keringanan dan menjaga prinsip saling tolong-menolong (muwāsāt).
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مَعَ وُجُودِ السِّنِّ الَّذِي يَلِي الْفَرِيضَةَ، فَفِي جَوَازِ الِانْتِقَالِ إلى السن الثاني وَجْهَانِ.
أَحَدُهُمَا: جَوَازُهُ اعْتِبَارًا بِالتَّنْبِيهِ عَلَى مَعْنَى الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ لَا يَجُوزُ لِوُجُودِ مَا هُوَ أَقْرَبُ إِلَى الْفَرِيضَةِ كَمَا لَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ عَنِ الْفَرِيضَةِ إِلَى غَيْرِهَا مَعَ وُجُودِهَا.
PASAL
Jenis (keadaan) yang kedua adalah apabila perpindahan umur hewan (naik atau turun) dilakukan padahal umur hewan yang lebih dekat dengan kadar wajib masih ada dalam hartanya.
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: Diperbolehkan, dengan mempertimbangkan bahwa kebolehan tersebut merupakan isyarat dari makna yang terkandung dalam nash (dalil teks).
Kedua: Dan ini pendapat yang lebih sahih — tidak diperbolehkan, karena hewan yang lebih dekat dengan kadar wajib masih ada, sebagaimana tidak diperbolehkan berpindah dari kadar wajib itu ke selainnya selama kadar tersebut masih ada.
فَصْلٌ
: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْخِيَارَ فِي دَفْعِ الشَّاتَيْنِ أَوِ الْعِشْرِينَ دِرْهَمًا لِمُعْطِيهَا دُونَ آخِذِهَا، فَإِنْ كَانَ الْمُعْطِي رَبَّ الْمَالِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ دَفْعِ شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَإِنْ كَانَ الْمُصَدِّقَ كَانَ بِالْخِيَارِ على معنى النظر للمساكين، ليس على دَفْعِ شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَإِنْ كَانَ الْمُعْطِي رَبَّ الْمَالِ أَوِ الْمُصَدِّقَ، فَإِنْ أَرَادَ دَفْعَ شَاةٍ وَعَشَرَةِ دَرَاهِمَ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خيره بين شاتين وعشرين دِرْهَمًا، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْعَلَ لِنَفْسِهِ خِيَارًا ثالثاً، وكما لَا يَجُوزُ لِلْمُكَفِّرِ أَنْ يُبَعِّضَ كَفَّارَةً، فَيُخْرِجُ بَعْضَهَا كِسْوَةً، وَبَعْضَهَا طَعَامًا، لَكِنْ لَوِ انْتَقَلَ إِلَى سِنِينَ جَازَ أَنْ يُعْطِيَ شَاتَيْنِ وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا، لِأَنَّهُمَا فَرْضَانِ، وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمُ نَفْسِهِ، كَمَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ كَفَّارَتَانِ فَكَفَّرَ عَنْ أحديهما بالكسوة وعن الأخرى بالإطعام “.
PASAL
Telah kami sebutkan bahwa hak memilih antara dua ekor kambing atau dua puluh dirham diberikan kepada pihak yang menyerahkan, bukan kepada pihak yang menerima.
Jika yang menyerahkan adalah pemilik harta, maka ia berhak memilih antara memberikan dua ekor kambing atau dua puluh dirham.
Namun jika yang menyerahkan adalah petugas zakat (muṣaddiq), maka ia diberi hak memilih dengan pertimbangan kemaslahatan untuk para miskin, bukan untuk memilih antara dua kambing atau dua puluh dirham.
Apabila yang menyerahkan itu baik pemilik harta maupun petugas zakat, lalu ia ingin menyerahkan satu ekor kambing dan sepuluh dirham, maka hal itu tidak diperbolehkan.
Karena Rasulullah SAW hanya memberikan pilihan antara dua kambing atau dua puluh dirham, maka tidak boleh membuat pilihan ketiga bagi dirinya sendiri.
Sebagaimana tidak boleh bagi orang yang melaksanakan kafarat untuk membagi-bagi kafarat, seperti sebagian dikeluarkan berupa pakaian dan sebagian berupa makanan.
Namun, jika ia berpindah (dari kadar zakat) ke dua tingkat umur, maka boleh baginya untuk memberikan dua ekor kambing dan dua puluh dirham, karena keduanya adalah dua kewajiban terpisah, dan masing-masing memiliki ketentuan hukumnya sendiri.
Sebagaimana seseorang yang wajib atasnya dua kafarat, lalu ia membayar salah satunya dengan pakaian dan yang lainnya dengan makanan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا تَجِبُ الزَّكَاةُ إِلَّا بِالْحَوْلِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
الْأَمْوَالُ عَلَى ثَلَاثَةٍ أَضْرُبٍ: مَالٌ نَامٍ بِنَفْسِهِ، وَمَالٌ مُرْصَدٌ لِلنَّمَاءِ، وَمَالٌ غَيْرُ نَامٍ بِنَفْسِهِ، فَأَمَّا النَّامِي بِنَفْسِهِ، فَمِثْلُ الْمَوَاشِي وَالْمَعَادِنِ وَالزَّرْعِ وَالثِّمَارِ، وَأَمَّا الْمُرْصَدُ لِلنَّمَاءِ وَالْمُعَدُّ لَهُ فَمِثْلُ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْمَالَيْنِ: أَنَّ النَّمَاءَ فِيمَا هُوَ نَامٍ بِنَفْسِهِ تَابِعٌ لِلْمِلْكِ لَا لِلْعَمَلِ، وَالنَّمَاءَ فِيمَا كَانَ مرصد النماء تَابِعٌ لِلْعَمَلِ وَالتَّقَلُّبِ لَا لِلْمِلْكِ، أَلَا تَرَى: أَنَّهُ لَوْ غَصَبَ مَاشِيَةً فَنَتَجَتْ أَوْ نَخْلًا فَأَثْمَرَتْ كَانَ النِّتَاجُ وَالثَّمَرَةُ لِرَبِّ الْمَاشِيَةِ، وَالنَّخْلِ دُونَ الْغَاصِبِ، وَلَوْ غَصَبَ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ فنمت بالتقلب والتجارة كان النماء الزايد لِلْغَاصِبِ دُونَ رَبِّ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، وَأَمَّا الَّذِي ليس بنام في نفسه ولا مرصداً لِلنَّمَاءِ، فَهُوَ كُلُّ مَالٍ كَانَ مُعَدًّا لِلْقِنْيَةِ، كَالْعَبْدِ الْمُعَدِّ لِلْخِدْمَةِ، وَالدَّابَّةِ الْمُعَدَّةِ لِلرُّكُوبِ، وَالثَّوْبِ الْمُعَدِّ لِلُّبْسِ، فَأَمَّا مَا لَا يُرْصَدُ لِلنَّمَاءِ، وَلَا هُوَ نَامٍ فِي نَفْسِهِ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ إِجْمَاعًا، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صدقة ” فنص عليها تَنْبِيهًا عَلَى مَا كَانَ فِي مَعْنَى حُكْمِهَا، وَأَمَّا الْمَالُ النَّامِي بِنَفْسِهِ، فَيَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ: قِسْمٌ يَتَكَامَلُ نَمَاؤُهُ بِوُجُودِهِ، وَقِسْمٌ لَا يَتَكَامَلُ نَمَاؤُهُ إِلَّا بِمُضِيِّ مُدَّةٍ بَعْدَ وُجُودِهِ، فَأَمَّا مَا يَتَكَامَلُ نَمَاؤُهُ بِوُجُودِهِ فَمِثْلُ الزَّرْعِ وَالثَّمَرَةِ، فَلَا يُعْتَبَرُ فِيهِ الْحَوْلُ إِجْمَاعًا، وَعَلَيْهِ أَدَاءُ زَكَاتِهِ بعد حصاد زرعة، ودياسه، وجداد ثمرته، وجفافها، والتزام المؤن فيها، وما لا يتكامل نماؤه إلا بمضي مدة بعد وجوده، فمثل المواشي والحكم فِيهَا وَفِيمَا أُرْصِدَ لِلنَّمَاءِ مِثْلُ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ وَاحِدٌ لَا زَكَاةَ فِي شَيْءٍ مِنْهَا حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ، وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الصَّحَابَةِ وَكَافَّةِ التَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Zakat tidak wajib kecuali setelah haul (genap setahun).”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan.
Harta terbagi menjadi tiga macam:
– harta yang tumbuh dengan sendirinya,
– harta yang diperuntukkan untuk berkembang,
– dan harta yang tidak tumbuh dengan sendirinya.
Adapun harta yang tumbuh dengan sendirinya adalah seperti hewan ternak, tambang, tanaman, dan buah-buahan.
Adapun harta yang disiapkan untuk berkembang dan diperuntukkan untuk itu adalah seperti dirham, dinar, dan barang dagangan.
Perbedaan antara dua jenis harta ini adalah:
pertumbuhan pada harta yang tumbuh dengan sendirinya bergantung pada kepemilikan, bukan pada usaha;
sedangkan pertumbuhan pada harta yang diperuntukkan untuk berkembang bergantung pada usaha dan perputaran, bukan pada kepemilikan.
Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang merampas hewan ternak lalu melahirkannya, atau pohon kurma lalu berbuah, maka anak hewan dan buahnya menjadi milik pemilik hewan dan pohon kurma, bukan milik perampas.
Namun jika ia merampas dirham atau dinar lalu berkembang dengan cara diputar dan diperdagangkan, maka kelebihan hasilnya menjadi milik perampas, bukan milik pemilik dirham dan dinar.
Adapun harta yang tidak tumbuh dengan sendirinya dan tidak pula disiapkan untuk berkembang, maka itu adalah setiap harta yang diperuntukkan untuk pemanfaatan pribadi (al-qinyah), seperti budak yang disiapkan untuk melayani, hewan tunggangan yang disiapkan untuk ditunggangi, dan pakaian yang disiapkan untuk dipakai.
Adapun harta yang tidak diperuntukkan untuk berkembang, dan bukan pula tumbuh dengan sendirinya, maka tidak ada zakat di dalamnya menurut ijmak, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat bagi seorang muslim pada budaknya dan kudanya.”
Nabi menegaskan hal ini sebagai petunjuk terhadap segala sesuatu yang berada dalam makna hukum tersebut.
Adapun harta yang tumbuh dengan sendirinya, maka terbagi menjadi dua:
– bagian yang pertumbuhannya sempurna dengan sekadar keberadaannya,
– dan bagian yang pertumbuhannya tidak sempurna kecuali setelah berlalu masa tertentu pasca keberadaannya.
Adapun yang pertumbuhannya sempurna dengan keberadaannya adalah seperti tanaman dan buah-buahan, maka padanya tidak disyaratkan haul menurut ijmak, dan zakatnya wajib ditunaikan setelah panen tanaman, pengirikan, pemetikan buah, pengeringan, dan menanggung biaya-biayanya.
Adapun yang pertumbuhannya tidak sempurna kecuali setelah berlalu masa tertentu pasca keberadaannya adalah seperti hewan ternak.
Hukum padanya, dan juga pada harta yang diperuntukkan untuk berkembang seperti dirham, dinar, dan barang dagangan, adalah satu: tidak ada zakat pada apa pun darinya sampai berlalu haul, dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat, seluruh tabi‘in, dan para fuqaha.
وَقَالَ عَبْدُ الله بن عباس: إذا استفاد مالاً بهبة، أو بميراث أَوْ بِالْعَطَاءِ لَزِمَتْهُ زَكَاتُهُ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ يُعْتَبَرُ.
وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ يُزَكِّي الْعَطَاءَ وَحْدَهُ دُونَ غَيْرِهِ، قَالَا، لِأَنَّ نَمَاءَ ذَلِكَ مُتَكَامِلٌ بِوُجُودِهِ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى حَوْلٍ كَالرِّكَازِ وَغَيْرِهِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا رِوَايَةُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عَلَيْهِ الْحَوْلُ “.
وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ فِي الْمَالِ الْمُسْتَفَادِ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ “.
Dan berkata ‘Abdullāh bin ‘Abbās: Apabila seseorang memperoleh harta dari hibah, warisan, atau pemberian, maka zakatnya wajib tanpa menunggu haul.
Dan berkata ‘Abdullāh bin Mas‘ūd: Zakat wajib atas pemberian saja, tidak atas selainnya.
Keduanya berkata demikian karena pertumbuhan harta tersebut telah sempurna sejak keberadaannya, maka tidak membutuhkan haul, sebagaimana rikāz dan selainnya.
Dalil yang menentang keduanya adalah riwayat dari ‘Ā’isyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada zakat atas harta sampai berlalu haul atasnya.”
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada zakat atas harta yang diperoleh kecuali setelah berlalu haul atasnya.”
وَلِأَنَّ زَكَاةَ الْأَمْوَالِ وَجَبَتْ لِنَمَائِهَا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ زَمَانُ النَّمَاءِ وَهُوَ الْحَوْلُ مُعْتَبَرًا فِيهَا، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ وَجَبَتْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ نِعْمَةً وَتَطْهِيرًا وَالْجِزْيَةَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ نِقْمَةً وَصَغَارًا، فَلَمَّا لَمْ تَجِبِ الْجِزْيَةُ إِلَّا بِالْحَوْلِ لَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ إلا بالحول، وإذا ثَبَتَ أَنَّ النِّصَابَ وَالْحَوْلَ مُعْتَبَرٌ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ فَهَلْ يَتَعَلَّقُ وُجُوبُ الزَّكَاةِ بِهِمَا أَوْ بِشَرْطٍ ثَالِثٍ يَنْضَمُّ إِلَيْهِمَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْإِمْلَاءِ: إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ بِهِمَا وَبِشَرْطٍ ثَالِثٍ، وَهُوَ إِمْكَانُ الْأَدَاءِ فَيَكُونُ وُجُوبُهَا بِثَلَاثَةِ شَرَائِطَ، بِالنِّصَابِ، وَالْحَوْلِ، وَإِمْكَانِ الْأَدَاءِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي:
قَالَهُ فِي ” الْأُمِّ “: إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ بِشَرْطَيْنِ لَا غَيْرَ: النِّصَابُ وَالْحَوْلُ، فَأَمَّا إِمْكَانُ الْأَدَاءِ فَمِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ، وَسَنُفَرِّعُ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ بِمَا يُوَضِّحُ عَنْهُمَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
Dan karena zakat harta diwajibkan karena pertumbuhannya, maka hal itu menuntut agar waktu pertumbuhan, yaitu haul, menjadi syarat yang diperhitungkan di dalamnya.
Dan karena zakat diwajibkan atas kaum muslimin sebagai nikmat dan penyucian, sedangkan jizyah atas orang musyrik sebagai azab dan kehinaan, maka ketika jizyah tidak diwajibkan kecuali setelah berlalu haul, demikian pula zakat tidak diwajibkan kecuali dengan haul.
Jika telah ditetapkan bahwa niṣāb dan haul adalah syarat dalam kewajiban zakat, maka apakah kewajiban zakat tergantung pada keduanya saja ataukah dengan syarat ketiga yang menyertainya? Maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama, disebutkan dalam al-Imlā’:
Bahwa zakat itu wajib dengan tiga syarat: niṣāb, haul, dan kemampuan membayar. Maka kewajibannya bergantung pada tiga syarat tersebut: niṣāb, haul, dan kemampuan membayar.
Pendapat kedua, disebutkan dalam al-Umm:
Bahwa zakat itu wajib dengan dua syarat saja: niṣāb dan haul; adapun kemampuan membayar maka termasuk syarat jaminan (penanggung jawab), dan kami akan menjelaskan cabang dari dua pendapat ini dengan apa yang menerangkannya, insya Allah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ شيءٌ ولا فيما بين الفريضتين شيءٌ وإن وَجَبَتْ عَلَيْهِ بِنْتُ مخاضٍ فَلَمْ تَكُنْ عِنْدَهُ فابن لبون ذكر فإن جاء بابن لبون وابنة مخاض لم يكن له أن يأخذ ابن لبون ذكر وابنة مخاضٍ موجودةٍ وإبانة أن فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خمسين حقة أن تكون الإبل مائة وإحدى وعشرين فيكون فيها ثلاث بنات لبون وليس في زيادتها شيء حتى تكمل مائة وثلاثين فإذا كملتها ففيها حقة وابنتا لبون وليس في زيادتها شيء حتى تكمل مائة وأربعين فإذا كملتها ففيها حقتان وابنة لبون وليس في زيادتها شيء حتى تكمل مائة وخمسين فإذا كملتها ففيها ثلاث حقاق ولا شيء في زيادتها حتى تكمل مائة وستين فإذا كملتها ففيها أربع بنات لبون وليس في زيادتها شيء حتى تكمل مائة وسبعين فإذا كملتها ففيها حقة وثلاثة بنات لبون ولا شيء في زيادتها حتى تبلغ مائة وثمانين فإذا بلغتها ففيها حقتان لبون وليس في زيادتها شيء حتى تبلغ مِائَةٍ وَتِسْعِينَ فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا ثَلَاثُ حِقَاقٍ وابنة لبون “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor, dan tidak ada zakat pada bilangan yang berada di antara dua kadar wajib. Apabila wajib atasnya seekor bint makhāḍ namun ia tidak memilikinya, maka diganti dengan ibn labūn jantan. Namun apabila ia datang membawa ibn labūn dan bint makhāḍ, maka tidak boleh mengambil ibn labūn jantan sementara bint makhāḍ tersedia.”
Penjelasan tentang bahwa:
Setiap empat puluh ekor (unta) zakatnya adalah bint labūn,
dan setiap lima puluh ekor zakatnya adalah ḥiqqah.
Maka apabila jumlah unta mencapai seratus dua puluh satu, zakatnya adalah tiga bint labūn,
dan tidak ada zakat tambahan hingga mencapai seratus tiga puluh,
jika telah mencapai seratus tiga puluh maka zakatnya ḥiqqah dan dua bint labūn,
dan tidak ada tambahan hingga mencapai seratus empat puluh,
jika telah mencapai seratus empat puluh maka zakatnya dua ḥiqqah dan satu bint labūn,
dan tidak ada tambahan hingga mencapai seratus lima puluh,
jika telah mencapai seratus lima puluh maka zakatnya tiga ḥiqāq,
dan tidak ada tambahan hingga mencapai seratus enam puluh,
jika telah mencapai seratus enam puluh maka zakatnya empat bint labūn,
dan tidak ada tambahan hingga mencapai seratus tujuh puluh,
jika telah mencapai seratus tujuh puluh maka zakatnya satu ḥiqqah dan tiga bint labūn,
dan tidak ada tambahan hingga mencapai seratus delapan puluh,
jika telah mencapainya maka zakatnya dua ḥiqqah dan dua bint labūn,
dan tidak ada tambahan hingga mencapai seratus sembilan puluh,
jika telah mencapainya maka zakatnya tiga ḥiqāq dan satu bint labūn.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ نِصَابَ الْإِبِلِ خَمْسٌ وَلَا شَيْءَ، فِيمَا دُونَهَا، وَدَلَّلْنَا عَلَيْهِ، فإذا بلغت كالإبل خمساً ففيها شاة، وهي فرض إلى تسع، والأربعة الزَّائِدَةُ عَلَى الْخَمْسِ تُسَمَّى وَقْصًا، وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الشَّاةِ هَلْ تَجِبُ فِيهَا وَفِي الْخَمْسِ، أَوْ تَجِبُ فِي الْخَمْسِ وَحْدَهَا والوقص عَفْوٌ، وَكَذَا كُلُّ وَقْصٍ بَيْنَ فَرْضَيْنِ، فَفِيهِ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْإِمْلَاءِ: وَالْبُوَيْطِيُّ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ محمد بن الحسن: أَنَّ الشَّاةَ واجبة في الخمس، وهي النصاب، والوقص الذي عَلَيْهَا عَفْوٌ، وَكَذَا فَرَائِضُ الزَّكَوَاتِ فِي الْمَوَاشِيكلها مأخوذة من الأوقاص والنصب، وَالْأَوْقَاصُ الزَّائِدَةُ عَلَيْهَا عَفْوٌ لَيْسَ لَهَا فِي الْوُجُوبِ مَدْخَلٌ.
وَوَجْهُ هَذَا الْقَوْلِ: قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فِي خَمْسٍ شَاةٌ ” وَفِيهِ دَلِيلٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أحدهما: أَوْجَبَ الشَّاةَ فِيهَا فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ غَيْرَ واجبة في الزائد عليها.
Al-Māwardī berkata:
Telah kami sebutkan bahwa niṣāb unta adalah lima, dan tidak ada kewajiban zakat pada jumlah di bawahnya, serta telah kami berikan dalil atas hal itu.
Maka apabila unta telah mencapai lima, maka zakatnya adalah satu ekor kambing. Itu adalah kadar wajib hingga sembilan.
Adapun empat ekor yang melebihi dari lima itu disebut waqṣ,
Dan telah terjadi perbedaan pendapat dari Imam al-Syafi‘i mengenai zakat kambing ini:
Apakah wajib atas kelima ekor itu dan juga atas waqṣ yang menyertainya,
atau hanya wajib atas lima ekor saja dan waqṣ adalah dimaafkan?
Demikian pula setiap waqṣ yang berada antara dua kadar wajib,
maka ada dua pendapat dari Imam al-Syafi‘i:
Pendapat pertama: disebutkan dalam al-Imlā’ dan oleh al-Buwayṭī, serta menjadi pendapat Muḥammad bin al-Ḥasan:
Bahwa kambing itu wajib pada lima ekor, karena ia adalah niṣāb,
dan waqṣ yang menyertainya adalah dimaafkan (tidak dikenakan zakat).
Demikian pula seluruh kadar wajib zakat pada hewan ternak diambil dari jumlah niṣāb dan awqāṣ,
dan awqāṣ yang melebihinya adalah dimaafkan, tidak memiliki peran dalam penetapan kewajiban.
Dasar dari pendapat ini adalah sabda Nabi SAW:
“Pada lima ekor (unta) zakatnya satu kambing.”
Dalam sabda tersebut terdapat dua sisi dalil:
Pertama: Beliau mewajibkan satu kambing atas lima ekor, maka hal itu menunjukkan bahwa tidak wajib atas kelebihannya.
والثاني: أن الشاة في خمس والوقص الزَّائِدَ عَلَيْهَا دُونَ خَمْسٍ، وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ فِي فَرَائِضِ الْغَنَمِ فِي مِائَتَيْنِ وَوَاحِدَةٍ ثَلَاثُ شِيَاهٍ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ الْمِائَةِ شَيْءٌ، وَهَذَا نَصٌّ صَرِيحٌ وَلِأَنَّهُ وَقْصٌ قَصَّرَ عَنِ النِّصَابِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَتَعَلَّقَ بِهِ الزَّكَاةُ كَالْأَرْبَعَةِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ تَعَلَّقَ بِهِ الْوُجُوبُ لَكَانَ لَهُ تَأْثِيرٌ فِي الزِّيَادَةِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لَهُ تَأْثِيرٌ فِي الزِّيَادَةِ لَمْ يَكُنْ تَعَلُّقٌ بِالْوُجُوبِ، وَوَجْهُ قَوْلِهِ الْأَوَّلِ وَهُوَ اخْتِيَارُ أبي العباس، رِوَايَةَ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنَ الْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا الْغَنَمُ فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ ” فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ وَفِيهِ دَلَالَةٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: فِي أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ مِنَ الْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا الْغَنَمُ فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ، فَإِذَا وَجَبَتِ الغنم في الأربعة والعشرين كلها فوجب أن لا يختلف الإيجاب بِبَعْضِهَا.
Dan sisi dalil kedua: bahwa satu ekor kambing diwajibkan atas lima ekor unta, sedangkan waqṣ yang melebihinya tetap berada di bawah lima.
Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda mengenai kadar zakat kambing:
“Pada dua ratus satu ekor kambing, zakatnya tiga ekor kambing, dan tidak ada zakat pada jumlah di bawah seratus.”
Ini adalah nash yang jelas.
Karena waqṣ itu lebih rendah dari kadar niṣāb, maka tidak seharusnya zakat dikenakan atasnya, sebagaimana pada jumlah empat.
Dan karena jika waqṣ tersebut menimbulkan kewajiban, niscaya ia memberi pengaruh terhadap jumlah zakat yang bertambah;
namun karena ia tidak memberi pengaruh terhadap pertambahan zakat, maka tidak ada kaitan antara waqṣ dengan kewajiban zakat.
Adapun sisi pendalilan dari pendapat pertama, yang juga merupakan pilihan Abū al-‘Abbās, adalah riwayat dari Anas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Pada dua puluh empat ekor unta dan yang kurang darinya, zakatnya adalah kambing; pada setiap lima ekor satu kambing.”
Maka jika jumlahnya telah mencapai dua puluh lima sampai tiga puluh lima, maka zakatnya adalah bint makhāḍ.
Dalam hadis ini terdapat dua sisi dalil:
Pertama: Sabda Nabi SAW:
“Pada dua puluh empat ekor unta dan yang kurang darinya, zakatnya adalah kambing; pada setiap lima ekor satu kambing.”
Maka apabila zakat kambing wajib atas seluruh dua puluh empat ekor, berarti kewajiban tersebut tidak boleh dibedakan pada sebagian darinya.
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ، فَذَكَرَ النِّصَابَ وَالْوَقْصَ، وَأَضَافَ الْفَرِيضَةَ الْوَاجِبَةَ إِلَيْهِمَا، وَلِأَنَّهَا زِيَادَةٌ مِنْ جِنْسِ ماله الذي يجزي فِي حُكْمِ حَوْلِهِ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الزَّكَاةُ فِي جَمِيعِهِ كَالْخَامِسِ وَالْعَاشِرِ، وَلِأَنَّ تَعَلُّقَ الْحُكْمِ بِمِقْدَارٍ مَعْلُومٍ لَا يَمْنَعُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ مِنْ تعلق الحكم به، وبالزيادة معها أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُحْرِمَ لَوْ حَلَقَ ثَلَاثَ شَعَرَاتٍ وَجَبَ عَلَيْهِ دَمٌ، وَلَوْ حَلَقَ جَمِيعَ رَأْسِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ ذَلِكَ الدَّمُ، وَلَوْ سَرَقَ رُبُعَ دِينَارٍ قُطِعَ، وَلَوْ سَرَقَ أَلْفَ دِينَارٍ قُطِعَ ذَلِكَ الْقَطْعَ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَالَ إِنَّ الْقَطْعَ وَجَبَ فِي رُبُعِ دِينَارٍ دُونَ الزيادة لعدم تأثيرها، ولأن الدَّمَ وَجَبَ فِي ثَلَاثِ شَعَرَاتٍ دُونَ مَا زَادَ عَلَيْهَا، كَذَلِكَ الْوَقْصُ الزَّائِدُ يَتَعَلَّقُ بِهِ الْوُجُوبُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الزِّيَادَةِ تَأْثِيرٌ.
Dan sisi dalil kedua: sabda Nabi SAW, “Apabila telah mencapai dua puluh lima hingga tiga puluh lima (unta), maka zakatnya bint makhāḍ.”
Maka beliau menyebutkan niṣāb dan waqṣ, serta mengaitkan kadar wajib zakat (farīḍah) dengan keduanya.
Dan karena waqṣ itu merupakan tambahan dari jenis harta yang sejenis, yang berlaku hukum haul atas keseluruhannya, maka wajib zakat atas semuanya, sebagaimana pada harta kelima dan kesepuluh.
Dan karena keterkaitan hukum dengan kadar tertentu tidak mencegah tambahan atasnya dari juga terkena hukum tersebut.
Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang berihram apabila mencukur tiga helai rambut, wajib atasnya dam; dan apabila ia mencukur seluruh kepalanya, maka tetap wajib atasnya dam itu.
Begitu pula:
Apabila seseorang mencuri seperempat dinar, maka dipotong tangannya, dan jika ia mencuri seribu dinar, maka dipotong juga dengan potongan yang sama.
Dan tidak boleh dikatakan bahwa hukum potong tangan hanya berlaku atas seperempat dinar, bukan atas tambahan setelahnya karena tidak berpengaruh.
Begitu pula darah (dam) diwajibkan karena mencukur tiga helai rambut, bukan karena tambahan setelahnya.
Demikian pula waqṣ yang melebihi niṣāb, tetap terkena kewajiban (zakat), meskipun tambahan itu tidak berpengaruh dalam kadar zakat yang diambil.
فَصْلٌ
: الْقَوْلُ فِي إِمْكَانِ الْأَدَاءِ هَلْ هو شرط في الوجوب أو الضمان؟
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى التفريع عليهما وعلى اختلاف قوله فِي إِمْكَانِ الْأَدَاءِ هَلْ هُوَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ أَوْ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ؟ لِأَنَّهُمَا أَصْلَانِ مُتَّفِقَانِ، وَفِي كُلِّ أَصْلٍ مِنْهُمَا قَوْلَانِ، وَلَيْسَ لهذين القولين تَأْثِيرٌ مَعَ بَقَاءِ الْمَالِ وَسَلَامَتِهِ، وَإِنَّمَا تَأْثِيرُهُمَا مع تلف المال وعطيه، وَلَيْسَ يَخْلُو حَالُ تَلَفِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الْحَوْلِ أَوْ بَعْدَهُ،فَإِنْ كَانَ تَلَفُ الْمَالِ قَبْلَ الْحَوْلِ، فَحُكْمُ التألف منه حكم ما لا يُوجَدْ، فَإِنْ تَلِفَ جَمِيعُ الْمَالِ فَلَا زَكَاةَ، وَإِنْ تَلِفَ بَعْضُهُ اعْتُبِرَ حُكْمُ بَاقِيهِ إِذَا حال حوله، فإذا بَلَغَ نِصَابًا زَكَّاهُ، وَإِنْ نَقَصَ عَنْ نِصَابٍ فَلَا زَكَاةَ، فَهَذَا حُكْمُ التَّالِفِ قَبْلَ الْحَوْلِ.
وَأَمَّا التَّالِفُ بَعْدَ الْحَوْلِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
PASAL
Ucapan mengenai imkān al-adā’ (kemampuan membayar), apakah ia merupakan syarat wajib atau syarat jaminan?
Apabila penjelasan atas dua pendapat telah dijelaskan, maka pembahasan berlanjut kepada cabang-cabang yang dibangun atas keduanya, serta kepada perbedaan pendapat dalam hal apakah kemampuan membayar itu termasuk syarat wajib ataukah termasuk syarat jaminan (ḍamān),
karena keduanya merupakan dua kaidah pokok yang sama-sama diakui,
dan dalam setiap kaidah tersebut terdapat dua pendapat pula.
Adapun kedua pendapat ini, tidak memiliki pengaruh selama harta tersebut masih ada dan utuh,
melainkan pengaruhnya terjadi saat harta tersebut rusak atau hilang.
Dan keadaan kerusakan harta tidak lepas dari dua kondisi:
– apakah terjadi sebelum haul
– atau sesudahnya.
Apabila harta rusak sebelum haul, maka hukumnya seperti harta yang tidak pernah ada.
Jika seluruh hartanya rusak, maka tidak ada zakat.
Namun jika sebagian hartanya rusak, maka hukum sisanya diperhitungkan saat genap haul.
Jika jumlahnya mencapai niṣāb, maka wajib zakat.
Namun jika kurang dari niṣāb, maka tidak ada zakat.
Inilah hukum harta yang rusak sebelum haul.
Adapun harta yang rusak setelah haul, maka terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتْلَفَ بَعْدَ الْحَوْلِ وَبَعْدَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ، فَهَذَا الزَّكَاةُ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ، سَوَاءٌ تَلِفَ بَعْضُ المال أو جميعه، سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ الْإِمْكَانَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ أَوْ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ، لِأَنَّهُ بِإِمْكَانِ الْأَدَاءِ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ إِخْرَاجُهَا وَحَرُمَ عَلَيْهِ إِمْسَاكُهَا، وصار بعد الأمانة ضامناً ك ” الوديعة ” الَّتِي يَجِبُ رَدُّهَا فَيَضْمَنُهَا الْمُودَعُ بِحَبْسِهَا.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِأَنَّ إِخْرَاجَهَا عِنْدَهُ عَلَى التَّرَاخِي لَا عَلَى الْفَوْرِ، فَيُخْرِجُهَا مَتَى شَاءَ وَهَذَا غَلَطٌ، بَلْ إِخْرَاجُهَا عَلَى الْفَوْرِ، لِأَنَّ مَا وَجَبَ إِخْرَاجُهُ وَأَمْكَنَ أَدَاؤُهُ لَمْ يَجُزْ تَأْخِيرُهُ، كَالْوَدَائِعِ وَسَائِرِ الْأَمَانَاتِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ التَّلَفُ بَعْدَ الْحَوْلِ وَقَبْلَ إمكان الأداء، فذلك ضربان:
Salah satunya:
yaitu apabila harta rusak setelah haul dan setelah adanya kemampuan membayar,
maka zakat atasnya wajib, baik yang rusak itu sebagian atau seluruh harta,
baik dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat wajib atau syarat jaminan,
karena dengan adanya kemampuan membayar, telah wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat dan haram baginya menahannya.
Maka ia, setelah statusnya sebagai amanah, berubah menjadi penanggung (ḍāmin),
seperti halnya wadī‘ah (barang titipan) yang wajib dikembalikan, maka si penerima titipan akan menanggungnya jika menahannya.
Abu Ḥanīfah berkata:
Tidak ada kewajiban jaminan atasnya, karena menurutnya, pengeluaran zakat boleh ditunda (al-tarākhī) dan tidak wajib segera (al-fawr), maka ia boleh mengeluarkannya kapan saja ia mau.
Namun ini adalah kekeliruan,
bahkan pengeluaran zakat wajib dilakukan segera,
karena sesuatu yang telah wajib dikeluarkan dan dimungkinkan untuk dibayarkan, tidak boleh ditunda,
seperti pada barang-barang titipan (wadā’i‘) dan segala jenis amanah lainnya.
Adapun jenis kedua:
yaitu apabila kerusakan terjadi setelah haul namun sebelum adanya kemampuan membayar,
maka hal ini terbagi lagi menjadi dua keadaan:
أحدهما: إن تلف جَمِيعُ الْمَالِ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ جَمِيعًا لَا يَخْتَلِفُ، سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ الْإِمْكَانَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ أَوْ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ، لِأَنَّا إِنْ قُلْنَا إِنَّ إِمْكَانَ الْأَدَاءِ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ فَقَبْلَ الْإِمْكَانِ لَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْإِمْكَانَ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ فَقَدْ وَجَبَتِ الزَّكَاةُ بِالْحَوْلِ غَيْرَ أَنَّهَا فِي يَدِهِ أَمَانَةٌ لِلْمَسَاكِينِ لَا يَضْمَنُهَا إِلَّا بِالْإِمْكَانِ، وإن كَانَتْ فِي يَدِهِ أَمَانَةٌ لَمْ يَلْزَمْهُ ضَمَانُهَا بالتلف ك ” الوديعة “.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتْلَفَ بَعْضُ الْمَالِ وَيَبْقَى بعضه، فعند ذلك يتضح تبيين القولين في كل وَاحِدٍ مِنَ الْأَصْلَيْنِ، وَسَنَذْكُرُ لِفُرُوعِهِمَا وَبَيَانِ تَأْثِيرِهِمَا فَصْلَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: فِي الْغَنَمِ.
Pertama dari keduanya:
Jika seluruh harta rusak, maka tidak ada zakat atasnya menurut kedua pendapat, tidak ada perbedaan,
baik dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat wajib ataupun syarat jaminan.
Karena apabila dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat wajib, maka sebelum adanya kemampuan, zakat belumlah wajib.
Dan apabila dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat jaminan, maka zakat telah wajib karena haul,
tetapi ia berada di tangannya sebagai amanah bagi para fakir miskin, dan ia tidak menanggungnya kecuali setelah adanya kemampuan.
Dan selama harta itu masih berstatus amanah dalam tangannya, maka ia tidak wajib menanggung kerusakan tersebut, sebagaimana wadī‘ah (barang titipan).
Adapun jenis kedua:
jika sebagian harta rusak dan sebagian lagi tetap ada,
maka pada saat itulah akan tampak penjabaran kedua pendapat tersebut dalam masing-masing dari dua kaidah pokok,
dan kami akan menyebutkan cabang-cabangnya serta penjelasan tentang pengaruh dari masing-masing pendapat tersebut dalam dua pasal.
Yang pertama: dalam zakat kambing.
وَالثَّانِي: فِي الْإِبِلِ لنبني عليهما جميع الفروع، فأما الفضل فِي الْغَنَمِ فَهُوَ: أَنْ يَكُونَ مَعَهُ ثَمَانُونَ شاة يحول عليها الحول ثم تتلف منها أربعون قبل إمكان الأداء وتبقى الأربعون، فَهَذَا تَرْتِيبٌ عَلَى الْأَصْلَيْنِ فِي إِمْكَانِ الْأَدَاءِ وعفو الأوقاص، وإن قلنا: إن إمكان الأداء مند شَرَائِطِ الْوُجُوبِ فَعَلَيْهِ شَاةٌ كَامِلَةٌ لِوُجُودِ الْإِمْكَانِ وَهُوَ يَمْلِكُ أَرْبَعِينَ، وَمَا تَلِفَ قَبْلَ الْإِمْكَانِ كَمَا لَمْ يَكُنْ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْإِمْكَانَ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ، وَإِنَّ الْوُجُوبَ بِالْحَوْلِ انْبَنَى ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي الْوَقْصِ هَلْ لَهُ مَدْخَلٌ فِي الْوُجُوبِ أَمْ لَا؟ فَإِنْ قُلْنَا: لَا مَدْخَلَ لَهُ فِي الْوُجُوبِ، وَإِنَّ الشَّاةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْأَرْبَعِينَ وَالزِّيَادَةَ عَلَيْهَا عَفْوٌ فَعَلَيْهِ شَاةٌ أَيْضًا، لِأَنَّ مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْوُجُوبُ وُجُودُهُ وَعَدَمُهُ سَوَاءٌ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْوَقْصَ دَاخِلٌ فِي الْوُجُوبِ وَإِنَّ الشَّاةَ مأخوذةمِنَ الْكُلِّ فَعَلَيْهِ نِصْفُ شَاةٍ، لِأَنَّ الشَّاةَ وجبت في ثمانين، فتلف نصفها أمانة لِتَلَفِ نِصْفِ الْمَالِ، وَوَجَبَ نِصْفُهَا لِبَقَاءِ نِصْفِ الْمَالِ، فَحَصَلَ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ مِنْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: شَاةٌ.
وَالثَّانِي: نِصْفُ شَاةٍ.
Dan yang kedua: dalam zakat unta — agar seluruh cabang hukum dapat dibangun atas keduanya.
Adapun contoh rincian dalam zakat kambing adalah:
Seseorang memiliki delapan puluh ekor kambing yang telah mencapai haul,
lalu sebelum ia mampu mengeluarkan zakat, empat puluh ekor di antaranya rusak, dan yang tersisa empat puluh.
Maka perinciannya didasarkan pada dua kaidah pokok tentang imkān al-adā’ (kemampuan membayar) dan hukum waqṣ (kelebihan antara dua nisab).
Jika kita katakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat wujūb,
maka ia tetap wajib mengeluarkan satu ekor kambing secara utuh,
karena pada saat kemampuan membayar telah ada, ia memiliki empat puluh ekor,
dan apa yang rusak sebelum kemampuan membayar dianggap seperti tidak pernah ada.
Namun jika kita katakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat ḍamān (penjaminan),
dan bahwa kewajiban zakat ditetapkan karena haul,
maka hal itu tergantung pada perbedaan pendapat mengenai waqṣ — apakah ia berperan dalam kewajiban zakat atau tidak?
Jika dikatakan: waqṣ tidak berperan dalam kewajiban zakat,
dan bahwa kambing yang wajib dikeluarkan diambil dari jumlah empat puluh,
sedangkan kelebihannya dimaafkan,
maka tetap wajib atasnya satu ekor kambing,
karena sesuatu yang tidak menjadi dasar kewajiban, keberadaannya dan ketiadaannya sama saja.
Namun jika dikatakan bahwa waqṣ termasuk dalam bagian yang terkena kewajiban,
dan bahwa kambing yang wajib diambil adalah dari keseluruhan delapan puluh ekor,
maka wajib atasnya hanya setengah kambing,
karena kewajiban satu kambing berlaku atas delapan puluh ekor,
lalu setengah dari harta tersebut rusak sebagai amanah, dan setengahnya tetap ada,
maka yang wajib hanya setengahnya.
Dengan demikian, dalam kadar zakat pada kasus ini terdapat dua pendapat:
– Pertama: satu ekor kambing.
– Kedua: setengah ekor kambing.
وَلَوْ حَالَ الْحَوْلُ وَمَعَهُ ثَمَانُونَ فَتَلِفَ مِنْهَا قَبْلَ الْحَوْلِ سِتُّونَ، وَبَقِيَ عِشْرُونَ، فَيُخْرِجُ زَكَاتَهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: لَا زَكَاةَ فِيهَا إِذَا قُلْنَا إِنَّ الْإِمْكَانَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ فِيهَا نِصْفَ شَاةٍ إِذَا قيل إن الإمكان من شرائط الضمان، وإن الشَّاةَ وَجَبَتْ فِي الْأَرْبَعِينَ وَالزِّيَادَةَ عَلَيْهَا عَفْوٌ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ فِيهَا رُبُعَ شَاةٍ إِذَا قيل إن الإمكان من شرائط الضمان، وإن الشَّاةَ وَجَبَتْ فِي الثَّمَانِينَ لِبَقَاءِ رُبُعِهَا وَتَلَفِ ثَلَاثَةِ أَرْبَاعِهَا، فَهَذَا فَصْلٌ فِي الْغَنَمِ يُوَضِّحُ جَمِيعَ فُرُوعِهِ، وَإِنَّمَا ذَكَرْنَاهُ وَبَدَأْنَا بِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ هَذَا مَوْضِعُهُ، لِأَنَّهُ أَبْيَنُ وَالتَّفْرِيعُ عَلَيْهَا أَسْهَلُ.
وَأَمَّا الْفَصْلُ فِي الْإِبِلِ فَيَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ: قَسْمٌ يَكُونُ فَرِيضَةَ الْغَنَمِ، وَقِسْمٌ يَكُونُ فَرِيضَةَ الْإِبِلِ، وَجَوَازُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا دَالٌّ عَلَى وُجُوبِ الْآخَرِ، لَكِنْ فِي ذِكْرِهِمَا زِيَادَةُ بيان.
Dan seandainya telah genap haul sedangkan ia memiliki delapan puluh ekor kambing,
lalu sebelum haul itu, enam puluh ekor darinya rusak, dan tersisa dua puluh,
maka zakatnya ditunaikan menurut tiga wajah:
Pertama: tidak ada zakat padanya,
jika dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat wujūb (kewajiban).
Wajah kedua: wajib setengah kambing,
jika dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat ḍamān (penjaminan),
dan bahwa satu kambing diwajibkan atas empat puluh ekor, sedangkan kelebihannya dimaafkan.
Wajah ketiga: wajib seperempat kambing,
jika dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat ḍamān,
dan bahwa satu kambing diwajibkan atas delapan puluh ekor,
maka yang wajib hanyalah seperempatnya, karena hanya seperempat harta yang tersisa dan tiga perempat telah rusak.
Inilah pasal dalam zakat kambing yang menjelaskan seluruh cabang hukumnya,
dan kami menyebutkannya serta memulainya meskipun ini bukan tempatnya,
karena ia lebih jelas dan cabang-cabang hukumnya lebih mudah diturunkan darinya.
Adapun pasal dalam zakat unta, maka terbagi menjadi dua bagian:
– bagian yang kadar wajibnya adalah kambing,
– dan bagian yang kadar wajibnya adalah unta.
Dan bolehnya salah satunya menunjukkan wajibnya yang lain,
namun dalam penyebutan keduanya terdapat tambahan penjelasan.
فأما فريضة الْغَنَمُ، فَكَرَجُلٍ كَانَ مَعَهُ تِسْعٌ مِنَ الْإِبِلِ حَالَ حَوْلُهَا، ثُمَّ تَلِفَ مِنْهَا أَرْبَعٌ قَبْلَ إمكان الأداء وبقي خمسة، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْإِمْكَانَ شَرْطٌ فِي الْوُجُوبِ فَعَلَيْهِ شَاةٌ، لِأَنَّ الْوُجُوبَ حَدَثَ وَهُوَ يَمْلِكُ خَمْسًا، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْوُجُوبَ بِالْحَوْلِ وَالْإِمْكَانَ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الشَّاةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْخَمْسِ وَالزِّيَادَةَ عَلَيْهَا عَفْوٌ، فَعَلَيْهِ شَاةٌ أَيْضًا، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الشَّاةَ مَأْخُوذَةٌ من التسع فعليه خَمْسَةِ أَتْسَاعِ الْمَالِ، فَحَصَلَ فِي قَدْرِ زَكَاتِهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: شَاةٌ كَامِلَةٌ.
وَالثَّانِي: خَمْسَةُ أَتْسَاعِ شاة، فلو حال حول عَلَى تِسْعٍ مِنَ الْإِبِلِ ثُمَّ تَلِفَ مِنْهَا قَبْلَ الْإِمْكَانِ خَمْسٌ وَبَقِيَ أَرْبَعٌ، فَفِي زَكَاتِهَا ثلاثة أوجه:
أحدها: لا زكاة فيها، إذا قِيلَ إِنَّ الْإِمْكَانَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ.
وَالثَّانِي: فِيهَا أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ شَاةٍ إِذَا قِيلَ إِنَّ الإمكان من شرائط الضمان، لأن الشَّاةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْخَمْسِ.
Adapun kadar wajib berupa kambing,
maka contohnya seperti seorang laki-laki yang memiliki sembilan ekor unta, dan telah genap haul-nya,
lalu empat ekor darinya rusak sebelum ia mampu membayar zakat, dan tersisa lima ekor.
Jika kita katakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat wujūb, maka wajib atasnya satu ekor kambing,
karena kewajiban terjadi saat ia memiliki lima ekor.
Namun jika kita katakan bahwa kewajiban ditetapkan dengan haul, dan kemampuan membayar adalah syarat ḍamān,
maka perinciannya kembali pada pendapat tentang asal kambing yang diwajibkan:
– Jika kita katakan bahwa kambing itu diambil dari lima ekor, dan kelebihannya adalah waqṣ yang dimaafkan, maka tetap wajib satu ekor kambing.
– Namun jika kita katakan bahwa kambing diambil dari keseluruhan sembilan ekor, maka yang wajib hanyalah lima per sembilan dari seekor kambing.
Maka dalam kadar zakat dari kasus ini terdapat dua wajah:
– Pertama: satu ekor kambing secara utuh.
– Kedua: lima per sembilan ekor kambing.
Lalu jika telah genap haul atas sembilan ekor unta, kemudian lima ekor darinya rusak sebelum adanya kemampuan membayar, dan yang tersisa hanya empat,
maka zakatnya memiliki tiga wajah:
Pertama: tidak ada zakat padanya, jika dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat wujūb.
Kedua: wajib empat per lima kambing, jika dikatakan bahwa kemampuan adalah syarat ḍamān, karena kambing diambil dari lima ekor.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ فِيهَا أَرْبَعَةَ أَتْسَاعِ شَاةٍ إِذَا قِيلَ إِنَّ الشَّاةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ التِّسْعِ.
وَأَمَّا الْإِبِلُ الَّتِي فَرِيضَتُهَا مِنْهَا: فَكَرَجُلٍ مَعَهُ خمسة وَثَلَاثُونَ مِنَ الْإِبِلِ حَالَ حَوْلُهَا، ثُمَّ تَلِفَ منها قبل الإمكان عشرة، وَبَقِيَ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْإِمْكَانَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ فَعَلَيْهِ بِنْتُ مَخَاضٍ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ: فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ بِنْتَ مَخَاضٍ وَجَبَتْ فِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ، وَالزِّيَادَةَ عَلَيْهَا عَفْوٌ، فَعَلَيْهِ أَيْضًا بِنْتُ مَخَاضٍ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهَا وَجَبَتْ فِي الْخَمْسِ وَالثَّلَاثِينَ فَعَلَيْهِ خَمْسَةُ أَسْبَاعِ بِنْتِ مَخَاضٍ، لِبَقَاءِ خَمْسَةِ أسباع المال، وفي قدر زكاتها وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: بِنْتُ مَخَاضٍ.
Wajah ketiga:
bahwa yang wajib adalah empat per sembilan ekor kambing,
jika dikatakan bahwa kambing diambil dari keseluruhan sembilan ekor.
Adapun unta yang kadar zakatnya berupa unta juga, maka contohnya adalah:
Seorang laki-laki memiliki tiga puluh lima ekor unta, telah genap haul-nya,
kemudian sepuluh ekor darinya rusak sebelum adanya kemampuan membayar, dan tersisa dua puluh lima ekor.
Jika kita katakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat wujūb,
maka wajib atasnya satu ekor bint makhāḍ.
Namun jika kita katakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat ḍamān,
maka perinciannya kembali pada perbedaan pendapat dalam asal pengambilan bint makhāḍ:
– Jika dikatakan bahwa bint makhāḍ diwajibkan atas dua puluh lima ekor, dan kelebihannya adalah waqṣ yang dimaafkan,
maka tetap wajib atasnya bint makhāḍ.
– Namun jika dikatakan bahwa bint makhāḍ diwajibkan atas tiga puluh lima ekor,
maka wajib atasnya lima per tujuh dari seekor bint makhāḍ,
karena hanya lima per tujuh dari hartanya yang masih tersisa.
Maka dalam kadar zakatnya terdapat dua wajah:
Pertama: satu ekor bint makhāḍ.
وَالثَّانِي: خَمْسَةُ أَسْبَاعِ بِنْتِ مَخَاضٍ فَلَوْ حَالَ حَوْلُهُ عَلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ مِنَ الْإِبِلِ، ثُمَّ تَلِفَ مِنْهَا قَبْلَ الإمكان خمسة عشر وبقي خمس وعشرون، فَفِي قَدْرِ زَكَاتِهَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَرْبَعُ شِيَاهٍ، إِذَا قِيلَ إِنَّ الْإِمْكَانَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ.
وَالثَّانِي: أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ بِنْتِ مَخَاضٍ، إِذَا قيل إن الإمكان من شرائط الضمان وإن بِنْتَ مَخَاضٍ وَجَبَتْ فِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ.
وَالثَّالِثُ: أَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ بِنْتِ مَخَاضٍ، إِذَا قِيلَ إِنَّهَا وجبت في خمس وثلاثين لبقاء أربعة أتساع الْمَالِ وَعَلَى هَذَا، وَقِيَاسُهُ يَكُونُ جَوَابُ مَا يَتَفَرَّعُ مِنَ الْمَسَائِلِ عَلَى هَذَيْنِ الْأَصْلَيْنِ وَبِاللَّهِ تعالى التوفيق.
Wajah kedua: lima per tujuh dari bint makhāḍ.
Maka, seandainya telah genap haul atas tiga puluh lima ekor unta,
lalu lima belas ekor darinya rusak sebelum adanya kemampuan membayar, dan tersisa dua puluh lima ekor,
maka kadar zakatnya memiliki tiga wajah:
Pertama: empat ekor kambing,
jika dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat wujūb,
karena saat haul, hartanya utuh, dan setelah rusak sebagian, maka ia hanya dikenai kadar zakat g̱anam (kambing).
Kedua: empat per lima dari seekor bint makhāḍ,
jika dikatakan bahwa kemampuan membayar adalah syarat ḍamān,
dan bahwa bint makhāḍ diwajibkan atas dua puluh lima ekor,
karena yang tersisa darinya adalah empat per lima dari jumlah tersebut.
Ketiga: empat per tujuh dari bint makhāḍ,
jika dikatakan bahwa bint makhāḍ diwajibkan atas tiga puluh lima ekor,
dan yang masih tersisa adalah empat per tujuh dari harta aslinya.
Dengan demikian, qiyas dari contoh ini menjadi acuan dalam menjawab berbagai cabang masalah yang dibangun atas dua kaidah pokok ini.
Dan hanya kepada Allah SWT pertolongan dimohon.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ مِائَتَيْنِ فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَإِنْ كَانَتْ أَرْبَعُ حِقَاقٍ مِنْهَا خَيْرًا مِنْ خَمْسِ بَنَاتِ لَبُونٍ أَخَذَهَا الْمُصَدِّقُ وإن كانت خمس بنات لبون خيراً منها أَخَذَهَا لَا يَحِلُّ لَهُ غَيْرُ ذَلِكَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْإِبِلَ إِذَا بَلَغَتْ مائتين إِمَّا أَرْبَعُ حِقَاقٍ أَوْ خَمْسُ بَنَاتِ لَبُونٍ، فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ فِي الْمَالِ إِلَّا أَحَدُ الْفَرْضَيْنِ أَخَذَهُ الْمُصَدِّقُ، وَإِنْ كَانَ غَيْرُهُ أَفْضَلَ مِنْهُ، لَا يَخْتَلِفُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرُ أَصْحَابِهِ، حِقَاقًا كَانَتْ أَوْ بَنَاتِ لَبُونٍ، فَأَمَّا إِذَا اجْتَمَعَ الْفَرْضَانِ مَعًا فِي الْمَالِ: فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْفَرْضَ فِي أَحَدِهِمَا إِمَّا أَرْبَعُ حِقَاقٍ أَوْ خَمْسُ بَنَاتِ لَبُونٍ وَخَرَّجَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا قَوْلًا ثَانِيًا لِلشَّافِعِيِّ مِنْ كَلَامٍ ذَكَرَهُ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ الْمُصَدِّقَ يَأْخُذُ الْحِقَاقَ لَا غَيْرَ، وَلَيْسَ تَخْرِيجُ هَذَا الْقَوْلِ صَحِيحًا، بَلْ مَذْهَبُهُ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ لَمْ يَخْتَلِفْ فِي جَوَازِ أَخْذِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْفَرْضَيْنِ مَعَ وُجُودِ الْآخَرِ، لِتَعْلِيقِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْفَرْضَ بِهِمَا، ثُمَّ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَى الْمُصَدِّقِ أَنْ يَجْتَهِدَ فِي أَخْذِ أَفْضَلِهِمَا، فَإِنْ كَانَتِ الْحِقَاقُ أَفْضَلَ أَخَذَهَا، وَإِنْ كَانَتْ بَنَاتُ لَبُونٍ أَفْضَلَ أَخَذَهَا وَلَيْسَ لِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يمنعه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Dan tidak ada sesuatu (tambahan zakat) atas kelebihannya sampai mencapai dua ratus. Maka apabila telah mencapai dua ratus, jika empat ekor ḥiqāq lebih baik daripada lima ekor banāt labūn, maka petugas zakat mengambilnya. Dan jika lima ekor banāt labūn lebih baik dari empat ḥiqāq, maka itulah yang diambil. Tidak halal baginya (petugas) mengambil selain dari itu.”
Al-Māwardī berkata:
Telah kami sebutkan bahwa apabila unta telah mencapai dua ratus, maka kadar zakatnya adalah:
– empat ekor ḥiqāq, atau
– lima ekor banāt labūn.
Apabila dalam harta itu hanya terdapat salah satu dari dua kadar tersebut, maka petugas zakat mengambil yang ada,
meskipun yang lain lebih utama daripadanya.
Tidak terdapat perbedaan dalam mazhab Imam al-Syafi‘i dan seluruh sahabat beliau mengenai hal ini,
baik itu yang tersedia adalah ḥiqāq maupun banāt labūn.
Namun apabila kedua kadar itu terdapat bersamaan dalam harta,
maka mazhab Imam al-Syafi‘i adalah bahwa kadar wajibnya adalah salah satu dari keduanya:
– empat ekor ḥiqāq, atau
– lima ekor banāt labūn.
Sebagian sahabat kami mengeluarkan pendapat kedua yang dinisbatkan kepada Imam al-Syafi‘i dari perkataan beliau dalam qaul qadīm,
bahwa petugas hanya boleh mengambil ḥiqāq, tidak selainnya.
Akan tetapi, istinbat terhadap pendapat ini tidak benar,
karena mazhab beliau baik dalam qaul qadīm maupun jadīd tidak berbeda pendapat tentang bolehnya mengambil salah satu dari dua kadar tersebut bila keduanya sama-sama tersedia,
karena Nabi SAW menggantungkan kewajiban pada keduanya.
Selanjutnya, mazhab Imam al-Syafi‘i menetapkan bahwa petugas zakat wajib berijtihad dalam memilih yang terbaik dari keduanya:
– Jika ḥiqāq lebih baik, maka ia mengambilnya.
– Jika banāt labūn lebih baik, maka ia mengambilnya.
Dan pemilik harta tidak boleh melarangnya dari mengambil yang terbaik.
وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ الْخِيَارُ إِلَى رَبِّ الْمَالِ فِي دَفْعِ الْحِقَاقِ إِنْ شَاءَ أَوْ بَنَاتِ اللَّبُونِ إِنْ شَاءَ، كَمَا كَانَ لَهُ الْخِيَارُ فِيمَا بَيْنَ السِّنِينَ بَيْنَ شَاتَيْنِ، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ أَصَحُّ، لِأَنَّ الْمَالَ إِذَا اشْتَمَلَ عَلَى صِنْفَيْنِ جَيِّدٍ وَرَدِيءٍ لَمْ يَجُزْ إِخْرَاجُ فَرْضِهِ مِنَ الرَّدِيءِ، وَلَزِمَ إِخْرَاجُهُ مِنَ الْجَيِّدِ، كَمَا لَوِ اجْتَمَعَ فِي مَالِهِ صِحَاحٌ وَمِرَاضٌ أَوْ صِغَارٌ وَكِبَارٌ، فَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ فِي الْخِيَارِ عَلَى الدَّرَاهِمِ، أَوِ الشَّاتَيْنِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوِ الشَّاتَيْنِ مُتَعَلِّقَةٌ بِذِمَّةِ رَبِّ الْمَالِ دُونَ ماله، ومن لزمه في الذمة أخذ حقتين كَانَ مُخَيَّرًا فِي دَفْعِ أَيِّهِمَا شَاءَ، وَالْفَرْضُ فِي الْحِقَاقِ أَوْ بَنَاتِ اللَّبُونِ مُتَعَلِّقٌ بِالْمَالِ لَا بِالذِّمَّةِ، فَكَانَ الْخِيَارُ فِي الْأَخْذِ إِلَى مُسْتَحَقِّهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ لِرَبِّ الْمَالِ الْعُدُولُ إِلَى الْعِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوِ الشَّاتَيْنِ إِلَى ابْتِيَاعِ الْفَرِيضَةِ الْوَاجِبَةِ عَلَيْهِ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ الدَّرَاهِمِ أَوِ الشَّاتَيْنِ، وَلَمَّا لَمْ يَجُزْ لِرَبِّ الْمَالِ الْعُدُولُ عَنْ هَذَيْنِ الْفَرْضَيْنِ إِلَى غَيْرِهِمَا لم يكن مخيراً فيهما.
Abu al-‘Abbās Ibn Surayj berkata:
Pilihan (menentukan jenis hewan zakat) berada di tangan pemilik harta:
ia boleh memberikan ḥiqāq jika ia menghendaki, atau banāt al-labūn jika ia menghendaki,
sebagaimana ia memiliki pilihan antara dua kambing atau dua puluh dirham dalam zakat,
namun pendapat Imam al-Syafi‘i lebih kuat,
karena apabila suatu harta mencakup dua jenis: yang baik dan yang buruk,
maka tidak boleh mengeluarkan kadar zakat dari yang buruk,
dan wajib mengeluarkannya dari yang baik,
sebagaimana jika dalam hartanya terdapat hewan yang sehat dan yang sakit, atau yang muda dan yang tua.
Adapun apa yang disebutkan oleh Abu al-‘Abbās Ibn Surayj mengenai adanya pilihan dalam hal dua puluh dirham atau dua ekor kambing,
maka perbedaannya dengan kasus ḥiqāq dan banāt labūn adalah dari dua sisi:
Pertama: bahwa dua puluh dirham atau dua kambing itu terkait dengan tanggungan (dzimmah) pemilik harta, bukan langsung dengan hartanya.
Maka barang siapa yang wajib atasnya dua ḥiqah dalam dzimmah-nya, ia diberi pilihan untuk menyerahkan salah satunya.
Adapun kadar zakat berupa ḥiqāq atau banāt labūn, itu terkait langsung dengan harta, bukan dengan dzimmah,
maka pilihan (dalam pengambilan) berada di tangan pihak yang berhak menerimanya (petugas zakat).
Kedua: bahwa ketika diperbolehkan bagi pemilik harta untuk mengganti dua puluh dirham atau dua kambing dengan membeli hewan zakat yang wajib atasnya,
maka ia boleh memilih antara keduanya.
Namun, karena tidak diperbolehkan bagi pemilik harta untuk mengganti antara dua kadar wajib ḥiqāq dan banāt labūn dengan selain keduanya,
maka ia tidak memiliki hak untuk memilih di antara keduanya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فإن أخذ من رَبُّ الْمَالِ الصِّنْفَ الْأَدْنَى كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أن يخرج الفضل فيعطيه أهل السهمان فإن وجد أحد الصنفين ولم يجد الآخر الذي وجد “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَى الْمُصَدِّقِ أَنْ يَأْخُذَ أَفْضَلَ الْفَرْضَيْنِ من المال إذا اجتمعا فيه، فإن أخذا دونهما أو أقلهما دفعه لِلْمَسَاكِينِ فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَأْخُذَ عَنِ اجتهاد.
والثاني: عن غَيْرِ اجْتِهَادٍ فَإِنْ أَخْذَهُ عَنِ اجْتِهَادٍ فَقَدَ أجزأ رَبَّ الْمَالِ، لَا يُخْتَلَفُ فِيهِ، وَهَلْ عَلَيْهِ إخراج الفضل أم لا؟ على وجهين:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Jika petugas zakat mengambil dari pemilik harta jenis yang lebih rendah, maka wajib atasnya (pemilik harta) mengeluarkan kelebihan (nilai) dan memberikannya kepada para mustahiq (pemilik bagian). Jika salah satu dari dua jenis itu ada dan yang lainnya tidak ada, maka yang ada itulah yang diambil.”
Al-Māwardī berkata:
Telah kami sebutkan bahwa mazhab Imam al-Syafi‘i mewajibkan atas petugas zakat untuk mengambil kadar zakat yang terbaik dari dua jenis jika keduanya ada dalam harta.
Jika ia malah mengambil jenis yang di bawahnya, atau yang lebih sedikit nilainya, dan memberikannya kepada para fakir miskin,
maka keadaan ini memiliki dua kondisi:
Pertama: ia mengambilnya berdasarkan ijtihād (pertimbangan yang matang).
Kedua: ia mengambilnya tanpa ijtihād.
Jika ia mengambilnya berdasarkan ijtihād, maka zakatnya sah dan mencukupi dari pemilik harta—tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Namun, apakah wajib atas pemilik harta mengeluarkan kelebihan nilai (faḍl) atau tidak? Maka terdapat dua pendapat (wajah).
أحدهما: إِخْرَاجُ الْفَضْلِ الَّذِي بَيْنَ السِّنِينَ، لِأَنَّهُ أَعْطَى دُونَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ فَكَانَ كَمَنْ أَعْطَاهُ شَاةً وَعَلَيْهِ شَاتَانِ:
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ الْفَضْلِ وَقَدْ أَجْزَأَهُ مَا أَدَّاهُ، لِأَنَّهُ لَوْ وجب عليه إخراج الفضل بعد أداء الغرض لاقتضى أن لا يقع المؤدي موقع الآخر، ولو لم يقع موقع الآخر لَوَجَبَ رَدُّهُ، فَلَمَّا لَمْ يَجِبْ رَدُّهُ دَلَّ عَلَى إِجْزَائِهِ، وَمَنْ قَالَ بِالْأَوَّلِ انْفَصَلَ عَنْ هَذَا بِأَنْ قَالَ: إِنَّمَا لَمْ يَلْزَمْهُ رَدُّهُ لأنه بعض ما وجب عليه، والمصدق إن أَخَذَ بَعْضَ الْوَاجِبِ كَانَ لَهُ الْمُطَالَبَةُ بِالْبَاقِي وَلَمْ يَلْزَمْهُ رَدُّ مَا أَخَذَ وَإِنْ كَانَ المصدق في الأصل قد أخذ ذلك من غير اجتهاد، فهل يجزي ذَلِكَ رَبَّ الْمَالِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Wajah pertama:
Wajib mengeluarkan faḍl (kelebihan nilai) yang ada di antara dua jenis usia hewan (misalnya antara ḥiqqah dan bint labūn),
karena ia telah memberikan kurang dari apa yang sebenarnya wajib atasnya,
maka hukumnya seperti orang yang memberikan seekor kambing padahal yang wajib atasnya dua ekor kambing.
Wajah kedua:
Tidak wajib mengeluarkan faḍl, karena zakat yang telah diberikan itu sudah mencukupi,
karena jika memang masih wajib atasnya mengeluarkan faḍl setelah menunaikan kewajiban utama,
maka hal itu menunjukkan bahwa apa yang ia keluarkan belum menggugurkan kewajiban,
dan jika memang belum menggugurkan kewajiban, tentu ia wajib mengembalikannya.
Namun ketika tidak diwajibkan mengembalikannya, itu menunjukkan bahwa zakat tersebut sah dan mencukupi.
Bagi yang berpendapat dengan wajah pertama, mereka menjawab argumen ini dengan mengatakan:
Ia tidak wajib mengembalikannya karena yang diberikan itu adalah sebagian dari apa yang diwajibkan atasnya,
dan petugas zakat jika hanya mengambil sebagian dari yang wajib, maka ia tetap berhak menuntut sisanya,
dan tidak wajib mengembalikan apa yang sudah diambil.
Jika petugas zakat mengambil zakat tanpa ijtihād (pertimbangan),
maka apakah zakat itu sah dan mencukupi bagi pemilik harta atau tidak?
Terdapat dua wajah (pendapat).
أحدهما: لا يجزئه، لِأَنَّهُ أَعْطَى غَيْرَ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ، فَكَانَ كَمَنْ دَفَعَ ابْنَ لَبُونٍ مَعَ وُجُودِ بِنْتِ مَخَاضٍ، فَعَلَى هَذَا عَلَيْهِ دَفْعُ الْأَفْضَلِ، وَلَهُ اسْتِرْجَاعُ مَا دَفَعَ، فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا أَخَذَهُ، وَإِنْ كَانَ مُسْتَهْلَكًا أَخَذَ قِيمَتَهُ مِنْ مَالِ من استهلكه.
والوجه الثاني: يجزئه ذَلِكَ، لِأَنَّ أَخْذَ الْأَفْضَلِ وَجَبَ مِنْ طَرِيقِ الِاجْتِهَادِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُبْطِلَ حُكْمًا ثَبَتَ بالنص، فعلى هذا يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ مَا بَيْنَهُمَا مِنَ الْفَضْلِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا أَحَدُهُمَا يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ الْفَضْلِ وَالثَّانِي لَا يَلْزَمُهُ.
Wajah pertama:
Tidak mencukupi, karena ia telah memberikan selain dari apa yang wajib atasnya,
maka hukumnya seperti orang yang memberikan ibn labūn padahal yang tersedia adalah bint makhāḍ.
Maka berdasarkan wajah ini, ia wajib memberikan yang lebih utama,
dan ia berhak mengambil kembali apa yang telah ia berikan:
– jika masih ada, maka ia ambil,
– dan jika telah habis digunakan, maka ia ambil nilainya dari harta orang yang telah menggunakannya.
Wajah kedua:
Zakat itu mencukupi, karena pengambilan yang lebih utama (al-afḍal) wajibnya berdasarkan ijtihād,
maka tidak boleh membatalkan suatu hukum yang telah ditetapkan berdasarkan nash.
Berdasarkan wajah ini, apakah ia tetap wajib mengeluarkan selisih kelebihan nilai (faḍl) antara keduanya atau tidak?
Maka kembali kepada dua wajah yang telah lalu:
– Pertama: ia wajib mengeluarkan faḍl.
– Kedua: ia tidak wajib mengeluarkannya.
فَصْلٌ
: فَإِذَا أَرَادَ إِخْرَاجَ الْفَضْلِ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ بَيْنَ الْفَرِيضَتَيْنِ، لَمْ تَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أن يَقْدِرَ عَلَى إِخْرَاجِهِ مِنَ الْحَيَوَانِ، أَوْ لَا يَقْدِرُ، فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِخْرَاجِهِ مِنَ الْحَيَوَانِ إِمَّا لِقِلَّةِ الْفَضْلِ، أَوْ لِتَعَذُّرِ الْحَيَوَانِ، أَجْزَأَهُ إِخْرَاجُهُ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ، لِأَنَّهُ مَوْضِعُ ضَرُورَةٍ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْحَيَوَانِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أحدهما: لا يجزئه غَيْرُ الْحَيَوَانِ، لِأَنَّ ذَلِكَ يُؤَدِّي إِلَى إِخْرَاجِ الْقِيَمِ فِي الزَّكَاةِ، فَعَلَى هَذَا يُصْرَفُ الْفَضْلُ فِي شَاةٍ أَوْ بَعِيرٍ إِنْ قَدَرَ عَلَيْهِ كاملاً، ولا يَصْرِفُهُ فِي جُزْءٍ مِنْهُ عَلَى حَسَبِ الْفَضْلِ، وَلَا يَجُوزُ صَرْفُ الْفَضْلِ فِي بَقَرَةٍ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ فَرَائِضِ الْإِبِلِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ إخراج الفضل دراهم أو دنانير إن قَدَرَ عَلَى الْحَيَوَانِ، لِأَنَّ ذَلِكَ تَلَافِي نَقْصٍ وليس بقيم كَالشَّاتَيْنِ وَالْعِشْرِينَ دِرْهَمًا الْمَأْخُوذَةِ بَيْنَ السِّنِينَ، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَعْدِلَ عَنِ الدَّرَاهِمِ أو الدنانير إِلَى الْعُرُوضِ وَالسِّلَعِ، وَلَكِنْ لَوْ عَدَلَ إِلَى الْحَيَوَانِ أَجْزَأَهُ لَا يُخْتَلَفُ، وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
PASAL
Apabila seseorang ingin mengeluarkan faḍl (kelebihan nilai) yang wajib atasnya di antara dua kadar zakat,
maka keadaannya tidak lepas dari dua hal:
– apakah ia mampu mengeluarkannya dalam bentuk hewan,
– atau tidak mampu.
Jika ia tidak mampu mengeluarkannya dalam bentuk hewan,
baik karena nilai faḍl terlalu kecil,
atau karena hewan tidak tersedia,
maka mencukupi baginya untuk mengeluarkannya dalam bentuk dirham atau dinar,
karena hal itu termasuk keadaan darurat.
Namun jika ia mampu mengeluarkannya dalam bentuk hewan, maka terdapat dua wajah (pendapat):
Wajah pertama:
Tidak sah mengeluarkan faḍl kecuali dalam bentuk hewan,
karena hal itu akan menjerumuskan pada pengeluaran zakat dalam bentuk nilai (bukan bentuk aslinya),
dan berdasarkan wajah ini, maka faḍl harus dibayarkan dalam bentuk seekor kambing atau unta secara utuh, jika mampu,
dan tidak boleh dibayarkan dalam bentuk sebagian hewan sesuai nilai faḍl.
Juga tidak boleh dibayarkan dalam bentuk sapi, karena sapi bukan termasuk kadar wajib zakat unta.
Wajah kedua:
Boleh mengeluarkan faḍl dalam bentuk dirham atau dinar meskipun ia mampu menyediakan hewan,
karena itu bukan termasuk pembayaran qīmah (nilai) murni,
melainkan bentuk penambal kekurangan,
seperti dua kambing atau dua puluh dirham yang boleh diambil antara dua jenis usia hewan zakat.
Berdasarkan wajah ini,
tidak boleh menggantinya dengan barang dagangan atau komoditas (‘urūḍ),
namun jika ia menggantinya dengan hewan, maka itu sah menurut kesepakatan.
Wallāhu ta‘ālā a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُفَرِّقُ الْفَرِيضَةَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا نَقْلُ الْمُزَنِيِّ وَنَقْلُ الرَّبِيعِ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” وَلَا يُفَارِقُ الْفَرِيضَةَ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ هَاتَيْنِ الرِّوَايَتَيْنِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ نَقْلَ الرَّبِيعِ هُوَ الصَّحِيحُ، وَنَقْلَ الْمُزَنِيِّ إِمَّا أَنْ يَكُونَ أَخْطَأَ فِيهِ أَوْ حَذَفَ الْأَلِفَ منه اسْتِخْفَافًا كَمَا حُذِفَتْ مِنْ صَالِحٍ وَعُثْمَانَ، فَيَكُونَ مَعْنَى نَقْلِ الرَّبِيعِ ” وَلَا يُفَارِقُ الْفَرِيضَةَ ” أَيْ: إذا وجد السن الواجب فِي الْمَالِ لَا يُفَارِقُهَا وَيَعْدِلُ إِلَى سِنٍّ أَعْلَى وَيُعْطِي أَوْ أَدْنَى وَيَأْخُذُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مِنْ قَوْلِ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ النَّقْلَيْنِ صحيحان، ومعناهما مختلف، فمعنى قول الرَّبِيعِ مَا ذَكَرْنَا، وَمَعْنَى نَقْلِ الْمُزَنِيِّ ” وَلَا يُفَرِّقُ الْفَرِيضَةَ ” إِذَا كَانَ مَعَهُ مِائَتَانِ مِنَ الْإِبِلِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَرِّقَ فَرْضَهَا فَيَأْخُذَ بَعْضَهُ حِقَاقًا وَبَعْضَهُ بَنَاتِ لَبُونٍ، بَلْ إِمَّا أنيَأْخُذَ أَرْبَعَ حِقَاقٍ، أَوْ خَمْسَ بَنَاتِ لَبُونٍ، فَتَكُونُ رِوَايَةُ الرَّبِيعِ مِنَ الْمُفَارَقَةِ، وَرِوَايَةُ الْمُزَنِيِّ مِنَ التَّفْرِيقِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Tidak boleh memisahkan fardhu (hewan zakat yang wajib diambil).”
Al-Māwardī berkata:
Ini adalah riwayat al-Muzanī, dan juga riwayat al-Rabī‘ dari Imam al-Syafi‘i dalam kitab al-Umm,
namun lafaznya berbeda: dalam riwayat al-Rabī‘ tertulis: “wa lā yufāriqu al-farīḍah” (tidak memisahkan diri dari fardhu),
maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam memahami perbedaan dua riwayat ini menjadi dua wajah:
Wajah pertama:
Bahwa riwayat al-Rabī‘ adalah yang sahih,
dan riwayat al-Muzanī kemungkinan salah kutip, atau sengaja menggugurkan huruf alif dari kata yufāriqu sebagai bentuk takhfīf (keringanan),
sebagaimana pengguguran alif dari nama Ṣāliḥ dan ‘Uthmān.
Maka makna riwayat al-Rabī‘ “wa lā yufāriqu al-farīḍah” adalah:
Jika jenis usia hewan yang wajib tersedia dalam harta, maka tidak boleh berpaling darinya
dengan mengambil yang lebih tinggi usianya dan memberi tambahan,
atau yang lebih rendah usianya dan meminta tambahan.
Wajah kedua:
Ini adalah pendapat sahih dari sahabat-sahabat kami: bahwa kedua riwayat itu sama-sama sahih dan maknanya berbeda.
– Makna riwayat al-Rabī‘ adalah seperti yang telah dijelaskan: berkaitan dengan mufāraqah (meninggalkan jenis usia hewan yang wajib).
– Sedangkan makna riwayat al-Muzanī “wa lā yufarriqu al-farīḍah” adalah:
Apabila seseorang memiliki dua ratus ekor unta,
maka tidak boleh memecah kadar zakatnya dengan mengambil sebagian dalam bentuk ḥiqāq dan sebagian dalam bentuk banāt labūn,
melainkan harus mengambil salah satu secara utuh:
– empat ekor ḥiqāq, atau
– lima ekor banāt labūn.
Dengan demikian, riwayat al-Rabī‘ berbicara tentang mufāraqah (berpaling dari jenis wajib),
dan riwayat al-Muzanī berbicara tentang tafrīq (memecah kadar zakat).
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا كَانَ مَعَهُ مِائَتَانِ مِنَ الْإِبِلِ فِيهَا خَمْسُ بَنَاتِ لَبُونٍ، وَثَلَاثُ حِقَاقٍ، أُخِذَتْ مِنْهُ خَمْسُ بَنَاتِ لَبُونٍ، فَإِنْ أَعْطَى ثَلَاثَ حِقَاقٍ وَبِنْتَ لَبُونٍ مَعَ شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ فِي ذَلِكَ مُفَارَقَةَ الْفَرْضِ إِلَى غَيْرِهِ مَعَ وُجُودِهِ وَلَوْ كَانَ فِي مَالِهِ أَرْبَعُ بَنَاتِ لَبُونٍ وَحِقَّةٌ وَاحِدَةٌ، وَلَيْسَ فِي مَالِهِ غَيْرَ ذَلِكَ، فَإِنْ أَعْطَى هَذِهِ الْأَرْبَعَ مَعَ الْحِقَّةِ وأخذ شاتين مع عِشْرِينَ دِرْهَمًا جَازَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَعْدِلْ عَنِ الْفَرْضِ الْمَوْجُودِ فِي مَالِهِ، وَإِنْ أَعْطَى حِقَّةً وَثَلَاثَ بَنَاتِ لَبُونٍ مَعَ سِتِّ شِيَاهٍ أَوْ سِتِّينَ دِرْهَمًا، كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ ذَكَرْنَا تَوْجِيهَهُمَا.
PASAL
Apabila seseorang memiliki dua ratus ekor unta, dan di dalamnya terdapat lima ekor banāt labūn dan tiga ekor ḥiqāq,
maka yang diambil darinya adalah lima banāt labūn.
Jika ia malah memberikan tiga ḥiqāq ditambah satu bint labūn bersama dua ekor kambing atau dua puluh dirham,
maka hal itu tidak sah,
karena perbuatan tersebut termasuk mufāraqah al-farīḍah (meninggalkan jenis kadar yang telah ditentukan) padahal kadar yang benar masih tersedia dalam hartanya.
Namun, jika dalam hartanya terdapat empat ekor banāt labūn dan satu ekor ḥiqah saja,
dan tidak ada selain itu,
lalu ia menyerahkan keempat banāt labūn bersama satu ḥiqah,
dan menerima dua kambing atau dua puluh dirham sebagai pengganti,
maka hal itu diperbolehkan,
karena ia tidak berpaling dari kadar yang tersedia dalam hartanya.
Adapun jika ia menyerahkan satu ḥiqah dan tiga banāt labūn disertai enam ekor kambing atau enam puluh dirham,
maka hal itu kembali kepada dua wajah (pendapat) yang telah disebutkan sebelumnya dan telah dijelaskan arah istidlāl (penalarannya).
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ فَأَمَّا إِذَا كان معه أربع مائة مِنَ الْإِبِلِ، فَإِنْ أَعْطَى ثَمَانِيَ حِقَاقٍ جَازَ، وَإِنْ أَعْطَى عَشْرَ بَنَاتِ لَبُونٍ جَازَ، وَإِنْ أعطى أربع حقاق أو خمس بَنَاتِ لَبُونٍ جَازَ أَيْضًا عَلَى مَنْصُوصِ الشَّافِعِيِّ وَمَذْهَبِ عَامَّةِ أَصْحَابِهِ.
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: لَا يَجُوزُ ذَلِكَ، كَمَا لَا يَجُوزُ فِي الْمِائَتَيْنِ؛ لِأَنَّ فِيهِ تَفْرِيقَ الْفَرِيضَةِ، وَهَذَا غَلَطٌ.
والفرق بينهما: أن المائتين نصاب فرضه أخذ نسق فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَرِّقَ كَالْكَفَّارَةِ الْوَاحِدَةِ الَّتِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُفَرِّقَ بَعْضَهَا كِسْوَةً وَبَعْضَهَا طعاماً، والأربع مائة نصابان لها فَرْضَانِ فَجَازَ تَفْرِيقُهُمَا كَالْكَفَّارَتَيْنِ إِذَا فَرَّقَهُمَا فَأَطْعَمَ عن أحديهما وكسا عن الأخرى.
pertama: boleh.
kedua: tidak boleh.
Adapun jika ia memiliki empat ratus ekor unta, maka apabila ia memberikan delapan ḥiqāq, boleh; apabila ia memberikan sepuluh banāt labūn, boleh; dan apabila ia memberikan empat ḥiqāq atau lima banāt labūn, juga boleh menurut nash Imam al-Syafi’i dan mazhab mayoritas sahabat-sahabatnya.
Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī berkata: tidak boleh hal tersebut, sebagaimana tidak boleh dalam dua ratus (unta); karena hal itu termasuk memisah-misah farīḍah, dan ini adalah kekeliruan.
Perbedaan antara keduanya adalah: bahwa dua ratus itu adalah satu niṣāb yang farḍ-nya diambil secara berurutan, maka tidak boleh dipisah, seperti satu kafārah yang tidak boleh dipisah, sebagian berupa pakaian dan sebagian berupa makanan. Sedangkan empat ratus adalah dua niṣāb yang masing-masing memiliki farḍ, maka boleh dipisah, seperti dua kafārah yang jika dipisah, maka memberi makan untuk salah satunya dan memberi pakaian untuk yang lainnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ الْفَرْضَانِ مَعِيبَيْنِ بمرضٍ أَوْ هيامٍ أَوْ جَرَبٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَسَائِرُ الْإِبِلِ صحاح قيل له إِنْ جِئْتَ بِالصِّحَاحِ وَإِلَّا أَخَذْنَا مِنْكَ السِّنَّ الَّتِي هِيَ أَعْلَى وَرَدَدْنَا أَوِ السِّنَّ الَّتِي هي أسفل وأخذنا والخيار في الشاتين أو العشرين درهماً، إلى الذي أعطى ولا يختار الساعي إلا ما هو خير لأهل السهمان وكذلك إن كانت أعلى بسنين أو أسفل فالخيار بين أربع شياه أو أربعين درهماً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ مَعَهُ مائتان من الإبل صحاحاً، وكان الفرضان حقاً فِيهِمَا مَعِيبَيْنِ بِمَرَضٍ أَوْ هُيَامٍ، وَهُوَ دَاءٌ يَأْخُذُ الْإِبِلَ فِي أَجْوَافِهَا فَلَا تَزَالُ تَكْرَعُ الْمَاءَ عِطَاشًا حَتَّى تَمُوتَ قَالَ الشَّاعِرُ:
(الْقَوْمُ هيمٌ وَالْأَدَاوَى يُبَّسُ … أَنْ تَرِدِ الْمَاءَ بِمَاءٍ أَكْيَسُ)
Masalah:
Imam al-Syafi’i ra. berkata:
“Apabila dua farḍ (unta zakat yang harus diberikan) itu cacat karena sakit, atau hayām, atau jarab, atau selainnya, sedangkan unta-unta yang lain sehat, maka dikatakan kepadanya: ‘Kalau engkau datangkan yang sehat, (maka ambillah); jika tidak, kami akan mengambil unta dari umur yang lebih tinggi dan kami akan kembalikan selisihnya, atau dari umur yang lebih rendah lalu kami ambil, dan (dalam hal ini) pilihan antara dua ekor kambing atau dua puluh dirham ada pada pemberi zakat. Tidak boleh petugas zakat memilih kecuali yang paling baik bagi para mustaḥiq. Demikian pula jika yang ada hanya unta dengan umur lebih tinggi beberapa tahun, atau lebih rendah, maka pilihannya antara empat ekor kambing atau empat puluh dirham.’”
Al-Māwardī berkata:
“Dan ini benar, apabila ia memiliki dua ratus ekor unta yang semuanya sehat, dan dua ekor unta yang wajib dizakati itu kebetulan cacat karena sakit atau hayām, yaitu penyakit yang menyerang perut unta hingga ia terus-menerus minum air dalam keadaan kehausan sampai mati.”
Penyair berkata:
(Al-qawmu hīmun wa al-adāwā yubbisu … an tarid al-mā’a bi-mā’in akyasu)
“Kaum itu dilanda hayām dan obatnya kering … maka lebih cerdas bila engkau hadapi air dengan air (yakni: dengan unta sehat yang bisa minum air dengan normal).”
أَوْ جَرَبٌ، وَهُوَ الدَّاءُ الْمَعْرُوفُ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يُخْرِجَ الْفَرْضَ مَعِيبًا مَعَ صِحَّةِ مَالِهِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيه) {البقرة: 267) وَرَوَى أَنَسُ بن مَالِكٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا كَتَبَ لَهُ إِلَى الْبَحْرِينِ، كَانَ له فِي كِتَابِهِ لَا تَأْخُذْ هَرِمَةً، وَلَا ذَاتَ عَيْبٍ.
وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ فِي كِتَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، وَلَا تَأْخُذْ هَرِمَةً وَلَا ذَاتَ عوارٍ، وَلِأَنَّ أَمْرَ الزَّكَوَاتِ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمُعَادَلَةِ بَيْنَ الْمَسَاكِينِ، وَأَرْبَابِ الْأَمْوَالِ، وَالرِّفْقِ بِهِمَا، فَلَمَّا لَمْ يَأْخُذْ مِنَ الْمَعِيبِ صَحِيحًا رِفْقًا بِرَبِّ الْمَالِ، لَمْ يَأْخُذْ مِنَ الصَّحِيحِ مَعِيبًا رِفْقًا بِالْمَسَاكِينِ، فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَخْذُ الْمَعِيبِ فِيهَا، قِيلَ لِرَبِّ الْمَالِ أنت بالخيار أَنْ تَأْتِيَنَا بِفَرْضِهَا مِنْ غَيْرِهَا، إِمَّا أَرْبَعُ حِقَاقٍ، أَوْ خَمْسُ بَنَاتِ لَبُونٍ تُشْبِهُ مَالَكَ، وبين أن نأخذ منك السن الأعلى، أو تعطي السِّنَّ الْأَدْنَى وَتَأْخُذَ، فَإِنْ صَعِدَ إِلَى السِّنِّ الْأَعْلَى وَهُوَ الْجَذَاعُ، صَعِدَ إِلَيْهَا مِنَ الْحِقَاقِ لا من بنات اللبون، لأنه إِذَا صَعِدَ مِنْ بَنَاتِ اللَّبُونِ صَعِدَ إِلَى الْحِقَّةِ وَهِيَ فَرْضُهُ، وَإِنْ أَرَادَ النُّزُولَ نَزَلَ مِنْ بَنَاتِ اللَّبُونِ إِلَى بَنَاتِ الْمَخَاضِ، وَلَا يَنْزِلُ مِنَ الْحِقَاقِ إِلَيْهَا لِمَا ذَكَرْنَا.
Atau penyakit jarab, yaitu penyakit yang sudah dikenal, maka tidak boleh mengeluarkan zakat dengan hewan yang cacat sementara hartanya sehat. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya} (al-Baqarah: 267).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Abu Bakar al-Ṣiddīq RA ketika menulis surat ke Bahrain, dalam suratnya tercantum: “Jangan ambil unta yang tua, dan jangan pula yang cacat.”
Dan diriwayatkan oleh al-Zuhrī dari Sālim dari ayahnya dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa di dalam kitab Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Ḥazm terdapat: “Jangan ambil unta yang tua, dan jangan pula yang cacat.”
Karena urusan zakat dibangun atas dasar kesetaraan antara orang miskin dan para pemilik harta, serta kelembutan terhadap keduanya. Maka ketika tidak diambil dari harta yang cacat untuk keringanan bagi pemilik harta, tidak diambil pula dari harta yang sehat tetapi dengan kondisi cacat demi kelembutan terhadap kaum miskin.
Apabila sudah ditetapkan bahwa tidak boleh mengambil yang cacat, maka dikatakan kepada pemilik harta: engkau diberi pilihan untuk membawa hewan zakatnya dari selain yang cacat, yaitu empat ḥiqqah atau lima banāt labūn yang sebanding dengan hartamu, atau engkau serahkan unta dengan umur lebih tinggi, atau engkau memberikan unta yang lebih muda lalu engkau menambahkannya.
Jika ia naik ke umur yang lebih tinggi, yaitu jadh‘ah, maka ia naik dari ḥiqqah bukan dari banāt labūn, karena jika ia naik dari banāt labūn, ia akan naik ke ḥiqqah dan itu memang zakat yang wajibnya. Dan jika ia ingin turun, maka ia turun dari banāt labūn ke banāt makhāḍ, dan tidak boleh turun dari ḥiqqah ke banāt makhāḍ sebagaimana telah dijelaskan.
فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: فَإِنْ كَانَ الْفَرْضَانِ مَعِيبَيْنِ بِمَرَضٍ أَوْ هُيَامٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، وَسَائِرُ الْإِبِلِ صِحَاحٌ، فَيَعْنِي وَبَاقِي الْإِبِلِ صِحَاحٌ، لِأَنَّ لَفْظَةَ سَائِرٍ إِنَّمَا تُسْتَعْمَلُ فِي مَوْضِعِ كُلٍّ عَلَى وَجْهِ الْمَجَازِ، وَإِلَّا فَهِيَ مُسْتَعْمَلَةٌ فِيمَا بَقِيَ حَقِيقَةً، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إذا أكلتم فاسئروا ” أي فبقوا وَقَالَ الْأَعْشَى:
(بَانَتْ وَقَدْ أَسْأَرَتْ فِي النَّفْسِ حَاجَتَهَا … بَعْدَ ائْتِلَافٍ وَخَيْرُ الْقَوْلِ مَا نَفَعَا)
وَلِذَلِكَ يُقَالُ لِمَا بَقِيَ فِي الْإِنَاءِ سُؤْرٌ.
Adapun perkataan al-Syafi‘i: “Jika dua ekor unta yang menjadi hewan zakat itu cacat karena sakit atau huyām (penyakit gila pada unta), atau cacat karena selain itu, sedangkan seluruh unta yang lain sehat,” maksudnya adalah selain kedua unta tersebut sehat.
Karena lafaz sāʾir (seluruh/semua) sebenarnya dipakai dalam arti kull (keseluruhan) secara majaz, adapun secara hakikat maka ia dipakai untuk makna sisanya.
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kalian makan maka fasāʾirū (sisakanlah).” Maksudnya: maka tinggalkanlah sisanya.
Dan al-A‘shā berkata:
Bānat wa qad asʾarat fī al-nafsi ḥājatahā … ba‘da iʾtilāfin wa khayru al-qawli mā nafa‘ā
“Dia pergi sementara masih menyisakan di jiwa keperluannya, setelah adanya keakraban, dan sebaik-baik ucapan adalah yang bermanfaat.”
Karena itu, sisa yang ada di bejana disebut suʾr.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَأْخُذُ مَرِيضًا وَفِي الْإِبِلِ عَدَدٌ صحيحٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ:
إِذَا كَانَتْ إِبِلُهُ صِحَاحًا وَمِرَاضًا لَمْ يَجُزْ أَنْ تُؤْخَذَ زَكَاتَهَا مِرَاضًا لِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الدَّلِيلِ، وَوَجَبَ أَنْ تُؤْخَذَ زَكَاتُهَا مِنَ الصِّحَاحِ اعْتِبَارًا بِقَدْرِ مَالِهِ.
مِثَالُ ذَلِكَ: أَنْ يَكُونَ مَعَهُ ثَلَاثُونَ مِنَ الْإِبِلِ نِصْفُهَا صِحَاحٌ وَنِصْفُهَا مِرَاضٌ، يَكُونُ فرضها بنت مخاض، فقال: كَمْ تُسَاوِي بِنْتُ مَخَاضٍ مِنْ مِرَاضِهَا، فَيُقَالُ: مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَيُقَالُ: كَمْ تُسَاوِي بِنْتُ مَخَاضٍ من صِحَاحِهَا، فَيُقَالُ ثَلَاثُمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَيُؤْخَذُ نِصْفُ الْمِائَةِ وَهُوَ خَمْسُونَ وَنِصْفُ الثَّلَاثِمِائَةِ وَهُوَ مِائَةٌ وَخَمْسُونَ فتضيفهما فَيَكُونَانِ مِائَتَيْنِ، فَيُؤْخَذُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ مِنَ الصِّحَاحِ، وَثَمَنُهَا مِائَتَا دِرْهَمٍ، ثُمَّ عَلَى هَذَا الِاعْتِبَارِ فِيمَا زَادَ وَنَقَصَ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan tidak boleh mengambil unta yang sakit, padahal dalam hartanya terdapat unta yang sehat.”
Al-Māwardī berkata: Benar sebagaimana yang dikatakan.
Apabila ia memiliki unta yang sehat dan yang sakit, maka tidak boleh diambil zakatnya dari yang sakit karena dalil yang telah disebutkan, dan wajib diambil zakatnya dari unta yang sehat sesuai dengan kadar hartanya.
Contohnya: seseorang memiliki tiga puluh ekor unta, separuhnya sehat dan separuhnya sakit. Zakat yang wajib baginya adalah seekor bint makhāḍ. Maka dikatakan: berapa harga bint makhāḍ dari unta yang sakit? Dijawab: seratus dirham. Lalu ditanyakan: berapa harga bint makhāḍ dari unta yang sehat? Dijawab: tiga ratus dirham.
Maka diambil setengah dari seratus, yaitu lima puluh, dan setengah dari tiga ratus, yaitu seratus lima puluh. Kemudian keduanya dijumlahkan, menjadi dua ratus. Lalu diambil darinya seekor bint makhāḍ dari unta yang sehat, dengan harga dua ratus dirham. Dan berdasarkan perhitungan ini, berlaku pula pada tambahan maupun pengurangan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه:
وإن كانت كلها معيبة لم يكلفه صحيحاً من غيرها ويأخذ جبر المعيب.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ جَمِيعُ مَالِهِ مَعِيبًا لَمْ يُكَلَّفْ زَكَاتَهَا صَحِيحًا سَلِيمًا، وَأُخِذَتْ زَكَاتُهَا مِنْهَا، وَقَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ لَا تُؤْخَذُ إِلَّا الصَّحِيحَةُ عَنِ الْمِرَاضِ، وَالْكَبِيرَةُ عَنِ الصِّغَارِ، احْتِجَاجًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا تأخذ هَرِمَةٌ وَلَا ذَاتُ عوارٍ ” وَهَذَا غَلَطٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمُعَاذٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ ” يَسِّرْ وَلَا تُعَسِّرْ، وَبَشِّرْ وَلَا تُنَفِّرْ، فَإِنْ أَطَاعُوكَ بِالصَّدَقَةِ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ ” وَلِرِوَايَةِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْغَاضِرِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” ثَلَاثٌ مَنْ عَمِلَهَا طَعِمَ طَعْمَ الْإِيمَانِ: مَنْ عَبَدَ اللَّهَ سُبْحَانَهُ لَا إِلَهَ غَيْرُهُ، وأخرج زكاة ماله طيبة بها نفسه رافدة عليه كل عام ولم يخرج الدرنة ولا الشرط اللئيمة ولكن أخرج وَسَطَ الْمَالِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَسْلُبْكُمْ خيره، ولم يأمركم بشره ” ولأن كل ما تُؤْخَذُ زَكَاتُهُ مِنْ جِنْسِهِ لَا يُكَلَّفُ إِخْرَاجَ زَكَاتِهِ مِنْ غَيْرِهِ، كَالْحُبُوبِ وَالثِّمَارِ لَا يُكَلَّفُ مِنَ التَّمْرِ الرَّدِيءِ إِخْرَاجَ الْجَيِّدِ، فَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا تَأْخُذْ هَرِمَةً وَلَا ذَاتَ عوارٍ ” فَالْمُرَادُ بِهِ الْمَالُ السَّلِيمُ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Jika seluruhnya cacat, maka tidak dibebani untuk mengeluarkan yang sehat dari selainnya, tetapi diambil zakatnya dari yang cacat dengan tambahan jabr (pengganti).”
Al-Māwardī berkata: Benar sebagaimana yang beliau katakan. Apabila seluruh hartanya cacat, maka tidak diwajibkan zakatnya dengan yang sehat dan selamat, melainkan diambil zakatnya dari harta yang cacat itu.
Mālik bin Anas berpendapat: tidak boleh diambil kecuali yang sehat dari yang sakit, dan yang besar dari yang kecil. Ia berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Janganlah engkau ambil unta yang tua dan jangan pula yang cacat.”
Namun ini keliru, karena Rasulullah SAW bersabda kepada Mu‘ādz ketika mengutusnya ke Yaman:
“Mudahkanlah, jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat lari. Jika mereka menaatimu dalam zakat, maka ambillah dari mereka, dan jauhilah harta mereka yang paling baik.”
Dan karena riwayat Jubair bin Nufair dari ‘Abdullāh bin Mu‘āwiyah al-Ghāḍirī, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Tiga perkara, siapa yang mengamalkannya akan merasakan manisnya iman: barang siapa menyembah Allah semata, tiada tuhan selain Dia; mengeluarkan zakat hartanya dengan hati yang lapang setiap tahun, tidak mengeluarkan yang jelek, tidak pula yang hina, tetapi mengeluarkan dari pertengahan hartanya. Karena sesungguhnya Allah Ta‘ala tidak mencabut kebaikannya darimu, dan tidak memerintahkanmu dengan yang jelek.”
Selain itu, setiap sesuatu yang zakatnya diambil dari jenisnya, maka tidak dibebani mengeluarkan zakat dari selain jenis itu. Seperti halnya biji-bijian dan buah-buahan, tidak diwajibkan dari kurma yang buruk mengeluarkan yang baik.
Adapun sabda Nabi SAW: “Jangan ambil unta yang tua dan jangan pula yang cacat,” maka maksudnya adalah bila hartanya dalam keadaan sehat.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ لَا يُكَلَّفُ زَكَاتَهَا صِحَاحًا مِنْ غَيْرِ مَالِهِ فقد قال الشافعي ” يأخذ خير المعيب ” واختلف أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَجْرَى الْكَلَامَ عَلَى ظَاهِرِهِ وَأَوْجَبَ أَخْذَ خَيْرِ الْمَعِيبِ مِنْ جَمِيعِ مَالِهِ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّهُ لَا يَطَّرِدُ عَلَى أَصْلِ الشَّافِعِيِّ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ أَرَادَ بذلك أخذ خير الفرضين وهي الْحِقَاقِ وَبَنَاتِ اللَّبُونِ وَلَمْ يُرِدْ خَيْرَ جَمِيعِ الْمَالِ وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ أَرَادَ بِخَيْرِ الْمَعِيبِ أَوْسَاطَهَا، كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: {كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ للنَّاس) {آل عمران: 110) يَعْنِي: وَسَطًا، لِأَنَّهُ قَالَ تَعَالَى فِي آيَةٍ أُخْرَى: {كَذَلَكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً) {البقرة: 143) وَمَنْ قَالَ بِهَذَا السهم فِي اعْتِبَارِ الْأَوْسَطِ وَجْهَانِ:
PASAL:
Apabila sudah ditetapkan bahwa ia tidak dibebani mengeluarkan zakat dengan unta yang sehat dari selain hartanya, maka al-Syafi‘i berkata: “Diambil yang terbaik dari unta yang cacat.”
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang maksud ucapan ini.
Sebagian dari mereka menjalankan perkataan itu sesuai lahiriahnya dan mewajibkan mengambil yang terbaik dari seluruh unta yang cacat dalam hartanya. Ini keliru, karena tidak sesuai dengan prinsip al-Syafi‘i.
Sebagian lain berkata: yang beliau maksud adalah mengambil yang terbaik dari dua jenis unta zakat, yaitu ḥiqqah dan banāt labūn, bukan yang terbaik dari seluruh hartanya. Ini yang benar, dan dengan pendapat ini berkata Abū ‘Alī bin Khayrān.
Sebagian yang lain berkata: yang dimaksud dengan khayr al-ma‘īb (yang terbaik dari yang cacat) adalah yang pertengahan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia} (Āli ‘Imrān: 110), maksudnya adalah umat pertengahan. Karena Allah Ta‘ala berfirman dalam ayat lain: {Demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan} (al-Baqarah: 143).
Dan orang yang berpendapat demikian menempatkannya dalam pertimbangan pada bagian pertengahan, dengan dua wajah:
أحدهما: أوسطها عيباً.
مثال ذلك: أن يَكُونُ بِبَعْضِهَا عَيْبٌ وَاحِدٌ، وَبِبَعْضِهَا عَيْبَانِ، وَبِبَعْضِهَا ثلاث عيوب، فيأخذ ما له عَيْبَانِ.
وَالثَّانِي: أَوْسَطُهَا فِي الْقِيمَةِ.
مِثَالُ ذَلِكَ: أَنْ تَكُونَ قِيمَةُ بَعْضِهَا مَعِيبًا خَمْسِينَ وَقِيمَةُ بعضها مِائَةً، وَقِيمَةُ بَعْضِهَا مَعِيبًا مِائَةً وَخَمْسِينَ، فَيَأْخُذَ مِنْهَا مَا قِيمَتُهُ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ، لِأَنَّهُ أَوْسَطُهَا قِيمَةً فَحَصَلَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ أَرْبَعَةُ مَذَاهِبَ أَصَحُّهَا وَأَوْلَاهَا مَا قَالَهُ ابْنُ خَيْرَانَ إِنَّهُ يَأْخُذُ خَيْرَ الْفَرْضَيْنِ لَا غَيْرَ، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْأُمِّ ” فَقَالَ: يَأْخُذُ خير المعيب من السن التي وجبت عليه.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُهَا غَلَطًا، وَأَضْعَفُهَا: يَأْخُذُ خَيْرَ الْمَالِ كُلِّهِ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: يَأْخُذُ أَوْسَطَهَا عَيْبًا.
Pertama: yang pertengahan dalam cacatnya.
Contohnya: sebagian unta ada yang memiliki satu cacat, sebagian ada yang memiliki dua cacat, dan sebagian ada yang memiliki tiga cacat. Maka yang diambil adalah yang memiliki dua cacat.
Kedua: yang pertengahan dalam nilainya.
Contohnya: sebagian unta yang cacat bernilai lima puluh, sebagian bernilai seratus, dan sebagian bernilai seratus lima puluh. Maka yang diambil adalah yang nilainya seratus, karena itu yang pertengahan dalam nilai.
Dengan demikian, terdapat empat mazhab dalam masalah ini. Yang paling sahih dan utama adalah sebagaimana yang dikatakan Ibn Khayrān, yaitu diambil yang terbaik dari dua jenis unta zakat yang wajib, tidak selainnya. Hal ini juga telah ditegaskan oleh al-Syafi‘i dalam al-Umm: “Diambil yang terbaik dari unta yang cacat pada umur yang wajib atasnya.”
Mazhab kedua: dan ini yang paling jelas keliru serta paling lemah, yaitu mengambil yang terbaik dari seluruh harta.
Mazhab ketiga: mengambil yang pertengahan dalam cacatnya.
وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: يَأْخُذُ أَوْسَطَهَا قِيمَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ نَصًّا فِي كِتَابِ الْأُمِّ: وَإِذَا كَانَ جميع ماله مراضاً والفرض منها مَوْجُودًا، لَمْ يَحِلَّ لَهُ الْعُدُولُ عَنْهُ إِلَى الصُّعُودِ وَأَخْذِ الْجُبْرَانِ، وَلَا إِلَى النُّزُولِ وَدَفْعِ الْجُبْرَانِ، لِوُجُودِ السِّنِّ الْمَفْرُوضِ، وَلَوْ كَانَ الْفَرْضُ مَعْدُومًا فِي مَالِهِ، فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَنْزِلَ إِلَى سِنٍّ أَدْنَى وَيُعْطِيَ مَعَهَا شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا جُبْرَانًا لِلسِّنِّ النَّاقِصِ جَازَ، لِأَنَّهُ إِذَا جَازَ قَبُولُهُ فِي الْجُبْرَانِ عَنْ سِنٍّ صَحِيحٍ جَازَ قَبُولُهُ عَنْ سِنٍّ مَرِيضٍ، وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَصْعَدَ إِلَى سِنٍّ أَعْلَى وَيَأْخُذَ الْجُبْرَانَ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّ ذَلِكَ جُبْرَانٌ فِي سِنٍّ صَحِيحٍ، فَلَمْ يَجُزْ لِلْمُصَدِّقِ أَنْ يَجْعَلَهُ جُبْرَانًا فِي سِنٍّ مَرِيضٍ، فَإِنْ أَعْطَى الْأَعْلَى مُتَطَوِّعًا بِالزِّيَادَةِ جَازَ قَبُولُهُ، وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
Mazhab keempat: mengambil yang pertengahan dalam nilainya.
Al-Syafi‘i menegaskan dalam al-Umm:
“Apabila seluruh hartanya adalah unta yang sakit, dan hewan zakat yang diwajibkan ada di dalamnya, maka tidak halal baginya untuk berpaling darinya dengan naik ke umur di atasnya lalu mengambil jabrān, dan tidak pula turun ke umur di bawahnya dengan membayar jabrān, karena umur yang diwajibkan sudah ada.
Namun jika umur yang diwajibkan tidak ada dalam hartanya, lalu ia ingin turun ke umur yang lebih rendah dan menambah dua ekor kambing atau dua puluh dirham sebagai jabrān untuk menutup kekurangan umur, maka boleh. Sebab jika boleh diterima jabrān dalam pengganti umur yang sehat, maka boleh pula diterima dalam pengganti umur yang sakit.
Akan tetapi jika ia ingin naik ke umur yang lebih tinggi dan mengambil jabrān, maka tidak boleh. Karena hal itu merupakan jabrān pada umur yang sehat, maka tidak boleh bagi petugas zakat menjadikannya jabrān pada umur yang sakit.
Namun, jika ia memberikan yang lebih tinggi secara sukarela sebagai tambahan, maka boleh diterima. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا وجبت عليه جذعةٌ لم يكن له أن يأخذ منه مَاخِضًا إِلَا أَنْ يَتَطَوَّعَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كما قال إن كَانَ فَرْضُ إِبِلِهِ جَذَعَةً لَمْ يَجُزْ لِلسَّاعِي أن يأخذ مَاخِضًا، سَوَاءً كَانَتْ إِبِلُهُ حَوَامِلَ، أَوْ حَوَائِلَ إِلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ بِهَا فَيَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ مِنْهُ لِزِيَادَتِهَا، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ لَا يجوز الْمَاخِضَ بِحَالٍ لِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عنه لساعيه: لا تأخذ الربا، وَلَا الْمَاخِضَ، وَلَا فَحْلَ الْغَنَمِ، وَلِأَنَّ الْحَمْلَ نَقْصٌ فِي الْحَيَوَانِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ دَفَعَ الْغُرَّةَ حَامِلًا فِي دِيَةِ الْجَنِينِ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ، وَلَوِ اشْتَرَى أَمَةً فَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ كَانَ لِلْمُشْتَرِي رَدُّهَا بِهِ، وَإِذَا كَانَ عَيْبًا يُوجِبُ الرَّدَّ لَمْ يَجُزْ قَبُولُهُ فِي الزَّكَاةِ وهذا خطأ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Apabila yang wajib atasnya adalah seekor jadh‘ah, maka tidak boleh bagi petugas zakat mengambil darinya unta yang sedang bunting (mākhid), kecuali jika ia memberikannya secara sukarela.”
Al-Māwardī berkata: Benar sebagaimana yang beliau katakan. Jika zakat yang wajib dari unta miliknya adalah jadh‘ah, maka tidak boleh bagi petugas zakat mengambil unta yang bunting, baik unta-untanya sedang hamil maupun tidak, kecuali bila ia memberikannya secara sukarela, maka boleh diambil darinya karena tambahan nilai yang ada padanya.
Dāwūd bin ‘Alī berkata: Tidak boleh mengambil mākhid dalam keadaan apa pun, berdasarkan perkataan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA kepada petugas zakatnya: “Jangan ambil unta ribā, jangan ambil mākhid, dan jangan ambil pejantan kambing.”
Alasannya, karena kandungan merupakan suatu kekurangan pada hewan. Bukankah engkau melihat, jika seseorang membayar ghurrah dalam diyat janin dengan hewan hamil, maka tidak diterima darinya? Dan jika seseorang membeli budak perempuan, lalu ternyata ia sedang hamil, maka pembeli berhak mengembalikannya. Maka apabila kehamilan dianggap sebagai aib yang membolehkan pengembalian, tidak boleh diterima dalam zakat.
Namun ini adalah pendapat yang keliru.
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَى أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مُصَدِّقًا، فَأَتَيْتُ رَجُلًا فَجَمَعَ لِي مَالَهُ، فَوَجَدَ قَدْ وَجَبَتْ فِيهِ بِنْتُ مَخَاضٍ، فَقُلْتُ لَهُ: صَدَقَتُكَ بِنْتُ مَخَاضٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ لَا دَرَّ فِيهَا وَلَا نَسْلَ خُذْ هَذِهِ النَّاقَةَ السَّمِينَةَ الْكَوْمَاءَ فَفِيهَا دَرٌّ وَنَسْلٌ، فَقُلْتُ لَمْ يَأْمُرْنِي رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ مِنْكَ قَرِيبٌ فَائْتِهِ وَاسْأَلْهُ فَأَتَاهُ وَسَأَلَهُ فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ذَاكَ الْوَاجِبُ فَإِنْ تَطَوَّعْتَ بَخَيْرٍ مِنْهُ آجَرَكَ اللَّهُ وَقَبِلْنَاهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَفْضَلُ الْأَمْرَيْنِ، وَأَنَّ قَبُولَهُ جَائِزٌ، وَلِأَنَّ الْحَمْلَ فِي الْبَهَائِمِ زِيَادَةٌ، أَلَا تَرَى أَنَّ دِيَاتِ الْإِبِلِ تَتَغَلَّظُ به وتتخفف بعدمه، وإن كان تزايداً وجب أن يكون قبوله جايزاً، فأما نهي عمر رضي الله عنه عنها فَمَعْنَاهُ: إِذَا لَمْ يَرْضَ مَالِكُهَا، وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّهُ نَقْصٌ فِي الْحَيَوَانِ، فَهُوَ نَقْصٌ فِي الْآدَمِيَّاتِ، وَزِيَادَةٌ فِي الْبَهَائِمِ، وَلِهَذَا الْمَعْنَى فَرَّقْنَا بَيْنَ قَبُولِ الْمَاخِضِ فِي الزَّكَاةِ، وَبَيْنَ قَبُولِ الْغُرَّةِ فِي الْحَامِلِ فِي دِيَةِ الْجَنِينِ، فَإِذَا صَحَّ أَنَّ قَبُولَ الْمَاخِضِ إِذَا تَطَوَّعَ بِهَا جَائِزٌ: فَلَيْسَ لِلسَّاعِي أَخْذُهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَطَوَّعَ رَبُّ الْمَالِ بِهَا وَلِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يَعْدِلَ عَنْهَا إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي مَالِهِ غيرها إلى سن أعلى، ويأخذ، أو إلى سِنٍّ أَسْفَلَ وَيُعْطِيَ، وَكَذَلِكَ لَوْ طَرَقَهَا الْفَحْلُ لَمْ يَلْزَمْهُ دَفْعُهَا كَالْمَاخِضِ، وَكَانَ لَهُ أَنْ يَعْدِلَ عَنْهَا إِلَى سِنٍّ غَيْرِهَا، وَلَوْ دَفَعَ فِي الْغُرَّةِ أَمَةً مَوْطُوءَةً لَزِمَ قَبُولُهَا فَإِنْ قِيلَ: لِمَ جَعَلْتُمْ طَرْقَ الْفَحْلِ لِلْجَذَعَةِ كَالْحَمْلِ، ولم تجعلوا وطأ الْأَمَةِ فِي الْغُرَّةِ كَالْحَمْلِ؟
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dalil kami adalah riwayat dari Ubay bin Ka‘b. Ia berkata: Rasulullah SAW mengutusku sebagai petugas zakat. Lalu aku mendatangi seorang lelaki, maka ia mengumpulkan hartanya untukku. Ternyata yang wajib darinya adalah seekor bint makhāḍ. Aku berkata kepadanya: “Zakatmu seekor bint makhāḍ.” Ia menjawab: “Sesungguhnya unta itu tidak ada air susunya dan tidak pula menghasilkan keturunan. Ambillah unta gemuk ini, yang kaumāʾ, ia punya susu dan keturunan.” Maka aku berkata: “Rasulullah SAW tidak memerintahkanku demikian. Ia dekat denganmu, maka datangi dan tanyakanlah kepadanya.” Lalu ia pun mendatangi Nabi SAW dan menanyakannya. Nabi SAW menjawab: “Itulah yang wajib. Jika engkau bersedekah dengan yang lebih baik darinya, Allah akan memberimu pahala dan kami menerimanya.”
Hal ini menunjukkan bahwa hal itu adalah yang lebih utama dari dua perkara, dan penerimaannya pun boleh.
Selain itu, kehamilan pada hewan ternak adalah tambahan nilai. Bukankah engkau melihat bahwa diyat unta menjadi lebih berat bila dalam keadaan bunting, dan lebih ringan bila tidak? Jika ia merupakan tambahan nilai, maka seharusnya penerimaannya boleh.
Adapun larangan ‘Umar RA dari mākhid, maksudnya adalah apabila pemiliknya tidak rela.
Sedangkan perkataan bahwa kandungan adalah kekurangan pada hewan, maka itu benar pada manusia, namun pada hewan justru tambahan. Atas dasar inilah kami membedakan antara penerimaan mākhid dalam zakat dengan penerimaan budak perempuan hamil dalam diyat janin.
Maka jika sudah sah bahwa penerimaan mākhid apabila pemiliknya memberikannya secara sukarela itu boleh, maka tidak boleh bagi petugas zakat mengambilnya tanpa kerelaan pemilik. Pemilik harta pun berhak berpaling darinya, jika tidak ada selain itu dalam hartanya, kepada unta yang lebih tinggi umurnya lalu mengambil kembali, atau ke unta yang lebih rendah lalu menambah.
Demikian pula, jika unta itu telah ditunggangi pejantan (dikeloni pejantan), maka ia tidak wajib menyerahkannya sebagaimana mākhid, dan ia boleh menggantinya dengan umur yang lain.
Sedangkan jika seseorang menyerahkan budak perempuan yang telah digauli sebagai ganti ghurrah dalam diyat janin, maka wajib diterima.
Jika ditanyakan: Mengapa kalian menyamakan unta betina yang ditunggangi pejantan dengan yang bunting, tetapi tidak menyamakan budak perempuan yang digauli dengan yang bunting dalam ghurrah?
Maka dijawab: perbedaan keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ ضِرَابَ الْبَهَائِمِ غَالِبُهُ الْعُلُوقُ، فَكَانَ وَجُودُهُ كَوُجُودِ الْحَمْلِ، وَلَيْسَ الْغَالِبُ من وطئ الْآدَمِيَّاتِ الْعُلُوقَ فَلَمْ يَكُنْ وُجُودُهُ كَوُجُودِ الْحَمْلِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَمْلَ فِي الْغُرَّةِ نَقْصٌ يُمْكِنُ الْوَلِيُّ اسْتِدْرَاكَهُ بِرَدِّهِ إِذَا ظَهَرَ، وَالْحَمْلَ فِي الْجَذَعَةِ زِيَادَةٌ لَا يُمْكِنُ رَبُّ الْمَالِ اسْتِدْرَاكَهَا إِذَا ظَهَرَتْ، لِاقْتِسَامِ الْمَسَاكِينِ لَهَا وَاللَّهُ تَعَالَى أعلم.
Pertama: karena kebanyakan perkawinan hewan ternak biasanya berujung pada bunting, maka adanya perkawinan dianggap sama dengan adanya kehamilan. Sedangkan pada manusia, kebanyakan hubungan badan tidak selalu berujung pada kehamilan, maka keberadaannya tidak bisa disamakan dengan kehamilan.
Kedua: karena kehamilan pada ghurrah (budak perempuan sebagai diyat janin) merupakan kekurangan, yang bisa diatasi oleh wali dengan mengembalikannya jika ternyata hamil. Sedangkan kehamilan pada jadh‘ah (unta umur empat tahun) merupakan tambahan nilai yang tidak bisa lagi diatasi pemiliknya jika sudah tampak, karena sudah menjadi hak bagi para fakir miskin untuk dibagikan.
Wallāhu Ta‘ālā a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ إِبِلُهُ مَعِيبَةً وَفَرِيضَتُهَا شَاةً، وَكَانَتْ أَكْثَرَ ثَمَنًا مِنْ بَعِيرٍ مِنْهَا، قِيلَ لَكَ الْخِيَارُ فِي أَنْ تُعْطِيَ بَعِيرًا مِنْهَا تَطَوُّعًا مَكَانَهَا، أَوْ شَاةً مِنْ غَنَمِكَ تَجُوزُ أُضْحِيَّةً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ مَعَهُ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ مِرَاضٌ أَوْ عِجَافٌ لَا تُسَاوِي جَمَاعَتُهَا، أَوْ وَاحِدٌ مِنْهَا شَاةً، فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِخْرَاجِ شَاةٍ، أَوْ وَاحِدٍ مِنْهَا.
وَقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ: عَلَيْهِ إِخْرَاجُ شَاةٍ عَنْهَا، ولا يجزئه إِخْرَاجُ وَاحِدٍ مِنْهَا، تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” في كل خمس من الإبل شاة ” وَلِأَنَّ الْبَعِيرَ بَدَلٌ مِنَ الشَّاةِ، وَالْأَبْدَالُ فِي الزَّكَوَاتِ لَا تَجُوزُ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Jika unta-untanya cacat, sedangkan zakat yang wajib baginya adalah seekor kambing, dan kambing itu lebih mahal harganya daripada seekor unta dari hartanya, maka dikatakan: engkau diberi pilihan, apakah engkau menyerahkan seekor unta dari unta-untanya secara sukarela sebagai gantinya, atau menyerahkan seekor kambing dari kambingmu yang sah untuk dijadikan hewan kurban.”
Al-Māwardī berkata: Gambaran kasusnya adalah pada seorang laki-laki yang memiliki lima ekor unta yang sakit atau kurus, yang nilainya seluruhnya atau salah satunya tidak sebanding dengan harga seekor kambing. Maka ia diberi pilihan antara mengeluarkan seekor kambing atau seekor unta dari unta-untanya.
Mālik dan Dāwūd berpendapat: ia wajib mengeluarkan seekor kambing sebagai zakatnya, dan tidak sah baginya mengeluarkan seekor unta dari unta-untanya. Mereka berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Pada setiap lima ekor unta, zakatnya seekor kambing.” Dan karena unta hanyalah pengganti dari kambing, sementara abdāl (pengganti-pengganti) dalam zakat tidak diperbolehkan.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” خُذِ الْبَعِيرَ مِنَ الْإِبِلِ، وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ ” فَكَانَ نَصُّ الْخَبَرِ وَاعْتِبَارُ الْأُصُولِ يَقْتَضِيَانِ إِخْرَاجَ الفرضين مِنْ جِنْسِ الْمَالِ، أُخِذَتِ الشَّاةُ مِنَ الْخَمْسِ على وجه الترفيه والرفق، فإذا لَمْ يَخْتَرِ التَّرْفِيهَ بِإِخْرَاجِ الشَّاةِ، وَأَرَادَ الرُّجُوعَ إلى حكم الإبل، كَانَ ذَلِكَ لَهُ، وَلِأَنَّ كُلَّ فَرِيضَةٍ تُؤْخَذُ مِنْ جُمْلَةٍ جَازَ أَخْذُهَا مِنْ بَعْضِ تِلْكَ الْجُمْلَةِ، كَأَخْذِ الْجَذَعَةِ بَدَلًا مِنْ بِنْتِ مَخَاضٍ، وأما قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فِي كُلِّ خمسٍ شَاةٌ ” فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ عَلَى وَجْهِ التَّرْفِيهِ وَالرِّفْقِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ ذَلِكَ بَدَلٌ، وَالْبَدَلُ قِيمَةٌ، فَغَلَطٌ لِأَنَّا لَسْنَا نَقُولُ إِنَّهُ بَدَلٌ وَإِنَّمَا نَقُولُ إِنَّهُ فَرْضٌ ثَانٍ، وَلَهُ إِسْقَاطُهُ بِمَا هُوَ مِثْلُهُ، فَيَكُونُ فِي الْخَمْسِ فَرْضَانِ، أَعْلَى وَهُوَ بَعِيرٌ، وَأَدْنَى وَهُوَ شَاةٌ، فَإِذَا أَخْرَجَ بَعِيرًا فَقَدْ أَخْرَجَ أَعْلَى فَرْضِهِ، سَوَاءٌ كَانَ الْبَعِيرُ أَوْسَطَهَا أَوْ أَدْوَنَهَا، لِأَنَّهُ وَإِنْ كَثُرَتْ عُيُوبُهُ فَهُوَ أَكْثَرُ مَنْفَعَةً مِنْ شَاةٍ، ثُمَّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الْبَعِيرِ الْمُخْرَجِ مِنَ الْخَمْسِ هَلْ جَمِيعُهُ وَاجِبٌ؟ أَوْ خُمُسُهُ وَالْبَاقِي تَطَوُّعٌ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dan dalil atas kebenaran pendapat yang kami pilih adalah sabda Nabi SAW:
“Ambillah unta dari unta, dan kambing dari kambing.”
Maka teks hadis dan pertimbangan usul menunjukkan bahwa setiap kewajiban zakat harus diambil dari jenis harta itu sendiri. Hanya saja pengambilan kambing dari lima ekor unta diberikan sebagai bentuk keringanan dan kelembutan.
Jika pemilik tidak memilih keringanan dengan mengeluarkan kambing, dan ia ingin kembali pada hukum asal unta, maka hal itu boleh baginya. Sebab setiap kewajiban zakat yang diambil dari satu kelompok boleh diambil dari sebagian kelompok itu juga, seperti mengambil jadh‘ah sebagai ganti dari bint makhāḍ.
Adapun sabda Nabi SAW: “Pada setiap lima ekor unta, zakatnya seekor kambing,” maka sebagaimana telah kami sebutkan, hal itu pada sisi keringanan dan kelembutan.
Sedangkan pendapat mereka bahwa itu badal (pengganti), dan pengganti berarti nilai, maka itu keliru. Karena kami tidak mengatakan bahwa kambing adalah pengganti, melainkan kami katakan bahwa ia adalah kewajiban kedua. Dan kewajiban itu bisa gugur dengan sesuatu yang sejenis dengannya.
Maka pada lima ekor unta terdapat dua kewajiban: yang lebih tinggi, yaitu seekor unta; dan yang lebih rendah, yaitu seekor kambing. Jika ia mengeluarkan unta, berarti ia telah mengeluarkan kewajiban yang lebih tinggi, baik unta itu pertengahan maupun yang paling buruk, karena meskipun banyak cacatnya, tetap saja lebih bermanfaat daripada seekor kambing.
Kemudian, para sahabat kami berbeda pendapat tentang status unta yang dikeluarkan dari lima ekor unta ini: apakah seluruhnya wajib, atau hanya seperlimanya yang wajib sedangkan sisanya adalah sedekah sukarela? Dalam hal ini ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ جَمِيعَهُ وَاجِبٌ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتْ إِبِلُهُ عَشْرًا كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ شَاتَيْنِ أَوْ بَعِيرَيْنِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ خُمُسَهُ وَاجِبٌ وَبَاقِيهِ تَطَوُّعٌ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتْ إِبِلُهُ عَشْرًا كَانَ الْخِيَارُ بَيْنَ بَعِيرٍ وَاحِدٍ أَوْ شَاتَيْنِ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ كَاخْتِلَافِهِمْ فِي التَّمَتُّعِ إِذَا أَخْرَجَ فِي هَدْيِ تَمَتُّعِهِ بَدَنَةً بَدَلًا مِنَ الشَّاةِ، فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ أَنَّ جَمِيعَ الْبَدَنَةِ وَاجِبٌ، وَالثَّانِي أَنَّ سُبُعَهَا وَاجِبٌ وَبَاقِيهَا تَطَوُّعٌ.
Salah satu dari dua pendapat adalah bahwa seluruh unta yang dikeluarkan itu wajib. Maka berdasarkan pendapat ini, jika ia memiliki sepuluh ekor unta, ia diberi pilihan antara dua ekor kambing atau dua ekor unta.
Pendapat kedua adalah bahwa hanya seperlima darinya yang wajib, sedangkan sisanya adalah sedekah sunnah. Maka berdasarkan pendapat ini, jika ia memiliki sepuluh ekor unta, pilihannya adalah antara seekor unta atau dua ekor kambing.
Kedua pendapat ini serupa dengan perbedaan ulama dalam masalah tamattu‘. Jika seseorang mengeluarkan seekor unta sebagai hewan hadyu tamattu‘ sebagai ganti dari seekor kambing, maka ada dua wajah: salah satunya seluruh unta itu wajib, dan yang kedua hanya sepertujuhnya yang wajib, sedangkan sisanya sunnah.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فإن كانت غنمه معزاً فَثَنِيَّةٌ أَوْ ضَأْنًا فَجَذَعَةٌ وَلَا أَنْظُرُ إِلَى الأغلب في البلد لأنه إنما قيل إن عليه شاةً من شاء بلده تجوز في صدقة الغنم “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْكَلَامُ فِي هَذِهِ الشَّاةِ الْمَأْخُوذَةِ من الخمس، أو بين الشاتين يشتمل عل ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:
أَحَدُهَا: فِي السِّنِّ.
وَالثَّانِي: فِي الْجِنْسِ.
وَالثَّالِثُ: فِي النَّوْعِ.
فَأَمَّا السِّنُّ الَّذِي لَا يَجُوزُ دُونَهُ فَهُوَ مَا تَجُوزُ أُضْحِيَتُهُ إِنْ كَانَتْ ضَأْنًا فَجَذَعَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِعْزَى فَثَنِيَّةٌ، لِمَا رُوِيَ عَنْ سويد بن غفلة قال أتانا مصدق رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وقال: نهينا عن أخذ الرَّاضِعِ، وَأُمِرْنَا بِالْجَذَعِ مِنَ الضَّأْنِ، وَالثَّنِيِّ مِنَ الْمَعِزِ، وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِسَاعِيهِ: وَخُذِ الْجَذَعَةَ وَالثَّنِيَّةَ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Jika kambingnya adalah ma‘zā (kambing kacang), maka yang diambil adalah thanīyyah; atau jika ḍa’n (domba), maka yang diambil adalah jadh‘ah. Dan aku tidak melihat kepada kebiasaan yang lebih banyak di negeri itu. Karena sesungguhnya yang dikatakan wajib atasnya adalah seekor kambing dari jenis kambing yang ada di negerinya yang sah dijadikan zakat kambing.”
Al-Māwardī berkata: Pembahasan tentang kambing yang diambil dari lima ekor unta, atau dari dua puluh ekor kambing, mencakup tiga PASAL:
Pertama: tentang usia.
Kedua: tentang jenis.
Ketiga: tentang macam.
Adapun usia minimal yang tidak boleh kurang darinya, maka ukurannya sama dengan yang sah untuk kurban. Jika kambing itu domba, maka jadh‘ah. Jika kambing kacang, maka thanīyyah.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Suwaid bin Ghaflah, ia berkata: Petugas zakat Rasulullah SAW datang kepada kami dan berkata: “Kami dilarang mengambil kambing yang masih menyusu, dan diperintahkan mengambil jadh‘ah dari domba, dan thanī dari kambing kacang.”
Dan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA berkata kepada petugas zakatnya: “Ambillah jadh‘ah dan thanīyyah.”
وَأَمَّا الْجِنْسُ فَالْمُرَاعَى فِيهِ غَنَمُ الْبَلَدِ لَا غَنَمُ الْمَالِكِ، فَإِنْ كَانَ مَكِّيًّا فَمِنْ غَنَمِ مَكَّةَ ضَأْنًا أو معزى، فإن أخرج غَيْرَ الْمَكِّيَّةِ لَمْ تُجْزِهِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ مِثْلَ الْمَكِّيَّةِ أَوْ فَوْقَهَا، وَإِنْ كَانَ بَصْرِيًّا فَمِنْ غَنَمِ الْبَصْرَةِ ضَأْنًا أَوْ مِعْزَى، فَإِنْ أَخْرَجَ مِنْ غَيْرِ الْبَصْرِيَّةِ لَمْ تُجْزِهِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ مِثْلَ الْبَصْرِيَّةِ أَوْ فَوْقَهَا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ مَا أُطْلِقَ ذِكْرُهُ مِنْ غَيْرِ وَصْفٍ فَوَصْفُهُ مَحْمُولٌ عَلَى غَالِبِ الْبُلْدَانِ كَأَثْمَانِ الْمَبِيعَاتِ.
وَأَمَّا النَّوْعُ فَالْمُزَكِّي مُخَيَّرٌ فِيهِ بَيْنَ الضَّأْنِ وَالْمِعْزَى، وَلَا اعْتِبَارَ بِغَالِبِ غَنَمِ الْبَلَدِ، وَقَالَ مَالِكٌ اعْتِبَارُ غَنَمِ الْبَلَدِ وَاجِبٌ فِي النَّوْعِ كَمَا كَانَ وَاجِبًا فِي الْجِنْسِ، فإن كان غَنَمِ الْبَلَدِ الضَّأْنَ لَمْ آخُذِ الْمَعِزَ، وَإِنْ كَانَ الْغَالِبُ الْمَعِزَ لَمْ آخُذِ الضَّأْنَ، وَهَذَا غلط، لأن النوع قد ورد الشرع بِتَحْدِيدِ أَصْلِهِ وَالتَّسْوِيَةِ بَيْنَ جَمِيعِهِ، فَلَمْ يَحْتَجْ مَعَ وُرُودِ الشَّرْعِ بِهِ إِلَى اعْتِبَارِ غَالِبِ البلد، وكان هذا الخلاف الْجِنْسِ الْمُطْلَقِ ذِكْرُهُ فِي الشَّرْعِ.
Adapun mengenai jenis (jins), maka yang diperhitungkan adalah kambing dari negeri setempat, bukan kambing milik pribadi pemilik.
Jika ia orang Makkah, maka zakatnya diambil dari kambing Makkah, baik domba (ḍa’n) maupun kambing kacang (ma‘zā). Jika ia mengeluarkan selain kambing Makkah, maka tidak sah, kecuali jika sama kualitasnya dengan kambing Makkah atau lebih baik darinya.
Jika ia orang Baṣrah, maka zakatnya diambil dari kambing Baṣrah, baik domba maupun kambing kacang. Jika ia mengeluarkan selain kambing Baṣrah, maka tidak sah, kecuali jika sama kualitasnya dengan kambing Baṣrah atau lebih baik darinya.
Hal ini karena sesuatu yang disebutkan dalam nash tanpa keterangan sifat, maka sifatnya dibawa pada kebiasaan yang dominan di negeri-negeri, sebagaimana harga-harga jual beli.
Adapun mengenai macam (naw‘), maka yang berzakat diberi pilihan antara domba atau kambing kacang, tanpa melihat dominasi jenis kambing di negeri tersebut.
Mālik berpendapat: yang dominan dari kambing negeri wajib dijadikan ukuran juga dalam macam, sebagaimana wajib dijadikan ukuran dalam jenis. Maka jika kambing negeri dominan domba, tidak boleh mengambil kambing kacang; dan jika dominan kambing kacang, tidak boleh mengambil domba.
Ini keliru, karena macam kambing telah ditetapkan asalnya oleh syara‘ dan disejajarkan seluruhnya. Maka tidak diperlukan lagi memperhitungkan dominasi negeri setelah ada ketetapan syara‘.
Perselisihan ini kembali pada masalah “jenis” yang disebutkan secara mutlak dalam syara‘.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا كانت إبله كراماً لم يأخذ منه الصَّدَقَةَ دُونَهَا كَمَا لَوْ كَانَتْ لِئَامًا لَمْ يكن لنا أن نأخذ مِنْهَا كِرَامًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِنَّمَا أَرَادَ كِرَامَ الْجِنْسِ، كَالْبُخْتِ النَّجَّارِيَّةِ وَالْعِرَابِ الْمَجِيدِيَّةِ، فَالْوَاجِبُ أَنْ تُؤْخَذَ زَكَاتُهَا كِرَامًا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ} (البقرة: 267) وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مَالُهُ لِئَامًا لَمْ يُكَلَّفْ زَكَاتَهَا كِرَامًا، كَذَلِكَ إِذَا كَانَ مَالُهُ كِرَامًا لَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهَا لِئَامًا، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَتْ كِرَامَ الْوَصْفِ فَكَانَتْ سماناً لم تؤخذ زَكَاتُهَا إِلَّا سِمَانًا، فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ كِرَامَ السِّنِّ فَكَانَتْ جِذَاعًا وَثَنَايَا وَكَانَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ، لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهَا إِلَّا بِنْتُ مَخَاضٍ مِنْ جِنْسِهَا، وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا جَذَعَةٌ وَلَا ثَنِيَّةٌ، وَلِأَنَّ زِيَادَةَ السِّنِّ تَجْرِي مَجْرَى زِيَادَةِ الْعَدَدِ، فَلَوْ أُخِذَتِ الْجَذَعَةُ مِنْ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ إِذَا كانت جذاعاً لبطل اعتبار النصب، ولا يستوي فَرْضُ قَلِيلِ الْإِبِلِ وَكَثِيرِهَا، وَكَرَامَةُ الْجِنْسِ لَا تَجْرِي مَجْرَى زِيَادَةِ الْعَدَدِ، وَلَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي زِيَادَةِ الْفَرْضِ، فَلِذَلِكَ وَقَعَ بَيْنَهُمَا الْفَرْقُ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Apabila unta-untanya termasuk yang mulia (kirām), maka petugas zakat tidak boleh mengambil zakat darinya dengan unta yang rendah mutunya. Sebagaimana jika unta-untanya hina (li’ām), tidak boleh bagi kami mengambil zakatnya dengan unta yang mulia.”
Al-Māwardī berkata:
Yang dimaksud adalah kirām dalam segi jenis, seperti unta bukht an-najjāriyyah dan unta ‘irāb al-majīdiyyah. Maka yang wajib, zakatnya diambil dari unta yang mulia, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk darinya untuk kamu keluarkan (dalam infak)} (al-Baqarah: 267).
Sebab jika hartanya dari unta hina, ia tidak dibebani zakatnya dengan unta mulia, demikian pula jika hartanya dari unta mulia, ia tidak boleh menunaikan zakatnya dengan unta hina.
Begitu pula jika yang mulia adalah dari segi sifat, misalnya semuanya gemuk, maka zakatnya tidak boleh diambil kecuali dari yang gemuk.
Adapun jika yang mulia adalah dari segi umur, misalnya seluruhnya jadhā‘ dan thanāyā, sedangkan jumlahnya dua puluh lima ekor, maka tidak boleh diambil zakat darinya kecuali seekor bint makhāḍ dari jenisnya. Tidak boleh diambil darinya jadhā‘ ataupun thanīyyah.
Karena tambahan umur dianggap sama dengan tambahan jumlah. Jika dibolehkan mengambil jadhā‘ dari dua puluh lima ekor unta hanya karena semuanya jadhā‘, niscaya gugurlah penetapan nishab, sehingga zakat unta sedikit dan banyak menjadi sama kewajibannya.
Sedangkan kemuliaan jenis tidak sama dengan tambahan jumlah, dan tidak berpengaruh pada tambahan kadar kewajiban. Oleh sebab itu, dibedakan antara keduanya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا عد عَلَيْهِ السَّاعِي فَلَمْ يَأْخُذْ مِنْهُ حَتَّى نَقَصَتْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا اخْتِلَافَ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي الْإِمْكَانِ هَلْ هُوَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ، أَوْ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ.
فأحد قوليه هو مَذْهَبُهُ فِي الْقَدِيمِ إِمْكَانُ الْأَدَاءِ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ إِمْكَانَ الْأَدَاءِ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ، وَوَجْهُ قَوْلِهِ الْقَدِيمِ شَيْئَانِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْإِمْكَانَ مَعْنًى إذا تلف المال قبل وجود سَقَطَ ضَمَانُ الزَّكَاةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ كَالْحَوْلِ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Apabila petugas zakat telah menghitung unta-untanya, lalu tidak segera mengambilnya sampai jumlahnya berkurang, maka tidak ada kewajiban atasnya (pemilik).”
Al-Māwardī berkata:
Telah kami sebutkan perbedaan dua qaul al-Syafi‘i tentang masalah imkān (kemungkinan menunaikan zakat): apakah ia termasuk syarat wajib atau syarat tanggungan.
Salah satu dari dua qaulnya, yaitu mazhabnya dalam qaul qadīm: bahwa kemungkinan menunaikan zakat termasuk syarat wajib.
Adapun qaul yang kedua, yaitu mazhabnya dalam qaul jadīd: bahwa kemungkinan menunaikan zakat termasuk syarat tanggungan (ḍamān).
Dasar qaul qadīm ada dua alasan:
Pertama: bahwa imkān adalah suatu keadaan, yang apabila harta itu rusak sebelum adanya kemungkinan menunaikan zakat, maka gugurlah tanggungan zakat. Maka wajib dihukumi sebagai syarat wajib, sebagaimana ḥawl (genap satu tahun).
وَالثَّانِي: أَنَّ إِمْكَانَ الْأَدَاءِ فِي جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ لَا مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ، كَالصَّلَاةِ الَّتِي تَجِبُ بِدُخُولِ الْوَقْتِ، وَإِمْكَانِ الْأَدَاءِ وَالْحَجِّ الَّذِي يَجِبُ بِالِاسْتِطَاعَةِ، وَإِمْكَانِ الْأَدَاءِ، وَكَذَلِكَ الزَّكَاةُ، وَوَجْهُ قَوْلِهِ فِي الجديد: أن الإمكان مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ شَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” فَجَعَلَ الْحَوْلَ غَايَةً فِي الْوُجُوبِ، وَالْحُكْمُ بَعْدَ الْغَايَةِ بِخِلَافِهِ قَبْلَهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ لَوْ أَتْلَفَ مَالَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ لَمْ يَضْمَنْ زَكَاتَهُ، وَلَوْ أَتْلَفَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ وَقَبْلَ الْإِمْكَانِ ضَمِنَ زَكَاتَهُ، فَعُلِمَ أَنَّ الْإِمْكَانَ لَا مَدْخَلَ لَهُ فِي الْوُجُوبِ.
Dan yang kedua: bahwa kemungkinan menunaikan (imkān al-adā’) dalam seluruh ibadah termasuk syarat wajib, bukan syarat tanggungan. Seperti shalat yang wajib dengan masuknya waktu beserta adanya kemampuan melaksanakannya, dan haji yang wajib dengan adanya istitha‘ah serta kemampuan melaksanakannya. Demikian pula zakat.
Adapun dasar qaul jadīd bahwa kemungkinan menunaikan termasuk syarat tanggungan ada dua:
Pertama: sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat pada harta sampai berlalu satu haul.” Maka menjadikan ḥawl sebagai batas akhir wajib. Hukum setelah batas itu berbeda dengan sebelumnya.
Kedua: telah tetap, jika seseorang membinasakan hartanya sebelum berlalu haul, maka ia tidak menanggung zakatnya. Tetapi jika ia membinasakannya setelah sempurna haul, meskipun sebelum ada kemungkinan menunaikan, maka ia wajib menanggung zakatnya. Maka diketahui bahwa imkān tidak berpengaruh dalam wajibnya zakat.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا صِفَةُ الْإِمْكَانِ، فَإِنْ كَانَ مَالًا بَاطِنًا كَالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ، فإمكان الأداء بِأَحَدِ شَيْئَيْنِ: إِمَّا بِمُطَالَبَةِ الْإِمَامِ الْعَادِلِ، أَوْ بِحُضُورِ أَهْلِ السُّهْمَانِ وَإِنْ كَانَ مَالًا ظَاهِرًا كَالْمَوَاشِي وَالثِّمَارِ. فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ ” إِنَّ إِمْكَانَ الْأَدَاءِ فِيهِ بِمُطَالَبَةِ الْإِمَامِ الْعَادِلِ لَا غَيْرَ “.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِي الْجَدِيدِ: إِنَّهُ كَالْأَمْوَالِ الْبَاطِنَةِ، يَكُونُ إِمْكَانُ أَدَائِهِ بِأَحَدِ شَيْئَيْنِ: إِمَّا بِمُطَالَبَةِ الْإِمَامِ، أَوْ بِحُضُورِ أهل السهمان.
PASAL:
Adapun sifat imkān (kemungkinan menunaikan), maka jika harta itu termasuk harta bāṭin (tidak tampak) seperti perak dan emas, maka kemungkinan menunaikannya dengan salah satu dari dua hal:
- dituntut oleh imam yang adil, atau
- hadirnya orang-orang yang berhak menerima zakat.
Jika harta itu termasuk harta ẓāhir (tampak) seperti hewan ternak dan buah-buahan, maka ada dua qaul:
Pertama: yaitu qaul qadīm, bahwa kemungkinan menunaikan padanya hanya dengan tuntutan imam yang adil, tidak dengan selainnya.
Kedua: yaitu qaul jadīd, bahwa hukumnya sama seperti harta bāṭin, yaitu kemungkinan menunaikan dengan salah satu dari dua hal: dituntut oleh imam, atau hadirnya orang-orang yang berhak menerima zakat.
مسألة:
قال الشافعي رحمه الله: ” وإن فَرَّطَ فِي دَفْعِهَا فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ إِخْرَاجَ الزَّكَاةِ بَعْدَ الْإِمْكَانِ عَلَى الْفَوْرِ، فَمَتَى أَمْكَنَهُ إِخْرَاجُهَا فَلَمْ يُخْرِجْهَا حَتَّى هَلَكَ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهَا.
وَقَالَ أبو حنيفة إِخْرَاجُهَا عَلَى التَّرَاخِي فَإِنْ تَلِفَ الْمَالُ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ تَلَفُهَا بِجِنَايَةٍ مِنْهُ، أَوْ يَكُونَ السَّاعِي قَدْ طَالَبَ بِهَا فَمَنَعَهُ، قَالَ: لِأَنَّ الزَّكَاةَ إِذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ كَانَتْ فِي يَدِهِ أَمَانَةً كالوديعة، والودائع لا يضمنها إلا بجناية، أبو بِمُطَالَبَةِ رَبِّهَا بِهَا، فَيَمْنَعُهُ فَكَذَلِكَ فِي الزَّكَاةِ، قال: ولأن الزكاة حق للمساكين فهم غَيْرُ مُعَيَّنِينَ وَلَهُ أَنْ يَحْبِسَهَا عَنْ قَوْمٍ ويصرفها في آخرين، وإذا لم يتعين مستحقها لَمْ يَلْزَمْهُ الضَّمَانُ بِحَبْسِهَا، وَهَذَا خَطَأٌ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Jika ia menunda (lalai) dalam menunaikan zakat, maka wajib atasnya menanggung (ḍamān).”
Al-Māwardī berkata:
Telah kami sebutkan bahwa mengeluarkan zakat setelah adanya imkān (kesempatan menunaikan) hukumnya segera (fawr). Maka kapan saja ia sudah mampu mengeluarkannya lalu tidak ia keluarkan hingga hartanya rusak, maka ia wajib menanggungnya.
Abū Ḥanīfah berpendapat: Mengeluarkan zakat boleh ditunda (tarākhī). Maka jika harta itu rusak, ia tidak wajib menanggungnya, kecuali jika kerusakan itu karena kelalaiannya, atau karena petugas zakat telah menuntutnya lalu ia menolak. Ia berkata: Karena zakat, ketika sudah wajib, kedudukannya di tangannya seperti titipan (wadī‘ah). Sedangkan titipan tidak wajib diganti kecuali jika ada kelalaian, atau bila dituntut oleh pemiliknya lalu ia menolak, demikian pula zakat.
Ia juga berkata: Karena zakat adalah hak fakir miskin, sementara mereka tidak tertentu, maka boleh baginya menahan zakat dari suatu kelompok dan memberikannya kepada kelompok yang lain. Maka selama penerima zakat tidak ditentukan, ia tidak wajib menanggung akibat penahanannya.
Namun ini adalah pendapat yang keliru.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ: هُوَ أَنَّهُ حَقٌّ يَتَعَلَّقُ وُجُوبُهُ بِوُجُودِ الْمَالِ، فَإِذَا وَجَبَ لَمْ يَسْقُطْ وُجُوبُهُ بَعْدَ الْإِمْكَانِ بِتَلَفِ الْمَالِ، كَصَدَقَةِ الْفِطْرِ عَنْ عَبِيدِهِ، إِذَا مَاتُوا، وَكَالْحَجِّ إِذَا تَلِفَ مَالُهُ بَعْدَ إِمْكَانِ أَدَائِهِ، وَلِأَنَّهَا زكاة قدر على أدائها بعد وجودها، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ ضَمَانُهَا، كَمَا لَوْ طَالَبَهُ السَّاعِي بِهَا، وَلِأَنَّ تَعْيِينَ الْمُسْتَحِقِّينَ بِالْوَصْفِ يَجْرِي مجرى تعيين للمستحقين بالاسم، فإذا ألزمه الضَّمَانُ بِمَنْعِ مُسْتَحِقِّيهَا بِالِاسْمِ وَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الضمان بمنع مستحقيها بالوصف، فأما قوله: إِنَّهَا كَالْوَدِيعَةِ لَا يَضْمَنُ إِلَّا بِجِنَايَةٍ، أَوْ مَنْعٍ بَعْدَ الْمُطَالَبَةِ.
فَالْجَوَابُ عَنْ ذَلِكَ أَنْ يُقَالَ: تَأْخِيرُهَا بَعْدَ إِمْكَانِ أَدَائِهَا جِنَايَةٌ مِنْهُ عَلَيْهَا، عَلَى أَنَّ مِنَ الْوَدَائِعِ مَا يَجِبُ ضمانها من غير مطالبته، وَهِيَ مَا لَمْ يَعْلَمْ رِضَا مَالِكِهَا بِإِمْسَاكِهَا، كَالثَّوْبِ إِذَا طَارَ بِهِ الرِّيحُ إِلَى دَارِ رَجُلٍ عَلَيْهِ الضَّمَانُ، إِذَا لَمْ يُبَادِرْ بِرَدِّهِ، وإعلامه، وكموت ربه الْوَدِيعَةِ، يُوجِبُ عَلَى الْمُودِعِ رَدَّهَا عَلَى الْوَارِثِ، فَإِنْ لَمْ يَرُدَّهَا أَوْ لَمْ يَعْلَمْ بِهَا ضَمِنَهَا، كَذَلِكَ الزَّكَاةُ لَيْسَ يُعْلَمُ رِضَا مُسْتَحِقِّهَا بحبسها، فوجب أن يلزمه ضمانها، وأما قوله إِنَّ مُسْتَحِقَّهَا غَيْرُ مُعَيَّنٍ وَلَهُ أَنْ يَحْبِسَهَا عَنْ قَوْمٍ وَيَصْرِفَهَا فِي آخَرِينَ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لأنه إنما يَجُوزُ أَنْ يَصْرِفَهَا عَنْ قَوْمٍ إِلَى غَيْرِهِمْ إِذَا حَضَرَ جَمِيعُ الْمَسَاكِينِ، فَأَمَّا إِذَا حَضَرَ بَعْضُهُمْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْبِسَهَا عَمَّنْ حَضَرَ لِيَدْفَعَهَا إِلَى مَنْ لَمْ يَحْضُرْ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
Dalil atas kebenaran pendapat kami adalah: bahwa zakat merupakan hak yang kewajibannya terkait dengan keberadaan harta. Maka apabila sudah wajib, tidak gugur kewajibannya setelah adanya imkān (kesempatan menunaikan) hanya karena harta itu rusak. Sama halnya dengan zakat fitrah atas budak-budaknya: jika mereka meninggal, kewajiban tetap ada; atau seperti haji: jika hartanya hilang setelah ada kesempatan melaksanakan, kewajiban tetap ada.
Selain itu, zakat adalah kewajiban yang ia mampu tunaikan setelah waktunya tiba, maka ia wajib menanggungnya, sebagaimana bila petugas zakat menuntutnya.
Juga, penentuan para mustaḥiq dengan sifat hukumnya sama dengan penentuan mustaḥiq dengan nama. Maka bila ia diwajibkan menanggung karena menolak mustaḥiq tertentu yang disebut dengan nama, maka begitu pula wajib menanggung karena menolak mustaḥiq yang ditentukan dengan sifat.
Adapun jawab atas perkataan Abū Ḥanīfah bahwa zakat seperti titipan (wadī‘ah), yang tidak wajib diganti kecuali karena kelalaian atau penolakan setelah dituntut, maka dijawab: Menundanya setelah adanya imkān adalah kelalaian itu sendiri. Lagi pula, ada titipan yang wajib diganti tanpa adanya tuntutan, yaitu jika tidak diketahui kerelaan pemiliknya untuk ditahan. Seperti pakaian yang terbawa angin ke rumah seseorang: ia wajib menanggungnya jika tidak segera mengembalikan dan memberi tahu pemiliknya. Atau bila pemilik titipan meninggal, maka wajib bagi penerima titipan mengembalikannya kepada ahli waris. Jika ia tidak mengembalikan atau tidak memberitahu, maka ia menanggungnya.
Demikian pula zakat, tidak diketahui kerelaan para mustaḥiq bila ia menahannya, maka wajib baginya menanggungnya.
Adapun perkataan bahwa mustaḥiq tidak tertentu, sehingga boleh menahannya dari satu kelompok untuk diberikan kepada kelompok lain, itu tidak benar. Karena ia hanya boleh mengalihkan zakat dari satu kelompok ke kelompok lain bila seluruh fakir miskin hadir. Adapun bila hanya sebagian yang hadir, tidak boleh ia menahannya dari mereka untuk diberikan kepada yang tidak hadir. Jika ia melakukannya, maka ia menanggungnya.
Wallāhu Ta‘ālā a‘lam.
مَسْأَلَةٌ: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وما هلك أو نقص في يدي الساعي فهو أمين حدثنا إبراهيم بن محمد قال حدثنا حرمي بن يونس بن محمد عن أبيه عن حماد بن سلمة عن ثمامة بن عبد الله أنس عن أنس مِثْلِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا أَخَذَ السَّاعِي زَكَاةَ الْأَمْوَالِ فَتَلِفَتْ فِي يَدِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ، وَقَدْ بَرِئَتْ ذِمَمُهُمْ فيها، لِأَنَّ السَّاعِيَ وَكِيلٌ لِلْمَسَاكِينِ فِي قَبْضِ الزَّكَاةِ، لِأَنَّ حَقَّهُ فِي أَمْوَالِهِمْ، وَالْوَكِيلُ إِذَا اسْتَوْفَى فِي حَقِّ مُوَكِّلِهِ بَرِئَ مَنْ كَانَ عَلَيْهِ الْحَقُّ، سَوَاءٌ وَصَلَ ذَلِكَ إِلَى الْمُوَكِّلِ أَمْ لا، فأما الساعي فإن كان لَمْ يُفَرِّطْ فِيمَا بِيَدِهِ وَإِنَّمَا حَبَسَهَا لِجَمِيعِ الْفُقَرَاءِ أَوْ لِلْكَشْفِ عَنْ أَحْوَالِهِمْ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَإِنْ فَرَّطَ أَوْ تَعَدَّى أَوْ حَبَسَهَا مَعَ وُجُودِ مُسْتَحِقِّيهَا لَزِمَهُ ضَمَانُهَا، كَتَفْرِيطِ الْأُمَنَاءِفَإِنْ قِيلَ فَالْوَكِيلُ إِذَا حَبَسَ مَالَ مُوَكِّلِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُطَالَبَ بِهِ لَمْ يَضْمَنْ، فَهَلَّا كَانَ السَّاعِي كَذَلِكَ؟ قُلْنَا: لِأَنَّ الْمُوَكِّلَ لَهُ الْمُطَالَبَةُ بِمَالِهِ، فَإِذَا أَمْسَكَ عَنِ الْمُطَالَبَةِ بِهِ اسْتَدَلَّ بِذَلِكَ عَلَى الرِّضَا بِتَرْكِهِ، وَلَيْسَ لِلْمَسَاكِينِ مُطَالَبَةُ السَّاعِي بِمَا فِي يَدِهِ، فَلَمْ يَكُنْ إِمْسَاكُهُمْ دَلِيلًا عَلَى الرِّضَا بِتَرْكِهِ، فَأَمَّا رَبُّ الْمَالِ إِذَا أَخْرَجَ زَكَاةَ مَالِهِ فَتَلِفَتْ من يَدِهِ بَعْدَ إِمْكَانِهِ وَقَبْلَ دَفْعِهِ لَمْ يُجْزِهِ ذَلِكَ وَلَزِمَهُ الضَّمَانُ، لِأَنَّهُ فَائِتٌ عَنْ نَفْسِهِ وَالزَّكَاةُ مُتَعَلِّقَةٌ بِذِمَّتِهِ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Segala sesuatu dari zakat yang rusak atau berkurang di tangan petugas zakat (sā‘ī), maka ia hanyalah sebagai pemegang amanah.”
Diriwayatkan oleh Ibrāhīm bin Muḥammad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ḥaramī bin Yūnus bin Muḥammad, dari ayahnya, dari Ḥammād bin Salamah, dari Thumāmah bin ‘Abdillāh bin Anas, dari Anas RA yang semakna dengannya.
Al-Māwardī berkata: Benar sebagaimana yang beliau katakan.
Apabila petugas zakat telah mengambil zakat dari harta lalu zakat itu rusak di tangannya, maka tidak ada tanggungan atas para pemilik harta. Dengan itu gugurlah kewajiban mereka, karena petugas zakat adalah wakil para fakir miskin dalam menerima zakat, sebab hak itu memang ada pada harta mereka. Dan seorang wakil, apabila sudah menerima hak untuk orang yang mewakilkannya, maka gugurlah kewajiban orang yang terkena kewajiban itu, baik harta itu sampai kepada yang diwakilkan ataupun tidak.
Adapun petugas zakat, bila ia tidak lalai terhadap zakat yang ada di tangannya, dan hanya menahannya karena menunggu terkumpulnya fakir miskin atau untuk meneliti keadaan mereka, maka tidak ada tanggungan atasnya. Tetapi bila ia lalai, berbuat melampaui batas, atau menahannya padahal para mustaḥiq sudah ada, maka ia wajib menanggungnya, sebagaimana kelalaian para pemegang amanah yang lain.
Jika dikatakan: Seorang wakil bila menahan harta tuannya tanpa adanya tuntutan tidak wajib mengganti, mengapa petugas zakat tidak demikian?
Dijawab: Karena tuan (pemilik harta) berhak menuntut hartanya. Jika ia tidak menuntut, hal itu menunjukkan kerelaannya untuk dibiarkan. Adapun fakir miskin, mereka tidak punya wewenang menuntut langsung kepada petugas zakat atas apa yang ada di tangannya, sehingga diam mereka bukanlah tanda kerelaan.
Adapun bila pemilik harta telah mengeluarkan zakat dari hartanya lalu zakat itu rusak di tangannya setelah ada kesempatan untuk menunaikannya dan sebelum diserahkan, maka hal itu tidak mencukupinya dan ia wajib mengganti. Karena kerusakan itu berasal dari dirinya sendiri, sedangkan zakat masih tetap menjadi tanggungan di dalam jiwanya.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” أخبرنا مالك عن حميد بن قيس عن طاوس أن معاذاً أخذ من ثلاثين بقرة تبيعاً ومن أربعين بقرة مسنةً (قال) وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمر معاذاً أن يأخذ من ثلاثين تبيعاً ومن أربعين مسنةً نصاً (قال الشافعي) وهذا ما لا أعلم فيه بين أحدٍ من أهل العلم لقيته خلافاً وروي عن طاوس أن معاذاً كان يأخذ من ثلاثين بقرة تبيعاً ومن أربعين بقرةٍ مسنة وأنه أتى بدون ذلك فأبى أن يأخذ منه شيئاً وقال لم أسمع فيه شيئاً مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حتى ألقاه فأسأله فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قبل أن يقدم معاذاً وَأَنَّ مُعَاذًا أُتِيَ بِوَقْصِ الْبَقَرِ فَقَالَ لَمْ يَأْمُرْنِي فِيهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بشيء “.
Bāb Zakat Sapi yang Digembalakan
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Ḥumayd bin Qays dari Ṭāwūs, bahwa Mu‘ādz mengambil dari tiga puluh ekor sapi seekor tabī‘, dan dari empat puluh ekor sapi seekor musinnah.”
(Dan ia berkata:) “Diriwayatkan bahwa Nabi SAW memerintahkan Mu‘ādz agar mengambil dari tiga puluh ekor sapi seekor tabī‘, dan dari empat puluh ekor sapi seekor musinnah secara tegas.”
Al-Syafi‘i berkata:
“Inilah yang aku tidak mengetahui adanya perbedaan pada seorang pun dari ahli ilmu yang pernah aku temui.”
Dan diriwayatkan dari Ṭāwūs bahwa Mu‘ādz mengambil dari tiga puluh ekor sapi seekor tabī‘, dan dari empat puluh ekor sapi seekor musinnah. Ketika ia didatangi dengan jumlah di bawah itu, ia enggan mengambil sesuatu pun dan berkata:
“Aku tidak pernah mendengar dari Rasulullah SAW tentang hal itu hingga aku bertemu dengannya dan menanyakannya.”
Lalu Rasulullah SAW wafat sebelum Mu‘ādz kembali. Dan ketika Mu‘ādz didatangi dengan waqṣ (sisa jumlah yang tidak mencapai nishab berikutnya) dari sapi, ia berkata:
“Nabi SAW tidak memerintahkanku sesuatu pun tentang itu.”
قال الماوردي: أما زكاة البقر فواجبة الكتاب وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً} وقال تعالى: {وَفِي أمْوَالِهِمْ حَقٌّ للسَائِلِ} وَرَوَى مَالِكُ بْنُ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي الْإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَقَرِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهَا ” بِالزَّايِ معجمة فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِيهَا، فَأَوَّلُ نِصَابِهَا ثَلَاثُونَ، وَفِيهَا تَبِيعٌ، وَمَا دُونُ الثَّلَاثِينَ وَقْصٌ لَا زَكَاةَ فِيهِ، وَهُوَ قَوْلُ الْعُلَمَاءِ، وَحُكِيَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ أَنَّهُ قَالَ: فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ، إِلَى عِشْرِينَ فِيهَا أَرْبَعُ شِيَاهٍ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِيهَا حَتَّى تَبْلُغَ ثَلَاثِينَ، فَيَكُونَ فِيهَا تَبِيعٌ، وَحُكِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ نُصُبَهَا كَالْإِبِلِ فِي كُلِّ خَمْسٍ شاة، وفي كل خمسة وَعِشْرِينَ بَقَرَةٌ، بَدَلًا مِنْ بِنْتِ مَخَاضٍ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِيهَا حَتَّى تَبْلُغَ سِتًّا وَسَبْعِينَ فَيَكُونَ فِيهَا بَقَرَتَانِ بَدَلًا مِنْ بِنْتَيْ لَبُونٍ، استدلالاً بخبر ومعنى.
Al-Māwardī berkata:
Adapun zakat sapi, maka hukumnya wajib berdasarkan al-Kitāb, al-Sunnah, dan ijmā‘.
Allah Ta‘ālā berfirman: {Ambillah zakat dari sebagian harta mereka} (al-Tawbah: 103), dan berfirman: {Dan pada harta mereka ada hak bagi orang miskin yang meminta} (al-Dzāriyāt: 19).
Diriwayatkan dari Mālik bin Aws bin al-Ḥadatsān, dari Abū Dharr, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Pada unta ada zakatnya, pada sapi ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya, dan pada pakaian dagangan (al-bazz) ada zakatnya.”
Apabila telah tetap kewajiban zakat pada sapi, maka nishab pertamanya adalah tiga puluh ekor, dan padanya wajib seekor tabī‘. Adapun yang kurang dari tiga puluh, maka termasuk waqṣ yang tidak ada zakat padanya, dan ini adalah pendapat jumhur ulama.
Diriwayatkan dari Abū Qilābah, ia berkata: “Pada setiap lima ekor sapi zakatnya seekor kambing, hingga bila mencapai dua puluh ekor maka zakatnya empat ekor kambing. Setelah itu tidak ada kewajiban hingga mencapai tiga puluh, maka zakatnya seekor tabī‘.”
Dan diriwayatkan dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa nishab zakat sapi sama seperti unta: pada setiap lima ekor zakatnya seekor kambing, dan pada setiap dua puluh lima ekor sapi zakatnya seekor sapi, sebagai ganti dari bint makhāḍ. Kemudian tidak ada kewajiban sampai mencapai tujuh puluh enam ekor, maka zakatnya dua ekor sapi, sebagai ganti dari dua ekor bint labūn. Ia berdalil dengan riwayat dan pertimbangan makna.
فأما الخبر: فروى عَمْرُو بْنُ حَزْمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا فَرَغَ مِنْ ذِكْرِ صَدَقَاتِ الْإِبِلِ قَالَ في آخره: وكذلك البقر.
وأما المعنى: فاشتراكها فِي اسْمِ الْبَدَنَةِ وَالْأُضْحِيَةِ وَالْإِجْزَاءِ عَنْ سَبْعَةٍ تُسَاوِي حُكْمِهَا فِي نُصُبِ الزَّكَاةِ وَفَرَائِضِهَا.
وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ: رِوَايَةُ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَكَرَ الْفَرَائِضَ، وَقَالَ فِي الْبَقَرِ فِي كُلِّ ثَلَاثِينَ تَبِيعٌ، وَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةٌ، وَرَوَى طَاوُسٌ الْيَمَانِيُّ أَنَّ مُعَاذًا كَانَ يَأْخُذُ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا، وَمِنْ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً، وَأُتِيَ بِدُونِ ذَلِكَ فَأَبَى أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا شَيْئًا، وَقَالَ لَمْ أَسْمَعْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شَيْئًا حَتَّى أَلْقَاهُ وَأَسْأَلَهُ، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَبْلَ أَنْ يَقْدَمَ مُعَاذٌ، وَأَنَّ مُعَاذًا أُتِيَ بِوَقْصِ الْبَقَرِ فَقَالَ: لَمْ يَأْمُرْنِي فِيهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بشيء.
Adapun dalil dari hadis: diriwayatkan dari ‘Amr bin Ḥazm bahwa Rasulullah SAW ketika selesai menyebutkan zakat unta, beliau bersabda di akhirnya:
“Demikian pula zakat sapi.”
Adapun dalil dari segi makna: karena sapi dan unta sama-sama termasuk badnah, sama-sama sah dijadikan hewan kurban, dan sama-sama boleh dijadikan hewan hadyu yang mencukupi untuk tujuh orang. Maka kesamaan ini menuntut kesamaan hukum dalam nishab zakat dan kewajiban-kewajibannya.
Dan dalil atas kebenaran pendapat kami: riwayat dari ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Alī RA bahwa Nabi SAW menyebutkan ketentuan zakat dan bersabda tentang sapi:
“Pada setiap tiga puluh ekor seekor tabī‘, dan pada setiap empat puluh ekor seekor musinnah.”
Dan Ṭāwūs al-Yamānī meriwayatkan bahwa Mu‘ādz mengambil dari setiap tiga puluh ekor sapi seekor tabī‘, dan dari setiap empat puluh ekor seekor musinnah. Lalu ketika ia didatangi dengan jumlah di bawah itu, ia enggan mengambil sesuatu pun dan berkata:
“Aku tidak mendengar dari Rasulullah SAW sesuatu pun tentang hal ini sampai aku bertemu dengannya dan menanyakannya.”
Namun Rasulullah SAW wafat sebelum Mu‘ādz kembali. Dan ketika Mu‘ādz didatangi dengan waqṣ (sisa jumlah yang tidak mencapai nishab berikutnya) dari sapi, ia berkata:
“Nabi SAW tidak memerintahkanku sesuatu pun tentang hal ini.”
قال الشافعي رضي الله عنه: ” الوقص ما لم يبلغ الفريضة (قال) وبهذا كله نأخذ وليس فيما بين الفريضتين شيءٌ وإذا وجبت إحدى السنين وهما في بقرةٍ أخذ الأفضل وإذا وجد إحداهما لم يكلفه الأخرى ولا يأخذ المعيب وفيها صحاح كما قلت في الإبل “.
قال الماوردي: وَالشِّنَاقُ: مَا بَيْنَ الْفَرْضَيْنِ، وَقَدْ يَتَجَوَّزُ بِالْوَقْصِ فَيُسْتَعْمَلُ مَا بَيْنَ الْفَرِيضَتَيْنِ أَيْضًا، فَإِنْ قِيلَ حديث طاوس عن معاذ مرسل، لأن طاوس وُلِدَ فِي زَمَانِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ لَهُ سَنَةً حِينَ مَاتَ مُعَاذٌ، وَالشَّافِعِيُّ لا يقول بالمراسيل، فكيف يحتج بها قبل الْجَوَابُ عَنْهُ، مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ هَذَا وَإِنْ كَانَ مُرْسَلًا فَطَرِيقُهُ السِّيرَةُ وَالْقَضِيَّةُ، وَهَذِهِ قَضِيَّةٌ مَشْهُورَةٌ فِي الْيَمَنِ خُصُوصًا وَفِي سَائِرِ النَّاسِ عُمُومًا وَطَاوُسٌ يَمَانِيٌّ، فَكَانَ الْأَخْذُ بِهِ مِنْ طَرِيقِ اشْتِهَارِهِ لَا مِنْ طَرِيقِ إِرْسَالِهِ.
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Al-waqṣ adalah jumlah yang belum mencapai kadar kewajiban zakat. Dengan semua ini kami berpegang. Tidak ada kewajiban pada bilangan antara dua kadar zakat. Jika yang wajib salah satu dari dua umur (tabī‘ atau musinnah), dan keduanya terdapat pada seekor sapi, maka diambil yang lebih utama. Jika yang ada hanya salah satunya, maka tidak dibebani yang lain. Dan tidak boleh diambil sapi cacat sementara di dalamnya terdapat yang sehat, sebagaimana telah aku sebutkan pada zakat unta.”
Al-Māwardī berkata:
Al-shināq adalah bilangan yang berada di antara dua kadar zakat. Kadang-kadang disebut juga dengan istilah waqṣ, sehingga dipakai untuk menyebut bilangan antara dua kadar kewajiban.
Jika ada yang berkata: “Hadis Ṭāwūs dari Mu‘ādz adalah mursal, karena Ṭāwūs lahir pada masa ‘Umar RA, dan ia baru berumur setahun ketika Mu‘ādz wafat. Sedangkan al-Syafi‘i tidak berhujjah dengan hadis mursal, maka bagaimana beliau berhujjah dengan hadis ini?”
Jawabannya ada tiga sisi:
Pertama: bahwa meskipun hadis ini mursal, jalurnya adalah jalur sirah dan peristiwa, yaitu sebuah peristiwa yang sangat masyhur di Yaman khususnya dan di tengah-tengah kaum muslimin umumnya. Dan Ṭāwūs adalah orang Yaman, maka berpegang dengan hadis ini karena kemasyhurannya, bukan karena status mursalnya.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ الشَّافِعِيَّ يَمْنَعُ مِنَ الْأَخْذِ بِالْمَرَاسِيلِ إِذَا كَانَ هُنَاكَ مُسْنَدٌ يُعَارِضُهُ، وإن كان مرسلاً لَا يُعَارِضُهُ مُسْنَدٌ فَالْأَخْذُ بِهِ وَاجِبٌ.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ وَإِنْ أَرْسَلَهُ الشَّافِعِيُّ فقد أسند له غَيْرُهُ فَكَانَ الْأَخْذُ بِهِ مِنْ طَرِيقِ الْإِسْنَادِ.
رَوَى الْمَسْعُودِيُّ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ طَاوُسٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا، وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً فَقَالُوا لَهُ فَالْأَوْقَاصُ؟ فَقَالَ لَمْ يَأْمُرْنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيهَا بِشَيْءٍ، حَتَّى أَلْقَاهُ فَأَسْأَلَهُ، فَرَجَعَ إِلَى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَأَلَهُ فَقَالَ لَا شَيْءَ فِيهَا.
فَأَمَّا حَدِيثُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَقَوْلُهُ وَكَذَلِكَ الْبَقَرُ فَمَعْنَاهُ إِنْ صَحَّ وَكَذَلِكَ الْبَقَرُ فِي إِيجَابِ زَكَاتِهَا لَا فِي مَقَادِيرِ نُصُبِهَا، فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْإِبِلِ فِي اشْتِرَاكِهَا فِي الْإِجْزَاءِ عَنْ سَبْعَةٍ في الضحايا فيفسر بالغنم، لأن السبعة عَنْ سَبْعَةٍ، وَيَقْتَضِي عَلَى قِيَاسِ هَذِهِ الْعِبْرَةِ أَنْ يَكُونَ فِي خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ مِنْهَا شَاةٌ، فَعُلِمَ بِالنَّصِّ فِي الْغَنَمِ فَسَادُ هَذَا الِاعْتِبَارِ وبطلان هذا الجمع.
Jawaban kedua: bahwa al-Syafi‘i memang melarang berhujjah dengan hadis mursal apabila ada hadis musnad yang menyelisihinya. Namun jika hadis mursal itu tidak berlawanan dengan hadis musnad, maka berpegang dengannya adalah wajib.
Jawaban ketiga: bahwa hadis ini meskipun diriwayatkan secara mursal oleh al-Syafi‘i, namun telah diriwayatkan secara musnad oleh selain beliau. Maka penerimaannya melalui jalur isnād yang bersambung.
Al-Mas‘ūdī meriwayatkan dari al-Ḥakam, dari Ṭāwūs, dari Ibn ‘Abbās, bahwa Nabi SAW mengutus Mu‘ādz ke Yaman dan memerintahkannya untuk mengambil dari setiap tiga puluh ekor sapi seekor tabī‘, dan dari setiap empat puluh ekor sapi seekor musinnah. Lalu mereka bertanya kepadanya: “Bagaimana dengan awqāṣ (sisa jumlah di antara dua kadar)?” Ia menjawab: “Rasulullah SAW tidak memerintahkanku tentang itu, sampai aku menemuinya dan menanyakannya.” Lalu ia kembali kepada Nabi SAW dan menanyakannya, maka Nabi SAW menjawab: “Tidak ada kewajiban apa pun padanya.”
Adapun hadis ‘Amr bin Ḥazm dan sabdanya “wa ka-dhālika al-baqār” (dan demikian pula sapi), maka maksudnya—jika sah riwayatnya—adalah kewajiban zakat pada sapi, bukan dalam kadar nishab dan perinciannya.
Sedangkan qiyās mereka atas unta, karena kesamaannya dalam bisa dipakai untuk kurban bagi tujuh orang, maka itu lebih tepat ditafsirkan dengan kambing. Karena ketentuan tujuh itu berlaku sama: tujuh orang untuk tujuh kambing. Maka qiyās dengan unta hingga menetapkan pada tiga puluh lima ekor sapi wajib seekor kambing, itu batal dengan adanya nash yang tegas pada kambing. Maka rusaklah pertimbangan itu dan batal penggabungan (istidlāl) tersebut.
فصل
: فإذا ثبت فِي ثَلَاثِينَ مِنَ الْبَقَرِ تَبِيعٌ، فَلَا شَيْءَ فيما دونه، فالتبيع ذكر وهو ما له سنة، وَسُمِّيَ تَبِيعًا لِأَنَّهُ قَدْ قَوِيَ عَلَى اتِّبَاعِ أُمِّهِ، فَإِنْ أَعْطَى تَبِيعَةً قُبِلَتْ مِنْهُ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعِينَ، فإذا بلغتها فهي مُسِنَّةٌ، وَهِيَ الَّتِي لَهَا سَنَةٌ كَامِلَةٌ وَقَدْ دَخَلَتْ فِي الثَّانِيَةِ، فَإِنْ أَعْطَى مُسِنًّا ذَكَرًا نَظَرَ فِي بَقَرِهِ، فَإِنْ كَانَتْ إِنَاثًا كُلَّهَا أو ذكوراً كلها، ففي جَوَازِ قَبُولِ الْمُسِنِّ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ لنصه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى الْمُسِنَّةِ.
وَالثَّانِي: يُقْبَلُ؛ لِأَنَّ فِي مُطَالَبَتِهِ بمسنة من غير ما له إضرار بِهِ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ سِتِّينَ، فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا تَبِيعَانِ، هَذَا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ.
وَعَنْ أبي حنيفة ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ:
أَحَدُهَا: كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ لَا شَيْءَ فِي زيادتها حَتَّى تَبْلُغَ سِتِّينَ، فَيَكُونَ فِيهَا تَبِيعَانِ، وَبِهِ قَالَ أبو يوسف ومحمد.
وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ: عَنْهُ أَنَّهُ كُلَّمَا زَادَتْ عَلَى الْأَرْبَعِينَ وَاحِدَةً فَفِيهَا بِقِسْطِهَا مِنَ الْمُسِنَّةِ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa pada tiga puluh ekor sapi wajib seekor tabi‘, maka tidak ada kewajiban apa pun pada yang kurang dari jumlah itu. Tabi‘ adalah sapi jantan yang telah berumur satu tahun, dan dinamakan tabi‘ karena ia telah kuat mengikuti induknya. Jika ia memberikan tabi‘ah (betina), maka diterima darinya. Setelah itu, tidak ada kewajiban apa pun atas tambahan jumlah tersebut sampai mencapai empat puluh ekor. Jika telah mencapainya, maka yang wajib adalah musinnah, yaitu sapi yang telah berumur satu tahun penuh dan telah masuk tahun kedua. Jika ia memberikan musin jantan, maka dilihat keadaan sapi-sapinya. Jika seluruhnya betina atau seluruhnya jantan, maka dalam kebolehan menerima musin tersebut terdapat dua pendapat:
Pertama: tidak diterima, karena nash Nabi SAW menyebutkan musinnah (betina).
Kedua: diterima, karena menuntutnya untuk memberikan musinnah dari jenis yang tidak ia miliki merupakan bentuk menyusahkan.
Kemudian, tidak ada kewajiban atas tambahan jumlah itu sampai mencapai enam puluh ekor. Jika telah mencapainya, maka yang wajib adalah dua ekor tabi‘. Ini adalah pendapat al-Syafi‘i dan Malik.
Adapun dari Abu Hanifah terdapat tiga riwayat:
Pertama: seperti pendapat al-Syafi‘i, yaitu tidak ada kewajiban atas tambahannya sampai mencapai enam puluh, dan pada jumlah itu wajib dua ekor tabi‘. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Yusuf dan Muhammad.
Riwayat kedua: darinya bahwa setiap kali bertambah satu ekor di atas empat puluh, maka wajib membayar sesuai dengan bagian tambahannya dari musinnah.
وَالرِّوَايَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ لَا شَيْءَ فِيهَا حَتَّى تَبْلُغَ خَمْسِينَ فَيَكُونُ فِيهَا مُسِنَّةٌ وَرُبُعٌ، فَإِذَا بَلَغَتْ سِتِّينَ فَفِيهَا تَبِيعَانِ تَعَلُّقًا بِأَنَّ بِنْتَ لَبُونٍ لَمَّا لَمْ تُعَدَّ في الإبل إلا بعد فرض الحقة والجذعةاقتضى أن لا يعد التَّبِيعُ فِي الْبَقَرِ إِلَّا بَعْدَ فَرْضَيْنِ، فَالْأَوَّلُ مُسِنَّةٌ، وَالثَّانِي مُسِنَّةٌ وَرُبُعٌ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْوَقْصَ فِي الْبَقَرِ تِسْعٌ، وَالْفَرْضُ يَتَعَيَّنُ بِالْعَاشِرِ فِيمَا قَبْلَ الْأَرْبَعِينَ، وَبَعْدَ السِّتِّينَ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الْخَمْسِينَ، وَهَذَا خَطَأٌ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ: رِوَايَةُ سَلَمَةَ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ الْحَكَمِ عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي ثَلَاثِينَ تَبِيعٌ، وَفِي أَرْبَعِينَ مُسِنَّةٌ إِلَى سِتِّينَ، فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا تَبِيعَانِ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِيهَا دُونَ ذَلِكَ ” وَلِأَنَّهَا زِيَادَةٌ عَلَى نِصَابٍ فِي نَوْعٍ مِنَ الْحَيَوَانِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَغَيَّرَ فَرْضُهَا ابْتِدَاءً إِلَّا بِسِنٍّ كَامِلٍ، كَالْإِبِلِ وَالْغَنَمِ، وَلِأَنَّهَا زِيَادَةٌ لَا يَجِبُ بها جبران كَامِلٌ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَغَيَّرَ بِهَا الْفَرْضُ، قِيَاسًا عَلَى مَا دُونُ الْخَمْسِينَ وَفَوْقَ الْأَرْبَعِينَ، فَأَمَّا احْتِجَاجُهُ بِأَنَّ بِنْتَ اللَّبُونِ لَمَّا لَمْ تُعَدَّ إِلَّا بَعْدَ فَرْضَيْنِ فَكَذَلِكَ التَّبِيعُ فَيَبْطُلُ بِالشَّاةِ فِي أَوَّلِ فَرْضِ الْإِبِلِ، وَبِنْتَيْ لَبُونٍ تجب في ستة وَسَبْعِينَ، ثُمَّ يَجِبُ بَعْدَهَا حِقَّتَانِ فِي إِحْدَى وتسعين، ثم بعده بَنَاتُ اللَّبُونِ فِي مِائَةٍ وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ، وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا إِلَّا فَرْضٌ وَاحِدٌ وَهُوَ الْحِقَاقُ، وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّ أَوْقَاصَ الْبَقَرِ تِسْعٌ فَبَاطِلٌ بِالْوَقْصِ الْأَوَّلِ، لِأَنَّهُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ.
Dan riwayat ketiga dari Abu Hanifah: tidak ada kewajiban apa pun sampai mencapai lima puluh ekor, maka pada jumlah itu wajib musinnah dan seperempat. Lalu apabila telah mencapai enam puluh ekor, maka wajib dua ekor tabi‘, dengan alasan bahwa bint labūn tidak dihitung dalam unta kecuali setelah ketentuan ḥiqqah dan jadh‘ah. Maka hal itu menunjukkan bahwa tabi‘ dalam sapi tidak dihitung kecuali setelah dua ketentuan: yang pertama adalah musinnah, dan yang kedua adalah musinnah dan seperempat.
Ia berkata: karena jumlah waqṣ (interval tanpa tambahan kewajiban) dalam sapi adalah sembilan, dan kewajiban ditentukan pada kelipatan kesepuluh sebelum empat puluh dan setelah enam puluh, maka itu menunjukkan seharusnya demikian pula pada lima puluh.
Namun ini adalah kekeliruan, dan dalil atas kesalahan ini adalah riwayat Salamah bin Usamah dari Yaḥyā bin al-Ḥakam dari Mu‘āż bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Pada tiga puluh ekor sapi wajib seekor tabi‘, dan pada empat puluh seekor musinnah hingga enam puluh, apabila telah mencapainya maka wajib dua tabi‘, dan tidak ada kewajiban pada jumlah di antaranya.”
Dan karena tambahan atas nisab dalam satu jenis hewan, maka wajib tidak berubah ketentuannya sejak awal kecuali dengan usia yang lengkap, sebagaimana pada unta dan kambing. Dan karena tambahan ini tidak mewajibkan kompensasi penuh (jabr kāmil), maka wajib pula ketentuannya tidak berubah, berdasarkan qiyās dengan tambahan yang kurang dari lima puluh dan lebih dari empat puluh.
Adapun hujjahnya bahwa bint labūn tidak dihitung kecuali setelah dua ketentuan, maka analogi itu batal dengan adanya ketentuan satu ekor kambing pada nisab pertama unta. Dan bint labūn wajib pada jumlah tujuh puluh enam, lalu setelahnya dua ekor ḥiqqah pada sembilan puluh satu, kemudian setelah itu banāt labūn pada seratus dua puluh satu, dan tidak ada di antara keduanya kecuali satu ketentuan, yaitu ḥiqqah.
Adapun perkataannya bahwa awqāṣ sapi adalah sembilan, maka itu batil dengan waqṣ yang pertama, karena ia adalah dua puluh sembilan.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْمُسِنَّةَ: وَهِيَ الَّتِي اسْتَوَى قَرْنَاهَا فَرِيضَةُ الْأَرْبَعِينَ إِلَى السِّتِّينَ، فَإِذَابَلَغَتْ سِتِّينَ فَفِيهَا تَبِيعَانِ إِلَى سَبْعِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ سَبْعِينَ فَفِيهَا مُسِنَّةٌ وَتَبِيعٌ إِلَى ثَمَانِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ ثَمَانِينَ فَفِيهَا مُسِنَّتَانِ إِلَى تِسْعِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ تِسْعِينَ فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَتْبِعَةٍ إِلَى مِائَةٍ، فَإِذَا بَلَغَتْ مِائَةً فَفِيهَا مُسِنَّةٌ وَتَبِيعَانِ إِلَى مِائَةٍ وَعَشْرَةٍ، فَإِذَا بَلَغَتْ مِائَةً وَعَشْرَةً فَفِيهَا مُسِنَّتَانِ وَتَبِيعٌ إِلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ مِائَةً وَعِشْرِينَ فَفِيهَا ثَلَاثُ مُسِنَّاتٍ أَوْ أَرْبَعَةُ أَتْبِعَةٍ، يَجْتَمِعُ فِيهَا الْفَرْضَانِ جَمِيعًا كَالْمِائَتَيْنِ مِنَ الْإِبِلِ، ثُمَّ كُلَّمَا زَادَتْ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةٌ، وَفِي كُلِّ ثَلَاثِينَ تَبِيعٌ، فَإِنْ كَانَ فِي الْمَالِ أَحَدُ الْفَرْضَيْنِ أَخَذَهُ، وَإِنِ اجْتَمَعَا كَانَ كَاجْتِمَاعِ الْفَرْضَيْنِ فِي الْإِبِلِ، فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى فِي الْإِبِلِ سَوَاءٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي مَالِهِ الْفَرْضَانِ وَلَا أَحَدُهُمَا كُلِّفَ أَنْ يَبْتَاعَ أَحَدَهُمَا، أَوْ يَتَطَوَّعَ بِسِنٍّ هُوَ أَعْلَى مِنْهُمَا، وَلَيْسَ لَهُ إِذَا صَعِدَ إِلَى السِّنِّ الْعَالِيَةِ أَنْ يُطَالَبَ بِشَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا جُبْرَانًا، وَلَا لَهُ أَنْ يَنْزِلَ وَيُعْطِيَ شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا جُبْرَانًا، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْإِبِلِ بَعْدَ التَّوْقِيفِ، أَنَّ الْغَنَمَ لَمَّا وَجَبَتْ فِي ابْتِدَاءِ فَرْضِ الْإِبِلِ جَازَ أَنْ يَدْخُلَ جُبْرَانُهَا فِيمَا بَيْنَ أَسْنَانِهَا، فَلَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ تَبِيعٌ فِي ثَلَاثِينَ فَأَعْطَاهُ مُسِنَّةً قُبِلَتْ، لِأَنَّهَا تُقْبَلُ فِي أَكْثَرَ مِنْهَا، وَلَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ مُسِنَّةٌ فِي أَرْبَعِينَ فَأَعْطَاهُ تَبِيعَيْنَ قبلا، لأنهما يقبلان في أكثر منها، فأما الْجَوَامِيسُ فَفِيهَا الزَّكَاةُ قِيَاسًا عَلَى الْبَقَرِ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ وَقَدْ قِيلَ إِنَّ الْجَوَامِيسَ ضَأْنُ البقر، فلو كان ماله جواميس وبقراً عَوَانًا ضَمَّ بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ، وَأَخَذَ زَكَاةَ جميعها، كضم الضأن إِلَى الْمَعِزِ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa musinnah—yaitu sapi yang kedua tanduknya telah tumbuh seimbang—adalah ketentuan zakat pada jumlah empat puluh sampai enam puluh ekor, maka apabila telah mencapai enam puluh, wajib dua ekor tabi‘ sampai tujuh puluh. Apabila telah mencapai tujuh puluh, wajib seekor musinnah dan seekor tabi‘ sampai delapan puluh. Apabila telah mencapai delapan puluh, wajib dua ekor musinnah sampai sembilan puluh. Apabila telah mencapai sembilan puluh, wajib tiga ekor tabi‘ sampai seratus. Apabila telah mencapai seratus, wajib seekor musinnah dan dua ekor tabi‘ sampai seratus sepuluh. Apabila telah mencapai seratus sepuluh, wajib dua ekor musinnah dan seekor tabi‘ sampai seratus dua puluh.
Apabila telah mencapai seratus dua puluh, maka wajib tiga ekor musinnah atau empat ekor tabi‘. Dalam jumlah ini, dua ketentuan dapat dikombinasikan, sebagaimana dua ratus ekor unta. Kemudian setiap kali bertambah: pada setiap empat puluh wajib musinnah, dan pada setiap tiga puluh wajib tabi‘.
Jika dalam hartanya terdapat salah satu dari dua jenis ketentuan, maka yang itu yang diambil. Jika keduanya ada, maka diperlakukan seperti gabungan dua ketentuan pada unta, dan berlaku sebagaimana yang telah dijelaskan dalam zakat unta. Jika dalam hartanya tidak terdapat kedua jenis itu atau tidak terdapat salah satunya, maka ia diwajibkan untuk membeli salah satunya, atau bersedekah secara suka rela dengan hewan yang lebih tinggi usianya dari keduanya.
Tidak boleh menuntutnya untuk memberikan dua ekor kambing atau dua puluh dirham sebagai kompensasi ketika ia naik ke usia yang lebih tinggi, dan ia pun tidak boleh turun dan memberikan dua ekor kambing atau dua puluh dirham sebagai kompensasi. Perbedaan antara hal ini dengan unta—setelah adanya nash syariat—adalah karena kambing memang telah ditetapkan sebagai ketentuan awal zakat unta, maka diperbolehkan memasukkan kompensasinya di antara rentang usia yang ada.
Jika seseorang wajib memberikan seekor tabi‘ karena memiliki tiga puluh ekor sapi, lalu ia memberikan musinnah, maka diterima, karena musinnah diterima untuk jumlah yang lebih banyak darinya. Dan jika ia wajib memberikan musinnah karena memiliki empat puluh ekor sapi, lalu ia memberikan dua ekor tabi‘, maka diterima, karena keduanya diterima untuk jumlah yang lebih banyak dari musinnah.
Adapun jawāmis (kerbau), maka padanya terdapat kewajiban zakat berdasarkan qiyās kepada sapi, dan berdasarkan sunnah. Dikatakan juga bahwa kerbau adalah domba dari jenis sapi. Jika hartanya terdiri dari kerbau dan sapi biasa, maka digabungkan satu sama lain dan zakatnya diambil dari keseluruhan, sebagaimana penggabungan domba dan kambing.
Wallāhu Ta‘ālā A‘lam.
قال الشافعي رحمه الله: ” ثَابِتٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في صدقة الغنم معنى ما أذكر إن شاء الله تعالى وهو أن لَيْسَ فِي الْغَنَمِ صدقةٌ حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعِينَ فإذا بلغتها ففيها شاة ولا شيء في زيادتها حتى تبلغ مائة وإحدى وعشرين فإذا بلغتها ففيها شاتان وليس في زيادتها شيء حتى تبلغ مائتين وشاةً فإذا بلغتها فَفِيهَا ثَلَاثُ شياهٍ ثُمَّ لَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعَمِائَةٍ فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا أربع شياه ثم في كل مائةٍ شاةٌ وما نقص عن مائةٍ فلا شيء فيها وتعد “.
PASAL
Zakat kambing yang digembalakan
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata:
“Telah tetap dari Rasulullah SAW dalam zakat kambing makna seperti yang akan aku sebutkan, insyaallah ta‘ala, yaitu: Tidak ada zakat pada kambing hingga mencapai empat puluh. Jika telah mencapainya, maka wajib satu ekor kambing. Dan tidak ada tambahan pada zakatnya sampai mencapai seratus dua puluh satu. Jika telah mencapainya, maka wajib dua ekor kambing. Dan tidak ada tambahan pada zakatnya sampai mencapai dua ratus satu. Jika telah mencapainya, maka wajib tiga ekor kambing. Kemudian tidak ada tambahan pada zakatnya hingga mencapai empat ratus. Jika telah mencapainya, maka wajib empat ekor kambing. Kemudian untuk setiap seratus, satu ekor kambing. Dan yang kurang dari seratus, tidak ada zakat padanya, dan ia dihitung.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا زَكَاةُ الْغَنَمِ فَوَاجِبَةٌ لِعُمُومِ كِتَابِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ، وَتِبْيَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، رَوَى مَالِكُ بْنُ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي الْإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَقَرِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهَا ” بِالزَّايِ معجمة وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ زكاةٌ وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى وجوب زكاتها، وأن أول نصابها أربعين وَأَنْ لَا شَيْءَ فِيمَا دُونَهَا، وَأَنَّ فِيهَا إِذَا بَلَغَتْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَاحِدَةً، وَأَنْ لَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا إِلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، فَإِذَا بَلَغَتْ مِائَةً وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ فَفِيهَا شَاتَانِ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا إِلَى مِائَتَيْنِ، فَإِذَا بَلَغَتْ مِائَتَيْ شَاةٍ وَشَاةٍ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعَمِائَةٍ، فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا أَرْبَعُ شِيَاهٍ، وَكُلَّمَا زَادَتْ مِائَةً كَامِلَةً فَفِيهَا شَاةٌ، وَلَا شَيْءَ فِيمَا دُونَ الْمِائَةِ مِنَ الزِّيَادَةِ، وَهَذَا قَوْلُ الْفُقَهَاءِ وَبِهِ أَخَذَ الْخُلَفَاءُ، وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ بن صالح بن حي وَالنَّخَعِيِّ أَنَّهُمَا قَالَا: فِي مِائَتَيْ شَاةٍ وَشَاةٍ ثَلَاثُ شِيَاهٍ، كَقَوْلِ الْجَمَاعَةِ، فَإِذَا بَلَغَتْ ثَلَاثَمِائَةٍ فَفِيهَا أَرْبَعُ شِيَاهٍ، خِلَافًا لِلْكَافَّةِ، وَاسْتِدْلَالًا بِحَدِيثٍ رُوِيَ فِيهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَإِذَا زَادَتْ عَلَى الْمِائَتَيْنِ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ، إلى ثلاثماية ” قَالُوا: فَهَذَا حَدٌّ، وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهِ تُوجِبُ تَغْيِيرَ الْحَدِّ، كَمَا قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ ” وَهَذَا مَذْهَبٌ يَبْطُلُ بِإِجْمَاعِ مَنْ تَقَدَّمَهُ، وَوِفَاقِ مَنْ تَعَقَّبَهُ، مَعَ مَا فِيهِ مِنْ مُخَالَفَةِ الْعَمَلِ الْجَارِي، وَالنَّصِّ الْمَرْوِيِّ مِنْ طَرِيقِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ فِي أَرْبَعِينَ شَاةً: شَاةٌ إِلَى مائة وَعِشْرِينَ، فَإِذَا زَادَتْ واحدةٌ فَفِيهَا شَاتَانِ إِلَى مِائَتَيْنِ، فَإِذَا زَادَتْ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ، إِلَى ثلاثمائةٍ، فَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، فَفِي كُلِّ مِائَةِ شَاةٍ شَاةٌ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ المائة شيء، وقد مضى أَنَسٌ وَابْنُ حَزْمٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِثْلَهُ، وَقَدْ رُوِيَ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قَالَ ” فَإِذَا بَلَغَتْ أَرْبَعَمِائَةٍ فَفِيهَا أَرْبَعُ شِيَاهٍ “، فَكَانَتْ هَذِهِ الْأَخْبَارُ كُلُّهَا تُوَضِّحُ مَعْنَى الْحَدِيثِ الأول وتفسر إجماله.
Dikatakan oleh al-Mawardi: Adapun zakat kambing maka wajib karena keumuman Kitab Allah Subḥānah, dan penjelasan Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Mālik bin Aws bin al-Ḥadathān dari Abū Żar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada unta ada zakatnya, pada sapi ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya, dan pada al-bazz ada zakatnya” — dengan zāy mu‘jamah.
Dan beliau SAW bersabda: “Pada kambing yang digembalakan wajib zakat.”
Kaum muslimin telah sepakat atas wajibnya zakat kambing, bahwa nishab awalnya adalah empat puluh, dan tidak ada zakat pada jumlah di bawahnya. Jika mencapai empat puluh maka wajib satu ekor kambing. Dan tidak ada zakat pada kelebihannya hingga seratus dua puluh. Jika mencapai seratus dua puluh satu, maka wajib dua ekor kambing. Lalu tidak ada zakat pada kelebihannya hingga dua ratus. Jika mencapai dua ratus satu, maka wajib tiga ekor kambing. Kemudian tidak ada zakat dalam kelebihannya hingga mencapai empat ratus. Jika mencapainya, maka wajib empat ekor kambing. Setiap penambahan seratus utuh, maka wajib satu ekor kambing. Tidak ada zakat dalam kelebihan kurang dari seratus.
Inilah pendapat para fuqahā’ dan diambil pula oleh para khalifah.
Diriwayatkan dari al-Ḥasan bin Ṣāliḥ bin Ḥayy dan al-Nakha‘ī bahwa keduanya berkata: Pada dua ratus satu kambing wajib tiga ekor kambing, sebagaimana pendapat jumhur. Dan jika mencapai tiga ratus maka wajib empat ekor kambing, berbeda dengan mayoritas, berdasarkan istidlāl dari hadis yang diriwayatkan dari Nabi SAW: “Jika lebih dari dua ratus maka wajib tiga ekor kambing, hingga tiga ratus.” Mereka berkata: Ini adalah batas, dan penambahan di atasnya mewajibkan perubahan batas, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Jika lebih dari seratus dua puluh, maka pada setiap empat puluh bint labūn, dan pada setiap lima puluh ḥiqqah.”
Namun pendapat ini batal karena ijmā‘ orang-orang sebelum mereka, dan kesepakatan orang-orang sesudah mereka, serta menyelisihi praktik yang berlaku dan nash riwayat yang datang dari jalur Ibn ‘Umar dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda tentang empat puluh kambing: “Satu kambing hingga seratus dua puluh. Jika lebih satu, maka dua kambing hingga dua ratus. Jika lebih, maka tiga kambing hingga tiga ratus. Jika lebih dari itu, maka pada setiap seratus kambing wajib satu kambing. Tidak ada zakat pada jumlah di bawah seratus.”
Dan telah diriwayatkan dari Anas dan Ibn Ḥazm dari Rasulullah SAW seperti itu.
Juga diriwayatkan dari jalur lain bahwa beliau SAW bersabda: “Jika mencapai empat ratus maka wajib empat ekor kambing.” Maka semua riwayat ini menjelaskan makna hadis pertama dan menafsirkan keumumannya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وتعد عليهم السخلة قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِسَاعِيهِ اعْتَدَّ عَلَيْهِمْ بِالسَّخْلَةِ يَرُوحُ بِهَا الرَّاعِي وَلَا تَأْخُذْهَا وَلَا تَأْخُذِ الْأَكُولَةَ وَلَا الرُّبَى وَلَا الْمَاخِضَ وَلَا فَحْلَ الْغَنَمِ وَخُذِ الْجَذَعَةَ وَالثَّنِيَّةَ وَذَلِكَ عَدْلٌ بَيْنَ غِذَاءِ الْمَالِ وَخِيَارِهِ (قال الشافعي) والربي هي التي يتبعها ولدها والماخض الحامل والأكولة السمينة تعد للذبح (قال الشافعي) وبلغنا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال لمعاذ ” إياكم وكرائم أموالهم ” (قال الشافعي) فبهذا نأخذ “.
قال الماوردي: فزكاه السِّخَالُ بِحَوْلِ أُمَّهَاتِهَا، وَلَا يَسْتَقْبِلُ بِهَا الْحَوْلَ، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.
وَقَالَ دَاوُدُ: يَسْتَأْنِفُ حولها، وهو قول الحسن البصري وإبراهيم النخعي، لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullah berkata:
“Anak kambing juga dihitung atas mereka.”
‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu berkata kepada petugas zakatnya:
“Hitunglah anak kambing yang digembalakan bersama gembalanya, tetapi jangan engkau ambil ia; dan jangan engkau ambil kambing yang gemuk untuk disembelih, jangan yang sedang menyusui, jangan yang sedang bunting, dan jangan pula pejantan. Ambillah kambing jadhā‘ah dan tsaniyyah. Itulah keadilan antara makanan ternak dan kualitas terbaiknya.”
(al-Syafi‘i berkata:) al-rubiyy adalah kambing betina yang masih diikuti anaknya, al-mākhid adalah yang sedang hamil, dan al-akūlah adalah kambing gemuk yang disiapkan untuk disembelih.
(al-Syafi‘i berkata:) Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Mu‘ādz:
“Janganlah kalian mengambil harta terbaik mereka.”
(al-Syafi‘i berkata:) Maka berdasarkan ini kami berpendapat.
al-Māwardī berkata: Anak-anak kambing dizakati mengikuti haul induk-induknya, dan tidak dimulai haul baru untuk mereka. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha.
Sedangkan Dāwūd berpendapat: haulnya dimulai dari awal. Ini juga merupakan pendapat al-Ḥasan al-Baṣrī dan Ibrāhīm al-Nakha‘ī, berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Tidak ada zakat atas harta hingga genap setahun.”
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بن مخرمة عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ لِسَاعِيهِ: ” عُدَّ عَلَيْهِمْ صِغَارَهَا وَكِبَارَهَا ولا تأخذ هرمةً ولا ذات عوارٍ “.
روى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ أَبَاهُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا اسْتَعْمَلَ سُفْيَانَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيَّ عَلَى الطَّائِفِ، وَمَخَالِيفِهَا فَعَدَّ عَلَيْهِمُ الْمَالَ عَدًّا وَصِغَارَهُ، فَقَالُوا لَهُ: إِنْ كُنْتَ تُعَدُّ عَلَيْنَا عَدًّا الْمَالَ وَصِغَارَهُ فَخُذْ مِنْهُ، فَلَقِيَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَكَّةَ، وَقَالَ لَهُ إِنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّا نَظْلِمُهُمْ، نَعُدُّ عَلَيْهِمْ هَذَا الْمَالَ وَلَا نَأْخُذُ مِنْهُ، فَقَالَ لَهُ عَمَرُ اعْتَدَّ عَلَيْهِمْ بِالسَّخْلَةِ، يَرُوحُ بِهَا الرَّاعِي وَلَا تَأْخُذْهَا، وَلَا تَأْخُذِ الْأَكُولَةَ، وَلَا الرُّبَى وَلَا الْمَاخِضَ، وَلَا فَحْلَ الْغَنَمِ، وَخُذِ الْجَذَعَةَ، والثنية ” وذلك عدل بين الْمَالِ وَخِيَارِهِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: الْأَكُولَةُ: السَّمِينَةُ تُعَدُّ لِلذَّبْحِ.
وَالرَّبِيُّ الَّتِي يَتْبَعُهَا وَلَدُهَا.
وَالْمَاخِضُ: الْحَامِلُ.
وَالْفَحْلُ: الذَّكَرُ الْمُعَدُّ لِلضِّرَابِ، فَجَعَلَ مَا عَدَلَ عنه من عدا الْمَالِ بِإِزَاءِ مَا تَرَكَهُ عَلَيْهِمْ مِنْ خِيَارِهِ، وَلِأَنَّ زَكَاةَ الْأَصْلِ وَجَبَتْ لِأَجْلِ النِّتَاجِ فَلَمْ يجز أن يجب فيها، وسقط فِي النِّتَاجِ وَالْخَبَرُ مَحْمُولٌ عَلَى الْأُمَّهَاتِ.
Dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh Muḥammad bin Isḥāq bin Mukharmah dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda kepada petugas zakatnya: “Hitunglah atas mereka kambing yang kecil dan besar, dan jangan engkau ambil yang tua renta dan yang cacat.”
Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa ayahnya, ‘Umar RA, mengangkat Sufyān bin ‘Abdillāh al-Thaqafī sebagai petugas zakat atas Ṭā’if dan wilayah sekitarnya. Maka ia menghitung harta mereka satu per satu, termasuk yang kecil-kecil. Lalu mereka berkata kepadanya: “Jika engkau menghitung atas kami harta ini dan yang kecil-kecilnya, maka ambillah darinya.” Maka Sufyān bertemu dengan ‘Umar RA di Makkah dan berkata kepadanya: “Mereka mengatakan bahwa kita menzalimi mereka, kita menghitung harta mereka tetapi tidak mengambil darinya.” Maka ‘Umar berkata kepadanya: “Hitunglah anak kambing (al-sakhlah) yang digembalakan oleh si penggembala, tetapi jangan engkau ambil ia. Dan jangan engkau ambil al-akūlah, al-rubā, al-mākhid, dan faḥl al-ghanam, dan ambillah al-jadza‘ah dan al-tsaniyyah. Itu adalah keadilan antara seluruh harta dan yang terbaik darinya.”
Al-Syāfi‘ī berkata: al-akūlah adalah kambing gemuk yang disiapkan untuk disembelih.
al-rubiyy adalah kambing betina yang diikuti anaknya.
al-mākhid adalah yang sedang hamil.
al-faḥl adalah kambing jantan yang disiapkan untuk mengawini.
Maka yang ditinggalkan dari harta mereka diseimbangkan dengan apa yang ditinggalkan dari pilihan terbaiknya. Dan karena zakat pokok itu diwajibkan karena sebab hasil kelahiran (najāḥ), maka tidak boleh diwajibkan atas pokok tetapi gugur pada hasilnya. Dan hadis ini ditujukan kepada induk-induknya.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَمَّا لَمْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيمَا عَلِمْتُ مع ما وصفت في أن لا يؤخذ أَقَلُّ مِنْ جذعةٍ أَوْ ثنيةٍ إِذَا كَانَتْ في غنمه أو أعلى مها دل على أنهم إنما أرادوا ما تجوز أضحيةً ولا يؤخذ أعلى إلا أن يطوع وَيَخْتَارُ السَّاعِي السِّنَّ الَّتِي وَجَبَتْ لَهُ إِذَا كانت الغنم كلها واحدةً فإن كانت كلها فوق الثنية خير ربها فإذا جاء بثنية إن كانت معزاً أو بجذعة إن كانت ضأناً إلا أن يطوع فيعطي منها إلا أن يكون بها نقص لا تجوز أضحيةً وإن كانت أكثر قيمةً من السن التي وجبت عليه قبلت منه إن جازت أضحيةً إلا أن تكون تيساً فلا تقبل بحالٍ لأنه ليس في فرض الغنم ذكورٌ وهكذا البقر إلا أن يجب فيها تبيع والبقر ثيران فيعطي ثوراً فيقبل منه إذا كان خيراً من تبيع وكذلك قال في الإبل بهذا المعنى لا نأخذ ذكراً مكان أنثى إلا أن تكون ماشيته كلها ذكوراً “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Tatkala tidak ada perbedaan pendapat dari ahli ilmu —sepengetahuan saya— terhadap apa yang telah aku jelaskan, bahwa tidak boleh diambil kambing kurang dari jadhā‘ah atau tsaniyyah jika ada dalam kepemilikannya atau yang lebih tinggi darinya, maka hal ini menunjukkan bahwa mereka menghendaki hewan yang sah untuk kurban. Dan tidak boleh diambil yang lebih tinggi (dari yang wajib) kecuali jika ia bersedekah secara sukarela.
Dan petugas zakat boleh memilih umur yang telah diwajibkan baginya jika seluruh kambing milik seseorang itu satu jenis. Jika semuanya di atas tsaniyyah, maka pemiliknya boleh memilih; jika ia membawa tsaniyyah jika kambingnya adalah kambing kacang, atau membawa jadhā‘ah jika kambingnya adalah kambing domba, maka itu sah —kecuali jika ia bersedekah secara sukarela dari jenis yang lebih tinggi.
Namun, jika hewan itu memiliki cacat yang menyebabkan tidak sah untuk kurban, maka tidak diterima meskipun nilainya lebih tinggi dari yang wajib. Jika hewan itu sah untuk kurban, maka diterima, kecuali jika hewan itu adalah tais (kambing jantan), maka tidak diterima dalam kondisi apa pun, karena tidak ada ketentuan zakat kambing jantan. Begitu pula dalam zakat sapi, kecuali jika yang wajib adalah tabī‘, dan sapinya adalah jantan, maka ia boleh memberikan sapi jantan, dan diterima jika lebih baik dari tabī‘. Demikian pula disebutkan dalam zakat unta dengan makna yang sama: tidak diambil unta jantan sebagai ganti unta betina, kecuali jika seluruh ternaknya adalah unta jantan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: السِّنُّ الْمُسْتَحَقَّةُ فِي زَكَاةِ الْغَنَمِ هِيَ الْجَذَعَةُ مِنَ الضَّأْنِ، وَهِيَ الَّتِي لَهَا سِتَّةُ أَشْهُرٍ وَقَدْ دَخَلَتْ فِي السَّابِعِ، وَالثَّنِيَّةُ مِنَ الْمَعِزِ وَهِيَ الَّتِي قَدِ اسْتَكْمَلَتْ سَنَةً وَدَخَلَتْ فِي الثَّانِيَةِ، وَقَالَ أبو حنيفة الْمُسْتَحَقُّ الثني من الضأن والمعز، وقال مَالِكٌ الْجَذَعُ مِنَ الضَّأْنِ وَالْمَعِزِ , وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ سُوَيْدُ بْنُ غَفَلَةَ قَالَ أَتَانَا مُصَدِّقُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَقَالَ: ” نُهِينَا عَنِ الرَّاضِعِ، وَأُمِرْنَا أَنْ نَأْخُذَ الْجَذَعَةَ مِنَ الضَّأْنِ، وَالثَّنِيَّةَ مِنَ الْمَعِزِ. وَلِأَنَّ كُلَّ سِنٍّ تَقَدَّرَتْ بِهَا الْأُضْحِيَةُ تَقَدَّرَتْ بِهَا زَكَاةُ الْغَنَمِ كَالثَّنِيَّةِ، فَإِنْ أَعْطَى فَوْقَ الْجَذَعَةِ أَوِ الثَّنِيَّةِ قُبِلَتْ مِنْهُ، إِلَّا أَنْ تَبْلُغَ حد الهرمة فَلَا تُقْبَلُ، وَإِنْ أَعْطَى دُونَ الْجَذَعَةِ وَالثَّنِيَّةِ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ كُلُّهَا دُونَ الْجَذَعَةِ وَالثَّنِيَّةِ تُقْبَلُ مِنْهُ، لِأَنَّ الزِّيَادَةَ مَقْبُولَةٌ، وَالنُّقْصَانَ مَرْدُودٌ، ثُمَّ إِنَّ كَانَتْ غَنَمُهُ إِنَاثًا، أَوْ فِيهَا إِنَاثٌ لَمْ تُؤْخَذِ الشَّاةُ، وَإِنْ كَانَتْ كُلُّهَا ذُكُورًا أُخِذَ مِنْهَا الذَّكَرُ، ول يُكَلَّفْ زَكَاةَ مَالِهِ مِنْ غَيْرِهِ، كَالْمَرِيضَةِ مِنَ المراض.
Al-Mawardi berkata: Usia hewan yang wajib dalam zakat kambing adalah al-jadza‘ah dari jenis ḍa’n (domba), yaitu yang telah berusia enam bulan dan telah masuk bulan ketujuh, dan al-tsaniyyah dari ma‘iz (kambing), yaitu yang telah genap satu tahun dan masuk tahun kedua.
Abū Ḥanīfah berpendapat: yang wajib adalah tsaniyyah dari ḍa’n dan ma‘iz.
Mālik berpendapat: al-jadza‘ dari ḍa’n dan ma‘iz.
Dalil kami adalah riwayat dari Suwayd bin Ghafalah, ia berkata: Telah datang kepada kami petugas zakat Rasulullah SAW, lalu berkata: “Kami dilarang mengambil yang masih menyusu, dan kami diperintah untuk mengambil al-jadza‘ah dari ḍa’n dan al-tsaniyyah dari ma‘iz.”
Dan karena setiap usia yang dijadikan ukuran dalam uḍḥiyah, maka dijadikan pula ukuran dalam zakat kambing, seperti tsaniyyah.
Jika seseorang memberikan hewan yang usianya lebih dari al-jadza‘ah atau al-tsaniyyah, maka diterima darinya, kecuali jika telah mencapai usia harimah (tua renta), maka tidak diterima. Dan jika memberikan yang di bawah al-jadza‘ah atau al-tsaniyyah, maka tidak diterima darinya, kecuali jika seluruh ternaknya memang di bawah usia al-jadza‘ah dan al-tsaniyyah, maka diterima darinya, karena kelebihan diterima dan kekurangan ditolak.
Kemudian jika kambingnya betina semua atau terdapat betina di antaranya, maka tidak diambil betina tersebut. Namun jika seluruhnya jantan, maka diambil jantan darinya, dan tidak dibebankan zakat hartanya dari jenis yang lain, seperti halnya kambing yang sakit tidak diambil dari kambing sehat.
قال الشافعي: وَيَخْتَارُ السَّاعِي السِّنَّ الَّتِي وَجَبَتْ لَهُ إِذَا كانت الغنم واحدة، إِذَا وَجَبَ فِي مَالِهِ جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ، إِنْ كَانَ مَالُهُ ضَأْنًا أَوْ ثَنِيَّةً مِنَ الْمَعِزِ إِنْ كَانَ مَالُهُ مِعْزَى، كَانَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَهَا مِنْ خِيَارِ غَنَمِهِ، وَلَيْسَ لِرَبِّ المال أن يمنعه من اختيار إِذَا لَمْ يَتَجَاوَزِ الْجِذَاعَ وَالثَّنَايَا، كَمَا كَانَ لَهُ الِاخْتِيَارُ فِي أَخْذِ الْحِقَاقِ وَبَنَاتِ اللَّبُونِ.
Imam al-Syafi‘i berkata:
“Petugas zakat berhak memilih umur hewan yang wajib diambilnya jika kambing yang ada satu jenis. Jika yang wajib dalam hartanya adalah jadhā‘ah dari kambing domba, maka jika hartanya adalah kambing domba, atau tsaniyyah dari kambing kacang, maka jika hartanya adalah kambing kacang, maka ia (petugas zakat) berhak memilihnya dari kambing terbaik miliknya. Dan pemilik harta tidak berhak melarangnya memilih selama tidak melebihi batas jadhā‘ah dan tsaniyyah, sebagaimana petugas zakat juga berhak memilih antara ḥiqqah dan banāt al-labūn.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يعتد بالسخلة على رب الماشية إلا بأن يَكُونَ السَّخْلُ مِنْ غَنَمِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ وَيَكُونَ أصل الغنم أربعين فصاعداً فإذا لم تكن الغنم مما فيه الصدقة فلا يعتد بالسخل حتى تتم بالسخل أربعين ثم يستقبل بها الحول “.
قال الماوردي: ذكرنا أن السخال تزكى بحلول أمهاتها إذا جمعت ثلاث شَرَائِطَ.
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ أُمَّهَاتُهَا أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ السِّخَالُ مِنْ نِتَاجِ غَنَمِهِ الَّتِي فِي مِلْكِهِ، لَا مِنْ غَيْرِهَا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الْوِلَادَةُ قَبْلَ حُلُولِ حَوْلِهَا، فَإِذَا اجْتَمَعَتْ هَذِهِ الشَّرَائِطُ الثَّلَاثُ فِي السِّخَالِ، وَجَبَ ضَمُّهَا إِلَى أُمَّهَاتِهَا.
Masalah:
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Dan tidak dihitung al-sakhlah atas pemilik ternak kecuali apabila anak kambing itu berasal dari kambingnya sebelum sempurna haul, dan jumlah pokok kambingnya telah mencapai empat puluh ke atas. Maka apabila kambingnya belum mencapai nishab yang wajib dizakati, maka anak kambing tidak dihitung sampai jumlah bersama anak-anak kambing mencapai empat puluh, lalu haul dihitung dari awal kembali.”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa anak-anak kambing dizakati dengan haul induknya, apabila terpenuhi tiga syarat:
Pertama: Induk-induknya mencapai empat puluh ke atas.
Kedua: Anak-anak kambing tersebut adalah hasil kelahiran dari kambing yang dimilikinya, bukan dari kambing milik orang lain.
Ketiga: Kelahiran terjadi sebelum datangnya haul kambing tersebut.
Apabila tiga syarat ini terpenuhi pada anak-anak kambing, maka wajib digabungkan dengan induk-induknya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الشَّرْطُ الْأَوَّلُ في اختيار النِّصَابِ، فَقَدْ خَالَفَ فِيهِ مَالِكٌ، فَقَدْ قَالَ: لَا اعْتِبَارَ بِكَوْنِ الْأُمَّهَاتِ نِصَابًا، بَلْ تُضَمُّ السِّخَالُ وَإِنْ كَانَتِ الْأُمَّهَاتُ دُونَ النِّصَابِ، وَاسْتَدَلَّ بِأَنَّهُ نَمَاءُ مَالٍ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ كَالْمَوْجُودِ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ.
أَصْلُ ذَلِكَ: إِذَا كَانَتِ الْأُمَّهَاتُ أَرْبَعِينَ قَالَ: وَلِأَنَّ أُصُولَ الزَّكَوَاتِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى أَنَّ النَّمَاءَ الْحَادِثَ مِنَ الْمَالِ لَا يُعْتَبَرُ فِي إِيجَابِ زَكَاتِهِ أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لِنِصَابٍ مُزَكًّى، أَلَا تَرَى أَنَّ الْأُصُولَ تَشْهَدُ لَهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عُرُوضُ التِّجَارَاتِ، إِذَا اشْتَرَى عُرْضًا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فربح فيه مائة درهم، زكا الْأَصْلَ وَالنَّمَاءَ، لِأَنَّهُمَا نِصَابٌ، وَإِنْ لَمْ يَكُنِ النماء تابعاً للنصاب.
وَالثَّانِي: إِنْ مَلَكَ مِائَةَ دِرْهَمٍ أَحَدَ عَشَرَ شَهْرًا، ثُمَّ وَجَدَ مِائَةَ دِرْهَمٍ رِكَازًا زَكَّاهُمَا، لِأَنَّهُمَا نِصَابٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الرِّكَازُ وَالنَّمَاءُ تَبَعًا لِنِصَابٍ، كَذَلِكَ هَاهُنَا.
PASAL
Adapun syarat pertama dalam penetapan niṣāb, maka Imam Mālik menyelisihi dalam hal ini. Beliau berkata: “Tidak dianggap keutuhan niṣāb hanya dari induk-induknya saja. Bahkan anak-anak kambing (sikhāl) pun dihitung, meskipun induk-induknya kurang dari niṣāb.”
Beliau berdalil bahwa anak kambing tersebut adalah bagian dari pertumbuhan harta di tengah tahun, maka wajib dihukumi seperti yang ada sejak awal tahun.
Asal dari pendapat ini adalah: jika jumlah induknya empat puluh. Dan karena pokok-pokok zakat dibangun di atas kaidah bahwa pertumbuhan harta yang terjadi di tengah tahun tidak disyaratkan harus mengikuti niṣāb yang telah dizakati.
Tidakkah engkau lihat bahwa dalil-dalil pokok zakat menunjukkan hal itu dari dua sisi:
Pertama: barang dagangan. Jika seseorang membeli barang dagangan seharga seratus dirham, lalu mendapatkan keuntungan seratus dirham, maka ia zakati pokok dan keuntungannya, karena keduanya adalah niṣāb, meskipun keuntungannya tidak mengikuti pokok sejak awal.
Kedua: jika seseorang memiliki seratus dirham selama sebelas bulan, kemudian mendapatkan seratus dirham dari rikāz (harta terpendam), maka ia zakati keduanya, karena keduanya adalah niṣāb, meskipun rikāz dan pertumbuhan harta tersebut tidak mengikuti niṣāb dari awal. Maka demikian pula hukumnya di sini.
وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة: إِلَى أَنَّ كَوْنَ الْأُمَّهَاتِ نِصَابًا شَرْطٌ فِي وُجُوبِ ضَمِّ السِّخَالِ إِلَيْهَا، فَإِنْ كَانَتِ الْأُمَّهَاتُ دُونَ النِّصَابِ، لَمْ يَجِبْ ضَمُّهَا، فَإِذَا كَمُلَتْ مَعَ السِّخَالِ نِصَابًا، اسْتُؤْنِفَ لَهَا الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ كَمَالِهَا.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى ذَلِكَ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” وَهَذَا مَالٌ لَمْ يَحُلِ الْحَوْلُ عَلَى الْأُمَّهَاتِ مِنْهُ وَلَا السِّخَالِ، فَاقْتَضَى أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ بِهِ وُجُوبُ الزَّكَاةِ، وَلِأَنَّهَا زِيَادَةٌ كَمُلَ بِهَا نِصَابُ الْحَيَوَانِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَوْلُهَا مِنْ يَوْمِ كَمَالِهَا، كَمَا لَوْ مَلَكَ السِّخَالَ مِنْ غَيْرِ نِتَاجِهَا مِنْ بَيْعٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَلِأَنَّ السِّخَالَ مِنَ الْأَمْوَالِ الَّتِي لَا تَجِبُ الزَّكَاةُ (فِيهَا) إِلَّابِالْحَوْلِ، إِلَّا أَنَّ حَوْلَهَا تَارَةً يَكُونُ بِنَفْسِهَا وَتَارَةً يَكُونُ بِغَيْرِهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُتْبِعَ الْغَيْرَ فِي الْحَوْلِ، وَلَا حَوْلَ لِلْغَيْرِ، فَثَبَتَ أَنَّ حَوْلَهَا مُعْتَبَرٌ بِنَفْسِهَا.
Dan al-Syāfi‘ī serta Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa induk kambing harus sudah mencapai nishab sebagai syarat wajibnya penggabungan anak-anak kambing kepadanya. Maka jika induk-induknya kurang dari nishab, tidak wajib menggabungkannya. Apabila nishab itu sempurna dengan tambahan anak-anak kambing, maka haul dimulai dari hari sempurnanya nishab tersebut.
Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat atas harta sampai berlalu haul atasnya.” Ini adalah harta yang belum sempurna haul atas induknya maupun atas anak-anaknya. Maka tidaklah wajib zakat atasnya.
Dan karena anak-anak kambing itu adalah tambahan yang menyempurnakan nishab hewan, maka wajib haulnya dihitung dari hari sempurnanya nishab, sebagaimana jika ia memiliki anak kambing bukan dari hasil kelahiran, melainkan dari jual beli atau selainnya.
Dan karena anak kambing termasuk jenis harta yang tidak wajib zakat kecuali dengan haul, hanya saja haul itu terkadang berdasarkan dirinya sendiri dan terkadang karena selainnya. Tidak boleh menjadikan selainnya sebagai patokan dalam haul, padahal ia sendiri tidak memiliki haul, maka tetaplah bahwa haul anak kambing itu diperhitungkan dengan dirinya sendiri.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى النِّصَابِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ الْحَوْلَ ثَابِتٌ لِلْأُمَّهَاتِ، فَجَازَ أَنْ تَتْبَعَهَا السِّخَالُ فِي حَوْلِهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا دُونَ النِّصَابِ، وَأَمَّا اسْتِشْهَادُهُمْ بِالْأُصُولِ فِي زَكَاةِ الْعُرُوضِ، وَمَسْأَلَةِ الرِّكَازِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ، أَنْ يُقَالَ: أَمَّا مَسْأَلَةُ عُرُضِ التِّجَارَةِ إِذَا اشْتَرَاهُ بِدُونِ النِّصَابِ ثُمَّ بَاعَهُ بِنِصَابٍ، فَقَدْ كَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يُسَوِّي بَيْنَهُ وَبَيْنَ السِّخَالِ، وَيَقُولُ: لَا زَكَاةَ فِيهِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِيَ الْعُرْضَ بِنِصَابٍ، أَوْ تَكُونَ قِيمَتُهُ يَوْمَ الشِّرَاءِ نِصَابًا، فَعَلَى هَذَا سَقَطَ السُّؤَالُ.
وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا: وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّ زَكَاةَ الْعُرْضِ وَاجِبَةٌ إِذَا كَانَتْ قِيمَتُهُ عِنْدَ الْحَوْلِ نِصَابًا، وَإِنْ كَانَ قَدِ اشْتَرَاهُ بِدُونِ النِّصَابِ، فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السِّخَالِ أَنَّ اعْتِبَارَ تَقْوِيمِ الْعُرْضِ بِنِصَابٍ يَشُقُّ غَالِبًا، وَلَا يَشُقُّ أَنْ يُعْتَبَرَ كَوْنُ الْأُمَّهَاتِ نِصَابًا، فَلِذَلِكَ سَقَطَ اعْتِبَارُ النِّصَابِ في الأمهات، لارتفاع مشقته، توضيح ذَلِكَ أَنَّهُ لَوِ اشْتَرَى عُرْضًا بِنِصَابٍ، ثُمَّ نَقَصَتْ قِيمَتُهُ فِي تَضَاعِيفِ الْحَوْلِ عَنِ النِّصَابِ، ثُمَّ عَادَتِ الْقِيمَةُ عِنْدَ الْحَوْلِ إِلَى النِّصَابِ، لَزِمَتْهُ الزَّكَاةُ وَلَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ مَا مَضَى مِنَ الْحَوْلِ بِنُقْصَانِ الْقِيمَةِ، وَلَوْ مَلَكَ أَرْبَعِينَ شَاةً فَتَلِفَ مِنْهَا فِي تَضَاعِيفِ الْحَوْلِ شَاةٌ، ثُمَّ مَلَكَ مَكَانَهَا شَاةً بِبَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ اسْتُؤْنِفَ الْحَوْلُ، وَبَطَلَ حُكْمُ مَا مَضَى مِنْهُ بِنُقْصَانِ الشَّاةِ، فَقَدْ وَضَحَ بِمَا بَيَّنَاهُ الْفَرْقُ بَيْنَ الْعُرْضِ وَالسِّخَالِ.
Jawaban terhadap qiyās mereka tentang penetapan niṣāb:
Maknanya adalah bahwa ḥaul (putaran satu tahun) itu tetap berlaku bagi induk-induk kambing, maka boleh anak-anak kambing (sikhāl) mengikuti induknya dalam ḥaul-nya. Berbeda halnya dengan yang kurang dari niṣāb, tidak bisa diperlakukan sama.
Adapun istidlāl (penalaran analogis) mereka dengan pokok-pokok zakat pada zakat barang dagangan dan kasus rikāz, maka jawabannya adalah:
Adapun kasus barang dagangan, yaitu jika seseorang membelinya dengan harga di bawah niṣāb, lalu menjualnya dengan nilai niṣāb, maka Abū al-‘Abbās Ibn Surayj menyamakan kasus ini dengan anak-anak kambing. Ia berkata:
“Tidak ada zakat padanya kecuali jika ia membeli barang dagangan dengan niṣāb, atau harga barang tersebut saat dibeli telah mencapai niṣāb.” Maka, berdasarkan ini gugurlah sanggahan tersebut.
Dan seluruh sahabat kami berkata —dan ini adalah mazhab ẓāhir dari al-Syāfi‘ī— bahwa zakat barang dagangan itu wajib jika nilainya saat genap ḥaul mencapai niṣāb, walaupun saat dibeli nilainya belum mencapai niṣāb.
Berdasarkan ini, terdapat perbedaan antara barang dagangan dan anak-anak kambing, yaitu bahwa menilai barang dagangan agar mencapai niṣāb itu umumnya sulit, sedangkan memastikan induk-induk kambing telah mencapai niṣāb tidaklah sulit. Maka karena itu, tidak dipertimbangkan syarat niṣāb pada induk-induknya karena kesulitan yang tinggi.
Penjelasannya:
Jika seseorang membeli barang dagangan senilai niṣāb, lalu nilainya turun di tengah-tengah ḥaul di bawah niṣāb, kemudian kembali naik nilainya ke niṣāb saat genap ḥaul, maka ia tetap wajib zakat dan tidak gugur perhitungan waktu yang telah berlalu karena penurunan nilai tersebut.
Namun, jika seseorang memiliki empat puluh kambing lalu satu ekor di antaranya mati di tengah tahun, kemudian ia memperoleh kambing pengganti lewat jual beli atau hibah, maka ḥaul-nya dihitung dari awal kembali, dan waktu yang telah berlalu dianggap batal karena kekurangan satu kambing.
Maka dengan penjelasan ini jelaslah perbedaan antara barang dagangan dan anak-anak kambing.
وَأَمَّا مَسْأَلَةُ الرِّكَازِ فَقَدِ اختلف أصحابنا فِيهَا، فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُوجِبُ الزَّكَاةَ فِي الْمِائَةِ الرِّكَازِ دُونَ غَيْرِهَا لِأَنَّ الرِّكَازَ مِمَّا يُعْتَبَرُ فِيهِ النِّصَابُ وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهِ الْحَوْلُ، وَالْمِائَةُ الْأُخْرَى يُعْتَبَرُ فِيهَا النِّصَابُ وَالْحَوْلُ، فَلِذَلِكَ وَجَبَتْ زَكَاةُ الرِّكَازِ لِوُجُودِ النِّصَابِ، وَلَمْ تَجِبْ زَكَاةُ المائة الأخرى لفقد الحول، فعلى هذا القول السُّؤَالُ سَاقِطٌ، وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا بَلْ زَكَاتُهَا وَاجِبَةٌ، لِأَنَّ النِّصَابَ فِيهَا مَوْجُودٌ، وَالْحَوْلَ فيما يعتبر فيه مَوْجُودٌ، فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَ الزَّكَاةُ فِيهَا لِوُجُودِ شَرْطِ الْإِيجَابِ فِيهَا، فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السِّخَالِ أَنَّ الرِّكَازَ لَا يُعْتَبَرُ فِيهِ الحول، والسخال يعتبر فِيهَا الْحَوْلُ، إِمَّا بِنَفْسِهَا أَوْ تَبَعًا لِأُمَّهَاتِهَا، فَافْتَرَقَ حُكْمُهُمَا فِي الزَّكَاةِ لِافْتِرَاقِ مَعْنَاهُمَا فِي الْوُجُوبِ.
Adapun masalah rikāz, para sahabat kami berselisih pendapat di dalamnya. Sebagian dari mereka mewajibkan zakat pada rikāz seratus dirham saja tanpa selainnya, karena rikāz termasuk harta yang disyaratkan nishab tetapi tidak disyaratkan haul, sedangkan seratus yang lain disyaratkan padanya nishab dan haul. Maka karena itulah, zakat rikāz wajib karena adanya nishab, dan zakat seratus yang lain tidak wajib karena tidak adanya haul. Maka menurut pendapat ini, pertanyaan menjadi gugur.
Sebagian lain dari sahabat kami berkata: bahkan zakat atasnya wajib, karena nishab pada keduanya terpenuhi, dan haul pada bagian yang disyaratkan juga terpenuhi. Maka wajib dikenakan zakat atas keduanya karena terpenuhinya syarat wajib zakat padanya.
Maka menurut pendapat ini, perbedaan antara rikāz dan anak-anak kambing (sikhāl) adalah bahwa rikāz tidak disyaratkan haul, sedangkan sikhāl disyaratkan haul, baik berdasarkan dirinya sendiri maupun mengikuti induknya. Maka berbeda hukum zakat keduanya karena perbedaan makna kewajiban zakat atas keduanya.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ السِّخَالُ مِنْ نِتَاجِ غَنَمِهِ، فَقَدْ خَالَفَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ فِي اعْتِبَارِ هَذَا الشَّرْطِ فقالا: كل ما استفاد من جنس ما ضمه إليه في حوله، وإخراج زَكَاتَهُ تَبَعًا لِمَالِهِ، سَوَاءٌ كَانَ مِنْ نِتَاجِ مَالِهِ، أَوْ مَلَكَهُ بِابْتِيَاعٍ أَوْ هِبَةٍ وَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ فِيمَا بَعْدُ، لَكِنْ تقدم الكلام فيها، لأن هذا الوضع أليق بها، فأما مخالفنا فاستدلبرواية ابن الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” اعلموا شهراً تودون فِيهِ زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ، فَمَا حَدَثَ بَعْدَ ذَلِكَ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَى يِجِيءَ رَأْسُ السَّنَةِ ” فقد بين أن السنة تجمع لزكاة المالين جميعاً من الأصل المستفاد، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” فِي خَمْسٍ شَاةٌ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ عَشْرًا ” فَاقْتَضَى الظَّاهِرُ أَنَّهَا مَتَى بَلَغَتْ عَشْرًا بِفَائِدَةٍ مِنْهَا أَوْ مِنْ غَيْرِهَا وَجَبَ تَغْيِيرُ الْفَرْضِ بِهَا، وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لساعيه ” عُدَّ عَلَيْهِمْ صَغِيرَهَا وَكَبِيرَهَا ” وَلَمْ يُفَرِّقْ، وَلِأَنَّهَا زيادة من نفس ماله، فوجب إذا لم يزل بَدَلُهُ أَنْ يَضُمَّهُ إِلَى حَوْلِ مَا عِنْدَهُ، كَالنِّتَاجِ وَأَرْبَاحِ التِّجَارَاتِ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ تَفْتَقِرُ إِلَى عَدَدٍ وَأَمَدٍ، فَالْعَدَدُ النِّصَابُ، وَالْأَمَدُ الْحَوْلُ، فَلَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الْمُسْتَفَادِ النِّصَابُ لَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ الْحَوْلُ.
PASAL
Adapun syarat kedua, yaitu bahwa anak-anak kambing (sikhāl) itu berasal dari kelahiran kambing miliknya sendiri, maka dalam hal ini Abū Ḥanīfah dan Mālik berbeda pendapat tentang keabsahan syarat ini. Keduanya berkata:
“Setiap harta yang diperoleh, selama masih satu jenis dengan harta yang digabungkan dalam satu ḥaul, maka zakatnya dikeluarkan mengikuti harta asalnya, baik berasal dari kelahiran miliknya, ataupun diperoleh melalui jual beli atau hibah.”
Dan Imam al-Syāfi‘ī menyebutkan masalah ini di tempat lain, namun pembahasannya didahulukan di sini karena lebih sesuai dengan konteksnya.
Adapun pihak yang menyelisihi kami, mereka berdalil dengan riwayat Ibn al-Zubayr dari Jābir, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Ketahuilah, tetapkanlah satu bulan untuk menunaikan zakat harta kalian. Maka, apa pun yang terjadi (penambahan harta) setelah itu, tidak ada zakat atasnya hingga datang kepala tahun (tahun berikutnya).”
Hadis ini menjelaskan bahwa tahun (ḥaul) mengumpulkan zakat untuk harta asal dan harta tambahan yang diperoleh.
Dan mereka juga berdalil dengan hadis dari Nabi SAW:
“Pada lima (ekor kambing) wajib satu kambing, dan tidak ada tambahan pada zakatnya hingga mencapai sepuluh.”
Secara ẓāhir, ini menunjukkan bahwa jika jumlah kambing menjadi sepuluh, baik dari tambahan yang berasal dari kambing tersebut atau dari yang lainnya, maka wajib perubahan kadar zakat.
Dan Nabi SAW juga bersabda kepada petugas zakatnya:
“Hitunglah atas mereka (pemilik harta) yang kecil maupun yang besar,” tanpa membedakan.
Juga karena tambahan itu berasal dari jenis harta yang sama, maka wajib digabungkan ke dalam perhitungan ḥaul harta yang ada padanya, seperti kelahiran dan keuntungan perdagangan.
Dan karena zakat mensyaratkan dua hal: jumlah dan waktu. Jumlah adalah niṣāb, dan waktu adalah ḥaul. Maka ketika dalam harta yang diperoleh tidak disyaratkan adanya niṣāb, maka tidak disyaratkan pula adanya ḥaul.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَالٍ مُسْتَفَادٍ مِنْ غَيْرِ النِّتَاجِ يَجِبُ اسْتِئْنَافُ حَوْلِهِ وَلَا يَكُونُ تَابِعًا لِحَوْلِهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” فَكَانَ عَامًّا وَرَوَى زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لَيْسَ فِي الْمَالِ الْمُسْتَفَادِ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ ” وَهَذَا نَصٌّ، وَقَدْ رَوَاهُ أَيْضًا جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَرَوَاهُ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَلِأَنَّهُ أَصْلٌ فِي نَفْسِهِ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعْتَبَرَ حَوْلُهُ بِغَيْرِهِ. أَصْلُهُ: إِذَا كَانَتِ الْفَائِدَةُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ مَالِهِ، وَلِأَنَّهَا فَائِدَةٌ غَيْرُ مُتَوَلَّدَةٍ مِمَّا عِنْدَهُ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهَا، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَوْلُهَا مُعْتَبَرًا بِنَفْسِهَا، أَصْلُهُ مَا وَافَقَنَا عَلَيْهِ أبو حنيفة فِيمَنْ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ، قَدْ أخرج زكاتها، وأربعون من الغنم من بَقِيَ شَهْرٌ مِنْ حَوْلِهَا، فَاشْتَرَى بِالْمِائَتَيْنِ إِحْدَى وَثَمَانِينَ شَاةً.
Dan dalil bahwa setiap harta yang diperoleh dari selain hasil kelahiran (najāḥ) wajib untuk dimulai haul-nya dari awal, dan tidak mengikuti haul sebelumnya, adalah sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat atas harta sampai berlalu haul atasnya.” Maka ini adalah lafaz umum.
Dan diriwayatkan oleh Zayd bin Aslam dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada harta yang diperoleh sampai berlalu haul atasnya.” Ini adalah nash. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Jābir bin Zayd dari Ibn ‘Umar, dan diriwayatkan pula oleh Abū Sa‘īd al-Khudrī dari Rasulullah SAW.
Dan karena harta tersebut merupakan pokok pada dirinya sendiri yang wajib zakat pada zatnya, maka wajib haul-nya tidak diikutkan pada selainnya. Dasarnya adalah: jika keuntungan itu berasal dari selain jenis harta yang dimilikinya, dan karena itu merupakan tambahan yang tidak dilahirkan dari harta yang ada padanya, maka wajib zakat pada zatnya, sehingga wajib haul-nya diperhitungkan berdasarkan dirinya sendiri.
Dasarnya: apa yang disepakati oleh Abū Ḥanīfah dalam kasus seseorang yang memiliki dua ratus dirham dan telah mengeluarkan zakatnya, dan ia memiliki empat puluh ekor kambing yang tinggal satu bulan lagi untuk sempurna haul-nya, lalu ia membeli dengan dua ratus dirham tersebut delapan puluh satu ekor kambing.
قَالَ أبو حنيفة: لَا يَجِبُ أَنْ يُزَكِّيَهَا بِحَوْلِ الْأَرْبَعِينَ، وَيَسْتَأْنِفُ لَهَا الْحَوْلَ مِنْ يَوْمِ مَلَكَهَا، لِأَنَّهُ قَدْ زَكَّى أَصْلَهَا وَهُوَ الْمِائَتَانِ، وَلَوْ لَمْ يُزَكِّ أَصْلَهَا ضَمَّهَا، وَهَذَا حُجَّةٌ عَلَيْهِ مُقْنِعَةٌ، وَلِأَنَّ فِي ضَمِّ الْمَالِ الْمُسْتَفَادِ مِنْ غَيْرِ النِّتَاجِ مَا يُؤَدِّي إِلَى مُخَالَفَةِ أَصُولِ الزَّكَوَاتِ، لِأَنَّهَا تَجِبُ فِي الْحَوْلِ مَرَّةً، وَذَلِكَ يُؤَدِّي إِلَى إِيجَابِهَا فِي الحول مراراً.
مثال: فِيمَنْ مَعَهُ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ قَدْ بَقِيَ مِنْ حَوْلِهَا يَوْمٌ، فَابْتَاعَ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ فَزَكَّاهَا بَعْدَ يَوْمٍ ثُمَّ بَاعَهَا عَلَى رَجُلٍ مَعَهُ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ قَدْ بَقِيَ مِنْ حَوْلِهَا يَوْمٌ فَزَكَّاهَا الثَّانِي بَعْدَ يَوْمٍ ثُمَّ بَاعَهَا عَلَى ثَالِثٍ حَالُهُ كَذَلِكَ، ثُمَّ عَلَى رَابِعٍ، وَخَامِسٍ فَيُؤَدِّي زَكَاةَ الْخَمْسِ فِي السَّنَةِ الْوَاحِدَةِ مِرَارًا، وَهَذَا مُنَافٍ لِأُصُولِ الزَّكَوَاتِ الْمُقَدَّرَةِ عَلَى إِيجَابِهَا فِي كُلِّ حَوْلٍ مَرَّةً.
Abū Ḥanīfah berkata:
“Tidak wajib menzakatinya berdasarkan ḥaul empat puluh (ekor), melainkan dimulai ḥaul-nya dari hari ia memilikinya, karena ia telah menzakati harta asalnya, yaitu dua ratus (ekor). Kalau ia belum menzakati harta asalnya, maka ia wajib menggabungkannya. Dan ini adalah hujah yang cukup kuat atas pendapatnya sendiri.
Karena menggabungkan harta yang diperoleh dari selain kelahiran (nātij) akan menyebabkan penyelisihan terhadap pokok-pokok zakat, sebab zakat itu diwajibkan sekali dalam satu tahun, sementara hal ini dapat menyebabkan kewajiban zakat dalam satu tahun terjadi berulang kali.”
Contohnya:
Seseorang memiliki lima ekor unta dan tinggal satu hari lagi untuk sempurna ḥaul-nya. Lalu ia membeli lima ekor unta lainnya, dan menzakatinya setelah satu hari.
Kemudian ia menjual unta tersebut kepada orang kedua yang juga memiliki lima ekor unta yang tinggal satu hari lagi untuk genap ḥaul-nya. Maka orang kedua pun menzakatinya setelah satu hari.
Kemudian ia menjualnya lagi kepada orang ketiga, yang keadaannya sama. Lalu kepada orang keempat, dan kelima.
Maka, hal ini menyebabkan zakat atas lima ekor unta itu ditunaikan beberapa kali dalam satu tahun yang sama. Dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip zakat yang ditetapkan, yaitu bahwa zakat itu diwajibkan sekali dalam setiap ḥaul (tahun).
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” اعْلَمُوا شَهْرًا تُؤَدُّونَ فِيهِ زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ، فَمَا حَدَثَ بَعْدَ ذَلِكَ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَى يِجِيءَ رَأْسُ السَّنَةِ ” فَلَا حُجَّةَ فِيهِ، لِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ رَأْسَ السَّنَةِ الْمُسْتَفَادِ فِيهَا، وَيَحْتَمِلُ رَأْسَ سَنَةِ الْأَصْلِ وَمَعَ هَذَا الِاحْتِمَالِ فَحَمْلُهُ عَلَى سَنَةِ الْمُسْتَفَادِ أَوْلَى، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة على مال حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” وَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فِي خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ شَاةٌ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ عَشْرًا ” فَهَذَا إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ بَيَانَ الْمَقَادِيرِ دُونَ ضَمِّ الْمُسْتَفَادِ، فَلَمْ يَجُزْ حَمْلُهُ عَلَى غَيْرِ الْمُرَادِ وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ لِسَاعِيهِ: ” عُدَّ عَلَيْهِمْ صَغِيرَهَا وَكَبِيرَهَا ” أَرَادَ بِهِ بَيَانَ الْحُكْمِ فِي الصِّغَارِ وَالْكِبَارِ، فَلَمْ يَجُزْ حَمْلُهُ عَلَى غَيْرِهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى نِتَاجِ مَالِهِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهَا مُتَوَلَّدَةٌ مِمَّا عِنْدَهُ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ لَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الْمُسْتَفَادِ النِّصَابُ لَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ الحول، فينكسر من إتباع ماشيته بِمَالٍ قَدْ زَكَّاهُ، فَلَا يَجِبُ عِنْدَهُمْ أَنْ يَضُمَّهُ إِلَى حَوْلِ مَاشِيَتِهِ، وَيَسْتَأْنِفَ حَوْلَهُ مِنْ يَوْمِ مَلَكَهُ، فَكَانَ الْحَوْلُ مُعْتَبَرًا وَإِنْ لَمْ يَكُنِ النِّصَابُ مُعْتَبَرًا، عَلَى أَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَ النِّصَابِ وَالْحَوْلِ، أَنَّ النِّصَابَ اعْتُبِرَ لِيَبْلُغَ الْمَالُ قَدْرًا يَتَّسِعُ لِلْمُوَاسَاةِ، وَهَذَا حَاصِلٌ بِوُجُودِ مَا اسْتَفَادَهُ، وَالْحَوْلُ اعْتُبِرَ لِيَتَكَامَلَ فِيهِ نَمَاءُ الْمَالِ، وَهَذَا غَيْرُ حَاصِلٍ بِوُجُودِ مَا اسْتَفَادَهُ حَتَّى يَحُولَ حَوْلُهُ.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan sabda Nabi SAW: “Ketahuilah satu bulan yang kalian tunaikan zakat harta kalian padanya, maka apa yang terjadi setelah itu tidak ada zakat padanya hingga datang awal tahun,” maka tidak ada hujah di dalamnya. Karena bisa jadi maksudnya adalah awal tahun harta yang diperoleh (setelahnya), dan bisa jadi maksudnya adalah awal tahun harta pokok. Dengan adanya kemungkinan ini, maka membawanya kepada awal tahun harta yang diperoleh lebih utama, karena sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat atas harta hingga berlalu satu tahun.”
Adapun sabda beliau SAW: “Pada lima ekor unta ada seekor kambing, dan tidak ada sesuatu (tambahan) pada kelebihannya hingga mencapai sepuluh,” maka ini maksudnya adalah penjelasan kadar (kewajiban) tanpa menyertakan harta yang diperoleh, maka tidak boleh membawanya kepada selain maksud tersebut.
Demikian juga sabda beliau kepada petugas zakatnya: “Hitunglah atas mereka yang kecil dan yang besar,” maksudnya adalah menjelaskan hukum terhadap yang kecil dan yang besar, maka tidak boleh ditafsirkan dengan selain itu.
Adapun qiyas mereka atas anak-anak hewan dari hartanya, maka alasannya karena anak-anak itu lahir dari harta yang sudah dimiliki.
Adapun ucapan mereka bahwa ketika tidak disyaratkan nisab pada harta yang diperoleh, maka tidak disyaratkan pula haul padanya, maka ini rusak karena mengikuti hewan ternaknya dengan harta yang telah dizakati, sehingga tidak wajib menurut mereka untuk menggabungkannya dengan haul hewan ternaknya, dan memulai haulnya dari hari ia memilikinya. Maka haul tetap diperhitungkan sekalipun nisab tidak diperhitungkan.
Adapun perbedaan antara nisab dan haul adalah: nisab diperhitungkan agar harta mencapai kadar yang cukup untuk muwāsāt (berbagi), dan ini telah tercapai dengan adanya harta yang diperoleh. Sedangkan haul diperhitungkan agar sempurna pertumbuhan harta, dan ini tidak tercapai hanya dengan adanya harta yang diperoleh hingga haulnya berlalu.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّالِثُ فِي اعْتِبَارِ الْوِلَادَةِ قَبْلَ الْحَوْلِ، فَلِأَنَّ السِّخَالَ تَابِعَةٌ لِأُمَّهَاتِهَا فِي الْإِيجَابِ، فَلَا بُدَّ مِنْ وُجُودِهَا قَبْلَ الْإِيجَابِ، فَإِنْ نَتَجَتْ قَبْلَ الْحَوْلِ بِيَوْمٍ أَوْ بَعْضِهِ ضُمَّتْ إِلَى أُمَّهَاتِهَا، وَأَخْرَجَ زَكَاةَ جَمِيعِهَا، وَإِنْ نَتَجَتْ بَعْدَ الْحَوْلِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الْحَوْلِ وَقَبْلَ الْإِمْكَانِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الْحَوْلِ وَبَعْدَ الْإِمْكَانِ، فَإِنْ نَتَجَتْ بَعْدَ الْإِمْكَانِ، لَمْ تُضَمَّ إِلَى الْأُمَّهَاتِ فِي الْحَوْلِ الْمَاضِي، لِاسْتِقْرَارِ الْوُجُوبِ، وَضُمَّتْ إِلَيْهَا فِي الْحَوْلِ الثَّانِي، وَإِنْ نَتَجَتْ قَبْلَ الْإِمْكَانِ، فَفِي إِيجَابِ ضَمِّهَا إِلَى الْأُمَّهَاتِ قَوْلَانِ مبنيان على اختلاف قوليه في الإمكان، قيل هُوَ شَرْطٌ فِي الْوُجُوبِ أَوْ فِي الضَّمَانِ، فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ الْإِمْكَانَ شَرْطٌ في الوجوب وتضم إِلَى الْأُمَّهَاتِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، لِاسْتِقْرَارِ الْوُجُوبِ بَعْدَ وُجُودِهَا، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّهُ شرط في الضمان دون الوجوب لا تضم إلى الْحَوْلِ الْمَاضِي، لِاسْتِقْرَارِ الْوُجُوبِ قَبْلَ وُجُودِهَا، وَاللَّهُ أعلم.
PASAL
Adapun syarat ketiga dalam hal memperhatikan waktu kelahiran sebelum ḥaul, maka hal itu karena anak-anak kambing (sikhāl) mengikuti induknya dalam kewajiban zakat. Maka keberadaannya harus sudah ada sebelum kewajiban zakat berlaku.
Jika anak-anak itu lahir sebelum genap ḥaul satu hari atau sebagian darinya, maka ia digabungkan kepada induknya dan zakat dikeluarkan atas seluruhnya.
Namun jika lahir setelah ḥaul, maka terdapat dua keadaan:
Pertama: lahir setelah ḥaul tetapi sebelum adanya kemungkinan penarikan zakat.
Kedua: lahir setelah ḥaul dan setelah adanya kemungkinan penarikan zakat.
Jika anak itu lahir setelah waktu kemungkinan (penarikan), maka tidak digabungkan ke induknya untuk ḥaul yang telah lalu, karena kewajiban telah tetap, dan baru digabungkan untuk ḥaul kedua.
Namun jika lahir sebelum waktu kemungkinan, maka dalam hal wajib atau tidaknya penggabungan kepada induk terdapat dua pendapat, yang dibangun di atas perbedaan dua pendapat beliau tentang makna “kemungkinan (al-imkān)”: apakah ia merupakan syarat dalam kewajiban atau dalam penjaminan.
Menurut pendapat lama (qawl qadīm), imkān adalah syarat dalam kewajiban, maka anak itu digabungkan kepada induk, dan ini juga pendapat Mālik, karena kewajiban zakat baru tetap setelah anak itu ada.
Sedangkan menurut pendapat baru (qawl jadīd), imkān adalah syarat dalam penjaminan (ḍamān) saja, bukan dalam kewajiban, maka anak tersebut tidak digabungkan ke dalam ḥaul yang telah lalu, karena kewajiban telah tetap sebelum anak itu ada.
Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْقَوْلُ فِي ذَلِكَ قَوْلُ رَبِّ الْمَاشِيَةِ “.
قَالَ الماوردي: وهذا كما قال:
إن اخْتَلَفَ السَّاعِي وَرَبُّ الْمَالِ فِي الشَّرَائِطِ الثَّلَاثَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي ضَمِّ السِّخَالِ، فَادَّعَى السَّاعِي وُجُودَ جَمِيعِهَا وَإِيجَابَ ضَمِّهَا إِلَى أُمَّهَاتِهَا، وَادَّعَى رَبُّ الْمَالِ عَدَمَ بَعْضِهَا وَسُقُوطَ ضَمِّ السِّخَالِ إِلَى أُمَّهَاتِهَا، وَكَأَنَ السَّاعِيَ ادَّعَى أَنَّ السِّخَالَ مِنْ أَعْيَانِ مَالِهِ، وَادَّعَى رَبُّ الْمَالِ أَنَّهَا مُسْتَفَادَةٌ مِنْ غَيْرِ مَالِهِ، أَوِ ادَّعَى السَّاعِي أَنَّ الْأُمَّهَاتِ أَرْبَعُونَ، وَادَّعَى رَبُّ الْمَالِ أَنَّهَا دُونَالْأَرْبَعِينَ، أَوِ ادَّعَى السَّاعِي أَنَّ الْوِلَادَةَ قَبْلَ الْحَوْلِ، وَادَّعَى رَبُّ الْمَالِ أَنَّهَا بَعْدَ الْحَوْلِ، وَمَا ادَّعَيَاهُ مُمْكِنٌ فِي الظَّاهِرِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ رب المال مع يمينه، لأنه أمين يرجع إلى ظاهر، وَلَا ظَاهِرَ مَعَ السَّاعِي وَهَذِهِ الْيَمِينُ هِيَ يَمِينُ اسْتِظْهَارٍ، فَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ كُلُّ مَوْضِعٍ ادَّعَى رَبُّ الْمَالِ ما تسقط بِهِ الزَّكَاةَ وَكَانَ الظَّاهِرُ مَعَهُ فَيَمِينُهُ اسْتِظْهَارٌ، وَإِنْ كَانَ الظَّاهِرُ مَعَ السَّاعِي كَدَعْوَى رَبِّ الْمَالِ بَيْعَ مَالِهِ فِي تَضَاعِيفِ الْحَوْلِ، ثُمَّ ابْتِيَاعَهُ فَفِي الْيَمِينِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: اسْتِظْهَارٌ أَيْضًا.
وَالثَّانِي: وَاجِبَةٌ، وَفَائِدَةُ قَوْلِنَا اسْتِظْهَارٌ أَنَّهُ إِنْ نَكَلَ عَنْهَا لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُ الزَّكَاةُ، وَفَائِدَةُ قَوْلِنَا وَاجِبَةٌ أَنَّهُ إِنْ نَكَلَ عَنْهَا أُخِذَتْ مِنْهُ الزَّكَاةُ جَبْرًا، لَا بِنُكُولِهِ لَكِنْ بِالْأَمْرِ الْمُتَقَدِّمِ، وَالظَّاهِرِ الْمَوْجُودِ، وَلَمْ يَجُزْ لِلسَّاعِي أَنْ يَحْلِفَ لِأَنَّهُ وَكِيلٌ، وَلَا لِلْمَسَاكِينِ لِأَنَّهُمْ غَيْرُ معينين.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Ucapan dalam hal itu adalah ucapan pemilik ternak.”
Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan:
Jika petugas zakat dan pemilik harta berselisih dalam tiga syarat yang dianggap dalam penyertaan sikhāl (anak-anak ternak), lalu petugas zakat mengklaim terpenuhinya seluruh syarat tersebut dan mewajibkan penggabungan sikhāl kepada induk-induknya, sedangkan pemilik harta mengklaim tidak terpenuhinya sebagian syarat tersebut dan gugurnya kewajiban menggabungkan sikhāl kepada induk-induknya—seakan-akan petugas zakat mengklaim bahwa sikhāl termasuk bagian dari harta pokoknya, sedangkan pemilik harta mengklaim bahwa ia adalah harta yang diperoleh dari selain harta pokoknya; atau petugas zakat mengklaim bahwa induk-induknya berjumlah empat puluh, sementara pemilik harta mengklaim bahwa jumlahnya kurang dari empat puluh; atau petugas zakat mengklaim bahwa kelahiran terjadi sebelum haul, sementara pemilik harta mengklaim bahwa kelahiran terjadi setelah haul—padahal semua klaim tersebut mungkin terjadi secara lahiriah, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pemilik harta dengan sumpahnya, karena ia adalah orang yang dipercaya dan didasarkan pada yang tampak, sedangkan petugas zakat tidak memiliki yang tampak. Sumpah ini adalah sumpah istizhār (penguat dugaan). Jika ia enggan bersumpah, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya.
Demikian pula dalam setiap tempat di mana pemilik harta mengklaim sesuatu yang menyebabkan gugurnya zakat, dan tampak lahirnya mendukungnya, maka sumpahnya adalah sumpah istizhār. Namun jika lahirnya mendukung petugas zakat, seperti klaim pemilik harta bahwa ia menjual hartanya di pertengahan tahun lalu membelinya kembali, maka dalam sumpah ini ada dua pendapat:
Pertama: Tetap sumpah istizhār.
Kedua: Sumpah wajib.
Manfaat dari pendapat bahwa sumpah itu istizhār adalah: jika ia enggan bersumpah, maka zakat tidak diambil darinya. Dan manfaat dari pendapat bahwa sumpah itu wajib adalah: jika ia enggan bersumpah, maka zakat diambil darinya secara paksa, bukan karena keengganannya, tetapi karena adanya ketetapan sebelumnya dan bukti lahiriah yang mendukung.
Dan tidak boleh bagi petugas zakat untuk bersumpah karena ia hanyalah seorang wakil, dan juga tidak boleh bagi para miskin karena mereka tidak diketahui secara spesifik.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو كانت له أربعون فَأَمْكَنَهُ أَنْ يُصَدِّقَهَا فَلَمْ يَفْعَلْ حَتَّى مَاتَتْ أَوْ بَعْضُهَا فَعَلَيْهِ شَاةٌ وَلَوْ لَمْ يُمْكِنْهُ حتى ماتت منها شاة فلا زكاة في الباقي لأنها أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَلَوْ أَخْرَجَهَا بَعْدَ حولها فلم يمكنه دفعها إلى أهلها أو الوالي حتى هلكت لم تجز عنه فإن كان فيما بقي ما تجب فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ زَكَّى وَإِلَّا فَلَا شَيْءَ عليه “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata:
“Seandainya seseorang memiliki empat puluh ekor kambing dan telah memungkinkan baginya untuk menyerahkan zakatnya, namun ia tidak melakukannya hingga kambing-kambing itu mati atau sebagian darinya, maka ia tetap wajib mengeluarkan satu ekor kambing.
Namun jika belum memungkinkan baginya untuk menunaikannya hingga ada seekor kambing yang mati darinya, maka tidak ada zakat atas sisanya, karena jumlahnya telah kurang dari empat puluh ekor.
Jika ia mengeluarkan zakat setelah genap haul, namun tidak memungkinkan baginya untuk menyerahkannya kepada orang yang berhak atau kepada wali (penguasa), lalu kambing itu pun binasa, maka hal itu tidak mencukupi (tidak sah).
Jika pada harta yang tersisa masih terdapat jumlah yang mewajibkan zakat, maka ia tetap wajib menunaikan zakatnya. Namun jika tidak, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِيمَا تَقَدَّمَ مِنَ التَّقْسِيمِ، وَقُلْنَا إِنَّهُ إِنْ تَلِفَ مَالُهُ بَعْدَ الْحَوْلِ وَبَعْدَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ فَالزَّكَاةُ عليه واجبة، سواء أمكنه أداء زكاتها إِلَى السَّاعِي، أَوِ الْمَسَاكِينِ، وَقَالَ أبو حنيفة إن أمكن أداؤها إلى الساعي ضمنها وإن أمكن أَدَاؤُهَا إِلَى الْمَسَاكِينِ لَمْ يَضْمَنْهَا، لِأَنَّ عِنْدَهُ أَنَّ مَجِيءَ السَّاعِي شَرْطٌ فِي الْوُجُوبِ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ، وَإِنْ تَلِفَ مَالُهُ قَبْلَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ أَمْكَنَهُ الْأَدَاءُ بَعْدَ الْحَوْلِ فَبَادَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاتِهِ فَتَلِفَ مِنْهُ قَبْلَ حُصُولِ ذَلِكَ فِي يَدِ السَّاعِي، أَوِ الْمَسَاكِينِ مِنْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ وَلَا جِنَايَةٍ فَلَمْ يَلْزَمْهُ ضَمَانُهُ، ثُمَّ يُنْظَرُ فِي بَاقِي مَالِهِ فَإِنْ كَانَ نِصَابًا زَكَّاهُ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ فَفِي إِيجَابِ زَكَاتِهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي إِمْكَانِ الْأَدَاءِ هَلْ هُوَ شَرْطٌ فِي الْوُجُوبِ أَوْ فِي الضَّمَانِ، فَإِنْ قِيلَ هُوَ شَرْطٌ فِي الْوُجُوبِ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيمَا نَقَصَ عَنِ النِّصَابِ وَإِنْ قِيلَ هُوَ شَرْطٌ فِي الضَّمَانِ فَعَلَيْهِ زَكَاتُهُ بِحِسَابِ الْبَاقِي وَقِسْطِهِ، وَيَكُونُ التَّالِفُ مِنْ مَالِهِ وَمَالِ الْمَسَاكِينِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
berkata al-Māwardī: Telah lewat pembahasan masalah ini dalam pembagian sebelumnya, dan kami telah mengatakan bahwa jika harta itu rusak setelah sempurna haul dan setelah memungkinkan untuk menunaikan (zakat), maka zakat wajib atasnya, baik ia mampu menunaikannya kepada sā‘ī maupun kepada para miskin. Abu Ḥanīfah berkata: Jika memungkinkan menunaikannya kepada sā‘ī, maka ia menanggungnya, dan jika memungkinkan menunaikannya kepada para miskin maka ia tidak menanggungnya, karena menurut beliau kedatangan sā‘ī adalah syarat kewajiban (zakat), dan telah lewat pembahasan dengannya.
Jika harta itu rusak sebelum memungkinkan menunaikan (zakat), maka tidak ada zakat atasnya. Jika memungkinkan menunaikan setelah sempurna haul, lalu ia segera mengeluarkan zakatnya, kemudian rusak sebelum sampai ke tangan sā‘ī atau para miskin tanpa kelalaian dan tanpa kesengajaan, maka tidak wajib baginya menanggungnya.
Lalu dilihat sisa hartanya: jika (masih) mencapai niṣāb, maka ia menunaikan zakatnya; dan jika kurang dari niṣāb, maka dalam kewajiban zakat atasnya terdapat dua pendapat, yang dibangun atas perbedaan dua pendapat tentang apakah kemampuan menunaikan itu syarat kewajiban atau syarat penjaminan. Jika dikatakan bahwa itu adalah syarat kewajiban, maka tidak ada zakat atasnya dalam harta yang kurang dari niṣāb; dan jika dikatakan bahwa itu adalah syarat penjaminan, maka wajib atasnya mengeluarkan zakat berdasarkan sisa dan bagiannya, dan yang rusak itu adalah dari hartanya dan harta para miskin. Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكُلُّ فائدةٍ مِنْ غَيْرِ نِتَاجِهَا فَهِيَ لِحَوْلِهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَذَكَرْنَا أَنَّ الْمُسْتَفَادَ مِنْ غَيْرِ النِّتَاجِ يَسْتَأْنِفُ حَوْلَهُ، وَلَا يَجِبُ ضَمُّهُ إِلَى حَوْلِ مَالِهِ، وَدَلَّلْنَا عَلَيْهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً قَدْ أَتَى عَلَيْهَا سِتَّةُ أَشْهُرٍ فَمَلَكَ أَرْبَعِينَ شَاةً ثَانِيَةً، ثم ملك بعد هذه أَرْبَعِينَ شَاةً ثَالِثَةً، فَصَارَ جَمِيعُهَا مِائَةً وَعِشْرِينَ شَاةً، فَقَدْ حَكَى أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ فيها وجهين:
أحدهما: أنه زكى فِي السَّنَةِ الْأَوْلَى كُلَّ أَرْبَعِينَ بِحَوْلِهَا وَيُخْرِجُ عَنْهَا شَاةً كَامِلَةً، فَيَكُونُ عَلَيْهِ فِي الْعَامِ الْأَوَّلِ ثَلَاثُ شِيَاهٍ، لِأَنَّهَا لَمَّا افْتَرَقَتْ فِي حُكْمِ الْحَوْلِ وَجَبَ أَنْ تَفْتَرِقَ فِي حُكْمِ الخلطة.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullah berkata:
“Setiap harta tambahan yang bukan berasal dari kelahiran ternak (nātij), maka ia memiliki ḥaul-nya sendiri.”
Al-Māwardī berkata: Masalah ini telah lewat pembahasannya, dan kami telah sebutkan bahwa harta tambahan yang bukan dari kelahiran, ḥaul-nya dimulai dari awal, dan tidak wajib digabungkan ke dalam ḥaul harta asal, serta kami telah memberikan dalil atas hal itu.
Berdasarkan ini, jika seseorang memiliki empat puluh ekor kambing yang telah berlalu enam bulan atasnya, kemudian ia memiliki empat puluh kambing kedua, lalu setelah itu ia memiliki empat puluh kambing ketiga, maka seluruhnya menjadi seratus dua puluh ekor kambing.
Abū al-‘Abbās Ibn Surayj meriwayatkan dalam hal ini dua pendapat:
Pendapat pertama: Ia menzakati setiap empat puluh kambing berdasarkan ḥaul-nya masing-masing, dan mengeluarkan satu ekor kambing untuk setiap kelompok empat puluh.
Maka pada tahun pertama ia wajib mengeluarkan tiga ekor kambing, karena kambing-kambing itu tidak bersatu dalam hukum ḥaul, maka wajib pula dipisahkan dalam hukum khalṭah (penggabungan).
والوجه الثاني: إن زكى الأربعين الأولة لحولها فيخرج منها شاة كاملة، ثم زكى الْأَرْبَعِينَ الثَّانِيَةَ لِحَوْلِهَا فَيُخْرِجُ مِنْهَا نِصْفَ شَاةٍ، لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ ثَمَانِينَ، هَذَا إِنْ كَانَ قَدْ أَخْرَجَ الزَّكَاةَ مِنْ غَيْرِ الْأَرْبَعِينَ الْأُولَى، وَقِيلَ: إِنَّ الزَّكَاةَ فِي الذِّمَّةِ وَإِنْ أَخْرَجَهَا مِنَ الْمَالِ، وَقِيلَ: إِنَّ الزَّكَاةَ فِي الْعَيْنِ أربعين جزءاً مِنْ تِسْعَةٍ وَسَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ شَاةٍ، ثُمَّ زكى الأربعين الثالثة لحولها فيخرج منها ثلاث شياه، لأنها أربعون من جملة مائة وعشرين، هذا إِنْ كَانَ قَدْ أَخْرَجَ زَكَاةَ الْمَالَيْنِ مِنْ غيرهما، وقيل إن الزكاة في الذمة، وإن كان قد أخرج الزكاة من المالين، أو قيل إن الزكاة من الْعَيْنِ فَعَلَيْهِ أَرْبَعُونَ جُزْءًا مِنْ مِائَةٍ وَثَمَانِيَةَ عَشَرَ جُزْءًا وَنِصْفَ جُزْءٍ مِنْ شَاةٍ، فَهَذَانِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ سُرَيْجٍ.
dan wajah kedua: jika ia menzakati empat puluh yang pertama karena haul-nya, maka ia mengeluarkan darinya satu ekor kambing utuh, lalu menzakati empat puluh yang kedua karena haul-nya, maka ia mengeluarkan darinya setengah ekor kambing, karena ia termasuk dari jumlah delapan puluh. Ini jika ia telah mengeluarkan zakat dari selain empat puluh yang pertama.
Dan dikatakan: sesungguhnya zakat itu tanggungan dalam żimmah meskipun ia mengeluarkannya dari harta, dan dikatakan: sesungguhnya zakat itu pada harta yang ditentukan, yaitu empat puluh bagian dari sembilan puluh tujuh bagian dari seekor kambing.
Kemudian ia menzakati empat puluh yang ketiga karena haul-nya, maka ia mengeluarkan darinya tiga ekor kambing, karena ia merupakan empat puluh dari jumlah seratus dua puluh. Ini jika ia telah mengeluarkan zakat dua harta tersebut dari selain keduanya.
Dan dikatakan bahwa zakat itu dalam tanggungan, meskipun ia telah mengeluarkan zakat dari dua harta tersebut, atau dikatakan bahwa zakat itu dari harta yang ditentukan, maka atasnya adalah empat puluh bagian dari seratus delapan belas setengah bagian dari seekor kambing. Maka dua pendapat ini diriwayatkan oleh Ibn Surayj.
وَفِيهَا وَجْهٌ ثَالِثٌ: لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا، أَنَّ فِي الْأَرْبَعِينَ الْأُولَى شَاةً، وَلَا شَيْءَ فِي الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ، وَتَكُونُ تَبَعًا؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَبْلُغْ نِصَابًا ثَانِيًا، فَإِنْ بَلَغَتْ نِصَابًا ثَانِيًا حَتَّى صَارَتْ مِائَةً وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ فَعَلَيْهِ شَاتَانِ.
وَفِيهَا وَجْهٌ رَابِعٌ وَهُوَ ضَعِيفٌ، أَنَّهُ إِنْ خَلَطَ الْجَمِيعَ وَسَامَهَا فِي مَرْعًى واحد كانت تبعاً، وإن فرقها فلكل وَاحِدَةٍ حُكْمُ نَفْسِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan dalam masalah ini terdapat pendapat ketiga dari sebagian sahabat kami:
Bahwa pada empat puluh kambing yang pertama wajib satu ekor kambing, dan tidak ada kewajiban pada kelompok kedua dan ketiga, karena keduanya mengikuti (kelompok pertama), sebab belum mencapai niṣāb kedua.
Namun jika jumlah seluruhnya telah mencapai niṣāb kedua, yaitu seratus dua puluh satu, maka wajib dua ekor kambing.
Dan terdapat pendapat keempat, namun lemah:
Jika seluruh kambing tersebut digabungkan dan digembalakan di satu padang rumput, maka semuanya dihukumi sebagai satu kelompok dan saling mengikuti; namun jika dipisahkan, maka setiap kelompok memiliki hukum sendiri-sendiri.
Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” ولو نتجت أربعين قَبْلَ الْحَوْلِ ثُمَّ مَاتَتِ الْأُمَّهَاتُ ثُمَّ جَاءَ الْمُصَدِّقُ وَهِيَ أَرْبَعُونَ جَدْيًا أَوْ بَهْمَةً أَوْ بَيْنَ جَدْيٍ وبهمةٍ أَوْ كَانَ هَذَا فِي إِبِلٍ فَجَاءَ الْمُصَدِّقُ وَهِيَ فِصَالٌ أَوْ فِي بَقَرٍ وَهِيَ عُجُولٌ أَخَذَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ من هذا وأخذ من الإبل والغنم أنثى ومن البقر ذكراً وإن لم يجد إلا واحداً إن كانت البقر ثلاثين وإن كانت أربعين فأنثى فإذا كانت العجول إناثاً ووجب تبيع قبل إن شئت فائت بذكر مثل أحدها وإن شئت أعطيت منها أنثى وأنت متطوع بالفضل واحتج الشافعي في أنه لم يبطل عن الصغار الصدقة لأن حكمها حكم الأمهات مع الأمهات فكذلك إذا حال عليها حول الأمهات ولا نكلفه كبيرة من قبل أنه لما قيل لي دع الربي والماخض وذات الدر وفحل الغنم وخذ الجذعة والثنية عقلت أنه قيل لي دع خيراً مما تأخذ إن كان عنده خير منه ودونه وخذ العدلبين الصغير والكبير وما يشبه ربع عشر ماله فإذا كانت عنده أربعون تسوي عشرين درهماً وكلفته شاةً تسوي عشرين درهماً فلم آخذ عدلاً بل أخذت قيمة ماله كله فلا آخذ صغيراً وعنده كبير فإن لم يكن إلا صغير أخذت الصغير كما أخذت الأوسط من التمر ولا آخذ الجعرور فإذا لم يكن إلا الجعرور أخذت منه الجعرور ولم تنقص من عدد الكيل ولكن نقصنا من الجودة لما لم نجد الجيد كذلك نقصنا من السن إذا لم نجدها ولم ننقص من العدد “.
MASALAH:
berkata al-Syāfi‘ī RA: “Seandainya lahir empat puluh (anak ternak) sebelum haul, lalu induk-induknya mati, kemudian datang petugas zakat (al-muṣaddiq), dan (ternak) itu berupa empat puluh anak kambing jady atau bahmah, atau campuran antara jady dan bahmah, atau terjadi hal ini pada unta lalu petugas zakat datang dan ia berupa anak unta fiṣāl, atau pada sapi dan ia berupa anak sapi ‘ujūl, maka diambil dari setiap jenis tersebut. Dan diambil dari unta dan kambing yang betina, dan dari sapi yang jantan. Jika tidak didapati kecuali satu ekor, maka jika sapi itu tiga puluh, diambil jantan, dan jika empat puluh maka diambil betina. Jika anak sapi itu betina dan wajib tabī‘, maka jika engkau mau bawalah jantan seperti salah satunya, dan jika engkau mau, berikan darinya yang betina dan engkau bersedekah secara sukarela dengan kelebihan.
Dan al-Syāfi‘ī berdalil bahwa zakat tidak gugur dari anak-anak (ternak) kecil karena hukumnya mengikuti induk-induknya saat bersama induknya, maka demikian pula ketika haul berlalu atasnya seperti haul induknya. Dan kami tidak membebaninya (wajib mengeluarkan) yang besar, karena ketika dikatakan kepadaku: tinggalkan ar-rubiyy, al-mākhid, yang sedang menyusui, dan pejantan kawin dari kambing, dan ambillah al-jadżā‘ah dan aṡ-ṡaniyyah, maka aku paham bahwa telah dikatakan kepadaku: tinggalkan sesuatu yang lebih baik dari yang engkau ambil—jika dia memiliki sesuatu yang lebih baik atau lebih rendah darinya—dan ambillah yang pertengahan, antara besar dan kecil, yang mendekati seperempat dari sepersepuluh hartanya.
Jika ia memiliki empat puluh ekor yang nilainya dua puluh dirham, dan kami membebaninya seekor kambing yang nilainya dua puluh dirham, maka aku tidak mengambil yang seimbang, bahkan aku mengambil nilai seluruh hartanya. Maka aku tidak mengambil yang kecil jika ia memiliki yang besar. Jika tidak ada kecuali yang kecil, aku ambil yang kecil, sebagaimana aku mengambil yang pertengahan dari kurma. Dan aku tidak mengambil al-ja‘rūr (yang buruk dan lemah). Jika tidak ada kecuali al-ja‘rūr, aku ambil al-ja‘rūr, dan tidak aku kurangi dari jumlah takaran, tetapi aku kurangi dari kualitas karena tidak mendapati yang bagus. Maka demikian pula kami kurangi dari usia jika tidak mendapati usia (yang sesuai), dan tidak kami kurangi dari jumlah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: فِي رَجُلٍ مَعَهُ نِصَابٌ مِنَ الْمَاشِيَةِ نَتَجَتْ نِصَابًا، ثُمَّ مَاتَتِ الْأُمَّهَاتُ قَبْلَ الْحَوْلِ وَبَقِيَ النِّتَاجُ فَجَاءَ السَّاعِي فَوَجَدَهَا سِخَالًا، إِنْ كَانَتِ الْأُمَّهَاتُ غَنَمًا، أو فصالاً إن كانت الأمهات إِبِلًا، أَوْ عُجُولًا إِنْ كَانَتِ الْأُمَّهَاتُ بَقَرًا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَبْنِي حَوْلَ السِّخَالِ عَلَى حول الأمهات، ويأخذ منها الزَّكَاةَ وَلَا يُبْطِلُ حَوْلَهَا بِمَوْتِ أُمَّهَاتِهَا، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ.
وَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا: إِنْ بَقِيَ مِنَ الْأُمَّهَاتِ نِصَابٌ زُكِّيَتِ السِّخَالُ بِحَوْلِ النِّصَابِ الْبَاقِي مِنْ أُمَّهَاتِهَا، وَإِنْ نقصت عن النصاب بطل حكم الحول المار، وَلَمْ تَجِبْ فِي السِّخَالِ الزَّكَاةُ إِلَّا بَعْدَ اسْتِئْنَافِ حَوْلِهَا.
Al-Māwardī berkata:
Gambaran dari masalah ini adalah tentang seseorang yang memiliki niṣāb dari hewan ternak, lalu hewan tersebut melahirkan anak-anak hingga mencapai niṣāb baru, kemudian induk-induknya mati sebelum genap ḥaul, dan yang tersisa hanyalah anak-anaknya.
Lalu datanglah petugas zakat dan mendapati hewan yang tersisa hanya anak-anak: jika induknya kambing, maka anak kambing (sikhāl); jika induknya unta, maka anak unta (fiṣāl); dan jika induknya sapi, maka anak sapi (‘ujūl).
Maka mazhab al-Syāfi‘ī adalah bahwa ḥaul anak-anak tersebut tetap mengikuti ḥaul induk-induknya. Zakat tetap diambil dari mereka, dan kematian induknya tidak membatalkan perhitungan ḥaul. Ini juga merupakan pendapat Mālik.
Namun Abū al-Qāsim al-Anmāṭī dari kalangan sahabat kami berkata:
Jika masih tersisa dari induk-induknya sejumlah niṣāb, maka anak-anak tersebut dizakati mengikuti ḥaul niṣāb yang tersisa dari induknya.
Namun jika jumlah induk yang tersisa kurang dari niṣāb, maka hukum ḥaul yang telah berlalu batal, dan zakat atas anak-anak itu tidak wajib kecuali setelah memulai ḥaul baru untuk mereka.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ بَقِيَ مِنَ الْأُمَّهَاتِ وَاحِدَةٌ زُكِّيَتِ السِّخَالُ بِحَوْلِ أُمَّهَاتِهَا، وَإِنْ مَاتَتْ جَمِيعُ الْأُمَّهَاتِ بَطَلَ حُكْمُ حَوْلِهَا وَلَمْ يَسْتَأْنِفْ لِلسِّخَالِ الْحَوْلَ، إِلَّا أَنْ تَصِيرَ ثَنَايَا، فَإِذَا صَارَتْ ثَنَايَا اسْتُؤْنِفَ حَوْلُهَا حِينَئِذٍ، اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ عَنِ الشَّعْبِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَيْسَ فِي السِّخَالِ صَدَقَةٌ، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَيْسَ فِي راضعٍ لبنٍ شيءٌ ” قال: ولأن الصغار إنما ثبت لَهَا حُكْمُ الْحَوْلِ تَبَعًا لِلْأُمَّهَاتِ، فَإِذَا سَقَطَ حُكْمُ الْمَتْبُوعِ بِمَوْتِهِ سَقَطَ حُكْمُ التَّابِعِ، قَالَ: ولأن الفرض قد يتغير بالزيادة والعدد، وَبِالزِّيَادَةِ فِي السِّنِّ، ثُمَّ كَانَ نُقْصَانُ الْعَدَدِ عَنِ النِّصَابِ يُوجِبُ إِسْقَاطَ الزَّكَاةِ، وَتَغْيِيرَ الْفَرْضِ، وجب أَنْ يَكُونَ نُقْصَانُ السِّنِّ مُؤَثِّرًا فِي إِسْقَاطِ الزكاة وتغيير الفرض، وتحرر ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيْ مَا يَتَغَيَّرُ له الْفَرْضُ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ لِنُقْصَانِهِ تَأْثِيرٌ فِي تَغْيِيرِ الْفَرْضِ كَالْعَدَدِ.
dan berkata Abū Ḥanīfah: Jika tersisa seekor induk, maka anak-anak ternak (as-sikhāl) dizakati mengikuti haul induk-induknya. Namun jika seluruh induk mati, maka batal hukum haul-nya dan tidak dimulai haul baru bagi anak-anak itu, kecuali jika mereka telah menjadi ṡanāyā (telah cukup umur), maka ketika telah menjadi ṡanāyā dimulailah haul mereka saat itu.
Ia berdalil dengan riwayat Jābir al-Ju‘fī dari asy-Sya‘bī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada as-sikhāl (anak-anak ternak).” Dan juga dengan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak ada zakat pada anak yang masih menyusu.”
Ia berkata: Karena anak-anak kecil itu hanya memiliki hukum haul sebagai ikutan bagi induknya, maka jika hukum yang diikuti gugur karena kematian induk, maka gugur pula hukum pengikutnya.
Ia berkata: Dan karena kewajiban (zakat) bisa berubah dengan penambahan jumlah dan usia. Maka jika berkurangnya jumlah dari niṣāb menyebabkan gugurnya zakat dan berubahnya kewajiban, maka berkurangnya usia pun seharusnya berpengaruh terhadap gugurnya zakat dan berubahnya kewajiban. Ini dapat dipastikan dengan qiyās karena usia adalah salah satu dari dua hal yang menyebabkan berubahnya kewajiban, maka sah jika kekurangannya berpengaruh dalam mengubah kewajiban sebagaimana jumlah.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ: مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ لِسَاعِيهِ: ” عُدَّ عَلَيْهِمْ صَغِيرَهَا وَكَبِيرَهَا ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ، وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، رُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ فِي أَهْلِ الرِّدَّةِ: ” وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا مِمَّا أَدَّوْا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَيْهِ ” وَبِإِجْمَاعِنَا وأبي حنيفة أن العناق لا يؤدى فِي الزَّكَاةِ مِنْ مَالٍ فِيهِ كِبَارٌ، فَثَبَتَ أَنَّ ذَلِكَ مُؤَدًّى مِنَ الصِّغَارِ، ثُمَّ قَالَ هَذَا بِحَضْرَةِ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، فَكُلٌّ رَجَعَ إِلَى قَوْلِهِ فَثَبَتَ إِجْمَاعُهُمْ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ جُمْلَةٍ ثَبَتَ لَهَا حُكْمُ الْحَوْلِ لَمْ يَكُنْ مَوْتُ بَعْضِهَا مَعَ بَقَاءِ النِّصَابِ مُوجِبًا لِبُطْلَانِ الْحَوْلِ.
Dan dalil atas kebenaran pendapat yang dikemukakan oleh al-Syāfi‘ī adalah riwayat dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda kepada petugas zakatnya:
“Hitunglah atas mereka yang kecil maupun yang besar.”
Maka ini berlaku menurut keumumannya.
Juga karena hal ini merupakan ijma‘ para sahabat. Diriwayatkan bahwa Abū Bakr raḍiyallāhu ‘anhu berkata mengenai Ahl al-Riddah:
“Demi Allah, seandainya mereka menolak memberikan seekor anak kambing betina (‘anāq) yang dahulu mereka bayarkan kepada Rasulullah SAW, niscaya aku akan memerangi mereka karenanya.”
Padahal telah menjadi kesepakatan antara kami dan Abū Ḥanīfah bahwa ‘anāq tidak boleh dijadikan zakat dari harta yang di dalamnya terdapat kambing-kambing dewasa. Maka hal itu menunjukkan bahwa zakat tersebut ditunaikan dari kambing kecil.
Kemudian Abū Bakr mengucapkan hal itu di hadapan kaum Muhājirīn dan Anṣār, dan semuanya kembali kepada pendapatnya. Maka tetaplah ijma‘ mereka atas hal tersebut.
Dan karena setiap kelompok kambing yang telah sempurna baginya hukum ḥaul, maka kematian sebagian dari kelompok itu dengan tetapnya niṣāb, tidak menyebabkan batalnya ḥaul.
أَصْلُهُ: مَوْتُ السِّخَالِ وَلِأَنَّ كُلَّ وَلَدٍ حُكِمَ لَهُ بِحُكْمِ الْأُمِّ لَمْ يَبْطُلْ حُكْمُهُ بِمَوْتِ الْأُمِّ، أَصْلُهُ وَلَدُ الْأُضْحِيَةِ، وَوَلَدُ أُمِّ الْوَلَدِ، فَأَمَّا حَدِيثُ الشَّعْبِيِّ فَرِوَايَةُ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ وَكَانَ مَنْسُوبًا إِلَى الْقَوْلِ بِالرَّجْعَةِ وَالتَّنَاسُخِ مَعَ مُظَاهَرَتِهِ بسبب السَّلَفِ الصَّالِحِ، ثُمَّ مَعَ هَذَا فَالْحَدِيثُ مُرْسَلٌ عَلَى أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى أَنْ لَا زَكَاةَ فِيهَا قَبْلَ الْحَوْلِ فَرْقًا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الثِّمَارِ الَّتِي لَا تَفْتَقِرُ إِلَى حَوْلٍ، وَإِنْ كَانَا جَمِيعًا نَمَاءً.
Asalnya: kematian anak-anak ternak (as-sikhāl). Dan karena setiap anak yang dihukumi mengikuti hukum induknya, maka tidak gugur hukumnya dengan kematian induknya. Asalnya adalah anak hewan kurban (uḍḥiyah) dan anak dari umm al-walad.
Adapun hadits asy-Sya‘bī, maka itu adalah riwayat Jābir al-Ju‘fī, dan ia dinisbatkan kepada keyakinan ar-raj‘ah dan at-tanāsukh, meskipun ia menampakkan dukungan kepada as-salaf aṣ-ṣāliḥ. Lalu dengan semua itu, hadits tersebut adalah mursal.
Dan anggaplah hadits itu sahih, maka itu dibawa kepada pengertian bahwa tidak ada zakat pada mereka sebelum sempurna haul, sebagai pembedaan antara mereka dengan buah-buahan yang tidak memerlukan haul, meskipun keduanya sama-sama berkembang (menghasilkan).
وَأَمَّا قَوْلُهُ ” لَيْسَ فِي رَاضِعِ لَبَنٍ شَيْءٌ ” يَعْنِي إِذَا انْفَرَدَتْ عَنْ أُمَّهَاتِهَا بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَا، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهَا تَبَعٌ فَيُقَالُ لَهُمْ هِيَ تَبَعٌ فِي الِابْتِدَاءِ جَارِيَةٌ مَجْرَى الْأَصْلِ فِي الِانْتِهَاءِ، ثُمَّ يَفْسُدُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ بِوَلَدِ الْأُضْحِيَةِ، وَوَلَدِ أُمِّ الْوَلَدِ وَأَمَّا قياسهم بفضل السِّنِّ عَلَى نُقْصَانِ الْعَدَدِ فَقَدْ رَضِينَا بِقِيَاسِهِمْ حَكَمًا عَلَيْنَا وَعَلَيْهِمْ، وَذَلِكَ أَنَّ زِيَادَةَ السِّنِّ لَا تُؤَثِّرُ فِي زِيَادَةِ الْفَرْضِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ مَلَكَ أَرْبَعِينَ حِقَّةً كَمَا لَوْ مَلَكَ أَرْبَعِينَ جَذَعَةً فِي اسْتِوَاءِ فَرْضِهِمَا، وَلَا يكون زيادة من الْجِذَاعِ مُوجِبًا لِزِيَادَةِ الْفَرْضِ فِيهَا فَلَمَّا لَمْ تكن لزيادة السن في زيادة الفرض تأثير وَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ لِنُقْصَانِ السِّنِّ تَأْثِيرٌ في إسقاط الفرض، والعدد بخلاف هذا، إنه يُؤَثِّرُ فِي الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Adapun sabdanya: “Tidak ada kewajiban zakat pada hewan yang sedang menyusu”, maksudnya adalah apabila hewan tersebut terpisah dari induknya, sebagaimana telah kami sebutkan dalilnya.
Adapun pernyataan mereka bahwa hewan-hewan kecil itu adalah tabi‘ (pengikut), maka dijawab:
“Iya, mereka memang tabi‘ pada permulaan, tetapi pada akhirnya kedudukannya sama dengan asal (induknya).”
Kemudian analogi mereka rusak sendiri oleh permasalahan anak dari hewan kurban dan anak dari umm al-walad.
Adapun qiyās mereka antara kelebihan umur dan kekurangan jumlah, maka kami menerima qiyās mereka sebagai hujah atas kami dan mereka.
Yaitu bahwa pertambahan umur tidak berpengaruh terhadap pertambahan kadar zakat. Bukankah engkau melihat, bila seseorang memiliki empat puluh ekor ḥiqqah, atau empat puluh ekor jadhā‘ah, maka kadar zakatnya tetap sama, padahal umur jadhā‘ah lebih tinggi? Maka kelebihan umur pada jadhā‘ah tidak menyebabkan tambahan kadar zakat.
Maka sebagaimana tambahan umur tidak berpengaruh dalam penambahan kadar zakat, begitu pula kekurangan umur tidak semestinya berpengaruh dalam menggugurkan kewajiban zakat.
Adapun jumlah (bukan umur), maka ia berbeda: karena jumlah berpengaruh dalam penambahan dan pengurangan kewajiban zakat.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ مَوْتَ الْأُمَّهَاتِ لَا يبطل حق السخال، فزكاتها بعد حول أمهاتها مأخوذ مِنْهَا، وَلَا يُكَلَّفُ إِخْرَاجَ الزَّكَاةِ مِنَ الْكِبَارِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهَا كِبَارٌ وَبِهِ قَالَ أبو يوسف.
وَقَالَ مَالِكٌ لَا آخُذُ الزَّكَاةَ إِلَّا كَبِيرًا، وَلَا يَجُوزُ إِخْرَاجُ السِّخَالِ بِحَالٍ تَعَلُّقًا بِقَوْلِ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ قَالَ: أَتَانَا مُصَدِّقُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَالَ: ” نُهِينَا عَنْ رَاضِعِ لَبَنٍ وَإِنَّمَا حَقُّنَا فِي الْجَذَعَةِ وَالثَّنِيَّةِ ” وَبِقَوْلِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِسَاعِيهِ: ” اعْتَدَّ عَلَيْهِمْ بِالسَّخْلَةِ يَرُوحُ بِهَا الراعي ولا تأخذها ” ولأنه لو كان له ما قال كِرَامَ السِّنِّ وَفَوْقَ الْجِذَاعِ وَالثَّنَايَا لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهَا رِفْقًا بِرَبِّالْمَالِ، فَوَجَبَ إِذَا كَانَ جَمِيعُ مَالِهِ لِئَامَ السِّنِّ وَدُونَ الْجِذَاعِ وَالثَّنَايَا أَنْ لَا يُؤْخَذَ مِنْهَا رِفْقًا بِالْمَسَاكِينِ.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً) {التوبة: 103) فَلَمْ يَجُزْ لِحَقِّ هَذَا الظَّاهِرِ أَنْ يُكَلَّفُوا الزَّكَاةَ مِنْ غَيْرِهَا، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمُعَاذٍ: ” إِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ ” فَلَمَّا نَهَاهُ عَنْ أَخْذِ الْكَرِيمِ مِنَ الْمَالِ الَّذِي فِيهِ كِرَامٌ فَلَأَنْ لَا يَأْخُذَ الْكَرِيمَ مِنَ الْمَالِ الَّذِي لَيْسَ فِيهِ كِرَامٌ أَوْلَى، وَلِأَنَّهُ مَالٌ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ فَوَجَبَ أَنْ تُؤْخَذَ زَكَاتُهُ مِنْ عَيْنِهِ، كَالتَّمْرِ الرَّدِيءِ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا لَمْ يَلْزَمْهُ إِخْرَاجُ الْجَيِّدِ مِنَ التَّمْرِ الرَّدِيءِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ جَيِّدًا لَزِمَهُ إِخْرَاجُ الْجَيِّدِ وَلَمَّا تَقَرَّرَ أَنَّ الْمَوَاشِيَ لَوْ كَانَتْ كِرَامَ السِّنِّ لَمْ يَلْزَمْهُ إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ لَئِيمًا قِيلَ: هذا حجتنا لأنه لما جاز أخذ الرديء مِنَ الْمَالِ الَّذِي لَا يُؤْخَذُ مِنْ جَيِّدِهِ الدُّونُ، فَلَأَنْ يَجُوزَ أَخْذُ الدُّونِ مِنَ الْمَالِ الَّذِي يَجُوزُ أَخْذُ الدُّونِ مِنْ جَيِّدِهِ أَوْلَى، فأما قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” حَقُّنَا فِي الْجَذَعَةِ وَالثَّنِيَّةِ ” فَمَحْمُولٌ عَلَى الْمَالِ الَّذِي فِيهِ جَذَعَةٌ أَوْ ثَنِيَّةٌ، وَأَمَّا قَوْلُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” اعْتَدَّ عَلَيْهِمْ بِالسَّخْلَةِ وَلَا تَأْخُذْهَا ” فَقَدْ قَالَ ” وَلَا تَأْخُذِ الْأَكُولَةَ ” ثم قال ” وذلك عدل بين عدا الْمَالِ وَخِيَارِهِ ” فَأَخْبَرَ أَنَّ الْفَرْضَ الْمَطْلُوبَ هُوَ وَسَطُ الْمَالِ، وَلَيْسَ أَخْذُ الْكِبَارِ مِنَ الصِّغَارِ وَسَطًا، وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ فَغَيْرُ صحيح، لأنه قد يرتفق برب الْمَالِ بِمَا لَا يَرْتَفِقُ الْمَسَاكِينُ بِمِثْلِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ كَانَتْ مَاشِيَتُهُ حَوَامِلَ لَمْ يُكَلَّفِ الزَّكَاةَ مِنْهَا رِفْقًا بِهِ، وَلَيْسَ يَرْتَفِقُ المساكين بِمِثْلِهِ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa kematian induk tidak membatalkan hak anak-anaknya (yakni anak hewan ternak), maka zakatnya setelah sempurna haul induk-induknya tetap diambil dari anak-anak tersebut, dan tidak dibebani mengeluarkan zakat dari yang besar, kecuali jika di dalamnya terdapat yang besar. Pendapat ini dikatakan oleh Abū Yūsuf.
Mālik berkata, “Aku tidak mengambil zakat kecuali dari yang besar, dan tidak boleh mengeluarkan anak-anak (yang masih kecil) dalam kondisi apa pun.” Hal ini didasarkan pada ucapan Suwayd bin Ghafalah:
Telah datang kepada kami petugas zakat Rasulullah SAW, lalu ia berkata, “Kami dilarang mengambil anak hewan yang masih menyusu. Sesungguhnya hak kami adalah pada jadzā‘ah dan tsaniyyah.” Dan juga berdasarkan perkataan ‘Umar RA kepada petugas zakatnya:
“Hitunglah anak hewan itu sebagai bagian dari jumlah mereka, tapi jangan engkau ambil.”
Dan karena jika seseorang memiliki hewan-hewan terbaik usianya, yang di atas jadzā‘ah dan tsaniyyah, maka tidak diambil dari yang terbaik tersebut sebagai bentuk keringanan bagi pemilik harta. Maka wajib, apabila seluruh hartanya adalah yang rendah usianya dan di bawah jadzā‘ah dan tsaniyyah, agar tidak diambil darinya sebagai bentuk keringanan bagi para fakir miskin.
Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ālā: {Khudz min amwālihim ṣadaqatan} [QS al-Tawbah: 103]. Maka tidak boleh membebani mereka zakat dari selain hartanya karena keumuman lahiriyah ayat tersebut. Dan Rasulullah SAW bersabda kepada Mu‘ādz: “Jauhilah mengambil harta terbaik mereka.” Maka ketika beliau melarang mengambil harta terbaik dari harta yang di dalamnya ada harta terbaik, maka lebih utama lagi larangan mengambil yang terbaik dari harta yang tidak mengandung harta terbaik.
Karena zakat wajib pada harta itu sendiri, maka wajib diambil zakatnya dari harta itu sendiri, seperti kurma yang buruk mutunya. Jika dikatakan bahwa tidak wajib mengeluarkan kurma yang baik dari kurma yang buruk karena jika kurma itu baik, maka wajib mengeluarkan yang baik, maka ketika telah ditetapkan bahwa apabila hewan ternak itu terdiri dari yang terbaik usianya maka tidak wajib mengeluarkan zakatnya dari yang rendah, dikatakan: inilah hujjah kami. Karena jika boleh mengambil yang buruk dari harta yang tidak boleh diambil buruknya dari yang baik, maka lebih layak boleh mengambil yang buruk dari harta yang boleh diambil yang buruknya dari yang baiknya.
Adapun sabda Rasulullah SAW: “Hak kami adalah pada jadzā‘ah dan tsaniyyah,” maka itu ditujukan kepada harta yang memang di dalamnya terdapat jadzā‘ah atau tsaniyyah.
Adapun ucapan ‘Umar RA: “Hitunglah anak hewan, tapi jangan engkau ambil,” maka beliau juga berkata, “Dan jangan ambil hewan yang rakus makan,” lalu berkata, “Itu adalah keadilan antara harta yang buruk dan harta yang baik.” Maka ia menjelaskan bahwa zakat yang wajib diambil adalah dari harta pertengahan, dan tidaklah pengambilan yang besar dari yang kecil termasuk pertengahan.
Adapun istidlāl yang disebutkan (oleh pihak yang menentang), maka itu tidak sah. Karena kadang pemilik harta mendapat manfaat dari sesuatu yang tidak memberi manfaat yang sama kepada para fakir miskin. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ternaknya sedang bunting, maka ia tidak dibebani zakat darinya sebagai bentuk keringanan baginya, padahal para fakir miskin tidak mendapatkan manfaat seperti itu.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ أَخْذِ السَّخْلَةِ مِنَ السِّخَالِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فَجَاءَ الْمُصَدِّقُ وهو أَرْبَعُونَ جَدْيًا أَوْ بَهْمَةً، أَوْ بَيْنَ جَدْيٍ وَبَهْمَةٍ أَوْ كَانَ هَذَا فِي إِبِلٍ، فَجَاءَ الْمُصَدِّقُ وَهِيَ فِصَالٌ، أَوْ فِي بَقَرٍ وَهِيَ عُجُولٌ، أَخَذَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ مِنْ هَذَا، فهذا قول الشافعي ونصه، ولم يختلف أصحابه أن محل الْغَنَمِ يُؤْخَذُ مِنْهَا سَخْلَةٌ، وَلَمْ يُكَلَّفْ عَنْهَا كَبِيرَةً، فَلَوْ كَانَ مَالُهُ أَرْبَعِينَ سَخْلَةً مِنْ نِتَاجِ يَوْمِهَا وَحَالَ حَوْلُهَا أُخِذَتْ زَكَاتُهَا سَخْلَةً مِنْهَا، وَلَوْ كَانَتْ مِائَةً وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ أُخِذَتْ زَكَاتُهَا سَخْلَتَانِ مِنْهَا، فَأَمَّا الْإِبِلُ إِذَا كَانَتْ فصالاً والبقر إذا كانت عجولاً، ففيه لِأَصْحَابِنَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ أَنَّهَا كَالْغَنَمِ، فَيُؤْخَذُ مِنْ خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ فَصِيلًا فَصِيلٌ، وَمِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ فَصِيلًا فَصِيلٌ، وَمِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ فَصِيلًا فَصِيلٌ، وَمِنْ أَحَدٍ وَسِتِّينَ فَصِيلًا فَصِيلٌ، وَمِنْ سِتٍّ وَسَبْعِينَ فَصِيلًا فَصِيلَانِ وَيُؤْخَذُ مِنْ ثَلَاثِينَ عِجْلًا عِجْلٌ، وَمِنْ أَرْبَعِينَ عِجْلًا عِجْلٌ وَمِنْ سِتِّينَ عِجْلًا عِجْلَانِ وَمِنْ سَبْعِينَ عِجْلًا عِجْلَانِ ثُمَّ هَكَذَا فِيمَا زَادَ وَنَقَصَ قِيَاسًا عَلَى الْغَنَمِ.
PASAL
Apabila telah tetap bolehnya mengambil sakhlah dari anak-anak kambing, maka Imam al-Syafi‘i berkata: Jika petugas zakat datang, sedangkan kambing yang ada adalah empat puluh ekor jady atau bahmah, atau campuran antara jady dan bahmah, atau pada unta yang semuanya fiṣāl, atau pada sapi yang semuanya ‘ujūl, maka diambil dari setiap jenis itu. Ini adalah pendapat Imam al-Syafi‘i dan nash beliau, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya bahwa pada kambing boleh diambil sakhlah, dan tidak dibebani untuk menggantinya dengan yang besar. Maka jika hartanya adalah empat puluh ekor sakhlah yang baru lahir hari itu juga dan telah berlalu satu haul atasnya, zakatnya diambil satu sakhlah darinya. Dan jika seratus dua puluh satu ekor, maka zakatnya diambil dua sakhlah darinya.
Adapun unta jika berupa fiṣāl, dan sapi jika berupa ‘ujūl, maka dalam hal ini ada tiga wajah menurut sahabat-sahabat kami:
Pertama: Dan ini adalah zahir dari nash beliau, bahwa kedudukannya seperti kambing. Maka diambil dari dua puluh lima ekor faṣīl satu ekor faṣīl, dari tiga puluh enam faṣīl satu faṣīl, dari empat puluh enam faṣīl satu faṣīl, dari enam puluh satu faṣīl satu faṣīl, dari tujuh puluh enam faṣīl dua faṣīl. Dan diambil dari tiga puluh ekor ‘ijl satu ekor ‘ijl, dari empat puluh ‘ijl satu ‘ijl, dari enam puluh ‘ijl dua ‘ijl, dari tujuh puluh ‘ijl dua ‘ijl, lalu demikianlah seterusnya sesuai dengan tambahan dan pengurangan, berdasarkan qiyas terhadap kambing.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ حُكْمَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ مُخَالِفٌ لِحُكْمِ الْغَنَمِ، فَلَا يُؤْخَذُ مِنْ فُصْلَانِ الْإِبِلِ وَعُجُولِ الْبَقَرِ فَصِيلٌ وَلَا عِجْلٌ بحال، بل يؤخذ منها السن الواجب لقيمة ماله، مِثَالُ ذَلِكَ: أَنْ يَكُونَ مَعَهُ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ بَعِيرًا، فَالْوَاجِبُ فِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ، فَيُقَالُ: لَوْ كَانَتْ كِبَارًا وَكَانَتْ قِيمَتُهَا مِائَةَ دِينَارٍ لَوَجَبَ فِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ قِيمَتُهَا خَمْسَةُ دَنَانِيرَ، وَذَلِكَ نِصْفُ عُشْرِ الْمَالِ فَوَجَبَ إِذَا كَانَتْ فِصَالًا قِيمَتُهَا عِشْرُونَ دِينَارًا أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهَا بِنْتُ مَخَاضٍ قِيمَتُهَا دِينَارٌ، لِتَكُونَ الزَّكَاةُ بِقَدْرِ نِصْفِ عُشْرِ الْمَالِ، ثُمَّ كَذَلِكَ الْبَقَرُ، وَفَرَّقُوا بَيْنَ الْغَنَمِ وَبَيْنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ، بِفَرْقَيْنِ:
Dan pendapat kedua: yaitu pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj dan Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa hukum unta dan sapi berbeda dengan hukum kambing. Maka tidak boleh diambil dari anak-anak unta (fuṣlān) dan anak-anak sapi (‘ujūl) zakat berupa anak unta atau anak sapi dalam kondisi apa pun, melainkan diambil darinya zakat sesuai usia yang diwajibkan berdasarkan nilai hartanya.
Contohnya: jika seseorang memiliki dua puluh lima ekor unta, maka yang wajib dikeluarkan adalah bintu makhāḍ. Maka dikatakan: seandainya unta-unta itu besar dan nilai totalnya seratus dinar, maka wajib dikeluarkan bintu makhāḍ yang nilainya lima dinar, dan itu adalah setengah dari sepersepuluh harta. Maka wajib pula jika semuanya anak-anak unta yang nilai keseluruhannya dua puluh dinar, maka diambil darinya bintu makhāḍ yang nilainya satu dinar, agar zakat yang dikeluarkan sebanding dengan setengah dari sepersepuluh harta.
Begitu pula dengan sapi.
Mereka membedakan antara kambing dengan unta dan sapi dengan dua perbedaan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَسْنَانَ فَرَائِضِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ مَنْصُوصٌ عَلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ تَرْكُهُ لِمُخَالَفَةِ النَّصِّ، وَأَسْنَانَ فَرَائِضِ الْغَنَمِ لَمْ يَرِدِ النَّصُّ بِهِ، كَوُرُودِهِ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ، فَجَازَ تَرْكُهُ عِنْدَ فَقْدِهِ.
وَالْفَرْقُ الثَّانِي: وَهُوَ الْعُمْدَةُ: أَنَّ فَرَائِضَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ تَتَغَيَّرُ بِزِيَادَةِ السِّنِّ، وَفَرَائِضَ الْغَنَمِ تَتَغَيَّرُ بِزِيَادَةِ الْعَدَدِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ صِغَارِ الْإِبِلِ صَغِيرٌ، لِأَنَّ فِيهِ تَسْوِيَةً بَيْنَ قَلِيلِ الْمَالِ وَكَثِيرِهِ، وَجَازَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ صِغَارِ الْغَنَمِ صَغِيرٌ، لِأَنَّهُ لَا يَسْتَوِي فَرْضُ قَلِيلِ الْمَالِ وَكَثِيرِهِ، وَتَأَوَّلُوا قَوْلَ الشَّافِعِيِّ عَلَى مَا تَمَهَّدَ مِنْ أُصُولِهِ وَتَقَرَّرَ مِنْ مَذْهَبِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ ضَعِيفٌ: أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْإِبِلِ يَتَغَيَّرُ فَرْضُهَا بِزِيَادَةِ الْعَدَدِ لَا بِزِيَادَةِ السِّنِّ فَهِيَ كَالْغَنَمِ يُؤْخَذُ مِنْ صِغَارِهَا صَغِيرٌ كَالسِّتَّةِ وَالسَّبْعِينَ وَالْإِحْدَى وَالتِّسْعِينَ، وَمَا كَانَ مِنْهَا يَتَغَيَّرُ فَرْضُهَا بِزِيَادَةِ السِّنِّ لَا بِزِيَادَةِ الْعَدَدِ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهَا صَغِيرٌ، كَالسِّتَّةِ وَالثَّلَاثِينَ وَالسِّتَّةِ وَالْأَرْبَعِينَ، ومنها مذهب لا يتحصل لوضوح فساده من الاعتبار والله أعلم.
Salah satu dari keduanya: bahwa usia gigi hewan zakat pada unta dan sapi disebutkan secara naṣṣ, maka tidak boleh meninggalkannya karena menyelisihi naṣṣ, sedangkan usia gigi hewan zakat pada kambing tidak disebutkan secara naṣṣ sebagaimana pada unta dan sapi, maka boleh ditinggalkan saat tidak ditemukan.
Perbedaan yang kedua — dan ini adalah yang menjadi sandaran utama — bahwa kewajiban zakat pada unta dan sapi berubah karena bertambahnya usia, sedangkan zakat pada kambing berubah karena bertambahnya jumlah. Maka tidak boleh diambil yang kecil dari anak unta, karena hal itu menyamakan antara pemilik harta sedikit dan banyak. Sedangkan boleh diambil yang kecil dari anak kambing, karena kewajiban zakat pemilik harta sedikit dan banyak tidaklah sama. Dan mereka menakwilkan perkataan Imam al-Syafi‘i sesuai dengan kaidah-kaidah usul beliau dan apa yang telah ditetapkan dalam mazhabnya.
Pendapat ketiga — dan ini lemah — bahwa pada unta yang kewajiban zakatnya berubah karena bertambahnya jumlah, bukan usia, maka hukumnya seperti kambing: boleh diambil yang kecil dari anaknya, seperti pada jumlah enam puluh, tujuh puluh, dan sembilan puluh satu. Adapun yang kewajiban zakatnya berubah karena bertambahnya usia, bukan jumlah, maka tidak diambil dari anaknya yang kecil, seperti jumlah tiga puluh enam dan empat puluh enam. Dan termasuk pendapat yang tidak bisa dianggap karena jelas rusaknya dalam pertimbangan. Wallahu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو كانت ضأناً ومعزاً كَانَتْ سَوَاءً أَوْ بَقَرًا وَجَوَامِيسَ وَعِرَابًا وَدَرْبَانِيَّةً وإبلاً مختلفة فالقياس أن نأخذ من كل بقدرٍ حصته فإن كان إبله خمساً وعشرين عشر مهرية وعشر أرحبية وخمس عيدية فمن قال يأخذ من كل بقدر حصته قال يأخذ ابنة مَخَاضٍ بِقِيمَةِ خُمُسَيْ مَهْرِيَّةٍ وَخُمْسَيْ أَرْحَبِيَّةٍ وَخُمْسَ عيدية.
قال الماوردي: أما إن كَانَتْ مَاشِيَتُهُ نَوْعًا وَاحِدًا لَا تَخْتَلِفُ وَلَا تتنوع فالواجب أن تؤخذ زكاته منها جَيِّدًا كَانَ أَوْ رَدِيئًا، فَإِنْ أَعْطَى عَنِ الْجَيِّدِ رَدِيئًا لَمْ يُقْبَلْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ) (البقرة: 267) وَإِنْ كَانَ مَالُهُ أَنْوَاعًا مُخْتَلِفَةً كَأَنْ كَانَتْ غَنَمًا بَعْضُهَا ضَأْنٌ، وَبَعْضُهَا مِعْزَى، أَوْ كَانَتْ إِبِلًا بَعْضُهَا مَهْرِيَّةٌ وَبَعْضُهَا أَرْحَبِيَّةٌ، أَوْ كَانَتْ بَقَرًا بعضها درباسة وبعضها عراب، فذلك ضربان:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya kambingnya berupa ḍa’n dan ma‘z, maka hukumnya sama saja; atau berupa sapi dan jawāmīs, atau unta ‘irāb dan darbāniyyah, serta unta yang beragam, maka menurut qiyās, hendaknya diambil dari setiap jenis sesuai kadarnya. Maka jika untanya ada dua puluh lima ekor: sepuluh mahrīyah, sepuluh arḥabīyah, dan lima ‘īdīyah, maka menurut pendapat yang mengatakan bahwa zakat diambil dari masing-masing jenis sesuai bagiannya, maka ia mengambil satu ekor ibnat maḫāḍ dengan nilai dua perlima mahrīyah, dua perlima arḥabīyah, dan seperlima ‘īdīyah.”
Al-Māwardī berkata: Adapun jika ternaknya hanya satu jenis yang tidak berbeda dan tidak beragam, maka wajib diambil zakat darinya, baik yang bagus maupun yang jelek. Jika ia memberi dari jenis yang bagus namun yang diberikan adalah yang jelek, maka tidak diterima, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: “Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk darinya untuk kamu nafkahkan.” (al-Baqarah: 267). Namun jika hartanya berupa jenis-jenis yang berbeda, seperti kambing yang sebagian ḍa’n dan sebagian ma‘z, atau unta yang sebagian mahrīyah dan sebagian arḥabīyah, atau sapi yang sebagian darbāsah dan sebagian ‘irāb, maka dalam hal ini terdapat dua rincian:
أحدها: أَنْ يَسْتَوِيَ النَّوْعَانِ فِي الْعَدَدِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَتَفَاضَلَ النَّوْعَانِ فِي الْعَدَدِ، فَإِنِ اسْتَوَى النَّوْعَانِ فِي الْعَدَدِ، فَكَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً عِشْرُونَ مِنْهَا ضَأْنٌ، وَعِشْرُونَ مِنْهَا مِعْزَى، فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ شَاةٍ مِنْ أَيِّهِمَا شَاءَ عَلَى قدر المالين، كأنا نَقُولَ قِيمَةُ جَذَعَةٍ مِنَ الضَّأْنِ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ، وَقِيمَةُ ثَنِيَّةٍ مِنَ الْمِعْزَى عِشْرُونَ دِرْهَمًا فَتُؤْخَذُ نصف القيمتين فتكون خَمْسَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا، إِمَّا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ أَوْ ثَنِيَّةً مِنَ الْمِعْزَى، وَكَذَلِكَ الْإِبِلُ وَالْبَقَرُ، وَإِنْ تَفَاضَلَ النَّوْعَانِ فِي الْعَدَدِ فَكَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً، ثَلَاثُونَ مِنْهَا ضَأْنٌ وَعَشْرٌ مِعْزَى، أَوْ كَانَتْ إِبِلًا أَوْ بَقَرًا مُخْتَلِفَةَ الْأَنْوَاعِ مُتَفَاضِلَةَ الْأَعْدَادِ، فَفِيهَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: تُؤْخَذُ زَكَاتُهَا مِنَ الْأَغْلَبِ وَالْأَكْثَرِ اعْتِبَارًا بِمَا تَمَهَّدَ مِنْ أُصُولِ الشَّرْعِ فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيلِ، فَيَقْضِي عَلَى العدل بغالب أحوالهم وإن أساء على الغالب بِغَالِبِ فِسْقِهِ، وَإِنْ أَحْسَنَ، وَكَمَا تُؤْخَذُ الزَّكَاةُ مِنَ السَّائِمَةِ وَإِنْ عُلِفَتْ فِي الْحَوْلِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ اعْتِبَارًا بِالْغَالِبِ، وَلِأَنَّ فِي إِخْرَاجِ الزَّكَاةِ مِنْ سَائِرِ أَنْوَاعِهَا مَشَقَّةً لَاحِقَةً بِأَرْبَابِ الأموال يخرج من مَوْضُوعِ الْمُوَاسَاةِ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ تُخْرَجُ الزَّكَاةُ مِنْ غَالِبِ مَالِهِ جَيِّدًا كَانَ الْغَالِبُ أَوْ رَدِيئًا.
pertama: apabila kedua jenis itu sama dalam jumlahnya.
kedua: apabila kedua jenis itu berbeda dalam jumlahnya. Jika kedua jenis itu sama dalam jumlah, misalnya ia memiliki empat puluh ekor kambing, dua puluh di antaranya domba dan dua puluh lainnya kambing kacang, maka ia wajib mengeluarkan satu ekor kambing dari jenis mana pun yang ia kehendaki, dengan mempertimbangkan kadar nilai masing-masing. Misalnya kita katakan: nilai jadza‘ah dari domba sepuluh dirham, dan nilai tsaniyyah dari kambing kacang dua puluh dirham, maka diambil setengah dari kedua nilai tersebut, yakni lima belas dirham, berupa jadza‘ah dari domba atau tsaniyyah dari kambing kacang. Begitu pula pada unta dan sapi.
Jika kedua jenis itu berbeda dalam jumlah, misalnya ia memiliki empat puluh ekor kambing, tiga puluh di antaranya domba dan sepuluh kambing kacang, atau unta atau sapi yang berbeda jenis dan tidak seimbang dalam jumlah, maka terdapat dua pendapat:
pertama: zakatnya diambil dari jenis yang paling banyak, dengan mempertimbangkan dasar-dasar syariat yang telah ditetapkan dalam jarḥ dan ta‘dīl, yaitu keputusan terhadap keadilan seseorang berdasarkan kebanyakan keadaannya, meskipun ia pernah berbuat salah dalam sebagian, dan terhadap kefasikan seseorang berdasarkan dominasi kefasikannya, meskipun ia pernah berbuat baik. Demikian pula zakat diambil dari hewan ternak yang digembalakan (sā’imah), meskipun kadang diberi makan di sebagian waktu dalam satu haul, karena yang dianggap adalah yang dominan.
Juga karena pengambilan zakat dari berbagai jenisnya akan memberatkan pemilik harta dan keluar dari maksud muwāsāt (saling berbagi). Maka menurut pendapat ini, zakat dikeluarkan dari jenis yang dominan dalam hartanya, baik yang dominan itu yang baik maupun yang buruk.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ: أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ كُلِّ نَوْعٍ بِحِسَابِهِ عَلَى اعْتِبَارِ الْقِيمَةِ، لِيَقَعَ الِاشْتِرَاكُ فِي النَّقْصِ وَالْكَمَالِ، لِأَنَّ حَقَّ الْمَسَاكِينِ شَائِعٌ فِي الْجُمْلَةِ، وَلَيْسَ أَحَدُ الْأَنْوَاعِ أَوْلَى مِنَ الْآخَرِ، وَلِأَنَّا إِذَا علقنا ذَلِكَ بِالْأَكْثَرِ لَمْ يُؤْمَنْ أَنْ يَكُونَ خِيَارُهُ فِي الْأَقَلِّ، فَنَكُونُ قَدْ بَخَسْنَا الْمَسَاكِينَ حَقَّهُمْ وَأَبَحْنَا رَبَّ الْمَالِ إِعْطَاءَ خَبِيثِ مَالِهِ، وَهَذَا خُرُوجٌ عَنِ النَّصِّ الْمَانِعِ مِنْ ذَلِكَ، وَقِيَاسًا على ما لم يختلف مذهبه فيه من الفضة إذا وجبت فَكَانَ بَعْضُهَا جَيِّدًا وَبَعْضُهَا رَدِيئًا لَزِمَ إِخْرَاجُ زَكَاتِهَا مِنْ سَائِرِ أَنْوَاعِهَا دُونَ غَالِبِهَا، كَذَلِكَ في الماشية، ويجوز ذلك قياساً أن يقال إنه جنس قَدِ اخْتَلَفَتْ أَنْوَاعُهُ فَوَجَبَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ كُلِّ نَوْعٍ بِحِصَّتِهِ كَالْفِضَّةِ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَا اعْتِبَارَ بِالْغَالِبِ وَيُؤْخَذُ مِنْ كُلِّ نَوْعٍ بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ، مِثَالُ ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ مَعَهُ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ مِنَ الْإِبِلِ عَشَرَةٌ مِنْهَا مَهْرِيَةٌ، وعشرة أرحبية، وخمسة محتدية، فقال قِيمَةُ بِنْتِ مَخَاضٍ مَهْرِيَّةٍ ثَلَاثُونَ دِينَارًا فَيُؤْخَذُ خمساها، لأن خمسي إبله مهرية فيكون اثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا، وَيُقَالُ قِيمَةُ بِنْتِ مَخَاضٍ أَرْحَبِيَّةٍ عِشْرُونَ دِينَارًا، فَيُؤْخَذُ خُمُسَاهَا، لِأَنَّ خُمْسَيْ إبله أرحبية فيكون ثمانية دنانير ويقال قيمة بنت مخاض محتدية عَشَرَةُ دَنَانِيرَ فَيُؤْخَذُ خُمُسُهَا، لِأَنَّ خُمُسَ إِبِلِهِ محتدية فيكون دينارين، ثم تجمع الاثني عشر والثمانية والدينارين فيكون اثنين وعشرين، فيؤخذ من بِنْتُ مَخَاضٍ بِقِيمَةِ اثْنَيْنِ وَعِشْرِينَ دِينَارًا، إِمَّا مهرية أو أرحبية، أو محتدية، ثُمَّ كَذَلِكَ فِي الْبَقَرِ وَفِيمَا زَادَ أَوْ نَقَصَ مِنَ الْإِبِلِ عَلَى هَذَا الِاعْتِبَارِ وَاللَّهُ أعلم بالصواب.
Dan pendapat kedua—dan inilah yang lebih ṣaḥīḥ—adalah bahwa ia wajib mengeluarkan dari setiap jenis sesuai perhitungannya berdasarkan nilai, agar terjadi pemerataan dalam kekurangan dan kelebihan. Sebab hak para miskin tersebar pada seluruh total harta, dan tidak ada satu jenis pun yang lebih utama dari yang lain. Karena jika kita kaitkan hal itu pada jenis yang lebih banyak, tidak aman dari kemungkinan bahwa pilihan terbaiknya ada pada jenis yang lebih sedikit, maka berarti kita telah mengurangi hak para miskin dan membolehkan pemilik harta mengeluarkan bagian yang buruk dari hartanya—dan ini bertentangan dengan nash yang melarang hal tersebut.
Ini juga dianalogikan dengan perkara yang tidak diperselisihkan madzhabnya, yaitu pada zakat perak apabila sebagian peraknya bagus dan sebagian lagi jelek, maka wajib dikeluarkan zakat dari seluruh jenisnya, bukan dari mayoritasnya. Demikian pula pada hewan ternak. Maka ini diperbolehkan secara qiyās dengan dikatakan: ini adalah satu jenis yang berbeda-beda jenis cabangnya, maka wajib diambil dari setiap jenis sesuai kadarnya, sebagaimana pada perak. Maka menurut pendapat ini, tidak diperhitungkan mayoritas jenisnya, melainkan diambil dari setiap jenis berdasarkan perhitungannya dan bagiannya.
Contohnya: jika seseorang memiliki dua puluh lima ekor unta, sepuluh di antaranya mahrīyah, sepuluh arḥabīyah, dan lima muḥtadiyyah, maka dikatakan: nilai satu ekor ibnat maḫāḍ dari jenis mahrīyah adalah tiga puluh dinar, maka diambil dua perlima darinya, karena dua perlima dari untanya adalah mahrīyah, yaitu sebesar dua belas dinar.
Lalu dikatakan: nilai ibnat maḫāḍ dari jenis arḥabīyah adalah dua puluh dinar, maka diambil dua perlima darinya, karena dua perlima dari untanya adalah arḥabīyah, yaitu delapan dinar.
Dan dikatakan: nilai ibnat maḫāḍ dari jenis muḥtadiyyah adalah sepuluh dinar, maka diambil seperlima darinya, karena seperlima dari untanya adalah muḥtadiyyah, yaitu dua dinar.
Kemudian dua belas, delapan, dan dua dinar dijumlahkan menjadi dua puluh dua dinar. Maka diambil satu ekor ibnat maḫāḍ senilai dua puluh dua dinar, baik dari jenis mahrīyah, arḥabīyah, atau muḥtadiyyah. Demikian pula pada sapi, dan pada tambahan atau pengurangan jumlah unta, berdasarkan perhitungan seperti ini. Dan Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَدَّى فِي أَحَدِ الْبَلَدَيْنِ عَنِ الْأَرْبَعِينَ شَاةً مُتَفَرِّقَةً كَرِهْتُ ذَلِكَ وَأَجْزَأَهُ، وَعَلَى صَاحِبِ الْبَلَدِ الْآخَرِ أَنْ يُصَدِّقَهُ فَإِنِ اتَّهَمَهُ أَحْلَفَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الزَّكَاةُ فَلَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا إِلَّا فِي بَلَدِ الْمَالِ وَجِيرَانِهِ سَوَاءٌ كَانَ رَبُّ الْمَالِ مُقِيمًا أَوْ بَائِنًا عَنْهُ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الزَّكَاةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ ” فَإِنْ أَخْرَجَ زَكَاةَ مَالِهِ فِي غير بلده وجيرانه، كان مسيئاً، وفي الآخر قولان:
أحدهما: أنه يجزئه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Seandainya ia menunaikan zakat dari empat puluh ekor kambing yang tersebar di dua negeri, maka aku membencinya, tetapi itu tetap mencukupi. Dan pemilik harta di negeri lainnya wajib membenarkannya. Jika ia meragukannya, maka ia boleh menyuruhnya bersumpah.”
Al-Mawardi berkata: Adapun zakat, maka tidak boleh dikeluarkan kecuali di negeri tempat harta itu berada dan tetangganya, baik pemilik harta tinggal di situ atau berada jauh darinya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya kalian dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian.”
Maka jika seseorang mengeluarkan zakat hartanya di selain negerinya dan tetangganya, ia telah berbuat buruk. Namun dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: zakatnya tetap sah.
والثاني: لا يجزئه وَسَنَذْكُرُ تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ فِي مَوْضِعِهِمَا مِنْ كِتَابِ قَسْمِ الصَّدَقَاتِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ فَصُورَةُ مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ فِي رَجُلٍ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً عِشْرُونَ مِنْهَا بِالْبَصْرَةِ وَعِشْرُونَ بِبَغْدَادَ، فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ نِصْفِ شَاةٍ بِالْبَصْرَةِ عَنِ الْعِشْرِينَ الَّتِي بِهَا، وَنِصْفِ شَاةٍ بِبَغْدَادَ عَنِ الْعِشْرِينَ الَّتِي بِهَا، فَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِخْرَاجِ نصف شاة باقيها للفقراء أو المساكين من أهل الصدقات أجزاه وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى ذَلِكَ فَأَخْرَجَ نِصْفَ شَاةِ بِاقِيهَا لَهُ أَوْ لِرَجُلٍ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ أَوْ فَعَلَ ذَلِكَ مَعَ الْقُدْرَةِ على ما سواه، فالصحيح أنه يجزئه وَلَا اعْتِبَارَ بِوَصْفِ مَا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ إِخْرَاجُهُ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يُجْزِيهِ حَتَّى يَكُونَ بَاقِي الشَّاةِ مِلْكًا لِأَهْلِ الصَّدَقَاتِ فَيَكْمُلُ لَهُمْ نَفْعُهَا، لِأَنَّ فِي تَبْعِيضِ الشَّاةِ إيقاع ضررهم، وَإِدْخَالَ نَقْصٍ فِي حَقِّهِمْ، وَهَذَا تَعَسُّفٌ يُؤَدِّي إِلَى تَكْلِيفِ مَا يَتَعَذَّرُ، وَاعْتِبَارُ وَصْفِ مَا لم يَلْزَمُ فَإِنْ عَدَلَ عَنْ جَمِيعِ مَا ذَكَرْنَا وَأَخْرَجَ شَاةً كَامِلَةً فِي أَحَدِ الْبَلَدَيْنِ عَنْ جَمِيعِ الْمَالَيْنِ فَقَدْ أَجْزَأَهُ نِصْفُهَا عَمَّا فِيهِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إِجْزَاءِ النِّصْفِ الْآخَرِ فَكَانَ ابْنُ الْوَكِيلِ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخَرِّجُونَ ذَلِكَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ فِي نَقْلِ الزَّكَاةِ مِنْ بَلَدِ المال إلى غيره، أحدهما يجزئه، والثاني لا يجزئه، وكان باقي أصحابنا يقولون يجزئه ذَلِكَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا: لِأَنَّ فِي تَبْعِيضِ الشَّاةِ مَشَقَّةً لَاحِقَةً، وَلَا فَرْقَ فِي هَذَا بَيْنَ أَنْ يَكُونَ وَالِي الْبَلَدَيْنِ وَاحِدًا أَوِ اثْنَيْنِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ طَالَبَهُ وَالِي الْبَلَدِ الْآخَرِ بِأَدَاءِ زَكَاتِهِ فَأَخْبَرَهُ بِأَدَائِهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ، فَإِنْ صَدَّقَهُ لَمْ يُحَلِّفْهُ، وَإِنِ اتَّهَمَهُ، أَحْلَفَهُ، وَفِي هَذِهِ الْيَمِينِ وَجْهَانِ:
Dan yang kedua: tidak mencukupi. Kami akan menyebutkan alasan kedua pendapat ini pada tempatnya dalam Kitāb Qism al-Ṣadaqāt, insya Allah.
Jika pokok permasalahan ini telah ditetapkan, maka bentuk masalah dalam kitab ini adalah mengenai seorang laki-laki yang memiliki empat puluh ekor kambing: dua puluh di antaranya berada di Baṣrah, dan dua puluh lainnya di Bagdad. Maka ia wajib mengeluarkan setengah ekor kambing di Baṣrah untuk dua puluh ekor di sana, dan setengah ekor kambing di Bagdad untuk dua puluh ekor yang ada di sana.
Jika ia mampu mengeluarkan setengah kambing dan sisanya diberikan kepada orang-orang fakir atau miskin dari kalangan yang berhak menerima zakat, maka itu mencukupi. Namun jika ia tidak mampu melakukan hal itu, lalu ia menyerahkan setengah kambing dan sisanya kepada dirinya sendiri atau kepada seseorang dari selain golongan penerima zakat, atau ia melakukan itu padahal mampu mengerjakan cara lain, maka pendapat ṣaḥīḥ adalah bahwa hal itu mencukupi, dan tidak dianggap sifat pada bagian yang tidak wajib dikeluarkan.
Sebagian dari sahabat kami berkata: Tidak mencukupi kecuali sisa kambing tersebut menjadi milik orang-orang yang berhak menerima zakat, agar mereka memperoleh manfaatnya secara utuh. Karena membagi kambing akan menyebabkan kerugian bagi mereka, dan mengurangi hak mereka. Dan ini adalah sikap mempersulit yang menyebabkan beban yang sulit dipenuhi, dan memperhitungkan sifat sesuatu yang tidak wajib dikeluarkan.
Jika ia berpaling dari seluruh apa yang kami sebutkan dan mengeluarkan satu ekor kambing sempurna di salah satu dari kedua negeri untuk seluruh harta di keduanya, maka setengahnya mencukupi untuk harta di negeri itu. Para sahabat kami berselisih pendapat tentang setengahnya yang lain, apakah mencukupi atau tidak.
Ibn al-Wakīl dan banyak dari mereka menangguhkan hal ini pada dua pendapat yang telah berlalu terkait pemindahan zakat dari negeri harta ke negeri lain: yang pertama menyatakan mencukupi, dan yang kedua menyatakan tidak mencukupi.
Sementara mayoritas sahabat kami mengatakan bahwa hal itu mencukupi menurut kedua pendapat sekaligus, karena dalam membagi kambing terdapat kesulitan yang nyata. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara jika penguasa kedua negeri itu satu atau dua orang.
Maka berdasarkan ini, jika penguasa negeri yang lain menuntut pembayaran zakatnya, dan ia mengabarkan bahwa zakatnya telah ditunaikan, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapannya. Jika penguasa tersebut mempercayainya, maka ia tidak disuruh bersumpah. Namun jika ia mencurigainya, maka ia disuruh bersumpah.
Dan dalam sumpah ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: اسْتِظْهَارٌ، فَعَلَى هَذَا إِنْ نَكَلَ عَنْهَا لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُ الزَّكَاةُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا وَاجِبَةٌ فَعَلَى هَذَا إِنْ نَكَلَ عَنْهَا أُخِذَتْ مِنْهُ الزَّكَاةُ لَا بِنُكُولِهِ وَلَكِنْ بِالظَّاهِرِ الْمُتَقَدِّمِ وَأَنَّ مَا ادَّعَاهُ مِنَ الْأَدَاءِ مُخَالِفٌ لَهُ وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ لَا يَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ مِنْهُ الزَّكَاةُ بِنُكُولِهِ لَكِنْ يُحْبَسُ حَتَّى يَحْلِفَ، أَوْ يُؤَدِّيَ، لِأَنَّ فِي أَخْذِ الزَّكَاةِ مِنْهُ حُكْمًا عَلَيْهِ بِالنُّكُولِ، وَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ أَبُو الْعَبَّاسِ غَلَطٌ عَلَى الشَّافِعِيِّ، وَعَلَى نَفْسِهِ، فَأَمَّا غَلَطُهُ عَلَى الشَّافِعِيِّ، فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ خَالَفَ نَصَّ مذهبه.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَهِلَ تَعْلِيلَ قَوْلِهِ، لِأَنَّ الْعِلَّةَ فِي أَخْذِ الزَّكَاةِ مِنْهُ الظَّاهِرُ الْمُتَقَدِّمُ لَا النكول الطارئ، وأما غلطه على نفسه فإنه أَوْجَبَ حَبْسَ رَبِّ الْمَالِ بِنُكُولِهِ، وَالنُّكُولُ لَا يُوجِبُ الْحَبْسَ، كَمَا لَا يُوجِبُ الْحُكْمَ بِالْحَقِّ فكان ما ارتكبه مساوياً لمثل ما أذكره.
salah satunya: bersifat ihtiyāṭ (langkah kehati-hatian), maka menurut pendapat ini, jika ia enggan bersumpah, zakat tidak diambil darinya.
pendapat kedua: bahwa zakat adalah kewajiban, maka menurut pendapat ini, jika ia enggan bersumpah, zakat tetap diambil darinya bukan karena penolakannya, tetapi berdasarkan indikasi lahiriah sebelumnya, dan klaimnya bahwa ia telah menunaikan zakat bertentangan dengan indikasi tersebut.
Abu al-‘Abbās Ibn Surayj berkata: Tidak boleh diambil zakat darinya hanya karena penolakannya, tetapi ia ditahan sampai ia bersumpah atau membayar, karena mengambil zakat darinya berarti menetapkan hukum atas dirinya berdasarkan penolakannya, dan hal itu tidak dibolehkan menurut mazhab al-Syafi‘i.
Namun pernyataan Abu al-‘Abbās ini merupakan kesalahan terhadap al-Syafi‘i dan terhadap dirinya sendiri. Adapun kesalahannya terhadap al-Syafi‘i ditinjau dari dua sisi:
pertama: ia menyelisihi nash mazhabnya.
kedua: ia tidak memahami alasan pendapat al-Syafi‘i, karena sebab pengambilan zakat darinya adalah karena indikasi lahiriah sebelumnya, bukan karena penolakannya yang muncul belakangan.
Adapun kesalahannya terhadap dirinya sendiri adalah karena ia mewajibkan penahanan terhadap pemilik harta hanya karena penolakannya, padahal penolakan tidak menyebabkan penahanan, sebagaimana tidak menyebabkan penetapan hak, maka perbuatannya sebanding dengan apa yang ia tolak.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو قال المصدق هي وديعة أو لم يحل عليها الحول صدقة وإن اتَّهَمَهُ أَحْلَفَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا أَنْ لَا زَكَاةَ عَلَى مَنْ بِيَدِهِ مَالٌ إِلَّا بِأَوْصَافٍ وَرَدَ بِهَا الشَّرْعُ مِنْهَا الْمِلْكُ وَالسَّوْمُ وَالْحَوْلُ، فَإِذَا كَانَ بِيَدِ رَجُلٍ أَرْبَعُونَ مِنَ الْغَنَمِ فَطَالَبَهُ السَّاعِي بِزَكَاتِهَا، فَذَكَرَ أَنَّهَا لَيْسَتْ له وإنها بيده وَدِيعَةٌ فَيَنْبَغِي لِلسَّاعِي أَنْ يَسْأَلَهُ عَنْ مَالِكِهَا، فَإِنْ أَخْبَرَ بِهِ وَوَقَعَ فِي نَفْسِ السَّاعِي صِدْقُ قَوْلِهِ لَمْ يُحَلِّفْهُ، لِأَنَّهُ أَمِينٌ مُصَدَّقٌ، وَإِنِ اتَّهَمَهُ وَارْتَابَ بِقَوْلِهِ أَحْلَفَهُ اسْتِظْهَارًا وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ أَمِينٌ قَدِ اسْتَنَدَ إِلَى ظَاهِرٍ، فَإِنِ امْتَنَعَ مِنَ الْإِخْبَارِ بِمَالِكِهَا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ قَوْلَهُ مَقْبُولٌ وَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، فَإِنْ صُدِّقَ لَمْ يُحَلَّفْ وَإِنِ اتُّهِمَ أُحْلِفَ اسْتِظْهَارًا كَمَا لَوْ أَخْبَرَ بِمَالِكِهَا.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya petugas zakat mengatakan, ‘Ini adalah harta titipan (wadi‘ah)’ atau ‘Belum berlalu haul atasnya’, maka itu adalah sedekah (zakat); dan jika ia dicurigai, maka hendaknya disuruh bersumpah.”
Al-Māwardī berkata: Pokok dari permasalahan ini adalah bahwa tidak ada zakat atas seseorang yang hartanya berada dalam genggamannya kecuali dengan sifat-sifat yang ditetapkan oleh syariat, yaitu kepemilikan (al-milk), penggembalaan (al-sawm), dan berlalu satu tahun (al-ḥaul). Maka jika ada seseorang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu petugas zakat menuntutnya untuk menunaikan zakat atasnya, dan ia menyebutkan bahwa kambing itu bukan miliknya, tetapi hanya berada di tangannya sebagai titipan (wadi‘ah), maka sepatutnya petugas zakat menanyakannya siapa pemilik kambing itu.
Jika ia memberitahukan pemiliknya dan dalam benak petugas timbul keyakinan akan kebenaran ucapannya, maka tidak disuruh bersumpah, karena ia adalah orang yang terpercaya dan ucapannya dapat diterima.
Namun jika petugas zakat mencurigainya dan meragukan ucapannya, maka ia harus disuruh bersumpah sebagai bentuk kehati-hatian (istiẓhār), menurut satu pendapat, karena ia seorang yang dipercaya tetapi telah bersandar kepada suatu hal yang tampak.
Jika ia enggan memberitahukan siapa pemilik kambing itu, maka terdapat dua pendapat:
Pertama—dan inilah yang ṣaḥīḥ—ucapannya diterima dan tidak wajib zakat atasnya. Maka jika ia dipercaya, tidak disuruh bersumpah. Namun jika dicurigai, maka ia disuruh bersumpah sebagai bentuk kehati-hatian, sebagaimana jika ia memberitahukan siapa pemilik kambing itu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ضَعِيفٌ، يُؤْخَذُ مِنْهُ الزَّكَاةُ إِذَا امْتَنَعَ مِنَ الْإِخْبَارِ بِمَالِكِهَا. لِأَنَّ لِلْيَدِ ظَاهِرًا يَدُلُّ عَلَى الْمِلْكِ وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ اليد تدل على الملك إذا اعتبرت بِدَعْوَى صَاحِبِ الْيَدِ، فَأَمَّا مَعَ إِنْكَارِهِ فَلَا اعْتِبَارَ بِيَدِهِ، وَلَوْ قَالَ صَاحِبُ الْيَدِ هِيَ ملكي لكن لم يحل عليها الحول، فالقول قوله، وإن صَدَّقَهُ السَّاعِي فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، وَإِنِ اتَّهَمَهُ أَحْلَفَهُ اسْتِظْهَارًا، لِأَنَّهُ فِي إِنْكَارِ الْمِلْكِ وَالْحَوْلِ وَالسَّوْمِ يَرْجِعُ إِلَى ظَاهِرٍ يُعَاضِدُ قَوْلَهُ مِنْ غير إقرار يقدم بِالْوُجُوبِ، فَلِذَلِكَ كَانَتِ الْيَمِينُ فِيهِ اسْتِظْهَارًا، وَاللَّهُ أعلم.
dan pendapat kedua —yang lemah— mengatakan: zakat diambil darinya jika ia enggan memberitahukan siapa pemilik hartanya, karena kepemilikan secara lahiriyah (yakni tangan yang memegang) menunjukkan adanya kepemilikan. Ini adalah kekeliruan, sebab tangan hanya menunjukkan kepemilikan apabila disertai dengan pengakuan dari pemegangnya. Adapun jika ia mengingkarinya, maka tidak dianggap sebagai bukti kepemilikan.
Seandainya orang yang memegang berkata, “Ini milikku, tetapi belum cukup haul,” maka ucapan itu diterima. Jika petugas zakat mempercayainya, maka ia tidak perlu bersumpah. Namun jika petugas mencurigainya, maka ia disuruh bersumpah sebagai bentuk ihtiyāṭ (langkah kehati-hatian), karena dalam pengingkaran terhadap kepemilikan, cukup haul, dan status sā’im (digembalakan), ia kembali pada indikasi lahiriah yang menguatkan ucapannya tanpa ada pengakuan sebelumnya yang mewajibkan (zakat). Oleh karena itu, sumpah dalam hal ini bersifat ihtiyāṭ. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ شَهِدَ الْشَاهِدَانِ أَنَّ لَهُ هَذِهِ الْمِائَةَ بعينها من رأس الحول فقال قد ثم بعتها اشتريتها صَدَّقَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ مَعَهُ أَرْبَعُونَ مِنَ الْغَنَمِ طَالَبَهُ السَّاعِي بِزَكَاتِهَا، فَذَكَرَ أَنَّ حَوْلَهَا لَمْ يَحُلْ فَقَبِلَ السَّاعِي قَوْلَهُ، ثُمَّ أَنَّ شَاهِدَيْنِ شَهِدَا عَلَيْهِ أَنَّهَا كَانَتْ مَعَهُ مِنْ أَوَّلِ الْحَوْلِ إِلَى آخِرِهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya dua orang saksi bersaksi bahwa seratus ekor itu adalah miliknya secara pasti sejak awal haul, lalu ia berkata, ‘Aku telah menjualnya atau membelinya setelah itu’, maka ucapannya dipercaya.”
Al-Māwardī berkata: Bentuk permasalahannya adalah pada seseorang yang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu petugas zakat menuntutnya untuk menunaikan zakat atasnya, namun ia menyatakan bahwa haul belum sempurna atas kambing itu, maka petugas menerima ucapannya.
Lalu datang dua orang saksi yang bersaksi bahwa kambing itu telah berada dalam kepemilikannya sejak awal haul hingga akhir haul.
قَالَ الشافعي: لا أقبل شهادتهما حتى يقطعا الشَّهَادَةَ عَلَيْهَا بِأَعْيَانِهَا بِأَنْ يَقُولَا كَانَتْ هَذِهِ الْغَنَمُ وَيُشِيرَا إِلَيْهَا لِهَذَا الرَّجُلِ وَيُشِيرَا إِلَيْهِ مِنْ أَوَّلِ الْحَوْلِ إِلَى آخِرِهِ، فَإِنْ زَادَا أو تمما الشهادة لو قَالَا لَا نَعْلَمُ أَنَّهَا خَرَجَتْ عَنْ مِلْكِهِ كَانَ أَحْوَطَ فَإِنْ صَحَّتْ شَهَادَتُهُمَا فَعَلَى السَّاعِي أن يرجع إِلَى رَبِّهَا فَيُطَالِبُهُ بِزَكَاتِهَا، لِأَنَّ الْبَيِّنَةَ الْعَادِلَةَ خَيْرٌ مِنَ الدَّعْوَى الْكَاذِبَةِ وَالْيَمِينِ الْفَاجِرَةِ، فَإِنْ قِيلَ: وَلِمَ أَجَزْتُمْ شَهَادَتَهُمَا وَقَدْ شَهِدَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُسْتَشْهَدَا وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ قَرْنِي الَّذِي أَنَا فِيهِمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ فِي النَّاسِ حَتَى يَشْهَدَ الشُّهُودُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يستشهدوا.
Imam al-Syafi‘i berkata: Aku tidak menerima kesaksian keduanya hingga keduanya memutuskan kesaksian atasnya secara pasti, yaitu dengan mengatakan: “Kambing-kambing ini” sambil menunjuk kepadanya, “adalah milik laki-laki ini” sambil menunjuk kepadanya, “dari awal haul hingga akhirnya.” Jika keduanya menambahkan atau menyempurnakan kesaksian dengan berkata, “Kami tidak mengetahui bahwa kambing-kambing itu keluar dari kepemilikannya,” maka itu lebih hati-hati.
Jika kesaksian keduanya sah, maka petugas zakat harus kembali kepada pemilik kambing tersebut untuk menuntut zakatnya, karena bukti dari dua saksi yang adil lebih baik daripada klaim yang dusta dan sumpah yang curang.
Jika dikatakan: “Mengapa kalian membolehkan kesaksian keduanya padahal mereka bersaksi tanpa diminta menjadi saksi, sementara Rasulullah SAW bersabda: ‘Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka, lalu akan tersebar dusta di tengah manusia hingga para saksi bersaksi sebelum diminta bersaksi.'”
قيل: إنما اجتزينا بهذه الشهادة؛ لأنها تتعلق بحق الله تعالى يَسْتَوِي فِيهِ الشَّاهِدُ وَالْمُطَالِبُ فَحَسُنَ أَنْ يَشْهَدَ فِيهِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدَ، وَكَذَلِكَ حُقُوقُ الْأَيْتَامِ وَالضُّعَفَاءِ وَمَنْ لَا نَاصِرَ لَهُ وَلَا مُعَاضِدَ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” خَيْرُ الشَّهَادَةِ مَا شَهِدَ بِهِ الشُّهُودُ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدُوا فِيهَا “، فَكَانَ هَذَا الْحَدِيثُ مُوَافِقًا لِمَعْنَى مَا ذَكَرْنَا، وَيُحْمَلُ ذَلِكَ الْحَدِيثُ عَلَى دَعَاوَى الْخُصُومِ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، فَيَكُونُ الْحَدِيثَانِ مَعًا مُسْتَعْمَلَيْنِ، فَإِنْ قِيلَ: فَمَا تَقُولُونَ فِي الشَّاهِدَيْنِ إِنْ كَانَا فَقِيرَيْنِ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمَا أَمْ لَا؟ قِيلَ إِنْ كَانَا مِنْ جِيرَانِ الْمَالِكِ وَأَهْلِهِ لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُمَا لِأَنَّهُمَا قَدْ يُتَّهَمَانِ أَنْ يَجُرَّا بِالشَّهَادَةِ نَفْعًا إِلَى أَنْفُسِهِمَا، وَقَدْ وَرَدَ عَنِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ الْخَائِنِ وَلَا ذِي غَمْرٍ، وَلَا شَهَادَةُ الْقَانِعِ لِأَهْلِ الْبَيْتِ ” يَعْنِي بِذِي الْغَمْرِ الْعَدُوَّ، وَالْقَانِعُ: السَّائِلُ لِأَهْلِ الْبَيْتِ الَّذِينَ كَانُوا يَتَعَاهَدُونَهُ بِالْبِرِّ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْ كان مِنْ غَيْرِ جِيرَانِ الْمَالِكِ، وَمِمَّنْ لَا تُفَرَّقُ بينهما تِلْكَ الزَّكَاةُ لِبُعْدِهِمَا فَفِي قَبُولِ شَهَادَتِهِمَا وَجْهَانِ:
Dikatakan: Kami mencukupkan dengan kesaksian ini karena ia berkaitan dengan hak Allah Ta‘ālā, yang di dalamnya kedudukan saksi dan penuntut adalah setara, maka baiklah bila saksi bersaksi sebelum diminta bersaksi. Begitu pula halnya dalam hak-hak anak yatim, kaum lemah, dan orang yang tidak memiliki penolong maupun pendukung.
Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Sebaik-baik kesaksian adalah yang disampaikan oleh para saksi sebelum mereka diminta bersaksi.” Maka hadis ini sesuai dengan makna yang kami sebutkan. Hadis itu dapat dibawa pada konteks tuntutan antara para pihak dalam hak-hak manusia, sehingga kedua hadis tersebut bisa diamalkan bersama.
Jika dikatakan: Apa pendapat kalian tentang dua orang saksi jika keduanya adalah fakir dari kalangan yang berhak menerima zakat—apakah kesaksian keduanya diterima atau tidak?
Dijawab: Jika keduanya adalah tetangga pemilik harta dan termasuk kalangan dekatnya, maka kesaksian keduanya tidak diterima, karena keduanya bisa dicurigai mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri melalui kesaksian tersebut.
Dan telah datang dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak sah kesaksian seorang pengkhianat, tidak pula orang yang memendam permusuhan, dan tidak sah pula kesaksian orang yang berharap (mengharap pemberian) dari penghuni rumah.”
Yang dimaksud dengan dhū ghamr adalah musuh, dan qāni‘ adalah orang yang meminta kepada penghuni rumah yang biasa memberinya kebaikan dan sedekah.
Namun jika keduanya bukan termasuk tetangga pemilik harta, dan termasuk orang-orang yang tidak akan mendapat bagian zakat tersebut karena jauhnya mereka, maka dalam penerimaan kesaksian keduanya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: تُقْبَلُ لِانْتِفَاءِ الرِّيبَةِ عَنْهُمَا.
وَالثَّانِي: لَا تُقْبَلُ خَوْفًا مِنَ التُّهْمَةِ بِأَنْ تَؤُولَ الصَّدَقَةُ إِلَيْهِمَا، فَإِذَا قَامَتْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ الْعَادِلَةُ بِأَنَّهَا فِي يَدِهِ مِنْ أَوَّلِ الْحَوْلِ إِلَى آخِرِهِ، طُولِبَ بِأَدَاءِ الزَّكَاةِ، فَإِنْ أَكْذَبَ الْبَيِّنَةَ لَمْ يُلْتَفَتْ إِلَى إِكْذَابِهِ، وَأُخِذَتْ مِنْهُ الزَّكَاةُ جَبْرًا، وإن أصدق الْبَيِّنَةَ وَادَّعَى أَنَّهُ قَدْ كَانَ بَاعَهَا فِي تضاعيف الحول شراء ثُمَّ ابْتَاعَهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّهُ أَمِينٌ وَمَا قَالَهُ مُحْتَمَلٌ لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ هَذِهِ الدَّعْوَى تُوَافِقُ الظَّاهِرَ أَوْ تُخَالِفُهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مُوَافِقَةٌ لِلظَّاهِرِ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْيَمِينُ اسْتِظْهَارًا فَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُ الزَّكَاةُ.
وَالثَّانِي: وَاجِبَةٌ فَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا أُخِذَتْ مِنْهُ الزَّكَاةُ.
pertama: kesaksian keduanya diterima karena tidak adanya kecurigaan terhadap mereka.
kedua: tidak diterima karena dikhawatirkan ada tuduhan bahwa sedekah itu akan kembali kepada mereka.
Maka apabila telah tegak bukti dari dua saksi yang adil bahwa kambing itu berada dalam kepemilikannya dari awal haul sampai akhirnya, maka ia dituntut untuk menunaikan zakatnya. Jika ia mendustakan kesaksian tersebut, pendustaannya tidak dianggap, dan zakat diambil darinya secara paksa.
Namun jika ia membenarkan kesaksian itu dan mengklaim bahwa ia telah menjual kambing tersebut di tengah-tengah haul, kemudian membelinya kembali, maka perkataannya diterima dengan syarat ia bersumpah, karena ia adalah orang yang terpercaya dan pernyataannya masih mungkin terjadi.
Namun para sahabat kami berbeda pendapat: apakah klaim ini sesuai dengan lahiriah atau bertentangan dengannya? Ada dua pendapat:
pertama: bahwa klaim tersebut sesuai dengan lahiriah, maka sumpahnya bersifat iḥtiyāṭ (langkah kehati-hatian). Jika ia enggan bersumpah, zakat tidak diambil darinya.
kedua: bahwa sumpah tersebut wajib, maka jika ia enggan bersumpah, zakat diambil darinya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ مَرَّتْ بِهِ سَنَةٌ وَهِيَ أَرْبَعُونَ فَنَتَجَتْ شَاةٌ فَحَالَتْ عَلَيْهَا سَنَةٌ ثَانِيَةٌ وَهِيَ إِحْدَى وأربعون فنتجت شاة فحالت عليها سنة ثالثة وهي اثنان وَأَرْبَعُونَ فَعَلَيْهِ ثَلَاثُ شِيَاهٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَنَظَائِرِهَا وَمَا بُنِيَ عَلَيْهِ سَائِرُ فُرُوعِهَا، اخْتِلَافُ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي الزَّكَاةِ، هَلْ تَجِبُ فِي الْعَيْنِ أَوْ فِي الذِّمَّةِ وَلَهُ في ذلك قولان:
أحدهما: وهو قوله أَنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي ذِمَّةِ الْمَالِكِ لَا فِي عَيْنِ مَالِهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya berlalu atasnya satu tahun sedangkan jumlah kambingnya empat puluh, lalu melahirkan satu ekor kambing; kemudian berlalu atasnya tahun kedua dalam keadaan berjumlah empat puluh satu, lalu melahirkan satu ekor lagi; lalu berlalu atasnya tahun ketiga dalam keadaan berjumlah empat puluh dua, maka ia wajib mengeluarkan tiga ekor kambing (sebagai zakat).”
Al-Māwardī berkata: Pokok dari masalah ini, beserta cabang-cabangnya dan seluruh turunannya, dibangun atas perbedaan dua pendapat Imam al-Syafi‘i mengenai zakat—apakah zakat itu wajib pada ‘ayn al-māl (objek harta secara langsung) ataukah pada dhimmah al-mālik (tanggungan si pemilik). Dalam hal ini, beliau memiliki dua pendapat:
Pertama: dan ini adalah salah satu pendapat beliau, bahwa zakat itu wajib pada tanggungan pemilik, bukan pada zat harta itu sendiri.
وَوَجْهُ ذَلِكَ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ شَاةٌ وَلَيْسَتِ الشَّاةُ فِي عَيْنِ الْمَالِ فَدَلَّ عَلَى ثُبُوتِهَا فِي الذِّمَّةِ، وَلِأَنَّهَا لَوْ وَجَبَتْ فِي الْمَالِ وَكَانَ الْمَسَاكِينُ فِيهَا شُرَكَاءُ لَمْ يَكُنْ لِرَبِّ الْمَالِ إِبْطَالُ شَرِكَتِهِمْ وَالِانْتِقَالُ مِنْ عَيْنِ الْمَالِ إِلَى غَيْرِهِ إِلَّا بِاخْتِيَارِهِمْ، كَسَائِرِ الشُّرَكَاءِ فِي غَيْرِ الزَّكَاةِ، فَلَمَّا كَانَ لَهُ الِانْتِقَالُ مِنْ عَيْنِ الْمَالِ وَإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ مِنْ غَيْرِهِ، دَلَّ عَلَى وُجُوبِهَا فِي ذِمَّتِهِ.
Dan dasar dari hal itu adalah sabda Nabi SAW: “Pada lima ekor unta, ada satu ekor kambing (sebagai zakatnya),” padahal kambing itu bukan bagian dari harta (unta) itu sendiri, maka ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat itu tetap dalam tanggungan (dzimmah).
Dan seandainya zakat itu wajib pada harta itu secara langsung, dan para miskin menjadi sekutu di dalamnya, tentu pemilik harta tidak berhak membatalkan kemitraan mereka dan berpindah dari harta itu kepada selainnya kecuali dengan kerelaan mereka, sebagaimana halnya seluruh sekutu dalam harta selain zakat.
Maka ketika ia diperbolehkan berpindah dari harta itu dan mengeluarkan zakat dari selainnya, hal ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat itu tetap dalam tanggungannya (bukan pada benda harta itu sendiri).
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ وَأَشَارَ إِلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ: أَنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي عَيْنِ الْمَالِ لا في الذمة لقول اللَّهِ تَعَالَى {وَالّذِينَ فِي أمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ} (المعارج: 24) فاقتضى كلامه هَذَا اللَّفْظِ وَصَرِيحُهُ إِيجَابُ الزَّكَاةِ فِي عَيْنِ الْمَالِ دُونَ ذِمَّةِ رَبِّهِ وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فِي أَرْبَعِينَ شاةٍ شاةٌ ” فَأَوْجَبَ الشَّاةَ فِي عَيْنِهَا وَلَمْ يُوجِبْهَا فِي ذِمَّةِ رَبِّهَا وَلِأَنَّ كُلَّ حَقٍّ ثَابِتٍ فِي الذِّمَّةِ لَا يَبْطُلُ بِتَلَفِ الْمَالِ كَالدَّيْنِ وَالْفَرْضِ وَكُلَّ حَقٍّ تَعَلَّقَ بِالْعَيْنِ يَبْطُلُ بِتَلَفِ الْمَالِ كَالْوَدِيعَةِ وَالْمُضَارَبَةِ وَأَرْشِ الْجِنَايَةِ، فَلَمَّا بَطَلَتِ الزَّكَاةُ بِتَلَفِ الْمَالِ بَعْدَ الْحَوْلِ مِنْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ وَلَا تَقْصِيرٍ، دَلَّ عَلَى وُجُوبِهَا فِي عَيْنِ الْمَالِ دُونَ ذِمَّةِ المالك.
Dan pendapat kedua—dan inilah yang ṣaḥīḥ, serta beliau nyatakan dalam qaul jadīd dan beliau isyaratkan pula dalam qaul qadīm—adalah bahwa zakat itu wajib pada ‘ayn al-māl (zat harta) dan bukan pada dhimmah (tanggungan) pemiliknya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang dalam harta mereka terdapat hak yang diketahui.” (al-Ma‘ārij: 24). Maka lafaz ini dan maknanya yang jelas menunjukkan kewajiban zakat pada ‘ayn al-māl, bukan pada tanggungan pemiliknya.
Dan sabda Nabi SAW: “Pada empat puluh ekor kambing, zakatnya satu ekor kambing,” maka beliau mewajibkan satu ekor kambing dari ‘ayn-nya, bukan pada tanggungan pemiliknya.
Juga karena setiap hak yang ditetapkan dalam dhimmah tidak gugur dengan hilangnya harta, seperti utang dan kewajiban ibadah, sedangkan setiap hak yang terkait dengan ‘ayn harta akan gugur dengan hilangnya harta, seperti titipan (wadi‘ah), akad mudharabah, dan ganti rugi jinayah (arsh al-jināyah).
Maka, ketika zakat gugur dengan hilangnya harta setelah berlalu haul tanpa adanya kelalaian ataupun kecerobohan, hal ini menunjukkan bahwa zakat itu wajib pada ‘ayn al-māl, bukan pada tanggungan pemiliknya.
فصل
: قال فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الذِّمَّةِ أَوْ فِي الْعَيْنِ، فَعَلَى الْقَوْلِ القديم: أن الزكاة واجبة في الذمة، واختلف أَصْحَابُنَا هَلِ الْعَيْنُ مُرْتَهَنَةٌ بِهَا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا تَعَلُّقَ لَهَا بِالْعَيْنِ فِي الْوُجُوبِ، وَلَا تَكُونُ الْعَيْنُ مُرْتَهَنَةً بِهَا لِأَنَّ الْعَيْنَ لَوْ كَانَتْ مُرْتَهَنَةً بِهَا مَا جَازَ تَصَرُّفُهُ فِي الْعَيْنِ قَبْلَ أَدَاءِ زَكَاتِهَا، كَمَا لَا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِي الرَّهْنِ قَبْلَ نكاحه فَلَمَّا جَازَ تَصَرُّفُهُ فِيهَا دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا تَعَلُّقَ لِلْوُجُوبِ بِهَا، وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ وَعَلَيْهِ فَرَّعَ الشَّافِعِيُّ أَنَّ الْعَيْنَ مُرْتَهَنَةٌ بِمَا وَجَبَ فِي الذِّمَّةِ، كَالْعَبْدِ الْجَانِي رَقَبَتُهُ مُرْتَهَنَةٌ بِجِنَايَتِهِ، وَإِنْ كَانَ لِلسَّيِّدِ أَدَاءُ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ رَقَبَتِهِ، فَإِنْ أَخْرَجَ الزَّكَاةَ مِنْ مَالِهِ، وَإِلَّا أَخَذَ السَّاعِي ذَلِكَ مِنْ عَيْنِ الْمَالِ وَبِذَلِكَ جَرَتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَسِيرَةُ خُلَفَائِهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَأَمَّا عَلَى الْجَدِيدِ: أَنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي الْعَيْنِ فَفِي كَيْفِيَّةِ وُجُوبِهَا قَوْلَانِ:
Bahwa zakat adalah wajib dalam dzimmah (tanggungan), namun para sahabat kami berbeda pendapat apakah harta itu sendiri (‘ayn) terikat padanya atau tidak, dalam dua pendapat:
Pertama: tidak ada keterikatan antara zakat dengan ‘ayn dalam kewajiban, dan harta tidak menjadi marhūn (tergadai) karenanya. Sebab, seandainya harta itu menjadi tergadai karena zakat, niscaya tidak boleh bagi pemiliknya untuk melakukan transaksi terhadap harta itu sebelum zakatnya dibayarkan, sebagaimana tidak boleh melakukan transaksi atas barang gadai sebelum pelunasan. Maka ketika diperbolehkan melakukan transaksi terhadap harta tersebut, hal itu menunjukkan bahwa tidak ada keterikatan kewajiban zakat dengannya.
Pendapat kedua —dan ini yang lebih ṣaḥīḥ serta menjadi dasar cabang pendapat al-Syafi‘i— adalah bahwa harta itu tergadai (terikat) dengan kewajiban zakat yang dibebankan dalam dzimmah, seperti budak yang melakukan jināyah (kejahatan), maka lehernya menjadi tergadai karena jināyah-nya, meskipun tuannya boleh membayar diyat dari selain dirinya. Maka jika pemilik harta mengeluarkan zakat dari hartanya, maka sah; jika tidak, petugas zakat boleh mengambil zakat dari harta itu sendiri.
Dan demikianlah yang menjadi sunnah Rasulullah SAW dan praktik para khalifahnya RA.
Adapun menurut pendapat baru (al-jadīd), bahwa zakat itu wajib pada harta secara langsung (fī al-‘ayn), maka dalam cara wajibnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وُجُوبُ اسْتِحْقَاقٍ وَمِلْكٍ فَيَكُونُ الْفَرْضُ الْوَاجِبُ مِلْكًا لِلْمَسَاكِينِ هُمْ فِيهِ شُرَكَاءُ، لَكِنْ سُومِحَ رَبُّ الْمَالِ بِأَنْ أُبِيحَ لَهُ إِعْطَاءُ الْبَدَلِ عَنْهُ مِنْ غَيْرِهِ، وَنَظِيرُ ذَلِكَ مَالُ الْغَنِيمَةِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وُجُوبٌ مُرَاعًى لَا وُجُوبَ اسْتِحْقَاقٍ وَنَظِيرُ ذَلِكَ تَعَلُّقُ الْجِنَايَةِ بِثَمَنِ الْعَبْدِ وَإِثْبَاتُ الْخِيَارِ لِمَالِكِهِ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
Pertama: kewajiban yang bersifat istihqāq (hak kepemilikan), yaitu bahwa bagian zakat yang wajib menjadi milik para miskin, dan mereka menjadi sekutu dalam harta itu. Namun, pemilik harta diberi keringanan untuk boleh memberikan pengganti dari selain harta itu. Contohnya adalah harta rampasan perang (māl al-ghanīmah).
Pendapat kedua: kewajiban yang diperhatikan (belum sempurna), bukan kewajiban hak kepemilikan. Contohnya adalah keterikatan jināyah dengan harga budak, serta penetapan hak khiyār (opsi) bagi pemiliknya.
Dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui.
فَصْلٌ
: فَإِذَا وَضَحَ مَا ذَكَرْنَا وَتَمَهَّدَ مَا قَرَّرْنَا وَكَانَ مَعَ رَجُلٍ أَرْبَعُونَ مِنَ الْغَنَمِ لَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهَا ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي الْعَيْنِ وُجُوبَ اسْتِحْقَاقٍ وَمِلْكٍ، فَعَلَيْهِ شَاةٌ وَاحِدَةٌ لِلسَّنَةِ الْأُولَى وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ لِلسَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ، لِنُقْصَانِهَا عَنِ النِّصَابِ وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الزَّكَاةَ وَجَبَتْ فِي الْعَيْنِ وُجُوبًا مُرَاعًى نَظَرْتَ فَإِنْ أَخْرَجَ الزَّكَاةَ مِنْ عَيْنِ الْمَالِ فَعَلَيْهِ زَكَاةُ سَنَةٍ وَاحِدَةٍ وَإِنْ أَخْرَجَ مِنْ غَيْرِهِ فَعَلَيْهِ زَكَاةُ السِّنِينَ الثَّلَاثِ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي الذِّمَّةِ، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا يَمْلِكُ غَيْرَ هَذِهِ الْغَنَمِ مِنْ عَرَضٍ أَوْ عَقَارٍ فَعَلَيْهِ ثَلَاثُ شِيَاهٍ لِلسِّنِينَ الثَّلَاثِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَمْلِكُ غَيْرَ هَذِهِ الْغَنَمِ فَفِي قَدْرِ مَا عَلَيْهِ مِنَ الزَّكَاةِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَعَلَيْهِ مِثْلُهَا هَلْ عَلَيْهِ زَكَاتُهَا أَمْ لَا؟ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ لَا زكاة عليه فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ يُخْرِجُ ثَلَاثَ شِيَاهٍ لِلسِّنِينَ الثَّلَاثِ، فَصَارَ فِيمَا يَلْزَمُهُ مِنْ زَكَاتِهَا أَرْبَعَةُ أَقَاوِيلَ.
PASAL
Apabila telah jelas apa yang kami sebutkan dan mantap apa yang telah kami tetapkan, dan ada seseorang yang memiliki empat puluh ekor kambing namun tidak menunaikan zakatnya selama tiga tahun, maka perinciannya sebagai berikut:
Jika dikatakan bahwa zakat itu wajib pada ‘ayn al-māl (zat harta) dengan kewajiban yang bersifat kepemilikan dan pengalihan hak, maka ia hanya wajib mengeluarkan satu ekor kambing untuk tahun pertama saja, dan tidak ada kewajiban zakat untuk tahun kedua dan ketiga, karena jumlah kambingnya telah berkurang dari niṣāb.
Namun jika dikatakan bahwa zakat wajib pada ‘ayn al-māl dengan kewajiban yang murā‘ā (dipertimbangkan kondisinya), maka diperhatikan:
– Jika ia mengeluarkan zakat dari harta itu sendiri, maka ia wajib satu ekor kambing untuk satu tahun saja.
– Jika ia mengeluarkan dari harta selainnya, maka ia wajib tiga ekor kambing untuk tiga tahun.
Dan jika dikatakan bahwa zakat wajib atas dhimmah (tanggungan) pemilik:
– Jika ia orang mampu dan memiliki harta selain kambing itu, baik berupa barang dagangan maupun properti, maka ia wajib tiga ekor kambing untuk tiga tahun.
– Namun jika ia tidak memiliki harta selain kambing itu, maka jumlah zakat yang wajib atasnya diperselisihkan dalam dua pendapat yang dibangun atas perbedaan dua pendapat Imam al-Syafi‘i dalam kasus seseorang yang memiliki dua ratus dirham dan memiliki utang sebesar itu pula: apakah wajib zakat atasnya atau tidak?
Menurut qaul qadīm, tidak wajib zakat atasnya. Maka menurut pendapat ini, ia wajib mengeluarkan tiga ekor kambing untuk tiga tahun.
Maka, dengan demikian, jumlah kewajiban zakatnya dalam kasus ini memiliki empat pendapat.
أَحَدُهَا: زَكَاةُ سَنَةٍ وَاحِدَةٍ.
وَالثَّانِي: زَكَاةُ السِّنِينَ الثَّلَاثِ.
وَالثَّالِثُ: إِنْ أَخْرَجَ الزَّكَاةَ مِنْهَا وجبت عليه الثلاث زَكَاةُ سَنَةٍ وَاحِدَةٍ وَإِنْ أَخْرَجَهَا مِنْ غَيْرِهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ السِّنِينَ الثَّلَاثِ.
وَالرَّابِعُ: إِنْ كان موسراً بغيرها وجبت عليه زكاة الثلاث سنين، وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا بِغَيْرِهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ سَنَةٍ وَاحِدَةٍ، فَلَوْ كَانَ مَعَهُ خَمْسُونَ شَاةً لَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهَا ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ فَعَلَيْهِ ثَلَاثُ شِيَاهٍ عَلَى الْقَوْلَيْنِ سَوَاءً قِيلَ إِنَّ الزَّكَاةَ فِي الذِّمَّةِ، أَوْ فِي الْعَيْنِ لِكَمَالِ النِّصَابِ بَعْدَ أَدَاءِ الزَّكَاةِ، وَلَوْ كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ مِنَ الْغَنَمِ فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهَا حَتَّى حَالَ الْحَوْلُ الْأَوَّلُ فَنَتَجَتْ شَاةً ثُمَّ حَالَ الْحَوْلُ الثَّانِي فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهَا حَتَّى نَتَجَتْ شَاةً، ثُمَّ حَالَ الْحَوْلُ الثَّالِثُ فَهَذَا عَلَيْهِ ثَلَاثُ شِيَاهٍ لِلسِّنِينَ الثَّلَاثِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، لِأَنَّ الشَّاةَ الْمُسْتَحَقَّةَ فِي كُلِّ عَامٍ قَدْ خَلَفَتْهَا شَاةٌ مِنَ النِّتَاجِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pertama: zakat untuk satu tahun saja.
Kedua: zakat untuk tiga tahun.
Ketiga: jika ia mengeluarkan zakat dari kambing itu sendiri, maka ia hanya wajib zakat satu tahun; namun jika ia mengeluarkannya dari harta lain, maka wajib atasnya zakat untuk tiga tahun.
Keempat: jika ia berkecukupan dengan harta selain itu, maka wajib atasnya zakat tiga tahun; namun jika ia dalam keadaan miskin selain dari harta tersebut, maka hanya wajib zakat satu tahun.
Maka seandainya seseorang memiliki lima puluh ekor kambing dan tidak menunaikan zakatnya selama tiga haul (tahun), maka wajib atasnya tiga ekor kambing menurut kedua pendapat, baik dikatakan bahwa zakat itu wajib dalam dzimmah maupun wajib pada ‘ayn (harta itu sendiri), karena nishab tetap sempurna meskipun zakat telah dikeluarkan.
Dan seandainya ia memiliki empat puluh ekor kambing, lalu tidak menunaikan zakatnya hingga haul pertama berlalu, kemudian kambing itu melahirkan satu ekor, lalu haul kedua berlalu tanpa menunaikan zakat dan kambing itu kembali melahirkan, lalu haul ketiga pun berlalu, maka wajib atasnya tiga ekor kambing untuk tiga tahun tersebut menurut kedua pendapat, karena setiap kambing yang wajib dizakati pada tiap tahun telah tergantikan oleh kambing hasil kelahiran.
Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو ضلت أو غصبها أحوالاً فوجدها زكاها لأحوالها والإبل التي فريضتها من الغنم ففيها قولان أحدهما أن الشاة التي فيها في رقابها يباع منها بعير فتؤخذ منه إن لم يأت بها وهذا أشبه القولين والثاني إن في خمس من الإبل حال عليها ثلاثة أحوالٍ ثلاث شياهٍ في كل حولٍ شاة (قال المزني) الأول أولى به لأنه يقول في خمس من الإبل لا يسوي واحدها شاة لعيوبها إن سلم واحداً منها فليس عَلَيْهِ شاةٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya hewan zakat itu tersesat atau dirampas selama beberapa haul, lalu ditemukan kembali, maka wajib dizakati untuk setiap haul-nya. Dan untuk unta yang zakatnya berupa kambing, terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa kambing yang menjadi zakat atasnya terhitung berada di tanggungan leher-leher unta tersebut, maka dijual salah satu unta untuk diambil zakatnya jika ia tidak membawakan kambingnya. Ini adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran.
Kedua, bahwa pada lima ekor unta yang haul-nya telah sempurna selama tiga tahun, maka wajib tiga ekor kambing, yakni satu ekor kambing untuk setiap tahun.”
(Muzanī berkata): “Pendapat pertama lebih utama, karena beliau (al-Syafi‘i) berkata bahwa lima ekor unta—jika masing-masingnya tidak senilai satu ekor kambing karena adanya cacat—maka jika pemiliknya menyerahkan salah satunya, tidak wajib atasnya satu ekor kambing.”
Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang telah beliau (al-Syafi‘i) katakan.
إِذَا كَانَ فِي مِلْكِهِ نِصَابٌ وَكَانَ مِنْ وَرِقٍ أَوْ مَاشِيَةٍ فَضَلَّ مِنْهُ أَوْ غُصِبَ، أَوْ دَفَنَهُ فِي مَوْضِعٍ فَنَسِيَهُ، أَوْ غَرِقَ فِي بَحْرٍ لَمْ يَجِدْهُ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ قَبْلَ عَوْدِهِ إِلَيْهِ، فَإِنْ عَادَ الضَّالُّ، وَاسْتَرْجَعَ الْمَغْصُوبَ، وَوَجَدَ الْمَدْفُونَ، وَوَصَلَ إِلَى الْغَرِيقِ بَعْدَ حَوْلٍ أَوْ أَحْوَالٍ، فَفِي إِيجَابِ زَكَاةِ مَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي القديم: لا زكاة عليه ووجه ذلك اثنان.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي الْأَمْوَالِ النَّامِيَةِ كالمواشي والزرع وَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ دُونَ مَا لَيْسَ بِنَامٍ كَالدُّورِ وَالْعَقَارَاتِ فَلَمَّا كَانَ الْمَغْصُوبُ مَعْدُومَ النَّمَاءِ وَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ عَنْهُ الزَّكَاةُ.
Apabila seseorang memiliki harta yang mencapai niṣāb, baik berupa perak (wariq) maupun ternak, lalu sebagian darinya hilang, atau dirampas, atau ia kubur di suatu tempat lalu ia lupa, atau tenggelam di laut hingga tidak dapat ia temukan, maka tidak wajib zakat atasnya sebelum harta itu kembali kepadanya.
Namun jika harta yang hilang itu kembali, harta rampasan berhasil ia ambil kembali, harta yang dikubur berhasil ia temukan, atau harta yang tenggelam berhasil ia ambil kembali setelah satu atau beberapa haul berlalu, maka dalam kewajiban zakat atas masa-masa yang telah lewat terdapat dua pendapat:
Pertama – ini pendapat dalam qaul qadīm (pendapat lama) Imam al-Syafi‘i –: tidak wajib zakat atasnya.
Dasar dari pendapat ini ada dua:
Pertama: zakat hanya wajib pada harta yang bersifat produktif (nāmī), seperti ternak, hasil pertanian, dan barang dagangan, bukan pada harta yang tidak berkembang seperti rumah dan tanah. Maka ketika harta yang dirampas itu tidak memiliki kemungkinan tumbuh atau berkembang, maka tidak wajib zakat atasnya.
وَالثَّانِي: أَنَّ وَهَاءَ الْمِلْكِ وَنُقْصَانَ التَّصَرُّفِ يَمْنَعَانِ وُجُوبَ الزَّكَاةِ، كَالْمُكَاتَبِ الَّذِي لَا تَلْزَمُهُ الزَّكَاةُ، لِوَهَاءِ مِلْكِهِ، وَنُقْصَانِ تَصَرُّفِهِ، وَرَبُّ الضَّالَّةِ، وَالْمَغْصُوبُ وَاهِي الْمِلْكِ نَاقِصُ التَّصَرُّفِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَهُ الزَّكَاةُ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِيمَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ، لِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا زكاة على مال حتى يحول عليه الْحَوْلُ “، وَلِأَنَّ مِلْكَهُ فِيمَا ضَلَّ أَوْ غُصِبَ بَاقٍ، عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَهُ الزَّكَاةُ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ، وَلِأَنَّ جِنْسَ الْمَالِ إِذَا كَانَ نَامِيًا وَجَبَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَ النَّمَاءُ مَفْقُودًا، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ حَبَسَ مَالَهُ عَنْ طَلَبِ النَّمَاءِ حَتَّى عَدِمَ الدَّرَّ وَالنَّسْلَ وَأَرْبَاحَ التِّجَارَاتِ لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ الزَّكَاةُ، كَذَلِكَ فِيمَا ذَكَرْنَا، وَهِيَ النُّكْتَةُ وَفِيهَا انفصال عن الاستدلال الأول، فأما الاستدال الثَّانِي فَرَدُّهُ إِلَى الْمُكَاتَبِ غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ المعنى في سقوط الزكاة من الْمُكَاتَبِ نُقْصَانُ مِلْكِهِ لَا نُقْصَانُ تَصَرُّفِهِ أَلَا تَرَى أَنَّ الصَّبِيَّ نَاقِصُ التَّصَرُّفِ، وَالزَّكَاةُ فِي مَالِهِ وَاجِبَةٌ، لِأَنَّ مِلْكَهُ غَيْرُ تَامٍّ وَاللَّهُ أعلم.
Dan pendapat kedua: bahwa lemahnya kepemilikan (wahā’ al-milk) dan kurangnya kemampuan untuk bertindak (nuqṣān al-taṣarruf) mencegah kewajiban zakat, seperti al-mukātab (budak yang mengadakan akad untuk membebaskan diri) yang tidak wajib zakat atasnya karena lemahnya kepemilikannya dan kurangnya kekuasaannya dalam bertindak. Demikian pula pemilik hewan yang tersesat dan harta yang dirampas—keduanya memiliki kepemilikan yang lemah dan kekuasaan bertindak yang kurang—maka tidak wajib zakat atasnya.
Adapun pendapat kedua, yang disebutkan dalam qaul jadīd, menyatakan bahwa zakat wajib atas waktu yang telah berlalu, berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat atas harta hingga berlalu satu haul atasnya.” Dan karena kepemilikannya terhadap harta yang hilang atau dirampas tetap ada berdasarkan hukum asal, maka wajib atasnya zakat dengan hukum asal tersebut.
Juga karena jenis harta jika bersifat berkembang (nāmī), maka zakat tetap wajib atasnya, walaupun pertumbuhannya tidak terjadi. Tidakkah engkau melihat, bahwa jika seseorang menahan hartanya dari mencari keuntungan hingga hilanglah susu, keturunan, dan laba perdagangan, zakat tidak gugur darinya? Maka demikian pula dalam hal ini.
Dan ini adalah inti permasalahan (al-nukṭah) yang menjadi jawaban atas alasan pendapat pertama.
Adapun bantahan terhadap alasan kedua, yaitu menyamakan kasus ini dengan al-mukātab, maka itu tidak sah. Karena sebab gugurnya zakat pada al-mukātab adalah karena kurangnya kepemilikannya, bukan karena kurangnya kemampuan bertindak. Tidakkah engkau lihat bahwa anak kecil, walaupun kurang dalam bertindak, tetap wajib zakat atas hartanya, karena kepemilikannya sempurna?
Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
فصل
: إذا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ وَكَانَ الْمَالُ الْمَغْصُوبُ مَاشِيَةً فلهذا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ.
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ مَعْلُوفَةً عِنْدَ مَالِكِهَا وَغَاصِبِهَا.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ سَائِمَةً عِنْدَ مَالِكِهَا وَغَاصِبِهَا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ مَعْلُوفَةً عِنْدَ مَالِكِهَا سَائِمَةً عِنْدَ غَاصِبِهَا.
وَالرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ سائمة عند مالكها معلوفة عند غاصبها، فإن كَانَتْ مَعْلُوفَةً عِنْدَ الْمَالِكِ وَالْغَاصِبِ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ كَانَتْ سَائِمَةً عِنْدَ الْمَالِكِ وَالْغَاصِبِ فَلَهَا حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَرْجِعَ إِلَى الْمَالِكِ بِلَا دَرٍّ وَلَا نَسْلٍ، فَهَذِهِ مَسْأَلَةُ الْقَوْلَيْنِ، فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ.
PASAL
Jika telah dijelaskan dasar kedua pendapat, dan harta yang dirampas itu berupa ternak, maka ada empat keadaan:
Pertama: ternak itu diberi makan (ma‘lūfah) baik oleh pemilik maupun oleh perampasnya.
Kedua: ternak itu digembalakan (sā’imah) baik oleh pemilik maupun oleh perampasnya.
Ketiga: ternak itu diberi makan oleh pemiliknya, namun digembalakan oleh perampasnya.
Keempat: ternak itu digembalakan oleh pemiliknya, namun diberi makan oleh perampasnya.
Jika ternak itu diberi makan oleh pemilik dan perampasnya, maka tidak ada zakat atasnya menurut satu pendapat (sepakat).
Jika ternak itu digembalakan oleh pemilik dan perampasnya, maka ada dua keadaan:
Pertama: kembali kepada pemiliknya tanpa menghasilkan susu maupun anak. Maka inilah masalah dua pendapat:
— Menurut qaul qadīm: tidak wajib zakat atasnya.
— Menurut qaul jadīd: wajib zakat atasnya.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ بَدَرِّهَا وَنَسْلِهَا فَعِنْدَ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ إِنَّ عَلَيْهِ زَكَاتَهَا قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ عِلَّةَ الْقَدِيمِ فِي سُقُوطِ الزَّكَاةِ فَقْدُ النماء فاقتضى أن يكون وجود النماء موجب لها، وعند أبي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهَا عَلَى قَوْلَيْنِ أَيْضًا، لِأَنَّ عِلَّةَ الْقَدِيمِ فِي سُقُوطِ الزَّكَاةِ وَهَاءُ الْمِلْكِ، وَنُقْصَانُ التَّصَرُّفِ، وَذَلِكَ مَوْجُودٌ وَإِنْ كَانَ النَّمَاءُ مَرْدُودًا وَهَذَا عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِهِمْ فِي الْعِلَّةِ وَإِنْ كَانَتْ مَعْلُوفَةً عِنْدَ الْمَالِكِ سَائِمَةً عِنْدَ الْغَاصِبِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِيهَا، لِأَنَّ السَّوْمَ إِنَّمَا يَكُونُ لَهُ حُكْمٌ إِذَا كَانَ مَقْصُودًا، فَأَمَّا مَا لَمْ يَقْصِدْهُ الْمَالِكُ فَلَا حُكْمَ لَهُ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْمَاشِيَةَ لَوْ خَرَجَتْ مِنْ يَدِهِ وَرَعَتْ مِنْ غَيْرِ قَصْدِهِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ سَوْمًا يُوجِبُ الزَّكَاةَ، كَذَلِكَ سَوْمُ الْغَاصِبِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَكُونُ سَوْمُ الْغَاصِبِ كَسَوْمِ الْمَالِكِ فَتَكُونُ الزَّكَاةُ عَلَى قَوْلَيْنِ، قَالَ: لِأَنَّ مَنْ غَصَبَ حِنْطَةً فَزَرَعَهَا كَانَ عَلَى الْمَالِكِ زَكَاتُهَا كَذَلِكَ، إِذَا غَصَبَ مَاشِيَةً فَسَامَهَا وَجَبَ أَنْ تَكُونَ على الملاك زَكَاتُهَا، وَهَذَا الْجَمْعُ غَيْرُ صَحِيحٍ.
Keadaan kedua: Jika hewan tersebut kembali kepada pemiliknya beserta susunya dan keturunannya, maka menurut Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, zakat wajib atasnya menurut satu pendapat saja. Karena ‘illah dalam qaul qadīm yang menyebabkan gugurnya zakat adalah hilangnya unsur pertumbuhan (namā’), maka kembalinya pertumbuhan menimbulkan kewajiban zakat.
Sedangkan menurut Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah, tetap ada dua pendapat juga, karena ‘illah dalam qaul qadīm tentang gugurnya zakat adalah lemahnya kepemilikan (wahā’ al-milk) dan kurangnya kemampuan bertindak (nuqṣān al-taṣarruf), dan hal itu tetap ada meskipun namā’ telah kembali. Ini tergantung pada perbedaan mereka dalam menetapkan ‘illah.
Jika ternak itu diberi makan oleh pemiliknya (ma’lūfah) dan digembalakan oleh perampas (sā’imah), maka menurut mazhab al-Syafi‘i: tidak ada zakat atasnya. Karena penggembalaan (sawm) baru dianggap berdampak hukum jika memang diniatkan. Adapun bila tidak diniatkan oleh pemilik, maka tidak dihukumi sawm. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ternak keluar dari tangan pemiliknya dan menggembala tanpa disengaja olehnya, maka hal itu tidak dihukumi sebagai sawm yang mewajibkan zakat? Maka begitu pula penggembalaan oleh perampas.
Sebagian sahabat kami mengatakan bahwa penggembalaan oleh perampas sama dengan penggembalaan oleh pemilik, sehingga zakat tetap wajib atasnya menurut dua pendapat.
Ia berkata: karena siapa yang merampas gandum lalu menanamnya, maka zakatnya tetap wajib atas pemiliknya. Maka begitu pula, jika seseorang merampas ternak lalu menggembalakannya, maka seharusnya zakatnya tetap wajib atas pemiliknya.
Namun penggabungan ini tidaklah ṣaḥīḥ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ السَّوْمِ وَالزِّرَاعَةِ أَنَّ السَّوْمَ لَا بُدَّ فِيهِ مِنْ قَصْدٍ، لِأَنَّ الْمَاشِيَةَ لَوْ رَعَتْ بِنَفْسِهَا لم يكن له عليها حُكْمٌ، وَالزِّرَاعَةُ لَا تَحْتَاجُ إِلَى قَصْدٍ، أَلَا ترى أنه لو نقل طعاماً ليحرزه فانتثر بَعْضُهُ وَنَبَتَ وَبَلَغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ حَبًّا لَزِمَتْهُ زكاته، وإن لم يقصد زراعته.
Perbedaan antara penggembalaan (sawm) dan pertanian (zirā‘ah) adalah bahwa sawm memerlukan adanya niat (qaṣd), karena jika ternak menggembala sendiri tanpa diarahkan, maka tidak berlaku hukum zakat atasnya.
Adapun zirā‘ah (pertanian) tidak memerlukan niat. Tidakkah engkau lihat bahwa jika seseorang memindahkan makanan untuk disimpan, lalu sebagian dari makanan itu tercecer dan tumbuh, kemudian menghasilkan lima wasaq berupa biji-bijian, maka tetap wajib atasnya zakat, meskipun ia tidak meniatkan untuk menanamnya?
فصل
: فلو كَانَتْ سَائِمَةً عِنْدَ الْمَالِكِ مَعْلُوفَةً عِنْدَ الْغَاصِبِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنْ لَا زَكَاةَ فِيهَا قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهَا غَيْرُ سَائِمَةٍ، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَقُولُ حُكْمُ سَوْمِهَا ثَابِتٌ وَإِنْ عَلَفَهَا الْغَاصِبُ، فَتَكُونُ الزَّكَاةُ عَلَى قَوْلَيْنِ: قَالَ كَمَنْ غَصَبَ فِضَّةً فَصَاغَهَا حُلِيًّا، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مُسْقِطًا لزكاتها عن الملاك، ولو كان المالك صَاغَهَا سَقَطَ عَنْهُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ زَكَاتُهَا، كَذَلِكَ إِذَا غَصَبَ سَائِمَةً فَعَلَفَهَا لَمْ تَسْقُطْ عَنِ الْمَالِكِ زَكَاتُهَا، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَكُنْ صياغة المالك كصياغة الغاصب فِي سُقُوطِ الزَّكَاةِ كَذَلِكَ عَلْفُهُ لَا يَكُونُ كَ ” عَلْفِ الْمَالِكِ ” فِي سُقُوطِ الزَّكَاةِ، وَهَذَا الْجَمْعُ غَيْرُ صَحِيحٍ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ عَلْفَ الْغَاصِبِ كَ ” عَلْفِ الْمَالِكِ ” لِأَنَّهُ طَائِعٌ فِيهِ وإنما هو عاص لغصبه وَصِيَاغَةُ الْغَاصِبِ بِخِلَافِ صِيَاغَةِ الْمَالِكِ، لِأَنَّهُ عَاصٍ فِي الصِّيَاغَةِ كَمَعْصِيَتِهِ فِي الْغَصْبِ، وَصِيَاغَةُ الْحُلِيِّ المحظور غير مسقط لِلزَّكَاةِ، فَلِذَلِكَ لَمْ تَكُنْ صِيَاغَةُ الْغَاصِبِ كَصِيَاغَةِ الْمَالِكِ، وَكَانَ عَلْفُ الْغَاصِبِ كَعَلْفِ الْمَالِكِ.
PASAL
Jika ternak itu digembalakan (sā’imah) di tangan pemiliknya, namun diberi makan (ma‘lūfah) di tangan perampasnya, maka menurut mazhab al-Syafi‘i tidak ada zakat atasnya menurut satu pendapat, karena statusnya menjadi tidak sā’imah.
Sebagian sahabat kami berpendapat: hukum saum-nya (digembalakan) tetap berlaku meskipun diberi makan oleh perampas, sehingga zakatnya kembali pada dua pendapat. Mereka menganalogikan dengan seseorang yang merampas perak lalu menempa perhiasan darinya: hal itu tidak menggugurkan zakat dari pemilik aslinya. Namun jika pemilik sendiri yang menempa, maka zakat gugur dalam salah satu dari dua pendapat. Begitu juga jika seseorang merampas ternak sā’imah lalu diberinya makan, maka zakat tidak gugur dari pemiliknya, karena sebagaimana menempa oleh pemilik berbeda hukumnya dengan menempa oleh perampas dalam menggugurkan zakat, begitu juga memberi makan oleh perampas tidak sama dengan memberi makan oleh pemilik dalam menggugurkan zakat.
Tetapi penyamaan ini tidak benar.
Perbedaannya: memberi makan oleh perampas sama seperti memberi makan oleh pemilik, karena ia melakukannya dengan kehendak (pilihan), hanya saja ia bermaksiat karena perampasannya. Sedangkan menempa perhiasan oleh perampas berbeda dengan menempa oleh pemilik, karena ia bermaksiat baik dalam perampasan maupun dalam penempaan, dan menempa perhiasan yang dilarang tidak menggugurkan zakat. Oleh sebab itu, penempaan oleh perampas tidak sama dengan penempaan oleh pemilik, sedangkan memberi makan oleh perampas sama dengan memberi makan oleh pemilik.
فَصْلٌ
: فأما إذا غصب المالك عن طلبه كَأَنْ أُسِرَ وَحُمِلَ إِلَى دَارِ الرُّومِ، ثُمَّ أُطْلِقَ بَعْدَ حَوْلٍ أَوْ أَحْوَالٍ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أن عَلَيْهِ زَكَاةَ مَالِهِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُخْرِجُ الزَّكَاةَ عَلَى قَوْلَيْنِ، كَمَا لَوْ غُصِبَ عَنْهُ مَالُهُ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهُ لَوْ غُصِبَ عَنْهُ مَالُهُ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى التَّصَرُّفِ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَلَا بِغَيْرِهِ، وَإِذَا غُصِبَ عَنْ مَالِهِ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى التَّصَرُّفِ فِيهِ بِنَفْسِهِ أَمْكَنَ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ مَنْ يَقُومُ مَقَامَهُ مِنْ وَكِيلٍ أَوْ حَاكِمٍ.
PASAL
Adapun jika pemilik terhalang dari mengurus hartanya, seperti ditawan lalu dibawa ke negeri Romawi, kemudian dibebaskan setelah satu haul atau beberapa haul, maka menurut mazhab al-Syafi‘i, ia wajib menunaikan zakat hartanya menurut satu pendapat saja.
Sebagian sahabat kami mengeluarkan masalah ini atas dua pendapat, sebagaimana jika hartanya yang dirampas, namun ini tidak benar.
Perbedaan antara keduanya adalah: jika hartanya yang dirampas, maka ia tidak mampu bertindak atasnya, baik dengan dirinya maupun dengan orang lain. Sedangkan jika ia yang ditawan dan terhalang dari hartanya, meskipun ia tidak bisa bertindak atasnya sendiri, namun memungkinkan bagi orang yang mewakilinya, seperti wakil atau hakim, untuk bertindak atas hartanya.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا وَكَانَ مع رجل أربعون شاة فضلت منه أو غصبت فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
أَحَدُهَا: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ أَصْلًا إِذَا قِيلَ: إِنَّ زَكَاةَ الْمَغْصُوبِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ زَكَاةُ السِّنِينَ كُلِّهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمَغْصُوبَ يُزَكَّى وَإِنَّهَا في الذمة وهو موسر بها.
والقول الثالث: عَلَيْهِ زَكَاةُ السَّنَةِ الْأُولَى إِذَا قِيلَ إِنَّ الزَّكَاةَ فِي الْعَيْنِ، فَلَوْ كَانَ مَعَهُ خَمْسُونَ شَاةً ضَلَّتْ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ.
فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ.
PASAL
Apabila telah jelas apa yang kami sebutkan, lalu ada seorang laki-laki memiliki empat puluh ekor kambing, kemudian sebagian darinya hilang atau dirampas, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama: tidak ada kewajiban apa pun atasnya, jika dikatakan bahwa zakat harta yang dirampas tidak wajib.
Kedua: wajib atasnya zakat untuk seluruh tahun, yaitu tiga ekor kambing, jika dikatakan bahwa harta yang dirampas wajib dizakati dan zakatnya dalam dzimmah, sementara ia dalam keadaan mampu.
Ketiga: wajib atasnya zakat tahun pertama saja, jika dikatakan bahwa zakat itu wajib pada ‘ayn (harta itu sendiri).
Maka seandainya ia memiliki lima puluh ekor kambing yang hilang selama tiga haul, menurut salah satu dari dua pendapat: tidak ada kewajiban apa pun atasnya.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ زَكَاةُ السِّنِينَ كُلِّهَا لِوُجُودِ النِّصَابِ بَعْدَ أَدَاءِ الزَّكَاةِ مِنْهَا فَلَوْ كَانَ مَعَهُ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ ضَلَّتْ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الضَّالَّ أَوِ الْمَغْصُوبَ لا زكاة فيه فلا وَإِنْ قِيلَ فِيهِ الزَّكَاةُ، فَعَلَيْهِ زَكَاةُ السِّنِينَ الثَّلَاثِ ثَلَاثُ شِيَاهٍ، إِذَا قِيلَ إِنَّ الزَّكَاةَ فِي الذِّمَّةِ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا فِي الْعَيْنِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ ذَكَرَهُمَا الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ.
أَحَدُهُمَا: شَاةٌ وَاحِدَةٌ لِلسَّنَةِ الْأُولَى لَا غَيْرَ عَلَى مَا مَضَى، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: ثَلَاثُ شِيَاهٍ لِلسِّنِينَ الثَّلَاثِ، لِأَنَّ فَرْضَهَا مِنْ غير جنسها فلم يتعلق وجوبه بغيرها، ثُمَّ عَلَى قِيَاسِ هَذَا يَكُونُ جَمِيعُ فُرُوعِهِ.
Dan pendapat yang kedua: wajib atasnya zakat untuk semua tahun, karena niṣāb tetap ada setelah ia mengeluarkan zakat darinya.
Maka jika seseorang memiliki lima ekor unta yang hilang selama tiga tahun:
– Jika dikatakan bahwa harta yang hilang atau dirampas tidak wajib zakat, maka tidak ada kewajiban atasnya.
– Namun jika dikatakan bahwa wajib zakat, maka ia wajib zakat tiga ekor kambing untuk tiga tahun, apabila dikatakan zakat itu wajib pada dhimmah (tanggungan).
Dan jika dikatakan bahwa zakat itu wajib pada ‘ayn al-māl (zat harta), maka ada dua pendapat yang disebutkan al-Syafi‘i dalam masalah ini:
Pertama: hanya wajib satu ekor kambing untuk tahun pertama saja, tidak lebih—sebagaimana telah lalu. Pendapat ini dipilih oleh al-Muzanī.
Kedua: wajib tiga ekor kambing untuk tiga tahun, karena kewajiban zakatnya bukan dari jenis unta itu sendiri, maka tidak terkait dengan selainnya. Kemudian menurut qiyās atas hal ini, semua cabang hukumnya berlaku demikian pula.
فصل
إذا كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً فَضَلَّتْ مِنْهَا شَاةٌ قَبْلَ الْحَوْلِ ثُمَّ عَادَتْ، فَعَلَى قَوْلِهِ الْقَدِيمِ حيث أسقط زكاة المال، يَسْتَأْنِفُ الْحَوْلَ مِنْ يَوْمِ عَوْدِهَا، وَعَلَى قَوْلِهِ الجديد حيث أوجب زكاة المال يَبْنِي عَلَى الْحَوْلِ الْمَاضِي، وَيُزَكِّي عِنْدَ آخِرِهِ، فَلَوْ كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً فَمَاتَ مِنْهَا في تضاعيف حولها شَاةٌ، فَإِنْ كَانَ مَوْتُ الشَّاةِ أَسْبَقَ مِنَ النِّتَاجِ اسْتَأْنَفَ بِهَا الْحَوْلَ مِنْ وَقْتِ مَا نَتَجَتْ، وَإِنْ كَانَ النِّتَاجُ أَسْبَقَ مِنْ مَوْتِ الشَّاةِ بَنَى عَلَى الْمَاضِي مِنْ حَوْلِهَا، وَإِنْ كَانَ مَوْتُ الشَّاةِ وَنِتَاجُ الْأُخْرَى فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ بَنَى عَلَى الْحَوْلِ وَزَكَّى لِأَنَّ النِّصَابَ لَمْ يُنْقَصْ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ.
PASAL
Apabila seseorang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu seekor darinya hilang sebelum sempurna haul kemudian kembali, maka menurut qaul qadīm —di mana zakat harta yang hilang gugur— ia harus memulai hitungan haul baru sejak hari kambing itu kembali. Sedangkan menurut qaul jadīd —di mana zakat harta yang hilang tetap wajib— ia tetap melanjutkan hitungan haul yang telah berjalan dan menunaikan zakat di akhir haul tersebut.
Jika seseorang memiliki empat puluh ekor kambing lalu salah satunya mati di tengah haul, maka:
- Jika kematian kambing itu lebih dahulu daripada kelahiran anak kambing, maka ia memulai hitungan haul baru sejak waktu lahirnya anak kambing itu.
- Jika kelahiran anak kambing lebih dahulu daripada kematian kambing, maka ia tetap melanjutkan hitungan haul yang telah berjalan.
- Jika kematian kambing dan kelahiran anak kambing terjadi dalam waktu yang bersamaan, maka ia tetap melanjutkan haul yang sedang berjalan dan menunaikan zakat, karena nishab tidak pernah berkurang sepanjang haul.
فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً مَضَى مِنْ حَوْلِهَا ستة أشهر ثم ضلت أَوْ غُصِبَتْ وَرُدَّتْ إِلَيْهِ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ زَكَاةَ الْمَغْصُوبِ وَاجِبَةٌ فَالزَّكَاةُ فِيهَا وَاجِبَةٌ، لِحُلُولِ حَوْلِهَا فِييَدِهِ وَيَدِ الْغَاصِبِ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ زَكَاةَ المغصوب غير واجبة فهي تبنى عَلَى السِّتَّةِ الْأَشْهُرِ الْمَاضِيَةِ قَبْلَ الْغَصْبِ أَوْ يَسْتَأْنِفُ الْحَوْلَ بَعْدَ رُجُوعِهَا مِنَ الْغَصْبِ عَلَى وجهين.
PASAL
Apabila seseorang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu telah berlalu enam bulan dari haulnya, kemudian kambing itu hilang atau dirampas, lalu dikembalikan lagi kepadanya setelah enam bulan, maka perinciannya sebagai berikut:
– Jika kita berpendapat bahwa zakat pada harta yang dirampas tetap wajib, maka zakatnya wajib, karena haulnya sempurna dengan kepemilikan enam bulan di tangannya dan enam bulan di tangan perampas.
– Namun jika kita berpendapat bahwa zakat pada harta yang dirampas tidak wajib, maka statusnya diperselisihkan: apakah perhitungannya dibangun atas enam bulan yang telah lalu sebelum perampasan, atau memulai haul yang baru setelah kambing itu kembali dari perampasan. Dalam hal ini ada dua wajah (pendapat).
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو ارتد فحال الحول على غنمه أوقفته فإن تاب أخذت صدقتها وإن قتل كانت فيئاً خمسها لأهل الخمس وأربعة أخماسها لأهل الْفَيْءِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا ارْتَدَّ رب المال عن الإسلام فله حالان:
أحدهما: أن يكون بعد الحول.
والثاني: أن يكون قَبْلَهُ فَإِنْ كَانَتْ رِدَّتُهُ بَعْدَ الْحَوْلِ فَالزَّكَاةُ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ، سَوَاءٌ مَاتَ أَوْ قُتِلَ، وَسَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ إِمْكَانَ الْأَدَاءِ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ أَوْ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ، وَإِنْ كَانَتْ رِدَّتُهُ قَبْلَ الْحَوْلِ، ثُمَّ بَقِيَ مُرْتَدًّا حَتَّى حَالَ الْحَوْلُ فَفِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ وَقَوْلٌ ثَالِثٌ مُخْتَلَفٌ فِي تَخْرِيجِهِ، وَكُلُّ ذَلِكَ بِنَاءً عَلَى مِلْكِهِ هَلْ يَكُونُ ثَابِتًا أَوْ مَوْقُوفًا، أَوْ زَائِلًا؟ فأحد الأقاويل وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ. إِنَّ مِلْكَهُ مَوْقُوفٌ، فَإِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ أُخِذَتْ مِنْهُ الزَّكَاةُ، وَإِنْ قُتِلَ مُرْتَدًّا أَوْ مَاتَ كَانَ مَالُهُ فَيْئًا لِأَهْلِ الْفَيْءِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ مِلْكَهُ ثَابِتٌ فَإِذَا حَالَ حَوْلُهُ أُخِذَتْ زَكَاتُهُ سَوَاءٌ تَابَ أَوْ قُتِلَ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang murtad lalu haul berlalu atas kambing-kambingnya, maka aku menangguhkannya. Jika ia bertobat, aku ambil zakatnya. Jika ia dibunuh, maka hartanya menjadi fay’: seperlimanya untuk ahli khumus dan empat perlima untuk ahli fay’.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan. Jika pemilik harta murtad dari Islam, maka ia memiliki dua keadaan:
Pertama: murtadnya terjadi setelah sempurnanya haul.
Kedua: murtadnya terjadi sebelum haul.
Jika ia murtad setelah haul, maka zakat wajib atasnya, baik ia mati atau dibunuh, dan baik dikatakan bahwa kemampuan untuk membayar adalah syarat tanggung jawab atau syarat kewajiban.
Dan jika ia murtad sebelum haul, lalu ia tetap dalam keadaan murtad hingga sempurnanya haul, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat manṣūṣ dan satu pendapat ketiga yang diperselisihkan dalam penurunannya (takhrīj), semuanya dibangun di atas status kepemilikan: apakah tetap, tergantung, atau hilang?
Salah satu pendapat — dan ini yang manṣūṣ dalam tempat ini — menyatakan bahwa kepemilikannya tergantung. Maka jika ia kembali kepada Islam, zakat diambil darinya. Dan jika ia dibunuh dalam keadaan murtad atau mati, maka hartanya menjadi fay’ bagi ahli fay’.
Pendapat kedua: kepemilikannya tetap. Maka jika haul sempurna, zakat diambil darinya, baik ia bertobat atau dibunuh.
فَأَمَّا الْقَوْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ زَوَالُ مِلْكِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِهِ، لِاخْتِلَافِهِمْ فِي تَأْوِيلِ لَفْظَةٍ ذَكَرَهَا الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ التَّدْبِيرِ فَقَالَ: لِأَنَّ مِلْكَهُ خَارِجٌ عَنْهُ فَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ يَقُولُ مَعْنَاهُ إِنَّهُ خَارِجٌ مِنْ تَصَرُّفِهِ وَيَمْتَنِعُ مِنْ تَخْرِيجِ قَوْلٍ ثَالِثٍ، وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَقُولُ: ” إِنَّ مَعْنَاهُ أَنَّهُ خَارِجٌ عَنْ مِلْكِهِ ” وَيُخَرِّجُ قَوْلًا ثَالِثًا إِنَّ مِلْكَهُ زَائِلٌ فَعَلَى هَذَا لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ وَقَدْ بَطَلَ حُكْمُ مَا مَضَى مِنَ الْحَوْلِ، فَإِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ وَتَابَ، اسْتَأْنَفَ حول وسنذكر توجيه الأقاويل في موضعه إن شاء الله.
Adapun pendapat ketiga, yaitu hilangnya kepemilikan (zawāl al-milk), maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam memahami satu lafaz yang disebut oleh al-Syafi‘i dalam Kitāb al-Tadbīr, yaitu ucapannya: “Karena kepemilikannya keluar darinya.”
Maka Abū al-‘Abbās (Ibn Surayj) berkata: Maknanya adalah bahwa kepemilikan itu keluar dari kekuasaan taṣarruf-nya (kemampuan bertindak), sehingga beliau menolak untuk mengeluarkan pendapat ketiga.
Sedangkan Abū Isḥāq al-Marwazī berkata: “Maknanya adalah bahwa kepemilikan itu keluar dari miliknya secara mutlak,” dan beliau mengeluarkan pendapat ketiga bahwa kepemilikannya telah hilang. Maka berdasarkan pendapat ini, tidak ada zakat atasnya, dan seluruh perhitungan haul yang telah berlalu gugur.
Jika kemudian ia kembali masuk Islam dan bertaubat, maka ia memulai kembali perhitungan haul dari awal.
Dan kami akan menyebutkan penjelasan dari berbagai pendapat ini pada tempatnya, insya Allah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو غل صدقته عذر إِنْ كَانَ الْإِمَامُ عَدْلًا إِلَّا أَنْ يَدَّعِيَ الجهالة ولا يعذر إِذَا لَمْ يَكُنِ الْإِمَامُ عَدْلًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَتَمَ الرَّجُلُ مَالَهُ أَوْ بَعْضَهُ عَنِ السَّاعِي وَأَخْفَاهُ عَنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ زَكَاتَهُ، ثُمَّ ظَهَرَ عَلَيْهِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْإِمَامِ مِنْ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَادِلًا فِي الزَّكَاةِ، أَوْ جَائِرًا فِيهَا، فَإِنْ كَانَ جَائِرًا، يَأْخُذُ فَوْقَ الْوَاجِبِ أَوْ يَأْخُذُ الواجب ويصرفه في غير مستحقيه فلا تعزيز عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ مَعْذُورٌ بِكَتْمِهِ وَإِنْ كَانَ عَادِلًافَلِرَبِّ الْمَالِ حَالَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَدَّعِيَ شُبْهَةً فَيَقُولَ لَمْ أَعْلَمْ بِتَحْرِيمِ كَتْمِهَا وَهُوَ حَدِيثُ الْعَهْدِ بِالْإِسْلَامِ فَهَذَا مَعْذُورٌ وَيُؤْخَذُ مِنْهُ قَدْرُ الواجب عليه من غير تعذير، والثاني: أن تكون له شبهة كَتْمِهَا وَمَنَعَ الْإِمَامَ مِنْهَا لِعِلْمِهِ بِوُجُوبِهَا فَيَكُونَ بِكَتْمِهَا عَاصِيًا، آثِمًا، وَيُعَزِّرُهُ الْإِمَامُ أَدَبًا وَزَجْرًا، ويأخذ منه زَكَاتِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menyembunyikan zakatnya, maka ia memiliki uzur jika imamnya adalah orang yang adil, kecuali jika ia mengaku tidak tahu. Dan tidak ada uzur baginya jika imamnya bukan orang yang adil.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan. Jika seseorang menyembunyikan hartanya atau sebagian hartanya dari petugas zakat (sā‘ī), lalu ia tidak menyerahkan zakatnya dan menyembunyikannya, kemudian perbuatannya diketahui, maka keadaan imam tidak lepas dari dua perkara:
Apakah imam tersebut adil dalam menunaikan zakat, atau ia zhalim.
Jika imam itu zhalim, mengambil lebih dari yang wajib, atau mengambil zakat yang wajib lalu menyalurkannya kepada yang tidak berhak, maka orang tersebut tidak dikenai ta‘zīr karena ia memiliki uzur dalam menyembunyikannya.
Namun jika imam itu adil, maka pemilik harta memiliki dua keadaan:
Pertama: ia mengaku memiliki syubhat, misalnya ia berkata: “Aku tidak tahu bahwa menyembunyikannya itu haram,” sedangkan ia adalah orang yang baru masuk Islam. Maka orang seperti ini diberi uzur dan zakat diambil darinya sesuai kadar yang wajib tanpa dikenai ta‘zīr.
Kedua: ia memiliki syubhat dalam menyembunyikannya, dan ia mencegah imam mengambilnya padahal ia tahu bahwa zakat itu wajib. Maka dengan menyembunyikannya, ia tergolong maksiat dan berdosa, dan imam boleh memberi ta‘zīr sebagai bentuk adab dan pencegahan, dan tetap mengambil zakat darinya tanpa tambahan.
وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ: تُؤْخَذُ مِنْهُ الزَّكَاةُ وَشَطْرُ مَالِهِ تَعَلُّقًا بِرِوَايَةِ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَنْ غَلَّ صَدَقَتَهُ فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةٌ مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ فِيهَا نَصِيبٌ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ “.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” لا ثنيا فِي الصَّدَقَةِ ” أَيْ: لَا تُؤْخَذُ فِي السَّنَةِ مَرَّتَيْنِ.
فَأَمَّا تَعَلُّقُهُمْ بِالْحَدِيثِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِنْ صَحَّ إِسْنَادُهُ وَثَبَتَ نَقْلُهُ عَمِلَ عَلَيْهِ وصبر إِلَيْهِ، لِأَنَّ رِوَايَةَ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ ضَعِيفَةٌ.
وقال أبو العباس بَلْ مَعْنَاهُ إِنْ صَحَّ ثُبُوتُ حُكْمِهِ وَأَنَّهُ غَيْرُ مَنْسُوخٍ وَلَمْ يَكُنْ أَصْلٌ يَدْفَعُهُ وَلَا إِجْمَاعٌ يُخَالِفُهُ عُمِلَ عَلَيْهِ، وَأُصُولُ الشَّرْعِ تَدْفَعُهُ وإجماع الصحابة على ترك العمل به فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ مَعَ صِحَّةِ إِسْنَادِهِ حُجَّةٌ والله أعلم.
Mālik dan Aḥmad berpendapat bahwa zakat tetap diambil dari orang tersebut beserta separuh hartanya, dengan berdalil pada riwayat dari Bahz bin Ḥakīm, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa menahan zakatnya, maka kami akan mengambil zakat itu dan separuh hartanya. Ini adalah ketetapan yang tegas dari ketetapan-ketetapan Rabb kami. Tidak ada bagian bagi keluarga Muhammad darinya.”
Namun ini adalah kekeliruan, karena sabda Nabi SAW:
“Tidak ada hak atas harta selain zakat.”
Dan telah diriwayatkan pula dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Tidak ada pengambilan zakat dua kali dalam satu tahun,”
maksudnya: tidak diambil dua kali dalam satu tahun yang sama.
Adapun pendalilan mereka dengan hadis tersebut, al-Syafi‘i berkata: “Jika sanadnya sahih dan jalur periwayatannya terbukti, maka diamalkan dan dirujuk padanya,” namun riwayat Bahz bin Ḥakīm tergolong ḍa‘īf (lemah).
Abū al-‘Abbās (Ibn Surayj) berkata: Bahkan yang dimaksud adalah: jika ketetapan hukumnya sahih, tidak dimansukh, dan tidak ada dalil lain yang menolaknya serta tidak ada ijma‘ yang menyelisihinya, maka ia diamalkan. Namun, pokok-pokok syariat menolaknya, dan ijma‘ para sahabat atas tidak mengamalkannya menunjukkan bahwa meskipun sanadnya sahih, hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.
Dan Allah-lah yang lebih mengetahui.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ ضَرَبَتْ غَنَمَهُ فُحُولُ الظِّبَاءِ، لَمْ يَكُنْ حكم أولادها كحكم الْغَنَمِ، كَمَا لَمْ يَكُنْ لِلْبَغْلِ فِي السُّهْمَانِ حُكْمُ الْخَيْلِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الظِّبَاءُ وَجَمِيعُ الصَّيْدِ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا إِجْمَاعًا، لِاسْتِوَاءِ الْأَغْنِيَاءِ وَالْفُقَرَاءِ فِي تَمَلُّكِهَا، وَالْقُدْرَةِ عَلَيْهَا وَأَمَّا الْمُتَوَلَّدُ مِنْ ظِبَاءٍ وَغَنَمٍ، أَوْ مِنْ بَقَرِ وَحْشٍ وَأَهْلِيَّةٍ فَإِنْ كَانَتِ الْأُمَّهَاتُ ظِبَاءً، وَالْفُحُولُ غَنَمًا فَلَا زَكَاةَ فِيهَا إِجْمَاعًا، وَإِنْ كَانَتِ الْأُمَّهَاتُ غَنَمًا وَالْفُحُولُ ظِبَاءً فَلَا زَكَاةَ فِيهَا أَيْضًا، عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ، وَيَكُونُ حُكْمُهَا حُكْمَ الظِّبَاءِ فِي الضَّحَايَا وَالْجَزَاءِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: حُكْمُهَا حُكْمُ الْغَنَمِ تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ، وَتَجُوزُ فِيهَا الضَّحَايَا، وَلَا يَجِبُفِي قَتْلِهَا الْجَزَاءُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْوَلَدَ لَمَّا كَانَ تَابِعًا لِأُمِّهِ فِي الْمِلْكِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لِأُمِّهِ فِي الزَّكَاةِ، أَلَا تَرَى أن ولد الأمة ملك لسيدها، ولو نَزَا فَحْلُ رَجُلٍ عَلَى شَاةٍ لِغَيْرِهِ كَانَ الْوَلَدُ لِصَاحِبِ الشَّاةِ دُونَ الْفَحْلِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika kambing dikawini oleh pejantan kijang, maka hukum anak-anaknya tidak seperti hukum kambing, sebagaimana bagal tidak memiliki hukum kuda dalam pembagian rampasan perang (suhmān).”
Al-Māwardī berkata: Adapun kijang dan seluruh hewan buruan, maka tidak ada zakat padanya secara ijma‘, karena orang kaya dan fakir sama-sama bisa memilikinya dan mampu memperolehnya.
Adapun hewan yang lahir dari perkawinan antara kijang dan kambing, atau antara sapi liar dan sapi jinak:
Jika induknya adalah kijang dan pejantannya kambing, maka tidak ada zakat atas anaknya secara ijma‘.
Dan jika induknya adalah kambing dan pejantannya kijang, maka menurut mazhab al-Syafi‘i dan Mālik, juga tidak ada zakat atas anaknya, dan hukum anak tersebut seperti kijang dalam masalah kurban dan denda berburu (jazā’).
Abū Ḥanīfah berkata: Hukum anak tersebut seperti kambing. Maka wajib zakat atasnya, boleh dijadikan kurban, dan tidak wajib denda jika dibunuh. Ia berdalil bahwa anak itu mengikuti induknya dalam kepemilikan, maka seharusnya ia juga mengikuti induknya dalam kewajiban zakat. Bukankah kamu melihat bahwa anak dari budak perempuan adalah milik tuannya? Dan jika pejantan milik seseorang mengawini kambing milik orang lain, maka anaknya menjadi milik pemilik kambing, bukan milik pemilik pejantan.
قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَوْ ضَرَبَتْ فُحُولُ الْغَنَمِ الْمَعْلُوفَةِ إِنَاثَ الْغَنَمِ السَّائِمَةِ وَجَبَتِ الزَّكَاةُ فِي أَوْلَادِهَا تَبَعًا لِأُمَّهَاتِهَا، وَلَمْ يَكُنْ سُقُوطُ الزَّكَاةِ فِي الْآبَاءِ بِمُسْقِطٍ لِلزَّكَاةِ فِي الْأَوْلَادِ، كَذَلِكَ إِذَا كَانَ الْفُحُولُ ظِبَاءً وَالْأُمَّهَاتُ غَنَمًا، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ الْجَزَاءُ فِيمَا تَوَلَّدَ مِمَّا فِيهِ الْجَزَاءُ وَمَا لا جزاء فيه ك ” السبع ” الْمُتَوَلَّدِ مِنَ الذِّئْبِ وَالضَّبُعِ، تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْجَزَاءِ، اقْتَضَى أَنْ تَجِبَ الزَّكَاةُ فِيمَا تَوَلَّدَ مِمَّا فِيهِ الزَّكَاةُ وَمَا لَا زَكَاةَ فِيهِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الزَّكَاةِ.
Ia berkata: Karena apabila kambing jantan yang diberi makan (ma’lūfah) mengawini kambing betina yang digembalakan (sā’imah), maka zakat wajib pada anak-anaknya mengikuti status induknya, dan tidaklah gugurnya zakat dari pihak bapak menyebabkan gugurnya zakat pada anak, maka demikian pula halnya jika pejantan itu adalah kijang (ẓibā’) dan induknya adalah kambing.
Mereka berkata: Dan karena ketika jazā’ (denda perusakan hewan buruan) diwajibkan atas sesuatu yang lahir dari campuran antara yang terkena denda dan yang tidak terkena denda—seperti hewan buas hasil kawin silang antara serigala dan hyena (al-sabu‘ al-mutawallid min al-dhi’b wa al-ḍab‘)—maka hukum jazā’ diberlakukan dengan dominasi terhadap yang terkena denda, maka ini menuntut bahwa zakat juga wajib pada sesuatu yang lahir dari campuran antara yang wajib zakat dan yang tidak wajib zakat, dengan mengedepankan hukum zakat.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ: هُوَ أنه متولد من خسيس لَيْسَ فِي أَحَدِهِمَا زَكَاةٌ بِحَالٍ، فَوَجَبَ أَنْ لا تكون فِيهِ زَكَاةٌ، أَصْلُهُ إِذَا كَانَتِ الْأُمَّهَاتُ ظِبَاءً وَالْفُحُولُ غَنَمًا، وَلَا يَدْخُلُ عَلَى ذَلِكَ الْمُتَوَلَّدُ مِنَ السَّائِمَةِ وَالْمَعْلُوفَةِ، لِأَنَّ الْمَعْلُوفَ جِنْسٌ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَلِأَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ الْإِيجَابُ وَالْإِسْقَاطُ غَلَبَ حُكْمُ الْإِسْقَاطِ، كَمَا لَوْ عَلَفَهَا بَعْضَ الْحَوْلِ وَسَامَهَا الْبَعْضَ، وَلِأَنَّ الْخَيْلَ يُسْهَمُ لَهَا بِالْإِجْمَاعِ، وَتَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ عِنْدَ أبي حنيفة، وَالْحَمِيرُ لَا يُسْهَمُ لَهَا وَلَا زَكَاةَ فِيهَا، ثُمَّ الْبَغْلُ لَا يُسْهَمُ لَهُ وَلَا زَكَاةَ فِيهِ، اعْتِبَارًا بِحُكْمِ أَبِيهِ فِي الْإِسْقَاطِ، كَذَلِكَ فِيمَا تَوَلَّدَ مِنْ ظِبَاءٍ وَغَنَمٍ، وَبِهَذَا يَسْقُطُ جَمِيعُ مَا اعْتَبَرُوهُ مِنْ لُحُوقِ الْوَلَدِ بِحُكْمِ أُمِّهِ، ثُمَّ قَدْ يَتْبَعُ الْوَلَدُ أَبَاهُ أَيْضًا دون أمه في النسب، وقد يجمعه فِي الْإِسْلَامِ فَلَمْ يَكُنِ اتِّبَاعُ الْوَلَدِ لِأُمِّهِ فِي الْمِلْكِ دَالًّا عَلَى اتِّبَاعِهِ لَهَا فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهَا، وَأَمَّا مَا تَوَلَّدَ بَيْنَ مَعْلُوفَةٍ وَسَائِمَةٍ فَلِأَنَّ الْمَعْلُوفَةَ مِنْ جِنْسٍ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَالظِّبَاءَ لَا زَكَاةَ فِي شَيْءٍ مِنْ جِنْسِهَا، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ لَمَّا غَلَبَ فِي الْجَزَاءِ الْإِثْبَاتُ دُونَ الْإِسْقَاطِ كَذَلِكَ فِي الزَّكَاةِ، فَبَاطِلٌ بِالْبَغْلِ غَلَبَ فِيهِ الْإِسْقَاطُ دُونَ الْإِثْبَاتِ، وذكر في الدرس جواباً آخر وإن ألحقناه بالصيد في وجوب الجزاء لقتله ألحقناه أيضاً في تحريم أَكْلِهِ فَوَقَفَ الدَّلِيلُ فِيهِ ثُمَّ لَا يَصِحُّ اعْتِبَارُ الزَّكَاةِ بِالْجَزَاءِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُمَا مَعْنًى جامع وبالله التوفيق.
Dan dalil atas benarnya pendapat kami adalah bahwa hewan itu lahir dari dua induk yang rendah kedudukannya, yang mana keduanya tidak terkena kewajiban zakat dalam keadaan apa pun. Maka sudah semestinya anak hasil perkawinan keduanya juga tidak dikenai zakat.
Dalil asalnya: jika induknya adalah kijang dan pejantannya kambing, maka tidak ada zakat atasnya.
Dan kasus ini tidak bisa disamakan dengan hewan hasil kawin antara sā’imah (hewan yang digembalakan) dan ma‘lūfah (hewan yang diberi makan), karena ma‘lūfah termasuk jenis hewan yang wajib zakat, dan apabila berkumpul antara yang mewajibkan dan yang menggugurkan, maka hukum penggugur yang didahulukan. Seperti jika hewan itu diberi makan pada sebagian tahun dan digembalakan pada sebagian yang lain, maka gugurlah kewajiban zakat.
Begitu juga, kuda mendapatkan bagian rampasan perang (suhmān) secara ijma‘ dan menurut Abū Ḥanīfah wajib zakat atasnya. Sedangkan keledai tidak mendapat bagian rampasan dan tidak pula ada zakat padanya. Maka bagal pun tidak mendapat bagian rampasan dan tidak pula dikenai zakat, mengikuti hukum bapaknya (keledai) dalam menggugurkan zakat. Maka begitu pula halnya dengan hewan hasil kawin antara kijang dan kambing.
Dengan ini gugurlah semua dalil yang mereka jadikan dasar untuk mengaitkan anak dengan hukum induknya, sebab terkadang anak mengikuti bapaknya dalam nasab, bukan ibunya. Bahkan dalam Islam, keduanya bisa berbeda status. Maka tidak sah menjadikan kepemilikan anak yang mengikuti ibu sebagai dalil bahwa ia juga mengikuti ibu dalam seluruh hukum lainnya.
Adapun anak dari kawin silang antara ma‘lūfah dan sā’imah, maka ma‘lūfah masih termasuk jenis hewan yang dikenai zakat. Sedangkan kijang sama sekali tidak ada zakat pada jenisnya.
Adapun alasan mereka bahwa dalam denda berburu (jazā’), ketentuan yang berlaku adalah penetapan (kewajiban), bukan pengguguran, maka semestinya dalam zakat pun demikian — ini adalah batil. Sebab dalam kasus bagal, yang berlaku justru pengguguran, bukan penetapan.
Dan telah disebutkan dalam pelajaran bahwa jika kita menyamakan anak hasil kawin tersebut dengan hewan buruan dalam kewajiban membayar denda ketika dibunuh, maka semestinya juga kita menyamakannya dalam keharaman memakannya. Maka dalilnya menjadi berhenti (tidak bisa dilanjutkan ke hukum zakat).
Oleh karena itu, tidak sah menjadikan zakat sebagai analogi dari denda berburu (jazā’), karena tidak ada makna yang menghubungkan antara keduanya. Wa billāh al-tawfīq.
قال الشافعي رضي الله عنه: جاء الحديث ” لا يجمع بين مفترق وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ وَمَا كَانَ مِنْ خَلِيطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ “.
قال الماوردي: وهذا صحيح الملكة من المواشي ضربان: (الأول) خلطة أعيان. (والثاني) وخلطه أَوْصَافٍ، وَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ، إِذَا كَانَتْ شَرَائِطُ الْخُلْطَةِ فِيهِمَا مَوْجُودَةً، عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، وَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ هَلْ يُرَاعَى فِي زَكَاتِهَا الْمَالُ أَوِ الْمُلَّاكُ، عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْمُرَاعَى فِيهِ الْمَالُ دُونَ الْمُلَّاكِ، فَإِذَا كَانَتْ أَرْبَعُونَ مِنَ الْغَنَمِ بَيْنَ خَلِيطَيْنِ أَوْ خُلَطَاءَ زَكَّوْا زَكَاةَ الْوَاحِدِ، وَكَانَ على جماعتهم شاة، ولو كان مائة وعشرين شاة بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَنْفُسٍ، كَانَ عَلَيْهِمْ شَاةٌ، عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُلُثُهَا، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ، والليث بن سعد، والأوزاعي، وأحمد، وإسحاق.
Bab Zakat Para Pemilik Ternak yang Bercampur (Khulṭā’)
Imam al-Syafi‘i RA berkata: Telah datang hadis: “Tidak boleh menggabungkan yang terpisah dan tidak boleh memisahkan yang tergabung karena takut terkena zakat. Dan jika ada dua orang yang bercampur kepemilikannya, maka keduanya berbagi zakat secara merata di antara mereka.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Kepemilikan atas ternak itu ada dua jenis:
– Pertama: Khuḷṭat al-a‘yān (campuran pada benda secara langsung),
– Kedua: Khuḷṭat al-awṣāf (campuran pada sifat-sifat kepemilikan).
Dan hukum dalam kedua jenis ini adalah sama, apabila syarat-syarat campuran (khuḷṭah) terpenuhi, sebagaimana akan kami sebutkan nanti.
Para fuqahā’ berbeda pendapat dalam hal apakah yang menjadi pertimbangan dalam zakat ini adalah harta atau para pemiliknya, dengan tiga mazhab:
Pertama: dan inilah mazhab al-Syafi‘i, bahwa yang diperhatikan adalah harta, bukan para pemiliknya. Maka jika terdapat empat puluh ekor kambing yang dimiliki oleh dua orang yang bercampur atau lebih, maka mereka mengeluarkan zakat seperti satu orang pemilik, yaitu seekor kambing untuk seluruh kelompok.
Jika ada seratus dua puluh ekor kambing yang dimiliki oleh tiga orang, maka hanya wajib seekor kambing saja, dan setiap orang dari mereka menanggung sepertiganya.
Pendapat ini juga diikuti oleh ‘Aṭā’, al-Layth bin Sa‘d, al-Awzā‘ī, Aḥmad, dan Isḥāq.
المذهب الثَّانِي: قَالَهُ أبو حنيفة وَالثَّوْرِيُّ: أَنَّ الْمُرَاعَى الْمُلَّاكُ، وَأَنَّ الْخَلِيطَيْنِ يُزَكِّيَانِ زَكَاةَ الِاثْنَيْنِ، فَإِذَا كَانَ بَيْنَهُمَا أَرْبَعُونَ مِنَ الْغَنَمِ فَلَا زَكَاةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّ مَالَهُ دُونَ النِّصَابِ ولو كان ثَمَانُونَ شَاةً وَجَبَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ شاة، ولو كانت مائة وعشرين بَيْنَ ثَلَاثَةٍ وَجَبَ عَلَيْهِمْ ثَلَاثُ شِيَاهٍ، وَلَيْسَ لخلطهم تَأْثِيرٌ فِي الزَّكَاةِ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: قَالَهُ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْخَلِيطَيْنِ نِصَابٌ زَكَّيَا زَكَاةَ الْوَاحِدِ، كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ، وَإِنْ كَانَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَقَلُّ مِنْ نِصَابٍ فَحُكْمُهُ حكم الانفراد كقول أبي حنيفة كان يَقُولُ فِي خَلِيطَيْنِ بَيْنَهُمَا أَرْبَعُونَ شَاةً لَا زَكَاةَ عَلَيْهِمَا، وَلَوْ كَانَ بَيْنَهُمَا ثَمَانُونَ كَانَ عَلَيْهِمَا شَاةٌ.
Mazhab kedua: Dikatakan oleh Abū Ḥanīfah dan al-Tsaurī, bahwa yang diperhitungkan adalah individu pemilik harta. Dua orang yang bersekutu (khalīṭān) menunaikan zakat masing-masing secara terpisah. Maka jika keduanya memiliki empat puluh ekor kambing secara bersama, tidak ada zakat atas masing-masing karena harta mereka di bawah niṣāb. Namun jika jumlahnya delapan puluh ekor, maka masing-masing wajib mengeluarkan seekor kambing. Dan jika jumlahnya seratus dua puluh ekor dibagi antara tiga orang, maka wajib atas mereka tiga ekor kambing. Maka, percampuran mereka tidak berpengaruh dalam kewajiban zakat.
Mazhab ketiga: Dikatakan oleh Mālik, bahwa jika masing-masing dari dua orang yang bersekutu memiliki niṣāb, maka mereka menunaikan zakat seperti satu orang, sebagaimana pendapat al-Syāfi‘ī. Namun jika masing-masing dari mereka memiliki kurang dari niṣāb, maka hukumnya seperti orang yang berdiri sendiri, sebagaimana pendapat Abū Ḥanīfah. Ia berkata dalam kasus dua orang bersekutu yang memiliki empat puluh ekor kambing: tidak ada zakat atas keduanya. Tetapi jika mereka memiliki delapan puluh, maka wajib atas mereka seekor kambing.
فَصْلٌ
وَاسْتَدَلَّ مَنْ نَصَرَ قَوْلَ أبي حنيفة بِرِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا وَلَّاهُ الْبَحْرَيْنِ كَتَبَ لَهُ كِتَابَ الصَّدَقَاتِ، وَقَالَ فِيهِ إِذَا لَمْ تَبْلُغْ سَائِمَةُ الرَّجُلِ أَرْبَعِينَ فَلَا شَيْءَ فِيهَا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْخُلْطَةَ لَا تَأْثِيرَ لَهَا، وما رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” لَا خِلَاطَ وَلَا وِرَاطَ ” يُرِيدُ أَنَّ الْخُلْطَةَ فِي الْمَوَاشِي لَا تَأْثِيرَ لَهَا فِي الزَّكَوَاتِ، وَلِأَنَّ مِلْكَكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نَاقِصٌ عَنِ النِّصَابِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَهُ زَكَاةٌ كَالْمُنْفَرِدِ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ بِالْحَوْلِ وَالنِّصَابِ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْخُلْطَةِ تَأْثِيرٌ فِي الْحَوْلِ وَوَجَبَ اعْتِبَارُ حَوْلِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى انْفِرَادِهِ، وَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا تَأْثِيرٌ فِي النِّصَابِ، وَيُعْتَبَرُ نِصَابُ كل واحد منهما، على انفراد، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ شَرْطَيِ الزَّكَاةِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَغَيَّرَ بِالْخُلْطَةِ كَالْحَوْلِ، وَلِأَنَّ النِّصَابَ الَّذِي يُقْطَعُ فِيهِ السَّارِقُ مُقَدَّرٌ كَمَا أَنَّ النِّصَابَ الَّذِي تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ مُقَدَّرٌ، فَلَمَّا كَانَ الشُّرَكَاءُ فِي سَرِقَةِ نِصَابٍ لَا قَطْعَ عَلَيْهِمْ حَتَّى تَبْلُغَ سَرِقَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصَابًا، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْخُلَطَاءُ فِي الْمَالِ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِمْ حَتَّى تَبْلُغَ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصَابًا، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ حَقٌّ تَعَلَّقَ بِقَدْرٍ مِنَ الْمَالِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ حُكْمُ الِاشْتِرَاكِ وَالِانْفِرَادِ كَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ.
PASAL
Orang yang membela pendapat Abū Ḥanīfah berdalil dengan riwayat Anas bin Mālik bahwa Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq RA ketika mengutusnya ke Baḥrain, beliau menulis untuknya kitab tentang zakat, dan di dalamnya disebutkan: “Jika hewan ternak (sāimah) milik seseorang tidak mencapai empat puluh, maka tidak ada zakat padanya, kecuali jika pemiliknya menghendaki.” Ini menunjukkan bahwa khalṭah tidak berpengaruh. Adapun riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “lā khilāṭa wa lā wirāṭa” – maksudnya bahwa khalṭah pada hewan ternak tidak berpengaruh dalam zakat.
Juga karena kepemilikan masing-masing dari dua orang itu tidak mencapai niṣāb, maka tidak wajib atas mereka zakat sebagaimana orang yang memiliki sendiri. Dan karena zakat diwajibkan dengan ḥaul dan niṣāb, maka ketika khalṭah tidak berpengaruh terhadap ḥaul, dan ḥaul setiap orang dari mereka harus diperhitungkan secara terpisah, maka wajib pula bahwa khalṭah tidak berpengaruh terhadap niṣāb, dan niṣāb masing-masing dihitung secara terpisah.
Perinciannya secara qiyās adalah bahwa niṣāb adalah salah satu dari dua syarat zakat, maka tidak boleh berubah karena khalṭah, sebagaimana ḥaul. Dan karena niṣāb yang menjadi batas potong bagi pencuri adalah sesuatu yang ditentukan, sebagaimana niṣāb yang menjadi syarat wajib zakat juga ditentukan, maka sebagaimana para pencuri yang berserikat dalam mencuri niṣāb tidak dikenakan potong sampai nilai curian masing-masing mencapai niṣāb, maka wajib pula bahwa orang-orang yang berserikat dalam kepemilikan harta tidak terkena zakat sampai bagian masing-masing dari mereka mencapai niṣāb.
Dan perinciannya secara qiyās adalah bahwa zakat adalah hak yang berkaitan dengan kadar tertentu dari harta, maka harus disamakan hukum antara berserikat dan sendirian, sebagaimana hukum potong tangan dalam pencurian.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في أربعين شاة شاة، وفي خمس من الْإِبِلِ شاةٌ، وَفِي ثَلَاثِينَ بقرةٍ تبيعٌ، وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِمَالِكٍ أَوْ مُلَّاكٍ وَرَوَى الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ، وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُفْتَرِقٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ، وَمَا كَانَ مِنْ خليطين فإنهما يتراجعان بينهما بالسوية “.
وفيه تأويلان:
Dan dalil atas benarnya pendapat kami adalah keumuman sabda Nabi SAW:
“Pada empat puluh ekor kambing, (wajib) satu ekor kambing, dan pada lima ekor unta satu kambing, dan pada tiga puluh ekor sapi seekor tabī‘,”
tanpa membedakan apakah itu milik satu orang atau beberapa orang pemilik.
Dan al-Zuhrī meriwayatkan dari Sālim dari ayahnya, ‘Abdullāh ibn ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak boleh dipisah harta yang terkumpul, dan tidak boleh digabungkan harta yang terpisah karena takut dikenai zakat. Dan dua orang yang berserikat (bercampur hartanya) maka keduanya saling mengembalikan secara adil di antara mereka.”
Dalam hadits ini terdapat dua takwil:
أحدهما: قوله ” لا يجمع بين مفترق، وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ ” أَيْ: لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْأَمْلَاكِ الْمُتَفَرِّقَةِ، وَهُوَ أَنْ يَكُونُوا ثَلَاثَةً لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَرْبَعُونَ مُفْرَدَةٌ، فَلَا تُجْمَعُ لِيُؤْخَذَ مِنْهَا شَاةٌ، وَتَكُونُ عَلَى تَفْرِيقِهَا لِيُؤْخَذَ مِنْهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ، وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ الْأَمْلَاكِ الْمُجْتَمِعَةِ، وَهُوَ أَنْ يَكُونُوا ثَلَاثَةً بَيْنَهُمْ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ مُجْتَمِعَةٌ، فَلَا تُفَرَّقُ لِيُؤْخَذَ مِنْهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ وَتَكُونُ عَلَى اجْتِمَاعِهَا لِيُؤْخَذَ مِنْهَا شَاةٌ، فَيُحْمَلُ قَوْلُهُ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ عَلَى الْأَمْلَاكِ، وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ عَلَى الْأَمْلَاكِ، وَقَالَ أبو حنيفة أَحْمِلُ قَوْلَهُ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ عَلَى الْأَمْلَاكِ كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ، وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ عَلَى الْمِلْكِ الْوَاحِدِ، لَا عَلَى الْأَمْلَاكِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ لِرَجُلٍ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ شَاةً، فَلَا تُفَرَّقُ لِيُؤْخَذَ منها ثَلَاثُ شِيَاهٍ، وَتَكُونُ عَلَى اجْتِمَاعِهَا فِي الْمَالِ لِيُؤْخَذَ مِنْهَا شَاةٌ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Salah satu pendapat: Sabda Nabi SAW: “lā yujma‘u bayna muftariq wa lā yufarraqu bayna mujtami‘ khashyata aṣ-ṣadaqah” maksudnya: tidak boleh digabungkan kepemilikan yang terpisah, yaitu tiga orang yang masing-masing memiliki empat puluh ekor (kambing) secara terpisah, lalu digabung agar hanya diambil satu ekor kambing zakat darinya. Dan juga tidak boleh dipisah kepemilikan yang terkumpul, yaitu tiga orang yang memiliki seratus dua puluh ekor secara bersama, lalu dipisah agar diambil tiga ekor kambing zakat darinya.
Maka sabda Nabi SAW “tidak boleh digabung yang terpisah” dimaknai tentang kepemilikan, dan “tidak boleh dipisah yang terkumpul” juga tentang kepemilikan.
Adapun Abū Ḥanīfah mengatakan: aku memahami sabda Nabi SAW “tidak boleh digabung yang terpisah” sebagai berkaitan dengan kepemilikan, sebagaimana pendapat al-Syāfi‘ī. Tapi sabda “tidak boleh dipisah yang terkumpul” aku pahami berkaitan dengan milik tunggal, bukan milik bersama. Yaitu, seseorang memiliki seratus dua puluh ekor kambing, maka tidak boleh ia pisah-pisahkan agar diambil tiga ekor kambing (zakat), melainkan tetap dihitung sebagai satu kepemilikan sehingga hanya diambil satu ekor kambing.
Dan ini adalah pemahaman yang rusak dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذَا مَعْلُومٌ بِقَوْلِهِ ” فِي أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ إِلَى مِائَةٍ وَعِشْرِينَ ” فَكَانَ حَمْلُ الْحَدِيثِ عَلَى اسْتِفَادَةِ حُكْمٍ آخَرَ أَوْلَى.
وَالثَّانِي: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ تَفْرِيقٍ، مَا نَهَى عَنْ جَمْعِهِ، فَلَمَّا كَانَ نَهْيُ الْجَمْعِ فِي الْأَمْلَاكِ لَا في الملك، وجب أن يكون نهي التَّفْرِيقِ فِي الْأَمْلَاكِ لَا فِي الْمِلْكِ، فَصَحَّتْ هذه الدلالة من الخبر.
Pertama: Bahwa hal ini telah diketahui dari sabda Nabi SAW: “Pada empat puluh ekor kambing (wajib) satu ekor kambing hingga seratus dua puluh.” Maka membawa hadis tersebut kepada pemahaman hukum lain adalah lebih utama.
Kedua: Bahwa Nabi SAW melarang tindakan memisahkan, namun tidak melarang penggabungan. Maka ketika larangan penggabungan itu berlaku pada bentuk kepemilikan (al-amlāk), bukan pada kepemilikan hakikatnya (al-milk), maka wajib dipahami bahwa larangan memisahkan pun berlaku pada bentuk kepemilikan (al-amlāk), bukan pada kepemilikan hakikat (al-milk).
Dengan demikian, dalil ini dari hadis tersebut adalah sah.
والدلالة الثانية: قَوْلُهُ ” وَمَا كَانَ مِنْ خَلِيطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ، وَالتَّرَاجُعُ يَكُونُ فِي خُلْطَةِ الْأَوْصَافِ دُونَ الْأَعْيَانِ، يُؤَيِّدُ ذَلِكَ وَيُؤَكِّدُهُ، رِوَايَةُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” وَالْخَلِيطَانِ مَا اجْتَمَعَا فِي الْحَوْضِ، وَالسَّقْيِ، وَالرَّعْيِ ” وَرُوِيَ: ” وَالْفُحُولِ ” وَلِأَنَّهُ مِلْكٌ لَوِ انْفَرَدَ بِهِ أَحَدُهُمَا وَجَبَتْ زَكَاتُهُ، فَجَازَ إِذَا اشْتَرَكَا فِيهِ أَنْ تَجِبَ زَكَاتُهُ لِوُجُودِ النِّصَابِ كَمَا أَنَّ كُلَّ مَالٍ سَقَطَتْ عَنْهُ الزَّكَاةُ لَا لِنُقْصَانِ النِّصَابِ لَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ بِوُجُودِ النِّصَابِ، كَمَالِ الذِّمِّيِّ وَالْمُكَاتَبِ، وَلِأَنَّ إِيجَابَ الزَّكَاةِ يَفْتَقِرُ إِلَى مَالِكٍ وَمَمْلُوكٍ، فَلَمَّا وَجَبَتِ الزَّكَاةُ وَإِنِ افْتَرَقَ الْمِلْكُ اقْتَضَى أَنْ تَجِبَ الزَّكَاةُ وإن افترق الملاك وأما الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” وَإِذَا لَمْ تَبْلُغْ سَائِمَةُ الرَّجُلِ أَرْبَعِينَ فَلَا شَيْءَ فِيهَا ” فَهُوَ دَلِيلُنَا: لِأَنَّهُ قَالَ الرَّجُلِ فَأَدْخَلَ الْأَلِفَ وَاللَّامَ الدَّاخِلَةَ لِلْجِنْسِ أَوْ لِلْمَعْهُودِ، فَلَمْ يَصِحَّ حَمْلُهَا عَلَى المعهود لفقده، فكانت محمولة على الجنس، كَأَنَّهُ قَالَ وَإِذَا لَمْ تَبْلُغْ سَائِمَةَ الرِّجَالِ أَرْبَعِينَ فَلَا شَيْءَ فِيهَا، وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” لَا خِلَاطَ وَلَا وِرَاطَ ” فَهَذَا حَدِيثٌ ذَكَرَهُ أَبُو عُبَيْدٍ فِي ” غَرِيبِ الْحَدِيثِ ” أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَتَبَ لِوَائِلِ بْنِ حُجْرٍ الْحَضْرَمِيِّ، وَلِقَوْمِهِ: ” مِنْ محمد رسول الله إِلَى الْأَقْيَالِ الْعَبَاهِلَةِ مِنْ أَهْلِ حَضْرَمَوْتَ بِإِقَامِ الصلاة، وإيتاء الزكاة، على البيعة شاة واليتيمة لصاحبها، وفي السيوب الخمس لَا خِلَاطَ، وَلَا وِرَاطَ، وَلَا شِنَاقَ، وَلَا شِغَارَ فِي الْإِسْلَامِ “. قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ فِي تَفْسِيرِ هَذَا الْحَدِيثِ إِنَّ الْأَقْيَالَ مُلُوكٌ بِالْيَمَنِ دُونَ الْمَلِكِ الْأَعْظَمِ، وَالْعَبَاهِلَةِ الَّذِينَ قَدْ أُقِرُّوا على ملكهم لا يزالون عنه، والبيعة أربعون من الغنم، واليتيمة الزَّائِدَةُ عَلَى الْأَرْبَعِينَ حَتَّى تَبْلُغَ الْفَرِيضَةُ الْأُخْرَى، وَالسُّيُوبُ الرِّكَازُ، قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ وَلَا أَرَاهُ أُخِذَ إِلَّا مِنَ السَّيْبِ وَهُوَ الْعَطِيَّةُ وَالْخِلَاطُ الشركة في المواشي، والوراط الخديعة والغش، والشنق مَا بَيْنَ الْفَرِيضَتَيْنِ، وَالشَّغَارُ عَقْدُ النِّكَاحِ الْخَالِي مِنَ الصَّدَاقِ، فَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدٍ وَلَيْسَ فِي قَوْلِهِ لَا خِلَاطَ دَلَالَةٌ عَلَى مَا ذَكَرُوا، لِأَنَّهُ يَقْتَضِي النَّهْيَ عَنْ نَفْسِ الْخُلْطَةِ، وَلَيْسَ لِلزَّكَاةِ ذِكْرٌ، وَالْخُلْطَةُ جَائِزَةٌ بِاتِّفَاقٍ، وَإِنَّمَا أُرِيدَ بِهَا خُلْطَةُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَاقِعَةُ عَلَى صِفَاتٍ حَظَرَهَا الشَّرْعُ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُنْفَرِدِ فَالْمَعْنَى فِيهِ عَدَمُ النِّصَابِ، وَأَمَّا جَمْعُهُمْ بَيْنَ الْحَوْلِ والنصاب، فالمعنى فيه سَوَاءٌ، لِأَنَّنَا نَعْتَبِرُ النِّصَابَ مِنْ حِينِ الْخُلْطَةِ لَا فِيمَا قَبْلُ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى السَّرِقَةِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ تُضَمَّ بَعْضُ سَرِقَاتِهِ إِلَى بَعْضٍ لَمْ تُضَمَّ سَرِقَةُ غَيْرِهِ إِلَى سَرِقَتِهِ، وَلَمَّا ضُمَّ بَعْضُ مَالِهِ إِلَى بَعْضٍ ضُمَّ مَالُ غَيْرِهِ إِلَيْهِ.
Dan dalil yang kedua: sabda Nabi SAW: “dan jika dua orang berserikat (khalīṭayn), maka mereka saling mengembalikan (hak) di antara mereka secara merata.” Kalimat “saling mengembalikan” hanya berlaku pada khalṭah ṣifāt (perserikatan dalam sifat) bukan a‘yān (perserikatan dalam benda). Hal ini diperkuat dan ditekankan dengan riwayat Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Dua orang yang berserikat (khalīṭān) adalah mereka yang berkumpul dalam sumber air, pengairan, dan penggembalaan,” dan dalam riwayat lain: “dan juga jantan (untuk mengawini betina).”
Juga karena harta yang jika dimiliki sendirian wajib zakat, maka jika dimiliki bersama dan mencapai niṣāb, wajib pula zakatnya. Sebagaimana setiap harta yang tidak dikenakan zakat bukan karena kekurangan niṣāb, maka apabila ada niṣāb, tetap wajib zakat, seperti harta milik dhimmī dan mukātab. Dan karena zakat itu mensyaratkan adanya pemilik dan sesuatu yang dimiliki, maka apabila zakat tetap diwajibkan meskipun kepemilikan berbeda-beda, maka ini menuntut bahwa zakat tetap wajib meskipun pemiliknya berbeda-beda pula.
Adapun jawaban atas sabda Nabi SAW: “Jika hewan ternak milik seseorang belum mencapai empat puluh ekor, maka tidak ada zakat padanya”, itu justru menjadi dalil kami. Karena beliau mengatakan “milik seseorang”, dan menggunakan alif-lām yang menunjukkan jins (jenis), bukan untuk sesuatu yang sudah diketahui (ma‘hūd). Karena tidak ada ma‘hūd dalam konteks ini, maka tidak sah membawanya pada ma‘hūd. Maka kalimat itu harus dipahami sebagai menunjuk pada jins, seakan beliau berkata: “Jika ternak milik para lelaki belum mencapai empat puluh…”
Adapun sabda Nabi SAW: “lā khilāṭ wa lā wirāṭ” adalah hadis yang disebutkan oleh Abū ‘Ubayd dalam Gharīb al-Ḥadīth, bahwa Nabi SAW menulis surat kepada Wā’il bin Ḥujr al-Ḥaḍramī dan kepada kaumnya: “Dari Muḥammad, Rasulullah, kepada para aqyāl al-‘abāhilah dari penduduk Ḥaḍramaut: agar kalian menegakkan salat dan menunaikan zakat. Atas dasar baiat, (wajib) satu ekor kambing, dan al-yatīmah tetap milik pemiliknya. Dan dalam as-suyūb (harta temuan), dikenakan seperlima. Tidak ada khilāṭ, tidak ada wirāṭ, tidak ada shināq, dan tidak ada shighār dalam Islam.”
Abū ‘Ubayd menjelaskan: al-aqyāl adalah raja-raja kecil di Yaman selain dari raja besar. Al-‘abāhilah adalah orang-orang yang diakui atas kekuasaannya dan tidak dicopot. Al-bay‘ah adalah empat puluh ekor kambing. Al-yatīmah adalah kelebihan dari empat puluh sampai mencapai kewajiban zakat berikutnya. As-suyūb adalah harta rikāz. Kata Abū ‘Ubayd: as-suyūb kemungkinan diambil dari kata as-sayb, yang berarti pemberian. Al-khilāṭ adalah perserikatan dalam hewan ternak. Al-wirāṭ adalah penipuan dan kecurangan. Ash-shināq adalah jumlah pertengahan antara dua kewajiban zakat. Ash-shighār adalah akad nikah yang tidak mencantumkan mahar.
Maka ini adalah penafsiran Abū ‘Ubayd. Dan dalam sabda Nabi SAW “lā khilāṭ” tidak ada dalil yang menunjukkan makna sebagaimana yang mereka pahami. Karena kalimat itu menunjukkan larangan terhadap bentuk khalṭah itu sendiri, dan tidak ada penyebutan tentang zakat. Sedangkan khalṭah sendiri dibolehkan menurut kesepakatan ulama. Yang dimaksud adalah khalṭah jahiliah yang dilakukan berdasarkan sifat-sifat yang dilarang oleh syariat.
Adapun qiyās mereka terhadap orang yang sendirian, maka ‘illat-nya adalah tidak adanya niṣāb. Adapun penyamaan mereka antara ḥaul dan niṣāb, maka ‘illat-nya tetap sama, karena kami menghitung niṣāb sejak terjadi khalṭah, bukan sebelumnya.
Adapun qiyās mereka terhadap pencurian, maka maksudnya adalah: ketika sebagian pencurian tidak digabungkan dengan sebagian lainnya, maka pencurian orang lain pun tidak digabungkan dengannya. Sebaliknya, ketika sebagian harta digabungkan dengan sebagian lainnya, maka harta orang lain pun bisa digabungkan kepadanya.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا مَالِكٌ فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ بِأَنْ قَالَ إِذَا كَانَا خَلِيطَيْنِ فِي أَرْبَعِينَ وَكَانَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عِشْرُونَ فَهُوَ غَيْرُ مُخَاطَبٍ بِالزَّكَاةِ كَالْمُكَاتَبِ وَالذِّمِّيِّ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ الْخُلْطَةُ مُوجِبَةًلِلزَّكَاةِ، لِأَنَّ مَالَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَمْ يَزِدْ، وَهَذَا فَاسِدٌ، وَعُمُومُ مَا اسْتَدْلَلْنَا بِهِ عَلَى أبي حنيفة يُبْطِلُهُ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ لَيْسَ يَخْلُو حَالُكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَعْتَبِرَ الْمُلَّاكَ كَاعْتِبَارِ أبي حنيفة، وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَى فَسَادِهِ، أَوْ تَعْتَبِرَ الْمِلْكَ كَاعْتِبَارِنَا فَلَا يَصِحُّ مَا ذَكَرْتَهُ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا غَيْرُ مُخَاطَبٍ بِالزَّكَاةِ، فَيُقَالُ لَهُ إِنْ أَرَدْتَ مَعَ اجْتِمَاعِ الْمَالَيْنِ فَغَيْرُ مسلم، بل هما مخاطبان، وَإِنْ أَرَدْتَ مَعَ انْفِرَادِهِمَا، فَالْمَعْنَى فِيهِ عَدَمُ النصاب، وإذا اجتمعا كان النصاب موجوداً.
PASAL
Adapun Mālik, maka ia berdalil dengan ucapannya: “Jika keduanya adalah dua orang khalīṭ dalam (kepemilikan) empat puluh (ekor kambing), dan masing-masing dari keduanya memiliki dua puluh, maka ia tidak terkena kewajiban zakat, seperti halnya mukātib dan dzimmī. Maka tidak boleh (dikatakan) bahwa khalṭah mewajibkan zakat, karena harta masing-masing dari keduanya tidak bertambah.”
Ini adalah pendapat yang rusak, dan keumuman dalil yang kami ajukan terhadap Abū Ḥanīfah membatalkannya.
Kemudian dikatakan kepadanya: “Kondisimu tidak lepas dari dua keadaan: pertama, engkau mempertimbangkan (status) pemilik seperti pertimbangan Abū Ḥanīfah, dan kami telah menjelaskan kerusakannya. Kedua, engkau mempertimbangkan kepemilikan seperti pertimbangan kami, maka tidak sah apa yang engkau sebutkan.”
Adapun dalilnya bahwa masing-masing dari keduanya tidak terkena kewajiban zakat, maka dikatakan kepadanya: “Jika yang engkau maksud adalah dalam kondisi harta keduanya bergabung, maka itu tidak dapat diterima, bahkan keduanya terkena kewajiban. Dan jika yang engkau maksud adalah ketika masing-masing berdiri sendiri, maka maknanya adalah karena tidak terpenuhinya niṣāb, dan apabila keduanya bergabung maka niṣāb pun terpenuhi.”
فصل
: قال الشَّافِعِيِّ: ” وَالَّذِي لَا أَشُكُّ فِيهِ أَنَّ الشَّرِيكَيْنِ ما لم يقسما الماشية خَلِيطَانِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّا قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْخُلْطَةَ نَوْعَانِ، خُلْطَةُ أَوْصَافٍ وَخُلْطَةُ أَعْيَانٍ، فَخُلْطَةُ الْأَعْيَانِ الشَّرِكَةُ، وَخُلْطَةُ الْأَوْصَافِ، مَا تعين مال كل واحد منهما بصفة، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ تُسَمَّى خُلْطَةً لُغَةً أَوْ شَرْعًا فَقَالَ بَعْضُهُمْ تُسَمَّى خُلْطَةً شَرْعًا، لَا لُغَةً؛ لِأَنَّ الْخُلْطَةَ فِي اللُّغَةِ مَا لَمْ يتميز، وقال آخرون بل يسمى ذلك لُغَةً وَشَرْعًا، وَقَدْ جَاءَ الْقُرْآنُ بِمِثْلِهِ فِي قصة داود {إنَّ هذَا أَخِي} ، إِلَى قَوْله تَعَالَى: {وَإِنَّ كَثِيراُ مِنْ الخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ) {ص: 24) فَسَمَّاهُمْ خُلَطَاءَ وَإِنْ كَانَتِ النَّعْجَةُ مُتَمَيِّزَةً عَنِ النِّعَاجِ، فَإِنْ قِيلَ فَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَالَّذِي لَا أَشُكُّ فِيهِ أَنَّ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يُقَسِّمَا الْمَاشِيَةَ خَلِيطَانِ، يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ شَاكًّا فِي خُلْطَةِ الْأَوْصَافِ، قِيلَ إِنَّمَا قَالَ هَذَا لِأَنَّ خُلْطَةَ الْأَوْصَافِ قَدْ وَرَدَ الشَّرْعُ بِهَا، ثُمَّ لَمْ يَشُكَّ فِي أَنَّ الشَّرِكَةَ خُلْطَةٌ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَا لَمْ يَشُكَّ فِيهِ لَاحِقًا بِمَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
PASAL
Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Dan sesuatu yang aku tidak ragu padanya adalah bahwa dua orang yang berserikat, selama mereka belum membagi ternak mereka, maka keduanya adalah dua orang yang bercampur (khalīṭān).”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pernyataan yang benar, karena telah kami sebutkan bahwa khalṭah itu ada dua jenis: khalṭah ṣifāt dan khalṭah a‘yān. Khalṭah a‘yān adalah syirkah (kepemilikan bersama), sedangkan khalṭah ṣifāt adalah ketika harta masing-masing dari keduanya bisa ditentukan melalui sifatnya.
Para sahabat kami berbeda pendapat: apakah ini disebut khalṭah secara bahasa atau secara syar‘i? Sebagian dari mereka berkata: disebut khalṭah secara syar‘i, bukan secara bahasa; karena khalṭah dalam bahasa adalah ketika belum ada pemisahan. Sedangkan sebagian lainnya berkata: itu disebut khalṭah baik secara bahasa maupun secara syar‘i.
Al-Qur’an sendiri telah menyebutkan hal semacam itu dalam kisah Dāwūd, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya ini saudaraku…” hingga firman-Nya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat (al-khulatā’) itu sebagian mereka berlaku zalim kepada sebagian lainnya” (Q.S. Ṣād: 24). Maka mereka disebut khulatā’ meskipun satu ekor kambing (dalam kisah itu) dibedakan dari kambing-kambing lainnya.
Jika dikatakan: “Bukankah ucapan al-Syāfi‘ī ‘dan sesuatu yang aku tidak ragu padanya adalah bahwa dua orang yang berserikat, selama belum membagi ternak, adalah dua orang yang bercampur’ menunjukkan bahwa beliau ragu tentang khalṭah ṣifāt?” Maka dijawab: Beliau mengatakan demikian karena khalṭah ṣifāt memang telah disebutkan oleh syariat, kemudian beliau tidak ragu bahwa syirkah adalah khalṭah. Maka pernyataan “tidak ragu” itu maksudnya adalah menyamakan syirkah dengan apa yang sudah disebutkan oleh syariat.
Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَتَرَاجُعُهُمَا بِالسَّوِيَّةِ أَنْ يَكُونَا خَلِيطَيْنِ فِي الْإِبِلِ فِيهَا الْغَنَمُ فَتُوجَدُ الْإِبِلُ فِي يَدَيْ أَحَدِهِمَا فيؤخذ مِنْهُ صَدَقَتُهَا فَيَرْجِعُ عَلَى شَرِيكِهِ بِالسَّوِيَّةِ (قَالَ) وقد يكون الخليطان الرجلين يتخالطان بماشيتهما وإن عرف كل واحدٍ منهما ماشيته “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا خُلْطَةُ الْأَوْصَافِ، إِذَا أَخَذَ السَّاعِي الزَّكَاةَ مِنْ أَحَدِ الْمَالَيْنِ، فَلِرَبِّهِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى شَرِيكِهِ بِحِصَّتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَظْلِمْهُ السَّاعِي رَجَعَ عَلَيْهِ بِقِيمَةِ حِصَّتِهِ مِمَّا أُخِذَ، وإن ظلمه رجع بِقِيمَةِ حِصَّتِهِ مِنَ الْوَاجِبِ وَلَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهِ بالزيادة التي ظلم بها، وأما خلطة الأعيان: فإن كانت فريضتها الغنم، فالجواب في التراجع على ما ذكرنا في خلطة الأوصاف، وإن كانت ماشية فريضتها منها فلا تراجع بينهما، سواء كان عدلاً أو حيفاً لأن المأخوذ منهما على قدر ماليهما، ولكن تطوع أحدهما في هذا بأن أعطى زيادة على الواجب، فإن كان بأمر شريكه فلا شيء عليه، وإن كان بغير أمره ضمن حصة شريكه من الزيادة والله أعلم.
MASALAH:
Imam al-Syāfi‘ī RA berkata:
“Makna tarāju‘uhumā bi al-sawiyyah (keduanya saling mengganti secara merata) adalah apabila keduanya adalah dua orang khalīṭ dalam kepemilikan unta, namun zakatnya berupa kambing, lalu unta itu berada di tangan salah satu dari keduanya, kemudian zakatnya diambil dari orang itu, maka ia mengganti kepada sekutunya secara merata.”
(Beliau) berkata lagi: “Dan bisa jadi dua orang laki-laki khalīṭān mencampurkan hewan ternaknya meskipun masing-masing dari mereka mengetahui hewan ternaknya.”
Imam al-Māwardī berkata:
Adapun khalṭah al-awṣāf, jika petugas zakat mengambil zakat dari salah satu dari dua harta tersebut, maka pemiliknya berhak menagih bagiannya dari zakat yang diambil kepada sekutunya. Jika petugas tidak menzaliminya, maka ia menagih kepada sekutunya sesuai nilai bagian hartanya dari yang telah diambil. Namun jika petugas menzaliminya, maka ia hanya menagih nilai bagian hartanya dari yang wajib diambil saja, dan tidak menagih kelebihan yang merupakan bentuk kezaliman itu.
Adapun khalṭah al-a‘yān, jika zakatnya berupa kambing, maka jawabannya dalam hal saling menagih sama seperti yang kami sebutkan dalam khalṭah al-awṣāf. Tetapi jika zakatnya adalah dari jenis hewan yang mereka miliki (yakni unta atau sapi), maka tidak ada saling menagih antara keduanya, baik zakat itu diambil secara adil atau secara zalim, karena yang diambil dari keduanya sesuai dengan kadar harta masing-masing. Akan tetapi, jika salah satunya memberikan lebih dari kewajiban secara sukarela, maka jika atas perintah sekutunya, maka tidak ada tanggungan atasnya. Tapi jika tanpa izin sekutunya, maka ia wajib menanggung bagian sekutunya dari kelebihan yang diberikan tersebut. Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَكُونَانِ خَلِيطَيْنِ حَتَّى يُرِيحَا وَيَسْرَحَا وَيَحْلُبَا معاً ويسقيا معاً ويكون فحولتهما مختلطة فإذا كانا هكذا صدقا صدقة الواحد بكل حالٍ وَلَا يَكُونَانِ خَلِيطَيْنِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِمَا الْحَوْلُ من يوم اختلطا ويكونان مسلمين فإن تفرقا في مراح أم مسرحٍ أو سقيٍ أو فحلٍ قبل أن يحول الحول فليسا خليطين ويصدقان صدقة الاثنين وهكذا إذا كانا شريكين (قال) ولما لم أعلم مخالفاً إذا كان ثَلَاثَةَ خُلَطَاءَ لَوْ كَانَتْ لَهُمْ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ شاة أخذت منهم واحدةً وَصَدَّقُوا صَدَقَةَ الْوَاحِدِ فَنَقَصُوا الْمَسَاكِينَ شَاتَيْنِ مِنْ مال الخلطاء الثلاثة الذين لو تفرق مالهم كانت فيه ثلاثة شِيَاهٍ لَمْ يَجُزْ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا لَوْ كانت أربعون شاةً من ثلاثةٍ كَانَتْ عَلَيْهِمْ شاةٌ لِأَنَّهُمْ صَدَّقُوا الْخُلَطَاءَ صدقة الواحد “.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Dua orang tidak dianggap sebagai dua orang yang bercampur (khalīṭayn) sampai mereka mengistirahatkan, menggembalakan, memerah susu bersama, menyirami (hewan) bersama, dan jantan-jantan mereka bercampur. Jika keadaannya seperti ini, maka mereka dikenakan zakat seperti satu orang dalam segala kondisi.
Dan tidak disebut khalīṭayn sampai berlalu satu haul atas keduanya sejak hari mereka bercampur, dan keduanya adalah Muslim. Jika mereka berpisah dalam tempat istirahat, atau tempat gembalaan, atau tempat penyiraman, atau dalam kepemilikan pejantan sebelum sempurna satu haul, maka keduanya tidak dianggap bercampur, dan dikenakan zakat seperti dua orang (berbeda). Demikian juga jika mereka berserikat (syarikat).”
(Beliau berkata): “Ketika aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat, bahwa jika ada tiga orang yang bercampur, lalu mereka memiliki seratus dua puluh ekor kambing, maka diambil dari mereka satu ekor kambing (sebagai zakat), dan mereka menunaikan zakat seperti satu orang. Maka berarti mereka telah mengurangi dua ekor kambing dari hak para miskin dari harta milik tiga orang yang bercampur, yang jika harta mereka dipisah-pisah, wajib atas mereka tiga ekor kambing.
Maka ini tidak diperbolehkan, kecuali jika mereka mengatakan: ‘Jika ada empat puluh kambing yang dimiliki tiga orang, maka wajib atas mereka satu ekor kambing,’ karena mereka telah menunaikan zakat para khalāṭā’ seperti zakat satu orang.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا خُلْطَةُ الْأَعْيَانِ فَزَكَاتُهَا مُعْتَبَرَةٌ بِخَمْسِ شَرَائِطَ، وَهَذِهِ الْخَمْسُ مُعْتَبَرَةٌ فِي زَكَاةِ الْمُنْفَرِدِ، شَرْطَانِ مِنْهَا فِي الْمَالِكِ، وَثَلَاثَةٌ فِي الْمَاشِيَةِ.
فَأَمَّا الشَّرْطَانِ فِي الْمَالِكِ: فَأَحَدُهُمَا: الْإِسْلَامُ، لِأَنَّ الْكَافِرَ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، وَالثَّانِي الْحُرِّيَّةُ لِأَنَّ الْعَبْدَ وَالْمُكَاتَبَ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِمَا.
وَأَمَّا الثَّلَاثَةُ الَّتِي فِي الْمَاشِيَةِ: فَأَحَدُهَا النِّصَابُ.
وَالثَّانِي: الْحَوْلُ:
وَالثَّالِثُ: السَّوْمُ، فَهَذِهِ خَمْسَةُ شُرُوطٍ مُعْتَبَرَةٍ فِي زَكَاةِ الْمُنْفَرِدِ وَخُلْطَةِ الْأَعْيَانِ جَمِيعًا وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Al-Māwardī berkata:
Adapun khalṭah al-a‘yān, maka zakatnya tergantung pada lima syarat, dan kelima syarat ini juga berlaku dalam zakat orang yang memiliki harta secara sendiri. Dua syarat di antaranya berkaitan dengan pemilik, dan tiga lainnya berkaitan dengan hewan ternak.
Adapun dua syarat yang berkaitan dengan pemilik:
Pertama: Islam, karena orang kafir tidak terkena kewajiban zakat.
Kedua: Merdeka, karena hamba sahaya dan mukātab tidak terkena kewajiban zakat.
Adapun tiga syarat yang berkaitan dengan hewan ternak:
Pertama: Niṣāb.
Kedua: Haul.
Ketiga: Digembalakan (al-sawm).
Maka inilah lima syarat yang diperhitungkan dalam zakat orang yang memiliki harta secara sendiri maupun dalam khalṭah al-a‘yān, dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui kebenarannya.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا خُلْطَةُ الْأَوْصَافِ فَتُعْتَبَرُ فِيهَا الشُّرُوطُ الْخَمْسَةُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الِانْفِرَادِ، وخلطة الأعيان، ثم تختص بست شَرَائِطَ أُخْرَى تُعْتَبَرُ فِي خُلْطَةِ الْأَوْصَافِ لَا غَيْرَ.
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْمَرَاحُ الَّذِي تَأْوِي إِلَيْهِ وَاحِدًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمَسْرَحُ الَّذِي ترعى فيه وَاحِدًا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ السَّقْيُ الَّذِي تَشْرَبُ منه مِنْ نَهْرٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ حَوْضٍ وَاحِدًا.
وَالرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ الْفُحُولُ الَّتِي تَطْرُقُهَا وَاحِدَةً.
وَالْخَامِسُ: نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ وَلَمْ يَرْوِهِ الرَّبِيعُ أَنْ يَكُونَ حِلَابُهُمَا وَاحِدًا، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي نَقْلِ الْمُزَنِيِّ هَذَا الشَّرْطَ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL
Adapun khalṭah al-ṣifāt (perserikatan dalam sifat), maka padanya diberlakukan lima syarat yang juga dianggap dalam kepemilikan tunggal dan dalam khalṭah al-a‘yān (perserikatan benda). Kemudian, khalṭah al-ṣifāt memiliki kekhususan dengan enam syarat tambahan yang hanya berlaku padanya, tidak pada selainnya:
Pertama: tempat beristirahat (maraḥ) hewan-hewan tersebut harus satu.
Kedua: tempat penggembalaan (masraḥ) mereka harus satu.
Ketiga: sumber air (syaqī) yang mereka minum — apakah sungai, sumur, atau kolam — harus satu.
Keempat: pejantan (faḥl) yang mengawini betina-betina itu harus satu.
Kelima: ini diriwayatkan oleh al-Muzanī, namun tidak diriwayatkan oleh ar-Rabī‘ — yaitu bahwa tempat pemerahan susu (ḥilāb) mereka harus satu.
Maka para sahabat kami berselisih tentang riwayat al-Muzanī ini sebagai syarat dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ غَلَطٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ فِي نَقْلِهِ، وَلَيْسَ ذَلِكَ شَرْطًا مُعْتَبَرًا بِحَالٍ، لِأَنَّ غَيْرَهُ لَمْ يَرْوِهِ عن الشافعي.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ نَقْلَهُ صَحِيحٌ، وَقَدْ سَاعَدَهُ حَرْمَلَةُ فَرَوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ مِثْلَهُ فَعَلَى هَذَا فِي كَيْفِيَّةِ هَذَا الشَّرْطِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مَوْضِعُ حِلَابِهِمَا وَاحِدًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْحَالِبُ وَاحِدًا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ إِنَاءُ الْحَلْبِ وَاحِدًا، وَلَا يَكُونُ اخْتِلَاطُ اللَّبَنَيْنِ رِبًا، كما يخلط المسافرون أزوادهم، إذ اجْتَمَعُوا لِلْأَكْلِ، وَلَا يَكُونُ رِبًا، وَالتَّأْوِيلُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ وَهُوَ أَنَّ مَعْنَاهُ: أَنْ يَكُونَ مَوْضِعُ الْحِلَابِ وَاحِدًا، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” فَقَالَ وَأَنْ تَحْلِبَ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ فَإِنْ تَفَرَّقَا فِي مَكَانِ الْحِلَابِ قَبْلَ الْحَوْلِ زَكَّيَاهُ زَكَاةَ الِاثْنَيْنِ، فَقَدْ أَفْصَحَ بِصَوَابِ هَذَا التَّأْوِيلِ، وَصِحَّةِ نَقْلِ الْمُزَنِيِّ.
Salah satunya: bahwa itu adalah kekeliruan dari al-Muzanī dalam riwayatnya, dan hal itu bukanlah syarat yang diperhitungkan dalam keadaan apa pun, karena selain dia tidak meriwayatkannya dari al-Syāfi‘ī.
Wajah (pendapat) kedua: bahwa riwayatnya benar, dan telah didukung oleh Ḥarmalah yang juga meriwayatkan hal serupa dari al-Syāfi‘ī. Maka berdasarkan itu, dalam bentuk (pelaksanaan) syarat ini terdapat tiga pendapat:
Pertama: tempat pemerahan susu keduanya harus satu.
Kedua: orang yang memerah harus satu.
Ketiga: wadah pemerahan harus satu, dan pencampuran dua susu itu tidak dianggap ribā, sebagaimana para musafir mencampur bekal makanan mereka ketika berkumpul untuk makan, dan itu tidak dianggap ribā.
Dan takwil pertama lebih sahih, yaitu bahwa maksudnya: tempat pemerahan harus satu. Hal ini telah ditegaskan oleh al-Syāfi‘ī dalam kitab al-Imlā’, beliau berkata: “Dan memerah di satu tempat. Jika keduanya berpisah tempat pemerahannya sebelum genap haul, maka keduanya menunaikan zakat sebagai dua orang (terpisah).” Maka beliau telah menjelaskan dengan terang tentang kebenaran takwil ini dan validitas riwayat al-Muzanī.
وَالشَّرْطُ السَّادِسُ: مُخْتَلَفٌ فِيهِ وَهُوَ نِيَّةُ الْخُلْطَةِ فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّهَا مُعْتَبَرَةٌ لَا تَصِحُّ الْخُلْطَةُ إِلَّا بِهَا، لِأَنَّ لِلْخُلْطَةِ تَأْثِيرًا فِي الزَّكَاةِ فَافْتَقَرَتْ إِلَى قَصْدٍ كَالسَّوْمِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ خَلَطَ الرُّعَاةُ الْمَوَاشِيَ بِغَيْرِ أَمْرِ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ لَمْ يَثْبُتْ حُكْمُ الْخُلْطَةِ، وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ النِّيَّةَ غَيْرَ مُعْتَبَرَةٍ فِي الْخُلْطَةِ لِأَنَّهُ لَمَّا سَقَطَ اعْتِبَارُهَا فِي خلطة الاعتبار سَقَطَ اعْتِبَارُهَا فِي خُلْطَةِ الْأَوْصَافِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ خَلَطَ الرُّعَاةُ الْمَوَاشِيَ بِغَيْرِ أَمْرِ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ عَلَى الشَّرَائِطِ الْمُعْتَبَرَةِ ثَبَتَ حُكْمُ الْخُلْطَةِ، فَهَذِهِ سِتُّ شَرَائِطَ تَخْتَصُّ بِخُلْطَةِ الْأَوْصَافِ أَرْبَعَةٌ مِنْهَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهَا، وَهِيَ الْمَرَاحُ وَالْمَسْرَحُ وَالسَّقْيُ وَالْفُحُولُ، وَشَرْطَانِ مُخْتَلِفٌ فِيهِمَا وَهُمَا الْحِلَابُ وَالنِّيَّةُ.
SYARAT KEENAM: diperselisihkan, yaitu niat al-khulṭah. Salah satu dari dua pendapat: bahwa niat itu dianggap, dan al-khulṭah tidak sah kecuali dengannya, karena al-khulṭah memiliki pengaruh dalam zakat, maka membutuhkan niat sebagaimana as-saum (penggembalaan tanpa biaya). Berdasarkan pendapat ini, jika para penggembala mencampurkan hewan ternak tanpa izin dari pemilik harta, maka tidak tetap hukum al-khulṭah.
Pendapat kedua: bahwa niat tidak dianggap dalam al-khulṭah, karena ketika niat tidak dianggap dalam khulṭah al-iʿtibār, maka tidak dianggap pula dalam khulṭah al-awṣāf. Berdasarkan pendapat ini, jika para penggembala mencampurkan hewan ternak tanpa perintah dari pemilik harta, namun dengan memenuhi syarat-syarat yang dianggap sah, maka tetap berlaku hukum al-khulṭah.
Inilah enam syarat yang khusus untuk khulṭah al-awṣāf, empat di antaranya disepakati, yaitu: tempat bermalam (al-marāḥ), tempat penggembalaan (al-masraḥ), penyiraman (as-saqy), dan pejantan (al-fuḥūl), serta dua syarat yang diperselisihkan, yaitu: pemerahan (al-ḥilāb) dan niat.
وَأَصْلُ هَذِهِ الشَّرَائِطِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” والخليطان ما اختلطا فِي الرَّعْيِ وَالسَّقْيِ وَالْفُحُولِ ” فَنَصَّ عَلَى بَعْضِهَا وَنَبَّهَ عَلَى بَاقِيهَا، فَلَوِ انْخَرَمَ شَرْطٌ مِنْهَا بطل حكم الخلطة وزكياه زَكَاةَ الِانْفِرَادِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ أَحَدُ الخليطين عبداً أو مكاتباً أو كاتباً زَكَّى الْحُرُّ الْمُسْلِمُ زَكَاةَ الْمُنْفَرِدِ، وَلَوِ افْتَرَقَا فِي مَرَاحٍ أَوْ مَسْرَحٍ أَوْ سَقْيٍ أَوْ فُحُولٍ زَكَّيَا زَكَاةَ الْمُنْفَرِدِ.
Dan dasar dari syarat-syarat ini adalah sabda Nabi SAW: “Dua orang yang bersekutu (bercampur) adalah yang bercampur dalam penggembalaan, penyiraman, dan pejantan.” Maka beliau menegaskan sebagian syarat dan memberikan isyarat kepada sisanya.
Jika salah satu dari syarat ini rusak (tidak terpenuhi), maka batal hukum al-khulṭah dan keduanya menunaikan zakat sebagaimana zakat individu. Berdasarkan hal ini, jika salah satu dari dua pihak yang bercampur adalah seorang budak, atau mukatab, atau dalam proses mukatabah, maka orang merdeka yang muslim menunaikan zakat sebagai individu.
Dan jika keduanya berbeda dalam tempat bermalam, atau tempat penggembalaan, atau penyiraman, atau pejantan, maka keduanya menunaikan zakat sebagai individu.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ ” وَلَا يَكُونَانِ خَلِيطَيْنِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِمَا الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ اخْتَلَطَا ” فَهِيَ مَسْأَلَةٌ تَأْتِي، ونذكر ما فيها من الخلاف، فأما قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: وَلَمَّا لَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا إِذَا كانوا ثلاثة خلطاء لو كان لَهُمْ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ شَاةً أُخِذَتْ مِنْهُمْ شَاةٌ وَصَدَّقُوا صَدَقَةَ الْوَاحِدِ، فَنَقَصُوا الْمَسَاكِينَ شَاتَيْنِ مِنْ مال الخلطاء الثلاثة الذين لم يُفَرَّقْ مَالُهُمْ، كَانَتْ فِيهِ ثَلَاثُ شِيَاهٍ لَمْ يجز، إلا أن يقولوا: لو كانت أربعين شَاةً بَيْنَ ثَلَاثَةٍ كَانَتْ عَلَيْهِمْ شَاةٌ، لِأَنَّهُمْ صدقوا الخلطاء صدقة الواحد وهذا أرد بِهِ مَالِكًا حَيْثُ قَالَ لَا حُكْمَ لِلْخُلْطَةِ حَتَّى يَمْلِكَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصَابًا، فَرَدَّ عَلَيْهِ بِأَنْ قَالَ لَمَّا كَانَ ثَلَاثَةُ شُرَكَاءَ في مائة وعشرين يلزمهم شَاةٌ وَاحِدَةٌ صَدَقَةَ الْوَاحِدِ رِفْقًا بِهِمْ، وَلَوْ كانوا متفرقين لزمهم ثَلَاثُ شِيَاهٍ، وَجَبَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةَ شُرَكَاءٍ في أَرْبَعِينَ شَاةً أَنْ تَلْزَمَهُمْ شَاةٌ صَدَقَةَ الْوَاحِدِ رِفْقًا بِالْمَسَاكِينِ، لِيَرْتَفِقَ الْمَسَاكِينُ فِي الْخُلْطَةِ بِمِثْلِ مَا ارْتَفَقَ بِهِ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ.
PASAL
Adapun perkataan al-Syāfi‘ī: “Dan keduanya tidak dianggap sebagai dua orang khalīṭ hingga berlalu atas keduanya haul sejak hari mereka bercampur”, maka ini adalah suatu masalah yang akan datang pembahasannya, dan akan kami sebutkan padanya adanya khilaf.
Adapun perkataan al-Syāfi‘ī: “Dan ketika aku tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi, bahwa jika mereka adalah tiga orang khalāṭā’, dan mereka memiliki seratus dua puluh ekor kambing, maka diambil dari mereka satu ekor kambing, dan mereka menunaikan zakat sebagaimana zakat satu orang, lalu mereka mengurangi hak orang-orang miskin sebanyak dua ekor kambing dari harta tiga orang khalāṭā’ yang hartanya tidak dipisahkan, yang semestinya ada tiga ekor kambing di dalamnya, maka hal itu tidak boleh.”
Kecuali jika mereka berkata: “Seandainya ada empat puluh ekor kambing di antara tiga orang, maka atas mereka satu ekor kambing,” karena mereka menunaikan zakat orang-orang khalāṭā’ seperti zakat satu orang.
Dan dengan ini al-Syāfi‘ī membantah Mālik yang berkata bahwa tidak ada hukum khalṭah kecuali apabila masing-masing dari mereka memiliki niṣāb.
Maka al-Syāfi‘ī membantahnya dengan ucapannya: “Ketika tiga orang berserikat dalam seratus dua puluh ekor kambing, maka wajib atas mereka satu ekor kambing sebagai zakat satu orang sebagai keringanan bagi mereka. Dan jika mereka terpisah, niscaya wajib atas mereka tiga ekor kambing. Maka wajib pula jika mereka berserikat dalam empat puluh ekor kambing, atas mereka satu ekor kambing sebagai zakat satu orang, demi memberi keuntungan bagi orang-orang miskin, agar orang-orang miskin mendapat manfaat dalam kondisi khalṭah sebagaimana para pemilik harta mendapatkan manfaat darinya.”
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَبِهَذَا أَقُولُ فِي الْمَاشِيَةِ كُلِّهَا وَالزَّرْعِ وَالْحَائِطِ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ حَائِطًا صَدَقَتُهُ مُجَزَّأَةٌ عَلَى مائة إنسان ليس فيه إِلَّا عَشْرَةُ أَوْسُقٍ أَمَا كَانَتْ فِيهِ صَدَقَةُ الواحد؟ وما قلت في الخلطاء معنى الحديث نفسه ثم قول عطاء وغيره من أهل العلم وروي عن ابن جريج قال سألت عطاء عن الاثنين أو النفر يكون لهم أربعون شاةً فقال عليهم شاة ” الشافعي الذي شك ” (قال) وَمَعْنَى قَوْلِهِ ” لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمَعٍ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ ” لَا يُفَرِّقُ بَيْنَ ثَلَاثَةِ خُلَطَاءَ فِي عِشْرِينَ وَمِائَةِ شاةٍ وَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ شَاةٌ لِأَنَّهَا إِذَا فُرِّقَتْ كَانَ فيها ثلاث شياةٍ ولا يجمع بين مفترق رَجُلٌ لَهُ مِائَةُ شاةٍ وَشَاةٌ وَرَجُلٌ لَهُ مائة شاة فإذا تركا مفترقين فعليهما شاتان وإذا جمعتا ففيها ثلاث شياهٍ والخشية خشيةُ السَّاعِي أَنْ تَقِلَّ الصَّدَقَةُ وَخَشْيَةُ رَبِّ الْمَالِ أَنْ تَكْثُرَ الصَّدَقَةُ فَأَمَرَ أَنْ يُقَرَّ كل على حاله “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْخُلْطَةُ فِي الْمَوَاشِي فَلَا يَخْتَلِفُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي جَوَازِهَا، وَتَصِحُّ مِنْ وَجْهَيْنِ خُلْطَةُ وَصْفٍ، وَخُلْطَةُ عَيْنٍ، فَأَمَّا الْخُلْطَةُ فِيمَا عَدَا الْمَوَاشِي مِنَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ فَفِي صِحَّةِ الْخُلْطَةِ فِيهَا قَوْلَانِ:
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Aku berpendapat demikian dalam seluruh hewan ternak, tanaman, dan kebun. Bagaimana pendapatmu seandainya sebuah kebun yang zakatnya terbagi-bagi kepada seratus orang, dan tidak ada di dalamnya kecuali sepuluh wasq — bukankah tetap wajib zakat satu orang? Dan apa yang aku katakan tentang para khulathā’ adalah makna dari hadis itu sendiri, kemudian pendapat ‘Aṭā’ dan selainnya dari kalangan ahli ilmu. Diriwayatkan dari Ibn Juraij, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aṭā’ tentang dua orang atau sekelompok orang yang memiliki empat puluh kambing, maka ia berkata: atas mereka satu ekor kambing.”
Al-Syafi‘i — yang meragukan sanadnya — berkata:
“Dan makna sabda beliau: lā yufarraqu baina mujtami‘ wa lā yujma‘ baina mutafarriq khashyatan liṣ-ṣadaqah adalah: jangan dipisahkan antara tiga orang yang bercampur dalam kepemilikan seratus dua puluh kambing, karena yang wajib atas mereka hanya satu ekor kambing; jika dipisah-pisahkan, maka menjadi wajib tiga ekor kambing. Dan jangan dikumpulkan antara dua yang terpisah: seseorang yang memiliki seratus satu ekor kambing dan orang lain yang memiliki seratus ekor kambing — jika keduanya tetap dalam keadaan terpisah maka wajib atas mereka dua ekor kambing, dan jika dikumpulkan maka wajib tiga ekor kambing.
Dan al-khashyah (kekhawatiran) di sini adalah: kekhawatiran petugas zakat agar tidak berkurang hasil zakat, dan kekhawatiran pemilik harta agar tidak terlalu banyak zakatnya. Maka diperintahkan agar masing-masing tetap pada keadaannya.”
Al-Mawardi berkata: Adapun al-khulṭah dalam hewan ternak, maka tidak ada perbedaan dalam mazhab al-Syafi‘i tentang kebolehannya, dan ia sah dengan dua bentuk: khulṭah al-waṣf dan khulṭah al-‘ayn.
Adapun al-khulṭah selain pada hewan ternak — seperti pada tanaman, buah-buahan, dirham, dan dinar — maka dalam keabsahan al-khulṭah padanya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، إِنَّ الْخُلْطَةَ فِيهَا لَا تَصِحُّ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ وَوَجْهُ ذَلِكَ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَالْخَلِيطَانِ مَا اجْتَمَعَا فِي الرَّعْيِ وَالسَّقْيِ وَالْفُحُولِ، فَلَمَّا جَعَلَ هَذَا شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْخُلْطَةِ، وَهُوَ مَعْدُومٌ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي، دَلَّ عَلَى أن الخلطة لا تصح في غير المواشي، وَلِأَنَّ الْخُلْطَةَ إِنَّمَا جَازَتْ فِي الْمَوَاشِي لِمَا يَعُودُ مِنْ رِفْقِهَا عَلَى الْمَسَاكِينِ تَارَةً وَعَلَى رَبِّ الْمَالِ أُخْرَى وَرِفْقُ الْخُلْطَةِ فِيمَا سِوَى المواشي عائد على المساكين والاستدرار بِهَا عَائِدٌ عَلَى أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ فَلِذَلِكَ صَحَّتِ الْخُلْطَةُ فِي الْمَوَاشِي لِارْتِفَاقِ الْفَرِيقَيْنِ بِهَا، وَلَمْ تَصِحَّ فِيمَا عَدَا الْمَوَاشِي لِاخْتِصَاصِ الْمَسَاكِينِ بِالِارْتِفَاقِ بِهَا، وَأَرْبَابِ الْأَمْوَالِ بِالِاسْتِضْرَارِ بِهَا، وَالْقَوْلُ الثَّانِي قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ الْخُلْطَةَ تَصِحُّ فِي جَمِيعِ الْأَمْوَالِ الْمُزَكَّاةِ كَمَا تَصِحُّ فِي الْمَوَاشِي، وَوَجْهُ ذَلِكَ عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا يفرق بين مجتمع ولا يجمع بين مفرق ” وَلِأَنَّ الشُّرُوطَ الْمُعْتَبَرَةَ فِي زَكَاةِ الْمَوَاشِي مُعْتَبَرَةٌ في زكاة الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، وَالزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ، فَإِنْ قِيلَ يَبْطُلُ بِالسَّوْمِ هُوَ مُعْتَبَرٌ فِي الْمَوَاشِي دُونَ غَيْرِهَا، قِيلَ قَدْ يُعْتَبَرُ مِثْلُهُ فِي الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، وَهُوَ أَنْ يَتَّخِذَهَا حُلِيًّا فَلَا تَجِبُ زَكَاتُهَا.
Salah satunya—yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm—bahwa khalṭah di dalamnya tidak sah. Ini juga pendapat Mālik dan mayoritas fuqahā’. Dasar pendapat ini adalah sabda Nabi SAW: “Dua orang khalīṭ jika berkumpul dalam hal penggembalaan, pengairan, dan pejantan,” maka ketika beliau menjadikan hal itu sebagai syarat sahnya khalṭah, dan itu tidak terdapat dalam selain hewan ternak, hal ini menunjukkan bahwa khalṭah tidak sah dalam selain hewan ternak.
Dan sebab khalṭah dibolehkan dalam hewan ternak adalah karena ada sisi keringanan yang kembali kepada para fakir miskin pada satu waktu, dan kepada pemilik harta di waktu lain. Sedangkan manfaat khalṭah dalam selain hewan ternak hanya kembali kepada fakir miskin, sedangkan kerugiannya menimpa para pemilik harta. Karena itu, khalṭah sah dalam hewan ternak karena kedua pihak mendapatkan manfaat darinya, dan tidak sah dalam selain hewan ternak karena manfaatnya hanya dinikmati oleh fakir miskin, sementara para pemilik harta justru dirugikan.
Pendapat kedua—dan ini yang disebutkan al-Syāfi‘ī dalam qaul jadīd—bahwa khalṭah sah pada semua jenis harta yang wajib dizakati, sebagaimana sah pada hewan ternak. Dasarnya adalah keumuman sabda Nabi SAW: “Tidak boleh digabung antara yang terpisah, dan tidak boleh dipisahkan antara yang tergabung (dalam rangka menghindari zakat).”
Juga karena syarat-syarat yang diperhitungkan dalam zakat hewan ternak juga diperhitungkan dalam zakat dirham dan dinar, serta tanaman dan buah-buahan.
Jika dikatakan bahwa pendapat ini batal dengan pertimbangan sawm (penggembalaan), karena itu merupakan syarat pada hewan ternak tapi tidak pada selainnya, maka dijawab: hal serupa juga diperhitungkan pada dirham dan dinar, yaitu ketika dijadikan sebagai perhiasan maka zakat tidak wajib atasnya.
فَصْلٌ
: فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْخُلْطَةَ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي لَا تَصِحُّ فَلَا زَكَاةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنَ الْخَلِيطَيْنِ حَتَّى يَكُونَ مِلْكُهُ نِصَابًا، وَإِذَا قِيلَ إِنَّ الْخُلْطَةَ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي جَائِزَةٌ كَهِيَ فِي الْمَاشِيَةِ صَحَّتْ فِيهَا خُلْطَةُ الْأَعْيَانِ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَا شَرِيكَيْنِ فِي أَرْضٍ ذَاتِ نَخْلٍ وَزَرْعٍ أَخْرَجَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا خَمْسَةَ أَوْسُقٍ، أَوْ يَكُونَا شَرِيكَيْنِ فِي عِشْرِينَ دِينَارًا أو مائة دِرْهَمٍ، فَأَمَّا خُلْطَةُ الْأَوْصَافِ فَهَلْ تَصِحُّ فِيهَا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ، وَهُوَ أَنْ تَكُونَ أَرْضُ أَحَدِهِمَا تُلَاصِقُ أَرْضَ الْآخَرِ وَيَكُونَ شُرْبُهُمَا وَاحِدًا وَالْقَيِّمُ بِهِمَا وَاحِدًا، أَوْ يَكُونَ لِهَذَا مائة درهم وَيَكُونَ لِهَذَا مِائَةُ دِرْهَمٍ فِي كِيسٍ، وَيَكُونُ حَافِظُهُمَا وَاحِدًا وَحِرْزُهُمَا وَاحِدًا، فَأَصَحُّ الْوَجْهَيْنِ أَنَّ هَذِهِ الْخُلْطَةَ لَا تَصِحُّ لِأَنَّهَا مَأْخُوذَةٌ مِنَ الِاخْتِلَاطِ، وَهَذِهِ مُجَاوَرَةٌ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ هَذِهِ الْخُلْطَةَ تَصِحُّ، لِأَنَّ مَعْنَى الْخُلْطَةِ ارْتِفَاقُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْخَلِيطَيْنِ بِصَاحِبِهِ، وَقَدْ يَرْتَفِقَانِ فِي هذه الخلطة لقلة المؤونة.
PASAL
Jika dikatakan: Sesungguhnya al-khulṭah pada selain hewan ternak tidak sah, maka tidak wajib zakat atas salah satu dari dua orang yang bercampur hingga kepemilikannya mencapai niṣāb.
Dan jika dikatakan: Sesungguhnya al-khulṭah pada selain hewan ternak itu boleh sebagaimana halnya pada hewan ternak, maka sah padanya khulṭah al-a‘yān, yaitu apabila keduanya adalah dua orang yang berserikat dalam sebidang tanah yang memiliki pohon kurma dan tanaman, lalu Allah Ta‘ala mengeluarkan darinya lima wasq; atau keduanya berserikat dalam dua puluh dinar atau seratus dirham.
Adapun khulṭah al-awṣāf, apakah sah padanya atau tidak — ada dua pendapat: yaitu apabila tanah salah satu dari keduanya berdempetan dengan tanah yang lain, dan pengairan keduanya satu, serta pengelola atas keduanya juga satu. Atau salah satu dari keduanya memiliki seratus dirham dan yang lainnya juga memiliki seratus dirham dalam satu kantong, dan penjaganya satu serta tempat penyimpanannya juga satu.
Maka pendapat yang lebih sahih dari keduanya adalah bahwa khulṭah ini tidak sah, karena ia diambil dari makna “bercampur”, sedangkan ini hanyalah “berdampingan”.
Pendapat kedua: bahwa khulṭah ini sah, karena makna al-khulṭah adalah masing-masing dari dua orang yang bercampur mendapatkan manfaat dari yang lain, dan keduanya dapat saling mendapat manfaat dalam khulṭah ini karena sedikitnya biaya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ حائطاً صدقته مجزئة عَلَى مِائَةِ إِنْسَانٍ لَيْسَ فِيهَا إِلَّا عَشْرَةُ أَوْسُقٍ أَمَا كَانَتْ فِيهِ صَدَقَةُ الْوَاحِدِ؟ وَهَذَا أَرَادَ بِهِ مَالِكًا حَيْثُ مَنَعَ مِنَ الْخُلْطَةِ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي، وَقَالَ فِي وَقْفٍ عَلَى جَمَاعَةٍ: أَخْرَجَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ أَنَّ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةَ، فَأَوْرَدَهُ الشَّافِعِيُّ إِفْسَادًا لِمَذْهَبِهِ وكسراً لأصله، فإن قيل هذا يَلْزَمُ مَالِكًا، لِأَنَّ الْوَقْفَ عِنْدَهُ لَا يُمَلَّكُ، قُلْنَا: الْوَقْفُ وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ غَيْرَ مَمْلُوكٍ فَالثَّمَرَةُ مَمْلُوكَةٌ، فَكَانَ مَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ قَدْحًا دَاخِلًا عَلَيْهِ، وَلِلشَّافِعِيِّ فِي رَقَبَةِ الْوَقْفِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: مِلْكٌ لِلْمَوْقُوفِ عَلَيْهِ غَيْرَ أَنَّ لَيْسَ له بيعة ك ” ام الْوَلَدِ “.
PASAL
Adapun perkataan al-Syāfi‘ī: “Bagaimana pendapatmu jika sebuah kebun zakatnya diperuntukkan bagi seratus orang, namun hasilnya hanya sepuluh wasq; bukankah di dalamnya cukup zakat satu orang?” — beliau maksudkan dengan ini untuk membantah Mālik, yang melarang adanya khalṭah pada selain hewan ternak.
Mālik berkata dalam masalah wakaf atas sekelompok orang: “Jika di dalamnya ada lima wasq, maka wajib zakat atas mereka.” Maka al-Syāfi‘ī mengemukakan contoh ini sebagai bantahan terhadap mazhab Mālik dan untuk meruntuhkan dasar pendapatnya.
Jika ada yang berkata: “Ini adalah sesuatu yang melekat pada pendapat Mālik, karena menurutnya wakaf tidak dimiliki,” maka kami katakan: meskipun benda wakaf menurut Mālik bukan milik (penerima wakaf), namun buahnya adalah milik mereka. Maka yang disebutkan oleh al-Syāfi‘ī adalah bantahan yang masuk dan mengenai tepat sasaran.
Dan al-Syāfi‘ī memiliki dua pendapat dalam kepemilikan atas benda wakaf (raqabah al-waqf):
Pertama: ia adalah milik bagi orang yang menerima wakaf, hanya saja ia tidak berhak menjualnya, seperti umm al-walad.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ غَيْرُ مَمْلُوكٍ بَلْ قَدْ زَالَ الْمِلْكُ عَنْهُ وَصَارَ خَالِصًا لِلَّهِ تعالى كالعبد المعتق، وعلى كل الْقَوْلَيْنِ الزَّكَاةُ فِي زَرْعِ الْوَقْفِ وَثَمَرَتِهِ وَاجِبَةٌ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْخُلْطَةَ فِيهِ لَا تَصِحُّ فَلَا زَكَاةَ حَتَّى تَبْلُغَ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْخُلْطَةَ فِيهِ تَصِحُّ عَلَى قَوْلِهِ الْجَدِيدِ فَفِيهِ الزَّكَاةُ إِذَا بَلَغَ جَمِيعُهُ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ إِذَا كَانَ عَلَى قَوْمٍ مُعَيَّنِينَ، فَإِنْ كَانَ عَامًّا عَلَى مَنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ مِنَ الْفُقَرَاءِ أَوِ الْمَسَاكِينِ، أَوْ عَلَى مَا لَا يَصِحُّ أَنْ يُمَلَّكَ مِنَ الْمَسَاجِدِ وَالْمَصَانِعِ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، لِأَنَّ الزكاة تجب على ملك مِنْ أَهْلِ الزَّكَاةِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ رَجُلًا وَقَفَ رِقَابَ أَرْبَعِينَ مِنَ الْغَنَمِ سَائِمَةً، فإن قيل رَقَبَةَ الْوَقْفِ لَا تُمَلَّكُ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا، وَإِنْ قِيلَ إِنَّ رَقَبَةَ الْوَقْفِ مَمْلُوكَةٌ فَفِي إِيجَابِ زَكَاتِهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَاجِبَةٌ لِأَنَّهَا مِلْكٌ لِمَنْ تَلْزَمُهُ الزَّكَاةُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَهُوَ أَصَحُّ، لِأَنَّهَا وَإِنْ كَانَتْ مَمْلُوكَةً فَمِلْكُهَا غير تام كالمكاتب، ألا تراه لايقدر على بيعها ورهنها، والله أعلم بالصواب.
Dan pendapat kedua: bahwa ia bukanlah milik lagi, bahkan kepemilikannya telah hilang darinya dan menjadi milik murni bagi Allah Ta‘ala, seperti budak yang telah dimerdekakan.
Menurut kedua pendapat tersebut, zakat pada tanaman dan buah hasil wakaf tetap wajib.
Jika dikatakan bahwa al-khulṭah padanya tidak sah, maka tidak ada zakat sampai bagian masing-masing dari mereka mencapai lima wasq.
Namun jika dikatakan bahwa al-khulṭah padanya sah menurut pendapat al-jadīd, maka wajib zakat ketika seluruh hasilnya mencapai lima wasq, jika wakaf itu diperuntukkan bagi kaum tertentu.
Tetapi jika wakaf itu bersifat umum bagi para fakir miskin yang tidak ditentukan secara spesifik, atau diperuntukkan bagi sesuatu yang tidak sah dimiliki seperti masjid dan fasilitas umum, maka tidak ada zakat padanya, karena zakat hanya diwajibkan atas kepemilikan dari pihak yang berhak menunaikan zakat.
Berdasarkan hal ini, seandainya seseorang mewakafkan empat puluh ekor kambing sā’imah, maka jika dikatakan bahwa harta wakaf tidak dapat dimiliki, maka tidak ada zakat padanya. Namun jika dikatakan bahwa harta wakaf dapat dimiliki, maka dalam kewajiban zakat atasnya terdapat dua pendapat:
Pertama: zakatnya wajib, karena ia termasuk milik orang yang wajib atasnya zakat.
Kedua: tidak wajib, dan inilah yang lebih sahih, karena meskipun dimiliki, kepemilikannya tidak sempurna seperti budak mukatab. Tidakkah engkau melihat bahwa ia tidak bisa menjualnya dan tidak bisa menggadaikannya? Dan Allah-lah yang lebih mengetahui mana yang benar.
فصل
: قال الشافعي: وَمَعْنَى قَوْلِهِ ” لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمَعٍ، وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ ” لَا يُفَرِّقُ بَيْنَ ثَلَاثَةِ خُلَطَاءَ فِي عِشْرِينَ وَمِائَةِ شَاةٍ، وَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ شَاةٌ، لِأَنَّهَا إِذَا فُرِّقَتْ كَانَ عَلَيْهِمْ ثَلَاثُ شِيَاهٍ، وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ، رَجُلٌ لَهُ مِائَةُ شَاةٍ وَشَاةٌ، وَرَجُلٌ لَهُ مائة شاة، فإذا تركتا متفرقتين ففيها شاتان وإذا جمعا ففيها ثَلَاثُ شِيَاهٍ، فَالْخَشْيَةُ خَشْيَةُ السَّاعِي، أَنْ تَقِلَّ الصَّدَقَةُ وَخَشْيَةُ رَبِّ الْمَالِ أَنْ تَكْثُرَ الصَّدَقَةُ، فأمر أن يقر كل على حاله، ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ خَشْيَتَيْنِ: خَشْيَةُ قِلَّةِ الصَّدَقَةِ فِي تَفْرِيقِ مَا كَانَ مُجْتَمِعًا فِي مِائَةٍ وَعِشْرِينَ، وَهِيَ عَائِدَةٌ إِلَى السَّاعِي دُونَ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ، وَخَشْيَةُ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ فِي مائتي شاة وشاة مجتمعة بين خليطين يجب فِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ، وَإِنْ فُرِّقَتْ وَجَبَ فِيهَا شاتان لفا يَنْبَغِي لَهُمَا أَنْ يُفَرِّقَاهَا خَشْيَةَ أَنْ تَكْثُرَ الصَّدَقَةُ، بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يُقَرَّ كُلُّ مَالٍ على حاله في الجمع والتفريق.
PASAL
Al-Syāfi‘ī berkata:
Makna sabda Nabi SAW “Lā yufarraqu baina mujtami‘, wa lā yujma‘u baina mutafarriq, khasyyata al-ṣadaqah” (Tidak boleh dipisahkan harta yang tergabung, dan tidak boleh digabungkan harta yang terpisah karena takut terkena zakat), adalah:
Tidak boleh dipisahkan harta tiga orang khalāṭā’ yang memiliki seratus dua puluh ekor kambing, karena zakat yang wajib atas mereka hanyalah seekor kambing. Sebab jika dipisah, maka atas mereka wajib tiga ekor kambing.
Dan tidak boleh digabungkan harta yang terpisah, seperti seorang yang memiliki seratus satu ekor kambing, dan seorang lainnya memiliki seratus ekor kambing. Jika dibiarkan terpisah, maka zakatnya dua ekor kambing. Namun jika digabung, maka wajib tiga ekor kambing.
Maka yang dimaksud dengan “takut” (khasyyah) adalah ketakutan petugas zakat kalau-kalau zakat menjadi sedikit, dan ketakutan pemilik harta kalau-kalau zakat menjadi banyak. Maka diperintahkan agar setiap harta dibiarkan sesuai kondisinya, baik tergabung maupun terpisah.
Al-Syāfi‘ī dalam hal ini menyebutkan dua jenis ketakutan:
Pertama, ketakutan zakat menjadi sedikit dalam kasus memisahkan harta yang tergabung dalam jumlah seratus dua puluh, dan ini kembali kepada petugas zakat, bukan kepada para pemilik harta.
Kedua, ketakutan para pemilik harta jika memiliki dua ratus satu ekor kambing yang tergabung di antara dua khalīṭ, yang mewajibkan tiga ekor kambing; sedangkan jika dipisahkan maka hanya wajib dua ekor. Maka tidak sepatutnya mereka memisahkannya karena khawatir zakat menjadi banyak. Bahkan seharusnya setiap harta dibiarkan sesuai keadaan aslinya, apakah tergabung atau terpisah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا شَاةٌ وَعِدَّتُهُمَا سَوَاءٌ فَظَلَمَ الساعي وأخذ مِنْ غَنَمِ أَحَدِهِمَا عَنْ غَنَمِهِ وَغَنَمِ الْآخَرِ شَاةَ رُبًى فَأَرَادَ الْمَأْخُوذُ مِنْهُ الشَّاةَ الرُّجُوعَ على خليطه بنصف قيمة ما أخذ عن غنمهما لم يكن له أن يرجع عليه إلا بقيمة نصف ما وجب عليه إن كانت جذعة أو ثنية لأن الزيادة ظلم (قال) ولو كانت “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَجُمْلَةُ الْخُلْطَةِ ضَرْبَانِ: خُلْطَةُ أَوْصَافٍ، وَخُلْطَةُ أَعْيَانٍ، فَأَمَّا خُلْطَةُ الْأَوْصَافِ مع تعيين الْمَالَيْنِ فَالْكَلَامُ فِيهَا فِي فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: فِي كَيْفِيَّةِ الْأَخْذِ.
Masalah:
Al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika telah wajib atas keduanya seekor kambing, dan jumlah kambing mereka sama, lalu petugas zakat berbuat zalim dan mengambil seekor kambing gemuk dari kambing salah satu dari keduanya sebagai ganti zakat atas kambing miliknya dan milik yang lainnya, lalu orang yang diambil darinya kambing itu ingin menuntut dari rekannya setengah dari nilai kambing yang diambil sebagai pengganti bagi kambing mereka berdua — maka ia tidak berhak menuntut darinya kecuali senilai setengah dari apa yang wajib atasnya, jika kambing itu adalah jadza‘ah atau tsaniyyah, karena kelebihan tersebut adalah kezaliman.”
(Beliau berkata): “Dan seandainya…”
Al-Mawardi berkata:
Ini adalah pendapat yang benar. Dan keseluruhan al-khulṭah terbagi menjadi dua jenis: khulṭah al-awṣāf dan khulṭah al-a‘yān.
Adapun khulṭah al-awṣāf dengan penentuan kepemilikan masing-masing harta, maka pembahasannya ada dalam dua bagian:
Pertama: dalam tata cara pengambilan zakat.
وَالثَّانِي: فِي كَيْفِيَّةِ التَّرَاجُعِ، فَأَمَّا كَيْفِيَّةُ أَخْذِ السَّاعِي الزَّكَاةَ مِنْ مَالِهِمَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَالِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُمْكِنَ أَخْذُ الزَّكَاةِ مِنَ الْمَالَيْنِ، أَوْ لَا يُمْكِنُ أَخْذُهَا إِلَّا مِنْ أَحَدِ الْمَالَيْنِ، فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ أَخْذُهَا إِلَّا مِنْ أَحَدِ الْمَالِينَ، كَمِائَةٍ وَعِشْرِينَ شَاةً بَيْنَ خَلِيطَيْنِ، فَلِلسَّاعِي أَنْ يَأْخُذَ الشَّاةَ الْوَاجِبَةَ عَلَيْهِمَا مِنْ أَيِّ الْمَالَيْنِ شَاءَ، لِأَنَّ أَخْذَهَا مِنَ الْمَالَيْنِ مُتَعَذِّرٌ، وَإِنْ أَمْكَنَ أَخْذُ الزَّكَاةِ مِنَ الْمَالَيْنِ، كَمِائَتَيْنِ بَيْنَ خَلِيطَيْنِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةٌ فَعَلَيْهِمَا شَاتَانِ، يَلْزَمُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا شَاةٌ، أَوْ يكون بينهما أربعمائة يكون لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَتَانِ، فَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا شَاتَانِ، فَفِيهَا وَجْهَانِ:
Dan yang kedua: dalam hal tārāju‘ (saling mengganti) — adapun tata cara petugas zakat mengambil zakat dari harta keduanya, maka keadaan harta tidak lepas dari dua hal:
Pertama, zakat bisa diambil dari kedua harta.
Kedua, zakat tidak bisa diambil kecuali dari salah satu dari keduanya.
Jika zakat tidak bisa diambil kecuali dari salah satu harta saja — seperti contoh seratus dua puluh ekor kambing milik dua orang khalīṭ — maka petugas zakat boleh mengambil satu ekor kambing yang wajib atas keduanya dari harta siapa saja yang dia kehendaki, karena pengambilan dari kedua harta secara bersamaan tidak memungkinkan.
Namun jika memungkinkan untuk mengambil zakat dari kedua harta — seperti dua ratus ekor kambing yang dimiliki dua orang khalīṭ, masing-masing memiliki seratus ekor, maka atas keduanya wajib dua ekor kambing, dan setiap orang dari keduanya wajib satu ekor.
Atau misalnya jumlahnya empat ratus ekor kambing, masing-masing memiliki dua ratus ekor, maka atas masing-masing dari keduanya wajib dua ekor kambing.
Maka dalam hal ini ada dua pendapat (wajhān):
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّ عَلَى السَّاعِي أَنْ يَأْخُذَ زَكَاةَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ حِصَّتِهِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ زَكَاةَ جَمِيعِهَا مِنْ مَالِ أَحَدِهِمَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِهَا عَلَى خَلِيطِهِ، لِأَنَّهُ مَظْلُومٌ بِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبَى هُرَيْرَةَ: أَنَّ لِلسَّاعِي أَنْ يَأْخُذَهَا مِنْ مَالِهِمَا، وَلَهُ أَنْ يَأْخُذَهَا مِنْ مَالِ أَحَدِهِمَا وَيَرْجِعَ الْمَأْخُوذُ مِنْهُ عَلَى خَلِيطِهِ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ، لِعُمُومِ قَوْلِهِ وَيَتَرَاجَعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ فَهَذَا الْكَلَامُ فِي كَيْفِيَّةِ الْأَخْذِ.
Pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: bahwa petugas zakat wajib mengambil zakat dari masing-masing pemilik sesuai bagian mereka, dan tidak boleh mengambil seluruh zakat dari harta salah satu dari keduanya. Maka jika ia melakukannya, maka orang yang hartanya diambil tidak berhak menuntut kepada rekannya, karena ia telah dizalimi dengannya.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurayrah: bahwa petugas zakat boleh mengambilnya dari harta keduanya, dan ia juga boleh mengambilnya dari harta salah satu dari mereka, lalu orang yang hartanya diambil berhak menuntut kepada rekannya sesuai dengan bagiannya. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW: “wayatarāja‘āni baynahumā bis-sawiyyah” (keduanya saling mengembalikan antara mereka secara seimbang).
Maka ini adalah pembahasan tentang tata cara pengambilan zakat.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْكَلَامُ فِي كَيْفِيَّةِ التَّرَاجُعِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ السَّاعِي قَدْ أَخَذَ قَدْرَ الْوَاجِبِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَخَذَ زِيَادَةً عَلَى الْوَاجِبِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَخَذَ الْوَاجِبَ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ أَيْضًا:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قد أخذ غير الواجب من غير أن يعدل في الْقِيمَةِ، فَلِلْمَأْخُوذِ مِنْهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى خَلِيطِهِ بقيمة حصته من الزكاة، كأن بينهما أربعون شَاةً أَخَذَ السَّاعِي زَكَاتَهَا شَاةً مِنْ مَالِ أحدهما، فله أن يرجع على شريطه بِقِيمَةِ نِصْفِهَا، فَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الْقِيمَةِ وَلَا بَيِّنَةَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْخَلِيطِ الْغَارِمِ مَعَ يَمِينِهِ.
PASAL
Adapun pembahasan tentang tata cara tarāju‘ (saling mengganti), maka hal itu terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: petugas zakat mengambil jumlah zakat yang sesuai kewajiban, tanpa ada kelebihan.
Kedua: ia mengambil lebih dari kadar yang wajib.
Jika ia hanya mengambil kadar yang wajib, maka hal ini pun terbagi lagi menjadi dua:
Pertama: ia mengambil zakat dari selain yang seharusnya (yakni dari satu pihak saja), tanpa menyesuaikan dalam hal nilai (qīmah). Maka pihak yang diambil zakatnya berhak menuntut kepada sekutunya sesuai nilai bagiannya dari zakat. Misalnya, keduanya memiliki empat puluh ekor kambing, lalu petugas zakat mengambil zakatnya berupa seekor kambing dari harta salah satunya, maka ia berhak menuntut kepada sekutunya sebesar nilai setengah dari kambing tersebut.
Jika keduanya berselisih dalam menentukan nilai kambing itu, dan tidak ada bukti (bayyinah), maka pendapat yang dipegang adalah pendapat khalīṭ yang menanggung (kerugian), disertai sumpahnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ السَّاعِي قَدْ أَخَذَ مِنْهُ قِيمَةَ الْوَاجِبِ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ، كَالْحَنَفِيِّ الَّذِي يَرَى أَخْذَ الْقِيَمِ فِي الزَّكَاةِ، فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: إِنَّ ذَلِكَ غَيْرُ مُجْزِئٍ وَلَيْسَ لِلْمَأْخُوذِ مِنْهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى خَلِيطِهِ بِشَيْءٍ، لِأَنَّ أَخْذَ الْقِيَمِ فِي الزَّكَوَاتِ لَا يَجُوزُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” إِنَّ ذَلِكَ مُجْزِئٌ، وَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى خَلِيطِهِ بِحِصَّتِهِ مِنَ الْقِيمَةِ، لِأَنَّ ذَلِكَ حُكْمٌ مِنَ السَّاعِي يَسُوغُ فِي الِاجْتِهَادِ فلم يجز نقضه، هذا كله إذا أخذ منه قدر الْوَاجِبَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، فَأَمَّا إِذَا أَخَذَ مِنْهُ زِيَادَةً عَلَى الْوَاجِبِ فَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ.
Jenis kedua: yaitu apabila petugas zakat mengambil dari salah satu mereka berupa nilai dari yang wajib, baik dirham atau dinar, sebagaimana pendapat Hanafiyah yang membolehkan mengambil nilai dalam zakat. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: bahwa hal tersebut tidak sah, dan orang yang diambil darinya tidak boleh menuntut kepada rekannya sedikit pun, karena mengambil nilai dalam zakat tidak dibolehkan menurut al-Syafi‘i.
Kedua, yaitu pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurayrah, dan al-Syafi‘i telah menegaskan dalam al-Umm: bahwa hal tersebut sah, dan orang yang diambil darinya berhak menuntut kepada rekannya sesuai bagian dari nilai tersebut. Karena hal itu merupakan keputusan dari petugas zakat yang boleh dilakukan dalam ranah ijtihād, maka tidak boleh dibatalkan.
Semua ini berlaku apabila yang diambil adalah sebesar kadar kewajiban tanpa tambahan.
Adapun jika ia mengambil lebih banyak dari yang wajib, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَأْخُذَ الزِّيَادَةَ مُتَأَوِّلًا، كَالْمَالِكِيِّ الَّذِي يَرَى أَخْذَ الْكِبَارِ مِنَ الصِّغَارِ، فَهَذَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِقِيمَةِ حِصَّتِهِ مِمَّا أَخَذَ مَعَ الزِّيَادَةِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَأْخُذَ الزِّيَادَةَ غَيْرَ مُتَأَوِّلٍ، كأخذ الربا وَالْمَاخِضِ وَالْأَكُولَةِ، وَمَا أُجْمِعُ عَلَى أَنَّ دَفْعَهُ لَا يُلْزِمُ، فَهَذَا يَرْجِعُ عَلَى خَلِيطِهِ بِقِيمَةِ الواجب مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، لِأَنَّهُ مَظْلُومٌ بِالزِّيَادَةِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى غَيْرِ مَنْ ظَلَمَهُ، فَهَذَا الْكَلَامُ فِي خُلْطَةِ الْأَوْصَافِ.
Salah satunya: apabila petugas zakat mengambil kelebihan dengan dasar takwil, seperti mazhab Mālikī yang berpendapat boleh mengambil hewan yang besar dari yang kecil. Maka dalam keadaan ini, orang yang diambil zakatnya berhak menuntut kepada sekutunya sesuai nilai bagiannya dari yang diambil, beserta tambahan nilai kelebihannya.
Jenis kedua: apabila ia mengambil kelebihan tanpa dasar takwil, seperti mengambil hewan yang terkena ribā, atau hewan mākhid (yang bunting), atau akūlah (hewan yang digemukkan untuk dimakan), dan semua yang disepakati bahwa menyerahkannya tidak wajib. Maka dalam keadaan ini, ia hanya berhak menuntut kepada sekutunya sesuai nilai bagiannya dari zakat yang wajib saja, tanpa tambahan, karena ia telah dizalimi dengan adanya kelebihan itu. Maka ia tidak boleh menuntut kelebihan tersebut kepada selain orang yang menzaliminya.
Inilah pembahasan tentang khalṭah al-awṣāf.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا خُلْطَةُ الْأَعْيَانِ. فَلِزَكَاتِهَا حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْمَالِ كَالْإِبِلِ الَّتِي فَرِيضَتُهَا الْغَنَمُ، فَالْكَلَامُ فِي هَذَا كَالْكَلَامِ فِي خُلْطَةِ الْأَوْصَافِ، سَوَاءٌ فِي كَيْفِيَّةِ الْأَخْذِ والتراجع.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ زَكَاتُهَا مِنْ جِنْسِهَا، فَلَا تَرَاجُعَ بَيْنَهُمَا فِيمَا أَخَذَهُ السَّاعِي مِنْ مَاشَيْتِهِمَا سَوَاءٌ حَافَ أَوْ عَدَلَ، لِأَنَّ الْمَأْخُوذَ مِنْهُمَا يُقَسَّطُ عَلَى قَدْرِ مَالَيْهِمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Adapun khulṭah al-a‘yān, maka dalam zakatnya terdapat dua keadaan:
Pertama: jika berasal dari selain jenis harta yang menjadi objek zakat, seperti unta yang kewajiban zakatnya berupa kambing. Maka pembahasan dalam hal ini sama dengan pembahasan pada khulṭah al-awṣāf, baik dalam tata cara pengambilan maupun dalam urusan saling mengganti.
Keadaan kedua: jika zakatnya dari jenis hartanya itu sendiri, maka tidak ada saling mengganti antara keduanya atas apa yang diambil petugas zakat dari ternak mereka, baik petugas mengambil dengan adil atau tidak, karena yang diambil dari mereka berdua dibagi secara proporsional sesuai kadar harta masing-masing.
Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ لَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً فَأَقَامَتْ فِي يده ستة أشهر ثم باع نِصْفَهَا ثُمَّ حَالَ الْحَوْلُ عَلَيْهَا أَخَذَ مِنْ نصيب الأول نصف شاة لحوله الأول فَإِذَا حَالَ حَوْلُهُ الثَّانِي أَخَذَ مِنْهُ نِصْفَ شَاةٍ لِحَوْلِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً، سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَاعَ نَصِفَهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ مُشَاعًا فِي الْجُمْلَةِ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ.
والثاني: أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ مُتَمَيِّزًا عَنِ الْبَاقِي غَيْرَ شائع في الجملة، فإن كَانَ النِّصْفُ الْمَبِيعُ مُشَاعًا، فَالْكَلَامُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
Masalah:
Al-Syāfi‘ī RA berkata:
“Seandainya seseorang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu kambing itu berada di tangannya selama enam bulan, kemudian ia menjual setengahnya, lalu setelah itu genap haul (satu tahun) atasnya, maka diambil dari bagian pertama setengah kambing untuk haul yang pertama. Dan jika haul kedua berlalu atas bagian sisanya, maka diambil darinya setengah kambing untuk haulnya.”
Al-Māwardī berkata:
Gambaran masalah ini adalah tentang seseorang yang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu setelah enam bulan ia menjual setengahnya. Maka hal ini terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: kambing yang dijual adalah musyā‘ (tidak ditentukan bagian pastinya, bercampur dalam keseluruhan).
Kedua: kambing yang dijual adalah mutamayyiz (tertentu, berbeda dari yang tersisa, tidak bercampur dalam keseluruhan).
Jika setengah yang dijual adalah musyā‘, maka pembahasannya mencakup dua pasal (faslain):
أَحَدُهُمَا: فِي زَكَاةِ الْبَائِعِ، وَالثَّانِي فِي زَكَاةِ الْمُشْتَرِي فَنَبْدَأُ أَوَّلًا بِزَكَاةِ الْبَائِعِ، لِأَنَّ حَوْلَهُ أَسْبَقُ فَنَقُولُ قَدْ مَضَى مِنْ حوله قبل المبيع سِتَّةُ أَشْهُرٍ، فَإِذَا مَضَتْ سِتَّةُ أَشْهُرٍ أُخْرَى وَالْمَالُ عَلَى حَالِهِ مُشَاعٌ فَقَدْ تَمَّ حَوْلُ الْبَائِعِ وَلَزِمَهُ إِخْرَاجُ نِصْفِ شَاةٍ، وَلَا يَكُونُ بَيْعُ النِّصْفِ مُبْطِلًا لِحَوْلِ الْبَاقِي، هَذَا مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ كَأَبِي إِسْحَاقَ وَغَيْرِهِ، لِأَنَّ نَصِيبَهُ لَمْ يَنْفَكَّ عَنِ النِّصَابِ فِي حَوْلِهِ كُلِّهِ، لِأَنَّهُ فِي نِصْفِ الْحَوْلِ كَانَ خَلِيطًا لِنَفْسِهِ، وَفِي النِّصْفِ الْآخَرِ كَانَ خَلِيطًا لِغَيْرِهِ، فَكَانَ نَصِيبُهُ فِي جَمِيعِ الْحَوْلِ شَائِعًا فِي نِصَابٍ فَلِذَلِكَ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَبُو عَلِيُّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وابن خَيْرَانَ يُخَرِّجَانِ قَوْلًا ثَانِيًا: أَنَّ الْبَيْعَ مُبْطِلٌ لما مضى من حوله، وجعل ذلك مبنياً على اختلاف قول الشَّافِعِيِّ فِي الْخُلْطَةِ، هَلْ تُعْتَبَرُ فِي جَمِيعِ الْحَوْلِ أَوْ فِي آخِرِهِ، فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، تُعْتَبَرُ فِي آخِرِهِ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ تُعْتَبَرُ فِي جَمِيعِهِ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ أَبْطَلَا مَا مَضَى مِنَ الْحَوْلِ، وَأَوْجَبَا اسْتِئْنَافَهُ، لتكون الخلطة في جميع الحول، وَهَذَا التَّخْرِيجُ غَلَطٌ مِنْ وَجْهَيْنِ.
Pertama: tentang zakat penjual.
Kedua: tentang zakat pembeli.
Maka kita mulai terlebih dahulu dengan zakat penjual, karena haul-nya lebih dahulu terjadi. Maka kami katakan: telah berlalu dari haul-nya sebelum terjadi penjualan selama enam bulan. Lalu jika berlalu enam bulan berikutnya dan harta masih dalam keadaan musyā‘ (tidak terbagi), maka haul penjual telah sempurna dan wajib atasnya mengeluarkan setengah ekor kambing.
Dan penjualan atas setengah bagian itu tidak membatalkan haul bagi bagian yang tersisa. Ini adalah nash dari al-Syafi‘i dan pendapat mayoritas sahabatnya seperti Abū Isḥāq dan lainnya, karena bagian miliknya tidak pernah terpisah dari niṣāb selama keseluruhan haul: pada setengah haul pertama ia bercampur dengan dirinya sendiri, dan pada setengah haul berikutnya ia bercampur dengan selain dirinya. Maka bagian miliknya selama seluruh haul berada dalam kondisi bercampur dalam niṣāb, oleh karena itu wajib atasnya zakat.
Adapun Abū al-‘Abbās, Abū ‘Alī ibn Abī Hurayrah, dan Ibn Khayrān mengeluarkan pendapat kedua: bahwa penjualan membatalkan bagian haul yang telah berlalu, dan mereka membangun hal itu di atas perbedaan pendapat al-Syafi‘i dalam masalah al-khulṭah — apakah ia disyaratkan pada seluruh haul atau cukup pada akhir haul.
Maka menurut pendapatnya dalam al-qadīm, al-khulṭah dianggap pada akhir haul; dan menurut pendapatnya dalam al-jadīd, al-khulṭah dianggap pada seluruh haul. Maka berdasarkan pendapat ini, mereka membatalkan apa yang telah berlalu dari haul dan mewajibkan untuk memulai kembali perhitungan haul agar al-khulṭah terjadi pada seluruh haul.
Dan takhṛīj (pengambilan pendapat) ini adalah keliru dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا: مَا تَقَدَّمَ مِنَ التَّعْلِيلِ بِوُجُودِ الْخُلْطَةِ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ نَصَّ عَلَى جَوَابِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي الْجَدِيدِ، حَيْثُ اعْتَبَرَ الْخُلْطَةَ فِي جَمِيعِ الْحَوْلِ، فَعَلِمَ أَنَّهَا لَا تَبْتَنِي عَلَيْهِ فَهَذَا الْكَلَامُ فِي زَكَاةِ الْبَائِعِ.
Pertama: adalah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yaitu ta‘līl (alasan hukum) bahwa khalṭah harus berlangsung selama seluruh haul.
Kedua: bahwa al-Syāfi‘ī telah menegaskan jawaban untuk masalah ini dalam qaul jadīd, di mana beliau mensyaratkan keberlangsungan khalṭah sepanjang tahun. Maka diketahui bahwa zakat tidak dibangun atas khalṭah yang tidak berlangsung sepanjang haul.
Inilah pembahasan terkait zakat bagi pihak penjual.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا زَكَاةُ الْمُشْتَرِي إِذَا مَضَى عَلَيْهِ حَوْلٌ كَامِلٌ مِنْ يَوْمِ الشِّرَاءِ فَيَنْظُرُ فِي حَالِ الْبَائِعِ، فإن كان أَدَّى زَكَاتَهُ مِنْ جُمْلَةِ الْمَالِ فَلَا زَكَاةَ عَلَى الْمُشْتَرِي لِنُقْصَانِ الْمَالِ عَنِ النِّصَابِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَدَّى زَكَاتَهُ مِنْ غَيْرِهِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي الذِّمَّةِ فَعَلَى المشتريالزَّكَاةُ نِصْفُ شَاةٍ، لِأَنَّ لَهُ عِشْرِينَ شَاةً مِنْ جُمْلَةِ أَرْبَعِينَ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي الْعَيْنِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ، مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ هَلْ تَجِبُ فِي الْعَيْنِ وُجُوبًا مُرَاعًى أَوْ وُجُوبَ اسْتِحْقَاقٍ؟ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا تجب وُجُوبًا مُرَاعًى، فَعَلَى الْمُشْتَرِي الزَّكَاةُ أَيْضًا، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا تَجِبُ فِي الْعَيْنِ وُجُوبَ اسْتِحْقَاقٍ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، فَإِنْ قِيلَ لِمَ قُلْتُمْ إن استحقاق المساكين جزء من غير المال يبطل بحكم زَكَاتِهِ وَقَدْ صَارُوا خُلَطَاءَ بِهِ، قُلْنَا لِأَنَّ الْجُزْءَ الَّذِي اسْتَحَقُّوهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ إِيجَابُ الزَّكَاةِ، لِأَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ لِقَوْمٍ غَيْرِ مُعَيَّنِينَ، أَلَا ترى لَوِ اجْتَمَعَ بِيَدِ السَّاعِي أَرْبَعُونَ شَاةً سَائِمَةً فَلَمْ يُقَسِّمْهَا عَلَى الْفُقَرَاءِ حَتَّى حَالَ حَوْلُهَا لَمْ تَجِبْ فِيهَا الزَّكَاةُ، لِأَنَّهُ مَالٌ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ أَقْوَامٍ غَيْرِ مُعَيَّنِينَ، فَهَذَا الْكَلَامُ فِي المبيع إذا كان مشاعاً وأقبضه البائع وقت العقد ما لم يستلمه مِنْ غَيْرِ تَأْخِيرٍ، فَأَمَّا إِنْ تَأَخَّرَ الْقَبْضُ عَنْ وَقْتِ الْعَقْدِ زَمَانًا كَالشَّهْرِ أَوْ نَحْوِهِ ثُمَّ حَصَلَ الْقَبْضُ بَعْدَ ذَلِكَ، فَهَلْ يُحْتَسَبُ بِذَلِكَ الزَّمَانِ الَّذِي لَمْ يُوجَدْ فِيهِ الْقَبْضُ مِنْ حَوْلِ الْمُشْتَرِي أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL
Adapun zakat pembeli apabila telah berlalu atasnya satu haul sempurna sejak hari pembelian, maka dilihat keadaan penjual. Jika penjual telah menunaikan zakatnya dari keseluruhan harta, maka tidak ada zakat atas pembeli karena hartanya tidak mencapai nishab. Namun jika ia menunaikannya dari selain harta itu, maka jika dikatakan bahwa zakat itu wajib dalam tanggungan (dzimmah), maka atas pembeli wajib zakat setengah ekor kambing, karena ia memiliki dua puluh ekor kambing dari jumlah empat puluh. Dan jika dikatakan bahwa zakat itu wajib pada barangnya (‘ayn), maka terdapat dua pendapat yang dibangun atas perbedaan dua pendapat: apakah zakat wajib pada barangnya secara perhatian (wujūb murā‘āh) atau secara hak kepemilikan (wujūb istiḥqāq)? Maka jika dikatakan bahwa ia wajib secara perhatian, maka atas pembeli juga wajib zakat. Dan jika dikatakan bahwa ia wajib secara hak kepemilikan, maka tidak ada zakat atasnya.
Jika dikatakan: “Mengapa kalian katakan bahwa hak kepemilikan orang-orang miskin atas sebagian harta dari selain harta itu batal karena hukum zakat padahal mereka telah menjadi pemilik bersama dengannya?” Maka kami katakan: karena bagian yang mereka miliki itu tidak berkaitan dengan kewajiban zakat, karena itu hak milik bagi kaum yang tidak tertentu. Tidakkah kamu lihat, jika terkumpul pada tangan sā‘ī empat puluh ekor kambing yang digembalakan lalu belum dibagikan kepada para fakir hingga berlalu satu haul atasnya, maka tidak wajib zakat atasnya karena ia adalah harta milik bersama bagi orang-orang yang tidak ditentukan.
Ini adalah pembahasan tentang barang yang dijual apabila bersifat musyā‘ (tidak dibagi) dan telah diserahkan oleh penjual saat akad, selama belum diterima oleh pembeli tanpa ada penundaan. Adapun jika penerimaan itu tertunda dari waktu akad selama satu bulan atau semisalnya lalu penerimaan terjadi setelah itu, maka apakah waktu yang tidak terjadi penerimaan itu dihitung dalam haul pembeli atau tidak? Maka ada dua wajah (pendapat).
أَحَدُهُمَا: يُحْتَسَبُ مِنْ حَوْلِهِ لِوُجُودِ مِلْكِهِ، فَعَلَى هذا يكون الجواب لما مَضَى.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُحْتَسَبُ بِهِ مِنْ حَوْلِهِ لِعَدَمِ تَصَرُّفِهِ وَأَنَّ الْمِلْكَ لَمْ يَتِمَّ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِهِ فَعَلَى هَذَا يَسْتَأْنِفُ الْبَائِعُ الْحَوْلَ أَيْضًا مِنْ يَوْمِ الْقَبْضِ لِأَنَّهُ حَصَلَ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ مُخَالِطًا لِمَنْ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ.
Pertama: haul dihitung sejak awal karena kepemilikannya sudah ada. Berdasarkan ini, jawabannya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Wajah (pendapat) kedua: haul tidak dihitung sejak awal karena belum ada hak untuk melakukan taṣarruf (pengelolaan), dan kepemilikan belum sempurna kecuali setelah terjadi qabḍ (penguasaan secara nyata). Maka berdasarkan ini, penjual pun harus memulai hitungan haul dari hari qabḍ, karena pada waktu sebelumnya ia bercampur dengan orang yang tidak wajib zakat.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا إِنْ كَانَ النِّصْفُ الْمَبِيعُ مُعَيَّنًا مُتَمَيِّزًا، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُعَلِّمَ عَلَيْهَا، وَيُشِيرَ إِلَيْهَا، وَيَقْبِضَهَا قَبْضَ مِثْلِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُفْرِدَهَا عَنِ الْجُمْلَةِ، فَهَذَانِ يُزَكِّيَانِ عَلَى مَا مَضَى فِي بَيْعِ الْمُشَاعِ سَوَاءً.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَقْبِضَ الْمُشْتَرِي مَا ابْتَاعَهُ مُفْرَدًا وَيُخْرِجُهُ مِنَ الْمَرَاحِ ثُمَّ يَرُدُّهُ وَيَخْلِطُهُ، فَهَذَانِ يَسْتَأْنِفَانِ الْحَوْلَ مِنْ وَقْتِ الْخُلْطَةِ، وَقَدْ بَطَلَ حُكْمُ مَا مَضَى لِافْتِرَاقِهِمَا فِي الْمَرَاحِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقْبِضَهَا مُفْرَدَةً مُتَمَيِّزَةً فِي الْمَرَاحِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُخْرِجَهَا مِنْهُ ثُمَّ يَخْلِطَهَا، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
PASAL
Adapun jika setengah bagian yang dijual itu ditentukan dan dibedakan, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:
Pertama: bahwa penjual memberi tanda padanya dan menunjukkannya, lalu pembeli menerimanya dengan penerimaan yang layak semisalnya tanpa memisahkannya dari keseluruhan, maka keduanya menunaikan zakat berdasarkan apa yang telah dijelaskan dalam jual beli musyā‘ (tidak dibagi), sama saja.
Bagian kedua: bahwa pembeli menerima apa yang dibelinya secara terpisah, lalu mengeluarkannya dari kandang kemudian mengembalikannya dan mencampurkannya kembali, maka keduanya memulai kembali haul dari waktu pencampuran, dan hukum sebelumnya batal karena keduanya telah berpisah di dalam kandang.
Bagian ketiga: bahwa pembeli menerimanya secara terpisah dan berbeda di dalam kandang tanpa mengeluarkannya dari kandang, lalu mencampurkannya kembali, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ قَدْ بَطَلَ حُكْمُ مَا مَضَى وَيَسْتَأْنِفَانِ الْحَوْلَ لِافْتِرَاقِ الْمَالَيْنِ، كَمَا لَوْ أَخْرَجَهَا مِنَ الْمَرَاحِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة، فإن مَا مَضَى لَا يَبْطُلُ، لِأَنَّ الْمَرَاحَ يَجْمَعُهُمَا وَيَكُونُ الْحُكْمُ فِي زَكَاتِهِ كَالْحُكْمِ فِي زَكَاةِ المشاع والله أعلم بالصواب.
Pertama: adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa hukum haul yang telah berlalu menjadi batal, dan keduanya memulai kembali perhitungan haul karena harta mereka telah berpisah, sebagaimana jika kambing itu dikeluarkan dari tempat penggembalaannya (marāḥ).
Wajah (pendapat) kedua: adalah pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah, bahwa masa haul yang telah berlalu tidak menjadi batal, karena marāḥ (tempat penggembalaan) masih menyatukan keduanya. Maka hukum zakatnya seperti hukum zakat atas harta yang musyā‘ (tidak terbagi secara fisik). Wallāhu a‘lam bi al-ṣawāb.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو كانت له غنم يجب فِيهَا الزَّكَاةُ فَخَالَطَهُ رَجُلٌ بِغَنَمٍ تَجِبُ فِيهَا الزكاة ولم يكونا شائعاً زُكِّيَتْ مَاشِيَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى حَوْلِهَا ولم يزكيا زكاة الخليطين فِي الْعَامِ الَّذِي اخْتَلَطَا فِيهِ فَإِذَا كَانَ قَابِلٌ وَهُمَا خَلِيطَانِ كَمَا هُمَا زَكَّيَا زَكَاةَ الخليطين لأنه قد حال عليهما الحول من يوم اختلطا فإن كانت ماشيتهما ثمانين وحول أَحَدِهِمَا فِي الْمُحَرَّمِ وَحَوْلَ الْآخَرِ فِي صَفَرٍ أخذ منهما نصف شاةٍ في المحرم ونصف شاةٍ في صفر “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلَيْنِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَرْبَعُونَ شَاةً خَلَطَاهَا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حَوْلُهُمَا متفقاً.
Masalah:
Al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang memiliki kambing yang wajib dizakati, lalu seseorang lain mencampurkan kambingnya yang juga wajib dizakati, dan keduanya bukan dalam kepemilikan musyā‘, maka kambing masing-masing dari keduanya dizakati menurut haul-nya sendiri-sendiri, dan tidak dizakati dengan zakat khalīṭayn pada tahun saat mereka bercampur. Jika pada tahun berikutnya mereka tetap dalam keadaan khalīṭayn sebagaimana sebelumnya, maka mereka menunaikan zakat khalīṭayn, karena telah berlalu haul atas keduanya sejak hari keduanya bercampur. Maka jika jumlah kambing mereka adalah delapan puluh ekor, sedangkan haul salah satunya di bulan Muḥarram dan yang lain di Ṣafar, maka diambil dari keduanya setengah ekor kambing pada bulan Muḥarram dan setengah ekor kambing pada bulan Ṣafar.”
Al-Māwardī berkata: “Gambaran masalah ini adalah dua orang laki-laki, masing-masing dari keduanya memiliki empat puluh ekor kambing, lalu mereka mencampurkannya. Maka hal ini terbagi menjadi dua bentuk:
Pertama: bahwa haul keduanya bertepatan.
والضرب الثاني: أن يكون حولهما مختلفاً، وإن كَانَ حَوْلُهُمَا مُتَّفِقًا فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يتخالطا بعضهما مِنْ أَوَّلِ الْحَوْلِ إِلَى آخِرِهِ فَهَذَانِ يُزَكِّيَانِ زَكَاةَ الْخَلِيطَيْنِ لَا يَخْتَلِفُ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَتَخَالَطَا بعضهما بَعْدَ مُضِيِّ الْحَوْلِ، وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، كَأَنْ مَضَى مِنْ حَوْلِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا سِتَّةُ أَشْهُرٍ ثُمَّ خَلَطَا غَنَمَيْهِمَا خُلْطَةَ أَوْصَافٍ مِنْ غير تبايع فصارت غنمهما ثماني شَاةً، فَإِذَا مَضَتْ عَلَيْهِمَا بَعْدَ الْخُلْطَةِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ فَقَدْ تَمَّ حَوْلُهُمَا جَمِيعًا، وَقَدْ كَانَا فِي نِصْفِهِ الْأَوَّلِ مُنْفَرِدَيْنِ وَفِي نِصْفِهِ الثَّانِي خَلِيطَيْنِ، فَهَلْ يُزَكِّيَانِ فِي هَذَا الْعَامِ زَكَاةَ الْخُلْطَةِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ نَصُّهُ فِي الْقَدِيمِ يُزَكِّيَانِ زَكَاةَ الْخُلْطَةِ اعْتِبَارًا بِآخِرِ الْحَوْلِ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ اعْتِبَارُ قَدْرِ الْوَاجِبِ عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ لَا بِأَوَّلِهِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ اعْتِبَارُ الْخُلْطَةِ الَّتِي بِهَا يَتَغَيَّرُ قَدْرُ الْوَاجِبِ بِآخِرِ الْحَوْلِ لَا بِأَوَّلِهِ.
Dan jenis kedua: yaitu ketika haul (perhitungan tahun zakat) keduanya berbeda. Namun jika haul keduanya sama, maka hal itu terbagi menjadi dua:
Pertama: keduanya bercampur sejak awal haul hingga akhirnya, maka keduanya wajib menunaikan zakat sebagai dua orang khalīṭ, dan ini tidak diperselisihkan.
Kedua: keduanya baru bercampur setelah berlangsung sebagian dari haul — dan inilah yang menjadi pokok masalah dalam kitab ini — seperti ketika masing-masing dari keduanya telah berlalu enam bulan dari haulnya, kemudian mereka mencampur kambing-kambing mereka dengan khalṭah al-awṣāf (tanpa akad jual-beli), hingga total kambing mereka menjadi delapan puluh ekor. Jika setelah bercampur berlalu enam bulan lagi, maka haul keduanya pun telah sempurna. Dalam enam bulan pertama mereka adalah pemilik sendiri-sendiri, dan dalam enam bulan kedua mereka menjadi dua orang khalīṭ.
Maka apakah keduanya wajib zakat sebagai dua orang khalīṭ pada tahun ini atau tidak? Ada dua pendapat:
Pertama: dan ini adalah nash-nya (teks eksplisit) dalam qaul qadīm, bahwa keduanya wajib zakat sebagai dua orang khalīṭ, dengan mempertimbangkan keadaan di akhir haul. Karena ketika kadar kewajiban zakat diperhitungkan berdasarkan keadaan saat masuknya haul (bukan awalnya), maka keberadaan khalṭah yang dapat mengubah kadar kewajiban zakat pun harus diperhitungkan berdasarkan keadaan di akhir haul, bukan awalnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ وَعَلَيْهِ نَصَّ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُمَا يُزَكِّيَانِ زَكَاةَ الِانْفِرَادِ اعْتِبَارًا بِجَمِيعِ الْحَوْلِ فِي صِحَّةِ الْخُلْطَةِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ الْخُلْطَةَ مَعْنًى يُغَيَّرُ بِهِ فَرْضُ الزَّكَاةِ فَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ بِهِ جَمِيعُ الْحَوْلِ كَالسَّوْمِ، وَلِأَنَّهُمَا لَوْ كَانَا خَلِيطَيْنِ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ مُنْفَرِدِينَ في آخره زَكَّيَا زَكَاةَ الِانْفِرَادِ لِوُجُودِ الْخُلْطَةِ فِي بَعْضِ الْحَوْلِ دُونَ جَمِيعِهِ، فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَا مُنْفَرِدَيْنِ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ خَلِيطَيْنِ فِي آخِرِهِ يَجِبُ أَنْ يُزَكِّيَا زَكَاةَ الِانْفِرَادِ لِوُجُودِ الْخُلْطَةِ فِي بَعْضِ الْحَوْلِ دُونَ جَمِيعِهِ، فَإِذَا حَالَ الْحَوْلُ الثَّانِي وَهُمَا عَلَى خُلْطَتِهِمَا زَكَّيَا زَكَاةَ الْخُلْطَةِ قَوْلًا وَاحِدًا لَا يُخْتَلَفُ لِوُجُودِهَا فِي الْحَوْلِ كله.
Dan pendapat kedua — inilah yang ṣaḥīḥ, dan atasnya terdapat naṣ dalam pendapat jadīd — bahwa keduanya menunaikan zakat secara terpisah, dengan mempertimbangkan keseluruhan haul dalam keabsahan khalṭah. Hal itu karena khalṭah adalah suatu makna yang dapat mengubah ketentuan zakat, maka wajib diperhitungkan sepanjang haul, sebagaimana halnya sawm (penggembalaan).
Karena jika keduanya adalah khalīṭān di awal haul namun terpisah di akhirnya, maka mereka berdua menunaikan zakat secara terpisah, karena khalṭah hanya terjadi di sebagian haul dan tidak sepanjang haul. Maka demikian pula, apabila keduanya terpisah di awal haul lalu menjadi khalīṭān di akhirnya, wajib atas keduanya menunaikan zakat secara terpisah karena khalṭah hanya terjadi di sebagian haul dan tidak sepanjang haul.
Maka apabila telah berlalu haul kedua, sementara keduanya masih dalam keadaan bercampur, maka mereka berdua menunaikan zakat khalṭah menurut satu pendapat yang tidak diperselisihkan, karena khalṭah telah ada sepanjang haul secara keseluruhan.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ حَوْلُهُمَا مُخْتَلِفًا كَأَنَّ حَوْلَ أَحَدِهِمَا فِي الْمُحَرَّمِ وَحَوْلَ الْآخَرِ فِي صَفَرٍ، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْلِطَاهَا بَعْدَ أَنْ مَضَى لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُدَّةٌ مِنْ حَوْلِهِ، كَأَنَّهُمَا خَلَطَاهَا فِي غُرَّةِ رَجَبٍ وَقَدْ مَضَى مِنْ حَوْلِ صَاحِبِ الْمُحَرَّمِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ، وَمِنْ حَوْلِ صَاحِبِ صَفَرٍ خَمْسَةُ أَشْهُرٍ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ كَالَّتِي قَبْلَهَا، غَيْرَ أَنَّ حَوْلَهُمَا مُخْتَلِفٌ، فَإِذَا تَمَّ حَوْلُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَهَلْ يُزَكِّي زَكَاةَ الْخُلْطَةِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ: عَلَى الْقَدِيمِ يُزَكِّي زَكَاةَ الْخُلْطَةِ، وَعَلَى الْجَدِيدِ يُزَكِّي زَكَاةَ الِانْفِرَادِ، وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ، لَا تَصِحُّ خُلْطَتُهُمَا مَعَ اخْتِلَافِ حَوْلِهِمَا حَتَّى يَكُونَ حَوْلُهُمَا مُتَّفِقًا، فَجَعَلَ اتِّفَاقَ الْحَوْلِ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْخُلْطَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهُ لَوْ كان اتفاق حولهما شرطاً في الخلطة يوجب أن يكون تساوي عمالهما شَرْطًا فِي الْخُلْطَةِ أَيْضًا، وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ على فساد ما اعتبره، فإذا قيل إنهما يزكيان عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ شَاةٍ، وَعَلَى قَوْلِهِ الْجَدِيدِ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا شَاةٌ.
PASAL
Adapun jenis yang kedua, yaitu apabila haul keduanya berbeda, seperti haul salah satunya pada bulan Muharram dan haul yang lain pada bulan Shafar. Maka ini terbagi menjadi dua:
Pertama: keduanya mencampurkan harta setelah masing-masing dari mereka berlalu sebagian masa dari haul-nya, seperti keduanya mencampurkan harta pada awal bulan Rajab, sementara telah berlalu dari haul pemilik harta yang haulnya Muharram selama enam bulan, dan dari haul pemilik harta yang haulnya Shafar selama lima bulan. Maka menurut mazhab al-Syafi‘i, masalah ini seperti yang sebelumnya, hanya saja haul mereka berbeda. Maka apabila telah sempurna haul masing-masing dari mereka, apakah zakatnya ditunaikan dengan zakat khulṭah atau tidak? Ada dua pendapat:
Menurut pendapat qadim, ditunaikan zakat khulṭah.
Menurut pendapat jadid, ditunaikan zakat infirād.
Abu al-‘Abbās Ibn Surayj berkata: tidak sah khulṭah keduanya jika haulnya berbeda, sampai haul keduanya harus sama, maka ia menjadikan kesamaan haul sebagai syarat sahnya khulṭah. Dan ini adalah kesalahan, karena seandainya kesamaan haul menjadi syarat dalam khulṭah, niscaya kesamaan para pekerja pun menjadi syarat dalam khulṭah, dan ini menunjukkan rusaknya anggapan yang ia jadikan syarat.
Maka jika dikatakan bahwa keduanya menunaikan zakat, maka atas masing-masing dari mereka setengah ekor kambing, dan menurut pendapat jadid atas masing-masing dari mereka satu ekor kambing.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَمْضِيَ لِأَحَدِهِمَا مُدَّةٌ مِنْ حَوْلِهِ دُونَ صَاحِبِهِ كَأَنَّ أَحَدَهُمَا مَلَكَ أَرْبَعِينَ شَاةً فِي غُرَّةِ الْمُحَرَّمِ، وَمَلَكَ الْآخَرُ أَرْبَعِينَ شاة فِي غُرَّةِ صَفَرٍ، وَخَلَطَهَا فِي الْحَالِ بِغَنَمِ صاحب الَّتِي قَدْ مَضَى مِنْ حَوْلِهَا شَهْرٌ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَصَاحِبُ الْمُحَرَّمِ الَّذِي قَدْ مَضَى مِنْ حَوْلِهِ فِي الِانْفِرَادِ شَهْرٌ هَلْ يُزَّكِّي زَكَاةَ الْخُلْطَةِ أَوْ زَكَاةَ الِانْفِرَادِ، عَلَى الْقَوْلَيْنِ، عَلَى الْقَدِيمِ يُزَكِّي زَكَاةَ الْخُلْطَةِ نِصْفَ شَاةٍ، وأما على الْجَدِيدِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا يُزَكِّي زَكَاةَ الْخُلْطَةِ نِصْفَ شَاةٍ لِوُجُودِ الْخُلْطَةِ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُزَكِّي زَكَاةَ الِانْفِرَادِ شَاةً لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَرْتَفِقْ خَلِيطُهُ بِهِ لَمْ يَرْتَفِقْ هُوَ بِخَلِيطِهِ.
Dan bentuk kedua: yaitu salah satu dari keduanya telah berlalu sebagian dari haul-nya tanpa disertai oleh yang lainnya. Misalnya, salah satu dari keduanya memiliki empat puluh ekor kambing pada awal bulan Muḥarram, sedangkan yang lain memiliki empat puluh kambing pada awal Ṣafar, lalu ia mencampurkan kambingnya saat itu juga dengan kambing temannya yang telah berlalu sebulan dari haul-nya.
Jika demikian keadaannya, maka orang yang memiliki kambing sejak Muḥarram — yang telah berlalu sebulan dari haul-nya dalam keadaan sendirian — apakah ia menunaikan zakat khalṭah atau zakat secara terpisah? Maka terdapat dua pendapat:
Menurut pendapat qadīm, ia menunaikan zakat khalṭah, yaitu setengah ekor kambing.
Adapun menurut pendapat jadīd, maka ada dua wajah, dan yang lebih aṣaḥḥ adalah ia menunaikan zakat khalṭah, yaitu setengah ekor kambing, karena khalṭah terdapat dalam haul secara keseluruhan.
Wajah yang kedua: ia menunaikan zakat secara terpisah, yaitu satu ekor kambing, karena ketika temannya tidak mendapat manfaat darinya, maka ia pun tidak mendapat manfaat dari temannya.
فَصْلٌ
: رَجُلَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَرْبَعُونَ شَاةً، بَاعَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ غَنَمِهِ مُشَاعًا بِنِصْفِ غَنَمِ صَاحِبِهِ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ حَوْلِهِ، وَخَلَطَا الْمَالَيْنِ فَصَارَ جَمِيعُهُ ثَمَانِينَ شَاةً بَيْنَهُمَا مِنْهَا أَرْبَعُونَ شَاةً قَدْ مَضَى مِنْ حَوْلِهَا سِتَّةُ أَشْهُرٍ، وَهُمَا التي لم تدخل تحت المبيع وَأَرْبَعُونَ شَاةً لَمْ يَمْضِ مِنْ حَوْلِهَا شَيْءٌ وَهِيَ الْمَبِيعَةُ، لِأَنَّ مَا مَضَى مِنْ حَوْلِهَا قَدْ بَطَلَ بِالْبَيْعِ، فَعَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَتَخْرِيجِهِ فِي الْمَسْأَلَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ أَنَّهُ إِذَا بَطَلَ حَوْلُ مَا بِيعَ بَطَلَ حَوْلُ غَيْرِ الْمَبِيعِ، يَقُولُ يَسْتَأْنِفَانِ حَوْلَ الثَّمَانِينَ مِنْ وَقْتِ التَّبَايُعِ، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَسَائِرِ أَصْحَابِنَا: إِنَّ بُطْلَانَ حَوْلِ مَا بِيعَ لَا يُوجِبُ بُطْلَانَ حَوْلِ غَيْرِ الْمَبِيعِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا تَمَّ حَوْلُ غَيْرِ الْمَبِيعِ بَعْدَ ستة أشهر من بعد التَّبَايُعِ فَقَدْ كَانَا فِي نِصْفِهِ الْأَوَّلِ مُنْفَرِدَيْنِ وَفِي نِصْفِهِ الثَّانِي خَلِيطَيْنِ، فَعَلَى قَوْلِهِ الْقَدِيمِ عَلَيْهِمَا نِصْفُ شَاةٍ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ربعها، وعلى الْجَدِيدِ عَلَيْهِمَا شَاةٌ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نَصِفُهَا، لِأَنَّ الْخُلْطَةَ لَمْ تُوجَدْ فِي جَمِيعِ الحول،فَأَمَّا الْأَرْبَعُونَ الْمَبِيعَةُ إِذَا تَمَّ حَوْلُهَا، فَعَلَى الْقَدِيمِ عَلَيْهِمَا نِصْفُ شَاةٍ، عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُبُعُهَا، وَعَلَى الْجَدِيدِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِمَا نِصْفُ شَاةٍ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُبُعُهَا لِوُجُودِ الْخُلْطَةِ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ.
وَالْوَجْهُ الثاني: أن عليهما شاة على كل واحد منهما نصفها، لأنه لما لم ترتفق تلك الأربعين الْأُوَلُ بِهَذِهِ الْأَرْبَعِينَ لَمْ تَرْتَفِقْ هَذِهِ بِتِلْكَ.
PASAL
Dua orang laki-laki masing-masing memiliki empat puluh ekor kambing. Masing-masing dari mereka menjual separuh kambingnya secara musya‘ (tidak ditentukan bagiannya) dengan separuh kambing milik temannya setelah enam bulan dari haul-nya, lalu mereka mencampurkan kedua harta tersebut, sehingga jumlah keseluruhan menjadi delapan puluh ekor kambing yang dimiliki bersama. Di antara delapan puluh ekor itu, terdapat empat puluh ekor kambing yang telah berlalu haul selama enam bulan, yaitu kambing yang tidak termasuk dalam objek jual beli, dan empat puluh ekor lainnya belum berlalu sedikit pun dari haulnya, karena haulnya gugur disebabkan oleh penjualan.
Menurut pendapat Abu al-‘Abbās Ibn Surayj dan hasil istinbath-nya dalam masalah sebelumnya, bahwa jika haul dari harta yang dijual gugur, maka haul dari harta yang tidak dijual juga ikut gugur. Maka menurutnya, keduanya memulai kembali menghitung haul untuk delapan puluh ekor itu sejak waktu transaksi jual beli.
Sedangkan menurut Abu Ishaq al-Marwazi dan mayoritas ulama mazhab kami: gugurnya haul dari harta yang dijual tidak menyebabkan gugurnya haul dari harta yang tidak dijual. Maka berdasarkan pendapat ini, jika telah sempurna haul dari harta yang tidak dijual setelah enam bulan dari transaksi jual beli, maka pada separuh waktu haul pertama mereka dalam keadaan sendiri-sendiri, dan pada separuh waktu kedua mereka dalam keadaan bercampur.
Maka menurut pendapat qadim, wajib atas keduanya setengah ekor kambing, yakni atas masing-masing seperempat ekor.
Sedangkan menurut pendapat jadid, wajib atas keduanya satu ekor kambing, yakni atas masing-masing separuhnya, karena khulṭah tidak terjadi selama seluruh haul.
Adapun empat puluh ekor kambing yang dijual, jika telah sempurna haulnya, maka:
- Menurut pendapat qadim, wajib atas keduanya setengah ekor kambing, atas masing-masing seperempatnya.
- Dan menurut pendapat jadid, terdapat dua wajah:
Pertama: wajib atas keduanya setengah ekor kambing, atas masing-masing seperempatnya, karena khulṭah terjadi selama seluruh haul.
Kedua: wajib atas keduanya satu ekor kambing, atas masing-masing separuhnya, karena ketika empat puluh ekor kambing yang pertama tidak mendapatkan manfaat dari empat puluh ekor kambing yang ini, maka yang ini pun tidak mendapatkan manfaat dari yang itu.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ بَيْنَ رَجُلَيْنِ أَرْبَعُونَ شَاةً وَلِأَحَدِهِمَا ببلدٍ آخر أربعون شاةً أَخَذَ الْمُصَدِّقُ مِنَ الشَّرِيكَيْنِ شَاةً ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهَا عَنْ صَاحِبِ الْأَرْبَعِينَ الْغَائِبَةِ وَرُبُعُهَا عَنِ الَّذِي لَهُ عِشْرُونَ لِأَنِّي أَضُمُّ مَالَ كُلِّ رَجُلٍ إِلَى مَالِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي أَرْبَعِينَ شَاةً بَيْنَ رَجُلَيْنِ، وَلِأَحَدِهِمَا بِبَلَدٍ آخر أربعون شَاةً مُفْرِدَةً، فَفِي قَدْرِ الزَّكَاةِ لِأَصْحَابِنَا أَرْبَعَةُ مَذَاهِبَ.
Masalah:
Al-Syafi‘i RA berkata: “Jika antara dua orang terdapat empat puluh ekor kambing, dan salah satunya memiliki empat puluh kambing lain di negeri lain, maka petugas zakat mengambil dari keduanya satu ekor kambing — tiga perempatnya dari pemilik empat puluh kambing yang berada di tempat lain, dan seperempatnya dari yang memiliki dua puluh, karena aku menggabungkan harta setiap orang dengan hartanya sendiri.”
Al-Māwardī berkata: Gambaran masalah ini adalah terdapat empat puluh kambing milik dua orang, dan salah satunya memiliki empat puluh kambing lain secara terpisah di negeri lain. Maka dalam kadar zakatnya, menurut para aṣḥāb kami terdapat empat pendapat.
أَحَدُهَا: وَهُوَ نَصُّ الشَّافِعِيِّ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ وَجُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ عَلَيْهِمَا شَاةً ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهَا عَنْ صَاحِبِ السِّتِّينَ، وَرُبُعُهَا عَنْ صَاحِبِ الْعِشْرِينَ، لِأَنَّ مِلْكَ الرَّجُلِ يَجِبُ ضَمُّ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ وَإِنِ افْتَرَقَ، فَإِذَا ضُمَّتِ الْغَائِبَةُ إِلَى الْحَاضِرَةِ صَارَ كَأَنَّهُ خَلِيطٌ بِجَمِيعِهِ وذلك ستون شاة من جملة ثمانين شاة، وَهَذَا أَصَحُّ الْمَذَاهِبِ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ عَلَى صَاحِبِ الْعِشْرِينَ نِصْفَ شَاةٍ، لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ أَرْبَعِينَ وَعَلَى صَاحِبِ السِّتِّينَ شَاةً كَمَا لَوِ انْفَرَدَتْ، قَالَ: لِأَنَّهُ لَوْ كَانَتِ الْخُلْطَةُ بِبَعْضِ الْمَالِ خُلْطَةٌ بِجَمِيعِهِ لَوَجَبَ إِذَا كَانَ بَيْنَهُمَا ثلاثين شَاةً وَلِأَحَدِهِمَا بِبَلَدٍ آخَرَ عَشْرٌ أَنْ تُضَمَّ إِلَى الثَّلَاثِينَ لِيَكْمُلَ النِّصَابُ وَتُؤْخَذَ مِنْهُ الزَّكَاةُ، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنْ لَا زَكَاةَ فِي هَذَا الْمَالِ، دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْخُلْطَةَ بِبَعْضِ الْمَالِ لَا تَكُونُ خُلْطَةً بِجَمِيعِهِ، وَأَنَّ مَا انفرد من مَالِ الْخُلْطَةِ لَهُ حُكْمُ نَفْسِهِ.
pertama: yaitu nash asy-Syafi‘i, dan ini pula pendapat Abu Ishaq serta jumhur sahabat kami, bahwa atas keduanya wajib seekor kambing, tiga perempatnya atas pemilik enam puluh, dan seperempatnya atas pemilik dua puluh, karena kepemilikan seseorang harus digabungkan sebagian dengan sebagian lainnya meskipun terpisah, maka apabila yang tidak hadir digabungkan dengan yang hadir, seolah-olah seluruhnya menjadi satu gabungan, dan itu adalah enam puluh kambing dari jumlah delapan puluh kambing, dan inilah mazhab yang paling shahih.
mazhab kedua: dan ini pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa atas pemilik dua puluh kambing setengah kambing, karena itu merupakan bagian dari empat puluh, dan atas pemilik enam puluh kambing seekor kambing sebagaimana jika ia sendirian. Ia berkata: karena jika khulṭah sebagian harta dianggap khulṭah seluruhnya, niscaya wajib apabila ada antara keduanya tiga puluh kambing dan salah satu dari mereka memiliki sepuluh kambing di negeri lain, maka sepuluh itu digabungkan dengan tiga puluh untuk menyempurnakan niṣāb dan diambil zakat darinya. Dan ijma‘ mereka atas tidak adanya zakat dalam harta ini merupakan dalil bahwa khulṭah sebagian harta tidak dianggap khulṭah seluruhnya, dan bahwa apa yang berdiri sendiri dari harta khulṭah maka ia memiliki hukum tersendiri.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ عَلَى صَاحِبِ الْعِشْرِينَ نِصْفَ شَاةٍ، وَعَلَى صَاحِبِ السِّتِّينَ شَاةً إِلَّا نِصْفَ سُدُسِ شَاةٍ، لِأَنَّهُ إِنَّمَا يَرْتَفِقُ بِالْخُلْطَةِ فِيمَا هُوَ خَلِيطٌ به دون غيره يزكي عَنِ الْمُنْفَرِدِ زَكَاةَ الْمُنْفَرِدِ، وَعَنِ الْمُخْتَلَطِ زَكَاةَ الْخُلْطَةِ، فَيُقَالُ لَوْ كَانَ مُنْفَرِدًا بِجَمِيعِ مَالِهِ وَهُوَ سِتُّونَ لَكَانَ عَلَيْهِ شَاةٌ، فَيَكُونُ عَلَيْهِ فِي الْأَرْبَعِينَ ثُلُثَا شَاةٍ، لِأَنَّهَا ثُلُثَا السِّتِّينَ، وَلَوْ كَانَ خَلِيطًا بِجَمِيعِ مَالِهِ لَكَانَ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ شَاةٍ، لِأَنَّهَا سِتُّونَ مِنْ جُمْلَةِ ثَمَانِينَ، فَيَكُونُ عَلَيْهِ فِي الْعِشْرِينَ الَّتِي هُوَ خَلِيطٌ بِهَا رُبُعُ شَاةٍ، لِأَنَّهَا رُبُعُ الثَّمَانِينَ ثُمَّ يَجْمَعُ الثُّلُثَيْنِ الْوَاجِبَيْنِ فِي الْأَرْبَعِينَ إِلَى الرُّبُعِ الْوَاجِبِ فِي الْعِشْرِينَ، فَيَكُونُ خَمْسَةَ أَسْدَاسٍ ونصف.
وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: أَنَّ عَلَى صَاحِبِ الْعِشْرِينَ نِصْفَ شَاةٍ، وَعَلَى صَاحِبِ السِّتِّينَ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ شَاةٍ، لِيَرْتَفِقَ صَاحِبُ السِّتِّينَ بِضَمِّ مَالِهِ الْغَائِبِ إِلَى الْحَاضِرِ، إِذْ لَا يَجُوزُ تَفْرِيقُهُ، وَلَا يَرْتَفِقُ صَاحِبُ الْعِشْرِينَ إِلَّا بِمَالِ الْخُلْطَةِ دُونَ مَا انْفَرَدَ.
Mazhab ketiga: bahwa atas pemilik dua puluh kambing wajib setengah ekor kambing, dan atas pemilik enam puluh kambing wajib satu ekor kambing dikurangi setengah dari seperenam kambing. Hal itu karena seseorang hanya dapat mengambil manfaat dari khalṭah dalam bagian yang ia campurkan saja, tidak pada yang lainnya. Maka ia menunaikan zakat untuk bagian yang terpisah dengan zakat orang yang terpisah, dan untuk bagian yang bercampur dengan zakat khalṭah.
Dikatakan: seandainya ia sendirian dengan seluruh hartanya yaitu enam puluh ekor, maka ia wajib satu ekor kambing, maka atas empat puluh ekor dari enam puluh itu adalah sepertiga dari satu ekor kambing, karena empat puluh adalah dua pertiga dari enam puluh.
Dan seandainya ia bercampur dengan seluruh hartanya, maka wajib atasnya tiga perempat ekor kambing, karena enam puluh adalah tiga perempat dari delapan puluh. Maka bagian dua puluh ekor yang merupakan hasil khalṭah, atasnya seperempat ekor kambing, karena itu seperempat dari delapan puluh.
Kemudian dijumlahkan dua pertiga (yang wajib pada empat puluh yang terpisah) dan seperempat (yang wajib pada dua puluh yang bercampur), maka hasilnya adalah lima perenam dan setengah.
Mazhab keempat: bahwa atas pemilik dua puluh kambing wajib setengah ekor kambing, dan atas pemilik enam puluh kambing wajib tiga perempat ekor kambing, agar pemilik enam puluh bisa mendapat manfaat dengan menggabungkan hartanya yang tidak hadir (jauh) dengan hartanya yang hadir, karena tidak boleh dipisahkan, sedangkan pemilik dua puluh tidak mendapat manfaat kecuali dari harta yang tercampur, bukan dari yang ia miliki secara terpisah.
فَصْلٌ
: وَإِذَا كَانَ لِرَجُلٍ سِتُّونَ شَاةً خَالَطَ بِكُلِّ عِشْرِينَ مِنْهَا رَجُلًا مَعَهُ عِشْرُونَ فَصَارَ مُخَالِطًا لِثَلَاثَةِ أَنْفُسٍ وَجَمِيعُ مَالِهِ وَمَالِهِمْ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ، لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الثَّلَاثَةِ عِشْرُونَ، وَلِلْأَوَّلِ سِتُّونَ، فَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي إِسْحَاقَ: عَلَى جَمَاعَتِهِمْ شَاةٌ، نِصْفُهَا عَنْ صَاحِبِ السِّتِّينَ، لِأَنَّ لها نِصْفَ الْمَالِ، وَنِصْفُهَا عَنِ الثَّلَاثَةِ الْخُلَطَاءِ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ سُدُسُهَا، لِأَنَّ لَهُمْ سِتِّينَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عِشْرُونَ، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَيْهِمْ شَاتَانِ وَنِصْفٌ، عَلَى الثَّلَاثَةِ مِنْهَا شَاةٌ وَنِصْفٌ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصْفُ شَاةٍ، لِأَنَّ لَهُ عِشْرِينَ مِنْ جُمْلَةِ أَرْبَعِينَ، وَعَلَى صَاحِبِ السِّتِّينَ شَاةٌ كَالْمُنْفَرِدِ بِسِتِّينَ، وَعَلَى الْمَذْهَبِ الثَّالِثِ وَالرَّابِعِ مَعًا عَلَيْهِمْ شَاتَانِ وَرُبُعٌ، مِنْهَا عَلَى الثَّلَاثَةِ شَاةٌ وَنِصْفٌ، على كل واحد منهم نصف شاة، لأنه لَهُ عِشْرِينَ مِنْ جُمْلَةِ أَرْبَعِينَ، وَعَلَى صَاحِبِ السِّتِّينَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ شَاةٍ، فَكَأَنَّهُ خَلِيطٌ بِهَا مَعَ عِشْرِينَ.
PASAL
Apabila seseorang memiliki enam puluh kambing, lalu ia mencampurkan setiap dua puluh ekornya dengan seorang laki-laki yang memiliki dua puluh ekor, maka ia menjadi berkhulṭah dengan tiga orang, dan jumlah seluruh harta miliknya dan milik mereka menjadi seratus dua puluh kambing — masing-masing dari ketiga orang tersebut memiliki dua puluh ekor, dan orang pertama memiliki enam puluh ekor.
Menurut mazhab Abu Ishaq: atas mereka secara keseluruhan wajib satu ekor kambing, setengahnya atas pemilik enam puluh karena ia memiliki setengah dari total harta, dan setengahnya lagi atas tiga orang khulathā’, yaitu masing-masing sepertiga dari setengah (seperenam), karena mereka memiliki enam puluh ekor — masing-masing dari mereka dua puluh.
Menurut mazhab Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: atas mereka wajib dua ekor kambing dan setengah. Atas ketiga orang tersebut satu setengah kambing, yaitu masing-masing setengah kambing, karena masing-masing memiliki dua puluh dari empat puluh. Dan atas pemilik enam puluh seekor kambing, sebagaimana jika ia sendirian dengan enam puluh.
Menurut mazhab ketiga dan keempat sekaligus: atas mereka dua ekor kambing dan seperempat, darinya atas ketiga orang tersebut satu setengah kambing — masing-masing setengah kambing, karena masing-masing memiliki dua puluh dari empat puluh. Dan atas pemilik enam puluh tiga perempat kambing, seakan-akan ia berkhulṭah dengan dua puluh kambing.
فَصْلٌ
: وَلَوْ كَانَ مَعَهُ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ خَالَطَ بِكُلِّ بَعِيرٍ مِنْهَا رَجُلًا مَعَهُ أَرْبَعَةُ أَبْعِرَةٍ فَصَارَ جَمِيعُ الْمَالِ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ بَعِيرًا بَيْنَ سِتَّةٍ لِأَحَدِهِمْ مِنْهَا خَمْسَةٌ، وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْبَاقِينَ أَرْبَعَةٌ، فَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي إِسْحَاقَ عَلَيْهِمْ بِنْتُ مَخَاضٍ، عَلَى صَاحِبِ الْخَمْسَةِ خُمُسُهَا، وَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْبَاقِينَ أربعة أجزاء من خمسة وعشرين جزءاً مِنْ بِنْتِ مَخَاضٍ، ثُمَّ عَلَى مَذْهَبِ أَبِي عَلِيٍّ وَالْبَاقِينَ يَكُونُ عَلَى قِيَاسِ مَا مَضَى، وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
PASAL
Seandainya seseorang memiliki lima ekor unta, lalu ia mencampurkan setiap satu ekor untanya dengan seorang lelaki yang masing-masing dari mereka memiliki empat ekor unta, sehingga seluruh harta menjadi dua puluh lima ekor unta milik enam orang — salah satu dari mereka memiliki lima ekor, dan masing-masing dari yang lainnya memiliki empat ekor — maka menurut mazhab Abū Isḥāq, atas mereka bersama-sama wajib satu ekor bint makhāḍ, dan atas pemilik lima ekor unta wajib seperlima dari bint makhāḍ, sedangkan atas masing-masing dari yang lainnya adalah empat bagian dari dua puluh lima bagian bint makhāḍ.
Kemudian menurut mazhab Abū ‘Alī dan selainnya, maka berlaku berdasarkan qiyās sebagaimana yang telah lalu. Dan Allah Ta‘ālā lebih mengetahui kebenaran.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وتجب الصَّدَقَةُ عَلَى كُلِّ مَالِكٍ تَامِّ الْمِلْكِ مِنَ الأحرار وإن كان صغيراً أو معتوهاً أو امرأة لا فرق بينهم في ذلك كما تجب في مال كل واحد منهم ما لزم ماله بوجه من الوجوه جناية أو ميراث أو نفقة على والد أو ولد زمن محتاج وسواء ذلك في الماشية والزرع وزكاة الفطرة وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال ” ابتغوا في أموال اليتيم – أو قال في أموال اليتامى – لا تأكلها الزكاة ” وعن عمر بن الخطاب وابن عمر وعائشة أن الزكاة في أموال اليتامى “.
BAB ORANG YANG WAJIB MEMBAYAR ZAKAT
Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Zakat wajib atas setiap pemilik yang memiliki kepemilikan penuh dari kalangan orang merdeka, meskipun ia masih kecil, orang gila, atau perempuan—tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini, sebagaimana wajib pada harta masing-masing dari mereka apabila harta itu terkena tanggungan dalam bentuk apa pun seperti diyat, warisan, atau nafkah kepada orang tua atau anak yang lemah dan membutuhkan. Sama saja dalam hal ini baik pada hewan ternak, tanaman, maupun zakat fitrah.”
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Carilah hasil dari harta anak yatim—atau beliau bersabda: dari harta anak-anak yatim—agar tidak dimakan oleh zakat.”
Dan dari ‘Umar bin al-Khattab, Ibnu ‘Umar, dan ‘Aisyah bahwa zakat wajib atas harta anak-anak yatim.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: كُلُّ حُرٍّ مُسْلِمٍ فَالزَّكَاةُ فِي مَالِهِ وَاجِبَةٌ، مُكَلَّفًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُكَلَّفٍ، وَقَالَ أبو حنيفة التَّكْلِيفُ مِنْ شَرْطِ وُجُوبِ الزَّكَاةِ، فَإِنْ كَانَ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، إِلَّا زَكَاةَ الفطر والأعشار استدلالاً بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَنْتَبِهَ ” وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ مَحْضَةٌ لَا تَلْزَمُ الْغَيْرَ عَلَى الْغَيْرِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَ غير مكلف كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، وَلِأَنَّ زَكَاةَ الْمُسْلِمِ تُقَابِلُ جِزْيَةَ الذمي لاعتبار الحول فيها، غَيْرَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ الزَّكَاةَ تَطْهِيرًا وَنِعْمَةً وَالْجِزْيَةَ صَغَارًا وَنِقْمَةً، فَلَمَّا لَمْ تَجِبِ الْجِزْيَةُ عَلَى غَيْرِ الْمُكَلَّفِ، اقْتَضَى أَنْ لَا تَجِبَ الزَّكَاةُ عَلَى غَيْرِ الْمُكَلَّفِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا) {التوبة: 103) وَالْهَاءُ وَالْمِيمُ فِي أَمْوَالِهِمْ كِنَايَةٌ تَرْجِعُ إِلَى مَذْكُورٍ تَقَدَّمَ وَهُوَ قَوْله تَعَالَى: {وَالسّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ المُهَاجِرِينَ وَالأَنْصار وَالذينَ اتّبَعُوهُمْ بإحْسَانٍ} (التوبة: 100) قِيلَ: اتَّبَعُوهُمْ فِي الْإِسْلَامِ مِنَ الذَّرَارِيِّ وَالْأَطْفَالِ.
kata al-Māwardī: Dan ini sebagaimana ia berkata: Setiap orang merdeka yang muslim maka zakat pada hartanya adalah wajib, baik ia mukallaf maupun tidak. Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa taklīf merupakan syarat wajibnya zakat. Maka jika ia masih kecil atau gila maka tidak wajib zakat atasnya, kecuali zakat fiṭr dan ‘usyur, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “Diangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai ia sadar, dari anak kecil sampai ia bermimpi (baligh), dan dari orang tidur sampai ia bangun.” Dan karena zakat adalah ibadah maḥḍah yang tidak diwajibkan kepada selain mukallaf, maka wajiblah bahwa zakat tidak dikenakan atas selain mukallaf seperti halnya salat dan puasa. Dan karena zakat bagi seorang muslim sebanding dengan jizyah bagi seorang żimmī, karena keduanya disyaratkan adanya ḥaul, hanya saja Allah Ta‘ālā menjadikan zakat sebagai pembersih dan nikmat, sedangkan jizyah sebagai kehinaan dan azab. Maka ketika jizyah tidak diwajibkan atas selain mukallaf, hal itu menunjukkan bahwa zakat pun tidak wajib atas selain mukallaf.
Dan dalil atas benarnya pendapat kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “Khudz min amwālihim ṣadaqah tuṭahhiruhum wa tuzakkīhim bihā” (at-Taubah: 103), dan kata hā’ dan mīm dalam amwālihim adalah kata ganti yang kembali kepada sesuatu yang telah disebut sebelumnya, yaitu firman-Nya Ta‘ālā: “Wa as-sābiqūna al-awwalūna mina al-muhājirīn wa al-anṣār wa alladzīna ittaba‘ūhum bi iḥsān” (at-Taubah: 100). Dikatakan: yang mengikuti mereka dalam Islam adalah dari kalangan anak-anak dan keturunan.
وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ابتغوا في أموال اليتامى كيلا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ.
وَرَوَى الْمُثَنَّى بْنُ الصَّبَّاحِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ وَلِيَ يَتِيمًا فَلْيَتَّجِرْ لَهُ وَلَا يتركه حتى تأكله الصدقة “.
روى مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” في مال اليتيم زكاة ” فإن قيل: هذا خطاب، والخطاب تكليف، ولا يَتَوَجَّهُ إِلَى غَيْرِ مُكَلَّفٍ، قِيلَ الْخِطَابُ ضَرْبَانِ:
Dan telah meriwayatkan ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Āṣ, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Carilah hasil (pengembangan) dari harta anak yatim agar tidak dimakan oleh zakat.”
Dan telah meriwayatkan al-Mutsannā bin aṣ-Ṣabbāḥ dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang mengurusi anak yatim, maka hendaklah ia mengusahakan harta untuknya dan jangan membiarkannya hingga dimakan oleh sedekah (zakat).”
Telah meriwayatkan Muḥammad bin ‘Ubaydillāh dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada harta anak yatim ada zakat.”
Jika dikatakan: ini adalah khithāb (seruan), sedangkan khithāb adalah taklīf, dan taklīf tidak diarahkan kepada selain yang mukallaf, maka dijawab: khithāb ada dua macam:
أَحَدُهُمَا: خِطَابُ مُوَاجَهَةٍ، وَذَلِكَ لَا يَتَوَجَّهُ إِلَى غير ما كلف، وَخِطَابُ إِلْزَامٍ كَمَسْأَلَتِنَا وَذَلِكَ يَتَوَجَّهُ إِلَى غَيْرِ الْمُكَلَّفِ كَتَوَجُّهِهِ إِلَى الْمُكَلَّفِ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ مَذْهَبُ عُمَرَ وَابْنِ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّهُ مِنْ أَصْلِ الْفِطْرَةِ فَجَازَ أَنْ تَجِبَ الزَّكَاةُ فِي مَالِهِ كَالْبَالِغِ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ، لِأَنَّهُ لَا مَالَ لَهُ، وَلِأَنَّ كُلَّ زَكَاةٍ تَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ جَازَ أَنْ تَجِبَ في مال غَيْرِ الْمُكَلَّفِ كَزَكَاةِ الْفِطْرِ، وَلِأَنَّ الْحُقُوقَ ضَرْبَانِ: حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى وَحَقٌّ لِلْآدَمِيِّ، وَحَقُّ الْآدَمِيِّ ضَرْبَانِ أَفْعَالُ أَبْدَانٍ كَالْقِصَاصِ، وَحَدِّ الْقَذْفِ، وَحُقُوقُ أموال كالمهر وَالنَّفَقَاتِ وَأُرُوشِ الْجِنَايَاتِ، فَمَا كَانَ مِنْ أَفْعَالِ الأبد أن يختص به المكلف من غَيْرِهِ، وَمَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ يَسْتَوِي فِيهِ الْمُكَلَّفُ وَغَيْرُهُ، كَذَلِكَ حُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى ضَرْبَانِ، أَفْعَالُ أَبْدَانٍ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، وَذَلِكَ يَخْتَصُّ بِهِ الْمُكَلَّفُ دُونَ غَيْرِهِ، وَحُقُوقُ أَمْوَالٍ كَالزَّكَوَاتِ يَجِبُ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهَا الْمُكَلَّفُ وَغَيْرُهُ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” رفع القلم ” فمعنى (رفع القلم) عَنْ نَفْسِهِ، لَا عَنْ مَالِهِ.
salah satunya: adalah khiṭāb muwājahah (perintah langsung), dan itu tidak berlaku bagi selain orang yang mukallaf. Sedangkan khiṭāb ilzām (perintah yang bersifat mewajibkan) seperti dalam permasalahan kita, maka hal itu berlaku bagi selain mukallaf sebagaimana hal itu berlaku atas mukallaf. Dan karena hal ini merupakan mazhab ‘Umar, Ibn ‘Umar, ‘Alī, dan ‘Ā’isyah RA, dan tidak diketahui ada seorang pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi mereka. Dan karena ini berasal dari aṣl al-fiṭrah, maka dibolehkan zakat diwajibkan pada hartanya sebagaimana orang yang telah baligh. Dan budak tidak termasuk dalam hal ini karena ia tidak memiliki harta. Dan karena setiap zakat yang wajib atas orang mukallaf, maka boleh juga diwajibkan pada harta selain mukallaf, seperti zakat fiṭr. Dan karena hak-hak terbagi menjadi dua: hak Allah Ta‘ālā dan hak manusia.
Dan hak manusia terbagi menjadi dua: perbuatan badan seperti qiṣāṣ dan ḥadd qazaf, dan hak-hak harta seperti mahar, nafkah, dan diyat luka—maka segala yang berupa perbuatan badan adalah khusus bagi mukallaf, tidak untuk selainnya. Sedangkan hak-hak harta, maka berlaku sama bagi mukallaf dan selain mukallaf.
Demikian pula hak-hak Allah Ta‘ālā terbagi menjadi dua: perbuatan badan seperti salat dan puasa, dan itu khusus bagi mukallaf saja; dan hak-hak harta seperti zakat, maka wajib berlaku sama bagi mukallaf dan selain mukallaf.
Adapun jawaban atas sabda Nabi SAW: “Rufi‘a al-qalam” (diangkat pena), maka maksud diangkat pena adalah dari dirinya, bukan dari hartanya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ فَلَا يَصِحُّ، لِأَنَّهُمْ إِنْ قَالُوا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ عَلَى الصَّبِيِّ، قُلْنَا لَيْسَتْ وَاجِبَةً عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا هِيَ وَاجِبَةٌ فِي مَالِهِ، وَإِنْ قَالُوا: فَوَجَبَ أَنْ لَا تَجِبَ فِي مَالِهِ، لَمْ يُوجَدْ هَذَا الْوَصْفُ فِي الْأَصْلِ الْمَرْدُودِ إِلَيْهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ أَنَّهُمَا مِنْ أَفْعَالِ الْأَبْدَانِ وَالزَّكَوَاتِ مِنْ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ وَحُكْمُهُمَا مُفْتَرِقٌ بِالِاسْتِدْلَالِ الْمُتَقَدِّمِ، فَلَمْ يَصِحَّ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا، أَلَا تَرَى أَنَّهُمْ فَرَّقُوا بَيْنَ زَكَاةِ الفطر وبين الصَّلَاةِ، وَبِمِثْلِهِ يُفَرَّقُ بَيْنَ زَكَوَاتِ الْأَمْوَالِ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْجِزْيَةِ فَلَا يَصِحُّ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّ وُجُوبَ الْجِزْيَةِ أَضْيَقُ، وَوُجُوبَ الزَّكَاةِ أَوْسَعُ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْجِزْيَةَ تَجِبُ عَلَى الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ، وَالزَّكَاةَ تَجِبُ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فَلَمْ يَصِحَّ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Adapun qiyās mereka terhadap salat dan puasa, maka tidak sah. Karena jika mereka berkata, “Maka seharusnya tidak wajib atas anak kecil,” kami katakan: itu memang tidak wajib atas dirinya, tetapi wajib atas hartanya. Dan jika mereka berkata, “Maka seharusnya tidak wajib atas hartanya,” maka sifat ini tidak terdapat pada aṣl (pokok hukum) yang dijadikan rujukan, yaitu salat dan puasa.
Padahal makna yang terkandung dalam salat dan puasa adalah bahwa keduanya merupakan amal badan, sedangkan zakat adalah bagian dari hak harta, dan hukum keduanya berbeda berdasarkan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Maka tidak sah menggabungkan keduanya.
Tidakkah engkau lihat bahwa mereka membedakan antara zakat fitrah dan salat? Maka dengan cara yang sama pula dibedakan antara zakat harta dan salat.
Adapun apa yang mereka sebutkan tentang jizyah, maka tidak sah pula mengqiyaskannya, karena kewajiban jizyah lebih sempit, sedangkan kewajiban zakat lebih luas. Tidakkah engkau lihat bahwa jizyah hanya wajib atas laki-laki, tidak atas perempuan, sedangkan zakat wajib atas laki-laki dan perempuan? Maka tidak sah menggabungkan keduanya.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
الْقَوْلُ فِي زَكَاةِ الْمُكَاتَبِ
Pembahasan tentang zakat al-mukātib.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فأما مال المكاتب فخارجٌ من مِلْكِ مَوْلَاهُ إِلَّا بِالْعَجْزِ وَمُلْكُهُ غَيْرُ تَامٍّ عَلَيْهِ فَإِنْ عَتَقَ فَكَأَنَّهُ اسْتَفَادَ مِنْ سَاعَتِهِ وَإِنْ عَجَزَ فَكَأَنَّ مَوْلَاهُ اسْتَفَادَ مِنْ سَاعَتِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
لَا زَكَاةَ فِي مَالِ الْمُكَاتَبِ، وَبِهِ قَالَ فُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ، وَحُكِيَ عَنْ عِكْرِمَةَ وَأَبِي ثَوْرٍ أَنَّ الزَّكَاةَ في ماله، اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ الظَّوَاهِرِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، قَالُوا وَلَيْسَ فِي الْمُكَاتَبِ أَكْثَرُ مِنْ نُقْصَانِ التَّصَرُّفِ، وَذَلِكَ غَيْرُ مَانِعٍ مِنْ وُجُوبِ الزَّكَاةِ كَالْمَحْجُورِ عَلَيْهِ لِسَفَهٍ أَوْ فَلَسٍ، وَهَذَا غَلَطٌ.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Adapun harta mukātab maka ia keluar dari kepemilikan tuannya, kecuali bila ia tidak mampu (melunasi), dan kepemilikannya (si mukātab) tidak sempurna atas harta tersebut. Jika ia merdeka, maka seakan-akan ia memperoleh harta itu saat itu juga, dan jika ia tidak mampu, maka seakan-akan tuannya yang memperolehnya saat itu juga.”
Berkata al-Māwardī: Dan ini sebagaimana ia (al-Syāfi‘ī) katakan.
Tidak ada zakat pada harta mukātab, dan inilah pendapat para fuqahā’ di berbagai negeri. Dan diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Abū Thawr bahwa zakat wajib atas hartanya, dengan berdalil pada keumuman teks lahiriah dari al-Qur’an dan Sunnah. Mereka berkata: Tidak ada pada mukātab lebih dari kurangnya hak bertindak (taṣarruf), dan itu tidak mencegah kewajiban zakat, sebagaimana orang yang ditahan hak taṣarruf-nya karena safah (bodoh dalam mengelola harta) atau bangkrut.
Namun ini adalah kesalahan.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَعَنْهُمْ قَالَ: ” لَا زَكَاةَ فِي مَالِ الْمُكَاتَبِ ” وَلَيْسَ لَهُ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ.
وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، ولأن المكاتب ناقص الملك، لأنه لا يورث ولا يرث فَلَمْ تَلْزَمْهُ الزَّكَاةُ، لِأَنَّ مِنْ شَرْطِهَا تَمَامُ الملك، ولهذا الْمَعْنَى فَرَّقْنَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّفِيهِ وَالْمُفْلِسِ، لِأَنَّ مِلْكَهُمَا تَامٌّ، أَلَا تَرَى أَنَّهُمَا يَرِثَانِ وَيُورَثَانِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فَإِنْ عَجَزَ عَادَ الْمِلْكُ إِلَى سَيِّدِهِ وَيَسْتَأْنِفُ الْحَوْلَ مِنْ وَقْتِ عَوْدِهِ وَإِنْ عُتِقَ مَلَكَ مَالَ نَفْسِهِ، وَاسْتَأْنَفَ الْحَوْلَ مِنْ يَوْمِ عِتْقِهِ.
Dan dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat yang kami pegangi adalah ijma‘ para sahabat, karena ‘Umar RA berkata: “Tidak ada zakat pada harta al-mukātib”, dan tidak ada seorang pun dari para sahabat yang menyelisihinya.
Telah diriwayatkan pula hadis ini dari Jābir dari Rasulullah SAW.
Dan karena mukātib kepemilikannya tidak sempurna, sebab ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi, maka tidak wajib atasnya zakat, karena salah satu syarat zakat adalah sempurnanya kepemilikan. Atas dasar makna ini pula kami membedakan antara dia dengan orang safīh dan orang muflis, karena kepemilikan keduanya sempurna — tidakkah engkau melihat bahwa keduanya bisa mewarisi dan diwarisi?
Maka apabila telah tetap bahwa tidak ada zakat atasnya (al-mukātib), lalu jika ia tidak mampu (melunasi), maka kepemilikan kembali kepada tuannya, dan hitungan haul dimulai kembali sejak saat kembalinya (kepemilikan). Dan jika ia dimerdekakan, maka ia memiliki hartanya secara penuh, dan haul dihitung dari hari kemerdekaannya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْعَبْدُ إِذَا مَلَّكَهُ السَّيِّدُ مَالًا فَهَلْ يَمْلِكُهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: فَإِنْ قِيلَ لَا يَمْلِكُ وَهُوَ الصَّحِيحُ، فَعَلَى السَّيِّدِ زَكَاتُهُ، وَإِنْ قِيلَ يَمْلِكُ فَلَا زَكَاةَ عَلَى السَّيِّدِ، لِخُرُوجِهِ مِنْ مِلْكِهِ، وَلَا عَلَى الْعَبْدِ لِرِقِّهِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: تَجِبُ زَكَاتُهُ عَلَى سَيِّدِهِ لِأَنَّ لَهُ انْتِزَاعَ الْمَالِ مِنْ يَدِهِ، وهذا غلط، والأول أصح؛ لأنه ليس له جواز الرجوع فيه بموجب بقائه عَلَى الْمِلْكِ، لِأَنَّ لِلْوَالِدِ أَنْ يَرْجِعَ فِيمَا وهب ولده لَهُ، وَلَيْسَ بِبَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ وَلَا هُوَ مُخَاطَبٌ بِزَكَاتِهِ، كَذَلِكَ السَّيِّدُ مَعَ عَبْدِهِ، وَاللَّهُ أعلم بالصواب.
PASAL
Adapun budak, apabila tuannya memberikan kepadanya harta, maka apakah ia memilikinya atau tidak? Ada dua pendapat. Jika dikatakan tidak memilikinya—dan ini yang ṣaḥīḥ—maka zakatnya wajib atas tuannya. Namun jika dikatakan bahwa budak itu memilikinya, maka tidak ada zakat atas tuannya karena hartanya telah keluar dari kepemilikannya, dan tidak pula atas budak karena statusnya sebagai hamba sahaya.
Sebagian dari kalangan kami ada yang berpendapat: zakatnya tetap wajib atas tuannya karena ia memiliki hak untuk mengambil kembali harta itu dari tangan budak. Pendapat ini salah, dan pendapat pertama lebih benar, karena tidak sah dianggap tetap dalam kepemilikan hanya karena adanya kemungkinan untuk menarik kembali. Sebab orang tua boleh menarik kembali pemberiannya kepada anak, namun itu tidak berarti pemberian tersebut masih berada dalam kepemilikannya, dan ia juga tidak dibebani kewajiban zakat atasnya. Demikian pula halnya antara tuan dan budaknya. Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وأحب أَنْ يَبْعَثَ الْوَالِي الْمُصَدِّقَ فَيُوَافِي أَهْلَ الصَّدَقَةِ مَعَ حُلُولِ الْحَوْلِ فَيَأْخُذُ صَدَقَاتِهِمْ وَأُحِبُّ ذَلِكَ في المحرم وكذا رأيت السعاة عندما كَانَ الْمُحَرَّمُ شِتَاءً أَوْ صَيْفًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
وَجُمْلَةُ الْأَمْوَالِ ضَرْبَانِ:
BAB WAKTU WAJIBNYA ZAKAT DAN DI MANA AMIL MENGAMBILNYA
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Aku menyukai agar penguasa mengutus amil zakat, lalu ia menemui orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat ketika telah sempurna haulnya, lalu mengambil zakat mereka. Aku menyukai hal itu dilakukan pada bulan Muharam. Demikian pula aku melihat para petugas zakat dahulu melakukannya, baik Muharam itu jatuh pada musim dingin maupun musim panas.”
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.
Dan keseluruhan harta terbagi menjadi dua jenis:
ضَرْبٌ لَا يُعْتَبَرُ فِيهِ الْحَوْلُ كَالزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَجِيءُ السَّاعِي لِأَخْذِ زَكَاتِهَا فِي وَقْتِ إِدْرَاكِهَا، وَقَدْ يَخْتَلِفُ إِدْرَاكُ الثِّمَارِ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِ الزَّمَانِ، فَلَمْ يُمْكِنْ تَعْيِينُ وَقْتِهِ، وَضَرْبٌ يُعْتَبَرُ فِيهِ الْحَوْلُ كَالْمَوَاشِي، فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ وقت مَجِيءُ السَّاعِي مَعْرُوفًا، لِيَتَأَهَّبَ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ لِدَفْعِهَا، وَيَتَأَهَّبَ الْفُقَرَاءُ لِأَخْذِهَا، وَيَخْتَارَ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ فِي الْمُحَرَّمِ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: ” هَذَا شهر زكاتكم فمن كان عليه دين فليقضه وليترك بقية ماله ” ولأن العمل جار به، ولأنه رَأْسُ السَّنَةِ وَمِنْهُ التَّارِيخُ، وَقَدْ كَانَ الْمُسْلِمُونَ يؤرخون من رَبِيعٍ الْأَوَّلِ لِوُقُوعِ الْهِجْرَةِ فِيهِ، ثُمَّ رَأَوْا تَقْدِيمَهُ إِلَى الْمُحَرَّمِ لِأَنَّهُ أَوَّلُ السَّنَةِ، فَإِذَا تقرر أن المحرم أول فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يُنْفِذَ السُّعَاةَ وَالْجُبَاةَ قَبْلَ الْمُحَرَّمِ بِزَمَانٍ يُعْلَمُ أَنَّهُمْ يُوَافُونَ أَرْبَابَ الْأَمْوَالِ فِي أَوَّلِ الْمُحَرَّمِ، وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِحَسْبِ قُرْبِ الْمَسَافَةِ وَبُعْدِهَا، فَإِذَا وَصَلَ السَّاعِي فِي الْمُحَرَّمِ فَمَنْ حَالَ حَوْلُهُ مِنْ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ أَخَذَ مِنْهُ الزَّكَاةَ، وَمَنْ لَمْ يَحُلْ حَوْلُهُ تَعَجَّلَ مِنْهُ الزَّكَاةَ إِنْ أَجَابَ رَبُّ الْمَالِ إِلَيْهَا، وَإِنْ أَبَى أَنْ يُعَجِّلَهَا لَمْ يُجْبِرْهُ عَلَى تعجيلها، وكان الساعي بين أن يستخلف من يأخذ منه عند حلولها، وَبَيْنَ أَنْ لَا يَسْتَخْلِفَ لِيَأْخُذَهَا مِنْهُ فِي وقتها.
Jenis zakat yang tidak disyaratkan ḥaul (berlalunya satu tahun) seperti tanaman dan buah-buahan, maka seharusnya kedatangan petugas zakat untuk mengambil zakatnya dilakukan pada waktu masaknya hasil tersebut. Dan masa masaknya buah bisa berbeda-beda sesuai perbedaan waktu, maka tidak mungkin ditentukan waktunya secara pasti.
Dan ada jenis zakat yang disyaratkan ḥaul seperti hewan ternak, maka seharusnya waktu kedatangan petugas zakat sudah diketahui agar para pemilik harta dapat bersiap untuk membayarnya, dan para fakir miskin pun bersiap untuk menerimanya. Waktu yang dipilih adalah bulan Muḥarram, berdasarkan riwayat dari ‘Uṡmān bin ‘Affān RA bahwa ia berkata: “Ini adalah bulan zakat kalian, maka siapa yang memiliki utang hendaklah melunasinya dan sisanya biarkan untuk zakat.”
Hal ini juga karena telah menjadi praktik yang berlangsung, dan karena Muḥarram adalah awal tahun dan dari situlah dimulai perhitungan tahun. Dahulu kaum Muslimin menghitung tahun dari bulan Rabī‘ul-Awwal karena hijrah terjadi pada bulan itu, kemudian mereka memutuskan untuk memajukannya ke Muḥarram karena ia adalah bulan pertama dalam tahun.
Maka apabila telah ditetapkan bahwa Muḥarram adalah awal tahun, seharusnya imam mengirim para petugas zakat dan pemungut zakat sebelum masuknya bulan Muḥarram, dengan cukup waktu agar mereka sampai kepada para pemilik harta pada awal Muḥarram. Hal ini berbeda-beda tergantung pada dekat atau jauhnya jarak.
Jika petugas zakat sampai pada bulan Muḥarram, maka siapa saja dari para pemilik harta yang sudah sempurna ḥaul-nya, petugas zakat mengambil zakat darinya. Dan siapa yang belum sempurna ḥaul-nya, maka zakatnya dipercepat apabila pemilik harta bersedia. Namun jika ia enggan mempercepatnya, maka ia tidak boleh dipaksa. Maka petugas zakat boleh memilih antara menunjuk pengganti yang akan mengambil zakat saat waktunya tiba, atau tidak menunjuk pengganti dan ia sendiri yang akan mengambilnya pada waktunya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَأْخُذُهَا عَلَى مِيَاهِ أَهْلِ الْمَاشِيَةِ وَعَلَى رَبِّ الْمَاشِيَةِ أَنْ يُورِدَهَا الْمَاءَ لِتُؤْخَذَ صَدَقَتُهَا عَلَيْهِ وإذا جرت الماشية عن الماء فعلى المصدق أن يأخذها في بيوت أهلها وأفنيتهم وليس عليه أن يتبعها راعيةً ويحصرها إلى مضيق تخرج منه واحدة واحدة فيعدها كذلك حتى يأتي على عدتها “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى فِي زَمَانِ الْأَخْذِ، وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي كَيْفِيَّةِ الْأَخْذِ، وَفِي مَوْضِعِ الْأَخْذِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَاشِيَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَجِدَهَا فِي بُيُوتِ أَهْلِهَا، فَهُنَاكَ يَأْخُذُ زَكَاتَهَا.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَجِدَهَا عَلَى مِيَاهِ أَهْلِهَا، فَلَا يُكَلِّفُ رَبَّ الْمَالِ أَنْ يَسُوقَهَا إِلَى بَيْتِهِ، وَيَأْخُذُ زَكَاتَهَا عَلَى مَاءِ شُرْبِهَا، لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَتَبَ لِحَارِثَةَ بْنِ قَطَنٍ وَمَنْ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ مِنْ كَلْبٍ إِنَّ لَنَا الضَّاحِيَةَ مِنَ الْبَعْلِ ولكم الضاحية منه من النخل، لا نجمع سارحتكم ولا نعد فَارِدَتَكُمْ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Dan amil zakat mengambilnya (zakat) di tempat-tempat air milik para pemilik hewan ternak, dan wajib atas pemilik hewan untuk menggiring hewannya ke tempat air agar zakatnya diambil di sana. Jika hewan-hewan itu menjauh dari sumber air, maka amil zakat mengambil zakatnya di rumah-rumah pemiliknya dan di pelataran mereka. Tidak wajib atasnya untuk mengikuti hewan itu ke padang gembalaan dan mengurungnya ke dalam tempat sempit yang hanya cukup keluar satu per satu agar bisa dihitung seperti itu sampai selesai menghitung seluruh jumlahnya.”
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan pembahasan dalam masalah pertama mengenai waktu pengambilan, sedangkan pembahasan dalam masalah ini adalah tentang cara pengambilan dan tempat pengambilan. Maka keadaan hewan ternak tidak lepas dari tiga bagian:
Pertama: Jika ia (amil zakat) menjumpainya di rumah-rumah pemiliknya, maka di sanalah ia mengambil zakatnya.
Kedua: Jika ia menjumpainya di tempat air minum milik pemiliknya, maka tidak boleh membebani pemilik harta untuk menggiringnya ke rumahnya, dan ia mengambil zakatnya di tempat air minumnya, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW menulis surat untuk Ḥāritsah bin Qaṭan dan orang-orang dari Kalb yang berada di Dūmat al-Jandal:
“Sesungguhnya bagian yang kami miliki dari tanaman hujan adalah bagian padang, dan bagian kalian dari pohon kurma adalah bagian padang, kami tidak akan mengumpulkan hewan-hewan gembalaan kalian, dan tidak pula menghitung yang terpisah dari kawanan kalian.”
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: فَالضَّاحِيَةُ هِيَ النَّخْلُ الظَّاهِرَةُ فِي الْبَرِّ، وَالْبَعْلُ مَا يَشْرَبُ بِعُرُوقِهِ من غير سقي، والضاحية ما تضمها أمصارهم وقراهم، وقوله: ” لا نجمع سارحتكم ” أي: لا يجمع المواشي السارحة إلى الصدقة، وقوله ” لا نعد فاردتكم ” لَا تُضَمُّ الشَّاةُ الْفَارِدَةُ إِلَى الشَّاةِ الْفَارِدَةِ لِيُحْتَسَبَ بِهَا فِي الصَّدَقَةِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَجِدَهَا رَاعِيَةً، فَلَا يُكَلَّفُ السَّاعِي أَنْ يَتْبَعَهَا رَاعِيَةً لِمَا يَنَالُهُ مِنَ الْمَشَقَّةِ فِي اتِّبَاعِهَا، وَلَا يُكَلَّفُ رَبُّ الْمَالِ أَنْ يَجْلِبَهَا إِلَى فِنَاءِ دَارِهِ لِمَا عَلَيْهِ مِنَ الْمَشَقَّةِ فِي جَلْبِهَا، بَلْ عَلَى رَبِّ الْمَالِ أَنْ يَجْمَعَهَا عَلَى الْمَاءِ، فَإِنَّ ذَلِكَ أَرْفَقُ بِهِمَا، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” لَا جَلَبَ وَلَا جَنَبَ ” يَعْنِي: أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ جَلْبُهَا إِلَى بيوتهم، ولأنهم أَنْ يُجَانِبُوهَا فَيَتْبَعَهَا السَّاعِي فِي مَرَاعِيهِمْ، وَقَالَ قَتَادَةُ الْجَلَبُ وَالْجَنَبُ فِي الرِّهَانِ وَقَدْ كَانَ للسعاة فيها طبل يضربون به عند مخيمهم لِيَعْلَمَ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ فَيَتَأَهَّبُوا لِجَمْعِ مَوَاشِيهِمْ، وَفِي ذَلِكَ يَقُولُ جَرِيرٌ:
Abū ‘Ubaid berkata: ḍāḥiyah adalah pohon kurma yang tumbuh tampak di padang, sedangkan ba‘l adalah tanaman yang minum dari akar-akarnya tanpa disirami. ḍāḥiyah juga bermakna tanaman yang berada dalam kota atau desa mereka. Adapun sabdanya: “lā najma‘u sāriḥatakum” maksudnya adalah tidak digabungkan hewan ternak yang sedang digembalakan untuk keperluan zakat. Dan sabdanya: “lā nu‘addu fāridatakum” maksudnya adalah kambing yang menyendiri tidak digabungkan dengan kambing lain yang juga menyendiri untuk dihitung sebagai bagian dari zakat.
Bagian ketiga: apabila petugas menemukannya sedang digembalakan, maka petugas tidak dibebani untuk mengikuti hewan yang sedang digembalakan karena kesulitan yang ditimbulkan oleh hal itu. Begitu pula pemilik harta tidak dibebani untuk membawanya ke halaman rumahnya karena kesulitan yang ada dalam membawanya. Akan tetapi, yang wajib atas pemilik harta adalah mengumpulkannya di tempat air (sumber air), karena hal itu lebih ringan bagi keduanya.
Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: lā jalaba wa lā janaba—artinya tidak wajib atas para pemilik harta untuk membawa hewan mereka ke rumah-rumah mereka, dan tidak pula menjauhkannya agar petugas mengejarnya ke padang gembala mereka.
Qatādah berkata: al-jalab dan al-janab berkaitan dengan taruhan. Para petugas zakat dahulu memiliki gendang yang mereka pukul di perkemahan mereka agar para pemilik harta mengetahuinya lalu bersiap untuk mengumpulkan hewan ternak mereka.
Tentang hal itu Jarīr berkata:
(أَتَانَا أَبُو الْخَطَّابِ يَضْرِبُ طَبْلَهُ … فَرُدَّ وَلَمْ يَأْخُذْ عِقَالًا وَلَا نَقْدَا)
قيل إن العقال الماشية، والنقد الذهب والورق، وَقِيلَ بَلِ الْعِقَالُ الْقِيمَةُ، وَالنَّقْدُ الْفَرِيضَةُ، وَقِيلَ الْعِقَالُ صَدَقَةُ عَامَيْنِ، وَالنَّقْدُ صَدَقَةُ عَامٍ، وَأَنْشَدَ ثَعْلَبٌ:
(سَعَى عِقَالًا فَلَمْ يَتْرُكْ لَنَا سَبَدًا … فكيف لو قد سعى عمرو عقالين؟)
(لا صبح الْحَيُّ أَوْتَادًا وَلَمْ يَجِدُوا … عِنْدَ التَّفَرُّقِ فِي الهيجا جمالين)
فَهَذَا الْكَلَامُ فِي مَوْضِعِ الْأَخْذِ.
(Datang kepada kami Abu al-Khaṭṭāb menabuh rebana… maka ia ditolak dan tidak mengambil ‘iqāl dan tidak pula naqdan)
Dikatakan bahwa ‘iqāl adalah hewan ternak, dan naqad adalah emas dan perak.
Dan ada yang mengatakan bahwa ‘iqāl adalah nilai (harta dalam bentuk harga), dan naqad adalah zakat sesuai kadar yang ditentukan (fariḍah).
Ada pula yang mengatakan bahwa ‘iqāl adalah zakat dua tahun, dan naqad adalah zakat satu tahun.
Ts̱a‘lab membacakan syair:
“Ia memungut ‘iqāl hingga tak tersisa sehelai rambut pun bagi kami…
Maka bagaimana jika ‘Amr memungut dua ‘iqāl?”
“Semoga tidak datang pagi suatu kabilah dalam keadaan kokoh, sedang mereka tidak mendapati dua unta pun di saat berpisah dalam medan pertempuran.”
Maka ini adalah pembahasan tentang tempat pengambilan.
فَأَمَّا كَيْفِيَّةُ الْأَخْذِ: فَهُوَ: أَنْ يَبْدَأَ السَّاعِي بِأَسْبَقِ الْمَوَاشِي وَأَقْرَبِهَا إِلَيْهِ. فَيَأْمُرَ بِضَمِّهَا إِلَى مَضِيقٍ مِنْ جِدَارٍ أَوْ حِظَارٍ أَوْ جَبَلٍ، وَيَحْضُرُ الْكَاتِبُ فَيَكْتُبُ اسْمَ مَالِكِهَا، وَيَقِفُ الْعَادُّ فِي أَضْيَقِ المواضع ليعدها، والحشار يحشرها لِيَعُدَّهَا الْعَادُّ بَعِيرًا بَعِيرًا، وَيَكُونُ بِيَدِهِ عَوْدٌ يشير به إليها ويرفع صوته بالعدد لِتُؤْمَنَ عَلَيْهِ الْخِيَانَةُ وَالْغَلَطُ، حَتَّى يَأْتِيَ عَلَى جَمِيعِ الْمَاشِيَةِ ثُمَّ يُثْبِتُهَا الْكَاتِبُ عَلَى رَبِّ المال.
قال الشافعي وهذا أخصر العدد وأوحاه، وبه جرت العادة، فإذا ادَّعَى رَبُّ الْمَالِ غَلَطًا عَلَى السَّاعِي أَوِ ادَّعَى السَّاعِي غَلَطًا عَلَى رَبِّ الْمَالِ أُعِيدَ العدد ليزول الشك.
Adapun tata cara pengambilan (zakat), maka caranya adalah: petugas zakat memulai dari hewan ternak yang paling dahulu dijangkau dan paling dekat darinya. Lalu ia memerintahkan agar hewan-hewan itu dikumpulkan di tempat yang sempit, seperti dinding, kandang, atau gunung.
Kemudian hadir penulis untuk menulis nama pemilik harta, dan petugas penghitung berdiri di tempat tersempit untuk menghitung, sementara penggiring menggiring hewan-hewan tersebut agar dihitung satu per satu oleh penghitung, unta demi unta. Di tangannya terdapat tongkat kecil (‘aud) yang digunakan untuk menunjuk kepada hewan yang dihitung dan ia mengangkat suaranya ketika menyebut angka, agar aman dari pengkhianatan dan kesalahan.
Setelah seluruh hewan selesai dihitung, penulis mencatat hasilnya atas nama pemilik harta.
Imam al-Syafi‘i berkata: “Inilah cara menghitung yang paling ringkas dan paling cepat, dan memang sudah menjadi kebiasaan yang berjalan.” Maka jika pemilik harta mengklaim adanya kesalahan pada petugas, atau petugas mengklaim adanya kesalahan pada pemilik harta, maka perhitungan diulang kembali agar keraguan hilang.
فَصْلٌ
: وَلَا يَجُوزُ لِلسَّاعِي أَنْ يَسْتَعْمِلَ أَرْبَابَ الْأَمْوَالِ، وَلَا أَنْ يُلْزِمَهُمْ جُعْلَ أَتْبَاعِهِ، لِأَنَّهُ وَهُمْ وُكَلَاءُ أَهْلِ السُّهْمَانِ دُونَ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ، وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى أُجُورَهُمْ فِي الزَّكَاةِ، وَفَرَضَ سَهْمًا لِلْعَامِلِينَ، فَلَمْ يَجُزْ أَخْذُ أُجُورِهِمْ إِلَّا مِنَ الْمَالِ الَّذِي أَذِنَ اللَّهُ أَنْ يُصْرَفَ فِيهِمْ، وَلَا يَجُوزَ لِلسَّاعِي أَنْ يَقْبَلَ من أرباب الأموال هدية، لأنهم يهادونه إما لِأَنْ يَتْرُكَ عَلَيْهِمْ حَقًّا، أَوْ لِيَدْفَعَ عَنْهُمْ ظُلْمًا، فَيَصِيرُ مُرْتَشِيًا عَلَى تَرْكِ حَقٍّ أَوْ دَفْعِ ظُلْمٍ، وَذَلِكَ حَرَامٌ.
PASAL
Tidak boleh bagi sā‘ī (petugas zakat) menggunakan para pemilik harta sebagai pekerja, dan tidak boleh pula mewajibkan mereka membayar upah bagi para pengikutnya, karena ia dan para pengikutnya adalah wakil bagi para mustaḥiq zakat, bukan wakil para pemilik harta.
Allah Ta‘ala telah menjadikan upah mereka diambil dari zakat dan telah mewajibkan satu bagian untuk para ‘āmilīn (amil zakat), maka tidak boleh mengambil upah mereka kecuali dari harta yang telah diizinkan oleh Allah untuk disalurkan kepadanya.
Dan tidak boleh pula bagi sā‘ī menerima hadiah dari para pemilik harta, karena mereka memberinya hadiah — bisa jadi — agar ia meninggalkan hak yang wajib atas mereka, atau untuk menolak kezhaliman darinya, sehingga ia menjadi suap penerima suap atas penelantaran hak atau penghilangan kezhaliman, dan itu adalah haram.
وَقَدْ رَوَى أَبُو إِدْرِيسَ عَنْ ثَوْبَانَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَعَنَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ ” ذَكَرَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ فِي ” غَرِيبِ الْحَدِيثِ ” فَالرَّاشِي دَافِعُ الرَّشْوَةِ، وَالْمُرْتَشِي قَابِلُ الرَّشْوَةِ، وَالرَّائِشُ الْمُتَوَسِّطُ بَيْنَهُمَا، وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ مُصَدِّقًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللبية فَجَاءَ بِأَشْيَاءَ فَعَزَلَ بَعْضَهَا وَقَالَ: هَذَا لَكُمْ وَعَزَلَ بَعْضَهَا وَقَالَ: هَذَا أُهْدِيَ إِلَيَّ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غضباً شديداً ورقى الْمِنْبَرَ وَقَالَ مَا بَالُ أقوامٍ نُنْفِذُهُمْ إِلَى الصَّدَقَةِ فَيَقُولُونَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ إِلَيَّ أَمَا كَانَ يَجْلِسُ فِي بَيْتِ أُمِّهِ ثَمَّ ينظر هل كان يُهْدَى إِلَيْهِ شَيْءٌ أَمْ لَا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عَاتِقِهِ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خوارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَى رَأَيْتُ عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ.
Telah meriwayatkan Abū Idrīs dari Ṯawbān bahwa Rasulullah SAW “melaknat orang yang memberi risywah, orang yang menerima risywah, dan perantara antara keduanya.” Hal ini disebutkan oleh Ibn Qutaybah dalam Gharīb al-Ḥadīṡ. Yang dimaksud rāsyī adalah orang yang memberikan suap, murtasyī adalah yang menerima suap, dan rā’iṡ adalah perantara antara keduanya.
Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah SAW pernah mengutus seorang petugas pemungut zakat dari kabilah Azd yang bernama Ibn al-Lubayyah. Ia datang membawa sejumlah barang, lalu ia pisahkan sebagian dan berkata, “Ini untuk kalian,” dan sebagian lagi ia pisahkan seraya berkata, “Ini hadiah untukku.”
Maka Rasulullah SAW sangat marah hingga beliau naik mimbar dan bersabda:
“Apa gerangan orang-orang yang kami utus untuk memungut zakat lalu mereka berkata: ‘Ini bagian kalian, dan ini dihadiahkan untukku’? Tidakkah ia duduk saja di rumah ibunya, lalu melihat apakah ada yang menghadiahkan sesuatu kepadanya atau tidak?! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah ia mengambil sesuatu darinya (zakat) kecuali kelak ia akan datang pada hari kiamat dengan memikulnya di atas pundaknya. Jika ia mengambil unta, maka akan datang dengan suara unta; jika sapi, maka dengan suara sapi; jika kambing, maka dengan suara kambing.”
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga aku melihat putihnya ketiak beliau, lalu beliau bersabda:
“Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah.”
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تُخَالِطُ الصَّدَقَةُ مَالًا إِلَّا أهلكته “.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: يَعْنِي أَنَّ خِيَانَةَ الصَّدَقَةِ تُهْلِكُ الْمَالَ الَّذِي تُخَالِطُهُ، وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَا أَخَذَ الْعَامِلُ مِنْ عِمَالَتِهِ فَهُوَ غُلُولٌ ” فَإِنْ قَبِلَ السَّاعِي هَدِيَّةً عَلَى تَرْكِ حَقٍّ أَوْ دَفْعِ ظُلْمٍ فَعَلَيْهِ رَدُّهَا وَإِنْ قَبِلَهَا لِشُكْرٍ كَانَ فِي إِنْعَامٍ كَانَ مِنْهُ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: كَانَتْ فِي الصَّدَقَاتِ لَا يَسَعُهُ عِنْدِي غَيْرُهُ، إِلَّا أَنْ يُكَافِئَهُ بِقَدْرِهَا عَلَيْهَا فَيَسَعُهُ تَمَوُّلُهَا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Tidaklah zakat bercampur dengan harta kecuali akan membinasakannya.”
Imam al-Syafi‘i berkata: Maksudnya adalah bahwa pengkhianatan terhadap zakat akan membinasakan harta yang bercampur dengannya. Dan Nabi SAW bersabda:
“Apa yang diambil oleh petugas (amil) dari pekerjaannya (tanpa hak) maka itu adalah ghulūl (penggelapan harta).”
Jika sā‘ī menerima hadiah sebagai imbalan karena meninggalkan hak atau menolak kezhaliman, maka wajib baginya mengembalikannya. Dan jika ia menerimanya sebagai bentuk syukur atas kebaikan yang pernah ia lakukan, Imam al-Syafi‘i berkata: Jika itu terjadi dalam konteks zakat, maka menurutku tidak boleh baginya selain membalas dengan imbalan sepadan atas hadiah itu, barulah ia boleh memilikinya sebagai harta. Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أَخْبَرَنَا مَالِكٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكَرًا فَجَاءَتْهُ إبلٌ مِنْ إبل الصدقة قال أبو رافع فأمرني أن أقضيه إياها (قال الشافعي) العلم يحيط أنه لَا يُقْضَى مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ لَا تَحِلُّ لَهُ إِلَّا وَقَدْ تَسَلَّفَ لِأَهْلِهَا مَا يقضيه من مالهم وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في الحالف بالله ” فَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ ” وعن بعض أصحاب النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه كان يحلف ويكفر ثم يحنث وعن ابن عمر أنه كان يبعث بصدقة الفطر إلى الذي تجمع عنده قبل الفطر بيومين (قال) فبهذا نأخذ (قال المزني) ونجعل في هذا الموضع ما هو أولى به أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تسلف صدقة العباس قبل حلولها.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
يَجُوزُ عِنْدَنَا تَقْدِيمُ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْحَوْلِ، وَالْكَفَّارَةِ قَبْلَ الْحِنْثِ.
وَقَالَ رَبِيعَةُ وَدَاوُدُ: لَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهَا جَمِيعًا.
وقال أبو حنيفة: يجب تَقْدِيمُ الزَّكَاةِ دُونَ الْكَفَّارَةِ.
Bab Menyegerakan Sedekah
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Zayd bin Aslam dari ‘Aṭā’ bin Yasār dari Abū Rāfi‘ bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam seekor bakar (unta muda) dari seseorang, lalu datang kepada beliau unta-unta dari unta zakat. Maka Abū Rāfi‘ berkata: ‘Beliau memerintahkanku untuk membayarkannya kepada orang itu.’”
(al-Syafi‘i berkata): Ilmu menunjukkan bahwa tidak boleh membayar utang dari unta zakat, dan zakat tidak halal bagi beliau, kecuali beliau telah meminjamkannya untuk para penerima zakat dari harta mereka sendiri.
Dan Rasulullah SAW bersabda dalam hal sumpah dengan nama Allah: “Maka hendaklah ia mendatangi yang lebih baik, dan menebus sumpahnya.”
Dan dari sebagian sahabat Nabi SAW bahwa mereka bersumpah lalu membayar kafārah, kemudian tetap melanggar sumpahnya.
Dan dari Ibn ‘Umar bahwa beliau mengirim zakat fiṭri kepada orang yang mengumpulkannya dua hari sebelum Idul Fitri.
(Al-Syafi‘i berkata): Maka berdasarkan ini kami mengambil pendapat tersebut.
(Al-Muzanī berkata): Dan kami menambahkan dalam masalah ini sesuatu yang lebih layak, yaitu bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam zakat al-‘Abbās sebelum waktunya tiba.
Al-Māwardī berkata:
Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan:
Menurut kami, boleh menyegerakan zakat sebelum genap ḥaul, dan menyegerakan kafārah sebelum pelanggaran sumpah.
Rabī‘ah dan Dāwud berkata: Tidak boleh menyegerakan keduanya sama sekali.
Abū Ḥanīfah berkata: Wajib menyegerakan zakat saja, tidak untuk kafārah.
وَقَالَ مَالِكٌ: يَجُوزُ تَقْدِيمُ الْكَفَّارَةِ دُونَ الزَّكَاةِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو عبيد مِنْ أَصْحَابِنَا، وَاسْتَدَلَّ مَنْ مَنَعَ مِنْ تَقْدِيمِ الزَّكَاةِ بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” فَنَفَى وُجُوبَ الزَّكَاةِ وَاسْمَهَا وَإِذَا كَانَ الِاسْمُ مَنْفِيًّا لَمْ يَكُنِ الْإِجْزَاءُ وَاقِعًا قَالُوا: وَلِأَنَّهُ تَعْجِيلُ زَكَاةٍ قَبْلَ وُجُوبِهَا فَوَجَبَ أَنْ لا تجوز الزروع والثمار، لأنها عِبَادَةٌ مَحْضَةٌ تَفْتَقِرُ إِلَى النِّيَّةِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجُوزَ فِعْلُهَا قَبْلَ وُجُوبِهَا كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ بِعَدَدٍ وَأَمَدٍ، فَالْعَدَدُ النِّصَابُ، وَالْأَمَدُ الْحَوْلُ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُهَا عَلَى الْعَدَدِ لَمْ يَجُزْ تَقْدِيمُهَا عَلَى الْأَمَدِ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ تَفْتَقِرُ إِلَى مَنْ تَجِبُ لَهُ وَإِلَى مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يتعجلها من تَجِبَ لَهُ وَهُوَ أَنْ يُعْطِيَ غَنِيًّا وَيَنْتَظِرَ فَقْرَهُ كَذَلِكَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَجِّلَهَا مَنْ تجب عَلَيْهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَاذَهَبْنَا إِلَيْهِ مَا رَوَاهُ حُجَيَّةُ بْنُ عَدِيٍّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ الْعَبَّاسَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ وَرَوَى أَبُو الْبَخْتَرِيِّ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْتَسْلَفَ مِنَ الْعَبَّاسِ صَدَقَةَ عَامَيْنِ وَرَوَى مِقْسَمٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: أَسْلَفَنَا الْعَبَّاسُ صَدَقَةَ الْعَامِ وَالْعَامِ الْمُقْبِلِ) فإذا قِيلَ فَتَعْجِيلُ زَكَاةِ عَامَيْنِ عِنْدَكُمْ لَا يَجُوزُ قُلْنَا فِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
Imam Mālik berkata: Boleh mendahulukan pembayaran kafārah tetapi tidak (boleh) zakat. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abū ‘Ubaid dari kalangan mazhab kami.
Adapun pihak yang melarang mendahulukan zakat berdalil dengan sabda Nabi SAW:
“Tidak ada zakat atas harta hingga berlalu haul atasnya.”
Maka dalam hadits ini beliau menafikan kewajiban zakat dan nama zakat itu sendiri. Apabila nama (zakat) itu belum ada, maka pelaksanaannya pun tidak sah.
Mereka berkata: Karena hal itu berarti mempercepat zakat sebelum waktunya, maka wajib hukumnya tidak boleh, seperti zakat tanaman dan buah-buahan—karena ia adalah ibadah murni yang membutuhkan niat, maka tidak boleh dilakukan sebelum waktunya, sebagaimana salat dan puasa.
Dan karena zakat itu wajib dengan dua hal: jumlah dan waktu. Jumlah adalah niṣāb, dan waktu adalah ḥaul. Maka sebagaimana tidak sah mendahulukan zakat sebelum mencapai niṣāb, begitu pula tidak sah mendahulukannya sebelum waktu (haul).
Dan karena zakat bergantung pada pihak yang berhak menerima dan pihak yang wajib mengeluarkan. Maka sebagaimana tidak sah bagi orang yang berhak menerima untuk mengambil zakat sebelum ia layak menerimanya—seperti memberikan kepada orang kaya lalu menunggu hingga ia jatuh miskin—demikian pula tidak sah bagi orang yang wajib menunaikannya untuk mendahulukannya.
Dalil atas kebenaran pendapat kami adalah riwayat dari Ḥujayyah bin ‘Adī dari ‘Alī bin Abī Ṭālib RA bahwa al-‘Abbās meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menunaikan zakatnya sebelum jatuh tempo, lalu Rasulullah SAW memberikan keringanan kepadanya.
Dan Abū al-Bakhtarī meriwayatkan dari ‘Alī RA bahwa Nabi SAW pernah meminjam dari al-‘Abbās zakat dua tahun.
Dan Miqsam meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “Al-‘Abbās telah meminjamkan kepada kami zakat tahun ini dan tahun depan.”
Apabila dikatakan: Maka mendahulukan zakat dua tahun menurut kalian tidak boleh?
Kami katakan: Dalam hal ini, para sahabat kami memiliki dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَظْهَرُ جَوَازُ تَعْجِيلِهَا أَعْوَامًا إِذَا بَقِيَ بَعْدَ الْمُعَجَّلِ نِصَابٌ اسْتِدْلَالًا بِظَاهِرِ هَذِهِ الْأَخْبَارِ.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ تَعْجِيلُ أَكْثَرَ مِنْ عَامٍ وَاحِدٍ فَعَلَى هَذَا عَنْ حَدِيثِ الْعَبَّاسِ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ تَعَجَّلَ ذَلِكَ فِي عَامَيْنِ مُتَوَالِيَيْنِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ الْآخَرِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَخَذَ مِنْهُ فِي رَأْسِ الْحَوْلِ زَكَاةَ الْعَامِ الْمَاضِي وَهِيَ وَاجِبَةٌ وَزَكَاةَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ وَهِيَ تَعْجِيلٌ، فَنَقَلَ الرَّاوِي أَنَّهُ استسلف منه زكاة عامين، ويدل على مَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي صَدْرِ الْبَابِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – استسلف من رجل بكراً، فلما جاءته إِبِلٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَقْضِيَهُ فَلَمَّا رَدَّ الْقَرْضَ مِنْ مَالِ الصَّدَقَةِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ قَدِ اقْتَرَضَ لِأَهْلِ الصَّدَقَةِ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَصْرِفَ مَالَ الصَّدَقَةِ فِي غَيْرِ أَهْلِهَا، مَعَ أَنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَحِلُّ لَهُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالدَّلَالَةُ فِيهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
salah satunya—dan inilah yang lebih ẓāhir—boleh mendahulukan zakat untuk beberapa tahun apabila setelah zakat yang didahulukan itu masih tersisa niṣāb, berdasarkan zahir riwayat-riwayat tersebut.
yang kedua: tidak boleh mendahulukan lebih dari satu tahun. Maka menurut pendapat ini, terhadap hadis al-‘Abbās terdapat dua jawaban:
pertama: bahwa ia mendahulukan zakat itu untuk dua tahun yang berurutan, satu setelah yang lainnya.
kedua: bahwa ia memberikan zakat pada awal tahun berupa zakat tahun lalu yang sudah wajib dan zakat tahun depan yang merupakan bentuk pendahuluan. Maka perawi menyampaikan bahwa Nabi SAW meminjam zakat dua tahun darinya. Hal ini menunjukkan seperti yang disebutkan oleh al-Syāfi‘ī di awal bāb, dari hadis Abū Rāfi‘ bahwa Rasulullah SAW meminjam seekor bikr dari seorang laki-laki. Ketika datang kepada beliau unta-unta dari harta zakat, beliau memerintahkanku untuk membayar utangnya. Ketika beliau membayar utang itu dari harta zakat, maka hal itu menunjukkan bahwa beliau telah meminjam untuk para penerima zakat, karena tidak boleh menyalurkan harta zakat kepada selain mereka, sedangkan zakat tidak halal bagi beliau. Jika demikian, maka hal ini menunjukkan dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصَّدَقَةَ إِذَا وَجَبَتْ عَلَى أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ وَجَبَتْ لَأَهِلَ السُّهْمَانِ، فَإِذَا جَازَ أَنْ يَتَعَجَّلَهَا مَنْ تَجِبُ لَهُ قَبْلَ وُجُوبِهَا لَهُ، جَازَ أَنْ يُعَجِّلَهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ قَبْلَ وُجُوبِهَا عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَرْضَ الْمُعَجَّلَ بَدَلٌ وَالزَّكَاةَ مُبْدَلٌ، فَلَمَّا جَازَ تَعْجِيلُ الْبَدَلِ عَنِ الزَّكَاةِ كَانَ تَعْجِيلُ الْمُبْدَلِ وَهِيَ الزَّكَاةُ أَوْلَى، لِأَنَّ الْمُبْدَلَ أَكْمَلُ حَالًا مِنَ الْبَدَلِ، فَكَانَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلَائِلُ.
أَحَدُهَا: جَوَازُ تَعْجِيلِ الصَّدَقَةِ.
وَالثَّانِي: جَوَازُ قَرْضِ الْحَيَوَانِ.
وَالثَّالِثَ: جَوَازُ السَّلَمِ فِيهِ.
Pertama: Bahwa ketika zakat telah wajib atas para pemilik harta, maka ia pun menjadi hak bagi para mustaḥiq yang berhak atas bagian zakat. Maka jika boleh bagi orang yang berhak menerima untuk menerimanya sebelum kewajiban itu jatuh padanya, maka boleh pula bagi orang yang wajib membayarkannya untuk menunaikannya sebelum kewajiban itu jatuh atasnya.
Kedua: Bahwa utang yang dipercepat (pinjaman zakat) adalah badal (pengganti), sedangkan zakat adalah mubdal (yang digantikan). Maka ketika boleh mempercepat badal dari zakat, maka mempercepat mubdal yaitu zakat itu sendiri lebih utama dibolehkan, karena mubdal (zakat) lebih sempurna statusnya daripada badal.
Maka dalam hadis tersebut terdapat beberapa petunjuk:
Pertama: Bolehnya mempercepat pembayaran zakat.
Kedua: Bolehnya meminjamkan hewan.
Ketiga: Bolehnya akad salam atas hewan.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ مَنِ اقْتَرَضَ حَيَوَانًا فَعَلَيْهِ رَدُّ مِثْلِهِ، لِأَنَّ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: عَلَيْهِ رَدُّ قِيمَتِهِ كَالْغَصْبِ، فَإِنْ قِيلَ فَفِي الْحَدِيثِ أَنَّهُ اقْتَرَضَ بَكَرًا فَرَدَّ رَبَاعِيًا وَذَلِكَ أَزْيَدُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَصْرِفَ مَالَ الصَّدَقَةِ فِي غَيْرِ حَقِّهِ، قِيلَ إِنْ كَانَ ذَلِكَ أَزْيَدَ فِي السِّنِّ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَنْقَصَ فِي الْجَوْدَةِ فَتَكُونَ زِيَادَةُ السِّنِّ مُقَابِلَةً لِنُقْصَانِ الْجَوْدَةِ، فَهَذَا جَوَابٌ، أَوْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ مِمَّنْ تَحِلُّ لَهُ الصَّدَقَةُ، فَكَانَ مَا قَابَلَ دَيْنَهُ قَضَاءً وَمَا زَادَ عَلَيْهِ صَدَقَةً، وَهَذَا جَوَابٌ ثَانٍ، أو كان فَعَلَ ذَلِكَ لِيُرَغِّبَ النَّاسَ فِي قَرْضِ الْفُقَرَاءِ أو يجوز لِلْإِمَامِ أَنْ يَفْعَلَ مِثْلَ هَذَا لِمَا فِيهِ مِنَ الْمَصْلَحَةِ الْعَامَّةِ، وَهَذَا جَوَابٌ ثَالِثٌ، ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ مِنْ طَرِيقِ المعنى: أنه حق في مال يجب لسببين يختصان به جاز تَقْدِيمُهُ عَلَى أَحَدِ سَبَبَيْهِ كَالْكَفَّارَةِ الَّتِي يَجُوزُ تَقْدِيمُهَا بَعْدَ الْيَمِينِ وَقَبْلَ الْحِنْثِ.
وَقَوْلُنَا: حَقٌّ فِي مَالٍ احْتِرَازًا مِنْ صَوْمِ الْكَفَّارَةِ.
keempat: bahwa siapa yang meminjam hewan, maka wajib baginya mengembalikan hewan sejenis, karena sebagian dari kalangan kami berpendapat: wajib mengembalikan nilainya seperti dalam kasus ghaṣb. Jika dikatakan: dalam hadis disebutkan bahwa beliau meminjam bikr lalu mengembalikan rubā‘ī, padahal itu lebih tinggi, sedangkan tidak boleh menyalurkan harta zakat bukan pada haknya—maka dijawab:
jika itu lebih tinggi dari sisi umur, boleh jadi ia lebih rendah dari sisi kualitas, maka kelebihan umur menjadi pengganti dari kekurangan kualitas; ini adalah jawaban pertama.
Atau boleh jadi orang tersebut termasuk yang berhak menerima zakat, maka apa yang setara dengan utangnya dihitung sebagai pelunasan, dan kelebihannya adalah sedekah; ini adalah jawaban kedua.
Atau bisa jadi Nabi SAW melakukan hal itu untuk mendorong manusia agar meminjamkan kepada fakir miskin, atau boleh bagi imam melakukan hal semacam itu karena mengandung maṣlaḥah ‘āmmah; ini adalah jawaban ketiga.
Kemudian dalil dalam pokok masalah ini dari sisi makna: bahwa ia adalah hak dalam harta yang wajib karena dua sebab yang khusus padanya, maka boleh mendahulukannya atas salah satu dari dua sebab tersebut, sebagaimana kafarat yang boleh didahulukan setelah sumpah dan sebelum melanggarnya.
Dan perkataan kami: “hak dalam harta,” untuk membedakannya dari puasa kafarat.
وَقَوْلُنَا يَجِبُ بِسَبَبَيْنِ احْتِرَازًا مِنَ الْأُضْحِيَةِ، وَقَوْلُنَا يَخْتَصَّانِ بِهِ احْتِرَازًا مِنَ الْإِسْلَامِ وَالْحُرِّيَّةِ، لِأَنَّهُمَا لَا يَخْتَصَّانِ بِالزَّكَاةِ، وَالْحَوْلُ، وَالنِّصَابُ يَخْتَصَّانِ بِالزَّكَاةِ، وَلِأَنَّهُ حَقٌّ يَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ، يَجِبُ بِالْحَوْلِ وَيَجِبُ بِغَيْرِ حَوْلٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَجُوزَ تَقْدِيمُ مَا يَجِبُ الحول قَبْلَ حَوْلِهِ كَالدِّيَةِ الَّتِي يَكُونُ عَمْدُهَا حَالًا وعطاها مُؤَجَّلًا يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ أَجَلِهِ، وَلِأَنَّ الْحُقُوقَ ضَرْبَانِ حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى، وَحَقٌّ لِآدَمِيٍّ، وَحَقُّ الْآدَمِيِّ ضَرْبَانِ: حَقٌّ عَلَى بَدَنٍ، وَحَقٌّ فِي مَالٍ، فَمَا كَانَ عَلَى الْبَدَنِ كَالْقِصَاصِ وَحَدِّ الْقَذْفِ لَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ وُجُوبِهِ، وَمَا كان في مال كَالدُّيُونِ يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ وُجُوبِهِ، كَذَلِكَ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى ضَرْبَانِ، حَقٌّ عَلَى بَدَنٍ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ لَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ وُجُوبِهِ، وَحَقٌّ في مال كالزكاة وَالْكَفَّارَةِ يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ وُجُوبِهِ، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّ كُلَّ مَالٍ يَحُلُّ بِانْقِضَاءِ مُدَّةٍ يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ انْقِضَاءِ تِلْكَ الْمُدَّةِ كَالدُّيُونِ الْمُؤَجَّلَةِ، وَلِأَنَّ الْآجَالَ إِنَّمَا تَثْبُتُ رِفْقًا بِمَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ لَا يَرْتَفِقَ بِهِ وَيُؤَدِّيَ الْحَقَّ قَبْلَ أَجَلِهِ، فَقَدْ أَسْقَطَ حَقَّ نَفْسِهِ، وَأَرْفَقَ صَاحِبَ الْحَقِّ بِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ الْإِجْزَاءُ فِي مَوْقِعِهِ الْجَوَابُ، أَمَّا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” فَالْمُرَادُ بِهِ نَفْيُ الْوُجُوبِ دُونَ الْإِجْزَاءِ بِدَلِيلِ مَا مَضَى.
Dan pendapat kami bahwa (zakat) wajib karena dua sebab adalah sebagai pembeda dari udhḥiyah, dan perkataan kami bahwa dua sebab tersebut merupakan kekhususan zakat adalah sebagai pembeda dari Islam dan kemerdekaan, karena keduanya tidak khusus dengan zakat. Sedangkan ḥaul dan niṣāb adalah dua hal yang khusus dengan zakat. Karena zakat adalah hak yang terbagi menjadi dua jenis: yang wajib dengan ḥaul dan yang wajib tanpa ḥaul, maka wajib dibolehkan mendahulukan zakat yang wajib dengan ḥaul sebelum genap ḥaul-nya, seperti diyah yang pembunuhannya bersifat langsung sedangkan pembayarannya ditangguhkan, maka boleh didahulukan pembayarannya sebelum waktunya.
Dan karena hak itu terbagi menjadi dua: hak Allah SWT dan hak manusia. Dan hak manusia terbagi menjadi dua pula: hak atas badan, dan hak dalam harta. Maka hak atas badan seperti qiṣāṣ dan had qażf, tidak boleh didahulukan sebelum wajibnya. Sedangkan hak dalam harta seperti utang, boleh didahulukan sebelum wajibnya. Begitu pula hak Allah SWT terbagi menjadi dua: hak atas badan seperti salat dan puasa, tidak boleh didahulukan sebelum wajibnya. Dan hak dalam harta seperti zakat dan kafārah, boleh didahulukan sebelum wajibnya.
Penjelasan qiyās-nya: setiap harta yang wajib ditunaikan setelah berakhirnya masa tertentu, maka boleh didahulukan sebelum masa itu berakhir, seperti utang yang ditangguhkan. Karena penetapan masa jatuh tempo adalah untuk memberi keringanan bagi yang wajib membayar, maka jika ia tidak ingin mengambil keringanan itu dan hendak menunaikan hak lebih awal, berarti ia telah menggugurkan hak dirinya sendiri dan memberikan keringanan kepada pemilik hak, maka seharusnya hal itu dianggap sah dan mencukupi.
Adapun sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu satu ḥaul atasnya,” maka yang dimaksud adalah penafian kewajiban, bukan penafian keabsahan, sebagaimana telah dijelaskan.
Adapun qiyās mereka terhadap zakat tanaman dan buah-buahan, maka Abū ‘Alī bin Abī Hurairah menggabungkan antara keduanya dan membolehkan mendahulukan zakat tanaman dan buah-buahan apabila diketahui bahwa pada umumnya akan mencapai lima wasaq. Sedangkan Abū Isḥāq al-Marwazī melarang pendahuluan zakat tersebut dan membedakan keduanya dengan dua hal.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الزَّرْعِ وَالثِّمَارِ، فَقَدْ كَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هريرة يجمع بينهما، ويجيز تعجيل زكاة الزروع وَالثِّمَارِ إِذَا عَلِمَ أَنَّ فِيهَا عَلَى غَالِبِ الْعَادَةِ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ، وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَمْنَعُ مِنْ تَعْجِيلِ زَكَاتِهَا وَيُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا بِشَيْئَيْنِ.
adapun qiyās mereka dengan zakat tanaman dan buah-buahan, maka Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah menggabungkan antara keduanya dan membolehkan mendahulukan zakat tanaman dan buah-buahan apabila diketahui bahwa hasilnya menurut kebiasaan umumnya mencapai lima wasq.
Sedangkan Abū Isḥāq al-Marwazī melarang pendahuluan zakatnya dan membedakan antara keduanya dengan dua hal.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الزُّرُوعَ وَالثِّمَارَ تَجِبُ زَكَاتُهَا بِسَبَبٍ وَاحِدٍ وَتِلْكَ بِسَبَبَيْنِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ حَالَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ عِنْدَ تَعْجِيلِ الزَّكَاةِ مُخَالِفٌ لِحَالِهِ عِنْدَ وجوب الزكاة، لأنه عند التعجيل قصل وَبَلَحٌ وَالْمَوَاشِي فِي الْحَالَيْنِ سَوَاءٌ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ فَالْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ أَنَّهَا مِنْ أَفْعَالِ الْأَبْدَانِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى النِّصَابِ فَإِنَّمَا لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُ قَدَّمَ الْحَقَّ قَبْلَ وُجُودِ أَحَدِ سَبَبَيْهِ، وَجَازَ قَبْلَ الْحَوْلِ وَبَعْدَ النِّصَابِ لِوُجُودِ أَحَدِ سَبَبَيْهِ كَالْكَفَّارَةِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ دَفْعُهَا إِلَى مَنْ تَجِبُ لَهُ قَبْلَ الِاسْتِحْقَاقِ لَمْ يَجُزْ أَخْذُهَا ممن تجب عليه قبل استحقاقها، ولا يجوز دفعها إلى من تجب له قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهَا عَلَى أَنَّ دَفْعَ الزَّكَاةِ إِلَى الأغنياء عيب لِأَنَّهُ مَالٌ مَصْرُوفٌ فِي ذَوِي الْحَاجَاتِ، وَهُوَ مَالٌ مَأْخُوذٌ مِنْ أَرْبَابِهِ عَلَى وَجْهِ الْمُوَاسَاةِ، وَقَدْ تُوجَدُ الْمُوَاسَاةُ فِي التَّعْجِيلِ وَلَا تُوجَدُ الْحَاجَةُ فِي الْغِنَى، فَأَمَّا تَعْجِيلُ زَكَاةِ الْفِطْرِ فَلَا تَجُوزُ قَبْلَ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَتَجُوزُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَبْلَ شَوَّالٍ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Salah satunya: bahwa zakat tanaman dan buah-buahan wajib karena satu sebab, sedangkan (zakat) yang ini karena dua sebab.
Dan yang kedua: bahwa keadaan tanaman dan buah-buahan saat zakatnya disegerakan berbeda dengan keadaannya saat zakat menjadi wajib, karena saat disegerakan masih berupa batang dan balaḥ, sedangkan hewan ternak keadaannya sama pada kedua kondisi tersebut.
Adapun qiyās mereka terhadap salat dan puasa, maka maksudnya bahwa salat adalah termasuk perbuatan badan.
Dan qiyās mereka terhadap niṣāb, maka tidak boleh (disegerakan zakatnya) karena ia telah mendahulukan hak sebelum terwujud salah satu dari dua sebabnya, sedangkan boleh sebelum ḥaul dan setelah niṣāb, karena telah terwujud salah satu sebabnya, seperti kafārah.
Adapun ucapan mereka bahwa ketika tidak boleh diberikan kepada orang yang berhak sebelum waktu berhaknya, maka tidak boleh juga diambil dari orang yang wajib zakat sebelum waktunya, maka jawabannya adalah: tidak boleh diberikan kepada orang kaya karena aib, karena itu adalah harta yang disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan, dan ia adalah harta yang diambil dari pemiliknya dengan tujuan saling berbagi. Dan kadang-kadang berbagi itu terwujud dalam penyegeraan, sedangkan kebutuhan tidak terwujud dalam kekayaan.
Adapun penyegeraan zakat fiṭr, maka tidak boleh dilakukan sebelum bulan Ramadan, namun boleh dalam bulan Ramadan dan sebelum Syawwal.
Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا تَسَلَّفَ الْوَالِي لَهُمْ فَهَلَكَ مِنْهُ قَبْلَ دَفْعِهِ إِلَيْهِمْ وَقَدْ فَرَّطَ أَوْ لَمْ يُفَرِّطْ فَهُوَ ضَامِنٌ فِي مَالِهِ لِأَنَّ فِيهِمْ أَهْلَ رشدٍ لَا يُوَلَّى عَلَيْهِمْ وَلَيْسَ كَوَلِيِّ الْيَتِيمِ الَّذِي يَأْخُذُ لَهُ مَا لَا صَلَاحَ لَهُ إِلَّا بِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
إِذَا تعجل والي الزكاة زكاة رجل من مَالِهِ قَبْلَ حَوْلِهِ فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَعَجَّلَهَا بِاخْتِيَارِهِ وَنَظَرِهِ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَتَعَجَّلَهَا بِمَسْأَلَةٍ فَإِنْ تَعَجَّلَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ بَلْ غَلَبَ فِي اجْتِهَادِهِ لِمَا رَأَى مِنْ حَالِ الْمَسَاكِينِ أَنْ يَسْتَسْلِفَ لَهُمْ مِنْ غَيْرِ إِذْنِهِمْ رَجَاءً لِمَصَالِحِهِمْ فَهَذِهِ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، وَلَا يَخْلُو حَالُ مَا تَعَجَّلَهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أقسام:
Masalah:
al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Dan apabila wali (petugas) zakat meminjam (mengambil lebih dahulu) untuk mereka, lalu harta itu rusak sebelum diberikan kepada mereka, baik ia telah lalai atau tidak lalai, maka ia wajib mengganti dari hartanya sendiri. Karena di antara mereka terdapat orang yang berakal yang tidak boleh diambilkan wali untuknya, dan tidak seperti wali anak yatim yang mengambilkan sesuatu yang tidak ada kemaslahatan baginya kecuali dengannya.”
al-Māwardī berkata: “Dan ini sebagaimana yang dikatakan beliau.”
Jika wali zakat mendahulukan zakat seseorang dari hartanya sebelum genap haul, maka ia memiliki dua keadaan:
pertama: ia mendahulukannya dengan pilihannya sendiri dan ijtihadnya tanpa ada permintaan.
kedua: ia mendahulukannya karena ada permintaan.
Jika ia mendahulukannya tanpa adanya permintaan, tetapi dalam ijtihadnya ia memandang bahwa kondisi para miskin membutuhkan untuk dipinjamkan (zakat didahulukan) tanpa izin mereka demi kemaslahatan mereka, maka inilah permasalahan yang disebut dalam kitāb ini.
Dan keadaan harta yang didahulukan itu tidak lepas dari tiga macam:
أحدها: إما أَنْ يَكُونَ قَدْ فَرَّقَهُ فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ عِنْدَ أَخْذِهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا فِي يَدِهِ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ تَلِفَ فِي يَدِهِ فَأَمَّا إِنْ كَانَ قَدْ فَرَّقَهُ فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ، فَلِلدَّافِعِ أَعْنِي رَبَّ الْمَالِ، وَلِلْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ أَعْنِي أَهْلَ السُّهْمَانِ عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الدَّافِعُ مِمَّنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَالْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ مِمَّنْ يَسْتَحِقُّ الزَّكَاةَ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ وَقَعَتِ الزَّكَاةُ مَوْقِعَهَا، وَأَجْزَأَتْ رَبَّ الْمَالِ.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الدَّافِعُ مِمَّنْ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ لِافْتِقَارِهِ وَالْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ مِمَّنْ لَا يَسْتَحِقُّ الزَّكَاةَ لِاسْتِغْنَائِهِ عَنْهُ فَعَلَى الْوَالِي اسْتِرْجَاعُهَا مِمَّنْ دَفَعَهَا إِلَيْهِ وَرَدُّهَا عَلَى مَنْ أخرها منه.
والحالة الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ الدَّافِعُ مِمَّنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ لِبَقَاءِ مَالِهِ وَالْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ مِمَّنْ لَا يستحق الزكاة والاستعانة فَعَلَى الْوَالِي اسْتِرْجَاعُهَا مِمَّنْ دَفَعَهَا إِلَيْهِ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّهَا وَلَا يُرُدُّهَا عَلَى مَنْ أَخَذَهَا مِنْهُ، لِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ لَكِنْ يُفَرِّقُهَا فِي أهلها ومستحقيها.
Salah satunya: bisa jadi ia telah membagikannya kepada para mustaḥiq saat menyerahkannya.
Yang kedua: bisa jadi zakat itu masih berada di tangannya.
Yang ketiga: bisa jadi zakat itu telah rusak di tangannya.
Adapun jika ia telah membagikannya kepada para mustaḥiq (ahli as-suhmān), maka bagi yang memberi, maksudku pemilik harta, dan bagi yang menerima, maksudku para ahli as-suhmān, pada saat datangnya waktu ḥaul, terdapat empat keadaan:
Keadaan pertama: bahwa yang memberi adalah orang yang wajib atasnya zakat, dan yang menerima adalah orang yang berhak menerima zakat. Jika demikian, maka zakat itu telah sampai pada tempatnya dan mencukupi bagi pemilik harta.
Keadaan kedua: bahwa yang memberi adalah orang yang tidak wajib atasnya zakat karena kefakirannya, dan yang menerima adalah orang yang tidak berhak menerima zakat karena kekayaannya. Maka wajib bagi wali (penguasa) untuk menarik kembali zakat tersebut dari orang yang menerimanya dan mengembalikannya kepada orang yang mengeluarkannya.
Keadaan ketiga: bahwa yang memberi adalah orang yang wajib atasnya zakat karena hartanya masih ada, dan yang menerima adalah orang yang tidak berhak menerima zakat dan tidak pantas dibantu. Maka wajib bagi wali untuk menariknya kembali dari orang yang menerimanya, karena ia tidak berhak menerimanya, dan tidak boleh dikembalikan kepada orang yang memberikannya, karena zakat tetap wajib atasnya. Namun, zakat itu dibagikan kepada orang-orang yang berhak dan para mustaḥiq-nya.
والحالة الرَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ الدَّافِعُ مِمَّنْ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ لِافْتِقَارِهِ، وَالْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ مِمَّنْ يَسْتَحِقُّ الزَّكَاةَ لِبَقَاءِ فَقْرِهِ، فَلِلدَّافِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْوَالِي، وَيَرْجِعَ الْوَالِي بِهَا عَلَى مَنْ دفعها إليه، وهذا إِذَا كَانَ الْوَالِي قَدْ فَرَّقَهَا حِينَ أَخَذَهَا، فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً فِي يَدِهِ فَعَلَيْهِ تَفْرِيقُهَا فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ إِنْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ مِمَّنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ رَدَّهَا عَلَيْهِ، فَأَمَّا إِنْ تَلِفَتْ فِي يَدِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهَا، فَإِنْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ مِمَّنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ ضَمِنَها لِأَهْلِ السُّهْمَانِ، وَإِنْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ مِمَّنْ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ ضَمِنَهَا لِرَبِّ الْمَالِ، وَسَوَاءٌ تَلِفَتْ بِتَفْرِيطٍ مِنْهُ أَوْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ، هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وإن تلفت في يد السَّاعِي لِرَبِّ الْمَالِ، وَلَا لِأَرْبَابِ السُّهْمَانِ، لِأَنَّ يَدَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ يَدُ الْمَسَاكِينِ، وَمَا تَلِفَ فِي يَدِهِ مِنْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ قَبْلَ صَرْفِهِ إِلَيْهِمْ لَا يَضْمَنُهُ، وَلَا يَضْمَنُ لِرَبِّ الْمَالِ، لِأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ وُجُوبِ الزَّكَاةِ عَلَيْهِ، وَإِنْ حَالَ الْحَوْلُ وَرَبُّ الْمَالِ مِنْ أَهْلِ وُجُوبِ الزَّكَاةِ لَكِنَّ السَّاعِيَ لَمْ يَصْرِفْهَا إِلَى مُسْتَحِقِّيهَا حتى افتقر رب المال وتلفت الزَّكَاةُ فِي يَدِ السَّاعِي فَإِنْ لَمْ يُطَالِبْهُ بِرَدِّهِ إِلَيْهِ بَعْدَ فَقْرِهِ حَتَّى تَلِفَ فَلَا ضَمَانَ عَلَى السَّاعِي لِرَبِّ الْمَالِ، لِأَنَّ الْحَوْلَ قَدْ حَالَ، وَرَبُّ الْمَالِ مِنْ أَهْلِ وُجُوبِ الزَّكَاةِ، وَلَا يَضْمَنُ لِلْفُقَرَاءِ لِأَنَّهُ أَمِينُهُمْ، وَإِنْ طَالَبَهُ رَبُّ الْمَالِ فَلَمْ يَرُدَّهُ أَوْ تَعَذَّرَ الرَّدُّ حَتَّى تَلِفَ فِي يَدِ السَّاعِي لَزِمَهُ ضَمَانُهُ لِرَبِّ الْمَالِ، وَقَالَ أبو حنيفة لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِلَّا بِتَفْرِيطٍ فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا، ويكون مِنْ مَالِ أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَيُجْزِئُ ذَلِكَ رَبُّ المال احتجاجاً لشيئين.
dan keadaan keempat: yaitu apabila yang menyerahkan (zakat) adalah orang yang tidak wajib atasnya zakat karena kefakirannya, dan yang menerima adalah orang yang masih berhak menerima zakat karena tetap dalam kefakirannya, maka si pemberi berhak menuntutnya kepada wali (petugas), dan wali menuntutnya kepada orang yang telah diberi zakat. Hal ini jika wali telah membagikannya saat ia menerimanya. Adapun jika masih tersisa di tangannya, maka ia wajib membagikannya kepada para ashḥāb as-suhm (ahlus-suhmān) jika pemilik harta termasuk orang yang wajib zakat, dan jika bukan termasuk yang wajib zakat maka ia wajib mengembalikannya kepada pemilik harta. Namun jika harta tersebut rusak di tangannya sebelum ḥaul, maka ia wajib menanggungnya. Jika pemilik harta termasuk orang yang wajib zakat, maka ia menanggungnya untuk para ashḥāb as-suhm, dan jika pemilik harta bukan termasuk yang wajib zakat, maka ia menanggungnya untuk pemilik harta—baik rusaknya itu karena kelalaian maupun bukan karena kelalaian—ini adalah mazhab al-Syafi‘i. Dan jika harta tersebut rusak di tangan sā‘ī (petugas zakat) maka menjadi tanggungan bagi pemilik harta, bukan untuk para ashḥāb as-suhm, karena tangan sā‘ī setelah ḥaul adalah seperti tangan para miskin, dan apa yang rusak di tangannya tanpa kelalaian sebelum disalurkan kepada mereka, maka ia tidak menanggungnya, dan tidak menanggung untuk pemilik harta, karena pemilik harta termasuk dari kalangan yang wajib zakat atasnya. Dan apabila telah tiba ḥaul dan pemilik harta termasuk dari kalangan yang wajib zakat atasnya, namun sā‘ī belum menyalurkannya kepada yang berhak, kemudian pemilik harta jatuh miskin dan zakat rusak di tangan sā‘ī, maka jika ia (pemilik harta) tidak menuntutnya agar dikembalikan setelah jatuh miskin hingga rusak, maka tidak ada tanggungan atas sā‘ī kepada pemilik harta, karena ḥaul telah tiba, dan pemilik harta termasuk dari kalangan yang wajib zakat, dan ia juga tidak menanggung kepada para fuqara karena ia adalah orang yang diberi amanah. Namun jika pemilik harta menuntutnya dan sā‘ī tidak mengembalikannya, atau pengembalian itu mustahil hingga zakat itu rusak di tangan sā‘ī, maka wajib baginya menanggungnya kepada pemilik harta. Sedangkan Abu Hanifah berkata: tidak ada tanggungan atasnya kecuali jika ada kelalaian dalam semua keadaan, dan tanggungan itu berasal dari harta para ashḥāb as-suhm, dan itu sudah mencukupi bagi pemilik harta sebagai bentuk pelaksanaan.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ يَدَ الْوَالِي كَيَدِ أَهْلِ السُّهْمَانِ بِدَلِيلِ أَنَّ الزَّكَاةَ تَسْقُطُ عَنْ رَبِّ الْمَالِ بِدَفْعِهَا إِلَيْهِ كَمَا تَسْقُطُ عَنْهُ بِدَفْعِهَا إِلَيْهِمْ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ مَا تَلِفَ فِي أَيْدِي أَهْلِ السُّهْمَانِ مَضْمُونًا لَمْ يَكُنْ مَا تَلِفَ فِي يَدِ الْوَالِي مَضْمُونًا.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَالِيَ فِي حَقِّ أَهْلِ السُّهْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الْوَلِيِّ فِي حَقِّ الْيَتِيمِ، ثُمَّ كَانَ وَلِيُّ الْيَتِيمِ إِذَا تَعَجَّلَ لَهُ حَقًّا مُؤَجَّلًا لَمْ يَضْمَنْهُ، كَذَلِكَ وَالِي أَهْلِ السُّهْمَانِ إِذَا تَعَجَّلَ لَهُمْ حَقًّا مُؤَجَّلًا لَمْ يَضْمَنْهُ، وَهَذَا غَلَطٌ، وَدَلِيلُنَا شَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ آتِي رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – شاكياً فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَمَّا الْعَبَّاسُ فَصَدَقَتُهُ عَلَيَّ وَمِثْلُهَا ” فَأَخْبَرَ أَنَّهَا في ضَمَانِهِ وَهُوَ مِمَّنْ لَا يُفَرِّطُ، فَثَبَتَ أَنَّهَا مَضْمُونَةٌ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يُفَرِّطْ.
Salah satunya: bahwa tangan (kepemilikan) wali (penguasa) itu seperti tangan para ahli as-suhmān, dengan dalil bahwa zakat gugur dari pemilik harta dengan menyerahkannya kepada wali sebagaimana gugur darinya jika diserahkan kepada mereka. Maka ketika harta yang rusak di tangan para ahli as-suhmān tidak ditanggung, maka yang rusak di tangan wali juga tidak ditanggung.
Dan yang kedua: bahwa wali terhadap hak para ahli as-suhmān adalah seperti wali terhadap hak anak yatim. Kemudian wali anak yatim jika menyegerakan hak yang ditangguhkan untuk anak yatim, ia tidak menanggungnya. Maka demikian pula wali para ahli as-suhmān jika menyegerakan untuk mereka hak yang ditangguhkan, ia tidak menanggungnya.
Dan ini adalah kekeliruan.
Dalil kami ada dua:
Pertama: bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan mengadukan (perkara), lalu Rasulullah SAW bersabda: “Adapun al-‘Abbās, maka zakatnya (wajib) atas aku dan semisalnya.” Maka beliau memberitakan bahwa zakat itu berada dalam tanggungan beliau, padahal beliau termasuk orang yang tidak melakukan kelalaian. Maka tetaplah bahwa zakat itu dalam tanggungan beliau meskipun tidak melalaikan.
وَالثَّانِي: وَهُوَ دَلِيلُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ أَهْلَ السُّهْمَانِ أَهْلُ رُشْدٍ لَا يُوَلَّى عَلَيْهِمْ، لِأَنَّهُمْ يَتَصَرَّفُونَ فِيمَا بِأَيْدِيهِمْ تَصَرُّفَ غَيْرِهِمْ، وَالْإِمَامُ وَالْوَلِيُّ مُتَصَرِّفٌ بِإِذْنِهِمْ، وَلَيْسَ كَوَلِيِّ الْيَتِيمِ الَّذِي يَتَصَرَّفُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَلَا يتفرق الْيَتِيمُ فِي مَالِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ، فَصَارَ وَالِي أهل السُّهْمَانِ كَالْوَكِيلِ يَضْمَنُ مَا أَخَذَهُ بِغَيْرِ إِذْنٍ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ إِنَّ يَدَهَمْ كَيَدِهِ قبل صَحِيحٌ، لَكِنْ بَعْدَ الْوُجُوبِ عَلَى مَا أَذِنَ له، فأما فيما قيل فلا، فأما الْجَوَابُ عَنْ جَمْعِهِ بَيْنَ وَلِيِّ الْيَتِيمِ وَوَالِي أَهْلِ السُّهْمَانِ فَمَا ذَكَرْنَا يُوجِبُ تَفْرِيقَ جَمْعِهِ بَيْنَهُمَا، يُوَضِّحُ ذَلِكَ أَنَّ الْيَتِيمَ لَوْ نَهَى وَلِيَّهُ عَنْ تَعْجِيلِ حَقِّهِ لَمْ يَلْتَفِتْ إِلَى نَهْيِهِ، لِأَنَّهُ مُوَلًّى عَلَيْهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ أَهْلُ السُّهْمَانِ، لِأَنَّهُمْ غَيْرُ مُوَلًّى عَلَيْهِمْ فَثَبَتَ بِذَلِكَ مَا ذَكَرْنَاهُ فَهَذَا الْكَلَامُ فِي أَحَدِ شَطْرَيِ الْمَسْأَلَةِ وَهُوَ أَنْ يُعَجِّلَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ.
dan yang kedua: yaitu dalil al-Syafi‘i bahwa para ahlus-suhmān adalah orang-orang yang berakal sehat dan tidak berada di bawah perwalian, karena mereka dapat melakukan transaksi atas apa yang ada di tangan mereka sebagaimana selain mereka melakukan transaksi, dan imam serta wali bertindak atas izin mereka, dan tidak seperti wali anak yatim yang bertindak tanpa izin si yatim dan si yatim tidak boleh membelanjakan hartanya kecuali dengan izinnya. Maka wali ahlus-suhmān seperti wakil yang wajib menanggung apa yang diambil tanpa izin. Adapun jawaban terhadap perkataan bahwa tangan mereka seperti tangannya sebelum wajib (zakat), itu benar, tetapi setelah kewajiban (zakat) maka sesuai dengan apa yang mereka izinkan, adapun sebelum itu tidak. Maka jawaban atas penyamaan antara wali anak yatim dengan wali ahlus-suhmān adalah bahwa apa yang kami sebutkan mewajibkan pembedaan antara keduanya. Yang memperjelas hal itu adalah bahwa jika seorang yatim melarang walinya untuk menyegerakan haknya, maka larangan tersebut tidak dianggap, karena ia berada di bawah perwalian. Berbeda halnya dengan ahlus-suhmān, karena mereka tidak berada di bawah perwalian. Maka tetaplah dengan itu apa yang kami sebutkan. Maka inilah pembahasan tentang salah satu sisi dari permasalahan, yaitu menyegerakan (zakat) tanpa adanya permintaan.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا تَعَجَّلَهَا بِمَسْأَلَةٍ فَلَا يَخْلُو حال من سأله من ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ رَبُّ الْمَالِ، وأهل السُّهْمَانِ، أَوْ هُمَا مَعًا، فَإِنْ سَأَلَهُ رَبُّ المال أن يتعجلها من دُون أَهْلِ السُّهْمَانِ فَلَهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ صَرَفَهَا فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ.
والثانية: أن تكون في يديه.
وَالثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ قَدْ تَلِفَتْ، فَإِنْ كَانَ قَدْ صَرَفَهَا فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ فَلِلدَّافِعِ وَالْمَدْفُوعِ إليه أربعة أحول مَضَتْ.
PASAL
Adapun jika zakat disegerakan karena permintaan, maka keadaan orang yang memintanya tidak lepas dari tiga bagian:
Entah ia adalah pemilik harta, atau para ahli as-suhmān, atau keduanya sekaligus.
Jika yang memintanya adalah pemilik harta agar disegerakan (zakatnya) tanpa para ahli as-suhmān, maka terdapat tiga keadaan:
Pertama: zakat itu telah disalurkan kepada para ahli as-suhmān.
Kedua: zakat itu masih berada di tangannya.
Ketiga: zakat itu telah rusak.
Maka jika telah disalurkan kepada para ahli as-suhmān, maka bagi yang menyerahkan dan bagi yang menerima, terdapat empat keadaan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الدَّافِعُ مِمَّنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ وَالْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ مِمَّنْ يَسْتَحِقُّ الزَّكَاةَ فلا رجوع.
والحال الثانية: أن لا تجب على الدافع ولا يستحقها المدفوع إليه، فَلِلدَّافِعِ أَعْنِي رَبَّ الْمَالِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ أَعْنِي أَهْلَ السُّهْمَانِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْوَالِي، لِأَنَّهُ لَمَّا سَأَلَ الْوَالِي أَنْ يَتَعَجَّلَهَا مِنْهُ صَارَ الوالي في الدافع نَائِبًا عَنْهُ، فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً فِي يَدِ المدفوع إليها اسْتَرْجَعَهَا بِعَيْنِهَا، وَإِنْ كَانَ قَدِ اسْتَهْلَكَهَا نُظِرَ، فَإِنْ كَانَتْ ذَهَبًا أَوْ وَرِقًااسْتَرْجَعَ مِثْلَهَا، وَإِنْ كَانَتْ حَيَوَانًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا فِيمَنِ اقْتَرَضَ حَيَوَانًا هل يجب عليه رد مثله، أورد قِيمَتِهِ، أَحَدُهُمَا أَنْ يَسْتَرْجِعَ مِثْلَهُ.
Salah satunya: apabila yang menyerahkan adalah orang yang wajib atasnya zakat, dan yang menerima adalah orang yang berhak menerima zakat, maka tidak ada hak untuk menuntut kembali.
Dan keadaan kedua: yaitu apabila tidak wajib atas si pemberi, dan yang menerima juga tidak berhak menerimanya, maka si pemberi—yakni pemilik harta—berhak menuntut kembali dari pihak yang menerima, yakni ahlus-suhmān, dan ia tidak berhak menuntut kembali dari wali, karena ketika wali meminta agar disegerakan darinya, maka wali menjadi wakil darinya. Jika harta itu masih ada di tangan penerima, maka ia mengambil kembali barang itu secara langsung. Dan jika telah habis digunakan, maka dilihat: jika berupa emas atau perak, maka ia mengambil gantinya sepadan; dan jika berupa hewan, maka terdapat dua wajah (pendapat) dalam madzhab kami mengenai orang yang meminjam hewan, apakah ia wajib mengganti dengan hewan sejenis atau dengan nilainya—salah satunya adalah bahwa ia mengambil gantinya berupa hewan sejenis.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَرْجِعَ قِيمَتَهُ:
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ الدَّافِعُ مِمَّنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ وَالْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ مِمَّنْ لَا يَسْتَحِقُّ الزَّكَاةَ فَلِلدَّافِعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا، وَعَلَيْهِ صَرْفُهَا فِي أَهْلِهَا وَمُسْتَحِقِّيهَا، فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً اسْتَرْجَعَهَا بِعَيْنِهَا، وَهَلْ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ دَفْعُهَا فِي الزَّكَاةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أحدهما: يدفعها بعينها ليعينها بِالتَّعْجِيلِ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ دَفْعِهَا أَوْ دَفْعِ غَيْرِهَا: لِأَنَّهَا بَعْدَ الِاسْتِرْجَاعِ مِنْ جُمْلَةِ مَالِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ قَدِ اسْتَهْلَكَهَا استرجع منه مثلها وجهاً واحداً.
Dan pendapat kedua: yaitu mengambil kembali nilainya.
Adapun keadaan ketiga: bahwa yang menyerahkan adalah orang yang wajib atasnya zakat, dan yang menerima adalah orang yang tidak berhak menerima zakat, maka bagi yang menyerahkan boleh menarik kembali zakat tersebut, dan wajib baginya menyalurkannya kepada orang-orang yang berhak dan para mustaḥiq-nya.
Jika zakat tersebut masih ada, maka ia mengambilnya kembali secara langsung.
Lalu, apakah ia wajib menyerahkannya kembali sebagai zakat atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: ia wajib menyerahkannya kembali dalam bentuk yang sama karena telah ditentukan untuk zakat melalui penyegeraan.
Kedua: ia diberi pilihan antara menyerahkan zakat itu atau menggantinya dengan yang lain, karena setelah ditarik kembali, zakat tersebut kembali menjadi bagian dari hartanya.
Dan jika orang yang menerimanya telah menghabiskannya, maka yang menyerahkan mengambil ganti sejenisnya, menurut satu pendapat.
والحالة الرَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ الدَّافِعُ مِمَّنْ لَا تَجِبُ عليه الزكاة والمدفوع إليه ممن يسحق الزكاة، فللدافع أن يرجع بها على المدفوع إليه، فإذا رَجَعَ بِهَا كَانَ لَهُ تَمَلُّكُهَا وَلَمْ يَلْزَمْهُ إِخْرَاجُهَا، لِأَنَّهَا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ قَدِ اسْتَهْلَكَهَا رَجَعَ عَلَيْهِ بِمِثْلِهَا إِنْ كَانَتْ ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا، وَإِنْ كَانَتْ حَيَوَانًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ، لِأَنَّهُ يَسْتَرْجِعُهَا فِي حَقِّ نَفْسِهِ كَالْقِسْمِ الثَّانِي، وَخَالَفَ الْقِسْمُ الثَّالِثُ الَّذِي يَكُونُ اسْتِرْجَاعُهُ لَهَا فِي حَقِّ الْفُقَرَاءِ، وَإِنْ كَانَتِ الزَّكَاةُ بَاقِيَةً فِي يَدِ الْوَالِي فَلِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا قَبْلَ الْحَوْلِ مَا لَمْ يُفَرِّقْهَا الْوَالِي، فَإِنْ فَرَّقَهَا فَلَا رُجُوعَ لَهُ إِلَّا أَنْ يَتَغَيَّرَ حَالُهُ، أَوْ حَالُ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنَّمَا كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهَا عَلَى الْوَالِي قَبْلَ الْحَوْلِ مَا لَمْ يُفَرِّقْهَا، لِأَنَّهُ إِذَا سَأَلَ الْوَالِي تَعْجِيلَهَا فَالْوَالِي نَائِبٌ عَنْهُ، فَجَازَ أَنْ يَرْجِعَ فِي اسْتِنَابَتِهِ وَإِنْ تَلِفَتِ الزَّكَاةُ مِنْ يَدِ الوالي فلا ضمان على رب الْمَالِ إِلَّا بِتَفْرِيطٍ، لِأَنَّهُ لَمَّا سَأَلَهُ وَاسْتَنَابَهُ صار أمينه، الأمين غَيْرُ ضَامِنٍ مَا لَمْ يُفَرِّطْ، وَعَلَى رَبِّ المال إخراج الزكاة عند وُجُوبِهَا، لِأَنَّ مَا عَجَّلَهُ لَمْ يَصِلْ إِلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَلَا إِلَى مَنِ اسْتَنَابَهُ أَهْلُ السُّهْمَانِ، فَإِنْ كَانَ الْوَالِي قَدْ تَعَدَّى فِيهَا أَوْ فَرَّطَ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهَا فِي حَقِّ رَبِّ المال، ويضمن قيمة الحيوان وجهاً واحد، لِأَنَّهُ يَضْمَنُهُ ضَمَانَ غَصْبٍ فَهَذَا الْكَلَامُ فِيهِ إِذَا سَأَلَهُ رَبُّ الْمَالِ.
dan keadaan keempat: yaitu apabila yang menyerahkan adalah orang yang tidak wajib atasnya zakat, dan yang menerima adalah orang yang berhak menerima zakat, maka si pemberi berhak menuntut kembali dari penerima. Jika ia menuntut kembali, maka ia berhak memilikinya dan tidak wajib mengeluarkannya, karena zakat tidak wajib atasnya. Jika yang diberikan telah habis digunakan oleh penerima, maka ia menuntut gantinya: bila berupa emas atau perak, ia menuntut yang sepadan; dan bila berupa hewan, maka terdapat dua wajah (pendapat), karena ia menuntut kembali untuk hak dirinya, sebagaimana dalam bagian kedua, dan ini berbeda dengan bagian ketiga yang penuntutannya demi hak para fakir. Jika zakat masih berada di tangan wali, maka pemilik harta boleh menuntut kembali sebelum datangnya ḥaul selama wali belum membagikannya. Jika telah dibagikan, maka ia tidak dapat menuntut kembali, kecuali jika berubah keadaan dirinya atau keadaan penerima, sebagaimana telah disebutkan. Hak menuntut kembali dari wali sebelum ḥaul dan sebelum pembagian itu sah, karena ketika wali meminta agar disegerakan, maka ia menjadi wakil darinya, sehingga boleh menarik kembali perwakilannya. Jika zakat rusak di tangan wali, maka tidak ada tanggungan atas pemilik harta kecuali jika terdapat kelalaian, karena saat ia diminta dan ia menjadikannya sebagai wakil, maka wali menjadi orang yang diberi amanah, dan orang yang diberi amanah tidak menanggung kecuali jika ia lalai. Maka pemilik harta tetap wajib mengeluarkan zakat ketika telah wajib, karena zakat yang disegerakan itu belum sampai kepada ahlus-suhmān, dan juga tidak sampai kepada orang yang ditunjuk oleh ahlus-suhmān. Namun jika wali melampaui batas atau lalai dalam pengelolaannya, maka ia wajib menanggungnya terhadap pemilik harta, dan ia menanggung nilai hewan menurut satu wajah (pendapat), karena ia menanggungnya sebagaimana tanggungan seorang yang melakukan ghaṣb. Maka ini adalah pembahasan dalam keadaan apabila wali memintanya kepada pemilik harta.
فَصْلٌ
: وَإِنْ سَأَلَهُ أَهْلُ السُّهْمَانِ أَنْ يَتَعَجَّلَ لَهُمْ دُونَ رَبِّ الْمَالِ فَعَلَى الْأَقْسَامِ الْمَاضِيَةِ، لِأَنَّ الْأَقْسَامَ فِيهَا مُتَمَاثِلَةٌ وَإِنَّمَا الْأَجْوِبَةُ مُخْتَلِفَةٌ، فَلَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ إِعَادَةِ الْأَقْسَامِ وَإِنْ تَكَرَّرَتْ لِيَصِحَّ تَقْسِيمُ الْمَسْأَلَةِ، وَيَبِينُ جَوَابُ كُلِّ قِسْمٍ، فَأَحَدُ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ: أَنْ يَكُونَ الْوَالِي قَدْ صَرَفَهَا فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ فِي يَدِهِ.
والثالث: أن تكون قد تلفت من يَدِهِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ صَرَفَهَا فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ فَلِلدَّافِعِ وَالْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ عَلَى مَا مَضَى، أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا مَعًا مِنْ أَهْلِ الزَّكَاةِ فَلَا يَرْجِعُ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَا مَعًا مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الزكاة فلرب المال أن يرجع بها على الْوَالِي، وَيَرْجِعَ بِهَا الْوَالِي عَلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ، بِخِلَافِ مَا مَضَى قَبْلُ؛ لِأَنَّ الْوَالِي هُوَ الْآخِذُ وَلَيْسَ بِنَائِبٍ عَنْ رَبِّ الْمَالِ فَيَلْزَمُهُ رَدُّ مَا أَخَذَهُ، فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً اسْتَرْجَعَهَا بِعَيْنِهَا، وَإِنْ كَانَتْ تَالِفَةً فَإِنْ كَانَتْ وَرِقًا أَوْ ذَهَبًا اسْتَرْجَعَ مِثْلَهَا، وَإِنْ كَانَتْ حَيَوَانًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ كَالْقَرْضِ، لِأَنَّهُ يَسْتَرْجِعُهَا فِي حَقِّ نَفْسِهِ لَا فِي حَقِّ أَهْلِ السُّهْمَانِ.
PASAL
Dan jika para mustahiq meminta kepada wālī agar dipercepat penyalurannya kepada mereka tanpa izin pemilik harta, maka hukumnya mengikuti pembagian yang telah lalu, karena bentuk pembagiannya sama, hanya jawabannya yang berbeda, maka tidak ada jalan lain selain mengulang kembali pembagiannya agar pembagian masalah menjadi benar dan jawaban tiap-tiap bagian menjadi jelas.
Salah satu dari tiga bagian itu adalah: pertama, wālī telah menyalurkannya kepada para mustahiq.
Kedua, masih berada di tangannya.
Ketiga, telah rusak dari tangannya.
Jika wālī telah menyalurkannya kepada para mustahiq, maka bagi yang membayar dan yang menerima pada saat tiba haul-nya, ada empat keadaan seperti yang telah dijelaskan.
Pertama: keduanya termasuk orang yang berhak menerima zakat, maka tidak ada pengembalian.
Kedua: keduanya bukan termasuk orang yang berhak menerima zakat, maka pemilik harta boleh meminta kembali kepada wālī, dan wālī meminta kembali kepada para mustahiq, berbeda dengan yang telah dijelaskan sebelumnya, karena wālī adalah pihak yang mengambil, bukan wakil dari pemilik harta, maka ia wajib mengembalikan apa yang telah diambilnya.
Jika zakat itu masih ada, maka dikembalikan dalam bentuk yang sama.
Jika sudah rusak, maka jika berupa perak atau emas, dikembalikan yang semisal.
Jika berupa hewan, maka ada dua pendapat sebagaimana dalam kasus utang, karena ia memintanya kembali untuk hak dirinya sendiri, bukan untuk hak para mustahiq.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الدَّافِعُ مِنْ أَهْلِ الزَّكَاةِ وَالْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ غَيْرَ مُسْتَحِقٍّ لِلزَّكَاةِ فَعَلَى الْوَالِي اسْتِرْجَاعُهَا مِنَ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ، وَصَرْفُهَا فِي غَيْرِهِ مِمَّنْ يَسْتَحِقُّهَا، وَلَيْسَ لِرَبِّ الْمَالِ اسْتِرْجَاعُهَا، لِأَنَّ إِخْرَاجَهَا وَاجِبٌ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً اسْتَرْجَعَهَا الْوَالِي بِعَيْنِهَا وَصَرَفَهَا فِي مُسْتَحِقِّيهَا مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَإِنْ كَانَتْ تَالِفَةً اسْتَرْجَعَ مِثْلَهَا وَإِنْ كَانَتْ حَيَوَانًا، لِأَنَّهُ يَسْتَرْجِعُهَا فِي حَقِّ أَهْلِ السُّهْمَانِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَرْجِعَ مَا يُصْرَفُ مَصْرَفَ الزَّكَاةِ وَهُوَ الْعَيْنُ دُونَ الْقِيمَةِ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الدَّافِعُ مِمَّنْ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ وَالْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ مِمَّنْ يَسْتَحِقُّ الزَّكَاةَ، فَلِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْوَالِي، وَلِلْوَالِي أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ، فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً اسْتَرْجَعَهَا بِعَيْنِهَا، وَإِنْ تَلِفَتْ وَهِيَ حَيَوَانٌ فَعَلَى وَجْهَيْنِ كَالْقَرْضِ، لِأَنَّهُ يَسْتَرْجِعُهَا فِي حَقِّ رَبِّ الْمَالِ لَا فِي حَقِّ أَهْلِ السُّهْمَانِ.
dan yang ketiga: yaitu apabila yang menyerahkan adalah orang yang wajib zakat, dan yang menerima bukan termasuk orang yang berhak menerima zakat, maka wali wajib menuntut kembali dari pihak yang menerima, dan menyalurkannya kepada selainnya yang berhak menerimanya, dan pemilik harta tidak memiliki hak untuk menuntut kembali, karena kewajiban mengeluarkan zakat tetap berlaku atasnya. Jika zakat itu masih ada, maka wali menuntut kembali barang itu secara langsung dan menyalurkannya kepada yang berhak dari ahlus-suhmān, dan jika sudah rusak, maka wali menuntut gantinya yang sepadan—termasuk jika berupa hewan—karena ia menuntutnya atas hak ahlus-suhmān, maka wajib menuntut apa yang dapat disalurkan sebagai zakat, yaitu barangnya, bukan nilainya.
dan yang keempat: yaitu apabila yang menyerahkan adalah orang yang tidak wajib zakat, dan yang menerima adalah orang yang berhak menerima zakat, maka pemilik harta berhak menuntut kembali dari wali, dan wali berhak menuntut kembali dari pihak yang menerima. Jika zakat itu masih ada, maka dituntut kembali barangnya secara langsung, dan jika telah rusak dalam bentuk hewan, maka terdapat dua wajah (pendapat) sebagaimana dalam masalah qarḍ, karena tuntutan tersebut atas hak pemilik harta, bukan atas hak ahlus-suhmān.
أَحَدُهُمَا: يَسْتَرْجِعُ الْقِيمَةَ.
وَالثَّانِي: يَسْتَرْجِعُ الْمِثْلَ، وَإِنْ كَانَتِ الزَّكَاةُ فِي يَدِ الْوَالِي فَعَلَيْهِ صَرْفُهَا فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَلَيْسَ لِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا بِخِلَافِ مَا لَوْ سَأَلَهُ أَنْ يَتَعَجَّلَهَا إلا أن يتغير حاله عند الحول، لأن يد الوالي هاهنا يَدٌ لِأَهْلِ السُّهْمَانِ، وَهُنَاكَ يَدٌ لِرَبِّ الْمَالِ، وإن كانت الزكاة قد تلفت من يَدِ الْوَالِي فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُفَرِّطْ، وَهِيَ تَالِفَةٌ مِنْ مَالِ أَهْلِ السُّهْمَانِ، لأنه نائب عنهم، وقد أدى ذَلِكَ رَبُّ الْمَالِ، فَإِنْ تَغَيَّرَتْ حَالُ رَبِّ المال عند الحلول كَانَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْوَالِي، وَيَرْجِعَ بِهَا الْوَالِي فِي مَالِ أَهْلِ السُّهْمَانِ، فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً اسْتَرْجَعَهَا بِعَيْنِهَا، وَإِنْ كَانَتْ تَالِفَةً وَهِيَ حَيَوَانٌ فَعَلَى وَجْهَيْنِ، لِأَنَّهُ يَرْجِعُ بها في حق نفسه لا في ق أهل السهمان فهذا الكلام فيه إِذَا سَأَلَهُ أَهْلُ السُّهْمَانِ، وَلَوْ رَأَى الْإِمَامُ بِأَطْفَالِ الْمَسَاكِينِ حَاجَةً إِلَى التَّعْجِيلِ وَكَانُوا أَيْتَامًا فَاسْتَسْلَفَ لَهُمْ فَتَلِفَ فِي يَدِهِ مِنْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اسْتِسْلَافِهِ وَضَمَانِهِ على وجهين:
Pertama: ia mengembalikan dalam bentuk qīmah (nilai).
Kedua: ia mengembalikan dalam bentuk mithl (barang yang sejenis).
Dan jika zakat itu masih berada di tangan wālī, maka wajib baginya untuk menyalurkannya kepada para mustahiq, dan pemilik harta tidak berhak untuk menarik kembali, berbeda halnya jika dia meminta agar dipercepat penyalurannya, kecuali jika keadaan pemilik harta berubah saat tiba haul, karena tangan wālī dalam keadaan ini adalah tangan untuk para mustahiq, sedangkan dalam keadaan sebelumnya adalah tangan untuk pemilik harta.
Dan jika zakat itu telah rusak dari tangan wālī, maka tidak ada tanggungan atasnya selama tidak terjadi kelalaian, dan kerusakannya itu dianggap dari harta para mustahiq, karena ia adalah wakil mereka, dan pemilik harta telah menunaikannya.
Namun jika keadaan pemilik harta berubah saat tiba haul, maka ia boleh meminta kembali kepada wālī, dan wālī meminta kembali dari harta para mustahiq. Jika zakat itu masih ada, maka dikembalikan dalam bentuk aslinya. Jika sudah rusak dan berupa hewan, maka ada dua pendapat, karena ia memintanya kembali untuk hak dirinya, bukan untuk hak para mustahiq.
Maka pembahasan ini terkait apabila para mustahiq yang memintanya.
Namun jika imam melihat bahwa anak-anak miskin sangat membutuhkan percepatan penyaluran, sementara mereka adalah yatim-piatu, lalu imam meminjamkan harta untuk mereka dan ternyata rusak di tangannya tanpa kelalaian, maka ulama mazhab kami berbeda pendapat tentang kebolehan peminjaman dan tanggungan ganti rugi, dengan dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: لَيْسَ لِلْوَالِي أَنْ يَسْتَسْلِفَ لِغَيْرِ الْبَالِغِينَ مِنَ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، فَإِنْ فَعَلَ كَانَ ضَامِنًا، لِأَنَّ لَهُمْ حقاً في خمس الخمس وسهماً فيه ليستغنون بِهِ عَنْ غَيْرِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة: ليس لَهُ أَنْ يَسْتَسْلِفَ لَهُمْ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِنْ تَلِفَ، لِأَنَّهُمْ مِمَّنْ يَسْتَحِقُّونَ أَخْذَ الزَّكَاةِ عند وجوبها فجاز تعجيلها فيهم قَبْلَ وُجُوبِهَا كَالْبَالِغِينَ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لِلْوَالِي النظر على الْبَالِغِينَ مِنْهُمْ فَلَأَنْ يَكُونَ لَهُ النَّظَرُ عَلَى أَيْتَامِهِمْ أَوْلَى، وَيَقُومُ نَظَرُهُ لَهُمْ عِنْدَ الْحَاجَةِ مَقَامَ إِذْنِهِمْ فِي التَّعْجِيلِ وَمَسْأَلَتِهِمْ.
Salah satunya: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa tidak boleh bagi wali untuk meminjamkan (zakat) atas nama anak-anak yang belum baligh dari kalangan fuqara dan masākīn. Jika ia melakukannya, maka ia wajib menanggungnya, karena mereka memiliki hak pada seperlima dari khumus dan memiliki bagian darinya agar mereka tidak bergantung pada selainnya.
Pendapat kedua: yaitu pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah, bahwa ia (wali) boleh meminjamkan untuk mereka dan tidak wajib menanggung jika harta itu rusak, karena mereka termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat ketika telah wajib, maka boleh disegerakan kepada mereka sebelum wajib sebagaimana kepada orang yang telah baligh. Dan karena ketika wali memiliki wewenang untuk mengatur (zakat) atas orang dewasa dari mereka, maka lebih utama lagi ia memiliki wewenang atas anak-anak yatim mereka. Dan pengaturan wali untuk mereka pada saat kebutuhan menggantikan izin mereka dalam penyegeraan dan permintaan zakat.
فَصْلٌ
: وَإِنْ سَأَلَهُ رَبُّ الْمَالِ أَنْ يَتَعَجَّلَ مِنْهُ وَسَأَلَهُ أَهْلُ السُّهْمَانِ أَنْ يَتَعَجَّلَ لَهُمْ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْمُغَلَّبَ فِيهِ مَسْأَلَةُ رَبِّ الْمَالِ، كَمَا لَوْ تَفَرَّدَ بِمَسْأَلَتِهِ، فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ التَّقْسِيمِ وَالْجَوَابِ، لَأَنَّ التَّعْجِيلَ كَانَ بِاخْتِيَارِهِ، وَلِأَنَّهُ لَوِ امْتَنَعَ لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ، فَوَجَبَ أَنْ تُغَلِّبَ فِيهِ مَسْأَلَتَهُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الْمُغَلَّبَ فِيهِ مَسْأَلَةُ أَهْلِ السُّهْمَانِ، كَمَا لَوْ تَفَرَّدُوا بِالْمَسْأَلَةِ، فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ التَّقْسِيمِ وَالْجَوَابِ، لِأَنَّهُمَا قد يتناوبا بِالْمَسْأَلَةِ وَانْفَرَدَ أَهْلُ السُّهْمَانِ بِالِارْتِفَاقِ فَوَجَبَ أَنْ يغلب فيه مسألتهم والله أعلم
بسم الله الرحمن الرحيم
صلى الله على سيدنا محمد وآله
PASAL
Jika pemilik harta meminta kepada wālī agar dipercepat penyaluran zakatnya, dan para mustahiq juga meminta agar dipercepat pemberian kepada mereka, maka ulama mazhab kami berselisih pendapat dalam dua pendapat:
Pertama: yang diunggulkan adalah permintaan pemilik harta, sebagaimana jika ia sendirian dalam permintaannya, maka hukumnya mengikuti pembagian dan jawaban yang telah lalu, karena percepatan dilakukan atas pilihannya sendiri, dan seandainya ia menolak, ia tidak bisa dipaksa, maka wajib untuk mengunggulkan permintaannya.
Kedua: yang diunggulkan adalah permintaan para mustahiq, sebagaimana jika mereka sendirian dalam permintaan itu, maka hukumnya mengikuti pembagian dan jawaban yang telah lalu, karena keduanya bisa bergantian dalam permintaan, dan para mustahiqlah yang secara khusus mendapatkan manfaat, maka wajib untuk mengunggulkan permintaan mereka.
Wallāhu a‘lam.
Bismillāh al-Raḥmān al-Raḥīm.
Semoga salawat tercurah kepada junjungan kita Nabi Muḥammad SAW dan keluarga beliau.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اسْتَسْلَفَ لِرَجُلَيْنِ بَعِيرًا فَأَتْلَفَاهُ وَمَاتَا قَبْلَ الْحَوْلِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ مِنْ أَمْوَالِهِمَا لِأَهْلِ السُّهْمَانِ لِأَنَّهُمَا لَمَّا لَمْ يَبْلُغَا الْحَوْلَ عَلِمْنَا أَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُمَا فِي صدقةٍ قَدْ حَلَّتْ فِي حَوْلٍ لَمْ يَبْلُغَاهُ وَلَوْ مَاتَا بَعْدَ الْحَوْلِ كَانَا قَدِ اسْتَوْفَيَا الصَّدَقَةَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
أَمَّا قَوْلُهُ: ” لَوِ اسْتَسْلَفَ لِرَجُلَيْنِ بَعِيرًا ” فَلَيْسَ بِشَرْطٍ فِي الْمَسْأَلَةِ، بَلْ لا فرق بين أن يستسلف لرجلين أو رجل أَوْ أَكْثَرَ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَسْتَسْلِفَ بَعِيرًا أَوْ بَقَرَةً أَوْ شَاةً، وَالْجَوَابُ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ، وَجُمْلَتُهُ: أَنَّ الْوَالِيَ إِذَا تَعَجَّلَ مِنْ رَجُلٍ بَعِيرًا، وَدَفَعَهُ إِلَى فَقِيرٍ، لِمَا رأى من حاجته وشدة خلته، ثُمَّ مَاتَ الْفَقِيرُ، لَمْ يَخْلُ حَالُ مَوْتِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.
Berkata al-Syafi‘i raḥimahullāh: “Seandainya ia meminjamkan seekor unta untuk dua orang lalu keduanya merusaknya dan mati sebelum ḥaul, maka ia (wali) boleh mengambil ganti dari harta keduanya untuk ahlus-suhmān, karena ketika keduanya belum mencapai ḥaul, kita tahu bahwa keduanya tidak memiliki hak dalam ṣadaqah yang sudah wajib pada ḥaul yang belum mereka capai. Namun jika keduanya mati setelah ḥaul, maka keduanya telah menerima ṣadaqah itu secara sempurna.”
Berkata al-Māwardī: Dan ini adalah benar.
Adapun perkataannya: “Seandainya ia meminjamkan untuk dua orang seekor unta” —itu bukanlah syarat dalam masalah ini. Bahkan tidak ada perbedaan antara ia meminjamkan untuk dua orang, seorang, atau lebih; dan tidak ada perbedaan apakah ia meminjamkan seekor unta, sapi, atau kambing. Jawabannya dalam semua itu sama saja.
Kesimpulannya: bahwa apabila wali menyegerakan dari seorang (pemilik harta) seekor unta lalu memberikannya kepada seorang faqir karena melihat kebutuhannya dan kesulitan yang menimpanya, kemudian si faqir itu meninggal, maka keadaan wafatnya tidak terlepas dari tiga bagian.
إما أن يكون قبل موته أو بعده، أو شك هَلْ كَانَ مَوْتُهُ قَبْلَ الْحَوْلِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ مَاتَ بَعْدَ الْحَوْلِ فَلَا تَرَاجُعَ، وَالزَّكَاةُ مجزئة، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ مِنْ مُسْتَحِقِّي الزَّكَاةِ عِنْدَ وُجُوبِهَا، وَإِنْ مَاتَ قَبْلَ الْحَوْلِ: وَجَبَ اسْتِرْجَاعُهَا مِنْ تَرِكَتِهِ، لِأَنَّ تَعْجِيلَ الزَّكَاةِ مَوْقُوفٌ بَيْنَ الإجزاء والاسترجاع، وذلك لا يجزي رَبَّ الْمَالِ، فَكَانَ لَهُ الِاسْتِرْجَاعُ، وَقَالَ أبو حنيفة لَا يَجُوزُ لَهُ اسْتِرْجَاعُهَا، بَلْ تَكُونُ صَدَقَةَ تَطَوُّعٍ، فَجَعَلَهَا مَوْقُوفَةً بَيْنَ الْإِجْزَاءِ عَنِ الفرض أو التطوع، وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِتَعْجِيلِ الزَّكَاةِ إِسْقَاطُ الْفَرْضِ، فَإِذَا لَمْ يَسْقُطْ وَجَبَ اسْتِرْجَاعُهَا، كَمَنْ دَفَعَهَا إِلَى رَجُلٍ ظَاهِرُهُ الْإِسْلَامُ فَبَانَ كَافِرًا، كَانَ لَهُ اسْتِرْجَاعُهَا، لِأَنَّ إِسْقَاطَ الْفَرْضِ الْمَقْصُودِ بِالدَّفْعِ لَمْ يَحْصُلْ، كَذَلِكَ فِيمَا عَجَّلَ وَإِنْ شَكَّ فِي مَوْتِهِ هَلْ كَانَ قَبْلَ الْحَوْلِ أَوْ بَعْدَهُ فَفِي جَوَازِ اسْتِرْجَاعِهَا وَجْهَانِ:
Baik sebelum ia meninggal maupun setelahnya, atau jika ada keraguan apakah kematiannya terjadi sebelum haul atau sesudahnya.
Jika ia meninggal setelah haul, maka tidak ada pengembalian, dan zakat tersebut sah sebagai penunaian kewajiban, karena ia telah termasuk orang yang berhak menerima zakat ketika zakat itu wajib ditunaikan.
Jika ia meninggal sebelum haul, maka wajib dikembalikan dari harta peninggalannya, karena percepatan zakat itu bersifat tergantung antara sah sebagai penunaian kewajiban atau wajib dikembalikan. Dan dalam keadaan ini tidak sah sebagai penunaian zakat pemilik harta, maka ia berhak menariknya kembali.
Abu Ḥanīfah berkata: tidak boleh bagi pemilik harta untuk menariknya kembali, tetapi zakat itu dihitung sebagai sedekah sunnah. Sehingga ia menjadikannya tergantung antara sah sebagai kewajiban atau hanya sebagai sunnah. Dan ini keliru, karena maksud dari percepatan zakat adalah menggugurkan kewajiban, maka ketika kewajiban itu tidak gugur, wajiblah mengembalikannya.
Seperti seseorang yang menyerahkan zakatnya kepada seorang yang lahirnya tampak sebagai muslim, lalu ternyata ia seorang kafir, maka ia berhak menariknya kembali, karena tujuan penyerahan yaitu menggugurkan kewajiban tidak tercapai. Demikian pula dalam zakat yang dipercepat.
Jika ada keraguan apakah kematiannya terjadi sebelum haul atau sesudahnya, maka dalam kebolehan mengembalikannya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: تُسْتَرْجَعُ مِنْهُ اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ فِي التَّعْجِيلِ، لِأَنَّهُ متردد بين أن يموت بعد الحول فتجزي، وقبل الحول فلا تجزي، وَفَرْضُ الزَّكَاةِ لَا يَسْقُطُ بِالشَّكِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تُسْتَرْجَعُ مِنْهُ اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ فِي الِاسْتِرْجَاعِ، لِأَنَّهُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ الْحَوْلِ فَتُسْتَرْجَعُ، وَبَعْدَ الْحَوْلِ فَلَا تُسْتَرْجَعُ، وَمَا قَدْ ملك بالقبض فلا يجوز استرجاعها بالشك، فعلى هذا يجزي ذلك رب المال، لأنه الاسترجاع إذا لم يجب بالإخراج ثانية لا يَجِبْ، فَهَذَا الْكَلَامُ فِي وُجُوبِ الِاسْتِرْجَاعِ.
Salah satunya: zakat itu ditarik kembali darinya, dengan pertimbangan adanya keyakinan dalam penyegerahan, karena kondisinya masih antara dua kemungkinan: jika ia mati setelah ḥaul maka mencukupi, dan jika sebelum ḥaul maka tidak mencukupi. Sedangkan kewajiban zakat tidak gugur dengan keraguan.
Wajah yang kedua: zakat itu tidak ditarik kembali darinya, dengan pertimbangan adanya keyakinan dalam penarikan kembali, karena kondisinya masih antara dua kemungkinan: jika ia mati sebelum ḥaul maka ditarik kembali, dan jika setelah ḥaul maka tidak ditarik kembali. Dan sesuatu yang sudah dimiliki dengan cara qabḍ (diterima) tidak boleh ditarik kembali hanya karena keraguan. Atas dasar ini, maka hal itu mencukupi bagi pemilik harta, karena apabila penarikan kembali tidak wajib, maka kewajiban mengeluarkan zakat untuk kedua kalinya juga tidak wajib. Maka inilah pembahasan tentang wajib atau tidaknya penarikan kembali.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا كَيْفِيَّةُ الِاسْتِرْجَاعِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ مَا تَعَجَّلَهُ لِلْفَقِيرِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا أَوْ مَعْدُومًا، فَإِنْ كَانَ مَعْدُومًا قال الشافعي: يعود بمثله، فأطلق هذا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ فِي حَقِّ أَهْلِ السُّهْمَانِ، فَيَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ بِمِثْلِهِ مِنَ الْحَيَوَانِ لِأَنَّ الرُّجُوعَ مُسْتَحَقٌّ بِمَا يَنْصَرِفُ فِي الزكاة والزكاة لا تنصرف فيها إلا غير الْحَيَوَانِ دُونَ قِيمَتِهِ، فَلَمْ يَجُزِ الرُّجُوعُ إِلَّا بِالْحَيَوَانِ دُونَ قِيمَتِهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ فِي حَقِّ رَبِّ الْمَالِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَعُودُ بِمِثْلِهِ حَيَوَانًا، وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِتَعْجِيلِ الزَّكَاةِ الرِّفْقُ وَالْمُوَاسَاةُ، فَجَرَى مَجْرَى فَرْضِ الْحَيَوَانِ الَّذِي يُرْجَعُ فِيهِ بِالْمِثْلِ لَا بِالْقِيمَةِ.
وَالْوَجْهُ الثاني: وهو أقيس يَرْجِعُ بِقِيمَتِهِ كَسَائِرِ الْمُتْلَفَاتِ، وَحَمَلُوا قَوْلَ الشَّافِعِيِّ يعود بمثله على ماله مِثْلٌ، فَإِذَا وَجَبَتِ الْقِيمَةُ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ فَفِي اعْتِبَارِ زَمَانِ الْقِيمَةِ وَجْهَانِ:
PASAL
Adapun cara pengembalian (istirjā‘), maka keadaan zakat yang dipercepat kepada fakir tidak lepas dari dua hal: ada atau sudah tidak ada.
Jika sudah tidak ada, Imam al-Syāfi‘ī berkata: dikembalikan dengan mithl-nya. Ungkapan ini berlaku pada dua keadaan:
Pertama: jika ia berhak menariknya kembali atas nama hak para mustahiq, maka ia berhak menarik kembali dengan yang semisal dari hewan, karena pengembalian itu ditetapkan untuk sesuatu yang dapat dipergunakan dalam zakat, dan zakat tidak diperuntukkan kecuali dalam bentuk hewan, bukan dalam bentuk nilainya. Maka tidak boleh mengembalikan kecuali dengan hewan, bukan dengan nilainya.
Kedua: jika ia berhak menariknya kembali atas nama hak pemilik harta, maka ulama mazhab kami berbeda pendapat dalam dua pendapat:
Pertama: dikembalikan dengan yang semisal dalam bentuk hewan, dan ini adalah zahir dari nash Imam al-Syāfi‘ī, karena maksud dari percepatan zakat adalah untuk memberi keringanan dan berbagi, maka hukumnya sama seperti kewajiban zakat hewan yang dikembalikan dengan semisal, bukan dengan nilainya.
Pendapat kedua: yang lebih kuat secara qiyās adalah dikembalikan dengan nilainya, sebagaimana benda-benda lain yang rusak. Dan mereka menafsirkan ucapan Imam al-Syāfi‘ī “dikembalikan dengan semisalnya” maksudnya pada sesuatu yang memang memiliki mithl.
Jika pengembaliannya dengan nilai, maka dalam menentukan waktu nilai itu terdapat dua pendapat.
أَصَحُّهُمَا: وَقْتُ الدَّفْعِ وَالتَّعْجِيلُ لِأَنَّهُ بِالدَّفْعِ مَلَكَ.
وَالثَّانِي: وَقْتُ التَّلَفِ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مَوْجُودًا بعد الدفع لرجع بِهِ، فَإِذَا كَانَ تَالِفًا رَجَعَ بِقِيمَتِهِ، وَإِنْ كَانَ مَا تَعَجَّلَهُ الْفَقِيرُ مَوْجُودًا بَعْدَ مَوْتِهِ، لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ زَائِدًا، أَوْ نَاقِصًا، أَوْ بِحَالِهِ لَمْ يَزِدْ وَلَمْ يَنْقُصْ، فَإِنْ كَانَ بِحَالِهِ اسْتُرْجِعَ مِنْهُ، فَإِنْ رَأَى الْوَالِي أَنْ يَرُدَّهُ عَلَى وَارِثِهِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ جَازَ وَإِنْ كَانَ زَائِدًا فَالزِّيَادَةُ ضَرْبَانِ: مُتَمَيِّزَةٌ، وَغَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ، فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ كَالسِّمَنِ وَالْكِبَرِ، فإنه يرجع به وزيادته؛ لأن الزيادة تميزت بمنع الْعَيْنَ، وَإِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ مُتَمَيِّزَةٌ كَاللَّبَنِ وَالنِّتَاجِ، رَجَعَ بِهِ دُونَ زِيَادَتِهِ، وَتَكُونُ الزِّيَادَةُ لِوَارِثِهِ، لِأَنَّ الْفَقِيرَ قَدْ مَلَكَ الْعَيْنَ بِالدَّفْعِ، فَكَانَتِ الزِّيَادَةُ حَادِثَةً عَنْ مِلْكِهِ، فَكَانَ أَمْلَكَ بِهَا مِنْ غَيْرِهِ، كَالْمَبِيعِ إِذَا رُدَّ بِعَيْبٍ، وَإِنْ كَانَ نَاقِصًا، فَالنُّقْصَانُ ضَرْبَانِ: مُتَمَيِّزٌ، وَغَيْرُ مُتَمَيِّزٍ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ كَالْمَرَضِ وَالْهُزَالِ، رَجَعَ بِهِ نَاقِصًا، وَلَمْ يَسْتَحِقَّ أَرْشَ نُقْصَانِهِ، لِأَنَّهُ تَطَوَّعَ بِتَعْجِيلِهِ، فَإِنْ رَأَى الْوَالِي أَنْ يَرُدَّهُ عَلَى وَارِثِهِ لَمْ يَجُزْ لِنَقْصِهِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ النَّقْصِ عَلَى وَصْفِ مَالِ الدَّافِعِ، وَإِنْ كَانَ النَّقْصُ مُتَمَيِّزًا كَبَعِيرَيْنِ تَلِفَ أَحَدُهُمَا وَبَقِيَ الْآخَرُ، رَجَعَ بِالْبَاقِي وَبِمِثْلِ التَّالِفِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، وَبِقِيمَتِهِ فِي الْوَجْهِ الثَّانِي، وَفِي اعتبار قيمة زمانه وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
yang lebih sahih: waktu penyerahan dan penyegerahan, karena dengan penyerahan maka ia telah memilikinya.
dan pendapat kedua: waktu rusaknya, karena jika benda itu masih ada setelah penyerahan maka ia akan dikembalikan, maka jika telah rusak, dikembalikan dengan nilainya. Dan jika apa yang telah disegerakan kepada fakir itu masih ada setelah kematiannya, maka keadaannya tidak lepas dari tiga keadaan:
pertama: ia bertambah,
kedua: ia berkurang,
ketiga: ia tetap dalam keadaannya, tidak bertambah dan tidak berkurang.
Jika ia tetap dalam keadaannya, maka diambil kembali darinya. Jika wali memandang untuk mengembalikannya kepada ahli warisnya, dan ia termasuk ahli suhmān, maka boleh.
Dan jika ia bertambah, maka tambahan itu ada dua macam:
tambahan yang tidak dapat dibedakan dan tambahan yang dapat dibedakan.
Jika tambahan itu tidak dapat dibedakan seperti gemuk dan bertambah besar, maka dikembalikan bersama tambahannya, karena tambahan itu tidak dapat dipisahkan dari benda pokok, dan jika tambahan itu dapat dibedakan seperti susu dan anak, maka dikembalikan benda pokoknya tanpa tambahannya, dan tambahan itu menjadi milik ahli warisnya, karena fakir telah memiliki benda pokok dengan penyerahan, maka tambahan itu terjadi dari kepemilikannya, sehingga ia lebih berhak atasnya dibanding selainnya, sebagaimana barang yang dijual lalu dikembalikan karena cacat.
Dan jika ia berkurang, maka kekurangan itu ada dua macam:
yang tidak dapat dibedakan dan yang dapat dibedakan.
Jika kekurangan itu tidak dapat dibedakan seperti sakit dan kurus, maka dikembalikan dalam keadaan kurang dan tidak berhak atas ganti kerugiannya, karena ia telah menyedekahkan penyegerahannya secara suka rela. Jika wali memandang untuk mengembalikannya kepada ahli warisnya, maka tidak boleh karena adanya kekurangan, kecuali jika setelah kekurangan itu keadaannya seperti harta si pemberi.
Dan jika kekurangan itu dapat dibedakan, seperti dua unta lalu salah satunya rusak dan satunya tetap, maka dikembalikan yang masih ada dan diganti yang rusak dengan yang sepadan dalam salah satu dari dua pendapat, dan dengan nilainya dalam pendapat kedua.
Dan dalam hal mempertimbangkan nilai sesuai zamannya ada dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan. Dan Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَيْسَرَا قَبْلَ الْحَوْلِ فَإِنْ كَانَ يُسْرُهُمَا مما دفع إليهما فإنما بُورِكَ لَهُمَا فِي حَقِّهِمَا فَلَا يُؤْخَذُ مِنْهُمَا وإن كان يسرهما من غير ما أُخِذَ مِنْهُمَا مَا دُفِعَ إِلَيْهِمَا لِأَنَّ الْحَوْلَ لَمْ يَأْتِ إِلَّا وَهُمَا مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الصَّدَقَةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَعْطُوفَةٌ عَلَى الَّتِي قَبْلَهَا، وَهُوَ أَنْ يَتَعَجَّلَ الْوَالِي الصَّدَقَةَ لَأَهْلِ السُّهْمَانِ، وَيَدْفَعَهَا إِلَى فَقِيرٍ أَوْ فَقِيرَيْنِ، فيستغني من تعجيلها، فَلَا يَخْلُو حَالُ اسْتِغْنَائِهِ وَيَسَارِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الْحَوْلِ، أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْحَوْلِ فَلَا يَسْتَرْجِعُ مِنْهُ مَا تَعَجَّلَهُ، سَوَاءٌ كَانَ يَسَارُهُ مِمَّا تَعَجَّلَهُ، أَوْ مِنْ غَيْرِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ وَقْتَ الْوُجُوبِ، وَإِنْ كَانَ يَسَارُهُ قَبْلَ الْحَوْلِ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
MASALAH
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika keduanya (penerima zakat) menjadi mampu sebelum haul, maka apabila kemampuan itu berasal dari apa yang diberikan kepada mereka, maka itu hanyalah keberkahan bagi mereka pada hak mereka, sehingga tidak diambil kembali dari mereka. Namun jika kemampuan itu berasal dari selain apa yang diberikan kepada mereka, maka apa yang telah diberikan kepada mereka dikembalikan, karena saat datang haul mereka bukan lagi termasuk ahli ṣadaqah.”
Al-Māwardī berkata: Masalah ini terkait dengan masalah sebelumnya, yaitu jika wālī mempercepat penyaluran zakat untuk para mustahiq, lalu diberikan kepada seorang atau dua orang fakir, kemudian mereka menjadi kaya karena percepatan itu. Maka keadaan mereka dalam menjadi kaya atau mampu tidak lepas dari dua keadaan: sebelum haul atau sesudahnya.
Jika sesudah haul, maka tidak dikembalikan apa yang telah dipercepat kepadanya, baik kekayaan itu berasal dari harta zakat yang dipercepat ataupun dari selainnya, karena pada waktu wajibnya zakat, ia termasuk ahli ṣadaqah.
Namun jika kekayaannya sebelum haul, maka keadaannya ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا تَعَجَّلَهُ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِهِ، فَإِنْ كَانَ يَسَارُهُ مِمَّا تَعَجَّلَهُ لَمْ يَسْتَرْجِعْ مِنْهُ لِأَمْرَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ كَانَ عِنْدَ الْحَوْلِ فَقِيرًا، جَازَ أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهِ مِنَ الزَّكَاةِ مَا يَسْتَغْنِي بِهِ، فَإِذَا كَانَ غَنِيًّا بِهِ فَلَا مَعْنَى لِاسْتِرْجَاعِهِ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ إِذَا اسْتَرْجَعَ مِنْهُ صَارَ فَقِيرًا يَسْتَحِقُّ أَخْذَ الزَّكَاةِ، فَلَا مَعْنَى لِأَخْذِهَا مِنْهُ وَرَدِّهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ يَسَارُهُ مِنْ غَيْرِ مَا تَعَجَّلَهُ وَجَبَ اسْتِرْجَاعُ مَا أَخَذَهُ، بِخِلَافِ قَوْلِ أبي حنيفة؛ لِأَنَّهُ تَعَجَّلَ الزَّكَاةَ لِكَوْنِهِ مِنْ أَهْلِهَا، وَيَسَارُهُ يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ مُسْتَحِقًّا لَهَا، ثُمَّ الْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ يَسَارُهُ مِمَّا تَعَجَّلَهُ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ، الْمَعْنَيَانِ اللَّذَانِ ذَكَرْنَاهُمَا قَبْلُ، فلو تعجلها وهو فقير فاستغنى عن غَيْرِهَا قَبْلَ الْحَوْلِ ثُمَّ افْتَقَرَ عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ فَفِي اسْتِرْجَاعِهَا وَجْهَانِ:
salah satunya: bahwa kekayaannya berasal dari apa yang telah disegerakannya.
dan yang kedua: bahwa kekayaannya berasal dari selainnya.
Jika kekayaannya berasal dari apa yang telah disegerakan kepadanya, maka tidak diambil kembali darinya karena dua hal:
pertama: bahwa seandainya ia masih fakir ketika datang haul, boleh diberikan zakat kepadanya untuk mencukupinya. Maka jika ia telah menjadi kaya dengan zakat itu, tidak ada makna untuk mengambilnya kembali.
kedua: bahwa jika diambil kembali darinya, maka ia kembali menjadi fakir yang berhak menerima zakat, maka tidak ada makna mengambil zakat darinya lalu mengembalikannya kepadanya.
Namun jika kekayaannya berasal dari selain apa yang telah disegerakan kepadanya, maka wajib diambil kembali apa yang telah ia ambil, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah; karena ia telah disegerakan zakat sebab ia termasuk ahlinya, sementara kekayaan menghalangi seseorang untuk menjadi mustahiq zakat.
Kemudian perbedaan antara apakah kekayaannya berasal dari apa yang telah disegerakan atau dari selainnya adalah dua makna yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Maka jika seseorang disegerakan zakat ketika ia dalam keadaan fakir lalu ia menjadi kaya dengan sebab selain zakat itu sebelum datangnya haul, kemudian ia kembali fakir ketika masuk waktu haul, maka dalam pengembaliannya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: لَا تُسْتَرْجَعُ لِأَنَّهُ فَقِيرٌ حَالَ الدَّفْعِ وَحَالَ الْوُجُوبِ.
وَالثَّانِي: تُسْتَرْجَعُ لِأَنَّهُ قَدْ خَرَجَ مِنْ أَهْلِ الزَّكَاةِ بِاسْتِغْنَائِهِ فَلَمْ يَجُزْ إِقْرَارُهَا فِي يَدِهِ، وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ، وَلَكِنْ لَوْ تَعَجَّلَهَا وَهُوَ غَنِيٌّ وَشَرَطَ أَنَّهُ إِنِ افْتَقَرَ عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ فَهِيَ لَهُ، فَحَالَ الْحَوْلُ وَهُوَ فَقِيرٌ لَمْ يَجُزْ وَوَجَبَ اسْتِرْجَاعُهَا مِنْهُ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِتَعْجِيلِ الزَّكَاةِ الارتفاق بأخذها، والغني لا ترتفق بِهَا فَلَمْ تَقَعِ الزَّكَاةُ مَوْقِعَهَا، فَإِنْ قِيلَ: لَوْ أَوْصَى لِوَارِثٍ فَلَمْ يَمُتِ الْمُوصِي حَتَّى صَارَ الْمُوصَى لَهُ غَيْرَ وَارِثٍ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ، اعتباراً بحال الوجوب، فهلا قلتم لمن عَجَّلَ زَكَاتَهُ لِغَنِيٍّ ثُمَّ افْتَقَرَ عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ بِجَوَازِ التَّعْجِيلِ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْوُجُوبِ، قِيلَ هُمَا فِي الْمَعْنَى سَوَاءٌ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ تُمَلَّكُ بِالْمَوْتِ، فَاعْتُبِرَ حَالُهُ عِنْدَ الْمَوْتِ، وَالتَّعْجِيلُ يُمَلَّكُ بِالدَّفْعِ، وَإِنَّمَا يَسْتَقِرُّ الْمِلْكُ بِالْحَوْلِ، فَاعْتُبِرَ حَالُهُ وقت الدفع والله أعلم.
Pertama: tidak dikembalikan, karena ia adalah fakir saat penyerahan dan saat wajibnya zakat.
Kedua: dikembalikan, karena ia telah keluar dari golongan yang berhak menerima zakat karena telah menjadi cukup (kaya), maka tidak boleh menetapkan zakat tetap berada di tangannya. Pendapat pertama lebih kuat.
Namun, jika zakat itu dipercepat pemberiannya kepada seseorang yang pada saat itu kaya, dengan syarat bahwa jika ia miskin saat tiba haul maka zakat itu menjadi miliknya, lalu haul tiba dan ternyata ia dalam keadaan fakir, maka tidak sah dan wajib dikembalikan darinya. Karena maksud dari percepatan zakat adalah untuk memberikan kemanfaatan kepada penerima dengan menerimanya, dan orang kaya tidak memperoleh manfaat dengannya, maka zakat tidak jatuh pada tempat yang semestinya.
Jika dikatakan: seandainya seseorang berwasiat untuk ahli waris, lalu ia tidak meninggal hingga orang yang diwasiati tidak lagi menjadi ahli waris, maka wasiat itu sah dengan mempertimbangkan keadaan saat wafat. Maka mengapa kalian tidak mengatakan bahwa orang yang mempercepat zakat kepada orang kaya lalu orang itu menjadi fakir saat haul, maka sah percepatan itu karena memperhatikan keadaan saat wajibnya zakat?
Jawabnya: keduanya berbeda dalam makna. Karena wasiat menjadi milik dengan sebab kematian, maka yang dipertimbangkan adalah keadaannya saat wafat. Sedangkan zakat yang dipercepat menjadi milik dengan penyerahan, namun kepemilikan itu menjadi tetap dengan datangnya haul, maka yang dipertimbangkan adalah keadaannya saat penyerahan.
Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو عجل رب المال زكاة مائتي درهم قبل الحول وهلك ماله قبل الحول فوجد عَيْنَ مَالِهِ عِنْدَ الْمُعْطِي لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ لِأَنَّهُ أَعْطَى مِنْ مَالِهِ مُتَطَوِّعًا لِغَيْرِ ثوابٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَجُمْلَةُ مَا يَتَعَجَّلُهُ الْفُقَرَاءُ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَعَجَّلَهُ الْوَالِي لَهُمْ، فَقَوْلُهُ فِي التَّعْجِيلِ مَقْبُولٌ عَلَيْهِمْ سَوَاءٌ شَرَطَ التَّعْجِيلَ أَمْ لَا، لِأَنَّ الْوَالِي أَمِينٌ عَلَيْهِمْ، فَكَانَ قَوْلُهُ مَقْبُولًا عَلَيْهِمْ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَوَلَّى رَبُّ الْمَالِ تَعْجِيلَهُ إِلَيْهِمْ، فَلَهُ حَالَانِ:
masalah:
Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Jika pemilik harta menyegerakan zakat dari dua ratus dirham sebelum datangnya haul, lalu hartanya rusak sebelum haul dan ia mendapati harta zakat tersebut masih ada di tangan orang yang diberi, maka ia tidak boleh mengambilnya kembali, karena ia telah memberikannya dari hartanya secara sukarela tanpa imbalan.”
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan. Secara umum, apa yang disegerakan kepada para fakir ada dua macam:
pertama: disegerakan oleh wālī untuk mereka, maka perkataannya dalam penyegeraan itu diterima atas mereka, baik ia mensyaratkan penyegeraan maupun tidak, karena wālī adalah orang yang dipercaya atas mereka, maka perkataannya diterima atas mereka.
dan macam kedua: jika yang menyegerakan adalah pemilik harta itu sendiri kepada mereka, maka dalam hal ini ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهِمْ أَنَّهُ تَعْجِيلٌ، فَيَقُولُ هَذَا تَعْجِيلُ زَكَاتِي، فَمَتَى تَلِفَ مَالُهُ قَبْلَ الْحَوْلِ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ عَلَيْهِمْ بِمَا عَجَّلَهُ، سَوَاءٌ شَرَطَ عَلَيْهِمُ الرُّجُوعَ بِهِ عِنْدَ تَلَفِ مَالِهِ أَمْ لَا لِأَنَّ حُكْمَ التَّعْجِيلِ وَمُوجِبُهُ الرُّجُوعُ بِهِ عِنْدَ تَلَفِ مَالِهِ، فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى اشْتِرَاطِهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَشْتَرِطَ عَلَيْهِمْ أَنَّهُ تَعْجِيلٌ، فَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ إِذَا تَلِفَ مَالُهُ، إِلَّا أَنْ يصدقه الفقير المدفوع إليه وأن ذَلِكَ تَعْجِيلٌ، فَيَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ، وَلَا يَكُونُ قَوْلُ رَبِّ الْمَالِ مَقْبُولًا عَلَيْهِ، لِأَنَّ ظَاهِرَ عَطِيَّتِهِ التَّمْلِيكُ، لِأَنَّهُ إِنْ قَالَ: هَذِهِ زَكَاتِي فَظَاهِرُ الزَّكَاةِ مَا وَجَبَتْ، وَإِنْ قَالَ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ فبالدفع قد ملكت، فإن أطلق فوجه إِطْلَاقُهُ إِلَى أَحَدِ هَذَيْنِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْفَقِيرِ إِنْ كَانَ حَيًّا أَوْ قَوْلُ وَارِثِهِ إِنْ كَانَ مَيِّتًا، فَهَلْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ بِمُجَرَّدِهِ، أَوْ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ تَعَالَى؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pertama: ia mensyaratkan kepada mereka bahwa itu adalah zakat yang dipercepat, dengan berkata: “Ini adalah percepatan zakatku.” Maka apabila hartanya rusak sebelum haul, ia berhak menarik kembali apa yang telah ia percepat, baik ia menyebutkan syarat boleh menarik kembali jika hartanya rusak maupun tidak, karena hukum dan konsekuensi dari percepatan zakat itu sendiri adalah adanya hak untuk menarik kembali jika harta rusak, maka tidak membutuhkan syarat tambahan.
Kedua: ia tidak mensyaratkan kepada mereka bahwa itu adalah zakat yang dipercepat, maka ia tidak berhak menariknya kembali jika hartanya rusak, kecuali jika fakir yang menerima mengakuinya bahwa itu memang zakat yang dipercepat, maka ia berhak menarik kembali. Dan tidak diterima ucapan dari pemilik harta, karena lahiriah dari pemberian itu adalah pemberian milik.
Jika ia berkata: “Ini adalah zakatku,” maka lahiriah zakat adalah apa yang sudah wajib. Dan jika ia berkata: “Ini sedekah sunnah,” maka dengan penyerahan harta itu sudah menjadi milik fakir. Maka jika ia mengucapkannya secara mutlak, maka arah dari keumumannya bisa ke salah satu dari dua makna tersebut.
Jika sudah dipastikan bahwa ucapan (yang berlaku) adalah ucapan fakir jika ia masih hidup, atau ucapan ahli warisnya jika ia telah meninggal, maka apakah ucapan itu diterima semata-mata, atau harus disertai sumpah atas nama Allah Ta‘ālā? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: يُقْبَلُ قَوْلُهُ وَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ ظَاهِرَ الدَّفْعِ لَا يُوجِبُ الرُّجُوعَ، فَكَانَ فِي ذَلِكَ تَكْذِيبٌ لِلدَّعْوَى، فَلَمْ تَجِبْ فِيهَا يَمِينٌ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَبِهِ قَالَ أَبُو يَحْيَى الْبَلْخِيُّ إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّ الدَّعْوَى مُحْتَمَلَةٌ وَمَا فِي يَدِهِ مُدَّعًى، فَافْتَقَرَ إِلَى دَفْعِ الدَّعْوَى بِيَمِينٍ، فَعَلَى هَذَا يَحْلِفُ هُوَ أَوْ وَارِثُهُ عَلَى نَفْيِ الْعِلْمِ، لَا عَلَى الْبَتِّ؛ لِأَنَّهَا يَمِينٌ عَلَى فِعْلِ الْغَيْرِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ إِذَا لَمْ يَشْتَرَطِ التَّعْجِيلَ، إِمَّا مَعَ يَمِينِهِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، أَوْ بِلَا يَمِينٍ في الْوَجْهِ الثَّانِي، فَاخْتَلَفَا فِي الشَّرْطِ، فَقَالَ رَبُّ الْمَالِ شَرَطْتُ التَّعْجِيلَ فَلِيَ الرُّجُوعُ، وَقَالَ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ لَمْ تَشْتَرِطِ التَّعْجِيلَ فَلَا رُجُوعَ لَكَ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
salah satunya: perkataannya diterima dan ia tidak disumpah, karena secara lahiriah penyerahan itu tidak menunjukkan hak untuk menarik kembali, maka di dalamnya terdapat pendustaan terhadap gugatan, sehingga tidak wajib sumpah atasnya.
dan pendapat kedua: yang dikatakan oleh Abu Yahya al-Balkhī, bahwa perkataan diterima darinya dengan sumpahnya; karena gugatan itu memungkinkan dan apa yang ada di tangannya adalah sesuatu yang disengketakan, maka perlu untuk menolak gugatan itu dengan sumpah. Maka dalam hal ini ia atau ahli warisnya bersumpah dengan sumpah penafian ilmu, bukan dengan kepastian; karena itu adalah sumpah atas perbuatan orang lain.
Maka apabila telah tetap bahwa perkataan adalah milik orang yang menerima penyerahan jika tidak disyaratkan penyegeraan — baik dengan sumpahnya menurut salah satu pendapat, atau tanpa sumpah menurut pendapat lainnya — lalu keduanya berselisih tentang adanya syarat. Pemilik harta berkata, “Aku mensyaratkan penyegeraan, maka aku berhak menarik kembali.” Sedangkan yang menerima berkata, “Engkau tidak mensyaratkan penyegeraan, maka tidak ada hak bagimu untuk menarik kembali.”
Maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: الْقَوْلُ قَوْلُ رَبِّ الْمَالِ مَعَ يَمِينِهِ وَلَهُ الرُّجُوعُ، لِأَنَّهُ عَلَى أَصْلِ مِلْكِهِ مَا لَمْ يُقِرَّ بِمَا يُزِيلُهُ عَنْهُ، والمدفوع إليه منفرد بالملك مدعي لِمَا يُزِيلُهُ عَنْهُ فَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَدْفُوعِ إِلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ عَلَى الْبَتِّ، وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ قَدْ ملك بالأخذ، وادعى عليه الاستحقاق، فكان ذلك على أصل تملكه مَا لَمْ تَقُمْ بَيِّنَةٌ بِخِلَافِهِ.
Pertama: yang diterima adalah ucapan pemilik harta disertai sumpahnya, dan ia berhak menarik kembali (zakat yang telah dipercepat), karena harta tersebut pada asalnya adalah miliknya, selama ia tidak mengakui sesuatu yang menghilangkan kepemilikannya. Sedangkan orang yang menerima hanya memegang harta itu sendirian dan mengklaim kepemilikan yang menghapus kepemilikan orang lain, maka tidak diterima darinya.
Pendapat kedua: yang diterima adalah ucapan pihak yang menerima (fakir) disertai sumpah secara tegas, dan ini adalah satu wajah yang kuat, karena ia telah memiliki dengan cara penerimaan, lalu dituduh atasnya bahwa ia tidak berhak, maka tetaplah ia atas dasar asal kepemilikannya, selama tidak ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.
فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ فَعَجَّلَ زَكَاتَهَا خَمْسَةَ دَرَاهِمَ ثُمَّ أَتْلَفَ قَبْلَ الْحَوْلِ دِرْهَمًا، فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ مَالَهُ نَقَصَ عَنِ النِّصَابِ عِنْدَ الْحَوْلِ، ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ لَمْ يَشْتَرَطِ التَّعْجِيلَ فَلَا رُجُوعَ لَهُ، وَإِنْ شَرَطَ التَّعْجِيلَ فَهَلْ يَرْجِعُ بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ لِنُقْصَانِ مَالِهِ عَنِ النِّصَابِ.
وَالثَّانِي: لَا يَرْجِعُ لِأَنَّهُ مُتَّهَمٌ فِي إِتْلَافِ دِرْهَمٍ لاسترجاع خمسة والله أعلم بالصواب.
PASAL
Jika seseorang memiliki dua ratus dirham, lalu ia menyegerakan zakatnya sebanyak lima dirham, kemudian ia merusakkan satu dirham sebelum datangnya ḥaul, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya, karena hartanya kurang dari niṣāb saat datang ḥaul.
Kemudian dilihat, jika ia tidak mensyaratkan penyegeraan, maka ia tidak berhak menarik kembali zakat tersebut. Namun jika ia mensyaratkan penyegeraan, maka apakah ia boleh menariknya kembali atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
pertama: ia boleh menariknya kembali karena hartanya telah berkurang dari niṣāb;
kedua: ia tidak boleh menariknya kembali karena ia tertuduh telah merusakkan satu dirham untuk menarik kembali lima.
Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو مات المعطي قبل الحول وفي يدي رَبِّ الْمَالِ مِائَتَا دِرْهَمٍ إِلَّا خَمْسَةَ دَرَاهِمَ فلا زكاة عليه وما أعطى كما تَصَدَّقَ بِهِ أَوْ أَنْفَقَهُ فِي هَذَا الْمَعْنَى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا كَانَ مع رجل نصاب فعجل زَكَاتَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ وَدَفَعَهَا إِلَى فَقِيرٍ فَمَاتَ الْفَقِيرُ قَبْلَ الْحَوْلِ، وَمَعَ رَبِّ الْمَالِ أَقَلُّ مِنْ نِصَابٍ فَلَا يَخْلُو حَالُ رَبِّ الْمَالِ فِيمَا عَجَّلَهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّاأَنْ يَشْتَرِطَ التَّعْجِيلَ، أَوْ لَا يَشْتَرِطَ فَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطِ التَّعْجِيلَ فَلَا رُجُوعَ لَهُ وَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْبَاقِيَ مَعَهُ دُونَ النِّصَابِ، وَيَكُونُ مَا عَجَّلَهُ كَالَّذِي وَهَبَهُ أَوْ أَنْفَقَهُ، فإن شَرَطَ التَّعْجِيلَ رَجَعَ بِمَا عَجَّلَهُ فِي تَرِكَةِ الْفَقِيرِ، وَصَارَ مَالُهُ مَعَ مَا اسْتَرْجَعَهُ نِصَابًا كَامِلًا، فَإِنْ كَانَ مَا اسْتَرْجَعَهُ دَرَاهِمَ عَنْ دَرَاهِمَ، أَوْ دَنَانِيرَ عَنْ دَنَانِيرَ، فَعَلَيْهِ الزَّكَاةُ، سَوَاءٌ اسْتَرْجَعَ عَيْنَ مَالِهِ أَوْ مِثْلَهُ، لِأَنَّ التَّعْجِيلَ لَمَّا لَمْ يَجُزْ صَارَ قَرْضًا فِي ذِمَّةِ الْفَقِيرِ، وَالْقَرْضُ دَيْنٌ يَجِبُ ضَمُّهُ إِلَى الْمَالِ النَّاضِّ، وَيُزَكَّيَانِ، وَإِنْ كَانَ مَا اسْتَرْجَعَهُ مَاشِيَةً عَنْ مَاشِيَةٍ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
“Seandainya orang yang memberi zakat meninggal sebelum haul, dan di tangan pemilik harta masih ada dua ratus dirham dikurangi lima dirham (yakni 195 dirham), maka tidak ada zakat atasnya. Dan apa yang telah ia berikan seperti sedekah atau nafkah dalam makna ini.”
Al-Māwardī berkata:
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Syāfi‘ī:
Jika seseorang memiliki niṣāb, lalu ia mempercepat zakatnya sebelum haul dan memberikannya kepada seorang fakir, lalu si fakir meninggal sebelum haul, dan pemilik harta tinggal memiliki kurang dari niṣāb, maka keadaan pemilik harta dalam zakat yang dipercepat tidak lepas dari dua hal:
Pertama, ia tidak mensyaratkan bahwa itu zakat yang dipercepat. Maka dalam hal ini ia tidak berhak menarik kembali dan tidak ada zakat atasnya, karena sisa hartanya kurang dari niṣāb, dan zakat yang telah ia berikan dihukumi seperti hibah atau infak biasa.
Namun jika ia mensyaratkan percepatan, maka ia berhak menarik kembali zakat yang telah diberikan dari harta peninggalan si fakir. Dan harta yang dikembalikan itu digabungkan dengan hartanya hingga mencapai niṣāb yang sempurna.
Jika harta yang dikembalikan itu berupa dirham dibalas dengan dirham, atau dinar dibalas dengan dinar, maka zakat wajib atasnya, baik ia menarik kembali harta yang sama maupun yang semisal, karena percepatan zakat yang tidak sah itu menjadi qarḍ (pinjaman) dalam tanggungan si fakir.
Dan qarḍ adalah utang yang wajib digabungkan dengan harta tunai, dan keduanya wajib dizakati.
Namun jika harta yang dikembalikan itu berupa hewan dibalas dengan hewan, maka dalam hal ini ada dua bentuk:.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يسترجع الذي عجله نفسه.
وَالثَّانِي: أَنْ يَسْتَرْجِعَ مِثْلَهُ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يُوجَبُ فِيهِ الرُّجُوعُ بِمِثْلِ الْحَيَوَانِ الْمُعَجَّلِ، فَإِنِ اسْتَرْجَعَ مِثْلَهُ وَلَمْ يَسْتَرْجِعْهُ بِعَيْنِهِ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيمَا مَضَى، وَيَسْتَأْنِفُ الْحَوْلَ فِيمَا يَأْتِي بعد استرجاع ما عجل، لا الْبَدَلَ الْمَأْخُوذَ عَنِ التَّعْجِيلِ، كَالْبَدَلِ الْمَأْخُوذِ عَنِ الْبَيْعِ، وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً فَبَاعَ مِنْهَا شَاةً بِشَاةٍ اسْتَأْنَفَ الحول، فكذلك فيما عجل، فإن اسْتَرْجَعَ مَا عَجَّلَهُ بِعَيْنِهِ فَفِي إِيجَابِ زَكَاتِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ، لِأَنَّ ما عجله مضموم إلى ما بعده، وحكم الحول جاز عَلَيْهِمَا، أَلَا تَرَاهُ لَوْ عَجَّلَ شَاةً مِنْ أربعين فحال الْحَوْلُ عَلَى تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ، وَالشَّاةِ الْمُعَجَّلَةِ لَزِمَتْهُ الزَّكَاةُ، وَكَانَتِ الشَّاةُ الْمُعَجَّلَةُ مَضْمُومَةً إِلَى الْمَالِ الْبَاقِي، كَذَلِكَ إِذَا وَجَبَ اسْتِرْجَاعُ الشَّاةِ الْمُعَجَّلَةِ ضُمَّتْ إِلَى الْمَالِ الْبَاقِي.
salah satunya: bahwa ia menarik kembali apa yang telah ia segerakan itu sendiri.
dan yang kedua: bahwa ia menarik gantinya — pada kasus yang memang dibolehkan untuk menarik ganti — sebagaimana dalam hal binatang yang disegerakan. Maka jika ia menarik gantinya dan tidak mengambil kembali benda yang disegerakan itu secara langsung, maka tidak ada zakat atasnya untuk waktu yang telah lalu, dan ia memulai kembali perhitungan ḥaul untuk waktu yang akan datang setelah ia menarik kembali zakat yang telah disegerakan, bukan dari ganti yang diambil sebagai pengganti dari penyegeraan, sebagaimana ganti yang diambil dalam transaksi jual beli.
Telah ditetapkan bahwa jika seseorang memiliki empat puluh ekor kambing lalu ia menjual seekor darinya dengan seekor lainnya, maka ia memulai kembali ḥaul. Maka demikian pula dalam zakat yang disegerakan.
Jika ia mengambil kembali benda zakat yang ia segerakan itu secara langsung, maka dalam kewajiban zakat atasnya terdapat dua pendapat:
pertama: bahwa zakat tetap wajib atasnya, karena zakat yang disegerakan itu digabungkan dengan harta yang ada setelahnya, dan perhitungan ḥaul berjalan atas keduanya. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang menyegerakan satu ekor kambing dari empat puluh ekor, lalu berlalu ḥaul atas tiga puluh sembilan ekor dan satu ekor yang disegerakan, maka zakat tetap wajib atasnya, dan kambing yang disegerakan itu digabungkan ke dalam harta yang tersisa. Maka demikian pula, jika wajib untuk menarik kembali kambing yang disegerakan, maka kambing itu digabungkan ke dalam harta yang tersisa.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، وَيَسْتَأْنِفُ الْحَوْلَ حِينَ تَمَّ النِّصَابُ بِمَا اسْتَرْجَعَهُ، لِأَنَّ مَا عَجَّلَهُ إِمَّا أَنْ يَكُونَ زَكَاةً لَا تُرْتَجَعُ أَوْ قَرْضًا يُرْتَجَعُ، فَلَمَّا بَطَلَ كَوْنُهُ زَكَاةً ثَبَتَ كَوْنُهُ قَرْضًا، وَمَنْ أَقْرَضَ حَيَوَانًا لَمْ تَلْزَمْهُ زَكَاتُهُ، ولو أقرض دراهم أو دنانير لزمه زَكَاتُهَا، فَلِذَلِكَ قُلْنَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ مَا ارْتَجَعَهُ دَرَاهِمَ عَنْ دَرَاهِمَ ضُمَّ وَزُكِّيَ، وَلَوْ كَانَ حَيَوَانًا عَنْ حَيَوَانٍ لَمْ يُضَمَّ وَلَمْ يزك.
والفرق بينهما: أن زكاة المواشي لَا تَجِبُ إِلَّا بِالسَّوْمِ، وَالسَّوْمُ لَا يَتَوَجَّهُ إلا بما فِي الذِّمَّةِ، وَلَيْسَ السَّوْمُ مُعْتَبَرًا فِي الدَّرَاهِمِ، فَصَحَّ إِيجَابُ زَكَاةِ مَا كَانَ مِنْهَا فِي الذِّمَّةِ، فَهَذَا الْكَلَامُ فِي مَوْتِ آخِذِ التَّعْجِيلِ قبل الحول وَهُوَ الْفَقِيرُ.
dan pendapat kedua: tidak ada zakat atasnya, dan ia memulai kembali ḥaul saat sempurnanya niṣāb dengan apa yang telah ia ambil kembali, karena apa yang telah ia segerakan itu — jika tidak dianggap sebagai zakat yang tidak bisa diambil kembali — maka dianggap sebagai qarḍ (pinjaman) yang bisa diambil kembali. Maka ketika batal statusnya sebagai zakat, tetaplah ia sebagai qarḍ. Dan siapa yang meminjamkan hewan, maka tidak wajib atasnya zakatnya. Namun jika ia meminjamkan dirham atau dinar, maka wajib atasnya zakatnya.
Oleh karena itu kami katakan: jika apa yang diambil kembali itu berupa dirham sebagai ganti dari dirham, maka digabungkan dan dizakati. Namun jika berupa hewan sebagai ganti dari hewan, maka tidak digabungkan dan tidak dizakati.
Perbedaan antara keduanya: bahwa zakat hewan tidak wajib kecuali dengan al-saum (digembalakan di padang rumput), dan al-saum tidak berlaku kecuali pada harta yang dimiliki secara nyata, bukan pada yang masih dalam tanggungan (żimmah). Dan al-saum tidak diperhitungkan dalam zakat dirham, maka sah mewajibkan zakat atas dirham yang ada dalam tanggungan.
Maka ini adalah pembahasan tentang kematian orang yang menerima penyegeraan sebelum datangnya ḥaul, yaitu si fakir.
فَصْلٌ
فَأَمَّا إِذَا مَاتَ دَافِعُ التعجيل قبل الحول وَهُوَ رَبُّ الْمَالِ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ يَبْنِي وَرَثَتُهُ عَلَى حَوْلِهِ أَمْ يَسْتَأْنِفُونَ الْحَوْلَ بَعْدَ مَوْتِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَبْنُونَ عَلَى حَوْلِهِ، لِأَنَّ كل من ملك مالاً بالإرث فإنه بملكه بِحُقُوقِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا مَاتَ وَلَهُ شِقْصٌ قَدِ اسْتَحَقَّ بِهِ الشُّفْعَةَ فَإِنَّ وَرَثَتَهُ يَمْلِكُونَ الشِّقْصَ مَعَ حَقِّهِ مِنَ الشُّفْعَةِ، وَلَوْ مَاتَ وَلَهُ دَيْنٌ بِرَهْنٍ انْتَقَلَ الدَّيْنُ إِلَى مِلْكِ وَرَثَتِهِ مَعَ حَقِّهِ مِنَ الرَّهْنِ، فَكَذَلِكَ الْحَوْلُ مِنْ حُقُوقِ مِلْكِهِ، فَإِذَا انْتَقَلَ الْمِلْكُ إِلَى وَرَثَتِهِ وَجَبَ أَنْ يَنْتَقِلَ بِحَقِّهِ وَهُوَ الْحَوْلُ.
PASAL
Adapun jika orang yang membayar zakat secara dipercepat itu meninggal sebelum genap haul, dan ia adalah pemilik harta, maka terdapat perbedaan pendapat dari asy-Syafi‘i: apakah para ahli warisnya melanjutkan perhitungan haul-nya ataukah memulai kembali perhitungan haul setelah kematiannya, terdapat dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa mereka melanjutkan perhitungan haul-nya, karena setiap orang yang mewarisi suatu harta, maka ia memilikinya beserta hak-haknya. Tidakkah engkau melihat bahwa apabila seseorang meninggal dunia dan ia memiliki bagian sekutu yang dengannya ia berhak memperoleh syuf‘ah, maka para ahli warisnya memiliki bagian itu beserta hak syuf‘ah-nya. Dan seandainya ia meninggal dunia dalam keadaan memiliki piutang yang dijamin dengan gadai, maka piutang itu berpindah ke kepemilikan ahli warisnya beserta hak jaminan gadainya. Maka demikian pula haul, ia termasuk hak dari kepemilikan. Apabila kepemilikan itu berpindah kepada para ahli waris, maka haruslah berpindah pula beserta haknya, yaitu haul.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُمْ يستأنفون الحول ولا يبنون، لأن الحول ثبت مع بقاء المالك، ويرتفع بانتقال الْمِلْكِ، وَلَا يَبْنِي مَنِ اسْتَفَادَ مِلْكًا عَلَى حول من كان مالكاً، كمن اتهب مَالًا أَوِ ابْتَاعَهُ، فَمَنْ قَالَ بِهَذَا أَجَابَ عَنِ احْتِجَاجِ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ بِأَنْ قَالَ حُقُوقُ الْمِلْكِ ضَرْبَانِ: حَقٌّ لِلْمَالِكِ كَالشُّفْعَةِ وَالرَّهْنِ، وَحَقٌّ على الملك كالحول، فما كان حقاً للمالك انتقل للوارث مَعَ حَقِّهِ، وَمَا كَانَ حَقًّا عَلَى الْمِلْكِ انْتَقَلَ الْمِلْكُ إِلَى الْوَارِثِ دُونَ حَقِّهِ.
يُوَضِّحُ ذلك أن من مات من عَبْدٍ جُنِيَ عَلَيْهِ قَبْلَ أَخْذِ أَرْشِهِ انْتَقَلَ الْعَبْدُ إِلَى مِلْكِ الْوَارِثِ مَعَ اسْتِحْقَاقِ أَرْشِهِ، لِأَنَّهُ حَقٌّ هُوَ لَهُ، وَلَوْ أَعْتَقَ عَبْدَهُ بِصِفَةٍ فَقَالَ: إِنْ دَخَلْتَ الدَّارَ فَأَنْتَ حُرٌّ ثُمَّ مَاتَ قَبْلَ وُجُودِ الصِّفَةِ فَانْتَقَلَ الْعَبْدُ إِلَى مِلْكِ الْوَرَثَةِ ثُمَّ وُجِدَتِ الصِّفَةُ لَمْ يُعْتَقْ، لِأَنَّهُ حَقٌّ عَلَيْهِ، كَذَلِكَ الْحَوْلُ هُوَ حق على المالك فَلَمْ يَنْتَقِلْ إِلَى الْوَرَثَةِ بِانْتِقَالِ الْمِلْكِ.
dan pendapat kedua —dan ini yang lebih sahih dan merupakan pendapat dalam qaul jadīd— ialah bahwa mereka memulai kembali hitungan ḥaul dan tidak membangunnya di atas ḥaul pemilik sebelumnya, karena ḥaul itu ditetapkan bersama keberadaan pemilik, dan gugur dengan berpindahnya kepemilikan. Maka siapa yang memperoleh kepemilikan tidak membangun ḥaul atas ḥaul orang yang sebelumnya memiliki, seperti orang yang diberi harta sebagai hadiah atau membelinya. Maka orang yang berpendapat demikian menjawab dalil pendapat pertama dengan mengatakan: hak-hak kepemilikan ada dua macam: hak bagi pemilik seperti syuf‘ah dan rahn, dan hak atas milik seperti ḥaul. Maka apa yang merupakan hak bagi pemilik berpindah kepada ahli waris bersama dengan haknya, sedangkan apa yang merupakan hak atas milik, maka berpindahnya milik kepada ahli waris tidak disertai dengan haknya.
Hal itu dijelaskan dengan contoh: apabila seorang budak mati dan dia telah dikenai jināyah sebelum diambil arsy-nya, maka budak tersebut berpindah menjadi milik ahli waris bersama hak untuk mendapatkan arsy-nya, karena itu adalah hak baginya. Namun jika seseorang memerdekakan budaknya dengan suatu syarat, misalnya ia berkata: “Jika engkau masuk rumah, maka engkau merdeka,” lalu ia mati sebelum syarat itu terpenuhi, maka budak tersebut berpindah menjadi milik ahli waris, dan jika kemudian syarat itu terpenuhi, maka budak itu tidak menjadi merdeka, karena hal itu merupakan hak atasnya. Begitu pula ḥaul adalah hak atas pemilik, maka tidak berpindah kepada ahli waris dengan berpindahnya kepemilikan.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ فَلِلْوَرَثَةِ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْتَسِمُوا الْمَالَ قَبْلَ حَوْلِهِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ شَائِعًا بَيْنَهُمْ إِلَى انْقِضَاءِ حَوْلِهِ، فَإِنِ اقْتَسَمُوهُ قَبْلَ الْحَوْلِ نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَتْ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِمْ، ثُمَّ يُنْظَرُ فِيمَا عَجَّلَهُ الْمَيِّتُ، فَإِنْ شَرَطَ فِيهِ التَّعْجِيلَ كَانَ لَهُمُ اسْتِرْجَاعُهُ وَالِاقْتِسَامُ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْ فِيهِ التَّعْجِيلَ لَمْ يَكُنْ لَهُمُ اسْتِرْجَاعُهُ، وَإِنْ كَانَتْ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصَابًا فَأَكْثَرَ لَزِمَتْهُمُ الزَّكَاةُ، فَإِنْ قيل إنهم يَبْنُونَ عَلَى حَوْلِ مَيِّتِهِمْ، كَانَ مَا عَجَّلَهُ الْمَيِّتُ مُجْزِئًا عَنْ زَكَاتِهِمْ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُمْ يستأنفون الحول فهل يجزيهم تَعْجِيلُ مَيِّتِهِمْ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ فِي ” الْأُمِّ ” أَنَّ ذَلِكَ يجزئهم، لِأَنَّهُمْ لَمَّا قَامُوا مَقَامَهُ فِي قَضَاءِ دَيْنِهِ واقتضاءه قَامُوا مَقَامَهُ فِي تَعْجِيلِ زَكَاتِهِ.
Jika telah tetap dua pendapat ini, maka bagi para ahli waris terdapat dua keadaan:
Pertama: mereka membagi harta sebelum sempurna haul-nya.
Kedua: harta itu tetap dalam keadaan syuyu‘ (belum terbagi) di antara mereka hingga sempurna haul-nya.
Jika mereka membaginya sebelum haul, maka dilihat: jika bagian masing-masing dari mereka kurang dari niṣāb, maka tidak wajib zakat atas mereka.
Kemudian dilihat pada zakat yang telah disegerakan oleh mayit: jika ia mensyaratkan penyegeraannya, maka mereka berhak menariknya kembali dan membaginya. Namun jika ia tidak mensyaratkan penyegeraannya, maka mereka tidak berhak menariknya.
Jika bagian masing-masing dari mereka adalah niṣāb atau lebih, maka zakat wajib atas mereka.
Jika dikatakan bahwa mereka membangun (mengikuti) haul mayit mereka, maka zakat yang telah disegerakan oleh mayit mencukupi dari zakat mereka.
Namun jika dikatakan bahwa mereka memulai haul yang baru, maka apakah penyegeraan zakat oleh mayit mencukupi dari kewajiban mereka atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama: yang merupakan teks dari asy-Syāfi‘ī dalam al-Umm, bahwa hal tersebut mencukupi mereka, karena mereka ketika menggantikan posisi mayit dalam membayar dan menagih utang, maka mereka juga menggantikan posisinya dalam penyegeraan zakatnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِنَا أِنَّهُ لا يجزئهم، لِأَنَّهُمْ لَمَّا اسْتَأْنَفُوا الْحَوْلَ بَعْدَ الْمَوْتِ لَمْ يُجْزِهِمْ مَا تَقَدَّمَ مِنَ التَّعْجِيلِ قَبْلَ الْمَوْتِ، لأنه يصير تعجيلاً قبل وجوب النِّصَابِ وَالْحَوْلِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الْمَيِّتُ قَدْ شَرَطَ التَّعْجِيلَ كَانَ لَهُمُ اسْتِرْجَاعُهُ وَالِاقْتِسَامُ به، وإن لم يشترط التَّعْجِيلَ لَمْ يَكُنْ لَهُمُ اسْتِرْجَاعُهُ، هَذَا إِذَا اقْتَسَمَ الْوَرَثَةُ الْمَالَ قَبْلَ الْحَوْلِ، فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَقْتَسِمُوهُ حَتَّى حَالَ حَوْلُهُ فَإِنْ كَانَ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصَابًا فَعَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ، وَيَكُونُ الْإِجْزَاءُ فِيمَا عَجَّلَهُ الْمَيِّتُ عَلَى مَا مَضَى، إِنْ قِيلَ إِنَّهُمْ يَبْنُونَ أَجْزَأَهُمْ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُمْ يَسْتَأْنِفُونَ فَعَلَى وَجْهَيْنِ، وَإِنْ كَانَتْ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ، وإنما المالالْمُشَاعُ بَيْنَهُمْ نِصَابٌ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَالِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَاشِيَةً أَوْ غَيْرَهَا، فَإِنْ كَانَتْ مَاشِيَةً وَجَبَتْ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ، لِأَنَّهُمْ خُلَطَاءُ فِي نِصَابٍ فَيَكُونَ الْإِجْزَاءُ فِيمَا عَجَّلَهُ الْمَيِّتُ عَلَى مَا مَضَى إِنْ بَنَوْا أَجْزَأَهُمْ، وَإِنِ اسْتَأْنَفُوا فَعَلَى وَجْهَيْنِ، وَإِنْ كَانَ الْمَالُ غَيْرَ مَاشِيَةٍ فَهَلْ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي الْخُلْطَةِ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي، فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ الْخُلْطَةَ لَا تَصِحُّ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي لَا زَكَاةَ عَلَيْهِمْ، فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ شَرَطَ التَّعْجِيلَ اسْتَرْجَعُوهُ، وَإِنْ لَمْ يشترط التعجيل لَمْ يَسْتَرْجِعُوهُ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ الْخُلْطَةَ تَصِحُّ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ، وَيَكُونُ الْإِجْزَاءُ فِي التَّعْجِيلِ عَلَى مَا مَضَى إن قيل إنهم يبنون أجزأهم، فإن قيل إنهم يستأنفون فعلى وجهين.
أحدهما: يجزئهم.
والثاني: لا يجزئهم فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ شَرَطَ التَّعْجِيلَ فَلَهُمُ اسْتِرْجَاعُهُ، وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطِ التَّعْجِيلَ فَلَيْسَ لَهُمُ اسْتِرْجَاعُهُ. والله أعلم.
dan pendapat kedua —dan ini merupakan pendapat sebagian dari ashḥāb kami— bahwa hal itu tidak mencukupi mereka, karena ketika mereka memulai kembali hitungan ḥaul setelah kematian, maka tidak mencukupi bagi mereka zakat yang telah disegerakan sebelum kematian, karena hal itu menjadi penyegeraan sebelum sempurnanya kewajiban niṣāb dan ḥaul. Berdasarkan ini, jika mayit telah mensyaratkan penyegeraan, maka mereka berhak untuk menarik kembali dan membagikannya, namun jika tidak mensyaratkan penyegeraan, maka mereka tidak berhak menariknya kembali.
Ini jika para ahli waris membagi harta sebelum ḥaul-nya sempurna. Adapun jika mereka belum membaginya hingga sempurna ḥaul-nya, maka jika bagian masing-masing dari mereka mencapai niṣāb, maka wajib atas mereka membayar zakat, dan zakat yang telah disegerakan oleh mayit sebelumnya mencukupi berdasarkan pendapat bahwa mereka membangunnya (yabnūn). Namun jika dikatakan bahwa mereka memulai kembali (yasta’nifūn), maka ada dua wajah: pertama, mencukupi mereka; kedua, tidak mencukupi mereka.
Dan jika bagian masing-masing dari mereka kurang dari niṣāb, sedangkan harta syuyu‘ di antara mereka mencapai niṣāb, maka tidak lepas dari dua keadaan: bisa berupa hewan ternak atau selainnya. Jika berupa hewan ternak, maka wajib atas mereka zakat, karena mereka adalah para pemilik campuran dalam satu niṣāb, maka zakat yang disegerakan oleh mayit mencukupi berdasarkan apa yang telah lalu, jika dibangun (maka mencukupi), dan jika dimulai kembali maka ada dua wajah.
Dan jika harta tersebut bukan berupa hewan ternak, maka apakah wajib atas mereka zakat atau tidak? Ada dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan pendapat tentang keabsahan khu’lṭah pada selain hewan ternak. Menurut pendapat dalam qaul qadīm, bahwa khu’lṭah tidak sah dalam selain hewan ternak, maka tidak wajib atas mereka zakat, dan jika mayit mensyaratkan penyegeraan, maka mereka menarik kembali, dan jika tidak mensyaratkan, maka mereka tidak menarik kembali.
Sedangkan menurut pendapat dalam qaul jadīd, bahwa khu’lṭah sah dalam selain hewan ternak, maka wajib atas mereka zakat, dan zakat yang disegerakan mencukupi berdasarkan apa yang telah lalu jika dikatakan mereka membangunnya. Namun jika dikatakan mereka memulai kembali, maka ada dua wajah:
- pertama: mencukupi mereka
- kedua: tidak mencukupi mereka
Jika mayit mensyaratkan penyegeraan, maka mereka berhak menariknya kembali, dan jika tidak mensyaratkannya maka mereka tidak berhak menariknya kembali. Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو كان رجلٌ لَهُ مالٌ لَا تَجِبُ فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ فأخرج خمسة دراهم فقال إِنْ أَفَدْتُ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَهَذِهِ زَكَاتُهَا لَمْ يجز عنه لِأَنَّهُ دَفَعَهَا بِلَا سَبَبِ مالٍ تَجِبُ فِي مثله الزكاة فيكون قد عجل شيئاً ليس عليه إن حال عليه فيه حول “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Masalah:
Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Seandainya seseorang memiliki harta yang tidak wajib zakat pada jenisnya, lalu ia mengeluarkan lima dirham dan berkata: ‘Jika aku memperoleh dua ratus dirham, maka ini zakatnya’, maka hal itu tidak mencukupi darinya, karena ia telah menyerahkannya tanpa sebab adanya harta yang wajib dizakati, sehingga ia telah menyegerakan sesuatu yang belum menjadi kewajibannya seandainya haul sempurna atasnya.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
إِذَا مَلَكَ أَقَلَّ من نصاب فعجل زكاة نصاب، كأن مَلَكَ أَقَلَّ مِنْ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ عَجَّلَ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ زَكَاةَ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ، أَوْ مَلَكَ أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِينَ مِنَ الْغَنَمِ فَأَخْرَجَ شَاةً زَكَاةَ أَرْبَعِينَ مِنَ الْغَنَمِ، ثُمَّ مَلَكَ بَعْدَ التَّعْجِيلِ تَمَامَ النِّصَابِ لَمْ يُجْزِهِ التَّعْجِيلُ عَنْ زَكَاتِهِ، لِأَنَّ تَعْجِيلَ الزَّكَاةِ يُجْزِئُ إِذَا كَانَ أَحَدُ سَبَبَيْ وُجُوبِهَا مَوْجُودًا وَهُوَ النِّصَابُ، فَإِذَا لَمْ يُوجَدْ لَمْ يُجْزِهِ، كَمَا لَوْ أَخْرَجَ كَفَّارَةَ يَمِينِهِ قَبْلَ حِنْثِهِ وَيَمِينِهِ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا صار أصلاً مقرراً تَسْتَمِرُّ عَلَيْهِ جَمِيعُ فُرُوعِهِ، فَمِنْ ذَلِكَ إِذَا اشْتَرَى سِلْعَةً بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَعَجَّلَ زَكَاةَ أَلْفٍ عَنْهَا وَعَنْ رِبْحِهَا فَبَاعَهَا عِنْدَ الْحَوْلِ بِأَلْفٍ أَجْزَأَهُ مَا عَجَّلَهُ عَنِ الْأَلْفِ، لِأَنَّ أَحَدَ السَّبَبَيْنِ وَهُوَ النِّصَابُ مَوْجُودٌ، وَالرِّبْحُ الزَّائِدُ تَبَعٌ لِلنِّصَابِ فِي حَوْلِهِ فَجَازَ مَا عَجَّلَهُ عَنِ النِّصَابِ وَعَنْ رِبْحِهِ، فَلَوْ كَانَ قَدْ بَاعَ السِّلْعَةَ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ بِأَلْفٍ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ يَسْتَأْنِفُ بِالرِّبْحِ الْحَوْلَ لَمْ يُجْزِهِ التَّعْجِيلُ عَنِ الرِّبْحِ، لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ تَبَعًا وَإِنْ قال يبني على حول المائتين أجزأه التعجيل الأول عَنِ الرِّبْحِ لِأَنَّهُ يَكُونُ تَبَعًا فَلَوْ مَلَكَ أَلْفًا فَعَجَّلَ زَكَاتَهَا ثُمَّ تَلِفَتْ فَمَلَكَ بَعْدَهَا أَلْفًا لَمْ يُجْزِهِ التَّعْجِيلُ الْأَوَّلُ عَنِ الْأَلْفِ الثاني،لأنه تعجيل قبل الملك، ولو كَانَ مَعَهُ أَلْفٌ ثُمَّ مَلَكَ أَلْفًا، وَعَجَّلَ زَكَاةَ أَلْفٍ، ثُمَّ تَلِفَ أَحَدُ الْأَلْفَيْنِ أَجْزَأَهُ مَا عَجَّلَهُ عَنِ الْأَلِفِ الْبَاقِيَةِ، لِوُجُودِهَا قَبْلَ التعجيل.
Apabila seseorang memiliki kurang dari niṣāb lalu menyegerakan zakat untuk niṣāb, seperti ia memiliki kurang dari dua ratus dirham lalu menyegerakan lima dirham sebagai zakat dari dua ratus dirham, atau ia memiliki kurang dari empat puluh ekor kambing lalu mengeluarkan satu ekor kambing sebagai zakat dari empat puluh kambing, kemudian setelah penyegeraan itu ia memiliki sempurna niṣāb-nya, maka penyegeraan itu tidak mencukupinya dari zakatnya. Karena menyegerakan zakat hanya mencukupi jika salah satu dari dua sebab wajibnya zakat telah ada, yaitu niṣāb. Maka jika tidak ada, tidak mencukupi, sebagaimana jika seseorang mengeluarkan kafarat sumpah sebelum ia melanggar sumpahnya.
Apabila hal ini telah ditetapkan, maka hal ini menjadi dasar yang dapat dijadikan pijakan dalam seluruh cabang-cabangnya. Di antaranya: apabila ia membeli barang dagangan seharga dua ratus dirham, lalu ia menyegerakan zakat seribu darinya dan dari keuntungannya, kemudian ia menjualnya saat sempurna ḥaul-nya seharga seribu, maka penyegeraan zakat tersebut mencukupi untuk seribu itu, karena salah satu dari dua sebab —yaitu niṣāb— telah ada, dan keuntungan yang bertambah adalah cabang dari niṣāb dalam hal ḥaul-nya, maka penyegeraan zakatnya sah untuk niṣāb dan keuntungannya.
Namun jika ia menjual barang dagangan itu di pertengahan ḥaul seharga seribu, maka jika dikatakan bahwa ia memulai kembali hitungan ḥaul untuk keuntungan itu, maka penyegeraan zakat tidak mencukupi untuk keuntungan tersebut, karena tidak dianggap sebagai cabang. Dan jika dikatakan bahwa ia membangun ḥaul keuntungan itu atas ḥaul dua ratus dirham, maka penyegeraan pertama mencukupi untuk keuntungan itu, karena dianggap sebagai cabang.
Jika ia memiliki seribu lalu ia menyegerakan zakatnya, kemudian harta tersebut rusak, lalu ia kembali memiliki seribu, maka penyegeraan pertama tidak mencukupi untuk seribu yang kedua, karena itu adalah penyegeraan sebelum kepemilikan.
Namun jika ia memiliki seribu, kemudian memiliki seribu lagi, lalu menyegerakan zakat untuk salah satu dari keduanya, kemudian salah satu dari dua seribu itu rusak, maka penyegeraan zakat tersebut mencukupi untuk seribu yang tersisa, karena telah ada saat penyegeraan.
فَصْلٌ
: وَمِنْ فُرُوعِ هَذَا الْأَصْلِ، رَجُلٌ مَعَهُ مِائَتَا شَاةٍ، فَعَجَّلَ أَرْبَعَ شِيَاهٍ عَنْ أَرْبَعِمِائَةٍ شاتين منهما عن هاتين المائتين وشاتين عَنْ نِتَاجِهَا، إِنْ بَلَغَ مِائَتَيْنِ، فَحَالَ الْحَوْلُ وَقَدْ نَتَجَتْ مِائَتَيْنِ، تَمَامَ أَرْبَعِمِائَةٍ، فَقَدْ أَجْزَأَتْهُ الشاتان عن المائتين المأخوذة، وهل يجزيه الشَّاتَانِ الْأُخْرَيَانِ عَنِ الْمِائَتَيْنِ النِّتَاجِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يُجْزِئُهُ لِأَنَّ السِّخَالَ إِذَا نُتِجَتْ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ كَانَتْ كَالْمَوْجُودَةِ فِي ابْتِدَاءِ الْحَوْلِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْأَرْبَعَمِائَةٍ لَوْ كَانَتْ مَوْجُودَةً قَبْلَ الْحَوْلِ أَجْزَأَهُ تَعْجِيلُ أَرْبَعِ شِيَاهٍ، فَكَذَلِكَ إِذَا نُتِجَتْ في أثناء الحول.
PASAL
Di antara cabang dari kaidah ini: seorang lelaki memiliki dua ratus ekor kambing, lalu ia menyegerakan empat ekor kambing sebagai zakat dari empat ratus ekor — dua ekor darinya untuk dua ratus ekor kambing yang telah dimiliki, dan dua ekor lagi untuk anakannya, jika anakan itu mencapai dua ratus ekor.
Kemudian genaplah haul, dan anakannya telah mencapai dua ratus ekor, sempurnalah jumlah empat ratus ekor, maka dua ekor kambing yang pertama telah mencukupi untuk dua ratus ekor kambing yang dimiliki. Adapun dua ekor kambing yang lainnya untuk dua ratus ekor anakan, apakah mencukupi atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama: mencukupi, karena anak kambing jika lahir di tengah haul dihukumi seperti kambing yang telah ada di awal haul. Telah tetap bahwa jika empat ratus ekor itu telah ada sebelum haul, maka menyegerakan empat ekor kambing mencukupi, maka demikian pula jika kambing-kambing itu lahir di tengah haul.
والوجه الثاني: لا يجزئه، لِأَنَّ التَّعْجِيلَ عَنْهَا سَابِقٌ لِوُجُودِهَا، كَمَا لَوْ كَانَ مَعَهُ دُونَ الْأَرْبَعِينَ فَعَجَّلَ شَاةً مِنْهَا ثُمَّ تَمَّتْ أَرْبَعِينَ بِنِتَاجِهَا لَمْ يُجْزِهِ كَذَلِكَ هذا لا يجزئه، لِأَنَّ التَّعْجِيلَ عَنْهَا سَابِقٌ لِوُجُودِهَا كَمَا لَوْ كَانَ مَعَهُ دُونَ الْأَرْبَعِينَ فَعَجَّلَ شَاةً مِنْهَا ثم تمت أربعين بنتاجها لم يجزه هكذا فَإِنْ قِيلَ مَا الْفَرْقُ بَيْنَ النِّتَاجِ وَالرِّبْحِ، حَيْثُ جَوَّزْتُمْ تَعْجِيلَ الرِّبْحِ قَبْلَ وُجُودِهِ، وَمَنَعْتُمْ من تعجيل النتاج قبل وجودها، وَكِلَاهُمَا تَبَعٌ لِأَصْلِهُ فِي حَوْلِهِ؟
قِيلَ: هُمَا مستويان فِي الْحَوْلِ، وَيَفْتَرِقَانِ فِي التَّعْجِيلِ.
dan wajah kedua: tidak mencukupi, karena penyegeraan zakat terhadapnya mendahului keberadaannya, sebagaimana jika seseorang memiliki kurang dari empat puluh ekor kambing lalu menyegerakan satu ekor kambing darinya, kemudian genap empat puluh ekor karena kelahiran kambing-kambingnya, maka tidak mencukupi. Demikian pula hal ini: tidak mencukupi, karena penyegeraan zakat terhadapnya mendahului keberadaannya, sebagaimana jika seseorang memiliki kurang dari empat puluh lalu menyegerakan satu kambing darinya, kemudian genap empat puluh karena kelahiran, maka tidak mencukupi. Demikian pula hal ini.
Jika dikatakan: “Apa perbedaan antara nītāj (hasil kelahiran) dan ribh (keuntungan), padahal kalian membolehkan penyegeraan zakat terhadap keuntungan sebelum ia ada, dan kalian melarang penyegeraan zakat terhadap hasil kelahiran sebelum ia ada, sedangkan keduanya merupakan cabang dari pokok dalam hitungan ḥaul-nya?”
Dijawab: keduanya setara dalam hal ḥaul, namun berbeda dalam hal penyegeraan.
وَوَجْهُ افْتِرَاقِهِمَا فِيهِ أَنَّ النِّصَابَ فِي مَالِ التِّجَارَةِ يُعْتَبَرُ عِنْدَ الْحَوْلِ لَا فِيمَا قَبْلُ، أَلَا تَرَى لَوْ نَقَصَتْ قِيمَةُ السِّلْعَةِ عَنِ النِّصَابِ قَبْلَ الْحَوْلِ ثُمَّ تَمَّتْ نِصَابًا عِنْدَ الْحَوْلِ لَمْ يَكُنِ النَّقْصُ الْمُتَقَدِّمُ مَانِعًا مِنْ إِيجَابِ الزَّكَاةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَاشِيَةُ، لِأَنَّ النِّصَابَ فِيهَا مُعْتَبَرٌ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ، أَلَا تَرَى لَوْ نَقَصَتْ عَنِ النِّصَابِ قَبْلَ الْحَوْلِ ثُمَّ تَمَّتْ نِصَابًا عِنْدَ الْحَوْلِ لَمْ يَكُنِ النَّقْصُ الْمُتَقَدِّمُ مَانِعًا مِنْ إِيجَابِ الزَّكَاةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَاشِيَةُ لِأَنَّ النصاب فيها معين فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ، أَلَا تَرَى لَوْ نَقَصَتْ عَنِ النِّصَابِ قَبْلَ الْحَوْلِ ثُمَّ تَمَّتْ نِصَابًا عِنْدَ الْحَوْلِ كَانَ النَّقْصُ الْمُتَقَدِّمُ مَانِعًا مِنْ إِيجَابِ الزَّكَاةِ، فَلِذَلِكَ مَا افْتَرَقَا فِي التَّعْجِيلِ، فَلَوْ كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً فَعَجَّلَ زَكَاتَهَا شَاةً، ثُمَّ نَتَجَتْ أَرْبَعِينَ، ثُمَّ مَاتَتِ الْأُمَّهَاتُ وبقي النتاج، فإن قيل فيما قِيلَ بِجَوَازِ التَّعْجِيلِ عَنِ الْأَصْلِ وَالنِّتَاجِ، كَانَتِ الشاة التي عجلها عن الأمهات مجزئة عن النتاج، فإن قِيلَ بِإِبْطَالِ التَّعْجِيلِ فِيمَا تَقَدَّمَ لَمْ تَكُنِ الشَّاةُ الَّتِي عَجَّلَهَا عَنِ الْأُمَّهَاتِ مُجْزِيَةً عَنِ النِّتَاجِ، وَلَزِمَهُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهَا، وَلَكِنْ لَوْ كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً فَنَتَجَتْ أَرْبَعِينَ سَخْلًا فَعَجَّلَ مِنْهَا شَاةً ثُمَّ مَاتَتِ الْأُمَّهَاتُ وَبَقِيَتِ السِّخَالُ أَجْزَأَتْهُ الشَّاةُ الْمُعَجَّلَةُ عَنِ السِّخَالِ الْبَاقِيَةِ عَلَى الْوَجْهَيْنِ جَمِيعًا؛ لِوُجُودِهَا قَبْلَ التَّعْجِيلِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan alasan perbedaan antara keduanya (zakat perdagangan dan zakat ternak) dalam hal ini adalah bahwa niṣāb pada harta dagangan diperhitungkan pada saat sempurnanya haul, bukan sebelumnya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika nilai barang dagangan berkurang dari niṣāb sebelum haul, kemudian mencapai niṣāb pada saat haul, maka kekurangan sebelumnya tidak menjadi penghalang wajibnya zakat?
Tidak demikian halnya dengan ternak, karena niṣāb pada ternak diperhitungkan selama haul. Tidakkah engkau melihat bahwa jika jumlahnya berkurang dari niṣāb sebelum haul, lalu genap menjadi niṣāb pada saat haul, maka kekurangan sebelumnya menjadi penghalang dari kewajiban zakat?
Karena itu, keduanya berbeda dalam hukum penyegeraan (zakat). Seandainya seseorang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu ia menyegerakan zakatnya berupa satu ekor kambing, kemudian kambing-kambing itu melahirkan empat puluh anak, lalu induknya mati dan yang tersisa hanya anak-anaknya, maka jika dikatakan bahwa boleh menyegerakan zakat untuk induk dan anak sekaligus, maka kambing yang telah disegerakan untuk induk mencukupi untuk anak-anak yang tersisa.
Namun jika dikatakan bahwa penyegeraan pada kasus sebelumnya tidak sah, maka kambing yang telah disegerakan untuk induk tidak mencukupi untuk anak-anaknya, dan ia wajib mengeluarkan zakatnya.
Namun jika seseorang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu kambing-kambing itu melahirkan empat puluh anak, kemudian ia menyegerakan zakat satu ekor kambing dari anak-anak itu, lalu induknya mati dan yang tersisa hanya anak-anaknya, maka kambing yang telah disegerakan mencukupi untuk anak-anak yang tersisa menurut kedua wajah sekaligus, karena anak-anak itu telah ada sebelum penyegeraan.
Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا عجل شاتين من مِائَتَيْ شَاةٍ فَحَالَ الْحَوْلُ وَقَدْ زَادَتْ شَاةً ٍ أخذ منها شاةً ثالثةً فيجزي عنه ما أعطى منه ولا يَسْقُطُ تَقْدِيمُهُ الشَّاتَيْنِ الْحَقَّ عَلَيْهِ فِي الشَّاةِ الثَّالِثَةِ لِأَنَّ الْحَقَّ إِنَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِ بَعْدَ الْحَوْلِ كَمَا لَوْ أَخَذَ مِنْهَا شَاتَيْنِ فَحَالَ الْحَوْلُ وَلَيْسَ فِيهَا إِلَّا شَاةٌ رَدَّ عَلَيْهِ شَاةً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Apabila seseorang menyegerakan dua ekor kambing dari dua ratus ekor kambing, lalu sempurna ḥaul-nya dan jumlah kambingnya bertambah satu ekor, maka diambil darinya kambing yang ketiga. Maka penyegeraan dua kambing yang telah diberikan sebelumnya mencukupi, dan tidak gugur kewajiban kambing ketiga dari dirinya, karena kewajiban itu baru menjadi wajib setelah sempurna ḥaul-nya. Sebagaimana jika diambil darinya dua ekor kambing, lalu saat sempurna ḥaul tidak tersisa kecuali seekor kambing, maka dikembalikan kepadanya seekor kambing.”
Al-Māwardī berkata: dan hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh beliau.
إِذَا عَجَّلَ بزكاة مَالِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ فَقَدْ مَلَكَهَا الْمَسَاكِينُ بِالْأَخْذِ وَيَسْتَقِرُّ مِلْكُهُمْ عَلَيْهَا بِالْوُجُوبِ، لَكِنَّهَا فِي حُكْمِ مِلْكِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ حَتَّى يَسْتَقِرَّ عَلَيْهِ الْوُجُوبُ، فَإِذَا حَالَ الْحَوْلُ ضَمَّ مَا عَجَّلَ إِلَى مَا بِيَدِهِ وَزَكَّاهُمَا مَعًا، فَلَوْ كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً عَجَّلَ مِنْهَا شَاةً ثُمَّ حَالَ الحول عليه تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ وَالشَّاةِ الْمُعَجَّلَةِ لَزِمَتْهُ الزَّكَاةُ وَلَوْ كان معه مائتا شاة فعجل زكاتها شاتي ظَنًّا مِنْهُ بِأَنَّهُمَا قَدْرُ زَكَاتِهِ فَلَمْ يَحُلِ الْحَوْلُ حَتَّى نُتِجَتْ شَاةً وَصَارَتْ مَعَ التَّعْجِيلِ مِائَتَيْ شَاةٍ وَشَاةً كَانَ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ شَاةٍ ثَانِيَةٍ اعْتِبَارًا بِقَدْرِ مَالِهِ عِنْدَ الْحَوْلِ وَلَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَتَا شَاةٍ وَشَاةٌ فَعَجَّلَ زَكَاتَهَا ثَلَاثَ شِيَاهٍ فَلَمْ يَحُلِ الْحَوْلُ حَتَّى تَلِفَ مِنْ غَنَمِهِ شَاةٌ وَبَقِيَ مَعَهُ مَعَ مَا عَجَّلَهُ مِائَتَا شَاةٍ، كَانَ لَهُ أَنْ يَسْتَرْجِعَ مِنَ التَّعْجِيلِ شَاةً، اعْتِبَارًا بِقَدْرِ مَالِهِ عِنْدَ الْحَوْلِ.
Jika seseorang menyegerakan zakat hartanya sebelum haul, maka para miskin telah memilikinya dengan cara mengambil, dan kepemilikan mereka menjadi tetap dengan adanya kewajiban. Namun, ia tetap dalam hukum milik pemberi zakat sebelum sempurnanya haul hingga kewajiban benar-benar tetap. Maka ketika haul telah sempurna, ia menghitung apa yang telah disegerakan bersama dengan apa yang masih ada di tangannya, dan ia menzakati keduanya secara bersama.
Maka jika seseorang memiliki empat puluh ekor kambing lalu ia menyegerakan zakatnya satu ekor, kemudian haul sempurna dan yang tersisa di tangannya hanya tiga puluh sembilan ekor serta satu ekor kambing yang telah disegerakan, maka zakat tetap wajib atasnya.
Dan jika ia memiliki dua ratus ekor kambing lalu ia menyegerakan zakatnya dua ekor kambing dengan dugaan bahwa itulah kadar zakatnya, kemudian sebelum haul sempurna lahir satu ekor kambing, dan dengan zakat yang telah disegerakan itu jumlahnya menjadi dua ratus satu ekor kambing, maka wajib atasnya mengeluarkan satu ekor kambing lagi, sesuai dengan kadar hartanya pada saat haul sempurna.
Dan jika ia memiliki dua ratus satu ekor kambing lalu ia menyegerakan zakatnya tiga ekor kambing, kemudian sebelum haul sempurna satu ekor kambing darinya mati, dan yang tersisa bersamanya (termasuk yang telah disegerakan) hanya dua ratus ekor kambing, maka ia boleh menarik kembali satu ekor kambing dari zakat yang telah disegerakan, sesuai dengan kadar hartanya pada saat haul sempurna.
وَقَالَ أبو حنيفة: مَا عَجَّلَهُ كَالتَّالِفِ لَا يَجِبُ ضَمُّهُ إِلَى مَا فِي يَدِهِ وَلَا يَجُوزُ إِذَا كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً أَنْ يُعَجِّلَ مِنْهَا شَاةً، لِأَنَّ الْبَاقِيَ يَقِلُّ عَنِ النِّصَابِ، فَإِنْ عَجَّلَ مِنْهَا شَاةً كَانَتْ كالتالفة ولا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيمَا بَقِيَ لِنَقْصِهِ عَنِ النِّصَابِ، فَإِنْ كَانَ مَعَهُ إِحْدَى وَأَرْبَعُونَ شَاةً، جَازَ أَنْ يُعَجِّلَ مِنْهَا شَاةً، لِأَنَّ الْبَاقِيَ نِصَابٌ، وَكَذَا نَقُولُ فِي نُصُبِ الزَّكَوَاتِ كُلِّهَا، احْتِجَاجًا بِأَنَّ التَّعْجِيلَ خَارِجٌ عَنْ مِلْكِهِ دَاخِلٌ فِي مِلْكِ آخِذِهِ، لِجَوَازِ تَصَرُّفِهِ فِيهِ وَانْتِفَاعِهِ بِهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْزَمَهُ زَكَاةُ مَالٍ هُوَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ، وَلَا أَنْ يُضَمَّ إِلَى جُمْلَةِ مَالِهِ.
Dan Abū Ḥanīfah berkata: harta yang telah disegerakan itu seperti harta yang hilang, tidak wajib digabungkan dengan harta yang ada di tangannya, dan tidak boleh menyegerakan satu ekor kambing dari empat puluh kambing yang dimilikinya, karena yang tersisa menjadi kurang dari niṣāb. Maka jika ia menyegerakan satu ekor kambing darinya, kambing itu dianggap seperti telah hilang, dan tidak ada zakat atas sisa kambingnya karena kurang dari niṣāb.
Namun jika ia memiliki empat puluh satu ekor kambing, maka boleh baginya menyegerakan satu ekor kambing darinya, karena yang tersisa adalah niṣāb. Dan demikian pula kami katakan dalam seluruh nuṣub zakat, dengan dalil bahwa harta yang disegerakan itu telah keluar dari kepemilikannya dan masuk ke dalam kepemilikan penerimanya, karena penerima boleh mempergunakan dan memanfaatkannya, maka tidak boleh dikenakan zakat atas harta yang telah menjadi milik orang lain, dan tidak boleh digabungkan dengan keseluruhan hartanya.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ: أَنَّ الْعَبَّاسَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فِي تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ وَلَمْ يَسْأَلْهُ هَلِ الْبَاقِي بَعْدَ التَّعْجِيلِ نِصَابٌ، أَوْ دُونَ النِّصَابِ فَدَلَّ عَلَى تَسَاوِي الْحُكْمِ فِيهِمَا، وَلِأَنَّ التَّعْجِيلَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ كالأموال المتلفة فلا يلزمه زكاتها، أو الموجودة فِي مِلْكِهِ فَيَلْزَمُهُ زَكَاتُهَا، فَلَمَّا أَجْزَأَهُ التَّعْجِيلُ عَنْ زَكَاتِهِ ثَبَتَ أَنَّهَا كَالْمَوْجُودَةِ فِي مِلْكِهِ، لأن ما أتلفه غير مجزي فِي الزَّكَاةِ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ إِنَّمَا تُعَجَّلُ لِلْمَسَاكِينِ رفقاً لهم وَنَظَرًا لَهُمْ، وَفِي إِخْرَاجِ الْقَدْرِ الْمُعَجَّلِ مِنَ الزَّكَاةِ إِضْرَارٌ بِهِمْ، لِأَنَّهُ إِذَا عَجَّلَ شَاةً عَنْ مِائَةٍ وَعِشْرِينَ ثُمَّ نُتِجَتْ شَاةٌ، فَقَدَ أَسْقَطَ عَلَيْهِمْ عَلَى قِيَاسِ قَوْلِهِ شَاةً، لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يُعَجِّلْ لَزِمَتْهُ شَاتَانِ، وَإِذَا عَجَّلَ لَزِمَتْهُ شَاةٌ، فَيَصِيرُ إِضْرَارُهُ بِالنَّقْصِ أَكْثَرَ مِنْ نَفْعِهِ بِالتَّعْجِيلِ، وَذَلِكَ خَارِجٌ عَنِ الْمَوْضُوعِ.
Dan dalil atas benarnya pendapat yang kami pilih adalah bahwa al-‘Abbās pernah meminta kepada Rasulullah SAW agar beliau memberi keringanan kepadanya untuk menyegerakan sedekah (zakat)-nya, lalu beliau memberi keringanan kepadanya dan tidak bertanya apakah sisa hartanya setelah penyegeraan itu masih mencapai niṣāb atau di bawah niṣāb. Maka ini menunjukkan bahwa hukumnya sama dalam kedua keadaan tersebut.
Dan karena penyegeraan itu — jika tidak dihukumi sebagai harta yang masih dimiliki — maka semestinya seperti harta yang telah musnah, yang tidak wajib zakat atasnya. Namun jika dianggap seperti harta yang masih berada dalam kepemilikannya, maka wajib zakat atasnya. Maka ketika penyegeraan itu dianggap mencukupi dari zakatnya, tetaplah bahwa ia seperti harta yang masih berada dalam kepemilikannya, karena harta yang musnah tidak mencukupi dalam zakat.
Dan karena zakat hanya boleh disegerakan demi kemaslahatan dan keringanan bagi para miskin, sedangkan jika kadar zakat yang telah disegerakan itu dianggap gugur (tidak dihitung), maka hal itu justru merugikan mereka. Karena jika seseorang menyegerakan satu ekor kambing dari seratus dua puluh ekor, lalu lahir satu ekor kambing, maka menurut pendapat yang mengugurkan penyegeraan, ia hanya wajib satu ekor kambing. Padahal jika ia tidak menyegerakan, maka ia wajib dua ekor kambing.
Maka berarti ia telah menimbulkan mudarat bagi para miskin dengan mengurangi (hak mereka), yang lebih besar daripada manfaat penyegeraan, dan hal ini keluar dari tujuan pokok pensyariatan zakat.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا احْتَجَّ بِهِ مِنْ خُرُوجِ ذَلِكَ عَنْ مِلْكِهِ فَهُوَ أَنْ يُقَالَ: التَّعْجِيلُ وَإِنْ كَانَ خَارِجًا عَنْ مِلْكِهِ فَهُوَ فِي حُكْمِ مِلْكِهِ، لِإِجْزَائِهِ عَنْ فَرْضِهِ، وَقَدْ يَلْتَزِمُ زَكَاةَ مَا فِي مِلْكِهِ حُكْمًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي مِلْكِهِ قَبْضًا كَالدَّيْنِ الثَّابِتِ لَهُ فِي الذِّمَمِ الْمَلِيَّةِ، هُوَ فِي مِلْكِهِ مِنْ طَرِيقِ الْحُكْمِ، وَزَكَاتُهُ لَازِمَةٌ له كذلك فيهما عَجَّلَ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَهُوَ الْمُوَفِّقُ لِلصَّوَابِ -.
Adapun jawaban terhadap dalil yang mereka gunakan —yaitu bahwa harta yang disegerakan itu telah keluar dari kepemilikannya— maka dapat dikatakan: penyegeraan itu meskipun secara qabḍ (fisik) keluar dari kepemilikannya, namun secara hukum masih dalam kepemilikannya, karena mencukupi dari kewajiban zakatnya. Seseorang bisa saja dikenai kewajiban zakat atas sesuatu yang berada dalam kepemilikannya secara hukum, meskipun tidak secara fisik, seperti piutang yang tetap ada dalam tanggungan orang-orang yang mampu membayarnya, maka ia dianggap berada dalam kepemilikan secara hukum, dan zakatnya tetap wajib atasnya.
Demikian pula halnya dengan harta yang disegerakan —wallāhu a‘lam dan Dia-lah yang memberi taufik kepada kebenaran.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” إِذَا وَلِيَ إِخْرَاجَ زَكَاتِهِ لَمْ يُجْزِهِ إِلَّا بِنِيَّةِ أَنَّهُ فَرْضٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِنِيَّةٍ، فَإِنْ أَخْرَجَهَا بِغَيْرِ نِيَّةٍ لَمْ يُجْزِهِ، وَبِهِ قَالَ كَافَّةُ الْعُلَمَاءِ إِلَّا مَا حُكِيَ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ: أَنَّ إِخْرَاجَهَا لَا يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الزَّكَاةَ إِذَا وَجَبَتْ صَارَتْ دَيْنًا فِي الذِّمَّةِ، وَالدُّيُونُ فِي الذِّمَمِ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ فِي الْأَدَاءِ كَدُيُونِ الْآدَمِيِّينَ، وَلِأَنَّ وَلِيَّ الْيَتِيمِ يُخْرِجُ الزَّكَاةَ عَنْهُ وَالْيَتِيمَ لَا نِيَّةَ لَهُ، وَالْوَالِي يَأْخُذُهَا كَرْهًا مِنْ مَالِ مَنِ امْتَنَعَ وَالْمُكْرَهُ لَا نِيَّةَ لَهُ، فَلَوْ كَانَتِ النِّيَّةُ وَاجِبَةٌ مَا أَجْزَأَتِ الزَّكَاةُ عَنْ هَذَيْنِ لِفَقْدِ النِّيَّةِ مِنْهُمَا، وَفِي إِجْزَائِهِمَا عَنْهُمَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ) {البينة: 5) فَجَعَلَ الْإِخْلَاصَ وَهُوَ النِّيَّةُ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْعِبَادَةِ.
Bab Niat dalam Mengeluarkan Zakat
Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menunaikan zakatnya, maka tidak sah kecuali dengan niat bahwa itu adalah kewajiban (fardhu).”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Mengeluarkan zakat tidak sah kecuali dengan niat. Jika ia mengeluarkannya tanpa niat, maka tidak mencukupi (tidak sah). Demikian pula pendapat seluruh para ulama, kecuali apa yang dinukil dari al-Awzā‘ī, bahwa menurutnya mengeluarkan zakat tidak memerlukan niat. Ia berdalil bahwa zakat apabila telah wajib, maka menjadi seperti utang dalam tanggungan, dan utang dalam tanggungan tidak memerlukan niat saat pelunasan, sebagaimana utang terhadap sesama manusia.
Ia juga berdalil bahwa wali anak yatim mengeluarkan zakat dari hartanya, padahal anak yatim tidak memiliki niat. Dan penguasa mengambil zakat dengan paksa dari harta orang yang enggan membayar, padahal orang yang dipaksa tidak memiliki niat. Maka jika niat itu wajib, tidak akan mencukupi zakat dari dua golongan ini karena hilangnya niat dari keduanya. Maka sahnya zakat atas nama keduanya menunjukkan bahwa niat bukanlah suatu kewajiban.
Namun dalil atas kewajiban niat adalah firman Allah Ta‘ālā: {Wa mā umirū illā liya‘budullāha mukhliṣīna lahud-dīn} (QS al-Bayyinah: 5) — “Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama.” Maka Allah menjadikan ikhlāṣ (yang merupakan makna dari niat) sebagai syarat sahnya ibadah.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى ” فَدَلَّ عَلَى أَنْ لَيْسَ لَهُ مَا لَمْ يَنْوِهِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَتَنَوَّعُ فَرْضًا وَهُوَ الزَّكَاةُ وَنَفْلًا وَهُوَ التَّطَوُّعُ، فَوَجَبَ أَنْ تَفْتَقِرَ إِلَى النِّيَّةِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ مِنْ قَضَاءِ الدَّيْنِ فَالْمَعْنَى فيه أنه ليس بعبادة، وإنما هو حق لا حَقٌّ لِآدَمِيٍّ فَلَمْ تَلْزَمْ فِيهِ النِّيَّةُ، وَالزَّكَاةُ عِبَادَةٌ لِلَّهِ تَعَالَى فَوَجَبَ فِيهَا النِّيَّةٌ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ مُتَعَلِّقًا بِالْبَدَنِ كَالْقِصَاصِ، وَحَدِّ الْقَذْفِ، لَا يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ، فَكَذَلِكَ مَا تَعَلَّقَ بِالْمَالِ وَمَا كان من حقوق الله تعالى متعلقاً بالسر كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ فَكَذَلِكَ مَا تعلق بالمال وأما ما ذكروه مِنْ إِخْرَاجِ الْوَلِيِّ زَكَاةَ الْيَتِيمِ، وَأَخْذِ الْوَالِي زَكَاةَ الْمُمْتَنِعِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ وَلِيَّ الْيَتِيمِ هُوَ الْمُخَاطَبُ بِالْإِخْرَاجِ، فَأَجْزَأَتْ نِيَّتُهُ، وَالْوَالِي الْعَادِلُ لَا يَأْخُذُ مِنَ الْمَالِ إِلَّا مَا وَجَبَ أَخْذُهُ فَلِذَلِكَ أَجْزَأَهُ أَخْذُهُ، فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ النِّيَّةِ فَفِي مَحَلِّهَا وَجْهَانِ:
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Innamā al-a‘mālu bi al-niyyāt, wa innamā likulli imri`in mā nawā” — “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” Maka hadis ini menunjukkan bahwa seseorang tidak mendapatkan apa yang tidak ia niatkan. Dan karena zakat itu adalah ibadah yang memiliki ragam bentuk, yaitu farḍ (kewajiban) yaitu zakat, dan nafl (sunnah) yaitu sedekah sunah, maka wajiblah adanya niat padanya, sebagaimana halnya salat dan puasa.
Adapun jawaban terhadap dalil mereka tentang pelunasan utang, maka maknanya adalah bahwa pelunasan utang bukanlah ibadah, melainkan hak milik sesama manusia (ḥaqq li-Ādamiyy), maka tidak disyaratkan adanya niat padanya. Sedangkan zakat adalah ibadah kepada Allah Ta‘ala, maka wajib di dalamnya niat. Tidakkah engkau lihat bahwa hak-hak manusia yang berkaitan dengan badan seperti qiṣāṣ dan ḥadd al-qażf tidak memerlukan niat, maka begitu pula hak yang berkaitan dengan harta. Namun hak-hak Allah Ta‘ala yang berkaitan dengan batin seperti salat dan puasa memerlukan niat, maka begitu pula halnya dengan zakat yang berkaitan dengan harta.
Adapun apa yang mereka sebutkan tentang pengeluaran zakat oleh wali bagi anak yatim, dan pengambilan zakat oleh penguasa dari orang yang enggan, maka jawabannya: wali anak yatim adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk mengeluarkannya, maka niat sang wali mencukupi. Dan penguasa yang adil tidak mengambil dari harta seseorang kecuali yang memang wajib diambil, maka pengambilannya mencukupi.
Maka apabila telah tetap bahwa niat itu wajib, maka dalam tempat pelaksanaannya terdapat dua wajh (pendapat)…
أَحَدُهُمَا: عِنْدَ إِخْرَاجِهَا وَدَفْعِهَا، فَإِنْ نَوَى قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ يُجْزِهِ كَالطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ.
وَالثَّانِي: عِنْدَ عَزْلِهَا وَقَبْلَ دَفْعِهَا كَالصِّيَامِ، وَكَذَا فِي مَحَلِّ نِيَّةِ الْكَفَّارَةِ وَجْهَانِ، فَحَصَلَتِ الْعِبَادَاتُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ: عِبَادَةٌ تَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ فِي ابْتِدَائِهَا كَالطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ، وعبادة لا تَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ فِي ابْتِدَائِهَا بَلْ يَجُوزُ تقديمها كالصيام وعبادة مختلف فيها وهي الزكاة والكفارة، وعلى كلى الْوَجْهَيْنِ لَوْ نَوَى عِنْدَ الدَّفْعِ أَجْزَأَهُ، وَلَوْ نَوَى بَعْدَهُ لَمْ يُجْزِهِ، وَلَكِنْ لَوْ نَوَى بَعْدَ دَفْعِهَا إِلَى وَكِيلِهِ، فَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ قَبْلَ صَرْفِهَا إِلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ أَجْزَأَهُ وَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ بَعْدَ صَرْفِهَا إِلَيْهِمْ لَمْ يُجْزِهِ، لِأَنَّهَا صَارَتْ مُسْتَهْلَكَةً وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
salah satunya: ketika mengeluarkan dan menyerahkannya, maka jika berniat sebelum atau sesudahnya tidak mencukupi, seperti ṭahārah dan salat.
dan yang kedua: ketika memisahkannya dan sebelum menyerahkannya, seperti puasa. Demikian pula tempat niat kafārah ada dua wajah. Maka ibadah-ibadah terbagi menjadi tiga jenis:
ibadah yang membutuhkan niat pada permulaannya seperti ṭahārah dan salat,
ibadah yang tidak membutuhkan niat pada permulaannya bahkan boleh mendahulukannya seperti puasa,
dan ibadah yang diperselisihkan, yaitu zakat dan kafārah.
Dan pada kedua pendapat, jika berniat saat penyerahan maka mencukupi, dan jika berniat setelahnya tidak mencukupi. Namun jika berniat setelah menyerahkannya kepada wakilnya, maka jika niatnya itu sebelum disalurkan kepada para mustaḥiq maka mencukupi, dan jika niatnya setelah disalurkan kepada mereka maka tidak mencukupi, karena ia telah menjadi sesuatu yang telah habis. Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يجزئه ذَهَبٌ عَنْ وَرِقٍ، وَلَا ورقٌ عَنْ ذهبٍ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِخْرَاجُ الْقِيَمِ فِي الزَّكَوَاتِ لَا يَجُوزُ، وَكَذَا فِي الْكَفَّارَاتِ حَتَّى يُخْرِجَ الْمَنْصُوصَ عَلَيْهِ بَدَلًا أَوْ مُبْدَلًا.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ إِخْرَاجُ الْقِيَمِ فِي الزَّكَوَاتِ وَالْكَفَّارِاتِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ عِتْقًا، فَكُلُّ مَالٍ جَازَ أَنْ يَكُونَ مُتَمَوَّلًا، إِلَّا أَنْ يَكُونَ سُكْنَى دَارٍ، أَوْ مِنْ جِنْسٍ مَنْصُوصٍ عَلَيْهِ، كَإِخْرَاجِ نِصْفِ صَاعِ تَمْرٍ بَدَلًا عَنْ صَاعٍ مِنْ زَبِيبٍ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُهُ فِي إِخْرَاجِ الْقِيمَةِ، هَلْ هي الواجب أبو بَدَلٌ عَنِ الْوَاجِبِ؟ عَلَى مَذْهَبَيْنِ:
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī RA berkata: “Tidak mencukupi membayar dengan emas untuk menggantikan perak, dan tidak pula perak untuk menggantikan emas, karena itu bukanlah yang diwajibkan atasnya.”
Al-Māwardī berkata: dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan: mengeluarkan qīmah (nilai tukar) dalam zakat tidak diperbolehkan, demikian pula dalam kafārāt, hingga ia mengeluarkan barang yang telah ditentukan secara naṣṣ, baik sebagai pengganti maupun yang digantikan.
Adapun Abū Ḥanīfah berkata: boleh mengeluarkan qīmah (nilai) dalam zakat dan kafārāt, kecuali jika berupa pembebasan budak (‘itq). Maka setiap harta yang dapat dinilai sebagai kekayaan (mutamawwal) boleh dikeluarkan, kecuali tempat tinggal atau barang dari jenis yang disebut secara eksplisit, seperti mengeluarkan setengah ṣā‘ kurma sebagai ganti dari satu ṣā‘ kismis.
Para aṣḥāb-nya berselisih pendapat mengenai pengeluaran qīmah: apakah itu merupakan sesuatu yang wajib atau pengganti dari sesuatu yang wajib? Dalam hal ini terdapat dua mazhab.
وَقَالَ مَالِكٌ: يَجُوزُ إِخْرَاجُ الْوَرِقِ عَنِ الذَّهَبِ، وَالذَّهَبِ عَنِ الْوَرِقِ لَا غَيْرَ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ: ” اغْنُوهُمْ عَنِ المسألة في مثل هَذَا الْيَوْمِ ” وَالْإِغْنَاءُ قَدْ يَكُونُ بِدَفْعِ الْقِيمَةِ، كَمَا يَكُونُ بِدَفْعِ الْأَصْلِ، وَبِمَا رُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” فِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ بِنْتُ مخاضٍ، فإن لم يكن فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَرٌ ” فَنَصَّ عَلَى دَفْعِ الْقِيمَةِ.
وَبِمَا رُوِيَ عَنْ مُعَاذٍ أَنَّهُ قَالَ لِأَهْلِ الْيَمَنِ حِينَ بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَالِيًا عَلَيْهِمْ: ” ائْتُونِي بِخَمِيسٍ أَوْ لَبِيسٍ آخُذُهُ مِنْكُمْ مَكَانَ الذُّرَةِ وَالشَّعِيرِ فَإِنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ، وَأَنْفَعُ لِلْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ بِالْمَدِينَةِ ” فَأَمَرَهُمْ بِدَفْعِ الثِّيَابِ بَدَلًا عَنِ الذُّرَةِ وَالشَّعِيرِ، وَهُوَ لَا يَقُولُ ذَلِكَ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَّا تَوْقِيفًا، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ مَالٌ مُزَكًّى فَجَازَ إِخْرَاجُ قِيمَتِهِ كَمَالِ التِّجَارَةِ.
dan Malik berkata: boleh mengeluarkan wariq (perak) sebagai ganti dari emas, dan emas sebagai ganti dari wariq, tidak selain itu. Mereka berdalil dengan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda tentang ṣadaqah al-fiṭr: “Kaya-kanlah mereka dari meminta pada hari semacam ini.” Dan mengkayakan itu bisa dilakukan dengan memberikan nilai (harga), sebagaimana bisa dilakukan dengan memberikan bentuk asal (barang).
Juga berdalil dengan riwayat dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Pada dua puluh lima ekor unta betina yang telah menginjak umur satu tahun (bint makhāḍ)—jika tidak ada, maka jantan yang berumur dua tahun (ibn labūn).” Maka beliau secara tegas menunjukkan kebolehan memberikan nilai.
Dan juga dengan apa yang diriwayatkan dari Mu‘āż, bahwa ia berkata kepada penduduk Yaman ketika Rasulullah SAW mengutusnya sebagai wali atas mereka: “Datangkan kepadaku pakaian dari jenis khamīs atau labīs, aku akan mengambilnya dari kalian sebagai ganti dari żurrah (gandum) dan sya‘īr (jelai), karena itu lebih ringan bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi para muhājirīn dan anṣār di Madinah.” Maka beliau memerintahkan mereka untuk memberikan pakaian sebagai pengganti dari gandum dan jelai. Dan ia tidak akan mengatakan hal itu pada masa hidup Nabi SAW kecuali karena penetapan (dari Nabi).
Mereka berkata: dan karena itu adalah harta yang dikenakan zakat, maka boleh mengeluarkan nilainya sebagaimana zakat harta perdagangan.
قَالُوا: وَلِأَنَّ الْقِيمَةَ مَالٌ فَجَازَ إِخْرَاجُهَا فِي الزَّكَاةِ كَالْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ فِي الزَّكَاةِ الْعُدُولُ عن الْعَيْنِ إِلَى الْجِنْسِ، وَهُوَ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةَ غَنَمِهِ مِنْ غَيْرِهَا جَازَالْعُدُولُ مِنْ جِنْسٍ إِلَى جِنْسٍ، أَلَا تَرَى أَنَّ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ لَمَّا لَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ مِنَ الْعَيْنِ إِلَى الْجِنْسِ لَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ مِنْ جِنْسٍ إِلَى جِنْسٍ.
وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ: رِوَايَةُ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الْحَبِّ حَبًّا، وَمِنَ الْغَنَمِ غَنَمًا، وَمِنَ الْإِبِلِ إِبِلًا، وَمِنَ الْبَقَرِ بَقَرًا ” فَاقْتَضَى ظَاهِرُ أَمْرِهِ أَنْ لَا يَجُوزَ الْأَخْذُ مِنْ غَيْرِهِ. وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صدقة الفطر من رمضان صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، على كل حر وعبدٍ ذكرٍ أو أنثى مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَخَيَّرَهُ بَيْنَ التَّمْرِ وَالشَّعِيرِ دُونَ غيرهما، والمخالف فخيره بَيْنَهُمَا أَوْ بَيْنَ قِيمَةِ أَحَدِهِمَا، وَظَاهِرُ الْخَبَرِ يمنع منهما.
Mereka (para pendukung pendapat Abū Ḥanīfah) berkata: karena qīmah (nilai) itu adalah harta, maka boleh mengeluarkannya dalam zakat sebagaimana yang disebutkan secara naṣṣ. Mereka juga berkata: karena dalam zakat dibolehkan beralih dari bentuk ‘ayn (barang tertentu) ke jenis lain, yaitu seseorang mengeluarkan zakat kambingnya bukan dari kambing itu sendiri, maka boleh pula beralih dari satu jenis ke jenis yang lain. Tidakkah engkau melihat bahwa dalam hak-hak sesama manusia, ketika tidak dibolehkan beralih dari ‘ayn ke jenis, maka tidak boleh pula beralih dari satu jenis ke jenis lain?
Dan dalil atas benarnya apa yang kami pegangi adalah riwayat ‘Aṭā’ bin Yasār dari Mu‘āż bin Jabal bahwa Rasulullah SAW memerintahkannya agar mengambil zakat dari biji-bijian dengan biji-bijian, dari kambing dengan kambing, dari unta dengan unta, dan dari sapi dengan sapi. Maka zahir perintah beliau menunjukkan tidak bolehnya mengambil dari selain yang disebutkan.
Juga riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, ia berkata: Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramaḍān satu ṣā‘ kurma atau satu ṣā‘ gandum, atas setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan dari kalangan kaum Muslimin. Maka beliau memberi pilihan antara kurma dan gandum, tidak dengan selain keduanya. Sedangkan pihak yang menyelisihi, ia memberi pilihan antara keduanya atau antara nilai salah satunya, padahal zahir hadis melarang hal itu.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مخاضٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَابْنُ لَبُونٍ ذكرٍ ” وفيه دليلان:
أحدهما: أنه أمر أن يأخذ ابْنِ لَبُونٍ عَلَى وَجْهِ الْبَدَلِ عِنْدَ عَدَمِ بِنْتِ مَخَاضٍ، وأبو حنيفة يُجِيزُ أَخْذَهُ عَلَى وَجْهِ الْقِيمَةِ مَعَ وُجُودِ بِنْتِ مَخَاضٍ.
dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika telah mencapai dua puluh lima (unta), maka padanya ada bint makhāḍ, jika tidak ada maka ibn labūn jantan.”
Dan dalam hal ini terdapat dua dalil:
pertama: bahwa beliau memerintahkan untuk mengambil ibn labūn sebagai pengganti ketika tidak ada bint makhāḍ,
sedangkan Abū Ḥanīfah membolehkan mengambilnya sebagai nilai (harga) meskipun bint makhāḍ ada.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ نَصَّ عَلَى شَيْئَيْنِ عَلَى التَّرْتِيبِ وأبو حنيفة يُجِيزُ ثَالِثًا وَهُوَ الْقِيمَةُ، وَيُسْقِطُ التَّرْتِيبَ، وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ جَذَعَةً وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُؤْخَذُ مِنْهُ ويجعل معها شاتين إن استيسر، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا ” وَفِيهِ دَلِيلَانِ كَالَّذِي قَبْلَهُ، ثُمَّ قَدَّرَ الْبَدَلَ مِنَ الدَّرَاهِمِ بِعِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَالْقِيمَةُ غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ بِالشَّرْعِ كَقِيَمِ الْمُتْلَفَاتِ، وَإِنَّمَا الْبَدَلُ مُقَدَّرٌ بِالشَّرْعِ كَالدِّيَاتِ، وَهَذَا دَلِيلٌ ثَالِثٌ مِنَ الْخَبَرِ، وَهُوَ أَقْوَاهَا، وَلِأَنَّهُ عَدْلٌ عَنِ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ إِلَى غَيْرِهِ فَلَمْ يُجْزِهِ كَسُكْنَى دَارِهِ، وَهُوَ أَنْ يُسْكِنَهَا الْفُقَرَاءَ مُدَّةً تَكُونُ أُجْرَتُهَا قَدْرَ زَكَاتِهِ، وَلِأَنَّهُ إِخْرَاجُ قِيمَةٍ فِي الزكاة فوجب أن لا يجزئه، كَمَا لَوْ أَخْرَجَ نِصْفَ صَاعٍ تَمْرًا وَسَطًا عَنْ صَاعِ تَمْرٍ رَدِيءٍ، أَوْ أَخْرَجَ شَاةً سَمِينَةً عَنْ شَاتَيْنِ مَهْزُولَتَيْنِ، وَلِأَنَّهُ حَقٌّ فِي مَالٍ يَخْرُجُ عَلَى وَجْهِ الطُّهْرَةِ فَلَمْ يَجُزْ إِخْرَاجُ قِيمَتِهِ كَالْعِتْقِ فِي الْكَفَّارَةِ، فَإِنْ قِيلَ هُوَ بَاطِلٌ بِجَزَاءِ الصَّيْدِ يَجُوزُ عِنْدَكُمْ إِخْرَاجُ قيمته، قيل غلط، لأن القيمة ليست مخرجة، وإنما يتعذر بِهَا الْبَدَلُ الْمُخْرَجُ، أَلَا تَرَاهُ يُقَوِّمُ الْجَزَاءَ دَرَاهِمَ ثُمَّ تُصْرَفُ الدَّرَاهِمَ فِي طَعَامٍ وَلَا تُخْرَجُ الدَّرَاهِمُ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ تَشْتَمِلُ عَلَى مُقَدَّرٍ مَأْخُوذٍ وَهُوَ الزَّكَاةُ، وَمُقَدَّرٍ مَتْرُوكٍ وَهُوَ النِّصَابُ، فلما ثبت أن القدر الْمَتْرُوكَ لَا يَقُومُ مَقَامَهُ مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مَعَهُ أَرْبَعَةٌ مِنَ الإبل ثنايا تساوي خمساً مِنَ الْإِبِلِ دُونَ الثَّنَايَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمِقْدَارُ الْمَأْخُوذُ لَا يَقُومُ مَقَامَهُ مَا كَانَ في معناه.
dan kedua: sesungguhnya ia menashkan dua hal secara berurutan, sedangkan Abu Hanifah membolehkan yang ketiga, yaitu al-qīmah (nilai harga), dan menggugurkan ketertiban. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang zakatnya mencapai jadza‘ah tetapi ia tidak memiliki jadza‘ah dan ia memiliki ḥiqqah, maka diambil darinya ḥiqqah dan ditambahkan dua ekor kambing jika mudah, atau dua puluh dirham.” Dalam hadis ini terdapat dua dalil seperti yang sebelumnya. Kemudian beliau menentukan pengganti berupa dirham dengan dua puluh dirham, sedangkan al-qīmah tidak ditentukan oleh syariat seperti nilai ganti barang-barang yang rusak, dan sesungguhnya pengganti itu ditentukan oleh syariat seperti diyāt, dan ini merupakan dalil ketiga dari hadis, dan ini yang paling kuat di antara semuanya.
Dan karena ia berpaling dari yang disebutkan secara nash kepada selainnya maka tidak mencukupi baginya, seperti seseorang yang menempatkan orang-orang fakir tinggal di rumahnya dalam jangka waktu sewa rumah tersebut sebanding dengan zakatnya, maka itu tidak mencukupi. Dan karena itu adalah pengeluaran berupa nilai harga dalam zakat, maka wajib tidak mencukupi, sebagaimana jika ia mengeluarkan setengah ṣā‘ kurma sedang atas nama ṣā‘ kurma yang buruk, atau mengeluarkan seekor kambing gemuk atas nama dua ekor kambing kurus. Dan karena itu adalah hak pada harta yang dikeluarkan dalam rangka ṭahārah, maka tidak boleh mengeluarkan nilainya, sebagaimana memerdekakan budak dalam kafārah.
Jika dikatakan bahwa hal itu batal oleh pengganti dalam kasus buruan (yang dibunuh saat ihram), padahal menurut kalian boleh mengeluarkan nilainya, maka dijawab: itu salah, karena nilai harga bukanlah yang dikeluarkan, tetapi ia hanya menjadi dasar taksiran dari pengganti yang dikeluarkan. Tidakkah kamu melihat bahwa al-jazā’ (pengganti) dinilai dengan dirham, kemudian dirham itu digunakan untuk membeli makanan, dan bukan dirham itu yang dikeluarkan?
Dan karena zakat mengandung dua hal yang ditentukan: yang diambil yaitu zakat, dan yang ditinggalkan yaitu niṣāb. Maka ketika telah ditetapkan bahwa kadar yang ditinggalkan tidak dapat digantikan oleh sesuatu yang serupa maknanya—yaitu jika ia memiliki empat unta thanāyā yang nilainya setara dengan lima unta tanpa thanāyā—maka wajib bahwa kadar yang diambil pun tidak bisa digantikan oleh sesuatu yang hanya sepadan dalam maknanya.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ أَحَدُ مُقَدَّرِي الزَّكَاةِ فوجب أن لا يقيم غير مَقَامَهُ، وَإِنْ كَانَ فِي مَعْنَاهُ كَالنِّصَابِ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ تَشْتَمِلُ عَلَى مَالٍ مُزَكًّى وَقَدْرٍ مُؤَدًّى، فَلَمَّا كَانَ الْمَالُ الْمُزَكَّى مَخْصُوصًا فِي بَعْضِ الْأَمْوَالِ دُونَ بَعْضٍ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْقَدْرُ الْمُؤَدَّى مَخْصُوصًا فِي بَعْضِ الْأَمْوَالِ دُونَ بَعْضٍ.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الزَّكَاةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي مَالٍ مَخْصُوصٍ كَالْمَالِ الْمُزَكَّى، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” اغْنُوهُمْ عَنِ الْمَسْأَلَةِ فِي هَذَا الْيَوْمِ ” فَهُوَ مُجْمَلٌ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَذْكُرْ قَدْرَ مَا يَسْتَغْنُونَ بِهِ، وَلَا جِنْسَهُ، وَقَدْ رَوَاهُ ابْنُ عُمَرَ مُفَسَّرًا، فَكَانَ الْأَخْذُ بِهِ أَوْلَى.
وَأَمَّا الِاحْتِجَاجُ بِقَوْلِهِ ” فَإِنْ لَمْ تَكُنِ ابْنَةُ مَخَاضٍ فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَرٌ ” فَهُوَ دَلَالَةٌ عَلَيْهِمْ مِنْ وَجْهَيْنِ ذَكَرْنَاهُمَا.
Dan penjelasan hal tersebut secara qiyās adalah bahwa ia merupakan salah satu dari dua hal yang ditentukan dalam zakat, maka wajib tidak menggantinya dengan selainnya, meskipun memiliki makna yang sama seperti niṣāb. Dan karena zakat mencakup harta yang dizakati dan kadar yang ditunaikan, maka ketika harta yang dizakati itu dikhususkan pada sebagian jenis harta tanpa sebagian yang lain, wajib juga kadar yang ditunaikan dikhususkan pada sebagian harta tanpa sebagian yang lain.
Dan penjelasan hal itu secara qiyās adalah bahwa ia merupakan salah satu dari dua jenis zakat, maka wajib ditunaikan pada harta yang khusus sebagaimana harta yang dizakati. Adapun jawaban dari sabdanya: “cukupkan mereka dari meminta pada hari ini” maka itu bersifat mujmal (umum), karena tidak disebutkan kadar yang dapat mencukupi mereka, tidak pula jenisnya. Dan hadis tersebut telah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar dengan penjelasan, maka mengambilnya lebih utama.
Adapun berdalil dengan sabdanya: “Jika tidak ada bint makhāḍ, maka ambillah ibn labūn jantan” maka itu merupakan dalil atas mereka dari dua sisi yang telah kami sebutkan.
وَأَمَّا احْتِجَاجُهُمْ بِحَدِيثِ مُعَاذٍ فَلَا دَلَالَةَ فِيهِ، لِأَنَّهُ وَارِدٌ فِي الْجِزْيَةِ لَا فِي الزَّكَاةِ، أَلَا تَرَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ فِي الزَّكَاةِ مِنَ الْحَبِّ حَبًّا، ثُمَّ عَقَّبَ ذَلِكَ بِالْجِزْيَةِ فَقَالَ: خُذْ من كل حالم ديناراً أو عد له مِنْ مَعَافِرِ الْيَمَنِ. فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ قَالَ مُعَاذٌ ” آخُذُهُ مِنْكُمْ مَكَانَ الذُّرَةِ وَالشَّعِيرِ ” وَذَلِكَ غَيْرُ وَاجِبٍ فِي الْجِزْيَةِ، قِيلَ: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُعَاذٌ عَقَدَ مَعَهُمُ الْجِزْيَةَ عَلَى أَخْذِ الشعير من زروعهم، يُوَضِّحُ أَنَّ ذَلِكَ مِنَ الْجِزْيَةِ لَا مِنَ الزَّكَاةِ أَنَّ مُعَاذًا قَالَ فَإِنَّهُ أَنْفَعُ لِلْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ بِالْمَدِينَةِ، وَالزَّكَاةُ لَا يَجُوزُ نَقْلُهَا مِنْ جِيرَانِ الْمَالِ إِلَى غَيْرِهِمْ، سِيَّمَا عِنْدَ مُعَاذٍ الَّذِي يَقُولُ أَيُّمَا رَجُلٍ انْتَقَلَ مِنْ مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ إِلَى غَيْرِ مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ فَعُشْرُهُ وَصَدَقَتُهُ فِي مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ. فَثَبَتَ أَنَّ ذَلِكَ فِي الْجِزْيَةِ الَّتِي يَجُوزُ نَقْلُهَا.
Adapun dalil mereka dengan hadis Mu‘āż, maka tidak terdapat dalalah di dalamnya, karena hadis itu berkaitan dengan jizyah, bukan tentang zakat. Tidakkah engkau melihat bahwa Rasulullah SAW memerintahkannya untuk mengambil zakat dari biji-bijian berupa biji-bijian, lalu beliau menyambung perintah itu dengan jizyah dan bersabda: “Ambillah dari setiap laki-laki baligh satu dinar atau yang senilai dari ma‘āfir Yaman.”
Jika dikatakan: Mu‘āż berkata, “Aku mengambilnya dari kalian sebagai ganti dari żurrah dan sya‘īr,” padahal itu tidak wajib dalam jizyah, maka dijawab: boleh jadi Mu‘āż mengadakan perjanjian jizyah dengan mereka dengan mengambil sya‘īr dari tanaman mereka.
Yang menunjukkan bahwa hal itu berkaitan dengan jizyah bukan zakat adalah pernyataan Mu‘āż: “Karena hal itu lebih bermanfaat bagi muhājirīn dan anṣār di Madinah.” Padahal zakat tidak boleh dipindahkan dari tetangga pemilik harta kepada selain mereka, terlebih lagi menurut Mu‘āż yang mengatakan: “Barangsiapa yang berpindah dari mikhlāf kaumnya ke mikhlāf kaum lain, maka ‘usyur dan zakatnya tetap berada di mikhlāf kaumnya.”
Maka tetaplah bahwa hal itu termasuk dalam jizyah yang boleh dipindahkan.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَالِ التِّجَارَةِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ في قيمة الفرض، وتخرج زكاة القيمة إلا أنها تجب في الفرض وتخرج قيمة الغرض، وإن قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ فَبَاطِلٌ بِإِخْرَاجِ نِصْفِ صَاعٍ عَنْ صَاعٍ، وَشَاةٍ عَنْ شَاتَيْنِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ أَنَّهُ مَنْصُوصٌ عَلَيْهِ، فَلِذَلِكَ جَازَ إِخْرَاجُهُ، وَلَيْسَتِ الْقِيمَةُ مَنْصُوصًا عَلَيْهَا فَلِذَلِكَ لَمْ يَجُزْ إِخْرَاجُهَا، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ لَمَّا جَازَ الْعُدُولُ مِنَ الْعَيْنِ إِلَى الْجِنْسِ جَازَ الْعُدُولُ مِنْ جِنْسٍ إِلَى جِنْسٍ، فَهَذَا قِيَاسُ الْعَكْسِ، عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُزَكِّيَ مِنْ جِنْسِ مَالِهِ لَا مِنْ عَيْنِ مَالِهِ فَلَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ عَادِلًا عَمَّا وَجَبَ عَلَيْهِ إلى غيره.
Adapun qiyās mereka terhadap harta perdagangan, maka tidak sah, karena zakat diwajibkan pada nilai al-farḍ, dan zakat nilai boleh dikeluarkan, hanya saja kewajiban tetap pada al-farḍ dan yang dikeluarkan adalah nilai al-gharaḍ. Dan qiyās mereka terhadap yang disebutkan secara nash adalah batil, seperti mengeluarkan setengah ṣāʿ dari satu ṣāʿ, dan satu ekor kambing dari dua ekor kambing.
Kemudian makna dalam asalnya adalah karena ada nash padanya, maka sebab itu boleh dikeluarkan, sedangkan nilai tidak disebutkan dalam nash, maka sebab itu tidak boleh dikeluarkan.
Adapun ucapan mereka: “Ketika dibolehkan berpindah dari ʿayn ke jins, maka dibolehkan pula berpindah dari jins ke jins,” maka ini adalah qiyās maʿkūs. Padahal yang wajib atas seseorang adalah menunaikan zakat dari jenis hartanya, bukan dari ʿayn hartanya, maka tidak termasuk dalam hal ini berpindah dari yang wajib atasnya ke selainnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَخْرَجَ عَشْرَةَ دَرَاهِمَ فَقَالَ إِنْ كَانَ مالي الغائب سالما فهذه زكاته أو نافلة فكان ماله سالماً لم يجزئه لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ بِالنِّيَّةِ قَصْدَ فَرْضٍ خَالِصٍ إِنَّمَا جَعَلَهَا مُشْتَرَكَةً بَيْنَ فَرْضٍ ونافلةٍ وَلَوْ قَالَ عَنْ مَالِي الْغَائِبِ إِنْ كَانَ سَالِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ سَالِمًا فَنَافِلَةٌ أَجَزَأَتْ عَنْهُ لِأَنَّ إِعْطَاءَهُ عَنِ الْغَائِبِ هَكَذَا وَإِنْ لَمْ يقله “.
قال الماوردي: وهذا كما قال:
المال الغائب عن مالكه حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُسْتَقِرًّا فِي بَلَدٍ مَعَ وَكِيلٍ أَوْ نَائِبٍ، فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ عن حَوْلِهِ فِي الْبَلَدِ الَّذِي هُوَ بِهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Seandainya seseorang mengeluarkan sepuluh dirham seraya berkata: ‘Jika hartaku yang ghaib (tidak hadir) selamat, maka ini zakatnya, atau sebagai sedekah sunah’, kemudian ternyata hartanya selamat, maka itu tidak mencukupi (sebagai zakat), karena ia tidak meniatkan secara khusus sebagai kewajiban, melainkan menjadikannya sebagai niat gabungan antara fardhu dan sunah.
Namun jika ia berkata: ‘Ini dari hartaku yang ghaib, jika selamat, dan jika tidak selamat maka sebagai sedekah sunah’, maka itu mencukupi darinya (sebagai zakat), karena pemberiannya untuk harta yang ghaib dengan cara seperti ini mencukupi meskipun ia tidak mengucapkannya secara eksplisit.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana beliau katakan:
Harta yang ghaib dari pemiliknya memiliki dua keadaan:
Pertama: Harta tersebut berada secara menetap di suatu negeri dengan seorang wakil atau perwakilan, maka wajib mengeluarkan zakatnya berdasarkan hitungan ḥaul-nya di negeri tempat harta itu berada.
وَالثَّانِي: وَهُوَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ: أَنْ يَكُونَ الْمَالُ غَيْرَ مُسْتَقِرٍّ بِبَلَدٍ، وَإِنَّمَا هُوَ سَائِرٌ فِي بَرٍّ أَوْ بَحْرٍ لَا يُعْرَفُ مَكَانُهُ وَلَا تُعْلَمُ سَلَامَتُهُ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ قَبْلَ وُصُولِهِ، فَإِنْ قِيلَ لَوْ كَانَ لَهُ عَبْدٌ غَائِبٌ لَزِمَتْهُ زَكَاةُ فِطْرِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَالِمًا بِمَكَانِهِ.
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ فِطْرَةَ الْعَبْدِ في ذمة سيده من غير جنسه فلزمه إِخْرَاجُهَا مَعَ غَيْبَتِهِ وَزَكَاةُ الْمَالِ فِي عَيْنِهِ أو من جنسه فلم يلزم إخراجها مع غيبته ولو كان في فطرة العبد ترتيب يذكر فِي مَوْضِعِهِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِخْرَاجَهَا لَا يَلْزَمُهُ فَتَطَوَّعَ بِهِ وَجَبَ اعْتِبَارُ نِيَّتِهِ لِتَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِهَا، فَنَبْدَأُ بِمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ ثُمَّ نُعْقِبُهُ بِفُرُوعِهِ، نَقَلَ الْمُزَنِيُّ مَسْأَلَتَيْنِ:
dan yang kedua —dan inilah yang menjadi pokok pembahasan kitab— adalah: apabila harta tersebut tidak menetap di suatu negeri, melainkan sedang berada dalam perjalanan di darat atau laut, tidak diketahui keberadaannya dan tidak diketahui pula keselamatannya, maka tidak wajib mengeluarkan zakatnya sebelum harta itu sampai.
Jika dikatakan: “Seandainya seseorang memiliki seorang budak yang sedang berada di tempat jauh, tetap wajib atasnya zakat fitrah untuk budak itu meskipun ia tidak mengetahui tempatnya.”
Maka dijawab: perbedaan antara keduanya adalah bahwa zakat fitrah budak itu menjadi tanggungan tuannya meskipun bukan dari jenis hartanya, maka wajib dikeluarkan sekalipun budaknya sedang tidak ada. Sedangkan zakat harta itu berada pada ‘ayn-nya atau dari jenis hartanya, maka tidak wajib dikeluarkan ketika ia sedang tidak ada.
Dan seandainya dalam zakat fitrah budak ada rincian, maka akan disebutkan pada tempatnya.
Apabila telah tetap bahwa mengeluarkannya (zakat harta yang tidak diketahui keberadaannya) tidaklah wajib, lalu ia menunaikannya secara ṭawawwuʿ (sukarela), maka wajib memperhatikan niatnya karena hukum bergantung padanya. Maka kita mulai dengan apa yang dinukil oleh al-Muzanī, kemudian kita ikuti dengan cabang-cabangnya.
Al-Muzanī meriwayatkan dua masalah:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يُخْرِجَ عَشْرَةَ دَرَاهِمَ وَيَقُولَ إِنْ كَانَ مَالِي الْغَائِبُ (سَالِمًا فَهَذِهِ زَكَاتُهُ أَوْ نَافِلَةٌ فَكَانَ) سَالِمًا لَمْ يُجْزِهِ، لِأَنَّهُ أَشْرَكَ فِي نِيَّتِهِ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالنَّفْلِ وَمِنْ شَرْطِ الزَّكَاةِ إِخْلَاصُ النِّيَّةِ لِلْفَرْضِ.
وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَقُولَ هَذِهِ زَكَاةُ مَالِي الْغَائِبِ إِنْ كَانَ سَالِمًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ سَالِمًا فَنَافِلَةٌ، فَكَانَ مَالُهُ سَالِمًا أَجْزَأَهُ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَخْلَصَ النِّيَّةَ مَعَ سَلَامَةِ الْمَالِ، وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلٍ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْمَالِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ أَخْرَجَهَا بنية الفرض أو أطلق من غير شرط وقال هَذِهِ زَكَاةُ مَالِي الْغَائِبِ كَانَ مُوجَبُ ذَلِكَ أَنَّهُ عَنْ مَالِي الْغَائِبِ إِنْ كَانَ سَالِمًا، وَإِذَا كَانَ هَذَا الشَّرْطُ مِنْ مُوجِبِهِ كَانَ ذكره تأكيداً أو لم يَكُنْ مُؤَثِّرًا فِي الْإِجْزَاءِ.
Pertama: Seseorang mengeluarkan sepuluh dirham dan berkata: “Jika hartaku yang ghaib selamat, maka ini zakatnya atau sedekah sunah,” lalu ternyata hartanya selamat, maka tidak mencukupi (sebagai zakat). Karena ia telah mencampur dalam niatnya antara kewajiban dan sunah, padahal salah satu syarat zakat adalah mengikhlaskan niat untuk kewajiban.
Masalah kedua: Seseorang berkata: “Ini zakat dari hartaku yang ghaib jika selamat, dan jika tidak selamat maka sebagai sedekah sunah,” lalu ternyata hartanya selamat, maka mencukupi karena dua hal:
Pertama: Ia telah mengikhlaskan niat saat hartanya selamat, dan ia membangunnya atas suatu aṣl, yaitu bahwa hukum asalnya adalah harta itu tetap ada (belum hilang).
Kedua: Seandainya ia mengeluarkannya dengan niat fardhu atau secara mutlak tanpa menyebutkan syarat dan berkata: “Ini zakat hartaku yang ghaib,” maka pengertian dari ucapan tersebut adalah: “Dari hartaku yang ghaib jika selamat.” Maka apabila syarat ini telah termasuk dalam maknanya, maka penyebutannya hanya sebagai penegasan atau tidak berpengaruh terhadap keabsahan zakatnya.
فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ لَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ غَائِبَةً وَمِائَتَا دِرْهَمٍ حَاضِرَةً، فَأَخْرَجَ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ وَقَالَ: هَذِهِ عَنْ مَالِي الْغَائِبِ إِنْ كَانَ سَالِمًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ سَالِمًا فَعَنْ مَالِي الْحَاضِرِ كَانَ كَمَا نَوَى، وَكَانَ عَنْ أَحَدِ الْمَالَيْنِ عَلَى مَا شَرَطَ، فَإِنْ كَانَ مَالُهُ الْغَائِبُ سَالِمًا كَانَتِ الزَّكَاةُ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ تَالِفًا كَانَتْ عَنِ الْحَاضِرِ، وَكَذَا أَيْضًا لَوْ قَالَ هَذِهِ زَكَاةُ مَالِي الْغَائِبِ إِنْ كَانَ سَالِمًا أَوْ عَنِ الْحَاضِرِ أَجْزَأَهُ عَنْ أَحَدِهِمَا، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّهُ قد أخلص نية الفرض، وإلا جعل الِاشْتِرَاكَ فِي نَقْلِهَا مِنْ فَرْضٍ إِلَى فَرْضٍ وَذَلِكَ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ فِي الزَّكَاةِ، لِأَنَّ تَعْيِينَ الفرض فيها لا يلزم وبهذا المعنى فارقت الصلاة، لأن تغيير الْفَرْضِ فِيهَا يَلْزَمُ، فَلَوْ جَعَلَ نِيَّةَ الصَّلَاةِ مُشْتَرَكَةً بَيْنَ فَرْضَيْنِ لَمْ يَجُزْ، فَلَوْ قَالَ هَذَا عَنْ مَالِي الْغَائِبِ فَتَلِفَ الْمَالُ الْغَائِبُ لم يجزه عَنِ الْحَاضِرِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُشْرِكْهُ فِي نِيَّتِهِ.
PASAL
Apabila seseorang memiliki dua ratus dirham yang berada di tempat jauh dan dua ratus dirham yang ada di hadapannya, lalu ia mengeluarkan lima dirham dan berkata: “Ini dari hartaku yang jauh jika ia selamat. Jika tidak selamat, maka dari hartaku yang hadir,” maka zakat itu berlaku sebagaimana niatnya, dan menjadi zakat dari salah satu dari dua harta sesuai dengan syarat yang ia tetapkan. Jika hartanya yang jauh ternyata selamat, maka zakatnya dianggap dari harta tersebut. Dan jika rusak, maka dianggap dari harta yang hadir.
Demikian pula jika ia berkata: “Ini zakat dari hartaku yang jauh jika selamat, atau dari yang hadir,” maka mencukupi dari salah satunya.
Hal itu dibolehkan karena ia telah mengikhlaskan niat untuk menunaikan fardhu, dan yang ia lakukan hanyalah membuat niatnya bersifat pilihan antara dua fardhu, dan itu tidak berpengaruh dalam zakat. Karena penentuan fardhu dalam zakat tidak wajib.
Dengan makna inilah zakat berbeda dengan shalat, karena perubahan niat fardhu dalam shalat itu berpengaruh. Maka jika seseorang menjadikan niat shalatnya bersifat pilihan antara dua fardhu, tidak sah.
Maka jika ia berkata: “Ini dari hartaku yang jauh,” lalu harta yang jauh itu rusak, maka tidak mencukupi dari harta yang hadir, karena ia tidak menyertakannya dalam niatnya.
فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ لَهُ ذُو قَرَابَةٍ يَرِثُهُ من والد أو ولد وكان بعيداً لغيبة فَقَالَ: إِنْ كَانَ مَاتَ وَوَرِثْتُ مَالَهُ فَهَذِهِ زَكَاتُهُ لَمْ يُجْزِهِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَبْنِ ذَلِكَ عَلَى أَصْلٍ، كَالْمَالِ الْغَائِبِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْمَالِ الْغَائِبِ الْبَقَاءُ، وَفِي ذِي الْقَرَابَةِ الْحَيَاةُ، ولهذه المسائل أمثلة في صيام يومي الشَّكِّ الْأَوَّلِ وَالْأَخِيرِ نَذْكُرُهَا فِي كِتَابِ ” الصِّيَامِ ” إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.
PASAL
Jika seseorang memiliki kerabat yang berhak mewarisinya, baik dari pihak orang tua maupun anak, lalu kerabat itu sedang jauh karena bepergian, kemudian ia berkata: “Jika ia telah wafat dan aku mewarisi hartanya, maka ini zakatnya,” maka itu tidak mencukupi (sebagai zakat), karena ia tidak membangun niat itu di atas suatu aṣl, berbeda dengan harta yang ghaib, karena hukum asal harta yang ghaib adalah tetap ada, sedangkan hukum asal kerabat adalah masih hidup.
Dan masalah seperti ini memiliki padanannya dalam hal puasa pada dua hari syakk (meragukan), yaitu hari pertama dan hari terakhir, yang akan kami sebutkan dalam kitab Ṣiyām, insya Allah Ta‘ālā.
فَصْلٌ
: إِذَا وَرِثَ مَالًا فَلَمْ يَعْلَمْ بِهِ سِنِينَ كَثِيرَةً فَعَلَيْهِ زَكَاتُهُ مِنْ يَوْمِ وَرِثَهُ، لِأَنَّهُ دَاخِلٌ فِي مِلْكِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَالِمًا بِهِ، وَلَوْ أن رجلاً أوصى لِحَمْلِ امْرَأَةٍ بِمَالٍ تَجِبُ فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ وَمَاتَ فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا لِأَرْبَعِ سِنِينَ مَلَكَ الْمَالَ، وَفِي زَكَاةِ مَا مَضَى وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُخْرِجُ زَكَاةَ مَا مَضَى.
وَالثَّانِي: لَا زَكَاةَ فِيمَا مَضَى وَيَسْتَأْنِفُ حَوْلَهُ مِنْ وَقْتِ الْوَضْعِ، وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَا مُخْرَجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي الوصية هل تملك بموت الموصي أو بالموت والقبول.
PASAL
Apabila seseorang mewarisi harta lalu ia tidak mengetahuinya selama bertahun-tahun, maka wajib atasnya mengeluarkan zakatnya sejak hari ia mewarisinya, karena harta itu telah masuk dalam kepemilikannya, meskipun ia tidak mengetahui keberadaannya.
Dan seandainya seseorang berwasiat memberikan harta —yang dalam kadar seperti itu wajib dizakati— untuk janin seorang perempuan, lalu ia meninggal dunia dan perempuan itu melahirkan kandungannya setelah empat tahun, maka janin itu memiliki harta tersebut.
Maka dalam zakat untuk masa yang telah berlalu terdapat dua pendapat:
Pertama: wajib mengeluarkan zakat untuk masa yang telah berlalu.
Kedua: tidak wajib zakat untuk masa yang telah berlalu, dan memulai hitungan ḥaul dari waktu kelahiran.
Dua pendapat ini tampaknya keluar dari perbedaan pendapat imam mengenai wasiat: apakah kepemilikan terjadi dengan wafatnya pewasiat, atau dengan wafat dan diterimanya wasiat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَخْرَجَهَا لِيَقْسِمَهَا وَهِيَ خَمْسَةُ دَرَاهِمَ فَهَلَكَ ماله كان له حبس الدراهم “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَقُلْنَا إنه يَخْلُو حَالُهُ عِنْدَ تَلَفِ مَالِهِ بَعْدَ الْحَوْلِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ فَعَلَيْهِ دَفْعُ مَا أَخْرَجَهُ مِنَ الزَّكَاةِ، وَلَيْسَ لَهُ حَبْسُهُ، لِأَنَّهُ بِتَأْخِيرِهَا بَعْدَ الْإِمْكَانِ مُفَرِّطٌ فَلَزِمَهُ ضَمَانُهَا، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْإِمْكَانِ حَبَسَ مَا بِيَدِهِ وَجَمَعَهُ إِلَى بَاقِي مَالِهِ، فَإِنْ بَلَغَ نِصَابًا أَخْرَجَ زَكَاتَهُ لَا غير، لأنه دون ما هلك وإن كان دون النصاب فَعَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الإمكان.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Jika seseorang telah mengeluarkan zakat untuk dibagikan, dan jumlahnya lima dirham, lalu hartanya binasa, maka ia berhak menahan (tidak membagikan) dirham tersebut.”
Al-Māwardī berkata:
Masalah ini telah berlalu pembahasannya, dan kami katakan bahwa ketika hartanya rusak setelah ḥaul, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal:
Pertama: Terjadi sebelum ia memiliki kemampuan untuk menunaikan zakat, atau
Kedua: Terjadi setelah ia mampu menunaikannya.
Jika rusaknya harta terjadi setelah ia memiliki kemampuan untuk menunaikannya, maka wajib atasnya menyerahkan apa yang telah ia keluarkan dari zakat tersebut, dan tidak boleh menahannya, karena dengan menunda-nunda setelah memiliki kemampuan, ia telah melakukan kelalaian, sehingga wajib menanggung zakat tersebut.
Namun jika rusaknya harta terjadi sebelum ia mampu menunaikan zakat, maka ia boleh menahan (tidak membagikan) apa yang ada di tangannya dan menggabungkannya dengan sisa hartanya.
Jika jumlahnya mencapai niṣāb, maka ia hanya mengeluarkan zakat dari apa yang tersisa saja, karena itu lebih sedikit dibandingkan dengan harta yang telah rusak.
Tetapi jika jumlahnya tidak mencapai niṣāb, maka terdapat dua pendapat, yang keduanya dibangun di atas perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i tentang definisi imkān (kemampuan menunaikan zakat).
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو ضاعت منه الَّتِي أَخْرَجَهَا مِنْ غَيْرِ تفريطٍ رَجَعَ إِلَى مَا بَقِيَ مِنْ مَالِهِ فَإِنْ كَانَ فِي مثله الزكاة زكاه وَإِلَّا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهِيَ فِي مَعْنَى الْمَسْأَلَةِ الْمَاضِيَةِ، لَكِنْ فِي تَلَفِ الزَّكَاةِ الْمُخْرَجَةِ دُونَ الْأَصْلِ الْمُتَبَقِّي، كَأَنَّهُ أَخْرَجَ زَكَاتَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ فَتَلِفَتْ مِنْ يَدِهِ، فَإِنْ تَلِفَتْ بَعْدَ الْإِمْكَانِ فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ كَامِلَةً، وَإِنْ تَلِفَتْ قَبْلَ الْإِمْكَانِ لم يضمن ما تلف، فاعتبر مَا بَقِيَ، فَإِنْ كَانَ نِصَابًا زَكَّاهُ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ مِنَ الزَّكَاةِ بِقِسْطِ مَا بَقِيَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الإمكان.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Jika harta zakat yang telah dikeluarkan hilang tanpa kelalaian darinya, maka ia kembali melihat sisa hartanya. Jika pada harta yang tersisa masih wajib zakat, maka ia mengeluarkan zakatnya. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban atasnya.”
Al-Māwardī berkata: Ini termasuk dalam makna masalah sebelumnya, tetapi perbedaannya terletak pada hilangnya harta zakat yang telah dikeluarkan, bukan harta pokok yang masih tersisa. Seolah-olah ia telah mengeluarkan zakat setelah sempurnanya ḥaul, lalu zakat itu rusak atau hilang dari tangannya.
Maka jika hilangnya terjadi setelah adanya kemampuan (untuk menyampaikannya kepada mustaḥiq), wajib atasnya mengeluarkan zakatnya secara sempurna. Namun jika hilangnya terjadi sebelum adanya kemampuan, maka ia tidak menanggung apa yang hilang, melainkan diperhatikan sisa hartanya:
Jika sisa itu mencapai niṣāb, ia wajib menzakatinya.
Jika kurang dari niṣāb, maka ada dua pendapat:
Pertama: tidak ada kewajiban atasnya.
Kedua: wajib zakat menurut kadar dari yang tersisa, berdasarkan perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i tentang makna “kemampuan”.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا أَخَذَ الْوَالِي مِنْ رَجُلٍ زَكَاتَهُ بِلَا نِيَّةٍ في دفعها إليه أَجْزَأَتْ عَنْهُ كَمَا يُجْزِئُ فِي الْقَسْمِ لَهَا أَنْ يَقْسِمَهَا عَنْهُ وَلِيُّهُ أَوِ السُّلْطَانُ وَلَا يَقْسِمُهَا بِنَفْسِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا إِيجَابَ النِّيَّةِ فِي دَفْعِ الزَّكَاةِ، فَإِذَا ثَبَتَ وَجُوبُهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ رَبِّ الْمَالِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَدْفَعَهَا طَوْعًا، أَوْ تُؤْخَذَ مِنْ مَالِهِ كَرْهًا، فَإِنْ دَفَعَهَا طَوْعًا فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
إِمَّا أَنْ يُفَرِّقَهَا بِنَفْسِهِ، أَوْ يدفعها إلى وكيله ليدفعها عَنْهُ، أَوْ يَدْفَعَهَا إِلَى الْوَالِي، فَإِنْ فَرَّقَهَا بِنَفْسِهِ فَلَا بُدَّ مِنْ نِيَّةٍ عِنْدَ دَفْعِهَا، أو عند عزلها على الوجهين الماضين فإن لم ينو لم يجزه، فإن دفعها إلى وكيله فلها أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
Masalah:
Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Apabila seorang wālī mengambil zakat dari seseorang tanpa adanya niat dari orang tersebut ketika menyerahkannya kepada wālī, maka zakatnya tetap sah, sebagaimana sahnya apabila wālī atau wakilnya membagikan zakat tersebut untuknya, dan ia (pemilik harta) tidak membagikannya sendiri.”
Al-Māwardī berkata:
Telah kami sebutkan kewajiban niat dalam menunaikan zakat. Maka apabila kewajiban tersebut telah tetap, tidak lepas keadaan pemilik harta dari salah satu dari dua hal:
Pertama, ia menyerahkannya secara sukarela, atau
kedua, diambil dari hartanya secara paksa.
Apabila ia menyerahkannya secara sukarela, maka terdapat tiga keadaan:
Pertama, ia membagikannya sendiri;
kedua, ia menyerahkannya kepada wakilnya agar membagikannya untuknya;
ketiga, ia menyerahkannya kepada wālī.
Apabila ia membagikannya sendiri, maka harus ada niat ketika menyerahkan zakat tersebut, atau ketika memisahkannya, menurut dua pendapat yang telah lalu. Jika ia tidak berniat, maka tidak sah.
Apabila ia menyerahkannya kepada wakilnya, maka terdapat empat keadaan:
إِمَّا أَنْ يَنْوِيَا مَعًا، أَوْ لَا يَنْوِيَا أَوْ يَنْوِيَ الْمُوَكِّلُ دُونَ الْوَكِيلِ، أَوْ يَنْوِيَ الْوَكِيلُ دُونَ الْمُوَكِّلِ، فَإِنْ نَوَيَا مَعًا فَنَوَى الْمُوَكِّلُ عِنْدَ دَفْعِهَا إِلَى الْوَكِيلِ، وَنَوَى الْوَكِيلُ عِنْدَ تَفْرِيقِهَا عَلَى الْمَسَاكِينِ أَجْزَأَتْهُ الزكاة، وإن لم ينويا ولأحد مِنْهُمَا لَمْ يُجْزِهِ ذَلِكَ عَنْ زَكَاتِهِ، لِفَقْدِ النية، وإن دفعها يحتمل أن يكون فَرْضًا وَنَفْلًا، وَإِنْ نَوَى الْمُوَكِّلُ دُونَ الْوَكِيلِ ففي إجزائهما وجهان:
أحدهما: لا يجزئه، وَهُوَ قَوْلُ مَنْ زَعَمَ أَنَّ مَحَلَّ النِّيَّةِ عند الدفع والتفرقة.
والثاني: يجزئه، وَهُوَ قَوْلُ مَنْ زَعَمَ أَنَّ مَحَلَّ النِّيَّةِ عند العزل وهو أصح الوجهين، لأن الكل قد أَجْمَعُوا عَلَى جَوَازِ النِّيَابَةِ فِي تَفْرِيقِ الزَّكَاةِ، فَلَوْ كُلِّفَ الْمُوَكِّلُ النِّيَّةَ عِنْدَ تَفْرِقَةِ الْوَكِيلِ لَشَقَّ عَلَيْهِ، وَأَدَّاهُ إِلَى الْمَنْعِ مِنَ الِاسْتِنَابَةِ، وَإِنْ نَوَى الْوَكِيلُ دُونَ الْمُوَكِّلِ لَمْ يُجْزِهِ، لِأَنَّ دَفْعَهُ إِلَى الْوَكِيلِ قَدْ يَكُونُ فَرْضًا وَنَفْلًا، فَافْتَقَرَ إِلَى نِيَّةٍ يُفَرِّقُ بِهَا بَيْنَ الدفعين، وإن رفعها إلى الأمام فلها أيضاً أربعة أحوال:
Entah keduanya berniat bersama, atau keduanya tidak berniat, atau yang berniat adalah al-muwakkil tanpa al-wakil, atau yang berniat adalah al-wakil tanpa al-muwakkil. Maka jika keduanya berniat bersama-sama, yakni al-muwakkil berniat saat menyerahkannya kepada al-wakil, dan al-wakil berniat saat membagikannya kepada para miskin, maka zakatnya sah.
Namun jika keduanya tidak berniat, atau hanya salah satunya saja yang berniat, maka tidak sah sebagai zakat, karena hilangnya niat. Dan jika dia menyerahkannya, bisa jadi itu zakat wajib, dan bisa jadi sedekah sunnah.
Jika al-muwakkil berniat tanpa al-wakil, maka ada dua wajah:
Pertama: tidak sah, dan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa tempat niat adalah saat penyerahan dan pembagian.
Kedua: sah, dan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa tempat niat adalah saat pemisahan (harta zakat), dan ini adalah wajah yang lebih shahih. Karena seluruh ulama telah sepakat bolehnya niyābah dalam pembagian zakat. Maka jika al-muwakkil dibebani untuk berniat saat pembagian oleh al-wakil, hal itu akan menyulitkannya dan menyebabkan tertolaknya perwakilan.
Dan jika al-wakil berniat tanpa al-muwakkil, maka tidak sah, karena penyerahan kepada al-wakil bisa jadi untuk zakat wajib dan bisa jadi untuk sedekah sunnah, maka dibutuhkan niat untuk membedakan antara keduanya.
Dan jika diserahkan kepada imam, maka hal itu juga memiliki empat keadaan:
أحداها: أن ينويا جميعاً فيجزئه.
وَالثَّانِي: أَنْ يَنْوِيَ رَبُّ الْمَالِ دُونَ الْإِمَامِ فيجزئه وجهاً واحداً، لأن يد الإمام يد للمساكين.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَنْوِيَ الْإِمَامُ دُونَ رَبِّ الْمَالِ فيجزئه أَيْضًا، لِأَنَّ الْإِمَامَ لَا يَأْخُذُ مِنَ الْمَالِ إِلَّا مَا وَجَبَ، بِخِلَافِ الْوَكِيلِ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ لَا يَنْوِيَ رَبُّ الْمَالِ وَلَا الْإِمَامُ فَفِيهِ وجهان:
أحدهما: وهو الصحيح وهو منصوص الشافعي أنه يجزئه، لِأَنَّ أَخْذَ الْإِمَامِ يَتَوَجَّهُ إِلَى الْفَرْضِ، لِأَنَّهُ لَا يَأْخُذُ إِلَّا مَا وَجَبَ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قول بعض أصحابه: لا يجزئه لفقد النية المشروطة في الأداء.
Pertama: apabila keduanya berniat, maka zakatnya sah.
Kedua: apabila yang berniat adalah pemilik harta saja tanpa imam, maka zakatnya sah menurut satu pendapat, karena tangan imam adalah tangan untuk para miskin.
Ketiga: apabila yang berniat adalah imam saja tanpa pemilik harta, maka zakatnya juga sah, karena imam tidak mengambil dari harta seseorang kecuali apa yang telah diwajibkan, berbeda dengan wakil.
Keempat: apabila tidak berniat baik pemilik harta maupun imam, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: dan ini yang ṣaḥīḥ serta merupakan naṣ dari asy-Syāfi‘i, bahwa zakatnya sah, karena pengambilan imam ditujukan untuk kewajiban (fardhu), sebab ia tidak mengambil kecuali apa yang wajib.
Kedua: dan ini pendapat sebagian sahabat beliau, bahwa zakatnya tidak sah karena tidak adanya niat yang disyaratkan dalam pelaksanaan.
فَصْلٌ
: فَإِنِ امْتَنَعَ مِنْ أَدَائِهَا طَوْعًا: أَخَذَهَا الإمام من ماله قهراً، ويجزئه فِي الْحُكْمِ، نَوَى الْإِمَامُ أَوْ لَمْ يَنْوِ، وهل يجزئه فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا امْتَنَعَ مِنْ أَدَائِهَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهَا، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُؤْخَذَ كَرْهًا بَلْ يُحْبَسُ حَتَّى يُؤَدِّيَهَا، فَإِنْ أُخِذَتْ كَرْهًا لَمْ يُجْزِهِ، وَاسْتَدَلَّ بِشَيْئَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الزَّكَاةَ عِبَادَةٌ لَا يَصِحُّ أَدَاؤُهَا إِلَّا بِنِيَّةٍ، وَمَعَ الْإِكْرَاهِ لَا تَصِحُّ مِنْهُ النِّيَّةُ.
وَالثَّانِي أَنَّ أَخْذَهَا كَرْهًا لَا يَصِحُّ إِلَّا لِطَالِبٍ مُعَيَّنٍ، وَمُسْتَحَقُّ الزَّكَاةِ غَيْرُ مُعَيَّنٍ، وَهَذَا خَطَأٌ.
PASAL
Jika seseorang menolak membayarkan zakat secara sukarela, maka imam mengambilnya dari hartanya secara paksa. Zakat itu sah menurut hukum lahir, baik imam berniat maupun tidak. Namun apakah itu sah antara dia dan Allah Ta‘ala? Ada dua wajah pendapat.
Abu Hanifah berkata: Jika seseorang menolak membayar zakat, maka ia tidak dipaksa untuk membayarnya, dan tidak boleh diambil secara paksa, melainkan ia ditahan sampai ia sendiri yang membayarnya. Jika zakat itu diambil secara paksa, maka tidak sah. Ia berdalil dengan dua hal:
Pertama: Zakat adalah ibadah yang tidak sah pelaksanaannya kecuali dengan niat, dan dalam keadaan dipaksa, tidak sah baginya untuk berniat.
Kedua: Pengambilan secara paksa tidak sah kecuali kepada pihak yang ditentukan, sedangkan mustahiq zakat bukanlah pihak yang ditentukan, dan ini adalah kesalahan.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أمْوَالِهِمْ صَدَقَةً) {التوبة: 103) فَكَانَ هَذَا الْأَمْرُ بِالْأَخْذِ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْمُطِيعِ وَالْمُمْتَنِعِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” فِي كُلِّ سَائِمَة إبلٌ فِي أربعين بنت لبون، ولا تفرق إبلٌ عن حسابها من أعطاها مؤتمراً فَلَهُ أَجْرُهَا وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةٌ مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا، لَيْسَ لِآلِ محمدٍ فيها نصيبٌ ” ولأنه حق في ماله يَقْدِرُ عَلَى أَدَائِهِ فَوَجَبَ أَنْ يُجْبَرَ عَلَيْهِ عِنْدَ امْتِنَاعِهِ كَالدُّيُونِ، وَلِأَنَّهُ مَالٌ يَتَوَلَّاهُ الْإِمَامُ لِأَهْلِ السُّهْمَانِ، فَجَازَ أَنْ يُجْبَرَ عَلَيْهِ عِنْدَ الِامْتِنَاعِ مِنْهُ كَالْأَعْشَارِ.
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Ambillah zakat dari sebagian harta mereka} (QS at-Taubah: 103), maka perintah mengambil ini bersifat umum mencakup yang taat maupun yang enggan. Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Pada setiap sāimah unta, pada jumlah empat puluh ekor wajib seekor bint labūn. Janganlah unta-unta dipisah-pisahkan dari perhitungannya. Siapa yang memberikannya dengan kerelaan, maka baginya pahala, dan siapa yang menahannya, maka kami akan mengambilnya dan separuh hartanya—sebagai ketetapan yang pasti dari ketetapan-ketetapan Tuhan kami—dan tidak ada bagian bagi keluarga Muhammad di dalamnya.” Dan karena zakat adalah hak dalam hartanya yang ia mampu untuk menunaikannya, maka wajib dipaksa untuk menunaikannya ketika ia menolak, sebagaimana utang. Dan karena ia adalah harta yang dikelola oleh imam untuk para pemilik bagian zakat, maka boleh dipaksakan saat terjadi penolakan sebagaimana ‘usyur.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ الأول بفقد النِّيَّةَ، يَقْصِدُ بِهَا الْفَرْقَ بَيْنَ التَّطَوُّعِ وَالْفَرْضِ، وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي الْإِكْرَاهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ مُسْتَحِقَّهَا غَيْرُ مُعَيَّنٍ، قِيلَ أَوْصَافُهُمْ مُعَيَّنَةٌ، وإن كانت أشخاصهم غير معينة، ولولا تعيين أَوْصَافِهِمْ لَمَا جَازَ أَنْ يُفَرِّقَهَا فِيهِمْ لِجَهْلِهِ به.
Adapun jawaban atas dalil pertamanya yang berargumentasi dengan tidak adanya niat—yang dimaksudkannya adalah untuk membedakan antara sedekah sunnah dan zakat wajib—maka makna ini tetap ada dalam keadaan terpaksa.
Adapun ucapannya bahwa mustahiq zakat bukan pihak yang ditentukan, maka dijawab: sifat-sifat mereka telah ditentukan, meskipun orang-orangnya tidak ditentukan. Seandainya sifat-sifat mereka tidak ditentukan, niscaya tidak boleh membagikannya kepada mereka karena kebodohan terhadap siapa yang berhak.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وأحب أن يتولى الرجل قسمتها عن نفسه، لِيَكُونَ عَلَى يَقِينٍ مِنْ أَدَائِهَا عَنْهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
وَالْأَمْوَالُ ضَرْبَانِ ظَاهِرَةٌ كَالْمَوَاشِي وَالزُّرُوعِ وَبَاطِنَةٌ كَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، فَأَمَّا الْبَاطِنَةُ فَلَا يَلْزَمُهُ دَفْعُ زَكَاتِهَا إِلَى الْإِمَامِ، وَيَجُوزُ أَنْ يُفَرِّقَهَا بِنَفْسِهِ، أَوْ يَدْفَعَهَا إِلَى وَكِيلِهِ، أَوْ إلى الإمام الْعَادِلِ، وَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي الْجَوَازِ بَيْنَ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ، بَيْنَ نَفْسِهِ، أَوْ وَكِيلِهِ، أَوِ الإمام. فأما الأول وَالْأَفْضَلُ فَهُوَ أَوْلَى مِنْ وَكِيلِهِ، لِأَنَّهُ عَلَى يَقِينٍ مِنْ فِعْلِ نَفْسِهِ، وَفِي شَكٍّ مِنْ فِعْلِ وَكِيلِهِ، وَالْإِمَامُ أَيْضًا أَوْلَى مِنْ وَكِيلِهِ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ تَسْقُطُ عَنْهُ بِدَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ وَإِنْ لَمْ يَدْفَعْهَا إِلَى الْمَسَاكِينِ وَلَا تَسْقُطُ عَنْهُ بِدَفْعِهَا إِلَى الْوَكِيلِ حَتَّى يَدْفَعَهَا إِلَى الْمَسَاكِينِ فَأَمَّا هُوَ وَالْإِمَامُ فَفِي أَوْلَاهُمَا بِتَفْرِيقِهَا إِذَا كَانَتْ بَاطِنَةً وَجْهَانِ:
Masalah:
Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Aku menyukai jika seseorang membagikan zakatnya sendiri, agar ia berada pada keyakinan bahwa ia telah menunaikannya atas dirinya.”
Al-Mawardi berkata: Ini benar.
Harta terbagi menjadi dua macam:
- Zhāhirah (tampak), seperti hewan ternak dan tanaman,
- Bāthinah (tersembunyi), seperti dirham dan dinar.
Adapun harta bāthinah, maka tidak wajib menyerahkan zakatnya kepada imam. Ia boleh membagikannya sendiri, atau menyerahkannya kepada wakilnya, atau kepada imam yang adil. Maka ia diberi kebebasan untuk memilih di antara tiga pihak tersebut: antara dirinya, wakilnya, atau imam.
Adapun yang pertama dan yang paling utama adalah ia sendiri, karena ia yakin dengan perbuatannya sendiri dan ragu terhadap perbuatan wakilnya. Imam juga lebih utama dibandingkan wakil, karena zakat gugur darinya dengan menyerahkannya kepada imam meskipun imam belum membagikannya kepada para miskin, sedangkan tidak gugur jika hanya diserahkan kepada wakil kecuali wakil tersebut benar-benar membagikannya kepada para miskin.
Adapun antara dirinya dan imam, maka dalam hal siapa yang lebih utama dalam membagikannya apabila zakat itu termasuk bāthinah, terdapat dua wajah:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ دَفْعَهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْلَى مِنْ تَفْرِيقِهَا بِنَفْسِهِ، لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ أَعْرَفُ بِمُسْتَحِقِّيهَا مِنْهُ.
وَالثَّانِي: إِنَّهَا تَسْقُطُ عَنْهُ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ، وَإِذَا فَرَّقَهَا بِنَفْسِهِ سَقَطَتْ عَنْهُ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ.
والوجه الثاني: أن يفرقها بِنَفْسِهِ أَوْلَى، لِمَا عَلَّلَ بِهِ الشَّافِعِيُّ مِنْ أَنَّهُ عَلَى يَقِينٍ مِنْ فِعْلِ نَفْسِهِ، وَفِي شَكٍّ مِنْ فِعْلِ غَيْرِهِ، فَأَمَّا الْأَمْوَالُ الظَّاهِرَةُ فَلِلْإِمَامِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ عَادِلًا فِي الزَّكَاةِ وَفِي غَيْرِهَا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ جَائِرًا فِي الزَّكَاةِ وَفِي غَيْرِهَا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ عَادِلًا فِي الزَّكَاةِ جَائِرًا فِي غَيْرِهَا.
salah satunya: bahwa menyerahkannya kepada imam lebih utama daripada membagikannya sendiri, karena dua hal:
pertama: karena imam lebih mengetahui siapa yang berhak menerimanya dibandingkan dirinya.
kedua: karena dengan menyerahkannya kepada imam, zakat itu gugur darinya secara lahir dan batin, sedangkan jika ia membagikannya sendiri maka gugur darinya secara lahir saja, tidak secara batin.
Dan wajah yang kedua: bahwa membagikannya sendiri lebih utama, sebagaimana yang dijadikan alasan oleh al-Syafi’i, karena ia yakin terhadap perbuatannya sendiri dan ragu terhadap perbuatan orang lain.
Adapun harta yang tampak, maka imam memiliki empat keadaan:
pertama: ia adil dalam urusan zakat dan di luar zakat.
kedua: ia zalim dalam urusan zakat dan di luar zakat.
ketiga: ia adil dalam urusan zakat, tetapi zalim di luar zakat.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ جَائِرًا فِي الزَّكَاةِ عَادِلًا فِي غَيْرِهَا، فَإِنْ كَانَ جَائِرًا فِي الزَّكَاةِ وَفِي غَيْرِهَا، أَوْ جَائِرًا فِي الزَّكَاةِ عَادِلًا فِي غَيْرِهَا، لَمْ يَجُزْ دَفْعُهَا إِلَيْهِ، وَفَرَّقَهَا رَبُّ الْمَالِ بِنَفْسِهِ، فَإِنْ دَفَعَهَا إِلَى الْإِمَامِ الْجَائِرِ فِيهَا لَمْ تُجْزِهِ، وَسَنَذْكُرُ ذَلِكَ فِي موضعه مِنْ قِسْمِ الصَّدَقَاتِ، وَإِنْ كَانَ عَادِلًا فِي الزكاة وفي غيرها فعلى قوله فِي الْقَدِيمِ يَجِبُ دَفْعُ الزَّكَاةِ إِلَيْهِ، فَإِنْ فرقها رب المال بنفسه أو وكيله وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وأبي حنيفة، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ لَا يَجِبُ دَفْعُهَا إِلَيْهِ وَإِنْ فَرَّقَهَا بِنَفْسِهِ أَوْ وَكِيلُهُ جَازَ، لَكِنَّ دَفْعَهَا إِلَيْهِ فِي الْمَالِ الظَّاهِرِ أَوْلَى مِنْ تَفْرِيقِهَا بِنَفْسِهِ أَوْ وَكِيلِهِ وَجْهًا وَاحِدًا، لِيَكُونَ خَارِجًا من الخلاف في الإجزاء، وعلى اليقين مِنْ أَدَائِهَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَإِنْ كَانَ عَادِلًا فِي الزَّكَاةِ جَائِرًا فِي غَيْرِهَا وَجَبَ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ دَفْعُهَا إِلَيْهِ وَلَمْ يَجُزْ تفريقها بنفسه.
Dan yang keempat: jika ia berlaku jāʾir (zalim) dalam zakat namun ʿādil (adil) dalam selain zakat. Jika ia jāʾir dalam zakat dan juga dalam selain zakat, atau jāʾir dalam zakat tetapi ʿādil dalam selain zakat, maka tidak boleh menyerahkan zakat kepadanya, dan pemilik harta membagikannya sendiri. Jika ia menyerahkannya kepada imam yang jāʾir dalam zakat, maka itu tidak mencukupi, dan hal ini akan dijelaskan pada tempatnya dalam pembahasan pembagian ṣadaqah.
Jika imam ʿādil dalam zakat dan juga dalam selainnya, maka menurut pendapatnya dalam qaul qadīm, wajib menyerahkan zakat kepadanya. Jika pemilik harta membagikannya sendiri atau melalui wakilnya, maka itu tidak mencukupi. Ini adalah pendapat Mālik dan Abū Ḥanīfah.
Sedangkan menurut qaul jadīd, tidak wajib menyerahkannya kepadanya. Dan jika dibagikan oleh dirinya sendiri atau oleh wakilnya, maka sah. Namun, menyerahkannya kepada imam dalam harta zhāhir lebih utama daripada membagikannya sendiri atau oleh wakilnya menurut satu wajah, agar keluar dari khilaf tentang keabsahan (pembebasan tanggungan) dan agar lebih yakin bahwa zakat telah ditunaikan secara zhāhir dan bāṭin.
Jika imam ʿādil dalam zakat tetapi jāʾir dalam selainnya, maka menurut qaul qadīm, wajib menyerahkannya kepadanya dan tidak sah jika dibagikan sendiri.
رَوَى عَنْ سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سألت سعد بن مالك فَقُلْتُ: عِنْدِي مَالٌ مُجْتَمِعٌ يَعْنِي: مِنْ مَالِ الصَّدَقَةِ، وَهَؤُلَاءِ الْقَوْمُ كَمَا تَرَى، فَمَا أَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: ادْفَعْهُ إِلَيْهِمْ قَالَ: وَسَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ، وَسَأَلْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. وَسَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ.
فَأَمَّا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ، فَلَا يَجِبُ دَفْعُهَا إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ أَنْ يُفَرِّقَهَا بِنَفْسِهِ، وَفِي الأولى وجهان:
أحدها: دَفْعُهَا إِلَى الْإِمَامِ أَوْلَى.
وَالثَّانِي: تَفْرِيقُهَا بِنَفْسِهِ أَوْلَى، وَهَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي تَأْوِيلِ قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي أَوَّلِ كِتَابِ الزكاة ” ومن سأل فَوْقَهَا فَلَا يُعْطِهِ ” وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ ذَلِكَ فِي مَوْضِعِهِ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
diriwayatkan dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya, ia berkata: aku bertanya kepada Sa‘d bin Malik, lalu aku berkata: “Aku memiliki harta yang terkumpul,” maksudnya: dari harta sedekah, “dan orang-orang ini sebagaimana engkau lihat, maka apa yang harus aku lakukan dengannya?” Ia menjawab: “Berikanlah kepada mereka.” Aku juga bertanya kepada Abu Sa‘id al-Khudri, maka ia pun menjawab seperti itu. Dan aku bertanya kepada Abu Hurairah, maka ia juga menjawab seperti itu. Dan aku bertanya kepada ‘Abdullah bin Mas‘ud, maka ia pun menjawab seperti itu.
Adapun menurut pendapatnya dalam qaul jadid, maka tidak wajib menyerahkannya kepada imam, dan boleh membagikannya sendiri.
Dan dalam qaul qadim ada dua wajah:
pertama: menyerahkannya kepada imam lebih utama.
kedua: membagikannya sendiri lebih utama.
Dan hal ini dibangun atas perbedaan dua wajah dalam menafsirkan sabda beliau SAW di awal kitab zakat: “Barangsiapa meminta lebih dari itu, maka jangan diberi.” Dan penjelasan mengenai hal itu telah disebutkan pada tempatnya. Wallahu Ta‘ala a‘lam.
قال الشافعي رضي الله عنه: يُرْوَى عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال ” في سائمة الغنم زكاةٌ ” وإذا كَانَ هَذَا ثَابِتًا فَلَا زَكَاةَ فِي غَيْرِ سائمة وروي عن بعض أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن ليس في البقر والإبل العوامل صدقة حتى تكون سائمة والسائمة الراعية وذلك أن يجتمع فيها أمران أن لا يكون لها مؤنة في العلف ويكون لها نماء الرعي فأما إن علفت فالعلف مؤنة تحبط بفضلها وقد كانت النواضح عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثم خلفائه فلم أعلم أحداً رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أخذ منها صدقة ولا أحداً من خلفائه “.
قال الماوردي: وهذا كما قال:
Bab Hal-Hal yang Menggugurkan Kewajiban Ṣadaqah atas Hewan Ternak
Imam asy-Syafi‘i RA berkata: Diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Pada kambing sāimah ada zakat.”
Jika ini telah tetap, maka tidak ada zakat pada selain sāimah.
Diriwayatkan pula dari sebagian sahabat Rasulullah SAW bahwa tidak ada ṣadaqah pada sapi dan unta yang digunakan untuk bekerja (ʿawāmil) sampai ia menjadi sāimah.
Adapun sāimah adalah hewan yang digembalakan, yaitu yang berkumpul padanya dua perkara:
- tidak diberi makan dengan biaya (maksudnya tidak diberi pakan yang dibeli), dan
- berkembang (bernilai) karena penggembalaan.
Jika hewan tersebut diberi makan (dengan pakan yang dibeli), maka pakan itu termasuk beban biaya (muʾnah) yang menghapus keutamaan zakat.
Padahal pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah sesudah beliau, unta-unta pekerja (nawāḍiḥ) sudah ada, namun tidak diketahui bahwa Rasulullah SAW mengambil ṣadaqah darinya, begitu pula para khalifahnya.
Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan (oleh asy-Syafi‘i).
الْمَاشِيَةُ ضَرْبَانِ سَائِمَةٌ وَمَعْلُوفَةٌ فَالسَّائِمَةُ: الرَّاعِيَةُ، وَسُمِّيَتْ سَائِمَةً لِأَنَّهَا تَسِمُ الْأَرْضَ بِرَعْيِهَا، وَالسِّمَةُ الْعَلَامَةُ وَلِهَذَا قِيلَ لِأَوَّلِ الْمَطَرِ وَسَمِيٌّ، لِأَنَّهُ يُعَلِّمُ الْأَرْضَ بِآثَارِهِ، فَالسَّائِمَةُ مِنَ الْمَاشِيَةِ فِيهَا الزَّكَاةُ إِجْمَاعًا.
فَأَمَّا الْمَعْلُوفَةُ مِنَ الْغَنَمِ وَالْعَوَامِلِ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، وَبِهِ قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَهُوَ مَذْهَبُ الثَّوْرِيِّ وأبي حنيفة وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.
وَقَالَ مَالِكٌ: الزَّكَاةُ فِيهَا وَاجِبَةٌ كَالسَّائِمَةِ.
ternak terbagi menjadi dua: sāimah dan ma‘lūfah. Adapun sāimah adalah ternak yang digembalakan, dan dinamakan sāimah karena ia “memberi tanda” pada tanah dengan penggembalaannya. As-simah artinya tanda, dan karena itu pula awal turunnya hujan disebut wasmiyy, karena ia memberi tanda pada tanah dengan bekas-bekasnya. Maka ternak sāimah termasuk jenis ternak yang wajib dizakati berdasarkan ijmak.
Adapun ma‘lūfah dari kambing dan ternak pekerja dari unta dan sapi, maka tidak ada zakat atasnya menurut pendapat al-Syafi’i. Dan pendapat ini pula yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Jabir bin ‘Abdillah, dan Mu‘adz bin Jabal. Ini juga merupakan mazhab al-Tsauri, Abu Hanifah, dan jumhur fuqaha.
Sedangkan Malik berkata: zakat atasnya wajib sebagaimana zakat atas ternak sāimah.
وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: مَعْلُوفَةُ الْغَنَمِ لَا زَكَاةَ فِيهَا، وَمَعْلُوفَةُ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ فِيهَا الزَّكَاةُ، لِقَوْلِهِ فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ زَكَاةٌ، فَخَصَّهَا بِالذِّكْرِ فَوَجَبَ اخْتِصَاصُهَا بِالْحُكْمِ، وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَوْجَبَ زَكَاةَ الْمَعْلُوفَةِ بِعُمُومِ قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” في أربعين شاةٍ شاةٌ “: ولم يفرق قالوا: وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ يَجُوزُ فِي الْأُضْحِيَةِ فَجَازَ أَنْ تَجِبَ فِيهِ الزَّكَاةُ كَالسَّائِمَةِ، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ السَّائِمَةِ وَالْمَعْلُوفَةِ إِلَّا فِي قِلَّةِ الْمُؤْنَةِ فِي السَّائِمَةِ، وَكَثْرَتِهَا فِي الْمَعْلُوفَةِ، وَقِلَّةُ الْمُؤْنَةِ وَكَثْرَتُهَا لَا تُؤَثِّرُ فِي إِسْقَاطِ الزَّكَاةِ، وَإِنَّمَا تُؤَثِّرُ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الزُّرُوعَ وَالثِّمَارَ إِذَا كَثُرَتْ مُؤْنَتُهَا بِالسَّقْيِ قَلَّتْ زَكَاتُهَا، وَإِذَا قَلَّتْ مُؤْنَتُهَا كَثُرَتْ زَكَاتُهَا، فَكَانَ تَأْثِيرُ الْمُؤْنَةِ فِي تَغْيِيرِ الْقَدْرِ لَا فِي إِسْقَاطِ الْفَرْضِ.
Daud bin ‘Alī berkata: Kambing yang diberi makan (maʿlūfah) tidak ada zakat padanya, sedangkan unta dan sapi yang diberi makan wajib dizakati. Karena sabda Nabi SAW: “Pada kambing sāimah ada zakat,” maka beliau menyebutkannya secara khusus, dan wajiblah mengkhususkan hukumnya pula.
Sementara itu, pihak yang mewajibkan zakat atas hewan maʿlūfah berdalil dengan keumuman sabda Nabi SAW: “Pada empat puluh ekor kambing, wajib satu ekor kambing (zakat),” dan dalam hadis itu tidak dibedakan antara sāimah dan maʿlūfah.
Mereka juga berkata: karena ia termasuk hewan yang sah digunakan untuk kurban, maka sah pula diwajibkan zakat padanya seperti halnya sāimah.
Mereka berkata lagi: tidak ada perbedaan antara sāimah dan maʿlūfah kecuali dalam sedikit atau banyaknya beban biaya (muʾnah). Pada sāimah biayanya sedikit, sedangkan pada maʿlūfah biayanya banyak. Namun, sedikit atau banyaknya muʾnah tidak memengaruhi kewajiban zakat, melainkan hanya memengaruhi kadar zakatnya saja.
Tidakkah engkau melihat bahwa tanaman dan buah-buahan, jika biaya penyiramannya banyak, zakatnya sedikit; dan jika biaya penyiramannya sedikit, zakatnya banyak? Maka pengaruh muʾnah itu hanya dalam perubahan kadar (zakat), bukan dalam menggugurkan kewajiban (zakat).
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ الزَّكَاةُ ” فَقَالَ الشَّافِعِيُّ لِلْغَنَمِ صِفَتَانِ السَّوْمُ، وَالْعَلْفُ، فَلَمَّا عَلَّقَ وُجُوبَ الزَّكَاةِ بِإِحْدَى الصِّفَتَيْنِ انْتَفَتْ عَنِ الْأُخْرَى، فَصَرَّحَ بِدَلِيلِ الْخِطَابِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وَرَوَى عَاصِمُ بْنُ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ليس في العوامل صدقةٌ ” وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ فِي الْعَوَامِلِ صَدَقَةٌ “.
Dan dalil kami adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Nabi SAW bersabda: “Pada kambing sāimah wajib zakat.” Maka al-Syafi‘i berkata: kambing memiliki dua sifat, yaitu as-saum (digembalakan) dan al-‘alf (diberi makan dalam kandang). Maka ketika kewajiban zakat dikaitkan dengan salah satu dari dua sifat tersebut, maka gugurlah kewajiban dari sifat yang lain. Maka ini adalah penetapan dengan dalīl al-khiṭāb dalam masalah ini.
Dan diriwayatkan oleh ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Ali RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada ternak pekerja (al-‘awāmil).”
Dan diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada ternak pekerja (al-‘awāmil).”
وَرَوَى مُجَاهِدٌ عَنْ طَاوُسٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ فِي الْبَقَرِ الْعَوَامِلِ صَدَقَةٌ ” فَهَذِهِ الْأَخْبَارُ الثَّلَاثَةُ نُصُوصٌ لَا يُمْكِنُ دَفْعُهَا. فَإِنْ قَالُوا إِنَّمَا لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهَا زَكَاةٌ لِأَنَّهَا لم تَبْلُغُ نِصَابًا فِي الْغَالِبِ. فَفِيهِ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أنا إن سَلَّمْنَا ذَلِكَ لَهُمْ غَالِبًا فِي الْبَقَرِ فَلَيْسَ بِغَالِبٍ فِي الْإِبِلِ، وَقَدْ يَمْلِكُ دُونَ النِّصَابِ سَائِمَةً، وَتَمَامُ النِّصَابِ مَعْلُوفَةٌ، فَيَصِيرَانِ نِصَابًا كَامِلًا، فَعُلِمَ أَنَّ نَصَّهُ عَلَى الْعَوَامِلِ لِسُقُوطِ الزَّكَاةِ فِيهَا لَا غَيْرَ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ خَصَّ الْمَعْلُوفَةَ بِنَفْيِ الزَّكَاةِ عَنْهَا، وَحَمْلُ الْخَبَرِ عَلَى مَا دُونَ النِّصَابِ يُسْقِطُ فَائِدَةَ التَّخْصِيصِ، لِأَنَّ الْمَعْلُوفَةَ وَالسَّائِمَةَ يَتَسَاوَيَانِ فِي ذَلِكَ.
Diriwayatkan dari Mujāhid, dari Ṭāwūs, dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada ṣadaqah pada sapi yang digunakan untuk bekerja (ʿawāmil).”
Maka tiga hadis ini adalah nushūṣ (teks-teks tegas) yang tidak mungkin ditolak.
Jika mereka berkata: “Zakat tidak diambil darinya karena umumnya tidak mencapai niṣāb,” maka terdapat dua jawaban:
Pertama: Andaikata kami menerima hal itu dari mereka bahwa sapi umumnya tidak mencapai niṣāb, maka itu tidak berlaku umum untuk unta, karena bisa saja seseorang memiliki unta sāimah di bawah niṣāb, lalu mencukupinya dengan unta maʿlūfah hingga menjadi satu niṣāb yang sempurna. Maka diketahui bahwa penegasan (Nabi) terhadap ʿawāmil adalah untuk menunjukkan bahwa zakat gugur darinya, bukan karena sebab lain.
Kedua: Beliau SAW secara khusus meniadakan zakat dari maʿlūfah, dan jika hadis itu dipahami hanya untuk yang belum mencapai niṣāb, maka hilanglah faedah dari pengkhususan itu, karena maʿlūfah dan sāimah sama-sama bisa berada di bawah niṣāb.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا صَدَقَةَ فِي الْإِبِلِ الْجَارَّةِ وَلَا الْقَتُوبَةِ “.
وَالْجَارَّةُ الَّتِي تُجَرُّ بِأَزِمَّتِهَا وَتُقَادُ.
والقتوية: التي يوضع على ظهورها الْأَقْتَابُ، هَكَذَا قَالَ ابْنُ قُتَيْبَةَ فِي ” غَرِيبِ الحديث ” ولأنه جنس تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ بِحَوْلٍ وَنِصَابٍ، فَوَجَبَ أن يشرع نَوْعَيْنِ نَوْعٌ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَنَوْعٌ لَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلِأَنَّهُ مُبْتَذَلٌ فِي مُبَاحٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَجِبَ فِيهِ الزَّكَاةُ، كَالثِّيَابِ وَالْعَقَارِ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ إِنَّمَا تَجِبُ فِي الْأَمْوَالِ النَّامِيَةِ كَالْمَوَاشِي وَالزُّرُوعِ.
(وَتَسْقُطُ فِي غَيْرِ النَّامِيَةِ كَالْآلَةِ وَالْعَقَارِ) وَالْعَوَامِلُ مَفْقُودَةُ النَّمَاءِ فِي الدَّرِّ وَالنَّسْلِ، وَإِنَّمَا يُنْتَفَعُ بِهَا عَلَى غَيْرِ وَجْهِ النَّمَاءِ، كَمَا يُنْتَفَعُ بِالْعَقَارِ عَلَى جهة السُّكْنَى، فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ عَنْهَا الزَّكَاةُ كَسُقُوطِهَا عن العقار.
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak ada zakat pada unta yang ditarik (al-jārrah) dan tidak pula pada al-qatūbah.”
Al-jārrah adalah unta yang ditarik dengan tali kendalinya dan dipimpin.
Al-qatūbah adalah unta yang diletakkan di atas punggungnya al-aqtāb (pelana besar untuk muatan), sebagaimana disebutkan oleh Ibn Qutaybah dalam Gharīb al-Ḥadīth.
Karena ia termasuk jenis yang zakat wajib atas zatnya jika telah genap haul dan mencapai niṣāb, maka harus disyariatkan menjadi dua jenis:
jenis yang wajib zakat atasnya, dan jenis yang tidak wajib zakat atasnya, sebagaimana emas dan perak.
Dan karena ia digunakan dalam hal mubah secara terus-menerus, maka wajib tidak dikenai zakat, sebagaimana pakaian dan tanah.
Dan karena zakat hanya wajib pada harta yang berkembang, seperti hewan ternak dan tanaman, dan gugur pada harta yang tidak berkembang seperti alat kerja dan properti.
Sedangkan ternak pekerja tidak memiliki unsur berkembang dalam bentuk susu atau keturunan, melainkan hanya dimanfaatkan bukan dalam bentuk pengembangan, sebagaimana properti dimanfaatkan untuk tempat tinggal. Maka wajib zakat gugur darinya, sebagaimana gugur dari properti.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِعُمُومِ الْخَبَرِ فَأَخْبَارُنَا تَخُصُّهُ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى السَّائِمَةِ فَالْمَعْنَى فِيهَا حُصُولُ الدَّرِّ وَالنَّسْلِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ كَثْرَةَ الْمُؤْنَةِ تُؤَثِّرُ فِي قَدْرِ الْفَرْضِ لَا فِي إِسْقَاطِهِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ إِنَّمَا لَمْ تَسْقُطِ الزَّكَاةُ عَنْهَا لِكَثْرَةِ الْمُؤْنَةِ، وَإِنَّمَا أَسْقَطْنَاهَا لِفَقْدِ النَّمَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.
Adapun istidlāl (dalil) mereka dengan keumuman hadis, maka hadis-hadis kami telah mengkhususkannya.
Adapun qiyās mereka atas sāimah, maka ‘illah (alasan) pada sāimah adalah karena padanya terdapat hasil berupa susu dan anak.
Adapun perkataan mereka bahwa banyaknya muʾnah (biaya pemeliharaan) hanya berpengaruh pada kadar kewajiban (zakat), bukan pada gugurnya, maka jawabannya: zakat tidaklah digugurkan darinya karena banyaknya muʾnah, tetapi kami gugurkan karena hilangnya unsur pertumbuhan (namāʾ).
Dan Allah-lah yang lebih mengetahui yang benar.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن كانت العوامل ترعى مدة وَتَتْرُكُ أُخْرَى أَوْ كَانَتْ غَنَمًا تُعْلَفُ فِي حين وترعى في آخر، فلا يبين لِي أَنَّ فِي شَيْءٍ مِنْهَا صَدَقَةً “.
قَالَ الماوردي: وهذا كما قال: الْمَاشِيَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
سَائِمَةٌ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ فَفِيهَا الزَّكَاةُ.
وَمَعْلُوفَةٌ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا.
Masalah:
al-Syafi‘i RA berkata: “Jika ternak pekerja menggembala pada sebagian waktu dan tidak pada waktu yang lain, atau jika kambing diberi makan dalam satu waktu dan digembalakan di waktu lain, maka tidak tampak bagiku bahwa ada zakat pada salah satu dari keduanya.”
al-Māwardī berkata: dan ini sebagaimana yang dikatakan: ternak terbagi menjadi tiga jenis:
- sāimah sepanjang tahun, maka wajib zakat atasnya.
- ma‘lūfah sepanjang tahun, maka tidak ada zakat atasnya.
وَسَائِمَةٌ فِي بَعْضِ الْحَوْلِ مَعْلُوفَةٌ فِي بَعْضِهِ فَالْوَاجِبُ أَنْ يُنْظَرَ فِي الْعَلَفِ، فَإِنْ كَانَ يَسِيرًا يَقُومُ الْبَدَنُ بِفَقْدِهِ كَيَوْمٍ أَوْ بَعْضِهِ وَهِيَ فِي بَاقِي الْحَوْلِ كُلِّهِ سَائِمَةٌ، فَالْحُكْمُ لِلسَّوْمِ، وَالزَّكَاةُ فِيهَا وَاجِبَةٌ، ولا تأثير لهذا القدر في المعلوفة، وَإِنْ كَثُرَتِ الْعُلُوفَةُ فِي زَمَانٍ لَا يَقُومُ الْبَدَنُ بِفَقْدِهَا فِيهِ كَشَهْرٍ أَوْ أُسْبُوعٍ أَوْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، لِأَنَّهَا إِنْ لَمْ تَأْكُلْ ثَلَاثًا تلفت فلا زكاة فيها، سواء كان زمان السَّوْمِ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ.
وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ كَانَ زَمَانُ السَّوْمِ أَكْثَرَ فَفِيهَا الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَ زَمَانُ الْعُلُوفَةِ أَكْثَرَ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا، اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الْأَغْلَبِ كَالزَّرْعِ الْمَسْقِيِّ بِمَاءِ السماء وماء الرشا، وَهَذَا غَلَطٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ فِي السَّوْمِ إِيجَابًا وَفِي الْعُلُوفَةِ إِسْقَاطًا، وَهُمَا إِذَا اجْتَمَعَا فِي الزَّكَاةِ غَلَبَ حُكْمُ الْإِسْقَاطِ.
Dan jika seekor hewan sāimah pada sebagian tahun dan maʿlūfah pada sebagian lainnya, maka wajib dilihat dari sisi pemberian makan (ʿalaf). Jika pemberian makan itu sedikit, yang tubuh hewan masih dapat bertahan tanpa itu—seperti sehari atau sebagian hari—dan pada sisa tahun seluruhnya hewan itu digembalakan (sāimah), maka hukum mengikuti sawm (penggembalaan), dan zakat wajib padanya. Pemberian makan dalam kadar sekecil ini tidak berpengaruh pada status maʿlūfah.
Namun, jika pemberian makan itu banyak dalam waktu yang tubuh tidak bisa bertahan tanpa makanan—seperti sebulan, seminggu, atau tiga hari—karena jika tidak makan selama tiga hari hewan itu akan binasa, maka tidak ada zakat padanya, baik masa penggembalaan lebih sedikit ataupun lebih banyak.
Abū Ḥanīfah berkata: Jika masa penggembalaan lebih banyak, maka wajib zakat; dan jika masa pemberian makan lebih banyak, maka tidak wajib zakat, berdasarkan pertimbangan hukum mayoritas, seperti pada tanaman yang disiram dengan air hujan dan air timba (al-rasyā).
Namun, ini adalah kesalahan dari dua sisi:
Pertama: karena sawm menetapkan kewajiban zakat, dan ʿulūfah menggugurkannya. Maka jika keduanya berkumpul dalam urusan zakat, yang menang adalah hukum yang menggugurkan.
وَالثَّانِي: إِنَّ سَوْمَ جَمِيعِ الْمَاشِيَةِ فِي بَعْضِ الْحَوْلِ كَسَوْمِ بَعْضِ الْمَاشِيَةِ فِي جَمِيعِ الْحَوْلِ، فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّ سَوْمَ بَعْضِهَا فِي جَمِيعِ الْحَوْلِ مسقط للزكاة من غير أن يعتبر فيها الْأَغْلَبُ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ سَوْمُ جَمِيعِهَا فِي بَعْضِ الْحَوْلِ مُسْقِطًا لِلزَّكَاةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يعتبر فيها الْأَغْلَبُ، بَيَانُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شاة، منها تسعة وثلاثين سَائِمَةً فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ، وَشَاةٌ مَعْلُوفَةٌ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ، فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ السَّوْمُ أَغْلَبَ اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الْإِسْقَاطِ، كَذَلِكَ مَنْ معه أربعون شاة، إذا سمت كُلُّهَا فِي بَعْضِ الْحَوْلِ، وَعُلِفَتْ فِي بَعْضِهِ، لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ السَّوْمُ أَغْلَبَ اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الْإِسْقَاطِ، فَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنَ الزُّرُوعِ فَلِلشَّافِعِيِّ فِيهَا قَوْلَانِ:
Kedua: sesungguhnya penggembalaan seluruh ternak pada sebagian tahun sama seperti penggembalaan sebagian ternak pada seluruh tahun. Maka ketika telah tetap bahwa penggembalaan sebagian ternak sepanjang tahun menggugurkan kewajiban zakat tanpa mempertimbangkan mana yang lebih dominan (al-aghlab), wajib pula bahwa penggembalaan seluruh ternak pada sebagian tahun menggugurkan kewajiban zakat tanpa mempertimbangkan mana yang lebih dominan.
Penjelasannya:
Seseorang memiliki empat puluh ekor kambing, tiga puluh sembilan di antaranya sāimah sepanjang tahun, dan satu ekor maʿlūfah sepanjang tahun, maka tidak ada zakat atasnya, meskipun sawm lebih dominan, karena mempertimbangkan hukum yang menggugurkan.
Demikian pula, jika seseorang memiliki empat puluh kambing, semuanya digembalakan pada sebagian tahun, dan diberi makan pada sebagian tahun, maka tidak ada zakat atasnya, walaupun sawm lebih dominan, karena yang dipertimbangkan adalah hukum pengguguran.
Adapun yang disebutkan mengenai tanaman, maka dalam masalah itu Imam asy-Syafi‘i memiliki dua qaul.
أَحَدُهُمَا: لَا اعْتِبَارَ بالأغلب والفرق بينهما الاعتبار بالأغلب فعلى هذا السوآل ساقط.
وَالثَّانِي: الِاعْتِبَارُ بِالْأَغْلَبِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الزَّرْعَ لَا يَتَرَدَّدُ بَيْنَ إِسْقَاطٍ وَإِيجَابٍ، فَلِذَلِكَ اعْتُبِرَ حُكْمُ الْأَغْلَبِ فِيهِ، وَالْمَاشِيَةُ مُتَرَدِّدَةٌ بَيْنَ إِسْقَاطٍ وإيجاب، فلذلك غلب حكم الإسقاط والله أعلم بالصواب.
pertama: tidak dianggap yang dominan (al-aghlab), dan perbedaan antara keduanya adalah dalam hal mempertimbangkan yang dominan. Maka berdasarkan pendapat ini, pertanyaan gugur (tidak berlaku).
dan yang kedua: dianggap yang dominan, dan perbedaan antara keduanya adalah bahwa tanaman tidak mengalami ketidakpastian antara menggugurkan dan mewajibkan (zakat), maka karena itu dipertimbangkan hukum dominan padanya.
Adapun ternak mengalami ketidakpastian antara gugur dan wajib (zakat), maka karena itu didahulukan hukum gugur. Dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” روي أنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ ” (قَالَ) وَلَا صَدَقَةَ فِي خيلٍ وَلَا فِي شيءٍ مِنَ الْمَاشِيَةِ عَدَا الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ بِدَلَالَةِ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في ذلك (قال المزني) قال قائلون في الإبل والبقر والغنم المستعملة وغير المستعملة ومعلوفة وغير معلوفةٍ سواء فالزكاة فيها لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فرض فيها الزكاة وهو قول المدنيين يقال لهم وبالله التوفيق وكذلك فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الزكاة في الذهب والورق كما فرضها في الإبل والبقر فزعمتم أن ما استعمل من الذهب والورق فلا زكاة فيه وهي ذهب وورق كما أن الماشية إبلٌ وبقرٌ فإذا أزلتم الزكاة عما استعمل من الذهب والورق فأزيلوها عما استعمل من الإبل والبقر لأن مخرج قول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في ذلك واحدٌ “.
Masalah:
Imam asy-Syafi‘i RA berkata: “Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak ada ṣadaqah atas seorang muslim pada budaknya dan tidak pula pada kudanya.’”
(Beliau berkata): Tidak ada ṣadaqah atas kuda, dan tidak pula atas sesuatu pun dari jenis ternak selain unta, sapi, dan kambing, berdasarkan dalil dari sunnah Rasulullah SAW dalam hal itu.
Al-Muzanī berkata: Sebagian orang berpendapat bahwa unta, sapi, dan kambing—baik yang dipakai bekerja maupun yang tidak, baik yang diberi makan maupun yang digembalakan—semuanya wajib dizakati, karena Nabi SAW mewajibkan zakat atasnya. Dan ini adalah pendapat sebagian ulama Madinah.
Dikatakan kepada mereka—dan hanya kepada Allah tempat memohon taufik:
Demikian pula, Rasulullah SAW mewajibkan zakat atas emas dan perak, sebagaimana beliau mewajibkannya atas unta dan sapi. Namun kalian mengklaim bahwa emas dan perak yang dipakai tidak wajib dizakati, padahal keduanya tetaplah emas dan perak, sebagaimana ternak tetaplah unta dan sapi. Maka jika kalian menggugurkan zakat dari emas dan perak yang dipakai, gugurkan pula zakat dari unta dan sapi yang dipakai, karena konteks sabda Nabi SAW dalam keduanya adalah satu.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
أَمَّا الرَّقِيقُ فَلَا يَخْتَلِفُ الْعُلَمَاءُ أَنْ لَا زَكَاةَ فِي أَعْيَانِهِمْ إِلَّا أَنْ يَكُونُوا لِلتِّجَارَةِ فَتَجِبُ الزَّكَاةُ فِي قِيمَتِهِمْ، أَوْ فِي الْفِطْرِ فَتَجِبُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُمْ، وَلِهَذَا مَوْضِعٌ فَأَمَّا الْخَيْلُ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا بِحَالٍ كَالْحَمِيرِ وَالْبِغَالِ، سَوَاءٌ كَانَتْ سَائِمَةً أَوْ مَعْلُوفَةً ذُكُورًا أَوْ إِنَاثًا هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ، وَعَلِيٌّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَاللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ، وَالْأَوْزَاعِيِّ وَالثَّوْرِيِّ، وأبي يوسف ومحمد.
al-Māwardī berkata: dan ini sebagaimana yang telah dikatakan:
Adapun budak, maka para ulama tidak berselisih bahwa tidak ada zakat atas zat mereka, kecuali jika mereka diperjualbelikan, maka wajib zakat atas nilai mereka. Atau pada zakat fitri, maka wajib zakat fitri atas mereka. Dan hal ini memiliki tempat pembahasannya.
Adapun kuda, maka tidak ada zakat atasnya dalam keadaan apa pun, sebagaimana keledai dan bagal, baik digembalakan maupun diberi makan, jantan maupun betina. Ini adalah mazhab al-Syafi‘i. Dan ini pula yang dikatakan oleh sebagian sahabat: ‘Umar, ‘Ali, dan ‘Abdullah bin ‘Umar. Dan ini adalah mazhab Mālik, al-Layth bin Sa‘d, al-Awzā‘ī, al-Thawrī, Abu Yūsuf, dan Muḥammad.
وَقَالَ أبو حنيفة وزفر: إِنْ كَانَتْ مَعْلُوفَةً فَلَا زَكَاةَ فِيهَا كَالْمَاشِيَةِ، وَإِنْ كَانَتْ سَائِمَةً: فَإِنْ كَانَتْ ذُكُورًا فَلَا زَكَاةَ فِيهَا، وَإِنْ كَانَتْ إِنَاثًا أَوْ ذُكُورًا وَإِنَاثًا فَفِيهَا الزَّكَاةُ، وَرَبُّهَا بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ أَخْرَجَ عَنْ كُلِّ فَرَسٍ دِينَارًا وَإِنْ شَاءَ قَوَّمَهَا وَأَخْرَجَ رُبُعَ عُشْرِ الْقِيمَةِ مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ نصاب، احتجاجاً برواية جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: فِي كُلِّ فرسٍ سَائِمَةٍ دينارٌ، وَلَيْسَ في المرابطة شيء وبرواية عَلْقَمَةَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال ” الخيل ثلاث لرجلٍ أجرٌ ولآخر شينٌ، وَعَلَى آخَرَ وِزْرٌ، فَأَمَّا الَّذِي لَهُ الْأَجْرُ فَالَّذِي يُمْسِكُهَا تَعَفُّفًا وَتَجَمُّلًا، فَلَا يَنْسَى حَقَّ الله في طهورها ورقابها ” ومما رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قَالَ: ” خَيْرُ الْمَالِ سكةٌ مأبورةٌ، ومهرةٌ مأمورةٌ “، وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ خِيَارِ الْمَالِ كَانَ وُجُوبُهَا فِيهِ أَوْلَى مِنْ وُجُوبِهَا فِي شِرَارِهِ، قالوا: ولأنه ذو أربعة أهلي يؤكل لحمه فوجب فِيهِ الزَّكَاةُ كَالْغَنَمِ. قَالُوا وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ إِنَّمَا تجب في الماشية لظهرها ونسلها، وفي الخيل السَّائِمَةُ هَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِيهَا، فَاقْتَضَى أَنْ تَجِبَ الزَّكَاةُ فِيهَا.
Abu Ḥanīfah dan Zufar berpendapat: Jika kuda tersebut maʿlūfah (diberi makan), maka tidak ada zakat padanya sebagaimana pada ternak lainnya. Dan jika ia sāimah (digembalakan), maka:
- Jika semuanya jantan, maka tidak ada zakat padanya.
- Jika betina atau campuran jantan dan betina, maka wajib zakat padanya.
Pemiliknya diberi pilihan:
- Jika ia mau, ia mengeluarkan satu dinar dari setiap ekor kuda.
- Atau jika ia mau, ia menaksir nilai kudanya, lalu mengeluarkan seperempat dari sepersepuluh nilainya (rubʿu ʿusyri al-qīmah) tanpa memperhatikan syarat niṣā
Mereka berdalil dengan riwayat dari Jaʿfar bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Pada setiap kuda sāimah ada satu dinar zakat. Dan tidak ada zakat pada kuda yang diikat untuk peperangan (al-murābaṭah).”
Dan dengan riwayat dari ʿAlqamah dari Ibnu Masʿūd dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
“Kuda itu ada tiga macam: bagi seseorang menjadi pahala, bagi yang lain menjadi cela, dan bagi yang lain menjadi dosa. Adapun yang menjadi pahala ialah yang ia pelihara karena menjaga diri (ʿiffah) dan menjaga penampilan, lalu ia tidak melupakan hak Allah atas pelana dan lehernya.”
Juga berdalil dengan sabda Nabi SAW:
“Sebaik-baik harta adalah ladang yang terawat dan kuda betina yang terlatih.”
Jika kuda termasuk dari sebaik-baik harta, maka kewajiban zakat atasnya lebih utama daripada kewajiban pada harta yang rendah.
Mereka juga berkata: karena kuda itu berkaki empat dan boleh dimakan dagingnya, maka wajib zakat atasnya sebagaimana kambing.
Dan mereka berkata: zakat pada ternak diwajibkan karena punggungnya (sebagai kendaraan) dan karena hasil keturunannya, dan pada kuda sāimah makna ini juga ada, maka seharusnya zakat juga wajib padanya.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عِرَاكِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فِي فَرَسِهِ صدقةٌ ” وَرَوَى أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فِي فَرَسِهِ صدقةٌ إِلَّا صَدَقَةُ الْفِطْرِ فِي الرَّقِيقِ ” وَرَوَى عَاصِمُ بْنُ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” عفوت لكم عن صدقة الخيل “.
Dan dalil kami adalah riwayat dari ‘Irāk bin Mālik dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat atas seorang Muslim dalam budaknya dan tidak pula pada kudanya.”
Dan diriwayatkan oleh Abu al-Zinād dari al-A‘raj dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada zakat atas seorang Muslim dalam budaknya dan tidak pula dalam kudanya, kecuali zakat fitri atas budak.”
Dan diriwayatkan oleh ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Ali bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku telah memaafkan kalian dari zakat kuda.”
وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا صَدَقَةَ فِي فرسٍ وَلَا عبدٍ “.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَيْسَ فِي الْجَبْهَةِ وَلَا فِي النُّخَّةِ وَلَا فِي الكسعةِ صدقةٌ “.
فَالْجَبْهَةُ: الْخَيْلُ، وَالْكَسْعَةُ: الْحَمِيرُ، فَأَمَّا النُّخَّةُ فَأَبُو عُبَيْدَةَ يَرْوِيهَا بِضَمِّ النُّونِ وَهِيَ الرَّقِيقُ، وَالْكِسَائِيُّ يَرْوِيهَا بِفَتْحِ النُّونِ، وَقَالَ هِيَ الْبَقَرُ الْعَوَامِلُ بِلُغَةِ الْحِجَازِ، وَقَالَ الْفَرَّاءُ النَّخَّةُ أَنْ يَأْخُذَ الْمُصَدِّقُ دِينَارًا بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الصَّدَقَةِ وَأَنْشَدَ:
(عَمِّي الَّذِي مَنَعَ الدِّينَارَ ضاحيةُ … دِينَارَ نَخَّةِ كلبٍ وَهْوَ وشهودُ)
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada ṣadaqah pada kuda dan tidak pula pada budak.”
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak ada ṣadaqah pada jabhah, nukhkhah, dan kas‘ah.”
Jabhah adalah kuda, kas‘ah adalah keledai. Adapun nukhkhah, menurut Abū ‘Ubaidah dibaca dengan ḍammah pada huruf nūn, dan itu berarti budak. Sedangkan al-Kisā’ī membacanya dengan fatḥah pada huruf nūn, dan mengatakan bahwa itu adalah sapi pekerja dalam bahasa penduduk Hijaz. Sedangkan menurut al-Farrā’, nukhkhah adalah ketika petugas ṣadaqah mengambil satu dinar setelah selesai memungut ṣadaqah. Ia bersyair:
(‘Ammī alladzī mana‘a al-dīnār ḍāḥiyatun … dīnār nukhkhati kalbin wa huwa wa syuhūd)
Pamanku yang mencegah satu dinar di waktu pagi,
(dan itu adalah) dinar nukhkhah Bani Kalb—dan dia beserta para saksi.
وَرُوِيَ أَنَّ أَهْلَ الشَّامِ كَتَبُوا إِلَى عُمَرَ فَقَالُوا: قَدْ كَثُرَ عِنْدَنَا الْخَيْلُ وَالرَّقِيقُ فَزَكِّهِ لنا فقال: لا آخذ شيئاً لم يأخذه صَاحِبَايَ، وَسَأَسْتَشِيرُ فَاسْتَشَارَهُمْ فَقَالُوا: حَسَنٌ وَعَلِيٌّ عَلَيْهِ السلام ساكت، فقال: مَا تَقُولُ يَا أَبَا الْحَسَنِ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ إِنْ لَمْ تَكُنْ جِزْيَةً رَاتِبَةً مِنْ بعدك،فَأَخَذَ عُمَرُ مِنْ كُلِّ عَبْدٍ عَشْرَةَ دَرَاهِمَ، وَرَزَقَهُ جَرِيبَيْنِ، وَمِنْ كُلِّ فَرَسٍ عَشْرَةَ دَرَاهِمَ، وَرَزَقَهُ عَشْرَةَ أَجْرِبَةٍ شَعِيرًا.
قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: فَأَعْطَاهُمْ أَكْثَرَ مِمَّا أَخَذَ مِنْهُمْ، قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ وَلَمْ تَكُنْ جِزْيَةً، ثُمَّ صَارَ جِزْيَةً رَاتِبَةً فِي زَمَنِ الْحَجَّاجِ تُؤْخَذُ مِنْهُمْ وَلَا يُعْطَوْنَ.
فَالدَّلَالَةُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنْ وُجُوهٍ:
Dan diriwayatkan bahwa penduduk Syam menulis surat kepada ‘Umar, lalu mereka berkata: “Kuda dan budak telah banyak di tempat kami, maka ambillah zakatnya dari kami.” Maka ‘Umar berkata: “Aku tidak akan mengambil sesuatu yang tidak diambil oleh dua sahabatku.” Kemudian ia berkata: “Aku akan bermusyawarah.”
Lalu ia bermusyawarah dengan mereka, dan mereka berkata: “Itu baik.” Sedangkan ‘Ali RA diam. Maka ‘Umar berkata: “Apa pendapatmu wahai Abū al-Ḥasan?” Ia menjawab: “Tidak mengapa, selama itu bukan jizyah tetap sepeninggalmu.” Maka ‘Umar mengambil dari setiap budak sepuluh dirham dan memberinya dua jarīb (takaran), dan dari setiap kuda sepuluh dirham dan memberinya sepuluh ajribah (takaran) jelai.
Abū Isḥāq berkata: Maka ‘Umar memberi mereka lebih banyak daripada yang ia ambil dari mereka. Abū Isḥāq berkata: Dan itu bukan jizyah. Kemudian berubah menjadi jizyah tetap pada masa al-Ḥajjāj: dipungut dari mereka tetapi mereka tidak diberi imbalan.
Maka petunjuk dalam hadis ini dari beberapa sisi:
أَحَدُهَا: إِنَّهُمْ سَأَلُوهُ وَلَوْ كَانَتْ وَاجِبَةً لَبَدَأَهُمْ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ قَالَ لَمْ يَأْخُذْ صَاحِبَايَ، وَلَوْ كَانَتْ وَاجِبَةً لَأَخَذَاهَا.
وَالثَّالِثُ: إِنَّهُ اسْتَشَارَ وَلَوْ كَانَ نَصٌّ مَا اسْتَشَارَ.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ: إِنْ أَمِنْتَ أَنْ لَا تَكُونَ جِزْيَةً رَاتِبَةً فَافْعَلْ، وَلَوْ وَجَبَتْ لَكَانَتْ رَاتِبَةً.
وَالْخَامِسُ: أَنَّ عُمَرَ أَعْطَاهُمْ فِي مُقَابَلَتِهَا رِزْقًا، وَلَوْ كَانَتْ وَاجِبَةً لَمْ يُعْطِهِمْ شَيْئًا.
Pertama: Sesungguhnya mereka bertanya kepadanya, dan kalau zakat itu wajib, tentu beliau akan memulai mereka terlebih dahulu.
Kedua: Sesungguhnya beliau berkata, “Dua sahabatku tidak mengambilnya,” dan kalau itu wajib, tentu keduanya akan mengambilnya.
Ketiga: Sesungguhnya beliau meminta pendapat, dan kalau ada nash, tentu beliau tidak akan meminta pendapat.
Keempat: Sesungguhnya ‘Ali RA berkata, “Jika engkau merasa aman bahwa itu tidak akan menjadi jizyah yang tetap, maka lakukanlah,” dan kalau itu wajib, tentu ia akan menjadi kewajiban yang tetap.
Kelima: Sesungguhnya ‘Umar memberikan kepada mereka rizki sebagai pengganti dari zakat tersebut, dan kalau itu wajib, tentu beliau tidak akan memberikan kepada mereka sesuatu pun.
وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى: أَنْ يُقَالَ كُلُّ جِنْسٍ مِنَ الْحَيَوَانِ لَا تَجِبُ الزكاة في ذكوره إِذَا انْفَرَدَتْ لَا تَجِبُ فِي ذُكُورِهِ وَإِنَاثِهِ كَالْحَمِيرِ وَالْبِغَالِ، وَعَكْسُهُ الْمَوَاشِي، وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ يُسْهَمُ لَهُ فَشَابَهَ الذُّكُورَ، وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ لَا يُضَحَّى بِهِ فَأَشْبَهَ الْحَمِيرَ، وَلِأَنَّهُ ذُو حَافِرٍ فَشَابَهَ الذُّكُورَ، وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ لَمْ يَجِبْ فِيهِ مِنْ جِنْسِهِ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ كَالدَّجَاجِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ جَابِرٍ فَرِوَايَةُ غَوْرَكَ السَّعْدِيِّ وَهُوَ مَجْهُولٌ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، فَلَا يَصِحُّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ، وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ الْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ استعمالاً وترجيحاً.
Dan yang menunjukkan hal itu dari sisi makna adalah bahwa dikatakan: setiap jenis hewan yang zakat tidak wajib atas jantan-jantannya jika ia berdiri sendiri, maka tidak wajib pula atas jantan dan betinanya secara bersamaan, seperti keledai dan bagal. Dan sebaliknya adalah hewan ternak.
Dan karena ia adalah hewan yang mendapatkan bagian rampasan perang (yushamu lahu), maka ia menyerupai hewan jantan. Dan karena ia adalah hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban (udhḥiyyah), maka ia menyerupai keledai. Dan karena ia termasuk hewan bersepatu kuku (dzū ḥāfir), maka ia menyerupai jantan. Dan karena ia adalah hewan yang tidak diwajibkan zakat atas jenisnya, maka tidak diwajibkan pula atas selain jenisnya, seperti ayam.
Adapun jawaban terhadap hadis Jabir, maka riwayatnya berasal dari Ghawrak al-Sa‘dī, dan dia adalah perawi yang majhūl (tidak dikenal) menurut para ahli hadis, maka tidak sah berhujah dengannya.
Dan seandainya pun sah, maka jawabannya dari dua sisi: dari sisi penggunaan (isti‘māl) dan dari sisi penguatan dalil (tarjīḥ).
فَأَمَّا الِاسْتِعْمَالُ فَفِي زَكَاةِ التِّجَارَةِ، وَيَكُونُ ذِكْرُ الدِّينَارِ عَلَى وَجْهِ التَّقْرِيبِ، فَإِنْ قِيلَ: قَدْ نَصَّ عَلَى السَّوْمِ وَالسَّوْمُ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ فِي زَكَاةِ التِّجَارَةِ، قِيلَ إِنَّمَا ذَكَرَهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ ليفرق بينه وبين الغنم، فَلَا يَظُنُّ أَنَّ سَوْمَهَا مُسْقِطٌ لِزَكَاةِ التِّجَارَةِ كَمَا أَسْقَطَهَا مِنَ النَّعَمِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَأَمَّا التَّرْجِيحُ: فَقَدْ عَارَضَهُ قَوْلُهُ: ” عَفَوْتُ لَكُمْ عَنْ صَدَقَةِ الْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ ” وَهُوَ أَوْلَى مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ مُتَّفَقٌ عَلَى اسْتِعْمَالِ بَعْضِهِ وَهُوَ الرَّقِيقُ مُخْتَلَفٌ فِي اسْتِعْمَالِ بَعْضِهِ وَهُوَ الْخَيْلُ، وَخَبَرُهُمْ مُخْتَلَفٌ فِي اسْتِعْمَالِ جَمِيعِهِ، فَكَانَ خَبَرُنَا أَوْلَى.
Adapun pemakaian (lafaz dinar) maka itu dalam konteks zakat perdagangan, dan penyebutan dinar adalah dalam rangka pendekatan. Jika dikatakan: “Bukankah telah dinaskan tentang sawm, padahal sawm (digembalakan) tidak berpengaruh dalam zakat perdagangan?” Maka dijawab: Sesungguhnya hal itu disebutkan—wallāhu a‘lam—untuk membedakan antara (kuda) dan kambing, agar tidak disangka bahwa penggembalaan kuda menggugurkan zakat perdagangan sebagaimana ia menggugurkan zakat pada hewan ternak menurut salah satu dari dua pendapat.
Adapun dari sisi penguatan dalil: maka telah ditentang oleh sabda beliau: “Aku telah menggugurkan dari kalian zakat atas kuda dan budak,” dan ini lebih kuat dari dua sisi:
Pertama: Telah disepakati bahwa sebagian dari yang disebutkan digunakan, yaitu budak, dan diperselisihkan penggunaan sebagian yang lain, yaitu kuda. Sedangkan riwayat mereka diperselisihkan dalam penggunaan seluruhnya, maka riwayat kami lebih utama.
وَالثَّانِي: إِنَّ خَبَرَهُمْ مُتَقَدِّمٌ وَخَبَرَنَا مُتَأَخِّرٌ، لِأَنَّ قَوْلَهُ ” عَفَوْتُ ” يَدُلُّ عَلَى إِيجَابٍ مُتَقَدِّمٍ، وَالْمُتَأَخِّرُ أَوْلَى، وَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ مَسْعُودٍ فَالْجَوَابُ عَنْهُ قَرِيبٌ مِنْ جَوَابِ مَا تَقَدَّمَ، أو يحملعلى الجهاد، لأنه قال ” ولا تنس حَقَّ اللَّهِ فِي ظُهُورِهَا وَرِقَابِهَا ” وَالزَّكَاةُ لَا تَجِبُ فِي الظَّهْرِ وَإِنَّمَا الْجِهَادُ عَلَى الظَّهْرِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ ” خَيْرُ الْمَالِ سِكَّةٌ مَأْبُورَةٌ ” فَالْمُرَادُ بِهِ الْإِخْبَارُ عَنْ فَضْلِ الْجِنْسِ دُونَ إِيجَابِ الزَّكَاةِ، وَقَدْ لَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي خِيَارِ الْمَالِ كَالْمَعْلُوفَةِ، وَتَجِبُ فِي شِرَارِهِ كَمِرَاضِ السَّائِمَةِ.
Dan yang kedua: bahwa hadis mereka adalah hadis yang terdahulu, sedangkan hadis kami datang belakangan. Karena sabdanya “Aku telah memaafkan kalian” menunjukkan adanya kewajiban sebelumnya, maka yang datang belakangan lebih utama untuk diikuti.
Adapun hadis Ibn Mas‘ūd, maka jawabannya serupa dengan jawaban terhadap hadis-hadis sebelumnya, atau dapat ditakwil atas makna jihad, karena beliau berkata: “Janganlah engkau lupakan hak Allah pada punggungnya dan lehernya.” Padahal zakat tidak diwajibkan pada bagian punggung, tetapi jihadlah yang berada pada punggung (hewan).
Adapun sabdanya “Sebaik-baik harta adalah kuda yang diberi tanda (untuk jihad)”, maka maksudnya adalah pemberitaan tentang keutamaan jenisnya, bukan kewajiban zakat atasnya. Dan bisa saja zakat tidak diwajibkan atas harta terbaik, seperti ma‘lūfah, tetapi diwajibkan atas harta yang buruk seperti hewan sāimah yang sakit.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى النَّعَمِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي ذُكُورِهَا، فَلِذَلِكَ وَجَبَتْ فِي إِنَاثِهَا وَلَمَّا لَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ فِي ذُكُورِ الْخَيْلِ لَمْ تَجِبْ فِي إِنَاثِهَا، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إن زكاة الماشية وجب لِظُهُورِهَا وَنَسْلِهَا فَغَيْرُ صَحِيحٍ، وَإِنَّمَا وَجَبَتْ لِدَرِّهَا وَنَسْلِهَا، وَالْخَيْلُ لَا دَرَّ لَهَا فَلَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ فِيهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Adapun qiyās mereka dengan hewan ternak, maka illat (sebab hukum) padanya adalah: zakat diwajibkan pada hewan jantan, maka karena itu juga diwajibkan pada hewan betina. Namun ketika zakat tidak diwajibkan pada kuda jantan, maka tidak pula diwajibkan pada kuda betina.
Adapun perkataan mereka bahwa zakat pada hewan ternak diwajibkan karena punggungnya (untuk tunggangan) dan anaknya, maka itu tidaklah benar. Sesungguhnya zakat diwajibkan karena susunya dan anaknya, sedangkan kuda tidak memiliki susu, maka tidak diwajibkan zakat atasnya. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا بَادَلَ إِبِلًا بإبلٍ أَوْ غَنَمًا بَغَنَمٍ أو بقراً ببقرٍ أو صنفاً بصنفٍ غَيْرِهَا فَلَا زَكَاةَ حَتَّى يَحُولَ الْحَوْلُ عَلَى الثانية من يوم يملكها “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
Bab tentang pertukaran hewan ternak dan zakat darinya
al-Syafi‘i RA berkata: “Apabila seseorang menukar unta dengan unta, atau kambing dengan kambing, atau sapi dengan sapi, atau satu jenis dengan jenis lainnya, maka tidak wajib zakat hingga berlalu haul atas yang kedua sejak hari ia memilikinya.”
al-Māwardī berkata: dan ini sebagaimana yang beliau katakan.
أَمَّا الْمُبَادَلَةُ فهو مبايعة الشيء بمثله، كما أن المناقلة من مُبَايَعَةُ الْأَرْضِ بِأَرْضٍ مِثْلِهَا، وَالْمُصَارَفَةُ، وَالْمُرَاطَلَةُ: هِيَ مُبَايَعَةُ الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، فَإِذَا بَادَلَ نِصَابًا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ بِنِصَابٍ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ اسْتَأْنَفَ الْحَوْلَ مِنْ وَقْتِ الْمُبَادَلَةِ سَوَاءٌ بَادَلَ جِنْسًا بِمِثْلِهِ أَوْ بِغَيْرِ جِنْسِهِ، وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي الْمَاشِيَةِ أَوْ غَيْرِهَا، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ فِي غَيْرِ الْأَثْمَانِ اسْتَأْنَفَ، كَقَوْلِنَا، وَإِنْ كَانَ فِي الْأَثْمَانِ مِثْلَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ بَنَى، لأن الأثمان لا تتغير عِنْدَهُ، وَقَالَ مَالِكٌ، إِنْ بَادَلَ جِنْسًا بِجِنْسٍ آخَرَ كَإِبِلٍ بِبَقَرٍ اسْتَأْنَفَ، وَإِنْ بَادَلَ جِنْسًا بِمِثْلِهِ كَإِبِلٍ بِإِبِلٍ، أَوْ بَقَرٍ بِبَقَرٍ بَنَى عَلَى حَوْلِهِ، اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” في أربعين شاةٍ شاةٌ وفي خمسٍ من الْإِبِلِ شَاةٌ ” وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ مَا بَادَلَ أَوْ لَمْ يُبَادِلْ، وَلِأَنَّهُ مَلَكَ نِصَابًا مِنْ جِنْسٍ حَالَ حَوْلُهُ فَوَجَبَ أَنْ تَجِبَ زَكَاتُهُ، أصله ما لم يبدل بِهِ، قَالَ وَلِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ بَادَلَ سِلْعَةً بِسِلْعَةٍ فِي مَالِ التِّجَارَةِ بَنَى عَلَى الْحَوْلِ وَلَمْ يَسْتَأْنِفْ، فَكَذَلِكَ فِي غَيْرِ التِّجَارَةِ.
Adapun mubādalah adalah jual beli sesuatu dengan yang semisalnya, sebagaimana munāqalah adalah jual beli tanah dengan tanah yang semisal, dan muṣārafah serta murāṭalah adalah jual beli emas atau perak dengan emas atau perak (lainnya).
Maka apabila seseorang menukar satu niṣāb yang wajib dizakati secara ‘ain dengan niṣāb lain yang juga wajib dizakati secara ‘ain, ia harus memulai penghitungan haul dari waktu pertukaran tersebut, baik ia menukar satu jenis dengan yang sejenis atau dengan jenis lain, baik itu pada hewan ternak maupun selainnya.
Abu Ḥanīfah berpendapat: Jika pertukaran terjadi pada selain al-atsmān (emas dan perak), maka ia memulai kembali haul sebagaimana pendapat kami. Namun jika pada atsmān seperti emas dan perak, maka ia melanjutkan haul, karena menurutnya atsmān tidak berubah.
Mālik berkata: Jika menukar satu jenis dengan jenis lain seperti unta dengan sapi, maka ia harus memulai kembali haul. Tetapi jika menukar jenis dengan yang sejenis seperti unta dengan unta atau sapi dengan sapi, maka ia melanjutkan haul. Ia berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Pada empat puluh ekor kambing, satu kambing (zakat); dan pada lima ekor unta, satu kambing (zakat),” dan beliau tidak membedakan antara yang ditukar atau tidak.
Dan karena ia telah memiliki niṣāb dari satu jenis dan haulnya telah sempurna, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Dasarnya: selama tidak ditukar dengannya. Ia juga berkata: Telah tetap bahwa jika seseorang menukar satu barang dengan barang lain dalam harta perdagangan, maka ia tetap melanjutkan haul dan tidak memulai kembali. Maka demikian pula halnya pada selain harta perdagangan.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عَلَيْهِ الْحَوْلُ ” وَالْمَالُ الْحَاصِلُ بِالْمُبَادَلَةِ لَمْ يَحُلْ عَلَيْهِ الْحَوْلُ فَلَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ.
وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا زَكَاةَ فِي مالٍ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ عِنْدَ رَبِّهِ ” وَهَذَا أَظْهَرُ نَصًّا وَأَنْفَى لِلِاحْتِمَالِ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ، وَلِأَنَّهُ أَصْلٌ فِي نَفْسِهِ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ فَوَجَبَ أن يكون حوله من يوم ملكه، (كما لو بادل إذا اتَّهَبَ أَوِ اشْتَرَى إِبِلًا بِذَهَبٍ، وَلِأَنَّهُ بَادَلَ ما تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَوْلُهُ مِنْ يَوْمِ مَلْكِهِ) كَمَا لَوْ بَادَلَ جِنْسًا بِجِنْسٍ غَيْرِهِ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْعُمُومِ فَمَخْصُوصٌ بِمَا ذَكَرْنَا، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى مَا لَمْ يبادل فَالْمَعْنَى فِيهِ حُلُولُ الْحَوْلِ وَتَكَامُلُ النَّمَاءِ، وَأَمَّا مَالُ التِّجَارَةِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dan dalil kami adalah riwayat dari ‘Āisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat atas suatu harta hingga berlalu haul atasnya.” Sedangkan harta yang diperoleh melalui pertukaran belum berlalu haul atasnya, maka tidak wajib zakat atasnya.
Dan diriwayatkan dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat atas suatu harta hingga berlalu haul atasnya di sisi pemiliknya.” Dan ini lebih jelas dalam lafaz dan lebih menolak kemungkinan penafsiran dibanding hadis ‘Āisyah.
Dan karena ia adalah harta yang pada zatnya wajib zakat, maka wajib haulnya dihitung sejak hari dimilikinya, sebagaimana jika ia menukar (mendapat) unta melalui hibah atau membeli unta dengan emas. Dan karena ia menukar sesuatu yang zakatnya wajib atas zatnya, maka wajib haulnya dihitung sejak hari dimilikinya, sebagaimana jika ia menukar satu jenis dengan jenis lain.
Adapun istidlal (pendalilan) dengan dalil umum, maka telah dikhususkan oleh apa yang telah kami sebutkan. Dan qiyas (analogi) atas harta yang tidak dipertukarkan, maka illat (alasan hukumnya) adalah karena haul telah sempurna dan berkembang sempurna.
Adapun harta perdagangan, maka perbedaan antara keduanya ada dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ زَكَاةَ مَالِ التِّجَارَةِ فِي قِيمَتِهِ لَا فِي عَيْنِهِ، وَالْقِيمَةُ مَوْجُودَةٌ فِي الْحَالَيْنِ لَمْ تَنْقَطِعْ بِالْمُبَادَلَةِ، وَزَكَاةُ هَذَا الْمَالِ فِي عَيْنِهِ، وَالْعَيْنُ قَدْ زَالَتْ بِالْمُبَادَلَةِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ نَمَاءَ التِّجَارَةِ لَا يَحْصُلُ إِلَّا بِالْبَيْعِ وَالتَّصَرُّفِ، فإذا بادل لِوُفُورِ النَّمَاءِ، وَنَمَاءُ الْمَوَاشِي يَفُوتُ بِالْبَيْعِ وَإِنَّمَا يَحْصُلُ بِالْحَوْلِ، فَإِذَا بَادَلَ اسْتَأْنَفَ لِفَقْدِ النَّمَاءِ والله أعلم.
Pertama: Sesungguhnya zakat harta perdagangan itu berdasarkan nilainya, bukan pada bendanya (‘ain-nya). Dan nilai itu tetap ada dalam kedua keadaan, tidak hilang karena pertukaran. Sedangkan zakat harta ini (selain perdagangan) berada pada ‘ain-nya, dan ‘ain tersebut telah hilang karena pertukaran.
Kedua: Sesungguhnya pertumbuhan dalam perdagangan tidak terjadi kecuali dengan jual beli dan pengelolaan. Maka apabila seseorang menukar karena ingin memperoleh pertumbuhan, itu dibenarkan. Sedangkan pertumbuhan pada hewan ternak akan hilang dengan penjualan, dan tidak akan diperoleh kecuali dengan sempurnanya haul. Maka apabila ditukar, ia harus memulai kembali haul karena hilangnya pertumbuhan. Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَكْرَهُ الْفِرَارَ مِنَ الصَّدَقَةِ، وَإِنَّمَا تَجِبُ الصَّدَقَةُ بِالْمِلْكِ وَالْحَوْلِ لَا بِالْفِرَارِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا مَلَكَ الرَّجُلُ نِصَابًا فِي الْحَوْلِ، ثُمَّ أَخْرَجَ بَعْضَ النِّصَابِ عَنْ مِلْكِهِ قَبْلَ حُلُولِ الْحَوْلِ، لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ فِرَارًا مِنَ الزَّكَاةِ، أَوْ غَيْرَ فِرَارٍ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فِرَارًا وَإِنَّمَا فَعَلَهُ مَعْذُورًا، كَمَنْ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَعَلَيْهِ دَيْنُ دِرْهَمٍ قَضَاهُ قَبْلَ الْحَوْلِ، أَوْ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً أَكْثَرَ الْحَوْلِ وَعَلَيْهِ شَاةٌ مِنْ سَلَمٍ حَلَّتْ قَبْلَ الحول، قضاها من الأربعين في زَكَاةَ عَلَيْهِ لِنُقْصَانِ النِّصَابِ، وَلَا يُكْرَهُ عَلَيْهِ لِوُجُوبِ مَا فَعَلَهُ، وَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِرَارًا كَمَنْ مَعَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً بَاعَ مِنْهَا قَبْلَ الْحَوْلِ شَاةً، أَوْ مِائَتَا دِرْهَمٍ أَنْفَقَ مِنْهَا دِرْهَمًا هَرَبًا مِنَ الزَّكَاةِ وَفِرَارًا مِنَ الْوُجُوبِ، فَفِرَارُهُ مَكْرُوهٌ، وَهُوَ مُسِيءٌ بِهِ، وَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Aku membenci upaya menghindar dari ṣadaqah, sedangkan ṣadaqah itu wajib karena kepemilikan dan berlalu satu haul, bukan karena usaha menghindar.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan:
Apabila seseorang memiliki niṣāb dalam satu ḥaul, lalu ia mengeluarkan sebagian dari niṣāb tersebut dari kepemilikannya sebelum datangnya ḥaul, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal:
Pertama, ia melakukannya untuk menghindari zakat.
Kedua, ia melakukannya bukan karena ingin menghindari zakat.
Apabila ia tidak melakukannya karena ingin menghindari zakat, melainkan karena ada uzur—seperti orang yang memiliki dua ratus dirham dan ia punya utang satu dirham, lalu ia melunasinya sebelum datangnya ḥaul, atau ia memiliki empat puluh ekor kambing hampir selama setahun, dan ia punya tanggungan satu kambing karena akad salam yang jatuh tempo sebelum ḥaul, lalu ia membayarnya dari empat puluh kambing itu—maka tidak wajib zakat atasnya karena kurang dari niṣāb, dan tidak makruh karena ia melakukan sesuatu yang wajib.
Namun, apabila ia melakukannya karena ingin menghindari zakat—seperti orang yang memiliki empat puluh kambing lalu ia menjual satu kambing sebelum datangnya ḥaul, atau ia memiliki dua ratus dirham lalu ia menghabiskan satu dirham darinya untuk melarikan diri dari zakat dan menghindari kewajiban—maka perbuatannya itu makruh dan ia berdosa karenanya, namun tidak ada kewajiban zakat atasnya.
وَقَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ ولا تسقط عنه لفراره استدلالاً بشيئين:
أحدهما: أن الله تعالى تواعد لمن تعرض لإسقاط حق الله تعالى وَمَنَعَ الْوَاجِبَ فِيهِ بِإِتْلَافِ مَالِهِ، فَقَالَ تَعَالَى: {إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أصْحَابَ الجَنَّةِ إِذْ أقْسَمُوا لِيَصْرِمُنْهَا مُصْبِحينَ وَلاَ يَسْتَثْنُونَ فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنَ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ فَتَنَادَوْا مُصْبِحينَ) {القلم: 17 إلى 21) وَذَاكَ أَنَّ الْقَوْمَ أَرَادُوا أَنْ يَتَعَجَّلُوا أَخْذَ ثِمَارِهَا قَبْلَ عِلْمِ الْمَسَاكِينِ بِهَا لِيَمْنَعُوهُمُ الْوَاجِبَ فيها، ألا ترى أنه تعالى قال: {فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ أنْ لاَ يَدْخُلَنَّها اليَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ) {القلم: 23، 24) فَإِذَا كَانَ الْوَعِيدُ عَلَيْهِ مُسْتَحَقًّا كَانَ فِعْلُهُ مُحَرَّمًا، وَفِعْلُ الْمُحَرَّمَاتِ لَا يَمْنَعُ حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى الْوَاجِبَاتِ.
Dan Mālik bin Anas berkata, “Wajib atasnya zakat, dan tidak gugur darinya karena melarikan diri (dari kewajiban itu), berdasarkan dua alasan:
Pertama: Bahwa Allah Ta‘ālā mengancam orang yang berusaha menggugurkan hak Allah Ta‘ālā dan mencegah yang wajib padanya dengan cara merusak hartanya. Maka Allah Ta‘ālā berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji pemilik kebun, ketika mereka bersumpah akan memetik buahnya pada pagi hari, dan mereka tidak menyisakan (dengan berkata: insya Allah), maka datanglah azab dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, lalu kebun itu menjadi seperti lahan yang tandus, maka mereka pun saling memanggil di pagi hari” (QS al-Qalam: 17–21).
Itu karena mereka bermaksud untuk segera memetik hasil kebun sebelum para miskin mengetahui, agar mereka bisa mencegah hak yang wajib di dalamnya. Tidakkah engkau melihat bahwa Allah Ta‘ālā berfirman: “Lalu mereka pergi sambil saling berbisik: ‘Jangan sampai hari ini ada seorang miskin pun masuk ke dalamnya bersama kalian.’” (QS al-Qalam: 23–24).
Maka apabila ancaman tersebut layak ditimpakan atas mereka, berarti perbuatan mereka itu haram. Dan perbuatan haram tidak menggugurkan hak-hak Allah Ta‘ālā yang wajib.
وَالثَّانِي: أَنَّ إِسْقَاطَ الْمَالِ كَاجْتِلَابِ المال، فلما كان اجتلاب المال لا يحمل بِوَجْهٍ مُحَرَّمٍ، مِثْلَ أَنْ يَقْتُلَ مُورِّثًا فَلَا يَرِثُهُ، كَذَلِكَ إِسْقَاطُ الْمَالِ لَا يَحْصُلُ بِوَجْهٍ مُحَرَّمٍ.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة في مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” وَمَا أَتْلَفَهُ لِأَجْلِ الْفِرَارِ لَمْ يَحُلْ عَلَيْهِ الْحَوْلُ، وَالْبَاقِي دُونَ النِّصَابِ، فَاقْتَضَى أَنْ لَا تَلْزَمَهُ الزَّكَاةُ، فَإِنْ قِيلَ لَا نُسَلِّمُ أنالْبَاقِيَ لَا زَكَاةَ فِيهِ إِذَا نَقَصَ عَنِ النِّصَابِ، دَلَّلْنَا عَلَيْهِ بِأَنْ نَقُولَ: لِأَنَّهُ مَالٌ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ نَقَصَ عَنِ النِّصَابِ قَبْلَ الْحَوْلِ فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ عَنْهُ الزَّكَاةُ، كَمَا لَوْ كَانَ النَّاقِصُ لِعُذْرٍ، فَإِنْ قِيلَ: لَا نُسَلِّمُ أَنَّ مَا أَتْلَفَهُ لَا زَكَاةَ فِيهِ، دَلَّلْنَا عَلَيْهِ بِأَنَّهُ مَالٌ زَالَ مِلْكُهُ عَنْهُ قَبْلَ الْحَوْلِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَجِبَ فِيهِ الزَّكَاةُ كَمَا لَوْ أَتْلَفَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ بِشَهْرٍ.
kedua: bahwa menggugurkan harta itu seperti memperoleh harta. Maka sebagaimana memperoleh harta tidak dapat dilakukan dengan cara yang haram—seperti membunuh seseorang yang mewariskan agar bisa mewarisi darinya, maka ia tidak mendapat warisan—demikian pula menggugurkan harta tidak bisa dilakukan dengan cara yang haram.
Dan dalil kami adalah sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu ḥaul (satu tahun) atasnya.” Adapun harta yang dimusnahkan demi melarikan diri (dari kewajiban zakat) belum berlalu ḥaul atasnya, dan sisanya tidak mencapai niṣāb, maka tidak wajib zakat atasnya.
Jika dikatakan: kami tidak mengakui bahwa sisa harta itu tidak wajib dizakati ketika kurang dari niṣāb, maka kami membuktikannya dengan mengatakan: karena itu adalah harta yang zakatnya diwajibkan pada zatnya, kemudian berkurang dari niṣāb sebelum genap ḥaul, maka wajiblah zakat gugur darinya, sebagaimana jika kekurangan itu disebabkan oleh uzur.
Jika dikatakan: kami tidak mengakui bahwa harta yang dimusnahkan itu tidak wajib zakat atasnya, maka kami membuktikannya dengan mengatakan: karena itu adalah harta yang kepemilikan atasnya telah hilang sebelum genap ḥaul, maka tidak wajib zakat atasnya, sebagaimana jika ia memusnahkannya sebulan sebelum genap ḥaul.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ عَاقَبَهُمْ عَلَى تَرْكِهِمْ الِاسْتِثْنَاءَ، وَهُوَ قَوْلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُمْ عَزَمُوا عَلَى الْفِعْلِ وَلَمْ يَفْعَلُوا، وَالْعِقَابُ إِنِ اسْتَحَقُّوهُ فَبِفِعْلِهِمْ لَا بِعَزْمِهِمْ فَلَمْ يَكُنْ فِي الْآيَةِ دَلَالَةٌ.
وَأَمَّا قَوْلُهَ إِنَّهُ إِسْقَاطُ حَقٍّ بِسَبَبٍ محرم فغير مسلم، لأنه تَصَرُّفَ الرَّجُلِ فِي مَالِهِ غَيْرُ مُحَرَّمٍ، وَإِنَّمَا قصده مكروه.
Adapun jawaban atas ayat tersebut dari dua sisi:
Pertama: Bahwa Allah menghukum mereka karena mereka tidak mengucapkan istitsnā’, yaitu ucapan “insyā’ Allāh”.
Kedua: Bahwa mereka telah bertekad untuk melakukan (perbuatan itu) namun belum melakukannya. Maka jika mereka memang layak mendapatkan hukuman, maka itu karena perbuatan mereka, bukan karena tekad mereka. Maka tidak terdapat dalam ayat tersebut suatu dalil.
Adapun pernyataannya bahwa hal itu adalah pengguguran hak (Allah) dengan sebab yang haram, tidak bisa diterima; karena tindakan seseorang terhadap hartanya tidaklah haram, hanya saja tujuannya yang makruh.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ رَدَّ أَحَدُهُمَا بِعَيْبٍ قَبْلَ الْحَوْلِ اسْتَأْنَفَ بها الْحَوْلَ وَلَوْ أَقَامَتْ فِيِ يَدِهِ حَوْلًا ثُمَّ أَرَادَ رَدَّهَا بِالْعَيْبِ لَمْ يَكُنْ لَهُ رَدُّهَا نَاقِصَةً عَمَّا أَخَذَهَا عَلَيْهِ وَيَرْجِعُ بِمَا نَقَصَهَا الْعَيْبُ مِنَ الثَّمَنِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا بَادَلَ نِصَابًا مِنَ الْمَاشِيَةِ بِنِصَابٍ مِنَ الْمَاشِيَةِ مُبَادَلَةً صَحِيحَةً، ثُمَّ أَصَابَ أَحَدُهُمَا بِمَا صَارَ إِلَيْهِ عَيْبًا، فَأَرَادَ رَدَّهُ بِهِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ظُهُورُ الْعَيْبِ قَبْلَ الْحَوْلِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata:
“Seandainya salah satu dari keduanya mengembalikan (barang) karena cacat sebelum genap ḥaul, maka ia memulai ḥaul dari awal dengan (barang) tersebut. Namun jika barang itu telah berada dalam genggamannya selama ḥaul, kemudian ia ingin mengembalikannya karena cacat, maka ia tidak boleh mengembalikannya dalam keadaan kurang dari nilai saat ia mengambilnya, tetapi ia berhak menuntut selisih harga akibat cacat tersebut.”
Al-Māwardī berkata:
Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan:
Jika seseorang menukar niṣāb dari hewan ternak dengan niṣāb dari hewan ternak dalam pertukaran yang sah, kemudian salah satu dari keduanya menemukan cacat pada barang yang diterimanya lalu ingin mengembalikannya karena cacat itu, maka terdapat dua keadaan:
Pertama: jika cacat itu tampak sebelum genap ḥaul.
وَالثَّانِي: بَعْدَهُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْحَوْلِ فَلَهُ الرَّدُّ بِهِ، فَإِذَا اسْتَرْجَعَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَاشِيَتَهُ اسْتَأْنَفَ لَهَا الْحَوْلَ مِنْ حِينِ رَجَعَتْ، لِأَنَّ الرَّدَّ بِالْعَيْبِ فَسْخٌ يَقْطَعُ الْمِلْكَ، وَلَا يَرْفَعُ الْعَقْدَ، بِدَلِيلِ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ يَرُدُّ الْعَيْنَ الْمَعِيبَةَ دُونَ النَّمَاءِ الْحَادِثِ، فَيَصِيرُ كل واحد منهما مستحقاً الملك مَا ارْتَجَعَهُ، وَمَنِ اسْتَحْدَثَ مِلْكًا اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ، وَإِنْ كَانَ ظُهُورُ الْعَيْبِ بَعْدَ الْحَوْلِ فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَخْرَجَ زَكَاتَهَا قَبْلَ ظُهُورِ الْعَيْبِ.
وَالثَّانِي: لَمْ يُخْرِجْهَا فَإِنْ كَانَ قَدْ أَخْرَجَهَا لَمْ يَخْلُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَخْرَجَهَا مِنْ نفس المال ووسطه، أَوْ مِنْ غَيْرِهِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ أَخْرَجَهَا من نفس المال فَهَلْ لَهُ رَدُّ مَا بَقِيَ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ جَوَازِ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ فِي الْمَرْدُودِ بِالْعَيْبِ إِذَا تَلِفَ بَعْضُهُ، فَأَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ يَرْجِعُ بِأَرْشِ الْعَيْبِ وَلَا رَدَّ لَهُ.
Dan kedua: setelahnya. Maka jika (pengembalian karena cacat) itu terjadi sebelum haul, maka ia berhak mengembalikannya. Ketika masing-masing dari keduanya mengambil kembali hewan ternaknya, maka ia memulai kembali hitungan haul dari saat hewan itu kembali, karena pengembalian karena cacat adalah pembatalan (akad) yang memutus kepemilikan, dan tidak membatalkan akad, berdasarkan dalil bahwa pembeli mengembalikan barang cacat tanpa nāmā’ (pertumbuhan tambahan yang terjadi setelahnya). Maka masing-masing dari keduanya menjadi pemilik yang sah terhadap apa yang dikembalikannya, dan siapa yang memulai kepemilikan baru, maka ia memulai kembali haul-nya.
Dan jika cacat itu tampak setelah haul, maka ada dua keadaan:
Pertama: ia telah mengeluarkan zakatnya sebelum munculnya cacat.
Kedua: ia belum mengeluarkannya. Maka jika ia telah mengeluarkannya, tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia mengeluarkannya dari harta itu sendiri dan dari bagian tengahnya, atau dari selainnya. Jika ia mengeluarkannya dari harta itu sendiri, apakah ia boleh mengembalikan sisanya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat berkaitan dengan bolehnya memisah akad jual-beli pada barang yang dikembalikan karena cacat jika sebagian darinya rusak. Maka pendapat yang paling kuat: ia kembali dengan arasy al-‘ayb (kompensasi cacat) dan tidak boleh baginya pengembalian (barang).
وَالثَّانِي: يَرُدُّ مَا بَقِيَ وَيَرْجِعُ مِنَ الثَّمَنِ بِمَا قَابَلَهُ، وَإِنْ كَانَ قَدْ أَخْرَجَهَا مِنْ غَيْرِ الْمَالِ فَلَهُ الرَّدُّ قَوْلًا وَاحِدًا، سَوَاءٌ قِيلَ بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الذِّمَّةِ أَوْ فِي الْعَيْنِ.
لِأَنَّ وُجُوبَهَا فِي الْعَيْنِ غَيْرُ مُنْبَرِمٍ، فَلَا وَجْهَ لِمَنْ خَرَّجَ وَجْهًا آخَرَ فِي المنع من الرد إذا قبل بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الْعَيْنِ.
فَهَذَا إِذَا أَخْرَجَ زَكَاتَهَا، وَإِنْ لَمْ يُخْرِجْ زَكَاتَهَا حَتَّى ظَهَرَ على الْعَيْبُ فَلَا رَدَّ لَهُ؛ لِأَنَّا إِنْ قُلْنَا بوجوب الزكاة في الذمة فالعين مرتهنة بها، وَرَدُّ الْمَرْهُونِ بِالْعَيْبِ لَا يَجُوزُ، وَإِنْ قُلْنَا بِوُجُوبِهَا فِي الْعَيْنِ فَالْحَقُّ إِذَا وَجَبَ فِي عين لم يجز ردها بعيب، لا كمن ابتاع عبد فَجَنَى ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَإِنْ أَخْرَجَ زَكَاتَهَا بَعْدَ ظُهُورِ الْعَيْبِ نُظِرَ: فَإِنْ تَطَاوَلَ الزَّمَانُ بَعْدَ إِمْكَانِ الرَّدِّ فَلَا رَدَّ لَهُ وَلَا أَرْشَ، وَإِنْ لَمْ يَتَطَاوَلِ الزَّمَانُ بَلْ بَادَرَ إِلَى إِخْرَاجِ زَكَاتِهَا عِنْدَ ظُهُورِ الْعَيْبِ فَهَلْ لَهُ الرَّدُّ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَرُدُّ لِقُرْبِ الْوَقْتِ وَوُجُودِ الرَّدِّ عُقَيْبَ الْعَيْبِ.
وَالثَّانِي: لَا يَرُدُّ لِأَنَّ إِخْرَاجَ الزَّكَاةِ اشتغال بغير الرد.
kedua: ia mengembalikan apa yang masih tersisa dan menuntut kembali bagian dari harga yang sepadan dengannya. Jika ia telah mengeluarkan zakatnya dari harta lain, maka ia berhak melakukan pengembalian menurut satu pendapat, baik dikatakan zakat itu wajib pada żimmah maupun pada ‘ayn (zat harta itu sendiri).
Karena kewajiban zakat pada ‘ayn belum pasti, maka tidak ada dasar bagi siapa pun yang mengeluarkan pendapat lain dengan melarang pengembalian apabila berpendapat bahwa zakat wajib pada ‘ayn.
Ini apabila ia telah mengeluarkan zakatnya. Namun jika ia belum mengeluarkan zakatnya hingga tampak cacatnya, maka ia tidak berhak mengembalikannya. Sebab jika kita berpendapat bahwa zakat wajib pada żimmah, maka harta itu menjadi tergadai karena kewajiban tersebut, dan harta yang tergadai tidak boleh dikembalikan karena cacat. Dan jika kita berpendapat bahwa zakat wajib pada ‘ayn, maka harta yang telah wajib dizakati tidak boleh dikembalikan karena cacat—berbeda dengan seseorang yang membeli budak, lalu budak itu melakukan pelanggaran (jināyah), kemudian baru diketahui ada cacat padanya.
Jika ia mengeluarkan zakatnya setelah tampak cacatnya, maka ditinjau: apabila waktu telah berlalu cukup lama setelah masa memungkinkan untuk mengembalikan, maka ia tidak boleh mengembalikan dan tidak pula berhak atas ganti rugi (arasy). Tetapi jika waktu belum berlalu lama, melainkan ia segera mengeluarkan zakatnya saat cacat itu tampak, maka apakah ia boleh mengembalikannya atau tidak? Ada dua pendapat:
Pertama: ia boleh mengembalikannya karena waktu masih dekat dan pengembalian dilakukan segera setelah tampaknya cacat.
Kedua: ia tidak boleh mengembalikannya karena pengeluaran zakat merupakan kesibukan yang menyibukkan dari proses pengembalian.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتِ الْمُبَادَلَةُ فَاسِدَةً زَكَّى كُلُّ واحدٍ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّ مِلْكَهُ لَمْ يَزُلْ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
إِذَا كَانَتْ مُبَادَلَتُهُمَا فَاسِدَةً فَمَلَكَ كل واحد مِنْهُمَا لَمْ يَزُلْ عَمَّا خَرَجَ عَنْ يَدِهِ، فَيَبْنِي عَلَى حَوْلِهِ وَيُزَكِّي عِنْدَ حُلُولِهِ، فَإِنْ قِيلَ: هَلَّا كَانَ ذَلِكَ كَالْمَالِ الْمَغْصُوبِ هُوَ بَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ وَلَا يُزَكِّيهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ: قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَالَ الْمَغْصُوبَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ، وَهَذَا الْمَالُ غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَغْصُوبَ لَيْسَ فِي مُقَابَلَتِهِ عِوَضٌ يَنْتَفِعُ بِهِ، وَهَذَا فِي مقابلته عوض ينتفع به.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya pertukaran itu fāsidah, maka masing-masing dari keduanya tetap wajib zakat, karena kepemilikannya tidak hilang.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar.
Apabila pertukaran antara keduanya fāsidah, maka kepemilikan masing-masing dari mereka tidak gugur atas apa yang keluar dari tangannya. Maka ia membangun (perhitungan zakat) atas haul-nya, dan menunaikan zakat ketika tiba waktunya.
Jika dikatakan: Mengapa tidak disamakan dengan harta yang dirampas, yaitu tetap dalam kepemilikannya namun tidak wajib dizakati menurut salah satu dari dua pendapat?
Dijawab: Perbedaannya dari dua sisi:
Pertama: Bahwa harta yang dirampas terhalangi darinya, sedangkan harta yang ini tidak terhalangi darinya.
Kedua: Bahwa pada harta yang dirampas tidak ada imbalan yang bisa dimanfaatkan, sedangkan pada harta ini terdapat imbalan yang bisa dimanfaatkan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ حَالَ الْحَوْلُ عَلَيْهَا ثُمَّ بَادَلَ بِهَا أو باعها ففيها قولان أحدهما أن مبتاعها بالخيار بين أن يرد البيع بنقص الصدقة أو يجيز البيع ومن قال بهذا قال فإن أعطى رب المال البائع المصدق ما وجب عليه فيها من ماشية غيرها فلا خيار للمبتاع لأنه لم ينقص من البيع شيءٌ والقول الثاني أن البيع فاسدٌ لأنه باع ما يملك وما لا يملك فلا يجوز إلا أن يجددا بيعاً مستأنفاً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: صُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: فِي رَجُلٍ مَعَهُ نِصَابٌ بَاعَهُ بَعْدَ وُجُوبِ زَكَاتِهِ كَأَرْبَعِينَ شَاةً، أَوْ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً، أَوْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ، أو عشرين ديناراً أو مائتي درهم. فهذا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَبِيعَهَا بَعْدَ أَدَاءِ الزَّكَاةِ عَنْهَا.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata:
“Seandainya ḥaul telah sempurna atasnya, lalu ia menukarkannya atau menjualnya, maka ada dua pendapat:
Pertama, bahwa pembeli memiliki pilihan antara membatalkan jual beli karena adanya pengurangan zakat, atau menerima jual beli tersebut. Orang yang berpendapat demikian berkata: jika pemilik harta (penjual) yang wajib zakat memberikan zakat dari harta lain (selain dari yang dijual), maka tidak ada hak khiyar bagi pembeli karena tidak ada pengurangan apa pun dari barang jualan.
Pendapat kedua, bahwa jual belinya batal, karena ia telah menjual sesuatu yang ia miliki bercampur dengan sesuatu yang bukan miliknya, maka tidak boleh kecuali dengan memperbarui akad jual beli.”
Al-Māwardī berkata:
Gambaran masalah ini adalah:
Seseorang memiliki niṣāb kemudian ia menjualnya setelah zakatnya wajib, seperti empat puluh ekor kambing, atau tiga puluh ekor sapi, atau lima wasaq, atau dua puluh dinar, atau dua ratus dirham. Maka kasus ini terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: ia menjualnya setelah membayar zakat atasnya.
وَالثَّانِي: أَنْ يَبِيعَهَا بَعْدَ اشْتِرَاطِ الزَّكَاةِ مِنْهَا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَبِيعَ جَمِيعَهَا بَيْعًا مُطْلَقًا، فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ إِذَا بَاعَهَا بعد أداء الزكاة عنها فالبيع في جميعها جائز، لِأَنَّهُ قَدْ أَسْقَطَ حَقَّ الْمَسَاكِينِ مِنْهَا، وَصَارَ جَمِيعُهَا مِلْكًا لَهُ خَالِصًا.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَبِيعَهَا وَيَشْتَرِطَ عَلَى الْمُشْتَرِي أَدَاءَ الزَّكَاةِ مِنْهَا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبِيعَهُ الْجَمِيعُ وَيَشْتَرِطَ عَلَيْهِ دَفْعَ الزَّكَاةِ، فَهَذَا بَيْعٌ بَاطِلٌ، وَشَرْطٌ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ شَرَطَ عَلَى الْمُشْتَرِي تَحَمُّلَ الزَّكَاةِ عَنْهُ، وَذَلِكَ يُنَافِي مُوجِبَ الْعَقْدِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَثْنِيَ قَدْرَ الزَّكَاةِ مِنَ الْبَيْعِ، وَيُوقِعَ الْعَقْدَ عَلَى مَا سِوَى قَدْرِ الزَّكَاةِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Dan kedua: ia menjualnya setelah mewajibkan zakat darinya.
Dan ketiga: ia menjual seluruhnya dengan penjualan muthlaq.
Adapun bagian pertama, yaitu apabila ia menjualnya setelah menunaikan zakatnya, maka penjualan seluruhnya adalah sah, karena ia telah menggugurkan hak orang-orang miskin darinya, maka seluruhnya menjadi miliknya secara murni.
Dan bagian kedua: yaitu ia menjualnya dan mensyaratkan kepada pembeli untuk menunaikan zakat darinya. Maka hal ini terbagi menjadi dua:
Pertama: Ia menjual seluruhnya dan mensyaratkan kepada pembeli untuk menunaikan zakat, maka ini adalah jual beli yang bāṭil dan syarat yang bāṭil, karena ia telah mensyaratkan kepada pembeli untuk menanggung zakat darinya, dan hal itu bertentangan dengan konsekuensi akad.
Bagian kedua: ia mengecualikan kadar zakat dari penjualan, dan ia menetapkan akad atas selain kadar zakat tersebut. Maka ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ مِمَّا تَتَمَاثَلُ أَجْزَاؤُهُ كَالْحُبُوبِ وَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، فَهَذَا بَيْعٌ جَائِزٌ سَوَاءٌ كَانَ قَدْرَ الزَّكَاةِ مُعَيَّنًا أو شايعاً.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا تَتَفَاضَلُ أَعْيَانُهُ وَلَا تَتَفَاضَلُ أَجْزَاؤُهُ كَالْمَاشِيَةِ، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعَيِّنَ مَا اسْتَثْنَاهُ لِلزَّكَاةِ.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُعَيِّنَ، فَإِنْ عَيَّنَ قَدْرَ الزَّكَاةِ مِنْهَا وَقَالَ: قَدْ بِعْتُكَ هَذِهِ الْأَرْبَعِينَ الشَّاةَ إِلَّا هَذِهِ الشَّاةَ وَأَشَارَ إِلَيْهَا فَهَذَا بَيْعٌ جَائِزٌ لتمييز الْمَبِيعِ مِنْ غَيْرِهِ، وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْ قَدْرَ الزَّكَاةِ بَلْ قَالَ بِعْتُكَهَا إِلَّا شَاةً لَمْ يُشِرْ إِلَيْهَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْغَنَمِ مِنْ أحد أمرين إما أن تكون مختلفة لأسنان أَوْ مُتَسَاوِيَةً، فَإِنِ اخْتَلَفَتِ الْغَنَمُ فَكَانَ بَعْضُهَا صِغَارًا وَبَعْضُهَا كِبَارًا فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ، لِلْجَهْلِ بِالْمَعْقُودِ عَلَيْهِ، وَإِنْ تَسَاوَتِ الْغَنَمُ فِي الْأَسْنَانِ وَتَقَارَبَتْ فِي الْأَوْصَافِ، فَكَانَ جَمِيعُهَا كِبَارًا أَوْ صِغَارًا فَفِي الْبَيْعِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ لِأَنَّهَا إِذَا كَانَتْ بِهَذَا الْوَصْفِ شَابَهَتِ الْحُبُوبَ.
Salah satunya: apabila barang yang dijual termasuk jenis yang seragam bagi seluruh bagiannya seperti biji-bijian, dirham, dan dinar, maka jual beli ini boleh, baik kadar zakatnya telah ditentukan maupun belum.
Jenis yang kedua: apabila barang itu berbeda-beda zatnya tetapi tidak berbeda bagiannya seperti hewan ternak, maka ini terbagi dua:
Pertama: menetapkan secara spesifik mana yang dikecualikan untuk zakat.
Kedua: tidak menetapkannya. Jika ia menentukan kadar zakat darinya lalu berkata, “Aku menjual kepadamu empat puluh ekor kambing ini kecuali kambing ini,” dan ia menunjuk kepadanya, maka ini jual beli yang sah karena barang yang dijual telah dibedakan dari yang tidak dijual.
Namun jika ia tidak menentukan kadar zakat, melainkan berkata, “Aku menjualnya kepadamu kecuali satu ekor kambing,” tetapi tidak menunjuk kepadanya, maka keadaan kambing-kambing itu tidak lepas dari dua hal: apakah beragam dalam usia atau seragam.
Jika kambing-kambing itu berbeda, sebagian kecil dan sebagian besar, maka jual belinya batal karena tidak jelas barang yang menjadi objek akad.
Namun jika kambing-kambing itu seragam dalam usia dan mirip dalam sifat-sifatnya, semuanya besar atau semuanya kecil, maka dalam jual beli ini terdapat dua pendapat:
Pertama: bahwa jual belinya sah karena jika sudah demikian sifatnya, maka ia menyerupai biji-bijian.
وَالثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّ الْبَيْعَ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهَا وَإِنْ تَسَاوَتْ فِي الْأَسْنَانِ فَقَدْ تَخْتَلِفُ فِي السِّمَنِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْحُبُوبُ الْمُتَمَاثِلَةُ الْأَجْزَاءِ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي جَعْلِ إِبِلِ الصَّدَقَةِ صَدَاقًا.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَبِيعَ جَمِيعَهَا بَيْعًا مُطْلَقًا. فهل الأداء من غير ما استثنى فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، وَهِيَ مَبْنِيَّةٌ عَلَى أَصْلَيْنِ، كُلُّ أَصْلٍ مِنْهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُ الْأَصْلَيْنِ اخْتِلَافُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الزَّكَاةِ، هَلْ تَجِبُ فِي الذِّمَّةِ أَوْ فِي الْعَيْنِ؟
وَالْأَصْلُ الثَّانِي: اخْتِلَافُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي جَوَازِ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ إذا جمعت شيئين متغايرن حَلَالًا وَحَرَامًا، أَوْ مِلْكًا وَمَغْصُوبًا، فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْأَصْلَانِ فَالْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْرُ الزَّكَاةِ.
Dan yang kedua — dan ini yang lebih jelas — bahwa jual beli tersebut bāṭil, karena meskipun setara dalam usia, namun bisa jadi berbeda dalam kegemukan, dan tidak demikian halnya dengan biji-bijian yang bagian-bagiannya seragam.
Dua wajah ini merupakan hasil dari perbedaan dua pendapat al-Syafi‘i tentang menjadikan unta zakat sebagai ṣadāq (mahar).
Dan bagian ketiga: bahwa ia menjual seluruhnya dengan penjualan muthlaq. Maka apakah boleh menunaikan (zakat) dari selain bagian yang dikecualikan, ini adalah masalah yang dibahas dalam kitab, dan hal ini dibangun atas dua aṣl (prinsip), dan setiap aṣl memiliki dua pendapat:
Aṣl yang pertama: perbedaan pendapat al-Syafi‘i tentang zakat, apakah ia wajib atas żimmah atau atas ‘ayn (harta tertentu)?
Aṣl yang kedua: perbedaan pendapat al-Syafi‘i tentang bolehnya memisahkan satu transaksi jika mencakup dua hal yang berbeda, seperti halal dan haram, atau milik sendiri dan barang ghasab.
Apabila dua prinsip ini telah ditetapkan, maka masalah ini mencakup dua faṣl:
Pertama: tentang kadar zakat.
وَالثَّانِي: مَا عَدَا قَدْرَ الزَّكَاةِ فَأَمَّا قَدْرُ الزَّكَاةِ فَفِي بَيْعِهِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي الزَّكَاةِ هَلْ وَجَبَتْ فِي الذِّمَّةِ أَوْ فِي الْعَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ إِذَا قِيلَ إِنَّهَا وَجَبَتْ فِي الْعَيْنِ وُجُوبَ اسْتِحْقَاقٍ.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ إِذَا قِيلَ إِنَّهَا وَجَبَتْ فِي الذِّمَّةِ وُجُوبًا لَا تَعَلُّقَ لِلْعَيْنِ بِهَا، فإذا قيل بجواز القدر فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ فَهُوَ فِي الْبَاقِي أَجْوَزُ، وَإِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ الْبَيْعِ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ، فَفِيمَا عَدَا قَدْرِ الزَّكَاةِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.
أَحَدُهُمَا: جَائِزٌ.
وَالثَّانِي: بَاطِلٌ، وَلِبُطْلَانِهِ عِلَّتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: إِنَّ اللَّفْظَةَ جَمَعَتْ حَلَالًا وَحَرَامًا، فَعَلَى هَذَا لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ مَاشِيَةً يَتَقَسَّطُ الثَّمَنُ عَلَى قِيمَتِهَا، أَوْ حبوباً يقدّر الثَّمَنُ عَلَى أَجْزَائِهَا.
Dan yang kedua: selain kadar zakat. Adapun kadar zakat, maka dalam menjualnya terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat Imam Syafi’i tentang zakat, apakah zakat itu wajib pada dzimmah (tanggungan) atau wajib pada ‘ain (harta tertentu).
Pertama: batal, jika dikatakan bahwa zakat wajib pada ‘ain secara wajib yang menimbulkan hak kepemilikan.
Kedua: sah, jika dikatakan bahwa zakat wajib pada dzimmah sebagai kewajiban yang tidak melekat pada barang tertentu. Maka jika dikatakan bahwa menjual kadar zakat itu sah, maka menjual sisanya (selain kadar zakat) lebih sah lagi. Namun jika dikatakan bahwa jual beli pada kadar zakat itu batal, maka untuk sisanya terdapat dua pendapat berdasarkan perbedaan pendapat tentang keabsahan memisahkan satu akad (tafrīq al-ṣafqah).
Pertama: sah.
Kedua: batal, dan batalnya itu disebabkan oleh dua alasan:
Pertama: karena lafaz akad menggabungkan antara yang halal dan yang haram, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah barang yang dijual berupa hewan ternak yang nilai harganya terbagi menurut nilainya masing-masing, atau berupa biji-bijian yang harga totalnya dibagi menurut bagian-bagiannya.
وَالْعِلَّةُ الثَّانِيَةُ: إِنَّهُ بَاطِلٌ لِجَهَالَةِ الثَّمَنِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَتْ مَاشِيَةً بتقسط الثَّمَنُ عَلَى قِيمَتِهَا فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَتْ حُبُوبًا يَتَقَدَّرُ الثَّمَنُ عَلَى أَجْزَائِهَا فَالْبَيْعُ جَائِزٌ، لِأَنَّ مَنْ بَاعَ قَفِيزَيْنِ أَحَدُهُمَا مَمْلُوكٌ وَالْآخَرُ مَغْصُوبٌ بِدِرْهَمَيْنِ، فَمَعْلُومٌ أَنَّ ثَمَنَ الْمَمْلُوكِ دِرْهَمٌ، وَلَيْسَ فِيهِ جَهَالَةٌ، وَلَوْ بَاعَهُ عَبْدَيْنِ أَحَدُهُمَا مَمْلُوكٌ وَالْآخَرُ مَغْصُوبٌ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَثَمَنُ الْمَمْلُوكِ مَجْهُولٌ، لِأَنَّ الْأَلْفَ يَتَقَسَّطُ عَلَى قِيمَتِهِمَا، فَإِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ الْبَيْعِ فِي الْجَمِيعِ ارْتَفَعَ الْعَقْدُ وَكَانَ الْمَبِيعُ عَلَى مِلْكِ الْبَائِعِ وَإِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ الْبَيْعِ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ، وَجَوَازِ الْبَيْعِ فِي الْبَاقِي، فَالْمُشْتَرِي بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْإِقَامَةِ وَالْفَسْخِ لِدُخُولِ النَّقْصِ وَتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ، فَإِنْ فَسَخَ رَجَعَ الْمَبِيعُ إِلَى الْبَائِعِ وَالثَّمَنُ إِلَى الْمُشْتَرِي، وَإِنْ أَقَامَ فَهَلْ يَأْخُذُ الْبَاقِيَ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ أَوْ بِحِسَابِ مَا بَقِيَ وَقَسَّطَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: بِجَمِيعِ الثَّمَنِ كَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا فَقُطِعَتْ يَدُهُ قَبْلَ الْقَبْضِ، فَلِلْمُشْتَرِي أَخْذُهُ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ، وَإِلَّا فُسِخَ.
Dan ‘illat yang kedua: bahwa jual beli itu batal karena ketidaktahuan terhadap harga. Maka berdasarkan hal ini, jika barangnya berupa māsyiyah maka harga dibagi secara proporsional terhadap nilainya, maka jual belinya batal. Namun jika berupa ḥubūb yang harga dapat diukur menurut bagian-bagiannya, maka jual belinya sah, karena barang siapa menjual dua qafīz, salah satunya miliknya dan yang lainnya hasil ghuṣb, dengan dua dirham, maka diketahui bahwa harga miliknya adalah satu dirham, dan tidak ada ketidaktahuan di dalamnya.
Akan tetapi jika ia menjual dua budak, salah satunya milik dan yang lain hasil ghuṣb dengan seribu dirham, maka harga budak yang dimiliki itu tidak diketahui, karena seribu itu dibagi pada nilai keduanya. Maka jika dikatakan bahwa jual beli seluruhnya batal, maka akad pun gugur, dan barang yang dijual tetap menjadi milik penjual.
Namun jika dikatakan bahwa jual beli batal hanya pada kadar zakatnya, dan jual beli sah pada sisanya, maka pembeli diberi pilihan antara melanjutkan atau membatalkan karena adanya pengurangan dan terjadinya tafrīq aṣ-ṣafqah. Jika ia membatalkan, maka barang kembali kepada penjual dan harga kembali kepada pembeli. Dan jika ia tetap melanjutkan, maka apakah ia mengambil sisanya dengan membayar seluruh harga, atau hanya membayar sesuai sisa barang dan dibagi secara proporsional? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: membayar dengan seluruh harga, sebagaimana seseorang membeli seorang budak lalu tangannya terpotong sebelum diterima, maka pembeli boleh mengambilnya dengan seluruh harga, jika tidak maka dibatalkan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ بِحِسَابِ مَا بَقِيَ وَقِسْطُهُ مِنْ ثَمَنِهِ، كَمَنِ ابْتَاعَ قَفِيزَيْنِ فَتَلِفَ أَحَدُهُمَا أَخَذَ الْبَاقِيَ بِنِصْفِ الثَّمَنِ، وَإِذَا قِيلَ بِجَوَازِ الْبَيْعِ فِي الْجَمِيعِ نُظِرَ فَإِنْ أَخْرَجَ الْبَائِعُ الزَّكَاةَ مِنْ مَالِهِ لَزِمَ الْبَيْعُ فِي الْكُلِّ، وَإِنْ لَمْ يُخْرِجْهَا مِنْ مَالِهِ حَتَّى أَخَذَهَا الْإِمَامُ مِنَ الْمَالِ الْمَبِيعِ بَطُلَ الْبَيْعُ حِينَئِذٍ فِي الْقَدْرِ الْمَأْخُوذِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا بَقِيَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ يَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ عَلَى مَا مضى وهو مذهب أبي إسحاق لِأَنَّهُ يَجْعَلُ حُدُوثَ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ بَعْدَ الْقَبْضِ كَالْمُقْتَرِنِ بِالْعَقْدِ، وَهَذَا مَذْهَبٌ تَفَرَّدَ بِهِ، وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ لَا يَجْعَلُ حُدُوثَ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ بَعْدَ الْعَقْدِ كَالْمُقْتَرِنِ بِالْعَقْدِ، بَلْ لا تفرق الصفقة في الحادث، قولاً واحداً لعدم العلتين في جواز بُطْلَانِهِ، ثُمَّ عَلَى مَا مَضَى.
وَقَالَ آخَرُونَ: بَلِ الْبَيْعُ فِيمَا بَقِيَ جَائِزٌ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّنَا أَبْطَلْنَا بَيْعَ مَا بَقِيَ هُنَاكَ، إِمَّا لجهالة الثمن، أو لأن اللفظة جمعت حلالان وحراماً وهما معدودان فِي هَذَا الْمَوْضِعِ لِأَنَّ الْعَقْدَ جَمَعَ حَلَالًا كُلَّهُ وَالثَّمَنُ فِي وَقْتِ الْعَقْدِ مَعْلُومٌ وَإِنَّمَا سَقَطَ بَعْضُهُ.
Dan pendapat kedua: pembeli boleh mengambil barang itu berdasarkan perhitungan bagian yang tersisa dan jatahnya dari harga, seperti orang yang membeli dua qafīz, lalu salah satunya rusak, maka ia mengambil yang tersisa dengan separuh harga.
Jika dikatakan bahwa jual beli pada keseluruhan sah, maka diperhatikan: jika penjual mengeluarkan zakat dari hartanya sendiri, maka jual beli sah pada seluruhnya. Namun jika ia tidak mengeluarkan zakat dari hartanya sampai imam mengambilnya dari harta yang dijual, maka saat itu jual beli batal pada kadar yang diambil.
Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai sisanya. Sebagian dari mereka berkata: dalam sisanya ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat dalam masalah tafrīq aṣ-ṣafqah sebagaimana telah lalu — dan ini adalah mazhab Abū Isḥāq — karena ia menganggap terjadinya pemisahan akad setelah qabḍ (penguasaan barang) seperti yang terjadi bersamaan dengan akad. Ini adalah pendapat yang hanya dikemukakan olehnya.
Adapun mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa terjadinya tafrīq aṣ-ṣafqah setelah akad tidak disamakan dengan yang terjadi bersamaan dengan akad, bahkan tidak dianggap terjadi pemisahan akad dalam kasus yang muncul setelah akad, menurut satu pendapat, karena tidak terpenuhinya dua sebab yang menyebabkan kebatalannya, sebagaimana telah dijelaskan.
Sebagian lain berkata: bahkan jual beli atas bagian yang tersisa itu sah menurut satu pendapat, karena kami membatalkan jual beli atas sisanya dalam kasus sebelumnya, baik karena tidak diketahui harganya, atau karena lafalnya menggabungkan antara yang halal dan haram — dan keduanya dianggap ada dalam kasus tersebut — sedangkan dalam kasus ini akad hanya mencakup barang yang halal seluruhnya dan harga saat akad diketahui, hanya saja sebagian dari harga itu gugur.
فَصْلٌ
: فَلَوْ بَاعَ بَعْضَ مَالِهِ الَّذِي وَجَبَتْ زَكَاتُهُ، فَإِذَا قِيلَ بِجَوَازِ الْبَيْعِ في الجميع فهاهنا أَوْلَى بِالْجَوَازِ، وَإِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ الْبَيْعِ فِي الجميع فهاهنا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: جَائِزٌ، لِأَنَّ قَدْرَ الزَّكَاةِ غَيْرُ ممتنع.
وَالثَّانِي: بَاطِلٌ، لِأَنَّ حَقَّ الْمَسَاكِينِ مُتَعَلِّقٌ بِجَمِيعِ الْمَالِ وَشَائِعٌ فِيهِ لَا يَخْتَصُّ بِبَعْضِهِ دُونَ بَعْضٍ، فَكَانَ حُكْمُ بَعْضِهِ كَحُكْمِ جَمِيعِهِ.
PASAL
Maka jika seseorang menjual sebagian hartanya yang telah wajib dizakati, apabila dikatakan bahwa jual beli sah pada seluruh harta, maka pada kasus ini lebih layak untuk dibolehkan. Dan jika dikatakan bahwa jual beli batal pada seluruh harta, maka dalam hal ini ada dua wajah (pendapat):
Pertama: sah, karena kadar zakat tidak menghalangi.
Kedua: batal, karena hak para miskin terkait dengan seluruh harta dan bersifat menyeluruh padanya, tidak khusus pada sebagian tanpa sebagian yang lain, maka hukum sebagian harta sama dengan hukum seluruhnya.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَصْدَقَهَا أَرْبَعِينَ شَاةً بِأَعْيَانِهَا فَقَبَضَتْهَا أَوْ لم تقبضها وحال عليها الحول فأخذت صدقتها ثم طلقها قبل الدخول بها رجع عليها بنصف الغم وبنصف قيمة التي وجبت فيها وكانت الصدقة من حصتها من النصف ولو أدت عنها من غيرها رجع عليها بنصفها لأنه لم يؤخذ منها شيء هذا إذا لم تزد ولم تنقص وكانت بحالها يوم أصدقها أو يوم قبضتها منه ولو لم تخرجها بعد الحول حتى أخذت نصفها فاستهلكته أخذ من النصف الذي في يدي زوجها شاة ورجع عليها بقيمتها “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَأَصْدَقَهَا أَرْبَعِينَ مِنَ الْغَنَمِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أحدهما: أن تكون موصوفة.
Masalah:
Imam al-Syafi’i raḥimahullāh berkata:
“Seandainya ia menjadikannya sebagai mahar sebanyak empat puluh ekor kambing dengan ‘ayān-nya (spesifik satu per satu), lalu wanita itu telah menerima atau belum menerimanya, dan telah berlalu haul (satu tahun), kemudian zakat diambil darinya, lalu ia menceraikannya sebelum digauli, maka ia (suami) kembali mengambil setengah dari mahar dan setengah dari nilai kambing yang terkena zakat. Dan zakatnya diambil dari bagian mahar yang menjadi hak istri dari setengah tersebut. Jika ia (istri) membayar zakatnya dari selain kambing tersebut, maka suami kembali mengambil setengah kambing karena tidak ada sesuatu pun yang diambil dari kambing-kambing tersebut. Ini apabila tidak terjadi penambahan atau pengurangan, dan kambing itu masih dalam kondisi seperti saat ia menjadikannya sebagai mahar atau seperti saat istri menerimanya. Namun jika ia belum mengeluarkan zakat setelah haul, lalu ia menerima setengahnya dan menghabiskannya (menyia-nyiakannya), maka suami mengambil seekor kambing dari setengah yang masih ada padanya dan kembali menagih istri dengan nilai kambing tersebut.”
Al-Māwardī berkata:
Dan ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam al-Syafi’i):
Apabila seseorang menikahi seorang wanita dan menjadikan mahar empat puluh ekor kambing, maka hal ini terbagi menjadi dua bentuk:
Pertama: kambing itu ditentukan sifatnya (bukan ‘ayn, tapi ṣifah).
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ عَيْنًا حَاضِرَةً فَإِنْ كَانَتْ موصوفة بالذمة، فَلَا زَكَاةَ عَلَى الزَّوْجَةِ، وَإِنْ مَلَكَتْ جَمِيعَ الصَّدَاقِ بِالْعَقْدِ، وَلَوْ أَصْدَقَهَا مِائَتَيْ دِرْهَمٍ وَكَانَ الزوج ملياً بها لزمها الزَّكَاةُ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ السَّوْمَ شَرْطٌ فِي زَكَاةِ الْغَنَمِ لَا يَصِحُّ وُجُودُهُ فِي الذِّمَّةِ، فَلَمْ تَجِبْ فِيهَا الزَّكَاةُ، وَلَيْسَ السَّوْمُ شَرْطًا فِي الدَّرَاهِمِ فَوَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَ الصداق عيناً حاضراً كَأَنَّهُ أَصْدَقَهَا أَرْبَعِينَ بِأَعْيَانِهَا فَقَدْ مَلَكَتْهَا الزَّوْجَةُ بِالْعَقْدِ مِلْكًا تَامًّا، لِأَنَّ الزَّوْجَ قَدْ مَلَكَ عَلَيْهَا مَا فِي مُقَابَلَتِهِ وَهُوَ الْبُضْعُ، فَاقْتَضَى أن تملك عوضه، وإن مَلَكَتْ جَمِيعَ الصَّدَاقِ بِالْعَقْدِ، جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الزكاة، واستؤنف له الْحَوْلِ مِنْ يَوْمِ الْعَقْدِ، سَوَاءٌ كَانَ فِي قَبْضِ الزَّوْجَةِ أَوْ فِي يَدِ الزَّوْجِ.
Dan yang kedua: mahar itu berupa barang yang hadir. Jika mahar itu masih berupa sifat dalam tanggungan (belum ditentukan wujudnya), maka tidak wajib zakat atas istri, meskipun ia telah memiliki seluruh mahar dengan akad. Seandainya suami memberi mahar dua ratus dirham dan suami orang yang mampu, maka wajib atas istri membayar zakat.
Perbedaan antara keduanya: bahwa as-saum (penggembalaan bebas) adalah syarat dalam zakat kambing, dan hal ini tidak mungkin terjadi pada barang dalam tanggungan (dzimmah), maka tidak wajib zakat padanya. Sedangkan as-saum bukan syarat dalam zakat dirham, maka wajib zakat atasnya.
Dan jika mahar itu berupa barang yang hadir, seperti suami memberikan empat puluh ekor kambing secara langsung, maka istri telah memilikinya dengan akad secara milik sempurna, karena suami telah memiliki sebagai gantinya, yaitu al-buḍ‘ (hak bersetubuh), maka wajib ia memiliki gantinya. Jika istri telah memiliki seluruh mahar dengan akad, maka berlaku atasnya hukum zakat, dan hitungan ḥaul dimulai dari hari akad, baik barang tersebut sudah di tangan istri maupun masih di tangan suami.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَلْزَمُهَا زَكَاتُهُ مَا لَمْ تَقْبِضْهُ، فَإِذَا قَبَضَتْهُ اسْتَأْنَفَتْ حَوْلَهُ، وَهَذَا غَلَطٌ، لأن يد الزوج على الصداق لا يمنع مِنْ تَصَرُّفِهَا فِيهِ بِبَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ أَوْ غَيْرِهِ كَالْمَقْبُوضِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْنَعَ وُجُوبَ الزَّكَاةِ كَالْمَقْبُوضِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ حُكْمَ الْحَوْلِ جَارٍ عَلَى صَدَاقِهَا سَوَاءٌ كَانَ فِي يَدِ الزَّوْجِ أَوْ فِي يَدِهَا فَمَا لَمْ يُطَلِّقْهَا الزَّوْجُ فَلَا مَسْأَلَةَ، وَإِنْ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ لَمْ يَخْلُ حَالُ طَلَاقِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَا رُجُوعَ لَهُ بِشَيْءٍ من الصداق والغنم التي أصدق عَلَى مِلْكِهَا، وَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِ مَا أَصْدَقَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفً مَا فَرضْتُمْ) {البقرة: 237) فَإِذَا وَجَبَ لَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِ الصَّدَاقِ لَمْ يَخْلُ حَالُ طَلَاقِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ حلول الحول أو بعده، فإذا كَانَ قَبْلَ الْحُلُولِ فَقَدْ مَلَكَ الزَّوْجُ نِصْفَ الصَّدَاقِ وَبَقِيَ لَهَا نِصْفُهُ، وَبَطَلَ حُكْمُ مَا مَضَى مِنَ الْحَوْلِ إِنِ اقْتَسَمَا، وَلَا زَكَاةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِيمَا حَصَلَ لَهُ مِنْ نِصْفِ الصَّدَاقِ، لِأَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ نِصَابٍ، إِلَّا أن يكون مالكاً لهما من النصاب، وإن لم يقتسمها كَانَا خَلِيطَيْنِ فِي نِصَابٍ يُزَكِّيَانِهِ بِالْخُلْطَةِ، إِلَّا أَنَّ حَوْلَ الزَّوْجَةِ أَسْبَقُ مِنْ حَوْلِهِ فَتَكُونُ كمن له أربعون شاة أقامت بيده لستة أَشْهُرٍ ثُمَّ بَاعَ نِصْفَهَا وَقَدْ ذَكَرْنَاهُ، فَهَذَا إِنْ كَانَ طَلَاقُ الزَّوْجِ قَبْلَ الْحَوْلِ، وَإِنْ كَانَ طَلَاقُهُ بَعْدَ الْحَوْلِ فَقَدْ وَجَبَتْ زَكَاةُ الغنم على الزوجة لحلول الْحَوْلِ، وَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Dan Abū Ḥanīfah berkata: Tidak wajib atasnya zakat kecuali setelah ia menerima (ṣadaq), maka jika ia telah menerimanya, ia memulai hitungan ḥaul-nya. Ini adalah kekeliruan, karena tangan suami atas ṣadaq tidak menghalangi istrinya untuk bertransaksi atasnya, baik dengan menjual, memberi, atau yang lainnya, seperti harta yang telah diterima. Maka wajib bahwa hal itu tidak menghalangi kewajiban zakat, sebagaimana harta yang telah diterima. Maka jika telah tetap bahwa hukum ḥaul berlaku atas ṣadaq-nya, baik berada di tangan suami maupun di tangannya, maka selama suaminya belum menceraikannya, tidak ada persoalan. Namun jika suaminya menceraikannya, maka keadaan talaknya tidak lepas dari dua hal: pertama, sebelum terjadi hubungan; atau kedua, setelahnya.
Jika setelah terjadi hubungan, maka tidak ada hak bagi suami untuk mengambil kembali sedikit pun dari ṣadaq dan kambing yang ia jadikan sebagai ṣadaq, karena telah menjadi milik istri. Namun jika ia menceraikannya sebelum terjadi hubungan, maka ia berhak untuk mengambil kembali setengah dari apa yang ia jadikan sebagai ṣadaq, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Wa in ṭallaqtumūhunna min qabli an tamassūhunna wa qad faraḍtum lahunna farīḍatan fa-niṣfu mā faraḍtum” (QS al-Baqarah: 237).
Maka jika suami berhak mengambil kembali setengah dari ṣadaq, keadaan talaknya tidak lepas dari dua hal: pertama, sebelum sempurna satu ḥaul; atau kedua, setelahnya. Jika sebelum sempurna ḥaul, maka suami memiliki setengah dari ṣadaq dan sisanya milik istri, dan hukum waktu yang telah berlalu dari ḥaul menjadi batal jika keduanya telah membagi (ṣadaq) tersebut. Maka tidak ada zakat atas salah satu dari keduanya atas bagian yang ia terima dari setengah ṣadaq, karena kurang dari niṣāb, kecuali jika salah satu dari mereka memiliki kekayaan lain yang mencapai niṣāb.
Dan jika belum dibagi, maka keduanya menjadi dua orang yang bercampur harta (khalīṭayn) dalam satu niṣāb, dan wajib menunaikan zakat atasnya karena khalṭah, kecuali bahwa ḥaul istri lebih dahulu dari ḥaul suami. Maka ini seperti orang yang memiliki empat puluh kambing selama enam bulan, kemudian ia menjual setengahnya – dan ini telah kami sebutkan. Ini jika talak terjadi sebelum sempurna satu ḥaul.
Namun jika talaknya setelah sempurna satu ḥaul, maka zakat kambing telah wajib atas istri karena sempurnanya ḥaul, dan keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ تُخْرِجَ الزَّكَاةَ مِنْ مَالِهَا.
وَالثَّانِي: أَنْ تُخْرِجَ الزَّكَاةَ مِنْهَا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ لَا تُخْرِجُ عَنْهَا. فَالْقِسْمُ الْأَوَّلُ أَنْ تُخْرِجَ الزَّكَاةَ مِنْ مَالِهَا، وَالثَّانِي أَنْ تُخْرِجَ الزَّكَاةَ مِنْهَا، والثالث أن لا تُخْرِجَ الزَّكَاةَ مِنْ مَالِهَا. فَلِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِ الْأَرْبَعِينَ الَّتِي أَصْدَقَ لِوُجُودِ الصَّدَاقِ بِكَمَالِهِ وَاسْتِحْقَاقِهِ نِصْفَهُ بِطَلَاقِهِ، فَإِنْ قِيلَ فَقَدِ اسْتَحَقَّ المساكينمِنْهَا شَاةً إِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الْعَيْنِ، فَإِذَا أَعْطَتْ بَدَلَ تِلْكَ الشَّاةِ مِنْ مَالِهَا فَقَدِ اسْتَحْدَثَتْ مِلْكَهَا بِغَيْرِ صَدَاقٍ فَلَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجِ الرُّجُوعُ بِنِصْفِهَا، كَالْأَبِ إِذَا وَهَبَ لِابْنِهِ مَالًا فَبَاعَهُ ثُمَّ ابْتَاعَهُ لَمْ يَرْجِعِ الْأَبُ بِهِ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ:
Salah satu dari tiga cara:
Pertama: istri mengeluarkan zakat dari hartanya sendiri.
Kedua: istri mengeluarkan zakat dari mahar itu sendiri.
Ketiga: tidak mengeluarkan zakat atasnya.
Bagian pertama, yaitu istri mengeluarkan zakat dari hartanya.
Bagian kedua, yaitu mengeluarkan zakat dari mahar itu sendiri.
Bagian ketiga, yaitu tidak mengeluarkan zakat dari hartanya.
Maka suami boleh mengambil kembali setengah dari empat puluh (ekor kambing) yang ia jadikan mahar, karena seluruh mahar itu telah tetap menjadi hak istri, namun ia hanya berhak atas setengahnya karena adanya talak.
Jika dikatakan: para miskin telah berhak atas seekor kambing darinya apabila dikatakan bahwa zakat wajib pada ‘ayn (barang itu sendiri), maka apabila istri membayar ganti dari kambing tersebut dengan hartanya sendiri, berarti ia telah membuat kepemilikan baru atas kambing itu bukan karena mahar, sehingga suami tidak berhak kembali atas setengah dari kambing tersebut.
Hal ini seperti ayah yang memberikan harta kepada anaknya lalu anaknya menjualnya, kemudian ayah membeli kembali harta itu, maka ayah tidak dapat menarik kembali harta tersebut menurut salah satu dari dua wajah (pendapat).
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْأَبَ يَرْجِعُ بِمَا وَهَبَ إِنْ كَانَ مَوْجُودًا وَلَا يَرْجِعُ بِبَدَلِهِ إِنْ كَانَ تَالِفًا، وَبَيْعُ الِابْنِ إِتْلَافٌ يُبْطِلُ الرُّجُوعَ، وَابْتِيَاعُهُ اسْتِحْدَاثُ مِلْكٍ فَلَمْ يُوجِبِ الرُّجُوعَ وَلِلزَّوْجِ أَنْ يرجع بما أصدق إن كان موجوداً، وببدله إِنْ كَانَ تَالِفًا، فَإِذَا كَانَتِ الْعَيْنُ مَوْجُودَةً وَالرُّجُوعُ لَمْ يَبْطُلْ كَانَ الرُّجُوعُ بِهَا أَوْلَى مِنَ الْعُدُولِ إِلَى بَدَلِهَا.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ قَدْ أَدَّتِ الزَّكَاةَ مِنْهَا، فَطَلَّقَ الزوج وهي تسعة وَثَلَاثُونَ شَاةً، فَفِي كَيْفِيَّةِ رُجُوعِ الزَّوْجِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ
أَحَدُهَا: أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الْمَوْجُودِ بِقِيمَةِ نِصْفِ الْأَرْبَعِينَ، وَهُوَ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فِي الْمُخْتَصَرِ لِأَنَّ الرُّجُوعَ إِلَى الْقِيمَةِ طَرِيقُهُ الِاجْتِهَادُ، فَإِذَا أَمْكَنَ الرُّجُوعُ إِلَى الْعَيْنِ وَأَخَذَ نِصْفَ الصَّدَاقِ مِنْهَا فَلَا مَعْنَى لِلِاجْتِهَادِ وَالْعُدُولِ إِلَى الْقِيمَةِ.
Dikatakan: Perbedaan antara keduanya adalah bahwa ayah boleh mengambil kembali apa yang telah ia hibahkan jika masih ada wujudnya, namun tidak boleh mengambil gantinya jika telah rusak. Sedangkan penjualan oleh anak dianggap sebagai tindakan perusakan (itlāf) yang menggugurkan hak untuk kembali (mewakafkan kembali), dan pembelian oleh anak adalah penciptaan kepemilikan baru, maka tidak mewajibkan hak kembali. Adapun suami boleh mengambil kembali apa yang ia jadikan ṣadaq jika masih ada wujudnya, dan boleh pula mengambil gantinya jika telah rusak. Maka apabila barangnya masih ada dan hak kembali tidak gugur, maka mengambil kembali barang tersebut lebih utama daripada beralih kepada gantinya.
Bagian kedua: Istri telah menunaikan zakat darinya, lalu suami menceraikannya sementara jumlah kambing tinggal tiga puluh sembilan. Maka dalam cara suami mengambil kembali (ṣadaq) terdapat tiga pendapat:
Pertama: Ia mengambil dari yang ada sesuai nilai setengah dari empat puluh. Ini adalah pendapat yang dinukil oleh al-Muzanī dalam al-Mukhtaṣar, karena kembali kepada nilai adalah jalan ijtihad. Maka jika memungkinkan untuk kembali kepada barangnya langsung dan mengambil setengah dari ṣadaq darinya, maka tidak ada makna melakukan ijtihad dan beralih kepada nilai.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الْمَوْجُودِ وَنِصْفِ قِيمَةِ الشَّاةِ التَّالِفَةِ، نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ مِنَ ” الْأُمِّ ” لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ جَمِيعُ الصَّدَاقِ مَوْجُودًا رَجَعَ بِنِصْفِهِ، وَلَوْ كَانَ تَالِفًا رَجَعَ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ، فَوَجَبَ إِذَا كَانَ بَعْضُهُ مَوْجُودًا وَبَعْضُهُ تَالِفًا أَنْ يَعْتَبِرَ حُكْمَ مَا كَانَ مَوْجُودًا بِحُكْمِهِ عَلَى الِانْفِرَادِ فَيَرْجِعُ بِنِصْفِهِ، وَحُكْمُ مَا كَانَ مِنْهُ تَالِفًا بِحُكْمِهِ عَلَى الِانْفِرَادِ فَيَرْجِعُ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: إِنَّهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الرُّجُوعِ بِنِصْفِ الْمَوْجُودِ ونصف قِيمَةِ التَّالِفِ، وَبَيْنَ أَنْ يَعْدِلَ عَنْ نِصْفِ الْمَوْجُودِ وَيَأْخُذَ نِصْفَ قِيمَةِ الْجَمِيعِ، نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الصَّدَاقِ، وَإِنَّمَا كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ ذَلِكَ، لِأَنَّ فِي رُجُوعِهِ بِنِصْفِ الْمَوْجُودِ وَنِصْفِ قِيمَةِ التَّالِفِ تَفْرِيقًا لِصَفْقَتِهِ، فَصَارَ ذَلِكَ عَيْبًا يَثْبُتُ بِهِ الْخِيَارُ.
Pendapat kedua: bahwa suami berhak kembali atas setengah dari mahar yang masih ada dan setengah dari nilai kambing yang telah rusak. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Kitāb az-Zakāh dari al-Umm, karena seandainya seluruh mahar masih ada, maka ia berhak atas setengahnya; dan seandainya seluruhnya telah rusak, maka ia berhak atas setengah dari nilainya. Maka wajib, apabila sebagian masih ada dan sebagian telah rusak, untuk memperlakukan bagian yang masih ada sebagaimana hukumnya secara terpisah — sehingga ia berhak atas setengahnya — dan memperlakukan bagian yang telah rusak sebagaimana hukumnya secara terpisah — sehingga ia berhak atas setengah dari nilainya.
Pendapat ketiga: bahwa suami diberi pilihan antara mengambil setengah dari yang masih ada dan setengah dari nilai yang telah rusak, atau meninggalkan setengah dari yang masih ada dan mengambil setengah dari nilai seluruh mahar. Ini ditegaskan dalam Kitāb aṣ-Ṣadāq. Suami diberi pilihan dalam hal ini karena jika ia mengambil setengah dari yang ada dan setengah dari nilai yang rusak, maka itu menyebabkan tafrīq aṣ-ṣafqah (pemecahan satu kesatuan akad), dan hal itu merupakan cacat yang memberikan hak khiyār.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ زَكَاتُهَا بَاقِيَةً لَمْ تُخْرِجْهَا بَعْدُ فَيُمْنَعَانِ مِنَ الْقِسْمَةِ حَتَّى تُخْرِجَ عَنْهَا الزَّكَاةَ، لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمَسَاكِينِ بِهَا، فَإِنْ أَخْرَجَتْ زَكَاتَهَا مِنْ غَيْرِهَا اقتسماها على ما مضى، فإن أَخْرَجَتْ زَكَاتَهَا مِنْهَا كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ، وَإِنِ اقْتَسَمَاهَا قَبْلَ إِخْرَاجِ زَكَاتِهَا فَفِي الْقِسْمَةِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي الزَّكَاةِ هَلْ وَجَبَتْ فِي الذِّمَّةِ أَوْ فِي الْعَيْنِ؟
أَحَدُهُمَا: الْقِسْمَةُ بَاطِلَةٌ، إِذَا قِيلَ بِوُجُوبِهَا فِي الْعَيْنِ، لِأَنَّ الْمَسَاكِينَ شُرَكَاءُ بِقَدْرِ الزَّكَاةِ، وَإِذَا اقْتَسَمَ شَرِيكَانِ مِنْ ثَلَاثَةٍ لَمْ تَصِحَّ الْقِسْمَةُ، فَعَلَى هَذَا يُوقَفُ أَمْرُهَا حَتَّى تُؤَدَّى زَكَاتُهَا، وَيَكُونُ الْحُكْمُ فِيهَا عَلَى مَا مَضَى.
Bagian ketiga: Bahwa zakat atasnya masih tersisa dan belum dikeluarkan, maka keduanya dilarang membagi ṣadaq tersebut hingga zakatnya ditunaikan, karena adanya hak para miskin yang terkait dengannya. Jika ia mengeluarkan zakatnya dari harta lain, maka keduanya membaginya sebagaimana yang telah lalu. Namun jika ia mengeluarkan zakatnya dari harta itu sendiri, maka berlaku sebagaimana telah kami sebutkan.
Dan jika keduanya membagi ṣadaq itu sebelum zakatnya dikeluarkan, maka dalam pembagian tersebut terdapat dua wajah (pendapat) yang diturunkan dari perbedaan pendapat Imam al-Syāfi‘ī tentang zakat: apakah wajibnya di tanggungan (żimmah) atau pada benda (‘ayn)?
Pertama: Pembagian itu batal, jika dikatakan bahwa zakat wajib pada benda (‘ayn), karena para miskin adalah sekutu dalam harta tersebut sebesar kadar zakat. Dan apabila dua orang sekutu membagi harta dari tiga pihak (dengan satu pihak belum diikutkan), maka pembagian itu tidak sah. Maka berdasarkan hal ini, perkara tersebut ditangguhkan hingga zakatnya ditunaikan, dan hukum atasnya kembali kepada penjelasan sebelumnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الْقِسْمَةَ جَائِزَةٌ إِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الذِّمَّةِ وَارْتِهَانِ الْعَيْنِ بِهَا؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ لَا يَمْنَعُ مِنَ الْقِسْمَةِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهَا ضَرَرٌ بِالْمُرْتَهِنِ، فَعَلَى هَذَا لا تخلو حالها عِنْدَ مُطَالَبَةِ الْوَالِي بِالزَّكَاةِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ بَاقِيًا فِي أَيْدِيهِمَا جَمِيعًا، أَوْ تَالِفًا مِنْهُمَا جَمِيعًا، أَوْ يَكُونَ مَا فِي يَدِ الزَّوْجَةِ بَاقِيًا، وَمَا فِي يَدِ الزَّوْجِ تَالِفًا، أَوْ مَا فِي يَدِ الزوجة تالفا وما في يد الزوج باقيا.
فَالْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا فِي أَيْدِيهِمَا جَمِيعًا، فَيَأْخُذُ الْوَالِي الزَّكَاةَ مِمَّا فِي يَدِ الزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ عَلَيْهَا وَجَبَتْ، فَإِذَا أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْهَا اسْتَقَرَّ مِلْكُ الزَّوْجِ عَلَى مَا حَصَلَ لَهُ بِالْقِسْمَةِ.
Wajah kedua: bahwa pembagian (harta) diperbolehkan jika dikatakan bahwa zakat wajib atas dzimmah (tanggungan) dan bahwa barangnya menjadi tergadai karenanya; karena gadai tidak menghalangi terjadinya pembagian selama tidak ada ḍarar (kerugian) bagi pihak yang menggadai. Berdasarkan hal ini, ketika penguasa menuntut zakat, maka keadaannya tidak lepas dari empat kemungkinan:
- Pertama: barang itu masih ada di tangan keduanya,
- Kedua: barang itu telah rusak dari keduanya,
- Ketiga: yang di tangan istri masih ada dan yang di tangan suami telah rusak,
- Keempat: yang di tangan istri rusak dan yang di tangan suami masih ada.
Keadaan pertama: jika barang masih ada di tangan keduanya, maka penguasa mengambil zakat dari apa yang ada di tangan istri, bukan dari suami, karena zakat wajib atas dirinya (istri). Maka apabila penguasa mengambil zakat darinya, maka harta yang diperoleh suami dari hasil pembagian itu menjadi milik tetap baginya.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ تَالِفًا مِنْهُمَا جَمِيعًا، فَأَيُّهُمَا يُطَالَبُ بِالزَّكَاةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْوَالِيَ يُطَالِبُ الزَّوْجَةَ بِهَا دُونَ الزَّوْجِ، لِأَنَّ الْوُجُوبَ عَلَيْهَا اسْتَقَرَّ.
وَالثَّانِي: إِنَّ لِلْوَالِي مُطَالَبَةَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّ الزَّكَاةَ وَجَبَتْ فِيمَا كَانَ بِأَيْدِيهِمَا، فَإِنْ طَالَبَ الزَّوْجَةَ لَمْ يَرْجِعْ بِهَا إلى الزَّوْجِ، وَإِنْ طَالَبَ الزَّوْجَ وَأَغْرَمَهُ رَجَعَ بِهَا عَلَى الزَّوْجَةِ.
وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ مَا فِي يَدِ الزَّوْجَةِ بَاقِيًا وَمَا فِي يَدِ الزَّوْجِ تَالِفًا فَيَأْخُذُ الْوَالِي الزَّكَاةَ مِمَّا فِي يَدِ الزَّوْجَةِ، وَلَا مُطَالَبَةَ لَهُ عَلَى الزَّوْجِ.
وَالْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ مَا فِي يَدِ الزوجة تالفاً، وما في الزَّوْجِ بَاقِيًا، فَيَأْخُذُ الْوَالِي الزَّكَاةَ مِمَّا فِي يَدِ الزَّوْجِ، لِأَنَّهُ إِذَا تَعَذَّرَ أَخْذُ الزَّكَاةِ مِمَّنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَجَبَ أَخْذُهَا مِنَ الْمَالِ الَّذِي وَجَبَتْ فِيهِ، فَإِذَا أَخَذَ الزَّكَاةَ مِمَّا بِيَدِهِ فَهَلْ تَبْطُلُ الْقِسْمَةُ بِذَلِكَ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Keadaan kedua: Yaitu jika harta tersebut telah rusak dari keduanya sekaligus, maka siapa yang dituntut untuk membayar zakat? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama: Bahwa penguasa (wālī) menuntut istri saja, bukan suami, karena kewajiban zakat telah tetap atas dirinya.
Kedua: Bahwa penguasa boleh menuntut siapa saja dari keduanya, karena zakat telah wajib atas harta yang pernah berada di tangan keduanya. Maka jika penguasa menuntut istri, ia tidak dapat kembali menuntut kepada suami. Namun jika ia menuntut suami dan suami membayar, maka ia boleh kembali menuntut kepada istri.
Keadaan ketiga: Jika harta yang ada di tangan istri masih ada, sedangkan yang di tangan suami telah rusak, maka penguasa mengambil zakat dari harta yang ada di tangan istri, dan tidak ada tuntutan kepada suami.
Keadaan keempat: Jika harta yang di tangan istri telah rusak, sedangkan yang di tangan suami masih ada, maka penguasa mengambil zakat dari harta yang ada di tangan suami. Karena jika mustaḥil mengambil zakat dari orang yang wajib atasnya, maka wajib diambil dari harta yang dikenai kewajiban zakat. Maka jika zakat telah diambil dari harta yang berada di tangannya (suami), apakah pembagian harta antara suami dan istri menjadi batal karenanya atau tidak? Dalam hal ini ada dua wajah (pendapat):
أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْقِسْمَةَ تَبْطُلُ بِذَلِكَ، لِأَنَّ الْوَالِيَ إِنَّمَا أَخَذَ ذَلِكَ بِسَبَبٍ مُتَقَدِّمٍ فَصَارَ قَدْرُ الزَّكَاةِ كَالْمُسْتَحَقِّ مِنْهَا وَقْتَ الْقِسْمَةِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا بَطَلَتِ الْقِسْمَةُ فَهُوَ بِمَثَابَةِ وُجُودِ الزَّوْجِ بَعْضَ الصَّدَاقِ وَعَدَمِ بَعْضِهِ فَيَكُونُ عَلَى الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الْقِسْمَةَ لَا تَبْطُلُ، لِأَنَّ الْوُجُوبَ كَانَ فِي ذِمَّةِ الزَّوْجَةِ، وَأَخْذُ الْوَالِي كَانَ بَعْدَ صِحَّةِ الْقِسْمَةِ فَلَمْ يَكُنِ الْأَخْذُ الْحَادِثُ مُبْطِلًا لِلْقِسْمَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ، كما لو أتلفت الزوجة شاة فما حَصَلَ فِي يَدِ الزَّوْجِ بِالْقِسْمَةِ، فَعَلَى هَذَا لِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الزَّوْجَةِ بِقِيمَةِ الشَّاةِ المأخوذة إن كانت مثل ما وجب عليها، فَإِنْ كَانَ الْوَالِي قَدْ أَخَذَ مِنْهُ أَفْضَلَ مِنَ الْوَاجِبِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهَا بِالْفَضْلِ الَّذِي ظَلَمَهُ الْوَالِي بِهِ.
salah satunya: bahwa pembagian menjadi batal karena sang wali mengambil bagian tersebut berdasarkan sebab yang telah ada sebelumnya, sehingga kadar zakat menjadi seperti sesuatu yang memang telah menjadi hak yang mesti dikeluarkan saat pembagian, maka berdasarkan ini, jika pembagian batal, maka keadaannya seperti suami memiliki sebagian mahar dan tidak memiliki sebagian lainnya, maka hukumnya kembali kepada tiga pendapat.
dan pendapat kedua: bahwa pembagian tidak batal, karena kewajiban zakat itu berada dalam tanggungan istri, dan pengambilan oleh wali terjadi setelah sahnya pembagian, maka pengambilan yang terjadi kemudian itu tidak membatalkan pembagian yang telah terjadi sebelumnya, sebagaimana jika istri merusak seekor kambing, maka yang berada di tangan suami melalui pembagian tetap sah, maka berdasarkan ini, suami boleh menuntut istri untuk membayar nilai kambing yang diambil, jika memang nilainya sebanding dengan apa yang wajib atas istri, namun jika wali telah mengambil darinya lebih dari yang wajib, maka suami tidak boleh menuntut istri atas kelebihan yang dengannya sang wali telah menzhaliminya.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو رهنه مَاشِيَةً وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ أُخِذَتْ مِنْهَا وَمَا بَقِيَ فَرَهْنٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا كَانَ مَعَ رَجُلٍ نِصَابٌ وَجَبَتْ زَكَاتُهُ، كَأَرْبَعِينَ شَاةً حَالَ حَوْلُهَا، فَرَهَنَهَا قَبْلَ أَدَاءِ زَكَاتِهَا فَهُوَ كَالْبَيْعِ عَلَى مَا مَضَى، فَيَكُونُ الرَّهْنُ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ إِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الْعَيْنِ.
PASAL GADAI TERNAK YANG WAJIB DIZAKATI
Imam al-Syāfi‘ī RA berkata: “Jika seseorang menggadaikan ternak yang wajib dizakati, maka zakat diambil darinya, dan sisanya tetap menjadi barang gadai.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam al-Syāfi‘ī):
Jika seseorang memiliki niṣāb yang wajib dizakati, seperti empat puluh ekor kambing dan telah sempurna ḥaul-nya, lalu ia menggadaikannya sebelum menunaikan zakatnya, maka hukumnya seperti jual beli sebagaimana yang telah lalu. Maka status gadai pada kadar zakat memiliki dua pendapat:
Pertama: Gadai tersebut batal jika dikatakan bahwa zakat wajib atas benda (fī al-‘ayn).
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: جَائِزٌ إِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الذِّمَّةِ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الرَّهْنَ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ جَائِزٌ فَهُوَ فِي الْبَاقِي أَجْوَزُ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ بَاطِلٌ فهو يَبْطُلُ فِي الْبَاقِي أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ، بِنَاءً عَلَى تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ، فَإِنْ قِيلَ بِجَوَازِ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ فَالرَّهْنُ فِي الْبَاقِي جَائِزٌ، وَإِنْ قيل تفريق الصفقة لا يجوز ففي ببطلان رَهْنِ الْبَاقِي وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ عِلَّةِ هذا القول، فإن قيل العلة فيه جَهَالَةُ الثَّمَنِ فَالرَّهْنُ جَائِزٌ، لِأَنَّهُ لَا ثَمَنَ فِيهِ، وَإِنْ قِيلَ الْعِلَّةُ فِيهِ أَنَّ الْعَقْدَ جَمَعَ حَلَالًا وَحَرَامًا فَرَهْنُ الْبَاقِي بَاطِلٌ، فَلَوْ أَخَذَ الْوَالِي الزَّكَاةَ مِنْهَا بَطَلَ الرَّهْنُ فِي الشَّاةِ الْمَأْخُوذَةِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَيَكُونُ الرَّهْنُ فِي الْبَاقِي عَلَى نَحْوِ مَا مَضَى فِي الْبَيْعِ.
dan pendapat kedua: boleh jika dikatakan bahwa zakat itu wajib dalam tanggungan. Maka jika kita mengatakan bahwa gadai pada kadar zakat itu sah, maka pada sisanya lebih sah lagi. Dan jika kita mengatakan bahwa gadai pada kadar zakat itu batal, maka apakah batal pula pada sisanya atau tidak? Terdapat dua pendapat, tergantung pada perincian akad yang mencakup beberapa bagian. Jika dikatakan bahwa memisahkan bagian akad itu boleh, maka gadai pada sisanya sah. Namun jika dikatakan bahwa memisahkan bagian akad itu tidak boleh, maka dalam pembatalan gadai pada sisanya terdapat dua wajah, tergantung pada perbedaan alasan dalam pendapat ini.
Jika dikatakan bahwa alasannya adalah karena ketidaktahuan terhadap harga, maka gadai itu sah karena tidak ada harga di dalamnya. Tetapi jika dikatakan bahwa alasannya adalah karena akad itu mencampur antara yang halal dan haram, maka gadai sisanya batal. Maka jika sang wali mengambil zakat darinya, maka batal gadai atas kambing yang diambil menurut satu pendapat, dan gadai atas sisanya mengikuti sebagaimana yang telah disebutkan pada pembahasan jual beli.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو باعه بيعاً عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ إِيَّاهَا كَانَ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ كَمَنْ رَهَنَ شَيْئًا لَهُ وَشَيْئًا لَيْسَ لَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا شَرَطَ رَهْنَ الْغَنَمِ الَّتِي حَالَ حَوْلُهَا فِي عقد بيع فَإِنْ قِيلَ رَهْنُ الْجَمِيعِ جَائِزٌ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ، ولا خيار للبايع لِحُصُولِ الرَّهْنِ لَهُ عَلَى مَا شَرَطَهُ، وَإِنْ قِيلَ الرَّهْنُ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ بَاطِلٌ وَفِي الْبَاقِي جَائِزٌ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ، لَكِنْ لِلْبَائِعِ الْخِيَارُ بَيْنَ أَنْ يُمْضِيَ الْبَيْعَ بِرَهْنِ الْبَاقِي وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ لِنُقْصَانِ الرَّهْنِ، وَإِنْ قِيلَ بِبُطْلَانِ الرَّهْنِ فِي الْجَمِيعِ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ:
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Seandainya ia menjual dengan syarat agar barang itu dijadikan rahin (jaminan) kepadanya, maka ia berhak membatalkan jual beli itu, seperti orang yang menggadaikan sesuatu yang merupakan miliknya dan sesuatu yang bukan miliknya.”
Al-Mawardi berkata: “Ini sebagaimana yang dikatakan:
Apabila disyaratkan penggadaian kambing yang telah berlalu haul-nya dalam akad jual beli, maka jika dikatakan bahwa penggadaian seluruh kambing itu sah, maka jual belinya sah, dan tidak ada hak khiyar bagi penjual karena rahin (jaminan) telah diterima sesuai dengan syaratnya. Dan jika dikatakan bahwa rahin untuk kadar zakatnya batal dan untuk sisanya sah, maka jual belinya sah, tetapi penjual memiliki hak khiyar antara melanjutkan jual beli dengan rahin bagian sisanya atau membatalkan karena kekurangan pada rahin. Dan jika dikatakan bahwa rahin untuk seluruhnya batal, maka dalam batal atau tidaknya jual beli terdapat dua pendapat.”
أحدهما: باطل كبطلان الرَّهْنِ، لِأَنَّ الرَّهْنَ مُلْحَقٌ بِالْبَيْعِ كَالْأَجَلِ، وَفَسَادُ الأجل مبطل للبيع كذلك الرَّهْنُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْبَيْعَ لَا يَبْطُلُ، لِأَنَّهُمَا عَقْدَانِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ يَجُوزُ إِفْرَادُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَبُطْلَانُ أَحَدِ الْعَقْدَيْنِ لَا يَقْتَضِي بُطْلَانَ الْآخَرِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ، وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ لِفَوَاتِ الرَّهْنِ.
salah satunya: batal sebagaimana batalnya gadai, karena gadai itu diikutkan pada jual beli seperti halnya tempo, dan rusaknya tempo membatalkan jual beli, maka demikian pula gadai.
dan pendapat kedua: bahwa jual belinya tidak batal, karena keduanya adalah dua akad yang terpisah, karena masing-masing dari keduanya boleh dilakukan secara tersendiri, dan batalnya salah satu akad tidak mengharuskan batalnya akad yang lain. Maka berdasarkan ini, penjual berada dalam pilihan antara meneruskan jual beli tanpa gadai, atau membatalkan karena hilangnya jaminan gadai.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو حال عليها حول وجبت فيها الصدقة فَإِنْ كَانَتْ إِبِلًا فَرِيضَتُهَا الْغَنَمُ بِيعَ مِنْهَا فاستوفيت صَدَقَتُهَا وَكَانَ مَا بَقِيَ رَهْنًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا رَهَنَ مَاشِيَةً قَبْلَ حَوْلِهَا فَرَهْنُهَا صَحِيحٌ، وَتَجْرِي فِي الْحَوْلِ، فَإِذَا حَالَ حَوْلُهَا وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ، لِأَنَّ مِلْكَ الرَّاهِنِ عَلَيْهَا تَامٌّ، وَإِنَّمَا هُوَ نَاقِصُ التَّصَرُّفِ، وَنُقْصَانُ التَّصَرُّفِ لَا يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ، كَالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الزَّكَاةَ فِيهَا وَاجِبَةٌ لَمْ يَخْلُ حَالُ الدَّيْنِ الْمَرْهُونِ بِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ حَالًّا، أَوْ مُؤَجَّلًا، فَإِنْ كَانَ حَالًا وَجَبَتِ الزَّكَاةُ، فَدَفَعَهَا الرَّاهِنُ مِنْ مَالِهِ، كَانَ الرَّهْنُ بِحَالِهِ وَإِنْ أَبَى الرَّاهِنُ أَنْ يُخْرِجَهَا مِنْ مَالِهِ، وَامْتَنَعَ الْمُرْتَهِنُ أَنْ يُخْرِجَهَا مِنْ رَهْنِهِ، فَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ مُوسِرًا بِهَا أُجْبِرَ عَلَى دَفْعِهَا مِنْ مَالِهِ، لِأَنَّهَا مِنْ مُؤْنَةِ الرَّهْنِ، وَإِنْ كَانَ معسراً بها فعلى قولين: إن قيل الزَّكَاةَ فِي الْعَيْنِ بُدِئَ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ وَقُدِّمَتْ عَلَى حَقِّ الْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا فِي الذمة بدأ بِحَقِّ الْمُرْتَهِنِ وَكَانَتِ الزَّكَاةُ دَيْنًا فِي ذِمَّتِهِ، وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مُؤَجَّلًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الزَّكَاةِ وَالدَّيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika telah berlalu haul atasnya dan zakat pun wajib padanya, maka jika itu berupa unta yang zakatnya berupa kambing, maka kambing itu diambil dari unta tersebut untuk memenuhi kewajiban zakatnya, dan sisanya menjadi rahin (jaminan).”
Al-Mawardi berkata: “Ini sebagaimana yang dikatakan: jika seseorang menggadaikan hewan ternak sebelum haul-nya, maka penggadaiannya sah, dan ia tetap berjalan dalam hitungan haul. Maka apabila haul telah sempurna, zakat pun wajib padanya, karena kepemilikan rahin atasnya adalah sempurna; hanya saja ia kurang dalam hal tasharruf, dan kekurangan dalam tasharruf tidak menghalangi kewajiban zakat, sebagaimana halnya anak kecil dan orang gila.
Maka apabila telah tetap bahwa zakat wajib padanya, maka kondisi utang yang dijadikan jaminan tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama, jika utangnya telah jatuh tempo, maka zakat wajib dikeluarkan. Jika rahin mengeluarkannya dari hartanya sendiri, maka rahin tetap sebagaimana adanya. Namun jika rahin enggan mengeluarkannya dari hartanya sendiri, dan murtahin juga menolak mengeluarkannya dari barang yang digadaikan, maka jika rahin adalah orang yang mampu membayarnya, ia dipaksa untuk mengeluarkannya dari hartanya sendiri, karena itu termasuk biaya tanggungan atas rahin. Tapi jika ia tidak mampu, maka ada dua pendapat:
Jika dikatakan bahwa zakat itu pada ‘ain (bendanya), maka dimulai dengan mengeluarkan zakat dan didahulukan atas hak murtahin.
Dan jika dikatakan bahwa zakat itu ada di dzimmah (tanggungan jiwa), maka didahulukan hak murtahin, dan zakat menjadi utang dalam tanggungan rahin.
Kedua, jika utangnya belum jatuh tempo, maka keadaan zakat dan utang tidak lepas dari tiga bagian…”
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ حَوْلُ الزَّكَاةِ أَسْبَقَ مِنْ حَوْلِ الدَّيْنِ، فَيَبْدَأُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ مِنْهَا قَبْلَ الدَّيْنِ، إِلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ الرَّاهِنُ بِدَفْعِ الزَّكَاةِ مِنْ غَيْرِهَا، فَيَكُونُ الرَّهْنُ عَلَى جُمْلَتِهِ، وَإِنْ أَبَى الرَّاهِنُ أُخِذَتِ الزَّكَاةُ مِنَ الرَّهْنِ، لِأَنَّ وُجُوبَهَا أَسْبَقُ من وجوب الدين، فكانت أحق بالتقدمة، وإذا أُخِذَتِ الزَّكَاةُ بَطَلَ الرَّهْنُ فِيهَا، وَكَانَ الرَّهْنُ ثَابِتًا فِي الْبَاقِي، وَلَا خِيَارَ لِلْمُرْتَهِنِ فِي فسخ البيع لنقصان الرهن، لِأَنَّ هَذَا النُّقْصَانَ بِسَبَبٍ حَادِثٍ فِي يَدِهِ، كَمَا لَوِ ارْتَهَنَ عَبْدًا فَقُتِلَ فِي يَدِهِ بِرِدَّةٍ، أَوْ قُطِعَ بِسَرِقَةٍ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يكون حلول الدين أسبق من حلول الزَّكَاةِ، فَيُقَدِّمُ الدَّيْنَ لِتَقَدُّمِ اسْتِحْقَاقِهِ، فَإِنْ بِيعَ الرَّهْنُ قَبْلَ الْحَوْلِ فَلَا زَكَاةَ، وَإِنْ بَقِيَ عَلَى حَالِهِ حَتَّى حَالَ الْحَوْلُ فَفِيهِ الزَّكَاةُ، وَيُطَالَبُ بِهَا الرَّاهِنُ لِأَنَّهَا مِنْ مُؤْنَةِ الرَّهْنِ كَالسَّقْيِ، وَالْعُلُوفَةِ، وَأُجْرَةِ الرُّعَاةِ، وَالْحَفَظَةِ.
Salah satunya: apabila haul zakat lebih dahulu daripada haul utang, maka didahulukan pengeluaran zakat darinya sebelum utang, kecuali jika rahin bersedia secara suka rela mengeluarkan zakat dari selain barang yang digadaikan, maka seluruh barang itu tetap menjadi rahin. Namun jika rahin menolak, maka zakat diambil dari barang yang digadaikan, karena kewajiban zakat lebih dahulu daripada kewajiban utang, maka ia lebih berhak untuk didahulukan. Dan apabila zakat telah diambil, maka batal status rahin pada bagian itu, dan rahin tetap berlaku pada sisanya. Dan murtahin tidak memiliki hak khiyar untuk membatalkan jual beli karena kekurangan nilai rahin, karena kekurangan ini disebabkan oleh sesuatu yang terjadi kemudian di tangannya, sebagaimana jika seseorang menggadaikan seorang budak, lalu budak itu terbunuh saat berada di tangannya karena murtad, atau tangannya dipotong karena mencuri.
Bagian kedua: apabila jatuh tempo utang lebih dahulu daripada haul zakat, maka didahulukan pelunasan utang karena lebih dahulu jatuh temponya. Maka jika barang yang digadaikan dijual sebelum sempurna haul-nya, tidak ada zakat. Namun jika tetap berada sebagaimana adanya hingga haul sempurna, maka wajib zakat, dan rahin dituntut untuk mengeluarkannya karena ia termasuk biaya tanggungan atas rahin, seperti pengairan, pakan, dan upah para penggembala dan penjaga.
والقسم الثالث: أن يكون حلول الدين وحلول الزَّكَاةِ مَعًا لَا يَسْبِقُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ، فَالزَّكَاةُ وَاجِبَةٌ، فَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ مُوسِرًا بِهَا قَادِرًا عَلَى دَفْعِهَا مِنْ غَيْرِ الرَّهْنِ أُخِذَتْ مِنْ ماله وكان الرهن معروفاً فِي دَيْنِهِ، وَإِنْ كَانَ الرَّاهِنُ مُعْسِرًا لَا يَجِدُ غَيْرَ الرَّهْنِ وَلَا يَمْلِكُ سِوَاهُ فَهَلْ يَبْدَأُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ أَوْ بِدَيْنِ الْمُرْتَهِنِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الذِّمَّةِ أَوْ فِي الْعَيْنِ، فَإِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الْعَيْنِ وَجَبَ تَقْدِيمُ الزَّكَاةِ، وَإِذَا قِيلَ بِوُجُوبِهَا فِي الذِّمَّةِ وَجَبَ تَقْدِيمُ الْمُرْتَهِنِ، وَقَدْ خُرِّجَ قَوْلٌ ثَالِثٌ إِنَّهُمَا سواء ويقسط ذلك بينهما.
Dan bagian ketiga: yaitu apabila jatuh tempo utang dan haul zakat terjadi bersamaan, tidak ada salah satunya yang lebih dahulu, maka zakat tetap wajib. Jika rahin adalah orang yang mampu menunaikannya dan sanggup membayarnya dari selain barang yang digadaikan, maka zakat diambil dari hartanya, dan barang yang digadaikan tetap menjadi jaminan atas utangnya. Namun jika rahin adalah orang yang tidak mampu, tidak memiliki selain barang yang digadaikan, dan tidak menguasai harta lainnya, maka apakah didahulukan pengeluaran zakat atau pelunasan utang murtahin? Maka ada dua pendapat, yang dibangun di atas perbedaan pendapat tentang apakah zakat wajib pada dzimmah (tanggungan jiwa) atau pada ‘ain (bendanya).
Jika dikatakan bahwa zakat wajib pada ‘ain, maka wajib didahulukan zakat.
Dan jika dikatakan bahwa zakat wajib pada dzimmah, maka didahulukan hak murtahin.
Dan telah ditarjih pendapat ketiga, yaitu bahwa keduanya setara, maka dibagi secara proporsional antara keduanya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وما نتج منها خارجاً من الرهن ولا يباع منها مَاخِضٌ حَتَّى تَضَعَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الرَّاهِنُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَاتَانِ الْمَسْأَلَتَانِ مِنْ غَيْرِ الزَّكَاةِ وإنما ذكرهما في غير الْمَوْضِعِ لِتَعَلُّقِهِمَا بِمَا قَبْلَهُمَا، فَإِذَا رَهَنَ جَارِيَةً فَوَلَدَتْ أَوْ مَاشِيَةً فَنَتَجَتْ فَالْوَلَدُ وَالنِّتَاجُ خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ، وَقَالَ أبو حنيفة يَكُونُ ذَلِكَ رَهْنًا تَبَعًا لِأَصْلِهِ وَسَنَذْكُرُ الْحِجَاجَ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الرَّهْنِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا كَانَ النِّتَاجُ تَابِعًا لِلْأُمَّهَاتِ فِي الزَّكَاةِ فَهَلَّا كَانَ تَابِعًا لَهَا فِي الرَّهْنِ؟ قِيلَ: لِأَنَّ الرَّهْنَ عَقْدٌ وَالنِّتَاجَ لَمْ يَدْخُلْ فِي الْعَقْدِ، وَالزَّكَاةُ لِأَجْلِ الْمِلْكِ وَالنِّتَاجُ دَاخِلٌ فِي الْمِلْكِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ النِّتَاجَ لَا يَدْخُلُ في الرهن انتقل الكلام إلى الْمَسْأَلَةِ الثَّانِيَةِ وَهُوَ قَوْلُهُ وَلَا تُبَاعُ مَاخِضٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَهَا مُقَدِّمَةٌ، وَهِيَ اخْتِلَافُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْحَمْلِ هَلْ يَكُونُ تَبَعًا أَوْ يُأْخَذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ؟ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ إِنَّهُ يَكُونُ تَبَعًا لَا حُكْمَ لَهُ بِنَفْسِهِ كَسَائِرِ الْأَعْضَاءِ؛ لِأَنَّ عِتْقَ الْأُمِّ يَسْرِي إِلَيْهِ كَمَا يَسْرِي إِلَى جَمِيعِ الْأَعْضَاءِ وَلَا يَسْرِي إِلَيْهِ إِذَا كَانَ مُنْفَصِلًا فَعُلِمَ أَنَّهُ قَبْلَ الِانْفِصَالِ يَكُونُ تَبَعًا.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ يَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ وَيُفْرَدُ حُكْمُهُ بِنَفْسِهِ، لِأَنَّ عِتْقَ الْحَمْلِ لَا يَسْرِي إِلَى عِتْقِ أُمِّهِ، وَلَوْ كَانَ كَسَائِرِ أَعْضَائِهَا لَسَرَى عِتْقُهُ إِلَى عنقها.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Dan apa yang dilahirkan darinya, maka itu di luar dari gadai, dan tidak boleh dijual hewan yang sedang bunting hingga melahirkan, kecuali jika pihak yang menggadaikan menghendakinya.”
Al-Mawardi berkata: Kedua masalah ini bukan termasuk pembahasan zakat, namun disebutkan dalam konteks ini karena keterkaitannya dengan pembahasan sebelumnya. Maka apabila seseorang menggadaikan seorang budak perempuan lalu ia melahirkan, atau menggadaikan hewan ternak lalu melahirkan, maka anak dan hasil kelahiran itu tidak termasuk dalam barang gadai.
Sedangkan Abu Ḥanīfah berpendapat bahwa anak dan hasil kelahiran itu termasuk dalam gadai karena mengikuti induknya, dan kami akan menyebutkan dalil bantahan atas pendapat ini dalam Kitab al-Rahn insya Allah.
Apabila dikatakan: Jika hasil kelahiran itu mengikuti induknya dalam zakat, mengapa tidak dianggap mengikuti juga dalam gadai?
Dijawab: Karena gadai adalah akad, dan hasil kelahiran tidak termasuk dalam akad, sedangkan zakat ditetapkan karena kepemilikan, dan hasil kelahiran termasuk dalam kepemilikan. Maka apabila telah tetap bahwa hasil kelahiran tidak masuk dalam akad gadai, maka pembahasan berpindah kepada masalah kedua, yaitu sabdanya: “Dan tidak boleh dijual hewan yang sedang bunting hingga melahirkan.”
Dan pernyataan ini memiliki pendahuluan, yaitu perbedaan pendapat dalam mazhab al-Syafi’i tentang janin, apakah ia dianggap sebagai pengikut (induknya) ataukah dihitung tersendiri dalam harga. Salah satu dari dua pendapat adalah bahwa janin itu menjadi pengikut, tidak memiliki hukum tersendiri seperti anggota tubuh lainnya, karena kemerdekaan sang induk akan merambat kepadanya sebagaimana merambat pada seluruh anggota tubuhnya, dan tidak akan merambat kepadanya jika sudah terpisah, maka diketahui bahwa selama belum terpisah, ia dianggap sebagai pengikut.
Dan pendapat kedua: bahwa janin itu mengambil bagian harga tersendiri dan memiliki hukum sendiri, karena kemerdekaan janin tidak merambat pada kemerdekaan induknya, dan seandainya ia seperti anggota tubuh lainnya, niscaya kemerdekaannya akan merambat kepada leher induknya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وما نتج منها خارجاً من الرهن ولا يباع منها مَاخِضٌ حَتَّى تَضَعَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الرَّاهِنُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَاتَانِ الْمَسْأَلَتَانِ مِنْ غَيْرِ الزَّكَاةِ وإنما ذكرهما في غير الْمَوْضِعِ لِتَعَلُّقِهِمَا بِمَا قَبْلَهُمَا، فَإِذَا رَهَنَ جَارِيَةً فَوَلَدَتْ أَوْ مَاشِيَةً فَنَتَجَتْ فَالْوَلَدُ وَالنِّتَاجُ خَارِجٌ مِنَ الرَّهْنِ، وَقَالَ أبو حنيفة يَكُونُ ذَلِكَ رَهْنًا تَبَعًا لِأَصْلِهِ وَسَنَذْكُرُ الْحِجَاجَ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الرَّهْنِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا كَانَ النِّتَاجُ تَابِعًا لِلْأُمَّهَاتِ فِي الزَّكَاةِ فَهَلَّا كَانَ تَابِعًا لَهَا فِي الرَّهْنِ؟ قِيلَ: لِأَنَّ الرَّهْنَ عَقْدٌ وَالنِّتَاجَ لَمْ يَدْخُلْ فِي الْعَقْدِ، وَالزَّكَاةُ لِأَجْلِ الْمِلْكِ وَالنِّتَاجُ دَاخِلٌ فِي الْمِلْكِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ النِّتَاجَ لَا يَدْخُلُ في الرهن انتقل الكلام إلى الْمَسْأَلَةِ الثَّانِيَةِ وَهُوَ قَوْلُهُ وَلَا تُبَاعُ مَاخِضٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَهَا مُقَدِّمَةٌ، وَهِيَ اخْتِلَافُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْحَمْلِ هَلْ يَكُونُ تَبَعًا أَوْ يُأْخَذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ؟ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ إِنَّهُ يَكُونُ تَبَعًا لَا حُكْمَ لَهُ بِنَفْسِهِ كَسَائِرِ الْأَعْضَاءِ؛ لِأَنَّ عِتْقَ الْأُمِّ يَسْرِي إِلَيْهِ كَمَا يَسْرِي إِلَى جَمِيعِ الْأَعْضَاءِ وَلَا يَسْرِي إِلَيْهِ إِذَا كَانَ مُنْفَصِلًا فَعُلِمَ أَنَّهُ قَبْلَ الِانْفِصَالِ يَكُونُ تَبَعًا.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ يَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الثَّمَنِ وَيُفْرَدُ حُكْمُهُ بِنَفْسِهِ، لِأَنَّ عِتْقَ الْحَمْلِ لَا يَسْرِي إِلَى عِتْقِ أُمِّهِ، وَلَوْ كَانَ كَسَائِرِ أَعْضَائِهَا لَسَرَى عِتْقُهُ إِلَى عنقها.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Dan apa yang dilahirkan darinya, maka itu di luar dari gadai, dan tidak boleh dijual hewan yang sedang bunting hingga melahirkan, kecuali jika pihak yang menggadaikan menghendakinya.”
Al-Mawardi berkata: Kedua masalah ini bukan bagian dari zakat, namun disebutkan di luar tempatnya karena keterkaitannya dengan pembahasan sebelumnya. Maka apabila seseorang menggadaikan seorang jariyah lalu ia melahirkan, atau menggadaikan hewan ternak lalu melahirkan, maka anak dan hasil kelahiran tersebut berada di luar gadai. Abu Ḥanīfah berpendapat bahwa hal itu termasuk dalam gadai karena mengikuti induknya, dan dalil bantahannya akan disebutkan dalam Kitāb al-Rahn insya Allah.
Apabila dikatakan: Jika hasil kelahiran mengikuti induknya dalam zakat, mengapa tidak mengikuti pula dalam gadai?
Dijawab: Karena gadai adalah akad, dan hasil kelahiran tidak termasuk dalam akad. Adapun zakat itu karena sebab kepemilikan, dan hasil kelahiran masuk dalam kepemilikan. Maka apabila telah tetap bahwa hasil kelahiran tidak termasuk dalam gadai, maka pembahasan berpindah kepada masalah kedua, yaitu sabdanya: “Dan tidak dijual hewan yang sedang bunting hingga melahirkan,” dan ini memiliki pendahuluan, yaitu perbedaan pendapat dalam mazhab al-Syafi‘i mengenai status janin, apakah ia dianggap sebagai pengikut atau diambil bagian dari harga.
Salah satu dari dua pendapat adalah bahwa janin itu dianggap pengikut dan tidak memiliki hukum tersendiri sebagaimana anggota tubuh lainnya, karena kemerdekaan induknya merambat padanya sebagaimana merambat pada seluruh anggota tubuh, dan tidak merambat jika ia sudah terpisah, maka diketahui bahwa sebelum terpisah ia adalah pengikut.
Dan pendapat kedua: bahwa ia mengambil bagian dari harga dan memiliki hukum tersendiri, karena kemerdekaan janin tidak merambat kepada kemerdekaan ibunya. Seandainya ia seperti anggota tubuh lainnya, niscaya kemerdekaannya akan merambat kepada leher ibunya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَعْقِدَ عَلَيْهَا وهي حوايل ثم تحمل وتضع ويحل الحق وهي حوايل، فَالْوَاجِبُ أَنْ تُبَاعَ الْأُمَّهَاتُ دُونَ النِّتَاجِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا، لِاسْتِوَاءِ الطَّرَفَيْنِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَعْقِدَ عَلَيْهَا وَهِيَ حَوَامِلُ ثُمَّ تَضَعُ وَيَحُلُّ الحق وهي حوايل فَهَلْ تُبَاعُ مَعَ الْأُمَّهَاتِ أَمْ لَا؟ عَلَى قولين: إن قِيلَ: إِنَّ الْحَمْلَ تَبَعٌ فَهِيَ خَارِجَةٌ عَنِ الرَّهْنِ لَا تُبَاعُ مَعَ الْأُمَّهَاتِ؛ لِأَنَّهَا دَخَلَتْ فِي الْعَقْدِ عِنْدَ اتِّصَالِهَا تَبَعًا، فَإِذَا انْفَصَلَتْ لم تكن تبعاً وإن قِيلَ إِنَّ الْحَمْلَ يَنْفَرِدُ حُكْمُهُ بِنَفْسِهِ وَيَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الْعَقْدِ بِيعَتْ مَعَ الْأُمَّهَاتِ لِاشْتِمَالِ الْعَقْدِ عَلَيْهَا.
dan bagian kedua: yaitu ia mengadakan akad atasnya sementara ia sedang tidak hamil, lalu ia hamil dan melahirkan, dan jatuh tempo hak (utang) ketika ia masih tidak hamil, maka yang wajib adalah menjual induk-induknya saja tanpa anak-anaknya menurut kedua pendapat, karena seimbangnya kedua sisi.
dan bagian ketiga: yaitu ia mengadakan akad atasnya sementara ia sedang hamil, lalu ia melahirkan, dan jatuh tempo hak (utang) ketika ia tidak lagi hamil, maka apakah anak-anaknya dijual bersama induk-induknya atau tidak? ada dua pendapat: jika dikatakan bahwa janin itu mengikuti (induknya), maka ia keluar dari rahn dan tidak dijual bersama induk-induknya; karena ia masuk dalam akad secara ikut-ikutan, maka ketika ia terpisah, ia tidak lagi menjadi pengikut. Dan jika dikatakan bahwa janin memiliki hukum tersendiri dan mendapat bagian dari akad, maka ia dijual bersama induk-induknya karena akad mencakup dirinya.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَعْقِدَ عَلَيْهَا وهي حوايل ويحيل الْحَقُّ وَهِيَ حَوَامِلُ فَهَلْ تُبَاعُ وَهِيَ حَوَامِلُ أَمْ حَتَّى تَضَعَ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: إِنْ قِيلَ إِنَّ الْحَمْلَ تَبَعٌ بِيعَتْ حَوَامِلُ، فَإِنْ تَأَخَّرَ بَيْعُهَا حَتَّى وَضَعَتْ لَمْ يُبَعِ الْحَمْلُ مَعَهَا، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْحَمْلَ يَأْخُذُ قِسْطًا مِنَ الْعَقْدِ وَيَنْفَرِدُ حُكْمُهُ بِنَفْسِهِ لَمْ تُبَعْ وَهِيَ حَوَامِلُ حَتَّى تَضَعَ، فَإِذَا وَضَعَتْ بِيعَتْ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ بَيْعُهَا دُونَ حَمْلِهَا، وَلَا يَسْتَحِقُّ الْمُرْتَهِنُ أَنْ يَبِيعَهَا مَعَ حَمْلِهَا، فَوَجَبَ الْوُقُوفُ إِلَى حِينِ الْوَضْعِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
dan bagian keempat: yaitu ketika akad dilakukan atasnya (misalnya hewan) dalam keadaan tidak bunting, lalu jatuh tempo hak (utang) dalam keadaan ia sedang bunting. Maka apakah boleh dijual dalam keadaan sedang bunting ataukah harus menunggu hingga melahirkan? Terdapat dua pendapat:
Jika dikatakan bahwa janin adalah pengikut (induknya), maka ia boleh dijual dalam keadaan bunting, namun jika penjualan ditunda hingga melahirkan, maka janinnya tidak ikut dijual bersamanya.
Namun jika dikatakan bahwa janin mengambil bagian tersendiri dalam akad dan memiliki hukum tersendiri, maka tidak boleh dijual dalam keadaan bunting hingga melahirkan. Maka apabila telah melahirkan, barulah boleh dijual, karena tidak mungkin menjual induknya tanpa janinnya, dan pihak murtahin tidak berhak menjualnya bersama janinnya. Maka wajib menunggu sampai melahirkan. Dan Allah Maha Mengetahui.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ الْمَازِنِيِّ عَنِ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أوسقٍ مِنَ التَّمْرِ صدقةٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
الْأَصْلُ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الثِّمَارِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ، فَأَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمُنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ} (البقرة: 267) فأوجب بأمره الإنفاق مما أخرج مِنَ الْأَرْضِ، وَالثِّمَارُ خَارِجَةٌ مِنْهَا، ثُمَّ قَالَ: {وَلاَ تَيَمَّمُوا الخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ) {البقرة: 267) فَدَلَّ على أن المراد بالنفقة الصدقة الَّتِي يَحْرُمُ إِخْرَاجُ الْخَبِيثِ فِيهَا، وَلَوْ لَمْ يُرِدِ الصَّدَقَةَ لَجَازَ إِخْرَاجُ خَبِيثِهَا وَطَيِّبِهَا وَقَالَ تَعَالَى: {وَهُوَ الَّذِي أنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفاً أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَانَ مُتَشَابِهاً وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ) {الأنعام: 141) .
PASAL ZAKAT BUAH-BUAHAN
Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Mālik bin Anas dari Muḥammad bin ‘Abdillāh bin ‘Abdirraḥmān bin Abī Ṣa‘ṣa‘ah al-Māzinī dari ayahnya dari Abū Sa‘īd al-Khuḍrī bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari lima wasq.’”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan:
Dasar kewajiban zakat pada buah-buahan adalah al-Kitāb, as-Sunnah, dan ijmā‘. Adapun dari al-Kitāb adalah firman Allah Ta‘ālā: {Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi} (al-Baqarah: 267). Maka Allah mewajibkan melalui perintah-Nya untuk menginfakkan apa yang dikeluarkan dari bumi, dan buah-buahan termasuk di dalamnya.
Kemudian Allah berfirman: {Dan janganlah kalian memilih yang buruk darinya untuk kalian infakkan} (al-Baqarah: 267), maka ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan nafaqah adalah ṣadaqah (zakat), yang haram mengeluarkan bagian yang buruk darinya. Seandainya bukan ṣadaqah yang dimaksud, maka boleh mengeluarkan bagian yang buruk ataupun yang baik.
Dan Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan Dialah yang menumbuhkan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima, yang serupa dan tidak serupa. Makanlah dari buahnya apabila berbuah dan tunaikanlah haknya pada hari panennya} (al-An‘ām: 141).
وَأَمَّا السُّنَّةُ.
فَرِوَايَةُ جَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا سَقَتِ السَّمَاءُ فَفِيهِ الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بنضحٍ أَوْ غربٍ فَنِصْفُ الْعُشْرِ “.
وَالثِّمَارُ دَاخِلَةٌ فِي عُمُومِ السَّقْيِ، فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ دَاخِلَةً فِي عُمُومِ الْوُجُوبِ، وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى وجوبها، وإن اختلفوا في قدر ما يجب فيه.
Adapun sunnah, maka berdasarkan riwayat dari Jābir dan Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tanaman yang disirami oleh air hujan maka padanya zakat sepersepuluh, dan yang disirami dengan alat siram atau timba maka padanya setengah dari sepersepuluh.”
Dan buah-buahan termasuk dalam keumuman tanaman yang disirami, maka ini menunjukkan bahwa ia termasuk dalam keumuman kewajiban (zakat). Dan kaum muslimin telah sepakat atas kewajibannya, meskipun mereka berselisih dalam kadar yang wajib darinya.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُهَا فِي الثِّمَارِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ فِي ثَمَرِ النَّخْلِ وَالْكَرْمِ دُونَ مَا عَدَاهُمَا مِنَ الثِّمَارِ، إِذَا بَلَغَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا خَمْسَةَ أَوْسُقٍ تَمْرًا أَوْ زَبِيبًا، وَلَا شيء فيما دُونَ ذَلِكَ. هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ جَابِرٌ وَابْنُ عُمَرَ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَالْأَوْزَاعِيُّ وأبو يوسف، ومحمد، وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة: الْعُشْرُ وَاجِبٌ فِي قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ نِصَابٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ) {الأنعام: 141) فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ وَبِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فِيمَا سَقَتِ الْسَمَاءُ الْعُشْرُ “.
PASAL
Apabila telah tetap kewajiban zakat pada buah-buahan, maka zakat itu wajib pada buah kurma dan anggur saja, tidak pada buah-buahan selain keduanya, apabila masing-masing dari keduanya mencapai lima wasq dalam bentuk tamr (kurma kering) atau zabīb (kismis), dan tidak ada zakat pada jumlah yang kurang dari itu. Inilah mazhab al-Syafi’i, dan ini pula yang dikatakan oleh para sahabat seperti Jābir dan Ibnu ‘Umar.
Dari kalangan fuqahā’, yang berpendapat demikian adalah Mālik, al-Layth bin Sa‘d, al-Awzā‘ī, Abū Yūsuf, Muḥammad, dan Aḥmad bin Ḥanbal.
Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa ‘usyur (zakat sepersepuluh) wajib pada sedikit maupun banyaknya tanpa memperhatikan niṣāb, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {Tunaikanlah haknya pada hari panennya} (al-An‘ām: 141), maka ayat ini bersifat umum mencakup yang sedikit maupun yang banyak. Juga berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW: “Pada apa yang diairi oleh air hujan, zakatnya adalah sepersepuluh.”
وَرِوَايَتُهُ عَنْ أَبَانِ بْنِ أَبِي عَيَّاشٍ عَنْ رَجُلٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” مَا سَقَتِ السَّمَاءُ فَفِيهِ الْعُشْرُ، وَمَا سُقِيَ بنضحٍ أَوْ غربٍ فَنِصْفُ العشرِ ” فِي قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ، وَلِأَنَّهُ حَقٌّ فِي مَالٍ لَيْسَ مِنْ شَرْطِ وُجُوبِهِ الْحَوْلُ فَلَمْ يَكُنْ مِنْ شَرْطِ وُجُوبِهِ النِّصَابُ، كَخُمُسِ الْغَنَائِمِ وَالرِّكَازِ، وَلِأَنَّ لِلزَّكَاةِ شَرْطَيْنِ الْحَوْلُ، وَالنِّصَابُ فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الْحَوْلُ فِي الثِّمَارِ مُعْتَبَرًا لَمْ يَكُنِ النِّصَابُ فيها معتبراً.
وتحريره قياساً: أن أَحَدُ شَرْطَيِ الزَّكَاةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعْتَبَرَ فِي الثِّمَارِ كَالْحَوْلِ وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ فِي ابتدائه وقص يعفى عنه لكان في انتهائه وَقْصٌ يُعْفَى عَنْهُ كَالْمَاشِيَةِ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ فِي أَثْنَائِهِ عَفْوٌ اقْتَضَى أَنْ لَا يَكُونَ فِي ابْتِدَائِهِ عَفْوٌ.
Dan riwayatnya dari Abān bin Abī ‘Ayyāsy dari seorang lelaki, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tanaman yang disirami oleh air hujan maka padanya zakat sepersepuluh, dan yang disirami dengan alat siram atau timba maka padanya setengah dari sepersepuluh,” baik sedikit maupun banyak.
Karena itu adalah hak dalam harta yang tidak disyaratkan ḥaul (perputaran tahun) untuk kewajibannya, maka tidak disyaratkan pula niṣāb (batas minimal), sebagaimana khumus (seperlima) dari ghanīmah dan rikāz.
Dan karena zakat memiliki dua syarat: ḥaul dan niṣāb. Maka ketika ḥaul tidak dianggap dalam buah-buahan, maka niṣāb pun tidak dianggap padanya.
Jika dianalisis secara qiyās (analogi): bahwa ia adalah salah satu dari dua syarat zakat, maka wajib tidak dianggap pada buah-buahan sebagaimana ḥaul.
Dan seandainya pada permulaan masa panen ada kekurangan yang dimaafkan, niscaya pada akhirnya pun akan ada kekurangan yang dimaafkan sebagaimana pada hewan ternak. Maka ketika pada pertengahannya tidak ada yang dimaafkan, maka ini menunjukkan bahwa pada permulaannya pun tidak ada yang dimaafkan.
وَدَلِيلُنَا: رِوَايَةُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنَ التَّمْرِ صدقةٌ ” فَتَعَلَّقَ الْخَبَرُ بِنَفْيِ الصَّدَقَةِ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ وَهُوَ مَوْضِعُ الْخِلَافِ وَدَلِيلُهُ بينها فِي خَمْسَةِ أَوْسُقٍ فَمَا زَادَ، وَهُوَ مَوْضِعُ وِفَاقٍ، وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ وَجَابِرٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا زَكَاةَ فِي زرعٍ وَلَا نخلٍ وَلَا كرمٍ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ “.
Dan dalil kami: adalah riwayat Abū Sa‘īd al-Khuḍrī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari lima wasq.” Maka hadis ini menunjukkan penafian zakat pada kurang dari lima wasq, dan inilah titik letak perselisihan. Adapun dalil lawannya adalah pada (jumlah) lima wasq ke atas, dan itu merupakan titik kesepakatan.
Abū Sa‘īd dan Jābir juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada tanaman, kurma, dan anggur hingga mencapai lima wasq.”
وَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا زَكَاةَ فِي شيءٍ مِنَ الحرثِ حتى يبلغ خمسة أوسقٍ فذا بَلَغَ خَمْسَةَ أوسقٍ فَفِيهِ الزَّكَاةُ ” وَالْوَسْقُ سِتُّونَ صَاعًا وَهَذِهِ نُصُوصٌ لَااحْتِمَالَ فِيهَا، فَإِنْ قِيلَ: مَا دُونَ الْخَمْسَةِ لَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنَّمَا يَجِبُ فِيهِ العشر ألا ترى أنا نأخذه من المكاتب والذمي وإن لم تؤخذ مِنْهُمَا الزَّكَاةَ، قِيلَ هَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّرْعَ قَدْ وَرَدَ بِتَسْمِيَةِ الْعُشْرِ زَكَاةً، وَهُوَ قَوْلُهُ فِي حَدِيثِ جَابِرٍ لَا زَكَاةَ فِي شَيْءٍ مِنَ الْحَرْثِ إِلَى قَوْلِهِ: فَإِذَا بَلَغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ فَفِيهِ الزَّكَاةُ.
Dan telah meriwayatkan Abū az-Zubair dari Jābir bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada zakat pada sesuatu pun dari hasil pertanian hingga mencapai lima wasaq. Maka jika telah mencapai lima wasaq, maka wajib zakat padanya.”
Dan satu wasaq adalah enam puluh ṣā‘, dan ini adalah nash-nash yang tidak mengandung kemungkinan (ta’wil).
Jika dikatakan: bahwa pada hasil pertanian di bawah lima wasaq tidak wajib zakat, sedangkan yang wajib hanyalah ‘usyur (sepersepuluh), bukankah engkau lihat bahwa kami mengambilnya dari mukātib dan dzimmī, padahal zakat tidak diambil dari keduanya?
Maka dijawab: ini rusak dari dua sisi:
Pertama: bahwa syariat telah datang dengan menamakan ‘usyur sebagai zakat, sebagaimana sabda Nabi dalam hadis Jābir:
“Tidak ada zakat pada sesuatu pun dari hasil pertanian … hingga sabdanya: maka jika telah mencapai lima wasaq maka padanya wajib zakat.”
وَالثَّانِي: أَنَّهُ نَفَى عَمَّا دُونَ الْخَمْسَةِ، مَا أَثْبَتَهُ فِي الْخَمْسَةِ، فَلَمْ يَصِحَّ تَأْوِيلُهُمْ وَلِأَنَّهُ جِنْسُ مال تجب فيه الزكاة فوجب أن يعتبر فيه النصاب كالفضة والذهب، ولأنه حق مَالٍ يَجِبُ صَرْفُهُ فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ فَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ فِيهِ النِّصَابُ كَالْمَوَاشِي، وَلِأَنَّ كُلَّ حَقٍّ تَعَلَّقَ بِمَالٍ مَخْصُوصٍ اعْتُبِرَ فِيهِ قَدْرٌ مخصوص كالذهب وَالْفِضَّةِ وَعَكْسُهُ حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ، وَلِأَنَّ النِّصَابَ إِنَّمَا اعْتُبِرَ فِي الْمَوَاشِي لِيَبْلُغَ الْمَالُ حَدًّا يَتَّسِعُ لِلْمُوَاسَاةِ وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي الثِّمَارِ، فَأَمَّا احْتِجَاجُهُمْ فَعَامٌّ وَمَا ذَكَرْنَاهُ أَخَصُّ، وَأَمَّا الْخَبَرُ وَهُوَ قَوْلُهُ (فِيمَا سَقْتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ) فَعَنْهُ جَوَابَانِ: تَرْجِيحٌ وَاسْتِعْمَالٌ، فَأَمَّا التَّرْجِيحُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Dan yang kedua: bahwa Nabi SAW menafikan (zakat) dari apa yang kurang dari lima wasq, apa yang beliau tetapkan pada jumlah lima wasq, maka tidak sah ta’wilan mereka (yang meniadakan syarat niṣāb).
Karena buah-buahan adalah jenis harta yang wajib dizakati, maka wajib pula ditentukan padanya niṣāb, sebagaimana perak dan emas. Dan karena ia adalah hak atas harta yang wajib disalurkan kepada delapan golongan, maka wajib pula diperhatikan niṣāb-nya sebagaimana zakat ternak. Dan karena setiap hak yang berkaitan dengan harta tertentu, disyaratkan padanya jumlah tertentu, seperti emas dan perak; berbeda dengan hak-hak manusia.
Juga karena penetapan niṣāb pada zakat ternak adalah agar harta itu mencapai batas yang cukup untuk memberi bantuan, dan hal ini juga terdapat pada buah-buahan.
Adapun dalil mereka adalah dalil umum, sementara apa yang kami sebutkan adalah dalil yang lebih khusus.
Sedangkan mengenai hadis: “Pada apa yang diairi oleh air hujan, zakatnya adalah sepersepuluh”, maka terdapat dua jawaban terhadapnya: yaitu sisi tarjīḥ (pendahuluan) dan sisi isti‘māl (penggunaan bersamaan). Adapun tarjīḥ, maka dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُ ” فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ ” بَيَانٌ فِي الْإِخْرَاجِ مُجْمَلٌ فِي الْمِقْدَارِ، وَقَوْلُهُ: ” لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ ” بَيَانٌ فِي الْمِقْدَارِ مُجْمَلٌ فِي الْإِخْرَاجِ، فَكَانَ بَيَانُ الْمِقْدَارِ من خبرنا قاضياً على إجمال المقدار من خبرهم، كما أن بيان الإخراج من خبرهم قاض على إجمال الإخراج من خَبَرِنَا.
وَالثَّانِي: إِنَّ خَبَرَهُمْ مُتَّفَقٌ عَلَى تَخْصِيصِ بَعْضِهِ لِأَنَّ أبا حنيفة لَا يُوجِبُ فِي الْحَشِيشِ وَالْقَصَبِ وَالْحَطَبِ وَلَا فِي أَرْضِ الْخَرَاجِ شيئاً، وخبرنا خبر متفق على تخصيص بعضه، فَكَانَ أَوْلَى مِنْ خَبَرِهِمْ.
Pertama: bahwa sabdanya “pada apa yang disirami hujan wajib sepersepuluh” adalah penjelasan tentang cara pengeluaran (zakat), namun masih mujmal (umum) dalam kadar. Sedangkan sabdanya: “tidak ada zakat pada apa yang kurang dari lima wasaq” adalah penjelasan tentang kadar, namun masih mujmal dalam cara pengeluaran. Maka penjelasan tentang kadar dari hadis kami (yakni hadis lima wasaq) menjadi penentu atas keumuman kadar dari hadis mereka, sebagaimana penjelasan tentang cara pengeluaran dari hadis mereka menjadi penentu atas keumuman cara pengeluaran dari hadis kami.
Kedua: bahwa hadis mereka disepakati mengandung pengkhususan sebagian makna, karena Abū Ḥanīfah tidak mewajibkan zakat atas rumput, tebu, kayu bakar, dan juga tidak mewajibkan sesuatu dari tanah kharāj. Sedangkan hadis kami pun juga disepakati ada pengkhususan pada sebagian maknanya, maka hadis kami lebih utama untuk dijadikan sandaran daripada hadis mereka.
وَأَمَّا الِاسْتِعْمَالُ فَفِي الْخَمْسَةِ الْأَوْسُقِ، لِأَنَّهُ أَعَمُّ وَخَبَرُنَا أَخَصُّ فَيُسْتَعْمَلَانِ مَعًا وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى خُمْسِ الْغَنِيمَةِ وَالرِّكَازِ، فَالْمَعْنَى فِي الْغَنِيمَةِ: إِنَّهُ لَمَّا لَمْ يُعْتَبَرِ النِّصَابُ فِي شَيْءٍ مِنْ جِنْسِهَا بِحَالٍ لَمْ يَكُنْ مُعْتَبَرًا فِيهَا بِكُلِّ حَالٍ، وَلَمَّا كَانَ النِّصَابُ مُعْتَبَرًا فِي بَعْضِ أَجْنَاسِ الزَّكَاةِ كَانَ مُعْتَبَرًا فِي جَمِيعِ أَجْنَاسِهَا.
وَأَمَّا الرِّكَازُ فَالْمَعْنَى فِيهِ: إنَّهُ مَأْخُوذٌ بِغَيْرِ عِوَضٍ وَلَا تَعَبٍ، فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ النِّصَابُ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الثِّمَارُ الَّتِي يَلْحَقُ فِيهَا تَعَبٌ وَيَلْزَمُ فِيهَا عِوَضٌ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحَوْلِ فَمُنْتَقِضٌ عَلَى أَصْلِهِمْ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ، يَعْتَبِرُونَ فِيهَا النِّصَابَ وَلَا يَعْتَبِرُونَ الْحَوْلَ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحَوْلِ إنَّهُ قصد به تكامل النماء، وَالثِّمَارُ يَتَكَامَلُ نَمَاؤُهَا قَبْلَ الْحَوْلِ، فَسَقَطَ اعْتِبَارُ الحول فِي الثِّمَارِ [وَإِنْ كَانَ مُعْتَبَرًا فِي غَيْرِهَا، وَالنِّصَابُ إِنَّمَا اعْتُبِرَ لِيَبْلُغَ الْمَالُ قَدْرًا يَتَّسِعُ لِلْمُوَاسَاةِ، وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي الثِّمَارِ] كَوُجُودِهِ فِي غَيْرِهَا.
Adapun istimāl maka pada lima wasq, karena ia lebih umum, dan khabar kami lebih khusus, maka keduanya digunakan bersama. Adapun qiyās mereka atas seperlima ghanīmah dan rikāz, maka maknanya pada ghanīmah: ketika tidak dianggap niṣāb pada sesuatu dari jenisnya dalam keadaan apa pun, maka tidak dianggap pula niṣāb padanya dalam segala keadaan. Dan ketika niṣāb itu dianggap pada sebagian jenis zakat, maka dianggap pula pada semua jenisnya.
Adapun rikāz, maka maknanya: ia diperoleh tanpa ganti dan tanpa usaha, maka tidak disyaratkan padanya niṣāb. Dan tidak demikian halnya dengan buah-buahan yang padanya terdapat usaha dan dibutuhkan ganti. Adapun qiyās mereka atas ḥaul, maka itu tertolak atas dasar mereka sendiri dalam zakat fiṭri; mereka mensyaratkan niṣāb padanya namun tidak mensyaratkan ḥaul. Adapun makna dalam ḥaul adalah bahwa ia dimaksudkan untuk penyempurnaan pertumbuhan, sedangkan buah-buahan telah sempurna pertumbuhannya sebelum genap setahun, maka gugurlah syarat ḥaul dalam buah-buahan, [meskipun ḥaul itu disyaratkan dalam selainnya. Adapun niṣāb disyaratkan agar harta tersebut mencapai kadar yang mencukupi untuk muwāsāt, dan makna ini terdapat dalam buah-buahan sebagaimana terdapat dalam selainnya].
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ لَوْ كَانَ فِي ابتدائها عفو لكان في انتهائها عَفْوٌ فَمُنْتَقِضٌ عَلَى أَصْلِنَا بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْمَوَاشِي حَيْثُ دَخَلَ الْعَفْوُ في أثناء نصبها لأن إيجاب الكثير فِي جَمِيعِ الزِّيَادَةِ مَشَقَّةٌ تَلْحِقُ أَرْبَابَ الْأَمْوَالِ وأهل السهمان وليس كذلك في الزروع والثمار.
Adapun perkataan mereka: “Seandainya pada awalnya ada ‘afw (batas bebas), tentu pada akhirnya pun ada ‘afw,” maka ini tertolak menurut dasar kami dalam (masalah) emas dan perak. Adapun makna (yang dimaksud) dalam hewan ternak adalah ketika ‘afw masuk di tengah-tengah kadar nishabnya, karena mewajibkan jumlah yang banyak pada seluruh kelebihan (dari nishab) merupakan suatu kesulitan yang menimpa para pemilik harta dan para mustahiq, dan tidak demikian halnya pada tanaman dan buah-buahan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فبهذا نأخذ والوسق ستون صاعاً بصاع رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَالصَّاعُ أَرْبَعَةُ أمدادٍ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” بأبي هو وأمي “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ:
إِذَا ثَبَتَ أَنَّ لَا زَكَاةَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ فَهِيَ وَاجِبَةٌ فِي الْخَمْسَةِ فَصَاعِدًا، وَاعْتِبَارُهَا وَقْتَ الِادِّخَارِ لَا وَقْتَ الْوُجُوبِ، لِأَنَّ زَكَاةَ الثِّمَارِ تَجِبُ بِبُدُوِّ الصَّلَاحِ، وَالْخَمْسَةُ الْأَوْسُقِ تُعْتَبَرُ بِحَالِ الِادِّخَارِ، وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الثَّمَرَةُ مِمَّا تَصِيرُ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ تَمْرًا، وَالْكَرْمُ مِمَّا يَصِيرُ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ زبيباً، والزرع ما يَصِيرُ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ حَبًّا، فَإِنْ كَانَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ رُطَبًا وَعِنَبًا يَصِيرُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ تَمْرًا أَوْ زَبِيبًا فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، فَأَمَّا الْوَسْقُ فَهُوَ فِي اللُّغَةِ: حِمْلُ الْبَعِيرِ وَالنَّاقَةِ قَالَ الشَّاعِرُ:
(أَيْنَ الشِّظَاظَانِ وَأَيْنَ الْمرْبَعَة؟ … وأين وسق الناقة الجلنقعه؟)
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Maka dengan inilah kami mengambil pendapat, dan wasq itu enam puluh ṣā‘ dengan ṣā‘ Rasulullah SAW, dan ṣā‘ adalah empat mudd dengan mudd Nabi SAW — ayah dan ibuku sebagai tebusannya.”
Al-Māwardī berkata: “Dan ini benar:
Apabila telah tetap bahwa tidak ada zakat pada kurang dari lima awsuq, maka zakat itu wajib pada lima wasq ke atas. Yang menjadi ukuran adalah saat penyimpanan, bukan saat wajibnya, karena zakat buah-buahan itu wajib ketika mulai baik (budū aṣ-ṣalāḥ), dan lima awsuq itu dihitung menurut keadaan saat disimpan, yaitu ketika buah-buahan tersebut menjadi lima wasq tamr, dan anggur menjadi lima wasq zabīb, dan tanaman menjadi lima wasq ḥabb (biji). Maka jika lima wasq itu dalam bentuk ruṭab (kurma basah) atau ‘inab (anggur segar) yang jika dikeringkan menjadi kurang dari lima wasq tamr atau zabīb, maka tidak ada zakat padanya.
Adapun wasq secara bahasa adalah: muatan unta jantan dan betina. Seorang penyair berkata:
“Ayn al-shiẓāẓāni wa ayna al-marba‘ah?
Wa ayna wasqu an-nāqah al-jalanqu‘ah?”
إِلَّا أَنَّ الْوَسْقَ فِي الشَّرِيعَةِ: سِتُّونَ صَاعًا بصاع النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَالصَّاعُ أَرْبَعَةُ أَمْدَادٍ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَالْمُدُّ: رِطْلٌ وَثُلُثٌ بِالْعِرَاقِيِّ، فَتَكُونُ الْخَمْسَةُ الْأَوْسُقِ ثَلَاثَمِائَةِ صَاعٍ، وَهِيَ أَلْفُ مُدٍّ وَمِائَتَا مُدٍّ، وألف وَسِتُّمِائَةِ رِطْلٍ بِالْعِرَاقِيِّ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ ذَلِكَ تَحْدِيدٌ يَتَغَيَّرُ الْحُكْمُ بِزِيَادَةِ رِطْلٍ وَنُقْصَانِهِ أَوْ تقريب لا يؤثر فيه نقصان رطل أو رطلين؟ على وجهين:
أحدهما: تقريب؛ لأن الوسق عِنْدَهُمْ حِمْلُ النَّاقَةِ وَإِنَّمَا قُدِّرَ بِالْآصُعِ تَقْرِيبًا.
Kecuali bahwa wusq dalam syariat adalah enam puluh ṣāʿ dengan ṣāʿ Nabi SAW, dan ṣāʿ itu empat mudd dengan mudd Nabi SAW, dan mudd itu adalah satu riṭl dan sepertiganya menurut ukuran Irak. Maka lima awsuq adalah tiga ratus ṣāʿ, yaitu seribu dua ratus mudd, dan seribu enam ratus riṭl menurut ukuran Irak. Para sahabat kami berbeda pendapat: apakah itu merupakan batas pasti yang menyebabkan hukum berubah karena bertambah atau berkurang satu riṭl, ataukah itu hanya pendekatan yang tidak terpengaruh oleh berkurangnya satu atau dua riṭl? Ada dua pendapat:
Pertama: itu adalah pendekatan, karena wusq menurut mereka adalah muatan unta, dan hanya ditetapkan dengan aṣʿ sebagai pendekatan semata.
وَالثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ ذَلِكَ تَحْدِيدٌ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” وَالْوَسْقُ سِتُّونَ صَاعًا ” فَحَدَّهُ بِذَلِكَ.
وَأَمَّا أبو حنيفة فَإِنَّهُ وَافَقَنَا أَنَّ الْوَسْقَ سِتُّونَ صاعاً، والصاع: أربعة أمداد، وإنما خالف في قدر المد والصاع، فَقَالَ الصَّاعُ ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ، وَالْمُدُّ رِطْلَانِ، وَسَنَذْكُرُ الحجاج له وعليه فِي مَوْضِعِهِ مِنْ زَكَاةِ الْفِطْرِ إِنْ شَاءَ الله.
Kedua, dan inilah yang lebih ṣaḥīḥ, bahwa hal itu merupakan batasan, karena Rasulullah SAW bersabda: “Wasq itu enam puluh ṣā‘,” maka beliau telah menetapkannya dengan demikian.
Adapun Abū Ḥanīfah, maka ia sepakat dengan kami bahwa wasq adalah enam puluh ṣā‘, dan ṣā‘ adalah empat mudd, namun ia berselisih dengan kami dalam kadar mudd dan ṣā‘. Ia berkata: ṣā‘ adalah delapan raṭl, dan mudd adalah dua raṭl. Dan kami akan sebutkan dalil-dalil yang mendukung dan membantahnya dalam tempatnya, yaitu pada zakat fiṭr, insya Allah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” والخليطان في أصل النَّخْلِ يُصَدَّقَانِ صَدَقَةَ الْوَاحِدِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا اخْتِلَافَ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي جَوَازِ الْخُلْطَةِ فِيمَا عَدَا الْمَوَاشِي مِنَ الثِّمَارِ وَالزُّرُوعِ وَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، فَقَالَ فِي الْقَدِيمِ لَا تَصِحُّ الْخُلْطَةُ فِيهَا، وَإِنَّمَا تَصِحُّ فِي الْمَوَاشِي دُونَ مَا عَدَاهَا، وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ الْخُلْطَةُ فِي غَيْرِ المواشي كالخلطة في المواشي، وذكر تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ، فَإِذَا قُلْنَا إِنَّ الْخُلْطَةَ لَا تَصِحُّ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي رُوعِيَ مِلْكُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الشُّرَكَاءِ، فَإِنْ بَلَغَ نِصَابًا وَجَبَتْ زَكَاتُهُ، وَإِنْ نَقَصَ عَنِ النِّصَابِ لَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِذَا قُلْنَا إِنَّ الْخُلْطَةَ تَصِحُّ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي مِنَ الثِّمَارِ وَالزُّرُوعِ صَحَّتْ فِيهَا خُلْطَةُ الْأَعْيَانِ وَهِيَ الشَّرِكَةُ، وَهَلْ تَصِحُّ فِيهَا خُلْطَةُ الْأَوْصَافِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Dua orang yang bercampur dalam asal pohon kurma, keduanya dikeluarkan zakatnya seperti zakat satu orang.”
Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i dalam kebolehan khalṭah (kepemilikan campuran) selain pada hewan ternak, yaitu pada buah-buahan, tanaman, dirham, dan dinar. Maka dalam qaul qadim, beliau mengatakan bahwa khalṭah tidak sah pada selain hewan ternak, dan hanya sah pada hewan ternak. Sedangkan dalam qaul jadid, beliau mengatakan bahwa khalṭah pada selain hewan ternak adalah sah sebagaimana khalṭah pada hewan ternak. Dan beliau menyebutkan alasan bagi kedua pendapat tersebut.
Maka apabila kita berpendapat bahwa khalṭah tidak sah pada selain hewan ternak, maka yang diperhatikan adalah kepemilikan masing-masing dari para syarik (pemilik bersama). Jika kepemilikan masing-masing mencapai nishab, maka wajib zakatnya, dan jika kurang dari nishab maka tidak wajib zakat.
Namun apabila kita berpendapat bahwa khalṭah sah pada selain hewan ternak seperti buah-buahan dan tanaman, maka khalṭah al-a‘yān (campur fisik benda) sah di dalamnya dan ini adalah bentuk syarikah (kepemilikan bersama). Adapun apakah sah di dalamnya khalṭah al-awṣāf (campur dalam sifat seperti waktu panen, alat, pengairan) atau tidak, maka ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا لَا تَصِحُّ حَتَّى يَكُونَا شَرِيكَيْنِ فِي أَصْلِ النَّخْلِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تَصِحُّ إِذَا تَلَاصَقَتِ الْأَرْضَانِ وَكَانَ شِرْبُهُمَا وَاحِدًا وَالْقَيِّمُ بِهِمَا واحداً وفحول لقاحهما واحدة، وهذا الْوَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي الْخُلْطَةِ فِي الْمَاشِيَةِ بِالْأَوْصَافِ مَعَ تَمَيُّزِ الْأَمْوَالِ، هَلْ سُمُّوا خُلَطَاءَ لُغَةً أَوْ شَرْعًا؟ فَمَنْ قَالَ سُمُّوا خُلَطَاءَ مِنْ طَرِيقِ اللُّغَةِ مَنَعَ مِنَ الْخُلْطَةِ هاهنا.
وَمَنْ قَالَ سُمُّوا خُلَطَاءَ مِنْ طَرِيقِ الشَّرْعِ جوز الخلطة هاهنا.
Salah satu dari keduanya: sesungguhnya tidak sah kecuali bila keduanya berserikat dalam pokok pohon kurma.
Pendapat kedua: sah apabila tanah keduanya berdekatan, saluran airnya satu, pengelolanya satu, dan pejantan penyerbuknya satu. Kedua pendapat ini termasuk perbedaan pendapat di kalangan para sahabat kami mengenai khuḷṭah dalam hewan ternak yang berdasarkan pada sifat-sifat meskipun harta mereka terpisah; apakah mereka disebut sebagai khuḷaṭā’ secara bahasa atau secara syariat?
Maka siapa yang berkata bahwa mereka disebut khuḷaṭā’ dari sisi bahasa, ia melarang khuḷṭah dalam hal ini.
Dan siapa yang berkata bahwa mereka disebut khuḷaṭā’ dari sisi syariat, ia membolehkan khuḷṭah dalam hal ini.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فإن وَرِثُوا نَخْلًا فَاقْتَسَمُوهَا بَعْدَمَا حَلَّ بَيْعُ ثَمَرِهَا فِي جَمَاعَتِهَا خَمْسَةُ أَوْسُقٍ فَعَلَيْهِمُ الصَّدَقَةُ لِأَنَّ أول وجوبها كان وهم شركاء اقْتَسَمُوهَا قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ بَيْعُ ثَمَرِهَا فَلَا زكاة على أحدٍ منهم حتى تبلغ حصته خمسة أوسق (قال المزني) هذا عندي غير جائز في أصله لأن القسم عنده كالبيع ولا يجوز قسم التمر جزافاً وإن كان معه نخلٌ كما لا يجوز عنده عرض بعرضٍ مع كل عرضٍ ذهبٌ تبعٌ له أو غير تبعٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: فِي رَجُلٍ مَاتَ وَخَلَّفَ نَخْلًا مُثْمِرًا قَدْرُ ثَمَرَتِهَا خَمْسَةُ أوسق فأكثر، فَلَا يَخْلُو حَالُ مَوْتِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ أَوْ قَبْلَهُ، فَإِنْ مَاتَ بَعْدَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ فَقَدْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاتُهَا، وَعَلَى الْوَرَثَةِ إِخْرَاجُهَا عَنْهُ وَقْتَ صِرَامِهَا، وَلَيْسَ لِلْوَرَثَةِ الِاقْتِسَامُ لَهَا قَبْلَ إِخْرَاجِ الزَّكَاةِ عَنْهَا، لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمَسَاكِينِ بِهَا، فإن اقتسموا قبل إخراج زكاتها كان في الْقِسْمَةِ وَجْهَانِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika mereka mewarisi pohon kurma, lalu membaginya setelah boleh menjual buahnya, sementara dalam keadaan bersama buahnya mencapai lima awsuq, maka wajib atas mereka zakat, karena awal kewajiban zakat terjadi saat mereka masih dalam status sebagai para syarik. Namun jika mereka membaginya sebelum boleh menjual buahnya, maka tidak ada zakat atas salah satu dari mereka sampai bagian masing-masing mencapai lima awsuq.”
(al-Muzani berkata): “Menurutku ini tidak sah dalam asal pendapat beliau, karena pembagian menurutnya seperti jual beli, dan tidak boleh membagi kurma secara jizāf (tanpa ditakar), meskipun disertai pohon kurma, sebagaimana tidak boleh menukar barang dengan barang lain yang disertai emas, baik emas itu sebagai pelengkap maupun bukan.”
Al-Mawardi berkata: Gambarannya dalam masalah ini adalah: seorang lelaki wafat dan meninggalkan pohon kurma yang berbuah, dan jumlah buahnya sebanyak lima awsuq atau lebih. Maka keadaannya saat wafat tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama, wafat setelah budū aṣ-ṣalāḥ (tanda baiknya buah); atau
Kedua, sebelum itu.
Jika ia wafat setelah budū aṣ-ṣalāḥ, maka zakatnya telah wajib atasnya, dan para ahli waris wajib mengeluarkannya atas nama si mayit pada waktu panen. Dan para ahli waris tidak boleh membaginya sebelum zakat dikeluarkan, karena telah terkait hak orang-orang miskin padanya.
Jika mereka membaginya sebelum zakat dikeluarkan, maka dalam pembagian itu ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: بَاطِلَةٌ إِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الْعَيْنِ.
وَالثَّانِي: جَائِزَةٌ إِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الذِّمَّةِ، فَإِذَا جَاءَ السَّاعِي مُطَالِبًا بِالزَّكَاةِ لَمْ تخل حال حصصهم من الثمر مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ حِصَصُ جَمِيعِهِمْ بَاقِيَةً.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ حِصَصُ جَمِيعِهِمْ تَالِفَةً.
Salah satu dari keduanya: tidak sah apabila dikatakan bahwa zakat itu wajib pada ‘ayn (benda fisik).
Yang kedua: sah apabila dikatakan bahwa zakat itu wajib pada dzimmah (tanggungan). Maka apabila petugas zakat datang menuntut zakat, tidak lepas keadaan bagian-bagian hasil mereka dari tiga bagian:
Pertama: bahwa bagian seluruhnya masih ada.
Kedua: bahwa bagian seluruhnya telah rusak.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ حِصَصُ بَعْضِهِمْ بَاقِيَةً وحصص بعضهم تالفة، فإن كانت حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بَاقِيَةً فِي يَدِهِ أَخَذَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ الزَّكَاةَ بِقِسْطِ مَا حَصَلَ لَهُ مِنَ الثَّمَرَةِ، وَإِنْ كَانَتْ حِصَّةُ بَعْضِهِمْ بَاقِيَةً وَحِصَصُ الْبَاقِينَ تَالِفَةً أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنَ الْحِصَّةِ الْبَاقِيَةِ وَرَجَعَ صَاحِبُهَا عَلَى مَا فِي يَدِ شُرَكَائِهِ بِقَدْرِ حِصَصِهِمْ مِنَ الزَّكَاةِ، وَفِيهَا وَجْهٌ آخَرُ: إِنَّ ذَلِكَ مُبْطِلٌ لِلْقِسْمَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي الصَّدَاقِ، وَإِنْ كانت حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ تَالِفَةً نُظِرَ، فَإِنْ كان للميت تركة سوى الزكاة يتسع لِأَخْذِ الزَّكَاةِ مِنْهَا أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْ تَرِكَتِهِ، وَلَا مُطَالَبَةَ لَهُ عَلَى وَرَثَتِهِ لِأَنَّ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فِي ذِمَّتِهِ، فَكَانَ الرُّجُوعُ بِهَا فِي تَرِكَتِهِ أَوْلَى مِنَ الرُّجُوعِ بِهَا عَلَى وَرَثَتِهِ، وَإِنْ كَانَ تَلَفُ الْمَالِ الْمُزَكَّى مِنْ جِهَتِهِمْ، لأن أخذها من تركته أنقص كَمَا لَوْ تَرَكَ دَيْنًا وَعَيْنًا وَجَبَ الرُّجُوعُ بِهَا فِيمَا تَرَكَ مِنَ الْعَيْنِ دُونَ مَا خلف دون الدَّيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَتْرُكِ الْمَيِّتُ سِوَى الثَّمَرَةِ الَّتِي اقْتَسَمَ بِهَا الْوَرَثَةُ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ جَمِيعُ الْوَرَثَةِ مُوسِرِينَ بِهَا أَخَذَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ قَدْرَ حِصَّتِهِ مِنْهَا، كَمَا لَوْ كَانَتْ بَاقِيَةً فِي أَيْدِيهِمْ، وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ مُوسِرًا بِهَا وَبَعْضُهُمْ مُعْسِرًا أَخَذَ مِنَ الْمُوسِرِ، وَكَانَ دَيْنًا لِلْمُوسِرِ عَلَى شُرَكَائِهِ بِقَدْرِ حِصَصِهِمْ كما لو بقيت حصة أحدهم.
Ketiga: jika bagian sebagian dari mereka masih ada, dan bagian sebagian yang lain telah rusak. Maka jika bagian masing-masing dari mereka masih ada di tangannya, maka zakat diambil dari masing-masing mereka sesuai bagian buah yang didapatkan. Dan jika bagian sebagian dari mereka masih ada dan bagian sisanya telah rusak, maka zakat diambil dari bagian yang masih ada, dan pemilik bagian tersebut menuntut kepada para syariknya sesuai kadar bagian zakat mereka.
Dalam hal ini ada pendapat lain: bahwa hal itu membatalkan pembagian, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam masalah ṣadaq.
Dan jika bagian masing-masing dari mereka telah rusak, maka dilihat: jika si mayit meninggalkan harta warisan selain dari buah yang wajib dizakati, yang mencukupi untuk dikeluarkan zakat darinya, maka zakat diambil dari harta peninggalannya, dan tidak ada tuntutan terhadap para ahli warisnya, karena kewajiban zakat itu berada di tanggungan si mayit, maka lebih utama untuk mengambilnya dari peninggalannya daripada menagihnya dari para ahli waris.
Namun jika kerusakan harta yang wajib dizakati itu berasal dari pihak para ahli waris, maka zakat tetap diambil dari peninggalan si mayit, karena kerugian berasal dari mereka, sebagaimana jika seseorang meninggalkan utang dan barang (benda), maka pengambilan untuk melunasi utang itu diambil dari barang yang ditinggalkan, bukan dari utang yang belum tertagih.
Jika si mayit tidak meninggalkan apa pun selain buah yang telah dibagi oleh ahli waris, maka dilihat: jika seluruh ahli waris mampu (membayar zakatnya), maka diambil dari masing-masing mereka sesuai dengan bagian mereka, sebagaimana jika buah itu masih ada di tangan mereka. Namun jika sebagian dari mereka mampu dan sebagian lagi tidak, maka zakat diambil dari yang mampu, lalu menjadi utang yang ditanggung oleh para syariknya sesuai bagian masing-masing, sebagaimana jika bagian salah seorang dari mereka masih ada.
فَصْلٌ
: وَإِنْ مَاتَ قَبْلَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِلْوَرَثَةِ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْتَسِمُوا الثَّمَرَةَ.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَقْتَسِمُوهَا فَإِنْ لَمْ يَقْتَسِمُوهَا وَهِيَ خَمْسَةُ أَوْسُقٍ فَعَلَى الْقَدِيمِ حَيْثُ مَنَعَ مِنَ الْخُلْطَةِ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي لَا زَكَاةَ فِيهَا عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ، وَعَلَى الْجَدِيدِ حَيْثُ جَوَّزَ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ لِوُجُودِ الْخُلْطَةِ فِي نِصَابٍ، وَإِنِ اقْتَسَمُوهَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْتَسِمُوهَا قَبْلَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ قِسْمَةً جَائِزَةً، فَقَدْ بَطَلَ حُكْمُ الْخُلْطَةِ وَيُرَاعَى حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَلَى انْفِرَادِهِ، فَإِنْ بَلَغَتْ نِصَابًا فَعَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَقْتَسِمُوهَا بَعْدَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ، فَعَلَى الْقَدِيمِ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِمْ، لِأَنَّ مِلْكَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَقَلُّ مِنْ نِصَابٍ، فَعَلَى هَذَا الْقِسْمَةُ جَائِزَةٌ إِذَا وَقَعَتْ عَلَى وَجْهٍ صَحِيحٍ، وَعَلَى الْجَدِيدِ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ لِوُجُودِ الْخُلْطَةِ فِي نِصَابٍ، فَعَلَى هَذَا فِي قِسْمَتِهِمْ قَبْلَ أَدَاءِ زَكَاتِهَا وَجْهَانِ مُخرجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الذِّمَّةِ أَوْ فِي الْعَيْنِ عَلَى مَا مَضَى.
PASAL
Apabila seseorang meninggal sebelum budū aṣ-ṣalāḥ (tanda buah mulai baik), maka tidak ada zakat atasnya. Kemudian, bagi para ahli waris terdapat dua keadaan:
Pertama: mereka membagi buah tersebut.
Kedua: mereka tidak membaginya. Maka jika mereka tidak membaginya dan jumlahnya mencapai lima wasq, menurut pendapat qadīm (lama), yang melarang adanya khuḷṭah pada selain hewan ternak, maka tidak ada zakat atas satu pun dari mereka. Sedangkan menurut pendapat jadīd (baru), yang membolehkan zakat atas mereka karena adanya khuḷṭah dalam niṣāb, maka wajib atas mereka zakat.
Jika mereka membaginya, maka terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: mereka membaginya sebelum budū aṣ-ṣalāḥ dengan pembagian yang sah, maka hukum khuḷṭah batal, dan bagian masing-masing diperhatikan secara tersendiri. Jika mencapai niṣāb, maka atasnya zakat, dan jika kurang dari niṣāb, maka tidak ada zakat atasnya.
Jenis kedua: mereka membaginya setelah budū aṣ-ṣalāḥ. Maka menurut pendapat qadīm, tidak ada zakat atas mereka, karena milik masing-masing dari mereka kurang dari niṣāb, sehingga pembagiannya sah jika dilakukan dengan cara yang benar. Sedangkan menurut jadīd, wajib atas mereka zakat karena terdapat khuḷṭah dalam niṣāb. Maka dalam pembagian mereka sebelum menunaikan zakat, terdapat dua wajah (pendapat) yang dikeluarkan dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i dalam kewajiban zakat: apakah pada dzimmah atau pada ‘ayn, sebagaimana telah lalu.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا رَأَى الشَّافِعِيَّ ذَكَرَ حَالَ قِسْمَتِهِمْ قَبْلَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ وَبَعْدَهُ اعْتَرَضَ عَلَيْهِ وَقَالَ: هَذَا غَيْرُ جَائِزٍ عَلَى أَصْلِهِ، لِأَنَّ الْقِسْمَةَ عِنْدَهُ بَيْعٌ وَبَيْعُ الثِّمَارِ بِالثِّمَارِ جُزَافًا لَا يَجُوزُ، فَكَذَلِكَ الْقِسْمَةُ، قَالَ ولأن أَجَازَهَا لِأَنَّ مَعَهَا جُذُوعًا لَمْ يَجُزْ أَيْضًا كَمَا لَا يَجُوزُ عِنْدَهُ بَيْعُ ثَوْبٍ وَدِرْهَمٍ بِثَوْبٍ وَدِرْهَمٍ، سَوَاءٌ كَانَ مَا فِيهِ الرِّبَا تَبَعًا لَهُ أَوْ غَيْرَ تَبَعٍ، فَهَذَا اعْتِرَاضُ الْمُزَنِيِّ وَالْجَوَابُ عَنْ ذَلِكَ إِنَّ لِلشَّافِعِيِّ فِي القسمة قولين:
أحدهما: أنه إقرار حَقٍّ وَتَمْيِيزُ نَصِيبٍ قَالَهُ فِي كِتَابِ الصَّرْفِ، فعلى هذا يجوز قِسْمَةُ الثِّمَارِ بِالثِّمَارِ كَيْلًا وَوَزْنًا وَجُزَافًا، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ سَقَطَ اعْتِرَاضُ الْمُزَنِيِّ.
PASAL
Adapun al-Muzani, ketika melihat bahwa Imam al-Syafi‘i menyebut keadaan pembagian mereka sebelum budū aṣ-ṣalāḥ (tanda baiknya buah) dan sesudahnya, ia mengkritiknya dan berkata: “Ini tidak sah menurut dasar pendapat beliau, karena pembagian menurutnya adalah jual beli, dan jual beli buah dengan buah secara jizāf (tanpa takaran) tidak diperbolehkan, maka begitu pula pembagian.”
Ia berkata lagi: “Dan seandainya ia membolehkannya karena disertai batang pohon, maka itu juga tidak sah, sebagaimana menurut beliau tidak boleh menjual satu pakaian dan satu dirham dengan satu pakaian dan satu dirham—baik unsur riba itu sebagai pelengkap maupun bukan.”
Maka inilah bentuk keberatan al-Muzani.
Adapun jawabannya adalah: sesungguhnya Imam al-Syafi‘i memiliki dua pendapat dalam masalah pembagian (qismah):
Pertama: bahwa pembagian adalah pengakuan hak dan penentuan bagian. Pendapat ini beliau sebut dalam Kitāb aṣ-Ṣarf. Maka berdasarkan pendapat ini, boleh membagi buah dengan buah secara takaran, timbangan, atau jizāf. Maka atas dasar pendapat ini, gugurlah keberatan al-Muzani.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أنها تبع فَعَلَى هَذَا قَدْ تَصِحُّ قِسْمَةُ ثِمَارِ النَّخْلِ بَيْنَهُمْ مِنْ وُجُوهٍ يَسْقُطُ بِهَا اعْتِرَاضُ الْمُزَنِيِّ وإنكاره على الشافعي تصور هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَتَصْحِيحَ الْقِسْمَةِ، فَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ بَادِيَةَ الصَّلَاحِ صَحَّتِ الْقِسْمَةُ بَيْنَهُمْ مِنْ خَمْسَةِ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ فِي التَّرِكَةِ نَخْلٌ مُثْمِرٌ وَعُرُوضٌ، فَيَبِيعُ أَحَدُهُمْ حِصَّتَهُ مِنَ الْعُرُوضِ بحصة شريكه من النخل والثمرة، فيصير لأحدهم جَمِيعُ النَّخْلِ وَالثَّمَرَةِ وَلِلْآخَرِ جَمِيعُ الْعُرُوضِ.
وَالثَّانِي: أن تكون النَّخْلُ نَوْعَيْنِ حَامِلًا وَحَائِلًا فَيَبِيعُ أَحَدُهُمَا حِصَّتَهُ مِنَ النَّخْلِ الْحَائِلِ بِحِصَّةِ شَرِيكِهِ، مِنَ النَّخْلِ الحامل والثمرة فيحصل النَّخْلُ الْحَامِلُ بِثَمَرَتِهِ لِأَحَدِهِمَا وَالنَّخْلُ الْحَائِلُ بِانْفِرَادِهِ لِلْآخَرِ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ غَيْرُ مُقْنِعَيْنِ لِأَنَّهُمَا بَيْعُ جِنْسٍ بِغَيْرِهِ، وَلَيْسَا قِسْمَةَ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَكِنْ ذَكَرَهُمَا أَصْحَابُنَا فَذَكَرْنَاهُمَا.
Pendapat kedua: bahwa (buah) itu adalah taba‘ (pengikut), maka berdasarkan ini, sah pembagian buah pohon kurma di antara mereka dengan beberapa cara yang dengannya gugur keberatan al-Muzanī dan penolakannya terhadap Imam al-Syafi‘i mengenai gambaran masalah ini dan pensahihan pembagian tersebut.
Apabila buahnya telah bādiya aṣ-ṣalāḥ (menunjukkan tanda baik), maka sah pembagiannya di antara mereka dengan lima cara:
Pertama: pada harta warisan terdapat pohon kurma yang berbuah dan barang-barang (‘urūḍ), lalu salah satu dari mereka menjual bagiannya dari barang-barang tersebut dengan bagian temannya dari pohon kurma dan buahnya. Maka salah satunya memperoleh seluruh pohon dan buahnya, dan yang lainnya memperoleh seluruh barang-barangnya.
Kedua: bahwa pohon kurma itu terdiri dari dua jenis: yang berbuah dan yang tidak berbuah (ḥāmil dan ḥā’il), lalu salah satunya menjual bagiannya dari pohon kurma yang tidak berbuah dengan bagian temannya dari pohon kurma yang berbuah dan buahnya. Maka pohon kurma yang berbuah beserta buahnya menjadi milik salah satunya, dan pohon yang tidak berbuah menjadi milik yang lainnya.
Kedua cara ini tidak meyakinkan, karena keduanya adalah penjualan satu jenis dengan jenis lain, dan bukanlah pembagian satu jenis yang sama. Namun para sahabat kami telah menyebutkannya, maka kami pun menyebutkannya.
وَالثَّالِثُ: وَهُوَ فِي مَعْنَاهُمَا: أن تكون النَّخْلُ فِي التَّقْدِيرِ نَخْلَيْنِ شَرْقِيٌّ وَغَرْبِيٌّ فَيَبِيعُ أَحَدُهُمَا حِصَّتَهُ مِنَ النَّخْلِ الْغَرْبِيِّ وَثَمَرَتِهِ بِدِينَارٍ، ويبتاع من شريكه حصة مِنَ النَّخْلِ الشَّرْقِيِّ وَثَمَرَتِهِ بِدِينَارٍ، فَيَحْصُلُ النَّخْلُ الشرقي مع ثمرته لأحدهما وعلى الشركة دِينَارٌ وَالنَّخْلُ الْغَرْبِيُّ مَعَ ثَمَرَتِهِ لِلْآخَرِ وَعَلَيْهِ لشريكه دينار فيتقاضيان الدِّينَارَ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَبِيعَ أَحَدُهُمَا حِصَّتَهُ مِنَ النَّخْلِ الشَّرْقِيِّ بِحِصَّةِ شَرِيكِهِ مِنْ ثَمَرَةِ النَّخْلِ الْغَرْبِيِّ، وَيَبْتَاعَ حِصَّةَ شَرِيكِهِ مِنَ النَّخْلِ الْغَرْبِيِّ بِحِصَّتِهِ مِنْ ثَمَرَةِ النَّخْلِ الشَّرْقِيِّ، فَيَصِيرُ النَّخْلُ الشَّرْقِيُّ مَعَ ثَمَرَتِهِ لِأَحَدِهِمَا وَالنَّخْلُ الْغَرْبِيُّ مَعَ ثَمَرَتِهِ لِلْآخَرِ.
Ketiga: dan ini maknanya sama dengan dua sebelumnya, yaitu: jika dalam perhitungan ada dua kebun kurma—kebun timur dan kebun barat—lalu salah satu dari keduanya menjual bagiannya dari kebun barat dan buahnya seharga satu dinar, dan membeli dari syariknya bagian dari kebun timur dan buahnya seharga satu dinar. Maka kebun timur beserta buahnya menjadi milik salah satunya dan atasnya ada kewajiban satu dinar kepada pihak syarikat, dan kebun barat beserta buahnya menjadi milik yang lain dan atasnya ada kewajiban satu dinar kepada syariknya. Maka keduanya saling menagih satu dinar tersebut.
Keempat: bahwa salah satu dari keduanya menjual bagiannya dari kebun timur dengan bagian syariknya dari buah kebun barat, dan membeli bagian syariknya dari kebun barat dengan bagiannya dari buah kebun timur. Maka kebun timur beserta buahnya menjadi milik salah satunya, dan kebun barat beserta buahnya menjadi milik yang lain.
وَالْخَامِسُ: أَنْ يَبِيعَ أَحَدُهُمَا حِصَّتَهُ مِنَ النَّخْلِ الشَّرْقِيِّ بِحِصَّةِ شَرِيكِهِ مِنْ ثَمَرَةِ النخل الشرقي، ويبتاع حصته شريكه من النخل الغربي بحصته من النَّخْلِ الْغَرْبِيِّ، فَيَحْصُلُ لِأَحَدِهِمَا النَّخْلُ الشَّرْقِيُّ مَعَ ثَمَرَةِ النَّخْلِ الْغَرْبِيِّ، وَلِلْآخَرِ النَّخْلُ الْغَرْبِيُّ مَعَ ثَمَرَةِ النَّخْلِ الشَّرْقِيِّ، فَتَحْصُلُ ثَمَرَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى نَخْلِ شَرِيكِهِ، وَلَهُ تَبْقِيَتُهَا إِلَى وَقْتِ الصِّرَامِ، إِلَّاأَنْ يَشْتَرِطَا فِي الْقِسْمَةِ قَطْعَهَا فِي الْحَالِ، فَهَذَا فِي الثَّمَرَةِ إِذَا كَانَتْ بَادِيَةَ الصَّلَاحِ فَأَمَّا الَّتِي لَمْ يَبْدُ صَلَاحُهَا بَعْدُ فَتَخْرِيجُ هَذِهِ الْوُجُوهِ فِي صِحَّةِ قِسْمَتِهَا يُبْنَى عَلَى أربعة أحوال:
أَحَدُهَا: أَنْ يَبِيعَهَا مُفْرَدَةً مِنْ غَيْرِ شَرْطِ القطع لا يصح.
Kelima: salah satu dari keduanya menjual bagiannya dari pohon kurma bagian timur dengan bagian temannya dari buah pohon kurma bagian timur, lalu temannya membeli bagian dari pohon kurma bagian barat dengan bagiannya dari pohon kurma bagian barat. Maka salah satunya memperoleh pohon kurma timur beserta buah pohon kurma barat, dan yang lainnya memperoleh pohon kurma barat beserta buah pohon kurma timur. Maka buah masing-masing dari mereka berada di atas pohon milik temannya, dan ia memiliki hak untuk membiarkannya hingga waktu panen (ṣirām), kecuali bila keduanya mensyaratkan dalam pembagian tersebut agar dipetik saat itu juga.
Ini dalam kasus buah yang telah bādiya aṣ-ṣalāḥ (menunjukkan tanda kematangan). Adapun buah yang belum tampak kematangannya, maka pembagian pada bentuk-bentuk di atas dibangun atas empat keadaan:
Pertama: menjualnya secara terpisah tanpa mensyaratkan pemetikan, maka tidak sah.
والثاني: أن يبيعها تبع لِلنَّخْلِ مِنْ غَيْرِ شَرْطِ الْقَطْعِ يَصِحُّ.
وَالثَّالِثُ: أن شرط القطع مع الإشاعة فيها لَا يَصِحُّ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَبِيعَهَا مُفْرَدَةً مِنْ صَاحِبِ النَّخْلِ مِنْ غَيْرِ شَرْطِ الْقَطْعِ عَلَى وَجْهَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ كَغَيْرِهِ.
وَالثَّانِي: يَصِحُّ لِحُصُولِ الثَّمَرَةِ وَالْأَصْلُ فِي مِلْكِ رَجُلٍ وَاحِدٍ فَيَصِيرُ تَبَعًا لِلْأَصْلِ، فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْأُصُولُ صَحَّ فِي قِسْمَتِهَا الْوَجْهُ الْأَوَّلُ وَالثَّانِي وَالثَّالِثُ وَالرَّابِعُ عَلَى وَجْهَيْنِ وَالْخَامِسُ لَا يَصِحُّ وَذَلِكَ يَتَبَيَّنُ بِالتَّأَمُّلِ وَالْفِكْرِ فَتَأَمَّلْهُ تَجِدْهُ صَحِيحًا، وَعَلَى مَا قَرَّرْنَاهُ جَارِيًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
Kedua: jika ia menjual (buah) sebagai pelengkap dari (penjualan) pohon kurma tanpa syarat untuk ditebang, maka sah.
Ketiga: jika ia mensyaratkan penebangan bersama dengan keadaan buah belum dipisah (isyā‘ah), maka tidak sah.
Keempat: jika ia menjual buah tersebut secara terpisah kepada pemilik pohon kurma tanpa syarat penebangan, maka ada dua pendapat:
Pertama: tidak sah, seperti halnya menjual kepada selain pemiliknya.
Kedua: sah, karena buah dan pohonnya berada dalam kepemilikan satu orang, maka buah itu menjadi pelengkap bagi pokoknya.
Maka apabila kaidah-kaidah ini telah ditetapkan, maka sah dalam pembagian buah tersebut bentuk pertama, kedua, ketiga, dan keempat (dengan dua wajah), dan yang kelima tidak sah. Dan hal itu akan menjadi jelas dengan perenungan dan pemikiran — maka renungkanlah, niscaya engkau akan menemukannya benar, dan sesuai dengan apa yang telah kami tetapkan, insya Allah.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وثمر النخل يختلف فَثَمَرُ النَّخْلِ يُجَدُّ بِتِهَامَةَ وَهِيَ بِنَجْدٍ بُسْرٌ وبلح فيضم بعض ذلك إِلَى بَعْضٍ لِأَنَّهَا ثَمَرَةُ عامٍ واحدٍ وَلَوْ كان بينها الشَهْرُ وَالشَّهْرَانِ وَإِذَا أَثْمَرَتْ فِي عَامٍ قَابِلٍ لم يضم “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ:
أَجْرَى اللَّهُ تَعَالَى الْعَادَةَ فِي الثِّمَارِ أَنْ تُدْرَكَ حَالًا بَعْدَ حال، ولا تدرك دفعة واحدة، لما فِي إِدْرَاكِهَا دَفْعَةً وَاحِدَةً مِنَ الْإِضْرَارِ بِأَرْبَابِهَا، وَإِذَا أُدْرِكَتْ حَالًا بَعْدَ حَالٍ كَانَ أَمْتَعَ بها وأنفع لأربابها، وأجرى الْعَادَةَ فِي ثِمَارِ الْبِلَادِ الْحَامِيَةِ كَتِهَامَةَ وَالْحِجَازِ أَنْ يَتَعَجَّلَ إِطْلَاعُهَا وَإِدْرَاكُهَا، لِغِلَظِ الْهَوَاءِ وَشِدَّةِ الْحَرِّ، وَفِي ثِمَارِ الْبِلَادِ الرَّطْبَةِ كَنَجْدٍ وَالْعِرَاقِ أَنْ يَتَأَخَّرَ إِطْلَاعُهَا وَإِدْرَاكُهَا لِرِقَّةِ الْهَوَاءِ وَقُوَّةِ الْبَرْدِ، لِمَصْلَحَةٍ عَلِمَهَا وَحِكْمَةٍ اسْتَأْثَرَ بِهَا، وَأَجْرَى فِي عَادَةِ النَّخْلِ أَنْ يَكُونَ مِنْ بُدُوِّ إِخْرَاجِهَا وَإطلاعِهَا إِلَى مُنْتَهَى نُضْجِهَا وَإِدْرَاكِهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ، وَقِيلَ: إِنَّ النَّخْلَ يَحُولُ فِي السَّنَةِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ فِي بَاقِي السَّنَةِ حَامِلٌ إِمَّا ظَاهِرًا أَوْ بَاطِنًا.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Buah pohon kurma itu berbeda-beda; buah kurma dipanen di Tihāmah sementara di Najd masih berupa busr dan balaḥ, maka sebagian dari itu digabungkan dengan sebagian yang lain karena itu adalah buah dari satu tahun yang sama, meskipun di antara keduanya terdapat jarak sebulan atau dua bulan. Namun apabila berbuah di tahun berikutnya, maka tidak digabung.”
Al-Māwardī berkata: “Dan ini benar:
Allah Ta‘ālā telah menjadikan kebiasaan pada buah-buahan bahwa ia matang satu keadaan demi keadaan, tidak sekaligus, karena kematangannya sekaligus akan membawa mudarat bagi para pemiliknya. Dan apabila buah itu matang satu tahap demi satu tahap, maka itu lebih menyenangkan dan lebih bermanfaat bagi para pemiliknya.
Dan Allah telah menjadikan kebiasaan pada buah-buahan negeri panas seperti Tihāmah dan Ḥijāz bahwa keluarnya bunga dan matangnya buah terjadi lebih awal, karena kerasnya udara dan panasnya cuaca. Adapun pada buah-buahan negeri yang lembap seperti Najd dan ‘Irāq, maka keluarnya bunga dan matangnya buah terjadi lebih lambat karena lembutnya udara dan kuatnya dingin, demi kemaslahatan yang Dia ketahui dan hikmah yang Dia rahasiakan.
Dan Allah menjadikan kebiasaan pohon kurma, bahwa dari mulai keluarnya bunga sampai sempurna matang dan siap dipanen adalah empat bulan. Ada juga yang mengatakan: sesungguhnya pohon kurma selama setahun mengalami ḥawl selama empat puluh hari, kemudian sepanjang sisa tahun itu ia dalam keadaan hamil — baik secara lahiriah maupun tersembunyi.”
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَلَا بُدَّ مِنْ ضَمِّ ثِمَارِ الْعَامِ الْوَاحِدِ بَعْضِهَا إِلَى بَعْضٍ، سَوَاءٌ كَانَتْ فِي بَلَدٍ وَاحِدٍ أَوْ بُلْدَانٍ شَتَّى، فَثَمَرُ النَّخْلِ يُجَدُّ بتهامة وهو بنجد بسر وبلح وجملته، وهو أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ النَّخْلَيْنِ الْمُتَغَايِرَيْنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَتَّفِقَ إِطْلَاعُهُمَا.
أَوْ يَخْتَلِفَ إِطْلَاعُهُمَا، وَتَغَايُرُهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
إِمَّا في النوع كالنخل البري وَالنَّخْلِ الْمَعْقِلِيِّ.
وَإِمَّا فِي الْمَوْضِعِ كَالنَّخْلِ الْتِهَامِيِّ وَالنَّخْلِ النَّجْدِيِّ، وَإِنِ اتَّفَقَ إِطْلَاعُ النَّخْلَيْنِ ضُمَّ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ سَوَاءٌ اتَّفَقَ إِدْرَاكُهُمَا أَوِ اختلف لأنها ثمرة عام، وإن اختلفت إِطْلَاعُهُمَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الثَّانِيَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أقسام:
إما أن تطلع قبل بدو الصلاح الأول.
أَوْ تَطْلُعَ بَعْدَ جِدَادِ الْأُولَى.
Maka apabila hal ini telah dipastikan, wajib menggabungkan sebagian buah dari satu tahun dengan sebagian lainnya, baik berada di satu negeri maupun di berbagai negeri, karena buah kurma dipanen di Tihamah sementara di Najd masih berupa busr dan balah secara keseluruhan. Yaitu, keadaan dua pohon kurma yang berbeda tidak lepas dari salah satu dari dua perkara:
entah iktilā‘-nya bersamaan,
atau berbeda, dan perbedaan itu dari dua sisi:
entah berbeda jenis seperti kurma liar dan kurma ma‘qilī,
atau berbeda tempat seperti kurma Tihamah dan kurma Najd.
Jika iktilā‘ kedua pohon kurma itu bersamaan, maka salah satunya digabungkan dengan yang lain, baik waktu matangnya bersamaan ataupun berbeda, karena keduanya merupakan buah dari satu tahun.
Dan jika iktilā‘ keduanya berbeda, maka keadaan kurma yang kedua tidak lepas dari tiga bagian:
pertama, iktilā‘-nya terjadi sebelum tampak tanda kematangan pada yang pertama;
kedua, iktilā‘-nya terjadi setelah panen yang pertama.
أَوْ تَطْلُعَ بَعْدَ بُدُوِّ صَلَاحِ الْأُولَى وَقَبْلَ جِدَادِهَا.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ إِذَا أَطْلَعَتِ الثَّانِيَةُ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِ الْأُولَى أَوْ مَعَهُ، كَأنَّ نَخْلَ تِهَامَةَ أَطْلَعُ وَصَارَ بُسْرًا لَمْ يبد صَلَاحَهُ بِصُفْرَةٍ وَلَا حُمْرَةٍ، ثُمَّ أَطْلَعَ نَخْلُ نَجْدٍ فَهَذَا يُضَمُّ، لِأَنَّهَا ثَمَرَةُ عَامٍ، وَلِأَنَّ اتِّفَاقَ إِطْلَاعِهِمَا مُتَعَذِّرٌ، بَلِ النَّخْلَةُ الْوَاحِدَةُ قَدْ يَخْتَلِفُ أَطْلَاعُهَا، فكيف بنخل متغاير.
وأما القاسم الثَّانِي: إِذَا أَطْلَعَتِ الثَّانِيَةُ بَعْدَ جِدَادِ الْأُولَى كَأَنَّ نَخْلَ تِهَامَةَ أَطْلَعُ وَصَارَ تَمْرًا يَابِسًا وَجُدَّ عَنْ نَخْلِهِ وَصُرِمَ، ثُمَّ أَطْلَعَ النَّخْلُ الْآخَرُ، فَلَا تُضَمُّ هَذِهِ الثَّانِيَةُ إِلَى الْأَوْلَى، لِأَنَّ الْعَادَةَ لَمْ تَجْرِ فِي ثَمَرَةِ الْعَامِ الواحد بها، وَإِنِ اخْتَلَفَتْ أَنْوَاعُهَا وَبِقَاعُهَا، وَمَنْ قَالَ مِنْ أَصْحَابِنَا تُضَمُّ فَقَدْ أَخْطَأَ نَصُّ الْمَذْهَبِ، وَجَهِلَ عَادَةَ الثَّمَرِ.
Atau muncul (berbunga) setelah budū ṣ-ṣalāḥ dari yang pertama dan sebelum dipanennya.
Adapun bagian pertama, yaitu jika pohon kedua berbunga sebelum budū ṣ-ṣalāḥ dari pohon pertama atau bersamaan dengannya — seperti pohon kurma di Tihāmah telah berbunga dan menjadi busr namun belum tampak kematangannya dengan warna kuning atau merah, lalu pohon kurma di Najd berbunga — maka ini digabungkan, karena itu termasuk buah dari satu tahun, dan karena kesamaan waktu keluarnya bunga sangat sulit terjadi, bahkan satu pohon kurma pun kadang berbeda waktu keluarnya bunga, maka terlebih lagi pohon kurma yang berbeda.
Adapun bagian kedua, yaitu apabila pohon kedua berbunga setelah panen pohon pertama — seperti pohon kurma Tihāmah telah berbunga, menjadi tamr kering dan telah dipanen serta dikumpulkan, lalu pohon kurma lainnya berbunga — maka yang kedua ini tidak digabungkan dengan yang pertama, karena kebiasaan tidak menetapkan bahwa itu termasuk buah tahun yang sama, meskipun jenis dan daerahnya berbeda. Dan barang siapa dari sahabat kami yang mengatakan bahwa itu digabungkan, maka sungguh ia telah keliru terhadap nash mazhab dan tidak memahami kebiasaan buah-buahan.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: إِذَا أَطْلَعَتِ الثَّانِيَةُ بَعْدَ بُدُوِّ صَلَاحِ الْأُولَى وَقَبْلَ جِدَادِهَا، كانت الْأُولَى أَطْلَعَتْ وَصَارَتْ رُطَبًا ثُمَّ أَطْلَعَتِ الثَّانِيَةُ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ضَمِّهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: لَا تضم وَيَكُونُ بُدُوُّ الصَّلَاحِ عَلَمًا فِي ضَمِّ الثِّمَارِ، اسْتِدْلَالًا بِمَذْهَبٍ وَحِجَاجٍ.
أَمَّا الْمَذْهَبُ فَمَا رَوَاهُ حَرْمَلَةُ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ: وَإِذَا كَانَ لِرَجُلٍ ثَمَرٌ مُخْتَلِفٌ فَبَدَا الصَّلَاحُ فِي بَعْضِهَا وَبَعْضُهَا بُسْرٌ وَبَلَحٌ، ضُمَّ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ، لِأَنَّهَا كَانَتْ مَوْجُودَةً عِنْدَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ، فَجَعَلَ عِلَّةَ الضَّمِّ بُدُوَّ الصَّلَاحِ.
وَأَمَّا الْحِجَاجُ فَهُوَ أَنَّ ضَمَّ الثِّمَارِ كَضَمِّ السِّخَالِ، فَلَمَّا اعْتُبِرَ فِي ضَمِّ السِّخَالِ وَجُودُهَا قَبْلَ الْحَوْلِ لِأَنَّ بِالْحَوْلِ تَجِبُ الزَّكَاةُ، وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ فِي ضَمِّ الثِّمَارِ بُدُوُّ الصَّلَاحِ، لِأَنَّ بِبُدُوِّ الصَّلَاحِ تجب الزكاة.
Adapun bagian ketiga: jika pohon kedua iktilā‘-nya setelah tampak tanda kematangan pada pohon pertama dan sebelum pemanenannya—misalnya pohon pertama telah iktilā‘ lalu menjadi ruthab, kemudian pohon kedua menyusul iktilā‘—maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang penggabungannya menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazī dan Abu ‘Alī Ibn Abī Hurairah: tidak digabung, dan bahwa tampaknya tanda kematangan menjadi penanda dalam penggabungan buah. Mereka berdalil dengan mazhab dan hujjah.
Adapun mazhab-nya adalah riwayat dari Harmalah, dari Imam al-Syafi‘i, bahwa beliau berkata: “Jika seseorang memiliki buah yang berbeda-beda, lalu tampak tanda kematangan pada sebagian darinya, sementara sebagian lainnya masih busr dan balah, maka sebagian darinya digabungkan dengan sebagian lainnya, karena seluruhnya telah ada saat tampak tanda kematangan.” Maka beliau menjadikan sebab penggabungan itu adalah tampaknya tanda kematangan.
Dan adapun hujjah-nya adalah bahwa penggabungan buah seperti penggabungan anak-anak kambing (sikhāl). Ketika dalam penggabungan anak kambing disyaratkan adanya sebelum genap haul, karena zakat menjadi wajib saat haul, maka semestinya dalam penggabungan buah pun disyaratkan tampaknya tanda kematangan, karena zakat menjadi wajib saat tampaknya tanda kematangan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُضَمُّ فَيَكُونُ جَفَافُ الثَّمَرَةِ وَأَوَانُ جِدَادِهَا عَلَمًا فِي ضَمِّ الثِّمَارِ، اسْتِدْلَالًا بِمَذْهَبٍ وَحِجَاجٍ أَمَّا الْمَذْهَبُ فَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ، وَلَوْ كَانَ لَهُ نَخْلٌ فِي بَعْضِهَا طَلْعٌ، وَفِي بَعْضِهَا بَلَحٌ، وَفِي بَعْضِهَا بُسْرٌ، وَفِي بَعْضِهَا رُطَبٌ، فَأَدْرَكَ الرُّطَبَ فَجَدَّهُ، وَأَدْرَكَ الْبُسْرَ فَجَدَّهُ، ثُمَّ أَدْرَكَ الْبَلَحَ فَجَدَّهُ، ثم أدرك الطلع فجده، ضمت بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ، لِأَنَّهَا ثَمَرَةُ عَامٍ وَاحِدٍ، وَأَمَّا الْحِجَاجُ فَهُوَ أَنَّ لِلثَّمَرَةِ حَالَيْنِ حَالَ ابْتِدَاءٍ وَهُوَ الْإِطْلَاعُ وَحَالَ انْتِهَاءٍ وَهُوَ الْجَفَافُ، فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الضَّمُّ مُعْتَبَرًا بِالِابْتِدَاءِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِالِانْتِهَاءِ، فَمَنْ قَالَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ وَهُوَ الصَّحِيحُ انْفَصَلَ عَمَّا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” بِأَنْ قَالَ إِنَّمَا جَمَعَ الشَّافِعِيُّ فِي الضَّمِّ بَيْنَ الطَّلْعِ وَالرُّطَبِ وَلَمْ يَجْمَعْ بَيْنَ الْإِطْلَاعِ وَالرُّطَبِ، وَقَدْ يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ طَلْعٍ وَرُطَبٍ كَأَنَّ ابْتِدَاءَ إِطْلَاعِهِ قَبْلَ الْإِرْطَابِ، وَانْفَصَلَ عَنِ الْحِجَاجِ، بِأَنْ قَالَ لِلثَّمَرَةِ حالة ثالثة هي بُدُوُّ صَلَاحِهَا، وَاعْتِبَارُهَا أَوْلَى لِأَنَّ الْوُجُوبَ بِهَا يتعلق.
Dan wajah yang kedua: buah-buahan itu digabungkan, maka kekeringan buah dan waktu pemetikannya menjadi tanda dalam penggabungan buah, berdasarkan istidlāl dengan mazhab dan hujjah.
Adapun mazhab, adalah apa yang dikatakan oleh al-Syafi‘i dalam Kitab al-Umm: “Seandainya seseorang memiliki pohon kurma, sebagian ada yang berbuah ṭal‘, sebagian balaḥ, sebagian busr, dan sebagian ruṭab, lalu ia memetik ruṭab, kemudian memetik busr, lalu memetik balaḥ, lalu memetik ṭal‘, maka sebagian dari buah-buah itu digabungkan dengan sebagian yang lain, karena itu semua adalah buah dari satu tahun.”
Adapun hujjah, maka buah memiliki dua keadaan: keadaan permulaan yaitu iṭlā‘ (munculnya mayang), dan keadaan akhir yaitu jafāf (mengering). Maka ketika penggabungan tidak dianggap berdasarkan permulaan, wajib dianggap berdasarkan akhirnya.
Barang siapa berpendapat dengan wajah yang pertama — dan itu yang ṣaḥīḥ — maka ia menanggapi apa yang dikatakan oleh al-Syafi‘i dalam Kitab al-Umm dengan mengatakan: “Sesungguhnya al-Syafi‘i hanya menggabungkan dalam penggabungan antara ṭal‘ dan ruṭab, dan tidak menggabungkan antara iṭlā‘ dan ruṭab. Dan mungkin saja digabungkan antara ṭal‘ dan ruṭab, karena permulaan iṭlā‘-nya sebelum masa irṭāb (menjadi ruṭab).”
Dan ia juga menanggapi hujjah dengan mengatakan bahwa buah memiliki keadaan ketiga, yaitu budū ṣalāḥihā (mulainya tampak baiknya buah), dan mempertimbangkan keadaan ini lebih utama karena dengannyalah kewajiban zakat itu terkait.
فصل
: قال الشافعي إذا أَثْمَرَتْ فِي عَامٍ قَابِلٍ لَمْ تُضَمَّ، يَعْنِي: إنَّهُ إِذَا تَقَدَّمَ إِطْلَاعُ التِّهَامِيِّ ثُمَّ أَطْلَعَ بعد النَّجْدِيُّ فَجَدَّ التِّهَامِيُّ وَالنَّجْدِيُّ بُسْرٌ وَبَلَحٌ ثُمَّ أَطْلَعَ التِّهَامِيُّ ثَانِيَةً قَبْلَ جِدَادِ النَّجْدِيِّ، كَانَ هَذَا الْإِطْلَاعُ الثَّانِي مِنَ النَّخْلِ التِّهَامِيِّ ثَمَرَةَ عَامٍ ثَانٍ، لَا يُضَمُّ إِلَى النَّجْدِيِّ، وَإِنْ أَطْلَعَ قَبْلَ إِرْطَابِهِ، لِأَنَّ هَذَا النَّجْدِيَّ قَدْ ضم إِلَى التِّهَامِيِّ الْأَوَّلِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُضَمَّ إِلَيْهِ التِّهَامِيُّ الثَّانِي، لِأَنَّهُ يَكُونُ ضَمًّا بَيْنَ التهامي الأول والتهامي الثاني.
PASAL
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika berbuah pada tahun berikutnya, maka tidak boleh digabungkan.” Maksudnya: apabila iktilā‘ kurma Tihamah terjadi lebih dahulu, kemudian kurma Najd iktilā‘, lalu kurma Tihamah dipanen sedangkan kurma Najd masih busr dan balah, kemudian kurma Tihamah kembali iktilā‘ untuk kedua kalinya sebelum panen kurma Najd, maka iktilā‘ kedua dari kurma Tihamah itu dianggap sebagai buah tahun kedua, tidak digabungkan dengan kurma Najd—meskipun iktilā‘-nya sebelum kurma Najd menjadi ruthab—karena kurma Najd telah digabungkan dengan kurma Tihamah pertama, maka tidak boleh digabungkan lagi dengan kurma Tihamah yang kedua, sebab hal itu berarti menggabungkan antara Tihamah pertama dengan Tihamah kedua.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا كان آخر إطلاع ثمر أطلعت قبل أن يجد فالإطلاع التي بعد بلوغ الآخرة كإطلاع تلك النخل عاماً آخر لا تضم إلا طلاعةً إلى العام قَبْلَهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَلَامٌ غَلِقٌ، وَالرِّوَايَةُ فِي نَقْلِهِ مُخْتَلِفَةٌ، فَرُوِيَ فَإِذَا كَانَ آخِرُ اطلاع ثمر اطلعت قبل نجد يَعْنِي قَبْلَ أَنْ تُجَدَّ، وَرُوِيَ قِبَلَ نَجْدٍ يَعْنِي نَاحِيَةَ نَجْدٍ، فَعَلَى الرِّوَايَةِ الْأُولَى الَّتِي هِيَ بِمَعْنَى قَبْلَ أَنْ تُجَدَّ وَتُقْطَعَ، يَكُونُ مَعْنَى الْكَلَامِ: وَإِذَا كَانَ إِطْلَاعُ آخِرِ ثَمَرٍ اطلعت بنجد قبل عام أَنْ تُجَدَّ ثَمَرُ تِهَامَةَ فَمَا أَطْلَعَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْ ثِمَارِ تِهَامَةَ فَهُوَ ثَمَرَةُ عَامٍ ثَانٍ لَا يُضَمُّ، لِأَنَّكَ قَدْ ضَمَمْتَ النَّجْدِيَّةَ إلى التهامية الأولة، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَضُمَّ التِّهَامِيَّةَ الثَّانِيَةَ إِلَى النَّجْدِيَّةِ لِأَنَّكَ تَصِيرُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ ضَمَّ التِّهَامِيَّةَ الثانية إلى التهامية الأولة، وَهِيَ الْفَرْعُ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ وَهَذَا تَأْوِيلُ مَنْ جَعَلَ الْجَفَافَ عَلَى الضَّمِّ، وَعَلَى الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ الَّتِي هِيَ بِمَعْنَى نَاحِيَةِ نَجْدٍ، يَكُونُ مَعْنَى الْكَلَامِ وَإِذَا كَانَ آخِرُ إِطْلَاعٍ ثُمَّ أَطْلَعَتْ بنجد فما اطلع مِنْ ثِمَارِ نَجْدٍ بَعْدَ بُلُوغِ هَذِهِ النَّجْدِيَّةِ فَهُوَ ثَمَرَةُ عَامٍ آخَرَ لَا يُضَمُّ إِلَيْهِ، وَهَذَا تَأْوِيلُ مَنْ جَعَلَ بُدُوَّ الصَّلَاحِ عَلَمَ الضم.
Masalah:
Al-Syafi‘i RA berkata:
“Dan apabila akhir iṭlā‘ buah terjadi sebelum jadād, maka iṭlā‘ yang terjadi setelah selesainya iṭlā‘ tersebut adalah seperti iṭlā‘ pohon kurma di tahun lain, maka tidak digabungkan kecuali dengan iṭlā‘ yang terjadi pada tahun sebelumnya.”
Al-Māwardī berkata:
Ini adalah ucapan yang sulit dipahami (ghaliq), dan riwayat dalam penyampaiannya berbeda-beda. Diriwayatkan: “fa-idzā kāna ākhir iṭlā‘ thamarin iṭla‘at qabla najd”, maksudnya sebelum dipetik. Dan ada pula yang meriwayatkan “qibala najd”, maksudnya wilayah Najd.
Maka menurut riwayat pertama, yang bermakna sebelum dipetik dan dipanen, makna ucapan itu adalah:
“Apabila iṭlā‘ terakhir dari buah-buahan Najd terjadi sebelum tahun pemetikan buah-buahan Tihāmah, maka semua buah yang muncul setelah itu dari Tihāmah dihitung sebagai buah tahun kedua, tidak digabungkan. Karena engkau telah menggabungkan buah Najd dengan buah Tihāmah yang pertama, maka tidak boleh engkau menggabungkan buah Tihāmah yang kedua dengan buah Najd, sebab hal itu seperti menggabungkan buah Tihāmah yang kedua dengan Tihāmah yang pertama — dan ini termasuk cabang yang telah kami sebutkan sebelumnya.”
Dan ini adalah ta’wil (penafsiran) bagi yang menjadikan kekeringan (jafāf) sebagai tanda penggabungan.
Dan menurut riwayat kedua, yang bermakna wilayah Najd, maka makna ucapannya adalah:
“Apabila akhir iṭlā‘, lalu muncul iṭlā‘ di wilayah Najd, maka semua buah yang muncul setelah kematangan buah Najd tersebut adalah buah tahun lain, tidak digabungkan dengannya.”
Dan ini adalah ta’wil bagi yang menjadikan permulaan kematangan (budū al-ṣalāḥ) sebagai tanda dalam penggabungan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُتْرَكُ لِصَاحِبِ الْحَائِطِ جَيِّدُ التَّمْرِ مِنَ الْبُرْدِيِّ وَالْكَبِيسِ وَلَا يُؤْخَذُ الْجَعْرُورُ وَلَا مُصْرَانُ الْفَأْرَةِ ولا عذق ابن حبيق ويؤخذ وسط من التَّمْرِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ تَمْرَهُ بَرْدِيًّا كُلَّهُ فَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَوْ جَعْرُورًا كُلَّهُ فَيُؤْخَذُ مِنْهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ أَسْمَاءُ التَّمْرِ بِالْحِجَازِ، وَجُمْلَةُ ذلك أنه لا يخلو ثمر الرَّجُلِ مِنْ أَنْ يَكُونَ نَوْعًا أَوْ أَنْوَاعًا، فَإِنْ كَانَتْ نَوْعًا وَاحِدًا أُخِذَ مِنْهُ الزَّكَاةُ جَيِّدًا كَانَ أَوْ رَدِيئًا، وَإِنْ كَانَتْ أَنْوَاعًا مُخْتَلِفَةً فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ أَنْوَاعًا قَلِيلَةً مُتَمَيِّزَةً، كَنَوْعَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ، فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ مِنْ كُلِّ نَوْعٍ مِنْهَا.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن تكون أنواعاً كثيرة لا يمكن تمييزها، وَيَشُقُّ أَخْذُ الزَّكَاةِ مِنْ كُلِّ نَوْعٍ مِنْهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Dan dibiarkan untuk pemilik kebun kurma jenis bardi dan kabīs yang baik, dan tidak diambil zakat dari ja‘rūr, miṣrān al-fa’rah, atau ‘idzuq ibn Ḥubayq. Zakat diambil dari jenis pertengahan kurma, kecuali jika seluruh kurmanya adalah bardi, maka diambil darinya; atau seluruhnya ja‘rūr, maka diambil darinya.”
Al-Māwardī berkata: “Ini adalah nama-nama jenis kurma di wilayah Hijaz. Dan secara keseluruhan, buah kurma seseorang tidak lepas dari dua keadaan:
entah satu jenis, atau beberapa jenis.
Jika satu jenis, maka zakat diambil darinya, baik kurma itu berkualitas baik maupun buruk.
Jika terdiri dari beberapa jenis yang berbeda, maka terbagi menjadi dua:
Pertama: jenis-jenisnya sedikit dan bisa dibedakan, seperti dua atau tiga jenis—maka wajib mengeluarkan zakat dari masing-masing jenis tersebut.
Jenis kedua: jika jenis-jenisnya banyak dan tidak memungkinkan untuk dibedakan satu per satu, serta menyulitkan untuk mengambil zakat dari masing-masing jenis—maka ini terbagi lagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَتَسَاوَى الْأَنْوَاعُ فِي الْقَدْرِ فَيَكُونُ كُلُّ نَوْعٍ مِنْهَا عَشْرَةَ أَوْسُقٍ، لَا يَزِيدُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ، فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ مِنْ وَسَطِهِ لَا مِنْ جَيِّدِهِ وَلَا مِنْ رَدِيئِهِ، لِأَنَّ فِي أَخْذِهَا مِنْ جيده إضرار بِهِ، وَفِي أَخْذِهَا مِنْ رَدِيئِهِ إِضْرَارًا بِالْمَسَاكِينِ وفي أخذها من كل نوع مشقة، فدعته الضَّرُورَةُ إِلَى أَخْذِهَا مِنَ الْوَسَطِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَتَفَاضَلَ الْأَنْوَاعُ فِي الْقَدْرِ وَيَزِيدُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ، فَيَكُونُ نَوْعٌ مِنْهَا عَشْرَةَ أَوْسُقٍ، وَنَوْعٌ آخَرُ عِشْرِينَ وَسْقًا، وَنَوْعٌ آخَرُ ثَلَاثِينَ وَسْقًا، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الْأَغْلَبِ وَالْأَكْثَرِ، وَيَكُونُ الْأَقَلُّ تَبَعًا، سَوَاءٌ كَانَ الْأَغْلَبُ جَيِّدًا أَوْ رَدِيئًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُؤْخَذُ من الوسط لأنه أعدل.
Pertama: jika jenis-jenisnya sama dalam kadar, yakni masing-masing jenis itu sebanyak sepuluh wasaq, tidak ada yang lebih banyak dari yang lain, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya dari kualitas pertengahan, bukan dari yang baik dan bukan dari yang jelek, karena mengambil dari yang baik memberatkannya, dan mengambil dari yang jelek merugikan para miskin, dan mengambil dari setiap jenis itu merepotkan. Maka dorongan kebutuhan menuntut untuk mengambil dari bagian yang pertengahan.
Dan jenis yang kedua: jika jenis-jenisnya berbeda dalam kadar, sebagian lebih banyak dari sebagian yang lain, misalnya satu jenis sepuluh wasaq, jenis lain dua puluh wasaq, dan jenis lainnya tiga puluh wasaq, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: diambil dari yang paling banyak dan dominan, dan yang sedikit menjadi pengikut, baik yang dominan itu berkualitas baik maupun buruk.
Dan pendapat kedua: diambil dari bagian pertengahan, karena itu lebih adil.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن كان له نخل مختلفة واحد يحمل في وقت والآخر حملين أو سَنَةٍ حِمْلَيْنِ فَهُمَا مُخْتَلِفَانِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْعَادَةُ الْجَارِيَةُ فِي النَّخْلِ وَالْأَشْجَارِ فَهِيَ: أَنْ تَحْمِلَ فِي السَّنَةِ حِمْلًا وَاحِدًا فَإِنْ شَذَّ بَعْضُهَا عَنِ الْجُمْلَةِ وَفَارَقَ مَأْلُوفَ الْعَادَةِ وَحَمَلَ في السنة حملين لم يضم كل واحد منهما إلى الآخر، وتميز كل واحد منهما بِحُكْمِهِ؛ لِأَنَّهُمَا ثَمَرَتَانِ، فَلَوْ كَانَ لَهُ نَخْلٌ آخَرُ فَحَمَلَ حِمْلًا وَاحِدًا عَلَى مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ ضَمَّهُ إِلَى مَا وَافَقَهُ مِنْ حِمْلَيْ تِلْكَ الشَّاذَّةِ، فَإِنْ وَافَقَ الْحِمْلَ الْأَوَّلَ ضُمَّ إِلَيْهِ دُونَ الثَّانِي، وَإِنْ وَافَقَ الثَّانِي ضم إليه دون الأول.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Jika seseorang memiliki pohon kurma yang berbeda-beda—yang satu berbuah sekali dalam setahun dan yang lain dua kali dalam setahun—maka keduanya dianggap berbeda.”
Al-Māwardī berkata:
Adapun kebiasaan yang berlaku pada pohon kurma dan pepohonan lainnya adalah berbuah satu kali dalam setahun. Maka jika sebagian dari pohon itu menyelisihi kebiasaan umum dan keluar dari adat yang lazim, lalu berbuah dua kali dalam setahun, maka setiap buahnya tidak digabungkan satu sama lain, dan masing-masing dipisahkan hukumnya, karena keduanya adalah dua buah yang berbeda.
Maka seandainya seseorang memiliki pohon kurma lain yang berbuah satu kali sesuai kebiasaan umum, maka hasil panennya digabungkan dengan salah satu dari dua panen pohon yang menyelisihi adat itu—yaitu yang sesuai waktu panennya.
Jika panennya sesuai dengan panen pertama, maka digabungkan dengannya dan tidak dengan yang kedua. Dan jika sesuai dengan panen kedua, maka digabungkan dengannya dan tidak dengan yang pertama.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ صالحٍ التَّمَّارُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ ابْنِ المسيب بن عَتَّابِ بْنِ أُسَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي زَكَاةِ الْكَرْمِ ” يُخْرَصُ كَمَا يُخْرَصُ النَّخْلُ ثُمَّ تُؤَدَّى زكاته زبيبا كما تؤدى زكاة النخل تمراً ” وبإسناده أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان يبعث من يخرص على الناس كرومهم وثمارهم وَاحْتَجَّ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ليهود خيبر حين افتتح خيبر ” أقركم على ما أقركم الله على أن التمر بيننا وبينكم ” قال فكان يبعث عبد الله ابن رواحة فيخرص عليهم ثُمَّ يَقُولُ إِنْ شِئْتُمْ فَلَكُمْ وَإِنْ شِئْتُمْ فلي فكانوا يأخذونه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
BAB TATA CARA MENGAMBIL ZAKAT KURMA DAN ANGGUR DENGAN PERKIRAAN (KHARṢ)
Al-Syafi‘i rahimahullah berkata:
“Abdullah bin Nāfi‘ telah mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Ṣāliḥ al-Tammār dari al-Zuhrī dari Ibn al-Musayyab bin ‘Aṭṭāb bin Usayd, bahwa Rasulullah SAW bersabda mengenai zakat kebun anggur:
‘Diperhitungkan (perkiraan hasilnya) sebagaimana diperhitungkan pada kurma, kemudian zakatnya ditunaikan dalam bentuk kismis sebagaimana zakat kurma ditunaikan dalam bentuk kurma.’”
Dan dengan sanad tersebut pula:
Sesungguhnya Nabi SAW dahulu mengutus orang untuk memperkirakan hasil kebun anggur dan buah-buahan milik manusia.
Dan beliau berdalil dengan sabda Rasulullah SAW kepada orang-orang Yahudi Khaibar ketika beliau menaklukkan Khaibar:
“Aku biarkan kalian di tempat yang Allah biarkan kalian, dengan syarat bahwa kurma itu antara kami dan kalian.”
Lalu beliau biasa mengutus Abdullah bin Rawāḥah untuk memperkirakan hasil kebun mereka, lalu ia berkata:
“Jika kalian menghendaki, ini untuk kalian; dan jika kalian menghendaki, ini untukku.”
Maka mereka biasa mengambilnya.
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah ṣaḥīḥ.
إِذَا بَدَا صَلَاحُ ثِمَارِ النَّخْلِ وَالْكَرْمِ فَقَدْ تَعَلَّقَ وُجُوبُ الزَّكَاةِ بِهِمَا، وَوَجَبَ خَرْصُهُمَا لِلْعِلْمِ بِقَدْرِ زَكَاتِهِمَا، فَيَخْرُصُهُما رُطَبًا وَيَنْظُرُ الْخَارِصُ كَمْ يَصِيرُ تَمْرًا فَيُثْبِتُهَا تمراً، ثُمَّ يُخَيَّرُ رَبُّ الْمَالِ فِيهَا، فَإِنْ شَاءَ كانت في يده أمانة إلى وقت الحداد وَلَيْسَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيهَا، وَإِنْ شَاءَ كَانَتْ في يده مضمونة وله التصرف فِيهَا ضمنَهَا، فَيُسْتَفَادُ بِالْخَرْصِ الْعِلْمُ بِقَدْرِ الزَّكَاةِ فِيهَا، وَاسْتِبَاحَةُ رَبِّ الْمَالِ التَّصَرُّفَ فِي الثَّمَرَةِ إِنْ شَاءَ بِشَرْطِ الضَّمَانِ، هَذَا مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ كرم الله وجوههما، وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ وَالزُّهْرِيُّ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وأبو ثور.
Apabila telah tampak tanda kematangan pada buah kurma dan anggur, maka telah terkait kewajiban zakat pada keduanya, dan wajib dilakukan taksiran (kharṣ) untuk mengetahui kadar zakatnya. Maka dilakukan taksiran dalam keadaan masih ruthab, lalu orang yang melakukan taksiran memperkirakan berapa banyak yang akan menjadi tamr, lalu menetapkannya dalam bentuk tamr.
Kemudian pemilik harta diberi pilihan dalam hal itu:
jika ia menghendaki, maka buah tersebut tetap berada di tangannya sebagai amanah sampai waktu panen, dan ia tidak boleh melakukan transaksi terhadapnya.
Jika ia menghendaki, maka buah itu berada di tangannya dengan status tanggungan, dan ia boleh melakukan transaksi terhadapnya, namun ia wajib menanggungnya.
Dengan kharṣ, diperoleh pengetahuan tentang kadar zakat yang wajib, dan diperbolehkan bagi pemilik harta untuk melakukan transaksi terhadap buah tersebut jika ia menghendaki, dengan syarat ia menanggungnya.
Inilah mazhab kami, dan inilah pula pendapat dari para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar—semoga Allah memuliakan wajah keduanya—dan dari kalangan tabi’in seperti ‘Aṭā’ dan al-Zuhrī, serta dari kalangan fuqaha seperti Mālik dan Abu Ṯawr.
وَقَالَ أبو حنيفة وَالثَّوْرِيُّ: خَرْصُ الثِّمَارِ لَا يَجُوزُ احْتِجَاجًا بِرِوَايَةِ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى عن الخرص ورواية جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ بَيْعِ كُلِّ ذِي ثَمْرَةٍ بخرصٍ، قَالُوا وَلِأَنَّ الْخَرْصَ تَخْمِينٌ وَحَدْسٌ، لِأَنَّ الْخَارِصَ لا يرجع فيه إلى أصل مقدر وَلَا يَعْمَلُ عَلَى مِثَالٍ مُتَقَدِّمٍ، وَإِنَّمَا يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى مَا يَقْوَى فِي نَفْسِهِ وَيَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ، وَقَدْ يُخْطِئُ فِي أَكْثَرِهِ وَإِنْ أَصَابَ فِي بَعْضِهِ فَلَمْ يَجُزِ الْأَخْذُ بِهِ وَلَا الْعَمَلُ عَلَيْهِ، قَالُوا وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ خَرْصُ الثِّمَارِ لِيُعْلَمَ بِهِ قَدْرُ الصَّدَقَةِ لَجَازَ خَرْصُ الزُّرُوعِ لِيُعْلَمَ بِهِ قَدْرُ الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ فِي الزُّرُوعِ لَمْ يَجُزْ فِي الثِّمَارِ.
Abu Ḥanīfah dan al-Tsaurī berkata:
Perkiraan (kharṣ) terhadap buah-buahan tidak boleh, dengan berdalil pada riwayat Jābir bahwa Nabi SAW melarang kharṣ, dan riwayat Jābir juga bahwa Nabi SAW melarang menjual semua yang berbuah berdasarkan perkiraan.
Mereka berkata: Karena kharṣ itu hanyalah takmīn (perkiraan) dan ḥads (dugaan semata), sebab orang yang melakukan kharṣ tidak merujuk kepada suatu dasar yang pasti dan tidak bekerja dengan suatu pola terdahulu. Ia hanya merujuk kepada apa yang kuat dalam dirinya dan dominan dalam prasangkanya.
Padahal ia bisa keliru dalam sebagian besar perkiraannya, walaupun ia benar dalam sebagian lain, maka tidak boleh dijadikan dasar pengambilan zakat dan tidak boleh diamalkan.
Mereka juga berkata:
Seandainya diperbolehkan memperkirakan buah-buahan untuk mengetahui kadar zakat, tentu diperbolehkan pula memperkirakan tanaman (biji-bijian) untuk mengetahui kadar zakat.
Maka ketika tidak diperbolehkan dalam tanaman, tidak pula diperbolehkan dalam buah-buahan.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: إِنَّهُ جِنْسٌ تَجِبُ فِيهِ الصدقة فلم يجز تقدير ثمرته بالخرص كالزرع، قَالُوا: وَلِأَنَّ خَرْصَ الثِّمَارِ بَعْدَ جِدَادِهَا أَقْرَبُ إِلَى الْإِصَابَةِ مِنْ خَرْصِهَا عَلَى رُؤُوسِ نَخْلِهَا، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ فِي أَقْرَبِهِمَا مِنَ الْإِصَابَةِ لم يجز في أبعدهما، قالوا وَلِأَنَّ الْخَرْصَ عِنْدَكُمْ يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمَانِ:
أَحَدُهُمَا: الْعِلْمُ بِقَدْرِ الصَّدَقَةِ وَذَلِكَ غَيْرُ مَوْجُودٍ، لِأَنَّ رَبَّ الْمَالِ لَوِ ادَّعَى غَلَطًا أَوْ نُقْصَانًا صُدِّقَ.
وَالْحُكْمُ الثَّانِي: تَضْمِينُ رَبِّ الْمَالِ قَدْرَ الصَّدَقَةِ، وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ بَيْعُ رُطَبٍ بِتَمْرٍ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ بَيْعُ حَاضِرٍ بِغَائِبٍ، فَإِذَا كَانَ مَا يُسْتَفَادُ بِالْخَرْصِ مِنَ الْحُكْمَيْنِ مَعًا بَاطِلًا ثَبَتَ أَنَّ الْخَرْصَ غَيْرُ جَائِزٍ.
Dan penjelasannya secara qiyās adalah: sesungguhnya ia (buah) adalah satu jenis yang wajib dikeluarkan ṣadaqah-nya, maka tidak boleh ditaksir buahnya dengan kharṣ sebagaimana (tidak boleh pula) pada tanaman.
Mereka berkata: karena taksiran buah setelah dipanen itu lebih mendekati kebenaran daripada taksiran saat masih berada di atas pohon kurma, maka ketika yang lebih dekat kepada kebenaran saja tidak boleh, maka yang lebih jauh darinya lebih tidak boleh lagi.
Mereka juga berkata: karena menurut kalian, kharṣ itu mengandung dua hukum:
Pertama: untuk mengetahui kadar ṣadaqah, dan ini tidak tercapai, karena jika pemilik harta mengklaim adanya kesalahan atau kekurangan, ia dipercaya.
Kedua: menjadikan pemilik harta menanggung kadar ṣadaqah, dan ini tidak boleh dari dua sisi:
Pertama: karena itu adalah jual beli ruthab dengan tamr.
Kedua: karena itu adalah jual beli barang hadir dengan barang gaib.
Maka apabila dua hukum yang diambil dari kharṣ itu keduanya batil, tetaplah bahwa kharṣ itu tidak boleh.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ الْخَرْصِ وُرُودُ السُّنَّةِ بِهِ، قَوْلًا وَفِعْلًا وَامْتِثَالًا.
فَأَمَّا الْقَوْلُ فيما رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي صَدْرِ الْبَابِ عَنْ عَتَّابِ بْنِ أُسَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” فِي الْكَرْمِ يُخْرَصُ كَمَا يُخْرَصُ النَّخْلُ ثُمَّ تُؤَدَّى زَكَاتُهُ زَبِيبًا كَمَا تُؤَدَّى زَكَاةُ النَخْلِ تَمْرًا ” فَجَعَلَ الْخَرْصَ عَلَمًا لِمَعْرِفَةِ الْحَقِّ، وجعل لأرباب الأموال أن يودوا زَبِيبًا وَتَمْرًا عَلَى مَا خَرَجَ بِالْخَرْصِ، وَلَمْ يَجْعَلْ ذَلِكَ مِنَ الْمَالِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ.
Dan dalil atas bolehnya melakukan kharṣ (perkiraan hasil panen) adalah adanya sunnah yang datang tentang hal itu — baik berupa ucapan, perbuatan, maupun penerapan.
Adapun ucapan, adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Syafi‘i pada permulaan bab ini dari ‘Aṭṭāb bin Usayd bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Pada kebun anggur dilakukan kharṣ sebagaimana pada pohon kurma dilakukan kharṣ, kemudian zakatnya ditunaikan dalam bentuk kismis sebagaimana zakat kurma ditunaikan dalam bentuk kurma.”
Maka Nabi SAW menjadikan kharṣ sebagai patokan untuk mengetahui kadar kewajiban (zakat), dan membolehkan para pemilik harta untuk membayar dalam bentuk kismis dan kurma berdasarkan hasil kharṣ,
dan beliau tidak menjadikannya sebagai harta yang wajib secara langsung, maupun sebagai sesuatu di luar harta tersebut.
وَأَمَّا الْفِعْلُ فَمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَصَ حَدِيقَةَ امرأةٍ بِوَادِي الْقُرَى عَشْرَةَ أَوْسُقٍ فَلَمْ تَزِدْ وَلَمْ تَنْقُصْ وَأَمَّا الِامْتِثَالُ فَمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ لَهُ خَرَّاصُونَ مَشْهُورُونَينفذهم لخرص الثمار، منهم حويصة، ومحيصة، وسهل بن أبي حثمة وَعَتَّابُ بْنُ أُسَيْدٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ وأبي بردة وابن عمر، وَقِيلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَيْضًا فَكَانُوا يَتَوَجَّهُونَ لِخَرْصِ الثِّمَارِ امْتِثَالًا لِأَمْرِهِ وَاتِّبَاعًا لِرَسْمِهِ، وَرَوَى سَهْلُ بْنُ أَبِي حَثْمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” إذا خرصتم فدعو لَهُمُ الثُّلُثَ، فَإِنْ لَمْ تَدَعُوا لَهُمُ الثُلُثَ فَدَعُوا لَهُمُ الرُّبُعَ ” وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Adapun dalil dari perbuatan adalah apa yang diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan taksiran terhadap kebun milik seorang perempuan di Wādī al-Qurā sebanyak sepuluh wasaq, dan hasil panennya tidak melebihi dan tidak kurang dari itu.
Adapun dalil dari pelaksanaan (praktik berkelanjutan), adalah riwayat bahwa Rasulullah SAW memiliki para petugas taksiran (kharrāṣūn) yang terkenal, yang beliau tugaskan untuk melakukan taksiran buah-buahan. Di antara mereka adalah: Ḥuwaiṣah, Muḥaiṣah, Sahl bin Abī Ḥathmah, ‘Attāb bin Usayd, ‘Abdullāh bin Rawāḥah, Abū Burdah, dan Ibnu ‘Umar—dan ada yang mengatakan termasuk juga ‘Umar bin al-Khaṭṭāb. Mereka biasa pergi melakukan taksiran buah sebagai bentuk pelaksanaan perintah beliau dan mengikuti sunnah beliau.
Sahl bin Abī Ḥathmah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
“Apabila kalian melakukan taksiran, maka sisakan sepertiga untuk mereka (pemilik kebun), dan jika kalian tidak menyisakan sepertiga, maka sisakan seperempat.”
Dalam hal ini terdapat dua penakwilan:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ تأويل الشافعي في القديم أنه يُتْرَكَ لَهُمُ الثُّلُثُ أَوِ الرُّبُعُ مِنَ الزَّكَاةِ لِيَتَوَلَّوْا إِخْرَاجَهُ فِي فُقَرَاءِ جِيرَانِهِمْ، بَلْ قَدْ رُوِيَ فِي بَعْضِ الْأَخْبَارِ أَنَّهُ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَإِنَّ فِي الْمَالِ الْوَصِيَّةَ وَالْعَرِيَّةَ “.
وَالثَّانِي: أَنْ يُخْرَصَ عَلَيْهِمْ جَمِيعُهُ ثُمَّ يُدْفَعُ إِلَيْهِمُ الثُّلُثُ أَوِ الرُّبُعُ لِيَتَصَرَّفُوا فِيهِ وَيَأْكُلُوهُ، وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ.
وَرَوَى جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان يقول للخراص: ” إذا بعثتم احْتَاطُوا لِأَهْلِ الْأَمْوَالِ فِي النَّائِبَةِ وَالْوَاطِئَةِ وَمَا يَجِبُ فِي الثَمَرَةِ مِنَ الْحَقِّ ” وَفِي النَّائِبَةِ تأويلان:
أحدهما: الأصناف.
وَالثَّانِي: مَا يَنُوبُ الْأَمْوَالَ مِنَ الْجَوَائِحِ.
Pertama: dan ini adalah ta’wil al-Syafi‘i dalam qaul qadīm, bahwa dibiarkan sepertiga atau seperempat dari zakat untuk mereka (pemilik kebun), agar mereka sendiri yang menyalurkannya kepada fakir miskin tetangga-tetangga mereka. Bahkan telah diriwayatkan dalam sebagian hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya dalam harta itu terdapat wasiat dan ‘ariyyah.”
Kedua: bahwa seluruh hasil panen di-kharṣ-kan (diperkirakan) atas mereka, lalu diberikan kepada mereka sepertiga atau seperempatnya untuk mereka manfaatkan dan makan, dan ini adalah pendapat al-Syafi‘i dalam qaul jadīd.
Dan telah meriwayatkan Jābir bin ‘Abdillah bahwa Rasulullah SAW dahulu bersabda kepada para petugas kharṣ:
“Apabila kalian diutus, berhati-hatilah terhadap para pemilik harta dalam hal musibah besar (nā’ibah), musibah ringan (wāṭi’ah), dan hak yang wajib dalam buah.”
Adapun kata nā’ibah, maka padanya terdapat dua penafsiran:
Pertama: maknanya adalah golongan penerima zakat.
Kedua: yaitu musibah-musibah yang menimpa harta, seperti bencana dan kerusakan.
وَفِي الْوَاطِئَةِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْوَاطِئَةَ الْمَارَّةُ وَالسَّابِلَةُ، سُمُّوا بِذَلِكَ لِوَطْئِهِمِ الطَّرِيقَ، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ قُتَيْبَةَ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَاطِئَةَ سُقَاطَةُ الثَّمَرِ وَمَا يَقَعُ مِنْهُ فِي الْأَرْضِ فَيُوطَأُ، حَكَاهُ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ وَاخْتَارَهُ.
وَالثَّالِثُ: إِنَّهَا الْوَطَايَا واحدها وطية، وهي تجري مجرى العرية، وسميت وطئة، لِأَنَّ صَاحِبَهَا وَطَّأَهَا لِنَفْسِهِ أَوْ لِأَهْلِهِ، فَلَا تَدْخُلُ فِي الْخَرْصِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الضَّرِيرِ.
وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خَيْبَرَ خَارِصًا فَخَرَصَ أَرْبَعِينَ أَلْفَ وَسْقٍ، ثُمَّ خَيَّرَ الْيَهُودَ بَيْنَ أَنْ يَأْخُذُوهُ وَيَدْفَعُوا عِشْرِينَ أَلْفَ وَسْقٍ وَبَيْنَ أَنْ يَأْخُذَهُ وَيَدْفَعَ إِلَيْهِمْ عِشْرِينَ أَلْفَ وَسْقٍ، فَقَالُوا هَذَا هُوَ الْحَقُّ وَبِهِ قامت السموات والأرض.
Dan tentang al-wāṭi’ah terdapat tiga penakwilan:
Pertama: bahwa al-wāṭi’ah adalah para pejalan kaki yang lewat dan musafir, mereka dinamakan demikian karena menginjak jalan. Ini adalah pendapat Ibn Qutaybah.
Kedua: bahwa al-wāṭi’ah adalah buah yang jatuh dari pohon dan mengenai tanah lalu terinjak. Ini diceritakan oleh Abū Sulaimān al-Khaṭṭābī dan ia memilihnya.
Ketiga: bahwa ia adalah al-waṭāyā (jamak dari waṭiyyah), yang hukumnya seperti ‘ariyyah, dan dinamakan waṭi’ah karena pemiliknya telah menyiapkannya untuk dirinya sendiri atau keluarganya. Maka ia tidak masuk dalam taksiran (kharṣ). Ini adalah pendapat Abū Sa‘īd al-Ḍarīr.
Dan telah diriwayatkan oleh ‘Āisyah RA bahwa Rasulullah SAW mengutus ‘Abdullāh bin Rawāḥah ke Khaybar untuk melakukan kharṣ, lalu ia menaksir empat puluh ribu wasaq, kemudian beliau memberi pilihan kepada orang-orang Yahudi: antara mereka mengambil seluruhnya dan membayar dua puluh ribu wasaq, atau beliau yang mengambil seluruhnya dan memberikan dua puluh ribu wasaq kepada mereka. Maka mereka berkata, “Inilah kebenaran yang dengannya langit dan bumi tegak.”
وَفِي رِوَايَةِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ قَالَ إِنْ شِئْتُمْ فَلَكُمْ وَإِنْ شِئْتُمْ فَلِي وَمَعْنَاهُمَا وَاحِدٌ.
وَرُوِيَ فِي الْخَبَرِ أَنَّ الْيَهُودَ جَمَعُوا لَهُ حُلِيًّا مِنْ حُلِيِّ نِسَائِهِمْ وَسَأَلُوهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْهُمُ الْخَرْصَ وَيَأْخُذَ مِنْهُمُ الْحُلِيَّ فَأَبَى عَلَيْهِمْ وَقَالَ: إِنَّ الرِّشْوَةَ سُحْتٌ، وَإِنَّكُمْ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَيَّ وَإِنَّ بُغْضِي لَكُمْ لَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْحَيْفِ عَلَيْكُمْ وَرُوِيَ أَنَّهُ كَانَ رَضِيعًا مِنْهُمْ وَحَلِيفًا لَهُمْ، فَإِنْ قَالُوا الِاسْتِدْلَالُ بِهَذَا الْخَبَرِ لَا يَصِحُّ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ حُجَّةً فِي جَوَازِ الْخَرْصِ، لِأَنَّهُ وَرَدَ عَامَ خَيْبَرَ سَنَةَ سبع قبل بدو تَحْرِيمِ الرِّبَا، ثُمَّ نَزَلَ تَحْرِيمُ الرِّبَا نَاسِخًا لَهُ، لِأَنَّ تَحْرِيمَ الرِّبَا نَزَلَ أَخِيرًا، بِدَلِيلِ مَا رَوَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ صَعِدَ الْمِنْبَرَ فَخَطَبَ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ آخِرَ آيَةٍ نَزَلَتْ آيَةُ الرِّبَا فَمَاتَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قبل أن يثبتها، قِيلَ إِنْ كَانَتْ آيَةُ الرِّبَا نَزَلَتْ أَخِيرًا فَتَحْرِيمُ الرِّبَا كَانَ مُتَقَدِّمًا بِالسُّنَّةِ قَبْلَ حُكْمِ الْخَرْصِ، يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ رِوَايَةُ فَضَالَةَ بْنِ عبيد قال: بيع يوم فتح مكة وهو بخيبر قِلَادَةٌ فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرَزٌ مِنَ الْمَغْنَمِ بِذَهَبٍ، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: ” لَا حَتَّى تَمِيزَ ” لَا يَجُوزُ بَيْعُ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ تَحْرِيمُ الرِّبَا مَانِعًا مِنْ جَوَازِ الْخَرْصِ، وَلَوْ كَانَ مَانِعًا مِنْهُ مَا عَمِلَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَبْعَثُ ابْنَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ خَارِصًا عَلَى أَهْلِ خَيْبَرَ.
Dalam riwayat al-Syafi‘i, disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:
“Jika kalian mau, maka itu untuk kalian; dan jika kalian mau, maka itu untukku”, dan kedua lafal ini memiliki makna yang sama.
Diriwayatkan pula dalam hadis bahwa orang-orang Yahudi mengumpulkan perhiasan dari perhiasan para wanita mereka, dan meminta kepada Nabi SAW agar meringankan kharṣ atas mereka dan menerima perhiasan itu sebagai gantinya. Maka Nabi SAW menolak permintaan mereka dan bersabda:
“Sesungguhnya suap adalah harta haram (suḥt), dan kalian adalah orang yang paling aku benci. Akan tetapi kebencianku terhadap kalian tidak akan membuatku berlaku zalim kepada kalian.”
Dan diriwayatkan pula bahwa beliau pernah disusui oleh mereka dan terikat perjanjian dengan mereka (ḥalīf).
Apabila mereka (kelompok yang menolak kharṣ) berkata:
“Istidlāl dengan hadis ini tidak sah dan tidak boleh dijadikan hujjah atas bolehnya kharṣ, karena hadis itu terjadi pada tahun Khaibar, tahun ketujuh Hijriyah, sebelum turunnya larangan riba. Kemudian turunlah larangan riba yang menasakh-nya, karena larangan riba turun paling akhir, sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat dari ‘Umar RA, bahwa beliau naik mimbar lalu berkhutbah dan berkata:
‘Sesungguhnya ayat terakhir yang turun adalah ayat riba, dan Rasulullah SAW wafat sebelum menjelaskannya.'”
Dikatakan (menanggapi hal itu):
“Kalaupun benar ayat riba adalah ayat terakhir, maka larangan riba telah lebih dahulu ditetapkan melalui sunnah sebelum hukum kharṣ.”
Yang menunjukkan hal itu adalah riwayat dari Faḍālah bin ‘Ubayd, bahwa ia berkata:
“Pada hari penaklukan Makkah, dijual kalung di Khaibar yang mengandung emas dan manik-manik dari harta rampasan perang dengan emas murni, lalu Nabi SAW ditanya mengenai hal itu, dan beliau bersabda:
‘Tidak boleh, hingga dipisahkan (antara emas dan manik-manik). Tidak boleh menjual emas dengan emas kecuali sepadan dan sejenis.'”
Namun demikian, larangan riba bukanlah penghalang atas bolehnya kharṣ. Seandainya kharṣ itu dilarang karena sebab riba, niscaya Abu Bakar dan ‘Umar RA tidak akan mengamalkannya.
Telah diriwayatkan bahwa Abu Bakar RA biasa mengutus anaknya, ‘Abd al-Raḥmān, untuk melakukan kharṣ terhadap penduduk Khaibar.
وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ الله عنه ابنه بعث أنه عَبْدَ اللَّهِ خَارِصًا عَلَى أَهْلِ خَيْبَرَ فَسُحِرَ حَتَّى تَكَوَّعَتْ يَدُهُ ثُمَّ أَجْلَاهُمْ عُمَرُ عَنْهَا وليس لها في الصحابة مخالف فثبت أنه إجماع.
فَإِنْ قِيلَ فَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ إِنَّمَا خَرَصَ عَلَى أَهْلِ خَيْبَرَ ثِمَارَ الْمُسَاقَاةِ لَا ثِمَارَ الزَّكَاةِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ فَتَحَهَا سَاقَاهُمْ عَلَى النِّصْفِ مِنْ ثَمَرِهَا، وَأَنْتُمْ تَمْنَعُونَ مِنَ الْخَرْصِ فِي الْمُسَاقَاةِ، فَكَيْفَ يَصِحُّ اسْتِدْلَالُكُمْ بِهِ عَلَى جَوَازِ الْخَرْصِ فِي الزَّكَاةِ؟ قِيلَ خَرْصُ ثِمَارِ خَيْبَرَ كَانَ لِأَجْلِ الزَّكَاةِ، وَلِأَجْلِ الْمُسَاقَاةِ، لِأَنَّ نِصْفَ ثِمَارِهَا كَانَ لَهُمْ بِالْمُسَاقَاةِ، وَنِصْفَهَا لِلْمَسَاكِينِ بِالْغَنِيمَةِ، وَالزَّكَاةُ فِي أَمْوَالِ الْمُسْلِمِينَ وَاجِبَةٌ، وَتَضْمِينُهَا لِلْيَهُودِ الْعَامِلِينَ فِيهَا جائز، فَكَانَ الْخَبَرُ دَالًّا عَلَى وُجُوبِ الْخَرْصِ فِي الزَّكَاةِ، وَدَالًّا عَلَى جَوَازِ الْخَرْصِ فِي الْمُسَاقَاةِ، وَلَنَا فِيهِ كَلَامٌ نَذْكُرُهُ، وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْخَرْصِ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى وَالنَّظَرِ وُجُودُ الرِّفْقِ بِهِ، وَدُخُولُ الضَّرَرِ بِفَقْدِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَمْنَعَ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي ثِمَارِهِمْ، أَوْ يُمَكَّنُوا فَإِنْ منعُوا مِنْهَا أَدَّى ذَلِكَ إِلَى فَوَاتِ الْبُغْيَةِ الْعَظِيمَةِ فِي إتمامها ومن الناس من ابتياعها وفوات شَهْوَتِهِمْ مِنْ أَكْلِهَا وَإِنْ مُكِّنُوا لَمْ يَخْلُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُمَكَّنُوا بِخَرْصٍ أَوْ بِغَيْرِ خَرْصٍ فَإِنْ مُكِّنُوا بِغَيْرِ خَرْصٍ أَدَّى ذَلِكَ إِلَى إِدْخَالِ الضَّرَرِ عَلَى الْمَسَاكِينِ، لِمَا فِيهِ مِنْ إِضَاعَةِ حُقُوقِهِمْ،وَتَمْحِيقِ صَدَقَتِهِمْ، وَإِنْ مُكِّنُوا بِخَرْصٍ ارْتَفَقَ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ بِتَعْجِيلِ الْمَنْفَعَةِ، وَارْتَفَقَ الْمَسَاكِينُ بِحِفْظِ الصَّدَقَةِ، فَكَانَ الْخَرْصُ رِفْقًا بِالْفَرِيقَيْنِ وَفِي الْمَنْعِ مِنْهُ ضَرَرٌ مِنْ وَجْهَيْنِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ خَبَرِ ابن جَابِرٍ فَهُوَ وَارِدٌ فِي الْبَيْعِ، بِدَلِيلِ نَهْيِهِ عَنِ الْمُزَابَنَةِ وَإِرْخَاصِهِ فِي الْعَرَايَا أَنْ تُبَاعَ بِخَرْصِهَا تَمْرًا فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ الْخَرْصَ تَخْمِينٌ وَحَدْسٌ لِاخْتِلَافِهِ فَغَلَطٌ، إِنَّمَا هُوَ اجْتِهَادٌ وَلَيْسَ وُجُودُ الِاخْتِلَافِ فِيهِ لِأَنَّهُ اجْتِهَادٌ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ لَمَّا لَمْ يَجُزِ الْخَرْصُ فِي الزُّرُوعِ لَمْ يَجُزْ فِي الثِّمَارِ، فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dan telah diriwayatkan dari Umar RA bahwa beliau mengutus putranya, yaitu Abdullah, sebagai orang yang melakukan kharsh atas hasil kebun orang-orang Khaibar, lalu ia disihir hingga tangannya tertekuk, kemudian Umar mengusir mereka dari Khaibar. Tidak ada sahabat yang menyelisihi hal ini, maka tetaplah bahwa itu merupakan ijma‘.
Jika dikatakan: “Sesungguhnya Abdullah bin Rawahah hanya melakukan kharsh terhadap hasil kebun musāqātah orang-orang Khaibar, bukan terhadap hasil zakat, karena Rasulullah SAW ketika menaklukkan Khaibar telah mengadakan akad musāqātah dengan mereka atas setengah dari hasil kebunnya, padahal kalian melarang kharsh dalam musāqātah. Maka bagaimana sah argumen kalian tentang bolehnya kharsh dalam zakat berdasarkan kejadian ini?” Maka dijawab: Kharsh terhadap hasil kebun Khaibar dilakukan untuk dua tujuan: untuk zakat dan untuk musāqātah. Karena separuh dari hasil kebunnya adalah untuk mereka (orang-orang Yahudi) melalui akad musāqātah, dan separuhnya lagi untuk para miskin melalui jalan ghanīmah. Dan zakat atas harta kaum Muslimin adalah wajib, dan penjaminan zakatnya atas orang-orang Yahudi yang menggarapnya adalah diperbolehkan. Maka riwayat ini menunjukkan wajibnya kharsh dalam zakat, dan juga menunjukkan bolehnya kharsh dalam musāqātah — yang mana kami punya pembahasan tersendiri tentangnya — dan juga menunjukkan bolehnya kharsh dari segi makna dan analisa rasional, karena adanya unsur rifq (kemudahan) di dalamnya dan mudarat dalam ketiadaannya.
Sebab tidak akan lepas dari dua hal: apakah para pemilik kebun dilarang untuk menggunakan hasil kebunnya, atau dibolehkan. Jika mereka dilarang, maka hal itu menyebabkan hilangnya tujuan besar untuk menyempurnakan pengelolaan dan terhalangnya orang-orang dari membeli serta hilangnya keinginan mereka untuk memakan hasilnya. Dan jika mereka dibolehkan, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah dibolehkan dengan kharsh atau tanpa kharsh. Jika dibolehkan tanpa kharsh, maka hal itu menyebabkan mudarat terhadap para miskin, karena hilangnya hak mereka dan musnahnya zakat mereka. Dan jika dibolehkan dengan kharsh, maka para pemilik harta mendapatkan manfaat segera, dan para miskin pun memperoleh perlindungan atas hak zakat mereka. Maka kharsh merupakan bentuk rifq (kemudahan) bagi kedua belah pihak, dan larangan darinya justru mendatangkan mudarat dari dua sisi.
Adapun jawaban terhadap hadis Ibnu Jabir adalah bahwa hadis itu berkaitan dengan jual beli, sebagaimana ditunjukkan oleh larangannya terhadap praktik muzābanah dan pengecualian yang dibolehkan dalam ‘arāyā — yaitu menjual buah kurma berdasarkan kharsh-nya dengan taksiran tamr dalam jumlah kurang dari lima wasaq.
Dan adapun ucapan mereka bahwa kharsh hanyalah dugaan dan perkiraan karena adanya perbedaan, maka itu adalah kesalahan. Sesungguhnya ia adalah bentuk ijtihād. Dan adanya perbedaan dalam kharsh bukanlah karena ia bentuk dugaan, melainkan karena ia ijtihād.
Adapun ucapan mereka: “Karena tidak diperbolehkan kharsh pada tanaman, maka tidak boleh pula pada buah-buahan,” maka perbedaannya ada pada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ لِلزَّرْعِ حائلاً يمنع من خرصه، وليس لثمر النخل حائلاً يَمْنَعُ مِنْ خَرْصِهِ.
وَالثَّانِي: أنَّ الْحَاجَةَ غَيْرُ داعية إلى خرص الزروع، لأن الانتفاع بما قبل الحصاد غير مقصود، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ لَمَّا لَمْ يَجُزْ خَرْصُهَا عَلَى الْأَرْضِ بَعْدَ الْجِدَادِ لَمْ يَجُزْ قَبْلَهُ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا عَلَى الْأَرْضِ يُمْكِنُ كَيْلُهُ، فَلَمْ يَجُزْ خَرْصُهُ، لِأَنَّ الْكَيْلَ نَصٌّ وَالْخَرْصَ اجْتِهَادٌ، وَمَا عَلَى النَّخْلِ لَا يُمْكِنُ كَيْلُهُ فَجَازَ خَرْصُهُ، لِأَنَّ فَقْدَ النَّصِّ مُبِيحٌ لِلِاجْتِهَادِ.
Pertama: bahwa pada tanaman zuru‘ (biji-bijian) terdapat penghalang yang mencegah untuk dilakukan kharṣ (perkiraan hasil), sedangkan pada buah kurma tidak terdapat penghalang yang menghalangi untuk dilakukan kharṣ.
Kedua: bahwa kebutuhan tidak mendesak untuk melakukan kharṣ pada tanaman, karena manfaat sebelum panen tidak menjadi tujuan, sedangkan pada buah (seperti kurma dan anggur), ada manfaat yang berkaitan langsung dengan masa sebelum panen.
Adapun ucapan mereka:
“Karena tidak boleh dilakukan kharṣ setelah dipanen dari tanah, maka tidak boleh pula sebelumnya,” maka jawabannya dari dua sisi:
Pertama: bahwa apa yang sudah berada di tanah bisa ditakar dengan takaran (kail), maka tidak boleh dilakukan kharṣ, karena takaran adalah nash (dalil tekstual), sedangkan kharṣ hanyalah ijtihad.
Adapun yang masih berada di pohon kurma, tidak bisa ditakar, maka diperbolehkan dilakukan kharṣ, karena tidak adanya nash membuka ruang untuk ijtihad.
وَالثَّانِي: إِنَّ مَا عَلَى الْأَرْضِ يُمْكِنُ أَخْذُ زَكَاتِهِ فِي الْحَالِ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى تَقْدِيرِهِ بِالْخَرْصِ، وَمَا عَلَى النَّخْلِ لَا يُمْكِنُ أَخْذُ زَكَاتِهِ فِي الْحَالِ فاحتاج إلى تقدير بِالْخَرْصِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ مَا يُقْصَدُ بِهِ مِنْ مَعْرِفَةِ الْقَدْرِ بَاطِلٌ وَمِنَ التَّضْمِينِ فَاسِدٌ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنْ يُقَالَ إِنَّمَا أَبْطَلْتُمُ الْخَرْصَ، لِأَنَّ رَبَّ الْمَالِ لَوِ ادَّعَى غَلَطًا أَوْ نقصاناً صدق وهذا فاسد بعد الماشية لأنها تُعَدُّ عَلَى رَبِّهَا وَلَوِ ادَّعَى غَلَطًا يُمْكِنُ مِثْلُهُ صُدِّقَ، وَأَبْطَلْتُمُ التَّضْمِينَ لِأَنَّهُ بَيْعُ رُطَبٍ حاضر بثمن غَائِبٍ، وَهَذَا لَيْسَ بِبَيْعٍ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أن الزكاة تخرج من ثمرها لَا مِنْ رُطَبِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا ضُمِّنَهُ من الزكاة هو الواجب فيها، لَا أَنَّهُ بَدَلُ الْوَاجِبِ مِنْهَا، فَثَبَتَ جَوَازُ الْخَرْصِ بِمَا ذَكَرْنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
kedua: Sesungguhnya apa yang berada di atas tanah bisa diambil zakatnya saat itu juga, maka tidak membutuhkan taksiran dengan kharsh. Sedangkan apa yang masih berada di pohon kurma tidak bisa diambil zakatnya saat itu juga, maka dibutuhkan taksiran dengan kharsh.
Adapun ucapan mereka bahwa tujuan dari kharsh berupa mengetahui kadar (zakat) adalah batil, dan bahwa ia ditujukan untuk penjaminan (tashmīn) adalah rusak, maka jawabannya adalah: Sesungguhnya kalian membatalkan kharsh hanya karena jika pemilik harta mengklaim terjadi kesalahan atau kekurangan, maka ia dipercaya — ini adalah anggapan yang rusak, karena binatang ternak juga dihitung berdasarkan pernyataan pemiliknya, dan seandainya ia mengklaim kesalahan yang masih dalam batas kemungkinan, maka ia tetap dipercaya.
Dan kalian membatalkan penjaminan karena dianggap sebagai jual beli ruthab (kurma basah) yang hadir dengan harga yang ghaib (belum jelas), padahal ini bukan termasuk jual beli dari dua sisi:
pertama: karena zakat itu dikeluarkan dari tsamar-nya (buah yang sudah jadi), bukan dari ruthab-nya;
kedua: bahwa apa yang dijadikan tanggungan dari zakat itu adalah kadar yang wajib di dalamnya, bukan pengganti dari yang wajib.
Maka tetaplah kebolehan kharsh berdasarkan apa yang telah kami sebutkan. Wallahu a‘lam.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا ثِمَارُ الْبَصْرَةِ فَقَدْ أَجْمَعَتِ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَعُلَمَاءُ الْأَمْصَارِ عَلَى أَنَّ خَرْصَهَا غَيْرُ جَائِزٍ، لِكَثْرَتِهَا وَمَا يَلْحَقُ مِنَ الْمَشَقَّةِ وَيَلْزَمُ مِنَ الْمُؤْنَةِ فِي خَرْصِهَا، وَلِمَا جَرَتْ عَادَةُ أَرْبَابِ الثِّمَارِ بِهَا مِنْ تَفْرِيقِ عُظْمِ مَا يرد إليهم الثنيا مِنْهَا وَتَجَاوُزِهِمْ فِيهِ حَدَّ الصَّدَقَةِ، وَلِإِبَاحَتِهِمْ فِي تعارفهم الأكل منها لِلْمُجْتَازِ بِهَا، فَرَأَى السَّلَفُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أن تؤخذ صدقتها من الكر حتى عند دخول ثمرها البصرة، فيكون ذلك أرفق بِأَرْبَابِهَا وَأَحْظَى لِلْمَسَاكِينِ وَأَخْذُ الصَّدَقَةِ تَمْرًا مَكْنُوزًا منها وَقَدْ قِيلَ إِنَّهُمْ جَعَلُوا الظُّرُوفَ وَمُؤْنَةَ الْعَمَلِ فيها عوضاً عنالشيء الَّذِي لَا يُضَايَقُونَ فِي قَدْرِهِ، وَلَا يَمْنَعُونَ رمي الثنيا من جملة، هَذَا فِي ثِمَارِ النَّخْلِ، فَأَمَّا الْكُرُومُ فَهُمْ وَغَيْرُهُمْ فِيهَا سَوَاءٌ تُخْرَصُ عَلَيْهِمْ كَمَا تُخْرَصُ على الناس والله أعلم.
PASAL
Adapun buah-buahan Basrah, maka para sahabat RA dan para ulama dari berbagai negeri telah sepakat bahwa kharsh-nya tidak diperbolehkan karena banyaknya buah tersebut, dan karena adanya kesulitan dan beban biaya yang timbul dalam proses kharsh-nya, serta karena kebiasaan para pemilik buah di sana yang biasa menyisihkan sebagian besar dari buah yang mereka terima sebagai tsunyā dan melebihkan jumlahnya dari batas sedekah, dan karena kebiasaan mereka dalam pergaulan yang membolehkan orang yang melewati kebun mereka memakan sebagian buahnya. Maka para salaf RA memandang bahwa zakatnya diambil dari buah yang telah dipetik (kur) ketika buahnya telah sampai ke Basrah, karena itu lebih memudahkan bagi para pemiliknya dan lebih menguntungkan bagi para miskin, dan pengambilan zakat dilakukan dari kurma yang telah dikeringkan dan disimpan.
Telah dikatakan bahwa mereka menjadikan wadah dan biaya kerja dalam pengolahan buah itu sebagai pengganti dari sesuatu yang mereka tidak disulitkan dalam ukurannya dan tidak dilarang melemparkan tsunyā dari jumlah tersebut. Hal ini khusus pada buah kurma. Adapun anggur, maka mereka dan selain mereka di dalamnya sama, yaitu dilakukan kharsh atas mereka sebagaimana dilakukan kharsh atas manusia lainnya. Wallahu a‘lam.
مسألة:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَوَقْتُ الْخَرْصِ إِذَا حَلَّ الْبَيْعُ وَذَلِكَ حِينَ يُرَى فِي الْحَائِطِ الْحُمْرَةُ أَوِ الصُّفْرَةُ وَكَذَلِكَ حِينَ يَتَمَوَّهُ الْعِنَبُ وَيُوجَدُ فِيهِ مَا يُؤْكَلُ مِنْهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي جَوَازِ الْخَرْصِ، فَأَمَّا وَقْتُ الْخَرْصِ فَهُوَ حِينَ تَجِبُ الزَّكَاةُ، وَوُجُوبُ الزَّكَاةِ يَكُونُ بِبُدُوِّ الصَّلَاحِ، وَبُدُوُّ الصَّلَاحِ فِي الثِّمَارِ أَنْ تَحْمَرَّ أَوْ تَصْفَرَّ، وَفِي الْعِنَبِ أَنْ يَتَمَوَّهُ أَوْ يَسْوَدَّ إِذَا اسْتُطِيعَ أَكْلُهُ، وَبَدَتْ مَنْفَعَتُهُ، وَإِنَّمَا وَجَبَتِ الزَّكَاةُ بِبُدُوِّ الصَّلَاحِ، وَلَمْ تَجِبْ فِيمَا قَبْلُ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالزَّكَاةِ الْمُوَاسَاةُ بِالْمَالِ الْمُنْتَفَعِ بِهِ، وَمَا لَمْ يَبْدُ صَلَاحُهُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ غَالِبًا، فَلَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata:
“Waktu kharsh (taksiran zakat) adalah ketika jual beli telah halal, yaitu saat tampak warna merah atau kuning pada (buah kurma) di pohon, demikian pula saat buah anggur mulai berair (yatamawwahu) dan telah tampak bagian yang bisa dimakan darinya.”
Al-Māwardī berkata:
Telah berlalu pembahasan tentang bolehnya kharsh, adapun waktu pelaksanaan kharsh adalah saat zakat menjadi wajib. Kewajiban zakat terjadi ketika buah telah tampak ṣalāḥ-nya (tanda kematangan), dan tanda ṣalāḥ pada buah kurma adalah memerah atau menguning, sedangkan pada anggur adalah ketika berair (yatamawwahu) atau menghitam, apabila sudah bisa dimakan dan telah tampak manfaatnya.
Zakat hanya diwajibkan setelah munculnya tanda ṣalāḥ, dan tidak diwajibkan sebelumnya karena dua hal:
pertama: karena tujuan dari zakat adalah memberi muwāsāh (bantuan) dengan harta yang bermanfaat, sedangkan sesuatu yang belum tampak ṣalāḥ-nya umumnya belum bisa dimanfaatkan, maka tidak wajib zakat padanya.
وَالثَّانِي: أَنَّ الزَّكَاةَ اسْتِحْدَاثُ حَقٍّ شَائِعٍ فِي الثَّمَرَةِ، وَمَا لَمْ يَبْدُ صَلَاحُهُ لَا يُمْكِنُ اسْتِحْدَاثُ حَقٍّ شَائِعٍ فِيهِ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِاشْتِرَاطِ الْقَطْعِ، وَاشْتِرَاطُ الْقَطْعِ لَا يَصِحُّ فِي الْمَشَاعِ، فَلِأَجْلِ ذَلِكَ لَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ ثُمَّ لَمْ يَجُزِ الْخَرْصُ قَبْلَ وُجُوبِ الزَّكَاةِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وُرُودُ السُّنَّةِ وَهُوَ مَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خيبر خارصاً إذا حان أَكْلُ الثِّمَارِ “.
Dan yang kedua, bahwa zakat adalah penetapan hak yang bersifat syarik (ḥaqq syā‘i) dalam buah, dan selama buah itu belum tampak tanda kematangannya (ṣalāḥ), maka tidak mungkin ditetapkan hak syarik padanya. Karena zakat tidak sah kecuali dengan syarat pemetikan (qaṭ‘), sementara syarat pemetikan tidak sah dalam harta syarik. Oleh karena itu, zakat tidak wajib padanya.
Kemudian kharsh juga tidak boleh dilakukan sebelum zakat diwajibkan karena dua alasan:
Pertama: adanya dalil dari sunnah, yaitu riwayat dari ‘Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW “biasa mengutus Abdullah bin Rawāḥah ke Khaibar sebagai pengkharsh ketika buah-buahan telah memasuki masa layak makan”.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْخَرْصِ حِفْظُ الصَّدَقَةِ عَلَى الْمَسَاكِينِ وَانْتِفَاعُ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ بِالتَّصَرُّفِ، وَقَبْلَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ لَيْسَ لِلْمَسَاكِينِ حَقٌّ يُحْفَظُ عَلَيْهِمْ، وَلِأَرْبَابِ الْأَمْوَالِ التَّصَرُّفُ فِي ثِمَارِهِمْ، فَلِأَجْلِ ذَلِكَ لَمْ يَجُزِ الْخَرْصُ قَبْلَ وُجُوبِ الزَّكَاةِ بِبُدُوِّ الصَّلَاحِ، فَلَوْ خَرَصَهَا السَّاعِي قَبْلَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ كَانَ خَرْصُهُ بَاطِلًا، وَأَعَادَ الْخَرْصَ بَعْدَ بُدُوِّ الصَّلَاحِ، فَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ حَائِطَانِ بَدَا صَلَاحُ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يَبْدُ صَلَاحُ الْآخِرِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُخْرَصَانِ مَعًا وَيَكُونُ حُكْمُ الصَّلَاحِ جَارِيًا عَلَيْهِمَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَكُونُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمُ نَفْسِهِ فَيُخْرَصُ مَا بَدَا صَلَاحُهُ دُونَ مَا لَمْ يَبْدُ صَلَاحُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَا بَدَا صَلَاحُهُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ فَلَا يُخْرَصُ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُ الْآخَرِ فيخرصان معاً والله أعلم.
dan kedua: bahwa maksud dari kharsh adalah menjaga harta ṣadaqah bagi para miskin dan memberikan manfaat kepada para pemilik harta untuk dapat melakukan taṣarruf. Sebelum munculnya tanda kematangan, para miskin belum memiliki hak yang perlu dijaga, dan para pemilik harta berhak untuk melakukan taṣarruf terhadap buah-buahan mereka. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan melakukan kharsh sebelum zakat wajib dengan munculnya tanda kematangan. Maka jika seorang sā‘ī melakukan kharsh sebelum munculnya tanda kematangan, maka kharsh-nya batal dan ia mengulangi kharsh setelah munculnya tanda kematangan.
Maka jika seseorang memiliki dua kebun, dan salah satunya telah tampak kematangannya sementara yang lain belum, maka terdapat dua pendapat:
pertama: keduanya dikarsh sekaligus, dan hukum kematangan berlaku untuk keduanya.
kedua: masing-masing dari keduanya memiliki hukum tersendiri, maka yang dikarsh adalah yang telah tampak kematangannya saja, sedangkan yang belum tampak tidak dikarsh, kecuali jika yang telah tampak kematangannya kurang dari lima wusq, maka tidak dikarsh sampai yang lain pun tampak kematangannya, sehingga keduanya dikarsh sekaligus. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَأْتِي الْخَارِصُ النَّخْلَةَ فَيُطِيفُ بِهَا حَتَى يَرَى كُلَّ مَا فِيهَا ثُمَّ يَقُولُ خَرْصُهَا رُطَبًا كذا وكذا وينقص إذا صار تمراً كذا وكذا فيبنيها عَلَى كَيْلِهَا تَمْرًا وَيَصْنَعُ ذَلِكَ بِجَمِيعِ الْحَائِطِ وهكذا العنب “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي وَقْتِ الْخَرْصِ فَأَمَّا كَيْفِيَّةُ الْخَرْصِ فَعَلَى مَا وَصَفَهُ الشافعي، وهو: أن يأتي الخارص فيطيف بِكُلِّ نَخْلَةٍ حَتَّى يَرَى مَا فِيهَا، وَيُقَدِّرَهُ رُطَبًا وَيَنْظُرَ كَمْ يَصِيرُ تَمْرًا، ثُمَّ يَفْعَلُ كذلك بجميع النخل، فإن كَانَ النَّخْلُ نَوْعًا وَاحِدًا جَازَ أَنْ يَخْرُصَ جَمِيعَ ثِمَارِهَا رُطَبًا وَيُحْصِيَهُ، ثُمَّ يَنْظُرَ كَمْ يصير تمراً ويثبته، وإن كَانَ النَّخْلُ أَنْوَاعًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْصِيَ جَمِيعَ خَرْصِهِ رُطَبًا ثُمَّ يَجْعَلُهُ تَمْرًا، حَتَّى يخرص كل نوع منها رُطَبًا ثُمَّ يَجْعَلُهُ تَمْرًا حَتَّى يَخْرُصَ كُلَّ نَوْعٍ مِنْهَا رُطَبًا وَيَرُدُّهُ إِلَى الْقَدْرِ الَّذِي يَصِيرُ تَمْرًا، لِأَنَّ الرُّطَبَ قَدْ يَخْتَلِفُ فِي نُقْصَانِهِ لِاخْتِلَافِ أَنْوَاعِهِ، فَمِنْهُ مَا يَعُودُ إِلَى نِصْفِهِ وَمِنْهُ مَا يَعُودُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَرْبَاعِهِ، فَإِذَا أَحْصَى جَمِيعَ الْأَنْوَاعِ رُطَبًا ثُمَّ جَعَلَهَا تَمْرًا وَنُقْصَانُهُ مُخْتَلِفٌ أَشْكَلَ عَلَيْهِ وَلَمْ يَصِحَّ لَهُ وَإِذَا كَانَ نَوْعًا صَحَّ لَهُ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَيُطِيفُ بِكُلِّ نَخْلَةٍ هَلْ هُوَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْخَرْصِ أَوِ استظهار على ثلاثة مذاهب:
أحدهما: إِنَّهُ اسْتِظْهَارٌ وَاحْتِيَاطٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ وَلَا شَرْطٍ لَازِمٍ لِمَا فِيهِ مِنَ الْمَشَقَّةِ لَا سِيَّمَا مَعَ كَثْرَةِ النَّخْلِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Seorang khāriṣ (pengestimasi hasil panen) datang kepada pohon kurma, lalu mengelilinginya sampai ia melihat seluruh buah yang ada padanya, kemudian ia berkata: ‘Kharsh-nya dalam bentuk ruṭab adalah sekian dan sekian, dan setelah menjadi tamr (kurma kering) berkurang menjadi sekian dan sekian.’ Maka ia menetapkan takarannya berdasarkan kadar tamr-nya. Ia lakukan hal itu pada seluruh kebun, dan demikian pula pada anggur.”
Al-Māwardī berkata:
Telah berlalu pembahasan tentang waktu pelaksanaan kharsh, adapun tata caranya adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Syafi‘i, yaitu:
Seorang khāriṣ datang lalu mengelilingi setiap pohon kurma sampai ia melihat apa yang ada padanya, lalu ia memperkirakannya dalam bentuk ruṭab dan memperkirakan akan menjadi berapa tamr-nya, kemudian ia lakukan hal serupa pada seluruh pohon kurma.
Jika pohon kurma itu satu jenis, maka boleh baginya mengestimasi seluruh buahnya dalam bentuk ruṭab, lalu menghitungnya, kemudian memperkirakan menjadi berapa dalam bentuk tamr, lalu menetapkannya.
Namun jika pohon kurma itu berbagai jenis, maka tidak boleh menghitung seluruh hasil kharsh-nya dalam bentuk ruṭab, lalu menjadikannya tamr, melainkan ia harus meng-kharsh setiap jenis dalam bentuk ruṭab, lalu mengubahnya ke bentuk tamr, karena ruṭab berbeda-beda dalam kadar penyusutannya tergantung jenisnya. Sebagian ada yang menyusut menjadi separuhnya, dan sebagian lainnya menjadi tiga perempatnya. Maka jika dihitung semua jenis sebagai ruṭab, lalu dijadikan tamr padahal penyusutannya berbeda-beda, itu akan membingungkan dan tidak sah. Namun jika satu jenis, maka hal itu sah dilakukan.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang ucapan Imam al-Syafi‘i “mengelilingi setiap pohon kurma”, apakah itu merupakan syarat sah kharsh atau hanya bentuk kehati-hatian (istizhār)? Ada tiga pendapat:
Pertama: bahwa itu adalah bentuk kehati-hatian dan tidak wajib, serta bukan syarat yang harus dipenuhi, karena di dalamnya terdapat kesulitan, terlebih lagi jika jumlah pohon kurma sangat banyak.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ شَرْطٌ فِي الْخَرْصِ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِهِ لِأَنَّ الْخَرْصَ اجتهاد يلزم بذل المجهود فيه.
والثالث: وهو أصحهما إنَّهُ إِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ بَارِزَةً عَنِ السَّعَفِ ظَاهِرَةً مِنَ الْجَرِيدِ عَلَى مَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ الْعِرَاقِ فِي تَدْلِيَةِ الثِّمَارِ لَمْ تَكُنْ إطاقة الْخَارِصِ بِكُلِّ نَخْلَةٍ شَرْطًا، بَلْ كَانَ ذَلِكَ اسْتِظْهَارًا وَاحْتِيَاطًا، لِأَنَّ جَمِيعَ ثَمَرِهَا مَرْئِيٌّ، وَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ مُسْتَتِرَةً بِالسَّعَفِ مُغَطَّاةً بِالْجَرِيدِ عَلَى مَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ الْحِجَازِ كَانَ إِطَافَةُ الْخَارِصِ بِالنَّخْلَةِ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْخَرْصِ لِأَنَّ ثَمَرَهَا خَفِيٌّ.
dan kedua: bahwa hal itu merupakan syarat dalam kharsh, tidak sah tanpanya, karena kharsh adalah suatu bentuk ijtihād yang menuntut pengorbanan kesungguhan dalam pelaksanaannya.
ketiga — dan ini yang paling ṣaḥīḥ di antara keduanya — bahwa jika buahnya tampak keluar dari pelepah, terlihat dari batangnya, sebagaimana kebiasaan penduduk Irak dalam menggantung buah-buahan, maka mengelilingi setiap pohon kurma bukanlah syarat, tetapi hanya sebagai tindakan kehati-hatian dan antisipasi saja, karena seluruh buahnya terlihat.
Namun jika buahnya tersembunyi oleh pelepah, tertutup oleh batang, sebagaimana kebiasaan penduduk Hijaz, maka mengelilingi pohon kurma oleh khāriṣ merupakan syarat dalam keabsahan kharsh, karena buahnya tersembunyi.
فَصْلٌ
: فَإِذَا عَرَفَ الْخَارِصُ مَبْلَغَ قَدْرِهَا بِالْخَرْصِ رُطَبًا وَعِنَبًا وَمَا تَصِيرُ إِلَيْهِ تمراً وزبيباً، فَقَدْ كَانَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ يَرَى أَنَّهُ يَتْرُكُ عَلَيْهِمْ مِنْ زَكَاتِهَا الثُّلُثَ أَوِ الرُّبُعَ، لِخَبَرِ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ الْمُقَدَّمِ ذِكْرُهُ ليتولوا إخراجه في فقراء أهلهم، وَأَهْلِ الْحَاجَةِ مِنْ جِيرَانِهِمْ، وَيُثْبِتُ عَلَيْهِمْ مَا بَقِيَ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْ ذَلِكَ فِي الْجَدِيدِ وَقَالَ: لَا يَتْرُكُ عَلَيْهِمْ شَيْئًا مِنْ زَكَاتِهَا وَيُثْبِتُ عَلَيْهِمْ جَمِيعَهَا تَمْرًا عَلَى مَا خَرَجَ به الخرص.
PASAL
Apabila khāriṣ telah mengetahui taksiran jumlahnya melalui kharsh dalam bentuk ruṭab dan ‘inab, serta berapa yang akan menjadi tamr dan zabīb, maka Imam al-Syafi‘i dalam pendapat qadīm-nya berpendapat bahwa hendaknya ia meninggalkan sepertiga atau seperempat dari zakatnya untuk mereka, berdasarkan hadis Sahl bin Abī Ḥathmah yang telah disebutkan sebelumnya, agar mereka sendiri yang mengeluarkannya kepada fakir miskin dari kalangan keluarga mereka dan orang-orang membutuhkan dari para tetangga mereka. Kemudian ia menetapkan sisanya atas mereka.
Namun kemudian beliau rujuk dari pendapat itu dalam pendapat jadīd-nya, dan berkata: Tidak ditinggalkan sedikit pun dari zakatnya kepada mereka, melainkan seluruhnya ditetapkan atas mereka dalam bentuk tamr, sesuai hasil dari kharsh.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ثُمَّ يُخَلِّي بَيْنَ أَهْلِهِ وَبَيْنَهُ، فَإِذَا صَارَ تَمْرًا أَوْ زَبِيبًا أَخَذَ الْعُشْرَ عَلَى خَرْصِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
إِذَا خَرَصَ الثِّمَارَ عَلَى أَرْبَابِهَا وَعَرَفَ قَدْرَهَا بَعْدَ جَفَافِهَا أَثْبَتَ قَدْرَ الزَّكَاةِ عَلَيْهِمْ وَخَلَّى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ثِمَارِهِمْ، لِيَقُومُوا بِحِفْظِهَا وَيَتَوَلَّوْا أَمْرَ الْإِنْفَاقِ عَلَيْهَا فَإِنِ اخْتَارُوا أَنْ تَكُونَ بِأَيْدِيهِمْ أَمَانَةُ فَعَلَ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُمُ التَّصَرُّفُ فِيهَا، وَإِنِ اخْتَارُوا أَنْ تَكُونَ مَضْمُونَةً عَلَيْهِمْ ضَمَّنَهُمْ قَدْرَ زَكَاتِهَا، وَجَازَ لَهُمُ التَّصَرُّفُ فِيهَا، فَإِذَا تَصَرَّفُوا ضَمَّنَهَا فَيَكُونُ التَّضْمِينُ مُبِيحًا لِلتَّصَرُّفِ، وَالتَّصَرُّفُ مُوجِبًا لِلضَّمَانِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَبُّ الْمَالِ مِمَّنْ لَا يَصِحُّ ضَمَانُهُ لِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ أَوْ سَفَهٍ فَلَا يَجُوزُ تَضْمِينُهُ إِلَّا أَنْ يضمنها وليه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Kemudian dibiarkan pemiliknya mengurusnya, lalu apabila telah menjadi tamr atau zabīb, maka ia mengambil sepersepuluh berdasarkan kharsh-nya.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar.
Apabila khāriṣ telah melakukan kharsh atas buah-buahan milik para pemiliknya dan mengetahui taksiran kadarnya setelah mengering, maka ia menetapkan kadar zakat atas mereka, kemudian membiarkan mereka mengurus buah-buahannya, agar mereka menjaga dan mengeluarkan biaya perawatannya. Jika mereka memilih agar buah itu berada di tangan mereka sebagai titipan (amānah), maka hal itu boleh, namun mereka tidak boleh melakukan taṣarruf terhadapnya.
Namun jika mereka memilih agar buah itu menjadi tanggungan (ḍamān) atas mereka, maka ia menanggung mereka sebesar kadar zakatnya, dan mereka boleh melakukan taṣarruf atasnya. Maka apabila mereka melakukan taṣarruf, mereka wajib menanggungnya. Maka penanggungan (taḍmīn) menjadi pemboleh untuk taṣarruf, dan taṣarruf mewajibkan adanya penanggungan.
Kecuali jika pemilik harta adalah orang yang tidak sah penanggungannya, seperti anak kecil, orang gila, atau orang safih, maka tidak boleh ditanggungkan kepadanya, kecuali jika walinya yang menanggungnya.
مسألة:
قال الشافعي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فإن ذكر أهله أنه أصابته جائحة أذهبته أو شيئاً منه صدقوا فإن اتهموا حلفوا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا خَرَصَ الْخَارِصُ ثَمَرَةَ رَجُلٍ وَسَلَّمَهَا إِلَيْهِ أَمَانَةً أَوْ مَضْمُونَةً فَادَّعَى تَلَفَهَا، أَوْ تَلَفَ شَيْءٍ مِنْهَا بجائحة سماء كَبَرْدٍ أَوْ جَرَادٍ أَوْ جِنَايَةِ آدَمِيٍّ كَسَرِقَةٍ أَوْ حَرِيقٍ لَمْ تَخْلُ دَعْوَاهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يُعْلَمَ اسْتِحَالَتُهَا وَكَذِبُهَا، فَلَا تُسْمَعُ بِحَالٍ، وَتُؤْخَذُ مِنْهُ الزَّكَاةُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Jika keluarganya menyebutkan bahwa hasil panennya terkena jā’iḥah (musibah yang merusak) yang memusnahkan seluruhnya atau sebagian darinya, maka mereka dipercaya. Namun jika mereka dituduh berdusta, maka mereka disuruh bersumpah.”
Al-Māwardī berkata:
Hal ini sebagaimana yang dikatakan:
Jika seorang khāriṣ telah meng-kharsh buah milik seseorang dan menyerahkannya kepadanya, baik dalam bentuk amanah atau dalam bentuk tanggungan (ḍamān), kemudian orang itu mengklaim bahwa buah itu telah rusak atau sebagian darinya rusak karena musibah dari langit, seperti hujan es, serangan belalang, atau karena ulah manusia, seperti pencurian atau kebakaran, maka klaimnya tidak lepas dari tiga keadaan:
Pertama: jika diketahui mustahilnya dan terbukti dustanya, maka klaimnya tidak didengar dalam keadaan apa pun, dan zakat tetap diambil darinya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُعْلَمَ صِدْقُهَا وَحُدُوثُهَا، فَهِيَ مَسْمُوعَةٌ وَقَوْلُهُ فِيهَا مَقْبُولٌ وَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، وَلَا زَكَاةَ، سَوَاءٌ أَخَذَهَا أَمَانَةً أَوْ ضَمَانًا، لِأَنَّهُ إِنْ أَخَذَهَا أَمَانَةً فَالْأَمِينُ لَا يُضَمَّنُ إِلَّا بِالتَّعَدِّي، وَإِنْ أَخَذَهَا مَضْمُونَةً فَالضَّمَانُ لَا يَلْزَمُهُ إِلَّا بِالتَّصَرُّفِ، وَإِنَّمَا لَمْ يَلْزَمْهُ الضَّمَانُ وَإِنْ شُرِطَ عَلَيْهِ إِلَّا بِالتَّصَرُّفِ، لِأَنَّ أَصْلَ الزَّكَاةِ أَمَانَةٌ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ، وَمَا كَانَ أَصْلُهُ غَيْرَ مَضْمُونٍ لَمْ يلزَمُ فِيهِ الضَّمَانُ بِالشَّرْطِ فَإِنْ قِيلَ مَا الْفَائِدَةُ فِي ضَمَانِهِ قُلْنَا: جَوَازُ التَّصَرُّفِ المؤدي إلى الضمان.
والحالة الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ مَا ادَّعَاهُ مُجَوَّزًا لَا يُقْطَعُ بِصِدْقِهِ وَلَا كَذِبِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ فِيمَا ادعاه، لأنه أمين وما ادعاه ممكن به، فَإِنِ اتُّهِمَ أُحْلِفَ وَفِي الْيَمِينِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: اسْتِظْهَارٌ، فَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُ الزَّكَاةُ.
dan keadaan kedua: yaitu jika diketahui kebenarannya dan memang benar terjadi, maka pernyataannya dapat diterima dan ucapannya dipercaya tanpa harus bersumpah, dan tidak ada zakat atasnya, baik ia mengambilnya sebagai amānah maupun sebagai ḍamān, karena jika ia mengambilnya sebagai amānah, maka seorang amīn tidak wajib menanggung kecuali jika ia berbuat ta‘addī, dan jika ia mengambilnya sebagai maḍmūn, maka penanggungan tidak wajib kecuali dengan taṣarruf.
Dan sesungguhnya ia tidak wajib menanggung meskipun telah disyaratkan atasnya, kecuali jika ia melakukan taṣarruf, karena asal zakat adalah amānah yang tidak ditanggung, dan sesuatu yang asalnya tidak ditanggung tidak menjadi wajib ditanggung hanya karena syarat. Maka jika dikatakan: apa faedah dari penanggungan itu? Kami katakan: agar ia boleh melakukan taṣarruf yang menyebabkan kewajiban penanggungan.
Dan keadaan ketiga: yaitu jika apa yang ia klaim adalah sesuatu yang mungkin terjadi dan tidak bisa dipastikan kebenaran atau kedustaannya, maka ucapan diterima atas klaimnya itu, karena ia adalah seorang amīn dan apa yang ia klaim mungkin terjadi. Maka jika ia dituduh, ia disuruh bersumpah. Dan dalam hal sumpah ini terdapat dua pendapat:
pertama: sumpah itu dilakukan untuk istiẓhār, maka jika ia enggan bersumpah, zakat tidak diambil darinya.
وَالثَّانِي: وَاجِبَةٌ فَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا أُخِذَتْ مِنْهُ الزَّكَاةُ بِالْوُجُوبِ الْمُتَقَدِّمِ لَا بِالنُّكُولِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ دَعْوَاهُ مَسْمُوعَةٌ وَقَوْلَهُ مَقْبُولٌ نُظِرَ فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الثَّمَرَةِ شَيْءٌ فَلَا مُطَالَبَةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ بَقِيَ بَعْضُهَا نُظِرَ فِي الْبَعْضِ، فَإِنْ كَانَ نِصَابًا فَفِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ فَعَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْإِمْكَانِ هَلْ هُوَ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ أَوْ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ؟ فَإِنْ قِيلَ هُوَ مِنْ شَرَائِطِ الضَّمَانِ فَفِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ قِيلَ مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ فَلَا زَكَاةَ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: عَلَيْهِ زَكَاةُ مَا بَقِيَ قَوْلًا وَاحِدًا، وَجَعَلَ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فِي الثِّمَارِ مُعْتَبَرًا بِبُدُوِّ الصَّلَاحِ دُونَ الْإِمْكَانِ.
Kedua, kewajiban zakat tetap berlaku. Maka jika ia enggan bersumpah, zakat tetap diambil darinya karena kewajiban yang telah ditetapkan sebelumnya, bukan karena keengganannya bersumpah.
Apabila telah ditetapkan bahwa klaimnya didengar dan ucapannya diterima, maka dilihat kembali:
Jika tidak tersisa sedikit pun dari buah tersebut, maka tidak ada tuntutan atasnya.
Namun jika masih tersisa sebagian buah, maka diperhatikan yang tersisa itu:
Jika mencapai niṣāb, maka wajib zakat atasnya.
Jika kurang dari niṣāb, maka ada dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan dua pendapat Imam al-Syafi‘i mengenai “imkān” (kemungkinan panen): apakah ia termasuk syarat ḍamān (tanggungan) atau syarat wujūb (kewajiban)?
Jika dikatakan termasuk syarat ḍamān, maka tetap wajib zakat.
Namun jika dikatakan termasuk syarat wujūb, maka tidak ada zakat.
Sebagian ulama mazhab kami berkata:
Wajib zakat atas sisa yang ada dalam satu pendapat saja, dan meyakini bahwa kewajiban zakat pada buah-buahan bergantung pada munculnya tanda kematangan (budū’ aṣ-ṣalāḥ), bukan pada kemungkinan panen.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ قَالَ قَدْ أَحْصَيْتُ مَكِيلَةَ مَا أَخَذْتُ وهو كذا وما بقي كذا وهذا خطأ في الخرص صدق، لأنها زكاة هو فِيهَا أمينٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ خُرِصَتْ عَلَيْهِ ثَمَرَتُهُ وَسُلِّمَتْ إِلَيْهِ أَمَانَةً أَوْ مضمونة فادعى غلطاً في الخرص أن نقصاناً فِي الثَّمَرَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَذْكُرَ قَدْرَ الْغَلَطِ وَالنُّقْصَانِ.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَذْكُرَ قَدْرَهُ فَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ قَدْرَهُ وَقَالَ: أَنَا أَعْلَمُ بِالْغَلَطِ لَكِنْ أَجْهَلُ قَدْرَهُ لَمْ تُسْمَعْ دَعْوَاهُ لِلْجَهْلِ بِهَا وَأُخِذَتْ مِنْهُ الزَّكَاةُ عَلَى مَا ثَبَتَ بِهِ الْخَرْصُ، وَإِنْ ذَكَرَ قَدْرَ الْغَلَطِ وَالنُّقْصَانِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika ia berkata: ‘Aku telah menghitung takaran dari apa yang kuambil, yaitu sekian, dan yang tersisa sekian, dan ini adalah kesalahan dalam kharsh,’ maka ia dibenarkan, karena itu adalah zakat yang padanya ia berstatus sebagai amīn.”
Al-Māwardī berkata: Adapun bentuknya adalah seorang yang buahnya telah dikarsh dan diserahkan kepadanya sebagai amānah atau sebagai tanggungan (ḍamān), lalu ia mengklaim bahwa terjadi kesalahan dalam kharsh, yakni terdapat kekurangan dalam buahnya. Maka hal ini terbagi dua:
pertama: ia menyebutkan kadar kesalahan dan kekurangannya.
kedua: ia tidak menyebutkan kadarnya. Maka jika ia tidak menyebutkan kadarnya dan berkata: “Aku tahu bahwa ada kesalahan, tetapi aku tidak tahu kadarnya,” maka klaimnya tidak didengar karena kebodohannya terhadapnya, dan zakat tetap diambil darinya sesuai kadar yang ditetapkan dengan kharsh.
Namun jika ia menyebutkan kadar kesalahan dan kekurangannya, maka hal itu terbagi dua.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ يَسِيرًا يُغْلَطُ بِمِثْلِهِ فِي الْعَادَةِ كَأَنَّهُ قَالَ خَرْصُهَا عَلَى مِائَةِ وَسْقٍ وَهِيَ تِسْعُونَ وَسْقًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَإِنْ كَانَ مُتَّهَمًا.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَا ادَّعَاهُ كثراً لَا يُغْلَطُ بِمِثْلِهِ فِي الْعَادَةِ كَأَنَّهُ قَالَ خَرْصُهَا مِائَةُ وَسْقٍ وَهِيَ خَمْسُونَ وَسْقًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقُولَ غَلِطَ الْخَارِصُ عَلَيَّ بِهَذَا فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ وَلَا يُسْمَعُ قوله، لأنه ادَّعَى عَلَى الْخَارِصِ مَا لَا يُغْلَطُ بِمِثْلِهِ فَقَدْ نَسَبَهُ إِلَى الْخِيَانَةِ وَالْكَذِبِ بَعْدَ الْأَمَانَةِ والصدق، ورام نقض حكم ثابت بدعوة مُجَرَّدَةٍ.
Pertama: apabila selisihnya sedikit yang secara kebiasaan wajar terjadi kekeliruan dalam taksiran seperti itu, misalnya ia berkata: kharsh-nya seratus wasq, padahal kenyataannya sembilan puluh wasq, maka ucapannya diterima dengan sumpahnya, meskipun ia dalam keadaan dituduh berdusta.
Jenis kedua: apabila yang diklaimnya merupakan selisih yang besar yang secara kebiasaan tidak mungkin terjadi kekeliruan seperti itu, misalnya ia berkata: kharsh-nya seratus wasq, padahal kenyataannya hanya lima puluh wasq, maka kasus ini terbagi menjadi dua:
Pertama: jika ia berkata, “Khāriṣ telah keliru terhadapku sebesar ini,” maka ucapan itu tidak diterima dan tidak didengar, karena ia telah menuduh khāriṣ melakukan kesalahan yang secara kebiasaan tidak mungkin, sehingga ia menisbahkannya kepada pengkhianatan dan kebohongan setelah sebelumnya dianggap amanah dan jujur, dan ia berusaha membatalkan hukum yang telah ditetapkan hanya dengan klaim semata.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَقُولَ غَلِطَ الْخَارِصُ عَلَيَّ بِهَذَا وَلَكِنْ يَقُولُ: لَمْ أَجِدْ إِلَّا هَذَا فَقَوْلُهُ مَقْبُولٌ، لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ تَكْذِيبٌ لِلْخَارِصِ، لِأَنَّهُ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ قَدْ تَلِفَ بَعْدَ الْخَرْصِ فَيَكُونُ الْخَارِصُ مُصِيبًا وَالنُّقْصَانُ موجوداً.
Dan bentuk kedua: bahwa ia tidak mengatakan, “Khāriṣ telah keliru atas diriku dalam taksiran ini,” tetapi ia mengatakan, “Aku tidak mendapati kecuali sekian.” Maka ucapannya diterima, karena tidak ada unsur mendustakan khāriṣ, sebab memungkinkan bahwa buah tersebut telah rusak setelah kharsh, sehingga khāriṣ benar dan kekurangan itu memang ada.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ قَالَ سُرِقَ بَعْدَ مَا صَيَّرْتُهُ إِلَى الْجَرِينِ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ مَا يَبِسَ وَأَمْكَنَهُ أَنْ يُؤَدِّيَ إِلَى الْوَالِي أَوْ إِلَى أَهْلِ السهمان فقد ضمن ما أمكنه أن يؤدي ففرط وإن لم يمكنه فلا ضمان عليه وقال في موضع بعد هذا ولو استهلك رجل ثمرة وقد خرص عليه أخذ بثمن عشر وسطها والقول قَوْلِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا ادَّعَى رَبُّ الْمَالِ أَنَّ ثَمَرَتَهُ قَدْ سُرِقَتْ، فَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تُسْرَقَ عَلَى رُؤُوسِ النَّخْلِ بُسْرًا أَوْ رُطَبًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يمينه وإن كَانَ مُتَّهَمًا، وَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Jika ia berkata: ‘Buah itu telah dicuri setelah aku pindahkan ke jarīn (tempat penjemuran),’ maka jika pencurian itu terjadi setelah buah mengering dan ia mampu untuk menyerahkannya kepada wālī atau kepada para mustahiq zakat, maka ia wajib menanggung apa yang mungkin ia serahkan karena ia telah lalai. Namun jika tidak memungkinkan baginya untuk menyerahkan, maka tidak ada tanggungan atasnya. Dan beliau berkata di tempat lain: ‘Seandainya seseorang menghabiskan buah yang telah di-kharsh, maka ia dikenakan harga sepersepuluh dari harga sedangnya, dan ucapannya diterima.’”
Al-Māwardī berkata:
Dan hal ini sebagaimana beliau katakan:
Apabila pemilik harta mengklaim bahwa buahnya telah dicuri, maka hal itu terbagi menjadi dua:
Pertama: jika buah itu dicuri ketika masih berada di atas pohon dalam keadaan busr atau ruṭab, maka ucapannya diterima disertai sumpah, meskipun ia dalam keadaan dituduh berdusta, dan tidak ada zakat atasnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تُسْرَقَ بَعْدَ يُبْسِهَا وَإِحْرَازِهَا وتخزينها فِي جَرِينِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُمْكِنَهُ أَدَاءُ زَكَاتِهَا فَعَلَيْهِ ضَمَانُهَا وَفِي كَيْفِيَّةِ إِمْكَانِهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ القدرة على دفعها إلى الوالي وحده دُونَ أَهْلِ السُّهْمَانِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الجديد إنه القدرة على دفعها إلى الولي وَحْدَهُ أَوْ إِلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ كَمَا قُلْنَا فِي زَكَاةِ الْمَوَاشِي، لِأَنَّهَا مِنَ الْأَمْوَالِ الظَّاهِرَةِ.
Jenis kedua: yaitu apabila buah tersebut dicuri setelah mengering, diamankan, dan disimpan di jarīn-nya, maka hal ini terbagi menjadi dua:
Pertama: jika ia mampu menunaikan zakatnya, maka wajib atasnya menanggungnya (mengganti zakat).
Adapun dalam hal batasan kemampuan tersebut, terdapat dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa yang dimaksud dengan kemampuan adalah kemampuan untuk menyerahkannya kepada wālī saja, tidak kepada para mustahiq zakat (ahl al-suhmān).
Kedua: yaitu pendapat beliau dalam qaul jadīd, bahwa kemampuan itu mencakup kemampuan menyerahkan kepada wālī atau langsung kepada para mustahiq zakat, sebagaimana yang kami sebutkan dalam zakat ternak, karena termasuk harta yang tampak (al-amwāl al-ẓāhirah).
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُمْكِنَهُ أَدَاءُ زَكَاتِهَا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، سَوَاءٌ كَانَتْ فِي يَدِهِ أمانة أو ضماناً، فإن بقي شيء بعدما سُرِقَ، فَإِنْ كَانَ نِصَابًا زَكَّاهُ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ عَلَيْهِ زَكَاةُ مَا بَقِيَ قَوْلًا وَاحِدًا عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ، وَالْجَرِينُ بِلُغَةِ أَهْلِ الْحِجَازِ هُوَ: الْمَوْضِعُ الَّذِي تُجْمَعُ فِيهِ الثَّمَرَةُ لِيَتَكَامَلَ جَفَافُهَا وَيُسَمُّونَهُ الْمِرْبَدَ أَيْضًا، وَهُوَ بِلُغَةِ الشَّامِ الْأَنْدُرُ وَبِلُغَةِ الْعِرَاقِ الجوخار والبيدر وبلغة آخرين المسطاح وبلغة آخرين الطهارة
Bentuk kedua: yaitu jika ia tidak mampu menunaikan zakatnya, maka tidak ada zakat atasnya, baik buah itu berada di tangannya sebagai amānah maupun sebagai ḍamān. Maka jika masih tersisa sesuatu setelah pencurian, maka:
Jika yang tersisa mencapai niṣāb, ia wajib menzakatinya.
Dan jika kurang dari niṣāb, maka sebagian dari kalangan kami mengatakan ada dua pendapat.
Dan sebagian lagi mengatakan bahwa ia tetap wajib menzakati yang tersisa dengan satu pendapat saja, sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Adapun jarīn dalam bahasa penduduk Hijaz adalah tempat yang digunakan untuk mengumpulkan buah agar sempurna proses pengeringannya, dan mereka juga menyebutnya mirbad.
Dalam bahasa penduduk Syam disebut al-andur,
dalam bahasa penduduk Irak disebut al-jūkhār dan al-baydār,
dalam bahasa sebagian yang lain disebut al-misṭāḥ,
dan dalam bahasa sebagian yang lain disebut al-ṭahārah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنِ اسْتَهْلَكَهُ رُطَبًا أَوْ بُسْرًا بَعْدَ الْخَرْصِ ضمن مكملة خَرْصِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا خُرِصَتْ عَلَيْهِ ثَمَرَتُهُ وَتُرِكَتْ فِي يَدِهِ لِتَصِيرَ تَمْرًا فَاسْتَهْلَكَهَا بُسْرًا أَوْ رُطَبًا فَعَلَيْهِ ضَمَانُهَا ثُمَّ يُنْظَرُ، فَإِنْ سُلِّمَتْ إِلَيْهِ مَضْمُونَةً عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْهُ عُشْرُهَا تَمْرًا مِنْ أَوْسَطِهَا نَوْعًا عَلَى مَا مَضَى، فَإِنِ اخْتَلَفَا فِي أَوْسَطِهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ رَبِّ الْمَالِ مَعَ يَمِينِهِ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَ السَّاعِي بِبَيِّنَةٍ أَقَلُّهَا شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ، فَإِنْ أَقَامَ شَاهِدًا لَمْ يَكُنْ لِلسَّاعِي أَنْ يَحْلِفَ مَعَهُ وَلَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ، لِأَنَّهَا لَيْسَتْ لِمَالِكٍ دُونَ غَيْرِهِ وَإِنْ سُلِّمَتْ إِلَيْهِ أَمَانَةً فِي يَدِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ يُطَالَبُ بِأَكْثَرِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهَا رُطَبًا أَوْ مَكِيلَتِهَا تَمْرًا، لِأَنَّ لَهُمْ أَوْفَرَ الْحَظَّيْنِ مِنَ الرُّطَبِ وَالتَّمْرِ، كَمَنْ أَوْجَبَ عَلَى نَفْسِهِ أُضْحِيَةً ثُمَّ أَتْلَفَهَا لَزِمَهُ أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهَا أَوْ مِثْلِهَا.
والثاني: أن يُطَالَب بِمَكِيلَتِهَا تَمْرًا، لِأَنَّ هَذَا هُوَ الْوَاجِبُ عليه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Jika seseorang mengonsumsi buahnya dalam bentuk ruṭab atau busr setelah dilakukan kharsh, maka ia wajib menanggung seluruh hasil kharsh-nya secara penuh.”
Al-Māwardī berkata:
Apabila buahnya telah di-kharsh atasnya dan dibiarkan tetap di tangannya agar menjadi tamr, lalu ia mengonsumsinya dalam bentuk busr atau ruṭab, maka ia wajib menanggungnya.
Lalu dilihat kembali:
Jika buah itu diserahkan kepadanya dalam bentuk tanggungan (ḍamān), maka ia diambil darinya zakatnya sebanyak sepersepuluh dalam bentuk tamr dari jenis sedang (tidak terlalu bagus dan tidak terlalu jelek), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Jika terjadi perselisihan tentang jenis sedangnya, maka ucapan pemilik harta yang diterima disertai sumpahnya, kecuali jika petugas zakat (sā‘ī) datang dengan bukti, minimal satu saksi laki-laki dan dua perempuan. Jika hanya ada satu saksi laki-laki, maka tidak boleh bagi sā‘ī maupun siapa pun dari para mustahiq zakat untuk bersumpah bersama saksi tersebut, karena harta tersebut bukan milik individu tertentu, melainkan untuk seluruh mustahiq.
Namun jika buah itu diserahkan kepadanya sebagai amanah (bukan tanggungan), maka ada dua pendapat:
Pertama: ia dituntut membayar nilai terbesar dari dua hal, yaitu nilai buah dalam bentuk ruṭab atau takaran buah dalam bentuk tamr, karena para mustahiq berhak mendapatkan bagian terbaik dari dua kondisi tersebut, sebagaimana orang yang mewajibkan kurban atas dirinya lalu ia merusaknya, maka ia wajib mengganti dengan nilai terbesar antara harga atau jenisnya.
Kedua: ia hanya dituntut membayar dalam bentuk takaran tamr, karena itulah yang menjadi kewajiban asal atasnya.
مسألة:
قال الشافعي: ” وإن أصاب حائطه عطش يعلم أنه إن ترك ثمره أضر بالنخل وإن قطعها بعد أن يخرص بطل عليه كَثِيرٌ مِنْ ثَمَنِهَا كَانَ لَهُ قَطْعُهَا وَيُؤْخَذُ ثَمَنُ عُشْرِهَا أَوْ عُشْرُهَا مَقْطُوعَةً.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
إِذَا أَصَابَ حَائِطَهُ عَطَشٌ بَعْدَ بُدُوِّ صَلَاحِهِ، وَوُجُوبِ زَكَاتِهِ، وَكَانَ فِي ترك الثمرة على النخل إضرار بها وبالنخل، أَوْ بِهِمَا، فَلَهُ قَطْعُ مَا أَضَرَّ بِنَخْلِهِ مِنَ الثَّمَرَةِ بَعْدَ مُطَالَعَةِ الْعَامِلِ وَاسْتِئْذَانِهِ أَنَّهُ قدرَ عَلَيْهِ لِتَزُولَ عَنْهُ التُّهْمَةُ، فَإِنِ اسْتَضَرَّ بِجَمِيعِ الثَّمَرَةِ قَطَعَهَا، وَإِنِ اسْتَضَرَّ بِبَعْضِهَا، قَطَعَ مَا اسْتَضَرَّ بِهِ مِنْهَا، وَإِنَّمَا كَانَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّ فِي قَطْعِهَا نَظَرًا لِرَبِّ الْمَالِ في حفاظ ماله، ونظراً للمساكين، لأن لا يضر بالنخل لم تحل حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika kebun kurmanya mengalami kekeringan yang diketahui bahwa jika buah itu dibiarkan (di pohon) akan membahayakan pohonnya, dan jika ia memetiknya setelah dilakukan kharsh, maka sebagian besar nilainya akan hilang, maka ia boleh memetiknya, dan diambil darinya harga zakat sepersepuluhnya atau sepersepuluh dari buah yang telah dipetik.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan.
Jika kebun kurmanya tertimpa kekeringan setelah munculnya tanda kematangan dan zakatnya telah wajib, dan membiarkan buahnya tetap di pohon akan membahayakan baik bagi pohonnya, buahnya, atau keduanya, maka ia boleh memetik bagian dari buah tersebut yang membahayakan pohonnya, setelah terlebih dahulu memperlihatkannya kepada petugas zakat dan meminta izinnya, agar hilang darinya tuduhan.
Jika kerusakan menimpa seluruh buah, maka ia boleh memetik semuanya.
Jika hanya sebagian yang terkena dampak, maka ia hanya boleh memetik bagian yang terkena dampak saja.
Dan diperbolehkan baginya hal itu karena dalam pemetikan itu terdapat sisi menjaga harta pemiliknya, dan juga sisi menjaga hak para miskin, agar pohon kurma tidak rusak, sehingga kondisinya tidak keluar dari dua keadaan: .
إِمَّا أَنْ يَقْطَعَهَا بِإِذْنِ الْعَامِلِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، فَإِنْ قَطَعَهَا بِإِذْنِهِ وَأَرَادَ الْعَامِلُ أَخْذَ الْعُشْرِ مِنْهَا خَرْصًا فعلى قولين مبنيين على اختلاف قوله في القسمة.
أحدها: تجوز إِذَا قِيلَ إِنَّ الْقِسْمَةَ إقرار حَقٍّ وَتَمْيِيزُ نَصِيبٍ فَعَلَى هَذَا يَخْرُصُ ثُمَّ يَأْخُذُ الْعَامِلُ عُشْرَهَا مِنْ ثَمَرَاتِ نَخَلَاتٍ بِعَيْنِهَا، ويفعل ما هو أخطى للمساكين، من تفريقه عليهم أو صرف ثَمَنِهِ فِيهِمْ.
Entah ia memetik buah tersebut dengan izin ‘āmil (petugas zakat) atau tanpa izinnya. Jika ia memetiknya dengan izin ‘āmil, lalu ‘āmil ingin mengambil zakat sepersepuluhnya dengan cara kharsh, maka terdapat dua pendapat yang dibangun atas perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i mengenai hukum qismah (pembagian):
Pertama: diperbolehkan, apabila dikatakan bahwa qismah adalah penetapan hak dan penjelasan bagian, maka berdasarkan pendapat ini, ‘āmil boleh melakukan kharsh, lalu mengambil zakat sepersepuluh dari buah kurma pada pohon tertentu, dan ia lakukan hal yang paling bermanfaat bagi para miskin, baik dengan membagikannya langsung kepada mereka atau dengan menukarnya menjadi uang lalu disalurkan kepada mereka.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْقِسْمَةَ بَيْعٌ فَعَلَى هَذَا يَنْبَغِي لِلْعَامِلِ أَنْ يَقْبِضَ حَقَّ الْمَسَاكِينِ مَشَاعًا فِي جَمِيعِ الثَّمَرَةِ لِيَتَعَيَّنَ حَقُّهُمْ فِيهَا، لِأَنَّهُ قَبْلَ الْقَبْضِ غَيْرُ مُعَيَّنٍ سَوَاءٌ قُلْنَا إِنَّ الزَّكَاةَ فِي الذِّمَّةِ أَوْ فِي الْعَيْنِ، لِأَنَّا إِنْ قُلْنَا إِنَّ الزَّكَاةَ فِي الذِّمَّةِ فَالْحَقُّ لَمْ يَتَعَيَّنْ فِيهَا، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهَا فَيَ الْعَيْنِ فَلِرَبِّ الْمَالِ إِسْقَاطُ حَقِّهِمْ بِالدَّفْعِ مِنْهَا أَوْ مِنْ غَيْرِهَا، فَإِذَا قَبَضَ الْعَامِلُ حَقَّهُمْ مَشَاعًا فِيهَا، فَقَدْ تَعَيَّنَ وَلَمْ يَجُزْ لِرَبِّ الْمَالِ نَقْلُ حَقِّهِمْ إِلَى غَيْرِهَا بِحَالٍ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعَامِلَ يَقْبِضُ حَقَّهُمْ مَشَاعًا فِي جَمِيعِ الثمرة على هذا القول الثاني فقبضه بعين حق المساكين فيها، فَإِذَا قُطِعَتِ الثَّمَرَةُ كُلُّهَا نَظَرَ الْعَامِلُ فِي حَقِّ الْمَسَاكِينِ مِنْهَا، فَإِنْ كَانَ الْحَظُّ لَهُمْ فِي بَيْعِهِ مَعَ جُمْلَةِ الثَّمَرَةِ وَصَرْفِ ثَمَنِهِ فِيهِمْ، وَكَّلَ رَبَّ الْمَالِ فِي بَيْعِهِ إِنْ كَانَ ثِقَةً أَوْ وَكَّلَ أَمِينًا ثِقَةً، وَيُقَدَّمُ إليه بصرف ثمنه فيهم بعد يبسه وإن كان لهم الأخص فِي إِيصَالِهِ رُطَبًا أَوْ بُسْرًا إِلَيْهِمْ قَاسَمَهُ الْعَامِلُ عَلَيْهِمْ كَيْلًا أَوْ وَزْنًا، وَفَرَّقَ فِيهِمْ مَا حَصَلَ مِنْ حَقِّهِمْ بِالْقِسْمَةِ بَعْدَ الِاسْتِظْهَارِ فِيمَا أَخَذَ، لِيَكُونَ عَلَى يَقِينٍ مِنْ أَخْذِ الْحَقِّ أَوْ فَوْقه، فَإِنْ قِيلَ فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَا يَجُوزُ قِسْمَةُ الرُّطَبِ كَيْلًا وَلَا وَزْنًا فَلِمَ جَوَّزْتُمُوهُ؟ قِيلَ إِنَّمَا لَمْ يَجُزْ لِأَجْلِ الرِّبَا، وَحُصُولُ الرِّبَا، وَالتَّفَاضُلُ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ بَيْنَ رَبِّ الْمَالِ وَالْمَسَاكِينِ، لِأَنَّهُ لَوْ أَعْطَاهُمْ مَكَانَ وَسْقٍ وَسْقَيْنِ جَازَ، فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا كَانَ الرِّبَا غَيْرُ مُعْتَبَرٍ بَيْنَهُمَا فَلِمَ مَنَعْتُمْ مِنْ قِسْمَتِهَا خَرْصًا وَهَلَّا أَجَزْتُمُوهُ كَمَا أَجَزْتُمُوهُ كَيْلًا؟ قِيلَ: مَا يُمْكِنُ كَيْلُهُ لَا يَجُوزُ خرصه، لأنه قادر على أن يصل ببقين إِلَى مَعْرِفَةِ مَا يُطْلَبُ بِالظَّنِّ وَالتَّخْمِينِ.
Masalah:
Pendapat kedua menyatakan: tidak boleh dilakukan jika qismah (pembagian) dianggap sebagai jual beli. Berdasarkan pendapat ini, maka sepatutnya bagi ‘āmil (petugas zakat) untuk mengambil hak para miskin dalam bentuk kepemilikan bersama (musyā‘) atas seluruh buah, agar hak mereka menjadi pasti di dalamnya. Karena sebelum dilakukan penyerahan, hak itu belum ditentukan secara spesifik, baik kita katakan bahwa zakat itu wajib dalam tanggungan (dzimmah) maupun dalam benda (‘ayn).
Sebab, jika dikatakan zakat dalam dzimmah, maka haknya belum ditentukan.
Dan jika dikatakan zakat dalam ‘ayn, maka pemilik harta berhak menggugurkan hak mereka dengan memberikan dari buah itu atau dari selainnya. Maka, jika ‘āmil telah mengambil hak mereka secara musyā‘ dalam seluruh buah, maka hak itu telah menjadi pasti, dan tidak boleh bagi pemilik harta memindahkan hak mereka ke selainnya dalam keadaan apa pun.
Jika telah ditetapkan bahwa ‘āmil mengambil hak mereka secara musyā‘ dalam seluruh buah, berdasarkan pendapat kedua ini, maka pengambilannya adalah benar-benar atas nama hak para miskin dalam buah tersebut.
Lalu, jika seluruh buah dipetik, maka ‘āmil memperhatikan bagaimana cara menyampaikan hak para miskin dari buah tersebut.
Jika lebih bermanfaat bagi mereka dijual bersama seluruh buah dan uangnya dibagikan kepada mereka, maka ‘āmil menunjuk pemilik harta (jika dapat dipercaya) untuk menjualnya, atau menunjuk orang yang amanah dan terpercaya, lalu uang hasil penjualannya diberikan kepada mereka setelah buahnya kering.
Namun jika lebih bermanfaat bagi mereka disampaikan dalam keadaan masih ruṭab atau busr, maka ‘āmil membaginya kepada mereka dengan takaran atau timbangan, dan membagikan apa yang menjadi hak mereka dari hasil pembagian tersebut, setelah terlebih dahulu menaksir secara berlebih, agar dipastikan bahwa yang mereka terima itu adalah haknya atau lebih dari haknya.
Jika dikatakan: Berdasarkan pendapat ini, tidak boleh membagi ruṭab dengan takaran atau timbangan, maka kenapa kalian membolehkannya?
Dijawab: Larangan itu karena adanya unsur ribā, namun ribā dan kelebihan tidak diperhitungkan antara pemilik harta dan para miskin, karena kalaupun ia memberi kepada mereka dua wusq sebagai ganti satu wusq, hal itu dibolehkan.
Jika dikatakan: Kalau memang ribā tidak dianggap antara keduanya, kenapa kalian melarang membaginya dengan kharsh, dan kenapa kalian tidak membolehkannya sebagaimana kalian membolehkan dengan takaran?
Dijawab: Sesuatu yang memungkinkan ditakar, tidak boleh di-kharsh, karena ia mampu mengetahui secara pasti dengan takaran sisa, apa yang sebelumnya hanya bisa diketahui dengan dugaan dan perkiraan.
فصل
: وإن قطع رب بالمال الثَّمَرَةَ بِغَيْرِ إِذَنِ الْعَامِلِ فَقَدْ أَسَاءَ، ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً أَوْ تَالِفَةً، فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً نَظَرَ الْعَامِلُ فِي أَحَظِّ الْأَمْرَيْنِ لِلْمَسَاكِينِ من قسمتها وَأَخْذِ ثَمَنِ عُشْرِهَا، فَإِنْ كَانَ قَسْمُهَا أَحظَّ لَهُمْ قَسَّمَهَا وَفَرَّقَ الْعُشْرَ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ كَانَ بَيْعُهَا أَحَظَّ بَاعَهَا، أَوْ وَكَّلَ فِي بَيْعِهَا وَصَرْفِ ثَمَنِ عُشْرِهَا فِيهِمْ، وَإِنْ كَانَتِ الثَّمَرَةُ تَالِفَةً فَعَلَيْهِ قِيمَةُ عُشْرِهَا حِينَ أَتْلَفَهَا رُطَبًا، لِأَنَّ الرُّطَبَ لَا مِثْلَ لَهُ فَلَزِمَتْهُ الْقِيمَةُ، فَإِنْ قِيلَ: لَوْ أَتْلَفَهَا رُطَبًا مِنْ غَيْرِ عَطَشٍ لَزِمَهُ عُشْرُهَا تَمْرًا فَهَلَّا لَزِمَهُ فِي إِتْلَافِ الْعَطَشِ عُشْرُهَا تَمْرًا. قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَخَفِ الْعَطَشَ وَلَمْ يَكُنْ فِي تَرْكِهَا ضَرَرٌ لَزِمَهُ تَرْكُهَا وَأَخْذُ الْعُشْرِ من ثمرها، فإذا خَافَ الْعَطَشَ كَانَ لَهُ قَطْعُهَا وَلَمْ يَلْزَمْهُ تَرْكُهَا فَلَمْ يُطَالَبْ بِعُشْرِهَا تَمْرًا، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَا لَزِمَهُ، فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَيُؤْخَذُ مِنْهُ ثَمَنُ عُشْرِهَا أَوْ عُشْرُهَا مَقْطُوعَةً، فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ.
PASAL
Jika pemilik harta memetik buahnya tanpa izin dari ‘āmil, maka ia telah berbuat tidak baik. Setelah itu, keadaan buah tersebut tidak lepas dari dua hal:
Pertama, masih ada (belum rusak), atau
kedua, sudah rusak.
Jika buah tersebut masih ada, maka ‘āmil menilai mana yang lebih menguntungkan bagi para miskin, apakah dengan membaginya atau mengambil harga dari sepersepuluhnya:
– Jika pembagian lebih menguntungkan, maka ia membaginya dan menyalurkan zakat sepersepuluhnya kepada mereka.
– Namun jika penjualan lebih menguntungkan, maka ia menjualnya atau mewakilkan penjualannya, lalu menyalurkan harga dari sepersepuluh bagian buah tersebut kepada mereka.
Jika buah tersebut sudah rusak, maka wajib atas pemiliknya membayar nilai dari sepersepuluh buah tersebut pada saat ia merusaknya dalam keadaan ruṭab, karena ruṭab tidak memiliki padanan yang setara, maka wajib baginya membayar dengan nilai.
Jika ada yang berkata:
“Seandainya ia merusaknya dalam keadaan ruṭab tanpa sebab kehausan, maka wajib baginya zakat sepersepuluh dalam bentuk tamr, lalu mengapa jika ia merusaknya karena takut kehausan tidak wajib baginya zakat sepersepuluh dalam bentuk tamr?”
Maka jawabannya:
Perbedaannya adalah bahwa apabila ia tidak khawatir kehausan dan tidak ada bahaya jika membiarkan buah tetap di pohon, maka ia wajib membiarkannya hingga dipetik tamr dan diambil zakatnya.
Namun jika ia khawatir kehausan, maka ia boleh memetiknya, dan tidak wajib membiarkannya, maka ia tidak dituntut untuk menyerahkan zakat dalam bentuk tamr, karena itu bukan lagi hal yang diwajibkan atasnya.
Adapun perkataan Imam al-Syafi‘i:
“Zakat diambil darinya berupa harga sepersepuluhnya atau sepersepuluh buah yang sudah dipetik,” maka ada dua penakwilan terhadap ucapan ini.
أحدها: أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ ثَمَنَ عُشْرِهَا إِنْ رَأَى حَظَّ الْمَسَاكِينِ فِي أَخْذِ عُشْرِهَا مِنْهُ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ يَأْخُذُ مِنْهُ ثَمَنَ عُشْرِهَا إِنْ تَلِفَتْ يَعْنِي: قِيمَةَ الْعُشْرِ، فَعَبَّرَ عَنِ الْقِيمَةِ بِالثَّمَنِ أَوْ عُشْرِهَا رُطَبًا إِنْ بَقِيَتْ، فَالْأَوَّلُ مِنَ التَّأْوِيلَيْنِ فِي الثَّمَرَةِ الْمَوْجُودَةِ.
وَالثَّانِي: عَلَى اخْتِلَافِ حالها لو وجدت أو عدمت.
Pertama: yaitu mengambil darinya harga dari sepersepuluh buahnya, jika dipandang bahwa yang lebih maslahat bagi para miskin adalah mengambil sepersepuluh darinya dalam bentuk nilai (tsaman).
Dan kedua: bahwa ia mengambil darinya harga dari sepersepuluhnya jika buah itu telah rusak—yakni: nilai dari sepersepuluhnya—maka ia mengungkapkan nilai dengan istilah harga, atau mengambil sepersepuluh buahnya dalam keadaan masih ruṭab jika buahnya masih ada.
Maka ta’wīl pertama berlaku pada buah yang masih ada,
sedangkan ta’wīl kedua tergantung pada keadaan: apakah buah itu masih ada atau telah tiada.
مسألة:
قال الشافعي: ” ومن قطع من ثمر نَخْله قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ بَيْعُهُ لَمْ يَكُنْ عليه فيه عشرٌ وأكره ذلك له إلا أن يأكله أَوْ يُطْعِمَهُ أَوْ يُخَفِّفَهُ عَنْ نَخْلِهِ.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ وجوب الزكاة ببدو الصلاح، فإذا أقطع ثمرة نخلة قبل بدوة صَلَاحِهَا وَوُجُوبِ زَكَاتِهَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، كَمَنْ أَتْلَفَ مَالَهُ قَبْلَ حَوْلِهِ، لَكِنَّهُ إِنْ قَطَعَهَا لِتُفِيدَ فِي التَّخْفِيفِ عَنْ نَخْلِهَا لِحَاجَةٍ فِي أكلها لم يكره له، وإن قطعها مراراً مِنَ الزَّكَاةِ كَرِهْنَا ذَلِكَ لَهُ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي الْحَالَيْنِ، وَإِنْ خَالَفَنَا مَالِكٌ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ، فَأَمَّا طَلْعُ الْفُحُولِ فَلَا يُكْرَهُ لَهُ قَطْعُهُ بِحَالٍ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ في الثمرة، وطلع الفحول لَا يَصِيرُ ثَمَرَةً.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Barang siapa memetik buah dari pohon kurmanya sebelum diperbolehkan menjualnya, maka tidak wajib atasnya zakat sepersepuluh, dan aku membenci hal itu kecuali jika dimakan, atau diberi makan, atau untuk meringankan beban pohonnya.”
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan.
Telah kami sebutkan bahwa kewajiban zakat terjadi saat badyuṣ-ṣalāḥ, maka apabila ia memetik buah kurma sebelum munculnya ṣalāḥ-nya dan sebelum wajibnya zakat, maka tidak ada kewajiban atasnya, seperti orang yang membinasakan hartanya sebelum sempurna haul-nya. Namun, jika ia memetiknya untuk meringankan beban pohon kurmanya karena ada keperluan untuk memakannya, maka hal itu tidak dibenci baginya. Dan jika ia memetiknya berulang kali untuk lari dari kewajiban zakat, maka kami membencinya, namun dalam kedua keadaan itu tidak ada kewajiban atasnya. Meskipun Imam Mālik menyelisihi kami dalam hal ini, dan telah disebutkan pembicaraan dengannya.
Adapun mayang jantan (ṭal‘ al-fuḥūl) maka tidak dimakruhkan untuk dipetik dalam keadaan apa pun, karena zakat itu diwajibkan pada buah, sedangkan mayang jantan tidak menjadi buah.
فَصْلٌ
: وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ ” نَهَى عَنْ جِدَادِ اللَّيْلِ ” وَهُوَ: صِرَامُ النخل ليلاً ليكون الصرام نهاراً بسبب فيسال النَّاسُ مِنْ ثَمَرَتِهَا، فَيُسْتَحَبُّ ذَلِكَ فِيمَا وَجَبَتْ زَكَاتُهُ أَوْ لَمْ تَجِبْ.
وَحُكِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ وَالنَّخَعِيِّ: أَنَّ الصَّدَقَةَ مِنَ الْمَالِ وَقْتَ الصِّرَامِ وَالْحَصَادِ وَاجِبَةٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاتُوا حَقًّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ) {الأنعام: 141) . وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ “. وَالْمُرَادُ بِمَا ذَكَرُوا مِنَ الْآيَةِ الزَّكَاةُ.
PASAL
Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau “melarang jidad di malam hari,” yaitu pemetikan kurma di malam hari, agar pemetikan dilakukan pada siang hari sebagai sebab agar orang-orang meminta dari buahnya. Maka hal itu disunnahkan, baik pada buah yang wajib dizakati maupun yang tidak wajib dizakati.
Dan telah dinukil dari Mujāhid dan al-Nakha‘ī bahwa ṣadaqah dari harta itu wajib pada waktu pemetikan dan panen, berdasarkan firman-Nya Ta‘ālā: “dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya” (QS al-An‘ām: 141). Dan dalil terhadap keduanya adalah sabda Nabi SAW: “Tidak ada hak dalam harta kecuali zakat.” Dan yang dimaksud dengan apa yang mereka sebut dari ayat itu adalah zakat.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي: ” وإن أكل رُطَبًا ضَمِنَ عُشْرَهُ تَمْرًا مِثْلَ وَسَطِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ، وَقُلْنَا إِنَّ مَنْ أَتْلَفَ ثَمَرَةَ نَفْسِهِ رُطَبًا بَعْدَ خَرْصِهَا عَلَيْهِ وَتَرْكِهَا فِي يَدِهِ لَزِمَهُ عُشْرُهَا تَمْرًا إِنْ أَخَذَهَا مَضْمُونَةً، فَإِنْ أَخَذَهَا أَمَانَةً فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ عُشْرِهَا تَمْرًا أَوْ قِيمَتِهَا رُطَبًا.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ: عَلَيْهِ عُشْرُهَا تَمْرًا وَإِنَّمَا أَعَادَهَا الشَّافِعِيُّ لِأَنَّ الْأُولَى بَعْدَ الْخَرْصِ وَذَكَرَ هَذِهِ قَبْلَ الْخَرْصِ وَهُمَا يَسْتَوِيَانِ فِي كَيْفِيَّةِ الضَّمَانِ، وَإِنَّمَا يَخْتَلِفَانِ فِي أَنَّ مَنْ أَتْلَفَهَا بَعْدَ الْخَرْصِ أُخِذَ مِنْهُ عُشْرُ خَرْصِهَا وَمَنْ أَتْلَفَهَا قَبْلَ الْخَرْصِ رَجَعَ إِلَى قَوْلِهِ فِي قَدْرِهَا.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang memakan ruṭab, maka ia wajib menanggung zakat sepersepuluhnya dalam bentuk tamr yang sepadan dengan kualitas sedang dari kurmanya.”
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah lewat pembahasannya, dan kami telah mengatakan bahwa barang siapa merusak buah miliknya dalam keadaan ruṭab setelah dilakukan kharṣ atasnya dan tetap berada di tangannya, maka wajib atasnya zakat sepersepuluhnya dalam bentuk tamr, jika ia mengambilnya dengan tanggungan (maḍmūnah).
Namun jika ia mengambilnya sebagai amanah, maka ada dua pendapat:
Pertama: Wajib atasnya kadar yang lebih besar dari dua kemungkinan, yaitu sepersepuluhnya dalam bentuk tamr atau nilainya dalam bentuk ruṭab.
Kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ: Wajib atasnya sepersepuluhnya dalam bentuk tamr.
Sesungguhnya Imam al-Syafi‘i mengulang masalah ini karena yang pertama berkaitan dengan setelah kharṣ, sedangkan yang ini sebelum kharṣ. Keduanya sama dalam tata cara tanggungan, namun berbeda dalam bahwa orang yang merusaknya setelah kharṣ diambil darinya sepersepuluh berdasarkan hasil kharṣ-nya, sedangkan yang merusaknya sebelum kharṣ kembali kepada pendapat Imam Syafi‘i dalam memperkirakan kadarnya.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي: ” وإن كان لا يكون تَمْرًا أَعْلَمَ الْوَالِيَ لِيَأْمُرَ مَنْ يَبِيعُ مَعَهُ عُشْرَهُ رُطَبًا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ خَرَصَهُ لِيَصِيرَ عليه عشره ثُمَّ صَدَّقَ رَبَّهُ فِيمَا بَلَغَ رُطَبُهُ وَأَخَذَ عُشْرَ ثَمَنِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
ما لا يتميز مِنَ الثِّمَارِ ضَرْبَانِ:
ضَرْبٌ لَا يَصِيرُ تَمْرًا لِضَعْفِهِ.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika buah itu tidak akan menjadi tamr, maka hendaknya wali diberi tahu agar ia memerintahkan seseorang untuk menjual bersama pemiliknya zakat sepersepuluhnya dalam bentuk ruthab. Jika tidak dilakukan, maka buah itu di-kharsh agar ditetapkan atasnya zakat sepersepuluh, kemudian pemiliknya mempercayai apa yang dicapai oleh ruthab-nya dan ia membayar zakat sepersepuluh dari harganya.”
Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan.
Buah yang tidak bisa dibedakan ada dua macam:
macam yang tidak akan menjadi tamr karena lemahnya.
وَضَرْبٌ يَصِيرُ تَمْرًا لَكِنْ لَا يُجَفَّفُ لِقِلَّةِ مَنْفَعَتِهِ، وَكِلَاهُمَا سَوَاءٌ يُؤْخَذُ عُشْرُهَا رُطَبًا، أو ثمن عشرها فإن كانت ثمرة الرجل لا يصير تَمْرًا أَوْ كَرْمُهُ لَا يَصِيرُ زَبِيبًا أَعَلَمَ الْوَالِيَ وَطَالَعَهُ بِهِ، لِتَزُولَ تُهْمَتُهُ عَنْهُ، ثُمَّ يكون الجواب فِيمَا يَصْنَعُهُ الْوَالِي مَعَهُ عَلَى مَا مَضَى فيمن أراد قطع ثمرته لأجل العطش سواء لَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا، فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُقَاسِمَهُ عَلَيْهَا خَرْصًا كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنْ أَرَادَ بَيْعَهَا كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَبِيعَهَا عَلَيْهِ، أَوْ يُوَكِّلَهُ فِي بَيْعِهَا، أَوْ يَبِيعَهَا عَلَى غيره، أو يوكل الغير في بيعها في نصابها وجهان:
أحدهما: إذا تلفت خَمْسَةَ أَوْسُقٍ رُطَبًا وَجَبَتْ زَكَاتُهَا، لِأَنَّ مَا لَا يُجَفَّفُ مِنَ الرُّطَبِ فَالرُّطَبُ غَايَتُهُ فَوَجَبَ اعْتِبَارُ الْأَوْسُقِ فِي حَالِ غَايَتِهِ.
Dan jenis lain dari buah yang akan menjadi tamr tetapi tidak dikeringkan karena sedikit manfaatnya—maka keduanya sama: zakatnya diambil sepersepuluh dalam bentuk ruṭab, atau senilai sepersepuluhnya. Jika buah milik seseorang tidak akan menjadi tamr atau anggurnya tidak menjadi zabīb, maka ia harus memberitahukan kepada wali dan menyampaikannya, agar hilang tuduhan darinya.
Kemudian jawaban tentang apa yang dilakukan oleh wali terhadapnya mengikuti apa yang telah disebutkan dalam kasus orang yang ingin memetik buahnya karena kekeringan—tidak ada perbedaan antara keduanya. Jika wali ingin membagi hasilnya dengannya berdasarkan kharṣ, maka ada dua pendapat. Dan jika ia ingin menjualnya, maka ia memiliki pilihan antara menjualkannya langsung kepada pemiliknya, atau mewakilkannya untuk menjual, atau menjual kepada selainnya, atau mewakilkan orang lain untuk menjualnya.
Dalam penentuan nisabnya ada dua wajah:
Pertama, apabila ruṭab sebanyak lima wasaq rusak, maka wajib zakat atasnya, karena ruṭab yang tidak dikeringkan, batas akhirnya adalah tetap sebagai ruṭab, maka wajib mempertimbangkan ukuran wasaq pada keadaan akhirnya itu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: نِصَابُهُ أَنْ يَبْلُغَ قَدْرًا يَجِيءُ مِنْ ثَمَرِهِ خَمْسَةُ أَوْسُقٍ، لِأَنَّ هَذَا نَادِرٌ مِنْ جِنْسِهِ فَاعْتُبِرَ حُكْمُهُ بِغَالِبِ جِنْسِهِ فَعَلَى هَذَا هَلْ يُعْتَبَرُ بِنَفْسِهِ فِي جَفَافِهِ أَوْ يُعْتَبَرُ بِجَفَافِ الْغَالِبِ مِنْ جِنْسِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعْتَبَرَ قَدْرُ نِصَابِهِ بِجَفَافِهِ فِي نَفْسِهِ دُونَ غَيْرِهِ فَإِذَا بَلَغَ قَدْرًا يَجِيءُ مِنْ رُطَبِهِ خَمْسَةُ أَوْسُقٍ تَمْرًا فَهُوَ النِّصَابُ وَوَجَبَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ نَقَصَ عَنْهُ فَلَا زَكَاةَ.
وَالْوَجْهُ الثاني: يعتبر قدر نصابه بِجَفَافِ غَيْرِهِ مِنْ جِنْسِهِ لِتَعَذُّرِ جَفَافِهِ فِي نَفْسِهِ كَجِرَاحِ الْحُرِّ، وَشِجَاجِهِ الَّذِي لَمْ يُقَدَّرْ إِرْشُهُ لَمَّا تَعَذَّرَ تَقْوِيمُهُ حُرًّا قومٌ لَوْ كَانَ عَبْدًا، فَإِذَا بَلَغَ هَذَا الرُّطَبُ قَدْرًا يَجِيءُ مِنْ غَيْرِهِ مِن الْأَرْطَابِ خَمْسَةُ أَوْسُقٍ تَمْرًا فَهُوَ النِّصَابُ، وَلَا شَيْءَ فِيمَا دُونَهُ.
Dan pendapat kedua: nisab-nya adalah apabila mencapai kadar yang dari buahnya bisa dihasilkan lima wasaq, karena ini jarang ditemukan dari jenisnya, maka hukumnya diukur berdasarkan mayoritas jenisnya. Maka atas dasar ini, apakah ditakar berdasarkan pengeringannya sendiri, atau ditakar berdasarkan pengeringan mayoritas jenisnya? Ada dua pendapat:
Pertama: bahwa ukuran nisabnya dilihat dari kadar kekeringannya pada dirinya sendiri, bukan yang lain. Maka jika ruthab-nya mencapai kadar yang bila dikeringkan menjadi lima wasaq tamr, itu adalah nisab, dan wajib zakat padanya. Namun jika kurang dari itu, maka tidak ada zakat.
Pendapat kedua: bahwa ukuran nisabnya dilihat dari kekeringan selainnya dari jenis yang sama, karena tidak mungkin dikeringkan pada dirinya sendiri. Seperti luka pada orang merdeka dan cedera pada tubuhnya yang tidak bisa ditaksir nilai kompensasinya, maka ditaksir seandainya ia adalah seorang budak. Maka jika ruthab ini mencapai kadar yang dari ruthab selainnya bisa menghasilkan lima wasaq tamr, maka itu adalah nisab, dan tidak ada kewajiban zakat atas yang kurang dari itu.
مسألة:
قال الشافعي: ” فإن أكل أُخِذَ مِنْهُ قِيمَةُ عُشْرِهِ رُطَبًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
إِذَا كَانَتْ ثَمَرَتُهُ لا تصير تمراً فاستهلكها رطباً فلا يَلْزَمُهُ مِثْلُ عُشْرِهَا رُطَبًا، لِأَنَّ الرُّطَبَ لَا مِثْلَ لَهُ، فَإِنْ أَكَلَهَا قَبْلَ خَرْصِهَا عَلَيْهِ رُجِعَ فِي قَدْرِهَا إِلَيْهِ، فَإِنِ اتُّهِمَ أُحْلِفَ اسْتِظْهَارًا، وَإِنْ أَكَلَهَا بَعْدَ الْخَرْصِ أُخِذَ مِنْهُ قِيمَةُ عُشْرِ خَرْصِهَا رُطَبًا، فَإِنْ ذَكَرَ زِيَادَةً عَنِ الْخَرْصِ أَوِ ادَّعَى نُقْصَانًا مُحْتَمَلًا كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ فِيهِ، لِأَنَّهُ أَمِينٌ، فَإِنِ اتُّهِمَ أحلف وفي هذا اليمين وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَاجِبَةٌ.
وَالثَّانِي: اسْتِظْهَارٌ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika ia memakannya, maka diambil darinya nilai sepersepuluhnya dalam bentuk ruṭab.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar.
Jika buahnya tidak akan menjadi tamr, lalu ia menghabiskannya dalam keadaan ruṭab, maka tidak wajib atasnya mengganti sepersepuluhnya dalam bentuk ruṭab, karena ruṭab tidak memiliki padanan.
Jika ia memakannya sebelum dilakukan kharṣ atasnya, maka kembali dalam menentukan kadarnya kepadanya. Jika ia dicurigai, maka ia disumpah sebagai bentuk kehati-hatian (istiẓhār).
Dan jika ia memakannya setelah dilakukan kharṣ, maka diambil darinya nilai sepersepuluh dari hasil kharṣ-nya dalam bentuk ruṭab. Jika ia menyebutkan adanya kelebihan dari hasil kharṣ, atau mengklaim adanya kekurangan yang mungkin terjadi, maka perkataannya diterima karena ia adalah orang yang dipercaya (amīn).
Jika ia dicurigai, maka ia disumpah. Dalam sumpah ini terdapat dua pendapat:
Pertama: wajib.
Kedua: hanya sebagai kehati-hatian (istiẓhār).
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي: ” وَمَا قُلْتُ فِي التَّمْرِ فَكَانَ فِي الْعِنَبِ فَهُوَ مِثْلُهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ.
حُكْمُ التَّمْرِ وَالْعِنَبِ سَوَاءٌ فِي الزَّكَاةِ وَأَحْكَامِهَا وَمَا تَقَدَّمَ مِنْ مَسَائِلِهَا، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَمَعَهُمَا فِي الْخَبَرِ وَشَبَّهَ أَحَدَهُمَا بِالْآخَرِ.
مَسْأَلَةٌ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه بعث مَعَ ابْنِ رَوَاحَةَ غَيْرَهُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَفِي كُلٍّ أُحِبُّ أَنْ يَكُونَ خَارِصَانِ أَوْ أَكْثَرُ وقد قيل يجوز خارص واحدٌ كما يجوز حاكمٌ واحدٌ “.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Apa yang aku katakan tentang tamr, maka berlaku pula pada ‘inab (anggur), hukumnya sama.”
Al-Māwardī berkata: Dan itu sebagaimana yang dikatakan.
Hukum tamr dan ‘inab adalah sama dalam hal zakat dan hukum-hukumnya, serta semua masalah yang telah disebutkan sebelumnya, karena Rasulullah SAW menyatukan keduanya dalam hadis dan menyamakan yang satu dengan yang lain.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau mengutus bersama Ibn Rawāḥah orang lain. (Imam al-Syafi‘i berkata:) Dan dalam semua itu aku menyukai agar ada dua orang yang melakukan kharsh atau lebih. Dan telah dikatakan: boleh hanya satu orang melakukan kharsh, sebagaimana boleh satu orang menjadi hakim.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ قَوْلَهُ: ” وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ خَارِصَانِ أَوْ أَكْثَرُ ” دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْخَارِصَ الْوَاحِدَ يُجْزِئُ، وَقَوْلُهُ: وَقَدْ قيل يجوز أن يكون خارص دليل على أن الْخَارِصَ الْوَاحِدَ لَا يُجْزِئُ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَنْ يَصِحُّ الْخَرْصُ بِهِ، فَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يَقُولَانِ: يَجُوزُ خَارِصٌ وَاحِدٌ وَلَيْسَ فِي الْمَسْأَلَةِ قَوْلٌ آخَرُ، وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولَانِ الْمَسْأَلَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُ إِلَّا خَارِصَانِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَبْعَثُ مَعَ ابْنِ رَوَاحَةَ غَيْرَهُ، وَقَدْ قِيلَ بَعَثَ مَعَهُ سَهْلَ بْنَ أَبِي حَثْمَةَ، فَإِذَا كَانَ جَوَازُ الْخَرْصِ حُكْمًا مُسْتَفَادًا بِالشَّرْعِ وَجَبَ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ عَلَى مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ، وَلِأَنَّ الْخَرْصَ اجْتِهَادٌ فِي مَعْرِفَةِ الْقَدْرِ وَتَمْيِيزِ الْحُقُوقِ فَشَابَهَ التَّقْوِيمَ وَخَالَفَ الْكَيْلَ وَالْوَزْنَ، لِأَنَّهُمَا يَقِينٌ لَا اجْتِهَادَ فِيهِمَا، فَلَمَّا ثَبَتَ أن التقويم لا يجزئ فيه إلا مقومان فكذا الْخَرْصُ لَا يُجْزِئُ فِيهِ إِلَّا خَارِصَانِ.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa perkataannya (Imam al-Syafi‘i): “Dan aku suka jika yang melakukan kharṣ itu dua orang atau lebih,” menunjukkan bahwa satu orang khāriṣ sudah mencukupi.
Sedangkan perkataannya: “Dan telah dikatakan boleh hanya satu orang khāriṣ,” menunjukkan bahwa satu orang khāriṣ tidak mencukupi.
Maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai berapa jumlah orang yang sah untuk melakukan kharṣ.
Abu al-‘Abbās Ibn Surayj dan Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berpendapat: Cukup satu orang khāriṣ, dan tidak ada pendapat lain dalam masalah ini.
Sedangkan Abū Isḥāq al-Marwazī dan Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah berkata: Dalam masalah ini ada dua pendapat. Dan ini juga merupakan pendapat jumhur dari sahabat-sahabat kami.
Salah satu dari dua pendapat itu adalah bahwa tidak sah kecuali dengan dua orang khāriṣ, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW biasa mengutus bersama Ibn Rawāḥah orang lain, dan dikatakan bahwa beliau mengutusnya bersama Sahl bin Abī Ḥathmah.
Maka apabila kebolehan melakukan kharṣ adalah hukum yang diambil dari syariat, wajib kembali kepada ketetapan sebagaimana yang datang dari syariat.
Karena kharṣ itu adalah ijtihad dalam mengetahui kadar dan membedakan hak-hak, maka ia menyerupai penilaian harga (taqwīm), dan berbeda dengan takaran dan timbangan, karena keduanya bersifat pasti dan tidak ada unsur ijtihad di dalamnya.
Maka sebagaimana penilaian harga tidak sah kecuali dengan dua orang penilai, maka demikian pula kharṣ, tidak mencukupi kecuali dilakukan oleh dua orang khāriṣ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُجْزِئُ خَارِصٌ وَاحِدٌ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ ابْنَ رَوَاحَةَ خَارِصًا فَخَرَصَ خَيْبَرَ وَقَالَ: ” إِنْ شِئْتُمْ فَلَكُمْ وَإِنْ شِئْتُمْ فَلِي “.
وَرُوِيَ أنه بعث معه غيره، فلو أن الاثنان شرطاً لما بعثه منفرداً، ولو كان شَرْطًا فِي عَامٍ لكَانَا شَرْطًا فِي كُلِّ عَامٍ، وَلِأَنَّ الْخَارِصَ مُجْتَهِدٌ فِي تَقْدِيرِ الْحُقُوقِ وَتَنْفِيذُ الْحُكْمِ مَوْقُوفٌ عَلَيْهِدُونَ غَيْرِهِ فَشَابَهَ الْحَاكِمَ، وَخَالَفَ الْمُقَوِّمَ حَيْثُ لَمْ يُنَفَّذِ الْحُكْمُ بِهِ إِلَّا بِتَنْفِيذِ الْحَاكِمِ لَهُ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ يُجْزِئُ حَاكِمٌ وَاحِدٌ، فَكَذَلِكَ يُجْزِئُ خَارِصٌ وَاحِدٌ، سَوَاءٌ كَانَ رَبُّ الْمَالِ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا، لَا كَمَا غَلِطَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَفَرَّقَ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ، فَلَمْ يُجَوِّزْ خَرْصَ مَالِ الصَّغِيرِ إِلَّا بِاثْنَيْنِ، وَجَوَّزَ خَرْصَ مَالِ الْكَبِيرِ بِوَاحِدٍ، لِأَنَّهُ رَأَى الشَّافِعِيَّ فِي ” الْأُمِّ ” فَرَّقَ بَيْنَهُمَا، وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ الْخَرْصَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ كَالْحُكْمِ يُجْزِئُ بِوَاحِدٍ فِي مَالِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ أَوْ يَكُونَ كَالتَّقْوِيمِ، وَالتَّقْوِيمُ لَا يُجْزِئُ إِلَّا بِاثْنَيْنِ فِي مَالِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ.
وَالشَّافِعِيُّ إِنَّمَا فَرَّقَ بَيْنَهُمَا فِي ” الْأُمِّ ” فِي جَوَازِ تَضْمِينِ الْكَبِيرِ ثِمَارَهُ بِالْخَرْصِ دون الصغير فوهم عليه فهذا التأويل في إعداد الخرص.
Pendapat kedua:
Cukup satu orang melakukan kharsh, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW mengutus Ibn Rawāḥah untuk melakukan kharsh, lalu ia melakukan kharsh terhadap hasil panen Khaibar dan berkata, “Jika kalian mau, bagian ini untuk kalian; dan jika kalian mau, bagian ini untukku.”
Dan juga diriwayatkan bahwa beliau mengutus bersamanya orang lain. Seandainya dua orang itu merupakan syarat, tentu beliau tidak akan mengutusnya sendirian. Dan jika hal itu merupakan syarat pada satu tahun, tentu menjadi syarat di setiap tahun.
Dan karena al-khārish (orang yang melakukan kharsh) adalah seorang mujtahid dalam menaksir hak-hak, serta pelaksanaan hukum tergantung padanya, bukan pada yang lain, maka ia menyerupai hakim. Berbeda dengan al-muqawwam (penaksir harga), di mana pelaksanaan hukumnya tidak berlaku kecuali dengan pengesahan hakim atas penaksirannya.
Lalu telah tetap bahwa satu orang hakim mencukupi, maka demikian pula satu orang khārish juga mencukupi, baik pemilik harta itu anak kecil maupun dewasa — tidak sebagaimana kesalahan sebagian sahabat kami yang membedakan antara anak kecil dan orang dewasa. Mereka tidak membolehkan kharsh atas harta anak kecil kecuali dengan dua orang, dan membolehkan kharsh atas harta orang dewasa dengan satu orang saja.
Hal itu karena mereka melihat bahwa al-Syafi‘i dalam kitab al-Umm membedakan antara keduanya. Padahal ini adalah kesalahan. Sebab kharsh itu — jika dihukumi seperti hukum (penghakiman) — maka mencukupi satu orang pada harta anak kecil maupun dewasa. Atau jika dianggap seperti taqwīm (penaksiran harga), maka tidak mencukupi kecuali dua orang baik pada harta anak kecil maupun dewasa.
Adapun al-Syafi‘i membedakan keduanya dalam al-Umm hanya pada kebolehan menjadikan taksiran kharsh sebagai dasar penjaminan (tanggungan) atas hasil panen orang dewasa, bukan anak kecil. Maka mereka keliru dalam memahami maksud beliau. Inilah penakwilan terkait jumlah orang dalam kharsh.
فصل
: فأما صفة الخارص فَلَا بُدَّ مِنِ اعْتِبَارِ شُرُوطٍ فِيهِمْ:
أَحَدُهَا: الْبُلُوغُ.
وَالثَّانِي: الْعَدَالَةُ، لِأَنَّ الْفَاسِقَ غَيْرُ مَقْبُولِ الْقَوْلِ عَلَى غَيْرِهِ.
وَالثَّالِثُ: الْعِلْمُ بِالْخَرْصِ، لِأَنَّ الْجَاهِلَ بِهِ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِيهِ.
وَالرَّابِعُ: مُخْتَلَفٌ فِيهِ وَهُوَ الذُّكُورِيَّةُ وَالْحُرِّيَّةُ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْخَارِصَ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَاحِدًا كالحاكم لم يجز أَنْ يَكُونَ امْرَأَةً وَلَا عَبْدًا وَاعْتَبَرَ فِيهِ كونه رَجُلًا حُرًّا، وَإِنْ قُلْنَا لَا يَجُوزُ إِلَّا خَارِصَانِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَا امْرَأَتَيْنِ وَلَا عبدين، لأن في الخرص ولاية حكم، فَلَمْ يَجُزْ تَفَرُّدُ الْعَبِيدِ وَالنِّسَاءِ بِهَا، وَلَكِنْ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا امْرَأَةً أَوْ عَبْدًا لِيَكُونَ الرَّجُلُ مُخْتَصًّا بِالْوِلَايَةِ وَالْمَرْأَةُ أَوِ العبد مشاركاً له في التقدير والحرز؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يكون كيالاً ووزاناً.
والثاني: لا يجوز لأن في الخراص اجتهاد يفارق يقين الكيل والوزن فشابه الحكم.
PASAL
Adapun sifat-sifat khāriṣ (orang yang melakukan kharṣ), maka harus dipenuhi beberapa syarat padanya:
Pertama: baligh.
Kedua: ‘adālah (terpercaya), karena orang fasik tidak diterima perkataannya atas orang lain.
Ketiga: memiliki pengetahuan tentang kharṣ, karena orang yang jahil terhadapnya tidak termasuk ahli ijtihad dalam hal itu.
Keempat: diperselisihkan, yaitu dzukūriyyah (laki-laki) dan ḥurriyyah (merdeka).
Jika kita mengatakan bahwa khāriṣ boleh hanya satu orang seperti hakim, maka tidak boleh dia adalah perempuan atau budak; disyaratkan dia adalah laki-laki merdeka.
Namun jika kita mengatakan tidak sah kecuali dua orang khāriṣ, maka tidak sah jika keduanya adalah dua perempuan atau dua budak, karena kharṣ mengandung unsur wilāyah (kewenangan hukum), maka tidak boleh para budak dan perempuan memegangnya sendiri.
Namun apakah boleh salah satu dari keduanya adalah perempuan atau budak agar laki-laki menjadi pemegang wilāyah, dan perempuan atau budak hanya sebagai mitra dalam taksiran dan penjagaan?
Ada dua pendapat:
Pertama: boleh, sebagaimana boleh menjadi penakar (kayyāl) dan penimbang (wazzān).
Kedua: tidak boleh, karena dalam kharṣ terdapat unsur ijtihad, berbeda dengan takaran dan timbangan yang bersifat pasti, sehingga kharṣ menyerupai hukum.
مسألة:
قال الشافعي: ” وَلَا تُؤْخَذُ صَدَقَةُ شيءٍ مِنَ الشَّجَرِ غَيْرِ العنب والنخل فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَخَذَ الصَّدَقَةَ مِنْهُمَا وَكِلَاهُمَا قُوتٌ وَلَا شَيْءَ فِي الزَيْتُونِ لِأَنَّهُ يُؤْكَلُ أُدْمًا وَلَا فِي الجوز ولا في اللوز وغيره مما يكون أدماً وييبس ويدخر لأنه فاكهةٌ لأنه كان بالحجاز قوتاً علمناه ولآن الخبر في النخل والعنب خاص “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Tidak diambil ṣadaqah dari pohon apa pun selain ‘inab (anggur) dan nakhl (kurma), karena Rasulullah SAW mengambil ṣadaqah dari keduanya, dan keduanya adalah bahan makanan pokok.
Tidak ada kewajiban zakat pada zaitun, karena ia dimakan sebagai lauk, juga tidak pada jauz (kacang kenari), lauwz (kacang almond), dan selain keduanya yang dijadikan lauk, mengering dan disimpan, karena itu adalah buah-buahan.
Karena di Hijaz, (kurma dan anggur) diketahui sebagai makanan pokok, dan juga karena hadis tentang zakat hanya khusus pada kurma dan anggur.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَا تُنْبِتُهُ الْأَرْضُ نَوْعَانِ زَرْعٌ وَشَجَرٌ، فَالزَّرْعُ يَأْتِي حُكْمُهُ، وَالشَّجَرُ يَنْقَسِمُ فِي الْحُكْمِ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ، قِسْمٌ لَا يَخْتَلِفُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَغَيْرُهُ أَنَّ زَكَاتَهُ وَاجِبَةٌ، وَهُوَ النَّخْلُ وَالْكَرْمُ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِمَا، وَقِسْمٌ لَا يَخْتَلِفُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنْ لَا زَكَاةَ فِيهِ وَإِنْ خَالَفَهُ غَيْرُهُ وَهُوَ الرُّمَّانُ، وَالسَّفَرْجَلُ، وَالتِّفَّاحُ، وَالْمِشْمِشُ، وَالْكُمَّثْري، وَالْجَوْزُ، وَالْخَوْخُ، وَاللَّوْزُ، وَمَا عَدَا مَا ذُكِرَ فِي الْقِسْمِ الْمَاضِي وَمَا يُذْكَرُ فِي الْقِسْمِ الْآتِي، وَقِسْمٌ اخْتَلَفَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي بَعْضِهِ وَعَلَّقَ الْقَوْلَ فِي بَعْضِهِ، وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَجْنَاسٍ الزَّيْتُونُ،وَالْوَرْسُ، وَالزَّعْفَرَانُ وَالْقِرْطِمُ، وَعَلَّقَ الْقَوْلَ فِي خَامِسٍ لَيْسَ مِنْ جِنْسِهَا وَهُوَ الْعَسَلُ، فَأَمَّا الزَّيْتُونُ فَلَهُ فِي إِيجَابِ زَكَاتِهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفاً أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهاً وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ) {الأنعام: 141) . فاقتضى أن يكون الأمر باتيان الْحَقِّ رَاجِعًا إِلَى جَمِيعِ الْمَذْكُورِ مِنْ قَبْلُ.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa apa yang ditumbuhkan oleh bumi ada dua macam: zar‘ dan syajar. Maka zar‘ akan datang penjelasan hukumnya, dan syajar terbagi dalam hukum menjadi tiga bagian:
Bagian pertama, tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab al-Syāfi‘ī dan lainnya bahwa zakatnya wajib, yaitu nakhl* dan karm, dan telah lalu pembicaraan tentang keduanya.
Bagian kedua, tidak ada perbedaan dalam mazhab al-Syāfi‘ī bahwa tidak ada zakat padanya, meskipun selain beliau berbeda pendapat. Yaitu rummān, safarjal, tuffāḥ, mishmish, kummathrā, jauz, khawkh, lauwz, dan selain yang disebutkan dalam bagian yang telah lalu dan yang akan disebutkan dalam bagian setelah ini.
Bagian ketiga, terdapat perbedaan pendapat dalam mazhab al-Syāfi‘ī pada sebagian darinya, dan tergantung pendapat pada sebagian lainnya. Yaitu empat jenis: zaitūn, wars, za‘farān, dan qirṭim. Dan tergantung pula pendapatnya pada yang kelima yang bukan dari jenisnya, yaitu ‘asal.
Adapun zaitūn, maka terdapat dua pendapat mengenai wajibnya zakat atasnya:
Pertama, yaitu pendapat beliau dalam al-Qadīm, bahwa padanya ada zakat. Pendapat ini juga dipegang oleh Mālik, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
“Dan Dialah yang menciptakan kebun-kebun yang berjunjung dan tidak berjunjung, pohon kurma, tanaman dengan bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak serupa. Makanlah dari buahnya apabila ia berbuah dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya…” (QS al-An‘ām: 141).
Maka ayat ini menunjukkan bahwa perintah untuk menunaikan hak (zakat) kembali kepada seluruh yang disebutkan sebelumnya.
وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَى عَامِلِهِ بِالشَّامِ أَنْ يَأْخُذَ زَكَاةَ الزَّيْتُونِ.
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي الزَّيْتُونِ الْعُشْرُ، وَلَا مُخَالِفَ لَهُمَا فِي الصحَابة فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ عادة أهل بلاده جارية بإدخاره واقتنائه كالشام وغيرها مما يثكر نَبَاتُ الزَّيْتُونِ بِهَا، فَجَرَى مَجْرَى التَّمْرِ وَالزَّبِيبِ، فَاقْتَضَى أَنْ تَجِبَ فِيهِ الزَّكَاةُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ. وَبِهِ قال ابن أبي ليلى والحسن بن أبي صَالِحٍ لَا زَكَاةَ فِيهِ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ: ” لَا تَأْخُذِ الْعُشْرَ إِلَّا مِنْ أَرْبَعَةٍ الْحِنْطَةِ، والشَعِيرِ، وَالنَّخْلِ، وَالْعِنَبِ ” فَأَثْبَتَ الزَّكَاةَ فِي الْأَرْبَعَةِ وَنَفَاهَا فِيمَا عَدَا ذَلِكَ، وَلِأَنَّهُ قَدْ كَانَ مَوْجُودًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيمَا افْتَتَحَهُ مِنْ مَخَالِيفِ الْيَمَنِ وَأَطْرَافِ الشَّامِ فل يُنْقَلْ أَنَّهُ أَخَذَ زَكَاةَ شَيْءٍ مِنْهُ، وَلَوْ وَجَبَتْ زَكَاتُهُ لَنُقِلَتْ عَنْهُ قَوْلًا وَفِعْلًا كَمَا نُقِلَتْ زَكَاةُ النَّخْلِ وَالْكَرْمِ قَوْلًا وَفِعْلًا، وَلِأَنَّهُ وإن كثر من بِلَادِهِ فَإِنَّهُ لَا يُقْتَاتُ مُنْفَرِدًا كَالتَّمْرِ وَالزَّبِيبِ، وَإِنَّمَا يُؤْكَلُ أُدْمًا، وَالزَّكَاةُ تَجِبُ فِي الْأَقْوَاتِ وَلَا تَجِبُ فِي الْإِدَامِ، فَإِذَا ثَبَتَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ لَا زَكَاةَ فِيهِ فَلَا مَسْأَلَةَ، وَإِنْ قُلْنَا فِيهِ الزَّكَاةُ فَلَا شَيْءَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ لِلْخَبَرِ، فَإِذَا بَلَغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ فَفِيهِ الزَّكَاةُ حِينَئِذٍ، وَلَا يَجُوزُ خَرْصُهُ، لِأَنَّ الزَّيْتُونَ مُسْتَتِرٌ بِوَرَقِهِ لَا يُمْكِنُ الْإِحَاطَةُ بِمُشَاهَدَتِهِ، وَلَيْسَ كَالنَّخْلِ وَالْكَرْمِ الْبَارِزِ الثَّمَرُ الَّذِي يُمْكِنُ الْإِحَاطَةُ بِهِ، ثُمَّ لَهُ حَالَانِ:
Telah diriwayatkan dari ‘Umar RA bahwa beliau menulis surat kepada gubernurnya di Syam agar mengambil zakat zaitun.
Dan telah diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās RA bahwa ia berkata tentang zaitun: “Wajib zakat sepersepuluh padanya.”
Dan tidak ada sahabat yang menyelisihi keduanya, maka hal itu merupakan ijmak.
Selain itu, kebiasaan penduduk negeri mereka adalah menyimpan dan menimbunnya, seperti di Syam dan daerah-daerah lain yang banyak tumbuh zaitun, maka zaitun itu menempati kedudukan seperti tamr dan zabīb (kismis), sehingga mengharuskan adanya zakat.
Pendapat kedua:
Telah dinyatakan dalam al-Jadīd, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ. Ini juga pendapat Ibn Abī Laylā dan al-Ḥasan ibn Abī Ṣāliḥ: bahwa tidak ada zakat padanya, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW ketika mengutus Mu‘ādz ke Yaman bersabda kepadanya:
“Janganlah engkau ambil zakat sepersepuluh kecuali dari empat: gandum, jelai, kurma, dan anggur.”
Maka beliau menetapkan zakat hanya pada empat itu dan menafikan kewajiban zakat pada selainnya.
Selain itu, zaitun sudah ada pada masa Rasulullah SAW di wilayah-wilayah yang dibuka dari daerah Yaman dan pinggiran Syam, namun tidak dinukil bahwa beliau mengambil zakat dari zaitun, padahal seandainya zakatnya wajib, tentu akan diriwayatkan dari beliau baik secara perkataan maupun perbuatan, sebagaimana zakat atas kurma dan anggur dinukil dari beliau secara perkataan dan perbuatan.
Dan karena meskipun zaitun banyak tumbuh di negerinya, ia tidak dikonsumsi secara mandiri sebagai makanan pokok sebagaimana kurma dan kismis, melainkan hanya dimakan sebagai lauk. Padahal zakat diwajibkan pada bahan makanan pokok (aqwāt), bukan pada lauk (idām).
Maka, jika telah tetap dua pendapat tersebut:
- Jika dikatakan bahwa tidak ada zakat padanya, maka tidak ada permasalahan.
- Namun jika dikatakan bahwa ada zakat padanya, maka tidak wajib zakat pada kadar kurang dari lima wasaq, sesuai dengan hadis.
- Apabila mencapai lima wasaq, maka wajib zakat atasnya pada saat itu.
- Dan tidak boleh dilakukan kharsh (takaran zakat dengan perkiraan) atasnya, karena zaitun tertutup oleh daunnya, sehingga tidak memungkinkan untuk dikuasai dengan penglihatan, tidak seperti kurma dan anggur yang buahnya tampak dan bisa dilihat langsung.
Kemudian, zaitun memiliki dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَصِيرُ زَيْتًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُوَنَ مِمَّا لَا يَصِيرُ زَيْتًا، فَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يَصِيرُ زَيْتًا اعْتُبِرَ فِيهِ خَمْسَةُ أَوْسُقٍ مِنْهُ، وَأُخِذَ عُشْرُهُ زَيْتُونًا، وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَصِيرُ زَيْتًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يُعْتَبَرُ فِيهِ خَمْسَةُ أَوْسُقٍ زَيْتًا، لِأَنَّ الزَّيْتَ حَالَةُ ادِّخَارِهِ كَالتَّمْرِ، فَعَلَى هَذَا يُؤْخَذُ عُشْرُهُ زَيْتًا لَا غَيْرَ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُعْتَبَرُ فِيهِ خَمْسَةُ أَوْسُقٍ زَيْتُونًا، لِأَنَّ الزَّيْتَ مُسْتَخْرَجٌ من الزيتون بصنعة وعلاج فلم يكن كحاله كالدبس والدقيق، فَعَلَى هَذَا يُؤْخَذُ عُشْرُهُ زَيْتًا لَا غَيْرَ.
Pertama: yaitu yang dapat menjadi zait (minyak).
Kedua: yaitu yang tidak menjadi zait. Maka jika termasuk yang tidak menjadi zait, maka dipertimbangkan lima wasaq darinya, dan diambil sepersepuluhnya dalam bentuk zaitūn.
Namun jika termasuk yang menjadi zait, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: yang dipertimbangkan adalah lima wasaq dalam bentuk zait, karena zait adalah bentuk penyimpanan sebagaimana tamar, maka menurut pendapat ini diambil sepersepuluhnya dalam bentuk zait, bukan selainnya.
Pendapat kedua: yang dipertimbangkan adalah lima wasaq dalam bentuk zaitūn, karena zait dihasilkan dari zaitūn melalui proses dan pengolahan, maka tidak dihukumi seperti keadaannya, sebagaimana dibs (sirup kurma) dan daqīq (tepung). Maka menurut pendapat ini, diambil sepersepuluhnya dalam bentuk zait, bukan selainnya.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْوَرْسُ فَقَدْ عَلَّقَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ الْقَوْلَ فِيهِ فَقَالَ إِنْ صَحَّ الْحَدِيثُ قُلْتُ بِهِ، وَالْحَدِيثُ مَا رَوَاهُ هِشَامُ بْنُ يوسف عن محمد بن يزيد الخفاشي أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ خُفَّاشٍ بِخَطِّ مُعَيْقِيبٍ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ أَبِي بَكْرٍ إِلَى أَهْلِ خفاشٍ، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُخْرِجُوا الْعُشْرَ مِنَ الْوَرْسِ وَالذُّرَةِ، فَإِنْ فَعَلْتُمْ ذَلِكَ فَلَا سَبِيلَ لأحدٍ عَلَيْكُمْ، فَعَلَّقَ فِي الْقَدِيمِ إِيجَابَ زَكَاةِ الْوَرْسِ عَلَى صِحَّةِ هَذَا الْحَدِيثِ، فَإِنْ صَحَّ كَانَتْ زَكَاتُهُ عَلَى الْقَدِيمِ وَاجِبَةً فِي قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ مِنْ غَيْرِ وَقْصٍ مَعْفُوٍّ، لِعُمُومِ الْأَثَرِ فِيهِ.
وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ لَا زَكَاةَ فِيهِ بِحَالٍ لِضِعْفِ الأثر المروي واحتماله التأويل لو صح والله أعلم.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا الزَّعْفَرَانُ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ إِنْ كَانَ الْعُشْرُ فِي الْوَرْسِ ثَابِتًا احْتَمَلَ أَنْ يُقَالَ فِي الزَّعْفَرَانِ الْعُشْرُ، لِأَنَّهُمَا طَيِّبَانِ وَلَيْسَا كَثِيرًا، وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُقَالَ: لَا شَيْءَ فِي الزَّعْفَرَانِ، لِأَنَّ الْوَرْسَ شَجَرٌ لَهُ ساق وهو ثمرة والزعفران ينبت فجعل الْوَرْسَ لَا شَيْءَ فِيهِ فَالزَّعْفَرَانُ أَوْلَى، وَإِنْ قُلْنَا فِي الْوَرْسِ الزَّكَاةُ فَالزَّعْفَرَانُ عَلَى قَوْلَيْنِ وَعَلَى الْجَدِيدِ لَا زَكَاةَ فِيهِمَا بِحَالٍ.
PASAL: Adapun wars (sejenis tumbuhan pewarna), maka Imam Syafi’i dalam pendapat qadim menggantungkan pendapatnya tentangnya. Ia berkata: “Jika hadisnya sahih, aku akan berpendapat dengannya.” Dan hadis tersebut adalah riwayat Hisyam bin Yusuf dari Muhammad bin Yazid al-Khuffasy, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq RA menulis surat kepada penduduk Khuffasy dengan tulisan Mu‘aiqib:
Bismillāh al-Raḥmān al-Raḥīm. Dari ‘Abdullāh Abu Bakar kepada penduduk Khuffasy. Amma ba‘d: Sesungguhnya wajib atas kalian mengeluarkan sepersepuluh dari wars dan dzurah (jagung). Jika kalian melakukannya, maka tidak ada hak bagi siapa pun atas kalian.
Maka dalam pendapat qadim, Imam Syafi’i menggantungkan kewajiban zakat wars pada kesahihan hadis ini. Jika hadis ini sahih, maka menurut pendapat qadim, zakat wars wajib dikeluarkan, baik sedikit maupun banyak, tanpa ada waqsh (batas minimal yang dimaafkan), karena keumuman atsar padanya.
Namun dalam pendapat jadid, beliau berkata: “Tidak ada zakat padanya dalam keadaan apa pun,” karena lemahnya atsar yang diriwayatkan dan kemungkinan ta’wil padanya jika pun sahih. Wallahu a‘lam.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْقِرْطِمُ وَعُصْفُرُهُ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ: وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ فِيهِ الْعُشْرُ كَانَ مَذْهَبًا، فَعَلَّقَ الْقَوْلَ فِيهِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ الْعُشْرَ مِنَ الْقِرْطِمِ وَالصَّحِيحُ أَنْ لَا زَكَاةَ فِيهِ كَالزَّعْفَرَانِ لِخُرُوجِ كُلِّ ذَلِكَ عَنِ الْأَقْوَاتِ.
PASAL
Adapun al-qirṭim dan ‘uṣfurnya, maka al-Syāfi‘ī dalam al-Qadīm berkata: “Seandainya ada yang berpendapat bahwa padanya ada zakat sepersepuluh (‘usyur), maka itu adalah suatu mazhab.” Maka beliau menggantungkan pendapat dalam hal ini.
Telah diriwayatkan dari Abū Bakar bahwa beliau mengambil sepersepuluh dari al-qirṭim.
Dan yang ṣaḥīḥ adalah bahwa tidak ada zakat padanya, sebagaimana za‘farān, karena seluruh itu tidak termasuk jenis makanan pokok.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْعَسَلُ فَقَدْ عَلَّقَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ الْقَوْلَ فِيهِ فَجَعَلَ ذَلِكَ قَوْلًا لَهُ فِي إِيجَابِ عُشْرِهِ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة فِيمَا أُخِذَ مِنْ غَيْرِ أَرْضِ الْخَرَاجِ، تَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ قَوْمًا من بني سلمة أتوا النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعثور نخلٍ لَهُمْ فَأَخَذَهَا مِنْهُمْ، وَحَمَى لَهُمْ وَادِيًا.
PASAL: Adapun madu, maka Imam Syafi’i dalam pendapat qadim menggantungkan pendapatnya tentangnya, lalu menjadikannya sebagai salah satu pendapat beliau dalam mewajibkan zakat sepersepuluhnya. Ini adalah pendapat al-Awza‘i, Ahmad, dan Ishaq, dan juga pendapat Abu Hanifah terhadap madu yang diambil dari selain tanah kharāj, dengan berpegang pada riwayat bahwa sekelompok kaum dari Bani Salamah datang kepada Nabi SAW membawa madu dari pohon kurma mereka, lalu Nabi SAW mengambilnya dari mereka dan menjadikan sebuah lembah sebagai kawasan perlindungan untuk mereka.
وَرُوِيَ عن عبد الله بن رياب قَالَ: ” قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَسْلَمْتُ ثُمَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ: اجْعَلْ لِقَوْمِي مَا أَسْلَمُوا عَلَيْهِ مِنْ أَمْوَالِهِمْ، قَالَ: فَفَعَلَ وَاسْتَعْمَلَنِي عَلَيْهِمْ، ثَمَّ اسْتَعْمَلَنِي أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، قَالَ: فَكَلَّمْتُ قَوْمِي فِي الْعَسَلِ وَقُلْتُ لَهُمْ زَكُّوهُ فَإِنَّهُ لَا خَيْرَ فِي ثَمَرَةٍ لَا تُزَكَّى، فَقَالُوا: كَمْ تَرَى فَقُلْتُ: الْعُشْرَ، فَأَخَذْتُ مِنْهُمُ الْعُشْرَ فَأَتَيْتُ بِهِ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ فقبضه وجعله في صَدَقَاتِ الْمُسْلِمِينَ ” وَالصَّحِيحُ عَلَى الْقَدِيمِ، وَصَرِيحُ قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ لَا زَكَاةَ فِيهِ لِمَا قَدَّمْنَا مِنَ الدَّلِيلِ فِي إِسْقَاطِ زَكَاةِ الزَّيْتُونِ.
Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Riyāb, ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah SAW lalu aku masuk Islam. Kemudian aku berkata: Wahai Rasulullah, tetapkanlah untuk kaumku harta yang mereka telah masuk Islam atasnya. Maka beliau pun melakukannya dan mengangkatku sebagai pemimpin atas mereka. Lalu Abū Bakar dan ‘Umar juga mengangkatku. Maka aku pun berbicara kepada kaumku tentang ‘asal (madu), dan aku berkata kepada mereka: ‘Tunaikanlah zakatnya, karena tidak ada kebaikan dalam buah yang tidak dizakati.’ Mereka bertanya: ‘Berapa yang engkau pandang layak?’ Aku jawab: ‘Sepersepuluh.’ Maka aku ambil dari mereka sepersepuluh dan aku bawa kepada ‘Umar, lalu aku ceritakan hal itu kepadanya. Maka ia menerimanya dan menjadikannya dalam pos ṣadaqāt al-muslimīn.”
Dan yang ṣaḥīḥ menurut pendapat al-Qadīm, dan secara tegas menurut pendapatnya dalam al-Jadīd, bahwa tidak ada zakat padanya, karena alasan yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam pembatalan zakat pada zaitūn.
وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جده أن قَوْمًا آتَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعشور فحل لَهُمْ وَسَأَلُوهُ أَنْ يَحْمِيَ وَادِيًا لَهُمْ يُقَالُ له: سلمة فحماه لهم، فَلَمَّا كَانَ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخُطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَيْهِ سُفْيَانُ بْنُ وَهْبٍ فِي ذَلِكَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ إِنْ أَدَّوْا إِلَيْكَ مَا أَدَّوْا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاحْمِ لَهُمْ، وَإِلَّا فَهُوَ غَيْثُ ذبابٍ يَأْكُلُهُ مَنْ شَاءَ “. فَلَوْ كَانَ عُشْرُهُ وَاجِبًا لَأَمَرَ بِأَخْذِهِ مِنْهُمْ، وَإِنْ لَمْ يَحْمِ لَهُمْ ثُمَّ قد أخبر في حكمه وإباحته أنه غَيْثُ ذُبَابٍ يَأْكُلُهُ مَنْ شَاءَ وَلَمْ يُعَلِّقْ عَلَى الْأَكْلِ حَقًّا يُؤَدَّى فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا شَيْءَ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Dan Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa sekelompok kaum datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa sepersepuluh madu mereka, lalu mereka meminta agar beliau melindungi sebuah lembah milik mereka yang disebut “Salamah,” maka beliau pun melindunginya untuk mereka. Ketika pada masa ‘Umar bin al-Khaththab RA, Sufyan bin Wahb menulis surat kepadanya tentang hal tersebut, maka ‘Umar membalas suratnya: “Jika mereka membayar kepadamu sebagaimana yang mereka bayarkan kepada Rasulullah SAW, maka lindungilah untuk mereka. Jika tidak, maka itu hanyalah hujan yang menarik lalat, dimakan oleh siapa saja yang menghendakinya.”
Maka seandainya zakat sepersepuluh atas madu itu wajib, tentu beliau akan memerintahkan agar diambil dari mereka, sekalipun tanpa memberi perlindungan. Lalu beliau juga menyatakan dalam putusannya dan kebolehannya bahwa itu hanyalah hujan yang menarik lalat yang dimakan oleh siapa pun yang mau, dan beliau tidak menggantungkan pada konsumsi madu itu suatu kewajiban yang harus dibayarkan. Maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban zakat padanya. Wallahu a‘lam bish-shawab.
قال الشافعي فِي قَوْله تَعَالَى: {وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ) {الأنعام: 141) دلالةٌ عَلَى أَنَّهُ إِنَمَا جَعَلَ الزَّكَاةَ على الزرع “.
أَمَّا الزُّرُوعُ فَمِنَ الْأَمْوَالِ الْمُزَكَّاةِ وَاخْتَلَفَ النَّاسُ في أجناس ما تجب فيه الزَّكَاةُ، فَلِلْفُقَهَاءِ فِي ذَلِكَ سَبْعَةُ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِيمَا زَرَعَهُ الْآدَمِيُّونَ قُوتًا مُدَّخَرًا، وَبِهِ قَالَ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ.
Bab Ṣadaqah (Zakat) atas Tanaman
Al-Syāfi‘ī berkata tentang firman Allah Ta‘ālā: {wa ātū ḥaqqahu yawma ḥaṣādih} (QS al-An‘ām: 141), bahwa ayat ini menunjukkan bahwa zakat itu ditetapkan atas tanaman.
Adapun tanaman-tanaman termasuk harta yang wajib dizakati. Manusia berbeda pendapat tentang jenis-jenis tanaman apa saja yang wajib dizakati. Maka para fuqahā’ memiliki tujuh mazhab dalam hal ini:
Pertama: yaitu mazhab al-Syāfi‘ī, bahwa zakat itu wajib atas apa yang ditanam oleh manusia berupa makanan pokok yang dapat disimpan. Dan ini juga merupakan pendapat para imam empat, riḍwān Allāh ‘alaihim.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: إِنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ لَا غَيْرَ، قَالَ بِهِ الْحَسَنُ وَابْنُ سِيرِينَ وَالشَّعْبِيُّ وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ الزَّكَاةَ وَاجِبَةٌ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ لَا غَيْرَ، قَالَ بِهِ أَبُو ثَوْرٍ.
وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ: إِنَّهَا وَاجِبَةٌ في كل زرع نبت من بزره وأخذ بزره مِنْ زَرْعِهِ قَالَ بِهِ عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ.
وَالْمَذْهَبُ الْخَامِسُ: إِنَّهَا وَاجِبَةٌ فِي الْحُبُوبِ الْمَأْكُولَةِ غَالِبًا مِنَ الزُّرُوعِ قَالَ بِهِ مَالِكٌ.
والمذهب السادس: أنها واجبة في الْحُبُوبِ الْمَأْكُولَةِ. وَالْقُطْنِ أَيْضًا قَالَ بِهِ أبو يوسف.
Dan mazhab kedua: bahwa zakat itu wajib pada ḥinṭah (gandum) dan sya‘īr (jelai) saja, tidak selainnya. Ini adalah pendapat al-Hasan, Ibn Sīrīn, al-Sya‘bī, dan al-Hasan bin Ṣāliḥ.
Dan mazhab ketiga: bahwa zakat wajib pada ḥinṭah, sya‘īr, dan dzurah (jagung), tidak selainnya. Ini adalah pendapat Abū Ṯawr.
Dan mazhab keempat: bahwa zakat wajib atas setiap tanaman yang tumbuh dari bijinya dan bijinya bisa diambil dari hasil tanamannya. Ini adalah pendapat ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ.
Dan mazhab kelima: bahwa zakat wajib atas biji-bijian yang umumnya dikonsumsi dari jenis tanaman. Ini adalah pendapat Mālik.
Dan mazhab keenam: bahwa zakat wajib atas biji-bijian yang dikonsumsi, dan juga pada kapas. Ini adalah pendapat Abū Yūsuf.
وَالْمَذْهَبُ السَّابِعُ: إِنَّهَا وَاجِبَةٌ فِي كُلِّ مزروع ومغروس من فواكه وبقال وَحُبُوبٍ وَخُضَرٍ، وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة اسْتِدْلَالًا بعموم قَوْله تَعَالَى: {يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأَرْضِ) {البقرة: 267) . وبعموم قوله: {وَالزّيْتُونَ والرُّمَانَ) {الأنعام: 141) . إِلَى قَوْلِهِ: {وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ) {الأنعام: 141) : وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ ” وَهُوَ عَلَى عُمُومِهِ، وَلِأَنَّهُ مَزْرُوعٌ فَاقْتَضَى أَنْ يَجِبَ عُشْرُهُ كَالْبُرِّ وَالشَّعِيرِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ مَا رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَرَوَاهُ مُوسَى بْنُ طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ طَلْحَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ فِي الْخَضْرَاوَاتِ صَدَقَةٌ “.
وَرَوَى أَبَانُ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنَ الْبُقُولِ زَكَاةٌ “.
وروى الأسود عن عاشة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ليس فيما أنبتت الأرض من الخضراوات زَكَاةٌ.
Dan mazhab ketujuh: bahwa zakat wajib pada setiap yang ditanam dan ditumbuhkan, baik dari buah-buahan, sayuran, biji-bijian, maupun sayur-mayur. Ini adalah mazhab Abū Ḥanīfah dengan berdalil pada keumuman firman Allah Ta‘ālā: {Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi} (QS al-Baqarah: 267), dan keumuman firman-Nya: {[dan] zaitun dan delima} (QS al-An‘ām: 141) sampai firman-Nya: {dan tunaikanlah haknya pada hari panennya} (QS al-An‘ām: 141), serta hadits Nabi SAW: “Pada apa yang disirami oleh langit wajib zakat sepersepuluh,” dan ini bersifat umum. Dan karena itu adalah tanaman, maka wajib zakatnya sepersepuluh sebagaimana gandum dan jelai.
Dan dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat al-Syāfi‘ī adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin ‘Abbās dari ‘Alī عليه السلام, dan diriwayatkan oleh Mūsā bin Ṭalḥah dari ayahnya Ṭalḥah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada sayur-mayur.”
Dan Abān meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada sesuatu pun dari al-buqūl (tanaman sayur).”
Dan al-Aswad meriwayatkan dari ‘Āisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada tanaman sayur yang ditumbuhkan oleh bumi.”
وَرَوَى مُوسَى بْنُ طَلْحَةَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا سَقَتْهُ السَّمَاءُ [فَفِيهِ الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بنضحٍ أَوْ غربٍ] فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ “، يَكُونُ ذَلِكَ فِي التَّمْرِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالْحُبُوبِ، فأما الْبِطِّيخُ وَالْقِثَّاءُ وَالْخَضْرَاوَاتُ فَعَفْوٌ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا، ولأنه نبت لا يقتات غالباً فاقتضى أنه لَا يَجِبَ فِيهِ الْعُشْرُ كَالْحَشِيشِ وَالْحَطَبِ، وَلِأَنَّ الزكاة إذا وجبت في جنس فِيهِ الْعُشْرُ كَالْحَشِيشِ وَالْحَطَبِ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ إِذَا وَجَبَتْ فِي جِنْسٍ تَعَلَّقَتْ بِأَعْلَى نَوْعَيْهِ وَسَقَطَتْ عن أدونهما، كالحيوان لم تجب الزكاة إِلَّا فِي أَعْلَى نَوْعَيْهِ وَهُوَ النَّعَمُ السَّائِمَةُ، وَكَالْمَعَادِنِ لَا تَجِبُ الزَّكَاةُ إِلَّا فِي أَعْلَى نوعيها وهي الفضة والذهب، وكالعروض ولم تَجِبِ الزَّكَاةُ إِلَّا فِي أَعْلَى نَوْعِهَا وَهِيَ عروض التجارات، فاقتضى أن تكون زكاة الزُّرُوعُ مُتَعَلِّقَةً بِأَعْلَى نَوْعَيْهِ دُونَ الْآخَرِ، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: إِنَّهُ جِنْسُ مَالٍ تَجِبُ فِيهِ الزكاة فوجب أن تختص الزكاة بأعلى نوعين مِنْ جِنْسِهِ كَالْحَيَوَانِ.
Dan telah meriwayatkan Mūsā bin Ṭalḥah dari Mu‘āż bin Jabal bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apa yang disirami oleh langit, maka padanya zakat sepersepuluh, dan apa yang disirami dengan usaha (nadhḥ atau ghorb), maka padanya setengah dari sepersepuluh.” Hal ini berlaku pada kurma, gandum, jelai, dan biji-bijian.
Adapun biṭṭīkh (semangka), qiṯṯā’ (mentimun), dan sayur-sayuran, maka itu dimaafkan, Allah telah memaafkannya, karena ia tumbuhan yang umumnya tidak dijadikan makanan pokok, maka konsekuensinya tidak wajib zakat atasnya seperti ḥasyīsy (rumput) dan ḥaṭab (kayu bakar).
Dan karena zakat, jika diwajibkan atas suatu jenis, maka ia hanya terkait dengan jenis yang paling tinggi, dan gugur dari yang di bawahnya. Seperti dalam hal hewan, tidak diwajibkan zakat kecuali pada jenis yang paling tinggi, yaitu na‘am sā’imah (ternak yang digembalakan). Dan seperti logam, tidak diwajibkan zakat kecuali pada jenis yang paling tinggi, yaitu emas dan perak. Dan seperti ‘urūḍ (barang dagangan), tidak diwajibkan zakat kecuali pada jenis tertingginya, yaitu barang dagangan.
Maka konsekuensinya, zakat tanaman pun hanya terkait pada dua jenis tertingginya saja, bukan selainnya. Dan penetapan hal ini berdasarkan qiyās: bahwa ia adalah jenis harta yang wajib dizakati, maka zakatnya harus dikhususkan pada dua jenis tertinggi dari jenis tersebut, sebagaimana pada hewan.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {أنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأَرْضِ) {البقرة: 267) فَهِيَ عَامَّةٌ وَلَا بُدَّ مِنْ دعوى الإضمار فيها، فأما أبو حنيفة يقول إلا الفضة وَنَحْنُ نَقُولُ إِلَّا مَا يُقْتَاتُ، وَلَيْسَ أَحَدُ الْإِضْمَارَيْنِ أَوْلَى مِنَ الْآخَرِ فَتَعَارَضَا، عَلَى أَنَّ قَوْلَهُ لَيْسَ فِي الْخَضْرَوَاتِ شَيْءٌ يَخُصُّهُ، وَبِهَذَا الْجَوَابِ يَنْفَصِلُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ) {الأنعام: 141) وَيَنْفَصِلُ عَنْهُ أَيْضًا بِجَوَابَيْنِ آخَرِينَ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى غَيْرِ الزَّكَاةِ مِنْ صَدَقَةٍ يَتَطَوَّعُ بِهَا يَوْمَ الْحَصَادِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَمَرَ بِإِيتَاءِ حَقِّهِ، وَلَمْ يَقُلْ حَقَّ اللَّهِ مِنْهُ، وَلَيْسَ لِشَيْءٍ مِمَّا ذُكِرَ حَقٌّ، وَإِنَّمَا الْحَقُّ لِلَّهِ تَعَالَى عَلَيْنَا.
Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ālā: {Infakkanlah sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan dari apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi} (QS al-Baqarah: 267), maka itu bersifat umum, dan harus ada klaim iḍmār (penyisipan makna tersembunyi) di dalamnya. Adapun Abū Ḥanīfah berkata: “kecuali perak,” sedangkan kami berkata: “kecuali apa yang dapat dijadikan makanan pokok,” dan tidak ada salah satu dari dua penyisipan makna ini yang lebih utama dari yang lain, maka keduanya saling bertentangan.
Adapun sabda Nabi: “Laysa fī al-khaḍrāwāt syay’un” (tidak ada zakat pada sayuran), itu adalah nash yang mengkhususkan ayat tersebut. Dan dengan jawaban ini pula dapat dijawab firman Allah Ta‘ālā: {Tunaikanlah haknya pada hari panennya} (QS al-An‘ām: 141).
Dan dapat pula dijawab dengan dua jawaban lainnya:
Pertama: bahwa ayat itu dibawa pada makna selain zakat, yaitu sedekah sunnah yang dianjurkan saat panen, karena dua hal:
Pertama: karena Allah memerintahkan untuk menunaikan “ḥaqqahu” (haknya), dan tidak mengatakan “ḥaqqa Allāh” (hak Allah darinya), padahal tidak ada sesuatu pun dari yang disebutkan dalam ayat itu yang memiliki hak, dan sesungguhnya hak itu hanyalah milik Allah Ta‘ālā atas kita.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَمَرَنَا بِإِخْرَاجِهِ يَوْمَ حَصَادِهِ، وَالزَّكَاةُ لَا يجب إخراجها يوم الحصاد إلا بعد الجز وَالدِّيَاسِ فَبِهَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ سَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ بِظَاهِرِ الْآيَةِ، فَهَذَا أَحَدُ الْجَوَابَيْنِ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: إِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الزَّكَاةِ إِلَّا أَنَّهُ عَلَّقَ الزَّكَاةَ بِمَا كَانَ مِنْهُ مَحْصُودًا، وَالْحَصَادُ غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ فِي الأشجار والقثاء والخيار، فإن قبل الحصاد هو الاستعمال قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {جَعَلْنَاهُمْ حَصِيداً خَامِدينَ) {الأنبياء: 15) وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أحصدهم حصيداً حتى تلقني عَلَى الصَّفَا ” وَإِذَا كَانَ الْحَصْدُ هُوَ الِاسْتِئْصَالُ صار تقدير الآية وآتو حقه يوم اسْتِئْصَالِهِ، وَهَذَا لَا يَخْتَصُّ بِزَرْعٍ مِنْ غَيْرِهِ، قِيلَ: عَنْ هَذَا جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَقِيقَةَ الْحَصَادِ فِي الزُّرُوعِ، وَقَدْ يُسْتَعْمَلُ مَجَازًا فِي غيره، يقال حصد الزرع وجذّ التمر، وقطف العنب وجد الْبَقْلُ وَجُنِيَ الْفَاكِهَةُ قَالَ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ:
(هَذَا جَنَايَ وَخِيَارُهُ فِيهِ … إِذْ كُلُّ جانٍ يَدُهُ إِلَى فِيهِ)
dan kedua: bahwa Allah memerintahkan kita mengeluarkannya pada hari panennya, padahal zakat tidak wajib dikeluarkan pada hari panen kecuali setelah dipotong dan ditumbuk. Maka dengan dua hal ini, batal istidlāl dengan zahir ayat. Inilah salah satu dari dua jawaban.
Adapun jawaban kedua: bahwa (ayat itu) dimaknai sebagai zakat, hanya saja zakat digantungkan pada apa yang dipanen darinya, sedangkan ḥaṣād (panen) tidak digunakan untuk pohon-pohonan, qiṯṯā’, dan khiyār. Maka sebelum ḥaṣād adalah penggunaannya. Allah Ta‘ala berfirman: “Kami jadikan mereka seperti tanaman yang telah dipanen dan mati” (QS al-Anbiyā’: 15). Dan Rasulullah SAW bersabda: “Binasakan mereka seperti tanaman yang dipanen hingga engkau menemuiku di Ṣafā”. Dan jika ḥaṣād itu bermakna pencabutan dari akarnya, maka tafsir ayat menjadi: “Tunaikanlah haknya pada hari ia dicabut habis”, dan ini tidak khusus pada tanaman saja, tetapi juga lainnya.
Dikatakan: tentang hal ini ada dua jawaban:
pertama: bahwa hakikat ḥaṣād adalah pada tanaman, dan bisa juga digunakan secara majazi untuk selainnya. Dikatakan: “ḥaṣada az-zar‘” (memanen tanaman), “jadza at-tamr” (memotong kurma), “qaṭafa al-‘inab” (memetik anggur), “jadda al-baql” (memotong sayur), dan “juniya al-fākihah” (memetik buah).
Ali RA berkata:
Hādzā janāyā wa khiāruhu fīhi … idz kullu jānīn yaduhu ilā fīhi
Inilah buah tanganku dan pilihan terbaiknya ada padanya … karena setiap orang yang memetik buah, tangannya menuju mulutnya.
وَقَالَ الشَّاعِرُ:
(إِذَا لَمْ يكن فيكن ظل ولا جناً … فَأَبْعَدَكُنَّ اللَّهُ مِنْ شَجَرَاتِ)
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: إِنَّنَا وَإِنْ سَلَّمْنَا أَنَّ الْحَصَادَ هُوَ الِاسْتِئْصَالُ فَلَا دَلَالَةَ فِي الْآيَةِ لِأَنَّ الثِّمَارَ لَا تُسْتَأْصَلُ بَلْ تُتْرَكُ أُصُولُهَا وَتُجْنَى ثِمَارُهَا، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ ظَاهِرُ الْآيَةِ مُسْتَعْمَلًا تَكَافَأَ النِّزَاعُ فِيهَا وَسَقَطَ الِاحْتِجَاجُ بِهَا، فَأَمَّا قَوْلُهُ فِيمَا سَقَتِ السماء العشر فجوابه كجواب الآية الأولى فنقول قَدْ رَوَاهُ مُعَاذٌ تَامًّا فَقَالَ: وَأَمَّا الْبِطِّيخُ وَالْقِثَّاءُ وَالْخَضْرَاوَاتُ فَعَفْوٌ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا، فَكَانَ هذا مخصصاً لعموم ما تَقَدَّمَ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: إِنَّهُ مُقْتَاتٌ فَلِذَلِكَ وَجَبَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَالْخَضْرَاوَاتُ لَمَّا كَانَتْ غَيْرَ مُقْتَاتَةٍ شَابَهَتِ الْحَشِيشَ والحطب فلم تجب فيها الزكاة.
Dan penyair berkata:
(Jika pada kalian tidak terdapat naungan dan buah… maka semoga Allah menjauhkan kalian dari pepohonan)
Jawaban kedua: sekalipun kami menerima bahwa al-ḥaṣād (panen) berarti pencabutan hingga ke akar, maka tidak ada dalālah (indikasi hukum) dalam ayat tersebut, karena buah-buahan tidak dicabut hingga ke akarnya, melainkan dibiarkan akarnya dan buahnya dipetik. Maka jika zhahir ayat itu tidak dapat digunakan, berarti pertentangan pendapat mengenai ayat tersebut saling meniadakan dan gugurlah pendalilan dengannya.
Adapun sabdanya: “fīmā saqat al-samā’ al-‘usyru” (pada apa yang disirami oleh langit wajib zakat sepersepuluh), maka jawabannya sama dengan jawaban atas ayat pertama. Kami katakan bahwa Mu‘āż meriwayatkannya secara lengkap, ia berkata: “Adapun semangka, mentimun, dan sayur-mayur, maka itu dimaafkan oleh Allah.” Maka riwayat ini menjadi mukhaṣṣiṣ (pengkhusus) bagi keumuman hadits sebelumnya.
Adapun qiyās-nya dengan gandum dan jelai, maka ‘illah-nya adalah karena itu merupakan makanan pokok (muqtāt), maka karena itu zakat wajib atasnya. Sedangkan sayur-mayur, karena bukan makanan pokok, maka menyerupai rumput dan kayu bakar, sehingga zakat tidak wajib atasnya.
مسألة:
قال الشافعي: ” فَمَا جَمَعَ أَنْ يَزْرَعَهُ الْآدَمِيُّونَ وَيُيَبَّسُ وَيُدَّخَرُ ويقتات مأكولاً خبزاً وسويقاً أو بطيخاً ففيه الصدقة وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أخذ الصدقة من الحنطة والشعير والذرة وهذا مما يزرع ويقتات “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا ثَبَتَ بِمَا ذَكَرْنَا وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِي الزُّرُوعِ الْمُقْتَاتَةِ فوجوبها معتبر بأربعة شروط:
أَحَدُهَا: أَنْ يَزْرَعَهُ الْآدَمِيُّونَ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Maka apa saja yang ditanam oleh manusia, dikeringkan, disimpan, dan dijadikan makanan pokok yang dimakan dalam bentuk roti, sawīq, atau baṭīkh, maka wajib padanya ṣadaqah. Dan telah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengambil ṣadaqah dari gandum, jelai, dan jagung. Ini termasuk jenis tanaman yang ditanam dan dijadikan makanan pokok.”
Al-Māwardī berkata: “Dan ini sebagaimana yang dikatakan:
Apabila telah tetap berdasarkan apa yang kami sebutkan bahwa zakat wajib pada tanaman yang dijadikan makanan pokok, maka kewajiban zakat tersebut tergantung pada empat syarat:
Pertama: Ditaman oleh manusia.”
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُيَبَّسُ بَعْدَ حَصَادِهِ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُدَّخَرُ بَعْدَ يُبْسِهِ.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُقْتَاتُ حَالَ ادِّخَارِهِ وَإِنِ اخْتَلَفَ وَجْهُ اقتنائه بخبز أو طبيخ، فَإِذَا اجْتَمَعَتْ هَذِهِ الشَّرَائِطُ الْأَرْبَعُ فِي زَرْعٍ وَجَبَتِ الزَّكَاةُ فِيهِ، وَهِيَ تَجْتَمِعُ فِي الْبُرِّ وَالشَّعِيرِ وَالْعَلْسِ، وَالسُّلْتِ وَالذُّرَةِ وَالْأَرُزِّ والدُّخْنِ وَالْجَاوَرْسِ والباقلي واللوبياء وَالْحِمَّصِ وَالْعَدَسِ وَالْمَاشِ وَالْجُلْبَانِ وَهُوَ كَالْمَاشِ، فَهَذِهِ الأصناف التي تجب فيها الزكاة دون سواها لاجتماع الشرائط فيها.
dan kedua: yaitu termasuk tanaman yang dikeringkan setelah dipanen.
dan ketiga: yaitu termasuk tanaman yang dapat disimpan setelah kering.
dan keempat: yaitu termasuk tanaman yang dapat dijadikan makanan pokok saat disimpan, meskipun cara mengonsumsinya berbeda-beda, apakah dengan dibuat roti atau dimasak.
Maka apabila keempat syarat ini terkumpul pada suatu tanaman, wajib dizakati. Dan keempat syarat ini terdapat pada bur, syaʿīr, ʿals, sult, żurrah, aruzz, dukhun, jāwars, bāqillāʾ, lūbiyāʾ, ḥimmiṣ, ʿadas, māsy, dan julbān (yang serupa dengan māsy).
Maka inilah jenis-jenis tanaman yang wajib dizakati, bukan yang lainnya, karena keempat syarat tersebut terkumpul padanya.
مسألة:
قال الشافعي: ” ويؤخذ من العلس وهو الحنطة، والسُّلْتِ وَالْقَطَنِيَّةِ كُلِّهَا إِذَا بَلَغَ الصِّنْفُ الْوَاحِدُ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ، وَالْعَلْسُ وَالْقَمْحُ صِنْفٌ واحدٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
لَا زَكَاةَ فِي شَيْءٍ مِنَ الْحُبُوبِ الْمُزَكَّاةِ إِلَّا أَنْ يَبْلُغَ الصِّنْفُ مِنْهَا خَمْسَةَ أَوْسُقٍ، وَأَوْجَبَ أبو حنيفة الزَّكَاةَ فِي قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي الثِّمَارِ فَلَا مَعْنَى لِإِعَادَتِهِ، فَإِنْ كَانَ الصِّنْفُ دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ، فَفِيهِ الزَّكَاةُ إِلَّا الْعَلْسَ فَإِنَّهُ صِنْفٌ مِنَ الْبُرِّ وَعَلَيْهِ قِشْرَتَانِ تَذْهَبُ بِالدِّيَاسِ، إِحْدَاهُمَا وَتَبْقَى الْأُخْرَى لَا تَذْهَبُ إِلَّا أَنْ يُدَقَّ بِالْمِهْرَاسِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأَخْبَرَنِي بَعْضُ أَصْحَابِنَا مِمَّنْ أَثِقُ بِهِ أَنَّ القشرة التي عليه مثل ضعفه، فَلَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ حَتَّى يَبْلُغَ عَشْرَةَ أَوْسُقٍ مَعَ قِشْرِهِ، وَقَدْ مَنَعَ أَصْحَابُنَا مِنَ السَّلَمِ فِيهِ وَمِنْ بَيْعِ بَعْضِهِ بِبَعْضٍ، وَأَمَّا الْأَرُزُّ فَعَلَيْهِ قِشْرَتَانِ، الْقِشْرَةُ الْأُولَى الَّتِي لَا يطبخ بها، ولا يؤكل معها لاحتساب بها كقشرة العلس التي لا يطبخ بِهَا وَالْقِشْرَةُ السُّفْلَى الْحَمْرَاءُ اللَّاصِقَةُ بِهِ، فَقَدْ كَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَجْعَلُهَا كَقِشْرَةِ الْعَلْسِ لَا يُحْتَسَبُ بِهَا، وَلَا يَجْعَلُ فِيهِ الزَّكَاةَ حَتَّى يَبْلُغَ عَشْرَةَ أَوْسُقٍ.
وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا: لَا تَأْثِيرَ لِهَذِهِ الْقِشْرَةِ، وَإِذَا بلغ خمسة أوسق وجبت في الزَّكَاةُ، لِالْتِصَاقِ هَذِهِ الْقِشْرَةِ بِهَا، وَإِنَّهُ رُبَّمَا طُحِنَ مَعَهَا بِخِلَافِ قِشْرَةِ الْعَلْسِ الْجَافِيَةِ عَنْهَا، وَلَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِطَحْنِهَا مَعَهُ، وَأَمَّا الذُّرَةُ الْبَيْضَاءُ وَالْحَمْرَاءُ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ أَخْبَرَنِي مَنْ أَثِقُ بِهِ أَنَّ عَلَيْهِ قِشْرَةً خَفِيفَةً لَاصِقَةً بِهَا تُطْحَنُ مَعَهَا، فَلَا تَأْثِيرَ لَهَا وَلَا اعْتِبَارَ بِهَا، وَهَذَا يُوَضِّحُ مَا ذَكَرْنَا فِي الْأَرُزِّ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Zakat diambil dari ‘alas (sejenis gandum), as-sult (sejenis gandum kasar), dan seluruh jenis kacang-kacangan apabila satu jenisnya mencapai lima wasq. Adapun ‘alas dan qamḥ (gandum) adalah satu jenis.”
Al-Māwardī berkata: “Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.
Tidak ada zakat pada jenis biji-bijian yang wajib dizakati kecuali bila satu jenisnya mencapai lima wasq. Abū Ḥanīfah mewajibkan zakat pada sedikit maupun banyaknya, dan telah dibahas sebelumnya dalam bab buah-buahan, maka tidak perlu diulang. Maka jika satu jenis tidak mencapai lima wasq, tidak ada zakat padanya. Jika mencapai lima wasq, maka padanya ada zakat. Kecuali ‘alas, karena ia adalah salah satu jenis al-burr (gandum), dan padanya terdapat dua kulit: salah satunya hilang dengan diyās (perontokan), dan yang lainnya tidak hilang kecuali dengan ditumbuk menggunakan mihrās (alu).
Imam al-Syafi‘i berkata: “Telah mengabarkan kepadaku sebagian sahabat kami yang aku percaya, bahwa kulit yang menempel padanya itu setara dua kali lipatnya, maka tidak wajib zakat padanya sampai mencapai sepuluh wasq dengan kulitnya.”
Dan para sahabat kami melarang melakukan salam (jual beli tangguh) atasnya dan dari menjual sebagian darinya dengan sebagian yang lain.
Adapun beras, maka padanya juga terdapat dua kulit. Kulit pertama adalah yang tidak dimasak bersamanya dan tidak dimakan bersamanya, maka ia dipertimbangkan seperti kulit ‘alas yang tidak dimasak bersamanya.
Adapun kulit bawah yang berwarna merah dan melekat padanya, Abū ‘Alī bin Abī Hurayrah menganggapnya seperti kulit ‘alas, tidak diperhitungkan, dan tidak diwajibkan zakat padanya sampai mencapai sepuluh wasq.
Sedangkan mayoritas sahabat kami mengatakan: tidak ada pengaruh dari kulit ini, dan apabila mencapai lima wasq maka wajib zakat, karena kulit ini melekat padanya dan kadang ditumbuk bersamanya, berbeda dengan kulit ‘alas yang terpisah darinya dan tidak biasa ditumbuk bersamanya.
Adapun al-dzurah al-bayḍā’ (jagung putih) dan al-ḥamrā’ (jagung merah), maka Imam al-Syafi‘i berkata: “Telah mengabarkan kepadaku orang yang aku percaya, bahwa padanya terdapat kulit tipis yang melekat padanya dan ditumbuk bersamanya, maka tidak ada pengaruh padanya dan tidak diperhitungkan.”
Dan ini menjelaskan apa yang kami sebutkan mengenai beras.
Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي: ” وَلَا يُضَمُّ صِنْفٌ مِنَ الْقَطْنِيَّةِ انْفَرَدَ بِاسْمٍ إِلَى صِنْفٍ وَلَا شَعِيرٌ إِلَى حنطةٍ وَلَا حبةٌ عرفت باسم منفرد إلى غيرها فاسم القطنية يجمع العدس والحمص قيل ثم ينفرد كل واحد باسم دون صاحبه وقد يجمعها اسم الحبوب فإن قيل فقد أخذ عمر العشر من النبط في القطنية قيل وأخذ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – العشر من التمر والزبيب وأخذ عمر العشر من القطنية والزبيب أفيضم ذلك كله “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْقَطْنِيَّةُ وَهِيَ الْحُبُوبُ الْمُقْتَاتَةُ سوى البر والشعير كالحمص والباقلي والعدس وَاللُّوبْيَاءِ، وَالْأَرُزِّ وَمَا ذَكَرْنَا، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا قاطنة في المنزل أَرْبَابِهَا إِذَا ادُّخِرَتْ أَيْ: مُقِيمَةٌ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata:
“Dan tidak boleh menggabungkan satu jenis dari al-qaṭniyyah yang memiliki nama tersendiri dengan jenis lain; tidak boleh syaʿīr digabungkan dengan ḥinṭah, dan tidak boleh biji-bijian yang dikenal dengan nama tersendiri digabungkan dengan selainnya. Nama al-qaṭniyyah memang mencakup ʿadas dan ḥimmiṣ, namun masing-masing memiliki nama tersendiri yang berbeda dari yang lainnya. Kadang juga digolongkan bersama dalam istilah al-ḥubūb (biji-bijian).
Jika dikatakan: Umar pernah mengambil ʿusyur dari orang-orang Nabṭ dalam al-qaṭniyyah, maka jawabannya adalah: Rasulullah SAW juga mengambil ʿusyur dari tamr dan zabīb, dan Umar mengambil ʿusyur dari al-qaṭniyyah dan zabīb, apakah lantas itu semua digabungkan?”
Al-Māwardī berkata:
Adapun al-qaṭniyyah yaitu biji-bijian yang dijadikan makanan pokok selain bur dan syaʿīr seperti ḥimmiṣ, bāqillāʾ, ʿadas, lūbiyāʾ, aruzz, dan yang telah kami sebutkan — dinamakan demikian karena ia qāṭinah (menetap) di rumah pemiliknya ketika disimpan, yakni: tetap tinggal.
وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ: أَنَّهُ ضَمَّ الْقَطْنِيَّةَ بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ وجعلها جنساً واحداً، واعتبر خمسة أوسق من جميعها وجعل البر والشعير جنساً واحداً أو اعتبر خَمْسَةَ أَوْسُقٍ مِنْهَا تَعَلُّقًا، بِأَنَّ اسْمَ الْقَطْنِيَّةِ جَامِعٌ، وَإِنْ كَانَتْ أَنْوَاعًا كَمَا أَنَّ اسْمَ التَّمْرِ جَامِعٌ وَإِنْ كَانَ أَنْوَاعًا ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ أَنْوَاعَ التَّمْرِ يُضَمُّ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ فَكَذَلِكَ أَنْوَاعُ الْقَطْنِيَّةِ يَجِبُ ضَمُّ بَعْضِهَا إِلَى بَعْضٍ، وَإِنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخَذَ الْعُشْرَ مِنَ الْقَطْنِيَّةِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا زكاةَ فِي الزَّرْعِ إِلَّا فِي أربعةٍ الْبُّرِ وَالشَّعِيرِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيبِ وَلَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِيهَا حَتَّى يَبْلُغَ كُلُّ واحدٍ منها خمسة أوسق، ولأنها جِنْسَانِ لَا يَحْرُمُ التَّفَاضُلُ فِي بَيْعِ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ فَلَمْ يَجُزْ ضَمُّ أَحَدِهِمَا إِلَى الْآخَرِ كَالتَّمْرِ وَالزَّبِيبِ، وَلِأَنَّ الزَّكَوَاتِ لَا تَخْلُو مِنْ أن تكون متعلقة بالأسامي الجامعة أو الأسامي الْخَاصَّةِ، فَإِنْ كَانَتْ بِالْأَسَامِي الْجَامِعَةِ وَجَبَ أَنْ تُضَمَّ الْحُبُوبُ كُلُّهَا، لِأَنَّ اسْمَ الْحُبُوبِ يَجْمَعُهَا والماشية كلها لأن اسم الحيوانات يجمعها والتمر والزبيب، لأن اسم الثمر يجمعها، فَلَمَّا بَطَلَ هَذَا ثَبَتَ أَنَّهَا مُتَعَلِّقَةٌ بِالْأَسَامِي الْخَاصَّةِ الَّتِي تَجْمَعُ أَنْوَاعًا مُخْتَلِفَةً كَالتَّمْرِ يَجْمَعُ أَنْوَاعًا مُخْتَلِفَةً يَقَعُ عَلَى جَمِيعِهَا اسْمُ التَّمْرِ، والعنب يجمع أنواعاً مختلفة يقع على جميع اسْمُ الْعِنَبِ، كَذَا كُلُّ صِنْفٍ مِنَ الْقَطْنِيَّةِ لَهُ اسْمٌ خَاصٌّ يَجْمَعُ أَنْوَاعًا مُخْتَلِفَةً، وَبِهَذَا يفسد ما استدل به وما رواه عن عُمَرُ فَلَا دَلَالَةَ فِيهِ، لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنَ الْمَاشِيَةِ ثُمَّ لَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى ضَمِّ بَعْضِهَا إِلَى بَعْضٍ، فَكَذَا فِي الْقَطْنِيَّةِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَالْبُرُّ وَأَنْوَاعُهُ صِنْفٌ، وَالْعَلْسُ نَوْعٌ مِنْهُ وَالشَّعِيرُ وَأَنْوَاعُهُ صِنْفٌ، وَالسُّلْتُ نَوْعٌ مِنْهُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ هُوَ صِنْفٌ عَلَى حِيَالِهِ، وَالدُّخْنُ وَأَنْوَاعُهُ صِنْفٌ، والجاروس نَوْعٌ مِنْهُ، ثُمَّ مَا سِوَى هَذِهِ مِمَّا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ أَصْنَافٌ مُخْتَلِفَةٌ، وَإِنْ تَنَوَّعَتْ فَلَا ضم صنف منها إلى صنف.
Diriwayatkan dari Mālik bahwa beliau menggabungkan berbagai jenis al-qaṭaniyyah (kacang-kacangan) dan menganggapnya sebagai satu jenis, lalu menghitung lima wasq dari keseluruhannya. Ia juga menyamakan al-burr (gandum) dan asy-sya‘īr (jelai) sebagai satu jenis, dengan alasan bahwa nama al-qaṭaniyyah adalah nama umum yang mencakup berbagai jenis, sebagaimana nama at-tamr juga mencakup berbagai jenis, dan telah ditetapkan bahwa berbagai jenis tamr digabungkan sebagian dengan sebagian yang lain, maka demikian pula al-qaṭaniyyah, wajib digabungkan sebagian dengan sebagian yang lain.
Dan diriwayatkan bahwa ‘Umar RA mengambil ‘usyur dari al-qaṭaniyyah.
Namun ini adalah kekeliruan, karena diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Tidak ada zakat pada tanaman kecuali pada empat jenis: al-burr, asy-sya‘īr, at-tamr, dan az-zabīb. Dan tidak wajib zakat pada masing-masingnya kecuali setelah mencapai lima wasq.”
Dan karena keduanya (gandum dan jelai) adalah dua jenis yang tidak diharamkan adanya perbedaan dalam jual beli salah satunya dengan yang lain, maka tidak boleh digabungkan satu dengan yang lain, seperti at-tamr dan az-zabīb.
Dan karena zakat tidak lepas dari dua kemungkinan: berkaitan dengan nama-nama umum atau nama-nama khusus.
Jika dikatakan zakat terkait dengan nama-nama umum, maka semestinya semua biji-bijian digabungkan karena semuanya berada dalam cakupan nama al-ḥubūb, dan seluruh ternak digabungkan karena semuanya dalam cakupan nama al-ḥayawānāt, dan tamr dan zabīb juga digabungkan karena keduanya dalam cakupan nama ats-tsamar.
Namun karena hal ini batal (tidak dibenarkan), maka tetaplah bahwa zakat terkait dengan nama-nama khusus yang mencakup berbagai jenis, seperti tamr yang mencakup berbagai jenis yang semuanya disebut tamr, dan ‘inab yang mencakup berbagai jenis yang semuanya disebut ‘inab.
Demikian pula setiap jenis dari al-qaṭaniyyah memiliki nama khusus yang mencakup berbagai variasi di dalamnya. Maka dengan ini rusaklah dalil yang dipakai (oleh Mālik), dan apa yang diriwayatkan dari ‘Umar tidak bisa dijadikan dalil, karena meskipun beliau mengambil zakat dari ternak, itu tidak menunjukkan bahwa beliau menggabungkan satu jenis dengan jenis yang lain, maka demikian pula dalam al-qaṭaniyyah.
Jika hal ini telah ditetapkan, maka:
- al-burr dan semua jenisnya adalah satu ṣinf
- al-‘alas adalah salah satu jenis dari al-burr
- asy-sya‘īr dan semua jenisnya adalah satu ṣinf
- as-sult adalah salah satu jenis dari asy-sya‘īr, namun sebagian sahabat kami mengatakan ia adalah ṣinf tersendiri
- ad-dukhun dan semua jenisnya adalah satu ṣinf
- al-jārūs adalah salah satu jenis dari ad-dukhun
Adapun selain dari itu yang telah disebut sebelumnya adalah aṣnāf yang berbeda-beda, dan meskipun beraneka ragam, tidak boleh menggabungkan satu ṣinf dengan ṣinf yang lain.
مسألة:
قال الشافعي: ” قال وَلَا يَبِينُ أَنْ يُؤْخَذَ مِنَ الْفَثِّ وَإِنْ كَانَ قُوتًا وَلَا مِنْ حَبِّ الْحَنْظَلِ وَلَا مِنْ حَبِّ شجرةٍ بريةٍ كَمَا لَا يُؤْخَذُ مِنْ بقرِ الْوَحْشِ وَلَا مِنَ الظِّبَاءِ صَدَقَةٌ ولا من القثاء ولا الاسفيوش ولا من حبوب البقول وكذلك القثاء والبطيخ وحبه ولا من العصفر ولا من حب الفجل ولا من السمسم ولا من الترمس لأني لا أعلمه يؤكل إلا دواء أو تفكها ولا من الأبذار “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا مَا يَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ وَمَا لَا يَجِبُ، ثُمَّ خَصَّ الشَّافِعِيُّ بالذكر أشياء كيلا تشتبه وَإِنْ كَانَتْ مُقْتَاتَةً فَمِنْ ذَلِكَ الْفَثُّ قَالَ ابن أبي هريرة: هو حب الغاسول وَهُوَ الْأُشْنَانُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata:
“Dan tidaklah jelas kewajiban diambil dari al-fath meskipun ia dijadikan makanan pokok, tidak pula dari biji ḥanẓal, dan tidak pula dari biji pohon liar — sebagaimana tidak diambil zakat dari sapi liar dan dari kijang — dan tidak pula dari qiṯṯāʾ, isfiyūs, dan biji-bijian dari jenis al-buqūl (sayur-sayuran), demikian juga qiṯṯāʾ, biṭṭīkh, dan bijinya, tidak pula dari ʿuṣfūr, biji lobak, simsim, dan turmus, karena aku tidak mengetahuinya dimakan kecuali sebagai obat atau camilan, dan tidak pula dari abżār (benih-benih).”
Al-Māwardī berkata:
Kami telah sebutkan apa saja yang wajib dizakati dan apa yang tidak. Kemudian al-Syafi‘i menyebutkan secara khusus beberapa jenis agar tidak disalahpahami, meskipun sebagian di antaranya dijadikan makanan pokok. Di antaranya adalah al-fath. Ibn Abī Hurairah berkata: itu adalah biji al-ghāsūl, yaitu al-ushnān (sejenis tanaman pembersih).
وَقَالَ غَيْرُهُ: هُوَ نَبْتٌ بِالْبَادِيَةِ يُشْبِهُ الشَّعِيرَ لَهُ رَأْسَانِ يَقْتَاتُهُ النَّاسُ فِي الْجَدبِ، وَلَا زَكَاةَ فِيهِ وَكَذَلِكَ حَبُّ الْحَنْظَلِ ونبت شجر البر، وكذلك الثفاء وَهُوَ: حَبُّ الرَّشَادِ وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: تؤدي في الأمرين الثفاء والصبر، والثفاء والصبر قيل إنه البقل الحريف، ولا زكاة في الأسبيوش وهو بزر القطونا، ولا في حب الفجل والقثاء والبطيخ، وفي حَبِّ الْعُصْفُرِ، وَهُوَ الْقرْطمُ، وَقَدْ ذَكَرْنَا مَا خَرَّجَ فِيهِ مِنْ قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، وَلَا في الترمس وهو أصغر من الأسبيوش يَضْرِبُ إِلَى الصُّفْرَةِ فِيهِ ضَرْبٌ مِنَ الْمَرَارَةِ، يُكْسَرُ بِالْمِلْحِ، يَأْكُلُهُ أَهْلُ الشَّامِ تَفُكُّهًا، وَأَهْلُ الْعِرَاقِ تَدَاوِيًا وَلَا زَكَاةَ فِي الْحُلْبَةِ، وَلَا في الشهدانج، وَلَا فِي بَزْرِ الْكِتَّانِ، وَلَا فِي الْكُزْبَرَةِ وَالْكَمُّونِ وَالْكَرَاويَا قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا زَكَاةَ فِي الْحُلْوَانِ وَلَا فِي الْجُلْجُلَانِ فَسَّرَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ في ” غريب الحديث ” فقال الحلوان: العيدق، وَالْجُلْجُلَانُ السِّمْسِمُ، وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَا أُكِلَ مِنَ النَّبَاتِ ضَرْبَانِ: مَزْرُوعٌ، وَغَيْرُ مَزْرُوعٍ، فَمَا كَانَ غَيْرَ مَزْرُوعٍ لَا زَكَاةَ فِيهِ وَمَا كَانَ مَزْرُوعًا عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ ضَرْبٌ يُؤْكَلُ قوتاً كالبر والشعير وما ذكرنا فِيهِ وَاجِبَةٌ وَضَرْبٌ يُؤْكَلُ تَفَكُّهًا كَالْجَوْزِ وَاللَّوْزِ وَالرُّمَّانِ وَالسَّفَرْجَلِ وَغَيْرِهِ، وَلَا زَكَاةَ فِي شَيْءٍ مِنْهُ، وَضَرْبٌ يُؤْكَلُ أبْزَارًا وَأُدْمًا كَالْكَرَاويَا وَالْكُزْبَرَةِ، وَلَا زَكَاةَ فِيهِ، وَضَرْبٌ يُؤْكَلُ تَدَاوِيًا كَالرَّشَادِ وَالْإِهْلِيلَجِ، وَلَا زَكَاةَ فِيهِ، وَإِنَّمَا اخْتَصَّتِ الزَّكَاةُ بِالْأَقْوَاتِ، لِأَنَّهَا مُوَاسَاةٌ فَاخْتَصَّتْ بِمَا عَمَّ نَفْعُهَا ودعت حاجة الكافة إليها.
Dan telah berkata selainnya: “Ia adalah tumbuhan di padang yang menyerupai syair dan memiliki dua kepala, yang dijadikan makanan pokok oleh manusia di masa paceklik, namun tidak wajib zakat padanya, demikian pula ḥabb al-ḥanẓal dan tumbuhan pohon liar, demikian pula al-thafā’ yaitu ḥabb al-rashād, dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: ‘Dikeluarkan zakat dari dua perkara: al-thafā’ dan al-ṣabr.’ Al-thafā’ dan al-ṣabr, dikatakan bahwa keduanya adalah tumbuhan pedas, dan tidak wajib zakat pada al-asbīyūsy yaitu biji al-qiṭṭūnā, tidak pula pada ḥabb al-fujl, al-qiththā’, dan al-buṭṭīkh, dan juga ḥabb al-‘uṣfur yaitu al-qurṭum, dan telah kami sebutkan apa yang dinukil dari pendapatnya dalam al-qadīm. Dan tidak wajib zakat pada al-turmus, yang lebih kecil dari al-asbīyūsy, cenderung berwarna kuning, memiliki rasa pahit yang dihilangkan dengan garam, dimakan oleh penduduk Syam sebagai camilan, dan oleh penduduk Irak sebagai obat. Tidak ada zakat pada al-ḥulbah, tidak pula pada al-shahdanaj, tidak pada biji al-kittān, tidak pada al-kuzbarah, al-kammūn, dan al-karāwiyā.
Berkata al-Syafi‘i: “Tidak wajib zakat pada al-ḥulwān dan al-juljulān.” Ibnu Qutaybah menjelaskan dalam Gharīb al-Ḥadīts bahwa al-ḥulwān adalah al-‘īdq, dan al-juljulān adalah al-simsim (wijen).
Keseluruhan dari itu adalah bahwa tanaman yang dimakan terbagi dua: yang ditanam dan yang tidak ditanam. Maka yang tidak ditanam tidak wajib zakat padanya. Adapun yang ditanam, terbagi menjadi empat macam:
- Macam yang dimakan sebagai makanan pokok seperti al-burr, al-sya‘īr, dan yang kami sebutkan, maka zakat padanya wajib.
- Macam yang dimakan sebagai buah-buahan seperti al-jawz, al-lawz, al-rummān, al-safarjal, dan selainnya, maka tidak wajib zakat padanya.
- Macam yang dimakan sebagai bumbu atau pelengkap makanan seperti al-karāwiyā dan al-kuzbarah, maka tidak wajib zakat padanya.
- Macam yang dimakan untuk pengobatan seperti al-rashād dan al-ihlīlaj, maka tidak wajib zakat padanya.
Sesungguhnya zakat itu khusus pada makanan pokok karena ia adalah bentuk muwāsāh (solidaritas sosial), maka dikhususkan pada sesuatu yang manfaatnya umum dan menjadi kebutuhan orang banyak.
مسألة:
قال الشافعي: ” ولا تؤخذ زكاة شيءٍ مما ييبس ويداس وييبس ثمره وزبيبه وينتهي “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ زَكَاةَ الثِّمَارِ تَجِبُ بِبُدُوِّ الصَّلَاحِ وَأَدَاؤُهَا بَعْدَ الْيُبْسِ وَالْجَفَافِ، فَإِذَا صَارَ الرُّطَبُ تَمْرًا وَالْعِنَبُ زَبِيبًا أُخِذَتْ زَكَاتُهُمَا، فَأَمَّا الزَّرْعُ فَتَجِبُ زَكَاتُهُ إِذَا يَبِسَ وَاشْتَدَّ وَقَوِيَ وَاسْتَحْصَدَ، وَتُؤَدَّى زَكَاتُهُ بَعْدَ دِيَاسِهِ وَتَصْفِيَتِهِ إِذَا صَارَ حَبًّا خَالِصًا، ومؤنته من وقت حصاده إلى حِينِ تَذْرِيَتِهِ وَتَصْفِيَتِهِ عَلَى رَبِّ الْمَالِ دُونَ أَهْلِ السُّهْمَانِ، وَقَالَ عَطَاءٌ: الْمُؤْنَةُ مِنْ وَسَطِ الْمَالِ لَا يَخْتَصُّ بِهَا رَبُّ الْمَالِ دُونَ أَهْلِ السُّهْمَانِ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي الْمِلْكِ، وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ تَأْخِيرَ الْأَدَاءِ عَنْ وَقْتِ الْحَصَادِ إِلَى وَقْتِ التَّصْفِيَةِ إِنَّمَا وَجَبَ لِتَكَامُلِ مَنَافِعِهِ، وَإِذَا وَجَبَ الْأَدَاءُ بَعْدَ تَكَامُلِ المنافع فالمؤنة عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا مِنْ حُقُوقِ التَّسْلِيمِ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا لَمْ يَجُزْ أَخْذُ شَيْءٍ مِنَ الْحُبُوبِ الْمُزَكَّاةِ إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِهَا مِنْ كِمَامِهَا إِلَّا الْعَلْسَ إِذَا بَقِيَ فِي إِحْدَى قِشْرَتَيْهِ فَإِنَّ الشافعي قال: أخير رب المال بَيْنَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ كُلِّ عَشْرَةِ أَوْسُقٍ مِنْهُ وَسْقًا، لِأَنَّهُ بِهَذِهِ الْقِشْرَةِ أَبْقَى، وَبَيْنَ أن يخرجه من هذه العشرة وَآخَذُ مِنْ كُلِّ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ الْعُشْرَ، فَأَمَّا الْحِنْطَةُ فَلَا يَجُوزُ أَخْذُهَا فِي سُنْبُلِهَا وَإِنْ كانت فيه أبقى لتعذر كيلها.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata:
“Tidak diambil zakat dari sesuatu yang belum kering dan belum didias, dan tidak dari buah dan zabīb-nya sebelum kering dan sempurna.”
Al-Māwardī berkata:
Ini benar. Kami telah menyebutkan bahwa zakat buah-buahan wajib saat būdūʾ al-ṣalāḥ (tampak matang), dan dibayarkan setelah kering dan mengering sempurna. Maka apabila ruṭab telah menjadi tamr dan ʿinab telah menjadi zabīb, maka zakat keduanya diambil.
Adapun hasil tanaman (biji-bijian), zakatnya wajib ketika telah kering, mengeras, menguat, dan siap dipanen. Zakatnya dibayarkan setelah didias dan disaring hingga menjadi biji murni.
Biaya dari masa panen hingga penaburan dan penyaringan ditanggung oleh pemilik harta, bukan oleh para mustahiq.
ʿAṭāʾ berkata: biaya ditanggung dari harta secara keseluruhan, bukan hanya oleh pemilik harta, karena mereka (mustahiq) berbagi kepemilikan. Pendapat ini keliru, karena penundaan pembayaran dari waktu panen ke waktu penyaringan itu terjadi untuk menyempurnakan manfaatnya. Dan apabila kewajiban pembayaran terjadi setelah penyempurnaan manfaat, maka biaya itu menjadi tanggung jawab pemilik, karena itu termasuk hak-hak penyerahan.
Jika telah tetap hal ini, maka tidak boleh mengambil sedikit pun dari biji-bijian yang wajib dizakati sebelum keluar dari kulitnya, kecuali ʿals jika masih tersisa di salah satu dari dua kulitnya. Maka Imam al-Syafi‘i berkata: pemilik harta diberi pilihan, antara mengeluarkan wusq dari setiap sepuluh awsuq yang ada — karena ia masih menyisakan kulitnya — atau mengeluarkannya dari sepuluh awsuq itu dengan mengambil sepersepuluh dari setiap lima awsuq.
Adapun ḥinṭah (gandum), tidak boleh diambil zakatnya saat masih di dalam bulirnya meskipun bulirnya lebih tahan lama, karena tidak mungkin ditakar.
مسألة:
قال الشافعي: ” وَإِنْ أَخَذَهُ رُطَبًا كَانَ عَلَيْهِ رَدُّهُ أَوْ رَدُّ قِيمَتِهِ إِنْ لَمْ يُوجَدْ وَأَخَذَهُ يَابِسًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ إِخْرَاجَ زَكَاةِ الثِّمَارِ بَعْدَ الْيُبْسِ وَالْجَفَافِ، وَالزُّرُوعِ بَعْدَ الدِّيَاسِ وَالتَّصْفِيَةِ، فَلَوْ أَخَذَ الْوَالِي زَكَاةَ النَّخْلِ رُطَبًا، وَالْكَرْمَ عِنَبًا وَالزَّرْعَ سُنْبُلًا كَانَ مُسِيئًا بِهِ، وَلَزِمَهُ رَدُّهُ، وَأَخَذَ الزَّكَاةَ بَعْدَ الْجَفَافِ وَالدِّيَاسِ، فإن تلف من يده قبل رده ولزمه رَدُّ قِيمَتِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالْمُطَالَبَةُ بِالزَّكَاةِ بَعْدَ الْيُبْسِ وَالْجَفَافِ، فَلَوْ كَانَ مَا أَخَذَهُ رُطَبًا باقياً فيبس في يده، فإن كان بقدر الزَّكَاةِ لَمْ يَرُدَّهُ عَلَى رَبِّ الْمَالِ وَقَدْ أجزأته عَنْ زَكَاتِهِ وَإِنْ كَانَ نَاقِصًا عَنْ قَدْرِ الزكاة طالبه رطبه بِمَا بَقِيَ مِنْهَا لَا غَيْرَ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika ia mengambilnya dalam keadaan ruṭab, maka wajib baginya untuk mengembalikannya atau mengembalikan nilainya jika tidak ditemukan dan ia mengambilnya dalam keadaan kering.”
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa zakat buah-buahan dikeluarkan setelah kering dan mengeras, dan zakat tanaman setelah dirontokkan dan dibersihkan. Maka jika penguasa mengambil zakat kurma dalam keadaan ruṭab, dan anggur dalam bentuk ‘inab, serta tanaman dalam keadaan masih bulir (sunbul), maka ia telah berbuat salah dengannya, dan wajib baginya untuk mengembalikannya dan mengambil zakat setelah kering dan setelah dirontokkan.
Jika harta tersebut rusak di tangannya sebelum dikembalikan, maka wajib baginya mengganti nilainya kepada pemilik harta. Dan penarikan zakat dilakukan setelah kering dan mengeras.
Jika zakat yang diambil dalam keadaan ruṭab masih ada dan kemudian mengering di tangannya, maka jika hasil akhirnya sebanding dengan kadar zakat, maka ia tidak mengembalikannya kepada pemilik harta dan itu telah mencukupi dari zakatnya. Namun jika hasilnya kurang dari kadar zakat, maka ia menuntut sisanya dari zakat dalam bentuk ruṭab, tidak yang lain.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي: ” ولا أجيز بيع بعضه ببعضٍ رطباً لاختلاف نقصانه والقشر مقاسمة كالبيع “.
قال الماوردي: وهذا صحيح، كل تمرة لَا يَجُوزُ بَيْعُهَا بِيَابِسٍ مِنْ جِنْسِهَا، وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ رُطَبِهَا بِرُطَبِهَا، وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ الرُّطَبِ بِالرُّطَبِ، وَلَا بَيْعُ التَّمْرِ بِالرُّطَبِ، وَلَا بَيْعُ الْعِنَبِ بِالْعِنَبِ، وَلَا بَيْعُ الزَّبِيبِ بِالْعِنَبِ، وهذا يأتي في كتاب البيوع مستوفى ويذكر الْخِلَافَ فِيهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ. قَالَ الشَّافِعِيُّ بَعْدَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَالْعُشْرُ مُقَاسَمَةٌ كَالْبَيْعِ، وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ فِي الْقِسْمَةِ قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا كالبيع.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata:
“Aku tidak membolehkan menjual sebagian dari buah itu dengan sebagian lainnya dalam keadaan basah (ruṭab), karena perbedaan kadar penyusutannya. Dan pembagian hasil dengan sistem bagi hasil (muqāsamah) itu seperti jual beli.”
Al-Māwardī berkata:
Ini benar. Setiap jenis kurma tidak boleh dijual dengan yang kering dari jenis yang sama. Tidak boleh menjual ruṭab dengan ruṭab, tidak boleh menjual tamr dengan ruṭab, tidak boleh menjual ʿinab dengan ʿinab, dan tidak boleh menjual zabīb dengan ʿinab. Ini akan dijelaskan lebih lengkap dalam Kitāb al-Buyūʿ, juga akan disebutkan perbedaan pendapat dalam hal ini, insya Allah.
Imam al-Syafi‘i menyebutkan setelah masalah ini bahwa ʿusyur dalam bentuk muqāsamah (bagi hasil) adalah seperti jual beli. Dan kami telah menyebutkan bahwa dalam pembagian (qismah) ada dua pendapat,
Pertama: bahwa ia seperti jual beli.
والثاني: أنها إقرار حق وتمييز نصب، وَسَيَجِيءُ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِي مَوْضِعِهِ مِنْ كِتَابِ الْبُيُوعِ، فَإِذَا قِيلَ إِنَّهَا كَالْبَيْعِ، لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْتَسِمَ الشُّرَكَاءُ ثِمَارًا رُطَبَةً، وَإِذَا قِيلَ إنها إقرار حَقٍّ جَازَ اقْتِسَامُهُمْ لَهَا كَيْلًا وَوَزْنًا وَلَمْ يجز جزافاً، لأن حق كل واحد لَا يَتَمَيَّزُ وَأَمَّا قِسْمَةُ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ وَأَهْلِ السُّهْمَانِ فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهَا مُقْنِعًا وَاللَّهُ أعلم.
Dan pendapat kedua: bahwa ia adalah pengakuan hak dan pembeda kadar bagian. Penjelasan dua pendapat ini akan datang pada tempatnya dalam Kitāb al-Buyū‘. Maka apabila dikatakan bahwa ia seperti jual beli, maka tidak boleh bagi para sekutu membagi buah-buahan yang masih ruṭab (basah/lembap). Dan apabila dikatakan bahwa ia adalah pengakuan hak, maka boleh bagi mereka membaginya dengan takaran atau timbangan, dan tidak boleh secara jazāf (perkiraan tanpa takaran), karena hak masing-masing belum dapat dibedakan.
Adapun pembagian harta para pemilik dan ahli saham, maka telah berlalu pembahasannya dengan memadai. Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَخَذَهُ مِنْ عِنَبٍ لَا يَصِيرُ زَبِيبًا أو من رطب لا يصير تمراً أمرته برده لما وصفت وكان شريكاً فيه يبيعه ولو قسمه عنباً موازنة كرهته له ولم يكن عليه غرمٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَذَكَرْنَا حكم ما لا يصير من الرطب تمراً، وَمِنَ الْعِنَبِ زَبِيبًا، ثُمَّ أَعَادَ الْمَسْأَلَةَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَقَالَ: ” إِنْ أَخَذَهُ أَمَرْتُهُ بِرَدِّهِ ” ثم قال عقيبه: ” ولو قسمه عنباً موازنة كرهته له وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ غُرْمٌ ” وَهَذَا مُتَنَاقِضٌ فِي ظَاهِرِهِ، وَلَكِنْ لِلْكَلَامَيْنِ تَأْوِيلٌ وَهُوَ: أَنَّهُ أَمَرَهُ بِرَدِّهِ إِذَا لَمْ يَتَحَرَّ فِيمَا أَخَذَهُ وَلَا يتعين أنه استوفى في حقه، ثم قال يجزئه إذا أخذه بعد الاستفضاء وَالتَّحَرِّي وَكَانَ عَلَى يَقِينٍ مِنِ اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ وَزِيَادَةٍ فَاخْتَلَفَ جَوَابُهُ فِي الرَّدِّ وَالتَّقَاضِي لِاخْتِلَافِ معنى الأخذ والله أعلم.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i berkata:
“Jika ia mengambil (zakat) dari ʿinab yang tidak bisa menjadi zabīb, atau dari ruṭab yang tidak bisa menjadi tamr, maka aku perintahkan untuk mengembalikannya sebagaimana yang telah aku jelaskan. Dan jika ia menjualnya karena menjadi sekutu dalamnya, maka boleh. Jika ia membagikannya dalam bentuk ʿinab dengan takaran seimbang, maka aku makruhkan hal itu baginya, namun ia tidak menanggung kerugian (ganti rugi).”
Al-Māwardī berkata:
Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya, dan kami telah menyebutkan hukum ruṭab yang tidak menjadi tamr dan ʿinab yang tidak menjadi zabīb. Kemudian Imam al-Syafi‘i mengulang masalah ini di tempat ini dan berkata:
“Jika ia mengambilnya, aku perintahkan untuk mengembalikannya.”
Lalu beliau berkata setelah itu:
“Jika ia membagikannya dalam bentuk ʿinab dengan takaran seimbang, maka aku makruhkan baginya, dan tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya.”
Secara lahiriah ini tampak kontradiktif, namun kedua pernyataan itu memiliki penakwilan, yaitu:
Perintah untuk mengembalikannya berlaku jika ia mengambil tanpa kehati-hatian dan belum dipastikan bahwa ia telah menerima haknya secara penuh.
Kemudian beliau berkata boleh jika ia mengambilnya setelah adanya peninjauan dan kehati-hatian, serta yakin bahwa haknya telah terpenuhi bahkan dengan kelebihan.
Maka perbedaan jawaban antara perintah pengembalian dan pembiaran dalam pengambilan disebabkan perbedaan makna dari bentuk pengambilan itu. Wallahu a‘lam.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” الذرة تزرع مرة فتخرج فتحصد ثُمَّ تُسْتَخْلَفُ فِي بَعْضِ الْمَوَاضِعِ فَتُحْصَدُ أُخْرَى فَهُوَ زَرْعٌ واحدٌ وَإِنْ تَأَخَّرَتْ حَصَدَتُهُ الْأُخْرَى وهكذا بذر اليوم وبذر بعد شهرٍ لأنه وقتٌ واحدٌ للزرع وتلاحقه فيه متقاربٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَجْرَى الْعَادَةَ فِي الذُّرَةِ أَنَّهَا تُسْتَخْلَفُ بَعْدَ حَصَادِهَا، وَلَمْ تَجْرِ بِذَلِكَ الْعَادَةُ فِيمَا سِوَاهَا، فَإِذَا اسخلفتا الذرة بعدما حصدت فهذا على ثلاث أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ الذُّرَةُ حِينَ اسْتُحْصِدَتْ تَسَاقَطَتْ مِنْ قَصَبَتِهَا فَنَبَتَتْ، فَهَذَا زَرْعٌ ثَانٍ يُعْتَبَرُ بِنَفْسِهِ، وَلَا يُضَمُّ إِلَى الْأَوَّلِ، لِأَنَّ بَذْرَهُ بَعْدَ حَصَادِهِ الْأَوَّلِ فَلَمْ يَجْتَمِعَا فِي بذر ولا حصاد، فإذا بَلَغَ النِّصَابَ فَفِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ نَقَصَ عَنِ النِّصَابِ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الذُّرَةُ قَدْ حُصِدَتْ فَيُسْتَخْلَفُ قَصَبُهَا وَتَحْمِلُ حَبًّا ثَانِيًا فَفِيهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:
BAB TANAMAN PADA WAKTU-WAKTU (TERTENTU)
Al-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata:
“Dzurrah ditanam sekali lalu tumbuh dan dipanen, kemudian tumbuh kembali di sebagian tempat lalu dipanen lagi. Maka itu adalah satu tanaman meskipun panen keduanya terlambat. Begitu pula menanam hari ini dan menanam setelah sebulan, karena itu adalah satu waktu tanam dan jarak waktunya berdekatan.”
Al-Mawardi berkata:
Ketahuilah bahwa Allah Ta‘ala telah menetapkan kebiasaan bahwa dzurrah setelah dipanen akan tumbuh lagi, dan kebiasaan ini tidak berlaku pada tanaman selainnya. Maka apabila dzurrah tumbuh kembali setelah panen, hal itu terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: jika dzurrah setelah dipanen berjatuhan dari batangnya lalu tumbuh, maka itu adalah tanaman kedua yang dihukumi tersendiri, dan tidak digabungkan dengan yang pertama, karena benihnya tumbuh setelah panen yang pertama, sehingga keduanya tidak berkumpul dalam benih dan panen. Maka jika mencapai nishab maka wajib zakat, dan jika kurang dari nishab maka tidak ada zakat padanya.
Kedua: jika dzurrah telah dipanen, lalu batangnya tumbuh kembali dan menghasilkan biji yang kedua, maka dalam hal ini ada dua pendapat dari kalangan sahabat kami:
أَحَدُهُمَا: لَا يُضَمُّ إِلَى الْأَوَّلِ وَيُعْتَبَرُ حُكْمُهُ بِذَاتِهِ كَالنَّخْلِ إِذَا حَمَلَ فِي السَّنَةِ حِمْلَيْنِ لَمْ يُضَمَّ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُضَمُّ إِلَى الْأَوَّلِ لِأَنَّهُمَا زَرْعٌ وَاحِدٌ عَنْ بَذْرٍ وَاحِدٍ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّخْلِ إِذَا حَمَلَ حِمْلَيْنِ، هُوَ: أَنَّ النَّخْلَ ثَابِتُ الْأَصْلِ غُرِسَ لِبَقَائِهِ وَتَوَالِي ثَمَرِهِ، وَكُلُّ حِمْلٍ مِنْهُ مُنْفَرِدٌ عَنْ غَيْرِهِ، فَإِذَا حَمَلَ فِي السَّنَةِ حِمْلَيْنِ كَانَ كَمَا لَوْ حَمَلَ فِي عَامَيْنِ، فَلَمْ يُضَمَّ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الزَّرْعُ، لِأَنَّهُ غَيْرُ ثَابِتِ الْأَصْلِ وَلَا مَزْرُوعٌ لِلْبَقَاءِ وَتَوَالِي النَّمَاءِ، وَإِنَّمَا زُرِعَ لِأَخْذِهِ بَعْدَ تَكَامُلِهِ فَخَالَفَ النَّخْلَ وَوَجَبَ ضَمُّ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الذُّرَةُ حِينَ بُذِرَتْ تُعُجِّلَ نَبَاتُ بَعْضِهَا وَاسْتُحْصِدَ وَتَأَخَّرَ حَصَادُ الْبَعْضِ الْآخَرِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ.
Pertama: tidak digabungkan dengan yang pertama, dan status hukumnya dipertimbangkan secara terpisah — seperti pohon kurma yang berbuah dua kali dalam satu tahun, maka salah satu hasilnya tidak digabungkan dengan yang lainnya.
Pendapat kedua: digabungkan dengan yang pertama karena keduanya berasal dari tanaman yang sama dan tumbuh dari benih yang sama.
Perbedaan antara ini dan pohon kurma yang berbuah dua kali adalah:
Pohon kurma bersifat menetap, ditanam untuk tetap hidup dan terus-menerus berbuah, dan setiap hasilnya berdiri sendiri terpisah dari hasil lainnya. Maka jika ia berbuah dua kali dalam setahun, keadaannya seperti berbuah dalam dua tahun, sehingga tidak digabungkan hasil yang satu dengan yang lainnya.
Tidak demikian halnya dengan tanaman biji-bijian, karena tidak bersifat menetap, tidak ditanam untuk keberlangsungan dan pertumbuhan terus-menerus, melainkan ditanam untuk dipanen setelah sempurna. Maka ia berbeda dari kurma, dan wajib digabungkan sebagian dengan sebagian lainnya.
Bagian ketiga: adalah ketika żurrah (jagung) ketika ditanam, sebagian tumbuh lebih cepat dan lebih dahulu dipanen, sedangkan sebagian lainnya dipanen belakangan. Maka itu terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمَا قَرِيبًا وَفَصْلُ حَصَادِهِمَا وَاحِدًا، كَأَنَّهُ نَبَتَ دُفْعَةً وَاحِدَةً ثُمَّ زَحَمَ بَعْضُهُ بَعْضًا فَتُعُجِّلَ حَصَادُ مَا قَوِيَ وَتَأَخَّرَ حَصَادُ مَا ضَعُفَ، فَهَذَا زَرْعٌ وَاحِدٌ يُضَمُّ مَاتَقَدَّمَ مِنْهُ إِلَى مَا تَأَخَّرَ كَثَمَرِ النَّخْلِ إِذَا طَلَعَ بَعْضُهُ وَأُبِّرَ بَعْضُهُ وَزَهَا بَعْضُهُ وأرطب بعضه فجميعه ثمرة واحدة يجب ضم بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ فَكَذَا الزَّرْعُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَبْعُدَ مَا بَيْنَهُمَا وَيَخْتَلِفَ فَصْلُ حَصَادِهِمَا كأنه بَذْرٌ فَنَبَتَ بَعْضُهُ وَتَأَخَّرَ بَعْضُهُ حَتَّى حُصِدَ الْأَوَّلُ فِي الصَّيْفِ وَحُصِدَ الثَّانِي فِي الْخَرِيفِ فَهَذَا زَرْعٌ قَدِ اتَّفَقَ زَمَانُ بَذْرِهِ وَاخْتَلَفَ زَمَانُ حَصَادِهِ، فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Pertama: bahwa antara keduanya berdekatan dan masa panennya satu, seolah-olah tumbuh dalam satu kali tumbuh, kemudian sebagian saling mendesak sehingga dipercepat panen yang kuat dan ditunda panen yang lemah. Maka ini adalah satu tanaman yang digabungkan hasil panen awalnya dengan yang belakangan, seperti buah kurma yang sebagian muncul ṭal‘-nya, sebagian dibuahi, sebagian mekar, dan sebagian menjadi ruṭab, maka seluruhnya dianggap satu buah dan wajib digabungkan sebagian dengan sebagian yang lain; demikian pula halnya dengan tanaman.
Yang kedua: bahwa antara keduanya berjauhan dan musim panennya berbeda, seolah-olah benih ditanam, lalu sebagian tumbuh dan sebagian lainnya terlambat sampai panen pertama dilakukan pada musim panas dan panen kedua pada musim gugur. Maka ini adalah satu tanaman yang waktu tanamnya sama namun waktu panennya berbeda. Maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُضَمُّ.
وَالثَّانِي: لَا يُضَمُّ وَسَنَذْكُرُ تَوْجِيهَ ذَلِكَ فِيمَا يليه.
مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا زَرَعَ فِي السَّنَةِ ثَلَاثَ مراتٍ فِي أوقاتٍ مختلفة في خريف وربيع وصيفٍ ففيه أقاويل منها أنه زرع واحدٌ إذا زرع في سنةٍ وإن أدرك بعضه في غيرها ومنها أن يضم ما أدرك في سنةٍ واحدةٍ وما أدرك في السنة الأخرى ضم إلى ما أدرك في الأخرى ومنها أنه مختلف لا يضم (قال الشافعي) في موضعٍ آخر وإذا كان الزرعان حصادهما معاً في سنةٍ فهما كالزرع الواحد وإن كان بذر أحدهما قبل السنة وحصاد الآخر متأخرٌ عن السنة فهما زرعان لا يضمان ولا يضم زرع سنةٍ إلى زرع سنةٍ غيرها “.
Salah satunya: wajib digabungkan.
Yang kedua: tidak digabungkan. Dan kami akan sebutkan alasannya pada bagian sesudah ini.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Apabila seseorang menanam dalam satu tahun sebanyak tiga kali di waktu yang berbeda — pada musim gugur, musim semi, dan musim panas — maka ada beberapa pendapat:
Di antaranya: bahwa itu dianggap satu jenis tanaman selama masih ditanam dalam satu tahun, meskipun sebagian hasilnya diperoleh di luar tahun itu.
Di antaranya pula: bahwa apa yang dipanen dalam satu tahun digabung, dan yang dipanen di tahun lain digabung dengan yang sezaman dengannya.
Dan ada juga pendapat bahwa itu dianggap berbeda dan tidak digabungkan.
(Syafi‘i berkata) di tempat lain: Apabila kedua tanaman dipanen dalam tahun yang sama, maka keduanya seperti satu tanaman.
Namun jika benih salah satunya ditanam sebelum tahun berjalan, dan panen yang lainnya setelah tahun berlalu, maka keduanya adalah dua tanaman yang tidak saling digabungkan. Dan tidak boleh menggabungkan hasil panen satu tahun dengan hasil panen tahun lainnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا يَخْتَصُّ بِالذُّرَةِ أَنْ تُزْرَعَ فِي السَّنَةِ مِرَارًا فِي الرَّبِيعِ وَالصَّيْفِ وَالْخَرِيفِ، وَلَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِذَلِكَ فِي غَيْرِهَا، فَإِذَا زُرِعَتْ مِرَارًا فَفِي ضَمِّهَا أَرْبَعَةُ أَقَاوِيلَ ذَكَرَهَا الشَّافِعِيُّ.
أَحَدُهَا: إِنَّهُ يُضَمُّ زَمَانُ مَا اتَّفَقَ بَذْرُهُ وَإِنِ اخْتَلَفَ زَمَانُ حَصَادِهِ وَلَسْنَا نُرِيدُ بِاتِّفَاقِ الزَّمَانِ أَنْ يَكُونَ بَذْرُهُمَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ وَإِنَّمَا نَعْنِي أَنْ يَكُونَ بَذْرُهُمَا فِي فَصْلٍ وَاحِدٍ وَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا شَهْرٌ وَأَكْثَرُ، وَوَجْهُ هَذَا الْقَوْلِ: أَنَّ الْبَذْرَ أَصْلٌ والحصاد نوع، فَكَانَ اعْتِبَارُ الزَّرْعِ بِأَصْلِهِ أَوْلَى مِنِ اعْتِبَارِهِ بنوعه لِأَنَّ الْبَذْرَ مِنْ أَفْعَالِنَا وَالْحَصَادَ مِنْ فِعْلِ اللَّهِ تَعَالَى فِيهِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بُدٌّ من اعتبار أحدهما فاعتبار ما تعلق بفعلنا أَيْسَرُ، وَتَعْلِيقُ الْحُكْمِ بِهِ أَجْدَرُ.
Al-Mawardi berkata:
Hal ini merupakan kekhususan dzurrah, yaitu ia dapat ditanam berulang kali dalam setahun, pada musim semi, musim panas, dan musim gugur. Dan tidak berlaku kebiasaan demikian pada selainnya. Maka jika dzurrah ditanam berulang kali, dalam hal penggabungannya terdapat empat pendapat yang disebutkan oleh al-Syafi‘i.
Pertama: bahwa digabungkan jika waktu penanaman sama, meskipun waktu panennya berbeda. Dan yang dimaksud dengan “sama waktu” bukanlah bahwa penanamannya terjadi pada hari yang sama, tetapi maksudnya adalah bahwa keduanya ditanam dalam satu fasl (musim), meskipun jaraknya satu bulan atau lebih.
Dasar pendapat ini adalah: bahwa benih merupakan asal, sedangkan panen adalah cabang. Maka memperhitungkan tanaman berdasarkan asalnya lebih utama daripada memperhitungkannya berdasarkan cabangnya, karena benih adalah perbuatan kita, sedangkan panen adalah perbuatan Allah Ta‘ala padanya. Maka jika harus mempertimbangkan salah satunya, maka mempertimbangkan yang berasal dari perbuatan kita lebih mudah dan menggantungkan hukum padanya lebih layak.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ يُعْتَبَرُ مَا اتَّفَقَ زَمَانُ حَصَادِهِ وَإِنِ اخْتَلَفَ زَمَانُ بَذْرِهِ لِأَنَّ بِاسْتِحْصَادِ الزَّرْعِ وُجُوبَ زَكَاتِهِ، فَكَانَ الضَّمُّ بِاعْتِبَارِهِ أَوْلَى كَالثِّمَارِ.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: يُضَمُّ مَا اتَّفَقَ زَمَانُ بَذْرِهِ وَزَمَانُ حَصَادِهِ فَيُرَاعَى الضَّمُّ بِاتِّفَاقِ الطَّرَفَيْنِ، فَإِنِ اتَّفَقَ زَمَانُ بَذْرِهِمَا وَزَمَانُ حَصَادِهِمَا ضُمَّا، وَإِنِ اتَّفَقَ زَمَانُ بَذْرِهِمَا وَاخْتَلَفَ زَمَانُ حَصَادِهِمَا أَوِ اتَّفَقَ زَمَانُ حَصَادِهِمَا وَاخْتَلَفَ زَمَانُ بَذْرِهِمَا لَمْ يُضَمَّا، [هَذَا هُوَ الصَّوَابُ، وَرَأَيْتُهُ في الأصل إلا ما ذكرها هُنَا] ، لِأَنَّ الْبَذْرَ شَرْطٌ فِي الِابْتِدَاءِ وَالْحَصَادَ شَرْطٌ فِي الِانْتِهَاءِ وَالْوُجُوبَ مُتَعَلِّقٌ بِهِمَا، فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ الضَّمُّ بِاعْتِبَارِهِمَا.
Pendapat kedua: yang dijadikan patokan adalah kesamaan waktu panen, meskipun waktu penanaman berbeda, karena dengan panenlah zakat menjadi wajib, maka menggabungkan berdasarkan waktu panen lebih utama, sebagaimana pada buah-buahan.
Pendapat ketiga: yang digabung adalah apa yang sama waktu penanaman dan waktu panennya. Maka yang diperhatikan dalam penggabungan adalah kesamaan pada kedua ujung (awal dan akhir).
Jika waktu tanam dan waktu panennya sama, maka keduanya digabung.
Namun jika waktu tanamnya sama tetapi waktu panennya berbeda, atau waktu panennya sama tetapi waktu tanamnya berbeda, maka keduanya tidak digabung.
[Inilah pendapat yang benar, dan aku melihatnya dalam naskah asal kecuali yang disebut di sini],
karena tanam adalah syarat pada permulaan, dan panen adalah syarat pada penyelesaian, sedangkan kewajiban (zakat) bergantung pada keduanya, maka wajib pula penggabungan ditetapkan dengan mempertimbangkan keduanya.
وَالْقَوْلُ الرَّابِعُ: إِنَّهُ يُضَمُّ مَا جَمَعَتِ السَّنَةُ الْوَاحِدَةُ بَذْرَهُ وَحَصَادَهُ، وَلَسْنَا نَعْنِي بِالسَّنَةِ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا، وَإِنَّمَا نَعْنِي عَامَ الزِّرَاعَةِ الَّذِي هُوَ فِي الْعُرْفِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ أَوْ نَحْوُهَا، فَعَلَى هَذَا لَا يُعْتَبَرُ اتِّفَاقُ الطَّرَفَيْنِ وَيَكُونُ الِاعْتِبَارُ بِالْعَامِ الْجَامِعِ لَهُمَا، لِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ ضَمُّ ثِمَارِ الْعَامِ الْوَاحِدِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ اقْتَضَى أَنْ يَجِبَ ضَمُّ زَرْعِ الْعَامِ الْوَاحِدِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ والله أعلم.
Pendapat keempat: bahwa digabungkan apa yang dalam satu tahun telah menghimpun penanaman dan panennya. Dan yang dimaksud dengan “satu tahun” bukanlah dua belas bulan, tetapi yang dimaksud adalah tahun pertanian menurut kebiasaan, yaitu sekitar enam bulan atau semisalnya.
Maka menurut pendapat ini, tidak disyaratkan kesamaan kedua ujung (waktu tanam dan panen), melainkan yang diperhitungkan adalah tahun yang mencakup keduanya. Karena ketika diwajibkan untuk menggabungkan buah-buahan dari satu tahun, maka hal itu menuntut pula agar tanaman dari satu tahun digabungkan sebagian dengan sebagian yang lain. Wallahu a‘lam.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ قَوْلًا مَعْنَاهُ، مَا سُقِيَ بنضحٍ أَوْ غربٍ فَفِيهِ نَصْفُ الْعُشْرِ وَمَا سُقِيَ بِغَيْرِهِ مِنْ عينٍ أَوْ سماءٍ فَفِيهِ الْعُشْرُ وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ مَعْنَى ذَلِكَ، وَلَا أَعْلَمُ فِي ذَلِكَ مُخَالِفًا وَبِهَذَا أَقُولُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الزَّرْعُ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا يَصِلُ إِلَيْهِ الْمَاءُ بِطَبْعِهِ وَجَرَيَانِهِ.
وَالثَّانِي: مَا يَصِلُ إِلَيْهِ بِآلَةٍ وَعَمَلٍ.
Bāb: Kadar ṣadaqah pada apa yang dikeluarkan oleh bumi
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda dengan makna:
‘Apa yang disirami dengan naḍḥ atau gharb maka zakatnya adalah setengah ʿusyur, dan apa yang disirami tanpa alat seperti dengan mata air atau air hujan maka zakatnya adalah satu ʿusyur.’
Dan telah diriwayatkan makna ini dari Ibn ʿUmar, dan aku tidak mengetahui ada yang menyelisihi dalam hal ini. Dan aku berpendapat dengan ini.”
Al-Māwardī berkata:
Ini sebagaimana yang beliau katakan. Tanaman terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: tanaman yang airnya sampai kepadanya secara alami dan mengalir dengan sendirinya.
Kedua: tanaman yang airnya sampai kepadanya melalui alat dan usaha.
فَأَمَّا مَا وَصَلَ إِلَيْهِ بِطَبْعِهِ وَجَرَيَانِهِ، فَهُوَ مَا سُقِيَ بِمَاءِ سَمَاءٍ أَوْ سَيْحٍ مِنْ نَهْرٍ أَوْ عَيْنٍ أَوْ كان بعلا أَوْ عَثَرِيًّا فَفِيهِ الْعُشْرُ وَأَمَّا مَا وَصَلَ إِلَيْهِ الْمَاءُ بِآلَةٍ وَعَمَلٍ فَهُوَ مَا سُقِيَ بغرب أَوْ نَضْحٍ أَوْ دُولَاب أَوْ زُرْنُوقٍ فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ.
وَأَصْلُ ذَلِكَ السُّنَّةُ وَالْعِبْرَةُ، فَالسُّنَّةُ مَا رَوَاهُ أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ما سقته الأنهار والعين ففيه العشر، وما سقته السواقي فَنِصْفُ الْعُشْرِ.
وَرَوَى الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَا سَقَتْهُ السَّمَاءُ وَالْأَنْهَارُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ بَعْلًا فَفِيهِ الْعُشْرُ، وَمَا سُقِيَ بِالسَّوَانِي وَالنَّضْحِ فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ، وَالْبَعْلُ مِنَ النَّخْلِ مَا شَرِبَ بِعُرُوقِهِ، وَقَدْ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بن رواحة هنالك لا أبالي على سقي ولا بعل وإن عظم الإباء.
Adapun apa yang sampai kepadanya air secara alami dan mengalir dengan sendirinya, maka itu adalah yang disiram dengan air hujan, atau aliran dari sungai atau mata air, atau berupa tanaman ba‘l atau ‘atsariyy, maka padanya wajib sepersepuluh (‘usyur).
Adapun apa yang sampai kepadanya air dengan alat dan usaha, yaitu yang disiram dengan alat timba (gharb), atau disiram manual (naḍḥ), atau dengan roda air (dūlāb) atau pipa air (zurnūq), maka padanya wajib setengah dari sepersepuluh.
Dasarnya adalah sunnah dan pertimbangan (‘ibrah):
Adapun sunnah adalah riwayat Abu az-Zubair dari Jabir bahwa Nabi SAW bersabda:
“Apa yang diairi oleh sungai dan mata air, maka padanya (wajib) sepersepuluh, dan apa yang diairi dengan pengaliran (buatan), maka setengah dari sepersepuluh.”
Dan diriwayatkan dari az-Zuhri dari Salim dari ayahnya, yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Apa yang disirami oleh hujan, sungai, dan mata air, atau berupa ba‘l, maka padanya (wajib) sepersepuluh, dan apa yang diairi dengan as-sawānī dan an-naḍḥ, maka padanya setengah dari sepersepuluh.”
Dan ba‘l dari pohon kurma adalah yang menyerap air melalui akarnya. Telah berkata ‘Abdullah bin Rawāhah di sana:
“Aku tidak peduli apakah ia disiram atau tumbuh dengan alami, sekalipun upaya menyiraminya berat.”
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كتب لقطن بن الحارث كِتَابًا ذَكَرَ فِيهِ ” وَفِيمَا سُقِيَ بِالْجَدْوَلِ مِنَ العين المعين العشر من تمرها وَمِمَّا أَخْرَجَ أَرْضُهَا وَفِي الْعِذْيِ شَطْرُهُ بِقِيمَةِ الْأَمِينِ لَا يُزَادُ عَلَيْهِمْ وَظِيفَةٌ وَلَا يُفَرَّقُ ” قَالَ الْأَصْمَعِيُّ: الْعِذْيُ مَا سَقَتْهُ السَّمَاءُ وَهَذَا تَفْسِيرٌ يُخَالِفُ مَا يَقْتَضِيهِ الْخَبَرُ، وَقَالَ أَبُو عمر والعذي، والعدي واحد، والسيل ما جرى من الأنهار والعلل الْمَاءُ بَيْنَ الشَّجَرِ.
Dan telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW menulis sebuah surat untuk Quṭn ibn al-Ḥārith, yang di dalamnya disebutkan:
“Dan pada apa yang disirami dengan al-jadwal dari mata air yang mengalir, zakatnya adalah ʿusyur dari tamr-nya dan dari apa yang dikeluarkan oleh tanahnya. Adapun pada al-ʿidhy, maka setengahnya, sesuai taksiran al-amīn (petugas terpercaya), tanpa melebihi mereka dengan pungutan atau beban tambahan, dan tidak dipisahkan.”
Al-Aṣmaʿī berkata: al-ʿidhy adalah apa yang disirami oleh air hujan. Ini merupakan penafsiran yang bertentangan dengan makna yang ditunjukkan oleh riwayat.
Abū ʿUmar berkata: al-ʿidhy dan al-ʿudiyy adalah satu makna, dan as-sayl adalah air yang mengalir dari sungai, sedangkan al-ʿilal adalah air yang mengalir di sela-sela pepohonan.
وَأَمَّا الْعِبْرَةُ فَمَا تَقَرَّرَ مِنْ أُصُولِ الزَّكَوَاتِ أَنَّ مَا كَثُرَتْ مُؤْنَتُهُ قَلَّتْ زَكَاتُهُ، وَمَا قَلَّتْ مُؤْنَتُهُ كَثُرَتْ زَكَاتُهُ، أَلا تَرَى الرِّكَازَ لما قلت مؤنتها وجب فيها الخمس، وأموال التجارات لما كثرت مؤنتها وجبت فِيهَا رُبُعُ الْعُشْرِ، فَكَذَا الزُّرُوعُ الْمَسْقِيَّةُ بِغَيْرِ آلَةٍ لَمَّا قَلَّتْ مُؤْنَتُهَا وَجَبَ فِيهَا الْعُشْرُ، وَالْمَسْقِيَّةُ بِآلَةٍ لَمَّا كَثُرَتْ مُؤْنَتُهَا وَجَبَ فِيهَا نصف العشر.
Adapun pertimbangan (ʿibrah)-nya adalah apa yang telah ditetapkan dalam kaidah-kaidah zakat, yaitu:
Bahwa setiap harta yang biaya pengeluarannya besar, maka zakatnya sedikit.
Dan setiap yang biaya pengeluarannya sedikit, maka zakatnya banyak.
Tidakkah engkau melihat bahwa rikāz, karena minim biayanya, maka wajib padanya seperlima.
Dan harta perdagangan, karena besarnya biaya pengelolaannya, maka diwajibkan padanya seperempat ʿusyur.
Demikian pula tanaman yang disirami tanpa alat, karena kecil biayanya, maka wajib padanya ʿusyur penuh.
Sedangkan yang disirami dengan alat, karena besarnya biaya, maka wajib padanya setengah ʿusyur.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وما سقي مِنْ هَذَا بنهرٍ أَوْ سيلٍ أَوْ مَا يَكُونُ فِيهِ الْعُشْرُ فَلَمْ يَكْتَفِ بِهِ حَتَّى يسقي بالغرب فالقياس أن ينظر إلى ما عاش في السقيين فَإِنْ عَاشَ بِهِمَا نِصْفَيْنِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْعُشْرِ وَإِنْ عَاشَ بِالسَّيْلِ أَكْثَرَ زِيدَ فِيهِ بقدر ذلك قد قيل ينظر أيهما عاش به أكثر فيكون صَدَقَتُهُ بِهِ وَالْقِيَاسُ مَا وَصَفْتُ وَالْقَوْلُ قَوْلُ رب الزرع يَمِينِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ صَحِيحٌ.
لَا يَخْلُو حال الزرع من ثلاثة أقسام:
أحدهما: أَنْ يَكُونَ جَمِيعُ سَقْيِهِ بِمَاءِ السَّمَاءِ وَالسَّيْحِ فَهَذَا فِيهِ الْعُشْرُ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ جَمِيعُ سَقْيِهِ بِمَاءِ الرِّشَا وَالنَّضْحِ، فَهَذَا فِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahuLlāh berkata:
“Tanaman yang diairi dengan sungai atau aliran air (banjir), yang seharusnya terkena kewajiban ‘usyur, tetapi tidak mencukupkan diri dengan itu hingga disiram lagi dengan gharb (timba), maka secara qiyās dilihat dari kadar hidupnya karena dua jenis pengairan itu. Jika hidupnya bergantung pada keduanya sama rata, maka padanya wajib tiga perempat ‘usyur. Jika lebih banyak hidup karena aliran air, maka ditambah kewajiban sesuai kadar itu. Telah dikatakan: dilihat dari mana ia lebih banyak hidup, maka zakatnya mengikuti yang lebih dominan. Dan qiyās-nya adalah sebagaimana aku sebutkan, dan perkataan yang dipegang adalah pernyataan pemilik tanaman dengan sumpahnya.”
Al-Māwardī berkata:
Dan ini adalah benar.
Keadaan tanaman tidak lepas dari tiga bagian:
Pertama: bahwa seluruh penyiramannya adalah dengan air hujan dan aliran (alami), maka ini wajib ‘usyur (sepersepuluh).
Kedua: bahwa seluruh penyiramannya adalah dengan air timba dan semisalnya (naḍḥ), maka ini wajib setengah dari ‘usyur.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ سَقْيُهُ بِهِمَا جَمِيعًا فذلك ضربان:
أحدهما: أَنْ يَكُونَ فِي زَرْعَيْنِ مُتَمَيِّزَيْنِ سُقِيَ أَحَدُهُمَا بالسحي وَالْآخَرُ بِالنَّضْحِ، فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يُعْتَبَرُ حُكْمُهُ بنفسه، فإذا ضُمَّا فِي مِلْكِ رَجُلٍ وَاحِدٍ أُخِذَ عُشْرُ أَحَدِهِمَا وَنِصْفُ عُشْرِ الْآخَرِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ زَرْعًا وَاحِدًا سُقِيَ بِالنَّضْحِ تَارَةً وَبِالسَّيْحِ أخرى فهذا على ضربي.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ السَّقْيَيْنِ مَعْلُومًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَجْهُولًا: فَإِنْ كَانَ مَعْلُومًا قَدْ ضُبِطَ قَدْرُ سَقْيِهِ بِمَاءِ السَّيْحِ وَقَدْرُ سَقْيِهِ بِمَاءِ النَّضْحِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
Ketiga: bahwa penyiraman dilakukan dengan kedua metode sekaligus, maka ini terbagi dua:
Pertama: terjadi pada dua tanaman yang berbeda dan terpisah — salah satunya disirami dengan air yang mengalir (as-sayḥ), dan yang lainnya dengan alat (an-naḍḥ). Maka masing-masing diberi hukum tersendiri. Jika keduanya dimiliki oleh satu orang, maka diambil ʿusyur dari yang pertama dan setengah ʿusyur dari yang lainnya.
Kedua: terjadi pada satu jenis tanaman yang disirami kadang dengan an-naḍḥ dan kadang dengan as-sayḥ. Ini pun terbagi dua:
Pertama: bila masing-masing jenis penyiraman diketahui secara pasti.
Kedua: bila tidak diketahui secara pasti (tidak bisa ditentukan bagian mana disirami dengan ini dan yang mana dengan itu).
Jika masing-masing diketahui dan bisa dipastikan kadar penyiraman dengan air sayḥ dan kadar penyiraman dengan air naḍḥ, maka itu pun terbagi dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَسَاوَيَا مَعًا فَيَكُونُ نِصْفُ سَقْيِهِ بِمَاءِ السَّيْحِ وَنِصْفُ سَقْيِهِ بِمَاءِ النَّضْحِ فَالْوَاجِبُ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْعُشْرِ، لِأَنَّهُ إِذَا ضُمَّ الْعُشْرُ إِلَى نِصْفِهِ وَأُخِذَ نِصْفُ مَجْمُوعِهِمَا كَانَ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ الْعُشْرِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَفَاضَلَا فَيَكُونُ أَحَدُ السَّقْيَيْنِ أَكْثَرَ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُغَلَّبُ حُكْمُ الْأَكْثَرِ، فَإِنْ كَانَ أَكْثَرُ سَقْيِهِ بِمَاءِ السَّيْحِ فَفِيهِ الْعُشْرُ، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرُ سَقْيِهِ بِمَاءِ النَّضْحِ فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ اسْتِشْهَادًا بِأُصُولِ الشَّرْعِ فِي حُكْمِ الْأَغْلَبِ فِي الْعَدَالَةِ وَالْجَرْحِ، وَفِي الْمَاءِ إِذَا اخْتَلَطَ بِمَائِعٍ، وَلِأَنَّ فِي اعْتِبَارِهِمَا مَشَقَّةً فَرُوعِيَ حُكْمُ أَغْلَبِهِمَا تَخْفِيفًا.
Pertama dari dua keadaan campuran:
Yaitu apabila keduanya seimbang, yaitu setengah dari penyiraman dengan air aliran (sayḥ) dan setengahnya lagi dengan air timba (naḍḥ), maka yang wajib adalah tiga perempat ‘usyur, karena jika ‘usyur digabungkan dengan setengahnya, lalu diambil setengah dari jumlah keduanya, maka hasilnya adalah tiga perempat ‘usyur.
Jenis kedua: apabila salah satu dari dua penyiraman itu lebih dominan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: dihukumi dengan yang lebih dominan. Jika penyiraman dengan air aliran lebih dominan, maka wajib ‘usyur. Dan jika penyiraman dengan air timba lebih dominan, maka wajib setengah ‘usyur. Hal ini berdasarkan istidlāl dari kaidah-kaidah syariat dalam penetapan hukum berdasarkan dominasi (aghlabiyah), seperti dalam masalah keadilan dan cacat kesaksian, dan dalam kasus air yang bercampur dengan cairan lain. Dan karena dalam mempertimbangkan keduanya terdapat kesulitan, maka diperhatikan hukum yang lebih dominan sebagai bentuk keringanan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ يُعْتَبَرَانِ مَعًا وَيُؤْخَذُ مِنَ الزَّرْعِ بِحِسَابِهِمَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْجَبَ الْعُشْرَ فِيمَا سَقَتْهُ السَّمَاءُ وَنِصْفَ الْعُشْرِ فِيمَا سَقَتْهُ النَّوَاضِحُ، فَوَجَبَ أَنْ يُعَلَّقَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْحُكْمَيْنِ عَلَى مَا عَلَّقَهُ عَلَيْهِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَفِي اعْتِبَارِ حُكْمِ الْأَغْلَبِ تَغْلِيبٌ لِحُكْمِ الْأَقَلِّ عليه، وذلك غير جائز، ولأنه لما اعتبر فِي الزَّرْعَيْنِ وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا أَغْلَبَ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَا فِي الزَّرْعِ الْوَاحِدِ وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا أَغْلَبَ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ إِنْ كَانَ ثُلُثُ سَقْيِهِ بِالسَّيْحِ وَثُلُثَا سَقْيِهِ بِالنَّضْحِ فَفِيهِ ثُلُثَا الْعُشْرِ، وَإِنْ كَانَ ثُلُثُ سَقْيِهِ بِالنَّضْحِ وَثُلُثَا سَقْيِهِ بِالسَّيْحِ فَفِيهِ خَمْسَةُ أَسْدَاسِ الْعُشْرِ، ثُمَّ عَلَى هَذِهِ الْعِبْرَةِ فِيمَا قَلَّ وَكَثُرَ واعتبار ذلك بأعداد السقيات التي يحيي الزَّرْعُ بِهَا، فَإِذَا سُقِيَ بِالسَّيْحِ خَمْسُ سَقْيَاتٍ وَبِالنَّضْحِ عَشْرُ سَقْيَاتٍ كَانَ ثُلُثُهُ بِالسَّيْحِ وَثُلُثَاهُ بالنضح.
Pendapat kedua — dan inilah yang ṣaḥīḥ — bahwa keduanya dipertimbangkan bersama dan zakat diambil dari tanaman sesuai dengan perhitungan keduanya; karena Nabi SAW mewajibkan ʿusyur pada apa yang disirami oleh langit, dan setengah ʿusyur pada apa yang disirami oleh alat (nawāḍiḥ), maka wajib untuk menggantungkan setiap hukum pada sebab yang digantungkan oleh Nabi SAW kepadanya.
Dan jika hanya mempertimbangkan hukum dari yang lebih dominan (lebih banyak), maka itu berarti mengalahkan hukum yang lebih sedikit atas yang lebih kuat, dan itu tidak diperbolehkan.
Karena ketika zakat dipisahkan pada dua jenis tanaman — meskipun salah satunya lebih dominan — maka wajib pula dipisahkan dalam satu tanaman yang disirami dengan dua cara, meskipun salah satunya lebih dominan.
Berdasarkan pendapat ini:
- Jika sepertiga penyiraman dilakukan dengan as-sayḥ dan dua pertiganya dengan an-naḍḥ, maka zakatnya adalah dua pertiga dari ʿ
- Jika sepertiga penyiraman dengan an-naḍḥ dan dua pertiganya dengan as-sayḥ, maka zakatnya adalah lima perenam ʿ
Kemudian perhitungan ini berlaku baik sedikit maupun banyak, dan yang menjadi patokan adalah jumlah siraman yang menghidupkan tanaman.
Maka jika tanaman disirami dengan as-sayḥ sebanyak lima kali dan dengan an-naḍḥ sebanyak sepuluh kali, berarti sepertiganya dengan as-sayḥ dan dua pertiganya dengan an-naḍḥ.
فصل
: وإن جهل قدر السقيتين وَشَكَّ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ أَحَدَهُمَا أَكْثَرُ وَيَشُكّ فِي أَيِّهِمَا هُوَ الأكثر وإن قِيلَ بِمُرَاعَاةِ الْأَغْلَبِ وَاعْتِبَارِ الْأَكْثَرِ فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ، لِأَنَّهُ الْيَقِينُ، وَإِنْ قِيلَ بِمُرَاعَاتِهِمَا وَاعْتِبَارِ حسابهما، قلنا عَلَى يَقِينٍ مِنْ قَدْر وَاجِبِهِ، غَيْرَ أَنَّنَا نعلم أنه ينقص عن العشر ويزيد عن نصف العشر، فيأخذ قدر اليقين ويتوقف على الْبَاقِي حَتَّى يَسْتَبِينَ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَشُكَّ هَلْ هما سَوَاءٌ أَوْ أَحَدُهُمَا أَكَثُرُ، فَإِنْ قِيلَ بِاعْتِبَارِ الْأَكْثَرِ فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ، لِأَنَّهُ الْيَقِينُ وَإِنْ قِيلَ: بِاعْتِبَارِهِمَا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ. فِيهِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْعُشْرِ، لِأَنَّهُ أَعْدَلُ الْحَالَيْنِ وَأَثْبَتُ لِحُكْمِ السَّقْيَيْنِ.
PASAL
Apabila tidak diketahui kadar dua jenis penyiraman dan ia ragu, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
Pertama: ia mengetahui bahwa salah satu dari keduanya lebih dominan, namun ia ragu yang mana yang lebih dominan. Maka jika dikatakan menggunakan pertimbangan yang dominan dan memperhatikan yang lebih banyak, maka yang wajib adalah setengah ‘usyur, karena itu yang yakin. Dan jika dikatakan harus mempertimbangkan keduanya dan menghitung perbandingannya, maka kita katakan: kita yakin terhadap kadar yang wajib, hanya saja kita tahu bahwa kewajiban itu lebih sedikit dari ‘usyur penuh namun lebih banyak dari setengah ‘usyur, maka diambil kadar yang yakin dan sisanya ditangguhkan sampai kejelasan datang.
Kedua: ia ragu apakah keduanya seimbang atau salah satunya lebih dominan. Maka jika dikatakan dengan pertimbangan yang lebih dominan, maka yang wajib adalah setengah ‘usyur, karena itu yang yakin. Dan jika dikatakan harus mempertimbangkan keduanya, maka ada dua wajah:
Pertama: yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, bahwa yang wajib adalah tiga perempat ‘usyur, karena itu adalah posisi yang lebih adil dari dua keadaan dan lebih kuat dalam menetapkan hukum untuk dua jenis penyiraman.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُؤْخَذُ زِيَادَةٌ عَلَى نِصْفِ الْعُشْرِ بِشَيْءٍ، وَإِنْ قَلَّ وَهُوَ قَدْرُ الْيَقِينِ وَيُتَوَقَّفُ عَنِ الْبَاقِي حَتَّى يَسْتَبِينَ اعْتِبَارًا بِبَرَاءَةِ الذِّمَّةِ، وَإِسْقَاطًا لِحُكْمِ الشَّكِّ، فَأَمَّا زَرْعُ النَّوَاضِحِ إِذَا سَقَتْهُ السَّمَاءُ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ غَيْرَ مَقْصُودَةٍ فَلَا اعْتِبَارَ بِهِ، فَلَوِ اخْتَلَفَ رب المال والوالي وادعى الْوَالِي مَا يُوجِبُ كَمَالَ الْعُشْرِ، وَادَّعَى رَبُّ الْمَالِ مَا يُوجِبُ الِاقْتِصَارَ عَلَى نِصْفِ الْعُشْرِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ رَبِّ الْمَالِ مَعَ يَمِينِهِ، وَهَذِهِ اليمين استظهار، لأنها لا تُطَابِقُ ظَاهِرَ الدَّعْوَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
dan pendapat yang kedua: diambil tambahan atas setengah ‘usyur dengan sesuatu, sekalipun sedikit, yaitu sebesar kadar yang diyakini, dan ditangguhkan sisanya hingga menjadi jelas, sebagai bentuk menjaga kebebasan tanggungan dan menggugurkan hukum keraguan. Adapun tanaman yang disiram oleh unta pengangkut air (nawāḍiḥ) lalu disiram oleh air hujan sekali atau dua kali tanpa sengaja, maka tidak dianggap. Maka jika terjadi perselisihan antara pemilik harta dan petugas, lalu petugas mengklaim hal yang mewajibkan sempurnanya ‘usyur, dan pemilik harta mengklaim hal yang mewajibkan terbatasnya pada setengah ‘usyur, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan pemilik harta disertai sumpahnya. Sumpah ini adalah sumpah istizhār, karena tidak sepenuhnya sesuai dengan lahirnya dakwaan. Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَخْذُ الْعُشْرِ أَنْ يُكَالَ لِرَبِّ الْمَالِ تِسْعَةٌ وَيَأْخُذَ الْمُصَدِّقُ الْعَاشِرَ وَهَكَذَا نِصْفُ الْعُشْرِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
إِذَا أَرَادَ السَّاعِي مقاسمة رب المال بدأ أولاً نصيبه لكثرة حقه، فإن نَصِيبَ الْمَسَاكِينِ لَا يُعْرَفُ إِلَّا بِهِ، فَإِنْ وَجَبَ فِي مَالِهِ الْعُشْرُ كَانَ لَهُ تِسْعَةُ أَقْفِزَةٍ وَأَخَذَ الْعَاشِرَ وَإِنْ وَجَبَ فِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ كَانَ لَهُ تِسْعَةَ عَشَرَ قَفِيزًا وَأَخَذَ قَفِيزًا، وَإِن وَجَبَ ثُلُثَا الْعُشْرِ كَانَ لَهُ أَرْبَعَةَ عَشَرَ قَفِيزًا، وَأَخَذَ قَفِيزًا ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ فِيمَا قَلَّ وَكَثُرَ، وَلَا يَجُوزُ إذا وجب العشر أن يكتال لَهُ عَشْرَةً وَيَأْخُذَ هُوَ وَاحِدًا، لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ عُشْرًا، وَإِنَّمَا يَكُونُ جُزْءًا مِنْ أَحَدَ عَشَرَ جُزْءًا، فَأَمَّا صِفَةُ الْكَيْلِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ بِلَا دَقٍّ وَلَا زَلْزَلَةٍ وَلَا تَحْرِيكٍ، لِمَا فِيهِ مِنَ الْمَيْلِ وَأَخْذِ الْفَضْلِ، وَلَا يَضَعُ يَدَهُ فَوْقَ الْمِكْيَالِ، وَيَضَعُ عَلَى رَأْسِ الْمِكْيَالِ مَا أَمْسَكَ رَأْسَهُ مِنْ غَيْرِ دَفْعِ زِيَادَةٍ، فَإِنَّ ذَلِكَ أَصَحُّ الْكَيْلِ وَأَوْلَاهُ.
MASALAH:
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Pengambilan ‘usyur adalah dengan ditakar untuk pemilik harta sebanyak sembilan bagian, lalu petugas zakat mengambil bagian kesepuluh. Begitu pula jika setengah ‘usyur.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
Jika petugas (sā‘ī) hendak membagi dengan pemilik harta, maka ia memulai dengan memberikan bagian pemilik harta terlebih dahulu karena bagian para miskin tidak akan diketahui kecuali setelah itu. Jika wajib atas hartanya zakat ‘usyur, maka ia memperoleh sembilan qafīz dan petugas mengambil yang kesepuluh. Jika wajib atasnya setengah dari ‘usyur, maka ia memperoleh sembilan belas qafīz dan petugas mengambil satu qafīz. Jika wajib atasnya dua pertiga dari ‘usyur, maka ia memperoleh empat belas qafīz dan petugas mengambil satu qafīz. Begitulah seterusnya dalam segala yang lebih sedikit maupun lebih banyak.
Tidak boleh jika yang wajib adalah ‘usyur, lalu ditakar sepuluh untuk pemilik harta dan petugas mengambil satu darinya, karena itu bukanlah sepersepuluh, melainkan bagian dari sebelas bagian.
Adapun tata cara menakar, Imam Syafi‘i berkata: tanpa menekan, mengguncang, atau menggerakkan, karena semua itu mengandung kecenderungan dan pengambilan kelebihan. Tidak boleh pula ia meletakkan tangan di atas takaran. Tetapi hendaknya ia meletakkan sesuatu di atas mulut takaran yang meratakan bagian atasnya tanpa mendorong tambahan, karena demikian itu adalah takaran yang paling sahih dan paling tepat.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُؤْخَذُ الْعُشْرُ مَعَ خَرَاجِ الْأَرْضِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
أَرْضُ الْخَرَاجِ مِنْ سَوَادِ كِسْرَى يَجِبُ أَدَاءُ خَرَاجِهَا وَيَكُونُ أُجْرَةً وَيُؤْخَذُ عُشْرُ زَرْعِهَا وَيَكُونُ صَدَقَةً، لَا يَسْقُطُ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “‘Usyur tetap diambil bersama dengan kharāj tanah.”
Al-Māwardī berkata: dan ini sebagaimana yang dikatakan:
Tanah kharāj dari wilayah Sawād Kisrā wajib dibayarkan kharāj-nya sebagai sewa, dan diambil ‘usyur dari hasil tanamannya sebagai ṣadaqah (zakat). Salah satunya tidak menggugurkan yang lainnya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: الْخَرَاجُ جِزْيَةٌ يُؤَدَّى وَلَا يُؤْخَذُ الْعُشْرُ مِنْ زَرْعِهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْتَمِعَا اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَتِهِ عَنْ حَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” الْعُشْرُ وَالْخَرَاجُ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي أَرْضِ مُسْلِمٍ ” وَبِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” مَنَعَتِ الْعِرَاقُ قَفِيزَهَا وَدِرْهَمَهَا ” فَالدِّرْهَمُ الْخَرَاجُ، والقفيز العشر، وقد أخبر أن العراق هي أرض الخراج يمنع منها، وبما روي أن دهقان نهر الملك وهو: فيروز بن يزدجرد لما أسلم قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَلِّمُوا إِلَيْهِ أَرْضَهُ، وَخُذُوا مِنْهُ الْخَرَاجَ، فَأَمَرَ بِأَخْذِ الْخَرَاجِ، وَلَمْ يَأْمُرْ بِأَخْذِ الْعُشْرِ، وَلَوْ وَجَبَ لَأَمَرَ بِهِ، قَالُوا وَلِأَنَّ الْخَرَاجَ يَجِبُ بِالْمَعْنَى الَّذِي يَجِبُ بِهِ الْعُشْرُ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْخَرَاجَ يَجِبُ لِأَجْلِ مَنْفَعَةِ الْأَرْضِ وَالْعُشْرُ لِهَذَا الْمَعْنَى وَجَبَ، يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ الْأَرْضَ لَوْ كَانَتْ سَبَخَةً لَمْ يَجِبْ فِيهَا خَرَاجٌ وَلَا عُشْرٌ، لِأَنَّهَا لَا مَنْفَعَةَ لَهَا، فَإِذَا كان كل واحد منهما يجب بما يَجِبُ بِهِ الْآخَرُ لَمْ يَجُزِ اجْتِمَاعُهُمَا، أَلَا ترى أَنَّهُ لَوْ مَلَكَ لِلتِّجَارَةِ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ سَائِمَةً لَمْ تَجِبْ فِيهَا الزَّكَاتَانِ مَعًا، وَلِأَنَّ الْخَرَاجَ يَجِبُ بِحُكْمِ الشِّرْكِ وَالْعُشْرَ يَجِبُ بِحُكْمِ الْإِسْلَامِ وَهُمَا مُتَنَافِيَانِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْتَمِعَا.
Dan Abū Ḥanīfah berkata: Kharāj adalah jizyah yang dibayarkan, dan tidak diambil ‘usyur dari hasil tanamannya, serta tidak boleh keduanya digabungkan, dengan dalil riwayat dari Ḥammād bin Abī Sulaimān, dari Ibrāhīm al-Nakha‘ī, dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas‘ūd bahwa Nabi SAW bersabda: “‘Usyur dan kharāj tidak berkumpul dalam tanah seorang muslim.”
Dan dengan riwayat Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Irak telah menahan qafīz-nya dan dirham-nya,” maka dirham adalah kharāj dan qafīz adalah ‘usyur. Beliau mengabarkan bahwa Irak adalah tanah kharāj yang dicegah darinya.
Dan dengan riwayat bahwa dihqān (tuan tanah) Nahr al-Malik yaitu Fayrūz bin Yazdajird, ketika ia masuk Islam, ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA berkata: “Serahkan kepadanya tanahnya dan ambillah darinya kharāj.” Maka beliau memerintahkan pengambilan kharāj dan tidak memerintahkan pengambilan ‘usyur, dan seandainya ‘usyur wajib, tentu beliau akan memerintahkannya.
Mereka (pengikut Abū Ḥanīfah) juga berkata: Karena kharāj diwajibkan dengan sebab yang sama dengan sebab diwajibkannya ‘usyur, yaitu karena adanya manfaat dari tanah. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa jika tanah itu tanah asin (sabakhah), maka tidak wajib atasnya kharāj maupun ‘usyur, karena tanah itu tidak memiliki manfaat. Maka jika keduanya wajib karena satu sebab, maka tidak boleh keduanya berkumpul.
Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang memiliki lima ekor unta sā’imah untuk perdagangan, tidak wajib atasnya dua zakat sekaligus?
Dan karena kharāj diwajibkan berdasarkan hukum syirk sedangkan ‘usyur diwajibkan berdasarkan hukum Islam, dan keduanya saling bertentangan, maka tidak boleh keduanya digabungkan.
والدليل على ما قلناه مِنْ جَوَازِ اجْتِمَاعِهِمَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ فَعَمَّ وَلَمْ يَخُصَّ ولأنه حكم يَتَعَلَّقُ بِالْمُسْتَفَادِ مِنْ غَيْرِ أَرْضِ الْخَرَاجِ فَجَازَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِالْمُسْتَفَادِ مِنْ أَرْضِ الْخَرَاجِ كَالْمَعَادِنِ، وَلِأَنَّ الْعُشْرَ [وَجَبَ بِالنَّصِّ وَالْخَرَاجَ وَجَبَ بِالِاجْتِهَادِ، وَمَا وَرَدَ بِهِ النَّصُّ أَثْبَتُ حُكْمًا فَلَمْ يَجُزْ إِبْطَالُهُ بِمَا هُوَ أَضْعَفُ مِنْهُ حُكْمًا، وَلِأَنَّ الْخَرَاجَ] أُجْرَةٌ لَا جِزْيَةٌ، لِجَوَازِ أَخْذِهِ من المسلم، وإذا كان أُجْرَةً لَمْ يَمْنَعْ وُجُوبَ الْعُشْرِ كَالْأَرْضِ الْمُسْتَأْجَرَةِ وَلِأَنَّهُمَا حَقَّانِ مُخْتَلِفَانِ وَجَبَا بِسَبَبَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ فَجَازَ اجْتِمَاعُهُمَا كَالْمُحْرِمِ إِذَا قَتَلَ صَيْدًا مَمْلُوكًا، وَاخْتِلَافُ حقهما أن العشر يَجِبُ لِأَهْلِ السُّهْمَانِ وَالْخَرَاجَ دَارَهِمُ تَجِبُ لِبَيْتِ الْمَالِ، وَاخْتِلَافُ مُوجِبِهِمَا أَنَّ الْخَرَاجَ وَاجِبٌ فِي رَقَبَةِ الْأَرْضِ وُجِدَتِ الْمَنْفَعَةُ أَوْ فُقِدَتْ، وَالْعُشْرُ وَاجِبُ الْمَنْفَعَةِ، وَيَسْقُطُ بِفَقْدِ الْمَنْفَعَةِ فَلَمْ يَجُزْ إِسْقَاطُ أَحَدِ الْحَقَّيْنِ بِالْآخَرِ تَشْبِيهًا بِمَا ذَكَرْنَا.
Dan dalil atas apa yang kami sebutkan tentang bolehnya penggabungan keduanya adalah sabda Nabi SAW: “Pada apa yang disiram oleh hujan, wajib dikenakan ‘usyur,” maka sabda ini bersifat umum dan tidak dikhususkan.
Dan karena ia adalah hukum yang berkaitan dengan hasil yang diperoleh dari selain tanah kharāj, maka boleh juga dikenakan atas hasil dari tanah kharāj, sebagaimana (zakat pada) barang tambang.
Dan karena ‘usyur diwajibkan berdasarkan nash, sedangkan kharāj diwajibkan berdasarkan ijtihād, dan apa yang ditetapkan dengan nash lebih kuat ketetapannya, maka tidak boleh dibatalkan dengan yang lebih lemah darinya.
Dan karena kharāj adalah ujrah (sewa), bukan jizyah, sebab boleh diambil dari seorang muslim. Dan bila ia adalah ujrah, maka tidak menghalangi kewajiban ‘usyur, sebagaimana tanah yang disewa.
Dan karena keduanya adalah dua hak yang berbeda, wajib karena dua sebab yang berbeda, maka boleh digabungkan keduanya, sebagaimana orang yang beriḥrām bila membunuh hewan buruan milik orang lain.
Perbedaan hak antara keduanya adalah: ‘usyur wajib bagi para penerima bagian (ahl al-sahmān), sedangkan kharāj wajib bagi Bayt al-Māl.
Perbedaan sebab keduanya adalah: kharāj wajib pada kepemilikan tanah, baik manfaatnya ada ataupun tidak, sedangkan ‘usyur wajib karena adanya manfaat, dan gugur bila manfaat tidak ada. Maka tidak boleh salah satu dari dua hak itu digugurkan karena yang lainnya, sebagaimana penyerupaan yang telah kami sebutkan.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ الْعُشْرُ وَالْخَرَاجُ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي أَرْضِ مُسْلِمٍ فَهُوَ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ رواية إسحاق بْنِ عَنْبَسَةَ، وَقِيلَ إِنَّهُ يَضَعُ الْحَدِيثَ، وَلَوْ صَحَّ لَمْ يَكُنْ مَنْعُ اجْتِمَاعِهِمَا دَالًّا عَلَى إِسْقَاطِ الْعُشْرِ بِأَوْلَى مِنْ أَنْ يَكُونَ دَالًّا عَلَى إِسْقَاطِ الْخَرَاجِ، وَلَوْ سَلِمَ مِنْ هَذَا الْقَلْبِ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى الْخَرَاجِ الَّذِي هُوَ جزية تجب على الذمي ويسقط عن المسلمين وَبِمِثْلِهِ يُجَابُ عَنْ قَوْلِهِ مَنَعَتِ الْعِرَاقُ دِرْهَمَهَا وَقَفِيزَهَا إِنْ صَحَّ، وَلَا أَرَاهُ صَحِيحًا عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَكَرَ الْفِتَنَ ثُمَّ رُوِيَ أَنَّهُ قَالَ بَعْدَ أَنْ ذَكَرَهَا مَنَعَتِ الْعِرَاقُ دِرْهَمَهَا وَقَفِيزَهَا، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ سَبَبَ الْمَنْعِ مَا ذَكَرَهُ مِنَ الْفِتَنِ، وَلَوْلَاهَا لَمْ يَكُنْ مَانِعًا مِنْهَا فَكَانَ دَالًّا عَلَى صِحَّةِ مَذْهَبِنَا مُبْطِلًا لِمَذْهَبِهِمْ.
Adapun jawaban atas sabda beliau: “‘Usyur dan kharāj tidak berkumpul dalam tanah seorang muslim” adalah bahwa hadis tersebut adalah hadis ḍa‘īf, diriwayatkan oleh Isḥāq bin ‘Anbasah, dan telah dikatakan bahwa ia adalah pendusta yang membuat hadis.
Seandainya hadis itu ṣaḥīḥ, maka larangan berkumpulnya keduanya tidak secara khusus menunjukkan gugurnya ‘usyur, bahkan lebih utama untuk dipahami sebagai dalil atas gugurnya kharāj.
Seandainya lolos dari pembalikan seperti ini, maka hadis itu dapat dibawa maknanya kepada kharāj yang merupakan jizyah yang wajib atas dzimmī dan gugur dari kaum muslimin. Dengan cara seperti ini pula dijawab ucapan beliau: “Irak menahan dirham-nya dan qafīz-nya,” jika memang hadis ini ṣaḥīḥ, padahal aku tidak menganggapnya ṣaḥīḥ.
Telah disebutkan bahwa Rasulullah SAW menyebutkan fitnah-fitnah, lalu diriwayatkan bahwa beliau bersabda setelah menyebutkannya: “Irak menahan dirham-nya dan qafīz-nya.” Maka hal itu menunjukkan bahwa sebab penahanan tersebut adalah karena fitnah-fitnah yang disebutkannya. Seandainya tidak karena fitnah itu, tentu tidak akan tertahan, dan ini menunjukkan kebenaran mazhab kami serta membatalkan mazhab mereka.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عُمَرَ فِي دِهْقَانِ نَهْرِ الْمَلِكِ، فَلَا يَدُلُّ عَلَى إِسْقَاطِ الْعُشْرِ، وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى إِيجَابِ الْخَرَاجِ، فَإِنْ قِيلَ لَوْ وَجَبَ الْعُشْرُ لَأَمَرَ بِهِ، قِيلَ الْعُشْرُ إِنَّمَا يَجِبُ فِي الزَّرْعِ وَلَعَلَّهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ زَرْعٌ، أَوْ لَمْ يَكُنْ وَقْتَ حَصَادِ الزَّرْعِ، أَوْ لَمْ يَكُنْ مَنْ أَمَرَهُ بِأَخْذِ الْخَرَاجِ، وَالِيًا عَلَى جِبَايَةِ الْعُشْرِ.
وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّ الْخَرَاجَ يَجِبُ بِالْمَعْنَى الَّذِي يَجِبُ بِهِ الْعُشْرُ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْخَرَاجَ يَجِبُ فِي رَقَبَةِ الْأَرْضِ وَالْعُشْرَ يَجِبُ فِي الزَّرْعِ.
وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّ الْخَرَاجَ مِنْ أَحْكَامِ الشِّرْكِ، وَالْعُشْرَ مِنْ أَحْكَامِ الْإِسْلَامِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ عَلَى مَذْهَبِهِ لِأَنَّهُ يُوجِبُ الْعُشْرَ عَلَى الذِّمِّيِّ ثُمَّ غَيْرُ صَحِيحٍ عَلَى مَذْهَبِنَا، لِأَنَّ الْخَرَاجَ لَيْسَ من أحكام الشرك لجواز أخذه من المسلمين.
Adapun jawaban terhadap hadis ‘Umar tentang dihqān (tuan tanah) Nahr al-Malik, maka hadis itu tidak menunjukkan pengguguran ‘usyur, melainkan hanya menunjukkan kewajiban kharāj.
Jika dikatakan: “Seandainya ‘usyur itu wajib, tentu ‘Umar akan memerintahkannya,” maka jawabannya: ‘usyur hanya wajib pada tanaman, dan boleh jadi ia tidak memiliki tanaman, atau belum tiba waktu panen tanaman, atau orang yang diperintahkan ‘Umar untuk mengambil kharāj bukanlah pejabat yang bertugas memungut ‘usyur.
Adapun ucapannya bahwa kharāj itu wajib dengan sebab yang sama dengan sebab diwajibkannya ‘usyur, maka itu tidak benar. Karena kharāj itu wajib pada kepemilikan tanah, sedangkan ‘usyur wajib pada tanaman.
Adapun ucapannya bahwa kharāj termasuk hukum-hukum syirik, sedangkan ‘usyur termasuk hukum-hukum Islam, maka itu tidak benar menurut mazhabnya, karena ia mewajibkan ‘usyur atas dzimmī, dan tidak benar pula menurut mazhab kami, karena kharāj bukan termasuk hukum-hukum syirik, sebab boleh diambil dari kaum muslimin.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْأَرْضُ الْمُسْتَأْجَرَةُ فَعُشْرُ زَرْعِهَا وَاجِبٌ، وَهُوَ عِنْدَنَا عَلَى الْمُسْتَأْجِرِ مَالِكِ الزَّرْعِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: على المؤجر مالك الأرض بسببين.
أحدهما: أن العشر مُقَابَلَةِ الْمَنْفَعَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَ مَالِكَ الْأَرْضِ كَالْخَرَاجِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْعُشْرَ مِنْ مُؤَنِ الْأَرْضِ فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِمَالِكِ الْأَرْضِ كَحَفْرِ الْآبَارِ وكرى الْأَنْهَارِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى فَسَادِ مَا تَفَرَّدَ بِهِ أبو حنيفة مِنْ هَذَا الْمَذْهَبِ قَوْله تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنْفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ) {البقرة: 267) وَالزَّرْعُ مُخْرَجٌ لِلْمُسْتَأْجِرِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَوَجَّهَ حق الإنفاق عليه على أنه أمر بالاتفاق مَنْ مَنَّ عَلَيْهِ بِالْإِخْرَاجِ وَقَالَ تَعَالَى: {كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ) {الأنعام: 141) فَأَمَرَ بِإِيتَاءِ الْحَقِّ مَنْ أَبَاحَ لَهُ الْأَكْلَ، وَالْأَكْلُ مُبَاحٌ لِلْمُسْتَأْجِرِ فَوَجَبَ أَنْ يكون الحق واجباً على المستأجر دون المؤاجر، ولأنه زرع لو كان لمالك الأرض يوجب عليه الْعُشْرُ فَوَجَبَ إذا كان مِلْكًا لِغَيْرِهِ أَنْ يَكُونَ الْعُشْرُ عَلَى مَالِكِهِ كَالْمُسْتَعِيرِ، وَلِأَنَّهُ حَقٌّ في مال يجب أَدَاؤُهُ عَنْ مَالٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَلَى مَالِكِ الْمَالِ كَالْخَرَاجِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ جَمْعِهِ بَيْنَ الْعُشْرِ وَالْخَرَاجِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْخَرَاجَ عَنْ رَقَبَةِ الْأَرْضِ فَوَجَبَ عَلَى مَالِكِهَا، وَالْعُشْرُ عَنِ الزَّرْعِ فَوَجَبَ عَلَى مَالِكِهِ، وَالْجَوَابُ عَنْ جَمْعِهِ بَيْنَ الْعُشْرِ وَالْمُؤْنَةِ فَمِثْلُهُ سَوَاءٌ.
PASAL
Adapun tanah yang disewakan, maka zakat ‘usyur atas hasil tanamannya adalah wajib, dan menurut kami, kewajiban itu atas penyewa (musta’jir), yaitu pemilik tanaman.
Sedangkan Abū Ḥanīfah berkata: (kewajiban itu) atas pemilik tanah (mu’ajjir), karena dua alasan:
Pertama, karena ‘usyur adalah sebagai ganti dari manfaat (tanah), maka wajib atas pemilik tanah sebagaimana kharāj.
Kedua, karena ‘usyur termasuk beban tanah (mu’nah al-arḍ), maka seharusnya khusus bagi pemilik tanah, sebagaimana menggali sumur, menggali sungai, dan sebagainya.
Dalil atas rusaknya pendapat yang dipegang sendiri oleh Abū Ḥanīfah dalam mazhab ini adalah firman Allah Ta‘ālā:
“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi” (QS al-Baqarah: 267)
Dan tanaman itu adalah hasil yang dikeluarkan untuk penyewa, maka wajiblah hak infak itu tertuju kepadanya.
Juga karena ayat tersebut memerintahkan kepada siapa yang telah dianugerahi hasil bumi.
Dan firman-Nya Ta‘ālā:
“Makanlah dari buahnya apabila berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya.” (QS al-An‘ām: 141)
Allah memerintahkan untuk menunaikan hak itu kepada siapa yang dihalalkan memakannya, sedangkan yang dihalalkan makan adalah penyewa, maka wajiblah hak itu atas penyewa, bukan atas pemilik tanah.
Karena itu adalah tanaman yang jika dimiliki oleh pemilik tanah maka mewajibkan zakat ‘usyur, maka bila ia dimiliki oleh orang lain, wajib pula ‘usyur atas pemiliknya, sebagaimana peminjam (al-musta‘īr).
Dan karena itu adalah hak yang wajib ditunaikan atas suatu harta, maka wajib atas pemilik harta, sebagaimana kharāj.
Adapun jawaban atas penggabungan antara ‘usyur dan kharāj, maka itu tidak sah, karena kharāj berkaitan dengan kepemilikan tanah, maka wajib atas pemilik tanah. Sedangkan ‘usyur berkaitan dengan hasil tanaman, maka wajib atas pemilik tanaman.
Dan jawaban atas penggabungan antara ‘usyur dan beban tanah, maka kedudukannya pun sama saja.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الذِّمِّيُّ فَلَا يَجِبُ فِي زُرُوعِهِ وَلَا ثِمَارِهِ الْعُشْرُ.
وَقَالَ أبو حنيفة بِوُجُوبِ الْعُشْرِ فِي زُرُوعِهِ وَثِمَارِهِ تَعَلُّقًا بِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرَ ” وَلِأَنَّهُ حَقٌّ وَجَبَ لأجل منفعة الأرض فوجب أن يستوي فيه المسلم والكفار كَالْخَرَاجِ، وَهَذَا غَلَطٌ وَلَنَا فِي الْمَسْأَلَةِ طَرِيقَانِ:
أحدهما: أن يدل عَلَى أَنَّ الْعُشْرَ زَكَاةٌ بِقَوْلِهِ فِي الْكَرْمِ يَخْرُصُ كَمَا يَخْرُصُ النَّخْلُ ثُمَّ تُؤَدَّى زَكَاتُهُ زَبِيبًا كَمَا تُؤَدَّى زَكَاةُ النَّخْلِ تَمْرًا، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ زَكَاةٌ دَلَلْنَا عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ فِي مَالِ الذِّمِّيِّ بِأَنَّهُ حَقٌّ مَأْخُوذٌ بِاسْمِ الزَّكَاةِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ عَلَى الذِّمِّيِّ كَسَائِرِ الزَّكَوَاتِ، وَالطَّرِيقَةُ الْأُخْرَى أَنَّهُ حَقٌّ يصرف في أَهْلِ الصَّدَقَاتِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ عَلَى الذِّمِّيِّ كَالزَّكَوَاتِ، فَأَمَّا عُمُومُ الْخَبَرِ فَمَخْصُوصٌ بِمَا ذكرنا.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْخَرَاجِ فَمَا ذَكَرْنَا قَبْلُ مِنِ اخْتِلَافِ مُوجِبِهِمَا مَانِعٌ مِنْ صِحَّةِ الْجَمْعِ بينهما.
PASAL
Adapun dzimmī, maka tidak wajib ‘usyur atas tanaman dan buah-buahannya.
Abu Ḥanīfah berpendapat bahwa ‘usyur wajib atas tanaman dan buah-buahannya, dengan bersandar pada keumuman sabda Nabi SAW: “Pada apa yang disiram oleh langit wajib dikenakan ‘usyur.”
Dan karena ‘usyur adalah hak yang diwajibkan karena manfaat tanah, maka seharusnya disamakan antara muslim dan kafir sebagaimana kharāj.
Namun ini adalah kekeliruan.
Kami memiliki dua cara dalam menjawab masalah ini:
Pertama, menunjukkan bahwa ‘usyur adalah zakat, berdasarkan sabda beliau tentang anggur: “Dikhars seperti dikharsnya kurma, kemudian dikeluarkan zakatnya dalam bentuk zabīb sebagaimana zakat kurma dibayarkan dalam bentuk tamr.”
Maka jika telah tetap bahwa ‘usyur adalah zakat, kami tunjukkan bahwa ia tidak wajib atas harta dzimmī, karena ia adalah hak yang diambil dengan nama zakat, maka tidak wajib atas dzimmī, sebagaimana zakat-zakat lainnya.
Cara yang kedua: bahwa ‘usyur adalah hak yang disalurkan kepada ahl al-ṣadaqāt, maka tidak wajib atas dzimmī, sebagaimana zakat-zakat lainnya.
Adapun keumuman hadis itu, maka telah dikhususkan dengan apa yang kami sebutkan.
Dan adapun qiyās dengan kharāj, maka apa yang telah kami sebutkan sebelumnya dari perbedaan sebab kewajibannya, mencegah keabsahan penggabungan antara keduanya.
فَصْلٌ
: فَلَوِ ابْتَاعَ ذِمِّيٌّ مِنْ مُسْلِمٍ ثَمَرَةً قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا فَبَدَا صَلَاحُهَا فِي مِلْكِهِ لَمْ يَجِبْ فِيهَا زَكَاةٌ، لِأَنَّهَا مِلْكُ ذِمِّيٍّ، فَلَوِ ابْتَاعَهَا مِنْ مُسْلِمٍ بَعْدَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ زَكَاةٌ، لِأَنَّ بُدُوَّ صَلَاحِهَا سابق لملكه.
PASAL:
Jika seorang dzimmī membeli buah dari seorang muslim sebelum tampak tanda kematangannya, lalu tampak kematangannya ketika berada dalam kepemilikannya, maka tidak wajib zakat atasnya, karena buah itu milik dzimmī. Jika ia membelinya dari seorang muslim setelah tampak tanda kematangannya, maka juga tidak wajib atasnya zakat, karena kematangan itu terjadi sebelum ia memilikinya.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وما زاد مما قل أو كثر فبحسابه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنْ لَا زَكَاةَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ، فَإِذَا بَلَغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ فَفِيهِ الزَّكَاةُ، وَمَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَفِيهِ بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ، قَلِيلًا كَانَ الزَّائِدُ أَوْ كَثِيرًا، وَهُوَ إِجْمَاعٌ لَا خِلَافَ فِيهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرَ ” فَاقْتَضَى عُمُومُ هَذَا الْخَبَرِ وُجُوبَ الْعُشْرِ فِيمَا قَلَّ وَكَثُرَ فَلَمَّا اسْتَثْنَى مِنْهُ مَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ بَقِيَ مَا زَادَ عَلَيْهَا عَلَى عُمُومِ الْخَبَرِ، وَلِأَنَّ عَفْوَ الزَّكَاةِ عَفْوَانِ أَحَدُهُمَا فِي ابْتِدَاءِ الْمَالِ لِيَبْلُغَ حَدًّا يَحْتَمِلُ الْمُوَاسَاةَ وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي الزَّرْعِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ، فَثَبَتَ أَحَدُ الْعَفْوَيْنِ لِوُجُودِ مَعْنَاهُ، وَسَقَطَ الْعَفْوُ الثَّانِي لِفَقْدِ مَعْنَاهُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Dan kelebihan dari itu, sedikit atau banyak, dikenakan zakat menurut hitungannya.”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa tidak ada zakat pada kurang dari lima wasaq, maka apabila mencapai lima wasaq, wajib zakat, dan apa yang melebihi dari itu maka dikenakan zakat menurut hitungan dan bagiannya, baik kelebihan itu sedikit maupun banyak.
Ini adalah ijma‘ yang tidak ada khilaf di dalamnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Pada apa yang disiram oleh langit, wajib dikenakan ‘usyur,” maka keumuman hadis ini menuntut wajibnya ‘usyur pada yang sedikit maupun banyak. Ketika dikecualikan darinya apa yang kurang dari lima wasaq, maka yang melebihi dari itu tetap berada dalam cakupan keumuman hadis.
Dan karena pembebasan dari zakat itu ada dua macam:
Pertama, pada permulaan harta agar mencapai batas yang layak untuk berbagi, dan ini ada pada hasil pertanian, maka tidak dianggap adanya (pembebasan yang kedua).
Maka tetaplah satu dari dua bentuk pembebasan zakat karena maknanya ada, dan gugurlah pembebasan yang kedua karena maknanya tidak ada.
فَصْلٌ
: إِذَا وَجَبَ الْعُشْرُ فِي الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ لَمْ يَجِبْ فِيهَا بَعْدَ ذَلِكَ شَيْءٌ، وَإِنْ بَقِيَتْ فِي يَدِ مَالِكِهَا أَحْوَالًا، وَبِهِ قَالَ جَمِيعُ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: عَلَى مَالِكِهَا الْعُشْرُ فِي كُلِّ عَامٍ كَالْمَوَاشِي وَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، وَهَذَا خِلَافُ الْإِجْمَاعِ مَعَ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرَ ” فَاقْتَضَى الظَّاهِرُ نَفْيَ ما سوى العشر؛ لأن اللَّهَ تَعَالَى عَلَّقَ إِيجَابَ عُشْرِهِ بِحَصَادِهِ وَالْحَصَادُ لَا يَتَكَرَّرُ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْعُشْرُ أَيْضًا لَا يَتَكَرَّرُ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ فِي الْأَمْوَالِ النَّامِيَةِ، وَمَا ادُّخِرَ فِي الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ مُنْقَطِعُ النماء معرض للنفاد وَالْفَنَاءِ فَلَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ كَالْأَثَاثِ وَالْقُمَاشِ وفارق المواشي والورس التي هي مرصدة للنماء والله أعلم.
PASAL:
Jika telah wajib ‘usyur pada tanaman dan buah-buahan, maka tidak wajib lagi zakat atasnya setelah itu, meskipun tetap berada di tangan pemiliknya selama beberapa tahun. Ini adalah pendapat seluruh fuqaha.
Al-Ḥasan al-Baṣrī berkata: Wajib atas pemiliknya membayar ‘usyur setiap tahun sebagaimana hewan ternak, dirham, dan dinar. Pendapat ini bertentangan dengan ijma‘, dan bertentangan dengan sabda Nabi SAW: “Pada apa yang disiram hujan, wajib ‘usyur.” Maka zahir hadis menunjukkan peniadaan kewajiban selain ‘usyur, karena Allah Ta‘ala mengaitkan kewajiban ‘usyur dengan saat panen, dan panen tidak berulang, maka wajib juga ‘usyur tidak berulang.
Dan karena zakat itu diwajibkan pada harta yang berkembang, sedangkan apa yang disimpan dari tanaman dan buah-buahan adalah sesuatu yang tidak berkembang, bahkan cenderung habis dan rusak, maka tidak wajib zakat atasnya, sebagaimana perabot dan kain. Ia berbeda dengan hewan ternak dan wars yang memang disiapkan untuk berkembang. Wallāhu a‘lam.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عن أبيه قال سمعت أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أواقٍ مِنَ الْوَرِقِ صدقةٌ ” (قال) وبهذا نأخذ فإذا بلغ الورق خمس أواقٍ وذلك مائتا درهم بدراهم الإسلام وكل عشرة دراهم من دراهم الإسلام وزن سبعة مثاقيل ذهب بمثقال الإسلام ففي الورق صدقة “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا زَكَاةُ الْوَرِقِ وَهِيَ الْفِضَّةُ فواجبة بالكتاب والسنة وإجماع الأمة.
BAB SEDEKAH PERAK
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari ‘Amr bin Yaḥyā al-Māzinī dari ayahnya, ia berkata: Aku mendengar Abū Sa‘īd al-Khudrī berkata, Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak ada sedekah pada perak yang kurang dari lima uqiyah.’” (Beliau berkata): “Dan dengan ini kami berpegang. Apabila perak mencapai lima uqiyah, yaitu dua ratus dirham dengan standar dirham Islam, dan setiap sepuluh dirham Islam seberat tujuh miṡqāl emas dengan ukuran miṡqāl Islam, maka wajib zakat atas perak.”
Al-Māwardī berkata: Adapun zakat al-wariq (yaitu perak), maka hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an, sunnah, dan ijma‘ umat.
فأما الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {خُذْ مِنْ امْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرْهُمْ) {التوبة: 103) وقوله تعالى: {وَفِي أمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ) {المعارج: 24) وقَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالفَضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ) {التوبة: 34) وَالْكَنْزُ الْمُرَادُ بِالْآيَةِ مَا لَمْ يُؤَدَّ زَكَاتُهُ ظَاهِرًا كَانَ أَوْ مَدْفُونًا وَمَا أُدِّيَتْ زَكَاتُهُ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ ظَاهِرًا كَانَ أَوْ مَدْفُونًا، وَقَدْ دللنا عليه في أَوَّل الْكِتَابِ، وَذَكَرْنَا خِلَافَ ابْنِ دَاوُدَ وَابْنِ جَرِيرٍ.
Adapun kitāb, maka firman Allah Ta‘ala: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna menyucikan mereka,” (QS at-Tawbah: 103), dan firman-Nya: “Dan pada harta-harta mereka terdapat hak yang telah diketahui,” (QS al-Ma‘ārij: 24), serta firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, lalu tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih,” (QS at-Tawbah: 34).
Dan kanz (timbunan) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah harta yang tidak dikeluarkan zakatnya, baik tampak maupun tersembunyi. Adapun harta yang telah dikeluarkan zakatnya maka bukan termasuk kanz, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Hal ini telah kami jelaskan pada awal kitab, dan kami telah sebutkan perbedaan pendapat dengan Ibn Dāwūd dan Ibn Jarīr.
وَأَمَّا السُّنَّةُ: فَمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَا مِنْ صَاحِبِ فِضَّةٍ وَلَا ذَهَبٍ لَا يُؤَدِّي حَقَّهَا إِلَّا جُعِلَتْ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَفَائِحَ ثُمَّ أُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ تُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُ فِي يومٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سنةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ ” وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” فِي الرِّقةِ رُبْعُ الْعُشْرِ ” وَفِي الرقة تأويلان:
أحدهما: أنها اسْمٌ لِلْفِضَّةِ قَالَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ وَاسْتَشْهَدَ بِقَوْلِ العرب إن الرقين يعطي أفن الأفين قال: والرقيق جَمْعُ رِقَةً وَهِيَ الْفِضَّةُ.
Adapun sunnah: yaitu riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Tidak ada seorang pun yang memiliki emas atau perak lalu tidak menunaikan haknya, kecuali akan dijadikan untuknya pada hari kiamat dalam bentuk lempengan-lempengan, kemudian dipanaskan di neraka Jahanam, lalu disetrikakan dengannya dahi-dahinya, pada hari yang ukurannya lima puluh ribu tahun lamanya, hingga diputuskan perkara di antara manusia, maka ia melihat jalannya, apakah menuju surga atau neraka.”
Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Pada ar-riqqah (perak), seperempat dari sepersepuluh (zakatnya).”
Tentang ar-riqqah, terdapat dua penafsiran:
Pertama, bahwa ar-riqqah adalah nama lain dari perak; pendapat ini dikemukakan oleh Ibn Qutaybah. Ia berdalil dengan ucapan orang Arab: inna ar-raqqaini yu‘ṭī afan al-afīn (sesungguhnya dua perak itu memberi harta paling baik), dan bahwa ar-raqīq adalah jamak dari riqqah, yaitu perak.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: إِنَّ الرِّقَةَ اسْمٌ جَامِعٌ لِلذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ قَالَ ثَعْلَبٌ وَهُوَ أَصَحُّ التَّأْوِيلَيْنِ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” نحو من نبراس ذهب وفضة ” وَمَا ذَكَرَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ لَا شَاهِدَ فِيهِ.
وَأَمَّا الْإِجْمَاعُ فَشَائِعٌ فِي خَاصَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَعَامَّةِ أَهْلِ الْمِلَّةِ لَا يَخْتَلِفُونَ فِيهِ كَإِجْمَاعِهِمْ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ.
Dan takwil yang kedua: ar-riqqah adalah nama yang mencakup emas dan perak. Hal ini dikatakan oleh Ṣa‘lab, dan ini adalah yang lebih kuat dari dua takwilan, berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Naḥwu min nibrāsin (sejumlah nibrās) dari emas dan perak.” Adapun apa yang disebutkan oleh Ibn Qutaybah, tidak ada dalil di dalamnya.
Adapun ijma‘, maka telah tersebar di kalangan khusus ahli ilmu dan umum kaum muslimin, dan tidak ada perbedaan di antara mereka, sebagaimana ijma‘ mereka atas kewajiban salat lima waktu.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ زَكَاةِ الْوَرِقِ فَلَا زكاة فيما دون خمس أواقي لِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” ليس فيما دون خمس أواقي صدقةٌ ” وَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” ليس فيما دون خمس أواقي من الورق صدقة “.
PASAL
Apabila telah tetap kewajiban zakat atas al-wariq (perak), maka tidak ada zakat pada jumlah yang kurang dari lima awāqī, berdasarkan riwayat Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada sedekah pada perak yang kurang dari lima uqiyah.”
Dan Abū az-Zubayr meriwayatkan dari Jābir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada sedekah pada perak yang kurang dari lima uqiyah.”
فَإِذَا ثَبَتَ ذَلِكَ فَالْأُوقِيَّةُ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا، فَتَكُونُ الخمس أواقي مِائَتَيْ دِرْهَمٍ مِنْ ضَرْبِ الْإِسْلَامِ الَّتِي كُلُّ عَشَرَةٍ مِنْهَا سَبْعَةٌ بِمَثَاقِيلِ الْإِسْلَامِ، يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ خَبَرَانِ.
أَحَدُهُمَا: مَرْوِيٌّ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي صَدَاقِ أحدٍ مِنْ نِسَائِهِ عَلَى اثْنَيْ عَشَرَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا أَتَدْرُونَ مَا النَّشُّ؟ النَّشُّ نِصْفُ أُوقِيَّةٍ عِشْرُونَ دِرْهَمًا.
Bab Tafsir tentang auqiyah
Apabila hal itu telah tetap, maka satu auqiyah adalah empat puluh dirham. Maka lima auqiyah berarti dua ratus dirham dari mata uang Islam, yang sepuluh dirhamnya setara dengan tujuh mithqāl menurut timbangan Islam. Hal ini ditunjukkan oleh dua hadis.
Salah satunya: Diriwayatkan dari ‘Āisyah RA, ia berkata: Rasulullah SAW tidak pernah memberikan mahar kepada salah seorang dari istri-istrinya lebih dari dua belas auqiyah dan nasyy. Tahukah kalian apa itu nasyy? Nasyy adalah setengah auqiyah, yakni dua puluh dirham.
وَالْخَبَرُ الْآخَرُ: رَوَاهُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ليس فيما دون خمس ذود من الْإِبِلِ صدقةٌ، وَلَا فِيمَا دُونَ عِشْرِينَ دِينَارًا مِنَ الذَّهَبِ صدقةٌ، وَلَا فِيمَا دُونَ مِائَتَيْ درهم من الورق صدقة، وحكي عن المعري وَبِشْرٍ الْمَرِيسِيِّ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ عَدَدًا لَا وَزْنًا، حَتَّى لَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ عَدَدًا وَزْنُهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَلَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ عدداً وزنها مائة دِرْهَمٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَهَذَا جَهْلٌ بِنَصِّ الإخبار وإجماع الأعصار وما تقتضيه عبرة الزكوات.
Dan hadits yang lain: diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada sedekah atas unta yang kurang dari lima ekor, tidak pula atas emas yang kurang dari dua puluh dīnār, dan tidak pula atas perak yang kurang dari dua ratus dirham.”
Dan diriwayatkan dari al-Ma‘arrī dan Bisyr al-Marīsī bahwa yang dijadikan patokan adalah dua ratus dirham secara hitungan, bukan secara berat. Sampai-sampai jika seseorang memiliki seratus dirham secara hitungan yang beratnya seratus dirham, maka tidak wajib atasnya zakat. Namun jika ia memiliki dua ratus dirham secara hitungan tapi beratnya hanya seratus dirham, maka wajib atasnya zakat.
Ini adalah bentuk kejahilan terhadap nash-nash hadits, ijma‘ para ulama sepanjang zaman, dan terhadap ketentuan dasar dalam zakat.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو كانت له مِائَتَا دِرْهَمٍ تَنْقُصُ حَبَّةً أَوْ أَقَلَّ أَوْ تَجُوزُ جَوَازَ الْوَازِنَةِ أَوْ لَهَا فَضْلٌ عَلَى الْوَازِنَةِ غَيْرَهَا فَلَا زَكَاةَ فِيهَا كَمَا لَوْ كَانَتْ لَهُ أَرْبَعَةُ أوسقٍ بُرْدِيٌّ خَيْرٌ قيمةٍ مِنْ مِائَةِ وسقٍ غَيْرِهِ لَمْ يَكُنْ فِيهَا زكاةٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Seandainya seseorang memiliki dua ratus dirham yang kurang satu butir atau kurang dari itu, atau dua ratus dirham yang secara timbangan bisa ditoleransi oleh timbangan (al-wāzinah) atau melebihi standar wāzinah selainnya, maka tidak ada zakat padanya, sebagaimana jika seseorang memiliki empat wasq dari gandum burdiyy yang nilainya lebih baik daripada seratus wasq jenis lainnya, maka tidak ada zakat atasnya.”
Al-Māwardī berkata: Masalah ini mencakup dua pasal:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ وَرِقُهُ يَنْقُصُ عَنِ الْمِائَتَيْنِ، وَلِقِلَّةِ نُقْصَانِهَا تَجُوزُ جَوَازَ الْمِائَتَيْنِ، كَأَنَّهَا تَنْقُصُ حَبَّةً أَوْ حَبَّتَيْنِ، فَهَذِهِ لَا زَكَاةَ فِيهَا، سَوَاءٌ كَانَتْ تَنْقُصُ فِي جَمِيعِ الْمَوَازِينِ أو في بَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ، وَقَالَ مَالِكٌ إِذَا نَقَصَتْ هَذَا الْقَدْرَ فَفِيهَا الزَّكَاةُ، لِأَنَّهَا فِي مُعَامَلَاتِ النَّاسِ تَجُوزُ جَوَازَ الْمِائَتَيْنِ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ من قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” وَلَا فِيمَا دُونَ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ مِنَ الْوَرِقِ صدقةٌ ” وَقَدْ رَوَى عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال ” هاتوا إلي رُبُعَ الْعُشْرِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا “، وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ شيءٌ حَتَّى تَتِمَّ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ “، وَلِأَنَّ نُقْصَانَ الْمُزَكَّى عَنْهُ يُوجِبُ سُقُوطَ الزَّكَاةِ فِيهِ كَسَائِرِ النِّصْبِ، وَمَا قَالَهُ مِنْ جَوَازِهَا بِالْمِائَتَيْنِ فَيَفْسُدُ مِنْ وُجُوهٍ مِنْهَا، إِنْ أَخْذَهَا بِالْمِائَتَيْنِ عَلَى وَجْهِ الْمُسَامِحَةِ لَوْ قَامَ مَقَامَ الْمِائَتَيْنِ لَوَجَبَ مِثْلُهُ فِي جَمِيعِ النِّصْبِ وَفِيمَا يُخْرِجُهُ مِنْ حَقِّ الْمَسَاكِينِ، وَلَقِيلَ إِذَا أَخْرَجَ خَمْسَةً إِلَّا حَبَّةً أَجْزَأَهُ، لِأَنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ الْخَمْسَةِ، وَلَقِيلَ فِي الرِّبَا إِذَا بَاعَ دِرْهَمًا بِدِرْهَمٍ إِلَّا حَبَّةً جَازَ، لِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَ الدِّرْهَمِ، وَفِي إِجْمَاعِنَا وَإِيَّاهُ عَلَى فَسَادِ هَذَا كُلِّهِ دَلِيلٌ عَلَى فَسَادِ قَوْلِهِ.
وَالْفَصْلُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ وَرِقُهُ يَنْقُصُ عَنِ الْمِائَتَيْنِ وَهِيَ لِجَوْدَتِهَا تُؤْخَذُ بِالْمِائَتَيْنِ كَأَنَّهَا تَنْقُصُ عَشَرَةً وَقِيمَتُهَا لِجَوْدَةِ جَوْهَرِهَا تَزِيدُ عَشَرَةً، فَلَا زَكَاةَ فِيهَا لِنُقْصَانِ وَزْنِهَا عَنِ الْمِائَتَيْنِ، وَقَالَ مَالِكٌ فِيهَا الزَّكَاةُ، لِأَنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ الْمِائَتَيْنِ، وَمَا ذَكَرْنَا فِي الْفَصْلِ الْأَوَّلِ كَافٍ فِي الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ وَالْإِفْسَادِ لقوله.
Pertama: seseorang memiliki perak yang kurang dari dua ratus dirham, namun karena sedikitnya kekurangan itu dianggap setara dengan dua ratus, seperti kekurangan satu atau dua butir saja—maka perak seperti ini tidak wajib dizakati, baik kekurangan itu berlaku dalam seluruh timbangan maupun hanya dalam sebagian saja.
Imam Mālik berpendapat: jika kekurangannya sebatas ini, maka tetap wajib zakat, karena dalam transaksi muamalah perak tersebut dianggap sah sebagai dua ratus dirham. Namun ini adalah kekeliruan, karena hadits ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya dari sabda Nabi SAW: “Dan tidak ada zakat pada perak yang kurang dari dua ratus dirham.”
Telah meriwayatkan juga ‘Alī bin Abī Ṭālib dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Berikan kepadaku seperempat dari sepersepuluh dari setiap empat puluh dirham. Dan tidak ada kewajiban apa pun atas kalian hingga genap dua ratus dirham.”
Dan karena kekurangan terhadap sesuatu yang menjadi objek zakat menyebabkan gugurnya kewajiban zakat padanya, sebagaimana berlaku dalam seluruh nishab.
Adapun perkataan Mālik bahwa perak itu dianggap setara dengan dua ratus dirham maka pendapat itu rusak dari berbagai sisi.
Di antaranya: jika pengambilan zakat atas dasar musāmahah (toleransi) dianggap menggantikan dua ratus, niscaya wajib pula diberlakukan pada seluruh nishab dan pada harta yang dikeluarkan untuk para miskin. Maka akan dikatakan bahwa jika seseorang mengeluarkan lima kecuali satu butir, maka itu cukup, karena dianggap setara dengan lima.
Akan dikatakan juga bahwa dalam kasus riba, jika seseorang menjual satu dirham dengan satu dirham dikurangi satu butir, maka itu boleh, karena dianggap setara dengan satu dirham. Padahal, ijma‘ kami dan dia atas batalnya semua hal ini merupakan dalil atas rusaknya pendapat tersebut.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ لَهُ ورقٌ رديئةٌ وورقٍ جيدةٌ أَخَذَ مِنْ كُلِّ واحدةٍ مِنْهُمَا بِقَدْرِهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَتْ وَرِقُهُ مُخْتَلِفَةُ الْجِنْسِ فَكَانَ بَعْضُهَا جَيِّدًا وَبَعْضُهَا رَدِيئًا وَكِلَاهُمَا فضة ضَمَّ الْجَيِّدَ إِلَى الرَّدِيءِ كَمَا يَضُمُّ جَيِّدَ التَّمْرِ إِلَى رَدِيئِهِ وَأُخِذَتِ الزَّكَاةُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحِسَابِهِ لِتَمَيُّزِهِ فَإِنْ أَخْرَجَ زَكَاةَ الْكُلِّ مِنْ جَيِّدِهِ كَانَ أَوْلَى، وَإِنْ أَخْرَجَ زَكَاةَ الْكُلِّ مِنْ رَدِيئِهِ أَجْزَأَهُ مِنْ ذَلِكَ مَا قَابَلَ الرَّدِيءَ وَكَانَ فِيمَا قَابَلَ الْجَيِّدَ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَكُونُ مُتَطَوِّعًا بِهِ وَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ زكاة الجيد، متسأنفاً.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُجْزِئُهُ وَيُخْرِجُ قِيمَةَ مَا بَيْنَهُمَا ذَهَبًا كَمَا لَوْ أَخْرَجَ أَرْدَأَ الصِّنْفَيْنِ مِنَ الْحِقَاقِ وَبَنَاتِ اللَّبُونِ. أَخْرَجَ نَقْصَ مَا بَيْنَهُمَا ورقاً والله أعلم.
Masalah: Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang memiliki perak yang berkualitas rendah dan perak yang berkualitas baik, maka ia mengambil dari masing-masing sesuai kadar nilainya.”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang benar, apabila perak yang dimilikinya berbeda jenis—sebagian baik dan sebagian buruk—namun keduanya sama-sama termasuk perak, maka yang baik digabungkan dengan yang buruk sebagaimana menggabungkan kurma yang baik dengan yang buruk. Zakat diambil dari masing-masing sesuai kadar nilainya karena perbedaan kualitasnya.
Jika ia mengeluarkan zakat seluruhnya dari perak yang baik, maka itu lebih utama.
Namun jika ia mengeluarkan zakat seluruhnya dari perak yang buruk, maka hal itu mencukupi untuk menunaikan kewajiban zakatnya atas bagian yang buruk, sedangkan terhadap bagian yang baik, terdapat dua pendapat:
Pertama: ia dianggap sebagai sedekah sunnah, dan ia tetap wajib mengeluarkan zakat atas perak yang baik secara terpisah.
Kedua: hal itu mencukupi (sebagai zakat), namun ia wajib mengeluarkan selisih nilai antara keduanya dalam bentuk emas, sebagaimana seseorang yang mengeluarkan zakat dari jenis yang lebih rendah antara ḥiqāq dan banāt al-labūn, maka ia wajib mengeluarkan kekurangan nilai di antara keduanya dalam bentuk perak.
Dan Allah lebih mengetahui.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَكْرَهُ الْوَرِقَ الْمَغْشُوشَ لِئَلَّا يَغُرَّ بِهِ أَحَدًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا ضَرْبُ الْوَرِقِ الْمَغْشُوشِ فَيُكْرَهُ لِلسُّلْطَانِ وَغَيْرِهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ” وَلِمَا فِيهِ مِنْ إفساد النقود وغبن ذَوِي الْحُقُوقِ وَغَلَاءِ الْأَسْعَارِ، وَانْقِطَاعِ الْجَلْبِ الْمُفْضِي جَمِيعُ ذَلِكَ إِلَى اخْتِلَافِ الْأُمُورِ، وَفَسَادِ أَحْوَالِ الْجُمْهُورِ فَأَمَّا جَوَازُ الْمُعَامَلَةِ بِهَا وَوُجُوبُ الزَّكَاةِ فِيهَا، فَهُمَا فَصْلَانِ:
نَبْدَأُ بِأَحَدِهِمَا: وَهُوَ جَوَازُ الْمُعَامَلَةِ بِهَا: اعْلَمْ أَنَّ الْمَغْشُوشَ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَكُونُ غِشُّهُ لِرَدَاءَةِ جِنْسِهِ، فَتُكْرَهُ الْمُعَامَلَةُ بِهِ لِمَنْ لَا يَعْرِفُهُ إِلَّا بَعْدَ إِعْلَامِهِ، لِمَا فِيهِ مِنَ الْغُرُورِ وَالتَّدْلِيسِ وَفِي مِثْلِ ذَلِكَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: من زافت دراهمه فليأت السوق فليشتري بها الثوب السميق، وَقَدْ ذَكَرْنَا وُجُوبَ الزَّكَاةِ فِيهِ.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Aku memakruhkan perak campuran (al-warq al-maghsyūsy) agar tidak menipu orang lain dengannya.”
Al-Māwardī berkata:
Adapun mencetak perak campuran, hukumnya makruh bagi penguasa maupun selainnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami,” dan karena di dalamnya terdapat kerusakan terhadap mata uang, penipuan terhadap pemilik hak, kenaikan harga, serta terputusnya pasokan barang, yang semuanya akan berujung pada kekacauan urusan dan kerusakan kondisi masyarakat umum.
Adapun kebolehan melakukan transaksi dengannya serta kewajiban zakat padanya, maka keduanya merupakan dua pasal:
Kita mulai dengan yang pertama: yaitu kebolehan melakukan transaksi dengannya.
Ketahuilah bahwa al-maghsyūsy (perak campuran) terbagi menjadi dua:
Jenis pertama adalah yang campurannya berasal dari jenis logam yang buruk. Maka makruh bertransaksi dengannya bagi orang yang tidak mengetahuinya kecuali setelah diberitahu, karena di dalamnya terdapat unsur penipuan dan penyamaran. Dalam hal semacam ini, ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA berkata: “Barang siapa mencampur dirhamnya, hendaklah ia pergi ke pasar lalu membelanjakannya untuk membeli pakaian yang tebal.”
Dan kami telah menyebutkan kewajiban zakat atasnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا كَانَ غِشُّهُ مِنْ غَيْرِهِ لَا مِنْ جِنْسِهِ كَالْفِضَّةِ الْمُخْتَلِطَةِ بِغَيْرِهَا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْرُ فِضَّتِهِ مَعْلُومًا، وَجِنْسُ مَا خَالَطَهُ وَغُشَّ بِهِ مَعْرُوفًا، قَدِ اشْتُهِرَتْ حَالُهُ عِنْدَ الْكَافَّةِ وَعَلِمَهُ الْخَاصَّةُ وَالْعَامَّةُ لَا يَخْتَلِفُ ضَرْبُهُ وَلَا يَتَنَاقَضُ فِضَّتُهُ، فَالْمُعَامَلَةُ بِهِ جَائِزَةٌ حَاضِرًا بِعَيْنِهِ وَغَائِبًا فِي الذِّمَّةِ.
وَالضَّرْبُ الثاني: أن يكون قدر فضة مَجْهُولًا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَا خَالَطَ الْفِضَّةَ مَقْصُودًا لَهُ قِيمَةٌ كَالْمَسِّ وَالنُّحَاسِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُسْتَهْلَكًا لَا قيمة له كالزئبق الزرنيخ، فَإِنْ كَانَ مَقْصُودًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْفِضَّةُ وَالْغِشُّ غَيْرَ مُمْتَزِجَيْنِ.
Jenis kedua: yaitu perak yang campurannya berasal dari selain jenisnya, seperti perak yang tercampur dengan bahan lain, maka ini terbagi menjadi dua:
Pertama: jika kadar peraknya diketahui, dan jenis bahan campurannya juga dikenal, serta kondisinya sudah dikenal luas di tengah masyarakat, diketahui oleh kalangan khusus maupun umum, tidak berubah jenis cetakannya dan tidak beragam kadar peraknya—maka transaksi dengannya boleh, baik dalam bentuk tunai langsung maupun secara tanggungan (utang).
Jenis kedua: kadar peraknya tidak diketahui. Ini pun terbagi lagi menjadi dua:
Pertama: bahan yang mencampuri perak tersebut adalah bahan yang dimaksudkan dan memiliki nilai, seperti emas putih (campuran logam mulia) atau tembaga.
Kedua: bahan campurannya tidak bernilai dan sudah larut, seperti air raksa (zaybaq) atau arsenik (zarnīkh).
Apabila bahan campurannya adalah bahan yang dimaksudkan (memiliki nilai), maka itu pun terbagi menjadi dua:
Pertama: perak dan bahan campurannya tidak menyatu (masih bisa dibedakan).
وَالثَّانِي: أَنْ يكون مُمْتَزِجَيْنِ، فَإِنْ كَانَتِ الْفِضَّةُ غَيْرَ مُمَازِجَةٍ لِلْغِشِّ مِنَ النُّحَاسِ وَالْمَسِّ وَإِنَّمَا الْفِضَّةُ عَلَى ظَاهِرِهَا وَالْمَسُّ فِي بَاطِنِهَا، فَالْمُعَامَلَةُ بِهَا غَيْرُ جَائِزَةٍ، لَا مُعَيَّنَةٌ وَلَا فِي الذِّمَّةِ، لِأَنَّ الْفِضَّةَ وَإِنْ شُوهِدَتْ فَالْمَقْصُودُ الْآخَرُ غَيْرُ مَعْلُومٍ وَلَا مُشَاهَدٍ، كَمَا لَا تَجُوزُ الْمُعَامَلَةُ بِالْفِضَّةِ الْمَطْلِيَّةِ بِالذَّهَبِ، لِأَنَّ أَحَدَ مَقْصُودَيْهَا غَيْرُ مَعْلُومٍ وَلَا مُشَاهَدٍ، وَإِنْ كَانَتِ الْفِضَّةُ مُمَازِجَةً لِلْغِشِّ مِنَ النُّحَاسِ وَالْمَسِّ لَمْ تَجُزِ الْمُعَامَلَةُ بِهَا فِي الذِّمَّةِ لِلْجَهْلِ بِهَا، كَمَا لَا يَجُوزُ السَّلَمُ فِي الْمَعْجُونَاتِ لِلْجَهْلِ بِهَا، وَفِي جَوَازِ الْمُعَامَلَةِ بِهَا إِذَا كَانَتْ حَاضِرَةً مُعَيَّنَةً وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِلْجَهْلِ بِمَقْصُودِهَا كَتُرَابِ الْمَعَادِنِ.
dan kedua: jika keduanya bercampur, maka apabila perak tidak menyatu dengan bahan campurannya dari tembaga dan kuningan, dan perak tampak di permukaannya sementara kuningan berada di bagian dalamnya, maka transaksi dengannya tidak boleh, baik dalam bentuk tertentu maupun dalam tanggungan, karena sekalipun peraknya tampak, namun unsur yang dimaksudkan lainnya tidak diketahui dan tidak terlihat, sebagaimana tidak boleh bertransaksi dengan perak yang disepuh emas, karena salah satu dari dua unsur yang dimaksudkan tidak diketahui dan tidak terlihat. Dan apabila peraknya menyatu dengan bahan campuran dari tembaga dan kuningan, maka tidak boleh bertransaksi dengannya dalam tanggungan karena ketidaktahuan terhadapnya, sebagaimana tidak boleh melakukan salam dalam barang-barang adonan karena ketidaktahuan terhadapnya. Adapun tentang kebolehan bertransaksi dengannya apabila ia hadir dalam bentuk tertentu, terdapat dua pendapat:
pertama: tidak boleh karena ketidaktahuan terhadap maksud utama barang tersebut, seperti halnya tanah dari tambang.
وَالْوَجْهُ الثاني: يجوز وهو أظهر وَبِهِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْاصْطَخْرِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ كَمَا يَجُوزُ بَيْعُ الْحِنْطَةِ الْمُخْتَلِطَةِ بِالشَّعِيرِ إِذَا شُوهِدَتْ وَإِنْ جُهِلَ قَدْرُ كَيْلٍ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَكَمَا يَجُوزُ بَيْعُ الْمَعْجُونَاتِ إِذَا شُوهِدَتْ وَإِنْ لَمْ يَجُزِ السَّلَمُ فِيهَا، وَخَالَفَ بَيْعَ تُرَابِ الْمَعَادِنِ لِأَنَّ التُّرَابَ غَيْرُ مَقْصُودٍ، فَهَذَا الْكَلَامُ فِي الْغِشِّ إذا كان مقصوداً، فأما إن كَانَ غَيْرَ مَقْصُودٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْفِضَّةُ وَالْغِشُّ مُمْتَزِجَيْنِ فَلَا تَجُوزُ الْمُعَامَلَةُ بِهَا، لَا مُعَيَّنَةً وَلَا فِي الذِّمَّةِ، لِأَنَّ مَقْصُودَهُمَا مَجْهُولٌ بِمُمَازَجَةِ مَا لَيْسَ بِمَقْصُودٍ كَتُرَابِ الْمَعَادِنِ.
Wajah kedua: boleh, dan ini yang lebih kuat. Ini adalah pendapat Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan Abu ‘Alī bin Abī Hurairah, sebagaimana bolehnya menjual gandum yang bercampur dengan jelai jika keduanya terlihat, meskipun tidak diketahui takaran masing-masingnya, dan sebagaimana bolehnya menjual ma‘jūnāt jika terlihat, meskipun tidak boleh salam padanya. Ini berbeda dengan jual beli tanah tambang, karena tanahnya tidak dimaksudkan. Maka ini adalah pembahasan tentang ghisy jika memang dimaksudkan. Adapun jika tidak dimaksudkan, maka ada dua bentuk:
Pertama: jika perak dan ghisy tercampur, maka tidak boleh bertransaksi dengannya, baik secara mu‘ayyanah maupun dalam tanggungan (żimmah), karena maksud dari keduanya tidak diketahui akibat tercampurnya sesuatu yang tidak dimaksudkan, sebagaimana tanah tambang.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْفِضَّةُ وَالْغِشُّ غَيْرَ مُمْتَزِجَيْنِ وَإِنَّمَا الْفِضَّةُ عَلَى ظَاهِرِهَا وَالْغِشُّ فِي بَاطِنِهَا كَالزَّرْنِيخِيَّةِ فَتَجُوزُ الْمُعَامَلَةُ بِهَا إِذَا كَانَتْ حَاضِرَةً مُعَيَّنَةً، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهَا مُشَاهَدٌ، وَلَا تَجُوزُ الْمُعَامَلَةُ بِهَا فِي الذِّمَّةِ لِلْجَهْلِ بِمَقْصُودِهَا، فَهَذَا حُكْمُ الْوَرِقِ الْمَغْشُوشَةِ فِي الْمُعَامَلَةِ، لَكِنْ لَا يَجُوزُ بَيْعُ بَعْضِهَا بِبَعْضٍ وَلَا بَيْعُهَا بِالْفِضَّةِ، لِأَجْلِ الرِّبَا، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ بَاعَ سُقَاطَةَ بَيْتِ الْمَالِ مِنَ الْمَغْشُوشِ وَالزَّائِفِ بِوَزْنِهِ مِنَ الْوَرِقِ الْجَيِّدِ، فَأَنْكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَرَدَّ الْبَيْعَ، فَلَوْ أَتْلَفَهَا رَجُلٌ عَلَى غَيْرِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ مِثْلُهَا، لِأَنَّهُ لَا مِثْلَ لَهَا وَلَزِمَهُ رَدُّ قِيمَتِهَا ذَهَبًا وَالْحُكْمُ فِي الدَّنَانِيرِ الْمَغْشُوشَةِ كَالْحُكْمِ فِي الورق المغشوشة.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ غِشُّهَا مِثْلَ نِصْفِهَا أَوْ أَكْثَرَ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا حَتَّى تباع قدر حصتها نصاباً.
dan kedua: apabila perak dan bahan campurannya tidak menyatu, melainkan perak tampak di permukaannya dan bahan campurannya berada di bagian dalam, seperti zarnīkhiyyah, maka boleh bertransaksi dengannya apabila ia hadir dalam bentuk tertentu, karena unsur yang dimaksudkan darinya terlihat. Namun tidak boleh bertransaksi dengannya dalam tanggungan karena ketidaktahuan terhadap unsur yang dimaksud. Inilah hukum perak yang dicampur dalam transaksi. Tetapi tidak boleh menjual sebagian dengan sebagian lainnya, dan tidak boleh menjualnya dengan perak murni, karena mengandung riba.
Telah diriwayatkan dari Ibn Mas‘ūd bahwa beliau menjual barang-barang rongsokan dari Bayt al-Māl yang bercampur dan palsu dengan timbangan yang sama dari perak yang bagus, maka ‘Umar bin al-Khaṭṭāb mengingkari hal itu dan membatalkan jual-beli tersebut. Maka seandainya seseorang merusaknya milik orang lain, ia tidak wajib mengganti dengan barang sejenis, karena tidak ada yang sepadan dengannya, tetapi wajib mengganti nilai harganya dengan emas. Adapun hukum dinar yang bercampur sama dengan hukum perak yang bercampur.
Abu Ḥanīfah berkata: jika kadar bahan campurannya setengahnya atau lebih, maka tidak ada zakat atasnya hingga bagian peraknya terjual seukuran satu niṣāb.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا وُجُوبُ زَكَاتِهَا فَلَا شَيْءَ فِيهَا حتى يبلغ قدر فضتها نِصَابًا وَإِنْ كَانَ غِشُّهَا أَقَلَّ مِنْ نِصْفِهَا فَفِيهَا الزَّكَاةُ، وَإِذَا بَلَغَتْ نِصَابًا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْغِشَّ إِذَا نَقَصَ عَنِ النِّصْفِ سَقَطَ حُكْمُهُ، حَتَّى لَوِ اقْتَرَضَ رَجُلٌ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ فِضَّةً لَا غِشَّ فِيهَا فَرَدَّ عَشَرَةً فِيهَا أَرْبَعَةُ دَرَاهِمَ غِشٍّ لَزِمَ الْمُقْرِضَ قَبُولُهَا، وَفَسَادُ هَذَا الْقَوْلِ ظَاهِرٌ، وَالِاحْتِجَاجُ عَلَيْهِ تكلف، وقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أواقٍ مِنَ الْوَرِقِ صدقةٌ ” يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيمَا لَيْسَ فِيهِ خَمْسُ أَوَاقٍ مِنَ الْوَرِقِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَا زَكَاةَ فِيهَا حَتَّى يَبْلُغَ قَدْرُ فضتها نصاباً فإذا عَلِمَ قَدْرَ الْفِضَّةِ يَقِينًا أَوِ احْتِيَاطًا وَأَخْرَجَ زَكَاتُهُ جَازَ، وَإِنَّ شَكَّ وَلَمْ يَحْتَطْ مَيَّزَهَا بِالنَّارِ فَإِنْ أَخْرَجَ زَكَاتَهَا فِضَّةً خَالِصَةً جَازَ، وَإِنْ أَخْرَجَ زَكَاتَهَا مِنْهَا أَجْزَأَهُ، إِذَا عَلِمَ أَنَّ فِيمَا أَخْرَجَهُ مِنَ الْفِضَّةِ مِثْلَ مَا مَعَهُ أَوْ أَكْثَرَ وَسَوَاءٌ تَعَامَلَ النَّاسُ بِهَا أم لا، لأنها من جملة ماله.
PASAL
Adapun kewajiban zakatnya, maka tidak ada zakat padanya sampai kadar peraknya mencapai niṣāb. Jika campurannya (ghisy) kurang dari setengahnya, maka padanya ada zakat, dan jika telah mencapai niṣāb, maka berdasarkan asal pendapat bahwa ghisy jika kurang dari setengah maka hukumnya gugur. Sampai-sampai jika seseorang meminjam sepuluh dirham perak murni tanpa ghisy, lalu mengembalikan sepuluh dirham yang mengandung empat dirham ghisy, maka wajib bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya — padahal rusaknya pendapat ini nyata, dan berdalil atasnya adalah hal yang memaksakan diri.
Sabda Nabi SAW: “Lāisa fīmā dūna khamsi awāqin min al-wariq ṣadaqah” (Tidak ada sedekah pada perak kurang dari lima awāq) melarang adanya kewajiban zakat pada yang tidak mengandung lima awāq perak. Maka jika telah tetap bahwa tidak ada zakat padanya sampai kadar peraknya mencapai niṣāb, maka jika kadar peraknya diketahui secara yakin atau dengan kehati-hatian, dan ia mengeluarkan zakatnya, maka sah. Jika ia ragu dan tidak berhati-hati, maka ia pisahkan dengan api. Jika ia mengeluarkan zakatnya berupa perak murni, maka sah. Dan jika ia mengeluarkan zakatnya dari barang tersebut, maka cukup, jika diketahui bahwa dari perak yang dikeluarkan itu sama dengan atau lebih dari yang ada padanya. Sama saja apakah orang-orang bertransaksi dengan barang tersebut atau tidak, karena ia termasuk dari hartanya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ لَهُ فِضَّةٌ خَلَطَهَا بِذَهَبٍ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُدْخِلَهَا النَّارَ حَتَى يَمِيزَ بَيْنَهُمَا، فَيُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنْ كُلِّ واحدْ مِنْهُمَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَتْ لَهُ فِضَّةٌ قَدْ خَالَطَهَا ذَهَبٌ وَأَرَادَ إِخْرَاجَ زَكَاتِهَا فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَوَلَّى إِخْرَاجَهَا بِنَفْسِهِ فَإِنْ عَلِمَ قَدْرَ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ يَقِينًا وَكَانَ كل واحدمنهما يبلغ بانفراده نصاباً أو بإضافة إِلَى مَا عِنْدَهُ نِصَابًا أَخْرَجَ زَكَاتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْ قَدْرَ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ وَعَمِلَ عَلَى الِاحْتِيَاطِ وَأَخْرَجَ زَكَاةَ مَا يَعْلَمُ قَطْعًا أَنَّهُ لَا يَزِيدُ عَلَيْهِ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْ مَيَّزَهُمَا بِالنَّارِ، وَأَخْرَجَ زَكَاةَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِنْ بَلَغَ بِانْفِرَادِهِ أَوْ بِالْإِضَافَةِ إِلَى غَيْرِهِ نِصَابًا فَصَاعِدًا.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَوَلَّى الْإِمَامُ أَخْذَ زَكَاتِهَا مِنْهُ، فَإِنْ أَخْبَرَهُ بِيَقِينِ مَا فِيهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ وَقَالَ أَعْلَمُ ذَلِكَ قطعاً وإحاطة، كان القول قوله، وإن اتَّهَمَهُ أَحْلَفَهُ اسْتِظْهَارًا، وَإِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْ وَلَكِنْ قَالَ الِاحْتِيَاطُ أَنَّ مَا فِيهَا مِنَ الْفِضَّةِ كَذَا وَمِنَ الذَّهَبِ كَذَا لَمْ يَقْبَلْ قَوْلَهُ؛ لأن ذلك اجتهاداً مِنْهُ وَالْإِمَامُ لَا يَلْزَمُهُ الْعَمَلُ بِاجْتِهَادِ غَيْرِهِ، فَإِنِ انْضَافَ إِلَى قَوْلِهِ قَوْلُ مَنْ تَسْكُنُ النَّفْسُ إِلَى قَوْلِهِ مِنْ ثِقَاتِ أَهْلِ الْخِبْرَةِ عَمِلَ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا جَازَ لَهُ الْعَمَلُ عَلَى احْتِيَاطِهِ إِذَا تَوَلَّى إِخْرَاجَهَا بِنَفْسِهِ لِأَنَّ الْمَرْجِعَ فِيهِ إِلَى اجْتِهَادِهِ، فَإِنْ أَشْكَلَ الْأَمْرَ مُيِّزَتْ بِالنَّارِ وَخُلِّصَتْ بِالسَّبْكِ، وَفِي مُؤْنَةِ السَّبْكِ وَجْهَانِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang memiliki perak yang ia campur dengan emas, maka wajib baginya memasukkannya ke dalam api hingga dapat membedakan keduanya, lalu mengeluarkan zakat dari masing-masingnya.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, apabila seseorang memiliki perak yang telah tercampur dengan emas dan ia ingin mengeluarkan zakatnya, maka keadaannya ada dua:
pertama: jika ia sendiri yang mengurus pengeluarannya, maka bila ia mengetahui dengan yakin kadar perak dan emasnya, dan masing-masing dari keduanya mencapai niṣāb secara terpisah atau dengan tambahan dari yang lain menjadi niṣāb, maka ia mengeluarkan zakatnya. Dan jika ia tidak meyakini kadar perak dan emasnya, lalu ia bersikap hati-hati dan mengeluarkan zakat dari jumlah yang ia yakin tidak melebihi kadar sebenarnya, maka hal itu mencukupi. Dan jika ia tidak meyakini kadarnya, maka wajib baginya memisahkannya dengan api, lalu mengeluarkan zakat dari masing-masing jika jumlahnya mencapai niṣāb baik sendiri maupun dengan tambahan dari yang lain ke niṣāb atau lebih.
kedua: jika imam yang mengambil zakat darinya, lalu ia memberitahu imam tentang kadar perak dan emasnya secara yakin, dan berkata: “Saya mengetahuinya dengan pasti dan menyeluruh,” maka perkataannya diterima. Jika imam mencurigainya, maka imam boleh meminta sumpah sebagai bentuk kehati-hatian. Namun jika ia tidak meyakini dan hanya berkata: “Berdasarkan kehati-hatian, perak di dalamnya sekian dan emas sekian,” maka tidak diterima perkataannya, karena itu hanya ijtihad dari dirinya, sedangkan imam tidak wajib bertindak atas dasar ijtihad orang lain. Namun bila pernyataannya diperkuat oleh pernyataan orang-orang tepercaya dari kalangan ahli dalam bidang itu yang membuat hati tenang, maka dapat dijadikan dasar tindakan.
Dan ia hanya boleh bertindak berdasarkan sikap hati-hatinya bila ia sendiri yang mengeluarkan zakatnya, karena hal itu kembali pada ijtihadnya. Maka jika perkara tersebut membingungkan, harus dipisahkan dengan api dan dimurnikan melalui proses sabk (pelelehan).
Adapun mengenai biaya sabk, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مِنْ وَسَطِ الْمَالِ، لِأَنَّ الْمَسَاكِينَ شُرَكَاؤُهُ فِي الْمَالِ قَبْلَ السَّبْكِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْتَصَّ بِمُؤْنَتِهِ دُونَهُمْ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّ الْمُؤْنَةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ أَخْذُ الزَّكَاةِ إِلَّا بِهَا كَالْحَصَادِ وَالصِّرَامِ.
Pertama: dari pertengahan harta, karena para miskin adalah sekutu dalam harta tersebut sebelum dilebur, maka tidak boleh ia mengkhususkan biaya pengolahannya untuk dirinya tanpa mereka.
Wajah kedua — dan ini yang lebih kuat — bahwa biaya itu ditanggung olehnya, karena zakat tidak mungkin diambil kecuali dengannya, seperti panen dan pemetikan.
مَسْأَلَةٌ: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ لَهُ فِضَةٌ مَلْطُوخَةٌ عَلَى لِجَامٍ أَوْ مُمَوَّهٌ بِهَا سَقْفُ بَيْتٍ، وَكَانَتْ تُمَيَّزُ فَتَكُونُ شَيْئًا إِنْ جُمِعَتْ بِالنَّارِ، فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ الصَّدَقَةِ عَنْهَا، وَإِلَّا فَهِيَ مُسْتَهْلَكَةٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا تَمْوِيهُ السَّقْفِ وَالْأَرْوِقَةِ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فَحَرَامٌ، لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِسْرَافِ وَالْخُيَلَاءِ وَالتَّحَاسُدِ وَالْبَغْضَاءِ، فإن موه رجل سقف بيته أَوْ حَائِطَ دَارِهِ بِفِضَّةٍ أَوْ ذَهَبٍ كَانَ آثِمًا، وَنَظَرَ فَإِنْ كَانَ لَا يُمْكِنُ تَخْلِيصُهُ وَلَا مَرْجِعَ لَهُ فَهُوَ مُسْتَهْلَكٌ، وَلَا زَكَاةَ فِيهِ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا، فَإِنْ كَانَ تَخْلِيصُهُ مُمْكِنًا فَزَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ إِنْ بَلَغَ نِصَابًا، فَإِنْ عَلِمَ قَدْرَهُ أَوِ احْتَاطَ لَهُ وَإِلَّا مَيَّزَهُ وَخَلَّصَهُ، وَأَمَّا حِلْيَةُ اللِّجَامِ فَإِنْ كَانَتْ ذَهَبًا لَمْ يَجُزْ، وَزَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ فِضَّةً فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ كَالذَّهَبِ فَعَلَى هَذَا يُزَكِّيهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ كَالسَّيْفِ وَالْمِنْطَقَةِ فَعَلَى هَذَا فِي وُجُوبِ زَكَاتِهِ قَوْلَانِ لأنه حلي مباح والله أعلم.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang memiliki perak yang dilapiskan pada pelana atau digunakan untuk melapisi langit-langit rumah, dan perak itu dapat dipisahkan sehingga menjadi sesuatu yang dapat dikumpulkan dengan api, maka ia wajib mengeluarkan zakat atasnya. Jika tidak dapat dipisahkan, maka ia dianggap telah habis (musnah).”
Al-Māwardī berkata: Adapun pelapisan langit-langit dan lorong-lorong dengan emas dan perak, hukumnya haram, karena mengandung unsur israf (berlebihan), kesombongan, saling dengki, dan permusuhan. Maka jika seseorang melapisi langit-langit rumahnya atau dinding rumahnya dengan perak atau emas, maka ia berdosa. Kemudian dilihat: jika tidak memungkinkan untuk dipisahkan dan tidak ada jalan untuk mengambilnya kembali, maka ia dianggap telah musnah dan tidak ada zakat atasnya, baik sedikit maupun banyak. Namun jika memungkinkan untuk dipisahkan, maka zakatnya wajib jika mencapai niṣāb. Jika ia mengetahui kadarnya atau bersikap hati-hati, maka cukup. Jika tidak, maka ia harus memisahkannya dan memurnikannya.
Adapun hiasan dari pelana: jika terbuat dari emas, maka tidak boleh, dan zakatnya wajib. Jika terbuat dari perak, maka terdapat dua pendapat:
pertama: tidak boleh seperti emas, maka menurut pendapat ini wajib dizakati.
kedua: boleh seperti pedang dan ikat pinggang, maka menurut pendapat ini, kewajiban zakatnya terdapat dua pendapat, karena dianggap sebagai perhiasan yang mubah.
Wallāhu a‘lam.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا كان في يديه أقل من خمس أواقٍ وما يتم خمس أواقٍ ديناً له أَوْ غَائِبًا عَنْهُ أَحْصَى الْحَاضِرَةَ وَانْتَظَرَ الْغَائِبَةَ فَإِنْ اقْتَضَاهَا أَدَّى رُبُعَ عُشْرِهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ يَجِبُ تَقْدِيمُ الْكَلَامِ فِيهِمَا ثُمَّ بِنَاءُ الْمَسْأَلَةِ عَلَيْهِمَا.
فَأَحَدُ الْفَصْلَيْنِ: وُجُوبُ زَكَاةِ الدَّيْنِ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ: مُعَجَّلٌ. وَمُؤَجَّلٌ، وَالْمُعَجَّلُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ عَلَى مَلِيءٍ مُعْتَرِفٍ يَقْدِرُ عَلَى أَخْذِهِ مِنْهُ مَتَى شَاءَ فَعَلَيْهِ أَنْ يُزَكِّيَهُ، سَوَاءٌ قَبَضَهُ أَوْ لَمْ يَقْبِضْهُ كَالْوَدِيعَةِ.
Masalah: Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika di tangannya ada kurang dari lima awāq dan pelengkap lima awāq itu adalah piutang miliknya atau harta yang ghaib darinya, maka ia hitung yang hadir dan menunggu yang ghaib. Jika ia berhasil menagihnya, maka ia keluarkan seperempat dari sepersepuluhnya.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa masalah ini mencakup dua pasal yang wajib didahulukan pembahasannya, kemudian masalah ini dibangun di atas keduanya.
Salah satu dari dua pasal tersebut adalah kewajiban zakat atas utang (dayn), dan ini terbagi menjadi dua: yang segera (mu‘ajjal) dan yang ditunda (mu’ajjal).
Utang yang mu‘ajjal terbagi menjadi empat bagian:
Pertama: jika utang itu atas orang yang mampu lagi mengakui, dan ia dapat mengambilnya kapan saja ia mau, maka wajib atasnya untuk menzakatinya, baik ia telah mengambilnya maupun belum, sebagaimana wadī‘ah (titipan).
وَقَالَ أبو حنيفة لَا يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ قَبْلَ قَبْضِهِ كَالْمَغْصُوبِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَلَى مَلِيءٍ مُعْتَرِفٍ فِي الْبَاطِنِ مُمَاطِلٍ فِي الظَّاهِرِ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يُزَكِّيَهُ قَبْلَ قَبْضِهِ، خَوْفًا مِنْ جُحُودِهِ وَمَطْلِهِ، فَإِذَا قَبَضَهُ زَكَّاهُ لِمَا مَضَى قَوْلًا وَاحِدًا.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ عَلَى مَلِيءٍ مُنْكِرٍ.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ عَلَى مُقِرٍّ مُعْسِرٍ وَجَوَابُهُمَا سَوَاءٌ، وَهُوَ فِي حُكْمِ الْمَغْصُوبِ لَا يُزَكِّيهِ قَبْلَ قَبْضِهِ، فَإِذَا قَبَضَهُ فَهَلْ يُزَكِّيهِ لِمَا مَضَى أَوْ يَسْتَأْنِفُ بِهِ الْحَوْلَ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَأَمَّا الْمُؤَجَّلُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ مَالِكًا له قبل حلول أجله؟ على قولين، وهو قول أبي إسحاق المروزي يكون مالكا لَهُ، وَلَوْ حَلَفَ لَا يَمْلِكُ مَا لَا حنث فيه ومن حَلَفَ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ أَنْ لَا دَيْنَ عَلَيْهِ حَنِثَ قَالَ: لِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ أَنْ يُبَرِّئَهُ قَبْلَ حُلُولِ الْأَجَلِ ثَبَتَ أَنَّهُ مَالِكٌ لَهُ قَبْلَ حُلُولِ الْأَجَلِ، فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ يَكُونُ حُكْمُهُ فِي الزَّكَاةِ حُكْمَ الْمَالِ الْمَغْصُوبِ، فَيَكُونُ وُجُوبُ زَكَاتِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Abu Ḥanīfah berkata: Tidak wajib baginya mengeluarkan zakat atas harta tersebut sebelum ia menerimanya, seperti halnya harta yang dirampas (maghṣūb).
Bagian kedua: yaitu apabila harta tersebut berada pada orang kaya yang mengakui (hutangnya) secara batin namun menunda-nunda secara lahir, maka tidak wajib zakat atasnya sebelum ia menerimanya, karena adanya kekhawatiran akan pengingkaran dan penundaan. Maka ketika ia telah menerimanya, ia wajib menzakatinya untuk masa yang telah berlalu menurut satu pendapat.
Bagian ketiga: apabila harta tersebut berada pada orang kaya yang mengingkarinya.
Bagian keempat: apabila berada pada orang yang mengakui tetapi dalam keadaan tidak mampu. Jawaban untuk keduanya sama, yaitu dihukumi seperti harta maghṣūb, tidak wajib dizakati sebelum diterima. Namun apabila telah diterima, apakah wajib dizakati untuk masa yang telah berlalu atau memulai hitungan ḥaul dari awal? Terdapat dua pendapat.
Adapun harta muʾajjal (utang yang tempo pelunasannya belum jatuh), para sahabat kami berbeda pendapat apakah seseorang telah menjadi pemilik atasnya sebelum jatuh temponya? Terdapat dua pendapat, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: bahwa ia telah menjadi pemiliknya, dan jika ia bersumpah bahwa ia tidak memiliki apa-apa maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya, sedangkan jika orang yang berutang bersumpah bahwa ia tidak memiliki utang, maka ia dianggap melanggar sumpahnya. Ia berkata: karena ketika sah untuk membebaskannya sebelum jatuh tempo, maka tetaplah bahwa ia adalah miliknya sebelum jatuh tempo.
Maka menurut pendapat ini, hukumnya dalam zakat seperti harta maghṣūb, maka kewajiban zakat atasnya berada pada dua pendapat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة لَا يَكُونُ مَالِكًا لَهُ، وَلَوْ حَلَفَ لَا يَمْلِكُ مَالًا بَرَّ، وَلَوْ حَلَفَ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ أَنْ لَا شَيْءَ لَهُ بَرَّ، قَالَ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْلِكِ الْمُطَالَبَةَ بِهِ وَلَا الْمُعَاوَضَةَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ ثَمَرَةُ الْمِلْكِ، ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَمْلِكُ، فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ يَسْتَأْنِفُ حَوْلَهُ إِذَا حَلَّ أَجْلُهُ.
وَالْفَصْلُ الثَّانِي: وُجُوبُ زَكَاةِ الْمَالِ الْغَائِبِ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مُسْتَقِرًّا فِي بَلَدٍ يَعْرِفُ سَلَامَتَهُ فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ فِي الْبَلَدِ الَّذِي هُوَ فِيهِ، فَإِنْ أَخْرَجَهَا فِي غَيْرِهِ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ نَقْلِ الصَّدَقَةِ أَحَدُهُمَا. يُجْزِئُهُ.
Wajah kedua — dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah — bahwa ia tidak dianggap sebagai pemilik harta tersebut. Seandainya ia bersumpah bahwa ia tidak memiliki harta, maka sumpahnya benar; dan jika orang yang berutang bersumpah bahwa si pemilik tidak memiliki apa pun, maka sumpahnya juga benar. Ia berkata: karena ketika ia tidak memiliki hak untuk menagihnya dan tidak dapat melakukan transaksi tukar-menukar atasnya — padahal itu adalah buah dari kepemilikan — maka tetaplah bahwa ia tidak memilikinya. Maka berdasarkan wajah ini, ia memulai hitungan ḥaul-nya dari awal ketika telah jatuh tempo.
Pasal kedua: Kewajiban zakat atas harta yang ghaib, dan ini terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: harta tersebut berada tetap di negeri yang diketahui keamanannya, maka wajib atasnya mengeluarkan zakatnya di negeri tempat harta itu berada. Jika ia mengeluarkannya di negeri lain, maka ada dua pendapat mengenai hukum memindahkan zakat: salah satunya, zakatnya sah.
وَالثَّانِي: لَا يُجْزِئُهُ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ سَائِرًا غَيْرَ مُسْتَقِرٍّ لَكِنْ يَعْرِفُ سَلَامَتَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ زَكَاتَهُ قَبْلَ وُصُولِهِ، فَإِذَا وَصَلَ زَكَّاهُ لِمَا مَضَى قَوْلًا وَاحِدًا.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ سَائِرًا غَيْرَ مُسْتَقِرٍّ وَلَا مَعْرُوفِ السَّلَامَةِ فَهُوَ كَالْمَالِ الضَّالِّ، لَا يُزَكِّيهِ قَبْلَ وُصُولِهِ، فإذا وصل هل يُزَكِّيهِ لِمَا مَضَى أَوْ يَسْتَأْنِفُ حَوْلَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ: فَإِذَا ثَبَتَ هَذَانِ الْفَصْلَانِ فَصُورَةُ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ مَعَهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ حَاضِرَةٍ، وَيَمْلِكُ مِائَةَ دِرْهَمٍ أُخْرَى دَيْنًا أَوْ غَائِبَةً، فَإِنْ كَانَتْ دَيْنًا وَقَدْ حَالَ الْحَوْلُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الدَّيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.
dan kedua: tidak mencukupi.
Bagian kedua: jika harta itu sedang dalam perjalanan dan belum sampai, tetapi diketahui keamanannya, maka tidak wajib dizakati sebelum sampai. Apabila telah sampai, maka ia wajib menzakatinya untuk masa yang telah berlalu menurut satu pendapat.
Bagian ketiga: jika harta itu sedang dalam perjalanan dan belum sampai serta tidak diketahui keamanannya, maka ia seperti harta yang hilang (māl ḍāll), tidak wajib dizakati sebelum sampai. Apabila telah sampai, apakah wajib dizakati untuk masa yang telah berlalu atau memulai ḥaul dari awal? Ada dua pendapat.
Apabila dua fasal ini telah ditetapkan, maka bentuk masalahnya adalah: seseorang memiliki seratus dirham yang hadir di sisinya, dan ia juga memiliki seratus dirham lainnya yang berupa piutang atau harta yang berada di tempat jauh. Maka apabila harta itu berupa piutang dan telah berlalu satu ḥaul, maka keadaan piutang tersebut tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا تَجِبُ زَكَاتُهُ قَبْلَ قَبْضِهِ فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ وَزَكَاةِ الْمِائَةِ الْحَاضِرَةِ جَمِيعًا.
وَالْقِسْمُ الثاني: أَنْ يَكُونَ الدَّيْنُ مِمَّا تَجِبُ زَكَاتُهُ بَعْدَ قبضه، فإنه ينتظر بالمائة الحاضرة فيصير دَيْنِهِ، فَإِنْ قَبَضَهُ زَكَّاهَا مَعَ الدَّيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَقْبِضْهُ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيهِمَا، وَكَذَا الجواب في الغائبة سَوَاءٌ.
Pertama: jika termasuk jenis yang wajib dizakati sebelum diterima, maka wajib atasnya mengeluarkan zakatnya dan zakat seratus yang hadir sekaligus.
Bagian kedua: jika utangnya termasuk yang wajib dizakati setelah diterima, maka ia menunggu atas seratus yang hadir hingga menjadi bagian dari utangnya. Jika ia berhasil menerimanya, ia zakati bersama utangnya; dan jika tidak ia terima, maka tidak ada zakat atasnya pada keduanya. Demikian pula jawabannya pada harta yang ghaib, sama saja hukumnya.
مَسْأَلَةٌ: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَمَا زَادَ وَلَوْ قِيرَاطًا فَبِحِسَابِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْوَقْصُ فِي الْوَرِقِ مُعْتَبَرٌ في ابتدائه غير معتبر في انتهائه فَمَا زَادَ عَلَى الْمِائَتَيْنِ فَفِيهِ الزَّكَاةُ بِحِسَابِهِ، قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا وَهُوَ قَوْلُ عَلِيٍّ وَابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Dan apa yang melebihi, meskipun hanya satu qīrāṭ, maka dizakati sesuai hitungannya.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa al-waqṣ (kekurangan dari nisab) pada perak diperhitungkan pada awalnya, namun tidak diperhitungkan pada akhirnya. Maka apa yang melebihi dari dua ratus dirham, wajib dizakati sesuai hitungannya, baik sedikit maupun banyak. Ini adalah pendapat ‘Alī dan Ibn ‘Umar RA serta mayoritas fuqaha.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا شَيْءَ فِيمَا زَادَ عَلَى الْمِائَتَيْنِ حَتَّى يَبْلُغَ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا فَيَجِبُ فِيهَا دِرْهَمٌ، وَلَا شَيْءَ فِيمَا دُونَ الْأَرْبَعِينَ، وَخَالَفَهُ صَاحِبَاهُ وَوَافَقَهُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَابْنُ شِهَابٍ الزُّهْرِيُّ تَعَلُّقًا بِرِوَايَةِ الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: هَاتُوا رُبُعَ الْعُشْرِ مِنَ الْوَرِقِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا دِرْهَمًا ” وَبِرِوَايَةِ حَبِيبِ بْنِ نَجِيحٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: ” لَا تَأْخُذْ مِنَ الْكَسْرِ شَيْئًا وَلَا مِنَ الْوَرِقِ حَتَّى تبلغ مائتي درهم ولا تأخذ مما زاد شيئاً حتى تبلغ أربعين فإذا بلغتها ففيها درهم ” قال وَلِأَنَّهُ جِنْسُ مَالٍ فِي ابْتِدَائِهِ وَقْصٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي أَثْنَائِهِ وَقْصٌ كَالْمَوَاشِي.
Abu Ḥanīfah berkata: Tidak ada zakat pada kelebihan dari dua ratus dirham sampai mencapai empat puluh dirham, maka wajib padanya satu dirham; dan tidak ada zakat pada kurang dari empat puluh. Pendapat ini diselisihi oleh dua sahabat beliau, namun disepakati oleh al-Ḥasan al-Baṣrī dan Ibn Syihāb az-Zuhrī, berdasarkan riwayat al-Ḥārits al-A‘war dari ‘Alī RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Ambillah seperempat dari sepersepuluh dari perak: dari setiap empat puluh dirham satu dirham.”
Dan juga berdasarkan riwayat Ḥabīb bin Najīḥ dari ‘Ubādah bin Nusayy dari Mu‘āż bin Jabal bahwa Nabi SAW ketika mengutusnya ke Yaman bersabda: “Jangan engkau ambil apa pun dari pecahan, dan jangan dari perak sampai mencapai dua ratus dirham. Dan jangan engkau ambil dari kelebihannya sesuatu pun sampai mencapai empat puluh. Jika telah mencapainya, maka padanya satu dirham.”
Ia (Abu Ḥanīfah) berkata: Karena perak adalah jenis harta yang pada permulaannya terdapat waqṣ (ambang batas minimal), maka wajib pada pertengahannya juga terdapat waqṣ, sebagaimana pada zakat hewan ternak.
وَدَلِيلُنَا: عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي ” الرِّقَّةِ رَبُعُ الْعُشْرِ ” فَكَانَ مَا اسْتُثْنِيَ مِنْهُ خَارِجًا، وَمَا سِوَى الِاسْتِثْنَاءِ عَلَى حُكْمِ الْعُمُومِ بَاقِيًا، وَرَوَى عَاصِمُ بْنُ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” هَاتُوا رُبُعَ الْعُشْرِ مِنَ الْوَرِقِ مِنْ كل أربعين دِرْهَمًا وَلَا شَيْءَ فِيهَا حَتَّى تَبْلُغَ مِائَتَيْنِ فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَمَا زَادَ فَعَلَى حِسَابِ ذَلِكَ ” وَهَذَا نَصٌّ وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ فِي مَائَتَيْنِ خَمْسَةٌ وَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ، وَلِأَنَّهُ مَالٌ مُسْتَفَادٌ مِنَ الْأَرْضِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ وَقْصٌ بَعْدَ وُجُوبِ زَكَاتِهِ كَالزُّرُوعِ، وَلِأَنَّهَا زِيَادَةٌ عَلَى نِصَابٍ فِي جِنْسِ مَالٍ لَا ضَرَرَ فِي تَبْعِيضِهِ فَوَجَبَ أَنْ تَجِبَ فِيهِ الزَّكَاةُ كَالْأَرْبَعِينَ، أَوْ كَالذَّهَبِ، وَلِأَنَّ الْوَقْصَ فِي الزَّكَاةِ وَقْصَانِ: وَقْصٌ فِي ابْتِدَاءِ الْمَالِ لِيَبْلُغَ حَدًّا يَحْتَمِلُ الْمُوَاسَاةَ، وهذا موجود في الورق، فاعتبر فيه وقص في أثناء المال، لأن لَا يَجِبَ كَسْرٌ يُسْتَضَرُّ بِإِيجَابِهِ فِيهِ، وَهَذَا مَعْدُومٌ فِي الْوَرِقِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ، فَثَبَتَ أخذ الْوَقْصَيْنِ لِوُجُودِ مَعْنَاهُ، وَسَقَطَ الْوَقْصُ الثَّانِي لِفَقْدِ مَعْنَاهُ.
Dalil kami adalah keumuman sabda Nabi SAW: “Pada perak ada seperempat dari sepersepuluh (nisab),” maka bagian yang dikecualikan darinya keluar (dari hukum), dan selebihnya tetap berada dalam cakupan hukum umum tersebut.
Dan telah meriwayatkan ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Alī RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Keluarkanlah seperempat dari sepersepuluh dari perak, dari setiap empat puluh dirham, dan tidak ada zakat pada perak hingga mencapai dua ratus dirham. Jika telah mencapainya, maka padanya ada lima dirham. Dan selebihnya dihitung sesuai kadarnya.”
Ini adalah nash.
Juga diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bahwa Nabi SAW bersabda:
“Pada dua ratus dirham ada lima dirham (zakat), dan yang lebih dari itu dihitung sesuai kadarnya.”
Dan karena perak adalah harta yang diperoleh dari bumi, maka tidak ada waqṣ (pengurangan nisab) padanya setelah zakat diwajibkan, seperti zakat pada tanaman.
Juga karena ia merupakan tambahan dari niṣāb dalam jenis harta yang tidak menimbulkan mudarat jika dibagi, maka wajib dikenai zakat padanya, sebagaimana pada empat puluh dirham atau seperti emas.
Dan karena waqṣ dalam zakat ada dua macam:
- Waqṣ pada permulaan harta, agar mencapai batas yang layak untuk dizakati — ini terdapat pada perak, maka dipertimbangkan.
- Adapun waqṣ di tengah (tambahan setelah mencapai nisab), maka tidak ada keharusan memecah jumlah yang akan merugikan jika dibebani zakat — dan ini tidak terdapat pada perak, maka tidak dipertimbangkan.
Maka tetaplah diberlakukan waqṣ yang pertama karena maknanya ada, dan gugur waqṣ yang kedua karena maknanya tidak ada.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَهُوَ أَنْ يُقَالَ: نَحْنُ نَعْمَلُ بِمُوجَبِهِ وَهُوَ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا دِرْهَمًا، وَلَيْسَ فِيهِ أَنْ لَا شَيْءَ فِيمَا دُونَ الْأَرْبَعِينَ، فَإِنْ قِيلَ الْمَحْدُودُ عِنْدَكُمْ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ حُكْمُهُ مُخَالِفًا لِحُكْمِ مَا خَرَجَ عَنْهُ وما نقص عن الأربعين فأرج عما أخذ بالأربعين ووجب أن يكون حكمه مخالفاً له قبل ذلك قيل كذلك نقول إلا أنا نُوجِبُ فِي الْأَرْبَعِينَ دِرْهَمًا كَامِلًا، وَلَا نُوجِبُ فِيمَا دُونَهَا دِرْهَمًا، وَإِنَّمَا نُوجِبُ بَعْضَ دِرْهَمٍ، وَبِهَذَا يُجَابُ عَنْ حَدِيثِ مُعَاذٍ فِي قَوْلِهِ وَلَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعِينَ، أي: لا شَيْءَ فِيهَا كَامِلٌ هَذَا إِنْ صَحَّ الْحَدِيثُ مِنْ قَدْحٍ فِيهِ وَهُوَ غَيْرُ صَحِيحٍ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun jawaban terhadap hadis ‘Alī RA, maka dapat dikatakan: Kami mengamalkan maknanya, yaitu bahwa pada setiap empat puluh dirham wajib satu dirham. Namun dalam hadis tersebut tidak terdapat larangan bahwa tidak ada apa-apa pada yang kurang dari empat puluh.
Jika dikatakan: “Menurut kalian, sesuatu yang memiliki batas tertentu (yaitu empat puluh), seharusnya hukumnya berbeda dengan yang berada di luar batas itu. Maka apa yang kurang dari empat puluh adalah lebih ringan daripada yang dikenai zakat pada jumlah empat puluh, dan harusnya hukumnya berbeda sebelum batas itu.” Maka dijawab: Memang begitu yang kami katakan. Hanya saja kami mewajibkan pada empat puluh dirham itu satu dirham penuh, dan tidak mewajibkan satu dirham penuh pada yang kurang dari itu, tetapi kami wajibkan bagian dari satu dirham (sebanding dengan proporsinya).
Dengan ini pula dijawab hadis Mu‘āż pada sabdanya: “Tidak ada zakat pada kelebihannya sampai mencapai empat puluh”, maksudnya: tidak ada kewajiban satu dirham penuh padanya. Ini pun jika hadis tersebut sahih, padahal hadis itu tidak sahih dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ رِوَايَةُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنِ الْمِنْهَالِ بْنِ الْجَرَّاحِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ عُبَادَةَ، وَالْمِنْهَالُ بْنُ الْجَرَّاحِ هُوَ أَبُو الْعَطُوفِ الجراح بن المنهال، وإنما قلت محمد بن إسحاق باسمه لِضَعْفِهِ وَاشْتِهَارِهِ بِوَضْعِ الْحَدِيثِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ عُبَادَةَ لَمْ يَلْقَ مُعَاذًا فَكَانَ الْحَدِيثُ مُنْقَطِعًا، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمَوَاشِي فَالْمَعْنَى فِيهَا أَنَّ فِي تَبْعِيضِهَا ضَرَرًا، فَلِذَلِكَ ثَبَتَ فِي انْتِهَائِهَا وَقْصٌ، والورق ليس في تبعيضها ضرر فذلك لَمْ يَثْبُتْ فِي أَثْنَائِهَا وَقْصٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
salah satunya: bahwa itu adalah riwayat Muḥammad bin Isḥāq dari al-Minhāl bin al-Jarrāḥ dari Ḥabīb bin ‘Ubādah, dan al-Minhāl bin al-Jarrāḥ adalah Abū al-‘Aṭūf al-Jarrāḥ bin al-Minhāl. Aku menyebut Muḥammad bin Isḥāq dengan namanya karena kelemahannya dan karena ia masyhur sebagai pemalsu ḥadīṡ.
yang kedua: bahwa ‘Ubādah tidak pernah bertemu dengan Mu‘āż, maka ḥadīṡ tersebut munqaṭi‘. Adapun qiyās mereka atas hewan ternak, maka sebabnya adalah karena dalam membagi-baginya terdapat mudarat, maka karena itu ditetapkan adanya waqṣ pada batas akhirnya. Adapun perak, tidak ada mudarat dalam membagi-baginya, maka tidak ditetapkan adanya waqṣ di pertengahannya. Wallāhu a‘lam.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن ارتد ثم حال الْحَوْلُ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّ فِيهِ الزَّكَاةَ وَالثَّانِي يُوقَفُ فَإِنْ أَسْلَمَ فَفِيهِ الزَّكَاةُ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ الْفَرْضُ بِالرِّدَّةِ وَإِنْ قُتِلَ لَمْ يَكُنْ فِيهِ زَكَاةٌ وَبِهَذَا أَقُولُ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) أَوْلَى بِقَوْلِهِ عِنْدِي الْقَوْلُ الْأَوَّلُ عَلَى مَعْنَاهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي بَابِ زَكَاةِ الْغَنَمِ، وَذَكَرْنَا أَنَّهُ إِنِ ارْتَدَّ بَعْدَ الْحَوْلِ فَالزَّكَاةُ لَا تَسْقُطُ، وَإِنِ ارْتَدَّ قَبْلَ الْحَوْلِ وَقُتِلَ أَوْ مَاتَ فَالزَّكَاةُ لَمْ تَجِبْ، وَإِنْ بَقِيَ عَلَى رِدَّتِهِ حَتْي حَالَ الْحَوْلُ عَلَى مَالِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ، وَقَوْلٌ ثَالِثُ مُخْتَلَفٌ فِي تَخْرِيجِهِ.
Masalah: Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang murtad lalu ḥaul berlalu atas hartanya, maka terdapat dua pendapat: pertama, wajib zakat padanya; kedua, ditangguhkan. Jika ia kembali masuk Islam, maka wajib zakat dan kewajiban tidak gugur karena murtad. Namun jika ia terbunuh (dalam keadaan murtad), maka tidak ada zakat. Dan inilah yang aku pilih.” (al-Muzanī berkata:) “Menurutku, pendapat pertama lebih utama, sesuai dengan maksudnya.”
al-Māwardī berkata: Masalah ini telah disebutkan dalam bab zakat kambing, dan kami telah menjelaskan bahwa jika ia murtad setelah sempurna ḥaul, maka zakat tidak gugur. Jika ia murtad sebelum sempurna ḥaul lalu terbunuh atau mati, maka zakat tidak wajib. Dan jika ia tetap dalam kemurtadannya sampai berlalu ḥaul atas hartanya, maka terdapat dua pendapat yang manṣūṣ, dan satu pendapat ketiga yang diperselisihkan dalam cara mengeluarkannya.
أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِي مَالِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وُقُوفُ الْأَمْرِ عَلَى مُرَاعَاةِ حَالِهِ، فَإِنْ أَسْلَمَ وَجَبَتْ وَإِنْ قُتِلَ لَمْ تَجِبْ، وَالْقَوْلُ خَرَّجَهُ أَبُو إِسْحَاقَ وَامْتَنَعَ مِنْهُ أَبُو الْعَبَّاسِ لَا زَكَاةَ فِي مَالِهِ بِحَالٍ سَوَاءٌ أَسْلَمَ أَوْ قُتِلَ، وَقَدْ ذَكَرْنَا تَخْرِيجَ هَذَا الْقَوْلِ وسبب اختلافهم فيه.
salah satu dari dua pendapat: wajibnya zakat pada hartanya.
dan pendapat yang kedua: tergantung pada keadaan dirinya, jika ia masuk Islam maka wajib, dan jika ia terbunuh maka tidak wajib. Pendapat ini ditarjih oleh Abū Isḥāq dan ditolak oleh Abū al-‘Abbās, bahwa tidak ada zakat pada hartanya dalam keadaan apa pun, baik ia masuk Islam maupun terbunuh. Dan telah kami sebutkan istinbāṭ pendapat ini dan sebab perbedaan mereka di dalamnya.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وحرامٌ أن يؤدي الرجل الزكاة من شر ماله لقول الله جل وعز {وَلاَ تَيَمَّمُوا الخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بآخِذِيهِ إِلاّ أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ} يَعْنِي وَاللَّهُ أَعْلَمُ لَا تُعْطُوا فِي الزَّكَاةِ مَا خَبُثَ أَنْ تَأْخُذُوهُ لِأَنْفُسِكُمْ وَتَتْرُكُوا الطَّيِّبَ عندكم “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ الْمُزَنِيُّ:
وَقَدْ مَضَى ذَلِكَ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ، وَقُلْنَا إِنَّ إِخْرَاجَ الرَّدِيءِ عَنِ الْجَيِّدِ لَا يَجُوزُ، وَإِخْرَاجَ الْجَيِّدِ عَنِ الرَّدِيءِ لَا يَجِبُ وقَوْله تَعَالَى: {وَلاَ تَيَمَّمُوا الخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ) {البقرة: 267) فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: الْحَرَامُ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ.
Masalah: Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Haram hukumnya seseorang menunaikan zakat dari bagian terburuk hartanya, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza: {wa lā tayammamū al-khabītsa minhu tunfiqūna wa lastum bi-ākhidzhīhi illā an tughmidhū fīhi} — yang maksudnya, wallāhu a‘lam: Jangan kalian berikan dalam zakat sesuatu yang kalian sendiri enggan menerimanya untuk diri kalian, lalu kalian tinggalkan yang baik di sisi kalian.”
al-Māwardī berkata: Seperti yang dikatakan oleh al-Muzanī: hal ini telah berlalu dalam banyak tempat, dan kami telah sampaikan bahwa mengeluarkan harta yang buruk dari yang baik tidak diperbolehkan, dan mengeluarkan harta yang baik dari yang buruk tidak diwajibkan.
Firman Allah Ta‘ālā: {wa lā tayammamū al-khabītsa minhu tunfiqūna} (QS al-Baqarah: 267) memiliki dua tafsiran:
Pertama: larangan ini berkaitan dengan sedekah taṭawwu‘ (sunnah).
وَالثَّانِي: الرَّدِيءُ فِي الْفَرْضِ وَالتَّطَوُّعِ وَهُوَ أَصَحُّ التَّأْوِيلَيْنِ لِأَنَّهُ تَعَالَى قَالَ {وَلَسْتُمْ بآخِذِيهِ إلاَّ أنْ تُغْمِضُواْ فِيه) {البقرة: 267) وَالْحَرَامُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُغْمَضَ فِي أَخْذِهِ عَلَى أَنَّ سَبَبَ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ، مَنْقُولٌ وَهُوَ مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَرَأَى فِيهِ عَذْقًا حَشَفًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: صَدَقَةُ فُلَانٍ، يَعْنُونَ رَجُلًا من الأنصار، فغضب وَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ غنيٌّ عَنْ فلانٍ وصدقتهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةَ.
وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ مُصَدِّقًا لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أتاه بفصيل محلولٍ فِي الصَّدَقَةِ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – انظروا إلى فلانٍ أتانا بفصيل محلول، فَبَلَغَهُ فَأَتَاهُ بَدَلَهُ بِنَاقَةٍ كوماءٍ، قَالَ أَبُو عبيد المحلول هُوَ الْهَزِيلُ الَّذِي قَدْ حَلَّ جِسْمُهُ.
dan yang kedua: harta yang buruk (rendah mutunya), baik dalam zakat wajib maupun sunnah, dan inilah penafsiran yang lebih kuat, karena Allah Ta‘ālā berfirman: “Dan kamu tidak mau mengambilnya (barang itu) kecuali dengan memicingkan mata padanya” (QS al-Baqarah: 267). Padahal, yang haram tidak boleh diambil dengan cara ighmāḍ (memicingkan mata sebagai bentuk kerelaan yang dipaksakan).
Adapun sebab turunnya ayat ini telah dinukil, yaitu sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi SAW masuk ke masjid dan melihat setandan kurma yang jelek, lalu beliau bersabda: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah sedekah dari si fulan” –mereka maksudkan seorang laki-laki dari Anṣār– maka beliau pun marah dan bersabda: “Sesungguhnya Allah Mahakaya dari si fulan dan sedekahnya,” lalu Allah Ta‘ālā menurunkan ayat ini.
Dan telah diriwayatkan bahwa seorang petugas zakat Nabi SAW datang kepadanya membawa faṣīl (anak unta) yang kurus sebagai zakat, maka Nabi SAW bersabda: “Lihatlah si fulan, ia datang kepada kita dengan anak unta yang kurus,” lalu kabar itu sampai kepadanya, dan ia pun menggantinya dengan seekor unta betina yang besar punuknya (nāʻiqah kawmā’).
Abū ‘Ubaid berkata: al-maḥlūl adalah yang kurus, yang telah melemah tubuhnya.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولا أَعْلَمُ اخْتِلَافًا فِي أَنْ لَيْسَ فِي الذَّهَبِ صَدَقَةٌ حَتَى يَبْلُغَ عِشْرِينَ مِثْقَالَا جَيِّدًا كَانَ أَوْ رَدِيئًا أَوْ إِنَاءً أَوْ تِبْرًا فَإِنْ نَقَصَتْ حبةٌ أَوْ أَقَلُّ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهَا صَدَقَةٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى فِي بَابِ زَكَاةِ الْوَرِقِ مَا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ زَكَاةِ الذهب، مع أن الإجماع على وجوب زكاة الذهب، مُنْعَقِدٌ، وَنِصَابُهُ عِشْرُونَ مِثْقَالًا، الْوَاجِبُ فِيهَا نِصْفُ مِثْقَالٍ، فَإِنْ نَقَصَتْ عَنِ الْعِشْرِينَ وَلَوْ حَبَّةً فَلَا شَيْءَ فِيهَا، وَإِنْ زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَلَوْ حَبَّةً وَجَبَتِ الزَّكَاةُ فِيهَا، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة: وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ.
BAB ZAKAT EMAS DAN BATAS KADAR YANG TIDAK WAJIB DIZAKATI
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa tidak ada zakat pada emas hingga mencapai dua puluh mithqāl, baik emas itu bagus maupun buruk, berupa wadah ataupun batangan. Jika kurang satu ḥabbah atau lebih sedikit, maka tidak diambil zakat darinya.”
al-Māwardī berkata: Telah dijelaskan dalam bab zakat wariq (perak) dalil atas wajibnya zakat emas, dan ijma‘ atas wajibnya zakat emas pun telah tetap. Niṣāb-nya adalah dua puluh mithqāl, dan yang wajib padanya adalah setengah mithqāl. Jika kurang dari dua puluh, walaupun satu ḥabbah, maka tidak ada zakat padanya. Dan jika melebihi dua puluh, walaupun satu ḥabbah, maka zakat wajib padanya. Ini juga merupakan pendapat Abū Ḥanīfah dan jumhur fuqahā’.
وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: لَا شَيْءَ فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَبْلُغَ أَرْبَعِينَ مِثْقَالًا فَيَجِبُ فِيهِ مِثْقَالٌ، قَالَ: لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الزَّكَوَاتِ اسْتِفْتَاحُ فَرْضٍ بِكَسْرٍ، وَقَالَ ابْنُ شِهَابٍ الزُّهْرِيُّ نِصَابُ الذَّهَبِ مُعْتَبَرٌ بِقِيمَتِهِ مِنَ الْوَرِقِ فَإِنْ كَانَ مَعَهُ عِشْرُونَ مِثْقَالًا قِيمَتُهَا أَقَلُّ مِنْ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا، وَإِنْ كَانَ مَعَهُ أَقَلُّ مِنْ عِشْرِينَ مِثْقَالًا قِيمَتُهَا مِائَتَا دِرْهَمٍ فَفِيهَا الزَّكَاةُ، قَالَ لِأَنَّ الْوَرِقَ أَصْلٌ وَالذَّهَبَ فَرْعٌ، فَاعْتُبِرَ نِصَابُهُ بِأَصْلِهِ، وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ نَقَصَتْ عَنِ الْعِشْرِينَ حَبَّةً وَجَازَتْ جَوَازَ الْوَازِنَةِ وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ كَقَوْلِهِ فِي الْوَرِقِ، وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِنْ نَقَصَتْ رُبُعَ مِثْقَالٍ وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ، وَإِنْ نَقَصَتْ ثُلُثَ مِثْقَالٍ لَمْ تَجِبْ فِيهَا الزَّكَاةُ.
dan al-Ḥasan al-Baṣrī berkata: “Tidak ada kewajiban zakat pada emas hingga mencapai empat puluh miṡqāl, maka wajib di dalamnya satu miṡqāl.” Ia berkata: “Karena dalam zakat tidak ada permulaan kewajiban yang dimulai dengan pecahan.”
Dan Ibn Syihāb az-Zuhrī berkata: “Niṣāb emas ditetapkan berdasarkan nilainya terhadap perak. Jika seseorang memiliki dua puluh miṡqāl emas namun nilainya kurang dari dua ratus dirham, maka tidak ada zakat di dalamnya. Dan jika ia memiliki kurang dari dua puluh miṡqāl namun nilainya dua ratus dirham, maka wajib zakat padanya.” Ia berkata: “Karena perak adalah pokok dan emas adalah cabang, maka ditetapkan niṣāb-nya berdasarkan pokoknya.”
Dan Mālik berkata: “Jika kurang dari dua puluh satu butir dan tetap sah menurut ukuran timbangan, maka wajib zakat padanya,” sebagaimana pendapatnya tentang perak.
Dan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz berkata: “Jika kurang seperempat miṡqāl, maka tetap wajib zakat padanya. Namun jika kurang sepertiga miṡqāl, maka tidak wajib zakat padanya.”
وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَمِيعِهِمْ وَصِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” لَيْسَ فِيمَا دُونَ عِشْرِينَ دِينَارًا مِنَ الذَّهَبِ شيءٌ، فَإِذَا بَلَغَ عِشْرِينَ دِينَارًا فَفِيهِ نِصْفُ دِينَارٍ ” وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ليس فيما دون خمس ذودٍ من الْإِبِلِ صدقةٌ، وَلَا فِيمَا دُونَ عِشْرِينَ دِينَارًا مِنَ الذَّهَبِ صَدَقَةٌ، وَلَا فِيمَا دُونَ مِائَتَيْ درهم من الورق صدقة ” لأن ذَلِكَ مَذْهَبُ عَلِيٍّ وَعَائِشَةَ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَعَلَيْهِ اعْتَمَدَ الشَّافِعِيُّ لِأَنَّهُ قَالَ لَيْسَ فِي الذَّهَبِ خَبَرٌ ثَابِتٌ، لَكِنْ لَمَّا انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَيْهَا جَازَ الاحتجاج بها.
Dan dalil atas semua hal tersebut dan atas benarnya apa yang kami pegangi adalah riwayat ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Alī RA dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: “Tidak ada zakat pada emas yang kurang dari dua puluh dinar. Jika telah mencapai dua puluh dinar, maka padanya setengah dinar.”
Juga riwayat dari ‘Amr bin Syu‘ayb dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada unta kurang dari lima ekor, dan tidak ada zakat pada emas kurang dari dua puluh dinar, dan tidak ada zakat pada perak kurang dari dua ratus dirham.”
Karena inilah mazhab ‘Alī, ‘Ā’isyah, Ibn Mas‘ūd, dan Abū Sa‘īd al-Khudrī, dan tidak ada yang menyelisihi mereka dari kalangan sahabat RA, maka hal itu merupakan ijma‘. Dan atas dasar inilah Imam al-Syafi‘i berpegang, karena beliau berkata: “Tidak ada hadis yang tsābit tentang emas, namun ketika ijma‘ telah terjadi atasnya, maka boleh berhujjah dengannya.”
فَصْلٌ
: فَإِذَا بَلَغَ الذَّهَبُ عِشْرِينَ مِثْقَالًا بِمَثَاقِيلِ الْإِسْلَامِ الَّتِي وَزْنُ كُلِّ سَبْعَةٍ مِنْهَا عَشَرَةُ دَرَاهِمَ مِنْ دَرَاهِمِ الْإِسْلَامِ، فَفِيهَا الزَّكَاةُ، وَفِيمَا زاد عليها بِحِسَابِهِ، وَسَوَاءٌ كَانَ الذَّهَبُ جَيِّدًا أَوْ رَدِيئًا أَوْ إِنَاءً أَوْ تِبْرًا أَوْ دَنَانِيرَ مَضْرُوبَةً إذا كان جميعها ذَهَبًا وَاسْمُ الْجِنْسِ عَلَيْهَا مُنْطَلِقًا؛ لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ بِجِنْسِهِ لَا بِوَصْفِهِ كَالْوَرِقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL:
Apabila emas telah mencapai dua puluh miṡqāl dengan takaran miṡqāl Islam, yang setiap tujuh miṡqāl-nya sebanding dengan sepuluh dirham dari dirham Islam, maka wajib zakat padanya, dan pada kelebihannya dihitung sesuai kadarnya.
Sama saja apakah emas itu berkualitas baik, buruk, berupa bejana, tibr (emas murni belum dicetak), atau dinar yang telah dicetak, selama semuanya adalah emas dan nama jenisnya tetap berlaku atasnya; karena yang menjadi tolok ukur adalah jenisnya, bukan sifatnya — sebagaimana perak. Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ: قال الشافعي رضي الله عنه: ” لو كَانَتْ لَهُ مَعَهَا خَمْسُ أواقٍ فِضَةً إِلَّا قِيرَاطًا أَوْ أَقَلَّ لَمْ يَكُنْ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا زكاةٌ وَإِذَا لَمْ يُجْمَعِ التَّمْرُ إِلَى الزَّبِيبِ وَهُمَا يُخْرَصَانِ وَيُعْشَرَانِ وَهُمَا حُلْوَانِ مَعًا وَأَشَدُّ تَقَارُبًا فِي الثَّمَنِ وَالْخِلْقَةِ وَالْوَزْنِ مِنَ الذَّهَبِ إِلَى الْوَرِقِ فَكَيْفَ يَجْمَعُ جَامِعٌ بَيْنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا يَجْمَعُ بَيْنَ التَّمْرِ وَالزَّبِيبِ؟ وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ خَالَفَ سُنَّةَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأَنَّهُ قَالَ ” لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أواقٍ صَدَقَةٌ ” فَأَخَذَهَا فِي أَقَلَّ فَإِنْ قَالَ ضَمَمْتُ إِلَيْهَا غَيْرَهَا قِيلَ تَضُمُّ إِلَيْهَا بَقَرًا فَإِنْ قَالَ لَيْسَتْ مِنْ جِنْسِهَا قِيلَ وَكَذَلِكَ فَالذَّهَبُ لَيْسَ مِنْ جِنْسِ الْوَرِقِ “.
Masalah: Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seseorang memiliki perak sebanyak lima awāq dikurangi satu qīrāṭ atau kurang dari itu, maka tidak ada zakat pada masing-masingnya. Jika kurma tidak digabungkan dengan anggur kering (zabīb), padahal keduanya dapat diperhitungkan (dengan kharṣ) dan terkena zakat ‘usyur, serta keduanya sama-sama manis dan lebih dekat kemiripannya dalam harga, bentuk, dan timbangan dibandingkan emas dengan perak, maka bagaimana mungkin seseorang menggabungkan emas dengan perak, namun tidak menggabungkan kurma dengan anggur kering?
Barang siapa melakukan hal tersebut, sungguh ia telah menyelisihi sunnah Nabi SAW, karena beliau bersabda: “Tidak ada zakat pada perak kurang dari lima awāq,” lalu ia ambil zakat dari yang kurang darinya. Jika ia berkata, “Aku gabungkan dengan selainnya,” dikatakan padanya, “Apakah engkau akan menggabungkannya dengan sapi?” Jika ia berkata, “Itu bukan dari jenisnya,” maka dikatakan, “Begitu juga, emas bukan dari jenis perak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا كَانَ مَعَهُ أَقَلُّ مِنْ عِشْرِينَ دِينَارًا وَلَوْ بِقِيرَاطٍ وَأَقَلُّ مِنْ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ وَلَوْ بِقِيرَاطٍ لَمْ يُضَمَّا وَلَا زَكَاةَ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَبِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحِ بْنِ حَيٍّ وَأَحْمَدُ وَأَبُو ثَوْرٍ.
وَقَالَ مَالِكٌ، والْأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، وأبو حنيفة، وَصَاحِبَاهُ يَضُمُّ الذَّهَبَ إِلَى الْوَرِقِ، وَاخْتَلَفُوا فِي كَيْفِيَّةِ ضَمِّهِ فَقَالَ مَالِكٌ: يَضُمُّ بِالْعَدَدِ فَيَجْعَلُ كُلَّ عِشَرَةٍ بِدِينَارٍ فَإِذَا كَانَ لَهُ عشر دنانير مائة دِرْهَمٍ ضَمَّهَا وَزَكَّى، سَوَاءٌ كَانَتِ الْعَشَرَةُ تُسَاوِي مِائَةً وَالْمِائَةُ تُسَاوِي عَشَرَةً أَمْ لَا.
وَقَالَ أبو حنيفة: تُضَمُّ بِالْقِيمَةِ، فَإِذَا كَانَ لَهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَخَمْسَةُ دَنَانِيرَ تُسَاوِي مِائَةً ضَمَّهَا وَزَكَّى إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ أَحْوَطَ لِلْمَسَاكِينِ فيأخذ به.
al-Māwardī berkata: dan hal ini sebagaimana disebutkan:
Jika seseorang memiliki kurang dari dua puluh dinar walau hanya selisih satu qīrāṭ, dan juga memiliki kurang dari dua ratus dirham walau hanya selisih satu qīrāṭ, maka keduanya tidak digabung, dan tidak ada zakat pada salah satunya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn Abī Laylā, al-Ḥasan bin Ṣāliḥ bin Ḥayy, Aḥmad, dan Abū Thawr.
Sedangkan Mālik, al-Awzā‘ī, ats-Tsaurī, Abū Ḥanīfah dan kedua muridnya berpendapat bahwa emas digabungkan dengan perak, namun mereka berselisih dalam cara penggabungannya.
Mālik berkata: digabung dengan hitungan, yaitu setiap sepuluh dirham disamakan dengan satu dinar. Maka jika seseorang memiliki sepuluh dinar dan seratus dirham, keduanya digabung dan wajib zakat, baik sepuluh dinar itu senilai seratus dirham, seratus dirham itu senilai sepuluh dinar, ataupun tidak.
Abū Ḥanīfah berkata: digabung berdasarkan nilai. Maka jika seseorang memiliki seratus dirham dan lima dinar yang nilainya senilai seratus dirham, maka keduanya digabung dan wajib zakat, kecuali jika penggabungan berdasarkan hitungan lebih menguntungkan bagi para fakir miskin, maka itu yang diambil.
واستدلوا على جواز الضم {وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالفِضَّةَ) {التوبة: 34) الْآيَةَ فَمَوْضِعُ الدَّلَالَةِ مِنَ الْآيَةِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ ثُمَّ قَالَ: {وَلاَ يُنْفِقُونَهَا} (التوبة: 34) وَذَلِكَ رَاجِعٌ إِلَيْهَا فَلَوْ لَمْ يَكُونَا فِي الزَّكَاةِ وَاحِدًا لَكَانَتْ هَذِهِ الْكِنَايَةُ رَاجِعَةً إِلَيْهِمَا بِلَفْظَةِ التَّثْنِيَةِ فَيَقُولُ وَلَا يُنْفِقُونَهُمَا فَلَمَّا كَنَّى عَنْهُمَا بِلَفْظِ الْجِنْسِ الْوَاحِدِ ثَبَتَ أَنَّ حُكْمَهُمَا في الزكاة واحد، ويقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فِي الرِّقَّةِ رَبُعُ الْعُشْرِ ” وَالرِّقَّةُ اسْمٌ يَجْمَعُ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ حُكْمُهُمَا وَاحِدًا فِي كَوْنِهِمَا أَثْمَانًا وَقِيَمًا وَإِنْ قَدَّرَ زَكَاتَهُمَا رُبُعَ الْعُشْرِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُهُمَا وَاحِدًا فِي وُجُوبِ ضَمِّ أَحَدِهِمَا إِلَى الْآخَرِ كأجناس الفضةوَالذَّهَبِ، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ أَِنْ قَالُوا إِنَّهَا مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ وَالْقِيَمِ فَوَجَبَ أَنْ يُضَمَّ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ كَأَجْنَاسِ الْفِضَّةِ وَأَجْنَاسِ الذَّهَبِ.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” ليس فيما دون خمسٍ ذودٍ من الْإِبِلِ صدقةٌ، وَلَا فِيمَا دُونَ عِشْرِينَ دِينَارًا مِنَ الذَّهَبِ صدقةٌ وَلَا فِيمَا دُونَ مِائَتَيْ درهمٍ مِنَ الورقِ صدقةٌ ” فَكَانَ نَصُّ هَذَا الْحَدِيثِ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيمَا نَقَصَ عَنِ النِّصَابِ وَدَالًّا عَلَى بُطْلَانِ الضَّمِّ، وَلِأَنَّهُمَا ما لان نِصَابُهُمَا مُخْتَلِفٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُضَمَّ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ كَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ، وَلِأَنَّهُمَا جِنْسَانِ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِمَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يُضَمَّ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ كَالتَّمْرِ وَالزَّبِيبِ، وَلِأَنَّ مَا اعْتُبِرَتْ قِيمَتُهُ مَعَ غَيْرِهِ اعْتُبِرَتْ قِيمَتُهُ وَإِنِ انْفَرَدَتْ عَنْ غَيْرِهِ كَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ، وَمَا لَمْ تُعْتَبَرْ قِيمَتُهُ مُنْفَرِدًا لَمْ تُعْتَبَرْ قِيمَتُهُ مَعَ غَيْرِهِ كَالْمَوَاشِي، فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مَعَهُ خَمْسَةَ عَشَرَ دِينَارًا لَا غَيْرَ لَمْ تعتبر قيمتها وإن بلغت نصاباً، وهذا الاعتلال يَتَحَرَّرُ مِنِ اعْتِلَالِهِ قِيَاسَانِ.
Mereka berdalil atas bolehnya penggabungan (antara emas dan perak) dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak…” (at-Taubah: 34). Letak dalil dalam ayat ini adalah bahwa Allah Ta‘ala menyebutkan emas dan perak, lalu berfirman: “dan mereka tidak menafkahkannya…” (at-Taubah: 34). Dan itu kembali kepada keduanya. Seandainya keduanya tidak satu dalam zakat, tentu kata ganti ini kembali kepada keduanya dengan lafaz tasniyah (ganda), dan akan dikatakan “dan mereka tidak menafkahkannya (keduanya)”. Maka ketika Allah merujuk kepada keduanya dengan lafaz untuk satu jenis, hal itu menunjukkan bahwa hukum keduanya dalam zakat adalah satu.
Dan Nabi SAW bersabda: “Pada ar-riqqah, seperempat dari sepersepuluh.” Dan ar-riqqah adalah nama yang mencakup emas dan perak. Mereka berkata: karena hukumnya sama dalam hal keduanya adalah alat tukar dan penentu nilai, dan kadar zakat keduanya sama, yaitu seperempat dari sepersepuluh, maka wajib pula hukumnya disamakan dalam kewajiban menggabungkan salah satunya dengan yang lain sebagaimana jenis-jenis perak dan jenis-jenis emas.
Penjelasan hal ini adalah bahwa mereka berkata: keduanya termasuk jenis atsmān dan qiyam, maka wajib digabungkan salah satunya dengan yang lain sebagaimana jenis-jenis perak dan jenis-jenis emas.
Adapun dalil kami adalah riwayat ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada unta di bawah lima ekor, dan tidak ada zakat pada emas di bawah dua puluh dinar, dan tidak ada zakat pada perak di bawah dua ratus dirham.” Maka lafaz hadis ini secara tegas meniadakan kewajiban zakat pada yang kurang dari niṣāb, dan menunjukkan batalnya penggabungan.
Karena niṣāb keduanya berbeda, maka wajib tidak digabungkan salah satunya dengan yang lain sebagaimana sapi dan kambing. Dan karena keduanya adalah dua jenis yang wajib zakat pada zatnya, maka wajib tidak digabungkan salah satunya dengan yang lain sebagaimana tamr dan zabīb (kurma dan anggur kering). Dan karena sesuatu yang dinilai harganya bersama selainnya, maka tetap dinilai walaupun ia sendiri, seperti barang dagangan. Sedangkan sesuatu yang tidak dinilai harganya sendiri, maka tidak dinilai harganya bersama selainnya seperti hewan ternak.
Maka ketika telah tetap bahwa jika seseorang memiliki lima belas dinar saja, tidak dinilai (bersama perak), walaupun jika dinilai maka mencukupi niṣāb, maka alasan ini dijelaskan dengan dua bentuk qiyas.
أَحَدُهُمَا: أَنْ نَقُولَ لِأَنَّهُ مَالٌ لَا تُعْتَبَرُ قِيمَتُهُ بِانْفِرَادِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تُعْتَبَرُ قِيمَتُهُ [مَعَ غَيْرِهِ كَالْمَوَاشِي] .
وَالثَّانِي: أَنْ نَقُولَ لِأَنَّهُ مَالٌ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ فَلَمْ يَجِبِ اعْتِبَارُ قِيمَتِهِ كَالْمُنْفَرِدِ.
الْجَوَابُ: أَمَّا الْآيَةُ فَلَا دَلَالَةَ فِيهَا، لِأَنَّهُ إِنْ جَعَلَهَا دَلِيلًا عَلَى تَسَاوِي حُكْمِهِمَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ لَمْ يَصِحَّ لِاخْتِلَافِ نَصِّهَا، وَإِنْ جعلها دليلاً على تساوي حكمها مِنْ وَجْهٍ قُلْنَا بِمُوجِبِهَا وَسَوَّيْنَا بَيْنَ حُكْمَيْهِمَا فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيهِمَا، وَأَمَّا قَوْلُهُ فِي ” الرِّقَّةِ رُبُعُ الْعُشْرِ ” فَهُوَ اسْمٌ لِلْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ عَلَى قَوْلِ ثَعْلَبٍ وَقَدْ خَالَفَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ وَلَوْ صَحَّ لَمْ يَكُنْ فِيهِ حُجَّةٌ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ إِبَانَةُ قَدْرِ الزَّكَاةِ الْوَاجِبَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ بِهِ عَمَّا قُصِدَ لَهُ ولو جاز ضمهما، لأن الاسم يَجْمَعُهُمَا لَجَازَ ضَمُّ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ لِأَنَّ اسْمَ الماشية يجمعها، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى أَجْنَاسِ الْفِضَّةِ وَأَجْنَاسِ الذَّهَبِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ الْفِضَّةَ جِنْسٌ وَإِنْ تَنَوَّعَتْ، فَلِذَلِكَ ضُمَّ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ، وَلَيْسَ الذَّهَبُ مِنْ جِنْسِهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُضَمَّ إِلَيْهَا والله أعلم.
salah satu dari keduanya: bahwa kita katakan karena ia adalah māl yang nilainya tidak dianggap secara tersendiri, maka wajib untuk tidak dianggap nilainya [bersama yang lain seperti hewan ternak].
dan yang kedua: bahwa kita katakan karena ia adalah māl yang zakat diwajibkan pada ‘ain-nya, maka tidak wajib dianggap nilainya seperti halnya barang yang berdiri sendiri.
jawaban: adapun ayat tersebut tidak ada dalālah padanya, karena jika dijadikan dalil atas kesamaan hukum keduanya dari seluruh sisi, maka tidak sah karena perbedaan dalam naṣṣ-nya. Dan jika dijadikan dalil atas kesamaan hukum dari satu sisi, maka kami katakan sesuai kandungannya dan kami samakan hukum keduanya dalam wajibnya zakat atas keduanya.
Adapun sabdanya “fī al-riqqah rub‘u al-‘usyri” maka itu adalah nama bagi perak dan emas menurut pendapat Ṯa‘lab, dan pendapat ini diselisihi oleh Ibn Qutaybah. Andaikan pendapat tersebut sahih pun, maka tidak menjadi hujjah, karena yang dimaksud darinya adalah penjelasan kadar zakat yang wajib, maka tidak boleh dialihkan dari maksud asalnya. Dan seandainya boleh menggabungkan keduanya karena nama tersebut mencakup keduanya, niscaya boleh juga menggabungkan unta dan sapi, karena nama māsyiyah mencakup keduanya.
Adapun qiyās mereka terhadap jenis-jenis perak dan jenis-jenis emas, maka alasannya adalah bahwa perak merupakan satu jins meskipun beraneka ragam, maka karena itu sebagian jenisnya digabungkan dengan sebagian yang lain. Sedangkan emas bukan dari jins-nya, maka tidak boleh digabungkan dengannya.
Wa Allāhu a‘lam.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يجب عَلَى رجلٍ زكاةٌ فِي ذهبٍ حَتَى يَكُونَ عِشْرِينَ مِثْقَالَا فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ وَآخِرِهِ، فَإِنْ نقصت شيئاً ثم تمت عشرين مثقالاً فى زكاة فيها حتى تستقبل بِهَا حَوْلًا مِنَ يَوْمِ تَمَّتْ عِشْرِينَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
كُلُّ مَالٍ وَجَبَتِ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ وَجَبَ اعْتِبَارُ نِصَابِهِ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ، فَإِذَا كَانَ مَعَهُ عِشْرُونَ دِينَارًا نَقَصَتْ قِيرَاطًا ثُمَّ تَمَّتْ، أَوْ كَانَ لَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ نَقَصَتْ دِرْهَمًا ثُمَّ تَمَّتْ، أَوْ كَانَ لَهُ أَرْبَعُونَ مِنَ الْغَنَمِ نَقَصَتْ شَاةً ثُمَّ تَمَّتِ اسْتَأْنَفَ لِجَمِيعِهَا الْحَوْلَ مِنْ حِينِ تَمَّتْ نِصَابًا، وَيَبْطُلُ حُكْمُ مَا مَضَى مِنْ حَوْلِهَا.
Masalah: Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak wajib atas seseorang zakat pada emas hingga mencapai dua puluh mithqāl pada awal dan akhir ḥaul. Jika berkurang sedikit lalu genap dua puluh mithqāl, maka tidak ada zakat padanya hingga ia memulai ḥaul baru sejak hari genap dua puluh.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan.
Setiap harta yang zakatnya wajib pada zatnya, maka wajib mempertimbangkan niṣāb-nya selama sepanjang ḥaul. Maka jika seseorang memiliki dua puluh dinar lalu berkurang satu qirāṭ, kemudian genap kembali, atau memiliki dua ratus dirham lalu berkurang satu dirham kemudian genap kembali, atau memiliki empat puluh ekor kambing lalu berkurang satu ekor kemudian genap kembali, maka ia harus memulai kembali ḥaul dari saat harta tersebut genap menjadi niṣāb, dan hukum dari ḥaul yang telah berlalu menjadi gugur.
وَقَالَ أبو حنيفة: النِّصَابُ مُعْتَبَرٌ فِي طَرَفَيِ الْحَوْلِ وَلَا اعْتِبَارَ لِنُقْصَانِهِ فِي أَثْنَائِهِ.
وَقَالَ مَالِكٌ: النِّصَابُ مُعْتَبَرٌ فِي آخِرِ الْحَوْلِ دُونَ أَوَّلِهِ وَأَثْنَائِهِ احْتِجَاجًا بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْوَرِقِ ” فَإِذَا بَلَغَتِ خَمْسَ أَوَاقٍ فَفِيهَا الصَّدَقَةُ ” فََجَعَلَ كَمَالَ النِّصَابِ غَايَةً لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيهَا، وَلِأَنَّهُ مَالٌ كَمُلَ نِصَابُهُ فِي طَرَفَيِ الْحَوْلِ فَلَمْ يَكُنْ نُقْصَانُهُ فِي أَثْنَائِهِ مُسْقِطًا لِزَكَاتِهِ كَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ إِذَا نَقَصَتْ قِيمَتُهَا فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ ثُمَّ تَمَّتْ.
dan Abu Ḥanīfah berkata: niṣāb diperhitungkan pada kedua ujung ḥaul, dan tidak diperhitungkan kekurangannya di pertengahan ḥaul.
dan Mālik berkata: niṣāb diperhitungkan pada akhir ḥaul, tidak pada awal maupun pertengahannya, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW tentang perak: “fa idzā balaghat khamsa awāq fa fīhā al-ṣadaqah” — maka beliau menjadikan sempurnanya niṣāb sebagai batas wajibnya zakat atasnya.
Dan karena ia adalah māl yang sempurna niṣāb-nya pada kedua ujung ḥaul, maka kekurangannya di pertengahan tidak menggugurkan kewajiban zakat, seperti ‘urūḍ al-tijārah apabila nilainya berkurang di pertengahan ḥaul lalu kembali sempurna.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة في مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” وَالْمَالُ الَّذِي كَمُلَ بِهِ النِّصَابُ لَمْ يَحُلْ عَلَيْهِ الْحَوْلُ فَلَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِذَا لَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ لَمْ تَجِبْ فِي الْبَاقِي لِأَنَّ حُكْمَهُمَا بِالْإِجْمَاعِ وَاحِدٌ، وَلِأَنَّهُ مَالٌ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ نَقَصَ نِصَابُهُ عَنْ حَوْلِهِ فَاقْتَضَى سُقُوطَ زَكَاتِهِ قِيَاسًا عَلَى نُقْصَانِهِ فِي أَحَدِ طَرَفَيْ حَوْلِهِ، وَلِأَنَّهُ مَالٌ لَا تُعْتَبَرُ زَكَاةُ قِيمَتِهِ انْقَطَعَ نِصَابُهُ فِي أَثْنَاءِ حَوْلِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ، قِيَاسًا عَلَى تَلَفِ جَمِيعِهِ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ وَاسْتِفَادَةِ مِثْلِهِ، وَلِأَنَّ النِّصَابَ شَرْطٌ فِي ابْتِدَاءِ الْحَوْلِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي استدامته كالجزية وَالْإِسْلَامِ، وَلِأَنَّ مَا اعْتُبِرَ فِي طَرَفَيِ الْحَوْلِ اعْتُبِرَ فِي وَسَطِهِ كَالسَّوْمِ.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنْ يُقَالَ الْمَقْصُودُ بِهِ بَيَانُ قَدْرِ النِّصَابِ، وَاعْتِبَارُ الْحَوْلِ مُسْتَفَادٌ مِنْ قَوْلِهِ ” لا زكاة على مال حتى يحول عليه الحول ” فلم يكن فيه دلالة عَلَى عُرُوضِ التِّجَارَاتِ، فَالْمَعْنَى فِيهَا أَنَّ الزَّكَاةَ وَجَبَتْ فِي قِيمَتِهَا، وَفِي اعْتِبَارِ الْقِيمَةِ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ مَشَقَّةٌ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مَا وَجَبَتِ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ، لِأَنَّهُ لَا مَشَقَّةَ فِي اعْتِبَارِ كَمَالِهِ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ، وَلِأَنَّ عَرَضَ التِّجَارَةِ لَوْ بَاعَهُ بِعَرَضِ التِّجَارَةِ بَنَى عَلَى حوله فكذلك لم يعتبر كمال نِصَابِهِ فِي أَثْنَاءِ حَوْلِهِ، وَلَوْ بَاعَ إِبِلًا ببقر لم يبن واستأنف بها الحول، فكذلك اعْتُبِرَ كَمَالُ نِصَابِهَا فِي أَثْنَاءِ حَوْلِهَا وَاللَّهُ أعلم.
Dan dalil kami adalah sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu satu haul atasnya.” Harta yang dengannya sempurna niṣāb belum berlalu satu ḥaul atasnya, maka tidak wajib zakat padanya. Dan apabila zakat tidak wajib padanya, maka tidak wajib pula pada sisanya, karena hukumnya—menurut ijma‘—adalah satu. Dan karena ia adalah harta yang zakatnya wajib pada zatnya, lalu niṣāb-nya berkurang dalam masa ḥaul, maka hal itu mengharuskan gugurnya zakat, qiyās-nya seperti berkurangnya pada salah satu ujung dari dua sisi ḥaul-nya.
Dan karena ia adalah harta yang zakatnya tidak dinilai berdasarkan harga, lalu niṣāb-nya terputus di pertengahan ḥaul, maka wajib tidak dikenakan zakat padanya, qiyās-nya seperti jika seluruh harta itu rusak di pertengahan ḥaul, lalu mendapatkan harta yang semisal. Dan karena niṣāb adalah syarat pada awal ḥaul, maka wajib pula menjadi syarat dalam kelangsungannya, sebagaimana jizyah dan Islam. Dan karena sesuatu yang dipertimbangkan pada dua sisi ḥaul, maka dipertimbangkan pula pada pertengahannya seperti as-saum (gembala).
Adapun jawaban terhadap hadis (yang menyebut dua puluh dinar) adalah bahwa maksudnya adalah penjelasan kadar niṣāb, sedangkan pertimbangan ḥaul diambil dari sabda beliau: “Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu satu haul atasnya.” Maka tidak ada dalam hadis itu dalil atas ‘urūḍ at-tijārah, karena maknanya di dalamnya adalah bahwa zakat wajib pada nilai barang dagangan, dan mempertimbangkan nilainya di pertengahan ḥaul adalah satu bentuk kesulitan. Tidak demikian halnya dengan harta yang zakatnya wajib pada zatnya, karena tidak ada kesulitan dalam mempertimbangkan kesempurnaannya selama ḥaul.
Dan karena barang dagangan, apabila dijual dengan barang dagangan lain, maka ia tetap membangun (mengikuti) ḥaul-nya, maka demikian pula tidak dipertimbangkan kesempurnaan niṣāb-nya di pertengahan ḥaul. Namun apabila seseorang menjual unta dengan sapi, maka tidak membangun atas ḥaul yang telah berjalan dan harus memulai kembali, maka demikian pula dipertimbangkan kesempurnaan niṣāb-nya di pertengahan ḥaul-nya. Wallāhu a‘lam.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أَخْبَرَنَا مالكٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أبيه عن عائشة أنَهَا كَانَتْ تُحَلِّي بَنَاتَ أَخِيهَا أَيْتَامًا فِي حجرها فلا تخرج منه زكاة وروي عن ابن عمر أنه كان يحلي بناته وجواربه ذهباً ثم لا يخرج زكاته (قال) ويروى عن عمر وعبد الله ابن عمرو بن العاص أن في الحلي الزكاة وَهَذَا مِمَّا أَسْتَخِيرُ اللَّهَ فِيهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْحُلِيُّ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ ذَهَبًا وَفِضَّةً.
BAB ZAKAT PERHIASAN
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari ‘Abd al-Raḥmān bin al-Qāsim dari ayahnya dari ‘Āisyah bahwa ia biasa menghiasi anak-anak perempuan saudara laki-lakinya yang yatim dan dalam asuhannya dengan perhiasan, namun tidak mengeluarkan zakat darinya. Diriwayatkan pula dari Ibn ‘Umar bahwa ia menghiasi anak-anak perempuan dan pelayannya dengan emas, lalu tidak mengeluarkan zakatnya.”
(Beliau berkata:) “Dan diriwayatkan dari ‘Umar dan ‘Abd Allāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ bahwa dalam perhiasan itu ada zakat. Ini termasuk perkara yang aku memohon petunjuk kepada Allah mengenainya.”
Al-Māwardī berkata: Perhiasan terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: Apa yang berasal dari jins mata uang, yaitu emas dan perak.
وَالثَّانِي: مَا كَانَ مِنْ غَيْرِهِ مِنَ الْجَوَاهِرِ كَاللُّؤْلُؤِ وَالْمَرْجَانِ فَهَذَا لَا زَكَاةَ فِيهِ، وَمَا كَانَ ذَهَبًا وَفِضَّةً ضَرْبَانِ: مَحْظُورٌ وَمُبَاحٌ وَنَذْكُرُ تَفْصِيلَهُمَا، فَالْمَحْظُورُ زَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ، وَالْمُبَاحُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ لَا زَكَاةَ فِيهِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَابْنُ الْمُسَيَّبِ وَالشَّعْبِيُّ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.
Dan yang kedua: yaitu selain emas dan perak dari jenis permata seperti lu’lu’ (mutiara) dan marjān (karang), maka ini tidak ada zakat padanya.
Adapun yang berupa emas dan perak terbagi menjadi dua macam: yang terlarang dan yang mubah. Akan kami sebutkan perinciannya.
Maka yang terlarang, zakatnya wajib.
Sedangkan yang mubah terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: telah dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam qaul qadīm, bahwa tidak ada zakat padanya. Dan ini juga merupakan pendapat dari kalangan sahabat: ‘Abdullāh bin ‘Umar, Jābir bin ‘Abdillāh, dan ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhum. Dari kalangan tābi‘īn: al-Ḥasan al-Baṣrī, Ibn al-Musayyab, dan asy-Sya‘bī.
Dan dari kalangan fuqahā’: Mālik, Aḥmad, dan Isḥāq.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَشَارَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ مِنْ غَيْرِ تَصْرِيحٍ بِهِ أَنَّ فِيهِ الزَّكَاةَ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه وعبد الله بن عمرو بْنُ الْعَاصِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الزُّهْرِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وأبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ.
وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَوْجَبَ فِيهِ الزَّكَاةَ بَعْدَ الظواهر هي الْعَامَّةُ بِرِوَايَةِ عَطَاءٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَلْبَسُ أَوْضَاحًا مِنْ ذَهَبٍ فَقُلْتُ يَا رسول الله أكنز هي؟ فقال ما بلغت زَكَاتُهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بكنزٍ “.
Pendapat kedua: Telah disinggung oleh al-Syafi‘i dalam pendapat jadīd-nya tanpa pernyataan tegas bahwa dalam perhiasan terdapat zakat. Pendapat ini dikatakan pula oleh para sahabat: ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, ‘Abd Allāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ, ‘Abd Allāh bin Mas‘ūd, dan Ibn ‘Abbās. Dan dari kalangan fuqahā’: al-Zuhrī, al-Tsaurī, Abū Ḥanīfah dan dua sahabatnya.
Orang-orang yang mewajibkan zakat atasnya berdalil, selain dengan dalil-dalil ẓawāhir umum, juga dengan riwayat dari ‘Aṭā’ dari Umm Salamah. Ia berkata: “Aku dahulu memakai perhiasan dari emas, lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah itu termasuk kanz (harta simpanan)? Beliau bersabda: ‘Apa yang telah mencapai nishab zakat lalu ditunaikan zakatnya, maka itu bukan kanz.’”
وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فقالت: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وفي يدي فتحاتٌ مِنْ وَرِقٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ؟ فَقُلْتُ: صَنَعْتُهُنَّ أَتَزَيَّنُ لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فقال أتودين زكاتهن؟ فقلت: لا قال: فهو حسبك من النار قال الأصمعي الفتحات الْخَوَاتِيمُ وَأَنْشَدَ:
(إِنْ لَمْ أُقَاتِلْ فَاكْسُوَانِي بُرْقُعًا … وفتحاتٍ فِي الْيَدَيْنِ أَرْبَعَا)
Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Syaddād bin al-Hād, ia berkata: Aku masuk menemui ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā, lalu ia berkata:
“Rasulullah SAW masuk menemuiku, sementara di tanganku ada fataḥāt dari wariq (perak), maka beliau bersabda: ‘Apa ini, wahai ‘Āisyah?’ Aku menjawab: ‘Aku membuatnya untuk berhias bagimu, wahai Rasulullah.’ Maka beliau bersabda: ‘Apakah engkau telah menunaikan zakatnya?’ Aku menjawab: ‘Tidak.’ Maka beliau bersabda: ‘Itulah yang cukup (menjerumuskanmu) ke dalam neraka.’”
Al-Aṣma‘ī berkata: al-fataḥāt adalah cincin-cincin, dan ia membacakan syair:
“Jika aku tidak berperang, maka pakaikanlah aku burqu‘,
dan fataḥāt (cincin) di kedua tangan sebanyak empat.”
وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ امْرَأَةً مِنَ الْيَمَنِ أَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ومعها بنت لها، وفي يدها مسكتان غليظتان مِنْ ذهبٍ، فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا؟ فَقَالَتْ لَا فَقَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نارٍ، قَالَ: فَخَلَعَتْهُمَا وَأَلْقَتْهُمَا وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَرُوِيَ أَنَّ زَيْنَبَ امْرَأَةَ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي حُلِيًّا وَإِنَّ عَبْدَ اللَّهِ خَفِيفُ ذَاتِ الْيَدِ، وَإِنْ فِي حِجْرِي بنت أخٍ لِي، أَفَيَجْزِينِي أَنْ أَجْعَلَ زَكَاةَ حُلِيِّ فيهم قال نعم فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنْفِقِي عَلَيْهِمْ فَلَكِ فِي ذَلِكَ أَجْرَانِ.
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa seorang wanita dari Yaman datang kepada Nabi SAW bersama anak perempuannya, dan di tangan anak tersebut ada dua gelang besar dari emas. Maka beliau bersabda kepadanya: “Apakah engkau menunaikan zakat dari ini?” Ia menjawab: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Apakah engkau senang bila Allah menjadikan keduanya untukmu sebagai dua gelang dari api pada hari kiamat?” Maka ia langsung melepaskannya dan melemparkannya seraya berkata: “Keduanya untuk Allah dan Rasul-Nya.”
Dan diriwayatkan bahwa Zaynab, istri Ibn Mas‘ūd, berkata: “Wahai Rasulullah, aku memiliki perhiasan, dan ‘Abdullāh (suamiku) adalah orang yang tangannya sempit (miskin), dan dalam asuhanku ada anak perempuan saudara laki-lakiku. Apakah cukup bagiku jika aku menjadikan zakat perhiasanku untuk mereka?” Maka Nabi SAW bersabda: “Ya.” Lalu Nabi SAW bersabda: “Berinfaklah kepada mereka, niscaya engkau mendapat dua pahala.”
وَرَوَى الشَّعْبِيُّ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقالت هذا حليي وَهُوَ سَبْعُونَ دِينَارًا فَخُذْ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى مِنْهُ، فَأَخَذَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دِينَارًا أَوْ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعٍ دِينَارٍ، وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَتَى امْرَأَةً تطوفُ بِالْبَيْتِ وَعَلَيْهَا مَنَاجِدُ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ: يَسُرُّكِ أَنْ يُحَلِّيكِ اللَّهُ مَنَاجِدَ مِنْ نَارٍ؟ قَالَتْ لَا، قَالَ فَأَدِّي زَكَاتَهُ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: الْمَنَاجِدُ الْحُلِيُّ الْمُكَلَّلُ بِالْفُصُوصِ، وَلِأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ فَوَجَبَ أَنْ تَجِبَ فِيهِ الزَّكَاةُ كَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ
وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَسْقَطَ الزَّكَاةَ مِنْهُ وَهُوَ أَظْهَرُ الْمَذْهَبَيْنِ وَأَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ بِرِوَايَةِ هِشَامِ بْنِ عَمَّارٍ عَنْ سُوَيْدِ بْنِ عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لَا زَكَاةَ فِي الْحُلِيِّ ” وَرَوَى أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ مِثْلَهُ وَأَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ مِثْلَهُ وَرَوَتْ فُرَيْعَةُ بِنْتُ أَبِي أُمَامَةَ قَالَتْ حَلَّانِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رِعَاثًا وَحَلَّى أُخْتِي، وَكُنَّا فِي حِجْرِهِ، فَمَا أَخَذَ مِنَّا زَكَاةَ حُلِيٍّ قَطُّ، قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ الرِّعَاثُ جَمْعُ رِعْثَةٍ وَهُوَ الْقُرْطُ، وَقَالَ النمر بن تولب:
(وكل عليل عليه الرعاث … والخيلات ضعيفٌ ملق)
Diriwayatkan dari asy-Sya‘bī bahwa seorang wanita datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ini adalah perhiasanku, nilainya tujuh puluh dinar. Ambillah hak Allah Ta‘ala darinya.” Maka Nabi SAW mengambil satu dinar atau tiga perempat dinar.
Dan diriwayatkan bahwa Nabi SAW mendatangi seorang wanita yang sedang ṭawāf di Ka‘bah, sementara di tubuhnya terdapat manājid dari emas. Maka beliau bersabda: “Apakah engkau senang jika Allah menghiasimu dengan manājid dari api?” Wanita itu menjawab: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Tunaikanlah zakatnya.”
Abū ‘Ubayd berkata: manājid adalah perhiasan yang dihiasi dengan batu permata.
Dan karena perhiasan itu termasuk jenis atsmān, maka wajib dizakati sebagaimana dirham dan dinar.
Adapun pihak yang menggugurkan kewajiban zakat atas perhiasan—dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua mazhab dan yang paling sahih dari dua pendapat—berdalil dengan riwayat Hishām bin ‘Ammār dari Suwayd bin ‘Ubaydullāh dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada perhiasan.”
Usāmah bin Zayd meriwayatkan semisal itu, dan Abū az-Zubayr dari Jābir juga meriwayatkan semisalnya. Dan diriwayatkan dari Furay‘ah binti Abī Umāmah, ia berkata: “Rasulullah SAW memakaikan anting (ri‘āth) kepadaku dan kepada saudariku, dan kami berada dalam asuhan beliau, namun beliau tidak pernah mengambil zakat perhiasan dari kami.”
Abū ‘Ubayd berkata: ar-ri‘āth adalah jamak dari ri‘thah, yaitu anting.
Dan an-Namr bin Tawlab berkata dalam syair:
“Dan setiap orang sakit mengenakan ri‘āth,
dan kuda peliharaan tampak lemah lunglai.”
والخيلات: كُلُّ مَا تَزَيَّنَتْ بِهِ الْمَرْأَةُ مِنْ جِنْسِ الْحُلِيِّ وَلِأَنَّهُ جِنْسُ مَالٍ تَجِبُ زَكَاتُهُ بِشَرْطَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَنَوَّعَ نَوْعَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: تَجِبُ فِيهِ.
وَالثَّانِي: لَا تَجِبُ فِيهِ كَالْمَوَاشِي الَّتِي تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي سَائِمَتِهَا وَتَسْقُطُ فِي الْمَعْلُوفَةِ مِنْهَا، ولأنه مبدل فِي مُبَاحٍ فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ زَكَاتُهُ كَالْأَثَاثِ وَالْقُمَاشِ، وَلِأَنَّهُ مَعْدُولٌ بِهِ عَنِ النَّمَاءِ السَّائِغِ إِلَى اسْتِعْمَالٍ سَائِغٍ، فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ زَكَاتُهُ كَالْإِبِلِ الْعَوَامِلِ، وَلِأَنَّهُ مُعَدٌّ لِلْقُنْيَةِ كَالْعَقَارِ، وَلِأَنَّهُ حُلِيٌّ مُبَاحٌ كَاللُّؤْلُؤِ. وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْأَخْبَارِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun al-khiyalāt: yaitu semua yang dijadikan perhiasan oleh wanita dari jenis perhiasan. Karena ia adalah jenis māl yang zakatnya wajib dengan dua syarat, maka wajib pula ia memiliki dua jenis:
Pertama: yang wajib zakat padanya.
Kedua: yang tidak wajib zakat padanya, seperti hewan ternak yang wajib zakat pada sā’imah-nya dan gugur pada yang diberi pakan (ma‘lūfah).
Dan karena ia ditujukan pada sesuatu yang mubah, maka wajib gugur zakatnya seperti perabotan rumah dan kain.
Dan karena ia dialihkan dari fungsi namā’ sā’igh (pertumbuhan yang sah untuk zakat) menuju pemakaian yang sah, maka wajib gugur zakatnya seperti unta pekerja.
Dan karena ia disiapkan untuk dimiliki secara tetap (qunyah) seperti properti (‘aqār),
dan karena ia adalah perhiasan yang mubah seperti mutiara.
Adapun jawaban terhadap riwayat-riwayat hadits adalah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى مُتَقَدِّمِ الْأَمْرِ حِينَ كَانَ الْحُلِيُّ مَحْظُورًا، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَظَرَهُ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ فِي حَالِ الشِّدَّةِ وَالضِّيقِ، وَأَبَاحَهُ فِي حَالِ السَّعَةِ وَتَكَاثُرِ الْفُتُوحِ، أَلَا تَرَى إِلَى مَا رَوَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ يَزِيدَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ تَقَلَّدَتْ قِلَادَةً مِنْ ذَهَبٍ قُلِّدَتْ فِي عُنُقِهَا مِثْلَهُ مِنَ النَّارِ، وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ أَرَادَ أَنْ يُحَلِّقَ حَبِيبَهُ حَلْقَةً مِنْ نارٍ فَلْيُحَلِّقْهُ حَلْقَةً مِنْ ذَهَبٍ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُطَوِّقَ حَبِيبَهُ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَلْيُطَوِّقَهُ طَوْقًا مِنْ ذَهَبٍ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُسَوِّرَ حَبِيبَهُ سِوَارًا مِنْ نارٍ فَلْيُسَوِّرْهُ سِوَارًا مِنْ ذَهَبٍ.
Pertama: bahwa hadis-hadis tersebut dibawa kepada masa awal perintah, yaitu ketika perhiasan (dari emas) masih terlarang. Karena Nabi SAW pernah melarangnya pada awal Islam, yaitu dalam kondisi kesulitan dan sempitnya keadaan, lalu beliau membolehkannya pada masa kelapangan dan meluasnya penaklukan.
Tidakkah engkau melihat kepada riwayat Asmā’ binti Yazīd bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan mana saja yang mengenakan kalung dari emas, maka akan dikalungkan di lehernya kalung dari api.”
Dan Abū Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa ingin melingkarkan cincin api kepada orang yang dicintainya, maka lingkarkanlah kepadanya cincin dari emas. Dan barang siapa ingin mengalungkan kalung dari api kepada orang yang dicintainya, maka kalungkanlah kalung dari emas. Dan barang siapa ingin memakaikan gelang dari api kepada orang yang dicintainya, maka pakaikanlah gelang dari emas.”
وَالثَّانِي: أَنَّ زَكَاتَهُ مَحْمُولَةٌ عَلَى إِعَارَتِهِ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ زَكَاةُ الْحُلِيِّ إعارته على أنها قضايا في أعيان يُسْتَدَلُّ بِهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ مَعَ إِمْكَانِ حَمْلِهَا عَلَى حُلِيٍّ مَحْظُورٍ أَوْ لِلتِّجَارَةِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ على الدراهم والدنانير فالمعنى فيها إِرْصَادُهُمَا لِلنَّمَاءِ فَلِذَلِكَ وَجَبَتْ زَكَاتُهُمَا، وَالْحُلِيُّ غَيْرُ مُرْصَدٍ لِلنَّمَاءِ فَلَمْ تَجِبْ زَكَاتُهُ، أَلَا تَرَى أَنَّ عُرُوضَ التِّجَارَةِ لَمَّا أُرْصِدَتْ لِلنَّمَاءِ وَجَبَتْ زكاتها، ولو أعدت للقينة ولم ترصد للنماء وجبت زكاتها، وكذا الحلي والله أعلم.
dan yang kedua: bahwa zakatnya dibawa kepada makna ‘ārīyah (peminjaman), berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Zakat perhiasan adalah peminjamannya.” Karena itu adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada benda tertentu, maka dijadikan dalil secara mutlak padahal mungkin dibawa kepada makna perhiasan yang terlarang atau perhiasan untuk perdagangan.
Adapun qiyās mereka terhadap dirham dan dīnār, maka ‘illah pada keduanya adalah karena keduanya disiapkan untuk pertumbuhan (namā’), maka karena itu diwajibkan zakat atas keduanya. Sedangkan perhiasan tidak disiapkan untuk pertumbuhan, maka tidak wajib zakat atasnya.
Tidakkah engkau melihat bahwa ‘urūḍ al-tijārah ketika disiapkan untuk pertumbuhan, zakatnya menjadi wajib, dan jika disiapkan untuk qunyah (kepemilikan tetap) dan tidak disiapkan untuk pertumbuhan, maka tidak wajib zakatnya — begitu pula halnya dengan perhiasan.
Wa Allāhu a‘lam.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَمَنْ قَالَ فِيهِ الزَكَاةُ زَكَّى خَاتَمَهُ وَحِلْيَةَ سَيْفِهِ وَمِنْطَقَتَهُ وَمُصْحَفَهُ وَمَنْ قَالَ لَا زَكَاةَ فيه قال لا زكاة في خاتمه ولا حلية سيفه ولا منطقته إذا كانت من ورقٍ فإن اتخذه من ذهب أو اتخذ لنفسه حلي امرأةٍ ففيه الزكاة وللمرأة أن تحلى ذهباً أو ورقاً ولا أجعل في حليها زكاة “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْحُلِيِّ مَحْظُورًا فَزَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ، وَمَا كَانَ مِنْهُ مُبَاحًا فَفِي وُجُوبِ زَكَاتِهِ قَوْلَانِ، وَنَحْنُ الآن نذكر الْمُبَاحَ مِنَ الْمَحْظُورِ، وَالْمُبَاحُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Masalah: Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Barang siapa yang berpendapat bahwa ada zakat pada perhiasan, maka ia wajib menzakati cincinnya, perhiasan pedangnya, sabuknya, dan mushafnya. Dan barang siapa yang berpendapat tidak ada zakat padanya, maka ia tidak mewajibkan zakat pada cincinnya, tidak pada perhiasan pedangnya, tidak pula pada sabuknya apabila semuanya terbuat dari perak. Namun jika dibuat dari emas, atau ia membuat perhiasan wanita untuk dirinya sendiri, maka wajib zakat padanya. Sedangkan wanita, ia boleh memakai perhiasan emas atau perak, dan aku tidak mewajibkan zakat atas perhiasannya.”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa perhiasan yang terlarang, maka zakatnya wajib. Sedangkan perhiasan yang mubah, maka dalam kewajiban zakatnya terdapat dua pendapat. Dan sekarang kami akan menyebutkan rincian antara yang mubah dan yang terlarang.
Adapun yang mubah terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهُمَا: مَا أُبِيحُ لِلرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ.
وَالثَّانِي: مَا أُبِيحُ لِلنِّسَاءِ دُونَ الرِّجَالِ.
وَالثَّالِثُ: مَا أُبِيحُ لَهُمَا، فَأَمَّا الْمُبَاحُ لِلرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ فَحِلْيَةُ السَّيْفِ وَالْمِنْطَقَةُ بِالْفِضَّةِ دُونَ الذَّهَبِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ لِسَيْفِهِ قَبِيعَةٌ مِنْ فِضَّةٍ، وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ غَيْظًا لِلْمُشْرِكِينَ وَإِعْزَازًا لِلْمُسْلِمِينَ، وَكَذَا حِلْيَةُ الدِّرْعِ وَالْجَوْشَنِ بِالْفِضَّةِ دُونَ الذَّهَبِ، فَهَذَا كُلُّهُ مُبَاحٌ وَفِي زَكَاتِهِ قَوْلَانِ: فَإِنْ كَانَ مِنْ ذَهَبٍ كَانَ مَحْظُورًا وَزَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ، فَأَمَّا حِلْيَةُ اللِّجَامِ بِالْفِضَّةِ فَقَدْ ذَكَرْنَا فِيهِ وَجْهَيْنِ:
Pertama: apa yang dibolehkan bagi laki-laki namun tidak bagi perempuan.
Kedua: apa yang dibolehkan bagi perempuan namun tidak bagi laki-laki.
Ketiga: apa yang dibolehkan bagi keduanya.
Adapun yang dibolehkan bagi laki-laki namun tidak bagi perempuan adalah hiasan pada pedang dan ikat pinggang dari perak, bukan dari emas, karena Rasulullah SAW memiliki gagang pedang yang terbuat dari perak. Dan karena hal itu merupakan bentuk penghinaan terhadap orang-orang musyrik dan pengagungan terhadap kaum muslimin.
Begitu pula hiasan pada baju zirah dan baju besi dengan perak, bukan dengan emas. Maka semua ini hukumnya mubah, dan mengenai zakat atasnya terdapat dua pendapat. Jika hiasan tersebut dari emas, maka hukumnya terlarang dan zakatnya wajib.
Adapun hiasan pada tali kekang dengan perak, maka telah kami sebutkan di dalamnya dua wajah.
أَحَدُهُمَا: مَحْظُورٌ وَفِيهِ الزَّكَاةُ، وَبِهِ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَبُو إِسْحَاقَ، لِأَنَّهُ حِلْيَةٌ لِفَرَسِهِ لَا لِنَفْسِهِ.
وَالثَّانِي: مُبَاحٌ كَالسَّيْفِ وَالْمِنْطَقَةِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ سَلَمَةَ لِمَا رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَمَلٌ فِي أَنْفِهِ بُرَةٌ مِنْ ذَهَبٍ، وَقِيلَ مِنْ فِضَّةٍ، وَكَانَ الْجَمَلُ لِأَبِي جَهْلٍ، وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ غَيْظًا لِلْمُشْرِكِينَ، فَهَذَا كُلُّهُ مُبَاحٌ لِلرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ فَإِنِ اتَّخَذَهُ النِّسَاءُ كَانَ مَحْظُورًا وَوَجَبَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ.
Pertama: perhiasan yang terlarang, dan wajib dizakati. Ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās dan Abū Isḥāq, karena itu adalah perhiasan bagi kudanya, bukan untuk dirinya sendiri.
Kedua: perhiasan yang mubah, seperti pedang dan sabuk. Ini adalah pendapat Abū Ṭayyib bin Salamah, berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah SAW memiliki unta yang di hidungnya terdapat burrah dari emas—dan ada yang mengatakan dari perak—dan unta itu milik Abū Jahl. Hal itu dilakukan sebagai bentuk kemarahan terhadap kaum musyrikin.
Maka semua ini mubah bagi laki-laki, bukan bagi perempuan. Jika perempuan yang mengenakannya, maka itu terlarang dan wajib dizakati.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْمُبَاحُ لِلنِّسَاءِ دُونَ الرِّجَالِ فَالْخَلَاخِلُ، وَالدَّمَالِجُ، وَالْأَطْوَاقُ وَالْأَسْوِرَةُ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَمَا كَانَ فِي مَعْنَى ذَلِكَ مِمَّا جَرَتْ عَادَتُهُنَّ بلبسه، وأما المباح فَإِنْ كَانَ مِمَّا جَرَتْ عَادَةُ النِّسَاءِ بِهِ كَانَ مُبَاحًا، وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَمْ تَجْرِ عادة النساء مِمَّا يَلْبَسُهُ عُظَمَاءُ الْفُرْسِ كَانَ مَحْظُورًا، فَأَمَّا الثِّيَابُ الْمُثْقَلَةُ بِالذَّهَبِ الْمَنْسُوجَةُ بِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL: Adapun yang dibolehkan bagi perempuan namun tidak bagi laki-laki adalah gelang kaki (khulākhil), gelang tangan atas (damālīj), kalung (aṭwāq), dan gelang pergelangan (aswirah) dari emas dan perak, serta apa saja yang serupa dengan itu dari hal-hal yang telah menjadi kebiasaan mereka untuk memakainya.
Adapun sesuatu yang mubah, maka jika itu termasuk yang biasa dipakai oleh perempuan, maka hukumnya mubah. Namun jika termasuk sesuatu yang tidak biasa dipakai oleh perempuan, seperti yang biasa dipakai oleh para pembesar Persia, maka hukumnya terlarang.
Adapun pakaian yang ditenun dan diberatkan dengan emas, maka ada dua wajah (pendapat) mengenai hukumnya.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُبَاحٌ لَهُنَّ كَالْحُلِيِّ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَحْظُورٌ عَلَيْهِنَّ لِمَا فِيهِ مِنْ كَثْرَةِ الْإِسْرَافِ وَعِظَمِ الْخُيَلَاءِ فَأَمَّا تَعَاوِيذُ الذَّهَبِ فَمُبَاحٌ لَهُنَّ، فَأَمَّا نِعَالُ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فَمَحْظُورَةٌ، وَكُلُّ مَا أبحناهن مِنْ ذَلِكَ فَفِي زَكَاتِهِ قَوْلَانِ، فَإِنِ اتَّخَذَهُ الرِّجَالُ لِلتَّحَلِّي بِهِ كَانَ مَحْظُورًا عَلَيْهِمْ وَزَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ، وَلَكِنْ فِي تَحْلِيَةِ الصِّبْيَانِ بِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: مَحْظُورٌ فَعَلَى هَذَا فِيهِ الزَّكَاةُ.
وَالثَّانِي: مُبَاحٌ فَعَلَى هَذَا فِي زَكَاتِهِ قَوْلَانِ.
salah satu dari keduanya: bahwa itu mubah bagi mereka sebagaimana ḥulīy (perhiasan).
dan yang kedua: bahwa itu maḥẓūr atas mereka karena mengandung banyak unsur israf dan kesombongan yang besar.
Adapun taʿāwīż dari emas, maka mubah bagi mereka.
Adapun sandal dari emas dan perak, maka maḥẓūrah.
Dan setiap apa yang kami halalkan bagi mereka dari hal tersebut, maka dalam zakatnya ada dua qawl.
Jika laki-laki menjadikannya untuk berhias dengannya, maka itu maḥẓūr atas mereka dan zakatnya wājib.
Namun dalam berhiasnya anak-anak kecil dengannya terdapat dua wajh:
yang pertama: maḥẓūr, maka berdasarkan ini wajib zakatnya.
dan yang kedua: mubāḥ, maka berdasarkan ini dalam zakatnya terdapat dua qawl.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْمُبَاحُ لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فَخَوَاتِمُ الْفِضَّةِ وَحِلْيَةُ المصحف، فَأَمَّا حِلْيَتُهُ بِالذَّهَبِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا مُبَاحٌ لِمَا فِيهِ مِنْ إِعْظَامِ الْقُرْآنِ.
وَالثَّانِي: مَحْظُورٌ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ، فَأَمَّا حِلْيَةُ عَلَاقَةِ الْمُصْحَفِ بِالذَّهَبِ فَمَحْظُورٌ لَا يَخْتَلِفُ، وَيَجُوزُ لِلْأَجْدَعِ مِنَ الرِّجَالِ والنساء من أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ فِضَّةٍ أَوْ ذَهَبٍ، فَقَدْ رُوِيَ أنَ عَرْفَجَةَ بْنَ أسعدٍ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَاتَّخَذَ أَنْفًا من فضةٍ فأنتن عليه، فأمره النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذهبٍ، وَيَجُوزُ لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ أَنْ يَشُدَّا أَسْنَانَهُمَا بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، فَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ مُبَاحًا نُظِرَ، فَإِنْ نَشِبَ فِي الْعُضْوِ وَتَرَاكَبَ عَلَيْهِ اللَّحْمُ صَارَ كَالْمُسْتَهْلَكِ وَلَا زَكَاةَ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ بِخِلَافِ ذَلِكَ بِحَيْثُ يُمْكِنُ نَزْعُهُ وَرَدُّهُ فَزَكَاتُهُ عَلَى قولين.
PASAL
Adapun yang mubah bagi laki-laki dan perempuan adalah cincin perak dan perhiasan mushaf. Adapun menghiasinya dengan emas, maka ada dua pendapat:
Pertama, mubah karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap Al-Qur’an.
Kedua, terlarang. Dan pendapat pertama lebih shahih.
Adapun menghias tali penggantung mushaf dengan emas maka hukumnya terlarang tanpa ada perbedaan pendapat.
Dan boleh bagi laki-laki maupun perempuan yang kehilangan hidung untuk membuat hidung dari perak atau emas. Telah diriwayatkan bahwa ‘Arfajah bin As’ad hidungnya terluka pada hari al-Kulāb di masa jahiliyah, lalu ia membuat hidung dari perak, namun berbau busuk, maka Nabi SAW memerintahkannya untuk membuat hidung dari emas.
Dan boleh bagi laki-laki maupun perempuan untuk menguatkan gigi mereka dengan emas dan perak. Hal ini telah dilakukan oleh ‘Utsmān bin ‘Affān RA.
Jika hal tersebut mubah, maka dilihat: bila menempel pada anggota tubuh dan daging telah menyatu di atasnya, maka dihukumi seperti barang yang menyatu dan tidak wajib zakat padanya.
Namun jika tidak demikian, dalam arti masih memungkinkan untuk dilepas dan dipasang kembali, maka zakatnya diperselisihkan dalam dua pendapat.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” فإن اتَّخَذَ رجلٌ أَوِ امْرَأَةٌ إِنَاءً مِنْ ذهبٍ أَوْ ورقٍ زَكَّيَاهُ فِي الْقَوْلَيْنِ جَمِيعًا لِأَنَّهُ لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا اتِّخَاذُهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: اتِّخَاذُ أَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ حَرَامٌ لِرِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنِ اسْتِعْمَالِ أَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلِمَا فيه من الترف وَالْخُيَلَاءِ، وَإِنَّهُ مِنْ زِيِّ الْأَكَاسِرَةِ وَالْأَعَاجِمِ وَقَدْ قال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ” وَإِذَاكان محظوراً فزكاته واجبة، فأما اتخاذها لِلِادِّخَارِ لَا لِلِاسْتِعْمَالِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا.
مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ مِنْهُمَا: أَنَّهُ مَحْظُورٌ، لِأَنَّ ادِّخَارَهُ يَدْعُو إِلَى اسْتِعْمَالِهِ.
masalah: Imam al-Syafi’i raḥimahullāh berkata: “Jika seorang laki-laki atau perempuan menjadikan bejana dari emas atau perak, maka keduanya wajib menunaikan zakatnya menurut kedua qawl, karena tidak dibolehkan bagi salah satu dari keduanya untuk menjadikannya.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan: menjadikan bejana dari emas dan perak adalah ḥarām, berdasarkan riwayat Muḥammad bin Sīrīn dari Anas bahwa Nabi SAW melarang menggunakan bejana dari emas dan perak, dan karena di dalamnya terdapat unsur kemewahan dan kesombongan, serta termasuk gaya hidup para akāsirah dan bangsa ‘ajam. Dan sungguh Nabi SAW bersabda: “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.”
Dan jika hal itu maḥẓūr, maka zakatnya wājib.
Adapun jika dijadikannya untuk disimpan dan bukan untuk dipakai, maka terdapat dua wajh yang telah lalu.
Madzhab al-Syafi’i dari keduanya: bahwa itu maḥẓūr, karena menyimpannya mendorong untuk memakainya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ مُبَاحٌ، لِأَنَّ النَّهْيَ تَوَجَّهَ إِلَى الِاسْتِعْمَالِ وَمَا سِوَاهُ مُبَاحٌ فَعَلَى الْأَوَّلِ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَعَلَى الثَّانِي عَلَى قَوْلَيْنِ فَأَمَّا تَعْلِيقُ قَنَادِيلِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ فِي الْكَعْبَةِ وَسَائِرِ الْمَسَاجِدِ وَتَمْوِيهِهَا بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مُبَاحٌ كَمَا أُبِيحُ سَتْرُ الْكَعْبَةِ بِالدِّيبَاجِ وَإِنْ كَانَ حَرَامًا، وَلِأَنَّ فِيهِ تَعْظِيمًا لِلدِّينِ وَإِعْزَازًا لِلْمُسْلِمِينَ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ ذَلِكَ وَقْفًا لِلْكَعْبَةِ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ مِلْكًا لِرَبِّهِ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَحْظُورٌ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ وَكَثِيرٍ مِنْ أَصْحَابِنَا، لِأَنَّهُ لَمْ تَرِدْ بِهِ السُّنَّةُ وَلَا عَمِلَ بِهِ أَحَدُ الْأَئِمَّةِ، مَعَ مَا فِيهِ مِنْ إِضَاعَةِ الْمَالِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ وَقْفًا فَلَا زَكَاةَ فِيهِ وَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا، لِأَنَّهُ لَيْسَ لِمَالِكٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانَ مِلْكًا لِرَبِّهِ فَفِيهِ الزَّكَاةُ لِأَنَّهُ مَحْظُورٌ.
Dan pendapat kedua, yaitu pendapat sebagian sahabat kami, menyatakan bahwa hal itu mubah, karena larangan itu tertuju pada pemakaian, sedangkan selain pemakaian hukumnya mubah. Maka menurut pendapat pertama, wajib zakat padanya, dan menurut pendapat kedua, ada dua pendapat mengenai zakatnya.
Adapun menggantungkan lentera dari perak dan emas di Ka’bah dan masjid-masjid lainnya serta melapisinya dengan emas dan perak, maka ada dua pendapat:
Pertama, mubah, sebagaimana dibolehkan menutup Ka’bah dengan kain dībāj meskipun ia haram, karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap agama dan pengokohan kaum muslimin. Berdasarkan pendapat ini, jika benda tersebut berupa wakaf untuk Ka’bah, maka tidak ada zakat padanya, dan jika benda itu merupakan milik pemiliknya, maka ada dua pendapat.
Pendapat kedua, bahwa hal itu terlarang, dan ini adalah pendapat Abu Ishāq dan banyak dari sahabat kami, karena tidak ada sunnah yang mendasarinya dan tidak ada seorang pun dari imam yang melakukannya, serta di dalamnya terdapat pemborosan harta. Maka berdasarkan pendapat ini, jika berupa wakaf, tidak ada zakat padanya karena merupakan benda terlarang yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari kaum muslimin. Dan jika merupakan milik pemiliknya, maka wajib zakat karena termasuk benda yang terlarang.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُضَبَّبُ بِالذَّهَبِ فَمَحْظُورٌ وَزَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ، وَأَمَّا الْمُضَبَّبُ بِالْفِضَّةِ فإن كان يسير الحاجة كحلقة أو زرة كان مباحاً، قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَصْعَةٌ فِيهَا حَلْقَةٌ مِنْ فِضَّةٍ، وَزَكَاتُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ مَحْظُورٌ تَجِبُ زَكَاتُهُ، وَكَذَا لَوِ اتَّخَذَ مَيْلًا أَوْ مُكْحُلًا أَوْ مُدْهُنًا أَوْ مُسْعُطًا مِنْ فِضَّةٍ أَوْ ذَهَبٍ كَانَ مَحْظُورًا وَزَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ، إِلَّا أَنْ يُسْتَعْمَلَ الْمَيْلَ عَلَى وَجْهِ التَّدَاوِي لِجَلَاءِ عَيْنِهِ فَيَكُونُ مُبَاحًا، كَمَا لَوِ اسْتَعْمَلَ الذَّهَبَ لَرَبْطِ أَسْنَانِهِ فيكون في زكاته قولان:
PASAL
Adapun yang diberi pelapis (muḍabbab) dari emas, maka maḥẓūr dan zakatnya wājib.
Adapun yang diberi pelapis dari perak, jika kebutuhannya sedikit seperti ḥalqah (lingkaran cincin) atau zirrah (pengait), maka mubāḥ. Dahulu Rasulullah SAW memiliki mangkuk besar yang terdapat ḥalqah dari perak. Maka zakatnya menurut dua qawl.
Adapun selain dari itu, maka maḥẓūr dan wajib zakatnya.
Demikian juga jika seseorang menjadikan mīl (pencungkil), mukḥul (celak), mudhun (wadah minyak), atau musʿuṭ (alat penuang ke hidung) dari perak atau emas, maka hal itu maḥẓūr dan zakatnya wājib, kecuali jika mīl tersebut dipakai untuk pengobatan membersihkan mata, maka menjadi mubāḥ, sebagaimana jika menggunakan emas untuk mengikat giginya, maka dalam zakatnya terdapat dua qawl.
مسالة: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فَإِنْ كَانَ وَزْنُهُ أَلْفًا وَقِيمَتُهُ مَصُوغًا أَلْفَيْنِ فَإِنَّمَا زَكَاتُهُ عَلَى وَزْنِهِ لَا عَلَى قِيمَتِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْأَوَانِي الْمُحَرَّمَةُ فَزَكَاتُهَا عَلَى وَزْنِهَا لَا عَلَى قِيمَتِهَا، فَإِذَا كَانَ وَزْنُ الْإِنَاءِ أَلْفًا وَقِيمَتُهُ لِصَنْعَتِهِ أَلْفَيْنِ فَعَلَيْهِ زَكَاةُ ألف اعتباراً بوزنه، وسواء كسر الإناء وأخذ زَكَاتُهُ مِنْ عَيْنِهِ أَوْ أَخْرَجَ عَنْهُ الزَّكَاةُ مَنْ غَيْرِهِ، وَأَمَّا الْحُلِيُّ الْمَصُوغُ فَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا فَزَكَاتُهُ عَلَى وَزْنِهِ لَا عَلَى قِيمَتِهِ كَالْأَوَانِي، وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا وَزْنُهُ أَلْفٌ وَقِيمَتُهُ أَلْفَانِ فَقَدْ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ نعتبر الصنعة ونوجب الزكاة شائعة في جملته ثم يتبع قَدْرَ الزَّكَاةِ فِيهِ مَشَاعًا، إِلَّا أَنْ يُعْطِيَ المالك قيمة الزكاة ذهباً أو يعطي من هَذَا الْأَلْفِ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا مَصُوغَةً تُسَاوِي خَمْسِينَ دِرْهَمًا، فَإِنْ أَعْطَى خَمْسِينَ دِرْهَمًا قَالَ: لا يجوز، وإن أَرَادَ الْمَالِكُ كَسْرَحُلِّيِّهِ وَإِخْرَاجَ زَكَاتِهِ مِنْ عَيْنِهِ مُنِعَهُ، لِأَنَّ فِيهِ إِتْلَافَ مَا اعْتَبَرَهُ مِنَ الصَّنْعَةِ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ أَبُو الْعَبَّاسِ عِنْدِي غَلَطٌ، فَإِنَّ الزَّكَاةَ فِي الْحُلِيِّ إِذَا وَجَبَتْ فَإِنَّهَا تَجِبُ فِي عَيْنِهِ لَا فِي قِيمَتِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ كَانَ وَزْنُ الْحُلِيِّ مِائَةً وَقِيمَتُهُ لِصَنْعَتِهِ مِائَتَانِ لَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ، لِأَنَّ وَزْنَهُ لَمْ يَبْلُغْ نِصَابًا، وَإِنْ بَلَغَتْ قِيمَتُهُ نِصَابًا، وَإِذَا وَجَبَتْ زَكَاةُ الْحُلِيِّ فِي عَيْنِهِ لَمْ يَجِبِ اعْتِبَارُ قِيمَتِهِ، وَلِأَنَّ زِيَادَةَ الْقِيمَةِ فِي مُقَابَلَةِ الصَّنْعَةِ، وَلَيْسَتِ الصَّنْعَةُ عَيْنًا تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ، فَلَمْ يَجُزِ اعْتِبَارُهَا وَلِأَنَّهُ لَوْ وَجَبَ اعْتِبَارُ الصَّنْعَةِ لَوَجَبَ الْمُطَالَبَةُ بِزَكَاةِ جَمِيعِ الْقِيمَةِ حَتَّى إِذَا كَانَ وَزْنُهُ أَلْفًا وَقِيمَتُهُ أَلْفًا طُولِبَ بِزَكَاةِ أَلْفَيْنِ، فَإِنْ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ: لَسْتُ أَجْعَلُ الصَّنْعَةَ عَيْنًا وَإِنَّمَا أَجْعَلُهَا مِنْ صِفَاتِ الْعَيْنِ وَأَجْعَلُ الزَّكَاةَ فِي الْعَيْنِ عَلَى مَثَلِ تِلْكَ الصَّنْعَةِ كَمَا أَقُولُ فِي الدَّنَانِيرِ الْمَضْرُوبَةِ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهَا عَلَى مِثْلِ صِفَتِهَا وَضَرْبِهَا، فَإِنْ دَفَعَ ذَهَبًا خَالِصًا غَيْرَ مَضْرُوبٍ مِثْلَ ذَهَبِ الدَّنَانِيرِ الْمَضْرُوبَةِ لَمْ يَجُزْ، فَكَذَا فِي الْحُلِيِّ الْمَصُوغِ تَجِبُ زَكَاتُهُ فِي عَيْنِهِ عَلَى مِثْلِ صِفَتِهِ فِي صَنْعَتِهِ، فَإِنْ دَفَعَ مِثْلَ جِنْسِهِ غَيْرَ مَصُوغٍ لَمْ يَجُزْ، قِيلَ لَهُ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا، أَنَّ ضَرْبَ الدَّنَانِيرِ وَطَبْعَهَا أُقِيمَ مَقَامَ صِفَاتِ الْجِنْسِ مِنَ الْجَوْدَةِ وَالرَّدَاءَةِ لِجَوَازِ ثُبُوتِهِ فِي الذِّمَّةِ كَثُبُوتِ ضَمَانِ الْجِنْسِ فَوَجَبَ اعْتِبَارُهُ فِي الزَّكَاةِ كَمَا وجب اعتبار صفات الجنس وليس صِفَةُ الْحُلِيِّ جَارِيَةً مَجْرَى صِفَاتِ الْجِنْسِ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ ثُبُوتُهَا فِي الذِّمَّةِ فَلَمْ يَجُزِ اعْتِبَارُهَا فِي الزَّكَاةِ يُوَضِّحُ مَا ذَكَرْتُ، أَنَّ مَنْ أَتْلَفَ عَلَى غَيْرِهِ دَنَانِيرَ مَضْرُوبَةً لَزِمَهُ مِثْلُهَا وَلَوْ أَتْلَفَ حُلِيًّا مَصُوغًا لَمْ يَلْزَمْهُ مِثْلُهُ مَصُوغًا، عَلَى أَنَّ أَبَا الْعَبَّاسِ يُجِيزُ أَخْذَ الْقِيمَةِ فِي زَكَاةِ الْحُلِيِّ وَيَمْنَعُ مِنْهَا فِي زَكَاةِ الدَّنَانِيرِ، فَخَالَفَ الْمَذْهَبَ فِي جَوَازِ أَخْذِ الْقِيَمِ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا مِنْ حَيْثُ جَمَعَ فَلَا بِالْمَذْهَبِ أَخَذَ وَلَا لِلْحِجَاجِ انْقَادَ، فَإِذَا وَضَحَ مَا ذَكَرْنَا فَلَا اعْتِبَارَ بِصِفَتِهِ وَلَا مُعَوَّلَ عَلَى قِيمَتِهِ وَيُزَكِّيهِ عَلَى وَزْنِهِ إِمَّا مِنْهُ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Jika beratnya seribu dan nilainya setelah ditempa menjadi dua ribu, maka zakatnya hanya berdasarkan beratnya, bukan pada nilainya.”
Al-Māwardī berkata:
Adapun bejana-bejana yang terlarang, maka zakatnya berdasarkan beratnya, bukan nilainya. Maka jika berat bejana itu seribu dan nilainya karena bentuk buatannya menjadi dua ribu, maka wajib dikeluarkan zakat dari seribu, dihitung berdasarkan beratnya. Baik bejana itu dipecahkan lalu diambil zakat dari bendanya langsung, atau zakat dikeluarkan dari selainnya.
Adapun perhiasan yang ditempa, maka jika hukumnya terlarang, maka zakatnya berdasarkan berat, bukan nilai, sebagaimana pada bejana. Jika mubah, dan beratnya seribu tetapi nilainya dua ribu, maka Abū al-‘Abbās Ibn Surayj berpendapat: nilai kerajinan diperhitungkan, dan zakat diwajibkan secara menyeluruh pada total nilainya, lalu diambil kadar zakat secara musyā‘ (proporsional). Kecuali jika pemiliknya memberikan nilai zakatnya berupa emas, atau mengambil dari perhiasan itu sebanyak dua puluh lima dirham yang ditempa dan nilainya setara lima puluh dirham. Maka jika ia memberikan lima puluh dirham (dalam bentuk lain), Ibn Surayj berkata: “Tidak sah.” Dan jika pemilik ingin memecah perhiasannya dan mengeluarkan zakat dari bendanya langsung, maka tidak diperkenankan, karena di dalamnya ada kerusakan terhadap nilai hasil kerajinan yang telah diperhitungkan.
Namun pendapat Abū al-‘Abbās ini, menurutku, adalah keliru. Karena zakat dalam perhiasan, jika diwajibkan, maka wajib pada bendanya langsung, bukan pada nilainya. Bukankah jika berat perhiasan itu seratus dan nilainya karena kerajinannya mencapai dua ratus, tetap tidak wajib zakat karena beratnya belum mencapai nishab, meskipun nilainya mencapai nishab?
Maka apabila zakat perhiasan itu wajib pada bendanya langsung, maka tidak perlu memperhitungkan nilainya. Sebab kenaikan nilai itu adalah sebagai ganti dari kerajinan, dan kerajinan bukanlah benda yang wajib dizakati. Maka tidak boleh diperhitungkan. Andaikata kerajinan wajib diperhitungkan, niscaya akan dituntut zakat dari seluruh nilai. Sehingga jika beratnya seribu dan nilainya dua ribu, maka akan dituntut zakat atas dua ribu.
Jika Abū al-‘Abbās berkata: “Aku tidak menjadikan kerajinan sebagai benda zakat, melainkan aku jadikan sebagai sifat benda, dan aku wajibkan zakat pada benda sesuai sifat kerajinannya. Sebagaimana aku katakan bahwa dinar yang ditempa wajib zakat atas bendanya berdasarkan sifat dan cetakannya. Maka jika ia menyerahkan emas murni yang tidak ditempa sebagai ganti dari dinar yang telah ditempa, maka tidak sah. Maka begitu pula perhiasan yang ditempa, zakatnya wajib pada bendanya sesuai dengan sifat kerajinannya. Jika ia menyerahkan jenis yang sama tetapi belum ditempa, maka tidak sah.”
Maka dikatakan kepadanya: perbedaannya adalah bahwa pencetakan dan penempaan dinar itu menggantikan sifat jenis dari segi kualitas dan cacat, karena sah dijadikan sebagai tanggungan dalam kewajiban sebagaimana kewajiban menanggung jenis, maka wajib diperhitungkan dalam zakat sebagaimana sifat-sifat jenis. Sedangkan sifat dalam perhiasan tidaklah menggantikan sifat jenis, karena tidak sah untuk ditanggung dalam tanggungan, maka tidak sah untuk diperhitungkan dalam zakat.
Yang menjelaskan hal ini adalah bahwa barangsiapa merusak dinar yang ditempa milik orang lain, maka ia wajib mengganti dengan yang sejenis. Tapi kalau ia merusak perhiasan yang ditempa, maka ia tidak wajib mengganti dengan yang sejenis dalam bentuk yang telah ditempa.
Lagi pula Abū al-‘Abbās memperbolehkan mengambil nilai (dalam bentuk uang) sebagai zakat dari perhiasan, namun melarangnya pada zakat dinar. Maka ia telah menyelisihi mazhab dalam hal bolehnya mengambil zakat dengan nilai, dan membedakan antara dua hal yang semestinya disamakan. Maka tidak mengikuti mazhab, dan tidak pula konsisten dalam argumentasinya.
Maka apabila telah jelas apa yang kami sebutkan, maka tidak ada pertimbangan terhadap sifatnya dan tidak bergantung pada nilainya. Dan wajib dizakati berdasarkan beratnya, baik dari bendanya langsung maupun dari selainnya.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا إِذَا اشْتَرَى حُلِيًّا مُبَاحًا لِلتِّجَارَةِ، فَإِنْ قُلْنَا لَا زَكَاةَ فِي الْحُلِيِّ الْمُسْتَعْمَلِ فَفِي هَذَا زَكَاةُ التِّجَارَةِ وَتُعْتَبَرُ قِيمَةُ الصَّنْعَةِ بِخِلَافِ مَا تَقَدَّمَ، لِأَنَّ زَكَاةَ هَذَا فِي قِيمَتِهِ لَا فِي عَيْنِهِ، وَإِنْ قُلْنَا فِي الْمُسْتَعْمَلِ زَكَاةٌ فَهَلْ يُزَكَّى هَذَا زَكَاةَ التِّجَارَةِ أَوْ زَكَاةَ الْعَيْنِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: زَكَاةَ الْعَيْنِ فَعَلَى هَذَا لَا اعْتِبَارَ بِالصَّنْعَةِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: زَكَاةَ التِّجَارَةِ فَعَلَى هَذَا يَجِبُ اعْتِبَارُ الصَّنْعَةِ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ في القيمة.
وأما إِذَا أَتْلَفَ عَلَى غَيْرِهِ حُلِيًّا مَصُوغًا فَعَلَيْهِ ضَمَانُ قِيمَتِهِ مَصُوغًا وَسَوَاءٌ كَانَ مَالِكُهُ مِمَّنْ تستبيح لُبْسَهُ أَمْ لَا. إِذَا كَانَ الْحُلِيُّ مِمَّا يُسْتَبَاحُ لُبْسُهُ بِحَالٍ، فَإِذَا كَانَ وَزْنُهُ أَلْفًا وَقِيمَتُهُ أَلْفَيْنِ ضُمِّنَ أَلْفَيْنِ وَفِي كَيْفِيَّةِ ضَمَانِهَا وجهان:
PASAL
Adapun jika seseorang membeli ḥulīy yang mubāḥ untuk diperdagangkan, maka jika kita katakan tidak ada zakat pada ḥulīy yang dipakai, maka pada yang ini ada zakat tijārah, dan nilai ṣanʿah-nya diperhitungkan — berbeda dengan yang telah lalu — karena zakat yang ini pada nilainya, bukan pada bendanya.
Dan jika kita katakan bahwa pada ḥulīy yang dipakai ada zakat, maka apakah yang ini dizakati dengan zakat tijārah atau zakat benda (ʿayn)? Maka terdapat dua qawl:
yang pertama: zakat ʿayn, maka berdasarkan ini tidak diperhitungkan nilai ṣanʿah-nya.
dan qawl kedua: zakat tijārah, maka berdasarkan ini wajib memperhitungkan nilai ṣanʿah karena kewajiban zakatnya pada nilai.
Adapun jika seseorang merusakkan ḥulīy yang ditempa milik orang lain, maka ia wajib mengganti nilainya dalam keadaan telah ditempa, baik pemiliknya termasuk orang yang dibolehkan memakainya maupun tidak, selama ḥulīy tersebut adalah sesuatu yang boleh dipakai dalam suatu keadaan.
Maka jika beratnya seribu dan nilainya dua ribu, maka ia wajib mengganti dua ribu.
Dan dalam tata cara menggantinya terdapat dua wajh.
أحدهما: يضمنها دراهم فيلزمه ألفين دِرْهَمٍ أَلْفٌ مِنْهَا فِي مُقَابَلَةِ الْأَلْفِ وَالْأَلِفُ الْأُخْرَى فِي مُقَابَلَةِ الصِّيَاغَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُضَمَّنُ أَلْفَ دِرْهَمٍ بِإِزَاءِ الْأَلْفِ ويعطى مكان الصنعة ذهباً، لأن لا يَكُونَ قَدْ أَخَذَ أَلْفَيْنِ مَكَانَ أَلْفٍ فَمَنْ قَالَ بِالْأَوَّلِ انْفَصَلَ عَنْ هَذَا بِأَنْ قَالَ: لَيْسَتِ الْأَلِفَانِ مَكَانَ أَلْفٍ وَإِنَّمَا أَلْفٌ مَكَانَ أَلْفٍ وَالْأَلْفُ الْأُخْرَى بِإِزَاءِ الصَّنْعَةِ، أَلَا تَرَى أنه لو كسره فأذهب صَنْعَتَهُ وَلَمْ يَنْقُصْ وَزْنُهُ ضُمِّنَ أَلْفًا، وَلَوْ كان كما قال الأول لما جاز أيضاً أن يأخذ ألفاً وذهباً مكان ألف كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ أَلْفَيْنِ مَكَانَ أَلْفٍ، وَأَمَّا إِنْ أَتْلَفَ إِنَاءً مَصُوغًا وَزْنُهُ أَلْفٌ وَقِيمَتُهُ أَلْفَانِ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ ادِّخَارَهُ مَحْظُورٌ ضُمِّنَ وَزْنُهُ دُونَ صَنْعَتِهِ، لِأَنَّ الصَّنْعَةَ المحظورة لا قيمة لها فتكون أَلْفٌ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنِّ ادِّخَارَهُ مُبَاحٌ ضُمِّنَ قِيمَتُهُ مَعَ صَنْعَتِهِ كَضَمَانِ الْحُلِيِّ لِإِبَاحَةِ صَنْعَتِهِ فيلزمه ألفان.
Salah satu pendapat: ia wajib menggantinya dengan dua ribu dirham — seribu di antaranya sebagai ganti dari berat emasnya, dan seribu sisanya sebagai ganti dari kerajinannya.
Pendapat kedua: ia hanya wajib mengganti seribu dirham sebagai ganti dari beratnya, dan memberikan emas sebagai pengganti nilai kerajinannya, agar tidak sampai mengambil dua ribu sebagai ganti dari satu ribu.
Barang siapa yang berpendapat seperti pendapat pertama, ia menjawab hal ini dengan mengatakan: dua ribu itu bukan sebagai ganti dari satu ribu, melainkan seribu sebagai ganti dari beratnya dan seribu lagi sebagai ganti dari kerajinannya.
Bukankah engkau melihat bahwa jika ia memecahkannya dan merusak kerajinannya, tetapi beratnya tidak berkurang, maka ia hanya wajib mengganti seribu saja? Seandainya benar seperti pendapat pertama, maka tidak boleh juga mengambil seribu dan emas sebagai ganti dari satu ribu, sebagaimana tidak boleh mengambil dua ribu sebagai ganti dari satu ribu.
Adapun jika ia merusak bejana yang ditempa dengan berat seribu dan nilainya dua ribu, maka:
– jika kita katakan bahwa menyimpannya adalah perbuatan yang terlarang, maka ia hanya wajib mengganti beratnya saja tanpa nilai kerajinannya, karena kerajinan yang terlarang tidak memiliki nilai, maka wajib diganti seribu.
– dan jika kita katakan bahwa menyimpannya adalah mubah, maka ia wajib mengganti nilainya beserta kerajinannya, sebagaimana mengganti perhiasan yang kerajinannya dibolehkan, maka ia wajib mengganti dua ribu.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن انْكَسَرَ حُلِيُّهَا فَلَا زَكَاةَ فِيهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْكَسْرُ فَضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ يَسِيرًا يُمْكِنُ لُبْسُ الْحُلِيِّ مَعَهُ فَهَذَا فِي حُكْمِ الصَّحِيحِ وَلَا تَأْثِيرَ لِهَذَا الْكَسْرِ، وَيَكُونُ فِي زَكَاتِهِ قَوْلَانِ:
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْكَسْرُ كَثِيرًا يَمْنَعُ مِنْ لُبْسِهِ فَلِلْمَالِكِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ أَحَدُهَا: أَنْ يُعِدَّهُ كَنْزًا وَيَقْتَنِيَهُ مَالًا وَيَصْرِفَهُ عَنْ حُكْمِ الْحُلِيِّ فَهَذَا كَنْزٌ تَجِبُ زَكَاتُهُ قَوْلًا وَاحِدًا.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَنْوِيَ إِصْلَاحَهُ وَيَزِيدَ عَمَلَهُ فَهَذَا فِي حُكْمِ الْحُلِيِّ وَفِي زَكَاتِهِ قَوْلَانِ.
Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika perhiasannya rusak, maka tidak ada zakat padanya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun kerusakan (kasr) itu ada dua macam:
Pertama: rusaknya ringan sehingga masih memungkinkan dipakai. Maka ini dihukumi seperti perhiasan yang utuh, dan kerusakan ini tidak berpengaruh. Maka dalam zakatnya terdapat dua qawl.
Macam yang kedua: rusaknya parah sehingga tidak dapat dipakai. Maka pemiliknya memiliki tiga keadaan:
Pertama: ia menjadikannya sebagai simpanan dan menyimpannya sebagai harta, serta memalingkannya dari hukum perhiasan, maka ini adalah kanz (simpanan) dan wajib zakatnya menurut satu qawl.
Kedua: ia berniat untuk memperbaikinya dan menambahkan pengerjaannya, maka ini dihukumi sebagai perhiasan, dan dalam zakatnya terdapat dua qawl.
وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ نِيَّةٌ فِي إِصْلَاحِهِ وَلَا فِي اقْتِنَائِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْحُلِيِّ وَفِي زَكَاتِهِ قَوْلَانِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِنَا قَدْ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْحُلِيِّ وَصَارَ مَالًا مُقْتَنًى فَتَجِبُ فِيهِ الزكاة قولاً واحداً.
Dan keadaan ketiga: apabila tidak ada niat untuk memperbaikinya maupun untuk memilikinya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat yang dinyatakan oleh Imam al-Syafi‘i, bahwa ia tetap dalam hukum perhiasan, dan dalam zakatnya ada dua pendapat.
Kedua: yaitu pendapat para sahabat kami, bahwa ia telah keluar dari hukum perhiasan dan menjadi harta yang dimiliki, maka wajib zakat atasnya menurut satu pendapat.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ وَرِثَ رجلٌ حُلِيًّا أَوِ اشْتَرَاهُ فَأَعْطَاهُ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِهِ أَوْ خَدَمَهُ هِبَةً أَوْ عَارِيَةً أَوْ أَرْصَدَهُ لِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ زكاة في قول من قال لا زكاة فيه إذا أرصده لما يصلح له فإن أرصده لما لا يصلح له فعليه الزكاة في القولين جَمِيعًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:إِذَا مَلَكَ الرَّجُلُ حُلِيًّا بِابْتِيَاعٍ أَوْ مِيرَاثٍ، أَوْ وَصِيَّةٍ، أَوْ هِبَةٍ، أَوْ مَغْنَمٍ فَإِنِ اقْتَنَاهُ لِنَفْسِهِ، أَوْ أَعَدَّهُ لِلتِّجَارَةِ بِهِ فَفِيهِ الزَّكَاةُ وَإِنْ حَلَّى بِهِ نِسَاءَهُ أَوْ جَوَارِيَهُ فَفِي زَكَاتِهِ قَوْلَانِ، وَلَوِ اتَّخَذَ رَجُلٌ حُلِيًّا للإعارة كان مباحاً وفي زكاته قولان.
MASALAH: Imam al-Syafi’i raḥimahullāh berkata: “Seandainya seseorang mewarisi perhiasan atau membelinya lalu memberikannya kepada perempuan dari keluarganya atau kepada pembantunya, baik sebagai hibah, pinjaman, atau ia tetapkan untuk itu, maka tidak wajib zakat atasnya menurut pendapat yang mengatakan tidak ada zakat jika ditetapkan untuk hal yang sesuai dengannya. Namun jika ia tetapkan untuk hal yang tidak sesuai dengannya, maka wajib zakat atasnya menurut kedua pendapat.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan: Apabila seseorang memiliki perhiasan dengan cara membeli, mewarisi, menerima wasiat, hibah, atau ghanīmah, lalu ia memilikinya untuk dirinya sendiri atau menyiapkannya untuk perdagangan, maka wajib zakat atasnya. Dan jika ia menghiasinya untuk istri-istrinya atau budak-budaknya, maka dalam kewajiban zakat atasnya terdapat dua pendapat. Dan jika seseorang menjadikan perhiasan itu untuk dipinjamkan, maka hal itu boleh, dan dalam kewajiban zakatnya terdapat dua pendapat.
وقال أبو عَبْدُ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ وَكَانَ شَيْخَ أَصْحَابِنَا فِي عصره: اتخاذ الحلي للكرى وَالْإِجَارَةِ مَحْظُورٌ وَزَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ، قَالَ: وَإِنَّمَا كَانَ مَحْظُورًا لِأَنَّهُ خَرَجَ عَنْ عُرْفِ السَّلَفِ بِالْإِجَارَةِ وعدل عما وردت به السنة والإعارة وَالْحُلِيُّ إِذَا عُدِلَ بِهِ عَمَّا وُضِعَ لَهُ كَانَ مَحْظُورًا وَزَكَاةُ الْمَحْظُورِ وَاجِبَةٌ، وَعَلَى الْأَوَّلِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا، وَإِنْ كَانَ لِقَوْلِ الزُّبَيْرِيِّ وَجْهٌ، وَيَخْتَارُ أَنْ يُكْرَى حُلِيُّ الذَّهَبِ بِالْفِضَّةِ وَحُلِيُّ الْفِضَّةِ بِالذَّهَبِ فَإِنْ أَكْرَى حُلِيَّ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ وَحُلِيَّ الْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَصَحُّهُمَا: جَوَازُهُ لأنه أُجْرَةٌ.
dan Abu ‘Abdullah az-Zubairi, yang merupakan syekh para sahabat kami pada masanya, berkata: “Menjadikan perhiasan untuk disewakan dan dipajakkan adalah perkara yang terlarang dan zakatnya wajib.” Ia berkata: “Dan hal itu terlarang karena menyelisihi kebiasaan salaf dalam menyewakan, dan menyimpang dari sunnah yang menetapkan pemberian secara ‘āriyah (pinjaman pakai), dan perhiasan apabila dialihkan dari tujuan asalnya maka menjadi terlarang, dan zakat atas hal yang terlarang tetap wajib.” Dan atas pendapat pertama inilah mayoritas sahabat kami, meskipun pendapat az-Zubairi memiliki sisi pertimbangan. Dan ia memilih agar perhiasan emas disewakan dengan perak dan perhiasan perak disewakan dengan emas. Maka jika disewakan perhiasan emas dengan emas, dan perhiasan perak dengan perak, terdapat dua wajah:
yang lebih ṣaḥīḥ: diperbolehkan, karena ia adalah upah.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ خَوْفَ الرِّبَا وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ لَا يَدْخُلُهُ الرِّبَا، وَلَوْ جَازَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْ إِجَارَةِ حُلِيِّ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ خَوْفَ الرِّبَا لَمُنِعَ من إجارته بدراهم مُؤَجَّلَةً خَوْفَ الرِّبَا، وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى جَوَازِهِ فدل على فساد هذا الاعتبار والله أعلم.
kedua: tidak boleh karena khawatir terjadi riba. Dan ini tidak memiliki dasar, karena akad ijārah tidak termasuk dalam riba. Seandainya dibenarkan melarang penyewaan perhiasan emas dengan emas karena khawatir riba, niscaya juga harus dilarang penyewaannya dengan dirham yang ditangguhkan karena khawatir riba, padahal para ulama telah sepakat atas kebolehannya. Maka hal itu menunjukkan rusaknya pertimbangan tersebut. Wallāhu a‘lam.
فصل
: قال المزني رضي الله عنه: ” وقد قال الشافعي في غير كتاب الزكاة لَيْسَ فِي الْحُلِيِّ زَكَاةٌ وَهَذَا أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ لِأَنَّ أَصْلَهُ أَنَّ فِي الْمَاشِيَةِ زَكَاةً وَلَيْسَ على المستعمل منها زَكَاةٌ فَكَذَلِكَ الذَّهَبُ وَالْوَرِقُ فِيهِمَا الزَّكَاةُ وَلَيْسَ فِي الْمُسْتَعْمَلِ مِنْهُمَا زَكَاةٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْمُزَنِيُّ لَعَمْرِي حُجَّةُ مَنْ أَسْقَطَ زَكَاةَ الْحُلِيِّ، إِنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي الْمَاشِيَةِ زَكَاةٌ وَلَيْسَ فِي الْمُسْتَعْمَلِ مِنْهَا زَكَاةٌ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي الذَّهَبِ وَالْوَرَقِ زَكَاةٌ، وَلَيْسَ فِي الْمُسْتَعْمَلِ مِنْهَا زَكَاةٌ وَلِمَنْ قَالَ بِوُجُوبِ زَكَاةِ الْحُلِيِّ أَنْ يَنْفَصِلَ عَنْ هَذَا، بِأَنَّ زَكَاةَ الْمَوَاشِي تَجِبُ بِوَصْفٍ زَائِدٍ، وَهُوَ السَّوْمُ فَإِذَا اسْتُعْمِلَ فَقَدْ عُدِمَ الْوَصْفُ الْمُوجِبُ فَسَقَطَتِ الزَّكَاةُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الذَّهَبُ وَالْوَرِقُ، لِأَنَّ زَكَاتَهُمَا تَجِبُ مِنْ غَيْرِ وَصْفٍ يُعْتَبَرُ فَإِذَا اسْتُعْمِلَا لم يمنع استعمالهما وجوب الزكاة فيهما أو لا تَرَى أَنَّ مَا اسْتُعْمِلَ مِنَ الْمَوَاشِي فِيمَا لَا يَحِلُّ مِنْ قَطْعِ الطَّرِيقِ، وَإِخَافَةِ السَّبِيلِ لَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَمَا اسْتُعْمِلَ مِنَ الذَّهَبِ وَالْوَرَقِ فِيمَا لَا يَحِلُّ مِنَ الْأَوَانِي وَالْحُلِيِّ وَجَبَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ فَوَضَحَ الْفَرْقُ بَيْنَ مَا اسْتُعْمِلَ مِنَ الْمَوَاشِي وَبَيْنَ مَا اسْتُعْمِلَ مِنَ الْحُلِيِّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Al-Muzani RA berkata: “Sesungguhnya asy-Syafi‘i telah berkata di luar kitab zakat: tidak ada zakat pada perhiasan. Dan ini lebih sesuai dengan pokok pendapat beliau, karena pokok pendapatnya adalah bahwa pada hewan ternak ada zakat, namun pada yang dipakai tidak ada zakat, maka demikian pula emas dan perak, pada keduanya ada zakat, namun tidak ada zakat pada yang dipakai dari keduanya.”
Al-Mawardi berkata: Dan apa yang dikatakan oleh al-Muzani—demi umurku—itulah hujjah bagi siapa yang menggugurkan zakat pada perhiasan, yaitu: ketika pada hewan ternak ada zakat dan tidak ada zakat pada yang dipakai darinya, maka seharusnya pada emas dan perak pun ada zakat, dan tidak ada zakat pada yang dipakai dari keduanya.
Dan bagi siapa yang berpendapat wajibnya zakat perhiasan, ia bisa menjawab (membantah analogi tersebut) bahwa zakat pada hewan ternak diwajibkan dengan sifat tambahan, yaitu as-saum (digembalakan bebas). Maka apabila digunakan (dan tidak lagi digembalakan), hilanglah sifat yang mewajibkan, maka gugurlah zakat. Tidak demikian halnya dengan emas dan perak, karena zakat keduanya diwajibkan tanpa mempertimbangkan suatu sifat tambahan. Maka apabila digunakan, penggunaannya tidak menghalangi kewajiban zakat padanya. Tidakkah engkau melihat bahwa hewan ternak yang digunakan untuk hal yang tidak dibolehkan seperti merampok jalan dan menakuti para musafir, tidak wajib zakat padanya, sedangkan emas dan perak yang digunakan untuk hal yang tidak dibolehkan seperti wadah dan perhiasan, tetap wajib zakat padanya? Maka jelaslah perbedaan antara hewan ternak yang dipakai dan perhiasan yang dipakai. Dan Allah-lah yang lebih mengetahui.
مسالة: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَمَا كَانَ من لؤلؤٍ أو زبرجدٍ أو ياقوتٍ ومرجانٍ وَحِلْيَةِ بحرٍ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ وَلَا في مسك ولا عنبر قال ابن عباس في العنبر إنما هو شيء دسره البحر ولا زكاة في شيء مما خالف الذهب والورق والماشية؛ والحرث على ما وصفت “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: كُلُّ مَا اسْتُخْرِجَ مِنَ الْبَحْرِ مِنْ حِلْيَةٍ وَزِينَةٍ وَطِيبٍ، فَلَا زَكَاةَ فِي عَيْنِهِ، وَهُوَ قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.
وَقَالَ أبو يوسف: فِي الْعَنْبَرِ وَحِلْيَةِ الْبَحْرِ الْخُمُسُ.
وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ.
BAB: Harta yang Tidak Ada Zakatnya
Masalah: Imam al-Syafi’i raḥimahullāh berkata:
“Segala sesuatu yang berupa mutiara, zabarjad, yāqūt, marjān, dan perhiasan laut, tidak ada zakat padanya. Begitu pula pada misk dan ‘anbar. Ibn ‘Abbās berkata tentang ‘anbar: ‘Itu hanyalah sesuatu yang dihanyutkan laut.’ Dan tidak ada zakat pada sesuatu pun selain emas, perak, hewan ternak, dan hasil pertanian sebagaimana telah aku sebutkan.”
Al-Māwardī berkata:
Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Segala sesuatu yang dikeluarkan dari laut berupa perhiasan, hiasan, dan wewangian, maka tidak ada zakat pada bendanya. Ini adalah pendapat para sahabat dan mayoritas fuqahā’.
Adapun Abū Yūsuf berpendapat bahwa pada ‘anbar dan perhiasan laut ada kewajiban seperlima (khumus).
Pendapat ini juga dikatakan oleh sebagian tābi‘īn, yaitu al-Ḥasan al-Baṣrī dan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَسَنِ الْعَنْبَرِيُّ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فِي أمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ) {المعارج: 24) قَالُوا: وَلِأَنَّهُ نَمَاءٌ يَتَكَامَلُ عَاجِلًا فَاقْتَضَى أَنْ يَجِبَ فِيهِ الْخُمُسُ كَالرِّكَازِ قَالُوا: وَلِأَنَّ الْأَمْوَالَ الْمُسْتَفَادَةَ نَوْعَانِ مِنْ بَرٍّ وَبَحْرٍ فَلَمَّا وَجَبَتْ زَكَاةُ مَا اسْتُفِيدَ مِنَ الْبَرِّ اقْتَضَى أَنْ تَجِبَ زَكَاةُ مَا اسْتُفِيدَ مِنَ الْبَحْرِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنْ لَا زَكَاةَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ.
رِوَايَةُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لا زكاة في حجرٍ ” اللؤلؤ حَجَرٌ، وَالْجَوَاهِرُ أَحْجَارٌ فَاقْتَضَى أَنْ لَا تَجِبَ فِيهَا الزَّكَاةُ.
وَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْعَنْبَرُ لَيْسَ بِغَنِيمَةٍ وَهُوَ لِمَنْ أَخَذَهُ ” فَكَانَ قَوْلُهُ: ” لَيْسَ بِغَنِيمَةٍ ” يَنْفِي وُجُوبَ الْخُمُسُ فِيهِ كَالْغَنِيمَةِ، وَقَوْلُهُ: ” هُوَ لِمَنْ أَخَذَهُ ” يَنْفِي أن يكون فيه حق لغيره من أخذه.
Dan termasuk dari kalangan fuqaha adalah ‘Ubaidullah bin al-Hasan al-‘Anbari dan Ishaq bin Rahawaih, yang berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Di dalam harta mereka ada hak yang diketahui} (QS. al-Ma‘ārij: 24). Mereka berkata: “Karena ia merupakan namā’ (harta yang berkembang) yang segera menjadi sempurna, maka hal itu menuntut kewajiban khumus sebagaimana rikāz (barang temuan).” Mereka juga berkata: “Karena harta yang diperoleh itu ada dua macam: dari daratan dan dari lautan. Maka ketika zakat diwajibkan atas apa yang diperoleh dari darat, menuntut pula diwajibkannya zakat atas apa yang diperoleh dari laut.”
Dan dalil yang menunjukkan bahwa tidak ada zakat pada semua itu adalah riwayat dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada batu.” Sedangkan mutiara adalah batu, dan permata adalah batu, maka hal itu menuntut bahwa tidak wajib zakat atasnya.
Dan diriwayatkan Abu az-Zubair dari Jabir bahwa Nabi SAW bersabda: “‘Anbar (ambergris) bukanlah ghanīmah, dan ia milik siapa yang mengambilnya.” Maka sabda beliau: “Bukanlah ghanīmah,” menunjukkan tidak wajib khumus padanya sebagaimana ghanīmah, dan sabda beliau: “Ia milik siapa yang mengambilnya,” menafikan adanya hak bagi selainnya atas orang yang mengambilnya.
وروي مجاهد عن ابن عباس أن سُئِلَ عَنِ الْعَنْبَرِ أَفِيهِ الزَّكَاةُ فَقَالَ: ” لَا إنما هو شيء دسره البحر ” أي يَعْنِي: قَذَفَهُ وَأَلْقَاهُ، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّ مَا اسْتُفِيدَ مِنَ الْبَحْرِ نَوْعَانِ: حَيَوَانٌ، وَجَمَادٌ فَلَمَّا لَمْ تَجِبْ زَكَاةُ حَيَوَانِهِ مِنْ سُمُوكِهِ وَحِيتَانِهِ لَمْ تَجِبْ زَكَاةُ جَمَادِهِ مِنْ حِلْيَةٍ وَزِينَةٍ، وَبِعَكْسِهِ الْبَرُّ لَمَّا وَجَبَتْ زَكَاةُ حَيَوَانِهِ وَجَبَتْ زَكَاةُ غَيْرِ حَيَوَانِهِ، مِنْ زُرُوعِهِ وَجَمَادِهِ.
وَأَمَّا عُمُومُ الْآيَةِ فَمَخْصُوصٌ بِمَا ذَكَرْنَا.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرِّكَازِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ وَلَوْ سَلَّمْنَا وُجُوبَ خُمُسِ جَمِيعِ الرِّكَازِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، لَكَانَ الْمَعْنَى فِيهِ إِنَّهُ مِنْ دَفْنِ الْجَاهِلِيَّةِ مُسْتَفَادٌ مِنْ مُشْرِكٍ كَالْغَنِيمَةِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ حِلْيَةُ الْبَحْرِ.
Diriwayatkan dari Mujāhid, dari Ibn ‘Abbās, bahwa beliau ditanya tentang ‘anbar, apakah padanya ada zakat? Maka beliau menjawab:
“Tidak, itu hanyalah sesuatu yang dihanyutkan oleh laut,” yakni: dilemparkan dan dicampakkan oleh laut.
Dan tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihi pendapat ini.
Karena sesuatu yang diperoleh dari laut ada dua jenis: hewan dan benda mati.
Maka ketika tidak wajib zakat pada hewan laut seperti ikan dan paus, tidak pula wajib zakat pada benda matinya seperti perhiasan dan hiasan.
Sebaliknya, daratan—ketika wajib zakat pada hewan daratnya—juga wajib zakat pada selain hewannya, seperti tanaman dan benda matinya.
Adapun keumuman ayat, telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.
Adapun qiyās mereka terhadap rikāz, maka makna rikāz adalah bahwa ia termasuk jenis atsmān.
Dan seandainya kita terima kewajiban seperlima dari seluruh rikāz menurut salah satu dari dua pendapat, maka maksudnya adalah karena ia merupakan peninggalan jahiliyyah yang diperoleh dari orang musyrik, seperti ghanīmah.
Sedangkan perhiasan laut tidaklah demikian.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: لَمَّا وَجَبَتْ زَكَاةُ مَا اسْتُفِيدَ مِنَ الْبَرِّ، وَجَبَ أَنْ تَجِبَ زَكَاةُ مَا اسْتُفِيدَ مِنَ الْبَحْرِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ مَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَتْ زَكَاةُ حَيَوَانِ الْبَرِّ جَازَ أَنْ تَجِبَ فِي غَيْرِ حَيَوَانِهِ، وَلَمَّا لَمْ تَجِبْ زَكَاةُ حَيَوَانِ الْبَحْرِ لَمْ تَجِبْ فِي غَيْرِ حَيَوَانِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Adapun ucapan mereka: “Ketika zakat diwajibkan atas apa yang diperoleh dari darat, maka seharusnya diwajibkan pula zakat atas apa yang diperoleh dari laut,” maka makna (jawaban) terhadapnya adalah sebagaimana yang kami sebutkan, yaitu: ketika zakat diwajibkan atas hewan darat, maka boleh jadi zakat juga diwajibkan atas selain hewan darat. Namun ketika zakat tidak diwajibkan atas hewan laut, maka tidak wajib pula zakat atas selain hewan laut. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
مَسْأَلَةٌ: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بن عيينة عَنْ يَحْيَي بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حماسٍ أَنَّ أَبَاهُ حِمَاسًا قَالَ مَرَرْتُ عَلَى عمر ابن الْخَطَّابِ وَعَلَى عُنُقِي أَدَمَةٌ أَحْمِلُهَا فَقَالَ أَلَا تُؤَدِّي زَكَاتَكَ يَا حِمَاسُ؟ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ المؤمنين مالي غَيْرُ هَذِهِ وَأَهُبُّ فِي القرظِ فَقَالَ ذَاكَ مال فضع فَوَضَعْتُهَا بَيْنَ يَدَيْهِ فَحَسَبَهَا فَوَجَدَهَا قَدْ وَجَبَتْ فيها الزكاة فأخذ منها الزكاة “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
الزَّكَاةُ وَاجِبَةٌ فِي أَمْوَالِ التِّجَارَةِ فِي كُلِّ عَامٍ هَذَا مَذْهَبُنَا.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ، وَابْنُ عُمَرَ، وَجَابِرٌ، وَعَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – وَالْفُقَهَاءُ السَّبْعَةُ، وَأَهْلُ الْعِرَاقِ.
BAB Zakat Perdagangan
Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Sufyān bin ‘Uyainah telah mengabarkan kepada kami dari Yaḥyā bin Sa‘īd dari ‘Abdullāh bin Abī Salamah, dari Abū ‘Amr bin Ḥamās, bahwa ayahnya, Ḥamās, berkata:
‘Aku melewati ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, dan di pundakku ada kulit yang aku bawa. Maka ‘Umar berkata: Wahai Ḥamās, tidakkah engkau menunaikan zakatmu?’
Aku menjawab: ‘Wahai Amīr al-Mu’minīn, aku tidak memiliki selain ini, dan aku berdagang dengan al-qaraẓ.’
Maka ‘Umar berkata: ‘Itu adalah harta. Letakkanlah.’
Lalu aku meletakkannya di hadapannya, dan ia menghitungnya, lalu mendapati bahwa zakat telah wajib padanya, maka ia pun mengambil zakat darinya.”
Al-Māwardī berkata:
Dan ini sebagaimana yang beliau katakan:
Zakat wajib pada harta perdagangan setiap tahun. Inilah mazhab kami.
Dan ini juga merupakan pendapat para sahabat: ‘Umar, Ibn ‘Umar, Jābir, dan ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhum, serta al-fuqahā’ al-sab‘ah dan ahli Irak.
وَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى أَنَّهُ لا زكاة فيه بحال.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ عَبَّاسٍ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: دَاوُدُ احْتِجَاجًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ابْتَغُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ “.
فَأَخْرَجَهَا بِالتِّجَارَةِ عَنِ الْحَالِ الَّتِي تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ.
وَلَوْ كَانَ وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِي التِّجَارَةِ وَغَيْرِهَا سَوَاءً، لَمْ يَكُنْ لِأَمْرِهِ بِالتِّجَارَةِ مَعْنًى، بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” عَفَوْتُ لَكُمْ عَنْ صَدَقَةِ الْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ ” فَكَانَ الْعَفْوُ عَلَى عُمُومِهِ فِي التِّجَارَةِ وَغَيْرِهَا.
Dan sekelompok ulama berpendapat bahwa tidak ada zakat padanya dalam keadaan apa pun.
Di antara para sahabat yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas.
Dan dari kalangan fuqaha adalah Dāwud, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “Carikanlah keuntungan pada harta anak yatim agar tidak dimakan oleh zakat.”
Maka beliau mengeluarkan (harta) dengan cara diperdagangkan dari keadaan yang mewajibkan zakat.
Seandainya kewajiban zakat dalam perdagangan dan selainnya sama, niscaya perintah beliau untuk memperdagangkannya tidak memiliki makna.
Juga berdasarkan sabda Nabi SAW: “Aku telah menggugurkan dari kalian zakat kuda dan budak.” Maka pengguguran tersebut bersifat umum, baik dalam perdagangan maupun di luar perdagangan.
قَالُوا: وَلِأَنَّ الْأَمْوَالَ الَّتِي تَجِبُ زَكَاتُهَا، فَالزَّكَاةُ فِي عَيْنِهَا دُونَ قِيمَتِهَا كَالْمَوَاشِي وَالثِّمَارِ وَمَا لَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهَا لَمْ تَجِبْ فِي قِيمَتِهَا، كَالْأَثَاثِ وَالْعَقَارِ فَلَمَّا كَانَ مَالُ التِّجَارَةِ لَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ، لَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ فِي قِيمَتِهِ.
قَالُوا: وَلِأَنَّ مَا فِيهِ الزَّكَاةُ مِنَ الْأَمْوَالِ لا تأثير إليه فِي سُقُوطِ زَكَاتِهَا بِحَالٍ، كَالْمَوَاشِي وَالثِّمَارِ فَلَمَّا سَقَطَتْ زَكَاةُ التِّجَارَةِ إِذَا نُوِيَ بِهَا الْقِنْيَةِ، عُلِمَ أَنَّ زَكَاتَهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ.
Mereka berkata: Karena harta-harta yang wajib dizakati, zakatnya dikenakan pada bendanya, bukan pada nilainya, seperti hewan ternak dan buah-buahan. Sedangkan apa yang tidak wajib zakat pada bendanya, maka tidak wajib pula zakat pada nilainya, seperti perabot dan properti. Maka ketika harta dagangan tidak wajib zakat pada bendanya, tidak pula wajib zakat pada nilainya.
Mereka juga berkata: Dan karena harta-harta yang wajib dizakati tidak terpengaruh oleh niat dalam menggugurkan kewajiban zakatnya, seperti hewan ternak dan buah-buahan. Maka ketika zakat perdagangan gugur karena diniatkan sebagai kepemilikan pribadi (al-qinyah), diketahui bahwa zakat atasnya tidaklah wajib.
قَالُوا: وَلِأَنَّ مَا لَا زَكَاةَ فِيهِ قَبْلَ إِرْصَادِ النَّمَاءِ، فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، وَإِنْ عَرَضَ لِلنَّمَاءِ كَالْعَقَارِ إذا اؤجر وَالْمَعْلُوفَةِ إِذَا اسْتُعْمِلَتْ فَلَمَّا كَانَتْ عُرُوضُ التِّجَارَةِ لَا زَكَاةَ فِيهَا، قَبْلَ إِرْصَادِهَا لِلتِّجَارَةِ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا، وَإِنْ أُرْصِدَتْ لِلتِّجَارَةِ فَهَذَا احْتِجَاجُ من أسقط زكاة التجارة.
وَأَمَّا حُجَّةُ مَنْ أَوْجَبَ زَكَاتَهَا مَرَّةً، فَهُوَ أَنْ قَالَ: الْمَقْصُودُ بِالتِّجَارَةِ حُصُولُ النَّمَاءِ بِالرِّبْحِ، وَالرِّبْحُ إِنَّمَا يَحْصُلُ إِذَا نَضَّ الثَّمَنُ، فَوَجَبَ أَنْ تَتَعَلَّقَ بِهِ زَكَاةُ عَامٍ وَاحِدٍ، كَالثِّمَارِ.
قَالُوا: وَلِأَنَّ فِي إِيجَابِ زَكَاتِهَا قَبْلَ أَنْ يَنِضَّ ثَمَنُهَا رِفْقًا بِالْمَسَاكِينِ وَإِجْحَافًا بِرَبِّ الْمَالِ، لِأَنَّهُمْ تَعَجَّلُوا مِنْ زَكَاتِهَا مَا لَمْ يَتَعَجَّلِ الْمَالِكُ مِنْ رِبْحِهَا وَأُصُولُ الزَّكَوَاتِ مَوْضُوعَةٌ عَلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الْمَسَاكِينِ وَبَيْنَ رَبِّ الْمَالِ فِي الِارْتِفَاقِ، وَقَدْ كَانَ يَجِبُ تَقْدِيمُ هَذِهِ الدَّلَالَةِ عَلَى تِلْكَ، لِأَنَّ هَذِهِ تَدُلُّ عَلَى تَأْخِيرِ الزَّكَاةِ، إِلَّا أَنْ يَنِضَّ الثَّمَنُ وَتِلْكَ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ إِذَا نَضَّ ثَمَنُهُ لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا زَكَاةُ عَامٍ وَاحِدٍ، لَكِنْ سَنَحَ الْخَاطِرُ بِالْأُولَى ثُمَّ أَجَابَ بِالثَّانِيَةِ فَجَرَى الْقَلَمُ بِهِمَا كذلك.
Mereka berkata: “Karena sesuatu yang tidak wajib dizakati sebelum ditujukan untuk pertumbuhan (namā’), maka tidak wajib dizakati, meskipun kemudian mengarah pada pertumbuhan, seperti properti (yang menghasilkan) ketika disewakan, dan hewan peliharaan ketika digunakan (untuk usaha). Maka ketika ‘urūḍ at-tijārah (barang dagangan) tidak wajib dizakati sebelum diniatkan untuk perdagangan, maka tidak wajib zakat padanya, meskipun telah diniatkan untuk perdagangan.”
Inilah dalil orang yang menggugurkan zakat perdagangan.
Adapun hujjah orang yang mewajibkan zakatnya sekali (dalam setahun), adalah bahwa ia berkata: “Tujuan dari perdagangan adalah memperoleh namā’ (pertumbuhan) melalui keuntungan, dan keuntungan hanya didapatkan apabila harga modal telah kembali. Maka wajiblah zakat untuk satu tahun saja, sebagaimana (zakat) buah-buahan.”
Mereka berkata: “Dan karena mewajibkan zakat padanya sebelum harga modal kembali adalah bentuk kasih sayang kepada orang miskin, tetapi merupakan tindakan yang merugikan pemilik harta, karena mereka (fakir miskin) menerima zakatnya sebelum pemiliknya menerima keuntungan dari hartanya. Padahal pokok-pokok zakat disyariatkan atas dasar keadilan antara orang miskin dan pemilik harta dalam sama-sama mendapat kemaslahatan.”
Maka semestinya petunjuk (dalil) ini lebih didahulukan dari yang itu, karena yang ini menunjukkan kewajiban menunda zakat sampai harga modal kembali, sedangkan yang itu menunjukkan bahwa jika modal telah kembali, tidak wajib kecuali zakat untuk satu tahun saja.
Namun, lintasan pikiran pertama terbesit pada dalil yang pertama, lalu dijawab dengan yang kedua, maka pena pun menulis keduanya sebagaimana adanya.
والدلالة على وجوب زكاة التجارة قَوْله تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أمْوَالِهِمْ صَدَقَةً) {التوبة: 103) {فِي أمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ) {المعارج: 24) وَأَمْوَالُ التِّجَارَةِ أعم الأموال فكانت أولى بالإيجاب، وقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ ” فَلَمَّا كَانَ مَانِعًا مِنَ الْحَقِّ فِي جَمِيعِ الْأَمْوَالِ دل على أن ما أثبت في الزكاة عاماً فِي جَمِيعِ الْأَمْوَالِ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ الْمُثْبَتَةَ مُسْتَثْنَاةٌ مِنَ الْحَقِّ الْمَنْفِيِّ.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” بَعَثَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مُصَّدِّقًا فَرَجَعَ شَاكِيًا مِنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَابْنِ جَمِيلٍ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ ظَلَمْتُمُوهُ لِأَنَّهُ حَبَسَ أَدْرُعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ” وَالْأَعْتُدُ: الْخَيْلُ، وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْأَدْرُعَ وَالْخَيْلَ لَا تَجِبُ فِيهَا زَكَاةُ العين فثبت أن الذي وجب فيها زَكَاةُ التِّجَارَةِ.
Dan dalil atas wajibnya zakat perdagangan adalah firman Allah Ta‘ala: {Ambillah zakat dari sebagian harta mereka} (QS at-Taubah: 103), {Pada harta mereka ada hak yang telah ditentukan} (QS al-Ma‘ārij: 24). Harta perdagangan adalah harta yang paling umum, maka lebih utama untuk diwajibkan zakat. Dan Nabi SAW bersabda: “Tidak ada hak dalam harta selain zakat.” Maka ketika beliau menafikan adanya hak pada seluruh harta selain zakat, menunjukkan bahwa apa yang telah ditetapkan dalam zakat itu berlaku umum pada seluruh harta, karena zakat yang ditetapkan merupakan pengecualian dari hak yang dinafikan.
Dan diriwayatkan bahwa Nabi SAW “mengutus ‘Umar bin al-Khaththab sebagai petugas zakat, lalu ia kembali mengadukan Khalid bin al-Walid, al-‘Abbās bin ‘Abd al-Muththalib, dan Ibnu Jamīl. Maka Nabi SAW bersabda: ‘Adapun Khalid, kalian telah menzhaliminya karena ia menahan baju besi dan kuda-kudanya untuk fī sabīlillāh (di jalan Allah).” al-a‘tud adalah kuda-kuda. Dan telah diketahui bahwa baju besi dan kuda tidak wajib dizakati sebagai zakat ‘ain (zat). Maka tetaplah bahwa yang wajib atasnya adalah zakat perdagangan.
وَرَوَى مَالِكُ بْنُ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ أَبُو ذَرٍّ فقال له: كيف خبرك يا أبا ذكر؟ فَقَالَ بِخَيْرٍ ثُمَّ قَامَ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ فَبَادَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ وَاحْتَوَشُوهُ وَكُنْتُ فِيمَنِ احْتَوَشَهُ فَقَالُوا لَهُ: حِدِّثْنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” فِي الْإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَقَرِ صَدَقَتُهَا وفي الغنم صدقتها وفي البز صدقته ” قاله بِالزَّاي مُعْجَمَةً وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْبَزَّ لَا تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْعَيْنِ فَثَبَتَ أَنَّ الْوَاجِبَ فِيهِ زكاة التجارة.
وَرَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ سَمُرَةَ عَنْ أَبِيهِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي يُعَدُّ لِلْبَيْعِ “.
Diriwayatkan dari Mālik bin Aws bin al-Ḥadathān, ia berkata: Aku berada di sisi ‘Utsmān bin ‘Affān RA, lalu Abu Dzarr masuk menemuinya. Maka ‘Utsmān berkata kepadanya: “Bagaimana kabarmu, wahai Abā Dzarr?” Ia menjawab: “Dalam keadaan baik.” Kemudian ia berdiri menuju salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, lalu orang-orang segera mendatanginya dan mengerumuninya, dan aku termasuk yang mengerumuninya. Mereka berkata kepadanya: “Ceritakanlah kepada kami dari Rasulullah SAW.” Maka ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: *‘Pada unta ada zakatnya, pada sapi ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya, dan pada al-bazz ada zakatnya.’” — beliau menyebutnya dengan huruf zāy yang berberita titik (zā’ mu‘jamah) — dan diketahui bahwa al-bazz tidak wajib zakat ‘ayn (zakat benda secara langsung), maka tetaplah bahwa yang wajib padanya adalah zakat perdagangan.
Dan diriwayatkan dari Sulaimān bin Samurah dari ayahnya, Samurah bin Jundub, ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan ṣadaqah dari barang yang disiapkan untuk dijual.”
وَرَوَى ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ عِرَاكِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فِي فَرَسِهِ صَدَقَةٌ إِلَّا زَكَاةُ التِّجَارَةِ “.
وَرَوَى الْحَكَمُ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْله تَعَالَى: {أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ) {البقرة: 267) قَالَ: زَكَاةُ التِّجَارَةِ، وَلِأَنَّ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ إِنَّمَا خُصَّا من بين سائر الجواهر بإيجاب الزكاة فيها لِإِرْصَادِهِمَا لِلنَّمَاءِ، وَطَرِيقُ النَّمَاءِ بِالتَّقَلُّبِ وَالتِّجَارَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْمَوْضُوعُ لِإِيجَابِ الزَّكَاةِ سَبَبًا لِإِسْقَاطِهَا، وَأَمَّا الدَّلَالَةُ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ لا يجب إخراج زكاتها إلا إذا نَضَّ ثَمَنُهَا، فَحَدِيثُ حِمَاسٍ قَالَ: ” مَرَرْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَعَلَى عنقي أدمة أحملها فقال: ألا تؤدي زكاتها يَا حِمَاسُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَا لِي غَيْرُ هَذِهِ وَأَهُبُّ فِي الْقُرْظِ فَقَالَ: ذاك مال فوضع فَوَضَعْتُهَا بَيْنَ يَدَيْهِ فَحَسَبَهَا، فَوَجَدَهَا قَدْ وَجَبَتْ فيها الزكاة، فأخذ منها الزكاة “، فَكَانَ فِي هَذَا الْخَبَرِ دَلِيلَانِ:
Dan Ibnu Lahī‘ah meriwayatkan dari ‘Irāk bin Mālik dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak ada kewajiban zakat atas seorang Muslim pada budaknya dan kudanya, kecuali zakat perdagangan.”
Dan al-Ḥakam meriwayatkan dari Mujāhid tentang firman Allah Ta‘ala: {Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik} (QS al-Baqarah: 267), ia berkata: itu adalah zakat perdagangan. Dan karena emas dan peraklah yang dikhususkan dari selain jenis batu berharga dengan kewajiban zakat padanya, karena keduanya disiapkan untuk pertumbuhan (al-namā’), dan jalan pertumbuhan adalah dengan perputaran dan perdagangan, maka tidaklah pantas sesuatu yang menjadi sebab kewajiban zakat justru menjadi alasan untuk menggugurkannya.
Adapun dalil bagi orang yang berpendapat bahwa zakatnya tidak wajib dikeluarkan kecuali jika telah dijual barangnya dan diterima harganya, maka adalah hadis Ḥimās. Ia berkata: “Aku melewati ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA sementara di pundakku ada udmah (kulit untuk dagangan) yang aku bawa, maka ia berkata: ‘Tidakkah engkau keluarkan zakatnya, wahai Ḥimās?’ Aku menjawab: ‘Wahai Amīr al-Mu’minīn, aku tidak memiliki selain ini dan aku berdagang dengannya secara qarḍ (piutang dagang).’ Maka ia berkata: ‘Itu adalah harta, maka keluarkan.’ Lalu aku meletakkannya di hadapannya, dan ia menghitungnya, lalu mendapati bahwa zakat telah wajib atasnya, maka ia mengambil zakat dari barang itu.” Maka dalam khabar ini terdapat dua dalil:
أَحَدُهُمَا: عَلَى وُجُوبِ زَكَاةِ التِّجَارَةِ.
وَالثَّانِي: عَلَى وُجُوبِ إِخْرَاجِهَا قَبْلَ أَنْ يَنِضَّ ثَمَنُهَا.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ عَلَيْهِ زَكَاتَهَا فِي كُلِّ عَامٍ، هُوَ أَنَّهُ مَالٌ يُعْتَبَرُ فِيهِ الْحَوْلُ فَوَجَبَ، أَنْ يُزَكَّى في كل حول كالفضة والذهب هذه دَلَالَةٌ عَلَى الْفَرِيقَيْنِ، وَلَوْلَا أَنَّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ أَصْلٌ مِنْ أُصُولِ الدِّيَانَاتِ لَاقْتَصَرْتُ عَلَى بَعْضِ هَذِهِ الدَّلَائِلِ، وَلَكِنْ لَيْسَ إِذَا قَلَّ أَنْصَارُ الْمُخَالِفِ وَضَعُفَ حِزْبُهُ مَا يَنْبَغِي أَنْ لَا يُوَفَّى الْعِلْمُ حَقَّهُ.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” ابْتَغُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا الصَّدَقَةُ ” فَهُوَ إِنَّمَا أَمْرٌ بِالتِّجَارَةِ لِيَكُونَ مَا يَعُودُ مِنْ رِبْحِهَا خَلَفًا عَمَّا خَرَجَ مِنْ زَكَاتِهَا، وَلَمْ يَأْمُرْ بِهَا لِإِسْقَاطِ زَكَاتِهَا، إِذْ لَيْسَ مِنْ شَأْنِهِ أَنْ يَأْمُرَ بِمَا يُسْقِطُ لِلَّهِ تَعَالَى حَقًّا أَوْ يُبْطِلُ لَهُ سُبْحَانَهُ وَاجِبًا.
Pertama: (dalil) atas wajibnya zakat perdagangan.
Kedua: atas wajibnya mengeluarkan zakatnya sebelum harga (modal) kembali.
Dan dalil yang menunjukkan bahwa wajib atasnya zakat setiap tahun adalah bahwa ia merupakan harta yang diperhitungkan ḥaul-nya, maka wajib dizakati setiap tahun, seperti perak dan emas. Ini adalah dalil yang mencakup dua kelompok (ulama).
Dan kalau bukan karena masalah ini merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok agama, niscaya aku cukupkan dengan sebagian dalil-dalil ini. Tetapi, tidak selayaknya—hanya karena sedikitnya pendukung pihak yang menyelisihi dan lemahnya barisan mereka—lalu ilmu tidak ditunaikan haknya.
Adapun jawaban atas sabdanya: “Carikanlah keuntungan pada harta anak yatim agar tidak dimakan oleh zakat,” maka itu hanyalah perintah untuk diperdagangkan agar keuntungan yang kembali dari perniagaannya dapat menjadi pengganti dari zakat yang keluar darinya. Dan beliau tidak memerintahkan (perdagangan itu) untuk menggugurkan zakatnya. Karena bukanlah kebiasaan beliau memerintahkan sesuatu yang akan menggugurkan hak Allah Ta‘ala atau membatalkan kewajiban-Nya SWT.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” عَفَوْتُ لَكُمْ عَنْ صَدَقَةِ الْخَيْلِ والرقيق ” فلسنا نوجب الصدقة فيها وَإِنَّمَا نُوجِبُهَا فِي قِيمَتِهَا عَلَى أَنَّ عِرَاكَ بْنَ مَالِكٍ قَدِ اسْتَثْنَى فِي حَدِيثِهِ زَكَاةَ التِّجَارَةِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهَذَا الْحَدِيثِ مَا لَمْ يَكُنْ لِلتِّجَارَةِ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ مَا وَجَبَتْ زَكَاتُهُ فَالزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ دُونَ قِيمَتِهِ قُلْنَا: الزَّكَاةُ وَجَبَتْ فِي الْقِيمَةِ دُونَ الْعَيْنِ، وَإِخْرَاجُهَا مِنَ الْقِيمَةِ دُونَ الْعَيْنِ فَمَا وَجَبَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ فَمِنْهُ يُؤَدَّى لَا مِنْ غَيْرِهِ، وَلَيْسَ إِذَا لَمْ تَجِبِ فِي الْعَيْنِ يَقْتَضِي أَنْ لَا تَجِبَ فِي الْقِيمَةِ، هَذَا مِمَّا لَا يُرْجَعُ فِيهِ إلى أصل، ولا يعتبر بنظير ولا يقصد بِدَلِيلٍ، فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ حُجَّةٌ عَلَى أَنَّ الْقِيمَةَ عَيْنٌ، وَالزَّكَاةُ فِيهَا وَجَبَتْ.
Adapun sabda beliau: “Aku telah menggugurkan dari kalian zakat kuda dan budak,” maka kami tidak mewajibkan zakat pada zat kuda dan budak tersebut. Kami hanya mewajibkannya atas nilainya (yakni bila sebagai barang dagangan). Dan sesungguhnya ‘Irāk bin Mālik telah mengecualikan dalam hadisnya: zakat perdagangan, maka hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam hadis ini adalah (kuda dan budak) yang bukan untuk tujuan perdagangan.
Adapun ucapan mereka: Sesungguhnya sesuatu yang wajib dizakati, maka zakatnya adalah pada zat (barang)-nya, bukan pada nilainya — maka kami katakan: zakat itu wajib atas nilainya, bukan pada zatnya, dan pengeluarannya pun dari nilainya, bukan dari zatnya. Maka sesuatu yang wajib dizakati, zakatnya dikeluarkan darinya (yakni dari jenis harta itu: nilai), bukan dari selainnya. Dan tidaklah ketika zakat tidak diwajibkan pada zatnya, itu berarti tidak wajib pula pada nilainya — ini adalah hal yang tidak bisa dikembalikan pada asal mana pun, tidak bisa diqiyaskan dengan yang semisal, dan tidak bisa ditunjukkan dengan dalil. Maka tidak ada padanya hujjah bahwa nilai itu sama dengan ‘ain, dan zakat itu wajib atasnya.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ مَا فِيهِ الزَّكَاةُ لَا تَأْثِيرَ لِلنِّيَّةِ فِيهِ قُلْنَا: لَيْسَتِ النِّيَّةُ مُسْقِطَةً، وَلَا مُوجِبَةً، وَإِنَّمَا إِرْصَادُهُ لِلنَّمَاءِ بِالتِّجَارَةِ مُوجِبٌ لِزَكَاتِهِ، كَمَا أَنَّ إِرْصَادَ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ لِلتَّحَلِّي بِهِ مُسْقِطٌ لِزَكَاتِهِ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَالَ: إِنَّ النِّيَّةَ فِي الْحُلِيِّ مُسْقِطَةٌ لِزَكَاتِهِ كَذَلِكَ لَا يُقَالُ: إِنَّ النِّيَّةَ فِي التِّجَارَةِ مُوجِبَةٌ لِزَكَاتِهِ.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ مَا لَا زَكَاةَ فِيهِ قَبْلَ إِرْصَادِهِ لِلنَّمَاءِ، فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، وَإِنْ أُرْصِدَ لِلنَّمَاءِ فَفَاسِدٌ بِالْحُلِيِّ لَا زَكَاةَ فِيهِ، وَإِذَا أُرْصِدَ لِلنَّمَاءِ، فَفِيهِ الزَّكَاةُ وَالْمَاشِيَةُ الْمَعْلُوفَةُ لَا زَكَاةَ فِيهَا، وَلَوْ أُرْصِدَتْ لِلنَّمَاءِ بِالسَّوْمِ، وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَبَرَ مَا أُرْصِدَ لِلنَّمَاءِ بِمَا لَمْ يُرْصَدْ لَهُ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ بِإِرْصَادِهِ لِلنَّمَاءِ وتسقط بفقده، وسائر الْأُصُولِ يَشْهَدُ بِهِ.
Adapun ucapan mereka: “Sesungguhnya pada sesuatu yang wajib dizakati, niat tidak berpengaruh padanya” — maka kami katakan: niat bukanlah sesuatu yang menggugurkan zakat, dan bukan pula yang mewajibkannya. Yang mewajibkan zakat adalah ketika harta itu ditujukan untuk namā’ (pertumbuhan) melalui perdagangan, sebagaimana perak dan emas apabila ditujukan untuk perhiasan maka itu menggugurkan zakat darinya.
Maka ketika tidak sah untuk dikatakan bahwa niat pada perhiasan menggugurkan zakatnya, demikian pula tidak boleh dikatakan bahwa niat pada perdagangan mewajibkan zakatnya.
Adapun ucapan mereka: “Bahwa sesuatu yang tidak ada zakatnya sebelum ditujukan untuk namā’, maka tidak ada zakat padanya, dan apabila ditujukan untuk namā’, maka ada zakat padanya” — maka itu rusak bila diukur dengan perhiasan, karena tidak ada zakat padanya, dan jika ditujukan untuk namā’ tetap tidak ada zakat.
Sementara hewan peliharaan yang diberi makan (ma’lūfah) tidak ada zakat padanya, dan jika ditujukan untuk namā’ dengan digembalakan (as-saum), maka wajib zakat atasnya.
Dengan ketentuan bahwa tidak boleh memperlakukan sesuatu yang ditujukan untuk namā’ sama dengan yang tidak ditujukan untuk itu, karena zakat diwajibkan dengan ditujukannya kepada namā’, dan gugur ketika tidak demikian.
Dan seluruh kaidah zakat menunjukkan hal itu.
وَأَمَّا مَنْ مَنَعَ مِنْ إِخْرَاجِ زَكَاتِهَا قَبْلَ أَنْ يَنُضَّ ثَمَنُهَا اعْتِبَارًا بِالثَّمَرَةِ، فَفَاسِدٌ بِمَا نَضَّ مِنْ ثَمَنِهَا قَبْلَ الْحَوْلِ وَمَا ذَكَرَهُ مِنِ ارْتِفَاقِ الْمَسَاكِينِ قَبْلَ رَبِّهِ، وَلَوْ كَانَ هَذَا مُعْتَبَرًا فِيمَا لَهُ حَوْلٌ لَمُنِعَ الْمَالِكُ مِنْ تَعْجِيلِ الِارْتِفَاقِ قَبْلَ الْمَسَاكِينِ، فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَتَعَجَّلَ الِارْتِفَاقَ بِرِبْحِ مَا حَصَّلَ قَبْلَ الْحَوْلِ، وَإِنْ لَمْ يَرْتَفِقِ المساكين بمثله جاز أن يتعجل المساكين مَا لَمْ يَنُضَّ ثَمَنُهُ، وَلَمْ يُحَصَّلْ رِبْحُهُ، وَإِنْ لَمْ يَرْتَفِقِ الْمَالِكُ بِمِثْلِهِ وَهَذَا جَوَابٌ عن الدلالتين معاً.
Adapun orang yang melarang mengeluarkan zakatnya sebelum harga (barang dagangan) itu cair dengan alasan menganalogikan dengan buah-buahan, maka itu batil — karena ada yang telah cair harganya sebelum genap haul (satu tahun), dan apa yang ia sebutkan tentang kemaslahatan kaum miskin sebelum pemiliknya, maka itu pun tidak sah. Seandainya hal ini dianggap dalam harta yang memiliki haul, tentu pemilik harta tidak boleh mendahulukan kemaslahatannya sebelum kaum miskin.
Maka ketika dibolehkan pemilik harta untuk mendahulukan manfaat dari keuntungan yang diperoleh sebelum genap setahun, meskipun kaum miskin belum memperoleh manfaat darinya, maka dibolehkan pula kaum miskin untuk memperoleh manfaat lebih awal dari harta yang belum cair harganya dan belum didapatkan keuntungannya, meskipun pemilik harta belum memperoleh manfaat dari harta semisalnya.
Dan ini merupakan jawaban bagi dua dalil sekaligus.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا اتَّجَرَ فِي مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَصَارَتْ ثلاثمائةٍ قَبْلَ الْحَوْلِ ثُمَّ حَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ زَكَّى الْمِائَتَيْنِ لِحَوْلِهَا وَالْمِائَةَ الَّتِي زَادَتْ لِحْولِهَا وَلَا يضم ما ربح إليها لأنه ليس منها وإنما صرفها في غيرها ثم باع ما صرفها فيه ولا يشبه أن يَمْلِكُ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ يَشْتَرِي بها عرضاً للتجارة فيحول الحول والعرض في يديه فيقوم العرض بزيادته أو بنقصه لأن الزكاة حينئذٍ تحولت في العرض بنية التجارة وصار العرض كالدراهم يحسب عليها لحولها فإذا نص ثمن العرض بعد الحول أخذت الزكاة من ثمنه بالغاً ما بلغ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: صُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ اشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ ثُمَّ بَاعَهُ بِثَلَاثِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ.
Masalah:
Asy-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang berdagang dengan dua ratus dirham, lalu menjadi tiga ratus sebelum genap satu tahun, kemudian genap satu tahun atasnya, maka ia menzakati dua ratus dirham karena haul-nya, dan seratus dirham yang bertambah karena haul-nya sendiri. Dan tidak digabungkan keuntungan itu dengan yang sebelumnya, karena ia bukan bagian darinya, melainkan telah dialihkan kepada selainnya, kemudian ia menjual sesuatu yang telah ia alihkan kepadanya. Maka hal ini tidak seperti seseorang yang memiliki dua ratus dirham selama enam bulan lalu ia membelikan barang dagangan dengannya, kemudian genap haul sementara barang dagangan masih di tangannya, lalu barang tersebut dinilai apakah bertambah atau berkurang, karena zakat saat itu berpindah kepada barang tersebut dengan niat perdagangan, dan barang tersebut menjadi seperti dirham yang dihitung haul-nya. Maka apabila harga barang itu stabil setelah haul, maka zakat diambil dari nilainya, berapa pun jumlahnya.”
Al-Mawardi berkata:
Gambaran masalah ini adalah: seseorang membeli barang dagangan dengan dua ratus dirham, kemudian ia menjualnya seharga tiga ratus dirham. Maka kasus ini terbagi menjadi dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبِيعَهُ مَعَ حُلُولِ الْحَوْلِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَبِيعَهُ فِي تَضَاعِيفِ الْحَوْلِ، فَإِنْ بَاعَهُ مَعَ حُلُولِ الْحَوْلِ، فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.
أَحَدُهَا: أَنْ يَبِيعَهُ بِثَمَنِ مِثْلِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يزكي الأصل، والربح فيخرج زكاة ثلاثمائة، لا يَسْتَأْنِفُ لِلرِّبْحِ حَوْلًا بَلْ يَكُونُ تَبَعًا لَا يَخْتَلِفُ سَوَاءٌ ظَهَرَ الرِّبْحُ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ، أو في آخره، لأنه نما أَصْلِهِ، فَضُمَّ إِلَيْهِ فِي حَوْلِهِ كَالسِّخَالِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَبِيعَهُ بِأَقَلَّ مِنْ ثَمَنِ مِثْلِهِ أو يحابى أو يغين بِمَا لَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِهِ، كَأَنَّهُ كَانَ يُسَاوِي أَرْبَعَمِائَةٍ فَبَاعَهُ بِثَلَاثِمِائَةٍ لِمُحَابَاةٍ، أَوْ غَبْنَةٍ فَعَلَيْهِ زَكَاةُ أَرْبَعِمِائَةٍ، لِأَنَّهُ أَتْلَفَ حَقَّ الْمَسَاكِينِ فَلَزِمَهُ ضَمَانُهُ.
Pertama: ia menjualnya ketika datang waktu haul.
Kedua: ia menjualnya di tengah-tengah tahun sebelum haul.
Jika ia menjualnya saat datang haul, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:
Bagian pertama: ia menjualnya dengan harga sepadan, maka wajib atasnya mengeluarkan zakat dari modal dan keuntungannya. Ia mengeluarkan zakat dari tiga ratus (jika modalnya dua ratus dan keuntungannya seratus). Tidak memulai haul baru untuk keuntungan tersebut, melainkan menjadi pengikut (dari modal), tidak berbeda — baik keuntungannya muncul sepanjang tahun atau di akhirnya — karena keuntungan itu merupakan pertumbuhan dari modalnya, maka digabungkan ke dalam haul-nya seperti halnya anak-anak hewan (yang mengikuti induknya dalam hitungan zakat).
Bagian kedua: ia menjualnya dengan harga di bawah nilai semestinya, atau ia bermurah hati, atau mengalami kerugian dengan harga yang tidak lazim, seperti barang itu seharusnya seharga empat ratus namun ia jual dengan tiga ratus karena memihak, atau karena tertipu. Maka ia tetap wajib mengeluarkan zakat dari empat ratus, karena ia telah merusak hak kaum miskin, maka wajib baginya menanggungnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَبِيعَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ مِثْلِهِ كَأَنَّهُ كَانَ يُسَاوِي مِائَتَيْنِ فباعه بثلاث مائة إما لرغبة أو غشه فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يُزَكِّي جَمِيعَ الثَّمَنِ وَيُخْرِجُ زَكَاةَ ثَلَاثِمِائَةٍ لِأَنَّهُ أَفَادَ الزَّكَاةَ بِالْعَرَضِ، كَمَا لَوْ أَفَادَهَا بِزِيَادَةِ الْقِيمَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا زَكَاةَ فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْقِيمَةِ، وَيَسْتَأْنِفُ بِهَا الْحَوْلَ كَالْمَالِ الْمُسْتَفَادِ فَهَذَا الْحُكْمُ فِي بَيْعِ الْعَرَضِ عِنْدَ دُخُولِ الْحَوْلِ.
Dan bagian ketiga: yaitu apabila ia menjualnya dengan harga lebih tinggi dari nilai sebenarnya — seperti barang itu bernilai dua ratus dirham namun dijual seharga tiga ratus dirham, baik karena ada pembeli yang sangat berminat atau karena penipuan — maka terdapat dua wajah (pendapat):
Pertama: ia wajib menzakati seluruh harga jualnya, dan mengeluarkan zakat atas tiga ratus dirham, karena ia mendapatkan kewajiban zakat dari barang tersebut, sebagaimana jika ia mendapatkannya dari kenaikan nilai barang.
Wajah kedua: tidak ada zakat pada kelebihan dari nilai wajar, dan ia memulai haul yang baru untuk kelebihan itu, sebagaimana harta yang diperoleh (al-māl al-mustafād). Maka ini adalah hukum mengenai penjualan barang dagangan saat masuknya haul.
فَصْلٌ
: وَإِنْ بَاعَهُ فِي تَضَاعِيفِ الْحَوْلِ، وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ، فَالْكَلَامُ فِيهَا يَتَعَلَّقُ بِالْمِائَةِ الزَّائِدَةِ، هَلْ يَسْتَأْنِفُ لَهَا الْحَوْلُ مِنْ وَقْتِ حُصُولِهَا أَوْ يَبْنِي حَوْلَهَا على حول أصلها؟ فقال الشافعي ها هنا: ” يَسْتَأْنِفُ لَهَا الْحَوْلَ وَلَا تُضَمُّ إِلَى أَصْلٍ ” وَقَالَ فِي كِتَابِ ” الْقِرَاضِ ” مَا يَقْتَضِي أَنَّهَا تُضَمُّ إِلَى الْأَصْلِ لِأَنَّهُ قَالَ: ” وَإِذَا قَارَضَهُ بِأَلْفٍ فَاشْتَرَى سِلْعَةً فَحَالَ الْحَوْلُ، وَهِيَ تَسْوِي أَلْفَيْنِ ” فَفِيهَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ زَكَاةَ الْجَمِيعِ عَلَى رَبِّ الْمَالِ.
PASAL
Dan jika ia menjualnya di tengah-tengah tahun (fi taḍā‘īf al-ḥawl) — inilah masalah yang dibahas dalam kitab — maka pembahasannya berkaitan dengan seratus tambahan (yakni keuntungan), apakah harus dimulai haul baru dari waktu diperolehnya keuntungan tersebut, ataukah haul-nya mengikuti haul dari modal asalnya?
Imam al-Syafi‘i berkata di sini: “Dimulai haul baru untuknya, dan tidak digabungkan ke dalam modal.”
Namun beliau berkata dalam kitab al-Qirāḍ sesuatu yang menunjukkan bahwa keuntungan tersebut digabungkan ke dalam modal, karena beliau berkata: “Jika seseorang memberikan seribu sebagai modal qirāḍ, lalu dibelikan barang dagangan, kemudian genap haul dan nilai barang tersebut menjadi dua ribu,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: bahwa zakat seluruhnya atas tanggungan pemilik modal.
وَالثَّانِي: أَنَّ زَكَاةَ رَأْسِ الماس وَحِصَّتَهُ مِنَ الرِّبْحِ عَلَى رَبِّ الْمَالِ – إِلَى آخِرِ الْفَصْلِ – فَكَانَ هَذَا الْقَوْلُ دَلِيلًا عَلَى ضَمِّ الزِّيَادَةِ إِلَى الْأَصْلِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ.
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَالَّذِي قَالَهُ هُنَا إِنَّهُ يَسْتَأْنِفُ بِالزِّيَادَةِ الْحَوْلَ، وَلَا يَضُمُّهَا إِلَى الْأَصْلِ هُوَ إِذَا ظَهَرَتِ الزِّيَادَةُ وَقْتَ الْبَيْعِ، وَالَّذِي قَالَهُ فِي الْقِرَاضِ إِنَّهَا تُضَمُّ إِلَى الْأَصْلِ وَلَا يَسْتَأْنِفُ لَهَا الحول إِذَا ظَهَرَتِ الزِّيَادَةُ، وَقْتَ الشِّرَاءِ فَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ لِاخْتِلَافِ الْحَالَيْنِ فِي ظُهُورِ الزِّيَادَةِ.
Dan pendapat kedua: bahwa zakat atas modal pokok dan bagian keuntungannya adalah tanggung jawab pemilik harta — hingga akhir pasal — maka pendapat ini menjadi dalil atas penggabungan tambahan (keuntungan) dengan pokok harta.
Maka para sahabat kami berselisih dalam tiga mazhab:
Pertama: yaitu pendapat Abul ‘Abbās Ibn Surayj, bahwa masalah ini tergantung pada perbedaan dua keadaan. Maka ucapan beliau di sini bahwa haul dimulai kembali untuk tambahan dan tidak digabungkan dengan pokok, adalah dalam kondisi ketika tambahan itu baru tampak saat penjualan.
Adapun ucapan beliau dalam masalah al-qirāḍ (mudharabah) bahwa tambahan digabungkan ke pokok dan tidak dimulai haul baru untuknya, adalah dalam kondisi ketika tambahan itu telah tampak saat pembelian.
Maka perbedaan ucapan beliau disebabkan oleh perbedaan dua keadaan dalam kemunculan tambahan.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ يَسْتَأْنِفُ بِالزِّيَادَةِ الْحَوْلَ وَلَا يَضُمُّهَا إِلَى الْأَصْلِ قَوْلًا وَاحِدًا سَوَاءٌ ظَهَرَتْ وَقْتَ الشِّرَاءِ أَوْ وَقْتَ الْبَيْعِ وَهُوَ مَا نص عليه ها هنا، وَمَا قَالَهُ فِي ” الْقِرَاضِ ” مُوَافِقٌ لِهَذَا، لِأَنَّهُ قال: ” يزكي رأس المال أو ربحه إِذَا حَالَ الْحَوْلُ ” يَعْنِي: كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَحَوْلُ الرِّبْحِ مِنْ يَوْمِ نَضَّ، وَحَوْلُ رَأْسِ الْمَالِ مِنْ يَوْمِ مُلِكَ، وَهَذَا أَشْبَهُ بِتَأْوِيلِ قوله:
والمذهب الثاني: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيِّ وَأَبِي إِسْحَاقَ المروزي: إذ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Dan mazhab kedua — yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah — adalah bahwa untuk tambahan (keuntungan) harus dimulai haul baru, dan tidak digabungkan ke dalam modal, menurut satu pendapat, baik tambahan itu muncul saat pembelian atau saat penjualan. Inilah yang dinashkan oleh Imam al-Syafi‘i di sini.
Apa yang beliau katakan dalam al-Qirāḍ juga sesuai dengan hal ini, karena beliau berkata: “Ia mengeluarkan zakat dari modal pokok atau dari keuntungannya jika telah berlalu satu haul,” maksudnya: masing-masing dari keduanya memiliki haul tersendiri — haul keuntungan dihitung sejak ia cair (naḍḍ), dan haul modal dihitung sejak dimiliki.
Dan ini lebih sesuai dengan penakwilan terhadap perkataannya.
Mazhab kedua — dan ini adalah pendapat Abū al-Qāsim al-Anmāṭī dan Abū Isḥāq al-Marwazī — menyatakan bahwa masalah ini memang ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: أَنْ تُضَمَّ الزِّيَادَةُ إِلَى الْأَصْلِ وَلَا يَسْتَأْنِفَ لَهَا الْحَوْلَ عَلَى مَا قَالَهُ فِي الْقِرَاضِ، وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَاخْتِيَارِ الْمُزَنِيِّ، لِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ ضَمُّ الزِّيَادَةِ إِلَى الْأَصْلِ إِذَا وُجِدَتْ عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ وَجَبَ أَنْ تُضَمَّ إِلَى الْأَصْلِ، وَإِنْ وُجِدَتْ فِي تَضَاعِيفِ الْحَوْلِ، لِأَنَّهَا فِي كُلِّ الْحَالَيْنِ مِنْ نَمَاءِ الْأَصْلِ.
salah satunya: bahwa tambahan itu digabungkan ke pokok, dan tidak dimulai haul (perhitungan satu tahun) yang baru untuknya, sebagaimana yang dikatakannya dalam al-qirāḍ, dan inilah pendapat Abū Ḥanīfah serta pilihan al-Muzanī, karena ketika wajib menggabungkan tambahan ke pokok apabila ditemukan saat jatuh tempo haul, maka wajib pula menggabungkannya ke pokok meskipun ditemukan di pertengahan haul, karena dalam kedua keadaan itu, tambahan tersebut merupakan bagian dari pertumbuhan pokok.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَسْتَأْنِفُ لَهَا الْحَوْلَ وَلَا تُضَمُّ إِلَى الْأَصْلِ عَلَى ما قاله ها هنا لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا زكاة في مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” وَلِأَنَّهَا زِيَادَةٌ حَصَلَتْ بِاجْتِلَابِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ لَهَا الْحَوْلَ كَالْمُسْتَفَادِ بِمَغْنَمٍ أَوْ هِبَةٍ، والقول الأول أصح، لأنها عندي إذا أضمت الزِّيَادَةُ الْمَوْجُودَةُ عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ فَهَلَّا ضُمَّتِ الزِّيَادَةُ الْمَوْجُودَةُ فِي تَضَاعِيفِهِ، إِذْ هُمَا سَوَاءٌ لا فرق بينهما ومن تكلف الفرق بينهما كان فرقه واهياً وتكلفه عماء، فلو اشترى عرضاً بمائتي درهم ثم باعه بعد ستة اشهر بثلاثمائة درهم، ثم اشترى بالثلاثمائة عرضاً ثم باعه بعد شهر بأربعمائة، فإن قيل تضم المائة الحاصلة إلى أصله بالربح الأول ضمت المائة الحاصلة بالربح الثاني، فإذا حال حول المائتين أخرج زكاة أربعمائة.
dan pendapat kedua: wajib memulai haul baru untuk tambahan tersebut dan tidak digabungkan ke pokok, sebagaimana yang dikatakannya di sini, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya satu haul,” dan karena tambahan itu diperoleh melalui usaha mendatangkan (modal baru), maka wajib memulai haul baru untuknya seperti harta yang diperoleh dari ghanimah atau hibah.
Namun pendapat pertama lebih kuat, karena menurutku jika tambahan yang ada saat masuk waktu haul digabungkan dengan pokoknya, maka mengapa tambahan yang terjadi di tengah-tengah haul tidak digabungkan pula, padahal keduanya sama saja, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Barang siapa yang memaksakan adanya perbedaan antara keduanya, maka perbedaannya lemah dan pemaksaan itu adalah kebutaan.
Seandainya seseorang membeli barang dagangan seharga dua ratus dirham, kemudian menjualnya setelah enam bulan dengan harga tiga ratus dirham, lalu membeli lagi barang dagangan dengan tiga ratus dirham tersebut, lalu menjualnya setelah sebulan dengan harga empat ratus dirham, maka jika dikatakan bahwa seratus dirham dari keuntungan pertama digabungkan dengan pokok, maka seratus dirham dari keuntungan kedua pun harus digabungkan. Maka apabila haul dua ratus dirham itu telah sempurna, ia mengeluarkan zakat dari empat ratus dirham.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَى عَرْضًا لِلتِّجَارَةِ بعرضٍ فَحَالَ الْحَوْلُ عَلَى عَرْضِ التِّجَارَةِ قُوِّمَ بِالْأَغْلَبِ مِنْ نَقْدِ بلده دنانير أو دراهم وإنما قومته بالأغلب لأنه اشتراه للتجارة بعرضٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا اشْتَرَى عَرْضًا لِلتِّجَارَةِ بدراهم أو دنانير أو ماشية وما أشبه فِيهَا الزَّكَاةَ، فَيَأْتِي مَسْطُورًا فِيمَا بَعْدُ وَأَمَّا إن اشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِعَرَضٍ لِلْقِنْيَةِ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَفِيهِ الزَّكَاةُ إِذَا حَالَ حَوْلُهُ.
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا زَكَاةَ فِيهِ اعْتِبَارًا بِأَصْلِهِ.
MASALAH: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seandainya seseorang membeli barang dagangan dengan barang, lalu haul berlalu atas barang dagangan tersebut, maka dinilai (harganya) dengan yang lebih dominan dari mata uang negerinya, apakah dinar atau dirham. Penilaian dilakukan dengan yang dominan karena ia membelinya untuk perdagangan dengan barang.”
Al-Māwardī berkata: Adapun jika seseorang membeli barang dagangan dengan dirham, dinar, hewan ternak, atau semisalnya yang wajib dizakati, maka akan disebutkan rinciannya setelah ini. Adapun jika ia membeli barang dagangan dengan barang qinyah (untuk pemilikan pribadi, bukan niaga), yaitu masalah dalam kitab ini, maka padanya ada zakat bila telah berlalu haulnya.
Dan Mālik berkata: Tidak ada zakat padanya, dengan mempertimbangkan asal barangnya.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِ زَكَاتِهِ قَوْلُ سَمُرَةَ: ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَأْمُرُنَا بِإِخْرَاجِ الصَّدَقَةِ مِنَ الَّذِي يُعَدُّ لِلْبَيْعِ “، وَلِأَنَّهُ مَالٌ اشْتَرَاهُ لِلتِّجَارَةِ، فَوَجَبَ أَنْ تَجِبَ زَكَاتُهُ كَمَا إِذَا اشْتَرَاهُ بِنَاضٍّ مِنْذَهَبٍ أَوْ وَرَقٍ، فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ زَكَاتِهِ قُوِّمَ بَعْدَ حَوْلِهِ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ فِي مِثْلِ ذَلِكَ الْعَرَضِ فِي وَقْتِ تَقْوِيمِهِ لَا فِي وَقْتِ ابْتِيَاعِهِ، فَإِنْ كَانَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ دَرَاهِمَ قَوَّمَهُ بِالدَّرَاهِمِ، وَإِنْ كَانَ دَنَانِيرَ قَوَّمَهُ بِالدَّنَانِيرِ، لِأَنَّهُ لَا أَصْلَ لَهُ يَقُومُ به، لكان أَوْلَى الْأُمُورِ تَقْوِيمَهُ بِغَالِبِ النَّقْدِ فِي مِثْلِهِ، فَإِنْ لَمْ تَبْلُغْ قِيمَتُهُ بِالْغَالِبِ نِصَابًا وَبَلَغَ بِغَيْرِ الْغَالِبِ نِصَابًا فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، لِأَنَّ غَيْرَ الْغَالِبِ فِي حُكْمِ الْمَعْدُومِ فَإِنْ كَانَ نَقْدُ الْبَلَدِ بِهِمَا وَاحِدًا، وَلَمْ يَكُنْ أَحَدُهُمَا غَالِبًا، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَرَضِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
dan dalil atas wajibnya zakat pada barang tersebut adalah sabda Samurah: “Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah dari barang yang disiapkan untuk dijual,” dan karena ia adalah harta yang dibeli untuk tujuan perdagangan, maka wajib dizakati sebagaimana jika dibeli dengan uang tunai berupa emas atau perak.
Jika telah ditetapkan wajibnya zakat atasnya, maka barang tersebut ditaksir setelah genap haul-nya dengan mata uang yang berlaku di negeri itu pada jenis barang semisalnya pada waktu penaksiran, bukan pada waktu pembeliannya. Jika mata uang yang berlaku di negeri itu adalah dirham, maka ia ditaksir dengan dirham. Jika yang berlaku adalah dinar, maka ia ditaksir dengan dinar, karena ia tidak memiliki nilai pokok yang tetap sebagai dasar penaksiran, maka hal yang paling utama adalah menaksir dengan mata uang yang lazim dalam barang semisalnya.
Jika nilainya dengan mata uang yang lazim tidak mencapai niṣab, namun dengan mata uang lain (yang tidak lazim) mencapai niṣab, maka tidak wajib zakat, karena mata uang yang tidak lazim dihukumi seperti tidak ada.
Namun jika mata uang di negeri itu terdiri dari dua jenis dan tidak ada salah satu yang lebih dominan, maka keadaan barang dagangan tidak lepas dari empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بِأَيِّهِمَا قُوِّمَ لَمْ يَبْلُغْ نِصَابًا فَلَا زَكَاةَ فِيهِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَبْلُغَ قِيمَتُهُ بِالدَّرَاهِمِ نِصَابًا وَبِالدَّنَانِيرِ لَا تَبْلُغُ نِصَابًا فَيُقَوَّمُ بِالدَّرَاهِمِ وَتُخْرَجُ زَكَاتُهُ. وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَبْلُغَ قِيمَتُهُ بِالدَّنَانِيرِ نِصَابًا وَبِالدَّرَاهِمِ لا تبلغ نصاباً فتقوم الدنانير وتخرج زَكَاتُهُ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: لَا يُقَوَّمُ بِالدَّنَانِيرِ وَلَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، إِلَّا أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ تَطَوُّعًا وَسَنَذْكُرُ وَجْهَ قَوْلِهِ.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ تَبْلُغَ قِيمَتُهُ بِالدَّرَاهِمِ نِصَابًا وَبِالدَّنَانِيرِ نِصَابًا، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا بِأَيِّهِمَا يُقَوَّمُ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
Salah satunya: apabila dengan penilaian salah satu dari keduanya tidak mencapai niṣāb, maka tidak ada zakat padanya.
Bagian kedua: apabila nilainya dengan dirham mencapai niṣāb, tetapi dengan dinar tidak mencapai niṣāb, maka dinilai dengan dirham dan zakatnya dikeluarkan.
Bagian ketiga: apabila nilainya dengan dinar mencapai niṣāb, tetapi dengan dirham tidak mencapai niṣāb, maka dinilai dengan dinar dan zakatnya dikeluarkan. Sebagian dari para sahabat kami berkata: tidak dinilai dengan dinar dan tidak wajib zakat padanya, kecuali jika ia melakukannya secara sukarela. Kami akan sebutkan alasan pendapat ini.
Bagian keempat: apabila nilainya dengan dirham mencapai niṣāb, dan dengan dinar juga mencapai niṣāb, maka para sahabat kami berbeda pendapat dengan mata uang mana ia dinilai, menjadi tiga mazhab:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: هُوَ بِالْخِيَارِ بِأَيِّهِمَا شَاءَ قَوَّمَهُ، لِأَنَّهُ لَا مَزِيَّةَ لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُقَوَّمُ بِالدَّرَاهِمِ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ اسْتِعْمَالًا وَأَنْفَعُ لِلْمَسَاكِينِ، وَلِأَنَّ زكاتها مأخوذة بالنض وَزَكَاةُ الذَّهَبِ بِاجْتِهَادٍ لَا بِنَصٍّ، وَذَاكَ الْوَجْهُ الْمُخَرَّجُ فِي الْقِسْمِ الثَّالِثِ مِنْ هَذَا.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: يُقَوِّمُهُ بِأَحَظِّهِمَا لِلْمَسَاكِينِ وَأَنْفَعِهِمَا لَأَهِلِ السُّهْمَانِ.
Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa orang tersebut boleh memilih, dengan salah satu dari keduanya (dirham atau dinar) ia menaksir nilai barang, karena tidak ada kelebihan salah satu atas yang lain.
Pendapat kedua: ditaksir dengan dirham karena lebih sering digunakan dan lebih bermanfaat bagi para miskin, dan karena zakatnya diambil dalam bentuk tunai (naḍḍ), sementara zakat emas berdasarkan ijtihād, bukan berdasarkan nash. Dan ini adalah pendapat yang disebutkan dalam bagian ketiga dari masalah ini.
Pendapat ketiga: ia menaksirnya dengan yang paling menguntungkan bagi para miskin dan paling bermanfaat bagi para penerima zakat.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُخْرِجُ زَكَاتَهُ مِنَ الَّذِي قَوَّمَ بِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَا يُقَوِّمُهُ بِهِ، فَأَمَّا مَا يُخْرِجُهُ فِي زَكَاتِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهِ، عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:
أَحَدُهَا: ذَكَرَهُ فِي الْقَدِيمِ إنَّهُ يُخْرِجُ رُبُعَ عُشْرِ الْعَرَضِ حَتْمًا لَا يَعْدِلُ إِلَى غَيْرِهِ لِأَنَّ سَمُرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَأْمُرُنَا بِإِخْرَاجِ الصَّدَقَةِ مِنَ الَّذِي يُعَدُّ لِلْبَيْعِ ” وَإِذَا أَمَرَ بِالْإِخْرَاجِ مِنْهُ لَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ عَنْهُ وَلِأَنَّهُ مَالٌ مُزَكًّى فَوَجَبَ أَنْ تُخْرَجَ زَكَاتُهُ مِنْهُ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: ذَكَرَهُ فِي بَعْضِ الْقَدِيمِ أَيْضًا إنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ إِخْرَاجِ رُبُعِ عُشْرِ الْعَرَضِ، وَبَيْنَ إِخْرَاجِ رُبُعِ عُشْرِ الْقِيمَةِ، لِأَنَّ فِي تَخْيِيرِهِ تَوْسِعَةً عَلَيْهِ، وَرِفْقًا بِهِ.
MASALAH: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan ia mengeluarkan zakatnya dari barang yang digunakan untuk menilai.”
Al-Māwardī berkata: Telah lewat pembahasan tentang alat yang digunakan untuk menilai. Adapun tentang apa yang dikeluarkan sebagai zakatnya, maka terdapat perbedaan pendapat darinya dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama: Disebutkan dalam al-qadīm bahwa ia wajib mengeluarkan seperempat puluh dari barang dagangan itu sendiri, dan tidak boleh menggantinya dengan selainnya. Karena Samurah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu beliau SAW memerintahkan kami mengeluarkan zakat dari barang yang disiapkan untuk dijual.” Dan apabila beliau memerintahkan untuk mengeluarkan dari barang tersebut, maka tidak boleh beralih darinya. Dan karena itu adalah harta yang dizakati, maka wajib zakatnya dikeluarkan dari jenisnya, sebagaimana harta-harta lainnya.
Pendapat kedua: Disebutkan juga dalam sebagian al-qadīm bahwa ia diberi pilihan antara mengeluarkan seperempat puluh dari barang itu sendiri, atau mengeluarkan seperempat puluh dari nilainya, karena dalam memberikan pilihan itu terdapat kelonggaran dan keringanan baginya.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الصَّحِيحُ، أَنْ يُخْرِجَ رُبُعَ عُشْرِ الْقِيمَةِ حَتْمًا، فَإِنْ أَخْرَجَ رُبْعَ عُشْرِهِ عَرَضًا لَمْ يُجِزْهُ.
وَوَجْهُ هَذَا: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَخَذَ مِنْ حِمَاسٍ ” قِيمَةَ مَتَاعِهِ ” وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ وَجَبَتْ فِي قِيمَتِهِ لَا فِي عَيْنِهِ، فَوَجَبَ أن تخرج الزكاة ما وَجَبَتْ فِيهِ وَهُوَ الْقِيمَةُ لَا مِنْ عَيْنِهِ وسنوضح معاني هذه الأقاويل بما نذكره في التَّفْرِيعِ.
dan pendapat ketiga: dinyatakan secara nash dalam pendapat al-jadīd, dan itulah yang benar, bahwa ia wajib mengeluarkan seperempat dari sepersepuluh nilai (yakni 2,5%) secara pasti. Maka jika ia mengeluarkan seperempat dari sepersepuluhnya dalam bentuk barang, tidak sah (tidak mencukupi).
Adapun alasannya: bahwa ʿUmar bin al-Khaṭṭāb RA mengambil dari Ḥimās “nilai barang dagangannya,” dan karena zakat diwajibkan atas nilainya, bukan pada bendanya secara langsung, maka wajib mengeluarkan zakat dari apa yang menjadi tempat kewajiban, yaitu nilai, bukan dari bendanya. Kami akan menjelaskan makna pendapat-pendapat ini dalam pembahasan tafrīʿ.
فَصْلٌ
: إِذَا اشْتَرَى مِائَةَ قَفِيزٍ حِنْطَةً بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَحَالَ الْحَوْلُ وَقِيمَتُهُ ثَلَاثُمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ قَفِيزَيْنِ وَنِصْفٍ حنطة، وعلى القول الثاني فهو مُخَيَّرٌ بَيْنَ إِخْرَاجِ قَفِيزَيْنِ وَنِصْفٍ حِنْطَةً، وَبَيْنَ إِخْرَاجِ سَبْعَةِ دَرَاهِمَ وَنِصْفٍ، وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّالِثِ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ سَبْعَةِ دَرَاهِمَ وَنِصْفٍ لَا غَيْرَ فلو حال الحول وقيمته ثلاث مائة فَلَمْ يُخْرِجْ زَكَاتَهُ حَتَّى زَادَتْ وَبَلَغَتْ قِيمَتُهُ أربع مائة، فَالْجَوَابُ عَلَى مَا مَضَى، يُخْرِجُ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ قَفِيزَيْنِ وَنِصْفٍ حِنْطَةً، وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي هُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ قَفِيزَيْنِ وَنِصْفٍ أَوْ سَبْعَةِ دَرَاهِمَ وَنِصْفٍ، وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّالِثِ يُخْرِجُ سَبْعَةَ دَرَاهِمَ وَنِصْفٍ لَا غَيْرَ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ الْحَادِثَةَ بعد الحول هي في ملكه لاحظ للمساكين فيها، فلو حال الحول وقيمته ثلاث مائة فَلَمْ يُخْرِجْ زَكَاتَهُ حَتَّى نَقَصَتْ قِيمَتُهُ فَصَارَتْ مِائَتَيْنِ، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
PASAL
Jika seseorang membeli seratus qafīz gandum dengan dua ratus dirham, kemudian haul berlalu dan nilainya menjadi tiga ratus dirham, maka menurut pendapat pertama ia wajib mengeluarkan dua setengah qafīz gandum.
Menurut pendapat kedua, ia diberi pilihan antara mengeluarkan dua setengah qafīz gandum atau mengeluarkan tujuh setengah dirham.
Dan menurut pendapat ketiga, ia wajib mengeluarkan tujuh setengah dirham saja, tidak boleh selain itu.
Jika haul berlalu dan nilainya tiga ratus, tetapi ia belum mengeluarkan zakatnya hingga nilainya bertambah menjadi empat ratus, maka jawabannya sebagaimana yang telah disebutkan:
menurut pendapat pertama, ia mengeluarkan dua setengah qafīz gandum,
menurut pendapat kedua, ia boleh memilih antara dua setengah qafīz atau tujuh setengah dirham,
dan menurut pendapat ketiga, ia mengeluarkan tujuh setengah dirham saja, karena tambahan nilai yang terjadi setelah haul adalah miliknya dan tidak ada hak untuk orang miskin padanya.
Jika haul berlalu dan nilainya tiga ratus, tetapi ia belum mengeluarkan zakatnya hingga nilainya menurun menjadi dua ratus, maka terdapat dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ نُقْصَانُ الْقِيمَةِ كَنُقْصَانِ السِّلْعَةِ فَلَا اعْتِبَارَ بِهِ سَوَاءٌ كَانَ قَبْلَ الْإِمْكَانِ أَوْ بَعْدَهُ وَيَكُونُ الْجَوَابُ عَلَى مَا مَضَى، عَلَى الْأَوَّلِ يُخْرِجُ قَفِيزَيْنِ ونصف وَعَلَى الثَّانِي هُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ قَفِيزَيْنِ وَنِصْفٍ وَبَيْنَ سَبْعَةِ دَرَاهِمَ وَنِصْفٍ، وَعَلَى الثَّالِثِ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ سَبْعَةِ دَرَاهِمَ وَنِصْفٍ لِأَنَّ النُّقْصَانَ حَادِثٌ بَعْدَ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فَلَمْ يُؤَثِّرْ كَمَا لَوْ حَدَثَتْ زِيَادَةٌ لَمْ يَجِبْ فِيهَا شَيْءٌ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ نُقْصَانُ الْقِيمَةِ لِفَسَادٍ حَصَلَ فِي الْحِنْطَةِ مِنْ بَلَلٍ أَوْ عَفَنٍ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ.
Pertama: yaitu apabila penurunan nilai dianggap seperti penurunan kualitas barang, maka tidak dianggap, baik terjadi sebelum memungkinkan mengeluarkan zakat maupun sesudahnya. Maka jawabannya sebagaimana yang telah lalu: menurut pendapat pertama, ia wajib mengeluarkan dua qafīz setengah; menurut pendapat kedua, ia boleh memilih antara dua qafīz setengah atau tujuh dirham setengah; dan menurut pendapat ketiga, ia wajib mengeluarkan tujuh dirham setengah karena penurunan nilai terjadi setelah kewajiban zakat, maka tidak berpengaruh, sebagaimana jika terjadi penambahan setelah kewajiban zakat maka tidak wajib zakat atas tambahan tersebut.
Dan bentuk kedua: yaitu apabila penurunan nilai disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada gandum karena basah atau busuk, maka ini terbagi menjadi dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مَنْسُوبًا إِلَى فِعْلِهِ وَمُضَافًا إِلَى تَفْرِيطِهِ، فَيَلْزَمُهُ ضَمَانُ النَّقْصِ فَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ قَفِيزَيْنِ وَنِصْفٍ حِنْطَةً مِنْهَا وَدِرْهَمَيْنِ وَنِصْفٍ لِلنَّقْصِ، فَإِنْ عَدَلَ إِلَى حِنْطَةٍ جَيِّدَةٍ مِثْلَ حِنْطَتِهِ قَبْلَ فَسَادِهَا أَخْرَجَ قَفِيزَيْنِ وَنِصْفًا لَا غَيْرَ، وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي هُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ هَذَا أَوْ سَبْعَةِ دَرَاهِمَ وَنِصْفٍ، وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّالِثِ يُخْرِجُ سبعة دراهم ونصف لا غير.
Pertama: bahwa penurunan nilai tersebut disebabkan oleh perbuatannya sendiri dan disandarkan kepada kelalaiannya, maka ia wajib menanggung kekurangan tersebut.
Maka menurut pendapat pertama, ia wajib mengeluarkan dua setengah qafīz gandum dari gandum itu, dan tambahan dua setengah dirham untuk menutup kekurangannya.
Namun jika ia mengganti dengan gandum yang bagus sebanding dengan kualitas gandumnya sebelum rusak, maka ia cukup mengeluarkan dua setengah qafīz saja, tidak lebih.
Menurut pendapat kedua, ia boleh memilih antara ini atau tujuh setengah dirham.
Dan menurut pendapat ketiga, ia wajib mengeluarkan tujuh setengah dirham saja, tidak selainnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ النَّقْصُ غَيْرَ مَنْسُوبٍ إِلَيْهِ فَهَذَا، عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ فَيَكُونُ ضَامِنًا لِلنَّقْصِ كما مضى.
والضرب الثاني: أن يكون له حادثاً قبل إمكان الأداء فلا يكون ضَامِنًا، فَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ قَفِيزَيْنِ وَنِصْفٍ مِنْ حِنْطَةٍ لَا غَيْرَ، وَعَلَى الثَّانِي هُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ قَفِيزَيْنِ وَنِصْفٍ مِنْ حِنْطَةٍ وبين خمسة دراهم وعلى الثَّالِثِ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ خَمْسَةِ دَرَاهِمَ لَا غَيْرَ وَيَكُونُ النَّقْصُ دَاخِلًا عَلَى الْمَسَاكِينِ كَدُخُولِهِ عَلَيْهِ والله أعلم.
Dan bentuk kedua: yaitu apabila penurunan nilai tidak disebabkan olehnya, maka ini terbagi menjadi dua bentuk:
Pertama: jika kerusakan itu terjadi setelah ia mampu mengeluarkan zakat, maka ia wajib menanggung kerugian tersebut, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Bentuk kedua: jika kerusakan itu terjadi sebelum ia mampu mengeluarkan zakat, maka ia tidak wajib menanggungnya. Maka menurut pendapat pertama, ia wajib mengeluarkan dua qafīz setengah dari gandum, tidak selain itu; menurut pendapat kedua, ia boleh memilih antara dua qafīz setengah dari gandum atau lima dirham; dan menurut pendapat ketiga, ia wajib mengeluarkan lima dirham saja, tidak selain itu. Maka kerugian itu ditanggung oleh para fakir miskin sebagaimana ditanggung olehnya. Wallāhu aʿlam.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو كان في يديه عرض للتجارة تجب في قيمته الزكاة وأقام في يديه ستة أشهر ثم اشترى به عرضاً للتجارة بدنانير فأقام في يديه سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَقَدْ حَالَ الْحَوْلُ عَلَى الْمَالَيْنِ معاً وقام أحدهما مكان صاحبه فيقوم العرض الذي في يديه ويخرج زكاته “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا اشْتَرَى عَرْضًا لِلتِّجَارَةِ ثُمَّ بَاعَهُ فِي الْحَوْلِ بِعَرَضٍ ثَانٍ لِلتِّجَارَةِ ثُمَّ بَاعَ الثَّانِي بِثَالِثٍ، وَالثَّالِثَ بِرَابِعٍ بَنَى ذَلِكَ كُلَّهُ عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ الْأَوَّلِ، بِخِلَافِ مَنْ بَادَلَ مَاشِيَةً بِمَاشِيَةٍ لِمَعْنَيَيْنِ هُمَا دَلَالَةٌ وَفَرْقٌ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ زَكَاةَ الْعَرَضَ فِي قِيمَتِهِ لَا فِي عَيْنِهِ وَمِلْكُ الْقِيمَةِ مُسْتَدَامٌ فِي الْعُرُوضِ غَيْرُ مُنْقَطِعٍ بِالْبَيْعِ فَلِذَلِكَ بَنَى وَزَكَاةُ الْمَاشِيَةِ فِي عَيْنِهَا وَمِلْكِهَا مُنْقَطِعٌ بِبَيْعِهَا فَلِذَلِكَ لَمْ يَبْنِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ نَمَاءَ التِّجَارَةِ يَحْصُلُ بِبَيْعِهَا وَتَقْلِيبِ عَيْنِهَا فَلَمْ يَكُنِ الْبَيْعُ مُبْطِلًا لِحَوْلِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
MASALAH
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Seandainya ada di tangannya barang dagangan yang wajib zakat atas nilainya, dan tetap berada di tangannya selama enam bulan, lalu ia membeli dengannya barang dagangan lain menggunakan dinar, dan barang tersebut tetap berada di tangannya selama enam bulan, maka telah sempurna haul atas kedua harta tersebut bersama-sama, dan yang satu menggantikan posisi yang lain. Maka barang dagangan yang ada di tangannya dinilai, dan ia mengeluarkan zakatnya.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan: jika seseorang membeli barang dagangan, lalu ia menjualnya dalam masa haul dengan barang dagangan kedua untuk perdagangan, lalu ia menjual yang kedua dengan yang ketiga, dan yang ketiga dengan yang keempat, maka seluruhnya dibangun atas haul barang pertama.
Berbeda dengan orang yang menukar hewan ternak dengan hewan ternak lain, karena ada dua alasan yang menjadi penentu perbedaan:
Pertama: zakat pada barang dagangan berdasarkan nilainya, bukan zat barangnya, sedangkan kepemilikan atas nilai tetap berlangsung pada barang-barang, tidak terputus dengan penjualan. Oleh karena itu, haul tetap berlanjut.
Adapun zakat pada hewan ternak adalah pada zatnya, dan kepemilikan atasnya terputus dengan penjualannya. Oleh karena itu, haul tidak dibangun atas yang sebelumnya.
Kedua: bahwa pertumbuhan dalam perdagangan diperoleh melalui penjualan dan perputaran barangnya. Maka penjualan tidak membatalkan haul-nya.
Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ: قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” ولو اشترى عرضاً بِدَنَانِيرَ أَوْ بِدَرَاهِمَ أَوْ بشيءٍ تَجِبُ فِيهِ الصدقة من الماشية وكان إفادة ما اشترى بِهِ ذَلِكَ الْعَرْضَ مِنْ يَوْمِهِ لَمْ يُقَوِّمِ العرض حتى يحول الحول من يوم أفاد ثَمَنَ الْعَرَضِ ثُمَّ يُزَكِّيهِ بَعْدَ الْحَوْلِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِنِ اشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِمِائَتَيْ درهم أو بعشرين دينار، فَحَوْلُ هَذَا الْعَرَضِ مِنْ حِينِ مَلَكَ الدَّرَاهِمَ وَالدَّنَانِيرَ، لِأَنَّ هَذَا الْعَرَضَ فَرْعٌ لِأَصْلِهِ لِأَنَّهُ يُقَوَّمُ بِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَبْنِيَ حَوْلَهُ عَلَى حَوْلِهِ فَأَمَّا إِنِ اشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِخَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ سَائِمَةً، أَوْ أَرْبَعِينَ مِنَ الْغَنَمِ أَوْ ثَلَاثِينَ مِنَ الْبَقَرِ، فَهَلْ يَسْتَأْنِفُ حَوْلَهُ أم يَبْنِي عَلَى حَوْلِ أَصْلِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ لِأَصْحَابِنَا.
Masalah: Imam al-Syafi’i raḥimahullāh berkata: “Seandainya seseorang membeli barang dagangan dengan dinar, atau dirham, atau sesuatu yang wajib dizakati seperti hewan ternak, dan perolehan harga barang dagangan itu terjadi pada hari itu juga, maka ia tidak menaksir barang tersebut sampai berlalu satu haul sejak hari ia memperoleh harga barang itu, kemudian ia menunaikan zakat setelah haul.”
Al-Māwardī berkata: Adapun jika ia membeli barang dagangan dengan dua ratus dirham atau dua puluh dinar, maka haul barang dagangan itu dihitung sejak ia memiliki dirham atau dinar, karena barang dagangan itu adalah cabang dari pokoknya, sebab ia dinilai (ditaksir) dengannya, maka wajib haul-nya dibangun di atas haul pokoknya.
Adapun jika ia membeli barang dagangan dengan lima ekor unta sā’imah, atau empat puluh ekor kambing, atau tiga puluh ekor sapi, maka apakah ia memulai haul baru ataukah membangunnya di atas haul pokoknya? Dalam hal ini ada dua pendapat menurut ulama mazhab kami.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الِاصْطَخْرِيِّ أَنَّهُ يبني حول الْعَرَضِ عَلَى حَوْلِ أَصْلِهِ اسْتِدْلَالًا بِمَذْهَبٍ وَحِجَاجٍ.
أَمَّا الْمَذْهَبُ فَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” وَلَوِ اشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِدَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ أَوْ بِشَيْءٍ تَجِبُ فِيهِ الصَّدَقَةُ مِنَ الْمَاشِيَةِ فَجَمَعَ بَيْنَ الْمَاشِيَةِ وَالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ قَالَ: ” لَمْ يُقَوِّمِ الْعَرَضَ حَتَّى يَحُولَ الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ أَفَادَ ثَمَنَ الْعَرَضِ ” فكان صريح نفيه وموجب جمعه من يوم يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ حَوْلُهُ مُبْقِيًا عَلَى حَوْلِ أصله.
وأما الحجاج، فهو أنه صرف حولاً تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ فِي فَرْعٍ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونُ حَوْلُ الْفَرْعِ مُعْتَبَرًا بِأَصْلِهِ، كَمَا لَوْ مَلَكَهُ بِنِصَابٍ مِنْ ذَهَبٍ أو ورق.
Pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa haul barang dagangan dibangun atas haul asalnya, berdasarkan dalil mazhab dan argumentasi.
Adapun dalil mazhab, adalah perkataan al-Syāfi‘ī:
“Seandainya seseorang membeli barang dagangan dengan dirham atau dinar, atau dengan sesuatu yang wajib dizakati dari hewan ternak, lalu ia menggabungkan antara hewan ternak dan dirham,” kemudian beliau berkata:
“Tidak dinilai barang dagangannya sampai haul berlalu dari hari ia memperoleh harga barang tersebut.”
Maka pernyataan beliau secara eksplisit menafikan (penilaian) dan mengharuskan penggabungan sejak hari perolehan, yang menunjukkan bahwa haul-nya tetap mengikuti haul asal harta tersebut.
Adapun argumentasinya, yaitu bahwa ia memindahkan haul dari harta pokok yang wajib zakat ke cabang yang juga wajib zakat, maka haul cabang harus dianggap berdasarkan haul asalnya, sebagaimana jika ia memiliki barang dagangan dari nisab emas atau perak.
والوجه الثاني: وهو قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَأَبِي إِسْحَاقَ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا يَسْتَأْنِفُ لَهُ الْحَوْلَ، وَلَا يَبْنِيهِ عَلَى حَوْلِ الْأَصْلِ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ وَاحْتَجَّ لَهُ بِشَيْئَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ نِصَابَ الْمَاشِيَةِ مُخَالِفٌ لِنِصَابِ التِّجَارَةِ لِأَنَّ نِصَابَ الْمَاشِيَةِ إِمَّا خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ أَوْ ثَلَاثُونَ مِنَ الْبَقَرِ أَوْ أَرْبَعُونَ مِنَ الْغَنَمِ، وَنِصَابُ التِّجَارَةِ إِمَّا عِشْرُونَ دِينَارًا أَوْ مِائَتَا دِرْهَمٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْنِيَ حَوْلَ أَحَدِهِمَا على الآخر مع اختلاف نصبهما.
والثاني: زكاة الماشية مخالفة لِزَكَاةِ التِّجَارَةِ، لِأَنَّ زَكَاةَ التِّجَارَةِ رُبْعُ عُشْرِهَا وَزَكَاةَ الْمَاشِيَةِ تَارَةً شَاةٌ، وَتَارَةً بَقَرَةٌ، وَتَارَةً بِنْتُ مَخَاضٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُبْنَى حَوْلُ أحدهما على الآخر مع اختلاف زكاتهما وبهذا يَفْسُدُ مَا احْتَجَّ بِهِ أَبُو سَعِيدٍ، فَأَمَّا مَا ادَّعَاهُ مَذْهَبًا فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ.
Dan pendapat kedua: yaitu pendapat Abū al-ʿAbbās, Abū Isḥāq, dan mayoritas ulama mazhab kami, bahwa ia harus memulai haul baru dan tidak membangunnya di atas haul pokok. Pendapat ini dipilih oleh al-Muzanī, dan ia berdalil dengan dua hal:
Pertama: bahwa niṣab hewan ternak berbeda dengan niṣab barang dagangan, karena niṣab hewan ternak adalah lima ekor unta, atau tiga puluh ekor sapi, atau empat puluh ekor kambing, sedangkan niṣab barang dagangan adalah dua puluh dinar atau dua ratus dirham. Maka tidak boleh membangun haul salah satunya di atas haul yang lain karena perbedaan niṣab-nya.
Kedua: zakat hewan ternak berbeda dengan zakat perdagangan, karena zakat perdagangan adalah seperempat dari sepersepuluh nilainya (2,5%), sedangkan zakat hewan ternak kadang berupa seekor kambing, kadang seekor sapi, dan kadang seekor bint makhāḍ (anak unta betina umur setahun masuk dua tahun). Maka tidak boleh membangun haul salah satunya atas yang lain karena perbedaan bentuk zakatnya. Dengan ini, batalah dalil yang dikemukakan oleh Abū Saʿīd.
Adapun klaimnya sebagai pendapat mazhab, maka terhadapnya ada tiga jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّ مَسْأَلَةَ الشَّافِعِيِّ مَفْرُوضَةٌ فِيمَنْ مَلَكَ مَاشِيَةً فَاشْتَرَى بِهَا عَرَضًا فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَلَكَهَا فِيهِ فَكَانَ حَوْلُ الْعَرَضِ مِنَ الْيَوْمِ الَّذِي مَلَكَ فِيهِ الْمَاشِيَةَ، لِأَنَّهُ مَلَكَهَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ وَقَدْ أَفْصَحَ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا فِي الْمَسْأَلَةِ فَقَالَ: ” وَلَوِ اشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِدَنَانِيرَ أَوْ بِدَرَاهِمَ أَوْ بِشَيْءٍ تَجِبُ فِيهِ الصَّدَقَةُ مِنَ الماشية ” فكان إفادة ما اشترى به ذلك العرض من يَوْمِهِ.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ مَسْأَلَةَ الشَّافِعِيِّ مَحْمُولَةٌ عَلَى مَاشِيَةٍ اشْتَرَاهَا لِلتِّجَارَةِ وَسَامَهَا فَوَجَبَتْ فِيهَا زَكَاةُ التِّجَارَةِ، وَسَقَطَتْ زَكَاةُ الْعَيْنِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ ثُمَّ ابْتَاعَ بِهَا عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ، فَحَوْلُ الْعَرَضِ مِنْ حِينِ مَلَكَ الْمَاشِيَةَ لِأَنَّ زَكَاةَ الْمَاشِيَةِ فِي قِيمَتِهَا كَالْعَرَضِ.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ الشَّافِعِيَّ جَمَعَ بَيْنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، وَبَيْنَ الْمَاشِيَةِ ثُمَّ عَطَفَ بِالْجَوَابِ عَلَى الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ دُونَ الْمَاشِيَةِ، وَذَلِكَ ظَاهِرٌ فِي جَوَابِهِ لِأَنَّهُ قَالَ: حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ أَفَادَ ثَمَنَ الْعَرَضِ، وَمُطْلَقُ الْأَثْمَانِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيرُ فَكَانَ الجواب راجعاً إليهما ومحمولاً.
Salah satunya: bahwa masalah yang disebut oleh al-Syafi’i dimaksudkan bagi orang yang memiliki māsyiyah (hewan ternak) lalu membeli dengan hewan itu ‘araḍ (barang dagangan) pada hari yang sama ia memilikinya, maka ḥaul (perhitungan haul zakat) untuk ‘araḍ tersebut dihitung dari hari ia memiliki māsyiyah, karena ia memilikinya dalam satu hari. Dan al-Syafi’i telah menjelaskan hal ini dalam masalah tersebut dengan perkataannya: “Seandainya ia membeli ‘araḍ untuk perdagangan dengan danānīr atau dirham, atau dengan sesuatu yang wajib dizakati dari māsyiyah,” maka ini menunjukkan bahwa yang digunakan untuk membeli ‘araḍ itu diperoleh pada hari yang sama.
Jawaban kedua: bahwa masalah al-Syafi’i ditakwilkan atas orang yang membeli māsyiyah untuk perdagangan dan menggembalakannya, maka wajib atasnya zakat perdagangan, dan gugur zakat ‘ayn menurut salah satu dari dua pendapat, kemudian ia membeli dengan māsyiyah itu ‘araḍ untuk perdagangan, maka ḥaul untuk ‘araḍ dihitung sejak ia memiliki māsyiyah, karena zakat māsyiyah dalam bentuk nilainya itu seperti ‘araḍ.
Jawaban ketiga: bahwa al-Syafi’i menggabungkan antara dirham dan danānīr dengan māsyiyah, kemudian menjelaskan jawaban atas dirham dan danānīr saja tanpa māsyiyah. Hal ini jelas dalam jawabannya karena ia berkata: “hingga berlalu satu ḥaul atasnya sejak hari memperoleh harga dari ‘araḍ,” dan yang dimaksud dengan al-athmān secara mutlak adalah dirham dan danānīr, maka jawaban itu kembali kepada keduanya dan ditakwilkan demikian.
مسالة: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَوْ أَقَامَ هذا العرض في يديه ستة أشهر ثم باعه بدراهم أو دنانير فأقامت في يديه ستة أشهر زكاها. قال المزني: إذا كانت فائدته نقداًفحول العرض من حين أفاد النقد لأن معنى قيمة العرض للتجارة والنقد في الزكاة ربع عشر وليس كذلك زكاة الماشية ألا ترى أن في خمس من الإبل السائمة بالحول شاة أفيضم ما في حوله زكاة شاةٍ إلى ما حوله زكاة ربع عشر ومن قوله لو أبدل إبلاً ببقرٍ أو بقراً بغنمٍ لم يضمها في حول لأن معناها في الزكاة مختلف وكذلك لا ينبغي أن يضم فائدة ماشية زكاتها شاة أو تبيع أو بنت لبون أو بنت مخاضٍ إلى حول عرضٍ زكاته ربع عشر فحول هذا العرض من حين اشتراه لا من حين أفاد الماشية التي بها اشتراه “.
Masalah: Imam Syafi’i ra. berkata: “Seandainya orang itu memegang ‘aradh ini di tangannya selama enam bulan, kemudian menjualnya dengan dirham atau dinar, lalu uang itu berada di tangannya selama enam bulan, maka ia wajib menzakatinya.”
Al-Muzani berkata: Jika keuntungannya berupa uang, maka haul ‘aradh dihitung sejak ia memperoleh uang, karena makna penilaian ‘aradh untuk perdagangan dan uang dalam zakat adalah seperempat dari sepersepuluh. Tidak demikian halnya dengan zakat hewan ternak. Bukankah kamu melihat bahwa pada lima ekor unta sā’imah dalam satu haul zakatnya adalah satu ekor kambing? Apakah pantas menggabungkan haul yang zakatnya seekor kambing dengan haul yang zakatnya seperempat dari sepersepuluh?
Dan dari perkataannya bahwa jika ia menukar unta dengan sapi, atau sapi dengan kambing, maka tidak digabungkan haulnya, karena makna zakatnya berbeda. Demikian pula tidak sepantasnya menggabungkan keuntungan dari hewan ternak yang zakatnya berupa satu ekor kambing, atau seekor tabi‘, atau bint labūn, atau bint makhādh, dengan haul ‘aradh yang zakatnya seperempat dari sepersepuluh. Maka haul ‘aradh ini dihitung sejak ia membelinya, bukan sejak ia memperoleh hewan ternak yang dengannya ia membeli ‘aradh tersebut.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الثَّمَنِ، إِذَا مَلَكَهُ نِصْفَ الْحَوْلِ ثُمَّ اشْتَرَى بِهِ عَرَضًا وَذَكَرْنَا اخْتِلَافَ أَحْوَالِ الثَّمَنِ، وَاخْتِلَافَ حُكْمِهِ، فَأَمَّا عَرَضُ التِّجَارَةِ إِذَا مَلَكَهُ نِصْفَ الْحَوْلِ ثُمَّ بَاعَهُ بِثَمَنٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُ هَذَا الثَّمَنِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ.
وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْأَثْمَانِ كَالْمَوَاشِي وَالْعُرُوضِ، فَإِنْ كَانَ مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ.
Berkata al-Māwardī: Telah lalu pembahasan tentang tsaman (harga) apabila ia memilikinya setengah ḥaul kemudian membelinya dengan ‘araḍ (barang dagangan), dan telah kami sebutkan perbedaan keadaan tsaman dan perbedaan hukumnya. Adapun ‘araḍ perdagangan, apabila ia memilikinya setengah ḥaul kemudian menjualnya dengan tsaman, maka keadaan tsaman ini tidak lepas dari dua hal:
Pertama: berupa jenis al-athmān seperti dirham atau danānīr.
Kedua: berupa selain jenis al-athmān seperti māwāsyī (hewan ternak) dan ‘urūḍ (barang dagangan).
Apabila berupa jenis al-athmān, yaitu dirham atau danānīr, maka terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ دُونَ النِّصَابِ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ وَقَدْ بَطَلَ حُكْمُ الْحَوْلِ فَإِنْ تَمَّ نِصَابًا اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ نِصَابًا فَصَاعِدًا فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِنْ جِنْسِ ما يقوم به ذلك العرض، كأنه دراهم، وَالْعَرَضُ مِمَّا يُقَوَّمُ بِالدَّرَاهِمِ إِمَّا لِأَنَّهُ ابْتَاعَهُ بِدَرَاهِمَ، وَإِمَّا لِأَنَّهُ ابْتَاعَهُ بِعَرَضٍ وَغَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ دَرَاهِمُ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ بَنَى حَوْلَهُ عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ، فَإِذَا تَمَّ حَوْلُ الْعَرَضِ أخرج زكاته، لأنه مَا حَصَلَ مِنْ قِيمَتِهِ هُوَ الْمُعْتَبَرُ فِي قِيمَتِهِ فَلَمْ يَخْتَلِفْ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ مَا يُقَوَّمُ بِهِ ذلك العرض، كأنه دراهم والعرض مما يقوم بِالدَّنَانِيرِ، إِمَّا لِأَنَّهُ اشْتَرَى بِدَنَانِيرَ وَإِمَّا لِأَنَّهُ اشْتَرَى بِعَرَضٍ وَغَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ دَنَانِيرُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Pertama: Jika kurang dari niṣāb, maka tidak ada zakat padanya dan hukum ḥaul menjadi gugur. Jika kemudian mencapai niṣāb, maka ia memulai ḥaul dari awal.
Jenis kedua: Jika mencapai niṣāb atau lebih, maka terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: Jika hasil penjualan itu sejenis dengan jenis yang digunakan untuk menilai ‘aradh tersebut, misalnya berupa dirham, dan ‘aradh itu memang dinilai dengan dirham, baik karena ia membelinya dengan dirham, atau karena ia membelinya dengan ‘aradh lain tetapi mata uang yang berlaku di negeri itu adalah dirham. Jika demikian, maka ḥaul-nya dibangun di atas ḥaul ‘aradh. Ketika ḥaul ‘aradh sempurna, ia mengeluarkan zakatnya, karena apa yang ia peroleh dari nilai tersebut adalah hal yang dianggap dalam penilaian, maka tidak ada perbedaan.
Jenis kedua: Jika harga penjualan berasal dari selain jenis yang digunakan untuk menilai ‘aradh tersebut, seperti dirham, padahal ‘aradh itu dinilai dengan dinar, baik karena ia membelinya dengan dinar, atau karena ia membelinya dengan ‘aradh lain dan mata uang yang berlaku di negeri itu adalah dinar, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَسْتَأْنِفُ الْحَوْلَ وَلَا يَبْنِي، لِأَنَّ الزَّكَاةَ قَدِ انْتَقَلَتْ مِنْ قِيمَةِ الْعَرَضِ إِلَى عَيْنٍ لَا تُعْتَبَرُ فِي الْعَرَضِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْنِيَ حَوْلَ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ لِاخْتِلَافِهِمَا وَقَدْ حَكَاهُ الرَّبِيعُ فِي ” الْأُمِّ ” عَنِ الشَّافِعِيِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ وَقَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا إِنَّهُ يَبْنِي حَوْلَهُ عَلَى حَوْلِالعرض، لأن التقلب الَّذِي بِهِ وَجَبَتْ زَكَاةُ الْعَرَضِ، لَا يَحْصُلُ إلا بتقلب الْأَثْمَانِ وَاخْتِلَافِهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ سَبَبًا لِإِسْقَاطِ الْحَوْلِ، وَهَذَا أَحْوَطُ وَالْأَوَّلُ أَقْيَسُ.
Pertama: memulai kembali ḥaul dan tidak membangunnya, karena zakat telah berpindah dari nilai ‘araḍ kepada ‘ayn yang tidak dianggap dalam ‘araḍ, maka tidak sah membangun ḥaul salah satunya atas yang lain karena perbedaan keduanya. Pendapat ini dinukil oleh al-Rabī‘ dalam al-Umm dari al-Syafi’i.
Wajah kedua: dan ini adalah pendapat yang zhāhir al-madzhab serta pendapat mayoritas dari para sahabat kami, bahwa ia membangun ḥaul-nya atas ḥaul ‘araḍ, karena perputaran (transaksi) yang menyebabkan wajibnya zakat pada ‘araḍ tidak terjadi kecuali dengan perputaran dan perbedaan al-athmān (harga), maka tidak boleh hal itu menjadi sebab gugurnya ḥaul. Dan ini lebih hati-hati, sedangkan pendapat pertama lebih sesuai dengan qiyas.
فَصْلٌ
: وَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْأَثْمَانِ كَالْمَوَاشِي وَالْعُرُوضِ فَهُوَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَا زَكَاةَ فِيهِ كَعُرُوضِ الْقِنْيَةِ فَقَدْ سَقَطَتِ الزَّكَاةُ وَبَطَلَ حُكْمُ الْحَوْلِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا تَجِبُ فيه الزكاة من قِيمَتِهِ كَعُرُوضِ التِّجَارَةِ فَهَذَا يَبْنِي عَلَى الْحَوْلِ الْمَاضِي.
PASAL
Dan jika harga (barang yang dimiliki) bukan dari jenis atsmān seperti hewan ternak dan barang dagangan, maka hal itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: yaitu sesuatu yang tidak wajib dizakati, seperti barang milik pribadi (‘urūḍ al-qinyah), maka zakat gugur darinya dan hukum ḥaul menjadi batal.
Dan macam yang kedua: yaitu sesuatu yang wajib dizakati, dan ini terbagi lagi menjadi dua macam:
Pertama: yaitu sesuatu yang wajib dizakati karena nilainya, seperti barang dagangan (‘urūḍ at-tijārah), maka ini dibangun di atas ḥaul yang telah lalu.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ كَالْمَوَاشِي السَّائِمَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْمَاشِيَةُ أَقَلَّ مِنْ نِصَابِ فَيُعْتَبَرُ حَالُهَا، فَإِنْ نَوَى بِهَا التِّجَارَةَ بَنَى حَوْلَهَا عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ وَزَكَّاهَا عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ زَكَاةَ التِّجَارَةِ كَالْعُرُوضِ، وَإِنْ عَدَلَ بِهَا عَنِ التِّجَارَةِ، وَأَرْصَدَهَا لِلنَّسْلِ وَالْقِنْيَةِ، فَلَا زَكَاةَ فِي قِيمَتِهَا، لِأَنَّهُ قَدْ عَدَلَ بِهَا عَنِ التِّجَارَةِ، وَلَا فِي عَيْنِهَا لِنَقْصِهَا عَنِ النِّصَابِ، وَقَدْ بَطَلَ حُكْمُ الْحَوْلِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْمَاشِيَةُ نِصَابًا فَيُعْتَبَرُ حَالُهَا أَيْضًا، وَذَلِكَ لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَرْصُدَهَا لِلتِّجَارَةِ أَوْ لِلْقِنْيَةِ فَإِنْ أَرْصَدَهَا لِلتِّجَارَةِ فَهَلْ يُزَكِّيهَا زَكَاةَ التِّجَارَةِ أَوْ زَكَاةَ الْعَيْنِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
dan jenis yang kedua: yaitu berupa barang yang wajib dizakati ‘ayn-nya, seperti hewan ternak yang digembalakan, maka ini terbagi menjadi dua jenis:
pertama: apabila hewan ternaknya kurang dari niṣāb, maka dilihat keadaannya; jika ia meniatkannya untuk perdagangan, maka ia membangun perhitungan ḥawl-nya berdasarkan ḥawl barang dagangan, dan ia menunaikan zakatnya saat jatuh tempo zakat sebagai zakat perdagangan sebagaimana barang dagangan; dan jika ia mengalihkannya dari perdagangan dan menjadikannya untuk pembiakan atau kepemilikan pribadi, maka tidak ada zakat pada nilainya karena telah dialihkan dari perdagangan, dan tidak pula pada ‘ayn-nya karena kurang dari niṣāb, dan telah gugur hukum ḥawl-nya.
jenis yang kedua: apabila hewan ternaknya mencapai niṣāb, maka dilihat pula keadaannya; dan itu tidak lepas dari dua keadaan: bisa jadi ia menjadikannya untuk perdagangan atau untuk kepemilikan pribadi. Jika ia menjadikannya untuk perdagangan, maka apakah ia menunaikan zakatnya sebagai zakat perdagangan atau zakat ‘ayn? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُزَكِّيهَا زَكَاةَ التِّجَارَةِ مِنْ قِيمَتِهَا فَعَلَى هَذَا يَبْنِي حَوْلَهَا عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُزَكِّيهَا زَكَاةَ الْعَيْنِ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ كَالَّتِي أَرْصَدَهَا لِلنَّسْلِ، وَأَعَدَّهَا لِلْقِنْيَةِ وَإِذَا كَانَتْ كَذَلِكَ، فَقَدْ بَطَلَ حُكْمُ التِّجَارَةِ، وَهَلْ يَبْنِي حَوْلَهَا عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ أَوْ يَسْتَأْنِفُهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ يَبْنِي حَوْلَهَا عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ، وَلَا يَسْتَأْنِفُهُ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَبْنِيَ حَوْلَ الْعَرَضِ عَلَى حَوْلِ الْمَاشِيَةِ، جَازَ أَنْ يَبْنِيَ حَوْلَ الْمَاشِيَةِ عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَسْتَأْنِفُ لَهَا الْحَوْلَ وَلَا يَبْنِي عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ، لِاخْتِلَافِهِمَا فِي النُّصُبِ وَاخْتِلَافِهِمَا في الزكاة.
Pertama: ia menzakatinya dengan zakat perdagangan berdasarkan nilainya. Maka dengan ini, ḥaul-nya dibangun di atas ḥaul barang dagangan.
Pendapat kedua: ia menzakatinya dengan zakat ‘ayn (zakat hewan itu sendiri). Maka dalam hal ini, ia seperti hewan yang disediakan untuk pembiakan atau dipersiapkan sebagai milik pribadi (al-qinyah). Dan jika keadaannya seperti itu, maka hukum perdagangan telah batal. Lalu, apakah ḥaul-nya dibangun di atas ḥaul barang dagangan, ataukah dimulai kembali? Maka terdapat dua wajah:
Pertama: dan ini adalah qiyās dari pendapat Abū Sa‘īd, yaitu ḥaul-nya dibangun di atas ḥaul barang dagangan dan tidak memulai kembali, karena sebagaimana dibolehkan membangun ḥaul barang dagangan atas ḥaul hewan ternak, maka dibolehkan pula membangun ḥaul hewan ternak atas ḥaul barang dagangan.
Wajah yang kedua: ḥaul-nya dimulai kembali dan tidak dibangun atas ḥaul barang dagangan, karena perbedaan antara keduanya dalam hal nuṣub dan dalam jenis zakatnya.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَ اشْتَرَى الْعَرَضَ بِمَائَتَيْ دِرْهَمٍ لَمْ يقوم إلا بدراهم وَإِنْ كَانَ الدَّنَانِيرُ الْأَغْلَبَ مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ إِذَا اشْتَرَى عَرَضًا بِعَرَضٍ أَنَّهُ يُقَوِّمُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ فَأَمَّا إِذَا اشْتَرَاهُ بِدَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ نِصَابًا إِمَّا مِائَتَيْ دِرْهَمٍ أَوْ عِشْرِينَ دِينَارًا، فَهَذَا يُقَوِّمُهُ بِمَا اشْتَرَاهُ بِهِ، وَإِنْ كَانَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ غَيْرَهُ فَإِنِ اشْتَرَاهُ بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ قَوَّمَهُ بِهَا، وَإِنْ كَانَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ دَنَانِيرَ، وَإِنِ اشْتَرَاهُ بِعِشْرِينَ دِينَارًا قَوَمَّهُ بِهَا، وَإِنْ كَانَ غَالِبُ نَقْدِ الْبَلَدِ دَرَاهِمَ، وَإِذَا اشْتَرَاهُ بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ وَعِشْرِينَ دِينَارًا قَوَّمَ بِالدَّرَاهِمِ مَا قَابَلَهَا، وَبِالدَّنَانِيرِ مَا قَابَلَهَا.
Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seandainya seseorang membeli barang dagangan seharga dua ratus dirham, maka barang itu tidaklah dinilai kecuali dengan dirham, meskipun dinar adalah mata uang yang lebih dominan di negeri tersebut.”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa apabila seseorang membeli barang dengan barang, maka dinilai dengan mata uang yang paling dominan di negeri tersebut. Adapun jika ia membelinya dengan dirham atau dinar, maka ada dua keadaan:
Pertama: jika harga yang dibayarkan mencapai niṣāb, baik dua ratus dirham atau dua puluh dinar, maka barang tersebut dinilai dengan mata uang yang digunakan untuk membelinya, meskipun mata uang yang dominan di negeri tersebut adalah selainnya. Maka jika ia membelinya dengan dua ratus dirham, maka dinilai dengan dirham, meskipun mata uang yang dominan di negeri itu adalah dinar. Dan jika ia membelinya dengan dua puluh dinar, maka dinilai dengan dinar, meskipun mata uang yang dominan adalah dirham. Dan jika ia membelinya dengan dua ratus dirham dan dua puluh dinar, maka dinilai bagian yang dibeli dengan dirham menggunakan dirham, dan bagian yang dibeli dengan dinar menggunakan dinar.
وَقَالَ أبو حنيفة: يُقَوِّمُهُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْحَدَّادِ الْمِصْرِيِّ مِنْ أَصْحَابِنَا، قَالَ: لِأَنَّ الْقِيَمَ لَا تُعْتَبَرُ إِلَّا بِغَالِبِ النَّقْدِ كَالْمُتْلَفَاتِ وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ الْعَرَضَ فَرْعٌ لِثَمَنِهِ وَتَقْوِيمُ الْفَرْعِ بِأَصْلِهِ إِذَا كَانَ لَهُ فِي الْقِيمَةِ مَدْخَلٌ أَوْلَى مِنْ تَقْوِيمِهِ بِغَيْرِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ جَمَعَ مَعْنَيَيْنِ لَمْ يَجْمَعْهُمَا غَيْرُهُ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَوْلَهُ يعتبر بِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ لَهُ مَدْخَلًا فِي التَّقْوِيمِ، أو لا تَرَى أَنَّ الْحَائِضَ تُرَدُّ إِلَى أَيَّامِهَا فَإِذَا عدمتها ردت إلى الغالب، وكذلك فِي هَذَا الْمَوْضِعِ فَأَمَّا الْمُتْلَفَاتُ فَإِنَّمَا قُوِّمَتْ بِالْغَالِبِ لِعَدَمِ مَا هُوَ أَوْلَى مِنْهُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Dan Abū Ḥanīfah berkata: dinilai dengan mata uang yang paling banyak digunakan di negeri itu. Ini juga merupakan pendapat Ibn al-Ḥaddād al-Miṣrī dari kalangan mazhab kami. Ia berkata: karena penilaian (terhadap nilai barang) tidak dianggap sah kecuali dengan mata uang yang dominan, sebagaimana pada barang-barang yang rusak (al-mutlafāt). Namun ini adalah kesalahan, karena al-‘arḍ adalah cabang dari harganya, maka menilai cabang dengan asalnya—selama asal itu memiliki peran dalam penilaian—itu lebih utama daripada menilainya dengan selainnya. Karena ia menggabungkan dua makna yang tidak terkumpul pada selainnya:
Pertama: bahwa ḥaul-nya dinilai berdasarkan itu.
Kedua: bahwa ia memiliki andil dalam penilaian.
Tidakkah engkau melihat bahwa wanita haid dikembalikan kepada hari-hari biasanya, dan jika tidak ada, maka dikembalikan kepada yang umum (kebiasaan mayoritas)? Demikian pula dalam permasalahan ini. Adapun barang yang rusak (al-mutlafāt), maka dinilai dengan yang dominan karena tidak adanya hal yang lebih utama darinya.
Dan macam yang kedua: yaitu jika harga (yang diterima dari jual beli) kurang dari niṣāb, maka hal itu terbagi menjadi dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ جنساً واحداً.
والثاني: أن يكون جنسين فإن كَانَ جِنْسًا وَاحِدًا كَأَنَّهُ اشْتَرَاهُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ، أَوْ عَشَرَةِ دَنَانِيرَ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ يُقَوَّمُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَبْنِ حَوْلَهُ عَلَى ثَمَنِهِ لم يقومه بثمنه.
والوجه الثاني: يقوم بنفسه وهو أصح لأن فَرْعُهُ فَكَانَ أَوْلَى بِهِ، وَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ جِنْسَيْنِ كَأَنَّهُ اشْتَرَاهُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَبِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: يُقَوَّمُ بِغَالِبِ نَقْدِ الْبَلَدِ.
Pertama: jika harga (pembelian) berupa satu jenis.
Kedua: jika terdiri dari dua jenis. Maka jika harganya satu jenis, seperti dibeli dengan seratus dirham atau sepuluh dinar, maka ada dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa barang tersebut dinilai dengan mata uang yang paling dominan di negeri itu, karena ketika perhitungan ḥawl-nya tidak dibangun atas dasar harga belinya, maka tidak dinilai pula dengan harga belinya.
Pendapat kedua: dinilai dengan mata uang yang digunakan saat pembelian itu sendiri, dan ini yang lebih kuat karena itu merupakan turunan dari harga tersebut, maka lebih layak dinilai dengannya.
Dan jika harga tersebut terdiri dari dua jenis, seperti dibeli dengan seratus dirham dan sepuluh dinar, maka ada tiga pendapat:
Pertama: dinilai dengan mata uang yang paling dominan di negeri itu.
وَالثَّانِي: بِثَمَنِهِ فَيُقَوَّمُ بِالدَّرَاهِمِ مَا قَابَلَهَا وَبِالدَّنَانِيرِ مَا قَابَلَهَا.
وَالثَّالِثَ: يُقَوَّمُ بِالدَّرَاهِمِ لِأَنَّهَا أَصْلٌ وَطَرِيقُهَا النَّصُّ، والدنانير بيع وطريقها الاجتهاد.
Dan yang kedua: (jika harga kurang dari niṣāb) berupa pembayaran dengan harganya, maka dinilai dengan dirham untuk bagian yang sepadan dengannya, dan dengan dinar untuk bagian yang sepadan dengannya.
Dan yang ketiga: dinilai dengan dirham karena dirham adalah asal, dan landasannya adalah nash (teks syariat), sedangkan dinar adalah alat tukar (bai‘) dan landasannya adalah ijtihad.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ بِدَنَانِيرَ قَوَّمَ الدَّنَانِيرَ بدراهم وزكيت الدنانير بقيمة الدراهم لأن أصل ما اشترى به العرض الدراهم وكذلك لو اشترى بالدنانير لم يقوم العرض إلا بالدنانير ولو باعه بدراهم وعرض قوم بالدنانير “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ia menjualnya setelah sempurnanya ḥawl dengan dinar, maka dinar tersebut dinilai dengan dirham dan zakat dinar ditunaikan berdasarkan nilai dirham, karena asal pembelian barang dagangan itu dengan dirham. Demikian pula jika ia membelinya dengan dinar, maka tidaklah barang itu dinilai kecuali dengan dinar, dan jika ia menjualnya dengan dirham dan barang dagangan, maka dinilai dengan dinar.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar.
إِذَا اشْتَرَى عَرَضًا بِدَرَاهِمَ وَبَاعَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ بِدَنَانِيرَ فَإِنْ عَلِمَ قِيمَةَ الْعَرَضِ بِالدَّرَاهِمِ عِنْدَ حُلُولِ حَوْلِهِ أَخْرَجَ قِيمَتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ قِيمَتَهُ قَوَّمَ الدَّنَانِيرَ الْحَاصِلَةَ مِنْ ثَمَنِهِ بِالدَّرَاهِمِ وَأَخْرَجَ الزَّكَاةَ دَرَاهِمَ، وَلَمْ يُخْرِجْهَا دَنَانِيرَ، فَإِنْ أَخْرَجَهَا دَنَانِيرَ لَمْ تجزه، لأنه أخرج غير ما وجبت عَلَيْهِ وَلَا تَسْقُطُ الزَّكَاةُ بِبَيْعِ الْعَرَضِ بِالدَّنَانِيرِ بَعْدَ الْحَوْلِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَا اشْتَرَاهُ بِهِ لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ أَنْ يَبِيعَهُ بِالدَّنَانِيرِ، قَبْلَ الْحَوْلِ، وَتَسْقُطَ زَكَاةُ مَا مَضَى وَيَسْتَأْنِفُ الْحَوْلَ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، هُوَ أَنَّهُ إِذَا بَاعَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ بِغَيْرِ مَا اشْتَرَاهُ بِهِ، فَقَدْ بَاعَهُ بَعْدَ وُجُوبِ زَكَاتِهِ، وَمَنْ بَاعَ مَالَهُ بَعْدَ وُجُوبِ الزَّكَاةِ لَمْ تَسْقُطِ الزَّكَاةُ عَنْهُ، وَإِذَا بَاعَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ بِغَيْرِ مَا اشْتَرَاهُ بِهِ، فَقَدْ بَاعَهُ قَبْلَ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيهِ فَسَقَطَتِ الزَّكَاةُ عَنْهُ، كَمَا لَوْ كَانَ مَعَهُ أَلْفُ دِرْهَمٍ بَاعَهَا بَعْدَ الْحَوْلِ بِمِائَةِ دِينَارٍ، لَمْ تَسْقُطْ زَكَاتُهَا وَلَوْ بَاعَهَا قَبْلَ الْحَوْلِ سَقَطَتْ زكاتها.
Jika seseorang membeli barang dagangan dengan dirham, lalu menjualnya setelah ḥaul dengan dinar, maka:
Jika ia mengetahui nilai barang tersebut dalam dirham saat jatuh tempo ḥaul-nya, maka ia mengeluarkan zakat dari nilai tersebut.
Namun jika ia tidak mengetahui nilainya, maka ia menilai dinar hasil penjualannya dengan dirham, lalu mengeluarkan zakatnya dengan dirham, dan tidak mengeluarkannya dengan dinar. Jika ia mengeluarkannya dengan dinar, maka tidak sah, karena ia mengeluarkan zakat bukan dari apa yang diwajibkan atasnya.
Zakat tidak gugur hanya karena barang itu dijual dengan dinar setelah ḥaul, meskipun bukan dengan alat tukar yang digunakan saat membeli. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mazhab kami dalam hal ini.
Perbedaan antara kasus ini dan antara orang yang menjualnya dengan dinar sebelum ḥaul—yang menyebabkan gugurnya zakat masa lalu dan memulai kembali ḥaul menurut salah satu dari dua wajah—adalah:
Bahwa jika ia menjualnya setelah ḥaul dengan selain dari apa yang ia beli dengannya, maka ia menjualnya setelah zakatnya wajib, dan siapa yang menjual hartanya setelah zakatnya wajib, zakat tidak gugur darinya.
Sedangkan jika ia menjualnya sebelum ḥaul dengan selain dari apa yang ia beli dengannya, maka ia menjualnya sebelum zakat wajib atasnya, maka gugurlah zakatnya, sebagaimana jika seseorang memiliki seribu dirham lalu menjualnya setelah ḥaul dengan seratus dinar, maka zakatnya tidak gugur. Tetapi jika ia menjualnya sebelum ḥaul, maka zakatnya gugur.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَقَامَتْ عِنْدَهُ مِائَةُ دِينَارٍ أَحَدَ عَشَرَ شَهْرًا ثُمَّ اشْتَرَى بِهَا أَلْفَ دِرْهَمٍ أَوْ مِائَةَ دِينَارٍ فَلَا زَكَاةَ فِي الدَّنَانِيرِ الْأَخِيرَةِ وَلَا فِي الدَّرَاهِمِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ مَلَكَهَا لِأَنَّ الزَّكَاةَ فِيهَا بِأَنْفُسِهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: ” إِذَا كَانَتْ مَعَهُ مِائَةُ دِينَارٍ أَقَامَتْ بِيَدِهِ أَكْثَرَ الْحَوْلِ ” ثُمَّ بَاعَهَا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ أَوْ بِمِائَةِ دِينَارٍ أَوْ كَانَ مَعَهُ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَبَاعَهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ أَوْ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَقْصِدَ بِهَا التِّجَارَةَ، وَلَا يَبِيعَهَا لِطَلَبِ الرِّبْحِ فَهَذَا يَسْتَأْنِفُ بِمَا مَلَكَهُ أَخِيرًا مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ الْحَوْلَ، وَلَا يَبْنِي عَلَى مَا مَضَى.
Masalah: Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seandainya seratus dinar berada di tangannya selama sebelas bulan, lalu ia membeli dengan dinar itu seribu dirham atau seratus dinar, maka tidak ada zakat atas dinar yang terakhir itu dan tidak pula atas dirham, sampai berlalu satu ḥawl atasnya sejak hari ia memilikinya, karena zakat pada dinar dan dirham itu ditunaikan atas ‘ayn-nya.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: “Jika ia memiliki seratus dinar yang tetap berada di tangannya hampir sepanjang ḥawl, kemudian ia menjualnya dengan seribu dirham, atau dengan seratus dinar, atau ia memiliki seribu dirham lalu ia menjualnya dengan seratus dinar, atau dengan seribu dirham, maka ia berada dalam dua keadaan:
Pertama: ia tidak meniatkan untuk perdagangan dan tidak menjualnya untuk mencari keuntungan, maka ia memulai perhitungan ḥawl dari apa yang ia miliki terakhir berupa dirham atau dinar, dan tidak membangun ḥawl atas apa yang telah berlalu.
وَقَالَ أبو حنيفة، وَمَالِكٌ: يَبْنِي عَلَى الْحَوْلِ وَلَا تَسْقُطُ الزَّكَاةُ بِهَذَا الْبَيْعِ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُمَا فِي بَيْعِ الْمَوَاشِي.
والحال الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ صَرْفًا يُقْصَدُ بِهِ التِّجَارَةُ وَطَلَبُ الرِّبْحِ وَالنَّمَاءِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ يبني على حَوْلِ الثَّانِيَةِ عَلَى الْأُولَى وَيُزَكِّي، وَلَا تَسْقُطُ الزكاة بالبيع اعتباراً بعروض التجارة، لِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِي أُصُولِهَا زَكَاةٌ فَلِأَنْ تَجِبَ فِي الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ أَوْلَى لِأَنَّ فِي أَصْلِهَا زَكَاةً وَلِأَنَّ مَا تَجِبُ زَكَاتُهُ مَعَ عَدَمِ النَّمَاءِ، فَلِأَنْ تَجِبَ زَكَاتُهُ مَعَ حُصُولِ النَّمَاءِ أَوْلَى.
Dan Abū Ḥanīfah serta Mālik berkata: ḥaul-nya dibangun di atas yang sebelumnya, dan zakat tidak gugur karena penjualan ini. Telah berlalu pembahasan bersama keduanya mengenai penjualan hewan ternak.
Keadaan yang kedua: yaitu jika penukaran itu dimaksudkan untuk perdagangan dan mencari keuntungan serta pertumbuhan harta, maka terdapat dua wajah:
Pertama: dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa ḥaul harta yang kedua dibangun di atas ḥaul yang pertama, dan zakat tetap wajib; tidak gugur dengan adanya penjualan, dengan mempertimbangkan bahwa ini termasuk dalam ‘urūḍ at-tijārah, karena ketika zakat diwajibkan padanya, meskipun pada asalnya tidak ada zakat, maka lebih utama lagi diwajibkan pada dirham dan dinar karena pada asalnya sudah ada zakat.
Dan karena sesuatu yang diwajibkan zakatnya meskipun tanpa adanya pertumbuhan (namā’), maka lebih utama lagi diwajibkan zakatnya ketika terjadi pertumbuhan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ لَا زَكَاةَ، وَيَسْتَأْنِفُ الْحَوْلَ بِالْآخِرَةِ، وَلَا يَبْنِي لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” وَلِأَنَّهُ أَصْلٌ فِي نَفْسِهِ تَجِبُ زَكَاتُهُ فِي عَيْنِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعْتَبَرَ حَوْلُهُ بغيره كالمواشي، إذا بادلها بمواشي، وَلِأَنَّ قَصْدَ التِّجَارَةِ لَا يُزِيلُ حُكْمَ الْعَيْنِ، لِأَنَّ الْفَرْعَ لَا يُبْطِلُ حُكْمَ الْأَصْلِ، لِأَنَّ ما يحصل من ربحها يسير، لأن إِنْ بَاعَهَا بِجِنْسِهَا لَمْ يَجُزْ إِلَّا مِثْلًا بمثل، فإن بَاعَهَا بِغَيْرِ جِنْسِهَا لَمْ يَجُزْ إِلَّا يَدًا بيد ومع ارتفاع النَّسِيئَةِ يَقِلُّ الرِّبْحُ وَهَذَا أَقْيَسُ، وَالْأَوَّلُ أَحْوَطُ.
Dan pendapat yang kedua – dan inilah yang tampak dari mazhab serta pendapat Abū Isḥāq – adalah: tidak ada zakat dan ia memulai perhitungan ḥawl dari harta yang terakhir, dan tidak membangun atas ḥawl yang telah berlalu, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat atas harta hingga berlalu atasnya satu ḥawl.”
Dan karena ia merupakan harta yang pada dirinya wajib zakat pada ‘ayn-nya, maka wajib untuk tidak mengaitkan perhitungan ḥawl-nya dengan selainnya, sebagaimana hewan ternak jika ditukar dengan sesama hewan ternak.
Dan karena niat untuk perdagangan tidak menghapus hukum asal pada ‘ayn-nya, karena cabang tidak dapat membatalkan hukum asal, sebab keuntungan yang diperoleh darinya pun sedikit. Sebab jika dijual dengan sesama jenisnya maka tidak boleh kecuali sepadan dan seimbang, dan jika dijual dengan selain jenisnya tidak boleh kecuali tunai (serah terima langsung), dan dengan hilangnya nasī’ah (penundaan), maka keuntungannya menjadi sedikit.
Dan ini lebih sesuai dengan qiyās, sedangkan pendapat yang pertama lebih hati-hati.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَى عَرْضًا لِغَيْرِ تجارةٍ فَهُوَ كَمَا لو ملك بغير شراءٍ فإن نوى به التجارة فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا اشْتَرَى عَرَضًا لِلْقِنْيَةِ، فَلَا زَكَاةَ فيه فإذا نَوَى بَعْدَ الشِّرَاءِ أَنْ يَكُونَ لِلتِّجَارَةِ، لَمْ يَكُنْ لِلتِّجَارَةِ وَلَا زَكَاةَ فِيهِ، حَتَّى يَتَّجِرَ بِهِ وَلَا يَكُونُ لِمُجَرَّدِ نِيَّتِهِ حُكْمٌ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وأبي حنيفة.
Masalah: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang membeli barang bukan untuk tujuan perdagangan, maka hukumnya seperti orang yang memilikinya tanpa melalui pembelian. Jika kemudian ia berniat menjadikannya untuk perdagangan, maka tidak ada zakat atasnya.”
Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan (oleh al-Syafi‘i):
Jika seseorang membeli barang untuk dimiliki (al-qinyah), maka tidak ada zakat padanya. Jika setelah pembelian ia berniat menjadikannya barang dagangan, maka barang tersebut tidak menjadi barang dagangan dan tidak wajib zakat atasnya, hingga ia benar-benar melakukan aktivitas perdagangan dengannya. Semata-mata niat tidak memiliki dampak hukum.
Dan ini juga merupakan pendapat Mālik dan Abū Ḥanīfah.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ: يَصِيرُ لِلتِّجَارَةِ وَتَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، وَهُوَ قَوْلُ الْحُسَيْنِ الْكَرَابِيسِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا لِأَنَّ عَرَضَ التِّجَارَةِ، لَوْ نَوَى بِهِ الْقِنْيَةَ سَقَطَتْ زَكَاتُهُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ فَكَذَلِكَ عَرَضُ الْقِنْيَةِ، إِذَا نَوَى بِهِ التِّجَارَةَ جَرَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ إِنَّمَا وَجَبَتْ فِي الْعَرَضِ لِأَجْلِ التجارة، والتجارة تصرف وفعل الحكم إِذَا عُلِّقَ بِفِعْلٍ لَمْ يَثْبُتْ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، حتى يقترن به الفعل وشاهد ذلك من الزَّكَاةِ، طَرْدٌ وَعَكْسٌ فَالطَّرْدُ أَنَّ زَكَاةَ الْمَوَاشِي تَجِبُ بِالسَّوْمِ، فَلَوْ نَوَى سَوْمَهَا وَهِيَ مَعْلُوفَةٌ لَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ حَتَّى يَقْتَرِنَ بِهَا السَّوْمُ، وَالْعَكْسُ أَنَّ زَكَاةَ الْفِضَّةِ وَاجِبَةٌ إِلَّا أَنْ يَتَّخِذَهَا حُلِيًّا فَلَوْ نَوَى أَنْ تَكُونَ حُلِيًّا لَمْ تَسْقُطِ الزَّكَاةُ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ حتى يقترن بها الفعل، وإن كَانَ شَاهِدُ الزَّكَاةِ طَرْدًا وَعَكْسًا يَدُلُّ عَلَى مَا أُثْبِتَ مِنِ انْتِقَالِ الْحُكْمِ الْمُعَلَّقِ بِالْفِعْلِ حِينَ يُوجَدُ الْفِعْلُ ثَبَتَ أَنَّ عُرُوضَ الْقِنْيَةِ لَا تَجِبُ زَكَاتُهَا بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ، حَتَّى يَقْتَرِنَ بِهَا فِعْلُ التِّجَارَةِ فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ فَسَنَجْعَلُ الْجَوَابَ عَنْهُ فَرْقًا نَذْكُرُهُ فِي موضعه، من المسألة الآتية بشاهد واضح.
Ahmad bin Ḥanbal dan Isḥāq bin Rāhūyah berkata: Barang menjadi milik perdagangan dan berlaku zakat padanya dengan semata niat, dan ini juga pendapat al-Ḥusayn al-Karābīsī dari kalangan mazhab kami, karena barang dagangan, apabila diniatkan menjadi milik pribadi, maka gugur zakatnya dengan semata niat, maka begitu pula barang milik pribadi, jika diniatkan untuk perdagangan, maka berlaku zakat padanya dengan semata niat.
Namun ini adalah kekeliruan. Karena zakat pada barang hanya diwajibkan karena adanya perdagangan, sedangkan perdagangan itu adalah tindakan dan perbuatan. Maka hukum yang digantungkan pada suatu perbuatan tidak akan tetap hanya dengan niat, hingga disertai dengan perbuatan. Dalilnya dalam zakat berlaku secara ṭard dan ‘aks (langsung dan kebalikannya):
Contoh ṭard: zakat pada hewan ternak wajib karena digembalakan, maka seandainya seseorang meniatkan penggembalaan padahal hewannya diberi pakan, tidak wajib zakat hanya dengan niat sampai disertai dengan tindakan penggembalaan.
Contoh ‘aks: zakat atas perak itu wajib, kecuali jika dijadikan perhiasan. Maka jika hanya meniatkannya menjadi perhiasan, tidak gugur zakatnya hanya dengan niat, sampai disertai dengan tindakan (menjadikannya perhiasan).
Maka ketika dalil zakat secara ṭard dan ‘aks menunjukkan bahwa hukum yang digantungkan pada perbuatan baru berlaku ketika perbuatan itu benar-benar terjadi, maka tetaplah bahwa barang milik pribadi tidak wajib dizakati hanya dengan niat, sampai disertai dengan perbuatan perdagangan.
Adapun dalil mereka, maka kami akan sampaikan jawabannya dalam bentuk perbedaan yang akan disebutkan pada bagian selanjutnya dari masalah ini dengan dalil yang jelas.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو اشترى شيئاً للتجارة ثم نواه لقنيةٍ لم يكن عَلَيْهِ زَكَاةٌ وَأُحِبُّ لَوْ فَعَلَ وَلَا يُشْبِهُ هذا السائمة إِذَا نَوَى عَلَفَهَا فَلَا يَنْصَرِفُ عَنِ السَّائِمَةِ حَتَّى يَعْلِفَهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا اشْتَرَى عَرَضًا بِنِيَّةِ التِّجَارَةِ جَرَتْ فِيهِ الزكاة وثبت له الحول من وَقْتِ الشِّرَاءِ، لِأَنَّ النِّيَّةَ لَمْ تَتَجَرَّدْ عَنِ الْفِعْلِ فَإِنْ قِيلَ: لَوِ اشْتَرَى شَاةً بِنِيَّةِ الْأُضْحِيَةِ لَمْ تَصِرْ أُضْحِيَةً بِالشِّرَاءِ وَالنِّيَّةِ حَتَّى يَتَعَقَّبَهَا الْقَوْلُ فَمَا الْفَرْقُ بَيْنَهَا؟ قِيلَ بَيْنَهُمَا فَرْقَانِ:
Masalah: Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang membeli sesuatu untuk tujuan perdagangan kemudian meniatkannya untuk kepemilikan pribadi (qinyah), maka tidak ada zakat atasnya, dan aku menyukai jika ia melakukannya. Dan ini tidak seperti hewan ternak sā’imah (yang digembalakan), jika ia meniatkan untuk memberinya makan, maka status sā’imah-nya tidak berubah sampai benar-benar diberi makan.”
Al-Māwardī berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan:
Jika seseorang membeli barang dengan niat untuk perdagangan, maka zakat berlaku padanya, dan ḥaul-nya terhitung sejak waktu pembelian, karena niatnya tidak terpisah dari perbuatan (yaitu pembelian itu sendiri).
Jika ada yang bertanya: “Jika seseorang membeli seekor kambing dengan niat untuk dijadikan hewan kurban (uḍḥiyah), maka kambing itu tidak serta-merta menjadi uḍḥiyah hanya dengan pembelian dan niat, sampai diikuti dengan lafal (penetapan kurban). Maka, apa bedanya dengan kasus perdagangan ini?”
Maka dijawab: Antara keduanya terdapat dua perbedaan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّاةَ يُمْكِنُ أَنْ تَصِيرَ أُضْحِيَةً بَعْدَ الشِّرَاءِ بِأَنْ يَقُولَ هَذِهِ أُضْحِيَةٌ فَلِذَلِكَ لَمْ تَكُنْ أُضْحِيَةً بِنَفْسِ الشِّرَاءِ وَالنِّيَّةِ وَالْعَرَضُ لَا يَصِيرُ لِلتِّجَارَةِ بَعْدَ الشِّرَاءِ بِالْقَوْلِ، وَلَا بِالنِّيَّةِ فَلِذَلِكَ صَارَ لِلتِّجَارَةِ بِنَفْسِ الشِّرَاءِ وَالنِّيَّةِ.
وَالْفَرْقُ الثَّانِي: أَنَّ جَعْلَ الشَّاةِ أُضْحِيَةً يزيل الملك والشراء بجلب الْمِلْكَ فَلَمْ يَصِحَّ اجْتِمَاعُهُمَا لِتَنَافِيهِمَا، وَجَعْلُ الْعَرَضِ لِلتِّجَارَةِ غَيْرُ مُزِيلٍ لِلْمِلْكِ فَلَمْ يُنَافِ الشِّرَاءَ فَصَحَّ اجْتِمَاعُهُمَا فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَكُونُ لِلتِّجَارَةِ بِالشِّرَاءِ وَالنِّيَّةِ فَالزَّكَاةُ جَارِيَةٌ فِيهِ، فَلَوْ نَوَى أَنْ يَكُونَ لِلْقِنْيَةِ صَارَ لِلْقِنْيَةِ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ وَسَقَطَ وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِيهِ.
Pertama: bahwa seekor kambing bisa menjadi udhḥiyah (hewan kurban) setelah dibeli hanya dengan mengucapkan, “Ini adalah udhḥiyah,” maka karena itu ia belum menjadi udhḥiyah hanya dengan pembelian dan niat semata. Adapun barang tidak bisa menjadi milik perdagangan setelah dibeli hanya dengan ucapan atau niat, maka karena itu ia menjadi milik perdagangan dengan semata pembelian dan niat.
Perbedaan yang kedua: menjadikan kambing sebagai udhḥiyah menghilangkan kepemilikan, sedangkan pembelian mendatangkan kepemilikan, maka tidak sah menggabungkan keduanya karena saling bertentangan. Adapun menjadikan barang sebagai milik perdagangan tidak menghilangkan kepemilikan, maka tidak bertentangan dengan pembelian, sehingga sah untuk digabungkan keduanya.
Maka apabila telah tetap bahwa barang menjadi milik perdagangan dengan pembelian dan niat, maka zakat berlaku atasnya. Dan jika ia meniatkan untuk menjadikannya milik pribadi (al-qinyah), maka barang itu menjadi milik pribadi hanya dengan niat, dan gugurlah kewajiban zakat darinya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَصِيرَ لِلْقِنْيَةِ بِمُجَرَّدِ النِّيَّةِ وَلَا يَصِيرَ لِلتِّجَارَةِ، أَنَّ الْقِنْيَةَ كَفٌّ وَإِمْسَاكٌ، فَإِذَا نَوَاهَا فَقَدْ وُجِدَ الْكَفُّ، وَالْإِمْسَاكُ مَعَهَا مِنْ غَيْرِ فِعْلٍ يَحْتَاجُ إِلَى إِحْدَاثِهِ فَصَارَ لِلْقِنْيَةِ وَالتِّجَارَةُ، فِعْلٌ وَتَصَرُّفٌ بِبَيْعٍ وَشِرَاءٍ، فَإِذَا نَوَاهَا وَتَجَرَّدَتِ النِّيَّةُ عَنْ فِعْلٍ يُقَارِنُهَا لَمْ تَصِرْ لِلتِّجَارَةِ، لِأَنَّ الْفِعْلَ لَمْ يُوجَدْ وَشَاهِدُ ذَلِكَ السَّفَرُ الَّذِي يتعلق بوجوده، أحكام وزواله أَحْكَامٌ، فَلَوْ نَوَى الْمُقِيمُ السَّفَرَ لَمْ يَصِرْ مُسَافِرًا، لِأَنَّ السَّفَرَ إِحْدَاثُ فِعْلٍ وَالْفِعْلُ لَمْ يُوجَدْ وَلَوْ نَوَى الْمُسَافِرُ الْإِقَامَةَ صَارَ مُقِيمًا لِأَنَّ الْإِقَامَةَ لُبْثٌ وَكَفٌّ عَنْ فِعْلٍ، وَذَلِكَ قَدْ وُجِدَ فَلَوْ كَانَ بِيَدِهِ عَرَضَانِ لِلتِّجَارَةِ، فنوى قنية أحدهما كان ما لم يبقه قِنْيَتَهُ عَلَى حُكْمِ التِّجَارَةِ تَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ، وَمَا نَوَى قِنْيَتَهُ خَارِجٌ عَنْ حُكْمِ التِّجَارَةِ، لَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَلَوْ كَانَ بِيَدِهِ عرض للتجارة فنوى قنية بعضه، فإن وجد ذلك البعض بإجارة عَنِ الْجُمْلَةِ أَوْ إِشَاعَةٍ مَعْلُومَةٍ، كَانَ مُقْتَنِيًا لما نوى من بعضه متخيراً لما بقي من جملته، وإن لم يجد ذَلِكَ الْبَعْضَ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara menjadi milik pribadi (qinyah) dengan semata-mata niat, dan tidak menjadi barang dagangan hanya dengan niat, adalah:
Bahwa qinyah merupakan bentuk penahanan dan pemilikan pasif. Maka apabila seseorang meniatkannya sebagai qinyah, maka penahanan telah terjadi, dan pemilikan bersamanya tidak membutuhkan perbuatan baru, sehingga statusnya menjadi qinyah.
Adapun perdagangan adalah aktivitas dan tindakan berupa jual beli. Maka ketika seseorang meniatkannya untuk perdagangan namun niat tersebut tidak disertai dengan perbuatan (transaksi) yang menyertainya, maka tidak berubah statusnya menjadi barang dagangan, karena perbuatan tersebut belum terjadi.
Contoh dari hal ini adalah perjalanan (safar) yang hukum-hukumnya tergantung pada keberadaan perjalanan itu sendiri, dan dengan hilangnya perjalanan maka hilang pula hukum-hukumnya. Maka jika orang yang menetap (muqīm) berniat untuk bepergian, ia belum menjadi musafir, karena safar itu memerlukan adanya tindakan, dan tindakan itu belum terjadi. Namun jika seorang musafir berniat menetap, maka ia menjadi muqīm, karena iqāmah adalah bentuk diam dan penahanan dari aktivitas bepergian, dan itu sudah terjadi.
Maka, seandainya seseorang memiliki dua barang dagangan, lalu ia meniatkan salah satunya untuk menjadi qinyah, maka selama ia belum menjadikannya benar-benar sebagai milik pribadi, maka barang itu tetap dihukumi sebagai barang dagangan dan wajib dizakati, sedangkan barang yang telah diniatkan sebagai qinyah keluar dari hukum perdagangan dan tidak wajib zakat padanya.
Jika seseorang memiliki satu barang dagangan, lalu ia meniatkan sebagian darinya sebagai qinyah, maka:
- Jika bagian yang ia niatkan itu dapat dibedakan sebagai bagian tertentu secara eksplisit atau bagian tertentu secara proporsional (isyā‘ah ma‘lūmah), maka ia menjadi pemilik pribadi atas bagian yang diniatkannya, dan tetap bebas memilih untuk memperdagangkan sisanya.
- Jika bagian yang ia niatkan tidak bisa ditentukan secara jelas, maka dalam hal ini ada dua wajah (pendapat).
أَحَدُهُمَا: لَا حُكْمَ للقنية لِلْجَهْلِ بِهَا، وَيَكُونُ جَمِيعُ الْعَرَضِ عَلَى حُكْمِ التجارة.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُجْعَلُ نِصْفُهُ لِلْقِنْيَةِ، وَالنِّصْفُ الثَّانِي لِلتِّجَارَةِ تَسْوِيَةً بَيْنَ الْبَعْضَيْنِ وَتَعْدِيلًا بَيْنَ الْحُكْمَيْنِ.
Pertama: tidak dianggap adanya hukum qinyah karena ketidaktahuan terhadapnya, sehingga seluruh barang dianggap berada dalam hukum perdagangan.
Pendapat kedua: dianggap setengahnya sebagai milik qinyah dan setengahnya lagi sebagai milik perdagangan, sebagai bentuk penyeimbangan antara kedua bagian dan penyamaan antara dua hukum.
فَصْلٌ
: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَا اشْتَرَاهُ بِالنِّيَّةِ، وأن يَكُونُ مَحْمُولًا عَلَى نِيَّتِهِ مِنْ قِنْيَةٍ، أَوْ تِجَارَةٍ فَأَمَّا مَا اشْتَرَاهُ بِغَيْرِ نِيَّةٍ، كَأَنَّهُ اشْتَرَى عَرَضًا بِعَرَضٍ، وَلَمْ يَنْوِ شَيْئًا فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِيَ عَرَضًا بعرض عنده وَيُعْطِيَهُ عَرَضًا عِنْدَ بَائِعِهِ لِلْقِنْيَةِ فَيَكُونُ لِلْقِنْيَةِ، وَلَا زَكَاةَ فِيهِ اعْتِبَارًا بِأَصْلِهِ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِيَ بِعَرَضٍ عِنْدَهُ لِلتِّجَارَةِ عَرَضًا عِنْدَ بَائِعِهِ لِلتِّجَارَةِ فَيَكُونُ لِلتِّجَارَةِ، وَتَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ اعْتِبَارًا بِأَصْلِهِ، وَإِنَّ فِي إِحْدَاثِ نِيَّةِ التِّجَارَةِ فِي كُلِّ عَقْدٍ مَشَقَّةً فَكَانَ ظَاهِرَ حَالِهِ استصحاب التجارة، ما لم تعتبر النِّيَّةَ.
PASAL
Telah dijelaskan sebelumnya perihal barang yang dibeli dengan disertai niat, bahwa hukumnya mengikuti niatnya—apakah untuk qinyah atau untuk perdagangan. Adapun barang yang dibeli tanpa disertai niat, seperti membeli barang dengan barang, dan ia tidak meniatkan apa pun, maka hal ini terbagi menjadi empat bagian:
Pertama: yaitu membeli barang dengan barang yang ada padanya, dan ia memberikannya kepada penjual yang memang menjualnya untuk qinyah, maka barang tersebut dihukumi sebagai qinyah, dan tidak ada zakat padanya, berdasarkan status asalnya.
Bagian kedua: yaitu membeli barang dengan barang yang ia miliki untuk perdagangan, dari penjual yang juga menjualnya untuk perdagangan, maka barang tersebut dihukumi sebagai barang dagangan, dan zakat berlaku padanya berdasarkan status asalnya. Dan karena menetapkan niat perdagangan dalam setiap transaksi itu menyulitkan, maka keadaan lahiriahnya menunjukkan kesinambungan perdagangan, selama tidak terdapat niat lain yang dianggap.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَشْتَرِيَ بِعَرَضٍ عِنْدَهُ لِلْقِنْيَةِ عَرَضًا عِنْدَ بَائِعِهِ لِلتِّجَارَةِ، فَيَكُونُ لِلْقِنْيَةِ وَلَا زَكَاةَ فِيهِ اسْتِدَامَةً لِحُكْمِ أَصْلِهِ.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَشْتَرِيَ بِعَرَضٍ عِنْدَهُ لِلتِّجَارَةِ عَرَضًا عند بائعه للقنية، ففيه وجهان:
أصحهما: أن يَكُونُ لِلتِّجَارَةِ وَتَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ اسْتِدَامَةً لِحُكْمِ أَصْلِهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ نِيَّةً تَنْقُلُ عَنْهُ.
والوجه الثاني: أن يَكُونُ لِلْقِنْيَةِ وَلَا زَكَاةَ فِيهِ، اسْتِدَامَةً لِحُكْمِ الْعَرَضِ فِي نَفْسِهِ قَبْلَ ابْتِيَاعِهِ، وَهَذَا الْمَعْنَى فَاسِدٌ بِمَنِ اشْتَرَى بِعَرَضٍ لِلْقِنْيَةِ عَرَضًا عِنْدَ بائعه للتجارة، فإن لَا يَكُونَ لِلتِّجَارَةِ لَا يَخْتَلِفُ وَلَا يُسْتَدَامُ حُكْمُهُ قَبْلَ ابْتِيَاعِهِ اعْتِبَارًا بِأَصْلِهِ فَكَذَلِكَ فِي هذا الموضع.
Dan bagian ketiga: yaitu seseorang membeli dengan barang yang dimilikinya untuk qinyah (kepemilikan pribadi) suatu barang yang di tangan penjualnya adalah untuk perdagangan, maka hukumnya menjadi qinyah dan tidak ada zakat padanya, sebagai kelanjutan dari hukum asal kepemilikannya.
Dan bagian keempat: yaitu seseorang membeli dengan barang yang dimilikinya untuk perdagangan, suatu barang yang di tangan penjualnya adalah untuk qinyah. Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat yang lebih kuat: bahwa barang tersebut menjadi milik perdagangan dan berlaku zakat atasnya, sebagai kelanjutan dari hukum asal kepemilikannya, selama tidak muncul niat yang memindahkannya dari hukum tersebut.
Pendapat kedua: bahwa ia menjadi milik qinyah dan tidak ada zakat padanya, sebagai kelanjutan dari hukum barang itu sebelum dibeli.
Namun makna pendapat ini rusak, karena seseorang yang membeli dengan barang qinyah miliknya suatu barang yang pada penjualnya untuk perdagangan, maka tidak menjadi barang perdagangan secara otomatis. Hukumnya tidak berbeda dan tidak bisa dilanjutkan berdasarkan status sebelumnya (yaitu sebelum dibeli), dengan mempertimbangkan asal barang tersebut. Maka demikian pula dalam kasus ini.
فَصْلٌ
: قَدْ مَضَى حُكْمُ الْعُرُوضِ الْمَمْلُوكَةِ بِالشِّرَاءِ، فَأَمَّا الْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ شِرَاءٍ فَضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَمْلِكَ بِعَرَضٍ كَالصُّلْحِ، وَرُجُوعِ الْبَائِعِ بِعَيْنِ مَالِهِ عَلَى الْمُفْلِسِ، وَرُجُوعِ السِّلْعَةِ عَلَى بَايِعِهَا بِعَيْبٍ، وهذا على ضربين:
أحدهما: ما يبتدي بملكه بِعَقْدٍ، وَهُوَ الصُّلْحُ وَمَا يَأْخُذُهُ مِنَ الْعُرُوضِ عِوَضًا عَنْ دَيْنِهِ، فَهَذَا كَالَّذِي يَمْلِكُهُ بِالشِّرَاءِ فَيَعْتَبِرُ نِيَّةَ تَمَلُّكِهِ، فَإِنْ نَوَى بِهِ الْقِنْيَةَ كَانَ لِلْقِنْيَةِ، وَإِنْ نَوَى بِهِ التِّجَارَةَ كَانَ لِلتِّجَارَةِ.
وَالثَّانِي: مَا يَعُودُ إِلَى تَمَلُّكِهِ بِسَبَبٍ حَادِثٍ وَهُوَ رُجُوعُ الْبَائِعِ بِعَيْنِ مَالِهِ عَلَى الْمُفْلِسِ، وَاسْتِرْجَاعُهُ الْمَبِيعَ بِفَسْخٍ أَوْ إِقَالَةٍ فَهَذَا يعتبر حكمه، بعد رجوعه إلى تملكه بحكمه قبل خُرُوجِهِ مِنْ مِلْكِهِ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ خُرُوجِهِ مِنْ مِلْكِهِ لِلتِّجَارَةِ كَانَ بَعْدَ رُجُوعِهِ إِلَى مِلْكِهِ لِلتِّجَارَةِ، وَجَرَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ خُرُوجِهِ مِنْ مِلْكِهِ لِلْقِنْيَةِ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، فَإِنْ كَانَ لِلْقِنْيَةِ وَنَوَى بِاسْتِرْجَاعِهِ التِّجَارَةَ لَمْ يَكُنْ لِلتِّجَارَةِ وَلَا زَكَاةَ فِيهِ، كَمَا لَوْ نَوَى التِّجَارَةَ فِيمَا بِيَدِهِ لِلْقِنْيَةِ، لِأَنَّهُ لم يبتدي تَمَلُّكَهُ بِبَيْعٍ وَإِنَّمَا عَادَ إِلَى تَمَلُّكِهِ فَعَادَ إِلَى حُكْمِ أَصِلِهِ، فَهَذَا حُكْمُ مَا مَلَكَ بِعِوَضٍ.
PASAL
Telah berlalu penjelasan tentang hukum ‘urudh (barang dagangan) yang dimiliki melalui pembelian. Adapun yang dimiliki bukan dengan pembelian, maka ada dua macam:
Pertama: memiliki dengan ‘urudh (barang) seperti melalui ṣulḥ (perdamaian), atau kembalinya barang kepada penjualnya karena pembeli bangkrut, atau kembalinya barang kepada penjualnya karena ada cacat. Ini terbagi dua:
Bagian pertama: apa yang dimiliki sejak awal dengan ‘aqd (akad), yaitu ṣulḥ dan apa yang dia ambil dari ‘urudh sebagai pengganti dari utangnya. Maka ini seperti orang yang memilikinya melalui pembelian, sehingga dianggap niat kepemilikannya: jika ia meniatkannya untuk qinyah (kepemilikan pribadi), maka menjadi milik pribadi; jika ia meniatkannya untuk perdagangan, maka menjadi barang dagangan.
Kedua: apa yang kembali menjadi miliknya karena sebab yang datang belakangan, yaitu kembalinya barang kepada penjual karena pembeli bangkrut, atau pengembalian barang karena pembatalan jual beli atau iqālah (pembatalan kesepakatan). Maka status hukumnya setelah kembali dimiliki mengikuti statusnya sebelum keluar dari kepemilikannya: jika sebelum keluar dari kepemilikan adalah untuk perdagangan, maka setelah kembali menjadi miliknya termasuk perdagangan, dan wajib zakat; dan jika sebelum keluar dari kepemilikan adalah untuk qinyah, maka tidak wajib zakat. Jika sebelumnya untuk qinyah lalu saat mengambil kembali ia meniatkannya untuk perdagangan, maka tidak dianggap barang dagangan dan tidak wajib zakat, sebagaimana jika ia meniatkan perdagangan terhadap barang yang sedang ada di tangannya yang sebelumnya diniatkan untuk qinyah, karena ia tidak memulai kepemilikan dengan jual beli, melainkan hanya kembali kepada kepemilikan, maka kembali pula kepada hukum asalnya. Ini adalah hukum untuk harta yang dimiliki dengan ganti rugi.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: مَا مَلَكَ بِغَيْرِ عِوَضٍ كَالْمِيرَاثِ، وَالْوَصِيَّةِ، وَالْهِبَةِ، وَالْغَنِيمَةِ، فَهَذَا وَمَا شَاكَلَهُ لَا يَكُونُ لِلتِّجَارَةِ وَإِنْ نَوَى بِتَمَلُّكِهِ التِّجَارَةَ، لأن العرض إنما يصير لتجارة بِفِعْلِ التِّجَارَةِ مَعَ النِّيَّةِ، وَلَيْسَتْ هَذِهِ التَّمْلِيكَاتُ مِنَ التِّجَارَاتِ فَلَمْ يَثْبُتْ لَهَا حُكْمُ التِّجَارَةِ، وكانت للقنية لا تجزي فِيهَا الزَّكَاةُ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِيَ بِهَا عَرَضًا بِنِيَّةِ التِّجَارَةِ، وَكَذَلِكَ مَا مَلَكَ بِصَدَاقٍ أَوْ إجارة.
Dan jenis yang kedua: yaitu harta yang dimiliki tanpa adanya imbalan, seperti warisan, wasiat, hibah, dan ghanīmah, maka semua ini dan yang semisal dengannya tidak menjadi milik perdagangan, meskipun saat memilikinya ia berniat untuk perdagangan. Karena barang tidak menjadi barang perdagangan kecuali dengan adanya perbuatan perdagangan disertai dengan niat, sedangkan bentuk-bentuk kepemilikan ini bukanlah termasuk aktivitas perdagangan, maka tidak tetap baginya hukum perdagangan, dan ia menjadi milik qinyah, sehingga tidak wajib zakat padanya, kecuali jika ia membeli dengannya barang dengan niat perdagangan.
Demikian pula halnya dengan harta yang dimiliki melalui mahar atau imbalan sewa.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو كان يملك أقل مما تجب في مثله الزَكَاةُ زَكَّى ثَمَنَ الْعَرْضِ مِنْ يَوْمِ مَلَكَ العرض لأن الزكاة تحولت فيه بعينها ألا ترى أنه لو اشتراه بعشرين ديناراً وكانت قيمته يوم يحول الحول أقل سقطت عنه الزكاة لأنها تحولت فيه وفي ثمنه إذا بيع لا فيما اشتري به “.
Masalah:
Imam al-Syafi’i raḥimahuLlāh berkata: “Seandainya seseorang memiliki jumlah yang kurang dari kadar yang mewajibkan zakat pada jenisnya, maka ia wajib menzakati tsaman al-‘arḍ (harga barang dagangan) sejak hari ia memiliki barang tersebut, karena zakat berpindah padanya secara langsung. Tidakkah engkau lihat bahwa jika ia membelinya dengan dua puluh dinar, lalu nilainya pada hari sempurnanya haul lebih rendah, maka gugurlah zakat darinya? Karena zakat berpindah kepadanya dan kepada harganya jika dijual, bukan kepada alat tukar yang digunakan untuk membelinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا إِذَا اشْتَرَى عَرَضًا بِنِصَابٍ مِنْ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ، فَأَوَّلُ حَوْلِهِ مِنْ حِينِ مَلَكَ الدَّرَاهِمَ وَالدَّنَانِيرَ وَقَدْ دَلَلْنَا عَلَيْهِ، فأما إذا اشترى عرضاً بدون النصاب كأن اشْتَرَى بِمِائَةِ دِرْهَمٍ، أَوْ بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ، فَالزَّكَاةُ فِيهِ جَارِيَةٌ وَيَكُونُ أَوَّلُ حَوْلِهِ مِنْ حِينِ اشْتَرَاهُ، لَا مِنْ حِينِ مَلَكَ الثَّمَنَ وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ وَقْتَ الشِّرَاءِ نِصَابًا جَرَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَلَا يُؤَثِّرُ نُقْصَانُ قِيمَتِهِ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ، فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يُعْتَبَرُ فِيهِ النِّصَابُ عِنْدَ الشِّرَاءِ وَفِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ، وَإِنْ نَقَصَتْ قِيمَتُهُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْحَوْلِ عَنِ النِّصَابِ اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة، وَمِنْ تَابَعَهُ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا زكاة على مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” وَالزِّيَادَةُ الْحَادِثَةُ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ، لَمْ يَحُلِ الْحَوْلُ عَلَيْهَا، فَلَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ فِيهَا، قَالُوا: وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ فِي الْقِيمَةِ، وَتَجِبُ فِي الْعَيْنِ فَلَمَّا كَانَ مَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهِ، لَا بُدَّ مِنِ اعْتِبَارِ النِّصَابِ فِي حَوْلِهِ، كَذَلِكَ مَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي قِيمَتِهِ، لَا بُدَّ مِنِ اعْتِبَارِ النِّصَابِ فِي حَوْلِهِ كَذَلِكَ مَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي قِيمَتِهِ، لَا بُدَّ مِنِ اعْتِبَارِ النِّصَابِ فِي حَوْلِهِ.
Al-Māwardī berkata: Adapun jika seseorang membeli barang dagangan dengan niṣāb dari dirham atau dinar, maka awal perhitungan ḥawl-nya dimulai sejak ia memiliki dirham atau dinar tersebut — dan kami telah menjelaskan hal itu.
Adapun jika ia membeli barang dagangan dengan kurang dari niṣāb, seperti membeli dengan seratus dirham atau sepuluh dinar, maka zakat tetap berlaku padanya, dan awal ḥawl-nya dihitung sejak ia membeli barang tersebut, bukan sejak ia memiliki harga (uangnya).
Abū Ḥanīfah berpendapat: jika pada waktu pembelian nilainya mencapai niṣāb, maka zakat berlaku padanya, dan penurunan nilai selama ḥawl tidak berpengaruh. Namun jika nilainya saat pembelian kurang dari niṣāb, maka tidak ada zakat atasnya. Ini juga merupakan pendapat Abū al-‘Abbās bin Surayj.
Sebagian dari ulama kami berpendapat: disyaratkan agar nilai barang tersebut mencapai niṣāb saat pembelian dan tetap mencapai niṣāb selama masa ḥawl; dan jika nilainya turun di suatu waktu dalam masa ḥawl hingga di bawah niṣāb, maka ḥawl-nya diulang dari awal.
Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat atas suatu harta sampai berlalu satu ḥawl atasnya.”
Adapun tambahan nilai yang muncul di pertengahan ḥawl, maka belum berlalu ḥawl atasnya, sehingga tidak wajib zakat atas tambahan itu.
Mereka berkata: karena zakat terkadang wajib pada nilai (qīmah), dan terkadang wajib pada ‘ayn, maka ketika zakat wajib atas ‘ayn, harus diperhatikan niṣāb selama ḥawl-nya; begitu juga jika zakat wajib pada nilai, maka harus diperhatikan niṣāb selama ḥawl-nya.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ مَالٌ نَاقِصٌ عَنِ النِّصَابِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُبْتَدَأَ حَوْلُهُ كَالْمَوَاشِي، وَلِأَنَّ رِبْحَ التِّجَارَةِ مِمَّا يَتْبَعُ أَصْلَ الْمَالِ فِي حَوْلِهِ، كَمَا أَنَّ سِخَالَ الْمَوَاشِي تَبَعٌ لِأُمَّهَاتِهَا فِي حَوْلِهَا، فَلَمَّا لَمْ تَدْخُلِ السِّخَالُ فِي حَوْلِ الْأُمَّهَاتِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ نِصَابًا لَمْ يَدْخُلِ الرِّبْحُ فِي حُكْمِ الْأَصْلِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ نِصَابًا وَتَحْرِيرُ ذلك، أن يقال: إنه نماء مال فيجري فِيهِ الْحَوْلُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لِلنِّصَابِ كَالسِّخَالِ.
Dan penjelasan rincinya secara qiyās adalah: bahwa ia adalah harta yang kurang dari niṣāb, maka wajib untuk tidak dimulai haul-nya, sebagaimana hewan ternak. Dan karena keuntungan perdagangan adalah sesuatu yang mengikuti pokok harta dalam haul-nya, sebagaimana anak-anak hewan ternak mengikuti induknya dalam haul-nya, maka ketika anak-anak hewan ternak tidak masuk dalam haul induknya kecuali jika menjadi niṣāb, maka keuntungan pun tidak masuk dalam hukum pokok (harta) kecuali jika ia menjadi niṣāb. Dan penjelasan rincinya adalah bahwa ia merupakan pertambahan harta, maka berlaku padanya haul, maka wajib untuk menjadi pengikut niṣāb, sebagaimana anak-anak hewan ternak.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا زكاة على مال حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” وَهَذَا مَالٌ حَالَ حَوْلُهُ، فَاقْتَضَى أَنْ تَجِبَ زَكَاتُهُ وَلِأَنَّ كُلَّ مَالٍ لَمْ يُعْتَبَرْ نِصَابُهُ فِي أَثْنَاءِ حَوْلِهِ لَمْ يُعْتَبَرْ نِصَابُهُ فِي أَثْنَاءِ حَوْلِهِ كَالزَّرْعِ لَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ نصابه في أثنائه، وقيل حصاده لم يعتبر نصابه في بدره، وَعَكْسُهُ الْمَوَاشِي.
Dan dalil atas sahnya apa yang kami pegangi adalah sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu haul atasnya.” Ini adalah harta yang telah berlalu haul-nya, maka hal itu meniscayakan wajibnya zakat padanya.
Dan karena setiap harta yang tidak diperhitungkan nisabnya di tengah-tengah haulnya, maka tidak diperhitungkan pula nisabnya di tengah-tengah haulnya, seperti tanaman: ketika tidak diperhitungkan nisabnya saat di tengah masa pertumbuhan, maka tidak diperhitungkan pula nisabnya pada benihnya saat ditanam. Kebalikannya adalah hewan ternak.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ، أَنْ يُقَالَ: إِنَّهُ مَالٌ لَا يُعْتَبَرُ نِصَابُهُ فِي وَسَطِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعْتَبَرَ فِي ابْتِدَائِهِ كَالزَّرْعِ، وَلِأَنَّهُ مَالٌ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي قِيمَتِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لا يكون نقصان قيمته قبل الحول منقصاً لِلزَّكَاةِ، كَمَا لَوْ نَقَصَتْ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي عينه.
فالمعنى فيه: أن لَمَّا اعْتُبِرَ النِّصَابُ فِي أَثْنَاءِ حَوْلِهِ اعْتُبِرَ فِي ابْتِدَائِهِ، وَلَمَّا لَمْ يَكُنِ النِّصَابُ مُعْتَبَرًا فِي أَثْنَاءِ حَوْلِ الْعُرُوضِ، لَمْ يَكُنْ مُعْتَبَرًا فِي ابْتِدَائِهِ، وَبِمِثْلِهِ يُجَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى السِّخَالِ.
Dan penjelasan rincinya adalah dengan dikatakan: bahwa ia adalah harta yang tidak diperhitungkan niṣāb-nya di pertengahan haul, maka wajib untuk tidak diperhitungkan pula pada permulaan haul-nya, sebagaimana tanaman. Dan karena ia adalah harta yang zakatnya diwajibkan atas nilainya, maka wajib bahwa turunnya nilai sebelum sempurna haul tidak mengurangi kewajiban zakat, sebagaimana jika nilainya turun di tengah haul.
Adapun qiyās mereka terhadap harta yang zakatnya diwajibkan atas bendanya secara langsung, maka maksudnya adalah: ketika niṣāb diperhitungkan di pertengahan haulnya, maka diperhitungkan pula pada permulaannya. Dan ketika niṣāb tidak diperhitungkan di pertengahan haul barang dagangan, maka tidak diperhitungkan pula pada permulaannya. Dan dengan yang semisal inilah dijawab qiyās mereka atas anak-anak hewan ternak.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ مَا اشْتَرَاهُ بِدُونِ النِّصَابِ جَرَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ وَقْتَ الشِّرَاءِ دُونَ النِّصَابِ، فَالْوَاجِبُ أَنْ تعتبر قيمته عند حلول حول الثمن الذي ابتاعه به كأن بلغت نصاباً فأكثر إخراج زَكَاتِهِ مِنْ قِيمَتِهِ بَالِغًا مَا بَلَغَتْ فَإِنْ نَقَصَتْ عَنِ النِّصَابِ، فَلَا زَكَاةَ فِيهِ، فَإِنْ زَادَتْ قِيمَتُهُ بَعْدَ الْحَوْلِ حَتَّى بَلَغَتْ نِصَابًا، كأن كان يسوي عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ مِائَةً وَخَمْسِينَ، ثُمَّ زَادَتْ قِيمَتُهُ بَعْدَ شَهْرٍ حَتَّى صَارَتْ تُسَوِّي مِائَتَيْ دِرْهَمٍ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا، لَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ الثَّانِي لِنَقْصِ قِيمَتِهِ عَنِ النِّصَابِ، وَقْتَ اعْتِبَارِهَا وَهُوَ رَأْسُ الْحَوْلِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هُرَيْرَةَ فِيهِ الزَّكَاةُ، لِحَوْلِهِ الْمَاضِي وَكَأَنَّهُ تَأَخَّرَ إِلَى حِينِ الزِّيَادَةِ.
PASAL:
Apabila telah tetap bahwa barang yang dibeli dengan kurang dari nisab tetap dikenai zakat, meskipun nilainya saat dibeli kurang dari nisab, maka yang wajib adalah memperhitungkan nilainya ketika haul harga yang digunakan untuk membelinya telah tiba. Jika nilainya mencapai nisab atau lebih, maka zakat dikeluarkan dari nilainya, sebanyak apa pun nilainya. Namun jika nilainya kurang dari nisab, maka tidak ada zakat padanya.
Jika setelah haul nilainya bertambah hingga mencapai nisab —misalnya nilainya saat haul hanya seratus lima puluh, kemudian sebulan setelah itu naik hingga menjadi dua ratus dirham— maka terdapat dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat Abu Ishaq dan jumhur ulama kami, tidak ada zakat padanya hingga haul kedua, karena nilainya kurang dari nisab saat waktu diperhitungkannya (yaitu awal haul).
Kedua: yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, ada zakat padanya berdasarkan haul yang telah lalu, seolah-olah haul itu ditangguhkan hingga waktu adanya tambahan nilai.
فَصْلٌ
: فَإِنِ اشْتَرَى عَرَضًا بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ، ثُمَّ بَاعَهُ فِي تَضَاعِيفِ الْحَوْلِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ، ثُمَّ اشْتَرَى بِالْمِائَةِ عَرَضًا ثَانِيًا، اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ مِنْ حِينِ مَلَكَهُ وَلَمْ يَبْنِ عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ الْأَوَّلِ، لِأَنَّهُ لَمَّا نَضَّ ثمنه وكان دون النصاب بطل حَوْلِهِ وَمَنِ اعْتَبَرَ مِنْ أَصْحَابِنَا قِيمَةَ الْعَرَضِ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ، يَقُولُ: قَدْ بَطَلَ حَوْلُ الْعَرَضِ الْأَوَّلِ بِنُقْصَانِ قِيمَتِهِ وَلَا يَسْتَأْنِفُ حَوْلَ الثَّانِي إِلَّا أَنْ تَبْلُغَ قِيمَتُهُ نِصَابًا.
PASAL
Jika seseorang membeli barang dagangan seharga dua ratus dirham, lalu ia menjualnya di pertengahan haul seharga seratus dirham, kemudian ia membeli dengan seratus dirham itu barang dagangan kedua, maka ia memulai kembali haul-nya sejak ia memiliki barang yang kedua, dan tidak melanjutkan haul barang yang pertama. Karena ketika harganya berubah menjadi tunai dan berada di bawah niṣāb, maka batal haul-nya.
Dan barang siapa dari kalangan sahabat kami yang memperhitungkan nilai barang dagangan di pertengahan haul, ia berkata: telah batal haul barang dagangan yang pertama karena turunnya nilainya, dan ia tidak memulai haul untuk yang kedua kecuali jika nilainya mencapai niṣāb.
فَصْلٌ
: إِذَا كَانَ مَعَهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ فَاشْتَرَى بِخَمْسِينَ مِنْهَا عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ فَحَالَ الْحَوْلُ، وَقِيمَتُهَا مِائَةٌ وَخَمْسُونَ ضَمَّهَا إِلَى الْخَمْسِينَ وَأَخْرَجَ زَكَاةَ الْجَمِيعِ، لِأَنَّ قِيمَةَ الْعَرَضِ مَعَ الدَّرَاهِمِ نِصَابٌ كَامِلٌ، وَلَوْ كَانَ قَدِ اشْتَرَى بِجَمِيعِ الْمِائَةِ عَرَضًا ثُمَّ اسْتَفَادَ بَعْدَ شَهْرٍ مِائَةً أُخْرَى نُظِرَ، فَإِنْ حَالَ حَوْلُ الْعَرَضِ وَقِيمَتُهُ مِائَتَانِ زَكَّاهُمَا، فَإِذَا حَالَ الْحَوْلُ عَلَى الْمِائَةِ الْمُسْتَفَادَةِ زَكَّاهَا أَيْضًا وَإِنْ حَالَ حَوْلُ الْعَرَضِ، وَقِيمَتُهُ أَقَلُّ مِنْ مِائَتَيْنِ لَمْ يُزَكِّهَا حَتَّى يَحُولَ حَوْلُ الْمِائَةِ الْمُسْتَفَادَةِ فَإِنْ حَالَ حَوْلُهَا نُظِرَ فَإِنْ كَانَتِ الْمِائَةُ إِذَا ضَمَّهَا إِلَى قِيمَةِ الْعَرَضِ صَارَتْ نِصَابًا كَامِلًا زَكَّى الْجَمِيعَ، وَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يُزَكِّهَا.
PASAL:
Apabila seseorang memiliki seratus dirham, lalu ia membeli barang dagangan seharga lima puluh darinya, kemudian haul pun berlalu dan nilainya menjadi seratus lima puluh, maka ia gabungkan dengan lima puluh dirham yang tersisa dan mengeluarkan zakat dari keseluruhannya, karena nilai barang dagangan bersama dirham telah menjadi satu nisab yang sempurna.
Jika ia membeli dengan seluruh seratus dirham barang dagangan, kemudian sebulan setelah itu memperoleh tambahan seratus dirham lainnya, maka dilihat:
Jika haul barang dagangan tiba dan nilainya dua ratus, maka ia wajib menzakatinya. Ketika haul dari seratus dirham yang diperoleh kemudian tiba, ia juga wajib menzakatinya.
Namun jika saat haul barang dagangan nilainya kurang dari dua ratus, maka ia tidak menzakatinya hingga haul seratus dirham yang diperoleh kemudian sempurna. Jika haulnya telah sempurna, maka dilihat:
Jika seratus itu, bila digabungkan dengan nilai barang dagangan, menjadi satu nisab yang sempurna, maka ia menzakati keseluruhannya.
Namun jika tetap kurang dari nisab, maka tidak ada zakat padanya.
فَصْلٌ
: إِذَا اشْتَرَى عَرَضَيْنِ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَتَلِفَ أَحَدُهُمَا قَبْلَ الْحَوْلِ وَبَقِيَ الْآخَرُ، قَوَّمَهُ إِذَا حَالَ حَوْلُهُ فَإِنْ بَلَغَ نِصَابًا زَكَّاهُ، وَإِلَّا فَلَا شيء عليه، وإن كَانَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَاشْتَرَى بهما عرضين بنى حوليهما عَلَى حَوْلِ الْمِائَتَيْنِ، فَإِنْ تَلِفَ أَحَدُهُمَا قَبْلَ الْحَوْلِ اعْتُبِرَ حَوْلُ الْبَاقِي مِنْ حِينِ مِلْكِهِ مِلْكِهِ، وَلَمْ يَبْنِ حَوْلَهُ عَلَى حَوْلِ ثَمَنِهِ لِأَنَّ ثَمَنَهُ أَقَلُّ مِنْ نِصَابٍ.
PASAL
Jika seseorang membeli dua barang dagangan dengan seratus dirham, lalu salah satunya rusak sebelum haul sempurna dan yang satunya lagi masih ada, maka ia menaksir nilainya ketika haulnya tiba. Jika mencapai niṣāb, maka ia wajib menunaikan zakatnya, dan jika tidak, maka tidak ada kewajiban atasnya.
Dan jika ia memiliki dua ratus dirham selama enam bulan, lalu ia membeli dengan keduanya dua barang dagangan, maka ia membangun haul keduanya atas haul dua ratus dirham tersebut. Namun jika salah satunya rusak sebelum haul sempurna, maka haul barang yang tersisa dihitung dari waktu kepemilikannya atas barang itu, dan tidak dibangun atas haul harga (uang) sebelumnya, karena harga tersebut (saat itu) kurang dari niṣāb.
فَصْلٌ
: إِذَا اشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ ثُمَّ بَاعَهُ بِدَيْنٍ، فَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبِيعَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ.
وَالثَّانِي: بَعْدَ الْحَوْلِ فَإِنْ بَاعَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ زَكَّاهُ سَوَاءٌ بَاعَهُ بِحَالٍ أَوْ مُؤَجَّلٍ عَلَى مُعْسِرٍ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ قَدْ وَجَبَتْ فِي قِيمَتِهِ بِحُلُولِ حَوْلِهِ، وَإِنْ بَاعَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبِيعَهُ بِدَيْنٍ حَالٍّ، وَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَلَى مُوسِرٍ.
PASAL:
Apabila seseorang membeli barang untuk diperdagangkan kemudian ia menjualnya dengan pembayaran secara utang, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan:
Pertama: ia menjualnya sebelum haul.
Kedua: setelah haul.
Jika ia menjualnya setelah haul, maka ia wajib menzakatinya, baik ia menjualnya secara tunai maupun secara tangguh kepada orang yang tidak mampu, karena zakat telah wajib atas nilai barang tersebut ketika haulnya telah sempurna.
Namun jika ia menjualnya sebelum haul, maka terbagi lagi menjadi dua:
Pertama: ia menjualnya dengan utang yang jatuh tempo (utang segera), dan ini terbagi menjadi dua:
Pertama: utang tersebut atas orang yang mûsir (mampu).
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَلَى مُعْسِرٍ، فَإِنْ كَانَ عَلَى مُوسِرٍ جَرَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ بِحَوْلِ الْعَرَضِ، فَإِذَا حَالَ حَوْلُهُ أَخْرَجَ زَكَاتَهُ، وَإِنْ كَانَ عَلَى مُعْسِرٍ فَهَلْ تَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا تَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ فَعَلَى هَذَا إِذَا قَبَضَهُ اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ فَعَلَى هَذَا يَبْنِي حَوْلَهُ عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ فَإِذَا حَالَ حَوْلُهُ وَقَبَضَهُ أَخْرَجَ زَكَاتَهُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَبِيعَهُ بَدَيْنٍ مُؤَجَّلٍ، فَهَلْ يَكُونُ مَالِكًا لِلدَّيْنِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، لَا يَكُونُ مَالِكًا لَهُ فَعَلَى هَذَا إِذَا قَبَضَهُ اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ.
Dan yang kedua: yaitu apabila (piutang) itu berada pada orang yang sedang kesulitan. Maka jika (piutang itu) berada pada orang yang mampu, maka zakat tetap berlaku atasnya berdasarkan haul barang dagangan. Maka ketika haulnya sempurna, ia mengeluarkan zakatnya. Namun jika (piutang itu) berada pada orang yang sedang kesulitan, maka apakah zakat tetap berlaku atasnya atau tidak? Terdapat dua pendapat:
Pertama: zakat tidak berlaku atasnya. Maka berdasarkan pendapat ini, ketika ia menerima piutangnya, ia memulai kembali haulnya.
Pendapat kedua: zakat tetap berlaku atasnya. Maka berdasarkan pendapat ini, haulnya dibangun atas haul barang dagangan. Maka ketika haulnya sempurna dan ia menerima piutangnya, ia mengeluarkan zakatnya.
Adapun jenis yang kedua: yaitu apabila ia menjualnya dengan pembayaran yang ditangguhkan, maka apakah ia dianggap memiliki utang tersebut atau tidak? Terdapat dua wajah (pendapat):
Pertama: dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa ia tidak dianggap memilikinya. Maka berdasarkan pendapat ini, ketika ia menerima piutang tersebut, ia memulai kembali haulnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَكُونُ مَالِكًا لَهُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَالْمَالِ الْمَغْصُوبِ، هَلْ تَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا تَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ فَعَلَى هَذَا إِذَا قَبَضَهُ اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَجْرِي فِيهِ الزَّكَاةُ فَعَلَى هَذَا يَبْنِي حَوْلَهُ عَلَى حَوْلِ الْعَرَضِ فَإِذَا حَالَ حَوْلُهُ وقبضه أخرج زكاته.
Dan pendapat kedua —yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi— bahwa ia tetap dianggap sebagai pemilik harta tersebut. Maka berdasarkan ini, statusnya seperti harta yang dig usur: apakah dikenai zakat atau tidak? Terdapat dua pendapat:
Pertama: tidak dikenai zakat. Maka berdasarkan ini, apabila ia telah menerima (utang itu), ia memulai perhitungan haul dari awal.
Pendapat kedua: dikenai zakat. Maka berdasarkan ini, haulnya dibangun atas haul barang dagangan. Maka apabila haulnya telah sempurna dan ia telah menerima (utang tersebut), ia mengeluarkan zakatnya.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا تَمْنَعُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ فِي الرَّقِيقِ زَكَاةَ الفطر إذا كانوا مسلمين ألا ترى أن زكاة الفطر على عدد الأحرار الذين ليسوا بمالٍ إنما هي طهور لمن لزمه اسم الْأَيْمَانِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
إِذَا مَلَكَ عَبِيدًا لِلتِّجَارَةِ وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ التِّجَارَةِ فِي قِيمَتِهِمْ وَزَكَاةُ الْفِطْرِ فِي رَقَبَتِهِمْ إِذَا كَانُوا مُسْلِمِينَ.
وَقَالَ أبو حنيفة: تَجِبُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ، وتسقط زكاة الفطر لأنهما زكاتان، فلم يجب اجْتِمَاعُهُمَا فِي مَالٍ كَسَائِمَةِ الْمَاشِيَةِ إِذَا اشْتَرَاهَا لِلتِّجَارَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْتَمِعَ فِيهَا زَكَاةُ التِّجَارَةِ فِي قِيمَتِهَا، وَزَكَاةُ السَّوْمِ فِي رَقَبَتِهَا.
Masalah: Imam al-Syafi‘i ra. berkata:
“Zakat perdagangan pada budak tidak menghalangi kewajiban zakat fitri jika mereka adalah Muslim. Tidakkah engkau melihat bahwa zakat fitri itu berdasarkan jumlah orang merdeka yang bukan merupakan harta, dan sesungguhnya zakat itu adalah penyuci bagi orang yang melekat padanya nama keimanan?”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan:
Apabila seseorang memiliki budak untuk diperdagangkan, maka wajib atasnya zakat perdagangan atas nilai mereka, dan juga wajib zakat fitri atas jiwa mereka jika mereka adalah Muslim.
Abū Ḥanīfah berkata: Wajib zakat perdagangan, tetapi gugur zakat fitri, karena keduanya adalah dua zakat yang tidak wajib digabungkan atas satu harta, sebagaimana hewan ternak yang digembalakan (sā’imah)—jika dibeli untuk perdagangan, maka tidak boleh digabungkan padanya zakat perdagangan atas nilainya dan zakat penggembalaan atas fisiknya.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” عَفَوْتُ لَكُمْ عَنْ صَدَقَةِ الْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ إِلَّا صَدَقَةَ الْفِطْرِ فِي الرَّقِيقِ ” وَلِأَنَّ زَكَاةَ التِّجَارَةِ تَجِبُ فِي الْقِيمَةِ، بِدَلِيلِ أَنَّهَا تَزِيدُ بِزِيَادَتِهَا، وَتَنْقُصُ بِنَقْصِهَا، وَزَكَاةُ الْفِطْرِ تَجِبُ عَنِ الرَّقَبَةِ بدليل أنها تجب عن الحرم، والعبد وإذا اختلف سبب وجوبها لَمْ يَمْتَنِعِ اجْتِمَاعُهُمَا، كَالصَّيْدِ الْمَمْلُوكِ إِذَا قَتَلَهُ الْمُحْرِمُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ لِمَالِكِهِ بِحَقِّ مِلْكِهِ، وَجَزَاؤُهُ لِلَّهِ تَعَالَى بِهِ لَا عَنْ رَقَبَتِهِ وَكَحَدِّ الزِّنَا وَشُرْبِ الْخَمْرِ، وَبِهَذَا الِاسْتِدْلَالِ يَبْطُلُ ما احتج به من ينافي زَكَاةَ التِّجَارَةِ وَزَكَاةَ الْعَيْنِ، لِأَنَّ سَبَبَ وُجُوبِهِمَا وَاحِدٌ، وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ، أَنَّهُمَا حَقَّانِ يَخْتَلِفُ سَبَبُ وُجُوبِهِمَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ كالصيد المملوك والحدين المختلفين، ولأن لَمَّا لَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَجْتَمِعَ فِي مَالِ السَّيِّدِ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْ رَقَبَتِهِ، وَزَكَاةُ الْعَيْنِ عَنْ مَالِهِ لَمْ يَمْتَنِعْ، أَنْ يَجْتَمِعَ فِي مَالِهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْ رَقَبَةِ عَبْدِهِ وَزَكَاةُ التجارة عن قيمته، ولأن زَكَاةِ الْفِطْرِ وَجَبَتْ بِالنَّصِّ مَعَ انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ عَلَيْهَا، وَزَكَاةُ التِّجَارَةِ وَجَبَتْ بِالِاجْتِهَادِ مَعَ حُصُولِ الخلاف فيها، فلو جاز إسقاط إحديهما بِالْأُخْرَى لَكَانَ إِسْقَاطُ زَكَاةِ التِّجَارَةِ بِالْفِطْرِ أَوْلَى مِنْ إِسْقَاطِ زَكَاةِ الْفِطْرِ بِالتِّجَارَةِ، كَمَا قُلْنَا فِي الْخَرَاجِ الْمَضْرُوبِ عَلَى الْأَرْضِ، وَالْعُشْرِ الْوَاجِبِ عَلَى الزَّرْعِ فَلَمَّا بَطَلَ هَذَا بَطَلَ ذَاكَ والله أعلم.
Dan dalil kami adalah keumuman sabda Nabi SAW: “Aku telah menggugurkan dari kalian zakat kuda dan budak, kecuali zakat fitri dari budak.”
Dan karena zakat perdagangan wajib atas nilai barang, dengan dalil bahwa nilainya bertambah seiring kenaikannya, dan berkurang seiring penurunannya. Sedangkan zakat fitri wajib atas diri (raqabah), dengan dalil bahwa ia wajib atas orang haram (maksudnya: hamba sahaya yang dalam status haram untuk dimiliki seperti budak mukatab), dan atas budak. Dan ketika sebab kewajiban keduanya berbeda, maka tidaklah terlarang keduanya berkumpul, sebagaimana perumpamaan: buruan yang dimiliki apabila dibunuh oleh orang yang berihram, maka wajib mengganti nilainya untuk pemiliknya karena hak milik, dan kewajiban kafarat kepada Allah Ta‘ala bukan karena diri (buruan itu).
Dan seperti hukuman zina dan minum khamar, keduanya tidak saling menggugurkan meskipun berbeda sebab. Dengan dalil ini batal hujjah orang yang menolak zakat perdagangan dan zakat ‘ayn (zakat benda fisik), dengan alasan bahwa sebab kewajiban keduanya satu. Penjelasannya adalah: keduanya merupakan dua kewajiban yang sebabnya berbeda, maka salah satunya tidak gugur karena yang lain, seperti buruan yang dimiliki dan dua hukuman yang berbeda.
Dan karena tidak terlarang berkumpul pada harta seorang tuan antara zakat fitri dari diri budaknya dan zakat ‘ayn dari hartanya, maka tidak terlarang juga berkumpul pada hartanya antara zakat fitri dari diri budaknya dan zakat perdagangan dari nilai budaknya.
Dan karena zakat fitri diwajibkan secara nash, dengan kesepakatan ijma‘, sedangkan zakat perdagangan diwajibkan dengan ijtihad, dengan adanya khilaf dalam hal itu. Maka seandainya boleh menggugurkan salah satunya dengan yang lain, tentu menggugurkan zakat perdagangan dengan zakat fitri lebih utama daripada menggugurkan zakat fitri dengan zakat perdagangan.
Sebagaimana yang kami katakan tentang pajak kharaj atas tanah dan ‘usyur (zakat hasil panen) atas tanaman. Maka ketika hal itu batal, maka yang ini pun batal pula. Wallahu a‘lam.
مسالة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا اشْتَرَى نَخْلًا أَوْ زَرْعًا لِلتِّجَارَةِ أَوْ ورثها زكاها زكاة النخل والزرع وَلَوْ كَانَ مَكَانَ النَخْلِ غراسٌ لَا زَكَاةَ فِيهَا زَكَّاهَا زَكَاةَ التِّجَارَةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا اشْتَرَى لِلتِّجَارَةِ أَرْضًا أَوْ مَاشِيَةً، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْمَاشِيَةُ غَيْرَ سَائِمَةٍ وَالْأَرْضُ غَيْرَ مَزْرُوعَةٍ، وَالنَّخْلُ غَيْرَ مُثْمِرَةٍ فَيُزَكِّيهَا زَكَاةَ التِّجَارَةِ مِنْ قِيمَتِهَا.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْمَاشِيَةُ سَائِمَةً وَالْأَرْضُ مَزْرُوعَةً وَالنَّخْلُ مُثْمِرَةً فَهَذَا على ثلاثة أضرب:
Masalah: Imam al-Syafi‘i ra. berkata:
“Apabila seseorang membeli pohon kurma atau tanaman untuk perdagangan, atau mewarisinya, maka ia menunaikan zakatnya sebagai zakat pohon kurma dan tanaman. Dan jika di tempat pohon kurma itu adalah tanaman keras (yang belum berbuah), yang tidak ada zakat padanya, maka ia wajib menzakatinya sebagai zakat perdagangan.”
Al-Māwardī berkata:
Apabila seseorang membeli untuk perdagangan tanah atau hewan ternak, maka hal itu terbagi dua:
Pertama: jika hewan ternak tersebut bukan sā’imah (tidak digembalakan), tanah tersebut tidak ditanami, dan pohon kurma tersebut belum berbuah, maka ia wajib menunaikan zakat perdagangan atas nilai (harga) dari semua itu.
Kedua: jika hewan ternaknya sā’imah (digembalakan), tanahnya ditanami, dan pohon kurmanya sedang berbuah, maka hal ini terbagi menjadi tiga bentuk:
(lanjutan bentuk-bentuknya akan disebutkan dalam teks selanjutnya).
أحدها: أن تجب فيها زَكَاةُ الْعَيْنِ دُونَ زَكَاةِ التِّجَارَةِ، وَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ قِيمَتُهَا دُونَ الْمِائَتَيْنِ أَوْ تَكُونَ الثَّمَرَةُ وَالزَّرْعُ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ قِيمَتُهَا دُونَ الْمِائَتَيْنِ فَهَذَا يُزَكِّيهَا زَكَاةَ الْعَيْنِ.
وَالثَّانِي: أَنْ تَجِبَ فِيهَا زَكَاةُ التِّجَارَةِ دُونَ الْعَيْنِ وذلك بأن يكون أقل من خمسة مِنَ الْإِبِلِ قِيمَتُهَا مِائَتَانِ وَأَقَلَّ مِنْ خَمْسَةِ أَوْسُقِ زَرْعٍ وَثَمَرَةٍ قِيمَتُهَا مِائَتَانِ، فَهَذَا يُزَكِّيهَا زَكَاةَ التِّجَارَةِ مِنْ قِيمَتِهَا.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَجْتَمِعَ فِيهَا الزَّكَاتَانِ جَمِيعًا زَكَاةُ التِّجَارَةِ بِأَنْ تَبْلُغَ قِيمَتُهَا مِائَتَيْ دِرْهَمٍ وَزَكَاةُ الْعَيْنِ بِأَنْ تَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ أَوْ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ، فَهَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pertama: bahwa wajib padanya zakat ‘ayn saja tanpa zakat perdagangan. Yaitu apabila terdapat lima ekor unta yang nilainya kurang dari dua ratus dirham, atau hasil panen dan buah-buahan sebanyak lima wusq namun nilainya kurang dari dua ratus dirham, maka ini dikenai zakat ‘ayn.
Kedua: bahwa wajib padanya zakat perdagangan saja tanpa zakat ‘ayn. Yaitu apabila kurang dari lima ekor unta tetapi nilainya dua ratus dirham, atau kurang dari lima wusq panen dan buah-buahan namun nilainya dua ratus dirham, maka ini dikenai zakat perdagangan dari nilainya.
Ketiga: bahwa terkumpul padanya dua zakat sekaligus —zakat perdagangan karena nilainya mencapai dua ratus dirham, dan zakat ‘ayn karena mencapai lima wusq atau lima ekor unta. Maka dalam hal ini terdapat dua wajah:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَجِبَ الزَّكَاتَانِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ وَذَلِكَ بِأَنْ يَشْتَرِيَ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ بِدُونِ الْمِائَتَيْنِ فَيَحُولَ الْحَوْلُ عَلَيْهَا، فَتَجِبُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ بِحُلُولِهِ وَزَكَاةُ الْعَيْنِ بِحُلُولِهِ، أَوْ يَمْلِكُ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ يَشْتَرِي بِهَا نَخْلًا فَيُثْمِرُ وَيَبْدُو صَلَاحُهُ، بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَتَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ التِّجَارَةِ، بِحُلُولِ الْحَوْلِ، وَزَكَاةُ الْعَيْنِ بِبُدُوِّ الصَّلَاحِ فَالْوَاجِبُ فِيهَا إِحْدَى الزكاتين إجماعاً لأن سبب وجوبها وَاحِدٌ لَكِنِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَيُّ الزَّكَاتَيْنِ أَثْبَتُ حُكْمًا عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ زَكَاةَ التِّجَارَةِ أَثْبَتُ وَحُكْمُهَا أَغْلَبُ فَتَجِبُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ، دُونَ زَكَاةِ الْعَيْنِ لِمَعْنَيَيْنِ.
Salah satunya: bahwa dua zakat itu wajib dalam waktu yang bersamaan. Hal itu terjadi, misalnya seseorang membeli lima ekor unta dengan harga kurang dari dua ratus dirham, lalu haul pun sempurna atasnya; maka wajib atasnya zakat perdagangan karena sempurnanya haul, dan juga zakat atas benda (zakat hewan ternak) karena sempurnanya haul. Atau seseorang memiliki dua ratus dirham selama enam bulan, lalu ia membelinya dengan pohon kurma, kemudian kurma itu berbuah dan mulai tampak kematangannya setelah enam bulan, maka wajib atasnya zakat perdagangan dengan sempurnanya haul, dan juga zakat atas benda (buah kurma) dengan munculnya tanda kematangan.
Maka yang wajib atasnya adalah salah satu dari dua zakat tersebut secara ijma‘, karena sebab kewajibannya satu. Namun pendapat Imam al-Syafi‘i berbeda mengenai zakat mana yang lebih kuat untuk diberlakukan. Terdapat dua pendapat:
Pertama: dan ini adalah pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa zakat perdagangan lebih kuat dan hukumnya lebih dominan, maka yang wajib adalah zakat perdagangan, bukan zakat atas bendanya (zakat hasil). Hal ini karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا أَعَمُّ مِنْ زَكَاةِ الْعَيْنِ، وأخص لِاسْتِيفَائِهَا الْأَصْلَ وَالْفَرْعَ وَاخْتِصَاصُ زَكَاةِ الْعَيْنِ بِالْفَرْعِ دُونَ الْأَصْلِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا أَقْوَى مِنْ زَكَاةِ العين وآكد لوجوبها فِي جَمِيعِ السِّلَعِ وَالْعُرُوضِ وَاخْتِصَاصِ زَكَاةِ الْعَيْنِ بِبَعْضٍ دُونَ بَعْضٍ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ زَكَاةَ الْعَيْنِ أَثْبَتُ، وَحُكْمُهَا أَغْلَبُ فَتَجِبُ زَكَاةُ الْعَيْنِ دُونَ زَكَاةِ التِّجَارَةِ، لمعنيين:
Pertama: bahwa zakat perdagangan lebih umum daripada zakat ‘ayn, dan lebih khusus dalam hal mencakup asal dan cabang, sedangkan zakat ‘ayn hanya khusus pada cabang tanpa mencakup asal.
Kedua: bahwa zakat perdagangan lebih kuat dan lebih ditekankan, karena diwajibkan pada seluruh jenis barang dan komoditas, sedangkan zakat ‘ayn hanya khusus pada sebagian tanpa sebagian yang lain.
Adapun pendapat kedua —yaitu pendapat Imam Syafi‘i dalam qaul jadid— bahwa zakat ‘ayn lebih kuat penetapannya, dan hukumnya lebih dominan, maka yang wajib adalah zakat ‘ayn tanpa zakat perdagangan, karena dua alasan:
أحدهما: أنها أقوى من زكاة التجارة، وأؤكد لِأَنَّهَا وَجَبَتْ بِالنَّصِّ مَعَ انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ عَلَيْهَا وَزَكَاةُ التِّجَارَةِ وَجَبَتْ بِالِاجْتِهَادِ مَعَ حُصُولِ الْخِلَافِ فِيهَا، فَكَانَ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ، أَوْلَى مِنَ الْمُخْتَلَفِ فِيهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ زَكَاةَ الْعَيْنِ فِي الرَّقَبَةِ، وَزَكَاةَ التِّجَارَةِ فِي الْقِيمَةِ فَإِذَا اجْتَمَعَا كَانَ مَا تَعَلَّقَ بِالرَّقَبَةِ أَوْلَى بِالتَّقْدِمَةِ، كَالْعَبْدِ الْمَرْهُونِ إِذَا جَنَى فَهَذَا الْكَلَامُ فِي تَوْجِيهِ الْقَوْلَيْنِ إِذَا اسْتَوَتِ الزَّكَاتَانِ:
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَسْبِقَ وُجُوبَ إِحْدَى الزَّكَاتَيْنِ، بِأَنْ يَتَعَجَّلَ حَوْلَ التِّجَارَةِ قَبْلَ صَلَاحِ الثَّمَرَةِ، أَوْ يَتَعَجَّلَ صَلَاحَ الثَّمَرَةِ قَبْلَ حَوْلِ التِّجَارَةِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أبو حفص بن الْوَكِيلِ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولَانِ: يُزَكِّي أَعْجَلَهُمَا قَوْلًا وَاحِدًا وَلَا سَبِيلَ إِلَى إسقاط زكاة وجبت في الحال، ويؤكده أن يجب في ثاني الحال.
وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: بَلْ يَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ: لِتَعَذُّرِ اسْتِوَائِهِمَا فِي الْغَالِبِ وَإِنَّ الشَّافِعِيَّ لَمْ يُفَرِّقْ.
pertama: karena ia lebih kuat dari zakat perdagangan dan lebih ditekankan, karena zakat ini diwajibkan berdasarkan nash dengan ijmak yang telah mantap, sedangkan zakat perdagangan diwajibkan berdasarkan ijtihad dengan adanya khilaf padanya. Maka yang disepakati lebih utama daripada yang diperselisihkan.
kedua: karena zakat ‘ayn (zakat pada benda fisik) berkaitan dengan raqabah (benda itu sendiri), sedangkan zakat perdagangan berkaitan dengan nilai (harga), maka apabila keduanya berkumpul, yang berkaitan dengan raqabah lebih utama untuk didahulukan, sebagaimana budak yang tergadai apabila melakukan kejahatan.
Ini adalah penjelasan tentang alasan kedua pendapat apabila kedua zakat itu sama-sama wajib.
Adapun jenis yang kedua: yaitu salah satu dari dua zakat itu lebih dahulu wajib, seperti haul zakat perdagangan datang sebelum buah mencapai kondisi layak panen, atau buah sudah layak panen sebelum haul perdagangan tercapai.
Para sahabat kami berselisih dalam hal ini. Abu Hafsh bin al-Wakil dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berpendapat: dikeluarkan zakat yang lebih dahulu wajib secara sepakat, dan tidak boleh menggugurkan zakat yang telah wajib saat itu. Ini diperkuat dengan kenyataan bahwa zakat yang lain akan tetap wajib di waktu berikutnya.
Sebagian lainnya dari sahabat kami mengatakan: bahkan ada dua pendapat, karena sulitnya keduanya terjadi secara bersamaan, dan sesungguhnya al-Syafi’i tidak membedakan antara keduanya.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ قُلْنَا: إن زكاة البحارة أَوْلَى عَلَى قَوْلِهِ فِي ” الْقَدِيمِ ” قُوِّمَ الْأَصْلُ وَالثَّمَرَةُ، وَأُخْرِجَ رُبْعُ الْعُشْرِ مِنْ جَمِيعِ الْقِيمَةِ، وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّ زَكَاةَ الْعَيْنِ أَوْلَى أُخْرِجَ عُشْرُ الثَّمَرَةِ أَوْ نِصْفُ عُشْرِهَا، عَلَى حَسَبِ حَالِهَا، ثُمَّ هَلْ يَنُوبُ ذَلِكَ عَنْ رَقَبَةِ الْأَرْضِ وَأَصْلِ التِّجَارَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَنُوبُ عَنْهَا، وَيُقَوَّمُ لِلتِّجَارَةِ فَيُخْرَجُ رُبْعُ عُشْرِهَا، إِنْ بَلَغَتِ الْقِيمَةُ نِصَابًا، لِأَنَّ زَكَاةَ الْأَعْيَانِ مَأْخُوذَةٌ عَنْهَا لَا عَنْ أُصُولِهَا بِدَلِيلِ أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا زَرَعَ فِي أَرْضِ يَهُودِيٍّ لَزِمَتْهُ الزَّكَاةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَالِكَ الْأَرْضِ مِمَّنْ عَلَيْهِ زَكَاةٌ.
PASAL
Apabila telah dijelaskan alasan bagi kedua pendapat, maka jika kita mengatakan bahwa zakat baharah lebih utama menurut pendapatnya dalam al-qadīm, maka dinilai harga tanah dan buahnya, lalu dikeluarkan seperempat dari sepersepuluh dari seluruh nilai tersebut. Dan jika kita mengatakan bahwa zakat ‘ayn lebih utama, maka dikeluarkan sepersepuluh buahnya atau setengah dari sepersepuluhnya, sesuai kondisinya.
Kemudian, apakah itu menggugurkan kewajiban atas kepemilikan tanah dan asal harta perdagangan? Ada dua pendapat:
Pertama: Tidak menggugurkan kewajiban atasnya, dan tetap dinilai untuk perdagangan, lalu dikeluarkan seperempat dari sepersepuluhnya jika nilainya mencapai niṣāb, karena zakat atas benda (‘ayn) diambil dari zatnya, bukan dari asalnya. Dalilnya adalah bahwa seorang muslim jika menanam di tanah milik seorang Yahudi, maka zakat tetap wajib atasnya, meskipun pemilik tanah bukan termasuk orang yang wajib zakat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَنُوبُ عَنِ الْأَصْلِ لأن لا يجتمع زَكَاتَانِ فِي مَالٍ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي الأرض بياض غير مشغول يزرع وَلَا نَخْلٍ، فَلَا يَنُوبُ عَنْهُ وَجْهًا وَاحِدًا فَلَوْ بَلَغَتِ الثَّمَرَةُ قَبْلَ إِمْكَانِ الْأَدَاءِ إِذَا قُلْنَا: بِوُجُوبِ زَكَاةِ الْعَيْنِ، فَهَلْ يَعْدِلُ إِلَى زَكَاةِ التِّجَارَةِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: بِنَاءً عَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: يُقَوِّمُ الْأَصْلَ وَيُزَكِّي زَكَاةَ التِّجَارَةِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَقُولُ: إِنَّ زَكَاةَ الْعَيْنِ لَا تَنُوبُ عَنِ الْأَصْلِ.
وَالثَّانِي: لَا يُقَوِّمُ الْأَصْلَ وَلَا زَكَاةَ فِيهِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَقُولُ: إِنَّ زَكَاةَ الْعَيْنِ تَنُوبُ عَنِ الْأَصْلِ.
wajah yang kedua: zakat ‘ayn menggantikan zakat asal, agar tidak berkumpul dua zakat dalam satu harta, kecuali apabila di tanah itu terdapat lahan kosong yang tidak ditanami dan tidak ada pohon kurma, maka zakat ‘ayn tidak menggantikan zakat asal secara mutlak.
Maka jika buah telah mencapai kematangan sebelum memungkinkan untuk dibayar zakatnya—jika kita mengatakan bahwa zakat ‘ayn itu wajib—apakah berpindah ke zakat perdagangan? Ada dua wajah, berdasarkan pada dua wajah sebelumnya:
pertama: ia menilai pokoknya (al-aṣl) dan menunaikan zakat perdagangan, menurut wajah yang mengatakan bahwa zakat ‘ayn tidak menggantikan zakat asal.
kedua: ia tidak menilai pokoknya dan tidak ada zakat atasnya, menurut wajah yang mengatakan bahwa zakat ‘ayn menggantikan zakat asal.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” والخلطاء في الذهب والورق في الماشية والحرث على ما وصفت سواءٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي مَوْضِعَيْنِ مِنْ كِتَابِ ” الزَّكَاةِ ” وَذَكَرْنَا اخْتِلَافَ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي صِحَّةِ الْخُلْطَةِ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي، وَأَنَّهُ فِي الْقَدِيمِ يَمْنَعُ مِنْ صِحَّتِهَا، وَفِي الْجَدِيدِ يُجَوِّزُهَا فَعَلَى هَذَا تَجُوزُ الْخُلْطَةُ فِي الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، فِي أَحَدِ مَوْضِعَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَرِثَا مِائَتَيْ دِرْهَمٍ أَوْ عِشْرِينَ دِينَارًا فيكونان خليطين يزكيان زَكَاةَ الْوَاحِدِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يُخْرِجَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ دِرْهَمٍ أَوْ عَشَرَةَ دَنَانِيرَ، وَيَشْتَرِيَانِ بِهِمَا عَرَضًا فَيَكُونَانِ خَلِيطَيْنِ فِيهِ يُزَكِّيَانِهِ زَكَاةَ الْوَاحِدِ، فَأَمَّا إِنْ أَخْرَجَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ دِرْهَمٍ، وَخَلَطَاهَا جَمِيعًا وَتَرَكَاهَا حَتَّى حَالَ حولها، فليست هذه الخلطة تُوجِبُ الزَّكَاةَ وَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُزَكِّيَانِ زَكَاةَ الْخُلْطَةِ فِي أَحَدِ هَذَيْنِ الْمَوْضِعَيْنِ لَا غَيْرَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Para pemilik harta campuran (khalāṭā’) dalam emas dan perak, dalam hewan ternak dan pertanian, hukumnya sama sebagaimana yang telah aku jelaskan.”
Al-Māwardī berkata: Masalah ini telah disebutkan pada dua tempat dalam kitab “Zakat”, dan kami telah menyebutkan perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i tentang keabsahan khalṭah (harta campuran) selain pada hewan ternak. Bahwa dalam qaul qadīm, ia menolak keabsahannya, sedangkan dalam qaul jadīd, ia membolehkannya.
Berdasarkan pendapat ini, maka sah adanya khalṭah dalam emas dan perak dalam dua kondisi:
Pertama: Ketika dua orang mewarisi dua ratus dirham atau dua puluh dinar, maka keduanya menjadi pemilik harta campuran dan membayar zakat sebagaimana satu orang.
Kedua: Ketika masing-masing dari keduanya mengeluarkan seratus dirham atau sepuluh dinar, lalu mereka bersama-sama membeli barang dagangan, maka keduanya menjadi pemilik harta campuran dalam barang tersebut dan membayarnya dengan zakat sebagai satu orang.
Adapun jika masing-masing dari keduanya mengeluarkan seratus dirham, lalu mencampurkannya dan membiarkannya sampai berlalu satu haul, maka campuran seperti ini tidak mewajibkan zakat, dan tidak ada zakat atas mereka berdua. Mereka hanya membayar zakat sebagai harta campuran dalam dua kondisi di atas saja, tidak selain itu. Wallāhu a‘lam.
مسالة: قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا دفع الرجل ألف درهم قراضاً على النصف فاشترى بها سلعةً وحال الحول عليها وهي تساوي ألفين ففيها قولان أحدهما أنه تزكى كلها لأنها ملك لرب المال أبداً حتى يسلم إليه رأس ماله وكذلك لو كان العامل نصرانياً فإذا سلم له رأس ماله اقتسما الربح وهذا أشبه والله أعلم والقول الثاني أن الزكاة على رب المال في الألف والخمسمائة ووقفت زكاة خمسمائة فإن حال عليها حول من يوم صارت للعامل زكاها إن كان مسلماً فإذا لم يبلغ ربحه إلا مائة درهم زكاها لأنه خليط بها وَلَوْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ نَصْرَانِيًّا وَالْعَامِلُ مُسْلِمًا فلا ربح لمسلمٍ حتى يسلم إلى النصراني رأس ماله في القول الأول ثم يستقبل بربحه حولاً والقول الثاني يحصي ذلك كله فإن سلم له ربحه أدى زكاته كما يؤدي ما مر عليه من السنين منذ كان له في المال فضلٌ قال المزني: أولى بقوله عندي أن لا يكون على العامل زكاةٌ حتى يحصل رأس المال لأن هذا معناه في القراض لأنه يقول لو كان له شركةٌ في المال ثم نقص قدر الربح كان له في الباقي شركٌ فلا ربح له إلا بعد أداء رأس المال “.
BAB ZAKAT HARTA Qiradh
Masalah: Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata:
“Apabila seseorang memberikan seribu dirham sebagai qiradh dengan bagian separuh dari keuntungan, lalu dibelikan barang dagangan dan haul pun berlalu atasnya, sedangkan nilainya menjadi dua ribu, maka ada dua pendapat:
Pertama, seluruhnya dizakati, karena kepemilikan tetap berada pada pemilik harta sepanjang waktu sampai modal pokok diserahkan kembali kepadanya. Demikian pula jika yang bekerja adalah seorang Nasrani, maka ketika modal pokok dikembalikan kepadanya, barulah mereka membagi keuntungan. Pendapat ini lebih mendekati, wallahu a‘lam.
Pendapat kedua, zakat atas pemilik harta hanya atas seribu lima ratus, dan zakat atas lima ratus sisanya ditangguhkan. Apabila berlalu haul atas bagian yang menjadi milik pekerja (‘āmil) sejak ia menjadi miliknya, maka ia menzakatinya jika ia seorang Muslim. Maka apabila keuntungannya tidak lebih dari seratus dirham, ia tetap menzakatinya karena ia adalah khalīṭ (bercampur) di dalamnya.
Dan jika pemilik modal adalah seorang Nasrani dan pekerjanya adalah Muslim, maka dalam pendapat pertama, si Muslim tidak memiliki keuntungan apa pun hingga ia menyerahkan modal pokok kepada si Nasrani, lalu ia memulai haul dari keuntungan tersebut.
Sedangkan menurut pendapat kedua, keuntungan tersebut dihitung seluruhnya. Apabila keuntungan itu diserahkan kepadanya, maka ia menunaikan zakatnya sebagaimana ia menunaikan zakat atas apa yang telah berlalu dari tahun-tahun sejak ia memiliki kelebihan (keuntungan) dalam harta tersebut.”
Al-Muzani berkata: “Menurutku, yang lebih sesuai dengan pendapatnya adalah bahwa tidak ada zakat atas pekerja sampai modal pokok diperoleh, karena demikianlah makna qiradh menurut beliau. Karena beliau mengatakan: jika ia memiliki bagian kepemilikan dalam harta lalu mengalami kerugian sebesar nilai keuntungan, maka ia memiliki bagian pada sisa harta, dan tidak ada keuntungan baginya kecuali setelah modal pokok terpenuhi.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْقِرَاضُ فَبِلُغَةِ أَهْلِ الْحِجَازِ، وَهِيَ الْمُضَارَبَةُ بِلُغَةِ أَهْلِ الْعِرَاقِ، فَإِذَا دَفَعَ رَجُلٌ أَلْفًا قِرَاضًا إِلَى رَجُلٍ عَلَى النِّصْفِ مِنْ رِبْحِهَا فَاشْتَرَى بِالْأَلْفِ سِلْعَةً، وَحَالَ الْحَوْلُ عليها، وقيمتها ألفان ففي زكاتها قولان: بناه على اختلاف قول الشَّافِعِيِّ فِي الْعَامِلِ هَلْ هُوَ شَرِيكٌ فِي الرِّبْحِ أَوْ أَجِيرٌ لَهُ فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ: إِنَّهُ أَجِيرٌ مِنَ الْمَالِ بِحِصَّتِهِ مِنَ الرِّبْحِ الْمَشْرُوطِ لَهُ، وَلَا يَكُونُ شَرِيكًا لِرَبِّ الْمَالِ فِيهِ، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ، وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَامِلَ إنما هو داخل ببدنه لا يملكه فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ شَرِيكًا لِأَنَّ شَرِكَةَ الأبدان لا تصح، فثبت أنه أجبر.
Berkata al-Māwardī: Adapun al-qirāḍ adalah istilah penduduk Hijaz, sedangkan ia disebut muḍārabah dalam istilah penduduk Irak. Maka apabila seseorang menyerahkan seribu (dirham) sebagai qirāḍ kepada orang lain dengan ketentuan setengah dari keuntungannya, lalu ia membeli barang dengan seribu tersebut, dan berlalu satu ḥaul atasnya, dan nilainya menjadi dua ribu, maka dalam zakatnya terdapat dua pendapat, yang dibangun di atas perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i tentang status al-‘āmil (pelaksana)—apakah dia dianggap sebagai mitra dalam keuntungan atau sebagai pekerja yang diupah.
Salah satu dari dua pendapatnya adalah: bahwa dia adalah pekerja (ajīr) atas harta itu dengan upah bagian keuntungan yang disyaratkan baginya, dan bukan merupakan mitra bagi pemilik modal dalam harta tersebut. Pendapat ini dipilih oleh al-Muzanī.
Adapun alasan pendapat ini ada dua:
Pertama: Bahwa al-‘āmil sesungguhnya masuk hanya dengan badannya, bukan dengan milik, maka tidak sah baginya menjadi mitra, karena kemitraan berdasarkan tenaga (syarikah al-abdān) tidak sah. Maka tetaplah bahwa dia adalah pekerja (ajīr).
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ كَانَ شَرِيكًا لَكَانَ يَلْحَقُهُ مِنَ الْوَضِيعَةِ وَالْعَجْزِ كَمَا يَلْحَقُهُ مِنَ الرِّبْحِ، وَالْفَضْلِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ فِي الْعَجْزِ شَرِيكًا لَمْ يَكُنْ فِي الرِّبْحِ شَرِيكًا.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْعَامِلَ شَرِيكٌ فِي الرِّبْحِ بِمَا شُرِطَ فِيهِ.
وَوَجْهُ ذَلِكَ شَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: أنه لو كان أجيراً لكان عوضه معلماً ولا يستحقه وَإِنْ كَانَ الرِّبْحُ مَعْدُومًا، فَلَمَّا جَازَتْ جَهَالَةُ عِوَضِهِ وَلَمْ يَسْتَحِقَّ مِنَ الْمَالِ شَيْئًا عِنْدَ عَدَمِ رِبْحِهِ لَمْ يَجُزْ، أَنْ يَكُونَ أَجِيرًا وثبت كونه شريكاً.
والثاني: هو أن الإجازة لَازِمَةٌ وَالشَّرِكَةَ جَائِزَةٌ فَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّ الْمُضَارَبَةَ جَائِزَةٌ غَيْرُ لَازِمَةٍ ثَبَتَ أَنَّ الْعَامِلَ شَرِيكٌ غَيْرُ أَجِيرٍ.
kedua: bahwa seandainya ia adalah seorang syarīk (sekutu), tentu ia akan terkena dampak kerugian dan kekurangan sebagaimana ia mendapat bagian dari keuntungan dan kelebihan. Maka ketika ia tidak menjadi sekutu dalam kerugian, ia pun tidak menjadi sekutu dalam keuntungan.
Pendapat kedua: bahwa ‘āmil (pekerja) adalah sekutu dalam keuntungan sesuai dengan yang disyaratkan padanya.
Adapun alasannya ada dua:
pertama: seandainya ia adalah seorang pekerja upahan (ajīr), tentu imbalannya harus diketahui dan tetap berhak atasnya sekalipun tidak ada keuntungan. Maka ketika kebolehan ketidakjelasan imbalannya dibenarkan dan ia tidak berhak atas apa pun dari harta jika tidak ada keuntungan, tidak sah ia dianggap sebagai pekerja upahan. Maka tetaplah bahwa ia adalah seorang sekutu.
kedua: bahwa akad ijarah (pekerja upahan) bersifat mengikat (lāzim), sedangkan akad syirkah bersifat tidak mengikat (jā’iz). Maka ketika telah tetap bahwa muḍārabah itu tidak mengikat, maka tetaplah bahwa ‘āmil adalah sekutu, bukan pekerja upahan.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، فالزكاة فرع عليها، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْعَامِلَ أَجِيرٌ فَزَكَاةُ الْأَلْفَيْنِ عَلَى رَبِّ الْمَالِ، لِأَنَّ جَمِيعَهَا عَلَى هَذَا القول ملكاً لَهُ، وَمِنْ أَيْنَ يُخْرِجُهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مِنَ الرِّبْحِ لِأَنَّهَا مُؤْنَةُ الْمَالِ فَشَابَهَتْ سَائِرَ المؤن وهذا أخص بِالْعَامِلِ.
PASAL
Apabila telah tetap alasan bagi kedua pendapat, maka zakat adalah cabang dari keduanya.
Jika kita mengatakan bahwa al-‘āmil (pelaksana) adalah ajīr (pekerja), maka zakat atas dua ribu tersebut wajib atas pemilik harta, karena seluruhnya menurut pendapat ini adalah miliknya.
Adapun dari mana ia mengeluarkan zakatnya, terdapat dua wajah:
Pertama: Dari keuntungan, karena ia termasuk beban (biaya) atas harta, maka menyerupai beban-beban lainnya. Dan ini lebih khusus berlaku pada al-‘āmil.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُخْرِجُهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمَالِ بأصله وَرِبْحِهِ، لِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ فِي الْجُمْلَةِ، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ فِي الْجُمْلَةِ، فَعَلَى هَذَا يُخْرِجُ مِنَ الربح خَمْسَةً وَعِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَقَدْ بَطَلَتِ الْمُضَارَبَةُ فِيمَا أخرجه من أصل المال فأما العالم عَلَى هَذَا الْقَوْلِ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ حَتَّى يَقْبِضَ حِصَّتَهُ مِنَ الرِّبْحِ، فَإِذَا قَبَضَهَا اسْتَأْنَفَ حولها فإذا قُلْنَا: إِنَّ الْعَامِلَ شَرِيكٌ فَعَلَى رَبِّ الْمَالِ زَكَاةُ أَلْفٍ وَخَمْسِمِائَةٍ أَصْلُ الْمَالِ مِنْهَا أَلْفٌ، والخمسمائة ربح، ومن أين تخرج زَكَاتُهَا عَلَى الْوَجْهَيْنِ، فَأَمَّا الْعَامِلُ فَعَلَيْهِ زَكَاةُ خَمْسِمِائَةٍ لِأَنَّهُ مَالِكٌ لَا شَرِيكَ بِهَا، وَفِي ابتداء حولها وجهان:
Wajah yang kedua: ia mengeluarkan zakat dari keseluruhan harta, baik pokok maupun keuntungannya, karena zakat itu wajib atas keseluruhan harta, maka wajib pula ia dikeluarkan dari keseluruhannya. Maka berdasarkan pendapat ini, ia mengeluarkan dari keuntungan sebesar dua puluh lima dirham. Dan muḍārabah menjadi batal atas bagian yang dikeluarkan dari pokok harta.
Adapun si ‘āmil menurut pendapat ini, maka tidak ada kewajiban atasnya sampai ia menerima bagiannya dari keuntungan. Ketika ia telah menerimanya, barulah ia memulai haul dari bagiannya tersebut.
Maka jika kita mengatakan bahwa ‘āmil adalah sekutu, maka pemilik harta wajib menzakati seribu lima ratus—yang seribu adalah pokok harta dan lima ratus adalah keuntungan. Dan zakat atas bagian tersebut dari mana ia dikeluarkan, ada dua wajah.
Adapun ‘āmil, maka ia wajib menzakati lima ratus karena ia adalah pemilik, bukan sekadar sekutu. Dan dalam hal permulaan haul atas bagian tersebut, ada dua wajah:
أحدهما: من حين ظهور الرِّبْحُ لِأَنَّهَا فِي مِلْكِهِ ظَهَرَتْ، وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مِنْ حِينِ الْمُحَاسَبَةِ وَالتَّقْوِيمِ، لِأَنَّهَا بِذَلِكَ مُسْتَقِرَّةٌ، فَإِذَا حَالَ حَوْلُهَا لم يلزم إخراج زكاتها حتى يقبضها بجواز تَلَفِ الْمَالِ، أَوْ تَلَفِ بَعْضِهِ فَيَبْطُلُ الرِّبْحُ فَإِنْ قَبَضَهَا أَخْرَجَ زَكَاتَهَا.
Pertama: (zakat dikeluarkan) sejak munculnya keuntungan, karena saat itu telah tampak dalam kepemilikannya, dan ini adalah pendapat yang ẓāhir dari Imam al-Syafi‘i.
Wajah kedua: (zakat dikeluarkan) sejak waktu perhitungan dan penilaian, karena pada saat itulah keuntungan menjadi tetap. Maka jika telah berlalu ḥaul-nya, tidak wajib mengeluarkan zakatnya hingga ia benar-benar menerimanya, karena bisa jadi harta itu rusak, atau sebagian darinya rusak sehingga keuntungan menjadi batal. Jika ia telah menerimanya, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya.
فَصْلٌ
: فَلَوْ كَانَ الْعَامِلُ نَصْرَانِيًّا وَرَبُّ الْمَالِ مُسْلِمًا، فَإِنْ قِيلَ: الْعَامِلُ أَجِيرٌ فَعَلَى رَبِّ الْمَالِ زَكَاةُ جَمِيعِ الْأَلْفَيْنِ، وَإِنْ قِيلَ هُوَ شَرِيكٌ فَعَلَى رَبِّ المال زكاة ألف وخمسماية، وَتَسْقُطُ زَكَاةُ خَمْسِمِائَةٍ لِأَنَّهَا مِلْكُ النَّصْرَانِيِّ، وَلَوْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ نَصْرَانِيًّا وَالْعَامِلُ مُسْلِمًا فَإِنْ قِيلَ: الْعَامِلُ أَجِيرٌ فَلَا زَكَاةَ فِي الْمَالِ لِأَنَّ جَمِيعَهُ مِلْكُ النَّصْرَانِيِّ، وَإِنْ قِيلَ: الْعَامِلُ شريك فلا زكاة في ألف وخمسماية لأنها ملك النصراني، وعلى العامل زكاة خمسماية، إِذَا حَالَ حَوْلُهَا فَلَوْكَانَتْ قِيمَةُ الْعَرَضِ بَعْدَ الْحَوْلِ أَلْفًا وَمِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَإِنْ قِيلَ: الْعَامِلُ أَجِيرٌ فَعَلَى رَبِّ الْمَالِ زَكَاةُ أَلْفٍ وَمِائَةِ دِرْهَمٍ.
PASAL
Maka jika ‘āmil (pekerja) adalah seorang Nasrani dan pemilik harta adalah seorang Muslim, maka jika dikatakan bahwa ‘āmil itu adalah pekerja upahan, maka atas pemilik harta wajib zakat atas seluruh dua ribu. Dan jika dikatakan bahwa ia adalah sekutu, maka atas pemilik harta zakat seribu lima ratus, dan gugur zakat atas lima ratus karena itu milik si Nasrani. Dan jika pemilik harta adalah seorang Nasrani dan ‘āmil-nya seorang Muslim, maka jika dikatakan bahwa ‘āmil adalah pekerja upahan maka tidak ada zakat dalam harta itu karena seluruhnya adalah milik Nasrani. Dan jika dikatakan bahwa ‘āmil adalah sekutu, maka tidak ada zakat pada seribu lima ratus karena itu milik si Nasrani, dan atas ‘āmil zakat lima ratus jika telah berlalu haul atasnya. Maka jika nilai ‘aradh (barang dagangan) setelah berlalu haul adalah seribu dua ratus dirham, maka jika dikatakan bahwa ‘āmil adalah pekerja upahan, maka atas pemilik harta zakat atas seribu seratus dirham.
وَعَلَى الْعَامِلِ زكاة المائة إن كان مالكاً لتمام النصاب وإن لم يملك سواها، ففي إيجاب زكاتها قولان: من اختلاف قوله في جواز الخلطة في الدراهم والدنانير فعلى القديم لا زكاة عليه فيها، وعلى الجديد عليه زكاتها إلا أن يكون رب المال نصرانياً، فلا زكاة عليه قولاً واحداً لأنه خليط النصراني.
Dan atas al-‘āmil wajib zakat atas seratus (dirham atau dinar) jika ia memiliki sempurna niṣāb meskipun tidak memiliki selainnya. Maka dalam mewajibkan zakat atasnya terdapat dua pendapat, yang bersumber dari perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i tentang bolehnya khalṭah (campuran harta) dalam dirham dan dinar.
Menurut qaul qadīm, tidak wajib zakat atasnya.
Dan menurut qaul jadīd, wajib zakat atasnya—kecuali jika pemilik harta adalah seorang Nasrani, maka tidak wajib zakat atasnya menurut satu pendapat, karena ia adalah khalīṭ (mitra usaha) dari seorang Nasrani.
مسألة:
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا كَانَتْ لَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَعَلَيْهِ مِثْلُهَا فَاسْتَعْدَى عَلَيْهِ السُّلْطَانَ قَبْلَ الْحَوْلِ وَلَمْ يَقْضِ عَلَيْهِ بِالدَّيْنِ حَتَى حَالَ الْحَوْلُ أَخْرَجَ زَكَاتَهَا ثُمَّ قَضَى غُرَمَاءُهُ بَقِيَّتَهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ نَقْدًا، وَعَلَيْهِ مِثْلُهَا دَيْنًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَمْلِكَ عَرَضًا أَوْ عَقَارًا بِقِيمَةِ الْمِائَتَيْنِ الدَّيْنِ فَهَذَا عَلَيْهِ زَكَاةُ الْمِائَتَيْنِ الَّتِي بِيَدِهِ لَا يَخْتَلِفُ
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَمْلِكَ سِوَى الْمِائَتَيْنِ الَّتِي بِيَدِهِ، وَقَدْ حَالَ حَوْلُهَا وَعَلَيْهِ مِثْلُهَا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
BAB UTANG BERSAMA SEDEKAH, ZAKAT ATAS LUQATHAH, SEWA RUMAH, DAN HARTA GHANIMAH
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika ia memiliki dua ratus dirham dan atasnya ada utang sejumlah itu, lalu ia mengadukan kepada penguasa sebelum haul (satu tahun) tetapi belum diputuskan atasnya untuk membayar utang hingga haul berlalu, maka ia mengeluarkan zakatnya, kemudian para penagih utangnya mengambil sisanya.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam al-Syafi‘i), apabila ia memiliki dua ratus dirham berupa uang tunai dan atasnya ada utang sejumlah itu, maka ini terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: Ia memiliki ‘aradh (barang dagangan) atau tanah dengan nilai dua ratus sebagai pengganti utangnya, maka wajib atasnya zakat atas dua ratus yang ada di tangannya, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Kedua: Ia tidak memiliki selain dua ratus yang ada di tangannya, dan haul telah berlalu atasnya, sedangkan atasnya ada utang sejumlah itu, maka ini terbagi lagi menjadi dua jenis:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ مُؤَجَّلًا، فَعَلَيْهِ زَكَاةُ مَا بِيَدِهِ، لَا يَخْتَلِفُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ حَالًّا، فَفِي وُجُوبِ زَكَاةِ مَا بِيَدِهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ، وَفِي اخْتِلَافِ الْعِرَاقِيِّينَ من الْجَدِيدِ أَنَّ مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ يَمْنَعُ وُجُوبَ زَكَاتِهَا، فَلَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَالثَّوْرِيُّ وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ فِي الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ دُونَ مَا سِوَاهُمَا، وَقَوْلُ أبي حنيفة فِي الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَالْمَوَاشِي دُونَ مَا عداهما.
Pertama: Jika utang yang ditanggungnya adalah mu’ajjal (ditangguhkan), maka ia tetap wajib menunaikan zakat atas harta yang ada di tangannya, tanpa ada perbedaan pendapat.
Golongan kedua: Jika utangnya adalah ḥāl (jatuh tempo), maka dalam kewajiban zakat atas harta yang ada di tangannya terdapat dua pendapat:
Pertama: Dinukil oleh Imam al-Syafi‘i dalam al-qadīm, dan dari perbedaan pendapat ulama Irak dalam al-jadīd, bahwa utang yang jatuh tempo menghalangi kewajiban zakat atasnya, maka tidak wajib zakat pada harta tersebut. Pendapat ini juga dikatakan oleh sebagian sahabat, yaitu ‘Utsmān bin ‘Affān RA, dan dari kalangan tabi‘in: al-Ḥasan al-Baṣrī dan Sulaimān bin Yasār.
Dari kalangan fuqahā’: al-Layth bin Sa‘d, ats-Tsaurī, Aḥmad, Isḥāq, dan ini juga merupakan pendapat Mālik dalam masalah dirham dan dinar saja, tidak pada selain keduanya.
Adapun pendapat Abū Ḥanīfah adalah bahwa utang menggugurkan kewajiban zakat pada dirham, dinar, dan hewan ternak, tetapi tidak pada selainnya.
والقول الثاني: نص عليه في الجديد إن الدَّيْنَ لَا يَمْنَعُ وُجُوبَ زَكَاتِهَا وَإِنَّ الزَّكَاةَ فِيهَا وَاجِبَةٌ.
وَبِهِ قَالَ رَبِيعَةُ بْنُ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ وَهُوَ أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ، وَبِهِ تَقَعُ الْفَتْوَى.
وَاسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ بِالْأَوَّلِ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا في فقرائكم ” ومنه دليلان:
أحدهما: أن من استوعب دينه ما بيده فَلَيْسَ بِغَنِيٍّ فَلَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ زَكَاةٌ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَ النَّاسَ صِنْفَيْنِ صِنْفًا يُؤْخَذُ مِنْهُ وَصِنْفًا تُدْفَعُ إِلَيْهِ وَهَذَا مِمَّنْ تُدْفَعُ إِلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُؤْخَذَ مِنْهُ، وَرُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قال في الحرم خَطِيبًا عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” هذا أشهر زَكَاتِكُمُ، فَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَلْيَقْضِهِ ثُمَّ يزكي بقية ماله “.
Dan pendapat kedua: dinyatakan oleh Imam al-Syafi‘i dalam qaul jadīd, bahwa utang tidak menghalangi kewajiban zakat, dan bahwa zakat atas harta itu tetap wajib.
Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Rabī‘ah bin Abī ‘Abd al-Raḥmān, dan Ḥammād bin Abī Sulaymān, dan inilah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat tersebut, dan dengannya pula fatwa dijatuhkan.
Adapun dalil orang yang berpendapat dengan pendapat pertama adalah sabda Nabi SAW:
“Aku diperintahkan untuk mengambil sedekah dari orang-orang kaya kalian lalu membagikannya kepada orang-orang fakir di antara kalian.”
Dari hadis ini terdapat dua dalil:
Pertama: Bahwa orang yang seluruh hartanya habis untuk menutupi utangnya, maka ia bukan orang kaya, sehingga tidak wajib zakat atasnya.
Kedua: Bahwa Nabi SAW membagi manusia menjadi dua kelompok: kelompok yang diambil zakat darinya, dan kelompok yang diberi zakat. Dan orang seperti ini termasuk yang diberi zakat, maka tidak sah untuk diambil zakat darinya.
Dan diriwayatkan dari ‘Utsmān bin ‘Affān RA bahwa ia berkhutbah di al-Ḥaram di atas mimbar Rasulullah SAW:
“Ini adalah bulan zakat kalian. Maka siapa yang memiliki utang, hendaklah ia melunasinya terlebih dahulu, kemudian menzakati sisa hartanya.”
وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَتَعَلَّقُ وُجُوبُهَا بِالْمَالِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الدَّيْنُ مَانِعًا مِنْهَا كَالْحَجِّ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ مَالٌ يُمْلَكُ بِغَيْرِ عِوَضٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الدَّيْنُ مانعاً سنة كالميراث لا يستحق ثبوت الدين فيه وَلِأَنَّهُ مَالٌ يَسْتَحِقُّ إِزَالَةُ يَدِهِ عَنْهُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَجِبَ فِيهِ الزَّكَاةُ كَمَالِ الْمُكَاتَبِ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ عَلَى مَنْ لَهُ الدَّيْنُ لِأَجْلِ الْمَالِ الَّذِي بِيَدِ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ، فَلَوْ وَجَبَتْ فِي الدَّيْنِ زَكَاةٌ وَفِي الْمَالِ زَكَاةٌ، لَوَجَبَتْ زَكَاتَانِ فِي مَالٍ، وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ، كَزَكَاةِ التِّجَارَةِ وَالسَّوْمِ.
Dan tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihinya, maka hal itu menjadi ijmā‘.
Karena zakat adalah ibadah yang kewajibannya terkait dengan harta, maka wajib bahwa utang menjadi penghalang zakat, sebagaimana haji.
Dan karena zakat adalah harta yang dimiliki tanpa imbalan, maka wajib bahwa utang menjadi penghalang selama satu tahun, seperti warisan yang tidak dapat diminta oleh yang berutang.
Dan karena harta tersebut adalah harta yang layak untuk diambil dari tangan pemiliknya (oleh kreditur), maka tidak wajib zakat padanya, seperti harta seorang mukātab (budak yang berakad tebus diri).
Dan karena zakat itu diwajibkan kepada orang yang memiliki piutang, karena harta yang ada di tangan orang yang berutang, maka jika zakat diwajibkan atas utang dan juga atas harta, niscaya akan wajib dua zakat atas satu harta. Dan itu tidak diperbolehkan, sebagaimana zakat atas barang dagangan dan hewan ternak yang digembalakan (as-sawm).
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ الْقَوْلِ الثَّانِي عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أَمْوَالِهمْ صَدَقَةُ تُطَهِّرَهُمْ وتُزَكِّيهِمْ بِهَا) {التوبة: 103) وَمَا بِيَدِهِ مَالُهُ يَجُوزُ فِيهِ تَصَرُّفُهُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ الْأَخْذُ مِنْهُ، وَرَوَى عَلِيٌّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا كَانَ مَعَكَ مَائِتَا دِرْهَمٍ فَعَلَيْكَ خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَفِيمَا زَادَ بِحِسَابِهِ ” وَهُوَ مَالِكٌ لِمَا بِيَدِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ، وَلِأَنَّ رَهْنَ الْمَالِ فِي الدَّيْنِ أَقْوَى واستحقاقه بِالدَّيْنِ لِأَنَّ الرَّهْنَ فِي الرَّقَبَةِ، وَالدَّيْنَ فِي الذِّمَّةِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ الرَّهْنُ فِي الدَّيْنِ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الزَّكَاةِ كَانَ أَوْلَى، أَنْ لَا يَكُونَ مُجَرَّدُ الدَّيْنِ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الزَّكَاةِ، وَلِأَنَّ الدَّيْنَ وَاجِبٌ فِي الذِّمَّةِ، وَالزَّكَاةُ لَا تَخْلُو مِنْ أَنْ تَكُونَ وَاجِبَةً فِي الْعَيْنِ، أَوْ فِي الذِّمَّةِ فَإِنْ وَجَبَتْ فِي الْعَيْنِ لَمْ يَكُنْ مَا فِي الذِّمَّةِ مَانِعًا مِنْهَا، كَالْعَبْدِ إِذَا جَنَى وَفِي ذِمَّةِ سَيِّدِهِ دَيْنٌ يُحِيطُ بِثَمَنِهِ لَمْ يَكُنِ الدَّيْنُ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الْأَرْشُ فِي رَقَبَتِهِ، وَإِنْ وَجَبَتِ الزَّكَاةُ فِي الذِّمَّةِ لَمْ يَكُنْ مَا ثَبَتَ مِنَ الدَّيْنِ أَوَّلًا فِي الذِّمَّةِ مَانِعًا مِنْهَا، كَالدَّيْنِ إِذَا ثَبَتَ فِي الذِّمَّةِ لِزَيْدٍ لَمْ يَكُنْ مَانِعًا مِنْ ثُبُوتِ دَيْنٍ آخَرَ فِي الذِّمَّةِ لِعَمْرٍو وَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ، يَتَحَرَّرُ مِنِ اعْتِلَالِهِ قِيَاسَانِ:
Dan dalil atas kebenaran qaul kedua adalah keumuman firman Allah Ta’ala: {Khudz min amwālihim ṣadaqatan tuṭahhiruhum wa tuzakkīhim bihā} (at-Taubah: 103), dan barang siapa yang di tangannya terdapat harta yang sah untuk ia pergunakan, maka wajib untuk diambil (zakat) darinya. Dan telah meriwayatkan ʿAlī dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika engkau memiliki dua ratus dirham, maka atasmu (zakat) lima dirham, dan atas setiap kelebihan, maka dihitung (zakatnya) sesuai (kadarnya).” Dan ia adalah pemilik atas apa yang di tangannya, maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakatnya.
Karena pengikatan harta untuk utang lebih kuat daripada keterkaitan harta karena utang, sebab rahn itu pada barang (raqabah), sedangkan utang itu pada tanggungan (żimmah). Maka tatkala rahn dalam utang tidak menjadi penghalang dari kewajiban zakat, maka lebih utama lagi bahwa semata-mata utang tidak menjadi penghalang dari kewajiban zakat. Dan karena utang adalah kewajiban dalam żimmah, sedangkan zakat tidak lepas dari dua keadaan: wajib atas ʿayn (harta itu sendiri), atau wajib atas żimmah (tanggungan). Jika zakat itu wajib atas ʿayn, maka utang dalam żimmah tidak menjadi penghalang darinya, seperti seorang budak jika melakukan jinayat, sementara pada żimmah tuannya terdapat utang yang meliputi harga budak itu, maka utang tersebut tidak menghalangi wajibnya arasy pada raqabah-nya.
Dan jika zakat itu wajib dalam żimmah, maka utang yang telah ada sebelumnya dalam żimmah tidak menjadi penghalang darinya, seperti utang yang telah ditetapkan dalam żimmah kepada Zaid, maka tidak menghalangi penetapan utang lain dalam żimmah kepada ʿAmr. Dan istidlāl ini disucikan dari kelemahannya dengan dua qiyās:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ حَقٌّ يَتَعَلَّقُ بِمَالٍ يَسْقُطُ بِتَلَفِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْنَعَ الدَّيْنُ مِنْ ثُبُوتِهِ كَالْجِنَايَةِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ حَقُّ مَالٍ مَحْضٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ ثُبُوتِ الْمَالِ بِمُجَرَّدِهِ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِهِ كَالدَّيْنِ، ثُمَّ مِنَ الدَّلَالَةِ على مالك وأبي حنيفة أن يقول: لِأَنَّهُ حَقُّ مَالٍ يُصْرَفُ إِلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ فجاز، أن يجب على ما اسْتَغْرَقَ الدَّيْنُ مَالَهُ، كَالْعُشْرِ فِي الثَّمَرَةِ وَالزَّرْعِ، وَالْجَوَابُ عَمَّا قَالَهُ أَمَّا الْخَبَرُ فَلَا حُجَّةَ فيه، لأن أول دليله يَنْفِي أَخْذَ الصَّدَقَةِ مِمَّنْ لَيْسَ بِغَنِيٍّ، وَثَانِي دَلِيلِهِ مَدْفُوعٌ بِالْإِجْمَاعِ عَلَى وُجُودِ قِسْمٍ ثَالِثٍ، يُؤْخَذُ مِنْهُ، وَيُدْفَعُ إِلَيْهِ وَهُوَ بَنُو السَّبِيلِ،تُؤْخَذُ مِنْهُمُ الصَّدَقَةُ عَنْ أَمْوَالِهِمُ الْغَائِبَةِ، وَتُدْفَعُ إِلَيْهِمُ الصَّدَقَةُ فِي أَسْفَارِهِمْ لِلْحَاجَةِ الْمَاسَّةِ وَأَمَّا حَدِيثُ عُثْمَانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فَلَا دَلِيلَ فِيهِ عَلَى إِسْقَاطِ الزَّكَاةِ بِالدَّيْنِ، وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى تَقْدِيمِ الدَّيْنِ عَلَى الزَّكَاةِ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحَجِّ، فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالزَّكَاةَ مُمْتَنِعٌ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ عَلَى الصَّبِيِّ والمجنون، وإن لم يجب الحج عليها، وَوُجُوبُ الْحَجِّ عَلَى الْفَقِيرِ، إِذَا كَانَ مُقِيمًا بِمَكَّةَ، وَإِنْ لَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ عَلَيْهِ فَثَبَتَ أَنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ فِي الْوُجُوبِ غَيْرُ صَحِيحٍ.
pertama: bahwa ia adalah hak yang berkaitan dengan harta yang gugur karena rusak, maka wajib bahwa utang tidak mencegah kewajiban zakat, sebagaimana halnya jinayah.
dan kedua: bahwa ia adalah hak harta murni, maka wajib bahwa keberadaan harta semata tidak menjadi penghalang dari kewajiban zakat, sebagaimana halnya utang. Kemudian, dalil dari Malik dan Abu Ḥanīfah bahwa: karena ia adalah hak harta yang disalurkan kepada para mustahiq zakat, maka boleh saja diwajibkan atas harta yang seluruhnya habis oleh utang, sebagaimana ‘usyur pada buah dan tanaman.
Adapun jawaban atas apa yang mereka katakan: adapun khabar, maka tidak ada hujah di dalamnya, karena awal dalilnya meniadakan pengambilan zakat dari orang yang bukan orang kaya, dan dalil keduanya tertolak dengan ijma‘ atas keberadaan golongan ketiga yang diambil darinya dan diberikan pula kepadanya, yaitu banū as-sabīl, yang diambil zakat dari harta mereka yang tidak bersama mereka (ghā’ibah), dan diberikan zakat kepada mereka dalam safar mereka karena kebutuhan mendesak.
Adapun hadis ‘Utsmān RA, maka tidak ada dalil di dalamnya atas pengguguran zakat karena utang, tetapi hanya menunjukkan bahwa utang didahulukan atas zakat.
Adapun qiyās mereka terhadap haji, maka tidak sah, karena menggabungkan antara haji dan zakat adalah tidak mungkin: karena zakat wajib atas anak kecil dan orang gila, meskipun haji tidak wajib atas mereka, dan haji wajib atas orang miskin jika ia tinggal di Makkah, meskipun zakat tidak wajib atasnya. Maka tetaplah bahwa menyamakan salah satu dari keduanya dengan yang lain dalam hal kewajiban tidaklah benar.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمِيرَاثِ، فَلَيْسَ الدَّيْنُ مَانِعًا مِنَ الْمِيرَاثِ، لِأَنَّ الْمِيرَاثَ حَاصِلٌ وَقَضَاءَ الدَّيْنِ وَاجِبٌ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْوَارِثَ لَوْ قَضَى الدَّيْنَ مِنْ مَالِهِ لَاسْتَحَقَّ مِيرَاثَ مَيِّتِهِ عَلَى أَنَّهُ بَاطِلٌ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُكَاتَبِ، فَلَيْسَ الْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ مِمَّنْ يَسْتَحِقُّ إِزَالَةَ يَدِهِ عَنْ مَالِهِ وَإِنَّمَا الْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ غَيْرُ تَامِّ الْمِلْكِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُكَاتَبَ لَوْ كَانَ مَعَهُ قَدْرُ دَيْنِهِ فَأَكْثَرَ، لَمْ يَسْتَحِقَّ إِزَالَةَ يَدِهِ عَنْهُ ثُمَّ مَعَ هَذَا لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ هَذَا يُؤَدِّي إِلَى إِيجَابِ زَكَاتَيْنِ فِي مَالٍ فَدَعْوَى بِلَا بُرْهَانٍ بَلْ هُمَا مَالَانِ لِرَجُلَيْنِ فَزَكَاةُ هَذَا الْمَالِ فِي عَيْنِهِ، وَزَكَاةُ الدين على مالكه والعين غير الدين.
Adapun qiyās mereka terhadap warisan, maka tidaklah utang menjadi penghalang dari warisan, karena warisan itu tetap terjadi dan pelunasan utang itu wajib. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang ahli waris, jika ia melunasi utang dari hartanya sendiri, maka ia tetap berhak mendapatkan warisan dari mayitnya? Padahal qiyās itu batal (tidak sah) jika diterapkan pada zakat fitri.
Adapun qiyās mereka terhadap mukātib, maka bukan karena ia termasuk orang yang berhak dicabut kepemilikannya atas hartanya, melainkan karena ia bukanlah pemilik sempurna. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang mukātib, jika ia memiliki harta sebesar utangnya atau lebih, maka tidaklah berhak dicabut kepemilikannya atas harta itu? Namun begitu, tetap tidak wajib zakat atasnya.
Adapun perkataan mereka bahwa hal ini akan mengantarkan pada kewajiban dua zakat dalam satu harta, maka itu hanyalah klaim tanpa bukti. Bahkan keduanya adalah dua harta milik dua orang, maka zakat atas harta ini terkait dengan ʿayn-nya, dan zakat atas utang terkait dengan pemiliknya, dan ʿayn bukanlah utang.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ وَثَبَتَ أَنَّ أَصَحَّهُمَا وُجُوبُ الزَّكَاةِ وَأَنَّ الدَّيْنَ لَا يَمْنَعُ مِنْهَا، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الدَّيْنُ مِنْ جِنْسِ الْمَالِ، أَوْ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ حَتَّى لَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ، وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ دَنَانِيرَ أَوْ بُرٍّ أَوْ شَعِيرٍ قَدْرُ قِيمَتِهِ مِائَتَا دِرْهَمٍ، فَهُوَ كَمَا لَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ، فَتَكُونُ الزَّكَاةُ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَكَذَا لَا فَرْقَ بَيْنَ الزَّكَاةِ وَالْعُشْرِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ جَمِيعًا لِأَنَّ الْعُشْرَ عِنْدَنَا زَكَاةٌ وَإِنَّمَا فَرَّقَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ بَيْنَهُمَا، فَلَوْ أَخْرَجَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ مِنْ ثَمَرَةٍ أَوْ زَرْعٍ وَكَانَ عَلَيْهِ مِثْلُهَا دَيْنًا، أَوْ مِثْلُ قِيمَتِهَا دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ كَانَتِ الزَّكَاةُ عَلَى قَوْلَيْنِ، فَلَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ نَقْدًا وَعَلَيْهِ مِائَتَا دِرْهَمٍ دَيْنًا فَزَكَاتُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ أَيْضًا، إِنْ ثَبَتَ أَنَّ الدَّيْنَ يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ الدَّيْنِ أَقَلُّ مِنْ نِصَابٍ، وَإِنْ قُلْنَا: لَا يَمْنَعُ فَعَلَيْهِ زَكَاةُ مِائَتَيْنِ فَلَوْ كَانَ مَعَهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ نَقْدًا وَعَلَيْهِ مِائَتَا درهم ديناً فعلى هذين القولين أحدها: تَجِبُ زَكَاةُ الْمِائَتَيْنِ لَا غَيْرَ.
وَالثَّانِي: زَكَاةُ الْأَرْبَعِمِائَةِ إِذَا قُلْنَا الدَّيْنُ لَا يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ.
PASAL
Maka apabila telah tetap dua pendapat ini dan telah dipastikan bahwa pendapat yang lebih sahih adalah wajibnya zakat dan bahwa utang tidak menghalangi kewajibannya, maka tidak ada perbedaan antara apakah utang itu dari jenis harta yang sama atau dari jenis yang lain. Sehingga, jika seseorang memiliki dua ratus dirham, dan ia memiliki utang berupa dinar atau bur atau sya‘īr yang nilainya dua ratus dirham, maka hukumnya seperti ia memiliki dua ratus dirham, maka zakat wajib atasnya menurut dua pendapat.
Demikian pula, tidak ada perbedaan antara zakat dan ‘usyur menurut dua pendapat ini secara keseluruhan, karena ‘usyur menurut kami adalah zakat, sedangkan Abū Ḥanīfah dan Mālik membedakan antara keduanya.
Maka jika Allah Ta‘ālā mengeluarkan baginya lima wusq dari buah atau tanaman, dan ia memiliki utang sebesar itu atau senilai itu berupa dirham atau dinar, maka zakatnya menurut dua pendapat juga.
Jika seseorang memiliki dua ratus dirham tunai dan ia memiliki utang dua ratus dirham, maka zakatnya juga menurut dua pendapat: jika dipastikan bahwa utang menghalangi kewajiban zakat, maka tidak ada zakat atasnya karena sisa harta setelah dikurangi utang kurang dari niṣāb. Namun jika dikatakan: utang tidak menghalangi, maka wajib atasnya zakat dua ratus dirham.
Jika ia memiliki empat ratus dirham tunai dan ia memiliki utang dua ratus dirham, maka berdasarkan dua pendapat ini:
- Pertama: wajib zakat atas dua ratus dirham saja, tidak lebih.
- Kedua: zakat atas seluruh empat ratus dirham, jika dikatakan bahwa utang tidak menghalangi kewajiban zakat.
فَصْلٌ
: فَلَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ نقداً، فقال قبل الحول إن شفا الله مريضي فالله عَلَيَّ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَشَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ دَيْنَ الْآدَمِيِّ لَا يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فَهَذَا أَوْلَى وَالزَّكَاةُ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ دَيْنَ الْآدَمِيِّ يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فَهَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَمْنَعُ وَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ كَدَيْنِ الْآدَمِيِّ.
PASAL
Maka seandainya ia memiliki dua ratus dirham tunai, lalu ia berkata sebelum haul: “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku, maka wajib atasku bersedekah seratus dirham,” kemudian Allah menyembuhkan orang sakitnya sebelum haul, maka jika kita katakan bahwa utang kepada sesama manusia tidak menghalangi kewajiban zakat, maka ini lebih utama, dan zakat tetap wajib atasnya.
Namun jika kita katakan bahwa utang kepada sesama manusia menghalangi kewajiban zakat, maka dalam hal ini ada dua wajah:
Pertama: ia menghalangi, dan tidak ada zakat atasnya, sebagaimana utang kepada sesama manusia.
والثاني: لا يمنع وعليه زكاة لِأَنَّ دَيْنَ الْآدَمِيِّ أَوْكَدُ مِنَ النَّذْرِ، لِأَنَّ النَّذْرَ هُوَ عَلَى أَدَائِهِ أَمِينٌ، وَدَيْنُ الْآدَمِيِّ لَهُ مَنْ يُطَالِبُ بِهِ، وَيَسْتَوْفِيهِ وَلَوْ قَالَ ومعه مائتا درهم: إن شفا اللَّهُ مَرِيضِي تَصَدَّقْتُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ مِنْهَا، وَأَشَارَ إِلَيْهَا وَعَيَّنَ النَّذْرَ فِيهَا، فَشَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ، فَجَوَابُهَا عَكْسُ ذَلِكَ الْجَوَابِ إِنْ قُلْنَا إِنَّ دَيْنَ الْآدَمِيِّ يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فَهَذَا أَوْلَى أَنْ يَمْنَعَ وَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ دَيْنَ الْآدَمِيِّ لَا يَمْنَعُ، فَهَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا لَا يَمْنَعُ كَدَيْنِ الْآدَمِيِّ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَمْنَعُ، لِأَنَّ هَذَا قَدِ اسْتَحَقَّ بِهِ عَيْنَ الْمَالِ فَمَنَعَ الزَّكَاةَ، وَدَيْنُ الْآدَمِيِّ لَمْ يَسْتَحِقَّ بِهِ عَيْنَ الْمَالِ فَلَمْ يمنع الزكاة، والله أعلم.
dan kedua: tidak menghalangi, dan ia tetap wajib zakat, karena utang terhadap sesama manusia (dayn al-ādāmī) lebih kuat dari nazar, karena nazar hanyalah amanah atas orang yang akan menunaikannya, sedangkan utang kepada sesama manusia memiliki pihak yang menagih dan dapat menagihnya.
Jika ia berkata —dan di tangannya terdapat dua ratus dirham—: “Jika Allah menyembuhkan orang sakitku, aku akan bersedekah dengan seratus dirham dari uang ini,” lalu ia menunjuk langsung kepada uang itu dan menetapkan nazar padanya, lalu Allah menyembuhkan orang sakitnya sebelum sempurnanya ḥaul, maka jawabannya kebalikan dari jawaban sebelumnya.
Jika kita katakan bahwa utang kepada sesama manusia menghalangi kewajiban zakat, maka ini lebih utama untuk menghalangi, dan tidak ada zakat atasnya.
Namun jika kita katakan bahwa utang kepada sesama manusia tidak menghalangi, maka dalam kasus ini terdapat dua wajah (pendapat):
Pertama: tidak menghalangi, seperti utang kepada sesama manusia.
Kedua: menghalangi, karena dengan nazar itu ia telah menetapkan secara khusus terhadap benda tertentu dari hartanya, maka itu menghalangi zakat. Sedangkan utang kepada sesama manusia tidak menetapkan hak atas benda tertentu, maka tidak menghalangi zakat.
Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ قَضَى عَلَيْهِ بِالدَّيْنِ وَجَعَلَ لَهُ مَالَهُ حَيْثُ وَجَدُوهُ قَبْلَ الْحَوْلِ ثُمَّ حَالَ الْحَوْلُ قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهُ الْغُرَمَاءُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ زَكَاةٌ لِأَنَّهُ صَارَ لَهُمْ دُونَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ وهكذا في الزرع والثمر والماشية التي صدقتها منها كالمرتهن للشيء فيكون للمرتهن ماله فيه وللغرماء فضله “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ لَهُ مَالٌ وَعَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ مِثْلُ مَا بِيَدِهِ، فَقَدِمَ إِلَى الْقَاضِي فَحَكَمَ عَلَيْهِ بِهِ، فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَحْكُمَ عَلَيْهِ بِأَدَائِهِ لِقِيَامِ الْبَيِّنَةِ، وَلَمْ يَحْجُرْ عَلَيْهِ، وَلَا عَلَى مَالِهِ، فَهَذَا الْحُكْمُ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ فِي الزَّكَاةِ وَيَكُونُ كَثُبُوتِهِ بِإِقْرَارِهِ، وَوُجُوبُ الزَّكَاةِ عَلَيْهِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seandainya telah diputuskan atasnya utang dan dijadikan hartanya milik para penagih di mana pun mereka menemukannya sebelum haul, lalu sempurnalah haul sebelum para penagih itu menerima harta tersebut, maka tidak ada zakat atasnya, karena harta itu telah menjadi milik mereka dan bukan lagi miliknya sebelum haul. Dan demikian pula pada tanaman, buah, dan hewan ternak yang zakatnya diambil darinya, seperti orang yang menerima rahn, maka ia memiliki harta tersebut, dan para penagih memiliki sisanya.”
Al-Māwardī berkata: Bentuk masalah ini adalah pada seorang laki-laki yang memiliki harta dan ia juga memiliki utang sebesar harta yang ia pegang, lalu ia datang kepada qāḍi dan qāḍi memutuskan atasnya, maka hal ini terbagi menjadi tiga keadaan:
Pertama: qāḍi memutuskan atasnya untuk membayar karena adanya bukti, namun tidak melakukan ḥajr atasnya dan tidak pula atas hartanya, maka keputusan ini tidak berpengaruh dalam hal zakat dan dihukumi seperti halnya jika utang itu tetap dengan pengakuannya sendiri. Maka kewajiban zakat atasnya tetap menurut dua pendapat yang telah kami sebutkan.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَحْكُمَ عَلَيْهِ بِالدَّيْنِ وَيَجْعَلَ لِغُرَمَائِهِ أَخْذَ مَالِهِ حيث وجدوه بتمليك منه كأن قَالَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ، قَدْ جَعَلْتُ لَكَ بِدَيْنِكَ الْعَبْدَ الْفُلَانِيَّ، أَوِ الثَّوْبَ الْفُلَانِيَّ، الَّذِي قد عرفته، وبعتك هو بِمَالِكَ عَلِيَّ فَقَبِلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ذَلِكَ، وَصَارَ مِلْكًا لَهُمْ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ مِلْكَهُ قَدْ زَالَ عَمَّا بِيَدِهِ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَحْكُمَ بِالدَّيْنِ وَيَحْجُرَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَجْعَلَهُ لِغُرَمَائِهِ فَإِنْ قُلْنَا: الدَّيْنُ مَانِعٌ مِنْ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قُلْنَا لَا يَمْنَعُ فَهَلْ عَلَيْهِ الزكاة ها هنا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي زَكَاةِ الْمَالِ الْمَغْصُوبِ لِأَنَّ الْحَجْرَ مَانِعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ كَالْغَصْبِ، فَإِنْ قِيلَ: الصَّبِيُّ قَدْ حُجِرَ عَلَيْهِ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهِ، وَلَمْ يَكُنِ الْحَجْرُ مَانِعًامِنْ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيهِ فَهَلَّا كَانَ الْحَجْرُ غَيْرَ مَانِعٍ مِنْ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيهِ؟ قُلْنَا: حَجْرُ الصَّبِيِّ وَالسَّفِيهِ وَاقِعٌ لِأَجْلِهِمَا، وَلِحِفْظِ أَمْوَالِهِمَا عَلَيْهِمَا، وَحَجْرُ هَذَا الْمُفْلِسِ لِأَجْلِ غُرَمَائِهِ، وَلِحِفْظِ مَالِهِ عَلَى غَيْرِهِ، فَكَانَ هَذَا الْحَجْرُ مُوَهِّيًا لِمِلْكِهِ.
Dan bagian kedua: yaitu seseorang diputuskan atasnya bahwa ia berutang, lalu ia memberikan hak kepada para krediturnya untuk mengambil hartanya di mana pun mereka menemukannya dengan kepemilikan dari dirinya, seperti ia berkata kepada masing-masing dari mereka: “Aku telah menjadikan untukmu karena utangmu kepadaku budak fulan itu, atau pakaian fulan itu, yang telah kamu ketahui, dan aku telah menjualnya kepadamu dengan utangmu atasku.” Maka masing-masing dari mereka menerima hal itu dan menjadi milik mereka, maka tidak ada zakat atasnya karena kepemilikannya telah hilang dari barang yang ada di tangannya.
Dan bagian ketiga: yaitu ia diputuskan atasnya bahwa ia berutang, lalu dilakukan penyitaan atas hartanya (ḥajr) tanpa menjadikannya milik para krediturnya. Maka, jika kita mengatakan bahwa utang menghalangi kewajiban zakat, maka tidak ada zakat atasnya. Dan jika kita mengatakan bahwa utang tidak menghalangi, maka apakah wajib zakat atasnya dalam kondisi ini atau tidak? Maka ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang zakat harta yang diguṣub, karena penyitaan merupakan penghalang dari taṣarruf seperti halnya ghaṣb.
Jika dikatakan: anak kecil juga telah dikenai penyitaan dari taṣarruf terhadap hartanya, namun penyitaan itu tidak menghalangi kewajiban zakat atas hartanya, maka kenapa penyitaan ini tidak disamakan dengannya?
Kami jawab: penyitaan terhadap anak kecil dan orang safīh dilakukan demi kebaikan mereka dan untuk menjaga harta mereka bagi mereka, sedangkan penyitaan terhadap orang yang muflis (bangkrut) dilakukan demi kebaikan para krediturnya dan untuk menjaga hartanya bagi orang lain. Maka penyitaan ini melemahkan kepemilikannya.
فَصْلٌ
: فَلَوْ قَدَّمَهُ غُرَمَاؤُهُ إِلَى الْقَاضِي فَجَحَدَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ بَيِّنَةٌ فَحَلَفَ لَهُمْ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أن حجوده غَيْرُ مُؤَثِّرٍ وَيَمِينَهُ الْكَاذِبَةَ غَيْرُ مُبَرِّئَةٍ لِبَقَاءِ الْحَقِّ عَلَيْهِ فِي ذِمَّتِهِ، فَتَكُونُ زَكَاةُ مَا بِيَدِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ جُحُودَهُ مع يمينه فقد أَسْقَطَ عَنْهُ الْمُطَالَبَةَ وَإِنْ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الدَّيْنُ فَصَارَ فِي حُكْمِ مَنْ لَا دَيْنَ عَلَيْهِ لِسُقُوطِ الْمُطَالَبَةِ عَنْهُ، فَتَكُونُ زَكَاةُ مَا بِيَدِهِ وَاجِبَةً قَوْلًا وَاحِدًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
PASAL
Seandainya para penagih membawanya ke qāḍī, lalu ia mengingkari mereka dan mereka tidak memiliki bukti, maka ia bersumpah atas mereka, maka dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, dan ini adalah pendapat jumhur dari para aṣḥāb kami: bahwa pengingkarannya tidak berpengaruh, dan sumpah dustanya tidak membebaskannya, karena hak tetap ada dalam żimmah-nya. Maka zakat atas apa yang ada di tangannya tetap berlaku menurut dua pendapat yang telah disebutkan.
Wajah kedua: bahwa pengingkarannya disertai sumpah telah menggugurkan hak untuk dituntut, meskipun tidak menggugurkan utang itu sendiri. Maka ia berada dalam hukum orang yang tidak memiliki utang karena gugurnya tuntutan atas dirinya. Maka zakat atas apa yang ada di tangannya wajib menurut satu pendapat. Dan Allah lebih mengetahui yang benar.
مسألة:
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَكُلُّ مالٍ رُهِنَ فَحَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ أُخْرِجَ منه الزكاة قبل الدين (وقال المزني) وقد قال في كتاب اختلاف ابن أبي ليلى إِذَا كَانَتْ لَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَعَلَيْهِ مِثْلُهَا فلا زكاة عليه والأول من قوليه مشهور “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي رَهْنِ الْمَاشِيَةِ، وَذَكَرْنَا أَنَّهُ لَا يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ كَذَا رَهْنُ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، لَا يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مُسْتَغْرِقًا لِقِيمَةِ الرَّهْنِ، وَهُوَ لَا يَمْلِكُ غَيْرَهُ فَزَكَاتُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ إِذَا قُلْنَا فِيهِ الزَّكَاةُ فَهَلْ يُقَدِّمُ إِخْرَاجَ الزَّكَاةِ أَوِ الدَّيْنِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ مَضَتْ، أَحَدُهَا تُقَدَّمُ الزَّكَاةُ وَالثَّانِي الدَّيْنُ، وَالثَّالِثُ هُمَا سَوَاءٌ فَيُخْرِجُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحِسَابِ المال وقسطه والله أعلم.
Masalah:
Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata: “Setiap harta yang digadaikan, lalu berlalu atasnya haul, maka dikeluarkan zakat darinya sebelum pelunasan utang.” (Al-Muzani berkata:) Ia juga mengatakan dalam kitab Ikhtilāf Ibn Abī Laylā: “Jika seseorang memiliki dua ratus dirham dan ia memiliki utang sejumlah itu juga, maka tidak ada zakat atasnya.” Dan pendapat pertama dari dua pendapat ini adalah yang masyhur.
Al-Māwardī berkata: Telah dibahas sebelumnya hukum tentang penggadaian hewan ternak, dan telah kami sebutkan bahwa itu tidak menghalangi kewajiban zakat. Begitu pula penggadaian dirham dan dinar, tidak menghalangi kewajiban zakat. Jika utang mencakup seluruh nilai barang gadai, dan ia tidak memiliki harta selain itu, maka zakatnya ada dua pendapat. Jika kita katakan wajib zakat padanya, maka apakah ia mendahulukan pengeluaran zakat atau pembayaran utang, terdapat tiga pendapat yang telah lalu:
Pertama, zakat didahulukan;
Kedua, utang didahulukan;
Ketiga, keduanya setara, maka ia mengeluarkan dari masing-masing keduanya sesuai kadar harta dan bagiannya. Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَ لَهُ دَيْنٌ يَقْدِرُ عَلَى أَخْذِهِ، فَعَلَيْهِ تَعْجِيلُ زَكَاتِهِ كَالْوَدِيعَةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُرَتَّبَةً، وَسَنَذْكُرُهَا الْآنَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ التَّرْتِيبِ لِيَكُونَ التَّكْرَارُ مُفِيدًا.
اعْلَمْ أَنَّ مَنْ لَهُ دَيْنٌ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ حالا، أو مُؤَجَّلًا فَإِنْ كَانَ مُؤَجَّلًا فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang memiliki utang (piutang) yang ia mampu mengambilnya, maka wajib baginya menyegerakan zakatnya, sebagaimana zakat atas titipan (wadī‘ah).”
Al-Māwardī berkata: Masalah ini telah disebutkan sebelumnya dengan susunan tertentu, dan sekarang kami akan menyebutkannya dengan susunan yang berbeda agar pengulangan ini memberikan faedah.
Ketahuilah bahwa siapa yang memiliki dayn (piutang), maka tidak lepas dari dua keadaan:
- Bisa jadi dayn-nya ḥāl (jatuh tempo),
- Atau muʾajjal (masih ada tenggat waktu).
Jika muʾajjal, maka terdapat dua wajah:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ يَكُونُ مَالِكًا لَهُ، وفي زكاته قولان كالمال المغصوب.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا يَكُونُ مَالِكًا لَهُ، وَلَا زَكَاةَ فيه حتى يَقْبِضُهُ، وَيَسْتَأْنِفُ حَوْلَهُ، وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ حَالًّا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَلَى مُعْسِرٍ فَلَا تَلْزَمُهُ زَكَاتُهُ قَبْلَ قَبْضِهِ فَإِذَا قَبَضَهُ فَهَلْ يُزَكِّيهِ لِمَا مَضَى، أَوْ يَسْتَأْنِفُ حَوْلَهُ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَلَى مُوسِرٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ.
Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa ia tetap menjadi pemilik harta tersebut, dan dalam hal zakatnya terdapat dua pendapat sebagaimana harta yang dirampas.
Pendapat kedua: yaitu pendapat Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah, bahwa ia tidak dianggap sebagai pemilik harta tersebut, dan tidak ada zakat atasnya sampai ia menerimanya, lalu memulai haul-nya dari awal. Jika utangnya telah jatuh tempo, maka keadaannya terbagi menjadi dua:
Pertama: utang tersebut berada pada orang yang dalam kesulitan, maka tidak wajib zakat atasnya sebelum diterima. Jika ia telah menerimanya, apakah ia menzakatinya untuk masa lalu atau memulai haul-nya dari awal? Terdapat dua pendapat.
Jenis kedua: utang tersebut berada pada orang yang mampu, maka ini terbagi lagi menjadi dua…
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ جَاحِدًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ قَبْلَ قَبْضِهِ، وَبَعْدَ قَبْضِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالدَّيْنِ عَلَى مُعْسِرٍ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُعْتَرِفًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُمَاطِلًا مُدَافِعًا فَلَا زَكَاةَ فِيمَا عَلَيْهِ، كَالْمَالِ الْغَائِبِ فَإِذَا قَدَّمَ فَزَكَاةُ مَا عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ لِمَا مَضَى قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ لَمْ يَقْبِضْهُ لِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى قَبْضِهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حَاضِرًا، فَزَكَاةُ مَا عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ قَبَضَ أَوْ لَمْ يَقْبِضْ، لِأَنَّ هذا ك ” الوديعة ” بل أحسن حالاً منها لأنه في السنة.
Pertama: bahwa yang berutang itu jāḥid (mengingkari), maka tidak wajib zakat atas piutang tersebut sebelum diterima. Dan setelah diterima, terdapat dua pendapat, sebagaimana piutang atas orang yang mu‘sir (tidak mampu bayar).
Kelompok kedua: bahwa yang berutang itu mengakui, maka ini terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: ia mumāṭil (menunda-nunda dan menghindar), maka tidak ada zakat atas piutang tersebut, sebagaimana harta yang ghāib (tidak berada di tangan). Namun jika ia menyerahkannya, maka zakat atas piutang tersebut wajib untuk masa yang telah berlalu menurut satu pendapat, meskipun belum diterima, karena ia mampu untuk mengambilnya.
Jenis kedua: bahwa orang yang berutang itu ḥāḍir (hadir dan tidak menghindar), maka zakat atas piutangnya wajib, baik telah diterima maupun belum, karena hal ini seperti “wadī‘ah” bahkan lebih baik keadaannya, karena ia (piutang tersebut) berada dalam jangkauan (untuk diterima) sepanjang tahun.
فصل
: فأما ما ذِمَّةِ الْعَبْدِ مِنْ مَالِ كِتَابَتِهِ أَوِ الْخَرَاجِ الْمَضْرُوبِ عَلَى رَقَبَتِهِ، فَلَا زَكَاةَ فِيهِ عَلَى سَيِّدِهِ حَتَّى يَقْبِضَهُ وَيَسْتَأْنِفَ حَوْلَهُ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِدَيْنٍ لَازِمٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
PASAL
Adapun harta yang berada dalam tanggungan budak, baik berupa harta kitābah maupun kharāj yang dibebankan atas lehernya, maka tidak ada zakat atasnya bagi tuannya hingga ia menerimanya dan memulai haul-nya dari awal. Karena hal itu bukanlah utang yang wajib. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو جحد ماله أو غصبه أَوْ غَرِقَ فَأَقَامَ زَمَانًا ثُمَّ قَدِرَ عَلَيْهِ فَلَا يَجُوزُ فِيهِ إِلَّا واحدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ أن لا يكون عليه زكاةٌ حتى يحول عليه الحول من يوم قبضه لأنه مغلوب عليه أو يكون عليه الزكاة لأن ملكه لم يزل عنه لما مضى من السنين فإن قبض من ذلك ما في مثله الزكاة زكاه لما مضى وإن لم يكن في مثله زكاةٌ فكان له مالٌ ضمنه إليه وإلا حبسه فإذا قبض ما إذا جمع إليه ثبت فيه الزكاة زكى لما مضى “.
قال الماوردي: قد ذكرنا ضم الْمَالِ الْمَغْصُوبِ، وَالْمَجْحُودِ وَأَنَّ زَكَاتَهُ قَبْلَ عَوْدِهِ لَا تَجِبُ، وَبَعْدَ عَوْدِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يُزَكِّيهِ لِمَا مَضَى.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seandainya hartanya diingkari, atau dirampas, atau tenggelam, lalu berlalu waktu (beberapa tahun), kemudian ia mampu menguasainya kembali, maka tidak sah (zakat atasnya) kecuali dengan salah satu dari dua pendapat:
Pertama, bahwa tidak ada zakat atasnya sampai sempurna haul sejak hari ia menerima kembali hartanya, karena ia tidak menguasainya.
Atau, kedua, bahwa zakat tetap wajib atasnya karena kepemilikannya tidaklah hilang selama tahun-tahun yang berlalu. Maka jika ia menerima kembali harta yang sejenis dengannya wajib dizakati, maka ia zakati untuk masa lalu. Namun jika bukan jenis harta yang wajib dizakati, sedangkan ia memiliki harta lain yang bisa digabungkan dengannya, maka keduanya digabung. Jika setelah digabung nilainya mencapai nisab, maka ia wajib menzakatinya untuk masa lalu.”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa harta yang dirampas dan diingkari, zakatnya tidak wajib sebelum kembali. Dan setelah kembali, ada dua pendapat:
Pertama: ia dizakati untuk masa lalu.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَسْتَأْنِفُ حَوْلَهُ، وقد ذكرنا تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ، وَاخْتِلَافَ حَالِ السَّوْمِ فِي الْمَاشِيَةِ، وَلَيْسَتْ بِنَا إِلَى إِعَادَتِهِ حَاجَةٌ وَلَا إِلَى الْإِطَالَةِ بِهِ فَاقَةٌ، فَلَوْ دَفَنَ مَالَهُ فَخَفِيَ عَنْهُ مَكَانَهُ أَحْوَالًا ثُمَّ وَجَدَهُ، فَزَكَاتُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالتَّائِهِ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَوْجَبَ زَكَاتَهُ قَوْلًا وَاحِدًا، قَالَ: لِأَنَّهُ مَنْسُوبٌ إِلَى التَّفْرِيطِ فِي غَفْلَتِهِ وَقِلَّةِ تَحَرُّزِهِ، وَوَجَدْتُ أَبَا عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَائِلًا إِلَيْهِ ثُمَّ اخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا الْوَجْهِ هَلْ يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ قَبْلَ وِجْدَانِهِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: haul-nya dimulai dari awal. Kami telah menyebutkan alasan kedua pendapat tersebut dan perbedaan keadaan as-saum (penggembalaan bebas) pada hewan ternak. Tidak ada kebutuhan untuk mengulanginya dan tidak pula perlunya memperpanjangnya karena kefakiran.
Seandainya seseorang mengubur hartanya lalu tersembunyi darinya tempatnya selama beberapa tahun, kemudian ia menemukannya kembali, maka zakatnya menurut dua pendapat, seperti orang yang tersesat.
Sebagian dari ulama kami mewajibkan zakatnya dengan satu pendapat saja. Ia berkata: karena hal itu menunjukkan kelalaian dalam perhatiannya dan kurangnya kehati-hatiannya. Dan aku dapati Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah condong kepada pendapat ini.
Kemudian terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama yang berpendapat dengan wajah ini: apakah ia wajib mengeluarkan zakatnya sebelum menemukan hartanya? Maka terdapat dua wajah.
أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ قَبْلَ وِجْدَانِهِ وَظُهُورِهِ.
وَالثَّانِي: لَا يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ إِلَّا بَعْدَ ظُهُورِهِ كَالْغَائِبِ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَغْصُوبِ وَالتَّائِهِ فَلَا يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ قَبْلَ ظُهُورِهِ، وَبَعْدَ ظُهُورِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَلَوْ كَانَ خَفَاءُ الْمَكَانِ الْمَنْسُوبِ، إِلَى تَفْرِيطِهِ مُوجِبًا لِزَكَاتِهِ لَكَانَ الْمَالُ وَضَيَاعُهُ مُوجِبًا لِزَكَاتِهِ، لِأَنَّهُ مَنْسُوبٌ إِلَى تَفْرِيطِهِ، فَلَمَّا كَانَ زَكَاةُ التَّائِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ مُفَرِّطًا فَكَذَلِكَ زَكَاةُ مَا نَسِيَ مَكَانَهُ مِنَ الْمَدْفُونِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ مُفَرِّطًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pertama: wajib baginya mengeluarkan zakatnya sebelum harta itu ditemukan dan tampak.
Kedua: tidak wajib baginya mengeluarkan zakatnya kecuali setelah harta itu tampak, seperti harta yang ghāib (tidak hadir).
Dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah bahwa ia dalam hukum harta yang dirampas atau hilang, maka tidak wajib baginya mengeluarkan zakat sebelum tampaknya harta itu. Setelah tampak, maka ada dua pendapat.
Dan jika ketidaktahuan terhadap tempatnya disebabkan oleh kelalaiannya, lalu itu menjadikan zakatnya wajib, tentu harta yang hilang pun akan wajib zakat karena juga disebabkan oleh kelalaiannya. Maka, sebagaimana zakat atas harta yang hilang terdapat dua pendapat—meskipun ia lalai dalam menjaganya—maka demikian pula zakat atas harta yang terkubur dan ia lupa tempatnya, terdapat dua pendapat, meskipun ia lalai. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا عَرَّفَ لُقَطَةً سَنَةً ثُمَّ حَالَ عَلَيْهَا أَحْوَالٌ وَلَمْ يُزَكِّهَا ثُمَّ جَاءَهُ صَاحِبُهَا فَلَا زَكَاةَ عَلَى الَّذِي وَجَدَهَا لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لَهَا مَالِكًا قَطُّ حَتَّى جَاءَ صَاحِبُهَا وَالْقَوْلُ فِيهَا كما وصفت في أن عليه الزكاة لما مضى لأنها ماله أو في سقوط الزكاة عنه في مقامها في يد الملتقط بعد السنة لأنه أبيح له أكلها (قال المزني) أشبه الأمر بقوله عندي أن يكون عليه الزكاة لقوله إن ملكه لم يزل عنه وقد قال في باب صدقات الغنم ولو ضلت غنمه أَوْ غَصَبَهَا أَحْوَالًا ثُمَّ وَجَدَهَا زَكَّاهَا لِأَحْوَالِهَا فقضى ما لم يختلف من قوله في هذا لأحد قوليه في أن عليه الزكاة كما قطع في ضوال الغنم وبالله التوفيق “.
Masalah:
Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila seseorang mengumumkan luqāṭah selama satu tahun, lalu berlalu beberapa tahun atasnya dan ia tidak menzakatinya, kemudian datang pemiliknya, maka tidak ada zakat atas orang yang menemukannya, karena ia tidak pernah menjadi pemiliknya sama sekali hingga pemiliknya datang.
Dan pendapat dalam masalah ini sebagaimana yang telah aku sebutkan, yaitu bahwa atasnya ada zakat untuk masa yang telah berlalu karena itu adalah hartanya, atau bahwa zakat gugur darinya selama luqāṭah itu berada di tangan si pemungut setelah setahun karena telah diizinkan baginya untuk memakannya.”
(Al-Muzani berkata): “Yang lebih mendekati menurutku adalah bahwa atasnya ada zakat, karena ia mengatakan bahwa kepemilikannya tidak pernah hilang darinya. Dan ia telah berkata dalam Bab Sedekah Kambing: ‘Seandainya kambingnya tersesat atau dirampas selama beberapa tahun kemudian ia menemukannya kembali, maka ia wajib menzakatinya untuk tahun-tahun itu.’ Maka ia telah menetapkan satu dari dua pendapatnya bahwa atasnya ada zakat, sebagaimana ia telah memastikan kewajiban zakat pada kambing yang tersesat.”
Wa biLlāhi at-taufīq.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا وَجَدَ الرَّجُلُ لُقَطَةً تَبْلُغُ نِصَابًا مُزَكًّى كَعِشْرِينَ دِينَارًا أَوْ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ، أَوْ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ فَعَلَيْهِ تَعْرِيفُهَا حَوْلًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَهَا فِيهِ فَإِذَا حَالَ الْحَوْلُ فَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَلْقَى صَاحِبَهَا فَيَرُدَّهَا عَلَيْهِ، فَهَلْ تَجِبُ عَلَى صَاحِبِهَا زَكَاتُهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى زَكَاةِ الْمَالِ الضَّالِّ.
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الزَّكَاةُ لِثُبُوتِ مِلْكِهِ.
وَالثَّانِي: لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ لِعَدَمِ تَصَرُّفِهِ، وَوَهَاءِ يَدِهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَعْرِفَ لَهَا صَاحِبًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Qāla al-Māwardī: Jika seseorang menemukan luqāṭah yang mencapai niṣāb yang wajib dizakati seperti dua puluh dīnār, atau dua ratus dirham, atau lima ekor unta, maka wajib baginya untuk mengumumkannya selama setahun, dan tidak boleh memilikinya selama masa itu. Jika telah berlalu setahun, maka ada dua keadaan:
Pertama: Ia bertemu dengan pemiliknya lalu mengembalikannya kepadanya. Maka apakah wajib atas pemiliknya menunaikan zakatnya atau tidak? Terdapat dua pendapat berdasarkan zakat harta yang hilang:
Pertama: Wajib atasnya zakat karena kepemilikannya tetap.
Kedua: Tidak wajib zakat karena ia tidak dapat mengelola harta tersebut dan tidak memegangnya.
Keadaan yang kedua: Ia tidak mengetahui pemiliknya. Maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْتَارَ الْوَاجِدُ تَرْكَهَا فِي يَدِهِ أَمَانَةً لِصَاحِبِهَا، وَلَا يَخْتَارَ تَمَلُّكَهَا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِي الْحَوْلِ الْمَاضِي، وَلَا فِيمَا يَأْتِي مِنَ الْأَحْوَالِ الْمُسْتَقْبَلَةِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَالِكٍ فَإِنْ وُجِدَ صَاحِبُهَا فَرَدَّهَا عَلَيْهِ، فَزَكَاةُ السَّنَةِ الْأُولَى عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا، فَأَمَّا زَكَاةُ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَمَا يَلِيهَا، فَعَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ: لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِي السَّنَةِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ وَمَا يَلِيهَا أَوْلَى أَنْ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيهَا وَعَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَقُولُ عَلَيْهِ زَكَاةُ السَّنَةِ الْأُولَى، فَفِي الثَّانِيَةِ وَمَا يَلِيهَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ زَكَاتُهَا كالأولى.
pertama: yaitu si penemu memilih untuk membiarkannya tetap berada di tangannya sebagai amanah milik pemiliknya, dan tidak memilih untuk memilikinya, maka tidak ada zakat atasnya pada tahun yang telah lalu, dan tidak pula pada tahun-tahun yang akan datang, karena ia bukan pemilik. Jika pemiliknya ditemukan lalu ia mengembalikannya kepadanya, maka zakat tahun pertama ada dua pendapat yang telah disebutkan. Adapun zakat tahun kedua dan sesudahnya, maka menurut pendapat yang mengatakan: tidak ada zakat atasnya pada tahun pertama, maka lebih utama bahwa tidak ada zakat atasnya juga pada tahun kedua dan sesudahnya. Dan menurut pendapat yang mengatakan bahwa atasnya ada zakat tahun pertama, maka pada tahun kedua dan sesudahnya ada dua pendapat:
pertama: atasnya ada zakat seperti pada tahun pertama.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ بِخِلَافِ السَّنَةِ الأولى، لأن فِي الْأُولَى لَا يَجُوزُ أَنْ تُمَلَّكَ عَلَيْهِ، وَفِي الثَّانِيَةِ يَجُوزُ أَنْ تُمَلَّكَ عَلَيْهِ، فَكَانَ مِلْكُهُ أَوْهَى مِمَّا تَقَدَّمَ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَخْتَارَ الْوَاجِدُ تَمَلُّكَهَا فَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَكُونَ الْوَاجِدُ قَدْ عَرَّفَهَا فِي الْحَوْلِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا، وَلَا تَصِيرُ لَهُ مِلْكًا لِأَنَّهُ يَصِيرُ غَاصِبًا، وَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَالِكٍ وَالْكَلَامُ فِي صَاحِبِهَا إِذَا رُدَّتْ إِلَيْهِ عَلَى مَا مَضَى.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْوَاجِدُ قَدْ عَرَّفَهَا فِي الْحَوْلِ فَيَجُوزُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا، وَبِمَاذَا تَصِيرُ مِلْكًا لَهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: Tidak wajib zakat atasnya, berbeda dengan tahun pertama, karena pada tahun pertama tidak boleh dimiliki, sedangkan pada tahun kedua boleh dimiliki, maka kepemilikannya lebih lemah dari sebelumnya.
Dan keadaan yang kedua: bahwa si penemu memilih untuk memilikinya. Maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
Pertama: bahwa si penemu belum mengumumkannya selama setahun, maka tidak boleh ia memilikinya, dan tidak menjadi miliknya, karena ia menjadi perampas, dan tidak wajib zakat atasnya karena ia bukan pemilik, dan pembahasan tentang pemilik jika dikembalikan kepadanya telah dijelaskan sebelumnya.
Dan keadaan yang kedua: bahwa si penemu telah mengumumkannya selama setahun, maka boleh ia memilikinya. Dan dengan apa ia menjadi milik baginya? Maka terdapat dua wajah:
أَحَدُهُمَا: بِاخْتِيَارِ التَّمَلُّكِ، فَإِذَا اخْتَارَ تَمَلُّكَهَا فَقَدْ مَلَكَهَا سَوَاءٌ انْتَقَلَتِ الْعَيْنُ بِتَصَرُّفِهِ أَمْ لَا، فَعَلَى هَذَا يُنْظَرُ فِي الْوَاجِدِ الْمُتَمَلِّكِ فَإِنْ كَانَ يَمْلِكُ مِنَ الْعُرُوضِ بِقَدْرِ قِيمَتِهَا، فَعَلَيْهِ زَكَاتُهَا قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَ لَا يَمْلِكُ مِنَ الْعُرُوضِ بِغَيْرِ قِيمَتِهَا سِوَاهَا، فَفِي وُجُوبِ زَكَاتِهَا عَلَيْهِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِيمَنْ مَعَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ، وعليه مثلها وأما صاحبها، والحكم فِي زَكَاةِ السَّنَةِ الْأُولَى عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ سَوَاءٌ، كَانَتْ مَاشِيَةً أَوْ غَيْرَهَا. فَأَمَّا فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَمَا يَلِيهَا، فَقَدْ مُلِّكَتِ اللُّقَطَةُ عَلَيْهِ فِيهَا، وَصَارَتْ دَيْنًا لَهُ فِي ذِمَّةِ وَاجِدِهَا فَإِنْ كَانَتِ اللُّقَطَةُ مَاشِيَةً لَمْ يَلْزَمْهُ زَكَاةُ عَيْنِهَا لِأَنَّهَا قَدْ مُلِّكَتْ عَلَيْهِ بِقِيمَتِهَا، وَتَنْتَقِلُ زَكَاةُ الْعَيْنِ إِلَى الْقِيمَةِ فإن كَانَتْ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ فَزَكَاةُ الْعَيْنِ بَاقِيَةٌ، لِأَنَّهَا قَدْ مُلِّكَتْ عَلَيْهِ بِمِثْلِهَا ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْوَاجِدِ الْمُتَمَلِّكِ لَهَا، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا بِهَا مَلِيًّا فَزَكَاةُ قِيمَةِ الْمَاشِيَةِ، وَعَيْنِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَاجِبَةٌ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ كَانَ متعسراً فَزَكَاةُ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي وُجُوبِ زَكَاةِ الدَّيْنِ إِذَا كَانَ عَلَى مُعْسِرٍ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: لَا زَكَاةَ أَصْلًا.
pertama: dengan memilih untuk memilikinya. Maka apabila ia memilih untuk memilikinya, sungguh ia telah memilikinya, baik barang tersebut berpindah ke tangannya melalui tindakannya ataupun tidak. Dalam hal ini, dilihat keadaan si penemu yang memilih memilikinya: jika ia memiliki harta berupa barang dagangan senilai barang temuan itu, maka wajib atasnya zakat atas barang temuan itu menurut satu pendapat. Dan jika ia tidak memiliki dari barang dagangan selain barang temuan itu sendiri, maka dalam kewajiban zakat atasnya terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat dalam kasus orang yang memiliki dua ratus dirham namun memiliki utang sebanyak itu atau lebih—apakah dikenai zakat atau tidak. Adapun hukum zakat pada tahun pertama, maka sebagaimana telah dijelaskan dalam dua pendapat sebelumnya, baik barang temuan itu berupa hewan ternak atau selainnya. Adapun pada tahun kedua dan seterusnya, maka barang temuan itu telah menjadi miliknya, dan menjadi utang pada tanggungan si penemunya. Jika barang temuan itu berupa hewan ternak, maka ia tidak wajib menzakati bendanya, karena telah dimilikinya dalam bentuk nilainya, dan zakat atas benda berpindah menjadi zakat atas nilai. Namun jika barang temuan itu berupa dirham atau dinar, maka zakat atas bendanya tetap berlaku, karena ia telah memilikinya dengan benda sejenis. Kemudian dilihat kondisi si penemu yang memilih memilikinya: jika ia orang mampu dan kaya dengannya, maka zakat atas nilai hewan ternak dan atas benda dirham serta dinar wajib baginya sebagaimana telah disebutkan. Dan jika ia orang yang kesulitan, maka zakat atas hal itu ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat mengenai kewajiban zakat utang apabila berada pada orang yang sedang kesulitan, dan salah satu dari dua pendapat itu: tidak wajib zakat sama sekali.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: الزَّكَاةُ عَلَى مَا مَضَى وَاجِبَةٌ من الْقَوْلَيْنِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّ الْوَاجِدَ الْمُلْتَقِطَ لَا يَصِيرُ مَالِكًا لِلُقَطَةٍ، إِلَّا بِنَقْلِ عَيْنِهَا فَعَلَى هَذَا مَا لَمْ يَنْقُلْ عَيْنَهَا فَالْحُكْمُ فِي زَكَاتِهَا كَمَا لَوْ لَمْ يَمْلِكْهَا عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ نَقَلَ عَيْنَهَا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيهَا، لِأَنَّ عَيْنَ اللُّقَطَةِ لَمْ يَمْلِكْهَا، ثُمَّ يَكُونُ الْحُكْمُ فِيمَا حَصَلَ لَهُ مِنْ بَدَلِهَا كَالْحُكْمِ فِيمَا مَلَكَهُ بِعَقْدِ مُعَاوَضَةٍ إِنْ كَانَ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ جَرَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَ عَرَضًا فَإِنْ نَوَى أَنْ يَكُونَ لِلتِّجَارَةِ جَرَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنْ نَوَى أَنْ يَكُونَ لِلْقِنْيَةِ، لَمْ تَكُنْ فِيهِ زَكَاةٌ، فَأَمَّا صَاحِبُهَا فَالْحُكْمُ فِي زَكَاتِهِ عَلَى مَا مَضَى فِي الْوَجْهِ الْأَوَّلِ لَا يَخْتَلِفُ، وَفِي الْمَسْأَلَةِ وَجْهٌ ثَالِثٌ قَالَهُ أَبُو سَعِيدٍ الِاصْطَخْرِيُّ أَنَّ الْوَاجِدَ يكون مالكاً لها يمضي الحول، وإن لم يجز التَّمَلُّكَ إِلَّا أَنْ يَخْتَارَ، أَنْ تَكُونَ فِي يَدِهِ أَمَانَةً وَهَذَا ضَعِيفٌ، وَالْأَوَّلُ أَصَحُّهَا، وَسَيَأْتِي ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللُّقَطَةِ مُسْتَوْفًى إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
Pendapat kedua: zakat atas apa yang telah berlalu adalah wajib menurut dua pendapat tersebut.
Wajah kedua: bahwa si penemu yang mengambil luqāṭah tidak menjadi pemiliknya kecuali dengan mengganti bendanya. Maka berdasarkan ini, selama ia belum mengganti bendanya, maka hukum zakatnya sebagaimana jika ia belum memilikinya, seperti yang telah dijelaskan. Dan jika ia mengganti bendanya, maka tidak ada zakat atasnya pada benda luqāṭah itu, karena ia tidak memiliki benda aslinya. Kemudian hukum atas apa yang ia peroleh sebagai penggantinya seperti hukum atas apa yang ia miliki melalui akad pertukaran: jika berupa dirham atau dīnār, maka wajib zakat atasnya; dan jika berupa barang, maka jika ia meniatkannya untuk perdagangan, maka wajib zakat atasnya; dan jika ia meniatkannya untuk kepemilikan pribadi (al-qinyah), maka tidak ada zakat atasnya.
Adapun pemilik aslinya, maka hukum zakat atasnya mengikuti apa yang telah dijelaskan dalam wajah pertama, tidak berbeda.
Dalam masalah ini terdapat wajah ketiga yang dikatakan oleh Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī: bahwa si penemu menjadi pemiliknya dengan berlalunya satu tahun, meskipun tidak boleh memilikinya kecuali jika ia memilih agar tetap berada di tangannya sebagai amanah. Dan ini adalah pendapat yang lemah, dan pendapat pertama adalah yang paling ṣaḥīḥ, dan hal ini akan dijelaskan secara rinci dalam Kitāb al-Luqāṭah, insya Allah.
فَصْلٌ
: فَإِنْ كَانَتِ اللُّقَطَةُ مِنْ جِنْسِ مَا لَا زَكَاةَ فِيهِ كَثَوْبٍ أَوْ عَرَضٍ فَعَرَّفَهَا الْوَاجِدُ الْمُلْتَقِطُ حَوْلًا فَإِنْ ظَفِرَ بِصَاحِبِهَا فَرَدَّهَا عَلَيْهِ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَظْفَرْ بِهِ وَلَا عرفها فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَضَعَهَا فِي يَدِهِ أَمَانَةً، فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ بِحَالٍ لَا عَلَى وَاجِدِهَا، وَلَا عَلَى مَالِكِهَا، لِأَنَّ الزَّكَاةَ غَيْرُ جارية فيها.
والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَمَلَّكَهَا إِمَّا بِاخْتِيَارِ تَمَلُّكِهَا أَوْ بِنَقْلِ عَيْنِهَا، فَقَدِ انْتَقَلَ حَقُّ مَالِكِهَا مِنْ عَيْنِهَا إِلَى بَدَلِهَا، وَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَا مِثْلٍ كَالْمُتَمَاثِلِ الْأَجْزَاءِ مِنَ الْحُبُوبِ وَالْأَدْهَانِ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا عَلَى مَالِكِهَا، لِأَنَّهَا أَعْيَانٌ غَيْرُ مُزَكَّاةٍ.
PASAL
Jika luqathah (barang temuan) termasuk jenis harta yang tidak wajib dizakati seperti pakaian atau barang dagangan, lalu si penemu mengumumkannya selama satu tahun, maka jika ia menemukan pemiliknya dan mengembalikannya kepadanya, maka tidak ada zakat atasnya. Dan jika ia tidak menemukannya dan tidak lagi mengumumkannya, maka ia memiliki dua keadaan:
pertama: ia meletakkannya di tangannya sebagai amanah, maka tidak ada zakat atasnya dalam keadaan apa pun, baik atas si penemu maupun atas pemiliknya, karena zakat tidak berlaku atasnya.
keadaan kedua: ia memilikinya, baik dengan memilih untuk memilikinya ataupun dengan memindahkan bendanya, maka hak milik pemilik asal berpindah dari bendanya ke gantinya. Dan itu ada dua bentuk:
pertama: jika berupa barang yang memiliki padanan (dapat diganti dengan barang sejenis) seperti biji-bijian atau minyak yang bagian-bagiannya serupa, maka tidak ada zakat atasnya bagi pemiliknya, karena ia termasuk benda yang tidak terkena kewajiban zakat.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ مِثْلٌ فَلِمَالِكِهِ قِيمَتُهُ، وَالْقِيمَةُ مما فيها الزَّكَاةُ لِأَنَّهَا دَرَاهِمُ، أَوْ دَنَانِيرُ، لَكِنْ لَا زَكَاةَ عَلَى الْوَاجِدِ فِيهَا بِحَالٍ، لِأَنَّهَا قَبْلَ نَقْلِ عَيْنِهَا غَيْرُ مُزَكَّاةٍ، وَبَعْدَ نَقْلِ عَيْنِهَا غَيْرُ مَوْجُودَةٍ فَأَمَّا مَالِكُهَا، فَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهَا أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ، فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيهَا بِحَالٍ إِذَا لَمْ يَمْلِكْ مَعَهَا تَمَامُ النِّصَابِ، وَإِنْ كَانَتْ نِصَابًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا الْوَاجِدُ، فَأَمَّا بَعْدَ أَنْ يُمَلِّكَهَا فَيَكُونُ وُجُوبُ الزَّكَاةِ عَلَى مَا مَضَى مِنِ اعْتِبَارِ يَسَارِ الْوَاجِدِ وَإِعْسَارِهِ، فَإِنْ قِيلَ فَهُوَ لَمْ يَخْتَرْ نَقْلَ مَالِهِ إِلَى مَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ فَلِمَ أَوْجَبْتُمُوهَا عَلَيْهِ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ، قِيلَ مَا تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْعَيْنِ لَا يُعْتَبَرُ فِي وُجُوبِ زَكَاتِهِ قَصْدُ الْمَالِكِ وَاخْتِيَارُهُ، أَلَا تَرَى لَوْ كَانَ لَهُ حِنْطَةٌ بَذَرَتْهَا الريح في أرضه فثبتت، خَمْسَةَ أَوْسُقٍ لَزِمَهُ عُشْرُهَا، وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ بذرها ولم يختر زرعها.
Dan keadaan yang kedua: yaitu jika tidak ada yang sejenis dengannya, maka pemiliknya berhak atas nilainya. Dan nilai tersebut termasuk harta yang wajib dizakati karena berupa dirham atau dīnār. Namun, tidak ada zakat atas si penemu dalam kondisi apa pun, karena sebelum mengganti bendanya zakat tidak wajib atasnya, dan setelah mengganti bendanya, bendanya sudah tidak ada.
Adapun pemiliknya, jika nilainya kurang dari niṣāb, maka tidak ada zakat atasnya dalam keadaan apa pun selama ia tidak memiliki harta lain yang menyempurnakan niṣāb. Dan jika nilainya mencapai niṣāb, maka tidak ada zakat atasnya sebelum dimiliki oleh si penemu. Adapun setelah dimiliki oleh si penemu, maka kewajiban zakat mengikuti hukum yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu berdasarkan kondisi si penemu, apakah ia kaya atau miskin.
Jika dikatakan: “Ia tidak memilih untuk mengganti hartanya kepada sesuatu yang wajib dizakati, maka mengapa kalian mewajibkan zakat atasnya tanpa kehendaknya?” Maka dijawab: Harta yang wajib dizakati pada ‘ayn (zatnya), tidak disyaratkan adanya niat dan kehendak dari pemilik untuk mewajibkan zakat. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang memiliki gandum lalu angin menaburkannya di tanahnya dan tumbuh menjadi lima wasq, maka ia wajib menunaikan sepersepuluhnya, walaupun ia tidak berniat menaburnya dan tidak memilih untuk menanamnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو أَكْرَى دَارًا أَرْبَعَ سِنِينَ بِمَائةِ دِينَارٍ فَالْكِرَاءُ حَالٌّ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ أَجَلًا فَإِذَا حَالَ الْحُوَلُ زَكَّى خَمْسَةً وَعِشْرِينَ دِينَارًا وَفِي الْحَوْلِ الثَّانِي خَمْسِينَ لِسَنَتَيْنِ إِلَّا قَدْرَ زَكَاةِ الْخَمْسَةِ والعشرين ديناراً وَفِي الْحَوْلِ الثَّالِثِ خَمْسَةً وَسَبْعِينَ دِينَارًا لِثَلَاثِ سِنِينَ إِلَّا قَدْرَ زَكَاةِ السَّنَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ وَفِي الحول الرابع زكى مِائَةً لِأَرْبَعِ سِنِينَ إِلَّا قَدْرَ زَكَاةِ مَا مضى ولو قبض المكري المال ثم انهدمت الدار انفسخ الكراء ولم يكن عليه زكاة إلا فيما سلم له ولا يشبه صداق المرأة لأنها ملكته على الكمال فإن طلق انتقض النصف والإجارة لا يملك منها شيءٌ إلا بسلامةٍ منفعة المستأجر مدةً يكون لها حصةٌ من الإجارة (قال المزني) هذا خلاف أصله في كتاب الإجارات لأنه يجعلها حالةً يملكها المكري إذا سلم ما أكرى كثمن السلعة إلا أن يشترط أجلاً وقوله هاهنا أشبه عندي بأقاويل العلماء في الملك لا على ما عبر في الزكاة “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahu Allāh berkata: “Seandainya seseorang menyewakan rumah selama empat tahun dengan bayaran seratus dinar, maka upah sewa itu dianggap jatuh tempo (menjadi milik) kecuali jika disyaratkan waktu tertentu. Maka apabila genap setahun, ia menunaikan zakat atas dua puluh lima dinar. Pada tahun kedua, zakatnya atas lima puluh dinar untuk dua tahun, dikurangi kadar zakat dari dua puluh lima dinar. Pada tahun ketiga, zakatnya atas tujuh puluh lima dinar untuk tiga tahun, dikurangi kadar zakat dua tahun pertama. Dan pada tahun keempat, ia menunaikan zakat atas seratus dinar untuk empat tahun, dikurangi kadar zakat yang telah lalu.
Dan seandainya si pemilik rumah telah menerima pembayaran lalu rumah tersebut roboh, maka akad sewa menjadi batal dan tidak wajib atasnya zakat kecuali pada bagian yang benar-benar menjadi haknya.
Hal ini tidak serupa dengan mahar perempuan, karena perempuan telah memilikinya secara sempurna, dan jika ditalak maka gugur separuhnya. Sedangkan akad sewa, tidak ada yang dimiliki kecuali dengan terpenuhinya manfaat bagi penyewa selama masa yang memiliki bagian dari sewa tersebut.”
(al-Muzani berkata): “Ini bertentangan dengan pendapatnya dalam Kitāb al-Ijārāt, karena di sana ia menganggap upah sewa jatuh tempo dan menjadi milik pihak penyewa apabila ia telah menyerahkan barang sewa, seperti harga suatu barang dagangan, kecuali bila disyaratkan tempo. Akan tetapi, pendapatnya di sini lebih mirip menurutku dengan pendapat para ulama tentang kepemilikan, bukan sebagaimana penjelasannya dalam zakat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ آجَرَ دَارًا أَرْبَعَ سِنِينَ بِمِائَةِ دِينَارٍ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الأجرة من ثلاثة أحوال:
إما أن يشترط تعجيلها، فتكون معجلة إجماعاً.
وإما أن يشترط تَأْجِيلَهَا فَتَكُونَ مُؤَجَّلَةً إِجْمَاعًا.
Qāla al-Māwardī: Contohnya adalah seorang lelaki yang menyewakan rumah selama empat tahun dengan bayaran seratus dīnār. Maka keadaan ujrah-nya tidak lepas dari tiga keadaan:
Pertama, jika disyaratkan pembayarannya disegerakan, maka ia menjadi muʿajjalah (dibayar di muka) menurut ijmak.
Kedua, jika disyaratkan ditunda pembayarannya, maka ia menjadi muʾajjalah (dibayar di akhir) menurut ijmak.
وَإِمَّا أَنْ يُطْلِقَا وَلَا يَشْتَرِطَا تَعْجِيلًا وَلَا تَأْجِيلًا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ تَكُونُ مُعَجَّلَةً بِإِطْلَاقِ الْعَقْدِ، كَمَا لَوْ شَرَطَا أَنْ تَكُونَ مُعَجَّلَةً فِي نَفْسِ الْعَقْدِ وَخَالَفَهُ مَالِكٌ وأبو حنيفة، وَلِلْكَلَامِ مَعَهُمَا مَوْضِعٌ غَيْرُ هَذَا، وَإِذَا كَانَتْ مُعَجَّلَةً بِالشَّرْطِ أَوْ بِإِطْلَاقِ الْعَقْدِ، فَقَدْ مَلَكَ جَمِيعَهَا بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ وَاسْتَحَقَّ قبضها بتسليم الدار المؤجرة هذا، مما لم يَخْتَلِفْ فِيهِ قَوْلُهُ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ هَلْ ملكها بالعقد ملكاً مستقراً مبرماً أَوْ مَلَكَهَا مِلْكًا مَوْقُوفًا مُرَاعًى فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْبُوَيْطِيُّ وَغَيْرِهِ قَدْ مَلَكَهَا بالعقد ملكاً مستقراً مبرماً كَأَثْمَانِ الْمَبِيعَاتِ وَصَدَاقِ الزَّوْجَاتِ، لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيهَا حَتَّى لَوْ كَانَتِ الْأُجْرَةُ أَمَةً كَانَ لَهُ وَطْؤُهَا دَلَّ عَلَى أَنَّ ملكه مستقر عليها، وليس فيما يطرأ ن حُدُوثِ فَسْخٍ يَسْتَحِقُّ بِهِ اسْتِرْجَاعَ الْأُجْرَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ مُسْتَقِرَّةٍ، كَالزَّوْجَةِ الَّتِي قَدِ اسْتَقَرَّ مِلْكُهَا عَلَى جَمِيعِ صَدَاقِهَا بِالْعَقْدِ، وَإِنْ جَازَ أَنْ يَسْتَحِقَّ اسْتِرْجَاعُ نِصْفِهِ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدخول.
Dan jika keduanya melepaskan akad tanpa menyaratkan percepatan (taʿjīl) maupun penundaan (taʾjīl), maka mazhab al-Syafi‘i menyatakan bahwa pembayaran dianggap mu‘ajjalah (langsung jatuh tempo) karena keumuman akad, sebagaimana jika keduanya mensyaratkan bahwa pembayaran itu mu‘ajjalah dalam lafal akad. Pendapat ini berbeda dengan Mālik dan Abū Ḥanīfah, dan pembahasan dengan keduanya berada pada tempat yang lain.
Jika pembayaran dianggap mu‘ajjalah, baik karena syarat atau karena keumuman akad, maka seluruh pembayaran menjadi milik pihak penyewa melalui akad ijārah, dan ia berhak untuk menerimanya dengan penyerahan rumah yang disewakan. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan dalam perkataan Imam al-Syafi‘i. Yang diperselisihkan hanyalah: apakah ia memilikinya dengan akad secara pasti dan tuntas (milk mustaqir mubarim), ataukah ia memilikinya dengan kepemilikan yang tergantung dan diperhatikan (milk mawqūf mura‘ā).
Salah satu dari dua pendapatnya—yang dinyatakan secara naṣṣ dalam al-Buwayṭī dan lainnya—menyatakan bahwa ia memilikinya dengan akad secara pasti dan tuntas, seperti harga jual dalam akad jual beli dan mahar dalam pernikahan. Karena ketika diperbolehkan baginya untuk melakukan transaksi atasnya—bahkan jika upah sewanya adalah seorang budak perempuan, maka ia boleh menyetubuhinya—itu menunjukkan bahwa kepemilikannya atasnya bersifat tetap. Dan tidak ada sesuatu yang terjadi kemudian berupa kemungkinan pembatalan (fasakh) yang dapat dijadikan dalil bahwa kepemilikannya itu tidak tetap, sebagaimana istri yang telah menjadi milik suaminya atas seluruh maharnya dengan akad, meskipun memungkinkan untuk menarik kembali separuh mahar karena perceraian sebelum dukhūl.
والقول الثاني: وهو أظهر فيما نصف عَلَيْهِ فِي ” الْأُمِّ ” وَفِي غَيْرِهِ أَنَّهُ قَدْ مَلَكَهَا بِالْعَقْدِ مِلْكًا مَوْقُوفًا مُرَاعًى، فَإِذَا مَضَى زَمَانٌ مِنَ الْمُدَّةِ كَانَ اسْتِقْرَارُ مِلْكِهِ عَلَى مَا قَابَلَهُ مِنَ الْأُجْرَةِ، وَإِنَّمَا كَانَتْ مُرَاعَاةً وَلَمْ تَكُنْ مُسْتَقِرَّةً لِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ الْمَنْفَعَةِ وملك المستأجر على المنفعة غير مستقر لأنها لَوْ فَاتَتْ بِهَدْمٍ رَجَعَ بِمَا فِي مُقَابَلَتِهَا مِنَ الْأُجْرَةِ، وَلَوِ اسْتَقَرَّ مِلْكُهُ عَلَيْهَا لَمْ يَرْجِعْ عِنْدَ فَوَاتِهَا بِمَا قَابَلَهَا كَالْمُشْتَرِي، إِذَا استقر ملكه على السلعة يقبضها لَمْ يَرْجِعْ بِالثَّمَنِ عِنْدَ تَلَفِهَا وَإِذَا كَانَ مِلْكُ الْمُسْتَأْجِرِ عَلَى الْمَنْفَعَةِ غَيْرَ مُسْتَقِرٍّ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِلْكُ الْمُؤْجِرِ لِلْأُجْرَةِ غَيْرَ مُسْتَقِرٍّ، وَلَا تُشْبِهُ الْأُجْرَةُ صَدَاقَ الزَّوْجَةِ لِافْتِرَاقِهِمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua—dan inilah yang lebih jelas sebagaimana kami jelaskan dalam al-Umm dan selainnya—bahwa ia telah memiliki ujrah tersebut melalui akad dengan kepemilikan yang bersifat mauqūf (tertunda) dan murā‘ā (bergantung). Maka, apabila telah berlalu sebagian dari masa sewa, maka kepemilikannya menjadi istiqrār (tetap) atas bagian ujrah yang sepadan dengan manfaat yang telah ia peroleh.
Dan sesungguhnya statusnya disebut murā‘āh dan belum mustaqirrah (tetap), karena ia merupakan imbalan atas manfaat, sedangkan kepemilikan penyewa atas manfaat belum tetap. Sebab, jika manfaat itu hilang karena bangunan runtuh, maka ia berhak kembali atas bagian ujrah yang sepadan dengannya. Andaikata kepemilikannya telah tetap, tentu ia tidak akan kembali atas ujrah ketika manfaat itu hilang, sebagaimana pembeli yang telah tetap kepemilikannya atas barang: jika barang itu rusak setelah ia menerimanya, maka ia tidak dapat kembali atas harga.
Dan jika kepemilikan penyewa atas manfaat belum tetap, maka haruslah kepemilikan pemilik rumah atas ujrah juga belum tetap.
Dan ujrah tidak dapat disamakan dengan ṣadāq (mahar) istri, karena keduanya berbeda dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنْ مِلْكَ الزَّوْجَةَ عَلَى الصَّدَاقِ مُسْتَقِرٌّ بِخِلَافِ الْأُجْرَةِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ مَاتَتِ الزَّوْجَةُ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا، لَمْ يَرْجِعِ الزَّوْجُ بِشَيْءٍ مِنْ صَدَاقِهَا، وَلَوِ انْهَدَمَتِ الدَّارُ قبل مضي مُدَّتِهَا، رَجَعَ الْمُسْتَأْجِرُ بِمَا فِي مُقَابَلَتِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ رُجُوعَ الزَّوْجِ بِنِصْفِ الصَّدَاقِ إِذَا طَلَّقَ قَبْلَ الدُّخُولِ إِنَّمَا هُوَ اسْتِحْدَاثُ مِلْكٍ تجرد بِالطَّلَاقِ، فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَانِعًا مِنِ اسْتِقْرَارِ مِلْكِ الزَّوْجَةِ عَلَى الصَّدَاقِ قَبْلَ الطَّلَاقِ، وَرُجُوعِ المستأجر بالأجرة عند انهدام الدار قبل أن تقضي المدة بالعقد المتقدم لكان ذَلِكَ مَانِعًا مِنِ اسْتِقْرَارِ مِلْكِ الْمُؤْجِرِ عَلَى الأجرة قبل أن تَقَضِّي الْمُدَّةِ.
pertama: bahwa kepemilikan istri atas mahar adalah kepemilikan yang tetap, berbeda dengan upah sewa. Bukankah engkau melihat bahwa jika istri meninggal sebelum terjadi hubungan suami istri, suami tidak berhak menarik kembali sedikit pun dari maharnya? Sedangkan jika rumah yang disewa roboh sebelum masa sewanya habis, penyewa berhak menarik kembali bagian dari upah sewa yang sebanding dengannya.
kedua: bahwa kembalinya separuh mahar kepada suami jika ia menceraikan sebelum berhubungan adalah bentuk munculnya kepemilikan baru yang timbul karena sebab perceraian, maka hal itu tidak mencegah kepemilikan istri atas mahar secara tetap sebelum perceraian. Sedangkan kembalinya penyewa terhadap upah sewa ketika rumah roboh sebelum berakhirnya masa sewa berasal dari akad yang telah lalu, maka hal itu menjadi penghalang atas ketetapan kepemilikan pemilik rumah terhadap upah sewa sebelum masa sewa selesai.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِي اسْتِقْرَارِ مِلْكِ الْأُجْرَةِ فَزَكَاةُ الْأُجْرَةِ مَبْنِيَّةٌ عليهما، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ مِلْكَهُ مُسْتَقِرٌّ عَلَيْهَا بِالْعَقْدِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةَ جَمِيعِهَا فِي الْحَوْلِ الأول وما يَلِيهِ مِنَ الْأَحْوَالِ مَا كَانَتِ الْأُجْرَةُ بَاقِيَةً بِيَدِهِ كَسَائِرِ أَمْوَالِهِ وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ اسْتِقْرَارَ مِلْكِهِ عَلَيْهَا مُعْتَبَرٌ بِمُضِيِّ الْمُدَّةِ، وَعَلَيْهِ فَرَّعَ الشَّافِعِيُّ فَإِذَا مَضَى الْحَوْلُ الْأَوَّلُ بَنَيْنَا اسْتِقْرَارُ مِلْكِهِ عَلَى خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ دِينَارًا مِنَ الْأُجْرَةِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا زَكَاةَ حَوْلٍ نِصْفَ دِينَارٍ وَثُمُنَ دِينَارٍ، فَإِذَا مَضَى الْحَوْلُ الثَّانِي بَنَيْنَا اسْتِقْرَارَ مِلْكِهِ عَلَى خَمْسِينَ دِينَارًا مُنْذُ سَنَتَيْنِ، قَدْ زَكَّى خَمْسَةً وَعِشْرِينَ مِنْهَا لِسَنَةٍ فَيُزَكِّيهَا السَّنَةَ الثَّانِيَةَ إِلَّا قَدْرَ مَا خَرَجَ مِنْهَا فِي زَكَاةِ السَّنَةِ الْأُولَى، وَيُزَكِّي الْخَمْسَةَ وَالْعِشْرِينَ الْأُخْرَى لِسَنَتَيْنِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا دِينَارًا وَرُبْعًا، فَإِذَا مَضَى الْحَوْلُ الثَّالِثُ بَنَيْنَا اسْتِقْرَارَ مِلْكِهِ عَلَى خَمْسَةٍ وَسَبْعِينَ دِينَارًا مُنْذُ ثَلَاثِ سِنِينَ، إِلَّا أَنَّهُ قد زكى خمسين ديناراً فيها لسنتين فيزكيها للسنة الثَّالِثَةَ إِلَّا قَدْرَ مَا أَخْرَجَ مِنْهَا فِي زَكَاةِ السَّنَتَيْنِ، وَيُزَكِّي الْخَمْسَةَ وَالْعِشْرِينَ دِينَارًا فِي السَّنَةِ الثَّالِثَةِ لِثَلَاثِ سِنِينَ فَيُخْرِجُ مِنْهَا دِينَارًا وَنِصْفًا وَرُبْعًا وَثُمْنًا فَإِذَا مَضَى الْحَوْلُ الرَّابِعُ بَنِينَا اسْتِقْرَارَ مِلْكِهِ عَلَى الْمِائَةِ دِينَارٍ مُنْذُ أربع سِنِينَ، إِلَّا أَنَّهُ قَدْ زَكَّى خَمْسِينَ دِينَارًا فيها لسنتين فيزكيها للسنة الثَّالِثَةَ إِلَّا قَدْرَ مَا أَخْرَجَ مِنْهَا فِي زَكَاةِ السَّنَتَيْنِ، وَيُزَكِّي الْخَمْسَةَ وَالْعِشْرِينَ دِينَارًا، فِي السَّنَةِ الثَّالِثَةِ لِثَلَاثِ سِنِينَ فَيُخْرِجُ مِنْهَا دِينَارًا وَنِصْفًا وَرُبْعًا وَثُمْنًا فَإِذَا مَضَى الْحَوْلُ الرَّابِعُ بَنِينَا اسْتِقْرَارَ مِلْكِهِ عَلَى الْمِائَةِ دِينَارٍ مُنْذُ أَرْبَعِ سِنِينَ، إِلَّا أَنَّهُ قَدْ زَكَّى خَمْسَةً وَسَبْعِينَ دِينَارًا مِنْهَا لِثَلَاثِ سِنِينَ، فَيُزَكِّيهَا السَّنَةَ الرَّابِعَةَ إِلَّا قَدْرَ مَا أَخْرَجَ مِنْهَا فِي الزكاة السنين الثلاث ويزكي الخمسة والعسرين دِينَارًا الرَّابِعَةَ لِأَرْبَعِ سِنِينَ فَيُخْرِجُ مِنْهَا دِينَارَيْنِ ونصفاً، وفي حساب زكاتها دوراً ضربت عَنْ ذِكْرِهِ خَوْفًا مِنَ الْإِطَالَةِ، وَقَصَدْتُ أَوْضَحَ طُرُقِ الْمَسْأَلَةِ لِيَكُونَ مَأْخَذُهَا أَسْهَلَ، وَاللَّهُ وَلِيُّ الْإِعَانَةِ.
PASAL
Apabila telah dijelaskan dua pendapat dalam menetapkan kepemilikan atas ujrah, maka zakat atas ujrah dibangun di atas dua pendapat tersebut. Jika kita katakan bahwa kepemilikannya tetap atas ujrah dengan akad, maka wajib atasnya mengeluarkan zakat seluruhnya pada haul pertama dan haul-haul setelahnya selama ujrah masih berada di tangannya, seperti harta lainnya. Namun jika kita katakan bahwa ketetapan kepemilikan tergantung kepada berlalunya waktu, dan inilah yang dirinci oleh asy-Syafi‘i, maka apabila telah berlalu haul pertama, kita tetapkan kepemilikan atas dua puluh lima dinar dari ujrah, maka ia mengeluarkan zakat haulnya sebesar setengah dinar dan seperdelapan dinar.
Jika telah berlalu haul kedua, maka kita tetapkan kepemilikannya atas lima puluh dinar selama dua tahun, dan ia telah menzakati dua puluh lima dinar di antaranya untuk satu tahun, maka ia menzakatinya pada tahun kedua kecuali bagian yang telah dikeluarkan zakatnya pada tahun pertama, dan ia menzakati dua puluh lima dinar lainnya untuk dua tahun, maka ia mengeluarkan zakatnya satu dinar dan seperempat.
Jika telah berlalu haul ketiga, kita tetapkan kepemilikan atas tujuh puluh lima dinar selama tiga tahun, dan ia telah menzakati lima puluh dinar darinya selama dua tahun, maka ia menzakatinya pada tahun ketiga kecuali bagian yang telah dikeluarkan zakatnya untuk dua tahun, dan ia menzakati dua puluh lima dinar untuk tiga tahun, maka ia mengeluarkan darinya satu dinar, setengah dinar, seperempat dinar, dan seperdelapan dinar.
Jika telah berlalu haul keempat, maka kita tetapkan kepemilikannya atas seratus dinar selama empat tahun, dan ia telah menzakati lima puluh dinar darinya selama dua tahun, maka ia menzakatinya pada tahun ketiga kecuali bagian yang telah dikeluarkan zakatnya untuk dua tahun, dan ia menzakati dua puluh lima dinar pada tahun ketiga untuk tiga tahun, maka ia mengeluarkan darinya satu dinar, setengah, seperempat dan seperdelapan dinar.
Jika telah berlalu haul keempat, maka kita tetapkan kepemilikannya atas seratus dinar selama empat tahun, dan ia telah menzakati tujuh puluh lima dinar darinya selama tiga tahun, maka ia menzakatinya pada tahun keempat kecuali bagian yang telah dikeluarkan zakatnya untuk tiga tahun, dan ia menzakati dua puluh lima dinar pada tahun keempat untuk empat tahun, maka ia mengeluarkan zakat darinya dua dinar dan setengah.
Dan dalam perhitungan zakatnya terdapat putaran yang aku tinggalkan penyebutannya karena khawatir terlalu panjang, dan aku mengarahkan pada cara yang paling jelas dalam permasalahan ini agar lebih mudah untuk dipahami, dan Allah-lah pemilik pertolongan.
فَصْلٌ
: فَلَوِ انْهَدَمَتِ الدَّارُ فِي أَثْنَاءِ الْمُدَّةِ انْفَسَخَتِ الْإِجَارَةُ فِيمَا بَقِيَ وَرَدَّ مِنَ الأجرة ما قابله، وَصَحَّتِ الْإِجَارَةُ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ فِيمَا مَضَى، وَاسْتَقَرَّ مِلْكُهُ مِنَ الْأُجْرَةِ عَلَى مَا قَابَلَهُ وَالْحَكَمُ فِي الزَّكَاةِ عَلَى مَا مَضَى، فَلَوْ كَانَ قَدْ أَخْرَجَ زَكَاةَ جَمِيعِ الْأُجْرَةِ، لَمْ يَرْجِعْ بِمَا أَخْرَجَهُ مِنَ 6 الزَّكَاةِ عِنْدَ اسْتِرْجَاعِ مَا قَبَضَهُ مِنَ الْأُجْرَةِ.
PASAL
Jika rumah yang disewakan roboh di tengah masa sewa, maka akad ijārah batal untuk sisa masa sewa, dan dikembalikan dari upah sewa bagian yang sebanding dengannya. Namun akad ijārah tetap sah—menurut pendapat yang ṣaḥīḥ dalam mazhab—atas masa yang telah berlalu, dan kepemilikannya atas upah sewa menjadi tetap untuk bagian yang sebanding dengannya. Adapun hukum zakat, maka tetap sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Maka jika ia telah mengeluarkan zakat atas seluruh upah sewa, maka ia tidak berhak menarik kembali zakat yang telah dikeluarkannya itu saat ia menarik kembali upah sewa yang telah diterimanya.
فَصْلٌ
: فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا فَقَبَضَ الْأُجْرَةَ وَلَمْ يُسَلِّمِ الدَّارَ حَوْلًا بَعْدَ حَوْلٍ حَتَّى انْقَضَتِ الْمُدَّةُ فَالْإِجَارَةُ قَدْ بَطَلَتْ وَعَلَيْهِ رَدُّ الْأُجْرَةِ، فَأَمَّا وُجُوبُ زَكَاتِهَا عَلَيْهِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ مِلْكَهُ غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ عَلَيْهَا إِلَّا بِمُضِيِّ الْمُدَّةِ، فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ كُلَّمَا مَضَى مِنْ مُدَّةِ الْإِجَارَةِ، شَيْءٌ قَبْلَ التَّسْلِيمِ، فَقَدْ زَالَ مِلْكُهُ عَمَّا قَابَلَهُ مِنَ الْأُجْرَةِ، وَمَنْ زَالَ مِلْكُهُ عَنِ الشَّيْءِ لَمْ تَلْزَمْهُ زَكَاتُهُ وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ مِلْكَهُ مُسْتَقِرٌّ عَلَى الْأُجْرَةِ بِنَفْسِ الْعَقْدِ قبل مضي المدة، فعله يَتَفَرَّعُ الْجَوَابُ بِعَكْسِ مَا تَقَدَّمَ فَإِذَا مَضَتِ السَّنَةُ الْأُولَى قَبْلَ التَّسْلِيمِ، وَقَدْ كَانَ مِلْكُهُ مُسْتَقِرًّا عَلَى مِائَةِ دِينَارٍ فَقَدْ زَالَ مِلْكُهُ عَنْ خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ دِينَارًا فَيُزَكِّي الْبَاقِيَ، وَهُوَ خَمْسَةٌ وَسَبْعُونَ دِينَارًا لِسَنَةٍ فَإِذَا مَضَتِ السَّنَةُ الثَّانِيَةُ فَقَدْ زَالَ مِلْكُهُ عَنْ خَمْسِينَ دِينَارًا فَيُزَكِّي الْبَاقِيَ لِسَنَةٍ وَهُوَ خَمْسُونَ دِينَارًا إِلَّا قَدْرَ مَا خَرَجَ مِنْهَا فِي زَكَاةِ السَّنَةِ الْأُولَى فَإِذَا مَضَتِ السَّنَةُ الثَّالِثَةُ، فَقَدْ زَالَ مِلْكُهُ عَنْ خَمْسَةٍ وَسَبْعِينَ دِينَارًا فَيُزَكِّي الْبَاقِيَ، وهو خمسة وسبعون دِينَارًا إِلَّا قَدْرَ مَا خَرَجَ مِنْهَا فِي زَكَاةِ السَّنَةِ الْأُولَى، وَالثَّانِيَةِ فَإِذَا مَضَتِ السَّنَةُ الرَّابِعَةُ، فَقَدْ زَالَ مِلْكُهُ عَنِ الْمِائَةِ كُلِّهَا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيهَا، وَلَا رُجُوعَ لَهُ بِمَا أَخْرَجَ مِنْ زَكَاتِهَا لِأَنَّ ذَلِكَ حَقٌّ لَزِمَهُ فِي مِلْكِهِ، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ.
PASAL
Jika keadaan masalah tetap sebagaimana adanya, lalu ia menerima ujrah tetapi tidak menyerahkan rumah tersebut selama satu haul demi haul hingga waktu sewa berakhir, maka akad sewa-menyewa telah batal dan ia wajib mengembalikan ujrah.
Adapun kewajiban zakat atas ujrah tersebut, maka jika kita katakan bahwa kepemilikannya tidak tetap kecuali dengan berlalunya waktu, maka tidak wajib zakat atasnya, karena setiap kali berlalu sebagian dari masa sewa sebelum penyerahan, maka telah gugur kepemilikannya atas bagian ujrah yang sepadan dengannya. Dan siapa yang telah gugur kepemilikannya atas sesuatu, maka tidak wajib zakat atasnya.
Namun jika kita katakan bahwa kepemilikannya tetap atas ujrah sejak akad meskipun sebelum berlalunya masa, maka jawabannya berkebalikan dari yang telah lalu. Maka apabila telah berlalu tahun pertama sebelum penyerahan, dan kepemilikannya telah tetap atas seratus dinar, lalu gugurlah kepemilikannya atas dua puluh lima dinar, maka ia menzakati sisanya, yaitu tujuh puluh lima dinar untuk satu tahun.
Jika telah berlalu tahun kedua, maka telah gugur kepemilikannya atas lima puluh dinar, maka ia menzakati sisanya selama satu tahun, yaitu lima puluh dinar, kecuali bagian yang telah dikeluarkan zakatnya pada tahun pertama.
Jika telah berlalu tahun ketiga, maka telah gugur kepemilikannya atas tujuh puluh lima dinar, maka ia menzakati sisanya, yaitu dua puluh lima dinar, kecuali bagian yang telah dikeluarkan zakatnya pada tahun pertama dan kedua.
Jika telah berlalu tahun keempat, maka telah gugur kepemilikannya atas seluruh seratus dinar, maka tidak ada zakat atasnya, dan ia tidak bisa menuntut kembali apa yang telah ia keluarkan dari zakatnya, karena itu adalah hak yang wajib atas kepemilikan dirinya, maka tidak ada hak baginya untuk menuntutnya kembali dari orang lain.
فَصْلٌ
: وَيَتَفَرَّعُ عَلَى تَعْلِيلِ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ فِي الْإِجَارَةِ مَسْأَلَتَانِ فِي الْبُيُوعِ:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَبِيعَ رَجُلٌ سِلْعَةً بِمِائَةِ دِينَارٍ وَيَقْبِضَ ثَمَنَهَا، وَلَا يُسَلِّمَ السِّلْعَةَ حَتَّى يَحُولَ الْحَوْلُ عَلَى الثَّمَنِ الَّذِي بِيَدِهِ، فَهَلْ يَلْزَمُهُ إخراج زكاته قبل تسليم السلعة التي من مقابله عَلَى قَوْلَيْنِ وَهَلْ يَلْزَمُ الْمُشْتَرِي إِذَا كَانَتِ السِّلْعَةُ لِلتِّجَارَةِ أَنْ يُخْرِجَ الزَّكَاةَ عَنْهَا قَبْلَ قَبْضِهَا عَلَى قَوْلَيْنِ إِنْ قِيلَ إِنَّ مِلْكَ الأجرة مستقر، وإن طرأ الْفَسْخُ فَمِلْكُ الثَّمَنِ وَالسِّلْعَةِ مُسْتَقِرٌّ، وَإِنْ جَازَ طروء الفسخ وإخراج زكاتها غير واجب، حتى يتقابضا السلعة، ويؤمن طروء الْفَسْخِ.
PASAL
Berturunan dari penjelasan dua pendapat dalam akad ijārah, terdapat dua masalah dalam bab jual beli:
Pertama: seseorang menjual suatu barang seharga seratus dinar, lalu ia menerima uangnya, namun tidak menyerahkan barang yang dijual hingga genap satu tahun atas harga yang ada di tangannya. Maka apakah wajib baginya mengeluarkan zakat atasnya sebelum menyerahkan barang yang menjadi pengganti harga tersebut? Dalam hal ini ada dua pendapat.
Dan apakah wajib atas pembeli—jika barang tersebut untuk tujuan perdagangan—untuk mengeluarkan zakat atasnya sebelum ia menerima barang tersebut? Juga terdapat dua pendapat.
Jika dikatakan bahwa kepemilikan atas upah sewa adalah kepemilikan yang tetap meskipun memungkinkan terjadinya fasakh, maka kepemilikan atas harga dan barang juga dianggap tetap, dan boleh jadi zakat atasnya wajib. Namun jika kemungkinan terjadinya fasakh masih ada, maka zakatnya tidak wajib sampai terjadi serah-terima atas barang, dan tidak ada lagi kemungkinan fasakh.
وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَبَايَعَا سَلَمًا بِمِائَةِ دِينَارٍ إِلَى أَجَلٍ وَيَقْبِضَ الْبَائِعُ الثَّمَنَ، وَيَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ قَبْلَ قَبْضِ الْمُسَلَّمِ فِيهِ، فَالْجَوَابُ يَنْبَنِي أَوَّلًا عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي فَسْخِ السَّلَمِ بِعَدَمِ الْمُسَلَّمِ فِيهِ عِنْدَ مَحِلِّهِ، فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ لَا يَنْفَسِخُ الْعَقْدُ بِعَدَمِهِ، فَعَلَى هَذَا ملك البايع مُسْتَقِرٌّ عَلَى ثَمَنِهِ قَوْلًا وَاحِدًا وَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ.
Masalah kedua: Yaitu apabila dua orang melakukan akad salam dengan harga seratus dinar sampai batas waktu tertentu, lalu penjual menerima pembayaran tersebut, dan telah berlalu haul atasnya sebelum ia menerima barang yang menjadi objek salam, maka jawabannya dibangun pertama-tama atas perbedaan pendapat Imam Syafi’i tentang batal atau tidaknya akad salam karena tidak tersedianya barang yang diserahkan pada waktunya.
Salah satu dari dua pendapatnya adalah bahwa akad tidak batal karena tidak tersedianya barang tersebut, maka menurut pendapat ini, kepemilikan penjual tetap atas harga barang tersebut menurut satu pendapat, dan wajib atasnya mengeluarkan zakatnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ عَقْدَ السَّلَمِ يَنْفَسِخُ بِعَدَمِهِ فَعَلَى هَذَا هَلْ يَكُونُ مِلْكُهُ مُسْتَقِرًّا عَلَى ثَمَنِهِ وَيَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي اسْتِقْرَارِ مِلْكِ الأجرة قبل مضي المدة، فأما المشتري السَّلَمِ فَلَا يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ إِنْ كَانَ لِلتِّجَارَةِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ تَأْجِيلَ الشَّيْءِ يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ زَكَاتِهِ، فَإِذَا قَبَضَهُ بَعْدَ مَحِلِّهِ اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ.
Pendapat kedua: bahwa akad salam batal jika barang yang diserahkan tidak ada. Berdasarkan pendapat ini, apakah kepemilikannya atas harga (yang telah dibayarkan) bersifat tetap dan apakah wajib atasnya mengeluarkan zakat? Maka ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang tetapnya kepemilikan atas upah sewa sebelum selesainya masa sewa.
Adapun pembeli dalam akad salam, maka tidak wajib atasnya mengeluarkan zakat atas barang yang dibeli untuk perdagangan menurut satu pendapat yang disepakati, karena penundaan penyerahan barang menghalangi kewajiban zakat atasnya. Maka apabila ia telah menerima barang tersebut setelah waktu penyerahan, ia memulai kembali hitungan ḥaul-nya dari awal.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ تَوَهَّمَ أَنَّ الشَّافِعِيَّ اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي حُلُولِ الْأُجْرَةِ، وَمِلْكِ الْمُؤْجِرِ لَهَا، وَلَيْسَ كَمَا تَوَهَّمَ لَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُ إِنَّ الْأُجْرَةَ حَالَّةٌ وَإِنَّ الْمُؤْجِرَ لَهَا مَالِكٌ، وَإِنَّزَكَاتَهَا وَاجِبَةٌ وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي اسْتِقْرَارِ مِلْكِهَا، وَتَعْجِيلِ إِخْرَاجِ زَكَاتِهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مُفَصَّلًا، وَشَرَحْنَاهُ مُبَيَّنًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Adapun al-Muzani, ia mengira bahwa asy-Syafi‘i berselisih pendapat mengenai jatuh tempo ujrah dan kepemilikan pemberi sewa atasnya. Padahal tidaklah sebagaimana yang ia sangka; tidak ada perbedaan pendapat dari asy-Syafi‘i bahwa ujrah itu jatuh tempo (ḥāllah), dan bahwa pemberi sewa adalah pemiliknya, serta bahwa zakat atasnya wajib.
Yang ada perbedaan pendapat hanyalah dalam hal ketetapan (istiqrār) kepemilikannya atas ujrah tersebut, dan dalam hal percepatan pengeluaran zakatnya, sebagaimana telah kami sebutkan secara terperinci dan kami jelaskan secara terang. Dan Allah Maha Mengetahui.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” ولو غَنِمُوا فَلَمْ يَقْسِمْهُ الْوَالِي حَتَّى حَالَ الْحَوْلُ فَقَدْ أَسَاءَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ عذرٌ وَلَا زكاةٌ فِي فضةٍ مِنْهَا وَلَا ذهبٍ حتى يستقبل بها حولاً بعد القسم لِأَنَّهُ لَا مِلْكَ لأحدٍ فِيهِ بِعَيْنِهِ وَإِنَّ للإمام أن يمنعهم قسمته إلا أن يمكنه ولأن فيها خمساً وإذ عزل سهم النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – منها لما ينوب المسلمين فلا زكاة فيه لأنه ليس لمالكٍ بعينه “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahu Allāh berkata: “Seandainya pasukan memperoleh ghanimah, namun gubernur (pemimpin) belum membaginya hingga genap setahun, maka ia telah berbuat buruk jika tidak memiliki uzur. Dan tidak ada zakat pada perak maupun emas dari ghanimah itu sampai dimulai hitungan ḥaul baru setelah dibagikan, karena belum ada satu pun yang memiliki bagian tertentu secara pribadi.
Dan sesungguhnya imam berhak menunda pembagiannya selama ia masih mampu melaksanakannya. Dan karena di dalam ghanimah terdapat bagian seperlima, dan ketika bagian Nabi SAW dipisahkan darinya untuk kepentingan umum kaum muslimin, maka tidak ada zakat atasnya karena ia bukan milik seseorang tertentu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا غَزَا الْمُسْلِمُونَ أَرْضَ الْعَدُوِّ فَغَنِمُوا أَمْوَالَهُمْ لَمْ يَجُزْ لِلْإِمَامِ تَأْخِيرُ قَسْمِ مال الْغَنِيمَةِ بَيْنَهُمْ، إِلَّا لِعُذْرٍ مِنْ دَوَامِ حَرْبٍ أو رجعة عدو قد أَخَّرَ ابْنُ الْحَضْرَمِيِّ قِسْمَةَ غَنَائِمِهِ مَعْذُورًا لِإِشْكَالٍ عَلَيْهِ، حَتَّى قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمْ يُنْكِرْ تَأْخِيرَ قِسْمَتِهَا عَلَيْهِ، وَأَخَّرَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قِسْمَةَ غَنَائِمِ هَوَازِنَ لِعُذْرٍ، فَأَمَّا تَأْخِيرُ قِسْمَتِهَا مَعَ ارْتِفَاعِ الْأَعْذَارِ وَزَوَالِ الْمَوَانِعِ فَغَيْرُ جَائِزٍ لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِضْرَارِ بِالْغَانِمِينَ وَكَرِهَ أبو حنيفة تعجل قِسْمَةِ الْغَنِيمَةِ فِي أَرْضِ الْحَرْبِ، وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ ” السِّيَرِ ” إِنْ شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ الْكَلَامُ بَعْدَ هَذَا فِي فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: فِي كَيْفِيَّةِ مِلْكِ الْغَنِيمَةِ.
وَالثَّانِي: فِي زَكَاةِ مَالِ الْغَنِيمَةِ.
Al-Māwardī berkata: Apabila kaum Muslimin menyerbu wilayah musuh lalu memperoleh harta mereka sebagai ghanimah, maka tidak boleh bagi imam untuk menunda pembagian harta ghanimah tersebut kepada mereka, kecuali karena ada uzur seperti peperangan yang masih berlangsung atau kemungkinan musuh akan kembali.
Ibnu al-Ḥaḍramī pernah menunda pembagian ghanimah karena adanya kesulitan yang dihadapinya, hingga ia datang kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW tidak mengingkari penundaan pembagiannya. Rasulullah SAW sendiri juga menunda pembagian ghanimah Hawāzin karena ada uzur.
Adapun menunda pembagian ghanimah tanpa adanya uzur dan setelah hilangnya penghalang, maka hal tersebut tidak boleh, karena hal itu akan merugikan para mujahid yang memperoleh ghanimah. Abū Ḥanīfah memakruhkan pembagian ghanimah secara tergesa-gesa di medan perang. Penjelasan lebih lanjut tentang pendapat beliau akan disebutkan dalam Kitāb al-Siyar, insya Allah.
Setelah ini akan dibahas dua pasal:
Pertama: tentang tata cara kepemilikan ghanimah.
Kedua: tentang zakat harta ghanimah.
فَأَمَّا مِلْكُ الْغَنِيمَةِ، فَمَتَى كَانْتِ الحرب قائمة فالغنائم غير مملوكة، وإن أجازها الْمُسْلِمُونَ وَمَنْ غَنِمَ شَيْئًا لَمْ يَمْلِكْهُ وَلَا مالك أَنْ يَتَمَلَّكَهُ، لِأَنَّ غَنِيمَةَ الْعَدُوِّ مِنْ تَوَابِعِ الظفر به وهو مع المعاونة وَالْحَرْبِ غَيْرُ مَظْفُورٍ بِهِ، وَلَا مَقْدُورٍ عَلَيْهِ فَإِذَا انْجَلَتِ الْحَرْبُ وَأُحِيزَتِ الْغَنَائِمُ، فَقَدْ مَلَكَ الْمُسْلِمُونَ أَنْ يَتَمَلَّكُوا إِلَّا أَنَّهُمْ فِي الْحَالِ قَدْ مَلَكُوا كَالشَّفِيعِ مَلَكَ بِالشُّفْعَةِ، أَنْ يَتَمَلَّكَ والوصى له بالموصي ملك أن يتملك وللزوج مَلَكَ بِالطَّلَاقِ، قَبْلَ الدُّخُولِ أَنْ يَتَمَلَّكَ وَغَرِيمِ الْمُفْلِسِ مَلَكَ بِفَلَسِ الْمُشْتَرِي أَنْ يَتَمَلَّكَ وَإِنَّمَا مَلَكُوا أَنْ يَتَمَلَّكُوا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونُوا قَدْ مَلَكُوا، لِأَنَّ وَاحِدًا مِنْهُمْ لَوْ تَرَكَ حَقَّهُ، وَلَمْ يَخْتَرْ تَمَلُّكَهُ رَجَعَ سَهْمُهُ عَلَى الَّذِينَ مَعَهُ كَالشُّفْعَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَوْقُوفًا لَهُ كَالْوَرَثَةِ الَّذِينَ إِذَا تَرَكَ أَحَدُهُمْ حَقَّهُ لم يرجع على الذي معه، فكان مَوْقُوفًا لَهُ، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْغَانِمِينَ مَلَكُوا بِالْغَنِيمَةِ أَنْ يَتَمَلَّكُوا فَتَمَلُّكُهُمْ يَكُونُ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Adapun kepemilikan atas ghanimah, maka selama peperangan masih berlangsung, harta rampasan belum dianggap dimiliki, meskipun kaum muslimin telah menguasainya. Barang siapa yang memperoleh sesuatu dari harta rampasan, maka ia belum memilikinya, dan tidak boleh baginya untuk memilikinya, karena harta rampasan dari musuh termasuk akibat kemenangan atas mereka, sedangkan selama masih dalam kondisi saling bantu-membantu dan peperangan, maka musuh belum benar-benar ditaklukkan, dan belum berada dalam kekuasaan penuh.
Apabila perang telah usai dan harta rampasan telah diamankan, maka kaum muslimin telah memiliki hak untuk memilikinya. Namun, pada saat itu, mereka hanya memiliki hak seperti orang yang memiliki hak syuf‘ah—yakni memiliki hak untuk memiliki, bukan telah benar-benar memiliki. Seperti orang yang diwasiati, ia memiliki hak untuk memiliki dari wasiat, dan suami yang menceraikan sebelum berhubungan memiliki hak atas setengah mahar, dan kreditur dari orang bangkrut memiliki hak atas harta pembeli yang bangkrut. Mereka semua hanya memiliki hak untuk memiliki, bukan telah memiliki hak secara utuh.
Karena jika salah satu dari mereka melepaskan haknya dan tidak memilih untuk memilikinya, maka bagiannya akan kembali kepada yang bersamanya, sebagaimana dalam kasus syuf‘ah. Hal ini berbeda dengan ahli waris—jika salah satu dari mereka melepaskan haknya, maka tidak kembali kepada yang lain—maka itu menunjukkan bahwa hak dalam ghanimah adalah hak yang tergantung pada pilihan (mawqūf lah).
Jika telah ditetapkan bahwa para pejuang (ghānimīn) memiliki hak dalam ghanimah untuk memilikinya, maka bentuk kepemilikan mereka terjadi melalui salah satu dari dua perkara:
إما باختيار التملك، وذلك بأن ي قولوا قَدِ اخْتَرْنَا أَنْ نَمْلِكَ فَيَمْلِكُونَ كَمَا يَمْلِكُ الموصى له لقبوله.
وَإِمَّا بِأَنْ يُقَسِّمَهَا بَيْنَهُمْ، فَيَأْخُذَ كُلُّ وَاحِدٍ سَهْمَهُ فَيَعْلَمَ أَنَّهُ قَدِ اخْتَارَهُ، وَمَلَكَهُ كَمَا يَمْلِكُ أَهْلُ السُّهْمَانِ مَا قُسِّمَ عَلَيْهِمْ مِنَ الزَّكَاةِ.
Yaitu dengan memilih untuk memiliki, yakni dengan mereka berkata: “Kami memilih untuk memilikinya,” maka mereka pun memilikinya sebagaimana orang yang diberi wasiat memiliki harta karena penerimaannya.
Atau dengan cara imam membagi harta tersebut di antara mereka, lalu masing-masing mengambil bagiannya, maka hal itu menunjukkan bahwa ia telah memilihnya dan memilikinya, sebagaimana para penerima bagian zakat memiliki apa yang telah dibagikan kepada mereka dari zakat.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا زَكَاةُ مَالِ الْغَنِيمَةِ إِذَا حَالَ الْحَوْلُ قَبْلَ الْقِسْمَةِ، فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ الغانمون قد تملكوها، فَإِنْ لَمْ يَتَمَلَّكُوهَا حَتَّى حَالَ الْحَوْلُ فَلَا زَكَاةَ فِيهَا سَوَاءٌ كَانَتْ جِنْسًا أَوْ أَجْنَاسًا عُزِلَ مِنْهَا الْخُمُسُ، أَمْ لَمْ يُعْزَلْ لِأَنَّهَا لَمْ تَصِرْ مِلْكًا لِلْغَانِمِينَ، وَلَا لِقَوْمٍ مُعَيَّنِينَ وَإِنْ تَمَلَّكَهَا الْغَانِمُونَ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
PASAL
Adapun zakat atas harta ghanimah jika telah berlalu satu haul sebelum dibagikan, maka tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama, bahwa para pejuang (ghānimūn) belum memilikinya. Jika mereka belum memilikinya hingga genap haul, maka tidak ada zakat atasnya—baik harta itu sejenis atau beragam jenis, baik seperlima (khumus) telah dipisahkan darinya atau belum—karena harta tersebut belum menjadi milik para ghānimīn, dan belum pula milik suatu kaum tertentu.
Dan jika para ghānimīn telah memilikinya, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ أَجْنَاسًا مُخْتَلِفَةً، فَلَا زَكَاةَ فِيهَا سَوَاءٌ كَانَ جَمِيعُ أَجْنَاسِهَا مِمَّا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، أَوْ كَانَ بَعْضُهُ مِمَّا لَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، لِأَنَّهُ لَيْسَ أَحَدُ الْأَجْنَاسِ بِعَيْنِهِ مِلْكًا لِرَجُلٍ مِنَ الْغَانِمِينَ بِعَيْنِهِ، لِأَنَّ لِلْإِمَامِ أَنْ يُقَسِّمَهَا بَيْنَهُمْ قِسْمَةَ تَحَكُّمٍ مَوْقُوفَةً عَلَى نَظَرِهِ فَيُعْطِي بَعْضَهُمْ وَرِقًا، وَبَعْضَهُمْ ذَهَبًا وَبَعْضَهُمْ إِبِلًا وَبَعْضَهُمْ عَرَضًا.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْغَنِيمَةُ جنساً واحداً، فإن كان ما لَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ كَالْخَيْلِ وَالسَّبْيِ وَالْعُرُوضِ، فَلَا زَكَاةَ فِيهَا، وَإِنْ كَانَتْ ذَهَبًا أَوْ فِضَّةً أَوْ مَاشِيَةً سَائِمَةً، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pertama: Jika ghanimah terdiri dari berbagai jenis yang berbeda, maka tidak wajib zakat atasnya — baik seluruh jenis tersebut termasuk yang wajib dizakati maupun sebagian di antaranya tidak wajib dizakati — karena tidak ada satu jenis pun dari harta tersebut yang secara khusus dimiliki oleh salah satu dari para mujahid secara pribadi. Hal ini karena imam berhak membagikannya kepada mereka dengan pembagian yang bersifat taktis dan tergantung pada ijtihadnya; maka ia bisa memberikan sebagian mereka perak, sebagian lainnya emas, sebagian lagi unta, dan sebagian lainnya barang dagangan.
Jenis kedua: Jika ghanimah itu hanya terdiri dari satu jenis saja, maka jika termasuk harta yang tidak wajib dizakati seperti kuda, tawanan, dan barang dagangan, maka tidak ada zakat atasnya. Namun jika berupa emas, perak, atau hewan ternak yang digembalakan (sā’imah), maka perkaranya terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ خُمُسُهَا مَعْزُولًا لِأَهْلِ الْخُمُسِ فَزَكَاتُهَا وَاجِبَةٌ، لِأَنَّهَا مِلْكٌ لِجَمَاعَةٍ تَجِبُ عَلَيْهِمِ الزَّكَاةُ، فَوَجَبَ أَنْ تَجِبَ فِيهَا الزَّكَاةُ كَالْأَمْوَالِ الْمُشَاعَةِ بَيْنَ الشُّرَكَاءِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْخُمُسُ بَاقِيًا فِيهَا فَفِي وُجُوبِ زَكَاتِهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ: لَا زَكَاةَ فِيهَا وَهُوَ بِنَصِّ الشَّافِعِيِّ أَشْبَهُ لِأَنَّهُ قَالَ فِي تَعْلِيلِ إِسْقَاطِ الزَّكَاةِ عَنِ الْغَنِيمَةِ ” لِأَنَّهُ لَا مِلْكَ لِأَحَدٍ فِيهِ بِعَيْنِهِ، وَإِنَّ لِلْإِمَامِ أَنْ يَمْنَعَهُمْ قَسْمَهُ إِلَى أَنْ يُمْكِنَهُ، وَلِأَنَّ فِيهَا خُمُسًا “.
pertama: jika seperlimanya (khumus) telah dipisahkan untuk para penerima khumus, maka zakat atas harta ghanimah tersebut wajib, karena ia adalah milik suatu kelompok yang wajib atas mereka menunaikan zakat. Maka wajib atasnya zakat sebagaimana harta syirkah (musya‘) yang dimiliki bersama oleh para sekutu.
kedua: jika khumus masih tercampur di dalamnya, maka dalam kewajiban zakat atasnya terdapat dua pendapat:
pertama: yaitu pendapat para sahabat kami dari kalangan ulama Bashrah, bahwa tidak ada zakat atasnya. Dan ini lebih mendekati naṣṣ Imam al-Syafi‘i, karena beliau berkata dalam alasan gugurnya zakat atas ghanimah: “Karena belum ada milik secara pribadi atasnya, dan sesungguhnya imam boleh menahan pembagiannya sampai ia mampu membaginya, dan karena di dalamnya terdapat seperlima.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ: الزَّكَاةُ فِيهَا وَاجِبَةٌ وَهُوَ عِنْدِي فِي الْحُكْمِ أَصَحُّ، لِأَنَّ مُشَارَكَةَ أَهْلِ الْخُمُسِ لَهُمْ، لَا تَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ عَلَيْهِمْ، كَمَا أَنَّ مُشَارَكَةَ الْمُكَاتَبِ وَالذِّمِّيِّ، لَا تَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ عَلَى الْمُسْلِمِ الْحُرِّ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat para sahabat kami dari kalangan ulama Baghdad: zakat atas ghanimah tersebut wajib, dan menurutku inilah yang lebih kuat dalam hukum, karena keterlibatan Ahlul Khumus (ahli bagian seperlima) bersama mereka tidak menghalangi kewajiban zakat atas mereka. Sebagaimana keterlibatan mukātab dan dzimmī tidak menghalangi kewajiban zakat atas seorang Muslim merdeka.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِيهَا جُمْلَةً، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْغَانِمِينَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُقَسِّمُوا قَبْلَ الْحَوْلِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنِ اقْتَسَمُوا قَبْلَ الْحَوْلِ، فَلَا زَكَاةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ حَتَّى يَكُونَ سَهْمُهُ نِصَابًا وَيَتِمَّ حَوْلُهُ مِنْ حِينِ مَلَكَهُ، وَإِنْ حَالَ الْحَوْلُ قَبْلَ قِسْمَتِهِمْ فَإِنْ كَانَتِ الْغَنِيمَةُ لَا تَبْلُغُ نِصَابًا، وَكَانَتْ مَعَ الْخُمُسِ نِصَابًا، فَلَا زَكَاةَ فِيهَا، وَإِنْ كَانَتِ الْغَنِيمَةُ سِوَى الْخُمُسِ نِصَابًا، فَصَاعِدًا نُظِرَتْ فَإِنْ كَانَتْ مَاشِيَةً وَجَبَ فِيهَا الزَّكَاةُ سَوَاءٌ بَلَغَ سَهْمُ كُلِّ واحدمِنْهُمْ نِصَابًا أَمْ لَا، لِأَنَّهُ إِنْ لَمْ يَبْلُغْ نِصَابًا فَهُوَ خَلِيطٌ وَالْخُلْطَةُ فِي الْمَوَاشِي تَصِحُّ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَاشِيَةٍ كَفِضَّةٍ أَوْ ذَهَبٍ نُظِرَتْ فَإِنْ بَلَغَ سَهْمُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصَابًا فَعَلَيْهِ الزَّكَاةُ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ، فَعَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى الْخُلْطَةِ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي، فَعَلَى الْقَدِيمِ حَيْثُ مَنَعَ الْخُلْطَةَ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي، لَا تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَعَلَى الْجَدِيدِ حَيْثُ جَوَّزَ الْخُلْطَةُ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ.
PASAL
Apabila telah tetap kewajiban zakat pada harta rampasan secara keseluruhan, maka keadaan para perampas (penerima ghanîmah) tidak lepas dari dua hal: pertama, mereka membaginya sebelum haul; kedua, setelahnya.
Jika mereka membaginya sebelum haul, maka tidak wajib zakat atas salah satu dari mereka sampai bagiannya mencapai nishab dan sempurna haul dari saat ia memilikinya.
Namun jika haul telah sempurna sebelum mereka membaginya, lalu ghanîmah itu tidak mencapai nishab dan hanya mencapai nishab bila digabung dengan seperlima (khumus), maka tidak ada zakat di dalamnya.
Dan jika harta ghanîmah selain seperlima itu mencapai nishab atau lebih, maka dilihat: jika berupa hewan ternak, maka wajib zakat di dalamnya, baik bagian masing-masing dari mereka mencapai nishab maupun tidak, karena jika tidak mencapai nishab maka statusnya adalah khalîth (tercampur), sedangkan percampuran dalam hewan ternak sah menurut satu pendapat.
Namun jika harta tersebut bukan hewan ternak seperti perak atau emas, maka dilihat: jika bagian masing-masing dari mereka mencapai nishab, maka atasnya wajib zakat. Dan jika kurang dari nishab, maka ada dua pendapat berdasarkan pada percampuran dalam selain hewan ternak.
Menurut pendapat qadîm, yang tidak membolehkan percampuran pada selain hewan ternak, maka tidak wajib zakat atasnya.
Menurut pendapat jadîd, yang membolehkan percampuran pada selain hewan ternak, maka wajib zakat atasnya.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَ بَيْعًا صَحِيحًا عَلَى أَنَّهُ بِالْخِيَارِ أَوِ الْمُشْتَرِي أَوْ هُمَا قَبَضَ أَوْ لَمْ يَقْبِضْ فَحَالَ الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ مَلَكَ الْبَائِعُ وجبت عليه فيه الزكاة لأنه لا يتم بخروجه من ملكه حتى حال الحول ولمشتريه الرد بالتغير الذي دخل فيه بالزكاة (قال المزني) وقد قال في باب زكاة الفطر إن الملك يتم بخيارهما أو بخيار المشتري وفي الشفعة أن الملك يتم بخيار المشتري وحده (قال المزني) الأول إذا كانا جميعاً بالخيار عندي أشبه بأصله لأن قوله لم يختلف في رجل حَلَفَ بِعِتْقِ عَبْدِهِ أَنْ لَا يَبِيعَهُ فَبَاعَهُ أنه عتيق والسند عنده أن المتبايعين جميعاً بالخيار ما لم يتفرقا تفرق الأبدان فلولا أنه ملكه ما عتق عليه عبده “.
Bab jual beli pada harta yang wajib dizakati: dengan syarat khiyar, dan selainnya; serta jual beli petugas zakat, dan apa yang telah diterima darinya, dan hal-hal lain yang terkait
Asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata:
“Jika seseorang melakukan jual beli yang sah dengan syarat adanya khiyār (hak memilih), baik bagi penjual, pembeli, atau keduanya—baik barang sudah diterima atau belum—kemudian berlalu haul sejak hari penjual memilikinya, maka wajib atasnya zakat, karena harta tersebut tidak keluar dari kepemilikannya hingga haul sempurna, dan pembeli berhak mengembalikannya jika terjadi perubahan akibat terkena zakat.”
Al-Muzanī berkata:
Dan ia telah mengatakan dalam bab zakat fitri bahwa kepemilikan sempurna terjadi dengan adanya hak khiyār bagi kedua pihak atau khiyār pembeli saja. Dan dalam bab syuf‘ah, ia menyatakan bahwa kepemilikan sempurna hanya dengan khiyār pembeli saja.
Al-Muzanī berkata lagi:
Menurutku, pendapat pertama—yakni apabila keduanya memiliki hak khiyār—lebih sesuai dengan prinsip dasar mazhabnya, karena beliau tidak berbeda pendapat dalam kasus seseorang yang bersumpah untuk tidak menjual budaknya, lalu ia menjualnya, maka budak itu menjadi merdeka. Dan alasan hukum menurutnya adalah bahwa dua orang yang berjual beli tetap dalam hak khiyār selama mereka belum berpisah secara fisik. Maka, jika bukan karena pembeli telah memilikinya, tentu budak itu tidak menjadi merdeka atasnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَمُقَدِّمُةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ هُوَ: أَنَّ الْبَيْعَ هَلْ يَنْقُلُ الْمِلْكَ بِنَفْسِ الْعَقْدِ أَوْ بِالْعَقْدِ وَتَقَضِّي زَمَانِ الْخِيَارِ؟ فَلِلشَّافِعِيِّ فِي ذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
أَحَدُهَا: أَنَّ مِلْكَ الْمَبِيعِ قَدِ انتقل إلى المشتري بنفس العقد، وإن أجاز دَفْعَهُ بِالْخِيَارِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إَِنَّ مِلْكَ الْمَبِيعِ لَا يَنْتَقِلُ إِلَى الْمُشْتَرِي إِلَّا بِالْعَقْدِ، وَتَقَضِّي زَمَانِ الْخِيَارِ.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: إِنَّ الْمِلْكَ مَوْقُوفٌ فَإِنْ تَمَّ الْبَيْعُ بَيْنَهُمَا عُلِمَ، أَنَّ الْمِلْكَ كَانَ مُنْتَقِلًا بِنَفْسِ الْعَقْدِ وَإِنِ انْفَسَخَ الْبَيْعُ عُلِمَ أَنَّ الْمِلْكَ لَمْ يَكُنْ مُنْتَقِلًا.
Al-Māwardī berkata: Pokok dari masalah ini adalah: Apakah jual beli memindahkan kepemilikan dengan semata-mata akad, atau dengan akad dan berlalunya masa khiyār?
Maka menurut al-Syāfi‘i dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama: Kepemilikan barang yang dijual berpindah kepada pembeli dengan semata-mata akad, meskipun masih memungkinkan untuk dibatalkan karena adanya khiyār.
Kedua: Kepemilikan barang yang dijual tidak berpindah kepada pembeli kecuali dengan akad dan berlalunya masa khiyār.
Ketiga: Kepemilikan bersifat mauqūf (tertunda). Jika jual beli tersebut disempurnakan oleh keduanya, maka diketahui bahwa kepemilikan telah berpindah sejak akad. Dan jika jual beli dibatalkan, maka diketahui bahwa kepemilikan belum pernah berpindah.
وَتَوْجِيهُ هذه الأقاويل من كِتَابِ الْبُيُوعِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَإِذَا عَرَفْتَ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةَ فَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: فِي رَجُلٍ بَقِيَ مِنْ حَوْلِ مَالِهِ يَوْمٌ أَوْ يَوْمَانِ فَبَاعَهُ بِخِيَارِ ثَلَاثٍ وَتَمَّ الْحَوْلُ قَبْلَ مُضِيِّهَا أَوْ بَاعَهُ بَيْعًا مُطْلَقًا فَحَالَ الْحَوْلُ قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا فَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ، وَالْجَوَابُ فِي خِيَارِ الشَّرْطِ كَالْجَوَابِ فِي خِيَارِ الْعَقْدِ، وَسَوَاءٌ كَانَ خِيَارُ الشَّرْطِ لَهُمَا أَوْ لِأَحَدِهِمَا وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ كَذَلِكَ فَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:
فَالْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي وجوب الزكاة.
والفصل الثاني: فيما تودى منه الزكاة.
Wa-taujīhu hāżihi al-aqāwīl min kitābi al-buyūʿ in syāʾa Allāh. Fa-idzā ʿarafta hāżihi al-muqaddimah fa-ṣūratu hāżihi al-masʾalah: fī rajulin baqiya min ḥawli mālihi yaumun aw yaumān fa-bāʿahu bikhiyāri ṡalāṡin wa-tamma al-ḥawlu qabla muḍīyihā aw bāʿahu bayʿan muṭlaqan fa-ḥāla al-ḥawlu qabla an yatafarraqā fa-al-ḥukmu fīhimā sawāʾ, wa-al-jawābu fī khiyāri al-syarṭi ka-al-jawābi fī khiyāri al-ʿaqdi, wa-sawāʾun kāna khiyāru al-syarṭi lahumā aw li-aḥadihimā. Wa-idzā kāna żālika każālika fa-al-kalāmu fī hāżihi al-masʾalah yasytamilu ʿalā ṡalāṡati fuṣūlin:
PASAL PERTAMA: dalam kewajiban zakat.
PASAL KEDUA: dalam apa yang dikeluarkan sebagai zakat.
وَالْفَصْلُ الثَّالِثُ: فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ وَخِيَارِ الْمُشْتَرِي بِمَا خَرَجَ مِنَ الْمَبِيعِ فِي الزَّكَاةِ فَأَمَّا وُجُوبُ الزَّكَاةِ فَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْمِلْكَ قَدِ انْتَقَلَ إِلَى المشتري بنفس العقد، فلا زكاة على البايع مِنَ الْمَالِ لِخُرُوجِهِ مِنْ مِلْكِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ، فَإِنْ عَادَ إِلَى مِلْكِهِ بِفَسْخٍ اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ كَمَا اسْتَأْنَفَ مِلْكَهُ، وَإِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى البايع بفسخ لتمام البيع وانبرام الْعَقْدِ اسْتَأْنَفَ الْمُشْتَرِي حَوْلَ زَكَاتِهِ مِنْ حِينِ الْعَقْدِ وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْمِلْكَ لَا يَنْتَقِلُ إِلَّا بِالْعَقْدِ وَتَقَضِّي الْخِيَارِ فَزَكَاتُهُ وَاجِبَةٌ عَلَى البايع سَوَاءٌ تَمَّ الْبَيْعُ أَمْ لَا، لِحُلُولِ حَوْلِهِ وَهُوَ بَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ، وَيَسْتَأْنِفُ الْمُشْتَرِي حَوْلَهُ إن تم عليه ملكه من حين يقضي الخيار لا من حين العقد، لأنه زال وَإِنْ قِيلَ إِنَّ انْتِقَالَ مِلْكِهِ مَوْقُوفٌ عَلَى انبرام الْبَيْعِ أَوْ فَسْخِهِ نُظِرَ فَإِنْ تَمَّ الْبَيْعُ، وانبرم فلا زكاة على البايع لِخُرُوجِهِ مِنْ مِلْكِهِ قَبْلَ حُلُولِ حَوْلِهِ، وَاسْتَأْنَفَ الْمُشْتَرِي حَوْلَ زَكَاتِهِ مِنْ حِينِ عَقْدِهِ بَيْعَهُ، وَإِنْ فُسِخَ الْبَيْعُ وَزَالَ الْعَقْدُ فَهُوَ بَاقٍ على ملك البايع، وَعَلَيْهِ زَكَاتُهُ لِحُلُولِ حَوْلِهِ مَعَ بَقَاءِ مِلْكِهِ هَذَا كُلُّهُ مِمَّا تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْعَيْنِ كَالْمَوَاشِي وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، فَأَمَّا مَا كَانَ لِلتِّجَارَةِ فَضَرْبَانِ:
PASAL KETIGA:
Tentang batalnya jual beli dan hak khiyār pembeli karena adanya bagian dari barang yang dijual telah keluar sebagai zakat.
Adapun kewajiban zakat, maka hal ini dibangun di atas tiga pendapat:
Jika dikatakan bahwa kepemilikan telah berpindah kepada pembeli dengan semata-mata akad, maka tidak ada zakat atas penjual dari harta tersebut karena telah keluar dari kepemilikannya sebelum sempurna haul. Jika harta itu kembali lagi ke dalam kepemilikannya karena pembatalan, maka ia memulai kembali hitungan haul sebagaimana ia memulai kembali kepemilikan. Namun, jika tidak kembali kepada penjual karena jual beli telah sempurna dan akad telah mengikat, maka pembeli memulai hitungan haul zakat dari sejak akad.
Dan jika dikatakan bahwa kepemilikan tidak berpindah kecuali dengan akad dan berlalunya masa khiyār, maka zakat tetap wajib atas penjual, baik jual beli itu disempurnakan atau tidak, karena haul telah sempurna sedangkan harta itu masih berada dalam kepemilikannya. Dan pembeli memulai haul-nya jika kepemilikannya telah sempurna, dari saat masa khiyār selesai, bukan dari saat akad, karena kepemilikan sebelumnya tidak sah.
Dan jika dikatakan bahwa perpindahan kepemilikan tergantung pada sempurnanya jual beli atau pembatalannya, maka dilihat: jika jual beli itu sempurna dan mengikat, maka tidak ada zakat atas penjual karena harta telah keluar dari kepemilikannya sebelum sempurna haul, dan pembeli memulai haul zakatnya dari sejak akad jual beli. Dan jika jual beli dibatalkan dan akadnya batal, maka harta itu tetap dalam kepemilikan penjual, dan atasnyalah zakat karena haul telah sempurna dan kepemilikannya tetap.
Semua ini berlaku untuk harta yang wajib dizakati zatnya (zakat al-‘ayn), seperti hewan ternak, emas, dan perak.
Adapun harta yang untuk perdagangan (li al-tijārah), maka terbagi menjadi dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَا تَجِبُ فِيهِ إِلَّا زَكَاةُ التِّجَارَةِ كَالسِّلَعِ وَالْعُرُوضِ فَزَكَاةُ هَذَا وَاجِبَةٌ وَإِنْ بِيعَ عَلَى الْأَقَاوِيلِ كُلِّهَا لِأَنَّهَا فِي قِيمَتِهِ، وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَيْهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْعَيْنِ كَالْمَوَاشِي وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يزكي زكاة التجارة ومن قِيمَتِهِ كَانَ كَعُرُوضِ التِّجَارَةِ تَجِبُ زَكَاتُهُ، وَإِنْ بِيعَ عَلَى الْأَقَاوِيلِ كُلِّهَا، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ يُزَكِّي زَكَاةَ الْعَيْنِ، كَانَ كَالَّذِي لِغَيْرِ التِّجَارَةِ فَيَكُونُ وُجُوبُ زَكَاتِهِ إِذَا حَالَ الْحَوْلُ فِي زَمَانِ خِيَارِهِ عَلَى الْأَقَاوِيلِ الْمَاضِيَةِ.
Aḥaduhumā: an yakūna mimmā lā tajibu fīhi illā zakātu at-tijārah, ka-as-silāʿi wa-al-ʿurūḍ, fa-zakātu hāżā wājibah wa-in buīʿa ʿalā al-aqāwīli kullihā li-annahā fī qīmatih.
Wa-aḍ-ḍarbu aṡ-ṡānī: an yakūna mimmā tajibu fīhi zakātu al-ʿayn, ka-al-mawāsyī wa-aż-żahabi wa-al-fiḍḍah, fa-in qulna innahu yuzakkī zakāta at-tijārah wa-min qīmatih kāna ka-ʿurūḍ at-tijārah tajibu zakātuh, wa-in buīʿa ʿalā al-aqāwīli kullihā, wa-in qulna innahu yuzakkī zakāta al-ʿayn kāna ka-allażī lighayri at-tijārah fayakūnu wujūbu zakātih idzā ḥāla al-ḥawlu fī zamāni khiyārih ʿalā al-aqāwīli al-māḍiyah.
Pertama: yaitu harta yang tidak wajib zakat padanya kecuali zakat tijārah, seperti barang dagangan dan ʿurūḍ, maka zakat harta ini wajib, sekalipun dijual menurut semua pendapat, karena zakatnya berdasarkan nilainya, dan hal ini telah kami jelaskan.
Yang kedua: yaitu harta yang wajib zakat padanya sebagai zakat ʿayn, seperti hewan ternak, emas, dan perak. Maka jika kita mengatakan bahwa zakatnya adalah zakat tijārah dan dari nilainya, maka ia seperti ʿurūḍ at-tijārah, wajib zakat atasnya meskipun dijual menurut semua pendapat. Dan jika kita mengatakan bahwa zakatnya adalah zakat ʿayn, maka ia seperti harta yang bukan untuk perdagangan, maka kewajiban zakatnya apabila telah sempurna ḥaul dalam masa khiyār-nya menurut pendapat-pendapat yang telah lalu.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ إِذَا وَجَبَتْ فِي الْمَالِ عَلَى ما مضى من الشرح والترتيب فللبايع حَالَانِ:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يُجِيبَ إِلَى دَفْعِهَا مِنْ مَالِهِ، فَلَا كَلَامَ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَأْبَى أَنْ يَدْفَعَهَا مِنْ مَالِهِ وَيَمْتَنِعَ أَنْ يُخْرِجَهَا إِلَّا مِنْ مَالِ الْمَبِيعِ، فَلَهُ حَالَانِ:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُعْسِرًا بِهَا فَلِلسَّاعِي أَنْ يَأْخُذَ الزكاة منها سواء وجدها في يد البايع، أو يد الْمُشْتَرِي تَمَّ الْبَيْعُ بَيْنَهُمَا أَوْ بَطَلَ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا بِهَا فَلَهُ حَالَانِ:
PASAL
Adapun pengeluaran zakat ketika telah wajib pada harta, menurut penjelasan dan urutan yang telah lalu, maka penjual memiliki dua keadaan:
Pertama: Ia bersedia membayarnya dari hartanya sendiri, maka tidak ada pembahasan (lanjutan).
Kedua: Ia enggan membayarnya dari hartanya dan menolak mengeluarkannya kecuali dari harta yang dijual, maka dalam keadaan ini ada dua kemungkinan:
Pertama: Ia dalam keadaan tidak mampu membayarnya, maka bagi petugas pemungut (sā‘ī) boleh mengambil zakat dari harta yang dijual tersebut, baik ia temukan di tangan penjual atau di tangan pembeli, baik jual beli itu telah sempurna di antara keduanya atau batal.
Kedua: Ia dalam keadaan mampu membayarnya, maka dalam keadaan ini juga ada dua kemungkinan: (bersambung).
إحداهما: أن يكون يريد بامتناعه فسخ العقد فَلَهُ ذَاكَ إِنْ كَانَ فِي خِيَارِ مَجْلِسٍ، أو خيارشرط هو لهما معاً، أوله وَحْدَهُ فَأَمَّا إِنْ كَانَ فِي خِيَارِ شَرْطٍ هُوَ لِلْمُشْتَرِي دُونَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ الْفَسْخُ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يُرِيدَ بِامْتِنَاعِهِ فَسْخَ الْبَيْعِ وَإِنَّمَا يُرِيدُ إِخْرَاجَ الزَّكَاةِ مِنْ حَيْثُ يَجِبُ إِخْرَاجُهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَطَوَّعَ فَالْمَالُ الْمَبِيعُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي قِيمَتِهِ كَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ، فَهَذَا يجب أن تؤخذ زكاته من مال بايعه دُونَ الْمَالِ الْمَبِيعِ لِأَنَّ حَقَّ الْمُشْتَرِي قَدْ تَعَلَّقَ بِالْعَيْنِ، وَالزَّكَاةُ وَاجِبَةٌ فِي الْقِيمَةِ، وَمَا تَعَلَّقَ بِالْعَيْنِ أَقْوَى حُكْمًا فِي الْعَيْنِ مِمَّا تَعَلَّقَ بِالْقِيمَةِ.
Iḥdāhumā: an yakūna yurīdu bi-imtināʿihi faskha al-ʿaqdi, fa-lahu żāka in kāna fī khiyāri majlis, aw khiyāri syarṭin huwa lahumā maʿan aw lahu waḥdah. Fa-ammā in kāna fī khiyāri syarṭin huwa li-al-musytarī dūnahu lam yakun lahu al-faskh.
Wa-al-ḥālatu aṡ-ṡāniyah: an lā yurīda bi-imtināʿihi faskha al-bayʿi wa-innamā yurīdu ikhrāja az-zakāh min ḥayṡu yajibu ikhrājuhā min ghayri an yataṭawwaʿ. Fa-al-mālu al-mabīʿ ʿalā ḍarbain:
Aḥaduhumā: an yakūna mimmā tajibu az-zakātu fī qīmatih ka-ʿurūḍ at-tijārah, fa-hāżā yajibu an tuʾkhadza zakātuhu min māli bāiʿih dūna al-māl al-mabīʿ li-anna ḥaqqa al-musytarī qad taʿallaqa bi-al-ʿayn, wa-az-zakātu wājibah fī al-qīmah, wa-mā taʿallaqa bi-al-ʿayn aqwā ḥukman fī al-ʿayn mimma taʿallaqa bi-al-qīmah.
Pertama: yaitu bahwa ia bermaksud dengan penolakannya untuk membatalkan akad, maka itu haknya jika masih dalam khiyār majlis, atau dalam khiyār syarṭ yang menjadi hak keduanya bersama, atau haknya sendiri. Adapun jika berada dalam khiyār syarṭ yang menjadi hak pembeli saja, maka ia tidak berhak membatalkannya.
Keadaan kedua: bahwa ia tidak bermaksud dengan penolakannya untuk membatalkan jual beli, melainkan ia ingin mengeluarkan zakat dari tempat di mana zakat wajib dikeluarkan, tanpa bersifat sukarela. Maka harta yang dijual ada dua macam:
Pertama: yaitu harta yang wajib dizakati berdasarkan nilainya, seperti ʿurūḍ at-tijārah, maka zakatnya wajib diambil dari harta penjual, bukan dari harta yang dijual, karena hak pembeli telah terkait pada barangnya (ʿayn), sementara zakat wajib atas nilainya (qīmah), dan sesuatu yang terkait pada ʿayn lebih kuat hukumnya pada barang tersebut daripada yang hanya terkait pada nilai.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِمَّا تَجِبُ زَكَاةُ عَيْنِهِ كَالْمَوَاشِي وَالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ، فَإِنْ قِيلَ الزَّكَاةُ، وَجَبَتْ فِي الْعَيْنِ وُجُوبَ اسْتِحْقَاقٍ أُخِذَتِ الزَّكَاةُ مِنَ الْمَبِيعِ، وَإِنْ قُلْنَا وَجَبَتْ في الرقبة وجوباً منبرماً أخذت الزكاة من البايع.
Dan jenis yang kedua: Yaitu harta yang wajib dizakati zatnya (zakat al-‘ayn), seperti hewan ternak, perak, dan emas.
Jika dikatakan bahwa zakat wajib pada ‘ayn (zat harta) dengan kewajiban yang menjadikan hak kepemilikan bagi mustahik, maka zakat diambil dari barang yang dijual.
Namun jika dikatakan bahwa zakat wajib pada pemilik (raqabah) dengan kewajiban yang pasti dan mengikat, maka zakat diambil dari penjual.
فَصْلٌ
: بُطْلَانُ الْبَيْعِ إِذَا أُخْرِجَتِ الزَّكَاةُ عَلَى مَا مَضَى فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يكون البايع قد أخرج الزكاة من ماله فإن قُلْنَا إِنَّ الزَّكَاةَ وَجَبَتْ فِي الذِّمَّةِ فَالْبَيْعُ صَحِيحٌ فِي الْكُلِّ، وَلَا خِيَارَ لِلْمُشْتَرَى لِسَلَامَةِ الْبَيْعِ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الزَّكَاةَ وَجَبَتْ فِي الْعَيْنِ وُجُوبَ اسْتِحْقَاقٍ، فَهُوَ كَالضَّرْبِ الثَّانِي.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُخْرِجَ الزَّكَاةَ مِنْ عَيْنِ الْمَالِ، وَنَفْسِ الْمَبِيعِ فَالْبَيْعُ فِي قَدْرِ مَا خَرَجَ فِي الزَّكَاةِ بَاطِلٌ، فَأَمَّا الْبَاقِي فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
PASAL
Batalnya jual beli jika zakat dikeluarkan sebagaimana telah dijelaskan, maka hal ini terbagi menjadi dua macam:
Pertama: yaitu apabila penjual mengeluarkan zakat dari hartanya sendiri. Maka jika kita katakan bahwa zakat itu wajib atas żimmah (tanggungan), maka jual belinya sah seluruhnya dan pembeli tidak memiliki hak khiyār, karena jual beli itu selamat dari cacat. Namun jika kita katakan bahwa zakat wajib atas ʿayn (barang itu sendiri) sebagai kewajiban yang menetap, maka ia seperti macam yang kedua.
Kedua: yaitu apabila zakat dikeluarkan dari ʿayn al-māl, yakni dari barang yang dijual itu sendiri, maka jual beli pada bagian yang telah keluar sebagai zakat adalah batal. Adapun sisanya, maka ia terbagi menjadi dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُتَمَاثِلَ الْأَجْزَاءِ كَالْفِضَّةِ والذهب، فالبيع فيه جايز قولاً واحد لِأَنَّ الْعَقْدَ وَقَعَ صَحِيحًا، وَلَمَّا بَطَلَ الْبَيْعُ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ بِمَعْنًى طَارِئً بَعْدَ سَلَامَةِ الْعَقْدِ، فَلَمْ يَقْدَحْ ذَاكَ فِي بَيْعِ مَا بَقِيَ هَذَا قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا وَالْمُعَوَّلِ عَلَيْهِ فِي الْمَذْهَبِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمُشْتَرِي بِالْخِيَارِ لأجل النقص الطارئ من فسخ البيع والإقامة عليه، فإن أقام، فالصحيح أنه يقيم هاهنا بِحِسَابِ الثَّمَنِ، وَقِسْطِهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَ قولاً ثانياً وهو أنه يقيم لجميع الثَّمَنِ، وَإِلَّا فَسَخَ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ.
Pertama: Jika barang itu seragam bagian-bagiannya, seperti perak dan emas, maka jual belinya sah menurut satu pendapat, karena akad telah terjadi dengan sah, dan ketika batal jual beli pada kadar zakat disebabkan hal yang datang belakangan setelah sahnya akad, maka hal itu tidak merusak jual beli pada bagian yang tersisa.
Inilah pendapat jumhur dari kalangan sahabat kami dan yang dijadikan pegangan dalam mazhab.
Berdasarkan hal ini, maka pembeli memiliki hak khiyār disebabkan kekurangan yang timbul karena pembatalan pada sebagian barang. Ia boleh memilih antara membatalkan atau tetap melanjutkan jual beli. Jika ia memilih melanjutkan, maka pendapat yang shahih adalah bahwa ia tetap melanjutkan dengan perhitungan harga dan bagiannya.
Sebagian sahabat kami mengeluarkan pendapat kedua, yaitu bahwa ia tetap melanjutkan dengan seluruh harga, namun pendapat ini tidak shahih.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن يكون البيع غَيْرَ مُتَمَاثِلِ الْأَجْزَاءِ كَالْمَاشِيَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أحدهما: أن تكون مختلفة الأسباب بَعْضُهَا صِغَارًا وَبَعْضُهَا كِبَارًا أَوْ مُخْتَلِفَةَ الْأَوْصَافِ بَعْضُهَا سِمَانًا وَبَعْضُهَا عِجَافًا فَالْبَيْعُ فِي الْكُلِّ بَاطِلٌ لَا مِنْ جِهَةِ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ وَلَكِنْ لِلْجَهْلِ بِمَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الْعَقْدُ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُتَسَاوِيَةَ الْأَسْنَانِ مُتَقَارِبَةَ الْأَوْصَافِ، فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْجَهْلِ بِمَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الْعَقْدُ.
Dan macam yang kedua: yaitu apabila jual beli itu pada barang yang tidak seragam bagian-bagiannya, seperti hewan ternak. Maka hal ini terbagi menjadi dua macam:
Pertama: yaitu apabila hewan-hewan tersebut berbeda sebab—sebagian kecil, sebagian besar—atau berbeda sifat—sebagian gemuk, sebagian kurus—maka jual beli seluruhnya batal, bukan karena pemisahan dalam akad, tetapi karena ketidaktahuan terhadap apa yang menjadi objek tetap dalam akad.
Macam yang kedua: yaitu apabila hewan-hewan itu setara dari sisi usia dan sifatnya pun berdekatan, maka dalam pembatalan jual beli terdapat dua pendapat:
Pertama: batal, karena sebagaimana telah kami sebutkan, yaitu disebabkan ketidaktahuan terhadap apa yang menjadi objek tetap dalam akad.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ تَشْبِيهًا بِمَا تَمَاثَلَتْ أَجْزَاؤُهُ لِتَقَارُبِ بَعْضِهِ مِنْ بَعْضٍ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ بَنَى بُطْلَانَ الْبَيْعِ فِي الْبَاقِي على تفريق الصفقة فليس بِصَحِيحٍ، لِأَنَّ مَا طَرَأَ مِنَ الْفَسَادِ بَعْدَ الْعَقْدِ مُخَالِفٌ لِحُكْمِ مَا كَانَ مَوْجُودًا حَالَ الْعَقْدِ وَمَا ذَكَرْتُ أَصَحُّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَإِذَا صَحَّ الْبَيْعُ فِي الْبَاقِي فَلِلْمُشْتَرِي الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، وَإِمْضَائِهِ فَإِنْ أَمْضَاهُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا بِحِسَابِ الثَّمَنِ وَقِسْطِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: بِجَمِيعِ الثَّمَنِ، وَإِلَّا فُسِخَ فَهَذَا جُمْلَةُ مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ فُصُولُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ.
Dan yang kedua: Sah pula (jual belinya), dengan qiyās terhadap barang yang seragam bagian-bagiannya, karena sebagian bagiannya saling berdekatan (keseragaman sifatnya).
Sebagian sahabat kami ada yang membangun batalnya jual beli pada bagian yang tersisa berdasarkan kaidah tafrīq al-shafqah (tercerainya satu akad menjadi beberapa), namun itu tidaklah benar. Karena kerusakan yang timbul setelah akad berbeda hukumnya dengan yang sudah ada saat akad berlangsung. Dan apa yang aku sebutkan inilah yang lebih shahih, insya Allah.
Dan apabila jual beli pada bagian yang tersisa itu sah, maka pembeli memiliki hak khiyār untuk membatalkan atau melanjutkan jual beli. Jika ia melanjutkannya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, ia melanjutkan dengan perhitungan harga dan bagiannya.
Pendapat kedua, ia tetap melanjutkan dengan seluruh harga.
Jika tidak, maka jual beli dibatalkan.
Maka ini adalah seluruh ringkasan dari apa yang terkandung dalam pasal-pasal masalah ini.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ، فَإِنَّهُ اخْتَارَ مِنْ أَقَاوِيلِ الشَّافِعِيِّ فِي عَقْدِ الْبَيْعِ أَنَّ الْمِلْكَ لَا يَنْتَقِلُ إِلَّا بِالْعَقْدِ، وَتَقَضِّي الْخِيَارِ وَاسْتَشْهَدَ عَلَى صِحَّتِهِ بِمَا لَمْ يَخْتَلِفْ فِيهِ، قَوْلُ الشَّافِعِيِّ إِنَّ رَجُلًا لَوْ حَلَفَ بِعِتْقِ عَبْدِهِ أَنْ لَا يَبِيعَهُ فَبَاعَهُ عَتَقَ عَلَيْهِ، وَالْعِتْقُ إِنَّمَا يَقَعُ بَعْدَ وُجُوبِ الْبَيْعِ فَلَوْلَا، أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ بَعْدَ الْبَيْعِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا مَا عُتِقَ عَلَيْهِ، وَالْجَوَابُ عَلَى هَذَا، وَأَنَّهُ لَا دَلَالَةَ فِيهِ عَلَى إِبْقَائِهِ عَلَى مِلْكِهِ أَنَّ خِيَارَ المجلس يملك البايع فِيهِ فَسْخَ الْعَقْدِ، وَالْفَسْخُ قَدْ يَكُونُ فِعْلًا، وَقَوْلًا فَإِذَا أَعْتَقَهُ فِي خِيَارِهِ كَانَ فَسْخًا، فَيَصِيرُ عِتْقُهُ كَوُجُودِ الْفَسْخِ وَعَوْدِ الْمِلْكِ وَإِذَا أنفذ عِتْقُهُ بَعْدَ الْبَيْعِ كَانَ نُفُوذُهُ بِصِفَةٍ تَتَقَدَّمُ الْبَيْعَ أَوْلَى، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى بقاء الملك والله أعلم.
PASAL
Adapun al-Muzanī, maka ia memilih salah satu dari pendapat-pendapat Imam al-Syāfi‘ī dalam akad jual beli, yaitu bahwa kepemilikan tidak berpindah kecuali dengan adanya akad dan selesainya masa khiyār. Ia berdalil atas kebenaran pendapat ini dengan perkara yang tidak diperselisihkan, yaitu perkataan al-Syāfi‘ī bahwa: “Jika seseorang bersumpah untuk memerdekakan budaknya bahwa ia tidak akan menjualnya, lalu ia menjualnya, maka budak itu merdeka atasnya.” Dan ‘itq (pemerdekaan) itu tidak terjadi kecuali setelah terjadinya kewajiban jual beli. Maka kalau bukan karena budak itu masih berada dalam kepemilikannya setelah akad jual beli selama belum berpisah, tentu tidaklah merdeka atasnya.
Adapun jawaban atas hal ini: tidak ada dalil dalam hal itu atas tetapnya kepemilikan, karena khiyār al-majlis memberikan hak kepada penjual untuk membatalkan akad, dan pembatalan itu bisa berupa perbuatan maupun ucapan. Maka apabila ia memerdekakan budak itu dalam masa khiyār, maka hal itu merupakan pembatalan, sehingga kemerdekaan budak itu seperti halnya adanya pembatalan dan kembalinya kepemilikan. Dan jika pemerdekaan itu terlaksana setelah jual beli, maka pelaksanaannya dengan sifat yang mendahului jual beli lebih utama, dan tidak ada dalam hal itu dalil atas tetapnya kepemilikan. Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ مَلَكَ ثَمَرَةَ نخلٍ مِلْكًا صَحِيحًا قَبْلَ أن ترى فيه الصفرة أو الحمرة فالزكاة على مالكها الآخر يزكيها حين تزهي “.
قال الماوردي: وقد ذَكَرْنَا أَنَّ زَكَاةَ الثِّمَارِ تَجِبُ بِبُدُوِّ الصَّلَاحِ، فَإِذَا مَلَكَ ثَمَرَةً قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا مِلْكًا صحيحاً، إما بأن ورثها أو استوجبها أو ابتاعها مع نخلها، ثم بدأ إصلاحها فِي مِلْكِهِ فَعَلَيْهِ زَكَاتُهَا دُونَ مَنْ كَانَتْ عَلَى مِلْكِهِ، لِأَنَّ مَا بِهِ وَجَبَتْ زَكَاتُهَا وَهُوَ بُدُوُّ الصَّلَاحِ كَانَ مَوْجُودًا فِي مِلْكِهِ فَلَوْ مَلَكَهَا بِبَيْعِ خِيَارٍ فَبَدَا صَلَاحُهَا فِي خِيَارِ الْمَجْلِسِ، أَوْ خِيَارِ الثَّلَاثِ كَانَ وُجُوبُ الزَّكَاةِ مَبْنِيًّا عَلَى الْأَقْوَالِ الثَّلَاثَةِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنِ الْمِلْكَ قَدِ انْتَقَلَ بِنَفْسِ الْعَقْدِ فَزَكَاتُهَا عَلَى الْمُشْتَرِي وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْمِلْكَ لَا يَنْتَقِلُ إِلَّا بِالْعَقْدِ، وَتَقَضِّي الْخِيَارِ فَزَكَاتُهَا عَلَى البايع، وَإِنْ قِيلَ أَنَّهُ مَوْقُوفُ نُظِرَ فَإِنْ تَمَّ الْبَيْعُ فَزَكَاتُهَا عَلَى الْمُشْتَرِي، وَإِنِ انْفَسَخَ الْبَيْعُ فزكاتها على البايع، فَلَوْ وَجَبَتْ زَكَاتُهَا عَلَى الْمُشْتَرِي عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ إِنَّ الْمِلْكَ قَدِ انْتَقَلَ بِنَفْسِ الْعَقْدِ فَفَسَخَ الْمُشْتَرِي الْبَيْعَ فِي زَمَانِ الْخِيَارِ، وَعَادَتِ الثمرة بعد بدو صلاحها إلى البايع، فَفِي زَكَاتِهَا وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي الزَّكَاةِ هَلْ وَجَبَتْ فِي الذِّمَّةِ أَوْ الْعَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا عَلَى الْمُشْتَرِي إِذَا قِيلَ إِنَّهَا وَجَبَتْ فِي الذِّمَّةِ وُجُوبًا مُنْبَرِمًا.
والوجه الثاني: أنها قد انتقلت إلى البايع لِانْتِقَالِ الثَّمَرَةِ إِلَيْهِ، أَوْ قِيلَ: إِنَّهَا وَجَبَتْ في العين وجوب استحقاق.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata:
“Barang siapa memiliki buah kurma dengan kepemilikan yang sah sebelum tampak warna kuning atau merah padanya, maka zakatnya wajib atas pemilik yang terakhir, dan ia menunaikan zakat ketika buah itu mulai menampakkan kematangan.”
Al-Mawardi berkata:
Telah kami sebutkan bahwa zakat buah-buahan menjadi wajib dengan badū al-ṣalāḥ (tanda awal kematangan). Maka apabila seseorang memiliki buah sebelum badū ṣalāḥihā dengan kepemilikan yang sah —baik karena diwarisi, diperoleh sebagai ganti, atau dibeli bersama pohonnya— kemudian kematangan mulai tampak saat buah itu dalam kepemilikannya, maka zakatnya wajib atas dirinya, bukan atas orang yang sebelumnya memilikinya. Karena sebab yang mewajibkan zakat, yaitu badū al-ṣalāḥ, terjadi ketika buah berada dalam kepemilikannya.
Jika ia memilikinya melalui akad jual beli dengan adanya khiyār (hak memilih), lalu buah itu mulai matang selama masa khiyār majlis atau khiyār al-tsalāthah, maka kewajiban zakat bergantung pada tiga pendapat:
- Jika dikatakan bahwa kepemilikan telah berpindah dengan akad itu sendiri, maka zakatnya atas pembeli.
- Jika dikatakan bahwa kepemilikan tidak berpindah kecuali dengan akad dan selesainya masa khiyār, maka zakatnya atas penjual.
- Jika dikatakan bahwa kepemilikannya mauqūf (ditangguhkan), maka dilihat: jika jual beli disempurnakan maka zakat atas pembeli, jika jual beli dibatalkan maka zakat atas penjual.
Jika zakatnya diwajibkan atas pembeli menurut pendapat pertama —bahwa kepemilikan telah berpindah dengan akad itu sendiri— lalu pembeli membatalkan jual beli dalam masa khiyār, dan buah kembali kepada penjual setelah tampak kematangannya, maka ada dua wajah (pendapat) terkait zakatnya, yang dibangun dari perbedaan pendapat tentang apakah zakat itu wajib atas dzimmah (tanggungan jiwa) atau atas ‘ayn (benda itu sendiri):
- Pertama: zakatnya tetap atas pembeli, jika dikatakan bahwa zakat wajib atas dzimmah secara pasti.
- Kedua: zakatnya berpindah kepada penjual karena buah itu telah kembali kepadanya, atau karena dikatakan bahwa zakat wajib atas ‘ayn sebagai hak milik.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَى الثَّمَرَةَ بَعْدَ مَا يَبْدُو صَلَاحُهَا والشعر فِيهَا فَالْبَيْعُ فِيهَا مَفْسُوخٌ كَمَا لَوْ بَاعَهُ عَبْدَيْنِ أَحَدُهُمَا لَهُ وَالْآخَرُ لَيْسَ لَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي زَكَاةِ الْمَوَاشِي مُسْتَوْفَاةً، وَسَنُشِيرُ إِلَى جُمْلَتِهَا وَنَذْكُرُ مَا سَنَحَ مِنَ الزِّيَادَةِ، فِيهَا اعْلَمْ أَنَّ مَنْ بَاعَ ثَمَرَتَهُ بَعْدَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا، وَوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ قد أخذها لخرصها وَضَمِنَهَا بِزَكَاتِهَا فَبَيْعُ هَذَا جَائِزٌ، لَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ فِيهِ.
Masalah:
Al-Syāfi‘ī raḥimahu Allāh berkata:
“Dan seandainya seseorang membeli buah setelah tampak baiknya dan bulu-bulu halusnya, maka jual beli itu batal, sebagaimana jika seseorang menjual dua budak, salah satunya miliknya dan yang lainnya bukan miliknya.”
Al-Māwardī berkata:
Masalah ini telah disebutkan secara lengkap dalam pembahasan zakat hewan ternak. Di sini kami akan mengisyaratkan ringkasannya dan menyebutkan tambahan yang sempat disebut.
Ketahuilah bahwa siapa yang menjual buahnya setelah tampak kematangannya dan telah wajib zakat atasnya, maka keadaannya tidak lepas dari salah satu dari dua hal:
Pertama, jika ia telah mengambilnya berdasarkan taksiran (kharṣ) dan ia menjaminnya dengan zakatnya, maka jual beli ini diperbolehkan, tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab tentang kebolehannya.
وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ أَخَذَهَا أَمَانَةً، وَلَمْ يَجْعَلْهَا فِي يَدِهِ مَضْمُونَةً، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَبِيعَهُ تِسْعَةَ أَعْشَارِهَا، وَيَسْتَثْنِيَ قدر الزكاة مشاعاً فيها، فهذا بيع جايز.
والضرب الثاني: أن يبيعها جميعاً مَعَ مَا وَجَبَ مِنَ الزَّكَاةِ فِيهَا، فَيَكُونُ الْبَيْعُ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ عَلَى قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا باطل، إذا قيل: إن الزكاة استحقاق في الْعَيْنِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْبَيْعُ فِي الْبَاقِي عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ عَلَى مَا تقدم من اختلاف العلة:
أحدهما: بطل لِأَنَّ الصَّفْقَةَ جَمَعَتْ حَلَالًا وَحَرَامًا.
atau ia mengambilnya sebagai amanah, dan tidak menjadikannya dalam tangannya sebagai barang yang dijamin, maka ini terbagi menjadi dua macam:
Pertama: ia menjual sembilan persepuluhnya, dan mengecualikan kadar zakat secara musya‘ (tidak ditentukan bagian tertentu) di dalamnya, maka ini adalah jual beli yang sah.
Kedua: ia menjual seluruhnya beserta apa yang wajib dari zakatnya, maka jual beli pada kadar zakat terdapat dua pendapat:
Pertama: batal, jika dikatakan bahwa zakat adalah hak yang melekat pada ‘ayn (zat benda), maka berdasarkan ini, jual beli pada sisanya pun ada dua pendapat karena perbedaan sebab dalam pembatalan transaksi:
Salah satunya: batal, karena transaksi itu menggabungkan yang halal dan yang haram.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: جايز فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمُشْتَرِي بِالْخِيَارِ، فَإِنْ فَسَخَ رَجَعَ بِالثَّمَنِ، وَإِنْ أَقَامَ فَالصَّحِيحُ، أَنْ يُقِيمَ بِحِسَابِ الثَّمَنِ وَقِسْطِهِ وَقَدْ خُرِّجَ قَوْلٌ آخَرُ إِنَّهُ يُقِيمَ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ وَإِلَّا فَسَخَ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِي الْأَصْلِ أَنَّ الْبَيْعَ فِي قَدْرِ الزكاة جايز، إِذَا قُلْنَا: إِنَّ الزَّكَاةَ وَجَبَتْ فِي الذِّمَّةِ وُجُوبًا مُنْبَرِمًا فَعَلَى هَذَا الْبَيْعُ فِي الْكُلِّ جايز فعلى هذا إن دفع البايع الزَّكَاةَ مِنْ مَالِهِ سَلِمَ الْبَيْعُ فِي الْكُلِّ وَانْبَرَمَ، وَإِنْ أَخَذَهَا السَّاعِي مِنْ هَذِهِ الثَّمَرَةِ الْمَبِيعَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Wa-al-qawlu ats-tsānī: jāʾiz. Faʿalā hāżā yakūnu al-musytarī bi-al-khiyār, fa-in faskha rajaʿa bi-ats-tsamani, wa-in aqāma faṣ-ṣaḥīḥu an yuqīma bi-ḥisābi ats-tsamani wa-qisṭih, wa-qad khurrija qawlun ākhara annahu yuqīmu bi-jamīʿi ats-tsamani wa-illā faskha. Wa-al-qawlu ats-tsānī fī al-aṣl: anna al-bayʿa fī qadr az-zakāh jāʾiz, idzā qulna: inna az-zakāta wajabat fī az-ẓimmah wujūban munbariman, faʿalā hāżā al-bayʿu fī al-kulli jāʾiz. Faʿalā hāżā in dafaʿa al-bāyiʿ az-zakāta min mālihi salima al-bayʿu fī al-kulli wa-inbarama, wa-in akhżahā as-sāʿī min hāżihi ats-tsamarah al-mabīʿah fa-hāżā ʿalā ḍarbain:
Pendapat kedua: sah. Maka berdasarkan ini, pembeli berada dalam posisi khiyār (boleh memilih). Jika ia membatalkan, maka ia berhak kembali dengan harga. Dan jika ia tetap melanjutkan, maka pendapat yang ṣaḥīḥ adalah ia tetap melanjutkan berdasarkan perhitungan harga dan bagiannya. Telah dinukil pula pendapat lain bahwa ia tetap melanjutkan dengan seluruh harga, jika tidak maka batal.
Dan pendapat kedua dalam pokok masalah ini adalah bahwa jual beli pada kadar zakat adalah sah, jika kita mengatakan bahwa zakat wajib atas żimmah secara pasti, maka berdasarkan ini jual beli atas seluruhnya adalah sah. Maka atas dasar ini, jika penjual membayar zakat dari hartanya sendiri, jual beli itu sah seluruhnya dan tetap. Namun jika petugas amil mengambil zakat dari buah-buahan yang telah dijual ini, maka hal itu terbagi menjadi dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمُشْتَرِي قَدْ قَبَضَ الثَّمَنَ، وَصَارَتْ بِيَدِهِ، فَأَخَذَهَا السَّاعِي مِنْهُ فَالْبَيْعُ، لَا يَبْطُلُ فِيمَا أَخَذَهُ السَّاعِي لِأَنَّ الْبَيْعَ صَحِيحٌ، وَقَدْ صَارَ مِنْ ضمان المشتري بالقبض لكن يرجع على البايع بمثله، لأن الثمن مِثْلٌ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الثَّمَرَةُ فِي يد البايع لَمْ يَقْبِضْهَا الْمُشْتَرِي بَعْدُ فَالْبَيْعُ فِيمَا أَخَذَهُ السَّاعِي مِنَ الزَّكَاةِ، قَدْ بَطَلَ وَهُوَ فِي الباقي على الصحيح من المذهب جايز، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ عَلَى ما مضى.
Pertama: bahwa pembeli telah menerima barang (buah), dan telah berada dalam tangannya, lalu petugas zakat mengambilnya darinya, maka jual belinya tidak batal pada bagian yang diambil oleh petugas zakat, karena jual beli itu sah, dan telah menjadi tanggungan pembeli dengan sebab qabḍ (pengambilan). Namun, ia boleh menuntut kepada penjual dengan barang sepadan, karena harga (yang digunakan) adalah barang sepadan (mithl).
Dan macam kedua: bahwa buah itu masih berada di tangan penjual dan belum diterima oleh pembeli, maka jual beli pada bagian yang diambil oleh petugas zakat telah batal, dan pada sisanya menurut pendapat yang sahih dari mazhab adalah sah, dan sebagian ulama kami mengeluarkan (pendapat ini) dalam dua pendapat sebagaimana yang telah lalu.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوِ اشْتَرَاهَا قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا عَلَى أَنْ يجدها أخذ بجدها فإن بدا صلاحها فسخ البيع لأنه لا يجوز أن تقطع فيمنع الزكاة ولا يجبر رب النخل على تركها وقد اشترط قطعها ولو رضيا الترك فالزكاة على المشتري ولو رضي البائع الترك وأبى المشتري ففيها قولان. أحدهما: أن يجبر على الترك والثاني أن يفسخ لأنهما اشترطا القطع ثم بطل بوجوب الزكاة (قال المزني) فأشبه هذين القولين بقوله أن يفسخ البيع قياساً على فسخ المسألة قبلها.
Masalah:
Al-Syāfi‘ī raḥimahu Allāh berkata:
“Dan seandainya seseorang membelinya sebelum tampak baiknya (buah) dengan syarat akan dipetiknya, lalu ia menemukannya dalam keadaan telah masak, maka ketika tampak kematangannya, jual beli itu harus dibatalkan. Karena tidak boleh ia dipetik lalu menghalangi zakat, dan tidak wajib bagi pemilik pohon kurma untuk membiarkannya, padahal sebelumnya telah disyaratkan untuk dipetik. Namun jika keduanya ridha untuk membiarkannya, maka zakat atas pembeli. Dan jika penjual ridha untuk membiarkan namun pembeli tidak ridha, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: ia dipaksa untuk membiarkan.
Kedua: jual beli dibatalkan, karena keduanya telah mensyaratkan pemetikan lalu batal karena wajibnya zakat.”
(al-Muzanī berkata): Maka dua pendapat ini lebih mirip dengan pendapat bahwa jual beli dibatalkan, sebagai qiyās terhadap pembatalan pada masalah sebelumnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا بَيْعُ الثَّمَرَةِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا مُفْرَدَةً فَلَا يَجُوزُ إِلَّا بِشَرْطِ الْقَطْعِ، وَلَوْ بَاعَهَا بِشَرْطِ الْقَطْعِ صَحَّ الْبَيْعُ، وَوَجَبَ عَلَى الْمُشْتَرِي قَطْعُهَا، فَإِنْ تَمَادَى الْمُشْتَرِي فِي قطعها ودافع بها حَتَّى بَدَا صَلَاحُهَا، فَقَدْ وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ ثم للبايع، والمشتري أربعة أحوال:
أحدها: أن يجيب البايع إِلَى تَرْكِ الثَّمَرَةِ عَلَى نَخْلِهِ إِلَى حِينِ صِرَامِهَا، وَرَضِيَ الْمُشْتَرِي بِأَدَاءِ زَكَاتِهَا فَالْبَيْعُ صَحِيحٌ لَا يُفْسَخُ، وَيَتْرُكُ الثَّمَرَةَ عَلَى النَّخْلِ إِلَى وقت الصرام، ولا تُقْطَعُ وَتُؤْخَذُ الزَّكَاةُ مِنَ الْمُشْتَرِي عِنْدَ جَفَافِ الثمرة، وجدادها.
Berkata al-Mawardi: Adapun menjual buah sebelum tampaknya tanda baiknya secara terpisah, maka tidak boleh kecuali dengan syarat dipetik. Jika ia menjualnya dengan syarat dipetik, maka jual belinya sah, dan wajib atas pembeli untuk memetiknya. Jika pembeli menunda-nunda dalam memetik dan menangguhkannya sampai tampak tanda baiknya, maka wajib padanya zakat, lalu (zakat itu) untuk penjual, dan pembeli memiliki empat keadaan:
Pertama: bahwa penjual menyetujui untuk membiarkan buah itu tetap berada di pohonnya hingga waktu panennya, dan pembeli ridha dengan membayar zakatnya, maka jual beli sah dan tidak dibatalkan, dan buah dibiarkan di pohon hingga waktu panen, tidak dipetik, dan zakat diambil dari pembeli saat buah mengering dan dipanen.
والحالة الثانية: أن يمتنع البايع مِنْ تَرْكِ الثَّمَرَةِ عَلَى نَخْلِهِ، وَيَأْبَى الْمُشْتَرِي مِنْ دَفْعِ الزَّكَاةِ مِنْ ثَمَرَتِهِ فَالْوَاجِبُ أَنْ يفسخ البايع، لأن في إجبار البايع عَلَى تَرْكِ الثَّمَرَةِ إِضْرَارًا بِهِ وَفِي إِجْبَارِ المشتري على قطعها إضرار بِالْمَسَاكِينِ، فَكَانَتِ الضَّرُورَةُ دَاعِيَةً إِلَى فَسْخِ الْبَيْعِ، فَإِذَا فُسِخَ لَمْ يَجِبْ عَلَى الْمُشْتَرِي الزَّكَاةُ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ دَخَلَ فِي ابْتِيَاعِهَا عَلَى أَنْ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ.
Dan keadaan kedua: yaitu apabila penjual menolak untuk membiarkan buah tetap berada di pohonnya, dan pembeli menolak untuk membayar zakat dari buahnya tersebut, maka yang wajib adalah penjual membatalkan jual beli. Karena memaksa penjual untuk membiarkan buah di pohonnya mengandung mudarat baginya, dan memaksa pembeli untuk memetiknya mengandung mudarat bagi para miskin, maka kondisi darurat menuntut pembatalan jual beli.
Apabila jual beli dibatalkan, maka tidak wajib atas pembeli untuk membayar zakat karena dua alasan:
Pertama: karena ia telah masuk dalam akad pembelian dengan syarat bahwa zakat tidak menjadi tanggungannya.
وَالثَّانِي أَنَّ فَسْخَ البيع غير منسوب إليه، فأما البايع فَفِي إِيجَابِ زَكَاتِهَا عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ لِأَنَّ بُدُوَّ صَلَاحِهَا كَانَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ هَاهُنَا أَنَّ زَكَاتَهَا وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ، لِأَنَّ امْتِنَاعَهُ مِنَ التَّرْكِ سَبَبٌ لِفَسْخِ الْبَيْعِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ سَبَبًا، لِإِسْقَاطِ الزَّكَاةِ.
وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَرْضَى الْمُشْتَرِي بِدَفْعِ زَكَاتِهَا وَيَمْتَنِعَ الْبَائِعُ مِنْ تَرْكِهَا، فَيُفْسَخُ الْبَيْعُ أَيْضًا وَتَرُدُّ الثَّمَرَةُ عَلَى الْبَائِعِ، وتؤخذ منه الزكاة وجهاً واحداً، لأن رضى الْمُشْتَرِي بِالتَّرْكِ يُوجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ فَكَانَ امْتِنَاعُ البايع مِنْ ذَلِكَ يَقْتَضِي، أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَيْهِ وُجُوبُ الزكاة، لأن لا تَسْقُطَ بَعْدَ وُجُوبِهَا.
Kedua: bahwa pembatalan jual beli itu tidak disandarkan kepadanya (pembeli).
Adapun penjual, maka dalam kewajiban zakat atasnya terdapat dua pendapat:
Pertama: tidak wajib zakat atasnya, karena tampaknya kematangan buah terjadi saat berada dalam milik orang lain.
Kedua: dan ini yang ṣaḥīḥ dalam konteks ini, bahwa zakatnya wajib atasnya, karena penolakannya untuk membiarkan buah menjadi sebab pembatalan jual beli, maka tidak boleh suatu sebab menjadi alasan untuk menggugurkan zakat.
Keadaan ketiga: yaitu apabila pembeli ridha untuk membayar zakatnya, namun penjual menolak untuk membiarkan buahnya, maka jual beli juga dibatalkan dan buah dikembalikan kepada penjual, dan zakat diambil darinya menurut satu wajah saja. Karena keridhaan pembeli untuk membiarkannya mewajibkan zakat atasnya, maka penolakan penjual terhadap hal itu mengharuskan berpindahnya kewajiban zakat kepadanya, agar zakat tidak gugur setelah kewajibannya.
والحالة الرابعة: أن يرضى البايع بِتَرْكِهَا، وَيَمْتَنِعَ الْمُشْتَرِي مِنْ أَدَاءِ زَكَاتِهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ يُفْسَخُ الْبَيْعُ، وترد الثمرة على البايع لأمرين:
أحدهما: أن للبايع الرُّجُوعَ بَعْدَ الرِّضَا فَيَكُونُ الْمُشْتَرِي بِدَفْعِ الزَّكَاةِ مغرراً.
والثاني: أن رضا البايع يُوجِبُ عَلَيْهِ تَرْكَهَا وَهُوَ قَدِ اسْتَحَقَّ تَعْجِيلَ الِانْتِفَاعِ بِهَا بِمَا شَرَطَ مِنْ قَطْعِهَا فَلَمْ يَلْزَمْهُ تَأْجِيلُ مَا اسْتَحَقَّ بِالْعَقْدِ تَعْجِيلَهُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْبَيْعَ مُقَرٌّ عَلَى حَالِهِ لَا يُفْسَخُ، وَتُؤْخَذُ الزَّكَاةُ مِنَ الْمُشْتَرِي وَإِنْ كَرِهَ لأمرين:
Keadaan keempat: bahwa penjual ridha membiarkannya (buah tetap di pohon), namun pembeli menolak membayar zakatnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: dan ini adalah pilihan al-Muzani — jual beli dibatalkan, dan buah dikembalikan kepada penjual karena dua alasan:
Pertama: bahwa penjual berhak menarik kembali setelah keridhaan, maka pembeli dalam membayar zakat telah tertipu (mugharrar bih).
Kedua: bahwa keridhaan penjual mewajibkan ia untuk membiarkannya, padahal ia (penjual) telah berhak untuk segera mengambil manfaat darinya berdasarkan syarat pemetikan, maka tidak wajib atasnya menunda apa yang secara akad telah menjadi haknya untuk disegerakan.
Pendapat kedua: bahwa jual beli tetap berlaku sebagaimana adanya dan tidak dibatalkan, dan zakat diambil dari pembeli meskipun ia membencinya, karena dua alasan:
أحدهما: أن رضى البايع تركها بدل زيادة غير مثمرة يَرْتَفِعُ بِهَا مَا يَخَافُهُ الْمُشْتَرِي مِنَ الضَّرَرِ الدَّاخِلِ عَلَيْهِ بِقَطْعِهَا، فَوَجَبَ أَنْ يُجْبَرَ عَلَى قبولها، ويمتنع البايع مِنَ الرُّجُوعِ فِيهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ وُجُوبَ زَكَاةِ الثَّمَرَةِ بِبُدُوِّ صَلَاحِهَا نَقْصٌ فِي الثَّمَرَةِ يَجْرِي مجرى العيب، فلم يلزم البايع اسْتِرْجَاعَ ثَمَرَتِهِ نَاقِصَةً وَلَا قَبُولَهَا مَعِيبَةً، وَكَانَ الْبَيْعُ لِلْمُشْتَرِي لَازِمًا وَزَكَاةُ الثَّمَرَةِ عَلَيْهِ حَتْمًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pertama: bahwa keridhaan penjual untuk membiarkan buah di pohon sebagai ganti dari tambahan (kompensasi) yang tidak berbuah, dapat menghilangkan kekhawatiran pembeli terhadap mudarat yang akan menimpanya akibat kewajiban memetik buah, maka wajib bagi pembeli untuk menerima kompensasi itu, dan penjual tidak boleh menarik kembali persetujuannya.
Kedua: bahwa kewajiban zakat atas buah karena tampaknya kematangannya adalah kekurangan pada buah tersebut yang menempati posisi seperti cacat (‘aib), maka penjual tidak wajib mengambil kembali buahnya yang telah berkurang nilainya, dan juga tidak wajib menerimanya kembali dalam keadaan cacat. Maka jual beli tetap mengikat atas pembeli, dan kewajiban zakat atas buah tersebut tetap wajib atasnya.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
مَسْأَلَةٌ:
فَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ نَخْلَةٍ بِعَيْنِهَا بِشَرْطِ الْقَطْعِ، فَلَمْ يَقْطَعْهَا الْمُشْتَرِي حَتَّى بَدَا صَلَاحُهَا نُظِرَ، فَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْمُشْتَرِي غَيْرَ مَا اشْتَرَى وَلَا مَلَكَ الْبَائِعُ غَيْرَ مَا يَبْقَى فَلَا زَكَاةَ عَلَى وَاحِدٍ منهما؛ لأن تمييز ملكها، واشتراط القطع على الواحد منها يَمْنَعُ مِنَ الْخُلْطَةِ وَنُقْصَانُ مَالِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنِ النِّصَابِ، يَمْنَعُ وُجُوبَ الزَّكَاةِ عَلَيْهِ عِنْدَ عَدَمِ الْخُلْطَةِ، وَإِنْ مَلَكَ الْبَائِعُ تَمَامَ النِّصَابِ مَعَ مَا يَبْقَى وَلَمْ يَمْلِكِ الْمُشْتَرِي غير ما اشترى فعلى البايع الزَّكَاةُ فَأَمَّا الْمُشْتَرِي فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ وَلَا خِيَارَ لَهُ، وَإِنْ مَلَكَ الْمُشْتَرِي تَمَامَ النِّصَابِ مع ما اشترى، ولو يَمْلِكِ الْبَائِعُ غَيْرَ مَا يَبْقَى فَلَا زَكَاةَ على البائع، فأما البائع فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: يَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ، وَإِمْضَائِهِ.
Masalah:
Jika seseorang memiliki satu pohon kurma tertentu dan menjualnya dengan syarat dipetik, lalu pembeli tidak memetiknya hingga tampak tanda baiknya, maka dilihat: jika pembeli tidak memiliki selain apa yang dibelinya, dan penjual juga tidak memiliki selain sisa (buah di pohon itu), maka tidak ada zakat atas salah satu dari keduanya; karena kepemilikan masing-masing telah terpisah (terbedakan), dan syarat pemetikan atas satu pohon itu menghalangi dari khalṭah (percampuran), serta kurangnya harta masing-masing dari niṣāb menghalangi kewajiban zakat ketika tidak ada khalṭah.
Namun, jika penjual memiliki sempurna niṣāb bersama dengan sisa buah yang tertinggal, dan pembeli tidak memiliki selain yang ia beli, maka wajib zakat atas penjual. Adapun pembeli, maka tidak wajib atasnya zakat dan tidak ada pilihan (untuk membatalkan jual beli).
Dan jika pembeli memiliki sempurna niṣāb bersama dengan yang ia beli, dan penjual tidak memiliki selain sisa buah tersebut, maka tidak wajib zakat atas penjual. Adapun pembeli, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenainya. Abu ‘Ali bin Abī Hurairah berkata: (kasus ini) dikembalikan pada dua pendapat yang telah lalu tentang batal atau tetapnya jual beli.
وَقَالَ غَيْرُهُ: وَهُوَ الصَّحِيحُ تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ، وَلَا يُفْسَخُ الْبَيْعُ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ الزَّكَاةَ إِنَّمَا وَجَبَتْ فِيمَا اشْتَرَاهُ لِأَجْلِ الَّذِي كَمَّلَ النِّصَابَ به وإن ملك البايع كمال النِّصَابِ مَعَ مَا يَبْقَى، وَمَلَكَ الْمُشْتَرِي تَمَامَ النصاب مع ما اشترى فعلى البايع الزَّكَاةُ، فَأَمَّا الْمُشْتَرِي فَعَلَى مَا مَضَى فَحَصَلَ من ذلك أن أحوال البايع، وَالْمُشْتَرِي مُخْتَلِفَةٌ عَلَى الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan selainnya berkata: Dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ: zakat wajib atasnya, dan jual beli tidak dibatalkan menurut satu pendapat pun. Karena zakat itu hanya wajib atas apa yang dibeli disebabkan oleh bagian yang menyempurnakan niṣāb-nya. Jika penjual memiliki penyempurna niṣāb bersama sisa yang ia miliki, dan pembeli pun memiliki penyempurna niṣāb dengan apa yang ia beli, maka zakat wajib atas penjual.
Adapun pembeli, maka keadaannya mengikuti sebagaimana yang telah lalu. Maka yang didapat dari hal ini adalah bahwa keadaan penjual dan pembeli berbeda-beda menurut empat bagian.
Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو استهلك رجل ثمرةً وقد خرصت أُخِذَ بِثَمَنِ عُشْرِ وَسْطِهَا، وَالْقَوْلُ فِي ذَلِكَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya seseorang telah menghabiskan buah yang telah dikira-kira (di-kharṣ), maka diambil darinya harga sepersepuluh dari nilai tengahnya, dan ucapan dalam hal itu adalah ucapannya (orang tersebut) disertai sumpahnya.”
Al-Mawardi berkata: Dan masalah ini telah berlalu pembahasannya.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ بَاعَ الْمُصَدِّقُ شَيْئًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ بمثله أو يقسمه على أهله لا يجزى غيره وَأَفْسَخُ بَيْعَهُ إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
إِذَا قَبَضَ السَّاعِي زَكَوَاتِ الْأَمْوَالِ فَعَلَيْهِ إِيصَالُهَا إِلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ وَلَيْسَ لَهُ بَيْعُهَا إِلَّا لِضَرُورَةٍ دَاعِيَةٍ، مِنْ خَوْفِ طَرِيقٍ أَوْ خَوْفٍ مِنْ لُصُوصٍ أَوْ بُعْدِ مَسَافَةٍ، يخالف أَنْ تُحِيطَ مُؤْنَتُهَا بِثَمَنِهَا فَإِنْ بَاعَهَا لِضَرُورَةٍ كَانَ بَيْعُهُ جَائِزًا إِذَا كَانَ بِثَمَنِ مِثْلِهَا وَإِنْ بَاعَهَا لِغَيْرِ ضَرُورَةٍ كَانَ بَيْعُهُ بَاطِلًا، وَيَسْتَرْجِعُ مَا بَاعَهُ مِنْ يَدِ الْمُشْتَرِي إِنْ كَانَ بَاقِيًا، وَإِنْ تَلَفَ لَزِمَهُ ضَمَانُهُ، فَإِنْ كَانَ لَهُ مِثْلٌ لَزِمَهُ رَدُّ مِثْلِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلٌ لَزِمَهُ أَكْثَرُ قِيمَتِهِ من قوت بيعه إلى وقت تلفه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Dan sekiranya petugas zakat menjual sesuatu, maka wajib atasnya mendatangkan yang semisal dengannya atau membaginya kepada para mustahik; selain itu tidak mencukupi, dan aku batalkan jualnya jika aku mampu.”
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.
Apabila sā‘i (petugas pengumpul zakat) telah menerima zakat harta, maka wajib atasnya menyampaikannya kepada para pemilik bagian (ashḥāb al-suhmān), dan tidak halal baginya menjualnya kecuali karena kebutuhan yang mendesak, seperti karena khawatir adanya bahaya di jalan, atau takut perampok, atau jauhnya jarak, yang mana biaya pengangkutannya lebih besar dari nilainya. Maka jika ia menjualnya karena kebutuhan darurat, jualnya sah jika dengan harga semisalnya. Namun jika menjualnya tanpa adanya kebutuhan, maka jualnya batal, dan ia harus mengambil kembali barang yang dijual dari tangan pembeli jika masih ada, dan jika telah rusak, maka ia wajib menanggung ganti rugi. Jika barang tersebut memiliki mitsl (padanan yang setara), maka ia wajib menggantinya dengan yang semisal. Jika tidak memiliki mitsl, maka ia wajib mengganti dengan nilai tertinggi dari harga jual hingga waktu kerusakannya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَكْرَهُ لِلرَّجُلِ شِرَاءَ صَدَقَتِهِ إِذَا وَصَلَتْ إِلَى أهلها ولا أفسخه “.
قال الماوردي: ولذا كرهت له شراء ما تصدقت بِهِ وَاجِبًا وَتَطَوُّعًا لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَمَلَ عَلَى فَرَسٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُقَالُ لَهُ: الْوَرْدُ فَرَآهُ يُبَاعُ فِي السُّوقِ، فَأَرَادَ أَنْ يَشْتَرِيَهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا تعد في صدقتك ولو أعطيتها نصفين وَدَعْهَا حَتَّى تَكُونَ هِيَ وَنِتَاجُهَا لَكَ يَوْمَ القيامة ” ولأن لا يسامح في ثمنها فينقص من ثوابه، ولأن لا يتبعها نفسه فيستراب له فإن ابتاعها كان البيع جايزاً، وَإِنْ كَانَ مَكْرُوهًا.
وَقَالَ مَالِكٌ: الْبَيْعُ بَاطِلٌ اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَنَهْيِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَهُ أَنْ يَعُودَ فِي صَدَقَتِهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Aku memakruhkan seseorang membeli kembali sedekahnya jika telah sampai kepada para penerimanya, namun aku tidak membatalkan jual belinya.”
Al-Mawardi berkata: Oleh karena itu, dimakruhkan baginya membeli kembali sesuatu yang telah ia sedekahkan, baik yang wajib maupun yang sunnah. Karena telah diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA menyerahkan seekor kuda bernama al-Ward di jalan Allah, lalu ia melihatnya dijual di pasar dan ingin membelinya. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Jangan engkau kembali pada sedekahmu, sekalipun engkau menyedekahkannya dengan dua bagian; biarkan ia hingga ia dan anaknya menjadi milikmu pada hari kiamat.”
Juga karena dikhawatirkan ia akan dimurahkan dalam harganya sehingga mengurangi pahalanya, atau karena hawa nafsunya menginginkannya kembali sehingga menimbulkan prasangka buruk terhadapnya. Namun, jika ia membelinya, maka jual belinya sah meskipun makruh.
Sedangkan Imam Mālik berpendapat bahwa jual beli tersebut batal, dengan berdalil pada hadis ‘Umar RA dan larangan Nabi SAW agar ia tidak kembali kepada sedekahnya.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِهِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لخمسةٍ ” وَذَكَرَ مِنْهُمْ رَجُلًا اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّ عَوْدَهَا إِلَيْهِ، بِغَيْرِ المعنى الذي تملكته عَلَيْهِ غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهُ، أَلَا تَرَى أَنَّهَا لَوْ عَادَتْ إِلَيْهِ مِيرَاثًا، جَازَ لِمَا رُوِيَ أن رجلاً تصدق على أبيه بحديقةٍ فمات فَرَجَعَتْ إِلَيْهِ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” قُبِلَتْ صَدَقَتُكَ وَبَلَغَتْ مَحَلَّهَا وَصَارَ ذَلِكَ مِيرَاثًا ” وَإِذَا جَازَ عَوْدُهَا إِلَيْهِ بِالْمِيرَاثِ جَازَ عَوْدُهَا بِالِابْتِيَاعِ وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّ كُلَّ مَا جَازَ أَنْ يَمْلِكَهُ إِرْثًا جَازَ أَنْ يَمْلِكَهُ ابتياعاً كسائر الأموال.
Dan dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Sedekah tidak halal bagi orang kaya kecuali untuk lima golongan,” dan beliau menyebut di antaranya seorang lelaki yang membelinya dengan hartanya. Maka ini berlaku secara umum.
Dan karena kembalinya sedekah itu kepadanya bukan melalui sebab yang membuatnya memilikinya dahulu, maka hal itu tidak terlarang atasnya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika sedekah itu kembali kepadanya melalui warisan, maka itu dibolehkan? Karena telah diriwayatkan bahwa seorang lelaki bersedekah kepada ayahnya dengan sebuah kebun, lalu ayahnya meninggal, maka kebun itu kembali kepadanya. Maka Nabi SAW bersabda: “Sedekahmu telah diterima dan telah sampai pada tempatnya, dan kini ia kembali kepadamu sebagai warisan.”
Maka jika kembalinya sedekah melalui warisan dibolehkan, maka kembalinya melalui pembelian pun dibolehkan.
Dan perinciannya secara qiyās: bahwa segala sesuatu yang boleh dimiliki melalui warisan, maka boleh pula dimiliki melalui pembelian, seperti halnya harta-harta lainnya.
فأما حديث عمر ففيه جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عُمَرَ كَانَ قَدْ وَقَفَ فَرَسَهُ وَشِرَاءُ الْوَقْفِ بَاطِلٌ بِوِفَاقٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْكَرَاهَةِ وَالِاسْتِحْبَابِ، لِأَنَّ النَّهْيَ يَقْتَضِي كَرَاهَةَ الْعَقْدِ دُونَ فَسَادِهِ كَالنَّهْيِ عَنْ بَيْعِ النجس، وَأَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ.
Adapun hadis ‘Umar, maka padanya terdapat dua jawaban:
Pertama: bahwa ‘Umar telah mewakafkan kudanya, dan membeli barang wakaf adalah batal menurut kesepakatan.
Kedua: bahwa hadis tersebut dibawa kepada makna makruh dan dianjurkan (untuk tidak dilakukan), karena larangan menunjukkan makruhnya akad tanpa membatalkannya, seperti larangan menjual barang najis dan larangan seseorang menjual di atas jual saudaranya.
فَصْلٌ
: إذا كَانَ لِرَبِّ الْمَالِ دَيْنٌ عَلَى فَقِيرٍ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ مَا عَلَيْهِ مِنْ دَيْنِهِ قِصَاصًا مِنْ زَكَاتِهِ إِلَّا أَنْ يَدْفَعَ الزَّكَاةَ إِلَيْهِ فَيَقْبِضَهَا مِنْهُ ثُمَّ يَخْتَارُ الْفَقِيرُ دَفْعَهَا إِلَيْهِ قَضَاءً مِنْ دَيْنِهِ، إِلَّا أَنْ يَدْفَعَ الزَّكَاةَ إِلَيْهِ فَيَقْبِضَهَا مِنْهُ، ثُمَّ يَخْتَارُ الْفَقِيرُ دَفْعَهَا إِلَيْهِ قَضَاءً مِنْ دَيْنِهِ فَيَجُوزُ، وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ جَعَلَ مَا عَلَى الْفَقِيرِ مِنْ دَيْنِهِ قِصَاصًا مِنْ زَكَاتِهِ جَازَ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ وَالْعَجَبُ لَهُ إِذَا مَنَعَ مِنِ ابْتِيَاعِهَا بِعِوَضٍ عَاجِلٍ وَجَوَّزَ أَنْ يَكُونَ قِصَاصًا بِدَيْنٍ هَالِكٍ هَذَا مَذْهَبٌ ظَاهِرُ الفساد.
PASAL
Apabila pemilik harta memiliki piutang atas seorang fakir dari golongan penerima zakat, maka tidak boleh menjadikan utang yang ada atas fakir tersebut sebagai ganti dari zakatnya, kecuali jika ia memberikan zakat itu kepadanya, lalu fakir tersebut menerimanya, kemudian si fakir memilih untuk menyerahkannya kembali kepadanya sebagai pelunasan utangnya—maka hal itu boleh.
Imam Mālik berpendapat: jika pemilik harta menjadikan utang yang ada atas fakir tersebut sebagai pengganti dari zakatnya, maka itu sah. Namun ini tidak benar.
Sungguh mengherankan darinya—yaitu Imam Mālik—bahwa ia melarang membeli zakat dengan imbalan yang segera (tunai), namun membolehkan menjadikannya sebagai pengganti utang yang telah hancur (mungkin tidak tertagih). Ini adalah mazhab yang tampak jelas rusaknya.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولا زَكَاةَ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَخْرُجُ مِنَ الْمَعَادِنِ إلا ذهباً أو ورقاً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمَعْدِنُ فَهُوَ مَأْخُوذٌ مِنْ عَدَنَ الشَّيْءَ فِي الْمَكَانِ إِذَا أَقَامَ فِيهِ وَالْعَدْنُ الْإِقَامَةُ وَقَدْ قَالَ أَصْحَابُ التَّأْوِيلِ فِي قَوْله تَعَالَى: {جَنَّاتِ عَدْنٍ) {النحل: 31) جَنَّاتِ إِقَامَةٍ وَقِيلَ: فِي الْبَلَدِ الْمَنْسُوبِ إِلَى عَدَنَ إِنَّهُ سُمِّيَ بِذَلِكَ إِنَّهُ كَانَ حَبْسًا لِتُبَّعٍ يُقِيمَ فِيهِ أَهْلُ الْجَرَائِمِ فَالْمَعَادِنُ هِيَ الَّتِي أَوْدَعَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ، جَوَاهِرَ الْأَرْضِ مِنَ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ وَالصُّفْرِ وَالنُّحَاسِ وَالْحَدِيدِ وَالرَّصَاصِ وَالْمَرْجَانِ وَالْيَاقُوتِ وَالزُّمُرُّدِ وَالْعَقِيقِ وَالزَّبَرْجَدِ، وَإِلَى مَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الكحل والزيبق وَالنِّفْطِ فَلَا زَكَاةَ فِي جَمِيعِهَا سَوَاءٌ كَانَتْ فِي مِلْكٍ، أَوْ مَوَاتٍ إِلَّا فِي مَعَادِنِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ، دُونَ مَا عَدَاهُمَا وَقَالَ أبو حنيفة الزَّكَاةُ وَاجِبَةٌ فِي كُلِّ مَا انْطَبَعَ مِنْهَا كَالصُّفْرِ وَالنُّحَاسِ دُونَ مَا لَا يَنْطَبِعُ مِنَ الذَّائِبِ، وَالْأَحْجَارِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الرَّكَازِ الْخُمُسُ وَالْمَعَادِنُ تُسَمَّى رِكَازًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْخُمُسُ فِي جَمِيعِهَا عَامًّا، وَلِأَنَّهُ جَوْهَرٌ يَنْطَبِعُ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى بِهِ كَالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ، وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ كُلَّ مَا لَا يَتَكَرَّرُ وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِي عَيْنِهِ لَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ، إِذَا أُخِذَ مِنْ مَعْدِنِهِ كَالْكُحْلِ وَالزِّرْنِيخِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَوْ وَرِثَهُ، لَمْ تَجِبْ فِيهِ الزَّكَاةُ فَوَجَبَ، إِذَا اسْتَفَادَهُ مِنَ الْمَعْدِنِ أَنْ لَا تَجِبَ فِيهِ الزَّكَاةُ كَالنِّفْطِ وَالْقِيرِ، وَلِأَنَّهُ مُقَوَّمٌ مُسْتَفَادٌ مِنَ الْمَعْدِنِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجُوزَ فِيهِ الزَّكَاةُ كَالْيَاقُوتِ وَالزُّمُرُّدِ، وَلِأَنَّ الْمَعَادِنَ إِمَّا أَنْ تَجْرِيَ مَجْرَى الْفَيْءَ فِيمَا تَجِبُ فِيهِ أَوْ مَجْرَى الزَّكَاةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ كَالْفَيْءِ، لِأَنَّ خُمُسَ الْفَيْءِ يَجِبُ فِي جَمِيعِ الْأَمْوَالِ ما انطبع منها ولم يَنْطَبِعْ فَثَبَتَ، أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الزَّكَاةِ، وَالزَّكَاةُ لَا تَجْرِي فِي غَيْرِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فَكَذَا لَا تَجِبُ إِلَّا فِي مَعَادِنِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ، لِأَنَّ الرِّكَازَ غَيْرُ الْمَعَادِنِ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ بِعِلَّةِ، أَنَّهُ يَنْطَبِعُ فَفَاسِدٌ بِالزُّجَاجِ، لِأَنَّهُ يَنْطَبِعُ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ، أَنَّهُ مِمَّا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ لَوْ مَلَكَ مِنْ غَيْرِ المعدن والله أعلم.
BAB ZAKAT PADA HASIL TAMBANG
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidak ada zakat pada sesuatu pun yang keluar dari tambang kecuali emas dan perak.”
Al-Mawardi berkata: Adapun ma‘din (tambang), berasal dari kata ‘adana asy-syai’a fī al-makān apabila menetap di suatu tempat. Al-‘adn berarti menetap. Para ahli tafsir berkata tentang firman Allah Ta‘ala: jannāti ‘adn (QS. al-Nahl: 31), maknanya adalah surga tempat menetap. Ada juga yang mengatakan: maksudnya adalah negeri yang dinisbahkan kepada ‘Adn, dinamai demikian karena dahulu tempat itu merupakan penjara yang digunakan oleh Tubba‘ untuk menahan para pelaku kejahatan agar tinggal di situ.
Maka ma‘ādin (tambang) adalah tempat-tempat yang Allah SWT titipkan di dalamnya berbagai macam jawāhir al-arḍ (batu mulia bumi), seperti perak, emas, ṣufr (kuningan), tembaga, besi, timah, marjān (karang), yāqūt (yakut), zumurrud (zamrud), ‘aqīq (akik), zabarjad (peridot), dan selainnya seperti kuḥl (batu celak), zībaq (air raksa), dan nifṭ (minyak bumi). Maka tidak ada zakat dalam semua itu, baik diperoleh dari tanah milik maupun tanah mati, kecuali pada tambang perak dan emas, tidak selain keduanya.
Adapun Abu Hanifah berpendapat: zakat wajib pada setiap hasil tambang yang bisa dibentuk (yanṭabi‘) seperti ṣufr dan tembaga, tidak pada yang tidak bisa dibentuk seperti cairan dan batu, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “fī al-rikāzi al-khumsu” (pada rikāz ada kewajiban seperlima), dan tambang disebut juga rikāz, maka wajib ada seperlima pada semuanya secara umum. Karena ia adalah benda yang bisa dibentuk, maka wajib hak Allah Ta‘ala padanya sebagaimana pada perak dan emas.
Adapun dalil kami adalah: segala sesuatu yang tidak berulang kewajiban zakatnya pada bendanya, tidak wajib zakat ketika diambil dari tambangnya, seperti kuḥl dan zarnīkh. Dan setiap sesuatu yang jika diwarisi tidak wajib zakat, maka jika didapat dari tambang pun tidak wajib zakat, seperti nifṭ dan qīr. Dan karena ia adalah barang yang dinilai dan diperoleh dari tambang, maka tidak wajib zakat padanya seperti yāqūt dan zumurrud.
Tambang itu, apakah disamakan dengan fay’ dalam hal-hal yang wajib padanya, atau dengan zakat? Tidak boleh disamakan dengan fay’, karena seperlimanya wajib pada semua jenis harta, baik yang bisa dibentuk maupun tidak. Maka tetap bahwa tambang itu mengikuti hukum zakat. Sedangkan zakat tidak berlaku kecuali pada emas dan perak, maka tidak wajib zakat kecuali pada tambang emas dan perak.
Adapun dalil mereka, tidak menjadi hujah, karena rikāz itu berbeda dengan tambang. Dan qiyas mereka terhadap perak dan emas karena alasan bisa dibentuk adalah qiyas yang rusak, karena kaca juga bisa dibentuk. Padahal makna dalam perak dan emas adalah: ia termasuk harta yang wajib zakat meskipun dimiliki bukan dari tambang. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا خرج منها ذهبٌ أو ورقٌ فَكَانَ غَيْرَ متميزٍ حَتَّى يُعَالَجَ بِالنَّارِ أَوِ الطعن أو التحصيل فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَّى يَصِيرَ ذَهَبًا أَوْ وَرِقَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
أَمَّا وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِيهِ فَبِاسْتِخْرَاجِهِ مِنْ مَعْدِنِهِ، وَأَمَّا وَقْتَ إِخْرَاجِ الزَّكَاةِ مِنْهُ فَبِتَخْلِيصِهِ وَتَصْفِيَتِهِ حَتَّى يَصِيرَ وَرِقًا خَالِصًا، أَوْ ذَهَبًا صَافِيًا كَالثِّمَارِ الَّتِي تَجِبُ زَكَاتُهَا بِبُدُوِّ صَلَاحِهَا، وَيُخْرَجُ مِنْهَا بَعْدَ جَفَافِهَا، وَصِرَامِهَا كَذَلِكَ مَعَادِنُ الذَّهَبِ، وَالْفِضَّةِ تَجِبُ الزكاة فيه، بالأخذ والاستخراج وتجب الزكاة منها بعد التصفية، والتميز تَشْبِيهًا بِمَا ذَكَرْنَا وَلِأَنَّ النِّصَابَ فِيهِ مُعْتَبَرٌ، ولا يمكن اعتباره إلا بعد تمييزه، وَعَلَيْهِ الْتِزَامُ مُؤْنَتِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Apabila keluar dari dalam bumi emas atau perak dalam keadaan belum terpisah (dari unsur lainnya), hingga diproses dengan api atau ditusuk atau disaring, maka tidak wajib zakat padanya hingga menjadi emas atau perak murni.”
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.
Adapun kewajiban zakat atasnya adalah ketika ia dikeluarkan dari tambangnya. Sedangkan waktu dikeluarkannya zakat darinya adalah ketika telah dimurnikan dan disaring hingga menjadi perak murni atau emas murni—sebagaimana buah-buahan yang zakatnya wajib ketika mulai tampak kematangannya, dan dikeluarkan zakatnya setelah kering dan dipanen—maka demikian pula tambang emas dan perak: zakat wajib padanya ketika diambil dan dikeluarkan, dan zakat dikeluarkan darinya setelah dimurnikan dan dipisahkan, dengan pengqiyasan kepada apa yang telah disebutkan.
Dan karena niṣāb padanya diperhitungkan, maka tidak mungkin diperhitungkan kecuali setelah ia terpisah dan bersih. Maka wajib atasnya menanggung seluruh biaya pemurniannya.
Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” فإن دفع منه شيئاً قبل أن يحصل ذهباً أو ورقاً فالمصدق ضامن والقول فيه قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ إِنِ اسْتَهْلَكَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُ زَكَاةِ الذهب والذهب قَبْلَ التَّمْيِيزِ، وَالتَّصْفِيَةِ فَإِنْ أَخْرَجَهَا قَبْلَ تَمْيِيزِهَا وَتَصْفِيَتِهَا وَجَبَ عَلَى الْمُصَدِّقِ رَدُّ مَا أَخَذَهُ، وَكَانَ ضَامِنًا لَهُ حَتَّى يَرُدَّهُ لِأَنَّهُ أَخَذَ مَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَهُ، فَإِنْ تَلِفَ فِي يَدِهِ كَانَ عَلَيْهِ غُرْمُ قِيمِتِهِ فَإِنْ كَانَ ذَهَبًا غَرِمَ قِيمَتَهُ وَرِقًا، وَإِنْ كَانَ وَرِقًا غَرِمَ قِيمَتَهُ ذَهَبًا فَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الْقِيمَةِ، كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُصَدِّقِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ غَارِمٌ فَلَوْ رَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَبُّ الْمَالِ لَيْسَ هَذَا لِي، أَوْ قَدْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَالْقَوْلُ أَيْضًا قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، فَلَوْ لَمْ يَرُدَّ الْمُصَدِّقُ مَا أَخَذَهُ حَتَّى صَفَّاهُ وَمَيَّزَهُ، وَكَانَ ذَلِكَ بِقَدْرِ مَا وَجَبَ مِنَ الزَّكَاةِ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ رَدَّ الزِّيَادَةَ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ طَالَبَ بِالنُّقْصَانِ كَأَنَّهُ مَيَّزَ مَا أَخَذَهُ فَكَانَ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ، فيحتسب بهذه العشرة وإن كَانَ جُمْلَةُ مَا أَخَذَ مِنَ الْمَعْدِنِ بَعْدَ تمييزه أربعماية دِرْهَمٍ، فَالْعَشْرَةُ قَدَرُ زَكَاتِهَا إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْوَاجِبَ فِيهَا رُبُعُ الْعَشْرِ وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ طَالَبَ بِالزِّيَادَةِ عَلَيْهَا، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ رَدَّ ما فضل منها ويشبه ذلك من زَكَاةِ الثِّمَارِ، أَنْ يَأْخُذَ الْمُصَدِّقُ عُشْرَ الثَّمَرَةِ رُطَبًا وَهِيَ مِمَّا تَصِيرُ تَمْرًا فَعَلَيْهِ رَدُّهُ، فَلَوْ لَمْ يَرُدَّهُ حَتَّى جَفَّفَهُ احْتَسَبَ بِمَا حَصَلَ مِنْهُ مِنْ زَكَاةِ رَبِّ الْمَالِ وَطَالَبَ بِمَا زَادَ أَوْ رَدَّ مَا نَقَصَ وَاللَّهُ أعلم.
MASALAH:
Imam Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang menyerahkan sebagian dari hasil tambang sebelum menjadi emas atau perak, maka petugas zakat (muṣaddiq) bertanggung jawab, dan pernyataannya diterima disertai sumpahnya jika ia telah menghabiskannya.”
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat emas dan perak sebelum dilakukan pemisahan dan pemurnian. Maka jika ia mengeluarkannya sebelum pemisahan dan pemurnian, wajib atas petugas zakat mengembalikan apa yang telah ia ambil dan ia bertanggung jawab atasnya sampai dikembalikan, karena ia telah mengambil sesuatu yang tidak boleh diambil. Jika barang itu rusak di tangannya, maka ia wajib mengganti nilainya. Jika yang diambil berupa emas, maka ia mengganti nilainya dengan perak. Jika yang diambil perak, maka ia mengganti nilainya dengan emas.
Jika keduanya berselisih tentang nilainya, maka pernyataan petugas zakat diterima disertai sumpah, karena ia yang menanggung. Jika ia mengembalikan kepada pemilik harta, lalu pemilik harta berkata, “Ini bukan milikku” atau “Dahulu jumlahnya lebih banyak dari ini,” maka pernyataan petugas zakat juga diterima disertai sumpah.
Jika petugas zakat tidak segera mengembalikan apa yang diambil sampai ia menyaring dan memisahkannya, dan hasilnya sesuai dengan kadar zakat yang wajib, maka itu mencukupi. Jika lebih banyak, maka ia mengembalikan kelebihannya. Jika lebih sedikit, maka ia menuntut kekurangannya. Misalnya ia menyaring apa yang diambil, ternyata menjadi sepuluh dirham, maka sepuluh dirham itu dianggap sebagai zakat, jika dikatakan bahwa yang wajib adalah seperempat dari sepersepuluh. Dan jika jumlah keseluruhan hasil tambang setelah pemisahan adalah empat ratus dirham, maka zakatnya memang sepuluh dirham.
Jika hasilnya lebih banyak, ia menuntut kelebihannya; jika kurang, ia mengembalikan kelebihannya yang tidak wajib. Hal ini mirip dengan zakat buah: apabila petugas zakat mengambil sepersepuluh buah dalam keadaan masih basah (ruṭab), padahal buah itu akan menjadi tamr (kurma kering), maka ia wajib mengembalikannya. Jika ia tidak mengembalikannya sampai buah itu mengering, maka yang diperhitungkan sebagai zakat adalah hasil dari buah kering tersebut, dan ia menuntut kelebihan atau mengembalikan kekurangannya. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يجوز بيع تراب المعادن بحالٍ لِأَنَّهُ ذَهَبٌ أَوْ وَرِقٌ مختلطٌ بِغَيْرِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كَمَا قَالَ:
بَيْعُ تُرَابِ الْمَعْدِنِ وَتُرَابِ الصَّاغَةِ غَيْرُ جَائِزٍ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak boleh menjual tanah tambang dalam keadaan apa pun karena ia mengandung emas atau perak yang bercampur dengan selainnya.”
Al-Mawardi berkata: Dan sebagaimana yang beliau katakan:
Menjual tanah tambang dan tanah bekas tukang emas tidak diperbolehkan.
وَقَالَ مَالِكٌ يَجُوزُ بَيْعُ تُرَابِ الْمَعَادِنِ دُونَ تُرَابِ الصَّاغَةِ لِأَنَّ اخْتِلَاطَ الشَّيْءِ بِغَيْرِهِ، لَايَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ بَيْعِهِ كَالْحِنْطَةِ الْمُخْتَلِطَةِ بِالشَّعِيرِ، وَالنِّدِّ الْمَعْجُونِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى فَسَادِ مَذْهَبِهِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن بيع الفرز وفي تراب المعادن، والصاغة أعظم الفرد لأن الْمَقْصُودَ مِنْهُ مَجْهُولٌ، فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ كَتُرَابِ الصَّاغَةِ، وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ جَوَازِ بَيْعِ الْحِنْطَةِ الْمُخْتَلِطَةِ بِالشَّعِيرِ فَإِنَّمَا جَازَ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَقْصُودٌ وَمِثْلُهُ، إِذَا اخْتَلَطَتِ الدَّرَاهِمُ بِالدَّنَانِيرِ جَازَ بَيْعُهَا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهَا مَقْصُودٌ، فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ فَإِنْ بَاعَ تُرَابَ مَعَادِنِ الْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَتُرَابَ مَعَادِنِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ لَمْ يَجُزْ لِعِلَّتَيْنِ.
إِحْدَاهُمَا: خَوْفُ الربا.
والثانية: جهالة المعقود فَلَوْ بَاعَ تُرَابَ الْفِضَّةِ بِالذَّهَبِ، أَوْ تُرَابَ الذهب بالفضة لم يجز عندنا لجهالة العقود، وَجَازَ عِنْدَ أبي حنيفة لِزَوَالِ الرِّبَا.
Imam Mālik berpendapat: Boleh menjual tanah hasil tambang, tetapi tidak boleh menjual tanah tukang emas (ṣāghah), karena pencampuran sesuatu dengan selainnya tidak menghalangi bolehnya jual beli, seperti gandum yang bercampur dengan jelai, atau nidd (sejenis parfum) yang tercampur.
Namun, dalil yang menunjukkan rusaknya pendapat ini adalah larangan Rasulullah SAW atas jual beli al-faraz, sedangkan tanah hasil tambang dan tanah tukang emas adalah termasuk al-faraz yang paling nyata, karena unsur yang dimaksudkan dari barang tersebut masih tidak diketahui, sehingga tidak boleh dijual, sebagaimana tanah tukang emas.
Adapun analogi yang disebutkan—bolehnya menjual gandum yang bercampur dengan jelai—itu dibolehkan karena masing-masing dari keduanya merupakan barang yang dikehendaki dan bernilai tersendiri. Demikian pula jika dirham bercampur dengan dinar, boleh dijual karena masing-masingnya adalah barang yang dikehendaki.
Maka apabila telah tetap bahwa jual beli tersebut tidak boleh, maka jika seseorang menjual tanah tambang perak dengan perak, atau tanah tambang emas dengan emas, maka tidak boleh, karena dua alasan:
Pertama: dikhawatirkan terjadi riba.
Kedua: karena majhul (tidak jelasnya) objek akad.
Namun, jika ia menjual tanah perak dengan emas, atau tanah emas dengan perak, maka menurut kami (mazhab Syafi‘i), tidak boleh karena adanya majhul pada akad. Adapun menurut Abu Hanifah, boleh karena telah hilangnya unsur riba.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وذهب بعض أهل ناحيتنا إلى أن في المعادن الزكاة وَغَيْرُهُمْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّ الْمَعَادِنَ ركازٌ فَفِيهَا الْخُمُسُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيمَا يَجِبُ فِي الْمَعَادِنِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ حَكَاهَا أَصْحَابُنَا أقاويل للشافعي:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Sebagian ulama di daerah kami berpendapat bahwa pada barang tambang itu ada zakat, sedangkan selain mereka berpendapat bahwa tambang itu termasuk rikāz, maka padanya dikenakan seperlima (khumus).”
Al-Mawardi berkata: Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apa yang wajib pada barang tambang, dan ada tiga mazhab yang dinukil oleh para sahabat kami sebagai pendapat-pendapat dari al-Syafi‘i.
أحدها: فِيهَا رُبْعَ الْعُشْرِ كَالزَّكَاةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ، ” وَالْإِمْلَاءِ ” وَفِي كِتَابِ ” الْأُمِّ “.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: إِنَّ فِيهَا الْخُمُسَ كَالرِّكَازِ، وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة وَأَحَدُ أَقَاوِيلِ الشَّافِعِيِّ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: إِنَّهُ إِنْ أُخِذَ بِمُؤْنَةٍ وَتَعَبٍ فَفِيهِ ربع العشر، وإن وجد نُدْرَةً مُجْتَمِعَةً أَوْ وُجِدَ فِي أَثَرِ سَيْلٍ فِي بَطْحَاءَ بِلَا مُؤْنَةٍ فَفِيهِ الْخُمُسُ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْأَوْزَاعِيِّ وَحَكَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ فَمَنْ أَوْجَبَ فِيهِ الْخُمُسَ اسْتَدَلَّ بِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الرِّكَازُ فَقَالَ الذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ اللَّذَانِ جَعَلَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى فِي الْأَرْضِ يَوْمَ خَلَقَ السموات وَالْأَرْضِ ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَعَادِنَ رِكَازٌ وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” سُئِلَ عَنْ رجلٍ وَجَدَ كَنْزًا فِي قَرْيَةٍ خربةٍ فقال: إن وجده فِي قريةٍ مسكونةٍ أَوْ فِي سَبِيلِ مِيتَاءَ فعرفه،وإن وجده فِي خَرْبَةٍ جَاهِلِيَّةٍ، أَوْ فِي قَرْيَةٍ غَيْرِ مَسْكُونَةٍ فَفِيهِ وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ ” وَلِأَنَّهُ مُسْتَفَادٌ مِنَ الْأَرْضِ مِنْ غَيْرِ إِيدَاعِ أَصْلٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى فِيهِ الْخُمُسَ كَالرِّكَازِ، وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَوْجَبَ فِيهِ رُبْعَ الْعُشْرِ بعموم، قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فِي الرَّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْرِ ” وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ عُلَمَائِهِمْ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أقطع بلال ابن الْحَارِثِ مَعَادِنَ الْقَبَلِيَّةِ فَتِلْكَ الْمَعَادِنُ لَا يُؤْخَذُ مِنْهَا إِلَّا الزَّكَاةُ إِلَى الْيَوْمِ وَهَذَا مُرْسَلٌ وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ مِنْهُ ضَعِيفٌ، فَلِذَلِكَ لَمْ يَعْتَمِدْ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ لَكِنْ قَدْ رَوَى غَيْرُ الشَّافِعِيِّ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِيِّ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الْحَارِثِ بن بلال بن الحارث المزني عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَخَذَ مِنْهُ زَكَاةَ الْمَعَادِنِ الْقَبَلِيَّةَ وَهَذَا نَصٌّ مستند وروى جوبير عن الضحاك أن النبي
قَالَ ” فِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ وَفِي الْمَعْدِنِ الصَّدَقَةُ ” وَلِأَنَّهُ مُسْتَفَادٌ مِنَ الْأَرْضِ لَمْ يُمْلَكْ غَيْرُهُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ فِيهِ الْخُمُسُ كَالْحُبُوبِ، وَاسْتَدَلَّ مَنِ اعْتَبَرَ كَثْرَةَ الْمُؤْنَةِ وَقِلَّتَهَا بِالزَّرْعِ وَالثَّمَرَةِ لِأَنَّ حَقَّ اللَّهِ تَعَالَى فِيهَا يَقِلُّ بِكَثْرَةِ الْمُؤْنَةِ، إِذَا سُقِيَ بِغَرْبٍ أَوْ نَضْحٍ فَيَجِبُ فِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ، وَيَكْثُرُ بِقِلَّةِ الْمُؤْنَةِ، إِذَا سُقِيَ بِمَاءِ سَمَاءٍ أَوْ سَيْحٍ فَيَجِبُ فيه العشر، فكذلك المعادن، إن قلنا الْمُؤْنَةُ فِي الْمَأْخُوذِ مِنْهَا، وَجَبَ فِيهَا الْخُمُسُ كَالرِّكَازِ وَإِنْ كَثُرَتِ الْمُؤْنَةُ فِي الْمَأْخُوذِ مِنْهَا وَجَبَ فِيهِ رُبْعُ الْعُشْرِ كَالنَّاضِّ، فَهَذَا تَوْجِيهُ الأقاويل الثلاثة.
pertama: padanya ada seperempat ‘usyur seperti zakat, dan ini adalah mazhab Mālik, Aḥmad, dan Isḥāq. Demikian pula pendapat dari kalangan tābi‘īn seperti al-Ḥasan al-Baṣrī dan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz. Ini juga yang dinyatakan oleh al-Syāfi‘ī dalam pendapat qadīm-nya, juga dalam al-Imlā’ dan dalam kitab al-Umm.
mazhab kedua: padanya ada khumus seperti rikāz, dan ini adalah mazhab Abū Ḥanīfah dan salah satu dari pendapat al-Syāfi‘ī.
mazhab ketiga: jika diperoleh dengan biaya dan susah payah maka padanya ada seperempat ‘usyur, namun jika ditemukan berupa endapan yang terkumpul atau ditemukan di bekas aliran banjir di tanah lembah tanpa biaya, maka padanya ada khumus. Ini adalah mazhab al-Awzā‘ī, dan dinukil oleh al-Syāfi‘ī dari Mālik, dan beliau mengisyaratkannya dalam kitab al-Umm.
Orang yang mewajibkan khumus di dalamnya berdalil dengan riwayat Abū Sa‘īd al-Maqburī dari Abū Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Pada rikāz ada khumus.” Lalu ditanya, “Wahai Rasulullah, apakah rikāz itu?” Beliau bersabda: “Emas dan perak yang Allah Ta‘ālā letakkan di bumi sejak hari penciptaan langit dan bumi.” Maka hal ini menunjukkan bahwa ma‘ādin adalah rikāz.
Dan diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang menemukan harta karun di sebuah kampung yang rusak. Maka beliau bersabda: “Jika ia menemukannya di perkampungan yang dihuni atau di jalan yang dilalui orang, maka hendaknya ia umumkan. Namun jika ia menemukannya di reruntuhan masa jahiliah atau di kampung yang tidak berpenghuni, maka padanya dan pada rikāz ada khumus.”
Karena ia didapatkan dari bumi tanpa ada simpanan asal, maka wajiblah hak Allah Ta‘ālā di dalamnya berupa khumus seperti rikāz.
Adapun orang yang mewajibkan padanya seperempat ‘usyur, mereka berdalil dengan keumuman sabda Nabi SAW: “Pada riqqah ada seperempat ‘usyur.”
Dan al-Syāfi‘ī meriwayatkan dari Mālik dari Rabī‘ah bin Abī ‘Abd al-Raḥmān dari lebih dari satu orang dari para ulama mereka bahwa Nabi SAW memberikan tanah ma‘ādin al-Qabaliyyah kepada Bilāl bin al-Ḥārith, dan bahwa tanah ma‘ādin itu tidak diambil darinya kecuali zakat sampai hari ini. Ini adalah hadis mursal, dan sisi pendalilannya lemah, oleh karena itu al-Syāfi‘ī tidak menjadikannya sandaran.
Namun selain al-Syāfi‘ī meriwayatkan dari ‘Abd al-‘Azīz bin Muḥammad al-Darāwardī dari Rabī‘ah bin Abī ‘Abd al-Raḥmān dari al-Ḥārith bin Bilāl bin al-Ḥārith al-Muzanī dari ayahnya bahwa Nabi SAW mengambil zakat dari ma‘ādin al-Qabaliyyah. Ini adalah nash yang bisa dijadikan sandaran.
Dan Jubaīr meriwayatkan dari al-Ḍaḥḥāk bahwa Nabi SAW bersabda: “Pada rikāz ada khumus dan pada ma‘din ada ṣadaqah.”
Dan karena ia diperoleh dari bumi dan tidak dimiliki oleh selainnya, maka tidak wajib padanya khumus sebagaimana ḥubūb (biji-bijian).
Adapun orang yang mempertimbangkan banyak sedikitnya biaya, berdalil dengan zakat pada tanaman dan buah, karena hak Allah Ta‘ālā padanya berkurang bila biayanya besar — jika disiram dengan timba atau irigasi maka wajib padanya setengah ‘usyur — dan bertambah bila biayanya sedikit — jika disiram dengan air hujan atau aliran air maka wajib padanya ‘usyur. Maka demikian pula halnya dengan ma‘ādin.
Jika kita katakan bahwa biaya pada hasil tambang kecil, maka wajib padanya khumus seperti rikāz. Namun jika biaya dalam mendapatkannya besar, maka wajib padanya seperempat ‘usyur seperti nāḍḍ. Maka inilah penjelasan dari tiga pendapat tersebut.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا قِيلَ فِيهِ الزَّكَاةُ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَّى يَبْلُغَ الذَّهَبُ مِنْهُ عِشْرِينَ مِثْقَالًا وَالْوَرِقُ مِنْهُ خَمْسَ أواقٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قال:
ليس يختلف مذهب أَنَّ النِّصَابَ مُعْتَبَرٌ فِي الْمَعَادِنِ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ الْوَاجِبَ فِيهِ رُبْعُ الْعُشْرِ كَالزَّكَاةِ، أَوِ الخمس كالركاز فإن كان وزناً، فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَ أَوَاقٍ، وَإِنْ كَانَ ذَهَبًا فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَّى يَبْلُغَ عِشْرِينَ مِثْقَالًا، وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي بعض المواضع لو كنت الواحد لَهُ لَزَكَّيْتُهُ بَالِغًا مَا بَلَغَ عَلَى سَبِيلِ الِاحْتِيَاطِ لِنَفْسِهِ، لِيَكُونَ خَارِجًا مِنَ الْخِلَافِ كَمَا قَالَ فِي السَّفَرِ أَمَّا أَنَا فَلَا أَقْصُرُ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ، فَلَا وَجْهَ فِيهِ لِمَا، وَهِمَ فِيهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَخَرَّجَ لَهُ ذَلِكَ قَوْلًا ثَانِيًا وَقَالَ أبو حنيفة يُخْرَجُ مِنْ قَلِيلِهِ، وَكَثِيرِهِ مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ نِصَابٍ، وبناء عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْمَأْخُوذَ مِنْهُ لَيْسَ بِزَكَاةٍ وَإِنَّمَا هُوَ كَخُمُسِ الْفَيْءِ، وَالْغَنِيمَةِ الْمَأْخُوذِ مِنْ قَلِيلِ الْمَالِ وَكَثِيرِهِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهُ زَكَاةٌ، وَإِنْ وَجَبَ فِيهِ الْخُمُسُ، وَكَذَا الزَّكَاةُ قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ ” فَلَمَّا نفي النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا سِوَى الزَّكَاةِ وَأَثْبَتَ الزَّكَاةَ وَكَانَ فِي الْمَعَادِنِ، وَالرِّكَازِ حَقٌّ ثَابِتٌ عُلِمَ أَنَّهُ زَكَاةٌ لِنَفْيهِ مَا سِوَاهَا وَلِأَنَّ مَالَ الْفَيْءِ مَأْخُوذٌ مِنْ مُشْرِكٍ عَلَى وَجْهِ الصَّغَارِ، وَالذِّلَّةِ وَهَذَا مَأْخُوذٌ مِنْ مُسْلِمٍ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ، وَالطُّهْرَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَهُمَا مَعَ اخْتِلَافِ أَحْكَامِهِمَا وَمُوجِبِهِمَا، وَالدَّلَالَةُ عَلَى اعْتِبَارِ النِّصَابِ مَعَ مَا سَلَفَ فِي بَابِ زَكَاةِ الْوَرِقِ، وَالذَّهَبِ مَا رُوِيَ فِي حَدِيثِ الْمِقْدَادِ أَنَّهُ ذَهَبَ لحاجةٍ فإذا بجرذ يخرج من أرض دنانير فأخرج سبعة عشرة دِينَارًا ثُمَّ أَخْرَجَ خِرْقَةً حَمْرَاءَ فِيهَا دينارٌ فَجَاءَ بِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمْ يَأْخُذْ زَكَاتَهَا فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى أَنَّ مَا دُونَ النِّصَابِ مِنَ الْمَعَادِنِ وَالرِّكَازِ لَا شَيْءَ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Dan apa yang dikatakan wajib zakat padanya, maka tidak ada zakat padanya hingga emasnya mencapai ‘isyriina mitsqālan dan peraknya mencapai khamsa awāq.”
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan:
Tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab bahwa nishab (batas minimal) diperhitungkan dalam perkara tambang, baik dikatakan bahwa yang wajib padanya adalah seperempat dari sepersepuluh seperti zakat, atau seperlima seperti rikāz. Jika berupa perak, maka tidak ada zakat padanya hingga mencapai lima awāq, dan jika berupa emas, maka tidak ada zakat padanya hingga mencapai dua puluh mitsqāl.
Dan telah dikatakan oleh al-Syafi‘i di sebagian tempat: “Seandainya aku sendiri yang memilikinya, niscaya aku akan menzakatinya berapa pun jumlahnya sebagai bentuk kehati-hatian untuk diri sendiri, agar keluar dari khilaf,” sebagaimana ia berkata mengenai safar: “Adapun aku, maka aku tidak mengqashar dalam perjalanan kurang dari tiga (hari)”, maka tidak ada alasan untuk menjadikannya sebagai pendapat kedua seperti yang disangka oleh sebagian sahabat kami, lalu ia menetapkan itu sebagai pendapat kedua.
Dan Abū Ḥanīfah berkata: Dikeluarkan dari yang sedikit maupun yang banyak tanpa mempertimbangkan nishab, dan hal ini dibangun atas asas pendapat beliau bahwa yang diambil darinya bukanlah zakat, tetapi semisal khumus al-fay’ dan al-ghanīmah, yang diambil dari harta sedikit maupun banyak.
Dan dalil bahwa itu adalah zakat, meskipun yang wajib adalah seperlima, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Laysa fī al-māl ḥaqq siwā az-zakāh” — “Tidak ada hak atas harta selain zakat.”
Maka ketika Nabi SAW menafikan selain zakat dan menetapkan zakat, dan (padahal) dalam tambang dan rikaz ada hak yang tetap, maka diketahui bahwa itu adalah zakat karena penafian beliau atas selainnya.
Dan karena harta fay’ diambil dari orang musyrik dalam kondisi kehinaan dan kerendahan, sedangkan (tambang dan rikaz) diambil dari seorang muslim dalam rangka mendekatkan diri dan pensucian, maka tidak boleh disamakan antara keduanya karena berbeda hukum dan sebab kewajibannya.
Dan dalil bahwa nishab diperhitungkan, sebagaimana telah lalu dalam bab zakat perak dan emas, adalah hadis al-Miqdād bahwa ia pergi karena suatu keperluan, lalu melihat seekor tikus keluar dari tanah membawa dinar, maka ia mengeluarkan tujuh belas dinar, lalu mengeluarkan kain merah yang di dalamnya ada satu dinar. Lalu ia membawa semuanya kepada Rasulullah SAW, maka beliau tidak mengambil zakatnya.
Maka hadis ini menunjukkan bahwa harta tambang dan rikaz yang belum mencapai nishab, tidak ada kewajiban padanya.
Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُضَمُّ مَا أَصَابَ فِي الْأَيَّامِ الْمُتَتَابِعَةِ “.
قَالَ الماوردي: وإنما ضم بعضه إلى بع لأنه لا بد من وقوع مهلة من النيل، فلو قلنا أن لَا يُضَمَّ لَأَدَّى ذَلِكَ إِلَى سُقُوطِ الزَّكَاةِ عَنْهَا أَلَا تَرَى أَنَّ ظُهُورَ الصَّلَاحِ فِي بَعْضِ الثِّمَارِ بِمَنْزِلَةِ ظُهُورِهِ فِي الْجَمِيعِ لِأَنَّا لَوِ اعْتَبَرْنَا ثَمَرَةً بَعْدَ ثَمَرَةٍ سَقَطَتِ الزَّكَاةُ، فكذا المعادن فلو أتلف ما أخذه أو لا حُسِبَ ذَلِكَ عَلَيْهِ، فَإِذَا بَلَغَ مَعَ الثَّانِي نِصَابًا زَكَّاهُ وَفِيمَا زَادَ فَبِحِسَابِهِ.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Dan hasil yang diperoleh pada hari-hari yang berurutan disatukan.”
Al-Māwardī berkata: Disatukannya sebagian dengan sebagian yang lain itu karena pasti ada jeda waktu antara hasil yang satu dengan yang lainnya, maka kalau dikatakan tidak disatukan, hal itu akan menyebabkan gugurnya zakat darinya. Tidakkah engkau melihat bahwa tampaknya tanda kematangan (ṣalāḥ) pada sebagian buah diperlakukan seperti tampaknya pada seluruh buah, karena jika kita memperhitungkan buah demi buah secara terpisah maka zakat akan gugur, demikian pula halnya dengan ma‘ādin.
Maka jika ia merusak hasil pertama yang diambil, maka itu tetap diperhitungkan atasnya. Jika dengan hasil kedua jumlahnya mencapai niṣāb, maka ia wajib menzakatinya, dan untuk kelebihan dari niṣāb dihitung sesuai kadar kelebihannya.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فَإِنْ كَانَ الْمَعْدِنُ غَيْرَ حاقدٍ فَقَطَعَ الْعَمَلَ فيه ثم استأنفه لم يضم كثر القطع عنه له أو قل والقطع ترك العمل لغير عذرٍ أَدَاةٍ أَوْ عِلَّةِ مرضٍ أَوْ هربٍ عبيدٍ لا وقت فيه إلا ما وصفت “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata:
“Jika tambang itu tidak menetap (ghayra ḥāqid), lalu ia menghentikan pekerjaan di dalamnya kemudian memulainya kembali, maka tidak dihitung saling menyambung, baik penghentian itu lama maupun sebentar, dan yang dimaksud penghentian adalah meninggalkan pekerjaan tanpa uzur seperti karena alat atau karena sakit atau karena larinya para budak. Tidak ada ketentuan waktu padanya kecuali sebagaimana yang telah aku sebutkan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا قَوْلُهُ غَيْرُ حَاقِدٍ يَعْنِي مَانِعٍ لِنَيْلِهِ يُقَالُ حَقَدَ الْمَعْدِنَ إِذَا مَنَعَ وَأَنَالَ إِذَا أَعْطَاهُ فَلَوْ كَانَ الْمَعْدِنُ مُنِيلًا غَيْرَ حَاقِدٍ فَقَطَعَ الْعَمَلَ فِيهِ، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْطَعَهُ لِعُذْرٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ هرب عبيداً، وتعذر آلة فإذا أعاد ضَمَّ مَا أَصَابَهُ بَعْدَ عَوْدِهِ إِلَى مَا أصابه قبل فقد قَطْعِهِ، لِأَنَّ الْقَطْعَ لَمْ يَقَعْ بِاخْتِيَارِهِ فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ زَمَانِ النَّيْلِ، وَأَوْقَاتِ الِاسْتِرَاحَةِ.
Berkata al-Māwardī: Adapun ucapannya “ghairu ḥāqid” maksudnya adalah tidak menghalangi untuk diperoleh. Dikatakan ḥaqada al-ma‘dan jika ia menahan (tidak memberi), dan anāla jika ia memberikannya.
Maka jika suatu tambang dalam keadaan memberikan hasil (munīl), tidak menahan (ghairu ḥāqid), lalu pekerjaannya dihentikan, maka hal itu terbagi menjadi dua:
Pertama: ia menghentikannya karena uzur, seperti sakit, atau para budak buron, atau alat yang diperlukan tidak tersedia. Maka jika ia kembali bekerja, maka hasil yang diperoleh setelah ia kembali disatukan dengan hasil yang ia peroleh sebelum penghentian kerja, karena penghentian itu tidak terjadi atas pilihannya, sehingga kedudukannya seperti waktu menambang dan waktu istirahat.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَقْطَعَهُ مُخْتَارًا نَاوِيًا تَرْكَ الْعَمَلِ فِيهِ، فَإِنْ عَادَ صَارَ مُسْتَأْنِفًا وَلَمْ يَضُمَّ مَا أَصَابَهُ فِي الثَّانِي إِلَى مَا أَصَابَهُ فِي الْأَوَّلِ كَمَنْ غَيَّرَ نِيَّةَ التِّجَارَةِ ثُمَّ اسْتَأْنَفَهَا لَمْ يَبْنِ عَلَى مَا مَضَى، وَاسْتَأْنَفَ حُكْمَهَا والله أعلم.
Dan jenis yang kedua: yaitu ia menghentikan pekerjaan dengan pilihan sendiri dan dengan niat untuk meninggalkan pekerjaan di dalamnya. Maka jika ia kembali (menambang), ia dianggap memulai dari awal dan tidak menggabungkan apa yang ia dapatkan pada kali kedua dengan apa yang ia dapatkan pada kali pertama, seperti orang yang mengubah niat dari berdagang, kemudian memulai kembali, maka ia tidak membangun (perhitungan) atas yang telah lalu, tetapi memulai hukum yang baru. Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ تَابَعَ فَحَقَدَ وَلَمْ يَقْطَعِ الْعَمَلَ فِيهِ ضَمَّ مَا أَصَابَ مِنْهُ بِالْعَمَلِ الْآخَرِ إِلَى الْأَوَّلِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِنْ كَانَ مُقِيمًا عَلَى الْعَمَلِ، فَحَقَدَ الْمَعْدِنُ، وَمَنَعَ نَيْلَهُ ثُمَّ أَنَالَ فِيمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حِقْدُهُ يَسِيرًا فَهَذَا يَبْنِي، وَلَا تَأْثِيرَ لِحِقْدِهِ لِجَرَيَانِ الْعَادَةِ بِهِ.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika ia melanjutkan (pekerjaan), lalu tambang itu berhenti memberi hasil (ḥaqada) dan ia tidak menghentikan pekerjaannya, maka hasil yang diperolehnya setelah itu disatukan dengan hasil yang pertama.”
Berkata al-Māwardī: Jika ia tetap melanjutkan pekerjaannya, lalu tambang itu berhenti (ḥaqada) dan menahan hasilnya, kemudian tambang itu kembali memberi hasil setelah itu, maka hal ini terbagi menjadi dua:
Pertama: jika penahanan hasil (ḥiqd) itu hanya sebentar, maka hasil setelahnya tetap dibangun di atas yang pertama, dan penahanan itu tidak berpengaruh karena hal tersebut biasa terjadi menurut kebiasaan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حِقْدُهُ كَثِيرًا وَزَمَانُ مَنْعِهِ طَوِيلًا، فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَسْتَأْنِفُ وَلَا يَضُمُّ، لِأَنَّ وُجُوبَ الضَّمِّ بِشَرْطَيْنِ الْعَمَلِ والنيل فلما كان قطع العمل ع اسْتِدَامَةِ النَّيْلِ، لَا يُوجِبُ الضَّمَّ فَكَذَا اسْتِدَامَةُ الْعَمَلِ مَعَ قَطْعِ النَّيْلِ لَا يُوجِبُ الضَّمَّ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ يَضُمُّ وَلَا يَسْتَأْنِفُ، لِأَنَّ نَيْلَ الْمَعَادِنِ فِي الْعَادَةِ يختلف بنيل تارة وبحقد وبحقد تَارَةً، وَلِأَنَّ انْقِطَاعَ النَّيْلِ عُذْرٌ كَانْقِطَاعِ الْعَمَلِ بِعُذْرٍ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ انْقِطَاعَ الْعَمَلِ بِعُذْرٍ يُوجِبُ الضَّمَّ وَكَذَا انْقِطَاعُ النَّيْلِ الَّذِي، هُوَ عذر يوجب الضم
Dan jenis yang kedua: yaitu ketika ḥiqduh (masa diamnya tambang) berlangsung lama dan waktu terhalangnya (hasil tambang) pun panjang, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm: ia memulai dari awal dan tidak menggabungkan, karena kewajiban penggabungan itu tergantung pada dua syarat: pekerjaan dan perolehan. Maka ketika pekerjaan terputus namun perolehan terus berlanjut, itu tidak mewajibkan penggabungan; demikian pula kelanjutan pekerjaan dengan terputusnya perolehan tidak mewajibkan penggabungan.
Pendapat kedua, yaitu pendapatnya dalam qaul jadīd: ia menggabungkan dan tidak memulai dari awal, karena hasil dari tambang secara kebiasaan memang berbeda-beda; terkadang ada hasil dan terkadang tidak, karena ḥiqd (kemacetan hasil tambang). Dan karena terputusnya hasil tambang adalah suatu uzur seperti halnya terputusnya pekerjaan karena uzur. Telah tetap bahwa terputusnya pekerjaan karena uzur mewajibkan penggabungan, maka demikian pula terputusnya hasil tambang yang merupakan uzur juga mewajibkan penggabungan.
مسألة:
قال المزني رضي الله عنه: ” وقال فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَالَّذِي أَنَا فِيهِ وَاقِفٌ الزَّكَاةُ فِي الْمَعْدِنِ وَالتَّبْرِ الْمَخْلُوقِ فِي الْأَرْضِ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) إِذَا لَمْ يَثْبُتْ لَهُ أَصْلٌ فأولى به أن يجعله فائدةً وقد أخبرني عنه بذلك من أثق بقوله وهو القياس عندي وبالله التوفيق “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا اعْتِبَارُ الْحَوْلِ فِي زَكَاةِ الْمَعْدِنِ فَسَاقِطٌ لَا يُعْرَفُ، قَوْلُ الشَّافِعِيِّ اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا مَا حَكَاهُ الْمُزَنِيُّ إِنَّهُ أَخْبَرَهُ بِذَلِكَ مَنْ يَثِقُ بِهِ، فَلَا يَلْزَمُنَا الْقَوْلُ بِهِ لِأَنَّهُ مُرْسَلٌ وَيَلْزَمُ الْمُزَنِيَّ الْقَوْلُ بِهِ، لِأَنَّهُ مُتَّصِلٌ ثُمَّ اسْتَدَلَّ الْمُزَنِيُّ أَيْضًا بِقَوْلِهِ إِنَّهُ فِيهِ وَاقِفٌ وَعِنْدَنَا، إِنَّوُقُوفَ الشَّافِعِيِّ فِي الْمِقْدَارِ لَا فِي الْحَوْلِ، وَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْحَوْلَ لَا يعتبر في المقادير قَوْلًا وَاحِدًا، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وأبي حنيفة لِأَنَّهُ مُسْتَفَادٌ مِنَ الْأَرْضِ، فَلَمْ يُرَاعَ فِيهِ الحول كالزرع ولأن الحول إنما يعتبر كامل النَّمَاءِ وَهَذَا نَمَاءٌ فِي نَفْسِهِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ الْحَوْلُ كَالسِّخَالِ وَأَرْبَاحِ التِّجَارَاتِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا من خرج ما رواه المزني قولاً ثابتاً وَاعْتَبَرَ فِيهِ الْحَوْلَ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ وَإِسْحَاقَ بن راهويه لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا زكاة في مالٍ حتى يحول عليه الْحَوْلُ ” وَلِأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ مَا تَتَكَرَّرُ زَكَاتُهُ فَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ حَوْلُهُ كَالْمُسْتَفَادِ بِهِبَةٍ أَوْ مِيرَاثٍ.
Masalah:
Al-Muzanī raḥimahullāh berkata: “Dan beliau (al-Syāfi‘ī) berkata di tempat lain, dan yang aku bersikap waqf (menahan diri) padanya adalah zakat pada ma‘dan dan tabr (emas murni) yang diciptakan di dalam bumi.”
(Lanjut al-Muzanī:) “Jika tidak terbukti bahwa ia memiliki asal (yakni bukan dari simpanan manusia), maka lebih utama untuk dianggap sebagai fā’idah (penghasilan mendadak). Dan telah memberitahuku tentang hal ini seseorang yang aku percaya ucapannya, dan itu pula yang menurutku merupakan qiyās, dan kepada Allah-lah tempat memohon taufik.”
Al-Māwardī berkata: Adapun memperhitungkan ḥaul (perputaran tahun) dalam zakat ma‘dan, maka tidak berlaku, dan tidak dikenal adanya pendapat dari al-Syāfi‘ī yang menyelisihi hal ini, kecuali apa yang dinukil oleh al-Muzanī bahwa seseorang yang ia percayai mengabarkan kepadanya hal itu dari al-Syāfi‘ī. Maka kami tidak terikat untuk mengikutinya karena itu termasuk mursal, namun al-Muzanī terikat dengannya karena sanadnya tersambung menurutnya.
Kemudian al-Muzanī juga berdalil dengan ucapan al-Syāfi‘ī bahwa beliau bersikap waqf terhadap masalah itu. Dan menurut kami, sikap waqf al-Syāfi‘ī adalah pada kadar zakat, bukan pada ḥaul. Adapun pendapat mayoritas aṣḥāb kami adalah bahwa ḥaul tidak diperhitungkan dalam zakat hasil tambang, ini adalah satu pendapat, dan ini juga mazhab Mālik dan Abū Ḥanīfah, karena ia merupakan hasil bumi, maka tidak disyaratkan padanya ḥaul, sebagaimana zakat pada tanaman.
Dan karena ḥaul hanya diperhitungkan pada harta yang butuh waktu untuk berkembang, sementara tambang adalah pertumbuhan dalam dirinya sendiri, maka ḥaul tidak diperhitungkan padanya, sebagaimana halnya anak ternak dan keuntungan perdagangan.
Namun sebagian aṣḥāb kami mengeluarkan pendapat yang diriwayatkan al-Muzanī sebagai pendapat tetap dan memperhitungkan padanya ḥaul. Ini adalah mazhab al-Muzanī dan Isḥāq bin Rāhūyah, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada zakat pada harta hingga berputar padanya ḥaul.” Dan karena ia termasuk jenis harta yang zakatnya berulang, maka wajib diperhitungkan ḥaul-nya sebagaimana harta yang diperoleh dari hibah atau warisan.
فَصْلٌ
: إِذَا اجْتَمَعَ رَجُلَانِ عَلَى مَعْدِنٍ فأخذا منه معاً نصاباً، فَإِذَا قُلْنَا إِنَّ الْخُلْطَةَ لَا تَصِحُّ فِي غير المواشي على قوله في القدير فَلَا شَيْءَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْخُلْطَةَ تَصِحُّ مِنْ غَيْرِ الْمَوَاشِي عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ فَعَلَيْهِمَا الزَّكَاةُ، لِأَنَّهُمَا خَلِيطَانِ فِي نِصَابٍ.
PASAL
Apabila dua orang berkumpul pada suatu tambang lalu keduanya mengambil darinya bersama-sama sebesar niṣāb, maka apabila kita katakan bahwa khuṭṭah tidak sah pada selain hewan ternak menurut pendapatnya dalam al-Qadīm, maka tidak ada kewajiban atas salah satu dari keduanya. Namun apabila kita katakan bahwa khuṭṭah sah pada selain hewan ternak menurut pendapatnya dalam al-Jadīd, maka wajib atas keduanya mengeluarkan zakat, karena keduanya adalah dua orang yang bersekutu dalam niṣāb.
فَصْلٌ
: إِذَا عَمِلَ الْمُكَاتَبُ فِي الْمَعْدِنِ وَاسْتَفَادَ مِنْهُ وَرِقًا أَوْ ذَهَبًا فَلَا زكاة عليه، وإن كان مَالِكًا لِمَا أَخَذَهُ لِأَنَّهُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الزكاة كالفيء والغنيمة، فَإِنْ قِيلَ: مَا الْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَغْنَمَ المكاتب ما لا فَيُؤْخَذَ خُمُسُهُ؟ وَبَيْنَ أَنْ يَسْتَفِيدَ مَعْدِنًا أَوْ ركازاً فلا يؤخذ منا؟ قِيلَ: لِأَنَّهُ فِي الْغَنِيمَةِ لَا يَمْلِكُ إِلَّا أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهَا وَيَمْلِكُ أَهْلُ الْخُمُسِ مَعَهُ خُمُسَهَا، وَفِي الرِّكَازِ وَالْمَعْدِنِ يَمْلِكُ جَمِيعَهُ أَوَّلًا فَإِنْ كَانَ حُرًّا اسْتَحَقَّ عَلَيْهِ خُمُسُهُ بَعْدَ مِلْكِهِ، كَمَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهِ زَكَاةَ مَالِهِ، وَإِنْ كَانَ مُكَاتَبًا لَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَيْهِ خُمُسَهُ بَعْدَ مِلْكِهِ، كَمَا لَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهِ زَكَاةَ مَالِهِ.
PASAL
Apabila seorang mukātab bekerja di pertambangan dan memperoleh darinya perak atau emas, maka tidak wajib zakat atasnya, meskipun ia adalah pemilik dari apa yang ia ambil. Karena ia termasuk golongan yang bukan ahli zakat, seperti halnya harta fai’ dan ghanimah.
Jika dikatakan: Apa bedanya antara mukātab yang memperoleh harta rampasan lalu diambil seperlimanya, dengan mukātab yang memperoleh hasil dari pertambangan atau rikāz namun tidak diambil seperlimanya?
Maka dijawab: Karena dalam ghanimah, mukātab tidak memiliki selain empat per lima bagian saja, dan pemilik seperlimanya adalah orang-orang yang berhak atas seperlima. Adapun dalam rikāz dan pertambangan, mukātab memiliki seluruhnya terlebih dahulu. Maka jika ia merdeka, ia dikenai kewajiban membayar seperlimanya setelah kepemilikan, sebagaimana ia wajib zakat atas hartanya. Dan jika ia adalah mukātab, maka tidak dikenai kewajiban membayar seperlimanya setelah kepemilikan, sebagaimana ia juga tidak dikenai zakat atas hartanya.
فَصْلٌ
: فأما الذمي فإنه يمنع من العمل كَمَا يُمْنَعُ مِنْ إِحْيَاءِ الْمَوَاتِ فَإِنْ عَمِلَ فيه بعد ملك ما أخذه، لم تلزمه زَكَاتُهُ، لِأَنَّ الذِّمِّيَّ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، فَإِنْ قِيلَ: إِذَا كَانَ مَمْنُوعًا مِنَ الْعَمَلِ فِي الْمَعْدِنِ كَمَا يُمْنَعُ مِنْ إِحْيَاءِ الْمَوَاتِ، فَهَلَّا كَانَ غَيْرَ مَالِكٍ لِمَا أَخَذَهُ مِنَ الْمَعْدِنِ، كَمَا كَانَ غَيْرَ مَالِكٍ لِمَا أَحْيَاهُ مِنَ الْمَوَاتِ.
قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنْ ضَرَرَ الْإِحْيَاءِ مؤبد فلم يملك به وَضَرَرُ عَمَلِهِ فِي الْمَعْدِنِ غَيْرُ مُؤَبَّدٍ فَمَلَكَ به كما يملك الصيد والماء العذب والله أعلم.
PASAL
Adapun dzimmī, maka ia dilarang bekerja (menggali) sebagaimana ia dilarang menghidupkan tanah mati. Maka jika ia bekerja di dalamnya setelah memiliki apa yang telah diambilnya, tidak wajib atasnya zakat, karena dzimmī tidak terkena kewajiban zakat.
Jika dikatakan: apabila ia dilarang bekerja di tambang sebagaimana ia dilarang menghidupkan tanah mati, maka mengapa ia dianggap memiliki apa yang diambil dari tambang, sedangkan ia tidak dianggap memiliki apa yang dihidupkannya dari tanah mati?
Dijawab: perbedaan antara keduanya adalah bahwa mudarat dari menghidupkan tanah mati bersifat terus-menerus, maka ia tidak menjadi pemilik karenanya. Sedangkan mudarat dari pekerjaannya di tambang tidak bersifat terus-menerus, maka ia memiliki karenanya sebagaimana ia memiliki hewan buruan dan air tawar. Wallahu a‘lam.
هَذَا بَابٌ أَغْفَلَ الْمُزَنِيُّ نَقْلَهُ، وَقَدْ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ قَالَ الشَّافِعِيُّ: أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ وَأَبِي سلمة وَأَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ ” أَمَّا الرِّكَازُ فَهُوَ: مَا دَفَنَهُ آدَمِيٌّ فِي أَرْضٍ فَعَثَرَ عَلَيْهِ إِنْسَانٌ مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ. رَكَزْتُ الرُّمْحَ فِي الْأَرْضِ إِذَا غَرَسْتُهُ فَكُلُّ مَنْ وَجَدَ رِكَازًا فِي أَرْضِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الْأَرْضُ مَوَاتًا.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُحْيَاةً فَإِنْ كَانَتِ الْأَرْضُ مَوَاتًا، فَالرِّكَازُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
BAB TENTANG ZAKAT, APA SAJA YANG WAJIB DIZAKATI, DAN DENGAN APA HARTA MENJADI MILIK
Ini adalah bab yang luput dicatat oleh al-Muzani, padahal telah disebutkan oleh asy-Syafi’i dalam qaul qadīm dan qaul jadīd. Asy-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyān, dari az-Zuhrī, dari Ibn al-Musayyab, dari Abū Salamah, dan dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada rikāz wajib seperlimanya.”
Adapun rikāz adalah: harta yang dikubur oleh manusia terdahulu di dalam tanah, lalu ditemukan oleh seseorang. Kata ini diambil dari ucapan mereka: rakaztu ar-rumḥa fī al-arḍ jika aku menancapkan tombak ke dalam tanah.
Maka siapa saja yang menemukan rikāz di tanah kaum muslimin, maka ada dua bentuk:
Pertama: tanah itu muwāt (tanah mati).
Kedua: tanah itu muḥyāh (telah dihidupkan).
Jika tanah itu muwāt, maka rikāz terbagi menjadi dua bentuk:
أحدهما: أن يكون ذهباً أو ورقاً.
والثاني: أَنْ يَكُونَ مِنْ سَائِرِ الْأَمْوَالِ غَيْرَ ذَهَبٍ وَلَا وَرِقٍ، فَإِنْ كَانَ ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِنْ ضَرْبِ الْإِسْلَامِ فَيَكُونُ لُقَطَةً يُعَرِّفُهُ الْوَاجِدُ حَوْلًا.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِنْ ضَرْبِ الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ لِوَاجِدِهِ ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ وَاجِدِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّكَاةِ أَوْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الزَّكَاةِ فَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الزَّكَاةِ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الزَّكَاةِ فَإِنْ كَانَ الرِّكَازُ نِصَابًا فَفِيهِ الْخُمُسُ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ فَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ، وَالْإِمْلَاءِ إَِنَّهُ لَا شَيْءَ فِيهِ كَالْمُسْتَفَادِ مِنَ الْمَعْدِنِ وَقَدْ حَكَى عَنْهُ فِي قَوْلٍ ثَانٍ: إِنَّ فِيهِ الْخُمُسَ، وَلَوْ كَانَ فَخَّارًا وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وأحد الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ مَالِكٍ لِعُمُومِ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ ” فَأَمَّا الْحَوْلُ فَغَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي الرِّكَازِ، وَهُوَ إِجْمَاعُ أَهْلِ الْفَتْوَى فَإِنْ قِيلَ مَا الْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَعَادِنِ حَيْثُ اعتبر ثم الْحَوْلُ فِيهَا عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، قِيلَ: الصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ لَا يُعْتَبَرُ فِيهَا الْحَوْلُ كَالرِّكَازِ، وَلَكِنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا عَلَى الْقَوْلِ الْمُخَرَّجِ، أَنَّ الْمَعَادِنَ يَلْزَمُ فِيمَا يَسْتَأْنِفُ مِنْهَا مُؤْنَةٌ فَاعْتُبِرَ فِيهَا الْحَوْلُ رِفْقًا كَعُرُوضِ التِّجَارَاتِ، وَالرِّكَازُ نَمَاءٌ كَامِلٌ مِنْ غَيْرِ مُؤْنَةٍ لَازِمَةٍ فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ الْحَوْلُ كَالسِّخَالِ.
Salah satunya: berupa emas atau perak.
Yang kedua: berupa harta selain emas dan perak.
Jika berupa emas atau perak, maka terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: dari mata uang yang dicetak pada masa Islam, maka ia adalah luqaṭah yang wajib diumumkan oleh orang yang menemukannya selama setahun.
Kedua: dari mata uang yang dicetak pada masa jahiliah, maka ia menjadi milik orang yang menemukannya.
Kemudian keadaan orang yang menemukannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
Jika ia bukan termasuk orang yang wajib zakat, maka tidak ada kewajiban atasnya.
Namun jika ia termasuk orang yang wajib zakat, maka apabila rikāz tersebut mencapai niṣāb, wajib atasnya seperlima (khumus).
Jika kurang dari niṣāb, maka pendapat yang ṣaḥīḥ dalam mazhab al-Syāfi‘ī, dan yang dinyatakannya dalam al-Jadīd dan al-Imlā’, tidak ada kewajiban di dalamnya, sebagaimana harta yang diperoleh dari tambang. Namun dinukil darinya dalam satu pendapat lain bahwa wajib khumus, meskipun hanya berupa tembikar (fakhkhār)—dan ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah dan salah satu dari dua riwayat dari Mālik—karena keumuman sabda Nabi SAW: “Wa fī al-rikāzi al-khumuṣu” (Pada rikāz wajib khumus).
Adapun ḥaul, maka tidak diperhitungkan dalam rikāz—dan ini adalah ijma‘ para ahli fatwa.
Jika dikatakan: Apa perbedaan antara rikāz dan tambang, padahal dalam tambang ḥaul diperhitungkan menurut salah satu dari dua pendapat?
Dijawab: pendapat yang ṣaḥīḥ dalam mazhab al-Syāfi‘ī adalah bahwa ḥaul tidak diperhitungkan pada tambang sebagaimana pada rikāz. Namun perbedaan antara keduanya menurut pendapat yang ditarjih adalah bahwa dalam tambang dibutuhkan biaya yang terus-menerus, maka dipertimbangkan ḥaul-nya sebagai bentuk keringanan, sebagaimana barang dagangan. Sedangkan rikāz adalah pertambahan murni tanpa biaya yang terus-menerus, maka tidak dipertimbangkan ḥaul, sebagaimana halnya anak-anak hewan.
فَصْلٌ
: وَلَوْ كَانَتِ الْأَرْضُ مُحْيَاةً، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ عَامِرَةً.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ خَرَابًا فَإِنْ كَانَتْ عَامِرَةً، فَهُوَ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ مِلْكُ أربابها دون واجده، وإن كان خَرَابًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ جَاهِلِيَّةً.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ إِسْلَامِيَّةً فَإِنْ كَانَتْ جَاهِلِيَّةً عَادِيَّةً فَحُكْمُهُ حُكْمُ مَا وُجِدَ فِي الْمَوَاتِ يكون لواجده، كما أن من ضرب الجاهلية عليه الْخُمُسُ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الزَّكَاةِ، وَبَلَغَ نِصَابًا وَإِنْ كَانَتْ إِسْلَامِيَّةً فَعَلَى ضَرْبَيْنِ.
PASAL
Jika tanah itu muḥyāh (telah dihidupkan), maka ada dua bentuk:
Pertama: tanah itu ‘āmirah (berpenghuni dan dikelola).
Kedua: tanah itu kharāb (terbengkalai).
Jika tanah itu ‘āmirah, maka secara zhahir hukum kepemilikannya adalah milik pemilik tanah, bukan milik orang yang menemukannya.
Namun jika tanah itu kharāb, maka ada dua bentuk:
Pertama: tanah itu berasal dari masa jāhiliyyah.
Kedua: tanah itu islāmiyyah (milik kaum muslimin).
Jika tanah itu adalah tanah jāhiliyyah yang lama dan tak dikenal pemiliknya, maka hukumnya seperti harta yang ditemukan di tanah muwāt, yakni menjadi milik orang yang menemukannya. Dan jika berasal dari masa jāhiliyyah, maka dikenakan seperlima darinya jika orang yang menemukannya termasuk ahli zakat dan harta tersebut mencapai niṣāb.
Adapun jika tanah itu islāmiyyah, maka keadaannya terbagi dua
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُعْرَفَ أَرْبَابُهَا فَهُوَ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ مِلْكٌ لِأَرْبَابِهَا دُونَ وَاجِدِهِ كَالْعَامِرِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُعْرَفَ أَرْبَابُهَا فَهُوَ لِبَيْتِ الْمَالِ دُونَ الْوَاجِدِ لِأَنَّ وُجُودَهُ فِي مِلْكِ مُسْلِمٍ قَدْ أُجْرِيَ عَلَيْهِ فِي الْحُكْمِ مِلْكُ ذَلِكَ الْمُسْلِمِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْلِكَهُ الْوَاجِدُ، وَإِنْ جُهِلَ مَالِكُهُ فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ لُقَطَةً كَمَا كَانَ ضَرْبُ الْإِسْلَامِ لُقَطَةً قِيلَ ضَرْبُ الْإِسْلَامِ، وُجِدَ فِي غَيْرِ مِلْكٍ فَكَانَ لُقَطَةً وَهَذَا وُجِدَ فِي مِلْكٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ لُقَطَةً لِأَنَّهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ مِلْكٌ لِصَاحِبِ الْمِلْكِ، وَمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ إِطْلَاقِ اللَّفْظِ فَهُوَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّقْسِيمِ تشهد به أصول.
Salah satunya: apabila diketahui siapa pemiliknya, maka secara lahiriyah hukum benda itu adalah milik para pemiliknya, bukan milik orang yang menemukannya, seperti harta pada tanah yang sudah dibangun (‘āmir).
Yang kedua: apabila tidak diketahui siapa pemiliknya, maka benda itu menjadi milik Bayt al-Māl, bukan milik orang yang menemukannya. Karena keberadaannya di dalam kepemilikan seorang Muslim—yang secara hukum telah ditetapkan sebagai milik Muslim tersebut—maka tidak sah bagi orang yang menemukannya untuk memilikinya, sekalipun tidak diketahui siapa pemiliknya.
Jika dikatakan: Mengapa tidak dihukumi sebagai luqaṭah sebagaimana mata uang cetakan Islam yang dihukumi luqaṭah?
Dijawab: karena mata uang cetakan Islam ditemukan di tempat yang tidak dimiliki, maka ia menjadi luqaṭah. Sedangkan yang satu ini ditemukan di tempat yang dimiliki, maka tidak boleh dihukumi sebagai luqaṭah, karena secara lahiriyah ia merupakan milik pemilik tempat tersebut.
Dan apa yang disebutkan oleh al-Syāfi‘ī berupa redaksi yang bersifat umum, maka itu dipahami sesuai pembagian yang telah kami sebutkan—dan prinsip-prinsip dasar (uṣūl) fiqih pun mendukung hal itu.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا غَيْرُ بِلَادِ الْإِسْلَامِ، إِذَا وُجِدَ فِيهَا رِكَازٌ فَضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لِأَهْلِ الْعَهْدِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِأَهْلِ الْحَرْبِ فَإِنْ كَانَتْ لِأَهْلِ الْعَهْدِ فَحُكْمُ مَا وُجِدَ فِيهَا مِنَ الرِّكَازِ كَحُكْمِ مَا وُجِدَ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ، وَإِنْ كَانَتْ لِأَهْلِ الْحَرْبِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تُوجَدَ فِي مَوَاتِهِمْ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: فِي عَامِرِهِمْ فَإِنْ وُجِدَ فِي مَوَاتِهِمْ فَهُوَ رِكَازٌ يُؤْخَذُ خُمُسُهُ.
PASAL
Adapun selain negeri Islam, jika ditemukan rikāz di dalamnya, maka ada dua bentuk:
Pertama: berasal dari wilayah ahl al-‘ahd (kaum yang memiliki perjanjian damai).
Kedua: berasal dari wilayah ahl al-ḥarb (kaum yang memerangi kaum muslimin).
Jika rikāz tersebut milik ahl al-‘ahd, maka hukumnya sama dengan hukum rikāz yang ditemukan di negeri Islam.
Dan jika milik ahl al-ḥarb, maka terbagi menjadi dua bentuk:
Pertama: ditemukan di tanah muwāt (tanah mati) milik mereka.
Kedua: ditemukan di tanah ‘āmir (berpenghuni) milik mereka.
Jika ditemukan di tanah muwāt milik mereka, maka itu adalah rikāz yang wajib diambil seperlimanya.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَكُونُ رِكَازًا وَلَا يُؤْخَذُ خُمُسُهُ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْلُهُ ” وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ ” وَإِنْ وُجِدَ فِي عَامِرِهِمْ، فَهُوَ غَنِيمَةٌ يُؤْخَذُ خُمُسُهَا، وَلَا يَكُونُ رِكَازًا وَقَالَ أبو حنيفة يَكُونُ غَنِيمَةً، كَقَوْلِنَا لَكِنْ لَا يُؤْخَذُ خُمُسُهَا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ مَا غُنِمَ فِي وَجْهِ الْخُفْيَةِ مِنْ غَيْرِ إِمَامٍ لَمْ يُخَمَّسْ.
وَقَالَ أبو يوسف، وَأَبُو ثَوْرٍ: يَكُونُ رِكَازًا كَمَا لَوْ وُجِدَ فِي مَوَاتِهِمْ وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ مَا وُجِدَ فِي مَوَاتِهِمْ، رِكَازٌ لِلْجَهْلِ بِمُلَّاكِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَا وُجِدَ في عامرهم ركاز المعرفة مُلَّاكِهِ.
Abū Ḥanīfah berkata: itu dihukumi sebagai rikāz, tetapi tidak wajib diambil seperlimanya (khumus). Dalil atas pendapat ini adalah sabda Nabi SAW: “Wa fī al-rikāzi al-khumuṣu” (Pada rikāz wajib seperlima), dan apabila ditemukan di wilayah yang dihuni oleh mereka (‘āmirihim), maka ia adalah ghanīmah yang wajib diambil seperlimanya, dan tidak dihukumi sebagai rikāz.
Namun Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa ia adalah ghanīmah, sebagaimana pendapat kami, tetapi tidak diambil seperlimanya, berdasarkan kaidah dasar yang dianutnya bahwa harta rampasan yang diperoleh secara sembunyi-sembunyi tanpa perintah imām, tidak diwajibkan khumus.
Abū Yūsuf dan Abū Ṯawr berkata: itu dihukumi sebagai rikāz, sebagaimana bila ditemukan di tanah mati milik mereka. Namun ini adalah kesalahan, karena apa yang ditemukan di tanah mati mereka dihukumi sebagai rikāz karena tidak diketahui siapa pemiliknya, maka tidak sah menghukumi sesuatu yang ditemukan di daerah yang dihuni (‘āmir)—yang diketahui pemiliknya—sebagai rikāz.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَنْ مَلَكَ دَارًا فَوَجَدَ فِيهَا رِكَازًا فَهُوَ لَهُ إِنِ ادَّعَاهُ، لِأَنَّ يَدَهُ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَدَّعِهِ، فَهُوَ لِمَنْ مَلَكَ الدَّارَ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ قَدْ مَلَكَهَا بِمِيرَاثٍ، فَهُوَ مِلْكٌ لِجَمِيعِ الْوَرَثَةِ عَلَى فَرَائِضِ اللَّهِ تَعَالَى لَهُ مِنْهُ بِقَدْرِ إِرْثِهِ إِنِ ادَّعَاهُ، وَإِنْ أَنْكَرَهُ فَهُوَ لِمَنْ بَقِيَ مِنْ وَرَثَتِهِ إِنِ ادَّعَوْهُ، وَإِنْ أَنْكَرُوهُ فَهُوَ لِمَنْ مَلَكَ الْمَوْرُوثَ الدَّارَ عَنْهُ إِنْ كَانَ بَاقِيًا أو لورثته إِنْ كَانَ مَيِّتًا، فَإِنْ أَنْكَرُوهُ فَهُوَ لِمَنْ مَلَكُوا الدَّارَ عَنْهُ، هَكَذَا أَبَدًا وَإِنْ كَانَ قَدْ مَلَكَهَا بِابْتِيَاعٍ فَهُوَ لِلْبَائِعِ، إِنِ ادَّعَاهُ وَإِنْ أَنْكَرَهُ فَهُوَ لِمَنِ ابْتَاعَ الْبَائِعَ الدَّارَ عَنْهُ، إِنِ ادَّعَاهُ ثُمَّ كَذَلِكَ أَبَدًا.
PASAL
Adapun seseorang yang memiliki sebuah rumah lalu menemukan rikāz di dalamnya, maka rikāz itu miliknya jika ia mengakuinya, karena ia memiliki kekuasaan atasnya. Namun jika ia tidak mengakuinya, maka rikāz itu milik orang yang sebelumnya memiliki rumah tersebut.
Jika ia memilikinya melalui warisan, maka rikāz itu menjadi milik seluruh ahli waris sesuai bagian yang telah ditetapkan oleh Allah Ta‘ālā. Ia berhak atas bagian sesuai warisannya jika ia mengakuinya. Jika ia mengingkarinya, maka rikāz itu menjadi milik ahli waris lainnya jika mereka mengakuinya.
Jika mereka pun mengingkarinya, maka rikāz itu milik orang yang dahulu diwarisi darinya rumah tersebut, jika ia masih hidup, atau milik ahli warisnya jika ia telah wafat. Jika mereka pun mengingkarinya, maka rikāz itu milik orang yang telah mewariskan rumah itu kepada mereka — dan demikianlah seterusnya tanpa henti.
Jika kepemilikannya atas rumah itu didapat melalui jual beli, maka rikāz itu milik penjual jika ia mengakuinya. Dan jika ia mengingkarinya, maka rikāz itu milik orang yang menjual rumah tersebut kepada penjual, jika ia mengakuinya — dan demikian pula seterusnya tanpa henti.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَنِ اسْتَأْجَرَ دَارًا فَوَجَدَ فِيهَا رِكَازًا فَإِنِ ادَّعَاهُ مِلْكًا فَهُوَ لَهُ، لِأَنَّ يَدَهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ أَقَرَّ أَنَّهُ رِكَازٌ وَجَدَهُ فَهُوَ لِمَالِكِ الدَّارِ، إِنِ ادَّعَاهُ دُونَ الْمُسْتَأْجِرِ فَإِنِ اخْتَلَفَ الْمُسْتَأْجِرُ وَالْمَالِكُ الْمُؤْجِرُ فَقَالَ الْمُسْتَأْجِرُ هُوَ مِلْكِي كَنْتُ دَفَنْتُهُ فِي الدَّارِ، وَقَالَ الْمَالِكُ بَلْ كَانَ رِكَازًا وَجَدْتُهُ فِيهَا، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُسْتَأْجِرِ مَعَ يَمِينِهِ وَهُوَ لَهُ لِأَنَّهُ فِي يديه وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
PASAL
Adapun orang yang menyewa sebuah rumah lalu menemukan rikāz di dalamnya, maka jika ia mengklaim bahwa itu adalah miliknya, maka itu menjadi miliknya, karena benda tersebut berada dalam genggamannya. Namun jika ia mengakui bahwa itu adalah rikāz yang ia temukan, maka itu menjadi milik pemilik rumah, jika pemilik rumah mengklaimnya dan bukan si penyewa.
Apabila terjadi perselisihan antara penyewa dan pemilik rumah, yaitu si penyewa berkata, “Itu milikku, aku yang menguburkannya di rumah ini,” dan pemilik rumah berkata, “Itu adalah rikāz yang ditemukan di dalam rumah,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan si penyewa dengan sumpahnya, dan harta itu menjadi miliknya, karena berada dalam genggamannya.
Wallāhu a‘lam bi al-ṣawāb.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا مَنْ أَقْطَعَهُ الْإِمَامُ أَرْضًا فَظَهَرَ فِيهَا رِكَازٌ فَهُوَ لِمُقْطَعِ الأرض سواء كان هذا من الْوَاجِدُ أَوْ غَيْرُهُ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ الْأَرْضَ بِالْإِقْطَاعِ كما يملكها بالابتياع، وكذا من أحيى أَرْضًا مَوَاتًا فَظَهَرَ فِيهَا رِكَازٌ فَهُوَ لِمُحْيِي الأرض سواء كان هو الواجد أو غيره، لأنها ملك فَهَذَا الْكَلَامُ فِي اخْتِلَافِ الرِّكَازِ وَمَوَاضِعِهِ.
PASAL
Adapun seseorang yang diberikan sebidang tanah oleh imam (iqṭā‘), lalu ditemukan di dalamnya rikāz, maka rikāz itu menjadi milik orang yang diberi tanah, baik yang menemukannya adalah dia sendiri maupun orang lain. Karena ia memiliki tanah tersebut melalui iqṭā‘, sebagaimana ia memilikinya melalui pembelian.
Demikian pula, siapa saja yang menghidupkan tanah muwāt lalu ditemukan di dalamnya rikāz, maka rikāz itu menjadi milik orang yang menghidupkan tanah tersebut, baik yang menemukannya adalah dia maupun orang lain, karena tanah itu adalah miliknya.
Maka inilah pembahasan tentang perbedaan jenis rikāz dan tempat-tempatnya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا اخْتِلَافُ حَالِ الْوَاجِدِ، فَهُوَ لِكُلِّ مَنْ وَجَدَهُ مِنْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ بَالِغٍ أَوْ غَيْرِ بَالِغٍ عَاقِلٍ، أَوْ مَجْنُونٍ مَحْجُورٍ عَلَيْهِ، أَوْ غَيْرِ مَحْجُورٍ عَلَيْهِ.
وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ: لَا يَمْلِكُ الرِّكَازَ إِلَّا رَجُلٌ عَاقِلٌ فَأَمَّا المرأة أو الصبي أو المجنون، فَلَا يَمْلِكُونَهُ وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ الرِّكَازَ كَسْبٌ لِوَاجِدِهِ كَاكْتِسَابِهِ بِالِاصْطِيَادِ وَغَيْرِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِي تَمَلُّكِهِ الرَّجُلُ، وَالْمَرْأَةُ وَالصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ كَمَا يَسْتُوُونَ فِي الِاصْطِيَادِ وَالِاحْتِشَاشِ، وَإِذَا مَلَكُوهُ فَعَلَيْهِمْ خُمُسُهُ لِأَنَّهُمْ مِمَّنْ تَجِبُ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ.
PASAL
Adapun perbedaan keadaan orang yang menemukan, maka rikāz menjadi milik siapa saja yang menemukannya, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah balig ataupun belum, berakal ataupun gila, yang sedang berada dalam status ḥajr (dibatasi hak kelola) maupun tidak.
Sufyān al-Ṯawrī berkata: rikāz tidak dimiliki kecuali oleh laki-laki yang berakal. Adapun perempuan, anak kecil, atau orang gila, maka mereka tidak memilikinya.
Ini adalah kesalahan, karena rikāz adalah hasil perolehan seperti halnya hasil berburu dan yang lainnya, maka sudah seharusnya dalam kepemilikannya disamakan antara laki-laki, perempuan, anak kecil, dan orang gila, sebagaimana mereka semua juga disamakan dalam hal perburuan dan pengambilan dari alam (iḥtisyaś).
Apabila mereka memilikinya, maka wajib atas mereka mengeluarkan seperlima (khumus), karena mereka termasuk orang yang wajib zakat.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْعَبْدُ إِذَا وَجَدَ رِكَازًا فَهُوَ لِسَيِّدِهِ، لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ كَسْبِهِ وَعَلَى السَّيِّدِ إِخْرَاجُ خُمُسِهِ، وَحُكِيَ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ وَالثَّوْرِيِّ، وَأَبِي عُبَيْدٍ، أن الإمام يرضخ للعبد فيه وَلَا يُعْطِيهِ كُلَّهُ وَمَا ذَكَرْنَا أَصَحُّ لِأَنَّهُ كسب كالاصطياد وكذا المدبر، والمعتق بصفقه، فَأَمَّا الْمُكَاتَبُ إِذَا وَجَدَ رِكَازًا فَهُوَ لَهُ دون سيده لأنه أملك لكسب نفسه، فلا زكاة عليه ولأنه ممن لا يلزمه زكاة ماله.
PASAL
Adapun seorang budak yang menemukan rikāz, maka rikāz itu milik tuannya, karena ia termasuk bagian dari hasil usaha budak tersebut. Maka wajib bagi tuan budak untuk mengeluarkan seperlimanya.
Diriwayatkan dari al-Awzā‘ī, ats-Tsaurī, dan Abū ‘Ubayd bahwa imam memberikan bagian kecil (raḍkh) kepada budak dari rikāz tersebut dan tidak memberikannya seluruhnya. Namun pendapat yang kami sebutkan lebih shahih, karena itu termasuk hasil usaha, seperti berburu.
Demikian pula hukum bagi mudabbir dan mu‘taq bi ṣafqah.
Adapun seorang mukātab jika menemukan rikāz, maka rikāz itu miliknya, bukan milik tuannya, karena ia lebih berhak atas hasil usahanya sendiri. Maka tidak ada zakat atasnya, karena ia termasuk orang yang tidak wajib membayar zakat atas hartanya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْكَافِرُ إِذَا وَجَدَ رِكَازًا فَهُوَ لَهُ، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ كَمَا قُلْنَا فِي الْمَعَادِنِ وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَقُولُ الْكَافِرُ لَا يَمْلِكُ الرِّكَازَ، وَلَا الْمَعْدِنَ كَمَا لَا يَمْلِكُ الْإِحْيَاءَ وَقَدْ ذَكَرْنَا الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا مَعَ أَنَّ تَمَلُّكَهُ لِلرِّكَازِ أَقْوَى لِأَنَّهُ يُؤْخَذُ خِلْسَةً.
PASAL
Adapun orang kafir, apabila menemukan rikāz, maka itu menjadi miliknya dan tidak ada kewajiban atasnya, sebagaimana yang telah kami sebutkan pada tambang.
Sebagian dari ulama mazhab kami berkata: orang kafir tidak memiliki rikāz dan tidak pula tambang, sebagaimana ia tidak memiliki hak menghidupkan tanah mati.
Namun kami telah menyebutkan perbedaan antara keduanya, bahkan kepemilikan orang kafir terhadap rikāz itu lebih kuat, karena rikāz diperoleh dengan cara sembunyi-sembunyi.
فَصْلٌ
: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الرِّكَازَ الَّذِي يَمْلِكُهُ وَاجِدُهُ مَا جَمَعَ وَصْفَيْنِ أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِنْ ضَرْبِ الْجَاهِلِيَّةِ، وَذَلِكَ مَشْهُورٌ بِمَا عَلَيْهِ مِنَ الصُّوَرِ وَأَمَّا مَا كَانَ مَنْ ضَرْبِ الْإِسْلَامِ فَلَا يَكُونُ رِكَازًا فَلَوِ اشْتَبَهَ ضَرْبُ الْجَاهِلِيَّةِ وضرب الإسلام أو كانت يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ جَاهِلِيَّةً، وَيَجُوزُ أَنْ تَكُونَ إِسْلَامِيَّةً فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وهو قول البصريين تكون ركازاً، وحكوه عَنِ الشَّافِعِيِّ نَصًّا لِأَنَّ الْإِسْلَامَ طَارِئٌ فَلَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ إِلَّا بِيَقِينٍ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ يَكُونُ لُقَطَةً وَلَا يَكُونُ رِكَازًا وَحَكَوْهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ نَصًّا لِأَنَّهُ مَمْلُوكٌ فَلَا يُسْتَبَاحُ، إِلَّا بِيَقِينٍ فَهَذَا أَحَدُ الْوَصْفَيْنِ.
PASAL
Telah kami sebutkan bahwa rikāz yang menjadi milik orang yang menemukannya adalah apa yang terpenuhi padanya dua sifat:
Pertama: berasal dari masa jāhiliyyah,
dan hal itu dapat dikenali secara jelas dari gambar-gambar (tanda-tanda) yang ada padanya.
Adapun jika berasal dari masa Islam, maka itu bukan rikāz.
Jika harta tersebut samar, apakah termasuk dari masa jāhiliyyah atau dari masa Islam, atau memungkinkan keduanya — bisa jadi jāhiliyyah dan bisa jadi Islam — maka para sahabat kami berselisih padanya menjadi dua wajah:
Pertama: yaitu pendapat ulama Baṣrah, bahwa itu tetap dihukumi sebagai rikāz, dan mereka menisbatkannya sebagai teks dari asy-Syāfi‘i, karena Islam datang belakangan sehingga tidak ditetapkan hukumnya kecuali dengan keyakinan (yaqīn).
Wajah kedua: yaitu pendapat ulama Baghdād, bahwa ia adalah luqaṭah (barang temuan) dan bukan rikāz, dan mereka juga menisbatkannya sebagai teks dari asy-Syāfi‘i, karena ia adalah harta milik yang tidak boleh diambil kecuali dengan keyakinan (yaqīn).
Maka ini adalah salah satu dari dua sifat yang menjadikan harta itu rikāz.
وَالْوَصْفُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَدْفُونًا فِي أَرْضِ مَوَاتٍ فَإِنْ كَانَ ظَاهِرًا غَيْرَ مَدْفُونٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ السَّيْلَ قَدْ أَظْهَرَهُ لِأَنَّهُ كَانَ فِي مَجْرَى السَّيْلِ، أَوْ كَانَ عَلَى شَفِيرِ وَادٍ فَهَذَا رِكَازٌ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ظَاهِرًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُظْهِرَهُ السَّيْلُ، فَهَذَا لُقَطَةٌ وَلَا يَكُونُ رِكَازًا فَلَوْ شك هل أظهره السيل أم لا؟ كمن شَكَّ هَلْ هُوَ مِنْ ضَرْبِ الْجَاهِلِيَّةِ، أَمْ لَا فَيَكُونُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَكُونُ رِكَازًا.
وَالثَّانِي: لُقَطَةً.
Dan sifat yang kedua: yaitu bahwa rikāz itu dikubur di tanah mati (arḍ mītat).
Jika ia tampak di permukaan dan tidak terkubur, maka terbagi menjadi dua keadaan:
Pertama: diketahui bahwa air bah yang menampakkannya, karena ia berada di aliran air bah atau di tepi lembah. Maka ini dihukumi sebagai rikāz.
Kedua: ia tampak bukan karena disebabkan oleh air bah, maka ini dihukumi sebagai luqaṭah dan bukan rikāz.
Jika ragu apakah itu ditampakkan oleh air bah atau tidak—sebagaimana ragu apakah itu dari masa jahiliah atau bukan—maka terdapat dua pendapat:
Pertama: dihukumi sebagai rikāz.
Kedua: dihukumi sebagai luqaṭah.
فَصْلٌ
: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ النِّصَابَ مُعْتَبَرٌ فِي الرِّكَازِ عَلَى الصَّحِيحِ، مِنَ الْمَذْهَبِ وَعَلَيْهِ يَقَعُ التَّفْرِيعُ فِي الْمَسَائِلِ، فَإِذَا كَانَ الرِّكَازُ نِصَابًا، وَكَانَ وَاجِدُهُ حُرًّا مُسْلِمًا فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ خُمُسِهِ، وَإِنْ كَانَ دُونَ النِّصَابِ فَلَا يخل حَالُ وَاجِدِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يَمْلِكَ تَمَامَ النِّصَابِ.
أَوْ لَا يَمْلِكَ فَإِنْ لَمْ يَمْلِكْ تَمَامَ النِّصَابِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، فِي هَذَا الرِّكَازِ وَإِنْ مَلَكَ تَمَامَ النِّصَابِ فعلى ثلاثة أقسام:
PASAL
Telah kami sebutkan bahwa niṣāb (batas minimal harta) diperhitungkan dalam rikāz menurut pendapat yang ṣaḥīḥ dalam mazhab, dan atas dasar inilah berbagai cabang masalah diturunkan.
Maka apabila rikāz tersebut mencapai niṣāb, dan orang yang menemukannya adalah seorang Muslim merdeka, maka ia wajib mengeluarkan seperlimanya.
Namun jika rikāz itu kurang dari niṣāb, maka keadaan orang yang menemukannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
- Ia memiliki sempurna niṣāb, atau
- Ia tidak memilikinya.
Jika ia tidak memiliki sempurna niṣāb, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya dari rikāz ini.
Namun jika ia memiliki sempurna niṣāb, maka terdapat tiga rincian…
أحدهما: أَنْ يَجِدَ الرِّكَازَ عِنْدَ تَمَامِ الْحَوْلِ عَلَى ما كان بيده كأن كَانَ يَمْلِكُ مِائَةَ دِرْهَمٍ قَدْ حَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ بِأَنِ اشْتَرَى بِمِائَةِ دِرْهَمٍ سِلْعَةً لِلتِّجَارَةِ ثُمَّ حَالَ حَوْلُهَا وَوَجَدَ مِائَةَ دِرْهَمٍ رِكَازًا حِينَ حَالَ الْحَوْلُ فَهَذَا يَضُمُّ الرِّكَازَ إِلَى ما كان بيده ويزكيها فَيُخْرِجُ مِنَ الرِّكَازِ الْخُمُسَ، وَمِمَّا كَانَ بِيَدِهِ رُبْعَ الْعُشْرِ لِأَنَّ الرِّكَازَ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى حَوْلٍ، وَمَا كَانَ بِيَدِهِ قَدْ حَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ، وَقَدْ بَلَغَا نِصَابًا فَصَارَ تَقْدِيرُهُمَا تَقْدِيرَ نِصَابٍ حَالَ حَوْلُهُ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَجِدَ الرِّكَازَ قَبْلَ حُلُولِ الْحَوْلِ عَلَى الْمِائَةِ الَّتِي بِيَدِهِ، فَهَذَا لَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي الرِّكَازِ وَيَضُمُّهُ إِلَى الْمِائَةِ الَّتِي كَانَتْ بِيَدِهِ، وَيَسْتَقْبِلُ بِهِمَا الْحَوْلَ لِأَنَّهُمَا تَمَّا نِصَابًا فَإِذَا حَالَ الْحَوْلُ أَخْرَجَ مِنْهَا الزَّكَاةَ رُبْعَ الْعُشْرِ.
Salah satunya: apabila seseorang menemukan rikāz bersamaan dengan sempurnanya ḥaul (satu tahun haul) atas harta yang ada di tangannya—misalnya ia memiliki seratus dirham yang telah berlalu ḥaul-nya, lalu ia membeli barang dagangan dengan seratus dirham tersebut, kemudian berlalu ḥaul atas barang dagangan itu, dan ia menemukan seratus dirham rikāz tepat ketika ḥaul itu sempurna—maka ia menggabungkan rikāz itu dengan harta yang ada di tangannya dan mengeluarkan zakatnya: ia mengeluarkan khumus dari rikāz, dan seperempat puluh (¼/10) dari harta yang ada di tangannya. Karena rikāz tidak disyaratkan ḥaul, sedangkan harta yang di tangannya telah sempurna ḥaul-nya, dan keduanya telah mencapai niṣāb, maka keduanya dihukumi sebagai niṣāb yang telah sempurna ḥaul-nya.
Bagian yang kedua: apabila ia menemukan rikāz sebelum sempurnanya ḥaul atas seratus dirham yang ada di tangannya, maka tidak ada kewajiban zakat atas rikāz, dan ia menggabungkannya dengan seratus dirham yang telah ada di tangannya, lalu memulai ḥaul atas keduanya. Maka jika telah berlalu ḥaul, ia mengeluarkan zakat dari keduanya sebesar seperempat puluh (¼/10).
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَجِدَ الرِّكَازَ بَعْدَ حَوْلِ الْمِائَةِ فَهَذَا حُكْمُ مَنْ مَعَهُ عَرَضٌ لِلتِّجَارَةِ حَالَ حَوْلُهُ، وَقِيمَتُهُ دُونَ النِّصَابِ ثُمَّ زَادَتْ قِيمَتُهُ بَعْدَ الْحَوْلِ ثُمَّ بَلَغَتْ نِصَابًا فَيَكُونُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَصَحُّهُمَا: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَيَسْتَأْنِفُ لَهُمَا الحول من حين تما نصاباً، فإن حَالَ حَوْلُهُمَا أَخْرَجَ زَكَاتَهُمَا رُبْعَ الْعُشْرِ.
Dan bagian ketiga: yaitu seseorang menemukan rikāz setelah sempurnanya haul seratus (dirham). Maka hukumnya seperti orang yang memiliki barang dagangan, telah berlalu haul atasnya, namun nilainya masih di bawah niṣāb, lalu nilainya meningkat setelah haul dan mencapai niṣāb.
Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Yang paling ṣaḥīḥ: tidak ada kewajiban apa pun atasnya, dan ia memulai hitungan haul dari saat nilainya sempurna menjadi niṣāb. Maka apabila telah berlalu haul atas keduanya (yakni harta yang lama dan tambahan yang baru) setelah mencapai niṣāb, ia wajib mengeluarkan zakat keduanya sebesar seperempat puluh (rubu‘ al-‘usyri).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ كَوُجُودِهِ عِنْدَ الْحَوْلِ فَيَضُمَّهُمَا وَيُخْرِجَ مِنَ الرِّكَازِ الْخُمُسَ، وَمِمَّا كَانَ بِيَدِهِ ربع العشر فلو وجد ماية دِرْهَمٍ رِكَازًا وَهُوَ لَا يَمْلِكُ غَيْرَهَا، ثُمَّ وَجَدَ بَعْدَ يَوْمٍ مِائَةَ دِرْهَمٍ رِكَازًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِيمَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الأم ويستأنف لها الْحَوْلَ مِنْ حِينِ وَجَدَ الْمِائَةَ الثَّانِيَةَ، فَإِذَا حَالَ الْحَوْلُ أَخْرَجَ زَكَاتَهَا رُبْعَ الْعُشْرِ.
Wajah yang kedua: yaitu dihukumi seperti menemukan rikāz bersamaan dengan sempurnanya ḥaul, maka ia menggabungkannya dan mengeluarkan khumus dari rikāz, serta seperempat puluh (¼/10) dari harta yang ada di tangannya.
Seandainya ia menemukan seratus dirham rikāz dan ia tidak memiliki selain itu, lalu setelah satu hari ia menemukan lagi seratus dirham rikāz, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya—sebagaimana dinyatakan oleh al-Syāfi‘ī dalam al-Umm—dan ia memulai ḥaul atas yang kedua sejak waktu ia menemukannya. Maka apabila telah berlalu ḥaul, ia mengeluarkan zakatnya sebesar seperempat puluh (¼/10).
فَصْلٌ
: إِذَا وَجَدَ رَجُلٌ رِكَازًا فَأَخْرَجَ خُمُسَهَ ثُمَّ أقام رجل البينة أنه ملكه فللمقيم الْبَيِّنَةَ اسْتِرْجَاعُ الرِّكَازِ مِنْ وَاجِدِهِ مَعَ مَا أَخْرَجَهُ الْوَاجِدُ مِنْ خُمُسِهِ، وَلِلْوَاجِدِ أَنْ يَرْجِعَ بِالْخُمُسِ عَلَى الْوَالِي إِنْ كَانَ قَدْ دَفَعَهُ إِلَيْهِ، وَلِلْوَالِي أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ إِنْ كَانَ بَاقِيًا فِي أَيْدِيهِمْ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَاقِيًا فِي أَيْدِيهِمْ أَوْ كَانَ قَدْ تَلِفَ فِي يَدِ الْوَالِي بِغَيْرِ تَفْرِيطٍ ضمنه في مال الزكاة وَإِنْ تَلِفَ فِي يَدِهِ بِتَفْرِيطٍ أَوْ خِيَانَةٍ ضَمِنَهُ فِي مَالِهِ.
PASAL
Apabila seseorang menemukan rikāz lalu ia mengeluarkan seperlimanya, kemudian datang seseorang lain yang mendatangkan bukti bahwa rikāz itu adalah miliknya, maka orang yang mendatangkan bukti berhak untuk mengambil kembali rikāz tersebut dari orang yang menemukannya, beserta seperlima yang telah dikeluarkan oleh si penemu.
Adapun penemu, ia berhak menuntut kembali seperlima yang telah ia keluarkan kepada wali (penguasa), jika memang ia telah menyerahkannya.
Wali pun berhak menuntut kembali seperlima itu dari para penerima bagian (ahl as-suhmān), jika masih ada pada mereka.
Namun jika tidak tersisa lagi di tangan mereka, atau telah rusak ketika masih berada di tangan wali tanpa kelalaian, maka wali menggantinya dari harta zakat.
Tetapi jika rusaknya disebabkan oleh kelalaian atau pengkhianatan wali, maka ia wajib menggantinya dari hartanya sendiri.
فَصْلٌ
: الْخُمُسُ الْوَاجِبُ فِي الرِّكَازِ، وَمَا يَجِبُ فِي الْمَعَادِنِ يُصْرَفُ مَصْرِفَ الصَّدَقَاتِ فِي أَهْلِ السُّهْمَانِ.
وَقَالَ أبو حنيفة: يُصْرَفَانِ فِي أَهْلِ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ لِأَنَّهُ مَالٌ يَجِبُ فِيهِ الْخُمُسُ كَالْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ.
وَقَالَ أَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ وَأَبُو حَفْصِ بْنُ الْوَكِيلِ: حَقُّ الْمَعَادِنِ يُصْرَفُ فِي أَهْلِ الصَّدَقَاتِ وَخُمُسُ الرِّكَازِ يُصْرَفُ فِي أَهْلِ الْفَيْءِ، لِأَنَّهُ واصل من جهة مشرك والدلالة عليهم قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ ” وَحَدِيثُ بِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ الْمُزَنِيِّ وَقَدْ مَضَى وَلِأَنَّ الِاعْتِبَارَ فِي الْمَعْدِنِ، وَالرِّكَازِ بِوَاجِدِهِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لو وجد مُكَاتَبٌ أَوْ ذَمِّيٌّ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ شَيْءٌ، وَإِذَا كَانَ الِاعْتِبَارُ بِوَاجِدِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يصرف مصرف الفيء، لأن واجده مسلم وأوجب أَنْ يُصْرَفَ خُمُسُهُ مَصْرِفَ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ لِأَنَّهُ وَاصِلٌ مِنْ جِهَةِ مُشْرِكٍ لَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْلِكَ الْوَاجِدُ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ، لِيُصْرَفَ فِي أَهْلِ الفيء والغنيمة ولوجب التَّوَقُّفُ عَنْ تَمَلُّكِهِ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ لِمَنْ لَمْ تَبْلُغْهُ الدَّعْوَةُ فَلَا يَحِلُّ تَمَلُّكُهُ، وَفِيمَا ذكرنا بطلان ما اعتبروه وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
PASAL
Seperlima (khumus) yang wajib dalam rikāz dan zakat yang wajib pada hasil tambang disalurkan kepada penerima ṣadaqāt, yaitu orang-orang yang memiliki hak bagian (ahl al-suhmān).
Abū Ḥanīfah berpendapat: keduanya disalurkan kepada ahl al-fay’ dan ahl al-ghanīmah, karena itu adalah harta yang wajib diambil seperlimanya, seperti fay’ dan ghanīmah.
Abū Ibrāhīm al-Muzanī dan Abū Ḥafṣ ibn al-Wakīl berkata: hak dari tambang disalurkan kepada ahl al-ṣadaqāt, sedangkan seperlima dari rikāz disalurkan kepada ahl al-fay’, karena ia berasal dari orang musyrik. Dalil atas hal itu adalah sabda Nabi SAW: “Laysa fī al-māl ḥaqqun siwā al-zakāh” (Tidak ada hak dalam harta kecuali zakat), dan juga hadits Bilāl ibn al-Ḥārith al-Muzanī yang telah disebutkan sebelumnya.
Selain itu, karena yang menjadi dasar dalam ma‘dan dan rikāz adalah orang yang menemukannya, sebagaimana terbukti bahwa jika yang menemukannya adalah seorang mukātab atau dzimmī, maka tidak wajib apa pun atasnya. Dan apabila yang dijadikan dasar adalah orang yang menemukannya, maka tidak sah disalurkan ke saluran fay’, karena orang yang menemukannya adalah seorang Muslim.
Jika wajib disalurkan ke saluran fay’ dan ghanīmah karena asal-usulnya dari orang musyrik, maka seharusnya tidak boleh bagi orang yang menemukannya memiliki empat perlima darinya, dan wajib seluruhnya disalurkan kepada ahl al-fay’ wa al-ghanīmah. Maka juga seharusnya ditangguhkan status kepemilikannya, karena bisa jadi harta tersebut milik orang yang belum sampai dakwah Islam kepadanya, sehingga tidak halal dimiliki.
Dengan uraian tersebut, batallah apa yang dijadikan sandaran oleh pihak yang menyelisihi. Wallāhu a‘lam bi al-ṣawāb.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” قَالَ اللَّهُ تبارك وتعالى لنبيه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – {خُذْ مِنْ أمْوِالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيِْهِمْ إنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ) {التوبة: 103) (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَالصَلَاةُ عَلَيْهِمُ الدُّعَاءُ لَهُمْ عِنْدَ أَخْذِ الصَّدَقَةِ مِنْهُمْ فَحَقٌّ عَلَى الْوَالِي إِذَا أَخَذَ صَدَقَةَ امرئٍ أَنْ يَدْعُوَ لَهُ وَأُحِبُّ أَنْ يَقُولَ ” آجَرَكَ اللَّهُ فِيمَا أَعْطَيْتَ وَجَعَلَهُ طهوراً لك وَبَارَكَ لَكَ فِيمَا أَبْقَيْتَ “.
PASAL: Apa yang Diucapkan oleh Petugas Zakat ketika Mengambil Zakat dari Orang yang Menunaikannya
Imam al-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: “Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman kepada Nabi-Nya SAW: {Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman bagi mereka} (QS at-Tawbah: 103).
(Imam al-Syafi‘i berkata:) Shalat atas mereka adalah doa untuk mereka ketika mengambil zakat dari mereka. Maka menjadi kewajiban bagi penguasa, ketika mengambil zakat seseorang, untuk mendoakannya. Dan aku menyukai bila ia mengucapkan: “Ājaraka Allāhu fīmā a‘ṭayta, wa ja‘alahu ṭahūran laka, wa bāraka laka fīmā abqayta” (Semoga Allah memberimu pahala atas apa yang engkau berikan, menjadikannya sebagai pensuci bagimu, dan memberkahi apa yang engkau sisakan).
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صحيح.
يختار الوالي الصَّدَقَاتِ أَنْ يَدْعُوَ لِأَرْبَابِهَا إِذَا أَخَذَهَا مِنْهُمْ لقوله تعالى: {خُذْ مِنْ أمْوَالِهِمْ} إِلَى قَوْلِهِ {سَكَنٌ لَهُمْ) {التوبة: 103) مَعْنَاهُ وَادْعُ لهم إن دعوتك سكن لهم وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِصَدَقَاتِ قَوْمِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ لي فقال الله صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَثْنَى عَلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ وَشَكَرَهُمْ وَذَمَّ أَهْلَ الْجِزْيَةِ وَأَغْلَظَ لَهُمُ فَوَجَبَ أَنْ يُتَأَسَّى بِأَفْعَالِهِ فِي الْفَرِيقَيْنِ لِيَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ مَا أُخِذَ مِنَ الزَّكَاةِ طَهُورًا، وَبَيْنَ مَا أُخِذَ مِنَ الْجِزْيَةِ صَغَارًا وَإِذَا كَانَ هَذَا وَاضِحًا فَقَدْ حُكِيَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ أَنَّهُ أَوْجَبَ عَلَى الْوَالِي الدُّعَاءَ لِرَبِّ الْمَالِ عِنْدَ أَخْذِ الصَّدَقَةِ مِنْهُ، احْتِجَاجًا بِمَا ذَكَرْنَا سَوَاءٌ سَأَلَهُ رَبُّ الْمَالِ الدُّعَاءَ لَهُ أَمْ لَا، وَلَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا أَنَّهُ مَتَى لَمْ يَسَلْ رَبُّ الْمَالِ الدُّعَاءَ لَهُ فَلَيْسَ عَلَى الْوَالِي أَنْ يَدْعُوَ لَهُ، لِأَنَّ رَبَّ الْمَالِ يَدْفَعُ الزَّكَاةَ مُؤَدٍّ لِعِبَادَةٍ وَاجِبَةٍ، وَذَلِكَ لَا يُوجِبُ عَلَى غَيْرِهِ الدُّعَاءَ لَهُ كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ، فَأَمَّا إِذَا سَأَلَهُ رَبُّ الْمَالِ الدُّعَاءَ لَهُ فَفِي وُجُوبِهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا يُسْتَحَبُّ، وَلَا يَجِبُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ لِمَا ذَكَرْنَا، وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَاجِبٌ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْأَمْرِ فِي الْآيَةِ.
berkata al-Māwardī: dan ini benar.
Disunnahkan bagi walī yang memungut ṣadaqāt untuk mendoakan pemiliknya ketika mengambilnya dari mereka, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Khud min amwālihim…} hingga firman-Nya: {…sakanun lahum} (at-Taubah: 103), maknanya adalah: berdoalah untuk mereka, karena doamu menjadi ketenangan bagi mereka.
Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Abī Awfā, ia berkata: Aku datang kepada Rasulullah SAW membawa ṣadaqāt kaumku, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, doakanlah aku.” Maka beliau bersabda: “Allāhumma ṣalli ‘alā āli Abī Awfā.”
Dan karena Allah Ta‘ālā telah memuji para pemilik ṣadaqāt dan mensyukuri mereka, serta mencela para pembayar jizyah dan mengeraskan terhadap mereka, maka wajib meneladani perbuatan Nabi terhadap kedua golongan itu, agar tampak perbedaan antara apa yang diambil dari zakāt sebagai pensucian, dan antara apa yang diambil dari jizyah sebagai bentuk kehinaan.
Jika hal ini telah jelas, maka telah diriwayatkan dari Dāwud bin ‘Alī bahwa ia mewajibkan bagi walī untuk mendoakan pemilik harta ketika mengambil ṣadaqah darinya, sebagai hujjah atas apa yang telah kami sebutkan, baik pemilik harta meminta doa maupun tidak.
Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara aṣḥāb kami bahwa apabila pemilik harta tidak meminta doa, maka tidak wajib bagi walī untuk mendoakannya, karena pemilik harta menyerahkan zakāt sebagai pelaksanaan ‘ibādah yang wajib, dan hal itu tidak mewajibkan orang lain untuk mendoakannya seperti halnya ‘ibādah yang lain.
Adapun apabila pemilik harta meminta doa darinya, maka dalam kewajiban mendoakannya terdapat dua pendapat:
pertama, disunnahkan dan tidak wajib, dan ini yang lebih aẓhar berdasarkan apa yang telah kami sebutkan;
dan pendapat kedua: wajib, berdasarkan perintah dalam ayat yang telah kami kemukakan.
فَصْلٌ
: وَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ دُعَاءُ الْوَالِي، لِأَرْبَابِ الْأَمْوَالِ مَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ آجَرَكَ اللَّهُ فما أعطيت، وجعله لك طهور أو بارك لَكَ فِيمَا أَبْقَيْتَ، وَلَوْ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عليهم لَمْ يَكُنْ بِهِ بَأْسٌ لِأَنَّ ذَلِكَ ظَاهِرُ الْكِتَابِ، وَنَصُّ السُّنَّةِ، وَقَالَ أَهْلُ التَّفْسِيرِ الصَّلَاةُ من الله الرحمة ومن الملائكة الاستغفار وَمِنَ الْمُؤْمِنِينَ الدُّعَاءُ وَقَالَ كَثِيرٌ:
(صَلَّى عَلَى غرة الرَّحْمَنُ وَابْنَتِهَا لَيْلَى … وَصَلَّى عَلَى جَارَاتِهَا الْأُخَرِ)
PASAL
Wajib bagi penguasa (petugas zakat) untuk mendoakan para pemilik harta sebagaimana yang disebutkan oleh al-Syafi‘i, yaitu dengan mengucapkan: Ājarakallāhu fīmā a‘ṭayta, wa ja‘alahu laka ṭahūr(an), aw bāraka laka fīmā abqayta (Semoga Allah membalasmu atas apa yang engkau berikan, menjadikannya sebagai pensuci untukmu, atau memberkahi apa yang engkau sisakan).
Dan jika ia mengucapkan: Allāhumma ṣalli ‘alaihim (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada mereka), maka hal itu tidak mengapa, karena itulah yang tampak dari al-Kitab (al-Qur’an) dan nash as-Sunnah.
Ahli tafsir berkata: shalat dari Allah adalah rahmat, dari para malaikat adalah istighfar, dan dari kaum mukminin adalah doa.
Banyak pula yang mengatakan:
“Ṣallā ‘alā ghurrati ar-Raḥmāni wabnati-hā Laylā … wa ṣallā ‘alā jārāti-hā al-ukhar”
(Allah melimpahkan shalawat kepada bintang terang ar-Rahman dan putrinya Layla … dan melimpahkan shalawat kepada para tetangganya yang lain).
قال الشَّافِعِيُّ: وَقَدْ كَانَ طَاوُسٌ وَالِيًا عَلَى صَدَقَاتِ بَعْضِ الْبِلَادِ فَكَانَ يَقُولُ أَدُّوا زَكَاتَكُمْ رَحِمَكُمُ اللَّهُ لَا يَزِيدُ عَلَى هَذَا فَإِذَا دَفَعُوهَا إِلَيْهِ فَرَّقَهَا عَلَى مَسَاكِينِهِمْ، وَمَنْ وَلَّى مِنْهُمْ لَمْ يَقُلْ لَهُ هَلُمَّ، وَلَا ارْجِعْ وَيَنْبَغِي لِأَرْبَابِ الْأَمْوَالِ أَنْ يُؤَدُّوا زَكَوَاتِ أَمْوَالِهِمْ طَيِّبَةً بِهَا نُفُوسُهُمْ، كَمَا وَرَدَ الْخَبَرُ وَلَا يُدَافِعُوا الْوَالِيَ بِهَا إِذَا كَانَ عَدْلًا فَيُحْوِجُوهُ إِلَى الغلظة في أخذها، والخروج عما وصفت لَهُ مِنَ الْمُوَاسَاةِ بِهَا، فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا أَتَاكُمْ فَلَا يُفَارِقُكُمْ إِلَّا عن رضاً “.
berkata asy-Syāfi‘ī: Sungguh Ṭāwūs pernah menjadi walī atas ṣadaqāt di sebagian wilayah, lalu ia berkata: “Tunaikanlah zakāt kalian, semoga Allah merahmati kalian,” dan ia tidak menambah selain ucapan itu. Jika mereka telah menyerahkannya kepadanya, ia membagikannya kepada para masākīn mereka. Dan siapa pun yang menjadi wālī dari kalangan mereka, ia tidak berkata kepadanya: “Kemarilah,” dan tidak pula: “Kembalilah.”
Dan seyogianya bagi para pemilik harta untuk menunaikan zakāt harta mereka dengan hati yang rela, sebagaimana yang disebut dalam khabar, dan tidak menolak-nolak kepada walī yang adil ketika memungutnya, hingga memaksanya untuk bersikap keras dalam pengambilannya dan keluar dari sifat muwāsāt yang telah aku gambarkan padanya.
Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika ia datang kepada kalian, maka janganlah ia berpisah dari kalian kecuali dalam keadaan kalian ridha.”
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نافعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وعبدٍ ذكرٍ وَأُنْثَى مِنَ المسلمين وروي عنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من حديث آخر قال ” ” من تَمُونُونَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّهُ يُقَالُ زَكَاةُ الفطر وزكاة الفطر، فَمَنْ قَالَ زَكَاةُ الْفِطْرِ أَوْجَبَهَا بِدُخُولِ الْفِطْرِ ومن قال زكاة الفطر، فأوجبها عَلَى الْفِطْرَةِ، وَالْفِطْرَةُ الْخِلْقَةُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فِطْرَة اللهِ الّتِي فَطَرَ النَّاسُ عَلَيْهَا) {الروم: 30) أَيْ: خِلْقَتَهُ الَّتِي جَبَلَ النَّاسَ عَلَيْهَا وَهِيَ وَاجِبَةٌ إِجْمَاعًا.
BAB ORANG YANG WAJIB MEMBAYAR ZAKAT FITRAH
Imam al-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: “Malik telah memberitakan kepada kami dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadan atas manusia sebanyak sā‘ dari kurma atau sā‘ dari gandum, atas setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan dari kalangan kaum muslimin.”
Dan diriwayatkan dari beliau SAW dalam hadis lain: “man tamūnūn” (orang-orang yang kalian tanggung nafkahnya).
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa zakat ini disebut zakat al-fiṭr dan zakat al-fiṭrah.
Barang siapa yang menyebut zakat al-fiṭr, maka ia mewajibkannya karena masuknya hari raya (al-fiṭr).
Dan barang siapa yang menyebut zakat al-fiṭrah, maka ia mewajibkannya karena al-fiṭrah (fitrah manusia).
Adapun al-fiṭrah adalah penciptaan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {fiṭratallāhi allatī faṭara an-nāsa ‘alai-hā} (QS ar-Rūm: 30), yaitu penciptaan-Nya yang telah Dia tetapkan atas manusia.
Zakat ini hukumnya wajib berdasarkan ijma‘.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ وَجَبَتِ ابْتِدَاءً بِمَا وَجَبَتْ بِهِ زَكَاةُ الْأَمْوَالِ أَوْ وَجَبَتْ بِغَيْرِهِ؟ عَلَى مَذْهَبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّهَا وَجَبَتْ بِالظَّوَاهِرِ الَّتِي وَجَبَتْ بِهَا زَكَوَاتُ الْأَمْوَالِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، لِعُمُومِهَا فِي الزَّكَاتَيْنِ، وَالْمَذْهَبُ وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَصْرِيِّينَ، أَنَّهَا وَجَبَتْ بِغَيْرِ مَا وَجَبَتْ بِهِ زَكَاةُ الْأَمْوَالِ وَأَنَّ وُجُوبَهَا أَسْبَقُ، لِمَا رُوِيَ عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بزكاة الفطر قبل نزول آية الزكاة فَلَمَا نَزَلَتْ آيَةُ الزَّكَاةِ لَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا هَلْ وَجَبَتْ بِالسُّنَّةِ، أَوْ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مَبْنِيَّةً عَلَى مَذْهَبَيْنِ:
dan para aṣḥāb kami berselisih pendapat: apakah zakāt al-fiṭr diwajibkan sejak awal dengan sebab yang sama sebagaimana diwajibkannya zakāt al-amwāl, ataukah dengan sebab yang berbeda? Dalam hal ini terdapat dua mazhab:
pertama, yaitu mazhab kalangan Baghdād: bahwa ia diwajibkan dengan dalil-dalil ẓāhir yang juga menjadi dasar wajibnya zakāt al-amwāl dari al-Kitāb dan as-Sunnah, karena keumuman keduanya dalam mencakup kedua jenis zakat tersebut;
dan mazhab kedua, yaitu mazhab kalangan Baṣrah: bahwa zakāt al-fiṭr diwajibkan dengan selain sebab yang mewajibkan zakāt al-amwāl, bahkan kewajibannya lebih dahulu, berdasarkan riwayat dari Qays bin Sa‘d bin ‘Ubādah bahwa ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menunaikan zakāt al-fiṭr sebelum turunnya ayat zakāt, maka ketika ayat zakāt diturunkan, beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami.
Dan orang yang berpendapat demikian berselisih: apakah ia diwajibkan dengan sunnah, atau dengan kitāb dan sunnah sekaligus? Ini dibangun atas dua mazhab.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَجَبَتْ بِالسُّنَّةِ لِحَدِيثِ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ فَعَلَى هَذَا الدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِهَا مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صاعاً من تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ عَلَى كُلِّ حر وعبدٍ ذكرٍ وأنثى من المسلمين. وروي جعفر بن محمد عن آبائه وَزَادَ فِيهِ ” مِمَّنْ تَمُونُونَ ” وَرَوَى عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ ” فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – زَكَاةَ الْفِطْرِ طهرةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ الرَّفَثِ وَاللَّغْوِ وطعمةٌ لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زكاةٌ مقبولةٌ ومن أداها بعد الصلاة بهي صدقةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ ” وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ حِينَ أَوْجَبَهَا أَمَّا الْغَنِيُّ فَيُزَكِّيهِ بِهَا اللَّهُ تَعَالَى وَأَمَّا الْفَقِيرُ فَيُعْطِيهِ اللَّهُ أفضل ما أَعْطَى.
Salah satu pendapat: bahwa zakat fitrah diwajibkan berdasarkan sunnah, berdasarkan hadis Qais bin Sa‘d. Maka dalam hal ini, dalil kewajibannya dari jalur sunnah adalah hadis Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW mewajibkan zakat fitrah dari Ramadan atas manusia sebanyak sā‘ dari kurma atau sā‘ dari gandum, atas setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan dari kalangan kaum muslimin.
Dan diriwayatkan dari Ja‘far bin Muhammad dari para bapaknya, dan dalam riwayat itu ditambahkan: “mimman tamūnūn” (orang-orang yang kalian tanggung nafkahnya).
‘Ikramah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia berkata:
“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan keji dan sia-sia, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa menunaikannya sebelum shalat (‘ied), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barang siapa menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sedekah dari jenis sedekah biasa.”
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda ketika mewajibkannya:
“Adapun orang kaya, maka Allah menyucikannya dengan zakat itu, dan adapun orang miskin, maka Allah memberinya dengan zakat itu sebaik-baik pemberian.”
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّهَا وَجَبَتْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَإِنَّمَا الْبَيَانُ مَأْخُوذٌ مِنَ السُّنَّةِ كَمَا أُخِذَ مِنْهَا بَيَانُ الْأَمْوَالِ الْمُزَكَّيَاتِ، وَمَنْ رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَهَا فَمَعْنَاهُ قَدَّرَهَا كَمَا قَالَ فِي زَكَوَاتِ الْإِبِلِ: هَذِهِ ” فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” بِمَعْنَى قَدَّرَهَا، لِأَنَّ فَرْضَ زَكَاتِهَا بِالْآيَةِ وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا بِأَيِّ آيَةٍ وَجَبَتْ عَلَى مَذْهَبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {قَدْ أفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى} (الأعلى: 14، 15) .
وَالثَّانِي: بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ) {البينة: 5) .
dan mazhab kedua: bahwa zakāt al-fiṭr diwajibkan berdasarkan Kitab Allah, sedangkan penjelasan (rinciannya) diambil dari Sunnah, sebagaimana penjelasan tentang harta-harta yang wajib dizakati juga diambil dari Sunnah.
Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW faraḍahā (mewajibkannya), maka maksudnya adalah: beliau menetapkan kadarnya, sebagaimana sabda beliau dalam zakat unta: “Hādhihi farīḍatu aṣ-ṣadaqah allatī faraḍahā Rasūlullāh SAW,” yakni: beliau menentukannya, karena kewajiban zakatnya berdasarkan ayat.
Dan orang yang berpendapat seperti ini berselisih pendapat mengenai ayat mana yang menjadi dasar kewajibannya, dan terdapat dua mazhab:
pertama, berdasarkan firman-Nya Ta‘ālā: {Qad aflaḥa man tazakkā wa dhakara isma rabbihi faṣallā} (al-A‘lā: 14–15);
dan kedua, berdasarkan firman-Nya Ta‘ālā: {wa yuqīmū aṣ-ṣalāh wa yu’tū az-zakāh} (al-Bayyinah: 5).
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَهِيَ فَرْضٌ كَزَكَوَاتِ الْأَمْوَالِ وَقَالَ أبو حنيفة: هِيَ وَاجِبَةٌ وَلَيْسَتْ فَرْضًا كَالْوِتْرِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْوَاجِبِ وَالْفَرْضِ وَهَذَا الْخِلَافُ إِذَا قُدِّرَ كَانَ كَلَامًا فِي الْعِبَارَةِ، وِفَاقًا فِي الْمَعْنَى وَالْخِلَافُ فِي الْعِبَارَةِ مَعَ الْوِفَاقِ فِي الْمَعْنَى غَيْرُ مُؤَثِّرٍ ثُمَّ مِنَ الدَّلَالَةِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَإِنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ فَرْضُ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ الْمُقَدَّمِ ذِكْرُهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ فَإِنْ قِيلَ مَعْنَى قَوْلِهِمْ فَرَضَهَا أَيْ قَدَّرَهَا كَمَا يُقَالُ فَرَضَ الْقَاضِي النَّفَقَةَ أَيْ قَدَّرَهَا قُلْنَا مَا تَقَدَّمَ مِنِ اختلاف أصحابنا في ظهور وجوبها يقسط هَذَا الِاعْتِرَاضَ ثُمَّ لَوْ لَزِمَ لَكَانَ عَنْهُ جَوَابَانِ:
PASAL
Apabila telah tetap kewajiban zakat fitrah sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka ia adalah fardu seperti zakat harta.
Adapun Abū Ḥanīfah berkata: zakat fitrah itu wājib namun bukan fardu, seperti halnya shalat witir, berdasarkan pendapat asal beliau dalam membedakan antara wājib dan fardu.
Perbedaan ini, jika dianggap ada, maka hanyalah perbedaan dalam redaksi (ibārah), bukan dalam makna.
Dan perbedaan dalam redaksi sementara sepakat dalam makna, tidak berpengaruh.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitrah itu fardu adalah hadis Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbās yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Rasulullah SAW faraḍa zakat fitrah.
Jika ada yang berkata: makna ucapan mereka “faraḍahā” (telah mewajibkannya) itu hanyalah “menetapkannya” sebagaimana ucapan: “faraḍa al-qāḍī an-nafaqah” (qāḍī menetapkan nafkah), maksudnya: ia menentukannya,
Maka kami menjawab: apa yang telah dijelaskan sebelumnya dari perbedaan para sahabat kami dalam menampakkan kewajibannya sudah cukup untuk membantah sanggahan ini.
Dan seandainya sanggahan itu dianggap sahih, maka tetap ada dua jawaban atasnya:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْفَرْضَ عِبَارَةٌ عَنِ التَّقْدِيرِ فِي اللُّغَةِ وَعِبَارَةٌ عَنِ الْوُجُوبِ فِي الشَّرْعِ وَحَمْلُهُ عَلَى مَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ فِي الشَّرْعِ أولى.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِي الرِّوَايَةِ أَنَّهُ فَرَضَهَا عَلَى النَّاسِ، وَلَوْ كَانَ بِمَعْنَى التَّقْدِيرِ لَقِيلَ فَرَضَ مَا عَلَى النَّاسِ عَلَى أَنَّهُ لَوْ حُمِلَ عَلَى الْأَمْرَيْنِ لَصَحَّ، وَلِأَنَّهَا زَكَاةٌ وَجَبَتْ فَافْتُرِضَتْ كَزَكَاةِ الْمَالِ وَلِأَنَّ كُلَّ صِفَةٍ اتَّصَفَتْ بِهَا زَكَاةُ الْمَالِ اتَّصَفَتْ بِهَا زَكَاةُ الْفِطْرِ كَالْوُجُوبِ.
pertama: bahwa al-farḍ dalam bahasa adalah ungkapan untuk “penetapan kadar”, sedangkan dalam syariat ia merupakan ungkapan untuk “kewajiban”. Maka menafsirkannya menurut makna yang telah mapan dalam syariat lebih utama.
kedua: bahwa dalam riwayat disebutkan bahwa beliau “faraḍahā ‘alā an-nās” (mewajibkannya atas manusia). Seandainya maksudnya adalah penetapan kadar, niscaya dikatakan: faraḍa mā ‘alā an-nās.
Namun jika dimaknai dengan dua makna sekaligus, maka hal itu sah.
Dan karena ia adalah zakāt yang diwajibkan, maka ia pun ifturiḍat sebagaimana zakāt al-māl. Dan karena setiap sifat yang ada pada zakāt al-māl, juga ada pada zakāt al-fiṭr, seperti kewajibannya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فلم يفرضها إلا على المسلمين فالعبيد لا مال لهم وإنما فرضهم عَلَى سَيِّدِهِمْ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
كُلُّ مَنْ كَانَ مُسْلِمًا حُرًّا فَعَلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ إِذَا وَجَدَهَا بَعْدَ قُوتِهِ سَوَاءٌ كَانَ عَاقِلًا، أَوْ مَجْنُونًا بَالِغًا أَوْ صَبِيًّا، وَحُكِيَ عَنِ الحسن البصري وسيعد بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّهَا لَا تَجِبُ إِلَّا عَلَى مَنْ صَلَّى وَصَامَ وَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهَا لَا تَجِبُ إِلَّا عَلَى مَنْ أَطَاقَ الصَّلَاةَ وَالصِّيَامَ وَبِمَذْهَبِنَا قَالَ سَائِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، وَجَمِيعُ الْفُقَهَاءِ تَعَلُّقًا بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ فَأَمَّا الْمُشْرِكُ فلا زكاة عليه، إجماعاً فأما الْعَبْدُ فَزَكَاةُ فِطْرِهِ عَلَى سَيِّدِهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Zakat fitrah tidak diwajibkan kecuali atas kaum muslimin, karena budak tidak memiliki harta, maka kewajiban zakat fitrahnya berada pada tuannya.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar.
Setiap orang yang muslim dan merdeka, maka ia wajib mengeluarkan zakat fitrah apabila ia memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya, baik ia berakal atau gila, sudah baligh ataupun masih anak-anak.
Diriwayatkan dari al-Ḥasan al-Baṣrī dan Sa‘īd bin al-Musayyab bahwa zakat fitrah tidak wajib kecuali atas orang yang menunaikan shalat dan puasa.
Dan diriwayatkan dari ‘Alī bin Abī Ṭālib ‘alaihi as-salām bahwa zakat fitrah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu melaksanakan shalat dan puasa.
Namun menurut mazhab kami, sebagaimana yang dikatakan oleh seluruh sahabat, para tābi‘īn, dan semua fuqahā’, zakat fitrah itu wajib dengan berpegang pada hadis Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbās.
Adapun orang musyrik, maka tidak ada zakat atasnya—berdasarkan ijma‘.
Adapun budak, maka zakat fitrahnya wajib atas tuannya.
وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ هِيَ عَلَى الْعَبْدِ دُونَ سَيِّدِهِ تَعَلُّقًا بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فرض زكاة الفطر في رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وعبدٍ ذكرٍ وَأُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَأَخْبَرَ أَنَّهُ فَرَضَهَا عَلَى الْعَبْدِ كَمَا فَرَضَهَا عَلَى الْحُرِّ، فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِهَا عَلَيْهِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِهَا عَلَى سَيِّدِهِ، رِوَايَةُ عِرَاكِ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي هريرة النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فِي فَرَسِهِ صدقةٌ إِلَّا صَدَقَةُ الْفِطْرِ فَأَثْبَتَ عَلَى السَّيِّدِ زَكَاةَ فِطْرِهِ نَصًّا.
berkata Dāwud bin ‘Alī: zakāt al-fiṭr wajib atas budak, bukan atas tuannya, dengan berdalil pada hadis Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakāt al-fiṭr pada bulan Ramaḍān atas setiap orang, satu ṣā‘ dari kurma atau satu ṣā‘ dari gandum, atas setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan dari kalangan Muslimin. Maka hadis ini mengabarkan bahwa beliau mewajibkannya atas budak sebagaimana beliau mewajibkannya atas orang merdeka, maka hal itu menunjukkan kewajibannya atas budak.
Namun dalil yang menunjukkan kewajiban zakāt al-fiṭr itu atas tuannya adalah riwayat ‘Irāk dari Mālik dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada zakat atas seorang Muslim dari budaknya dan tidak pula dari kudanya kecuali zakat al-fiṭr.” Maka dalam hadis tersebut secara naṣṣ menetapkan kewajiban zakāt al-fiṭr atas tuan.
وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ قَالَ كُنَّا نُؤَدِّي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ ذَكَرٍ وأنثى صاعاً من طعام الحدث فَأَمَّا تَعَلُّقُهُ بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا هَلْ وَجَبَتْ زَكَاةُ فطره ابتداء على سيده أو وجبت ابْتِدَاءً ثُمَّ يَحْمِلُهَا سَيِّدُهُ فَلَهُمْ فِي ذَلِكَ مَذْهَبَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهَا وَجَبَتِ ابْتِدَاءً عَلَى سَيِّدِهِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ (لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فِي فَرَسِهِ صَدَقَةٌ إِلَّا صَدَقَةُ الْفِطْرِ) فَعَلَى هَذَا الْجَوَابِ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ فَرَضَهَا عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ، فَمَعْنَاهُ عَنْ كل حر وعن كل عبد وقد يقوم عَلَى فِي اللُّغَةِ مَقَامَ عَنْ قَالَ الشَّاعِرُ:
Diriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, ia berkata:
“Kami dahulu menunaikan zakat fitrah pada masa Rasulullah SAW dari setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan, sebanyak sā‘ dari makanan.”
Adapun berkaitan dengan hadis Ibnu ‘Umar, maka jawaban atasnya dibangun di atas perbedaan pendapat di kalangan sahabat-sahabat kami:
Apakah zakat fitrah bagi budak itu wajib sejak awal atas tuannya, ataukah wajib sejak awal atas budaknya lalu ditanggung oleh tuannya?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, dan ini adalah pendapat zahir mazhab al-Syafi‘i, bahwa zakat fitrah wajib sejak awal atas tuannya, berdasarkan hadis Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Lāisa ‘ala al-muslimi fī ‘abdihi wa lā fī farasihi ṣadaqatun illā ṣadaqatu al-fiṭr”
(Tidak ada zakat atas seorang muslim dari budaknya dan kudanya, kecuali zakat fitrah).
Berdasarkan hal ini, maka jawaban atas hadis Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW mewajibkan zakat fitrah atas setiap orang merdeka dan budak, adalah bahwa maksudnya: dari setiap orang merdeka dan dari setiap budak.
Dan dalam bahasa Arab, huruf ‘alā bisa menggantikan makna ‘an, sebagaimana dikatakan oleh penyair:
{إِذَا رَضِيَتْ عَلَيَّ بَنُو قُشَيْرٍ … لَعَمْرُ اللَّهِ أَعْجَبَنِي رِضَاهَا}
أَيْ: إِذَا رَضِيَتْ عَنِّي.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ السَّيِّدَ يَحْمِلُهَا عَنْ عَبْدِهِ لِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ كُنَّا نُؤَدِّي صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ فَعَلَى هَذَا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ دَالٌّ عَلَى وُجُوبِهَا عَلَى الْعَبْدِ وَحَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ دَالٌّ عَلَى تَحَمُّلِ السَّيِّدِ فَلَا يَتَنَافَيَانِ.
{Idzā raḍiyat ‘alayya Banū Qushayr … la‘amru Allāh, a‘jabani riḍāhā}
yakni: jika ia rela terhadapku.
Dan mazhab kedua: bahwa sayyid (tuan) menanggung zakāt al-fiṭr atas budaknya, berdasarkan hadis Abū Sa‘īd, ia berkata: “Kami dahulu menunaikan zakat al-fiṭr atas setiap orang merdeka dan budak.”
Maka berdasarkan ini, hadis Ibn ‘Umar menunjukkan kewajiban zakāt al-fiṭr atas budak, dan hadis Abū Sa‘īd menunjukkan bahwa sayyid yang menanggungnya. Maka keduanya tidak bertentangan.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُدَبَّرُ وَأُمُّ الْوَلَدِ وَالْمُعْتَقُ نِصْفُهُ فَكَالْعَبْدِ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ عَلَى سَيِّدِهِمْ، فَأَمَّا الْمُكَاتَبُ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، لِبَقَاءِ رِقِّهِ وَلَا عَلَى سَيِّدِهِ لِنُقْصَانِ مِلْكِهِ وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ حَكَاهُ أَبُو ثَوْرٍ عَنِ الْقَدِيمِ أَنَّ عَلَى السَّيِّدِ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ مُكَاتَبِهِ لِأَنَّهُ عَلَى مِلْكِهِ، وَإِنْ نَقَصَ تَصَرُّفُهُ كَالْآبِقِ.
PASAL
Adapun budak mudabbar, umm al-walad, dan budak yang setengahnya telah merdeka, maka hukum mereka seperti budak biasa—zakat fitrah mereka ditanggung oleh tuannya.
Adapun mukātab, maka tidak wajib zakat atas dirinya karena status perbudakannya masih ada. Dan tidak pula atas tuannya, karena kepemilikan tuan atasnya telah berkurang.
Namun ada pendapat lain yang dinukil oleh Abū Ṯhawr dari pendapat al-Qadīm (pendapat lama Imam al-Syafi‘i), bahwa tuan tetap wajib menunaikan zakat fitrah atas mukātab-nya, karena ia masih berada dalam kepemilikan tuannya, meskipun hak pengelolaan terhadapnya berkurang, sebagaimana halnya budak yang melarikan diri (ābiq).
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فهم وَالْمَرْأَةُ مِمَنْ يَمُونُونَ فَكُلُّ مَنْ لَزِمَتْهُ مُؤْنَةُ أحدٍ حتى لا يكون لها تَرْكُهَا أَدَّى زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَذَلِكَ مَنْ أجبرناه على نفقته من لده الصِّغَارِ وَالْكِبَارِ الزَّمْنَى الْفُقَرَاءِ وَآبَائِهِ وَأُمَّهَاتِهِ الزَّمْنَى الفقراء وزوجته وخادم لها “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ كُلَّ مَنْ لَزِمَهُ الْإِنْفَاقُ عَلَيْهِ لَزِمَتْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا وَهُمْ ضَرْبَانِ:
ضَرْبٌ: لَزِمَتْ نَفَقَاتُهُمْ بِأَنْسَابٍ.
Masalah:
berkata asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Anak-anak dan perempuan termasuk orang-orang yang mereka tanggung, maka setiap orang yang wajib atasnya menanggung nafkah seseorang sehingga orang itu tidak dapat meninggalkannya, maka ia wajib menunaikan zakat al-fiṭr darinya. Yaitu orang-orang yang kami wajibkan atasnya memberi nafkah: dari kalangan anak-anak kecil dan orang dewasa yang lumpuh, yang fakir, juga ayah dan ibu yang lumpuh dan fakir, serta istrinya dan pelayan wanita yang ia miliki.”
berkata al-Māwardī: Dasar dari hal ini adalah bahwa setiap orang yang wajib atasnya menafkahi orang lain, maka wajib pula atasnya zakat al-fiṭr atas nama orang tersebut jika ia seorang Muslim. Mereka terbagi menjadi dua golongan:
golongan pertama: mereka yang nafkahnya diwajibkan karena hubungan nasab.
وَضَرْبٌ: لَزِمَتْ نَفَقَاتُهُمْ بِأَسْبَابٍ فَأَمَّا ذرو الأنساب فضربان والدون ومولودون، فَهُمُ الْآبَاءُ وَالْأَجْدَادُ وَالْأُمَّهَاتُ وَالْجَدَّاتُ مِنْ قِبَلِ الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ، وَلَهُمْ حَالَانِ حَالُ فَقْرٍ وَحَالُ غِنًى، فَإِنْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ فَنَفَقَاتُهُمْ فِي أَمْوَالِهِمْ وَكَذَلِكَ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ، وَإِنْ كَانُوا فُقَرَاءَ فَلَهُمْ حَالَانِ حَالُ صِحَّةٍ وَحَالُ زَمَانَةٍ، فَإِنْ كَانُوا فُقَرَاءَ زَمْنَى فَنَفَقَاتُهُمْ عَلَى أَوْلَادِهِمْ وَاجِبَةٌ، وَكَذَلِكَ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ.
Dan suatu jenis: wajib menafkahi mereka karena sebab-sebab tertentu. Adapun kerabat karena nasab terbagi menjadi dua: yang melahirkan dan yang dilahirkan, yaitu para ayah, kakek, ibu, dan nenek dari jalur ayah maupun ibu. Mereka memiliki dua keadaan: keadaan fakir dan keadaan kaya.
Jika mereka kaya, maka nafkah mereka dari harta mereka sendiri, begitu pula zakat fitrah mereka.
Jika mereka fakir, maka mereka memiliki dua keadaan lagi: sehat dan uzur.
Jika mereka fakir dan uzur, maka nafkah mereka wajib atas anak-anak mereka, begitu pula zakat fitrah mereka.
وَقَالَ أبو حنيفة تَجِبُ نَفَقَاتُهُمْ دون زكاة فطرهم، وإن كان فُقَرَاءَ أَصِحَّاءَ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا لَا تَجِبُ نَفَقَاتُهُمْ وَلَا زَكَاةُ فِطْرِهِمْ حَتَّى يَجْتَمِعَ فِيهِمُ الْأَمْرَانِ جَمِيعًا الْفَقْرُ وَالزَّمَانَةُ، وَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يُخَرِّجُ قَوْلًا ثَانِيًا، أَنَّ نَفَقَاتِهِمْ وَزَكَاةَ فِطْرِهِمْ وَاجِبَةٌ بِالْفَقْرِ دُونَ الزَّمَانَةِ فقال أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمُطْلَقُ مِنْ كَلَامِهِ مَحْمُولًا عَلَى الْمُقَيَّدِ كَمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي خِطَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَفِي خِطَابِ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فتكون المسألة على قول واحد أنه لَا تَجِبُ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنْ يَكُونُوا زَمْنَى ويحتمل أن يجعل هذا له قولاً ثانياً فَتَكُونُ الْمَسْأَلَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ وَلِلْكَلَامِ عَلَيْهِ مَوْضِعٌ فِي كِتَابِ النَّفَقَاتِ، هُوَ أَوْلَى بِهِ مِنْ هَذَا الْمَوْضِعِ وَأَمَّا الْمَوْلُودُونَ فَهُمُ الْبَنُونَ وَالْبَنَاتُ، وسواهم وَإِنْ سَفُلُوا وَهُمْ ضَرْبَانِ:
berkata Abū Ḥanīfah: nafkah atas mereka wajib, namun zakat al-fiṭr mereka tidak wajib.
Dan apabila mereka adalah orang-orang fakir tetapi sehat, maka mazhab asy-Syāfi‘ī: tidak wajib nafkah atas mereka dan tidak pula zakat al-fiṭr mereka, sampai terkumpul pada mereka dua hal sekaligus: kefakiran dan ketidakmampuan (az-zamānah).
Adapun Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah mengeluarkan pendapat kedua: bahwa nafkah atas mereka dan zakat al-fiṭr mereka wajib karena kefakiran saja, tanpa syarat zamānah.
Abū ‘Alī Ibn Abī Hurayrah berkata: memungkinkan untuk membawa lafaz mutlak dari perkataan asy-Syāfi‘ī kepada yang muqayyad, sebagaimana dilakukan dalam khithāb Allah Ta‘ālā dan khithāb Rasul-Nya SAW, maka masalah ini kembali pada satu pendapat, yaitu: tidak wajib nafkah atas mereka kecuali bila mereka zamnā (tidak mampu).
Namun dimungkinkan pula menjadikannya sebagai pendapat kedua, sehingga masalah ini menjadi dua pendapat. Dan pembahasan lebih rinci tentang hal ini berada dalam Kitāb an-Nafaqāt, yang lebih layak untuknya daripada tempat ini.
Adapun maulūdūn (anak-anak yang dilahirkan), mereka adalah anak laki-laki dan anak perempuan, serta keturunan mereka meskipun jauh ke bawah. Mereka terbagi menjadi dua golongan:
أَحَدُهُمَا: أَغْنِيَاءُ وَالْآخَرُ فُقَرَاءُ، فَإِنْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ فَنَفَقَاتُهُمْ فِي أَمْوَالِهِمْ وَكَذَلِكَ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ، وَإِنْ كَانُوا فُقَرَاءَ فَضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْجِزُوا عَنْ مَنَافِعِ أَنْفُسِهِمْ لِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ أَوْ زَمَانَةٍ فَعَلَى الْوَالِدِ، وَإِنْ عَلَا نَفَقَاتُهُمْ.
وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ كَانُوا كِبَارًا فَعَلَى الْوَالِدِ وَإِنْ عَلَا نَفَقَاتُهُمْ دُونَ زَكَاةِ فِطْرِهِمْ وَإِنْ كَانُوا صِغَارًا فَعَلَى الْوَالِدِ إِنْ كَانَ أَبًا نَفَقَاتُهُمْ وَزَكَاةُ فِطْرِهِمْ، وَإِنْ كَانَ جَدًّا فَعَلَيْهِ نَفَقَاتُهُمْ دُونَ فِطْرِهِمْ.
Pertama: mereka orang-orang kaya, dan yang kedua: orang-orang fakir. Jika mereka kaya, maka nafkah mereka dari harta mereka sendiri, begitu pula zakat fitrah mereka.
Jika mereka fakir, maka terbagi menjadi dua:
Pertama: tidak mampu mengurus diri sendiri karena masih kecil, gila, atau uzur, maka nafkah mereka wajib atas ayahnya, sekalipun di atas (yakni kakek dan seterusnya).
Abu Hanifah berkata: jika mereka sudah dewasa, maka nafkah mereka wajib atas ayahnya, sekalipun di atas, tetapi tidak termasuk zakat fitrah mereka. Dan jika mereka masih kecil, maka nafkah dan zakat fitrah mereka wajib atas ayah jika ia adalah ayah kandung; dan jika ia adalah kakek, maka wajib nafkah saja, tidak termasuk zakat fitrah.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونُوا كِبَارًا أَصِحَّاءَ لَا يَعْجِزُونَ عَنْ مَنَافِعِ أَنْفُسِهِمْ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ لَا تَجِبُ عَلَى الْوَالِدِ نَفَقَاتُهُمْ وَلَا زَكَاةُ فِطْرِهِمْ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الْآبَاءِ هَلْ يَصِحُّ تَخْرِيجُهُ فِي الْأَبْنَاءِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ تَخْرِيجُهُ عَلَى ضَعْفِهِ وَوَهَائِهِ فَيُخَرَّجُ فِي الْمَسْأَلَةِ قَوْلٌ ثَانٍ: أنَّ نَفَقَاتِهِمْ وَزَكَاةَ فِطْرِهِمْ وَاجِبَةٌ بِمُجَرَّدِ الْفَقْرِ دُونَ الزَّمَانَةِ.
dan golongan kedua: yaitu mereka yang telah dewasa, sehat, serta tidak lemah dalam memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Maka mazhab asy-Syāfi‘ī: tidak wajib atas orang tua untuk menafkahi mereka dan tidak pula menunaikan zakat al-fiṭr atas mereka.
Para aṣḥāb kami berselisih pendapat tentang pendalilan Ibn Abī Hurayrah dalam hal ayah—apakah bisa ditarik menjadi dalil juga untuk anak—dalam dua pendapat:
pertama: sah untuk ditarik (menjadi analogi) meskipun lemah dan lemah argumennya, maka dalam masalah ini ditetapkan pendapat kedua: bahwa nafkah atas mereka dan zakat al-fiṭr mereka wajib hanya dengan sebab kefakiran, tanpa syarat zamānah.
وَالثَّانِي: أَنَّ تَخْرِيجَهُ فِي الْأَبْنَاءِ لَا يَصِحُّ لِأَنَّ نَفَقَةَ الْآبَاءِ أَوْكَدُ مِنْ نَفَقَةِ الْأَبْنَاءِ وَوَجْهُ تَأْكِيدِهَا أَنَّ إِعْفَافَ الْأَبِ وَاجِبٌ، وَإِعْفَافَ الِابْنِ عَلَى أَبِيهِ غَيْرُ وَاجِبٍ فَلَمَّا تأكدت نفقات الأناء جَازَ أَنْ تَلْزَمَ بِالْفَقْرِ دُونَ الزَّمَانَةِ وَلَمَّا ضَعُفَتْ نَفَقَاتُ الْأَبْنَاءِ لَمْ تَلْزَمْ بِمُجَرَّدِ الْفَقْرِ حَتَّى يَقْتَرِنَ بِهِ صِغَرٌ، أَوْ زَمَانَةٌ فَأَمَّا أبو حنيفة فَإِنَّهُ وَافَقَنَا فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ، وخالفنا في زكاة الفطر على ما بيناه وكان من عليه زكاة الفطر إن اعْتَبَرَهَا بِالْوِلَايَةِ فَلَمْ يُوجِبْ عَلَى الِابْنِ فِطْرَةَ أَبِيهِ لِأَنَّهُ لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَى أَبِيهِ، وَأَوْجَبَ عَلَى الْأَبِ فِطْرَةَ صِغَارِ وَلَدِهِ دُونَ كِبَارِهِمْ لِأَنَّ وِلَايَتَهُ عَلَى صِغَارِهِمْ دُونَ كِبَارِهِمْ، ثم ناقض عليه فِي الْجَدِّ فَأَوْجَبَ عَلَيْهِ نَفَقَةَ ابْنِ ابْنِهِ دُونَ فِطْرَتِهِ، وَإِنْ كَانَ صَغِيرًا مَعَ وِلَايَتِهِ عَلَيْهِ وَعِلَّتُنَا فِي وُجُوبِ الْفِطْرَةِ، وَوُجُوبِ النَّفَقَةِ رِوَايَةُ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وعبدٍ ذكرٍ وَأُنْثَى مِمَّنْ تَمُونُونَ) رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ مُرْسَلًا وَرَوَاهُ غَيْرُهُ مُتَّصِلًا وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ مِنْهُ قَوْلُهُ (ممن تمونون)
فَاعْتَبَرَ الْفِطْرَةَ بِالْمُؤْنَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَلَمْ يَعْتَبِرْهَا بِالْوِلَايَةِ عَلَى مَا ذَكَرَ أبو حنيفة فَأَمَّا مِنْ غَيْرِ الْوَالِدَيْنِ وَالْمَوْلُودِينَ مِنَ الْأُخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ، فَلَا تَجِبُ نَفَقَاتُهُمْ وَلَا زَكَاةُ فِطْرِهِمْ، وَأَوْجَبَ أبو حنيفة نَفَقَةَ كُلِّ ذِي رَحِمٍ مُحَرَّمٍ، وَلَمْ يُوجِبْ زَكَاةَ فِطْرِهِ وسيأتي الكلام معه من ذلك إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
Dan yang kedua: bahwa menjadikannya (yakni kewajiban nafkah) pada anak-anak tidak sah, karena nafkah atas orang tua lebih kuat daripada nafkah atas anak-anak. Adapun alasan kuatnya (nafkah atas orang tua) adalah bahwa mencukupi kebutuhan ayah adalah wajib, sedangkan mencukupi kebutuhan anak terhadap ayahnya tidak wajib. Maka ketika nafkah atas orang tua lebih kuat, boleh ditetapkan dengan kefakiran tanpa harus ada uzur; dan ketika nafkah atas anak-anak lebih lemah, tidak wajib hanya karena kefakiran, hingga disertai dengan kecil usia atau uzur.
Adapun Abu Hanifah, ia sepakat dengan kami dalam wajibnya nafkah, namun menyelisihi kami dalam zakat fitrah sebagaimana telah dijelaskan. Dan orang yang wajib atasnya zakat fitrah — jika ia menganggapnya bergantung pada wilāyah, maka ia tidak mewajibkan anak untuk menunaikan zakat fitrah ayahnya, karena tidak ada wilāyah baginya atas ayahnya. Ia mewajibkan ayah untuk menunaikan zakat fitrah anak-anaknya yang kecil, tidak yang besar, karena wilāyahnya hanya atas anak-anaknya yang kecil, tidak atas yang besar.
Lalu ia menyelisihi pendapatnya sendiri dalam hal kakek, yaitu ia mewajibkan kakek menanggung nafkah cucunya, tetapi tidak mewajibkan zakat fitrahnya, padahal cucunya masih kecil dan ia (kakek) memiliki wilāyah atasnya.
Adapun alasan kami dalam wajibnya zakat fitrah dan nafkah adalah riwayat dari Ja‘far bin Muḥammad, dari ayahnya, dari Jābir, bahwa Nabi SAW “mewajibkan zakat fitrah atas setiap orang merdeka dan hamba, laki-laki dan perempuan, dari orang-orang yang kalian tanggung biayanya.” Diriwayatkan oleh al-Syafi‘i secara mursal, dan oleh selainnya secara mawṣūl. Dan sisi penunjukannya adalah sabda beliau: “mimman tamūnūn” (dari orang-orang yang kalian tanggung), maka zakat fitrah dianggap berdasarkan tanggungan kebutuhan (al-mu’nah) sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan tidak dianggap berdasarkan wilāyah seperti pendapat Abu Hanifah.
Adapun selain dari orang tua dan anak-anak, seperti saudara dan saudari, paman dan bibi, maka tidak wajib menanggung nafkah mereka dan tidak pula zakat fitrah mereka.
Adapun Abu Hanifah mewajibkan nafkah atas setiap kerabat yang maḥram, dan tidak mewajibkan zakat fitrah mereka. Dan akan datang pembahasan dengannya dalam hal ini insya Allah.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا ذَوُو الْأَسْبَابِ فَضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: الْمَمْلُوكُونَ مِنَ الْعَبِيدِ وَالْإِمَاءِ وَقَدْ مضى الكلام فيه:
والضرب الثاني: الزوجان فَعَلَى الزَّوْجِ عِنْدَنَا زَكَاةُ فِطْرِهِنَّ سَوَاءٌ كُنَّ أَيْسَارًا أَوْ أَعْسَارًا.
وَقَالَ أبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ لَا تَلْزَمُهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُنَّ، وَهِيَ وَاجِبَةٌ فِي أَمْوَالِهِنَّ احْتِجَاجًا بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ، الْخَبَرَ إِلَى أَنْ قَالَ (ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى من المسلمين) وكان عُمُومُ هَذَا مُتَنَاوِلًا لِلزَّوْجَاتِ كَمَا كَانَ مُتَنَاوِلًا لِلْأَزْوَاجِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ ماله وجبت عليه فِطْرُهُ كَالزَّوْجِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ رَقِيقِهِ، وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ نَفْسِهِ كَالْخَلِيَّةِ غير ذات الزوج، ولأنه حق لله تَعَالَى يَتَعَلَّقُ بِالْمَالِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُتَحَمَّلَ بالزوجة كالزكوات والكفارات، ولأن النكاح عقد مستباح بِهِ الْمَنْفَعَةُ فَلَمْ تَجِبْ بِهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ كَالْمُسْتَأْجَرَةِ.
PASAL
Adapun orang-orang yang memiliki sebab (kewajiban karena hubungan), maka terbagi menjadi dua golongan:
pertama: budak laki-laki maupun perempuan (‘abīd dan imā’), dan telah lalu pembahasannya;
golongan kedua: suami-istri. Maka menurut kami, suami wajib menunaikan zakat al-fiṭr atas istri-istri mereka, baik mereka orang kaya maupun fakir.
Abū Ḥanīfah dan dua sahabatnya berpendapat: suami tidak wajib menunaikan zakat al-fiṭr atas istri-istrinya. Bahkan zakat itu wajib dari harta mereka sendiri, dengan berdalil pada hadis Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW mewajibkan zakat al-fiṭr pada bulan Ramaḍān atas semua manusia, hingga beliau bersabda: “laki-laki atau perempuan dari kalangan Muslimin”, dan keumuman hadis ini mencakup para istri sebagaimana mencakup para suami.
Dan karena setiap orang yang wajib zakat hartanya, maka wajib juga zakat al-fiṭr-nya, seperti suami. Dan karena setiap orang yang wajib zakat al-fiṭr atas budaknya, maka wajib pula zakat al-fiṭr atas dirinya sendiri, seperti perempuan yang tidak bersuami.
Dan karena ia adalah hak Allah Ta‘ālā yang berkaitan dengan harta, maka tidak boleh dibebankan kepada suami, sebagaimana zakat dan kafārāt.
Dan karena akad nikah adalah akad yang membolehkan pengambilan manfaat, maka tidak mewajibkan zakat al-fiṭr, seperti halnya wanita yang disewa (al-musta’jarah).
وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا، حَدِيثُ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فرض صدقة الفطر على كل حر مسلم وعبدٍ ذكرٍ وَأُنْثَى مِمَّنْ تَمُونُونَ، وَالزَّوْجُ مِمَّنْ يُلْزَمُ مُؤْنَتَهَا فَوَجَبَ أَنْ يُلْزَمَ زَكَاةَ فِطْرِهَا وروي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ (أَدُّوا زَكَاةَ الْفِطْرِ عَمَّنْ تَمُونُونَ) .
وَرَوَى عَطَاءٌ عَنْ أَبِيهِ قَالَ ” فَرَضَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمَنْ يَمُونُونَ مِنِ امرأةٍ أَوْ ولدٍ أَوْ مملوكٍ أَوْ صغيرٍ أَوْ كبيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ) وَهَذَا وَإِنْ كَانَ مُرْسَلًا فَقَدْ جَاءَ بِمَا يُوَافِقُ الْمُتَّصِلَ فَقَبِلْنَاهُ وَلِأَنَّ كُلَّ سَبَبٍ تَجِبُ بِهِ النَّفَقَةُ جَازَ أَنْ تَجِبَ بِهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ كَالْمِلْكِ وَالنَّسَبِ وَلِأَنَّ كُلَّ حَقٍّ يُتَحَمَّلُ بِالنَّسَبِ جَازَ أَنْ يُتَحَمَّلَ بِالزَّوْجِيَّةِ كَالنَّفَقَةِ وَلِأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الطُّهْرَةِ يَلْزَمُهُ نَفَقَةُ شَخْصٍ مِنْ أَهْلِ الطهرة، فوجب أن يلزمه فطره مَعَ الْقُدْرَةِ كَعَبِيدِهِ وَصِغَارِ وَلَدِهِ، فَإِنْ قَالُوا هذا باطل بالعبد والمكاتب عليها نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ دُونَ زَكَاةِ الْفِطْرِ، قُلْنَا: إِنَّمَا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُمَا بِالرِّقِّ قَدْ عَدِمَا الْقُدْرَةَ فَإِنْ قَالُوا: فَهَذَا يَبْطُلُ بِالْمُضْطَرِّ فَإِنَّ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ، وَلَا تَلْزَمُهُ زَكَاةُ فِطْرِهِ قِيلَ: عَنْ هَذَا جَوَابَانِ:
Dan dalil atas apa yang kami katakan adalah hadis Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir bahwa Nabi SAW mefarḍukan ṣadaqah al-fiṭr atas setiap orang merdeka Muslim dan budak, laki-laki dan perempuan, mimman tamūnūn (yaitu orang-orang yang kalian tanggung). Dan istri termasuk orang yang wajib ditanggung nafkahnya oleh suami, maka wajib atasnya zakat al-fiṭr untuk istrinya.
Dan diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Tunaikanlah zakat al-fiṭr atas orang yang kalian tanggung.”
Diriwayatkan pula oleh ‘Aṭā’ dari ayahnya, ia berkata: “Rasulullah SAW mewajibkan ṣadaqah al-fiṭr atas setiap Muslim dan orang yang mereka tanggung, baik istri, anak, budak, anak kecil maupun dewasa, sebanyak satu ṣā‘ dari kurma.”
Dan meskipun riwayat ini mursal, namun ia datang dengan makna yang sesuai dengan riwayat muttaṣil, maka kami menerimanya.
Dan karena setiap sebab yang mewajibkan nafkah, maka boleh dijadikan sebab kewajiban zakat al-fiṭr, seperti sebab kepemilikan dan nasab.
Dan karena setiap hak yang bisa ditanggung karena nasab, maka boleh pula ditanggung karena pernikahan, seperti nafkah.
Dan karena ia (suami) termasuk orang yang layak menanggung ṭuhrah (pensucian), maka ia wajib menanggung zakat al-fiṭr dari orang yang ia tanggung nafkahnya dari kalangan ahl al-ṭuhrah, maka wajib pula baginya zakat al-fiṭr atas mereka jika ia mampu, sebagaimana terhadap budak dan anak-anak kecilnya.
Jika mereka berkata: “Ini batal dengan (kasus) budak dan mukātab, karena suami tetap wajib menafkahi istri meskipun tidak wajib zakat al-fiṭr atas budak dan mukātab,” maka kami katakan: tidak diwajibkan zakat al-fiṭr atas keduanya karena keduanya—dengan sebab status riqq (perbudakan)—tidak memiliki qudrah.
Jika mereka berkata: “Maka ini batal dengan orang yang muḍṭarr (sangat miskin), karena imam tetap menafkahinya dari bayt al-māl, namun tidak wajib zakat al-fiṭr atasnya,” maka dijawab: atas hal ini ada dua jawaban.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ نَفَقَتَهُ غَيْرُ وَاجِبَةٍ، وَإِنَّمَا لَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ حَقٌّ يُعْطَاهُ بِالْحَاجَةِ، لِأَنَّ بَاقِيَ بَيْتِ الْمَالِ بَعْدَ الْمَصْلَحَةِ مَصْرُوفٌ فِي الْحَاجَةِ، فَلَمْ تَكُنْ نَفَقَتُهُ وَاجِبَةً.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ نَفَقَةً، فَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ عَلَى الْإِمَامِ، وَإِنَّمَا هِيَ وَاجِبَةٌ فِي بَيْتِ الْمَالِ، وَعَلَى الْإِمَامِ إِخْرَاجُهَا كَمَا وَجَبَتْ نفقة اليتيم من ماله ووجب على وليه إخراجها فإما احتجاجهم بحدث ابْنِ عُمَرَ فَجَوَابُنَا لَهُمْ فِي الزَّوْجَةِ كَجَوَابِنَا لِدَاوُدَ فِي الْعَبْدِ، وَقَدْ مَضَى، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الزَّوْجِ، وَعَلَى الْخَلِيَّةِ غَيْرِ ذَاتِ الزَّوْجِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَتْ نَفَقَةُ الزَّوْجِ فِي مَالِهِ، وَنَفَقَةُ غَيْرِ ذَاتِ الزَّوْجِ فِي مَالِهَا كَانَتْ زَكَاةُ الْفِطْرِ تَبَعًا لَهَا، وَلَمَّا وَجَبَتْ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا كَانَتْ زَكَاةُ الْفِطْرِ تَبَعًا لَهَا.
Pertama: bahwa nafkahnya tidak wajib, melainkan ia memiliki hak di Bayt al-Māl yang diberikan karena kebutuhan, karena sisa harta Bayt al-Māl setelah keperluan maslahat dialokasikan untuk kebutuhan. Maka nafkahnya tidak termasuk yang wajib.
Kedua: bahwa meskipun itu termasuk nafkah, namun bukan kewajiban atas imam, melainkan kewajiban pada Bayt al-Māl, dan tugas imam hanyalah mengeluarkannya, sebagaimana nafkah anak yatim wajib dari hartanya, dan wali wajib mengeluarkannya.
Adapun dalil mereka dengan hadis Ibnu ‘Umar, maka jawaban kami untuk istri sama dengan jawaban kami untuk Dāwud tentang budak, dan itu telah lalu.
Adapun qiyās mereka kepada suami dan kepada perempuan yang tidak bersuami (khaliyah ghayr dhāt al-zawj), maka maksudnya adalah: ketika nafkah suami wajib dari hartanya sendiri, dan nafkah perempuan yang tidak bersuami dari hartanya sendiri, maka zakat fitrah menjadi ikutannya. Dan ketika nafkah istri wajib atas suaminya, maka zakat fitrah juga menjadi ikutannya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْكَفَّارَاتِ وَالزَّكَوَاتِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَحَمَّلْ بِالنَّسَبِ وَالْمِلْكِ لَمْ يَتَحَمَّلْ بِالزَّوْجِيَّةِ، وَلَمَّا كَانَتْ زَكَاةُ الْفِطْرِ تُتَحَمَّلُ بِالنَّسَبِ وَالْمِلْكِ جَازَ أَنْ تُتَحَمَّلَ بِالزَّوْجِيَّةِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُسْتَأْجَرَةِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّ نَفَقَتَهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ فَلِذَلِكَ لَمْ تَجِبْ زَكَاةُ فِطْرِهَا، وَلَمَّا كَانَتْ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ وَاجِبَةً، كَانَتْ زَكَاةُ فِطْرِهَا وَاجِبَةً.
Adapun qiyās mereka terhadap kafārāt dan zakāt, maka maknanya adalah: karena tidak ditanggung (kafārat dan zakat) karena hubungan nasab dan kepemilikan, maka tidak pula ditanggung karena hubungan pernikahan.
Namun, karena zakāt al-fiṭr ditanggung karena hubungan nasab dan kepemilikan, maka boleh pula ditanggung karena hubungan pernikahan.
Adapun qiyās mereka terhadap wanita yang disewa (al-musta’jarah), maka maknanya: karena nafkah atasnya tidak wajib, maka sebab itu zakat al-fiṭr atasnya pun tidak wajib.
Namun, ketika nafkah istri adalah wajib, maka zakat al-fiṭr atas dirinya pun menjadi wajib.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَى الزَّوْجِ زَكَاةَ فِطْرِهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَيْفِيَّةِ وُجُوبِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أنها وجبت عليه ابْتِدَاءِ وُجُوبِ حَوَالَةٍ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الزوج معسراً، وهي معسرة لم يلزمها إخراج الزكاة عَنْ نَفْسِهَا، لِأَنَّ الْوُجُوبَ لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهَا ولم يلزم الزوج إخراجها عَنْهَا، لِأَنَّ إِعْسَارَهُ بِهَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِهَا.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa atas suami wajib menunaikan zakat fitrah istrinya, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang cara kewajibannya dalam dua wajah:
Pertama: bahwa kewajibannya atas suami sejak awal, secara langsung, dengan adanya tanggungan nafkah. Maka menurut pendapat ini, jika suami dalam keadaan tidak mampu dan istri pun tidak mampu, maka tidak wajib atas istri menunaikan zakat dari dirinya sendiri, karena kewajiban tidak tertuju kepadanya. Dan tidak pula wajib atas suami menunaikan zakat fitrah istrinya, karena ketidakmampuannya menghalangi kewajiban tersebut.
والوجه الثاني: أنها وجبت ابتداء على الزوج ثُمَّ يَحْمِلُهَا الزَّوْجُ تَحَمُّلَ ضَمَانٍ فَعَلَى هَذَا وهو في الزوج أظهر منه فِي الْعَبْدِ إِنْ كَانَ الزَّوْجُ مُعْسِرًا، وَهِيَ مُوسِرَةٌ وَجَبَ عَلَيْهَا إِخْرَاجُ الْفِطْرَةِ عَنْ نَفْسِهَا لِأَنَّ الْوُجُوبَ قَدْ تَوَجَّهَ إِلَيْهَا، وَالزَّوْجُ بِإِعْسَارِهِ لَا يَتَحَمَّلُ ذَلِكَ عَنْهَا فَإِنْ أَيْسَرَ الزَّوْجُ فِي ثَانِي حَالٍ رَجَعَتْ بِذَلِكَ عَلَيْهِ، كَمَا تَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالنَّفَقَةِ بَعْدَ يَسَارِهِ، فَلَوْ نَشَزَتْ عَلَى زَوْجِهَا عِنْدَ إِهْلَالِ شَوَّالٍ لَمْ تَلْزَمْهُ نَفَقَتُهَا وَلَا زَكَاةُ فِطْرِهَا، لِأَنَّ النَّفَقَةَ تَسْقُطُ بِالنُّشُوزِ وَزَكَاةُ الْفِطْرِ تَابِعَةٌ لَهَا فِي الْوُجُوبِ وَالسُّقُوطِ، وَيَلْزَمُهَا زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِهَا إِنْ كَانَتْ وَاجِدَةً.
Dan wajh (pendapat) kedua: bahwa zakat al-fiṭr itu sejak awal wajib atas suami, kemudian suami menanggungnya dengan tanggungan ḍamān. Maka berdasarkan pendapat ini—dan pendapat ini lebih kuat diterapkan pada suami dibandingkan pada budak—jika suami dalam keadaan fakir dan istri dalam keadaan mampu, maka wajib atas istri mengeluarkan zakat al-fiṭr atas dirinya sendiri, karena kewajiban telah tertuju kepadanya, dan suami—karena kefakirannya—tidak dapat menanggungnya.
Apabila kemudian suami menjadi mampu di waktu berikutnya, maka ia dituntut untuk mengganti (biaya itu) kepada istri, sebagaimana ia dituntut untuk mengganti nafkah setelah ia mampu.
Jika istri membangkang (nusyūz) kepada suaminya saat masuk bulan Syawwāl, maka tidak wajib atas suami memberikan nafkah kepadanya, dan tidak pula zakat al-fiṭr atas dirinya, karena nafkah gugur sebab nusyūz, dan zakat al-fiṭr mengikuti nafkah dalam kewajiban dan ke-gugurannya.
Namun tetap wajib atas istri mengeluarkan zakat al-fiṭr atas dirinya sendiri apabila ia mampu.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُطَلَّقَةُ فَضَرْبَانِ: رَجْعِيَّةٌ وَبَائِنَةٌ فَالرَّجْعِيَّةُ لَهَا النَّفَقَةُ فِي عِدَّتِهَا، وَعَلَى الزوج زكاة فطرها فأما الباين فَلَهَا حَالَانِ حَامِلٌ وَحَائِلٌ، فَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا فَلَهَا السُّكْنَى وَلَا نَفَقَةَ وَلَا يَلْزَمُ الزَّوْجُ لَهَا زَكَاةَ الْفِطْرِ، وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَلَهَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ وَهَلْ عَلَى الزَّوْجِ زَكَاةُ الْفِطْرَةِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي نَفَقَةِ الْحَامِلِ هَلْ وَجَبَتْ لَهَا أَوْ لِحَمْلِهَا، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ النَّفَقَةَ وَجَبَتْ لَهَا فَعَلَى الزَّوْجِ زَكَاةُ فِطْرِهَا تَبَعًا لِلنَّفَقَةِ وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ النَّفَقَةَ تَجِبُ لِحَمْلِهَا لَمْ يَلْزَمِ الزَّوْجُ زَكَاةَ فِطْرِهَا لِأَنَّ النَّفَقَةَ لَيْسَتْ لَهَا، وَالْحَمْلُ لَا يُزَكَّى عَنْهُ.
PASAL
Adapun wanita yang ditalak, terbagi menjadi dua: raj‘i dan bā’in. Wanita raj‘i berhak mendapatkan nafkah selama masa ‘iddah-nya, dan atas suami wajib zakat fitrah untuknya.
Adapun wanita bā’in, maka ia memiliki dua keadaan: hamil dan tidak hamil. Jika ia tidak hamil, maka ia berhak atas tempat tinggal, namun tidak berhak atas nafkah, dan suami tidak wajib menunaikan zakat fitrah untuknya.
Jika ia sedang hamil, maka ia berhak atas tempat tinggal dan nafkah. Apakah atas suami wajib zakat fitrah untuknya? Dalam hal ini terdapat dua wajah yang diturunkan dari perbedaan pendapat imam mengenai nafkah wanita hamil: apakah wajib untuk dirinya atau untuk kandungannya?
Jika dikatakan: nafkah wajib untuk dirinya, maka atas suami wajib menunaikan zakat fitrah untuknya sebagai konsekuensi dari nafkah. Namun jika dikatakan: nafkah itu wajib untuk kandungannya, maka suami tidak wajib menunaikan zakat fitrah untuknya, karena nafkah itu bukan untuk dirinya, dan janin tidak ditunaikan zakat fitrah atasnya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا خَادِمُ الزَّوْجَةِ فَمُعْتَبَرَةٌ بِحَالِهَا، فَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا يُخْدَمُ مِثْلُهَا فِي الْغَالِبِ لِتَبَذُّلِهَا فَلَيْسَ عَلَى الزَّوْجِ إِخْدَامُهَا، وَلَا الْإِنْفَاقُ على خادمها، فإن كان لها خادم فعليه نَفَقَتُهُ وَزَكَاةُ فِطْرِهِ دُونَ الزَّوْجِ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ يُخْدَمُ مِثْلُهَا فِي الْغَالِبِ لِصِيَانَتِهَا وَعُلُوِّ قَدْرِهَا وَجَبَ عَلَيْهِ إِخْدَامُهَا، وَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ بَيْنَ أَنْ يَبْتَاعَ لَهَا خَادِمًا، وَبَيْنَ أَنْ يَسْتَأْجِرَ لَهَا خَادِمًا وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ لَهَا خَادِمٌ فَيَلْتَزِمُ الْإِنْفَاقَ عَلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ أَحَدَ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ وَأَرَادَ أَنْ يَخْدِمَهَا بِنَفْسِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَهُ ذَلِكَ وَلَيْسَ لَهَا مُطَالَبَتُهُ بِإِخْدَامِ غَيْرِهِ لِأَنَّ حَقَّهَا فِي الْخِدْمَةِ لَا فِي أَعْيَانِ الْخَدَمِ.
PASAL
Adapun pembantu (khādim) milik istri, maka keadaannya bergantung pada kondisi istri:
Jika istri termasuk wanita yang pada umumnya tidak dilayani karena hidupnya sederhana dan rendah (tabadzdzul), maka suami tidak wajib menyediakan pelayan untuknya, dan tidak pula menanggung nafkah pelayannya. Maka jika ia memiliki pelayan, maka nafkah dan zakat al-fiṭr pelayan tersebut menjadi tanggungannya (istri), bukan tanggungan suami.
Namun jika istri termasuk wanita yang pada umumnya dilayani karena kehormatan dan kedudukannya yang tinggi, maka wajib bagi suami menyediakan pelayan untuknya. Dan suami diberi pilihan di antara tiga hal:
- membeli pelayan untuknya,
- menyewa pelayan untuknya,
- atau jika istri sudah memiliki pelayan, maka ia (suami) menanggung nafkah pelayan tersebut.
Jika suami tidak melakukan salah satu dari tiga pilihan ini dan ingin melayani istrinya sendiri, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: hal itu boleh baginya, dan sang istri tidak berhak menuntut suami untuk menyediakan pelayan lain, karena haknya adalah mendapatkan pelayanan, bukan pada bentuk atau jenis pelayan tertentu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدِي لَيْسَ لِلزَّوْجِ ذَلِكَ وَلَهَا مُطَالَبَتُهُ بِخَادِمٍ غَيْرِهِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي خِدْمَةِ الزَّوْجِ لَهَا نَقْصًا دَاخِلًا عَلَيْهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا تَحْتَشِمُ فِي الْعَادَةِ مِنِ اسْتِخْدَامِهِ فَيُؤَدِّي ذَلِكَ إِلَى الْإِضْرَارِ بِهَا.
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ هَذِهِ الْجُمْلَةِ نُظِرَ فَإِنِ ابْتَاعَ لَهَا خادماً لزمه نَفَقَتُهُ، وَزَكَاةُ فِطْرِهِ لِأَجْلِ مِلْكِهِ، وَإِنِ اسْتَأْجَرَ لَهَا خَادِمًا لَمْ يَلْزَمْهُ نَفَقَتُهُ، وَلَا زَكَاةُ فطره، وعليه دفع أجرته، وإن أَنْفَقَ عَلَى خَادِمِهَا فَذَاكَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِ لِوُجُوبِ نَفَقَتِهِ، فَإِنْ كَانَ لَهَا خَادِمٌ آخَرُ غَيْرُهُ فَعَلَيْهَا نَفَقَتُهُ وَفِطْرَتُهُ دُونَ الزَّوْجِ لِأَنَّ الزَّوْجَ لَا يَلْزَمُهُ إِلَّا نَفَقَةُ خادم واحد.
PASAL
Wajah yang kedua — dan ini yang ṣaḥīḥ menurutku — adalah bahwa suami tidak boleh (menjadi pelayan untuk istrinya), dan istri berhak menuntut suami untuk menyediakan pelayan selain dirinya, karena dua alasan:
Pertama: bahwa pelayanan suami kepada istri mengandung kekurangan yang mengenai dirinya (istri).
Kedua: bahwa secara adat istri merasa malu untuk mempekerjakan suaminya, yang hal itu akan menyebabkan bahaya baginya.
Apabila telah ditetapkan sebagaimana penjelasan di atas, maka dilihat:
Jika suami membelikan seorang pelayan untuk istrinya, maka ia wajib menanggung nafkah pelayan tersebut dan zakat fitrahnya karena ia adalah miliknya.
Namun jika suami menyewa seorang pelayan untuk istrinya, maka ia tidak wajib menanggung nafkah pelayan tersebut dan tidak pula zakat fitrahnya, tetapi ia wajib membayar upahnya.
Jika suami menafkahi pelayan istrinya, maka itu wajib atasnya, dan wajib pula zakat fitrah pelayan tersebut karena nafkahnya menjadi tanggungannya.
Namun jika istri memiliki pelayan lain selain yang diberikan suami, maka tanggung jawab nafkah dan zakat fitrahnya berada atas istri, bukan suami, karena suami hanya wajib menanggung nafkah satu orang pelayan saja.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُؤَدِّي عَنْ عَبِيدِهِ الْحُضُورِ وَالْغُيَّبِ وَإِنْ لَمْ يَرْجُ رَجْعَتَهُمْ إِذَا عَلِمَ حَيَاتَهُمْ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ حياتهم واحتج في ذلك بابن عمر بأنه كان يؤدي عن غلمانه بوادي القرى (قال المزني) وهذا من قوله أولى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا عَبِيدُهُ الْحُضُورُ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عَلَيْهِ زَكَاةَ فِطْرِهِمْ وَأَمَّا عَبِيدُهُ الْغُيَّبُ فَلَهُمْ حَالَانِ:
Masalah:
berkata asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Ia menunaikan zakat al-fiṭr atas budak-budaknya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, meskipun ia tidak berharap mereka akan kembali, selama ia mengetahui bahwa mereka masih hidup.”
Dan ia berkata dalam bagian lain dari kitab ini: “meskipun ia tidak mengetahui apakah mereka masih hidup.”
Ia berdalil dalam hal ini dengan perbuatan Ibn ‘Umar, bahwa beliau biasa menunaikan zakat al-fiṭr atas para pelayannya yang berada di Wādī al-Qurā.
(kata al-Muzanī: pendapat ini dari beliau lebih kuat.)
berkata al-Māwardī:
Adapun budaknya yang hadir (al-ḥuḍūr), maka telah kami sebutkan bahwa ia wajib menunaikan zakat al-fiṭr atas mereka.
Adapun budaknya yang tidak hadir (al-ghuyyab), maka mereka memiliki dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَ حَيَاتَهُمْ فَعَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ سَوَاءٌ كَانَ يَعْرِفُ مَكَانَهُمْ وَيَرْجُو رَجْعَتَهُمْ أَمْ لَا.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَلْزَمُهُ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ إِذَا أَبِقُوا لِعَدَمِ تَصَرُّفِهِ كَمَا لَا يَلْزَمُهُ زَكَاةُ مَالِهِ الْغَائِبِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ، مَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يُؤَدِّي عَنْ غِلْمَانِهِ بِوَادِي القرى،وَلِأَنَّ زَكَاةَ فِطْرِهِمْ تَجِبُ لِأَجْلِ الْمِلْكِ لَا لِأَجْلِ التَّصَرُّفِ بِدَلِيلِ، أَنَّ الْعَبْدَ لَوْ كَانَ زَمِنًا لَا يَقْدِرُ عَلَى التَّصَرُّفِ لَزِمَتْهُ نَفَقَتُهُ، وَزَكَاةُ فِطْرِهِ فَأَمَّا الْمَالُ الْغَائِبُ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وبين العبد مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِمْكَانَ التَّصَرُّفِ شَرْطٌ فِي زَكَاةِ الْمَالِ فَلَمْ يَجِبْ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ، إِذَا كَانَ غَائِبًا لِعَدَمِ التَّصَرُّفِ، وَلَيْسَ إِمْكَانُ التَّصَرُّفِ شَرْطًا فِي فِطْرَةِ الْعَبْدِ فَلَزِمَ إِخْرَاجُ فِطْرَتِهِ، وَإِنْ كَانَ غَائِبًا لَا يَقْدِرُ عَلَى التَّصَرُّفِ.
Pertama: apabila ia mengetahui bahwa budak-budaknya masih hidup, maka wajib atasnya zakat fitrah mereka, baik ia mengetahui tempat mereka dan berharap mereka akan kembali, maupun tidak.
Abu Ḥanīfah berkata: tidak wajib atasnya zakat fitrah mereka apabila mereka lari (membangkang), karena ia tidak bisa berkuasa atas mereka, sebagaimana tidak wajib atasnya zakat atas hartanya yang sedang ghaib.
Adapun dalil yang menunjukkan kewajiban tersebut adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa beliau menunaikan zakat fitrah untuk budak-budaknya yang berada di Wādī al-Qurā.
Dan karena zakat fitrah mereka diwajibkan karena sebab kepemilikan, bukan karena bisa berkuasa atas mereka. Dalilnya adalah, jika seorang budak dalam keadaan uzur (zaman) yang tidak bisa bertindak, tetap wajib atas tuannya memberi nafkah dan menunaikan zakat fitrahnya.
Adapun perbedaan antara harta ghaib dan budak adalah dari dua sisi:
Pertama: bahwa kemampuan untuk bertindak adalah syarat dalam zakat harta, maka tidak wajib menunaikan zakatnya apabila hartanya sedang ghaib karena tidak bisa dikuasai; sedangkan dalam zakat fitrah budak, kemampuan bertindak bukanlah syarat, maka wajib menunaikan zakat fitrahnya walaupun budak itu sedang ghaib dan tidak bisa bertindak.
وَالثَّانِي: أَنَّ زَكَاةَ الْمَالِ إِخْرَاجُ قَدْرٍ مِنْهُ فَإِذَا لَمْ يَحْضُرْ لَمْ تَجِبْ وَلَيْسَ فِطْرَةُ الْعَبْدِ مِنْهُ فَجَازَ، إِنْ لَمْ يَحْضُرْ أن تجب.
والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا تُعْلَمَ حَيَاتُهُمْ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا إِنَّهُ يُؤَدِّي عَنْهُمُ الزَّكَاةَ وَإِنْ لَمْ يَرْجُ رَجْعَتَهُمْ إِذَا عَلِمَ حَيَاتَهُمْ وَكَانَ مَفْهُومُهُ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَعْلَمْ حَيَاتَهُمْ لَمْ يُؤَدِّ عَنْهُمْ.
وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ يُؤَدِّي عنهم وإن لم يعلم حياتهم.
Keadaan kedua: bahwa zakat al-māl adalah mengeluarkan sebagian dari harta itu sendiri. Maka jika budak tidak hadir, tidak wajib mengeluarkannya, karena zakat itu bagian dari harta yang tidak berada di hadapan pemiliknya.
Sedangkan zakat al-fiṭr atas budak bukan berasal dari harta budak itu sendiri, maka sah saja jika ia tidak hadir namun tetap wajib zakatnya.
Adapun keadaan kedua (dari budak yang ghaib): yaitu jika tidak diketahui apakah mereka masih hidup atau tidak. Maka asy-Syāfi‘ī berkata di sini: “Ia menunaikan zakat al-fiṭr atas mereka meskipun tidak berharap mereka akan kembali, jika ia mengetahui bahwa mereka masih hidup.” Maka mafhūm-nya: jika ia tidak mengetahui keadaan hidup mereka, maka ia tidak menunaikannya atas mereka.
Namun di tempat lain, asy-Syāfi‘ī berkata: “Ia tetap menunaikannya atas mereka meskipun ia tidak mengetahui apakah mereka masih hidup.”
واختلف أَصْحَابُنَا فَكَانَ مِنَ الْمُتَقَدِّمِينَ وَسَاعَدَهُمُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يُخَرِّجُونَ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ حَيَاتِهِمْ، وَوُجُوبُ فطرهم فلا تسقط بالشك، ولأنه لو أعتقهم عن كفارة قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا لَمْ يُجْزِهِ إِلْغَاءٌ لِحُكْمِ حَيَاتِهِمْ فَكَذَلِكَ لَا تَلْزَمُهُ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ إِلْغَاءً لِحُكْمِ حَيَاتِهِمْ، وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَهُوَ الصَّحِيحُ جَعَلَ الْمَسْأَلَةَ قَوْلًا وَاحِدًا: إنَّ زَكَاةَ فِطْرِهِمْ وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ فَعَلَى هَذَا الْفَرْقُ بَيْنَ هذا والكفارة، هُوَ أَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْكَفَّارَةِ فِي ذِمَّتِهِ يَتَعَيَّنُ فَلَا يَسْقُطُ فَرْضُهَا بِالشَّكِّ، وَالْأَصْلُ حَيَاةُ الْغَائِبِ فَلَمْ تَسْقُطْ زَكَاةُ فِطْرِهِ بِالشَّكِّ فَبِالْمَعْنَى الَّذِي احْتِيطَ فِي الْكَفَّارَةِ فَلَمْ يَسْقُطْ فَرْضُهَا بِالشَّكِّ بِمِثْلِهِ احْتِيطَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرَةِ فَلَمْ يسقط فرضها بالشك.
Para sahabat kami berselisih pendapat. Sebagian dari kalangan terdahulu — dan Ibn Abī Hurayrah mendukung mereka — menurunkan masalah ini kepada dua pendapat:
Pertama: wajib atasnya menunaikan zakat fitrah mereka, karena hukum asalnya adalah tetapnya kehidupan mereka, dan kewajiban zakat fitrah tidak gugur hanya karena keraguan. Karena seandainya ia memerdekakan mereka sebagai tebusan kafarah, al-Syafi‘i berkata di sini: “tidak sah,” sebagai bentuk pembatalan terhadap hukum kehidupan mereka. Maka demikian pula, tidak gugur darinya zakat fitrah mereka sebagai bentuk pembatalan terhadap hukum kehidupan mereka.
Abu Isḥāq al-Marwazī — dan ini yang ṣaḥīḥ — menjadikan masalah ini satu pendapat saja, yaitu: bahwa zakat fitrah mereka wajib atasnya. Maka menurut pendapat ini, perbedaan antara ini (zakat fitrah) dan kafarah adalah: bahwa hukum asal kafarah tetap berada dalam tanggungan (dzimmah)-nya dan menjadi ketetapan, maka tidak gugur kewajibannya karena keraguan. Dan hukum asal kehidupan orang yang ghaib itu tetap ada, maka zakat fitrah mereka tidak gugur karena keraguan. Maka dengan alasan yang karenanya kafarah tidak gugur karena keraguan, dengan alasan yang sama pula zakat fitrah tidak gugur karena keraguan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويزكي عمن كان مرهوناً أو مغصوباً على كل حالٍ ورقيقٍ رقيقه. ورقيقُ الخدمة والتجارة سواءٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْعَبْدُ الْمَرْهُونُ فَزَكَاةُ فِطْرِهِ وَاجِبَةٌ عَلَى سَيِّدِهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (أَدُّوا صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَمَنْ تَمُونُونَ) وَلِأَنَّ زَكَاةَ الْمَالِ أَوْكَدُ مِنْ زَكَاةِ الْفِطْرِ لِتَعَلُّقِهَا بِالْعَيْنِ فَلَمَّا لَمْ يَمْنَعِ الرَّهْنُ زَكَاةَ الْمَالِ كَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَمْنَعَ زَكَاةَ الْفِطْرِ وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ زَكَاةَ فِطْرِهِ وَاجِبَةٌ، لَزِمَ السَّيِّدُ إِخْرَاجَهَا مِنْ مَالِهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِخْرَاجُهَا مِنْ رَقَبَتِهِ لِأَنَّهَا تَابِعَةٌ لِمُؤْنَتِهِ وَمُؤْنَتُهُ فِي ماله فذلك زكاة فِطْرِهِ وَهَذَا يُخَالِفُ الْمَالَ الْمَرْهُونَ حَيْثُ أُخْرِجَتْ زَكَاتُهُ مِنْهُ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِأَنَّ فِطْرَةَ الْعَبْدِ فِي ذِمَّةِ سَيِّدِهِ، وَزَكَاةَ الْمَالِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فِي عَيْنِهِ فَأَمَّا الْعَبْدُ الْمَغْصُوبُ فَزَكَاةُ فِطْرِهِ وَاجِبَةٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيُزَكِّي عَمَّنْ كَانَ مَرْهُونًا، أَوْ مَغْصُوبًا وَرُوِيَ مَغْصُوبًا يَعْنِي زَمِنًا وَأَيُّهُمَا كَانَ فَزَكَاةُ فِطْرِهِ وَاجِبَةٌ، لِأَنَّهَا مُتَعَلِّقَةٌ بِالْمِلْكِ دُونَ التَّصَرُّفِ.
Masalah:
berkata asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Ia menunaikan zakat al-fiṭr atas budaknya yang tergadai atau yang diguṣub dalam segala keadaan, baik budak biasa maupun budak untuk pelayanan ataupun perdagangan—semuanya sama.”
berkata al-Māwardī:
Adapun budak yang tergadai (al-marhūn), maka zakat al-fiṭr-nya wajib atas tuannya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tunaikanlah ṣadaqah al-fiṭr atas orang-orang yang kalian tanggung.”
Dan karena zakat al-māl lebih kuat kedudukannya daripada zakat al-fiṭr, sebab zakat al-māl terkait langsung dengan ‘ayn (zat harta), maka ketika zakat al-māl tidak gugur dengan sebab status gadai, maka lebih layak lagi zakat al-fiṭr tidak gugur karena status tersebut.
Jika telah tetap bahwa zakat al-fiṭr budak yang tergadai itu wajib, maka wajib atas tuannya untuk mengeluarkannya dari hartanya sendiri. Ia tidak boleh mengeluarkannya dari badan (harga) budak itu, karena zakat ini merupakan bagian dari tanggungan nafkah budak, sedangkan nafkahnya ditanggung dari harta tuannya. Maka begitu pula zakat al-fiṭr-nya.
Hal ini berbeda dengan harta yang tergadai (al-māl al-marhūn), di mana zakatnya boleh dikeluarkan dari harta itu sendiri menurut salah satu dari dua pendapat, karena zakat al-fiṭr budak adalah tanggungan yang melekat dalam żimmah (kewajiban pribadi) tuannya, sedangkan zakat harta menurut salah satu dari dua pendapat adalah tanggungan yang melekat pada ‘ayn harta tersebut.
Adapun budak yang diguṣub (al-maghsūb), maka zakat al-fiṭr-nya juga wajib. Asy-Syāfi‘ī berkata: “Ia menunaikan zakat atas budak yang tergadai atau diguṣub.”
Dan dalam riwayat lain disebutkan “maghsūb” maksudnya “zamīn” (yang ditanggung kerugiannya).
Maka dalam kedua keadaan tersebut, zakat al-fiṭr-nya tetap wajib, karena kewajibannya berkaitan dengan milk (kepemilikan), bukan dengan kemampuan untuk mengelola atau memanfaatkan.
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَيُؤَدِّي عَنْ رَقِيقِ رَقِيقِهِ، لأنها رَقِيقُهُ وَهَذَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ حَيْثُ قَالَ الْعَبْدُ لَا يَمْلِكُ إِذَا مُلِكَ فَإِذَا مَلَكَ عَبْدُهُ الْمَأْذُونُ لَهُ فِي التِّجَارَةِ عَبِيدًا فَعَلَى السَّيِّدِ زَكَاتُهُ وَزَكَاةُ عَبِيدِهِ لِأَنَّهُمْ عَبِيدُهُ، فَأَمَّا عَلَى الْقَدِيمِ حَيْثُ قَالَ الْعَبْدُ يَمْلِكُ إِذَا مُلِكَ فَفِي زَكَاةِ فِطْرِهِمْ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وهو أظهر أَنَّهُ لَا يَلْزَمُ السَّيِّدُ زَكَاةَ فِطْرِهِمْ لِأَنَّهُمْ عَلَى مِلْكِ غَيْرِهِ وَلَا يَلْزَمُ الْعَبْدُ الْمَالِكُ لَهُمْ زَكَاةَ فِطْرِهِمْ لِأَجْلِ رِقِّهِ، وَنَقْصِ مِلْكِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ عَلَى السَّيِّدِ زَكَاةَ فِطْرِهِمْ لِأَنَّ لَهُ انْتِزَاعَهُمْ مِنْ يَدِ عَبْدِهِ فَجَرَى عَلَيْهِمْ حُكْمُ مِلْكِهِ.
PASAL
Al-Syafi‘i berkata: “Boleh menunaikan zakat fitrah atas budak dari budaknya,” karena budak itu miliknya. Ini berdasarkan pendapat beliau dalam qaul jadīd, yaitu ketika beliau berkata bahwa budak tidak memiliki apabila dimiliki. Maka jika budaknya yang diberi izin berdagang memiliki budak, maka zakat fitrah budak itu dan budak-budaknya wajib atas tuannya, karena mereka semua adalah budaknya.
Adapun menurut qaul qadīm, yaitu ketika beliau berkata bahwa budak dapat memiliki apabila dimiliki, maka dalam zakat fitrah budak-budak tersebut terdapat dua pendapat:
Pertama — dan ini yang lebih kuat — bahwa tidak wajib atas tuan menunaikan zakat fitrah mereka, karena mereka berada dalam kepemilikan orang lain (yakni budaknya), dan tidak wajib pula atas budak yang memilikinya menunaikan zakat fitrah mereka karena statusnya sebagai budak, dan karena kepemilikannya tidak sempurna.
Pendapat kedua: bahwa wajib atas tuan menunaikan zakat fitrah mereka, karena ia berhak mengambil mereka dari tangan budaknya, maka hukum kepemilikan tetap berlaku atas mereka.
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَرَقِيقُ الْخِدْمَةِ وَرَقِيقُ التِّجَارَةِ سَوَاءٌ، وَهَذَا قَالَهُ رَدًّا عَلَى أبي حنيفة، حَيْثُ قَالَ فِيمَنْ مَلَكَ عبيد للتجارة أنه لا يجب عليه زكاة فطرهم لأن لا يَجْتَمِعَ زَكَاتَانِ فِي مَالٍ وَاحِدٍ وَعِنْدَنَا عَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ، وَزَكَاةُ التِّجَارَةِ عَنْ قِيمَتِهِمْ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ، فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي بَابِ زكاة التجارة.
PASAL
asy-Syāfi‘ī berkata: “Budak untuk pelayanan (raqīq al-khidmah) dan budak untuk perdagangan (raqīq at-tijārah) itu sama.”
Dan beliau mengatakan ini sebagai bantahan terhadap Abū Ḥanīfah, yang berpendapat bahwa orang yang memiliki budak-budak untuk perdagangan tidak wajib atasnya zakat al-fiṭr mereka, agar tidak berkumpul dua zakat dalam satu harta.
Sedangkan menurut kami (mazhab Syāfi‘ī), wajib atasnya zakat al-fiṭr untuk mereka, dan juga zakat perdagangan atas nilai mereka.
Dan telah lalu pembahasan mengenai masalah ini dalam Bāb Zakāt at-Tijārah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن كان فيمن يَمُونُ كافرٌ لَمْ يُزَكِّ عَنْهُ لِأَنَّهُ لَا يطهر بالزكاة إلا مسلم قال محمد وابن عاصم قال سمعت المعضوب الذي لا منفعة فيه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْكَافِرَ لَا تَلْزَمُهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ وَدَلِيلُنَا عَلَيْهِ وَهُوَ إِجْمَاعٌ فَأَمَّا الْمُسْلِمُ إِذَا لَزِمَتْهُ مُؤْنَةُ كَافِرٍ مِنْ ولد أو والداً وزوجة أبو عَبْدٍ فَعَلَيْهِ نَفَقَتُهُمْ دُونَ زَكَاةِ فِطْرِهِمْ.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا مَلَكَ الْمُسْلِمُ عَبْدًا كَافِرًا لَزِمَتْهُ زَكَاةُ فِطْرِهِ احْتِجَاجًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (أدوا زكاة الفطر بمن تَمُونُونَ) وَلَمْ يُفَصِّلْ وَلِأَنَّهُ مِلْكٌ لِمُسْلِمٍ فَجَازَ أَنْ تَلْزَمَهُ زَكَاةُ فِطْرِهِ كَالْعَبْدِ الْمُسْلِمِ، وَلِأَنَّ اعْتِبَارَ حَالَ السَّيِّدِ الدَّافِعِ أَوْلَى مِنَ اعْتِبَارِ حَالِ الْعَبْدِ الْمَدْفُوعِ عَنْهُ لِأَمْرَيْنِ:
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika di antara orang-orang yang ditanggung nafkahnya terdapat orang kafir, maka tidak boleh dizakati (fitrahnya), karena yang dapat disucikan oleh zakat hanyalah seorang Muslim.” Muhammad dan Ibn ‘Āṣim berkata: “Aku mendengar (bahwa) orang yang ma‘ḍūb (yakni orang yang tidak ada manfaatnya)…”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa orang kafir tidak wajib atasnya zakat fitrah, dan dalil kami atas hal ini adalah ijmā‘.
Adapun seorang Muslim yang wajib menanggung nafkah orang kafir — baik anak, orang tua, istri, atau budak — maka ia wajib menanggung nafkah mereka, namun tidak wajib zakat fitrah mereka.
Abu Ḥanīfah berkata: Apabila seorang Muslim memiliki budak kafir, maka wajib atasnya zakat fitrah budak itu. Ia berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Tunaikan zakat fitrah dari orang-orang yang kalian tanggung nafkahnya”, tanpa ada perincian. Dan karena ia adalah milik seorang Muslim, maka boleh jadi wajib atasnya zakat fitrah, sebagaimana halnya budak Muslim.
Dan karena memperhatikan keadaan tuan yang membayar lebih utama daripada memperhatikan keadaan budak yang dibayarkan zakatnya, dengan dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَجِبُ عَلَى السَّيِّدِ دُونَ الْعَبْدِ فَكَانَ اعْتِبَارُ من وجب عَلَيْهِ أَوْلَى.
وَالثَّانِي: أَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ تَجِبُ بِشَرْطَيْنِ الْإِسْلَامِ وَالْمَالِ، فَلَمَّا كَانَ أَحَدُ الشَّرْطَيْنِ وَهُوَ الْمَالُ مُعْتَبَرًا بِالسَّيِّدِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الشَّرْطُ الثَّانِي وَهُوَ الْإِسْلَامُ مُعْتَبَرًا بِالسَّيِّدِ، وَإِذَا كَانَ اعْتِبَارُ حَالِ السَّيِّدِ أَوْلَى لَزِمَتْهُ فِطْرَةُ عَبْدِهِ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ كَافِرًا كَمَا يَلْزَمُهُ فِطْرَةُ عَبْدِهِ إِذَا كَانَ مُوسِرًا، وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ مُعْسِرًا وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ إِلَى أَنْ قَالَ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وعبدٍ ذكرٍ وَأُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ) فقيده بالإسلام.
Pertama: bahwa zakat al-fiṭr itu wajib atas sayyid (tuan), bukan atas budak, maka yang dijadikan acuan adalah siapa yang wajib atasnya, dan ini lebih utama.
Kedua: bahwa zakat al-fiṭr itu wajib dengan dua syarat: Islam dan kemampuan harta. Maka ketika salah satu syarat—yaitu harta—dihubungkan pada sayyid, maka wajib pula menjadikan syarat kedua—yaitu Islam—dihubungkan pada sayyid.
Dan apabila acuan pada keadaan sayyid itu lebih utama, maka wajib baginya zakat al-fiṭr atas budaknya apabila sayyid itu Muslim, meskipun budaknya kafir, sebagaimana ia wajib menunaikan zakat al-fiṭr atas budaknya jika ia orang kaya, walaupun budaknya fakir.
Dan dalil atas apa yang kami sampaikan adalah hadis Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW “mefarḍukan ṣadaqah al-fiṭr…” hingga beliau bersabda: “…atas setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan dari kalangan Muslimin.” Maka beliau membatasi dengan syarat Islam.
وَرَوَى الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” ما على المسلم زكاة في عبده ولا فَرَسِهِ إِلَّا صَدَقَةُ الْفِطْرِ ” وَإِنَّ عَلَى كُلِّ نفس مسلمة حرة أو مملوكة صدقة، وكان وُجُوبُ صَدَقَةِ الْفِطْرِ فِي هَذِهِ الْأَخْبَارِ مُقَيَّدًا بِالْإِسْلَامِ، فَلَمْ تَجِبْ بِفَقْدِهِ وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ طهرةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ والرفث وطعمةٌ للمساكين، فأخبر أَنَّهَا طُهْرَةٌ وَالْكَافِرُ لَا يَتَطَهَّرُ بِهَا وَأَنَّهَا للصائم، والكافر لا صوم له فثبت، أَنَّهَا لَا تَجِبُ عَلَى الْكَافِرِ وَلَا عَنِ الْعَبْدِ الْكَافِرِ، وَلِأَنَّهُ مَمْلُوكٌ مُشْرِكٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَ زَكَاةُ فِطْرِهِ كَمَا لَوْ كَانَ مِلْكًا لِمُشْرِكٍ، وَلِأَنَّ وُجُوبَ أَدَاءِ الْفِطْرَةِ عَنْ نفسه أوكد من وجوب أدائه عَنْ غَيْرِهِ لِأَمْرَيْنِ:
Diriwayatkan oleh al-Ḍaḥḥāk bin ‘Uthmān dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada zakat atas seorang Muslim dalam hal budaknya maupun kudanya, kecuali zakat fitrah.” Dan bahwa atas setiap jiwa Muslim — merdeka atau budak — wajib zakat. Maka kewajiban zakat fitrah dalam hadis-hadis ini dikaitkan dengan keislaman, sehingga tidaklah wajib jika tidak ada (keislaman).
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari ucapan sia-sia dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka beliau memberitakan bahwa zakat fitrah itu adalah penyucian, dan orang kafir tidak dapat disucikan dengannya, serta bahwa ia adalah untuk orang yang berpuasa, sedangkan orang kafir tidak memiliki puasa. Maka tetaplah bahwa zakat fitrah tidak wajib atas orang kafir, dan tidak pula atas budak kafir.
Karena ia adalah budak musyrik, maka tidak wajib atasnya zakat fitrah, sebagaimana jika ia adalah milik orang musyrik.
Dan karena kewajiban menunaikan zakat fitrah atas dirinya sendiri lebih ditekankan daripada kewajiban menunaikannya atas orang lain, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَصْلٌ وَهُمْ فَرْعٌ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِذَا ضَاقَ مَالُهُ عَنْ جَمِيعِهِمْ بَدَأَ بِأَدَائِهَا عَنْ نَفْسِهِ، فَالْبِدَايَةُ إِنَّمَا تَكُونُ بِالْأَوْكَدِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْكُفْرَ مُؤَثِّرٌ فِي إِسْقَاطِهَا عَنْ نَفْسِهِ فَلَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ كَافِرًا كَانَ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مُؤَثِّرًا فِي إِسْقَاطِهَا عَنْ عَبْدِهِ، إِذَا كَانَ كَافِرًا، وَلِأَنَّ الْإِسْلَامَ شَرْطٌ مُعْتَبَرٌ فِي وُجُوبِ الْفِطْرَةِ بِإِجْمَاعٍ وَلَيْسَ يَخْلُو أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا فِي الدَّافِعِ أَوِ الْمَدْفُوعِ عَنْهُ أَوْ فِيهِمَا جَمِيعًا مَعًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا فِي الدَّافِعِ وَحْدَهُ، لِأَنَّهُ يَتَحَمَّلُ عَنْ غَيْرِهِ، وَلَا فِي الْمَدْفُوعِ عَنْهُ وَحْدَهُ لِأَنَّ وُجُوبَهَا على غيره فثبت أنه معتبر فيهما مَعَ كَوْنِهِ عَامًّا، وَعَلَى الْأُصُولِ فِي ذَوِي الألباب مطرداً، وبهذا يبطل استدلاله وتعارض قِيَاسَهُ وَبِخَبَرِنَا نَخُصُّ خَبَرَهُ.
Pertama: karena ia (tuan) adalah aṣl (induk/pokok) dan mereka (budak) adalah far‘ (cabang/tanggungan).
Kedua: bahwa jika hartanya tidak mencukupi untuk membayar zakat al-fiṭr seluruh tanggungannya, maka ia memulai dengan menunaikannya untuk dirinya sendiri. Dan permulaan itu hanya dilakukan dari yang paling dikuatkan.
Kemudian telah tetap bahwa kekufuran itu berpengaruh dalam menggugurkan kewajiban zakat al-fiṭr atas dirinya sendiri—yakni zakat tidak wajib atas orang kafir—maka lebih utama lagi jika kekufuran itu juga berpengaruh dalam menggugurkannya atas budaknya apabila ia kafir.
Dan karena Islam adalah syarat yang diperhitungkan dalam wajibnya zakat al-fiṭr menurut ijmā‘, maka tidak lepas dari tiga keadaan: apakah syarat itu diperhitungkan pada pihak yang membayar, atau pada pihak yang dibayarkan (budak), atau pada keduanya sekaligus.
Maka tidak boleh hanya diperhitungkan pada pihak yang membayar semata, karena ia menanggung orang lain; dan tidak pula pada pihak yang dibayarkan semata, karena kewajibannya ada pada pihak lain (tuan).
Maka tetaplah bahwa Islam itu diperhitungkan pada keduanya sekaligus, dan hal ini bersifat umum, serta berjalan lurus sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang ditetapkan oleh orang-orang yang berakal.
Dengan ini, batallah istidlāl (pengambilan dalil) lawan, dan qiyās-nya pun bertentangan. Dan dengan hadis kami, kami mengkhususkan hadisnya.
فَصْلٌ
: فَلَوْ مَلَكَ الْمُسْلِمُ عَبْدًا مُسْلِمًا فَارْتَدَّ الْعَبْدُ عَنِ الْإِسْلَامِ فِي هِلَالِ شَوَّالٍ ثُمَّ عَادَ بَعْدَ ذَلِكَ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَفِي وُجُوبِ زَكَاةِ فِطْرِهِ عَلَى السَّيِّدِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ مُخَرَّجَةٍ مِنِ اخْتِلَافِ أَقَاوِيلِهِ فِي رِدَّةِ رَبِّ الْمَالِ فِي حَوْلِهِ، هَلْ تُؤَثِّرُ فِي إِسْقَاطِ زَكَاتِهِ.
أَحَدُهَا: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّ رَبَّ الْمَالِ إِذَا عَادَ اسْتَأْنَفَ حَوْلَهُ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ عَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِ، وَعَلَى الْقَوْلِ الْآخَرِ في رب المال أن عَلَيْهِ زَكَاةُ مَالِهِ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ أَوْ لَمْ يَعُدْ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا مَوْقُوفَةٌ عَلَى إِسْلَامِهِ إِذَا قُلْنَا: إِنَّ زَكَاةَ رَبِّ الْمَالِ مَوْقُوفَةٌ فإن عاد إلى الإسلام وجبت عنه الْفِطْرَةُ، وَإِنْ لَمْ يَعُدْ لَمْ تَجِبْ كَمَا إِذَا عَادَ رَبُّ الْمَالِ إِلَى الْإِسْلَامِ وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ مَالِهِ وَإِنْ لَمْ يَعُدْ لَمْ يَجِبْ.
PASAL
Jika seorang Muslim memiliki budak Muslim, lalu budak itu murtad dari Islam pada awal bulan Syawwal, kemudian setelah itu kembali masuk Islam, maka kewajiban zakat fitrah atas tuannya diperselisihkan dalam tiga wajah, yang diturunkan dari perbedaan pendapat tentang murtadnya pemilik harta dalam satu tahun haul, apakah itu berpengaruh dalam menggugurkan zakatnya atau tidak:
Pertama: tidak wajib apa pun atasnya, menurut pendapat yang menyatakan bahwa jika pemilik harta murtad lalu kembali masuk Islam, maka haul-nya dihitung ulang dari awal.
Kedua — dan ini yang aṣaḥḥ — wajib atasnya zakat fitrah, sebagaimana pendapat lain dalam masalah pemilik harta: bahwa zakat hartanya tetap wajib, baik ia kembali masuk Islam ataupun tidak.
Ketiga: zakat fitrahnya tergantung pada kembalinya budak itu kepada Islam. Jika kita mengatakan bahwa zakat pemilik harta juga tergantung, maka apabila ia kembali masuk Islam, wajib zakat fitrah atasnya; dan jika tidak kembali, maka tidak wajib — sebagaimana jika pemilik harta kembali masuk Islam, maka wajib zakat hartanya, dan jika tidak kembali, maka tidak wajib.
فَصْلٌ
: فَلَوْ مَلَكَ الْكَافِرُ عَبْدًا مُسْلِمًا، إما بأن كان العبد كَافِرًا فَأَسْلَمَ، وَأَهَّلَ شَوَّالٌ قَبْلَ انتزاعه من يده أو كانت أُمُّ وَلَدِهِ كَافِرَةً فَأَسْلَمَتْ فَهَلْ عَلَى السَّيِّدِ إِخْرَاجُ الْفِطْرَةِ عَنْهُ، عَلَى وَجْهَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي كَيْفِيَّةِ وُجُوبِهَا عَلَى السَّيِّدِ.
أحدهما: عليه إخراجها عنه إِذَا قِيلَ: إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الْعَبْدِ وَإِنَّ السَّيِّدَ يَتَحَمَّلُهَا عَنْهُ تَحَمُّلَ ضَمَانٍ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِذَا قِيلَ: إِنَّهَا وَجَبَتِ ابْتِدَاءً عَلَى السَّيِّدِ وُجُوبَ حَوَالَةٍ.
PASAL
Jika seorang kafir memiliki seorang budak Muslim—baik karena budak itu awalnya kafir lalu masuk Islam, dan bulan Syawwāl telah masuk sebelum budak itu dicabut dari kekuasaannya, atau karena umm al-walad-nya kafir lalu masuk Islam—maka apakah wajib atas tuannya (yang kafir) untuk mengeluarkan zakat al-fiṭr atasnya?
Terdapat dua wajah (pendapat), yang dibangun atas perbedaan dua wajah dalam memahami bagaimana zakat al-fiṭr itu diwajibkan atas tuan:
Pertama: wajib atasnya mengeluarkannya, jika dikatakan bahwa zakat itu sebenarnya wajib atas budak, dan tuan hanya menanggungnya sebagai tanggungan jaminan (taḥammul ḍamān).
Wajah kedua: tidak ada kewajiban atasnya jika dikatakan bahwa zakat al-fiṭr itu sejak awal wajib atas tuan secara langsung sebagai bentuk tanggungan pokok (wujūb ḥawālah).
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ وَلَدُهُ فِي وِلَايَتِهِ لَهُمْ أَمْوَالٌ زكى منها عنهم إلا أن يتطوع فيجزي عنهم “.
قال الماوردي: قد ذكرنا أن زكاة الفطر تابعة للمنفعة فَإِذَا كَانَ لِلرَّجُلِ أَوْلَادٌ صِغَارٌ فِي وِلَايَتِهِ، وَلَهُمْ أَمْوَالٌ فَنَفَقَتُهُمْ وَزَكَاةُ فِطْرِهِمْ فِي أَمْوَالِهِمْ دُونَ مَالِ أَبِيهِمْ، وَهُوَ قَوْلُ الْجَمَاعَةِ إِلَّا محمد بن الحسن وزفر بن الهذيل، فَإِنَّهُمَا أَوْجَبَا نَفَقَةَ الْأَطْفَالِ فِي أَمْوَالِهِمْ وَزَكَاةَ فِطْرِهِمْ عَلَى أَبِيهِمْ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَدُّوا زَكَاةَ الْفِطْرِ عَمَّنْ تَمُونُونَ ” وَمُؤْنَةُ الْأَطْفَالِ فِي أَمْوَالِهِمْ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ تَابِعَةً لِلنَّفَقَةِ فِي أَمْوَالِهِمْ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْبَالِغَ لَمَّا وَجَبَتْ نَفَقَتُهُ فِي مَالِهِ وَجَبَتْ زَكَاةُ فِطْرِهِ فِي مَالِهِ وَالصَّغِيرُ الْفَقِيرُ لَمَّا وَجَبَتْ نَفَقَتُهُ عَلَى أَبِيهِ، وَجَبَتْ زَكَاةُ فِطْرِهِ عَلَى أَبِيهِ وَكَذَا الصَّغِيرُ الْغَنِيُّ، لَمَّا وَجَبَتْ نَفَقَتُهُ فِي مَالِهِ وَجَبَتْ زَكَاةُ فِطْرِهِ فِي مَالِهِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا فِي أَمْوَالِهِمْ فَإِنْ تَطَوَّعَ الْأَبُ فَأَخْرَجَهَا عَنْهُمْ مِنْ مَالِهِ، أَجْزَأَ، وَكَانَ مُتَطَوِّعًا بِهَا، وَلَوْ كَانَ الْوَالِي عَلَيْهِمْ أمين حاكم وجب في أموالهم لوفاق محمد وزفر وَيَتَوَلَّى الْأَمِينُ إِخْرَاجَهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَإِنْ تَطَوَّعَ الْأَمِينُ فَأَخْرَجَهَا عَنْهُمْ مِنْ مَالِهِ مُتَطَوِّعًا بِهَا لَمْ يُجْزِهِمْ، وَفَرَّقَ أَصْحَابُنَا بَيْنَ الْأَبِ وَالْأَمِينِ بِأَنَّ الْأَبَ لَمَّا جَازَ أَنْ يَحُجَّ بِهِمْ جَازَ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِزَكَاةِ فِطْرِهِمْ، وَلَمَّا لَمْ يَجُزْ لِلْأَمِينِ أَنْ يَحُجَّ بِهِمْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِزَكَاةِ فِطْرِهِمْ، وَفِيهِ عِنْدِي نَظَرٌ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika anak-anaknya berada dalam wali asuhannya dan mereka memiliki harta, maka ia tidak menunaikan zakat atas mereka dari hartanya, kecuali jika ia bersedekah secara sukarela, maka itu sah dari mereka.”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa zakat fitrah itu mengikuti tanggungan nafkah. Maka apabila seseorang memiliki anak-anak kecil yang berada dalam wilāyah-nya, dan mereka memiliki harta, maka nafkah mereka dan zakat fitrah mereka diambil dari harta mereka sendiri, bukan dari harta ayah mereka. Ini adalah pendapat jumhur kecuali Muḥammad ibn al-Ḥasan dan Zafar ibn al-Hudhayl. Keduanya mewajibkan nafkah anak-anak dari harta mereka, tetapi zakat fitrahnya wajib atas ayah mereka. Dan ini tidaklah ṣaḥīḥ, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tunaikanlah zakat fitrah dari orang-orang yang kalian tanggung nafkahnya.”
Sementara itu, nafkah anak-anak tersebut berasal dari harta mereka sendiri, maka wajiblah zakat fitrah mereka mengikuti nafkah, yakni diambil dari harta mereka. Tidakkah engkau melihat bahwa orang dewasa, ketika nafkahnya wajib dari hartanya, maka zakat fitrahnya juga wajib dari hartanya; dan anak kecil yang fakir, ketika nafkahnya wajib atas ayahnya, maka zakat fitrahnya juga wajib atas ayahnya; dan begitu pula anak kecil yang kaya, ketika nafkahnya wajib dari hartanya sendiri, maka zakat fitrahnya juga wajib dari hartanya.
Jika telah tetap bahwa zakat fitrah mereka diambil dari harta mereka, maka apabila sang ayah menunaikannya dari hartanya sendiri secara sukarela, hal itu sah dan ia dianggap sebagai orang yang bersedekah secara taṭawwu‘.
Namun jika yang menjadi wali atas mereka adalah seorang amīn yang ditetapkan oleh hakim, maka menurut kesepakatan Muḥammad dan Zafar, zakat fitrah wajib diambil dari harta mereka, dan amīn-lah yang menunaikannya dari harta mereka. Jika si amīn menunaikannya dari hartanya sendiri secara taṭawwu‘, maka hal itu tidak sah dari pihak anak-anak.
Para sahabat kami membedakan antara ayah dan amīn, yaitu: karena ayah diperbolehkan menghajikan mereka, maka diperbolehkan pula baginya untuk menunaikan zakat fitrah mereka secara sukarela. Sedangkan amīn tidak diperbolehkan menghajikan mereka, maka tidak diperbolehkan pula baginya menunaikan zakat fitrah mereka secara sukarela.
Namun, dalam hal ini — menurutku — masih perlu dipertimbangkan kembali.
فَصْلٌ
: فَلَوْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ صَغِيرٌ وَلِلْوَلَدِ عَبْدٌ لَا يَمْلِكُ غَيْرَهُ، فَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ مُسْتَغْنِيًا عَنْ خِدْمَةِ الْعَبْدِ غَيْرِ مُحْتَاجٍ إِلَيْهِ، فَهُوَ غَنِيٌّ بِهِ فَلَا تَجِبُ عَلَى الْأَبِ نَفَقَتُهُ وَلَا نَفَقَةُ عَبْدِهِ، وَلَا فِطْرَتُهُ وَلَا فِطْرَةُ عَبْدِهِ وَيُبَاعُ مِنَ الْعَبْدِ بِقَدْرِ مَا يُنْفِقُ عَلَيْهِمَا، فَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى خِدْمَةِ الْعَبْدِ غَيْرَ مُسْتَغْنٍ عَنْهُ فَهُوَ فَقِيرٌ، وَعَلَى الْأَبِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ وَعَلَى عَبْدِهِ وَيُزَكِّيَ عَنْهُ وَعَنْ عَبْدِهِ.
PASAL
Jika seseorang memiliki anak kecil, dan anak itu memiliki seorang budak, serta tidak memiliki harta selain budak tersebut—
maka apabila si anak tidak membutuhkan pelayanan budak itu dan tidak bergantung kepadanya, maka ia dianggap ghaniyy (kaya) karena keberadaan budak itu. Maka tidak wajib atas ayah untuk menafkahinya, tidak pula menafkahi budaknya, dan tidak pula menunaikan zakat al-fiṭr atasnya maupun atas budaknya. Budak itu boleh dijual sebatas nilai yang dapat digunakan untuk menafkahi keduanya.
Namun apabila si anak membutuhkan pelayanan budak tersebut dan tidak bisa lepas darinya, maka ia dianggap faqīr, dan wajib atas ayah untuk menafkahinya dan menafkahi budaknya, serta menunaikan zakat al-fiṭr atas keduanya.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ تَطَوَّعَ حُرٌّ مِمَّنْ يَمُونُ فَأَخْرَجَهَا عَنْ نَفْسِهِ أَجْزَأَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا مَنْ عَدَا الزَّوْجَةِ مِنَ الْوَالِدَيْنِ، وَالْمَوْلُودِينَ الَّذِينَ تَجِبُ نَفَقَاتُهُمْ وَزَكَاةُ فِطْرِهِمْ إِذَا تَطَوَّعُوا بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ عَنْ أَنْفُسِهِمْ، فَقَدْ أَجْزَأَهُمْ سَوَاءٌ اسْتَأْذَنُوا الْمُنْفِقَ عَلَيْهِمْ، أَوْ لَمْ يَسْتَأْذِنُوهُ، لِأَنَّ نَفَقَتَهُمْ وَزَكَاةَ فِطْرِهِمْ تَجِبُ عَلَى طَرِيقِ الْمُوَاسَاةِ، وَلِذَلِكَ تَجِبُ بِفَقْرِهِمْ وَتَسْقُطُ بِغِنَاهُمْ، وَلَا رُجُوعَ لَهُمْ بِمَا أَنْفَقُوهُ عَلَى أَنْفُسِهِمْ، وَأَمَّا الزَّوْجَةُ فَنَفَقَتُهَا وَزَكَاةُ فطرتها أَوْكَدُ، لِأَنَّهَا تَجِبُ عَلَى طَرِيقِ الْمُعَاوَضَةِ وَلِذَلِكَ تجب مع فقرها وغناها، وترجع بما أنفقته عَلَى نَفْسِهَا فَإِنْ تَطَوَّعَتْ بِزَكَاةِ فِطْرِهَا مِنْ مَالِهَا، فَإِنْ كَانَ بِإِذْنِ زَوْجِهَا جَازَ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يجزي عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الزوج وجوب حوالة.
والثاني: يجزي عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَقُولُ إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الزَّوْجِ وُجُوبَ ضَمَانٍ.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika salah seorang dari orang yang ditanggung nafkahnya — yang merdeka — menunaikan zakat fitrah dari dirinya sendiri secara sukarela, maka itu sah baginya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun selain istri — dari kalangan orang tua dan anak-anak yang wajib dinafkahi dan wajib zakat fitrahnya — jika mereka secara sukarela menunaikan zakat fitrah atas diri mereka sendiri, maka hal itu sah dari mereka, baik mereka meminta izin dari orang yang menanggung nafkah mereka ataupun tidak. Karena nafkah mereka dan zakat fitrah mereka wajib atas dasar muwāsāt (saling membantu), oleh karena itu ia wajib karena kefakiran mereka, dan gugur karena kekayaan mereka. Maka tidak ada hak untuk meminta kembali dari apa yang mereka keluarkan untuk diri mereka sendiri.
Adapun istri, maka nafkah dan zakat fitrahnya lebih kuat, karena ia wajib atas dasar mu‘āwaḍah (pertukaran hak dan kewajiban), oleh sebab itu ia tetap wajib baik istri itu miskin ataupun kaya, dan istri berhak meminta kembali dari apa yang ia keluarkan untuk dirinya sendiri.
Maka apabila istri secara sukarela menunaikan zakat fitrahnya dari hartanya sendiri, jika dengan izin suaminya, maka itu sah. Tetapi jika tanpa izin suaminya, maka terdapat dua wajah:
Pertama: tidak sah, menurut wajah yang mengatakan bahwa zakat fitrah itu wajib atas suami secara ḥawālah (tanggungan mutlak dan langsung).
Kedua: sah, menurut wajah yang mengatakan bahwa zakat itu wajib atas suami sebagai bentuk ḍamān (jaminan tanggungan).
فَصْلٌ
: لَيْسَ لِلزَّوْجَةِ مُطَالَبَةُ الزَّوْجِ بِإِخْرَاجِ الْفِطْرَةِ عَنْهَا، لِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى الزَّوْجِ دُونَهَا، وَوُجُوبُهَا عَلَيْهِ، لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَجْرِيَ مَجْرَى الْحَوَالَةِ أَوْ مَجْرَى الضَّمَانِ، وَأَيُّهُمَا كَانَ فَلَا مُطَالَبَةَ لَهَا بِهِ لِأَنَّهُ إِنْ جَرَى مَجْرَى الْحَوَالَةِ، فَلَيْسَ لِلْمُحِيلِ الْمُطَالَبَةُ به، وإن جرى مجرى الضمان فليس للمضون عنه المطالبة به.
PASAL
Seorang istri tidak memiliki hak untuk menuntut suami agar mengeluarkan zakat al-fiṭr atas dirinya, karena zakat itu adalah kewajiban atas suami, bukan atas istri.
Dan kewajiban itu atas suami tidak lepas dari dua kemungkinan:
apakah ia berjalan menurut hukum ḥawālah (tanggungan pindahan), atau menurut hukum ḍamān (jaminan).
Dan dalam kedua keadaan tersebut, maka tidak ada hak bagi istri untuk menuntutnya:
- Jika ia seperti ḥawālah, maka pihak yang diwakilkan (muḥīl) tidak bisa menuntut.
- Dan jika ia seperti ḍamān, maka pihak yang dijamin (al-maḍmūn ‘anhu) juga tidak bisa menuntut.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُزَكِّيَ عَمَّنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ مِنْ نَهَارِ آخِرِ يومٍ من شهر رَمَضَانَ وَغَابَتِ الشَّمْسُ لَيْلَةَ شَوَّالٍ فَيُزَكِّي عَنْهُ وإن مات من ليلته وإن ولد له بعد ما غربت الشمس ولدٌ أو ملك عبداً فلا زكاة عليه في عامه ذلك “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الْوَقْتِ الذي تجب فيه زكاة الفطر فَلَهُ فِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ تَجِبُ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة.
Masalah:
Al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Zakat fitrah hanya wajib atas orang yang berada dalam tanggungannya dari mereka pada sebagian waktu siang hari terakhir bulan Ramadhan, dan matahari telah terbenam pada malam 1 Syawwal, maka ia wajib menunaikan zakat fitrah atasnya — meskipun orang itu meninggal di malam harinya. Namun jika anak lahir setelah matahari terbenam, atau ia memiliki budak setelahnya, maka tidak ada kewajiban zakat atas mereka untuk tahun itu.”
Al-Māwardī berkata: Telah terjadi perbedaan pendapat dari al-Syafi‘i mengenai waktu wajibnya zakat fitrah. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa zakat fitrah menjadi wajib dengan terbitnya fajar pada hari ‘Idul Fitri. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abū Ḥanīfah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهَا تَجِبُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيْلَةِ الْفِطْرِ لِيَكُونَ جَامِعًا بَيْنَ آخِرِ شَيْءٍ مِنْ نَهَارِ رَمَضَانَ، وَأَوَّلِ شَيْءٍ مِنْ لَيْلِ شَوَّالٍ وَبِهِ قَالَ الثَّوْرِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ، وَقَالَ مَالِكٌ بِقَوْلِهِ الْقَدِيمِ إِذَا وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ، وَبِقَوْلِهِ الْجَدِيدِ إِذَا اشْتَرَى عَبْدًا، وَوَجْهُ قَوْلِهِ الْقَدِيمِ أَنَّهَا تَجِبُ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” أَغْنُوهُمْ عَنِ الطَّلَبِ فِي هَذَا الْيَوْمِ ” فَدَلَّ عَلَى تَعَلُّقِ الْوُجُوبِ بِهِ وَأَوَّلُهُ طُلُوعُ الْفَجْرِ، وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَدُّوا زَكَاةَ فِطْرِكُمْ ” وَأَضَافَ الْأَدَاءَ إِلَى الْفِطْرِ، وَعَلَّقَهُ بِهِ وَإِطْلَاقُ الْفِطَرِ إِشَارَةٌ إِلَى نَهَارِ الْيَوْمِ دُونَ لَيْلِهِ،أَلَا تَرَى إِلَى قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَعَرَفَتُكُمْ يَوْمَ تَعْرِفُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ) وَلِأَنَّ تَعَلُّقَ زَكَاةِ الْفِطْرِ بِعِيدِ الْفِطْرِ كَتَعَلُّقِ الْأُضْحِيَّةِ بِعِيدِ الْأَضْحَى فَلَمَّا كَانَتِ الأضحية متعلقة بنهار النحر دون ليله أَنْ تَكُونَ الْفِطْرَةُ مُتَعَلِّقَةً بِنَهَارِ الْفِطْرِ دُونَ لَيْلَةٍ وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا: أَنَّهُ حَقٌّ فِي مَالٍ يَخْرُجُ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَعَلُّقُهُ بِالْيَوْمِ كَالْأُضْحِيَّةِ، وَلِأَنَّ لَيْلَةَ الْفِطْرِ مِثْلُ مَا قَبْلَهَا فِيمَا يَحِلُّ وَيَحْرُمُ فِيهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَتَعَلَّقَ زَكَاةُ الْفِطْرِ بِهَا كَمَا لَمْ تَتَعَلَّقْ بِمَا قَبْلَهَا.
dan qawl kedua: ia adalah qawl dalam al-jadīd, bahwa zakat fitrah itu wajib dengan tenggelamnya matahari pada malam Idulfitri, agar mencakup akhir siang dari bulan Ramadan dan awal malam dari bulan Syawal. Inilah pendapat al-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq. Sedangkan Mālik berpendapat seperti qawl qadīm-nya (wajib ketika lahir anak), dan seperti qawl jadīd-nya (wajib ketika membeli budak).
Adapun dasar qawl qadīm adalah bahwa zakat fitrah wajib dengan terbit fajar, berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Cukupkan mereka dari meminta pada hari ini”, maka itu menunjukkan keterkaitan kewajiban dengan hari tersebut, dan awalnya adalah terbit fajar.
Diriwayatkan pula dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tunaikanlah zakat fitrah kalian”, dan beliau menisbatkan perintah adā’ kepada al-fiṭr, serta mengaitkannya dengannya. Dan penyebutan al-fiṭr menunjukkan siang hari, bukan malamnya. Tidakkah engkau melihat sabda Nabi SAW: “Fiṭrukum pada hari kalian berbuka, ‘Arafatukum pada hari kalian wukuf di ‘Arafah, dan aḍḥākum pada hari kalian menyembelih kurban.”
Dan karena keterkaitan zakat fitrah dengan Idulfitri seperti keterkaitan kurban dengan Iduladha, maka sebagaimana kurban terkait dengan siang hari nahr (penyembelihan) dan bukan malamnya, maka demikian pula zakat fitrah terkait dengan siang hari fitri, bukan malamnya.
Penetapannya secara qiyās: karena zakat fitrah adalah hak dalam harta yang dikeluarkan pada hari raya, maka wajib keterkaitannya dengan siang hari sebagaimana kurban. Dan karena malam Idulfitri sama hukumnya dengan malam-malam sebelumnya dalam hal yang halal dan haram, maka tidak boleh zakat fitrah dikaitkan dengannya sebagaimana tidak dikaitkan dengan malam sebelumnya.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قياساً: أنه خصلة عن يوم من رمضان فوجب أن لا يتعلق به زكاة الفطرة كاليوم الأول والدلالة على صحة قوله في الْجَدِيدِ فِي تَعَلُّقِهَا بِغُرُوبِ الشَّمْسِ دُونَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ طَهُورًا لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، وَفِيهِ دَلِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ: فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَأَخْبَرَ أَنَّهَا مَفْرُوضَةٌ بِالْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ، وَأَوَّلُ فِطْرٍ يَقَعُ مِنْ جَمِيعِ رَمَضَانَ مَغِيبُ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ نَهَارِهِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْوُجُوبُ مُتَعَلِّقًا بِهِ.
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ: طَهُورًا لِلصَّائِمِ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يُدْرِكْ شَيْئًا مِنْ زَمَانِ الصَّوْمِ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى الطُّهْرَةِ مِنَ الصَّوْمِ، وَقَدْ تحرر هَذِهِ الدَّلَالَةُ قِيَاسًا فَيُقَالُ لِأَنَّهُ لَمْ يُدْرِكْ شَيْئًا مِنْ رَمَضَانَ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمُهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ قِيَاسًا عَلَى مَا بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، وَلِأَنَّ طُلُوعَ الْفَجْرِ فِي حُكْمِ مَا تَقَدَّمَ فِي أَنَّ الْخُرُوجَ مِنَ الصَّوْمِ قَدْ تَقَدَّمَهُ، فَلَمْ يُجْزِ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ كَمَا لَمْ يَتَعَلَّقْ بِمَا بَعْدَهُ.
Penjelasannya secara qiyās: bahwa zakat fitrah adalah kewajiban atas bagian dari hari terakhir Ramadhan, maka tidak selayaknya dikaitkan dengannya — sebagaimana hari pertama Ramadhan tidak berkaitan dengan zakat fitrah.
Dan dalil atas benarnya pendapat al-Syafi‘i dalam qaul jadīd — bahwa waktu wajibnya zakat fitrah adalah dengan terbenamnya matahari, bukan dengan terbitnya fajar — adalah hadis dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah dari (puasa) Ramadhan sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan kotor, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.
Dalam hadis ini terdapat dua dalil:
Pertama: sabda beliau “mewajibkan zakat fitrah dari Ramadhan”, yang menunjukkan bahwa kewajiban tersebut ditetapkan dengan selesainya Ramadhan, dan fithr pertama dari seluruh Ramadhan adalah terbenamnya matahari pada hari terakhir, maka hal itu menunjukkan bahwa kewajiban zakat fitrah berkaitan dengannya.
Kedua: sabda beliau “sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa”, karena siapa pun yang tidak mengalami sedikit pun dari waktu puasa, maka ia tidak membutuhkan penyucian dari puasa. Dan dalil ini juga ditegaskan secara qiyās, yakni: karena ia tidak mendapatkan bagian dari Ramadhan, maka seharusnya tidak diwajibkan atasnya zakat fitrah, qiyās terhadap bayi yang lahir setelah terbit fajar.
Dan karena terbit fajar masih termasuk bagian dari waktu sebelumnya, di mana keluar dari puasa telah mendahuluinya, maka tidak sah dikaitkan dengannya zakat fitrah, sebagaimana tidak dikaitkan pula dengan waktu setelahnya.
وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ قِيَاسًا أَنَّهُ وَقْتٌ لَمْ يَتَعَقَّبْ زَمَانَ الصَّوْمِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ بِهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ، قِيَاسًا عَلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ، وَلِأَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِمَّا أَنْ تَجِبَ بِخُرُوجِ رَمَضَانَ، أَوْ بِدُخُولِ شَوَّالٍ، وَغُرُوبِ الشَّمْسِ بجميع الْأَمْرَيْنِ فَكَانَ تَعَلُّقُ الزَّكَاةِ بِهِ أَوْلَى.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَغْنُوهُمْ عَنِ الطَّلَبِ فِي هَذَا الْيَوْمِ ” فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ إِغْنَاءَهُمْ بِدَفْعِهَا لَهُمْ لَا بِوُجُوبِهَا لَهُمْ، وَهِيَ تُدْفَعُ إِلَيْهِمْ فِي الْيَوْمِ لَا فِي اللَّيْلِ، وَتَجِبُ لَهُمْ فِي اللَّيْلِ لا في اليوم.
والثاني: أن أمره بإعنائهم عن الطلب فيه لَا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِهَا، أَوْ دَفْعِهَا فِيهِ، وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ إِغْنَائِهِمْ عَنِ الطَّلَبِ، وَهُمْ يَسْتَغْنُونَ فِيهِ عَنِ الطَّلَبِ بِمَا يُدْفَعُ إليهم من الليل.
Dan penjelasan hal itu secara qiyās adalah: bahwa waktu tersebut tidak datang setelah masa puasa, maka tidak layak dikaitkan dengannya zakat fitrah, qiyās-nya seperti terbit matahari pada hari Idulfitri. Dan karena zakat fitrah itu wajibnya bisa karena keluarnya Ramadan atau masuknya Syawal, maka tenggelamnya matahari mencakup kedua hal itu, sehingga mengaitkan zakat dengannya lebih utama.
Adapun jawaban terhadap sabda Nabi SAW: “Cukupkan mereka dari meminta pada hari ini,” maka dari dua sisi:
Pertama: bahwa maksud mencukupi mereka adalah dengan memberikan zakat kepada mereka, bukan dengan kewajibannya bagi mereka. Dan zakat itu diberikan kepada mereka pada siang hari, bukan malam, sedangkan kewajibannya berlaku pada malam hari, bukan siangnya.
Kedua: bahwa perintah beliau agar mereka dicukupi dari meminta pada hari itu tidak menunjukkan kewajiban zakat atau kewajiban memberikannya pada hari itu, namun hanya menunjukkan kewajiban mencukupi mereka dari meminta. Dan mereka bisa tercukupi dari meminta pada siang hari dengan sesuatu yang diberikan kepada mereka sejak malam hari.
وأما قولهم أَدُّوا زَكَاةَ فِطْرِكُمْ، وَالْفِطْرُ إِشَارَةٌ إِلَى نَهَارِ الْيَوْمَ دُونَ لَيْلِهِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْفِطْرَ إِشَارَةٌ إِلَى عَيْنِ زَمَانِ الصَّوْمِ مِنَ اللَّيْلِ جميعاً والنهار لغة وشرعاً.
أَمَّا اللُّغَةُ فَلِأَنَّ الْإِمْسَاكَ غَيْرُ مَوْجُودٍ فِيهِ، وَأَمَّا الشَّرْعُ فَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إذا أقبل الليل من هاهنا وأدبر النهار مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ ” وَأَمَّا الِاعْتِبَارُ فَهُوَ أَنَّ يَوْمَ الْفِطْرِ، وَلَيْلَتِهِ سَوَاءٌ فِي أَنَّ اسْمَ الْفِطْرِ مُنْطَلِقٌ عَلَيْهِمَا.
وَأَمَّا الْقِيَاسُ على الأضحية، فإن قصد الجمع بينهما في زمان الإخراج صح خروجه، وَإِنْ قَصَدَ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا فِي زَمَانِ الْوُجُوبِ فَالْأُضْحِيَّةُ غَيْرُ وَاجِبَةٍ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ لَيْلَةَ الْفِطْرِ عَلَى مَا قَبْلَهَا فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ مَا قَبْلَهَا لَيْسَ بِفِطْرٍ عَنْ جَمِيعِ الصَّوْمِ، وَإِنَّمَا هُوَ فِطْرٌ عَنْ بَعْضِهِ، وَلَيْلَةُ الْفِطْرِ خُرُوجٌ مِنْ جَمِيعِهِ فَافْتَرَقَا.
Adapun ucapan mereka, “Tunaikanlah zakat fitrah kalian, dan al-fiṭr adalah isyarat kepada siang hari tanpa malamnya,” maka jawabannya adalah bahwa al-fiṭr merupakan isyarat kepada waktu puasa secara keseluruhan, baik malam maupun siangnya, secara bahasa maupun secara syar‘i.
Adapun secara bahasa, karena imsāk (menahan diri dari makan dan minum) tidak terdapat pada malam hari. Dan adapun secara syar‘i, adalah sabda Nabi SAW: “Apabila malam telah datang dari arah sini dan siang telah berlalu dari arah sana, maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.”
Adapun secara pertimbangan (‘itibār), maka malam hari dan siang hari pada hari raya al-fiṭr sama-sama disebut dengan nama al-fiṭr.
Adapun qiyās (analogi) dengan kurban (uḍḥiyah), jika maksudnya adalah menyamakan dalam waktu pelaksanaan (pengeluaran), maka itu sah. Namun jika maksudnya menyamakan dalam waktu kewajiban, maka uḍḥiyah tidak wajib.
Adapun qiyās malam hari raya al-fiṭr dengan malam sebelumnya, maka tidak sah, karena malam sebelumnya bukanlah fiṭr dari seluruh puasa, melainkan hanya fiṭr dari sebagian saja. Sedangkan malam hari raya al-fiṭr adalah keluar dari seluruh puasa, maka keduanya berbeda.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِي زَمَانِ وُجُوبِهَا، فَالتَّفْرِيعُ عَلَيْهِمَا مَبْنِيٌّ، فَإِنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ أَوْ عَقَدَ عَلَى زَوْجَةٍ أَوْ مَلَكَ عَبْدًا عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، وَبَقَوْا عَلَى حَالِهِمْ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ، فَعَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ عَلَى الْقَوْلَيْنِ جَمِيعًا، لِوُجُودِهِمْ فِي الطَّرَفَيْنِ، وَلَوْ وُلِدَ لَهُ الْمَوْلُودُ، وَعَقَدَ عَلَى الزَّوْجَةِ، وَمَلَكَ الْعَبْدَ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ وَمَاتُوا، أَوِ انْتَقَلُوا عَنْ حَالِهِمْ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، فَعَلَى قَوْلِهِ الْجَدِيدِ عَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ، اعْتِبَارًا بِطُلُوعِ الْفَجْرِ، فَلَوْ كَانُوا مَوْجُودِينَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ، فَعَلَى قَوْلِهِ الْقَدِيمِ: عَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ، وَعَلَى قَوْلِهِ الْجَدِيدِ لَيْسَ عَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ فَلَوْ وُلِدَ الْمَوْلُودُ وَعَقَدَ عَلَى الزَّوْجَةِ، وَمَلَكَ الْعَبْدَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، ثم مات الولد، وطلق الزوجة، ومات الْعَبْدُ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ لَمْ يَلْزَمْهُ زَكَاةُ فِطْرِهِمْ، عَلَى الْقَوْلَيْنِ جَمِيعًا، لِأَنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَلَا عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ.
PASAL
Apabila telah dijelaskan dasar dua qawl mengenai waktu wajibnya zakat fitrah, maka cabangnya dibangun di atas keduanya.
Jika seseorang dikaruniai anak, atau menikah dengan seorang istri, atau memiliki seorang budak saat matahari terbenam, dan mereka tetap dalam keadaannya hingga terbit fajar, maka ia wajib mengeluarkan zakat fitrah atas mereka menurut kedua qawl, karena keberadaan mereka ada pada dua waktu tersebut.
Namun jika anak itu lahir, akad nikah dilakukan, atau budak dimiliki saat matahari terbenam lalu mereka meninggal atau statusnya berubah sebelum terbit fajar, maka menurut qawl jadīd ia tetap wajib membayar zakat fitrah atas mereka karena patokannya adalah terbit fajar.
Jika mereka ada setelah matahari terbenam hingga terbit fajar, maka menurut qawl qadīm wajib atasnya zakat fitrah mereka, sedangkan menurut qawl jadīd tidak wajib atasnya zakat fitrah mereka.
Jika anak itu lahir, akad nikah dilakukan, dan budak dimiliki setelah matahari terbenam, lalu anak itu meninggal, istri dicerai, dan budak meninggal sebelum terbit fajar, maka tidak wajib atasnya zakat fitrah mereka menurut kedua qawl, karena mereka tidak ada saat terbit fajar dan tidak pula saat matahari terbenam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ عبدٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ آخَرَ فَعَلَى كل واحدٍ منهما بقدر ما يملك مِنْهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ عَبْدٌ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ، أَوْ بَيْنَ مِائَةِ شَرِيكٍ فَهُوَ كَمَا لَوْ كَانَ لِمَالِكٍ وَاحِدٍ، فَتَكُونُ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ زَكَاةُ الْفِطْرَةِ صَاعٌ وَاحِدٌ وَكَذَا لَوْ كَانَ مِائَةُ عَبْدٍ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ، لَزِمَهُمَا عَلَى كُلِّ رَأْسِ صَاعٍ وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا كَانَ عَبْدٌ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ أَوْ مِائَةُ عَبْدٍ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ فَلَا زَكَاةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحَالٍ، وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: إِذَا كَانَ عَبْدٌ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ، أَوْ بَيْنَ مِائَةِ شَرِيكٍ فَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاعٌ، فَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ بِشَيْئَيْنِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seorang budak dimiliki bersama oleh dia dan orang lain, maka atas masing-masing dari mereka zakat fitrah sebesar kadar yang dimilikinya.”
Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam al-Syafi‘i), yaitu apabila ada seorang budak dimiliki oleh dua orang sekutu, atau oleh seratus orang sekutu, maka hukumnya seperti jika budak itu dimiliki oleh satu orang saja. Maka atas seluruh mereka zakat fitrah satu ṣā‘ saja. Demikian pula apabila terdapat seratus budak yang dimiliki bersama oleh dua orang sekutu, maka wajib atas keduanya satu ṣā‘ untuk setiap kepala budak.
Adapun Abu Ḥanīfah berpendapat: Jika ada seorang budak yang dimiliki bersama oleh dua orang sekutu, atau seratus budak yang dimiliki bersama oleh dua orang sekutu, maka tidak ada zakat atas salah satu dari keduanya sama sekali.
Sedangkan Abu Ṯaur berpendapat: Jika ada seorang budak yang dimiliki bersama oleh dua orang sekutu, atau seratus budak yang dimiliki bersama oleh seratus orang sekutu, maka wajib atas masing-masing mereka satu ṣā‘.
Adapun Abu Ḥanīfah berdalil dengan dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَالَ مَا تَتَكَرَّرَ زَكَاتُهُ فِي كُلِّ حَوْلٍ فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ فيه نصاب يدخل العفر فيمادونه كالمواشي، والنصاب عبد كامل والعفر مِنْ دُونِهِ، وَمَنْ مَلَكَ أَقَلَّ مِنْ عَبْدٍ كَامِلٍ فَهُوَ بِمَثَابَةِ مَنْ مَلَكَ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ مِنَ الْمَاشِيَةِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمُهُ زكاته.
والثاني: أن قال العبد المشرك بَيْنَهُ وَبَيْنَ غَيْرِهِ كَالْمُكَاتَبِ بَيْنَ سَيِّدِهِ، وَبَيْنَ نَفْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمُهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ في المشرك، كَمَا لَمْ تَلْزَمْهُ فِي الْمُكَاتَبِ وَتَحْرِيرُ ذَلِكَ أن فِطْرَةً عَمَّنْ لَمْ يَكْمُلْ تَصَرُّفُهُ فِيهِ، فَلَا يَلْزَمُهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ كَالْمُكَاتَبِ وَأَمَّا أَبُو ثَوْرٍ فَإِنَّهُ قَالَ زَكَاةُ الْفِطْرِ تَجْرِي مَجْرَى الْكَفَّارَةِ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ تَبْعِيضُ الْكَفَّارَةِ لَمْ يَجُزْ تَبْعِيضُ زَكَاةِ الْفِطْرِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا رِوَايَةُ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: ” فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وعبدٍ مِمَّنْ تَمُونُونَ ” وَفِيهِ دَلِيلَانِ:
Pertama: bahwa ia berkata, barang yang zakatnya berulang setiap haul maka dipertimbangkan padanya niṣāb, dan ‘ufr adalah apa yang di bawahnya, seperti binatang ternak. Niṣāb-nya adalah seorang budak yang sempurna, dan ‘ufr adalah yang kurang dari itu. Maka siapa yang memiliki kurang dari seorang budak sempurna, kedudukannya seperti orang yang memiliki kurang dari niṣāb binatang ternak. Maka wajib bahwa tidak dikenakan zakat atasnya.
Kedua: bahwa ia berkata, budak yang dimiliki bersama antara dia dan selainnya seperti mukātab antara tuannya dan dirinya sendiri. Maka wajib bahwa tidak dikenakan zakat fitrah atas bagian yang dimiliki bersama, sebagaimana tidak dikenakan atas mukātab. Dan rincian dari hal itu adalah bahwa zakat fitrah dari orang yang belum sempurna kekuasaan atasnya, maka tidak wajib zakat fitrah atasnya, seperti mukātab.
Adapun Abū Ṯawr maka ia berkata: zakat fitrah itu menempati kedudukan seperti kafarat. Maka ketika tidak sah mengkafaratkan sebagian, tidak sah pula menunaikan sebagian zakat fitrah.
Dan dalil atas keduanya adalah riwayat dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari Jābir, ia berkata: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah atas setiap orang merdeka dan budak dari orang-orang yang kalian tanggung.” Di dalamnya terdapat dua dalil:
أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ يَعْنِي: عَنْ كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ فَكَانَ ظَاهِرُهُ فِي وُجُوبِهَا عَنِ الْمُنْفَرِدِ وَالْمُشْتَرِكِ.
والثاني: قوله ممن يمونون فعلقهما بالمؤنة مِمَّنْ يُمَانُ، فَوَجَبَ أَنْ يُزَكَّى عَنْهُ، وَلِأَنَّهَا مُؤْنَةٌ تَجِبُ بِحَقِّ الْمِلْكِ الْمُنْفَرِدِ، فَوَجَبَ أَنْ تَجِبَ بِحَقِّ الْمِلْكِ الْمُشْتَرِكِ كَالنَّفَقَةِ، وَلِأَنَّهَا صَدَقَةٌ تَجِبُ لِأَجْلِ الْمِلْكِ الْمُنْفَرِدِ، فَوَجَبَ أَنْ تَجِبَ لأجل الْمُشْتَرِكِ كَسَائِرِ الصَّدَقَاتِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ: إِنَّ مَا تَتَكَرَّرُ زَكَاتُهُ يَجِبُ اعْتِبَارُ النِّصَابِ فِيهِ، فَهُوَ أَنَّ اعْتِبَارَ ذَلِكَ غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ النِّصَابَ إِنَّمَا يُعْتَبَرُ فِي الْمَالِ وَزَكَاةُ الْفِطْرِ تَجِبُ فِي الْمَالِ، وَغَيْرِ الْمَالِ أَلَّا تَرَاهَا تَجِبُ عَلَى الْحُرِّ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَالًا عَلَى أَنَّهُمْ أَبْعَدُ النَّاسِ فِي ذَلِكَ قَوْلًا لِأَنَّهُمْ قَالُوا: لَا تَجِبُ حَتَّى يَكُونَ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ، فَلَا يَجُوزُ اعْتِبَارُ نِصَابَيْنِ نِصَابَ الْمَالِ وَنِصَابَ الْعَبْدِ، وَأَمَّا الْمُكَاتَبُ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّ نَفَقَتَهُ غَيْرُ وَاجِبَةٍ، فَلِذَلِكَ لَمْ تَجِبْ زَكَاةُ فِطْرِهِ، وَلَمَّا كَانَتْ نَفَقَةُ هَذَا وَاجِبَةً وَجَبَتْ زَكَاةُ فِطْرِهِ، وَأَمَّا أَبُو ثَوْرٍ فَيَفْسُدُ مَا قَالَهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Pertama: Yaitu sabda Nabi SAW “atas setiap orang merdeka dan budak,” maksudnya adalah “atas setiap orang merdeka dan budak,” maka zhahirnya menunjukkan wajibnya (zakat fitrah) atas orang yang memiliki secara sendiri maupun secara bersama.
Yang kedua: Sabda Nabi SAW “dari orang-orang yang mereka nafkahi,” maka Nabi menggantungkan kewajiban zakat itu pada pihak yang menanggung nafkah. Maka wajib dikeluarkan zakat fitrah dari budak tersebut. Karena zakat fitrah adalah tanggungan (nafkah) yang diwajibkan atas dasar kepemilikan secara penuh, maka ia juga wajib atas dasar kepemilikan bersama seperti halnya nafkah. Dan karena zakat fitrah adalah sedekah yang diwajibkan karena kepemilikan penuh, maka juga wajib karena kepemilikan bersama sebagaimana seluruh sedekah lainnya.
Adapun jawaban terhadap pendapat mereka yang mengatakan bahwa zakat yang berulang pengeluarannya harus memperhatikan nishab, maka hal ini tidak benar, karena nishab hanya dipertimbangkan dalam harta, sedangkan zakat fitrah wajib atas harta dan selain harta. Tidakkah kamu melihat bahwa zakat fitrah wajib atas orang merdeka walaupun dia bukan termasuk harta? Dan bahwa mereka (Abu Ḥanīfah dan pengikutnya) adalah orang yang paling jauh pendapatnya dalam hal ini karena mereka mengatakan: tidak wajib sampai mencapai dua ratus dirham, maka tidak boleh menjadikan dua nishab: nishab harta dan nishab budak.
Adapun mukātab, alasannya adalah karena nafkahnya tidak wajib, maka karena itu tidak wajib pula zakat fitrahnya. Dan karena nafkah budak yang dimiliki bersama itu wajib, maka wajib pula zakat fitrahnya.
Adapun pendapat Abu Ṯaur maka rusak dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ اعْتِبَارَ الْفِطْرَةِ بِالْكَفَّارَةِ غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْفِطْرَةَ تَجِبُ عَلَى الرَّقَبَةِ تَطْهِيرًا، وَكَذَلِكَ تَجِبُ ابْتِدَاءً وَتَحَمُّلًا وَالْكَفَّارَةُ تَجِبُ عَنِ الْفِعْلِ تَمْحِيصًا وَتَكْفِيرًا، وَذَلِكَ يَجِبُ ابْتِدَاءً وَلَا يَجِبُ تَحَمُّلًا.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِيهِ اسْتِيعَابًا لِقِيمَةِ الْعَبْدِ لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ بَيْنَ مِائَةِ شَرِيكٍ فَيَلْزَمُهُمْ مِائَةُ صَاعٍ، وَقَدْ تَكُونُ قِيمَتُهُ أَقَلَّ مِنْ مِائَةِ صَاعٍ، وَهَذَا خُرُوجُ عَنْ مَوْضُوعِ الْمُوَاسَاةِ.
Pertama: bahwa penyamaan zakat fitrah dengan kafarat tidaklah sah, karena zakat fitrah diwajibkan atas budak sebagai bentuk pensucian, dan ia wajib baik secara langsung maupun karena tanggungan. Adapun kafarat diwajibkan karena suatu perbuatan, sebagai bentuk penyucian dan penebusan, dan ia hanya wajib secara langsung saja, tidak karena tanggungan.
Kedua: bahwa dalam hal itu terdapat pengambilan nilai budak secara menyeluruh, karena bisa jadi budak dimiliki oleh seratus orang, maka masing-masing wajib mengeluarkan seratus ṣā‘, padahal bisa jadi nilai budak tersebut lebih rendah dari seratus ṣā‘. Dan ini keluar dari maksud prinsip saling berbagi (al-muwāsāt).
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِمَا فِي الْعَبْدِ الْوَاحِدِ صَاعًا وَاحِدًا، فَلَهُمَا حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ غَالِبُ قُوتِهِمَا وَاحِدًا، فَيُخْرِجَانِ مِنْهُ صَاعًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَالِبُ قُوتِهِمَا مُخْتَلِفًا فَيَكُونُ قُوتُ أَحَدِهِمَا بَرًّا والآخر شعيراً ففيه وجهان:
أحدهما: وهو قولي أَبِي الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ لَا يَجُوزُ لَهُمَا إِخْرَاجُ صَاعٍ مِنْ جِنْسَيْنِ، وَلَا يَجْبُرُ مَنْ قُوتُهُ الشَّعِيرُ عَلَى إِخْرَاجِ الْبُرِّ لِأَنَّهُ لَا يَجِدُهُ، لَكِنْ يُخْرِجَانِ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، وَلِأَنَّ مَنْ يَقْتَاتُ الْبُرَّ يَقْدِرُ عَلَى الشَّعِيرِ.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa atas keduanya dalam hal satu budak wajib satu ṣā‘, maka keduanya memiliki dua keadaan:
Pertama: Jika makanan pokok (yang biasa dikonsumsi) oleh keduanya adalah satu jenis, maka keduanya mengeluarkan satu ṣā‘ dari jenis itu.
Kedua: Jika makanan pokok keduanya berbeda, misalnya makanan pokok salah satunya adalah gandum (bur) dan yang lainnya jelai (sya‘īr), maka ada dua wajah:
Salah satunya, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās Ibn Surayj, yaitu: Tidak boleh keduanya mengeluarkan satu ṣā‘ dari dua jenis berbeda. Dan tidak boleh pula yang makanan pokoknya sya‘īr dipaksa mengeluarkan dari bur karena dia tidak memilikinya. Namun keduanya mengeluarkan satu ṣā‘ dari sya‘īr, karena orang yang biasa makan bur mampu mengeluarkan sya‘īr.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَجُوزُ لَهُمَا إِخْرَاجُ صَاعٍ مِنْ جِنْسَيْنِ فَيُخْرِجُ مَنْ قُوتُهُ الْبُرُّ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ، وَيُخْرِجُ مَنْ قُوتُهُ الشَّعِيرُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ شَعِيرٍ لِأَجْلِ الضَّرُورَةِ، كَمَا لَوْ كَانَتْ أَرْبَعُونَ مِنَ الْغَنَمِ بَيْنَ خَلِيطَيْنِ فَيُخْرِجُ أَحَدُهُمَا نِصْفَ شَاةٍ مِنْ غَنَمِهِ، وَهِيَ ضَأْنٌ وَيُخْرِجُ الْآخَرُ نِصْفَ شَاةٍ مِنْ غنمه وهي معزى.
Dan pendapat kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī dan Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa keduanya boleh mengeluarkan satu ṣā‘ dari dua jenis bahan makanan. Maka orang yang makanan pokoknya adalah bur (gandum), ia mengeluarkan setengah ṣā‘ dari bur, dan orang yang makanan pokoknya adalah sya‘īr (jelai), ia mengeluarkan setengah ṣā‘ dari sya‘īr, karena keadaan darurat, sebagaimana jika terdapat empat puluh ekor kambing yang dimiliki dua orang secara bersama, maka salah satunya mengeluarkan setengah ekor kambing dari miliknya yang berupa kambing ḍa’n (domba), dan yang lainnya mengeluarkan setengah ekor kambing dari miliknya yang berupa kambing ma‘zā (kambing kacang).
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو كان يملك نِصْفُهُ وَنِصْفُهُ حُرٌّ فَعَلَيْهِ فِي نِصْفِهِ نِصْفُ زكاته فإن كان للعبد ما يقوته ليلة الْفِطْرِ وَيَوْمِهِ أَدَّى النِّصْفَ عَنْ نِصْفِهِ الْحُرِّ لِأَنَّهُ مَالِكٌ لِمَا اكْتَسَبَ فِي يَوْمِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
إِذَا كَانَ نِصْفُ الْعَبْدِ حُرًّا، وَنِصْفُهُ مَمْلُوكًا فَعَلَى السَّيِّدِ نِصْفُ صَاعٍ بِحَقِّ مِلْكِهِ وَعَلَى الْعَبْدِ نِصْفُ صَاعٍ بِحُرِيَّتِهِ لِيَكُونَ الصَّاعُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang memiliki setengah (bagian dari seorang budak), dan setengahnya lagi adalah orang merdeka, maka atasnya zakat setengah ṣā‘ untuk setengah kepemilikannya. Jika budak tersebut memiliki sesuatu yang mencukupi kebutuhannya pada malam dan siang hari ‘Id, maka ia menunaikan setengah ṣā‘ dari bagian dirinya yang merdeka, karena ia adalah pemilik atas apa yang ia peroleh pada harinya.”
Al-Mawardi berkata: Ini benar.
Apabila setengah bagian dari budak adalah orang merdeka, dan setengahnya lagi masih dimiliki, maka atas tuannya wajib setengah ṣā‘ karena kepemilikannya, dan atas budak tersebut wajib setengah ṣā‘ karena kemerdekaannya, sehingga sempurnalah satu ṣā‘ terbagi dua antara keduanya.
وَقَالَ أبو حنيفة: على العبد بقدر ما عتق منه، وَلَا شَيْءَ عَلَى السَّيِّدِ وَقَالَ مَالِكٌ: عَلَى السَّيِّدِ بِقَدْرِ مَا مَلَكَ مِنْهُ، وَلَا شَيْءَ عَلَى الْعَبْدِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا حَدِيثُ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وعبدٍ ممن تمونون، دَالٌّ عَلَى وُجُوبِهَا عَلَيْهِمَا، لِأَنَّ الْمُؤْنَةَ بَيْنَهُمَا، وَإِذَا كَانَ هَذَا ثَابِتًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْعَبْدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُهَايأ أَوْ غَيْرَ مُهَايأ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُهَايَأً فَجَمِيعُ كَسْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَيِّدِهِ فَيَكُونُ لَهُ نِصْفُ كَسْبِهِ لِمَا فِيهِ مِنَ الْحُرِّيَّةِ، وَعَلَيْهِ نِصْفُ نَفَقَتِهِ وَلِسَيِّدِهِ نِصْفُ كَسْبِهِ، لِمَا فِيهِ مِنَ الرِّقِّ، وَعَلَيْهِ نِصْفُ نَفَقَتِهِ، وَيَكُونُ عَلَى السَّيِّدِ نِصْفُ صَاعٍ مِنْ زَكَاةِ فِطْرِهِ، وَعَلَيْهِ إِنْ كَانَ وَاجِدًا نِصْفُ صَاعٍ مِنْ زَكَاةِ فِطْرِهِ، وَإِنْ كَانَ مُهَايَّأً، وَصُورَةُ الْمُهَايَّأَةِ أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى أَنْ يَكْتَسِبَ لِسَيِّدِهِ شَهْرًا، وَعَلَيْهِ نَفَقَتُهُ فِيهِ، وَلِنَفْسِهِ شَهْرًا وَعَلَيْهِ نَفَقَتُهُ أَوْ يَوْمًا وَيَوْمًا، فَفِي دُخُولِ زَكَاةِ الْفِطْرِ فِي الْمُهَايَّأَةِ وَجْهَانِ:
Abu Ḥanīfah berkata: atas budak dikenakan zakat fitrah sebesar bagian yang telah merdeka darinya, dan tidak ada kewajiban atas tuan.
Mālik berkata: atas tuan dikenakan zakat fitrah sebesar bagian yang ia miliki dari budak tersebut, dan tidak ada kewajiban atas budak.
Dan dalil bagi keduanya adalah hadis Jābir bin ‘Abdillāh bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah atas setiap orang merdeka dan budak dari orang-orang yang kalian tanggung, menunjukkan kewajiban atas keduanya, karena tanggungan kebutuhan hidup itu terbagi di antara mereka berdua.
Jika hal ini telah ditetapkan, maka keadaan budak tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia muhāya’ atau tidak. Jika ia tidak muhāya’, maka seluruh hasil kerjanya terbagi antara dirinya dan tuannya. Maka ia memiliki setengah penghasilannya karena sisi kemerdekaannya, dan atasnya pula setengah nafkahnya. Dan tuannya memiliki setengah penghasilannya karena sisi perbudakan, dan atasnya pula setengah nafkahnya. Maka wajib atas tuannya setengah ṣā‘ dari zakat fitrah untuknya, dan atas budak tersebut—jika mampu—setengah ṣā‘ dari zakat fitrah untuk dirinya.
Dan jika ia muhāya’, yaitu kesepakatan antara keduanya bahwa budak itu bekerja untuk tuannya selama sebulan dan selama itu tuan menanggung nafkahnya, dan selama sebulan berikutnya ia bekerja untuk dirinya sendiri dan ia menanggung nafkahnya sendiri, atau sehari untuk tuannya dan sehari untuk dirinya sendiri, maka dalam hal masuknya zakat fitrah ke dalam akad muhāya’ terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: تَدْخُلُ فِي الْمُهَايَّأَةِ تَبَعًا لِلنَّفَقَةِ فَعَلَى هَذَا إِنْ أَهَّلَ شَوَّالٌ فِي شَهْرِ السَّيِّدِ فَعَلَى السَّيِّدِ زَكَاةُ فِطْرِهِ صَاعٌ كَامِلٌ وَإِنْ أَهَلَّ شَوَّالٌ فِي شَهْرِ الْعَبْدِ فَعَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِ صَاعٌ كَامِلٌ.
وَالْوَجْهُ الثاني: وهو الْأَظْهَرُ وَعَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرَةِ غَيْرُ دَاخِلَةٍ فِي الْمُهَايَّأَةِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ النَّفَقَةِ أَنَّ النَّفَقَةَ تَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي مُدَّتِهِ مِثْلَ مَا تَلْزَمُهُ الْأُخْرَى فِي مُدَّتِهِ فَدَخَلَتْ فِي الْمُهَايَّأَةِ لِاسْتِوَائِهِمَا فِيهَا، وَلَيْسَتْ زَكَاةُ الْفِطْرَةِ هَكَذَا لِأَنَّهُ قَدْ يَلْزَمُهَا أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ، فَلَمْ تَدْخُلْ فِي الْمُهَايَّأَةِ لِيَسْتَوِيَا فِيهَا فَعَلَى هَذَا إِنْ أَهَلَّ شَوَّالٌ فِي شَهْرِ السَّيِّدِ فَعَلَيْهِ جَمِيعُ النَّفَقَةِ، وَنِصْفُ فِطْرَتِهِ وَعَلَى الْعَبْدِ نِصْفُهَا الْبَاقِي إِنْ كَانَ وَاجِدًا لَهَا، وَإِنْ أَهَلَّ شَوَّالٌ فِي شَهْرِ الْعَبْدِ فَعَلَيْهِ جَمِيعُ نَفَقَتِهِ وَنِصْفُ فِطْرَتِهِ، وَعَلَى السَّيِّدِ نِصْفُهَا الْبَاقِي فَأَمَّا الْعَبْدُ الْمُخَارِجُ فَزَكَاةُ فطرته على سيده، وكذلك المؤاجر لبقائه على ملكه.
Salah satu pendapat: Zakat fitrah masuk dalam pembagian giliran kepemilikan (muhāya’ah) sebagai turunan dari kewajiban nafkah. Maka berdasarkan pendapat ini, jika bulan Syawwal masuk pada bulan giliran tuan, maka atas tuan wajib membayar zakat fitrah budak satu ṣā‘ penuh. Dan jika bulan Syawwal masuk pada bulan giliran budak, maka atas budak wajib membayar zakat fitrah dirinya satu ṣā‘ penuh.
Pendapat kedua —dan ini yang lebih kuat serta dianut oleh mayoritas sahabat kami— bahwa zakat fitrah tidak termasuk dalam pembagian giliran (muhāya’ah). Perbedaan antara zakat fitrah dan nafkah adalah bahwa nafkah wajib atas masing-masing pihak dalam masa gilirannya sebagaimana pihak lain wajib dalam masa gilirannya, sehingga ia masuk dalam pembagian giliran karena kesetaraan antara keduanya. Sedangkan zakat fitrah tidak demikian, karena bisa saja hanya salah satu dari keduanya yang diwajibkan, maka ia tidak masuk dalam pembagian giliran, sebab tidak setara antara keduanya.
Berdasarkan pendapat ini:
Jika bulan Syawwal masuk dalam giliran tuan, maka atas tuan seluruh nafkah dan setengah zakat fitrah, dan atas budak setengah sisanya jika ia mampu menunaikannya.
Dan jika bulan Syawwal masuk dalam giliran budak, maka atas budak seluruh nafkah dan setengah zakat fitrah, dan atas tuan setengah sisanya.
Adapun budak mukhāraj (yang telah melakukan akad mukhārajah), maka zakat fitrahnya tetap atas tuannya. Begitu pula budak yang disewakan, karena kepemilikannya masih tetap pada tuannya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن بَاعَ عَبْدًا عَلَى أَنَّ لَهُ الْخِيَارَ فَأَهَلَّ شوال ولم يختر أنفاذ البيع ثم أنفذه فزكاة الفطر على البائع وإن كان الخيار للمشتري فالزكاة على المشتري والملك له وهو كمختار الرد بالعيب وإن كان الخيار لهما جميعاً فزكاة الفطر على المشتري (قال المزني) هذا غلط في أصل قوله لأنه يقول في رجل لو قال عبدي حر إن بعته فباعه أنه يعتق لأن الملك لم يتم للمشتري لأنهما جميعاً بالخيار ما لم يتفرقا تفرق الأبدان فهما في خيار التفرق كهو في خيار الشرط بوقتٍ لا فرق في القياس بينهما “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang menjual seorang budak dengan syarat ia memiliki hak khiyar (pilihan untuk membatalkan atau melanjutkan akad), lalu masuk bulan Syawwal dan ia belum memilih untuk melanjutkan akad, kemudian ia melanjutkan akad tersebut, maka zakat fitrah menjadi tanggungan penjual. Dan jika khiyar itu ada pada pembeli, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pembeli karena kepemilikan telah berpindah kepadanya. Hal ini seperti orang yang memilih untuk mengembalikan karena cacat (pada barang). Dan jika hak khiyar ada pada keduanya, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pembeli.”
(Muzanī berkata): “Ini keliru dalam pokok pendapatnya, karena ia (al-Syafi‘i) mengatakan dalam kasus seseorang berkata: ‘Budakku merdeka jika aku menjualnya’, lalu ia menjualnya, maka budak itu merdeka. Sebab kepemilikan belum sempurna berpindah ke pembeli, karena keduanya masih memiliki hak khiyar selama belum berpisah secara fisik (tafarruq al-abdān). Maka keduanya dalam keadaan khiyar tafarruq, sebagaimana khiyar syarat yang dibatasi waktu. Tidak ada perbedaan dalam qiyās antara keduanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا ابْتَاعَ الرَّجُلُ عَبْدًا تاجراً ثُمَّ أَهَلَّ شَوَّالٌ بَعْدَ انْبِرَامِهِ فَزَكَاةُ فِطْرَتِهِ عَلَى الْمُشْتَرِي لَا تَخْتَلِفُ، وَلَكِنْ لَوِ ابْتَاعَ عَبْدًا بِخِيَارِ ثَلَاثٍ ثُمَّ أَهَلَّ شَوَّالٌ قَبْلَ تَقَضِّيهَا، فَفِي زَكَاةِ فِطْرَتِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي انْتِقَالِ الْمِلْكِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ زَكَاةَ فِطْرِهِ عَلَى الْبَائِعِ بِكُلِّ حَالٍ إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْمِلْكَ لَا يَنْتَقِلُ إِلَّا بِالْعَقْدِ، وَتَقَضِّي الْخِيَارِ.
Al-Mawardi berkata:
Adapun jika seseorang membeli seorang budak yang pandai berdagang, kemudian bulan Syawwal masuk setelah akadnya selesai, maka zakat fitrahnya wajib atas pembeli — dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Namun jika seseorang membeli budak dengan syarat khiyār tiga hari, lalu bulan Syawwal masuk sebelum masa khiyār tersebut selesai, maka dalam hal zakat fitrahnya terdapat tiga pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i mengenai perpindahan kepemilikan.
Salah satu pendapat: Zakat fitrah budak tersebut wajib atas penjual dalam setiap keadaan, apabila dikatakan bahwa kepemilikan tidak berpindah kecuali dengan akad dan selesainya masa khiyār.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَى الْمُشْتَرِي بِكُلِّ حَالٍ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمِلْكَ يَنْتَقِلُ بِالْعَقْدِ، وَإِنْ كَانَ لَهُمَا خِيَارٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا مَوْقُوفَةٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْمِلْكَ مَوْقُوفٌ فَإِنْ تَمَّ الْبَيْعُ وَانْبَرَمَ فَهِيَ عَلَى الْمُشْتَرِي، وإن انفسخ فهي على البايع وَسَوَاءٌ كَانَ الْخِيَارُ لَهُمَا جَمِيعًا، أَوْ لِلْمُشْتَرِي دون البايع أو للبايع دُونَ الْمُشْتَرِي، فَالْحُكْمُ فِيهِ وَاحِدٌ، وَمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا مِنِ اخْتِلَافِ الْحُكْمِ لِاخْتِلَافِ الْخِيَارِ، فَهُوَ تَفْرِيعٌ عَلَى الْأَقَاوِيلِ وَقَدْ صَرَّحَ بِذَلِكَ فِي زَكَاةِ الْمَالِ، وَقَدْ مَضَى، وَقَدْ كَانَ أَبُو الطَّيِّبِ ابْنُ سَلَمَةَ يَزْعُمُ، أَنَّ الْأَقَاوِيلَ إِذَا كَانَ الْخِيَارُ لَهُمَا، أَوْ لِلْبَائِعِ وَحْدَهُ فَأَمَّا إِنْ كَانَ لِلْمُشْتَرِي وَحْدَهُ، فَعَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِ قَوْلًا وَاحِدًا وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَوْلَى، فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ فَأَغْنَى عَنْ إِعَادَتِهِ، وَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ يَقُولُ إِذَا اشْتَرَى الرَّجُلُ أَبَاهُ، وَلَمْ يَقْبِضْهُ وَلَا دَفَعَ ثَمَنَهُ حَتَّى أَهَلَّ شَوَّالٌ زَكَّى عَنْهُ زَكَاةَ الْفِطْرِ، وَلَمْ يُعْتِقْ عَلَيْهِ لِلْعَلَقَةِ الَّتِي بَقِيَتْ لِلْبَائِعِ فِيهِ وَهِيَ حَقُّ الِاحْتِبَاسِ، لِأَجْلِ الثَّمَنِ فَصَارَ كَأَنَّ لِلْبَائِعِ فِيهِ خياراً وهذا مَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، فِي كِتَابِ الصَّدَاقِ وغيره بل إن كان المبيع تاجراً فَعِتْقُهُ عَلَيْهِ نَافِذٌ، وَصَدَقَةُ فِطْرِهِ لَازِمَةٌ سَوَاءً دَفَعَ ثَمَنَهُ أَمْ لَا، وَإِنْ كَانَ بِخِيَارٍ فَهُوَ عَلَى الْأَقَاوِيلِ وَلِلْكَلَامِ مَعَ ابْنِ خَيْرَانَ موضع غير هذا.
Dan pendapat kedua: bahwa zakat fitrah atas pembeli dalam setiap keadaan, jika dikatakan bahwa kepemilikan berpindah dengan akad, meskipun keduanya memiliki hak khiyār.
Dan pendapat ketiga: bahwa kewajiban zakat fitrah mauqūf (digantungkan), jika dikatakan bahwa kepemilikan itu mauqūf; maka jika jual beli itu selesai dan tetap, maka zakat fitrah atas pembeli; dan jika dibatalkan, maka zakat fitrah atas penjual. Hal ini berlaku sama, baik khiyār itu milik keduanya, atau hanya milik pembeli tanpa penjual, atau milik penjual tanpa pembeli. Maka hukumnya satu. Dan apa yang disebutkan oleh al-Syafi‘i di sini tentang perbedaan hukum karena perbedaan pihak yang memiliki khiyār, maka itu adalah rincian berdasarkan berbagai pendapat, dan ia telah menegaskan hal tersebut dalam zakat mal, dan telah dijelaskan sebelumnya.
Adapun Abū Ṭayyib Ibn Salamah menyangka bahwa jika khiyār itu milik keduanya atau hanya milik penjual, maka ada beberapa pendapat, adapun jika hanya milik pembeli, maka kewajiban zakat fitrah atasnya menurut satu pendapat saja. Dan pendapat mayoritas sahabat kami (ulama Syafi’iyyah) lebih kuat.
Adapun al-Muzanī, telah dibahas sebelumnya, maka tidak perlu diulangi.
Dan Abū ‘Alī Ibn Khayrān berkata: “Jika seseorang membeli ayahnya, namun belum menerimanya dan belum pula membayar harganya hingga masuk bulan Syawwal, maka ia wajib mengeluarkan zakat fitrah atasnya, dan budak itu belum merdeka baginya karena masih adanya keterkaitan hak bagi penjual, yaitu hak menahan karena harga. Maka seakan-akan penjual memiliki hak khiyār dalam hal itu.”
Dan inilah yang dinashkan oleh al-Syafi‘i dalam Kitāb al-Ṣadāq dan selainnya.
Bahkan jika budak yang dibeli itu adalah pedagang, maka kemerdekaannya berlaku baginya (pembeli), dan zakat fitrahnya wajib, baik ia telah membayar harga atau belum. Namun jika masih dalam keadaan khiyār, maka kembali kepada berbagai pendapat yang telah disebutkan. Dan pembahasan bersama Ibn Khayrān memiliki tempat tersendiri selain di sini.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” قال وَلَوْ مَاتَ حِينَ أَهَلَّ شَوَّالٌ وَلَهُ رَقِيقٌ فَزَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْهُمْ فِي مَالِهِ مبدأةٌ على الدين وغيره من ميراث ووصايا ولو ورثوا رقيقاً ثم أهل شوال فعليهم زكاتهم بقدر مواريثهم ولو مات قبل شوال وعليه دين زكى عنهم الورثة لأنهم في ملكهم “.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang wafat ketika telah masuk bulan Syawwal dan ia memiliki budak, maka zakat fitrah atas dirinya dan atas mereka (budak-budaknya) diambil dari hartanya, dan didahulukan dari pelunasan utang, warisan, dan wasiat. Jika para ahli waris mewarisi budak lalu masuk bulan Syawwal, maka mereka wajib menunaikan zakat fitrah budak-budak itu sesuai dengan bagian waris masing-masing. Dan jika ia wafat sebelum masuk Syawwal dan masih memiliki utang, maka para ahli waris menunaikan zakat fitrah atas budak-budak itu karena mereka telah menjadi milik para ahli waris.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا مَاتَ الرَّجُلُ وَتَركَ رَقِيقًا لَمْ يَخْلُ حَالُ مَوْتِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ شَوَّالٍ، أَوْ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيْلَةِ شَوَّالٍ أَوْ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، وَقَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ وَجَبَتْ زَكَاةُ الْفِطْرِ فِي مَالِهِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ رَقِيقِهِ، وَلَا تَسْقُطُ عَنْهُ بِمَوْتِهِ وَكَذَا الْعُشُورُ وَالزَّكَوَاتُ وَالْكَفَّارَاتُ لَا تَسْقُطُ بِالْمَوْتِ بَعْدَ وُجُوبِهَا، وَقَالَ أبو حنيفة: يسقط بِالْمَوْتِ الْكَفَّارَاتُ، وَجَمِيعُ الزَّكَوَاتِ إِلَّا الْعُشْرَ احْتِجَاجًا بِمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ أشهد أن مَنْ فَرَّطَ فِي إِخْرَاجِ الزَّكَاةِ حَتَّى حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ، فَإِنَّهُ يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى الرَّجْعَةَ وَابْنُ عَبَّاسٍ لَا يَقْطَعُ بِمِثْلِ هَذَا الْمُغَيَّبِ الَّذِي لَا يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ إِلَّا عَنْ تَوْقِيفٍ، وَإِذَا كَانَ تَوْقِيفًا، وَالرَّجْعَةُ لَا تُسْأَلُ إِلَّا فيما يُمْكِنُ تَلَافِيهِ ثَبَتَ أَنَّ إِخْرَاجَ الزَّكَاةِ عَنْهُ بَعْدَ وَفَاتِهِ لَا تَصِحُّ، وَإِذَا لَمْ يَصِحَّ إِخْرَاجُهَا بَعْدَ الْمَوْتِ بَطَلَ وُجُوبُهَا بِالْمَوْتِ، قَالَ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا حَضَرَتْهُ جِنَازَةٌ سَأَلَ عَنْ صَاحِبِهَا هل عليه دين، فإن قَالُوا نَعَمْ امْتَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ لِأَنَّ الدَّيْنَ لَا يَسْقُطُ بِالْمَوْتِ، فَلَوْ كَانَتِ الزَّكَاةُ ك ” الدين ” لا يسقط بِالْمَوْتِ لَسَأَلَ عَنْهَا، وَامْتَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى صاحبها قالوا: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ مَحْضَةٌ فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ بِالْمَوْتِ كَالصَّلَاةِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {خُذْ مِنْ أمْوَالِهِمْ صَدَقَةً) {التوبة: 103) فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْأَخْذِ حَالَ الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَوْتِ، وَلِأَنَّهُ مَالٌ ثَبَتَ وُجُوبُهُ فِي حَالِ الْحَيَاةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِالْوَفَاةِ كَالدَّيْنِ، وَلِأَنَّهُ حَقٌّ يَجِبُ صَرْفُهُ إِلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِالْوَفَاةِ كَالْعُشْرِ، فَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَهُوَ حُجَّةٌ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ وَثُبُوتِهَا بَعْدَ الْوَفَاةِ لِأَنَّهُ سَأَلَ الرَّجْعَةَ لِإِخْرَاجِهَا، فَلَوْ كَانَتْ بِالْمَوْتِ سَاقِطَةً لَمْ يَحْتَجْ إِلَى سُؤَالِ الرَّجْعَةِ، فَأَمَّا سُؤَالُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ دُيُونِ الْمَوْتَى دُونَ الزَّكَوَاتِ، فَلِأَنَّ الْغَالِبَ مِنَ الزَّكَوَاتِ وُجُوبُهَا عَلَى ذَوِي الْأَمْوَالِ، وَأَهْلِ الْيَسَارِ، وَهُوَ لَمْ يَكُنْ لِيَسْأَلَ إِلَّا عَنِ الْمَعْدُومِينَ مِنْ ذَوِي الْإِعْسَارِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ فَالصَّلَاةُ غَيْرُ سَاقِطَةٍ عَنْهُ كَالْحَجِّ وَهُوَ يَلْقَى اللَّهَ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَهِيَ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ لَكِنْ لَمَّا لَمْ تَصِحَّ النِّيَابَةُ فِيهَا لَمْ يمكن المطالبة بها.
Al-Māwardī berkata: Jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan budak, maka saat wafatnya tidak lepas dari tiga keadaan: entah wafat setelah terbit fajar Syawwal, atau sebelum matahari terbenam pada malam Syawwal, atau setelah terbenamnya matahari namun sebelum terbit fajar. Maka keadaan pertama: yaitu wafat setelah terbit fajar, maka zakat fitri wajib ditunaikan dari hartanya untuk dirinya dan budaknya, dan tidak gugur kewajiban itu karena wafatnya. Demikian pula ‘usyur, zakat-zakat, dan kafārat tidak gugur karena kematian setelah kewajibannya tetap.
Adapun Abū Ḥanīfah berkata: Kafārat dan seluruh zakat gugur karena kematian, kecuali ‘usyur. Dalilnya adalah riwayat dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata: Aku bersaksi bahwa siapa yang meremehkan dalam mengeluarkan zakat hingga datang kematian, maka ia akan memohon kepada Allah SWT untuk kembali. Sedangkan Ibn ‘Abbās tidak mungkin menetapkan perkara gaib semacam ini yang tidak boleh dikerjakan dengan ijtihad kecuali bersandar pada tawqīf, dan jika itu merupakan tawqīf, dan permintaan untuk kembali itu tidak diminta kecuali dalam hal yang masih bisa diperbaiki, maka tetaplah bahwa mengeluarkan zakat atas nama si mayit setelah wafatnya tidak sah. Dan jika tidak sah pengeluarannya setelah kematian, maka gugurlah kewajibannya karena kematian.
Ia berkata: Karena Nabi SAW jika hadir pada jenazah seseorang, beliau bertanya tentang si mayit: Apakah ia punya utang? Jika mereka menjawab: Ya, maka beliau menolak menshalatinya, karena utang tidak gugur dengan kematian. Maka seandainya zakat itu seperti utang, tidak gugur dengan kematian, tentu beliau akan bertanya tentang zakat pula dan menolak menshalati pemiliknya.
Mereka juga berkata: Karena zakat adalah ibadah murni, maka wajib gugur dengan kematian seperti halnya salat. Dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā: “Ambillah zakat dari harta mereka…” (QS at-Tawbah: 103), yang menunjukkan bahwa kewajiban pengambilannya adalah saat hidup, bukan setelah wafat.
Namun pendapat bahwa zakat itu harta yang telah diwajibkan ketika hidup, maka tidak gugur dengan wafat, seperti halnya utang, dan karena ia adalah hak yang wajib diberikan kepada para penerima sedekah, maka tidak gugur dengan wafat sebagaimana ‘usyur.
Adapun hadis Ibn ‘Abbās itu justru menjadi hujjah atas wajibnya zakat dan tetapnya zakat setelah wafat, karena ia meminta untuk kembali guna mengeluarkannya. Seandainya zakat itu gugur dengan wafat, tentu tidak perlu meminta kembali.
Adapun pertanyaan Nabi SAW tentang utang si mayit, bukan zakat, maka itu karena umumnya zakat hanya wajib atas orang-orang yang memiliki harta dan berkecukupan, dan beliau tidak akan bertanya kecuali tentang orang-orang fakir dan tidak mampu.
Sedangkan qiyās mereka terhadap salat, maka salat tidaklah gugur darinya, seperti halnya haji, dan ia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan salat masih wajib atasnya. Namun karena salat tidak sah dikerjakan oleh wakil, maka tidak mungkin ditunaikan setelah wafat.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الزَّكَاةَ لَا تَسْقُطُ بِمَوْتِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ. إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ سِوَى الزَّكَاةِ دَيْنٌ أَمْ لَا، فإن لم يكن عليه سِوَى الزَّكَاةِ أُخِذَتِ الزَّكَاةُ مِنْ تَرِكَتِهِ، وَاقْتَسَمَ الْوَرَثَةُ بِبَاقِي تَرِكَتِهِ، وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَدْ وَجَبَ فِي مَالِهِ حَقَّانِ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى، وَهُوَ الزَّكَاةُ، وَحَقُّ الْآدَمِيِّ وَهُوَ الدَّيْنُ فإن كانت تركته تسع لَهُمَا قُضِيَا مَعًا، وَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ اقْتَسَمَهُ الْوَرَثَةُ عَلَى فَرَائِضِ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِنْ ضَاقَتْ تركته عنها لَمْ يَخْلُ حَالُ الزَّكَاةِ الَّتِي وَجَبَتْ مِنْ أمرين، إما أن تكون زكاة مال فطره أو زكاة مال فإن كانت زكاته مَالٍ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمَالِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا، أَوْ مَعْدُومًا فإن كان معدوماً استقر الدين وبطل تعلقهما بِالْعَيْنِ وَصَارَتْ لِاسْتِقْرَارِهَا فِي الذِّمَّةِ كَالدَّيْنِ ثُمَّ هَلْ تُقَدَّمُ عَلَى دَيْنِ الْآدَمِيِّ، أَوْ يُقَدَّمُ عليها دَيْنِ الْآدَمِيِّ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (فدين الله أحق أن يقضى) .
PASAL:
Apabila telah tetap bahwa zakat tidak gugur karena kematian seseorang, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal:
Pertama, apakah selain zakat ia juga memiliki utang atau tidak.
Jika ia tidak memiliki utang selain zakat, maka zakat diambil dari harta peninggalannya, dan sisanya dibagi kepada para ahli waris menurut bagian mereka.
Namun jika ia memiliki utang selain zakat, maka terdapat dua hak yang wajib ditunaikan dari hartanya:
- Hak Allah Ta‘ala, yaitu zakat
- Hak manusia, yaitu utang
Jika harta peninggalannya cukup untuk keduanya, maka keduanya ditunaikan.
Jika masih ada kelebihan setelah itu, maka dibagi kepada ahli waris sesuai bagian mereka menurut ketentuan Allah Ta‘ala.
Namun jika harta peninggalannya tidak mencukupi keduanya, maka zakat yang wajib itu tidak lepas dari dua kemungkinan:
- Zakat fiṭrah
- Zakat harta
Jika yang wajib adalah zakat harta, maka keadaan harta itu tidak lepas dari dua hal:
- Harta tersebut masih ada, atau
- Telah hilang
Jika harta telah hilang, maka kewajiban zakat dan utang telah menetap di dalam tanggungan, dan keterikatan keduanya dengan harta telah gugur. Maka keduanya dianggap sebagai kewajiban yang menetap dalam tanggungan sebagaimana utang.
Kemudian muncul pertanyaan: Apakah zakat didahulukan dari utang manusia, ataukah utang manusia yang didahulukan?
Jawabnya berdasar pada sabda Nabi SAW:
“Fa-daynullāh aḥaqqu an yuqḍā” – Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.
والقوال الثَّانِي: أَنَّ دَيْنَ الْآدَمِيِّ يُقَدَّمُ عَلَيْهَا فَيُبْدَأُ بِقَضَاءِ دَيْنِ الْآدَمِيِّ، ثُمَّ يُصْرَفُ مَا بَقِيَ فيها لِأَنَّ حَقَّ اللَّهِ تَعَالَى قَدْ يَسْقُطُ بِالشُّبْهَةِ، وَحَقَّ الْآدَمِيِّ لَا يَسْقُطُ بِالشُّبْهَةِ وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمُضَايَقَةِ.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ لَا يُقَدَّمُ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ لِوُجُوبِ أَدَائِهِمَا فَيَخْرُجُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِقِسْطٍ مَا احْتَمَلَتْهُ التَّرِكَةُ، وَإِنْ كَانَ الْمَالُ الَّذِي وَجَبَتْ زَكَاتُهُ مَوْجُودًا فِي التَّرِكَةِ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الزَّكَاةَ وَجَبَتْ فِي الْعَيْنِ دُونَ الذِّمَّةِ أَوْ فِي الذِّمَّةِ، وَالْعَيْنُ بِهَا مُرْتَهِنَةٌ قُدِّمَتِ الزَّكَاةُ عَلَى دَيْنِ الْآدَمِيِّ، لِأَنَّهُمَا قَدِ اسْتَوَيَا فِي الْوُجُوبِ، وَتَعَلَّقَ أَحَدُهُمَا بِالْعَيْنِ فَكَانَ أَقْوَى وَأَوْلَى بِالتَّقْدِمَةِ كَالْمُرْتَهِنِ يُقَدَّمُ بِثَمَنِ الرَّهْنِ عَلَى جَمِيعِ الْغُرَمَاءِ لِمُشَارَكَتِهِ لَهُمْ فِي الدَّيْنِ، وَفَضْلِهِ عَلَيْهِمْ، لِتَعَلُّقِ حَقِّهِ بِالْعَيْنِ، وَإِنْ قِيلَ: وَجَبَتْ فِي الذِّمَّةِ وُجُوبًا مُنْبَرِمًا لَا تَعَلُّقَ لَهَا بِالْعَيْنِ فَحُكْمُهَا حُكْمُ الزَّكَاةِ الَّتِي قَدْ وَجَبَتْ فِي مَالٍ قَدْ تَلِفَ فَيَكُونُ فِيهَا، وَفِي الدَّيْنِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ عَلَى مَا مَضَتْ فَهَذَا حُكْمُ زَكَاةِ الْمَالِ مَعَ الدَّيْنِ فَأَمَّا زَكَاةُ الْفِطْرِ مَعَ الدَّيْنِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا فَكَانَ أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ سَلَمَةَ يَقُولُ: هِيَ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الدَّيْنِ قَوْلًا وَاحِدًا لِقِلَّتِهَا فِي الْغَالِبِ وَتَعَلُّقِهَا بِالرَّقَبَةِ فَاسْتَحَقَّتْ كَأَرْشِ الْجِنَايَةِ، وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أنه كَزَكَاةِ الْمَالِ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى يَجِبُ صَرْفُهُ إِلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُهُمَا فَعَلَى هَذَا فِيهَا، وَفِي الدَّيْنِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ عَلَى مَا مَضَتْ.
Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia sesuai aturan:
Dan pendapat kedua: bahwa utang kepada sesama manusia didahulukan atas zakat, maka dimulai dengan membayar utang manusia terlebih dahulu, kemudian sisanya dialokasikan untuk zakat, karena hak Allah Ta‘ālā bisa gugur dengan adanya syubhat, sedangkan hak manusia tidak gugur dengan syubhat. Dan ini dibangun di atas dasar mudhāyaqah (ketatnya kewajiban membayar utang kepada manusia).
Pendapat ketiga: bahwa keduanya sama, tidak ada yang didahulukan dari yang lain karena keduanya wajib ditunaikan, maka masing-masing dikeluarkan sesuai bagian yang mampu ditanggung oleh harta peninggalan.
Dan jika harta yang wajib dizakati itu masih ada dalam harta peninggalan, maka jika kita mengatakan bahwa zakat wajib atas ‘ayn (benda) bukan atas dzimmah (tanggungan), atau bahwa ia wajib atas dzimmah tetapi benda itu menjadi jaminan atasnya, maka zakat didahulukan atas utang manusia, karena keduanya sama-sama wajib, dan salah satunya (zakat) terkait langsung dengan benda, maka itu lebih kuat dan lebih layak untuk didahulukan, sebagaimana pemegang gadai didahulukan dari para kreditur lainnya karena ia memiliki kesamaan dalam hal utang, dan kelebihannya adalah karena haknya terkait langsung dengan benda.
Namun jika dikatakan bahwa zakat wajib atas dzimmah secara pasti tanpa kaitan dengan benda, maka hukumnya seperti zakat yang wajib atas harta yang telah rusak, maka dalam hal ini dan dalam utang terdapat tiga pendapat sebagaimana telah disebutkan. Maka ini adalah hukum zakat mal terhadap utang.
Adapun zakat fitri terhadap utang, para ulama kami berbeda pendapat. Abū Ṭayyib ibn Salamah berpendapat bahwa zakat fitri didahulukan atas utang secara pasti, karena jumlahnya yang kecil pada umumnya dan karena terkait dengan leher (jiwa), maka ia lebih berhak sebagaimana arsh jināyah (denda pelanggaran fisik).
Sebagian ulama kami berpendapat bahwa ia seperti zakat mal, karena masing-masing adalah hak Allah Ta‘ālā yang wajib disalurkan kepada para penerima sedekah, maka wajib disamakan hukumnya. Maka dalam hal ini dan utang, terdapat tiga pendapat sebagaimana telah disebutkan.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَقَدْ مَاتَ قَبْلَ وُجُوبِ زَكَاةِ الْفِطْرِ عَلَيْهِ، فَزَكَاتُهُ غَيْرُ وَاجِبَةٍ بِحَالٍ فَأَمَّا زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْ رَقِيقِهِ، فَهِيَ وَاجِبَةٌ عَلَى وَرَثَتِهِ، لِأَنَّ زَمَانَ الْوُجُوبِ أَتَى بَعْدَ انْتِقَالِ التَّرِكَةِ إِلَى مِلْكِهِمْ، ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى الْمَيِّتِ دَيْنٌ فَقَدِ اسْتَقَرَّتِ التَّرِكَةُ فِي مِلْكِهِمْ، وَوَجَبَتْ فِطْرَةُ الرَّقِيقِ عَلَيْهِمْ تقسط بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ، فَإِنْ كَانَ عَلَى الميت دين محيط بِقِيمَةِ التَّرِكَةِ وَالرَّقِيقِ، كَأَنَّ قِيمَةُ الرَّقِيقِ أَلْفًا وقدر الدين ألف فَقَدْ حُكِيَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنَّ فِطْرَةَ الرَّقِيقِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ عَلَى الْوَرَثَةِ، لِإِحَاطَةِ الدَّيْنِ بِهَا، وَلَا عَلَى الْمُتَوَفَّى لِمَوْتِهِ قَبْلَ وُجُوبِهَا، قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: التَّرِكَةُ بَاقِيَةٌ عَلَى مِلْكِ الْمُتَوَفَّى لَا يَمْلِكُهَا الْوَرَثَةُ، إِلَّا بَعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ كُلِّهِ احْتِجَاجًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ ديْنٍ) {النساء: 11) فَجَعَلَ الْوَارِثَ مَالِكًا لِلتَّرِكَةِ بَعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ، والوصية فدل على انتفاء ملكه مِنْ قَبْلُ، وَإِذَا لَمْ يَمْلِكْهَا الْوَارِثُ فَهِيَ على الْمَيِّتِ قَالَ: وَلِأَنَّ عُهْدَةَ مَا بِيعَ مِنْ تَرِكَةِ الْمَيِّتِ فِي دَيْنِهِ عَلَيْهِ لَا عَلَى وَارِثِهِ وَالْعُهْدَةُ إِنَّمَا تَجِبُ عَلَى الْمَالِكِ دُونَ غَيْرِهِ فَلَوْ كَانَ الْمِلْكُ قَدِ انْتَقَلَ مِنَ الْمَيِّتِ إِلَى الْوَارِثِ لَوَجَبَتِ الْعُهْدَةُ عَلَى الْوَارِثِ دُونَ الْمَيِّتِ فَلَمَّا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْمِلْكَ لَمْ يَنْتَقِلْ إِلَيْهِ، وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ أَصْحَابِهِ أَنَّ التَّرِكَةَ قَدِ انْتَقَلَتْ إِلَى مِلْكِ الْوَارِثِ بِمَوْتِهِ قَبْلَ إِخْرَاجِ وَصَايَاهُ، وَقَضَاءِ دُيُونِهِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ ذَلِكَ أُمُورٌ.
PASAL: Adapun bagian kedua: yaitu apabila seseorang meninggal sebelum matahari terbenam, maka ia meninggal sebelum kewajiban zakat fitrah atasnya, sehingga zakatnya sama sekali tidak wajib. Adapun zakat fitrah atas budaknya, maka itu wajib atas ahli warisnya, karena waktu kewajiban zakat datang setelah harta warisan berpindah ke kepemilikan mereka. Kemudian dilihat, jika si mayit tidak memiliki utang, maka harta warisan telah menetap dalam kepemilikan mereka, dan wajib atas mereka membayar zakat fitrah untuk budak tersebut, dibagi sesuai dengan bagian warisan mereka. Namun jika si mayit memiliki utang yang mengitari (menyamai) nilai harta warisan dan budaknya, seperti nilai budak seribu dan jumlah utangnya juga seribu, maka telah dinukil dari Abu Sa‘id al-Ishṭakhri bahwa zakat fitrah untuk budak tidak wajib atas ahli waris, karena utang telah mengelilinginya, dan juga tidak wajib atas si mayit karena ia wafat sebelum kewajiban itu datang.
Abu Sa‘id berkata: harta warisan tetap dalam kepemilikan si mayit dan tidak dimiliki oleh ahli waris kecuali setelah seluruh utangnya dibayar, dengan dalil firman Allah Ta‘ala: {min ba‘di waṣiyyatin yūṣā bihā aw dayn} (QS. al-Nisā’: 11), maka Allah menjadikan ahli waris sebagai pemilik harta warisan setelah pelunasan utang dan wasiat, dan ini menunjukkan tidak adanya kepemilikan sebelumnya. Dan apabila ahli waris belum memilikinya, maka (zakat) itu adalah tanggungan si mayit.
Ia berkata: karena tanggungan barang yang dijual dari harta warisan untuk melunasi utang tetap menjadi tanggungan si mayit, bukan ahli warisnya, dan tanggungan hanya wajib atas pemilik, bukan selainnya. Maka jika kepemilikan telah berpindah dari si mayit kepada ahli waris, niscaya tanggungan itu menjadi kewajiban ahli waris, bukan si mayit. Maka ketika ternyata tidak wajib atasnya (ahli waris), menunjukkan bahwa kepemilikan belum berpindah kepadanya.
Adapun mazhab al-Syafi‘i dan seluruh para pengikutnya adalah bahwa harta warisan telah berpindah kepada kepemilikan ahli waris dengan wafatnya si mayit, sebelum pelaksanaan wasiat dan pelunasan utang-utangnya. Dan indikasi atas kebenaran pendapat ini ada beberapa hal.
أَحَدُهَا: مَا لَا يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ أَنَّ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يَقْضُوا دُيُونَهُ مِنْ غَيْرِ التَّرِكَةِ، وَتَكُونُ التَّرِكَةُ مِلْكًا لَهُمْ، فَلَوْلَا أَنَّ التَّرِكَةَ عَلَى مِلْكِهِمْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ جَائِزًا لَهُمْ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَيِّتَ لَوْ كَانَ لَهُ دَيْنٌ، وَعَلَيْهِ دَيْنٌ جَازَ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يَخْلُفُوا عَلَى دَيْنِهِ، وَيَسْتَحِقُّوا وَيَقْضُوا مِنْهُ دُيُونَهُ فَلَوْلَا أَنْ مِلْكَ الدَّيْنِ قَدِ انْتَقَلَ إِلَيْهِمْ مَا جَازَ أن يخلفوا عَلَى غَيْرِ مِلْكِهِمْ.
وَالثَّالِثُ: مَا أَجْمَعُوا عَلَيْهِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَوْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَخَلَّفَ اثنين ثم مات أحد الاثنين، وترك ابناً ثم أن الغرماء أبرؤا الْمَيِّتَ مِنْ دُيُونِهِمْ كَانَتِ التَّرِكَةُ بَيْنَ الِابْنِ الْبَاقِي وَابْنِ ابْنِ الْمَيِّتِ نِصْفَيْنِ، فَلَوْ كَانَتِ التَّرِكَةُ عَلَى مِلْكِ الْمَيِّتِ لَا تَنْتَقِلُ إِلَى الْوَرَثَةِ إِلَّا بَعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ لَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ جَمِيعُ التَّرِكَةِ لِلِابْنِ الْبَاقِي، لِأَنَّ الْمَيِّتَ لَمْ يَكُنْ مَالِكًا لِشَيْءٍ مِنْهَا فِي حَيَاتِهِ، فَلَمَّا أَجْمَعُوا عَلَى خِلَافِ هَذَا دَلَّ عَلَى أَنَّ التَّرِكَةَ قَدِ انْتَقَلَتْ بِالْمَوْتِ إِلَى مِلْكِ الْوَرَثَةِ، فَأَمَّا الْآيَةُ فَالْمُرَادُ بِهَا جَوَازُ التَّصَرُّفِ دُونَ الْمِلْكِ، وَأَمَّا الرُّجُوعُ بِالْعُهْدَةِ فِي تَرِكَتِهِ فَلِأَنَّ الْبَيْعَ كَانَ مِنْ أَجْلِ دَيْنِهِ، وَقَدْ يُرْجَعُ بِالْعُهْدَةِ فِي مِثْلِ هَذَا عَلَى مَنْ لَيْسَ بِمَالِكٍ، أَلَا تَرَى أَنَّ عَبْدًا لَوْ بِيعَ فِي جِنَايَتِهِ، وَدُفِعَ ثَمَنُهُ إِلَى الْمَجْنِي عَلَيْهِ ثُمَّ مَاتَ الْعَبْدُ قَبْلَ تَسْلِيمِهِ، رَجَعَ الْمُشْتَرِي بِعُهْدَتِهِ وَقِيمَتِهِ عَلَى الْمَجْنِي عَلَيْهِ دُونَ سَيِّدِهِ، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَزَكَاةُ فِطْرِ الرَّقِيقِ عَلَى الْوَرَثَةِ، وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مُحِيطًا بِالتَّرِكَةِ.
Pertama: tidak diketahui adanya khilaf bahwa para ahli waris boleh melunasi utangnya (si mayit) dari selain harta peninggalan, dan harta peninggalan itu menjadi milik mereka. Maka seandainya harta peninggalan itu bukan milik mereka, tentu hal itu tidak diperbolehkan bagi mereka.
Kedua: bahwa jika si mayit memiliki piutang dan juga memiliki utang, maka boleh bagi ahli waris untuk menggantikan kedudukannya atas piutangnya, dan mereka berhak menerimanya serta melunasi utang-utangnya dari piutang itu. Maka seandainya kepemilikan atas piutang itu belum berpindah kepada mereka, tidak sah bagi mereka untuk mewakili dalam perkara yang bukan milik mereka.
Ketiga: mereka telah sepakat bahwa jika si mayit memiliki utang dan meninggalkan dua anak, lalu salah satu dari keduanya wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, kemudian para kreditur membebaskan si mayit dari utang-utangnya, maka harta peninggalan dibagi dua antara anak yang masih hidup dan cucu dari anak yang telah wafat. Maka seandainya harta peninggalan masih milik si mayit dan tidak berpindah kepada ahli waris kecuali setelah pelunasan utang, tentu seluruh harta menjadi milik anak yang masih hidup, karena si mayit tidak memiliki sesuatu pun darinya semasa hidupnya. Maka ketika mereka sepakat dengan hal yang bertentangan dengan itu, hal ini menunjukkan bahwa harta peninggalan telah berpindah menjadi milik para ahli waris dengan sebab wafatnya si mayit.
Adapun ayat (yang dijadikan dalil) maka yang dimaksud adalah kebolehan mengelola harta, bukan kepemilikannya. Adapun pengembalian barang karena cacat (ʿuhdah) terhadap harta peninggalan, maka itu karena penjualan dilakukan untuk melunasi utangnya, dan dalam kasus semacam ini bisa jadi pengembalian (ʿuhdah) diarahkan kepada orang yang bukan pemilik. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seorang budak dijual karena melakukan jinayah, dan hasil penjualannya diberikan kepada korban, kemudian budak itu meninggal sebelum diserahkan, maka pembeli mengembalikan (ʿuhdah) dan menuntut pengembalian nilainya kepada korban, bukan kepada tuannya?
Maka jika hal ini telah tetap, maka zakat fitri atas budak ditanggung oleh ahli waris, meskipun utang telah meliputi seluruh harta peninggalan.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، وَقَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ قَبْلَ وُجُوبِ الزَّكَاةِ عَلَيْهِ اعْتِبَارًا بِطُلُوعِ الْفَجْرِ فعلى هذا تكون فطرة نفسه غير وَاجِبَةً بِحَالٍ، وَفِطْرَةُ رَقِيقِهِ وَاجِبَةٌ عَلَى وَرَثَتِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ بَعْدَ وُجُوبِ الْفِطْرَةِ عَلَيْهِ اعْتِبَارًا بِغُرُوبِ الشَّمْسِ، فَتَكُونُ فِي مَالِهِ فِطْرَةُ نَفْسِهِ، وَفِطْرَةُ رَقِيقِهِ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ والله أعلم.
PASAL: Adapun bagian ketiga: yaitu apabila (kematiannya terjadi) setelah terbenamnya matahari dan sebelum terbit fajar, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yaitu qaul qadim, bahwa ia telah meninggal sebelum zakat fitrah wajib atasnya dengan mempertimbangkan (waktu) terbit fajar. Maka menurut pendapat ini, zakat fitrah atas dirinya tidak wajib sama sekali, sedangkan zakat fitrah untuk budaknya wajib atas ahli warisnya.
Pendapat kedua, yaitu qaul jadid, bahwa ia telah meninggal setelah kewajiban zakat fitrah atasnya dengan mempertimbangkan (waktu) terbenam matahari, maka zakat fitrah atas dirinya dan atas budaknya menjadi beban hartanya, dan hukumnya seperti yang telah disebutkan dalam bagian pertama. Wallahu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو أوصى لرجل بعبدٍ يَخْرُجُ مِنَ الثُّلُثِ، فَمَاتَ ثُمَّ أَهَلَّ شوال أوقفنا زكاته فإن قيل فَهِيَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ خَرَجَ إِلَى مِلْكِهِ وَإِنْ رُدَّ فَهِيَ عَلَى الْوَارِثِ لِأَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ مِلْكِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ وَصَّى بِعَبْدِهِ لِرَجُلٍ ثُمَّ مَاتَ قَبْلَ شَوَّالٍ، وَالْعَبْدُ يَخْرُجُ مِنْ ثُلْثِهِ ثُمَّ أَهَلَّ شَوَّالٌ قَبْلَ قَبُولِ الْمُوصَى لَهُ فَزَكَاةُ فِطْرِهِ غَيْرُ واجبة على الميت الموصي بموته قَبْلَ وُجُوبِهَا، وَإِنَّمَا تَجِبُ عَلَى مَنْ أَهَلَّ شَوَّالٌ وَهُوَ فِي مِلْكِهِ وَاخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الْوَصِيَّةِ مَتَى يَمْلِكُهَا الْمُوصَى لَهُ عَلَى قولين:
أحدهما: أنه يملكها لقبوله فَإِذَا قَبِلَ مِلْكَهَا حِينَئِذٍ فَعَلَى هَذَا فِطْرَةُ الْعَبْدِ عَلَى الْوَرَثَةِ سَوَاءٌ قَبِلَ الْمُوصَى لَهُ أَمْ لَمْ يَقْبَلْ لِأَنَّهُ كَانَ عَلَى مِلْكِهِمْ قَبْلَ قَبُولِهِ.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Seandainya seseorang berwasiat memberikan seorang budak kepada seseorang dan budak itu termasuk bagian sepertiga harta, lalu ia wafat kemudian masuk bulan Syawwal, maka zakatnya ditangguhkan. Jika dikatakan: zakat itu wajib atas penerima wasiat karena budak itu telah berpindah ke kepemilikannya, dan jika wasiat itu ditolak maka zakatnya atas ahli waris karena budak itu tidak keluar dari kepemilikan mereka.”
Al-Māwardī berkata: Gambarannya adalah seseorang berwasiat memberikan budaknya kepada seseorang, kemudian ia wafat sebelum Syawwal, dan budak itu memang cukup masuk dalam sepertiga harta peninggalannya, lalu masuk bulan Syawwal sebelum penerima wasiat menerima wasiat tersebut. Maka zakat fitri budak itu tidak wajib atas si mayit, karena ia wafat sebelum wajibnya zakat tersebut. Zakat fitri hanya wajib atas siapa yang ketika masuk Syawwal budak itu berada dalam kepemilikannya.
Dan telah terjadi perbedaan pendapat Imam al-Syāfi‘ī tentang kapan penerima wasiat menjadi memiliki harta wasiat tersebut, terdapat dua pendapat:
Pertama: bahwa ia memilikinya dengan penerimaannya. Maka jika ia menerima, saat itulah ia menjadi pemilik. Maka menurut pendapat ini, zakat fitri atas budak itu ditanggung oleh para ahli waris, baik penerima wasiat menerima maupun tidak menerima, karena budak itu masih dalam kepemilikan mereka sebelum adanya penerimaan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ قَبُولَهُ يُنْبِئُ عن ملك سابق، فإذا قبل أَنَّهُ كَانَ مَالِكًا لَهُ مِنْ حِينِ مَاتَ الْمُوصِي فَعَلَى هَذَا عَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهِ إِنْ قَبِلَ، وَعَلَى الْوَرَثَةِ إِنْ لَمْ يَقْبَلْ، وَحَكَى ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ عَنِ الشَّافِعِيِّ قَوْلًا ثَالِثًا إِنَّ الْوَصِيَّةَ تَدْخُلُ فِي مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ بِمَوْتِ الْمُوصِي قَبِلَ أَوْ لَمْ يَقْبَلْ كَالْمِيرَاثِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِهِ، فَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ يُعِدُّهُ قَوْلًا ثَالِثًا، فَعَلَى هَذَا تَجِبُ زكاة الفطر عَلَى الْمُوصَى لَهُ سَوَاءٌ قَبِلَ أَوْ لَمْ يَقْبَلْ، وَامْتَنَعَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا مِنْ تَخْرِيجِهِ، وَأَنْكَرُوهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ يُعْرَفُ لِلشَّافِعِيِّ فِي سَائِرِ كُتُبِهِ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ تَصْرِيحٍ، أَوْ تَلْوِيحٍ وَمَوْضِعُ الْكَلَامِ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ ” الْوَصَايَا ” إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
Dan pendapat kedua: bahwa penerimaannya menunjukkan adanya kepemilikan sebelumnya. Maka jika ia menerima (wasiat), berarti ia telah menjadi pemiliknya sejak wafatnya orang yang berwasiat. Berdasarkan hal ini, maka zakat fitrah atas dirinya wajib jika ia menerima, dan atas ahli waris jika ia tidak menerima.
Dan Ibn ‘Abd al-Ḥakam meriwayatkan dari al-Syafi‘i pendapat ketiga bahwa wasiat masuk ke dalam kepemilikan orang yang diberi wasiat sejak wafatnya orang yang berwasiat, baik ia menerima maupun tidak, sebagaimana warisan. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam mengeluarkan (pendapat ini): Abu Sa‘id al-Iṣṭakhri menghitungnya sebagai pendapat ketiga. Maka berdasarkan ini, wajib zakat fitrah atas orang yang diberi wasiat baik ia menerima maupun tidak.
Namun para sahabat kami yang lain menolak mengeluarkan pendapat ini dan mengingkarinya, karena tidak dikenal adanya pernyataan eksplisit maupun isyarat dari al-Syafi‘i dalam kitab-kitab lainnya yang menunjukkan hal itu. Dan tempat pembahasan tentang hal ini adalah dalam Kitab al-Waṣāyā, insya Allah.
فَصْلٌ
: إِذَا أَوْصَى رَجُلٌ بِرَقَبَةِ عَبْدِهِ لِرَجُلٍ، وَبِمَنْفَعَتِهِ لِآخَرَ فَمَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” أَنَّ زَكَاتَهُ وَنَفَقَتَهُ عَلَى مَالِكِ الرَّقَبَةِ لِأَنَّ النَّفَقَةَ وَالْفِطْرَةَ تَجِبُ بِالْمِلْكِ لَا بالمنفعة ألا ترى أن العبد المؤاجر نَفَقَتُهُ، وَزَكَاةُ فِطْرِهِ عَلَى السَّيِّدِ مَالِكِ الرَّقَبَةِ دُونَ الْمُسْتَأْجِرِ مَالِكِ الْمَنْفَعَةِ.
PASAL
Apabila seseorang berwasiat dengan memberikan kepemilikan raqabah budaknya kepada seseorang, dan memberikan manfaatnya kepada orang lain, maka menurut teks yang dinukil dari Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, zakat dan nafkahnya ditanggung oleh pemilik raqabah, karena nafkah dan zakat fitrah wajib ditunaikan oleh pihak yang memiliki kepemilikan, bukan oleh yang hanya memiliki manfaat. Tidakkah engkau melihat bahwa budak yang disewakan, nafkah dan zakat fitrahnya tetap menjadi tanggungan tuannya yang memiliki raqabah, bukan tanggungan penyewa yang hanya memiliki manfaat.
فَصْلٌ
: فَلَوْ وَهَبَ رَجُلٌ لِرَجُلٍ عَبْدًا قَبْلَ شوال، ثم أقبضه العبد بعد شوال في زَكَاةِ فِطْرِهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْهِبَةِ مَتَى تَمَلَّكَ فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ تَمَلَّكَ بِالْقَبْضِ، فَعَلَى هَذَا زَكَاةُ فِطْرِهِ عَلَى الْوَاهِبِ، لأنه كان في ملكه حتى أَهَلَّ شَوَّالٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَمْلِكُ بِالْعَقْدِ مِلْكًا مَوْقُوفًا عَلَى الْقَبْضِ فَعَلَى هَذَا زَكَاةُ الفطر عَلَى الْمَوْهُوبِ لَهُ، لِأَنَّهُ كَانَ عَلَى مِلْكِهِ حين أهل شوال.
PASAL: Maka jika seseorang memberikan hibah kepada orang lain berupa seorang budak sebelum Syawal, lalu budak itu diserahkan (diserahterimakan) setelah masuk bulan Syawal, maka mengenai zakat fitrahnya terdapat dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan dua pendapat al-Syafi‘i mengenai hibah: kapan kepemilikan (hibah) itu terjadi?
Salah satu dari dua pendapatnya menyatakan bahwa kepemilikan terjadi dengan qabḍ (serah terima), maka berdasarkan ini, zakat fitrah atas budak tersebut menjadi tanggungan pihak yang menghibahkan, karena budak itu masih dalam kepemilikannya saat masuk bulan Syawal.
Pendapat kedua: bahwa kepemilikan terjadi dengan ‘aqd (akad hibah), namun kepemilikan itu bersifat mauqūf (tertunda) sampai adanya qabḍ, maka berdasarkan ini zakat fitrah atas budak tersebut menjadi tanggungan penerima hibah, karena budak tersebut sudah dalam kepemilikannya saat masuk bulan Syawal.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو مَاتَ الْمُوصَى لَهُ فَوَرَثَتُهُ يَقُومُونَ مَقَامَهُ فَإِنْ قَبِلُوا فَزَكَاةُ الْفِطْرِ فِي مَالِ أَبِيهِمْ لِأَنَّهُمْ بملكه ملكوه “.
أَمَّا إِنْ مَاتَ الْمُوصَى لَهُ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي فَالْوَصِيَّةُ بَاطِلَةٌ لَا أَعْرِفُ فِيهَا مُخَالِفًا. “.
قال الماوردي: فَأَمَّا إِنْ مَاتَ الْمُوصَى لَهُ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي نُظِرَ فَإِنْ مَاتَ بَعْدَ قَبُولِهِ فَقَدْ مَلَكَ الْوَصِيَّةَ قَبْلَ مَوْتِهِ، فَزَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ مَاتَ قَبْلَ قَبُولِهِ، فَالْوَصِيَّةُ صَحِيحَةٌ لَا تَبْطُلُ بِمَوْتِهِ وَوَرَثَتُهُ يَقُومُونَ فِي الْقَبُولِ مَقَامَهُ.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Jika orang yang diwasiati meninggal, maka para ahli warisnya menempati posisinya. Jika mereka menerima (wasiat itu), maka zakat fitrah ditunaikan dari harta ayah mereka, karena dengan miliknya (ayah), mereka menjadi memiliki.”
Adapun jika orang yang diwasiati meninggal sebelum pewasiat meninggal, maka wasiat itu batal. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.”
Al-Mawardi berkata: Adapun jika orang yang diwasiati meninggal setelah wafatnya pewasiat, maka dilihat: jika ia meninggal setelah menerima (wasiat), maka ia telah memiliki wasiat tersebut sebelum wafatnya, maka zakat fitrah berlaku sebagaimana telah berlalu. Namun jika ia meninggal sebelum menerima (wasiat), maka wasiat itu tetap sah dan tidak batal karena kematiannya, dan para ahli warisnya menempati posisinya dalam hal penerimaan wasiat.
وَقَالَ أبو حنيفة: قَدْ بَطَلَتِ الوصية بموته قبل قبوله، وليس للورثة قبوله بَعْدَ مَوْتِهِ وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ ” الْوَصَايَا ” إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الحملة فَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: فِي رَجُلٍ وَصَّى بِعَبْدِهِ لِرَجُلٍ ثُمَّ مَاتَ الْمُوصِي قَبْلَ شَوَّالٍ، وَمَاتَ الْمُوصَى لَهُ قَبْلَ قَبُولِهِ وَبَعْدَ شَوَّالٍ فَوَرَثَتُهُ يقومون في القبول مقامه، وإن قبلوا، وقبل إِنَّهُمْ بِالْقَبُولِ قَدْ مَلَكُوا فَزَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى وَرَثَةِ الْمُوصِي، لِأَنَّهُ كَانَ عَلَى مِلْكِهِمْ قَبْلَ الْقَبُولِ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْقَبُولَ يُنْبِئُ عَنْ ملك سابق فزكاة فطره وَاجِبَةٌ عَلَى الْمُوصَى لَهُ، وَمَأْخُوذَةٌ مِنْ تَرِكَتِهِ دُونَ وَرَثَتِهِ لِأَنَّهُمْ عَنْهُ يَمْلِكُونَهُ.
Dan Abū Ḥanīfah berkata: Wasiat menjadi batal dengan wafatnya (penerima wasiat) sebelum ia menerimanya, dan para ahli waris tidak berhak untuk menerimanya setelah ia wafat. Dan pembahasan mengenai hal ini akan datang dalam Kitab al-Waṣāyā, insya Allah.
Maka apabila kaidah ini telah ditetapkan, maka bentuk masalah ini adalah: seseorang berwasiat untuk memberikan budaknya kepada seseorang, kemudian orang yang berwasiat itu wafat sebelum (masuk) bulan Syawal, dan orang yang diberi wasiat wafat setelah bulan Syawal dan sebelum sempat menerima (wasiat tersebut), maka para ahli warisnya menempati posisinya dalam penerimaan wasiat tersebut. Jika mereka menerima, dan dihukumi bahwa dengan penerimaan itu mereka telah memilikinya, maka zakat fitrah atas budak itu menjadi tanggungan ahli waris orang yang berwasiat, karena budak itu berada dalam kepemilikan mereka sebelum penerimaan.
Namun jika dikatakan bahwa penerimaan itu menunjukkan adanya kepemilikan sebelumnya, maka zakat fitrahnya wajib atas orang yang diberi wasiat, dan diambil dari harta peninggalannya, bukan dari ahli warisnya, karena mereka memilikinya mewakili dirinya.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِ شَوَّالٌ وَعِنْدَهُ قُوتُهُ وَقُوتُ من بقوت ليومه وَمَا يُؤَدِّي بِهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْهُمْ أَدَّاهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
زَكَاةُ الْفِطْرِ تَجِبُ بِمَا فَضَلَ عَنْ قُوتِهِ يَوْمَهُ، وَلَيْلَتَهُ فَإِذَا كَانَ عِنْدَهُ قُوتُهُ وَقُوتُ مَنْ يَلْزَمُهُ قُوتُهُ فِي يَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ، وَفَضَلَ عَنْ ذَلِكَ قَدْرُ فِطْرَتِهِ فَقَدْ لَزِمَتْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيٌّ وَأَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.
وَمِنَ التَّابِعِينَ عَطَاءٌ وَابْنُ سِيرِينَ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَأَبُو ثَوْرٍ.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Barang siapa telah masuk bulan Syawwal, sedang ia memiliki makanan pokok untuk dirinya dan untuk orang-orang yang wajib ia tanggung pada hari itu, serta memiliki sesuatu untuk membayar zakat fitrah atas dirinya dan mereka, maka ia menunaikannya.”
Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan.
Zakat fitrah menjadi wajib atas kelebihan dari makanan pokok dirinya pada hari dan malamnya. Maka apabila ia memiliki makanan pokok untuk dirinya dan untuk orang-orang yang wajib ia tanggung pada hari dan malamnya, lalu masih ada kelebihan seukuran zakat fitrahnya, maka zakat fitrah telah wajib atasnya.
Hal ini juga dikatakan oleh para sahabat seperti ‘Ali dan Abu Hurairah RA, dari kalangan tabi’in seperti ‘Aṭā’ dan Ibn Sīrīn, serta dari kalangan fuqaha seperti Mālik dan Abū Ṯaur.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا تَجِبُ زَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَّا عَلَى مَنْ مَعَهُ نِصَابٌ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، فَاعْتَبَرَ إِحْدَى الزَّكَاتَيْنِ بِالْأُخْرَى اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ) فَجَعَلَ الْغَنِيَّ مَأْخُوذًا مِنْهُ، وَالْفَقِيرَ مَرْدُودًا عَلَيْهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ الْفَقِيرُ مَأْخُوذًا مِنْهُ كَمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ الْغَنِيُّ مَرْدُودًا عَلَيْهِ، قَالَ: وَلِأَنَّهَا صَدَقَةٌ تَتَكَرَّرُ بِالْحَوْلِ، فَوَجَبَ أَنْ يُرَاعَى فِيهَا النِّصَابُ كَسَائِرِ الصَّدَقَاتِ قَالَ: وَلِأَنَّهُ مِمَّنْ تَحِلُّ لَهُ الصَّدَقَةُ بِاسْمِ الْفَقْرِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمُهُ صَدَقَةُ الْفِطْرِ كَمَنْ لَمْ يَفْضُلْ مِنْ قُوتِهِ شَيْءٌ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ عُمُومُ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ) وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ غَنِيٍّ وَفَقِيرٍ.
Dan Abū Ḥanīfah berkata: Tidak wajib zakat fitrah kecuali atas orang yang memiliki niṣāb yang wajib dizakati, maka ia mengqiyaskan salah satu dari dua zakat dengan yang lainnya, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “Aku diperintahkan untuk mengambil sedekah dari orang-orang kaya kalian lalu mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian.” Maka beliau menjadikan orang kaya sebagai pihak yang diambil darinya, dan orang fakir sebagai pihak yang diberikan kepadanya. Maka tidak sah menjadikan orang fakir sebagai pihak yang diambil darinya, sebagaimana tidak sah menjadikan orang kaya sebagai pihak yang diberikan kepadanya.
Ia berkata: karena zakat fitrah adalah sedekah yang berulang setiap tahun (ta‘awwada bi al-ḥawl), maka wajib memperhatikan adanya niṣāb di dalamnya sebagaimana sedekah-sedekah yang lain. Ia juga berkata: karena orang fakir termasuk orang yang halal baginya menerima sedekah dengan nama kefakiran, maka tidak wajib atasnya zakat fitrah sebagaimana orang yang tidak memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya.
Dan dalil atas kebenaran pendapat yang kami pegang adalah keumuman hadis Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW “mewajibkan zakat fitrah dari Ramadan atas manusia”, dan beliau tidak membedakan antara yang kaya dan yang fakir.
وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي صُعَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا عَنْ كُلِّ حُرٍّ وعبدٍ ذَكَرٍ وَأُنْثَى صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ غَنِيٍّ أَوْ فَقِيرٍ أَمَّا الْغَنِيُّ فَيُزَكِّيهِ اللَّهُ وَأَمَّا الْفَقِيرُ فَيَرُدُّ اللَّهُ عَلَيْهِ أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى ” فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِهَا عَلَى الْفَقِيرِ، وَلِأَنَّهُ حَقٌّ فِي مَالٍ لَا يَزِيدُ بِزِيَادَةِ الْمَالِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعْتَبَرَ فِيهِ وُجُودُ النِّصَابِ قِيَاسًا عَلَى الْكَفَّارَاتِ، وَلِأَنَّهُ وَاجِدٌ فَضْلَةً عَنْ قُوتِ يَوْمِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ إِخْرَاجُهَا قِيَاسًا عَلَى مَنْ مَعَهُ نِصَابٌ. فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ احْتِجَاجِهِ بِالْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قصد به تنزيه الفقراء، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ بِهِ عَمَّا قُصِدَ لَهُ عَلَى أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى زَكَاةِ الْأَمْوَالِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى سَائِرِ الصَّدَقَاتِ، فَالْمَعْنَى فِي اعْتِبَارِ النِّصَابِ فِيهَا: زِيَادَتُهَا بِزِيَادَةِ الْمَالِ وَنُقْصَانُهَا بِنُقْصَانِهِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى مَنْ لَمْ يَفْضُلْ من قوته شيء فالمعنى في أنه غير قادر عليه.
Diriwayatkan dari al-Zuhrī dari Ṯa‘labah bin ‘Abdillāh bin Abī Ṣu‘ayr dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW “mewajibkan zakat fitrah satu ṣā‘ atas setiap orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar, kaya maupun miskin. Adapun orang kaya, maka Allah menyucikannya, dan adapun orang miskin, maka Allah akan mengembalikan kepadanya lebih banyak dari yang ia keluarkan.”
Maka hadits ini menunjukkan wajibnya zakat fitrah atas orang miskin. Karena ia adalah hak yang melekat pada harta, dan tidak bertambah dengan bertambahnya kekayaan, maka tidak disyaratkan adanya niṣāb, qiyās-nya sebagaimana kaffārat. Dan karena ia memiliki kelebihan dari makanan pokok harian, maka wajib baginya mengeluarkan zakat fitrah, qiyās-nya sebagaimana orang yang memiliki niṣāb.
Adapun jawaban atas dalil yang menggunakan hadits tersebut adalah bahwa Nabi SAW bermaksud memuliakan kaum fakir, maka tidak boleh berpaling dari maksud tersebut. Bahkan hadits itu bisa ditakwilkan sebagai zakat harta.
Adapun qiyās atas zakat-zakat lainnya, maka illat dalam mensyaratkan niṣāb padanya adalah karena zakat itu bertambah dengan bertambahnya harta dan berkurang dengan berkurangnya. Sedangkan qiyās atas orang yang tidak memiliki kelebihan dari makanan pokoknya, maka illat-nya adalah karena ia tidak mampu.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن لم يكن عنده بعد القوت ليومه إِلَّا مَا يُؤَدِّي عَنْ بَعْضِهِمْ أَدَّى عَنْ بعضهم وإن لم يكون عنده إلا قوت يومه فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَنْ وَجَدَ زَكَاةَ فِطْرِهِ فَاضِلَةً عَنْ قُوتِ يَوْمِهِ، فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُهَا، وَاعْتِبَارُ وُجُودِ ذَلِكَ وَقْتَ وُجُوبِهَا، فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ يُعْتَبَرُ وُجُودُ ذَلِكَ عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، لِأَنَّ بِهِ تَجِبُ زَكَاةُ الْفِطْرِ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ يعتبر وجود ذَلِكَ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ؛ لِأَنَّهُ بِهِ تَجِبُ زكاة الفطر، فإذا ثَبَتَ ذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ، أَوْ عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ وَاجِدًا لِجَمِيعِ الْفِطْرَةِ بَعْدَ قُوتِهِ، وَقُوتِ عِيَالِهِ، أَوْ يَكُونَ غَيْرَ وَاجِدٍ لِشَيْءٍ مِنْهَا أَوْ يَكُونَ وَاجِدًا لِبَعْضِهَا، فَإِنْ كَانَ وَاجِدًا لِجَمِيعِهَا فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُهَا فَإِنْ لَمْ يُخْرِجْهَا حَتَّى تَلَفَتْ مِنْ يَدِهِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ إِمْكَانِ إِخْرَاجِهَا فَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْإِمْكَانِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang tidak memiliki (harta) setelah kebutuhan makannya untuk satu hari, kecuali sesuatu yang dapat digunakan untuk menunaikan zakat fitrah dari sebagian mereka, maka ia menunaikannya dari sebagian mereka. Namun jika ia tidak memiliki kecuali makanan untuk satu harinya, maka tidak ada kewajiban atasnya.”
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa siapa pun yang memiliki zakat fitrah yang melebihi dari kebutuhan makannya sehari, maka wajib atasnya mengeluarkannya. Penentuan hal tersebut dilihat pada waktu wajibnya. Menurut pendapat beliau dalam qaul qadim, keadaannya dinilai saat terbit fajar, karena pada saat itu zakat fitrah menjadi wajib. Dan menurut pendapat beliau dalam qaul jadid, keadaannya dinilai saat terbenam matahari, karena pada saat itulah zakat fitrah menjadi wajib.
Apabila hal itu telah ditetapkan, maka keadaannya saat terbenam matahari menurut qaul jadid, atau saat terbit fajar menurut qaul qadim, tidak lepas dari tiga keadaan:
Pertama, ia memiliki seluruh jumlah zakat fitrah setelah kebutuhan makannya dan makan keluarganya.
Kedua, ia tidak memiliki sedikit pun darinya.
Ketiga, ia memiliki sebagian darinya.
Jika ia memiliki seluruhnya, maka wajib atasnya mengeluarkannya. Jika ia tidak mengeluarkannya hingga harta itu rusak dari tangannya, maka dilihat:
Jika kerusakan terjadi setelah memungkinkan untuk mengeluarkannya, maka ia wajib menggantinya.
Namun jika kerusakan terjadi sebelum memungkinkan untuk mengeluarkannya, maka terdapat dua wajah (pendapat).
أَحَدُهُمَا: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ كَزَكَوَاتِ الْأَمْوَالِ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهِ الضَّمَانُ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْفِطْرَةِ وَبَيْنَ زَكَاةِ الْمَالِ: أَنَّ زَكَاةَ الْمَالِ تَتَعَلَّقُ بِعَيْنِهِ، فَإِذَا تَلِفَتْ قَبْلَ الْإِمْكَانِ لَمْ يَجِبْ ضَمَانُهَا، وَالْفِطْرَةُ لَا تَتَعَلَّقُ بِعَيْنِ الْمَالِ، فَلَمْ يَكُنْ تَلَفُهُ قَبْلَ الْإِمْكَانِ مُسْقِطًا لِضَمَانِهَا وَالْأَوَّلُ أصح.
Pertama: Tidak ada kewajiban mengganti (menanggung kerugian) sebagaimana zakat harta.
Kedua: Wajib mengganti.
Adapun perbedaan antara zakat fitrah dan zakat harta adalah bahwa zakat harta berkaitan langsung dengan benda harta itu sendiri. Maka apabila harta tersebut rusak sebelum memungkinkan dikeluarkan, tidak wajib menggantinya. Sedangkan zakat fitrah tidak berkaitan dengan benda harta secara langsung, maka rusaknya harta sebelum memungkinkan mengeluarkannya tidak menggugurkan kewajiban untuk menggantinya.
Dan pendapat pertama adalah yang lebih sahih.
فَصْلٌ
: وَإِنْ كَانَ غَيْرَ وَاجِدٍ لِشَيْءٍ مِنْهَا وَإِنَّمَا يَجِدُ قُوتَ يَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ إخراجها لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَغْنُوهُمْ عَنِ الطَّلَبِ فِي هَذَا الْيَوْمِ ” فَلَمْ يجز أن يؤمر بإغناء غير وَيُحْوِجَ نَفْسَهُ إِلَى أَنْ يُعِينَهُ غَيْرُهُ، فَإِنْ وَجَدَهَا بَعْدَ وَقْتِ الْوُجُوبِ، إِمَّا بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ عَلَى الْجَدِيدِ أَوْ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ على القديم لم يلزمه إخراجها، ويستحب ذَلِكَ لَهُ وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ وَجَدَهَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَجَبَ عَلَيْهِ إِخْرَاجُهَا وَأَصْحَابُ مَالِكٍ يُنْكِرُونَ أَنْ يَكُونَ هَذَا مَذْهَبَ مَالِكٍ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ مَا كَانَ شَرْطًا فِي وُجُوبِهَا كَانَ وَجُودُهُ مُعْتَبَرًا فِي وَقْتِهَا كَالْإِسْلَامِ، لِأَنَّ زَكَاةَ الفطر تجب بالإسلام، والقدرة فلو أَسْلَمَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ فَكَذَا إِذَا قَدَرَ عَلَيْهَا بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ.
PASAL
Apabila seseorang tidak memiliki sesuatu pun dari harta, dan ia hanya memiliki makanan pokok untuk hari dan malamnya, maka tidak wajib atasnya mengeluarkan zakat fitrah, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Cukupkan mereka dari meminta-minta pada hari ini.” Maka tidak pantas ia diperintahkan untuk mencukupi orang lain, sementara ia sendiri membutuhkan bantuan dari orang lain.
Jika ia memperoleh kemampuan setelah waktu wajib — baik setelah terbenamnya matahari menurut pendapat jadid, atau setelah terbit fajar menurut pendapat qadim — maka ia tidak wajib mengeluarkannya, namun dianjurkan untuk melakukannya.
Mālik berkata: Jika ia memperoleh kemampuan pada hari Idulfitri, maka wajib baginya mengeluarkannya. Akan tetapi, para pengikut Mālik mengingkari bahwa ini adalah mazhab Mālik, dan ini merupakan kekeliruan. Karena sesuatu yang menjadi syarat wajibnya zakat fitrah harus ada pada waktunya, sebagaimana Islam, karena zakat fitrah diwajibkan dengan keislaman dan kemampuan. Maka, jika seseorang masuk Islam setelah terbit fajar pada hari Idulfitri, tidak wajib atasnya zakat fitrah; begitu pula apabila seseorang baru memiliki kemampuan setelah terbit fajar pada hari Idulfitri, maka tidak wajib atasnya zakat fitrah.
فَصْلٌ
: وَإِنْ كَانَ وَاجِدًا لِبَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ صَاعًا كَامِلًا فَعَلَيْهِ إِخْرَاجُهُ، لِأَنَّ الْعَجْزَ عَنْ بَعْضِ الْوَاجِبَاتِ لَا يَسْقُطُ بِهِ بَاقِيهَا ثُمَّ فِي كَيْفِيَّةِ إِخْرَاجِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: وَهُوَ وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ، أَنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ إِخْرَاجِهِ عَنْ نَفْسِهِ، أَوْ عَنْ أَيِّهِمْ شَاءَ لِأَنَّهُ لو كان واجد الفطرة جَمِيعُهُمْ، لَكَانَ مُخَيَّرًا فِي تَقْدِيمِ إِخْرَاجِهَا عَنْ أيهم شاء فكذا، إذا كان واجد الفطرة أَحَدِهِمْ كَانَ مُخَيَّرًا فِي إِخْرَاجِهَا عَنْ أَيِّهِمْ شاء.
والوجه الثاني: أنه يُخْرِجَهَا عَنْ أَحَدِ الْجَمَاعَةِ لَا يُعَيِّنُهُ لِيَحْتَسِبَ اللَّهَ تَعَالَى بِهَا عَمَّنْ شَاءَ، لِأَنَّهُ لَوْ كان واجد الفطرة جَمِيعُهُمْ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يُعَيِّنَهَا عَنْ كُلِّ واحد منهم، وكذا إذا كان واجد الفطرة وَاحِدٍ مِنْهُمْ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يُعَيِّنَهَا عَنْ أَحَدِهِمْ.
PASAL:
Jika seseorang memiliki sebagian zakat fitrah namun tidak seluruhnya, maka hal itu terbagi menjadi dua:
Pertama: jika yang dimiliki adalah satu ṣā‘ yang sempurna, maka wajib atasnya mengeluarkannya, karena ketidakmampuan atas sebagian dari kewajiban tidak menggugurkan bagian lainnya.
Kemudian, dalam tata cara pengeluarannya terdapat tiga wajah (pendapat):
Wajah pertama —dan ini adalah zahir dari naṣ beliau— bahwa ia diberi pilihan antara mengeluarkannya untuk dirinya sendiri atau untuk siapa saja dari mereka yang ia kehendaki. Karena jika seluruh mereka adalah orang yang wajib dikeluarkan zakat fitrahnya, maka ia diberi pilihan untuk mendahulukan pengeluarannya atas siapa pun yang ia kehendaki. Maka demikian pula, jika hanya satu orang saja dari mereka yang wajib dikeluarkan zakat fitrahnya, maka ia tetap diberi pilihan untuk mengeluarkannya atas siapa pun yang ia kehendaki.
Wajah kedua: bahwa ia mengeluarkannya atas salah satu dari mereka tanpa menentukan siapa, agar Allah Ta‘ala memperhitungkannya untuk siapa yang Dia kehendaki. Karena jika seluruh mereka wajib dikeluarkan zakat fitrahnya, maka tidak wajib baginya untuk menentukan atas nama siapa zakat itu. Maka demikian pula, jika hanya satu orang dari mereka yang wajib dikeluarkan zakat fitrahnya, maka tidak wajib pula baginya untuk menentukan atas nama siapa zakat itu.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ يُخْرِجَهُ عَنْ أَوْكَدِهِمْ حُرْمَةً وَأَقْوَاهُمْ سَبَبًا لِأَنَّ مَنْ كَانَ حَقُّهُ أَوْكَدَ، وَأَقْوَى فَهُوَ بِالْإِخْرَاجِ عَنْهُ أَحَقُّ وَأَوْلَى فَعَلَى هَذَا يَبْدَأُ بِنَفْسِهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” ابْدَأْ بِنَفْسِكَ ثَمَّ بِمَنْ تَعُولُ) ثُمَّ يَبْدَأُ بَعْدَ نَفْسِهِ بِزَوْجَتِهِ، لِأَنَّ نَفَقَةَ زَوْجَتِهِ مُقَدَّمَةٌ عَلَى نَفَقَةِ أَقَارِبِهِ، فَكَذَا فِطْرَةُ نَفْسِهِ مُقَدَّمَةٌ عَلَى فِطْرَةِ أَقَارِبِهِ، ثُمَّ يَبْدَأُ بَعْدَ زَوْجَتِهِ بِأَوْلَادِهِ الصِّغَارِ الْفُقَرَاءِ وَهُمْ مُقَدَّمُونَ عَلَى الْأَبِ، لِأَنَّ وُجُوبَ النَّفَقَةِ عَلَيْهِمْ بِنَصٍّ وَوُجُوبَ النَّفَقَةِ عَلَى الْأَبِ بِاسْتِدْلَالٍ، ثُمَّ يَبْدَأُ بَعْدَ أَوْلَادِهِ الصِّغَارِ بِأَبِيهِ وَهُوَ مُقَدَّمٌ على أمه، لأن نفقته في صغره قَدْ تَجِبُ عَلَى أَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ، فَكَانَتْ نَفَقَةُ أَبِيهِ أَوْكَدَ مِنْ نَفَقَةِ أُمِّهِ، ثُمَّ يَبْدَأُ بَعْدَ أَبِيهِ بِأُمِّهِ وَهِيَ مُقَدَّمَةٌ عَلَى كِبَارِ وَلَدِهِ، لِقُوَّةِ حُرْمَتِهَا بِالْوِلَادَةِ ثُمَّ أَوْلَادِهِ الْكِبَارِ الْفُقَرَاءِ.
Dan pendapat ketiga: hendaknya ia mengeluarkan (zakat fitrah) untuk orang yang paling kuat kehormatannya dan paling kuat sebab keterikatannya, karena siapa yang haknya lebih kuat dan sebabnya lebih kuat, maka ia lebih berhak dan lebih utama untuk didahulukan.
Berdasarkan hal ini, ia memulai dari dirinya sendiri, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Mulailah dari dirimu, kemudian dari orang-orang yang engkau tanggung.”
Kemudian setelah dirinya, ia mulai dari istrinya, karena nafkah istri lebih didahulukan daripada nafkah kerabatnya; demikian pula zakat fitrah untuk istrinya didahulukan dari zakat fitrah untuk kerabatnya.
Kemudian setelah istrinya, ia mulai dari anak-anaknya yang masih kecil dan fakir, dan mereka didahulukan dari ayahnya, karena kewajiban nafkah atas mereka berdasarkan nash, sedangkan kewajiban nafkah atas ayah berdasarkan istidlāl (penalaran).
Kemudian setelah anak-anaknya yang kecil, ia mulai dari ayahnya, dan ayah didahulukan dari ibu, karena nafkah pada masa kecil seseorang terkadang wajib atas ayahnya saja, tidak atas ibunya, maka nafkah ayah lebih kuat daripada nafkah ibu.
Kemudian setelah ayahnya, ia mulai dari ibunya, dan ibu didahulukan dari anak-anaknya yang sudah besar, karena kuatnya kehormatan ibu melalui kelahiran.
Kemudian setelah itu barulah anak-anaknya yang besar yang fakir.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَا وَجَدَهُ بَعْدَ قُوتِهِ أَقَلَّ مِنْ صَاعٍ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَمَا ذَكَرَهُ مَنْصُوصًا فِي بَعْضِ كُتُبِهِ أَنَّ عَلَيْهِ إِخْرَاجَهُ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ الْعَجْزَ عَنْ بَعْضِ الْوَاجِبَاتِ لَا يُسْقِطُ مَا بَقِيَ مِنْهَا، وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُهُ كَالْكَفَّارَةِ الَّتِي لَا يَلْزَمُ إِخْرَاجُ بَعْضِهَا، إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى جَمِيعِهَا وَهَذَا غَلَطٌ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أن الكفارة ترجع فِيهَا إِلَى بَدَلٍ فَلَمْ يَلْزَمْهُ إِخْرَاجُ بَعْضِهَا، وَالْفِطْرَةُ لَا يَرْجِعُ فِيهَا إِلَى بَدَلٍ فَلَزِمَهُ إِخْرَاجُ بَعْضِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ إِخْرَاجَ بَعْضِ الصَّاعِ قَدْ يَجِبُ فِي الْعَبْدِ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ، فَوَجَبَ إِخْرَاجُهُ لِجَوَازِ تَبْعِيضِهِ وَالْكَفَّارَةُ لَا يَجُوزُ تَبْعِيضُهَا فلم يجز إخراج بعضها.
Dan bagian kedua: yaitu jika yang dimilikinya setelah kebutuhan makannya kurang dari satu ṣā‘, maka mazhab al-Syafi‘i —dan ini yang beliau sebutkan secara manṣūṣ dalam sebagian kitabnya— bahwa wajib atasnya mengeluarkannya, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan bahwa ketidakmampuan atas sebagian kewajiban tidak menggugurkan bagian lainnya.
Namun terdapat wajah lain dari sebagian sahabat kami bahwa tidak wajib mengeluarkannya, sebagaimana kaffārah yang tidak wajib dikeluarkan sebagian darinya apabila tidak mampu mengeluarkan seluruhnya. Dan ini adalah kekeliruan. Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
Pertama: Kaffārah memiliki pengganti, maka tidak wajib mengeluarkan sebagian darinya. Sedangkan zakat fitrah tidak memiliki pengganti, maka wajib mengeluarkan sebagian darinya.
Kedua: mengeluarkan sebagian ṣā‘ bisa saja diwajibkan dalam kasus budak yang dimiliki oleh dua orang sekutu, maka wajib mengeluarkannya karena boleh adanya pembagian. Sedangkan kaffārah tidak boleh dibagi, maka tidak boleh mengeluarkan sebagiannya.
مسألة:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فَإِنْ كَانَ أحدٌ ممن يقوت واجداً لزكاة الْفِطْرِ لَمْ أُرَخِّصْ لَهُ فِي تَرْكِ أَدَائِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَلَا يَبِينُ لِي أَنْ تَجِبَ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا مَفْرُوضَةٌ عَلَى غَيْرِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الشَّافِعِيَّ أَرَادَ بِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الزَّوْجَةَ دُونَ الْأَقَارِبِ لِأَنَّ الزَّوْجَةَ تَلْزَمُ نَفَقَتُهَا وَزَكَاةُ فِطْرِهَا مَعَ وُجُودِ ذَلِكَ فِي مِلْكِهَا، وَالْأَقَارِبُ لَا يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُمْ، وَزَكَاةُ فِطْرِهِمْ مَعَ وُجُودِ ذَلِكَ فِي مِلْكِهِمْ، فَإِذَا كَانَ الزَّوْجُ مُعْسِرًا بِزَكَاةِ فِطْرِهَا سَقَطَتْ عَنْهُ كَمَا سَقَطَتْ عَنْهُ فِطْرَةُ نَفْسِهِ، ثُمَّ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا شَيْءَ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَتْ مُوسِرَةً بِهَا، لِأَنَّهَا مَفْرُوضَةٌ عَلَى غَيْرِهَا لَكِنْ يُسْتَحَبُّ ذَلِكَ لَهَا لِخِلَافِ النَّاسِ فِيهَا، وَفِيهَا وَجْهٌ آخَرُ، أَنَّ عَلَيْهَا إِخْرَاجَ الْفِطْرَةِ عَنْ نَفْسِهَا إِذَا قِيلَ: إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَيْهَا ثُمَّ يَحْمِلُ الزَّوْجُ عَنْهَا وَيَخْرُجُ مِنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ فِي سَيِّدِ الْأَمَةِ إِذَا زَوَّجَهَا لِمُعْسِرٍ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ فِي آخر هذا الباب.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Jika salah satu dari orang yang ia tanggung (nafkahnya) memiliki kemampuan untuk menunaikan zakat fitrah, maka aku tidak memberi keringanan baginya untuk meninggalkan penunaian zakat fitrah atas dirinya sendiri. Namun, belum jelas bagiku bahwa zakat itu wajib atasnya, karena zakat tersebut difardukan atas orang lain.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa yang dimaksud Imam al-Syafi’i dalam masalah ini adalah istri, bukan kerabat. Karena nafkah istri wajib ditanggung (oleh suami), demikian pula zakat fitrahnya, meskipun istri memiliki kemampuan harta; sedangkan kerabat tidak wajib atasnya nafkah, demikian pula zakat fitrahnya, meskipun mereka memiliki kemampuan harta.
Maka apabila suami tidak mampu menunaikan zakat fitrah untuk istrinya, gugurlah kewajiban itu darinya, sebagaimana gugur pula zakat fitrah untuk dirinya sendiri.
Kemudian menurut teks Imam al-Syafi’i, tidak ada kewajiban atas istri, meskipun ia mampu menunaikannya, karena zakat itu difardukan atas orang lain (yakni suami). Namun, dianjurkan baginya untuk menunaikannya karena adanya perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Terdapat pula pendapat lain bahwa istri wajib mengeluarkan zakat fitrah atas dirinya sendiri jika dikatakan bahwa zakat itu wajib atas dirinya, lalu suami hanya sekadar menanggungnya. Pendapat ini ditarik dari teks Imam al-Syafi’i tentang tuan budak perempuan yang menikahkannya dengan seorang yang tidak mampu, sebagaimana akan dijelaskan pada akhir bab ini.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ زَوَّجَ أَمَتَهُ عَبْدًا أَوْ مُكَاتَبًا فَعَلَيْهِ أن يؤدي عنها فإن زَوْجُهَا حُرًّا فَعَلَى الْحُرِّ الزَّكَاةُ عَنِ امْرَأَتِهِ فَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا فَعَلَى سَيِّدِهَا فَإِنْ لَمْ يُدْخِلْهَا عَلَيْهِ، أَوْ مَنَعَهَا مِنْهُ فَعَلَى السَّيِّدِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا زَوَّجَ السَّيِّدُ أَمَتَهُ وَأَهَلَّ شَوَّالٌ بَعْدَ تَزْوِيجِهَا فَالْكَلَامُ فِي زَكَاةِ فِطْرِهَا يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: فِي وُجُوبِهَا عَلَى الزَّوْجِ.
وَالثَّانِي: فِي وُجُوبِهَا عَلَى السَّيِّدِ فَأَمَّا الزَّوْجُ فَلَا تَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ حُرًّا أَوْ عَبْدًا، فَإِنْ كَانَ عَبْدًا أَوْ مُكَاتَبًا أَوْ مُدَبَّرًا، لَمْ يَلْزَمْهُ زَكَاةُ فِطْرِهَا، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَلْزَمْهُ فِطْرَةُ نَفْسِهِ لِأَجْلِ رِقِّهِ فَأَوْلَى أَنْ لَا تَلْزَمُهُ فِطْرَةُ غَيْرِهِ، وَإِنْ كَانَ حُرًّا فَلَهُ حالان:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang menikahkan amahnya dengan seorang budak atau mukātab, maka wajib atasnya (tuannya) membayar zakat fitrahnya. Namun jika ia menikahkannya dengan laki-laki merdeka, maka yang wajib membayar zakat fitrah amah itu adalah suaminya. Jika suaminya fakir, maka wajib atas tuannya. Namun jika ia tidak menyerahkan amahnya kepada suaminya, atau ia menghalanginya dari suaminya, maka zakat fitrahnya tetap atas tuannya.”
Al-Mawardi berkata: Jika seorang tuan menikahkan amahnya, lalu bulan Syawal masuk setelah pernikahan itu, maka pembahasan tentang zakat fitrahnya mencakup dua pasal:
Pertama: tentang kewajibannya atas suami.
Kedua: tentang kewajibannya atas tuan.
Adapun suami, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal:
Pertama: ia adalah orang merdeka, atau
Kedua: ia adalah seorang budak.
Jika ia adalah budak, atau mukātab, atau mudabbir, maka tidak wajib atasnya zakat fitrah untuk istrinya, karena ketika zakat fitrah untuk dirinya sendiri saja tidak wajib karena status perbudakannya, maka lebih utama lagi zakat fitrah orang lain (istrinya) tidak wajib atasnya.
Namun jika ia seorang merdeka, maka ia memiliki dua keadaan:
أحدها: أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُعْسِرًا فَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا لَمْ يَلْزَمْهُ زَكَاةُ فِطْرِهَا كَمَا لَمْ تَلْزَمْهُ زَكَاةُ فِطْرِهِ، وَإِنْ كَانَ معسراً فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَمْنُوعًا مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُمَكَّنًا فَإِنْ كَانَ مَمْنُوعًا مِنْهَا بِاسْتِخْدَامِ السَّيِّدِ لَهَا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهَا كَمَا لَا تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا، وَإِنْ كَانَ مُمَكَّنًا مِنْهَا بِتَسْلِيمِ السَّيِّدِ لَهَا فَعَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهَا وَنَفَقَتِهَا.
Pertama: apabila (suami) adalah seorang yang mampu.
Kedua: apabila ia adalah seorang yang tidak mampu. Maka jika ia tidak mampu, tidak wajib atasnya zakat fitrah untuk istrinya, sebagaimana tidak wajib pula zakat fitrah atas dirinya sendiri.
Dan jika ia tidak mampu, maka ada dua keadaan:
Pertama: ia terhalang dari menikmati istrinya.
Kedua: ia diberi kesempatan untuk menikmati istrinya.
Jika ia terhalang darinya karena budak perempuan itu digunakan oleh tuannya, maka tidak wajib atasnya zakat fitrah untuk istrinya, sebagaimana tidak wajib pula nafkahnya.
Namun jika ia diberi kesempatan oleh tuan budak untuk menggaulinya, maka wajib atasnya menunaikan zakat fitrah dan nafkah untuk istrinya.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْخُذَهَا بَعْدَ أَدَائِهَا إِذَا كَانَ مُحْتَاجًا وَغَيْرَهَا مِنَ الصَّدَقَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ وَالتَّطَوُّعِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَخْرَجَ زَكَاةَ فِطْرِهِ، وَكَانَ مُحْتَاجًا جَازَ أَنْ يَأْخُذَهَا مِمَّنْ أَخَذَهَا عَنْ فِطْرَتِهِ، وَقَالَ مَالِكٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَهَا بِعَيْنِهَا لِأَنَّهُ يُمْنَعُ مِنْ عَوْدِ الصَّدَقَةِ إِلَى مُخْرِجِهَا كَمَا يُمْنَعُ مِنِ ابْتِيَاعِهَا، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَعْنَيَيْنِ.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا قَدْ صَارَتْ مِلْكًا لِآخِذِهَا كَسَائِرِ أَمْوَالِهِ فَلَمَّا جَازَ أَنْ يأخذ غيرها مِنْ مَالِهِ جَازَ أَنْ يَأْخُذَهَا بِعَيْنِهَا مِنْ مَالِهِ، لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ فِي مِلْكِهِ، وَمِنْ جُمْلَةِ مَالِهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَعْطَاهَا لِمَعْنًى وَهُوَ الْقُدْرَةُ وَأَخَذَهَا بِمَعْنًى غَيْرَهُ وَهُوَ الْحَاجَةُ فَلَمْ يَكُنْ وُجُوبُ الْإِعْطَاءِ مَانِعًا مِنْ جَوَازِ الْأَخْذِ كَمَا لَوْ عَادَتْ إِلَيْهِ بِإِرْثٍ.
MASALAH:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Tidak mengapa mengambilnya kembali setelah menunaikannya, jika ia membutuhkan, baik itu dari zakat fitrah maupun dari sedekah wajib lainnya dan juga sedekah sunnah.”
Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila seseorang telah mengeluarkan zakat fitrahnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka boleh baginya mengambilnya dari orang yang sebelumnya menerima zakat fitrahnya.
Imam Malik berpendapat: Tidak boleh mengambilnya dalam bentuk yang sama karena dilarang mengembalikan sedekah kepada pemberinya, sebagaimana dilarang membelinya kembali. Ini adalah kekeliruan karena dua alasan:
Pertama: Sesungguhnya harta itu telah menjadi milik si penerima, sebagaimana harta-harta lainnya. Maka ketika boleh mengambil selainnya dari hartanya, boleh pula mengambilnya secara langsung karena semuanya termasuk dalam kepemilikannya dan bagian dari hartanya.
Kedua: Ia telah memberikannya karena suatu sebab yaitu qudrah (kemampuan), lalu ia mengambilnya karena sebab lain yaitu ḥājah (kebutuhan). Maka kewajiban memberikan tidak menjadi penghalang kebolehan mengambil, sebagaimana jika harta itu kembali kepadanya melalui warisan.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا السَّيِّدُ فَإِنْ أَوْجَبْنَا زَكَاةَ فِطْرِهَا عَلَى الزَّوْجِ، وهو أن يكون حرا موسراً ممكناً فَلَيْسَ عَلَى السَّيِّدِ زَكَاةُ فِطْرِهَا، لِأَنَّ الْفِطْرَةَ تجب مرة، والزوج يحملها فسقطت عن السيد، وإن لم نوجب زَكَاةَ فِطْرِهَا عَلَى الزَّوْجِ، فَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ السَّيِّدُ مَانِعًا مِنْهَا غَيْرَ مُمَكِّنٍ لِلزَّوْجِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فَزَكَاةُ فِطْرِهَاعَلَى السَّيِّدِ مَعَ نَفَقَتِهَا، لِأَنَّ السَّيِّدَ لَمَّا وَجَبَتْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا لِمَنْعِ الزَّوْجِ مِنْهَا، وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ فِطْرِهَا، لِأَنَّ الْفِطْرَةَ تَبَعٌ لِلنَّفَقَةِ.
PASAL
Adapun tuan (pemilik budak perempuan), maka apabila kita mewajibkan zakat fitrah atas suami — yaitu jika suami tersebut seorang yang merdeka, mampu, dan diberi kesempatan (untuk menggauli budak) — maka tidak ada kewajiban atas tuan untuk menunaikan zakat fitrah budak perempuan itu. Karena zakat fitrah hanya wajib sekali, dan jika telah ditanggung oleh suami, gugurlah dari tuan.
Namun apabila kita tidak mewajibkan zakat fitrah atas suami, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan:
Pertama: tuan mencegah suami dari budak tersebut dan tidak memberinya kesempatan untuk menikmati budak itu, maka zakat fitrah budak tersebut wajib atas tuan, bersama dengan nafkahnya. Karena ketika kewajiban nafkahnya berada pada tuan disebabkan oleh pencegahannya terhadap suami, maka wajib pula atasnya zakat fitrah, karena zakat fitrah adalah ikutannya nafkah.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ السَّيِّدُ غَيْرَ مَانِعٍ مِنْهَا مُمَكِّنًا لِلزَّوْجِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، وَإِنَّمَا سَقَطَتْ عَنِ الزَّوْجِ زَكَاةُ فِطْرِهَا إِمَّا لِرِقِّهِ أَوْ إِعْسَارِهِ، فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا أَنَّ عَلَى السَّيِّدِ زَكَاةُ فِطْرِهَا، وَقَالَ فِي الْحُرَّةِ إِذَا أَعْسَرَ الزَّوْجُ بِزَكَاةِ فِطْرِهَا إِنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهَا إِخْرَاجُ زَكَاةِ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِهَا، لِأَنَّهَا مَفْرُوضَةٌ عَلَى غَيْرِهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَكْثَرُهُمْ يَنْقُلُ جَوَابَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى، وَيُخْرِجُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَى السَّيِّدِ أَنْ يُزَكِّيَ عَنْ أَمَتِهِ وَعَنِ الْحُرَّةِ أَنْ تُزَكِّيَ عَنْ نَفْسِهَا.
Dan jenis yang kedua: yaitu apabila tuan (pemilik budak) tidak melarangnya, bahkan memberikan kesempatan kepada suami untuk menikmati istrinya (yang merupakan budak tersebut), dan gugurnya kewajiban zakat fitrah dari suami hanyalah karena ia seorang budak atau karena kefakirannya, maka pendapat yang dinyatakan oleh Imam al-Syafi’i dalam hal ini adalah bahwa kewajiban zakat fitrah atas tuan (pemilik budak) tersebut.
Namun, beliau berkata dalam kasus wanita merdeka apabila suaminya tidak mampu menunaikan zakat fitrahnya, maka tidak wajib atas wanita itu mengeluarkan zakat fitrah dari dirinya sendiri, karena zakat itu difardukan atas orang lain. Maka para sahabat kami berbeda pendapat. Sebagian besar dari mereka memindahkan jawaban dari masing-masing dua masalah itu ke yang lain, dan mengeluarkannya dalam dua pendapat:
Pertama: bahwa wajib atas tuan (untuk menunaikan) zakat dari budaknya, dan atas wanita merdeka (untuk menunaikan) zakat dari dirinya sendiri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَلْزَمُ السَّيِّدُ أَنْ يُزَكِّيَ عَنْ أَمَتِهِ، وَلَا يَلْزَمُ الْحُرَّةُ أَنْ تُزَكِّيَ عَنْ نَفْسِهَا، وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَحْمِلُ جَوَابَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ عَلَى ظَاهِرِهِ، فَيَقُولُ: عَلَى السَّيِّدِ أَنْ يُزَكِّيَ عَنْ أَمَتِهِ، وَلَيْسَ عَلَى الْحُرَّةِ أَنْ تُزَكِّيَ عَنْ نَفْسِهَا.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْحُرَّةَ مُسْتَحَقَّةُ التَّسْلِيمِ، وَالتَّمْكِينِ بِالْعَقْدِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى اخْتِيَارِهَا، وَلَيْسَ لَهَا صُنْعٌ فِي نَقْلِ فَرْضِ الزَّكَاةِ إِلَى زَوْجِهَا، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ وُجُوبُ الزَّكَاةِ عَلَى الزَّوْجِ بِاخْتِيَارِهَا لَمْ يَنْتَقِلْ وُجُوبُ الزَّكَاةِ إِلَيْهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْأَمَةُ لِأَنَّ تَسْلِيمَهَا غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ عَلَى السَّيِّدِ، وَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى اخْتِيَارِهِ فَإِنْ سَلَّمَهَا إِلَى مَنْ يَخْلُفُهُ فِي تَحَمُّلِ زَكَاتِهَا سَقَطَتْ عَنْهُ، وَإِنْ سَلَّمَهَا إِلَى مَنْ لَا يَخْلُفُهُ فِي تَحَمُّلِهَا لَمْ تَسْقُطْ عنه، فلم يكن تطوعه بتسليمها سقطاً لِمَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ فَرْضِ زَكَاتِهَا وَاللَّهُ أعلم.
Dan pendapat kedua: bahwa tidak wajib atas tuan untuk menunaikan zakat dari budak perempuannya, dan tidak wajib pula atas wanita merdeka untuk menunaikan zakat dari dirinya sendiri.
Abū Isḥāq al-Marwazī berpegang pada zahir dari masing-masing permasalahan, lalu berkata: wajib atas tuan untuk menunaikan zakat dari budaknya, dan tidak wajib atas wanita merdeka untuk menunaikan zakat dari dirinya sendiri.
Perbedaan antara keduanya adalah: wanita merdeka wajib diserahkan dan diberi kesempatan (bergaul) karena adanya akad nikah, tanpa bergantung pada pilihannya sendiri, dan ia tidak punya peran dalam memindahkan kewajiban zakat kepada suaminya. Maka apabila kewajiban zakat atas suami tidak terjadi dengan pilihannya (sendiri), tidak berpindah pula kewajiban zakat itu kepadanya (istri).
Berbeda halnya dengan budak perempuan, karena penyerahannya tidak wajib atas tuan, dan bergantung pada pilihan tuannya. Maka jika tuan menyerahkannya kepada orang yang menggantikannya dalam menanggung zakatnya, gugurlah kewajiban itu darinya. Dan jika ia menyerahkannya kepada orang yang tidak menggantikannya dalam menanggung zakatnya, maka tidak gugur kewajiban zakat dari tuan. Maka penyerahan yang dilakukan secara sukarela oleh tuan tidak menjatuhkan kewajiban zakat yang telah melekat atasnya.
Wallāhu a‘lam.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ (قال الشافعي) وبين في سنته – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنَ الْبَقْلِ مِمَا يَقْتَاتُ الرجل وما فيه الزكاة “.
قال الماوردي: صَحِيحٌ ثَبَتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه نص في زكاة الفطر على أشياه، فَفِي حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ (هَذَا التَّمْرُ وَالشَّعِيرُ) وَفِي حَدِيثِ غَيْرِهِ (الْحِنْطَةُ وَالزَّبِيبُ) فَاعْتَبَرَ الْفُقَهَاءُ مَا وَرَدَ فِيهِ النَّصُّ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِيهِ كَوْنُهُ قُوتًا مُدَّخَرًا لِأَنَّ مَا نَصَّ عَلَيْهِ مِنَ التَّمْرِ، وَالزَّبِيبِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ قُوتٌ مُدَّخَرٌ، وَذَهَبَ أبو حنيفة إِلَى أن الْمُعْتَبَرَ فِيهِ كَوْنُهُ مَأْكُولًا مَكِيلًا حَتَّى رَوَى عَنْهُ يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ أَنَّهُ إِنْ أَخْرَجَ صَاعًا مِنْ إِهْلِيلَجٍ أَجْزَأَ؛ لِأَنَّ مَا وَرَدَ فِيهِ النَّصُّ مَأْكُولٌ مَكِيلٌ، وَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَوْلَى لِأَمْرَيْنِ:
BAB TAKARAN ZAKAT FITRAH
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Nāfi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah dari Ramadhan atas manusia sebanyak satu ṣā‘ dari kurma atau satu ṣā‘ dari gandum syi‘īr.”
(Al-Syafi‘i berkata): Dan telah dijelaskan dalam sunahnya SAW bahwa zakat fitrah dari sayur-mayur adalah dari apa yang dijadikan makanan pokok oleh seseorang dan dari apa yang ada zakatnya.
Al-Māwardī berkata: Ini adalah hadis yang sahih dan telah tetap dari Rasulullah SAW bahwa beliau menyebutkan secara eksplisit jenis-jenis dalam zakat fitrah. Dalam hadis Ibnu ‘Umar disebutkan (kurma dan syi‘īr), dan dalam hadis selainnya (gandum ḥinṭah dan zabīb). Maka para fuqaha pun mempertimbangkan apa yang terdapat dalam nash.
Al-Syafi‘i berpendapat bahwa yang dijadikan standar adalah sesuatu yang menjadi makanan pokok yang dapat disimpan, karena apa yang disebutkan dalam nash seperti kurma, zabīb, ḥinṭah, dan syi‘īr adalah makanan pokok yang bisa disimpan.
Sementara Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa yang dijadikan standar adalah sesuatu yang bisa dimakan dan ditakar (makīl), sampai-sampai diriwayatkan dari beliau oleh Yūnus bin Bukayr bahwa jika seseorang mengeluarkan satu ṣā‘ dari ihlīlaj (semacam obat atau buah keras), maka itu sah, karena semua yang disebutkan dalam nash adalah makanan yang bisa dimakan dan ditakar.
Namun pendapat yang dipegang oleh al-Syafi‘i lebih utama karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَغْنُوهُمْ عَنِ الطَّلَبِ فِي هَذَا الْيَوْمِ ” وَإِغْنَاؤُهُمْ بِالْقُوتِ أَعَمُّ، وَنَفْعُهُمْ بِهِ أَكْثَرُ لِأَنَّهُ قد يكون في المأكول ما لا يُغْنِي عَنِ الْقُوتِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا يَخْرُجُ زَكَاةُ الْفِطْرِ مِنْهُ مُقَابِلٌ لِمَا تَجِبُ زَكَاةُ الْمَالِ فِيهِ فَلَمَّا وَجَبَتْ زَكَاةُ الْأَمْوَالِ فِي الْأَقْوَاتِ الْمُدَّخَرَةِ دُونَ سَائِرِ الْمَأْكُولَاتِ، اقْتَضَى أَنْ يَجِبَ إِخْرَاجُ زَكَاةِ الْفِطْرِ مِنَ الْأَقْوَاتِ الْمُدَّخَرَةِ دُونَ سَائِرِ الْمَأْكُولَاتِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْمَعْنَى فِيهِ كَوْنُهُ مُدَّخَرًا قُوتًا، فَهُوَ التَّمْرُ وَالزَّبِيبُ وَالْبُرُّ وَالشَّعِيرُ وَالْعَلَسُ وَالسُّلْتُ وَالْأَرُزُّ وَاللُّوبِيَا وَالْحِمَّصُ وَالْجُلْبَانُ وَالْعَدَسُ وَالْجَاوَرْسُ وَالذُّرَةُ، فَأَمَّا الْبَاقِلَّى فَقَدْ أَحْسَبُهُ يُقْتَاتُ فَإِنْ كَانَ قُوتًا أَجْزَأَهُ، إِذَا أَدَّى مِنْهُ صَاعًا، وَالَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابُنَا أَنَّهُ قُوتٌ تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْمَالِ، وَيَجُوزُ أَنْ يُخْرِجَ مِنْهُ زَكَاةَ الْفِطْرِ فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ إِنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنَ الْبَقْلِ فَيَعْنِي مَا يَبْقَى مُدَّخَرًا لِأَنَّ أَصْلَ الْبَقْلِ مَا يَبْقَى من الشيء.
Pertama: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Cukupkan mereka dari meminta-minta pada hari ini.” Dan mencukupi mereka dengan bahan makanan pokok (quṭ) lebih umum, dan manfaatnya lebih besar, karena bisa jadi pada makanan tertentu tidak terdapat kecukupan sebagaimana pada quṭ.
Kedua: bahwa apa yang dikeluarkan sebagai zakat fitrah itu sebanding dengan apa yang diwajibkan zakat harta padanya. Maka ketika zakat harta diwajibkan atas bahan-bahan makanan pokok yang bisa disimpan, bukan atas seluruh jenis makanan, maka itu menunjukkan bahwa zakat fitrah juga wajib dikeluarkan dari makanan pokok yang bisa disimpan, bukan dari seluruh makanan.
Jika makna yang dijadikan landasan adalah bahwa makanan itu adalah quṭ yang dapat disimpan, maka yang termasuk di dalamnya adalah: kurma, kismis, gandum, jelai, ‘alas, sult, beras, lūbiyā, kacang ḥimmaṣ, julbān, lentil (‘adas), jāwars, dan jagung (dhurah).
Adapun bāqillā (kacang fava), maka aku kira ia juga termasuk makanan pokok, dan jika memang ia termasuk quṭ, maka sah menunaikan zakat fitrah darinya apabila dikeluarkan satu ṣā‘.
Dan pendapat yang dianut oleh para sahabat kami adalah bahwa bāqillā termasuk quṭ yang wajib zakat harta padanya, dan boleh menunaikan zakat fitrah darinya.
Adapun perkataan Imam al-Syafi‘i bahwa zakat fitrah dapat ditunaikan dari baql, maka maksudnya adalah dari jenis tanaman yang dapat disimpan, karena makna asal dari baql adalah sesuatu yang tersisa dari satu jenis makanan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وأي قوتٍ كان الأغلب على الرجل أدى منه زكاة الفطر كان حنطة أو ذرةً أو عَلَسًا أَوْ شَعِيرًا أَوْ تَمْرًا أَوْ زَبِيبًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الْأَقْوَاتِ الْمُدَّخَرَةِ، هَلْ هِيَ عَلَى التَّرْتِيبِ أَوْ عَلَى التخيير؟ فله فيه قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ أَنَّهَا عَلَى التَّخْيِيرِ، وَالْمُزَكِّي مُخَيَّرٌ بَيْنَ جَمِيعِهَا، فَمِنْ أَيِّهَا أَخْرَجَ أَجَزْأَهُ، لِمَا رُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ فَجَاءَ بِلَفْظِ التَّخْيِيرِ، وَلِأَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ مُوَاسَاةٌ وَالتَّخْيِيرُ فِيهَا أَيْسَرُ والتسوية بين جميعها أرفق، فعلى هذا من أي قوت أَخْرَجَهَا أَجْزَأَهُ، وَبَعْضُ الْأَقْوَاتِ أَوْلَى مِنْ بَعْضٍ فَالتَّمْرُ وَالْبُرُّ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهِمَا، وَفِي أَوْلَاهُمَا لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Makanan pokok apa pun yang paling dominan dikonsumsi seseorang, maka ia mengeluarkan zakat fitrah dari jenis itu, baik itu ḥinṭah, atau żurah, atau ‘alas, atau sya‘īr, atau tamr, atau zabīb.”
Al-Māwardī berkata: Pendapat Imam al-Syafi‘i berbeda dalam hal makanan pokok yang bisa disimpan: apakah ia wajib secara berurutan (tertib) ataukah boleh dipilih (takhyīr)? Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat dari beliau:
Pertama: Beliau menegaskan dalam sebagian kitabnya bahwa jenis-jenis itu bersifat takhyīr, dan muzakki bebas memilih di antara semuanya. Maka dari mana saja ia mengeluarkannya, itu sah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau mewajibkan zakat fitrah satu ṣā‘ dari kurma atau satu ṣā‘ dari syi‘īr — yang menunjukkan lafaz takhyīr. Dan karena zakat fitrah adalah bentuk solidaritas, maka memberi keleluasaan di dalamnya lebih memudahkan, serta menyamakan semua jenisnya lebih memudahkan bagi masyarakat.
Maka berdasarkan pendapat ini, dari makanan pokok mana pun ia mengeluarkan, itu sah. Namun sebagian makanan pokok lebih utama dari yang lain. Tamr dan burr lebih utama daripada yang lainnya. Dan dalam menentukan mana yang lebih utama di antara keduanya, di kalangan sahabat kami ada dua wajah pendapat.
أَحَدُهُمَا: أَنَّ التَّمْرَ أَوْلَى.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ عُمَرَ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان يخرج، وَعَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ جَارٍ بِهِ، وَقَدْ رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَفِي مَائِهَا شفاءٌ للعين، والعجوة من الخير، وَفِيهَا شفاءٌ مِنَ السُّمِّ “.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَقَدْ مَالَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَنَّ الْبُرَّ أَوْلَى.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ.
pertama: bahwa tamr lebih utama.
Pendapat ini dikatakan oleh Ibn ‘Umar dari kalangan sahabat, dan dari kalangan fuqaha adalah Malik dan Ahmad bin Hanbal, karena Rasulullah SAW biasa mengeluarkannya, dan amalan penduduk Madinah pun berlangsung demikian. Telah meriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, “Al-kam’ah termasuk bagian dari al-mann, dan airnya adalah penyembuh bagi mata. Dan al-‘ajwah termasuk kebaikan, padanya terdapat penyembuh dari racun.”
pendapat kedua: dan inilah yang condong kepadanya Imam al-Syafi’i, bahwa bur lebih utama.
Pendapat ini dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Thalib AS dari kalangan sahabat.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ أنه قال الآن قد أوسع عليكم فأخرجوا البر، ولأن التمر مجمع عليه عَلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِئُ مِنْهُ أَقَلَّ مِنْ صاع، والبر مختلف فيه، وكان ما اختلفوا فيه هل يجزي أَقَلُّ مِنْ صَاعٍ أَمْ لَا؟ أَوْلَى مِمَّا أجمعوا على أنه لا يجزي مِنْهُ أَقَلَّ مِنْ صَاعٍ، وَلَوْ قِيلَ: إِنَّ أَوْلَاهُمَا مُخْتَلِفٌ بِاخْتِلَافِ الْبِلَادِ لَكَانَ مَذْهَبًا، وَلَكَانَ لَهُ فِي الِاعْتِبَارِ وَجْهٌ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي الأقل وَهُوَ نَصُّ الشَّافِعِيِّ هَاهُنَا وَفِي أَكْثَرِ الْكُتُبِ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى التَّرْتِيبِ دُونَ التَّخْيِيرِ، وَالِاعْتِبَارُ فِيهِ بِغَالِبِ الْقُوتِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَغْنُوهُمْ عَنِ الطَّلَبِ فِي هَذَا الْيَوْمِ ” وَالْإِغْنَاءُ يكون بما يكفيه الْإِنْسَانُ مِنْ غَالِبِ الْقُوتِ فَلَوْ كَانَ الْمُزَكِّي مُخَيَّرًا فِيهِ، لَجَازَ أَنْ يُعْطِيَهُ مَا لَيْسَ بِغَالِبِ الْقُوتِ فَلَا يَسْتَغْنِي بِهِ، وَإِذَا أَعْطَاهُ مِنْ غَالِبِ الْقُوتِ صَارَ مُسْتَغْنِيًا بِهِ، فَعَلَى هذا هل يُعْتَبَرُ غَالِبُ قُوتِ بَلَدِهِ أَوْ غَالِبُ قُوتِهِ فِي نَفْسِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dan termasuk dari kalangan fuqahā adalah Isḥāq bin Rāhawayh, berdasarkan riwayat dari ‘Alī RA bahwa beliau berkata: “Sekarang telah dilapangkan atas kalian, maka keluarkanlah burr (gandum).” Dan karena tamr telah menjadi ijmā‘ bahwa tidak sah mengeluarkannya kurang dari satu ṣā‘, sedangkan burr diperselisihkan apakah boleh mengeluarkannya kurang dari satu ṣā‘ atau tidak. Maka sesuatu yang diperselisihkan apakah sah kurang dari satu ṣā‘ itu lebih utama daripada sesuatu yang telah menjadi ijmā‘ bahwa tidak sah kecuali satu ṣā‘.
Dan seandainya dikatakan bahwa mana yang lebih utama antara keduanya berbeda-beda tergantung pada kondisi negeri, maka hal itu adalah suatu mazhab yang memiliki dasar pertimbangan yang kuat.
Pendapat kedua: dalam hal ini adalah pendapat yang lebih lemah, dan merupakan nash Imam al-Syafi‘i dalam bagian ini dan dalam kebanyakan kitabnya, bahwa zakat fitrah itu berdasarkan tertib, bukan takhyīr, dan yang menjadi ukuran adalah makanan pokok yang paling dominan (ghālib al-qūt), berdasarkan sabda Nabi SAW: “Aghnūhum ‘aniṭ-ṭalabi fī hādzā al-yawm” (cukupkan mereka dari meminta-minta di hari ini).
Dan pemberian yang membuat cukup itu adalah dari makanan pokok yang lazim dikonsumsi oleh manusia. Maka jika muzakki diberi kebebasan memilih (mukhayyar), niscaya boleh baginya memberikan makanan yang bukan makanan pokok dominan, sehingga penerima tidak tercukupi olehnya. Namun jika ia memberikan dari makanan pokok dominan, maka penerima menjadi tercukupi.
Berdasarkan ini, apakah yang dijadikan ukuran adalah makanan pokok yang dominan di negerinya, atau makanan pokok yang dominan bagi dirinya sendiri? Maka dalam hal ini ada dua wajah pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّ الشَّافِعِيِّ هَاهُنَا، وَفِي ” الْأُمِّ ” وَبِهِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ وَأَبُو عُبَيْدِ بْنُ حَرْبَوَيْهِ مِنْ أَصْحَابِنَا: إِنَّ الِاعْتِبَارَ بِغَالِبِ قُوتِهِ فِي نَفْسِهِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ) {المائدة: 89) وَلِأَنَّهُ مُخَاطَبٌ بفرض نفسه، فوجب أن يكون اعتباره لقوت نَفْسِهِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، إِنَّ الِاعْتِبَارَ بِغَالِبِ قُوتِ بَلَدِهِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، خَاطَبَ أَهْلَ الْمَدِينَةِ جَمْعًا بِغَالِبِ أَقْوَاتِهِمْ وَلِأَنَّ فِي اعْتِبَارِ غَالِبِ قُوتِ الْبَلَدِ تَوْسِعَةً، وَرِفْقًا وَفِي اعْتِبَارِ كُلِّ وَاحِدٍ مَشَقَّةٌ وَضِيقٌ، وَمَا أَدَّى إِلَى التَّوْسِعَةِ وَالرِّفْقِ فِي الْمُوَاسَاةِ أَوْلَى، فَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ إِنْ عَدَلَ مِنْ غَالِبِ الْقُوتِ إِلَى مَا لَيْسَ بِغَالِبِ الْقُوتِ، فَأَخْرَجَهُ فِي زَكَاةِ فِطْرِهِ فَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ.
Pertama: dan inilah yang tampak dari nash Imam al-Syafi‘i dalam bagian ini dan dalam kitab al-Umm, dan pendapat ini dipegang oleh Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan Abū ‘Ubayd bin Ḥarbawayh dari kalangan sahabat kami, yaitu bahwa yang menjadi ukuran adalah makanan pokok yang dominan bagi dirinya sendiri, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {min awsāṭi mā tuṭ‘imūna ahlīkum} (QS al-Mā’idah: 89), dan karena ia adalah orang yang dituju oleh kewajiban untuk dirinya sendiri, maka wajib diperhitungkan berdasarkan makanan pokok untuk dirinya sendiri.
Pendapat kedua: adalah pendapat Abū al-‘Abbās bin Surayj dan Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa yang dijadikan ukuran adalah makanan pokok yang dominan di negerinya. Karena Rasulullah SAW berbicara kepada penduduk Madinah secara umum dengan menyebut makanan pokok dominan mereka, dan karena memperhitungkan makanan pokok dominan suatu negeri mengandung kemudahan dan keringanan, sedangkan memperhitungkan makanan pokok masing-masing orang mengandung kesulitan dan kesempitan. Dan segala sesuatu yang mengarah pada kemudahan dan keringanan dalam muwāsāh (saling berbagi) adalah lebih utama.
Berdasarkan dua wajah pendapat ini, apabila seseorang mengganti dari makanan pokok dominan kepada sesuatu yang bukan makanan pokok dominan lalu mengeluarkannya dalam zakat fitrah, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَا أَخْرَجَهُ مِنْ زَكَاتِهِ أَدْونَ من غالب قوته، كأن أخرج شعيراً، وغالب قوته تمراً فهذا لا يجزئه لِأَنَّهُ غَيْرُ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أن يكون ما أخرجه في زكاته أغلى مِنْ غَالِبِ قُوتِهِ كَأَنَّهُ أَخْرَجَ بُرًّا وَغَالِبُ قوته شعيراً، ففي إجزائه وجهان:
أحدهما: لا يجزئه لِأَنَّهُ غَيْرُ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ كَمَنْ أَخْرَجَ شَعِيرًا عَنْ زَكَاةِ بُرٍّ، وَدَرَاهِمَ عَنْ زَكَاةِ دَنَانِيرَ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يجزيه قال لأنه أغلى مِمَّا وَجَبَ عَلَيْهِ كَمَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ سِنٌّ فأخرج أعلى منها.
pertama: yaitu apabila yang ia keluarkan untuk zakatnya lebih rendah dari makanan pokok yang lazim ia konsumsi, seperti ia mengeluarkan sya‘īr sementara makanan pokoknya yang umum adalah tamr, maka ini tidak mencukupi, karena bukan itulah yang wajib atasnya.
jenis yang kedua: yaitu apabila yang ia keluarkan untuk zakatnya lebih mahal dari makanan pokok yang lazim ia konsumsi, seperti ia mengeluarkan bur sementara makanan pokoknya adalah sya‘īr, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
pertama: tidak mencukupi, karena bukan itu yang wajib atasnya, seperti orang yang mengeluarkan sya‘īr sebagai zakat bur, atau mengeluarkan dirham sebagai zakat dari dinar.
pendapat kedua: dan inilah yang dinyatakan oleh al-Syafi’i, bahwa itu mencukupi, karena ia lebih mahal daripada yang wajib atasnya, seperti orang yang wajib atasnya seekor kambing betina yang muda, lalu ia mengeluarkan yang lebih tinggi darinya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَا أَدَّى مِنْ هَذَا أَدَّى صَاعًا بِصَاعِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْكَلَامَ فِي هَذِهِ المسألة يشتمل على فضلين:
أَحَدُهُمَا: فِي قَدْرِ مَا يُؤَدَّى.
وَالثَّانِي: فِي قَدْرِ الصَّاعِ الْمُؤَدَّى بِهِ.
فَأَمَّا قَدْرُ مَا يُؤَدَّى مِنَ الْأَقْوَاتِ فَصَاعٌ كَامِلٌ مِنْ بُرٍّ أَوْ شَعِيرٍ أَوْ تَمْرٍ أَوْ زَبِيبٍ وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ أَخْرَجَ تَمْرًا أَوْ شَعِيرًا فَصَاعٌ، وَإِنْ أَخْرَجَ بُرًّا فنصف صاع وعنه في الترتيب رِوَايَتَانِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apa pun yang ia keluarkan dari jenis-jenis ini, hendaknya ia keluarkan satu ṣā‘ dengan ṣā‘-nya Nabi SAW.”
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa pembahasan dalam masalah ini mencakup dua hal:
Pertama: tentang kadar yang harus dikeluarkan.
Kedua: tentang ukuran ṣā‘ yang digunakan untuk menunaikannya.
Adapun kadar yang harus dikeluarkan dari makanan pokok adalah satu ṣā‘ penuh dari burr, atau sya‘īr, atau tamr, atau zabīb, dan ini adalah pendapat mayoritas.
Sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat: Jika yang dikeluarkan adalah tamr atau sya‘īr, maka satu ṣā‘, tetapi jika burr, maka setengah ṣā‘. Dan darinya terdapat dua riwayat tentang urutannya.
إِحْدَاهُمَا: صَاعٌ كَالتَّمْرِ وَالثَّانِيَةُ نِصْفُ صَاعٍ كالبر تعلقاً برواية الزهري عن ثعلبة عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي صُعَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ ” أَدُّوا صَاعًا مِنْ قمحٍ عن كل اثنين ” ورواية دَاوُدَ بْنِ الزِّبْرِقَانِ عَنْ أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ أَوْ مُدَّيْنِ مِنْ حنطةٍ ” وَبِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ مُنَادِيًا أَنْ يُنَادِيَ أَلَا إِنَّ صَدَقَةَ الفطر مدانٍ من قمحٍ أو صاعٍ من تمرٍ) وَبِرِوَايَةِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، قَالَ خَطَبَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ بِالْبَصْرَةِ فَقَالَ: أَخْرِجُوا صَدَقَةَ الْفِطْرِ فَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَعْلَمُوا ذَلِكَ فَقَالَ لِمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، عَلِّمُوا إِخْوَانَكُمْ، ثُمَّ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ تَمْرٍ أَوْ نِصْفِ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ قَالَ؛ وَلِأَنَّهَا صَدَقَةٌ مَفْرُوضَةٌ تتعلق بأجناس المال، فوجب أن تختلف باختلاف الْأَجْنَاسِ كَالْمَوَاشِي، وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ بُرٍّ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وعبدٍ ذكرٍ وَأُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
pertama: satu ṣā‘ seperti tamr;
dan kedua: setengah ṣā‘ seperti bur, berdasarkan riwayat dari al-Zuhrī dari Tsa‘labah dari ‘Abdullāh bin Abī Ṣu‘ayr dari ayahnya, bahwa Nabi SAW bersabda tentang zakat fitrah:
“Bayarkanlah satu ṣā‘ qamḥ untuk dua orang.”
Dan riwayat Dāwud bin al-Zibrqān dari Ayyūb dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi SAW:
“Telah mewajibkan zakat fitrah satu ṣā‘ tamr, atau satu ṣā‘ sya‘īr, atau dua mudd ḥinṭah.”
Dan riwayat ‘Amr bin Syu‘ayb dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW memerintahkan seorang penyeru untuk menyerukan:
“Ketahuilah bahwa zakat fitrah itu dua mudd dari qamḥ atau satu ṣā‘ dari tamr.”
Dan dari riwayat al-Ḥasan al-Baṣrī, ia berkata: ‘Abdullāh bin ‘Abbās berkhutbah kepada kami di Baṣrah dan berkata:
“Keluarkanlah zakat fitrah.”
Namun seakan-akan orang-orang tidak mengetahuinya, maka ia berkata kepada penduduk Madinah,
“Ajarkanlah kepada saudara-saudaramu.”
Kemudian ia berkata:
“Rasulullah SAW telah mewajibkan satu ṣā‘ dari sya‘īr atau tamr, atau setengah ṣā‘ dari bur.”
Dan karena ini adalah ṣadaqah yang diwajibkan yang berkaitan dengan jenis-jenis harta, maka wajib berbeda sesuai jenis, sebagaimana pada hewan ternak.
Dan dalil atas benarnya pendapat kami adalah riwayat ‘Abdullāh bin ‘Amr dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah satu ṣā‘ dari tamr atau satu ṣā‘ dari bur atas setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan dari kalangan kaum muslimin.
وَرَوَى الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” نَصَّ عَلَى صَدَقَةِ رَمَضَانَ فَقَالَ عَلَى كُلِّ إنسانٍ صَاعًا مِنْ تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ قمحٍ “.
وَرَوَى كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ أَوْ صَاعَا مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ أقطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ طعامٍ “.
Diriwayatkan dari al-Zuhrī dari Sa‘īd bin al-Musayyab dari Abū Hurayrah bahwa Nabi SAW “menetapkan zakat Ramadan, lalu beliau bersabda: ‘atas setiap manusia satu ṣā‘ dari tamr, atau satu ṣā‘ dari sya‘īr, atau satu ṣā‘ dari qamḥ (gandum).’”
Dan diriwayatkan oleh Katsīr bin ‘Abdillāh bin ‘Amr bin ‘Auf dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW “mewajibkan zakat fitrah satu ṣā‘ dari tamr, atau satu ṣā‘ dari sya‘īr, atau satu ṣā‘ dari burr, atau satu ṣā‘ dari aqiṭ, atau satu ṣā‘ dari ṭa‘ām.”
وَرَوَى زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِذْ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَاعًا مِنْ طعامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زبيبٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أقطٍ، فَلَمْ نَزَلْ نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ مُعَاوِيَةُ الْمَدِينَةَ فَكَلَّمَ فِيمَا كَلَّمَ فِيهِ فَقَالَ: إِنِّي لَأَرَى مُدَّيْنِ مِنْ تمر الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، فَأَخَذَ النَّاسُ بذلك قال أبو سعيد: ولم أزل أُخْرِجُهُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَلِأَنَّهُ قُوتٌ مُخْرَجٌ مِنْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُقَدَّرًا بِالصَّاعِ كَالتَّمْرِ، وَلِأَنَّهُ حَقٌّ يَجِبُ فِي الْأَقْوَاتِ لِأَهْلِ الصَّدَقَاتِ، فَوَجَبَ أَنْ لا يَخْتَلِفَ قَدْرُهُ بِاخْتِلَافِ الْأَجْنَاسِ، كَزَكَوَاتِ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ فأما استدلالهم بالأخبار هي ضعيفة عند أهل النقل غير مقبولة عند أَصْحَابِ الْحَدِيثِ.
Diriwayatkan oleh Zayd bin Aslam dari ‘Iyāḍ bin ‘Abdillāh dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, ia berkata:
“Kami biasa mengeluarkan zakat fitrah, ketika Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah kami, satu ṣā‘ dari ṭa‘ām, atau satu ṣā‘ dari sya‘īr, atau satu ṣā‘ dari tamr, atau satu ṣā‘ dari zabīb, atau satu ṣā‘ dari aqiṭ. Dan kami terus mengeluarkannya demikian sampai Mu‘āwiyah datang ke Madinah, lalu berbicara dalam beberapa hal, di antaranya ia berkata:
‘Sungguh aku melihat dua mudd dari tamr Syām setara dengan satu ṣā‘ dari tamr.’
Maka orang-orang pun mengikuti pendapat itu.”
Abū Sa‘īd berkata:
“Aku tetap terus mengeluarkannya sebagaimana pada zaman Rasulullah SAW.”
Karena ia adalah makanan pokok yang dikeluarkan sebagai zakat fitrah, maka wajib ditakar dengan ṣā‘, sebagaimana tamr. Dan karena ia adalah hak yang wajib pada makanan pokok untuk para penerima sedekah, maka wajib ukuran takarannya tidak berbeda-beda berdasarkan jenis makanan, seperti zakat hasil tanaman dan buah-buahan.
Adapun dalil mereka dari hadis-hadis, maka hadis-hadis itu lemah menurut para ahli periwayatan dan tidak diterima oleh para ahli hadis.
أَمَّا حَدِيثُ ثَعْلَبَةَ فَقَدْ طَعَنَ فِيهِ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ وَفِي رِوَايَةِ رَجُلٍ مِنْ بَكْرِ بْنِ وَائِلٍ غَيْرِ مَعْرُوفٍ.
وَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ فَالْمَرْوِيُّ عَنْهُ خِلَافُهُ.
وَأَمَّا حَدِيثُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ فَوَجْهُ ضَعْفِهِ ظَاهِرٌ.
وَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَهُوَ مُنْقَطِعُ الْإِسْنَادِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ خِلَافُهُ ثُمَّ لَوْ سَلَّمْنَا هَذِهِ الْأَخْبَارَ الْوَاهِيَةَ مَعَ ضَعْفِهَا لَكَانَ الْجَوَابُ عَنْهَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: تَرْجِيحٌ.
وَالثَّانِي: اسْتِعْمَالٌ فَأَمَّا التَّرْجِيحُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun hadis Ṯa‘labah, maka telah dicacat oleh Yaḥyā bin Ma‘īn dan Yaḥyā bin Sa‘īd al-Qaṭṭān, dan dalam sanadnya terdapat seorang laki-laki dari Bakr bin Wā’il yang tidak dikenal.
Adapun hadis Ibnu ‘Umar, maka yang diriwayatkan darinya justru sebaliknya (menyelisihi).
Adapun hadis ‘Amr bin Syu‘aib, maka sebab kelemahannya jelas.
Adapun hadis Ibnu ‘Abbās, maka sanadnya terputus (munqaṭi‘), dan bahkan diriwayatkan darinya pendapat yang bertentangan dengan itu.
Kemudian, seandainya pun kita menerima seluruh riwayat yang lemah ini, meskipun dalam keadaan lemah, maka jawabannya dapat ditinjau dari dua sisi:
Pertama: dengan cara tarjīḥ (menguatkan salah satu).
Kedua: dengan cara isti‘māl (kompromi).
Adapun tarjīḥ, maka dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا رَوَيْنَاهُ أَزْيَدُ مِنْهَا، والأخذ بالزيادة أولى.
والثاني: مَا رَوَيْنَاهُ أَحْوَطُ مِنْهَا، وَالْأَخْذُ بِالْأَحْوَطِ أَوْلَى، وَأَمَّا الِاسْتِعْمَالُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا رويناه من إخراج صاع من بُرٍّ فِي ذَوِي الْيَسَارِ، وَمَا رَوَوْهُ فِي إِخْرَاجِ نِصْفِ صَاعٍ فِيمَنْ لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ مِنْ ذَوِي الْإِعْسَارِ، فَيَكُونُ فِي نَصِّهِ عَلَى صاع من تمر تنبيه على صاع من الْبُرِّ فِي الْمُوسِرِينَ، وَفِي نَصِّهِ عَلَى نِصْفِ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ تَنْبِيهٌ عَلَى نِصْفِ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ فِي الْمُعْسِرِينَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مُسْتَعْمَلٌ فِي عَبْدٍ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ، أَوْ فِي وَالِدٍ تَجِبُ نَفَقَتُهُ عَلَى وَلَدَيْنِ، فَيَكُونُ فِي نَصِّهِ عَلَى نِصْفِ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ تَنْبِيهٌ عَلَى نِصْفِ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ وَفِي نَصِّهِ عَلَى صاع من مِنْ تَمْرٍ تَنْبِيهٌ عَلَى صَاعٍ مِنْ بُرٍّ فَيُحْمَلُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى نَصٍّ وَتَنْبِيهٍ.
pertama: bahwa riwayat yang kami sampaikan lebih banyak ukurannya daripada riwayat mereka, dan mengambil yang lebih banyak lebih utama.
kedua: bahwa riwayat yang kami sampaikan lebih berhati-hati daripada riwayat mereka, dan mengambil yang lebih berhati-hati lebih utama.
Adapun sisi penggunaan (riwayat-riwayat tersebut) maka ada dua sisi:
pertama: bahwa riwayat yang kami bawa berupa pengeluaran satu ṣā‘ dari bur adalah untuk orang-orang yang mampu, sedangkan riwayat mereka berupa setengah ṣā‘ untuk orang yang tidak mendapatkan selain itu dari kalangan orang-orang yang dalam kesempitan. Maka dalam teks riwayat tentang kewajiban satu ṣā‘ tamr terdapat isyarat kepada kewajiban satu ṣā‘ bur bagi orang-orang kaya, dan dalam teks riwayat tentang setengah ṣā‘ bur terdapat isyarat kepada setengah ṣā‘ tamr bagi orang-orang miskin.
kedua: bahwa penggunaan (riwayat-ukuran tersebut) adalah pada budak yang dimiliki bersama oleh dua orang sekutu, atau pada orang tua yang nafkahnya wajib atas dua anak, maka dalam teks kewajiban setengah ṣā‘ bur terdapat isyarat kepada setengah ṣā‘ tamr, dan dalam teks kewajiban satu ṣā‘ tamr terdapat isyarat kepada satu ṣā‘ bur. Maka masing-masing dari keduanya dimaknai sebagai teks dan juga isyarat.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْمَوَاشِي بِعِلَّةِ أَنَّهَا صَدَقَةٌ تتعلق بأجناس فوجب أن تختلف باختلاف أجناسه فباطل بصدقة الزُّرُوعِ، لِأَنَّهَا لَا تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَجْنَاسِ عَلَى أَنَّ صَدَقَةَ الْفِطْرِ لَا تَجِبُ فِي الْمَالِ، وَإِنَّمَا تَجِبُ فِي الذِّمَّةِ وَيَجِبُ إِخْرَاجُهَا مِنَ الْمَالِ، فَلَمْ يَسْلَمِ الْوَصْفُ وَلَمْ يَصِحَّ الْجَمْعُ.
Adapun qiyās yang menyerupakan zakat fitrah dengan zakat hewan ternak karena alasan bahwa keduanya adalah sedekah yang berkaitan dengan jenis-jenis harta, sehingga harus berbeda sesuai dengan perbedaan jenisnya—maka ini batal dengan perbandingan kepada zakat tanaman (zuru‘), karena zakat tanaman tidak berbeda-beda berdasarkan perbedaan jenisnya.
Lagipula, zakat fitrah bukanlah kewajiban atas harta, melainkan kewajiban atas żimmah (tanggungan jiwa), dan kewajiban itu hanya ditunaikan dengan harta. Maka sifat yang dijadikan dasar qiyās tidak terpenuhi, dan penggabungan (qiyās tersebut) tidak sah.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا قَدْرُ الصَّاعِ الْمُؤَدَّى، فَهُوَ أَرْبَعَةُ أَمْدَادٍ كُلُّ مُدٍّ مِنْهَا رِطْلٌ وَثُلُثٌ بِالْعِرَاقِيِّ فيكون الصاع خمسة أرطال وثلث بِالْعِرَاقِيِّ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَمَالِكٍ وأبي يوسف وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَسَائِرِ فُقَهَاءِ الْحَرَمَيْنِ، وَأَكْثَرِ فقهاء العرقيين وَقَالَ أبو حنيفة ومحمد: الْمُدُّ رِطْلَانِ، وَالصَّاعُ ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يغتسل بالصاع ويتوضأ بالمد ” والمد رطلان، وقد روت عائشة بنت عجرد عن أن أَنْفَعَ امْرَأَةِ أَبِي السِّعْرِ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يغتسل بالصاع ” والصاع ثمانية أطالٍ ” قال وَقَدْ رُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ سَأَلْتُ أُمَّ سَلَمَةَ أَنْ تُرِيَنِي صَاعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: فأخرجت صاعاً حزر به ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ وَهَذَا غَلَطٌ.
PASAL
Adapun kadar ṣā‘ yang dikeluarkan, maka ia adalah empat mud, setiap mud seberat satu riṭl dan sepertiga riṭl menurut ukuran ‘Irāqī, maka ṣā‘ menjadi lima riṭl dan sepertiga ‘Irāqī. Ini adalah mazhab asy-Syāfi‘ī, Mālik, Abū Yūsuf, Aḥmad bin Ḥanbal, para fuqahā’ di dua tanah suci, dan kebanyakan fuqahā’ di ‘Irāq.
Sedangkan Abū Ḥanīfah dan Muḥammad berpendapat bahwa satu mud adalah dua riṭl, dan ṣā‘ adalah delapan riṭl, dengan berdalil pada riwayat Anas bin Mālik yang berkata, “Rasulullah SAW mandi dengan satu ṣā‘ dan berwudu dengan satu mud,” dan mud adalah dua riṭl.
Telah meriwayatkan pula ‘Āisyah binti ‘Ajrad dari Anfa‘, istri Abū as-Si‘r, berkata: “Rasulullah SAW mandi dengan satu ṣā‘, dan ṣā‘ itu delapan riṭl.”
Juga diriwayatkan dari Mujāhid, ia berkata: Aku bertanya kepada Ummu Salamah agar menunjukkan kepadaku ṣā‘ Rasulullah SAW, lalu ia mengeluarkan satu ṣā‘ yang ditaksir seberat delapan riṭl.
Dan ini adalah keliru.
وَدَلِيلُنَا عَلَى صِحَّةِ قَوْلِنَا: مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ: احْلِقْ رَأْسَكَ وأنسك نسيك أَوْ صُمْ ثَلَاثَةَ أيامٍ أَوْ أَطْعِمْ ثَلَاثَةَ آصعٍ سِتَّةَ مَسَاكِينَ وَرُوِيَ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَخْبَارِ أَنَّهُ قَالَ، أَوْ تَصَدَّقْ بفرقٍ مِنْ تمرٍ عَلَى سِتَّةِ مَسَاكِينَ، فَمَوْضِعُ الدَّلَالَةِ أَنَّ القصة واحدة، وقول الأكثر واحد فنقل عنه ثلاثة آصع، ونقل عنه فرق فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ثَلَاثَةَ آصُعٍ فَنَقَلَ الرَّاوِي مَعْنَى الْخَبَرِ وَجَعَلَ مَكَانَ الْآصُعِ فَرَقًا، وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ أمر بفرق فنقل معناه وجعل مَكَانَ الْفَرَقِ ثَلَاثَةَ آصُعٍ، وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ثلاثة آصع فرق من تمر في أدى ذلك أقول عَلَى أَنَّ الْفَرَقَ ثَلَاثَةُ آصُعٍ فَلَمَّا لَمْ يختلف واجد هذين مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الْفَرَقَ سِتَّةَ عَشَرَ رطلاً بالعراق، ثبت أن الصاع الذي هو خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلْثُ رِطْلٍ بِالْعِرَاقِيِّ، وَرَوَى مَالِكٌ قَالَ أَخْرَجَ لِي نَافِعٌ صَاعًا وَقَالَ هَذَا صَاعٌ أَعْطَانِيهِ ابْنُ عُمَرَ، وَقَالَ هَذَا صَاعُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فعيرته فكان بالعراقي خمسة أرطال وثلت، وَرُوِيَ أَنَّ الرَّشِيدَ حَجَّ، وَمَعَهُ أبو يوسف فَلَمَّا دَخَلَ الْمَدِينَةَ جَمَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَالِكٍ، فَسَأَلَ أبو يوسف مَالِكًا عَنِ الصَّاعِ فَقَالَ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلُثٌ فَأَنْكَرَ أبو يوسف ذَلِكَ فَاسْتَدْعَى مَالِكٌ أَهْلَ الْمَدِينَةِ، وَسَأَلَ كُلَّ وَاحِدٍ منهم يُحْضِرَ صَاعَهُ مَعَهُ، فَاجْتَمَعُوا وَمَعَ كُلِّ وَاحِدٍ منهم صاعه، يقول: هذا وَرِثْتُهُ عَنْ أَبِي وَحَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ قَالَ وَرِثْتُهُ عَنْ جَدِّي، وَأَنَّهُ كَانَ يُخْرَجُ بِهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَوَزَنَهُ الرَّشِيدُ، فَإِذَا هُوَ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلُثٌ فرجع أبو يوسف، إلى هذا الظهور فِي الصَّحَابَةِ، وَاشْتِهَارِهِ فِي الْمَدِينَةِ، وَتَوَاتُرِ نَقْلِ الْخَلَفِ عَنِ السَّلَفِ، فَإِنْ قَالُوا هَذَا عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَعَمَلُهُمْ لَيْسَ بِحُجَّةٍ، قِيلَ: إِنَّمَا احْتَجَجْنَا بِنَقْلِهِمْ دُونَ عَمَلِهِمْ وَنَقْلُهُمْ حُجَّةٌ عَلَى أَنَّهُ قَدْ رَوَى طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” الْمِكْيَالُ مِكْيَالُ أَهْلِالْمَدِينَةِ وَالْمِيزَانُ مِيزَانُ أَهْلِ مَكَّةَ ” فَكَانَ عَمَلُهُمْ بِذَلِكَ أَيْضًا حُجَّةً، فَإِنْ قِيلَ: وَهُوَ سُؤَالُ الكرخي من أصحابهم إنما عبروه خمسة أرطال، وثلث بِالْمَدِينَةِ وَرِطْلُ الْمَدِينَةِ رِطْلٌ، وَنِصْفٌ بِالْعِرَاقِيِّ فَهُوَ ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ بِالْعِرَاقِيِّ وَرُجُوعُ أبي يوسف وَهْمٌ مِنْهُ قِيلَ لَوْ كَانَ هَكَذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ أبي يوسف وَمَالِكٍ نِزَاعٌ، وَلَمَّا كَانَ مِثْلُ هَذَا يَخْفَى عَلَى الرَّشِيدِ وَمَنْ حَضَرَ مَعَ عِلْمِهِمْ بِالْخِلَافِ فِيهِ عَلَى أَنَّهُ قَدْ روي أنهم وزنوه خمسة أرطال وثلث بِالْعِرَاقِيِّ ثُمَّ مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ، أَيْضًا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” أَصْغَرُ الصِّيعَانِ صَاعُنَا ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ هَذَا الصَّاعَ هُوَ أَكْبَرُ، وَأَنَّ صَاعَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هُوَ الْأَصْغَرُ فَثَبَتَ قَوْلُنَا إنَّهُ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلُثٌ لِأَنَّهُ أَصْغَرُ الصِّيعَانِ فَأَمَّا مَا رَوَوْهُ مِنَ الْأَخْبَارِ فَضَعِيفَةٌ جِدًّا، وَلَوْ صَحَّتْ رِوَايَتُهَا لَمْ يَكُنْ فِيهَا حُجَّةٌ، لِأَنَّ حَدِيثَ أَنَسٍ وَأُمِّ أَنْفَعَ وَارِدٌ فِي صَاعِ الْمَاءِ، وَخِلَافُنَا فِي صَاعِ الزَّكَوَاتِ، وَقَدْ كَانَتْ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – آصُعٌ مُخْتَلِفَةٌ، وَأَمَّا حَدِيثُ مُجَاهِدٍ فَهُوَ عَنْ حزر وَالْحِرْزُ فِي الْمَقَادِيرِ غَيْرُ مَقْبُولٍ.
Dan dalil kami atas benarnya pendapat kami adalah riwayat bahwa Nabi SAW bersabda kepada Ka‘b bin ‘Ujrah: “Apakah mengganggumu hewan-hewan kecil di kepalamu?” Ia menjawab: “Ya.” Maka beliau bersabda: “Cukurlah kepalamu, lalu berkurbanlah, atau berpuasalah tiga hari, atau berilah makan tiga ṣā‘ kepada enam orang miskin.” Dan diriwayatkan dalam banyak riwayat bahwa beliau bersabda: “Atau bersedekahlah satu farq kurma kepada enam orang miskin.” Maka tempat pendalilannya adalah bahwa kisahnya satu dan ucapan kebanyakan perawi juga satu, namun ada yang meriwayatkan tiga ṣā‘, dan ada yang meriwayatkan satu farq. Maka boleh jadi Nabi SAW mengatakan tiga ṣā‘, lalu perawi menyampaikan makna hadisnya dan mengganti ṣā‘ dengan farq. Atau bisa juga beliau memerintahkan dengan farq, lalu perawi menyampaikan makna dan mengganti farq dengan tiga ṣā‘. Dan bisa juga Nabi SAW bersabda: “Tiga ṣā‘ farq kurma.” Maka itu semua menunjukkan bahwa satu farq adalah tiga ṣā‘.
Dan karena tidak ada perbedaan di antara para ahli ilmu bahwa satu farq adalah enam belas raṭl Irak, maka tetaplah bahwa satu ṣā‘ adalah lima raṭl dan sepertiga raṭl Irak.
Dan diriwayatkan oleh Mālik, ia berkata: Nāfi‘ mengeluarkan untukku satu ṣā‘ dan berkata: “Ini ṣā‘ yang diberikan kepadaku oleh Ibnu ‘Umar, dan ia berkata: ‘Ini adalah ṣā‘ Rasulullah SAW.’” Maka aku menimbangnya, ternyata ia lima raṭl dan sepertiga dengan timbangan Irak.
Dan diriwayatkan bahwa ar-Rasyīd pernah berhaji, dan bersamanya Abū Yūsuf. Ketika ia masuk ke Madinah, ia mengumpulkan antara Abū Yūsuf dan Mālik, lalu Abū Yūsuf bertanya kepada Mālik tentang ukuran ṣā‘, maka Mālik menjawab: “Lima raṭl dan sepertiga.” Maka Abū Yūsuf mengingkarinya. Mālik lalu memanggil penduduk Madinah dan meminta masing-masing dari mereka membawa ṣā‘ miliknya. Maka berkumpullah mereka, dan masing-masing membawa ṣā‘-nya seraya berkata: “Ini aku warisi dari ayahku, dan ayahku berkata kepadaku bahwa ia mewarisinya dari kakekku, dan bahwa ṣā‘ ini dipakai untuk membayar zakat fitrah kepada Rasulullah SAW.” Maka ar-Rasyīd menimbangnya dan ternyata ia lima raṭl dan sepertiga. Maka Abū Yūsuf pun kembali kepada pendapat ini karena masyhurnya hal tersebut di kalangan para sahabat, dan ketenarannya di Madinah, serta mutawatirnya riwayat khalaf dari salaf.
Jika mereka berkata: “Ini adalah amal penduduk Madinah, dan amal mereka bukanlah hujjah,” maka dijawab: “Kami berhujjah dengan riwayat mereka, bukan dengan amal mereka. Dan riwayat mereka adalah hujjah.”
Bahkan telah diriwayatkan dari Ṭāwūs dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Takaran adalah takaran penduduk Madinah, dan timbangan adalah timbangan penduduk Makkah.” Maka amalan mereka atas dasar ini juga merupakan hujjah.
Jika dikatakan – dan ini adalah pertanyaan al-Karkhī dari kalangan mereka – bahwa mereka hanya mengekspresikannya dengan lima raṭl dan sepertiga di Madinah, sedangkan raṭl Madinah setara dengan satu setengah raṭl Irak, maka itu artinya delapan raṭl Irak, dan kembalinya Abū Yūsuf adalah kesalahan darinya, maka kami jawab: “Kalau memang begitu, maka tidak akan ada perselisihan antara Abū Yūsuf dan Mālik, dan tidak mungkin hal seperti ini tersembunyi dari ar-Rasyīd dan orang-orang yang bersamanya, padahal mereka mengetahui adanya perbedaan pendapat di dalamnya.”
Bahkan diriwayatkan bahwa mereka menimbangnya dan ternyata lima raṭl dan sepertiga dengan timbangan Irak.
Dan termasuk dalil atas hal tersebut adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Takaran terkecil adalah ṣā‘ kami.” Maka ini menunjukkan bahwa ṣā‘ ini adalah yang terbesar, dan bahwa ṣā‘ Rasulullah SAW adalah yang terkecil. Maka tetaplah pendapat kami bahwa ia lima raṭl dan sepertiga, karena ia adalah takaran terkecil.
Adapun riwayat-riwayat yang mereka bawa adalah sangat lemah, dan seandainya shahih pun tidak bisa dijadikan hujjah. Karena hadis Anas dan Ummu Anfa‘ itu berkaitan dengan ṣā‘ air, sedangkan perbedaan kami adalah tentang ṣā‘ zakat. Dan pada masa Rasulullah SAW telah ada ṣā‘ yang bermacam-macam.
Adapun hadis Mujāhid, ia berasal dari ḥazr (perkiraan), dan ḥazr dalam ukuran-ukuran tidak bisa diterima.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” ولا تقوم الزكاة ولو قومت كان لو أدى ثمن صاعٍ زبيبٍ ضروعٍ أدى ثمن آصعٍ حنطةٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ دَفْعَ الْقِيمَ فِي الزَّكَوَاتِ لَا يَجُوزُ، وَلَا يَجُوزُ إِخْرَاجُ الْقِيمَةِ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ، فَلَوْ أَخْرَجَ قِيمَةَ الصَّاعِ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ لَا يَجُوزُ لِمَا مَضَى، وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَصَّ عَلَى قَدْرٍ مُتَّفَقٍ فِي أَجْنَاسٍ مُخْتَلِفَةٍ، فَسَوَّى بَيْنَ قَدْرِهَا مَعَ اخْتِلَافِ أَجْنَاسِهَا وَقِيمَهَا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِقَدْرِ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ دُونَ قِيمَتِهِ وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ اعْتِبَارُ الْقِيمَةِ فِيهِ لَوَجَبَ إِذَا كَانَ قِيمَةُ صَاعٍ مِنْ زبيب ضروع، وهو الزبيب الكبار أضعاف حنطة فأخرج من الزبيب نصف صاع قيمته من الحنطة صاع أن يجزئه فلما أجمعوا على أنه لا يجزئه، وَإِنْ كَانَ بِقِيمَةِ الْمَنْصُوصِ عَلَيْهِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُ الْقِيمَةِ دُونَ الْمَنْصُوصِ عليه.
MASALAH:
Berkata asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Zakat tidak boleh ditunaikan dengan menakar nilai (qīmah), dan seandainya ditakar nilainya, maka jika ia menunaikan harga satu ṣā‘ zabīb ḍurū‘ (kismis besar), berarti ia menunaikan harga beberapa ṣā‘ gandum.”
Berkata al-Māwardī: Telah kami sebutkan bahwa membayar zakat dengan nilai (qīmah) tidak diperbolehkan, dan tidak boleh mengeluarkan nilai dalam zakat fitrah. Maka seandainya seseorang mengeluarkan nilai ṣā‘ dengan dirham atau dinar, itu tidak sah berdasarkan apa yang telah lalu, dan karena Rasulullah SAW telah menetapkan ukuran tertentu atas berbagai jenis yang berbeda, namun beliau menyamakan ukurannya meskipun jenis dan nilainya berbeda-beda. Maka hal itu menunjukkan bahwa yang menjadi ukuran adalah takaran yang disebutkan, bukan nilainya.
Dan karena jika boleh mempertimbangkan nilai di dalamnya, niscaya jika nilai satu ṣā‘ zabīb ḍurū‘ — yaitu kismis besar — beberapa kali lipat dari nilai gandum, lalu seseorang mengeluarkan setengah ṣā‘ zabīb yang nilainya setara dengan satu ṣā‘ gandum, itu semestinya sah. Padahal mereka telah sepakat bahwa hal itu tidak sah, meskipun setara nilainya dengan yang ditentukan. Maka hal itu menunjukkan bahwa tidak boleh mengeluarkan nilai selain dari yang telah ditentukan secara nash.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يؤدي إلا الحب نفسه لا يؤدي دقيقاً ولا سويقاً ولا قيمةً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
لَا يَجُوزُ أَنْ يُخْرِجَ بَدَلًا مِنَ الْبُرِّ وَالشَّعِيرِ دَقِيقًا وَلَا سَوِيقًا وَلَا بَدَلًا مِنَ التَّمْرِ دِبْسًا وَلَا نَاطِفًا، وَأَجَازَ أبو حنيفة ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ مِنْ جَوَازِ الْقِيَمِ فِي الزَّكَوَاتِ، وَأَجَازَ مَالِكٌ الدَّقِيقَ بَدَلًا مِنَ الْحَبِّ مَعَ وِفَاقَهُ أَنَّ الْقِيَمَ فِي الزَّكَوَاتِ لَا تَجُوزُ وَبِهِ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ بَشَّارٍ الْأَنْمَاطِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا، احْتِجَاجًا بِرِوَايَةِ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِذْ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَاعًا مِنْ تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أقطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ طعامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ دقيقٍ. وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ الْحَبَّ مَنْصُوصٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ كَامِلُ الْمَنْفَعَةِ لِأَنَّهُ يَصْلُحُ لِلْبَذْرِ وَالطَّحْنِ وَالْهَرْسِ وَالِادِّخَارِ وَالدَّقِيقُ مَسْلُوبُ الْمَنَافِعِ إِلَّا الِاقْتِيَاتَ فَلَمْ يَجُزْ إِخْرَاجُهُ لِنَقْصِ مَنَافِعِهِ، فَأَمَّا الْحَدِيثُ فَقَدْ أَنْكَرَهُ أَبُو دَاوُدَ رَحِمَهُ اللَّهُ وَقَالَ وَهِمَ فِيهِ سُفْيَانُ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak boleh menunaikannya kecuali dengan biji-bijian itu sendiri, tidak boleh dengan tepung, tidak dengan sawīq, dan tidak pula dengan nilainya.”
Al-Māwardī berkata: “Dan ini adalah pendapat yang benar.”
Tidak boleh mengeluarkan pengganti dari bur dan sya‘īr berupa tepung atau sawīq, dan tidak pula pengganti dari kurma berupa dibs atau nāṭif.
Abu Ḥanīfah membolehkannya berdasarkan pendapat pokoknya tentang bolehnya membayar zakat dengan nilai (harga).
Mālik membolehkan tepung sebagai pengganti biji-bijian, meskipun sependapat bahwa nilai tidak boleh dalam zakat.
Dan ini juga merupakan pendapat Abū al-Qāsim ibn Basyyār al-Anmāṭī dari kalangan mazhab kami, dengan berdalil pada riwayat Sufyān ibn ‘Uyaynah dari Muḥammad ibn ‘Ajlān dari ‘Iyāḍ ibn ‘Abdillāh dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, ia berkata: “Kami dahulu mengeluarkan zakat fitrah, sedangkan di tengah kami ada Rasulullah SAW, satu ṣā‘ kurma, atau satu ṣā‘ gandum, atau satu ṣā‘ aqiṭ, atau satu ṣā‘ makanan, atau satu ṣā‘ tepung.”
Namun ini adalah kekeliruan, karena biji-bijian adalah sesuatu yang disebutkan secara naṣ, dan ia memiliki manfaat yang sempurna karena bisa untuk benih, ditumbuk, dihaluskan, disimpan.
Adapun tepung, manfaatnya terbatas hanya untuk dimakan, maka tidak sah mengeluarkannya karena kekurangan manfaatnya.
Adapun hadis tersebut, Abū Dāwūd rahimahullāh telah mengingkarinya dan berkata: “Sufyān keliru dalam meriwayatkannya.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وأحب إليّ لأهل البادية أن لا يؤدوا أقطاً لأنه وإن كان لهم قوتاً فالفث قوت وقد يقتات الحنظل والذي لا أشك فيه أنهم يؤدون من قوت أقرب البلدان بهم إلا أن يقتاتوا ثمرة لا زكاة فيها فيؤدون من ثمرةٍ فيها زكاةٌ ولو أدوا أقطاً لم أر عليهم إعادةً (قال المزني) قياس ما مضى أن يرى عليهم إعادةً لأنه لم يجعلها فيما يقتات إذا لم يكن ثمرةٌ فيها زكاة أو يجيز القوت وإن لم يكن فيه زكاةٌ “.
MASALAH:
Berkata asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Yang lebih aku sukai bagi penduduk bādiyah adalah agar mereka tidak menunaikan zakat fitrah dengan aqiṭ (susu kering), karena meskipun itu merupakan makanan pokok mereka, maka faṯṯ (roti kasar) juga makanan pokok, dan kadang orang memakan ḥanẓal (sejenis buah pahit).
Dan yang tidak aku ragukan adalah bahwa mereka menunaikan zakat dari makanan pokok negeri terdekat dengan mereka, kecuali jika mereka memakan buah yang tidak ada zakat padanya, maka mereka menunaikan zakat dari buah yang ada zakat padanya.
Namun jika mereka menunaikan dengan aqiṭ, aku tidak melihat kewajiban untuk mengulanginya.”
(Berkata al-Muzanī): “Qiyās dari pendapat sebelumnya adalah bahwa mereka harus mengulanginya, karena ia tidak menjadikannya dari sesuatu yang dimakan jika bukan buah yang ada zakat padanya, atau karena ia tidak membolehkan sesuatu yang menjadi makanan pokok jika tidak ada zakat padanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا أَهْلُ الْبَادِيَةِ فَزَكَاةُ الْفِطْرِ وَاجِبَةٌ عَلَيْهِمْ، وَحُكِيَ عَنِ الزُّهْرِيِّ وَرَبِيعَةَ وَعَطَاءٍ أَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ عَلَيْهِمْ، وَهَذَا مَذْهَبٌ شَذُّوا بِهِ عَنِ الْإِجْمَاعِ، وَخَالَفُوا فِيهِ نَصَّ السُّنَّةِ، وَلَوْ جَازَ مَا قَالُوا مِنْ سُقُوطِ زَكَاةِ الْفِطْرِ عَنْهُمْ مَعَ قَوْلِهِ (عَلَى كُلِّ حُرٍّ وعبدٍ ذكرٍ وَأُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ) لَجَازَ سُقُوطُ زَكَاةِ الْأَمْوَالِ عَنْهُمْ فَلَمَّا أَجْمَعُوا عَلَى خِلَافِهِ فِي زَكَوَاتِ الْأَمْوَالِ كَذَلِكَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ عَلَيْهِمْ فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُهَا عَلَيْهِمْ فَلَهُمْ فِيهَا حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْتَاتُوا مَا يَقْتَاتُهُ أَهْلُ الْحَضَرِ فَعَلَيْهِمْ إِخْرَاجُ زَكَاةِ الْفِطْرِ مِنْهَا كَأَهْلِ الْحَضَرِ، وَلَيْسَ لَهُمْ إِخْرَاجُ الْأَقِطِ.
Al-Māwardī berkata: Adapun penduduk pedalaman (ahl al-bādiyah), maka zakat fitrah wajib atas mereka.
Diriwayatkan dari az-Zuhrī, Rabī‘ah, dan ‘Aṭā’ bahwa zakat fitrah tidak wajib atas mereka. Ini adalah mazhab yang mereka sendiri menyimpang darinya dari ijmak, dan mereka menyelisihi nash sunnah dalam hal ini.
Seandainya boleh pendapat mereka bahwa zakat fitrah gugur dari mereka, padahal Nabi bersabda: “Atas setiap orang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan dari kalangan kaum muslimin,” maka tentu boleh pula gugurnya zakat harta dari mereka.
Ketika telah terjadi ijmak atas kewajiban zakat harta atas mereka, maka begitu pula zakat fitrah wajib atas mereka.
Jika telah tetap bahwa zakat fitrah wajib atas mereka, maka mereka memiliki dua keadaan:
Pertama: jika mereka mengonsumsi makanan pokok yang biasa dikonsumsi penduduk kota, maka wajib atas mereka mengeluarkan zakat fitrah dari jenis itu sebagaimana penduduk kota, dan mereka tidak boleh mengeluarkan aqiṭ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَقْتَاتُوا الْأَقِطَ فَقَدْ رَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ قَالَ ” كُنَّا نُخْرِجُ إِذْ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَاعًا مِنْ تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زبيبٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أقطٍ ” وَرَوَى كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو وعن أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ ” فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تمرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شعيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زبيبٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أقطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ طعامٍ ” فَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ فَصَحِيحٌ وَأَمَّا هَذَا فَضَعِيفٌ، فَإِنْ صَحَّ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ كَانَ يُخْرِجُ ذَلِكَ بِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْ بِعِلْمِهِ صَحَّ هَذَا الْحَدِيثُ فِي إِسْنَادِهِ فَإِنَّ لِأَهْلِ الْبَادِيَةِ إِخْرَاجُ الْأَقِطِ، قَوْلًا وَاحِدًاوَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ كَانَ يُخْرِجُ الْأَقِطَ بِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أو بعلمه بدلاً صَحَّ الْحَدِيثُ الْآخَرُ فِي إِسْنَادِهِ، فَهَلْ يَجُوزُ لِأَهْلِ الْبَادِيَةِ، إِخْرَاجُ الْأَقِطِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
DAN KEADAAN KEDUA: Jika mereka menjadikan aqiṭ (susu kering) sebagai makanan pokok, maka telah meriwayatkan Abū Sa‘īd al-Khudrī, ia berkata:
“Kami biasa mengeluarkan (zakat fitrah), ketika Rasulullah SAW masih hidup di tengah-tengah kami, satu ṣā‘ kurma, atau satu ṣā‘ gandum, atau satu ṣā‘ zabīb, atau satu ṣā‘ aqiṭ.”
Dan telah meriwayatkan Katsīr bin ‘Abdillāh bin ‘Amr dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:
“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu ṣā‘ kurma, atau satu ṣā‘ gandum, atau satu ṣā‘ zabīb, atau satu ṣā‘ aqiṭ, atau satu ṣā‘ makanan.”
Adapun hadis Abū Sa‘īd adalah hadis yang ṣaḥīḥ, sedangkan yang satu lagi adalah ḍa‘īf.
Jika sah bahwa Abū Sa‘īd mengeluarkan hal tersebut atas perintah Rasulullah SAW atau dengan sepengetahuan beliau, maka hadis ini sah sanadnya, dan penduduk bādiyah boleh mengeluarkan zakat fitrah berupa aqiṭ menurut satu pendapat.
Namun jika tidak tetap bahwa Abū Sa‘īd mengeluarkan aqiṭ atas perintah atau sepengetahuan Rasulullah SAW, maka hadis yang kedua itu sah sanadnya, dan apakah penduduk bādiyah boleh mengeluarkan zakat berupa aqiṭ atau tidak—maka ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، يَجُوزُ لَهُمْ إِخْرَاجُهُ لِأَنَّهُ قُوتٌ مُدَّخَرٌ يَسْتَنِدُ إِلَى أَثَرٍ فَجَازَ إِخْرَاجُهُ كَالتَّمْرِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ لَا يَجُوزُ لَهُمْ إِخْرَاجُهُ، وَإِنْ كَانَ قُوتًا لَهُمْ مُدَّخَرًا فَهُوَ مِمَّا لَا زَكَاةَ فِيهِ، فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ إِخْرَاجُهُ كما لا يجوز لهم إخراج القثاء وَحَبِّ الْحَنْظَلِ وَإِنْ كَانَ قُوتًا لَهُمْ مُدَّخَرًا، لِأَنَّهُ مِمَّا لَا زَكَاةَ فِيهِ فَعَلَى هَذَا عليهم إخراجها من غالب قوت البلاد.
Pertama: yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, bahwa boleh bagi mereka mengeluarkannya (zakat fitrah dengan aqiṭ), karena aqiṭ adalah makanan pokok yang bisa disimpan, dan bersandar pada atsar, maka boleh dikeluarkan sebagaimana kurma.
Pendapat kedua: yaitu pendapat beliau dalam qaul jadīd, tidak boleh bagi mereka mengeluarkannya, meskipun itu adalah makanan pokok yang bisa disimpan bagi mereka, karena termasuk yang tidak ada zakat padanya, maka tidak boleh mereka mengeluarkannya, sebagaimana tidak boleh mereka mengeluarkan mentimun dan biji ḥanẓal, meskipun itu adalah makanan pokok yang bisa disimpan, karena termasuk yang tidak ada zakat padanya.
Maka berdasarkan pendapat ini, mereka wajib mengeluarkannya dari makanan pokok yang umum di negeri.
فَصْلٌ
: فَإِنْ كَانَ أَهْلُ الْبَادِيَةِ يَقْتَاتُونَ اللَّبَنَ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُمْ لَوِ اقْتَاتُوا الْأَقِطَ لَمْ يجز لهم إخراجه لم يَجُزْ لَهُمْ إِخْرَاجُ اللَّبَنِ أَيْضًا، وَإِنْ قُلْنَا يَجُوزُ فَفِي جَوَازِ إِخْرَاجِ اللَّبَنِ إِذَا كَانَ قُوتًا لَهُمْ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ كَالْأَقِطِ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، وَقَدْ حَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لا يجوز وهو الأصح.
PASAL
Jika penduduk bādiyah menjadikan susu sebagai makanan pokok, maka jika kita berkata bahwa apabila mereka menjadikan aqiṭ sebagai makanan pokok tidak boleh mengeluarkannya (sebagai zakat), maka tidak boleh pula bagi mereka mengeluarkan susu.
Dan jika kita berkata boleh, maka tentang bolehnya mengeluarkan susu apabila menjadi makanan pokok mereka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: Boleh seperti aqiṭ, dan ini adalah mazhab al-Ḥasan al-Baṣrī, serta telah dinukil oleh Ibn Abī Hurayrah dari pendapat lama asy-Syāfi‘ī.
Pendapat kedua: Tidak boleh, dan ini yang lebih ṣaḥīḥ.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأَقِطِ ثُبُوتُ الْأَثَرِ فِي الْأَقِطِ وَعَدَمُهُ فِي اللَّبَنِ، وَلِأَنَّ الْأَقِطَ فِي حَالِ ادِّخَارِهِ فَجَازَ كَالتَّمْرِ وَاللَّبَنُ بِخِلَافِهِ فَلَمْ يَجُزْ كَالرُّطَبِ، فَأَمَّا الْمَصْلُ وَالْكَشْكُ فَلَا يَجُوزُ لهم إخراجه لِأَنَّهُ مِمَّا لَا يُمْكِنُ اقْتِيَاتُهُ مُفْرَدًا، فَأَمَّا أَهْلُ جَزَائِرِ الْبَحْرِ الَّذِينَ يَقْتَاتُونَ السُّمُوكَ، وَأَهْلُ الْفَلَوَاتِ النَّائِيَةِ الَّذِينَ يَقْتَاتُونَ الْبَيْضَ، وَلُحُومَ الصَّيْدِ، فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ إِخْرَاجُهُ فِي زَكَاةِ فِطْرِهِمْ لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ الْمَذْهَبُ، لِأَنَّ حَالَهُمْ نَادِرَةٌ، وَقُوتَهُمْ غَيْرُ رَاجِعٍ إِلَى أَثَرٍ فَأَمَّا أَهْلُ الْحَضَرِ فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ إِخْرَاجُ الْأَقِطِ، وَإِنْ كَانَ لَهُمْ قُوتًا لِأَنَّ ذَلِكَ نَادِرٌ فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ كُنَّا نُخْرِجُ الْأَقِطَ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْحَضَرِ قُلْنَا: قَدْ كَانَ أَبُو سَعِيدٍ يَسْكُنُ الْبَادِيَةَ كَثِيرًا أَلَا تَرَى إِلَى قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إذا كنت في باديتك فارقع صَوْتَكَ بِالْأَذَانِ ” عَلَى أَنَّهُ قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ كِنَايَةً عَنْهُ وَعَنْ غَيْرِهِ مِمَّنْ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَقَدْ كَانَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ أَهْلَ بَادِيَةٍ.
Perbedaan antara aqiṭ dan susu adalah adanya atsar yang menetapkan tentang aqiṭ dan tidak adanya atsar tentang susu. Dan karena aqiṭ dalam keadaan dapat disimpan, maka boleh (dijadikan zakat) seperti kurma. Adapun susu tidak demikian, maka tidak boleh, seperti ruṭab.
Adapun maṣl dan kashk, maka tidak boleh mereka mengeluarkannya karena tidak mungkin dimakan secara mandiri.
Adapun penduduk pulau-pulau laut yang menjadikan ikan sebagai makanan pokok, dan penduduk daerah tandus terpencil yang menjadikan telur dan daging buruan sebagai makanan pokok, maka tidak boleh bagi mereka mengeluarkannya sebagai zakat fitrah mereka—tidak ada perbedaan dalam mazhab mengenai hal ini—karena keadaan mereka adalah keadaan yang langka, dan makanan pokok mereka tidak bersandar pada atsar.
Adapun penduduk kota, maka tidak boleh bagi mereka mengeluarkan aqiṭ, meskipun itu menjadi makanan pokok mereka, karena hal itu jarang terjadi.
Jika dikatakan: Bukankah Abū Sa‘īd berkata: “Kami dahulu mengeluarkan aqiṭ,” padahal dia termasuk penduduk kota?
Kami jawab: Abū Sa‘īd sering tinggal di pedalaman. Tidakkah engkau melihat sabda Rasulullah SAW: “Jika engkau berada di pedalamanmu, maka keraskan suara adzanmu.”
Selain itu, ia berkata “Kami dahulu mengeluarkan,” sebagai kinayah darinya dan selainnya, yaitu orang-orang yang hidup pada masa Rasulullah SAW, dan banyak dari mereka adalah penduduk pedalaman.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يجوز أن يخرج الرجل نصف صاعٍ حنطةٍ ونصف صاعٍ شعير إِلَّا مِنْ صنفٍ واحدٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
لَا يَجُوزُ أَنْ يُخْرِجَ الرَّجُلُ صَاعًا وَاحِدًا عَنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ مِنْ أَنْوَاعٍ مُخْتَلِفَةٍ فَيُخْرِجُ بَعْضَهُ بُرًّا، وَبَعْضَهُ شَعِيرًا، وَبَعْضَهُ تَمْرًا وَبَعْضَهُ زَبِيبًا لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ” فَأَوْجَبَ كَمَالَ الصَّاعِ مِنَ الْجِنْسِ الْوَاحِدِ، كَمَا أَوْجَبَ كَمَالَ الْكَفَّارَةِ مِنَ الْجِنْسِ الْوَاحِدِ، فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ تَبْعِيضُ الْكَفَّارَةِ فَيُطْعِمُ خَمْسَةً، وَيَكْسُو خَمْسَةً لَمْ يَجُزْ تَبْعِيضُ الصَّاعِ فَيُعْطِي نِصْفَهُ بُرًّا وَنِصْفَهُ شَعِيرًا وَلَكِنْ لَوْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ خَمْسَةُ آصُعٍ فَأَخْرَجَهَا مِنْ خَمْسَةِ أَجْنَاسٍ مِنْ كُلِّ جِنْسٍ مِنْهَا صَاعٌ أَجْزَأَهُ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُ مُخَيَّرٌ أَوْ كَانَتْ قُوتُهُ أَوْ قُوتُ بَلَدِهِ كَمَا يَجْزِيهِ مِثْلُ ذَلِكَ فِي الكفارات.
MASALAH:
Berkata asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Tidak boleh seseorang mengeluarkan setengah ṣā‘ gandum dan setengah ṣā‘ jelai kecuali dari satu jenis saja.”
Berkata al-Māwardī: Dan ini adalah benar.
Tidak boleh seseorang mengeluarkan satu ṣā‘ untuk satu jiwa dari jenis-jenis yang berbeda, lalu ia mengeluarkan sebagian dari burr (gandum), sebagian dari sya‘īr (jelai), sebagian dari kurma, dan sebagian dari zabīb, karena Nabi SAW bersabda: “Satu ṣā‘ dari gandum atau satu ṣā‘ dari jelai,” maka hal ini mewajibkan sempurnanya satu ṣā‘ dari satu jenis, sebagaimana disyaratkan kesempurnaan dalam kafarat dari satu jenis.
Maka sebagaimana tidak boleh membagi kafarat, yaitu dengan memberi makan lima orang dan memberi pakaian lima orang, begitu pula tidak boleh membagi ṣā‘, yaitu memberikan setengahnya berupa gandum dan setengahnya berupa jelai.
Namun jika wajib atasnya lima āṣū‘, lalu ia mengeluarkannya dari lima jenis, masing-masing satu ṣā‘ dari satu jenis, maka itu sah—jika dikatakan bahwa ia diberi pilihan atau jika jenis itu merupakan makanan pokoknya atau makanan pokok negerinya—sebagaimana hal itu mencukupi dalam kafarat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ قُوتُهُ حِنْطَةً لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُخْرِجَ شَعِيرًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا اخْتِلَافَ قَوْلِهِ فِي وُجُوبِ ذَلِكَ عَلَى التَّخْيِيرِ، أَوْ عَلَى التَّرْتِيبِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ عَلَى التخيير جاز إذا كان قوته تمراً أَنْ يُخْرِجَ شَعِيرًا، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ عَلَى التَّرْتِيبِ اعْتِبَارًا بِغَالِبِ الْقُوتِ إِمَّا بِغَالِبِ قُوتِ بَلَدِهِ عَلَى أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ أَوْ بِغَالِبِ قُوتِهِ فِي نَفْسِهِ.
عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: فَكَانَ غَالِبُ قُوتِهِ بُرًّا لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يُخْرِجَ شَعِيرًا، وَهُوَ أَظْهَرُ قَوْلَيْهِ، وَأَشْهَرُ نَصِّهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika makanan pokoknya adalah gandum (ḥinṭah), maka tidak boleh baginya mengeluarkan zakat fitrah dengan sya‘īr (gandum kasar).”
Al-Māwardī berkata: Kami telah menyebutkan perbedaan pendapat beliau mengenai hal itu: apakah berdasarkan pilihan (takhyīr) atau urutan (tartīb).
Jika dikatakan bahwa pendapat tersebut berdasarkan takhyīr, maka boleh jika makanan pokoknya adalah kurma untuk mengeluarkan zakat dengan sya‘īr.
Namun jika dikatakan bahwa pendapat tersebut berdasarkan tartīb, maka yang menjadi pertimbangan adalah makanan pokok yang dominan, baik dominasi makanan pokok di negerinya menurut salah satu dari dua pendapat, atau dominasi makanan pokok pada dirinya sendiri.
Berdasarkan pendapat kedua ini, jika makanan pokok yang dominan baginya adalah bur (gandum halus), maka tidak boleh baginya mengeluarkan sya‘īr.
Dan ini adalah pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat beliau, dan nash beliau yang paling masyhur.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يخرجه مِنْ مسوسٍ وَلَا معيبٍ فَإِنْ كَانَ قَدِيمًا لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَلَا لَوْنُهُ أَجْزَأَهُ “.
قَالَ الماوردي: أما المسوس والمغيب وَمَا يَعَافُ النَّاسُ أَكْلَهُ لِنَتَنِ رِيحِهِ وَتَغَيُّرِ لَوْنِهِ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُخْرِجَهُ فِي زَكَاةِ فِطْرِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ} (البقرة: 267) وَرَوَى عَوْفُ بْنُ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيُّ ” قَالَ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وفيه أقناء حشف معلقةٌ وبيده عصا فطعنه فِي الْقِنْوِ، وَقَالَ: إِنْ رَبَّ هَذِهِ الصَّدَقَةِ لَوْ أَرَادَ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِأَطْيَبَ مِنْهَا فَعَلَ إِنَّ رَبَّ هَذِهِ الصَّدَقَةِ لَا يَأْكُلُ غَيْرَ الخشف يَوْمَ الْقِيَامَةِ ” وَلِأَنَّ الْمَعِيبَ نَاقِصٌ وَالْمُسَوَّسَ فَارِغٌ.
فأما القديم، فإن تغيير لَوْنُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ رِيحُهُ لَمْ يَجُزْ إِخْرَاجُهُ، وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ شَيْءٌ مِنْ أَوْصَافِهِ، وَإِنَّمَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ لِقِدَمِهِ، فَإِخْرَاجُهُ جَائِزٌ وغيره أولى منه.
MASALAH:
Imam Syafi‘i RA berkata: “Tidak boleh mengeluarkannya dari yang terkena susus (berulat) dan tidak pula dari yang cacat. Jika makanan itu lama (disimpan sejak lama) tetapi tidak berubah rasa dan warnanya, maka boleh dikeluarkan.”
Al-Mawardi berkata: Adapun makanan yang berulat, rusak, atau yang tidak disukai orang karena bau busuknya dan berubah warnanya, maka tidak boleh mengeluarkannya sebagai zakat fitrah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa lā tayammamū al-khabītsa minhu tunfiqūn} (al-Baqarah: 267). Dan telah meriwayatkan ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘ī:
“Rasulullah SAW masuk (masjid), dan di sana terdapat tandan kurma hasyaf yang tergantung. Beliau memegang tongkat dan menusuk tandan itu seraya bersabda: ‘Sesungguhnya pemilik sedekah ini, kalau mau bersedekah dengan yang lebih baik darinya pasti bisa melakukannya. Sesungguhnya Tuhan dari sedekah ini tidak akan memakan selain khasyf pada hari kiamat.’”
Dan karena makanan yang cacat adalah kurang nilai, dan yang berulat adalah kosong isinya.
Adapun makanan lama, jika berubah warna, rasa, atau baunya, maka tidak boleh dikeluarkan. Namun jika tidak ada satu pun dari sifat-sifat itu yang berubah, dan hanya turun nilainya karena sudah lama, maka boleh dikeluarkan, meskipun yang lain lebih utama darinya.
مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن كان قوته حبوباً مختلفة فأختار له خيرها ومن أين أخرجه أجزأه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُسْتَقْصَاةً وَذَكَرْنَا إِذَا اسْتَوَتْ أَقْوَاتُهُ، وَلَمْ يَكُنْ بَعْضُهَا غالباً أن الأولى أن يخرج من أفضلهما نَوْعًا، وَأَكْثَرِهَا نَفْعًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لَنْ تَنَالُوا البِّرَ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ) {آل عمران: 92) وَإِنْ أَخْرَجَ مَنْ أَدْونِهَا، وَهُوَ غَالِبُ قُوتِهِ أو جملة أقواته أجزاه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Jika makanan pokoknya adalah beberapa jenis biji-bijian yang berbeda, maka aku pilihkan untuknya yang terbaik. Dari mana pun ia mengeluarkannya, maka itu sah baginya.”
Al-Māwardī berkata: Telah disebutkan masalah ini secara rinci, dan kami telah menjelaskan bahwa jika makanan pokoknya setara dan tidak ada yang lebih dominan, maka yang utama adalah mengeluarkan dari jenis yang paling baik dan paling banyak manfaatnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
{Lantanālū al-birra ḥattā tunfiqū mimmā tuḥibbūn} (QS Āli ‘Imrān: 92).
Namun jika ia mengeluarkan dari yang lebih rendah nilainya, sementara itu adalah makanan pokok dominan atau bagian dari keseluruhan makanan pokoknya, maka itu sah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُقَسِّمُهَا عَلَى مَنْ تُقَسَّمُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْمَالِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ مَصْرِفُ زَكَاةِ الْفِطْرِ، مَصْرِفُ زَكَاةِ الْمَالِ فِي الْأَصْنَافِ الْمَذْكُورِينَ في كتاب الله تعالى، وقال مالك على الفقراء خاصة، ويجوز أن يدفعها إلى فقير لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَغْنُوهُمْ عَنِ الطَّلَبِ فِي هَذَا الْيَوْمِ ” وَأَشَارَ إِلَى الْفُقَرَاءِ وَأَمَرَ بِإِغْنَائِهِمْ وَإِغْنَاؤُهُمْ لَا يَكُونُ بِأَقَلَّ مِنْ صَاعٍ.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Dan dibagikan kepada orang-orang yang menjadi tempat pembagian zakat mal.”
Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, tempat pembagian zakat fitri sama dengan tempat pembagian zakat mal, yaitu kepada golongan-golongan yang disebutkan dalam Kitab Allah Ta‘ala.
Malik berpendapat: zakat fitri khusus diberikan kepada orang-orang fakir saja, dan boleh diberikan kepada seorang fakir karena sabda Nabi SAW: “Cukupkan mereka dari meminta pada hari ini,” sambil menunjuk kepada kaum fakir, dan beliau memerintahkan agar mereka dicukupi, sedangkan mencukupi mereka tidak terwujud dengan kurang dari sā‘ satu.
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: إن تولى إخراجه بِنَفْسِهِ جَازَ، أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى صِنْفٍ وَاحِدٍ مِنْ جُمْلَةِ الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ، فَيَدْفَعُهَا إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنْ أَيِّ الْأَصْنَافِ شَاءَ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ، وَإِنْ دَفَعَهَا إلى الأمام لم يعطها إِلَّا فِي جَمِيعِ الْأَصْنَافِ، وَفَصَلَ بَيْنَهُمَا لِلضَّرُورَةِ وَلِأَنَّ الْإِمَامَ يُمْكِنُهُ وَضْعُهَا فِي جَمِيعِهِمْ مِنْ غَيْرِ مَشَقَّةٍ مَعَ اتِّسَاعِ الْمَالِ، وَكَثْرَةِ الصَّدَقَاتِ وَرَبُّ الْمَالِ إِنْ كُلِّفَ ذَلِكَ شَقَّ عَلَيْهِ، وَإِنَّ كُلِّفَ تَفْرِيقَ صَاعٍ عَلَى أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ غَيْرُ مُؤَثِّرَةٍ فِي حَالِهِ، وَرُبَّمَا بَعَثَهُ قِلَّتُهَا عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ أَخْذِهَا، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا قَوْله تَعَالَى: {إنَّمَا الصَّدَقَاتِ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِين) {التوبة: 60) الْآيَةَ فَجَعَلَ مَا انْطَلَقَ اسم الصدقة عليه مُسْتَحِقًّا لِمَنِ اشْتَمَلَتِ الْآيَةُ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّهَا صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَخْتَصَّ بِهَا صِنْفٌ مَعَ وُجُودِ غَيْرِهِ كَزَكَوَاتِ الْأَمْوَالِ، فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا، وَتَوَلَّى الْمُزَكِّي إِخْرَاجَهَا بِنَفْسِهِ.
Dan Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī berkata: Jika ia sendiri yang mengeluarkannya, maka boleh baginya mencukupkan pada satu golongan saja dari delapan golongan yang disebutkan, lalu ia menyerahkannya kepada tiga orang dari golongan mana pun yang ia kehendaki, dan tidak boleh kurang dari tiga orang. Namun jika ia menyerahkannya kepada imam, maka imam tidak boleh membagikannya kecuali kepada semua golongan. Ia membedakan antara keduanya karena adanya kebutuhan, dan karena imam memungkinkan membaginya kepada semua golongan tanpa kesulitan, disebabkan keluasan harta dan banyaknya zakat. Adapun pemilik harta, jika dibebani hal itu akan memberatkannya, dan jika ia harus membagi satu ṣāʿ kepada dua puluh empat bagian, maka bagian tiap orang tidak akan memberi pengaruh bagi kondisinya, dan bisa jadi karena sedikitnya bagian itu mendorong mereka untuk menolak menerimanya. Dalil bagi keduanya adalah firman Allah Ta‘ālā: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…” (QS at-Taubah: 60), yakni ayat tersebut menjadikan siapa saja yang termasuk dalam cakupan ayat sebagai pihak yang berhak menerima zakat. Karena zakat tersebut adalah zakat yang wajib, maka tidak boleh dikhususkan untuk satu golongan saja padahal golongan lain masih ada, sebagaimana halnya zakat harta. Maka apabila telah tetap apa yang kami sebutkan, dan orang yang berzakat sendiri yang mengeluarkannya…
قَالَ الشَّافِعِيُّ: فِي ” الْأُمِّ ” فَرَّقَهَا فِي سِتَّةِ أَصْنَافٍ، وسقط عنه سهم العاملين والمؤلفة لِفَقْدِ مَا اسْتَحَقَّا بِهِ مِنَ الْحَاجَةِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْأَصْنَافَ السِّتَّةَ، فَرَّقَهَا فِيمَنْ وَجَدَ مِنْهُمْ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْتَصِرَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ عَلَى أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَدْفَعَهَا إِلَى كَافِرٍ وَأَجَازَ أبو حنيفة دَفْعَهَا إِلَى كَافِرٍ، وَلَمْ يُجِزْ ذَلِكَ فِي زَكَاةِ الْمَالِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّهَا فِي فُقَرَائِكُمْ ” فَجَعَلَ مَنْ تُدْفَعُ الصَّدَقَةُ إِلَيْهِ فقيراً، أو من تؤخذ الصدقة مِنْهُ غَنِيًّا، فَلَمَّا لَمْ تُؤْخَذِ الصَّدَقَةُ إِلَّا مِنْ غَنِيٍّ مُسْلِمٍ وَجَبَ أَنْ لَا تُدْفَعَ الصَّدَقَةُ إِلَّا إِلَى فَقِيرٍ مُسْلِمٍ وَلِأَنَّهُ حَقٌّ يَجِبُ إِخْرَاجُهُ لِلطُّهْرَةِ، فَلَمْ يُجِزْهُ دَفْعُهُ إِلَى أهل الذمة كزكاة المال.
Imam al-Syafi’i berkata dalam al-Umm: Ia membagikannya kepada enam golongan, dan gugurlah bagian untuk para ‘āmilīn dan mu’allaf karena tidak adanya sebab yang membuat mereka berhak menerimanya, yaitu kebutuhan.
Jika tidak ditemukan enam golongan tersebut, maka dibagikan kepada siapa saja yang ditemukan dari mereka, dan tidak boleh membatasi pada kurang dari tiga orang dari setiap golongan.
Tidak boleh pula diberikan kepada orang kafir, sedangkan Abu Hanifah membolehkan memberikannya kepada orang kafir, namun ia tidak membolehkannya dalam zakat mal.
Dalil atas hal itu adalah sabda Nabi SAW: “Aku diperintahkan untuk mengambil sedekah dari orang-orang kaya kalian dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian,” maka beliau menjadikan orang yang menerima sedekah sebagai fakir, dan orang yang diambil darinya sedekah sebagai orang kaya.
Karena sedekah tidak diambil kecuali dari orang kaya muslim, maka wajib tidak diberikan kecuali kepada fakir muslim. Dan karena ia merupakan kewajiban yang dikeluarkan sebagai bentuk pensucian, maka tidak sah memberikannya kepada ahli dzimmah, sebagaimana zakat mal.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وأحب إلى ذوو رحمه إن كان لا تلزمه نفقتهم بحالٍ “.
قال الماوردي: أما الأقارب وذووا الْأَرْحَامِ، فَضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ نَفَقَاتُهُمْ وَاجِبَةً كَالْآبَاءِ وَالْأَبْنَاءِ إِذَا كَانُوا فَقُرَاءَ زَمْنَى، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَدْفَعَ الزَّكَاةَ إِلَيْهِمْ لِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُخْرِجَ الزَّكَاةَ عَنْهُمْ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا تَكُونَ نَفَقَاتُهُمْ وَاجِبَةً، كَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَالْأَخْوَالِ، وَالْخَالَاتِ فَالْأَوْلَى إِذَا كَانُوا مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ أَنْ يَخُصَّهُمْ بِهَا صِلَةً لِرَحِمِهِ وَبِرًّا لِأَهْلِهِ وَأَقَارِبِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَنْ تُفْسِدُواْ في الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذينَ لَعَنَهُمْ اللهُ) {محمد: 22) فَجَمَعَ بَيْنَ قَطِيعَةِ الرَّحِمِ، وَالْإِفْسَادِ فِي الْأَرْضِ ثُمَّ عَقَّبَهَا بِاللَّعْنَةِ إِبَانَةً لِعِظَمِ الْإِثْمِ.
Masalah:
Imam al-Syafi’i ra. berkata: “Dan yang lebih aku sukai adalah kepada kerabatnya jika nafkah mereka tidak wajib atasnya dalam keadaan apa pun.”
Al-Māwardī berkata: Adapun kerabat dan żawū al-arḥām, maka terbagi dua:
Pertama: mereka yang nafkahnya wajib seperti ayah dan anak apabila mereka fakir dan tidak mampu bekerja, maka tidak boleh memberinya zakat karena wajib atasnya menafkahi mereka, maka tidak sah mengeluarkan zakat untuk mereka.
Kedua: mereka yang nafkahnya tidak wajib seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dari pihak ayah, bibi dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu. Maka yang lebih utama apabila mereka termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat adalah mengkhususkan mereka dengan zakat tersebut sebagai bentuk menyambung tali rahim dan berbuat baik kepada keluarga dan kerabat. Allah Ta‘ālā berfirman: “Apakah kalian hendak membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan silaturahmi? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah…” (QS Muḥammad: 22), maka Allah menggabungkan antara memutuskan tali rahim dan membuat kerusakan di muka bumi, lalu mengiringinya dengan laknat sebagai penjelasan atas besarnya dosa tersebut.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ دَخَلَ الْمَدِينَةَ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَبِيَدِهِ مخصرةٌ وهو يومي بِهَا وَيَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ وَادْخُلُوا الْجَنَّةَ بسلامٍ.
وَرُوِيَ عنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال ” صلوا أَرْحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلَامِ “.
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ (خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ) يَعْنِي الْمُعَادِي وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَدَقَةَ امرئٍ وَذُو رحمٍ محتاجٌ ” وفيه ثلاثة تأويلات:
أحدهما: لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَدَقَةً كَامِلَةً وَذُو رَحِمِ مُحْتَاجٌ.
وَالثَّانِي: لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَدَقَةَ تَطَوُّعٍ وَذُو رَحِمٍ مُحْتَاجٌ.
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW ketika memasuki Madinah berada di atas tunggangannya dan di tangannya ada mikhṣarah, beliau memberi isyarat dengannya seraya bersabda: “Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali kekerabatan, dan masuklah surga dengan keselamatan.”
Dan diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Sambunglah tali kekerabatan kalian walaupun hanya dengan salam.”
Dan diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Sedekah terbaik adalah kepada kerabat yang memendam permusuhan,” maksudnya yang memusuhi.
Dan diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Allah tidak menerima sedekah seseorang sementara kerabatnya dalam keadaan membutuhkan,” dan dalam hal ini terdapat tiga penafsiran:
Pertama: Allah tidak menerima sedekah secara sempurna sementara ada kerabat yang membutuhkan.
Kedua: Allah tidak menerima sedekah sunnah sementara ada kerabat yang membutuhkan.
وَالثَّالِثُ: لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صدقة إما فرض، وإما تطوع وَذُو رَحِمٍ تَجِبُ نَفَقَتُهُ مُحْتَاجٌ، فَلَا يُنْفِقُ عَلَيْهِ وَيُخْتَارُ لِلزَّوْجَةِ إِذَا كَانَ زَوْجُهَا فَقِيرًا، أن تخصه بصدقتها، لأن فِي مَعْنَى أَهْلِهَا وَأَقَارِبِهَا، وَمَنَعَ أبو حنيفة مِنْ ذَلِكَ وَقَالَ: إِنْ دُفِعَتْ إِلَيْهِ زَكَاتُهَا زَكَاتُهَا لَمْ يُجْزِهَا، وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ الْمُنَاسِبَ أَقْوَى سَبَبًا مِنَ الزَّوْجِ لِأَنَّ عِصْمَةَ النَّسَبِ لَا يُمْكِنُ قَطْعُهَا، وَعِصْمَةَ الزَّوْجِيَّةِ يُمْكِنُ قَطْعُهَا فَإِذَا جَازَ وَاسْتُحِبَّ لَهُ دَفْعُ الصَّدَقَةِ إِلَى أَهْلِهِ، وَأَقَارِبِهِ إِذَا كَانَتْ نَفَقَاتُهُمْ غَيْرَ وَاجِبَةٍ جَازَ لِلزَّوْجَةِ، وَاسْتُحِبَّ لَهَا دَفْعُ الصَّدَقَةِ إِلَى زَوْجِهَا، إِذْ نَفَقَتُهُ غَيْرُ وَاجِبَةٍ، فَلَوْ عَدَلَ الْمُزَكِّي عَنْ أَقَارِبِهِ وَذَوِي رَحِمِهِ إِلَى الْأَجَانِبِ الفقراء، فقد عدل عن الأولى وأجزأه.
Dan yang ketiga: Allah tidak menerima sedekah, baik yang wajib maupun yang sunah, yang diberikan kepada kerabat yang wajib dinafkahi jika ia dalam keadaan membutuhkan, maka tidak boleh dinafkahi dengan zakat.
Dan disukai bagi istri, apabila suaminya fakir, agar ia mengkhususkan sedekahnya untuk suaminya, karena ia termasuk dalam makna keluarganya dan kerabatnya.
Abū Ḥanīfah melarang hal itu dan berkata: Jika zakatnya diberikan kepada suaminya, maka tidak sah zakatnya. Ini adalah kesalahan, karena hubungan kekerabatan lebih kuat sebabnya daripada hubungan pernikahan, sebab ikatan nasab tidak mungkin terputus, sedangkan ikatan pernikahan bisa terputus.
Maka apabila diperbolehkan dan disunahkan bagi seseorang memberikan zakat kepada keluarga dan kerabatnya jika nafkah mereka tidak wajib atasnya, maka diperbolehkan pula dan disunahkan bagi istri memberikan zakat kepada suaminya, karena nafkah suami tidak wajib atas istri.
Maka jika seseorang yang mengeluarkan zakat berpaling dari kerabat dan żawū al-arḥām-nya kepada fakir miskin dari kalangan orang luar, maka sungguh ia telah berpaling dari yang lebih utama, namun zakatnya tetap sah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ طَرَحَهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ أَجْزَأَهُ إن شاء الله تعالى. سأل رجلٌ سالماً فقال ألم يكن ابن عمر يدفعها إلى السلطان؟ فقال: بلى، ولكن أرى أن لا يدفعها إليه “.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Jika ia meletakkannya di hadapan orang yang tempatnya menjadi tempat pengumpulan zakat, maka hal itu mencukupi, insya Allah Ta‘ala.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Sālim, “Bukankah Ibn ‘Umar dahulu menyerahkannya kepada penguasa?” Maka ia menjawab: “Benar, tetapi aku berpendapat agar tidak menyerahkannya kepadanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا زَكَاةُ الْفِطْرِ، فَقَدْ قَالَ أصحابنا وهي جَارِيَةٌ مَجْرَى زَكَاةِ الْأَمْوَالِ الظَّاهِرَةِ كَالزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالْمَوَاشِي، لَكِنْ عُرْفُ السَّلَفِ جَارٍ بِتَوَلِّي النَّاسِ تَفْرِيقَهَا بِنُفُوسِهِمْ، فَإِنْ كَانَ وَالِيَ الْوَقْتِ جَائِرًا لَمْ يَجُزْ دَفْعُهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ عَادِلًا وجب على قوله القديم دفعها إليه، واستحب ذلك لَهُ عَلَى قَوْلِهِ الْجَدِيدِ، وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ هَذَا نَصُّ الشَّافِعِيِّ فِي زَكَاةِ الْأَمْوَالِ الظاهرة، فأما زكاة الفطرة فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ تَفْرِيقُهَا بِنَفْسِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَطْرَحَهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ فَاحْتَمَلَ أَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ ذَلِكَ أَحَبُّ إِلَيْهِ إِذَا لَمْ يَكُنِ الْوَالِي نَزِهًا فَقَدْ أَوْرَدَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ عَطَاءً عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ ادْفَعْهَا إِلَى الْوَالِي فَجَاءَ الرَّجُلُ إِلَى ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، فَسَأَلَهُ فَقَالَ: أخرجها بِنَفْسِكَ، فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: فَإِنَّ عَطَاءً أَمَرَنِي أَنْ أَدْفَعَهَا إِلَى الْوَالِي فَقَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: أَفْتَاكَ الصَّالِحُ بِغَيْرِ مَذْهَبِهِ لَا تَدْفَعْهَا إِلَيْهِمْ، فَإِنَّمَا يُعْطِيهَا هِشَامٌ حَرَسَهُ، وَبَوَّابَهُ وَمَنْ شاء مِنْ غِلْمَانِهِ.
Al-Māwardī berkata: Adapun zakat fitri, para sahabat kami (ulama mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa hukumnya seperti zakat harta yang tampak (zakat amwāl ẓāhirah) seperti zakat tanaman, buah-buahan, dan hewan ternak. Namun, kebiasaan salaf telah berlaku bahwa orang-orang sendiri yang membagikannya secara langsung.
Jika penguasa saat itu adalah penguasa yang zalim, maka tidak boleh menyerahkannya kepadanya. Namun jika penguasa tersebut adil, maka menurut qaul qadim wajib menyerahkannya kepadanya, dan menurut qaul jadid disunahkan menyerahkannya, meskipun tidak wajib — dan ini adalah nash Imam al-Syafi’i dalam zakat harta yang tampak.
Adapun zakat fitri, maka Imam al-Syafi’i berkata: “Membagikannya sendiri lebih aku sukai daripada meletakkannya di tangan orang yang mengumpulkannya.”
Ucapan ini mengandung dua kemungkinan:
Pertama, bahwa hal itu lebih beliau sukai apabila penguasa tidak bersih (tidak amanah), karena Imam al-Syafi’i menyebutkan dalam al-Umm bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada ʿAṭā’ tentang hal ini, maka ia menjawab: “Serahkanlah kepada penguasa.”
Kemudian laki-laki itu datang kepada Ibn Abī Mulaykah dan menanyakannya, maka ia menjawab: “Keluarkanlah sendiri.”
Lalu laki-laki itu berkata kepadanya: “ʿAṭā’ memerintahkanku untuk menyerahkannya kepada penguasa.”
Maka Ibn Abī Mulaykah berkata: “Orang saleh itu telah memberi fatwa kepadamu bukan dengan mazhabnya sendiri. Jangan engkau serahkan kepadanya, karena Hisyām (penguasa) hanya memberikannya kepada para penjaganya, para penjaga pintunya, dan kepada siapa saja dari pelayannya yang ia kehendaki.”
وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ سَالِمًا فَقَالَ: أَحْمِلُ صَدَقَتِي إِلَى السُّلْطَانِ فَقَالَ: لَا فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ أَلَمْ يَكُنِ ابْنُ عُمَرَ يَدْفَعُهَا فَقَالَ: بَلَى، وَلَكِنْ لَا أَرَى أَنْ تَدْفَعَهَا إِلَيْهِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَحَبَّ ذَلِكَ عَلَى كل حال، وهذا يدل على أنه أجزأه مَجْرَى الْأَمْوَالِ الْبَاطِنَةِ، وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ وَأَوْلَى عِنْدِي.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Sālim, “Apakah aku serahkan sedekahku kepada penguasa?” Maka ia menjawab, “Jangan.” Lalu laki-laki itu berkata kepadanya, “Bukankah Ibn ‘Umar dahulu menyerahkannya?” Ia menjawab, “Benar, tetapi aku tidak berpendapat agar engkau menyerahkannya kepadanya.”
Dan pendapat kedua: bahwa ia menyukai hal itu dalam segala keadaan. Ini menunjukkan bahwa hal tersebut mencukupi sebagaimana halnya harta-harta yang tersembunyi, dan ini lebih aku sukai dan lebih utama menurutku.
فَصْلٌ
: قَدْ ذَكَرْنَا وَقْتَ وُجُوبِ زَكَاةِ الْفِطْرِ، فَأَمَّا وَقْتُ إِخْرَاجِهَا فَبَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، وَقَبْلَ صَلَاةِ الْعِيدِ اتِّبَاعًا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي فِعْلِهِ، وَلِأَنَّهُ مَأْمُورٌ أَنْ يُطْعِمَ قَبْلَ خروجه لصلاة العيد، فأمر له تفريقها فِي الْفُقَرَاءِ لِيَطْعَمُوا مِنْهَا قَبْلَ خُرُوجِهِمْ لِصَلَاةِ الْعِيدِ، وَلِذَلِكَ أُمِرَ الْإِمَامُ بِتَأْخِيرِ صَلَاةِ الْفِطْرِ لِاشْتِغَالِ الْأَغْنِيَاءِ بِتَفْرِيقِهَا، وَاشْتِغَالِ الْفُقَرَاءِ بِأَخْذِهَا فَإِنْ قَدَّمَهَا قَبْلَ يَوْمِ الْفِطْرِ فِي رَمَضَانَ، أَجْزَأَهُ لِأَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ أَحَدُ سَبَبَيْ وُجُوبِهَا فَإِنْ أخرها عَنْ يَوْمِ الْعِيدِ كَانَ مُسِيئًا آثِمًا، وَكَانَ بِإِخْرَاجِهَا فِيمَا بَعْدُ قَاضِيًا، وَلَكِنْ لَوْ أَخْرَجَهَا بَعْدَ صَلَاةِ الْعِيدِ مِنْ يَوْمِهِ أَجْزَأَهُ، وَكَانَ مودياً لا قاضياً.
PASAL
Telah disebutkan waktu wajibnya zakat fitri. Adapun waktu mengeluarkannya adalah setelah terbit fajar dan sebelum salat ‘Id, mengikuti perbuatan Rasulullah SAW, dan karena seseorang diperintahkan untuk memberi makan sebelum keluar menuju salat ‘Id. Maka perintah untuk membagikannya kepada fakir miskin agar mereka dapat makan darinya sebelum mereka keluar untuk salat ‘Id. Oleh sebab itu, imam diperintahkan untuk mengakhirkan salat fitri karena para orang kaya sibuk membagikannya, dan para fakir miskin sibuk menerimanya.
Jika seseorang mengeluarkannya sebelum hari ‘Id, yaitu di bulan Ramadan, maka itu sah karena bulan Ramadan adalah salah satu dari dua sebab wajibnya zakat.
Namun jika ia menundanya sampai setelah hari ‘Id, maka ia berdosa dan telah berbuat buruk. Dengan mengeluarkannya setelah itu, ia dihukumi sebagai orang yang qadha’ (mengqadha), tetapi jika ia mengeluarkannya setelah salat ‘Id namun masih pada hari itu juga, maka itu tetap sah dan ia dihukumi sebagai orang yang menunaikan, bukan mengqadha.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ عياضٍ عَنْ هشامٍ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ ” خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَلْيَبْدَأْ أحدكم بمن يعول ” (قال) : فهكذا أحب أَنْ يَبْدَأَ بِنَفْسِهِ ثُمَّ بِمَنْ يَعُولُ لِأَنَّ نَفَقَةَ مَنْ يَعُولُ فَرْضٌ وَالْفَرْضُ أَوْلَى بِهِ من النفل ثم قرابته ثم من شاء وروي أن امرأة ابن مسعود كانت صناعاً وليس له مال فقالت لقد شغلتني أنت وولدك عن الصدقة فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن ذلك فقال ” لك في ذلك أجران فأنفقي عليهم ” والله أعلم “.
PASAL: Pilihan dalam Shadaqah Sunnah
Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Anas bin ‘Iyādh telah mengabarkan kepada kami, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Abū Hurairah, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Sebaik-baik shadaqah adalah dari kelebihan (harta) setelah kecukupan. Hendaklah salah seorang dari kalian memulai dengan orang yang menjadi tanggungannya.'”
(Beliau berkata): Maka seperti inilah yang aku sukai, yaitu seseorang memulai dari dirinya sendiri, kemudian kepada orang yang menjadi tanggungannya, karena nafkah terhadap orang yang menjadi tanggungan adalah fardhu, dan fardhu lebih utama didahulukan daripada nafl, lalu kepada kerabatnya, kemudian kepada siapa saja yang ia kehendaki.
Dan telah diriwayatkan bahwa istri ‘Abdullāh bin Mas‘ūd adalah seorang perempuan yang pandai membuat kerajinan tangan, sementara ia tidak memiliki harta. Maka ia berkata: “Engkau dan anakmu telah menyibukkanku dari bershadaqah.” Maka aku pun bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, lalu beliau bersabda: ‘Engkau mendapatkan dua pahala dalam hal itu, maka berinfaklah kepada mereka.’ Dan Allah Maha Mengetahui.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا صَدَقَةُ التَّطَوُّعِ قَبْلَ أَدَاءِ الْوَاجِبَاتِ مِنَ الزَّكَوَاتِ، وَالْكَفَّارَاتِ وَقَبْلَ الْإِنْفَاقِ عَلَى مَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُمْ مِنَ الْأَقَارِبِ وَالزَّوْجَاتِ فَغَيْرُ مُسْتَحَقَّةً، وَلَا مُخْتَارَةٍ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَلْيَبْدَأْ أَحَدُكُمْ بِمَنْ يَعُولُ ” وَفِي قَوْلِهِ: ” عَنْ ظَهْرِ غِنًى تَأْوِيلَانِ “.
أَحَدُهُمَا: بَعْدَ اسْتِغْنَاءِ نَفْسِهِ عَنْ تَتَبُّعِ مَا يُخْرِجُهُ عَنْ يَدِهِ.
وَالثَّانِي: بَعْدَ اسْتِغْنَائِهِ عَنْ أَدَاءِ الْوَاجِبَاتِ.
Al-Māwardī berkata: Adapun sedekah sunnah yang diberikan sebelum menunaikan kewajiban-kewajiban seperti zakat, kafarat, dan sebelum memberi nafkah kepada orang-orang yang wajib dinafkahi seperti kerabat dan istri, maka tidaklah termasuk sedekah yang berhak (diberikan) dan tidak pula sedekah yang utama.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik sedekah adalah yang diberikan dari kelebihan (kecukupan), dan hendaklah salah seorang dari kalian memulai dari orang yang menjadi tanggungannya.”
Adapun sabda beliau “dari kelebihan (kecukupan)” memiliki dua tafsiran:
Pertama: setelah dirinya tidak lagi membutuhkan apa yang dikeluarkannya dan tidak akan mencarinya kembali.
Kedua: setelah ia terbebas dari kewajiban menunaikan yang wajib.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ النَّوَافِلَ إِلَّا بَعْدَ إِحْكَامِ الْفَرَائِضِ ” وَفِيهِ أَيْضًا تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَقْبَلُ اللَّهُ النَّوَافِلَ كَامِلَةً إِلَّا بَعْدَ إِحْكَامِ الْفَرَائِضِ.
Dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Allah tidak menerima amalan-amalan sunnah sebelum menyempurnakan amalan-amalan fardhu.” Dan dalam hal ini terdapat dua takwilan:
Pertama: Allah tidak menerima amalan-amalan sunnah secara sempurna kecuali setelah menyempurnakan amalan-amalan fardhu.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَقْبَلُهَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا بَعْدَ إِحْكَامِ الْفَرَائِضِ وَيُحْتَسَبُ بِالنَّوَافِلِ عَنِ الْفَرَائِضِ، فَإِذَا كَمُلَتِ الْفَرَائِضُ تَقَبَّلَ النَّوَافِلَ، وَقَدْ جَاءَ الْخَبَرُ بِهَذَا فَإِذَا أَدَّى الرَّجُلُ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ مِنْ نَفَقَاتِ مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ، وَمِنْ إِخْرَاجِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ إِخْرَاجُهُ اسْتَحْبَبْنَاحينئذ أن يتصدق بشيء من ماله فَقَدْ رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ عبدٍ يَتَصَدَّقُ بصدقةٍ مِنْ كسبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا طَيِّبًا وَلَا يَصْعَدُ إِلَى السَّمَاءِ إلا طيباً كما يَضَعُهَا فِي يَدِ الرَّحْمَنِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَى اللُّقْمَةَ فَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهَا لَمِثْلُ الْجَبَلِ الْعَظِيمِ ” ثُمَّ قَرَأَ: {أَلَمْ يَعْلَمُوا أنَّ اللهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَات} (التوبة: 104) وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي قَدْرِ مَا يُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ.
فَقَالَ قَوْمٌ: بِجَمِيعِ مَالِهِ كَفِعْلِ أَبِي بَكْرٍ رضي الله عنه.
وقال آخرون ينصفه كَفِعْلِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.
Dan yang kedua: bahwa Allah tidak akan menerima sedekah di akhirat kecuali setelah menyempurnakan kewajiban-kewajiban. Amal-amal sunnah akan diperhitungkan untuk menyempurnakan yang fardhu. Maka apabila kewajiban-kewajiban telah sempurna, barulah amal sunnah diterima. Hal ini telah datang dalam sebuah hadis.
Maka apabila seseorang telah menunaikan apa yang wajib atas hartanya, berupa nafkah kepada orang-orang yang wajib ia nafkahi, dan mengeluarkan apa yang wajib ia keluarkan, barulah kami menganjurkan saat itu untuk bersedekah dengan sebagian hartanya.
Telah meriwayatkan Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba bersedekah dengan sedekah dari penghasilan yang baik—dan Allah tidak menerima kecuali yang baik—dan tidak akan naik ke langit kecuali yang baik—melainkan Allah meletakkannya di tangan al-Raḥmān, lalu Dia memeliharanya sebagaimana salah seorang di antara kalian memelihara anak kudanya, sampai sesuap makanan pun akan datang pada hari kiamat seperti gunung yang besar.”
Kemudian beliau membaca firman Allah Ta‘ālā:
{Tidakkah mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan mengambil sedekah} (QS at-Taubah: 104)
Orang-orang berbeda pendapat tentang kadar sedekah yang disunahkan untuk dikeluarkan.
Sebagian ulama berkata: seluruh hartanya, seperti yang dilakukan oleh Abū Bakr ra.
Yang lain berkata: setengahnya, seperti yang dilakukan oleh ʿUmar ra.
وَقَالَ آخَرُونَ: بِثُلْثِهِ، كَفِعْلِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَالَّذِي عِنْدَنَا أَنَّ الِاسْتِحْبَابَ فِي ذَلِكَ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْمُصَّدِّقِ، فَإِنْ كَانَ حَسَنَ الْيَقِينِ قَنُوعًا لَا يُقَنِّطُهُ الْفَقْرُ، وَلَا يَسْأَلُ عِنْدَ الْعَدَمِ فَالْأَوْلَى أَنْ يَتَصَدَّقَ بِجَمِيعِ مَالِهِ، فَقَدْ رَوَى زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن تتصدق فَوَافَقَ ذَلِكَ مَالًا عِنْدِي فَقُلْتُ الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا فَجِئْتُ بنصفِ مَالِي فَقَالَ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ قُلْتُ مِثْلَهُ قَالَ وَأَتَى أَبُو بَكْرٍ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ فَقَالَ أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقُلْتُ لَا أُسَابِقُكَ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا فرسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّمَا أَقَرَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ على ذلك واستحسنه لِمَا عَلِمَ مِنْ قُوَّةِ إِيمَانِهِ وَصِحَّةٍ يَقِينِهِ، وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنْفِقْ بِلَالُ وَلَا تَخْشَ مِنْ ذِي الْعَرْشِ إقلالاً ” فأما من كان ضعيف اليقين يطعنه الْفَقْرُ، وَيَسْأَلُ عِنْدَ الْعَدَمِ فَالْأَوْلَى أَنْ لَا يَتَصَدَّقَ بِجَمِيعِ مَالِهِ بَلْ يَتَصَدَّقُ بِحَسَبَ حَالِهِ، أَلَا تَرَى إِلَى مَا رَوَى مَحْمُودُ بْنُ لَبِيدٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ ” كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذْ جَاءَ رَجُلٌ بِمِثْلِ بيضةٍ مِنْ ذهبٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَصَبْتُ هَذِهِ مِنْ معدن فخذها فهي صدقةٌ لا أَمْلِكُ غَيْرَهَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى أَتَى بِهَا مِرَارًا فَأَعْرَضَ ثُمَّ أَخَذَهَا فَحَذَفَهُ بِهَا فَلَوْ أَصَابَتْهُ لَأَوْجَعَتْهُ ثُمَّ قَالَ يَأْتِي أَحَدُكُمْ بِمَا يَمْلِكُ فَيَقُولُ هَذِهِ صَدَقَةٌ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَسْأَلُ الناس خير الصدقات ما أبقت عنى ” وَأَرَادَ غَيْلَانُ بْنُ سَلَمَةَ أَنْ يُوَصِّيَ بِمَالِهِ كله للمساكين فأكرهه عمر بن الخطاب رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى رَجَعَ فِيهِ، وَقَالَ: لو مت على رأيك لرجمت قَبْرُكَ كَمَا يُرْجَمُ قَبْرُ أَبِي رِغَالٍ.
Dan segolongan lain berkata: sepertiga hartanya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn ‘Umar RA. Dan pendapat yang kami pegang adalah bahwa mustahab dalam hal ini bergantung pada keadaan orang yang bershadaqah. Jika ia kuat keyakinannya, merasa cukup, tidak membuatnya putus asa karena kemiskinan, dan tidak meminta saat tidak memiliki apa-apa, maka yang lebih utama adalah ia bershadaqah dengan seluruh hartanya.
Telah meriwayatkan Zayd bin Aslam dari ayahnya, ia berkata: Aku mendengar ‘Umar bin al-Khattāb RA berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk bershadaqah, dan saat itu aku memiliki harta. Maka aku berkata: ‘Hari ini aku akan mengalahkan Abū Bakr RA jika aku pernah mengalahkannya.’ Lalu aku datang membawa setengah hartaku. Maka beliau bersabda: ‘Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?’ Aku menjawab: ‘Yang semisalnya.’ Lalu Abū Bakr datang membawa seluruh hartanya. Maka Nabi SAW bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?’ Ia menjawab: ‘Aku tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Maka aku berkata: ‘Aku tidak akan pernah menandingimu dalam sesuatu selama-lamanya.’”
Maka Rasulullah SAW menetapkan apa yang dilakukan oleh Abū Bakr RA dan menganggapnya baik karena beliau mengetahui kekuatan imannya dan kebenaran keyakinannya. Dan Rasulullah SAW bersabda: “Infakkanlah wahai Bilāl, dan janganlah engkau takut kekurangan dari Tuhan ‘Arsy.”
Adapun orang yang lemah keyakinannya, yang mudah dipukul oleh kefakiran dan meminta saat kekurangan, maka lebih utama baginya untuk tidak bershadaqah dengan seluruh hartanya, tetapi bershadaqah sesuai dengan keadaannya.
Tidakkah engkau perhatikan riwayat dari Maḥmūd bin Labīd dari Jābir, ia berkata: “Kami sedang berada di sisi Nabi SAW, lalu datang seorang laki-laki membawa emas sebesar telur, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan ini dari sebuah tambang, maka ambillah, ini shadaqah, aku tidak memiliki selain ini.’ Maka beliau berpaling darinya, hingga ia datang lagi berulang kali, lalu beliau tetap berpaling, kemudian beliau mengambilnya dan melemparkannya kepadanya. Seandainya mengenai dirinya, tentu akan membuatnya kesakitan. Kemudian beliau bersabda: ‘Seseorang datang membawa semua yang dimilikinya lalu berkata: ini shadaqah, kemudian duduk meminta kepada manusia. Sebaik-baik shadaqah adalah yang masih menyisakan kecukupan.’”
Dan Ghailān bin Salamah pernah ingin berwasiatkan seluruh hartanya untuk orang-orang miskin, maka ‘Umar bin al-Khattāb RA membencinya hingga ia menarik kembali keinginannya itu. Dan ia berkata: “Seandainya engkau mati dalam keadaan tetap pada pendapatmu itu, niscaya aku akan merajam kuburmu sebagaimana dirajamnya kubur Abī Righāl.”
فَصْلٌ
: وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَمْتَنِعَ مِنَ الصَّدَقَةِ بِالْيَسِيرِ، فَإِنَّ قَلِيلَ الْخَيْرِ كَثِيرٌ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ) {الزلزلة: 7) وقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تمرةٍ ” وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أُرْدُدْ عَنْكَ حَذْمَةَ السَّائِلِ وَلَوْ بِمِثْلِ رَأْسِ الطَّيْرِ مِنَ الطَّعَامِ “، وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَمْنَعْكُمْ مِنْ معروفٍ صَغِيرَهُ ” وَيَخْتَارُ أَنْ يتصدق على ذوي أرحامه لما ذكرنا وَعَلَى أَهْلِ الْخَيْرِ، وَذَوِي الْفَضْلِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَأْكُلْ طَعَامَكُمْ إِلَّا مؤمنٌ ” فَإِنْ تُصَدِّقَ عَلَى كَافِرٍ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ، أَوْ مَجُوسِيٍّ جَازَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً) {الإنسان: 8) وَالْأَسِيرُ لَا يَكُونُ إِلَّا كَافِرًا، وَقَدْ مَدَحَ اللَّهُ تعالى مطمعه فَدَلَّ عَلَى اسْتِحْبَابِ الصَّدَقَةِ عَلَيْهِ وَرَوَى هشامٍ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أُمِّهِ أَسْمَاءَ قَالَتْ: قَدِمَتْ على أمي راعيةً مشركةً فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إني أمي جاءت راعية مُشْرِكَةً أَفَأَصِلُهَا قَالَ: ” نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ “.
PASAL
Dan tidak sepantasnya seseorang menahan diri dari bersedekah dengan sesuatu yang sedikit, karena sedikitnya kebaikan itu tetaplah banyak. Allah Ta’ala berfirman: {Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya)} (QS al-Zalzalah: 7). Dan Nabi SAW bersabda: “Takutlah kalian terhadap neraka meskipun hanya dengan (bersedekah) separuh butir kurma.” Dan Nabi SAW juga bersabda: “Tolaklah kepedihan orang yang meminta, walau hanya dengan makanan sebesar kepala burung.” Dan Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian menahan diri dari kebaikan meskipun sedikit.”
Disunnahkan pula untuk bersedekah kepada kerabat, sebagaimana telah kami sebutkan, dan kepada orang-orang baik serta para pemilik keutamaan, karena Nabi SAW bersabda: “Janganlah orang yang makan makananmu kecuali orang beriman.”
Jika ia bersedekah kepada orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani, atau Majusi, maka hal itu dibolehkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala: {Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan} (QS al-Insān: 8), sedangkan tawanan tidaklah mungkin kecuali orang kafir, dan Allah telah memuji orang yang memberinya makan. Ini menunjukkan dianjurkannya bersedekah kepadanya.
Diriwayatkan oleh Hisyām bin ‘Urwah dari ibunya Asmā’, ia berkata: “Ibuku yang musyrik datang menjengukku,” maka aku berkata, “Wahai Rasulullah SAW, ibuku datang menjengukku dalam keadaan musyrik, apakah aku menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab: “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.”
فَصْلٌ
: يُسْتَحَبُّ لِلْفَقِيرِ أَنْ يَتَعَفَّفَ عَنِ السُّؤَالِ لِمَا رُوِيَ عَنْ بَعْضِ الصَّحَابَةِ أَنَّهُ قَالَ بَايَعَنَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَأَنْ لَا يَسْأَلَ أَحَدٌ أَحَدًا شَيْئًا، وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ أُنَاسًا مِنَ الْأَنْصَارِ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فأعطاهم حتى إذا نفذهم ما عندهم قَالَ مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خيرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفُّهُ اللَّهُ وَمَنْ يستغنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أحدٌ مِنْ عطاءٍ أَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ وَرَوَى طَارِقٌ عَنِ ابْنُ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ أَصَابَتْهُ فاقةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ يَسُدَّ اللَّهُ فَاقَتَهُ وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ أَوْشَكَ لَهُ بِالْغِنَى أَوْ بِمَوْتٍ عاجلٍ ” فَلِذَلِكَ كَرِهْنَا لَهُ السُّؤَالَ مَعَ قَوْله تَعَالَى: {لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إلْحَافاً) {البقرة: 273) فَإِنْ سَأَلَ لَمْ يَحْرُمِ السُّؤَالُ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ مُحْتَاجًا وَيَقْصِدُ بِسُؤَالِهِ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالصَّلَاحِ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ سَائِلًا فَاسْأَلِ الصَّالِحِينَ ” وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال ” يد الله العلياء وَيَدُ الْمُعْطِي الْوُسْطَى وَيَدُ الْمُسْتَعْطِي السُّفْلَى ” فَأَمَّا مَنْ سَأَلَ وَهُوَ غَنِيٌّ عَنِ الْمَسْأَلَةِ بِمَالٍ، أَوْ بِصِنَاعَةٍ فَهُوَ بِسُؤَالِهِ آثِمٌ، وَمَا يَأْخُذُهُ عَلَيْهِ مُحَرَّمٌ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: مَنْ سَأَلَ وَهُوَ غَنِيٌّ جَاءَتْ مَسْأَلَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ خُدُوشًا أَوْ خُمُوشًا أَوْ كُدُوحًا فِي وَجْهِهِ قِيلَ وَمَا غِنَاهُ، قَالَ خَمْسُونَ دِرْهَمًا أَوْ عَدْلُهَا مِنَ الذَّهَبِ وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَنْ سَأَلَ وَلَهُ أُوقِيَّةٌ فَقَدْ سَأَلَ النَّاسَ إلحافاً ” وليس الغنى بالمال وحده بل قد يَكُونُ الرَّجُلُ غَنِيًّا بِمَالِهِ، وَقَدْ يَكُونُ غَنِيًّا بِنَفْسِهِ، وَصَنْعَتِهِ فَإِذَا اسْتَغْنَى بِمَادَّةٍ مَنْ مَالٍ، أو صنعة كَانَ غَنِيًّا تَحْرُمُ الْمَسْأَلَةُ عَلَيْهِ، وَنَحْنُ نَسْأَلُ اللَّهَ الْمَعُونَةَ، وَحُسْنَ الْكِفَايَةِ بِتَوْفِيقِهِ وَمِنْهُ إِنْ شاء الله.
PASAL
Disunnahkan bagi orang fakir untuk menjaga kehormatan diri dari meminta-minta, karena telah diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa ia berkata: Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW untuk mendengar dan taat serta tidak meminta sesuatu pun kepada siapa pun. Dan telah meriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri bahwa sekelompok kaum Anshar meminta kepada Rasulullah SAW, lalu beliau memberinya hingga habis apa yang beliau miliki. Maka beliau bersabda: Apa yang ada padaku dari kebaikan tidak akan aku simpan dari kalian. Barang siapa menjaga kehormatan diri, niscaya Allah akan menjaganya. Barang siapa merasa cukup, niscaya Allah akan mencukupinya. Dan barang siapa bersabar, niscaya Allah akan memberinya kesabaran. Dan tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih luas daripada kesabaran.
Dan telah meriwayatkan Ṭāriq dari Ibn Mas‘ūd, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa ditimpa kefakiran lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka Allah tidak akan menutup kefakirannya. Dan barang siapa mengadukannya kepada Allah, niscaya Allah akan segera memberinya kecukupan atau kematian yang segera. Oleh karena itu kami memakruhkan baginya meminta-minta, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {mereka tidak meminta-minta kepada manusia dengan mendesak} (QS al-Baqarah: 273).
Jika ia tetap meminta, maka permintaan itu tidak haram baginya selama ia membutuhkan dan mengarahkan permintaannya kepada orang-orang yang dikenal sebagai orang baik dan saleh. Nabi SAW bersabda: Jika engkau harus meminta, maka mintalah kepada orang-orang saleh. Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: Tangan Allah adalah yang paling atas, tangan pemberi adalah pertengahan, dan tangan peminta adalah yang paling bawah.
Adapun orang yang meminta padahal ia kaya dari meminta, baik karena memiliki harta atau memiliki keterampilan, maka dengan permintaan itu ia berdosa, dan apa yang diambilnya adalah haram. Nabi SAW bersabda: Barang siapa meminta sedangkan ia kaya, maka permintaannya pada hari kiamat akan datang berupa cakaran, luka, atau goresan di wajahnya. Ada yang bertanya: Apa yang dimaksud dengan kaya itu? Beliau menjawab: Lima puluh dirham atau setara dengan itu dari emas. Dan beliau SAW bersabda: Barang siapa meminta padahal ia memiliki uqiyyah, maka sungguh ia telah meminta kepada manusia dengan mendesak.
Dan kekayaan itu bukan hanya dengan harta semata, bahkan seseorang bisa disebut kaya karena hartanya, dan bisa juga karena dirinya dan keterampilannya. Maka apabila seseorang merasa cukup dengan salah satu dari keduanya—harta atau keterampilan—ia telah menjadi orang kaya dan haram baginya meminta. Dan kami memohon kepada Allah pertolongan dan kecukupan yang baik dengan taufik-Nya dan dari-Nya, insya Allah.
أَمَّا الصَّوْمُ فِي اللُّغَةِ: فَهُوَ الْإِمْسَاكُ يُقَالُ صَامَ فُلَانٌ بِمَعْنَى أَمْسَكَ عَنِ الْكَلَامِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْماً) {مريم: 26) أَيْ: صَوْمًا وَسُكُوتًا أَلَا تَرَى إِلَى قَوْلِهِ: {فَلَنْ أكَلِّمَ اليَوْمَ إنْسِيًّا) {مريم: 26) وَالْعَرَبُ تَقُولُ لِوَقْتِ الْهَاجِرَةِ، قَدْ صَامَ النَّهَارُ لِإِمْسَاكِ الشَّمْسِ فِيهِ عَنِ السَّيْرِ وَتَقُولُ خَيْلٌ صِيَامٌ بِمَعْنَى وَاقِفَةٌ، قَدْ أَمْسَكَتْ عَنِ السَّيْرِ قَالَ النَّابِغَةُ:
(خيلٌ صيامٌ وخيلٌ غَيْرُ صائمةٍ … تَحْتَ الْعَجَاجِ وَأُخْرَى تَعْلِكُ اللُّجُمَا)
وَقَالَ الْآخَرُ: {نَضْرِبُ الْهَامَ وَالدَّوَابِرَ مِنْهَا … ثُمَّ صَامَتْ بِنَا الْجِيَادُ صِيَامًا)
أَيْ: قَامَتْ فَلَمْ تَنْبَعِثْ، ثُمَّ جَاءَ الشَّرْعُ فَقَرَّرَ الصَّوْمَ، إِمْسَاكًا مَخْصُوصًا فِي زَمَانٍ مَخْصُوصٍ، فَانْتَقَلَ الصَّوْمُ عَمَّا كَانَ عَلَيْهِ فِي اللُّغَةِ إِلَى مَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ فِي الشَّرْعِ.
Kitab Puasa
Adapun ṣaum (puasa) dalam bahasa adalah imsāk (menahan diri). Dikatakan: ṣāma fulān artinya “ia menahan diri dari berbicara”. Allah Ta‘ala berfirman: {Sesungguhnya aku telah bernazar puasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah} (QS Maryam: 26), maksudnya adalah puasa dan diam. Tidakkah engkau melihat kelanjutan firman-Nya: {Maka aku tidak akan berbicara hari ini dengan seorang manusiapun} (QS Maryam: 26).
Bangsa Arab mengatakan untuk waktu hājirah (terik tengah hari): “ṣāma al-nahāru” artinya “matahari berhenti bergerak di langit (berdiam)”. Mereka juga berkata: khaylun ṣiyām, artinya kuda-kuda yang sedang berdiri, tidak berjalan, yakni telah menahan diri dari berlari. Sebagaimana syair dari al-Nābighah:
“Kuda-kuda yang diam dan kuda-kuda yang tak diam,
di balik debu, sementara yang lain menggigit tali kekangnya.”
Dan penyair lain berkata:
{Kami hantam kepala dan belakang mereka…
lalu kuda-kuda itu berhenti bersama kami, diam tidak bergerak}
Maksudnya: kuda-kuda itu berdiri tanpa bangkit.
Kemudian datanglah syariat dan menetapkan ṣaum sebagai penahanan diri yang khusus dalam waktu yang khusus. Maka makna puasa pun berpindah dari makna bahasa kepada makna yang telah ditetapkan dalam syariat.
فَصْلٌ
: وَالْأَصْلُ فِي وُجُوبِ الصِّيَامِ قَوْله تَعَالَى: {يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ) {البقرة: 183) الآية قوله تَعَالَى: {كُتِبَ عَلَيْكُمْ} أَيْ: فُرِضَ عَلَيْكُمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {كَتَبَ اللهُ لأغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي) {المجادلة: 21) أَيْ: فَرَضَ اللَّهُ ثُمَّ قَالَ: {أيَّاماً مَعْدُودَاتٍ) {البقرة: 184) فَلَمْ يُعَيِّنْ فِيهَا زَمَانَ الصِّيَامِ ثُمَّ بَيَّنَهُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ القُرآنُ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَمِنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) {البقرة: 185) فَعَيَّنَ زَمَانَهُ بَعْدَ أَنْ ذَكَرَهُ مُبْهَمًا، وَحَتَّمَ صِيَامَهُ بَعْدَ أَنْ كَانَ الْإِنْسَانُ فِيهِ مُخَيَّرًا بَيْنَ صِيَامِهِ، وَإِفْطَارِهِ، وَذَلِكَ مَعْنَى قَوْلِهِ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ) {البقرة: 184) وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ أَهْلِ التَّفْسِيرِ، حَتَّى نَسَخَ اللَّهُ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: فَلْيَصُمْهُ وَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الصِّيَامِ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ، مَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خمسٍ شهادةٍ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ ” وَدَلَّ عَلَيْهِ حَدِيثُ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا ثَائِرَ الشِّعْرِ أتى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُسْمَعُ لِصَوْتِهِ دَوِيٌّ يَسْأَلُ عَنِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ ” أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رسول الله وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ ” وَدَلَّ عَلَى ذَلِكَ أَيْضًا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” صَلُّوا خَمْسَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاتَكُمْ طَيِّبَةً بِهَا نُفُوسُكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَحُجُّوا بَيْتَ رَبِّكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ ” ثُمَّ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى وُجُوبِ الصِّيَامِ، وَهُوَ أَحَدُ أَرْكَانِ الدِّينِ فَمَنْ جَحَدَهُ فَقَدْ كفر، ومن أقربه وَلَمْ يَفْعَلْهُ فَقَدْ فَسَقَ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ، فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ لَا أَوْجَبْتُمْ عَلَيْهِ الْقَتْلَ، كَمَا أَوْجَبْتُمُوهُ عَلَى تَارِكِ الصَّلَاةِ قُلْنَا لِأَمْرَيْنِ:
PASAL
Adapun dasar kewajiban puasa adalah firman Allah Ta‘ala: {Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa} (QS al-Baqarah: 183).
Firman-Nya: {kutiba ‘alaikum} artinya “diwajibkan atas kalian”, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: {Allah telah menetapkan: “Sungguh Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”} (QS al-Mujādalah: 21), maksudnya: Allah telah mewajibkan.
Kemudian Allah berfirman: {pada hari-hari tertentu} (QS al-Baqarah: 184), namun tidak disebutkan waktu puasa tersebut secara rinci. Lalu dijelaskan oleh firman-Nya Ta‘ala: {Bulan Ramadan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an} hingga firman-Nya: {Barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa} (QS al-Baqarah: 185), maka ditetapkanlah waktu puasa itu setelah sebelumnya masih bersifat global. Dan Allah mewajibkan puasa itu setelah sebelumnya seseorang diberi pilihan antara berpuasa atau tidak.
Itulah maksud firman-Nya: {dan atas orang-orang yang mampu melaksanakannya, (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah memberi makan orang miskin} (QS al-Baqarah: 184). Inilah yang dikatakan oleh mayoritas ahli tafsir, sampai Allah menasakh (menghapus hukumnya) dengan firman-Nya: {hendaklah ia berpuasa}.
Dan dalil kewajiban puasa dari jalur sunnah adalah hadis riwayat Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Islam dibangun atas lima (rukun): bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah.”
Juga berdasarkan hadis Ṭalḥah bin ‘Ubaydillah, bahwa ada seorang lelaki berambut acak-acakan datang kepada Nabi SAW, suaranya terdengar bergemuruh, ia bertanya tentang Islam. Maka Nabi SAW menjawab dalam hadis yang panjang:
“Engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah.”
Demikian pula dalam sabda beliau SAW:
“Salatlah kalian lima waktu, tunaikan zakat kalian dengan hati yang rela, berpuasalah di bulan kalian, dan berhajilah ke Bait Tuhan kalian, niscaya kalian masuk surga Tuhan kalian.”
Kemudian kaum muslimin telah ijma‘ atas kewajiban puasa, dan puasa adalah salah satu rukun agama. Barang siapa mengingkarinya, maka ia kafir. Dan barang siapa mengakuinya namun tidak melakukannya, maka ia fāsiq, hanya saja ia tidak dibunuh.
Jika dikatakan: Mengapa kalian tidak mewajibkan hukuman bunuh atasnya sebagaimana kalian mewajibkannya atas orang yang meninggalkan salat?
Kami menjawab: karena dua alasan:…
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصَّلَاةَ مُشَابِهَةٌ لِلْإِيمَانِ لِأَنَّهُمَا قَوْل اللِّسَانِ، وَاعْتِقَاد بِالْقَلْبِ وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ فَقُتِلَ تَارِكُهَا كَمَا يُقْتَلُ تَارِكُ الْإِيمَانِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الصِّيَامُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الصَّلَاةَ لَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهَا مِنْ تَارِكِهَا إِلَّا بِفِعْلِهِ فَلِذَلِكَ كَانَ تَرْكُهَا مُوجِبًا لِقَتْلِهِ، وَالصِّيَامُ يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْ تَارِكِهِ بِأَنْ يُمْنَعَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ وَمَا يُؤَدِّي إِلَى إِفْطَارِهِ فَلَمْ يَكُنْ تَرْكُهُ مُوجِبًا لِقَتْلِهِ، فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا فَصِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ بَالِغٍ عَاقِلٍ مِنْ ذَكَرٍ، وَأُنْثَى وَحُرٍّ وَعَبْدٍ وَأَمَّا الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ فَلَا صوم عليهم لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُمَا.
Salah satunya: bahwa salat menyerupai iman, karena keduanya merupakan ucapan lisan, keyakinan hati, dan perbuatan anggota tubuh. Maka orang yang meninggalkannya dibunuh sebagaimana orang yang meninggalkan iman, sedangkan puasa tidak demikian.
Yang kedua: bahwa salat tidak bisa dipenuhi kecuali oleh orang yang melakukannya sendiri, oleh karena itu meninggalkannya mewajibkan hukuman bunuh. Adapun puasa dapat dipenuhi dari orang yang meninggalkannya dengan mencegahnya dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa, maka meninggalkannya tidak mewajibkan hukuman bunuh.
Maka jika telah tetap sebagaimana yang telah kami sebutkan, puasa bulan Ramadan adalah wajib atas setiap muslim yang baligh, berakal, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak. Adapun anak kecil dan orang gila maka tidak wajib puasa atas keduanya karena pena (beban kewajiban) telah terangkat dari mereka berdua.
فَصْلٌ
: ثُمَّ أَوَّلُ مَا نَزَلَ فَرْضُ صِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي شَعْبَانَ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ، قِيلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَفِي هَذَا الشَّهْرِ فُرِضَ اسْتِقْبَالُ الْكَعْبَةِ، فَأَمَّا فَرْضُ الصَّلَاةِ فَنَزَلَ بِمَكَّةَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ وَاخْتَلَفَ السَّلَفُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، فَقَالَ بَعْضُهُمُ الصَّلَاةُ أَفْضَلُ مِنَ الصِّيَامِ، لِتَقَدُّمِ فَرْضِهَا وَمُقَارَنَتِهِ الْإِيمَانَ، وَقَالَ آخَرُونَ: الصِّيَامُ أَفْضَلُ مِنَ الصلاة لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي عَلَيْهِ فاخْتَصَّ بِالصِّيَامِ، وَأَضَافَهُ إِلَيْهِ وَقَالَ قَوْمٌ الصَّلَاةُ بِمَكَّةَ أَفْضَلُ مِنَ الصِّيَامِ وَالصِّيَامُ بِالْمَدِينَةِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلَاةِ مُرَاعَاةً لِمَوْضِعِ نُزُولِ فَرْضِهِمَا.
PASAL
Kemudian, pertama kali diwajibkannya puasa bulan Ramadan adalah pada bulan Sya‘bān tahun kedua dari hijrah. Dikatakan: pada malam ketiga dari bulan itu. Dan pada bulan ini pula diwajibkan menghadap ke arah Ka‘bah.
Adapun kewajiban salat telah diturunkan di Makkah sebelum hijrah.
Para salaf raḥimahumullāh berselisih pendapat mengenai keutamaan antara salat dan puasa. Sebagian mereka berkata: salat lebih utama daripada puasa karena didahulukannya kewajiban salat dan salat beriringan dengan keimanan.
Sebagian yang lain berkata: puasa lebih utama daripada salat, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Allah Ta‘ala berfirman: Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Maka puasa memiliki keistimewaan karena Allah mengkhususkannya dan menyandarkannya kepada-Nya.
Dan sekelompok orang berpendapat: salat di Makkah lebih utama daripada puasa, dan puasa di Madinah lebih utama daripada salat, karena mempertimbangkan tempat diturunkannya kewajiban masing-masing.
فَصْلٌ
: قَالَ أَصْحَابُنَا: يُكْرَهُ أَنْ يُقَالَ: جَاءَ رَمَضَانُ وَذَهَبَ رَمَضَانُ لِمَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” لَا تَقُولُوا جَاءَ رَمَضَانُ فَإِنَّ رَمَضَانَ اسمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَكِنْ قُولُوا شَهْرَ رَمَضَانَ ” فَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ الشَّهْرَ وَلَكِنْ ذَكَرَ مَعَهُ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ الشَّهْرَ جَازَ كَقَوْلِهِ: صُمْتُ رَمَضَانَ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ” وَكَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ نَائِقٌ فَسُمِّيَ فِي الْإِسْلَامِ رَمَضَانَ مَأْخُوذٌ مِنَ الرَّمْضَاءِ، وَهُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ لِأَنَّهُ حِينَ فُرِضَ وَافَقَ شِدَّةَ الْحَرِّ وَقَدْ رَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ ” أَيْ: يَحْرِقُهَا وَيَذْهَبُ بِهَا.
PASAL
Para sahabat kami berkata: makruh mengucapkan “datang Ramadan” dan “pergi Ramadan”, karena telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian mengatakan: ‘datang Ramadan’, karena Ramadan adalah salah satu dari nama-nama Allah Ta‘ala. Akan tetapi, katakanlah: ‘bulan Ramadan’.”
Namun jika tidak disebutkan kata bulan, tetapi disertai dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah bulan, maka itu dibolehkan, seperti ucapannya: “Aku berpuasa Ramadan”, karena telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Barang siapa berpuasa Ramadan dan melaksanakannya dengan keimanan dan mengharap pahala, diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.”
Bulan Ramadan pada masa jahiliah dahulu disebut Nā’iq, lalu dalam Islam dinamakan Ramadan, yang diambil dari kata ramḍā’, yaitu panas yang sangat, karena ketika difardukan bertepatan dengan musim panas yang terik. Dan telah meriwayatkan Anas bin Mālik bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dinamakan Ramadan karena ia membakar dosa-dosa,” yaitu membakarnya dan menghapusnya.
فَصْلٌ
: اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ قِيلَ: كَانَ ابْتِدَاءُ فَرْضِ الصِّيَامِ أَوْ كَانَ نَاسِخًا لِصَوْمٍ تَقَدَّمَهُ عَلَى مَذْهَبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَانَ ابْتِدَاءَ فَرْضِ الصِّيَامِ، وَكَأَنَّهُ أَشْبَهُ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِخٌ لِصَوْمٍ قَبْلَهُ، ثُمَّ لَهُمْ فِيهِ مَذْهَبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَانَ نَاسِخًا لِصَوْمِ عَاشُورَاءَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ نَاسِخًا لِلْأَيَّامِ الْبِيضِ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَلَهُمْ فِي الْأَيَّامِ الْبِيضِ مَذْهَبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا الثَّانِي عَشَرَ، وَمَا يَلِيهِ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا الثَّالِثَ عَشَرَ وَمَا يليه.
PASAL
Manusia berselisih pendapat tentang puasa bulan Ramadan. Dikatakan bahwa puasa Ramadan merupakan permulaan kewajiban puasa, atau bahwa ia merupakan penghapus (nasikh) dari puasa yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini terdapat dua mazhab:
Pertama, bahwa puasa Ramadan adalah awal kewajiban puasa. Dan ini tampaknya lebih mendekati mazhab al-Syāfi‘i.
Mazhab kedua, bahwa puasa bulan Ramadan merupakan nasikh (penghapus hukum) terhadap puasa sebelumnya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa ia menghapus puasa *‘Āsyūrā’.
Kedua, bahwa ia menghapus puasa al-ayyām al-bīḍ (hari-hari putih) dari setiap bulan.
Tentang al-ayyām al-bīḍ ini sendiri juga terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa ia adalah tanggal dua belas dan hari-hari setelahnya.
Mazhab ketiga, bahwa ia adalah tanggal tiga belas dan hari-hari setelahnya.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَجُوزُ لأحدٍ صِيَامُ فرضٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَلَا نَذْرٍ وَلَا كَفَّارَةٍ إِلَّا أَنْ يَنْوِيَ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا صِيَامُ النَّذْرِ وَالْكَفَّارَةِ، فَلَا بُدَّ فِيهِ مِنْ نِيَّةٍ مِنَ اللَّيْلِ إِجْمَاعًا فَأَمَّا صِيَامُ رَمَضَانَ فَقَدْ حُكِيَ عَنْ زفر بن الهذيل، أَنَّهُ قَالَ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى نِيَّةٍ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) {البقرة: 85) فَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، وَلَمْ يَأْمُرْ فِيهِ بِالنِّيَّةِ قَالَ: وَلِأَنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ مُسْتَحَقُّ الصَّوْمِ يَمْنَعُ مِنْ إِيقَاعِ غَيْرِهِ فِيهِ، فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى نِيَّةٍ كَالْعِيدَيْنِ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ لَمَّا كَانَ الْفِطْرُ فِيهِمَا مُسْتَحَقًّا، لَمْ يَحْتَجْ إِلَى نِيَّةٍ، وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَسَائِرُ الْفُقَهَاءِ إِلَى وُجُوبِ النِّيَّةِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا لأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تَجْزَى إِلاَّ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى) {الليل: 19، 20) فَأَخْبَرَ أَنَّ الْمُجَازَاةَ لَا تَقَعُ بِمُجَرَّدِ الْفِعْلِ حَتَّى يَبْتَغِيَ بِهِ الْفَاعِلُ وَجْهَ اللَّهِ تَعَالَى بِإِخْلَاصِ النِّيَّةِ، وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ” فَنَفَى الْعَمَلَ إِلَّا بِنِيَّةٍ وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَقْبَلُ اللَّهُ عَمَلًا بِغَيْرِ نيةٍ “.
BAB NIAT DALAM PUASA
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak sah bagi siapa pun untuk berpuasa fardu dari bulan Ramadan, atau puasa nadzar, atau puasa kafarat, kecuali dengan niat puasa sebelum fajar.”
Al-Māwardī berkata: Adapun puasa nadzar dan kafarat, maka harus disertai niat dari malam hari menurut ijma‘.
Adapun puasa Ramadan, maka telah dinukil dari Zufar bin al-Hużail bahwa ia berkata: tidak membutuhkan niat, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa} (QS al-Baqarah: 185), di mana Allah memerintahkan puasa tanpa menyebutkan perintah niat. Ia juga berkata: karena puasa Ramadan adalah puasa yang wajib, maka mencegah dilakukannya puasa lain di dalamnya. Maka ia tidak butuh niat—sebagaimana hari raya dan hari-hari tasyriq, di mana berbuka (tidak puasa) adalah yang wajib, maka tidak membutuhkan niat untuk tidak berpuasa.
Adapun Imam Syafi‘i dan seluruh fuqaha berpendapat bahwa niat itu wajib dalam puasa Ramadan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{Dan tidak ada seorang pun yang memiliki suatu nikmat yang dibalas, melainkan karena mencari keridaan Tuhannya yang Mahatinggi} (QS al-Lail: 19–20),
maka Allah mengabarkan bahwa ganjaran tidak diberikan hanya karena perbuatan, kecuali apabila pelakunya mengharap wajah Allah Ta‘ala dengan ikhlas dalam niatnya.
Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat,” maka beliau meniadakan amal kecuali dengan niat. Dan beliau SAW juga bersabda: “Allah tidak menerima amal tanpa niat.”
وَرَوَتْ حَفْصَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ “.
وَرُوِيَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ من الليل.
وَرُوِيَ لِمَنْ لَمْ يَنْوِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَلِأَنَّ الصَّوْمَ عِبَادَةٌ تَتَنَوَّعُ فَرْضًا وَنَفْلًا، فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ مِنْ شَرْطِهَا كَالصَّلَاةِ، وَلِأَنَّ الصَّوْمَ هُوَ الْإِمْسَاكُ، وَالْإِمْسَاكُ قَدْ يَقَعُ تَارَةً عِبَادَةً وَتَارَةً عَادَةً، فَالْعَادَةُ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنَ الْأَكْلِ طُولَ يَوْمِهِ لِتَصَرُّفِهِ بِأَشْغَالِهِ، أَوْ تَقَدُّمِ مَا يَأْكُلُهُ فَلَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ نِيَّةٍ تُمَيِّزُ بَيْنَ إِمْسَاكِ الْعَادَةِ، وَإِمْسَاكِ الْعِبَادَةِ، فَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا دَلِيلَ فِيهَا عَلَى سُقُوطِ النِّيَّةِ، لِأَنَّهَا مُجْمَلَةٌ، وَقَدْ وَرَدَتِ السُّنَّةُ بِبَيَانِهَا وَهِيَ الْأَخْبَارُ الْوَارِدَةُ فِي وُجُوبِ النِّيَّةِ، وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِقَوْلِهِ: إِنَّهُ مُسْتَحَقُّ الصِّيَامِ فِيهِ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ من وجهين:
PASAL
Hafshah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak berniat puasa dari malam hari.”
Juga diriwayatkan: “Bagi siapa yang tidak meneguhkan puasa dari malam hari.”
Dan diriwayatkan pula: “Bagi siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar.”
Karena puasa adalah ibadah yang terbagi menjadi fardu dan sunnah, maka wajib adanya niat sebagai syaratnya, sebagaimana salat.
Dan karena puasa adalah imsāk (menahan diri), sementara imsāk terkadang terjadi sebagai bentuk ibadah dan terkadang sebagai kebiasaan. Adapun kebiasaan adalah menahan diri dari makan sepanjang hari karena kesibukan dengan berbagai urusan, atau karena sebelumnya telah makan, maka tidak bisa tidak harus ada niat yang membedakan antara imsāk karena kebiasaan dan imsāk karena ibadah.
Adapun ayat al-Qur’an, maka tidak terdapat dalil di dalamnya tentang gugurnya syarat niat, karena ayat tersebut bersifat mujmalah (umum), dan telah datang sunnah untuk menjelaskannya, yakni hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya niat.
Adapun istidlāl (pengambilan dalil) dengan ucapan bahwa: “seseorang terkena kewajiban puasa pada hari itu”, maka jawabannya dari dua sisi:…
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ فَاسِدٌ بِمَنْ بَقِيَ عَلَيْهِ مَنْ وَقْتِ الصَّلَاةِ قَدْرَ مَا يُؤَدِّيهَا فِيهِ، فَقَدِ اسْتَحَقَّ زَمَانُهَا عَلَيْهِ، وَمُنِعَ مِنْ إِيقَاعِ غَيْرِهَا فِيهِ، ثُمَّ النِّيَّةُ فِيهِ وَاجِبَةٌ فَدَلَّ عَلَى فَسَادِ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ إِيقَاعَ غَيْرِهِ فِيهِ لَا يَمْنَعُ لِأَنَّا قَدْ نَرَى الْإِفْطَارَ يَتَخَلَّلُهُ، وَفِطْرُ الْعِيدَيْنِ لَمَّا كَانَ مُسْتَحَقًّا يَمْتَنِعُ مِنْ إِيقَاعِ غَيْرِهِ فِيهِ لَمْ يَتَخَلَّلْهُ غَيْرُهُ، لِاسْتِحَالَةِ الصَّوْمِ فِيهِ، فَلَمْ يَصِحَّ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا، وَثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ وُجُوبِ النِّيَّةِ فِيهِ.
Salah satunya: bahwa (puasa tanpa niat malam hari) adalah batal bagi orang yang masih memiliki waktu salat yang tersisa sebanyak kadar yang cukup untuk menunaikannya, maka waktu tersebut telah menjadi hak baginya, dan ia dilarang untuk melakukan selainnya di waktu itu, sedangkan niat padanya wajib. Maka hal ini menunjukkan rusaknya istidlal (argumentasi) tersebut.
Yang kedua: bahwa melakukan selainnya dalam waktu itu tidak terlarang, karena kita dapati bahwa berbuka terkadang menyelingi (hari puasa), dan berbuka pada dua hari raya, ketika memang wajib berbuka padanya, tidak mungkin dilakukan puasa karena puasa pada dua hari tersebut mustahil. Maka tidak bisa disamakan keduanya, dan tetaplah hukum sebagaimana yang kami sebutkan, yaitu wajibnya niat dalam puasa.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا وَقْتُ النِّيَّةِ وَمَحِلُّهَا، فَقَالَ الشَّافِعِيُّ إِنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَنْوِيَ الصِّيَامَ كُلَّ يَوْمٍ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَإِنْ نَوَى بَعْدَهُ لَمْ يُجْزِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ نَوَى بَعْدَ الْفَجْرِ، وَقَبْلَ الزَّوَالِ لِصَوْمٍ مُسْتَحَقِّ الزَّمَانِ كَشَهْرِ رَمَضَانَ وَالنَّذْرِ الَّذِي قَدْ تَعَيَّنَ زَمَانُهُ أَجَزَأَهُ، فَأَمَّا مَا لَمْ يَتَعَيَّنْ زَمَانُهُ كَالْقَضَاءِ وَالْكَفَّارَاتِ، فَلَا بُدَّ فِيهِ مِنْ نِيَّةٍ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَقَالَ مَالِكٌ: عَلَيْهِ أَنْ يَنْوِيَ قَبْلَ الْفَجْرِ، إِلَّا أَنَّهُ إِنْ نَوَى فِي اللَّيْلَةِ الْأُولَى لِجَمِيعِ الشَّهْرِ أَجْزَأَهُ فَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ بَعَثَ إِلَى أَهْلَ الْعَوَالِي فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَنَّ مَنْ أَكَلَ فَلْيُمْسِكْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ فَلْيَصُمْ قَالَ وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ إِنَّمَا بَعَثَ إِلَيْهِمْ فِي نَهَارِ ذَلِكَ الْيَوْمِ، لَا فِي لَيْلِهِ مَعَ كَوْنِ عَاشُورَاءَ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ فَرْضًا، فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ النِّيَّةِ مِنَ النَّهَارِ قَالَ، وَلِأَنَّهُ صَوْمٌ غَيْرُ ثَابِتٍ فِي ذِمَّتِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَفْتَقِرَ إِلَى نِيَّةٍ مِنَ اللَّيْلِ أَصْلُهُ صَوْمُ التَّطَوُّعِ قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَمَّا شَقَّ عَلَى النَّاسِ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ مَنُوطَةً بِوَقْتِ الدُّخُولِ فِي الصَّوْمِ، وَهُوَ طُلُوعُ الْفَجْرِ رُخِّصَ لَهُمْ فِي التَّقَدُّمِ عَلَى الْفَجْرِ، فَكَذَلِكَ أَيْضًا جُوِّزَ لَهُمْ بِهَذَا الْمَعْنَى التَّأَخُّرُ عَنِ الْفَجْرِ، وِالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ رِوَايَةُ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَفْصَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ ” وَقَدْ رَوَتْ ذَلِكَ أَيْضًا عَائِشَةُ وَأُمُّ سَلَمَةَ وَابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَفِي رِوَايَةِ بَعْضِهِمْ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ، وَفِي رِوَايَةِ بَعْضِهِمْ لِمَنْ لَمْ يَنْوِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَنَفَى أَنْ يَكُونَ الصَّوْمُ مَحْكُومًا بِصِحَّتِهِ إِلَّا بَعْدَ تَقَدُّمِ النِّيَّةِ مِنَ اللَّيْلِ، وَلِأَنَّهُ صَوْمُ يَوْمٍ وَاجِبٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَقْدِيمُ النِّيَّةِ مِنْ شَرْطِهِ مِنَ اللَّيْلِ، كَالْقَضَاءِ وَالْكَفَّارَاتِ وَلِأَنَّهُ صَوْمٌ مُسْتَحَقٌّ عَرِيَ عَنِ النِّيَّةِ لَهُ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَصِحَّ كَالنَّذْرِ وَالْكَفَّارَةِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تُؤَدَّى وَتُقْضَى فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَحَلُّ النِّيَّةِ فِي أَدَائِهَا كَمَحَلِّ النِّيَّةِ فِي قَضَائِهَا، أَصْلُهُ الصَّلَاةُ فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِحَدِيثِ عَاشُورَاءَ، وَأَهْلِ الْعَوَالِي فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
PASAL
Adapun waktu dan tempat niat, maka Imam al-Syafi‘i berkata: Wajib atasnya berniat puasa setiap hari sebelum fajar. Jika ia berniat setelah fajar, maka tidak sah puasanya.
Adapun Abu Hanifah berkata: Jika ia berniat setelah fajar dan sebelum zawāl untuk puasa yang waktunya telah ditentukan seperti puasa Ramadhan dan nadzar yang sudah ditentukan waktunya, maka itu sah. Adapun puasa yang waktunya tidak ditentukan seperti qadha dan kaffārah, maka wajib niat sebelum fajar.
Imam Mālik berkata: Wajib niat sebelum fajar, kecuali jika ia berniat di malam pertama untuk seluruh bulan, maka itu sudah mencukupi.
Adapun Abu Hanifah berdalil dengan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau mengutus seseorang ke penduduk ‘Awālī pada hari ‘Āsyūrāʾ dengan menyampaikan: “Barang siapa yang telah makan, maka hendaknya ia menahan (tidak makan lagi) sepanjang sisa harinya, dan barang siapa yang belum makan, maka hendaknya ia berpuasa.” Diketahui bahwa utusan itu dikirim pada siang hari, bukan malamnya, padahal hari ‘Āsyūrāʾ pada waktu itu merupakan puasa wajib. Maka ini menunjukkan bolehnya berniat puasa di siang hari.
Ia juga berkata: Karena itu adalah puasa yang belum tetap dalam tanggungan, maka tidak disyaratkan niat dari malam hari, sebagaimana asal hukumnya pada puasa ṭathawwuʿ.
Ia juga berkata: Karena ketika memberatkan bagi manusia untuk menggantungkan niat pada waktu masuknya puasa, yaitu terbitnya fajar, maka diberi keringanan untuk mendahulukannya sebelum fajar. Maka begitu pula, diperbolehkan bagi mereka menunda dari fajar karena alasan yang sama.
Dalil atas kebenaran pendapat kami adalah riwayat az-Zuhrī dari Sālim, dari ayahnya, dari Ḥafṣah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak sah puasa bagi orang yang tidak berniat dari malam hari.” Ini juga diriwayatkan oleh ‘Āisyah, Ummu Salamah, dan Ibnu ‘Umar RA. Dalam sebagian riwayat disebutkan: “Bagi siapa yang tidak yubayyit (berniat di malam hari),” dan dalam sebagian riwayat lain: “Bagi siapa yang tidak berniat sebelum fajar.” Maka hadits-hadits ini menunjukkan bahwa tidak dihukumi sah puasa kecuali setelah adanya niat sebelumnya dari malam hari.
Karena itu adalah puasa wajib harian, maka wajib menjadikan niat di malam hari sebagai syaratnya, sebagaimana pada qadha dan kaffārah. Dan karena itu adalah puasa yang sudah menjadi kewajiban dan tidak terdapat niat sebelumnya sebelum fajar, maka tidak sah, sebagaimana pada nadzar dan kaffārah.
Karena ia adalah ibadah yang dilaksanakan dan diqadha, maka wajib waktu niat pada pelaksanaannya sama dengan waktu niat pada qadhanya. Asalnya adalah seperti salat.
Adapun dalilnya dengan hadits tentang ‘Āsyūrāʾ dan penduduk ‘Awālī, maka jawabannya dari tiga sisi:
أَحَدُهَا: أَنَّ عَاشُورَاءَ لَمْ يَكُنْ فَرْضًا بَلْ كَانَ تَطَوُّعًا لِقَوْلِهِ فِيهِ صِيَامُ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَلَمْ يُحْفَظْ عَنْهُ غَيْرُ هَذَا، أَلَا تَرَاهُ لَمْ يَأْمُرْ مَنْ أَكَلَ بِالْقَضَاءِ مَعَ شِدَّةِ حَاجَتِهِمْ إِلَى إِثْبَاتِ الْحُكْمِ فِيهِ أَنْ لَوْ كَانَ وَاجِبًا فَدَلَّ تَرْكُهُ أَنْ يَأْمُرَ مَنْ أَكَلَ بِالْقَضَاءِ عَلَى أَنَّهُ كَانَ تَطَوُّعًا.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: هُوَ أَنَّا وَإِنْ سَلَّمْنَا لَهُمْ أَنَّهُ كَانَ فَرْضًا فَإِنَّا نَقُولُ: إِنَّ ابْتِدَاءَ فَرْضِهِمْ كَانَ مِنْ حِينَ بَلَغَهُمْ، وَأُنْفِذَ إِلَيْهِمْ وَمِنْ حِينِئِذٍ تَعَلَّقَتْ عَلَيْهِمُ الْعِبَادَةُ، فَلَمْ يُخَاطَبُوا بِمَا تَقَدَّمَ كَأَهْلِ قُبَاءٍ لَمَّا اسْتَدَارُوا فِي رُكُوعِهِمْ إِلَى الْكَعْبَةِ مِنْ حِينِ بَلَغَهُمْ سَقَطَ عَنْهُمْ حُكْمُ الِاسْتِقْبَالِ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ صَلَاتِهِمْ قَبْلَ عِلْمِهِمْ.
Salah satunya: bahwa puasa ‘Āsyūrā’ tidaklah fardu, melainkan sunnah, berdasarkan sabda beliau tentangnya: “Puasa ‘Āsyūrā’ adalah kafarat satu tahun.” Dan tidak diriwayatkan dari beliau selain itu. Tidakkah engkau melihat bahwa beliau tidak memerintahkan orang yang telah makan (di hari itu) untuk mengqadha’, padahal mereka sangat memerlukan penetapan hukum tentangnya. Seandainya itu wajib, niscaya beliau akan memerintahkan orang yang telah makan untuk mengqadha’, maka tidak diperintahkannya mereka mengqadha’ menunjukkan bahwa itu adalah ibadah tathawwu‘ (sunnah).
Jawaban kedua: meskipun kami menerima bahwa itu adalah wajib, maka kami katakan: awal kewajibannya dimulai sejak sampai kepada mereka (perintah tersebut) dan diberlakukan atas mereka. Sejak saat itulah ibadah tersebut menjadi terkait bagi mereka. Maka mereka tidak dibebani dengan apa yang telah berlalu sebelumnya—sebagaimana penduduk Qubā’ ketika mereka memutar arah rukuk mereka ke Ka‘bah sejak sampainya perintah kepada mereka, maka gugurlah kewajiban menghadap (arah lama) dari salat mereka yang telah dilakukan sebelum mereka mengetahui (perintah baru tersebut).
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ صَوْمَ عَاشُورَاءَ وَإِنْ كَانَ فَرْضًا فَقَدْ نُسِخَ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ وَإِذَا نُسِخَ الْحُكْمُ مِنْ شَيْءٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْحَقَ بِهِ شَيْءٌ قِيَاسًا، أَوِ اسْتِدْلَالًا وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى التَّطَوُّعِ بِعِلَّةِ أَنَّهُ غَيْرُ ثَابِتٍ فِي الذِّمَّةِ فَلَا يَصِحُّ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ صَوْمَ التَّطَوُّعِ يُجْعَلُ فِيهِ الصَّائِمُ مُتَقَرِّبًا بِبَعْضِ يَوْمٍ، وَذَلِكَ مِنْ وَقْتِ مَا يُؤَدّي عَلَى قَوْلِ بَعْضِ أَصْحَابِنَا، وَلَا يَحْصُلُ لَهُ مِثْلُ ذَلِكَ فِي الْوَاجِبِ.
Jawaban ketiga: Bahwa puasa ‘Āsyūrāʾ meskipun dulunya wajib, namun telah di-nasakh menurut kesepakatan para ulama. Jika suatu hukum telah di-nasakh, maka tidak boleh disamakan atau di-qiyās-kan dengannya, baik dalam bentuk analogi maupun istidlāl.
Adapun qiyās mereka terhadap puasa ṭathawwuʿ dengan alasan bahwa itu tidak tetap dalam tanggungan, maka itu tidak sah dari dua sisi:
Pertama: Bahwa dalam puasa ṭathawwuʿ, orang yang berpuasa bisa berniat untuk taqarrub dengan sebagian hari saja, yaitu sejak saat ia mulai melaksanakannya menurut sebagian pendapat dari kalangan sahabat kami (mazhab Syafi‘i). Dan hal seperti ini tidak terjadi pada puasa wajib.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِي الْوَاجِبِ يَلْزَمُهُ إِمْسَاكُ يَوْمِهِ أَجْمَعَ، وَلَا يَلْزَمُهُ مِثْلُ ذَلِكَ فِي التَّطَوُّعِ فَلِذَلِكَ مَا افْتَرَقَا فِي مَحَلِّ النِّيَّةِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّهُ لَمَّا شَقَّ عَلَى النَّاسِ إِنَاطَةُ النِّيَّةِ بِالْفِعْلِ وَرُخِّصَ لَهُمْ فِي التَّقَدُّمِ، فَكَذَلِكَ رُخِّصَ لَهُمْ فِي التَّأَخُّرِ فَغَلَطٌ بَيِّنٌ لِأَنَّ النِّيَّةَ، إِذَا جُوِّزَ تَقْدِيمُهَا عَلَى الْفِعْلِ طَرَأَ عَمَلُهَا عَلَى نِيَّةٍ سَابِقَةٍ، وَاعْتِقَادٍ مُقَرَّرٍ، وَإِذَا تَقَدَّمَ الْفِعْلُ عَلَى النِّيَّةِ، وَرَدَ الْفِعْلُ عَارِيًا عَنْهَا، فَلِذَلِكَ لَمْ يَصِحَّ تَأْخِيرُهَا فَأَمَّا مَالِكٌ فَاسْتَدَلَّ لِصِحَّةِ مَذْهَبِهِ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ ” فَنَفَى جِنْسَ الصِّيَامِ لِعَدَمِ النِّيَّةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَثْبُتَ جِنْسُهُ بِوُجُودِهَا، قَالَ: وَلِأَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ عِبَادَةٌ كَالصَّلَاةِ الْوَاحِدَةِ وَأَيَّامَهُ كَالرَّكَعَاتِ فِيهَا ثُمَّ كَانَتْ نِيَّةٌ وَاحِدَةٌ تُجْزِيهِ لِجَمِيعِ الصَّلَاةِ فَكَذَلِكَ يَقْتَضِي أَنَّهُ يُجْزِئُهُ نِيَّةٌ وَاحِدَةٌ لِجَمِيعِ الشَّهْرِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ هُوَ أَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي وَجَبَتِ النِّيَّةُ مِنْ أَجْلِهِ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مَوْجُودٌ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي، وَمَا يَلِيهِ إِلَى آخِرِ الشَّهْرِ، وَهُوَ أَنَّهُ صَوْمُ يَوْمٍ وَاجِبٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ شَرْطِهِ تَقَدُّمُ النِّيَّةِ مِنْ لَيْلَتِهِ كَالْيَوْمِ الْأَوَّلِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تُؤَدَّى وَتُقْضَى، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَدَدُ النِّيَّةِ فِي أَدَائِهَا كَعَدَدِ النِّيَّةِ فِي قَضَائِهَا أَصْلُهُ الصَّلَاةُ لِأَنَّ الْفَوَائِتَ مِنْهَا كَالْمُؤَقَّتَاتِ، فِي إِفْرَادِ كُلِّ صلاة منها بينة مُجَرَّدَةٍ، وَلِأَنَّهُ انْتِقَالٌ مِنْ فِطْرٍ إِلَى صَوْمٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ شَرْطِهِ نِيَّةٌ تَخُصُّهُ كَالْقَضَاءِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا وَجَبَ فِي الصَّوْمِ قَضَاءٌ وَجَبَ فِيهِ أَدَاءٌ كَالِامْتِنَاعِ عَنِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، فَأَمَّا مَا اسْتُدِلَّ بِهِ مِنْ قَوْلِهِ: ” لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ ” فَدَلِيلُنَا لِأَنَّهُ اعْتَبَرَ تَبْيِيتَ جِنْسِ الصِّيَامِ فِي جِنْسِ اللَّيْلِ فَكُلُّ يَوْمٍ مِنَ الصِّيَامِ يُبَيَّتُ فِي جِنْسٍ مِنَ اللَّيْلِ، فَوَجَبَ أَنْ يُبَيَّتَ بِمَا يُبَيَّتُ بِهِ الْأَوَّلُ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّهُ عِبَادَةٌ وَاحِدَةٌ كَالصَّلَاةِ فَغَلَطٌ بَلْ كُلُّ يوم منه عبادة، لأنه لا يتعدى فساده إلى غيره.
Yang kedua: bahwa dalam ibadah yang wajib, seseorang diwajibkan menahan diri (berpuasa) sepanjang hari, sedangkan dalam ibadah sunnah tidak diwajibkan seperti itu. Maka karena itulah keduanya berbeda dalam hal tempat niat.
Adapun ucapannya bahwa karena beratnya menggantungkan niat pada pelaksanaan, maka diberikan keringanan untuk mendahulukannya, sehingga semestinya boleh pula mengakhirkannya—maka ini adalah kesalahan yang nyata. Sebab, jika niat dibolehkan dilakukan sebelum pelaksanaan, maka amal itu terlaksana di atas niat yang mendahuluinya dan keyakinan yang telah ditetapkan. Sedangkan jika pelaksanaan didahulukan dari niat, maka amal itu terjadi tanpa niat, maka tidak sah mengakhirkan niat.
Adapun Mālik berdalil atas benarnya mazhabnya dengan sabda Rasulullah SAW: “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak berniat pada malam hari.” Maka beliau menafikan jenis puasa karena tidak adanya niat. Maka wajiblah ditetapkannya jenis puasa dengan keberadaan niat.
Ia berkata: dan karena bulan Ramadan adalah ibadah seperti satu salat, dan hari-harinya seperti rakaat-rakaat dalam salat tersebut. Maka sebagaimana satu niat mencukupi untuk seluruh rakaat salat, begitu pula mestinya satu niat mencukupi untuk seluruh bulan.
Dalilnya adalah bahwa makna yang menjadi sebab wajibnya niat pada hari pertama, juga terdapat pada hari kedua dan seterusnya sampai akhir bulan, yaitu bahwa masing-masingnya adalah puasa hari yang wajib. Maka wajib menjadi syaratnya niat yang mendahuluinya dari malam sebelumnya, sebagaimana hari pertama.
Dan karena ia adalah ibadah yang bisa dilakukan dan bisa diqadha’, maka wajib jumlah niat dalam pelaksanaannya sama dengan jumlah niat dalam qadha’-nya. Asalnya adalah salat, karena salat-salat yang tertinggal (fawāit) seperti salat pada waktunya, di mana masing-masingnya berdiri sendiri dengan niat tersendiri.
Dan karena puasa adalah perpindahan dari berbuka kepada puasa, maka wajib menjadi syaratnya adanya niat khusus untuknya sebagaimana dalam qadha’. Dan karena segala sesuatu yang diwajibkan dalam puasa qadha’ juga wajib dalam puasa yang dilakukan, seperti menahan diri dari makan dan minum.
Adapun dalil yang digunakan dari sabda beliau: “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak berniat pada malam hari,” maka itu adalah dalil kami, karena beliau menetapkan bahwa niat jenis puasa harus dilakukan pada jenis malam. Maka setiap hari dari puasa harus diniatkan pada jenis malamnya, dan wajib diniatkan dengan apa yang digunakan untuk meniatkan hari pertama.
Adapun ucapannya bahwa puasa Ramadan adalah satu ibadah seperti salat—maka itu adalah kekeliruan. Bahkan, setiap harinya adalah ibadah tersendiri, karena rusaknya satu hari tidak berdampak kepada hari yang lain.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا تَعْيِينُ النِّيَّةِ فَوَاجِبٌ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، وَفِي كَيْفِيَّةِ تَعْيِينِهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَنْوِي أَنْ يَصُومَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ، وَإِنْ لَمْ يَقُلْ فَرْضًا كَمَا يَنْوِي صَلَاةَ الظُّهْرِ لِأَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ لَا يَكُونُ إِلَّا فَرْضًا كَمَا أَنَّ صَلَاةَ الظُّهْرِ لَا تَكُونُ إِلَّا فَرِيضَةً.
PASAL
Adapun penentuan niat (ta‘yīn an-niyyah), maka itu wajib menurut Imam al-Syafi‘i. Dalam tata cara penentuannya terdapat dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa cukup ia berniat akan berpuasa satu hari dari bulan Ramadhan, meskipun tidak menyebutkan “fardhu”, sebagaimana seseorang berniat salat ẓuhr, karena bulan Ramadhan tidak terjadi kecuali puasa fardhu, sebagaimana salat ẓuhr tidak terjadi kecuali sebagai fardhu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ يَنْوِي أَنْ يصوم فرضاً من رمضان ولذلك فِي الظُّهْرِ يَنْوِي أَنْ يُصَلِّيَ فَرِيضَةَ الظُّهْرِ لَا يُجْزِئُهُ غَيْرُ هَذَا لِأَنَّ الْمُرَاهِقَ قَدْ يصلي الظهر، ويصوم رمضان، ولا يكونا لَهُ فَرْضًا فَافْتَقَرَتْ نِيَّتُهُ إِلَى تَعْيِينِ الْفَرِيضَةِ، فَأَمَّا إِنْ نَوَى فِي شَهْرِ رَمَضَانَ صَوْمًا مُطْلَقًا، لَمْ يُجْزِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ نَوَى نَذْرًا أَوْ كَفَّارَةً أَوْ تَطَوُّعًا لَمْ يُجْزِهِ عَنْ رَمَضَانَ، وَلَا عَمَّا نَوَاهُ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ مُقِيمًا انْصَرَفَتْ نِيَّتُهُ إِلَى رَمَضَانَ، وَإِنْ كَانَ مُسَافِرًا صَحَّ لَهُ مَا نَوَاهُ إِلَّا أَنْ يُطْلِقَ النِّيَّةَ، أَوْ يَنْوِيَ صَوْمَ التَّطَوُّعِ فَتَنْصَرِفُ نِيَّتُهُ إِلَى صَوْمِ رَمَضَانَ، وَسَوَّى أبو يوسف ومحمد حُكْمَ السَّفَرِ وَالْحَضَرِ وَصَرَفَا النِّيَّةَ فِيهِمَا إِلَى صَوْمِ رَمَضَانَ وَاسْتَدَلَّ مَنْ نَصَرَ قَوْلَ أَبِي حَنِيفَةَ بِأَنْ قَالَ: زَمَانُ رَمَضَانَ مُسْتَحَقٌّ لِلصَّوْمِ، وَالشَّيْءُ إِذَا تَعَيَّنَ زَمَانُ اسْتِحْقَاقِهِ لَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى تَعْيِينِ النِّيَّةِ لَهُ كَزَمَانِ الْفِطْرِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ النِّيَّةَ إِنَّمَا يُقْصَدُ بِهَا فِي الصَّوْمِ تَمْيِيزُ إِمْسَاكِ الْعِبَادَةِ مِنْ إِمْسَاكِ الْعَادَةِ وَالتَّعْيِينُ إِنَّمَا يُقْصَدُ بِهِ تَعْيِينُ الْفَرْضِ مِنَ النَّفْلِ، وَوَجَدْنَا صَوْمَ رَمَضَانَ لَا يَتَنَوَّعُ فَرْضًا وَنَفْلًا، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَفْتَقِرَ إِلَى تَعْيِينِ النِّيَّةِ لَهُ قَالُوا: وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الْحَجِّ فِيمَنْ أَحْرَمَ بِحَجَّةِ تَطَوُّعٍ وَعَلَيْهِ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ أَنَّهَا تَنْتَقِلُ إِلَى فَرْضِهِ، وَكَذَلِكَ فِي صَوْمِ رَمَضَانَ إِذَا نَوَاهُ عَنْ نَذْرٍ وَكَفَّارَةٍ، أَوْ تَطَوُّعٍ انتقلت بنته إِلَى فَرْضِهِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) {البقرة: 185) وَمَعْلُومٌ أَنَّ هَذِهِ الْهَاءَ كِنَايَةٌ عَنِ الشَّهْرِ وَعَائِدَةٌ إِلَيْهِ، فَيَصِيرُ تَقْدِيرُ الْكَلَامِ فَلْيَنْوِ الصِّيَامَ لَهُ، وَلَوْ أَرَادَ جِنْسَ الصَّوْمِ مُطْلَقًا، لَقَالَ: فَلْيَصُمْ فَلَمَّا قَيَّدَهُ بِالْهَاءِ دَلَّ عَلَى وُجُوبِ تَعْيِينِ النِّيَّةِ لَهُ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى ” فَصَرِيحُهُ أَنَّ لَهُ مَا يَنْوِيهِ وَدَلِيلُهُ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ مَا لَمْ يَنْوِهِ، وَهَذَا إِذَا نَوَى تَطَوُّعًا لَمْ يَنْوِ صَوْمَ رَمَضَانَ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ الِاحْتِسَابُ لَهُ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْوِهِ، وَكَانَ الظَّاهِرُ يُعْطِي حُصُولَ التَّطَوُّعِ لَهُ غَيْرَ أَنَّ دَلِيلَ الْإِجْمَاعِ أَبْطَلَهُ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَفْتَقِرُ قَضَاؤُهَا إِلَى تَعْيِينِ النِّيَّةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَفْتَقِرَ أَدَاؤُهَا إِلَى تَعْيِينِ النِّيَّةِ، أَصْلُهُ الصَّلَاةُ وَعَكْسُهُ الْحَجُّ، لِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ شَرْطًا فِي الصَّوْمِ قَضَاءٌ كَانَ شَرْطًا فِيهِ أَدَاءٌ كَأَصْلِ النِّيَّةِ، وَلِأَنَّ الْبَدَلَ مِنْ شَأْنِهِ أَنْ يُسَاوِيَ حَكَمَ مُبْدَلِهِ، أَوْ يَكُونَ أَخَفَّ مِنْهُ، وَأَضْعَفَ، فَأمَّا أَنْ يَكُونَ آكَدَ مِنْهُ وَأَقْوَى فَلَا، ثُمَّ كَانَ تَعْيِينُ النِّيَّةِ فِي الْقَضَاءِ وَاجِبًا، فَبِأَنْ يَكُونَ وَاجِبًا فِي الْأَدَاءِ أَوْلَى، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ زَمَانَ رَمَضَانَ مُسْتَحَقُّ الصِّيَامِ، فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى تَعْيِينِ النِّيَّةِ، قُلْنَا فاسد بمن بقي عليه من وقت الصلاة قَدْرُ مَا يَفْعَلُهَا فِيهِ فَقَدِ اسْتَحَقَّ زَمَانَ فِعْلِهَا وَوَجَبَ عَلَيْهِ تَعْيِينُ النِّيَّةِ فِيهَا ثُمَّ يَبْطُلُ بِالْمُسَافِرِ، لِأَنَّهُمْ يَقُولُونَ لَوْ نَوَى رَمَضَانَ عَنْ نَذْرٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَجَزَأَ عَمَّا نَوَاهُ ثُمَّ لَا يَلْزَمُهُ تَعْيِينُ النِّيَّةِ فِيهِ، فَعُلِمَ فَسَادُ هَذَا الْقَوْلِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ التَّعْيِينَ إِنَّمَا يُرَادُ لِمَا يَتَنَوَّعُ فَرْضًا وَنَفْلًا، فَيَفْسَدُ أَيْضًا بِمَنْ عَلَيْهِ صَلَاةٌ فَائِتَةٌ فَإِنَّهُ يَلْزَمُهُ تَعْيِينُ النِّيَّةِ لَهَا، وَإِنْ لَمْ تَتَنَوَّعْ تِلْكَ الصَّلَاةُ، وَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْحَجِّ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّنَا مُجْمِعُونَ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الصِّيَامِ وَالْحَجِّ، لِأَنَّ عِنْدَنَا أَنَّهُ إِذَا أَحْرَمَ بِحَجَّةِ التَّطَوُّعِ انْتَقَلَ إِلَى فَرْضِهِ، وَأَجْزَأَهُ وَعِنْدَ أبي حنيفة: لَا يَنْتَقِلُ عَمَّا نَوَاهُ وَعِنْدَ أبي حنيفة إِذَا نَوَى صِيَامَ التَّطَوُّعِ انْتَقَلَ إِلَى فَرْضِهِ وَأَجْزَأَهُ، وَعِنْدَنَا أَنَّهُ لَا يَنْتَقِلُ إِلَى فَرْضِهِ، وَلَا يُجْزِيهِ عَمَّا نَوَاهُ وَإِذَا وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا إِجْمَاعًا لَمْ يُجْزِهِ اعْتِبَارُ أَحَدِهِمَابِالْآخَرِ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحَجِّ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَفْتَقِرْ قَضَاؤُهُ إِلَى التَّعْيِينِ، لَمْ يَفْتَقِرْ أَدَاؤُهُ إِلَى التَّعْيِينِ، وَلَمَّا افْتَقَرَ قَضَاءُ الصَّوْمِ إِلَى التَّعْيِينِ افْتَقَرَ أَدَاؤُهُ إِلَى التَّعْيِينِ.
Dan wajah yang kedua: yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa ia berniat untuk berpuasa fardhu Ramadhan. Karena itu, dalam salat ẓuhr ia berniat untuk salat fardhu ẓuhr, tidak sah baginya selain itu. Karena seorang yang murāhiq bisa saja salat ẓuhr dan berpuasa Ramadhan namun keduanya belum menjadi fardhu baginya, maka niatnya membutuhkan penentuan fardhu.
Adapun jika ia berniat puasa secara mutlak di bulan Ramadhan, maka tidak sah. Demikian pula jika ia berniat nadzar atau kafārah atau taṭawwuʿ, maka tidak mencukupi dari puasa Ramadhan, juga tidak mencukupi dari apa yang ia niatkan.
Abū Ḥanīfah berpendapat: jika ia sedang muqīm, maka niatnya otomatis beralih ke puasa Ramadhan; dan jika ia sedang musāfir, maka sah baginya sesuai yang ia niatkan, kecuali jika ia berniat secara mutlak atau berniat puasa taṭawwuʿ, maka niatnya otomatis berpindah ke puasa Ramadhan.
Abū Yūsuf dan Muḥammad menyamakan antara kondisi safar dan hadhar, dan mereka memalingkan niat di keduanya kepada puasa Ramadhan.
Orang-orang yang membela pendapat Abū Ḥanīfah berdalil bahwa waktu Ramadhan telah ditetapkan sebagai waktu puasa, dan sesuatu jika telah ditetapkan waktunya untuk satu ibadah maka tidak butuh lagi penentuan niat, seperti waktu salat fajar.
Mereka juga berkata: tujuan niat dalam puasa adalah untuk membedakan antara menahan diri karena ibadah dan menahan diri karena kebiasaan, dan penentuan niat ditujukan untuk membedakan antara fardhu dan nafilah. Dan kami dapati bahwa puasa Ramadhan tidak beragam antara fardhu dan nafilah, maka tidak butuh penentuan niat.
Mereka juga berkata: al-Syāfiʿī mengatakan hal yang sama dalam ibadah ḥajj bagi seseorang yang beriḥrām untuk ḥajj taṭawwuʿ padahal ia masih memiliki kewajiban ḥajj al-islām, maka ibadahnya otomatis berpindah ke ḥajj fardhu. Begitu pula puasa di bulan Ramadhan jika ia niatkan untuk nadzar atau kafārah atau taṭawwuʿ, maka niatnya berpindah menjadi puasa fardhu.
Dalil yang menunjukkan sahnya pendapat kami adalah firman Allah Taʿālā: {fa-man syahida minkumusy-syahra falyashum-hu} (al-Baqarah: 185), diketahui bahwa dhamīr -hu kembali kepada al-syahru, maka makna kalimat menjadi: hendaklah ia berniat puasa untuk bulan itu.
Seandainya maksudnya adalah puasa secara umum, niscaya firman-Nya cukup dengan falyashum, namun karena dikaitkan dengan dhamīr menunjukkan wajibnya penentuan niat.
Juga karena sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Maka lafaznya jelas menunjukkan bahwa hanya mendapatkan apa yang ia niatkan, dan dalilnya menunjukkan bahwa tidak mendapatkan apa yang tidak ia niatkan.
Maka jika seseorang berniat puasa taṭawwuʿ, ia tidak berniat puasa Ramadhan, maka tidak boleh diperhitungkan baginya sesuatu yang tidak ia niatkan.
Secara lahir, seharusnya ia mendapatkan pahala taṭawwuʿ, namun dalil ijmāʿ membatalkannya. Karena ia adalah ibadah yang qadhā-nya butuh penentuan niat, maka wajib pula pelaksanaannya dengan penentuan niat. Asalnya seperti salat.
Kebalikannya adalah ḥajj, karena setiap hal yang menjadi syarat pada puasa qadhā’, maka itu pula syarat pada puasa adāʾ, seperti niat pokok.
Juga karena badal (pengganti) secara hukum mestinya setara atau lebih ringan dari yang diganti, tidak boleh lebih kuat dan lebih wajib dari yang diganti.
Karena itu, jika penentuan niat wajib dalam qadhāʾ, maka lebih utama ia wajib dalam adāʾ.
Adapun ucapan mereka bahwa waktu Ramadhan adalah waktu yang wajib diisi dengan puasa sehingga tidak perlu penentuan niat, maka ini rusak. Karena orang yang tersisa dari waktu salat hanya cukup untuk melakukan salat itu, tetap diwajibkan penentuan niat.
Kemudian ini juga rusak dalam kasus musāfir. Karena mereka berpendapat bahwa jika seseorang berniat puasa Ramadhan untuk nadzar atau kafārah maka dihitung dari yang ia niatkan, namun tidak wajib penentuan niat untuk Ramadhan. Maka jelaslah rusaknya pendapat ini.
Adapun ucapan mereka bahwa penentuan niat hanya ditujukan untuk ibadah yang beragam antara fardhu dan nafilah, maka ini juga rusak dengan analogi orang yang memiliki salat yang tertinggal. Ia wajib menentukan niat untuk salat tersebut, padahal salat itu tidak memiliki ragam.
Adapun yang mereka sebut tentang ḥajj maka tidak benar. Karena kami sepakat adanya perbedaan antara puasa dan ḥajj.
Menurut kami: jika seseorang beriḥrām untuk ḥajj taṭawwuʿ, lalu ternyata ia belum melaksanakan ḥajj al-islām, maka berpindahlah (pahalanya) ke ḥajj fardhu dan mencukupi.
Sedangkan menurut Abū Ḥanīfah: tidak berpindah dari apa yang ia niatkan.
Dan menurut Abū Ḥanīfah: jika seseorang berniat puasa taṭawwuʿ, maka berpindah ke puasa fardhu dan mencukupi.
Sedangkan menurut kami: tidak berpindah ke puasa fardhu, dan tidak mencukupi dari apa yang ia niatkan.
Maka jika telah nyata adanya perbedaan di antara keduanya secara ijmāʿ, maka tidak sah menyamakan keduanya.
Adapun alasan dalam masalah ḥajj adalah: karena qadhā’ ḥajj tidak butuh penentuan niat, maka pelaksanaannya pun tidak butuh penentuan niat.
Sedangkan qadhā’ puasa butuh penentuan niat, maka pelaksanaannya pun wajib dengan penentuan niat.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا وَقْتُ النِّيَّةِ فَهُوَ اللَّيْلُ مِنْ غروب الشمس إلى طلوع الفجر.
والثاني: لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا صيام لمن يُجْمِعِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ ” فَلَوْ نَوَى مَعَ طُلُوعِ الْفَجْرِ لَمْ يُجْزِهِ لِخُلُوِّ جُزْءٍ مِنَ النَّهَارِ عَنِ النِّيَّةِ، فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ أَجَزْتُمْ تقديم النية في الصوم ومنعتم من تقويمها فِي سَائِرِ الْعِبَادَاتِ؟ قُلْنَا: لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصَّوْمَ يَدْخُلُ عَلَيْهِ بِمُرُورِ الزَّمَانِ فَشَقَّ عَلَيْهِ مُرَاعَاةُ النِّيَّةِ فِي ابْتِدَائِهِ وَسَائِرُ الْعِبَادَاتِ يَدْخُلُ فِيهَا بِفِعْلِهِ، فَلَمْ تَلْحَقْهُ الْمَشَقَّةُ فِي مُرَاعَاةِ أَوَّلِهَا.
PASAL
Adapun waktu niat adalah malam hari, yaitu sejak terbenam matahari hingga terbit fajar.
Pendapat kedua: Berdasarkan sabda Nabi SAW: “Lā ṣiyāma liman lam yujmiʿiṣ-ṣiyāma mina al-layl” – “Tidak ada puasa bagi siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari.” Maka, jika seseorang berniat tepat pada saat terbit fajar, tidak sah puasanya, karena ada bagian dari siang hari yang kosong dari niat.
Jika dikatakan: Mengapa kalian membolehkan mendahulukan niat dalam puasa, tetapi tidak membolehkannya dalam ibadah-ibadah lain?
Kami jawab: Karena dua alasan:
Pertama: Bahwa puasa masuk ke dalamnya dengan sekadar berlalunya waktu, sehingga menyulitkan untuk memperhatikan niat tepat di awalnya. Sedangkan ibadah-ibadah lainnya masuk dengan perbuatan pelakunya, maka tidak terdapat kesulitan untuk memperhatikan awalnya.
وَالثَّانِي: أَنَّ ابْتِدَاءَ الصَّوْمِ طُلُوعُ الْفَجْرِ وَطُلُوعُهُ يَخْفَى عَلَى كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ مَعَ كَوْنِهِمْ نِيَامًا، فَلَوْ كُلِّفُوا مُرَاعَاتَهُ لَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ جَمِيعَ اللَّيْلِ مَحَلٌّ لِلنِّيَّةِ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِنْ نَوَى فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ صَحَّ صَوْمُهُ، وَإِنْ نَوَى فِي النِّصْفِ الْأَوَّلِ لَمْ يَصِحَّ قَالَ: لِأَنَّ النِّصْفَ الْأَخِيرَ مِنْ تَوَابِعِ النَّهَارِ الْمُسْتَقْبَلِ، وَالنِّصْفَ الْأَوَّلَ مِنْ تَوَابِعِ النَّهَارِ الْمَاضِي، أَلَا تَرَى أَنَّ أَذَانَ الصُّبْحِ، وَرَمْيَ الْجِمَارِ يَصِحُّ فِعْلُهُمَا فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ، وَلَا يَصِحُّ فِي النِّصْفِ الْأَوَّلِ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ غَلَطٌ كَمَا ذَكَرْنَا مِنْ عُمُومِ الْخَبَرِ، وَلِمَا فِي مُرَاعَاةِ نِصْفِ اللَّيْلِ مِنَ الْمَشَقَّةِ، فَأَمَّا إِذَا نَوَى الصَّوْمَ ثُمَّ أَكَلَ أَوْ جَامَعَ فَهُوَ عَلَى نِيَّتِهِ، وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: عَلَيْهِ تَجْدِيدُ النِّيَّةِ بَعْدَ الْأَكْلِ وَالْجِمَاعِ وَكَذَلِكَ لَوْ نَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ قَبْلَ الْفَجْرِ، لَزِمَهُ تَجْدِيدُ النِّيَّةِ قَالَ لِأَنَّهُ بِالْأَكْلِ وَالْجِمَاعِ قَدْ خَالَفَ نِيَّتَهُ، وَمَا عَقَدَهُ مِنَ الصَّوْمِ عَلَى نَفْسِهِ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ: غَلَطٌ مَذْهَبًا وَحِجَاجًا، أَمَّا الْمَذْهَبُ: فَلِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ: وَلَوْ طَلَعَ الْفَجْرُ عَلَيْهِ وَهُوَ مُجَامِعٌ أَخْرَجَ مَكَانَهُ، وَصَحَّ صَوْمُهُ فَلَوْ لَزِمَهُ تَجْدِيدُ النِّيَّةِ لَبَطَلَ صَوْمُهُ، لِأَنَّ نِيَّتَهُ بَعْدَ الْإِخْرَاجِ تُصَادِفُ أَقَلَّ النَّهَارِ وَأَمَّا الْحِجَاجُ فَعُمُومُ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ ” وَلِأَنَّهُ مُفْطِرٌ فِي اللَّيْلِ، وَإِنْ لَمْ يَأْكُلْ فَتَرْكُهُ الْأَكْلَ وَالْجِمَاعَ مَعَ كَوْنِهِ مُفْطِرًا غَيْرُ مُفِيدٍ.
PASAL
Alasan kedua: Awal puasa adalah terbit fajar, dan terbitnya sering samar bagi banyak orang, sementara mereka dalam keadaan tidur. Maka, bila mereka dibebani untuk memperhatikan (niat) tepat saat itu, niscaya akan menyulitkan mereka. Maka, apabila telah ditetapkan bahwa seluruh malam adalah waktu niat, tidak ada beda antara awal malam dan akhirnya.
Sebagian sahabat kami berkata: Jika ia berniat pada separuh malam yang terakhir, sah puasanya. Namun jika ia berniat pada separuh malam yang pertama, tidak sah. Ia berkata: Karena separuh malam yang terakhir adalah bagian dari siang hari yang akan datang, sedangkan separuh malam yang pertama adalah bagian dari siang hari yang telah lalu. Tidakkah engkau melihat bahwa azan subuh dan lempar jumrah sah dilakukan pada separuh malam yang terakhir, dan tidak sah dilakukan pada separuh malam yang pertama?
Namun pendapat ini keliru, sebagaimana telah kami sebutkan berdasarkan keumuman hadits, dan karena memperhatikan (syarat) separuh malam itu menimbulkan kesulitan.
Adapun jika seseorang telah berniat puasa, lalu makan atau berjima‘, maka ia tetap berada di atas niatnya. Abu Ishaq berkata: Wajib baginya memperbarui niat setelah makan dan jima‘. Demikian pula, jika ia tidur lalu bangun sebelum fajar, maka ia wajib memperbarui niat. Ia berkata: Karena dengan makan dan jima‘ ia telah menyelisihi niat dan ikatan puasanya atas dirinya.
Pendapat Abu Ishaq ini salah, baik secara madzhab maupun secara argumentasi.
Adapun dari sisi madzhab: karena Imam al-Syafi‘i berkata, “Jika terbit fajar atas seseorang dalam keadaan sedang berjima‘, lalu ia mengeluarkannya (dzakarnya), maka puasanya sah.” Maka seandainya ia wajib memperbarui niat, niscaya batal puasanya. Karena niat yang dilakukan setelah mengeluarkan (dzakar) hanya mengenai sebagian kecil siang hari.
Adapun dari sisi argumentasi: adalah keumuman sabda Nabi SAW: “Lā ṣiyāma liman lam yubayyitiṣ-ṣiyāma mina al-layl” – “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak berniat puasa di malam hari.” Dan karena dia adalah orang yang boleh berbuka di malam hari, walaupun ia tidak makan. Maka meninggalkan makan dan jima‘ dalam keadaan dia mufṭir (boleh berbuka) tidaklah memberikan dampak apa-apa.
فَصْلٌ
: وَلَوْ نَوَى مِنَ اللَّيْلِ صوم الغد، إن شاء زيداً، وَخَفَّ عَلَيْهِ وَطَابَ لَهُ، فَلَا صَوْمَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ زَيْدٌ، وَخَفَّ عَلَيْهِ لِأَنَّ النِّيَّةَ هِيَ قَصْدُ الْعَمَلِ بِاعْتِقَادٍ خَالِصٍ، وَفِي تَعْلِيقِ النِّيَّةِ بِمَشِيئَةِ زَيْدٍ عُدُولٌ عَنْ مُقْتَضَى الْعِبَادَةِ، وَلَوْ نَوَى صَوْمَ الْغَدِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَالصَّحِيحُ أَنْ لَا صَوْمَ لَهُ، لِأَنَّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ اسْتِثْنَاءٌ يَرْفَعُ حُكْمَ مَا نِيطَ بِهِ، وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ بِأَنَّ صَوْمَهُ جَائِزٌ لعلتين مدخولتين.
أحدهما: أَنَّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ، وَالنِّيَّةُ اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَالْأَقْوَالُ لَا تُؤَثِّرُ فِي اعْتِقَادَاتِ الْقُلُوبِ وَهَذَا فَاسِدٌ بِمَشِيئَةِ زَيْدٍ.
وَالثَّانِيَةُ: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى شَاءَ صَوْمَهُ وَهَذَا فَاسِدٌ بِالْعِتْقِ، فَأَمَّا إِذَا أَطْلَقَ النِّيَّةَ ثُمَّ شَكَّ هَلْ أَوْقَعَهَا قَبْلَ الْفَجْرِ أَوْ بَعْدَهُ؟ لَمْ يُجْزِهِ وَعَلَيْهِ إِعَادَةُ صَوْمِهِ لِأَنَّا عَلَى يَقِينٍ مِنْ حُدُوثِ نِيَّةٍ وَفِي شَكٍّ مِنْ تقدمها.
PASAL
Jika seseorang berniat di malam hari untuk berpuasa esok hari, jika Zaid menghendaki dan ia merasa ringan dan menyenangkan, maka tidak sah puasanya, meskipun Zaid menghendaki dan merasa ringan. Karena niat adalah maksud melakukan amal dengan keyakinan yang tulus, dan menggantungkan niat pada kehendak Zaid merupakan penyimpangan dari tuntutan ibadah.
Dan jika ia berniat puasa esok hari dengan ucapan “insyāʾ Allāh”, maka pendapat yang ṣaḥīḥ adalah bahwa puasanya tidak sah. Karena “insyāʾ Allāh” merupakan bentuk pengecualian yang membatalkan ketetapan dari hal yang digantungkan padanya. Namun ada pendapat lain bahwa puasanya sah karena dua alasan yang tertolak:
Pertama: bahwa “insyāʾ Allāh” adalah ucapan dengan lisan, sedangkan niat adalah keyakinan dalam hati, dan ucapan tidak berpengaruh pada keyakinan hati. Ini tertolak dengan kasus kehendak Zaid.
Kedua: bahwa Allah Taʿālā telah menghendaki puasanya. Ini tertolak dengan contoh pembebasan budak (ʿitq).
Adapun jika seseorang membulatkan niat lalu ia ragu apakah ia melakukannya sebelum fajar atau sesudahnya, maka tidak sah puasanya dan wajib mengqadhanya. Karena kita yakin telah terjadi niat, tetapi ragu apakah ia dilakukan sebelum fajar atau sesudahnya.
فصل
: إذا أصح نَاوِيًا ثُمَّ اعْتَقَدَ تَرْكَ صَوْمِهِ، وَفَطِرَ يَوْمَهُ بِأَكْلٍ أَوْ جِمَاعٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى صَوْمِهِ مَا لَمْ يَأْكُلْ أَوْ يُجَامِعْ لِأَنَّ الصَّوْمَ إِمْسَاكٌ طَرَأَ عَلَى نِيَّةٍ سَابِقَةٍ، فلما لما يُفَارِقِ الْإِمْسَاكَ فَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ صَوْمَهُ قَدْ بَطَلَ كَمَا تُبْطُلُ صَلَاتُهُ، إِذَا اعْتَقَدَ تَرْكَهَا، وَالْخُرُوجَ مِنْهَا، فَعَلَى هَذَا فِي زَمَانِ فِطْرِهِ، وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: فِي الْحَالِ.
وَالثَّانِي: حَتَّى يَمْضِيَ عَلَيْهِ مِنَ الزَّمَانِ قَدْرُ الْأَكْلِ وَالْجِمَاعِ، فَأَمَّا إِذَا نَوَى أَنْ يُفْطِرَ بَعْدَ سَاعَةٍ لَمْ يَكُنْ مُفْطِرًا، وَكَانَ عَلَى صَوْمِهِ وَلَوْ نَوَى أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُصَلٍّ بعد ساعة احتمل وجهين.
PASAL
Jika seseorang memasuki pagi hari dalam keadaan berniat puasa, kemudian ia berkeyakinan untuk membatalkan puasanya dan ia berbuka pada hari itu dengan makan atau jima‘, maka ada dua pendapat:
Pertama: Bahwa ia tetap berada dalam puasanya selama belum makan atau berjima‘, karena puasa itu adalah imsāk (menahan diri) yang bersambung dengan niat sebelumnya, maka selama imsāk itu belum ditinggalkan, ia masih berada dalam puasanya.
Kedua: Bahwa puasanya telah batal, sebagaimana salat batal apabila ia berniat meninggalkannya dan keluar darinya. Berdasarkan pendapat ini, maka dalam penentuan waktu berbukanya ada dua pendapat:
Pertama: Batalnya terjadi seketika saat itu juga.
Kedua: Tidak batal kecuali setelah berlalu dari waktu itu kadar yang cukup untuk makan atau jima‘.
Adapun jika ia berniat akan berbuka setelah satu jam, maka ia belum dianggap berbuka, dan ia masih berada di atas puasanya. Dan seandainya ia berniat untuk tidak salat setelah satu jam, maka itu pun diperselisihkan dalam dua pendapat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فأما فِي التَطَوُّعِ فَلَا بَأْسَ إِنْ أَصْبَحَ وَلَمْ يَطْعَمْ شَيْئًا أَنْ يَنْوِيَ الصَّوْمَ قَبْلَ الزَّوَالِ واحتج في ذَلِكَ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان يدخل على أزواجه فيقول ” هل من غداءٍ؟ ” فإن قالوا لا قال ” إني صائمٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Adapun dalam puasa taṭawwuʿ, maka tidak mengapa jika seseorang masuk waktu pagi dan belum makan apa pun, lalu ia berniat puasa sebelum zawāl (tergelincir matahari).”
Ia berdalil dalam hal ini dengan hadis bahwa Rasulullah SAW biasa masuk ke rumah istri-istrinya dan berkata: “Apakah ada makanan pagi?” Jika mereka menjawab tidak ada, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau (al-Syāfiʿī) katakan.
لَا بَأْسَ أن ينوي لصوم التطوع نهارا قبل الزوال، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ التَّطَوُّعُ كَالْفَرْضِ فِي وُجُوبِ النِّيَّةِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ ” قَالُوا: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَتَنَوَّعُ فَرْضًا وَنَفْلًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَحَلُّ النِّيَّةِ فِي نَفْلِهَا، كَمَحَلِّ النِّيَّةِ فِي فَرْضِهَا أَصْلُهُ الصَّلَاةُ وَدَلِيلُنَا فِي ذَلِكَ حَدِيثُ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَنفَذَ إِلَى أَهْلِ الْعَوَالِي فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ مَنْ أَكَلَ فَلْيُمْسِكْ بَقِيَّةَ نَهَارِهِ وَمَنْ لَمْ يأكل فليقم ” وَمَعْلُومٌ أَنَّ عَاشُورَاءَ كَانَ نَافِلَةً، وَأَنَّهُ أَمَرَهُمْ بِصَوْمِهِ نَهَارًا.
Tidak mengapa berniat puasa ṭathawwuʿ (sunnah) di siang hari sebelum zawāl, dan ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah.
Adapun Mālik dan Dāwūd berkata: Puasa sunnah itu seperti puasa fardhu dalam wajibnya niat, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Lā ṣiyāma liman lam yujmiʿiṣ-ṣiyāma mina al-layl” – “Tidak ada puasa bagi orang yang tidak berniat puasa dari malam hari.”
Mereka berkata: Karena puasa adalah ibadah yang ada bentuk fardhu dan sunnah, maka wajib menjadikan waktu niat dalam puasa sunnah sama dengan waktu niat dalam puasa fardhu. Asalnya adalah salat.
Adapun dalil kami dalam hal ini adalah hadits dari Anas bahwa Nabi SAW mengutus utusan ke penduduk ‘Awālī pada hari ‘Āsyūrāʾ: “Barang siapa telah makan maka hendaknya ia menahan sisa harinya, dan barang siapa belum makan maka hendaknya ia terus berpuasa.” Dan diketahui bahwa ‘Āsyūrāʾ saat itu adalah puasa sunnah, dan beliau memerintahkan mereka berpuasa pada siang harinya.
رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ ” كَانَ يَدْخُلُ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَيَقُولُ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاءٍ فَإِنْ قُلْنَا: لَا قَالَ: إِنِّي صَائِمٌ “.
وَرُوِيَ ” إِنِّي إِذًا صائمٌ “.
وَالدَّلَالَةُ فِي هَذَا الخبر في ثلاثة أوجه:
أحدهما: أَنَّ الْتِمَاسَهُ الطَّعَامَ لِيَأْكُلَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ كَانَ مُفْطِرًا إِذْ لَوْ كَانَ صَائِمًا مَا الْتَمَسَ طَعَامًا وَلَا أَهَمَّ بِالْإِفْطَارِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا الْتَمَسَهُ لِوَقْتِ الْإِفْطَارِ لَا لِلْأَكْلِ، فِي الْحَالِ، قُلْنَا: لَوْ كَانَ هَذَا مُرَادَهُ لَقَالَ هَلْ مِنْ عَشَاءٍ، فَلَمَّا قَالَ: هَلْ مِنْ غَدَاءٍ عُلِمَ أَنَّهُ أَرَادَ أَكْلَهُ فِي الْحَالِ فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ لِيَعْلَمَ خَبَرَ مَنْزِلِهِ، قُلْنَا: هَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ ظَاهِرَ قوله ” هل عندكم من غذاءٍ أتغذى بِهِ ” يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمْ لَمَّا قَالُوا: لَا قَالَ: ” إِنِّي صَائِمٌ ” فَعَقَّبَ ذَلِكَ بِمَا دَلَّ عَلَى مُرَادِهِ عَلَى أَنَّا رَوَيْنَا أَنَّهُ كَانَ إذا أحضروا الغذاء أَكَلَ، وَإِنْ لَمْ يُحْضِرُوهُ قَالَ إِنِّي صَائِمٌ.
Diriwayatkan dari ‘Āʾisyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW biasa masuk menemuiku lalu berkata: ‘Apakah kalian punya makanan pagi?’ Jika kami menjawab: ‘Tidak ada,’ maka beliau berkata: ‘Kalau begitu aku sedang puasa.’”
Dan diriwayatkan pula: “Kalau begitu aku berpuasa.”
Petunjuk dari hadis ini terdapat dalam tiga sisi:
Pertama: bahwa pencarian beliau terhadap makanan untuk dimakan menunjukkan bahwa beliau saat itu tidak sedang berpuasa. Sebab jika beliau sedang berpuasa, tentu tidak akan mencari makanan atau berniat untuk berbuka.
Jika dikatakan: beliau mencarinya bukan untuk makan saat itu, tapi untuk waktu berbuka, maka kami katakan: seandainya itu yang beliau maksud, tentu beliau akan berkata: “Apakah ada makanan malam?” Maka ketika beliau berkata: “Apakah ada makanan pagi?” diketahui bahwa maksudnya adalah untuk dimakan saat itu juga.
Jika dikatakan: beliau hanya bertanya tentang itu untuk mengetahui keadaan rumahnya, maka kami katakan: ini keliru. Karena zahir ucapan beliau “Apakah ada makanan pagi agar aku sarapan dengannya” menunjukkan bahwa ketika mereka menjawab tidak ada, beliau pun bersabda: “Aku berpuasa,” maka ucapan beliau itu datang setelahnya sebagai penjelasan atas maksud beliau.
Dan kami meriwayatkan bahwa jika mereka menghadirkan makanan pagi, beliau akan memakannya, dan jika mereka tidak menghadirkannya, beliau bersabda: “Aku berpuasa.”
وَالدَّلِيلُ الثَّانِي: مِنَ الْخَبَرِ أَنَّهُ لَمَّا أَخْبَرَ بِصِيَامِهِ عِنْدَ فَقْدِ الطَّعَامِ دَلَّ عَلَى حُدُوثِ نِيَّتِهِ، وَأَنَّ صَوْمَهُ إِنَّمَا كَانَ لِفَقْدِهِ لِيَكُونَ الْحُكْمُ مَحْمُولًا عَلَى سُنَّتِهِ.
وَالدَّلِيلُ الثَّالِثُ مِنْهُ: قَوْلُهُ ” إِنِّي إِذًا صَائِمٌ ” فَمَعْلُومٌ أَنَّ إِذًا للابتداء والاستثناء لا لِمَا مَضَى، وَتَقَدَّمَ وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ أَيْضًا مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى: أَنَّ الصَّوْمَ عِبَادَةٌ يَتَنَوَّعُ جِنْسُهَا فَرْضًا وَنَفْلًا وَيُخْرَجُ مِنْهَا بِالْفَسَادِ، فَوَجَبَ أن يخالف نفلها فرضها في تَرْكِ التَّوَجُّهِ، وَالْقِيَامِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ الْحَجُّ لِأَنَّهُ لَا يُخْرَجُ مِنْهُ بِالْفَسَادِ، فَإِنْ قِيلَ: قَدْ يَخْتَلِفُ فَرْضُ الصِّيَامِ ونفله في كفارة الوطئ قُلْنَا: لَيْسَتِ الْكَفَّارَةُ مِنْ أَفْعَالِ الصَّوْمِ وَإِنَّمَا هِيَ مُوجِبَاتُ إِفْسَادِهِ عَلَى أَنَّ الْكَفَّارَةَ إِنَّمَا تلزم لجرمة رَمَضَانَ لَا لِفَرْضِ الصِّيَامِ، فَأَمَّا تَعَلُّقُهُمْ بِعُمُومِ الْخَبَرِ فَمَخْصُوصٌ بِمَا ذَكَرْنَاهُ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ فَالْمَعْنَى فِيهَا مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْفَرْضَ مِنْهَا يُخَالِفُ النَّفْلَ مِنْ وُجُوهٍ، فَجَازَ أَنْ يَتَّفِقَا فِي النِّيَّةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الصِّيَامُ عَلَى أَنَّ نِيَّةَ الصِّيَامِ لَمَّا جَازَ تَقَدُّمُهَا جَازَ تَأْخِيرُهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الصَّلَاةُ.
Dalil kedua: Dari hadits juga, bahwa ketika Nabi SAW mengabarkan keinginannya untuk berpuasa karena tidak ditemukannya makanan, hal itu menunjukkan bahwa niat puasa beliau terjadi setelah itu, dan bahwa puasanya itu disebabkan karena tidak adanya makanan. Maka, hukum tersebut ditetapkan berdasarkan sunah beliau.
Dalil ketiga: Sabda beliau SAW: “Innī idzan ṣāʾim” – “Kalau begitu aku berpuasa.” Diketahui bahwa kata idzan (kalau begitu) menunjukkan permulaan dan pengecualian, bukan untuk sesuatu yang telah lalu atau sudah berjalan.
Hal ini juga dikuatkan secara maknawi: Bahwa puasa adalah ibadah yang jenisnya terbagi antara fardhu dan sunnah, dan dapat batal karena suatu sebab. Maka, sudah seharusnya bahwa puasa sunnah berbeda dari fardhu dalam hal kewajiban menghadirkan niat dan memulai puasa dengan kesiapan yang penuh. Berbeda dengan haji, karena haji tidak batal dengan sebab kebatalan di tengah jalan.
Jika dikatakan: Bukankah antara puasa fardhu dan sunnah sudah berbeda dalam hal kewajiban kaffarah jika melakukan jima‘?
Kami jawab: Kaffarah bukan bagian dari amalan puasa, tetapi merupakan akibat dari merusaknya. Selain itu, kaffarah itu wajib karena kehormatan bulan Ramadhan, bukan karena kefardhuan puasanya itu sendiri.
Adapun dalil mereka dari keumuman hadits, maka telah kami khususkan dengan apa yang kami sebutkan. Dan qiyās mereka terhadap salat pun dapat dijawab: Karena dalam salat, antara fardhu dan sunnah memang berbeda dalam banyak sisi, maka wajar jika keduanya disamakan dalam hal niat. Tapi tidak demikian halnya dengan puasa.
Lagi pula, niat dalam puasa telah dibolehkan untuk didahulukan, maka boleh pula untuk diakhirkan. Berbeda dengan salat yang tidak demikian.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ جَوَازُ النِّيَّةِ فِي صَوْمِ التَّطَوُّعِ نَهَارًا قَبْلَ الزَّوَالِ، فَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَنْوِيَ فِيهِ بَعْدَ الزَّوَالِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ ظَاهِرُ مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ وَالرَّبِيعُ، أَنَّهُ لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي نِيَّةِ الصِّيَامِ أَنَّ مَحَلَّهَا اللَّيْلُ لِلْخَبَرِ فِي ذَلِكَ، ثُمَّ قام الدليل على جوازها قبل الزوال، وتبقى مَا بَعْدَهُ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ مَا نَقَلَهُ حَرْمَلَةُ جَوَازُهُ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ اللَّيْلُ مَحَلًا لِلنِّيَّةِ فِي
صَوْمِ الْفَرِيضَةِ، وَاسْتَوَى حُكْمُ جَمِيعِهِ ثُمَّ كَانَ النَّهَارُ مَحَلًا لِلنِّيَّةِ فِي صَوْمِ التَّطَوُّعِ، وَجَبَ أن يستوي حكم جميعه.
PASAL
Apabila telah ditetapkan bolehnya niat dalam puasa taṭawwuʿ di siang hari sebelum zawāl (tergelincir matahari), maka apakah boleh berniat setelah zawāl atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: yaitu yang zahir dari riwayat al-Muzanī dan ar-Rabī‘, bahwa tidak boleh, karena asal tempat niat puasa adalah malam hari berdasarkan hadis dalam hal itu. Kemudian ada dalil yang membolehkan sebelum zawāl, dan yang setelah zawāl tetap pada hukum asalnya (yaitu tidak boleh).
Pendapat kedua: yaitu yang zahir dari riwayat Ḥarmalah, bahwa boleh, karena ketika malam hari menjadi tempat niat dalam puasa fardhu dan seluruh malam hukumnya sama, maka siang hari yang menjadi tempat niat dalam puasa taṭawwuʿ juga seluruhnya harus dihukumi sama.
فصل
: فإذا نويي صَوْمَ التَّطَوُّعِ نَهَارًا عَلَى الْوَجْهِ الْجَائِزِ فَهَلْ يُحْتَسَبُ لَهُ صَوْمُ جَمِيعِ الْيَوْمِ وَيُحْكَمُ لَهُ بِثَوَابِ سَائِرِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا يُحْتَسَبُ لَهُ صَوْمُ جَمِيعِ الْيَوْمِ، وَيُحْكَمُ لَهُ بِثَوَابِ سَائِرِهِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ يُحْتَسَبُ لَهُ مِنْ وَقْتِ نِيَّتِهِ، وَمَا بَعْدَهُ دُونَ مَا تَقَدَّمَهُ وَيُحْكَمُ لَهُ مِنَ الثَّوَابِ بِقَدْرِ ذَلِكَ، قَالَ: لِأَنَّ الْعِبَادَاتِ كُلَّهَا مَبْنِيَّةٌ عَلَى إِثْبَاتِ النِّيَّةِ فِي ابْتِدَائِهَا فَلَوْ حُكِمَ لَهُ بِصَوْمِ جَمِيعِ الْيَوْمِ، إِذَا نَوَى فِي بَعْضِهِ لَتَأَخَّرَتْ نِيَّتُهُ عَنِ ابْتِدَاءِ الْعِبَادَةِ، وَذَلِكَ خِلَافُ الْأُصُولِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ غَلَطٌ وَالْوَجْهُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ الصَّوْمَ لَا يَتَبَعَّضُ، وَيُمْتَنَعُ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ صَائِمًا فِي بَعْضِ نَهَارِهِ مُفْطِرًا فِي بَعْضِهِ، لِأَنَّهُ لَوْ أَكَلَ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ ثُمَّ نَوَى أَنْ يَصُومَ بَقِيَّةَ نَهَارِهِ، لَمْ يَصِحَّ لِامْتِنَاعِ تَبْعِيضِ الصَّوْمِ وَتَفْرِيقِ الْيَوْمِ، وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ مُمْتَنَعًا، وَقَدْ حُكِمَ لَهُ بِصَوْمِ بَعْضِ الْيَوْمِ وَجَبَ أَنْ يُحْكَمَ لَهُ بِجَمِيعِهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ زَمَانَ اللَّيْلِ لَمَّا كَانَ مُنَافِيًا لِلصَّوْمِ صَحَّ فِيهِ اجْتِمَاعُ الْأَكْلِ، وَالنِّيَّةِ لِصَوْمِ الْغَدِ، وَلَمَّا كَانَ زَمَانُ النَّهَارِ غَيْرَ مُنَافٍ لِلصَّوْمِ، لَمْ يَصِحَّ فِيهِ اجْتِمَاعُ الْأَدَاءِ، وَالنِّيَّةِ لِصَوْمِ مَا بَعْدُ وَلَيْسَ يُمْكِنُ أَنْ يُدْرِكَ الرَّجُلُ بَعْضَ الْعِبَادَةِ وَيُحْكَمَ لَهُ بِإِدْرَاكِ جَمِيعِهَا، وَثَوَابِ سَائِرِهَا كَالْمُصَلِّي يُدْرِكُ الْإِمَامَ رَاكِعًا فَيُحْتَسَبُ لَهُ بِجَمِيعِ الرَّكْعَةِ، وَثَوَابِ سَائِرِهَا، وَإِنْ كَانَ مُدْرِكًا لِبَعْضِهَا، وَكَذَلِكَ الصِّيَامُ والله أعلم.
PASAL
Jika seseorang berniat puasa ṭathawwuʿ di siang hari dengan cara yang dibolehkan, maka apakah puasanya dihitung untuk seluruh hari dan apakah ia mendapatkan pahala untuk keseluruhan hari tersebut atau tidak? Maka terdapat dua pendapat:
Pertama: Dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat kami, puasanya dihitung untuk seluruh hari dan ia mendapatkan pahala untuk seluruhnya.
Kedua: Dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, yaitu bahwa puasanya dihitung dari saat ia berniat dan sesudahnya, bukan untuk waktu sebelumnya. Maka pahalanya pun diberikan sesuai kadar itu. Ia berkata: Karena seluruh ibadah dibangun di atas penetapan niat di awal pelaksanaannya. Maka, jika seseorang dinyatakan sah puasanya untuk seluruh hari padahal ia baru berniat di tengah hari, berarti ia telah mengakhirkan niat dari awal ibadah, dan ini menyelisihi prinsip dasar.
Namun, pendapat Abū Isḥāq ini adalah kekeliruan, dan pendapat pertama lebih sahih. Karena puasa tidak dapat dipenggal-penggal, dan tidak mungkin seseorang dinyatakan sebagai orang yang berpuasa di sebagian siang dan berbuka di sebagian lainnya. Karena jika seseorang makan di awal siang lalu berniat berpuasa untuk sisa harinya, maka tidak sah, karena tidak mungkin memecah puasa dan memisahkan siang hari.
Dan jika hal itu mustahil, sementara sudah dihukumi sah puasanya untuk sebagian hari, maka wajib dihukumi sah untuk seluruhnya. Tidakkah engkau melihat bahwa waktu malam — karena bertentangan dengan puasa — dibolehkan berkumpul padanya antara makan dan niat untuk puasa esok harinya? Dan ketika waktu siang tidak bertentangan dengan puasa, maka tidak sah jika berkumpul padanya pelaksanaan puasa dan niat untuk puasa setelahnya.
Tidak mungkin seseorang mendapatkan sebagian dari ibadah lalu dihukumi mendapatkan seluruhnya dan pahala semua bagiannya, kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Seperti seseorang yang mendapatkan imam dalam keadaan rukuk, maka ia dihitung mendapatkan seluruh rakaat dan pahala seluruhnya, meskipun ia hanya mendapatkan sebagian. Maka demikian pula halnya dengan puasa. Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ صَوْمُ شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ أَنَّ الْهِلَالَ قَدْ كَانَ أَوْ يَسْتَكْمِلَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ فَيَعْلَمَ أَنَّ الْحَادِيَ وَالثَّلَاثِينَ مِنْ رمضان لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لا تصوموا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين يوماً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Tidak wajib atas seseorang untuk berpuasa bulan Ramadhan sampai ia benar-benar yakin bahwa hilal (Ramadhan) telah tampak, atau ia menyempurnakan bulan Sya‘bān menjadi tiga puluh hari, sehingga ia mengetahui bahwa hari ketiga puluh itu adalah dari bulan Ramadhan,” berdasarkan sabda Nabi SAW: “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya (hilal), dan jika kalian tertutup oleh mendung maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau (al-Syāfi‘ī) katakan.
أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِصِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ، إِذَا عُلِمَ دُخُولُهُ، وَالْعِلْمُ بِدُخُولِهِ يَكُونُ بِأَحَدِ شَيْئَيْنِ إِمَّا رُؤْيَةُ الْهِلَالِ، أَوِ اسْتِكْمَالُ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يُجْرِ فِي الْعَادَةِ أَنْ يَكُونَ الشَّهْرُ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، وَلَا أَقَلَّ مِنْ تِسْعَةٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا، فَإِذَا وَقَعَ الْإِشْكَالُ بَعْدَ التَّاسِعِ وَالْعِشْرِينَ فِي عَدَدِ الشَّهْرِ عمل على اليقين وهو الثَّلَاثِينَ، وَأَطْرَحَ الشَّكَّ، وَحُكِيَ عَنْ بَعْضِ الشِّيعَةِ أَنَّهُمْ عَمِلُوا فِي صَوْمِهِمْ عَلَى الْعَدَدِ وَأَسْقَطُوا حُكْمَ الْأَهِلَّةِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” شهرا النسك لَا يَنْقُصَانِ ” يَعْنِي شَهْرَ الصِّيَامِ، وَشَهْرَ الْحَجِّ، وَبِمَا رُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” يَوْمُ صَوْمِكُمْ يَوْمُ نَحْرِكُمْ ” وَحُكِيَ عَنْ آخَرِينَ مِنْهُمْ أَنَّهُمْ عَمِلُوا فِي صَوْمِهِمْ عَلَى النُّجُومِ وَمَا تُوجِبُهُ أَحْكَامُ الْحِسَابِ تَعَلُّقًا بُقُولِهِ {وَعَلاَمَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ) {النحل: 16) فَأَخْبَرَ أن الابتداء يكون بالنجم، والدليل عَلَى كِلَا الْفَرِيقَيْنِ رِوَايَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ ” فَعَلَّقَ حُكْمَهُ بِأَحَدِ شَرْطَيْنِ، لَا ثَالِثَ لَهُمَا، وَرَوَى حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ أَوْ تكلموا الْعِدَّةَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَى تَرَوُا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ” فمَنَعَ مِنَ الصَّوْمِ وَالْفِطْرِ إِلَّا بِأَحَدِ شَرْطَيْنِ:
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” نَحْنُ أمةٌ أميةٌ لَا نَكْتُبُ، وَلَا نَحْسِبُ الشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَبَسَطَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مراتٍ، يَعْنِي ثَلَاثِينَ ثُمَّ قَالَ: وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ بَسَطَهَا مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ قَبَضَ فِي الثَّالِثَةِ إِبْهَامَهُ مِنْ إِحْدَى يَدَيْهِ ” وَرُوِيَ بِنْصَرَهُ يَعْنِي: تِسْعَةً وَعِشْرِينَ.
Allah Ta‘ala memerintahkan untuk berpuasa bulan Ramadan apabila telah diketahui masuknya, dan pengetahuan tentang masuknya bulan itu didasarkan pada dua hal: yaitu dengan ru’yah hilal, atau menyempurnakan bulan Sya‘ban menjadi tiga puluh hari, karena Allah Ta‘ala tidak menjadikan kebiasaan bulan itu lebih dari tiga puluh hari, dan tidak kurang dari dua puluh sembilan hari. Maka apabila terjadi kesamaran setelah hari ke dua puluh sembilan dalam menghitung bulan, maka yang dijadikan patokan adalah keyakinan, yaitu tiga puluh hari, dan keraguan ditinggalkan.
Diriwayatkan dari sebagian Syi‘ah bahwa mereka berpuasa berdasarkan hitungan dan meninggalkan hukum hilal, dengan berdalil pada sabda Nabi SAW: “Dua bulan ibadah tidak akan kurang,” yang dimaksud adalah bulan puasa dan bulan haji. Dan juga berdalil dengan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Hari puasa kalian adalah hari kalian menyembelih kurban.”
Diriwayatkan pula dari sebagian lainnya dari mereka bahwa mereka menentukan puasa berdasarkan bintang dan hukum-hukum perhitungan (hisab), dengan berdalil pada firman-Nya: {wa-‘alāmātin wa-bin-najmi hum yahtadūn} (an-Nahl: 16), bahwa permulaan itu berdasarkan bintang.
Dalil bagi kedua kelompok itu dibantah dengan riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah karena melihatnya (hilal), dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutup (tidak dapat melihatnya), maka sempurnakanlah bilangannya tiga puluh.” Maka beliau menggantungkan hukum pada dua syarat, dan tidak ada syarat ketiga selain keduanya.
Diriwayatkan pula dari Ḥuẓayfah bin al-Yamān bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, atau kalian menyempurnakan hitungan. Dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat hilal atau menyempurnakan hitungan.” Maka beliau melarang puasa dan berbuka kecuali dengan dua syarat.
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu seperti ini, seperti ini, dan seperti ini,” lalu beliau membentangkan tangannya tiga kali, maksudnya tiga puluh hari. Kemudian beliau bersabda: “Dan bulan itu seperti ini, seperti ini,” lalu beliau membentangkannya dua kali dan menggenggam ibu jarinya pada yang ketiga.” Diriwayatkan bahwa maksudnya adalah dua puluh sembilan.
وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَذَّبَ بِمَا أُنْزِلَ على محمد ” ويروى فقد كذب بِمَا أُنْزِلَ عَلَى محمدٍ فَأَمَّا تَعَلُّقُ أَصْحَابِ العدد بقوله ” شهر النُّسُكِ لَا يَنْقُصَانِ ” فَفِيهِ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذَا الْخَبَرَ لَا أَصْلَ لَهُ لِأَنَّ الْمُشَاهِدَةَ تَدْفَعُهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِنْ صَحَّ فَمَحْمُولٌ عَلَى أنه خرج جواباً لمن أخبر بنقصانها فِي سَنَةٍ بِعَيْنِهَا، وَكَانَا كَامِلَيْنِ فَأَخْبَرَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُمَا غَيْرُ نَاقِصَيْنِ يَعْنِي فِي تِلْكَ السَّنَةِ، وَأَمَّا تَعَلُّقُهُمْ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” يَوْمُ صَوْمِكُمْ يَوْمُ نَحْرِكُمْ ” فَفِيهِ أَيْضًا كَمَا ذَكَرْنَا، عَلَى أَنَّا رَوَيْنَا عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال:” صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ ” وَأَمَّا تَعَلُّقُ أَصْحَابِ النُّجُومِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ) {النحل: 16) فَالْمُرَادُ بِهِ دَلَائِلُ الْقِبْلَةِ، وَمَسَالِكُ السَّابِلَةِ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِدَلِيلِ قَوْله تَعَالَى: {يَسْألُونَك عَنِ الأَهِلَّةِ) {البقرة: 189) .
Diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Barang siapa mendatangi dukun atau peramal lalu membenarkan apa yang ia katakan, maka sungguh ia telah mendustakan apa yang diturunkan kepada Muhammad.” Dan dalam riwayat lain: “…maka sungguh ia telah mendustakan apa yang diturunkan atas Muhammad.”
Adapun dalil yang dijadikan sandaran oleh para penganut hisab berdasarkan sabda beliau: “Dua bulan ibadah tidak berkurang,” maka terdapat dua jawaban:
Pertama: bahwa hadis ini tidak memiliki dasar, karena kenyataan yang tampak bertentangan dengannya.
Kedua: jika hadis ini sahih, maka ditakwil bahwa sabda tersebut merupakan jawaban atas orang yang mengabarkan bahwa dua bulan itu berkurang pada satu tahun tertentu, padahal keduanya sempurna. Maka Rasulullah SAW memberitahukan bahwa keduanya tidak berkurang, yakni pada tahun tersebut.
Adapun sandaran mereka pada sabda Nabi SAW: “Hari puasamu adalah hari kamu berkurban,” maka jawabannya juga sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Bahkan kami meriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, Idul Fitri kalian adalah pada hari kalian ber-Id, dan Idul Adha kalian adalah pada hari kalian menyembelih.”
Adapun dalil yang dijadikan sandaran oleh para ahli nujum (astrologi) berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {wa bin-najmi hum yahtadūn} (an-Naḥl: 16), maka maksudnya adalah sebagai petunjuk arah kiblat dan jalan-jalan bagi para musafir di daratan dan lautan, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {yasʾalūnaka ‘anil-ahillah} (al-Baqarah: 189).
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعِلْمَ بِدُخُولِ شَهْرِ رَمَضَانَ يَحْصُلُ بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ: لَا ثَالِثَ لَهُمَا: إِمَّا رُؤْيَةُ الْهِلَالِ، أَوِ اسْتِكْمَالُ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا فَلَا فَرْقَ، بَيْنَ أَنْ يَرَى الْهِلَالَ ظاهراً، أو خفياً ويلزم الصيام برؤيته عللاى أَيِّ حَالٍ كَانَ، فَلَوْ رَآهُ جَمَاعَةٌ مِنْ بَلَدٍ وَلَمْ يَرَهُ بَاقِيهِمْ لَزِمَ جَمِيعَهُمُ الصِّيَامُ بِدَلِيلِ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى وُجُوبِ الصِّيَامِ، عَلَى الْأَعْمَى وَالْمَحْبُوسِ وَإِنْ لَمْ يَرَيَاهُ فَلَوْ رَآهُ أَهْلُ الْبَلَدِ، وَلَمْ يَرَهُ أَهْلُ بَلَدٍ آخَرَ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي أَهْلِ ذَلِكَ الْبَلَدِ الَّذِينَ لم يروه على ثلاثة أوجه:
أحدهما: أَنَّ عَلَيْهِمْ يَصُومُوا إِذْ لَيْسَ رُؤْيَةُ الْجَمِيعِ شَرْطًا فِي وُجُوبِ الصِّيَامِ، وَفَرْضُ اللَّهِ تَعَالَى على جميعهم واحداً.
PASAL:
Apabila telah tetap bahwa pengetahuan tentang masuknya bulan Ramadan didapatkan dengan salah satu dari dua cara—tidak ada cara ketiga selain keduanya—yaitu ru’yah hilal atau menyempurnakan bulan Sya‘ban tiga puluh hari, maka tidak ada perbedaan apakah hilal itu terlihat secara jelas atau samar, maka wajib puasa dengan melihatnya dalam keadaan bagaimana pun juga.
Maka jika suatu kelompok dari suatu negeri melihatnya sedangkan penduduk lainnya tidak melihatnya, tetap wajib bagi semuanya berpuasa. Dalilnya adalah ijma‘ mereka atas kewajiban puasa bagi orang buta dan orang yang dipenjara meskipun keduanya tidak melihat hilal.
Jika penduduk suatu negeri melihat hilal dan penduduk negeri lain tidak melihatnya, maka ulama mazhab kami berbeda pendapat tentang penduduk negeri yang tidak melihat hilal itu menjadi tiga pendapat:
Pertama: Wajib atas mereka berpuasa, karena tidak disyaratkan ru’yah dari seluruh orang dalam mewajibkan puasa, dan kewajiban dari Allah Ta‘ala atas mereka semua adalah satu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُهُمْ صِيَامُهُ حَتَّى يَرَوْهُ لِأَنَّ الطَّوَالِعَ، وَالْغَوَارِبَ قَدْ تَخْتَلِفُ لِاخْتِلَافِ الْبُلْدَانِ، وَكُلُّ قَوْمٍ فَإِنَّمَا خُوطِبُوا بِمَطْلَعِهِمْ وَمُغْرِبِهِمْ أَلَا تَرَى أَنَّ الْفَجْرَ قَدْ يَتَقَدَّمَ طُلُوعُهُ فِي بَلَدٍ، وَيَتَأَخَّرُ فِي آخَرَ وَكَذَلِكَ الشَّمْسُ، قَدْ يَتَعَجَّلُ غُرُوبُهَا فِي بَلَدٍ وَيَتَأَخَّرُ فِي آخَرَ، ثُمَّ كَانَ الصَّائِمُ يُرَاعِي طُلُوعَ الْفَجْرِ وَغُرُوبَ الشَّمْسِ فِي بَلَدِهِ فَكَذَلِكَ الْهِلَالُ.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: إِنْ كَانُوا مِنْ إِقْلِيمٍ وَاحِدٍ لَزِمَهُمْ أَنْ يَصُومُوا، وَإِنْ كَانُوا مِنْ إِقْلِيمَيْنِ لَمْ يَلْزَمْهُمْ، لم رُوِيَ أَنَّ ثَوْبَانَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنَ الشَّامِ فَأَخْبَرَهُمْ بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ قَبْلَ الْمَدِينَةِ بليلةٍ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَا يَلْزَمُنَا لَهُمْ شَامُهُمْ وَلَنَا حِجَازُنَا فَأَجْرَى عَلَى الْحِجَازِ حُكْمًا وَاحِدًا، وَإِنِ اختلفت بلاده، وفرق بينه وبين الشام.
Dan wajah yang kedua: tidak wajib atas mereka untuk berpuasa sampai mereka melihat hilal, karena terbit dan tenggelamnya benda langit bisa berbeda-beda sesuai perbedaan negeri. Setiap kaum hanya dibebani hukum berdasarkan tempat terbit dan tenggelamnya di daerah mereka. Tidakkah engkau melihat bahwa fajar bisa terbit lebih awal di satu negeri dan lebih lambat di negeri lain? Demikian pula matahari, bisa lebih cepat terbenam di satu negeri dan lebih lambat di negeri lain. Maka seorang yang berpuasa memperhatikan waktu terbit fajar dan terbenamnya matahari di negerinya, maka demikian pula halnya dengan hilal.
Dan wajah yang ketiga: jika mereka berada dalam satu iqlīm (wilayah iklim/geografis), maka wajib atas mereka untuk berpuasa; tetapi jika mereka berada dalam dua iqlīm, maka tidak wajib atas mereka. Karena diriwayatkan bahwa Ṯawbān datang ke Madinah dari Syam dan mengabarkan kepada mereka bahwa ia telah melihat hilal lebih awal satu malam daripada penduduk Madinah, maka Ibn ‘Abbās berkata: “Tidak wajib atas kita (untuk mengikuti mereka), bagi mereka Syam mereka dan bagi kita Ḥijāz kita.” Maka beliau menetapkan satu hukum bagi wilayah Ḥijāz meskipun negeri-negerinya berbeda, dan membedakan antara Ḥijāz dan Syam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَتَقَدَّمُ الصِّيَامَ بِيَوْمٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي صِيَامِ يَوْمِ الشَّكِّ عَلَى خَمْسَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَنَّ صَوْمَهُ مَكْرُوهٌ سَوَاءٌ صَامَهُ فَرْضًا أَوْ نَفْلًا أَوْ كَفَّارَةً، أَوْ نَذْرًا إِلَّا أَنْ يَصِلَهُ بِمَا قَبْلَهُ، أَوْ يُوَافِقَ يَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ، فَلَا يُكْرَهُ لَهُ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ؟ عُمَرُ وَعَلِيٌّ وَعَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَمِنَ التَّابِعِينَ الشَّعْبِيُّ وَالنَّخَعِيُّ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan Ibn ‘Umar dahulu mendahului puasa satu hari.”
Al-Māwardī berkata: Para ulama berbeda pendapat tentang puasa yaum al-syakk menjadi lima mazhab:
Pertama: Pendapat yang dipegang oleh al-Syafi‘i, bahwa berpuasa pada hari syakk hukumnya makruh, baik ia berpuasa dengan niat fardhu, atau sunnah, atau kafārah, atau nadzar, kecuali jika ia menyambungnya dengan hari sebelumnya, atau hari tersebut bertepatan dengan hari yang biasa ia berpuasa, maka tidak dimakruhkan baginya. Pendapat ini juga dinyatakan oleh para sahabat: ‘Umar, ‘Alī, dan ‘Ammār bin Yāsir RA, dan dari kalangan tābi‘īn seperti al-Sya‘bī dan al-Nakha‘ī, serta dari para fuqahā’ seperti Mālik dan al-Auzā‘ī.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: إِنَّ صَوْمَهُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ فِي الْفَرْضِ وَالنَّفْلِ، وَهُوَ مَذْهَبُ عَائِشَةَ وَأَسْمَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: إِنَّهُ إِنْ كَانَ صَحْوًا فَصَوْمُهُ مَكْرُوهٌ، وَإِنْ كَانَ غَيْمًا صَامَهُ من رَمَضَانَ، وَبِهِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.
وَالْمَذْهَبُ الرابع: أن الناس في صومه تَبَعٌ لِإِمَامِهِمْ إِنْ صَامَ صَامُوهُ، وَإِنْ أَفْطَرَ أَفْطَرُوهُ وَبِهِ قَالَ الْحَسَنُ وَابْنُ سِيرِينَ.
Mazhab kedua: bahwa puasanya tidak makruh, baik dalam puasa fardhu maupun nafilah. Ini adalah mazhab ‘Āʾisyah dan Asmāʾ raḍiyallāhu ‘anhumā.
Mazhab ketiga: bahwa jika langit cerah, maka puasanya makruh; dan jika berawan, maka ia berpuasa dengan niat Ramadhan. Ini adalah pendapat ʿAbdullāh bin ʿUmar dan Aḥmad bin Ḥanbal raḍiyallāhu ‘anhumā.
Mazhab keempat: bahwa dalam berpuasa orang-orang mengikuti imam mereka: jika imam berpuasa, mereka pun berpuasa; dan jika imam berbuka, mereka pun berbuka. Ini adalah pendapat al-Ḥasan dan Ibn Sīrīn.
وَالْمَذْهَبُ الْخَامِسُ: إِنْ صَامَهُ عَنْ فَرْضِ رَمَضَانَ لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ صَامَهُ نَافِلَةً جَازَ وَلَمْ يُكْرَهْ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة: وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَجَازَ صَوْمَهُ فِي الْجُمْلَةِ عَلَى اخْتِلَافِ مَذَاهِبِهِمْ فِيهِ، بِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أنه قال: لأن أَصُومَ يَوْمًا مِنْ شَعْبَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُفْطِرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ، فَقَدِ اخْتَارَ صومه، واستحبه قال وَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَتَقَدَّمُ الصِّيَامَ بِيَوْمٍ قَالُوا: وَلِمَا فِيهِ مِنَ الِاحْتِيَاطِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ مِنْ رَمَضَانَ قَالُوا: وَلِأَنَّ صَوْمَهُ كَالنَّفْلِ قَبْلَ الْفَرِيضَةِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مُسْتَحَبًّا كَالصَّلَوَاتِ، وَلِأَنَّهُ صَوْمُ يَوْمٍ مِنْ شعبان، فلا يكن فِيهِ مَكْرُوهًا كَسَائِرِ أَيَّامِهِ وَدَلِيلُنَا عَلَى كَرَاهَةِ صَوْمِهِ رِوَايَةُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَا تَقَدَّمُوا الشَّهْرَ بصومٍ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ، لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلًا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تَقَدَّمُوا الشَّهْرَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ سحابةٌ أَوْ غَمَامَةٌ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ ” وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَحْرِ، وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَيَوْمِ الشَّكِّ وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَيْضًا عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا انْتَصَفَ الشَهْرُ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ ” وَرُوِيَ عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلِأَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ بَيْنَ يَوْمَيْنِ يَوْمِ شَكٍّ وَيَوْمِ فِطْرٍ، ثُمَّ تَقَرَّرَ أَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ صِيَامِ يَوْمِ الْفِطْرِ فَكَذَلِكَ يَوْمُ الشَّكِّ، فَأَمَّا مَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَإِنَّمَا صَامَهُ، لِأَنَّ شَاهِدًا شَهِدَ بِالْهِلَالِ عِنْدَهُ كَذَا رَوَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ الْحُسَيْنِ، وَكَذَا نَقُولُ، وَأَمَّا صِيَامُ ابْنِ عُمَرَ فَلِأَنَّهُ وَافَقَ يَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ، بِدَلِيلِ مَا رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لَوْ صُمْتُ الدهر لا فطرت يَوْمَ الشَّكِّ وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ الِاحْتِيَاطِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ دُخُولٌ فِي الْعِبَادَةِ مَعَ الشَّكِّ وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ التَّنَفُّلَ قَبْلَ الْفَرْضِ، قُلْنَا: يَفْسَدُ عَلَيْكُمْ بِوَقْتِ الْهَاجِرَةِ إِذَا اسْتَوَتِ الشَّمْسُ لِلزَّوَالِ، وَعِنْدَ الْغُرُوبِ فَإِنَّ التَّنَفُّلَ فِيهِمَا مَكْرُوهٌ، وَإِنْ كَانَ تَنَفُّلًا قَبْلَ الْفَرِيضَةِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى سَائِرِ أَيَّامِ الشَّهْرِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ.
Dan mazhab kelima: jika ia berpuasa pada hari itu dengan niat fardhu Ramadhan, maka tidak sah; dan jika ia berpuasa sebagai nafilah, maka sah dan tidak makruh. Ini adalah pendapat Abu Ḥanīfah.
Dan orang-orang yang membolehkan puasa secara keseluruhan berdalil dengan perbedaan mazhab dalam hal ini, dengan riwayat dari ‘Alī bin Abī Ṭālib RA bahwa ia berkata: “Sesungguhnya aku berpuasa sehari dari Sya‘bān lebih aku sukai daripada berbuka sehari dari Ramadhan.” Maka ia memilih untuk berpuasa dan menganjurkannya.
Dan telah diriwayatkan dari Ibn ‘Umar bahwa ia mendahului puasa sehari sebelumnya. Mereka berkata: karena itu merupakan bentuk kehati-hatian, bisa jadi hari itu termasuk dari Ramadhan. Mereka juga berkata: karena puasanya seperti nafilah sebelum fardhu, maka hukumnya dianjurkan seperti salat, dan karena itu puasa sehari dari Sya‘bān, maka tidak makruh sebagaimana hari-hari lainnya dari bulan tersebut.
Dalil kami atas kemakruhan puasa pada hari itu adalah riwayat dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mendahului bulan (Ramadhan) dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali orang yang memang terbiasa berpuasa pada hari itu. Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihatnya. Jika kalian tertutup (oleh mendung), maka sempurnakanlah tiga puluh hari.”
Dan telah diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mendahului bulan dengan puasa sehari atau dua hari, janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihatnya. Jika terhalangi oleh awan atau mendung, maka hitunglah tiga puluh hari.”
Dan diriwayatkan dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW melarang puasa enam hari: hari fitri, hari nahr, ayyam al-tashrīq, dan hari syakk. Dan diriwayatkan pula dari Abū Hurairah dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika bulan telah separuh, maka janganlah kalian berpuasa sampai masuk Ramadhan.”
Dan diriwayatkan dari ‘Ammār bin Yāsir bahwa ia berkata: “Barang siapa yang berpuasa pada hari syakk, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qāsim (Rasulullah SAW).”
Dan karena bulan Ramadhan berada di antara dua hari: hari syakk dan hari fitri. Dan telah ditetapkan bahwa puasa pada hari fitri dilarang, maka demikian pula halnya hari syakk.
Adapun dalil mereka dari hadis ‘Alī RA, maka ia hanya berpuasa karena ada seorang saksi yang bersaksi melihat hilal kepadanya, sebagaimana diriwayatkan oleh Fāṭimah bint al-Ḥusayn. Maka demikian pula yang kami katakan.
Adapun puasa Ibn ‘Umar, maka karena itu bertepatan dengan hari yang biasa ia berpuasa, berdasarkan riwayat darinya bahwa ia berkata: “Seandainya aku berpuasa sepanjang tahun, niscaya aku tidak akan berbuka pada hari syakk.”
Adapun yang mereka sebutkan tentang kehati-hatian, maka itu tidak benar, karena hal itu adalah masuk ke dalam ibadah dalam keadaan ragu-ragu.
Adapun pernyataan mereka bahwa nafilah sebelum fardhu, maka kami jawab: qiyas kalian batal dengan waktu zawāl saat matahari tepat di tengah dan saat terbenamnya matahari, karena nafilah pada waktu tersebut hukumnya makruh meskipun ia dilakukan sebelum fardhu.
Adapun qiyas mereka terhadap hari-hari lain di bulan itu, maka tidak benar.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن شهد شاهدان أن الهلال رؤي قَبْلَ الزَّوَالِ أَوْ بَعْدَهُ فَهُوَ لِلَّيْلَةِ الْمُسْتَقْبَلَةِ ووجب الصيام “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا رَأَى النَّاسُ الْهِلَالَ فِي نَهَارِ يَوْمِ الشَّكِّ، أَوْ شهد رؤيته عدلان، فَهُوَ لِلَّيْلَةِ الْمُسْتَقْبَلَةِ سَوَاءٌ كَانَ رُؤْيَتُهُ قَبْلَ الزَّوَالِ، أَوْ بَعْدَهُ وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وأبو يوسف، إِنْ رُئِيَ قَبْلَ الزَّوَالِ فَهُوَ لِلَّيْلَةِ السَّالِفَةِ، وَإِنْ رُئِيَ بَعْدَ الزَّوَالِ فَهُوَ لِلْمُسْتَقْبَلَةِ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِي هِلَالِ رَمَضَانَ، بِقَوْلِهِمْ، وَفِي هِلَالِ شَوَّالٍ بِقَوْلِنَا احْتِيَاطًا وَاسْتِظْهَارًا، وَاسْتَدَلُّوا فِي ذَلِكَ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ” فَوَجَبَ لِهَذَا الظَّاهِرِ أَنْ يَكُونَ الْفِطْرُ مُعَلَّقًا بِرُؤْيَتِهِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الْهِلَالَ لَا بُدَّ مِنْ إِضَافَتِهِ إِلَى لَيْلٍ فَيَنْبَغِي أَنْ يُضَافَ إِلَى مَا قَارَبَهُ، وَمَا قَبْلَ الزَّوَالِ أَقْرَبُ إِلَى اللَّيْلَةِ الْمَاضِيَةِ، فَيَجِبُ أَنْ يُضَافَ إِلَيْهَا وَمَا بَعْدَ الزَّوَالِ أَقْرَبُ إِلَى اللَّيْلَةِ الْمُسْتَقْبَلَةِ، فَيَجِبُ أَنْ يُضَافَ إِلَيْهَا، وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَا قُلْنَا إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ وَهُوَ مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ قَالُوا: إِذَا رُئِيَ الْهِلَالُ يَوْمَ الشَّكِّ فَهُوَ لِلَّيْلَةِ المستقبلة ولأنه رُئِيَ هِلَالٌ فِي يَوْمِ الشَّكِّ فَوَجَبَ أَنْ يكون لليلة المستقبلة إِذَا رُئِيَ بَعْدَ الزَّوَالِ فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْخَبَرِ فَلَا يَصِحُّ، لِأَنَّهُ يَقْتَضِي وُجُوبَ الصِّيَامِ عِنْدَ حُصُولِ الرُّؤْيَةِ، وَإِذَا رَآهُ نَهَارًا لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ صِيَامِهِ فَعُلِمَ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْيَوْمُ الَّذِي يَلِيهِ، وَأَمَّا مَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنَ اعْتِبَارِ الْقُرْبِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّهُ إِلَى اللَّيْلَةِ الْمُسْتَقْبَلَةِ أَقْرَبُ بِكُلِّ حَالٍ لِأَنَّكَ إِذَا اعْتَبَرْتَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلَةِ الْمَاضِيَةِ إِلَى مُقَارَبَةِ الزَّوَالِ، وَمِنْ مُقَارَبَةِ الزَّوَالِ إِلَى أَوَّلِ اللَّيْلَةِ الْمُسْتَقْبَلَةِ كان هذا أقرب.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika dua orang saksi bersaksi bahwa hilal terlihat sebelum atau sesudah zawāl, maka itu untuk malam berikutnya, dan wajib berpuasa.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika manusia melihat hilal di siang hari yaum al-syak, atau dua orang yang adil bersaksi melihatnya, maka itu untuk malam berikutnya, baik terlihat sebelum zawāl maupun sesudahnya.
Ibn Abī Lailā, Sufyān ats-Tsaurī, dan Abū Yūsuf berpendapat: Jika terlihat sebelum zawāl, maka itu untuk malam yang telah lewat; dan jika terlihat sesudah zawāl, maka itu untuk malam yang akan datang.
Aḥmad bin Ḥanbal dalam masalah hilal Ramaḍān berpendapat seperti pendapat mereka, sedangkan dalam masalah hilal Syawwāl mengikuti pendapat kami sebagai bentuk kehati-hatian dan penguatan.
Mereka berdalil dengan sabda Nabi SAW: “Ṣūmū li-ru’yatihi wa-afṭirū li-ru’yatihi” — “Berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya.” Maka, berdasarkan makna zahir hadits ini, wajib menjadikan berbuka tergantung pada rukyah hilal.
Mereka berkata: Karena hilal mesti dikaitkan dengan malam, maka seharusnya dikaitkan dengan malam yang lebih dekat dengannya. Adapun yang terlihat sebelum zawāl lebih dekat ke malam sebelumnya, maka harus dikaitkan kepadanya. Sedangkan yang terlihat setelah zawāl lebih dekat ke malam yang akan datang, maka harus dikaitkan kepadanya.
Dalil atas pendapat kami adalah ijmak para sahabat, yaitu riwayat dari ‘Umar, ‘Alī, ‘Abdullāh bin ‘Umar, ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, dan Anas bin Mālik RA, bahwa mereka berkata: Jika hilal terlihat pada yaum al-syak, maka itu untuk malam yang akan datang.
Dan karena hilal terlihat pada yaum al-syak, maka wajib dijadikan untuk malam berikutnya jika terlihat setelah zawāl.
Adapun istidlāl mereka dengan hadits tersebut tidak sah, karena hadits itu menunjukkan wajibnya puasa ketika rukyah terjadi, sedangkan jika terlihat pada siang hari, maka tidak mungkin berpuasa pada hari itu. Maka diketahui bahwa yang dimaksud adalah hari setelahnya.
Adapun istidlāl mereka dengan kedekatan waktu juga tidak sah, karena dalam semua keadaan lebih dekat kepada malam yang akan datang. Karena jika diperhitungkan dari awal malam sebelumnya ke waktu mendekati zawāl, dan dari mendekati zawāl ke awal malam yang akan datang, maka yang terakhir itu lebih dekat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولو شَهِدَ عَلَى رُؤْيَتِهِ عدلٌ واحدٌ رَأَيْتُ أَنْ أَقْبَلَهُ لِلْأَثَرِ فِيهِ وَالِاحْتِيَاطِ وَرَوَاهُ عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه وقال علي عليه السلام ” أَصُومَ يَوْمًا مِنْ شَعْبَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أن أفطر يوماً في رمضان ” (قال) والقياس أن لا يقبل على مغيبٍ إلا شاهدان “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا هِلَالُ شَوَّالٍ وَسَائِرُ الْأَهِلَّةِ سِوَى رَمَضَانَ، فَلَا نَعْلَمُ خِلَافًا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ فِيهِ أَقَلُّ مِنْ شَاهِدَيْنِ إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي ثَوْرٍ أَنَّهُ قَبِلَ شَهَادَةَ الْوَاحِدِ فِي هِلَالِ شَوَّالٍ قِيَاسًا عَلَى هِلَالِ رَمَضَانَ لِتَعَلُّقِهِ بِعِبَادَةٍ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّهُ لَا خَبَرَ فِيهِ، وَلَا أَثَرَ وَلَا فِي مَعْنَى مَا وَرَدَ بِهِ الْخَبَرُ فَأَمَّا هِلَالُ رَمَضَانَ، فَإِنْ شَهِدَ بِرُؤْيَتِهِ عَدْلَانِ وَجَبَ اسْتِمَاعُهُمَا، وَالْحُكْمُ بِشَهَادَتِهِمَا.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘i RA berkata: “Jika ada seorang ‘adl (orang yang adil) bersaksi atas rukyat hilal (Ramadhan), menurutku boleh diterima kesaksiannya karena ada riwayat tentang hal itu dan sebagai bentuk kehati-hatian. Diriwayatkan dari ‘Alī RA bahwa ia berkata: ‘Berpuasa sehari dari Sya‘bān lebih aku sukai daripada berbuka sehari dari Ramadhan’.”
(Imam al-Syāfi‘i berkata:) “Sedangkan secara qiyās, tidak boleh diterima kesaksian atas sesuatu yang gaib (tidak tampak bagi orang lain) kecuali dari dua orang saksi.”
Al-Māwardī berkata:
Adapun hilal Syawwāl dan semua hilal selain Ramadhan, maka kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa tidak boleh diterima kesaksian kurang dari dua orang saksi, kecuali yang dinukil dari Abū Ṯawr yang menerima kesaksian satu orang dalam hilal Syawwāl dengan melakukan qiyās terhadap hilal Ramadhan karena keduanya berkaitan dengan ibadah. Namun ini adalah kekeliruan, karena tidak ada khabar dalam hal itu, tidak pula atsar, dan tidak sepadan dengan makna khabar yang diriwayatkan.
Adapun hilal Ramadhan, jika ada dua orang ‘adl yang bersaksi atas rukyatnya, maka wajib mendengarkan kesaksian keduanya dan menetapkan hukum berdasarkan kesaksian tersebut.
وَقَالَ أبو حنيفة إِذَا كَانَتِ السَّمَاءُ مُصْحِيَةً، لَمْ أَقْبَلْ مِنْهُ إِلَّا التَّوَاتُرَ مِمَّنْ يَقَعُ الْعِلْمُ بِقَوْلِهِمْ، وَلَا يَجُوزُ السَّهْوُ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ كَانَتْ مُغَيَّمَةً قَبِلْتُ شَهَادَةَ الواحد، قال: لأن الهلال يدرك نجاسة الْبَصَرِ الَّتِي يَشْتَرِكُ فِيهَا الْكَافَّةُ، وَلَا تَخْتَصُّ بِهَا طَائِفَةٌ فَإِذَا لَمْ يَشْهَدْ رُؤْيَتَهُ عَدَدٌ يَقَعُ الْعِلْمُ بِشَهَادَتِهِمْ، لَمْ يُقْبَلُوا فَأَمَّا مَعَ الْغَيْمِ فَيُقْبَلُ الْوَاحِدُ، لِأَنَّ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَنْجَلِيَ الْغَيْمُ عَنِ الْهِلَالِ فَيَرَاهُ وَاحِدٌ مِنَ الناس، ثم يتحلله السَّحَابُ، وَالدَّلِيلُ عَلَى قَبُولِ شَهَادَةِ عَدْلَيْنِ وَتَسْوِيَةِ الْحُكْمِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ مَا رُوِيَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ صَحِبْنَا أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَتَعَلَّمْنَا مِنْهُمْ فَكَانُوا يُخْبِرُونَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ صُومُوا، لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فأكملوا العدة ثَلَاثِينَ، فَإِنْ شَهِدَ ذَوَا عدلٍ فَصُومُوا، فَدَلَّ هَذَا الْخَبَرُ عَلَى بُطْلَانِ قَوْلِ أبي حنيفة وَلَيْسَ اشْتِرَاكُ النَّاسِ فِي حَاسَّةِ الْبَصَرِ يُوجِبُ تَمَاثُلَهُمْ فِي الْإِدْرَاكِ، لِأَنَّا قَدْ نَجِدُ بَصِيرَيْنِ يَعْتَمِدَانِ نَظَرَ شَيْءٍ عَلَى بُعْدٍ فَيَرَاهُ أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ لِحِدَّةِ بَصَرِهِ، وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ قَادِحًا فِي الشَّيْءِ الْمَرْئِيِّ، ثُمَّ يَتَوَجَّهُ هَذَا الْقَوْلُ عَلَى أبي حنيفة إِذَا رَآهُ عَدَدٌ يَقَعُ الْعِلْمُ بِقَوْلِهِمْ وَلَمْ يَرَهُ الْكَافَّةُ مَعَ تَمَاثُلِهِمْ فِي الْحَاسَّةِ أَنْ لَا يُحْكَمَ بِهِمْ.
Abū Ḥanīfah berkata: “Jika langit dalam keadaan cerah, maka aku tidak menerima (kesaksian) kecuali secara tawātur dari orang-orang yang ucapannya dapat melahirkan ilmu dan tidak mungkin mereka lalai. Namun jika langit mendung, aku menerima kesaksian satu orang.”
Ia berkata: “Karena hilal dapat ditangkap oleh indra penglihatan yang dimiliki oleh semua orang, tidak khusus pada sekelompok tertentu. Maka jika tidak ada sekelompok orang yang kesaksiannya melahirkan ilmu yang menyaksikan hilal, maka tidak diterima kesaksian mereka. Adapun dalam kondisi mendung, kesaksian satu orang diterima, karena bisa saja awan tersibak dari hilal lalu seorang dari manusia melihatnya, kemudian kembali tertutup awan.”
Dalil yang menunjukkan diterimanya kesaksian dua orang yang adil dan disamakannya hukum pada kedua kondisi tersebut adalah riwayat dari ‘Abdurraḥmān bin Zayd bin al-Khaṭṭāb, bahwa ia berkata: “Kami menyertai para sahabat Rasulullah SAW dan belajar dari mereka. Mereka memberitakan kepada kami dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: Ṣūmū li-ru’yatihi wa-afṭirū li-ru’yatihi fa-in ghumma ‘alaikum fa-akmilū al-‘iddata thalāthīn fa-in shahida dhawā ‘adlin fa-ṣūmū — Berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika terhalang (oleh mendung) atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh. Jika dua orang yang adil bersaksi, maka berpuasalah kalian.”
Maka hadits ini menunjukkan batalnya pendapat Abū Ḥanīfah.
Adapun persamaan manusia dalam indra penglihatan tidak mewajibkan kesamaan mereka dalam pengindraan, karena kita dapati dua orang yang sama-sama memiliki penglihatan mencoba melihat sesuatu dari kejauhan, maka salah satu dari keduanya bisa melihat sedangkan yang lain tidak karena ketajaman penglihatannya. Dan itu tidak mencacati hal yang terlihat tersebut.
Kemudian pendapat Abū Ḥanīfah ini menjadi bermasalah jika hilal dilihat oleh sekelompok orang yang ucapannya melahirkan ilmu tetapi tidak terlihat oleh seluruh orang — padahal mereka sama dalam indra penglihatan — maka menurut pendapatnya tidak boleh dihukumi berdasarkan kesaksian mereka.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا شَهِدَ عَلَى رُؤْيَتِهِ عَدْلٌ وَاحِدٌ فَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ عَلَى قَبُولِ شَهَادَتِهِ، وَقَالَ فِي الْبُوَيْطِيِّ: لَا يُقْبَلُ فِيهِ إِلَّا شَاهِدَانِ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَرْتِيبِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى مَذْهَبَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ لَا يُقْبَلُ فِيهِ أَقَلُّ مِنْ شَاهِدَيْنِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَاللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَدَلِيلُهُ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَإِنْ شَهِدَ ذَوَا عدلٍ فَصُومُوا ” فَعَلَّقَ حُكْمَ الشَّهَادَةِ بِعَدْلَيْنِ فَعُلِمَ أَنَّ حُكْمَ الْوَاحِدِ مُخَالِفٌ لحكمهما، ولأنهما شَهَادَةٌ عَلَى رُؤْيَةِ الْهِلَالِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُقْبَلَ فِيهَا أَقَلُّ مِنْ عَدْلَيْنِ قِيَاسًا عَلَى هِلَالِ شَوَّالٍ.
PASAL
Adapun jika yang bersaksi atas rukyat hilal adalah satu orang ‘adl, maka Imam al-Syāfi‘i telah menyatakan dalam qaul qadīm dan qaul jadīd-nya bahwa kesaksiannya diterima. Namun dalam al-Buwayṭī, beliau berkata: “Tidak diterima kecuali dua orang saksi.” Maka para sahabat kami (ulama Syāfi‘iyyah) berbeda pendapat dalam menyusun masalah ini menjadi dua mazhab:
Salah satu dari kedua mazhab tersebut: bahwasanya dalam masalah ini terdapat dua qaul.
Salah satu dari keduanya: tidak diterima kesaksian kurang dari dua orang saksi, dan ini adalah pendapat Mālik, al-Layth bin Sa‘d, dan al-Awzā‘ī. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Jika dua orang adil bersaksi, maka berpuasalah kalian,” maka Nabi menggantungkan hukum puasa pada dua orang adil, sehingga dipahami bahwa hukum satu orang berbeda dengan hukum keduanya.
Dan karena ini adalah kesaksian atas rukyat hilal, maka wajib tidak diterima kecuali dari dua orang ‘adl, dengan qiyās kepada hilal Syawwāl.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُقْبَلُ فِيهِ شَاهِدٌ واحد وربه وقال أبو حنيفة إِذَا كَانَتِ السَّمَاءُ مُغَيَّمَةً، وَدَلِيلُ هَذَا الْقَوْلِ رِوَايَةُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَرَأَيْتُهُ وَحْدِي فأخبرت رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِذَلِكَ فَصَامَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِالصِّيَامِ وَرَوَى عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ رَأَيْتُ الْهِلَالِ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: نَعَمْ قَالَ قُمْ يَا بِلَالُ فَأَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غداً.
Dan pendapat kedua: diterima kesaksian satu orang saja dalam rukyat hilal Ramadhan, dan ini juga merupakan pendapat Abū Ḥanīfah jika langit sedang tertutup awan.
Dalil pendapat ini adalah riwayat dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa ia berkata: “Manusia mencari hilal, lalu aku melihatnya sendirian, maka aku memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW, lalu beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.”
Dan diriwayatkan oleh ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbās bahwa seorang a‘rābī datang kepada Nabi SAW lalu berkata: “Aku melihat hilal.” Maka beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?” Ia menjawab: “Ya.”
Beliau bertanya lagi: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muḥammad adalah Rasulullah?” Ia menjawab: “Ya.”
Maka beliau bersabda: “Bangkitlah wahai Bilāl, maka umumkanlah kepada manusia agar mereka berpuasa esok hari.”
وروي عن طاوس قال شهدت المدنية وَبِهَا ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ، فَشَهِدَ رَجُلٌ عِنْدَ الْوَالِي أَنَّهُ رَأَى الْهِلَالَ فَبَعَثَ الْوَالِي إِلَيْهِمَا يَسْأَلُهُمَا فَأَمَرَاهُ أَنْ يُجِيزَ شَهَادَتَهُ وَأَخْبَرَاهُ أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَأْمُرُ بِالصَّوْمِ بِشَهَادَةِ وَاحِدٍ، وَكَانَ لَا يَقْبَلُ فِي الْفِطْرِ إِلَّا الِاثْنَيْنِ وَرَوَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ الْحُسَيْنِ، أَنَّ رَجُلًا شَهِدَ عِنْدَ عَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ عَلَى رُؤْيَةِ الْهِلَالِ فَصَامَ، وأمر الناس بالصيام وقال لأن أَصُومَ يَوْمًا مِنْ شَعْبَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُفْطِرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ وَلِأَنَّهُ حَالٌ يستوي في الْمُخْبِرُ، وَالْمُخْبَرُ فَوَجَبَ أَنْ يُحْكَمَ فِيهِ بِقَوْلِ الْوَاحِدِ.
Diriwayatkan dari Ṭāwūs, ia berkata: “Aku menghadiri (suatu peristiwa) di Madinah, dan di sana ada Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbās. Lalu seorang laki-laki bersaksi di hadapan wali (penguasa) bahwa ia telah melihat hilal. Maka wali mengutus seseorang kepada keduanya (Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbās) untuk menanyakan hal itu, lalu keduanya memerintahkan agar menerima kesaksian orang itu dan memberitahukan bahwa Nabi SAW biasa memerintahkan berpuasa dengan kesaksian satu orang, dan tidak menerima kesaksian dalam berbuka kecuali dari dua orang.”
Dan Fāṭimah binti al-Ḥusain meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bersaksi kepada ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu tentang rukyah hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa, serta berkata: “Sungguh aku lebih suka berpuasa satu hari dari Sya‘bān daripada berbuka satu hari dari Ramaḍān.”
Dan karena ini adalah keadaan di mana orang yang menyampaikan dan yang diberi kabar sama-sama mungkin benar, maka wajib menghukumi di dalamnya dengan ucapan satu orang.
أَصْلُهُ: حَدِيثُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي فِي تَرْتِيبِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يُقَالَ: إِنْ صَحَّتْ هَذِهِ الْأَخْبَارُ، وَثَبَتَتْ قَبْلَ شَهَادَةِ الْوَاحِدِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ ضَعَّفَهَا، وَمِنْهُمْ مَنْ أَثْبَتَهَا وَإِنْ لَمْ تَصِحَّ فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ إِلَّا شاهدين كَسَائِرِ الْأَهِلَّةِ.
وَالثَّانِي: يُقْبَلُ شَاهِدٌ وَاحِدٌ لِلِاحْتِيَاطِ، وَالْأَثَرِ الثَّابِتِ عَنْ عَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَإِذَا قِيلَ: بِقَبُولِ شَهَادَةِ الْوَاحِدِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْبَلَ شَاهِدٌ عَبْدًا، وَلَا امْرَأَةٌ وَلَا صَبِيٌّ لِأَنَّهُمْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الشَّهَادَةِ، وَأَجَازَ أبو حنيفة شَهَادَةَ الْعَبْدِ وَالْمَرْأَةِ وَأَجْرَاهُ مَجْرَى الْخَبَرِ، وَسَاعَدَهُ عَلَيْهِ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَلَيْسَ بِمَذْهَبٍ لِلشَّافِعِيِّ بَلْ مَنْصُوصُهُ خِلَافُهُ، وَلَوْ جَرَى مَجْرَى الْخَبَرِ لَلَزِمَ فِيهِ قَبُولُ الْوَاحِدِ عَنِ الواحد، ولم يقل بهذا أحد فعلم أنه شَهَادَةٌ، فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا أَمَرْتُمْ بِالصِّيَامِ بِشَهَادَةِ وَاحِدٍ ثُمَّ أَوْجَبْتُمُ الْفِطْرَ بَعْدَ تَمَامِ الثَّلَاثِينَ، فَقَدْ قَضَيْتُمْ فِي الْفِطْرِ بِشَهَادَةِ الْوَاحِدِ قِيلَ فِي ذَلِكَ وَجْهَانِ ذَكَرَهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ فِي شَرْحِهِ:
Asalnya adalah hadis Rasulullah SAW. Mazhab kedua dalam menyusun masalah ini adalah dengan mengatakan: jika hadis-hadis ini sahih dan telah tetap sebelum adanya kesaksian satu orang, maka itu adalah pendapat yang disepakati, karena sebagian orang melemahkannya dan sebagian lagi menetapkannya. Jika tidak sahih, maka ada dua pendapat:
Pertama: tidak diterima kecuali dua orang saksi seperti dalam perkara rukyah hilal yang lain.
Kedua: diterima satu orang saksi sebagai bentuk kehati-hatian dan karena ada atsar yang tetap dari ‘Alī RA. Jika dikatakan bahwa kesaksian satu orang diterima, maka tidak boleh diterima jika ia adalah seorang budak, perempuan, atau anak kecil, karena mereka bukan termasuk ahli kesaksian.
Abu Ḥanīfah membolehkan kesaksian budak dan perempuan, dan menganggapnya seperti khabar. Pendapat ini didukung oleh Abū Isḥāq al-Marwazī, tetapi ini bukan mazhab al-Syāfi‘ī, bahkan nash-nya bertentangan dengannya. Seandainya dianggap seperti khabar, niscaya harus diterima riwayat satu orang dari satu orang, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan demikian, maka diketahui bahwa itu adalah kesaksian (syahādah).
Jika dikatakan: jika kalian memerintahkan puasa dengan kesaksian satu orang, lalu mewajibkan berbuka setelah sempurna tiga puluh hari, maka berarti kalian menetapkan hukum berbuka dengan kesaksian satu orang — maka dalam hal ini ada dua wajah (pendapat) yang disebutkan oleh Abū Isḥāq dalam Syarḥ-nya:
أَحَدُهُمَا: إِذَا لَمْ يَرَ النَّاسُ هِلَالَ شَوَّالٍ صَامُوا أَحَدًا وَثَلَاثِينَ اعْتِبَارًا بِهَذَا الْمَعْنَى.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ إِذَا صَامَ النَّاسُ الثَّلَاثِينَ أَفْطَرُوا فِي الْحَادِي وَالثَّلَاثِينَ رَأَوُا الْهِلَالَ أَوْ لَمْ يُرَوْهُ، لِأَنَّهُ إِذَا ثَبَتَ الِابْتِدَاءُ لَمْ يَكُنْ مَا طَرَأَ عَلَيْهِ مِمَّا لَا يَثْبُتُ بِهِ قَادِحًا فِي إِثْبَاتِهِ، كَمَا تَثْبُتُ الْوِلَادَةُ بِشَهَادَةِ النِّسَاءِ مُنْفَرِدَاتٍ، وَإِنْ كَانَ يَتْبَعُهَا أَحْكَامُ النَّسَبِ وَالْمِيرَاثِ، وَمَا لَا تقبل فِيهِ شَهَادَةُ النِّسَاءِ مُنْفَرِدَاتٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pertama: Jika manusia tidak melihat hilal Syawwāl, maka mereka berpuasa sebanyak tiga puluh satu hari berdasarkan pertimbangan makna ini.
Pendapat kedua — dan ini yang dinyatakan oleh al-Syāfi‘ī — bahwa jika manusia telah berpuasa tiga puluh hari, maka mereka berbuka pada hari ketiga puluh satu, baik mereka melihat hilal maupun tidak. Karena jika permulaan (bulan) telah ditetapkan, maka apa yang muncul setelahnya — yang tidak dapat dijadikan dasar penetapan — tidak dapat membatalkan penetapan tersebut. Sebagaimana kelahiran dapat ditetapkan dengan kesaksian para wanita secara sendiri-sendiri, walaupun setelahnya diikuti oleh hukum-hukum nasab dan warisan, yang mana dalam hal-hal itu tidak diterima kesaksian para wanita secara sendiri-sendiri.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وعليه في كل ليلة نية الصيام للغدٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Wajib baginya setiap malam berniat puasa untuk esok harinya.”
Al-Māwardī berkata: Masalah ini telah dibahas sebelumnya.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ أَوِ احْتِلَامٍ اغْتَسَلَ وَأَتَمَّ صَوْمَهُ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثَمَّ يَصُومُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا مَنْ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنَ احْتِلَامٍ فَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ إِجْمَاعًا، وَكَذَلِكَ لَوِ احْتَلَمَ نَهَارًا كَانَ عَلَى صَوْمِهِ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ فَأَمَّا مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ كَانَ فِي اللَّيْلِ، فَعِنْدَ جَمَاعَةِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ عَلَى صَوْمِهِ يَغْتَسِلُ وَيُجْزِئُهُ.
MASALAH:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Barangsiapa yang memasuki waktu pagi dalam keadaan junub karena jima‘ atau ihtilām, maka ia mandi dan menyempurnakan puasanya, karena Nabi SAW pernah memasuki pagi dalam keadaan junub karena jima‘, lalu beliau tetap berpuasa.”
Al-Māwardī berkata: Adapun orang yang memasuki pagi dalam keadaan junub karena ihtilām, maka puasanya tetap sah menurut ijmak, begitu pula jika ia ihtilām di siang hari, maka puasanya tetap sah berdasarkan kesepakatan ulama. Adapun orang yang memasuki pagi dalam keadaan junub karena jima‘ di malam hari, maka menurut jumhur fuqahā’, puasanya tetap sah, ia mandi dan puasanya mencukupi.
وَحُكِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْحَسَنِ بْنِ صَالِحِ بْنِ حَيٍّ: أَنَّ صَوْمَهُ قَدْ فَسَدَ لِمَا رَوَاهُ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا مِنْ جماعٍ فَلَا صَوْمَ لَهُ ” وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ صَوْمِهِ، قوله تعالى: {فَالآنََ بَاشِرُوهُنَّ} إِلَى قَوْلِهِ {مِن الفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ} (البقرة: 187) وَكَانَ السَّبَبُ فِي نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ، أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَانَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّاسِ الْأَكْلَ وَالْجِمَاعَ فِي لَيْلِ الصِّيَامِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَبَعْدَ النَّوْمِ، حَتَّى رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ امْرَأَتَهُ فِي لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَالَتْ: إِنِّي صَلَّيْتُ الْعِشَاءَ فَوَاقَعَهَا وَأَخْبَرَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِذَلِكَ فَنَزَلَ قَوْله تَعَالَى: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَة الصِّيَامِ الرَّفَثُ إلَى نِسَائِكُمْ) {البقرة: 187) الآية وَرَوَى الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ أَنَّ صِرْمَةَ بْنَ قَيْسٍ وَكَانَ شَيْخًامِنَ الْأَنْصَارِ أَتَى مَنْزِلَهُ، وَلَمْ يُهَيَّأْ إِفْطَارُهُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ ثُمَّ أُتِيَ بِالطَّعَامِ، وَقَدْ نَامَ فلم يأكل وأصبح طاوياً، خَرَجَ إِلَى ضَيْعَتِهِ فَعَمِلَ فِيهَا فَغُشِيَ عَلَيْهِ، وخاف التلف فنزل قوله تعالى: {كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الخَيْطُ الأَبْيَضُ منَ الخَيطِ الأَسْوَدِ مِنَ الفَجْرِ) {البقرة: 187) فَلَمَّا أَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى الْأَكْلَ، وَالْجِمَاعَ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ، وَلَمِ يَسْتَثْنِ زَمَانَ الْغُسْلِ عُلِمَ أَنَّهُ لَا يُفْسِدُ الصَّوْمَ، وَرَوَتْ عَائِشَةُ وَأُمُّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لَا مِنِ احْتِلَامٍ وَيَصُومُ وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ واقفٌ عَلَى الْبَابِ فَقَالَ لَهُ إِنِّي أُصْبِحُ جُنُبًا وَأَنَا أُرِيدُ الصَوْمَ فَقَالَ وَأَنَا أُصْبِحُ جُنُبًا وَأُرِيدُ الصَّوْمَ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّكَ لَسْتَ مِثْلَنَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَغَضِبَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَالَ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَعْلَمَكُمْ بِمَا أَتَّقِي وَأَيْضًا فَإِنَّ الغسل عن الوطئ كَالشِّبَعِ وَالرِّيِّ عَنِ الطَّعَامِ، وَالشَّرَابِ ثُمَّ كَانَ هَذَا غَيْرَ مُفْسِدٍ لِلصَّوْمِ كَذَلِكَ غُسْلُ الْجَنَابَةِ لِأَنَّهُ ثَمَرَةُ فِعْلٍ مُبَاحٍ.
Dan dinukil dari Abu Hurairah dan al-Hasan bin Shalih bin Hayy bahwa puasanya batal berdasarkan riwayat Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang memasuki pagi dalam keadaan junub karena jimaʿ, maka tidak ada puasa baginya.”
Namun dalil atas sahnya puasanya adalah firman Allah Ta’ala: “Maka sekarang campurilah mereka” hingga firman-Nya “dari fajar, kemudian sempurnakanlah puasa” (al-Baqarah: 187). Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala telah mengharamkan atas manusia makan dan jimaʿ di malam hari puasa setelah salat Isya dan setelah tidur. Hingga diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khattab RA ingin mendatangi istrinya pada suatu malam di bulan Ramadan, maka istrinya berkata: “Aku telah salat Isya,” lalu ia menggaulinya. Ia pun memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka turunlah firman Allah Ta’ala: “Dihalalkan bagi kalian di malam puasa untuk bercampur dengan istri-istri kalian” (al-Baqarah: 187).
Dan al-Barra’ bin ‘Azib meriwayatkan bahwa Shirmah bin Qays, seorang lelaki tua dari kalangan Anshar, mendatangi rumahnya dan makanan berbuka belum tersedia, lalu ia tertidur. Kemudian makanan datang setelah ia tertidur, maka ia tidak makan dan memasuki pagi dalam keadaan lapar. Ia keluar ke ladangnya dan bekerja di sana hingga pingsan dan dikhawatirkan binasa, maka turunlah firman Allah Ta’ala: “Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (al-Baqarah: 187).
Maka ketika Allah Ta’ala membolehkan makan dan jimaʿ hingga terbit fajar, dan tidak mengecualikan waktu untuk mandi janabah, maka diketahui bahwa hal itu tidak membatalkan puasa.
Dan Aisyah dan Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW memasuki pagi dalam keadaan junub karena jimaʿ, bukan karena mimpi, dan beliau tetap berpuasa.
Aisyah RA juga meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan berdiri di depan pintu, lalu ia berkata: “Sesungguhnya aku memasuki pagi dalam keadaan junub dan aku ingin berpuasa.” Maka beliau bersabda: “Aku pun memasuki pagi dalam keadaan junub dan aku ingin berpuasa.” Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau tidaklah seperti kami. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” Maka Nabi SAW marah dan bersabda: “Sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah Azza wa Jalla dan yang paling mengetahui tentang apa yang aku takuti.”
Dan juga, karena mandi dari jimaʿ adalah seperti kenyang dari makan dan puas dari minum, dan keduanya tidak membatalkan puasa, maka demikian pula mandi janabah, karena itu adalah akibat dari perbuatan yang mubah.
فَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي هريرة فغير ثابت وإن صح فقد رَجَعَ عَنْهُ أَبُو هُرَيْرَةَ وَرَوَى أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى مَرْوَانَ فَتَذَاكَرْنَا الْجَنَابَةَ، فِي الصَّوْمِ، فَقَالَ مَرْوَانُ حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا مِنْ جماعٍ فَلَا صوم له ثم أقسم مروان علينا أن نسأل عائلة وَأُمَّ سَلَمَةَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَتَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جماعٍ لَا مِنِ احْتِلَامٍ وَيُتِمُّ صَوْمَهُ فَأَقْسَمَ عَلَيْنَا مَرْوَانُ أَنْ نَلْقَى أَبَا هُرَيْرَةَ فَلَقِينَاهُ، فَأَخْبَرْنَاهُ بِمَا جَرَى فَقَالَ أَخْبَرَنِي بِذَلِكَ مُخْبِرٌ وَرُوِيَ أَنَّهُ قَالَ أَخْبَرَنِي بِذَلِكَ الْفَضْلُ، وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِ، وَكَانَ الْفَضْلُ مَيِّتًا، وَمَا كَانَ بِهَذِهِ الْمَثَابَةِ لَمْ يَصِحَّ التَّعَلُّقُ بِهِ وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَجَعَ عَنْهُ قَبْلَ مَوْتِهِ وَاللَّهُ أعلم.
Adapun hadis Abū Hurairah, maka tidak tetap (tidak sahih). Dan jika pun sahih, Abū Hurairah sendiri telah rujuk darinya. Abū Bakr bin ‘Abd al-Raḥmān meriwayatkan: Aku masuk bersama ayahku menemui Marwān, lalu kami membicarakan tentang junub di waktu puasa. Marwān berkata: Abū Hurairah telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memasuki pagi dalam keadaan junub karena jima‘ maka tidak sah puasanya.”
Kemudian Marwān bersumpah atas kami agar kami menanyakan hal itu kepada ‘Ā’ishah dan Umm Salamah. Keduanya berkata: “Rasulullah SAW memasuki pagi dalam keadaan junub karena jima‘, bukan karena ihtilām, dan beliau tetap menyempurnakan puasanya.”
Marwān kembali menyuruh kami dengan sumpah agar kami menemui Abū Hurairah. Maka kami menemuinya dan kami sampaikan apa yang terjadi. Ia pun berkata, “Orang yang menyampaikan hal itu kepadaku adalah seorang perawi,” dan diriwayatkan juga bahwa ia berkata, “Yang menyampaikan kepadaku adalah al-Faḍl, dan ia lebih tahu tentang hal itu.” Namun al-Faḍl telah wafat. Maka jika keadaannya seperti ini, tidak sah dijadikan sebagai sandaran.
Sa‘īd bin al-Musayyab meriwayatkan bahwa Abū Hurairah telah rujuk dari riwayat itu sebelum wafatnya. Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ يَرَى الْفَجْرَ لَمْ يَجِبْ وَقَدْ وَجَبَ أَوْ يَرَى أَنَّ اللَّيْلَ قَدْ وَجَبَ ولم يجب أعاد “.
قال الماوردي: وهذا صَحِيحٌ أَمَّا إِنِ اشْتَبَهَ عَلَيْهِ دُخُولُ اللَّيْلِ، فَظَنَّ أَنَّ الشَّمْسَ قَدْ غَرَبَتْ، وَأَنَّ اللَّيْلَ قَدْ دَخَلَ فَأَفْطَرَ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ كَانَ نَهَارًا، وَأَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَكُنْ غَرَبَتْ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، وَهُوَ قَوْلُ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika ia melihat bahwa fajar telah terbit padahal belum, maka tidak wajib (qadha), dan jika ternyata memang sudah wajib, maka ia terkena kewajiban. Atau jika ia melihat bahwa malam telah masuk padahal belum, maka ia wajib mengulang (puasanya).”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang benar. Adapun jika ia ragu dalam masuknya malam, lalu menyangka bahwa matahari telah terbenam dan malam telah masuk, lalu ia berbuka, maka ada tiga keadaan:
Pertama: Ternyata jelas baginya bahwa saat itu masih siang dan matahari belum terbenam, maka ia wajib mengqadha puasanya. Ini adalah pendapat mayoritas fuqahā’.
وَحُكِيَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ وَبِهِ قَالَ الْحَسَنُ وَعَطَاءٌ إِنَّهُ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ تَعَلُّقًا بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ ” وَبِمَا رَوَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ أُتِيَ بِسَوِيقٍ، وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ، وَعِنْدَهُ أَنَّ اللَّيْلَ قَدْ وَجَبَ وَأَكَلَ النَّاسُ مَعَهُ ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَقَالَ: وَاللَّهِ مَا نَقْضِي مَا جَانَفْنَا إِثْمًا. وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِ الْإِعَادَةِ مَا رَوَتْ أُمُّ سَلَمَةَ قَالَتْ: جَاءَ قومٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالُوا: إِنَّا ظَنَنَّا أَنَّ اللَّيْلَ قَدْ دَخَلَ فَأَكَلْنَا ثُمَّ عَلِمْنَا أَنَّهُ كَانَ نَهَارًا فَأَمَرَهُمُ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِإِعَادَةِ يومٍ مَكَانَهُ. وَرُوِيَ أَنَّ النَّاسَ أَفْطَرُوا عَلَى عَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ثُمَّ بَانَ لَهُمْ ظُهُورُ الشَّمْسِ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْخَطْبُ يَسِيرٌ نَقْضِي يَوْمًا مَكَانَهُ وَهَذَا صَحِيحٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ: يَعْنِي: إِنَّ فِيهِ قَضَاءَ يَوْمٍ لِأَنَّهُ مِمَّا لَا يَشُقُّ، وَلِأَنَّ الِاشْتِبَاهَ لَا يُسْقِطُ حُكْمَ الْوَقْتِ كَمَا إِذَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ زَوَالُ الشَّمْسِ فَصَلَّى، ثُمَّ بَانَ لَهُ الْخَطَأُ لَزِمَهُ الْإِعَادَةُ فَكَذَلِكَ فِي الصِّيَامِ.
Dan dinukil dari Dāwud bin ‘Alī, serta pendapat ini juga dikatakan oleh al-Ḥasan dan ‘Aṭā’, bahwa tidak ada qadhā’ atasnya, berdasar sabda Nabi SAW: “Diangkat dari umatku (beban) karena kesalahan, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka.”
Serta berdasar riwayat dari ‘Umar RA bahwa beliau didatangkan sawīq dalam keadaan berpuasa, lalu beliau memakannya karena mengira malam telah masuk, dan orang-orang makan bersamanya. Lalu matahari pun terbit, maka beliau berkata: “Demi Allah, kita tidak mengganti sesuatu yang tidak kita lakukan dengan dosa.”
Adapun dalil atas wajibnya mengulang adalah riwayat Ummu Salamah yang berkata: Telah datang suatu kaum kepada Rasulullah SAW, lalu mereka berkata: “Kami mengira malam telah masuk, maka kami makan, kemudian ternyata itu masih siang.” Maka Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mengganti satu hari sebagai gantinya.
Dan diriwayatkan bahwa manusia pernah berbuka pada masa ‘Umar RA, lalu tampak bagi mereka terbitnya matahari, maka ‘Umar RA berkata: “Perkara ini ringan, kita ganti satu hari sebagai gantinya.” Dan ini adalah ṣaḥīḥ.
Al-Syāfi‘ī berkata: maksudnya, dalam hal ini ada qadhā’ satu hari karena itu bukan perkara yang memberatkan. Dan karena kekeliruan tidak menggugurkan hukum waktu, sebagaimana jika ia keliru tentang tergelincirnya matahari lalu ia salat, kemudian tampak baginya kekeliruannya, maka ia wajib mengulang. Maka demikian pula dalam puasa.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ أَكَلَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ وَدُخُولِ اللَّيْلِ، فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ فَإِنْ قِيلَ فَمَا الْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ مَنْ صَلَّى شَاكًّا فِي دُخُولِ الْوَقْتِ، ثُمَّ بَانَ لَهُ أَنَّهُ كَانَ قَدْ دَخَلَ فِي وُجُوبِ الْإِعَادَةِ عَلَى الْمُصَلِّي، وَسُقُوطِهَا عَنِ الصَّائِمِ قُلْنَا: إِنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا هُوَ أَنَّ الصَّائِمَ يَكُونُ مُفْطِرًا بِدُخُولِ اللَّيْلِ، وَإِنْ لَمْ يَأْكُلْ وَلَا يَكُونُ بِدُخُولِ الْوَقْتِ مُصَلِّيًا حَتَّى يَفْعَلَ الصَّلَاةَ.
وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَبْقَى عَلَى جُمْلَةِ الِاشْتِبَاهِ، وَلَا يَتَبَيَّنَ لَهُ الْيَقِينُ فَهَذَا يَلْزَمُهُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ النَّهَارِ، فَلَا يَنْتَقِلُ عَنْ حُكْمِهِ إِلَّا بِيَقِينِ خُرُوجِهِ.
Keadaan kedua:
Jika ternyata jelas baginya bahwa ia makan setelah matahari terbenam dan malam telah masuk, maka tidak wajib qadha atasnya.
Jika dikatakan: Apa bedanya antara hal ini dengan orang yang salat dalam keadaan ragu terhadap masuknya waktu, lalu kemudian jelas baginya bahwa waktu salat telah masuk—yang dalam kasus ini ia wajib mengulang salat—sedangkan puasa tidak wajib diulang?
Kami katakan: Perbedaannya adalah bahwa orang yang berpuasa menjadi berbuka hanya dengan masuknya malam, meskipun ia belum makan, sedangkan orang yang salat tidak dihitung salatnya hanya dengan masuk waktu, kecuali ia benar-benar telah melaksanakan salat.
Keadaan ketiga:
Jika ia tetap dalam keadaan ragu dan tidak mendapatkan kepastian, maka ia wajib mengqadha, karena hukum asalnya adalah siang masih berlangsung, dan tidak berpindah dari hukum siang kecuali dengan yakin bahwa ia telah keluar (dari siang).
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ طُلُوعُ الْفَجْرِ فَأَكَلَ فَإِنْ كَانَ عَلَى شَكٍّ، وَاشْتِبَاهٍ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ أَيْضًا:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ فِيمَا بَعْدُ أَنَّ الْفَجْرَ كَانَ طَالِعًا حِينَ أَكَلَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ؛ لِأَنَّ الِاشْتِبَاهَ لَا يُسْقِطُ حُكْمَ الْوَقْتِ مَعَ إِمْكَانِ التَّحَرُّزِ مِنْهُ، وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ بِخِلَافِ مَنِ اشْتَبَهَ عَلَيْهِ وَقْتُ الْغُرُوبِ، لِأَنَّهُ يَرْجِعُ إِلَى أَصْلِ الإباحة في الأكل.
والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ بَقَاءُ اللَّيْلِ فِي الْوَقْتِ الَّذِي أَكَلَ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، لِمُصَادَفَتِهِ زَمَانَ الْإِبَاحَةِ.
وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَبْقَى عَلَى حَالِ الِاشْتِبَاهِ فَلَا يَبِينُ لَهُ بَقَاءُ اللَّيْلِ، وَلَا طُلُوعُ الْفَجْرِ فَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ اللَّيْلِ، وَإِبَاحَةُ الْأَكْلِ مَا لَمْ يتيقن طلوع الفجر.
PASAL
Adapun jika ia ragu tentang terbitnya fajar lalu ia makan, maka dalam keadaan ragu dan samar ini ada tiga keadaan:
Pertama: Jika setelahnya jelas baginya bahwa fajar telah terbit ketika ia makan, maka ia wajib qadhā’, karena keraguan tidak menggugurkan hukum waktu selama masih mungkin untuk berhati-hati darinya. Abū Isḥāq berkata: tidak ada qadhā’ atasnya, berbeda dengan orang yang ragu tentang waktu maghrib, karena dalam kasus ini kembali kepada hukum asal berupa kebolehan makan.
Kedua: Jika setelahnya jelas baginya bahwa malam masih tersisa pada waktu ia makan, maka tidak ada qadhā’ atasnya, karena ia bertepatan dengan waktu kebolehan.
Ketiga: Jika ia tetap dalam keadaan ragu, tidak menjadi jelas apakah malam masih tersisa atau fajar telah terbit, maka tidak ada qadhā’ atasnya, karena hukum asalnya adalah tetapnya malam dan kebolehan makan selama belum yakin akan terbitnya fajar.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ طَلَعَ الْفَجْرُ وَفِي فِيهِ طَعَامٌ لَفَظَهُ فَإِنِ ازْدَرَدَهُ أَفْسَدَ صَوْمَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صحيح، إذا اطلع الْفَجْرُ وَفِي فِيهِ طَعَامٌ أَوْ مَاءٌ فَعَلَيْهِ أَنْ يَلْفِظَ الطَّعَامَ، وَيَمُجَّ الْمَاءَ فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ عَلَى صَوْمِهِ، وَكَأَنَّهُ تَمَضْمَضَ وَإِنِ ازْدَرَدَهُ وَابْتَلَعَهُ أَفْطَرَ، وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ إِنْ كَانَ ذَاكِرًا لِصَوْمِهِ، وَصَارَ فِي حُكْمِ الْآكِلِ عَامِدًا، لِأَنَّ حُصُولَ الطَّعَامِ فِي فَمِهِ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ فِي صَوْمِهِ، لِأَنَّهُ لَوْ تَرَكَ ذَلِكَ فِي فَمِهِ جَمِيعَ يَوْمِهِ كَانَ عَلَى صَوْمِهِ، وَإِنْ وَصَلَ طَعْمُهُ إِلَى حَلْقِهِ فَلَوْ سَبَقَهُ الطَّعَامُ وَدَخَلَ إِلَى جَوْفِهِ مِنْ غَيْرِ اخْتِيَارٍ لِازْدِرَادِهِ، وَهُوَ ذَاكِرٌ لِصَوْمِهِ فَفِي إِفْطَارِهِ وَجْهَانِ مُخْرَجَانِ مِنَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ.
أَصَحُّهُمَا: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ.
وَالثَّانِي: لا قضاء عليه.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika fajar telah terbit sementara di mulutnya masih ada makanan, lalu ia meludahkannya maka puasanya sah. Tetapi jika ia menelannya, maka puasanya batal.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Jika fajar telah terbit dan masih ada makanan atau air di mulutnya, maka ia wajib meludahkannya dan memuntahkan air itu. Jika ia melakukannya, maka ia tetap dalam keadaan puasa, dan hukumnya seperti orang yang berkumur-kumur. Namun jika ia menelannya, maka ia telah berbuka, dan wajib baginya mengqadha apabila ia dalam keadaan ingat terhadap puasanya, dan ia dihukumi seperti orang yang makan dengan sengaja.
Keberadaan makanan di mulutnya tidak berpengaruh terhadap puasanya, karena seandainya ia membiarkan makanan itu di dalam mulutnya sepanjang hari, puasanya tetap sah. Tetapi jika rasa makanan itu sampai ke tenggorokan—misalnya makanan tersebut tidak sengaja tertelan dan masuk ke perut tanpa kehendak untuk menelannya, sedangkan ia dalam keadaan sadar akan puasanya—maka ada dua pendapat yang diqiyaskan dari permasalahan kumur-kumur dan istinsyaq:
Pendapat yang paling sahih: wajib qadha atasnya.
Pendapat kedua: tidak wajib qadha atasnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ مُجَامِعًا أَخْرَجَهُ مَكَانَهُ فَإِنْ مَكَثَ شَيْئًا أَوْ تَحَرَّكَ لِغَيْرِ إِخْرَاجِهِ أَفْسَدَ وَقَضَى وَكَفَّرَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ جَامَعَ أَهْلَهُ، فَطَلَعَ عَلَيْهِ الْفَجْرُ، وَهُوَ مُجَامِعٌ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُبَادِرَ إِلَى إِخْرَاجِهِ مَعَ طُلُوعِ الْفَجْرِ سَوَاءً، فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ، وَقَالَ الْمُزَنِيُّ وزفر بن الهذيل: قَدْ بَطَلَ صَوْمُهُ بِالْإِخْرَاجِ، كَمَا يَبْطُلُ صَوْمُهُ بِالْإِيلَاجِ، لِأَنَّ اللَّذَّةَ فِيهِمَا سَوَاءٌ وَهَذَا خَطَأٌ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ صَوْمِهِ، قَوْله تَعَالَى: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفثُ) {البقرة: 187) فَكَانَ جَمِيعُ اللَّيْلِ زَمَانًا لِلْإِبَاحَةِ، فَإِذَا نَزَعَ مَعَ آخِرِ الْإِبَاحَةِ اقْتَضَى أَنْ لَا يَفْسُدَ صَوْمُهُ، وَلِأَنَّ الْإِخْرَاجَ تَرْكُ الْجِمَاعِ وَضِدُّ الْإِيلَاجِ، فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَلِفَ الْحُكْمُ فِيهِمَا، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا دَخَلْتُ هَذِهِ الدَّارَ وَهُوَ دَاخِلُهَا فَبَادَرَ إِلَى الْخُرُوجِ مِنْهَا لَمْ يَحْنَثْ، وَلَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا لَبِسْتُ هَذَا الثَّوْبَ، وَهُوَ لَابِسُهُ فَبَادَرَ إِلَى نَزْعِهِ لَمْ يَحْنَثْ كَذَلِكَ حُكْمُ الْإِخْرَاجِ، يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُخَالِفًا لِحُكْمِ الْإِيلَاجِ.
Masalah:
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:
“Jika seseorang dalam keadaan mujāmi‘ (sedang menggauli), lalu ia segera menariknya saat itu juga, maka jika ia diam sejenak atau bergerak bukan untuk menariknya, maka puasanya batal, ia wajib qadhā’ dan kafārah.”
Al-Māwardī berkata:
Gambaran kasus ini adalah seorang laki-laki menggauli istrinya, lalu fajar terbit sementara ia masih dalam keadaan menggauli. Maka yang wajib baginya adalah segera menariknya ketika terbit fajar, tanpa melihat apakah ia tahu atau tidak tahu. Jika ia melakukannya, maka ia tetap sah berpuasa.
Al-Muzanī dan Zufar bin al-Hudhayl berpendapat: puasanya batal hanya dengan menarik (kemaluan), sebagaimana batal karena memasukkan (kemaluan), karena kenikmatan dalam keduanya sama. Ini adalah pendapat yang salah.
Adapun dalil atas sahnya puasanya adalah firman Allah Ta‘ālā: “Dihalalkan bagi kalian pada malam puasa bercampur dengan istri-istri kalian” (al-Baqarah: 187). Maka seluruh malam adalah waktu kebolehan, sehingga jika seseorang menariknya bersamaan dengan akhir waktu kebolehan, sepatutnya tidak membatalkan puasanya.
Juga karena menarik (kemaluan) adalah meninggalkan jima‘ dan kebalikannya dari memasukkan, maka keduanya semestinya memiliki hukum yang berbeda.
Tidakkah engkau melihat, seandainya seseorang berkata: “Demi Allah, aku tidak akan masuk rumah ini,” sementara ia sedang berada di dalamnya, lalu ia segera keluar, maka ia tidak dihukumi melanggar sumpah. Begitu pula jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan mengenakan pakaian ini,” sementara ia sedang mengenakannya, lalu ia segera melepaskannya, maka ia tidak dihukumi melanggar sumpah. Maka demikian pula hukum menarik (kemaluan), semestinya berbeda dari hukum memasukkan.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا إِنْ لَبِثَ عَلَى جِمَاعِهِ، وَأَمْسَكَ عَنْ إِخْرَاجِهِ، فَقَدْ أَفْسَدَ صَوْمَهُ وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ.
وَقَالَ أبو حنيفة وَالْمُزَنِيُّ: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَلَا كَفَّارَةَ، قَالُوا: وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ الْجِمَاعَ مُنَافٍ لِلصِّيَامِ فَإِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ عَلَيْهِ، وَهُوَ مجامع وطلوع الفجر أول الصوم انْعِقَادِ صَوْمِهِ، لِمُصَادَفَةِ مَا نَافَاهُ فَأَشْبَهَ مَنْ تَرَكَ النِّيَّةِ نَاسِيًا ثُمَّ جَامَعَ، فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَلَا كَفَّارَةَ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِهِمَا عَلَيْهِ هُوَ أَنَّهُ هَتَكَ حُرْمَةَ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ بوطء أثم فِيهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الْقَضَاءُوالكفارة أصله إذا ابتدأ لوطأ فِي خِلَالِ النَّهَارِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَعْنًى إِذَا طَرَأَ عَلَى الصَّوْمِ أَفْسَدَهُ، فَإِذَا قَارَنَ أَوَّلَهُ مَنَعَ انْعِقَادَهُ، فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ الْحُكْمُ فِيمَا يُفْسِدُهُ، وَفِيمَا يَمْنَعُ انْعِقَادَهُ كَالْأَكْلِ يَسْتَوِي الْحُكْمُ فِيهِ، إِذَا قَارَبَ طُلُوعَ الْفَجْرِ، وَإِذَا طَرَأَ عَلَيْهِ فِي خِلَالِ النَّهَارِ، وَلِأَنَّهُ حُكْمٌ يَتَعَلَّقُ بِالْجِمَاعِ إِذَا فَسَدَ الصَّوْمُ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ إِذَا مَنَعَ انْعِقَادَهُ أَصْلُهُ الْقَضَاءُ، فَأَمَّا مَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنْ تَارِكِ النِّيَّةِ، فَلَا دَلِيلَ فِيهِ لَهُمْ لِاسْتِوَاءِ حُكْمِهِ، إِذَا قَارَنَ الصَّوْمَ وَإِذَا طَرَأَ عَلَيْهِ فَنَوَى الْإِفْطَارَ فَإِنَّهُ يُفْطِرُ فِي الْمَوْضِعَيْنِ، وَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ دُونَ الْكَفَّارَةِ فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْوَطْءُ أَيْضًا يَسْتَوِي حُكْمُهُ فِي الْمَوْضِعَيْنِ.
PASAL:
Adapun jika seseorang tetap dalam keadaan melakukan jima‘ dan menahan dari mengeluarkannya, maka ia telah merusak puasanya, dan wajib baginya qadha dan kafarat.
Abū Ḥanīfah dan al-Muzanī berkata: Wajib atasnya qadha saja, tidak kafarat. Mereka beralasan: Karena jima‘ bertentangan dengan puasa, maka apabila fajar terbit dan ia dalam keadaan sedang jima‘, sedangkan terbitnya fajar adalah awal dimulainya puasa, maka saat itu puasa tidak sah karena bersamaan dengan sesuatu yang bertentangan dengannya. Maka hukumnya seperti orang yang lupa berniat, lalu berjima‘—wajib qadha tanpa kafarat.
Adapun dalil atas wajibnya keduanya (qadha dan kafarat) adalah bahwa ia telah melanggar kehormatan satu hari dari bulan Ramaḍān dengan melakukan jima‘ yang berdosa padanya, maka wajib dikenakan qadha dan kafarat, sebagaimana jika ia memulai jima‘ di siang hari. Karena setiap perkara yang jika terjadi di tengah hari merusak puasa, maka jika terjadi di awal hari juga mencegah terbentuknya puasa. Maka harus disamakan hukum antara yang merusak dan yang mencegah terbentuknya puasa, seperti halnya makan—hukumnya sama, baik dilakukan menjelang fajar atau di tengah siang hari.
Dan karena hukum ini berkaitan dengan jima‘ apabila merusak puasa, maka harus juga berlaku jika jima‘ itu mencegah terbentuknya puasa. Adapun istidlal mereka dengan orang yang tidak berniat, maka tidak ada dalil dalam hal itu bagi mereka, karena hukumnya sama—baik ia berniat di awal maupun di tengah hari, jika ia berniat untuk berbuka, maka puasanya batal di kedua keadaan, dan hanya wajib qadha tanpa kafarat. Maka seharusnya jima‘ juga hukumnya disamakan pada dua keadaan tersebut.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ عَلَيْهِ وَهُوَ مُجَامِعٌ فَلَمْ يَعْلَمْ بِطُلُوعِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْ جِمَاعِهِ، ثُمَّ عَلِمَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَلَا كَفَّارَةَ لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ هَتْكَ حُرْمَةِ الصَّوْمِ، وَلَوْ طَلَعَ الْفَجْرُ عَلَيْهِ، وَهُوَ مُجَامِعٌ فَظَنَّ أَنَّ صَوْمَهُ قَدْ بَطَلَ لَوْ أَقْلَعَ، فَمَكَثَ مُمْسِكًا عَنْ إِخْرَاجِهِ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَلَا كَفَّارَةَ لِأَنَّهُ غَيْرُ قَاصِدٍ لِهَتْكِ الْحُرْمَةِ، وَاللَّهُ أعلم.
PASAL
Adapun jika fajar terbit sementara ia masih dalam keadaan mujāmi‘ dan ia tidak mengetahui telah terbitnya fajar hingga ia selesai dari jimaʿ-nya, kemudian ia baru mengetahui, maka ia wajib qadhā’ dan tidak ada kafārah, karena ia tidak bermaksud merusak kehormatan puasa.
Dan jika fajar terbit sementara ia masih dalam keadaan mujāmi‘, lalu ia mengira bahwa puasanya akan batal jika ia segera menghentikannya, maka ia tetap dalam keadaan itu tanpa segera menariknya, maka ia wajib qadhā’ dan tidak ada kafārah, karena ia tidak sengaja merusak kehormatan puasa.
Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ بَيْنَ أَسْنَانِهِ مَا يَجْرِي بِهِ الرِّيقُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا كَانَ بَيْنَ أَسْنَانِهِ مِنْ بَقَايَا أَكْلِهِ مَا يَجْرِي بِهِ الرِّيقُ لَا يُمْكِنُهُ ازدراده خِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ، أَنَّهُ عَلَى صَوْمِهِ لَا يُفْطِرُ لِمَا يَلْحَقُ مِنَ الْمَشَقَّةِ فِي التَّحَرُّزِ مِنْ مِثْلِهِ، فَصَارَ فِي مَعْنَى الدُّخَانِ وَالْغُبَارِ وَالرَّوَايِحِ الْعَطِرَةِ الَّتِي عُفِيَ عَنْهَا لِإِدْرَاكِ الْمَشَقَّةِ في التحرز منها قائماً إِنْ كَانَ بَيْنَ أَسْنَانِهِ مَا يُمْكِنُهُ ازْدِرَادُهُ فَإِنِ ازْدَرَدَهُ، أَفْطَرَ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا، بَلْ كَانَ كَالسِّمْسِمَةِ أَفْطَرَ بِهِ وَقَالَ أبو حنيفة لَا يُفْطِرُ بِهَذَا الْقَدْرِ، لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَأْكُولِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُهُ فِي قَدْرِ مَا يُفْطِرُ بِهِ، وَلَا فَرْقَ عِنْدَنَا بَيْنَ قَلِيلِ ذَلِكَ وَكَثِيرِهِ فِي أَنَّ الْفِطْرَ وَاقِعٌ بِهِ لِحُصُولِ الِازْدِرَادِ وَعَدَمِ التَّخْصِيصِ، فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنْ أَكْلِ الْمَغِصَا وَأَمَرَ بِأَكْلِ الْقَضْمِ وَالْمَغِصَا مَا لَمْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْنِ الْأَسْنَانِ إِلَّا بِالْخِلَالِ، وَالْقَضْمُ مَا خَرَجَ بِاللِّسَانِ بلذة أكل لم يخرج بالخلال لأنه في حكم المأكول كالقيء وأمر بأكله فَكَانَ إِخْرَاجُ مَا خَرَجَ بِاللِّسَانِ كَالْبَاقِي فِي الْفَمِ، وَأُطْلِقَ اسْمُ الْأَكْلِ عَلَيْهِمَا فَدَلَّ عَلَى اسْتِوَائِهِمَا فِي الْفِطْرِ.
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika ada sisa makanan di antara giginya yang tercampur dengan air liur, maka tidak wajib qadha atasnya.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Jika ada sisa makanan dari makan sebelumnya yang berada di antara giginya dan terbawa oleh air liur, serta ia tidak mampu menelannya (karena kecil dan melekat), maka menurut kesepakatan fuqahā’, puasanya tetap sah dan tidak batal. Sebab, dalam hal ini terdapat kesulitan untuk menghindarinya, sehingga hukumnya disamakan dengan asap, debu, dan bau-bauan wangi yang dimaafkan karena sulit menghindar darinya.
Namun jika sisa makanan itu berada di antara giginya dan memungkinkan untuk ditelan, lalu ia menelannya, maka puasanya batal—baik sedikit atau banyak, bahkan meskipun hanya sebesar biji wijen (simsimah), tetap membatalkan puasa.
Abū Ḥanīfah berpendapat: Tidak batal puasa karena kadar sekecil itu, karena masih dalam hukum mā’kūl (makanan), dan para sahabatnya berbeda pendapat tentang kadar yang membatalkan.
Namun menurut kami (mazhab al-Syāfi‘ī), tidak ada perbedaan antara sedikit dan banyak; puasanya batal selama terjadi penelanan (izdirād), karena tidak ada dalil yang mengecualikan. Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau melarang makan al-maghiṣā dan memerintahkan makan al-qaḍm. Al-maghiṣā adalah sisa yang tidak bisa keluar dari sela gigi kecuali dengan tusuk gigi (khilāl), sedangkan al-qaḍm adalah yang keluar dengan lidah karena lezatnya makanan, bukan dengan tusuk gigi.
Karena itu, mengeluarkan sisa makanan dengan lidah dihukumi seperti sisa yang masih di dalam mulut. Dan karena keduanya disebut makan secara lafaz, maka menunjukkan bahwa keduanya setara dalam hal membatalkan puasa.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا بَلْعُ الرِّيقِ، وَازْدِرَادُهُ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَبْلَعَ ما يتخلف في فمه حالاً فحالا، فهذا جايز لَا يَفْسُدُ بِهِ الصَّوْمُ، لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ الاحتراز منه.
وَالثَّانِي: أَنْ يَمُجَّ الرِّيقَ مِنْ فَمِهِ ثُمَّ يَزْدَرِدُهُ وَيَبْتَلِعُهُ فَهَذَا يُفْطِرُ بِهِ إِجْمَاعًا، لِأَنَّهُ كَالْمُسْتَأْنِفِ لِلْأَكْلِ.
PASAL
Adapun menelan air liur (riq) dan meneguknya, maka terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: Menelan air liur yang senantiasa ada dalam mulut dari waktu ke waktu, maka ini diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa, karena tidak mungkin menghindarinya.
Kedua: Meludahkan air liur dari mulutnya, lalu meneguk dan menelannya kembali, maka ini membatalkan puasa menurut ijma‘, karena hal itu seperti memulai makan dari awal.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَجْمَعَهُ فِي فَمِهِ حَتَّى يَكْثُرَ، ثُمَّ يَبْتَلِعَهُ فَفِي فِطْرِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ أَفْطَرَ بِهِ لِأَنَّهُ لَا مَشَقَّةَ فِي التَّحَرُّزِ مِنْ مِثْلِهِ.
وَالثَّانِي: لَا يُفْطِرُ لِأَنَّهُ لَا يُفْطِرُ بِقَلِيلِهِ، فَكَذَلِكَ لَا يُفْطِرُ بِكَثِيرِهِ، وَأَمَّا النُّخَامَةُ إِذَا ابْتَلَعَهَا فَفِيهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ أَفْطَرَ بِهَا.
وَالثَّانِي: لَمْ يُفْطِرْ بِهَا، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يُفْطِرُ، فَإِنْ أَخْرَجَهَا مِنْ صَدْرِهِ ثُمَّ ابْتَلَعَهَا فَقَدْ أَفْطَرَ كَالْقَيْءِ، وَإِنْ أَخْرَجَهَا مِنْ حَلْقِهِ، أَوْ دِمَاغِهِ لَمْ يفطر كالريق.
Dan bagian ketiga:
Jika seseorang mengumpulkan sisa makanan di mulutnya hingga menjadi banyak, lalu menelannya, maka dalam hal batalnya puasa terdapat dua wajah (pendapat):
Pertama: Ia batal puasanya, karena tidak ada kesulitan untuk menghindari hal semacam ini.
Kedua: Ia tidak batal, karena jika tidak batal dengan yang sedikit, maka yang banyak juga tidak membatalkannya.
Adapun dahak (nukhāmah), apabila ditelan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: Puasanya batal karenanya.
Kedua: Tidak batal.
Dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah bahwa puasanya batal, karena jika ia mengeluarkannya dari dadanya kemudian menelannya, maka itu seperti muntah—dan puasanya batal. Namun jika ia mengeluarkannya dari tenggorokannya atau dari otaknya (rongga kepala bagian atas), lalu menelannya, maka tidak batal, karena ia seperti air liur.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ تَقَيَّأَ عَامِدًا أَفْطَرَ وَإِنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ لَمْ يُفْطِرْ وَاحْتَجَّ فِي الْقَيْءِ بِابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما (قال المزني) وقد رُوِّينَاهُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (قال المزني) أقرب ما يحضرني للشافعي فيما يجري به الريق أنه لا يفطر ما غلب الناس من الغبار في الطريق وغربلة الدقيق وهدم الرجل الدار وما يتطاير من ذلك في العيون والأنوف والأفواه وما كان من ذلك يصل إلى الحلق حين يفتحه فيدخل فيه فيشبه ما قال الشافعي من قلة ما يجري به الريق (قال) وحدثني إبراهيم قال سمعت الربيع أخبر عن الشافعي قال الذي أحب أن يفطر يوم الشك أن لا يكون صوماً كان يصومه ويحتمل مذهب ابن عمر أن يكون متطوعاً قبله ويحتمل خلافه “.
Masalah:
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang muntah dengan sengaja, maka batal puasanya. Namun jika ia didahului muntah tanpa disengaja, maka tidak batal puasanya.”
Beliau berhujjah dalam perkara muntah dengan atsar dari Ibn ‘Umar RA.
(Al-Muzanī berkata:) Dan telah kami riwayatkan hal ini dari Nabi SAW.
(Al-Muzanī berkata:) Yang paling dekat dari pendapat al-Syāfi‘ī tentang hal-hal yang terbawa oleh air liur adalah bahwa tidak membatalkan puasa apa yang tak dapat dihindari oleh manusia, seperti debu di jalan, saringan tepung, reruntuhan bangunan yang roboh, dan apa yang beterbangan dari itu semua lalu masuk ke mata, hidung, atau mulut. Jika sesuatu dari itu sampai ke tenggorokan saat terbuka dan masuk ke dalam, maka itu menyerupai apa yang dikatakan oleh al-Syāfi‘ī tentang sedikitnya hal yang terbawa oleh air liur.
(Beliau juga berkata:) Ibrahim meriwayatkan kepadaku, ia berkata: Aku mendengar al-Rabī‘ mengabarkan dari al-Syāfi‘ī bahwa beliau berkata: “Yang aku sukai adalah seseorang yang berpuasa pada hari syak agar tidak melakukannya dengan puasa yang biasa ia lakukan sebelumnya.” Dan bisa jadi pendapat Ibn ‘Umar adalah bahwa itu puasa sunnah yang telah didahuluinya, dan bisa pula sebaliknya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ الْقَيْءُ عِنْدَنَا كَالْأَكْلِ سَوَاءٌ إِنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا أَفَطَرَ وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ وَإِنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ وَغَلَبَهُ لَمْ يُفْطِرْ.
وجكي عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ الْقَيْءَ لا يفطر بحال تعلقا بقوله
” ثلاث لا يفطرتن الصَّائِمَ الْقَيْءُ وَالْحِجَامَةُ وَالِاحْتِلَامُ “.
Berkata al-Māwardī: Hal ini sebagaimana dikatakan, bahwa muntah (al-qay’u) menurut kami (mazhab Syāfi‘ī) hukumnya seperti makan. Jika seseorang muntah dengan sengaja, maka puasanya batal dan wajib qadha. Namun jika muntah itu datang tanpa disengaja dan tidak dapat ditahan, maka tidak membatalkan puasa.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dan Ibnu Mas‘ūd bahwa muntah tidak membatalkan puasa dalam kondisi apa pun, dengan berpegang pada sabda Nabi SAW:
“Tiga perkara tidak membatalkan puasa orang yang berpuasa: muntah, hijāmah, dan ihtilām.”
وَحُكِيَ عَنْ عَطَاءٍ وَأَبِي ثَوْرٍ: أَنَّ الْقَيْءَ يُفْطِرُ بِكُلِّ حَالٍ، وَيُوجِبُ الْقَضَاءَ وَالْكَفَّارَةَ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا قُلْنَاهُ، وَإِبْطَالِ مَا عَدَاهُ: رِوَايَةُ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ ” وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مِنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا أَفْطَرَ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ لَمْ يُفْطِرْ ” وَرَوَى مَعْدَانُ بْنُ طَلْحَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَاءَ فَأَفْطَرَ فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا يَكُونُ الْفِطْرُ بِمَا يَدْخُلُ الْجَوْفَ لَا بِمَا يَخْرُجُ مِنْهُ قُلْنَا: قَدْ يَكُونُ الْفِطْرُ بِالْأَمْرَيْنِ مَعًا أَلَا تَرَى، أَنَّ مَنْ قَبَّلَ أَوْ لَمَسَ فَأَنْزَلَ أَفْطَرَ، وَإِنْ كَانَ الْمَنِيُّ خَارِجًا مِنْهُ، عَلَى أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ عَوْدِ بَعْضِ الْقَيْءِ إِلَى جَوْفِهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ ” ثَلَاثٌ لَا يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ ” فَمَحْمُولٌ عَلَيْهِ إِذَا ذَرَعَهُ الْقَيْءُ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَاهُ فَأَمَّا خَبَرُنَا، فَفِيهِ دَلَائِلُ:
أَحَدُهَا: مِنْهَا أَنَّ الْأَكْلَ عَامِدًا يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ وَلَا كفارة؛ لأنه كالمتقيء عَامِدًا.
وَمِنْهَا أَنَّ الْأَكْلَ نَاسِيًا لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَلَا كَفَّارَةَ.
وَمِنْهَا أَنَّ الْمُكْرَهَ عَلَى الْإِفْطَارِ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا فِي مَعْنَى من غلبه القيء.
Diriwayatkan dari ‘Aṭā’ dan Abū Ṯaur bahwa muntah membatalkan puasa dalam segala keadaan, dan mewajibkan qaḍāʼ dan kafārah.
Dalil atas benarnya pendapat kami dan batilnya pendapat selainnya adalah riwayat Ibn Sīrīn dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa sengaja muntah maka wajib baginya qaḍāʼ, dan barang siapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak ada qaḍāʼ atasnya.”
Dan diriwayatkan Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang sengaja muntah maka ia batal puasanya, dan barang siapa yang tidak sengaja muntah maka tidak batal puasanya.”
Dan diriwayatkan Ma‘dān bin Ṭalḥah dari Abū al-Dardā’ bahwa Rasulullah SAW pernah muntah lalu beliau berbuka.
Jika dikatakan bahwa batal puasa itu hanya karena sesuatu yang masuk ke dalam perut, bukan yang keluar darinya, maka kami jawab: bisa saja batal puasa itu karena keduanya sekaligus. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang mencium atau menyentuh lalu keluar mani, maka batal puasanya, padahal mani itu keluar dari dirinya?
Selain itu, tidak mungkin tidak ada sebagian muntahan yang kembali masuk ke dalam perutnya.
Adapun sabda beliau, “Tiga hal yang tidak membatalkan puasa” itu dimaknai apabila muntahnya tidak disengaja, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil yang telah kami sebutkan.
Adapun hadis kami, mengandung beberapa dalil:
Pertama, bahwa orang yang makan dengan sengaja wajib qaḍāʼ tanpa kafārah, karena keadaannya seperti orang yang sengaja muntah.
Kedua, bahwa orang yang makan karena lupa tidak wajib qaḍāʼ dan tidak pula kafārah.
Ketiga, bahwa orang yang dipaksa berbuka tidak wajib qaḍāʼ, karena keadaannya seperti orang yang muntah tanpa sengaja.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” إِذَا أُكْرِهَ عَلَى الْفِطْرِ لَا يُفْطِرُ عِنْدَنَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَالَ أبو حنيفة يُفْطِرُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ أَكَلَ لِدَفْعِ الضَّرَرِ عَنْ نَفْسِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يُفْطِرَ بِهِ كَالْمَرِيضِ، وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ ” وَلِأَنَّ مَحْظُورَاتِ الصِّيَامِ طَرَأَتْ بِغَيْرِ فِعْلِهِ لَمْ يُفْطِرْ بِهَا كَغُبَارِ الدَّقِيقِ، وَلِأَنَّ الْأَكْلَ نَاسِيًا أَحْسَنُ حَالًا مِنَ الْمُكْرَهِ، وَلَا يُفْطِرُ بِهِ فَكَانَ الْمُكْرَهُ أَوْلَى أَنْ لَا يُفْطِرَ، فَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْمَرِيضِ فَهُوَ أَكْلٌ لِأَجْلِ الْمَرَضِ مُخْتَارًا، فَخَالَفَ الْمُكْرَهَ الَّذِي أُوْجِرَ الطَّعَامُ فِي حَلْقِهِ، فَإِنْ دُفِعَ إِلَيْهِ الطَّعَامُ، فَأُكْرِهَ بِالتَّخْوِيفِ حَتَّى أَكَلَهُ فَفِي فِطْرِهِ بِهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا: يُفْطِرُ بِهِ كَالْمَرِيضِ.
وَالثَّانِي: لَا يُفْطِرُ بِهِ لِارْتِفَاعِ الِاخْتِيَارِ وثبوت الإكراه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang dipaksa untuk berbuka, maka tidak batal puasanya menurut kami.”
Al-Māwardī berkata: Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa puasanya batal, dengan alasan bahwa ia makan untuk menolak bahaya dari dirinya, maka wajib batal karenanya sebagaimana orang sakit.
Dalil kami adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā telah memaafkan dari umatku kesalahan, lupa, dan apa yang mereka dipaksa melakukannya.” Dan karena larangan dalam puasa terjadi tanpa perbuatannya sendiri, maka tidak membatalkan puasa, seperti debu tepung yang masuk ke tenggorokan. Dan karena makan karena lupa lebih ringan dibanding orang yang dipaksa, sementara tidak membatalkan puasa, maka orang yang dipaksa lebih utama untuk tidak membatalkan puasa.
Adapun qiyās terhadap orang sakit, maka ia makan karena sakit secara sadar, sehingga berbeda dengan orang yang dipaksa yang disuapi makanan ke dalam tenggorokannya.
Jika makanan diberikan kepadanya, lalu ia dipaksa dengan ancaman hingga ia memakannya, maka terdapat dua pendapat tentang batal atau tidaknya puasanya:
Pertama: batal, sebagaimana orang sakit.
Kedua: tidak batal, karena hilangnya kehendak dan tetapnya unsur paksaan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَصْبَحَ لَا يَرَى أَنَّ يَوْمَهُ مِنْ رَمَضَانَ وَلَمْ يَطْعَمْ ثُمَّ اسْتَبَانَ ذَلِكَ لَهُ فَعَلَيْهِ صِيَامُهُ وَإِعَادَتُهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يُصْبِحَ يَوْمَ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ عَلَى شَكٍّ ثُمَّ تَبَيَّنَ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ بِشَهَادَةِ عَدْلَيْنِ عَلَى الْهِلَالِ، فَعَلَيْهِ وَعَلَى النَّاسِ أَنْ يُمْسِكُوا بَقِيَّةَ يَوْمِهِمْ، وَلَا يُفْطِرُوا سَوَاءً أَكَلُوا فِي أَوَّلِهِ أَوْ لَمْ يَأْكُلُوا لِأَنَّهُ لَمَّا بَانَ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ لَزِمَ الْتِزَامُ حُرْمَتِهِ، وَإِمْسَاكُ بَقِيَّتِهِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الْإِمْسَاكِ هَلْ يُسَمَّى صَوْمًا شَرْعًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang memasuki waktu pagi dalam keadaan tidak meyakini bahwa harinya termasuk dari bulan Ramaḍān dan ia belum makan, lalu ternyata jelas baginya bahwa hari itu adalah dari bulan Ramaḍān, maka ia wajib berpuasa dan mengqadhanya.”
Al-Māwardī berkata: Gambaran masalah ini adalah seseorang memasuki pagi hari pada tanggal tiga puluh Sya‘bān dalam keadaan ragu, lalu ternyata jelas bahwa hari itu adalah bagian dari bulan Ramaḍān berdasarkan kesaksian dua orang adil atas terlihatnya hilal. Maka ia dan orang-orang wajib menahan diri (berpuasa) sisa harinya, dan tidak berbuka, baik mereka telah makan di awal hari maupun belum, karena ketika telah nyata bahwa itu adalah hari dari bulan Ramaḍān, maka wajib menjaga kehormatannya dan menahan diri pada sisa harinya.
Para sahabat kami berbeda pendapat apakah penahanan diri ini disebut ṣaum secara syar‘ī atau tidak, menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ: إِنَّهُ يُسَمَّى صَوْمًا شَرْعِيًّا بِوُجُوبِ الْإِمْسَاكِ فِيهِ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا: إِنَّهُ إِمْسَاكٌ وَاجِبٌ، فَأَمَّا أَنْ يَكُونَ صَوْمًا شَرْعِيًّا فَلَا لِأَنَّهُ لَا يَقَعُ الِاعْتِدَادُ بِهِ لَا عَنْ رَمَضَانَ، وَلَا عَنْ غَيْرِهِ، فَإِذَا أَمْسَكُوا بَقِيَّةَ يَوْمِهِمْ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَعَلَيْهِمْ، الْإِعَادَةُ بِكُلِّ حَالٍ طَعِمُوا بِهِ أَمْ لَا لِإِخْلَالِهِمْ بِالنِّيَّةِ عَنِ اللَّيْلِ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ بَانَ لَهُمْ قَبْلَ الزَّوَالِ، وَلَمْ يَطْعَمُوا أَجْزَأَهُمْ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي جَوَازِ النِّيَّةِ نَهَارًا وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ مُسْتَوْفًى فَأَغْنَى عَنْ إِعَادَتِهِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ وَطِئَ فِي يَوْمِهِ هَذَا لَمْ يَلْزَمْهُ كَفَّارَةٌ، لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمُفْطِرِ، وَإِنْ لَزِمَهُ الْإِمْسَاكُ، وَكَذَلِكَ لَوْ نَسِيَ النِّيَّةَ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى أَصْبَحَ ثُمَّ وَطِئَ فِي نَهَارِهِ لَزِمَهُ القضاء ولا كفارة.
Pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq: bahwa hari tersebut tetap disebut puasa secara syar‘i karena kewajiban menahan diri (imṣāk) di dalamnya.
Kedua, yaitu pendapat mayoritas sahabat kami: bahwa itu adalah imṣāk yang wajib, namun tidak disebut puasa secara syar‘i, karena tidak bisa dianggap sebagai penggugur kewajiban baik dari Ramadhan maupun dari selainnya. Maka apabila mereka menahan diri sisa hari itu sebagaimana telah disebutkan, tetap wajib bagi mereka untuk mengulang puasanya dalam segala keadaan, baik mereka telah makan maupun belum, karena mereka telah lalai dalam niat dari malam hari.
Abū Ḥanīfah berkata: jika jelas bagi mereka sebelum zawāl (tergelincir matahari), dan mereka belum makan, maka mencukupi mereka, berdasarkan pada pendapat pokoknya yang membolehkan niat puasa di siang hari—dan pembahasan dengannya telah lalu secara tuntas sehingga tidak perlu diulang kembali.
Berdasarkan hal itu, jika seseorang berhubungan badan pada hari itu, maka tidak wajib kafārah baginya, karena ia dihukumi sebagai orang yang tidak berpuasa, meskipun wajib imṣāk. Demikian pula, jika seseorang lupa berniat pada malam hari di bulan Ramadhan hingga pagi tiba, lalu berhubungan badan di siangnya, maka wajib qaḍāʼ atasnya, namun tidak ada kafārah.
مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ نَوَى أَنْ يَصُومَ غَدًا فَإِنْ كَانَ أَوَّلَ الشَّهْرِ فَهُوَ فَرْضٌ وَإِلَّا فَهُوَ تَطَوُّعٌ فَإِنْ بَانَ لَهُ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ لَمْ يجزئه لِأَنَّهُ لَمْ يَصُمْهُ عَلَى أَنَّهُ فرضٌ وَإِنَّمَا صَامَهُ عَلَى الشَّكِّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang berniat untuk berpuasa esok hari, maka jika itu awal bulan (Ramaḍān) maka itu adalah puasa fardhu, dan jika tidak maka itu adalah puasa tathawwu‘. Jika ternyata hari itu adalah hari dari bulan Ramaḍān, maka tidak mencukupi (tidak sah puasanya), karena ia tidak berpuasa dengan niat fardhu, melainkan ia berpuasa dalam keadaan ragu.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.
إِذَا أَمْسَى النَّاسُ لَيْلَةَ ثَلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ عَلَى شَكٍّ مِنْ دُخُولِ رَمَضَانَ فَنَوَى رَجُلٌ، وَقَالَ أَنَا غَدًا صَائِمٌ، فَإِنْ كَانَ مِنْ رَمَضَانَ، فَهُوَ فَرْضٌ، وَإِنْ كَانَ مِنْ شَعْبَانَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ، فَبَانَ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ لَمْ يُجْزِهِ وَلَزِمَتْهُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عَلَى غَيْرِ يَقِينٍ مِنْ دُخُولِهِ، وَلَا مُسْتَنِدٌ إِلَى أَصْلٍ يَجْرِي الْحُكْمُ عَلَيْهِ إِذِ الْأَصْلُ بَقَاءُ شَعْبَانَ، وَهُوَ عَلَى شَكٍّ مِنْ دُخُولِ رَمَضَانَ وَبَيَانُ هَذَا فِي الزَّكَاةِ، أَنْ يُخْرِجَ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ، وَيَقُولَ: إِنْ وَرِثْتُ مَالَ وَالِدِي، فَهَذِهِ زَكَاتُهُ، وَإِنْ كَانَ حَيًّا، وَلَمْ يَمُتْ فَهِيَ تَطَوُّعٌ فَبَانَ لَهُ مَوْتُ وَالِدِهِ، وَأَنَّهُ كَانَ مَالِكًا لِلْمَالِ عِنْدَ إِخْرَاجِهِ لَمْ يُجْزِهِ لِأَنَّهُ أَخْرَجَهُ، وَهُوَ عَلَى شَكٍّ مِنْ تَمَلُّكِهِ، وَالْأَصْلُ حَيَاةُ وَالِدِهِ، وَلَوْ قَالَ: أَنَا غَدًا صَائِمٌ، فَإِنْ كَانَ مِنْ رَمَضَانَ، فَهُوَ فَرْضٌ أَوْ نَافِلَةٌ، فبان أن مِنْ رَمَضَانَ لَمْ يُجْزِهِ، لِمَعْنَيَيْنِ:
Apabila orang-orang berada di malam ketiga puluh dari bulan Sya‘bān dalam keadaan ragu terhadap masuknya Ramadhan, lalu seseorang berniat dan berkata: “Aku besok berpuasa, jika ternyata dari Ramadhan maka itu fardu, dan jika dari Sya‘bān maka itu sunnah,” kemudian ternyata hari itu dari Ramadhan, maka puasanya tidak mencukupi dan ia wajib mengulangnya.
Hal ini karena niatnya tidak berdasarkan keyakinan atas masuknya Ramadhan, dan juga tidak bersandar pada suatu dasar yang padanya dapat dibangun hukum, karena asalnya adalah keberlangsungan bulan Sya‘bān, dan dia dalam keadaan ragu tentang masuknya Ramadhan.
Penjelasan hal ini seperti dalam zakat: seseorang mengeluarkan lima dirham dan berkata, “Jika aku mewarisi harta ayahku, maka ini zakatnya, dan jika ia masih hidup, maka ini sedekah sunnah.” Lalu ternyata ayahnya sudah wafat, dan ia memang telah memiliki harta pada saat mengeluarkan zakat tersebut, maka itu tidak mencukupi karena ia mengeluarkannya dalam keadaan ragu terhadap kepemilikannya, sementara asalnya adalah hidupnya sang ayah.
Dan jika ia berkata, “Aku besok berpuasa, jika itu Ramadhan maka fardu atau sunnah,” lalu ternyata itu dari Ramadhan, maka tetap tidak mencukupi karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: مَا ذكرنا.
وَالثَّانِي: الِاشْتِرَاكُ بَيْنَ الْفَرْضِ، وَالنَّافِلَةِ وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: أَنَا غَدًا صَائِمٌ إِنْ كَانَ مِنْ رمضان، فإن لَمْ يَكُنْ مِنْ رَمَضَانَ فَأَنَا مُفْطِرٌ فَبَانَ مِنْ رَمَضَانَ لَمْ يُجْزِهِ لِأَنَّهُ جَعَلَ نِيَّتَهُ مُشْتَرَكَةً بَيْنَ صَوْمِهِ وَفِطْرِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: أَنَا غَدًا صَائِمٌ إِنْ كَانَ مِنْ رَمَضَانَ، فبان من رمضان لم يجزه، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ رَمَضَانَ فَأَنَا مُفْطِرٌ، فَبَانَ مِنْ رَمَضَانَ لَمْ يُجْزِهِ.
Salah satu dari keduanya: adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Dan yang kedua: adalah adanya penggabungan antara fardhu dan nāfilah. Begitu pula jika seseorang berkata: “Aku besok akan berpuasa jika hari itu dari bulan Ramaḍān, dan jika bukan dari Ramaḍān maka aku berbuka,” lalu ternyata hari itu adalah dari Ramaḍān, maka tidak mencukupi (tidak sah puasanya), karena ia menjadikan niatnya terbagi antara puasa dan berbuka.
Demikian pula jika ia berkata: “Aku besok akan berpuasa jika hari itu dari Ramaḍān,” lalu ternyata hari itu dari Ramaḍān, maka tidak mencukupi (tidak sah puasanya). Dan jika bukan dari Ramaḍān, maka aku berbuka—lalu ternyata hari itu dari Ramaḍān, maka tetap tidak mencukupi (tidak sah puasanya).
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا أَمْسَى النَّاسُ لَيْلَةَ ثَلَاثِينَ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى شَكٍّ مِنْ دُخُولِ شَوَّالٍ، فَقَالَ رَجُلٌ: أَنَا غَدًا صَائِمٌ إِنْ كَانَ مِنْ رَمَضَانَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ رَمَضَانَ، فَأَنَا مُفْطِرٌ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ أَجْزَأَهُ وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: أَنَا غَدًا صَائِمٌ، فَإِنْ كَانَ مِنْ رَمَضَانَ، فَهُوَ فَرْضٌ وَإِنْ كَانَ مِنْ شَوَّالٍ، فَهُوَ تَطَوُّعٌ، فَبَانَ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ أَجْزَأَهُ لَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّهُ إِنْ بَانَ مِنْ شَوَّالٍ فَهُوَ مُفْطِرٌ، وَإِنْ نَوَى الصَّوْمَ، وَإِنَّمَا أَجْزَأَهُ عَنْ فَرْضِهِ فِي هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ، وَلَمْ يُجْزِهِ فِيمَا تَقَدَّمَ لِأَنَّ حُكْمَ رَمَضَانَ ثَابِتٌ لَهُ، مَا لَمْ يَتَيَقَّنْ زَوَالَهُ بِحُدُوثِ مَا سِوَاهُ فَصَارَ أَصْلًا يَسْتَنِدُ إِلَيْهِ، وَمِثَالُ هَذَا مِنَ الزَّكَاةِ أَنْ يُخْرِجَ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ فَيَقُولُ: هَذَا زَكَاةُ مَالِي الْغَائِبِ إِنْ كَانَ سَالِمًا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ سَالِمًا فَنَافِلَةٌ فَبَانَ سَالِمًا أَجْزَأَهُ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ مَالِهِ مَا لَمْ يُعْلَمْ تَلَفُهُ، فَلَوْ قَالَ: أَنَا غَدًا صَائِمٌ إِنْ كَانَ مِنْ رَمَضَانَ أَوْ مُفْطِرٌ، فَبَانَ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ لَمْ يُجْزِهِ، لِأَنَّهُ جَعَلَ نِيَّتَهُ مُشْتَرَكَةً بَيْنَ صَوْمِهِ، وَفِطْرِهِ وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: أَنَا غَدًا صَائِمٌ فَإِنْ بَانَ مِنْ رَمَضَانَ، فَهُوَ فَرْضٌ أَوْ نَافِلَةٌ لَمْ يُجْزِهِ، وَمِثَالُهُ مِنَ الزَّكَاةِ أَنْ يَقُولَ: هَذَا زَكَاةُ مَالِي الْغَائِبِ، إِنْ كَانَ سَالِمًا، أَوْ نَافِلَةٌ لَا يُجْزِئُهُ، وَإِنْ كَانَ سَالِمًا لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ بِالنِّيَّةِ قَصْدَ فَرْضٍ خَالِصٍ، وَإِنَّمَا جَعَلَهَا مُشْتَرَكَةً بَيْنَ فَرْضٍ وَنَافِلَةٍ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Adapun apabila orang-orang berada di malam ketiga puluh dari bulan Ramadhan dalam keadaan ragu terhadap masuknya Syawwal, lalu seseorang berkata: “Aku besok berpuasa, jika masih dari Ramadhan maka itu fardu, dan jika tidak dari Ramadhan maka aku berbuka,” lalu ternyata hari itu adalah dari Ramadhan, maka puasanya sah.
Demikian pula jika ia berkata: “Aku besok berpuasa; jika dari Ramadhan maka fardu, dan jika dari Syawwal maka sunnah,” lalu ternyata hari itu dari Ramadhan, maka puasanya sah. Tidak ada perbedaan antara keduanya, karena jika ternyata hari itu dari Syawwal, maka ia dalam keadaan tidak berpuasa, meskipun telah berniat puasa.
Dan sungguh puasanya sah sebagai pelaksanaan kewajiban dalam kedua kasus ini, sedangkan tidak sah pada kasus sebelumnya karena hukum Ramadhan masih tetap berlaku baginya selama belum diyakini telah keluarnya (bulan Ramadhan) dengan munculnya hal lain (seperti rukyat hilal Syawwal), maka hukum Ramadhan tetap menjadi dasar yang dapat dijadikan sandaran.
Contoh dari hal ini dalam zakat: seseorang mengeluarkan lima dirham dan berkata: “Ini zakat hartaku yang sedang tidak ada di hadapan (ghā’ib), jika ternyata masih selamat. Jika tidak selamat maka ini sedekah sunnah.” Lalu ternyata hartanya masih selamat, maka itu mencukupi, karena asalnya adalah tetapnya keberadaan hartanya selama belum diketahui telah musnah.
Namun jika ia berkata: “Aku besok berpuasa, jika dari Ramadhan maka aku berpuasa, jika tidak maka aku berbuka,” lalu ternyata itu dari Ramadhan, maka tidak sah puasanya, karena ia menjadikan niatnya bercampur antara niat puasa dan berbuka.
Demikian pula jika ia berkata: “Aku besok berpuasa; jika dari Ramadhan maka itu fardu atau sunnah,” maka tidak sah puasanya.
Contohnya dalam zakat adalah seseorang berkata: “Ini zakat hartaku yang sedang tidak ada di hadapan, jika masih selamat atau sedekah sunnah.” Maka itu tidak mencukupi, meskipun ternyata hartanya masih selamat, karena ia tidak meniatkan kewajiban secara murni, tetapi mencampurkan antara niat fardu dan sunnah. Dan Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ عَقَدَ رَجُلٌ عَلَى أَنَّ غَدًا عِنْدَهُ مِنْ رَمَضَانَ فِي يَوْمِ شَكٍّ ثَمَّ بَانَ لَهُ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ أَجْزَأْهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا صَحَّ عِنْدَهُ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ، لِأَنَّهُ رَآهُ وَحْدَهُ، وَالْقَاضِي لا يسمع قوله، والقاضي أَخْبَرَهُ بِمَا يَثِقُ بِهِ مِنْ أَهْلِهِ، وَعَبِيدِهِ فَنَوَى صِيَامَ الْغَدِ، وَالنَّاسُ عَلَى شَكٍّ ثُمَّ بَانَ لَهُمْ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ فَقَدْ أَجْزَأَهُ صَوْمُهُ، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ دَخَلَ فِي الصَّوْمِ عَنْ دَلَالَةٍ، وَاسْتَفْتَحَ الْعِبَادَةَ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ لَا بِالشُّبْهَةِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ سَمِعَ أَذَانَ الظُّهْرِ، فَاسْتَفْتَحَ الصَّلَاةَ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ لم يعلم يقين دخول الوقت أجزأه، ولو استفتحها عن شُبْهَةٍ وَشَكٍّ لَمْ يُجْزِهِ، وَإِنْ صَادَفَ الْوَقْتَ فَكَذَا الصِّيَامُ مِثْلُهُ فِي الْمَوْضِعَيْنِ فَأَمَّا إِذَا عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ بِحِسَابِ النُّجُومِ، وَمَنَازِلِ الْقَمَرِ فَنَوَى الصَّوْمَ، ثُمَّ بَانَ لِلنَّاسِ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menetapkan bahwa esok hari menurutnya adalah dari bulan Ramaḍān pada hari syak, lalu ternyata benar bahwa itu dari Ramaḍān, maka puasanya mencukupi.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan—jika telah sah menurutnya bahwa esok adalah dari bulan Ramaḍān, karena ia melihat hilal sendiri, dan qāḍī tidak menerima kesaksiannya, atau qāḍī memberitahunya berdasarkan berita yang ia percaya dari keluarga atau budaknya, maka ia berniat puasa esok harinya, sementara orang-orang masih dalam keadaan ragu. Lalu ternyata bagi mereka bahwa itu adalah dari bulan Ramaḍān, maka puasanya mencukupi dan tidak wajib mengqadha.
Karena ia telah memulai puasa berdasarkan petunjuk dan memulai ibadah dengan ghalabat al-ẓann (dugaan kuat), bukan karena syubhat. Tidakkah engkau lihat bahwa jika seseorang mendengar azan ẓuhr, lalu memulai shalat dengan dugaan kuat (masuk waktu), maka shalatnya mencukupi meskipun belum yakin masuk waktu? Maka itu mencukupi. Tapi jika ia memulai shalat karena syubhat dan keraguan, maka tidak mencukupi, meskipun ternyata bertepatan dengan masuk waktu. Demikian pula halnya puasa, sama hukumnya pada dua keadaan ini.
Adapun jika ia meyakini bahwa esok adalah dari Ramaḍān hanya berdasarkan perhitungan bintang dan posisi bulan, lalu berniat puasa, kemudian ternyata bagi orang-orang bahwa hari itu memang dari Ramaḍān, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat dari para sahabat kami.
أَحَدُهُمَا: يُجْزِيهِ صَوْمُهُ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ اسْتَنَدَ إِلَى دَلَالَةٍ وَقَعَ لَهُ الْعِلْمُ بِهَا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُجْزِيهِ وَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ لِأَنَّ النُّجُومَ لَا مَدْخَلَ لَهَا فِي الْعِبَادَاتِ وَأَحْكَامِ الشَّرْعِ أَلَا تَرَى أَنَّ النُّجُومَ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ فِي الْعِلْمِ بِدُخُولِ الشَّهْرِ.
وَفِيهِ وَجْهٌ ثَالِثٌ: إِنَّهُ إِنْ عَلِمَ ذَلِكَ مِنْ مَنَازِلِ الْقَمَرِ، وَتَقْدِيرِ شَهْرِهِ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ عَلِمَهُ بِالنُّجُومِ لَمْ يجزه.
Pertama: puasanya sah dan tidak wajib mengulang, karena ia bersandar pada suatu petunjuk yang dengannya ia memperoleh ilmu (yakin).
Wajah kedua: tidak sah puasanya dan ia wajib mengulang, karena bintang-bintang tidak memiliki peran dalam ibadah dan hukum-hukum syariat. Tidakkah engkau melihat bahwa bintang-bintang bukanlah syarat untuk mengetahui masuknya bulan?
Dan terdapat wajah ketiga: jika ia mengetahui hal itu dari manzilah-manzilah (manāzil) bulan dan perhitungan bulannya, maka puasanya sah; namun jika ia mengetahuinya melalui perbintangan (nujūm), maka tidak sah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَكَلَ شَاكًّا فِي الْفَجْرِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْأَكْلُ فَمُبَاحٌ مَا لَمْ يَطْلُعِ الْفَجْرُ الثَّانِي: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا) {البقرة: 187) الْآيَةَ وَرُوِيَ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ أَنَّهُ أَخَذَ خَيْطَيْنِ أَبْيَضَ، وَأَسْوَدَ، وَتَرَكَهُمَا عَلَى وِسَادَتِهِ، وَرَاعَاهُمَا إِلَى الصَّبَاحِ فَلَمْ يَسْتَبِنْ لَهُ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ ” إِنَّكَ لَعَرِيضُ الْوِسَادِ، إِنَّمَا هُوَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ اللَّيْلِ ” وَالْعَرَبُ تُسَمِّي فَجْرَ الصُّبْحِ خيطاً قال أبو دؤاد الْأَيَادِيُّ
(فَلَمَّا أَضَاءَتْ لَهُ سَدَفَةً … وَلَاحَ مِنَ الصُبْحِ خَيْطٌ أَنَارَا)
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang makan dalam keadaan ragu apakah telah terbit fajar, maka tidak ada sesuatu (kewajiban) atasnya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun makan, maka hukumnya mubah selama belum terbit fajar kedua. Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan makan dan minumlah} (al-Baqarah: 187) — hingga akhir ayat.
Diriwayatkan dari ‘Adiyy bin Ḥātim bahwa ia mengambil dua benang, yang satu putih dan yang satu hitam, lalu meletakkannya di bawah bantalnya, dan ia memperhatikannya hingga pagi namun tidak jelas baginya. Ketika masuk waktu pagi, ia memberitahukan kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya bantalmu itu lebar, yang dimaksud hanyalah putihnya siang dan hitamnya malam.”
Orang Arab menyebut fajar ṣubḥ sebagai khaiṭ (benang). Abū Du’ād al-Ayādī berkata:
“Tatkala cahaya tampak padanya selapis gelap, dan tampak dari fajar benang yang menyinari.”
وَفِي قَوْلِهِ: إِنَّكَ لَعَرِيضُ الْوِسَادِ تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ نَسَبَهُ إِلَى الْخِفَّةِ وَالْحُمْقِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَنْ أَرَادَ مَعْرِفَةَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مِنْ وِسَادَتِهِ وَظَنَّ أَنَّهُمَا قَدِ اجْتَمَعَا فِيهَا، فَإِنَّ وِسَادَتَهُ عَرِيضَةٌ، وَهَذَا إِنَّمَا قَالَهُ لَهُ لِأَنَّهُ وَضَعَ الْخَيْطَ تَحْتَ وِسَادَتِهِ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ طُلُوعَ الْفَجْرِ الثَّانِي أَوَّلُ زَمَانِ الصِّيَامِ، فَشَكَّ فِي طُلُوعِهِ، فَالْأَوْلَى لَهُ اجْتِنَابُ الْأَكْلِ خَوْفًا مِنْ مُصَادَفَةِ نَهَارِ زَمَانِ الْخَطَرِ، فَإِنْ أَكَلَ وَهُوَ عَلَى جُمْلَةِ الشَّكِّ، فَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَتَحَقَّقْ طُلُوعُهُ، وَقَالَ مَالِكٌ: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ مَا لَمْ يَتَحَقَّقْ بَقَاءُ اللَّيْلِ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ اللَّيْلِ، فَبِالشَّكِّ لَا يَجِبُ الِانْتِقَالُ عَنْهُ فَأَمَّا إِنْ أَفْطَرَ شَاكًّا فِي الْغُرُوبِ، وَلَمْ يَبِنْ لَهُ الْيَقِينُ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ النَّهَارِ، وَثُبُوتُ التَّحْرِيمِ.
Dalam ucapannya: “Engkau benar-benar memiliki bantal yang lebar” terdapat dua tafsiran:
Pertama: ia menisbatkannya kepada sifat ringan (tidak hati-hati) dan kebodohan.
Kedua: bahwa siapa pun yang ingin mengetahui waktu malam dan siang dari bantalnya, dan menyangka bahwa keduanya berkumpul di situ, maka sungguh bantalnya sangat lebar. Ucapan ini ditujukan kepadanya karena ia meletakkan benang di bawah bantalnya.
Maka jika telah tetap bahwa terbitnya fajar kedua adalah awal waktu puasa, lalu ia ragu tentang terbitnya, maka yang utama baginya adalah meninggalkan makan karena khawatir bersentuhan dengan siang, yaitu waktu bahaya. Namun jika ia makan dalam keadaan masih dalam keraguan secara umum, maka puasanya tetap sah dan tidak wajib qaḍāʼ atasnya, selama belum dipastikan fajar telah terbit.
Imam Mālik berkata: wajib qaḍāʼ atasnya selama belum dipastikan malam masih berlangsung. Ini adalah kekeliruan, karena asalnya adalah tetapnya malam, maka tidak wajib berpindah dari hukum asal hanya karena keraguan.
Adapun jika seseorang berbuka dalam keadaan ragu tentang terbenamnya matahari dan belum memperoleh keyakinan, maka wajib qaḍāʼ atasnya, karena asalnya siang masih berlangsung dan hukum haram (berbuka) masih tetap.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن وطئ امرأته وأولج عامداً فعليهما الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ “. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الصَّائِمُ فَمَمْنُوعٌ مِنَ الْوَطْءِ إِجْمَاعًا فَإِنْ وَطِئَ فِي صَوْمِ رَمَضَانَ فَقَدْ أَفْسَدَ صَوْمَهُ، وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ وَحُكِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَالشَّعْبِيِّ وَالنَّخَعِيِّ، أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ، وَلَا كَفَّارَةَ قِيَاسًا عَلَى الْآكِلِ وَعَلَى مَنْ وَطِئَ فِي الصَّلَاةِ، وَهَذَا خَطَأٌ وَالْإِجْمَاعُ مُنْعَقِدٌ عَلَى خِلَافِهِ فَلَا مَعْنَى للاحتجاج عليه من حَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ عَلَى مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبَى هُرَيْرَةَ أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ يَلْطِمُ نَحْرَهُ وَيَنْتِفُ شَعْرَهُ، وَهُوَ يَقُولُ هَلَكْتُ وَأَهْلَكْتُ، وَرُوِيَ فِي بَعْضِ الْأَخْبَارِ أَحْرَقْتُ وَاحْتَرَقْتُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا الَّذِي أَهْلَكَكَ فَقَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، فَقَالَ اعْتِقْ رَقَبَةً فَقَالَ لَا أَجِدُ فَقَالَ صُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَقَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ فَقَالَ أَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا مُدًّا مُداً، قَالَ: لَا أَجِدُ فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعرق فيه تمرٌ وروي مكتلٌ فَقَالَ أَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ نَبِيًّا مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَحْوَجُ مَنَّا إِلَيْهِ بَيْتًا فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ وَقَالَ خُذْهُ فَكُلْهُ. فَإِنْ قِيلَ: هَذَا وَارِدٌ فِي سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ حِينَ ظَاهَرَ مِنِ امْرَأَتِهِ قُلْنَا: حَدِيثُ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ غَيْرُ حَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ، لِأَنَّهُ وَارِدٌ فِي الظِّهَارِ وَرُوِيَ عَنْ سَلَمَةَ أَنَّهُ أَرَادَ وطأ امْرَأَتِهِ فِي لَيْلِ رَمَضَانَ، فَرَأَى خُلْخَالًا لَهَا فِي لَيْلَةٍ فَأَعْجَبَتْهُ فَظَاهَرَ مِنْهَا، ثُمَّ وَثَبَ عَلَيْهَا، فَوَاقَعَهَا. وَالْأَعْرَابِيُّ فَإِنَّمَا وَطِئَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ، فَلَمْ يَشْتَبِهَا، فَأَمَّا مَا سِوَى رَمَضَانَ مِنَ النُّذُورِ وَالْكَفَّارَاتِ، وَقَضَاءِ رَمَضَانَ، وَصَوْمِ التَّطَوُّعِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَى الْوَاطِئِ فِي شَيْءٍ مِنْهُ، وَحُكِيَ عَنْ قَتَادَةَ وَأَبِي ثَوْرٍ أَنَّهُمَا أَوْجَبَا الْكَفَّارَةَ عَلَى الْوَاطِئِ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ، وَهَذَا مَذْهَبٌ يُفَارِقُ قَوْلَ الْجَمَاعَةِ، لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ إِنَّمَا وَجَبَتْ فِي صَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِتَأَكُّدِ حُرْمَتِهِ، وَتَعْيِينِ زَمَانِهِ، وَإِنَّ الْفِطْرَ لَا يَتَخَلَّلُهُ وَالْقَضَاءُ مخالف له.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menyetubuhi istrinya dan memasukkan (kemaluannya) dengan sengaja, maka wajib atas keduanya qadhā’ dan kafārah.”
Al-Māwardī berkata: Adapun orang yang berpuasa, maka ia dilarang bersetubuh menurut ijmā‘. Jika ia menyetubuhi (istrinya) di siang hari bulan Ramadan, maka sungguh ia telah merusak puasanya, dan wajib baginya qadhā’ dan kafārah.
Diriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubayr, al-Sya‘bī, dan al-Nakha‘ī bahwa wajib atasnya qadhā’ saja tanpa kafārah, dengan mengqiyaskan pada orang yang makan (dengan sengaja saat puasa) dan orang yang menyetubuhi istri dalam salat. Ini adalah pendapat yang keliru karena ijmā‘ telah menetapkan sebaliknya. Maka tidak ada makna berhujjah dengan hadits seorang a‘rābī sebagaimana diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari Sufyān dari al-Zuhrī dari Ḥumayd bin ‘Abd al-Raḥmān dari ayahnya dari Abū Hurayrah, bahwa seorang a‘rābī datang kepada Nabi SAW dalam keadaan menampar dadanya dan mencabut rambutnya sambil berkata: “Binasalah aku dan binasalah keluargaku.” Dalam sebagian riwayat disebutkan: “Aku terbakar dan membakar orang lain.”
Lalu Nabi SAW bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Ia menjawab: “Aku menyetubuhi istriku saat sedang berpuasa di bulan Ramadan.” Nabi SAW bersabda: “Bebaskanlah seorang budak.” Ia menjawab: “Aku tidak memilikinya.” Nabi SAW bersabda: “Berpuasalah dua bulan berturut-turut.” Ia berkata: “Aku tidak mampu.” Nabi SAW bersabda: “Berilah makan enam puluh orang miskin dengan satu mudd untuk setiap orang.” Ia berkata: “Aku tidak memilikinya.”
Maka Rasulullah SAW pun memanggil dan memberikan sebuah keranjang berisi kurma — dalam sebagian riwayat disebutkan miktāl (keranjang besar) — dan bersabda: “Berikan ini kepada enam puluh orang miskin.” Ia berkata: “Wahai Rasulullah, demi Dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran sebagai nabi, tidak ada rumah di antara dua lābah-nya (dua bukit hitam Madinah) yang lebih membutuhkan makanan ini daripada kami.” Maka Nabi SAW tersenyum hingga tampak gigi gerahamnya, dan beliau bersabda: “Ambillah dan makanlah.”
Jika dikatakan: “Hadits ini berkaitan dengan Salamah bin Ṣakhr ketika ia zhāhar dari istrinya,” maka kami jawab: Hadits Salamah bin Ṣakhr berbeda dengan hadits a‘rābī, karena hadits itu berkaitan dengan ẓihār. Diriwayatkan bahwa Salamah ingin menyetubuhi istrinya pada malam Ramadan, lalu ia melihat gelang kaki istrinya dan merasa tertarik, lalu ia zhāhar darinya, kemudian ia meloncat kepada istrinya dan menyetubuhinya.
Adapun a‘rābī tersebut, ia menyetubuhi istrinya pada siang hari Ramadan, maka keduanya tidaklah serupa.
Adapun selain bulan Ramadan, seperti dalam nazar, kafārah, qadhā’ Ramadan, dan puasa tathawwu‘, maka tidak wajib kafārah bagi orang yang menyetubuhi istrinya dalam semua itu.
Diriwayatkan dari Qatādah dan Abū Ṯawr bahwa keduanya mewajibkan kafārah atas orang yang menyetubuhi istrinya ketika sedang mengqadha puasa Ramadan. Ini adalah pendapat yang menyelisihi jumhur, karena kafārah itu diwajibkan hanya pada puasa bulan Ramadan karena kuatnya kehormatannya dan ketetapan waktunya, serta karena tidak ada celah untuk berbuka di dalamnya. Sementara qadhā’ tidaklah demikian
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” والكفارة واحدةٌ عَنْهُ وَعَنْهَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ دَلَّلْنَا عَلَى وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ، فَإِذَا اسْتَقَرَّ وُجُوبُهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي كُتُبِهِ الْقَدِيمَةِ وَالْجَدِيدَةِ، أَنَّ الْوَاجِبَ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ عَلَى الزَّوْجِ دُونَهَا وَفِي كَيْفِيَّةِ وُجُوبِهَا عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ، إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَيْهَا، ثُمَّ تَحَمَّلَ الزَّوْجُ عَنْهَا.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Kafārah itu satu saja untuk dirinya (suami) dan untuk istrinya.”
Al-Māwardī berkata: Kami telah menjelaskan tentang wajibnya kafārah. Maka jika kewajiban itu telah tetap, maka mazhab al-Syafi‘i — sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab-kitabnya yang lama dan baru — adalah bahwa yang wajib hanyalah satu kafārah atas suami saja, tidak atas istrinya.
Adapun tentang bagaimana cara kafārah itu menjadi wajib atas suami, terdapat dua pendapat:
Pertama, dan inilah yang menjadi nash al-Syafi‘i, bahwa sebenarnya kafārah itu wajib atas istrinya, kemudian suaminya menanggungnya.
وَالثَّانِي: إِنَّهَا وَجَبَتِ ابْتِدَاءً عَلَى الزَّوْجِ وَذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي بَعْضِ أَمَالِيهِ إِنَّ عَلَيْهِمَا كَفَّارَتَيْنِ، فَخَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا قَوْلًا ثَانِيًا: وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ، وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهُمَا لَمَّا اشْتَرَكَا في سائر موجبات الوطء من الماتم وَالْقَضَاءِ، وَوُجُوبِ الْغُسْلِ وَالْعُقُوبَةِ وَجَبَ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي الْكَفَّارَةِ أَيْضًا، فَيَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفَّارَةٌ، وَلِأَنَّهُمَا اشْتَرَكَا فِي سَبَبٍ تَجِبُ بِهِ الْكَفَّارَةُ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفَّارَةٌ، كَالْقَتْلِ وَلِأَنَّ النِّكَاحَ عَقْدٌ مِنَ الْعُقُودِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَتَحَمَّلَ بِهِ الْكَفَّارَةُ أَصْلُهُ عَقْدُ الْبَيْعِ، وَالْإِجَارَةِ قَالُوا: وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو إِيجَابُكُمُ الْكَفَّارَةَ الْوَاحِدَةَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَجِبَ عَلَى الزَّوْجِ وَحْدَهُ أَوْ تَجِبَ عَلَيْهِمَا مَعًا، فَيَبْطُلَ أَنْ تَجِبَ عَلَى الزَّوْجِ وَحْدَهُ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي مُوجِبِ الْكَفَّارَةِ وَهُوَ الْوَطْءُ، وَيَبْطُلَ أَنْ تَجِبَ عَلَيْهِمَا مَعًا، لِأَنَّهُ يَقْتَضِي أَنْ يَلْزَمَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ كَفَّارَةٍ وَهَذَا خِلَافُ الْأُصُولِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا قُلْنَاهُ فِي وُجُوبِ كَفَّارَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَيْهِمَا، مَا رَوَيْنَاهُ فِي حَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ، وَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَعْتِقْ رَقَبَةً ” وَالدَّلِيلُ فِي هَذَا الْخَبَرِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dan pendapat kedua: Bahwa kafārah itu wajib sejak awal atas suami. Ini disebutkan oleh al-Syafi‘i dalam sebagian Amālī-nya, bahwa atas keduanya wajib dua kafārah. Maka sebagian ulama kami mengeluarkan pendapat kedua ini, namun pendapat ini tidak ṣaḥīḥ. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Abū Ḥanīfah dan Mālik.
Mereka berdalil bahwa karena keduanya sama-sama terlibat dalam seluruh hal yang mewajibkan akibat dari hubungan suami istri, seperti dosa, kewajiban qadhā’, kewajiban mandi junub, dan hukuman, maka wajib pula keduanya menanggung kafārah. Karena keduanya sama-sama menjadi sebab yang mewajibkan kafārah, maka masing-masing harus menanggung satu kafārah, sebagaimana dalam kasus pembunuhan.
Dan karena nikah adalah akad dari jenis akad-akad, maka tidak seharusnya satu pihak saja yang menanggung kafārah. Asalnya adalah seperti akad jual beli dan sewa-menyewa. Mereka juga berkata: Tidak mungkin pendapat kalian yang mewajibkan hanya satu kafārah itu bebas dari dua kemungkinan:
Pertama, bahwa kafārah hanya wajib atas suami saja; maka ini batal karena keduanya sama-sama melakukan perbuatan yang mewajibkan kafārah, yaitu hubungan suami istri.
Kedua, bahwa kafārah wajib atas keduanya bersama-sama; maka ini juga batal karena berarti masing-masing dari keduanya hanya wajib setengah kafārah, dan ini bertentangan dengan kaidah-kaidah pokok.
Adapun dalil atas benarnya pendapat kami, bahwa hanya wajib satu kafārah, adalah hadits a‘rābī, dan sabda Nabi SAW kepadanya: “A‘tiq raqabah” (Bebaskanlah seorang budak), dan dalil dari hadits ini dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَعْرَابِيَّ إِنَّمَا سَأَلَهُ عَنْ فِعْلٍ شَارَكَ فِيهِ زَوْجَتَهُ مَعَ جَهْلِهِمَا بِحُكْمِهِ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ جَوَابُهُ حُكْمًا لِجَمِيعِ الْحَادِثَةِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ تَأْخِيرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لَا يَجُوزُ، وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْهُ أَنَّهُ أَمَرَ الْمَرْأَةَ بِالْكَفَّارَةِ، وَلَا رَاسَلَهَا بِإِخْرَاجِهَا مَعَ جَهْلِهَا بِالْحُكْمِ، فِيمَا دَلَّ عَلَى أَنَّ الْكَفَّارَةَ لَا تَلْزَمُهَا فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا لَمْ يَأْمُرْهَا بِالْكَفَّارَةِ، لِأَنَّهَا مُكْرَهَةٌ لِقَوْلِ الْأَعْرَابِيِّ هَلَكْتُ وَأَهْلَكْتُ، قِيلَ: الْمَنْقُولُ فِي الْخَبَرِ غَيْرُ هَذَا عَلَى أَنَّهُ لَوْ صَحَّ لَكَانَ هُوَ الْحُجَّةُ فِي عَدَمِ الْإِكْرَاهِ، لِأَنَّ الْمُكْرَهَةَ لَا تَهْلِكُ بِفِعْلِ مَا أُكْرِهَتْ عَلَيْهِ، وَلَا يَلْحَقُهَا فِيهِ إِثْمٌ فَلَمَّا ذَكَرَ أَنَّهُ أَهْلَكَهَا عُلِمَ أَنَّهُ سَأَلَهَا فَطَاوَعَتْهُ، فَهَلَكَتْ بِمُطَاوَعَتِهِ، وَلِأَنَّهُ حَقٌّ فِي مَالٍ يَتَعَلَّقُ بِالْوَطْءِ، فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ الزَّوْجُ بِتَحَمُّلِهِ كَالْمَهْرِ فَأَمَّا مَا احْتَجُّوا بِهِ مِنَ اشْتِرَاكِهِمَا فِي الْإِثْمِ وَالْقَضَاءِ فَجَمْعٌ بِلَا مَعْنَى عَلَى أَنَّ الْكَفَّارَةَ يُعْتَبَرُ بِهَا الْفِعْلُ، وَإِنَّمَا يُعْتَبَرُ بِهَا الْفَاعِلُ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي الْفِعْلِ، وَيَخْتَلِفَ أَحْكَامُهُمَا بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمَا كَالزِّنَا، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى كَفَّارَةِ الْقَتْلِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ أنه ليس من موجبات الوطئ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى عَقْدِ الْبَيْعِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَا يُوجِبُ النَّفَقَةَ وَالْكُسْوَةَ وَزَكَاةَ الْفِطْرِ.
Pertama: bahwa orang A‘rābī itu hanya bertanya kepada Nabi SAW tentang suatu perbuatan yang ia lakukan bersama istrinya, dalam keadaan keduanya sama-sama tidak mengetahui hukumnya. Maka sudah sepatutnya jawaban Nabi SAW mencakup hukum untuk seluruh kejadian tersebut (baik untuk suami maupun istri).
Kedua: karena penundaan penjelasan hukum pada saat kebutuhan tidak diperbolehkan, dan tidak dinukil bahwa Nabi SAW memerintahkan perempuan itu untuk menunaikan kafārah, dan tidak pula mengutus pesan agar ia mengeluarkannya, padahal ia tidak mengetahui hukumnya. Maka hal ini menunjukkan bahwa kafārah tidak wajib atasnya.
Jika dikatakan: Nabi SAW tidak memerintahkannya karena ia dipaksa, berdasarkan ucapan orang A‘rābī “aku telah binasa dan membinasakan,” maka dijawab: riwayat yang dinukil dalam hadis tidak demikian.
Dan sekalipun riwayat itu benar, maka justru itu menjadi dalil bahwa tidak ada paksaan, karena perempuan yang dipaksa tidak dianggap binasa karena melakukan sesuatu yang ia dipaksa melakukannya, dan tidak berdosa karenanya. Maka ketika laki-laki itu berkata bahwa ia telah membinasakannya, diketahui bahwa ia telah memintanya (untuk bersetubuh), lalu si istri menyetujuinya, sehingga ia binasa karena kerelaannya tersebut.
Juga karena kafārah adalah hak dalam harta yang berkaitan dengan jima‘, maka sepatutnya hanya suami yang menanggungnya, sebagaimana halnya mahar.
Adapun argumen yang mereka gunakan, bahwa keduanya sama-sama terlibat dalam dosa dan wajib qaḍāʼ, maka itu adalah penggabungan tanpa makna. Karena kafārah berkaitan dengan pelaku (fā‘il), bukan sekadar perbuatan (fi‘l). Maka bisa saja keduanya terlibat dalam satu perbuatan, tetapi hukum keduanya berbeda karena perbedaan kondisi, seperti dalam kasus zina.
Adapun qiyās mereka terhadap kafārah pembunuhan (qatl), maka tidak sah, karena kafārah pembunuhan bukan termasuk konsekuensi dari jima‘.
Dan qiyās mereka terhadap akad jual beli juga tidak tepat, karena akad jual beli tidak mewajibkan nafkah, pakaian, dan zakat fitrah.
وَقَوْلُهُمْ: لَا يَخْلُو حَالُ الْكَفَّارَاتِ، إِمَّا أَنْ تَجِبَ عَلَى الزَّوْجِ، أَوْ عَلَيْهِمَا قُلْنَا: فِيهِ قولان:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الزَّوْجِ وَحْدَهُ، وَهَذَا غَيْرُ مُمْتَنَعٍ كَمَا يَشْتَرِكَانِ فِي الْوَطْءِ، وَيَخْتَصُّ الزَّوْجُ بِالْتِزَامِ الْمَهْرِ.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا، وَهَذَا غَيْرُ مُمْتَنَعٍ كَمَا يَشْتَرِكَانِ فِي قَتْلِ صَيْدٍ فَيَكُونُ الْجَزَاءُ بَيْنَهُمَا.
Dan pernyataan mereka: “Tidak lepas keadaan kafārah, apakah wajib atas suami saja atau atas keduanya,” maka kami katakan: Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: Bahwa kafārah itu wajib atas suami saja, dan hal ini tidak mustahil, sebagaimana keduanya sama-sama melakukan hubungan, namun suami saja yang wajib membayar mahar.
Kedua: Bahwa kafārah itu wajib atas keduanya, dan ini juga tidak mustahil, sebagaimana keduanya sama-sama membunuh buruan (ṣayd) maka tebusannya ditanggung bersama.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فِي الْكَفَّارَةِ قَوْلَيْنِ أَصَحُّهُمَا كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ.
وَالثَّانِي: كَفَّارَتَانِ فَإِنْ قُلْنَا بِوُجُوبِ كَفَّارَتَيْنِ رَاعَيْتَ حَالَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي نَفْسِهِ مِنْ يَسَارِهِ وَإِعْسَارِهِ، فَرُبَّمَا اتَّفَقَتْ أَحْوَالُهُمَا فَأَعْتَقَا مَعًا، أَوْ صَامَا مَعًا أَوْ أَطْعَمَا مَعًا وَرُبَّمَا اخْتَلَفَتْ أَحْوَالُهُمَا فَأَعْتَقَ أَحَدُهُمَا، فَصَامَ الْآخَرُ أَوْ صَامَ أَحَدُهُمَا وَأَطْعَمَ الْآخَرُ، فَلَا يَكُونُ لِأَحَدِهِمَا تَعَلُّقٌ بِحَالِ صَاحِبِهِ، كَمَا لَوْ حَنِثَا فِي يَمِينٍ وَإِنْ قُلْنَا بِوُجُوبِ كَفَّارَةٍ وَاحِدَةٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ فَفِي كَيْفِيَّةِ وُجُوبِهَا قَوْلَانِ:
PASAL
Apabila telah tetap bahwa dalam masalah kafārah terdapat dua pendapat, maka pendapat yang paling ṣaḥīḥ adalah bahwa kafārah hanya satu.
Pendapat kedua: wajib dua kafārah.
Jika kita berpendapat bahwa wajib dua kafārah, maka dilihat keadaan masing-masing dari keduanya secara terpisah dalam hal mampu (yasar) dan tidak mampu (i‘sār).
Mungkin saja keadaan keduanya sama, sehingga keduanya sama-sama memerdekakan budak, atau sama-sama berpuasa, atau sama-sama memberi makan. Dan bisa juga keadaan mereka berbeda: salah satunya memerdekakan budak, sedangkan yang lain berpuasa, atau yang satu berpuasa sementara yang lain memberi makan. Maka kondisi salah satu tidak berkaitan dengan kondisi pasangannya, sebagaimana jika keduanya melanggar sumpah.
Namun jika kita berpendapat bahwa kafārah hanya satu, dan inilah yang ṣaḥīḥ, maka dalam tata cara kewajiban kafārah tersebut terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَجَبَتِ ابْتِدَاءً عَلَى الزَّوْجِ كَالْمَهْرِ الَّذِي يَخْتَصُّ بِهِ الزَّوْجُ، وَإِنِ اشْتَرَكَا فِي الْوَطْءِ فَعَلَى هَذَا يُعْتَبَرُ بِهَا حَالُ الزَّوْجِ وَحْدَهُ، فَإِنْ أَعْتَقَ أَوْ صَامَ أَوْ أَطْعَمَ أَجْزَأَ وَلَا شيء على الزوجة بحال، لَا حَظَّ لَهَا فِي الْوُجُوبِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْكَفَّارَةَ وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا، ثُمَّ يُحَمَّلُ الزَّوْجُ عَنْهُمَا لِأَنَّهُمَا اشْتَرَكَا فِي هَتْكِ الْحُرْمَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَشْتَرِكَا فِي الْكَفَّارَةِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَخْلُو حَالُهُمَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ تَتَّفِقَ أَحْوَالُهُمَا أَوْ تَخْتَلِفَ، فَإِنِ اتَّفَقَتْ أَحْوَالُهُمَا فعلى ثلاثة أقسام:
أحدها: أن يكونا الزَّوْجُ مِنْ أَهْلِ الْعِتْقِ وَهِيَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ، فَعَلَى الزَّوْجِ عِتْقُ رَقَبَةٍ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي حَالِهَا، فَإِنْ كَانَتْ مَعَ كَوْنِهَا مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ، مِمَّنْ يَجُوزُ أَنْ تُكَفِّرَ بِالْعِتْقِ لِحُرِّيَّتِهَا فَعِتْقُ الزَّوْجِ يَجْزِيهِمَا، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَنْ لَا تُكَفِّرَ بِالْعِتْقِ لِرِقِّهَا، فَعَلَيْهَا صِيَامُ شَهْرَيْنِ لَا يُجْزِيهَا عِتْقُ الزَّوْجِ.
Pertama: Bahwa kafārah itu sejak awal wajib atas suami, seperti halnya mahar yang menjadi kewajiban khusus suami. Meskipun keduanya sama-sama melakukan hubungan, namun menurut pendapat ini, yang dijadikan ukuran hanyalah keadaan suami saja. Maka jika suami memerdekakan budak, atau berpuasa, atau memberi makan, maka itu sudah mencukupi dan tidak ada kewajiban apa pun atas istri, karena tidak ada bagian baginya dalam kewajiban tersebut.
Pendapat kedua: Bahwa kafārah itu wajib atas keduanya, lalu suami menanggungnya atas nama keduanya karena keduanya sama-sama telah melanggar kehormatan Ramadan, maka semestinya mereka berdua sama-sama menanggung kafārah. Maka menurut pendapat ini, keadaan keduanya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah kondisi keduanya sama, atau berbeda.
Jika kondisi keduanya sama, maka ada tiga bentuk:
Pertama: Suami termasuk orang yang mampu membebaskan budak, sedangkan istrinya termasuk orang yang mampu berpuasa. Maka wajib atas suami membebaskan budak, lalu dilihat keadaan istri:
– Jika ia, meskipun termasuk orang yang mampu berpuasa, termasuk juga orang merdeka yang memungkinkan untuk menunaikan kafārah dengan memerdekakan budak, maka pembebasan budak oleh suami mencukupi bagi keduanya.
– Namun jika istri termasuk orang yang tidak sah menunaikan kafārah dengan membebaskan budak karena statusnya sebagai budak, maka wajib atasnya puasa dua bulan berturut-turut, dan pembebasan budak oleh suami tidak mencukupi baginya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ مِنْ أَهْلِ الْعِتْقِ، وَهِيَ مِنْ أَهْلِ الْإِطْعَامِ فَعَلَى الزَّوْجِ عِتْقُ رَقَبَةٍ وَيُجْزِيهِمَا، لِأَنَّ مَنْ لَزِمَهُ الْإِطْعَامُ أَجْزَأَهُ الْعِتْقُ، لِأَنَّهُمَا حَقَّانِ فِي مَالٍ، وَالْعِتْقُ أَغْلَظُ حَالًا.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ، وَهِيَ مِنْ أَهْلِ الْإِطْعَامِ فَعَلَى الزَّوْجِ صِيَامُ شَهْرَيْنِ عَنْ نَفْسِهِ، وَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا عَنْ زَوْجَتِهِ لِأَنَّ الصِّيَامَ لَا يَنُوبُ عَنْ إِطْعَامٍ وَجَبَ عَلَى غَيْرِهِ، وَإِنْ كَانَتْ هِيَ أَعْلَى حَالًا مِنَ الزَّوْجِ، فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ هِيَ مِنْ أَهْلِ الْعِتْقِ، وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ، فَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرَيْنِ عَنْ نَفْسِهِ، وَعِتْقُ رَقَبَةٍ عَنْ زَوْجَتِهِ تَكُونُ فِي ذِمَّتِهِ إِلَى حِينِ يَسَارِهِ، لِأَنَّ الْإِعْسَارَ لَا يُسْقِطُ حَقًّا لَزِمَ عَنِ الْغَيْرِ، لِأَنَّهُ مُؤْنَةٌ كَالدَّيْنِ، وَإِنَّمَا يُسْقِطُ مَا تَعَلَّقَ بِخَاصَّةِ نَفْسِهِ، فَإِنْ بَدَأَ بِالصِّيَامِ لَزِمَهُ عِتْقُ الرَّقَبَةِ بَعْدَ صِيَامِهِ، وَإِنْ بَدَأَ بِالْعِتْقِ أَوَّلًا نُظِرَ فِي حَالِهِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَجُوزُ لَهُ التَّكْفِيرُ بِالْعِتْقِ لِحُرِّيَّتِهِ، وَعَدَمِ رِقِّهِ أَجْزَأَتْهُ الرَّقَبَةُ، وَسَقَطَ عَنْهُ الصِّيَامُ، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ لَهُ التَّكْفِيرُ بِالْعِتْقِ لِرِقِّهِ أَوْ رِقِّ بَعْضِهِ لم يسقط عنه الصوم، يعتق الرَّقَبَةِ، وَلَزِمَهُ صَوْمُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ.
Bagian kedua: Jika suami termasuk golongan yang mampu membayar ‘itq (memerdekakan budak), sedangkan istrinya termasuk golongan yang hanya mampu iṭ‘ām (memberi makan), maka suami wajib memerdekakan satu budak dan itu mencukupi untuk keduanya. Karena siapa pun yang hanya wajib memberi makan, maka memerdekakan budak telah mencukupinya, sebab keduanya sama-sama kewajiban harta, dan ‘itq kedudukannya lebih tinggi.
Bagian ketiga: Jika suami hanya mampu ṣiyām (puasa), sedangkan istrinya hanya mampu iṭ‘ām, maka suami wajib puasa dua bulan berturut-turut untuk dirinya sendiri, dan memberi makan enam puluh orang miskin untuk istrinya. Karena puasa tidak dapat menggantikan kewajiban memberi makan yang wajib atas orang lain.
Dan jika kondisi istri lebih tinggi daripada suami, maka terbagi menjadi tiga keadaan:
Pertama: Istri termasuk golongan yang mampu ‘itq, sedangkan suami hanya mampu ṣiyām, maka suami wajib puasa dua bulan berturut-turut untuk dirinya, dan memerdekakan satu budak untuk istrinya, yang menjadi tanggungan dalam jiwanya hingga ia mampu. Karena ketidakmampuan tidak menggugurkan hak yang wajib atas orang lain, sebab itu adalah beban seperti utang. Ia hanya menggugurkan kewajiban yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
Jika ia memulai dengan puasa, maka setelah itu ia tetap wajib memerdekakan budak. Dan jika ia memulai dengan memerdekakan budak terlebih dahulu, maka dilihat keadaannya:
- Jika ia tergolong orang yang boleh menunaikan kafārah dengan memerdekakan budak karena ia merdeka dan bukan budak, maka budak itu mencukupi dan tidak wajib lagi puasa.
- Namun jika ia termasuk orang yang tidak sah baginya membayar kafārah dengan memerdekakan budak karena ia sendiri adalah budak atau sebagian dirinya masih budak, maka tidak gugur puasanya. Ia tetap wajib memerdekakan budak dan juga tetap wajib puasa dua bulan berturut-turut.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ مِنْ أَهْلِ الْعِتْقِ، وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْإِطْعَامِ فَعَلَيْهِ إِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا عَنْ نَفْسِهِ، وَعِتْقُ رَقَبَةٍ عَنْ زَوْجَتِهِ فَإِنْ بَدَأَ بِالْإِطْعَامِ أَوَّلًا، لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْعِتْقُ، وَلَزِمَهُ تَحْرِيرُ الرَّقَبَةِ، وَإِنْ أَعْتَقَ أَوَّلًا أَجْزَأَهُ، وَسَقَطَ عَنْهُ الْإِطْعَامُ لِأَنَّهُ قَدْ أَدَّى مَا وَجَبَ عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَغْلَظُ مِنْهُ، إِذْ هُمَا مِنْ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ، وَالْعِتْقُ أَغْلَظُ حَالًا.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ، وَالزَّوْجُ مِنْ أَهْلِ الْإِطْعَامِ فَعَلَيْهَا صِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ عَنْ نَفْسِهَا، لِأَنَّ الْعِتْقَ لَا تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ، وَعَلَى الزَّوْجِ إِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا عَنْ نَفْسِهِ، وَلَا يَلْزَمُهُ تَحَمُّلُ شَيْءٍ عَنْ زَوْجَتِهِ.
Bagian kedua: Istri termasuk orang yang mampu membebaskan budak, sementara suami hanya mampu memberi makan. Maka suami wajib memberi makan enam puluh orang miskin atas dirinya sendiri, dan wajib membebaskan budak atas istrinya. Jika ia memulai dengan memberi makan terlebih dahulu, maka kewajiban membebaskan budak belum gugur darinya, dan tetap wajib baginya memerdekakan budak. Namun jika ia memerdekakan budak terlebih dahulu, maka itu sudah mencukupi, dan kewajiban memberi makan gugur, karena ia telah menunaikan apa yang wajib atasnya dengan sesuatu yang lebih berat, sebab keduanya termasuk hak-hak harta, dan membebaskan budak lebih berat kedudukannya.
Bagian ketiga: Istri termasuk orang yang mampu berpuasa, dan suami termasuk orang yang hanya mampu memberi makan. Maka wajib atas istri untuk berpuasa dua bulan berturut-turut atas dirinya sendiri, karena pembebasan budak tidak dapat diwakilkan, dan wajib atas suami memberi makan enam puluh orang miskin atas dirinya sendiri, dan ia tidak wajib menanggung apa pun atas istrinya.
فَصْلٌ
: وَإِذَا وَطِئَ الصَّائِمُ زَوْجَتَهُ فِي يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ عَامِدًا، ثُمَّ وَطِئَهَا فِي يَوْمٍ ثَانٍ فَعَلَيْهِ كَفَّارَتَانِ، وَكَذَلِكَ لَوْ وَطِئَهَا فِي يَوْمٍ ثَالِثٍ وَرَابِعٍ، كَانَ عَلَيْهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ كَفَّارَةٌ وَسَوَاءٌ كَفَّرَ عَنِ الوطئ الْأَوَّلِ أَمْ لَا، وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ كفر عن الوطئ الأول، فعليه للوطئ الثَّانِي كَفَّارَةٌ أُخْرَى وَإِنْ لَمْ يُكَفِّرْ عَنِ الْأَوَّلِ فَكَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، تُجْزِيهِ عَنْهُمَا قَالَ لِأَنَّ اسْمَ رَمَضَانَ يَعُمُّ جَمِيعَ الشَّهْرِ فَصَارَ كَالْعِبَادَةِ الْوَاحِدَةِ، وَالْيَوْمِ الْوَاحِدِ الَّذِي لَا يَلْزَمُ فِيهِ إِلَّا كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، قَالَ: وَلِأَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ فَشَابَهَ الْحَجَّ الَّذِي لَا يَلْزَمُ فِيهِ إِلَّا كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْكَفَّارَاتِ حُدُودٌ وَعُقُوبَاتٌ، إِذْ لَا تَجِبُ إِلَّا بِمَأْثَمٍ مَخْصُوصٍ وَالْحُدُودُ إِذَا تَرَادَفَتْ تَدَاخَلَتْ، وَكَانَ الْحَدُّ الْوَاحِدُ نَائِبًا عَنْ جَمِيعِهَا كَحَدِّ الزِّنَا وَشُرْبِ الْخَمْرِ وَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ فَكَذَلِكَ الْكَفَّارَاتُ، وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ أَفْسَدَ بِوَطْئِهِ صَوْمَ يَوْمَيْنِ، لَوْ كَفَّرَ عَنِ الْأَوَّلِ لَزِمَهُ الْكَفَّارَةُ عَنِ الثَّانِي، فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَهُ الْكَفَّارَةُ عَنِ الثَّانِي، وَإِنْ لَمْ يُكَفِّرْ عَنِ الْأَوَّلِ أَصْلُهُ إِذَا كَانَ الْيَوْمَانِ مِنْ رَمَضَانَ فِي عَامَيْنِ، وَلِأَنَّهُمَا يَوْمَانِ لَوْ أُفْرِدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْفَسَادِ، لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ، فَوَجَبَ إِذَا أَفْسَدَهُمَا مَعًا أَنْ تَلْزَمَهُ كَفَّارَتَانِ، أَصْلُهُ إِذَا كَفَّرَ عَنِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ أَوِ الْيَوْمَيْنِ مِنْ رَمَضَانَيْنِ فِي عامين، ولأن كل حكم تعق بِالْجِمَاعِ الْأَوَّلِ تَعَلَّقَ بِالْجِمَاعِ الثَّانِي، كَالْقَضَاءِ وَلِأَنَّ لِكُلِّ يَوْمٍ مِنَ الشَّهْرِ حُرْمَةٌ يَتَمَيَّزُ بِهَا عن الآخر لما يلزمه من تجديد النِّيَّةِ، وَلَا يَتَعَدَّى فَسَادَ الْيَوْمِ، إِلَى غَيْرِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ بِهَتْكِ حُرْمَةِ يَوْمٍ كَفَّارَةٌ مُجَدَّدَةٌ، فَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّهُ كَالْعِبَادَةِ الْوَاحِدَةِ، لِأَنَّ اسْمَ الشَّهْرِ يَجْمَعُهُ، فَالْجَوَابُ وَإِنْ كَانَ عِبَادَةً واحدة، فإنه يجمع عبادات واحدة كالصلاة هي رُكْنٌ وَاحِدٌ، وَعِبَادَةٌ وَاحِدَةٌ ثُمَّ يَجْمَعُ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، وَلِكُلِّ صَلَاةٍ حُكْمُ نَفْسِهَا فِي الصِّحَّةِ، وَالْفَسَادِ فَكَذَلِكَ الصِّيَامُ يَجِبُ أَنْ يَخْتَصَّ كُلُّ يَوْمٍ بِحُكْمِ نَفْسِهِ، وَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ بِالْحَجِّ فَلَنَا فِيهِ قَوْلَانِ:
PASAL
Apabila orang yang berpuasa menyetubuhi istrinya pada suatu hari di bulan Ramadan secara sengaja, kemudian menyetubuhinya lagi pada hari kedua, maka wajib atasnya dua kafārah. Demikian pula jika menyetubuhinya pada hari ketiga dan keempat, maka atasnya pada setiap hari satu kafārah, baik ia telah menunaikan kafārah atas persetubuhan pertama maupun belum.
Abu Ḥanīfah berpendapat: jika ia telah menunaikan kafārah untuk persetubuhan pertama, maka atasnya kafārah lain untuk persetubuhan kedua; namun jika ia belum menunaikan kafārah untuk yang pertama, maka satu kafārah mencukupi untuk keduanya.
Ia berkata: sebab nama “Ramadan” mencakup seluruh bulan, maka ia seperti satu ibadah dan satu hari, yang tidak wajib di dalamnya kecuali satu kafārah. Ia juga berkata: karena bulan Ramadan adalah salah satu rukun Islam, maka ia menyerupai ḥajj yang tidak wajib di dalamnya kecuali satu kafārah. Ia juga berkata: sebab kafārah adalah ḥadd dan hukuman, yang tidak wajib kecuali karena maksiat tertentu. Dan jika ḥudūd itu berturut-turut, maka saling masuk satu sama lain, dan cukup satu ḥadd untuk semuanya, sebagaimana ḥadd atas zina, minum khamr, dan potong tangan pada pencurian. Maka demikian pula halnya kafārah.
Adapun dalil kami adalah bahwa ia telah merusak puasa dua hari dengan persetubuhannya. Jika ia telah menunaikan kafārah untuk yang pertama, maka wajib atasnya kafārah untuk yang kedua. Maka wajib pula atasnya kafārah untuk yang kedua meskipun belum menunaikan kafārah untuk yang pertama.
Dasarnya adalah jika dua hari tersebut terjadi pada dua tahun yang berbeda dari bulan Ramadan. Dan karena keduanya adalah dua hari yang jika masing-masing dirusak secara terpisah maka wajib atasnya kafārah, maka jika keduanya dirusak sekaligus wajib pula dua kafārah.
Dasarnya adalah apabila ia menunaikan kafārah untuk hari pertama atau dua hari dari dua Ramadan pada dua tahun berbeda. Dan karena setiap hukum yang terkait dengan jima‘ pertama juga terkait dengan jima‘ kedua, seperti qaḍā’.
Dan karena setiap hari dari bulan memiliki kehormatan tersendiri yang membedakannya dari hari lainnya, karena keharusan memperbaharui niat, dan kerusakan satu hari tidak merusak hari lainnya. Maka wajib atasnya kafārah baru karena merusak kehormatan satu hari.
Adapun perkataannya bahwa ia seperti satu ibadah karena nama bulan mencakup semuanya, maka jawabannya adalah meskipun ia satu ibadah, namun mencakup ibadah-ibadah yang satu, sebagaimana salat adalah satu rukun dan satu ibadah, tetapi mencakup lima salat dalam sehari semalam, dan setiap salat memiliki hukum tersendiri dalam hal sah dan rusaknya. Maka demikian pula puasa, setiap hari wajib memiliki hukum tersendiri.
Adapun peng-qiyās-an mereka dengan ḥajj, maka kami memiliki dua pendapat di dalamnya:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ لِكُلِّ وَطْءٍ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ فَسَقَطَ هَذَا الِاعْتِبَارُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصِّيَامِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ لِلْحَجِّ إِحْرَامًا مَا يَجْمَعُ أَرْكَانَهُ وَيَتَعَدَّى فَسَادُ آخِرِهِ فِي صِحَّةِ أَوَّلِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ صِيَامُ الْيَوْمَيْنِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَجَّ يَلْزَمُهُ إِتْمَامُ فَاسِدِهِ وَتَسْتَوِي حُرْمَةُ جَمِيعِهِ فَإِذَا وَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ لِحُرْمَةِ بَعْضِهِ، فَهِيَ نَائِبَةٌ عَنْ حُرْمَةِ جَمِيعِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ صِيَامُ الْيَوْمَيْنِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحُدُودِ فَالْمَعْنَى فِيهَا إِنَّهَا حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى لَيْسَ لِآدَمِيٍّ فِيهَا نَصِيبٌ، فَلِذَلِكَ تَدَاخَلَتْ، وَالْكَفَّارَاتُ تَتَعَلَّقُ بِحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، فَلَمْ تَتَدَاخَلْ فَصَحَّ أَنَّ عَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ كَفَّارَةً.
salah satunya: wajib atasnya satu kafārah untuk setiap kali jima‘, maka gugurlah pertimbangan ini.
Dan pendapat kedua: wajib atasnya satu kafārah saja, dan perbedaan antara kasus ini dengan puasa ada pada dua sisi:
Pertama: bahwa ibadah haji memiliki iḥrām yang mencakup seluruh rukunnya, dan kerusakan pada akhirnya menular kepada keabsahan permulaannya, tidak demikian halnya dengan puasa dua hari.
Kedua: bahwa haji tetap wajib disempurnakan meskipun rusak, dan seluruh waktunya memiliki kesucian yang sama. Maka apabila kafārah wajib karena melanggar sebagian waktunya, maka itu mewakili seluruh kesuciannya. Tidak demikian halnya dengan puasa dua hari.
Adapun qiyās mereka terhadap ḥudūd, maka maknanya adalah bahwa ḥudūd merupakan hak Allah Ta‘ālā, yang tidak ada bagian bagi manusia di dalamnya, karena itu boleh tumpang tindih. Sedangkan kafārah berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh tumpang tindih. Maka sah bahwa wajib atasnya satu kafārah untuk setiap hari.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا وَطِئَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ، ثُمَّ وَطِئَ فِي وَسَطِهِ ثُمَّ وَطِئَ فِي آخِرِهِ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، لِأَنَّ حُرْمَةَ الْيَوْمِ وَاحِدَةٌ قَدِ انْتَهَكَهَا بِالْوَطْءِ الْأَوَّلِ، فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ لَا أَوْجَبْتُمْ عَلَيْهِ لِكُلِّ وَطْءٍ كَفَّارَةً كَالْحَجِّ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ؟ قُلْنَا: لِأَنَّ الْحَجَّ لَا يَخْرُجُ مِنْهُ بِالْفَسَادِ فَكَانَتْ حُرْمَتُهُ بَاقِيَةً، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الصِّيَامُ.
PASAL
Adapun jika ia menyetubuhi (istrinya) pada awal siang, kemudian menyetubuhi lagi pada pertengahan siang, lalu menyetubuhi lagi pada akhir siang, maka tidak wajib atasnya kecuali satu kafārah saja, karena kehormatan hari itu satu, dan ia telah melanggarnya dengan persetubuhan yang pertama.
Jika dikatakan: “Mengapa kalian tidak mewajibkan kafārah untuk setiap persetubuhan sebagaimana dalam ḥajj menurut salah satu dari dua pendapat?”
Kami menjawab: Karena ḥajj tidak keluar darinya dengan sebab kerusakan, sehingga kehormatannya tetap ada. Tidak demikian halnya dengan puasa.
فَصْلٌ
: وَلَوْ وَطِئَ أَرْبَعَ زَوْجَاتٍ لَهُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، كَانَ عَلَيْهِ أَرْبَعُ كَفَّارَاتٍ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْكَفَّارَةَ وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا، وَفِي الْوَجْهِ الثَّانِي: كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ إِذَا قِيلَ: إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الزَّوْجِ وَحْدَهُ، فَلَوْ كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ مُسْلِمَةٌ وَذِمِّيَّةٌ فَوَطِئَهُمَا مَعًا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، نُظِرَ فِي حَالِهِ فَإِنْ وَطِئَ الذِّمِّيَّةَ أَوَّلًا ثُمَّ الْمُسْلِمَةَ بَعْدَهَا، فَعَلَيْهِ كَفَّارَتَانِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَإِنْ وَطِئَ الْمُسْلِمَةَ أَوَّلًا ثُمَّ الذِّمِّيَّةَ بَعْدَهَا، فَلَيْسَ عَلَيْهِمَا إِلَّا كفارة واحدة.
PASAL
Seandainya seseorang menjima‘ empat istrinya dalam satu hari, maka wajib atasnya empat kafārah menurut salah satu dari dua pendapat, apabila dikatakan bahwa kafārah itu wajib atas keduanya (suami dan istri).
Dan menurut pendapat kedua: hanya satu kafārah saja, apabila dikatakan bahwa kafārah itu hanya wajib atas suami semata.
Maka jika ia memiliki dua istri—seorang muslimah dan seorang żimmiyyah—lalu ia menjima‘ keduanya pada hari yang sama, maka diperhatikan keadaannya:
Jika ia menjima‘ żimmiyyah terlebih dahulu, lalu setelahnya menjima‘ muslimah, maka wajib atasnya dua kafārah menurut salah satu dari dua wajah.
Namun jika ia menjima‘ muslimah terlebih dahulu, lalu setelahnya żimmiyyah, maka tidak wajib atasnya kecuali satu kafārah saja.
فصل
: وإذا تقدم الْمُسَافِرُ نَهَارًا مِنْ سَفَرِهِ، وَقَدْ أَفْطَرَ فِي صَدْرِ يَوْمِهِ فَصَادَفَ زَوْجَتَهُ، قَدْ طَهُرَتْ مِنْ حَيْضِهَا فِي تَضَاعِيفِ يَوْمِهَا فَوَطِئَهَا فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِمَا، وَلَا كَفَّارَةَ لِارْتِفَاعِ حُرْمَةِ الْيَوْمِ بِالْإِفْطَارِ السَّابِقِ، وَلَكِنْ لَوْ قَدِمَ مِنْ سَفَرِهِ مُفْطِرًا فَأَخْبَرَتْهُ بِطُهْرِهَا مِنْ حَيْضِهَا كَاذِبَةً، فَوَطِئَهَا وَهِيَ صَائِمَةٌ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْكَفَّارَةَ فِي الْأَصْلِ وَجَبَتْ عَلَى الزَّوْجِ وَحْدَهُ، فَلَا كَفَّارَةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا فَعَلَيْهَا الْكَفَّارَةُ دُونَهُ لِأَنَّهَا غَرَّتْهُ وَخَرَجَ وَجْهٌ آخَرُ أَنَّ الْكَفَّارَةَ عَلَى الزَّوْجِ وَإِنْ غَرَّتْهُ لِأَجْلِ اسْتِمَاعِهِ، فَصَارَ فِي الْمَسْأَلَةِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
أَحَدُهَا: لَا كَفَّارَةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْكَفَّارَةَ عَلَيْهِمَا.
PASAL
Apabila seorang musafir tiba di siang hari dari perjalanannya, dan ia telah berbuka di awal harinya, lalu ia mendapati istrinya telah suci dari haidnya di sisa siang harinya, kemudian ia menyetubuhinya, maka tidak ada dosa atas keduanya dan tidak ada kafārah, karena kehormatan hari tersebut telah hilang disebabkan ia telah berbuka sebelumnya.
Namun, jika ia datang dari perjalanannya dalam keadaan berbuka, lalu istrinya mengabarkan bahwa ia telah suci dari haidnya padahal berdusta, kemudian ia menyetubuhinya dalam keadaan istrinya sedang berpuasa, maka:
- Jika kita berpendapat bahwa kafārah pada asalnya wajib atas suami saja, maka tidak ada kafārah atas salah satu dari keduanya.
- Jika kita berpendapat bahwa kafārah wajib atas keduanya, maka wajib atas istri saja, karena dialah yang menipunya.
- Ada pendapat lain bahwa kafārah tetap wajib atas suami meskipun ia ditipu, karena ia menerima ucapannya.
Maka dalam masalah ini terdapat tiga pendapat:
Pertama: tidak ada kafārah atas keduanya.
Kedua: kafārah wajib atas keduanya.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْكَفَّارَةَ عَلَيْهِ دُونَهَا، فَلَوْ قَدِمَ مُفْطِرًا مِنْ سَفَرِهِ فَأَخْبَرَتْهُ بِصَوْمِهَا، فَوَطِئَهَا عَالِمًا مِنْ غَيْرِ إِكْرَاهٍ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْكَفَّارَةَ وَجَبَتْ عَلَى الزَّوْجِ وَحْدَهُ، فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ لِأَجْلِ فِطْرِهِ وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهَا، لِأَنَّ الْوُجُوبَ لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهَا وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا فَالْكَفَّارَةُ عَلَى الزَّوْجِ عَلَى حَسَبِ حَالِهَا، فلو قدم من سفره مُفْطِرًا فَصَادَفَهَا صَائِمَةً، وَأَكْرَهَهَا عَلَى الْوَطْءِ بِلَا اختيار منها ولا تمكين، فلا قضاء عليهما وَلَا كَفَّارَةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَإِنَّمَا لَمْ تَلْزَمْهُ الْكَفَّارَةُ عَنْ نَفْسِهِ لِأَجْلِ فِطْرِهِ وَلَا عَنْهَا، لِارْتِفَاعِ الْإِثْمِ عَنْهَا، وَلَكِنْ لَوْ خَوَّفَهَا فَأَجَابَتْهُ خَوْفًا مِنْهُ، فَلَا كَفَّارَةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحَالٍ وَفِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ عَلَيْهَا قَوْلَانِ.
Dan yang ketiga: bahwa kafārah itu wajib atas suami saja, bukan atas istri.
Maka jika ia datang dalam keadaan berbuka dari safarnya, lalu istrinya memberitahukan bahwa ia sedang berpuasa, kemudian ia menjima‘nya dengan mengetahui (keadaannya) tanpa paksaan, maka:
- Jika kita mengatakan bahwa kafārah hanya wajib atas suami saja, maka tidak ada kafārah atasnya karena ia dalam keadaan berbuka, dan tidak ada kafārah atas istrinya, karena kewajiban tidak tertuju kepadanya.
- Namun jika kita mengatakan bahwa kafārah wajib atas keduanya, maka kafārah menjadi kewajiban suami tergantung pada keadaan istrinya.
Maka jika ia datang dari safarnya dalam keadaan berbuka, lalu mendapati istrinya sedang berpuasa dan ia memaksanya untuk jima‘ tanpa kerelaan dan tanpa izin dari pihak istri, maka tidak ada qaḍā’ atas keduanya dan tidak ada kafārah atas salah satu dari keduanya.
Dan tidak diwajibkan kafārah atasnya (suami) karena ia dalam keadaan berbuka, dan tidak atas istrinya karena telah hilang unsur dosa darinya.
Namun jika ia (suami) menakutinya lalu sang istri menuruti karena rasa takut darinya, maka tetap tidak ada kafārah atas salah satu dari keduanya dalam keadaan apa pun.
Dan dalam masalah kewajiban kafārah atas istrinya terdapat dua pendapat.
فَصْلٌ آخَرُ
: وَإِذَا أُكْرِهَ الرَّجُلُ عَلَى الْوَطْءِ فَشُدَّتْ يَدَاهُ، وَأُدْخِلَ ذَكَرُهُ فِي الْفَرَجِ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ، وَلَا قَصْدٍ نُظِرَ فِي حَالِهِ، فَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ فَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَلَا كَفَّارَةَ وَإِنْ أَنْزَلَ فَفِي صَوْمِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ عَلَى صَوْمِهِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُفْطِرْ بِالْإِيلَاجِ لَمْ يُفْطِرْ بِمَا حَدَثَ عَنْهُ.
PASAL LAIN
Apabila seorang laki-laki dipaksa untuk melakukan wath’ (hubungan badan), lalu kedua tangannya diikat dan zakarnya dimasukkan ke dalam farji tanpa kehendak dan tanpa maksud darinya, maka dilihat keadaannya. Jika ia tidak mengeluarkan mani, maka puasanya tetap sah, tidak wajib qadha, dan tidak ada kafarah. Namun jika ia mengeluarkan mani, maka dalam puasanya terdapat dua pendapat:
Pertama: puasanya tetap sah, tidak wajib qadha, dan tidak ada kafarah, karena ketika ia tidak batal karena ilāj (masuknya zakar), maka tidak batal pula dengan sesuatu yang terjadi sebagai akibat dari ilāj tersebut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ قَدْ أَفْطَرَ وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ لِأَنَّ الْإِنْزَالَ لَا يَحْدُثُ إِلَّا عَنْ قَصْدٍ، وَاخْتِيَارٍ فَعَلَى هَذَا فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ.
وَالثَّانِي: لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ لِأَجْلِ الشُّبْهَةِ فَأَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ مُخْتَارًا وَأَكْرَهَهَا عَلَى الْوَطْءِ، فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ بِكُلِّ حَالٍ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهَا، لِمَوْضِعِ الْإِكْرَاهِ، وَلَوْ خَوَّفَهَا لَزِمَهُ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ وَفِي وُجُوبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهَا قَوْلَانِ.
dan wajah yang kedua: sesungguhnya ia telah berbuka dan wajib mengqadha karena inzāl tidak terjadi kecuali dengan sengaja dan pilihan. Maka atas dasar ini, dalam kewajiban kafārah terdapat dua wajah:
pertama: wajib atasnya kafārah
kedua: tidak wajib kafārah atasnya karena adanya syubhat
Adapun jika laki-laki dalam keadaan memilih (bebas) lalu memaksa istrinya untuk melakukan wathʾ, maka wajib atasnya qadhāʾ dan kafārah dalam segala keadaan, dan tidak wajib qadhāʾ atasnya (istrinya) karena adanya unsur paksaan. Namun jika ia hanya menakut-nakutinya, maka tetap wajib atasnya qadhāʾ dan kafārah, dan dalam kewajiban qadhāʾ atas istrinya terdapat dua pendapat.
فَصْلٌ
: وَإِذَا وَطِئَ الْمَجْنُونُ زَوْجَتَهُ، وَهِيَ صَائِمَةٌ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا إِكْرَاهٍ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْكَفَّارَةَ وَجَبَتْ عَلَى الزَّوْجِ وَحْدَهُ، فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِمَا لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَمَّنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا مَعًا فَفِيهَا وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ: الْكَفَّارَةُ فِي مَالِ الزَّوْجِ لِأَنَّهَا جِنَايَةٌ مِنْهُ فَأَشْبَهَتْ أُرُوشَ جِنَايَاتِهِ.
PASAL
Apabila seorang laki-laki yang gila menyetubuhi istrinya, sedangkan istrinya dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadan, tanpa ada rasa takut dan tanpa adanya paksaan, maka jika kita katakan bahwa kafarah hanya wajib atas suami saja, maka tidak ada kafarah atas keduanya, karena tanggungan kewajiban telah gugur dari orang yang diwajibkan (yakni suami yang gila).
Namun jika kita katakan bahwa kafarah wajib atas keduanya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: yaitu pendapat Abu Ishaq, kafarah diambil dari harta suami, karena perbuatan itu merupakan suatu bentuk pelanggaran darinya, maka ia menyerupai diyat pelanggaran-pelanggarannya.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ الْكَفَّارَةُ فِي مَالِهَا لأن فعل المجنون، ولا حُكْمَ لَهُ، وَهِيَ الْجَانِيَةُ بِتَمْكِينِهَا، فَأَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ نَائِمًا فَاسْتَدْخَلَتْ ذَكَرَهُ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْكَفَّارَةَ وَجَبَتْ عَلَى الزَّوْجِ وَحْدَهُ، فَلَا كَفَّارَةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا فَالْكَفَّارَةُ عَلَيْهَا دُونَهُ لِأَنَّ النَّائِمَ لَا قَصْدَ لَهُ وَلَا فِعْلَ، وَإِنَّمَا الْفِعْلُ لَهَا وَلَكِنْ لَوْ كَانَتْ هِيَ الْمَجْنُونَةَ، أَوِ النَّائِمَةَ وَالزَّوْجُ عَاقِلًا مُسْتَيْقِظًا فَوَطِئَهَا، فَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ بِكُلِّ حَالٍ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهَا، وَقَالَ أبو حنيفة: فِي النَّائِمَةِ عَلَيْهَا الْقَضَاءُ وَلَا كَفَّارَةَ وَقَالَ مَالِكٌ عَلَيْهَا الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثلاثٍ ” ذَكَرَ فِيهِمَا النَّائِمَ حَتَّى يَنْتَبِهَ وَلِأَنَّ مَا لَا يَقَعُ الْفِطْرُ بِهِ نَاسِيًا، لَا يَقَعُ الْفِطْرُ بِهِ نَائِمًا كَالْأَكْلِ، وَلِأَنَّ مَنْ لَا يُفْطِرُ بِالْأَكْلِ لَا يفطر بالوطئ كَالنَّاسِي.
dan yang kedua: yaitu pendapat Abu al-‘Abbās, kafārah ditanggung dari hartanya (istri) karena perbuatan orang gila tidak memiliki hukum, dan dialah (istri) yang bersalah karena telah memberikan izin (untuk digauli).
Adapun jika laki-laki dalam keadaan tidur, lalu ia (istri) memasukkan zakarnya, maka jika kita katakan bahwa kafārah hanya wajib atas suami, maka tidak ada kafārah atas keduanya. Namun jika kita katakan bahwa kafārah wajib atas keduanya, maka kafārah hanya wajib atas istri, bukan atas suami, karena orang yang tidur tidak memiliki niat dan tidak melakukan tindakan, sementara perbuatannya berasal darinya (istri).
Namun jika ia (istri) yang gila atau sedang tidur, dan suami sadar dan terbangun lalu menyetubuhinya, maka kafārah wajib atasnya (suami) dalam segala keadaan, dan tidak wajib qadhāʾ atasnya (istri).
Abu Ḥanīfah berkata: pada istri yang tidur, wajib atasnya qadhāʾ namun tidak ada kafārah.
Mālik berkata: wajib atasnya qadhāʾ dan kafārah.
Dalil atas keduanya adalah sabda Nabi SAW: “Diangkat pena dari tiga golongan”, beliau menyebutkan di antaranya orang yang tidur sampai ia bangun.
Juga karena sesuatu yang tidak membatalkan puasa jika dilakukan karena lupa, tidak pula membatalkannya jika dilakukan dalam keadaan tidur, seperti makan.
Dan karena siapa yang tidak batal puasanya karena makan, maka tidak batal pula karena wathʾ, seperti orang yang lupa.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا وَطِئَ الرَّجُلُ فِي صَدْرِ النَّهَارِ ثُمَّ جُنَّ فِي آخِرِهِ أَوْ مَرِضَ فَفِي سُقُوطِ الْكَفَّارَةِ عَنْهُ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ سَقَطَتْ عَنْهُ الْكَفَّارَةُ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة. لِأَنَّ أَوَّلَ الْيَوْمِ مُرْتَبِطٌ بِآخِرِهِ وَحُكْمُ جَمِيعِهِ وَاحِدٌ، فَإِذَا طَرَأَ عَلَيْهِ الْجُنُونُ لَمْ تَسْتَقِرَّ فِيهِ وَإِذَا زَالَتِ الْحُرْمَةُ سَقَطَتِ الْكَفَّارَةُ وَلِأَنَّهَا تَجِبُ بِهَتْكِ الْحُرْمَةِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ الْكَفَّارَةَ ثَابِتَةٌ لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ.
وَبِهِ قَالَ رَبِيعَةُ وَمَالِكٌ لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ وَجَبَتْ بِالْوَطْءِ السَّابِقِ الَّذِي انْتُهِكَ بِهِ حُرْمَةُ الصَّوْمِ، وَلَا حُكْمَ لِمَا طَرَأَ بَعْدَ وُجُوبِهَا، كَمَا لَوْ سَافَرَ بَعْدَ الْوَطْءِ لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ الْكَفَّارَةُ بِالسَّفَرِ الطَّارِئِ بَعْدَ ثُبُوتِهَا.
PASAL
Adapun jika seorang laki-laki melakukan wath’ (hubungan badan) di awal siang hari, kemudian ia menjadi gila atau sakit di akhir siangnya, maka dalam gugurnya kafarah darinya terdapat dua pendapat:
Pertama: kafarah gugur darinya, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, karena awal hari itu terkait dengan akhirnya, dan hukum seluruh hari adalah satu kesatuan. Maka apabila kegilaan datang setelahnya, belum sempat kafarah itu menjadi tetap, dan ketika kesucian waktu telah hilang maka gugurlah kafarah, sebab kafarah itu wajib karena melanggar kehormatan hari tersebut.
Kedua: kafarah tetap wajib dan tidak gugur darinya, dan ini adalah pendapat Rabi‘ah dan Malik, karena kafarah telah menjadi wajib dengan sebab wath’ sebelumnya, yang dengan itu telah dilanggar kehormatan puasa. Maka tidak ada pengaruh terhadap hal-hal yang muncul setelah kewajiban tersebut, sebagaimana jika ia safar setelah wath’, maka kafarah tidak gugur dengan safar yang terjadi setelah kewajiban itu ditetapkan.
فَصْلٌ
: وَإِذَا زَنَا رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، فَقَدْ عَصَى اللَّهَ تَعَالَى وَلَزِمَهُمَا الْحَدُّ وَالْقَضَاءُ، وَوَجَبَ عَلَى الزَّانِي الْكَفَّارَةُ وَفِي وُجُوبِهَا عَلَى الزَّانِيَةِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِمَا إِذَا قِيلَ إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الْوَاطِئِ وَحْدَهُ.
وَالثَّانِي: عَلَيْهَا الْكَفَّارَةُ إِذَا قيل إنها وجبت عليهما، وإنما لمن يَتَحَمَّلْ عَنْهَا الْكَفَّارَةَ كَالزَّوْجَةِ لِأَنَّ الزِّنَا لَا يُثْبِتُ حُرْمَةً يَجِبُ بِهَا التَّحَمُّلُ، وَكَانَ الْقَاضِي أَبُو حَامِدٍ يَزْعُمُ أَنَّ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفَّارَةً لَا يَخْتَلِفُ، لِأَنَّ الْخَبَرَ لَمْ يَأْتِ فِيمَنْ زَنَا وَلَا الزَّانِي فِي مَعْنَاهُ.
PASAL
Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan di bulan Ramadan, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah Ta‘ālā dan keduanya wajib menjalani ḥadd dan qadhāʾ, serta wajib atas pezina laki-laki kafārah.
Adapun kewajiban kafārah atas pezina perempuan terdapat dua wajah:
pertama: tidak ada kafārah atas keduanya jika dikatakan bahwa kafārah hanya wajib atas orang yang melakukan wathʾ saja.
kedua: wajib atasnya kafārah jika dikatakan bahwa kafārah itu wajib atas keduanya. Namun tidak ada yang memikul kafārah darinya (perempuan) seperti halnya istri, karena zina tidak menetapkan adanya hubungan yang mewajibkan penanggungan (tanggung jawab).
Dan Qāḍī Abū Ḥāmid berpendapat bahwa kafārah wajib atas masing-masing dari keduanya, tanpa perbedaan, karena hadis tidak datang secara khusus pada pelaku zina, dan pezina tidak termasuk dalam makna orang yang disebut dalam hadis.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ لِلْخَبَرِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي أَكْلِ النَّاسِي “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا وَطِئَ الصَّائِمُ نَاسِيًا فِي نَهَارِهِ، أَوْ أَكَلَ نَاسِيًا فَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ.
وَقَالَ مَالِكٌ وَرَبِيعَةُ: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ فِي الْأَمْرَيْنِ، وَالْكَفَّارَةُ فِي الْجِمَاعِ، وَاسْتَدَلُّوا بِأَنْ قَالُوا لِأَنَّهُ جِمَاعٌ تَامٌّ صَادَفَ صَوْمًا، فَوَجَبَ أَنْ يُفْطِرَ بِهِ كَالْعَامِدِ قَالُوا: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يُفْسِدُهَا جِمَاعُ الْعَامِدِ فَوَجَبَ أَنْ يُفْسِدَهَا جِمَاعُ النَّاسِي كَالْحَجِّ، قَالُوا: وَلِأَنَّ السَّهْوَ فِي الْأَكْلِ وَالْجِمَاعِ يَقَعُ تَارَةً فِي ابْتِدَاءِ الصَّوْمِ، وَتَارَةً فِي انْتِهَائِهِ، ثُمَّ لَوْ أَكَلَ أَوْ جَامَعَ فِي اللَّيْلِ، ثُمَّ بَانَ لَهُ طُلُوعُ الْفَجْرِ عِنْدَ أَكْلِهِ وَجِمَاعِهِ أَفْطَرَ، وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ فَكَذَلِكَ فِي أَثْنَاءِ صَوْمِهِ قَالُوا: وَلِأَنَّ عَمْدَ الْحَدَثِ وَسَهْوَهُ سَوَاءٌ فِي نَقْضِ الطَّهَارَةِ لِتَنَافِيهِمَا، فَكَذَلِكَ الْأَكْلُ وَالْجِمَاعُ فِي الصَّوْمِ يَجِبُ أَنْ يَسْتَوِيَ الْحُكْمُ فِي عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ لِتَنَافِيهِمَا، وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ صَوْمِهِ قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ ” وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا آتِي رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَكَلْتُ وَشَرِبْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ: ” اللَّهُ أَطْعَمَكَ وَسَقَاكَ ” وَفِيهِ دَلِيلَانِ:
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang lupa (lalu makan atau minum), maka tidak ada qadhāʾ atasnya karena adanya khabar dari Rasulullah SAW tentang orang yang makan karena lupa.”
Al-Māwardī berkata: Ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika orang yang berpuasa lupa lalu bersetubuh di siang hari, atau makan karena lupa, maka puasanya tetap sah, tidak wajib qadhāʾ dan tidak pula kafārah atasnya.
Mālik dan Rabī‘ah berpendapat: Wajib atasnya qadhāʾ dan kafārah.
Aḥmad bin Ḥanbal berpendapat: Wajib atasnya qadhāʾ dalam kedua keadaan (makan dan jima‘), dan kafārah hanya dalam jima‘.
Mereka berdalil: Karena itu adalah jima‘ yang sempurna yang terjadi saat puasa, maka wajib membatalkannya sebagaimana orang yang sengaja melakukannya.
Mereka berkata: Karena ia adalah ibadah yang rusak karena jima‘ yang disengaja, maka wajib rusak pula karena jima‘ yang terlupa sebagaimana ibadah haji.
Mereka berkata: Karena lupa dalam makan dan jima‘ terkadang terjadi di awal puasa, dan terkadang di akhirnya. Maka, jika seseorang makan atau bersetubuh di malam hari lalu ternyata ia melakukannya setelah terbit fajar, maka puasanya batal dan wajib qadhāʾ, maka demikian pula jika terjadi di tengah puasanya.
Mereka berkata: Karena perbuatan yang membatalkan ṭahārah, baik dilakukan dengan sengaja ataupun lupa, hukumnya sama karena keduanya bertentangan, maka demikian pula makan dan jima‘ dalam puasa, wajib disamakan hukum antara yang sengaja dan yang lupa karena keduanya saling bertentangan.
Adapun dalil yang menunjukkan sahnya puasa tersebut adalah sabda Rasulullah SAW: “Diangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang dipaksakan atas mereka.”
Dan Abū Hurairah meriwayatkan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah makan dan minum sementara aku sedang berpuasa.” Maka beliau bersabda: “Allah-lah yang telah memberimu makan dan minum.”
Dan dalam ḥadīs ini terdapat dua dalil:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ سَلَبَهُ فِعْلَهُ وَأَضَافَهُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ لَمْ يَأْمُرْهُ بِالْقَضَاءِ مَعَ جَهْلِ السَّائِلِ بِحُكْمِ فِعْلِهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ عَلَى صَوْمِهِ وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا اللَّهُ أَطْعَمَهُ وَسَقَاهُ ” فَلَمَّا أَمَرَهُ بِإِتْمَامِ صَوْمِهِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يُفْطِرْ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يُفْسِدُهَا الْأَكْلُ عَامِدًا فَوَجَبَ أَنْ لَا يُفْسِدَهَا الْأَكْلُ نَاسِيًا كَالصَّلَاةِ، إِذَا أَكَلَ فِيهَا لُقْمَةً نَاسِيًا، وَلِأَنَّهُ مَعْنًى وَقَعَ فِي أَثْنَاءِ الصَّوْمِ يَخْتَصُّ عَمْدُهُ بِإِفْسَادِ الصَّوْمِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَفْسُدَ بِسَهْوِهِ أَصْلُهُ إِذَا ذَرَعَهُ الْقَيْءُ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ تَارِكُ النِّيَّةِ، لِأَنَّهَا لَا تَقَعُ فِي أَثْنَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا تَدْخُلُ عَلَيْهِ الرِّدَّةُ لِأَنَّهَا لَا تَخْتَصُّ بِالصَّوْمِ، وَلَا تُفْسِدُهُ وَإِنَّمَا يَبْطُلُ بِهَا الْإِيمَانُ فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْعَامِدِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ إِمْكَانُ الاحتراز منه أما قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحَجِّ قُلْنَا؛ فِيهِ قَوْلَانِ:
pertama: sesungguhnya Nabi telah meniadakan perbuatan itu darinya dan menisbahkannya kepada Allah Subḥānahu.
kedua: sesungguhnya Nabi tidak memerintahkannya untuk qadhāʾ padahal si penanya tidak mengetahui hukum perbuatannya, maka hal itu menunjukkan bahwa puasanya tetap sah.
Dan Muḥammad bin Sīrīn meriwayatkan dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa makan atau minum dalam keadaan lupa sedangkan ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang telah memberinya makan dan minum.”
Ketika Nabi memerintahkannya untuk menyempurnakan puasanya, maka itu menunjukkan bahwa puasanya tidak batal.
Dan karena puasa adalah ibadah yang menjadi batal jika makan dilakukan dengan sengaja, maka wajib hukumnya tidak menjadi batal jika makan dilakukan dalam keadaan lupa, sebagaimana shalat tidak batal jika seseorang lupa lalu makan satu suapan dalam shalatnya.
Dan karena hal itu merupakan suatu perkara yang terjadi di tengah ibadah puasa, yang hanya membatalkan bila dilakukan dengan sengaja, maka wajib ia tidak membatalkan puasa bila terjadi karena lupa.
Adapun meninggalkan niat, maka itu tidak terjadi di tengah-tengah puasa (melainkan di awal), maka tidak bisa dimasukkan ke dalam pembahasan ini. Dan murtad juga tidak termasuk di dalamnya karena tidak khusus dalam puasa, dan ia tidak membatalkan puasa, tetapi justru membatalkan keimanan.
Adapun qiyās mereka atas orang yang sengaja makan, maka jawabannya: sebab yang membatalkan di situ adalah karena mungkinnya menghindar darinya.
Adapun qiyās mereka atas ibadah haji, maka kami katakan: dalam hal itu terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ لَمْ يَفْسُدْ فَسَقَطَ مَا أَوْرَدُوهُ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ قَدْ فَسَدَ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ النَّوَاهِيَ فِي الْحَجِّ ضَرْبَانِ:
ضَرْبٌ اسْتَوَى الْحُكْمُ فِي عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ كَالْحَلْقِ، وَقَتْلِ الصَّيْدِ.
وَضَرْبٌ فُرِّقَ بَيْنَ عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ كَاللِّبَاسِ وَالطِّيبِ فَأُلْحِقِ الْجِمَاعُ بِالضَّرْبِ الْأَوَّلِ، لِأَنَّهُ إِتْلَافٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الصَّوْمُ، لِأَنَّا وَجَدْنَا النَّوَاهِيَ فِيهِ نَوْعًا وَاحِدًا، وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْعَمْدِ، وَالْخَطَأِ وَهُوَ الْقَيْءُ، فَوَجَبَ أن يكون الجماع والأكل لاحقان، وَأَمَّا جَمْعُهُمْ بَيْنَ النَّاسِي وَالْمُخْطِئِ فِي طُلُوعِ الْفَجْرِ، فَذَلِكَ غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ ذَلِكَ مُخْطِئٌ فِي الْوَقْتِ وَهَذَا مُخْطِئٌ فِي الْفِعْلِ، وَقَدْ وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْخَطَإِ فِي الْأَوْقَاتِ وَالْخَطَإِ فِي الْأَفْعَالِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ أَخْطَأَ فِي وَقْتِ الصَّلَاةِ، وَصَلَّى لَزِمَهُ الْقَضَاءُ، وَلَوْ أَخْطَأَ فِي عَدَدِ الرَّكَعَاتِ بَنَى عَلَى صَلَاتِهِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْحَدَثِ، فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وجهين:
أَحَدُهُمَا: وُرُودُ السُّنَّةِ بِالْفَرْقِ بَيْنَ الْمَوْضِعَيْنِ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَمْنَعُوا مِنْ تَسْلِيمِ الْمُنَافَاةِ.
Pertama: Bahwa puasanya tidak rusak, maka gugurlah apa yang mereka kemukakan.
Kedua: Bahwa puasanya memang rusak, namun ada perbedaan antara keduanya, karena larangan dalam haji itu ada dua jenis:
Jenis pertama: Yang hukum sengaja dan lupanya disamakan, seperti mencukur rambut dan membunuh binatang buruan.
Jenis kedua: Yang dibedakan antara sengaja dan lupa, seperti memakai pakaian dan memakai wewangian. Maka jimāʿ dikiaskan kepada jenis pertama karena termasuk bentuk perusakan (itlāf). Tidak demikian halnya dengan puasa, karena kami mendapati bahwa larangan di dalamnya hanya satu jenis, yaitu terjadi pembedaan antara yang sengaja dan yang lupa, seperti muntah. Maka wajiblah jimāʿ dan makan/minum juga diikutkan padanya.
Adapun penggabungan mereka antara orang yang lupa dan yang keliru dalam melihat terbit fajar, maka itu tidak benar. Karena yang satu salah dalam waktu, sedangkan yang lainnya salah dalam perbuatan. Padahal sudah ada pembedaan antara kesalahan dalam waktu dan kesalahan dalam perbuatan.
Tidakkah engkau melihat: jika seseorang salah dalam waktu shalat lalu ia shalat, maka wajib atasnya qadhāʾ. Tapi jika ia salah dalam jumlah rakaat, maka ia menyempurnakan shalatnya.
Adapun yang mereka sebutkan tentang ḥadats, maka perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
Pertama: Adanya sunnah yang membedakan antara kedua keadaan tersebut.
Kedua: Mereka tidak mengakui adanya kontradiksi (munāfāt) antara keduanya.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَاهُ، فَلَا قَضَاءَ عَلَى مَنْ أَكَلَ وَجَامَعَ نَاسِيًا، فَلَوْ أَكَلَ نَاسِيًا فَظَنَّ أَنَّ صَوْمَهُ قَدْ بَطَلَ فَجَامَعَ عَامِدًا لَزِمَهُ الْقَضَاءُ، وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ هَتْكَ الْحُرْمَةِ وَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ عَلَى صَوْمِهِ فجامع فعليهما لقضاء وَالْكَفَّارَةُ وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَلَا كَفَّارَةَ وَهَذَا خَطَأٌ وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ الْمُبَاحَ وَالْمَحْظُورَ إِذَا صَادَفَا الْعِبَادَةَ، لَمْ يَتَغَيَّرْ حُكْمُ أَحَدِهِمَا لِمَكَانِ الْآخَرِ كَالْحَجِّ إِذَا صَادَفَهُ لِبَاسٌ وَوَطْءٌ وَلِأَنَّ كُلَّ وَطْءٍ تَعَلَّقَتْ بِهِ الْكَفَّارَةُ لَوْ لَمْ يَتَقَدَّمْهُ مَعْفُوٌّ عَنْهُ، فَإِنَّهُ تَتَعَلَّقُ بِهِ الْكَفَّارَةُ، وَإِنْ تَقَدَّمَهُ مَعْفُوٌّ عَنْهُ كَالْوَطْءِ فِي الْحَجِّ وَلِأَنَّهُ أَكْلٌ لَمْ يُفْسِدِ الصَّوْمَ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْنَعَ مِنْ كَفَّارَةِ الْوَطْءِ كالمكره على الأكل.
PASAL
Apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan, maka tidak ada qadhāʾ atas orang yang makan atau bersetubuh karena lupa.
Maka jika seseorang makan dalam keadaan lupa, lalu mengira bahwa puasanya telah batal, kemudian ia bersetubuh dengan sengaja, maka wajib atasnya qadhāʾ dan tidak ada kafārah, karena ia tidak bermaksud merusak kehormatan (puasa).
Namun jika ia mengetahui bahwa ia masih dalam keadaan puasa lalu bersetubuh, maka wajib atas keduanya qadhāʾ dan kafārah.
Abu Ḥanīfah berkata: wajib atasnya qadhāʾ namun tidak ada kafārah, dan ini adalah kesalahan.
Dalil kami: bahwa perkara yang mubah dan yang terlarang, jika keduanya bersamaan dalam ibadah, maka hukum salah satunya tidak berubah karena keberadaan yang lain, seperti ibadah haji apabila berbarengan dengan memakai pakaian (terlarang) dan wathʾ.
Dan karena setiap wathʾ yang mewajibkan kafārah, jika sebelumnya tidak ada sesuatu yang dimaafkan, maka kafārah tetap wajib atasnya, walaupun sebelumnya ada sesuatu yang dimaafkan seperti wathʾ dalam haji.
Dan karena makan itu tidak membatalkan puasa, maka wajib tidak menghalangi kewajiban kafārah akibat wathʾ, sebagaimana orang yang dipaksa untuk makan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْكَفَّارَةُ عِتْقُ رقبةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ أَفْطَرَ فِيهِمَا ابْتَدَأَهُمَا فَإِنْ لم يستطع فإطعام ستين مداً لكل مسكينٍ بمد النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لما أخبره الواطئ أنه لا يجد رقبةً ولا يستطيع صيام شهرين متتابعين ولا يجد إطعام ستين مسكيناً أتى بعرقٍ فيه تمر (قال) سفيان والعرق المكتل فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أذهب فتصدق به (قال الشافعي) والمكتل خمسة عشر صاعاً وهو ستون مداً “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Kafārah (bagi orang yang bersetubuh di siang hari Ramadan) adalah memerdekakan satu budak. Jika tidak menemukan, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika ia berbuka di antara keduanya, maka ia harus memulai dari awal. Jika ia tidak mampu, maka memberi makan enam puluh orang miskin, masing-masing satu mudd menurut takaran Nabi SAW.”
Dan beliau berdalil dengan bahwa Nabi SAW, ketika seorang lelaki yang bersetubuh (di siang Ramadan) mengabarkan kepada beliau bahwa ia tidak memiliki budak, tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut, dan tidak memiliki makanan untuk memberi makan enam puluh orang miskin, maka lelaki itu datang dengan membawa sebuah ʿirq berisi kurma.
(Sufyān berkata: al-ʿirq adalah al-miktal yaitu keranjang). Maka Nabi SAW bersabda: “Pergilah dan bersedekahlah dengannya.”
(Imam al-Syafi‘i berkata): al-miktal adalah lima belas ṣāʿ, dan itu setara dengan enam puluh mudd.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
كَفَّارَةُ الْوَطْءِ فِي رَمَضَانَ مُرَتَّبَةٌ بِلَا تَخْيِيرٍ فَيَبْدَأُ بِالْعِتْقِ، فَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهِ لَمْ يَصُمْ، وَإِنْ عَجَزَ عَنْهُ صَامَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، فَإِنْ عَجَزَ عَنْهُ أَطْعَمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا، وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ مَالِكٌ: هِيَ عَلَى التَّخْيِيرِ مِثْلُ كَفَّارَةِ الْيَمِينِ إِنْ شَاءَ أَعْتَقَ أَوْ صَامَ، أَوْ أَطْعَمَ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ رَجُلًا أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ، أَنْ يَعْتِقَ أَوْ يَصُومَ، أَوْ يُطْعِمَ، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا رَوَيْنَاهُ فِي حَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ، وَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَعْتِقْ رَقَبَةً فَقَالَ لَا أَجِدُ فَقَالَ صُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَقَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ فَقَالَ أَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا ” فَلَمْ يَنْقِلْهُ عَنِ الْعِتْقِ إِلَى الصِّيَامِ إِلَّا بِالْعَجْزِ عَنْهُ فَدَلَّ عَلَى عَدَمِ التَّخْيِيرِ، وَوُجُوبِ التَّرْتِيبِ وَلِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ الَّذِي أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ بِكَفَّارَةِ الظِّهَارِ وَقَدْ أَجْمَعُوا عَلَى تَرْتِيبِهَا، وَلِأَنَّهُ نَوْعُ تَكْفِيرٍ يَجِبُ بِضَرْبٍ مِنَ الْمَأْثَمِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ شَرْطِ التَّرْتِيبِ أَصْلُهُ كَفَّارَةُ الْقَتْلِ وَالظِّهَارِ، وَلِأَنَّ الْكَفَّارَاتِ فِي الشَّرْعِ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ بُدِئَ فيها بالأغلظ فكان الترتيب فيها واجبا، مثل كَفَّارَةِ الظِّهَارِ وَالْقَتْلِ بُدِئَ فِيهَا بِالْعِتْقِ وَضَرْبٌ بُدِئَ فِيهَا بِالْأَخَفِّ، فَكَانَ التَّخْيِيرُ فِيهَا مُسْتَحَقًّا مِثْلُ كَفَّارَةِ الْيَمِينِ بُدِئَ فِيهَا بِالْإِطْعَامِ ثُمَّ وَجَدْنَا كَفَّارَةَ الْجِمَاعِ بُدِئَ فِيهَا بِالْأَغْلَظِ، وَهُوَ الْعِتْقُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ التَّرْتِيبُ فِيهَا مُسْتَحَقًّا، فَأَمَّا مَا رَوَاهُ مَالِكٌ فَقَدْ رَوَيْنَاهُ عَلَى التَّرْتِيبِ، وَالْقِصَّةُ وَاحِدَةٌ، وَرِوَايَتُنَا أَوْلَى لِكَثْرَةِ الرُّوَاةِ، وَنَقْلِ لَفْظِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَتَفْسِيرِ أَلْفَاظِهِ الَّتِي لَا يَدْخُلُهَا احْتِمَالٌ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa kafārah karena wathʾ (berjimaʿ) di bulan Ramadan adalah secara muratab (berurutan) tanpa adanya pilihan. Maka dimulai dengan memerdekakan budak, jika mampu maka tidak berpuasa, jika tidak mampu maka ia berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka ia memberi makan enam puluh orang miskin. Dan demikianlah pendapat kebanyakan fuqahāʾ.
Imām Mālik berkata: Ia bersifat pilihan seperti kafārah sumpah, jika ia mau maka ia memerdekakan, atau berpuasa, atau memberi makan. Karena Rasulullah SAW memerintahkan seseorang yang berbuka di bulan Ramadan agar memerdekakan atau berpuasa atau memberi makan.
Namun ini adalah kekeliruan, berdasarkan riwayat yang kami sampaikan dalam hadis al-Aʿrābī, dan sabda Rasulullah SAW: “Merdekakanlah budak.” Orang itu menjawab, “Aku tidak mampu.” Maka beliau bersabda, “Berpuasalah dua bulan berturut-turut.” Ia menjawab, “Aku tidak sanggup.” Maka beliau bersabda, “Berilah makan enam puluh orang miskin.” Maka Nabi SAW tidak berpindah dari ʿitq ke puasa kecuali karena ketidakmampuan, hal ini menunjukkan tidak adanya pilihan dan wajibnya tartīb (urutan).
Juga berdasarkan riwayat Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang berbuka di bulan Ramadan dengan kafārah zhihār, dan telah terjadi ijmāʿ bahwa kafārah zhihār bersifat muratab.
Dan karena ini adalah jenis takfīr (penebusan) yang wajib disebabkan oleh bentuk maʾṡam (dosa), maka harus bersifat tartīb, sebagaimana kafārah pembunuhan dan zhihār. Dan karena kafārah-kafārah dalam syariat ada dua macam:
- Macam yang dimulai dengan yang paling berat, maka tartīb-nya wajib, seperti kafārah zhihār dan pembunuhan yang dimulai dengan ʿitq,
- dan macam yang dimulai dengan yang ringan, maka takhyīr (pilihan) berlaku, seperti kafārah sumpah yang dimulai dengan memberi makan.
Lalu kami dapati bahwa kafārah jimāʿ dimulai dengan yang paling berat, yaitu ʿitq, maka wajib hukumnya dilakukan secara tartīb.
Adapun apa yang diriwayatkan oleh Mālik, maka kami meriwayatkannya juga dalam bentuk tartīb, dan kisahnya satu. Riwayat kami lebih utama karena lebih banyak perawinya, menyampaikan lafaz Nabi SAW, dan menafsirkan lafaz-lafaznya yang tidak mengandung kemungkinan makna lain.
فَصْلٌ
: فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهَا عَلَى التَّرْتِيبِ، فَيُبْدَأُ أَوَّلًا بِعِتْقِ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ سَلِيمَةٍ مِنَ الْعُيُوبِ الْمُضِرَّةِ بِالْعَمَلِ إِضْرَارًا بَيِّنًا، وَأَجَازَ أبو حنيفة عِتْقَ رَقَبَةٍ كَافِرَةٍ، وَالْكَلَامُ يَأْتِي مَعَهُ، فِي كِتَابِ الظِّهَارِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَإِنْ عَدِمَ الرَّقَبَةَ، وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا صَامَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ سِوَى يَوْمِ الْقَضَاءِ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: إِنْ كَفَّرَ بِالصِّيَامِ سَقَطَ عَنْهُ الْقَضَاءُ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ، رِوَايَةُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِلْأَعْرَابِيِّ: ” صُمْ يَوْمًا مَكَانَ مَا أَصَبْتَ وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ ” وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى: إِنْ صَامَهُ مُنْفَرِدًا أَجْزَأَهُ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” صم شهرين متتابعين سوى يوم القضاء ” فإذا أَفْطَرَ فِيهَا يَوْمًا لَزِمَهُ الِاسْتِئْنَافُ عَلَى مَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الصِّيَامِ، أَطْعَمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدًّا بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَهُوَ رَطْلٌ وَثُلُثٌ مِنَ الْأَقْوَاتِ الْمُزَكَّاةِ عَلَى مَا مَضَى فِي كِتَابِ ” الزَّكَاةِ “.
PASAL
Apabila telah ditetapkan bahwa kafārah dilakukan secara berurutan, maka dimulai pertama dengan memerdekakan seorang budak mukmin yang selamat dari cacat yang mengganggu secara nyata dalam pelaksanaan kerja. Abū Ḥanīfah membolehkan memerdekakan budak kafir, dan pembahasan tentang itu akan datang pada Kitāb aẓ-Ẓihār, insya Allah.
Jika tidak mendapatkan budak dan tidak mampu memerdekakannya, maka ia berpuasa dua bulan berturut-turut selain hari qadhāʾ. Al-Awzāʿī berpendapat: Jika ia menunaikan kafārah dengan puasa, maka gugur darinya qadhāʾ. Dalilnya adalah riwayat dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada seorang aʿrābī: “Berpuasalah satu hari sebagai ganti dari apa yang telah kau lakukan dan mohonlah ampun kepada Allah.”
Ibn Abī Laylā berkata: Jika ia hanya berpuasa sendirian (tanpa yang lain), maka itu mencukupi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW: “Berpuasalah dua bulan berturut-turut selain hari qadhāʾ.” Maka jika ia berbuka satu hari di antara keduanya, wajib baginya untuk mengulang dari awal, sebagaimana akan dijelaskan, insya Allah.
Jika ia tidak mampu berpuasa, maka ia memberi makan enam puluh orang miskin, masing-masing satu mudd dengan takaran mudd Nabi SAW, yaitu satu raṭl dan sepertiga dari bahan makanan pokok yang wajib dizakati sebagaimana telah dijelaskan dalam Kitāb az-Zakāh.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ أَخْرَجَ شَعِيرًا أَوْ تَمْرًا فَعَلَيْهِ لِكُلِّ مِسْكِينٍ صَاعٌ، وَإِنْ أَخْرَجَ بُرًّا فَنِصْفُ صَاعٍ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا فَقَالَ لَا أَجِدُ فَدَعَا بِفَرَقٍ فِيهِ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا تَمْرًا وَقَالَ أَطْعِمْهُ سِتِّينَ مِسْكِينًا) وَالصَّاعُ أَرْبَعَةُ أَمْدَادٍ، فَدَلَّ على أن الواجب لكل مسلكين مُدٌّ، فَإِنْ عَدِمَ الْإِطْعَامَ، وَلَمْ يَجِدْ إِلَى التَّكْفِيرِ سَبِيلًا فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Abū Ḥanīfah berkata: Jika seseorang mengeluarkan syarīr atau tamr, maka wajib atasnya satu ṣāʿ untuk setiap orang miskin. Dan jika ia mengeluarkan burr (gandum), maka setengah ṣāʿ.
Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Berilah makan enam puluh orang miskin.” Maka orang itu berkata: “Aku tidak menemukannya (maksudnya tidak mampu).” Lalu Nabi SAW didatangkan faraq berisi lima belas ṣāʿ kurma, lalu beliau bersabda: “Berilah makan dengannya kepada enam puluh orang miskin.”
Dan satu ṣāʿ adalah empat mudd. Maka hal ini menunjukkan bahwa yang wajib bagi setiap orang miskin adalah satu mudd.
Jika seseorang tidak mampu memberi makan dan tidak menemukan jalan untuk menunaikan kafārah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قَدْ سَقَطَتْ عَنْهُ الْكَفَّارَةُ، وَبَرِئَتْ ذِمَّتُهُ مِنْهَا فَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهَا فِيمَا بَعْدُ يَلْزَمُهُ إِخْرَاجُهَا، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَذِنَ لِلْأَعْرَابِيِّ فِي أَكْلِ التَّمْرِ حِينَ أَخْبَرَهُ بِحَاجَتِهِ، وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِإِخْرَاجِهَا إِذَا قَدَرَ عَلَيْهَا مَعَ جَهْلِهِ بِالْحُكْمِ فِيهَا، وَقِيَاسًا عَلَى زَكَاةِ الْفِطْرِ إِذَا عَدِمَهَا وَقْتَ الْوُجُوبِ، ثُمَّ وَجَدَهَا فِيمَا بَعْدُ لِتَعَلُّقِهَا بِطُهْرَةِ الصَّوْمِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ الْكَفَّارَةَ لَازِمَةٌ لَهُ، وَإِخْرَاجَهَا وَاجِبٌ عَلَيْهِ، إِذَا أَمْكَنَهُ لِأَنَّ الْأَعْرَابِيَّ لَمَّا أَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِعَجْزِهِ عَنْ أَجْنَاسِ الْكَفَّارَةِ، لَمْ يُبَيِّنْ لَهُ سُقُوطَهَا عَنْهُ بَلْ أَمَرَ لَهُ بِمَا يُكَفِّرُ بِهِ مِنَ التَّمْرِ، فَدَلَّ عَلَى ثُبُوتِهَا فِي ذِمَّتِهِ، وَإِنْ عَجَزَ عَنْهَا وَقِيَاسًا عَلَى جَزَاءِ الصَّيْدِ يَلْزَمُهُ، وَإِنْ أَعْسَرَ بِهِ.
Pertama: Bahwa kafārah telah gugur darinya dan terlepas tanggungannya darinya. Maka jika suatu saat ia mampu menunaikannya, tidak wajib baginya untuk mengeluarkannya. Karena Rasulullah SAW mengizinkan aʿrābī untuk memakan kurma ketika ia mengabarkan kebutuhannya, dan beliau tidak memerintahkannya untuk mengeluarkan kafārah apabila suatu saat mampu, padahal beliau mengetahui ketidaktahuan aʿrābī terhadap hukum tersebut. Hal ini juga dianalogikan dengan zakāt al-fiṭr; jika tidak mampu menunaikannya pada waktu wajib, kemudian mampu setelahnya, maka tidak wajib dikeluarkan karena ia berkaitan dengan pensucian puasa.
Pendapat kedua—dan ini yang ṣaḥīḥ—bahwa kafārah tetap wajib atasnya dan mengeluarkannya menjadi kewajiban ketika ia telah mampu. Karena aʿrābī ketika mengabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa ia tidak mampu melaksanakan bentuk-bentuk kafārah, Nabi tidak menjelaskan bahwa kafārah gugur darinya, bahkan beliau memerintahkannya dengan sesuatu untuk menunaikan kafārah berupa kurma. Maka ini menunjukkan bahwa kafārah tetap menjadi tanggungan meskipun ia tidak mampu menunaikannya. Dan hal ini juga dianalogikan dengan jazāʾ aṣ-ṣayd (denda karena membunuh binatang buruan), tetap wajib meskipun pelaku tidak mampu membayarnya.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وإن دَخَلَ فِي الصَّوْمِ ثُمَّ وَجَدَ رَقَبَةً فَلَهُ أَنْ يُتِمَّ صَوْمَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِنْ وَجَدَ الرَّقَبَةَ بَعْدَ كَمَالِ الصَّوْمِ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ عِتْقُهَا وَالصَّوْمُ يُجْزِيهِ وَلَكِنْ لَوْ وَجَدَهَا قَبْلَ دُخُولِهِ فِي الصَّوْمِ فَإِنْ كَفَّرَ بِهَا، فَقَدْ أَحْسَنَ، وَأَجْزَأَهُ وَإِنْ عَدَلَ عَنْهَا إِلَى الصَّوْمِ مَعَ الْيَسَارِ الطَّارِئِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُجْزِيهِ اعْتِبَارٌ بِحَالِ الْوُجُوبِ قِيَاسًا عَلَى الْحُدُودِ.
MASALAH:
Imām al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang telah memulai puasa kemudian ia mendapatkan budak, maka ia boleh menyempurnakan puasanya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun jika ia mendapatkan budak setelah sempurnanya puasa, maka tidak wajib baginya untuk memerdekakannya, dan puasanya mencukupi. Namun jika ia mendapatkan budak sebelum masuk dalam puasa, lalu ia menunaikan kafārah dengan budak tersebut, maka itu baik dan mencukupi.
Dan jika ia berpaling darinya (budak) menuju puasa, padahal ia dalam kondisi mampu (yusir) yang baru muncul, maka ada dua pendapat:
- Pertama: mencukupinya, dengan pertimbangan kondisi saat wujūb, berdasarkan qiyās kepada hukum ḥudū
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي الْجَدِيدِ لَا يُجْزِيهِ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْأَدَاءِ قِيَاسًا عَلَى الصَّلَوَاتِ، فَأَمَّا إِنْ دَخَلَ فِي الصَّوْمِ ثُمَّ وَجَدَ الرَّقَبَةَ قَبْلَ كَمَالِهِ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ تَمَّمَ صَوْمَهُ وَأَجْزَأَهُ، وَإِنْ شَاءَ خَرَجَ مِنْ صَوْمِهِ وَأَعْتَقَ عَنْ كَفَّارَتِهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: وَالْمُزَنِيُّ، عَلَيْهِ عِتْقُ الرَّقَبَةِ، وَلَا يُجْزِئُهُ الصَّوْمُ بِنَاءً عَلَى الْمُتَيَمِّمِ إِذَا رَأَى الْمَاءَ فِي أَثْنَاءِ صَلَاتِهِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُمْ فِيهِ ثُمَّ مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَى أَنَّ الصَّوْمَ يُجْزِئُهُ هُوَ أَنَّ الْعِتْقَ مَعْنَى وُجُودِهِ يَمْنَعُ الدُّخُولَ فِي الصَّوْمِ، فَوَجَبَ إِذَا وُجِدَ بَعْدَ الدُّخُولِ فِي الصَّوْمِ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الرُّجُوعُ إِلَيْهِ، أَصْلُهُ الْمُتَمَتِّعُ إِذَا لَمْ يَجِدِ الْهَدْيَ فَصَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَدَخَلَ فِي السَّبْعَةِ ثُمَّ وجد الهدي قبل كمالها.
Pendapat kedua: Dalam pendapat al-jadīd (baru) dari Imam al-Syafi‘i, tidak mencukupi (puasa sebagai kafārah), karena yang dijadikan patokan adalah keadaan saat pelaksanaan (ḥāl al-adāʾ), dengan qiyās kepada shalat.
Adapun jika seseorang telah memulai puasa, kemudian ia menemukan budak sebelum sempurna puasanya, maka ia diberi pilihan: jika ia mau, ia boleh menyempurnakan puasanya dan itu sah sebagai kafārah; dan jika ia mau, ia boleh keluar dari puasanya dan menggantinya dengan memerdekakan budak untuk kafārah-nya.
Abū Ḥanīfah dan al-Muzanī berpendapat: Wajib baginya memerdekakan budak, dan puasa tidak mencukupi, dengan membandingkan kasus ini kepada orang yang bertayamum, kemudian melihat air di tengah-tengah shalatnya. Dan telah dijelaskan sebelumnya pembahasan bersama mereka dalam masalah ini.
Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa puasa mencukupi adalah bahwa keberadaan budak sebelum pelaksanaan mencegah seseorang untuk masuk ke dalam puasa sebagai kafārah. Maka jika budak itu ditemukan setelah masuk dalam puasa, tidak wajib baginya kembali (mengganti dengan ‘itq). Contohnya adalah al-mutamattiʿ dalam haji: jika ia tidak menemukan hady, lalu berpuasa tiga hari, dan masuk ke puasa tujuh hari, kemudian ia mendapatkan hady sebelum sempurna, maka tidak wajib baginya mengganti hady.
مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ أَكَلَ عَامِدًا فِي صَوْمِ رَمَضَانَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْعُقُوبَةُ وَلَا كَفَّارَةَ إِلَّا بِالْجِمَاعِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
لَا كَفَّارَةَ عَلَى الْآكِلِ عَامِدًا فِي رَمَضَانَ، وَقَالَ مَالِكٌ: عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ بِكُلِّ حَالٍ.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ أَفْطَرَ بِجِنْسِ مَا يَقَعُ بِهِ الِاغْتِذَاءُ غَالِبًا لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ، وَإِنْ أَفْطَرَ بِمَا لَا يَقَعُ بِهِ الِاغْتِذَاءُ كَجَوْزَةٍ أَوْ حصاة لزمه القضاء ولا كفارة واستدلا بِمَا رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَجُلًا أَفْطَرَ فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بالكفارة هذا عَامٌّ فِي كُلِّ فِطْرٍ، وَبِرِوَايَةِ مُجَاهِدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ فَعَلَيْهِ مَا عَلَى الْمُظَاهِرِ ” وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ مُنْفَرِدًا بِهِ بِأَنْ قَالَ: لِأَنَّهُ إِفْطَارٌ بِمَعْصِيَةٍ فَوَجَبَ أَنْ تَتَعَلَّقَ بِهِ الْكَفَّارَةُ.
Masalah:
Imām al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang makan dengan sengaja dalam puasa Ramadan, maka wajib baginya qadhāʾ dan hukuman (ʿuqūbah), dan tidak ada kafārah kecuali karena jimāʿ di bulan Ramadan.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan (oleh al-Syāfiʿī): Tidak ada kafārah atas orang yang makan dengan sengaja di bulan Ramadan.
Adapun Imām Mālik berkata: Wajib atasnya kafārah dalam setiap keadaan.
Sementara Abū Ḥanīfah berkata: Jika seseorang berbuka dengan jenis sesuatu yang secara umum bisa dijadikan sumber gizi (al-ightidhāʾ), maka wajib atasnya kafārah; namun jika ia berbuka dengan sesuatu yang tidak lazim dijadikan makanan seperti sebutir kenari atau batu kecil, maka ia hanya wajib qadhāʾ tanpa kafārah.
Dalil mereka adalah riwayat dari Abū Hurairah raḍiyallāh ʿanhu bahwa ada seorang lelaki berbuka, lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk menunaikan kafārah—ini adalah dalil umum untuk setiap bentuk berbuka.
Dan berdasarkan riwayat Mujāhid dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang berbuka di bulan Ramadan, maka ia wajib menunaikan seperti yang ditanggung oleh orang yang melakukan ẓihār.”
Adapun Mālik secara khusus berdalil bahwa: Karena itu adalah pembatalan puasa dengan maksiat, maka wajib terkait dengannya kafārah.
أَصْلُهُ: الْجِمَاعُ.
وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة مُنْفَرِدًا بِأَنْ قَالَ: لِأَنَّهُ إِفْطَارٌ بِأَعْلَى مَا يَقَعُ بِهِ هَتْكُ حُرْمَةِ الصَّوْمِ مِنْ جِنْسِهِ، فَوَجَبَ أَنْ تَتَعَلَّقَ بِهِ الْكَفَّارَةُ كَالْجِمَاعِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا فِي سُقُوطِ الْكَفَّارَةِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا أَفْطَرَ ” وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْكَفَّارَةِ، وَالْمُسْتَقِيءُ عَامِدًا كَالْآكِلِ عَامِدًا، وَلِأَنَّهُ أَفْطَرَ بِمَا لَا يَجِبُ الْحَدُّ بِشَيْءٍ مِنْ جِنْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَهُ الْكَفَّارَةُ كَالْمُسْتَقِيءِ عَامِدًا، وَلِأَنَّهُ أَفْطَرَ بِغَيْرِ جِمَاعٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَهُ الْكَفَّارَةُ الْعُظْمَى.
Asalnya adalah: jimāʿ.
Abū Ḥanīfah secara khusus berdalil dengan mengatakan: Karena itu merupakan pembatalan puasa dengan bentuk tertinggi yang menyebabkan pelanggaran terhadap kehormatan puasa dari jenisnya sendiri, maka wajib baginya kafārah sebagaimana jimāʿ.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa tidak wajib kafārah atas keduanya (yakni selain jimāʿ), adalah sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang sengaja muntah, maka ia batal puasanya.” Namun beliau tidak memerintahkannya untuk membayar kafārah.
Orang yang sengaja muntah kedudukannya seperti orang yang sengaja makan. Dan karena ia berbuka dengan sesuatu yang tidak mewajibkan ḥadd dari jenisnya, maka tidak wajib baginya kafārah, seperti orang yang sengaja muntah.
Juga karena ia berbuka bukan dengan jimāʿ, maka tidak wajib atasnya kafārah yang paling besar (al-kafārah al-‘uẓmā).
أَصْلُهُ: إِذَا ابْتَلَعَ حَصَاةً وَهَذِهِ عَلَى أبي حنيفة، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ مَنَعَتْ مِنَ الْوَطْءِ، وَغَيْرِهِ فَحُكْمُ الْوَطْءِ فِيهَا أَعْلَى كَالْحَجِّ، لَمَّا اسْتَوَى حَكَمُ الْوَطْءِ، وَغَيْرُهُ فِي إيجاب الكفارة اختص الوطء أغلظ الْأَحْكَامِ تَغْلِيظًا بِإِفْسَادِ الْحَجِّ فَكَذَلِكَ فِي الصَّوْمِ، لَمَّا سَاوَى الْوَطْءُ الْأَكْلَ فِي إِفْسَادِ الصَّوْمِ اقْتَضَى أَنْ يَخْتَصَّ الْوَطْءُ بِالْكَفَّارَةِ تَغْلِيظًا دُونَ الْأَكْلِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَتَعَلَّقُ بِالْوَطْءِ فِيهَا كَفَّارَةٌ، فَلَمْ يُسْتَحَقَّ تِلْكَ الْكَفَّارَةَ بِمَحْظُورٍ غَيْرِ الْوَطْءِ كَالْحَجِّ، فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ الْمُفْطِرَ بِالْكَفَّارَةِ، وَهَذَا مُجْمَلُ رَاوِيَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَقَدْ فَسَّرَهُ فِيمَا رَوَيْنَاهُ مِنْ قِصَّةِ الْأَعْرَابِيِّ، وَأَنَّهَا وَارِدَةٌ فِي الْجِمَاعِ وَتَفْسِيرُ الرَّاوِي أَوْلَى مِنْ إِجْمَالِهِ، وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِقَوْلِهِ: ” مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ فَعَلَيْهِ مَا عَلَى الْمُظَاهِرِ ” فَلَا دَلِيلَ فِيهِ لِأَنَّ عَلَى الْمُظَاهِرِ الِاسْتِغْفَارُ وَإِنَّمَا تَلْزَمُهُ الْكَفَّارَةُ بِالْعَوْدِ، لَا بِالظِّهَارِ، فَكَانَ دَلِيلُ هَذَا الْخَبَرِ يُوجِبُ عَلَى الْأَكْلِ الِاسْتِغْفَارَ، وَسُقُوطَ الْكَفَّارَةِ، وَأَمَّا قِيَاسُ مَالِكٍ فَفَاسِدٌ بِمَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا.
Asalnya: jika seseorang menelan batu kerikil—dan inilah pendapat Abū Ḥanīfah. Dan karena setiap ibadah yang melarang jimāʿ dan selainnya, maka hukum jimāʿ dalam ibadah tersebut lebih berat, seperti dalam ibadah haji. Ketika hukum jimāʿ dan selainnya sama-sama mewajibkan kafārah, maka jimāʿ memiliki hukum yang lebih berat karena merusak ibadah haji, demikian pula dalam puasa: ketika jimāʿ dan makan sama-sama membatalkan puasa, maka jimāʿ layak dikhususkan dengan kafārah sebagai bentuk pemberatan, sedangkan makan tidak.
Dan karena ini adalah ibadah yang kafārah-nya terkait dengan jimāʿ, maka kafārah tersebut tidak berhak dikenakan karena pelanggaran selain jimāʿ, sebagaimana dalam haji.
Adapun istidlāl (argumentasi) mereka bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang berbuka untuk menunaikan kafārah, maka ini adalah bentuk lafaz umum dalam riwayat Abū Hurairah, dan telah dijelaskan dalam riwayat kami tentang kisah al-Aʿrābī bahwa ia berlaku untuk jimāʿ. Maka tafsir perawi lebih utama daripada keumumannya.
Adapun istidlāl mereka dengan sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadan, maka atasnya seperti yang wajib atas orang yang melakukan ẓihār,” maka tidak terdapat dalil dalamnya. Karena yang wajib atas orang yang muẓāhir adalah istighfār, dan kafārah hanya menjadi wajib jika ia kembali (al-ʿaud) kepada hubungan suami istri, bukan karena sekadar ẓihār. Maka dalil hadis tersebut mewajibkan istighfār atas orang yang makan dan menjatuhkan kafārah.
Adapun qiyās Mālik adalah fāsid (rusak) karena ia menyamakan dengan orang yang memuntahkan makanan secara sengaja.
وَأَمَّا قِيَاسُ أبي حنيفة فَفَاسِدٌ بِالْقَيْءِ أَيْضًا إِذَا مَلَأَ الْفَمَ، لِأَنَّهُ فَرَّقَ بَيْنَ قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ، عَلَى أَنَّ قَوْلَهُ عَلَى مَا يَقَعُ بِهِ هَتْكُ الْحُرْمَةِ، لَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي الْفِطْرِ لِأَنَّهُ لَوْ أَفْطَرَ بِالسَّهْوِ مَا لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ أَعْلَى الْمَأْكُولِ.
Adapun qiyās Abū Ḥanīfah, maka itu rusak jika diukur dengan muntah juga—apabila muntah itu memenuhi mulut—karena ia membedakan antara sedikit dan banyaknya muntah.
Lagipula, perkataannya bahwa kafārah berkaitan dengan sesuatu yang paling besar dalam merusak kehormatan (puasa), tidak berpengaruh dalam penetapan batalnya puasa. Karena jika seseorang berbuka karena lupa, tidak wajib atasnya kafārah, meskipun ia berbuka dengan sesuatu yang paling besar dari makanan.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ سُقُوطُ الْكَفَّارَةِ عَنِ الْأَكْلِ عَامِدًا، فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْعُقُوبَةُ فَيُعَزَّرُ عَلَى حسب حاله، ولا تبلغ بِهِ أَدْنَى الْحُدُودِ.
وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُطْعِمَ فَوْقَ كَفَّارَةِ الْحَامِلِ، وَدُونَ كَفَّارَةِ الْوَاطِئِ وَهَذَا مَذْهَبٌ لَا يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى خَبَرٍ، وَلَا أَثَرٍ، وَلَا قِيَاسٍ.
وَحُكِيَ عَنْ رَبِيعَةَ أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءَ اثْنَيْ عَشَرَ يَوْمًا مَكَانَ يَوْمٍ، وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ: أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءَ شَهْرٍ مَكَانَ يَوْمٍ، وَعَنِ النَّخَعِيِّ: أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءَ ثَلَاثَةِ آلَافِ يَوْمٍ مَكَانَ يَوْمٍ، وَعَنْ عَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ لَا يَقْضِيهِ بِصِيَامِ الدَّهْرِ، وَالَّذِي عَلَيْهِ عِنْدَنَا أَنْ يَقْضِيَ يَوْمًا مَكَانَ يَوْمٍ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: وصم يوماً مكانه.
PASAL
Apabila telah tetap bahwa kafārah gugur dari orang yang makan dengan sengaja (di siang Ramadan), maka wajib atasnya qadhāʾ dan ʿuqūbah, yaitu dihukum taʿzīr sesuai dengan keadaannya, namun tidak sampai kepada batas minimal ḥudūd.
Diriwayatkan dari Ibn Abī Hurairah bahwa wajib atasnya memberi makan dengan kadar di atas kafārah perempuan hamil, dan di bawah kafārah orang yang berjimaʿ. Ini adalah mazhab yang tidak bersandar kepada khabar, tidak atsar, dan tidak pula qiyās.
Diriwayatkan dari Rabīʿah bahwa wajib atasnya qadhāʾ dua belas hari untuk mengganti satu hari. Dari Saʿīd ibn al-Musayyab: wajib mengganti satu bulan penuh untuk satu hari. Dari al-Nakhaʿī: wajib mengganti tiga ribu hari untuk satu hari. Dan dari ʿAlī serta Ibn Masʿūd: bahwa ia tidak bisa menggantinya meskipun berpuasa seumur hidup.
Adapun pendapat yang kami anut: bahwa ia wajib mengganti satu hari dengan satu hari, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Dan puasalah satu hari sebagai gantinya.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ تَلَذَّذَ بِامْرَأَتِهِ حَتَّى يُنْزِلَ فَقَدْ أَفْطَرَ وَلَا كَفَّارَةَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِنْ وَطِئَ دُونَ الْفَرْجِ أَوْ قَبَّلَ أَوْ بَاشَرَ فَلَمْ يُنْزِلْ فَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَلَا كَفَّارَةَ وَإِنْ أَنْزَلَ فَقَدْ أَفْطَرَ، وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ إِجْمَاعًا، وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، وَعِنْدَ أبي حنيفة.
وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو ثَوْرٍ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ لِأَنَّهُ إِنْزَالٌ عَنْ مُبَاشَرَةٍ، فَوَجَبَ أَنْ تَتَعَلَّقَ بِهِ الْكَفَّارَةُ كَالْوَطْءِ فِي الْفَرْجِ.
وَدَلِيلُنَا أَنَّهُ إِفْطَارٌ بِغَيْرِ جِمَاعٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَهُ الْكَفَّارَةُ أَصْلُهُ إِذَا تَقَيَّأَ عَامِدًا، وَالْمَعْنَى فِي الْجِمَاعِ فِي الْفَرْجِ الْإِيلَاجُ لَا الْإِنْزَالُ، لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ لَا تَلْزَمُهُ بِالْإِيلَاجِ أَنْزَلَ أَوْ لم ينزل.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang bersenang-senang dengan istrinya hingga keluar mani, maka sungguh ia telah berbuka, namun tidak ada kafārah atasnya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun jika ia menyetubuhi selain kemaluan, atau mencium, atau menyentuh tanpa mengeluarkan mani, maka puasanya tetap sah, tidak wajib qadhāʾ dan tidak ada kafārah atasnya. Namun jika ia mengeluarkan mani, maka puasanya batal dan wajib qadhāʾ atasnya menurut ijma‘. Tetapi tidak wajib kafārah menurut kami dan menurut Abū Ḥanīfah.
Mālik dan Abū Ṯaur berpendapat: Wajib atasnya kafārah, karena itu adalah inzāl (keluarnya mani) yang terjadi karena mubāsyarah (bersentuhan), maka wajib dikenakan kafārah sebagaimana jimāʿ dalam farj.
Dalil kami: Bahwa itu adalah pembatalan puasa yang tidak melalui jimāʿ, maka tidak wajib atasnya kafārah. Asalnya adalah apabila seseorang sengaja muntah, ia batal puasanya namun tidak ada kafārah.
Adapun makna yang terkandung dalam jimāʿ di dalam farj adalah ilāj (masuknya kemaluan), bukan inzāl, karena kafārah tetap wajib dengan ilāj baik disertai inzāl maupun tidak.
مسألة:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَإِنْ أَدْخَلَ فِي دُبُرِهَا حَتَى يُغَيِّبَهُ أَوْ فِي بَهِيمَةٍ أَوْ تَلَوَّطَ ذَاكِرًا لِلصَّوْمِ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا أَوْلَجَ ذَكَرَهُ فِي فَرْجٍ مِنْ قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ أَوْ أَتَى بَهِيمَةً فِي أَحَدِ فَرْجَيْهَا، أَوْ تَلَوَّطَ عَامِدًا، فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ مَعَ مَا ارْتَكَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالْمَعْصِيَةِ وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَلَا كَفَّارَةَ، لِأَنَّ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَقَعُ بِهِ التَّحْصِينُ كَالْوَطْءِ دُونَ الْفَرْجِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ عَلَيْهِ، هُوَ أَنَّهُ عَمَدَ هتك حرمة الصوم يوطء فِي الْفَرْجِ، فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَهُ الْكَفَّارَةُ كَالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ، وَلِأَنَّهُ إِيلَاجٌ يَجِبُ بِهِ الْغَسْلُ فَجَازَ أَنْ تَجِبَ فِيهِ الْكَفَّارَةُ.
Masalah:
Imām al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang memasukkan (kemaluannya) ke dalam dubur istrinya hingga tenggelam (hasyafah-nya), atau ke dalam hewan, atau ia melakukan liwāṭ dalam keadaan sadar sedang berpuasa, maka wajib atasnya qadhāʾ dan kafārah.”
Al-Māwardī berkata: Jika ia memasukkan zakarnya ke dalam farj, baik dari qubul maupun dubur, atau ia menyetubuhi hewan melalui salah satu dari dua kemaluannya, atau melakukan liwāṭ dengan sengaja, maka wajib atasnya qadhāʾ dan kafārah, beserta dosa dan maksiat yang ia lakukan.
Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat: Wajib qadhāʾ atasnya, namun tidak kafārah, karena itu bukan bentuk hubungan yang dapat menyebabkan taḥṣīn (status kehormatan dalam hukum rajam), seperti wathʾ selain di farj.
Dalil atas wajibnya kafārah dalam kasus ini adalah bahwa ia dengan sengaja telah melanggar kehormatan puasa dengan bentuk hubungan biologis di farj, maka wajib atasnya kafārah sebagaimana wathʾ di qubul. Dan karena itu adalah bentuk īlāj (penetrasi) yang mewajibkan mandi janabah, maka sah jika disertai kewajiban kafārah.
أَصْلُهُ: قُبُلُ الْمَرْأَةِ، وَأَمَّا مَا اعْتَبَرَهُ بِالتَّحْصِينِ فَيَفْسُدُ بِالزِّنَا يُوجِبُ الْكَفَّارَةَ، وَلَا يَقَعُ بِهِ التَّحْصِينُ، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَقُولُ: إِنَّ إِتْيَانَ الْبَهَائِمِ إِذَا قِيلَ لَا حَدَّ فِيهِ فَفِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ وَجْهَانِ، وَهَذَا غَلَطٌ لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ غَيْرُ مُعْتَبَرَةٍ بِالْحَدِّ لِأَنَّ وَطْءَ الزَّوْجَةِ يُوجِبُ الْكَفَّارَةَ، وَلَا يُوجِبُ الْحَدَّ فَأَمَّا مَنِ اسْتَمْنَى فِي كَفِّهِ عَامِدًا ذَاكِرًا لِصَوْمِهِ، فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَلَا كَفَّارَةَ وَلَوْ حَكَّ ذَكَرَهُ لِعَارِضٍ فَأَنْزَلَ، فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ وَهَلْ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ أَمْ لَا عَلَى وجهين:
Asalnya: Qubul (kemaluan depan) perempuan.
Adapun analogi yang mengaitkannya dengan status taḥṣīn (terjaga kehormatannya), maka ini tidak sah, karena zinā merusak puasa dan mewajibkan kafārah, namun tidak mewujudkan taḥṣīn.
Sebagian sahabat kami ada yang berkata: Jika mendatangi hewan dan dikatakan bahwa tidak ada ḥadd di dalamnya, maka tentang wajib tidaknya kafārah ada dua pendapat. Dan ini adalah kekeliruan, karena kafārah tidak bergantung pada adanya ḥadd. Sebab, hubungan suami istri (yang sah) mewajibkan kafārah, padahal tidak mewajibkan ḥadd.
Adapun orang yang melakukan istimnā (onani) dengan tangannya sendiri, dalam keadaan sengaja dan sadar sedang berpuasa, maka wajib atasnya qadhāʾ, namun tidak ada kafārah. Dan jika ia menggosok kemaluannya karena sesuatu yang darurat, lalu keluar mani, maka tidak ada kafārah atasnya.
Adapun apakah ia wajib qadhāʾ atau tidak, terdapat dua pendapat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا عَلَى وَلَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ وَتَصَدَّقَتْ كُلُّ واحدةٍ مِنْهُمَا عَنْ كُلِّ يومٍ عَلَى مسكينٍ بِمُدٍّ مِنْ حنطةٍ (قال المزني) كيف يكفر من أبيح له الأكل والإفطار ولا يكفر من لم يبح له الأكل فأكل وأفطر وفي القياس أن الحامل كالمريض وكالمسافر وكل يباح له الفطر فهو في القياس سواءٌ واحتج بالخبر ” من استقاء عامداً فعليه القضاء ولا كفارة ” (قال المزني) ولم يجعل عليه أحدٌ من العلماء علمته فيه كفارةٌ وقد أفطر عامداً وكذا قالوا في الحصاة يبتلعها الصائم “.
Masalah:
Imām al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: “Perempuan hamil dan perempuan menyusui apabila keduanya khawatir terhadap anaknya, maka keduanya boleh berbuka, dan wajib atas keduanya qadhāʾ, serta masing-masing dari keduanya bersedekah untuk setiap hari kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum.”
Al-Muzanī berkata: Bagaimana mungkin dikenakan kafārah kepada orang yang dibolehkan makan dan berbuka, sedangkan tidak dikenakan kafārah kepada orang yang tidak dibolehkan makan, namun ia makan dan berbuka? Secara qiyās, perempuan hamil sama dengan orang sakit dan musafir, dan setiap orang yang diperbolehkan berbuka, maka hukumnya secara qiyās adalah sama.
Ia berdalil dengan hadis: “Barang siapa yang sengaja memuntahkan, maka wajib atasnya qadhāʾ dan tidak ada kafārah.”
Al-Muzanī berkata: Tidak ada seorang pun dari ulama yang aku ketahui yang mewajibkan kafārah padanya, padahal ia telah berbuka dengan sengaja. Demikian pula mereka berkata tentang orang yang menelan batu saat berpuasa.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لَا يَخْلُو حَالُ الْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ فِي إِفْطَارِهِمَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْطِرَا لِخَوْفٍ وَحَاجَةٍ أَمْ لَا فَإِنْ أَفْطَرَتَا بِغَيْرِ خَوْفٍ عَلَيْهِمَا وَلَا عَلَى وَلَدِهِمَا وَلَا حَاجَةَ دَعَتْهُمَا إِلَى الْإِفْطَارِ مَاسَّةً فَحُكْمُهُمَا حُكْمُ الْمُفْطِرِ عَامِدًا فِي الْإِثْمِ وَالْمَعْصِيَةِ، وَوُجُوبِ الْقَضَاءِ فَأَمَّا الْكَفَّارَةُ فَعَلَى اخْتِلَافِهِمْ فِيهَا، وَإِنْ أَفْطَرَتَا لِخَوْفٍ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْخَوْفُ عَلَيْهِمَا فِي أَنْفُسِهِمَا، وَأَبْدَانِهِمَا فَلَا شُبْهَةَ فِي جَوَازِ فِطْرِهِمَا، وَوُجُوبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهِمَا وَلَا كَفَّارَةَ كَالْمَرِيضِ.
Al-Māwardī berkata: Keadaan perempuan hamil dan menyusui dalam hal berbuka (puasa) tidak lepas dari dua keadaan: apakah keduanya berbuka karena rasa takut dan kebutuhan, atau tidak.
Jika keduanya berbuka tanpa adanya rasa takut terhadap diri mereka sendiri atau terhadap anak mereka, dan tidak ada kebutuhan mendesak yang mendorong mereka untuk berbuka, maka hukum keduanya sama dengan orang yang sengaja berbuka puasa: berdosa dan bermaksiat, serta wajib qadhāʾ. Adapun kafārah, maka terdapat perbedaan pendapat mengenai wajibnya.
Namun jika keduanya berbuka karena adanya rasa takut, maka hal itu terbagi menjadi dua:
Pertama: Rasa takut terhadap diri mereka sendiri dan tubuh mereka. Maka tidak ada keraguan akan bolehnya mereka berbuka, dan wajib atas mereka qadhāʾ, namun tidak wajib kafārah, sebagaimana hukum orang sakit.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْخَوْفُ عَلَى الْوَلَدِ وَالْحَمْلِ دُونَ أَنْفُسِهِمَا فَلَا خِلَافَ أَنَّ الْفِطْرَ مُبَاحٌ لَهُمَا، فَإِذَا أَفْطَرَتَا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ، وَمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ وَالرَّبِيعُ أَنَّ عَلَيْهِمَا الْقَضَاءَ وَالْكَفَّارَةَ فِي كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ مِنْ حِنْطَةٍ، وَبِهِ قَالَ مُجَاهِدٌ وَأَحْمَدُ وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: فِي كِتَابِ ” الْبُوَيْطِيِّ ” تَجِبُ الْكَفَّارَةُ عَلَى الْمُرْضِعِ دُونَ الْحَامِلِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَقَالَ أبو حنيفة وَالثَّوْرِيُّ وَأَبُو عَبِيدٍ وَأَبُو ثَوْرٍ وَالْمُزَنِيُّ: لَا كَفَّارَةَ عَلَى وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، وإنما يتسحب ذك لَهُمَا وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَهُ قَوْلًا ثَالِثًا للشافعي، ومنهم من أنكره وحكي عن عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمَا أَوْجَبَا الْكَفَّارَةَ، وَأَسْقَطَا الْقَضَاءَ وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة وَمَنْ تَابَعَهُ بِرِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” إن الله وضع على الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَوَضَعَ الصَّوْمَ عَنِ الْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ “. فَاقْتَضَى ظَاهِرُ هَذَا الْخَبَرِ، أَنَّ أَحْكَامَ الصَّوْمِ مَوْضُوعَةٌ مِنْ كَفَّارَةٍ، وَقَضَاءٍ إِلَّا مَا قَامَ دَلِيلُهُ مِنْ وُجُوبِ الْقَضَاءِ قَالُوا: وَلِأَنَّهُ إِفْطَارٌ بِعُذْرٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَ بِهِ الْكَفَّارَةُ، كَالْمُسَافِرِ وَالْمَرِيضِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الْأَعْذَارَ فِي الْفِطْرِ ضَرْبَانِ:
ضَرْبٌ يُوجِبُ الْقَضَاءَ، وَيُسْقِطُ الْكَفَّارَةَ كَالسَّفَرِ وَالْمَرَضِ.
Dan jenis yang kedua: yaitu jika rasa takut itu hanya terhadap anak atau janin, bukan terhadap diri keduanya (perempuan hamil dan menyusui), maka tidak ada khilaf bahwa berbuka (puasa) diperbolehkan bagi keduanya.
Apabila keduanya berbuka, maka mazhab al-Syāfiʿī dalam qaul qadīm dan jadīd, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muzanī dan al-Rabīʿ, adalah bahwa wajib atas keduanya qadhāʾ dan kafārah, yaitu satu mud gandum untuk setiap hari. Pendapat ini juga dikatakan oleh Mujāhid dan Aḥmad.
Imām al-Syāfiʿī berkata dalam kitab al-Buwayṭī: kafārah wajib atas perempuan menyusui saja, tidak atas perempuan hamil. Pendapat ini juga dianut oleh Mālik.
Adapun Abū Ḥanīfah, al-Thawrī, Abū ʿUbayd, Abū Thawr, dan al-Muzanī berpendapat: tidak ada kafārah atas salah satu dari keduanya, namun disunnahkan bagi mereka bersedekah.
Sebagian dari aṣḥāb kami ada yang mengeluarkan pendapat ketiga dari al-Syāfiʿī, dan ada pula yang mengingkarinya. Diriwayatkan dari ʿUmar dan Ibn ʿAbbās bahwa keduanya mewajibkan kafārah dan menggugurkan qadhāʾ.
Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya berdalil dengan riwayat Anas ibn Mālik bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menggugurkan separuh salat bagi musafir, dan menggugurkan puasa dari orang sakit, musafir, perempuan hamil, dan perempuan menyusui.”
Maka zhahir hadis ini menunjukkan bahwa hukum-hukum puasa seperti kafārah dan qadhāʾ telah digugurkan, kecuali yang terdapat dalil tentang wajibnya qadhāʾ.
Mereka juga berkata: karena itu adalah berbuka dengan ʿudzur, maka tidak wajib kafārah, sebagaimana musafir dan orang sakit.
Dan mereka berkata: bahwa aʿdzār (udzur-udzur) dalam berbuka ada dua jenis:
- Jenis yang mewajibkan qadhāʾ dan menggugurkan kafārah, seperti safar dan sakit.
وَضَرْبٌ يُوجِبُ الْكَفَّارَةَ وَيُسْقِطُ الْقَضَاءَ كَالشَّيْخِ الْهَرِمِ فَأَمَّا اجْتِمَاعُهُمَا بِعُذْرٍ فَخِلَافُ الْأُصُولِ، وَمِمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ الْمُزَنِيُّ، أَنَّهُ قَالَ إِذَا كَانَ الْأَكْلُ عَامِدًا لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ مَعَ كَوْنِهِ آثِمًا عَاصِيًا، فَالْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ اللَّذَانِ لَمْ يَعْصِيَا بِالْفِطْرِ، وَلَمْ يَأْثَمَا بِهِ، أَوْلَى أَنْ لَا تَجِبَ عَلَيْهِمَا الْكَفَّارَةُ، وَهَذَا خَطَأٌ وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ عَلَيْهِ قَوْله تعالى: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مَسَاكينٍ) {البقرة: 184) وَالْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ مِمَّنْ يُطِيقُ الصِّيَامَ فَوَجَبَ بِظَاهِرِ هَذِهِ الْآيَةِ أَنْ تَلْزَمَهُمَا الْفِدْيَةُ، فَإِنْ قِيلَ: فَهَذِهِ الْآيَةُ مَنْسُوخَةٌ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) {البقرة: 185) فَحَتَّمَ الصَّوْمَ عَلَى الْمُطِيقِينَ، وَأَسْقَطَ عَنْهُمُ الْفِدْيَةَ قِيلَ: إِنَّمَا نُسِخُ مِنْهَا التَّخْيِيرُ، فِيمَا عَدَا الْحَامِلَ وَالْمُرْضِعَ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ لِاتِّفَاقِهِمْ عَلَى جَوَازِ الْفِطْرِ لَهُمَا، مَعَ الطَّاقَةِ وَالْقُدْرَةِ فَبَقِيَتِ الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ، وَلِأَنَّهَا مُقِيمَةٌ صَحِيحَةٌ بَاشَرَتِ الْفِطْرَ بِعُذْرٍ مُعْتَادٍ فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَهَا الْكَفَّارَةُ كَالشَّيْخِ الْهَرِمِ وَلِأَنَّ الصَّوْمَ عِبَادَةٌ يَجْتَمِعُ فِيهَا الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ الْعُظْمَى فَجَازَ أَنْ يَجْتَمِعَ فِيهَا الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ الصُّغْرَى كَالْحَجِّ، وَلِأَنَّ الْفِطْرَ فِطْرَانِ فِطْرٌ بِعُذْرٍ، وَفِطْرٌ بِغَيْرِ عُذْرٍ، ثُمَّ كَانَ الْفِطْرُ بِغَيْرِ عُذْرٍ يَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ، نَوْعٌ يَثْبُتُ به القضاء حسب وَهُوَ الْأَكْلُ، وَنَوْعٌ يَثْبُتُ بِهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ وَهُوَ الْجِمَاعُ فَكَذَلِكَ يَقْتَضِي أَنْ يَتَنَوَّعَ الْفِطْرُ بِعُذْرٍ نَوْعَيْنِ، نَوْعٌ يَجِبُ بِهِ الْقَضَاءُ حَسْبُ وَنَوْعٌ يَجِبُ بِهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ، وَإِنْ شِئْتَ حَرَّرْتَ هَذَا فَقُلْتَ: لِأَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الْفِطْرِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ مَا يَجِبُ بِهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ كَالْإِفْطَارِ بِغَيْرِ عُذْرٍ، فَأَمَّا الْخَبَرُ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ لِأَنَّ سُقُوطَ انْحِتَامِ الصَّوْمِ، لَا يُؤْذِنُ بِسُقُوطِ الْكَفَّارَةِ أَلَا تَرَى الشَّيْخَ الْهَرِمَ قَدْ سَقَطَ عَنْهُ انْحِتَامُ الصَّوْمِ، وَلَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ وَقِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُسَافِرِ وَالْمَرِيضِ، فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ فِطْرٌ يَخْتَصُّ بِنَفْسِهِ ارْتَفَقَ بِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ، وَهَذَا فِطْرٌ ارْتَفَقَ بِهِ شَخْصَانِ فَشَابَهَ الْجِمَاعَ وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ فِي اجْتِمَاعِهِمَا مُخَالَفَةً لِلْأُصُولِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لأنه إنما يكون مخالفاً للأصول إن وَافَقَ مَعْنَى الْأُصُولِ، وَخَالَفَهَا فِي الْحُكْمِ فَأَمَّا إِذَا خَالَفَهَا فِي الْمَعْنَى فَيَجِبُ أَنْ يُخَالِفَهَا فِي الْحُكْمِ كَمَا أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ لَمَّا كَانَ مُخَالِفًا لِمَعْنَى الْمَسْحِ عَلَى الْعِمَامَةِ، وَالْقُفَّازَيْنِ أَوْجَبَ اخْتِلَافَ الْحُكْمِ فِيهِمَا، وَالْمَعْنَى فِي الْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ أَنَّهُ فِطْرٌ ارْتَفَقَ بِهِ شَخْصَانِ فَشَابَهَ الْجِمَاعَ، وَخَالَفَ الْمُسَافِرَ وَالْمَرِيضَ، وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ، فَيُقَالُ لَهُ: لَيْسَتِ الْكَفَّارَاتُ مُعْتَبَرَةً بِكَثْرَةِ الْآثَامِ وَالْمَعْصِيَةِ، وَإِنَّمَا هِيَ حِكْمَةٌ اسْتَأْثَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِعِلْمِهَا أَلَا تَرَى أَنَّ الرِّدَّةَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ أَعْظَمُ مِنَ الْوَطْءِ، ثُمَّ لَا كَفَّارَةَ فِيهَا عَلَى أَنَّ معناهما يتفرق بما ذكرنا.
Dan jenis (alasan) yang mewajibkan kafārah dan menggugurkan qadhāʾ adalah seperti orang tua renta. Adapun jika keduanya berkumpul karena suatu uzur, maka itu menyelisihi kaidah usul. Di antara dalil yang digunakan oleh al-Muzani adalah bahwa ia berkata: “Jika makan dengan sengaja tidak dikenai kafārah, padahal ia berdosa dan maksiat, maka ibu hamil dan menyusui yang tidak berdosa karena berbuka dan tidak maksiat karenanya, lebih utama untuk tidak diwajibkan kafārah atas keduanya.” Ini adalah pendapat yang keliru. Dalil tentang wajibnya kafārah atasnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Wa ‘alā alladzīna yuṭīqūnahu fidyatun ṭa‘āmu masākīn” (QS al-Baqarah: 184), dan ibu hamil serta menyusui termasuk yang masih mampu berpuasa, maka berdasarkan lahir ayat ini wajib atas keduanya membayar fidyah.
Jika dikatakan: ayat ini telah dinasakh dengan firman-Nya Ta‘ala: “Fa man syahida minkumu al-syahr falyashumhu” (QS al-Baqarah: 185), maka Allah telah mewajibkan puasa atas yang mampu, dan menggugurkan fidyah atas mereka. Maka dijawab: yang dinasakh dari ayat pertama hanyalah kebolehan memilih (antara puasa dan fidyah), sedangkan ibu hamil dan menyusui tetap atas hukum asal, karena kesepakatan ulama atas bolehnya berbuka bagi keduanya meskipun mampu dan kuat berpuasa. Maka keduanya tetap berada atas hukum asal.
Dan karena keduanya dalam keadaan mukim dan sehat, lalu berbuka dengan uzur yang lazim, maka wajib atas keduanya kafārah sebagaimana orang tua renta. Dan karena puasa adalah ibadah yang bisa berkumpul di dalamnya antara qadhāʾ dan kafārah kubrā, maka boleh pula berkumpul qadhāʾ dan kafārah sughrā sebagaimana dalam ibadah haji. Dan karena berbuka itu ada dua macam: berbuka dengan uzur dan berbuka tanpa uzur. Lalu berbuka tanpa uzur terbagi dua: satu jenis yang hanya mewajibkan qadhāʾ saja, yaitu makan; dan jenis lain mewajibkan qadhāʾ dan kafārah, yaitu jimāʿ. Maka demikian pula seharusnya berbuka dengan uzur terbagi dua jenis: yang hanya mewajibkan qadhāʾ saja, dan yang mewajibkan qadhāʾ dan kafārah. Jika engkau mau menegaskan hal ini, katakan: karena ini adalah salah satu dari dua jenis berbuka, maka boleh ada yang mewajibkan qadhāʾ dan kafārah darinya, sebagaimana berbuka tanpa uzur.
Adapun hadits, maka tidak bisa dijadikan hujjah, karena gugurnya kewajiban puasa tidak menunjukkan gugurnya kafārah. Bukankah orang tua renta gugur darinya kewajiban puasa, namun tetap wajib atasnya kafārah. Dan qiyās mereka atas musafir dan orang sakit tidak tepat, karena makna pada keduanya adalah bahwa berbuka tersebut hanya menguntungkan dirinya sendiri, sedangkan pada kasus ini berbuka menguntungkan dua orang sekaligus, maka ia serupa dengan jimāʿ.
Adapun ucapan mereka bahwa berkumpulnya (qadhāʾ dan kafārah) menyelisihi kaidah usul, maka tidak benar. Karena sesuatu baru dikatakan menyelisihi usul jika ia sesuai dengan makna usul namun menyelisihi hukumnya. Adapun jika maknanya sudah berbeda, maka wajib pula berbeda hukumnya. Sebagaimana makna dalam masḥ atas dua khuf berbeda dengan masḥ atas serban dan sarung tangan, maka wajib hukumnya pun berbeda. Maka makna dalam kasus ibu hamil dan menyusui adalah berbuka yang memberikan kemanfaatan bagi dua orang, sehingga menyerupai jimāʿ dan berbeda dengan musafir dan orang sakit.
Adapun yang disebutkan oleh al-Muzani, maka dijawab kepadanya: kafārah tidak dinilai berdasarkan banyaknya dosa dan maksiat, melainkan ia adalah hikmah yang hanya Allah Ta‘ala yang mengetahui. Bukankah riddah (murtad) di bulan Ramadan itu lebih besar dosanya daripada jimāʿ, namun tidak ada kafārah padanya. Maka makna antara keduanya telah jelas berbeda sebagaimana telah kami sebutkan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ حَرَّكَتِ الْقُبُلَةُ شَهْوَتَهُ كَرِهْتُهَا لَهُ وَإِنْ فَعَلَ لَمْ يَنْتَقِضْ صَوْمُهُ وَتَرْكُهُ أَفْضَلُ (قَالَ إبراهيم) سمعت الربيع يقول فيه قولٌ آخر أنه يفطر إلا أن يغلبه فيكون في معنى المكره يبقى ما بين أسنانه وفي فيه من الطعام فيجري به الريق وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه كان يقبل وهو صائم قالت عائشة وكان أملككم لإربه بأبي هو أمي (قال) وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمَا كانا يكرهانها للشباب ولا يكرهانها للشيخ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Masalah:
Imām al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: “Barang siapa yang ciumannya membangkitkan syahwat, maka aku memakruhkan baginya berciuman, dan jika ia melakukannya maka puasanya tidak batal, namun meninggalkannya lebih utama.”
(Ibrāhīm berkata): Aku mendengar al-Rabīʿ berkata bahwa dalam masalah ini terdapat pendapat lain, yaitu bahwa ia membatalkan puasa kecuali jika ia tidak mampu menahan (syahwatnya), maka ia termasuk dalam makna orang yang dipaksa (mukrah), seperti sisa makanan yang tertinggal di antara gigi dan dalam mulut lalu terbawa oleh ludah.
Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau pernah mencium dalam keadaan berpuasa. Aisyah berkata: “Dan beliau adalah orang yang paling mampu menahan hasratnya di antara kalian.” — semoga ayah dan ibuku menjadi tebusannya.
(Dikatakan pula): Diriwayatkan dari Ibn ʿUmar dan Ibn ʿAbbās bahwa keduanya memakruhkan ciuman bagi para pemuda, dan tidak memakruhkannya bagi orang tua.
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ.
وَحُكِيَ عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ، وَابْنِ شُبْرُمَةَ: أَنَّ الْقُبْلَةَ تُفْطِرُ الصَّائِمَ تَعَلُّقًا بِرِوَايَةِ مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” إذا قبل الصائم الصائمة فقد أفطره “.
وَذَهَبَ سَائِرُ الْفُقَهَاءِ: إِلَى أَنَّ الْقُبْلَةَ لَا تُفْطِرُ الصَّائِمَ إِلَّا أَنْ يُنْزِلَ مَعَهَا، فَإِنْ أَنْزَلَ أَفْطَرَ، وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ، وَلَا كَفَّارَةَ وَإِنَّمَا لَمْ يُفْطِرْ بِالْقُبْلَةِ، إِذَا لَمْ يُنْزِلْ لِمَا رَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عِنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ وَهُوَ صَائِمٌ فَقَالَ أَرَاكِ هِيَ فَضَحِكَتْ.
وَرَوَى الْأَسْوَدُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمُ لِإِرْبِهِ بِتَسْكِينِ الرَّاءِ، وَرُوِيَ لِأَرْبِهِ بِفَتْحِهَا وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Dan telah dinukil dari Muḥammad ibn al-Ḥanafiyyah dan Ibn Syubrumah bahwa ciuman membatalkan puasa, berdasarkan riwayat dari Maimūnah binti al-Ḥārith RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila orang yang berpuasa mencium perempuan yang juga berpuasa, maka ia telah berbuka.”
Namun, mayoritas fuqahāʾ berpendapat bahwa ciuman tidak membatalkan puasa kecuali disertai dengan keluarnya mani (inzāl). Maka jika ia mengeluarkan mani, batal puasanya dan wajib qadhāʾ, tetapi tidak wajib kafārah. Tidak batal puasa karena ciuman saja tanpa inzāl, karena riwayat dari Hisyām ibn ʿUrwah dari ayahnya dari ʿĀisyah RA bahwa Rasulullah SAW biasa mencium salah satu istrinya dalam keadaan berpuasa. Maka dikatakan kepadanya: “Barangkali itu engkau?” Maka ia pun tertawa.
Dan diriwayatkan dari al-Aswad dari ʿĀisyah RA bahwa Rasulullah SAW biasa mencium dalam keadaan berpuasa dan menyentuh langsung (istrinya) dalam keadaan berpuasa, dan beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya (amlakukum li-irbihi)—dengan bacaan kasrah pada rāʾ (irbihi), dan diriwayatkan juga dengan bacaan fatḥah (arbihi), dan terdapat dua taʾwīl dalam bacaan tersebut.
أَحَدُهُمَا: أَرَادَتِ الْعُضْوَ نَفْسَهُ.
وَالثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ إِنَّهَا أَرَادَتْ شَهْوَتَهُ، وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ زَوْجَتَهُ أَنْ تَسْأَلَ أُمَّ سَلَمَةَ عَنِ الصَّائِمِ، يُقَبِّلُ زَوْجَتَهُ فَسَأَلَتْهَا، فَقَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ فَرْجَعَتِ الْمَرْأَةُ وَأَخْبَرَتْ زَوْجَهَا فَغَضِبَ وَقَالَ لَسْنَا كَرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّهُ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وما تأخرا ارجعي فاسأليها عَنْ حَالِنَا فَرْجَعَتْ إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ وَأَخْبَرَتْهَا فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ لَا عِلْمَ لِي حَتَّى أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَأَلَتْهُ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَلَا أَخْبَرْتِيهَا بِذَلِكَ فَقَالَتْ قَدْ أَخْبَرْتُهَا فَقَالَتْ كَيْتَ وَكَيْتَ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَالَ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَقْوَمَكُمْ عَلَى دِينِهِ وَرَوَى جَابِرٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ أَمْرًا عَظِيمًا فَتَجِدُ لِي مِنْ رجعةٍ فَقَالَ وَمَا ذَلِكَ فَقُلْتُ: قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ يَا عُمَرُ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِالْمَاء قُلْتُ لَا بَأْسَ بِهِ قَالَ فَفِيمَ يَعْنِي وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ الْقُبْلَةَ بِلَا إِنْزَالٍ كَالْمَضْمَضَةِ بِلَا ازْدِرَادٍ فَأَمَّا خَبَرُ مَيْمُونَةَ فَإِنَّهُ غَيْرُ ثَابِتٍ عَلَى أَنَّهُ وَإِنْ صَحَّ فَمَعْنَاهُ إِذَا أَنْزَلَ، أَوْ يَكُونُ عَلَى طَرِيقِ التَّغْلِيظِ وَالزَّجْرِ كَقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ ” أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ “.
Salah satunya: ia maksudkan anggota itu sendiri.
Dan yang kedua, dan inilah yang lebih shahih, bahwa ia maksudkan syahwatnya. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Ummu Salamah tentang orang yang berpuasa mencium istrinya. Maka ia bertanya kepadanya, lalu Ummu Salamah menjawab: Rasulullah SAW dahulu mencium sementara beliau sedang berpuasa. Maka wanita itu kembali dan memberitahu suaminya. Lalu suaminya marah dan berkata: “Kita tidak sama seperti Rasulullah SAW, sesungguhnya beliau telah diampuni dosa yang telah lalu dan yang akan datang. Kembalilah engkau dan tanyakan kepadanya tentang keadaan kita.” Maka ia kembali kepada Ummu Salamah dan menyampaikan hal itu. Ummu Salamah berkata: “Aku tidak tahu sampai aku bertanya kepada Rasulullah SAW.” Maka ia bertanya, lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Mengapa engkau tidak memberitahunya?” Ia menjawab: “Sungguh aku telah memberitahunya, tetapi ia berkata begini dan begitu.” Maka Rasulullah SAW marah dan bersabda: “Sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling lurus di antara kalian dalam agamanya.”
Dan Jabir meriwayatkan dari Ibnu Umar dari Umar bin al-Khaththab RA bahwa ia berkata: “Aku tergoda lalu aku mencium sedangkan aku sedang berpuasa. Maka aku mendatangi Rasulullah SAW dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku telah melakukan perkara besar, adakah bagiku jalan kembali?’ Beliau bertanya: ‘Apakah itu?’ Aku menjawab: ‘Aku mencium sedang aku berpuasa.’ Beliau bersabda: ‘Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur dengan air?’ Aku menjawab: ‘Tidak mengapa.’ Beliau bersabda: ‘Maka demikianlah, yaitu—wallāhu a‘lam—sesungguhnya ciuman tanpa inzāl seperti berkumur tanpa menelan.’
Adapun hadis Maimunah, maka hadis itu tidak tsabit. Kalaupun shahih, maka maknanya adalah apabila sampai mengeluarkan mani, atau bisa jadi dimaksudkan sebagai bentuk penekanan dan larangan keras, sebagaimana sabda beliau SAW: “Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam.”
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقُبْلَةَ بِلَا إِنْزَالٍ لَا تُفْطِرُ الصَّائِمَ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى الْكَرَاهَةِ، فَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُنْظَرُ فِي حَالِهِ، فَإِنْ كَانَتِ الْقُبْلَةُ تُحَرِّكُ شَهْوَتَهُ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَلَا تُبْطِلُ صَوْمَهُ إِلَّا أَنْ يُنْزِلَ فَإِنْ لَمْ تُحَرِّكْ شَهْوَتَهُ، فَهِيَ غَيْرُ مَكْرُوهَةٍ، وَتَرْكُهَا أَفْضَلُ وَبِهِ قَالَ ابن عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهَا غَيْرُ مَكْرُوهَةٍ فِي الْحَالَيْنِ، وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ كَرِهَهَا فِي الْحَالَيْنِ وَبِهِ قَالَ عُمَرُ تَعَلُّقًا، بِمَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْمَنَامِ، فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَقُلْتُ: مَا لِي فَقَالَ إِنَّكَ تُقَبِّلُ وَأَنْتَ صَائِمٌ قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ مَنَعَ مِنَ الْجِمَاعِ مَنَعَ مِنْ دَوَاعِيهِ كَالْحَجِّ وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا قُلْنَاهُ مَعَ مَا رَوَيْنَاهُ مِنَ الْأَخْبَارِ الْمُتَقَدِّمَةِ مَا رَوَاهُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَسَأَلَهُ عَنِ الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ فِيهَا ثُمَّ سَأَلَهُ رَجُلٌ آخَرُ فَنَهَاهُ عَنْهَا، فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ فِيهَا شَيْخٌ وَالَّذِي نَهَاهُ عَنْهَا شَابٌّ وَلِأَنَّ الْقُبْلَةَ إِنَّمَا تُكْرَهُ خَوْفَ الْإِنْزَالِ، فَإِذَا لَمْ تَتَحَرَّكْ عَلَيْهِ الشَّهْوَةُ أَمِنَ الْإِنْزَالَ فَلَمْ تُكْرَهْ لَهُ، وَإِذَا تَحَرَّكَتْ عَلَيْهِ الشَّهْوَةُ، خَافَ الْإِنْزَالَ فَكُرِهَتْ لَهُ فَأَمَّا حَدِيثُ عُمَرَ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
PASAL
Maka apabila telah tetap bahwa ciuman tanpa inzāl tidak membatalkan orang yang berpuasa, berpindahlah pembicaraan kepada hukum makruhnya. Menurut al-Syafi‘i ra, dilihat keadaan orang itu. Jika ciuman membangkitkan syahwatnya maka hukumnya makruh, dan tidak membatalkan puasanya kecuali jika ia berinzāl. Jika tidak membangkitkan syahwatnya maka hukumnya tidak makruh, namun meninggalkannya lebih utama. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbās. Dan diriwayatkan dari Ibn Mas‘ūd bahwa ciuman tidak makruh dalam kedua keadaan. Dan diriwayatkan dari Mālik bahwa ia memakruhkannya dalam kedua keadaan, demikian pula yang dikatakan oleh ‘Umar, dengan sandaran pada riwayat dari Ibn ‘Umar dari ayahnya, ‘Umar bin al-Khaththāb ra, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW dalam mimpi, maka beliau berpaling dariku. Aku berkata: “Mengapa (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya engkau mencium sedangkan engkau sedang berpuasa.” Ia berkata: Dan karena setiap sesuatu yang dilarang dalam jima‘, maka dilarang pula pendahuluannya, seperti dalam haji.
Dan dalil atas kebenaran apa yang kami katakan, selain dari hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya, ialah riwayat dari Abū Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu bertanya tentang hukum ciuman bagi orang yang berpuasa, maka Nabi SAW memberi keringanan untuknya. Kemudian datang laki-laki lain dan beliau melarangnya. Maka ternyata yang diberi keringanan adalah seorang tua, sedangkan yang dilarang adalah seorang muda. Karena sesungguhnya ciuman itu hanya dimakruhkan karena dikhawatirkan menimbulkan inzāl. Maka jika syahwatnya tidak bergerak, ia aman dari inzāl, sehingga tidak makruh baginya. Dan jika syahwatnya bergerak, ia khawatir inzāl, maka dimakruhkan baginya.
Adapun hadis ‘Umar, maka jawabannya ada dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّا قَدْ رُوِّينَا عَنْهُ لَفْظًا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَاحَ قُبْلَةَ الصَّائِمِ، وَلَا يَجُوزُ تَرْكُ مَا نَقَلَهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَفْظًا فِي الْيَقَظَةِ، بِمَا رَوَاهُ فِي الْمَنَامِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِي اسْتِعْمَالِهِ نَسْخًا لِلْخَبَرِ الْآخَرِ وَالنَّسْخُ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، لَا يَقَعُ وَاعْتِبَارُهُمْ بِالْحَجِّ فَلَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ أَدْخَلَ فِي الْمَنْعِ مِنْ دَوَاعِي الْجِمَاعِ مِنَ الصَّوْمِ، لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنَ الْعَقْدِ وَالطِّيبِ فَجَازَ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ الْقُبْلَةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الصَّوْمُ.
Salah satunya: bahwa kami telah meriwayatkan darinya secara lafazh bahwa Rasulullah SAW membolehkan ciuman bagi orang yang berpuasa, dan tidak boleh meninggalkan apa yang diriwayatkan darinya dari Rasulullah SAW secara lafazh dalam keadaan terjaga dengan apa yang ia riwayatkan dalam keadaan tidur.
Dan yang kedua: bahwa dalam mengamalkannya terdapat penghapusan terhadap khabar yang lain, sementara naskh setelah wafatnya Rasulullah SAW tidaklah terjadi. Dan qiyas mereka dengan haji tidaklah sah, karena ia memasukkan dalam larangan dari hal-hal yang menjadi pendahulu jima‘ dalam puasa, sebab ia melarang dari akad nikah dan wewangian, maka boleh jadi ia juga melarang dari ciuman, padahal tidak demikian halnya dalam puasa.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ وَطِئَ دُونَ الْفَرْجِ فَأَنْزَلَ أَفْطَرَ وَلَمْ يُكَفِّرْ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ وَقَدْ ذَكَرْنَا إِنْ أَنْزَلَ أَحَدٌ عَنْ مُبَاشَرَةٍ بِلَا إِيلَاجٍ فَفِيهِ الْقَضَاءُ دُونَ الْكَفَّارَةِ مِثْلُ أَنْ يَمَسَّ، أَوْ يَلْمَسَ أَوْ يُقَبِّلَ أَوْ يُضَاجِعَ أَوْ يَطَأَ دُونَ الْفَرْجِ، وَقَالَ مَالِكٌ: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ وَقَدْ دَلَّلْنَا لَهُ وَعَلَيْهِ، فَأَغْنَى عَنِ الْإِعَادَةِ ثُمَّ يُؤَيِّدُ مَا ذَكَرْنَاهُ أَنَّا وَجَدْنَا كُلَّ عِبَادَةٍ حُرِّمَ فِيهَا الْوَطْءُ، أَوْ غيره فللوطئ فِيهِ مَزِيَّةٌ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ كَالْحَجِّ فكذلك الصوم.
Masalah:
Al-Syafi‘i ra berkata: “Jika seseorang berjima‘ di bawah farj lalu berinzāl, maka ia batal puasanya tetapi tidak wajib kafārah.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Telah kami sebutkan bahwa jika seseorang berinzāl karena mubāsyarah tanpa ilāj maka wajib baginya qadhāʾ tanpa kafārah. Seperti bila ia menyentuh, atau meraba, atau mencium, atau tidur bersama, atau berjima‘ di bawah farj.
Mālik berkata: Wajib atasnya qadhāʾ dan kafārah. Kami telah mendatangkan dalil untuknya dan bantahannya sehingga tidak perlu diulang kembali.
Kemudian yang menguatkan apa yang kami sebutkan adalah bahwa kami mendapati setiap ibadah yang diharamkan di dalamnya jima‘ atau selainnya, maka jima‘ memiliki kedudukan lebih besar dibanding selain yang diharamkan, seperti dalam ibadah haji. Maka demikian pula halnya dengan puasa.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ تَلَذَّذَ بِالنَّظَرِ فَأَنْزَلَ لَمْ يُفْطِرْ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِنْ فَكَّرَ بِقَلْبِهِ فَأَنْزَلَ، فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ إِجْمَاعًا لِأَنَّ الْفِكْرَ مِنْ حَدِيثِ النَّفْسِ، وَرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ عَنْ أَمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِسْيَانَ وَمَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا ” فَأَمَّا إِذَا نَظَرَ فَأَنْزَلَ فَإِنْ كَانَ بِأَوَّلِ نَظْرَةٍ لَمْ يَأْثَمْ، وَإِنْ كَرَّرَ النَّظَرَ وَتَلَذَّذَ بِهِ فَقَدْ أَثِمَ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ فِي الْحَالَيْنِ، وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ أَنْزَلَ بِأَوَّلِ نَظْرَةٍ فَعَلَيْهِ القضاء دون الْكَفَّارَةِ، وَإِنْ كَرَّرَ النَّظَرَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ ” وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ وَيُكَذِّبُهُ الْفَرْجُ فَسَوَّى بَيْنَ النَّظَرِ وَاللَّمْسِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ إِنْزَالٌ عَنْ غَيْرِ مُبَاشَرَةٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُفْطِرَ كَالْفِكْرِ وَالِاحْتِلَامِ، وَلِأَنَّ النَّظْرَةَ الْأُولَى لَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْهَا، وَمَا لَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ لَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ كَالدُّخَانِ وَالْغُبَارِ، فَأَمَّا الْخَبَرُ فَكَذَا نَقُولُ إِذَا صَدَّقَهُ الْفَرْجُ صَارَ زِنًا يُسْتَوْجَبُ بِهِ الْحَدُّ وَالْكَفَّارَةُ، فَأَمَّا بِمُجَرَّدِ الرُّؤْيَةِ فَلَا حَدَّ وَلَا كفارة.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Jika ia bersenang-senang dengan pandangan lalu ia keluar mani, maka tidak batal puasanya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun jika ia hanya berpikir dalam hati lalu keluar mani, maka tidak ada qadhāʾ dan tidak ada kafārah secara ijmā‘, karena pikiran itu termasuk ḥadīts al-nafs. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā memaafkan umatku dari kesalahan, lupa, dan apa yang dibisikkan oleh dirinya.”
Adapun jika ia melihat lalu keluar mani, maka bila pada pandangan pertama ia tidak berdosa, dan bila ia mengulang pandangan serta menikmatinya maka ia berdosa, namun dalam kedua keadaan itu tidak ada qadhāʾ atasnya.
Imam Mālik berkata: Jika keluar mani pada pandangan pertama maka wajib qadhāʾ tanpa kafārah, dan bila ia mengulang pandangan maka wajib qadhāʾ dan kafārah, karena Rasulullah SAW bersabda: “Dua mata itu berzina, dua tangan itu berzina, dan yang membenarkan atau mendustakannya adalah farji.” Maka ia menyamakan antara pandangan dan sentuhan.
Namun ini adalah kesalahan, karena keluarnya mani tanpa adanya mubāsyarah tidaklah membatalkan puasa, seperti halnya berpikir atau ihtilām. Dan karena pandangan pertama tidak mungkin dihindari, maka sesuatu yang tidak mungkin dihindari tidaklah membatalkan puasa, seperti asap dan debu.
Adapun hadis itu, maka kami juga mengatakan: apabila farji membenarkannya maka itu menjadi zina yang mewajibkan ḥadd dan kafārah. Tetapi sekadar melihat saja, maka tidak ada ḥadd dan tidak ada kafārah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا أُغْمِيَ عَلَى رجلٍ فَمَضَى لَهُ يَوْمٌ أَوْ يَوْمَانِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَلَمْ يَكُنْ أَكَلَ وَلَا شَرِبَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ فَإِنْ أَفَاقَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ فَهُوَ فِي يَوْمِهِ ذَلِكَ صائم وكذلك إن أصبح راقداً ثم استيقظ (قال المزني) إذا نوى من الليل ثم أغمي عليه فهو عندي صائم أفاق أو لم يفق واليوم الثاني ليس بصائم لأنه لم ينوه في الليل وإذا لم ينو في الليل فأصبح مفيقاً فليس بصائم “.
Masalah:
Al-Syafi‘i ra berkata: “Apabila seseorang pingsan lalu berlalu baginya sehari atau dua hari dari bulan Ramadhan, dan ia tidak makan dan tidak minum, maka wajib atasnya qadhāʾ. Jika ia sadar pada sebagian siang, maka pada hari itu ia tetap dalam keadaan puasa. Demikian pula jika ia masuk pagi dalam keadaan tidur lalu bangun (tetap sah puasanya).”
(al-Muzanī berkata): “Jika ia telah berniat dari malam lalu pingsan, maka menurutku ia tetap berpuasa baik ia sadar kembali atau tidak. Sedangkan pada hari kedua ia tidak berpuasa karena tidak berniat di malam harinya. Jika ia tidak berniat pada malam hari kemudian masuk pagi dalam keadaan sadar, maka ia tidak berpuasa.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا نَوَى الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ ثُمَّ أُغْمِيَ عَلَيْهِ نَهَارَهُ أَجْمَعَ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ صَوْمَهُ بَاطِلٌ لِأَنَّهُ أَتَى بِنِيَّةٍ مُجَرَّدَةٍ عَرِيَتْ عَنْ قَصْدٍ وَعَمَلٍ، فَشَابَهَ الصَّلَاةَ، وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: صَوْمُهُ جَائِزٌ قِيَاسًا عَلَى النَّائِمِ فَأَمَّا إِذَا نَوَى الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ، ثُمَّ نَامَ نَهَارَهُ أَجْمَعَ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ عَلَى صَوْمِهِ لأنه حُكْمَ الْعِبَادَاتِ جَارٍ عَلَيْهِ، وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: صَوْمُهُ بَاطِلٌ قِيَاسًا عَلَى الْمُغْمَى عَلَيْهِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ النَّوْمِ، وَالْإِغْمَاءِ وَاضِحٌ، وَهُوَ أَنَّ النَّوْمَ جِبِلَّةٌ، وَعَادَةٌ تَجْرِي مَجْرَى الصِّحَّةِ الَّتِي لَا قِوَامَ لِلْبَدَنِ إِلَّا بِهَا، وَالْإِغْمَاءُ عَارِضٌ مُزِيلٌ لِحُكْمِ الْخِطَابِ فَلَمْ يَصِحَّ مَعَهُ الصِّيَامُ إِذَا اتَّصَلَ، وَاسْتَدَامَ فَأَمَّا إِذَا أُغْمِيَ عَلَيْهِ فِي بَعْضِ النَّهَارِ، وَأَفَاقَ فِي بَعْضِهِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا: إِذَا أَفَاقَ فِي بَعْضِ نَهَارِهِ صَحَّ صَوْمُهُ، وَقَالَ فِي كِتَابِ الظِّهَارِ إِذَا أَفَاقَ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ صَحَّ صَوْمُهُ، وَقَالَ فِي اخْتِلَافِ الْعِرَاقِيِّينَ: وَإِذَا حَاضَتْ أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهَا بَطَلَ صَوْمُهَا، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مذهب الشافعي على ثلاثة أوجه:
Al-Māwardī berkata: Adapun jika ia berniat puasa dari malam, kemudian pingsan sepanjang siang seluruhnya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, maka mazhab al-Syafi‘i menyatakan puasanya batal. Karena ia hanya datang dengan niat semata yang kosong dari kesengajaan dan amal, sehingga menyerupai shalat.
Al-Muzanī berkata: puasanya sah, dengan qiyās atas orang yang tidur.
Adapun jika ia berniat puasa dari malam kemudian tidur sepanjang siang seluruhnya, maka mazhab al-Syafi‘i menyatakan puasanya tetap sah, karena hukum ibadah tetap berlaku atasnya. Abu Sa‘īd al-Isṭakhrī berkata: puasanya batal, dengan qiyās atas orang yang pingsan.
Perbedaan antara tidur dan pingsan jelas, yaitu bahwa tidur adalah tabiat dan kebiasaan yang menempati kedudukan kesehatan yang badan tidak bisa tegak tanpanya. Sedangkan pingsan adalah sesuatu yang datang secara mendadak dan menghilangkan hukum taklīf, maka tidak sah puasa bersamanya jika terus-menerus dan berkesinambungan.
Adapun jika ia pingsan pada sebagian siang lalu siuman pada sebagian lainnya, maka al-Syafi‘i berkata: bila ia siuman pada sebagian siangnya, maka puasanya sah. Dan beliau berkata dalam Kitāb al-Ẓihār: bila ia siuman pada awal siang, maka puasanya sah. Dan beliau berkata dalam Ikhtilāf al-‘Irāqiyyīn: bila ia haid atau pingsan, maka batal puasanya.
Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam mazhab al-Syafi‘i tentang hal ini menjadi tiga wajah:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ مَنْصُوصَةٍ:
أَحَدُهَا: مَتَى أَفَاقَ فِي بَعْضِ نَهَارِهِ صَحَّ صَوْمُهُ.
وَالثَّانِي: أَنَّ صَوْمَهُ لَا يَصِحُّ حَتَّى يَكُونَ مُفِيقًا فِي أَوَّلِ النَّهَارِ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ صَوْمَهُ يَبْطُلُ بِالْإِغْمَاءِ كَالْحَيْضِ وَالْجُنُونِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Pertama: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa masalah ini memiliki tiga pendapat yang dinashkan:
Pertama: kapan saja ia sadar di sebagian siangnya, maka puasanya sah.
Kedua: puasanya tidak sah kecuali ia sadar pada awal siang.
Ketiga: puasanya batal karena pingsan, seperti halnya haidh dan junun.
Wajah yang kedua: bahwa masalah ini hanya ada pada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: مَتَى أَفَاقَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ صَحَّ صَوْمُهُ.
وَالثَّانِي: لَا يَصِحُّ صَوْمُهُ حَتَّى يَكُونَ مُفِيقًا فِي أَوَّلِ النَّهَارِ، وَمَا قَالَهُ فِي اخْتِلَافِ الْعِرَاقِيِّينَ، إِذَا حَاضَتْ أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهَا بَطَلَ صَوْمُهَا فَفِيهِ جَوَابَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ جَوَابَهُ عَادَ إِلَى الْحَيْضِ دُونَ الْإِغْمَاءِ وَقَدْ يَجْمَعُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ مَسَائِلَ، ثُمَّ يُعِيدُ الْجَوَابَ إِلَى بَعْضِهَا.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ إِغْمَاءَ الْجُنُونِ لَا إِغْمَاءَ الْمَرَضِ.
Salah satunya: kapan saja ia siuman pada sebagian siang, maka sah puasanya.
Dan yang kedua: tidak sah puasanya sampai ia siuman pada awal siang.
Adapun ucapan al-Syafi‘i dalam Ikhtilāf al-‘Irāqiyyīn: bila ia haid atau pingsan maka batal puasanya, maka di dalamnya ada dua jawaban:
Pertama: bahwa jawabannya itu kembali kepada haid saja, bukan kepada pingsan. Dan terkadang al-Syafi‘i mengumpulkan beberapa masalah, kemudian mengembalikan jawaban kepada sebagian darinya.
Kedua: bahwa yang beliau maksud adalah pingsan karena gila, bukan pingsan karena sakit.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلٍ وَاحِدٍ أَنَّ صَوْمَهُ لَا يَصِحُّ حَتَّى يَكُونَ مُفِيقًا فِي أَوَّلِ النَّهَارِ، هَذَا اخْتِيَارُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَحَمْلُ إِطْلَاقِ بَعْضِ النَّهَارِ عَلَى مَا قَيَّدَهُ فِي كِتَابِ الظِّهَارِ، قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ فَإِذَا أَفَاقَ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ فَمِنْ صِحَّةِ صَوْمِهِ أَنْ يَكُونَ مُفِيقًا فِي آخِرِهِ، فَاعْتَبَرَ الْإِفَاقَةَ فِي الطَّرَفَيْنِ عِنْدَ الدُّخُولِ فِي الصَّوْمِ، وَعِنْدَ الْخُرُوجِ مِنْهُ فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، يَغْلَطُ فَيُخْرِجُ هَذَا قَوْلًا رَابِعًا لِلشَّافِعِيِّ وَلَيْسَ يُعْرَفُ لِلشَّافِعِيِّ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ وَهَذِهِ أَحَدُ مَسَائِلِ أَبِي إِسْحَاقَ الَّتِي غَلِطَ فِيهَا عَلَى الشَّافِعِيِّ فَهَذَا الْكَلَامُ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ، وَسَنَذْكُرُ تَوْجِيهَ كُلِّ قَوْلٍ فِي كِتَابِ الظِّهَارِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَأَمَّا الْيَوْمُ الثَّانِي، وَمَا يَلِيهِ في أَيَّامِ الْإِغْمَاءِ فَصَوْمُهُ فِيهِ بَاطِلٌ لَا يُخْتَلَفُ، وَعَلَيْهِ قَضَاءُ ذَلِكَ لِإِخْلَالِهِ بِالنِّيَّةِ، فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا أَسْقَطْتُمْ عَنْهُ قَضَاءَ الصِّيَامِ كَمَا أَسْقَطْتُمْ عَنْهُ قَضَاءَ الصَّلَاةِ، قِيلَ: لِأَنَّ الصَّلَاةَ يَلْزَمُ اسْتِدَامَةُ قَصْدِ الْعَمَلِ فِيهَا فَإِذَا خَرَجَ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْقَصْدِ سَقَطَ عَنْهُ الْقَضَاءُ وَالصَّوْمُ لَا يَلْزَمُهُ اسْتِدَامَةُ قَصْدِ الْعَمَلِ فِيهِ، وَيَصِحُّ مِنْهُ وَإِنْ أَخَلَّ بِالْقَصْدِ فِي بَعْضِهِ، فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ، وَلَمْ يَسْقُطْ مِنْهُ زَوَالُ الْقَصْدِ، وَهَذَا الْفَرْقُ تَعْلِيلٌ مِنْ أَصْحَابِنَا وَالَّذِي يُوجِبُهُ الْقِيَاسُ، أَنْ يَسْتَوِيَ الْجُنُونُ وَالْإِغْمَاءُ فِي سُقُوطِ الصَّوْمِ كَمَا اسْتَوَيَا فِي سُقُوطِ الصَّلَاةِ، وَيَسْتَوِي حُكْمُ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ فِي سُقُوطِ الْقَضَاءِ، كَمَا اسْتَوَيَا فِي الْجُنُونِ فَأَمَّا الْجُنُونُ إِذَا طَرَأَ عَلَى الصَّوْمِ، فَقَدْ أَفْسَدَهُ سَوَاءٌ وُجِدَ فِي جَمِيعِ النَّهَارِ، أَوْ فِي بَعْضِهِ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُ فَإِنْ قِيلَ: فهلا لَزِمَ فِيهِ الْقَضَاءُ كَالْإِغْمَاءِ قِيلَ: لِأَنَّ الْإِغْمَاءَ مَرَضٌ فِي الْقَلْبِ، وَعَارِضٌ لَا يَدُومُ، وَإِنَّمَا هُوَ كَالنَّوْمِ يَجُوزُ حُدُوثُ مِثْلِهِ لِلْأَنْبِيَاءِ، وَالْجُنُونُ يُزِيلُ الْعَقْلَ، وَيُسْقِطُ حُكْمَ التَّكْلِيفِ وَلَا يَجُوزُ حُدُوثُ مِثْلِهِ لِلْأَنْبِيَاءِ فَلِهَذَا افْتَرَقَا فِي حُكْمِ القضاء وما ذكرنا مِنْ مُقْتَضَى الْقِيَاسِ فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمَا يَدْفَعُ هَذَا الْفَرْقَ الْمَدْخُولَ فِيهِ فَأَمَّا الرِّدَّةُ إِذَا طَرَأَتْ فِي شَيْءٍ مِنْ نَهَارِ الصَّوْمِ فَقَدْ أبطلته،لِأَنَّ الْمُرْتَدَّ لَا يَصِحُّ مِنْهُ أَدَاءُ عِبَادَةٍ فِي حَالِ الرِّدَّةِ لِفَسَادِ الْمُعْتَقَدِ فَإِذَا عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ كَمَا يَقْضِي مَا ترك من الصلوات.
Wajah yang ketiga: bahwa masalah ini hanya ada pada satu pendapat, yaitu puasanya tidak sah sampai ia sadar pada awal siang. Ini adalah pilihan Abū al-‘Abbās, dan membawa makna “sebagian siang” yang disebutkan, kepada apa yang beliau batasi dalam Kitāb al-Ẓihār. Abū al-‘Abbās berkata: “Apabila ia sadar pada awal siang, maka di antara syarat sah puasanya ialah ia tetap sadar hingga akhir siang.” Maka beliau mempertimbangkan kesadaran pada dua ujung: ketika masuk puasa dan ketika keluar darinya.
Adapun Abū Isḥāq al-Marwazī, ia keliru lalu mengeluarkan hal ini sebagai pendapat keempat bagi al-Syafi‘i. Padahal tidak dikenal dari al-Syafi‘i sesuatu yang menunjukkannya. Dan ini termasuk masalah dari Abū Isḥāq yang keliru dalam menisbahkannya kepada al-Syafi‘i.
Maka pembicaraan ini khusus untuk hari pertama. Adapun hari kedua dan sesudahnya dari hari-hari pingsan, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan, dan wajib atasnya qadhāʾ, karena ia telah meninggalkan niat.
Jika ada yang berkata: “Mengapa tidak kalian gugurkan qadhāʾ puasa darinya sebagaimana kalian gugurkan qadhāʾ shalat darinya?” Maka dijawab: karena shalat itu wajib dengan adanya kesinambungan qashad (kesengajaan) dalam mengerjakannya. Apabila seseorang keluar dari status ahli qashad, maka gugur darinya kewajiban qadhāʾ. Sedangkan puasa tidak wajib adanya kesinambungan qashad dalam mengerjakannya, dan sah puasanya meskipun ia tidak menghadirkan qashad pada sebagian waktunya. Oleh karena itu wajib qadhāʾ atasnya, dan tidak gugur dengan hilangnya qashad.
Perbedaan ini merupakan ta‘līl dari para sahabat kami. Sedangkan yang dituntut oleh qiyās adalah menyamakan junun dan pingsan dalam menggugurkan puasa, sebagaimana keduanya sama dalam menggugurkan shalat, dan menyamakan hukum puasa dan shalat dalam gugurnya qadhāʾ, sebagaimana keduanya sama dalam junun.
Adapun junun, jika datang saat puasa, maka sungguh ia merusakkannya, baik junun itu terjadi sepanjang siang ataupun sebagiannya, dan tidak ada qadhāʾ atasnya karena pena (taklīf) terangkat darinya.
Jika ada yang berkata: “Mengapa tidak wajib qadhāʾ padanya seperti pada pingsan?” Maka dijawab: karena pingsan adalah penyakit pada hati, dan ia hanyalah ‘āriḍ (kejadian sementara) yang tidak menetap, dan hal seperti itu mungkin terjadi pada para nabi. Sedangkan junun menghilangkan akal, dan menggugurkan hukum taklīf, serta mustahil terjadi pada para nabi. Karena itu keduanya berbeda dalam hukum qadhāʾ.
Apa yang kami sebutkan dari tuntutan qiyās dalam menyamakan keduanya, dibantah oleh perbedaan ini yang masih dapat dimasuki sanggahan.
Adapun riddah, jika terjadi pada sebagian siang dalam puasa, maka sungguh ia merusakkannya. Karena orang murtad tidak sah baginya melakukan ibadah dalam keadaan riddah, sebab rusaknya i‘tiqād. Jika ia kembali kepada Islam, maka wajib atasnya qadhāʾ sebagaimana ia wajib mengqadhāʾ shalat-shalat yang ia tinggalkan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فَلَا صَوْمَ عَلَيْهَا فَإِذَا طَهُرَتْ قَضَتِ الصَوْمَ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا أَنْ تُعِيدَ مِنَ الصَّلَاةِ إِلَّا مَا كَانَ فِي وَقْتِهَا الَّذِي هُوَ وَقْتُ الْعُذْرِ وَالضَرُورَةِ كَمَا وَصَفْتُ فِي بَابِ الصَّلَاةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا اخْتِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْحَائِضَ لا صوم عليها ولا زَمَانِ حَيْضِهَا بَلْ لَا يَجُوزُ لَهَا، وَمَتَى طَرَأَ الْحَيْضُ عَلَى الصَّوْمِ أَبْطَلَهُ إِلَّا طَائِفَةٌ مِنَ الْحَرُورِيَّةِ، تَزْعُمُ أَنَّ الْفِطْرَ لَهَا رُخْصَةٌ فَإِنْ صَامَتْ أَجْزَأَهَا، وَهَذَا مَذْهَبٌ قَدْ شَذَّ عَنِ الْكَافَّةِ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِهِ مَعَ إِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَى خِلَافِهِ، وَمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَلَيْسَ الْمَرْأَةُ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تَصُمْ، وَلَمْ تُصَلِّ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا ” وَلِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَكُونُ عَلَيْنَا قَضَاءُ رَمَضَانَ فَلَا نَقْضِيهِ إِلَّا فِي شَعْبَانَ اشْتِغَالًا بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَعْنِي قَضَاءَ رَمَضَانَ مِنْ أَجْلِ الْحَيْضِ فَإِنَّ أَكْثَرَ مَا فِي الْحَائِضِ أَنْ تَكُونَ مُحْدِثَةً، وَالْحَدَثُ وَالْجَنَابَةُ لَا يَمْنَعَانِ الصَّوْمَ، قِيلَ: قَدْ فَرَّقَتِ السُّنَّةُ بَيْنَهُمَا ثُمَّ الْمَعْنَى، وَهُوَ أَنَّ الْحَدَثَ وَالْجَنَابَةَ لَا يُسْقِطَانِ الصَّلَاةَ، وَيُمْكِنُ دَفْعُهُمَا بِالطَّهَارَةِ، وَالْحَيْضُ يُسْقِطُ الصَّلَاةَ، وَلَا يُمْكِنُ دَفْعُهُ بِالطَّهَارَةِ قَبْلَ انْقِطَاعِهِ، فَلِذَلِكَ مَا افْتَرَقَ حُكْمُ الصَّوْمِ فِيهِمَا فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَائِضَ تَدَعُ الصَّلَاةَ، وَالصِّيَامَ، فَإِذَا طَهُرَتْ لَزِمَهَا قَضَاءُ الصِّيَامِ دُونَ الصَّلَاةِ لِأَمْرَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَشَقَّةَ لَاحِقَةٌ فِي إِعَادَةِ الصَّلَوَاتِ لِتَرَادُفِهَا مَعَ الْأَوْقَاتِ، وَالصَّوْمُ لِقِلَّتِهِ لَا تَلْحَقُ الْمَشَقَّةُ فِي إِعَادَتِهِ فَلِهَذَا مَا لَزِمَهَا قَضَاءُ الصيام دون الصلاة.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apabila seorang wanita haid maka tidak ada puasa atasnya. Jika ia telah suci maka ia mengqadhāʾ puasa, dan tidak wajib atasnya untuk mengulang shalat kecuali shalat yang berada dalam waktunya yang merupakan waktu uzur dan darurat sebagaimana aku jelaskan dalam bab shalat.”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah benar. Tidak ada perbedaan di antara fuqahā bahwa wanita haid tidak ada puasa atasnya di masa haidnya, bahkan tidak boleh baginya berpuasa. Kapan saja haid datang ketika ia sedang berpuasa maka membatalkannya, kecuali segolongan dari al-Ḥarūriyyah yang mengira bahwa berbuka baginya hanyalah rukhshah, jika ia berpuasa maka mencukupinya. Ini adalah mazhab yang menyimpang dari seluruh jumhur, dan dalil atas rusaknya pendapat tersebut adalah ijmā‘ sahabat yang menyelisihinya, serta riwayat dari Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bukankah wanita apabila haid, ia tidak berpuasa dan tidak shalat? Itulah kekurangan agamanya.”
Dan juga riwayat dari ‘Āisyah RA: “Kami diwajibkan mengqadhāʾ puasa Ramadan, namun kami tidak mengqadhāʾ shalat kecuali di bulan Sya‘bān karena sibuk dengan Rasulullah SAW.” Maksudnya adalah mengqadhāʾ puasa Ramadan sebab haid.
Sesungguhnya kebanyakan keadaan wanita haid ialah ia berstatus muḥditsah, padahal ḥadats dan janābah tidak menghalangi puasa. Ada yang berkata: “Sungguh sunnah telah membedakan di antara keduanya.” Dan maknanya adalah bahwa ḥadats dan janābah tidak menggugurkan shalat, dan dapat dihilangkan dengan thahārah, sedangkan haid menggugurkan shalat dan tidak bisa dihilangkan dengan thahārah sebelum ia berhenti. Oleh karena itu berbeda hukumnya pada puasa antara keduanya.
Maka apabila telah tetap bahwa wanita haid meninggalkan shalat dan puasa, apabila ia telah suci maka wajib atasnya mengqadhāʾ puasa tanpa shalat karena dua alasan:
Pertama: riwayat dari ‘Āisyah RA, bahwa ia berkata: “Kami diperintahkan untuk mengqadhāʾ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadhāʾ shalat.”
Kedua: karena adanya kesulitan dalam mengulang shalat sebab banyaknya dan berulang dengan waktu-waktunya, sedangkan puasa karena jumlahnya sedikit maka tidak ada kesulitan dalam mengulanginya. Oleh karena itu, wajib baginya mengqadhāʾ puasa tanpa shalat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأُحِبُّ تَعْجِيلَ الْفِطْرِ وَتَأْخِيرَ السُّحُورِ اتِّبَاعًا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
تَعْجِيلُ الْفِطْرِ إِذَا تُيُقِّنَ غُرُوبُ الشَّمْسِ مَسْنُونٌ لِمَا رَوَاهُ سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَزَالُ النَاسُ بخيرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ وَلَمْ يُؤَخِّرُوهُ تَأْخِيرَ أَهْلِ الْمَشْرِقِ “.
Masalah:
Al-Syafi‘i ra berkata: “Aku menyukai menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, mengikuti Rasulullah SAW.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Menyegerakan berbuka apabila telah yakin matahari terbenam adalah sunnah, berdasarkan riwayat dari Sahl bin Sa‘d al-Sā‘idī bahwa Nabi SAW bersabda: “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka dan tidak mengakhirkannya seperti pengakhiran ahli timur.”
وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” ثَلَاثٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ وَتَأْخِيرُ السُّحُورِ، وَوَضْعُ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلَاةِ ” فَإِذَا قِيلَ: فَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا كَانَا يؤخران الإفطار حتى يسود الأفق قال: إِنَّمَا فَعَلَا ذَلِكَ لَا رَغْبَةً عَنْ فَضْلِ التَّعْجِيلِ، وَلَكِنْ لِيُبَيِّنَا جَوَازَ التَّأْخِيرِ، وَأَنَّ التَّعْجِيلَ غَيْرُ وَاجِبٍ كَمَا رُوِيَ أَنَّهُمَا كَانَا لَا يُضَحِّيَانِ كَرَاهَةَ أَنْ يُرَى أَنَّهَا وَاجِبَةٌ وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَكُونَ إِفْطَارُهُ عَلَى التَّمْرِ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَالْمَاءُ لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُفْطِرُ عَلَى رطباتٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فتمراتٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فشربةٌ ماءٍ.
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW beliau bersabda: “Tiga perkara termasuk sunnah para rasul: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.”
Jika dikatakan: “Sungguh telah diriwayatkan dari Abū Bakr dan ‘Umar ra bahwa keduanya mengakhirkan berbuka hingga langit menghitam,” maka dijawab: sesungguhnya keduanya melakukan hal itu bukan karena berpaling dari keutamaan menyegerakan berbuka, tetapi untuk menjelaskan bolehnya mengakhirkan, dan bahwa menyegerakan berbuka bukanlah wajib. Sebagaimana diriwayatkan pula bahwa keduanya tidak berkurban, karena khawatir dianggap wajib.
Dan disunnahkan baginya berbuka dengan kurma, jika tidak ada maka dengan air. Berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah SAW biasa berbuka dengan ruthab, jika tidak ada maka dengan tamr, dan jika tidak ada maka dengan seteguk air.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا السُّحُورُ فَسُنَّةٌ، وَيُسْتَحَبُّ تَأْخِيرُهُ لِرِوَايَةِ سَلَمَةَ بن وهرام عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” اسْتَعِينُوا بِطَعَامِ السَّحَرِ عَلَى صِيَامِ النَهَارِ ” وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بركةٌ ” وَرَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْجَمَاعَةُ بركةٌ وَالثَّرِيدُ بركةٌ وَالسَّحُورُ بركةٌ تَسَحَّرُوا وَلَوْ عَلَى جَرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ ” وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” ثَلَاثٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ ” ذَكَرَ مِنْهَا تَأْخِيرَ السحور وروي عن العرباض ابن سَارِيَةَ أَنَّهُ قَالَ جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ يَتَسَحَّرُ فَقَالَ لِي كُلْ فَلَمْ آكُلْ وَوَدِدْتُ أَنْ كُنْتُ أَكَلْتُ.
وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ لِغُلَامِهِ قَنْبَرٍ ائْتِنِي بِالْغِذَاءِ الْمُبَارَكِ فَيَتَسَحَّرُ وَيَخْرُجُ فَيُؤْذِنُ وَيُصَلِّي، وَلِأَنَّ فِي تَعْجِيلِ الْفِطْرِ وَتَأْخِيرِ السَّحُورِ قُوَّةً لِجَسَدِهِ وَمَعُونَةً لِأَدَاءِ عِبَادَتِهِ.
PASAL:
Adapun sahur itu sunnah, dan disunnahkan mengakhirkan waktunya. Berdasarkan riwayat Salamah bin Wuḥrām dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Nabi SAW bersabda: “Mintalah pertolongan dengan makanan sahur untuk menghadapi puasa di siang hari.”
Dan Abū Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bersahurlah kalian, karena dalam sahur terdapat berkah.”
Dan Anas bin Mālik meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Jamaah itu berkah, tsarīd itu berkah, dan sahur itu berkah. Bersahurlah kalian meski hanya dengan seteguk air. Shalawat Allah tercurah atas orang-orang yang bersahur.”
Dan Rasulullah SAW bersabda: “Tiga perkara termasuk sunnah para rasul,” dan beliau menyebut di antaranya mengakhirkan sahur.
Diriwayatkan dari al-‘Irbādh bin Sāriyah, ia berkata: Aku datang kepada Rasulullah SAW sementara beliau sedang bersahur. Beliau bersabda kepadaku: “Makanlah.” Namun aku tidak makan, dan aku menyesal karena tidak ikut makan.
Diriwayatkan pula dari ‘Alī bin Abī Thālib RA bahwa beliau berkata kepada pembantunya, Qanbar: “Bawakan aku makanan yang penuh berkah.” Maka beliau pun bersahur, kemudian keluar untuk mengumandangkan adzan dan shalat.
Karena dalam menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur terdapat kekuatan bagi tubuh dan pertolongan untuk menunaikan ibadah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإذا سافر الرجل بالمرأة سفراً يكون سنة وَأَرْبَعِينَ مِيلًا بِالْهَاشِمِيِّ كَانَ لَهُمَا أَنْ يُفْطِرَا في شهر رمضان ويأتي أهله فإن صاما في سفرهما أجزأهما “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ كُلُّ مَسَافَةٍ جَازَ أَنْ تُقْصَرَ فِيهَا الصَّلَاةُ جَازَ أَنْ يُفْطَرَ فِيهَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، لِأَنَّ الْفِطْرَ رُخْصَةٌ كَالْقَصْرِ، وَاخْتَلَفُوا فِي قَدْرِ الْمَسَافَةِ فَعِنْدَنَا أَنَّهَا مَسَافَةُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بِسَيْرِ النَّقْلِ، وَدَبِيبِ الْأَقْدَامِ وَقَدْرُ ذَلِكَ سِتَّةٌ وَأَرْبَعُونَ مِيلًا بِالْهَاشِمِيِّ، أَوْ ثَمَانِيَةٌ وَأَرْبَعُونَ مِيلًا بِالْمَرْوَانِيِّ، وَهُوَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا وَهُوَ أَرْبَعَةُ بُرُدٍ وَحَكَيْنَا خِلَافَ أبي حنيفة فِي كِتَابِ الصَّلَاةِ، وَدَلَّلْنَا عَلَيْهِ بِمَا أَغْنَى عَنْ إِعَادَتِهِ، فَمِنْ ذَلِكَ مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تُفْطِرُوا يَا أَهْلَ مَكَّةَ فِي أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ بردٍ ” وَذَلِكَ مِنْ مَكَّةَ إلى عسفان وإلى الطايف، فإذا سافر قدر المسافة المذكورة جاز لهما الْفِطْرُ إِنْ شَاءَ بِالْأَكْلِ أَوْ بِالْجِمَاعِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْفِطْرَ الْمُبَاحَ يَسْتَوِي فِيهِ حَالُ الْأَكْلِ وَالْجِمَاعِ وَالْفِطْرُ فِي السَّفَرِ مُبَاحٌ وَحُكِيَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ وَبِهِ قَالَ قَوْمٌ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنَّ الْفِطْرَ فِي السَّفَرِ وَاجِبٌ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرٍ) {البقرة: 185) فَأَمَرَهُ بِالْقَضَاءِ عَلَى الْأَحْوَالِ كُلِّهَا وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السفر ” وبقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الصَّائِمُ فِي السَفَرِ كَالْمُفْطِرِ فِي الْحَضَرِ ” وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ الْفِطْرَ رُخْصَةٌ وَإِبَاحَةٌ رِوَايَةُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِحَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيِّ ” إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ ” وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَتَمَّ وَقَضَى وَصَامَ وَأَفْطَرَ وَرُوِيَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيٍّ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُمَا قَالَا: سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ لَا يَعِيبُ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ ” فَأَمَّا قَوْله تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أيّامٍ أُخَرٍ) {البقرة: 184) ففي الآية الإضمار وَهُوَ الْفِطْرُ الَّذِي يَجِبُ فِيهِ الْقَضَاءُ وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السفر ” فخارج عن سَبَبٍ، وَهُوَ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ برجلٍ، وَقَدِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ النَاسُ وَهُوَ يُنْقَلُ مِنْ فَيْءٍ إِلَى فَيْءٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا: أَجْهَدَهُ الصَّوْمُ فَقَالَ: لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ يَعْنِي لِمَنْ كَانَ فِي مِثْلِ حَالِهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ ” الصَّائِمُ فِي السَّفَرِ كَالْمُفْطِرِ فِي الْحَضَرِ ” فَمَوْقُوفٌ عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَإِنْ صَحَّ فَمَعْنَاهُ إِذَا اعْتَقَدَ وُجُوبَ الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Apabila seorang laki-laki bepergian bersama seorang perempuan dengan perjalanan sejauh setahun dan empat puluh mil hāsyimī, maka keduanya boleh berbuka pada bulan Ramadan dan mendatangi keluarganya. Jika keduanya berpuasa dalam perjalanan itu, sah puasanya.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, setiap jarak yang boleh diqashar shalat padanya, maka boleh pula berbuka puasa Ramadan padanya, karena berbuka itu adalah rukhsah sebagaimana qashar. Mereka berbeda pendapat tentang ukuran jarak. Menurut kami, jaraknya adalah perjalanan sehari semalam dengan perjalanan unta pembawa barang dan berjalan kaki, dan ukurannya adalah empat puluh enam mil hāsyimī, atau empat puluh delapan mil marwānī, yaitu enam belas farsakh, yaitu empat burd. Kami telah meriwayatkan perbedaan Abu Hanifah dalam kitab shalat dan kami telah memberikan dalil yang cukup sehingga tidak perlu diulang.
Di antaranya adalah riwayat dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian berbuka, wahai penduduk Makkah, pada jarak kurang dari empat burd,” yaitu dari Makkah ke ‘Usfān dan ke Thaif. Maka apabila bepergian sejauh jarak yang disebutkan, boleh baginya berbuka, jika ia mau, dengan makan atau dengan jima‘, dan tidak ada kafārah atasnya, karena berbuka yang mubah sama kedudukannya antara makan dan jima‘, dan berbuka dalam safar adalah mubah.
Diriwayatkan dari sekelompok Ahl al-Zhāhir dan dikatakan oleh sebagian sahabat, bahwa berbuka dalam safar adalah wajib, berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”} (al-Baqarah: 185). Maka Allah memerintahkannya dengan qadhā dalam segala keadaan. Dan diriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda: “Bukanlah dari kebajikan berpuasa dalam safar.” Dan sabda beliau SAW: “Orang yang berpuasa dalam safar seperti orang yang berbuka dalam hadhar.”
Adapun dalil bahwa berbuka itu rukhsah dan ibāhah adalah riwayat dari ‘Ā’isyah ra, bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Hamzah bin ‘Amr al-Aslamī: “Jika engkau mau, berpuasalah, dan jika engkau mau, berbukalah.” Dan diriwayatkan dari ‘Ā’isyah ra bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW melakukan semuanya; beliau menyempurnakan dan mengqadhā, beliau berpuasa dan berbuka.” Dan diriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī dan Anas bin Mālik bahwa keduanya berkata: “Kami bepergian bersama Rasulullah SAW, sebagian kami berpuasa dan sebagian kami berbuka, dan yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa.”
Adapun firman Allah Ta‘ālā: {“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”} (al-Baqarah: 184), maka dalam ayat itu terdapat idhmār yaitu berbuka yang wajib diganti dengan qadhā.
Adapun sabda beliau SAW: “Bukanlah dari kebajikan berpuasa dalam safar,” maka itu keluar karena sebab, yaitu ketika beliau SAW melewati seorang laki-laki, dan orang-orang berkumpul di sekitarnya sedang ia dipindahkan dari satu tempat teduh ke tempat teduh lain. Beliau SAW bertanya tentangnya, lalu mereka menjawab: “Puasanya telah melemahkannya.” Maka beliau SAW bersabda: “Bukanlah dari kebajikan berpuasa dalam safar,” maksudnya bagi orang yang dalam keadaan seperti dia.
Adapun sabda beliau: “Orang yang berpuasa dalam safar seperti orang yang berbuka dalam hadhar,” maka itu mauqūf pada ‘Abd al-Rahmān bin ‘Auf. Jika sah, maka maknanya adalah apabila ia meyakini wajibnya puasa dalam safar.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْفِطْرَ رُخْصَةٌ فَالصَّوْمُ أَوْلَى لَهُ، إِذَا قَدَرَ عَلَيْهِ وَقَالَ مَالِكٌ: الْفِطْرُ أَوْلَى لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إَنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ وَفِي رِوَايَةٍ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُؤْخَذَ بِرُخَصِهِ كَمَا يُحِبُّ أَنْ يُؤْخَذَ بِعَزَائِمِهِ ” قَالَ وَكَمَا أَنَّ قَصْرَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ أَوْلَى مِنْ إِتْمَامِهَا كَذَلِكَ الْفِطْرُ أَوْلَى مِنَ الصِّيَامِ، وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ كَانَ لَهُ حمولةٌ زَادٍ فَإِذَا شَبِعَ فَلْيَصُمْ رَمَضَانَ حَيْثُ أَدْرَكَهُ ” وَرُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا فَرَغَتْ مِنْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ صُمْتُ وَمَا أَفْطَرْتُ وَأَتْمَمْتُ، وَمَا قَصَرْتُ فَقَالَ لَهَا: أَحْسَنْتِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ، وَلِأَنَّ الْفِطْرَ رُخْصَةٌ، وَالصَّوْمَ عَزِيمَةٌ وَفِعْلُ الْعَزِيمَةِ أَفْضَلُ مِنْ فِعْلِ الرُّخْصَةِ، فَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُؤْخَذَ بِرُخَصِهِ كَمَا يُحِبُّ أَنْ يُؤْخَذَ بِعَزَائِمِهِ ” فَضَعِيفٌ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ، وَإِنْ صَحَّ فَلَا دَلِيلَ فِيهِ، لِأَنَّهُ أَحَبَّ الْأَخْذَ بِالرُّخْصَةِ وَالْعَزِيمَةِ، وَإِذَا أَحَبَّهُمَا مَعًا، وكان إحداهما مُسْقِطًا لِمَا تَعَلَّقَ بِالذِّمَّةِ، فَهُوَ أَوْلَى، وَأَمَّا قَصْرُ الصَّلَاةِ فَلَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ أَصْحَابُنَا فَقَالَ بَعْضُهُمُ الْإِتْمَامُ أَوْلَى كَالصَّوْمِ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: الْقَصْرُ أَوْلَى، وَإِنَّمَا كَانَ الْقَصْرُ أَوْلَى مِنَ الْإِتْمَامِ، وَأَفْضَلَ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُ فِيهِ الْقَضَاءُ، وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ إِيجَابُ ضَمَانٍ فِي الذِّمَّةِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْفِطْرُ، لِأَنَّهُ إِذَا أَفْطَرَ تَعَلَّقَ بِذِمَّتِهِ ضَمَانُ الْقَضَاءِ فَلِذَلِكَ مَا اخْتَلَفَا.
PASAL
Maka apabila telah tetap bahwa al-ifthār itu rukhsah, maka ash-shaum lebih utama baginya jika ia mampu melakukannya. Malik berkata: ifthār lebih utama karena sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah mencintai jika rukhsah-Nya diambil sebagaimana Dia mencintai jika ‘azīmah-Nya diambil.” Dan dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Allah mencintai jika rukhsah-Nya diambil sebagaimana Dia mencintai jika ‘azīmah-Nya diambil.”
Ia berkata: sebagaimana qashr shalat dalam safar lebih utama daripada menyempurnakannya, demikian juga ifthār lebih utama daripada shiyām.
Dalil kami adalah riwayat dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Barang siapa memiliki ḥamūlah bekal, maka apabila ia kenyang hendaklah ia berpuasa Ramadhan di mana saja ia mendapati (bulan itu).” Dan diriwayatkan bahwa ‘Aisyah RA setelah selesai dari ḥajjatul-wadā‘ berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah berpuasa dan tidak berbuka, aku menyempurnakan dan tidak mengqashar.” Maka beliau bersabda kepadanya: “Engkau telah berbuat baik.” Maka hal itu menunjukkan bahwa shaum lebih utama. Karena ifthār adalah rukhsah, sedangkan shaum adalah ‘azīmah, dan mengamalkan ‘azīmah lebih utama daripada mengamalkan rukhsah.
Adapun sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah mencintai jika rukhsah-Nya diambil sebagaimana Dia mencintai jika ‘azīmah-Nya diambil,” maka hadits itu dha‘īf menurut ahli naql. Dan jika pun sahih, maka tidak ada dalil di dalamnya, karena Allah mencintai diambilnya rukhsah dan ‘azīmah sekaligus. Dan apabila keduanya dicintai, sedangkan salah satunya menggugurkan apa yang terkait dalam dzimmah, maka itulah yang lebih utama.
Adapun qashr shalat, sungguh para sahabat kami berbeda pendapat di dalamnya. Sebagian mereka berkata: menyempurnakan lebih utama sebagaimana shaum. Dan sebagian mereka berkata: qashr lebih utama. Dan sesungguhnya qashr itu lebih utama daripada menyempurnakan serta lebih afdhal, karena di dalamnya tidak ada kewajiban qadhā’ dan tidak terkait dengan adanya kewajiban dhamān dalam dzimmah. Tidak demikian halnya dengan ifthār, karena jika ia berbuka maka terkait dalam dzimmahnya kewajiban dhamān qadhā’, oleh sebab itu keduanya berbeda.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَيْسَ لأحدٍ أَنْ يَصُومَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ ديناً وَلَا قَضَاءً لِغَيْرِهِ فَإِنْ فَعَلَ لَمْ يُجْزِهِ لرمضان ولا لغيره صام رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في السفر وأفطر وقال لحمزة رضي الله عنه ” إن شئت فصم وإن شئت فافطر “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ زَمَانَ رَمَضَانَ يَمْنَعُ مِنْ إِيقَاعِ غَيْرِهِ فِيهِ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَإِنْ صَامَ فِيهِ نَذْرًا أَوْ قَضَاءً أَوْ كَفَّارَةً أَوْ تَطَوُّعًا لَمْ يُجْزِهِ عَنْ رَمَضَانَ لِأَنَّهُ لَمْ يَنْوِهِ، وَلَا عَنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الزَّمَانَ يَمْنَعُ مِنْ إِيقَاعِهِ وَحَكَيْنَا خِلَافَ أبي حنيفة، وَأَصْحَابِهِ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ، وَدَلَّلْنَا له وعليه بما فيه كافية وغنا.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Tidak boleh seseorang berpuasa di bulan Ramadhan dengan niat mengganti hutang puasa (dīn), atau qadhā’ untuk orang lain. Jika ia melakukannya, maka tidak sah untuk Ramadhan dan tidak pula untuk selainnya. Rasulullah SAW pernah berpuasa dalam safar dan berbuka, lalu beliau berkata kepada Ḥamzah RA: ‘Jika engkau mau, berpuasalah; jika engkau mau, berbukalah.’”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa waktu Ramadhan menghalangi pelaksanaan selainnya, baik dalam keadaan hadhar maupun safar. Maka jika seseorang berpuasa di bulan itu dengan niat nadzar, atau qadhā’, atau kaffārah, atau tathawwu‘, maka tidak sah baginya untuk Ramadhan karena ia tidak meniatkannya, dan tidak sah pula untuk selainnya karena waktu Ramadhan menghalangi pelaksanaannya. Dan telah kami kisahkan adanya khilaf dari Abu Hanifah dan para sahabatnya baik dalam keadaan hadhar maupun safar, serta telah kami sebutkan dalil untuknya dan atasnya dengan penjelasan yang mencukupi.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ قَدِمَ رَجُلٌ مِنْ سَفَرٍ نَهَارًا مُفْطِرًا كَانَ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ حَيْثُ لَا يَرَاهُ أحدٌ وَإِنْ كَانَتِ امْرَأَتُهُ حَائِضًا فَطَهُرَتْ كَانَ لَهُ أَنْ يُجَامِعَهَا وَلَوْ تَرَكَ ذَلِكَ كَانَ أحل إِلَيَّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا قَدِمَ رَجُلٌ نَهَارًا مِنْ سَفَرِهِ، وَكَانَ قَدْ أَفْطَرَ فِي أَوَّلِ يَوْمِهِ، فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ فِي بَقِيَّةِ الْيَوْمِ، وَإِنْ صَادَفَ امْرَأَتَهُ قَدْ طَهُرَتْ مِنْ حَيْضِهَا فَلَهُ أَنْ يُجَامِعَهَا، لَكِنْ يَسْتَتِرُ بِهَذَا الْفِعْلِ خَوْفًا مِنَ التُّهْمَةِ وَالتَّعْرِيضِ لِلْعُقُوبَةِ، وَلَا يَلْزَمُهُ إِمْسَاكٌ بَقِيَّةَ هَذَا الْيَوْمِ، وَلَوْ فَعَلَ كَانَ حَسَنًا، وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ أَنْ يُمْسِكَ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ تَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعَثَ إِلَى أَهْلِ الْعَوَالِي فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَنْ أَكَلَ فَلْيُمْسِكْ وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ فَلْيَصُمْ فَأَمَرَهُمْ بِالْإِمْسَاكِ مَعَ تَقَدُّمِ الْفِطْرِ. قَالَ وَلِأَنَّ كُلَّ مَعْنًى لَوْ وُجِدَ فِي ابْتِدَاءِ الصَّوْمِ لَزِمَهُ إِمْسَاكُ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَإِذَا وُجِدَ فِي أَثْنَائِهِ لَزِمَهُ إِمْسَاكُ بَقِيَّتِهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Apabila seorang laki-laki pulang dari safar pada siang hari dalam keadaan berbuka, maka boleh baginya makan di tempat yang tidak terlihat orang. Jika istrinya sedang haid lalu suci, boleh baginya menjima‘inya. Namun bila ia meninggalkan hal itu, lebih aku sukai.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Jika seorang laki-laki pulang siang hari dari safarnya, dan ia telah berbuka di awal harinya, maka boleh baginya makan pada sisa hari itu. Jika ia mendapati istrinya telah suci dari haid, boleh baginya menjima‘inya. Akan tetapi hendaklah ia menyembunyikan perbuatannya karena khawatir tuduhan dan terjerumus pada hukuman. Tidak wajib baginya menahan diri pada sisa hari itu, namun jika ia melakukannya, itu baik.
Abu Hanifah berkata: Wajib baginya menahan diri pada sisa harinya, berdalil dengan riwayat bahwa Rasulullah SAW mengutus kepada penduduk ‘Awālī pada hari ‘Āsyūrā’, beliau bersabda: “Siapa yang telah makan, hendaklah ia menahan diri, dan siapa yang belum makan, hendaklah ia berpuasa.” Maka beliau memerintahkan mereka menahan diri meski sebelumnya telah berbuka. Ia juga berdalil: setiap sebab yang jika ada pada permulaan puasa mewajibkan imsak hari itu, maka jika ada di pertengahannya mewajibkan imsak pada sisanya.
أَصْلُ ذَلِكَ: إِذَا أَصْبَحَ يَوْمَ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ عَلَى شَكٍّ، ثُمَّ عَلِمَ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ لَهُ الْأَكْلُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ مَعَ الْعِلْمِ بِالصَّوْمِ، فَإِذَا أَفْطَرَ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يُمْسِكَ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ. أَصْلُهُ الْحَائِضُ إِذَا طَهُرَتْ أَوِ السَّفَرُ إِذَا اتَّصَلَ فَأَمَّا حَدِيثُ عَاشُورَاءَ فَقَدْ كَانَ تَطَوُّعًا وَأُمِرُوا بِإِمْسَاكِهِ اسْتِحْبَابًا، وَلَوْ صَحَّ وُجُوبُهُ لَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ لِأَنَّهُمْ لَوْ عَلِمُوا وُجُوبَهُ، قَبْلَ الْأَكْلِ لَزِمَهُمُ الصَّوْمُ فَشَابَهَ يَوْمَ الشَّكِّ الَّذِي يَلْزَمُهُمْ إِمْسَاكُ بَقِيَّتِهِ إِذَا عَلِمُوا أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ، لِأَنَّ هَذَا الْعِلْمَ لَوْ تَقَدَّمَ لَزِمَهُمُ الصَّوْمُ، وَلَمْ يَجُزِ الْفِطْرُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُسَافِرُ، لِأَنَّ الْفِطْرَ لَهُ جَائِزٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Asal masalah itu: apabila seseorang memasuki pagi hari ke-30 bulan Sya‘bān dalam keadaan ragu, kemudian ia mengetahui bahwa hari itu termasuk Ramadhan. Maka ini keliru, karena setiap orang yang boleh makan di awal siang dengan keyakinan adanya shaum, apabila ia berbuka maka tidak wajib menahan sisa harinya.
Asalnya adalah wanita haid apabila telah suci, atau seorang musafir apabila ia sampai.
Adapun hadits tentang ‘Āsyūrā’, maka ia adalah tathawwu‘ dan mereka diperintahkan menahan sisa harinya secara istihbāb. Seandainya wajib, maka tidak ada dalil di dalamnya. Sebab, seandainya mereka mengetahui kewajibannya sebelum makan, niscaya wajib atas mereka shaum. Maka hal itu menyerupai yaum asy-syakk yang wajib atas mereka menahan sisa harinya apabila telah diketahui bahwa ia dari Ramadhan, karena pengetahuan itu jika telah mendahului, niscaya wajib atas mereka shaum dan tidak boleh berbuka.
Tidak demikian halnya dengan musafir, karena berbuka baginya tetap boleh. Wallāhu a‘lam.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْحَائِضُ إِذَا طَهُرَتْ فِي نَهَارِ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَلَيْسَ عَلَيْهَا إِمْسَاكُ بَقِيَّتِهِ بِوِفَاقِ أبي حنيفة، وَقَدْ حُكِيَ عَنْهُ وُجُوبُ الْإِمْسَاكِ عَلَيْهَا، وَكَذَلِكَ لَوْ بَلَغَ صَبِيٌّ أَوْ أَسْلَمَ كَافِرٌ أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ فِي نَهَارٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، لَمْ يَلْزَمْهُمْ إِمْسَاكُ بَقِيَّةِ الْيَوْمِ كَالْمُسَافِرِ، وَالْحَائِضِ، وَخَالَفَنَا أبو حنيفة فَأَلْزَمَهُمُ الْإِمْسَاكَ، وَفِيمَا مَضَى مِنَ الدَّلِيلِ كِفَايَةٌ فَأَمَّا الْمَرِيضُ إِذَا أَفْطَرَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ لِمَرَضٍ، ثُمَّ صَحَّ فِي آخِرِهِ فَعِنْدَ الْبَغْدَادِيِّينَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ كَالْمُسَافِرِ لَا يَلْزَمُهُ الْإِمْسَاكُ، وَعِنْدَ الْبَصْرِيِّينَ عَلَيْهِ أَنْ يُمْسِكَ لِأَنَّهُ إِنَّمَا أُبِيحَ لَهُ الْفِطْرُ لِعَجْزِهِ عَنِ الصَّوْمِ فَإِذَا زَالَ الْعَجْزُ، وَأَمْكَنَهُ الصَّوْمُ ارْتَفَعَ مَعْنَى الْإِبَاحَةِ وَلَزِمَهُ الْإِمْسَاكُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُسَافِرُ، لِأَنَّهُ يُفْطِرُ وَإِنْ أَطَاقَ الصَّوْمَ، وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ أَقْيَسُ، وَهَذَا أَشْبَهُ.
PASAL
Adapun wanita haid apabila ia suci di siang hari bulan Ramadhan, maka tidak wajib atasnya menahan sisa harinya, sejalan dengan pendapat Abu Hanifah. Telah diriwayatkan darinya pendapat bahwa wajib atasnya menahan, namun demikian pula jika seorang anak kecil baligh, atau kafir masuk Islam, atau orang gila sadar di siang hari bulan Ramadhan, maka tidak wajib atas mereka menahan sisa hari, sebagaimana musafir dan wanita haid. Abu Hanifah menyelisihi kami dan mewajibkan mereka menahan. Dan pada dalil yang telah lalu terdapat kecukupan.
Adapun orang sakit apabila berbuka di awal siang karena sakit, kemudian sembuh di akhirnya, maka menurut ulama Baghdad dari sahabat kami hukumnya seperti musafir, tidak wajib menahan. Sedangkan menurut ulama Bashrah, wajib atasnya menahan, karena sesungguhnya ia hanya diberi kebolehan berbuka sebab tidak mampu shaum, maka ketika hilang ketidakmampuan itu dan ia mampu shaum, hilanglah sebab kebolehan dan wajiblah menahan. Tidak demikian halnya dengan musafir, karena ia boleh berbuka sekalipun mampu shaum.
Pendapat yang pertama lebih qiyas dan itulah yang lebih mendekati.
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ فَإِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرِهِ، وَلَمْ يَكُنْ أَكَلَ ولا شرب ولا نوى الصوم وكان وعلى نِيَّةِ الْفِطْرِ، فَلَمْ يُفْطِرْ حَتَّى قَدِمَ فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ، وَلَا يَلْزَمُهُ الْإِمْسَاكُ، وَلَوْ أَمْسَكَ كَانَ أَوْلَى وَإِنَّمَا لَمْ يَلْزَمْهُ الْإِمْسَاكُ لِأَنَّهُ قَدْ أَفْطَرَ بِتَرْكِ النِّيَّةِ، وَإِنْ لَمْ يَأْكُلْ فصار بمثابة مَنْ أَفْطَرَ بِالْأَكْلِ فَأَمَّا إِذَا نَوَى الصَّوْمَ فِي سَفَرِهِ، ثُمَّ قَدِمَ نَاوِيًا فَهَلْ يَلْزَمُهُ إِتْمَامُ صَوْمِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
PASAL:
Imam al-Syafi‘i dalam al-Umm berkata: Apabila seseorang pulang dari safar, dan ia belum makan, belum minum, dan belum berniat puasa, bahkan ia berada di atas niat berbuka, lalu ia tidak berbuka hingga pulang, maka boleh baginya makan, dan tidak wajib menahan diri. Namun jika ia menahan diri, itu lebih utama. Ia tidak wajib menahan diri karena sesungguhnya ia sudah berbuka dengan meninggalkan niat, meskipun tidak makan, maka kedudukannya seperti orang yang berbuka dengan makan.
Adapun jika ia berniat puasa ketika dalam safar, kemudian pulang dalam keadaan berniat, maka apakah wajib baginya menyempurnakan puasanya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَلْزَمُهُ إِتْمَامُ صَوْمِهِ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ الْفِطْرُ، لِأَنَّ زَوَالَ السَّفَرِ قَدْ رَفَعَ حُكْمَ الْإِبَاحَةِ كَالْمُسَافِرِ إِذَا نَوَى الْقَصْرَ، ثُمَّ أَقَامَ لَزِمَهُ الْإِتْمَامُ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هُرَيْرَةَ وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، فِي حَرْمَلَةَ أَنَّهُ عَلَى خِيَارِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ لِأَنَّ حُكْمَ الْيَوْمِ مُعْتَبَرٌ بِأَوَّلِهِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ نَوَى الصَّوْمَ مُقِيمًا، ثُمَّ سافر لم يجز له أن يفطر اعتبار بِحُكْمِ أَوَّلِهِ، فَكَذَلِكَ إِذَا نَوَى الصَّوْمَ مُسَافِرًا، ثُمَّ أَقَامَ فَلَهُ أَنْ يُفْطِرَ اعْتِبَارًا بِحُكْمِ أَوَّلِ الْيَوْمِ، فَلَوْ نَوَى الصَّوْمَ فِي السَّفَرِ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ فِي سِفْرِهِ فَلَهُ ذَلِكَ، وَلَوْ نَوَى إِتْمَامَ الصَّلَاةِ ثُمَّ أَرَادَ الْقَصْرَ لَمْ يَجُزْ لَهُ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْفِطْرَ يُضْمَنُ بِالْقَضَاءِ وَعُذْرُ الْإِفْطَارِ قَائِمٌ بِدَوَامِ السَّفَرِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْقَصْرُ لِأَنَّهُ لَا يُضْمَنُ بِالْقَضَاءِ، وَقَدْ ضُمِنَ الْإِتْمَامُ عَلَى نَفْسِهِ فَلِهَذَا المعنى فصل بينهما.
Salah satunya: yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī, bahwa wajib baginya menyempurnakan puasanya dan tidak boleh berbuka. Sebab hilangnya safar telah menghapus hukum ibāhah, sebagaimana musafir apabila berniat qashar lalu menetap, maka wajib baginya menyempurnakan shalat.
Wajah yang kedua: yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, dan ini telah dinashkan oleh al-Syafi‘i dalam riwayat Ḥarmalah, bahwa ia berada pada pilihannya: jika ia mau berpuasa, jika ia mau berbuka. Karena hukum hari itu dinilai berdasarkan awalnya. Tidakkah engkau melihat, apabila ia berniat puasa dalam keadaan muqīm kemudian bersafar, maka tidak boleh baginya berbuka karena dinilai dengan hukum awalnya. Demikian pula jika ia berniat puasa dalam safar, kemudian pulang, maka boleh baginya berbuka karena dinilai dengan hukum awal hari itu.
Maka seandainya ia berniat puasa dalam safar, lalu ingin berbuka dalam safarnya, maka boleh baginya. Namun seandainya ia berniat menyempurnakan shalat, lalu ingin qashar, maka tidak boleh baginya. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa berbuka itu dapat diganti dengan qadhā, dan uzur berbuka tetap ada dengan berlangsungnya safar. Sedangkan qashar tidak bisa diganti dengan qadhā, dan ia telah mewajibkan atas dirinya untuk menyempurnakan, maka karena itulah keduanya dibedakan.
مسألة:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” وَلَوْ أَنَّ مُقِيمًا نَوَى الصَّوْمَ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ الْفَجْرِ مُسَافِرًا لَمْ يُفْطِرْ يَوْمَهُ لِأَنَّهُ دخل فيه مقيماً (قال المزني) رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه صام في مخرجه إلى مكة في رمضان حتى بلغ كراع الغميم وصام الناس معه ثم أفطر وأمر من صام معه بالإفطار ولو كان لا يجوز فطره ما فعل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْفَصْلُ يَشْتَمِلُ عَلَى أَرْبَعِ مَسَائِلَ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَبْتَدِئَ السَّفَرَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا شُبْهَةَ أَنَّهُ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ لِأَنَّهُ ابْتَدَأَ السَّفَرَ فِي زَمَانٍ يَجُوزُ لَهُ الْفِطْرُ فِيهِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَتَحَتَّمُ عَلَيْهِ صَوْمُ ذَلِكَ الْيَوْمِ.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Seandainya seorang muqīm berniat shaum sebelum fajar, kemudian ia keluar setelah fajar dalam keadaan safar, maka ia tidak boleh berbuka pada hari itu, karena ia memasukinya dalam keadaan muqīm.” (Al-Muzani berkata) telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau berpuasa ketika keluar menuju Makkah di bulan Ramadhan hingga sampai di Kura‘ al-Ghamīm, dan orang-orang pun berpuasa bersamanya, kemudian beliau berbuka dan memerintahkan orang-orang yang berpuasa bersamanya untuk berbuka. Seandainya berbuka itu tidak boleh, niscaya Nabi SAW tidak melakukannya.”
Al-Māwardī berkata: Bab ini mencakup empat masalah:
Pertama: apabila memulai safar sebelum fajar, maka tidak ada keraguan bahwa ia berhak memilih, jika mau ia berpuasa, dan jika mau ia berbuka. Karena ia memulai safar pada waktu yang memang boleh berbuka di dalamnya, maka tidaklah wajib baginya untuk melazimkan shaum pada hari itu.
وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَنْوِيَ الصِّيَامَ، وَهُوَ مُقِيمٌ ثُمَّ يُسَافِرَ بَعْدَ الْفَجْرِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وأبي حنيفة أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُتِمَّ صَوْمَهُ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ، وَحُكِيَ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقَ وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ أَنَّ لَهُ الْخِيَارَ فِي الصَّوْمِ وَالْإِفْطَارِ تَعَلُّقًا بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ مِنَ الْمَدِينَةِ صَائِمًا فَلَمَّا بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ أَفْطَرَ فَحَصَلَ صَائِمًا فِي أَوَّلِ النَّهَارِ مُفْطِرًا فِي آخِرِهِ، قَالُوا: وَلِأَنَّ الْفِطْرَ إِنَّمَا أُبِيحَ بِأَحَدِ شَيْئَيْنِ، الْمَرَضُ، وَالسَّفَرُ، ثم تبت أَنَّ لِلْمَرِيضِ أَنْ يُفْطِرَ فِي أَثْنَاءِ النَّهَارِ، وأن صَامَ فِي أَوَّلِهِ فَكَذَلِكَ الْمُسَافِرُ وَهَذَا خَطَأٌ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمْ قَوْله تَعَالَى: {وَلاَ تُبْطِلُواْ أعْمَالَكُمْ) {محمد: 33) لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَخْتَلِفُ بِالسَّفَرِ وَالْحَضَرِ فَوَجَبَ إِذَا ابْتَدَأَهَا فِي الْحَضَرِ ثُمَّ طَرَأَ عَلَيْهِ السَّفَرُ، أَنْ يَغْلِبَ حُكْمُ الْحَضَرِ كَالصَّلَاةِ وَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَلِأَنَّهُ قَدْ خَلَطَ إِبَاحَةً بِحَظْرٍ وَلَا بُدَّ مِنْ تَغْلِيبِ أَحَدِهِمَا فِي الْحُكْمِ، فكان تغليب الخطر أَوْلَى، وَأَمَّا حَدِيثُ كُرَاعِ الْغَمِيمِ فَمِنَ الْمَدِينَةِ إِلَيْهِ مَسِيرَةُ أَيَّامٍ، وَقِيلَ ذَلِكَ لِلْمُزَنِيِّ فَرَجَعَ عَنْهُ، وَقَالَ أَضْرِبُوا عَلَيْهِ وَلَوْ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى مَا ذَكَرُوهُ، لَمْ يَصِحَّ لَهُمُ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَعْلَمُوا هَلْ سَافَرَ قَبْلَ الْفَجْرِ أَوْ بَعْدَهُ؟ وَأَمَّا الْمَرِيضُ فَإِنَّمَا جَازَ له الفطر للضرورة الداعية فيما أحدث، بِلَا اخْتِيَارِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ السَّفَرُ، لِأَنَّهُ أَنْشَأَهُ مُخْتَارًا، وَلَمْ تَدْعُهُ الضَّرُورَةُ إِلَى الْفِطْرِ فِيهِ.
وَالْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَنْوِيَ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ ثُمَّ يُسَافِرُ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ هَلْ سَافَرَ قَبْلَ الْفَجْرِ، أَوْ بَعْدَهُ فَهَذَا يَلْزَمُهُ إِتْمَامُ صَوْمِهِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ، لِأَنَّهُ عَلَى يَقِينٍ مِنْ حُدُوثِ السَّفَرِ، وَفِي شَكٍّ مِنْ تَقَدُّمِهِ، وَبِالشَّكِّ لَا تُبَاحُ الرُّخَصُ.
Masalah yang kedua:
Seseorang berniat puasa dalam keadaan muqīm, kemudian bersafar setelah fajar. Menurut mazhab al-Syafi‘i, Mālik, dan Abū Ḥanīfah, wajib baginya menyempurnakan puasanya dan tidak boleh berbuka. Diriwayatkan dari Aḥmad bin Ḥanbal dan Isḥāq, dan ini juga mazhab al-Muzanī, bahwa ia memiliki pilihan antara berpuasa atau berbuka, berdalil bahwa Rasulullah SAW keluar pada tahun Fatḥ dari Madinah dalam keadaan berpuasa. Ketika sampai di Kurā‘ al-Ghamīm, beliau berbuka. Maka beliau pada awal siang berpuasa dan pada akhirnya berbuka.
Mereka juga berkata: sebab berbuka hanya dibolehkan karena dua hal, sakit dan safar. Telah tetap bahwa orang sakit boleh berbuka di tengah hari meskipun ia telah berpuasa di awalnya, maka demikian pula musafir.
Al-Māwardī berkata: ini adalah pendapat yang keliru. Dalil yang membantah mereka adalah firman Allah Ta‘ālā: {“Dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian”} (Muḥammad: 33). Karena puasa adalah ibadah yang berbeda hukumnya antara safar dan hadhar. Maka wajib apabila seseorang memulai ibadah dalam keadaan hadhar, lalu datang safar, maka hukum hadhar lebih dominan, sebagaimana dalam shalat dan dalam masalah mengusap khuf. Juga karena ia telah mencampur antara yang mubah dan yang terlarang, dan harus didominasi salah satunya dalam hukum, maka mendominasi yang terlarang lebih utama.
Adapun hadits Kurā‘ al-Ghamīm, jarak dari Madinah ke sana adalah perjalanan beberapa hari. Ketika hal itu dikatakan kepada al-Muzanī, ia rujuk dari pendapatnya dan berkata: “Hapuskanlah.” Seandainya benar seperti yang mereka sebutkan, niscaya tidak sah hujjah mereka dengannya, karena mereka tidak tahu apakah beliau bersafar sebelum fajar atau sesudahnya.
Adapun orang sakit, maka kebolehan berbuka baginya karena darurat yang muncul tanpa pilihannya. Tidak demikian dengan safar, karena ia yang memulainya dengan pilihan dan tidak ada kebutuhan darurat yang mengharuskan berbuka di dalamnya.
Masalah yang ketiga:
Seseorang berniat puasa pada malam hari, lalu bersafar, namun ia tidak tahu apakah safarnya terjadi sebelum fajar atau sesudahnya. Maka wajib baginya menyempurnakan puasanya dan tidak boleh berbuka, karena ia berada pada keyakinan telah terjadinya safar, tetapi ragu tentang apakah safar itu mendahului fajar. Dengan adanya keraguan, rukhsah tidak boleh diambil.
الْمَسْأَلَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ لَا يَنْوِيَ الصِّيَامَ أَصْلًا، ثُمَّ يُسَافِرَ بَعْدَ الْفَجْرِ فَهَذَا يُفْطِرُ لِإِخْلَالِهِ بِالنِّيَّةِ مِنَ اللَّيْلِ، وَعَلَيْهِ الْإِمْسَاكُ، لِأَنَّ حُرْمَةَ الْيَوْمِ قَدْ ثَبَتَتْ بِأَوَّلِهِ، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ لِأَنَّهُ مُفْطِرٌ بِتَرْكِ النية.
Masalah keempat: apabila ia sama sekali tidak berniat shaum, kemudian melakukan safar setelah fajar, maka ia berbuka karena ia telah merusak syarat niat dari malam hari. Dan wajib atasnya menahan (imsak), karena kehormatan hari itu telah tetap sejak awalnya. Dan wajib atasnya qadhā’, karena ia dihukumi sebagai orang yang berbuka dengan meninggalkan niat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ الصِّيَامُ فَإِنْ رَأَى هِلَالَ شَوَّالٍ حَلَّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ حَيْثُ لَا يَرَاهُ أحدٌ وَلَا يُعَرِّضُ نَفْسَهُ لِلتُّهْمَةِ بِتَرْكِ فَرْضِ اللَّهِ وَالْعُقُوبَةِ مِنَ السُّلْطَانِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ، فَقَدْ تَعَلَّقَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْعِبَادَةِ وَسَوَاءٌ حَكَمَ الْقَاضِي بِقَوْلِهِ أَمْ لَا، فَإِنْ كَانَ هِلَالَ رَمَضَانَ لَزِمَهُ الصِّيَامُ، وَإِنْ كَانَ هِلَالَ شَوَّالٍ لَزِمَهُ الْإِفْطَارُ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَمَالِكٌ: يَلْزَمُهُ الصِّيَامُ فِي هِلَالِ رَمَضَانَ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ الْإِفْطَارُ فِي هِلَالِ شَوَّالٍ وَقَالَ الْحَسَنُ وَعَطَاءٌ، وَشَرِيكٌ وَإِسْحَاقُ لَا يَلْزَمُهُ الصِّيَامُ وَلَا يَجُوزُ لَهُ الْإِفْطَارُ، بَلْ هُمَا فِي الْحُكْمِ سِيَّانِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) {البقرة: 185) فَحَتَّمَ الصَّوْمَ عَلَى مَنْ شَهِدَهُ، وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” صوموا لرؤيته وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ” فَعَلَّقَ الْحُكْمَ بِالرُّؤْيَةِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَرَأَى هِلَالَ شَوَّالٍ وَحْدَهُ فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ حَيْثُ لَا يَرَاهُ أَحَدٌ خَوْفًا مِنَ التُّهْمَةِ، وَعُقُوبَةِ السُّلْطَانِ، وَإِنْ رَأَى هِلَالَ رَمَضَانَ لَزِمَهُ الصِّيَامُ، فَإِنْ جَامَعَ فِيهِ لَزِمَهُ الْكَفَّارَةُ، وَقَالَ أبو حنيفة: لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ يَوْمٌ مَحْكُومٌ بِهِ مِنْ شَعْبَانَ فَوَجَبَ، أَنْ لَا تَلْزَمَهُ الْكَفَّارَةُ قِيَاسًا عَلَى يَوْمِ الشَّكِّ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ شُبْهَةٌ فَوَجَبَ إِدْرَاءُ الْحَدِّ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهُ يَوْمٌ لَزِمَهُ صَوْمُهُ مِنْ رَمَضَانَ فَوَجَبَ، أَنْ تَلْزَمَهُ الْكَفَّارَةُ، إِذَا هَتَكَ حُرْمَتَهُ بِالْوَطْءِ.
أَصْلُهُ: إِذَا حَكَمَ الْقَاضِي بِشَهَادَتِهِ، فَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى يَوْمِ الشَّكِّ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ لَمْ يَلْزَمْهُ صَوْمُهُ عَنْ رَمَضَانَ، وَهَذَا يَوْمٌ لزمه صومه عن رمضان.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Barangsiapa melihat hilal sendirian, wajib atasnya berpuasa. Jika ia melihat hilal Syawwal, maka halal baginya makan di tempat yang tidak dilihat orang lain, dan janganlah ia menjerumuskan dirinya pada tuduhan meninggalkan kewajiban Allah dan hukuman dari penguasa.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Apabila seseorang melihat hilal sendirian, maka wajib atasnya hukum ibadah, baik hakim memutuskan berdasarkan persaksiannya ataupun tidak. Jika yang ia lihat adalah hilal Ramadan, maka wajib baginya berpuasa. Jika yang ia lihat adalah hilal Syawwal, maka wajib baginya berbuka. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abū Ḥanīfah.
Adapun Aḥmad bin Ḥanbal dan Mālik berpendapat: wajib atasnya berpuasa bila ia melihat hilal Ramadan, namun tidak boleh berbuka bila ia melihat hilal Syawwal. Sedangkan al-Ḥasan, ‘Aṭā’, Syarīk, dan Isḥāq berpendapat: tidak wajib berpuasa dan tidak boleh berbuka, bahkan keduanya sama hukumnya.
Al-Māwardī berkata: Pendapat ini keliru, karena firman Allah Ta‘ālā: {“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan itu, hendaklah ia berpuasa”} (al-Baqarah: 185), maka Allah mewajibkan puasa atas orang yang menyaksikannya. Dan sabda Nabi SAW: “Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah kalian karena melihatnya.” Maka beliau menggantungkan hukum pada ru’yah.
Jika ini telah tetap, maka barangsiapa melihat hilal Syawwal sendirian, boleh baginya makan di tempat yang tidak dilihat orang lain karena takut tuduhan dan hukuman penguasa. Dan jika ia melihat hilal Ramadan, wajib baginya berpuasa. Jika ia berjima‘ padanya, maka wajib atasnya kafārah.
Abū Ḥanīfah berkata: tidak ada kafārah atasnya, karena hari itu dihukumi sebagai hari dari Sya‘bān, maka tidak wajib kafārah sebagaimana hari syak, dan karena itu merupakan syubhat, maka wajib menggugurkan hukuman.
Al-Māwardī berkata: Ini keliru, karena hari itu wajib baginya puasa Ramadan, maka wajib pula kafārah bila ia merusak kehormatannya dengan jima‘. Dasarnya adalah apabila hakim menetapkan dengan persaksiannya. Adapun qiyās atas hari syak tidaklah benar, karena hari syak belum wajib baginya puasa Ramadan, sedangkan hari itu wajib baginya puasa Ramadan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا أَقْبَلُ عَلَى رُؤْيَةِ الْفِطْرِ إِلَّا عَدْلَيْنِ (قال المزني) هذا بعض لأحد قوليه أن لا يقبل في الصوم إلا عدلين (قال) حدثنا إبراهيم قال حدثنا الربيع قال الشافعي لا يجوز أن يصام بشهادة رجلٍ واحدٍ ولا يجوز أن يصام إلا بشاهدين ولأنه الاحتياط “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ هِلَالَ شَوَّالٍ لَا يُقْبَلُ فِيهِ إِلَّا شَهَادَةُ عَدْلَيْنِ وَأَجَازَ أَبُو ثَوْرٍ شَهَادَةَ عَدْلٍ وَاحِدٍ فَأَمَّا هِلَالُ رَمَضَانَ فَلِلشَّافِعِيِّ فِيهِ قَوْلَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ فِيهِ إِلَّا عَدْلَانِ.
وَالثَّانِي: يُقْبَلُ فِيهِ شَهَادَةُ عَدْلٍ وَاحِدٍ، وَقَدْ ذَكَرْنَا تَوْجِيهَ كُلِّ قَوْلٍ وَحَكَيْنَا خِلَافَ أبي حنيفة، وَدَلَّلْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَكُنْ لَنَا إِلَى الْإِعَادَةِ حَاجَةٌ.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Aku tidak menerima rukyat hilal Idul Fitri kecuali dengan kesaksian dua orang ‘adl.” (Al-Muzani berkata) ini sebagian dari salah satu pendapat beliau, bahwa tidak diterima dalam shaum kecuali kesaksian dua orang ‘adl. (Ia berkata) telah menceritakan kepada kami Ibrahim, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ar-Rabi‘, ia berkata: Imam al-Syafi‘i berkata: “Tidak boleh berpuasa dengan kesaksian seorang laki-laki saja, dan tidak boleh berpuasa kecuali dengan kesaksian dua orang saksi. Karena itu lebih ihtiyath.”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa hilal Syawwal tidak diterima kecuali dengan kesaksian dua orang ‘adl, sementara Abu Tsaur membolehkan dengan kesaksian satu orang ‘adl. Adapun hilal Ramadhan, maka Imam al-Syafi‘i memiliki dua pendapat:
Pertama: tidak diterima kecuali dengan kesaksian dua orang ‘adl.
Kedua: diterima dengan kesaksian satu orang ‘adl.
Dan kami telah menyebutkan alasan bagi setiap pendapat serta meriwayatkan khilaf Abu Hanifah, dan telah kami bawakan dalil atasnya, maka tidak ada lagi kebutuhan untuk mengulanginya.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ صَحَا قَبْلَ الزَّوَالِ أَفْطَرَ وَصَلَّى بِهِمُ الْإِمَامُ صَلَاةَ الْعِيدِ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الزَّوَالِ فَلَا صَلَاةَ فِي يَوْمِهِ وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُصَلِّيَ الْعِيدَ مِنَ الْغَدِ لِمَا ذُكِرَ فِيهِ وإن لم يكن ثابتاً (قال المزني) وله قولٌ آخر أنه لا يصلي من الغد وهو عندي أقيس لأنه لو جاز يقضي جاز في يومه وإذا لم يجز القضاء في أقرب الوقت كان فيما بعده أبعد ولو كان ضحى غدٍ مثل ضحى اليوم لزم في ضحى يومٍ بعد شهرٍ لأنه مثل ضحى اليوم “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra berkata: “Apabila hilal Syawwal terlihat dan cuaca cerah sebelum zawāl, maka berbukalah, dan imam shalat ‘Id bersama mereka. Jika terlihat setelah zawāl, maka tidak ada shalat pada hari itu. Dan yang lebih aku sukai adalah melaksanakan shalat ‘Id pada esok harinya karena apa yang telah disebutkan meski dalilnya tidak tetap.”
Al-Muzanī berkata: Beliau juga memiliki pendapat lain, bahwa tidak disunnahkan shalat pada esok harinya. Dan menurutku pendapat ini lebih qiyās, karena seandainya boleh diqadha, niscaya boleh pada hari itu juga. Namun ketika tidak boleh qadha pada waktu terdekat, maka pada waktu yang lebih jauh tentu lebih tidak boleh. Seandainya duha esok hari sama dengan duha hari ini, maka berarti wajib pula pada duha sebulan setelahnya, sebab ia sama dengan duha hari ini.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يُصْبِحَ النَّاسُ يَوْمَ الثَّلَاثِينَ مِنْ رَمَضَانَ شَاكِّينَ فِي يَوْمِهِمْ هَلْ هُوَ مِنْ رَمَضَانَ أَوْ مِنْ شَوَّالٍ؟ فَعَلَيْهِمْ صِيَامُهُ مَا لَمْ تَقُمِ الْبَيِّنَةُ، أَنَّهُ مِنْ شَوَّالٍ فَإِنْ شَهِدَ بِرُؤْيَتِهِ شَاهِدَانِ نُظِرَ فِي عَدَالَتِهِمَا، فَإِنْ لَمْ يَكُونَا مِنْ أَهْلِ الْعَدَالَةِ لَمْ يُحْكَمْ بِشَهَادَتِهِمَا، وَكَانَ النَّاسُ عَلَى صَوْمِهِمْ، وَإِنْ ثَبَتَتْ عَدَالَتُهُمَا حَكَمَ الْقَاضِي بِشَهَادَتِهِمَا، وَأَفْطَرَ الْقَاضِي أَوَّلًا ثُمَّ الشَّاهِدَانِ، ثُمَّ النَّاسُ بَعْدَهُمْ، وَسَوَاءٌ بَانَ ذَلِكَ قَبْلَ الزَّوَالِ، أَوْ بَعْدَهُ، فَأَمَّا صَلَاةُ الْعِيدِ فَيُنْظَرُ فَإِنْ بَانَتْ عَدَالَتُهُمَا قَبْلَ الزَّوَالِ صَلَّى الْإِمَامُ بِهِمْ صَلَاةَ الْعِيدِ، لِأَنَّ وَقْتَهَا مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِلَى زَوَالِهَا، فَإِنْ أَمْكَنَهُ أَنْ يَخْرُجَ بِالنَّاسِ إِلَى الْمُصَلَّى فَعَلَ، وَإِنْ ضَاقَ عَلَيْهِ الْوَقْتُ صَلَّى بِهِمْ حَيْثُ أَمْكَنَهُ مِنْ جَامِعٍ، أَوْ مَسْجِدٍ وَإِنْ بَانَتْ عَدَالَتُهُمَا بَعْدَ الزَّوَالِ، فَقَدْ فَاتَ وَقْتُ الصَّلَاةِ، وَهَلْ تُقْضَى أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ لَا تُقْضَى لِأَنَّهَا صَلَاةُ نَافِلَةٍ سُنَّ لَهَا الْجَمَاعَةُ فَوَجَبَ أن تسقط بالفوات كصلاة الخوف.
Al-Māwardī berkata: Bentuk masalah ini adalah apabila manusia memasuki pagi hari ke-30 dari Ramadhan dalam keadaan ragu tentang hari mereka, apakah masih termasuk Ramadhan atau sudah masuk Syawwal. Maka wajib atas mereka berpuasa hingga tegak bukti bahwa hari itu adalah Syawwal. Jika ada dua saksi yang bersaksi melihat hilal, maka dilihat terlebih dahulu keadilan keduanya. Jika keduanya bukan dari ahli ‘adālah, maka kesaksian mereka tidak dihukumi, dan manusia tetap dalam puasanya. Namun jika keadilan keduanya tetap, maka qādī memutuskan dengan kesaksian mereka, lalu qādī berbuka terlebih dahulu, kemudian kedua saksi, lalu manusia setelah mereka. Sama saja apakah hal itu jelas sebelum zawāl atau sesudahnya.
Adapun shalat ‘Id, maka dilihat: apabila keadilan keduanya jelas sebelum zawāl, maka imam shalat bersama mereka shalat ‘Id, karena waktunya sejak terbit matahari hingga zawāl. Jika memungkinkan baginya untuk keluar bersama manusia ke mushallā, maka ia lakukan. Jika waktu sudah sempit, ia shalat bersama mereka di tempat yang memungkinkan dari masjid jami‘ atau masjid. Jika keadilan keduanya baru jelas setelah zawāl, maka telah lewat waktunya shalat.
Maka apakah ia diqadhā’ atau tidak? Ada dua pendapat: salah satunya—dan ini yang dipilih oleh al-Muzani—shalat ‘Id tidak diqadhā’, karena ia adalah shalat nāfilah yang disunnahkan berjamaah, maka wajib gugur dengan lewat waktunya sebagaimana shalat khauf.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهَا تُقْضَى لِأَنَّهَا صَلَاةٌ رَاتِبَةٌ في وقت، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَسْقُطَ بِفَوَاتِ وَقْتِهَا كَالْفَرَائِضِ، وَعَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ يَخْرُجُ قَضَاءُ الْوِتْرِ، وَرَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَإِذَا قِيلَ: إِنَّهَا تُقْضَى نَظَرَ فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ اجْتِمَاعُ النَّاسِ فِي بَقِيَّةِ يَوْمِهِمْ، لِتَفَرُّقِهِمْ وَسَعَةِ بَلَدِهِمْ أَمَرَهُمْ أَنْ يَجْتَمِعُوا مِنَ الْغَدِ، فَإِذَا اجْتَمَعُوا صَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْعِيدِ فِي وَقْتِهَا مِنَ الْغَدِ مِنْ جَمَاعَةٍ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهَا تَكَامُلُ الْجَمَاعَةِ، وَإِظْهَارُ الزِّينَةِ، وَأَنْ يَحُثَّهُمْ عَلَى الصَّدَقَةِ وَفِعْلِ الْخَيْرِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمَأْثَمِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَ اجْتِمَاعِهِمْ وَإِنْ كَانُوا مُجْتَمِعِينَ فِي يَوْمِهِمْ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Dan pendapat yang kedua: shalat ‘Id itu diqadha, karena ia adalah shalat yang ratibah pada waktunya, maka tidak boleh gugur dengan lewatnya waktu, sebagaimana shalat-shalat fardhu. Berdasarkan dua pendapat ini pula keluar hukum qadha shalat witir dan dua rakaat fajar.
Apabila dikatakan bahwa shalat ‘Id itu diqadha, maka diperhatikan: jika sulit bagi mereka untuk berkumpul kembali pada sisa hari itu karena telah berpencar dan luasnya negeri, maka imam memerintahkan mereka untuk berkumpul pada esok hari. Jika mereka sudah berkumpul, maka ia shalat ‘Id bersama mereka pada waktunya di esok hari dengan berjamaah. Karena tujuan dari shalat ini adalah sempurnanya jamaah, tampaknya perhiasan, mendorong mereka bersedekah dan berbuat kebaikan, serta melarang mereka dari perbuatan dosa. Maka sebab itu tidak dilaksanakan sebelum mereka berkumpul.
Namun bila mereka sudah berkumpul pada hari itu juga, maka dalam hal ini ada dua wajah.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّهُ يُصَلِّي بِهِمْ فِي بَقِيَّةِ يَوْمِهِمْ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى وَقْتِهَا مِنَ الْغَدِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ يُؤَخِّرُهَا إِلَى الْغَدِ لِيُصَلِّيَهَا فِي مِثْلِ وَقْتِهَا وَلَا يُصَلِّيهَا فِي بَقِيَّةِ الْيَوْمِ لِرِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَضَاهَا مِنَ الْغَدِ فَأَمَّا إِنْ بَانَتْ عَدَالَةُ الشَّاهِدَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَإِنَّهُمْ يُصَلُّونَ الْعِيدَ مِنَ الْغَدِ قَوْلًا وَاحِدًا لَا يُخْتَلَفُ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ ” فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اخْتَارَ أَنْ لَا يَقْضِيَ، وَاعْتَرَضَ بِسُؤَالَيْنِ:
Salah satunya adalah pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: bahwa imam tetap shalat bersama mereka pada sisa hari itu, karena sisa hari itu lebih dekat kepada waktunya daripada esok hari.
Wajah yang kedua, yaitu mazhab al-Syafi‘i: shalat ditunda hingga esok hari agar dikerjakan pada waktu yang serupa dengan waktunya, dan tidak dikerjakan pada sisa hari itu. Berdalil dengan riwayat dari Anas bin Mālik bahwa Rasulullah SAW men-qadhā’-nya pada esok hari.
Adapun jika keadilan kedua saksi baru jelas setelah terbenam matahari, maka mereka shalat ‘Id pada esok hari menurut satu pendapat yang tidak diperselisihkan, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Hari berbuka kalian adalah hari ketika kalian berbuka.”
Adapun al-Muzani, maka ia memilih untuk tidak meng-qadhā’-nya, dan ia mengajukan dua pertanyaan bantahan.
أَحَدُهُمَا: إِنْ قَالَ لَوْ جَازَ أَنْ يَقْضِيَ مِنَ الْغَدِ لَجَازَ فِي يَوْمِهِ، لِأَنَّهُ مِنَ الْوَقْتِ أَقْرَبُ قُلْنَا فَقَدْ أَجَازَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا الْقَضَاءَ فِي بَقِيَّةِ الْيَوْمِ، فَسَقَطَ هَذَا الِاعْتِرَاضُ عَلَى أَنَّا إِنَّمَا نَأْمُرُ بِالْقَضَاءِ بِهَا مِنَ الْغَدِ، لِأَنَّهَا صَلَاةُ ضُحًى جُعِلَ سَبَبُهَا أَوَّلَ النَّهَارِ، فَاحْتَاجَتْ فِي الْقَضَاءِ إِلَى الْأَدَاءِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنْ قَالَ: لَوْ جَازَتْ فِي ضُحَى الْغَدِ لَجَازَتْ بَعْدَ شَهْرٍ قُلْنَا: إِنَّمَا جَوَّزْنَا لِحُدُوثِ الْإِشْكَالِ فِي رُؤْيَةِ الْهِلَالِ وَهَذَا غَيْرُ مَوْجُودٍ فِيمَا بعد.
Salah satunya: jika ada yang berkata, “Seandainya boleh diqadha pada esok hari, tentu boleh pula pada hari itu, karena waktunya lebih dekat,” maka kami jawab: sebagian sahabat kami memang membolehkan qadha pada sisa hari itu, sehingga gugurlah keberatan ini. Hanya saja, kami memerintahkan qadha pada esok harinya karena ia adalah shalat duha yang dijadikan sebabnya pada awal siang, maka dalam qadha pun dibutuhkan ada keserupaan dengan waktu adā’.
Pendapat yang kedua: jika ada yang berkata, “Seandainya boleh pada duha esok hari, tentu boleh pula setelah sebulan,” maka kami jawab: kami hanya membolehkannya karena ada kesamaran dalam ru’yah hilal, dan hal ini tidak terdapat pada waktu setelahnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ الصَّوْمُ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ لمرضٍ أَوْ سفرٍ فَلَمْ يَقْضِهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْهِ شَهْرُ رَمَضَانَ آخَرُ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ الشَهْرَ ثُمَّ يَقْضِيَ مِنْ بَعْدِهِ الَّذِي عَلَيْهِ وَيُكَفِّرَ لِكُلِّ يومٍ مُدًّا لمسكينٍ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Barang siapa yang memiliki hutang shaum dari bulan Ramadhan karena sakit atau safar, lalu ia belum mengqadhā’ padahal ia mampu melakukannya hingga masuk Ramadhan berikutnya, maka wajib atasnya berpuasa bulan itu (Ramadhan yang baru), kemudian setelahnya ia mengqadhā’ yang menjadi tanggungannya, serta membayar kaffārah untuk setiap hari dengan satu mud kepada seorang miskin, dengan takaran mud Nabi SAW.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَفْطَرَ أَيَّامًا مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ لِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِهِ، فَالْأَوْلَى بِهِ أَنْ يُبَادِرَ بِالْقَضَاءِ وَذَلِكَ مُوَسَّعٌ لَهُ مَا لَمْ يَدْخُلْ رَمَضَانُ ثَانٍ، فَإِنْ دَخَلَ عَلَيْهِ شَهْرُ رَمَضَانَ ثَانٍ صَامَهُ عَنِ الْفَرْضِ، لَا عَنِ الْقَضَاءِ فَإِذَا أَكْمَلَ صَوْمَهُ قَضَى مَا عَلَيْهِ ثُمَّ يَنْظُرُ فِي حَالِهِ، فَإِنْ كَانَ أَخَّرَ الْقَضَاءَ لِعُذْرٍ دَامَ بِهِ مِنْ مَرَضٍ، أَوْ سَفَرٍ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ أَخَّرَهُ غَيْرَ مَعْذُورٍ فَعَلَيْهِ مَعَ الْقَضَاءِ الْكَفَّارَةُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ بِمُدٍّ مِنْ طَعَامٍ، وَهُوَ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَقَالَ أبو حنيفة: لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أيّامٍ أُخَر) {البقرة: 185) وَفِي إِيجَابِ الْفِدْيَةِ زِيَادَةٌ فِي النَّصِّ، وَذَلِكَ نَسْخٌ قَالَ: وَلِأَنَّهُ صَوْمٌ وَاجِبٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَ بِتَأْخِيرِهِ الْكَفَّارَةُ، كَالنَّذْرِ وَصَوْمِ الْمُتَمَتِّعِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ وَاجِبَةٌ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَ بِتَأْخِيرِهَا كَفَّارَةٌ كَالصَّلَاةِ، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَعلَى الّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةً} (البقرة: 184) فَكَانَ هَذَا عَامًّا فِي كُلِّ مُطِيقٍ إِلَّا مَا قَامَ دَلِيلُهُ، وَرَوَى مُجَاهِدٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ومن أَفْطَرَ رَمَضَانَ بمرضٍ ثُمَّ صَحَّ فَلَمْ يقضِ حَتَّى أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ فَلْيَصُمْ مَا أَدْرَكَهُ ثُمَّ لِيَقْضِ الَّذِي فَاتَهُ وَلْيُطْعِمْ عَنْ كُلِّ يومٍ مسكيناً ” ولأنها عبادة تجب الكفارة بِإِفْسَادِهَا الْكَفَّارَةُ، فَجَازَ أَنْ تَجِبَ بِتَأْخِيرِهَا الْكَفَّارَةُ كَالْحَجِّ تَجِبُ الْكَفَّارَةُ بِإِفْسَادِهِ وَتَجِبُ بِفَوَاتِ عَرَفَةَ هَذَا مَعَ إِجْمَاعِ سِتَّةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ لَا يُعْرَفُ لَهُمْ خِلَافٌ، فَأَمَّا قَوْله تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أيَّامٍ أُخَرٍ) {البقرة: 185) فَلَا دَلِيلَ فِيهِ، لِأَنَّ الْفِدْيَةَ لَمْ تَجِبْ بِالْفِطْرِ، وَإِنَّمَا وَجَبَتْ بِالتَّأْخِيرِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى صَوْمِ النَّذْرِ وَالتَّمَتُّعِ، فَيَفْسُدُ بِصَوْمِ رَمَضَانَ إِذَا أَخَّرَهُ بِأَكْلٍ أَوْ جِمَاعٍ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِيهِ، أَنَّ الْكَفَّارَةَ لَا تَجِبُ بِإِفْسَادِ شَيْءٍ مِنْ جِنْسِهِ، وَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الصَّلَاةِ، فَلَوْ أَخَّرَ الْقَضَاءَ أَعْوَامًا، لَمْ تَلْزَمْهُ إِلَّا فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ، فِي أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ وَفِي الْوَجْهِ الثَّانِي، عَلَيْهِ بكل عام فدية.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau (al-Syafi‘i) katakan. Apabila seseorang berbuka beberapa hari di bulan Ramadan karena uzur atau selainnya, maka yang utama baginya adalah segera mengqadha, namun qadha itu tetap luas baginya selama belum masuk Ramadan yang kedua. Jika Ramadan yang kedua telah masuk sedang ia masih memiliki utang puasa, maka ia berpuasa Ramadan itu untuk yang fardhu, bukan untuk qadha. Setelah ia menyempurnakan puasanya, barulah ia mengqadha hari-hari yang tertinggal.
Kemudian dilihat keadaannya: bila ia menunda qadha karena uzur seperti sakit atau safar, maka tidak ada kafārah atasnya. Namun bila ia menundanya tanpa uzur, maka wajib atasnya qadha dan kafārah, yaitu memberi makan satu mudd makanan untuk setiap hari, dan ini merupakan ijmā‘ sahabat. Pendapat ini pula yang dipegang Mālik, Aḥmad, Isḥāq, al-Awzā‘ī, dan al-Thawrī.
Abū Ḥanīfah berkata: tidak ada kafārah atasnya, berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sejumlah hari yang lain”} (al-Baqarah: 185). Maka menambahkan kewajiban fidyah adalah tambahan atas nash, dan itu berarti nasakh. Ia juga berkata: karena itu puasa wajib, maka seharusnya tidak diwajibkan kafārah dengan menunda, sebagaimana puasa nadzar dan puasa tamattu‘. Juga karena itu ibadah wajib, maka tidak boleh diwajibkan kafārah dengan menundanya, sebagaimana shalat.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {“Dan atas orang-orang yang sanggup berpuasa, (tetapi tidak berpuasa) wajib membayar fidyah”} (al-Baqarah: 184). Maka ayat ini bersifat umum bagi setiap orang yang mampu kecuali ada dalil khusus yang mengecualikan. Mujāhid meriwayatkan dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa berbuka Ramadan karena sakit, lalu ia sembuh namun tidak mengqadha sampai datang Ramadan berikutnya, maka hendaklah ia berpuasa Ramadan yang ia dapati itu, lalu mengqadha yang ia tinggalkan, dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari.”
Selain itu, puasa adalah ibadah yang wajib kafārah bila dirusak, maka boleh pula diwajibkan kafārah karena menunda, sebagaimana haji, kafārah diwajibkan bila dirusak dan juga bila terluput wukuf di Arafah. Hal ini dikuatkan dengan ijmā‘ enam orang sahabat tanpa ada yang menyelisihi mereka.
Adapun firman Allah Ta‘ālā: {“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sejumlah hari yang lain”} (al-Baqarah: 185), tidak menjadi dalil dalam masalah ini, karena fidyah tidak wajib sebab berbuka, melainkan sebab penundaan.
Qiyās mereka dengan puasa nadzar dan tamattu‘ rusak dengan puasa Ramadan, sebab bila ia mengakhirkan qadha Ramadan karena makan atau jima‘, maka berbeda maknanya. Dan jawaban terhadap qiyās mereka dengan shalat, bahwa puasa Ramadan bila ditunda tidak sama dengan shalat yang ditunda.
Maka bila ia menunda qadha bertahun-tahun, menurut pendapat yang paling ṣaḥīḥ hanya wajib satu fidyah saja. Sedangkan menurut wajah kedua, wajib fidyah setiap tahun.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فإذا مَاتَ أُطْعِمَ عَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ الْقَضَاءُ حَتَّى مَاتَ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ صِيَامُ أَيَّامٍ مِنْ نَذْرٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَوْ قَضَاءٍ فَلَمْ يَصُمْهَا حَتَّى مَاتَ، فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ إِمْكَانِ الْقَضَاءِ.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Apabila ia mati, maka diberi makan (fidyah) atasnya. Dan jika ia tidak memungkinkan untuk mengqadhā’ hingga mati, maka tidak ada kaffārah atasnya.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Apabila wajib atasnya shaum beberapa hari, baik dari nadzar, atau kaffārah, atau qadhā’, lalu ia tidak melaksanakannya hingga mati, maka ada dua keadaan:
Pertama: ia mati setelah ada kemungkinan baginya untuk mengqadhā’.
وَالثَّانِي: أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ إِمْكَانِ الْقَضَاءِ، فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ إِمْكَانِ الْقَضَاءِ سَقَطَ عَنْهُ الصَّوْمُ وَلَا كَفَّارَةَ فِي مَالِهِ، وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ إِمْكَانِ الْقَضَاءِ، سَقَطَ عَنْهُ الصَّوْمُ أَيْضًا وَوَجَبَ فِي مَالِهِ الْكَفَّارَةُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ، وَلَا يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُومَ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ، هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة وَهُوَ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ.
وَقَالَ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، وَأَبُو ثَوْرٍ: يَصُومُ عَنْهُ وَلِيُّهُ إِنْ شَاءَ أَوْ يَسْتَأْجِرُ مَنْ يَصُومُ عَنْهُ، وَقَدْ حَكَى بَعْضُ أَصْحَابِنَا هَذَا الْقَوْلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ، قَالَ: لِأَنَّهُ قَالَ وَقَدْ رُوِيَ فِي ذَلِكَ خَبَرٌ فَإِنْ صَحَّ قُلْتُ بِهِ، فَخَرَّجَهُ قَوْلًا ثَانِيًا، وَأَنْكَرَهُ سَائِرُ أَصْحَابِنَا أَنْ يَكُونَ لِلشَّافِعِيِّ مَذْهَبًا، وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَجَازَ الصَّوْمَ عَنِ الْمَيِّتِ بِمَا رَوَاهُ عُرْوَةُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ الصِّيَامُ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ ” وَقَدْ رَوَاهُ أَيْضًا ابْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَرَوَى سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمٌ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اقْضِ عَنْهَا وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتِ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ أَنْ تَصُومَ شَهْرًا، فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَصُومَ فَسَأَلَ أَخُوهَا، رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَمَرَهُ بِالصِّيَامِ عَنْهَا، قَالَ: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَدْخُلُهَا الْجُبْرَانُ بِالْمَالِ فَجَازَ أَنْ تَدْخُلَهَا النِّيَابَةُ كَالْحَجِّ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ قَوْلِنَا رِوَايَةُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ فَلْيُطْعِمْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا فَأَسْقَطَ الْقَضَاءَ وَأَمَرَ بِالْكَفَّارَةِ، وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ بِمَرَضٍ وَلَمْ يَقْضِ حَتَّى مَاتَ أَطْعَمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدَّيْنِ يَعْنِي مُدًّا لِلْقَضَاءِ وَمُدًّا لِلتَّأْخِيرِ، لِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ.
Yang kedua: apabila seseorang meninggal sebelum sempat mengqadha, maka jika ia meninggal sebelum ada kemungkinan qadha, gugurlah darinya kewajiban puasa dan tidak ada kafārah dari hartanya. Jika ia meninggal setelah ada kemungkinan qadha, gugur pula kewajiban puasa darinya, namun wajib dari hartanya kafārah, yaitu satu mudd makanan untuk setiap hari. Dan tidak boleh bagi walinya berpuasa menggantikannya setelah ia meninggal. Inilah mazhab al-Syafi‘i dalam qaul qadīm dan jadīd, dan dengan itu pula berpendapat Mālik dan Abū Ḥanīfah. Ini adalah ijmā‘ para sahabat.
Sedangkan Aḥmad, Isḥāq, dan Abū Tsaur berkata: walinya boleh berpuasa menggantikannya jika ia mau, atau menyewa orang lain untuk berpuasa baginya. Sebagian sahabat kami meriwayatkan pendapat ini dari al-Syafi‘i dalam qaul qadīm, karena beliau berkata: “Telah diriwayatkan khabar dalam hal itu, jika sah maka aku berpendapat dengannya,” lalu dijadikan sebagai qaul kedua. Akan tetapi mayoritas sahabat kami mengingkari bahwa itu menjadi mazhab al-Syafi‘i.
Mereka yang membolehkan puasa bagi mayit berdalil dengan riwayat ‘Urwah dari ‘Ā’isyah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa meninggal dan atasnya kewajiban puasa, maka walinya berpuasa untuknya.” Juga diriwayatkan oleh Ibn Buraydah dari ayahnya, dari Rasulullah SAW. Dan Sa‘d bin Abī Waqqāṣ meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Sesungguhnya ibuku meninggal dan atasnya kewajiban puasa.” Maka Nabi SAW bersabda: “Tunaikan qadha puasa untuknya.”
Sa‘īd bin Jubair meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa seorang wanita naik kapal laut dan bernadzar berpuasa sebulan. Ia meninggal sebelum melakukannya. Maka saudaranya bertanya kepada Rasulullah SAW, lalu beliau memerintahkannya untuk berpuasa menggantikannya. Mereka juga berkata: karena puasa adalah ibadah yang bisa diganti dengan harta, maka boleh pula masuk padanya perwakilan, sebagaimana haji.
Adapun dalil atas kebenaran pendapat kami adalah riwayat Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa meninggal dan atasnya puasa Ramadan, maka hendaklah diberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.” Maka beliau menggugurkan qadha dan memerintahkan kafārah.
Dan diriwayatkan pula oleh Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa berbuka pada Ramadan karena sakit lalu tidak mengqadha hingga meninggal, maka hendaklah dikeluarkan untuk setiap hari dua mudd, yaitu satu mudd karena qadha dan satu mudd karena penundaan.” Inilah ijmā‘ sahabat, dan tidak diketahui adanya yang menyelisihi mereka.
رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعُمَرَ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، أَنَّهُمْ قَالُوا: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ أُطْعِمَ عَنْهُ، وَلَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا مُخَالِفَ لَهُمْ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ لَا تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ فِي حَالِ الْحَيَاةِ مَعَ الْعَجْزِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَدْخُلَهَا النِّيَابَةُ بَعْدَ الْوَفَاةِ، أَصْلُهُ الصَّلَاةُ، وَعَكْسُهُ الْحَجُّ وَلِأَنَّ الصَّوْمَ إِذَا فَاتَ انْتَقَلَ عَنْهُ إِلَى الْمَالِ لَا إِلَى النِّيَابَةِ كَالشَّيْخِ الْهَرِمِ فَأَمَّا مَا رَوَوْهُ مِنَ الْأَخْبَارِ، فَالْمُرَادُ بِهَا فِعْلُ مَا يَنُوبُ عَنِ الصِّيَامِ مِنَ الْإِطْعَامِ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَا، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحَجِّ، فَالْمَعْنَى فِيهِ جَوَازُ النِّيَابَةِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ‘Umar, dan ‘Āisyah RA bahwa mereka berkata: “Barang siapa mati sedang atasnya ada kewajiban shaum, maka diberi makan (fidyah) atasnya, dan tidak ada seorang pun yang berpuasa untuk orang lain.” Dan tidak ada yang menyelisihi mereka.
Karena shaum adalah ibadah yang tidak masuk padanya niyābah (perwakilan) dalam keadaan hidup sekalipun dengan adanya ‘udzur, maka wajib pula tidak masuk padanya niyābah setelah wafat. Asalnya adalah shalat. Sebaliknya adalah haji.
Karena apabila shaum ditinggalkan, maka ia berpindah kepada harta, bukan kepada niyābah, seperti orang tua renta (syaikh harim).
Adapun apa yang mereka riwayatkan dari beberapa akhbar, maka yang dimaksud adalah melaksanakan pengganti shaum berupa memberi makan, dengan dalil apa yang telah kami sebutkan. Sedangkan qiyās mereka terhadap haji, maka illatnya adalah karena dalam haji diperbolehkan adanya niyābah dalam keadaan hidup.
فَصْلٌ
: فَإِذَا ثَبَتَ بِمَا ذَكَرْنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الصَّوْمُ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ، فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ إِمْكَانِ الصَّوْمِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ إِمْكَانِ الصَّوْمِ فَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ لِمِسْكِينٍ، فَلَوْ أَفْطَرَ أَيَّامًا مِنْ رَمَضَانَ، وَلَمْ يَصُمْهَا مَعَ الْقُدْرَةِ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثَانٍ ثُمَّ مَاتَ، فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدَّانِ مُدٌّ، بَدَلٌ عَنِ الصِّيَامِ، وَمُدٌّ بَدَلٌ عَنِ التَّأْخِيرِ، هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَسَائِرِ أَصْحَابِهِ وَقَدْ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ عَلَيْهِ مُدٌّ وَاحِدٌ، لِأَنَّ الْفَوَاتَ يُضْمَنُ بِالْمُدِّ الْوَاحِدِ كَالشَّيْخِ الْهَرِمِ وَهَذَا غَلَطٌ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ رِوَايَةُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ لمرضٍ فَلَمْ يَقْضِهِ حَتَّى مَاتَ أُطْعِمَ عَنْهُ عَنْ كُلِّ يومٍ مدين.
PASAL
Apabila telah tetap sebagaimana telah kami sebutkan bahwa tidak boleh berpuasa untuknya setelah ia wafat, maka jika ia wafat sebelum memungkinkan berpuasa, tidak ada kafārah atasnya; dan jika ia wafat setelah memungkinkan berpuasa, maka wajib atasnya kafārah dari hartanya: untuk setiap hari satu mudd bagi seorang miskin. Maka seandainya ia berbuka beberapa hari dari Ramadhan, dan tidak meng-qadhā’-nya padahal mampu hingga masuk Ramadhan yang kedua kemudian ia wafat, maka atasnya untuk setiap hari dua mudd: satu mudd sebagai pengganti puasa, dan satu mudd sebagai pengganti penundaan. Ini mazhab al-Syāfi‘ī dan para sahabatnya. Abū al-‘Abbās ibn Surayj berpendapat: atasnya satu mudd saja, karena sesuatu yang luput dijamin dengan satu mudd seperti halnya orang tua renta; dan ini keliru. Dalilnya adalah riwayat Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang berbuka di Ramadhan karena sakit lalu tidak meng-qadhā’-nya hingga ia wafat, maka diberi makan atas namanya untuk setiap hari dua mudd.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ قَضَى مُتَفَرِّقًا أَجْزَأَهُ وَمُتَتَابِعًا أَحَبُّ إِلَيَّ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ الْأَوْلَى فِي الْقَضَاءِ أَنْ يَأْتِيَ بِهِ مُتَتَابِعًا، وَإِنْ قَضَى مُتَفَرِّقًا أَجْزَأَهُ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمُعَاذٌ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَرَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ.
MASALAH:
Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Barang siapa mengqadhā’ (puasa Ramadhan) secara terpisah-pisah maka itu mencukupi, namun bila dilakukan berturut-turut maka itu lebih aku sukai.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar. Yang utama dalam qadhā’ adalah melakukannya secara berturut-turut, tetapi jika dilakukan terpisah-pisah maka tetap sah. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās, Mu‘ādz, Abū Hurairah, Anas bin Mālik, dan Rāfi‘ bin Khadīj. Dan ini adalah mazhab Abū Hanīfah, Mālik, serta mayoritas fuqahā’.
وَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَدَاوُدَ، وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ أَنَّهُمْ قَالُوا: إِنْ قَضَى مُتَفَرِّقًا لَمْ يُجْزِهِ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أيَّامٍ أُخَرٍ) {البقرة: 185) وَهَذَا أَمْرٌ يَلْزَمُ الْمُبَادَرَةُ بِهِ، وَبِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَنْ كَانَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ صَوْمِ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلَا يُفَرِّقْهُ قَالُوا: وَلِأَنَّ الْقَضَاءَ فِي كُلِّ عِبَادَةٍ مِثْلَ الْأَدَاءِ ثُمَّ تَقَرَّرَ أَنَّ التَّتَابُعَ شَرْطٌ فِي أَدَاءِ رَمَضَانَ فَكَذَلِكَ فِي قَضَائِهِ، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أيّامٍ أُخَرٍ) {البقرة: 185) فَفِي أَيِّ زَمَانٍ قُضِيَ كَانَ مُمْتَثِلًا لِلْأَمْرِ، فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا أَمْرٌ وَالْأَمْرُ عَلَى الْفَوْرِ لَا عَلَى التَّرَاخِي، قُلْنَا لَنَا فِيهِ مَذْهَبَانِ:
Dan diriwayatkan dari ‘Alī bin Abī Ṭālib AS, Ibnu ‘Umar, ‘Āisyah RA, Dāwud, dan selain mereka dari Ahluzh-zhāhir bahwa mereka berkata: jika qadhā’ dilakukan secara terpisah-pisah maka tidak mencukupi. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: {fa‘iddatun min ayyāmin ukhar} (al-Baqarah: 185), dan ini adalah perintah yang menuntut untuk segera dilaksanakan.
Mereka juga berdalil dengan riwayat dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa memiliki kewajiban shaum Ramadhan, maka hendaklah ia melakukannya berturut-turut dan jangan memisah-misahkannya.”
Mereka berkata: karena qadhā’ dalam setiap ibadah sama dengan pelaksanaan (a’dā’)-nya. Maka ketika telah ditetapkan bahwa tataabu‘ (berurutan) adalah syarat dalam pelaksanaan Ramadhan, demikian pula hukumnya dalam qadhā’-nya.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {fa‘iddatun min ayyāmin ukhar} (al-Baqarah: 185). Maka kapan saja qadhā’ itu dilakukan, ia tetap dianggap telah melaksanakan perintah.
Jika dikatakan: ini adalah perintah, dan perintah itu wajib dilaksanakan dengan segera, bukan dengan penundaan, maka kami katakan: dalam hal ini ada dua mazhab bagi kami.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّرَاخِي، فَلَمْ يَلْزَمْنَا هَذَا السُّؤَالُ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ لَكِنْ قَامَ دَلِيلٌ عَلَى التَّرَاخِي، وَفِي قَوْله تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أيّامٍ أُخَرٍ) {البقرة: 185) دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ التَّرَاخِي، لِأَنَّ تَقْدِيرَهُ فَعِدَّةٌ فِي أَيَّامٍ أُخَرَ وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ كَانَ عَلَيْهِ شيءٌ مِنْ رَمَضَانَ فإن شاء صامه متتابعاً وإن شاء صام مُتَفَرِّقَا ” وَرَوَى ابْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ تَقْطِيعِ قَضَاءِ رَمَضَانَ قَالَ: أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَحَدِكُمْ دَيْنٌ فَقَضَاهُ بِالدِّرْهَمِ وَالدَرْهَمَيْنِ أَمَا كَانَ قَدْ قَضَى دَيْنَهُ فَقَالَ: نَعَمْ اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يَغْفِرَ وَلِأَنَّ الْقَضَاءَ فِي كُلِّ عِبَادَةٍ مِثْلَ الْأَدَاءِ ثُمَّ تَقَرَّرَ أَنَّ التَّتَابُعَ لَيْسَ مِنْ شَرْطِ الْأَدَاءِ لِأَنَّهُ لَوْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنَ الشَّهْرِ لَمْ يُبْطِلْ مَا يَلِيهِ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، فَكَذَلِكَ الْقَضَاءُ فَأَمَّا الْآيَةُ فَدَلِيلُنَا، وَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنْ صَحَّ فَمَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ فَقَدْ قَلَبْنَاهُ عنهم.
salah satunya: bahwa qadha’ itu boleh ditunda, maka tidak wajib segera, sehingga pertanyaan ini tidak muncul.
dan yang kedua: bahwa qadha’ itu wajib segera, tetapi ada dalil yang menunjukkan kebolehan menunda, dan dalam firman Allah Ta‘ala: {faʿiddatun min ayyāmin ukhara} (al-Baqarah: 185) terdapat dalil bolehnya menunda, karena maknanya adalah “sejumlah hari di hari-hari yang lain.”
dan diriwayatkan dari ʿAbdullāh bin ʿAmr dari Nāfiʿ dari Ibnu ʿUmar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa memiliki utang puasa dari Ramadan, maka jika dia mau boleh dia puasa secara berturut-turut, dan jika mau boleh dia puasa secara terpisah-pisah.”
dan diriwayatkan Ibnu az-Zubair dari Jābir, ia berkata: Rasulullah SAW ditanya tentang memisah-misah dalam mengqadha’ Ramadan, maka beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian jika salah seorang dari kalian memiliki utang, lalu ia melunasinya dengan satu dirham atau dua dirham secara terpisah-pisah, bukankah berarti ia telah melunasi utangnya?” Mereka menjawab: “Benar.” Maka beliau bersabda: “Allah lebih berhak untuk memberi ampun.”
dan karena qadha’ dalam seluruh ibadah itu seperti adāʾ-nya (pelaksanaan pada waktunya), lalu telah tetap bahwa berurutan (berturut-turut) bukan syarat dalam adāʾ, karena jika seseorang membatalkan puasa satu hari dari bulan Ramadan, hal itu tidak membatalkan puasa pada hari-hari setelah atau sebelumnya, maka demikian pula qadha’.
Adapun ayat, maka itu menjadi dalil bagi kami.
Adapun hadis Abū Hurairah, jika memang sahih, maka itu dibawa pada makna anjuran (istihbāb).
Adapun istidlāl (pengambilan dalil), maka sungguh telah kami balik terhadap mereka.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُصَامُ يَوْمُ الْفِطْرِ وَلَا يَوْمُ النَّحْرِ ولا أيام منى فرضاً أو نفلاً “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ، وَيَوْمُ النَّحْرِ فَلَا يُعْرَفُ خِلَافٌ فِي أَنَّ صَوْمَهُمَا حَرَامٌ، لِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْفِطَرِ وَالْأَضْحَى وَلِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى أَزْهَرَ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَصَلَّى وَخَطَبَ وَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ صَوْمِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ يَوْمَ فِطْرِكُمْ عَنْ صِيَامِكُمْ وَيَوْمَ تَأْكُلُونَ فِيهِ لَحْمَ نُسُكِكُمْ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَصَلَّى وَخَطَبَ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عَلِيٍّ وَعُثْمَانُ محفور فَصَلَّى، ثُمَّ خَطَبَ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ تَحْرِيمَ صَوْمِهِمَا بِإِجْمَاعٍ، فَلَوْ صَامَهُمَا أَحَدٌ، كَانَ عَاصِيًا لِلَّهِ تَعَالَى بَلْ لَا يَصِحُّ صَوْمُهُمَا كَاللَّيْلِ فَلَوْ نَذَرَ صَوْمَهُمَا، كَانَ نَذْرُهُ بَاطِلًا، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَقَالَ أبو حنيفة: نَذْرُهُ صَحِيحٌ وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ فَإِنْ صَامَهُمَا جَازَ، وَيَسْقُطُ عَنْهُ النَّذْرُ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ ” وَلِأَنَّ كُلَّ زَمَانٍ لَا يَصِحُّ فِيهِ صَوْمُ التَّطَوُّعِ لَا يَنْعَقِدُ فِيهِ النَّذْرُ كَاللَّيْلِ وَأَيَّامِ الْحَيْضِ.
Masalah:
Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak boleh berpuasa pada hari Idulfitri, Iduladha, dan hari-hari tasyriq, baik puasa fardhu maupun sunnah.”
Al-Māwardī berkata: Adapun hari Idulfitri dan hari Iduladha, maka tidak diketahui adanya khilaf bahwa puasa pada keduanya adalah haram, berdasarkan riwayat Abū Sa‘īd al-Khudrī dan Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW melarang puasa pada hari Idulfitri dan Iduladha.
Juga berdasarkan riwayat az-Zuhrī dari Abū ‘Ubaid, maula (budak yang dimerdekakan) Azhar, ia berkata: Aku menghadiri salat Id bersama ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, lalu ia salat dan berkhutbah, kemudian berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada dua hari ini: hari berbukamu dari puasamu, dan hari kamu memakan daging kurbanmu.”
Kemudian aku juga menghadiri salat Id bersama ‘Utsmān RA, lalu ia salat dan berkhutbah. Kemudian aku menghadiri (lagi) bersama ‘Alī dan ‘Utsmān sudah digali kuburnya (telah wafat), lalu ia salat, kemudian berkhutbah. Maka hal ini menunjukkan bahwa keharaman berpuasa pada dua hari itu telah menjadi ijma‘.
Maka, jika seseorang berpuasa pada keduanya, maka ia telah bermaksiat kepada Allah Ta‘ālā, bahkan puasanya tidak sah, sebagaimana (tidak sahnya puasa) pada malam hari.
Jika ia bernazar untuk berpuasa pada kedua hari itu, maka nazarnya batal dan tidak ada kewajiban qaḍā’ atasnya.
Abū Ḥanīfah berkata: Nazarnya sah dan ia wajib menggantinya. Jika ia berpuasa pada kedua hari itu, maka sah dan gugurlah nazarnya. Ini adalah kesalahan, karena sabda Nabi SAW: “Lā nadzra fī ma‘ṣiyah” (Tidak ada nadzar dalam maksiat), dan karena setiap waktu yang tidak sah dipakai untuk puasa sunnah, maka tidak sah pula dipakai untuk nadzar, seperti malam hari dan hari-hari haid.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا أَيَّامُ التَّشْرِيقِ، وَهِيَ أَيَّامُ مِنًى الثَّلَاثَةُ، فَلَقَدْ كَانَ الشَّافِعِيُّ يَذْهَبُ فِي الْقَدِيمِ إِلَى أَنَّ لِلْمُتَمَتِّعِ أَنْ يَصُومَهَا عَنْ تَمَتُّعِهِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْى فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيامُ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ فِي الحَجِّ) {البقرة: 196) وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي يَوْمِ التَّرْوِيَةِ، وَهُوَ الثَّامِنُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ فَعُلِمَ أَنَّهُ أَرَادَ بِهَا أَيَّامَ التَّشْرِيقِ، وَلِرِوَايَةِ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْخَصَ لِلْمُتَمَتِّعِ إِذَا لَمْ يَجِدْ هَدْيًا وَلَمْ يَصُمْ فِي الْعَشْرِ أَنْ يَصُومَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ ثُمَّ رَجَعَ عَنْ هَذَا فِي الْجَدِيدِ، وَمَنَعَ مِنْ صِيَامِهَا لِلْمُتَمَتِّعِ وَغَيْرِهِ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ أُمِّهِ أنها قالت كنا بمنى إذ أَتَى عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَاكِبًا يُنَادِي أَلَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” هَذِهِ أَيَّامُ طُعْمٍ وَشُرْبٍ، فَلَا يَصُومُهَا أَحَدٌ ” وَلِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ صِيَامِ سِتَّةِ أيامٍ يَوْمِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَيَوْمِ الشَّكِّ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَلِأَنَّ كُلَّ زَمَانٍ لَمْ يَجُزْ صَوْمُهُ تَطَوُّعًا لَمْ يَجُزْ صَوْمُهُ تَمَتُّعًا كَيَوْمِ الْفِطْرِ، وَالْأَضْحَى فَإِذَا قِيلَ: لَيْسَ لِلْمُتَمَتِّعِ أَنْ يَصُومَهَا فَلَيْسَ لِغَيْرِهِ مِنَ النَّاسِ أَنْ يَصُومَهَا بِحَالٍ لَا نَذْرًا وَلَا تَطَوُّعًا، وَلَا كَفَّارَةً، وَلَا قَضَاءً وَإِذَا قِيلَ: بِجَوَازِ صِيَامِهَا لِلْمُتَمَتِّعِ فَإِنْ أَرَادَ غَيْرَ الْمُتَمَتِّعِ صِيَامَهَا فَلَهُ حَالَانِ:
PASAL
Adapun ayyam at-tasyrīq, yaitu tiga hari di Mina, maka sungguh Imam asy-Syāfiʿī dalam pendapat qadīm-nya berpendapat bahwa boleh bagi orang yang mutamattiʿ untuk berpuasa pada hari-hari tersebut sebagai ganti tamattuʿ-nya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Mālik, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {fa-man tamattaʿa bil-ʿumrati ilā al-ḥajji fa-mā istaysara mina al-hadyi fa-man lam yajid fa-ṣiyāmu ṡalāṡati ayyāmin fī al-ḥajji} (al-Baqarah: 196).
Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa ayat ini turun pada hari at-tarwiyah, yaitu tanggal delapan Dzulhijjah, maka diketahui bahwa yang dimaksud dengan ḥajj di dalam ayat tersebut adalah ayyam at-tasyrīq.
Dan berdasarkan riwayat dari Sālim dari ayahnya dari ʿAbdullāh bin ʿUmar, bahwa Rasulullah SAW memberikan keringanan kepada orang yang mutamattiʿ—apabila ia tidak menemukan hewan hadyu dan tidak berpuasa pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah—untuk berpuasa pada ayyam at-tasyrīq.
Kemudian Imam asy-Syāfiʿī menarik kembali pendapat tersebut dalam pendapat jadīd-nya dan melarang puasa pada hari-hari itu baik bagi orang yang mutamattiʿ maupun selainnya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abū Ḥanīfah, berdasarkan riwayat dari ʿAmr bin Sulaym dari ibunya, ia berkata: Kami berada di Mina, lalu datanglah ʿAlī bin Abī Ṭālib RA menunggang kendaraan sambil berseru: “Ketahuilah bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Hari-hari ini adalah hari makan dan minum, maka jangan ada seorang pun yang berpuasa padanya’.”
Dan berdasarkan riwayat dari Abū Hurayrah bahwa Rasulullah SAW melarang puasa enam hari: hari raya fitr, aḍḥā, hari syak, dan ayyam at-tasyrīq.
Dan karena setiap waktu yang tidak boleh berpuasa tathawwuʿ padanya, maka tidak boleh pula berpuasa tamattuʿ padanya, seperti hari raya fitr dan aḍḥā.
Maka jika dikatakan: tidak boleh bagi mutamattiʿ berpuasa pada hari-hari tersebut, maka tidak boleh pula bagi selainnya dari manusia untuk berpuasa padanya dalam keadaan apa pun—baik karena nadzar, tathawwuʿ, kaffārah, maupun qadhāʾ.
Dan jika dikatakan bahwa mutamattiʿ boleh berpuasa padanya, maka jika selain mutamattiʿ ingin berpuasa pada hari-hari tersebut, maka keadaannya ada dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَصُومَهَا تَطَوُّعًا مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ تَقَدَّمَ فَلَيْسَ لَهُ ذَلِكَ لَا يُخْتَلَفُ.
وَالثَّانِي: أَنْ يَصُومَهَا وَاجِبًا عَنْ سَبَبٍ مُتَقَدِّمٍ كَالنُّذُورِ وَالْكَفَّارَاتِ وَقَضَاءِ رَمَضَانَ فَفِي جوازه وجهان:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ الْمُتَمَتِّعَ مَخْصُوصٌ بِالرُّخْصَةِ.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ لِأَنَّ فِي اسْتِثْنَاءِ الْمُتَمَتِّعِ تَنْبِيهًا عَلَى مَا فِي مَعْنَاهُ مِنَ الصَّوْمِ الَّذِي لَهُ سَبَبٌ كَالْأَوْقَاتِ الَّتِي نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ فِيهَا، ثُمَّ اسْتُثْنِيَ مِنْهَا مَا لَهُ سَبَبٌ.
Pertama: Berpuasa pada hari-hari tersebut secara ṭathawwu‘ (sunnah) tanpa adanya sebab sebelumnya, maka itu tidak boleh, dan hal ini tidak ada khilaf padanya.
Kedua: Berpuasa pada hari-hari tersebut secara wajib karena sebab yang mendahuluinya, seperti nadzar, kafārat, atau qaḍāʾ Ramadhan, maka dalam kebolehannya terdapat dua wajah:
Pertama: Tidak boleh, karena orang yang mutamatti‘ dikhususkan dengan rukhsah (boleh berpuasa pada hari-hari itu).
Kedua: Boleh, karena pengecualian bagi mutamatti‘ menunjukkan (bolehnya) hal yang serupa dengannya, yaitu puasa yang memiliki sebab, sebagaimana waktu-waktu yang dilarang untuk salat, kemudian dikecualikan darinya salat yang memiliki sebab.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ بَلَعَ حَصَاةً أَوْ مَا لَيْسَ بطعامٍ أَوِ احْتَقَنَ أَوْ دَاوَى جُرْحَهُ حَتَّى يَصِلَ إلى جوفه أو استعط حَتَّى يَصِلَ إِلَى جَوْفِ رَأْسِهِ فَقَدْ أَفْطَرَ إن كَانَ ذَاكِرًا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ نَاسِيًا “.
Masalah:
Imam asy-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menelan kerikil atau sesuatu yang bukan makanan, atau melakukan iḥtiqān (enema), atau mengobati lukanya hingga sampai ke dalam perutnya, atau menggunakan istiʿāṭ (obat tetes hidung) hingga mencapai rongga kepalanya, maka sungguh ia telah berbuka (membatalkan puasanya) jika ia melakukannya dalam keadaan ingat. Dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya jika ia melakukannya dalam keadaan lupa.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ابْتَلَعَ طَعَامًا أَوْ شَرَابًا، أَوْ مَا لَيْسَ بِطَعَامٍ، وَلَا شَرَابٍ كَدِرْهَمٍ أَوْ حَصَاةٍ، أَوْ جَوْزَةٍ أَوْ لَوْزَةٍ، فَقَدْ أَفْطَرَ بِهَذَا كُلِّهِ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ، إِذَا كَانَ عَامِدًا ذَاكِرًا لِصَوْمِهِ وَإِنْ كَانَ نَاسِيًا، فَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ، وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ صَالِحِ بْنِ حَيٍّ الْكُوفِيُّ: لَا يُفْطِرُ إِلَّا بِطَعَامٍ أَوْ شَرَابٍ، وَبِهِ قَالَ أَبُو طَلْحَةَ فِي الْبُرُدِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَطْعُومٍ وَلَا مَشْرُوبٍ، وَهَذَا خَطَأٌ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {ثُمَّ أتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ) {البقرة: 187) وَالصِّيَامُ هُوَ الْإِمْسَاكُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلِأَنَّهُ بِالْإِجْمَاعِ مَمْنُوعٌ مِنَ ابْتِلَاعِهِ، وَإِنَّمَا مُنِعَ مِنْهُ لِأَنَّهُ يُفْطِرُهُ أَلَا تَرَى الْغُبَارَ وَشَمَّ الرَّوَائِحِ لَمَّا لم يفطره ولم يُمْنَعْ مِنْهُ، وَلَمَّا كَانَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ يُفْطِرُهُ منع منه فكذلك هذا.
Qāla al-Māwardī: Dan ini benar, apabila seseorang menelan makanan atau minuman, atau sesuatu yang bukan makanan dan bukan minuman seperti dirham, batu kecil, kenari, atau almond, maka ia telah berbuka dengan semua itu dan wajib baginya qadhāʾ, jika ia melakukannya dengan sengaja dan dalam keadaan ingat bahwa ia sedang berpuasa. Jika ia lupa, maka puasanya tetap sah.
Wa qāla al-Ḥasan ibn Ṣāliḥ ibn Ḥayy al-Kūfī: Tidak batal puasa kecuali dengan makanan atau minuman, dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abū Ṭalḥah tentang al-burd karena ia bukan makanan dan bukan minuman. Pendapat ini keliru, karena keumuman firman Allah Taʿālā: “thumma atimmū al-ṣiyāma ilā al-layl” (al-Baqarah: 187), dan ṣiyām itu adalah menahan diri dari segala sesuatu.
Dan juga karena secara ijmāʿ, ia dilarang menelannya, dan larangan itu karena dapat membatalkan puasanya. Bukankah engkau melihat bahwa debu dan mencium aroma tidak membatalkan puasa dan tidak dilarang, sedangkan makanan dan minuman membatalkan puasa maka dilarang, maka begitu pula hal ini.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا احْتَقَنَ بِالدَّوَاءِ، فَقَدْ أَفْطَرَ قليلاً كان ذلك أو كثير أَوْ سَوَاءً وَصَلَ إِلَى الْمَعِدَةِ أَمْ لَا وَكَذَلِكَ لَوْ قُطِرَ فِي إِحْلِيلِهِ دَوَاءٌ أَفْطَرَ بِهِ، وَسَوَاءٌ وَصَلَ إِلَى الْمَعِدَةِ أَمْ لَا لأن باطن السبيلين لا يخوف.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ كَثِيرًا أَفْطَرَ بِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ، وَإِنْ كَانَ يَسِيرًا لَمْ يُفْطِرْهُ قَالَ أبو حنيفة يُفْطِرُ بِالْحُقْنَةِ، وَلَا يُفْطِرُ بِمَا دَخَلَ فِي إِحْلِيلِهِ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ، وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ لَا يُفْطِرُ بِهِمَا، وَإِنَّمَا يُفْطِرُ بِمَا وَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ مِنْ فَمِهِ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى مَالِكٍ هُوَ أَنَّ كُلَّ مَا أَفْسَدَ الصَّوْمَ كَثِيرُهُ أَفْسَدَهُ قَلِيلُهُ كَالْأَكْلِ وَالدَّلَالَةُ عَلَى أبي حنيفة يَنْفَذُ إِلَى الْجَوْفِ يُفْطِرُ بِالْخَارِجِ مِنْهُ وَهُوَ الْمَنِيُّ، فَوَجَبَ أَنْ يُفْطِرَ بِالْخَارِجِ مِنْهُ كَالْفَمِ يُفْطِرُ بِمَا دَخَلَ مِنْهُ، وَهُوَ الْأَكْلُ، وَبِمَا خَرَجَ مِنْهُ، وَهُوَ الْقَيْءُ وَالدَّلَالَةُ عَلَى الْحَسَنِ بْنِ صَالِحٍ هُوَ أَنَّهُ ذَاكِرٌ لِلصَّوْمِ أَوْصَلَ إِلَى جَوْفِهِ بِاخْتِيَارِهِ مَا يُمْكِنُهُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ، فَوَجَبَ أَنْ يُفْطِرَ كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ.
PASAL
Adapun jika seseorang melakukan iḥtiqān (enema) dengan obat, maka ia telah berbuka, baik sedikit maupun banyak, baik sampai ke lambung ataupun tidak. Demikian pula jika diteteskan obat ke dalam iḥlīl-nya (saluran kemaluan laki-laki), maka ia batal puasanya, baik sampai ke lambung ataupun tidak, karena bagian dalam kedua jalan (qubul dan dubur) termasuk bagian dalam tubuh.
Mālik berkata: jika banyak, maka membatalkan puasa pada kedua tempat tersebut, dan jika sedikit maka tidak membatalkannya.
Abū Ḥanīfah berkata: batal puasa dengan ḥuqnah (enema), tetapi tidak batal dengan sesuatu yang dimasukkan ke dalam iḥlīl menurut salah satu dari dua riwayat darinya.
Al-Ḥasan bin Ṣāliḥ berkata: tidak batal dengan keduanya, dan puasa hanya batal dengan sesuatu yang sampai ke dalam tubuh melalui mulutnya.
Adapun dalil bagi pendapat Mālik adalah bahwa segala sesuatu yang membatalkan puasa dalam jumlah banyak, maka sedikitnya pun membatalkannya, seperti makan.
Dalil bagi Abū Ḥanīfah adalah bahwa sesuatu yang sampai ke dalam tubuh membatalkan, sebagaimana sesuatu yang keluar dari tubuh pun membatalkan, dan contohnya adalah mani, maka seharusnya membatalkan juga karena keluarnya sesuatu, seperti mulut membatalkan dengan masuknya makanan, dan dengan keluarnya muntah.
Dalil bagi al-Ḥasan bin Ṣāliḥ adalah bahwa orang yang berpuasa dan sadar akan puasanya, lalu memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya dengan pilihannya, dan sesuatu itu bisa dihindari, maka wajib batal puasanya, sebagaimana makan dan minum.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا دَاوَى جُرْحَهُ بِدَوَاءٍ وَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ، وَهُوَ ذَاكِرٌ لِصَوْمِهِ، فَقَدْ أَفْطَرَ بِهِ رَطْبًا كَانَ أَوْ يابساً.
وَقَالَ أبو حنيفة: يُفْطِرُ بِالرَّطْبِ، وَلَا يُفْطِرُ بِالْيَابِسِ لِأَنَّ الْيَابِسَ يُمْسِكُهُ الْجُرْحُ فَلَا يَصِلُ إِلَى الْجَوْفِ.
PASAL
Adapun jika seseorang mengobati lukanya dengan obat lalu obat itu sampai ke dalam rongganya (jauf), dan ia dalam keadaan sadar akan puasanya, maka ia telah berbuka karenanya, baik obat itu basah maupun kering.
Abū Ḥanīfah berkata: batal puasa dengan obat yang basah, dan tidak batal dengan yang kering, karena yang kering tertahan oleh luka sehingga tidak sampai ke dalam rongga tubuh.
وَقَالَ أبو يوسف ومحمد: لَا يُفْطِرُ بِرَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ، لِأَنَّهُ يَسْتَعْمِلُهُ عِلَاجًا لَا اغْتِذَاءً فَجَرَى مَجْرَى الضَّرُورَةِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمْ هُوَ أَنَّ كُلَّ مَنْفَذٍ أَفْطَرَ بِالدَّاخِلِ فِيهِ، إِذَا كَانَ رَطْبًا، أَفْطَرَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ يَابِسًا كَالْفَمِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا وَصَلَ مِنَ الْفَمِ أَفْطَرَ بِهِ فَإِذَا وَصَلَ مِنْ غَيْرِهِ، أفطر به كالرطب.
Wa qāla Abū Yūsuf wa Muḥammad: Tidak batal puasa dengan sesuatu yang basah maupun kering, karena ia menggunakannya untuk pengobatan, bukan untuk gizi (ightidhāʾ), maka hukumnya seperti keadaan darurat.
Dalil terhadap keduanya adalah bahwa setiap rongga yang membatalkan puasa karena sesuatu masuk ke dalamnya, jika benda itu basah, maka membatalkan puasa. Jika kering, seperti mulut, maka tidak membatalkan. Dan karena segala sesuatu yang masuk dari mulut membatalkan puasa, maka jika masuk dari selainnya, juga membatalkan seperti halnya yang basah.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا جَرَحَ نَفْسَهُ مُخْتَارًا، أَوْ جَرَحَهُ غَيْرُهُ بِاخْتِيَارِهِ فَنَفَذَتِ الْجِرَاحَةُ إِلَى جَوْفِهِ، فَقَدْ أَفْطَرَ، وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ وَلَوْ جُرِحَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ لَمْ يُفْطِرْ، وَقَالَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ لَا يُفْطِرُ بِحَالٍ، وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ لَمْ تَظْهَرْ مِنَ الْجَانِبِ الْآخَرِ لَمْ يُفْطِرْ، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا مَعَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْقِيَاسِ مَعَ الْحَسَنِ بْنِ صَالِحٍ، فَأَمَّا إِذَا أَسْقَطَ الدهن أَوْ غَيْرَهُ حَتَّى وَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ أَوْ رَأْسِهِ فَلَقَدْ أَفْطَرَ بِهِ، وَقَالَ دَاوُدُ هُوَ عَلَى صَوْمِهِ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِلَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ: ” بَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا فَتَرَفَّقْ ” وَإِنَّمَا أَمَرَهُ بِالرِّفْقِ خوفاً من الفطر.
PASAL
Adapun jika seseorang melukai dirinya sendiri dengan pilihannya, atau orang lain melukainya dengan izinnya lalu luka tersebut tembus ke dalam rongganya (jauf), maka ia telah berbuka dan wajib baginya qadhāʾ.
Namun jika ia terluka tanpa kehendaknya, maka tidak membatalkan puasanya.
Dāwūd bin ʿAlī berkata: tidak membatalkan puasa dalam keadaan apa pun.
Abū Ḥanīfah berkata: jika luka itu tidak tembus hingga tampak dari sisi yang lain, maka tidak membatalkan puasa.
Dalil terhadap keduanya adalah sebagaimana telah kami sebutkan dari qiyās bersama al-Ḥasan bin Ṣāliḥ.
Adapun jika ia menuangkan minyak atau selainnya hingga sampai ke dalam rongganya atau kepalanya, maka sungguh ia telah berbuka karenanya.
Dāwūd berkata: ia tetap dalam puasanya.
Dalil yang menentangnya adalah sabda Nabi SAW kepada Laqīṭ bin Ṣabrah:
“Lakukanlah isytiṇsyāq (menghirup air ke hidung saat wudhu) dengan sungguh-sungguh, kecuali jika engkau sedang berpuasa, maka bersikaplah lembut.”
Dan sesungguhnya beliau memerintahkannya bersikap lembut karena khawatir akan batalnya puasa.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِذَا اسْتَنْشَقَ رَفَقَ فَإِنِ اسْتَيْقَنَ أَنَّهُ قَدْ وَصَلَ إِلَى الرَّأْسِ أَوِ الْجَوْفِ فِي الْمَضْمَضَةِ وَهُوَ عَامِدٌ ذاكرٌ لِصَوْمِهِ أَفْطَرَ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى لَا يَلْزَمُهُ حَتَى يحدث ازدراداً فأما إن كان أراد المضمضة فسبقه لإدخال النفس وإخراجه فلا يعيد وهذا خطأ في معنى النسيان أو أخف منه (قال المزني) إذا كان الآكل لا يشك في الليل فيوافي الفجر مفطراً بإجماع وهو بالناسي أشبه لأن كليهما لا يعلم أنه صائم والسابق إلى جوفه الماء يعلم أنه صائم فإذا أفطر في الأشبه بالناسي كان الأبعد عندي أولى بالفطر “.
Masalah:
Imam al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: “Apabila seseorang menghirup air ke hidung (istinasyāq) dengan lembut, lalu ia meyakini bahwa air itu telah sampai ke kepala atau ke rongga dalam saat berkumur, dan ia melakukannya dengan sengaja serta dalam keadaan ingat akan puasanya, maka ia batal puasanya.”
(Dan beliau berkata) dalam kitab Ibn Abī Laylā: Tidak wajib (baginya qadhāʾ) kecuali terjadi penelanan (izdirād). Adapun jika ia bermaksud berkumur lalu air itu mendahuluinya karena masuk dan keluar bersama napas, maka tidak wajib mengulang. Ini adalah kesalahan yang maknanya termasuk lupa, bahkan lebih ringan dari itu.
(Al-Muzanī berkata): Jika orang yang makan tidak ragu bahwa itu masih malam, lalu datang waktu fajar dalam keadaan ia masih berbuka, maka (hukumnya) batal puasanya menurut ijmāʿ. Maka ini lebih menyerupai orang yang lupa, karena keduanya tidak mengetahui bahwa ia sedang berpuasa. Sedangkan air yang lebih dahulu masuk ke rongga tubuh itu, ia mengetahui bahwa ia sedang berpuasa. Maka jika yang lebih menyerupai orang yang lupa dianggap membatalkan puasa, maka yang lebih jauh (dari sifat lupa) menurutku lebih utama untuk dihukumi batal puasanya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: مَنْ أَرَادَ الْمَضْمَضَةَ، وَالِاسْتِنْشَاقَ فِي صَوْمِهِ، فَالْأَوْلَى لَهُ أَنْ يَرْفُقَ وَلَا يُبَالِغَ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ لَقِيطًا بِذَلِكَ، فَإِنْ تَمَضْمَضَ، وَاسْتَنْشَقَ فَوَصَلَ الْمَاءُ إِلَى رَأْسِهِ أَوْ جَوْفِهِ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ نَاسِيًا لِصَوْمِهِ، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ كَالْآكِلِ نَاسِيًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ذَاكِرًا لِصَوْمِهِ قَاصِدًا لِإِيصَالِ الْمَاءِ إِلَى جَوْفِهِ أَوْ رَأْسِهِ، فَهَذَا يُفْطِرُ، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ كَالْآكِلِ عَامِدًا، وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ ذَاكِرًا لِصَوْمِهِ غَيْرَ قَاصِدٍ إِلَى إِيصَالِ الْمَاءِ إِلَى جَوْفِهِ، وَإِنَّمَا سَبَقَهُ الْمَاءُ وَغَلَبَهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Māwardī berkata:
Barang siapa ingin berkumur (maḍmaḍah) dan menghirup air ke hidung (istinisyāq) saat berpuasa, maka yang lebih utama baginya adalah bersikap lembut dan tidak berlebihan, karena Rasulullah SAW memerintahkan Laqīṭ untuk bersikap demikian.
Jika ia berkumur dan menghirup air, lalu air itu sampai ke kepalanya atau ke dalam perutnya, maka ada tiga keadaan:
Pertama: jika ia lupa bahwa dirinya sedang berpuasa, maka tidak ada apa-apa atasnya, dan puasanya tetap sah, seperti orang yang makan dalam keadaan lupa.
Kedua: jika ia ingat bahwa dirinya sedang berpuasa dan sengaja memasukkan air sampai ke perut atau kepalanya, maka ia telah berbuka dan wajib baginya qadhāʾ, sebagaimana orang yang makan dengan sengaja.
Ketiga: jika ia ingat bahwa dirinya sedang berpuasa, namun tidak sengaja memasukkan air ke perutnya, melainkan air itu mendahuluinya dan tidak mampu ia hindari, maka dalam keadaan ini ada dua bentuk: …
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ بَالَغَ فِي الِاسْتِنْشَاقِ.
وَالثَّانِي: لَمْ يُبَالِغْ فَإِنْ بَالَغَ فَقَدْ أَفْطَرَ، وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ لِأَنَّ ذَلِكَ حَادِثٌ عَنْ سَبَبٍ مَكْرُوهٍ كَالْإِنْزَالِ إِذَا حَدَثَ عَنِ الْقُبْلَةِ، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ لَا يُفَرِّقُ بَيْنَ الْمُبَالَغَةِ وَغَيْرِهَا، وَلَيْسَ يَصِحُّ لِمَا ذَكَرْنَا فَإِنْ لَمْ يبالغ فيه فقولان:
Pertama: bahwa ia telah berlebihan dalam istinsyāq (menghirup air ke hidung).
Kedua: bahwa ia tidak berlebihan. Maka jika ia berlebihan, sungguh ia telah berbuka dan wajib atasnya qadhāʾ, karena hal itu terjadi akibat sebab yang makruh, seperti keluarnya mani apabila terjadi karena ciuman.
Dan sebagian sahabat kami dari kalangan Baghdādī tidak membedakan antara berlebihan dan tidak berlebihan, namun ini tidak sahih karena alasan yang telah kami sebutkan. Maka jika ia tidak berlebihan dalam istinsyāq, maka ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: قَدْ أَفْطَرَ، وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ وَوَجْهُهُ مَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ قُبْلَةِ الصَّائِمِ فَقَالَ: ” أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ ” فَشَبَّهَ الْقُبْلَةَ بِالْمَضْمَضَةِ، ثُمَّ كَانَتِ الْقُبْلَةُ مَعَ الإنزال تفطر، فكذلك المضمضمة مَعَ الِازْدِرَادِ، وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الِاسْتِنْشَاقِ: ” إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا فَتَرَفَّقْ ” خَوْفًا مِنْ إِفْطَارِهِ بِوُصُولِ الْمَاءِ إِلَى رَأْسِهِ، وَلِأَنَّ الْأَسْبَابَ الْحَادِثَةَ عَنِ الْأَفْعَالِ تَجْرِي مَجْرَى الْمُبَاشَرَةِ لَهَا فِي الْحُكْمِ كَالْجَنَابَةِ، يَجِبُ الْقَوَدُ فِيهَا بِالْمُبَاشَرَةِ، وَالسِّرَايَةِ فَكَذَلِكَ الْمَضْمَضَةُ، وَالِاسْتِنْشَاقُ يَجِبُ أن يستوي حكم السبب فيهما، والمباشرة، ولا ذكره المزني عن قِيَاسِهِ، عَلَى الْأَكْلِ شَاكًّا فِي الْفَجْرِ.
Pertama: ia telah berbuka dan wajib baginya qadhāʾ — inilah pendapat Mālik, Abū Ḥanīfah, mayoritas fuqahāʾ, dan juga yang dipilih oleh al-Muzanī.
Dalilnya adalah riwayat bahwa ʿUmar bin al-Khaṭṭāb RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum mencium istri saat berpuasa, maka beliau bersabda:
“Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur?”
Maka Nabi SAW menyamakan ciuman dengan maḍmaḍah. Padahal ciuman bila menyebabkan keluar mani membatalkan puasa, maka maḍmaḍah yang disertai tertelannya air pun membatalkan puasa.
Dan karena sabda Nabi SAW tentang istinisyāq:
“Kecuali jika engkau sedang berpuasa, maka bersikaplah lembut,”
yakni karena dikhawatirkan air sampai ke dalam kepala dan membatalkan puasa.
Selain itu, sebab-sebab yang terjadi akibat suatu perbuatan dihukumi sama dengan perbuatan langsung dalam hukum, seperti jināyah (penganiayaan), yang mewajibkan qiṣāṣ baik dilakukan langsung atau melalui perantara (penyebaran luka). Maka demikian pula maḍmaḍah dan istinisyāq, hukum sebab dan perbuatan langsung dalam keduanya haruslah setara.
Dan inilah yang disebut oleh al-Muzanī dalam qiyās-nya, yaitu menyamakan dengan orang yang makan karena ragu terhadap terbitnya fajar.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نُصَّ عَلَيْهِ فِي اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى، أَنَّهُ عَلَى صَوْمِهِ، وَبِهِ قَالَ الْحَسَنُ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ.
وَوَجْهُ هَذَا الْقَوْلِ هُوَ أَنَّهُ مَغْلُوبٌ عَلَى هَذَا الْفِعْلِ فَصَارَ بِمَثَابَةِ مَنْ أُكْرِهَ عَلَى الْأَكْلِ، ولأنه واصل إِلَى جَوْفِهِ مِنْ غَيْرِ قَصْدِهِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُفْطِرَ أَصْلُهُ الذُّبَابُ إِذَا طَارَ إِلَى حَلْقِهِ، وَلِأَنَّ الْفِطْرَ يَقَعُ تَارَةً بِمَا يَصِلُ إِلَى الْجَوْفِ، وَتَارَةً بِمَا يَنْفَصِلُ عَنْهُ ثُمَّ تَقَرَّرَ أَنَّ مَا يَنْفَصِلُ عَنْهُ بِلَا اخْتِيَارٍ كَالْقَيْءِ وَالْإِنْزَالِ، لَا يُفْطِرُ، فَكَذَلِكَ مَا وَصَلَ إِلَيْهِ مِنَ الْمَضْمَضَةِ بِالِاخْتِيَارِ، وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ فِي صَوْمِ الْفَرْضِ، وَالنَّفْلِ سَوَاءٌ وَحُكِيَ عَنِ الشَّعْبِيِّ وَالنَّخَعِيِّ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ إِنْ تَوَضَّأَ لِنَافِلَةٍ أَفْطَرَ، وَإِنْ تَوَضَّأَ لِفَرِيضَةٍ لَمْ يُفْطِرْ، لِأَنَّهُ فِي الْفَرِيضَةِ مُضْطَرٌّ، وَفِي النَّافِلَةِ مُخْتَارٌ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dan pendapat kedua: dinyatakan secara nash dalam kitab Ikhtilāf Abī Ḥanīfah wa Ibn Abī Laylā, bahwa puasanya tetap sah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Ḥasan, Aḥmad, Isḥāq, dan Abū Ṯawr.
Alasan pendapat ini adalah bahwa orang tersebut tidak dapat mengendalikan perbuatannya, sehingga ia seperti orang yang dipaksa untuk makan. Dan karena air itu sampai ke dalam rongga tubuhnya bukan atas kehendaknya, maka seharusnya tidak membatalkan puasanya. Dalilnya adalah seperti lalat yang terbang ke kerongkongannya.
Juga karena pembatal puasa terkadang terjadi dengan sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh, dan terkadang dengan sesuatu yang keluar darinya, dan telah ditetapkan bahwa sesuatu yang keluar tanpa kehendaknya seperti muntah dan keluarnya mani, tidak membatalkan puasa. Maka begitu juga sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh dari madhmaḍah karena pilihan, tidak membatalkan puasa.
Kedua pendapat ini berlaku sama dalam puasa farḍ dan nafl. Dan diriwayatkan dari al-Syaʿbī, al-Nakhaʿī, dan Ibn Abī Laylā—dan ini juga pendapat Ibn ʿAbbās—bahwa apabila ia berwudu untuk salat nāfilah, maka ia batal puasanya, namun jika berwudu untuk salat farīḍah, maka tidak batal puasanya, karena dalam salat farīḍah ia terpaksa, dan dalam nāfilah ia memilih.
Ini adalah kesalahan dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ فِي الطَّهَارَتَيْنِ غَيْرُ مُضْطَرٍّ إِلَى الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ، لِأَنَّهُمَا سُنَّتَانِ فِي الطَّهَارَتَيْنِ مَعًا.
وَالثَّانِي: إِنَّ حُكْمَ الْفِطْرِ فِي الِاضْطِرَارِ وَالِاخْتِيَارِ سَوَاءٌ لِأَنَّهُ لَوْ أَجْهَدَهُ الصَّوْمُ، فَأَكَلَ خَوْفَ التَّلَفِ أَفْطَرَ، وَلَوِ ابْتَدَأَ الْأَكْلَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ أَفْطَرَ، فَدَلَّ عَلَى أَنْ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمَوْضِعَيْنِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pertama: bahwa dalam dua bentuk ṭahārah (wudhu dan mandi), seseorang tidak berada dalam kondisi darurat untuk melakukan maḍmaḍah dan istinisyāq, karena keduanya adalah sunnah dalam kedua bentuk ṭahārah tersebut.
Kedua: bahwa hukum batalnya puasa dalam keadaan darurat maupun pilihan sendiri adalah sama. Karena jika seseorang merasa sangat lemah karena puasa lalu ia makan karena takut celaka, maka ia berbuka. Dan jika ia mulai makan tanpa adanya rasa takut tersebut pun ia berbuka. Maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara dua keadaan tersebut.
Wallāhu aʿlam.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنِ اشْتَبَهَتِ الشُّهُورُ عَلَى أسيرٍ فَتَحَرَّى شَهْرَ رَمَضَانَ فَوَافَقَهُ أَوْ مَا بَعْدَهُ أَجْزَأَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ حَبَسَهُ الْمُشْرِكُونَ فِي مَطْمُورَةٍ فَاشْتَبَهَتْ عَلَيْهِ الشُّهُورُ وَأَشْكَلَ عَلَيْهِ شَهْرُ رَمَضَانَ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَحَرَّى فِيهِ وَيَجْتَهِدَ ثُمَّ يَصُومَ عَلَى غَالِبِ ظَنِّهِ كَمَا يَجْتَهِدُ فِي الْقِبْلَةِ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ ثُمَّ أُطْلِقَ لَمْ تَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Masalah:
Imam al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata:
“Jika bulan-bulan menjadi samar bagi seorang tawanan, lalu ia berijtihad menentukan bulan Ramadan, kemudian ternyata tepat atau bertepatan dengan setelahnya, maka puasanya sah.”
Al-Māwardī berkata:
Contoh kasusnya adalah seorang muslim yang ditawan oleh orang-orang musyrik dalam sebuah tempat gelap (maṭmūrah), lalu bulan-bulan menjadi samar baginya dan ia tidak bisa memastikan bulan Ramadan. Maka ia wajib berusaha menentukannya dan berijtihad, lalu berpuasa berdasarkan dugaan terkuatnya, sebagaimana ia berijtihad dalam menentukan arah kiblat.
Apabila ia telah melakukannya lalu dibebaskan, maka keadaannya tidak lepas dari empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يُبَيَّنَ لَهُ صَوَابُ اجْتِهَادِهِ، وَمُوَافَقَتُهُ رَمَضَانَ نَفْسِهِ، فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ أَجْزَأَهُ صَوْمُهُ، وَهَذَا قَوْلُ الْفُقَهَاءِ كَافَّةً وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، لِأَنَّ الْعِبَادَاتِ لَا يَصِحُّ أَدَاؤُهَا مَعَ الشَّكِّ فِي دُخُولِ وَقْتِهَا كَالصَّلَاةِ، وَهَذَا خَطَأٌ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَعَ إِجْمَاعِ السَّلَفِ قَبْلَهُ قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) {البقرة: 185) وَهَذَا قَدْ شَهِدَ الشَّهْرَ وَصَامَهُ وَلِأَنَّهُ أَدَّى الْعِبَادَةَ بِاجْتِهَادٍ، فَوَجَبَ إِذَا بَانَ لَهُ صَوَابُ اجْتِهَادِهِ أَنْ يُجْزِيَهُ كَمَا لَوِ اجْتَهَدَ فِي الْقِبْلَةِ، وَصَلَّى وَبَانَ لَهُ صَوَابُ الِاجْتِهَادِ، وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ دُخُولِ الْوَقْتِ، فَلَيْسَ بَيْنَهُمَا فَرْقٌ لِأَنَّهُ إِذَا غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ دُخُولُ الْوَقْتِ فَصَلَّى أَجَزْأَهُ.
Salah satunya: bahwa tampak baginya kebenaran ijtihadnya, dan ternyata sesuai dengan masuknya bulan Ramadan yang sebenarnya. Maka jika demikian keadaannya, maka puasanya sah. Ini adalah pendapat seluruh fuqahāʾ.
Namun al-Ḥasan bin Ṣāliḥ berpendapat bahwa ia wajib mengulang (puasa), karena ibadah tidak sah dilaksanakan dalam keadaan ragu tentang masuknya waktu, seperti shalat.
Akan tetapi, ini adalah pendapat yang keliru. Dalil atas kesalahannya, selain ijmaʿ salaf sebelumnya, adalah firman Allah Ta‘ala:
{fa-man syahida minkumu al-syahra fal-yaṣumhu} (al-Baqarah: 185)
dan orang ini telah menyaksikan bulan dan telah berpuasa.
Juga karena ia telah menunaikan ibadah berdasarkan ijtihad, maka apabila kemudian nyata bahwa ijtihadnya benar, maka puasanya mencukupi, sebagaimana orang yang berijtihad menentukan arah kiblat, lalu shalat, dan ternyata benar arah kiblatnya.
Adapun yang disebutkan tentang masuknya waktu, maka tidak ada perbedaan antara keduanya. Karena jika seseorang berprasangka kuat bahwa waktu telah masuk lalu ia shalat, maka shalatnya sah.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَبِينَ لَهُ صِيَامُ مَا بَعْدَ رَمَضَانَ فَهَذَا يُجْزِئُهُ، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ إِلَّا فِيمَا لَا يَصِحُّ صِيَامُهُ مِنَ الْعِيدَيْنِ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ، وَإِنَّمَا أَجْزَأَهُ لِأَنَّ الْقَضَاءَ قَدِ اسْتَقَرَّ فِي ذِمَّتِهِ بِفَوَاتِ الشَّهْرِ، ثُمَّ وَافَقَ صَوْمُهُ زَمَانَ الْقَضَاءِ فَكَذَلِكَ أَجْزَأَهُ فَإِنْ بَانَ لَهُ صِيَامُ شَوَّالٍ لَمْ يَخْلُ حَالُ الشَّهْرَيْنِ أَعْنِي رَمَضَانَ وَشَوَّالٍ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ إِمَّا أَنْ يَكُونَا تَامَّيْنِ، أَوْ نَاقِصَيْنِ أَوْ يَكُونَ شَهْرُ رَمَضَانَ تَامًّا، وَشَوَّالٍ نَاقِصًا أَوْ يَكُونَ شَهْرُ رَمَضَانَ نَاقِصًا، وَشَوَّالٌ تَامًّا، فَإِنْ كَانَا تَامَّيْنِ لَزِمَهُ قَضَاءُ يَوْمِ الْفِطْرِ وَحْدَهُ وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَا نَاقِصَيْنِ، فَإِذَا قَضَاهُ فَقَدْ أَدَّى فَرْضَهُ، وَأَجْزَأَهُ، وَإِنْ كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ تَامًّا وَشَوَّالٌ نَاقِصًا لَزِمَهُ قَضَاءُ يَوْمَيْنِ، يَوْمُ الْفِطْرِ وَيَوْمُ النُّقْصَانِ، وَإِنْ كَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ نَاقِصًا وَشَوَّالٌ تَامًّا، فَقَدْ أَجْزَأَهُ عَنْ فَرْضِهِ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ لِأَنَّ يَوْمَ الْفِطْرَ مِنْ شَوَّالٍ بُدِّلَ مِنَ الْيَوْمِ النَّاقِصِ مِنْ رَمَضَانَ، وَلَوْ بَانَ لَهُ أَنَّهُ صَامَ نِصْفَ رَمَضَانَ وَنِصْفَ شَوَّالٍ أَجْزَأَهُ إِلَّا يَوْمَ الْفِطْرِ فَعَلَيْهِ قَضَاؤُهُ، وَيَكُونُ نِصْفُ صَوْمِهِ قَضَاءً وَنَصِفُهُ أَدَاءً.
Bagian kedua: yaitu apabila ternyata jelas bahwa puasa yang ia lakukan itu terjadi setelah Ramadan, maka hal ini mencukupi (menjadi pengganti Ramadan), dan tidak wajib mengulang kecuali pada hari-hari yang tidak sah untuk berpuasa, seperti dua hari raya dan hari-hari tasyriq.
Puasa itu dianggap sah karena qadhāʾ telah menjadi tanggungan dalam dirinya disebabkan ia telah melewatkan bulan Ramadan, lalu puasa yang dilakukannya itu bertepatan dengan waktu qadhāʾ, maka hal itu pun mencukupi.
Jika ternyata ia berpuasa pada bulan Syawwāl, maka kondisi dua bulan tersebut, yakni Ramadan dan Syawwāl, tidak lepas dari empat bagian:
- bisa jadi keduanya sempurna,
- atau keduanya kurang,
- atau bulan Ramadan sempurna dan Syawwāl kurang,
- atau Ramadan kurang dan Syawwāl sempurna.
Jika keduanya sempurna, maka wajib baginya mengganti satu hari saja, yaitu hari raya (ʿĪd al-Fiṭr), begitu juga jika keduanya kurang. Apabila ia telah menggantinya, maka ia telah menunaikan kewajiban puasanya dan mencukupi baginya.
Jika bulan Ramadan sempurna dan Syawwāl kurang, maka ia wajib mengganti dua hari: hari raya dan satu hari kekurangan dari Syawwāl.
Namun jika Ramadan kurang dan Syawwāl sempurna, maka puasanya telah mencukupi dari kewajiban, dan tidak wajib mengqadhāʾ, karena hari raya dari bulan Syawwāl menggantikan hari yang kurang dari bulan Ramadan.
Jika ternyata ia berpuasa separuh Ramadan dan separuh Syawwāl, maka hal itu mencukupi kecuali hari raya saja, maka ia wajib menggantinya. Maka separuh dari puasanya dianggap sebagai qadhāʾ, dan separuhnya sebagai adāʾ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَبِينَ لَهُ صِيَامُ مَا قَبْلَ رَمَضَانَ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ شَهْرُ رَمَضَانَ بَاقِيًا لَمْ يَفُتْ فَعَلَيْهِ إِعَادَةُ الصَّوْمِ فِيهِ لَا يُخْتَلَفُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ شِهِدَ مِنْكٌمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) {البقرة: 185) .
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ رَمَضَانَ قَدْ فَاتَ وَمَضَى فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي كُتُبِهِ وُجُوبُ الْإِعَادَةِ عَلَيْهِ، وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ مِنَ الْأُمِّ وَلَوْ قَالَ: إِذَا تَأَخَّرَ فَبَانَ لَهُ صِيَامُ مَا قَبْلَهُ أَجْزَأَهُ، كَانَ مَذْهَبًا فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَيْسَ هَذَا مَذْهَبًا لَهُ، وَإِنَّمَا حَكَاهُ عَنْ غَيْرِهِ وَمَذْهَبُهُ وُجُوبُ الْإِعَادَةِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ فِي وُجُوبِ الْإِعَادَةِ قَوْلَانِ:
Bagian ketiga: bahwa ternyata puasa yang ia lakukan itu adalah sebelum masuk Ramadan. Maka dalam hal ini terbagi dua:
Pertama: apabila bulan Ramadan masih tersisa dan belum berlalu, maka ia wajib mengulangi puasanya di dalam bulan tersebut, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{fa-man syahida minkumu al-syahra fal-yaṣumhu} (al-Baqarah: 185).
Kedua: apabila bulan Ramadan telah berlalu dan lewat, maka mazhab asy-Syāfiʿī dan yang ditegaskan dalam kitab-kitab beliau adalah: wajib mengulang puasanya. Ini juga merupakan pendapat mayoritas fuqahāʾ.
Namun, dalam salah satu tempat dalam al-Umm, beliau berkata: “Jika ternyata (puasanya) itu adalah sebelum Ramadan, maka mencukupi baginya.” Maka sebagian dari sahabat kami (ulama Syāfiʿiyyah) mengatakan: itu bukan mazhab beliau, melainkan beliau hanya mengisahkan pendapat dari selainnya. Dan mazhab beliau adalah wajibnya mengulang puasa tersebut secara qaulan wāḥidan (dengan satu pendapat saja, tanpa perbedaan).
Dan sebagian dari mereka ada yang mengatakan: dalam kewajiban mengulang puasa ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَجِبُ بِإِفْسَادِهَا الْكَفَّارَةُ، فَوَجَبَ إِذَا أَدَّاهَا قَبْلَ الْوَقْتِ أَنْ يُجْزِئَهُ كَالْحَاجِّ إِذَا أَخْطَأَ الْوَقْتَ بِعَرَفَةَ، فَوَقَفُوا يَوْمَ التَّرْوِيَةِ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ تَعَيَّنَ لَهُ يَقِينُ الْخَطَأِ فِيمَا يَأْمَنُ مِثْلَهُ فِي الْقَضَاءِ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الْقَضَاءُ أَصْلُهُ إِذَا اجْتَهَدَ فِي الْإِنَاءَيْنِ، ثُمَّ بَانَ نَجَاسَةُ مَا اسْتَعْمَلَهُ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ عَلَى الْبَدَنِ يَقْدِرُ عَلَى أَدَائِهَا بِيَقِينٍ، فَوَجَبَ إِذَا بَانَ لَهُ الْأَدَاءُ قَبْلَ الْوَقْتِ، أَنْ تَلْزَمَهُ الْإِعَادَةُ كَالصَّلَاةِ قَالَ فَأَمَّا الْحَاجُّ فَيَسْتَحِيلُ وُقُوفُهُمْ بِعَرَفَةَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ، فَلَمْ يَصِحَّ قِيَاسُ الصَّوْمِ عَلَيْهِ فَلَوْ بَانَ لَهُ صِيَامُ نِصْفِ شَعْبَانَ وَنِصْفِ رَمَضَانَ فَمَا صَادَفَ مِنْ رَمَضَانَ يُجْزِيهِ، وَفِيمَا صَادَفَ مِنْ شَعْبَانَ قَوْلَانِ:
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ لَا يَبِينَ لَهُ زَمَانُ صِيَامِهِ هَلْ وَافَقَ رَمَضَانَ أَوْ مَا قَبْلَهُ أَوْ مَا بَعْدَهُ فَهَذَا يُجْزِيهِ صَوْمُهُ وَلَا إِعَادَةَ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنَ الِاجْتِهَادِ صِحَّةُ الْأَدَاءِ، مَا لَمْ يُعْلَمْ يَقِينُ الْخَطَأِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
pertama: tidak wajib mengqadha karena ia adalah ibadah yang mewajibkan kafārah jika dirusak, maka apabila dilaksanakan sebelum waktunya, mencukupi, sebagaimana orang haji jika salah waktu wuquf di ʿArafah lalu mereka wuquf pada hari tarwiyah.
dan pendapat kedua—dan ini yang ṣaḥīḥ—wajib mengqadha karena ia telah yakin salah dalam hal yang semisalnya tidak dimaafkan dalam qaḍāʾ, maka wajib atasnya mengulang. Dasarnya: jika ia berijtihad memilih dua bejana, lalu ternyata yang digunakan najis, dan karena ia adalah ibadah pada badan yang ia mampu laksanakan dengan yakin, maka jika ternyata pelaksanaannya sebelum waktu, wajib mengulang sebagaimana shalat. Adapun haji, maka tidak mungkin mereka wuquf di ʿArafah pada hari tarwiyah, maka tidak sah menganalogikan puasa dengan haji.
maka jika ternyata ia telah puasa setengah Syaʿbān dan setengah Ramaḍān, maka yang bertepatan dengan Ramaḍān mencukupi, dan yang bertepatan dengan Syaʿbān ada dua pendapat:
dan bagian keempat: bahwa ia tidak mengetahui waktu puasanya, apakah bertepatan dengan Ramaḍān atau sebelumnya atau setelahnya, maka puasanya mencukupi dan tidak wajib mengulang, karena ẓāhir dari ijtihad menunjukkan sahnya pelaksanaan, selama belum diketahui dengan yakin adanya kesalahan. Wallāhu aʿlam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَللصَّائِمِ أَنْ يَكْتَحِلَ وَيَنْزِلَ الْحَوْضَ فَيَغْطَسَ فِيهِ ويحتجم كان ابن عمر يحتجم صائماً قال ومما سمعت من الربيع (قال الشافعي) ولا أعلم في الحجامة شيئاً يثبت ولو ثبت الحديثان حديث ” أفطر الحاجم ” وحديث آخَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – احتجم وهو صائم فإن حديث ابن عباس احتجم وهو صائم ناسخٌ للأول، وأن فيه بيان وأنه زمن الفتح وحجامة النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعده “.
Masalah:
Imam asy-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata: “Boleh bagi orang yang berpuasa untuk memakai kāḥil (celak), dan turun ke kolam lalu menyelam di dalamnya, serta berbekam. Ibnu ʿUmar pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.”
Ia berkata pula, sebagaimana yang aku dengar dari ar-Rabīʿ:
(Kata asy-Syāfiʿī) “Aku tidak mengetahui adanya sesuatu yang sahih tentang larangan bekam. Andaipun kedua hadis itu sahih—yaitu hadis ‘Telah berbuka orang yang membekam’ dan hadis lain yang menyebutkan bahwa Nabi SAW berbekam dalam keadaan berpuasa—maka hadis Ibnu ʿAbbās bahwa beliau berbekam dalam keadaan puasa adalah nāsikh (penghapus) dari yang pertama, karena hadis tersebut mengandung penjelasan bahwa itu terjadi pada zaman Fathu Makkah, dan bekam Nabi SAW terjadi setelah itu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا اكْتِحَالُ الصَّائِمِ فَغَيْرُ مَكْرُوهٍ، وَإِنْ وَجَدَ طَعْمَهُ فِي حَلْقِهِ لَمْ يُفْطِرْ.
وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، يُكْرَهُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَكْتَحِلَ وَلَا يُفْطِرَ، وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وَابْنُ سِيرِينَ إِنِ اكْتَحَلَ الصَّائِمُ أَفْطَرَ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَمِيعِهِمْ مَا رُوِيَ عَنْ أَبِي رَافِعٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَزَلَ خَيْبَرَ وَدَعَا بكحلٍ إثمدٍ، فَاكْتَحَلَ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ صَائِمٌ.
kata al-Māwardī: adapun bercelak bagi orang yang berpuasa, maka tidak makruh, dan jika ia merasakan rasanya di tenggorokannya, tidak membatalkan puasa.
dan Mālik, Aḥmad, serta Isḥāq berkata: makruh bagi orang yang berpuasa untuk bercelak, namun tidak membatalkan puasa.
dan Ibn Abī Lailā serta Ibn Sīrīn berkata: jika orang yang berpuasa bercelak, maka ia batal puasanya.
dan dalil bagi semuanya adalah riwayat dari Abū Rāfiʿ bahwa Rasulullah SAW singgah di Khaybar dan meminta celak dari itsmid, lalu beliau bercelak di bulan Ramadan dalam keadaan berpuasa.
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أنه سئل عن الكحل للصائم فقال الإثم غُبَارٌ فَمَا يَضُرُّ الصَّائِمَ إِذَا نَزَلَ الْغُبَارُ وَلَيْسَ فِي الصَّحَابَةِ لَهُ مُخَالِفٌ وَلِأَنَّ الْفِطْرَ يَحْصُلُ بِمَا وَصَلَ إِلَى الْجَوْفِ مِنْ مَنْفَذٍ، فَأَمَّا مَا وَصَلَ إِلَيْهِ مِنْ غَيْرِ مَنْفَذٍ، فَلَا يَحْصُلُ بِهِ الْفِطْرُ كَمَا يَصِلُ بَرْدُ الْمَاءِ إِلَى الْكَبِدِ، وَبَاطِنِ الْجَسَدِ، ثُمَّ لَا يُفْطِرُ بِهِ لِأَنَّهُ وَاصِلٌ مِنْ غَيْرِ مَنْفَذٍ.
Diriwayatkan dari Ibnu ʿUmar bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum memakai kāḥil (celak) bagi orang yang berpuasa. Maka beliau menjawab: “Dosa itu adalah karena debu, maka tidaklah membahayakan bagi orang yang berpuasa jika debu turun.”
Dan tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang menyelisihinya.
Karena sesungguhnya batalnya puasa itu terjadi dengan sesuatu yang sampai ke rongga tubuh (jauf) melalui lubang terbuka (manfaż).
Adapun sesuatu yang sampai ke dalamnya bukan melalui lubang, maka tidak menyebabkan batal, seperti dinginnya air yang sampai ke hati atau ke bagian dalam tubuh, namun tidak menyebabkan batal, karena sampainya itu bukan melalui lubang masuk.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا اغْتِسَالُ الصَّائِمِ، وَنُزُولُهُ الْمَاءَ فَجَائِزٌ، وَغَيْرُ مَكْرُوهٍ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا فَيَغْتَسِلُ وَيُتِمُّ صَوْمَهُ وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمَا كَانَا يَتَمَاقَلَانِ فِي الْمَاءِ، وَكَانَا صَائِمَيْنِ، وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ.
PASAL
Adapun mandi bagi orang yang berpuasa dan masuk ke dalam air, maka hal itu diperbolehkan dan tidak makruh. Karena telah diriwayatkan dari ʿĀʾisyah dan Umm Salamah bahwa Rasulullah SAW pernah berada dalam keadaan junub saat fajar, lalu beliau mandi dan menyempurnakan puasanya. Dan diriwayatkan dari Ibn ʿUmar dan Ibn ʿAbbās bahwa keduanya biasa berendam di dalam air dalam keadaan berpuasa, dan tidak ada sahabat lain yang menyelisihi keduanya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْحِجَامَةُ، فَلَا تفطر الصايم، وَلَا تُكْرَهُ لَهُ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الصَّحَابَةِ وَالْفُقَهَاءِ، وَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَائِشَةَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ وَعَطَاءٌ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ أَنَّ الْحِجَامَةَ تُفْطِرُ الصَّائِمَ تَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ يَوْمَ الثَّامِنَ عَشَرَ مِنْ رَمَضَانَ برجلٍ يحتجم فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ رَوَاهُ ثَوْبَانُ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَشَدَّادُ بْنُ أَوْسٍ وَرَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، وَلِأَنَّهُ دَمٌ يَخْرُجُ مِنَ الْبَدَنِ مُعْتَادٌ، فَجَازَ أَنْ يُفْطِرَ بِهِ كَدَمِ الْحَيْضِ وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – احْتَجَمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ وَلِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْخَصَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَائِمِ وَلِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ثَلَاثٌ لَا يُفْطِرْنَ الصَائِمَ الْقَيْءُ وَالْحِجَامَةُ وَالِاحْتِلَامُ وَلِرِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ بِجَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَهُوَ يَحْتَجِمُ فَقَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ ثُمَّ رَخَّصَ بَعْدَهُ في الحجامة فكان أنس يحتجم وهو صايم، وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ لَا يُفْطَرُ بِالْوَاصِلِ إِلَيْهِ، لَا يُفْطَرُ بِالْخَارِجِ مِنْهُ أَصْلُهُ الْفِصَادُ، وَعَكْسُهُ الْقَيْءُ، وَأَمَّا خَبَرُهُمْ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
PASAL
Adapun ḥijāmah (bekam), maka tidak membatalkan puasa dan tidak makruh bagi orang yang berpuasa — inilah pendapat mayoritas sahabat dan fuqahāʾ. Pendapat ini juga dinukil dari ʿAlī bin Abī Ṭālib, ʿĀisyah, dan Abū Hurayrah RA. Dari kalangan tābiʿīn: al-Ḥasan dan ʿAṭāʾ. Dari kalangan fuqahāʾ: al-Awzāʿī, Aḥmad, dan Isḥāq bahwa ḥijāmah membatalkan puasa, berdalil dengan riwayat bahwa Rasulullah SAW pada hari kedelapan belas Ramadan melewati seseorang yang sedang berbekam, lalu bersabda:
“Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.”
Diriwayatkan oleh Ṯawbān, Abū Hurayrah, Anas bin Mālik, Syaddād bin Aws, dan Rāfiʿ bin Khadīj.
Dan karena darah yang keluar dari tubuh adalah hal yang biasa, maka dianggap bisa membatalkan puasa sebagaimana darah haid.
Adapun dalil kami adalah riwayat Ibnu ʿAbbās bahwa Rasulullah SAW berbekam dalam Ḥajjat al-Wadāʿ dalam keadaan beriḥrām dan berpuasa.
Dan riwayat Abū Saʿīd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW memberikan keringanan dalam ḥijāmah bagi orang yang berpuasa.
Dan riwayat Abū Hurayrah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tiga hal yang tidak membatalkan puasa: muntah, bekam, dan ihtilām.”
Serta riwayat Anas bin Mālik bahwa Rasulullah SAW melewati Jaʿfar bin Abī Ṭālib yang sedang berbekam, lalu bersabda:
“Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.”
Kemudian beliau memberikan keringanan dalam ḥijāmah setelah itu. Maka Anas pun biasa berbekam dalam keadaan berpuasa.
Dan karena setiap anggota tubuh yang tidak membatalkan puasa dengan sesuatu yang masuk ke dalamnya, maka tidak membatalkan pula dengan sesuatu yang keluar darinya — asal kaidah ini seperti pada faṣād (sayatan pembuluh). Sebaliknya, muntah adalah pengecualian.
Adapun hadis mereka, maka di dalamnya ada dua pendapat…
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ مَنْسُوخٌ يَدُلُّ عَلَيْهِ حَدِيثُ أَنَسٍ وَأَبِي سَعِيدٍ لِأَنَّ هَذَا الْخَبَرَ وَرَدَ عَامَ الْفَتْحِ سَنَةَ ثمان وخبرنا في حجة الوداع ستة عَشْرٍ، وَالْمُتَأَخِّرُ أَوْلَى.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: إِنَّ قَوْلَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ ” يَعْنِي بِغَيْرِ الْحِجَامَةِ كَأَنَّهُ عَلِمَ تَقَوُّمَ فِطْرِهِمَا، أَوْ رَآهُمَا يَغْتَابَانِ فَقَالَ: أَفْطَرَا بِمَعْنَى أَنَّهُ سَقَطَ ثَوَابُهُمَا، أَوْ عَلِمَ بِهِمَا ضَعْفًا عَلِمَ أَنَّهُمَا يُفْطِرَانِ مَعَهُ، وَإِنَّمَا تَأَوَّلْنَاهُ بِهَذَا لِأَنَّهُ ضَمَّ الْحَاجِمَ إِلَيْهِ.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ فَمُنْتَقَضٌ بِالْفِصَادِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْحَيْضِ أَنَّ الْوَاصِلَ إِلَى مَكَانِهِ يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ.
pertama: bahwa hadits tersebut mansukh. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas dan Abū Saʿīd, karena hadits itu terjadi pada tahun al-Fatḥ tahun delapan, sedangkan hadits kami terjadi pada Ḥajjatu al-Wadāʿ tahun enam belas, dan yang datang belakangan lebih utama untuk diikuti.
jawaban kedua: sabda Nabi SAW “orang yang membekam dan dibekam telah berbuka” maksudnya bukan karena ḥijāmah, seakan-akan beliau mengetahui bahwa keduanya telah melakukan hal yang membatalkan puasa, atau melihat keduanya sedang menggunjing sehingga beliau bersabda: “keduanya telah berbuka,” dalam arti pahala keduanya gugur, atau beliau mengetahui bahwa keduanya lemah dan tidak sanggup, sehingga mengetahui bahwa mereka akan berbuka setelahnya. Kami menakwilkannya seperti ini karena Nabi menggabungkan al-ḥājim dengan al-maḥjūm.
adapun qiyās mereka, maka batal dengan kasus faṣād (pengeluaran darah selain bekam). Kemudian, makna dalam haid adalah bahwa sesuatu yang sampai pada tempatnya menyebabkan batalnya puasa.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وأكره العلك لأنه يجلب الريق “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِنَّمَا كَرِهْنَاهُ، لِأُمُورٍ مِنْهَا إِنَّهُ يُجَمِّعُ الرِّيقَ، وَيَدْعُو إِلَى الْقَيْءِ وَيُورِثُ الْعَطَشَ، وَلَا يَأْمَنُ أَنْ يَبْتَلِعَهُ فَإِنْ مَضَغَهُ، وَلَمْ يَصِلْ مِنْهُ شَيْءٌ إِلَى جَوْفِهِ فهو على صومه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Aku memakruhkan mengunyah permen karet (al-ʿalk) karena ia menarik air liur.”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang benar. Kami memakruhkannya karena beberapa hal, di antaranya: ia mengumpulkan air liur, memicu muntah, menyebabkan rasa haus, dan tidak aman dari kemungkinan tertelan. Maka jika ia mengunyahnya dan tidak ada sedikit pun yang masuk ke dalam perutnya, maka puasanya tetap sah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَصَوْمُ شَهْرِ رَمَضَانَ واجبٌ عَلَى كُلِّ بالغٍ مِنْ رجلٍ وامرأةٍ وعبدٍ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ بَالِغٍ عَاقِلٍ مِنْ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ وَحُرٍّ وَعَبْدٍ، فَأَمَّا الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ، فَلَا صَوْمَ عَلَيْهِمَا لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُمَا وَزَوَالِ التَّكْلِيفِ الَّذِي يُسْقِطُ أَعْمَالَ الْأَبْدَانِ، وَيُسْتَحَبُّ لِوَلِيِّ الصَّبِيِّ إِذَا عَقَلَ وَمَيَّزَ مِثْلَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ بِالصِّيَامِ لِيَعْتَادَهُ، وَيَأْلَفَهُ فَإِذَا صَامَ صَحَّ صَوْمُهُ وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَصِحُّ مِنْهُ صَوْمٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا حَجٌّ وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَى صِحَّةِ صَلَاتِهِ فِي كِتَابِ الصَّلَاةِ وَنَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ حَجِّهِ فِي كِتَابِ الْحَجِّ، وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ صَوْمِهِ مَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَرَ أَهْلَ الْعَوَالِي بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ قَالُوا: فَصُمْنَا وَصَوَّمْنَا الصِّبْيَانَ وَاتَّخَذْنَا لَهُمُ اللُّعَبَ مِنَ الْعِهْنِ لِيَلْعَبُوا بِهَا وَيَشْتَغِلُوا عَنِ الْأَكْلَ بِلُعَبِهِمْ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Puasa bulan Ramadan wajib atas setiap orang yang baligh dari kalangan laki-laki, perempuan, dan hamba sahaya.”
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa puasa bulan Ramadan wajib atas setiap muslim yang baligh dan berakal dari kalangan laki-laki, perempuan, orang merdeka, maupun hamba sahaya. Adapun anak kecil dan orang gila, maka tidak wajib atas keduanya karena pena taklif terangkat dari mereka, dan hilangnya kewajiban syar‘i yang menjadikan amalan badaniyah gugur. Dan disunnahkan bagi wali anak kecil—jika ia telah berakal dan bisa membedakan semisalnya—untuk melatihnya berpuasa agar terbiasa dan merasa akrab dengannya. Maka apabila ia berpuasa, sah puasanya.
Abū Ḥanīfah berkata: Tidak sah puasa, shalat, dan hajinya. Namun kami telah menunjukkan dalil sahnya shalat anak kecil dalam Kitāb al-Ṣalāh, dan akan kami tunjukkan dalil sahnya haji dalam Kitāb al-Ḥajj, dan dalil sahnya puasa adalah hadits bahwa Rasulullah SAW memerintahkan penduduk ʿAwālī untuk berpuasa pada hari ʿĀsyūrāʾ. Mereka berkata: “Kami pun berpuasa dan kami menyuruh anak-anak kecil kami berpuasa, dan kami membuatkan untuk mereka mainan dari bulu agar mereka bisa bermain dengannya dan teralihkan dari makan dengan mainan tersebut.”
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنِ احْتَلَمَ مِنَ الْغِلْمَانِ أَوْ أَسْلَمَ مِنَ الْكُفَّارِ بَعْدَ أيامٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَإِنَهُمَا يَسْتَقْبِلَانِ الصَوْمَ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا فِيمَا مَضَى “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْكَافِرُ، إِذَا أَسْلَمَ فِي أَيَّامٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَعَلَيْهِ صِيَامُ مَا بَقِيَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) {البقرة: 189) وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ فِيمَا مَضَى عَلَى قَوْلِ جَمِيعِ الْفُقَهَاءِ إِلَّا الْحَسَنَ وَعَطَاءً، فَإِنَّهُمَا قَالَا عَلَيْهِ الْقَضَاءُ فِيمَا مَضَى، وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا قَوْله تَعَالَى: {قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ) {الأنفال: 38) وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ “.
Masalah:
Imam asy-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata:
“Siapa pun dari para pemuda yang mengalami iḥtilām (mimpi basah), atau orang kafir yang masuk Islam setelah beberapa hari dari bulan Ramadan, maka keduanya mulai berpuasa dari saat itu dan tidak ada qadhāʾ atas keduanya untuk hari-hari yang telah lewat.”
Al-Māwardī berkata:
Adapun orang kafir, apabila ia masuk Islam pada beberapa hari dari bulan Ramadan, maka wajib atasnya berpuasa pada hari-hari yang tersisa, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{fa-man syahida minkumu al-syahra fal-yaṣumhu} (al-Baqarah: 185).
Dan tidak ada kewajiban qadhāʾ atasnya untuk hari-hari yang telah lalu, menurut pendapat seluruh fuqahāʾ, kecuali al-Ḥasan dan ʿAṭāʾ, yang keduanya berkata: wajib atasnya qadhāʾ untuk hari-hari yang telah lewat.
Dalil terhadap pendapat mereka berdua adalah firman Allah Ta‘ala:
{qul lil-ladzīna kafarū in yantahū yughfar lahum mā qad salaf} (al-Anfāl: 38)
dan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Islam menghapus apa yang sebelumnya.”
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ يَسْتَأْنِفُ صِيَامَ مَا بَقِيَ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ فِيمَا مَضَى لَمْ تَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ إِسْلَامُهُ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا، فَإِنْ أَسْلَمَ لَيْلًا اسْتَأْنَفَ الصِّيَامَ مِنَ الْغَدِ، وَإِنْ أَسْلَمَ نَهَارًا فَهَلْ عَلَيْهِ قَضَاءُ يَوْمِهِ الَّذِي أَسْلَمَ فِيهِ أَمْ لا؟ على جهين:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ في حرملة والبويطي ليس عليه قضاء، لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى صِيَامِ هَذَا الْيَوْمِ مَعَ إِسْلَامِهِ فِي بَعْضِهِ فَصَارَ كَمَنْ أَسْلَمَ لَيْلًا.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ قَضَاءُ يَوْمٍ مَكَانَهُ لِأَنَّ إِسْلَامَهُ فِي بَعْضِ النَّهَارِ، يُوجِبُ عَلَيْهِ صِيَامَ مَا بَقِيَ، وَلَا يُمْكِنُهُ إِفْرَادُ ذَلِكَ بِالصَّوْمِ لَا بِقَضَاءِ يَوْمٍ كَامِلٍ كَمَا نَقُولُ هُوَ فِي جَزَاءِ الصَّيْدِ هُوَ فِيهِ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْمِثْلِ مِنَ النَّعَمِ، وَبَيْنَ الْإِطْعَامِ وَبَيْنَ أَنْ يَصُومَ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا، فَلَوْ كَانَ فِي الْأَمْدَادِ كَسْرٌ لَزِمَهُ أَنْ يَصُومَ مكانه يوماً كاملاً.
Maka apabila telah ditetapkan bahwa ia memulai kembali puasa untuk hari-hari yang tersisa, dan tidak ada qadhāʾ atasnya untuk hari-hari yang telah lalu, maka keadaannya tidak lepas dari salah satu dari dua hal: apakah ia masuk Islam pada malam hari atau siang hari. Jika ia masuk Islam pada malam hari, maka ia mulai berpuasa dari keesokan harinya. Dan jika ia masuk Islam pada siang hari, maka apakah wajib atasnya qadhāʾ hari di mana ia masuk Islam atau tidak? Terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yaitu mazhab al-Syāfiʿī — dan ia telah menegaskannya dalam riwayat Ḥarmalah dan al-Buwayṭī — tidak wajib atasnya qadhāʾ, karena ia tidak mampu berpuasa hari tersebut disebabkan masuk Islam pada sebagian harinya, sehingga ia seperti orang yang masuk Islam pada malam hari.
Pendapat kedua, wajib atasnya qadhāʾ satu hari sebagai gantinya, karena masuk Islamnya pada sebagian siang hari mewajibkan atasnya puasa untuk sisa harinya, dan tidak mungkin ia mengkhususkan puasa hanya untuk bagian sisa itu, maka wajib baginya menggantinya dengan puasa satu hari penuh. Sebagaimana kami katakan dalam jazāʾ perburuan: ia diberi pilihan antara menggantinya dengan binatang ternak yang sepadan, atau memberi makan, atau puasa satu hari untuk setiap satu mud. Maka jika terdapat pecahan dalam amdād (ukuran takaran), ia wajib puasa satu hari penuh sebagai gantinya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الصَّبِيُّ إِذَا بَلَغَ فِي أيامٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ صِيَامَ ما بقي، ولا يلزمه قضاء ما مضى فَإِنْ كَانَ بُلُوغُهُ لَيْلًا، اسْتَأْنَفَ الصِّيَامَ مِنَ الْغَدِ، وَإِنْ كَانَ بُلُوغُهُ نَهَارًا فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِي يَوْمِهِ ذَلِكَ صَائِمًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُفْطِرًا فَإِنْ كَانَ فِي يَوْمِهِ مُفْطِرًا فَفِي وُجُوبِ قَضَائِهِ وَجْهَانِ كَالْكَافِرِ إِذَا أَسْلَمَ.
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ.
PASAL
Adapun anak kecil apabila mencapai usia baligh pada beberapa hari di bulan Ramadan, maka wajib atasnya untuk memulai puasa pada hari-hari yang tersisa, dan tidak wajib mengqadha hari-hari yang telah berlalu. Jika ia baligh pada malam hari, maka ia mulai berpuasa pada keesokan harinya. Dan jika ia baligh pada siang hari, maka ada dua keadaan:
pertama: ia sedang berpuasa pada hari tersebut.
kedua: ia sedang tidak berpuasa. Maka jika ia dalam keadaan tidak berpuasa pada hari itu, terdapat dua pendapat mengenai kewajiban qadha atasnya—sebagaimana orang kafir apabila masuk Islam:
pertama: wajib atasnya qadha.
وَالثَّانِي: لَا قضاء عليه وإن كان صايماً فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ أَنَّهُ يُتَمِّمُ صَوْمَهُ وَاجِبًا، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ وَلَا يُمْتَنَعُ أَنْ يَكُونَ مُتَنَفِّلًا بِالصِّيَامِ فِي أَوَّلِهِ مُفْتَرِضًا فِي آخِرِهِ، كَالصَّائِمِ الْمُتَطَوِّعِ إِذَا نَذَرَ إِتْمَامَ صَوْمِهِ إِنْ قَدِمَ زَيْدٌ، فَإِذَا قَدِمَ زِيدٌ لَزِمَهُ إِتْمَامُهُ، وَإِنْ كَانَ مُتَطَوِّعًا فِي ابْتِدَائِهِ وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يُسْتَحَبُّ لَهُ إِتْمَامُهُ، وَيَجِبُ عَلَيْهِ إِعَادَتُهُ وَإِنَّمَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ لِأَنَّ نِيَّتَهُ مِنَ اللَّيْلِ كَانَتْ لِلنَّفْلِ لَا لِلْفَرْضِ، وَقَدْ مَضَى هَذَا فِي كِتَابِ ” الصَّلَاةِ ” وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ رَتَّبَهَا عَلَى غَيْرِ هَذَا فَقَالَ: إِذَا قِيلَ إِذَا كَانَ مُفْطِرًا لَمْ يَلْزَمْهُ الْقَضَاءُ فَهَذَا أَوْلَى أَنْ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَإِذَا قِيلَ: لَوْ كَانَ مُفْطِرًا لَزِمَهُ الْقَضَاءُ فَفِي هَذَا وَجْهَانِ:
dan yang kedua: tidak wajib qadha atasnya. Dan jika ia dalam keadaan sedang berpuasa, maka mazhab al-Syāfi‘ī dan pendapat mayoritas sahabat-sahabat beliau adalah: ia wajib menyempurnakan puasanya dan tidak wajib mengulangnya, dan tidak mustahil seseorang memulai puasanya sebagai tathawwuʿ lalu berakhir sebagai farḍ, seperti orang yang berpuasa sunnah kemudian bernazar untuk menyempurnakan puasanya jika Zayd datang, maka jika Zayd datang, wajib baginya menyempurnakannya, meskipun ia memulainya sebagai puasa sunnah.
Abū al-‘Abbās Ibn Surayj berkata: disunnahkan baginya menyempurnakan puasanya dan wajib baginya mengulanginya, dan alasan wajibnya mengulang adalah karena niatnya di malam hari adalah untuk puasa sunnah, bukan puasa wajib. Hal ini telah dijelaskan dalam Kitāb al-Ṣalāh.
Dan sebagian sahabat kami menyusun pendapat ini berdasarkan sudut lain, yaitu: jika dikatakan bahwa jika ia sedang berbuka (tidak puasa) maka tidak wajib qadha, maka saat ia berpuasa semestinya lebih utama untuk tidak wajib qadha. Dan jika dikatakan bahwa jika ia sedang berbuka maka wajib qadha, maka dalam hal ini ada dua pendapat.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمَجْنُونُ إِذَا أَفَاقَ، فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُفِيقَ بَعْدَ مُضِيِّ زَمَانِ رَمَضَانَ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وأبي حنيفة وَسَائِرِ الْفُقَهَاءِ لَا يَلْزَمُهُ القضاء.
PASAL
Adapun orang gila apabila sadar, maka ia memiliki dua keadaan:
pertama: ia sadar setelah berlalunya waktu Ramadan, maka menurut mazhab al-Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah, dan seluruh fuqahāʾ, tidak wajib atasnya qadhāʾ.
وقال أبو العباس بن سريح عَلَيْهِ قَضَاءُ جَمِيعِ الشَّهْرِ كَالْمُغْمَى عَلَيْهِ، وَهَذَا مَذْهَبٌ لَهُ وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ وَيُفَارِقَ الْإِغْمَاءَ لِأَنَّ الْإِغْمَاءَ مَرَضٌ يَحْدُثُ مِثْلُهُ بِالْأَنْبِيَاءِ، وَالْجُنُونُ نَقْصٌ يَزُولُ مَعَهُ التَّكْلِيفُ، وَلَا يَجُوزُ حُدُوثُ مِثْلِهِ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ، أَنْ يُفِيقَ فِي خِلَالِ شَهْرِ رَمَضَانَ فَعَلَيْهِ أن يستأنف صيام ما بقي، ولا يلزمه قضاء ما مضى فإن أفاق ليلاً واستأنف الصِّيَامَ مِنَ الْغَدِ وَإِنْ أَفَاقَ نَهَارًا فَهَلْ يَلْزَمُهُ قَضَاءُ يَوْمِهِ، أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فَأَمَّا قَضَاءُ مَا مَضَى فَلَا يَلْزَمُهُ، وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا أَفَاقَ فِي خِلَالِ الشَّهْرِ فَعَلَيْهِ قَضَاءُ مَا مَضَى مِنْهُ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) {البقرة: 185) قَالَ: وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ أَرَادَ مَنْ شَهِدَ جُزْءًا مِنْهُ فَلْيَصُمْهُ لِأَنَّهُ لَوْ أَرَادَ مَنْ شَهِدَ جَمِيعَهُ لَوَقَعَ الصِّيَامُ فِي شَوَّالٍ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهَذَا الْمَجْنُونُ , قَدْ شَهِدَ جُزْءًا مِنَ الشَّهْرِ، فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ صِيَامُ جَمِيعِهِ قَالَ: وَلِأَنَّهُ مَعْنَى لَا يُنَافِي الصَّوْمَ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُسْقِطَ الْقَضَاءَ كَالْإِغْمَاءِ قَالَ فَإِنْ مَنَعْتُمْ مِنْ تَسْلِيمِ الْوَصْفِ دَلَّلْنَا عَلَيْهِ بِأَنَّهُ مَعْنَى يُزِيلُ الْعَقْلَ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُنَافِيَ الصَّوْمَ كَالْإِغْمَاءِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى فَسَادِ قَوْلِهِ مَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثلاثٍ ” ذَكَرَ فِيهَا الْمَجْنُونَ حَتَّى يُفِيقَ، وَلِأَنَّهُ مَعْنًى لَوْ دَامَ جَمِيعَ الشَّهْرِ أَسْقَطَ الْقَضَاءَ فَوَجَبَ إِذَا اتصل بعض الشَّهْرِ أَنْ يُسْقِطَ الْقَضَاءَ أَصْلُهُ الصِّغَرُ وَعَكْسُهُ الْمَرَضُ، وَلِأَنَّهُ زَمَانٌ مَرَّ عَلَيْهِ فِي الْجُنُونِ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ الْقَضَاءُ أَصْلُهُ إِذَا جُنَّ جَمِيعَ الشَّهْرِ، فَأَمَّا الْآيَةُ فَالْمُرَادُ بِهَا غير ما أدركه، وَإِنَّمَا أَرَادَ بِهَا مَنْ أَدْرَكَ جُزْءًا مِنَ الشَّهْرِ فَلْيَصُمْ مَا ذَكَرَ، فَإِنْ أَدْرَكَ جَمِيعَ الشَّهْرِ لَزِمَهُ صِيَامُ جَمِيعِهِ، وَإِنْ أَدْرَكَ بَعْضَهُ لَزِمَهُ صِيَامُ بَعْضِهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّهُ مَعْنَى لَا يُنَافِي الصَّوْمَ، فَلَا نُسَلِّمُ لَهُمْ وَيُنَازِعُوا فِي مَعْنَى الْأَصْلِ الْمَرْدُودِ إِلَيْهِ عَلَى أَنَّهُ لَوْ سَلَّمَ لَهُمْ، أَنَّهُ لَا يُنَافِي الصَّوْمَ لَمْ يَدُلَّ عَلَى إِيجَابِ الْقَضَاءِ كَالصِّغَرِ لَا يُنَافِي الصَّوْمَ، وَلَا يُوجِبُ الْقَضَاءَ.
Dan Abū al-ʿAbbās ibn Suraij berkata: Wajib atasnya qadhāʾ seluruh bulan sebagaimana orang yang pingsan. Ini adalah salah satu mazhab beliau, namun tidaklah ṣaḥīḥ, karena sabda Nabi SAW: “Diangkat pena dari tiga golongan…” dan disebutkan di dalamnya orang gila sampai ia sadar. Dan perbedaan antara pingsan dan gila adalah bahwa pingsan adalah penyakit yang bisa saja menimpa para nabi, sedangkan kegilaan adalah kekurangan yang menggugurkan taklīf, dan tidak mungkin terjadi pada para nabi.
Adapun keadaan kedua adalah apabila ia sadar di tengah bulan Ramadan, maka wajib atasnya memulai kembali puasa untuk hari-hari yang tersisa, dan tidak wajib atasnya qadhāʾ untuk hari-hari yang telah lalu. Maka jika ia sadar pada malam hari, ia mulai puasa dari keesokan harinya. Dan jika ia sadar pada siang hari, maka apakah wajib atasnya qadhāʾ hari itu atau tidak? Maka terdapat dua wajah yang telah lalu. Adapun qadhāʾ hari-hari yang telah lalu, maka tidak wajib atasnya.
Adapun Abū Ḥanīfah berkata: Jika ia sadar di tengah bulan, maka wajib atasnya qadhāʾ seluruh hari yang telah berlalu dari bulan tersebut, dengan berpegang pada firman Allah Taʿālā:
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan itu, hendaklah ia berpuasa” (al-Baqarah: 185).
Ia berkata: Telah diketahui bahwa yang dimaksud adalah barang siapa menyaksikan sebagian dari bulan itu maka hendaklah ia berpuasa, karena seandainya yang dimaksud adalah menyaksikan seluruh bulan, niscaya puasanya akan terjadi di bulan Syawwal. Maka jika demikian, orang gila ini telah menyaksikan sebagian dari bulan, maka wajib atasnya puasa seluruhnya.
Ia juga berkata: Karena itu adalah makna yang tidak bertentangan dengan puasa, maka tidak seharusnya menggugurkan kewajiban qadhāʾ, sebagaimana halnya pingsan. Ia berkata: Jika kalian tidak menerima sifat tersebut, maka kami akan menunjukkan bahwa itu adalah makna yang menghilangkan akal, maka semestinya tidak bertentangan dengan puasa sebagaimana pingsan.
Dan dalil atas rusaknya pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Diangkat pena dari tiga…” dan disebutkan di dalamnya orang gila sampai ia sadar. Dan karena ia adalah suatu keadaan yang jika berlangsung selama sebulan penuh, maka menggugurkan kewajiban qadhāʾ, maka jika berlangsung sebagian dari bulan, semestinya juga menggugurkan qadhāʾ. Asalnya adalah anak kecil, dan kebalikannya adalah orang sakit.
Dan karena ia adalah masa yang dilaluinya dalam keadaan gila, maka tidak wajib atasnya qadhāʾ — asalnya adalah: jika ia gila selama seluruh bulan, maka tidak wajib atasnya qadhāʾ. Maka adapun ayat tersebut, yang dimaksud bukanlah bagian bulan yang tidak ia dapati, namun yang dimaksud adalah barang siapa yang menyaksikan sebagian bulan, maka hendaklah ia puasa bagian yang disebutkan itu. Maka jika ia mendapati seluruh bulan, wajib atasnya puasa seluruhnya, dan jika ia mendapati sebagian, maka wajib atasnya puasa sebagian.
Adapun ucapan mereka bahwa itu adalah makna yang tidak bertentangan dengan puasa, maka kami tidak menerimanya. Bahkan mereka berselisih dalam makna asal yang dikembalikan kepadanya. Kalaupun kami menerima bahwa itu tidak bertentangan dengan puasa, itu tidak menunjukkan wajibnya qadhāʾ, sebagaimana anak kecil — ia tidak bertentangan dengan puasa — namun tidak diwajibkan atasnya qadhāʾ.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَأُحِبُّ لِلصَائِمِ أَنْ يُنَزِّهَ صِيَامَهُ عَنِ اللَّغَطِ الْقَبِيحِ، وَالْمُشَاتَمَةِ وَإِنْ شُوتِمَ أَنْ يَقُولَ إِنِّي صائمٌ لِلْخَبَرِ فِي ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا الْكَذِبُ وَالْغِيبَةُ وَالشَّتْمُ وَالنَّمِيمَةُ، فَكُلُّ وَاحِدٍ مَمْنُوعٌ مِنْهُ غَيْرَ أَنَّ الصَّائِمَ بِالْمَنْعِ أَوْلَى لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إنَّ عِدَّةَ الشُهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً) {التوبة: 36) إِلَى قوله: {مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ فَلاَ تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أنْفُسَكُمْ) {التوبة: 36) فَالظُّلْمُ وَإِنْ كَانَ قَبِيحًا فِي جَمِيعِ السَّنَةِ فَهُوَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَقْبَحُ، وَإِنَّمَا كَانَ الصَّائِمُ بِالْمَنْعِ أَوْلَى، لِأَنَّ الصِّيَامَ أَفْضَلُ أَعْمَالِ الْقُرَبِ وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” صَمْتُ الصَّائِمِ تَسْبِيحٌ وَنَوْمُهُ عِبَادَةٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدِ إِفْطَارِهِ وفرحةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رَائِحَةِ الْمِسْكِ ” وَرُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ به فليس لله حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ” وَرَوَى الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صَوْمِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ “.
وَرَوَى أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الصَّوْمُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنِ امرؤٌ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ ” وَفِيهِ ثَلَاثَةُ تأويلات:
Masalah:
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Aku menyukai bagi orang yang berpuasa untuk menjaga puasanya dari ucapan keji, dan saling mencaci. Jika ia dicaci, maka hendaknya ia mengatakan: inni shāʾim, berdasarkan hadis dari Rasulullah SAW tentang hal itu.”
Al-Māwardī berkata: Adapun dusta, ghibah, mencaci, dan namīmah, semuanya dilarang. Namun larangan tersebut lebih ditekankan bagi orang yang berpuasa, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ada dua belas bulan…” hingga firman-Nya: “Di antaranya ada empat bulan haram, maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian di dalamnya” (QS. al-Tawbah: 36). Maka kezaliman, meskipun buruk di sepanjang tahun, namun pada bulan-bulan haram lebih buruk lagi. Dan orang yang berpuasa lebih utama untuk dijauhkan dari larangan tersebut karena puasa merupakan salah satu amal qurbah yang paling utama.
Diriwayatkan dari ʿAbdullāh ibn ʿUmar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya ibadah, doanya mustajab, amalnya dilipatgandakan, dan bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan: kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu Rabb-nya. Dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau misk.”
Diriwayatkan dari Abū Hurayrah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.”
Dan diriwayatkan oleh al-Maqburī dari Abū Hurayrah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Bisa jadi orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar dan haus, dan bisa jadi orang yang bangun malam tidak mendapatkan dari qiyāmnya kecuali begadang.”
Dan diriwayatkan oleh Abū al-Zinād dari al-Aʿraj dari Abū Hurayrah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Puasa adalah perisai, maka jika salah seorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata keji dan jangan berbuat bodoh. Jika seseorang mencacinya, hendaklah ia berkata: inni shāʾim, inni shāʾim.”
Dan dalam sabda ini terdapat tiga taʾwīl:
أَحَدُهَا: إِنَّهُ فِي قَوْلِهِ: إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صائم شفاء لغيظه وسكوناً لنفسه، فَيَمْتَنِعُ عَنْ جَوَابِ خَصْمِهِ.
وَالثَّالِثُ: لِيَعْلَمَ خَصْمُهُ صِيَامَهُ، فَيَكُفَّ عَنْ شَتْمِهِ وَأَذَاهُ، فَلَوْ خَالَفَ هَذَا فَكَذَبَ أَوِ اغْتَابَ أَوْ نَمَّ أَوْ شَتَمَ كَانَ آثِمًا مُسِيئًا وَهُوَ عَلَى صَوْمِهِ، وَبِهِ قَالَ جَمِيعُ الْفُقَهَاءِ إِلَّا الْأَوْزَاعِيَّ فَإِنَّهُ قَالَ: قَدْ أَفْطَرَ، وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ تَعَلُّقًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الْغِيبَةُ وَالنَمِيمَةُ وَالْكَذِبُ وَالنَظَرُ بِالشَّهْوَةِ واليمين الكاذبة ” وهذا الخبر ورد علىطريق الزَّجْرِ وَالتَّغْلِيظِ، وَسُقُوطِ الثَّوَابِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أنْ يَأْكُلْ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً} (الحجرات: 12) وَالْإِنْسَانُ لَا يَأْكُلُ لحم أخيه ميتاً بالغيبة وإنما أثم كَإِثْمِهِ لَوْ أَكَلَ، وَكَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ تَكَلَّمَ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلَا جُمُعَةَ لَهُ ” تَشْدِيدٌ فِي سُقُوطِ الثَّوَابِ وَإِنَّمَا حَمَلْنَاهُ عَلَى هَذَا، لِأَنَّ دَلِيلَ الْإِجْمَاعِ يَدْفَعُهُ، وَلِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ كَانَ الْمُبَاحُ مِنْهُ لَا يُفْطِرُ، فَإِنَّ الْمَحْظُورَ مِنْهُ لَا يُفْطِرُ، أَصْلُهُ الْقُبْلَةُ وَعَكْسُهُ الأكل والجماع.
Pertama: Sesungguhnya dalam ucapannya “innī ṣāʾim, innī ṣāʾim” terdapat penawar bagi amarahnya dan penenang bagi jiwanya, sehingga ia menahan diri dari membalas lawannya.
Ketiga: Agar lawannya mengetahui bahwa ia sedang berpuasa, lalu menahan diri dari mencacinya dan menyakitinya. Maka jika ia menyelisihi hal ini dengan berdusta, menggunjing, mengadu domba, atau mencaci, maka ia berdosa dan berbuat buruk, namun ia tetap dalam keadaan berpuasa. Ini adalah pendapat seluruh fuqahāʾ kecuali al-Awzāʿī, karena ia berpendapat bahwa ia telah membatalkan puasanya dan wajib atasnya qadhāʾ, berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Lima perkara yang membatalkan puasa: ghibah, namīmah, dusta, memandang dengan syahwat, dan sumpah palsu.”
Namun hadis ini datang dalam konteks ancaman keras dan peringatan berat, serta sebagai isyarat akan gugurnya pahala, sebagaimana firman Allah Taʿālā:
“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang telah mati?” (QS al-Ḥujurāt: 12)
Padahal manusia tidak benar-benar memakan daging saudaranya yang mati melalui ghibah, tetapi dosanya seperti dosa orang yang memakannya. Dan sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa berbicara saat imam sedang berkhutbah, maka tidak ada Jumat baginya,”
yang maksudnya adalah penekanan pada gugurnya pahala. Dan kami menafsirkan hadis tersebut seperti itu karena adanya dalil ijmāʿ yang menolaknya. Dan karena segala sesuatu yang bagian mubah-nya tidak membatalkan puasa, maka bagian terlarangnya pun tidak membatalkan puasa. Dasarnya adalah hukum ciuman, dan kebalikannya adalah makan dan jimaʿ.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَالشَّيْخُ الْكَبِيرُ الَّذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصَوْمَ وَيَقْدِرُ عَلَى الْكَفَّارَةِ يَتَصَدَّقُ عَنْ كُلِّ يومٍ بِمُدٍّ من حنطة وروي عن ابن عباس في قوله جل وعز {وَعَلَى الّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} قال المرأة الهم والشيخ الكبير يفطران ويطعمان لكل يومٍ مسكيناً (قال الشافعي) وغيره من المفسرين يقرءونها ” يطيقونه ” وكذلك نقرؤها ونزعم أنها نزلت حيت نزل فرض الصوم ثم نسخ ذلك قال وآخر الآية يدل على هذا المعنى لأن الله عز وجل قال {فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطوَّعَ خَيْراً} فزاد على مسكين {فَهُوَ خَيْراً لَهُ} ثم قال: {وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ} قال فلا يأمر بالصيام من لا يطيقه ثم بين فقال {فَمَن شَهِدَ مِنكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} وإلى هذا نذهب وهو أشبه بظاهر القرآن (قال المزني) هذا بين في التنزيل مستغنىً فيه عن التأويل “.
Masalah:
Imam al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata:
“Orang tua renta yang tidak mampu berpuasa tetapi mampu membayar kafārah, maka ia bersedekah untuk setiap hari dengan satu mudd gandum.”
Diriwayatkan dari Ibn ʿAbbās tentang firman Allah Taʿālā: {Wa ʿala alladzīna yuṭīqūnahu fidyatun ṭaʿāmu miskīn} bahwa yang dimaksud adalah wanita yang lemah dan orang tua renta; keduanya boleh berbuka dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya.
(Imam al-Syāfiʿī berkata:) Para mufassir lainnya juga membaca ayat ini dengan “yuṭīqūnahu”, dan kami pun membaca seperti itu, dan kami berpendapat bahwa ayat ini turun ketika puasa pertama kali diwajibkan, lalu hukumnya dimansukh. Beliau berkata: akhir ayat ini menunjukkan makna tersebut, karena Allah Azza wa Jalla berfirman: {fidyatun ṭaʿāmu miskīn, fa man taṭawwaʿa khayran fa huwa khayrun lah}, artinya: jika menambah dari satu miskin, maka itu lebih baik baginya. Lalu Allah berfirman: {wa an taṣūmū khayrun lakum} — maka tidak mungkin Allah memerintahkan puasa kepada orang yang tidak mampu.
Lalu Allah menjelaskan dengan firman-Nya: {fa man shahida minkumu al-shahra falyasumhu} — siapa yang menyaksikan bulan (Ramadan), hendaklah ia berpuasa. Dan inilah pendapat yang kami anut, dan ini lebih sesuai dengan ẓāhir al-Qurʾān.
(al-Muzanī berkata:) Ini jelas terdapat dalam al-Tanzīl dan tidak membutuhkan taʾwīl.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الشَّيْخُ الْهَرِمُ وَالشَّيْخَةُ الْهَرِمَةُ إِذَا عَجَزَا عَنِ الصَّوْمِ لِعَارِضٍ يُرْجَى زَوَالُهُ فهما كالمريض لهما أن يفطر أَوْ يَقْضِيَا إِذَا أَطَاقَا، وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِمَا فَأَمَّا إِذَا عَجَزَا عَنِ الصِّيَامِ لِضَعْفِ الْكِبَرِ، وما لا يرجى زواله، أو كانا يلحقا فِي الصَّوْمِ مَشَقَّةٌ عَظِيمَةٌ، فَلَهُمَا أَنْ يُفْطِرَا وَعَلَيْهِمَا أَنْ يُطْعِمَا عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا إِنْ أَمْكَنَهُمَا وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وأبو حنيفة وَصَاحِبَاهُ إِلَّا أَنَّ أبا حنيفة قَالَ: يُطْعِمَانِ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِنَ الْبُرِّ مُدَّيْنِ، وَمِنَ التَّمْرِ وَالشَّعِيرِ صَاعًا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ في الكفارة.
Berkata al-Māwardī: Adapun orang tua laki-laki yang renta dan perempuan tua yang renta, apabila keduanya tidak mampu berpuasa karena uzur yang masih diharapkan hilangnya, maka keduanya seperti orang sakit: boleh berbuka dan boleh menggantinya jika mampu, dan tidak ada kafārah atas keduanya.
Adapun jika keduanya tidak mampu berpuasa karena lemahnya usia tua yang tidak diharapkan hilangnya, atau keduanya mengalami kesulitan yang sangat berat dalam berpuasa, maka keduanya boleh berbuka dan wajib atas keduanya memberi makan satu mud untuk setiap hari jika memungkinkan. Dan ini adalah pendapat al-Awzāʿī, al-Thawrī, Abū Ḥanīfah dan dua sahabatnya — hanya saja Abū Ḥanīfah berkata: Keduanya memberi makan dua mud dari gandum untuk setiap hari, dan satu ṣāʿ dari kurma atau jelai, berdasarkan pada pendapat dasarnya dalam hal kafārah.
وَقَالَ رَبِيعَةُ وَمَالِكٌ: لَهُمَا أَنْ يُفْطِرَا وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِمَا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُمَا أَفْطَرَا لِأَجْلِ أَنْفُسِهِمَا بِعُذْرٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَهُمَا الْفِدْيَةُ كَالْمُسَافِرِ وَالْمَرِيضِ قَالُوا: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ عَلَى الْبَدَنِ، فَوَجَبَ أَنْ تَنْقَلِبَ إِلَى الْمَالِ أَصْلُهُ الصَّلَاةُ قَالُوا وَلِأَنَّ الْعَجْزَ عَنِ الصَّوْمِ يُوجِبُ سُقُوطَ الْكَفَّارَةِ كَالْمُسَافِرِ وَالْمَرِيضِ إِذَا مَاتَا قَبْلَ إِمْكَانِ الصَّوْمِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى وُجُوبِ الْفِدْيَةِ قَوْله تَعَالَى: {وَعَلى الّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامٌ مَسَاكِينَ) {البقرة: 184) وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ فِيهِمَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَانَ قَدْ خَيَّرَ النَّاسَ فِي بَدْءِ الْإِسْلَامِ بَيْنَ أَنْ يَصُومُوا، وَبَيْنَ أَنْ يُفْطِرُوا، ثُمَّ يَفْتَدُوا ثُمَّ حَتَّمَ اللَّهُ الصِّيَامَ عَلَى مَنْ أَطَاقَهُ، بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} (البقرة: 185) وَبَقِيَ مَنْ لَمْ يُطِقْ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ فِي جَوَازِ الْفِطْرِ وَوُجُوبِ الْفِدْيَةِ، وَقَدْ كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ وَعَلَى الَّذِينَ يطيقونه يَعْنِي يُكَلَّفُونَهُ، فَلَا يَقْدِرُونَ عَلَى صِيَامِهِ وَقِرَاءَةُ الصَّحَابِيِّ تَجْرِي مَجْرَى خَبَرِ الْوَاحِدِ فِي وُجُوبِ الْعَمَلِ بِهِ لِأَنَّهُ لَا يَقُولُ ذَلِكَ إِلَّا سَمَاعًا، وَتَوْقِيفًا، وَإِنَّمَا عَدَلَ الشَّافِعِيُّ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِهَذِهِ الْقِرَاءَةِ، لِأَنَّهَا تَشُذُّ عَنِ الْجَمَاعَةِ، وَتُخَالِفُ رَسْمَ الْمُصْحَفِ وَيَدُلُّ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، وَهُوَ مَا رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عنهم، أنهم قالوا: الهم عَلَيْهِ الْفِدْيَةُ إِذَا أَفْطَرَ، وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ وَلِأَنَّهُ صَوْمٌ وَاجِبٌ فَجَازَ أَنْ يَسْقُطَ إِلَى بَدَلٍ، وَهُوَ الطَّعَامُ أَصْلُهُ الصَّوْمُ فِي كَفَّارَةِ الظِّهَارِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَدْخُلُ فِي جُبْرَانِهَا الْمَالُ فَجَازَ أَنْ يَقُومَ فِيهِ غَيْرُ عَمَلِهِ مَقَامَ عَمَلِهِ أَصْلُهُ الْحَجُّ، فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُسَافِرِ وَالْمَرِيضِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ عُذْرٌ أَوْجَبَ الْقَضَاءَ فَأَسْقَطَ الْكَفَّارَةَ، وَهَذَا عُذْرٌ أَسْقَطَ الْقَضَاءَ فَلِذَلِكَ أَوْجَبَ الْكَفَّارَةَ.
Rabīʿah dan Mālik berkata: “Keduanya (yaitu orang tua renta laki-laki dan perempuan) boleh berbuka dan tidak ada fidyah atas keduanya,” dengan berdalil bahwa keduanya berbuka karena diri mereka sendiri dengan adanya uzur, maka tidak wajib atas mereka fidyah, sebagaimana musafir dan orang sakit. Mereka berkata: “Karena ia (puasa) adalah ibadah badan, maka wajib berpindah ke harta; asalnya adalah shalat.” Mereka juga berkata: “Karena ketidakmampuan berpuasa menyebabkan gugurnya kaffārah, sebagaimana musafir dan orang sakit apabila keduanya wafat sebelum mampu berpuasa.”
Adapun dalil atas kewajiban fidyah adalah firman Allah Ta‘ālā: wa ‘ala alladzīna yuṭīqūnahu fidyatun ṭa‘āmu miskīn (QS al-Baqarah: 184), dan sisi pendalilan pada keduanya (orang tua renta) adalah bahwa Allah Ta‘ālā dahulu memberi pilihan kepada manusia pada awal Islam antara berpuasa atau berbuka kemudian membayar fidyah. Lalu Allah mewajibkan puasa bagi orang yang mampu dengannya melalui firman-Nya Ta‘ālā: fa man syahida minkumu al-syahra fa l-yaṣumhu (QS al-Baqarah: 185), dan tetaplah orang yang tidak mampu pada hukum asal berupa kebolehan berbuka dan kewajiban fidyah.
Ibnu ʿAbbās dahulu membaca: wa ‘ala alladzīna yuṭīqūnahu, maksudnya: dibebani (puasa) namun mereka tidak mampu melaksanakannya. Bacaan seorang ṣaḥabat dihukumi seperti khabar wāḥid dalam wajibnya beramal dengannya, karena ia tidak mengatakan hal itu kecuali melalui pendengaran dan tawqīf (dari Nabi SAW). Adapun al-Syāfi‘ī tidak berdalil dengan bacaan ini karena ia menyelisihi jama‘ah dan bertentangan dengan rasm mushḥaf.
Yang menunjukkan apa yang kami sebutkan adalah ijmāʿ para ṣaḥabat, yaitu apa yang diriwayatkan dari ʿAlī bin Abī Ṭālib, ʿUmar bin al-Khaṭṭāb, ʿAbdullāh bin ʿUmar, dan ʿAbdullāh bin ʿAbbās RA bahwa mereka berkata: “Atas orang tua renta fidyah jika ia berbuka,” dan tidak ada yang menyelisihi mereka dari kalangan ṣaḥabat.
Dan karena ia adalah puasa wajib, maka boleh gugur kepada pengganti, yaitu makanan; asalnya adalah puasa dalam kaffārah ẓihār. Dan karena ia ibadah yang dapat diganti dengan harta, maka boleh sesuatu selain amalnya menggantikan amalnya; asalnya adalah haji.
Adapun qiyās mereka terhadap musafir dan orang sakit, maka alasan pada keduanya adalah bahwa itu uzur yang mewajibkan qaḍā’, maka gugurlah kaffārah; sedangkan ini adalah uzur yang menggugurkan qaḍā’, maka sebab itu diwajibkanlah kaffārah.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ فَبَاطِلٌ بِالصَّوْمِ فِي كَفَّارَةِ الظِّهَارِ، وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ الْعَجْزَ عَنِ الصَّوْمِ يُوجِبُ سُقُوطَ الْكَفَّارَةِ كَالْمَرِيضِ، إِذَا مَاتَ قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَى الصِّيَامِ قُلْنَا: الْمَعْنَى فِيهِمَا سَوَاءٌ وَذَاكَ أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى الْمَرِيضِ الْقَضَاءُ، فَإِذَا مَاتَ قَبْلَ الْإِمْكَانِ سَقَطَ عَنْهُ، فَهُمَا مِنْ مَعْنَى الْعَجْزِ سواء والواجب على الشيخ الهرم الفدية فإذا مات قبل الإمكان سقطت عنه فهما في معنى العجز سواء وَإِنَّمَا اخْتَلَفَا فِيمَا لَزِمَهُمَا قَبْلَ الْعَجْزِ فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ أَحَالَ قِرَاءَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمَنَعَ أن يكون لها وجه تَعَقَّبَهَا مِنْ قَوْله تَعَالَى: {فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأنْ تَصُومُواْ خَيْرٌ لَكُمْ) {البقرة: 184) وَالْعَاجِزُ عَنِ الصَّوْمِ يُؤْمَرُ بِتَرْكِهِ لَا بِفِعْلِهِ قُلْنَا: هَذَا عَائِدٌ إِلَى الْمُطِيقِ فَلَمْ يمتنع ما قاله ابن عباس.
Adapun qiyās mereka dengan salat, maka batil karena adanya kewajiban puasa dalam kafārah ẓihār. Adapun ucapan mereka bahwa ketidakmampuan berpuasa menggugurkan kafārah sebagaimana orang sakit jika ia wafat sebelum mampu berpuasa, maka kami katakan: maknanya sama pada keduanya. Sebab kewajiban atas orang sakit adalah qadhāʾ, maka jika ia wafat sebelum mampu melakukannya, gugurlah kewajiban tersebut. Maka keduanya termasuk dalam makna ‘ajz (ketidakmampuan). Dan kewajiban atas orang tua renta adalah fidyah, maka jika ia wafat sebelum mampu (menunaikannya), gugurlah kewajiban tersebut. Maka keduanya sama-sama dalam makna ketidakmampuan.
Perbedaan hanya terjadi dalam hal yang telah wajib atas keduanya sebelum muncul ketidakmampuan.
Adapun al-Muzanī, maka ia menolak bacaan Ibn ʿAbbās dan tidak menganggapnya memiliki makna, karena menyelisihi firman Allah Taʿālā:
“Barang siapa dengan sukarela berbuat kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu.” (al-Baqarah: 184)
Dan orang yang tidak mampu berpuasa diperintahkan untuk meninggalkannya, bukan untuk melakukannya.
Kami katakan: Ayat ini kembali kepada orang yang mampu (al-muṭīq), maka tidaklah tertolak apa yang dikatakan oleh Ibn ʿAbbās.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا أَكْرَهُ فِي الصَّوْمِ السِّوَاكَ بِالْعُودِ الرَّطْبِ وَغَيْرِهِ وَأَكْرَهُهُ بِالْعَشِيِّ لِمَا أُحِبُّ مِنْ خُلُوفِ فَمِ الصَّائِمِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
يُكْرَهُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَسْتَاكَ عَشِيًّا مِنْ زَوَالِ الشَّمْسِ إِلَى غُرُوبِهَا، وَلَمْ يُحَدِّدْهُ الشَّافِعِيُّ بِالزَّوَالِ وَإِنَّمَا ذَكَرَ الْعَشِيَّ فَحَدَّهُ أَصْحَابُنَا بِالزَّوَالِ، فَأَمَّا السِّوَاكُ غُدْوَةً إِلَى قَبْلِ الزَّوَالِ فَجَائِزٌ، وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ وأبي حنيفة جَوَازُهُ قَبْلَ الزَّوَالِ وَبَعْدَهُ تَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّهُ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا لَا أُحْصِي يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ.
Masalah:
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Aku tidak memakruhkan bersiwak ketika puasa dengan kayu ‘ūd yang basah maupun selainnya, namun aku memakruhkannya pada waktu ‘asyī (sore) karena aku menyukai bau mulut orang yang berpuasa.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan (oleh al-Syāfi‘ī). Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak pada waktu ‘asyī, yaitu sejak tergelincirnya matahari hingga terbenamnya. Dan al-Syāfi‘ī tidak menentukan dengan istilah zawāl (tergelincir), namun hanya menyebut ‘asyī, maka para aṣḥāb kami menetapkan batasannya dengan zawāl.
Adapun bersiwak di pagi hari hingga sebelum zawāl maka diperbolehkan. Dan dinukil dari Mālik dan Abū Ḥanīfah bahwa bersiwak boleh sebelum zawāl maupun setelahnya, dengan berdalil pada riwayat dari ‘Āmir bin Rabī‘ah bahwa ia berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW berkali-kali bersiwak dalam keadaan beliau sedang berpuasa.”
وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ خَيْرُ خِصَالِ الصَائِمِ السِّوَاكُ وَرُوِيَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الصَّائِمِ هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْتَاكَ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ؟ فَقَالَ: نَعَمْ شَيْءٌ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: نَعَمْ وَلِأَنَّ مَا يُسْتَحَبُّ فِعْلُهُ لِلصَّائِمِ قَبْلَ الزَّوَالِ يُسْتَحَبُّ لَهُ فِعْلُهُ بَعْدَ الزَّوَالِ كَالْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى كَرَاهَتِهِ عَشِيًّا مَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أَجْزِي عَلَيْهِ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَمَا هَذِهِ صِفَتُهُ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُسْتَحَبًّا، وَمَا كَانَ مُسْتَحَبًّا فَإِزَالَتُهُ مَكْرُوهَةٌ، وَخُلُوفُ الصَّوْمِ يَكُونُ عَشِيًّا، فَأَمَّا غُدْوَةً فَعَنْ نَوْمٍ، وَرُوِيَ عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: إِذَا صَامَ أَحَدُكُمُ فَلْيَسْتَكْ بِالْغَدَاةِ وَلَا يَسْتَكْ بِالْعَشِيِّ فَمَا مِنْ صَائِمٍ تَيْبَسُ شَفَتَاهُ إِلَّا كَانَ ذَلِكَ نُورًا بَيْنَ عَيْنَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَعَلَّقَتْ بِالْفَمِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ لِلصَّوْمِ تَأْثِيرٌ فِي مَنْعِهَا كَالْمُبَالَغَةِ فِي الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ وَلِأَنَّهَا رَائِحَةٌ تَوَلَّدَتْ مِنْ عِبَادَةٍ، فَجَازَ أَنْ يُكْرَهَ قَطْعُهَا أَصْلُهُ غَسْلُ دَمِ الشَّهِيدِ، فَأَمَّا خَبَرُ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ وَعَائِشَةَ فَمَحْمُولٌ عَلَى مَا قَبْلَ الزَّوَالِ بِدَلِيلِ مَا رَوَيْنَا، وَأَمَّا حَدِيثُ أَنَسٍ فَغَيْرُ ثَابِتٍ عَلَى أنه يحمل على الجواز وإخبارنا وعلى الْكَرَاهَةِ عَلَى أَنَّ خَبَرَنَا أَوْلَى لِأَنَّهُ يَقْتَضِي الْحَظْرَ مَعَ مَا فِيهِ مِنَ التَّعْلِيلِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمَضْمَضَةِ فَالْمَعْنَى فِيهَا إِنَّهَا لَا تُزِيلُ الْخُلُوفَ، وَلَا تُقْطَعُ بِهَا الرَّائِحَةُ.
diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik kebiasaan orang yang berpuasa adalah siwāk.”
Dan diriwayatkan dari Anas bin Mālik bahwa beliau ditanya tentang orang yang berpuasa, apakah boleh bersiwak pada pagi dan sore hari? Maka beliau menjawab: “Ya,” sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: “Ya.”
Karena apa yang disunnahkan untuk dilakukan oleh orang yang berpuasa sebelum zawāl, juga disunnahkan setelahnya, seperti maḍmaḍah dan istinšāq.
Dan dalil yang menunjukkan makruhnya bersiwak pada sore hari adalah riwayat dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah Ta‘ālā berfirman: ‘Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau misik.’”
Sesuatu yang memiliki sifat seperti itu mestilah mustahab, dan sesuatu yang mustahab maka menghilangkannya adalah makruh.
Sedangkan khulūf puasa itu terjadi pada sore hari, adapun pada pagi hari maka berasal dari tidur.
Dan diriwayatkan dari Khabbāb bin al-Aratt bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian berpuasa, maka hendaklah ia bersiwak di pagi hari dan jangan bersiwak di sore hari. Tidaklah ada seorang yang berpuasa lalu kedua bibirnya menjadi kering, kecuali itu menjadi cahaya di antara kedua matanya pada hari kiamat.”
Karena hal itu merupakan ibadah yang berkaitan dengan mulut, maka sah apabila dikatakan puasa memiliki pengaruh dalam pelarangan terhadapnya, sebagaimana berlebihan dalam maḍmaḍah dan istinšāq.
Dan karena itu adalah bau yang lahir dari ibadah, maka sah untuk dimakruhkan memutusnya. Asalnya adalah mencuci darah syuhadā’.
Adapun hadis ‘Āmir bin Rabī‘ah dan ‘Āisyah, maka itu ditakwilkan atas sebelum zawāl, berdasarkan dalil yang telah kami sebutkan.
Adapun hadis Anas, maka tidak tsabit. Kalaupun ditetapkan, maka dibawa pada makna kebolehan dan berita, sedangkan riwayat kami menunjukkan larangan disertai dengan alasan, dan riwayat kami lebih utama karena mengandung unsur larangan dan penjelasan sebab.
Adapun qiyās mereka terhadap maḍmaḍah, maka maksudnya adalah bahwa maḍmaḍah tidak menghilangkan khulūf dan tidak memutus bau tersebut.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا السِّوَاكُ بِالْعُودِ الرَّطْبِ فَقَدْ كَرِهَهُ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ قَالُوا: لِأَنَّهُ يَحْلِبُ الْفَمَ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَكْرُوهًا كَالْعِلْكِ، وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وأبو حنيفة وَالْفُقَهَاءُ إِلَى جَوَازِهِ بِالْعُودِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ، مِنْ غَيْرِ كَرَاهَةٍ لِأَنَّ كُلَّ مَنِ اسْتُحِبَّ لَهُ السِّوَاكُ بِالْعُودِ الْيَابِسِ اسْتُحِبَّ لَهُ السِّوَاكُ بِالْعُودِ الرَّطْبِ، كَغَيْرِ الصَّائِمِ، وَلِأَنَّ رُطُوبَةَ الْعُودِ لَيْسَ بِأَكْثَرَ مِنْ رُطُوبَةِ الْمَاءِ فِي الْمَضْمَضَةِ ثُمَّ لَمْ يُمْنَعِ الصَّائِمُ مِنْهَا، كَذَلِكَ مِنْ رُطُوبَةِ الْعُودِ فَأَمَّا الْعِلْكُ، فَإِنَّمَا كَرِهْنَاهُ لِأَنَّهُ يدعوا لقيء وَيُورِثُ الْعَطَشَ، وَيَحْلِبُ الْفَمَ وَهَذِهِ الْأَوْصَافُ غَيْرُ مَوْجُودَةٍ فِي الْعُودِ الرَّطْبِ، فَلِذَلِكَ لَمْ يُكْرَهُ والله أعلم.
PASAL
Adapun bersiwak dengan ‘ūd yang basah, maka Mālik, Aḥmad, dan Isḥāq memakruhkannya. Mereka berkata: Karena ia memerah (mengeluarkan air liur dari) mulut, maka wajib dimakruhkan seperti ‘ilk (permen karet).
Sedangkan al-Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah, dan para fuqahā’ berpendapat bahwa bersiwak dengan ‘ūd yang basah maupun kering hukumnya boleh tanpa kemakruhan. Karena setiap orang yang disunnahkan bersiwak dengan ‘ūd yang kering, juga disunnahkan bersiwak dengan yang basah, seperti orang yang tidak berpuasa. Dan karena kelembaban kayu tidak lebih banyak dari kelembaban air dalam berkumur, sedangkan orang yang berpuasa tidak dilarang dari berkumur, maka demikian pula tidak dilarang dari kelembaban kayu.
Adapun ‘ilk (permen karet), maka dimakruhkan karena menyebabkan muntah, menimbulkan rasa haus, dan memerah mulut, dan sifat-sifat ini tidak terdapat dalam ‘ūd yang basah. Oleh karena itu tidak dimakruhkan. Wallāhu a‘lam.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ عمته عائشة بنت طلحة أنها قالت دخل على النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقُلْتُ خَبَّأْنَا لَكَ حَيْسًا فَقَالَ ” أَمَا إِنِّي كنت أريد الصوم ولكن قربيه ” قال وقد صام رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في سفره حتى بلغ كراع الغميم ثم أفطر وركع عمر ركعة ثم انصرف فقيل له في ذلك فقال إنما هو تطوع فمن شاء زاد ومن شاء نقص ومما يثبت عن علي رضي الله عنه مثل ذلك وعن ابن عباس رحمه الله تعالى وجابر أنهما كانا يريان بالإفطار في صوم التطوع بأساً وقال ابن عباس في رجلٍ صلى ركعةً ولم يصل معها له أجرٌ ما احتسب (قال الشافعي) رحمه الله تعالى: فمن دخل في صومٍ أو صلاةٍ فأحب أن يستتم وإن خرج قبل التمام لم يعد “.
BAB PUASA SUNAT DAN KELUAR DARINYA SEBELUM SELESAI
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari Ṭalḥah bin Yaḥyā bin Ṭalḥah dari bibinya ʿĀisyah bint Ṭalḥah bahwa ia berkata: Nabi SAW masuk menemuiku, lalu aku berkata: “Kami telah menyimpan untukmu ḥays (makanan manis campuran kurma, minyak samin, dan tepung),” maka beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tadi ingin berpuasa, tetapi bawalah ke sini.”
Disebutkan pula bahwa Rasulullah SAW pernah berpuasa dalam safarnya hingga sampai di Kurāʿ al-Ghamīm, kemudian beliau berbuka. Dan ʿUmar pernah shalat satu rakaat lalu keluar. Maka dikatakan kepadanya tentang hal itu, lalu ia berkata: “Itu hanyalah ṭathawwuʿ, maka siapa yang ingin menambah silakan, dan siapa yang ingin mengurangi silakan.”
Dan dari ʿAlī RA juga terdapat riwayat yang serupa. Dari Ibn ʿAbbās raḥimahullāh dan Jābir bahwa keduanya tidak melihat adanya masalah dalam berbuka puasa sunat. Dan Ibn ʿAbbās berkata tentang seseorang yang shalat satu rakaat dan tidak menyempurnakannya: “Baginya pahala sesuai yang ia niatkan.”
(Al-Syāfiʿī raḥimahullāh berkata): Maka siapa yang telah masuk dalam puasa atau shalat, lalu ia ingin menyempurnakannya maka itu lebih baik. Dan jika ia keluar darinya sebelum sempurna, maka tidak perlu mengulang.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ فِي صِيَامِ التَّطَوُّعِ، أَوْ صَلَاةَ التَّطَوُّعِ، فَالْمُسْتَحَبُّ لَهُ إِتْمَامُ ذَلِكَ، فَإِنْ خَرَجَ مِنْهُ قَبْلَ إِتْمَامِهِ جَازَ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ مَعْذُورًا كَانَ، أَوْ غَيْرَ مَعْذُورٍ، وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَابْنِ مَسْعُودٍ وَفِي الْفُقَهَاءِ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ.
وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ خَرَجَ مِنْهُ بِعُذْرٍ جَازَ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ خَرَجَ مِنْهُ بِغَيْرِ عُذْرٍ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ.
وَقَالَ أبو حنيفة: عَلَيْهِ إِتْمَامُهُ فَإِنْ خَرَجَ مِنْهُ قَبْلَ إِتْمَامِهِ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ مَعْذُورًا، كَانَ أَوْ غَيْرَ مَعْذُورٍ وَالْخِلَافُ مَعَهُ فِي فَصْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: فِي وُجُوبِ إِتْمَامِهِ.
Berkata al-Māwardī: Dan ini sebagaimana yang dikatakan.
Apabila seseorang masuk ke dalam puasa tathawwuʿ atau salat tathawwuʿ, maka yang mustahabb baginya adalah menyempurnakan hal tersebut. Jika ia keluar darinya sebelum menyempurnakannya, maka hal itu boleh dan tidak wajib qadhaʼ atasnya, baik ia memiliki uzur ataupun tidak. Dan ini merupakan pendapat dari para sahabat: ʿUmar, ʿAlī, Ibnu ʿUmar, Ibnu ʿAbbās, dan Ibnu Masʿūd. Di kalangan fuqaha, ini adalah pendapat ats-Tsaurī, Aḥmad, dan Isḥāq.
Adapun Mālik berpendapat: Jika ia keluar dari ibadah tersebut karena uzur, maka boleh dan tidak wajib qadhaʼ atasnya. Namun jika ia keluar darinya tanpa uzur, maka ia wajib qadhaʼ.
Abū Ḥanīfah berkata: Wajib baginya untuk menyempurnakannya. Jika ia keluar darinya sebelum menyempurnakannya, maka wajib atasnya qadhaʼ, baik karena uzur maupun tidak. Perbedaan pendapat dengannya berada pada dua pasal:
Pertama: Dalam kewajiban menyempurnakan ibadah tersebut.
وَالثَّانِي: فِي وُجُوبِ قَضَائِهِ وَالْكَلَامُ فِيهِمَا سَوَاءٌ، وَاسْتَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْإِتْمَامِ بِحَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ، وَقَوْلُهُ ” هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا ” فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِلَّا أَنْ تَتَطَوَّعَ ” تَقْدِيرُهُ إِلَّا أَنْ تَتَطَوَّعَ فيلزمك التَطَوُّعُ ” أَيْضًا وَلِأَنَّ كُلَّ مَا وَجَبَ فِيهِ المضي بالنذر وجب المضي فيه بالفعل كالحرج وَاسْتَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْقَضَاءِ عِنْدَ فَقْدِ الْإِتْمَامِ بِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا أَفْطَرَتَا يَوْمًا تَطَوُّعًا فَقَالَتَا لِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أُهْدِيَ لَنَا طَعَامٌ فَاشْتَهَيْنَا فَأَفْطَرْنَا فَقَالَ: ” لَا عَلَيْكُمَا اقْضِيَا يَوْمًا مَكَانَهُ ” قَالَ: وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ مَقْصُودَةٌ انْعَقَدَتْ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي افْتَتَحَهَا، فَوَجَبَ إِذَا أَفْسَدَهَا أَنْ يَلْزَمَهُ قَضَاؤُهَا كَالْحَجِّ، وَقَوْلُهُ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي افْتَتَحَهَا احْتِرَازًا مِمَّنْ أَحْرَمَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ وَقْتِهَا، أَوْ أَحْرَمَ بِصَلَاةٍ فَائِتَةٍ ثُمَّ بَانَ لَهُ أَدَاؤُهَا فَلَهُ الْخُرُوجُ مِنْ ذَلِكَ قَبْلَ الْإِتْمَامِ، وَلِأَنَّهَا لَمْ تَنْعَقِدْ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي افْتَتَحَهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا خَطَأٌ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ الْخُرُوجِ مِنْ ذَلِكَ قَبْلَ إِتْمَامِهِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي أَوَّلِ الْبَابِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقُلْتُ خَبَّأْنَا لَكَ حَيْسًا فَقَالَ أَمَا إِنِّي كُنْتُ أُرِيدُ الصَوْمَ وَلَكِنْ قَرِّبِيهِ فَإِنْ قِيلَ فَقَوْلُهُ: أُرِيدُ الصَوْمَ لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ صَائِمٌ، وَإِنَّمَا أَخْبَرَ عَنْ إِرَادَةٍ يُحْدِثُهَا، قِيلَ قد أخر أَنَّهُ أَرَادَ الصَّوْمَ، فِيمَا مَضَى وَمَنْ أَرَادَ الصَّوْمَ فِيمَا مَضَى كَانَ صَائِمًا فِي الْحَالِ عَلَى أَنَّا رُوِّينَا عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: ” كُنْتُ أصبحت صائماً ولكن قريبه ” وروى شعبة عن جعدة عن أم هانئ وَهِيَ جَدَّتُهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْفَتْحِ فَأَتَى بِإِنَاءٍ مِنْ لبن فشرب ثم ناولني، فقلت إن صائمة فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ الْمُتَطَوِّعَ أَمِيرُ نَفْسِهِ فَإِنْ شِئْتِ فَصُومِي، وَإِنْ شِئْتِ فَأَفْطِرِي ” وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طعامٍ وَهُوَ صَائِمٌ تَطَوُّعًا فَلْيُفْطِرْ فَإِنَّ ذَلِكَ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَخْرُجُ بِالْفَسَادِ مِنْهَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يُلْزِمَهُ بِالدُّخُولِ فِيهَا كَالِاعْتِكَافِ، أَوْ كَمَنْ أَحْرَمَ بِصَلَاةِ فَرِيضَةٍ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِهَا، وَالدَّلَالَةُ عَلَى سُقُوطِ الْقَضَاءِ مَا رُوِيَ عَنْ أم هانئ قَالَتْ لَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ جَاءَتِ الْوَلِيدَةُ بِإِنَاءٍ فِيهِ شَرَابٌ فَنَاوَلَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَشَرِبَ مِنْهُ ثَمَّ نَاوَلَنِي فَشَرِبْتُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَفْطَرْتُ وَكُنْتُ صَائِمَةً وَكَرِهْتُ أَنْ أَرُدَّ سُؤْرَكَ فقال: ” إن كان فرضاً فاقض يَوْمًا مَكَانَهُ وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا فَإِنْ شِئْتِ فَاقْضِي وَإِنْ شِئْتِ فَلَا تَقْضِي ” وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ يَخْرُجُ بِالْفَسَادِ مِنْهَا فَوَجَبَ إِذَا تَطَوَّعَ بِالدُّخُولِ فِيهَا ثُمَّ أَفْسَدَهَا لَا يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ كَالطَّهَارَةِ، وَالِاعْتِكَافِ فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِحَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ فَمَعْنَاهُ إِلَّا أن تتطوع، فيكون ذلك أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْحَجِّ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
kedua: dalam kewajiban mengqadha’, dan pembahasan dalam keduanya sama. Ia berdalil atas wajibnya menyempurnakan dengan hadits al-a‘rābī, dan sabdanya: “apakah ada atas diriku selain itu?” lalu Nabi SAW bersabda: “kecuali jika engkau ingin melakukan tathawwu‘,” maknanya: “kecuali jika engkau melakukan tathawwu‘, maka tathawwu‘ itu pun wajib atasmu.” Dan karena segala sesuatu yang wajib dilanjutkan jika dinazarkan, maka wajib dilanjutkan juga jika sudah dimulai, seperti dalam kasus sumpah.
Ia juga berdalil atas wajibnya qadha’ ketika tidak menyempurnakan dengan riwayat dari ‘Aisyah dan Hafshah RA bahwa keduanya berbuka pada suatu hari tathawwu‘, lalu mereka berkata kepada Rasulullah SAW: “dihidangkan kepada kami makanan dan kami menginginkannya, maka kami berbuka.” Beliau bersabda: “tidak mengapa atas kalian berdua, qadha’-lah satu hari sebagai gantinya.”
Ia berkata: karena puasa itu adalah ibadah yang dimaksudkan dan telah dimulai sesuai tata cara pembukaannya, maka jika ia membatalkannya wajib baginya mengganti, seperti haji. Ucapannya “sesuai tata cara pembukaannya” dimaksudkan sebagai pengecualian dari orang yang ihrām untuk salat sebelum masuk waktunya, atau ihrām untuk salat qadha’ kemudian ternyata waktunya masih ada, maka boleh baginya keluar dari salat tersebut sebelum menyempurnakannya, karena salat itu belum dimulai dengan cara yang benar. Ini adalah kekeliruan.
Dalil atas bolehnya keluar dari ibadah sebelum menyempurnakannya adalah riwayat yang diriwayatkan al-Syāfi‘ī pada awal bab dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Rasulullah SAW masuk menemuiku, lalu aku berkata: kami telah menyisihkan untukmu ḥays (makanan), maka beliau bersabda: “sesungguhnya aku tadi berniat puasa, tapi dekatkanlah makanan itu.” Jika dikatakan: sabdanya “aku berniat puasa” tidak menunjukkan bahwa beliau sedang berpuasa, dan itu hanya mengabarkan tentang keinginan yang belum terealisasi, maka jawabannya: bahkan itu menunjukkan bahwa beliau telah berniat puasa sebelumnya, dan barangsiapa yang berniat puasa sebelumnya maka ia sedang berpuasa saat itu. Terlebih lagi kami meriwayatkan bahwa beliau bersabda: “aku tadi pagi dalam keadaan berpuasa, tapi dekatkanlah makanan itu.”
Dan telah meriwayatkan Syu‘bah dari Ja‘dah dari Umm Hāni’, yaitu neneknya, bahwa Nabi SAW masuk menemuinya pada hari Fathu Makkah lalu didatangkan bejana berisi susu, maka beliau minum dan memberikannya padaku. Aku berkata: aku sedang berpuasa. Maka Nabi SAW bersabda: “orang yang berpuasa tathawwu‘ adalah penguasa atas dirinya. Jika engkau mau, berpuasalah, dan jika engkau mau, berbukalah.”
Dan diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian diundang makan, sedangkan ia berpuasa tathawwu‘, maka hendaknya ia berbuka, karena itu lebih besar pahalanya.”
Dan karena puasa tathawwu‘ adalah ibadah yang bisa batal dengan perbuatan yang merusaknya, maka tidak boleh seseorang diwajibkan untuk menyempurnakannya, seperti i‘tikāf, atau seperti orang yang ihrām untuk salat fardhu sebelum masuk waktunya.
Adapun dalil atas gugurnya kewajiban qadha’ adalah riwayat dari Umm Hāni’, ia berkata: ketika hari Fathu Makkah datang, seorang pelayan perempuan datang dengan bejana berisi minuman dan memberikannya kepada Nabi SAW, maka beliau meminumnya lalu memberikannya kepadaku, lalu aku minum darinya. Aku berkata: wahai Rasulullah SAW, aku telah berbuka dan aku tadi sedang berpuasa, dan aku tidak ingin menolak sisa minumanmu. Maka beliau bersabda: “jika itu puasa wajib, maka qadha’-lah satu hari sebagai gantinya, dan jika itu puasa tathawwu‘, maka jika engkau mau, qadha’-lah, dan jika engkau mau, tidak perlu qadha’.”
Karena puasa tathawwu‘ adalah ibadah yang bisa batal dengan perusak, maka jika seseorang masuk ke dalamnya secara tathawwu‘ lalu merusaknya, ia tidak diwajibkan untuk mengqadha’, seperti ṭahārah dan i‘tikāf.
Adapun istidlāl-nya dengan hadits al-a‘rābī, maka maknanya adalah: “kecuali jika engkau melakukan tathawwu‘,” maka itu bermakna engkau mengerjakannya.
Sedangkan qiyās-nya terhadap haji, maka perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ لَا يَخْرُجُ مِنَ الْحَجِّ بِالْفَسَادِ، وَيَخْرُجُ مِنْ غَيْرِهِ بالفساد.
وَالثَّانِي: إِنَّ فَرْضَ الْحَجِّ وَنَفْلَهُ يَسْتَوِي فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ بِالْإِفْسَادِ، وَيُخَالِفُ غَيْرَهُ مِنَ الصَّلَاةِ، وَالصِّيَامِ وَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَضَعِيفٌ، لِأَنَّ الرَّاوِيَ لَهُ الزُّهْرِيُّ، وَقَدْ قَالَ لَهُ ابْنُ جُرَيْجٍ سَأَلْتُ الزُّهْرِيَّ عَنْهُ فَقَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا عَلَى بَابِ سُلَيْمَانَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ يُحَدِّثُ بِهِ لَا أَعْرِفُهُ، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّهُ قَالَ: ” اقْضِيَا يَوْمًا مَكَانَهُ إِنْ شِئْتُمَا ” عَلَى أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ يَوْمًا مَكَانَهُ أَيْ مِثْلَهُ وَمِثْلُهُ تَطَوُّعٌ لَا وَاجِبٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
salah satunya: bahwa seseorang tidak keluar dari ibadah haji karena kerusakan, sedangkan dari selainnya ia keluar karena kerusakan.
yang kedua: bahwa haji wajib dan sunnah itu sama-sama mewajibkan kafārah bila dirusak, berbeda dengan selainnya seperti salat dan puasa.
Adapun hadits ‘Āisyah dan Ḥafṣah adalah hadits yang lemah, karena perawinya adalah az-Zuhrī, dan Ibn Juraij berkata kepadanya: “Aku bertanya kepada az-Zuhrī tentang hadits ini,” maka ia berkata: “Aku mendengar seorang lelaki di depan pintu Sulaimān bin ‘Abd al-Malik meriwayatkannya, namun aku tidak mengenalnya.”
Dan telah diriwayatkan bahwa az-Zuhrī berkata: “qadha’-lah satu hari sebagai gantinya jika kalian berdua menghendaki.”
Adapun makna sabda beliau “satu hari sebagai gantinya” adalah: “semisalnya”, dan semisalnya itu adalah tathawwu‘, bukan yang wajib. Dan Allah Maha Mengetahui.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا مالكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنِ الْوِصَالِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ ” إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ إِنِّي أطعم وأسقى ” (قال الشافعي) وفرق الله بين رسوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وبين الناس في أمور أباحها له حظرها عليهم وفي أمورٍ كتبها عليه خففها عنهم “.
PASAL: Larangan al-wiṣāl dalam puasa
Berkata asy-Syāfiʿī raḥimahullāh:
“Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Nāfiʿ dari Ibnu ʿUmar bahwa Rasulullah SAW melarang dari al-wiṣāl (puasa bersambung tanpa berbuka). Maka dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau melakukan wiṣāl?’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Aku diberi makan dan minum.’”
(Berkata asy-Syāfiʿī):
“Allah telah membedakan antara Rasul-Nya SAW dan manusia dalam beberapa perkara: ada yang Allah halalkan khusus untuk beliau namun diharamkan bagi mereka, dan ada perkara yang Allah wajibkan atas beliau namun diringankan atas mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْوِصَالُ فِي الصِّيَامِ فَهُوَ أَنْ يَصُومَ الرَّجُلُ يَوْمَهُ فَإِذَا دَخَلَ اللَّيْلُ امْتَنَعَ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، ثُمَّ أَصْبَحَ مِنَ الْغَدِ صَائِمًا فَيَصِيرُ وَاصِلًا بَيْنَ الْيَوْمَيْنِ بِالْإِمْسَاكِ لَا بِالصَّوْمِ لِأَنَّهُ قَدْ أَفْطَرَ بِدُخُولِ اللَّيْلِ، وَإِنْ لَمْ يَأْكُلْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إذا أقبل الليل من هاهنا وأدبر النهار مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ ” رَوَاهُ أَبُو هُرَيْرَةَ فَهَذَا هُوَ الْوِصَالُ الْمَكْرُوهُ الَّذِي نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَكَانَ الْأَصْلُ فِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَاصَلَ فَوَاصَلَ النَّاسُ ثُمَّ نَهَاهُمْ عَنِ الْوِصَالِ فَانْتَهَوْا ثُمَّ وَاصَلَ فَوَاصَلُوا فَقَالَ: ” أَمَا إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ الْوِصَالِ ” فَقَالُوا رَأَيْنَاكَ وَاصَلْتَ فَوَاصَلْنَا فَقَالَ ” إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ إِنِّي أُطْعَمُ وَأُسْقَى ” وَرَوَى أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ، إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي ” وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Berkata al-Māwardī:
Adapun wiṣāl dalam puasa adalah seseorang berpuasa pada siang harinya, lalu ketika malam telah masuk ia menahan diri dari makan dan minum, kemudian ia masuk pagi di hari berikutnya dalam keadaan berpuasa. Maka ia telah menyambung antara dua hari dengan menahan diri (imsāk), bukan dengan puasa, karena ia telah berbuka dengan masuknya malam meskipun ia tidak makan.
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila malam datang dari arah sini dan siang pergi dari arah sana, maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” Diriwayatkan oleh Abū Hurairah.
Inilah wiṣāl yang makruh dan dilarang oleh Rasulullah SAW.
Adapun asal mula perkaranya adalah bahwa Rasulullah SAW melakukan wiṣāl, lalu orang-orang pun ikut wiṣāl, maka beliau melarang mereka dari wiṣāl, lalu mereka pun berhenti. Kemudian beliau wiṣāl kembali, maka orang-orang pun wiṣāl, maka beliau bersabda: “Bukankah aku telah melarang kalian dari wiṣāl?”
Mereka berkata: “Kami melihat engkau wiṣāl, maka kami ikut wiṣāl.” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Aku diberi makan dan minum.”
Dan telah meriwayatkan Abū az-Zinād dari al-Aʿraj dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jauhilah oleh kalian wiṣāl, jauhilah wiṣāl, jauhilah wiṣāl! Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan Rabbku memberiku makan dan minum.”
Dan dalam hal ini terdapat dua penakwilan:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ يُطْعِمُهُ وَيَسْقِيهِ حَقِيقَةً.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ يَمُدُّهُ مِنَ الْقُوَّةِ بِمَا يَقُومُ مَقَامَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ.
فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا، فَالْوِصَالُ مَكْرُوهٌ لِمَا ذَكَرْنَا، وَلِأَنَّ الْوِصَالَ يُورِثُ ضَعْفًا، وَيُقَاسِي فِيهِ مَشَقَّةً وَجُهْدًا فَرُبَّمَا أَعْجَزَهُ عَنْ أَدَاءِ مُفْتَرَضَاتِهِ، فَإِنْ وَاصَلَ فَقَدْ أَسَاءَ وَصَوْمُهُ جَائِزٌ، لِأَنَّ النهي توجه إلى غير زمان الصوم فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ قَادِحًا فِي صِيَامِهِ، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَاصَلَ الصِّيَامَ سَبْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا، ثُمَّ أَفْطَرَ عَلَى سَمْنٍ وَلَبَنٍ وَصَبِرٍ وَتَأَوَّلَ فِي السَّمْنِ أَنَّهُ يُلَيِّنُ الْأَمْعَاءَ، وَفِي اللَّبَنِ أَنَّهُ أَلْطَفُ غِذَاءٍ، وَفِي الصَّبِرِ أَنَّهُ يُقَوِّي الْأَعْضَاءَ.
salah satunya: bahwa ia benar-benar memberinya makan dan minum secara hakiki.
yang kedua: bahwa ia memberinya tambahan kekuatan dengan sesuatu yang menempati posisi makanan dan minuman.
Maka apabila hal ini telah tetap, maka wiṣāl hukumnya makruh karena alasan yang telah disebutkan, dan karena wiṣāl menyebabkan kelemahan, dan seseorang mengalami kepayahan serta kesulitan di dalamnya, sehingga bisa saja membuatnya tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Jika seseorang melakukan wiṣāl, maka ia telah berbuat buruk, namun puasanya tetap sah, karena larangan tersebut tidak mengenai waktu puasa, sehingga hal itu tidak merusak puasanya.
Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin az-Zubair pernah melakukan wiṣāl selama tujuh belas hari, kemudian ia berbuka dengan lemak, susu, dan ṣabir (sejenis tumbuhan pahit). Ia menakwil lemak sebagai pelembut usus, susu sebagai makanan yang paling lembut, dan ṣabir sebagai penguat anggota tubuh.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ قَالَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بن شابورٍ وَغَيْرُهُ عَنْ أَبِي قَزَعَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ أَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ السَّنَةِ وَالسَّنَةِ التِّي تليها وصيام يوم عاشوراء يكفر سنة ” قال فأحب صومها إلا أن يكون حاجاً فأحب له ترك صوم يوم عرفة لأنه حاج مضح مسافر ولترك النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صومه في الحج وليقوى بذلك على الدعاء وأفضل الدعاء يوم عرفة “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
PASAL PUASA HARI ARAFAH DAN HARI ‘ĀSYŪRĀ’
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Sufyān bin ‘Uyainah telah mengabarkan kepada kami, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Dāwud bin Syābūr dan selainnya, dari Abī Qaza‘ah, dari Abī al-Khalīl, dari Abī Ḥarmalah, dari Abī Qatādah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
‘Puasa hari ‘Arafah menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya. Dan puasa hari ‘Āsyūrā’ menghapus dosa setahun.’”
Ia berkata: “Maka aku menyukai puasa kedua hari itu, kecuali jika seseorang sedang berhaji. Maka aku menyukai baginya untuk tidak berpuasa pada hari ‘Arafah, karena ia sedang berhaji, menunaikan ibadah penyembelihan, dan dalam keadaan safar, serta karena Nabi SAW tidak berpuasa pada hari itu saat berhaji. Juga agar ia kuat untuk berdoa, karena sebaik-baik doa adalah doa pada hari ‘Arafah.”
Al-Māwardī berkata: dan inilah sebagaimana yang dikatakannya.
يُسْتَحَبُّ صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ لِغَيْرِ الْحَاجِّ، لِمَا رُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ ” وَرَوَى أَبُو قَتَادَةَ كَفَّارَةُ السَّنَةِ، وَالسَّنَةِ الَّتِي تَلِيهَا وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ ذُنُوبَ سَنَتَيْنِ.
وَالثَّانِي: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَعْصِمُهُ فِي هَاتَيْنِ السَّنَتَيْنِ فَلَا يَعْصِي فِيهِمَا، فَأَمَّا صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ لِلْحَاجِّ، فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ.
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ عَائِشَةَ وَابْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَإِسْحَاقَ، أَنَّ الْأَوْلَى لَهُمْ صِيَامُهُ كَسَائِرِ النَّاسِ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ إِنْ كان صيفاً، والأولى لَهُمْ إِفْطَارُهُ وَإِنْ كَانَ شِتَاءً فَالْأَوْلَى لَهُمْ صِيَامُهُ.
Disunnahkan puasa pada hari ʿArafah bagi selain orang yang berhaji, berdasarkan riwayat dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Puasa hari ʿArafah adalah penebus dosa dua tahun.”
Dan Abū Qatādah meriwayatkan: “Penebus dosa tahun ini dan tahun berikutnya.”
Dalam hal ini terdapat dua penakwilan:
Pertama: Bahwa Allah Taʿālā mengampuni dosa-dosanya selama dua tahun.
Kedua: Bahwa Allah Taʿālā menjaganya dalam dua tahun itu sehingga ia tidak bermaksiat di dalamnya.
Adapun puasa hari ʿArafah bagi orang yang sedang berhaji, maka ulama berbeda pendapat mengenainya menjadi tiga mazhab:
Pertama: Yaitu pendapat ʿĀisyah, Ibnu az-Zubair RA, dan Isḥāq, bahwa yang lebih utama bagi mereka adalah berpuasa sebagaimana selain mereka.
Mazhab kedua: Yaitu pendapat ʿAṭā’, bahwa jika musim panas, maka yang lebih utama bagi mereka adalah berbuka, dan jika musim dingin maka yang lebih utama bagi mereka adalah berpuasa.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، وَسَائِرِ الْفُقَهَاءِ إِنَّ الْأَوْلَى لَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا يَوْمَ عَرَفَةَ، لِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّاسَ اخْتَلَفُوا فِي صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِعَرَفَةَ قَالَ: فَأَرْسَلَتْ أُمُّ الْفَضْلِ عَلَى يَدَيِ الْعَبَّاسِ قَدَحًا فِيهِ لَبَنُ الْأَوْرَاكِ، فَشَرِبَهُ وَهُوَ واقفٌ عَلَى بَعِيرِهِ بِالْمَوْقِفِ.
Mazhab ketiga, yaitu pendapat al-Syāfi‘ī dan seluruh fuqahā’, bahwa yang lebih utama bagi mereka adalah berbuka pada hari ‘Arafah, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW melarang puasa hari ‘Arafah di ‘Arafah.
Dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa manusia berbeda pendapat tentang apakah Rasulullah SAW berpuasa di ‘Arafah atau tidak. Maka Umm al-Faḍl mengirimkan melalui tangan al-‘Abbās sebuah cawan berisi susu dari daerah al-Awrāk, lalu Nabi SAW meminumnya saat beliau berdiri di atas untanya di tempat wuqūf.
وَرَوَى ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: حَجَجْتُ مَعَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَأَنَا لَا أَصُومُهُ، وَلَا آمُرُ بِصِيَامِهِ، وَلَا أَنْهَى عَنْهُ وَلِأَنَّ فِي إِفْطَارِهِ تَقْوِيَةً عَلَى أَدَاءِ حَجِّهِ، وَعَلَى الدُّعَاءِ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ يَوْمَ عَرَفَةَ.
Dan telah meriwayatkan Ibnu Abī Najīḥ dari ayahnya, ia berkata:
Ibnu ʿUmar ditanya tentang puasa hari ʿArafah, maka ia menjawab: “Aku berhaji bersama Nabi SAW, maka beliau tidak berpuasa; bersama Abū Bakar, maka ia tidak berpuasa; bersama ʿUmar, maka ia tidak berpuasa; dan bersama ʿUtsmān, maka ia juga tidak berpuasa. Dan aku sendiri tidak berpuasa pada hari itu, tidak pula memerintahkan untuk berpuasa, dan tidak pula melarangnya.”
Dan karena dalam berbuka pada hari itu terdapat penguatan untuk melaksanakan ibadah hajinya serta untuk berdoa, sedangkan doa yang paling utama adalah pada hari ʿArafah.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا يَوْمُ عَاشُورَاءَ، فَهُوَ الْعَاشِرُ مِنَ الْمُحَرَّمِ، قَدْ صَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، وَأَنْفَذَ إِلَى أَهْلِ الْعَوَالِي يَأْمُرُ مَنْ أَكَلَ فِيهِ بِالْإِمْسَاكِ، وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ بِالصِّيَامِ أَوْ كَانَ السَّبَبُ فِي صِيَامِهِ، مَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَهُ فَقَالَ: مَا هَذَا الْيَوْمُ؟ قَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي فَلَقَ اللَّهُ فِيهِ الْبَحْرَ لِمُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَنَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَحْنُ أَحَقُّ بِمُوسَى فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ وَقَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ.
PASAL
Adapun hari ‘Āsyūrā’, yaitu hari kesepuluh dari bulan Muharram, sungguh Rasulullah SAW telah berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk berpuasa. Beliau mengutus utusan ke penduduk al-‘Awālī agar siapa yang sudah makan pada hari itu supaya menahan (diri dari makan) sampai sore, dan siapa yang belum makan supaya berpuasa. Dan sebab beliau berpuasa adalah sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika datang ke Madinah mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu. Beliau bertanya: “Hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ketika Allah membelah laut untuk Musa AS, dan Allah menyelamatkan Musa serta menenggelamkan keluarga Fir‘aun.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kami lebih berhak terhadap Musa.” Lalu Rasulullah SAW berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk berpuasa. Beliau bersabda: “Puasa hari ‘Āsyūrā’ adalah kafārah satu tahun.”
وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي صَوْمِهِ هَلْ كَانَ فَرْضًا ثُمَّ نُسِخَ أَمْ لَا؟ فَقَالَ أبو حنيفة وَطَائِفَةٌ: كَانَ صَوْمُهُ فَرْضًا، ثُمَّ نُسِخَ بِشَهْرِ رَمَضَانَ.
وَقَالَ آخَرُونَ وَهُوَ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَشْبَهُ إِنَّ صَوْمَهُ لَمْ يَزَلْ مَسْنُونًا لِمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ شَقِيقٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ يَقُولُ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي السَّنَةِ الَّتِي حَجَّ فِيهَا: يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” يَوْمُ عَاشُورَاءَ لَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ، وَإِنِّي صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرْ ” فَأَمَّا يَوْمُ التَّاسِعِ مِنَ الْمُحَرَّمِ فَيُسْتَحَبُّ صَوْمُهُ لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَئِنْ عِشْتُ لَأَصُومَنَّ يَوْمَ التَّاسِعِ مِنَ الْمُحَرَّمِ فَمَاتَ قَبْلَهُ.
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ، وَخَالِفُوا الْيَهُودَ.
Dan manusia berselisih tentang puasanya, apakah dahulu wajib lalu dihapus, atau tidak? Abu Hanifah dan sekelompok ulama berkata: puasanya dahulu wajib, lalu dihapus dengan bulan Ramadan.
Dan yang lain berkata, dan itu lebih sesuai dengan mazhab al-Syafi‘i, bahwa puasanya tidak pernah wajib, melainkan tetap sunnah. Sebagaimana riwayat al-Syafi‘i dari Syaqīq dari al-Zuhrī dari Ḥumaid bin ‘Abd al-Raḥmān, ia berkata: Aku mendengar Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān berkata di mimbar Rasulullah SAW pada tahun ia menunaikan haji: “Wahai penduduk Madinah, di mana para ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Hari ‘Āsyūrā’ tidak diwajibkan atas kalian puasanya, dan aku sedang berpuasa, maka siapa yang mau silakan berpuasa, dan siapa yang mau silakan berbuka.’”
Adapun hari tāsi‘ dari Muharram, disunnahkan berpuasa, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika aku hidup (sampai tahun depan), sungguh aku akan berpuasa pada hari tāsi‘ dari Muharram.” Namun beliau wafat sebelum itu.
Dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa ia berkata: “Berpuasalah pada hari tāsi‘ dan ‘āsyūrā’, dan selisihilah kaum Yahudi.”
فَصْلٌ
: فَأَمَّا سَائِرُ شُهُورِ السَّنَةِ، وَأَيَّامُهَا فَقَدْ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي تَفْضِيلِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ، مَا أَنَا ذَاكِرُهُ فَمِنْ ذَلِكَ شَهْرُ الْمُحَرَّمِ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي فَضْلِ صِيَامِهِ أَنَّهُ سُئِلَ أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَقَالَ: شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ.
PASAL
Adapun bulan-bulan lain dalam setahun dan hari-harinya, maka telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW tentang keutamaan sebagian atas sebagian yang lain, yang akan aku sebutkan.
Di antaranya adalah bulan Muharram, telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW tentang keutamaan puasa di dalamnya, bahwa beliau ditanya: “Puasa apa yang paling utama setelah bulan Ramadan?” Beliau menjawab: “Bulan Allah al-Muḥarram.”
فَصْلٌ
: وَمِنْ ذَلِكَ شَهْرُ رَجَبٍ، رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ سُئِلَ: أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ؟ فَقَالَ: شَهْرُ اللَّهِ الْأَصَمُّ وَرُوِيَ الْأَصَبُّ.
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: يَعْنِي رَجَبًا لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَصُبُّ فِيهِ الرَّحْمَةَ صَبًّا، وَسُمِّيَ أَصَمَّ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَرَّمَ فِيهِ الْقِتَالَ، فَلَا يُسْمَعُ فِيهِ سَفْكُ دَمٍ، وَلَا حَرَكَةُ سِلَاحٍ ورَوَى عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” صِيَامُ أَوَّلِ يومٍ مِنْ رَجَبٍ كَفَّارَةُ ثَلَاثِ سِنِينَ وَصِيَامُ الْيَوْمِ الثَّانِي كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ وَصِيَامُ الْيَوْمِ الثَّالِثِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ ثُمَّ كُلُّ يَوْمٍ كَفَّارَةُ شهرٍ “.
PASAL
Dan termasuk di antaranya adalah bulan Rajab. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau ditanya: “Puasa apa yang paling utama setelah bulan Ramadan?” Beliau menjawab: “Bulan Allah al-Ashamm (ada pula yang meriwayatkan al-Ashabb).”
Abu ‘Ubaid berkata: Yang dimaksud adalah Rajab, karena Allah Ta‘ala mencurahkan rahmat-Nya di bulan itu dengan curahan yang banyak. Ia dinamakan Ashamm karena Allah Ta‘ala mengharamkan peperangan di dalamnya, sehingga tidak terdengar di dalamnya penumpahan darah dan tidak ada pergerakan senjata.
Dan diriwayatkan dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Puasa hari pertama dari bulan Rajab adalah kafārah tiga tahun, puasa hari kedua kafārah dua tahun, puasa hari ketiga kafārah satu tahun, kemudian setiap hari (selanjutnya) kafārah satu bulan.”
فَصْلٌ
: وَمِنْ ذَلِكَ شَعْبَانُ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَذْهَبَ كَثِيرٌ من وحر صَدْرِهِ فَلْيَصُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةَ أيامٍ مِنْ كل شهرٍ ” يعني بشهر الصبر شعبان، وقيل رمضان وقيل وحر صَدْرِهِ يَعْنِي: غِشَّ صَدْرِهِ وَبَلَابِلِهِ، وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ إِنَّهُ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَى نَقُولَ إِنَّهُ لَا يَصُومُ وَمَا رَأَيْتُهُ صَامَ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَهَذِهِ الشُّهُورُ الَّتِي وَرَدَ فِيهَا تَفْضِيلُ الصِّيَامِ.
PASAL
Dan di antaranya adalah bulan Sya‘bān. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa senang untuk dihilangkan banyak kotoran dari dadanya, maka hendaklah ia berpuasa bulan ṣabr dan tiga hari dari setiap bulan.” Yang dimaksud dengan bulan ṣabr adalah Sya‘bān, ada pula yang mengatakan Ramadan.
Dan yang dimaksud dengan waḥr ṣadr adalah kekeruhan hati dan penyakit-penyakitnya.
‘Āisyah RA berkata: “Adalah Rasulullah SAW berpuasa sampai kami mengatakan beliau tidak berbuka, dan berbuka sampai kami mengatakan beliau tidak berpuasa. Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa pada suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya‘bān.”
Maka inilah bulan-bulan yang diriwayatkan tentang keutamaan puasa di dalamnya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْأَيَّامُ الَّتِي وَرَدَتْ فِيهَا السُّنَّةُ بِصِيَامِهَا، فَمِنْهَا يَوْمُ عَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ، وَقَدْ ذَكَرْنَا فَضْلَ الصِّيَامِ فِيهَا، وَمِنْهَا صِيَامُ الْأَيَّامِ الْبِيضِ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَدْ رُوِيَ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصُومُ ثَلَاثَةَ أيامٍ مِنَ الشَهْرِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنْ كُنْتَ صَائِمًا فَصُمِ الْغُرَّ.
PASAL
Adapun hari-hari yang disunnahkan untuk berpuasa, di antaranya adalah hari ‘Arafah dan ‘Āsyūrā’, dan telah kami sebutkan keutamaan puasa pada keduanya. Termasuk juga puasa al-ayyām al-bīḍ pada setiap bulan. Diriwayatkan bahwa seorang a‘rābī berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berpuasa tiga hari dalam sebulan.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau hendak berpuasa, maka berpuasalah pada al-ghurr (hari-hari putih).”
وَقَالَ ابْنُ قُتَيْبَةَ: الْغُرُّ الْبَيْضُ بِطُلُوعِ الْقَمَرِ فِي جَمِيعِهَا.
رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِي الْأَزْهَرِ عَنْ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” صُومُوا الشَّهْرَ وَسِرَّهُ ” وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ عَنَى بِالشَّهْرِ رَمَضَانَ وَسِرِّهِ الْأَيَّامَ السِّتَّةَ الَّتِي تَلِيهِ مِنْ أَوَّلِ شَوَّالٍ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ بِالشَّهْرِ مُسْتَهَلَّ الشَّهْرِ، وَالْعَرَبُ تُسَمِّي الْهِلَالَ شهراً قال الشاعر:
(أخوان مِنْ نجدٍ عَلَانِيَةً … وَالشَّهْرُ مِثْلُ قُلَامَةِ الظُّفْرِ)
Ibn Qutaybah berkata: al-ghurr al-bayḍ adalah dengan terbitnya bulan pada seluruhnya.
Diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin al-‘Alā’ dari Abī al-Azhar dari Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān, bahwa Nabi SAW bersabda: “Berpuasalah bulan itu dan rahasianya.”
Dalam hal ini ada dua penafsiran:
Pertama: yang dimaksud dengan bulan adalah Ramadan, dan sirruh adalah enam hari setelahnya dari awal Syawwal.
Kedua: bahwa yang dimaksud dengan bulan adalah awal bulan, dan orang Arab menyebut hilal dengan sebutan syahr. Sebagaimana perkataan seorang penyair:
“Dua saudara dari Najd tampak nyata … dan bulan itu seperti potongan kuku.”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ أَمَرَ بِصِيَامِ الشَهْرِ مِنْ كُلِّ شهرٍ، وفيه ثلاثة تأويلات:
أحدهما: أنها أيام الْبِيضُ.
وَالثَّانِي: إِنَّهَا الْأَيَّامُ الْأُوَلُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ.
وَالثَّالِثُ: إِنَّهُ أَكْثَرُهُ وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْأَيَّامِ الْبِيضِ، هَلْ كَانَتْ فَرْضًا ثُمَّ نُسِخَتْ؟ عَلَى مَذْهَبَيْنِ:
Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau memerintahkan puasa sebulan pada setiap bulan. Dalam hal ini ada tiga ta’wil:
Pertama: bahwa yang dimaksud adalah al-ayyām al-bīḍ.
Kedua: bahwa ia adalah hari-hari awal dari setiap bulan.
Ketiga: bahwa yang dimaksud adalah sebagian besar hari-hari dalam setiap bulan.
Dan manusia berselisih pendapat tentang al-ayyām al-bīḍ, apakah dahulu ia merupakan fardhu kemudian dinasakh? Dalam hal ini ada dua mazhab.
أَحَدُهُمَا: إِنَّهَا كَانَتْ فَرْضًا ثُمَّ نُسِخَتْ بِشَهْرِ رَمَضَانَ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: وَهُوَ أَشْبَهُ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، إِنَّهَا سُنَّةٌ لَمْ تَزَلْ، وَاخْتَلَفُوا فِي زَمَانِهَا، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: الثَّانِيَ عَشَرَ، وَمَا يَلِيهِ.
وَقَالَ آخَرُونَ: الثَّالِثَ عَشَرَ وَمَا يَلِيهِ.
Salah satu pendapat: bahwa ia dahulu wajib, kemudian dihapus dengan bulan Ramadan.
Mazhab yang kedua, dan ini lebih sesuai dengan mazhab al-Syafi‘i, bahwa ia adalah sunnah yang tidak pernah terputus.
Dan mereka berbeda pendapat tentang waktunya. Sebagian mereka berkata: tanggal dua belas dan sesudahnya.
Dan yang lain berkata: tanggal tiga belas dan sesudahnya.
فَصْلٌ
: وَمِنْهَا صِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بَعْدَ يَوْمِ الْفِطْرِ، وَكَرِهَ صِيَامَهَا مَالِكٌ وأبو حنيفة لِأَنَّ فِي صِيَامِهَا ذَرِيعَةً إِلَى زِيَادَةِ الصَّوْمِ فَشَابَهَتْ يَوْمَ الشَّكِّ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّ صِيَامَهَا سُنَّةٌ مَا رُوِيَ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، وَأَتْبَعَهُ بستةٍ مِنْ شوالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَهْرَ كُلَّهُ ” يَعْنِي: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعْطِي بِالْحَسَنَةِ عَشْرًا فَتَحْصُلُ لَهُ بِشَهْرِ رَمَضَانَ وَهُوَ ثَلَاثُونَ يَوْمًا بِثَلَاثِمِائَةِ حَسَنَةٍ وَبِسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ سِتُّونَ حَسَنَةً، وَذَلِكَ عَدَدُ أيام السنة.
PASAL
Dan termasuk di antaranya adalah puasa enam hari dari bulan Syawwal setelah hari Idul Fitri. Imam Mālik dan Abū Ḥanīfah memakruhkannya, karena dalam puasanya terdapat jalan yang dapat menyeret kepada penambahan puasa, sehingga menyerupai hari syak.
Adapun dalil bahwa puasanya merupakan sunnah adalah sebagaimana diriwayatkan dari Abū Ayyūb al-Anṣārī, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa berpuasa Ramadan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawwal, maka seakan-akan ia telah berpuasa sepanjang tahun.”
Maksudnya: sesungguhnya Allah Ta‘ala memberi sepuluh kebaikan atas setiap satu kebaikan, sehingga baginya dari bulan Ramadan yang tiga puluh hari setara dengan tiga ratus kebaikan, dan dari enam hari Syawwal enam puluh kebaikan, maka jumlahnya sama dengan bilangan hari dalam setahun.
فَصْلٌ
: وَمِنْهَا صِيَامُ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ، فَقَدْ روى أبو هريرة (و) أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَدَعُ صِيَامَ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ، فَقَالَ هُمَا يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ، وَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ لِي فِيهِمَا عَمَلٌ صَالِحٌ ” فَيُخْتَارُ صِيَامُ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الشَّهْرِ، وَالْأَيَّامِ اقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَالسَّلَفِ مِنْ بَعْدِهِ مَا لَمْ يَكُنْ فِي ذك أضعاف جده، وَتَرْكُ مَا هُوَ أَوْلَى مِنْ عِبَادَاتِهِ، وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ لِذَلِكَ بِرَحْمَتِهِ.
PASAL
Dan di antaranya adalah puasa hari Senin dan Kamis. Telah meriwayatkan Abū Hurairah dan Usāmah bin Zayd, ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan puasa hari Senin dan Kamis.” Beliau bersabda: “Keduanya adalah dua hari di mana amal-amal diperlihatkan, dan aku suka amalanku diperlihatkan dalam keadaan aku beramal shalih.”
Maka dipilihlah berpuasa pada bulan dan hari-hari yang telah kami sebutkan, sebagai ittibā‘ kepada Rasulullah SAW dan para salaf setelah beliau, selama tidak menyebabkan melemahnya kesungguhan, serta meninggalkan ibadah-ibadah yang lebih utama daripadanya. Dan Allah-lah yang memberi taufiq kepada hal itu dengan rahmat-Nya.
وَرَوَى حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ شُعَيْبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بن عمرو بن العاصي عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ: صُمْ يَوْمًا وَلَكَ عَشْرَةُ أَيَّامٍ قَالَ: زِدْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَإِنَّ فِيَّ قُوَّةً قَالَ: صُمْ يَوْمَيْنِ وَلَكَ تِسْعَةُ أيامٍ قَالَ: زِدْنِي يَا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ: صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَكَ ثَمَانِيَةٌ وَمَعْنَاهُ: أَنَّهُ يَضُمُّ الثَّمَانِيَةَ إِلَى التِّسْعَةِ إِلَى الْعَشَرَةِ فَتَكُونُ سَبْعَةً وَعِشْرِينَ يَوْمًا، وَتَبْقَى ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ بَقِيَّةَ الشَّهْرِ فَيَصِيرُ لَهُ بِالْحَسَنَةِ عَشْرًا.
Diriwayatkan oleh Ḥammād bin Salamah dari Ṯābit dari Syu‘aib bin ‘Abdillāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ dari ayahnya, bahwa Nabi SAW bersabda kepada ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ:
“Berpuasalah sehari, maka bagimu sepuluh hari.”
Ia berkata: “Tambahkan untukku wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku memiliki kekuatan.”
Beliau bersabda: “Berpuasalah dua hari, maka bagimu sembilan hari.”
Ia berkata: “Tambahkan untukku wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda: “Berpuasalah tiga hari, maka bagimu delapan hari.”
Maksudnya: ia menggabungkan delapan dengan sembilan dengan sepuluh, sehingga menjadi dua puluh tujuh hari, dan tersisa tiga hari dari bulan itu. Maka baginya setiap satu kebaikan dibalas sepuluh kebaikan.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وأنهى عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ الْأَضْحَى وَأَيَّامِ التشريق لنهي النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عنها. ولو صامها متمتع لا يجد هدياً عنه عندنا (قال المزني) قد كان قال يجزيه ثم رجع عنه “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: ثَبَتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه نهى عن صيام سبعة أيام العيدان وَأَيَّامِ مِنًى وَيَوْمِ الشَكِّ وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ.
BAB LARANGAN PUASA HARI ‘IDUL FIṬR DAN ‘IDUL AḌḤĀ SERTA HARI-HARI TASYRĪQ
Al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Dan aku melarang berpuasa pada hari ‘Idul Fiṭr, hari ‘Idul Aḍḥā, dan hari-hari tasyriq, karena larangan Nabi SAW terhadapnya. Seandainya seorang mutamatti‘ berpuasa pada hari-hari itu, lantaran tidak mendapatkan hadyu, maka menurut kami (al-Muzani berkata: sungguh dahulu beliau berpendapat itu mencukupi, lalu beliau menarik kembali dari pendapat itu).”
Al-Māwardī berkata: Telah tetap dari Rasulullah SAW bahwa beliau melarang berpuasa pada tujuh hari: dua hari raya, hari-hari Mina, hari syak, dan hari Jum‘at.
فَأَمَّا الْعِيدَانِ فَنَهَى عَنْ صَوْمِهِمَا نَهْيَ تَحْرِيمٍ، وَأَمَّا أَيَّامُ مِنًى، فَقَدْ كَانَ الشَّافِعِيُّ يَذْهَبُ فِي الْقَدِيمِ إِلَى جَوَازِ صِيَامِهَا لِلْمُتَمَتِّعِ، ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ فِي الْجَدِيدِ، وَمَنَعَ مِنْ صِيَامِهَا لِلْمُتَمَتِّعِ وَغَيْرِهِ، وَحَرَّمَهَا كَالْعِيدَيْنِ فَلَا يَجُوزُ صَوْمُهَا تَطَوُّعًا وَلَا نَذْرًا، وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَ أبي حنيفة فِي جَوَازِ صِيَامِهَا نَذْرًا، وَأَمَّا يَوْمُ الشَّكِّ، فَقَدْ ذَكَرْنَا مَعْنَى نَهْيِ الصَّوْمِ فِيهِ، وَأَنَّهُ لِلْكَرَاهَةِ لَا لِلتَّحْرِيمِ، فَأَمَّا يَوْمُ الْجُمُعَةِ فَقَدْ رَوَى نَهْيَ صَوْمِهِ جَابِرٌ وَأَبُو هُرَيْرَةَ فَأَمَّا حَدِيثُ جَابِرٍ فَرَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: رَأَيْتُ جَابِرًا فِي الطَّوَافِ فَقُلْتُ لَهُ: أَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ وَرَبِّ هَذِهِ الْكَعْبَةِ وَأَمَّا أَبُو هُرَيْرَةَ فَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: مَا أَنَا نَهَيْتُ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَلَكَنْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْهُ.
Adapun dua hari raya, maka dilarang berpuasa pada keduanya dengan larangan taḥrīm.
Adapun hari-hari Minā, dahulu Imam al-Syāfi‘ī dalam qaul qadīm berpendapat boleh berpuasa pada hari-hari itu bagi orang yang tamattu‘. Kemudian beliau rujuk dalam qaul jadīd dan melarang puasa pada hari-hari itu, baik bagi mutamatti‘ maupun selainnya, serta mengharamkannya sebagaimana dua hari raya. Maka tidak boleh berpuasa padanya baik secara taṭawwu‘ maupun karena nadzar.
Telah terdahulu pembicaraan bersama Abū Ḥanīfah tentang bolehnya berpuasa karena nadzar pada hari-hari itu.
Adapun hari syak, telah kami sebutkan makna larangan berpuasa padanya, yaitu makruh dan bukan haram.
Adapun hari Jum‘at, telah diriwayatkan larangan berpuasa padanya oleh Jābir dan Abū Hurairah.
Adapun hadis Jābir, diriwayatkan oleh Muḥammad bin ‘Abbād bin Ja‘far, ia berkata: “Aku melihat Jābir sedang thawaf, lalu aku berkata kepadanya: Apakah Rasulullah SAW melarang puasa pada hari Jum‘at?” Ia menjawab: “Ya, demi Rabb Ka‘bah ini.”
Adapun Abū Hurairah, diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Bukan aku yang melarang puasa pada hari Jum‘at, demi Rabb Ka‘bah, akan tetapi Rasulullah SAW yang melarangnya.”
فَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي مَعْنَى هَذَا النَّهْيِ.
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لِأَنَّهُ يَوْمُ عِيدٍ كَالْفِطَرِ وَالْأَضْحَى. وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ: إِنَّمَا وَرَدَ النَّهْيُ فِيمَنْ أَفْرَدَ صَوْمَهُ دون ومن وَصَلَهُ بِغَيْرِهِ، لِمَا رُوِيَ فِي حَدِيثِ جُوَيْرِيَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ دَخَلَ عَلَيْهَا وَهِيَ صَائِمَةٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ لَهَا: أَصُمْتِ يَوْمًا قَبْلَهُ؟ فَقَالَتْ: لَا فَقَالَ لَهَا: أَتَصُومِينَ يَوْمًا بَعْدَهُ؟ فَقَالَتْ: لَا فَقَالَ فَأَفْطِرِي وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ مَعْنَى نَهْيِ الصَّوْمِ فِيهِ أَنَّهُ يَضْعُفُ عَنْ حُضُورِ الْجُمُعَةِ وَالدُّعَاءِ فِيهَا فَكَانَ مَنْ أَضْعَفَهُ؟ الصَّوْمُ عَنْ حُضُورِ الْجُمُعَةِ كَانَ صَوْمُهُ مَكْرُوهًا، فَأَمَّا مَنْ لَمْ يُضْعِفْهُ الصَّوْمُ عَنْ حُضُورِهَا فَلَا بَأْسَ أَنْ يَصُومَهُ، قَدْ دَاوَمَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – على صوم شبعان، ومعلوم أنه فِيهِ جُمُعَاتٍ كَانَ يَصُومُهَا كَذَلِكَ رَمَضَانُ فَعُلِمَ أَنَّ مَعْنَى نَهْيِ الصَّوْمِ فِيهِ مَا ذَكَرْنَا، والله أعلم.
Maka manusia berselisih tentang makna larangan ini.
Sebagian mereka berkata: karena ia adalah hari raya seperti ‘Idul Fiṭr dan ‘Idul Aḍḥā.
Aḥmad bin Ḥanbal dan Isḥāq bin Rāhuyah berkata: sesungguhnya larangan itu hanya berlaku bagi orang yang mengkhususkan puasanya pada hari itu saja tanpa menghubungkannya dengan hari lain. Karena diriwayatkan dalam hadis Juwairiyah binti al-Ḥārits RA, bahwa Rasulullah SAW masuk menemuinya sementara ia sedang berpuasa pada hari Jum‘at. Maka beliau bersabda kepadanya: “Apakah engkau berpuasa sehari sebelumnya?” Ia menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Apakah engkau akan berpuasa sehari setelahnya?” Ia menjawab: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Berbukalah.”
Adapun mazhab al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu, makna larangan puasa di dalamnya adalah karena dapat melemahkan dari menghadiri Jum‘at dan berdoa di dalamnya. Maka barangsiapa yang puasanya melemahkan ia dari menghadirinya, puasanya itu makruh. Adapun siapa yang tidak dilemahkan oleh puasanya dari menghadirinya, maka tidak mengapa ia berpuasa.
Sungguh Rasulullah SAW senantiasa berpuasa di bulan Sya‘bān, padahal diketahui di dalamnya ada hari Jum‘at yang beliau berpuasa padanya. Demikian pula Ramadan. Maka diketahui bahwa makna larangan puasa pada hari itu adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dan Allah lebih mengetahui.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سعدٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عبيد الله ابن عبد الله بن عتبة عَنِ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ كَانَ أَجْوَدَ النَاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدَ ما يكون في شهر رمضان وكان جبريل عليه السلام يلقاه في كل ليلةٍ من رمضان فيعرض عليه القرآن فإذا لقيه كان أجود بالخير من الريح المرسلة (قال الشافعي) وأحب للرجل الزيادة بالجود في شهر رمضان اقتداء به ولحاجة الناس فيه إلى مصالحهم ولتشاغل كثيرٍ منهم بالصوم والصلاة عن مكاسبهم “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
BAB KEUTAMAAN SEDEKAH DI BULAN RAMADAN DAN MEMBACA AL-QUR’AN
Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Ibrāhīm bin Sa‘d dari al-Zuhrī dari ‘Ubaydullāh bin ‘Abdillāh bin ‘Utbah dari Ibnu ‘Abbās dari Rasulullah SAW bahwa beliau adalah manusia yang paling dermawan dalam kebaikan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadan. Jibril AS mendatanginya setiap malam di bulan Ramadan, lalu beliau memperdengarkan al-Qur’ān kepadanya. Maka ketika Jibril menemuinya, beliau lebih dermawan dalam kebaikan dibandingkan angin yang berhembus.”
(Imam al-Syāfi‘ī berkata): “Aku menyukai seseorang memperbanyak kedermawanan di bulan Ramadan, meneladani beliau (SAW), juga karena kebutuhan manusia pada kemaslahatan mereka, serta karena banyak dari mereka yang disibukkan oleh puasa dan shalat dari pekerjaan mereka.”
Al-Māwardī berkata: “Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.”
يُخْتَارُ لِلنَّاسِ أَنْ يُكْثِرُوا مِنَ الْجُودِ وَالْإِفْضَالِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَبِالسَّلَفِ الصَّالِحِ مِنْ بَعْدِهِ، وَلِأَنَّهُ شَهْرٌ شَرِيفٌ قَدِ اشْتَغَلَ النَّاسُ فِيهِ بِصَوْمِهِمْ عَنْ طَلَبِ مَكَاسِبِهِمْ، وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يُوَسِّعَ فِيهِ عَلَى عِيَالِهِ وَيُحْسِنَ إِلَى ذَوِي أَرْحَامِهِ وَجِيرَانِهِ، لَا سِيَّمَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْهُ، وَيُسْتَحَبُّ لِمَنْ أَمْكَنَهُ إِفْطَارُ صَائِمٍ أَنْ يُفْطِرَهُ، فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْئًا.
Dianjurkan bagi manusia untuk memperbanyak kemurahan dan kebaikan di bulan Ramadan, sebagai ittibā‘ kepada Rasulullah SAW dan kepada salaf ṣāliḥ setelah beliau. Karena ia adalah bulan yang mulia, di mana manusia sibuk dengan puasanya dari mencari penghidupan mereka.
Disunnahkan bagi seorang laki-laki untuk melapangkan nafkah bagi keluarganya, berbuat baik kepada kerabatnya, dan tetangganya, terlebih lagi pada sepuluh hari terakhir darinya.
Dan disunnahkan bagi siapa yang mampu untuk memberi buka kepada orang yang berpuasa, karena telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa memberi buka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.”
وَرَوَتْ أُمُّ عُمَارَةَ الْأَنْصَارِيَّةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَيْسَ مِنْ صَائِمٍ أَكَلَ عِنْدَهُ مُفْطِرُونَ إِلَّا صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ مَا دَامَ الْقَوْمُ يَأْكُلُونَ ” وَيُخْتَارُ لَهُ أَنْ يَقُولَ إِذَا أَفْطَرَ مَا رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَيَسْأَلُ اللَّهَ التَوْفِيقَ لِمَا قَرَّبَ إِلَيْهِ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ.
Diriwayatkan dari Ummu ‘Umārah al-Anṣāriyyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidaklah seorang yang berpuasa makan di sisinya orang-orang yang berbuka, kecuali para malaikat mendoakannya selama kaum itu masih makan.”
Dan disunnahkan baginya untuk membaca doa ketika berbuka sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, ia berkata: Adalah Rasulullah SAW apabila berbuka beliau berdoa:
“Telah hilang rasa haus, urat-urat telah basah, dan pahala telah tetap insyā Allāh.”
Dan hendaknya ia memohon kepada Allah taufik atas apa yang telah mendekatkannya kepada-Nya dengan karunia dan kemuliaan-Nya.
كتاب الاعتكاف
أَمَّا الِاعْتِكَافُ فِي اللُّغَةِ فَهُوَ الْمُقَامُ وَاللُّبْثُ عَلَى الشَّيْءِ بَرًّا كَانَ أَوْ آثِمًا، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فأَتَوْا علَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أصْنَامٍ لَهُمْ) {الأعراف: 138) أَيْ: يُقِيمُونَ وَقَالَ امْرُؤُ الْقَيْسِ:
(تَظَلُّ الطَّيْرُ عَاكِفَةً عَلَيْهِمْ … وَتَنْتَزِعُ الْحَوَاجِبَ وَالْعُيُونَا)
وَقَالَ أَبُو ذُؤَيْبٍ:
(فَهُنَّ عكوفٌ كَنَوْحِ الْحَمَامِ … قَدْ شَفَى أَكْبَادَهُنَّ الْهَوَى)
ثُمَّ جَاءَ الشَّرْعُ فَقَرَّرَ الِاعْتِكَافَ لُبْثًا عَلَى صِفَةٍ فِي مَكَانٍ مَخْصُوصٍ.
وَالْأَصْلُ فِيهِ قَوْلُهُ: {وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ) {البقرة: 187) وقَوْله تَعَالَى: {أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ) {البقرة: 125) وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
KITAB I‘TIKĀF
Adapun i‘tikāf dalam bahasa adalah tinggal dan menetap pada sesuatu, baik dalam ketaatan maupun dalam maksiat. Allah Ta‘ālā berfirman: {Maka mereka mendatangi suatu kaum yang berdiam diri (ber‘itikaf) di sekitar berhala-berhala mereka} (QS. al-A‘rāf: 138), maksudnya adalah mereka menetap.
Dan berkata Imru’ al-Qays:
“Burung-burung senantiasa berdiam di atas mereka …
dan mencabut alis-alis serta mata-mata.”
Dan berkata Abū Dzu’ayb:
“Mereka berdiam laksana tangisan merpati …
yang hawa nafsu telah menyembuhkan hati mereka.”
Kemudian datanglah syariat, menetapkan i‘tikāf sebagai berdiam dengan sifat tertentu di tempat tertentu.
Dasar pensyariatannya adalah firman Allah: {Dan janganlah kalian mencampuri mereka (istri-istri) sedangkan kalian ber‘itikaf di masjid} (QS. al-Baqarah: 187), dan firman-Nya: {Sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang thawaf, yang ber‘itikaf, yang rukuk, dan yang sujud} (QS. al-Baqarah: 125).
Dan dalam hal ini ada dua penafsiran.
أَحَدُهُمَا: تَطْهِيرُهُ مِنَ الْكُفَّارِ.
وَالثَّانِي: مِنَ الْأَصْنَامِ.
وَرَوَى أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَعْتَكِفُ عَشْرًا مِنْ رَمَضَانَ فَلَمَّا كَانَ فِي الْعَامِ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ عُرْوَةُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ إِلَى أَنْ تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا، فَالِاعْتِكَافُ سُنَّةٌ حَسَنَةٌ وَقُرْبَةٌ مَأْمُورٌ بِهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَلَازِمَةٍ يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ، رِوَايَةُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ ” فَعَلَّقَهُ بِالْإِرَادَةِ، وَلِأَنَّ الْعِبَادَاتِ الْوَاجِبَاتِ قَدْ قَرَّرَ لَهَا الشَّرْعُ أَسْبَابًا رَاتِبَةً كَالصَّلَاةِ، أَوْ عَارِضَةً كَالزَّكَاةِ، وَلَيْسَ لِلِاعْتِكَافِ سَبَبٌ رَاتِبٌ، وَلَا عَارِضٌ فَعُلِمَ أَنَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ.
Salah satunya: untuk membersihkan (Masjid) dari orang-orang kafir.
Yang kedua: dari berhala-berhala.
Diriwayatkan oleh Abū Ṣāliḥ dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW dahulu beri‘tikāf sepuluh hari dari Ramadan. Maka ketika pada tahun wafatnya beliau, beliau beri‘tikāf dua puluh hari.
Dan diriwayatkan oleh al-Zuhrī dari ‘Urwah dari ‘Ā’isyah bahwa Rasulullah SAW senantiasa beri‘tikāf sepuluh hari terakhir hingga Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau.
Apabila hal ini telah tetap, maka i‘tikāf adalah sunnah yang baik dan suatu qurbah yang diperintahkan, namun tidak wajib dan tidak lazim. Yang menunjukkan hal itu adalah riwayat Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang ingin beri‘tikāf, maka hendaklah ia beri‘tikāf pada sepuluh hari terakhir.” Maka beliau menggantungkan pada keinginan.
Selain itu, ibadah-ibadah yang wajib telah ditetapkan syariat dengan sebab-sebab yang tetap seperti shalat, atau yang bersifat insidental seperti zakat. Sedangkan i‘tikāf tidak memiliki sebab yang tetap maupun insidental. Maka diketahui bahwa i‘tikāf tidak wajib.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بن إبراهيم بن الحرث التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فلما كانت ليلة إحدى وعشرين وهي الليلة التي يخرج من صبيحتها من اعتكافه قال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” من كان اعتكف معي فليعتكف العشر الأواخر ” قال ” وأريت هذه الليلة ثم أنسيتها ” قال ” ورأيتني أسجد في صبيحتا في ماءٍ وطينٍ فالتمسوها فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالْتَمِسُوهَا فِي كُلِّ وترٍ ” فمطرت السماء من تلك الليلة وكان المسجد على عريش فوكف المسجد قال أبو سعيد فأبصرت عيناي رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – انصرف علينا وعلى جبهته وَأَنْفِهِ أَثَرُ الْمَاءِ وَالطِّينِ فِي صَبِيحَةِ إِحْدَى وعشرين (قال الشافعي) وحديث النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يدل على أنها في العشر الأواخر والذي يشبه أن يكون فيه ليلة إحدى أو ثلاث وعشرين ولا أحب ترك طلبها فيها كلها “.
MASALAH:
Al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Mālik, dari Abī al-Hād, dari Muḥammad bin Ibrāhīm bin al-Ḥārith al-Taymī, dari Abī Salamah bin ‘Abd al-Raḥmān, dari Abī Sa‘īd al-Khudrī, bahwa ia berkata: Adalah Rasulullah SAW beri‘tikāf pada sepuluh pertengahan bulan Ramadan. Ketika tiba malam kedua puluh satu, yaitu malam di mana beliau keluar pada paginya dari i‘tikāfnya, beliau SAW bersabda: ‘Barangsiapa beri‘tikāf bersamaku, maka hendaklah ia beri‘tikāf pada sepuluh terakhir.’ Beliau bersabda: ‘Dan aku diperlihatkan malam itu, kemudian aku dilupakan.’ Beliau bersabda: ‘Dan aku melihat diriku sujud pada paginya di tanah yang ada air dan lumpurnya. Maka carilah ia pada sepuluh terakhir, dan carilah ia pada setiap malam ganjil.’
Lalu turunlah hujan pada malam itu, sedangkan masjid beratapkan pelepah kurma, maka masjid pun bocor. Abū Sa‘īd berkata: Aku melihat dengan mataku sendiri Rasulullah SAW berpaling kepada kami, sedang pada kening dan hidung beliau terdapat bekas air dan lumpur, pada pagi hari malam kedua puluh satu.”
(Al-Syafi‘i berkata): “Hadis Nabi SAW menunjukkan bahwa ia (lailatul qadr) berada pada sepuluh terakhir. Yang lebih dekat, bahwa ia berada pada malam kedua puluh satu atau kedua puluh tiga. Namun aku tidak suka meninggalkan mencarinya pada seluruh sepuluh malam terakhir.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِنَّمَا بَدَأَ الشَّافِعِيُّ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ لِشَرَفِهَا، وَأَنَّهَا تُوَافِقُ عَشْرَ الِاعْتِكَافِ، وَاخْتُلِفَ فِي تَسْمِيَتِهَا لَيْلَةَ الْقَدْرِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُقَدِّرُ فِيهَا أُمُورَ السَّنَةِ أَيْ يَقْضِيهَا:
وَالثَّانِي: لِأَنَّهَا عَظِيمَةُ الْقَدْرِ جَلِيلَةُ الْخَطَرِ، مِنْ قَوْلِهِمْ رَجُلٌ لَهُ قَدْرٌ، وَالْأَصْلُ فِيهَا قَوْله تَعَالَى: {إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ) {القدر: 1) يَعْنِي الْقُرْآنَ جُمْلَةً أُنْزِلَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ مِنَ اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، فَكَانَ يَنْزِلُ نَجْمًا بَعْدَ نَجْمٍ، وَهُوَ مَعْنَى قَوْله تَعَالَى: {فَلاَ أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ) {الواقعة: 75) وَفِي قَوْله تَعَالَى: {لَيْلَةُ القَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ} (القدر: 3) ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:
Al-Māwardī berkata: “Sesungguhnya al-Syāfi‘ī memulai dengan (pembahasan) Lailatul Qadr karena kemuliaannya, dan karena ia bertepatan dengan sepuluh hari i‘tikāf.
Dan diperselisihkan tentang penamaannya dengan Lailatul Qadr pada dua pendapat:
Pertama: karena Allah Ta‘ala menetapkan di dalamnya urusan-urusan setahun, yakni Allah menentukannya.
Kedua: karena ia agung kedudukannya dan besar nilainya, sebagaimana ucapan mereka: ‘Seorang lelaki yang memiliki qadr (kedudukan).’
Adapun asalnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Innā anzalnāhu fī lailatil-qadr} (al-Qadr: 1), yakni al-Qur’an secara keseluruhan diturunkan pada Lailatul Qadr dari al-Lauh al-Maḥfūẓ ke langit dunia, kemudian turun bagian demi bagian. Inilah makna firman Allah Ta‘ala: {Falā uqsimu bimawāqi‘in-nujūm} (al-Wāqi‘ah: 75).
Dan pada firman Allah Ta‘ala: {Lailatul qadri khayrun min alfi syahr} (al-Qadr: 3) ada tiga ta’wil:
أَحَدُهَا: إِنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ عُمُرِ أَلْفِ شَهْرٍ، وَهُوَ قَوْلُ الرَّبِيعِ.
وَالثَّانِي: إِنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ لَيْسَ فِيهَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، وَهُوَ قَوْلُ قَتَادَةَ.
وَالثَّالِثُ: مَعْنَاهُ: أَنَّ الْعَمَلَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ فِي أَلْفِ شَهْرٍ لَيْسَ فِيهَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ، ثُمَّ قَالَ: {تَنَزَّلُ المَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا) {القدر: 4) وَفِي الرُّوحِ تَأْوِيلَانِ:
Salah satunya: bahwa lailat al-qadr lebih baik daripada umur seribu bulan. Dan ini adalah pendapat al-Rabī‘.
Yang kedua: bahwa lailat al-qadr lebih baik daripada seribu bulan yang tidak terdapat di dalamnya lailat al-qadr. Dan ini adalah pendapat Qatādah.
Yang ketiga: maknanya ialah bahwa amal pada lailat al-qadr lebih baik daripada amal dalam seribu bulan yang tidak ada lailat al-qadr. Dan ini adalah pendapat Mujāhid.
Kemudian Allah berfirman: {Tanazzalul-malā’ikatu war-rūḥu fīhā} (QS. al-Qadr: 4).
Dan tentang makna rūḥ ada dua penafsiran.
أَحَدُهُمَا: جِبْرِيلُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {نَزَلَ بِهِ الرُّوحً الأَمينُ) {الشعراء: 193) .
وَالثَّانِي: الْعِلْمُ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {يُنَزِّلُ المَلاَئِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ) {النحل: 2) فَهَذِهِ السُّورَةُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى تَدُلُّ عَلَى شَرَفِهَا، وَفَضْلِ الْعَمَلِ فِيهَا وَمِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ أُمُّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَقَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذنبه “.
Salah satunya: bahwa lailat al-qadr lebih baik daripada umur seribu bulan. Dan ini adalah pendapat al-Rabī‘.
Yang kedua: bahwa lailat al-qadr lebih baik daripada seribu bulan yang tidak terdapat di dalamnya lailat al-qadr. Dan ini adalah pendapat Qatādah.
Yang ketiga: maknanya ialah bahwa amal pada lailat al-qadr lebih baik daripada amal dalam seribu bulan yang tidak ada lailat al-qadr. Dan ini adalah pendapat Mujāhid.
Kemudian Allah berfirman: {Tanazzalul-malā’ikatu war-rūḥu fīhā} (QS. al-Qadr: 4).
Dan tentang makna rūḥ ada dua penafsiran.
فَصْلٌ
: لَا اخْتِلَافَ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ لِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رُفِعَتْ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَعَ الْأَنْبِيَاءِ أَمْ هِيَ بَاقِيَةٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: هِيَ بَاقِيَةٌ قُلْتُ: هِيَ فِي رَمَضَانَ أَوْ فِي غَيْرِهِ؟ قَالَ: فِي رَمَضَانَ قَالَ قُلْتُ هِيَ فِي الْعَشْرِ الْأُوَلِ أَوِ الْأَوْسَطِ أَوِ الْأَخِيرِ قَالَ هِيَ فِي الْأَوَاخِرِ وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالْتَمِسُوهَا فِي كُلِّ وترٍ وَرُوِيَ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ قُلْتُ لِأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ: إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ: مَنْ يَقُمِ الْحَوْلَ يَرَاهَا فَقَالَ: رَحِمَ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِي رَمَضَانَ، وَلَكِنْ أُحِبُّ أَنْ لَا يَتَّكِلَ النَّاسُ عَلَى عَمَلِ رَمَضَانَ، ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي مَوْضِعِهَا مِنَ الْعَشْرِ فَحُكِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهَا فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ، أَمَّا أُبَيُّ فَكَانَ يُقْسِمُ بِاللَّهِ إِنَّهَا فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقِيلَ لَهُ: وَمَا آيَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: مَا بَيَّنَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّ الشَّمْسَ تُصْبِحُ لَا شُعَاعَ لَهَا، وَقَدْ رَاعَيْتُ ذَلِكَ فَوَجَدْتُهُ فِي صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ، وَأَمَّا ابْنُ عَبَّاسٍ فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ بِأَنِ اعْتَبَرَ كَلِمَاتِ السُّورَةِ فَوَجَدَهَا ثَلَاثِينَ كَلِمَةً بِعَدَدِ لَيَالِي الشَّهْرِ، ثُمَّ وَجَدَ الْإِشَارَةَ بِقَوْلِهِ {سَلاَمٌ هِيَ) {القدر: 5) عَلَى رَأْسِ السَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ كَلِمَةً فَعَلِمَ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي مِثْلِهَا مِنَ الشَّهْرِ، وَحُكِيَ عَنْ آخَرِينَ أَنَّهَا فِي أَوْسَطِ الْعَشْرِ وَهِيَ لَيْلَةُ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ، تَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ عَلَى أَنَّهَا فِي أَوْسَطِ الْعَشْرِ فَالْتَمِسُوهَا فِيهِ وَحُكِيَ عَنْ آخَرِينَ أَنَّهَا فِي لَيْلَةِ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ الْأَعْرَابِيَّ رَآهَا عَلَى رَاحِلَتِهِ فِي لَيْلَةِ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ وَلِرِوَايَةِ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرِاهِيمَ فِي أَوَّلِ ليلةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الزَّبُورُ عَلَى دَاوُدَ فِي اثْنَيْ عَشْرَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الْإِنْجِيلُ عَلَى عيسى في ثماني عشرة من شهرٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ عَلَى محمدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَعَلَيْهِمْ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ قالوا: وإنما نزل فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ فَدَلَّ أَنَّهَا فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ.
PASAL
Tidak ada perbedaan di antara para ulama bahwa lailat al-qadr berada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Karena diriwayatkan dari Abū Dharr al-Ghifārī, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah lailat al-qadr diangkat bersama para nabi ataukah ia tetap ada sampai hari kiamat?” Beliau bersabda: “Ia tetap ada.” Aku berkata: “Apakah ia di bulan Ramadan atau di selainnya?” Beliau bersabda: “Di bulan Ramadan.” Aku berkata: “Apakah ia di sepuluh pertama, pertengahan, atau terakhir?” Beliau bersabda: “Ia berada di sepuluh terakhir.”
Dan Abū Sa‘īd al-Khudrī meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Carilah ia di sepuluh terakhir, dan carilah ia pada setiap malam ganjil.”
Diriwayatkan dari Zirr bin Ḥubaysy, ia berkata: Aku berkata kepada Ubayy bin Ka‘b: “Sesungguhnya Ibn Mas‘ūd berkata: Barangsiapa mendirikan shalat malam sepanjang tahun akan menemukannya.” Ubayy berkata: “Semoga Allah merahmati Abū ‘Abd al-Raḥmān. Sesungguhnya ia telah mengetahui bahwa ia berada di bulan Ramadan. Akan tetapi ia suka agar manusia tidak hanya bersandar pada amal di bulan Ramadan.”
Kemudian mereka berselisih tentang penentuannya pada sepuluh malam terakhir. Diriwayatkan dari Ubayy bin Ka‘b dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās bahwa ia berada pada malam kedua puluh tujuh. Adapun Ubayy, ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia berada pada malam kedua puluh tujuh. Lalu ditanya kepadanya: “Apa tandanya?” Ia berkata: “Sebagaimana yang telah dijelaskan Rasulullah SAW, bahwa matahari pada pagi harinya terbit tanpa sinar, dan aku telah memperhatikannya, ternyata aku mendapatinya pada pagi kedua puluh tujuh.”
Adapun Ibn ‘Abbās, ia berdalil dengan menghitung kata-kata surat al-Qadr, ia mendapati tiga puluh kata sesuai dengan jumlah malam bulan, lalu mendapati isyarat pada firman Allah: {Salām(un) hiya} (QS. al-Qadr: 5) yang merupakan kata ke dua puluh tujuh. Maka ia mengetahui bahwa lailat al-qadr berada pada malam yang semisal itu dari bulan Ramadan.
Dan diriwayatkan dari yang lain bahwa ia berada pada pertengahan sepuluh terakhir, yaitu malam kedua puluh lima, berdasarkan riwayat dari Rasulullah SAW: “Aku melihat bahwa mimpi kalian telah bersepakat bahwa ia berada pada pertengahan sepuluh terakhir, maka carilah ia di dalamnya.”
Dan diriwayatkan dari yang lain bahwa ia berada pada malam kedua puluh empat, karena diriwayatkan bahwa seorang Arab badui melihatnya di atas tunggangannya pada malam kedua puluh empat, dan juga berdasarkan riwayat dari Wāthilah bin al-Asqa‘ dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan, Zabūr diturunkan kepada Dāwūd pada malam kedua belas bulan Ramadan, Injīl diturunkan kepada ‘Īsā pada malam kedelapan belas bulan Ramadan, dan al-Qur’ān diturunkan kepada Muhammad SAW dan kepada mereka pada malam kedua puluh empat bulan Ramadan.” Mereka berkata: “Dan sesungguhnya ia diturunkan pada lailat al-qadr, maka hal itu menunjukkan bahwa ia berada pada malam kedua puluh empat.”
قَالَ الشَّافِعِيُّ الَّذِي يُشْبِهُ أَنْ تَكُونَ فِي إِحْدَى وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ لِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال رأيت هذه الليلة وخرجت لأعلمكم فتلاحا رَجُلَانِ فَأُنْسِيتُهَا وَرَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي صَبِيحَتِهَا فِي ماءٍ وطينٍ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: وَرَأَيْتُ رَسُولَ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى وَجْهِهِ وَأَنْفِهِ أَثَرُ الْمَاءِ وَالطِّينِ فِي صَبِيحَةِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ الْمَسْجِدُ عَلَى عَرْشٍ، فَوَكَفَ فَأَخَذَ الشَّافِعِيُّ بِهَذِهِ الرِّوَايَةِ لِأَنَّهَا أَصَحُّ، وَأَوْضَحُ وَإِنَّمَا قَالَ: أَوْ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ لِجَوَازِ الِاشْتِبَاهِ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ مِنَ الْوَاحِدِ إِلَى الثَّلَاثِ، وَذَلِكَ مَأْمُونٌ فِيمَا زَادَ وَلَمْ يَقْطَعِ الشَّافِعِيُّ بِذَلِكَ، بَلْ جَوَّزَهَا فِي جَمِيعِ لَيَالِي الْعَشْرِ وَبِخَاصَّةٍ فِي كُلِّ وِتْرٍ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَلَيْلَةُ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ وَلَيْلَةُ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ وَلَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَلَيْلَةُ تِسْعٍ وَعِشْرِينَ.
قَالَ بَعْضُ النَّاسِ: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ تَعَالَى يَجْعَلُ فِي كُلِّ عَامٍ فِي لَيْلَةٍ مِنَ الْعَشْرِ حَتَّى لَا يَكُونَ زَمَانُهَا مَعْرُوفًا لِيَقَعَ الْجِدُّ فِي طَلَبِهَا، وَتَرْكُ الِاتِّكَالِ عَلَيْهَا ثِقَةً بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُجِيبُ الدُّعَاءَ فِيهَا فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى جد وحذر ولعمري إن لهذا القول وجه، فَلَوْ قَالَ رَجُلٌ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي ليلة القدر، طلعت فِي أَوَّلِ لَيْلَةِ تِسْعٍ وَعِشْرِينَ لِأَنَّهَا الْيَقِينُ، وَيُسْتَحَبُّ لِمَنْ رَأَى لَيْلَةَ الْقَدْرِ أَنْ يَكْتُمَهَا، ويدعو بإخلاص نية وصحة يقين بما أوجب مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا، وَيَكُونُ أَكْثَرُ دُعَائِهِ لِدِينِهِ، وَآخِرَتِهِ فَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنْ رَأَيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ بِمَاذَا أَدْعُو؟ فَقَالَ: تَسْأَلِي اللَّهَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.
Imam al-Syāfi‘ī berkata: Yang lebih menyerupai (kebenaran) adalah bahwa Lailatul Qadr berada pada malam dua puluh satu atau dua puluh tiga. Hal ini berdasarkan hadis Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Aku diperlihatkan malam itu (Lailatul Qadr), lalu aku keluar untuk memberitahukan kepada kalian, namun dua orang berselisih sehingga aku dilupakan (waktu pastinya). Dan aku melihat diriku bersujud pada pagi harinya di atas air dan tanah.”
Abū Sa‘īd berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW pada wajah dan hidung beliau terdapat bekas air dan tanah pada pagi hari malam dua puluh satu.” Abū Sa‘īd berkata: “Masjid pada waktu itu beratap pelepah, lalu menetes.”
Maka al-Syāfi‘ī berpegang dengan riwayat ini karena ia lebih shahih dan lebih jelas. Hanya saja beliau mengatakan: “atau malam dua puluh tiga” karena boleh jadi Abū Sa‘īd ragu antara dua puluh satu dengan dua puluh tiga. Hal itu masih dimungkinkan, adapun selebihnya tidak.
Dan al-Syāfi‘ī tidak menetapkan kepastian hal itu, tetapi beliau membolehkannya pada semua malam sepuluh terakhir, khususnya pada malam-malam witir. Berdasarkan riwayat dari ‘Ubādah bin al-Ṣāmit bahwa Nabi SAW bersabda:
“Lailatul Qadr itu (boleh jadi) malam dua puluh satu, malam dua puluh tiga, malam dua puluh lima, malam dua puluh tujuh, dan malam dua puluh sembilan.”
Sebagian ulama berkata: Boleh jadi Allah Ta‘ala menjadikannya berbeda setiap tahun pada satu malam dari sepuluh terakhir, sehingga tidak diketahui dengan pasti waktunya. Hal itu agar manusia bersungguh-sungguh dalam mencarinya, tidak hanya bersandar kepada kepastian malamnya, dan yakin bahwa Allah Ta‘ala mengabulkan doa di malam itu, sehingga manusia berada dalam kesungguhan dan kehati-hatian. Demi umurku, sesungguhnya pendapat ini memiliki sisi kebenaran.
Maka jika seorang lelaki berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak pada malam Lailatul Qadr,” maka talak jatuh pada awal malam dua puluh sembilan, karena itulah yang paling pasti.
Dan disunnahkan bagi orang yang melihat Lailatul Qadr untuk menyembunyikannya, dan berdoa dengan ikhlas niat serta keyakinan yang benar terhadap apa yang diwajibkan, baik urusan agama maupun dunianya. Hendaknya doa terbanyaknya dipanjatkan untuk urusan agama dan akhiratnya.
Telah diriwayatkan dari ‘Ā’isyah bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah SAW, jika aku melihat Lailatul Qadr, dengan apa aku berdoa?” Beliau bersabda: “Mintalah kepada Allah keselamatan di dunia dan akhirat.”
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَرُوِيَ حَدِيثُ عَائِشَةَ أَنَهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لا يدخل البيت إلا لحاجة الإنسان وقالت عائشة فغسلته وأنا حائض (قال الشافعي) فلا بأس أن يدخل المعتكف رأسه في البيت ليغسل ويرجل “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الِاعْتِكَافُ فَلَا يَصِحُّ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ سَابِلٍ مِنْ جَامِعٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَحُكِيَ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ وَابْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَصِحُّ إِلَّا فِي ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَمَسْجِدِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَهُوَ بَيْتُ الْمَقْدِسِ وَحُكِيَ عَنِ الزُّهْرِيِّ وَحَمَّادٍ وَالْحَكَمِ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ تُقَامُ فِيهِ الْجُمُعَةُ، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ) {البقرة: 187) فَعَمَّ بِالذِّكْرِ جَمِيعَ الْمَسَاجِدِ وَلَا يَخْلُو ذِكْرُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
MASALAH:
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Telah diriwayatkan ḥadīṡ dari ‘Āisyah bahwa ia berkata: ‘Rasulullah SAW apabila beri‘tikāf, beliau mendekatkan kepadaku kepalanya lalu aku menyisirnya, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan manusiawi (buang hajat).’ Dan ‘Āisyah berkata: ‘Aku pernah memandikannya sedangkan aku sedang ḥaiḍ.’”
(Imam Syafi‘i berkata): “Maka tidak mengapa orang yang beri‘tikāf menjulurkan kepalanya ke dalam rumah untuk dicuci dan disisir.”
Al-Māwardī berkata: Adapun i‘tikāf, maka tidak sah kecuali di masjid umum, baik masjid jami‘ atau selainnya. Telah diriwayatkan dari Ḥuẓayfah bin al-Yamān dan Ibnu al-Musayyib bahwa i‘tikāf tidak sah kecuali di tiga masjid: Masjidil Ḥarām, Masjid Nabi SAW, dan Masjid Ibrāhīm ‘alaihis-salām, yaitu Bayt al-Maqdis. Dan diriwayatkan dari az-Zuhrī, Ḥammād, dan al-Ḥakam bahwa i‘tikāf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di dalamnya salat Jumat.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: wa lā tubāsyirūhunna wa antum ‘ākifūna fī al-masājid (QS al-Baqarah: 187), maka Allah menggeneralisasi dengan menyebut seluruh masjid, dan tidak lepas penyebutan tersebut dari salah satu dari dua keadaan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي الْمَنْعِ مِنَ الْمُبَاشَرَةِ.
أَوْ شَرْطًا لِصِحَّةِ الِاعْتِكَافِ فَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِلْمَنْعِ مِنَ الْمُبَاشَرَةِ، لِأَنَّ الْمُعْتَكِفَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ أَقَامَ فِي الْمَسْجِدِ أَوْ خَرَجَ مِنْهُ، فَثَبَتَ أَنَّهُ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الِاعْتِكَافِ وَلِأَنَّ كُلَّ موضع يبنى لجماعات الصلاة، فالاعتكاف فيه جايز كَالْجَوَامِعِ.
“Imma an yakūna syarthan fī al-man‘i mina al-mubāsyarah. Aw syarthan liṣiḥḥati al-i‘tikāf, fabaṭala an yakūna syarthan lil-man‘i mina al-mubāsyarah, li’anna al-mu‘takifa mamnū‘un minhu aqāma fī al-masjid aw kharaja minhu, fatsabata annahu syarthun liṣiḥḥati al-i‘tikāf, wali’anna kulla mawḍi‘in yubnā lijamā‘āti aṣ-ṣalāh, fa-al-i‘tikāf fīhi jā’iz kal-jawāmi‘.”
Artinya:
Entah itu merupakan syarat dalam larangan mubāsyarah,
atau syarat untuk sahnya i‘tikāf. Maka batallah bahwa itu merupakan syarat untuk larangan mubāsyarah, karena orang yang beri‘tikāf tetap dilarang darinya baik ia tinggal di masjid maupun keluar darinya. Maka tetaplah bahwa itu adalah syarat untuk sahnya i‘tikāf. Dan karena setiap tempat yang dibangun untuk salat berjamaah, maka i‘tikāf di dalamnya diperbolehkan sebagaimana masjid jami‘.
فَصْلٌ
: وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَالرَّجُلِ، فِي أَنَّ اعْتِكَافَهُمَا لَا يَصِحُّ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ. قَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ اعْتِكَافُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا وَيُكْرَهُ ذَلِكَ لَهَا فِي الْمَسْجِدِ تَعَلُّقًا، بِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” صَلَاتُهَا فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي الْمَسْجِدِ ” فَلَمَّا كُرِهَ لَهَا أَنْ تَصَلِّيَ الْفَرْضَ فِي الْمَسْجِدِ كَانَ الِاعْتِكَافُ بِذَلِكَ أَوْلَى، قَالَ: وَلِأَنَّهُ مَوْضِعٌ سُنَّ لِصَلَاتِهَا فَوَجَبَ أَنْ يُسَنَّ لِاعْتِكَافِهَا كَالرَّجُلِ لَمَّا كَانَ الْمَسْجِدُ مَوْضِعًا سُنَّ فِيهِ أَدَاءُ صِلَاتِهِ، كَانَ مَوْضِعَ اعْتِكَافِهِ، وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهَا عِبَادَةٌ، لَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ إِيقَاعُهَا فِي غَيْرِ الْمَسْجِدِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجُوزَ لِلْمَرْأَةِ إِيقَاعُهَا فِي غَيْرِ الْمَسْجِدِ كَالطَّوَافِ، وَلِأَنَّهُ مَوْضِعٌ لَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ الِاعْتِكَافُ فِيهِ فَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ كَالطَّرِيقِ، فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ وَالْقِيَاسِ، وَجَمْعِهِمْ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالِاعْتِكَافِ، فَالْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ أَنَّهَا لَا تَفْتَقِرُ إِلَى مَكَانٍ مَخْصُوصٍ، وَيَجُوزُ فِعْلُهَا فِي طَرِيقٍ وَغَيْرِهِ وَالِاعْتِكَافُ لَيْسَ كَذَلِكَ.
PASAL:
Tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal bahwa i‘tikāf keduanya tidak sah kecuali di masjid.
Abū Ḥanīfah berkata: Boleh bagi perempuan beri‘tikāf di rumahnya, dan makruh baginya beri‘tikāf di masjid, dengan alasan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Salatnya di rumahnya lebih utama daripada salatnya di masjid.” Maka ketika salat fardu di masjid makruh bagi perempuan, maka i‘tikāf lebih utama untuk dilakukan di rumah.
Ia berkata: Karena tempat yang disunnahkan bagi perempuan untuk salatnya, wajib pula disunnahkan untuk i‘tikāfnya. Sebagaimana bagi laki-laki, ketika masjid merupakan tempat yang disunnahkan untuk salatnya, maka itu pula menjadi tempat i‘tikāfnya.
Dalil kami adalah bahwa i‘tikāf adalah ibadah yang tidak boleh dilakukan laki-laki kecuali di masjid, maka wajib pula tidak boleh bagi perempuan melakukannya selain di masjid, sebagaimana ṭawāf.
Dan karena tempat yang tidak boleh laki-laki beri‘tikāf di dalamnya, maka demikian pula perempuan, seperti jalan.
Adapun jawaban atas ḥadīṡ dan qiyās serta penyamaan mereka antara salat dan i‘tikāf, maka salat itu tidak membutuhkan tempat khusus, dan boleh dilakukan di jalan atau selainnya, sedangkan i‘tikāf tidak demikian.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ، فَفِيهِ دَلَائِلُ مِنْهَا:
الدَّلَالَةُ عَلَى جَوَازِ الِاعْتِكَافِ.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ، وَدَلَّ عَلَى أَنَّ جَمِيعَ الْمَسَاجِدِ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ وَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ يُخْتَارُ فِي رَمَضَانَ، وَدَلَّ عَلَى جَوَازِهِ فِي كُلِّ زَمَانٍ وَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْخُرُوجَ مِنَ الْمَسْجِدِ يُنَافِيهِ، وَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَا لَا يَصِحُّ عَمَلُهُ فِي الْمَسْجِدِ يَجُوزُ الْخُرُوجُ لِأَجْلِهِ، وَدَلَّ عَلَى أَنَّ غَسْلَ الرَّأْسِ في الاعتكاف جايز، ودل على أن ترجيل الشعر جايز، وَدَلَّ عَلَى جَوَازِ أَنْ يُخْرِجَ الْمُعْتَكِفُ بَعْضَ بَدَنِهِ، وَإِنْ حَلَفَ أَنْ لَا يَخْرُجَ فَأَخْرَجَ بَعْضَ بَدَنِهِ لَا يَحْنَثُ، بِخِلَافِ قَوْلِ مَالِكٍ وَدَلَّ عَلَى أَنَّ يَدَ الْمَرْأَةِ لَيْسَتْ عَوْرَةً، ودل على أن من مَسَّ الشَّعْرِ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ، وَدَلَّ عَلَى أن بدن الحايض ليس بنجس.
PASAL
Adapun hadis ‘Aisyah, di dalamnya terdapat beberapa dalil, di antaranya:
– Dalil bahwa i‘tikāf itu boleh.
– Dan bahwa i‘tikāf adalah sunah yang dianjurkan.
– Maka ini menunjukkan bahwa i‘tikāf tidak sah kecuali di masjid.
– Dan menunjukkan bahwa seluruh masjid sama dalam hal ini.
– Dan menunjukkan bahwa i‘tikāf itu lebih utama dilakukan di bulan Ramadan.
– Dan menunjukkan bahwa i‘tikāf boleh dilakukan di setiap waktu.
– Dan menunjukkan bahwa keluar dari masjid bertentangan dengan i‘tikāf.
– Dan menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid, boleh keluar karenanya.
– Dan menunjukkan bahwa mencuci kepala saat i‘tikāf itu boleh.
– Dan menunjukkan bahwa menyisir rambut itu boleh.
– Dan menunjukkan bolehnya orang yang beri‘tikāf mengeluarkan sebagian tubuhnya dari masjid.
– Dan jika ia bersumpah untuk tidak keluar, lalu ia mengeluarkan sebagian tubuhnya, maka ia tidak melanggar sumpah, berbeda dengan pendapat Mālik.
– Dan menunjukkan bahwa tangan perempuan bukanlah aurat.
– Dan menunjukkan bahwa menyentuh rambut tidak membatalkan wudu.
– Dan menunjukkan bahwa badan perempuan yang haid bukan najis.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” والاعتكاف سنة حسنةٌ وَيَجُوزُ بِغَيْرِ صومٍ وَفِي يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النحر وأيام التشريق (قال المزني) لو كان الاعتكاف يوجب الصوم وإنما هو تطوع لم يحز صوم شهر رمضان بغير تطوع وفي اعتكافه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في رمضان دليل على أنه لم يصم للاعتكاف فتفهموا رحمكم الله ودليل آخر لو كان الاعتكاف لا يجوز إلا مقارناً للصوم لخرج منه الصائم بالليل لخروجه فيه من الصوم فلما لم يخرج منه من الاعتكاف بالليل وخرج فيه من الصوم ثبت منفرداً بغير الصوم وَقَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عمر أن يعتكف ليلة كانت نذراً في الجاهلية ولا صيام فيها “.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “I‘tikāf adalah sunah yang baik, dan boleh dilakukan tanpa puasa, serta pada hari raya fitri, hari nahr, dan hari-hari tasyriq.”
(Berkata al-Muzanī:) “Seandainya i‘tikāf mewajibkan puasa, padahal ia hanyalah amalan taṭawwu‘, tentu tidak sah puasa bulan Ramadan tanpa i‘tikāf. Dan dalam i‘tikāf Nabi SAW di bulan Ramadan terdapat dalil bahwa beliau tidak berpuasa karena i‘tikāf, maka pahamilah hal ini – raḥimakumullāh.
Dan ada dalil lain: seandainya i‘tikāf tidak sah kecuali bersamaan dengan puasa, niscaya orang yang berpuasa keluar darinya pada malam hari karena keluarnya dari puasa. Maka ketika tidak keluar darinya dari i‘tikāf pada malam hari, tetapi keluar dari puasa, berarti i‘tikāf tetap berdiri sendiri tanpa puasa.
Dan sungguh Rasulullah SAW telah memerintahkan ‘Umar agar beri‘tikāf pada suatu malam yang telah ia nadzarkan di masa jahiliah, padahal tidak ada puasa di dalamnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا النِّيَّةُ فِي الِاعْتِكَافِ، فَوَاجِبَةٌ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ” وَلِأَنَّ الِاعْتِكَافَ هُوَ اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ وَقَدْ يَكُونُ اللُّبْثُ تَارَةً عَادَةً، وتارة عبادة فافتقر إلى نية يصح بِهِ الْفَرْقُ بَيْنَ لُبْثِ الْعَادَةِ مِنْ لُبْثِ الْعِبَادَةِ، فَأَمَّا الصَّوْمُ فَغَيْرُ وَاجِبٍ فِيهِ بَلْ إِنِ اعْتَكَفَ مُفْطِرًا جَازَ وَكَذَلِكَ لَوِ اعْتَكَفَ فِي الْعِيدَيْنِ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ، أَوِ اعْتَكَفَ لَيْلًا جَازَ، وَهُوَ قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَأَبِي ثَوْرٍ وَالْمُزَنِيِّ وَقَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة وَالثَّوْرِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، إِنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَصِحُّ بِغَيْرِ صَوْمٍ، وَلَا فِي الْأَيَّامِ الَّتِي لَا يَجُوزُ صِيَامُهَا تَعَلُّقًا بِمَا رَوَاهُ الزُّهْرِيُّ عَنْ عُرْوَةُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا اعْتِكَافَ إِلَّا بصومٍ ” وَبِمَا رُوِيَ عن عبد الله ابن عُمَرَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ اعْتِكَافَ يومٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اعْتَكِفْ وَصُمْ، وَأَمَرَهُ بِالصَّوْمِ قَالَ: وَلِأَنَّهُ لُبْثٌ فِي مَكَانٍ مَخْصُوصٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ قُرْبَةً حَتَّى يُضَمَّ إِلَيْهِ مَا هُوَ قُرْبَةٌ كَالْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، هَذَا مَعَ مَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا اعْتَكَفَ إِلَّا وَهُوَ صَائِمٌ، فَدَلَّ هَذَا مِنْ فِعْلِهِ عَلَى أَنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَصِحُّ إلا بصوم، قَالُوا: وَلِأَنَّ الِاعْتِكَافَ يَلْزَمُ بِالنَّذْرِ، وَالنَّذْرُ لَا يَلْزَمُ إِلَّا فِيمَا اسْتَقَرَّ لَهُ أَصْلٌ فِي الشرع وليس للاعكتاف أَصْلٌ فِي الشَّرْعِ، إِلَّا أَنْ يَنْضَمَّ إِلَيْهِ الصَّوْمُ فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِهِ فِيهِ، وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ) {البقرة: 187) فَكَانَ هَذَا عَلَى ظَاهِرِهِ وَعُمُومِهِ فِي كُلِّ مُعْتَكِفٍ، وَرَوَى طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَيْسَ عَلَى الْمُعْتَكِفِ صومٌ إِلَّا أَنْ يُوجِبَهُ عَلَى نَفْسِهِ ” وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ اعْتِكَافَ لَيْلَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْفِ بِنَذْرِكَ وَرَوَى يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ فَأَمَرَ أَنْ يُضَرَبَ لَهُ بناءٌ فَخَرَجَ فَرَأَى أَرْبَعَةَ أبنيةٍ فَقَالَ: لِمَنْ هَذِهِ الْأَبْنِيَةُ؟ فَقِيلَ: هَذَا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهَذَا لِعَائِشَةَ وَهَذَا لِحَفْصَةَ وَهَذَا لِزَيْنَبَ فَنَقَضَ اعْتِكَافَهُ وَاعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ شَوَّالٍ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ اعْتِكَافِ يَوْمِ الْفِطْرِ، وَأَنَّهُ يَجُوزُ بِغَيْرِ صَوْمٍ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ مِنْ شَرْطِ صِحَّتِهَا الْمَسْجِدُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَفْتَقِرَ إِلَى الصَّوْمِ كَالطَّوَافِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ لَيْسَ مِنْ شَرْطِ ابْتِدَائِهَا الصَّوْمُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ مِنْ شَرْطِ اسْتِدَامَتِهَا الصَّوْمُ كَالصَّلَاةِ وَالْحَجِّ وَعَكْسُهُ الْمَسْجِدُ، لَمَّا كَانَ شَرْطًا فِي ابْتِدَائِهَا، كَانَ شَرْطًا فِي اسْتِدَامَتِهَا وَلِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ عِبَادَةً عَلَى الْبَدَنِ مَقْصُودَةً فِي نَفْسِهَا لَمْ يَكُنْ شَرْطًا فِي عِبَادَةٍ أُخْرَى كَالصَّلَاةِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ مَعَ حَفْصَةَ فَمَعْنَاهُ لَا اعْتِكَافَ كَامِلًا إِلَّا بِصَوْمٍ أَوْ لِمَنْ نَذَرَ اعْتِكَافًا بِصَوْمٍ، وَأَمَّا حَدِيثُ عُمَرَ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَإِنَّمَا الصَّحِيحُ مَا رَوَيْنَاهُ أَنَّهُ نَذَرَ اعْتِكَافَ لَيْلَةٍ وَإِنَّمَا تَفَرَّدَ بِتِلْكَ الرِّوَايَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ وَهُوَ ضَعِيفٌ عَلَى أَنَّهَا لَوْ صَحَّتْ لَحَمَلْنَاهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، وَحَمَلْنَا رِوَايَتَنَا عَلَى الْجَوَازِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ فَنَقُولُ بِمُوجِبِهِ، وَهُوَ أَنَّ الْقُرْبَةَ الَّتِي تَنْضَمُّ إِلَيْهِ هِيَ النِّيَّةُ ثُمَّ يُقْلَبُ الْقِيَاسُ عَلَيْهِمْ بِتِلْكَ الْأَوْصَافِ، فَنَقُولُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ مِنْ شَرْطِ الصَّوْمِ كَالْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، وَأَمَّا اعْتِكَافُهُ فِي مَسْجِدِهِ صَائِمًا، فَلَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الصَّوْمَ مِنْ شَرْطِهِ كَمَا لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَوْضِعَهُ، وَمَسْجِدَهُ مِنْ شَرْطِهِ.
PASAL
Al-Māwardī berkata: Adapun niat dalam i‘tikāf, maka hukumnya wajib, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya”, dan karena i‘tikāf itu adalah berdiam di masjid, sedangkan berdiam itu terkadang merupakan kebiasaan dan terkadang ibadah. Maka ia memerlukan niat agar sah pembedaan antara diam karena kebiasaan dan diam karena ibadah.
Adapun puasa, maka tidak wajib di dalamnya, bahkan jika seseorang beri‘tikāf dalam keadaan tidak puasa, maka itu sah. Begitu pula jika beri‘tikāf pada hari raya (‘Īd) dan hari-hari tasyriq, atau beri‘tikāf pada malam hari, maka itu juga sah. Ini adalah pendapat ‘Alī bin Abī Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, al-Ḥasan al-Baṣrī, Abū Tsaur, dan al-Muzanī.
Adapun Mālik, Abū Ḥanīfah, ats-Tsaurī, dan al-Awzā‘ī, serta dari kalangan sahabat adalah pendapat Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbās, dan ‘Āisyah RA, menyatakan bahwa i‘tikāf tidak sah kecuali disertai puasa, dan tidak sah dilakukan pada hari-hari yang tidak boleh berpuasa, berdasarkan riwayat az-Zuhrī dari ‘Urwah dari ‘Āisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada i‘tikāf kecuali dengan puasa,” dan juga berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Umar dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku bernadzar untuk beri‘tikāf satu hari di masa jahiliah,” lalu Nabi SAW bersabda: “Laksanakanlah i‘tikāf dan berpuasalah,” dan beliau memerintahkannya untuk berpuasa.
Mereka berkata: Karena i‘tikāf adalah berdiam di tempat tertentu, maka tidak bisa menjadi qurbah (ibadah yang mendekatkan diri) kecuali disertai dengan sesuatu yang juga qurbah, sebagaimana wuqūf di ‘Arafah. Dan juga karena Rasulullah SAW tidak pernah beri‘tikāf kecuali dalam keadaan puasa. Maka hal itu menunjukkan dari perbuatan beliau bahwa i‘tikāf tidak sah kecuali dengan puasa.
Mereka berkata: Karena i‘tikāf menjadi wajib karena nadzar, dan nadzar tidak menjadi wajib kecuali dalam hal yang memiliki dasar hukum dalam syariat, sedangkan i‘tikāf tidak memiliki dasar hukum dalam syariat kecuali jika digabungkan dengan puasa. Maka hal itu menunjukkan kewajiban puasa dalam i‘tikāf.
Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: “Dan janganlah kalian menggauli mereka (istri-istri kalian) sedang kalian beri‘tikāf di masjid-masjid” (QS. al-Baqarah: 187), maka ayat ini berlaku sesuai lahiriah dan keumumannya pada setiap orang yang beri‘tikāf.
Dan telah meriwayatkan Ṭāwūs dari Ibn ‘Abbās bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak wajib bagi orang yang beri‘tikāf untuk berpuasa kecuali jika ia mewajibkannya atas dirinya sendiri.”
Dan Ibn ‘Umar meriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku bernadzar i‘tikāf satu malam di masa jahiliah,” maka Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah nadzarmu.”
Dan telah meriwayatkan Yaḥyā bin Sa‘īd dari ‘Amrah dari ‘Āisyah bahwa Nabi SAW ingin beri‘tikāf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramaḍān, lalu beliau memerintahkan agar dibuatkan untuknya kemah (bilik). Maka beliau keluar dan melihat ada empat bilik. Beliau bertanya: “Untuk siapa bilik-bilik ini?” Maka dijawab: “Ini untuk Rasulullah SAW, ini untuk ‘Āisyah, ini untuk Ḥafṣah, dan ini untuk Zainab.” Maka beliau membatalkan i‘tikāfnya dan beri‘tikāf pada sepuluh malam terakhir bulan Syawwāl. Maka hal ini menunjukkan bolehnya i‘tikāf pada hari raya fiṭr dan bahwa i‘tikāf boleh dilakukan tanpa puasa.
Dan karena i‘tikāf adalah ibadah yang syarat sahnya adalah masjid, maka tidak semestinya disyaratkan puasa, sebagaimana ṭawāf. Dan karena i‘tikāf adalah ibadah yang tidak disyaratkan adanya puasa pada permulaannya, maka tidak boleh pula disyaratkan puasa pada keberlangsungannya, sebagaimana ṣalāt dan ḥajj.
Adapun masjid, karena ia adalah syarat pada permulaannya, maka juga menjadi syarat pada keberlangsungannya.
Dan karena setiap ibadah yang merupakan ibadah badan dan dimaksudkan pada dirinya, maka tidak menjadi syarat bagi ibadah lainnya, seperti ṣalāt.
Adapun jawaban atas ḥadīṡ ‘Āisyah dan Ḥafṣah, maka maksudnya adalah: “Tidak ada i‘tikāf yang sempurna kecuali dengan puasa” atau bagi orang yang bernadzar i‘tikāf dengan puasa.
Adapun ḥadīṡ ‘Umar, maka tidaklah ṣaḥīḥ. Yang ṣaḥīḥ adalah sebagaimana yang kami riwayatkan bahwa ia bernadzar i‘tikāf satu malam. Dan yang menyendiri dalam riwayat tersebut adalah ‘Abdullāh bin Yazīd dari ‘Amr bin Dīnār, dan ia adalah perawi yang lemah. Andaipun riwayat itu ṣaḥīḥ, maka kami ta’wilkan sebagai anjuran, sedangkan riwayat kami menunjukkan kebolehan.
Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan wuqūf di ‘Arafah, maka kami menerima konsekuensinya, yaitu bahwa qurbah yang digabungkan dengannya adalah niyyah. Kemudian qiyās itu dibalik kepada mereka dengan sifat-sifat tersebut, maka kami katakan: Maka tidak boleh disyaratkan puasa sebagaimana wuqūf di ‘Arafah.
Adapun i‘tikāf Nabi SAW di masjid beliau dalam keadaan puasa, maka tidak menunjukkan bahwa puasa adalah syarat i‘tikāf, sebagaimana tidak menunjukkan bahwa tempat (masjid beliau) adalah syarat i‘tikāf.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّ النَّذْرَ يَلْزَمُ فِيمَا اسْتَقَرَّ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرْعِ فَبَاطِلٌ بِمَنْ نَذَرَ الصَّوْمَ بِدَارِهِ قَدْ لَزِمَهُ نَذْرُهُ وَلَيْسَ لَهُ فِي الشَّرْعِ أَصْلٌ، وَيَبْطُلُ عَلَى أَصْلِهِمْ بِالْعُمْرَةِ تَلْزَمُ بِالنَّذْرِ، وَلَيْسَ لَهَا عِنْدَهُمْ اصل واجب في الشرع.
Adapun pernyataan mereka bahwa nadzar itu wajib dalam hal yang memiliki dasar (hukum) dalam syariat, maka itu batil, karena orang yang bernadzar puasa di rumahnya tetap wajib menunaikan nadzarnya, padahal hal itu tidak memiliki dasar dalam syariat. Dan ini juga membatalkan dasar mereka dalam masalah umrah: umrah menjadi wajib karena nadzar, padahal menurut mereka umrah tidak memiliki dasar kewajiban dalam syariat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ دَخَلَ فِيهِ قَبْلَ الْغُرُوبِ، فَإِذَا أَهَلَّ شَوَّالٌ فَقَدْ أَتَمَّ الْعَشْرَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Barang siapa yang ingin beri‘tikāf pada sepuluh malam terakhir (dari Ramadhan), maka hendaknya ia memasukinya sebelum matahari terbenam. Maka apabila bulan Syawwal telah masuk, sungguh ia telah menyempurnakan sepuluh (malam).”
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ لِنَذْرٍ أَوْ غَيْرِهِ، دَخَلَ فِيهِ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيْلَةِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَخَرَجَ منه قبل غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ لَيْلَةِ شَوَّالٍ وَإِنَّمَا أَمَرْنَاهُ بِالدُّخُولِ فِيهِ قَبْلَ الْغُرُوبِ، وَالْخُرُوجِ مِنْهُ بَعْدَ الْغُرُوبِ لِيَكُونَ مُسْتَوْفِيًا لِلْعَشْرِ بِكَمَالِهِ، وَلَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاءُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْمُجَاوَزَةِ، كَمَا لَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاءُ الصِّيَامِ إِلَّا بِمُجَاوَزَةِ الْإِمْسَاكِ إِلَى جُزْءٍ مِنَ اللَّيْلِ، وَكَذَلِكَ سَتْرُ الْعَوْرَةِ، وَغَسْلُ الْوَجْهِ فِي الطَّهَارَةِ، وَلَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهُمَا إِلَّا بِالْمُجَاوَزَةِ إِلَى غَيْرِهِمَا، فَإِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ مِنْ لَيْلَةِ شَوَّالٍ، فَقَدْ خَرَجَ مِنَ اعْتِكَافِهِ سَوَاءً كَانَ الشَّهْرُ تَامًّا أَوْ نَاقِصًا، لِأَنَّ اسْمَ الْعَشْرِ يَتَنَاوَلُهُ وَلَكِنْ لَوْ نَذَرَ أَنْ يَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ أَيَّامًا كَامِلَةً، فَإِنْ كَانَ الشَّهْرُ تَامًّا أَجْزَأَهُ وَإِنْ كَانَ نَاقِصًا لَزِمَهُ اعْتِكَافُ يَوْمٍ آخَرَ مِنْ شَوَّالٍ لِأَنَّ الْعَشْرَةَ الْأَيَّامَ تُوجِبُ اسْتِيفَاءَ الْعَدَدِ، كَمَا لَوْ قَالَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتَكِفَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، فَاعْتَكَفَ شَهْرًا بَيْنَ الهلالين فإذا كَانَ تَامًّا أَجْزَأَهُ، وَإِنْ كَانَ نَاقِصًا لَزِمَهُ اعْتِكَافُ يَوْمٍ آخَرَ لِيَسْتَوْفِيَ الْعَدَدَ، فَأَمَّا اعْتِكَافُ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَمِثَالُهُ: أَنْ يَقُولَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتَكِفَ شَهْرًا، فَإِذَا اعْتَكَفَ شَهْرًا بَيْنَ الْهِلَالَيْنِ، أَجْزَأَهُ تَامًّا كَانَ أَوْ نَاقِصًا، وَحُكِيَ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ وَأَبِي ثَوْرٍ إِذَا نَذَرَ اعْتِكَافَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ دَخَلَ فِيهِ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، لِمَا رَوَتْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ فِي مُعْتَكَفِهِ وَهَذَا غَلَطٌ وَبِمَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ قَالَ بِهِ جَمَاعَةٌ مِنَ الْفُقَهَاءِ لِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: مَنْ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ فَلْيَبِتْ فِي مُعْتَكَفِهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ لَيْلَةٍ تَتْبَعُ الْيَوْمَ الَّذِي بَعْدَهَا أَلَا تَرَى أَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ يَدْخُلُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَلَا يُخَالِفُ مَا ذَكَرْنَا لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَ فِيهِ عَلَى اخْتِيَارِهِ وَلَمْ يَقْصِدِ اسْتِيفَاءَ الْعَشْرِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ دَخَلَ فِيهِ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ , وَلَيْسَ ذَلِكَ أَوَّلَ الْعَشْرِ إِجْمَاعًا.
Jika seseorang ingin beri‘tikāf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, baik karena nadzar atau bukan, maka ia masuk ke dalamnya sebelum matahari terbenam pada malam tanggal dua puluh satu, dan keluar darinya setelah matahari terbenam pada malam Syawwal.
Kami memerintahkannya masuk sebelum matahari terbenam dan keluar setelah matahari terbenam agar ia dapat menyempurnakan sepuluh hari secara utuh. Hal itu tidak bisa dicapai kecuali dengan melampaui (batas waktu), sebagaimana tidak mungkin menyempurnakan puasa kecuali dengan melampaui imsak sampai masuk ke sebagian malam. Demikian pula dalam menutup aurat dan membasuh wajah dalam ṭahārah, tidak bisa disempurnakan kecuali dengan melampaui ke bagian lainnya.
Maka jika matahari telah terbenam pada malam Syawwal, berarti ia telah keluar dari i‘tikāf-nya, baik bulan Ramadan sempurna atau kurang, karena nama “sepuluh” sudah mencakupnya.
Namun jika ia bernadzar untuk beri‘tikāf ‘asyrah awākhir (sepuluh hari terakhir) berupa ayyām kāmilah (hari-hari secara penuh), maka jika bulan itu sempurna (tiga puluh hari), cukup baginya. Tapi jika kurang (dua puluh sembilan hari), wajib atasnya untuk menambah satu hari lagi dari bulan Syawwal, karena sepuluh hari mengharuskan penyempurnaan bilangan, seperti jika seseorang berkata, “Wajib atas diriku untuk beri‘tikāf tiga puluh hari”, lalu ia beri‘tikāf selama satu bulan antara dua hilal. Jika bulan itu sempurna, maka cukup. Tapi jika kurang, maka wajib atasnya menambah satu hari lagi agar menyempurnakan bilangan.
Adapun i‘tikāf sepuluh hari terakhir, contohnya adalah seseorang berkata, “Wajib atas diriku beri‘tikāf satu bulan.” Maka jika ia beri‘tikāf satu bulan antara dua hilal, maka mencukupi, baik bulan itu sempurna maupun kurang.
Telah diriwayatkan dari al-Awzā‘ī dan Abū Tsaur bahwa jika seseorang bernadzar beri‘tikāf sepuluh hari terakhir, maka ia masuk ke dalamnya sebelum terbit fajar, berdasarkan riwayat dari ‘Ā’isyah bahwa Rasulullah SAW jika beri‘tikāf sepuluh hari terakhir, beliau salat Subuh kemudian masuk ke tempat i‘tikāf-nya. Namun ini adalah kekeliruan.
Adapun pendapat yang kami ikuti juga dipegang oleh sekelompok fuqahā’ berdasarkan riwayat dari Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang ingin beri‘tikāf sepuluh hari terakhir, maka hendaklah bermalam di tempat i‘tikāfnya.”
Dan karena setiap malam mengikuti hari setelahnya. Tidakkah engkau lihat bahwa bulan Ramadan dimulai dengan terbenamnya matahari di akhir hari bulan Sya‘bān?
Adapun hadis ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā tidak bertentangan dengan apa yang kami sebutkan, karena Rasulullah SAW masuk ke dalamnya atas pilihannya, dan tidak bermaksud menyempurnakan sepuluh hari, karena beliau masuk ke tempat i‘tikāf setelah salat Subuh, dan itu bukan permulaan dari sepuluh hari, menurut ijma‘.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِطَ فِي الِاعْتِكَافِ الَّذِي أَوْجَبَهُ بِأَنْ يَقُولَ إِنْ عَرَضَ لِي عَارِضٌ خَرَجْتُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
وَجُمْلَةُ الِاعْتِكَافِ ضَرْبَانِ وَاجِبٌ وَتَطَوُّعٌ.
فَأَمَّا التَّطَوُّعُ فَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى شَرْطِ الْخِيَارِ إِلَيْهِ فِي المقام على اعتكافه والخروج مِنْهُ، وَأَمَّا الْوَاجِبُ فَهُوَ النَّذْرُ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
مُطْلَقٌ بِغَيْرِ شَرْطٍ.
وَمُقَيَّدٌ بِشَرْطٍ، فَأَمَّا الْمُطْلَقُ بِغَيْرِ شَرْطٍ فَهُوَ مَمْنُوعٌ فِيهِ مِنَ الْخُرُوجِ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ فَإِنْ خَرَجَ لِغَيْرِهَا بَطَلَ اعْتِكَافُهُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، وَأَمَّا الْمُقَيَّدُ بِشَرْطٍ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشْتَرِطَ قَطْعَ اعْتِكَافِهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak mengapa seseorang menetapkan syarat dalam i‘tikāf yang ia wajibkan atas dirinya, dengan mengatakan: ‘Jika ada halangan yang menimpaku, aku akan keluar (dari i‘tikāf).’”
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
Secara umum, i‘tikāf terbagi menjadi dua: i‘tikāf yang wājib dan yang tathawwu‘.
Adapun tathawwu‘, maka tidak memerlukan syarat kebolehan untuk tetap tinggal dalam i‘tikāf atau keluar darinya.
Adapun wājib, maka itu adalah karena nadzar, dan ia terbagi menjadi dua:
- Muṭlaq tanpa syarat,
- dan muqayyad dengan syarat.
Adapun muṭlaq tanpa syarat, maka tidak boleh keluar darinya kecuali karena keperluan manusia. Jika ia keluar karena selain itu, maka batal i‘tikāfnya, sebagaimana akan kami sebutkan.
Adapun yang muqayyad dengan syarat, maka terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: Seseorang mensyaratkan untuk memutus i‘tikāfnya.
وَالثَّانِي: أَنْ يَشْتَرِطَ الْخُرُوجَ مِنْهُ فَإِنِ اشْتَرَطَ قَطْعَ اعْتِكَافِهِ، فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ: لِلَّهِ عَلَيَّ اعْتِكَافُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ إِلَّا أَنْ يَعْرِضَ لِي كَذَا وَكَذَا، فَأَقْطَعُ فَهَذَا نذر صحيح، وشرط جائز، فإذا أعرض لَهُ مَا شَرَطَ وَخَرَجَ لِأَجْلِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ الْعَوْدُ إِلَى اعْتِكَافِهِ، وَتَكُونُ الْمُدَّةُ الَّتِي اعْتَكَفَهَا هِيَ الْقَدْرُ الَّذِي نَذَرَهُ، لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ يَتَبَعَّضُ حُكْمُهُ وَيَصِحُّ فِي قَلِيلِ الزَّمَانِ وَكَثِيرِهِ، فَإِذَا شَرَطَ فِي نَذْرِهِ قَطْعَ اعْتِكَافِهِ بِحُدُوثِ عَارِضٍ، فكان نذره إنما انعقد على هذه مُعَلَّقَةٍ وَيَكُونُ مَا بَقِيَ مِنَ الْعَشْرِ خَارِجًا عَنِ النَّذْرِ، وَإِنِ اشْتَرَطَ الْخُرُوجَ مِنَ اعْتِكَافِهِ، فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ: لِلَّهِ عَلَيَّ اعْتِكَافُ عَشَرَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ إِلَّا أَنْ يَعْرِضَ لِي كَذَا وَكَذَا، فَأَخْرُجَ فَهَذَا كَالْأَوَّلِ فِي صِحَّةِ نَذْرِهِ وَجَوَازِ اشْتِرَاطِهِ عَلَى مَا نُفَصِّلُهُ وَإِنَّمَا يَفْتَرِقَانِ مِنْ وَجْهٍ، وَهُوَ أَنَّهُ إِذَا شَرَطَ الْقَطْعَ لَمْ يَلْزَمْهُ الْعَوْدُ إِلَيْهِ، وَإِذَا شَرَطَ الْخُرُوجَ لزمه العود إليه لأنه قَطْعَ الِاعْتِكَافِ يُوجِبُ رَفْعَهُ، وَالْخُرُوجَ مِنْهُ لَا يُوجِبُ رَفْعَهُ وَإِنَّمَا يَقْتَضِي جَوَازَ خُرُوجِهِ مِنْهُ كَمَا يَخْرُجُ لِحَاجَةِ نَفْسِهِ فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا جَازَ مِثْلُ هَذَا الشَّرْطِ فِي الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ قِيلَ: هُمَا شَرْطَانِ:
Kedua: Bahwa seseorang mensyaratkan untuk keluar dari i‘tikāf. Maka jika ia mensyaratkan pemutusan i‘tikāf-nya, bentuknya adalah dengan berkata: “Wajib atas diriku untuk beri‘tikāf sepuluh hari berturut-turut kecuali jika terjadi begini dan begitu, maka aku akan memutusnya.” Maka ini adalah nadzar yang sah dan syarat yang dibolehkan.
Apabila terjadi sesuatu yang ia syaratkan, lalu ia keluar karena hal itu, maka tidak wajib atasnya untuk kembali lagi ke i‘tikāf-nya. Dan masa yang telah ia lakukan i‘tikāf itulah yang menjadi kadar dari nadzarnya, karena hukum i‘tikāf dapat terbagi-bagi dan sah dilakukan dalam waktu yang sedikit maupun banyak.
Maka apabila ia mensyaratkan dalam nadzarnya untuk memutus i‘tikāf dengan terjadinya suatu halangan, berarti nadzarnya terikat pada syarat tersebut. Dan sisa dari sepuluh hari itu tidak termasuk dalam nadzar.
Namun jika ia mensyaratkan hanya keluar dari i‘tikāf, maka bentuknya adalah dengan berkata: “Wajib atas diriku untuk beri‘tikāf sepuluh hari berturut-turut kecuali jika terjadi begini dan begitu, maka aku akan keluar.” Maka ini sama seperti yang pertama dalam sahnya nadzar dan bolehnya syarat, sebagaimana akan kami rinci.
Perbedaannya hanya dari satu sisi: bahwa jika ia mensyaratkan pemutusan, maka tidak wajib atasnya untuk kembali. Sedangkan jika ia mensyaratkan hanya keluar, maka wajib atasnya kembali ke i‘tikāf. Karena pemutusan i‘tikāf menyebabkan i‘tikāf terputus secara hukum, sedangkan keluar darinya tidak menyebabkan putus secara hukum, tapi hanya menunjukkan kebolehan keluar, seperti keluar untuk keperluan dirinya.
Jika ditanyakan: “Mengapa syarat seperti ini tidak dibolehkan dalam salat, puasa, dan haji?”
Dijawab: Ada dua macam syarat..
أَحَدُهُمَا: قَطْعُ الِاعْتِكَافِ.
وَالثَّانِي: الْخُرُوجُ مِنْهُ، فَأَمَّا شَرْطُ الْقَطْعِ فَيَجُوزُ مِثْلُهُ فِي الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَفِي جَوَازِ مِثْلِهِ فِي الْحَجِّ، قَوْلَانِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ لِلَّهِ عَلَيَّ صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ أَوْ صِيَامُ يَوْمٍ أَوْ حَجُّ الْبَيْتِ إِلَّا أَنْ يَعْرِضَ لِي كَذَا فَأَقْطَعُ فَإِنْ عَرَضَ لَهُ ذَلِكَ الشَّيْءُ الَّذِي شَرَطَهُ جَازَ لَهُ قَطْعُ صَوْمِهِ، وَصَلَاتِهِ وَهَلْ يَجُوزُ لَهُ قَطْعُ حَجِّهِ وَالْإِحْلَالُ مِنْهُ قَبْلَ كَمَالِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَيْضًا.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ.
Pertama: Memutus i‘tikāf.
Kedua: Keluar darinya.
Adapun syarat memutus i‘tikāf, maka hal semacam ini dibolehkan, sebagaimana dalam ṣalāt dan ṣiyām. Adapun dalam ḥajj, maka terdapat dua pendapat.
Contohnya adalah seseorang berkata: “Atas tanggunganku untuk melaksanakan ṣalāt dua rakaat, atau puasa sehari, atau ḥajj ke Baitullāh, kecuali jika terjadi padaku begini, maka aku akan memutusnya.”
Maka jika benar-benar terjadi hal yang ia syaratkan itu, maka boleh baginya untuk memutus puasanya atau ṣalātnya.
Adapun apakah boleh memutus ḥajj dan bertahallul darinya sebelum sempurna, maka terdapat dua pendapat:
Pertama: Boleh juga.
Kedua: Tidak boleh.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَائِرِ الْعِبَادَاتِ هُوَ أَنَّ الْحَجَّ يَلْزَمُ الْمُضِيُّ فِيهِ بِالْفِعْلِ، فَإِذَا سَقَطَ مُوجِبُ النَّذْرِ بِالِاسْتِثْنَاءِ وَالشَّرْطِ عَادَ إِلَى مُوجِبِ الْفِعْلِ، فَلَزِمَهُ الْمُضِيُّ فِيهِ، وَمَا يُسَنُّ فِي الْحَجِّ وَالْعِبَادَاتِ كُلِّهَا، إِذَا سَقَطَ مُوجِبُ النَّذْرِ فِيهَا بِالِاسْتِثْنَاءِ وَالشَّرْطِ، وَعَادَتْ إِلَى مُوجِبِ الْفِعْلِ لم يلزمه المضي فيها، فوضع الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا.
وَأَمَّا شَرْطُ الْخُرُوجِ، فَلَا يَجُوزُ مِثْلُهُ فِي الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ وَيَجُوزُ فِي الِاعْتِكَافِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara i‘tikāf dan ibadah-ibadah lainnya adalah bahwa ḥajj mewajibkan pelaksanaannya dengan perbuatan. Maka apabila sebab kewajiban nadzar gugur karena adanya pengecualian dan syarat, ia kembali kepada sebab kewajiban karena perbuatan (yakni telah memulai pelaksanaannya), maka wajiblah meneruskannya.
Adapun ibadah-ibadah yang disunahkan dalam ḥajj dan selainnya, apabila sebab kewajiban nadzar gugur karena pengecualian dan syarat, lalu kembali kepada sebab pelaksanaan, maka tidak wajib atasnya untuk meneruskannya. Maka inilah letak perbedaan antara keduanya.
Adapun syarat keluar, maka tidak boleh syarat semacam ini dalam salat, puasa, dan ḥajj, namun boleh dalam i‘tikāf. Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْخُرُوجَ لَا يُنَافِي الِاعْتِكَافَ لِأَنَّهُ قَدْ يَخْرُجُ لِحَاجَةِ نَفْسِهِ، وَيَعُودُ إِلَى اعْتِكَافِهِ، وَيُنَافِي الصَّلَاةَ وَالصِّيَامَ وَالْحَجَّ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ الْخُرُوجُ مِنْهُ وَالْعَوْدُ إِلَيْهِ لِحَاجَةٍ، وَلَا لِغَيْرِهَا.
وَالثَّانِي: إِنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَتَقَدَّرُ بِزَمَانٍ وَلَا يَرْتَبِطُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ، وَالصَّلَاةُ قَدِ ارْتَبَطَ بَعْضُهَا بِبَعْضٍ وَتَقَدَّرَتْ بِعَمَلٍ لَا يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهِ، وَكَذَلِكَ الصِّيَامُ مُقَدَّرٌ بِزَمَانٍ لَا يَصِحُّ إِيقَاعُهُ فِي بَعْضِهِ، فَلِذَلِكَ مَا افْتَرَقَ حُكْمُ الشَّرْطِ فِي ذَلِكَ، فَإِذَا تَقَرَّرَ جَوَازُ اشْتِرَاطِ الْخُرُوجِ مِنَ الِاعْتِكَافِ دُونَ مَا سِوَاهُ مِنَ الْعِبَادَاتِ، لَمْ يَخْلُ حَالُ مَا اشْتَرَطَهُ وَخَرَجَ لَهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَحْظُورًا، أَوْ مُبَاحًا فَإِنْ كَانَ مُبَاحًا كَاسْتِقْبَالِ قَادِمٍ، أَوِ اقْتِضَاءِ غَرِيمٍ، وَلِقَاءِ سُلْطَانٍ أَوْ كَانَ مُسْتَحَبًّا كَعِيَادَةِ مَرِيضٍ وَتَشْيِيعِ جِنَازَةٍ، أَوْ كَانَ وَاجِبًا كَحُضُورِ الْجُمُعَةِ جَازَ، وَلَزِمَهُ الْعَوْدُ إِلَى اعْتِكَافِهِ وَالْبِنَاءِ عَلَيْهِ، وَتَكُونُ مُدَّةُ خُرُوجِهِ مُسْتَثْنَاةٌ مِنْ نَذْرِهِ بِالشَّرْطِ كَمَا أَنَّ أَوْقَاتَ الْحَاجَةِ مُسْتَثْنَاةٌ بِالشَّرْعِ، وَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pertama: Bahwa keluar (dari masjid) tidak membatalkan i‘tikāf, karena seseorang boleh keluar untuk keperluan dirinya lalu kembali lagi ke i‘tikāfnya. Berbeda dengan ṣalāt, puasa, dan ḥajj, karena seseorang tidak boleh keluar darinya lalu kembali lagi, baik karena kebutuhan maupun bukan.
Kedua: Bahwa i‘tikāf tidak ditentukan dengan waktu tertentu dan tidak saling bergantung antara satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun ṣalāt, sebagian bagiannya saling terikat satu sama lain dan telah ditentukan bentuk amalnya sehingga tidak boleh hanya melaksanakan sebagian saja. Begitu juga puasa, ditentukan dengan waktu tertentu yang tidak sah jika dilakukan hanya sebagian waktu saja. Oleh karena itu, berbeda hukum syarat di antara ibadah-ibadah tersebut.
Maka apabila telah tetap kebolehan mensyaratkan keluar dari i‘tikāf—tidak sebagaimana ibadah lain—maka keadaan orang yang mensyaratkan dan keluar karenanya tidak lepas dari dua kemungkinan:
Pertama, keluar karena sesuatu yang maḥẓūr (terlarang),
atau kedua, karena sesuatu yang mubāḥ (diperbolehkan).
Jika keluar karena hal yang mubāḥ seperti menyambut tamu yang datang, menagih utang, atau menemui penguasa; atau karena sesuatu yang mustaḥabb seperti menjenguk orang sakit atau mengantarkan jenazah; atau karena sesuatu yang wājib seperti menghadiri salat Jumat—maka boleh baginya keluar, dan wajib baginya kembali ke i‘tikāfnya serta melanjutkannya. Waktu keluar tersebut menjadi dikecualikan dari nadzarnya karena syarat, sebagaimana waktu-waktu kebutuhan dikecualikan oleh syariat.
Namun jika keluar karena hal yang maḥẓūr, maka terbagi menjadi dua.
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ يُنَافِي الِاعْتِكَافَ كَالْوَطْءِ فَإِنْ خَرَجَ مِنَ اعْتِكَافِهِ، وَوَطِئَ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، وَلَزِمَهُ اسْتِئْنَافُهُ وَلِأَنَّ الْوَطْءَ يَمْنَعُ مِنَ الْبِنَاءِ، وَيَنْقُضُ حُكْمَ ما مضى فصار بمثابة الوطئ فِي صَوْمِهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: إِنَّهُ لَا يُنَافِي الِاعْتِكَافَ وَلَكِنَّهُ يَنْقُضُهُ كَالسَّرِقَةِ وَقَتْلِ النَّفْسِ الْمُحَرَّمَةِ فَفِي بُطْلَانِ اعْتِكَافِهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ لِأَنَّ اشْتِرَاطَ الْمَعْصِيَةِ كَلَا اشْتِرَاطٍ فَصَارَ بِمَثَابَةِ مَنْ خَرَجَ بِغَيْرِ شَرْطٍ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَبْطُلُ وَلَهُ الْبِنَاءُ عَلَيْهِ، لِأَنَّ نَذْرَهُ إِنَّمَا يَنْعَقِدُ عَلَى مَا سِوَى مُدَّةِ الشَّرْطِ، فَلَمْ يكن نذر المدة مقصودة بالعمل والله أعلم.
Pertama: Sesungguhnya (syarat keluar) itu bertentangan dengan i‘tikāf, seperti halnya jima‘. Maka apabila seseorang keluar dari i‘tikāf lalu melakukan jima‘, batal i‘tikāf-nya dan wajib memulainya dari awal. Karena jima‘ itu menghalangi dari kelanjutan (i‘tikāf) dan membatalkan hukum terhadap apa yang telah dilakukannya, maka ia seperti jima‘ dalam puasa.
Jenis kedua: Bahwa (perbuatan) tersebut tidak bertentangan dengan i‘tikāf, tetapi membatalkannya, seperti mencuri dan membunuh jiwa yang diharamkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat tentang batal atau tidaknya i‘tikāf:
Pendapat pertama: I‘tikāfnya batal, karena mensyaratkan maksiat tidak dihitung sebagai syarat yang sah. Maka kedudukannya seperti orang yang keluar tanpa syarat.
Pendapat kedua: Tidak batal, dan boleh melanjutkannya, karena nadzarnya hanya terikat pada selain waktu yang disyaratkan. Maka waktu tersebut tidak termasuk bagian dari nadzar secara maksud perbuatan.
Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه قال: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَعْتَكِفَ وَلَا يَنْوِيَ أَيَّامًا مَتَى شَاءَ خَرَجَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الِاعْتِكَافَ غَيْرُ مُقَدَّرٍ بِزَمَانٍ بَلْ يَصِحُّ فِعْلُهُ فِي قَلِيلِ الزَّمَانِ وَكَثِيرِهِ، فَإِذَا نَذَرَ اعْتِكَافًا وَلَمْ يَذْكُرْ قَدْرَهُ، فَإِذَا اعْتَكَفَ وَلَوْ سَاعَةً أَجْزَأَهُ لِأَنَّ مُطْلَقَ النَّذْرِ يَقْتَضِي مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ، كَمَا لَوْ نَذَرَ صَوْمًا أَوْ صَلَاةً أَجْزَأَهُ صَوْمُ يَوْمٍ وصلاة رَكْعَةٍ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي: صَلَاةُ رَكْعَتَيْنِ اعْتِبَارًا بِمَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ وكذلك الاعتكاف.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Tidak mengapa seseorang beri‘tikāf tanpa meniatkan jumlah hari; kapan saja ia mau, ia boleh keluar.”
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar. Kami telah sebutkan bahwa i‘tikāf tidak ditentukan dengan batasan waktu, bahkan sah dilakukan dalam waktu sedikit maupun banyak.
Maka apabila seseorang bernadzar untuk beri‘tikāf namun tidak menyebutkan kadar waktunya, maka apabila ia telah beri‘tikāf meskipun hanya sesaat, itu sudah mencukupi, karena nadzar yang bersifat umum mencukupi dengan apa yang termasuk ke dalam nama (i‘tikāf), sebagaimana jika seseorang bernadzar untuk puasa atau salat, maka mencukupi dengan puasa satu hari atau salat satu rakaat menurut salah satu dari dua pendapat. Dan menurut pendapat kedua: harus dua rakaat, dengan pertimbangan sesuai yang layak disebut sebagai “salat” — demikian pula halnya dengan i‘tikāf.
مسألة: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَاعْتِكَافُهُ فِي الْمَسْجِدِ الْجَامِعِ أَحَبُّ إِلَيَّ فَإِنِ اعْتَكَفَ فِي غَيْرِهِ، فَمِنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ “.
قال المارودي: أَمَّا الْجَوَامِعُ فَالِاعْتِكَافُ فِيهَا أَوْلَى مِنَ الْمَسَاجِدِ لِكَثْرَةِ جَمَاعَتِهَا وَدَوَامِ الصَّلَاةِ فِيهَا، وَقَدْ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: صَلَاتُكَ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِكَ وَحْدَكَ وَصَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَلَى صَلَاةِ الْفَذِّ، فَكُلَّمَا كَثُرَتِ الْجَمَاعَةُ كَانَ أَفْضَلَ، وَلِأَنَّهُ إِذَا اعْتَكَفَ فِي الْجَامِعِ اسْتَدَامَ لَهُ الِاعْتِكَافُ، وَاتَّصَلَ وَإِنِ اعْتَكَفَ فِي غَيْرِهِ لَزِمَهُ حُضُورُ الْجُمُعَةِ، فَكَانَ ذَلِكَ قَطْعًا لِاعْتِكَافِهِ، فَإِنِ اعْتَكَفَ فِي مَسْجِدٍ غَيْرِ جَامِعٍ فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ اعْتِكَافُهُ تَطَوُّعًا فَإِذَا حَضَرَتِ الْجُمُعَةُ لَزِمَهُ إِتْيَانُهَا فَإِذَا عَادَ إِلَى الِاعْتِكَافِ صَارَ كَالْمُسْتَأْنِفِ لَهُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “I‘tikāf di masjid jāmi‘ (yang digunakan salat Jumat) lebih aku sukai. Maka jika ia beri‘tikāf di selainnya, (hendaknya) dari Jumat ke Jumat.”
Al-Māwardī berkata: Adapun masjid-masjid jāmi‘, maka i‘tikāf di dalamnya lebih utama dibanding masjid lainnya karena banyaknya jamaah dan terus-menerusnya salat berjamaah di dalamnya. Dan sungguh Rasulullah SAW bersabda: “Salatmu bersama jamaah lebih utama daripada salat sendirian,” dan salat berjamaah lebih utama daripada salat sendiri. Maka semakin banyak jamaah, semakin utama.
Dan karena apabila ia beri‘tikāf di masjid jāmi‘, i‘tikāfnya akan terus-menerus tanpa terputus. Sedangkan jika beri‘tikāf di selainnya, ia wajib menghadiri salat Jumat, dan itu merupakan pemutusan i‘tikāfnya.
Maka jika ia beri‘tikāf di masjid yang bukan jāmi‘, maka keadaannya ada dua:
Pertama: Jika i‘tikāfnya bersifat taṭawwu‘ (sunnah), maka apabila waktu salat Jumat tiba, ia wajib mendatanginya. Dan apabila ia kembali ke i‘tikāf, maka ia seperti orang yang memulai i‘tikāf dari awal.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ اعْتِكَافُهُ نَذْرًا وَاجِبًا، فَإِنْ كَانَ قَدْرُهُ أَقَلَّ مِنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ لَزِمَهُ حُضُورُ الْجُمُعَةِ، وَقَدْ خَرَجَ مِنْ نَذْرِهِ وَإِنْ كَانَ قَدْرُهُ أَكْثَرَ مِنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ كَأَنَّهُ نَذَرَ اعْتِكَافَ عَشَرَةِ أَيَّامٍ أَوْ شهر، فَإِنْ لَمْ يَكُنِ اعْتِكَافُهُ مُتَتَابِعًا خَرَجَ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَعَادَ إِلَى اعْتِكَافِهِ وَبَنَى، وَإِنْ كَانَ اعْتِكَافُهُ مُتَتَابِعًا فَإِنْ شَرَطَ فِيهِ الْخُرُوجَ إِلَى الْجُمُعَةِ، فَإِذَا خَرَجَ عَادَ إِلَى اعْتِكَافِهِ، وَبَنَى وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْ فِيهِ الْخُرُوجَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَعَلَيْهِ الْخُرُوجُ فَإِذَا خَرَجَ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، وَلَزِمَهُ اسْتِئْنَافُهُ، وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَبْطُلُ لِأَنَّ خُرُوجَهُ لِضَرُورَةٍ، كَمَا لَوْ خَرَجَ لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ التَّتَابُعَ إِذَا كَانَ مُسْتَحَقًّا فِي الْعِبَادَةِ كَانَ أَوْلَى فِيهَا عَلَى مَا يَمْنَعُ التَّتَابُعَ الْمُمْكِنَ فِيهَا مُبْطِلًا لَهَا، مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ صَوْمُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، فَدَخَلَ فِي صِيَامِهَا فِي شَعْبَانَ بَطَلَ صِيَامُهُ، لِأَنَّ دُخُولَ رَمَضَانَ يَمْنَعُ مِنْ تَتَابُعِهِ عَنْ كَفَّارَتِهِ، وَقَدْ يُمْكِنُهُ تَقْدِيمُهُ فِي أَوَّلِ رَجَبٍ فَيَكْمُلُ لَهُ صِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ كَذَلِكَ الْمُعْتَكِفُ، قَدْ يُمْكِنُهُ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي الْجَامِعِ فَيَسْتَغْنِيَ عَنِ الْخُرُوجِ مِنَ اعْتِكَافِهِ وَلَا يَقْدِرُ أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنِ الْخُرُوجِ لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَقْدِرُ عَلَى الِاحْتِرَازِ مِنْهُ بِالشَّرْطِ، وَالِاسْتِثْنَاءِ فَخَرَجَ مِنْ بَابِ الضَّرُورَةِ.
dan kedua: jika i‘tikafnya merupakan nadzar yang wajib, maka jika kadarnya kurang dari jumat ke jumat, wajib baginya menghadiri salat jumat, dan ia telah keluar dari nadzarnya. Namun jika kadarnya lebih dari jumat ke jumat, seperti jika ia bernadzar i‘tikaf sepuluh hari atau sebulan, maka jika i‘tikafnya tidak bersambung, ia keluar untuk salat jumat lalu kembali ke i‘tikafnya dan menyambungnya. Jika i‘tikafnya bersambung, maka jika ia mensyaratkan dalam nadzarnya untuk keluar menghadiri salat jumat, maka ketika ia keluar, ia kembali ke i‘tikafnya dan menyambungnya. Namun jika ia tidak mensyaratkan keluar untuk salat jumat, maka ia tetap wajib keluar, dan jika ia keluar, batal i‘tikafnya dan ia wajib memulai kembali.
Abu Hanifah berkata: tidak batal, karena keluarnya karena darurat, sebagaimana jika ia keluar untuk buang hajat. Dalil kami adalah bahwa jika bersambungnya suatu ibadah merupakan bagian yang wajib darinya, maka sesuatu yang membatalkan keberlangsungan yang memungkinkan dalam ibadah tersebut lebih utama untuk membatalkannya. Barang siapa wajib atasnya puasa dua bulan berturut-turut, lalu ia memulainya di bulan Sya‘ban, maka batal puasanya karena masuknya bulan Ramadan menghalangi keberlangsungan puasa kafaratnya. Padahal, ia mungkin saja memulainya di awal bulan Rajab, sehingga sempurnalah dua bulan berturut-turut. Demikian pula orang yang beri‘tikaf, ia mungkin saja beri‘tikaf di masjid jami‘ sehingga tidak perlu keluar dari i‘tikafnya. Adapun buang air besar dan kecil, ia tidak mungkin meninggalkannya, karena ia mampu mencegah keluar untuk jumat dengan syarat dan pengecualian, sehingga keluar untuk buang hajat itu termasuk dari kategori darurat.
فَصْلٌ
: إِذَا نَذَرَ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي مَسْجِدٍ بِعَيْنِهِ فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
أَحَدُهَا: مَا يَلْزَمُهُ الْوَفَاءُ بِهِ وَهُوَ أَنْ ينذر الاعتكاف بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، فَإِنِ اعْتَكَفَ فِي غَيْرِهِ لَمْ يُجْزِهِ لِاخْتِصَاصِهِ بِعِبَادَةٍ وَاجِبَةٍ.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا يُسْتَحَبُّ لَهُ الْوَفَاءُ بِهِ وَلَا يَلْزَمُهُ وَهُوَ كُلُّ مَسْجِدٍ سِوَى الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ فَإِنِ اعْتَكَفَ فِي غَيْرِهِ جَازَ.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِيهِ، وَهُوَ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ قَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ الِاعْتِكَافُ فِيهِمَا، فَإِنِ اعْتَكَفَ فِي غَيْرِهِمَا لَمْ يُجْزِهِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يُسْتَحَبُّ لَهُ فَإِنِ اعْتَكَفَ فِي غَيْرِهِمَا جاز.
PASAL
Apabila seseorang bernadzar untuk beri‘tikāf di masjid tertentu, maka hal itu terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: Yang wajib dipenuhi, yaitu apabila ia bernadzar untuk beri‘tikāf di Masjidil Haram. Maka jika ia beri‘tikāf di selainnya, tidak mencukupi, karena masjid tersebut memiliki kekhususan dalam ibadah yang wajib.
Kedua: Yang disunahkan untuk dipenuhi, namun tidak wajib. Yaitu semua masjid selain tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha). Maka jika ia beri‘tikāf di selainnya, hukumnya sah.
Ketiga: Yang terdapat perbedaan pendapat di dalamnya, yaitu Masjid al-Aqsha dan Masjid Nabi SAW. Salah satu dari dua pendapat menyatakan bahwa wajib atasnya untuk beri‘tikāf di keduanya, dan jika ia beri‘tikāf di selain keduanya maka tidak mencukupi. Pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu disunahkan saja, maka jika ia beri‘tikāf di selain keduanya, hukumnya sah.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَخْرُجُ لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ إِلَى مَنْزِلِهِ وَإِنْ بَعُدَ “.
قال الماوردي: أما خروجه للبول والغائط فجايز إِجْمَاعًا، لِقَوْلِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَخْرُجُ إِلَى الْبَيْتِ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ كِنَايَةً عَنِ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ مِمَّا بِهِ إِلَيْهِ حَاجَةٌ وَضَرُورَةٌ فَصَارَ ذَلِكَ مُسْتَثْنًى مِنْ جُمْلَةِ نَذْرِهِ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan ia boleh keluar ke rumahnya untuk buang air besar dan kecil, meskipun jauh.”
Al-Māwardī berkata: Adapun keluarnya seseorang untuk buang air besar dan kecil, maka hal itu diperbolehkan secara ijma‘, berdasarkan perkataan ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā: “Nabi SAW tidak keluar ke rumah kecuali untuk keperluan manusia,” yang merupakan ungkapan halus untuk buang air besar dan kecil.
Dan karena hal itu merupakan kebutuhan dan keharusan baginya, maka perkara tersebut menjadi hal yang dikecualikan dari keseluruhan nadzarnya.
فَإِذَا تَقَرَّرَ جَوَازُ الْخُرُوجِ إِلَى مَنْزِلِهِ لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مَنْزِلُهُ قَرِيبًا أَوْ بَعِيدًا أَوْ سَوَاءٌ قَدَرَ عَلَى قَضَاءِ حَاجَتِهِ فِي طَرِيقِهِ، أَوْ مَنْزِلِ صَدِيقِهِ الَّذِي هُوَ أَقْرَبُ مِنْ مَنْزِلِهِ أَوْلَى، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّ فِي عدوله عن منزله إلى طريقه بذلة، وَإِلَى مَنْزِلِ صَدِيقِهِ حِشْمَةً فَكَانَ أَوْلَى الْأُمُورِ له قصد منزله.
Maka apabila telah ditetapkan bolehnya keluar menuju rumahnya untuk buang air besar dan kecil, maka tidak ada perbedaan apakah rumahnya dekat atau jauh, atau apakah ia mampu menunaikan hajatnya di jalan menuju rumahnya, atau di rumah temannya yang lebih dekat daripada rumahnya—itu lebih utama. Hal itu demikian karena menyimpang dari rumahnya menuju jalan merupakan kehinaan, dan menuju rumah temannya merupakan rasa segan, maka yang lebih utama baginya adalah menuju rumahnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَسْأَلَ عَنِ الْمَرِيضِ إِذَا دَخَلَ مَنْزِلَهُ وَإِنْ أَكَلَ فِيهِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَلَا يُقِيمُ بَعْدَ فَرَاغِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِنْ خَرَجَ مِنَ اعْتِكَافِهِ قَاصِدًا لِعِيَادَةِ مَرِيضٍ، بَطَلَ اعْتِكَافُهُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، وَلَكِنْ لَوْ خَرَجَ لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ جَازَ أَنْ يَسْأَلَ عَنِ الْمَرِيضِ مِنْ غَيْرِ لُبْثٍ، فَقَدْ رَوَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَمُرُّ بِالْمَرِيضِ فَيَمُرُّ كَمَا هُوَ وَلَا يُعَرِّجُ عليه وكان يسأل عنه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Tidak mengapa jika ia menanyakan kabar orang sakit ketika masuk ke rumahnya. Dan jika ia makan di dalamnya, maka tidak ada apa-apa atasnya. Tetapi jangan menetap setelah selesai.”
Al-Māwardī berkata: Adapun jika seseorang keluar dari i‘tikāfnya dengan sengaja untuk menjenguk orang sakit, maka batal i‘tikāfnya—sebagaimana akan kami jelaskan. Namun jika ia keluar untuk buang air besar atau kecil, maka boleh baginya menanyakan kabar orang sakit tanpa berdiam diri.
Telah diriwayatkan dari ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Rasulullah SAW melewati orang sakit, maka beliau lewat sebagaimana adanya tanpa singgah, dan beliau hanya menanyakan kabarnya.”
فصل
: قَالَ الشَّافِعِيُّ فَإِنْ خَرَجَ إِلَى مَنْزِلِهِ لِلْأَكْلِ جَازَ، وَلَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ، وَكَذَلِكَ لَوْ خَرَجَ لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ جَازَ أَنْ يَقِفَ لِيَأْكُلَ.
وَحُكِيَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي الطِّيبِ بْنِ سَلَمَةَ: إِنَّهُ إِنْ خَرَجَ لِلْأَكْلِ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، وَلَكِنْ لَوْ خَرَجَ لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ، جَازَ أَنْ يَأْكُلَ فِي طَرِيقِهِ، وَلَا يُطِيلُ فَإِنْ أَطَالَ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ قَالَا: لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ عَطَفَ بِالْأَكْلِ عَلَى عِيَادَةِ الْمَرِيضِ، فَهُمَا فِي الْحُكْمِ سَوَاءٌ وَلِأَنَّهُ قَدْ يَقْدِرُ عَلَى الْأَكْلِ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِلَى الْخُرُوجِ حَاجَةً وَهَذَا الَّذِي قَالَاهُ خَطَأٌ، لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:
PASAL:
Imam al-Syafi‘i berkata: Jika seseorang keluar ke rumahnya untuk makan, maka itu diperbolehkan dan tidak membatalkan i‘tikafnya. Demikian pula, jika ia keluar karena hajat manusiawi, maka boleh baginya berhenti untuk makan.
Diriwayatkan dari Abu al-‘Abbas bin Suraij dan Abu al-Ṭayyib bin Salamah bahwa jika seseorang keluar hanya untuk makan, maka batal i‘tikafnya. Namun jika ia keluar untuk buang air besar atau kecil, maka boleh baginya makan di jalan, asalkan tidak berlama-lama. Jika ia berlama-lama, maka batal i‘tikafnya. Mereka berdua berkata: Karena Imam al-Syafi‘i menggandengkan (membolehkan) makan dengan menjenguk orang sakit, maka keduanya dalam hukum yang sama. Dan karena bisa jadi ia mampu makan di dalam masjid, maka tidak ada kebutuhan untuk keluar.
Apa yang mereka berdua katakan itu keliru karena tiga alasan:
أَحَدُهَا: إِنَّ فِي أَكْلِهِ فِي الْمَسْجِدِ بِذْلَةً وَحِشْمَةً وَهُوَ مَأْمُورٌ بِالصِّيَانَةِ.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ قَدْ يَحْشِمُ مِنْ أَكْلِهِ الْمُصَلُّونَ، فَرُبَّمَا دَعَاهُمْ ذَلِكَ إِلَى الْخُرُوجِ.
وَالثَّالِثُ: إِنَّهُ رُبَّمَا كَانَ فِي طَعَامِهِ قِلَّةٌ فَاسْتَحْيَى مِنْ إِظْهَارِهِ أَوْ كَانَ يَفْسُدُ إِنْ أُخْرِجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلِذَلِكَ جَازَ لَهُ الْخُرُوجُ إِلَى مَنْزِلِهِ لِلْأَكْلِ.
Pertama: sesungguhnya makan di dalam masjid itu mengandung kehinaan dan rasa segan, padahal ia diperintahkan untuk menjaga kehormatan.
Kedua: bisa jadi para jamaah salat merasa segan dengan makannya, yang mungkin mendorong mereka untuk keluar dari masjid.
Ketiga: bisa jadi makanannya sedikit sehingga ia malu untuk menampakkannya, atau makanannya bisa rusak jika dibawa ke masjid. Oleh karena itu, diperbolehkan baginya keluar ke rumahnya untuk makan.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا شُرْبُ الْمَاءِ فَإِنِ اشْتَدَّ عَطَشُهُ وَعَدِمَ الْمَاءَ فِي مَسْجِدِهِ جَازَ لَهُ الْخُرُوجُ إِلَى مَنْزِلِهِ، وَإِنْ كَانَ وَاجِدًا لِلْمَاءِ فِي مَسْجِدِهِ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَهُ كَالْأَكْلِ، وَأَجَازَ لَهُ الْخُرُوجَ، لِأَجْلِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ مَنَعَهُ مِنَ الْخُرُوجِ لَهُ مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ فِي الْمَسْجِدِ، بِخِلَافِ الْأَكْلِ لِأَنَّ فِي الْأَكْلِ فِي الْمَسْجِدِ بِذْلَةً لَيْسَتْ فِي شُرْبِ الْمَاءِ وَلِأَنَّ اسْتِطْعَامَ الطَّعَامِ مَكْرُوهٌ، وَاسْتِسْقَاءَ الْمَاءِ لَيْسَ بِمَكْرُوهٍ وَقَدِ اسْتَسْقَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الْمَاءَ، وَلَمْ يَسْتَطْعِمِ الطَّعَامَ، وَمَتَى أَقَامَ الْمُعْتَكِفُ فِي مَنْزِلِهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ حَاجَتِهِ بَطَلَ اعتكافه.
PASAL
Adapun minum air, maka jika ia sangat kehausan dan tidak mendapati air di dalam masjidnya, maka boleh baginya keluar ke rumahnya.
Namun jika ia mendapati air di masjidnya, maka sebagian dari ulama kami menyamakannya dengan makan, dan membolehkannya keluar karena itu.
Dan sebagian dari mereka melarang keluar untuk minum jika ia mampu mendapatkannya di dalam masjid, berbeda halnya dengan makan, karena makan di masjid mengandung kerendahan yang tidak terdapat dalam minum.
Dan karena meminta makanan itu makruh, sedangkan meminta air tidaklah makruh. Dan sungguh Rasulullah SAW pernah meminta air, tetapi tidak pernah meminta makanan.
Dan kapan pun seorang mu‘takif menetap di rumahnya setelah menyelesaikan keperluannya, maka batal i‘tikāfnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِيَ وَيَبِيعَ وَيَخِيطَ وَيُجَالِسَ الْعُلَمَاءَ وَيُحَدِّثَ بِمَا أَحَبَّ مَا لَمْ يَكُنْ مأثماً ولا يفسده سباب ولا جدالٌ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ وَعَمَلُ الصَّنَائِعِ فِي الْمَسْجِدِ، فَمَكْرُوهٌ لِلْمُعْتَكِفِ وَغَيْرِهِ لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنِ الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ وَلِرِوَايَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صُنَّاعَكُمْ فَلَوْ بَاعَ الْمُعْتَكِفُ، وَاشْتَرَى وَعَمِلَ صِنَاعَةً مِنْ خِيَاطَةٍ أَوْ غَيْرِهَا لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ، وَقَلِيلُ ذَلِكَ أَخَفُّ مِنْ كَثِيرِهِ، وَإِنَّمَا لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ بِذَلِكَ، لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ هُوَ اللُّبْثُ فِي مَكَانٍ مَخْصُوصٍ، فَلَمَّا لَمْ يُفَارِقِ اللُّبْثَ فَهُوَ عَلَى الِاعْتِكَافِ، وَلِأَنَّ الصَّوْمَ وَالْحَجَّ مَعَ تَغْلِيظِ حُكْمِهِمَا، لَا يَمْنَعَانِ الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فَكَذَلِكَ الِاعْتِكَافُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak mengapa seseorang membeli, menjual, menjahit, duduk bersama para ulama, dan berbicara tentang apa saja yang ia sukai, selama bukan sesuatu yang mengandung dosa atau rusak karena makian atau perdebatan.”
Al-Mawardi berkata: Adapun jual beli dan pekerjaan kerajinan di dalam masjid, hukumnya makruh baik bagi orang yang beri‘tikaf maupun selainnya, berdasarkan riwayat ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli di dalam masjid. Dan juga berdasarkan riwayat ‘Utsman bin ‘Affan RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jauhkanlah para tukang dari masjid-masjid kalian.”
Namun jika orang yang beri‘tikaf menjual, membeli, atau melakukan pekerjaan seperti menjahit atau yang lainnya, maka i‘tikafnya tidak batal. Yang sedikit dari hal tersebut lebih ringan daripada yang banyak. I‘tikafnya tidak batal karena hal itu, karena i‘tikaf adalah tinggal di tempat tertentu. Selama ia tidak keluar dari tempat itu, maka ia tetap dalam keadaan i‘tikaf. Dan karena puasa serta haji, padahal keduanya memiliki hukum yang lebih ketat, tidak melarang jual beli, maka demikian pula i‘tikaf.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا مُجَالَسَةُ الْعُلَمَاءِ وَمُذَاكَرَتُهُمْ فَمُسْتَحَبَّةٌ لِلْمُعْتَكِفِ وَغَيْرِهِ، وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ كَرَاهَةُ ذَلِكَ لِلْمُعْتَكِفِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْمُذَاكَرَةَ بِالْعِلْمِ قُرْبَةٌ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فِي بُيُوتٍ أَذَنَ اللهُ أنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ) {النور: 36) وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِذِكْرِ اللَّهِ وَالصَّلَاةِ “.
PASAL
Adapun duduk bersama para ulama dan berdiskusi ilmu dengan mereka, maka hal itu disunahkan bagi orang yang beri‘tikāf maupun yang tidak.
Telah diriwayatkan dari Mālik bahwa beliau memakruhkan hal tersebut bagi orang yang beri‘tikāf, dan ini adalah kekeliruan.
Karena berdiskusi dalam ilmu adalah bentuk qurbah (ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah). Dan Allah Ta‘ālā berfirman:
“Di rumah-rumah yang Allah izinkan untuk dimuliakan dan disebut di dalamnya nama-Nya.” (QS. An-Nūr: 36)
Dan Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya masjid-masjid dibangun untuk zikir kepada Allah dan salat.”
فَصْلٌ
: فَأَمَّا مُحَادَثَةُ الْإِخْوَانِ فَمُبَاحَةٌ، مَا لَمْ تَكُنْ مَأْثَمًا، لِمَا رَوَى عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتِ: اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَجِئْتُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَقَعَدْتُ وَحَدَّثْتُهُ فَلَمَّا قُمْتُ، وانقلبت قام ليغلبني يعني يردني فَلَمَّا بَلَغَ بَابَ الْمَسْجِدِ مَرَّ بِهِ رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ فَلَمَّا رَأَيَاهُ أَسْرَعَا فَقَالَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ، فَقَالَا: سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ أَحَدِكُمْ مَجْرَى لَحْمِهِ وَدَمِهِ فَخَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمْ شَرًّا أَوْ قَالَ شَيْئًا فَأَمَّا السَّبُّ وَالشَّتِيمَةُ وَالْقَذْفُ، وَالنَّمِيمَةُ فَمَكْرُوهٌ، لِكُلِّ أَحَدٍ، وَالْمُعْتَكِفُ بِكَرَاهَتِهِ أَوْلَى كَالصَّائِمِ لِكَوْنِهِ فِي عِبَادَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ أَسَاءَ وَأَثِمَ، وَاعْتِكَافُهُ جَائِزٌ لِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ لَا تَبْطُلُ بِالْكَلَامِ الْمُبَاحِ، لَا تَبْطُلُ بِالْكَلَامِ الْمَحْظُورِ كَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ.
PASAL:
Adapun berbincang-bincang dengan saudara seiman hukumnya mubah, selama tidak mengandung dosa, berdasarkan riwayat dari ‘Ali bin al-Ḥusain dari Ṣafiyyah binti Ḥuyay RA, ia berkata: Rasulullah SAW beri‘tikaf, lalu aku datang mengunjunginya pada malam hari, maka aku duduk dan berbincang dengannya. Ketika aku berdiri dan hendak kembali, beliau pun berdiri untuk menemaniku—maksudnya mengantarku. Ketika beliau sampai di pintu masjid, lewatlah dua orang laki-laki dari Anshar. Ketika mereka melihat beliau, mereka mempercepat langkah. Maka beliau bersabda, “Pelan-pelanlah kalian, ini Ṣafiyyah binti Ḥuyay.” Mereka berkata, “Subḥānallāh, wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri salah seorang dari kalian seperti aliran darah dan dagingnya, maka aku khawatir setan akan melemparkan kejahatan dalam hati kalian atau mengucapkan sesuatu.”
Adapun makian, cacian, tuduhan zina, dan adu domba, maka hukumnya makruh bagi setiap orang, dan bagi orang yang beri‘tikaf lebih utama untuk menghindarinya, sebagaimana orang yang berpuasa, karena ia berada dalam ibadah. Jika ia melakukannya, maka ia telah berbuat buruk dan berdosa, namun i‘tikafnya tetap sah. Karena setiap ibadah yang tidak batal dengan ucapan yang mubah, maka tidak batal pula dengan ucapan yang terlarang, seperti puasa dan haji.
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ: وَإِذَا شَرِبَ الْمُعْتَكِفُ نَبِيذًا فَسَكِرَ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّمَا أَرَادَ الشَّافِعِيُّ إِذَا سَكِرَ وَأُخْرِجَ مِنَ الْمَسْجِدِ لِإِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَيْهِ أَوْ كُلِّفَ الْخُرُوجَ مِنْهُ، إِذْ لَا يَجُوزُ لِلسَّكْرَانِ الْمُقَامُ فِيهِ فَأَشْبَهَ الْمَرَضَ، قِيلَ لَهُمْ: لَا يَصِحُّ حَمْلُ الْمَسْأَلَةِ عَلَيْهِ إِذَا أُخْرِجَ لِإِقَامَةِ الْحَدِّ، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ: وَلَوْ أَخْرَجَهُ السُّلْطَانُ لِإِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَيْهِ لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ، قَالُوا: إِنَّمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ إِذَا أُخْرِجَ لِإِقَامَةِ حَدٍّ وَجَبَ عَلَيْهِ قَبْلَ اعْتِكَافِهِ فَأَمَّا مَا وَجَبَ عَلَيْهِ فِي حَالِ الِاعْتِكَافِ فَيُبْطِلُهُ، وَكَأَنَّهُ اخْتَارَ الْخُرُوجَ.
وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا: وَهُوَ الصَّحِيحُ أن المسألة على ظاهرها حتى بالسكر بطل اعتكافه، لأنه بالسر يَخْرُجُ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْمَسْجِدِ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ الْمُقَامِ فِيهِ، فَصَارَ كَالْخَارِجِ مِنْهُ فَبَطَلَ اعْتِكَافُهُ.
PASAL
Imam al-Syafi‘i berkata dalam Kitāb al-Umm: “Jika seorang mu‘takif meminum nabīż lalu mabuk, maka batal i‘tikāfnya.”
Ulama dari kalangan kami berbeda pendapat dalam menafsirkan pernyataan ini. Sebagian dari mereka berkata: “Yang dimaksud oleh Imam al-Syafi‘i adalah jika ia mabuk lalu dikeluarkan dari masjid untuk ditegakkan ḥadd atasnya, atau dipaksa keluar darinya, karena orang yang mabuk tidak boleh tetap berada di masjid, maka keadaannya seperti orang sakit.”
Dikatakan kepada mereka: Penafsiran ini tidak sah, karena Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang dikeluarkan oleh penguasa untuk ditegakkan ḥadd atasnya, maka i‘tikāfnya tidak batal.”
Mereka menjawab: Imam al-Syafi‘i hanya mengatakan bahwa i‘tikāfnya tidak batal jika ia dikeluarkan untuk menjalani ḥadd yang sudah wajib atasnya sebelum ia memulai i‘tikāf. Adapun jika ḥadd tersebut menjadi wajib atasnya ketika sedang i‘tikāf, maka hal itu membatalkan i‘tikāf, karena seakan-akan ia sendiri yang memilih untuk keluar.
Sebagian yang lain dari ulama kami—dan ini yang ṣaḥīḥ—berpendapat bahwa permasalahan ini dipahami sebagaimana lafaznya: bahwa hanya dengan mabuk saja, batal i‘tikāfnya. Karena dengan mabuk itu ia tidak lagi termasuk golongan ahli masjid, sebab ia dilarang untuk tinggal di dalamnya. Maka kedudukannya seperti orang yang keluar dari masjid, dan i‘tikāfnya pun batal.
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِذَا ارْتَدَّ الْمُعْتَكِفُ لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ فَإِذَا عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ الشَّافِعِيَّ أَمَرَ الرَّبِيعَ أَنْ يَخُطَّ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَلَا تُقْرَأُ عَلَيْهِ وَمَذْهَبُهُ أَنَّ الرِّدَّةَ تُبْطِلُ الِاعْتِكَافَ، لِأَنَّهَا أَسْوَأُ حَالًا مِنَ السُّكْرِ وَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخْرِجُ فِي الْمُرْتَدِّ قَوْلًا آخر من السركان، وَفِي السَّكْرَانِ، قُولًا آخَرَ مِنَ الْمُرْتَدِّ، فَجَعَلَ الْمَسْأَلَتَيْنِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَقَالَ آخَرُونَ جَوَابُ الشَّافِعِيِّ فِي الرِّدَّةِ عَلَى ظَاهِرِهِ لَا يُبْطِلُ الِاعْتِكَافَ وَفِي السُّكْرِ عَلَى ظَاهِرِهِ يَبْطُلُ الِاعْتِكَافُ، وَالْفَرْقُ بينهما أنه بالسكر فممنوع مِنَ الْمَسْجِدِ، فَصَارَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ، وَبِالرِّدَّةِ لَا يُمْتَنَعُ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْمَسْجِدِ لِأَنَّهُ كَافِرٌ، وَالْكَافِرُ يَجُوزُ لَهُ دُخُولُ الْمَسْجِدِ فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَتِ الرِّدَّةُ فِي الصِّيَامِ لَا تُبْطِلُهُ كَالِاعْتِكَافِ قِيلَ: لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ قَدْ يَتَخَلَّلُهُ مَا لَيْسَ مِنْهُ، وَهُوَ الْخُرُوجُ لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ، وَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ فِي الصِّيَامِ.
PASAL:
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika orang yang beri‘tikaf murtad, maka i‘tikafnya tidak batal. Namun jika ia kembali masuk Islam, maka batallah i‘tikafnya.”
Para sahabat kami berbeda pendapat. Sebagian dari mereka berkata bahwa Imam al-Syafi‘i memerintahkan ar-Rabi‘ untuk mencoret masalah ini dan tidak membacakannya kepadanya, dan bahwa mazhabnya adalah bahwa riddah membatalkan i‘tikaf, karena kedudukannya lebih buruk daripada mabuk. Sebagian yang lain menyebutkan dalam masalah orang murtad satu qaul yang dikeluarkan dari qaul tentang orang mabuk, dan dalam masalah orang mabuk satu qaul yang dikeluarkan dari qaul tentang orang murtad, sehingga menjadikan dua masalah ini memiliki dua qaul.
Sebagian yang lain lagi berkata: jawaban Imam al-Syafi‘i dalam masalah riddah sesuai dengan zahirnya, yaitu tidak membatalkan i‘tikaf. Dan dalam masalah mabuk sesuai zahirnya, yaitu membatalkan i‘tikaf. Perbedaan di antara keduanya adalah: orang yang mabuk terhalang masuk ke masjid, maka ia termasuk orang yang bukan ahlinya. Sedangkan orang murtad tidak terhalang untuk berada di masjid karena ia seorang kafir, dan orang kafir diperbolehkan masuk masjid.
Jika ada yang bertanya: “Mengapa riddah dalam puasa membatalkannya, sedangkan dalam i‘tikaf tidak?”
Jawabannya: karena dalam i‘tikaf diperbolehkan terputus oleh sesuatu yang bukan bagian darinya, seperti keluar untuk buang hajat, sedangkan hal itu tidak diperbolehkan dalam puasa.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِذَا جُنَّ الْمُعْتَكِفُ ثُمَّ أَفَاقَ فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ، أَنَّهُ يَبْنِي عَلَى اعْتِكَافِهِ سَوَاءٌ خَرَجَ مِنَ الْمَسْجِدِ فِي حَالِ جُنُونِهِ أَمْ لَا لِأَنَّ فِعْلَ الْمَجْنُونِ كَلَا فِعْلٍ فَكَانَ أَسْوَأَ حَالًا مِنَ النَّاسِي، وَإِنَّمَا لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ بِالْجُنُونِ، لِأَنَّهُ مَغْلُوبٌ عَلَى زَوَالِ عَقْلِهِ بِأَمْرٍ هُوَ فِيهِ مَعْذُورٌ، فَصَارَ كَمَنْ غَلَبَ عَلَى الْخُرُوجِ، وَكَذَلِكَ لَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ، أَوْ نَامَ طُولَ يَوْمِهِ كَانَ عَلَى اعْتِكَافِهِ، غَيْرَ أَنَّ مُدَّةَ الْإِغْمَاءِ غَيْرُ مُعْتَدٍّ بِهَا، وَمُدَّةُ النَّوْمِ مُعْتَدٌّ بِهَا لِأَنَّ النَّائِمَ كَالْمُسْتَيْقِظِ فِي جَرَيَانِ الْحُكْمِ عَلَيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
PASAL
Adapun jika seorang mu‘takif menjadi gila, kemudian ia siuman kembali, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab bahwa ia tetap melanjutkan i‘tikāf-nya, baik ia keluar dari masjid saat dalam keadaan gila atau tidak.
Karena perbuatan orang gila tidak dianggap sebagai perbuatan yang sah, sehingga ia lebih ringan keadaannya dibanding orang yang lupa.
Dan i‘tikāfnya tidak batal karena kegilaan, karena hilangnya akal terjadi di luar kemampuannya, sehingga ia dalam keadaan uzur, seperti orang yang terpaksa keluar (dari masjid).
Demikian pula jika ia pingsan atau tertidur sepanjang hari, maka ia tetap dalam i‘tikāfnya. Hanya saja, waktu pingsannya tidak diperhitungkan (dalam hitungan i‘tikāf), sedangkan waktu tidurnya diperhitungkan, karena orang tidur dalam hukum syariat disamakan dengan orang yang sadar dalam hal berlakunya hukum atasnya.
Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يَعُودُ الْمَرِيضُ، وَلَا يَشْهَدُ الْجَنَازَةَ إِذَا كَانَ اعْتِكَافُهُ وَاجِبًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا عِيَادَةُ مَرِيضٍ فِي الْمَسْجِدِ أَوْ حُضُورُ جِنَازَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَلَا يُمْنَعُ مِنْهُ الْمُعْتَكِفُ، فَأَمَّا إِنْ خَرَجَ مِنَ الْمَسْجِدِ لِعِيَادَةِ مَرِيضٍ أَوْ حُضُورِ جِنَازَةٍ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ، كَانَ فِي نِيَّتِهِ، لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ ذَوِي رَحِمِهِ، وَلَيْسَ لَهُ مَنْ يَقُومُ بِمَرَضِهِ، أَوْ بِدَفْنِهِ، فَهُوَ مَأْمُورٌ بِالْخُرُوجِ لِأَجْلِهِ، وَإِذَا خَرَجَ عَادَ وَبَنَى عَلَى اعْتِكَافِهِ كَالْعِدَّةِ الَّتِي تَخْرُجُ الْمَرْأَةُ لِأَجْلِهَا ثُمَّ تَرْجِعُ فَتَبْنِي، وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ إِنَّهُ يَسْتَأْنِفُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Orang yang beri‘tikaf tidak boleh menjenguk orang sakit, dan tidak pula menghadiri jenazah jika i‘tikafnya adalah i‘tikaf yang wajib.”
Al-Mawardi berkata: Adapun menjenguk orang sakit di dalam masjid, atau menghadiri jenazah yang ada di dalam masjid, maka orang yang beri‘tikaf tidak terlarang melakukannya. Namun jika ia keluar dari masjid untuk menjenguk orang sakit atau menghadiri jenazah tanpa adanya syarat (yang disebutkan dalam niatnya), maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
Pertama: jika orang sakit atau jenazah tersebut adalah dari kerabatnya dan tidak ada orang lain yang mengurus sakitnya atau penguburannya, maka ia diperintahkan untuk keluar demi kepentingan tersebut. Maka ketika ia keluar, lalu kembali, ia boleh melanjutkan i‘tikafnya seperti wanita yang keluar dari masa ‘iddah karena suatu keperluan lalu kembali dan melanjutkannya.
Dan dalam hal ini terdapat pendapat lain: bahwa ia wajib memulai i‘tikafnya dari awal.
وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ بِخِلَافِ ذَلِكَ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنْ عِيَادَتِهِ، وَحُضُورِ جِنَازَتِهِ، فَإِنْ خَرَجَ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، وَلِمَا رَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: قَضَاءُ السُّنَّةِ أَنْ لَا يَعُودَ الْمُعْتَكِفُ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدَ جِنَازَةً، وَلَا يَمَسَّ امْرَأَةً وَلَا يُبَاشِرَهَا، وَلَا يَخْرُجَ فِيمَا لَهُ مِنْهُ بُدٌّ وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ يَمُرُّ بِالْمَرِيْضِ فَيَمُرُّ وَلَا يُعَرِّجُ عَلَيْهِ وكان يسأل عنه.
Dan jika selain dari itu (yakni keluar bukan karena keperluan mendesak seperti buang hajat), maka ia dilarang untuk menjenguk orang sakit dan menghadiri jenazah. Maka jika ia keluar karena hal tersebut, batallah i‘tikāf-nya.
Karena telah diriwayatkan oleh az-Zuhrī dari ‘Urwah dari ‘Ā’isyah bahwa ia berkata: “Sesuai dengan ketentuan sunah, seorang mu‘takif tidak menjenguk orang sakit, tidak menyaksikan jenazah, tidak menyentuh wanita, tidak berhubungan dengannya, dan tidak keluar kecuali untuk sesuatu yang tidak bisa tidak dilakukan.”
Dan telah diriwayatkan pula dari ‘Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa Rasulullah SAW dahulu melewati orang sakit, beliau lewat tanpa singgah, dan beliau hanya menanyakan keadaannya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ إِذَا كَانَ مُؤَذِّنًا أَنْ يَصْعَدَ الْمَنَارَةَ وَإِنْ كَانَ خَارِجًا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ كَرِهَ لِلْمُعْتَكِفِ صُعُودَ الْمَنَارَةِ، وَلَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَنَا إِذَا كَانَتِ الْمَنَارَةُ دَاخِلَ الْمَسْجِدِ أَوْ فِي رِحَابِهِ، لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمَسْجِدِ، فَلَوِ اعْتَكَفَ فِيهَا أَوْ فِي رِحَابِ الْمَسْجِدِ، وَسَقَطَاتِهِ وَعَلَى سَطْحِهِ جَازَ، وَإِذَا جَازَ الِاعْتِكَافُ فِيهَا فَالْأَذَانُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ، فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الْمَنَارَةُ خَارِجَ الْمَسْجِدِ نُظِرَ فِيهَا، فَإِنْ كَانَتْ لِغَيْرِ هَذَا الْمَسْجِدِ الَّذِي هُوَفِيهِ مُعْتَكِفٌ مُنِعَ مِنْ صُعُودِهَا، فَإِنْ خَرَجَ إِلَيْهَا، وَصَعَدَهَا بَطَلَ اعْتِكَافُهُ وَإِنْ كَانَتْ لِلْمَسْجِدِ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: يُمْنَعُ مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْهَا فَإِنْ خَرَجَ إِلَيْهَا بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، لِأَنَّهُ لَوْ خَرَجَ إِلَى مَوْضِعِ الْمَنَارَةِ لِلصَّلَاةِ عَلَى جِنَازَةٍ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، فَكَذَلِكَ إِذَا خَرَجَ لِلْأَذَانِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِهِ: إِنَّ لَهُ الْخُرُوجَ إِلَيْهَا، وَلَا يَبْطُلُ اعْتِكَافُهُ لِأَنَّهَا مِنْ حُقُوقِ الْمَسْجِدِ، وَإِنْ كَانَتْ خَارِجَةً كَالرِّحَابِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i ra. berkata: “Tidak mengapa seorang muadzin naik ke menara meskipun menara itu berada di luar (masjid).”
Al-Mawardi berkata: Diriwayatkan dari Imam Mālik bahwa beliau memakruhkan bagi orang yang beri‘tikaf untuk naik ke menara. Sedangkan menurut kami, tidak mengapa hal itu dilakukan jika menara tersebut berada di dalam masjid atau di pelatarannya, karena menara termasuk bagian dari masjid. Maka jika seseorang beri‘tikaf di atas menara atau di pelataran masjid, atau di bagian undakan dan atapnya, maka hukumnya sah. Jika i‘tikaf di sana sah, maka adzan di sana tidak makruh.
Adapun jika menara tersebut berada di luar masjid, maka perlu dilihat:
- Jika menara itu milik masjid lain yang bukan tempat ia beri‘tikaf, maka ia dilarang naik ke sana. Jika ia keluar menuju menara itu dan naik ke atasnya, maka batallah i‘tikafnya.
- Namun jika menara tersebut milik masjid tempat ia beri‘tikaf, maka ada dua pendapat:
Pertama: Ia dilarang keluar ke sana. Jika ia keluar ke sana, maka i‘tikafnya batal. Karena jika ia keluar ke tempat menara untuk menshalatkan jenazah, maka i‘tikafnya batal, maka demikian pula jika keluar untuk adzan.
Kedua: Dan ini adalah zahir dari perkataan Imam al-Syafi‘i: bahwa ia boleh keluar ke sana dan i‘tikafnya tidak batal, karena menara termasuk bagian dari hak-hak masjid, meskipun berada di luar sebagaimana pelataran.
Wallāhu a‘lam.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَكْرَهُ الْأَذَانَ بِالصَّلَاةِ لِلْوُلَاةِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: فِي تَأْوِيلِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: أَرَادَ كَرَاهَةَ قَوْلِهِ فِي أَذَانِهِ حَيَّ عَلَى الْفَلَّاحِ أَيُّهَا الْأَمِيرُ، فَعَلَى هَذَا لَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الْمُعْتَكِفِ، وَغَيْرِهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الزِّيَادَةِ فَإِنْ فَعَلَ الْمُعْتَكِفُ ذَلِكَ فَقَدْ أَسَاءَ، وَهُوَ عَلَى اعْتِكَافِهِ وَقَالَ آخَرُونَ مِنْهُمْ: إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ إِذَا فَرَغَ مِنْ أَذَانِهِ أَنْ لَا يَخْرُجَ إِلَى بَابِ الْوَالِي، فَيَقُولُ الصَّلَاةَ أَيُّهَا الْأَمِيرُ، وَهَذَا ذَكَرَهُ لِلْمُعْتَكِفِ دُونَ غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ بِلَالًا قَدْ كَانَ يُؤَذِّنُ أَذَانًا عَامًّا، ثُمَّ يَقْصِدُ حُجْرَةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَيَخُصُّهُ بِإِعْلَامِ الصَّلَاةِ، فَدَلَّ عَلَى جَوَازِهِ لِغَيْرِ الْمُعْتَكِفِ، فَأَمَّا الْمُعْتَكِفُ فَإِنْ فَعَلَ هَذَا بَطَلَ اعتكافه، لأجل خروجه.
Masalah:
Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Aku memakruhkan azan untuk memanggil salat kepada para penguasa.”
Al-Māwardī berkata: Para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan masalah ini. Sebagian dari mereka berkata: Yang dimaksud adalah kemakruhan ucapan dalam azan: “ḥayya ‘ala al-falāḥ, ayyuhā al-amīr (mari menuju kemenangan, wahai amir).”
Menurut pendapat ini, tidak ada perbedaan antara mu‘takif dan selainnya, karena hal itu merupakan bentuk penambahan dalam azan. Maka jika seorang mu‘takif melakukan hal tersebut, maka ia telah berbuat buruk, namun ia tetap berada dalam i‘tikāf-nya.
Sebagian lain dari mereka berkata: Yang dimaksud adalah, setelah selesai azan, janganlah ia keluar menuju pintu penguasa lalu berkata, “as-ṣalāh, ayyuhā al-amīr (salat, wahai amir).”
Dan ini dikhususkan bagi mu‘takif, tidak untuk selainnya. Karena Bilāl dahulu mengumandangkan azan umum, kemudian mendatangi kamar Rasulullah SAW untuk memberitahukan secara khusus waktu salat. Maka ini menunjukkan kebolehannya bagi selain mu‘takif.
Adapun bagi mu‘takif, jika ia melakukan hal tersebut, maka batal i‘tikāf-nya karena sebab keluar dari masjid.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ كَانَتْ عَلَيْهِ شهادةٌ فَعَلَيْهِ أَنْ يُجِيبَ، فَإِنْ فَعَلَ خَرَجَ مِنَ اعْتِكَافِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَنَظَائِرُهَا مُصَوَّرَةٌ فِي اعْتِكَافٍ وَجَبَ متتابعاً، فإذا اعتكف الشاهد، ثم دعي للإقامة الشَّهَادَةِ، فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَتَعَيَّنَ عَلَيْهِ إِقَامَتُهَا لِوُجُودِ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُودِ فَهَذَا مَمْنُوعٌ مِنَ الْخُرُوجِ، فَإِنْ خَرَجَ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ وَلَزِمَهُ اسْتِئْنَافُهُ
Masalah:
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan jika atasnya ada kewajiban memberikan kesaksian, maka wajib baginya menjawab (panggilan tersebut). Jika ia melakukannya, maka ia keluar dari i‘tikafnya.”
Al-Mawardi berkata: Masalah ini dan yang semisalnya digambarkan dalam i‘tikaf yang wajib secara mutatabi‘ (berturut-turut). Maka jika seorang saksi sedang beri‘tikaf, kemudian dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka ada dua keadaan:
Pertama: Jika tidak wajib baginya menegakkan kesaksian karena adanya saksi lain selain dia, maka ia tidak diperbolehkan keluar (dari masjid). Jika ia keluar, maka batal i‘tikafnya dan wajib mengulanginya dari awal.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَعَيَّنَ عَلَيْهِ إِقَامَةُ الشَّهَادَةِ لِعَدَمِ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُودِ، فَهَذَا مأمورهم بِالْخُرُوجِ، لِإِقَامَتِهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأقِيمُوا الشَّهَادَةِ للهِ) {الطلاق: 2) فَإِذَا خَرَجَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ تَحَمَّلَ الشَّهَادَةَ مُضْطَرًّا، أَوْ مُخْتَارًا، فَإِنْ تَحَمَّلَهَا مُخْتَارًا بَطَلَ اعْتِكَافُهُ بِخُرُوجِهِ، لِأَنَّ فِي اخْتِيَارِهِ لِلتَّحَمُّلِ اخْتِيَارًا لِلْخُرُوجِ وَقْتَ الْأَدَاءِ وَإِنْ تَحَمَّلَهَا مُضْطَرًا لِعَدَمِ غَيْرِهِ لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ بِخُرُوجِهِ فَإِذَا أَعَادَ بَنَى عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ خَرَجَ لِأَمْرٍ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ فِي الطَّرَفَيْنِ، بِلَا اخْتِيَارٍ مِنْهُ، فَصَارَ كَالْخَارِجِ لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ، وَقَالَ أَصْحَابُنَا الْبَصْرِيُّونَ فِيهَا وجهان:
أَحَدُهُمَا: اعْتِكَافُهُ جَايزٌ، لِمَا ذَكَرْنَا.
وَالثَّانِي: بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ وَإِنْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ الْأَدَاءُ، فَلَيْسَ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ الْخُرُوجُ، لِأَنَّ الْقَاضِيَ قَدْ يَجِيءُ إِلَيْهِ، ويسمع شهادته.
Dan keadaan yang kedua: yaitu ketika wajib baginya menegakkan kesaksian karena tidak ada saksi selain dirinya, maka ia diperintahkan keluar untuk menegakkan kesaksian tersebut, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa aqīmū asy-syahādata lillāh} (QS ath-Thalaq: 2). Maka apabila ia keluar, tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: jika ia menanggung kesaksian itu secara sukarela, atau karena terpaksa. Jika ia menanggungnya secara sukarela, maka batal i‘tikafnya karena keluar tersebut, karena dengan memilih menanggung kesaksian berarti ia juga memilih untuk keluar di waktu pelaksanaan kesaksian.
Namun jika ia menanggung kesaksian secara terpaksa karena tidak ada orang lain yang bisa menjadi saksi, maka i‘tikafnya tidak batal karena keluarnya tersebut, dan jika ia kembali (ke masjid), maka ia melanjutkan i‘tikafnya, karena ia keluar demi perkara yang wajib atasnya dalam kedua sisi (menanggung dan menyampaikan), tanpa adanya pilihan dari dirinya. Maka hukumnya seperti orang yang keluar untuk buang air besar atau kecil.
Dan para sahabat kami dari kalangan ulama Bashrah memiliki dua pendapat dalam masalah ini:
Pertama: i‘tikafnya sah, sebagaimana telah kami sebutkan.
Kedua: batal, karena meskipun wajib atasnya memberikan kesaksian, tetapi tidak wajib atasnya keluar, sebab mungkin saja hakim datang kepadanya dan mendengar kesaksiannya di tempatnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ مَرِضَ أَوْ أَخْرَجَهُ السُّلْطَانُ وَاعْتِكَافُهُ واجبٌ فإذا برئ أو خلى عَنْهُ بَنَى فَإِنْ مَكَثَ بَعْدَ بُرْئِهِ شَيْئًا مِنَ غَيْرِ عذرٍ ابْتَدَأَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ اعْتِكَافُ أَيَّامٍ سَابِقَةٍ فَمَرِضَ، فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَرَضُهُ يَسِيرًا يُمْكِنُهُ الْمُقَامُ مَعَهُ فِي الْمَسْجِدِ، كَالصُّدَاعِ ورجع الضِّرْسِ وَنُفُورِ الْعَيْنِ، فَهَذَا مَمْنُوعٌ مِنَ الْخُرُوجِ مِنَ الْمَسْجِدِ فَإِنْ خَرَجَ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، وَلَزِمَهُ اسْتِئْنَافُهُ لِأَنَّهُ خَرَجَ مُخْتَارًا لِغَيْرِ حَاجَةٍ.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Jika ia sakit atau dikeluarkan oleh penguasa, sedangkan i‘tikafnya wajib, maka apabila ia sembuh atau telah dibebaskan, ia melanjutkannya. Namun jika ia menetap setelah sembuh tanpa uzur, maka ia memulai dari awal.”
Al-Māwardī berkata: Ini benar apabila wajib atasnya melakukan i‘tikaf sejumlah hari yang telah lalu, lalu ia sakit, maka ada dua keadaan:
Pertama: sakitnya ringan yang memungkinkan tetap tinggal di masjid bersamanya, seperti sakit kepala, sakit gigi, atau iritasi mata. Maka dalam hal ini ia dilarang keluar dari masjid. Jika ia keluar, batal i‘tikafnya dan wajib memulainya kembali karena ia keluar dengan pilihan tanpa adanya kebutuhan.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مَرَضُهُ زَائِدًا لَا يَقْدِرُ مَعَهُ عَلَى الْمُقَامِ فِي الْمَسْجِدِ، فَهَذَا يَجُوزُ لَهُ الْخُرُوجُ مِنَ الْمَسْجِدِ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَإِذَا بَرَأَ عَادَ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَبَنَى عَلَى اعْتِكَافِهِ لِأَنَّهُ خَرَجَ غَيْرَ مُخْتَارٍ فَصَارَ كَالْخَارِجِ لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَ قَوْلًا آخَرَ إِنَّهُ يَسْتَأْنِفُ مِنَ الْمَرِيضِ إِذَا أَفْطَرَ فِي صَوْمِ الظِّهَارِ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ وَفِي مَعْنَى الْمَرِيضِ مَنْ خَرَجَ خَوْفَ لِصٍّ أَوْ حَرِيقٍ، فَإِذَا زَالَ خَوْفُهُ عَادَ إِلَى اعْتِكَافِهِ، وَبَنَى عَلَيْهِ.
Dan keadaan yang kedua: yaitu ketika sakitnya bertambah parah sehingga ia tidak mampu tinggal di dalam masjid, maka dalam keadaan ini diperbolehkan baginya keluar dari masjid menuju rumahnya. Apabila ia telah sembuh, maka ia kembali ke masjid dan melanjutkan i‘tikafnya, karena ia keluar dalam keadaan tidak memilih (terpaksa), maka hukumnya seperti orang yang keluar untuk keperluan buang hajat.
Sebagian dari sahabat kami mengeluarkan pendapat lain bahwa ia harus mengulang dari awal, sebagaimana orang sakit yang berbuka dalam puasa ẓihār. Namun pendapat ini tidak benar.
Dan dalam makna “orang sakit” ini juga termasuk orang yang keluar karena takut perampok atau kebakaran; maka jika rasa takutnya telah hilang, ia kembali ke i‘tikafnya dan melanjutkannya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا إِنْ أَخْرَجَهُ السُّلْطَانُ مِنَ اعْتِكَافِهِ، فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ السُّلْطَانُ لَهُ ظَالِمًا، وَهُوَ فِي الْخُرُوجِ مَظْلُومٌ فَلَا يَبْطُلُ اعْتِكَافُهُ بِخُرُوجِهِ، فَإِذَا أَطْلَقَ عَادَ وَبَنَى عَلَى اعْتِكَافِهِ لِأَنَّهُ مُكْرَهٌ.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ السُّلْطَانُ مُحِقًّا فِي إِخْرَاجِهِ، وَهُوَ الظَّالِمُ لِامْتِنَاعِهِ مِنْ حَقٍّ وَاجِبٍ عَلَيْهِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى أَدَائِهِ، فَقَدْ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، لِأَنَّهُ خَرَجَ بِاخْتِيَارِهِ.
PASAL
Adapun jika ia dikeluarkan oleh penguasa dari i‘tikafnya, maka terdapat tiga keadaan:
Pertama: penguasa menzaliminya dan ia keluar dalam keadaan terzalimi, maka i‘tikafnya tidak batal karena keluar tersebut, dan apabila ia dibebaskan maka ia kembali dan melanjutkan i‘tikafnya, karena ia dalam keadaan terpaksa (mukrah).
Kedua: penguasa benar dalam mengeluarkannya, sedangkan ia yang menzhalimi karena menolak menunaikan hak yang wajib atasnya padahal ia mampu melaksanakannya, maka i‘tikafnya batal karena ia keluar atas pilihannya sendiri.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ السُّلْطَانُ مُحِقًّا فِي إِخْرَاجِهِ، وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ وَلَا مُمْتَنِعٌ مَنْ حَقٍّ، وَإِنَّمَا أُخْرِجَ لِإِقَامَةِ حَدٍّ وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ قَطْعٍ أَوْ جَلْدٍ أَوْ غَيْرِهِ، فَلَا يَبْطُلُ اعْتِكَافُهُ، لِذَلِكَ لِأَنَّ الْخُرُوجَ مِنْهُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ، فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا فَعَلَ مَا يُوجِبُ الْحَدَّ، فَقَدْ صَارَ مُخْتَارًا لِلْخُرُوجِ، فَقَدْ وجب أن يبطل اعتكافه، إذا أخرج لِإِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَيْهِ، قِيلَ: لَمْ يَفْعَلْ مَا وَجَبَ بِهِ الْحَدُّ لِإِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا فَعَلَهُ لِلِاسْتِمْتَاعِ بِهِ، وَاسْتِعَادَةِ الْمِلْكِ لِسَرِقَتِهِ، فَصَارَ كَالْمُعْتَدَّةِ تَبْنِي عَلَى اعْتِكَافِهَا، وَإِنْ فَعَلَتِ النِّكَاحَ بِاخْتِيَارِهَا لِأَنَّهَا لَمْ تَقْصِدْ بِالنِّكَاحِ وُجُوبَ الْعِدَّةِ، وَإِنَّمَا قَصَدَتْ بِهِ اكْتِسَابَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، وَمَتَى قُلْنَا إِنَّ اعْتِكَافَهُ لَا يَبْطُلُ بِخُرُوجِهِ فَعَلَيْهِ الْمُبَادَرَةُ إِلَيْهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ، فَإِنْ وَقَفَ بَعْدَ فَرَاغِهِ شَيْئًا، وَإِنْ قَلَّ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ.
Dan keadaan yang ketiga: yaitu ketika penguasa benar dalam mengeluarkannya, dan ia bukanlah orang yang zalim atau menolak suatu kewajiban, melainkan ia dikeluarkan untuk ditegakkan atasnya hukuman ḥadd yang wajib, seperti potong tangan, cambuk, atau yang lainnya, maka i‘tikafnya tidak batal karena hal itu, karena keluarnya bukan atas pilihannya.
Jika dikatakan: “Kalau begitu, ketika ia melakukan perbuatan yang mewajibkan ḥadd, maka berarti ia memilih untuk keluar, maka seharusnya batal i‘tikafnya ketika ia dikeluarkan untuk ditegakkan ḥadd atasnya.”
Dijawab: Ia tidak melakukan perbuatan yang mewajibkan ḥadd dengan tujuan ditegakkan ḥadd atasnya, melainkan ia melakukannya untuk mendapatkan kenikmatan dari perbuatan itu, seperti pencurian untuk mengembalikan kepemilikan, maka keadaannya seperti perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah, ia tetap melanjutkan i‘tikafnya walaupun ia menikah dengan pilihannya sendiri, karena ia tidak bertujuan dengan pernikahan itu untuk mewajibkan ‘iddah, tapi tujuannya adalah memperoleh mahar dan nafkah.
Dan apabila kita mengatakan bahwa i‘tikafnya tidak batal karena keluarnya, maka wajib baginya untuk segera kembali setelah selesai. Maka jika ia berhenti (menunda kembali) setelah selesai, walau hanya sebentar, batal i‘tikafnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ خَرَجَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ نَقَضَ اعْتِكَافَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا اعْتِكَافُ التَّطَوُّعِ، فَلَهُ الْخُرُوجُ مِنْهُ مَتَى شَاءَ، وَالْعَوْدُ إِذَا شَاءَ وَأَمَّا الْوَاجِبُ فَضَرْبَانِ:
مُتَتَابِعٌ، وَغَيْرُ مُتَتَابِعٍ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُتَتَابِعٍ لَمْ يَبْطُلْ بِخُرُوجِهِ، وَبَنَى عَلَيْهِ بَعْدَ رُجُوعِهِ، وَلَوْ كَانَ مُتَتَابِعًا بَطَلَ بِخُرُوجِهِ، وَإِنْ قَلَّ.
وَقَالَ أبو يوسف ومحمد: إِنْ خَرَجَ أَكْثَرَ النَّهَارِ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ، وَإِنْ خَرَجَ أَقَلَّ النهار لم يبطل هذا خَطَأٌ.
وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِمَا هُوَ أَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ أَبْطَلَهَا الْخُرُوجُ الطَّوِيلُ، أَبْطَلَهَا الْيَسِيرُ كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَعَكْسُهُ الْمُعْتَكِفُ إِذَا أُخْرِجَ لِمَرَضٍ أَوْ حَاجَةٍ.
Masalah:
Imam al-Syafi’i RA berkata: “Jika ia keluar tanpa kebutuhan, maka batal i‘tikafnya.”
Al-Māwardī berkata: Adapun i‘tikaf tathawwu‘, maka boleh baginya keluar kapan saja ia mau, dan kembali kapan saja ia mau. Adapun i‘tikaf yang wajib terbagi dua: mutatābi‘ (berturut-turut) dan tidak mutatābi‘. Jika tidak berturut-turut, maka tidak batal dengan keluarnya, dan ia melanjutkannya setelah kembali. Namun jika berturut-turut, maka batal dengan keluarnya meskipun sebentar.
Abū Yūsuf dan Muhammad berkata: Jika ia keluar pada sebagian besar waktu siang, maka batal i‘tikafnya. Namun jika keluar pada sebagian kecil siang, tidak batal. Ini adalah kekeliruan.
Dalil yang membantah keduanya adalah bahwa setiap ibadah yang batal karena keluar dalam waktu lama, maka juga batal dengan keluar dalam waktu singkat, seperti puasa dan shalat. Sebaliknya, seorang yang beri‘tikaf apabila keluar karena sakit atau kebutuhan tidak batal i‘tikafnya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” فَإِنْ نَذَرَ اعْتِكَافًا بصومٍ فَأَفْطَرَ اسْتَأْنَفَ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، فِي رَجُلٍ نَذَرَ اعْتِكَافَ عَشَرَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ بِصَوْمٍ فَأَفْطَرَ فِيهَا، فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الصَّوْمَ وَالِاعْتِكَافَ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، لِأَنَّ الصَّوْمَ وَإِنْ كَانَ عِبَادَةً مُفْرَدَةً، فَقَدْ صَارَ صِفَةَ الِاعْتِكَافِ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ إِفْرَادُهُ عَنْهُ، وَإِذَا أُبْطِلَ أَحَدُ صِفَاتِ الِاعْتِكَافِ، لَزِمَهُ اسْتِئْنَافُهُ، وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ إِنَّهُ يَسْتَأْنِفُ الصَّوْمَ، وَيَبْنِي عَلَى الِاعْتِكَافِ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عِبَادَةٌ مُفْرَدَةٌ فَلَمْ يَكُنْ فَسَادُ أَحَدِهِمَا قَادِحًا فِي صِحَّةِ الْأُخْرَى، كَمَا لَوْ نَذَرَ صَوْمًا وَصَلَاةً لَمْ يَقْدَحْ فَسَادُ أَحَدِهِمَا فِي صِحَّةِ الْآخَرِ، فَأَمَّا إِنْ خَرَجَ مِنَ اعْتِكَافِهِ، وهو صايم لَزِمَهُ اسْتِئْنَافُ الِاعْتِكَافِ وَالصَّوْمِ جَمِيعًا لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ هو المقصود، والصوم تبع فإذا بطل المقصود بطل حكم توابعه.
Masalah:
Imam Syafi‘i RA berkata: “Jika bernazar i‘tikaf dengan puasa, lalu berbuka, maka ia harus mengulang dari awal.”
Al-Māwardī berkata: Bentuk masalah ini adalah seseorang bernazar untuk beri‘tikaf selama sepuluh hari berturut-turut dengan berpuasa, lalu ia berbuka di dalamnya, maka ia wajib mengulang kembali puasa dan i‘tikafnya. Hal ini dinyatakan oleh Imam Syafi‘i, karena sekalipun puasa adalah ibadah tersendiri, namun ia telah menjadi sifat bagi i‘tikaf, maka tidak boleh dipisahkan darinya. Apabila salah satu sifat i‘tikaf batal, maka wajib baginya untuk memulai kembali.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa ia hanya mengulang puasa dan meneruskan i‘tikaf, karena masing-masing dari keduanya adalah ibadah tersendiri, sehingga rusaknya salah satunya tidak membatalkan yang lain, sebagaimana jika seseorang bernazar puasa dan salat, maka rusaknya salah satunya tidak merusak yang lainnya.
Adapun jika ia keluar dari i‘tikafnya dalam keadaan berpuasa, maka wajib baginya mengulang i‘tikaf dan puasa secara keseluruhan, karena i‘tikaf adalah tujuan utama, dan puasa adalah pengikutnya. Maka apabila tujuan utama batal, maka hukum bagi pengikutnya pun ikut batal.
مسألة:
وقال المزني قَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي بَابِ مَا جَمَعْتُ لَهُ مِنْ كِتَابِ الصِّيَامَ وَالسُّنَنِ وَالْآثَارِ لَا يُبَاشِرُ الْمُعْتَكِفُ فَإِنْ فَعَلَ أَفْسَدَ اعْتِكَافَهُ (وَقَالَ) فِي مَوْضِعٍ مِنْ مَسَائِلَ فِي الِاعْتِكَافِ لَا يُفْسِدُ الِاعْتِكَافَ مِنَ الْوَطْءِ إِلَّا مَا يُوجِبُ الحد (قال المزني) هذا أشبه بقوله لأنه منهي في الاعتكاف والصوم والحج عن الجماع فلما لم يفسد عنده صوم ولا حج بمباشرة دون ما يوجب الحد أو الإنزال في الصوم كانت المباشرة في الاعتكاف كذلك عندي في القياس “.
Masalah:
Dan al-Muzani berkata: “Telah berkata al-Syafi‘i dalam Bab yang aku kumpulkan untuknya dari Kitab Puasa, Sunah, dan Atsar: ‘Tidak boleh mubāsyarah bagi orang yang sedang i‘tikāf. Jika ia melakukannya, maka batal i‘tikāf-nya.’” Dan (juga) berkata dalam suatu tempat dari masalah-masalah seputar i‘tikāf: “Tidak membatalkan i‘tikāf dari jima‘ kecuali yang mewajibkan ḥadd.”
(Berkata al-Muzani): “Ini lebih mendekati perkataannya, karena ia dilarang dalam i‘tikāf, puasa, dan haji dari jima‘. Maka ketika menurutnya puasa dan haji tidak batal dengan mubāsyarah selama tidak sampai pada hal yang mewajibkan ḥadd atau mengeluarkan mani dalam puasa, maka mubāsyarah dalam i‘tikāf juga demikian menurutku secara qiyās.”
أَحَدُهُمَا: فِي الْفَرْجِ.
وَالثَّانِي: دُونَ الْفَرْجِ فَإِنْ كانت في الفرج فضربان عامد وناسي فَإِنْ وَطِئَ نَاسِيًا لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ.
وَقَالَ أبو حنيفة يَبْطُلُ اعْتِكَافُهُ كَالْعَامِدِ وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ ” وَلِأَنَّ الصَّوْمَ مَعَ تَعْلِيقِهِ بِالْكَفَّارَةِ لَا يَبْطُلُ بِوَطْءِ النَّاسِي فَكَانَ الِاعْتِكَافُ بِذَلِكَ أَوْلَى، فإن وطئ عامداً من قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ، فَقَدْ بَطَلَ اعْتِكَافُهُ أَنْزَلَ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَْنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ) {البقرة: 187) وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ إِنْ كَانَ وَاجِبًا وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ، فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ الْقَضَاءِ سَقَطَ عَنْهُ وَهُوَ قَوْلُ جَمَاعَةِ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَالزُّهْرِيُّ عَلَيْهِ كَفَّارَةُ الْوَطْءِ فِي رَمَضَانَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ عِبَادَةٌ، وَيَتَعَلَّقُ وُجُوبُهَا بِمَالٍ، وَلَا يَنُوبُ عَنْهَا الْمَالُ، فَوَجَبَ أَنْ لَا تَلْزَمَ الْكَفَّارَةُ بِإِفْسَادِهَا كَالصَّلَاةِ.
Pertama: dalam kemaluan.
Kedua: selain kemaluan.
Jika terjadi dalam kemaluan, maka terbagi dua: sengaja dan lupa. Jika ia berjima‘ dalam keadaan lupa, tidak batal i‘tikafnya.
Abu Ḥanīfah berpendapat: batal i‘tikafnya seperti halnya jika sengaja.
Dalil kami adalah sabda Nabi SAW: “Diangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka dipaksa melakukannya.”
Dan karena puasa, meskipun dikaitkan dengan kewajiban kafārah, tidak batal dengan jima‘ karena lupa, maka i‘tikaf lebih utama untuk tidak batal.
Jika ia berjima‘ dengan sengaja, baik dari qubul atau dubur, maka batal i‘tikafnya, baik keluar mani atau tidak, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
{Janganlah kamu mencampuri mereka, sedang kamu dalam keadaan beri‘tikaf di masjid} (QS. al-Baqarah: 187)
Ia wajib mengqadha jika i‘tikaf itu wajib, namun tidak wajib kafārah. Jika ia wafat sebelum mengqadha, maka gugur kewajiban darinya, dan ini adalah pendapat jumhur fuqahā’.
Al-Ḥasan al-Baṣrī dan az-Zuhrī berpendapat: ia wajib membayar kafārah jima‘ di bulan Ramaḍān. Ini adalah pendapat yang keliru, karena i‘tikaf adalah ibadah yang kewajibannya terkait dengan amal, dan tidak bisa diganti dengan harta, maka tidak wajib kafārah karena merusaknya, sebagaimana salat.
فَصْلٌ
: وَأَمَّا الْمُبَاشَرَةُ فِي غَيْرِ الفرج، فضربان:
أحدهما: الشهوة.
وَالثَّانِي: لِغَيْرِ شَهْوَةٍ فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ، كَأَنْ مَسَّ بَدَنَهَا لِعَارِضٍ، وَقَبَّلَهَا عِنْدَ قُدُومِهَا مِنْ سَفَرٍ غَيْرِ قَاصِدٍ لِلَذَّةٍ، فَهَذَا غَيْرُ مَمْنُوعٍ، وَلَا مُؤَثِّرٌ فِي الِاعْتِكَافِ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كانت تُرَجِّلُ شَعْرَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمَعْلُومٌ أَنَّ بَدَنَهَا قَدْ مَسَّ بَدَنَهُ، وَإِنْ كَانَ لِشَهْوَةٍ كَأَنْ قَبَّلَهَا، أَوْ لَمَسَهَا لِشَهْوَةٍ أَوْ وَطِئَهَا دُونَ الْفَرْجِ، فَهَذَا مَمْنُوعٌ مِنْهُ لَا يُخْتَلَفُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ) {البقرة: 187) فَإِنْ فَعَلَهُ نَاسِيًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَهُوَ عَلَى اعْتِكَافِهِ، وَإِنْ فَعَلَهُ عَامِدًا فَفِي اعْتِكَافِهِ قَوْلَانِ:
PASAL
Adapun mubāsyarah selain di kemaluan, maka ada dua macam:
Pertama: karena syahwat.
Kedua: bukan karena syahwat.
Jika bukan karena syahwat, seperti menyentuh badannya karena suatu sebab, atau menciumnya saat ia datang dari safar tanpa bermaksud mencari kenikmatan, maka ini tidak terlarang dan tidak berpengaruh terhadap i‘tikāf, berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah RA bahwa ia biasa menyisir rambut Rasulullah SAW, dan telah diketahui bahwa tubuhnya menyentuh tubuh beliau.
Dan jika karena syahwat, seperti menciumnya, atau menyentuhnya karena syahwat, atau menjimaknya selain di kemaluan, maka ini terlarang tanpa ada khilaf, karena firman Allah Ta‘ālā: “Dan janganlah kamu mencampuri mereka, sedang kamu beri‘tikāf dalam masjid” (QS. al-Baqarah: 187).
Jika ia melakukannya karena lupa, maka tidak ada apa-apa atasnya, dan ia tetap dalam i‘tikāf-nya. Namun jika melakukannya dengan sengaja, maka dalam i‘tikāf-nya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: جَائِزٌ أنزل أو لَمْ يُنْزِلْ، وَوَجْهُهُ أَنَّهَا عِبَادَةٌ تَتَعَلَّقُ بِمَكَانٍ مَخْصُوصٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا تُبْطِلَهَا الْمُبَاشَرَةُ فِيمَا دُونَ الْفَرْجِ كَالْحَجِّ، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ حُرِّمَ فِيهَا الْوَطْءُ، يُدْرَأُ مِنْهُ كَانَ لِلْوَطْءِ مَزِيَّةٌ، وَاخْتَصَّ بِالتَّغْلِيظِ دُونَ غَيْرِهِ كَالْحَجِّ وَالصَّوْمِ وَالْحَدِّ فَلَوْ بَطَلَ الِاعْتِكَافُ بِالْمُبَاشَرَةِ كَمَا بَطَلَ بِالْوَطْءِ، كَانَ فِي ذَلِكَ تَسْوِيَةٌ بَيْنَ حُكْمِ الْمُبَاشَرَةِ وَالْوَطْءِ، وَهَذَا خِلَافُ الْأُصُولِ.
Pertama: tidak membatalkan, baik keluar mani maupun tidak.
Alasannya karena i‘tikaf adalah ibadah yang berkaitan dengan tempat tertentu, maka tidak seharusnya dibatalkan oleh mubāsyarah (bersentuhan) selain di kemaluan, sebagaimana haji.
Dan karena setiap ibadah yang diharamkan padanya jima‘, larangannya hanya berlaku untuk jima‘ saja karena jima‘ memiliki kekhususan dalam beratnya hukuman, tidak disamakan dengan selainnya, seperti dalam haji, puasa, dan hukum had.
Maka jika i‘tikaf batal dengan mubāsyarah sebagaimana batal dengan jima‘, berarti telah menyamakan hukum antara mubāsyarah dan jima‘, dan ini bertentangan dengan kaidah-kaidah usul.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ اعْتِكَافَهُ قَدْ بَطَلَ أَنْزَلَ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ، وَوَجْهُهُ أَنَّهَا مُبَاشَرَةٌ مُحَرَّمَةٌ فِي الِاعْتِكَافِ فَوَجَبَ أَنْ تُبْطِلَهُ كَالْوَطْءِ، وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَخْتَصُّ بِمَكَانٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لِلْمُبَاشَرَةِ فِيهَا تَأْثِيرٌ كَالْحَجِّ فإن قيل فلم كان ك ” صوم ” لَا يَبْطُلُ بِالْإِنْزَالِ؟ قِيلَ: قَدْ كَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُخْرِجُ قَوْلًا ثَالِثًا يَجْمَعُ فِيهِ بَيْنَ الصَّوْمِ وَالِاعْتِكَافِ إِنَّهُ يَبْطُلُ إِنْ أَنْزَلَ وَلَا يَبْطُلُ إِنْ لَمْ يُنْزِلْ، وَذَهَبَ جُمْهُورُهُمْ إِلَى الْمَنْعِ مِنْ هَذَا التَّخْرِيجِ، وَجَعَلُوا الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا، أَنَّ الْمُبَاشَرَةَ فِي الِاعْتِكَافِ حَرَامٌ، وَفِي الصَّوْمِ حَلَالٌ فَلَمَّا افْتَرَقَا فِي التَّحْرِيمِ جَازَ أَنْ يَفْتَرِقَا فِي الْإِفْسَادِ، وَفِي الْمَسْأَلَةِ لِأَصْحَابِنَا طُرُقٌ، وَهَذَا أَصَحُّهَا.
Pendapat kedua: sesungguhnya i‘tikāf-nya batal, baik ia mengeluarkan mani maupun tidak.
Alasannya: karena itu adalah mubāsyarah yang diharamkan dalam i‘tikāf, maka wajiblah ia membatalkannya sebagaimana jima‘. Dan karena i‘tikāf adalah ibadah yang khusus di tempat tertentu, maka wajib bagi mubāsyarah di dalamnya memiliki pengaruh, seperti halnya haji.
Jika dikatakan: mengapa puasa tidak batal dengan keluarnya mani? Maka dijawab: sebagian dari sahabat kami pernah mengeluarkan pendapat ketiga yang menggabungkan antara puasa dan i‘tikāf, yaitu bahwa i‘tikāf batal jika keluar mani, dan tidak batal jika tidak keluar mani.
Namun mayoritas mereka menolak pendapat takhriij ini dan membedakan antara keduanya, bahwa mubāsyarah dalam i‘tikāf adalah haram, sedangkan dalam puasa adalah halal. Maka ketika keduanya berbeda dalam hal keharaman, bolehlah keduanya berbeda pula dalam hal pembatalan.
Dalam masalah ini terdapat beberapa jalur dari kalangan sahabat kami, dan ini adalah pendapat yang paling sahih.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ جَعَلَ عَلَى نَفْسِهِ اعْتِكَافَ شهرٍ، وَلَمْ يقل متتابعاً أحببته متتابعاً “. قَالَ الْمُزَنِيُّ: وَفِي ذَلِكَ دليلٌ أَنَّهُ يُجْزِئُهُ مُتَفَرِّقًا.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِنْ نَذَرَ اعْتِكَافَ شَهْرٍ بِعَيْنِهِ، لَزِمَهُ اعْتِكَافُ جَمِيعِهِ مُتَتَابِعًا لَيْلًا وَنَهَارًا، لِأَنَّ الشَّهْرَ جَمِيعُ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ فَأَمَّا إِنْ نَذَرَ اعْتِكَافَ شَهْرٍ، وَلَمْ يُعَيِّنْهُ بَلْ أَطْلَقَ نَذْرَهُ فِيهِ فَعَلَيْهِ اعْتِكَافُ اللَّيْلِ مَعَ النَّهَارِ، لِأَنَّ الشَّهْرَ يَجْمَعُهُمَا، فَإِنْ تَابَعَ اعْتِكَافَهُ كَانَ أَوْلَى وَإِنْ فَرَّقَهُ جَازَ، وَقَالَ أبو حنيفة يَلْزَمُهُ اعْتِكَافُ شَهْرٍ مُتَتَابِعٍ فَإِنْ فَرَّقَهُ لَمْ يُجْزِهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الِاعْتِكَافَ يَصِحُّ لَيْلًا وَنَهَارًا، فَوَجَبَ إِذَا أَطْلَقَ شَهْرًا أَنْ يَلْزَمَهُ مُتَتَابِعًا، كَمَا لَوْ قَالَ: وَاللَّهِ لَا كَلَّمْتُ زَيْدًا شَهْرًا لَزِمَهُ الِامْتِنَاعُ مِنْ كَلَامِهِ شَهْرًا متوالياً وقوله يصح ليلاً ونهاراً احترازاً مِنَ الصِّيَامِ، لِأَنَّهُ لَوْ نَذَرَ صِيَامَ شَهْرٍ أَجْزَأَهُ مُتَفَرِّقًا عِنْدَ أبي حنيفة قَالَ: وَلِأَنَّهُ مَعْنًى يَتَعَلَّقُ بِالْمُدَّةِ الْمُطْلَقَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَقْتَضِيَ إطلاق التَّتَابُعَ كَالْعِدَّةِ وَالْإِيلَاءِ، وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الشَّهْرَ يَنْطَبِقُ عَلَى مَا بَيْنَ الْهِلَالَيْنِ وَعَلَى الْعَدَدِ، وَهُوَ ثَلَاثُونَ يَوْمًا مُجْتَمِعًا وَمُتَفَرِّقًا فَإِذَا لَمْ يَشْتَرِطْ أَحَدَهُمَا فَلَهُ أَنْ يَأْتِيَ بِهِ كَيْفَ شَاءَ مُتَتَابِعًا وَمُتَفَرِّقًا لِانْطِلَاقِ اسْمِ الشَّهْرِ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّهُ نَذَرَ عِبَادَةَ شَهْرٍ مُطْلَقٍ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ التَّتَابُعُ كَمَا لَوْ نَذَرَ مُطْلَقًا صِيَامَ شَهْرٍ، فَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنَ الْيَمِينِ وَمُدَّةِ الْعِدَّةِ وَمُدَّةِ الْإِيلَاءِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ هُوَ إِنَّا إِنَّمَا أَلْزَمْنَاهُ الْمُوَالَاةَ فِي مُدَّةِ الْعِدَّةِ وَالْيَمِينِ، لِأَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَبْتَدِئَ بِالْمُدَّةِ مِنْ وَقْتِ الْيَمِينِ، وَكَذَلِكَ الْعِدَّةُ، وَلَا يَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا بِالْمُوَالَاةِ فَأَمَّا أَنْ تَكُونَ الْمُوَالَاةُ شَرْطًا فِيهِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ حَلَفَ عَلَى زَمَانٍ لَا يُوصَفُ بِالْمُوَالَاةِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ لَا كَلَّمْتُ زَيْدًا يَوْمًا ابْتَدَأَ ذَلِكَ الْيَوْمُ مِنْ وَقْتِهِ فَعُلِمَ، أَنَّ الْمُتَابَعَةَ لَيْسَتْ شَرْطًا فِيهِ، وَكَذَلِكَ الِاعْتِكَافُ لِأَنَّهُ مُخَيَّرٌ فِي ابْتِدَائِهِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ اعْتِكَافُ أَيِّ شَهْرٍ كَانَ إِنْ شَاءَ بَدَأَ فِيهِ مِنْ وَقْتِهِ، وَإِنْ شَاءَ أَخَّرَهُ، وَمِثَالُ الْعِدَّةِ مِنَ الِاعْتِكَافِ وَالْيَمِينِ، أَنْ يَقُولَ: لِلَّهِ عَلَيَّ اعْتِكَافُ شَهْرٍ مِنْ وَقْتِي هَذَا فَيَلْزَمُهُ الْمُتَابَعَةُ لِمَا فِيهِ مِنَ الْبِدَايَةِ بِهِ مِنْ وَقْتِهِ فَبَطَلَ اسْتِدْلَالُهُ بِذَلِكَ.
Masalah:
Imam Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang menetapkan atas dirinya i‘tikaf selama sebulan, dan tidak menyatakan mutatābi‘an (berturut-turut), maka aku menyukainya dilakukan secara berturut-turut.”
Al-Muzanī berkata: Dalam hal ini terdapat dalil bahwa boleh dilakukan secara terpisah.
Al-Māwardī berkata: Adapun jika seseorang bernazar i‘tikaf satu bulan tertentu, maka wajib baginya beri‘tikaf selama seluruh bulan itu secara berturut-turut, siang dan malam, karena sebutan “bulan” mencakup seluruh siang dan malam.
Adapun jika ia bernazar i‘tikaf sebulan, tanpa menentukan bulan tertentu, melainkan secara mutlak, maka wajib baginya i‘tikaf siang dan malam, karena istilah bulan mencakup keduanya. Jika ia melakukannya secara berturut-turut maka itu lebih utama, dan jika ia memisahkannya, maka itu dibolehkan.
Abu Ḥanīfah berpendapat: ia wajib melakukan i‘tikaf sebulan secara berturut-turut, maka jika ia memisahkannya, tidak sah, dengan alasan bahwa i‘tikaf sah dilakukan siang dan malam, maka jika ia mengucapkan “bulan” secara mutlak, wajib baginya melakukannya berturut-turut, sebagaimana jika ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan berbicara dengan Zaid selama sebulan,” maka wajib atasnya untuk menahan bicara selama sebulan penuh tanpa terputus.
Ucapan mereka bahwa i‘tikaf bisa dilakukan siang dan malam adalah untuk membedakan dari puasa, karena jika ia bernazar puasa sebulan, maka boleh dilakukan secara terpisah menurut Abu Ḥanīfah.
Dan karena i‘tikaf adalah suatu makna (ibadah) yang berkaitan dengan waktu secara mutlak, maka wajib bagi lafaz “bulan” yang diucapkan secara mutlak itu mengharuskan kesinambungan, sebagaimana dalam masalah ‘iddah dan īlā’.
Adapun dalil kami adalah bahwa kata “bulan” berlaku atas masa antara dua hilal, dan juga atas jumlah (hari), yaitu tiga puluh hari, baik dilakukan berurutan maupun terpisah. Maka jika tidak disyaratkan salah satunya, ia boleh melakukannya dengan cara yang diinginkan, baik berurutan maupun terpisah, karena tetap termasuk dalam makna bulan.
Dan karena ia telah bernazar ibadah sebulan secara mutlak, maka tidak wajib baginya melakukannya secara berturut-turut, sebagaimana jika ia bernazar puasa sebulan secara mutlak.
Adapun dalil yang disebutkan oleh pihak yang mewajibkan berturut-turut dengan qiyās kepada sumpah, masa ‘iddah, dan īlā’, maka jawabannya adalah: Kami hanya mewajibkan kesinambungan pada masa ‘iddah dan sumpah karena ia harus memulai masa itu dari waktu ucapan sumpah, dan begitu pula ‘iddah, dan tidak mungkin memulainya kecuali dengan kesinambungan.
Namun, tidak berarti bahwa kesinambungan adalah syarat padanya. Tidakkah engkau lihat, jika seseorang bersumpah dengan berkata: “Demi Allah, aku tidak akan berbicara dengan Zaid selama sehari,” maka permulaan hari itu dihitung dari waktu sumpahnya, dan ini menunjukkan bahwa kesinambungan bukanlah syarat padanya.
Demikian pula i‘tikaf, karena ia bebas memilih kapan memulainya. Tidakkah engkau lihat jika seseorang berkata: “Atas diriku i‘tikaf satu bulan kapan pun,” maka ia boleh memulainya dari waktu yang ia kehendaki, dan boleh pula menundanya.
Adapun contoh i‘tikaf yang menyerupai ‘iddah dan sumpah adalah jika seseorang berkata: “Atas diriku i‘tikaf sebulan sejak saat ini,” maka ia wajib melakukannya secara berturut-turut karena mengharuskan permulaan dari saat itu. Maka batalah istidlāl mereka dengan dalil tersebut.
فَصْلٌ
: وَإِذَا قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتَكِفَ شَهْرًا بِالنَّهَارِ، فَلَهُ أَنْ يَعْتَكِفَ النَّهَارَ دُونَ اللَّيْلِ مُتَفَرِّقًا وَمُتَتَابِعًا، وَإِنَّمَا سَقَطَ عَنْهُ اعْتِكَافُ اللَّيْلِ لِأَنَّهُ مُسْتَثْنًى بِاشْتِرَاطِ النَّهَارِ.
PASAL
Jika seseorang berkata: “Karena Allah atasku untuk beri‘tikāf sebulan di siang hari,” maka ia boleh beri‘tikāf di siang hari saja tanpa malam, baik secara terpisah-pisah maupun berturut-turut.
Dan gugurnya i‘tikāf malam darinya hanyalah karena malam itu dikecualikan dengan syarat yang ia tetapkan, yaitu (khusus) siang hari.
فَصْلٌ
: وَإِذَا نَذَرَ اعْتِكَافَ شَهْرٍ بِعَيْنِهِ، فَذَهَبَ الشَّهْرُ بَعْدَ نَذْرِهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ بِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ شَهْرًا سِوَاهُ، وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ الْقَضَاءُ بِالنِّسْيَانِ، فَإِذَا أَرَادَ الْقَضَاءَ أَجْزَأَهُ مُتَفَرِّقًا، لِأَنَّ فَوَاتَ زَمَانِ التَّعْيِينِ يُسْقِطُ حُكْمَ الْمُوَالَاةِ، كَمَا سَقَطَ وُجُوبُ الْمُتَابَعَةِ والموالاة في قضاءرمضان لفوات زمانه، لأن مُوَالَاةَ صِيَامِهِ وَجَبَتْ بِالزَّمَانِ، لَا بِالْفِعْلِ فَأَمَّا إِذَا نَذَرَ شَهْرًا بِعَيْنِهِ، فَإِذَا الشَّهْرُ قَدْ ذَهَبَ قَبْلَ نَذْرِهِ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ نذره لم ينعقد.
PASAL
Jika seseorang bernazar i‘tikaf pada bulan tertentu, lalu bulan itu berlalu setelah ia bernazar sedangkan ia tidak mengetahuinya, maka wajib baginya mengganti i‘tikaf pada bulan lain, dan kewajiban qadha tidak gugur karena lupa.
Apabila ia ingin mengqadha, maka boleh dilakukan secara terpisah, karena hilangnya waktu yang telah ditentukan menggugurkan kewajiban mutāba‘ah (berturut-turut), sebagaimana gugur pula kewajiban kesinambungan dalam qadha puasa Ramadan karena telah lewat waktunya. Sebab, kesinambungan dalam puasanya diwajibkan karena waktu, bukan karena perbuatan.
Adapun jika seseorang bernazar i‘tikaf bulan tertentu, lalu ternyata bulan itu telah berlalu sebelum ia bernazar, maka tidak wajib atasnya qadha, karena nazarnya tidak sah (tidak berlaku).
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن نوى يوماً فدخل في نِصْفَ النَّهَارِ اعْتَكَفَ إِلَى مِثْلِهِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُمَا مَسْأَلَتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَقُولَ لِلَّهِ عَلَيَّ اعْتِكَافُ يَوْمٍ مِنْ وَقْتِي هَذَا، وَهُوَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ يَلْزَمُهُ الِاعْتِكَافُ مِنْ وَقْتِهِ، إِلَى مِثْلِ ذَلِكَ الْوَقْتِ مِنَ الْغَدِ، فَيَعْتَكِفُ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ مِنَ الْغَدِ إِلَى مِثْلِ ذَلِكَ الْوَقْتِ، فَيَحْصُلُ لَهُ اعْتِكَافُ يَوْمٍ مِنْ جُمْلَةِ يَوْمَيْنِ، وَإِنَّمَا لَزِمَهُ اعْتِكَافُ تِلْكَ اللَّيْلَةِ، لِأَنَّهَا تَخَلَّلَتْ زَمَانَ اعْتِكَافِهِ فَصَارَتْ تَبَعًا لِلطَّرَفَيْنِ، كَمَنْ نَذَرَ اعْتِكَافَ يَوْمَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ لَزِمَهُ الدُّخُولُ فِيهِمَا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، وَالْخُرُوجُ مِنْهُمَا بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ وَتَكُونُ اللَّيْلَةُ الْمُتَوَسِّطَةُ بَيْنَ الْيَوْمَيْنِ، دَاخِلَةً فِي الِاعْتِكَافِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ نِيَّةُ النهار دون الليل.
Masalah:
Berkata al-Syafi‘i RA: “Jika ia berniat satu hari lalu masuk i‘tikāf di pertengahan siang, maka ia beri‘tikāf hingga waktu yang sama pada hari berikutnya.”
Berkata al-Māwardī: Ada dua masalah di sini:
Pertama: Jika ia berkata, “Karena Allah atasku untuk beri‘tikāf satu hari dari waktu ini,” dan ia berada di sebagian siang hari, maka wajib baginya i‘tikāf dari waktunya itu hingga waktu yang sama pada keesokan harinya. Maka ia beri‘tikāf sisa siang hari itu dan malam harinya hingga waktu yang sama di esok hari. Dengan begitu, ia mendapatkan i‘tikāf satu hari dari keseluruhan dua hari.
Dan wajib baginya i‘tikāf pada malam tersebut karena malam itu berada di tengah-tengah waktu i‘tikāf-nya, sehingga menjadi bagian dari dua ujungnya, sebagaimana orang yang bernazar i‘tikāf dua hari berturut-turut, maka ia wajib masuk ke dalamnya sebelum terbit fajar dan keluar darinya setelah terbenam matahari, dan malam yang berada di antara dua hari itu termasuk dalam i‘tikāf, kecuali jika ia memang berniat siang hari saja tanpa malam.
والمسألة الثانية: قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ قَالَ لِلَّهِ عَلَيَّ اعْتِكَافُ يَوْمٍ دَخَلَ فِيهِ قَبْلَ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَمْسِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لِأَنَّ مُطْلَقَ الْيَوْمِ يَقَعُ عَلَى هَذَا الزَّمَانِ، وَلَا يَلْزَمُهُ اعْتِكَافُ اللَّيْلِ، لِأَنَّهُ لَا يَتَخَلَّلُ زَمَانَ الِاعْتِكَافِ، وَلَوْ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ إِلَى مِثْلِ ذَلِكَ الْوَقْتِ مِنَ الْغَدِ كَالْمَسْأَلَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَصَحُّهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ اسْمَ الْيَوْمِ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ كَمَا كَانَ تَلْفِيقُ اليوم في الحيض.
Dan masalah kedua:
Imam Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Atas nama Allah, aku bernazar i‘tikaf satu hari’, maka ia masuk (i‘tikaf) dari sebelum fajar hingga terbenamnya matahari.”
Al-Māwardī berkata: Karena lafaz al-yaum (hari) secara mutlak berlaku atas rentang waktu tersebut, maka tidak wajib atasnya i‘tikaf di malam hari, karena malam tidak termasuk dalam rentang waktu i‘tikaf itu.
Jika ia ingin beri‘tikaf sebagian siang hingga waktu yang sama pada hari berikutnya, sebagaimana pada masalah sebelumnya, maka ada dua pendapat:
Pendapat yang lebih sahih: Tidak boleh, karena istilah “sehari” tidak mencakup bentuk seperti itu.
Pendapat kedua: Boleh, sebagaimana boleh “menyusun hari” (dengan mencicil) dalam masalah haid.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ قَالَ يَوْمَيْنِ فَإِلَى غُرُوبِ الشَمْسِ مِنَ الَيْوَمِ الثَّانِي إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ نِيَّةُ النَهَارِ دُونَ اللَّيْلِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا نَذَرَ اعْتِكَافَ يَوْمَيْنِ فَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشْتَرِطَ فِيهِمَا التَّتَابُعَ، فَيَلْزَمُهُ الدُّخُولُ فِيهِمَا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، وَالْخُرُوجُ مِنْهُمَا بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنَ الْيَوْمِ الثَّانِي، وَتَكُونُ اللَّيْلَةُ الْمُتَوَسِّطَةُ بَيْنَ الْيَوْمَيْنِ دَاخِلَةً فِي الِاعْتِكَافِ، إِلَّا أن يكون له نية النهار دون الليل، فَيَعْمَلُ عَلَى نِيَّتِهِ فَأَمَّا اللَّيْلَةُ الْأُولَى، فَلَا يَلْزَمُهُ اعْتِكَافُهَا وَقَالَ أبو حنيفة يَلْزَمُهُ اعْتِكَافُهَا تَبَعًا لِلنَّهَارِ، فَيَدْخُلُ فِي اعْتِكَافِ يَوْمٍ قَبْلَ غروب الشمس وهذا خطأ لأن نذره نعقد عَلَى زَمَانِ النَّهَارِ فَلَمْ يَلْزَمْ دُخُولُ اللَّيْلَةِ أولى فيه كما نذراعتكاف يَوْمٍ وَإِنَّمَا دَخَلَتِ اللَّيْلَةُ بَيْنَ الْيَوْمَيْنِ، لِأَنَّهَا تَخَلَّلَتْ بَيْنَ زَمَانَيْنِ قَدْ لَزِمَهُ مُتَابَعَةُ اعْتِكَافِهِمَا.
Masalah:
Berkata al-Syafi‘i RA: “Jika ia berkata ‘dua hari’, maka (wajib i‘tikāf) hingga terbenam matahari dari hari kedua, kecuali jika ia berniat siang hari saja tanpa malam.”
Berkata al-Māwardī: Dan ini adalah pendapat yang benar. Jika seseorang bernazar i‘tikāf dua hari, maka itu ada dua macam:
Pertama: jika ia menyaratkan mutatābi‘ (berturut-turut) dalam keduanya, maka wajib baginya masuk ke dalam i‘tikāf sebelum terbit fajar dan keluar darinya setelah terbenam matahari dari hari kedua. Malam yang berada di antara kedua hari itu termasuk dalam i‘tikāf, kecuali jika ia berniat hanya siang hari saja tanpa malam, maka dihukumi sesuai dengan niatnya.
Adapun malam pertama, maka ia tidak wajib i‘tikāf padanya.
Abu Ḥanīfah berkata: “Wajib atasnya i‘tikāf malam pertama sebagai pengikut dari siang harinya, maka ia harus masuk ke dalam i‘tikāf satu hari sebelum terbenam matahari.”
Namun ini adalah kesalahan, karena nadzarnya terikat pada waktu siang hari, maka tidak wajib baginya masuk malam pertama di dalamnya, sebagaimana orang yang bernazar i‘tikāf satu hari. Dan malam yang berada di antara kedua hari itu termasuk karena berada di antara dua waktu yang wajib atasnya untuk mengikuti i‘tikāf di dalamnya secara berturut-turut.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَشْتَرِطَ التَّتَابُعَ فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ أَنَّهُ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ اعْتَكَفَهُمَا مُتَتَابِعًا، أَوْ مُتَفَرِّقًا، وَهَلْ يَلْزَمُهُ اعْتِكَافُ اللَّيْلَةِ الَّتِي بَعْدَ يَوْمَيْنِ، أَوْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
أَصَحُّهُمَا: يَلْزَمُهُ اعْتِكَافُهَا، لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ تَخَلُّلِهَا بَيْنَ زَمَانَيِ الِاعْتِكَافِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُهُ اعْتِكَافُهَا لِأَنَّهُ لَمَّا سَقَطَتِ الْمُوَالَاةُ بَيْنَ الْيَوْمَيْنِ، لَمْ يَكُنْ لِمَا تَخَلَّلَهُمَا مِنْ زَمَانِ اللَّيْلِ حكم.
Jenis kedua: Yaitu apabila tidak disyaratkan mutatāba‘ah (berurutan), maka tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab bahwa ia memiliki pilihan: jika ia mau, ia boleh beri‘tikaf dua hari itu secara berurutan, atau secara terpisah.
Apakah ia wajib beri‘tikaf juga pada malam di antara dua hari itu? Ada dua pendapat:
Pendapat yang lebih sahih: Wajib beri‘tikaf malam itu, karena malam tersebut berada di antara dua waktu i‘tikaf.
Pendapat kedua: Tidak wajib beri‘tikaf malam itu, karena ketika tidak disyaratkan kesinambungan antara dua hari tersebut, maka malam yang berada di antara keduanya tidak memiliki hukum yang mengikat.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ويجوز اعتكافه ليلةً “.
قال الماوردي: وهذا مستقر عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى صِيَامٍ فَجَازَ فِي كُلِّ زَمَانٍ وَمَنَعَ أبو حنيفة مِنَ اعْتِكَافِ لَيْلَةٍ وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ اعْتِكَافَ ليلةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَوْفِ بِنَذْرِكَ ” فَإِنْ قِيلَ: لَا يَصِحُّ لَكُمُ الِاسْتِدْلَالُ بِهَذَا الْحَدِيثِ، لِأَنَّ نُذُورَ الْجَاهِلِيَّةِ عِنْدَكُمْ لَا تَلْزَمُ قُلْنَا: هِيَ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ لَازِمَةٍ فَالْوَفَاءُ بِهَا مُسْتَحَبٌّ وَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِالْحَدِيثِ لِأَنَّ أَمْرَهُ بِذَلِكَ بَعْدَ الإسلام وإن عَلَى طَرِيقِ الِاسْتِحْبَابِ، فَإِنَّهُ يَقْتَضِي الِاعْتِكَافَ الشَّرْعِيَّ.
Masalah:
Berkata al-Syafi‘i RA: “Boleh i‘tikāf satu malam.”
Berkata al-Māwardī: Dan ini merupakan pendapat yang mantap dalam mazhab al-Syafi‘i, karena i‘tikāf tidak bergantung pada puasa, maka boleh dilakukan pada setiap waktu.
Abu Ḥanīfah melarang i‘tikāf satu malam.
Dalil atas kebolehannya adalah apa yang kami sebutkan dari hadis ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku bernazar i‘tikāf satu malam di masa jahiliah,” maka Nabi SAW bersabda: “Tunaikan nazarmu.”
Jika dikatakan: “Kalian tidak sah berdalil dengan hadis ini, karena nazar-nazar di masa jahiliah menurut kalian tidak wajib,” maka kami katakan: Sekalipun nazar itu tidak wajib, tetapi menunaikannya adalah sunah, dan hal itu tidak menghalangi untuk berdalil dengan hadis tersebut. Karena perintah Nabi untuk menunaikannya setelah masuk Islam, walaupun dalam bentuk anjuran, menunjukkan adanya i‘tikāf yang disyariatkan.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ قَالَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتَكِفَ يَوْمَ يَقْدُمُ فلانٍ فَقَدِمَ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ اعْتَكَفَ فِي مَا بَقِيَ فَإِنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ محبوساً فإذا قدر قضاه (قال المزني) يشبه أن يكون إذ قدم في أول النهار أن يقضي مقدار ما مضى من ذلك اليوم من يوم آخر حتى يكون قد أكمل اعتكاف يومٍ وقد يقدم في أول النهار لطلوع الشمس وقد مضى بعض يوم فيقضي بعض يومٍ فلا بد من قضائه حتى يتم يوم ولو استأنف يوماً حتى يكون اعتكافه موصولاً كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ “.
Masalah:
Imam Syafi‘i RA berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Atas nama Allah, aku akan beri‘tikaf pada hari kedatangan si fulan,’ lalu si fulan datang di awal siang, maka ia beri‘tikaf pada sisa hari itu. Jika ia sedang sakit atau ditahan, maka ketika ia mampu, ia wajib menggantinya.”
Al-Muzanī berkata: Ini menunjukkan bahwa jika si fulan datang di awal siang, maka ia harus mengganti waktu yang telah berlalu dari hari itu dengan waktu lain agar ia sempurna dalam beri‘tikaf satu hari penuh. Dan bisa jadi si fulan datang di awal siang saat matahari telah terbit, sedangkan sebagian siang telah berlalu, maka ia harus mengganti sebagian hari, sehingga ia wajib menggantinya sampai genap satu hari.
Namun, jika ia memulai i‘tikaf satu hari penuh secara utuh (tanpa mengqadha sebagian), sehingga i‘tikafnya utuh dari awal sampai akhir, maka itu lebih aku sukai.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتَكِفَ يَوْمَ يَقْدُمُ فُلَانٌ، فَلَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ أَنَّ نَذْرَهُ قَدِ انْعَقَدَ، لِأَنَّ الْوَفَاءَ بِمُوجِبِ النَّذْرِ أَوْ بِبَعْضِهِ مُمْكِنٌ فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ نَذْرُهُ بَاطِلًا، كَمَا لَوْ قَالَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَصُومَ يَوْمَ يَقْدُمُ فَلَانٌ قُلْنَا: فِي نَذْرِ الصَّوْمِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا صَحِيحٌ كَالِاعْتِكَافِ.
وَالثَّانِي: بَاطِلٌ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى الْوَفَاءِ بِالِاعْتِكَافِ، أَوْ بَعْضِهِ، وَلَا يَقْدِرُ عَلَى الْوَفَاءِ بِالصَّوْمِ، وَلَا بِبَعْضِهِ لِأَنَّهُ إِنْ قَدِمَ لَيْلًا فَلَا نَذْرَ وَإِنْ قَدِمَ نَهَارًا لَمْ يُمْكِنْهُ صِيَامُ مَا بَقِيَ، وَيُمْكِنُهُ اعْتِكَافُ مَا بَقِيَ مِنْهُ، فَإِنْ صَحَّ أَنَّ نَذْرَهُ قَدِ انْعَقَدَ فَمَا لَمْ يَقْدُمْ فَلَانٌ، فَلَا اعْتِكَافَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَدِمَ حَيًّا مُخْتَارًا فَلَهُ حَالَانِ:
Berkata al-Māwardī: Dan ini benar, yaitu apabila seseorang berkata: “Karena Allah atasku untuk beri‘tikāf pada hari kedatangan Fulan,” maka tidak ada khilaf dalam mazhab bahwa nazarnya telah sah, karena menunaikan isi nazar atau sebagian darinya memungkinkan.
Jika dikatakan: “Mengapa tidak dianggap batal nazarnya, sebagaimana jika ia berkata, ‘Karena Allah atasku untuk berpuasa pada hari kedatangan Fulan?’” Maka kami katakan: Dalam nazar puasa terdapat dua pendapat:
Pertama: sah sebagaimana i‘tikāf.
Kedua: batal.
Adapun perbedaan antara keduanya adalah bahwa ia mampu menunaikan i‘tikāf atau sebagian darinya, sedangkan ia tidak mampu menunaikan puasa atau sebagian darinya. Karena jika Fulan datang di malam hari, maka tidak ada nazar (puasa), dan jika ia datang di siang hari, maka tidak memungkinkan baginya untuk berpuasa di sisa waktu tersebut. Berbeda halnya dengan i‘tikāf, ia masih mungkin melaksanakan i‘tikāf di sisa waktu hari itu.
Maka apabila sah bahwa nazarnya telah berlaku, maka selama Fulan belum datang, maka tidak ada i‘tikāf atasnya. Dan apabila Fulan datang dalam keadaan hidup dan sadar, maka baginya dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقْدُمَ لَيْلًا.
وَالثَّانِي: نَهَارًا فَإِنْ قَدِمَ لَيْلًا فَلَا اعْتِكَافَ عَلَى النَّاذِرِ، لِأَنَّ شَرْطَ نَذْرِهِ لَمْ يُوجَدْ وَإِنْ قَدِمَ نَهَارًا، فَلِلنَّاذِرِ حَالَانِ، أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَالِكُ التَّصَرُّفِ قَادِرًا عَلَى الِاعْتِكَافِ، فَيَلْزَمُهُ أَنْ يَعْتَكِفَ بَقِيَّةَ نَهَارِهِ، لِأَنَّ شَرْطَ نذره وقد وُجِدَ، وَفِي قَضَاءِ مَا مَضَى مِنَ النَّهَارِ وَجْهَانِ مُخْرَجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ نَذَرَ أن يصوم يوم بِقُدُومِ فَلَانٍ.
أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ نَذْرَ الصَّوْمِ بَاطِلٌ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ نَذْرَ الصَّوْمِ صَحِيحٌ.
Pertama: jika ia (orang yang dinanti) datang di malam hari.
Kedua: di siang hari.
Jika ia datang di malam hari, maka tidak ada kewajiban i‘tikaf atas orang yang bernazar, karena syarat nazarnya belum terpenuhi.
Namun jika ia datang di siang hari, maka si orang yang bernazar berada dalam dua keadaan:
Pertama: ia memiliki kendali dan mampu untuk beri‘tikaf, maka wajib atasnya untuk beri‘tikaf pada sisa hari tersebut, karena syarat nazarnya telah terpenuhi.
Adapun mengenai kewajiban mengganti waktu siang yang telah berlalu, terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i tentang orang yang bernazar puasa pada hari kedatangan seseorang:
Salah satu pendapat: tidak wajib qadha, jika dikatakan bahwa nazar puasanya tidak sah.
Pendapat kedua: wajib qadha, jika dikatakan bahwa nazar puasanya sah.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ النَّاذِرُ مَمْلُوكَ التَّصَرُّفِ غَيْرَ قَادِرٍ عَلَى التَّصَرُّفِ، مِثْلَ أَنْ يَكُونَ مَرِيضًا أَوْ مَحْبُوسًا هَلْ يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ إِذَا صَحَّ وَخَرَجَ مِنَ الْحَبْسِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
أَصَحُّهُمَا: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، لِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَزِمَهُ فِعْلُ عِبَادَةٍ إِذَا كَانَ صَحِيحًا، فَعَلَيْهِ قَضَاؤُهَا إِذَا أَتَى عَلَيْهِ زَمَانُهَا وَكَانَ مَرِيضًا كَصَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ مُخْرَجٌ مِنْ أَحَدِ قَوْلَيْهِ، فِي نَذْرِ الصِّيَامِ لَا يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ، لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعَاجِزِ أَنَّ الْوُجُوبَ لَا يتعلق بذمته.
Keadaan kedua: yaitu apabila orang yang bernazar tidak memiliki kuasa untuk bertindak, tidak mampu melakukan i‘tikāf, seperti orang yang sakit atau dipenjara. Apakah wajib baginya qaḍā’ (mengqadha) apabila telah sembuh atau keluar dari penjara, atau tidak?
Ada dua pendapat:
Pendapat yang paling sahih: wajib atasnya qaḍā’, dan ini dinyatakan oleh al-Syafi‘i, karena setiap orang yang wajib atasnya melakukan suatu ibadah ketika dalam keadaan sehat, maka wajib atasnya mengqadha jika waktu pelaksanaannya telah berlalu dan saat itu ia dalam keadaan sakit — seperti puasa bulan Ramaḍān.
Pendapat kedua: dan ini merupakan takhriij dari salah satu dari dua pendapatnya dalam nazar puasa, yaitu tidak wajib mengqadha, karena asal dalam orang yang tidak mampu adalah bahwa kewajiban tidak berkaitan dengan tanggungannya.
مسألة:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَلْبِسَ الْمُعْتَكِفُ، وَالْمُعْتَكِفَةُ وَيَأْكُلَا وَيَتَطَيَّبَا بِمَا شَاءَا “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ صَحِيحٌ وَحُكِيَ عَنْ عَطَاءٍ وَطَاوُسٍ، أَنَّ الْمُعْتَكِفَ مَمْنُوعٌ مِنَ الطِّيبِ تَشْبِيهًا بِالْمُحْرِمِ، وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّ السُّنَّةَ قَدْ وَرَدَتْ بِخِلَافِهِ وَهُوَ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، أَنَّهُ رَجَّلَ شَعْرَ رَأْسِهِ لِيُنَبِّهَ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْمُحْرِمِ وَالْمُعْتَكِفِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ مُنِعَ مِنَ الطِّيبِ كَالْمُحْرِمِ لَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْ حَلْقِ رَأْسِهِ، وَتَقْلِيمِ ظُفْرِهِ، وَلِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ لَا تَمْنَعُ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحَ، لَا تَمْنَعُ مِنَ الطِّيبِ أَصْلُهُ الصَّوْمُ، وَعَكْسُهُ الْحَجُّ.
Masalah:
Imam Syafi‘i RA berkata: “Tidak mengapa bagi laki-laki dan perempuan yang beri‘tikaf untuk memakai pakaian, makan, dan memakai wewangian sebagaimana yang mereka kehendaki.”
Al-Māwardī berkata: Ini adalah pendapat yang sahih. Diriwayatkan dari ‘Aṭā’ dan Ṭāwūs bahwa orang yang beri‘tikaf dilarang memakai wewangian sebagai bentuk penyerupaan dengan orang yang sedang ihram, namun ini tidak berdasar.
Karena sunnah telah datang dengan keterangan yang sebaliknya, sebagaimana riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau menyisir rambut kepalanya untuk menunjukkan perbedaan antara orang yang beri‘tikaf dan orang yang berihram.
Seandainya orang yang beri‘tikaf dilarang memakai wewangian sebagaimana orang yang ihram, tentu ia juga akan dilarang mencukur rambut dan memotong kukunya.
Selain itu, setiap ibadah yang tidak melarang akad nikah, maka tidak melarang pemakaian wewangian — seperti puasa.
Sebaliknya adalah haji, yang melarang keduanya.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ هَلَكَ زَوْجُهَا خَرَجَتْ فَاعْتَدَّتْ ثُمَّ بَنَتْ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمَرْأَةُ فَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَعْتَكِفَ إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا، لِمَا يَمْلِكُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، فَإِنِ اعْتَكَفَتْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ لَهُ مَنْعُهَا، وَلَوْ أَذِنَ لَهَا فِي الِاعْتِكَافِ ثُمَّ أَرَادَ مَنْعَهَا قَبْلَ تَمَامِ ذَلِكَ جَازَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ الْأَوْلَى تَمْكِينُهَا مِنْ إِتْمَامِهِ، وَلَمْ يَجُزْ لَهُ ذَلِكَ إِنْ كَانَ اعْتِكَافُهَا مُتَتَابِعًا، فَإِذَا اعْتَكَفَتِ الْمَرْأَةُ ثُمَّ وَجَبَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِطَلَاقِ زَوْجِهَا، أَوْ وَفَاتِهِ لَزِمَهَا الْخُرُوجُ إِلَى مَنْزِلِهَا لِتَقْضِيَ فِيهِ عِدَّتَهَا، وَقَالَ مَالِكٌ تُكْمِلُ اعْتِكَافَهَا، ثُمَّ تَخْرُجُ لِقَضَاءِ عِدَّتِهَا، وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْحَقَّيْنِ إِذَا وَجَبَا قُدِّمَ أَقْوَاهُمَا، وَالْعِدَّةُ أَقْوَى مِنَ الِاعْتِكَافِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Masalah:
Berkata al-Syafi‘i RA: “Jika suaminya wafat, maka ia keluar, menjalani ‘iddah, kemudian kembali melanjutkan.”
Berkata al-Māwardī: Adapun wanita, maka tidak boleh baginya i‘tikāf kecuali dengan izin suaminya, karena suami memiliki hak untuk menikmati dirinya. Maka jika ia beri‘tikāf tanpa izinnya, suami berhak melarangnya.
Jika suami telah mengizinkannya i‘tikāf, lalu ingin melarangnya sebelum selesai, maka boleh baginya (melarang), meskipun yang lebih utama adalah membiarkannya menyelesaikan i‘tikāf-nya. Dan tidak boleh baginya (melarang) apabila i‘tikāf-nya bersifat berturut-turut (mutatābi‘).
Jika wanita telah masuk dalam i‘tikāf, lalu ia wajib menjalani ‘iddah karena ditalak suaminya atau karena wafatnya suami, maka ia wajib keluar ke rumahnya untuk menjalani ‘iddah di sana.
Mālik berkata: “Ia menyempurnakan i‘tikāf-nya, kemudian keluar untuk menjalani ‘iddah-nya.” Namun ini adalah kesalahan, karena jika dua kewajiban bertemu, maka yang lebih kuat didahulukan. Dan ‘iddah lebih kuat daripada i‘tikāf dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْعِدَّةَ وَجَبَتِ ابْتِدَاءً مِنْ قِبَلِ اللَّهِ تَعَالَى، وَالِاعْتِكَافُ وَجَبَ عَلَيْهَا بِإِيجَابِهَا.
وَالثَّانِي: إِنَّ الْعِدَّةَ لَا يَجُوزُ تَبْعِيضُهَا، وَالْخُرُوجُ مِنْهَا قَبْلَ إِتْمَامِهَا، وَالِاعْتِكَافُ يَجُوزُ تَبْعِيضُهُ، وَالْخُرُوجُ مِنْهُ قَبْلَ إِتْمَامِهِ لِعَارِضٍ أَوْ حَاجَةٍ، فَلِهَذَيْنِ مَا وَجَبَ تقدم الْعِدَّةِ عَلَى الِاعْتِكَافِ، فَإِذَا قَضَتْ عِدَّتَهَا عَادَتْ إِلَى اعْتِكَافِهَا فَبَنَتْ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا خَرَجَتِ اضْطِرَارًا لَا اخْتِيَارًا، فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا اسْتَوَى حُكْمُ الْخُرُوجِ لِلْعِدَّةِ، وَالْخُرُوجِ لِلشَّهَادَةِ فِي بُطْلَانِ الِاعْتِكَافِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ أَوْ جَوَازِ الْبِنَاءِ عَلَى الِاعْتِكَافِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ قِيلَ: قَدْ كَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يُخْرِجُ فِي الْعِدَّةِ قَوْلًا مِنَ الشَّهَادَةِ وَفِي الشَّهَادَةِ قَوْلًا مِنَ الْعِدَّةِ، فَيَجْعَلُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ، وَالصَّحِيحُ الْفَرْقُ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Pertama: bahwa ‘iddah diwajibkan langsung dari Allah Ta‘ālā, sedangkan i‘tikaf diwajibkan atas dirinya sendiri melalui nazar.
Kedua: bahwa ‘iddah tidak boleh dipotong atau dijalani sebagian, dan tidak boleh keluar darinya sebelum sempurna; sedangkan i‘tikaf boleh dijalani sebagian, dan boleh keluar darinya sebelum sempurna karena ada halangan atau kebutuhan.
Karena dua alasan ini, maka ‘iddah harus didahulukan daripada i‘tikaf.
Jika perempuan tersebut telah menyelesaikan masa ‘iddah-nya, maka ia kembali ke i‘tikafnya dan melanjutkan dari sebelumnya, karena ia keluar karena terpaksa, bukan karena pilihan.
Jika ada yang bertanya: Mengapa tidak disamakan hukum keluar karena ‘iddah dan keluar karena kesaksian, baik dalam membatalkan i‘tikaf pada kedua kasus atau membolehkannya dilanjutkan pada keduanya?
Jawabannya: Abu al-‘Abbās Ibn Surayj memang pernah mengeluarkan pendapat tentang ‘iddah yang diambil dari kesaksian, dan tentang kesaksian yang diambil dari ‘iddah, sehingga menjadikannya dua pendapat.
Namun pendapat yang sahih adalah membedakan antara kedua masalah tersebut.
Dan perbedaan antara keduanya ada dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الشَّهَادَةِ هُوَ الْأَدَاءُ، فَإِذَا تَحَمَّلَهَا مُخْتَارًا كَانَ خُرُوجُهُ لِأَدَائِهَا مُخْتَارًا وَلَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنَ النِّكَاحِ الْفُرْقَةُ الْمُوجِبَةُ لِلْعِدَّةِ، وَإِنَّمَا يُقْصَدُ بِهِ الْأُلْفَةُ فَلَمْ يَكُنِ اخْتِيَارُهَا لِلنِّكَاحِ اخْتِيَارًا لِوُجُوبِ الْعِدَّةِ.
والثاني: أ، بِالْمَرْأَةِ إِلَى النِّكَاحِ ضَرُورَةً، لِأَنَّهُ كَسْبُهَا، وَبِهِ تَسْتَفِيدُ الْمَهْرَ وَالنَّفَقَةَ وَلَيْسَتِ الشَّهَادَةُ كَسْبًا لِلشَّاهِدِ، فَلَمْ يَكُنْ بِهِ إِلَى تَحَمُّلِهَا ضَرُورَةٌ، وَمِثَالُ الْعِدَّةِ مِنَ الشَّهَادَةِ أَنْ يَضْطَرَّ إِلَى تَحَمُّلِ الشَّهَادَةِ، وَتَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ لِعَدَمِ غَيْرِهِ، فَهَذَا إِذَا أخرج لِلْأَدَاءِ لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ، وَمِثَالُ الشَّهَادَةِ مِنَ الْعِدَّةِ أَنْ يَجْعَلَ إِلَيْهَا طَلَاقَهَا، فَتَخْتَارُ الطَّلَاقَ، فَإِذَا خَرَجَتْ لِلْعِدَّةِ بَطَلَ اعْتِكَافُهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pertama: Sesungguhnya tujuan dari kesaksian adalah penyampaian (al-adā’), maka jika seseorang memikulnya dengan pilihan (tanpa paksaan), maka keluar untuk menyampaikannya juga termasuk keluar dengan pilihan. Sedangkan tujuan dari pernikahan bukanlah perpisahan yang mewajibkan ‘iddah, melainkan yang dimaksud dari pernikahan adalah keakraban (al-ulfa), maka pilihan wanita untuk menikah tidak dianggap sebagai pilihan untuk mewajibkan ‘iddah.
Kedua: Bahwa wanita memiliki kebutuhan mendesak terhadap pernikahan, karena itu merupakan sumber penghasilannya, dan dengannya ia mendapatkan mahar dan nafkah. Sedangkan kesaksian bukanlah penghasilan bagi saksi, maka tidak ada kebutuhan mendesak baginya untuk memikul kesaksian.
Adapun perumpamaan ‘iddah dari sisi kesaksian adalah apabila ia terpaksa untuk memikul kesaksian dan tidak ada selainnya, sehingga menjadi wajib baginya. Maka jika ia keluar untuk menyampaikannya, tidaklah membatalkan i‘tikāf-nya.
Dan perumpamaan kesaksian dari sisi ‘iddah adalah apabila suami menyerahkan hak talak kepadanya lalu ia memilih cerai, maka jika ia keluar untuk ‘iddah, batallah i‘tikāf-nya.
Wa Allāhu a‘lam.
فَصْلٌ
: وَإِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِي اعْتِكَافِهَا، خَرَجَتْ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَإِذَا طَهُرَتْ عَادَتْ إِلَى اعْتِكَافِهَا وَبَنَتْ لِأَنَّهَا مُضْطَرَّةٌ إِلَى الْخُرُوجِ مَمْنُوعَةٌ مِنَ الْمَقَامِ، فَأَمَّا الْمُسْتَحَاضَةُ فَلَيْسَ لَهَا الْخُرُوجُ مِنَ اعْتِكَافِهَا لِأَنَّ الِاسْتِحَاضَةَ لَا تَمْنَعُ مِنَ الْمَقَامِ فِي الْمَسْجِدِ، وَإِنْ خَرَجَتْ بَطَلَ اعْتِكَافُهَا.
PASAL
Jika seorang perempuan mengalami haid saat sedang beri‘tikaf, maka ia keluar dari masjid. Setelah ia suci, ia kembali ke i‘tikafnya dan melanjutkannya, karena ia terpaksa keluar dan terlarang untuk tetap tinggal di dalam masjid.
Adapun perempuan yang istihadhah, tidak diperbolehkan keluar dari i‘tikafnya, karena istihadhah tidak menghalangi untuk tinggal di masjid. Jika ia keluar, maka batal i‘tikafnya.
مَسْأَلَةٌ:
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ تُوضَعَ الْمَائِدَةُ فِي الْمَسْجِدِ وَغَسْلُ الْيَدَيْنِ فِي الطِّشْتِ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ، لَا يَمْنَعُ مِنْ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ، وَلِأَنَّ أَكْلَهُ عَلَى الْمَائِدَةِ، وَغَسْلَ يَدَيْهِ فِي الطِّشْتِ، أَصْوَنُ لِلْمَسْجِدِ، وَأَحْرَى أَنْ لَا يَنَالَهُ مَا يَتَأَذَّى بِهِ الْمُصَلِّي، وَالْأَوْلَى أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ حَيْثُ يَبْعُدُ عَنْ مَنْظَرِ النَّاسِ، وَعَنْ مَجَالِسِ الْعُلَمَاءِ لِأَنَّهُ أَصْوَنُ وَكَيْفَ مَا فَعَلَ جَازَ.
Masalah:
Berkata al-Syafi‘i RA: “Tidak mengapa meletakkan mā’idah (alas makanan) di dalam masjid dan membasuh tangan di dalam ṭisyt (wadah).”
Berkata al-Māwardī: Dan ini benar, karena i‘tikāf tidak melarang dari hal-hal tersebut.
Dan karena makannya di atas mā’idah serta membasuh tangannya di dalam ṭisyt lebih menjaga kebersihan masjid dan lebih memungkinkan agar tidak terkena sesuatu yang mengganggu orang-orang yang shalat.
Yang lebih utama adalah melakukan hal itu di tempat yang jauh dari pandangan manusia dan dari majelis-majelis para ulama, karena itu lebih menjaga (kehormatan). Namun bagaimana pun caranya dilakukan, maka hal itu tetap diperbolehkan.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يُنْكِحَ نَفْسَهُ وَيُنْكِحَ غَيْرَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى، إِنَّمَا مَنَعَهُ مِنَ الْمُبَاشَرَةِ، وَلَيْسَ كُلُّ مَمْنُوعٍ مِنَ الْمُبَاشَرَةِ مَمْنُوعًا مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ كَالصَّائِمِ.
Masalah:
Imam Syafi‘i RA berkata: “Tidak mengapa orang yang beri‘tikaf menikahkan dirinya sendiri atau menikahkan orang lain.”
Al-Māwardī berkata: Karena Allah Ta‘ālā hanya melarang dari mubāsyarah (bersentuhan/jima‘), dan tidak setiap orang yang dilarang dari mubāsyarah juga dilarang dari akad nikah — sebagaimana halnya orang yang berpuasa.
مَسْأَلَةٌ:
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَالْعَبْدُ وَالْمُسَافِرُ وَالْمَرْأَةُ يَعْتَكِفُونَ حَيْثُ شَاءُوا لِأَنَّهُ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَمَعْنَى قَوْلِهِ، حَيْثُ شَاؤُوا مِنَ الْمَسَاجِدِ لِأَنَّ مَنْ لَا يَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ يَتَّصِلُ لَهُ الِاعْتِكَافُ، وَمَا أَحَبَّ فِي مَسْجِدٍ أَوْ جَامِعٍ وَمَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ، إِذَا اعْتَكَفَ فِي مَسْجِدٍ اتَّصَلَ لَهُ الِاعْتِكَافُ مِنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ.
Masalah:
Berkata al-Syafi‘i RA: “Budak, musafir, dan wanita boleh beri‘tikāf di mana pun mereka kehendaki, karena tidak wajib atas mereka salat Jumat.”
Berkata al-Māwardī: Dan ini benar.
Makna dari perkataannya “di mana pun mereka kehendaki” adalah di antara masjid-masjid, karena siapa saja yang tidak wajib salat Jumat, maka i‘tikāf-nya dapat tersambung di masjid mana pun yang ia sukai, baik masjid biasa maupun masjid jami‘.
Adapun siapa yang wajib atasnya salat Jumat, maka jika ia beri‘tikāf di masjid, maka i‘tikāf-nya dapat tersambung dari Jumat ke Jumat.
فَصْلٌ
: وَإِذَا نَذَرَ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي مَسْجِدٍ بِعَيْنِهِ، فَخَرَجَ مِنْهُ لِقَضَاءِ حَاجَةِ الْإِنْسَانِ ثُمَّ دَخَلَ إِلَيَّ مَسْجِدٍ آخَرَ فِي طَرِيقِهِ فَبَنَى عَلَى اعْتِكَافِهِ جَازَ؛ لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَتَعَيَّنُ فِي مَسْجِدٍ دُونَ مَسْجِدٍ، وَكَذَلِكَ لَوِ انْهَدَمَ الْمَسْجِدُ فَخَرَجَ، إِلَى غَيْرِهِ بَنَى عَلَى اعْتِكَافِهِ.
PASAL
Jika seseorang bernazar untuk beri‘tikaf di masjid tertentu, lalu ia keluar darinya untuk keperluan buang hajat, kemudian masuk ke masjid lain yang searah dalam perjalanannya dan melanjutkan i‘tikafnya di sana, maka hal itu diperbolehkan; karena i‘tikaf tidak ditetapkan harus di satu masjid tertentu tanpa selainnya.
Demikian pula jika masjid tersebut roboh, lalu ia keluar ke masjid lain, maka ia boleh melanjutkan i‘tikafnya di masjid yang lain tersebut.
فَصْلٌ
: قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِنْ جَعَلَ الْمُعْتَكِفُ عَلَى نَفْسِهِ اعْتِكَافَ أَيَّامٍ نَذْرًا لِلَّهِ إِنْ كَلَّمَ فُلَانًا فَكَلَّمَهُ فَعَلَيْهِ أَنْ يَعْتَكِفَ، وَمَعْنَاهُ إِنَّهُ أَخْرَجَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ التَّمَنِّي، فَقَالَ: إِنْ رَزَقَنِي اللَّهُ كَلَامَ، فُلَانٍ فَعَلَيَّ اعْتِكَافُ أَيَّامٍ فَهَذَا نَذْرٌ لَازِمٌ، لِأَنَّهُ نَذَرَ عَلَى وَجْهِ الْمُجَازَاةِ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ قَالَ: إِنْ كَلَّمْتُ فُلَانًا فَعَلَيَّ اعْتِكَافُ شَهْرٍ ثُمَّ عَلِمَ أَنَّهُ قَدْ كَلَّمَهُ فَعَلَيْهِ اعْتِكَافُ شَهْرٍ، وَهَذَا اخْتِيَارٌ مِنْهُ، وَإِلَّا فَمَذْهَبُهُ أَنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ اعْتِكَافِ شَهْرٍ أَوْ كَفَّارَةِ يَمِينٍ نُصَّ عَلَيْهِ فِي النُّذُورِ.
PASAL
Berkata al-Syafi‘i: “Jika seseorang yang i‘tikāf mewajibkan atas dirinya i‘tikāf beberapa hari sebagai nadzar karena Allah jika ia berbicara dengan Fulan, lalu ia pun berbicara dengannya, maka wajib atasnya untuk i‘tikāf.
Maknanya adalah bahwa ia mengucapkannya dalam bentuk harapan, yakni ia berkata: ‘Jika Allah menganugerahkan kepadaku dapat berbicara dengan Fulan, maka wajib atasku i‘tikāf beberapa hari.’ Maka ini termasuk nadzar yang wajib, karena ia menazarkan dalam bentuk mujāzāt (balasan).”
Berkata al-Syafi‘i: “Jika ia berkata: ‘Jika aku berbicara dengan Fulan, maka wajib atasku i‘tikāf satu bulan,’ lalu ia mengetahui bahwa ia memang telah berbicara dengannya, maka wajib atasnya i‘tikāf satu bulan.
Ini adalah pilihan dari dirinya, adapun mazhabnya (al-Syafi‘i) adalah bahwa ia diberi pilihan antara i‘tikāf satu bulan atau membayar kaffārah yamīn, dan hal ini telah dinyatakan dalam bab nadzar.”
فَصْلٌ
: وَإِذَا أَحْرَمَ الْمُعْتَكِفُ بِالْحَجِّ، فَإِنْ كَانَ وَقْتُ الْحَجِّ بَاقِيًا أَتَمَّ اعْتِكَافَهُ ثُمَّ خَرَجَ لِحَجِّهِ، وَإِنْ خَافَ فَوَاتَ الْحَجِّ خَرَجَ مِنَ الِاعْتِكَافِ، وَمَضَى فِي حَجِّهِ لِأَنَّ الْإِحْرَامَ بِالْحَجِّ أَقْوَى مِنَ الِاعْتِكَافِ، وَأَوْكَدُ فَإِذَا عَادَ اسْتَأْنَفَ لِأَنَّهُ اخْتَارَ قَطْعَ اعْتِكَافِهِ بِالْإِحْرَامِ، فَلَوْ كَانَ إِحْرَامُهُ بِعُمْرَةٍ أَتَمَّ اعْتِكَافَهُ، ثُمَّ خَرَجَ لِعُمْرَتِهِ، لِأَنَّ وَقْتَ الْعُمْرَةِ لَا يَفُوتُهُ فَلَوْ خَرَجَ مِنَ اعْتِكَافِهِ قَبْلَ إِتْمَامِهِ اسْتَأْنَفَ.
PASAL
Jika orang yang sedang beri‘tikaf beriḥrām untuk haji, maka jika waktu haji masih cukup, ia menyempurnakan i‘tikafnya terlebih dahulu, lalu keluar untuk menunaikan hajinya.
Namun jika ia khawatir akan tertinggal haji, maka ia keluar dari i‘tikaf dan melanjutkan hajinya, karena iḥrām haji lebih kuat dan lebih ditekankan daripada i‘tikaf.
Apabila ia telah kembali, maka ia memulai kembali i‘tikafnya, karena ia memilih memutus i‘tikafnya dengan iḥrām.
Namun jika iḥrām-nya untuk ‘umrah, maka ia menyempurnakan i‘tikafnya terlebih dahulu, baru kemudian keluar untuk ‘umrahnya, karena waktu ‘umrah tidak akan luput darinya.
Maka jika ia keluar dari i‘tikaf sebelum menyempurnakannya, ia wajib memulai dari awal.
فَصْلٌ
: لَيْسَ لِلْعَبْدِ، وَلَا لِلْمُدَبَّرِ، وَلَا لِأُمِّ الْوَلَدِ أَنْ يَعْتَكِفُوا إِلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِمْ فَإِنِ اعْتَكَفُوا بِغَيْرِ إِذْنِهِ، كَانَ لَهُ مَنْعُهُمْ، وَإِنِ اعْتَكَفُوا بِإِذْنِهِ كَانَ بِالْخِيَارِ، إِنْ شَاءَ مَكَّنَهُمْ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُمْ.
PASAL
Tidak boleh bagi budak, mudabbir, dan umm al-walad untuk i‘tikāf kecuali dengan izin tuannya.
Jika mereka i‘tikāf tanpa izinnya, maka tuannya berhak melarang mereka.
Dan jika mereka i‘tikāf dengan izinnya, maka ia tetap dalam posisi memilih: jika ia mau, ia membiarkan mereka; dan jika ia mau, ia melarang mereka.
فَصْلٌ
: فَلَوْ أَذِنَ لَهُمْ فِي النَّذْرِ، فَنَذَرُوا الِاعْتِكَافَ بِإِذْنِهِ، وَأَرَادَ مَنْعَهُمْ مِنْهُ، فَذَلِكَ ضربان:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ زَمَانُ النَّذْرِ مُعَيَّنًا كَأَنَّهُمْ نَذَرُوا اعْتِكَافَ شَهْرِ رَجَبٍ، فَلَيْسَ لَهُ مَنْعُهُمْ مِنَ اعْتِكَافِهِ، لِأَنَّ اعْتِكَافَهُ تَعَيَّنَ عَلَيْهِمْ بِدُخُولِهِ.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ زَمَانُ النَّذْرِ غَيْرَ مُعَيَّنٍ كَأَنَّهُمْ نَذَرُوا اعْتِكَافَ شَهْرٍ مُطْلَقٍ، فَلَمَّا لَمْ يَدْخُلُوا فِي الِاعْتِكَافِ فَلَهُ مَنْعُهُمْ مِنْهُ، لِأَنَّهُ مُتَعَلِّقٌ بِذِمَمِهِمْ، وَهُمْ فِي سَعَةٍ مِنْ تَأْخِيرِهِ وَإِنْ دَخَلُوا فِي الِاعْتِكَافِ، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
PASAL
Jika seorang wali mengizinkan orang yang berada di bawah tanggungannya untuk bernazar, lalu mereka bernazar i‘tikaf dengan izinnya, kemudian ia ingin melarang mereka dari melaksanakannya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
Pertama: Jika waktu nazar tersebut ditentukan, seperti mereka bernazar untuk beri‘tikaf di bulan Rajab, maka tidak boleh baginya melarang mereka dari i‘tikaf tersebut, karena i‘tikaf tersebut telah menjadi wajib atas mereka dengan masuknya waktu yang telah ditentukan.
Kedua: Jika waktu nazar tersebut tidak ditentukan, seperti mereka bernazar untuk beri‘tikaf satu bulan secara mutlak, maka selama mereka belum memulai i‘tikaf, wali berhak melarang mereka, karena kewajiban i‘tikaf itu masih tergantung di dalam tanggungan mereka dan mereka masih memiliki kelonggaran untuk menundanya.
Namun, jika mereka telah memulai i‘tikaf, maka ada dua rincian lagi:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُتَتَابِعًا.
وَالثَّانِي: غَيْرُ مُتَتَابِعٍ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُتَتَابِعٍ فَلَهُ مَنْعُهُمْ مِنْهُ، لِأَنَّهُمْ فِي سَعَةٍ مِنْ تَفْرِيقِهِ، وَإِنْ كَانَ مُتَتَابِعًا، فَلَيْسَ لَهُ مَنْعُهُمْ مِنْهُ قَبْلَ إِتْمَامِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِمْ بِالدُّخُولِ فِيهِ.
Pertama: apabila i‘tikāf-nya bersifat mutatābi‘ (berturut-turut).
Kedua: tidak mutatābi‘ (tidak berturut-turut).
Jika i‘tikāf-nya tidak mutatābi‘, maka tuan mereka boleh melarang mereka, karena mereka masih memiliki kelonggaran untuk memisah-misahkannya.
Namun jika i‘tikāf-nya mutatābi‘, maka tuan mereka tidak boleh melarang mereka sebelum selesai, karena i‘tikāf tersebut telah menjadi wajib atas mereka dengan masuknya mereka ke dalamnya.
فَصْلٌ
: فَأَمَّا الْمُكَاتِبُ، فَلَهُ أَنْ يَعْتَكِفَ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ، لِأَنَّهُ أَمْلَكُ لِمَنَافِعِهِ وَلَيْسَ لِسَيِّدِهِ مَنْعُهُ، إِلَّا أَنْ يَعْجَزَ عَنْ قُوتِهِ، فَيَكُونَ حِينَئِذٍ لَهُ مَنْعُهُ بَعْدَ الْعَجْزِ، فَأَمَّا الْعَبْدُ الَّذِي قَدْ عُتِقَ نِصْفُهُ، فَلَهُ حَالَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُهَايَأً، فَلَهُ أَنْ يَعْتَكِفَ يَوْمًا وَيَخْدِمَ سَيِّدَهُ يَوْمًا.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُهَايَأٍ، فَلَيْسَ لَهُ الِاعْتِكَافُ، إِلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ وَاللَّهُ أعلم بالصواب.
PASAL
Adapun mukātib (budak yang sedang menebus dirinya), maka ia boleh beri‘tikaf tanpa izin tuannya, karena ia memiliki hak penuh atas manfaat dirinya. Tuannya tidak berhak melarangnya, kecuali jika ia tidak mampu mencukupi kebutuhan makannya, maka saat itu tuannya boleh melarangnya setelah ia mengalami ketidakmampuan.
Adapun budak yang telah merdeka separuhnya, maka ia memiliki dua keadaan:
Pertama: Jika telah dilakukan pembagian giliran (muhāya’ah), maka ia boleh beri‘tikaf satu hari dan melayani tuannya pada hari berikutnya.
Kedua: Jika belum dibagi giliran, maka ia tidak boleh beri‘tikaf kecuali dengan izin tuannya.
Dan Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.